Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 67

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 67
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 67
Tay Kis tertawa dingin, “Kalau anak angkatmu seperti mustika, apakah anakku tak lebih daripada lumpur yg kotor?” tanyanya dengan suara getir. Sehabis berkata begitu seraya menuntun tangan Siauw Ciauw, ia melompat ke perahu yang segera didayung kearah kapal besar.

Mendengar perkataan nyonya itu, Cia Soen dan yang lain2 terkejut. “Kalau begitu benar Siauw Ciauw puterinya,” kata Tio Beng.

Tak lama kemudian Tay Kis dan Siauw Ciauw sudah berada dikapal besar dan mereka terus bicara dengan para Po Soe Ong.

Sementara itu kapal Boe Kie terus menenggelam dengan perlahan. Sedim demi sedim tiang layar masuk kedalam air.

Cia Soen menghela napas. “Boe Kie,” katanya. “Aku salah menilai Han Hoejin, kau salah menilai Siauw Ciauw. Boe Kie seorang lelaki sejati harus mundur dan bisa maju. Biarlah untuk sementara waktu kita menelan hinaan untung mencari kesempatan guna meloloskan diri. Diatas pundakmu terdapat beban yg berat. Berlaksa laksa rakyat di Tiong Goan menunggu nunggu tindakan Beng Kauw untuk mengusir Tat coe dari negara kita. Boe Kie begitu ada kesempatan kau mesti menggunakannya untuk melarikan diri. Jangan perdulikan yg lain. Kau adalah pemimpin suatu agama. Kau harus mengerti apa artinya itu.”

Sebelum pemuda itu menyahut Tio Beng sudah mendahului. “Fuh! sedang jiwa sendiri tak bisa ditolong lagi, kau masih bicarakan soal Tat coe”

Cie Jiak yg sedari tadi terus membungkam, tiba2 berkata. “Rasa cinta Siauw Ciauw terhadap Thio Kong coe sangat besar. Menurut pendapatku ia takkan berkhianat.”

“Apa kau tak lihat cara bagaimana Cie gan liong ong mendesak dia?” tanya Thio Beng. “Semula Siauw Ciauw menolak, kemudian lantaran terlalu didesak, ia kelihatannya meluluskan permintaan ibunya. Hm.. dan dia berlagak sedih.” Sesaat itu tiang layar hanya menonjol setombak lebih dari permukaan air. Gelombang yang turun naik membawa semua orang.

“Thio kong coe,” kata Tio Beng sambil tertawa, “kami akan mati bersama sama kau dan segala apa tamat ceritanya. Tapi Siauw Ciauw yg licik dan licin malah tak bisa mati bersama sama kau.” Biarpun kata2 itu semacam guyon, artinya sangat mendalam. Dengan berkata begitu terang2 nona Tio menyatakan rasa cintanya yg sangat besar terhadap pemuda itu.

Boe Kie sendiri merasa sangat terharu. “Benar,” pikirnya. “Aku tak bisa menikah dengan mereka sekaligus. Tapi bahwa aku bisa mati bersama2 mereka, tidaklah Cuma2 kuhidup didunia ini.” Sambil memikir begitu ia melirik Tio Beng melirik Cie Jiak dan melirik pula In Lee yang berada dalam dukungannya.

Ia menghela napas. In Lee masih berada dalam keadaan setengah sadar dan setengah lupa sedang Tio Beng dan Cie Jiak seperti berlomba lomba dalam kecantikan. Pada muka mereka yg bersermu dadu terdapat titik2 air, sehingga kalau Tio Beng seperti sekuntun bunga mawar, Cie Jia bagaikan bunga anggrek. Ia menghela napas pula dan berkata dalam hati, “Hai! Bagaimana aku bisa membalas budi merek?”

Sekonyong2 dari kapal2 Cong kauw terdapat sorak sorai bergemuruh. Boe Kie kaget. Ia mendapat kenyataan, bahwa semua orang disetiap kapal berlutut diatas geladak dengan menghadap kearah kapal besar itu sendiri, semua Po Soe ong berlutut dihadapan seorang yg duduk disebuah kursi. Orang itu kelihatan seperti Siauw Ciauw. Sebab jarak terlampau jauh ia tak bisa lihat tegas. Ia merasa sangat heran, apa yg dilakukan oleh orang Persia itu?

Beberapa saat kemudian, orang2 it bangung berdiri tapi sorak sorai yg sangat gembira, masih terus terdengar.

Sekonyong2 sebuah perahu mendatangi. Waktu perahu itu sudah datang dekat, penumpangnya ternyata bukan lain daripada Siauw Ciauw sendiri. Si nona menyapa dan berteriak, “Tio Kongcoe! Mari kita naik kekapal besar. Mereka takkan menunggu kalian.”

“Mengapa begitu?” tanya Tio Beng.

“Kalian akan segera tahu,” jawabnya. “Aku pasti takkan mencelakai Tio Kong coe.”

Mendadak Cia Soen bertanya “Siauw Ciauw, apakah kau sudah menjadi Kauwcoe dari Beng Kau di Persia?”

Siauw Ciauw tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepala. Selang beberapa saat air mata mengalir, turun di kedua pipinya.

Mata Boe Kie berkunang kunang. Ia sekarang bisa menebak segala kejadian yg sebenarnya. Ia berduka dan berterima kasih. “Kau telah berkorban untukku!” katanya dengan suara parau. Si nona memalingkan kepalanya. Ia tidak berani berbentrok mata dengan pemuda itu.

Cia Soen menarik napas, “Tay kie mempunyai putra yg seperti kau tidaklah memlaukan nama besarnya Cie Sang Liong Ong,” katanya. “Boe Kie, mari kita ikut Siauw Ciauw Kauwcoe.” Sehabis berkata begitu, ia melompat ke perahu disusul oleh yg lain2. Delapan pedayung lantas saja memutar perahu itu dan mendayung kan ke arah kapal yg besar.

Dalam jarak dua puluh tombak lebih para Po Soe Ong, membungkus untuk menyambut Kauwcoe mereka. Biarpun Tay Kie ibunya si nona iapun menjalani peradatan seperti yg lain. Begitu lekas rombongan Boe Kie naik dengan sikap sangan hormat beberapa pelayan lantas mengantar mereka ke gubuk kapal untuk menukar pakaian yg basah.

Boe Kie sendiri diantar kesebuah kamar yang diperaboti mewah dan indah. Selagi ia mengerinkan air dibadannya, tiba2 pintu diketuk dan ditolak soerang wanita yg kedua tangannya menyangga seperangkat pakaian bertindak masuk dan wanita itu adalah Siauw Ciauw.

“Kongcoe, biarlah aku melayani kau,” kata si nona.

Boe Kie merasa sangat terharu, “Siauw Ciauw,” katanya, “Sekarang kau sudah menjadi Kauwcoe dari Cong Kauw dan pada hakekatnya aku sendiri adalah seorang sahabatmu. Mana boleh kau melakukan lagi pekerjaan pelayanan?”

“Kongcoe inilah untuk penghabisan kali,” kata si noan. “Kita akan segera berpisahan jauh2 sekali, dan kita tak kan bertemu pula. Sesudah aku berada di negeri orang, biarpun mau tak bisa aku melayani kau lagi.”

Boe Kie merasa hatinya hancur. Sambil menahan turunnya air mata, ia membiarkan si nona membayangnya – membantunya memakai baju, mengancing baju, mengangkat tali pinggang dan menyisir rambutnya. Sambil melakukan itu semua air mata Siauw Ciauw terus mengalir di kedua pipinya.

Boe Kie tak dapat mempertahankan dirinya lagi, tiba2 ia memeluk erat2. Bagaikan bendungan pecah si nona menangis tersedu sedan. Dengan tubuh bergemetara ia balas memeluk, “Siauw Ciauw,” bisik Boe Kie, “Semula aku bahkan menduga kau berkhianat terhadapku. Tak dinyana rasa cintamu begitu besar.”

Sambil menyandarkan kepalanya pada dada yg lebar, si nona berkata dengan suara perlahan, “Kongcoe memang aku pernah menipu kau. Ibuku adalah seorang dari ketiga Seng lie cong kauw. Ia mendapat perintah untukd atang di Tiong goan guna melakukan suatu pekerjaan penting dengan pengertian bahwa kalau nanti kembali di Persia ia akan menduduki kursi Kauwcoe. Tak disangka begitu bertemu dengan ayah, ibu jatuh cinta dan tidak dapat menahan dirinya lagi. Ketika ayah meninggal dunia, aku masih berada di dalam kandungan dna aku belum pernah melihat wajahnya. Ibu tahu bahwa ia berdosa besar. Ia menyerahkan cincin besi Senglie kepadaku dan memerintahkan aku pergi ke Kong beng teng untun mencuri sim hoat (pelajaran) Kian Koen Tay lo ie. Kongcoe didalam hal ini, aku sudah menipu kau. Aku tidak memberitahukan hal yg sebenarnya kepadamu. Akan tetapi, hatiku bersih. Sedikitpun aku tak punya niatan untuk menjadi Kauwcoe dari Beng Kauw ki Persia. Aku mengharap untuk menjadi pelayanmu, untuk melayani kau seumur hidup, untuk tidak berpisahan denganmu selama lamanya. Aku pernah memberitahukan harapanku ini kepadamu bukan? Dan kau sendiri sudah meluluskan. Bukankah benar begitu?”

Boe Kie manggut2kan kepalanya.

Sesudah berdia sejenak, si nona berkata pula, “Aku sudah menghapal sim hoat kian koen tay lo ie, tapi menghapalnya bukan lantaran didorong oleh niatan untuk berkhianat terhadapmu. Kalau bukan karena terlalu kepaksa aku pasti tidak akan memberitahukan mereka.”

“Sudahlah kau tak usah bersedih lagi,” bisik Boe Kie. “Sekarang aku sudah mengerti semuanya.”

“Sedari kecil, aku sudah melihat kekuatiran ibu,” kata pula Siauw Ciauw. “Siang malam ia tak tentram. Belakangan ia menyamar sebagai nenek yg bermuka jelek ia mengirim aku kepada lain keluarga dan hanya menengok aku setahun sekali atau dua tahun sekali. Kongcoe kalau kau dan yang lain2 tidak menghadapi kebinasaan, jangankan menjadi Kauwcoe sekalipun menjadi ratu Persiaa aku pasti akan menolak.”

Sehabis berkata begitu, ia menangis pula dengan badan bergemetara.

“Siauw Ciauw!” mendadak terdengar bentakan Tay Kie diluar kamar. “Jika kau mengantarkan jiwanya Kongcoe.”

Bagaikan dipagut ular, si nona memberontak dari pelukan Boe Kie dan melompat mundur. “Kongcoe, jangan ingat2 aku lagi,” katanya dengan suara parau. “In Kouwhie telah mengikuti ibu dalam banyak tahun dan ia sangat mencintai kau. Ia akan menjadi seorang istri yg budiman.”

“Siauw Ciauw,” bisik Boe Kie. “Mari kita menerjang keluar dan membekuk satu dua Po soe ong. Kita bisa paksa mereka untuk mengantarkan kita ke Leng coa to.”

Si nona menggelengkan kepala, “Sekarang mereka sudah berjaga2,” katanya. “Tubuh Cia Tayhiap dan Tio Kouwnio ditandalkan senjata. Kalau kita bergerak, mereka binasa.” Seraya berkata begitu, ia membuka pintu berdiri Tay Kis yg punggungnya dituding dengan dua pedang oelh dua orang Persia. Kedua orang itu membungkuk, tapi pedang mereka tidak berkisar dari punggung Cie San Liong Ong.

Denga diikuti Boe Kie, si nona berjalan keluar. Benar saja mereka melihat, bahwa Cia Soen dan lain2 berada dibanwah ancaman senjata.

“Kongcoe,” kata Siauw Ciauw, aku akan memberikan kau obat untuk mengobati luka In Kouwnio.” Ia lalu berbicara dalam bahasa Persia dan Kong tek ong segera mengeluarkan sebotol obat luar yg lalu diserahkan kepada Boe Kie.

“Aku akan memerintahkan orang untuk mengantar kalian pulang ke Tiong Goan,” kata pula si nona. “Sekarang saja kata berpisahan. Kongcoe, badan Siauw Ciauw berada di Persia, hatinya tetap bersama2 kau. Siang dan malam aku berdoa supaya kau selalu sehat segala pekerjaan bisa berjalan lancar…” Ia tak dapat meneruskan perkataannya.

“Kau berada disarang harimau, jagalah dirimu baik2,” kata Boe Kie.

Si nona mengangguk dan lalu memerintahkan orang untuk menyediakan perahu.

Sesudah Cia Soen, In Lee, Tio Beng dan Cie Jiak turun ke perahu, Siauw Ciauw segera memulangkan To Liong to Ie Thian Kiam dan enam Seng hwee leng kepada Boe Kie. Sambil tertawa sedih, ia mengangkat tangan sebagai tanda perpisahan. Boe Kie berdiri terpaku, ia tdiak bisa mengeluarkan sepatah kata. Selang beberapa saat dengan hati seperti tersayat pisau ia melompat turun keperahu.

Kapal besar segera membunyikan terompet. Kedua kendaraan air bergeral memasang layar dan mulai berpisahan dengan perlahan. Dengan berdiri di kepala kapal, Siauw Ciauw mengawasi perahu Boe Kie. Makin lama mereka jadi makin jauh, sampai akhirnya masing2 lenyap dari pemandangan.

Obat luat yg diberikan kepada In Lee tidak menolong banyak. Lukanya banyak mendingan tapi panasnya tak mau turun dan mulutnya terus mengaco karena di samping luka si nona jg menderita demam keras sebagai akibat serangan hujan dan angin. Boe Kie mulai bingung. Pada hari ketiga ia melihat pulau kecil disebelah timur. Buru2 ia minta pengemudi memutas haluan kearah pulau itu. Tapi si pengemudi menolak dengan menggeleng2kan kepala dan berbicara dalam bahasa Persia yg tidak dimengerti Boe Kie. Ia rupa2nya menolak sebab di perintah mengantar rombongan itu ke Tiong Goan. Dengan geraka2n tangan Boe Kie coba menerangkan, bahwa maksudnya adalah untuk mencari daun2 obat guna molong In Lee. Tapi pengemudi itu tak mau mengerti. Akhirnya karena jengkel, Boe Kie lalu merampas kemudi dan haluan perahu segera diputar ke jurusan timur.

Mereka tiba diwaktu magrib. Sesudah terombang ambing dilautan beberapa hari, semangat mereka terbangun waktu menginjak lagi bumi. Luas pulau hanya beberapa li persegi tapi karena hawanya hangat, pohon dan rumpu tumbuh dengan subur. Sesudah meminta Cie Jiak menjaga In Lee dan Tio Beng, Boe Kie segera mencari daun2 obat.

Tapi mudah mencari daun obat dipulau itu. Sampai malam baru Boe Kie menemukan salah satu macam. Ketika ia kembali, Cie Jiak sudah menyalakan api unggun.

In Lee kelihatan lebih segar. “A Goe koko,” katanya. “Sebaiknya malam ini kita menginap disini saja.”

Semua orang segera menyetujui. Dipulau itu tidak terdapat binatang buas dan diantara hangatnya bawa api, mereka tidur dengan hati lega.

Waktu fajar menyingsing, Boe Kie tersadar. Tiba2 ia terkejut, sebab perahu tidak ada ditempatnya. Ia berlari2 diseputar pulau, tapi perahu itu tetap tidak kelihatan bayang2nya.

Dengan rasa bingung, ia mendaki bukit kecil. Baru beberapa tindak ia terhuyung hampir jatuh. Ia merasa kedua lututnya tidak bertenaga.

Hatinya mencelos. “Gie Hoe!” teriaknya. “Apa kau baik?”

Cia Soen tidak menjawab. Ia makin bingung. Bagaikan terbang ia menghampiri. Hatinya agak lega, karena Kim mo say ong sedang tidur dengan tenang. Karena ada batas2 antara lelaki dan perempuan, Tio Beng, In Lee dan Cie Jiak tidur terpisah dibelakang sebuah batu besar.

Waktu Boe Kie pergi kesitu, ia melihat In Lee dan Cie Jiak tidur berhadapan, tapi Tio Beng tidak kelihatan mata hidungnya. Begitu ia mendekati matanya berkunang2! Muka In Lee belepotan darah dengan belasan tapak senjata tajam! Dengan tangan bergemetaran, ia memegang nadi si nonan yg masih mengetuk dengan perlahan. Cie Jiak pun tidak terbebas dari serangan. Sebagian rambutnya terpapas, sebagian kuping kirinya teriris putus. Tapi nona Cioa sendiri masih teruk terpulas dengan bibir tersungging senyuman.

Ketika itu perasaan Boe Kie sukar dilukiskan.

“Cie Kouwnio! Cie Kouwnio!” ia memanggil2. Tapi si noan Cioe tetap menggeros. Karena terpaksa, Boe Kie lalu menggoyang2 pundaknya. Cie Jiak berbangkit beberapa kali kemudian pulas lagi. Boe Kie tahu, bahwa nona itu kena racun, begitupun ia sendiri, sebab ia merasa seluruh badannya tidak bertenaga lagi.

Cepat2 ia kembali ke ayah angkatnya, “Gie hoe! Gie hoe!” teriaknya.

Kim mo Say ong tersadar. Perlahan2 ia berduduk, “Ada apa” tanyanya.

“Celaka besar, Gie hoe!” jawabnya. “Kita ditipu manusia rendah.” Ia segera memberitahukan hilangnya perahu dan terlukanya In Lee serta Cie Jiak.

Cia Soen terkejut. “Tio Kouwnio?” tanyanya.

“Entahlah, dia megnhilang,” sahutnya. Dia menarik napas dalam2 dan coba mengerahkan tenaga. Ia merasa kaki tangannya mengambang dan lweekangnya tak bisa keluar. “Gie Hoe,” katanya, “Kita kena racun Sip hiang Joan Kin san.”

Dari anak angkatnya, Cia Soen sudah mendengar tentang dirobohkannya orang2 enam partai besar dengan racun itu. Ia segera berbangkit dan mendapat kenyataan, bahwa ia pun tidak dapat mengeluarkan tenaga dalamnya. Sesudah menetapkan hati, ia bertanya, “Apakah dia pergi dengan membawa To Liong To dan Ie Han kiam?”

Benar saja kedua senjata mustika itu tidak bisa ditemukan.

Rasa gusar, jengkel dan menyesal memenuhi dada Boe Kie. Ia bukan menyesal karena tercurinya golok dan pedang mustika itu. Ia menyesal karena tak pernah menduga, bahwa, pada waktu ia berada dalam kesukaran besar Tio Beng bisa mengkhianatinya.

Untuk beberapa saat, ia berdiri bagaikan patung. Ia sangat bekuatir akan lukanya In Lee dan lalu pergi ke belakang batu. In Lee masih pingsan, sedang Cie Jiak masih tidur. “Lwee kangku paling kuat, sehingga aku tesadar paling dulu,” pikirnya. “Sesudah aku, barulah Giehge. Tenaga dalam Cioe Kouwnio masih terlalu cetek. Rasanya ia tak gampang2 tersadar.”

Ia segera merobek tangan bajunya dan menggunakannya untuk membersihkan darah dari muka nona In, yang penuh dengan goresan2 garis malang melintang. Boe Kie tahu, bahwa goresan2 itu dibuat denga Ie Thian Kiam. Semenjak terluka karena timpukan Cie san Ling ong, In Lee telah mengeluarkan banyak darah. Sebagian besar racun laba2 yg mengeram dalam tubuh si nan, jg turut keluar. Oleh karena itu sebagian besar bengkak2 pada mukanya sudah menghilang, sebagian kecantikannya yg dahulu sudah pulih kembali. Tapi sekarang muka cantik itu jadi lebih menakuti lagi sebab adanya goresan pedang.

Boe Kie merasa hatinya seperti disayat pisau. Darahnya bergolak dan ia berkata sambil menggertak gigi: “Tio Beng! … Tio Beng!.... Kalau.... kau jatuh kedalam tanganku, Thio Boe Kie bukan manusia, kalau dia tidak menggores seluruh mukamu!”

Sesudah hatinya agak tentram, ia berlari2 mencari daun2 obat, yg sesudah dikunyak didalam mulutnya, lalu ditempelkan pada muka In Lee, pada kulit dan kuping Cie Jiak.

Cie Jiak tiba2 tersadar. Ketika ia membuka mata dan mengetahui bahwa Boe Kie sedang meraba2 kepalanya, mukanya lantas saja berubah merah. Ia mendorong dengan tangannya dan bertanya, “Kau… mengapa kau…” sebelum selesai bicara, mendadak ia merasa kupingnya sakit lalu merabanya. “Ah! …” teriaknya sambil melompat bangun. “Mengapa begini?” Sekonyong2 kedua lututnya lemas dan ‘bruk!’ ia jatuh dalam pelukan Boe Kie.

“Cioe Kouwnio, jangan takut,” bujuk Boe Kie.

Dengan mata membelak, Cie Jiak mengawasi muka In Lee. Ia mengusap mukanya sendiri dan bertanya, “Apa kau juga?”

“Tidak,” jawab Boe Kie. “Nona hanya mendapat luka enteng.”

“Perbuatan orang Persia?” tanya pula si nona. “Mengapa aku sama sekali tidak merasa?”

Boe Kie menghela napas, “Mungkin sekali ini semua dilakukan oleh Tio Kouwnio,” katanya. “Rupa2nya semalam ia menaruh racun didalam makanan kita.”

Sesudah berdiri bengong beberapa saat, Cie Jiak meraba2 kupingnya yg hilang sebagian dan tiba2 ia menangis.

“Cioe Kouwnio, untung juga kau hanya terluka enteng,” bujuk Boe Kie. “Kerusakan pada kuping itu dapat ditutup dengan rambut dan tak akan bisa dilihat orang.”

“Rambut? Rambutku pun sudah hilang,” kata Cie Jiak dengan suara mendongkol.

“Yang terpapas hanya kulit ubun2 (meercu kepala) dan bagian itu bisa ditutup dengan rambut dari kedua pinggiran kepala,” kata pula Boe Kie. “Kalau mau, nona bisa juga menggunakan rambut palsu….”

“Hm!... “ si nona mengeluara suara dihidung. “Perlu apa aku menggunakan rambut palsu? Ah… sampai pada detik ini, kau masih juga coba melindungi Tio Kouwniomu.”

Disemprot begitu Boe Kie tertegun.

“Aku melindungi dia?.... “ katanya seperti orang linglung. “Dia sungguh jahat…. Aku tak akan mengampuni dia…” Ia melihat In Lee yg tak karuan macam dan air matanya mengucur.

Cia Soen dan Boe Kie benar2 bingung. Biarpun mereka orang2 gagah, jarang tandingan skrg mereka tak tahu lagi apa yg hrs diperbuat.

Sesudah mengasah otak beberapa lama, Boe Kie bersila dan mencoba menjalankan pernapasannya. Ia merasa, bahwa ia sudah keracunan berat. Ia tahu, bahwa Sip huang Joan kin san hanya dapat dipunahkan dengan obat pemunah Tio Beng. Tapi demikian pikirnya, daripada menunggu kebinasaan tanpa berusaha, ingin mencoba2 untuk melawan racun itu dengan Lwee kang nya yg sangat tinggi. Ia segera menjalankan pernapasan guna membawa dan mengumpulkan semua racun di kaki tangannya ke bagian tantian (bawah pusar). Inilah ilmu tertinggi dari Kioe yang Sin kang yg dinamakan Poe tok Siauw kouw hoat (Ilmu pemunah segala racun).

Sesudah mengerahkan tenaga dalam kira2 satu jam, ia merasa bahwa sebagian Lweekang telah pulih kembali pada kaki tangannya. Hatinya jadi lebih lega, ia percaya bahwa ia akan dapat mengusir racun itu dari tubuhnya.

Tapi karena harus menjalankan dengan Kioe yang Sin Kang, ia tidak bisa mengajar ilmu itu kepada Cia Soen dan Cie Jiak. Jalan satu2nya ialah sesudah ia mengusir semua racun dari tubuhnya, ia harus membantu Cia Soen dan Cie Jiak dengan Kioe yagn Sin Kang.

Ilmu itu sederhana, tapi sukar dijalankan. Sesudah berusaha tujuh hari, barulah Boe Kie bisa mengusir tiga bagian racun. Harus diingat bahwa Sip hiang Soen Kin san ada salah satu semacam racun yg terlihati didalam dunia. Tokoh2 seperti Kong boen Kong tie, Wan Cioe Biat soet Soethay yg memiliki lweekang sangat tinggi masih tak berdaya. Bahwa didalam tujuh hari Boe Kie berhasil mengusir tiga bagian racun dan mengambil pulang satu dua bagian tenaga dalamnya. Didalam dunia, tak ada orang lain yg dapat melakukannya.

Untung juga racun itu hanya meniadakan Lwee kang dan tak membahayakan jiwa. Semula Cie Jiak merasa sangat jengkel, tapi sesudah lewat beberapa hari, ia sudah jadi biasa. Ia selalu mengawani Cia Soen menangkap ikan, memanah burung dan menyediakan makanan. Diwaktu malam ia tidur disebuah guha disebelah timur pulau itu, terpisah jauh dari Boe Kie.

Biarpun buta, Cia Soen tahu, bahwa Cie Jiak mencintai anak angkatnya. Tapi nona itu sangat menjaga tata kesopanan. Ia tak pernah mengeluarkan sepath kata yg bersifat guyon. Hal ini sudah mendatangkan rasa hormat didalam hati orang tua itu.

Boe Kie sendiri terus dirundung dengan rasa kemalu2an. Ia merasa bahwa kemalangan ini adalah gara2nya sendiri. Tio Beng seorang putri Mongol dan musuh Beng Kauw. Banyak tokoh rimba persilatan roboh dalam tangan nona ini. Tapi ia sendiri secara sangat tolol sama sekali tidak berjaga2. sepatahpun Cia Soen dan Cie Jiak tidak pernah menyalahkannya. Tapi, maka mereka bungkam makin ia merasa jengah. Kadang2 matanya kebentrik dengan mata nona Cioe. Sorot mata si nona seolah2 mengatakan begini, “Kejadian ini terjadi sebab kau dibutakan dengan kecantikan Tio Beng.”

Racun dalam tubuh Boe Kie makin hari makin enteng, tapi luka In Lee kian hari kian berat. Dipulau itu ternyata tidak terdapat daun obat. Walaupun Boe Kie memliki banyak ilmu pengobatan yg tinggi ia tak berdaya. Ia tahu pasti bahwa pasti luka nona In dapat disembuhkan. Tapi tanpa obat ia tak bisa berbuat banyak. Kalau dipulau itu terdapat pohon2 besar, ia tentu sudah membuat getek untuk berlayar guna mencari pulau lain. Tapi dipulau itu hanya tumbuh pohon2 kecil. Kalau ia tak mengerti ilmu pengobatan masih tak apa. Tapi sebagai ahli, siang malam hatinya seperti diiris2. Ia tahu bagaimana harus menolong, tapi ia tak dapat menolong.

Pada suatu malam ia mengunyah seperti daun obat yg bisa menolak panas dan kemudian memasukkannya kedalam mulut In Lee. Si nona tidak bisa menelan lagi. Bukan main rasa dukanya dan air matanya jatuh berketel2 dimuka In Lee.

Tiba2 si nona membuka mata, ia tersenyum dan berkata, “A Goe koko, jangan kau susah hati. Aku ingin pergi di dunia baga untuk menemui setan kecil Thio Boe Kie yg kejam dan pendek umur. Aku ingin memberitahukan dia bahwa didalam dunia terdapat seorang A Goe koko yg memperlakukan aku secara luar biasa baik seribuk kali, selaksa kali lebih baik daripada perlakuan Thio Boe Kie.

Boe Kie menggigit bibir untuk menahan mengucurnya air mata.

Sementara itu, sambil memegang tangan pemuda itu erat2, In Lee berkata pula, “A Goe koko, aku selalu menolak permintaanmu untuk menikah. Apa kau marah? Kurasa permintaanmu itu bukan keluar dari hati yg sejujurnya. Kurasa kau menipu aku… kau hanya ingin menyenangkan hatiku. Mukaku jelek, adatku aneh bagaimana kau bisa mencintai aku?”

“Tidak! Aku tak menipu kau!” kata Boe Kie dengan suara sungguh2. “Kau seorang gadis yg sangat baik, yg berhati mulia dan penuh kasih. Aku akan merasa sangat beruntung apa bila bisa menikah dengan kau. Sesduah kau sembuh semua urusan2 kita menjadi beres, kita akan segara menikah. Apa kau setuju?”

Dengan sorot mata berterima kasih, In Lee mengusap2 muka Boe Kie. Ia menggeleng2 kan kepala dan berkata dengan suara menyesal. “A Goe koko, aku tak bisa nikah dengan kau. Aku… sudah diberikan kepada Thio Boe Kie yg kejam dan jahat… A Goe koko, aku merasa takut… Apa yg bakal kau temukan didunia baka? Apakah ia masih akan mengunjuk kegalakannya terhadapku?”

Mendengar perkataan si nona yg tak melantur lagi melihat kedua pipinya yg bersemu dadu, hari Boe Kie mencelos. “Inilah tanda2 sinar terakhir dari api pelita yg hampir padam,” katanya dalam hati. “Apakah piauwmoay bakal meninggal dunia hari ini juga?” Bagaikan orang linglung ia mengawasi muka saudari sepupunya.

In Lee mengulan pertanyaannya.

“Dia selama2nya akan memperlakukan kau dengan penuh kecintaan,” jawab Boe Kie dengan suara lemah lembut. “Dia akan menganggap kau sebagai jantung hatinya.”

“Apakah dia akan memperlakukan aku sama baiknya seperti kau?” tanya pula si nona In.

“Langi menjadi Saksti,” kata Boe Kie dengan suara tetap. “Thio Boe Kie mencintai kau dengan setulus hati. Dia merasa menyesal bahwa diwaktu kecil dia pernah melakukan kau secara tidak pantas. Dia… dia tiada bedanya… tidak beda dari aku sendiri.”

Si nona menghela napas dan pada bibirnya tersungging senyuman. “Kalau begitu… kalau begitu… “ katanya dengan suara berbisik, “Aku.. aku tidak berkuatir lagi….” Perlahan2 kedua matanya tertutup dan rohnya kembali ke alam baka.

Sambil menggerung2 Boe Kie memeluk jenazah In Lee. Ia mengutuk dirinya. Ia merasa menyesal tak habisnya, bahwa sampai menutup mata In Lee masih tak tahu, bahwa dia adalah Thio Boe Kie. Selama beberapa hari sinona berada dalam keadaan lupa ingat dan pada detik terakhir sudah tidak keburu diterangi padanya lagi. Kesedihan Boe Kie waktu itu tidak dapat dilukiskan lagi dengan kalam. Ia mengutuk Tio Beng berulang2. Kalau mukanya tidak digores pedang, belum tentu In Lee dapat ketolongan. Kalau tidak ditinggalkan dipulau mencil, begitu tiba di Tiong Goan, ia akan bisa menolong saudari sepupunya itu.

“Tio Beng!.. Tio Beng!” ia mengeluh dengan darah bergolak golak. “Begitu jahat kau!... kalau kau jatuh didalam tanganku, aku pasti tidak akan mengampuni kau.”

“Hm!....” mendadak terdenagr suara dingin dibelakangnya. “Kalau sudah bertemu dengan si cantik, belum tentu kau turun tangan.”

Boe Kie berpaling dan melihat Cie Jiak di belakangnya. Ia berduka tercampur malu.

“Aku sudah bersumpah dihadapan jenazah piauwmoay, bahwa jika aku tidak membunuh perempuan siluman itu, Thio Boe Kie tak ada muka untuk hidup diantara langit dan bumi,” katanya dengan suara parau.

“Kalau benar begitu, barulah kau seorang lelaki yg mempunyai ambekan,” kata Cie Jiak seraya mendekati dan lalu menangis sambil memegang jenazah nona In.

Mendengar suara tangisan, Cia Soen datang dan iapun sangat berduka ketika tahu hal meninggalnya In Lee.

Sesudah kenyang memeras air mata, Boe Kie lalu menggali lubang dan menguburkan In Lee. Ia mengambil sebatang pohon mengulitinya dan dengan pisau si noan In, mengukir perkataan seperti berikut, “Kuburan istriku yg tercinta, In Lee.” Dibawahnya ia mengukir namanya sendiri. Sesudah itu, ia berlutut ditanah dan menangis tersedu2.

Melihat kesedihan pemuda itu, Cie Jiak merasa kasihan. “Sudahlah,” ia membujuk. “Dia mencintai kau dan kaupun telah memperlakukannya dengan penuh kasih. Asal saja kau tidak melanggar janjimu dan kau benar2 dapat membinasakan Tio Beng untuk membalas sakit hatinya dialam baka roh, adik In akan merasa terhibur.”

(red: tidak ada halaman ato paragraph yg ilang disini, ketikan as is)

Karena keduanya, racun yg sudah berkumpul di tantian Boe Kie membayar pula. Dengan bekerja keras tujuh delapan hari barulah ia bisa mengumpulkan pula racun yg buyar itu. Akhirnya kira2 sebulan, semua racun baru dapat diusir pergi.

Pulau dimana mereka terkandas berbeda dari Peng Hwee to, ato Leng coa to. Disitu bukan saja tak ada pohon pohon buah, tapi juga tidak terdapat binatang yg bisa dijadikan barang santapan. Maka itu hidup mereka sangat menderita. Untung juga, sebab merasa kasihan akah kemalangan Boe Kie, Cie Jiak sudah memperlakukannya dengan penuh kasihan dan memberikan bujukan2 yg dapat diberikan sehingga dengan begitu, penderitaan pemuda itu, banyak entengan.

Sesudah ia berhasil Boe Kie lalu membantu ayah angkatnya dalam usahanya mengusir racun Sip Hiang Joan kin san. Setelah beres dengan Cia Soen, ia sebenarnya harus menolong Cie Jiak, tapi pertolongan ia tidak dapat dilakukan sebab terbentur dengan tata kesopanan pada jaman itu. Dalam memberi bantuan sebelah tangan Boe Kie harus menempel pada pinggang dan sebelah tangan lagi hrs menempel pada kempungan yang mau ditolong. Mana boleh ia membantu seorang gadis remaja cara begitu? Tapi itu merupakan jalan satu2nya untuk memasukkan Kioe yg sin kang kedalam tubuh si nona selama beberapa hari, ia tidak dapat mengambil keputusan.

Pada suatu malam tiba2 Cia Soen bertanya, “Boe Kie berapa lamakah kita harus berdiam dipulau ini?”

Boe Kie terkejut, “Suka dikatakan,” jawabnya. “Kita hanya mengharap bahwa sebuah perahu akan lewat dipulau ini.”

“Dalam waktu satu bulan, apakah kau pernah melihat bayang2an perahu?” tanya pula sang Gie hoe.

“Tak pernah”

“Ya! Mungkin besok sebuah perahu akan lewat disini. Mungkin juga seratus tahun lagi tak muncul bayang2annya.”

“Pulau ini memang pulau terpencil dan tidak berada dalam garis perhubungan air. Harapan kita memang tidak besar.”

“Hm… obat pemunah tak akan bisa didapatkan, Boe Kie. Disamping rasa lemas pada kaki tangan, bahaya apa lagi yg dapat ditimbulkan oleh racun itu?”

“Kalau mengeramnya didalam tubuh hanya sementara waktu, boleh dikata tiada lain bahaya. Tapi kalau lama, racun itu menyerap diotot dan tulang dan sangat membahayakan anggota didalam badan.”

“Nah kalau begitu mengapa kau tidak buru2 berusaha untuk menolong Cioe Kouwnio? Kalau orang tua Cioe Kouwnio adalah anggota agama kita sedang ia sendiri seorang Ciangboen jin dari Go bie pay. Dimana lagi kau mau cari gadis yg begitu lemah lembut dan mulia hatinya? Apa kau anggap ia kurang cantik?”

Boe Kie tertegun. “Kalau Cioe Kouwnio tidak cantik, didalam dunia tak ada wanita cantik,” jawabnya.

Cia Soen tersenyum, “Kalau begitu aku memerintahkan supaya kau berdua segera menikah,” katanya. “Sesudah menikah, kamu tidak terikat lagi dengan segala peraturan bulukan.”

Cie Jiak yang juga berada disitu buru2 berlalu dengan paras muka kemerah2an. Cia Soen melompat dan menghalangi didepannya. Ia tertawa dan berkata, “Jangan kau pergi! Hari ini aku bertekad untuk menjalankan peranan comblang.”

“Cia Looya coe, mengapa kau mengacau belo?” kata si nona dengan sikap kemalu2an.

Kim mo Say ong tertawa terbahak. “Perangkap jodoh antara lelaki dan perempuan adalah urusan penting dalam penghidupan manusia,” katanya. “Mengapa kau mengatakan aku mengacau belo? Boe Kie, kedua orang tuamu jg menikah dipulau kecil. Kalau dahulu mereka tidak menyampingkan segala tata adat istiadat bulukan, didalam dunia mana bisa menjelma seorang bocah yg seperti kau? Berbeda dari kedua orang tuamu, hari ini, aku yg menjadi ayah angkatmu, menjalankan peranan sebagai Coaboen (orang yang menikahkan). Apa kau tidak suka Cioe Kouwnio? Apa kau tak sudi menolong dia?”

Cie Jiak jadi makin jengah. Ia coba lari.

Sambil menarik tangan si nona, Cia Soen berkata, “Kemana kau mau lari? Apa besok kamu tidak bakal bertemu pula. Aha! Kutahu, katu tidak sudi memanggil “Kong kong” kepadaku, si buta. Bukankan begitu?”

“Bukan! Bukan begitu!”

“Dengan lain perkataan, kau menyetujui usulku?”

“Tidak!... tidak!....”

“Mengapa tidak? Apa kau anggap anak angkatku tak pantas menjadi pasangan?”

Cie Jiak tidak lantas menjawab. Sejenak kemudian, sambil menatap muka Kim mo Say ong ia berkata dengan suara perlahan. “Thio Kong coe, memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan namanya terkenal diseluruh kalangan Kangouw. Kalau seorang wanita bisa mendapatkan ia sebagai suami, apalagi yg masih kurang? Tapi… tapi…”

“Tapi apa?”

“Tapi…. Didalam hati, dia mencintai Tio Kouwnio. Kutahu adanya kenyataan ini.”

Cia Soen menggertak gigi. “Tidak bisa jadi!” katanya. “Tak mungkin Boe Kie kelelap terhadap perempuan yg begitu jahat, yg sudah mencelakai kita secara begini hebat. Boe Kie aku ingin dengar pernyataan dari mulutmu sendiri.”

Didepan mata Boe Kie terbayang senyuman dan cara2 Tio Beng yg membetot hati. Ia merasa sangat beruntung kalau bisa menikah dengan gadis yg sangat menarik hati itu. Tiba2 ia seolah2 melihat pula jenazah In Lee yg mukanya penuh dengan goresan pedang. Darahnya meluap dan ia segera berkata, “Tio Kouwnio adalah musuh besarku. Aku akan membunuh dia guna membalas sakit hatinya piauwmoay.”

“Cioe Kouwnio, kau dengarlah!” kata Coa Soen. “Apa kau masih tak percaya?”

“Aku masih bersangsi…” jawabnya dengan suara perlahan. “Aku masih bersangsi, kecuali… kecuali dia bersumpah. Kalau tidak, aku lebih suka mati daripada ditolong olehnya.”

“Boe Kie, lekas sumpah!” kata sang Giehoe.

Boe Kie segera berlutut dan berkata. “Apabila aku, Thio Boe Kie, melupakan sakit hatinya piauwmoay, biarlah langit dan bumi mengutuk aku.”

“Kau harus bicara secara tegas,” kata Cie Jiak. “Apa yg ingin diperbuat olehmu terhadap Tio Kouwnio?”

Didalam hati Cia Soen merasa geli. Galak benar nona Cioe! Belum jadi istri, tuntutannya sudah begitu hebat. Tapi sebagai seorang tua, ia lantas saja berkata. “Boe Kie, hayolah bicara biar tegas!”

Boe Kie mengangguk dan berkata dengan suara nyaring. “Perempuan siluman Tio Beng bekerja untuk kaisar Tat coe. Dia mencelakai rakyat, membunuh pendekar2 Rimba Persilatan mencari golok mustika Gie Hoe dan membinasakan In Lee piauwmoay. Begitu lama ia masih bernapas, Thio Boe Kie tidak akan melupakan sakit hati itu. Jika aku melanggar sumpah ini, biarlah langit mengutuk aku, bumi mengutuk aku.”

Cie Jiak tertawa. “Aku hanya kuatir, jika tiba waktunya kau akan menaruh balas kasihan terhadapnya,” katanya.

“Sekarang sudah berse,” kata Cia Soen. “Kita, orang2 dalam kalangan kangouw, selamanya tidak banyak rewel. Menurut pikiranku, sebaiknya kamu berdua hari ini segera menikah, supaya racun Sip haing joan kin san bisa terusir secepat mungkin.”

“Tidak!” bantah Boe Kie. “Giehoe, Cie Jiak dengarlah dulu perkataanku. In kouwnio sangat mencintai aku. Sedari kecil ia menganggap aku sebagai suami nya dan akupun menganggap dia sebagai istri. Sekarang, sedang jenazah nya masih belum dingin, mana aku tega untuk segerah menikah?”

Sesudah memikir sejenak, Cia Soen berkata, “Benar juga. Tapi bagaimana keinginanmy?”

“Menurut pikiran anak, hari ini anak mengikati tali pertunangan dengan Cioe Kouw nio dan segera membantunya dalam mengusir racun Sap hiang joan kin san,” jawabnya. “Kalau dengan berkah langit, kita bisa pulang ke Tiong goan sesudah membunuh Tio Beng dan memulangkan To liong to kepada Gie hoe, barulah anak melangsungkan upacara pernikahan. Dengan begini, segala apa akan dapat diselesaikan secara baik.”

“Baik memang baik sekali,” kata Cia Soen. “Tapi bagaimana kalau sampai sepuluh duapuluh tahun kita masih belum bisa pulang ke Tiong goan?”

“Didalam batas waktu tiga tahun, tak peduli kita bisa pulang ke Tiong goan atau tidak Gieh pe boleh menikahkan kami,” jawabnya.

Kim mo sau ong mengangguk, “Cio Kouw nio, bagaimana pendapatmu?” tanyanya.

Cie Jiak menundukkan kepalanya, selang beberapa saat, barulah ia menyahut. “Aku seorang perempuan sebatang kara. Aku tidak dapat mengambil keputusan sendiri dan menyerahkan segala apa kepada Loo ye coe.”

Cia Soen tertawa terbahak2, “Bagus! Bagus!” katanya. “Kita bertiga menetapkan janji itu. Sekarang kamu sudah menjadi tunangan dan tak usah malu2 lagi. Boe Kie, lekas bantu, tunanganmu!” Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan tindakan lebar.

Sesudah ayah angkatnya pergi, Boe Kie berkata dengan suara perlahan. “Cie Jiak, apakah kau bisa mengerti perasaan hatiku yg penuh kesengsaraan?”

Si nona tersenyum, “Karena mukaku tak cantik, kau sudah mengajukan rupa2 alasan,” katanya. “Andai kata aku Tio Kouwnio, mungkin sekarang juga….” Ia tidak meneruskan perkataannya dan berpaling kejurusan lain.

Dengan jantung memukul keras, Boe Kie berkata didalam hati, “Waktu terombang ambing ditengah lautan aku pernah melamun untuk mengambil empat istri sekaligus. Tapi didalam hati kecilku, orang yg benar2 kucintai adalah si perempuan siluman yg jahat itu. Hai! …. Cuma2 saja aku dinamakan seorang gagah…. Aku masih belum bisa membedakan mana yg baik mana yg jahat.”

Ketika Cie Jiak menengok lagi, ia lihat tunangannya sedang termenung. Tanpa mengatakan suat apa, ia segera berjalan pergi Boe Kie buru2 menarik tangannya. Diluar dugaan sebab lweekangnya musnah, ditarik begitu, nona Cioe terhuyung dan jatuh didalam pelukan Boe Kie. “Apakah seumur hidup aku harus selalu di hina kau?” tanyanya dengan suara mendongkol.

Cie jiak benar2 cantik. Ia cantik selagi tertawa dan cantik pula selagi bergusar. Sambil terus memeluk, Boe Kie berkata daengan suara lemah lembut. “Cie Jiak, kata pertama bertemu disungai Han soe. Waktu itu aku sudah mencintai kau. Sungguh diluar dugaan, bahwa hari ini apa yg telah dibayang2kan olehku dapat terwujud. Waktu aku sedang bertempur melawan empat tetua Koen loen dan hwa san pay di kong beng teng, kau telah memberi petunjuk kepadaku dan menolong jiwaku, untuk pertolongan itu, aku sekarang menghaturkan banyak terima kasih.”

Si nona membiarkan dirinya dipeluk.

“Hari itu aku menikam kau, apa kau tidak membenci aku?” bisiknya.

“Tidak,” jawabnya “Kau tak menikam terus. Detik itu juga kutahu, bahwa kau sebenarnya mencintai aku.”

Muka Cie Jiak lantas saja berubah merah. “Fui! Kalau kutahu bakal terjadi kejadian2 yg sudah terjadi, hari itu aku sudah menikam jantungmu, supaya aku tak dihina kau terus menerus,” katanya.

Boe Kie tertawa, “Aku sangat mencintaimu, mana boleh aku menghina kau?” katanya.

Untuk beberapa saat, kedua orang muda yg sedang menikmati kebahagian tidka berkata2.

Akhirnya, sambil bersandar didada yg lebar, nona Cioe memecahkan kesunyian.

“Boe Kie koko,” katanya. “Kalau aku membawa kesalahan kepadamu, kalau aku berdosa apakah kau akan mencaci aku, memukulku, membunuh aku?”

Boe Kie mencium leher si nona. “Wanita yg semulia kau tak mungkin berdosa,” jawabnya.

“Biarpun nabi bisa membuat kesalahan sebagai manusia biasa, aku pasti tak terbebas dari segala kekhilafan.”

“Kalau benar begitu, aku takkan marah. Aku hanya akan membujuk kau supaya insaf akan kekeliruan.”

“Apa kau takkan berubah pikiran terhadapku? Apa kta takkan membunuh aku?”

“Cie Jiak, sudahlah! Jangan memikir yang tidak2. Mana bisa terjadi kejadian itu?”

“Baiklah!” kata Boe Kie sambil tertawa.

“Aku berjanji takkan berubah pikiran, tak akan membunuh kau.”

Cie Jiak menatap wajah Boe Kie, “Aku tak mau kau memberi janji sambil tertawa-tawa,” katanya. “Aku menuntut kau bersungguh.”

“E-eh!... Ada apa yg masuk kedalam otakmu?” tanya Boe Kie sambil tertawa geli. Tapi didalam hati dia berkata.

“Dasar aku yg salah. Ia rupa2nya masih berkuatir, karena sikapku yg penuh kecintaan terhadap Tio Beng. Siauw Ciauw dan piauw moay.” Memikir begitu, dia lantas saja berkata dengan sungguh2. “Cie Jiak, kau istriku. Kalau dahulu hatiku banyak bercabang, sekarang lain keadaannya. Aku berjanji, bahwa mulai detik ini, aku takkan berubah pikiran terhadapmu. Andai kata kau bersalah, andai kata kau berdosa, aku bahkan takkan mencaci kau.”

Si nona menghela napas. “Boe Kie koko,” katanya. “Kau seorang laki2 yang sejati. Kuharap dihari kemudian, kau tidak akan melupakan perkataanmu yg dikeluarkan pada malam ini.” Ia menuding bulan sisir yg baru muncul “Boe Kie koko, sang rembulan menjadi saksi kita berdua.”

“Benar,” kat Boe Kie, “Kau benar. Sang rembulan menjadi saksi.” Sambil mengawasi dewi malam itu ia berkata pula.

“Cie Jiak, selama hidup, sering sekali aku dihina orang. Sebab terlalu percaya manusia, sering sekali aku menderita. Entah berapa kali, aku tak ingat lagi. Hanyalah pada waktu berada di Peng hwee to bersama ayah, ibu dan Giehce, aku terbebas dari segala kelicikan manusia rendah. Waktu aku baru tiba di Tiong goa, seorang pengemis sedang bermain main dengan seekor ular, telah menipu aku. Dia membujuk supaya aku melongok kedalam karungnya untuk melihat ularnya dan tiba2 ia menangkrup dengan karungnya itu. Lihatlah sekarang. Kita datang dipulau ini dnegna sama sama menderita. Siapa nyana pada malam pertama, Tio Kouwnio telah menaruh racun dimakanan kita dan kabur dengan perahu yg satu2nya?”

Si nona tersenyum. “Sudahlah,” katanya, “Menyesalpun tiada gunanya.”

Tiba2 gelombang rasa bahagia bergolak golak dalam dada Boe Kie. “Cie Jiak,” bisiknya. “Kau adalah manusia yg berada paling dekat denganku. Kau selalu memperlakukan aku dengan penuh kecintaan. Dihari kemudian, sesudah kita pulang dari Tiong goan, kau dapat membantu aku untuk berjaga jaga terhadap manusia2 rendah. Dengan bantuanmu, aku boleh tak usah mengalami lebih banyak penderitaan lagi.”

Si nona menggelengkan kepalanya, “Aku seorang yg tak punya guna,” katanya.

“Aku kalah jauh daripada Tio Kouwnio, bahkan masih kalah dari Siauw Ciauw kouwnio. Apa kau tahu, bahwa istrimu seorang bodoh?”

Demikianlah, sambil berduduk dipinggir pantai kedua tunangan ini beromong kosong sampai larut malam.

Pada keesokan harinya Boe Kie mulai membantu Cie Jiak dengan Kioe yang Sin kang. Ia merasa girang bahwa tunangannya segera mendapat kemajuan. Mungkin sekali, sebab tidak banyak makan, Cie Jiak hanya menelan sedikit racun.

Tapi diluar dugaan, pada hari ketujuh didalam tubuh si nona muncul semacam hawa yang amat dingin, yg melawan hawa Kioe yang sin kang. Dengan seantero tenaganya, Cie Jiak coba menekan hawa dingin itu, tapi ia tetap tak dapat memasukkan Kioe yang Sin Kang kedalam badannya. Boe Kie kaget dan segera menanyakan pendapat ayah angkatnya.

Sesudah memikir beberapa saat, Cia Soen berkata, “Akupun tidak mengerti. Mngkin sekali karena pemimpin Go Bie pay seorang wanita, maka tenaga dalam mereka bersifat Im Jioe (dingin lembek).”

Boe Kie manggut2kan kepalanya.

Untung jg lweekang Cie Jiak berada disebelah bawah lweekang Boe Kie. Maka itu dalam memasukkan sin kang kedalam tubuh si nona, pemuda itu dapat menindih hawa yg sangat dingin itu. Tapi dengan demikian ia harus mengeluarkan lebih banyak tenaga daripada waktu membantu ayah angkatnya. Ia merasa bahwa Im Kim (tenaga dingin) dari tunangannya memang belum kuat. Tapi sebagai ahli, ia tahu, bahwa dihari kemudian, kalau Cie Jiak sudah mencapai tingkat yg tinggi, ia kaan memperoleh lwee kang yg dahsyat luar biasa. Tanpa terasa ia memuji, “Cie Jiak, gurumu, Biat Coat Soethay, memang seorang tokoh jarang tandingan. Ia telah mewariskan lweekang yg sangat tinggi kepadamu. Apabila kau terus berlatih menurut ajaran itu, dikemudian hari tenaga dalammu akan bisa berendeng dengan Kioe yang sin kaing yg dimiliki olehku.”

“Justru!” kata si nona sambil tertawa.

“Mana bisa ilmu GO bie pay merendengi Kioe Yang Sin Kang dan Kian Koen Tay Lo Ie dari Toa Kauw Coe (Kauwcoe besar)?”

“Cie Jiak, aku tidak bicara main2,” kata pula Boe Kie dengan paras sungguh2.

“Bakatmu sangat baik, mungkin sekali, didalam jurus2 ilmu silat, kau tidak dapat memahami telalu banyak. Tapi dalam lweekang kau sudah mempunya dasar yg sangat baik. Tay suhu sering mengatakan, bahwa pada tingkat tertinggi ilmu silat yg berhubungan erat dengan sifat seorang manusia yg mempelajarinya. Seorang yg berotak cerdas belum tentu bisa naik sampai dipuncak tertinggi. Sepanjang ceritga ayah, Kwee liehiap pendiri Go Bie pay, yaitu Kwee tayhiap adalah seorang yg berotak tumpul. Akan tetapi semenjak dahulu sampai sekarang, ilmu silat yg dimiliki Kwee tayhiap mungkin belum ada tandingannya. Tay soehoe mengatakan bahwa ia sendiri belum bisa merendengi lwee kang Kwee tayhiap. Cie Jiak, aku bersungguh2. pelajaran lwee kang Go bie pay agaknya masih lebih tinggi dari Boe tong pay. Menurut penglihatanku dihari nanti, kalau kau sudah berhasil, kau bisa berada disebelah atas gurumu sendiri.”

Si nona mengawasi tunangannya. “Ah! Kau hanya ingin mengambil hatiku,” katanya seraya tersenyum. “Aku sudah merasa sangat puas, apabila aku bisa memperoleh sepersepuluh dari kepandaian Sian soe. Aku akan segera berterima kasih, jika kau sudah mengajarku dalam ilmu Kioe yang Sin Kang Kian Koen tay lo Ie.”

Boe Kie tidak menjawab ia megerutkan alisnya.

Si nona tertawa, “Apa aku belum cukup berderajat untuk menjadi murid Tao Kauwcoe?” tanyanya.

“Bukan begitu! Aku merasa bahwa lweekang mu berbeda dari lweekang ku. Bukan saja berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Kalau aku mengajar kau akan menghadapi suatu yg amat sukar dan sangat berbahaya. Bukan aku tak sudi.”

“Kalau kau tak sudi mengajar, sudahlah! Perlu apa rewel2? Dalam belajar ilmu silat, paling banyak tidak berhasil. Mana bisa jadi berbahaya?”

“Kau salah! Kau salah menerka. Kioe yang Sin kang adalah lweekang yg bersifat Yang Kong (panas keras) sedang lweekang Go bie pay bersifat Im jioe (dingin lembek). Apabila kau melatih diri dalam ilmu Kioe yang Sin kang, maka Im dan Yang akan bercampur menjadi satu. Hanyalah orang2 yg memiliki kepandaian sangat tinggi, misalnya Tay suhu, yg bisa mempersatukan “air” dan “api” bercampur “keras” dengan “lembek”. Salah sedikit saja ilmu itu akan membakar, orang yg berlatih seperti golok makan tuan. Hm…. Cie Jiak, nanti manakala lweekangmu sudah mencapai tingkat yg tinggi, kau boleh mempelajari Sim hoat dari Kian koen Tay lo ie.”

Si nona tertawa geli, “Aku hanya berguyon,” katanya. “Mulai dari sekarang aku tak akan berpisah lagi dengan kau, sehingga tak ada perbedaan apa itu ilmu silatku atau ilmu silatmu. Aku manusia yg malas. Kioe yang Sin kang bukan ilmu yg gampang. Maka ia biarpun dipaksa, belum tentu aku mau mempelajarinya.” Mendengar kata2 yg manis itu, Boe Kie merasa girang sekali.

Dalam suasana bahagia, tanpa merasa mereka sudah berdiam dipulau itu selama beberapa bulan. Cie Jiak merasa seantero tenaganya sudah pulih kembali. Mungkin sekali semua racun sudah terusir.

Sesudah musim dingin lewat, tibalah musim semi yg indah. Pada suatu hari, Boe Kie memeting beberapa ranting tho yg penuh bunga disebelah timur pulau. Dengan rasa terharu, ia menancapkan ranting2 di depan kuburan In Lee. Ia ingat bahwa saudari sepupu itu bernasib malang. Mungkin sekali, sehari pun nona itu belum pernah mencicipi rasa beruntung. Ia berdiri terpaku dan didepan matanya terbayang pula kejadian2 pada masa yg lampau.

Mendadak, ia disadarkan oleh suara burung2 laut. Ia menengadah dan tiba2 saja ia melihat layar ditempat jauh dan kendaraan air itu sedang mendatangi kearah pulau. Itulah kejadian yg tak diduga2. Hatinya meluap dengan kegirangan. Ia melompat dan berteriak sambil berlari2. “Gie hoe! Cie Jiak! Kapal! Ada kapal!”

Cia Soen dan Cie Jiak lantas saja menghampiri. “Boe Kie koko,” kata si nona dengan suara gemetar, “Bagaimana bisa ada kapal datang kesini?”

“Akupun tak mengerti” jawabnya. “Apa kabal bajak?”

Setengah jam kemudia, kapal layar itu sudah membuang sauh di luar pulau. Sebuah perahu kecil menghampiri pulau. Cia Soen bertiga berdiri di pesisir untuk menyambut. Segera juga mereka mendapat kenyataan, bahwa orang2 di perahu itu semua mengenakan seragam angkatan laut Mongol.

Jantung Boe Kie memukul keras. “Apa Tio Kouwnio berubah pikiran dan datang lagi kesini?” tanyanya didalam hati. Ia melirih Cie Jiak yang ternyata sedang mengerutkan alis. Rupa2 nya tunangan itupun mempunyai dugaan yg sama.

Tak lama kemudia perahu itu menepi. Lima orang anak buah mendarat. Pemimpinnya seorang perwira, menghampiri Boe Kie dan bertanya sambil membungkuk, “Apa tuan Thio Boe Kie, Thio Kongcoe?”

“Benar,” jawabnya. “Siapa tuan?”

Mendengar jawaban itu, ia kelihatan girang sekali, “Namun Siauw jin yg rendah, Pas Tai,” sahutnya. “Siauwjin merasa sangat beruntun, bahwa hari ini kami bisa menemukan Kongcoe. Siauwjin menerima perintah untuk menyambut Thio Kongcoe dan Cia Tayhiap pulang ke Tionggoan,” ia tidak menyebut nama Cie Jiak.

Boe Kie menyoja, “Dari tempat jauh tuan datang kesini dan kami merasa sangat berterima kasih,” katanya. “Tapi apa kau boleh mendapat tahu, siapa yg memerintahkan tuan?”

“Siauw jin adalah orang sebawahan Teetok angkatan laut, Taiwa Che lu, yang menjaga propinsi Hiok kian,” jawabnya. “Atas perintah Pol tua, Ciang Koen (jendral), siauwjin datang kesini untuk menyambut Kongcoe dan Cia Tayhiap Pol tua Ciang koen telah mengirimkan delapan buah kapal yg coba mencari kalian diperairan sepanjang propinsi Hok Kian, Ciat kang dan kwitang. Atas berkat Thian, siauw jin lah yg memperoleh pahala ini.” Dari keterang itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang yg berhasil mencari Boe Kie akan mendapat hadiah besar.

Boe Kie belum pernah mendengar nama pembesar2 Mongol itu dan ia tahu bahwa semua perintah dikeluarkan atas titah Beng Beng koengcoe. “Apa kau tahu, mengapa kau diperintah untuk menyambut kami?” tanyanya.

“Pol tua Ciang koen mengatakan, bahwa Thio Kongcoe adalah seorang bangsawan berkedudukan tinggi dan juga seorang gagah kenamaan pada jaman ini,” jawabnya. “Beliau memesan, bahwa andaikata siauwjin berhasil menemukan Kongcoe, siauw jin harus melayani sebaik mungkin. Tentang mengapa siauwjin diperintah menyambut kongcoe, siauwjin sendiri sebagai seorang berpangkat rendah, tidak mengetahui.”

“Apa ini maunya Beng beng kongcoe?” sela Cie Jiak.

Pas tai kelihatan terkejut, “Beng beng kongcoe?” ia menegas. “Siauwjin tak punya rejeki begitu besar untuk menemui beliau.”

“Apa artinya perkataan ‘rejeki’ itu?” tanya pula si nona.

“Beng beng koengcoe adalah wanita Mongol yg tercantik,” sahutnya. “Tidak!... bukan begitu saja. Beliau adalah wanita tercantik diseluruh dunia, seorang yg boen boe coan cay (paham ilmu surat dan ilmu perang). Beliau adalah putra yg tercinta dari Jie Lam ong Ong ya. Siauwjin belum punya rejeki untuk melihat muka emasnya.”

Cie Jiak mengeluarkan suara dihidung, tapi dia tidak menanya lagi.

“Gie hoe, apa kita boleh turut merek?” tanya Boe Kie.

“Sesudah mengambil barang2 kita disana, kita boleh lantas naik kapal,” jawabnya. “Tuan tunggu saja disini.”

“Biar Siauwjin dan anak buah kami yang mengangkut perbekalan kalian,” kata Pas Tai.

Cia Soen tertawa, “Perbekalan apa? Beberapa potong barang kita tidak dapat dinamakan perbekalan. Kami tidak berani menerima tawaran tuan,” katanya.

Seraya berkata begitu, ia berlalu sambil menuntun tangan Boe Kie dan Cie Jiak. Setibanya dibelakang gunung, ia berhenti dan berkata, “Secara mendadak Tio Beng mengirim kapal. Di balik tindakan ini pasti bersembunyi tipu keji. Bagaimana kita harus menghadapinya?”

“Gie hoe, apa kau rasa… Tio Beng… berada di kapal itu?” tanya Boe Kie.

“Entahlah,” jawabnya. “Bagus sungguh kalau benar perempuan siluman itu berada dikapal. Kita hanya harus berhati2 dalam makanan.”

Cia Soen manggut2kan kepalanya.

“Menurut taksiranku, Tio Beng tidak ikut serta,” katanya pula. “Menurut ia ingin menulad tindakan orang Persia. Ia memancing kita kekapal dan setelah kapal berada ditengah lautan, pasukan laut Mongol akan mengurung dan menenggelamkan kapal yg ditumpangi kita.”

Boe Kie mengeluarkan keringat dingin.

“Tapi.. apa benar dia begitu busuk?” tanyanya dengan suara gemetar. “Dia sudah tinggalkan kita dipulau ini yang akan menjadi kuburan kita. Apa itu masih belum cukup? Pada hakekatnya kita bertiga belum pernah berdosa besar terhadapnya.”

Cia Soen tertawa dingin, “Kau sudah melepaskan anggota2 enam partai dari Ban hoat sie,” katanya. “Apa kau kira dia tidak sakit hati? Bagi peremouan siluman itu, perempuan siluman meninggalkan kita di pulau ini memang tak cukup sebab kita masih bisa pulang ke Tiong goan. Menghilangnya kau sudah pasti akan menggemparkan semua anggota Beng kauw. Mereka pasti akan berusaha untuk mencari kau. Dalam usaha ini, mungkin sekali mereka akan mencari sampai disini. Maka itu, jalan yg paling baik bagi si perempuan siluman adalah membinasakan kita dengan mengirim kita kedasar laut.”

“Tapi Gie hoe,” kata si anak dengan suara sangsi, “Kalau mereka menenggelamkan kapal yang ditumpangi kita dengan tembakan meriam, bukankah Pas Tai dan lain2 anak buah kapal bakal turut binasa?”

Cia Soen tertawa terbahak2. Sesudah itu ia pun menghela napas berulang2. “Anak Boe Kie! Pikiranmu terlalu sederhana,” katanya. “Apa kau rasa orang2 yg seperti dia menghiraukan matinya beberapa manusia? Kalau kaisar Mongol lembek seperti kau, mana bisa dia menyapu musuh2nya?”

Boe Kie tertegun. Selang beberapa saat baru lah ia berkata dengan suara perlahan. “Gie hoe, kau benar.”

“Gie hoe, apakah yang harus kita perbuat?” tanya Cie Jiak.

“Bagaimana pikiranmu. Apa kau mempunya daya yg baik?” Cia Soen balas menanya.

“Kalau begitu, kita jangan mengikuti mereka. Katakan saja bahwa kita berubah pikiran dan sekarang tak mau pulang ke Tiong goan.”

“Ha, ha,ha! Pikiran itu adalah pikiran tolol dari seorang gadis yg tolol pula. Kalau kita menolak, apa mereka mau mengerti? Andaikata kita membinasakan semua anak buah kapal itu, si perempuan siluman masih bisa mengirim lain2 kapal. Disamping itu, di Tionggoan masih banyak urusan yg harus diurus oleh Boe Kie. Ia tidak boleh mati konyol disini.”

Paras si noan lantas saja berubah merah. “Benar,” katanya dengan perlahan. “Sebaiknya kita menyerahkan saja segala apa kepada Gie Hoe.”

Cia Soen manggut2kan kepalanya. Setelah mengasah otak beberapa laam ia lalu bicara bisik2 dikuping kedua orang muda itu yg lantas saja mengangguk dengan paras muka girang.

Mereka lalu mengangkut semua bahan makanan keperahu kecil dan sesudah itu, Boe Kie menengok kekuburan In Lee untuk penghabisan kali dan berpamitan dengan mengucurkan air mata.

Setibanya di kapal, Boe Kie lalu memeriksa seluruh kapal. Benar saja Tio Beng tidak berada di situ. Iapun mendapati kenyataan, bahwa di antara anak buah tidak terdapat orang yang berkepandaian tinggi. Mereka semua adalah pelaut-pelaut biasa dari angkatan perang Mongol.

Sesudah mengangkat sauh dan menaikkan layer, kapal itu mulai berlayar. Baru berlayar beberapa puluh tomabk, Boe Kie segera bertindak dengan cepat sesuai dengan tipu yang ditetapkan Cia Soen. Tiba-tiba dengan kecepatan kilat, tangan kirinya mencekal tangan kanannya mencabut golok perwira itu, yang lalu ditandal di lehernya.

“Dengarlah perintah aku!” bentaknya.

“Suruh juru mudi jalankan kapal ke arah timur!”

Pas-tai kaget bercampur takut. “Thio…Thio Kong-coe…” katanya dengan suara gemetar, “Siauwjin…Siauwjin.”

“Turut perintahku!” bentak pula Boe Kie. “Kalau kau tidak menurut, kubacok batok kepalamu!”

“Baik…baik…” jawabnya.

Haluan kapal segera diputar ke timur.

Setelah itu, Boe Kie berkata dengan suara nyaring. “Kamu semua dengarlah! Aku sudah tahu bahwa kamu ingin mencelakai kami. Lebih baik kamu mengaku. Kalau kamu berdusta, kucabut nyawamu semua!” Seraya berkata begitu, ia menepuk pinggiran kapal dengan telapak tangan. Potongan-potongan kayu beterbangan dna bagian-bagian yang ditepuk somplak. Melihat begitu, semua anak buah ketakutan setengah mati.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar