Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 22

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 22
Anonim

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 22
"Baik!" katanya. "Sekarang juga aku pergi kepada Shako untuk minta petunjuknya. Aku hanya kuatir nanti tidak dapat memahaminya dengan baik."

"Jangan kuatir, enso" kata In Lie Hang: "Itu lah gampang asal kau mengingat baik baik letak kedudukanmu dan gerakan kaki. Umpama kata kau mendadak lupa, kamipun dapat menyadarkan kau."

Karena ini, bertujuh mereka pergi kekamar Jie Thay Giam.

Semenjak pulang ke gunung, beberapa kali sudah Thio Coei San menemui kakak sepenguruannya itu, tapi untuk In So So, inilah yang pertama kali, sebab gangguan kesehatannya mencegah dia lantas menemui iparnya itu.

Melihat si nona muda cantik, gerak geriknya halus, Thay Giam merasa senang. Tetapi ketika ia mendengar keterangannya Wan Kiauw hal datangnya musuh pendeta Siauw lim pay yang mau di lawan dengan Cin boe Cit cay tin, untuk mana ia harus diwakili oleh So So, ia terharu dan berduka sekali. Pedih hatinya. Tentu sekali ia menyesatkan sangat cacadnya hingga ia tidak dapat membantu semua saudaranya itu. Tapi ia kuat hatinya. Ia tertawa. Sembari bersenyum, ia kata pada So So: "Teehoe, Shapeh tidak dapat memberikan apa apa padamu untuk pertemuan pertama kali ini sebab kesusu. Maka baiklah, nanti aku mengajar kau tentang 'tin' kita itu. Nanti sesudah musuh mundur, akan kulatih kau terlebih jauh agar kau paham semuanya."

So So girang sekali.

"Terima kasih, Shapeh." ucapnya.

Inilah pertama kali Thay Giam mendengar suara iparnya itu. Ia agaknya terkejut sekali, segera ia menatap muka orang. Otaknyapun bekerja, memikirkan sesuatu yang telah dilupakan. Wajahnya menunjuk rasa heran yang luar biasa.

Coei Sanpun heran.

"Shako, apakah kau merasa tubuhmu tidak enak?" tanyanya.

Thay Giam tidak menyahut, dari menatap ia bengong. Matanya mendelong kedepan. Mata itu bersinar sangat tajam. Sekarang terlihat juga perubahan air mukanya yang menandakan ia menderita dan penasaran.

Habis memandang saudaranya itu, Coei San berpaling pada isterinya. Juga isteri itu berubah air mukanya. So So nampaknya sangat berkuatir dan Song Wan Kiauw dan yang lainnya juga turut merasa heran. Bergantian mereka mengawasi saudara mereka itu serta sang ipar. Hati mereka tidak tenang lagi.

Kamar menjadi sangat sunyi. Semua hati orang berdebaran.

Selagi berdiam itu, Thay Giam nampak napasnya memburu, mukanya yang pucat bersemu merah.

"Ngo teehoe, coba kemari," katanya perlahan. "Mari aku lihat kau....."

Tubuh So So bengemeteran, ia tidak berani menghampiri, sebaliknya tangannya menyambar tangan suaminya.

Kamar menjadi sunyi pula.

Selang sesaat, terdengar Thay Giam menghela napas.

"Kau tidak sudi datang tidak apa," katanya pula. "Dulu, hari itupun aku tidak melihat wajahmu. Teehoe, aku minta sukalah kau menyebutkan kata kataku ini: Pertama, aku minta Congpiauw tauw sendiri yang mengantarkannya. Kedua, dari Lim an sampai di Sang yang, di propinsi Ouwpak, kau harus berjalan siang hari dan malam, supaya piauw bisa mencapai tempat tujuannya dalam tempo sepuluh hari. Syarat ketiga, kalau terjadi sedikit kesalahan saja, huh! huh! jangankan jiwa Cong piauw tauw sendiri, sedangkan ayam dan anjing dari Liong boen Piauwkiok pun tak akan terluput dari kebinasaan !"

Thay Giam bicara dengan perlahan, tetapi mendengar itu orang pada mengeluarkan peluh di punggungnya.

So So maju satu tindak.

"Shapeh, kau benar-benar hebat!" katanya. "Kau dapat mengenali suaraku.. Memang itu hari, didalam kantor Liong boen Piauwtiok, orang yang memesan Touw Thay Kim mengantarkan kau ke Boe tong san yalah adikmu adanya."

"Terima kasih untuk kebaikan hatimu Teehoe."

"Kemudian pihak Liong boen Piauw kiok itu telah membuat kegagalan ditengah jalan," So So berkata pula. "Kegagalan itu menyebabkan kau menjadi bersengsara begini rupa. Karena itu adikmu ini telah membunuh habis semua keluarga Liong boen Piuaw kiok itu."

"Demikian rupa kau berlaku untukku, kenapa kah?" tanya Thay Giam dingin.

Wajah So So menjadi guram. Ia menghela napas panjang.

"Shapeh, perkara telah berjalan sampai sebegini jauh. Tidak dapatlah aku menyembunyikan apa-apa lagi," katanya kemudian. "Hanya terlebih dulu hendak aku menjelaskan. semua-muanya Coei San tidak tahu menahu. Aku kuatir ... aku takut..... Setelah dia mengetahui itu, selanjutnya dia bakal tidak memperdulikan lagi padaku."

"Jikalau begitu, tak usahlah kau menyebutnya lagi." kata Thay Giam. "Aku telah bercacad begini rupa, urusan yang sudah-sudah tidak usah ditimbulkan pula. Kejadian itu tidak perlu mengganggu kamu sebagai suami isteri. Nah, kamu pergilah! Boe tong Liok hiap melawan pendeta-pendeta dari Siauw lim pay kemenangannya sudah dapat dipastikan. Jadi tak usahlah aku mendapat nama kosong"

Karena lukanya itu, sebab keangkuhannya, Thay Giam tidak pernah mengeluh atau mengutarakan penasarannya. Bahkan bicarapun ia tak dapat, tapi setelah dirawat sungguh sungguh oleh gurunya selama sepuluh tahun, perlahan-lahan ia bisa juga bicara. Hanya mengenai urusannya itu atas pengalamannya, ia tetap menutup mulut.

Maka itu ini hari, yalah disaat ini, kira-kiranya itu membikin semua saudaranya menjadi kaget dan heran, akan akhirnya semuanya berduka, bahkan ln Lie Heng lantas menangis.

"Shapeh, sebenarnya kau telah mendapat atau menduga dari siang-siang," berkata So So pula, "melulu karena kau berat kepada Coei San sebagai Soeteemu, kau menahan sabar. Kau tidak sudi bicara. Memang itu hari disungai Cian tong, yang sembunyi didalam perahu, yang melukakan kau dengan jarum, yalah adikmu ini ...."

Coei San terkejut.

"So So!" serunya. "Benarkah itu? Kau ...... mengapa kau tidak memberitahukan itu padaku?"

"Biang keladi segala kejadian dan orang yang mencelakai Soehengmu ini yalah So So isterimu ini. Cara bagaimana aku berani menerangkannya?" sahut sang isteri. "Shako, orang yang melukai kau dengan paku Cit seng teng, yang memperdayakan golok To liong to dari tanganmu, dialah kakakku sendiri, In Ya Ong... Kami dari Peh bie kauw tidak bermusuhan dengan kamu dari Boe tong pay. Setelah kami mendapatkan golok mustika itu, sedang kamipun menghargai kau sebagai seorang gagah sejati. Maka kami telah menugaskan Liong boen Piauw kiok mengantarkan kau pulang ke Boe tong san. Perihal peristiwa ditengah jalan, sungguh aku tidak duga sama sekali."

Tubuh Coei San menggigil keras, matanya seperti menghamburkan marong. Ia lantas menuding isterinya:

"Kau.... kau mendustai aku hebat sekali!" katanya nyaring.

Mendadak Jie Thay Giam berseru keras, lantas tubuhnya mencelat dari atas pembaringannya dan roboh. Tubuh itu jatuh dipapan pembaringan hingga papan itu tak kuat menahannya dan ambruk. Thay Giam sendiri terus pingsan.

Menampak semua itu, So So menghunus pedang dipinggangnya. Ia membalik itu gagangnya pedang. Ia angsurkan pada suaminya.

"Ngo ko," katanya. "Sudah sepuluh tahun kita menjadi suami isteri, aku bersyukur sekali untuk kecintaanmu. Maka kalau sekarang aku mati, aku puas. Aku tidak menyesal. Dari itu kau tikamlah aku supaya dengan begitu kau dapat melindungi dan mempertahankan kehormatannya Boe tong Cit hiap..... "

Coei San menyambuti pedang isterinya hendak ia meneruskan menikam dada isterinya. Mendadak ia ingat akan cinta kasih mereka selama sepuluh tahun. Hatinya menjadi lemah. Segala apa lantas berbayang didepan matanya itu. Untuk sejenak ia menjublak, diakhirnya ia berteriak, lalu ia lari keluar dari kamar, menuju kedepan !

So So dan Wan Kiauw semua tidak tahu apa yang bakal dilakukan. Mereka lari menyusul.

Mereka dapat melihat Coei San pergi keruangan besar untuk lantas berlutut didepan gurunya untuk mengangguk angguk beberapa kali seraya berkata "Soehoe, kesalahanku telah menjadi begini hingga tidak dapat ditarik pulang lagi. Maka itu muridmu hanya memohon satu hal....."

Thio Sam Hong tidak tahu apa yang telah terjadi. Karena ia sabar ia berkata dengan tenang: "Apakah itu? Kau sebutkanlah! Pasti gurumu tidak akan menampik."

Coei San mengangguk pula tiga kali.

"Terima kasih, Soehoo," katanya. "Muridmu ada mempunyai seorang anak laki laki, ialah anak satu satunya. Dia sekarang masih berada didalam tangannya orang jahat. Maka itu muridmu mohon sukalah Soehoe menolongnya dari tangan iblis itu, kemudian tolong Soehoe merawatnya hingga dia menjadi besar."

Habis berkata begitu, Coei San memutar tubuh kearah Kong boen Taysoe dan lain tetamu terhitung Ceng hian Soe thay dari Go bie pay. Dengan nyaring ia berkata: "Segala kesalahan, aku Thio Coei San yang melakukannya. Sebagai seorang laki laki, aku sendiri juga yang menanggungnya. Maka itu sekarang hendak aku membuat tuan tuan puas!"

Kata kata itu diakhiri dengan tebasan pedang nya kepada lehernya, hingga darahnya lantas muncrat dan tubuhnya roboh binasa.

Thio Sam Hong kaget bukun main. Ia melompat untuk menolong. Bersama ia melompat juga Jie Lian Cioe, Thio Siong kie dan In Lie Heng. Semua mereka pada berseru.

Berbareng dengan mereka berempat, ada lima orang lain yang turut melompat maju, akan tetapi mereka telah dibikin terpental dengan sampokan guru dan tiga muridnya. Justeru karena ini, mereka ini terlambat, Coei San keburu membunuh diri dan tubuhnya roboh.

Song Wan Kiauw, Boh Seng Kok dan In So So muncul paling belakang.

Justeru itu, dari luar jendela terdengar teriakan: "Ayah! Ayah!" Suara yang kedua kali itu tertahan seperti keluar dari mulut yang lantas tersumbat.

Hanya sekelebatan saja, Thio Sam Hong sudah mencelat keluar jendela, hingga ia dapat melihat seorang laki laki dengan dandanan seragam tentara Mongolia memeluki seorang bocah umur delapan atau sembilan tahun, bocah mana dibekap mulutnya tetapi ia coba meronta.

Hatinya Sam Hong tengah sakit dan pedih, maka itu tanpa berpikir lagi, ia membentak orang Mongolia itu: "Kau masuk kedalam !"

Orang itu tidak menurut perintah, bahkan dia menggerakkan sebelah kakinya untuk menjejak tanah, guna melompat naik keatas genteng. Selagi menjejak, ia mendak sedikit, si bocah tetap dipeluk. Tapi ia tidak dapat berlompat. Tubuhnya di rasakan berat. Thio Sam Hong yang telah melompat kepadanya, telah menekan pundaknya !

Kaget orang itu, rupanya dia mengerti gelagat, tanpa membuka suara, dia bertindak kedalam, hingga batallah dia hendak melarikan diri.

Bocah itu memang Boe Kie, puteranya Coei San dan So So. Ia telah ditotok urat gagunya. Akan tetapi ia pernah mengikuti Cia Soen belajar silat. Ia telah memperoleh kemajuan luar biasa, maka juga tidak lama habis ditotok, ia dapat dengan sendirinya membebaskan diri. Ia melihat ayahnya membunuh diri. Ia kaget luar biasa dan berteriak memanggil manggil ayahnya itu, atas mana ia segera dibekap pula, sampai kakek gurunya datang menolongnya.

In So So karam hatinya melihat suaminya membunuh diri. Meski begitu, mendapatkan anaknya, kegirangannya muncul juga, maka segera ia menghampirkan, tetapi perkataannya yang pertama ialah pertanyaan ini: "Anak, kau toh tidak menyebutkan tentang dimana adanya ayah angkatmu"

"Biarnya dia bunuh mati padaku, tidak nanti aku beritahu!" sahut si anak.

"Oh, anak yang baik", seru sang ibu, "Mari aku memelukmu!"

"Serahkan anak itu!" Sam Hong memerintah orang Mongolia.

Orang itu menurut, tanpa bersuara, ia menyerahkan si bocah kepada ibunya.

Boe Kie nelusup dalam rangkulan ibunya. "Ibu," katanya, "Siapa yang memaksa ayah membunuh diri?"

"Disini ada begini banyak orang," menyahut sang ibu. "Merekalah yang naik kegunung ini dan memaksakan kematian ayahmu!"

Matanya Boe Kie lantas menyapu, dari kiri dan kekanan. Dia masih kecil akan tetapi sinar matanya tajam sekali. Sinar mata itu mengsandung kebencian dan kemarahan hebat, hingga siapa yang sinar matanya bentrok, hatinya terkesiap.

"Boe Kie, berjanjilah kepada ibumu!" kata So So

"Titahkan, ibu!" sang anak menjawab.

"Kau jangan terburu napsu menuntut balas" katanya. "Kau harus sabar. Perlahan-lahan saja kau menantikan, asal seorang jua jangan diberi lolos...."

Mendengar itu, orang pada merasakan tubuhnya bergidik, punggungnya dingin sendirinya.

"Baik, ibu!" Boe Kie menjawab. "Aku akan menantikan dengan perlahan-lahan, seorang jua aku tidak akan kasih lolos!"

Tubuh si nyonya tiba-tiba menggigil.

"Anak," katanya, "karena ayahmu sudah mati, baiklah kita menyebutkan tempat kediamannya ayahmu itu, supaya mereka ini mendapat tahu..."

"Jangan, ibu, jangan!" Boe Kie mencegah. Tapi So So tidak memperdulikannya.

"Kong boen Taysoe, mari!" katanya. "Aku hanya akan memberitahukan pada kau seorang. Mari kupingmu, akan aku bisiki...."

Semua orang heran. Inilah diluar dugaan mereka.

"Siancay ! Siancay!" Kong boen memuji. "Nyonya yang budiman, coba kau bicara tadian sedikit, pastilah Thio Ngo hiap tidak usah binasa...."

Ia lantas menghampiri So So untuk membungkuk memasang kupingnya.

Nyonya Coei San menggerakkan kedua bibirnya, tetapi suaranya tidak terdengar.

"Apa?" Kong boen tanya.

"Kim mo Say ong Cia Soen, dia bersembunyi di...." kata So So. Kata "bersembunyi di" itu diucapkan sangat perlahan dan samar samar hingga sukar terdengar tegas.

"Apa!" pendeta dari Siauw lim sie itu menegas.

"Ya, dia bersembunyi disana, pergilah kau mencari sendiri." So So berkafa pula.

"Aku tidak mendengar nyata !" kata Kong boen yang menjadi gelisah sendirinya.

"Aku hanya bisa memberitahukan secara demikian maka pergilah kau kesana. Kau akan mendapatkannya sendiri...." katanya pula.

Habis itu, ibu ini merangkul anaknya untuk berbisik: "Anak, setelah dewasa nanti, jagalah dirimu agar tidak diperdayakan wanita! Makin seorang cantik dan manis dilihat, makin dia pandai memperdayakan orang ...."

Kupingnya ibu itu ditaruh ditelinga puteranya. Ia menambahkan: "Aku tidak membilangi si pendata. aku cuma mendustakan dia!"

Lalu ia tertawa sendirinya, tertawa sedih.

"Nyonya yang baik!" Kong-boen berseru.

Sekonyong-konyong rangkulannya So So terlepas dengan sendirinya. Tubuhnya terhuyung, terus roboh celentang. Maka terlihatlah didadanya tertancapnya sebilah pisau belati. Karena selagi merangkul Boe Kie, puteranya, pisau belatinya sudah dipasang, dari itu tidak ada seorang juga yang melihat ia membunuh diri.

Boe Kie menubruk tubuh ibunya. "Ibu! Ibu!" ia memanggil-manggilnya. Tapi sang ibu telah lantas putus jiwanya.

Kedukaan Boa Kie melampaui batas, sampai ia tidak dapat menangis. Ia mencabut pisau belati dari dada ibunya, ia mencekal pisau yang berlumuran darah itu. Sambil memegangnya, ia memandang Kong boen Taysoe. Ia tanya dengan dingin: "Kaukah yang membunuh ibuku? Benar atau tidak?"

Kong-boen terperanjat. Kematiannya sinyonya sampai membuatnya menjublak. Biar bagaimana juga, ia adalah seorang Ciang boen jin, maka hatinya terharu juga menyaksikan sekaligus dua peristiwa berdarah yang terjadi secara beruntun dan menyayatkan hati itu.

Tanpa merasa, ia mundur setindak.

"Bukan....... bukan aku....... " katanya menyangkal. "Dia membunuh diri..."

Air matanya Boe Kie mengembang, tetapi ia mencoba menahan mengucurnya itu. Ia kata dalam hatinya: "Aku tidak boleh menangis! Aku tidak boleh menangis! Aku tidak boleh mengasi lihat mereka ini aku menangis!"

Dengan tangan mencekal keras pisau belati berdarah itu, bocah ini lantas bertindak, dari kiri ruangan terus kesebelah kanan. Dia berjalan dengan tindakan perlahan, matanya mengawasi tajam pada semua hadirin itu yang berjumlah tiga-ratus orang lebih untuk mengenali mereka satu demi satu, sedang dibatok kepalanya teringat pesan ibu nya barusan: " ... perlahan-lahan saja kau menantikan, asal saja seorang juga jangan diberi lolos!"

Memang yang mendaki gunung Boe tong san itu, kalau bukannya ketua partai atau perkumpulan, tentu ahli silat dan bahwa mereka berani mengunjungi kuilnya Thio Sam Hong, menyatakan keberanian mereka. Akan tetapi sekarang, ditatap Boe Kie demikian rupa, hati mereka terkesiap dan mencelos. Jantung mereka berdenyutan memukul keras ..."

Akhir-akhirnya Kong boen Taysoe berbatuk batuk perlahan.

"Thio Cinjin," katanya, "peristiwa ini.... ah....sungguh diluar dugaan.... Thio Ngo hiap suami isteri telah menutup mata sendirinya. Maka itu semua urusan yang telah lampau, baiklah dibikin habis saja. Sekarang kami meminta diri"

Pendeta itu lantas memberi hormat.

Thio Sam Hong membalas hormat itu. "Maaf, tidak dapat aku mengantar sampai jauh" katanya tawar.

Semua pendeta Siauw lim sie itu lantas bergerak untuk berlalu.

Mendadak In Lie Heng berseru bengis: "...kamu telah memaksa kematiannya saudaraku ....." Tapi ia segera berhenti sendirinya, karena ia lantas ingat Ngoko telah membunuh diri sebab ia malu kepada Shako. Mereka ini tidak ada sangkut pautnya. Maka ia tidak melanjuti menegur, sebaiknya ia menubruk tubuhnya Coei San dan menangis menggerung-gerung.

Semua orang menjadi merasa tidak enak hati. Lantas mereka menghampiri Thio Sam Hong untuk pamitan, sedang didalam hati mereka, mereka berpikir: "Perkara ini hebat sekali, Boe tong pay tentulah tidak mau sudahan dengan gampang gampang...."

Hanya Song Wan Kiauw yang mengantar semua tetamunya sampai diluar pintu. Selama itu mata nya sudah merah, ketika kemudian ia memutar tubuh, air matanya lantas nerobos keluar, sedang kupingnya mendengar tangisan riuh dan memedihkan dari ruangan dalam.

Rombongan Go bie pay yang paling belakang meminta diri. Kie Siauw Hoe melihat In Lie Heng menangis demikian sedih, matanya menjadi merah sendirinya, lupa malu atau likat, ia menghampiri pemuda itu.

"Liok ko, aku mau pengi," katanya perlahan sekali, "Kau..... kau rawatiah dirimu baik baik."

Dengan air mata masih mengembang, In Lie Heng mengangkat kepalanya akan memandang si nona. Karena air matanya itu matanya seperti kabur. Ia masih sesenggukan ketika ia berkata. "Kamu..... kamu kaum Go bie pay apakah kamupun datang untuk menyeterukan Ngoko ?"

"Bukan," menyahut Siauw Hoe cepat. "Hanya guruku mau meminta saudara Thio suka mengunjuk alamatnya Cia Soen."

Boe Kie mendengar pembicaraan itu, mendadak ia menyeletuk: "Ibuku sudah memberitahukan itu kepada si pendeta, pergi kau tanya dia saja! Jikalau pendeta itu tidak sudi memberi tahu, pergi kamu rewel dengan mereka !"

Dalam kedukaannya, anak ini sudah mengerti maksud ibunya

"Kau anak yang baik," berkata Kie Siauw Hoe. "Paman In mu tentulah akan bisa merawati kau terus ...."

Dengan kata katanya ini si nona mau maksudkan ia dan In Lie Heng pasti nanti memandang dia sebagai anak sendiri.

Kemudian ia meloloskan rantai emasnya dari lehernya. Ia memasuki itu kekepalanya Boo Kie seraya berkata dengan halus : "Ini untukmu ..."

Mendadak Boe Kie melompat sambil membentak: "Aku tidak menghendaki barang musuh!"

Nona Kie berdiri menjublak likat, tangannya tetap memegangi kalungnya itu.

"Kamu lekas pergi !" kata Boe Kie berteriak. "Aku hendak menangis! Seperginya semua musuh, baru aku menangis!"

"Anak, kami bukan musuhmu," kata Kie Siauw Hoe perlahan.

Boe Kie menggertak gigi. Mendadak ia berkata sengit: "Semakin wanita cantik, semakin dia pandai menipu orang!"

Mukanya Kie Siatiw Hoe menjadi merah semua, hampir ia menangis. Wajahnja Ceng hian Soethay menjadi guram.

"Soemoay, buat apa banyak bicara sama anak kecil !" katanya. "Mari kita pergi!"

Boe Kie mengawasi, ia menanti sampai Kie Siauw hoe semua sudah lenyap dari pintu ruang itu, baru ia hendak menangis, atau tiba tiba napasnya berhenti berjalan, tubuhnya roboh terkulai.

Jie Lian Cioe terkejut. Ia lompat menubruk, untuk membangunkannya. Ia menyangka, saking sedihnya, anak ini jadi pingsan. Ia kata. "Anak, kau menangislah!" Iapun lantas mengurut tubuh si bocah.

Luar biala keadaannya Boe Kie. Ia tidak siuman, bahkan sebaliknya tubuhnya menjadi dingin bagaikan es. Melainkan dari hidungnya menghembuskan napas yang lemah sekali.

Lian Cioe terus mengurut, tapi ia tetap tidak tersadar.

Sekarang Wan Kiauw semua menjadi kaget.

"Anak ini keras hatinya, iapun telah mengerti segala apa." berkata Thio Sam Hong menghela napas. Ia lantas menekan jalan darah Leng thay hiat dipunggung anak itu untuk menyalurkan hawanya sendiri ketubuh si anak.

Menurut tenaganya Thio Sam Hong, orang luka bagaimana berat juga, asal jiwanya belum putus, asal dia menyalurkan hawanya, dia bakal mendusin dari pingsannya dan keadaannya lantas menjadi baikan. Akan tetapi tidak demikian dengan Boe Kie. Anak ini mengasi lihat akibat yang luar biasa. Mukanya lantas berubah jadi pucat menjadi biru, dari biru menjadi unggu, dan tubuhnyapun bengemetaran. Ketika jidatnya diraba, jidat itu dingin seperti es. Maka kagetlah kakek guru ini. Lekas-lekas ia masuki tangannya kedalam baju di punggung untuk meraba-raba. Disitu ada satu bagian yang mengeluarkan hawa panas, sedang disekitarnya semua dingin sekali. Kalau bukannya Sam Hong, mungkin dia turut kedinginan juga.

"Wan Kiauw, lekas cari itu Tartar yang tadi membawa anak ini kemari!" guru ini menitahkan muridnya.

"Aku turut?" berkata Lian Cioe yang pun turut pengi.

Ketika tadi orang bingung, tanpa ketahuan, orang Mongolia itu telah mengangkat kakinya. Thio Sam Hong sendiri sampai lupa memperhati kan dia.

Sam Hong lantas merobek baju Boe Kin, untuk memeriksa tubuhnya yang berkulit halus dan putih. Dipunggung kedapatan tapak dari lima jari tangan, tapak mana bersemu hijau tua dan berbahaya. Ketika diraba, tapak itu mengeluarkan hawa panas sekali. Dilain pihak, disekitar, semua nya berhawa dingin. Pantaslah, karenanya, Boe Kie pingsan bagaikan mayat.

Wan Kiauw dan Lian Cioe kembali dengan cepat dengan laporannya bahwa siorang Mongolia tidak kedapatan, bahwa mereka telah mencari dengan sia sia.Mereka inipun menjadi kaget sekali melihat tapak tangan dipunggung Boe Kie.

Thio Sam Hoag mengerutkan alisnya. Tampaknya ia menyesal ketika mengucapkan katanya: "Aku telah menyangka tigapuluh tahun yang lalu, dengan matinya Pek soe Tauwto, maka lenyaplah sudah ini ilmu Hian beng Sin cieng yang lihay luar biasa. Siapa sangka sebenarnya masih ada orang yang mempunyai kepandaian itu"

Wan Kiauw kaget bukan main.

"Jadi anak ini terluka dengan ilmu Hian beng Sin ciang?" tanyanya. Ia berusia paling tinggi dan ketahui perihal ilmu pukulan tangan kosong itu, Tangan Malaikat Air, Lian Cioe dan yang lain nya, mendengar pun belum.

"Warnanya tapak jari ini yalah tanda utama dari pukulan jahat itu" Thio Sam Hong menerangkan.

"Soehoe perlu obat apa?" tanya In Lie Heng: "Nanti aku lantas ambil."

Guru itu menghela napas. Ia tidak menyahut, hanya kedua mata mengucarkan air. Ia mengangkat tubuh Boe Kie untuk di rangkul erat-erat, sedang matanya mengawasi mayat Coei San.

Ia kata: "Coei San, Coei San ! Kau mengangkat aku menjadi guru. Ketika kau mau pulang, kau menitipkan anakmu ini padaku, akan tetapi aku aku tidak sanggup melindungi anakmu ini! Maka apakah artinya aku hidup sampai umur seratus tahun? Apakah gunanya Boe tong pay terkenal di seluruh jagat? Lebin baik aku mati saja ...."

Wan Kiauw semua kaget tidak terkira. Semenjak mengikuti guru ini, mereka selalu mendapatkan si guru bergembira. Belum pernah ia bersusah hati atau berputus asa seperti ini.

"Soehoe, benarkah anak ini tidak dapat ditolong lagi ?" tanya Lie Heng penasaran.

Sam Hong memeluk terus tubuh Boe Kie. Ia berjalan mundar-mandir diruang itu.

"Kecuali .... kecuali guruku Kak-wan hidup pula dan ia mengajar aku seluruh kitab Kioe yang Cin keng ....."

Semua murid Thio Sam Hong kaget. Semuanya berdiam. Kak wan Tay soe telah menutup mata pada delapan puluh tahun yang lampau. Mana dapat ia hidup pula? Itu artinya, Bor Kie tidak bisa ditolong lagi....

"Soehoe," kata Lion Cioe tiba tiba "Aku ingat orang Mongolia tadi. Dengannya pernah aku beradu tangan. Memang tangannya lihay sekali, jarang orang selihay dia. Tanganku telah terluka karena beradu tangan itu, tetapi sekarang tanganku telah sembuh seantengnya, rasanya bakal tidak ada akibatnya lebih jauh..."

"Didalam hal itu kau mengandal kepada nama besar Boe tong Cit hiap," berkata sang guru "Hian beng Sin Ciang itu luar biasa. Kalau melukai orang, celakalah korbannya. Sebaliknya, kalau dia kalah tenaga dalam, dia bakal terluka sendirinya. Ketika dia beradu tangan dengan kau, mungkin dia tidak bersungguh hati, rupanya dia jeri. Maka ingat, kalau lain kali. kau bertemu dia, berhati-hatilah."

Lian Cioe bergidik sendirinya.

"Jadi dia jeri kepada tenaga dalamku? Dia jadi tidak menggunakan seantero ilmunya yang liehay itu," pikirnya. "Coba lain kali dia bertemu pula denganku, tentu dia tidak akan memberi ampun lagi ...."

Keenam orang itu berdiam. Sekonyong-konyong terdengar jeritan Boe Kie: "Ayah, ayah, aduh sakit!" Dan ia membalas merangkul Thio Sam Hong keras-keras, kepalanya diselusupkan di dada si imam tua.

Hati Sam Hong menggetar. Ia sangat menyayang anak itu. Dengan mengertak gigi ia berkata: "Mari kita gunakan semua tenaga kita untuk menolong bocah ini. Sampai berapa lama lagi dia dapat hidup, terserah kepada kemurahan hati Thian"

Ia lantas mengawasi mayat Coei San, air mata turun bercucuran ia berkata: "Coei San, Coei San, oh, bagaimana sengsara anakmu ini!"

Kemudian ia bertindak kedalam, membawa bocah itu ke kamarnya sendiri, setelah meletakkan tubuh orang ia menotok berulang ulang delapan macam jalan darahnya.

Setelah ditotok pergi datang itu, tubuh Boe Kie tidak bergemetaran lebih jauh, hanya warna kulit mukanya, warna ungu itu, sudah menjadi bertambah gelap. Sam Hong tahu baik sekali, bila warna itu berubah menjadi hitam, habislah sudah jiwa bocah yang malang ini. Maka ia lekas-lekas meloloskan semua pakaian Boe Kie, dan membuka jubahnya sendiri, lalu punggung si anak ditempel rapat rapat pada dadanya sendiri.

Ketika itu diluar, Song Wan Kiauw beramai mengurus mayat Thio Coei San dan In So So. Kemudian Jie Lian Cioe bersama Thio Siong Kee dan Boh Seng Kok bertiga menyusul guru mereka hingga mereka melihat sepak terjang guru itu, yang tengah mengerahkan tenaga dalamnya menurut ilmu "Soen-yang Boe kek kang" untuk menyedot hawa dingin dari tubuh Boe Kie. Seumurnya Thio Sam Hong tidak menikah, maka sampai usianya seratus tahun, dia tetap perjaka sejati, karena mana juga dia berhasil meyakinkan ilmu tenaga dalamnya itu yang istimewa. Hanya ilmu itu luar biasa sekali, kalau salah penggunaannya dapat mencelakakan diri sendiri.

Menyaksikan itu, ketiga murid ini berdebatati hatJnya. Mereka menguatirkan gurunya. Yang di kuatirkan, karena sudah tinggi usianya, tenaganya mungkin telah berkurang tanpa diketahui.

Selang setengah jam terlihat muka Thio Sam Hong berwarna semu hijau dan sepuluh jari tangannya bengemetaran.

Kemudian guru itu membuka matanya dan berkata: "Lian Cioe mari kau gantikan aku. Kalau kau sudah tidak sanggup, lekas suruh Siong Kee menggantikannya. Ingat, jangan kau memaksakan diri."

Lian Cioe meloloskan jubahnya, menyambuti Boe Kie, untuk dipeluk erat erat. Begitu tubuh mereka beradu, ia merasakan hawa dingin, seakan akan ia memeluk sebalok es. Maka ia berkata "Cit tee, lekas kau suruh orang menyalakan beberapa dapur, makin marong apinya makin balik!"

Demikian, dengan mengandalkan tenaga dalam mereka, guru dan murid-muridnya itu menolong Boe Kie, si bocah keturunan satu-satunya dari Coei San dan So So. Disini terlihat nyata perbedaan tingkat tenaga dalam antara guru dan murid itu. Seng Kok tidak dapat bertahan lama-lama seperti saudara-saudaranya, ia hanya kuat bertahan selama sepanasnya air teh didalam cangkir, sedang Wan Kiauw kuat bertahan selama dua batang hii. Ketika In Lie Heng yang menggantikan, seketika itu dia menjerit dan tubuhnya menggigil.

"Mari serahkan Boe Kie padaku!" kata Sam Hong kaget. "Pergi kau bersamadhi!"

Ternyata Lie Heng menjadi lemah karena ia lah yang mendaratkan pukulan batin paling hebat karena kematian Coei San itu, hingga ia tidak dapat menguasai diri.

Usaha merampas jiwa Boe Kie dari tangan maut ini dilanjutkan terus dengan bergantian selama tiga hari dan tiga malam, maka bisalah dimengerti hebatnya penderitaan mereka.

Syukurnya yalah, hawa dingin ditubuh Boe Kie mulai berkurang, yang berarti juga berkurangnya racun dari Hian beng Sin ciang. Baru dihari ke empat, mereka dapat senggang sedikit, untuk beristirahat dan tidur. Sedang pada hari kedelapan, pembagian giliran dapat diatur lebih rapi, yalah seorang dapat menolong bergantian setiap dua jam. Dengan begitu, mereka bisa beristiahat dengan baik dan teratur.

Boe Kie memperoleh kemajuan, hawa dinginnya berkurang setiap hari. Ingatannya pun bertambah sadar, bahkan ia dapat dahar sedikit-sedikit. Semua orang berlega hati. Itulah bertanda bahwa anak ini akan dapat ditolong. Maka bukan kepalang kagetnya orang ketika tiba pada hari yang ketigapuluh enam, Lian Cioe yang pertama mengetahui datangnya perubahan luar biasa mendapatkan bahwa hawa dingin ditubuh Boe Kie tidak dapat disedot pula. Lian Cioe heran, ia menyangka bahwa tenaganya sendiri yang sudah habis, maka ia memberitahukan gurunya.

Thio Sam Hong segera mencoba sendiri, iapun gagal. Semua orang menjadi gelisah lagi. Lima hari dan lima malam mereka mencoba terus, tetapi hasilnya tetap tidak ada.

"Thay soe hoe," berkata Boe Kie yang masih tetap sadar, "tangan dan kakiku telah terasakan hangat, hanya embun-embunanku, hati dan perut ku bertambah dingin..."

Didalam hatinya, Thio Sam Hong kaget bukan

"Lukamu telah sembuh banyak," ia berkata meaghibur.

"Kamipun rasanya tidak usah selalu harus mendampingimu. Pergilah kau rebahkan diri sebentar dipembaringanku."

"baik, thaysoehoe," kata bocah itu.

Jilid 19

Boe Kie terus berlutut didepan kakek gurunya, begitupun didepan Wan Kiauw berlima, untuk manggut-manggut beberapa kali. Ia berkata pula: "Thay soehoe bersama paman semua telah menolong jiwa Boe Kie, maka selanjutnya Boe Kie mohon diajarkan ilmu silat supaya Boe Kie dapat membalaskan sakit hati ayah dan ibu kelak"

Sam Hong mengajak semua muridnya keruang dalam, disini ia berkata kepada mereka itu: "Hawa dingin sudah masuk ke embun-embunan, hati dan perut, tak tertolong dengan tenaga luar. Kelihatannya sia sia belaka pengorbanan kita selama hampir empat puluh hari. Kenapa bisa terjadi begini, sungguh aku tidak mengerti...."

Semua orang mengasah otak, tapi sesudah sekian lama, belum juga ada yang bisa menebak sebab musababnya perubahan itu. Jika mau dikatakan, bahwa Soen yang Boe kek kang tidak dapat mengusir hawa dingin itu, mengapa ilmu tersebut memperlihatkan kefaedahannya selama tiga puluh enam hari dan baru gagal pada hari ke tiga puluh tujuh?

Mengapa sedang lain-lain bagian tubuhnya hangat hanya di embun-embunan, hati, dan tantian (perut, tiga dim dibawah pusar) yang dingin luar biasa?

Selang beberapa saat lagi, tiba-tiba Jie Lian Cioe berkata: "Soehoe, apa tidak bisa jadi, sesudah kena pukulan Hian beng Sin ciang, Boe Kie mengerahkan Lweekang untuk melawannya dan karena salah menggunakan tenaga dalam, racun dingin itu dan tenaga dalamnya melekat satu sama lain, sehingga tidak dapat disedot lagi?"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar