Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 3
Sisa sinar dari
bintang-bintang telah sirna, sebaliknya sang embun mendemakkan baju, selagi
begitu, pekarangan rumah sunyi-senyap, sebab keadaan di sekitarnya seperti
membeku. Adalah dalam kesunyian seperti itu mendadak terdengar tangisan
sedu-sedan, bagaikan jarum yang lancip tajam menusuk udara yang kosong itu.
In Boe Yang segera juga
berpaling, maka terlihat olehnya bahwa isterinya, dengan membawa gulungan
gambar, setindak demi setindak, berjalan keluar dari pintu model rembulan di
sisinya pohon bwee. Isteri itu tak berpaling sedikit juga terhadap suaminya
itu.
Sendirinya, hati Boe Yang
menggetar, bagaikan semangatnya meninggal raga kasarnya. Berulang-ulang ia
menyebut "Poo Tjoe" akan tetapi suaranya tak terdengar, panggilan itu
tak pernah keluar dari mulutnya.
Nyonya In berjalan lewat di
sisinya mayat Tjio Thian Tok.
"Thian Tok, kau legakan
hatimu," katanya, perlahan tetapi tedas. "Gambar ini pasti aku akan
antar ke rumah kau. Aku pun akan memperlakukan anakmu seperti aku merawati So
So."
Agaknya si nyonya berkuatir
nanti membikin kaget jago tua itu.
In Boe Yang merasakan hatinya
seperti ditusuk-tusuk jarum, ia kehilangan akal budinya, kapan kemudian ia
mengangkat kepalanya, sekalipun punggung isterinya itu sudah menghilang dad
pandangan matanya.
Lama, lama sekali, baharulah
Boe Yang dapat membuka suaranya. Itulah suara dari kedukaan yang sangat, dari
hati yang mencelos, putus asa. Ia lantas merasakan takut, lebih takut daripada
kepergiannya isterinya barusan. Ia baru menggeraki kakinya, atau di situ
muncullah puterinya yang muda belia. Tak tahu ia kapan anak itu datang,
tahu-tahu si nona sudah tengah menyender di sebuah pohon bwee, sinar matanya
juga mengandung sinar kekuatiran, sinar ketakutan. Kelihatannya anak dara ini
seperti tak mengenali ayahnya itu.
"So So!" akhirnya
Boe Yang memanggil. Ia telah mesti menguati hati untuk dapat membuka mulutnya
itu.
In Boe Yang segera juga
berpaling, maka terlihat olehnya bahwa isterinya, dengan membawa gulungan
gambar, setindak demi setindak, berjalan keluar dari pintu model rembulan
disisinya pohon bwee. Isteri itu tak berpaling sedikit juga terhadap suaminya
itu.
Sinar matanya si anak melintas
kepada wajahnya ayah itu, kembali ia nampaknya seperti dapat melihat sesuatu
yang membuatnya sangat takut, bahkan ia mundur tiga tindak!
"Semua-mua aku telah
mendengarnya!" katanya tajam, bagaikan teriakan, "Semua-mua aku telah
mengetahuinya! Jangan datang dekat padaku!"
Tubuhnya Boe Yang bergidik,
bergemetar. Tiba-tiba ia menarik napas panjang. Ia lantas saja mengasi dengar
nyanyiannya yang seperti orang menangis:
"Mengingat langit dan
bumi yang demikian samar, siapakah yang mengenal aku?
Mengingat akan hari ayal si
ksatria, menang pun apanya yang harus dibuat girang?
Dan kalau kalah, apanya yang
harus dibuat berduka?
Beginilah penghidupan yang
gampang menghilang. Burung hong terbang, burung loan melayang, maka itu
siapakah yang nanti mengikuti aku?"
Dengan diimbangi tindakan
kaki, suara itu makin lama makin jauh terdengarnya.
Terluka hatinya So So, airmatanya
bercucuran deras.
"Ayah! Ayah!" ia
memanggil tanpa merasa. Tapi ayahnya itu sudah tak dapat mendengarnya.
Nona ini menyender pula pada
pohon bwee, ia menangis tersedu-sedu, sampai kemudian ada tangan yang halus dan
hangat, dengan perlahan sekali, merabah rambut kepalanya. Lalu itu disusul
dengan satu suara yang sabar dan lembut: "So So, So So, jangan
menangis..."
Si nona mengangkat kepalanya.
Tiba-tiba: "Hian Kie!" panggilnya. Dan air matanya turun semakin
deras.
Hian Kie tidak dapat membilang
suatu apa, ia mengeluarkan sapu tangan suteranya, dengan perlahan-lahan ia
menyusuti air mata si nona.
Selang sesaat, sambil menangis
sesegukan, So So berkata: "Oh ayah! Ayah yang menyebalkan, ayah yang harus
dikasihani! Hian Kie, kau tak tahu, semenjak masih kecil aku telah memandangnya
ayah sebagai satu-satunya ksatria di kolong langit ini, yang tak ada yang ke
duanya!..."
"Memang juga sekarang ini
tidak ada orang yang dapat menandingi ayahmu," Hian Kie membenarkan.
"Benar, mulai hari ini,
ayahlah yang ilmu silatnya paling nomor satu lihay!" membenarkan juga si
nona, "akan tetapi patung yang aku punya di dalam hatiku sudah hancur
lebur, dia bukan lagi itu ksatria yang aku junjung! Dia sudah mencuri kitab
pedang kakekku, dia telah memaksa ibuku mengangkat kaki, dia membunuh
sahabat-sahabatnya, dia telah mengurung Siangkoan Thian Ya, bahkan dia tak
segan membantu itu komandan Kimie wie untuk membekuk rekan-rekannya! Semua itu
aku ketahui sekarang!"
"Dia mengurung Siangkoan
Thian Ya?" tanya Hian Kie heran. "Ah, di manakah Siangkoan Thian Ya
sekarang?"
"Tadi malam aku telah
bertemu sama Siangkoan Thian Ya," menyahut si nona. "Banyak hal yang
dia telah memberitahukannya kepadaku. Di dalam dua hari ini, aku pula telah
mendengar sesuatu hal. Aku percaya Siangkoan Thian Ya tidak mendustakan aku. Ya
ayahku memanglah si orang busuk!"
Hian Kie merangkul nona itu,
ia menatap matanya di mana airmata mengembeng sinar matanya sayup-sayup,
menandakan terlukanya hatinya.
Memang, di dalam dunia ini ada
urusan pribadi apakah yang dapat melebihkan putus asanya seorang anak terhadap
ayah atau ibunya?
"Kau legakan
hatimu," Hian Kie menghibur. Tanpa merasa ia mencium pipi orang.
"Mungkin semua ini
bukannya kesalahan ayahmu seorang," katanya pula.
So So mengawasi.
"Bukankah kau hendak
membunuh dia?" ia menanya.
Si pemuda menghela napas
"Inilah urusan yang
sangat ruwet, benar salahnya, sekarang ini sulit untuk dijelaskan," ia
menyahut. Ia mendongak, melihat sinar matahari sudah tiba di dalam pekarangan.
Ia melepaskan kedua tangan si nona, yang ia pegangi, lalu ia berbangkit untuk
berdiri.
"Ibuku sudah pergi,
ayahku sudah pergi, apakah kau juga hendak pergi?" menanya So So,
mengawasi.
"Ah," Hian Kie kata
seperti mengeluh, "jikalau kau menitahkannya aku pergi, akan aku
pergi..."
Si nona menangis pula.
"Baiklah, kau
pergilah..." katanya.
Pemuda itu melengak.
"So So, benar-benarkah
kau menghendaki aku pergi?" ia menegasi.
"Aku tidak menghendaki
kau pergi, tetapi aku juga tidak sudi orang jemu terhadapku," jawab si pemudi.
Hian Kie heran.
"Apakah maksudmu?"
ia menanya pula.
"Aku tahu di hatimu sudah
ada seorang lain, ialah nona yang kau paling menyintainya..."
Mendengar itu, Hian Kie
tertawa.
"Di dalam dunia ini di
mana ada lain nona yang terlebih manis daripada kau?" katanya.
"Rupa-rupanya kau mendengar hal ini dari Thian Ya."
"Apa dan perlunya Thian
Ya mendustai aku?"
Hian Kie tertawa pula.
"Nona itu justeru ada
nona yang paling manis di matanya Thian Ya sendiri! Dan nona yang diukir di
dalam hatiku adalah kau!"
So So mengawasi, sinar matanya
penuh dengan kesangsian.
"Benarkah itu?"
menegasinya dengan perlahan.
"Siangkoan Thian Ya
menyintai nona itu melebihkan ia menyintai dirinya sendiri," Hian Kie
berkata pula. "Tetapi dia menyangka bahwa jodoh nona itu dengan jodohku
adalah perjodohan yang paling manis dan mempuaskan. Sebenarnya, sama sekali aku
tidak berpikir demikian. Berulang kali telah aku menjelaskannya kepadanya,
tetap ia tak mau mempercayainya. So So, mustahilkah kau juga tidak percaya aku?"
Matanya si nona bersinar
terang.
"Pantas juga Siangkoan
Thian Ya telah mencaci aku," katanya, "kiranya dia kuatir aku nanti
merusak perjodohan kamu."
"Baiklah, segala apa
sudah terang sekarang!" kata Hian Kie. "Mari kita pergi kepada Thian
Ya, untuk memerdekakan padanya."
"Tidak, dia tidak sudi
mengangkat kaki!"
"Apa? Dia tak sudi
pergi?"
"Benar! Tadi malam dia
bilang padaku, sekalipun ayahku yang menyuruh dia pergi, dia masih tak sudi
pergi!"
Hian Kie menjadi heran sekali.
"Kenapa dimerdekakan tetapi
dia tak sudi pergi. Tabiatnya benar-benar aneh!"
"Aku justeru menyukai
tabiat orang semacam dia!" kata So So, yang terus menunduk. "Ah, Hian
Kie, dapatkah kau juga bertabiat seperti dia itu?"
Hian Kie bertambah heran.
"Kau menghendaki tabiatku
seperti tabiat dia?" katanya. Tiba-tiba datang sinar terang di dalam
hatinya, maka lekas ia menambahkan perkataannya, menambahkan dengan halus:
"Bisa, aku juga bisa bertabiat seperti dia terhadap nona itu, aku
menyintai kau melebihkan aku menyintai diriku sendirl. Jikalau tidak, tidak
nanti tadi malam aku mencuri datang ke mari!"
So So girang berbareng jengah,
hingga ia menjerit "Ah!" tanpa merasa, menyusul mana ia dirangkul
pula si pemuda.
"So So, aku minta kau
antar aku kepada Siangkoan Thian Ya," ia minta.
Si nona merapikan pakaiannya,
terus ia cekal tangan si anak muda, untuk ditarik, dituntun melintasi pintu
belakang. Mereka jalan di sebuah jalan kecil yang banyak tikungannya, hingga
tidak lama kemudian tibalah mereka di muka sebuah guha, yang kedua pintunya
yang besar dan tebal tertutup rapat.
"Guha ini dibikin dan
diperlengkapi ayahku peranti dia berlatih silat," So So menerangkan.
"Aku sendiri baru tadi malam untuk pertama kalinya memasukinya secara
mencuri. Siangkoan Thian Ya dikurung di dalam guha ini."
Nona ini bertindak hingga di
depan guha sekali.
"Coba kau putar itu
gelang pintu," ia kata pada Hian Kie, yang mendampingi padanya, "kau
putar ke kiri tiga kali, lalu ke kanan tiga kali juga, nanti pintu terbuka
sendirinya."
Hian Kie sudah lantas bekerja
menuruti petunjuk nona itu. Hanya ketika tangannya menyentuh daun pintu, ia
merasakan sesuatu yang aneh. Ia lantas mendorong dengan perlahan, lalu
terjadilah hal yang aneh. Kedua daun pintu roboh menjeblak karena dorongan yang
sangat perlahan itu, roboh hancur menjadi banyak potongan kecil, mirip dengan
dempul.
So So heran hingga ia
mengeluarkan jeritan tertahan.
"Eh, mengapa
begini?" katanya.
Daun pintu itu terbuat dari
kayunya semacam pohon yang terdapat di gunung Holan San itu, kayu yang kuat,
dibuatnya pun tebal, dalam keadaan biasa, untuk mendobraknya dengan golok atau
kampak pun akan meminta tenaga dan tempo, siapa tahu sekarang terdorong
perlahan tetapi runtuh. Ketika tadi malam So So datang ke situ, pintu masih
tegar dan kuat seperti biasanya.
Bagaikan tak percaya akan diri
sendiri, si nona menatap si pemuda. Ia mendapatkan orang heran berbareng tak
tenang hatinya.
"Mari," kata si
nona. Ia mengajak si anak muda menyentuh daun pintu yang hancur itu, mereka
hanya menggunai sedikit tenaga, potongan-potongan kecil itu lantas merupakan
abu.
"Inilah akibatnya satu
serangan tenaga dalam," kata Hian Kie kemudian. "Rupanya orang itu
sengaja hendak mempertontonkan kepandaiannya yang mahir itu. Lihaynya ialah dia
merusak bagian dalam, bagian luarnya pintu nampak wajar saja."
"Benar, inilah akibat
serangan tenaga dalam," si nona membenarkan. "Hanya sekarang ini
siapakah yang tenaga dalamnya begini lihay?"
Hian Kie tidak menjawab, ia
hanya berpikir. "Kalau Tjio Thian Tok masih hidup, ia mau menduga jago she
Tjio itu, tetapi menurut pembicaraan Thian Tok dan Nyonya In kemarin, dia cuma
memikirkan usahanya untuk junjungannya yang muda, dia tidak tahu suatu apa
mengenai Siangkoan Thian Ya. Maka pengrusakan pintu itu pasti bukan
perbuatannya Thian Tok itu. Habis, siapakah?"
"Hian Kie, kau memikirkan
apa?" menanya si nona mendapatkan orang menjublak.
"So So," Hian Kie
tidak menjawab, hanya balik menanya, "tadi malam jam berapa kau datang ke
mari?"
"Kira-kira dekat jam
empat," menyahut si nona. "Ah, itu waktu dia dengan Thian Tok sudah
bertempur..." katanya seorang diri. "Eh, kau memikir bagaimana?"
tanya So So. "Mengapa kau menyebut-nyebut ayahku? Mustahilkah ayah mau
merusak kamar berlatihnya sendiri? Jikalau ayah hendak memerdekakan orang,
tidakkah dapat ia membuka saja pintunya?"
"Memang benar. Inilah
yang menjadi anehnya!"
Si nona pun berpikir keras.
Pintu bukan dirusak Thian Tok. Kalau begitu, masih ada seorang lain yang dapat
menandingi lihaynya ayahnya. Siapakah dia itu? Pula terang, dia berlaku demikian
selaku satu tantangan terhadap ayahnya.
"Mari kita masuk akan
melihat ke dalam," Hian Kie mengajak. "Entah bagaimana dengan Thian
Ya... Thian Ya! Thian Ya!" ia lantas memanggil-manggil. "Saudara
Siangkoan, bagaimana dengan kau?"
Tidak ada jawaban dari dalam
guha, tak terdengar suara apa jua.
Hian Kie bergelisah, cemas
hatinya. Ia menduga Thian Ya tengah terluka parah. Maka ia berlari masuk. Tiba
di dalam, ia berdiri melengak. Guha itu kosong. Dengan pintu besarnya runtuh,
cahaya matahari dapat masuk ke dalam dan segala apa nampak terang. Siangkoan
Thian Ya tak ada di situ.
So So menjadi terlebih heran
dari pada si anak muda. Ia bahkan kaget.
"Dia yang membilangnya
sendiri, kalau bukan dia yang menerjangnya, tidak nanti dia sudi berlalu dari
guha ini?" katanya seorang diri. "Siapa pun yang memintanya, dia
bakal menolak. Dia rela mengubur diri di gunung belukar tetapi dia tidak sudi
menerimanya belas kasihannya siapa juga! Tapi sekarang?"
Hian Kie berpikir tetapi
matanya memandang ke sekitar guha. Di tembok itu terdapat banyak lukisan yang
mengenai ilmu silat pedang, tegas terlukis pelbagai sikap dedak. Ia
memperhatikannya, tetapi tidak gampang untuk ia segera dapat mengerti.
"So So," kemudian ia
menanya pula si pemudi, "bagaimana caranya kau bertemu Siangkoan Thian Ya
dan apakah katanya?"
Si nona tidak lantas menjawab,
hanya ia berkata: "Aku hidup di gunung ini semenjak masih kecil, kecuali
dengan ayah dan ibuku, sangat jarang aku bertemu dengan orang lain siapa juga.
Ada kalanya aku turun gunung, untuk berburu tapi belum pernah aku melintas
lebih jauh daripada lima lie di sekitar sini. Hanya tak tahulah aku, sejak itu
hari aku melihat kau untuk pertama kali lantas aku mendapat perasaan bahwa kau
mirip orang yang terdekat denganku..."
"Inilah aneh. Kenapa hati
kita serupa? Ketika itu hari aku sadar, begitu melihat kau, aku lantas merasa
kaulah adikku dengan siapa aku belum pernah bertemu."
Kedua belah pipinya si pemudi
menjadi bersemu dadu.
"Ketika tadi malam aku
mengasi makan kuda putihmu, aku lantas ingat kau," katanya perlahan,
"maka itu aku lantas lari ke atas gunung di mana aku menabu khim. Apakah
kau mendengar itu?"
"Aku justeru kena ditarik
oleh suara khim dan nyanyianmu itu," Hian Kie aku. "Aku tidak
menyangka bahwa demikian rupalah kesanmu terhadap aku. Semoga mulai hari ini
kita berdua tak bakal berpisah lagi!"
So So menyingkap rambutnya, ia
bersenyum manis. Cuma sebentar ia memandang si anak muda, lantas ia tunduk.
"Sembari menabu khim, aku
terus memikirkan kau," ia berkata pula, mengaku. "Aku ingat halnya
kau hendak membunuh ayahku. Tegang hatiku, aku cemas sekali. Itulah bukan
disebabkan kau dapat membinasakan ayah. Ayah pernah membilang, jikalau kau
hendak melawan ayah, untuk dapat berimbang saja, kau masih harus berlajar lagi
sedikitnya sepuluh tahun. Aku hanya berkuatir untuk ayahku. Aku sangat memuja
ayah, maka takut aku bahwa ia benar-benar seorang busuk? Pula aku menguatirkan
keselamatanmu andaikata kau dapat bertemu sama ayah. Tanpa aku berada bersama,
ayah dapat membunuhmu! Di sebelah itu aku memikirkan segala apa yang aku lihat
dan dengar selama dua hari ini. Di mataku, semua perbuatan ayah tak wajar
adanya, lebih-lebih kenapa ayah tidak sudi membayar pulang kitab pedang itu dan
ia mengurung Siangkoan Thian Ya?... Ya, ayah bersikap tidak manis terhadapmu,
hal itu membuatnya aku malu sekali. Maka itu, sebagai seorang yang berdosa,
yang hendak menebus dosanya itu, ingin aku berbuat sesuatu untuk menyenangi
hatimu. Untuk ini, aku juga bersedia untuk berbuat baik terhadap orang yang
biasa berbuat baik terhadapmu. Demikian, aku jadi ingat Siangkoan Thian Ya.
Bukankah dia telah datang kemari dengan menempuh bahaya? Bukankah dia telah
sudi melepaskan kedudukannya sebagai Tjiangboendjin partainya, bahkan dia rela
tak mendapatkan kitab pedang, asal itu semua dapat ditukar dengan
kemerdekaanmu? Aku juga memikir kau pastilah hendak menolongi dia."
"Siangkoan Thian Ya
itulah sahabatku satu-satunya yang mengenal aku baik sekali," berkata Hian
Kie, "cuma dia masih belum dapat menembusi hatiku sebagaimana yang kau
berbuat. Aku heran, kenapa pikiranmu selalu akur dengan pikiranku, sebagai juga
hati kita berdua terangkap menjadi satu?"
Tanpa merasa keduanya saling
memegang tangan mereka dengan erat sekali.
Kemudian si nona menghela
napas perlahan.
"Sebenarnya ayahku sangat
menyayang aku," ia menambahkan, "maka mimpi pun tidak yang sekarang
aku mesti menentanginya. Demikian tadi malam aku telah berlaku dengan diam-diam
datang ke mari untuk membuka pintu guha ini, untuk menolong memerdekakan Siangkoan
Thian Ya. Sebenarnya aku jeri untuk sikapnya yang bengis itu, tetapi aku telah
mengambil keputusan, andaikata ia salah mengerti dan hendak menghajar aku, aku
tidak akan membalasnya."
"Adikku, kau baik
sekali!" Hian Kie memuji, kagum. Ia tahu betul, kecuali ibunya sendiri
yang bijaksana tidak ada lain orang daripada si Nona In ini yang begini polos.
"Benar saja, bermula kita
bertemu, dia bersikap garang sekali," So So melanjuti, "cuma tidaklah
sampai dia menyerang aku. Setelah dia mendengar perkataanku, aku lihat dia
menggigil, tubuhnya gemetaran. Dia bilang sungguh dia tidak menyangka bahwa aku
sudi berlaku demikian baik hati terhadapnya. Mulanya dia tertawa, kemudian dia
menangis, rupanya saking terharu. Kemudian dari itu, kau tahu, dia mendamprat
aku! Dia menegur aku, aku tahu atau tidak bahwa kau telah mempunyai
kekasih..."
"Salah faham itu tadi aku
telah menjelaskannya," kata Hian Kie tertawa. "Apa lagi katanya
dia?"
"Aku menahan sabar, aku
lawan kesedihanku, aku membiarkan dia mencaci aku," menyahut si nona.
"Aku tetap berlaku baik dengannya. Aku bilang, jikalau dia menghendaki
kitab pedang, akan aku mencurinya untuknya, supaya dia boleh mengangkat kaki.
Aku pun membilangi dia bahwa kau sudah lolos dan selamat, karenanya tidak ada
artinya untuk dia berdiam lebih lama pula di sini, bahkan lebih baik dia
mengambil kitab pedang sebelum ayahku pulang, untuk dia kabur. Di luar
dugaanku, kembali dia menunjuki tabiatnya yang keras."
"Demikian memang
tabiatnya Siangkoan Thian Ya!" kata pula Hian Kie, tertawa.
"Dia bilang kitab pedang
itu ada kepunyaan partainya, Boetong Pay, maka itu katanya, perlu apa dia
mengambilnya dengan jalan mencuri. Dia memastikan, kecuali dia dapat
mengalahkan ayah hingga ayah rela menyerahkannya, biarnya aku mengantarinya kepadanya,
biarnya dia dianjurkan menyingkir, tidak sudi dia melakukannya. Dia telah
bersumpah bahwa dia lebih suka mati daripada berbuat begitu. Sambil tertawa
dingin, dia kata: "Ayahmu sengaja berlaku bijaksana, dia seperti bermaksud
baik untuk menolong aku, tetapi aku tidak kesudian menerima budinya itu. Kitab
itu ada milikku! Sungguh, aku tidak mengerti maksudnya itu."
Mendengar sampai di situ, Hian
Kie ketahui sudah maksudnya Siangkoan Thian Ya. Maka ia tertawa pula.
"Kau lihat semua lukisan
di empat penjuru tembok ini," ia berkata kepada si nona sambil tangannya
menunjuk keliling tembok. "Bukankah itu peta dari ilmu pedang Tat Mo
Kiamhoat?"
"Mungkin benar,"
menyahut si nona, "Aku mempelajari Tat Mo Kiamhoat itu baru tiga bagian,
semuanya yang aku pelajari berada dalam peta ini. Kau lihat itu peta jari
tangan, itulah ilmu silat Ittjie Sian. Aku mengerti sekarang, ayah telah
melukiskan di sini semua kepandaiannya, maka itu siapa dapat meyakinkan semua
ini dengan sempurna, dia lebih menang daripada belajar menuruti kitab pedang
itu. Ayah mengurung Siangkoan disini, rupanya ia bermaksud biarlah Thian Ya
mempelajarinya. Sekarang tidaklah heran lagi yang Thian Ya tidak sudi berlalu
dari guha kurungannya itu!"
So So mengatakan demikan,
akhirnya ia heran sekali, sebab Thian Ya toh menghilang juga.
"Menurut tabiatnya Thian
Ya," kata Hian Ki, "asal dia bersumpah tidak mau pergi, meskipun
gunung ambruk dan bumi longsor dan guha ini keurukan, tidak nanti dia lari
keluar, tetapi sekarang dia menghilang, inilah aneh."
Keduanya berpikir, keduanya
bicara lebih jauh, dengan duga-dugaan mereka, tetap mereka tidak mengerti,
tidak ada dugaan mereka yang tepat. Hian Kie menjadi masgul sekali.
"Dia sudah pergi, tidak
ada perlunya kita berdiam di sini lebih lama pula," kata So So kemudian.
"Mari kita pulang. Kau tentunya sudah lapar."
Hian Kie menurut, maka mereka
kembali ke rumah. Melihat rusaknya lantai dan pohon bwee, yang daunnya
berhamburan, keduanya berduka. Rumah yang tadinya demikian tenang seperti
tempat dewa dewi, sekarang kacau tidak keruan. Segala apa nampak menyedihkan
dan seram juga.
"Mari kasi aku pinjam
pacul," Hian Kie minta. So So carikan alat yang diminta itu. Ia mengerti
maksud orang.
"Kau bekerjalah
sendiri," katanya sambil memberi hormat, "aku hendak menyalin pakaian
sekalian terus mematangi sesuatu untukmu."
"Pergilah," menjawab
si anak muda, yang terus saja bekerja. Ia menggali lubang, yang mana mengambil
tempo lama juga, sesudah mana, ia pondong tubuhnya Tjio Thian Tok untuk dikubur
di situ, dikubur menurut cara yang paling sederhana. Tidak ada perlengkapan,
tidak ada upacara, cuma kemudian, di atas itu ditumpuk cabang-cabang pohon dan
dedaunan. Ia menjadi sangat terharu mengingat demikian macamlah akhirnya
seorang gagah perkasa, yang pernah mengeluarkan tenaganya untuk negara.
Belum lama Hian Kie selesai
beketja, So So muncul dengan pakaian baru. Si nona tidak datang menghampirkan,
ia hanya menyender di pintu.
"Eh, mengapa kau
menjublak memandang aku?" menegur ia sambil tertawa geli. Memang Hian Kie
mendelong mengawasi ia. "Apakah kau belum kenal aku?"
"Dengan dandananmu ini,
ya, kau sungguh cantik!" memuji si anak muda, yang kesengsam, hanya habis
itu, ia menghela napas. Ia masih terharu dan penuh dengan pelbagai dugaan.
"Ada apakah yang luar
biasa?" tanya si nona. "Bajuku ini aku bikin menurut pola yang
direncanakan ayahku, katanya inilah pakaian dari jaman tigapuluh tahun yang
lampau, yang ketika itu sangat digemari. Dan ini sepatu sulam dengan dua ekor
burung hong dan terabur mutiara sekarang sudah sangat jarang orang yang
memakainya."
"Ibuku juga mempunyai
sepatu semacam ini," berkata Hian Kie. "Ibu simpan itu di dalam
koper, satu kali aku pernah melihatnya, cuma belum pernah aku lihat ibu memakai
itu."
Si nona berdiam sebentar, lalu
ia berkata pula: "Karena ini ada dandanan tigapuluh tahun yang berselang,
tidak heran jikalau ibumu masih menyimpannya." Ia mengatakan demikian,
tapi sebenarnya, ia pun heran.
So So mengatur barang hidangan
di kamar tulis.
Ia memasak dua rupa sayur yang
disukai Hian Kie. Sebenarnya hendak Hian Kie memujinya, apa mau ia terbenam
dalam kedukaan, ia melainkan bisa mengucapkan: "Terima kasih!"
"Sebenarnya kau
memikirkan apa?" si pemudi tanya kemudian.
Pemuda itu mengangkat
kepalanya.
"Tidak," sahutnya
sembarangan.
Si nona tertawa.
"Aku tahu kau tengah
memikirkan ibumu!" katanya. "Itu hari ketika kau tidur, kau telah
ngelindur memanggil-manggil ibumu itu. Sungguh berbahagia ibumu itu yang
mempunyai anak berbakti seperti kau."
Habis berkata begitu, nona ini
mendadak ingat ibunya sendiri, ia menjadi sedih sendirinya, saking sedih, ia
sampai tak dapat menangis dengan bersuara.
Hian Kie bisa menduga
kesusahan hati orang, ia mengusap rambut nona itu.
"Ibuku pasti akan
menyukai kau," kata ia perlahan. "Mulai hari ini, dalam hidupku ada
dua orang yang terdekat dan menyintai aku. Yang satu ibuku, yang lain ialah
kau."
Airmatanya So So mengucur
deras. Ia berduka berbareng girang.
"Ah, baru aku salin
pakaian, sekarang kukotorkan lagi dengan air mata," katanya likat.
"Memang!" berkata si
anak muda. "Siapa suruh kau doyan menangis? Mari kita bicara dari hal-hal
yang menggembirakan!"
"Ya aku ingat
sekarang," berkata si nona. "Bukankah itu hari kau membilang bahwa
kamar tulismu sama dengan kamar tulisku ini? Sayang sekarang ini pohon-pohon
bwee pada gundul. Setahu sampai kapan aku ada mempunyai untung bagus akan dapat
pergi melihat rumahmu itu..."
Senang Hian Kie mendengar
kata-kata itu, tetapi berbareng ia pun sedikit terkesiap. Entah kenapa, ia
menjadi bersangsi. Semakin ia memperhatikan kamar tulis ini, makin ia merasakan
sesuatu yang aneh. Ia merasa seperti juga kepalanya ditindih bayangan gelap
hingga ia sukar bernapas...
"Ah, kau nampaknya
ketakutan?" menanya So So, yang mengawasi wajah orang sebab si anak muda
diam saja, matanya memandang kelilingan kamar, mata itu seperti lenyap
sinarnya.
Mendadak Hian Kie berjingkrak
bangun.
"Berada di rumahmu ini
benar-benar aku merasa takut," ia mengaku. "So So, maukah kau
mengikut aku pergi?"
Si nona tertawa dengan manis.
"Tentu sekali akan aku
ikut kau!" sahutnya.
Pemuda itu bernapas lega. Ia
pun lantas merasakan tubuh yang lemah-lembut dari si nona berada dalam
rangkulannya.
Dalam itu saat yang pemuda ini
melayang-layang pikirannya karena mabuk cintanya itu, sekonyong-konyong ia
mendengar satu suara keras dan dingin: "Kau lepaskan anakku!" Ia
menjadi kaget sekali begitupun So So, bahkan nona itu lompat berjingkrak. Ia
melihat ayahnya, yang setahu kapan sudah berada di dalam kamar tulis itu,
berdiri di depan mereka sejarak tak ada tiga kaki. Ayah itu bermuram durja,
pucat mukanya seperti tak ada darahnya. Tangan kanan ayah itu pun diangkat
perlahan-lahan.
Anak ini dapat menduga maksud
ayahnya itu. "Jikalau kau bunuh dia, kau bunuhlah aku sekalian!"
berseru kepada ayahnya itu.
Kepalan Boe Yang seperti
tertunda di tengah udara, lalu kemudian dengan sama pelahannya seperti tadi,
dikasi turun pula. Ia pun menghela napas.
"Mana ada niatku akan
membunuh orang pula?" katanya. "So So, kau suruh dia keluar, hendak
aku bicara denganmu."
Lagu suaranya ayah ini bukan
lagi lagu suara menitah dari seorang ayah, hanya bernada sebagai mohon sesuatu
kepada seorang sahabat. So So pun lantas melihat di wajah dingin dari ayah itu
bagaikan ada sinar kecintaan orang tua kepada anaknya. Dengan sendiri hatinya
menjadi terharu.
"Hian Kie, kau keluarlah
sebentar," ia minta pada si anak muda, suaranya sangat perlahan.
Si anak muda menurut, maka
sebentar kemudian di dalam kamar tulis tinggallah si ayah dan anak daranya
berdua saja. Mereka berdiri berhadapan, saling mengawasi. Merekalah biasanya
orang-orang paling terdekat satu dengan lain akan tetapi sekarang mereka
bagaikan orang asing dengan orang asing.
Berselang beberapa saat, sinar
matahari mulai menjadi lunak.
"Di dalam hidupku ini cuma
kaulah seorang yang aku paling cintai," berkata sang ayah kemudian,
"apa pun dapat aku kurbankan kecuali kau."
"Aku tahu itu,
ayah," menjawab si anak.
"Ibumu telah pergi,"
berkata pula si ayah. "Selama belasan tahun ini aku mengerti hatinya ibumu
itu, ia terbenam dalam kedukaan, tetapi juga aku kapannya aku tidak pernah
berduka? Tentang rumahku ini, sebenarnya sudah tak aku menghendakinya pula,
tetapi masih ada sesuatu, jikalau aku tidak utarakan itu pada kau, setelah aku
mati nanti, pastilah hatiku tidak tenang, maka itu sekarang aku balik juga
kemari. Sesudah aku berbicara, suka kau mengakui aku sebagai ayah, bagus, tidak
suka kau mengakuinya, juga bagus, terserah padamu!"
So So mengangkat kepalanya.
"Ayah, bicaralah,"
berkata sang anak. "Sebenarnya anakmu tak dapat meninggalkan kau..."
-xxXXXxx-
Boe Yang menghela napas
panjang.
"Selama beberapa hari ini
kau telah melihat sesuatu, kau mendengar sesuatu juga," berkata ayah ini.
"Ibumu, Tan Hian Kie, juga Siangkoan Thian Ya, pasti telah mengucapkan
sesuatu tentangku di hadapanmu, maka tidaklah heran jikalau kau sangat
menyesalkan aku."
"Tan Hian Kie tidak
membilang suatu apa tentang ayah." menerangkan si anak.
"Aku ketahui apa yang
mereka itu perkatakan. Semua itu benar atau salah, tidak hendak aku
membantahnya. Memang dulu hari itu aku pernah berdaya merampas kitab ilmu
pedang kakekmu itu dan sekian lama aku telah perlakukan dingin pada ibumu,
itulah suatu kenyataan. Jikalau mereka cela aku, aku tidak gusar."
Kedua tangannya So So
bergemetaran, dengan itu ia menutup mukanya.
"Kenapa ayah perlakukan
dingin pada ibu?" dia menanya. "Aku dengar, di waktu ibu menikah
dengan ayah, ibu sudah mengurbankan cintanya satu ayah dengan anak gadisnya.
Ialah ibu telah menolongi ayah mencuri pedang itu. Apakah Prbuatan ibu itu
terhadap ayah masih tidak cukup
"Dalam hal itu memang aku
yang tidak berbuat selayaknya," In Boe Yang mengaku. "Sebenarnya saja
aku menikah dengan ibumu itu untuk kitab itu."
Si nona menjerit tajam, ia
mundur dua tindak. Bukan main sakit hatinya. Tidak pernah ia menyangka ayah ini
akan mengaku terus terang secara demikian, menjadi benar apa yang orang telah
memberitahukan kepadanya.
Terdengar In Boe Yang berkata
pula, dengan sabar sekali.
"Anak, kau polos dan
bersih sekali," katanya, "kau tidak dapat mengijinkan orang berbuat
keliru sedikit juga. Adakah cuma karena ini urusan remeh maka kau menjadi
takut?"
"Apakah cuma karena
ini?" si anak mengulangi. "Belasan tahun kau telah perlakukan dingin
pada ibu, adakah itu suatu urusan remeh?"
Boe Yang tertawa, tertawa
sedih.
"Selama hidupku, aku
telah melakukan sejumlah kesalahan," ia berkata pula, "apa yang
mereka itu bilang, ada yang dusta. Tapi, umpama kata semua itu benar, itu pun
tidak berarti apa-apa. Yang paling membikin aku bersusah hati adalah satu
kesalahan besar yang aku telah perbuatnya. Di kolong langit ini, tidak ada
seorang jua yang mengetahui itu. Selama ini belasan tahun, itulah yang membikin
aku sangat menyesal. Ya, So So, mengertikah kau apa yang membuatnya hati orang
paling bersengsara? Itulah melakukan suatu dosa tanpa ada orang lain yang
mengetahuinya, tidak ada orang yang menegurnya, hingga dia menjadi tersiksa
sendirinya, tersiksa bathinnya. Inilah hukuman yang paling kejam di kolong
langit ini! Kaulah anak yang aku paling cinta, sekarang aku hendak memberitahu
padamu. Untuk itu aku bersedia untuk kau tegur, untuk kau ludahi..."
Inilah hal yang tidak
disangka-sangka. In Boe Yang yang demikian kosen, suatu jago, berbicara secara
demikian menyedihkan, ia mirip seorang penjahat di muka seorang hakim, hingga
ia rela meminta teguran puterinya sendiri. Tadinya mukanya pucat, sekarang
paras muka itu menjadi merah. Itulah tanda dari bergolaknya sanubarinya, hati
nuraninya. Tetapi So So pun mendapat goncangan hati yang terlebih hebat lagi,
mulanya dia kaget, lalu dia menjadi heran, akhirnya dia menjadi ketakutan,
menjadi berkasihan.
"Ayah, kau
bicaralah," katanya, suaranya mengemetar. "Kesalahan besar apa juga
kau telah lakukan, So So tetap anakmu."
Boe Yang telah mengkerut
alisnya, sekarang ia dapat buka itu.
"Pada duapuluh tahun yang
lalu..." katanya. "Ah, tunggu dulu, hendak aku melihat yang mana yang
telah datang berkunjung..."
So So ingin minta ayahnya
cerita terus, tetapi ketika ia sudah memasang kupingnya, ia mendengar suara tak
wajar, mulanya jauh di pekarangan luar, atau lekas juga telah berada di
pekarangan dalam. Itulah suara dari beberapa orang.
"So So, kau berdiam di
dalam kamar ini, jangan kau keluar," berkata sang ayah. Ia nampaknya
gelisah jauh melebihkan daripada datangnya Tjio Thian Tok.
So So melihat keluar dari
antara jendela. Ia melihat lima orang tua berdiri berbaris di dalam pekarangan
dalamnya. Tiga antaranya toosoe atau imam, yang dua lagi orang biasa, hanya
yang satu gemuk yang lain kurus, mereka ini mirip dengan seorang dusun dan
seorang guru sekolah.
In Boe Yang tertawa
terbahak-bahak.
"Boetong Ngoloo datang
berbareng sungguh suatu kehormatan untukku!" berkata dia dengan nyaring.
Boetong Ngoloo itu ialah lima tertua dari Boetong Pay.
So So terkejut. Ia pernah
mendengar namanya lima tertua itu dari ayahnya. Boetong Pay diakui umum sebagai
suatu partai persilatan yang terbesar di jamannya itu dan muridnya pun paling
banyak, di antaranya ada murid imam, ada juga murid orang biasa, artinya yang
tidak mensucikan diri. Dan ketiga imam ini adalah tiangloo-tiangloo dari
Boetong San, yaitu Tie Wan Tiangloo si ketua, Tie Hong Tiangloo si penilik, dan
Tie Kong Tiangloo kepala dari pendopo Tat Mo Ih. Orang yang mirip orang dusun
itu ialah Tjioe Tong, salah satu tertua Boetong Pay dari kalangan orang biasa,
dan yang seperti guru sekolah ialah Kok Tjiong, juga satu tertua dari kalangan
orang biasa itu, hanya yang satu dari Boetong Pay golongan Utara, Pak Pay, yang
lain dari golongan Selatan, Lam Pay. Mereka ini berdua satu di selatan dan satu
lagi di utara, terpisah jauh satu dengan lain, tetapi sekarang mereka ada
bersama tiga tertua dari Boetong San, itulah bukan kejadian yang biasa saja.
"Tanpa ada urusan tidak
berani kami datang berkunjung," berkata Tie Wan Tiangloo. "Hari ini
kami datang untuk meminta orang."
Imam ini bicara dengan singkat
dan terang tentang maksud kedatangannya itu.
In Boe Yang sudah dapat
menduga apa yang orang akan mengatakannya. Coba Boetong Ngoloo datang pada dua
hari yang lalu, pastilah ia mau menganggap mereka mengancam dan dia bakal
menjadi gusar sekali. Tapi sekarang, setelah ia mendapatkan pengalamannya yang
paling belakang ini, hatinya sudah menjadi dingin.
"Kamu meminta orang,
inilah gampang," sahutnya. "Silahkan masuk dulu untuk minum
teh."
Jawaban ini di luar dugaannya
ke lima tetamu itu. Mereka menyangka bakal terjadi satu pertengkaran, tidak
dinyana, Boe Yang lantas saja menerima baik.
"Di mana adanya Siangkoan
Thian Ya sekarang?" Tie Hong tanya. "Apakah kau sudah berbuat atas dirinya
ahli waris dari Boetong Pay kami?"
Tjioe Tong ada seorang yang
keras adatnya, tanpa menanti Tie Hong berhenti bicara, ia sudah turut campur
bicara.
"Jikalau gampang, lekas
kau antar dia keluar!" bentaknya. "Siapa mempunyai kesempatan untuk
meminum air tehmu?"
Wajahnya Boe Yang menjadi
muram, akan tetapi ia masih dapat mengendalikan diri. Ia berdongak dan tertawa
bergelak.
"Jikalau Ngoloo tak
tenang hatinya, marilah kita pergi," ia menjawab. "Malah kita lihat
apakah aku orang she In telah perlakukan tak selayaknya kepada ahli waris
kamu."
"Ayah!" berkata So
So dari balik jendela. Ia ketahui ayahnya bakal kecele.
Ia hendak lompat keluar
jendela, ketika ia dengar ayahnya berkata dengan lunak: "So So, tak usah
kau campur urusan ini. Aku berjanji padamu hari ini aku hendak berbuat murah
hati untukmu, kau jangan buat kuatir."
Selagi ayah ini berkata-kata
mereka sudah berjalan keluar dari pintu besar dan mulai berlari-lari mendaki
bukit. Suaranya Boe Yang itupun dikeluarkan menurut suara tenaga dalam.
Si nona menjadi bingung, ia
berlari keluar, untuk menyusul. Baharu ia menikung atau ia telah melihat
ayahnya itu dan Boetong Ngoloo sudah berada di depan guha. Hanya Boe Yang
segera menjadi kaget sekali, sebab pintu guha ambruk runtuh. Ia mendahului lari
masuk ke dalam guha itu, akan akhirnya dengan murka ia berseru: "Kamu
sudah bekerja sama merusak pintu guhaku ini, sekarang kamu datang untuk meminta
orang!" Ia lantas menyangka, menuduh lima tertua itu.
Tie Hong pun menjadi terlebih
murka.
"Kau seorang
kenamaan!" bentaknya. "Kenapa kau mendusta begini macam?"
"Di mana kau tahan ahli
waris kami?" Tjioe Tong menanya. "Benarkah kau telah menganiaya
dia?"
Dalam murkanya, jago Pak Pay
ini sudah lantas menyerang dengan pukulannya "Mega menutup gunung Tjhong
San," lima jari tangannya menyambar ke tulang piepee dari tuan rumahnya.
Boe Yang tertawa dingin. Belum
lagi serangan tiba, ia sudah menangkis sambil menyambar dan diteruskan dengan
satu tarikan, maka tidak ampun lagi, Tjioe Tong kena tertarik keluar guha. Di
ambang pintu, tuan rumah itu berdiri tegar.
"Jikalau kamu hendak
bertempur, marilah di luar!" tantangnya. "Jangan di dalam, nanti kamu
membikin rusak kamar samedhiku!"
Tie Wan Tiangloo sabar sekali.
"Kami bukannya bangsa
buaya darat," ia berkata, "maka silahkan kamu berdua menghentikan
tangan kamu. Mari kita bicara dulu, untuk mengetahui kenyataan, benar atau
salah akan terbukti belakangan."
Kata-kata itu kelihatannya
menegur kedua pihak, tetapi sebenarnya Tjioe Tong yang dilindungi.
Boe Yang sangat mendongkol,
tetapi untuk memegang derajat, ia menahan sabar. Ia telah berketetapan untuk
tidak takuti mereka itu.
Tie Wan yang keluar paling
belakang. Ia memeriksa ke tanah di pintu.
"Kiesoe membilangnya
pintu guha ini kamilah yang merusak," ia berkata, tenang. Wiesoe adalah
seorang kenamaan, pasti kau dapat melihatnya. Kami benar mengerti juga sedikit
ilmu silat tetapi inilah bukan perbuatan kami. Kiesoe periksa sendiri, bukankah
ini hanya serangan tangan dari satu orang? Kenapa kiesoe menuduh kami, adakah
itu disengaja?"
Hatinya Boe Yang bercekat. Ia
lantas memeriksanya. Memang, kalau dihajar berlima dengan berbareng, akibatnya
tidak nanti berupa demikian macam. Ia telah terlepasan omong. Ia menduga
demikian karena Thian Tok sudah mati dan ia menyangka tidak ada lain orang yang
melebihkan Thian Tok kecuali Boetong Ngoloo ini. Sekarang ia disenggapi imam
tua itu.
"Ya, aku telah melihat
keliru," katanya, mengaku. "Kalau begitu, Siangkoan Thian Ya sudah
melarikan diri."
"Hm!" Tie Hong
Tiangloo tertawa dingin.
"Pintu guha ini kau yang
menggempurnya sendiri, sekarang kau menuduh kami, bagus benar, Apakah
maksudmu?"
"Dia sudah mengaku salah
sudahlah," Tie Wan Tiangloo menyelak. "Sekarang kami cuma perlu
meminta orang!"
"Kau telah mengurung ahli
waris kami, lalu kau juga sengaja menggempur pintu guhamu!" Tjioe Tong
campur bicara. "Hm! Kau sengaja hendak menimpakan kesalahan kepada lain
orang! Sebenarnya, apakah kau telah perbuat atas ahli waris kami itu?"
Makin hebat pertanyaannya
rombongan Boetong Ngoloo itu.
In Boe Yang menjadi gusar.
"Untuk membinasakan
Siangkoan Thian Ya, perlu apa aku sampai memakai segala akal begini?" ia
berseru. "Asal aku lemparkan dia ke gunung untuk digegarasi serigala, lalu
aku menyangkal, apa kamu bisa bilang?"
Alasan ini dapat diterima
baik. Memang, perlu apa Boe Yang memakai akal yang berbelit-belit itu bahkan
merusak percuma-cuma pintu guhanya? Tetap, Boetong Ngoloo berpendapat:
"Kecuali In Boe Yang, tidak ada orang lain setangguh dia."
Boe Yang berkata pula:
"Kamu lihat bagian dari guhaku ini, di tembok penuh segala coretan ilmu
silat yang aku sedang yakinkan, dengan ini kamu bisa menduga kenapa aku kurung
Siangkoan Thian Ya di dalam guha ini. Mustahilkah kamu tidak dapat melihat
maksudku yang baik?"
"Tetapi itulah
kata-katamu sendiri!" kata Tie Kong dingin. "Siapa yang ketahui
maksudmu yang sebenarnya?"
"Memang!" Kok Tjiong
membenarkan kawannya itu. "Kau mengurung dia di sini atau tidak, siapakah
yang mengetahuinya? Umpama kata benar kau kurung dia di sini, habis kau
menggempur pintunya, tidakkah itu bukan berarti kau berniat kurang baik
terhadap dirinya?"
"Kecuali kau cari
Siangkoan Thian Ya, iblis pun tak akan mempercayaimu!" Tie Hong putuskan.
Selagi Boe Yang belum sempat
menjawab tertua-tua Boetong Pay itu, tiba-tiba terdengarlah satu suara yang
halus tetapi terang: "Memang benar Siangkoan Thian Ya dikurung di dalam
ini guha akan tetapi pintunya bukanlah ayahku yang menggempurnya."
Di antara mereka segera muncul
seorang nona. Mereka semua orang lantas berpaling dan mengawasi nona itu.
"Nona In, kau hendak
menjadi saksi untuk ayahmu?" Tie Hong Tiangloo tanya. Pertanyaan itu
bersifat mengejek.
So So berdiri tegak, sikapnya
halus tetapi keren.
"Memang aku menjadi saksi
di pihak ayahku," ia mennyahut, tenang. "Tadi malam aku sendiri telah
datang kemari dan aku telah bertemu sama Siangkoan Thian Ya. Adalah maksudku
untuk menolong memerdekakan dia tapi dia menolak." Ia terus menoleh kepada
ayahnya dan berkata: "Ayah, kau toh tidak marahkan aku bukan?"
"Nona In bermaksud baik
sekali!" kata Kok Tjiong tertawa.
"Memang juga di bawahan
panglima gagah tak ada serdadu yang loyo!" Tie Hong turut mengejek.
Teranglah mereka tidak sudi percaya nona itu. In Boe Yang menjadi sangat
mendongkol dan gusar. Tidak apa orang tidak mempercayai dia, tetapi anak
daranya tidak dipercaya juga, inilah hebat, itulah satu penghinaan terhadap
dirinya. Tiba-tiba saja ia menghajar sebuah batu besar di dekatnya hingga batu
itu pecah hancur berhamburan!
Boetong Ngoloo terkejut,
segera mereka mengambil sikap bersedia untuk bertempur.
"Kau memaksakan
keteranganmu, karena kau tidak berhasil, kau menjadi malu dan gusar,
bukankah?" Tie Wan Tiangloo tanya.
"Untuk bicara dengan
pantas, aku mesti lihat dulu pihak sana pantas diajak bicara atau tidak!"
berkata Boe Yang, yang tertawa terbahak. "Karena kau bilang aku
memaksakan, baiklah, sekarang aku memaksa! Siangkoan Thian Ya ada satu anak
muda, ia dari tingkatan bawahan, tetapi terhadap aku dia berbuat kurang ajar.
Di waktu tengah malam buta rata, dia lancang naik ke gunungku ini dan memasuki
rumahku, maka itu aku telah bekuk dia dan membunuhnya! Sekarang pergi kamu
mengundang kaum Rimba Persilatan untuk mereka memberikan keputusannya!"
Boetong Ngoloo saling
mengawasi. Mereka terbenam dalam kesangsian. Benarkah kata orang ini atau dia
mendusta?
Tie Wan Tiangloo biasa
menghargai diri sendiri, biarnya Boe Yang berkeras, ia lihat pada itu bukannya
tidak ada alasannya. Maka itu ia berkata dengan sabar: "Jikalau benar
Siangkoan Thian Ya memasuki tanpa sebab musabab, sekalipun kau membunuh dia,
aku tidak dapat membilang suatu apa. Tetapi kau telah mencuri kitab ilmu pedang
dari Boetong Pay, dialah ahli waris kami, maka itu dia datang untuk meminta
pulang kitab itu, maka kenapa kau berani bilang dia datang tanpa alasan?"
Parasnya In Boe Yang berubah,
akan tetapi ia menoleh kepada puterinya dan berkata: "Sekalipun
kata-katanya seorang muda tak dapat terlalu diandalkan, maka itu lain kali kau
mesti berlaku waspada. Aku pandang Siangkoan Thian Ya sebagai seorang muda yang
berbakat baik, kiranya dia pun mendustakan aku!"
Memang Siangkoan Thian Ya
membilang dia diutus Bouw It Siok, bahwa halnya kitab pedang itu dia tidak
pernah omong kepada lain orang, bahwa sebelum dia datang ke gunung Holan San
ini, dia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Tie Wan Tiangloo, surat mana
barulah boleh dibuka Tie Wan andaikata berselang satu tahun tak ada kabar
ceritanya tentang dia. Tapi sekarang, dalam tempo yang pendek, Boetong Ngoloo
datang bersama, bahkan mereka segera menyebut-nyebut tentang kitab ilmu pedang
itu. Seandainya Siangkoan Thian Ya tidak mendusta maka terang sudah Tie Wan
Tiangloo sudah lancang mendahului membuka suratnya itu sebelum tempo satu
tahun. Dengan mengatakan Thian Ya mendustakan dia, Boe Yang hendak memberi
ingat kepada puterinya supaya puteri ini pun jangan terlalu percaya Tan Hian
Kie, agar anaknya ini tidaklah sampai kena diperdayakan.
Tie Wan Tiangloo melengak
mendengar perkataannya tuan rumah ini.
"Dalam hal apakah
Siangkoan Thian Ya menipu kau?" ia tanya.
Suratnya Thian Ya memang
dibuka Tie Wan, dibuka dengan lantas, tanpa menghormati pesan Siangkoan Thian
Ya untuk menanti satu tahun. Inilah disebabkan terutama karena Tie Wan sendiri
pernah mendengar kabar angin bahwa In Boe Yang telah mencuri kitab pedangnya
Bouw Tok It. Ketika ia menerima suratnya Thian Ya itu dengan Thian Ya lantas
pergi tanpa pamitan lagi, ia sudah lantas menduga urusan kitab itu. Tentu saja
ia menjadi curiga dan menguatirkan itu murid yang menjadi ahli waris, maka ia
buka surat orang dan lantas bertindak mengumpulkan kawan dan menyusul ke Holan
San ini dengan niat membantu atau menolongi ahli waris itu.
In Boe Yang menjawab:
"Siangkoan Thian Ya telah menipu aku, sudah saja, hitung-hitung mataku
buta. Tentang itu tak usah kau tanya-tanya lagi. Kau menyebut kitab ilmu
pedang, baiklah, mari kita omong tentang kitab itu. Aku ada mantunya keluarga
Bouw kamu sendiri, kamu pernah apakah? Mentuaku itu bekas tjiangboendjin dari
partaimu tetapi kitab pedang yang ia dapatkan itu belum pasti milik partaimu
itu. Di dalam kalangan Rimba Persilatan tidak ada semacam aturan. Seandainya
mertuaku ada pesannya bahwa ilmu pedangnya itu tidak dapat diwariskan kepada
anak perempuan dan mesti cuma kepada ahli waris, yang kemudian menjadi
tjiangboendjin, nah, aku minta, kamu tunjukilah surat wasiatnya itu!"
Ini pun alasan yang
dipaksakan, tetapi karena itu, merah mukanya Tie Wan Tiangloo tidak dapat ia
alasan untuk menjawab.
Menampak itu, Kok Tjiong
melirik kepada tiga kawannya yang lain, dari berduduk, ia bangun berdiri.
Dengan dingin, nadanya seram, ia berkata: "mertuamu itu terbinasa di
tanganmu yang berbisa, dia mati secara mendadak, walaupun dia memikir untuk
menulis surat wasiatnya, sudah tidak ada ketikanya lagi!"
Mendengar ini, So So kaget bukan
kepalang. Tiba-tiba ia ingat: "Ayah pernah mengatakannya bahwa seumur
hidupnya ia pernah melakukan satu kesalahan besar, yang ia buat penyesalan,
adakah ini kesalahannya itu? Jikalau benar dia bunuh kakekku, mustahil ibu
dapat tetap tinggal dengannya untuk banyak tahun? Seharusnya, tidak menanti
sampai sekarang, ibu sudah mesti pergi meninggalkannya....
Boe Yang bermuram durja. Pada
matanya tampak sinar pembunuhan. Mendadak saja, ia mendongak dan tertawa
panjang.
Kok Tjiong adalah murid kepala
dari Bouw Tok It. Pula ia terlebih tua sepuluh tahun daripada Bouw It Siok.
Katanya ketika Bouw Tok It meninggal dunia, orang yang mendampinginya adalah ia
sendiri bersama It Siok. Maka itu, dengan kedudukannya itu, tidak mungkin Kok
Tjiong melainkan menuduh Boe Yang.
So So menjadi sangat
berkuatir, ia memandang ayahnya itu.
"Aku si orang she In
telah berdosa di matanya orang luar, itulah terjadi bukan cuma urusan ini
saja!" katanya nyaring, "semua itu tuduhan belaka! Boetong Ngoloo,
hari ini kamu datang, sikapmu sangat galak, kiranya kamu datang untuk menegur
aku. Baiklah, aku tidak hendak membantah lagi. Kamu menghendaki cara apa,
silahkan kamu menyebutkannya. Sekalipun menghadapi pedang atau golok, tak nanti
aku mengerutkan keningku!"
Hatinya So So goncang pula.
Kata-katanya ayah ini terang menunjuki Kok Tjiong memfitnah belaka. Melihat
sikap ayahnya, itulah terang bukan sikapnya seorang yang berdosa. Kemudian lega
juga hatinya. Toh tetap ia ragu-ragu, benar atau tidak kakeknya terbinasa di
tangan ayahnya itu..."
Kok Tjiong tertawa pula dengan
dingin.
"Memang biasa seorang
berdosa besar, bisa dia memainkan lidah!" katanya. "Kau boleh
menyebutkannya aku memfitnah, tetapi kematiannya guruku itu akulah yang
menyaksikan dengan mataku sendiri! Adakah kau kira Kok Tjiong satu pendusta?
Mustahilkah aku hendak memfitnah padamu?"
In Boe Yang mengangkat
kepalanya, ia mengawasi kelima orang itu, sikapnya jumawa.
"Kau mendusta atau tidak,
cuma kau sendirilah yang mengetahuinya!" ia berkata. "Sudah aku
bilang, tidak hendak aku membantah. Perlu apa kau banyak bacot lagi?" Ia
mengangkat alisnya, ia menambahkan dengan nyaring: "Untukku, julukan si
orang berdosa besar tetaplah sudah, maka itu, baiklah, mari aku menambah itu
dengan melakukan satu kedosaan besar lainnya! Maafkan aku, Ngoloo, sekarang aku
hendak menahan kamu!"
Tie Hong menjadi sangat murka.
"In, In Boe Yang!"
serunya. "Kau sangat terkebur! Berapa tingginya kepandaian kau maka kau
berani menahan kami? Hendak aku lihat, hari ini siapakah yang bakal mengubur
tulang belulangnya di ini gunung belukar!"
Boetong Ngoloo ada bagaikan
gunung Tay San atau bintang Pak Tauw dalam kalangan Rimba Persilatan, jangan
kata mereka berlima, satu saja di antaranya tidak nanti sudi orang permainkan.
Sekarang In Boe Yang tidak memandang mata kepada mereka mereka hendak
"dibereskan," tidak aneh mereka menjadi gusar, lebih-lebih Tie Hong
yang berangasan.
"Hari ini kau hendak
menahan kami, itulah bagus!" kata Kok Tjiong dengan tawar. "Kami
disebut tiangloo dari Boetong Pay, tetapi kami belum pernah menyaksikan ilmu
pedang Tat Mo Kiamhoat yang diwariskan oleh tjouwsoe kami, maka sekarang adalah
ketikanya yang paling baik untuk belajar kenal. Umpama kata kami berlima mesti
roboh di tanganmu, itulah berharga, supaya dengan begitu dunia akan mendapat
ketahui lihaynya ilmu silat partai kami!"
Kok Tjiong ini dikenal sebagai
"Imkan Sioetjay," Sasterawan Neraka, maka itu bisa dimengerti jikalau
dia licin sekali. Dengan kata-katanya itu, di luar ia memuji In Boe Yang, di
lain pihak ia menyindir yang Boe Yang sudah mencuri ilmu silat Boetong Pay
dengan apa dia menentangi murid-murid Boetong Pay sendiri, maka juga, menang
atau kalah, muka Boe Yang tidak bakal jadi terang cemerlang.
Sepasang alisnya Boe Yang,
bergerak pula, kembali dia tertawa lebar.
"Kamu berkukuh bahwa Tat
Mo Kiamhoat ada ilmu pedang Boetong Pay, baiklah! katanya. "Hari ini aku
si orang she In tidak hendak menggunai pedang, aku hanya akan melayani kamu
dengan sepasang tangan kosong! Kamu lihat bisa atau tidak aku menahan kamu!"
Habis sabarnya Tie Hong, tanpa
membilang apa-apa lagi tinjunya melayang!
Berbareng dengan itu, Boetong
Ngoloo mendengar suara tertawa yang nyaring dan panjang, yang seperti menulikan
kuping, lantas mereka melihat tangannya Boe Yang bergerak laksana kilat. Habis
itu, di antara bentroknya dua tangan Tie Hong roboh terbanting, menyusul mana
tangan kirinya si orang she In, ialah dua jarinya, mencari jalan darah giokkoat
dan imhiat dari Kok Tjiong. Itulah dua jalan darah yang utama, yang tidak
sembarang orang dapat menotoknya. Rupanya saking panas hatinya, Boe Yang
mengarah kedua jalan darah itu. Siapa tertotok di jalan darah itu, kalau dia
tidak lantas binasa, sedikitnya tubuhnya akan bercacat.
Maka itu, menampak demikian,
Tie Kong dan Tjioe Tong kaget tidak terkira, keduanya berseru, sambil berseru,
mereka lompat maju. Mereka ini ada terlebih lihay daripada Tie Hong, tangan
mereka masing-masing menyambar ke dada dan perutnya si orang she In itu.
"Bagus!" Boe Yang
berseru seraya segera mengubah cara bergeraknya. Ia bukannya menangkis, hanya
jeriji tangannya memapaki Tie Kong. Tepat ia mengenai jalan darah kioktie,
hingga seketika itu juga, sebagian tubuhnya tiangloo itu seperti mati kaku,
hingga dia terhuyung dua tiga tindak.
Boe Yang tidak berhenti sampai
di situ, sikutnya bekerja terus, mampir di tubuhnya Tjioe Tong, hingga dia ini,
jago Boe Tong Pay dari Utara, mesti melengkung-melengking pinggangnya.
Menyusuli itu, dengan Tangan Geledek berantai, Boe Yang terus meninju punggungnya
Kok Tjiong. Hanya kali ini, belum lagi tinjunya itu sampai pada sasarannya, ia
merasakan dorongan angin yang keras sekali hingga ia mesti membatalkan
seragannya itu seraya memutar tubuhnya, untuk berkelit. Tetapi ia tidak cuma
berkelit, hanya dengan kedua tangannya, ia menahan dorongan yang luar biasa
itu. Maka bentroklah empat buah tangan.
Penyerang itu, yang menolongi
Kok Tjiong, adalah Tie Wan Tiangloo, orang tertangguh di antara Boetong Ngoloo.
"Roboh!, berseru In Boe
Yang, yang tak berhenti karena hanya rintangan itu. Kedua tangannya, dengan
masing-masing terlentang dan tengkurap, bergerak dengan sangat dahsyat
menghalau tangannya Tie Wan Tiangloo, hingga ketua Boetong Pay ini mesti
terhuyung beberapa tindak. Masih syukur untuknya, dia tidak sampai terguling
roboh.
Lagi-lagi In Boe Yang mengasi
dengar tertawanya yang nyaring dan lantang, karena sekarang ia berpikir:
"Aku tidak sangka Boetong Ngoloo ada seperti kantung nasi saja! Tie Wan
sendiri cuma dapat menyambut tiga jurusku!" Sebenarnya ia hendak menyindir
mereka itu, tempo terlihat Tie Kong bersama Tie Hong, Kok Tjiong dan Tjioe
Tong, pada berlompat bangun, bahkan dengan mengambil keletakan empat penjuru
mereka maju mengurung.
Sekarang Boe Yang memandang
enteng sekali pada kelima lawannya itu. Kata dia sambil tertawa dingin,
"Hm! Serombongan kambing menyerbu harimau galak! Apakah faedahnya jumlah
kamu yang banyak!"
Baru orang she In berkata
demikian atau mendadak ia merasakan dirinya terkurung dorongan angin yang
dahsyat. Tentu saja ia menjadi kaget sekali. Tapi ia besar nyalinya, ia tidak
takut. Dengan lantas ia membela diri dengan gerakannya "Angin hujan di
delapan penjuru", kedua tangannya bergerak memutar bundar dengan apa ia
menolak mundur serangan lawan. Kesudahannya itu, karena bentroknya tangan
mereka, empat jago Boetong itu mundur setindak dan Boe Yang terhuyung. Sebab
meski benar ia dapat menangkis, membela dirinya, satu melawan empat, ia kasih
keteter.
Baru sekarang Boe Yang
terkejut. Insaflah ia, satu lawan satu, mereka itu tidak berarti banyak tetapi
apabila mereka bergabung, mereka merupakan lawan yang tangguh. Ia memangnya
tidak mengetahui, apabila mereka bekerja sama, empat jago Boetong itu menjadi
hebat sekali, empat seperti berubah menjadi delapan.
Hanya mundur satu tindak, Tie
Hong berempat sudah mengambil pula kedudukan mereka, lagi sekali mereka maju
dengan berbareng.
Boe Yang telah merasakan
tenaga orang, sekarang ia tidak berani memandang enteng pula. Dengan lantas ia
menancap kuda-kudanya, kedua tangannya dirangkap, tidak lagi dipisah seperti
bermula tadi. Ia pun mengeluarkannya dengan perlahan. Maka sekarang tenaganya
tidak terpencar pula. Kali ini ia berhasil, ia tidak sampai terhuyung. Keempat
jago Boetong itu pun tidak dapat maju setengah tindak juga dengan penyerangan
tergabungnya itu.
Tie Wan menyaksikan itu
pertempuran, matanya jadi seperti menyala, mukanya menjadi suram. Itulah tanda
bahwa ia ada sangat gusar. Ia lantas bertindak maju, perlahan tindakannya itu.
In Boe Yang dapat melihat
sikapnya ketua Boetong Pay itu, ia mengeluh di dalam hatinya. Melawan empat
jago saja ia sudah merasakan hebat sekali. Tapi terpaksa ia mengempos
semangatnya, untuk mengerahkan tenaga di kedua tangannya itu.
"In Boe Yang,"
berkata Tie Wan Tiangloo sambil mengertak gigi, "hari ini beberapa
tulangku yang tua hendak aku serahkan padamu!" Kata-kata ini disusul sama
diulurnya tangannya yang satu, dikasi turun dari atas ke bawah.
Ancaman Tie Wan ini adalah
batok kepalanya Boe Yang. Berbareng dengan itu Tie Hong berempat juga menyerang
serentak.
Boe Yang mencoba
mempertahankan diri, ia merasakan hampir sukar bernapas. Ia tidak kalah tetapi
toh lawannya itu dapat maju satu tindak.
Tipu silat Boetong Ngoloo, ini
ialah yang dinamakan "Ngoloei Thiansim Tjianghoat," Tangan Lima
Geledek khasiatnya ialah lima menjadi satu. Dengan ini mereka berhasil mendesak
lawan, sia-sia Boe Yang mempertahankan diri, pihak lawan dapat maju sedikit
demi sedikit. Maka diakhirnya ia berpikir, tidak dapat ia bertahan terus secara
demikian.
Kembali bersinar cahaya
matanya jago she In ini. Mendadak saja dia berseru disusuli melayangnya
tangannya yang kiri diarahkan kepada Tie Hong, salah satu lawan yang paling
lemah.
Imam ini terkejut, dengan
sendirinya ia kena digertak beberapa tindak.
Menampak itu, Boe Yang girang
sekali. Maka hendak ia berlompat, untuk menerjang keluar. Tapi ia menjadi kaget
ketika ia merasakan batok kepalanya tersambar angin. Ia mengerti itulah
serangan dari belakangnya.
Memang itulah serangan Tie Wan
Tiangloo berdua Tjioe Tong, mereka itu menggunai masing-masing sepasang tangan
mereka.
Dalam kagetnya, Boe Yang
berkelit, untuk menangkis, karena mana, batal ia menerjang keluar, sebaliknya,
ia menjadi kena terkurung pula.
"Kepala, dan buntut
berantai, dari empat penjuru menyerang berbareng," Tie Wan mengasi isyarat
perlahan kepada keempat kawannya. "Jangan kemaruk untuk maju."
Tie Hong berempat mengangguk
perlahan.
Benar saja, habis itu serangan
mereka tidak sehebat tadi sebaliknya pembelaan dirinya bertambah kuat, ke mana
saja Boe Yang menyerang, ia seperti menyerang tembok yang kokoh besar. Beberapa
kali ia mencoba menerjang dengan kesudahan tanpa hasil.
Beberapa saat kemudian, kening
Boe Yang bermandikan keringat. Dari kepalanya pun menghembus hawa seperti asap.
So So cemas hatinya. Ia belum
mahir dalam ilmu tenaga dalam tetapi ia mengerti yang ayahnya sudah mengerahkan
tenaga melebihkan batas kekuatannya. Itu artinya ancaman bahaya untuk ayahnya
itu.
Selagi begitu, Boetong Ngoloo
berbareng berseru, berbareng dengan desakan mereka, serangan mereka diikuti
dengan majunya kaki satu tindak. Tie Wan Tiangloo pun menyerang dua kali dengan
beruntun.
"Kelihatannya Boe Yong
sangat terdesak, ia bagaikan tak kuat untuk membalas menyerang. Dengan begitu
kelima lawannya dapat merangsak lebih jauh.
"Walaupun kitab pedang
Boetong Pay kami dapat kau curi," berkata Tie Wan dengan dingin, "kau
yang sangat kesohor ilmunya, In Boen Yang, tidak nanti kau dapat menahan
tulang-tulang tua dari kami1 Kau sekarang akan tunduk bukankah? Hm! Kau sendiri
boleh telengas, hendak kau menghabiskan lain orang, tetapi kami orang-orang
Boetong Pay, kami bukannya bangsa jahat dan busuk, asal kau menyerah dan suka
mengangguk tiga kali kepada kami sambil menyerahkan kitab pedang itu, suka kami
berlaku murah, akan kami memberi ampun kepada jiwa cilikmu!"
Mendengar itu, kedua matanya
Boe Yang bersinar pula. Tetapi ia tidak menghunjuk kemurkaannya, sebaliknya, ia
tertawa.
"Kau bicara tentang
menghabiskan, tentang jahat dan busuk? Ha, kau justeru menyadarkan aku!"
jawabnya.
Tie Wan terkejut juga
mendengar perkataan orang itu. Ia memberi tanda kepada kawan-kawannya, ia
lantas menyerang pula dengan hebat untuk mencegah orang mendapat ketika akan
membebaskan diri.
Beberapa jurus kemudian,
dengan satu suara nyaring, pundak Boe Yang kena terhajar kepalannya Tie Kong
Tiangloo.
"Ayah!" berteriak So
So. "Bukannya kau yang membunuh kakek, mengapa kau tidak mau
menyangkal?"
Nona ini berkata demikian,
tetapi sebenarnya ia tak tahu suatu apa tentang kematian kakek luarnya itu,
hanya sebagai anak, dapat ia melihat roman ayahnya, mau ia percaya ayahnya
bukanlah si pembunuh, kalau tidak, tidak nanti tadi ia tak tahu suatu apa
tentang kematian kakek luarnya itu, hanya sebagai anak, dapat ia melihat roman
ayahnya jadi sangat mendongkol dan gusar.
Boe Yang telah terkurung, ia
sudah merasakan bogem mentah, akan tetapi ia masih dapat bersenyum, cuma
mulutnya saja yang tinggal bungkam.
Lagi satu kali terdengar suara
"Duk!" dan kali ini Tie Wan Tiangloo yang dapat menyerang dengan
jitu. Imam ini lebih lihay daripada empat kawannya, maka juga robeklah baju di
punggungnya si orang she In, hingga di punggung itu terlihat tapak tangan yang
merah.
Dengan menggunakan ilmu
It-tjie-sian, Boe Yang melawan Boe Tong Ngo Looyang mengurungnya dengan ilmu
silat Ian Tyang-hoat.
"Ayah, inilah
pedangmu!" So So berteriak. Ia memegang Koengo kiam, hendak ia menghunus
pedang itu, untuk diserahkan kepada ayahnya itu. Ia tidak dapat menonton saja
ayahnya terdesak demikian rupa. Benar Boe Yang sudah menantang tetapi dia
dikepung berlima, inilah tidak adil.
Baru sekarang Boe Yang membuka
suaranya. Ia menyahut sambil tertawa jumawa: "So So, sejak kapan
perkataannya ayahmu tak dapat dihormati!"
Justeru orang she In ini
berbicara, justeru lagi-lagi ia dirangsak. Nampaknya sekarang ia sudah tidak,
dapat mundur lagi. Justeru itu, ia berseru keras sekali, selagi berseru, sinar
matanya bentrok sama sinar mata puterinya, So So menjadi kaget dan ketakutan.
Ia melihat sinar matanya ayah itu seperti pada waktu sang ayah membinasakan
Tjio Thian Tok.
"Ayah, jangan!" anak
ini berseru, untuk mencegah.
Belum berhenti suaranya anak
ini atau Boe Yang terlihat mendak dengan kedua tangannya diturunkan ke
dengkulnya. Dengan berkelit secara demikian, serangannya ke lima tertua Boetong
Pay itu mengenakan tempat kosong. Setelah itu, tubuh Boe Yang terlihat terputar
bagaikan angin puyuh, kedua tangannya digeraki, sepuluh jarinya dipentang, lalu
di luar sangkaan, Boetong Ngoloo pada roboh terguling, tak sempat mereka itu
menjerit, pula paras muka mereka memperlihatkan roman mengerikan.
Boe Yang sudah lantas berdiri
tegar, kedua tangannya dihentikan bergeraknya. Dengan tawar ia berkata:
"Aku si orang she In tolol, tetapi akhirnya dapat juga aku menahan Boetong
Ngoloo!"
Tie Wan berlima tidak dapat
membilang suatu apa. Ada terdengar suara di tenggorokannya, tapi kata-katanya
tak keluar. Rupanya jalan darah mereka sudah tertutup.
"Ayah!" menjerit So
So, ketakutan.
"Hari ini ayahmu berlaku
sangat murah hati," menyahut ayah itu. "Coba tadi kau tidak menjerit,
mungkin aku telah melakukan satu pembunuhan besar-besaran!"
Delapan belas tahun In Boe
Yang mengeram diri di gunung Holan San, kecuali ia berhasil menyempurnakan ilmu
pedangnya, ia juga telah meyakinkan Ittjie sian, ialah ilmu totok dengan sebuah
jari tangan. Dengan ilmu totok ini, ia dapat membuatnya orang mati atau
bercacat seumur hidup, terserah kepada belas kasihannya. Boetong Ngoloo gagah,
mereka sangat mendesak, di mana ia tidak dapat menggunai pedang seperti
kata-katanya yang ia hormati, di saat sangat genting itu, Boe Yang terpaksa
menggunai Ittjie sian. Inilah tidak pernah disangka Tie Wan berlima, maka itu
robohlah mereka secara kecewa.
Setelah berdiam beberapa
detik, Boetong Ngoloo dapat juga bergerak, untuk berduduk. Mereka lantas
mengempos semangat mereka, untuk mengerahkan tenaga. Beberapa kali mereka
mencoba dengan sia-sia tidak sanggup mereka membebaskan diri dari totokan
lawannya itu. Bahkan bukan mereka merasa napasnya semakin lega, sebaliknya,
mereka nyeri. Diam-diam dinginlah hatinya lima jago ini. Mereka menyesal. Coba
mereka membiarkan Boe Yang menggunai pedangnya, mungkin mereka mati lantas,
tidak seperti sekarang, dirobohkan dan terhina, tersiksa juga.
Selagi orang mencoba akan
membebaskan diri, Boe Yang berdiam saja, melainkan matanya mengawasi dengan
tajam, menyapu mukanya semua pecundangnya itu. Baru kemudian terdengar suara
tertawanya yang dingin, yang menusuk hatinya kelima jago Boetong Pay itu.
Dengan sabar orang she In ini
merogo ke sakunya, akan mengeluarkan kitab ilmu pedang yang menjadi sumber
kerewelan itu. Setelah ini baru ia berkata, dengan suaranya yang jumawa.
"Oleh karena gara-garanya
kitab ini maka juga ahli waris Boetong Pay serta kamu sendiri sekalian tertua
dari Boetong Pay, datang berkunjung ke rumahku," demikian katanya.
"Sebenarnya aku si orang she In merasa tidak enak hati. Lantaran pihak
kamu sangat memustikakan kitab ini, baiklah, suka aku berlaku baik hati, suka
aku menyerahkannya kepada kamu. Akan tetapi Rimba Persilatan ada mempunyai ini
satu aturan. Kalau suatu ilmu diturunkan, ilmu itu harus diturunkan kepada
orang sebawahannya atau sanaknya yang terdekat, atau kepada murid yang menjadi
ahli warisnya. Aku ada satu anggauta dari Keluarga Bouw, sebagai keluarga aku
berhasil memahamkan ilmu pedangku. Sebenarnya sudah sepantasnya saja aku
menurunkan pelajaran ini kepada sanak atau ahli warisku, atau orang sebawahan,
tetapi kamu Boetong Ngoloo, kedudukanmu ada sangat mulia, tingkat derajatmu
sangat tinggi, dari itu tidak dapat aku menerima kamu sebagai orang-orang
sebawahan yang terlebih rendah derajatnya."
Boetong Ngoloo tidak bebas
lagi, walaupun merasa sangat mendongkol, terpaksa mereka bungkam. Mereka anggap
Boe Yang berbuat berlebihan, memaksai alasan, sebab dia berkeras mengaku sebagai
seorang anggauta dari Keluarga Bouw.
Terdengar pula suara angkuh
dan dingin dari In Boe Yang.
"Coba hari ini aku tidak
memandang pada anak daraku, Boetong Ngoloo, jangan kamu mengharap dapat pulang
dengan masih hidup!" demikian suaranya itu. "Gara-gara sejilid kitab
ilmu pedang, kamu menjual jiwamu di gunung belukar ini, tidakkah itu kecewa?
Karena itu lebih baiklah aku musnahkan kitab ini, supaya di belakang hari tidak
lagi ada orang yang menyontoh teladanmu ini!"
Benar-benar In Boe Yang membuktikan
kata-katanya itu. Dengan kedua tangannya yang kuat, ia merobek-robek kitabnya
itu, menjadi empat juwir, habis mana ia meremes-remesnya, maka di lain saat
hancur-leburlah kitab mustika itu, terbang dibawa sang angin.6)
Boetong Ngoloo mengawasi dengan
hati terkesiap.
Bahkan So So, saking tidak
menyangka, sudah mengeluarkan jeritan.
Boe Yang sebaliknya, tertawa
terbahak-bahak." Ia merangkap kedua tangannya.
"Mulai saat ini hingga
selanjutnya, cuma aku seoranglah yang mengetahui Tat Mo Kiamhoat!" berkata
ia nyaring. "Jikalau kamu sakit hatimu, juga kamu kuatir ilmu ini lenyap
untuk partaimu, kamu kirimkan saja Siangkoan Thian Ya yang menjadi ahli waris
kamu, suruh dia datang padaku dan mengangkat aku menjadi gurunya, aku bukan
saja akan mengajarkan dia ilmu pedang Tat Mo Kiam itu, aku juga akan mewariskan
Ittjie sian kepadanya. Dengan begitu maka jadilah dia muridku yang menerima
warisanku. Untuk partai kamu, kamu boleh memilih lain orang!"
-xxXXXxx-
Di dalam dunia Rimba
Persilatan adalah umum yang seorang menukar partai untuk mempelajari ilmu silat
partai lainnya. Tapi ini mengenai hanya orang-orang dari tingkat derajat yang
lebih muda, ialah kaum sebawahan. Untuk menerima murid yang merupakan ahli
waris dari suatu partai, itulah belum pernah terjadi. Maka itu kata-katanya In
Boe Yang terhadap Boetong Ngoloo tak lebih tak kurang daripada penghinaan
belaka. Meski begitu, tetap Tie Wan berlima tak dapat membuka mulut mereka,
tinggal mata mereka saja yang bersinar menyala, menandakan kemurkaan mereka
yang melewati batas.
So So berpaling ke lain arah,
ia tunduk, tidak dapat ia mengawasi Boetong Ngoloo.
"Ayah!.... ia memanggil.
Boe Yang tidak menanti
terhentinya suara puterinya itu. Ia merogo sakunya, untuk mengeluarkan sebuah
botol kecil. Dari dalam itu ia menuang keluar tiga butir obat pel yang warnanya
hijau. Itulah dia pel Siauwyang Siauwhoan tan, yang katanya ia telah minta dari
Kwie Tjhong Taysoe sesudah ia bercapai lelah memintanya, pel mana, yang
berjumlah enam butir, yang tiga sudah diambil So So untuk dipakai mengobati Tan
Hian Kie, maka sekarang sisanya tinggal tiga butir itu.
Dengan menggunai kuku
tangannya, Boe Yang membelah setiap butir pel itu, satu menjadi dua, dengan
begitu, semuanya sekarang menjadi enam potong. Yang sepotong ia lantas kasih
masuk ke dalam mulutnya, untuk dimamah dan ditelan. Yang lima lainnya ia
serahkan pada anaknya.
"Kau berikan ini sepotong
kepada setiap tua bangka itu," katanya, tawar. "Seranganku barusan
tidak hebat, berselang tiga hari, kesehatan mereka akan pulih kembali, ilmu
silat mereka pun tidak termusnah."
So So menyambuti obat itu, ia
bertindak kepada Boetong Ngoloo.
Dadanya Tie Wan Tiangloo
bergerak naik turun tenggorokannya berbunyi nyaring, sedang kedua matanya
mendelik. Itulah tanda yang dia ada sangat gusar, karena mana, tak sudi ia
menerima obat itu. Bukankah mereka ada orang-orang dengan kedudukan sangat
tinggi? Mana dapat mereka menerima budinya In Boe Yang? Kalau kejadian itu
sampai tersiar dalam dunia kangouw, di kalangan Sungai Telaga, kemana mereka
mesti menaruh muka mereka? Tentu sekali, karena itu, tidak dapat mereka
memusuhkan pula pada Boe Yang.
So So adalah seorang nona yang
polos, belum tahu ia pantangan kaum Rimba Persilatan seperti itu, ia cuma
ketahui, tanpa obat itu, Boetong Ngoloo bakal jadi orang bercacat. Ia pikir di
dalam hatinya: "Mereka sudah tua, dengan tidak memakan obat ini, kecuali
bercacat, ada kemungkinan mereka nanti mati karenanya. Tidakkah itu akan
menambah hebatnya kedosaan ayah?" Karena ini ia tidak memperdulikan
penolakan kelima jago itu.
Lihay nona ini dengan tangan
kirinya, ia menekan, maka di luar keinginannya, Tie Wan membuka mulutnya, maka
dengan dibarengi, masuklah obat ke dalam mulutnya itu, di mana, dalam sekejab,
obat itu lumer, tertelan masuk ke dalam perut. Tapi si nona kuatir obat belum
termakan, ia menarik kepala orang hingga melenggak dan ia menggoyang-goyangnya
juga. Secara begini, umpama kata Tie Wan hendak memuntahkannya, pun tidak
dapat. Kemudian dengan bergantian ia cekok juga empat jago lainnya. Hingga
semua jago-jago itu terpaksa memakan obat itu, hingga terpaksa juga mereka
menerima budinya In Boe Yang!
In Boe Yang tertawa riang
gembira.
"Bagus! Bagus!" ia
memuji gadisnya. Ia puas sekali.
Cuma sebentar Boetong Ngoloo
sudah lantas dapat menarik napas, setelah mana mereka mengawasi satu pada lain,
mata mereka sayup-sayup, roman mereka sangat lesuh. Sangat menyedihkan sikap
mereka itu.
So So memandangi orang. Ia
merasa heran.
"Tentulah mereka malu
karena mereka dikalahkan ayah," pikirnya. Kemudian ia berkata pada
ayahnya: "Ayah, mereka sudah makan obat, biarkan mereka beristirahat
sebentar. Mari kita pulang, supaya mereka dapat bersamedhi dengan tenang."
Boe Yang tertawa.
"So So, kau sangat
menahui orang, katanya.
Boe Yang hendak meluluskan
ajakan gadisnya itu untuk pergi pulang, ketika kupingnya mendengar suara
beradunya tongkat besi kepada tanah. Ia memasang kupingnya, lantas ia tertawa.
"Mungkinkah ada lain
orang lagi yang tak takut mampus datang juga ke mari untuk meminta kitab ilmu
pedang!" bilangnya.
Boleh dibilang belum berhenti
suaranya jago ini, di sana nampak orang yang berjalan dengan tongkat besi,
dengan tongkatnya itu terus mengasi dengar suaranya, sebab setiap tindak,
tongkat itu dipakai menotok tanah.
Melihat orang muncul dari
tikungan, So So lantas saja kaget.
Semakin dekat orang itu
datang, semakin nyata terlihatnya ia.
Dialah seorang dengan kumis
atau berewok kusut bagaikan rumput, mukanya ditutup topeng hitam hingga di
samping kupingnya. Berewoknya itu muncul dari bawah topeng. Di sebelah itu, dia
mempunyai hanya sebelah tangan yang utuh, sebab tangan kirinya buntung sebatas
sikut dan ujung sikutnya itu nonjol tajam. Rupanya tangannya itu bekas orang
tabas kutung separuhnya. Tulang sikut yang tajam itu diikati pita merah. Sudah
tangan kiri orang buntung, juga kaki kirinya pincang, kaki itu tak dapat
menginjak tanah, terpisah kaki itu dari tanah ada sekira tiga dim. Karena itu,
untuk dapat berjalan ia mengandali kaki kanannya dengan ketiaknya ditunjang
tongkat besinya itu yang terus memperdengarkan suara, sebab tongkat itu adalah
ganti kaki pincangnya itu. Sudah romannya luar biasa, juga pakaian orang itu
beda daripada dandanan kebanyakan orang. Dia memakai baju makwa, baju pendek
seperti rompi, yang melapiskan baju panjangnya. Makwa itu berwarna biru, dan
jubahnya tersulam, bahannya bahan mahal, bukan saja bersih tetapi juga masih
baru sekali. Hanya aneh, pada itu ditambahkan tujuh atau delapan tambalan,
sedang bahan tambalannya itu ada kain-kain tua dan robek dari pelbagai warna.
Maka dialah seorang tidak keruan, yang agaknya mendatangkan rasa jemu...
In Boe Yang melengak setelah
ia mengawasi orang itu, agaknya ia heran dan kaget.
"Sahabat, adakah kau
Tokpie Koayto yang menyebut dirimu Poantian Sinkay?" ia lantas menegur
suaranya membentak.
Boe Yang benar menyekap diri
di dalam gunung, akan tetapi ia bukannya sama sekali tak pernah bepergian.
Setiap beberapa tahun sekali suka juga ia turun gunung, dari itu pendengarannya
tidak budek sama sekali. Demikian kira lima atau enam tahun yang lalu, ia
mendengar kabar bahwa di dalam Hek Too, yaitu Kalangan Hitam, di propinsi
Siamsay Utara, telah muncul seorang begal tunggal yang luar biasa macam dan
tindak-tanduknya. Begal itu biasa menyaterukan kaum piauwsoe, tukang mengantar
dan melindungi barang atau uang dan pembesar negeri, bahwa belum pernah dia
suka memperlihatkan wajahnya, bahwa dia sangat berkepala besar. Mungkin
disebabkan cacatnya itu, sebelah tubuhnya tak utuh lagi, maka dia menamakan
dirinya Poan-tian Sinkay, si Pengemis Sisa. Di Kalangan Hitam dan Putih, dia
dikenal sebagai Tokpie Koayto, begal aneh yang bertangan satu. Sebenarnya
pernah Boe Yang menghendaki mencari dia, untuk belajar kenal, akan tetapi sebab
orang menyembunyikan diri, ia tidak peroleh kesempatannya. Maka aneh, sekarang
si begal aneh itu muncul sendirinya.
Mendengar suaranya Boe Yang
itu, Boetong Ngoloo pun terkejut, hingga mereka turut
mengawasi.
"Hm! Hm!" orang
bercacat itu mengasi dengar suaranya yang dingin. Lantas dia tertawa hingga dua
rintasan. Itu artinya dia menyangkal tegurannya Boe Yang.
"Kau datang ke mari,
tuan, apakah maksudmu?" Boe Yang menanya pula. Ia tidak memperdulikan
sikap jumawa dari orang itu.
"Akulah leluhurnya
bangsat!" orang itu menyahuti. "Aku datang kepada kau, maling kecil,
untuk minta kau menunjuki hormatmu padaku, untuk kau menghadiahkan
sesuatu!"
Dengan lantas Boe Yang menjadi
gusar.
"Kau menghendaki hadiah
apa?" dia menanya.
Orang itu tertawa dingin,
seram suaranya.
"Kau sudah mencuri kitab
ilmu pedang dari Bouw Tok It," sahutnya, "kau telah pakai itu selama
delapan belas tahun, apakah tempo itu belum cukup lama? Maka sekarang lekas kau
serahkan kitab itu padaku!"
Boe Yang kaget. Tentang kitab
itu adalah semacam rahasia, maka aneh, mengapa pengemis aneh itu mendapat tahu
itu? Tapi karena ia seorang berani dan sudah berpengalaman, ia tidak
mengentarakan sesuatu, cuma tercengang sebentar, lalu ia bersikap biasa lagi.
Ia tertawa terbahak.
"Tuan, dengan tubuhmu
semacam ini, apa perlunya kau dengan kitab itu?" ia menanya. "Tuan
menamakan dirimu Setengah Sisa, sudah selayaknya saja apabila kau tahu diri
sendiri! Apakah kau hendak menggunai senjata pedang? Itulah tidak dapat kecuali
kau menitis pula menjadi satu orang lain!"
Ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat
ada ilmu pedang luar biasa, cara bagaimana itu dapat dipelajari oleh seorang
yang tangannya buntung dan kakinya pincang? Boe Yang mengatakan benar, hanya
dia terlalu menghina orang.
So So pun jemu terhadap si
cacat itu, tetapi ia juga merasa ayahnya terlalu menghina. Maka pikirnya.
"Meskipun dia agaknya jumawa, tetapi dia bercacat, dia harus dikasihan
juga. Kenapa ayah menghina dia?"
Biasanya, kalau seorang
bercacat disebut-sebut cacatnya, dia suka menjadi tidak senang bahkan gusar,
akan tetapi aneh adalah si buntung dan pincang ini, dia sama sekaii tidak
gusar. Cuma kedua matanya, yang sinarnya molos dari topengnya, kelihatan
bercahaya tajam.
"Aku sendiri tidak dapat
memakai pedang karena cacatku tetapi muridku dapat," ia berkata, memberi
keterangan. "Sebenarnya dia sendiri yang hendak datang padamu untuk
merampas kitab itu, hanya karena dia sabar, dia dapat menunggu waktu. Adalah
aku sendiri yang tidak dapat menunda hingga sepuluh tahun lagi, maka sekarang
aku datang memintanya barang curian itu. Aku anggap inilah cuma perbuatan
memindahkan tangan saja untuk menghadiahkan murid!"
Baik kelakuannya, maupun cara
bicaranya, manusia bercacat ini bertambah luar biasa, benar suaranya itu
dibikin tajam, tetapi Boe Yang rasa-rasanya mengenali suara orang itu,
melainkan tak ingat, siapa orang ini dan di mana ia pernah bertemu denganya. Ia
jadi berpikir keras untuk mengingat-ingatnya. Dengan mata tajam ia mengawasi
mata orang, ia maju setindak lebih dekat.
"Siapakah itu
muridmu?" ia tanya, keras. "Siangkoan Thian Ya!"
Jawaban pun keras, bahkan
membuat Boe Yang melengak bahna heran.
So So tidak kurang herannya,
hingga ia berpikir. Berhubung dengan perkenalannya dengan Tan Hian Kie, si nona
pun jadi berkesan baik terhadap pemuda she Siangkoan itu. Pikirnya: "Thian
Ya orang macam apa, mustahil dia kesudian menjadi muridmu!" Tetapi dia
halus budi-pekertinya, biarpun ia mendongkol, tidak mau ia mencaci atau menegur
pengemis aneh itu. Ia berdiam saja.
Sebaliknya adalah Tie Wan
Tiang-loo. Bukankah orang menyebut-nyebut ahli waris dari Boetong Pay itu?
Kenapa pengemis ini mengaku ahli waris itu sebagai muridnya? Biar ia menjadi
imam, setelah sekarang pulih kesehatannya, ia menjadi gusar dan tak dapat
mengendalikan diri.
"Ngaco belo!" ia
membentak. "Siangkoan Thian Ya adalah ahli waris Boetong Pay, dia menjadi
Tjiangboendjin, berdasarkan apa kau, si jelek ini, berani mengambil dia sebagai
muridmu?"
Orang tanpa daksa itu tertawa,
dingin tertawanya.
"Meskipun aku jelek akan
tetapi dibanding dengan kamu beberapa orang tua pendusta, aku masih jauh lebih
baik!" katanya. "Siangkoan Thian Ya demikian lunak, dia sendiri ingin
mengangkat aku menjadi guru, apakah dengan begitu kamu mau menganggap aku tidak
mempunyai murid dan hanya hendak merampas Tjiangboendjin-mu? Hm!"
Mata Tie Wan membelalak,
hampir-hampir dia pingsan. Tak terkira kemurkaan dan kemendongkolannya itu.
Ketika itu, In Boe Yang
menyelak. Tiba-tiba saja ia ingat akan sesuatu.
"Kau telah datang kemari,
apakah kau masih tidak hendak memperlihatkan wajahmu kepada sahabat lama?"
demikian tanyanya dengan lantang. Kata-kata ini disusul lompatannya yang gesit
serta sambaran tangannya yang sebat, guna menjambret topeng si pincang yang
buntung itu.
In Boe Yang lihay sekali,
jarak di antara mereka juga cuma beberapa kaki, menurut pantas, tidak nanti ia
gagal dengan serangannya itu akan tetapi kenyataannya lain sekali. Adalah di
luar dugaan, bahwa meski juga kakinya buntung, si pengemis aneh itu gesit luar
biasa. Dengan tongkat besinya diketukkan pada tanah hingga bersuara nyaring
tahu-tahu tubuhnya telah melesat setombak lebih, loloslah ia dari cengkeraman
si orang she In.
Saking heran, So So sampai
menjerit.
"In Boe Yang, kau ingin
melihat wajahku yang asli?" tanya si orang aneh, suaranya dingin.
"Hm, mana aku masih mempunyai wajahku yang asli untuk diperlihatkan
kepadamu? Tapi biarlah kau ingin melihatnya, terserah padamu, hanya aku kuatir
kau nanti merasa tidak enak hati!..."
In Boe Yang menatap wajah
orang itu. Begitu juga So So dan Boetong Ngoloo, mereka turut mengawasi. Mereka
pun ingin sekali mengetahui siapa dia itu.
Si orang aneh mengangkat
tangannya ke mukanya, dengan perlahan ia merabah topengnya, begitu lekas topeng
itu disingkirkan, begitu juga hati Boe Yang bergoncang, sedang si nona lantas
menutupi mukanya. Boetong Ngoloo, yang tak kurang herannya, mengawasi dengan
bengong, hati mereka giris.
Pengemis dengan kaki dan
tangan kutung itu benar-benar istimewa wajahnya, jelek bukan main. Sungguh di
luar dugaan siapa juga. Muka itu penuh tanda luka, yang malang melintang, umpama
kata bagaikan jalan perapatan. Dimata So So dan Boetong Ngoloo, wajah itu jelek
dan menakutkan, di mata In Boe Yang, lebih daripada itu.
Boe Yang adalah ahli pedang
nomor satu pada jamannya itu, matanya tajam melebihi orang lain, maka ia dapat
melihat dengan tegas bahwa tapak itu adalah bekas guratan ujung pedang yang
lancip tajam. Guratan itu mirip dengan tjodjie, tulisan cepat dan singkat oleh
seorang ahli, meski guratannya tampak kacau, toh ada jalannya. Demikian tapak
itu, tidak terlihat hingga ditulang-tulang pipi, tidak juga merusak mata dan
hidung. Boe Yang berpikir, kalau ia yang membuatnya, tidak nanti ia dapat
menggurat seperti itu. Maka, siapakah si ahli pedang yang mencacah muka si
pengemis aneh ini?
"Bagaimana?" tanya
si pengemis, dengan dinginnya. "Kau tidak mengenali aku? Ia pun tertawa
mengejek."
Boe Yang segera
memperdengarkan suaranya, yang seperti gerutuan.
"Kaulah Giokbin Hiapkay
Pit Leng Hong!" dia menjawab agak ragu-ragu.
So So telah menutup mukanya,
akan tetapi mendengar suara ayahnya, ia mengasi turun kedua tangannya, ia
membuka matanya sedikit, untuk mengintai. Ia masih tidak berani memandangi
orang dengan kedua matanya dipentang lebar-lebar. Dalam herannya, kata dalam
hatinya: "Manusia begini aneh tetapi demikian indah julukannya....
"Giokbin Hiapkay"
itu berarti Pengemis Pendekar Muka Kumala.
Memang juga, pada duapuluh
tahun dulu, Pit Leng Hong adalah seorang priya yang tampan sekali, karenanya,
ia memperoleh julukannya itu. Hanya karena hidup sebagai pengemis yang gagah
dan murah hati, ia dapat tambahan Hiap Kay itu, Pengemis Pendekar. Kakaknya
ialah Pit Leng Hie, ialah satu di antara tiga orang gagah luar biasa di bawahan
Thio Soe Seng. Mereka itu bertiga ialah, Tjeng Too Kay," artinya pendeta,
si imam, dan si pengemis. Dua yang lain si pendeta dan si imam ialah Peng Eng
Giok dan Tjit Sioe Toodjin. Sedang Pheng Eng Giok itu, bersama-sama Tjio Thian
Tok dan In Boe Yang adalah yang dikenal sebagai Houw Hong Samkiat," ialah
si Naga, si Harimau, dan burung Hong.
Enam jago itu sama
tersohornya, hanya di dalam hal kedudukan, Pheng Eng Giok melebihkan lima yang
lainnya inilah disebabkan Pheng hweeshio ini berbareng menjadi gurunya Tjoe
Goan Tjiang dan Thio Soe Seng. Pit Leng Hie berada bersama dalam pasukan
tentara, ia mengagumi Pheng Hweeshio, ia pun minta diangkat menjadi murid, maka
ia terhitung murid yang ke tiga. Kepandaiannya Pit Leng Hong ini didapat dari
Pit Leng Hie, kakaknya, dengan begitu, meskipun secara tidak langsung, ia pun
mewariskan kepandaiannya Pheng Eng Giok, hingga untuk menjunjung paderi itu, ia
mengaku ialah murid Eng Giok. Leng Hong ada seorang bebas, tidak kerasan ia
berdiam dalam pasukan tentara, ia ceburkan diri dalam dunia pengemis. Ia tidak
bergaul rapat dengan In Boe Yang, tetapi mengingat persahabatan Boe Yang dengan
kakaknya, dulu hari itu mereka toh mengaku saudara satu dengan lain. Satu tahun
di muka keruntuhannya Thio Soe Seng, mereka berdua telah berpisahan, maka itu,
dengan pertemuannya hari ini, sebenarnya mereka sudah berpisah sembilan belas
tahun.
Sekarang, melihat romannya
orang itu, Boe Yang heran sekali. Ada dua hal yang ia tak dapat memikirnya. Tak
seberapa orang yang bisa melawan Leng Hong, maka siapakah itu orang kosen yang
dapat menaklukannya dan mencacah mukanya sedemikian rupa? Kenapa dia tidak
dibunuh saja? Dan ke dua yaitu, dulu-dulu Pit Leng Hong menghormati ia, kenapa
sekarang si pengemis aneh ini datang dengan tingkah polanya yang sangat
memandang enteng terhadapnya, bahkan menyebut diri "si bangsat kecil"
dan berani meminta kitab ilmu pedang padanya? Mungkinkah, karena wajahnya sudah
berubah tabiatnya turut berubah juga?
Mungkinkah, karena dia
mengetahui rahasianya, dia jadi berani datang untuk memeras?
Mengingat itu semua, Boe Yang
menjadi mendongkol.
"Sudah sembilan belas
tahun kita tidak bertemu satu pada lain," katanya, sengit, "sekarang
kau datang kepadaku, apakah maksudmu cuma menghendaki kitab ilmu pedang?"
Pit Leng Hong menjawab tawar:
"Aku telah menerima seorang murid baru, sudah seharusnya jikalau aku
menghadiahkan sesuatu kepadanya. Oleh karena kitab itu asalnya ialah miliknya,
maka jikalau aku tidak mencari kau, aku mesti cari siapa lagi?"
Boe Yang menepuk tangan.
"Ha, sayang kau telah
datang terlambat satu tindak!" katanya tawar. "Kitab itu baru saja
aku robek hancur! Jikalau Siangkoan Thian Ya berniat mempelajari ilmu silat
pedang, suruhlah dia menghadap aku."
Pit Leng Hong tetap tertawa
dingin.
"Justeru karena Siangkoan
Thian Ya tidak sudi belajar padamu, ia jadi sudah mengangkat aku menjadi
guru!" ia bilang. "Baiklah karena kitab sudah dibikin rusak, aku
sekarang hendak meminta serupa barang darimu untuk aku tetap dapat
menghadiahkan dia!"
Kata-kata ini ditutup sama
tekanan tongkat besinya ke tanah dan jejakan kakinya yang utuh, dengan begitu
tubuhnya jadi mencelat ke arah So So, berbareng dengan mana, tangannya diulur
untuk merampas pedang di tangan si nona.
So So kaget hingga ia tak
sempat menjerit.
Pit Leng Hong demikian gesit,
gesit juga In Boe Yang. Begitu si pengemis mencelat ia mencelat juga, di saat
tangan si pengemis diulur, tangannya di pakai untuk menyerang tangan orang itu
seraya ia membentak: "Pit Leng Hong, kau berani berlaku begini kurang
ajar?"
Hebat serangannya Boe Yang
tetapi serangan itu tidak mengenai sasarannya. Dengan kesebatannya, Pit Leng
Hong dapat menghindarkan diri, meskipun betul dengan begitu menjadi batal
merampas pedang si nona.
"Kau juga mendapati
pedang Koengo kiam ini dengan jalan mencuri!" berkata si pengemis,
suaranya terus-menerus dingin. "Kau mencurinya dengan terang-terangan, aku
dengan jalan merampas. Karena perbuatan kita sama sifatnya, cara bagaimana kau
berani membilang aku kurang ajar?"
Hatinya So So baru tenang atau
sekarang ia menjadi heran, sampai ia tercengang. Aneh kata-katanya pengemis
ini. Kenapa dia ketahui namanya pedangnya itu dan ketahui juga ayahnya
mendapatnya dari mencuri? Ia lantas ingat halnya pertama kali ia bertemu sama
Tan Hian Kie, pemuda itu telah tanya ia, apa pedang itu pusakanya atau bukan...
Mungkinkah... mungkinkah benar pedang ini asal curian? Hanya, semenjak ia
kecil, ia ketahui pedang itu sudah ada di rumahnya dan ayahnya pernah
membilang, pedang itu untuk selama-lamanya adalah pusaka Keluarga In.
Tidak berhenti sampai di situ
pikirannya nona ini. Kalau benar pedang asal curian, setelah berselang begitu
banyak tahun, kenapa pemiliknya tidak pernah datang untuk mencari atau
memintanya pulang? Mungkinkah pemilik itu telah dibinasakan ayahnya?
"Ah, mungkinkah ini ialah
itu kedosaan besar yang disebutkan ayah kedosaan tak berampun?" ia berpikir
lebih jauh.
Tapi lekas juga berubah lagi
pikirannya itu. Si pemilik pedang mesti bukan sembarang orang, andaikata benar
ayahnya mencuri pedangnya itu dan membunuh si pemiliknya, mustahil dalam dunia
Rimba Persilatan tidak timbul gelombang dahsyat sebagai akibatnya? Seharusnya
sahabat-sahabat si pemilik pedang bergerak untuk menghukum atau memintanya
pulang, tidak nanti mereka berdiam saja. Adalah aneh hari ini si pengemis
datang memintanya.
Bingung So So, hingga ingin ia
lekas-lekas mendapatkan pemecahannya. Lupa kepada si pengemis yang romannya
menakuti itu, ia lantas berpaling kepada ayahnya dan mengawasinya. Ia ingin
ketahui bagaimana ayahnya akan bertindak terhadap pengemis itu. Memandang
ayahnya, kembali ia dibuatnya heran.
In Boe Yang memperlihatkan
roman dan sikap yang tak biasanya. Dia berdiri diam seperti orang yang kena
tertotok jalan darahnya. Sudah sebelah kakinya menindak atau tindakannya itu
batal. Kulit mukanya menjadi tegang dan matanya bersinar tajam. Agaknya ia
terbenam dalam keragu-raguan.
Tiba-tiba saja Boe Yang
berseru: "Pit Leng Hong, lekas kau menyingkir! Kalau kau berlambat satu
detik saja, aku bakal tak dapat menguasai diriku lagi!"
Suara itu bergemetar, sepuluh
jari dari kedua tangannya bergerak-gerak, dilempangkan dan ditekuk bergantian,
hingga terdengar suaranya meretak. Kelihatannya jago ini seperti hendak
melakukan pembunuhan.
So So kaget dan takut, hatinya
menjadi dingin. Melihat sikap ayah itu, mungkin pedang itu mempunyai asal-usul
aneh. Kalau tidak, mengapa si ayah jadi berkelakuan sebagai seekor binatang
liar yang kena terluka? Bukankah kata-katanya si pengemis aneh mirip dengan
tusukan anak panah?
Si pengemis tidak takut, dia
bahkan tertawa tergelak.
"In Boe Yang, kau hendak
membunuh aku?" tanyanya. "Jikalau aku takut, tidak nanti aku datang
ke mari? Benarkah kau menganggap, setelah mendapatkan kitab pedang dan
membinasakan Tjio Thian Tok, kau pandang dirimu sebagai ahli pedang nomor satu
di kolong langit ini? Selagi masih ada muridnya Pheng Hweeshio di sini, aku kuatir
tidak dapat kau bertingkah pola!"
"Kalau Pheng Weedio
berada di sini, mungkin aku takuti dia tiga bagian," berkata Boe Yang.
"Sekarang ini, walaupun kakakmu hidup pula aku tidak takut! Kau sendiri,
kau makhluk apakah?"
Meluap hawa amarahnya orang she
In ini hingga ia mengibas dengan tangannya, jari tangannya bergerak bagaikan
orang mementil piepee. Itulah sikap penyerangan dengan Ittjie sian, Jari
Tunggal.
Pit Leng Hong tetap tidak
jeri.
"Jikalau kau tidak
menggunai pedang, juga aku tidak akan memakai senjata!" katanya sama
dinginnya. Dia lantas menancap tongkatnya di tanah, tangannya itu terus
diputar, untuk memapaki serangan.
Boetong Ngoloo telah
menyaksikan jari tangan lihay dari In Boe Yang, mereka telah merasainya, maka
heran mereka untuk keberaniannya si pengemis pincang dan buntung ini.
"Mustahilkah pengemis ini
mengerti ilmu sesat hingga ia tak takuti Ittjie sian?" tanya mereka di
dalam hati.
Atas tangkisan lawan, In Boe
Yang berubah paras mukanya, tangannya segera ditarik pulang, batal ia menyerang
dengan jari tangannya, tetapi ia membuka telapakan tangannya, untuk menyambuti
tangan orang.
Tidak ampun lagi, kedua tangan
bentrok satu pada lain. Nampaknya kedua pihak mengerahkan habis tenaga mereka,
tetapi ketika kedua tangan bentrok, tidak terdengar suara apa juga, tangan si
pengemis lembek bagaikan getah.
Boetong Ngoloo heran, hingga
mereka mengawasi dengan mendelong.
Nyatanya Pit Leng Hong
mempunyai kepandaian melemaskan tangan seperti kapas maka juga tangannya In Boe
Yang mengenai suatu barang seperti lumpur, bukan saja tenaganya jadi tidak
berdaya bahkan sebaliknya, tangan itu seperti kena tersedot. Ittjie sian bisa
menutup jalan darah, tetapi kali ini, punahlah khasiatnya itu. Karena itu, ia
mengubah tangannya menjadi terbuka.
"Gunailah kedua tanganmu
berbareng!" Pit Leng Hong berseru, menantang.
"Hm!" In Boe Yang
mengasi dengar ejekannya. Ia tidak memperdulikan tangan itu, ketika ia
menyerang kembali ia menggunai sebelah tangannya.
Hanya sebentar saja, Boe Yang
lantas mengeluarkan keringat dingin pada jidatnya.
Mendadak dia berseru:
"Ha, kiranya kaulah yang merusak pintu guha dari kamar samedhiku
ini!"
Pit Leng Hong tertawa.
"Telah aku
membilangnya!" jawabnya. "Kau tidak mau percaya, habis apa aku bisa
bilang? Jikalau aku tidak menghajar pintu guhamu, cara bagaimana aku dapat
membawa pergi Siangkoan Thian Ya?"
So So heran bukan main.
Walaupun ia tidak percaya, ia toh mesti percaya keterangan pengemis ini. Memang
aneh menghilangnya Thian Ya.
Boetong Ngoloo juga heran
bukan kepalang. Melihat begini, mestinya In Boe Yang bakal menemui batunya.
Mereka heran berbareng girang. Betapa tidak girang melihat lawannya yang
tangguh itu bakal roboh? Mereka tidak meminjamnya toh mereka seperti meminjam
juga tangannya manusia aneh ini. Hanya dingin hati mereka kapan mereka ingat si
manusia aneh memaksai Thian Ya, tjiangboendjin mereka menjadi muridnya...
Sebenarnya dalam ilmu dalam,
Boe Yang menang daripada Pit Leng Hong, kalau sekarang ia keter, itulah
disebabkan ia telah mengeluarkan tenaga terlalu banyak di waktu menempur
Boetong Ngoloo, sebab Ngoloei Thiansim tjiang dari kelima jago Boetong hebat
sekali. Coba ia tidak telah makan pel Siauwhoan tan, mungkin ia tak dapat
bertahan begitu lama.
Lagi beberapa saat, keringat
di jidat Boe Yang menjadi titik-titik besar.
"Gunai kedua tanganmur
Pit Leng Hong berkata pula seraya ia tertawa dingin.
Memang Boe Yang tidak hendak
menggunai dua-dua tangannya. Bukankah ia lagi menghadapi seorang tanpa dakpa,
yang kaki dan tangannya tinggal sebelah? Ia percaya ketangguhannya sendiri, ia
pun merasa malu. Sekarang? Sekarang ia menjadi bersangsi. Ia tahu bahwa ia
sudah mengeluarkan banyak sekali tenaga, maka umpama kata ia menggunai dua-dua
tangannya, belum tentu ia berhasil. Tapi ia tidak dapat tidak berdaya. Maka ia
tertawa dingin dan berkata: "Inilah kau yang menghendaki sendiri!"
"Kau gunailah kedua
tanganmu, mati pun aku tak menyesal!" menyahut Leng Hong.
Tanya ayal lagi, Boe Yang
merangkap kedua tangannya. Inilah serangan yang dapat menggempur batu.
Tubuh Pit Leng Hong, yang
ditahan cuma oleh sebelah kakinya, lantas bergoyang-goyang tak hentinya,
bergerak ke depan dan ke belakang, ke kiri dan kanan, tubuhnya itu mirip sebuah
perahu kecil di antara damparan gelombang.
So So menyaksikan itu, biar
bagaimana ia merasa jemu, ia toh berkasihan juga. Bukankah orang bercacat,
tinggal sebelah kaki dan sebelah tangannya? Karena ini hendak ia menyerukan
ayahnya, untuk memberi ampun. Atau mendadak ia melihat paras ayahnya itu
berubah. Lenyap keringat dari jidat si ayah, sebaliknya di situ nampak tegas
urat-uratnya yang biru.
Meskipun ia merasa heran, si
nona masih tidak percaya yang ayahnya lagi terancam bahaya. Karena itu, ia
batal meneriaki ayahnya itu.
Hebat tenaga tangannya si
pengemis aneh. Begitu dahsyat kedua tangannya Boe Yang, tangan itu seperti batu
melebas di dalam air, hilang tanpa bekas-bekasnya. Sudah begitu dari tangan si
orang aneh telah keluar hawa dingin yang merembas ke dalam tangan lawannya,
menembus ke ulu hati. Boe Yang kaget hingga ia mesti mengempos semangatnya,
untuk mempertahankan diri, meski begitu ia masih merasakan tak sanggup...
Pit Leng Hong merasa puas
sekali, ia tertawa lebar. Karena tertawanya itu, wajahnya nampak jadi semakin
luar biasa. Cuma satu kali ia tertawa, lalu ia berkata dengan suaranya yang
dingin: "Jikalau kau menghendaki jiwamu, serahkan pedang itu!"
So So, yang memegangi pedang,
maju dua tindak.
"Ayah, kasihlah
dia!" ia berkata kepada ayahnya. Ia putus asa. Biar bagaimana, ia
menyayangi ayahnya itu.
Matanya Boe Yang bersinar
memandangi puterinya. Itulah sinar dari mengasihani dan teguran. Sang anak
mengerti. Mau atau tidak, ia terpaksa mundur pula.
Dengan tiba-tiba terdengar Boe
Yang membentak, kedua tangannya ditarik pula, lalu dimajukan kembali. Di
belakang telapakan tangannya dan di jidatnya juga, terlihat otot-ototnya yang
menonjol keluar. Agaknya ia tengah mendorong barang berat ribuan kati.
So So ketahui baik yang
ayahnya sudah mengerahkan semua tenaga dalamnya. Itulah hebat.
Tubuh Pit Leng Hong kembali bergoyang,
senyuman pada mukanya lenyap seketika, tetapi meskipun demikian, kaki
tunggalnya itu tetap bertahan di muka bumi, bagaikan terpaku kokohnya.
Lewat lagi sesaat, Pit Leng
Hong pun menjadi seperti Boe Yang, peluhnya keluar mengucur. Hanya berbareng
dengan itu, kulit mukanya Boe Yang berubah menjadi matang biru.
Selagi dua jago ini bertempur
hebat, mengadu tenaga dalam mereka, Boetong Ngoloo berdiam bersamedhi, mereka
bercokol di tanah untuk mempulihkan tenaga mereka. Cuma mata mereka yang terus
mengawasi, mata mereka itu mengeluarkan sorot heran dan ngeri.
Memang juga Pit Leng Hong dan
In Boe Yang sudah mencapai taraf yang akan memutuskan pertarungan mereka itu.
Itu artinya mereka mati atau hidup, atau sedikitnya terluka parah. Tenaga dalam
Boe Yang kumpul di ujung jari tangannya, dari situ keluar hawa panas. Itulah
hawa panas untuk menahan serangan hawa dingin dari tangannya Pit Leng Hong,
hawa untuk membalas menyerang.
Sudah terang Leng Hong kalah
tenaga dalam, sebab ia dapat pelajarannya Pheng Hweeshio dengan parantaraan
kakaknya, Pit Leng Hie. Bahwa sekarang ia dapat melawan, itulah disebabkan In
Boe Yang sudah terlalu letih habis menempur Tjio Thian Tok dan Boetong Ngoloo,
semuanya lawan yang tangguh luar biasa.
Kembali sang waktu berjalan
lewat. Dari samar-samar, warna matang biru di mukanya Boe Yang menjadi terlihat
tegas. Sekarang dia mengeluarkan pula keringat sebesar kedele. Karena ini,
bajunya mulai demak. Dari sinar matanya, yang layu, nyata ia sudah letih luar
biasa.
Sampai di saat itu,
sekonyong-konyong Pit Leng Hong berseru secara aneh tangannya ditolakkan
perlahan ke depan.
Boe Yang menggunai dua-dua
tangannya tapi agaknya ia tak dapat bertahan. Ini ternyata dari kedua
tangannya, yang mulai melengkung.
Di saat sangat genting itu, tiba-tiba
saja Kok Tjiong dari Boetong Ngoloo berlompat bangun sambil ia menjerit hebat:
"Kiranya kau si makhluk aneh yang membinasakan guruku!"
Seruan itu tidak cuma membikin
So So menjadi bingung bahna tidak mengertinya, juga Boe Yang menjadi heran sekali.
Maka juga orang she In ini berkata di dalam hatinya: "Kelakuannya Pit Leng
Hong hari ini memang sangat aneh. Dulu dia dikenal sebagai Kayhiap, pendekar
pengemis, dengan mertuaku, dia tidak ada hubungannya, maka itu, kenapa dia
bolehnya membunuh mertuaku itu? Tadi Kok Tjiong menuduh aku, kenapa sekarang ia
berbalik menuduh Leng Hong?"
Boe Yang memang gelap untuk
semua itu.
Kematiannya Bouw Tok It
diliputi suasana terahasia. Ketika itu Kok Tjiong memang seperti mendampingi
gurunya itu. Itulah waktu tengah malam yang Kok Tjiong mendengar suara gurunya
lagi bertempur sama seorang yang ia tidak kenal. Ia lari memburu tetapi musuh
itu sudah mengangkat kaki, tinggal gurunya, yang sudah tidak mampu berbicara,
muka guru itu matang biru, warnanya itu sama dengan mukanya In Boe Yang
sekarang. Karena inilah maka ia menuduh Leng Hong.
Kok Tjiong tidak cuma berseru,
dia pun berlompat maju untuk menyerang. Perbuatannya ini disusul oleh empat
saudaranya, yang maju dengan berbareng. Mereka mengambil sikap mengurung,
sepuluh jari tangan mereka mengarah satu jurusan. Mereka ini belum pulih
seanteronya tetapi Ngoloei Thiansim tjiang dasarnya hebat, tak dapat itu
dipandang enteng.
Diserang secara mendadak
demikian macam, Pit Leng Hong berseru sambil kaki tunggalnya berputar, membawa
badannya, menyusul mana badannya itu lompat mencelat berjumpalitan, selagi
tubuhnya itu seperti tergantung di udara, kakinya terus menendang, ujung
kakinya mencari jalan darah pethay di iganya Tie Hong, sedang tangan kanannya,
yang utuh itu, menyambar tempelengan Tie Kong Tiangloo. Tangan kirinya buntung,
tetapi tangan itu masih ada sikutnya, yang tajam pula, tajam sebab dilapis
besi, yang terbungkus pita merah, maka dengan sikutnya itu ia menghajar jalan
darah siankie di dadanya Tie Wan Tiangloo. Maka itu sungguh hebat si tanpa
dakpa ini, berbareng ia dapat menggunai tiga anggauta tubuhnya itu untuk
menyerang berbareng kepada tiga musuh yang lihay.
Serangannya Boetong Ngoloo
telah berlangsung tatkala mereka menampak sasaran mereka mencelat dan
berjumpalitan, kedua tangannya bergerak terpentang, sebelah kakinya bergerak
juga. Tie Hong dan Tie Kong kaget, hingga hati mereka terkesiap, belum sempat
mereka melihat apa-apa, tubuh mereka sudah mental kira-kira setombak. Hanya
syukur untuk mereka, jatuhnya mereka tidak terbanting, bahkan seperti ada orang
yang menurunkannya dengan perlahan, hingga mereka tak usah merasakan sakit.
Setelah itu tahulah mereka bahwa mereka sudah ditolongi In Boe Yang, yang
membebaskan mereka dari serangan berbahaya dari Leng Hong.
Sementara itu sikut kiri Leng
Hong telah menyambar ke dadanya Tie Wan, imam ini terancam bahaya sebab
untuknya tidak lagi ketika guna menarik pulang kedua tangannya. Di samping ia,
In Boe Yang telah menunjuki ketangkasannya, ialah jari tangannya dengan ilmunya
Ittjie sian menyambar ke sikut kiri si orang she Pit, tepat di ujungnya sikut
hingga pitanya robek dan nampak ujungnya besi, yang ada ukirannya merupakan
naga-nagaan. Melihat ukiran itu, Boe Yang kaget sekali, mendadak saja ia
merasakan seperti ia menampak sesuatu yang aneh, yang membingungkan hatinya,
dari itu, belum lagi jelas untuknya, ia merasakan hawa dingin menyerang uluh
hatinya. Demikian, tak tertahankan lagi, ia roboh terguling dengan terbanting.
Di lain pihak tubuh Leng Hong yang kurus kering itu, bagaikan layangan putus,
terpental tiga tombak lebih melayang ke bawah tanjakan, kemudian terdengar
sindirannya dua kali, akan kemudian, tanpa menoleh lagi, ia menghilang di
kejauhan, tak nampak lagi bayangannya.
In Boe Yang dan Boetong Ngoloo
tidak dapat berbuat apa-apa kepada musuh itu, barulah setelah bekerja sama,
mereka dapat menghajar hingga lawan mereka terpental. Lebih dulu Leng Hong kena
tertotok Boe Yang, baru ia tergempur serangannya Boetong Ngoloo.
Sekian lama So So menjublak,
baru ia sadar ketika ia mendengar suaranya Tie Wan Tiangloo, suara yang dalam
sekali: "Dengan ini impas sudah budi pemberian obatmu, maka marilah kita
bertemu pula di lain waktu!" Lalu berlima mereka bertindak pergi.
In Boe Yang mengawasi orang
mengangkat kaki, mulutnya bungkam, cuma wajahnya guram. Agaknya ia tetap
memikirkan sesuatu yang masih gelap sekali untuknya yang sulit pemecahan atas
keputusannya.
"Ayah, kau kenapa?"
So So menanya.
"Kakek luarmu telah
dibinasakan orang aneh ini," menyahut Boe Yang dengan perlahan. Ia
berhenti sebentar, lalu ia menambahkan: "Pit Leng Hong terkutung
tangannya, terbuntung kakinya dan terusak mukanya, semua itu perbuatannya kakek
luarmu itu..."
Nona itu menggigil sendirinya.
Ia heran. Belum pernah ia melihat kakek luar itu akan tetapi menurut keterangan
ibunya, kakek itu benar tabiatnya keras akan tetapi hatinya pemurah, maka ada
dendam apa di antara dia dan orang aneh ini maka keduanya jadi bertempur secara
demikian hebat?...
"Pit Leng Hong itu
dikenal dengan julukannya Giokbin Kayhiap," berkata pula Boe Yang,
"dia tadinya tampan tetapi dia dibikin oleh kakekmu jadi begini jelek,
sudah selayaknya saja dia jadi sangat gusar dan penasaran, maka juga dia telah
gunai tangan jahatnya untuk menuntut balas. Di lengan buntungnya itu ada
cacahan naga-nagaan, itulah tanda dari kakek luarmu. Sebenarnya telah aku
melihatnya, kecuali kakek luarmu itu, di kolong langit ini tidak ada orang
lainnya yang sangat lihay ilmu pedangnya. Hanya sebegitu jauh aku ketahui, di
antara mereka tidak ada hubungannya, kenapa mereka jadi bentrok demikian hebat?
Inilah yang membuatnya aku sangat tidak mengerti."
So So bergemetar tangannya
hingga "Traang!" jatuhlah pedang di tangannya, terlepas dari
cekalannya di luar keinginannya. Selama delapan belas tahun ia itu hidup
tenteram dan damai dan bergembira atau hari ini ia merasakan pukulan yang
dahsyat. Kejadian saling susul dan semuanya hebat-hebat, hingga hatinya
berdebaran.
Ketika pertama kali bertemu
sama Hian Kie dan Hian Kie menyebut tentang pedang itu, ia heran sekali, siapa
tahu kata-katanya Poantian Sinkay ini lebih aneh dan mengejutkan. Bukankah
pedang itu, di sebelah urusannya kitab ilmu pedang, ada terlebih mujijat pula?
"So So," berkata si
ayah, perlahan, tangannya menunjuk kepada pedang, "apakah kau masih ingat
pembilanganku bahwa pernah aku melakukan suatu kedosaan yang tak dapat aku
melupakannya?"
"Aku ingat, ayah,"
menyahut si anak dara, tunduk, suaranya perlahan.
"Kedosaan itu timbul
karena pedang ini," In Boe Yang berkata pula. "Ah, sebenarnya masih
terlalu enteng Pit Leng Hong menyebut kesalahanku itu. Dia bilang pedang ini
telah aku curi. Hal yang benar ada lebih menakuti daripada itu. Aku... telah
membunuh pemilik pedang itu, dan dia... dialah orang seumurku berlaku paling
baik terhadapku...
So So menjerit bahna kagetnya.
Ia melihat kening ayahnya mengeluarkan keringat, romannya penuh dengan
kemenyesalan dan kedukaan. Melihat itu, ia merasa sangat berkasihan.
"Ayah kau tuturkanlah
peristiwa itu," ia minta. "Jangan kau simpan saja, supaya kau dapat
melegakan hatimu. Jangan kau bikin dirimu sengsara dan menderita
karenanya."
"Tidak salah, So So.
Memang... memang aku hendak memberitahukanmu..."
Suaranya orang tua ini menjadi
serak dan perlahan.
So So mengeluarkan sapu
tangannya, dengan itu ia menyusuti peluh ayahnya itu. Ia merasakan peluh itu
dingin, menyeresap di tangannya. Ia terkejut.
"Peristiwa itu sangat
panjang untuk dituturkan, aku kuatir tak dapat aku menuturkan habis,"
berkata pula si ayah.
"Baiklah ayah beristirahat
dulu," meminta sang anak dara. "Pergi ayah bersamedhi, nanti aku
menanti dan menjagaimu."
"Tidak, tidak usah,"
berkata ayah itu. "Kau tolongi saja aku mengambil arak Kenghoa Hweeyang
tjioe. Sudah duapuluh tahun aku pendam peristiwa ini di dalam hatiku, memang
sudah lama aku hendak menuturkannya, maka sekarang tidak mau aku menanti
kendatipun buat hanya tiga hari tiga malam..."
Mendengar ini baru So So
ketahui bahwa ayahnya telah mendapat luka hebat di dalam tubuh, bahwa Siauwhoan
tan masih tidak dapat menolong, maka dia memerlukan arak obatnya. Rupanya luka
itu tak dapat sembuh sebelumnya lewat tiga hari dan tiga malam.
"Kalau aku pergi,
ayah," berkata anak ini, "kau jadi berada sendirian di sini, hatiku
tidak tenang..."
"Tidak apa, asal kau
lekas pergi dan lekas kembali. Kau bawa itu ke rumah batu di mana aku
menantikan kau. Tidak nanti datang pula Pit Leng Hong yang kedua."
Terpaksa So So menurut, maka
ia pulang dengan berlari-lari. Di sepanjang jalan, ia dipengaruhkan
kekuatirannya. Pula ia merasakan bahwa di sekitarnya ia dikurung dengan segala
rahasia. Bukankah sekalipun ayahnya, karena itu pedang, membuatnya ia berpikir
keras?
Tiba di rumahnya, sedih hati
si nona. Gundul pohon bweenya, cabang dan daunnya berserakan di tanah. Di situ
pun ada segundukan tanah munjul yang teruruk dedaunan. Sunyi segala apa.
Mendadak ia ingat akan kedatangannya Hian Kie, yang disusul pelbagai peristiwa
hebat itu. Sudah datang Boetong Ngoloo, datang pula si pengemis aneh yang lihay
itu, yang membawa teka-teki baru. Semuanya kejadian yang tidak diduga-duga.
Sirap itu semua, sekarang ayahnya terluka, ayah itu hendak membuka rahasia.
Kembali ia memikirkan Hian Kie orang kepada siapa ia hendak menumpangkan diri.
Hanya, ke mana perginya anak muda itu?
Nona ini memanggil, hingga
beberapa kali, ia tidak memperoleh jawaban. Ia telah terbenam dalam kesunyian.
Cuma datang jawaban dari kumandang suaranya sendiri. Ia benar-benar tidak
ketahui ke mana perginya si anak muda...
Kemana Hian Kie pergi? Mau
atau tidak, So So menenangkan diri. Ia ingat, ayahnya hendak bicara berduaan
saja dengannya, Hian Kie disuruh menyingkir, ia pun memberi tanda akan pemuda
pujaannya itu mengundurkan diri. Mungkinkah, karena itu Hian Kie menjadi tidak
puas dan menyesalkan ia? Ia ingat, memang belum lama ia kenal pemuda itu tetapi
hati mereka sudah lantas terikat satu dengan lain. Tidak mungkin pemuda itu
jengkel hati terhadapnya, tidak nanti dia bergusar meski benar di antara dia
dan ayahnya ada ganjalan. Maka itu, kenapa dia tidak menantikan padanya? Umpama
kata pemuda itu mengikuti dan mengintai pertempuran, sekarang dia sudah
seharusnya kembali...
Tiba-tiba So So ingat sorot
mata luar biasa dari Hian Kie ketika si anak muda mengundurkan diri. Ketika ia
memasuki kamar tulis, hatinya pun seperti kosong. Delapan belas tahun lamanya
ia hidup di rumahnya ini, baru sekarang ia merasakan rumah itu bagaikan kota
iblis. Ibunya sudah pergi, ayahnya berdiam di rumah batu. Kalau nanti ayah itu
sembuh, belum tentu dia akan lantas pulang ke rumah. Karena Hian Kie tidak ada,
ia merasa sepi sekali.
Dalam keadaannya seperti itu,
So So tidak melupakan kewajibannya. Ia lantas mengambil cupu-cupu merah yang
besar yang ayahnya perantikan menaruh araknya, buat dibawa ke mana-mana. Ia
isikan cupu-cupu itu. Selagi berbuat begitu, ia ingat halnya ia memberikan arak
itu kepada Hian Kie hingga si anak muda tak sadarkan diri. Tapi tak lama ia
berpikir, lantas ia lari pula keluar, untuk pergi ke rumah batu.
Matahari sudah silam di barat,
kamar batu guram.
"Ayah," si anak memanggil.
Tidak ada jawaban.
Bercekat hati si nona, ia
terkejut.
"Ayah!" ia memanggil
pula, kali ini terus ia bertindak masuk. Ia seperti merabah-rabah untuk sampai
di kamar ayahnya. Akhirnya ia menampak juga ayah itu, yang lagi duduk
bersamedhi menghadap ke tembok. Baru sekarang hatinya lega.
Dengan terus memegangi
cupu-cupunya, So So menempatkan diri di sisi ayahnya itu. Ia tidak mau
mengganggu pemusatan pikiran ayahnya, ia berdiam saja.
Selang sekian lama, baru Boe
Yang dengan perlahan mengangkat kepalanya. Ia pun mengangkat tangannya dan
mengulurnya kepada anaknya.
So So sudah lantas
mengangsurkan cupu-cupu di tangannya itu.
Sang ayah menyambuti, ia terus
mencegluk-nya. Di tenggorokannya terdengar suara gelogokan.
Lagi sekian lama, baru ayah itu
membuka mulutnya.
"Anak, kau duduk,"
suaranya bergemetar. "Kau dengari penyesalan ayahmu....
Tanpa serangan hawa dingin, si
nona menggigil. Ia berdahaga untuk keterangan ayahnya itu tetapi sekarang ia
takut untuk mendengarnya. Bukankah itu rahasia ayahnya? Kedosaan apakah ayah
itu pernah perbuat? Maka itu, tak tenang pikirannya. Dengan menguatkan hati, ia
mencoba menetapkan diri.
Selagi ayah dan anak itu
berdiam dan si ayah hendak bercerita, dan si anak bersedia akan mendengarinya,
tiba-tiba terdengar suara menyanyi mengalun jauh dari dalam rimba. Samar-samar
tetapi ketahuan itulah suaranya seorang wanita.
"Rembulan di langit
mengejar sang Surya,
Nona di bumi mengejar
kekasihnya.
Sang Surya naik di timur,
Sang Rembulan silam di barat.
Bidadari di istana rembulan
sia-sia berduka."
Demikian nyanyian itu,
nyanyian yang sebentar berhenti dan sebentar diulangi. Selama terhentinya,
samar-samar terdengar suara si nona memanggil, "Hian Kie! Hian
Kie!..."
"Siapakah nona itu?"
So So menduga-duga. "Ada hubungan apakah di antara ia dan Hian Kie? Adakah
dia si nona yang disebut-sebut Siangkoan Thian Ya? Jadinya Hian Kie dipanggil
nona itu ?"
Tengah ia tersengsam, So So
dibikin terkejut suara ayahnya.
"So So, kau pikirkan
apa?" begitu ayah itu. "Mari datang lebih dekat, kau dengari aku.
Adakah kau takut? Oh, aku sendiri takut juga..."
Boe Yang lantas mulai menutur
perbuatannya itu, yang membuatnya menyesal sekali, yang ia katakan kesalahan
atau kedosaan besar.
Tatkala itu matahari sudah
turun seanteronya, maka kamar batu itu menjadi gelap petang.
-xxXXXxx-
BAGIAN IX : Ayah, ibu, anak...
berpisah semua
Kemanakah perginya Hian Kie?
Dia pun, seperti So So, dalam
saat yang singkat itu, telah menghadapi pelbagai kejadian yang di luar
dugaannya.
Tadi malam dia datang ke rumah
Boe Yang dengan menempuh bahaya, itu melulu untuk menemui So So. Ia telah
berhasil. Bukan saja ia dapat menemui si nona, hati mereka pun cocok dan si
nona suka menyerahkan dirinya kepadanya. Maka itu bukan main bunga hatinya.
Sayang, tiba-tiba saja Boe Yang pulang, lantas ayah dan anak itu berbicara,
bahkan si ayah hendak omong urusan yang penting, hingga ia disuruh menyingkir
dan So So pun minta ia suka mengundurkan diri dulu. Ia merasa tidak enak hati
tetapi toh ia pergi juga keluar. Ia berpikir keras.
Bersediakah Boe Yang
menyerahkan puterinya kepadanya? Ia berpikir.
Ia sudah menerima tugas untuk
membunuh Boe Yang itu! Dengan adanya tugas itu, dapatkah mertua dan mantunya
kecocokan, untuk hidup bersama? Bukankah erat sekali hubungan di antara ayah
dan anak? So So anak satu-satunya, kalau ia membawanya minggat, tidakkah
karenanya putus hubungan di antara ayah dan anak itu? Kalau itu sampai tetjadi,
siapa berani menjamin yang So So nanti tak bersikap tawar seperti ibunya
terhadap Boe Yang, ialah penasaran dan menyesali suaminya?