Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 3

Liang Ie Shen, Seri Thian San-01 Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 2 Sisa sinar dari bintang-bintang telah sirna, sebaliknya sang embun mendemakkan baju, selagi begitu, pekarangan rumah sunyi-senyap,
 
Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 3
Sisa sinar dari bintang-bintang telah sirna, sebaliknya sang embun mendemakkan baju, selagi begitu, pekarangan rumah sunyi-senyap, sebab keadaan di sekitarnya seperti membeku. Adalah dalam kesunyian seperti itu mendadak terdengar tangisan sedu-sedan, bagaikan jarum yang lancip tajam menusuk udara yang kosong itu.

In Boe Yang segera juga berpaling, maka terlihat olehnya bahwa isterinya, dengan membawa gulungan gambar, setindak demi setindak, berjalan keluar dari pintu model rembulan di sisinya pohon bwee. Isteri itu tak berpaling sedikit juga terhadap suaminya itu.
Sendirinya, hati Boe Yang menggetar, bagaikan semangatnya meninggal raga kasarnya. Berulang-ulang ia menyebut "Poo Tjoe" akan tetapi suaranya tak terdengar, panggilan itu tak pernah keluar dari mulutnya.

Nyonya In berjalan lewat di sisinya mayat Tjio Thian Tok.

"Thian Tok, kau legakan hatimu," katanya, perlahan tetapi tedas. "Gambar ini pasti aku akan antar ke rumah kau. Aku pun akan memperlakukan anakmu seperti aku merawati So So."

Agaknya si nyonya berkuatir nanti membikin kaget jago tua itu.

In Boe Yang merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum, ia kehilangan akal budinya, kapan kemudian ia mengangkat kepalanya, sekalipun punggung isterinya itu sudah menghilang dad pandangan matanya.

Lama, lama sekali, baharulah Boe Yang dapat membuka suaranya. Itulah suara dari kedukaan yang sangat, dari hati yang mencelos, putus asa. Ia lantas merasakan takut, lebih takut daripada kepergiannya isterinya barusan. Ia baru menggeraki kakinya, atau di situ muncullah puterinya yang muda belia. Tak tahu ia kapan anak itu datang, tahu-tahu si nona sudah tengah menyender di sebuah pohon bwee, sinar matanya juga mengandung sinar kekuatiran, sinar ketakutan. Kelihatannya anak dara ini seperti tak mengenali ayahnya itu.

"So So!" akhirnya Boe Yang memanggil. Ia telah mesti menguati hati untuk dapat membuka mulutnya itu.

In Boe Yang segera juga berpaling, maka terlihat olehnya bahwa isterinya, dengan membawa gulungan gambar, setindak demi setindak, berjalan keluar dari pintu model rembulan disisinya pohon bwee. Isteri itu tak berpaling sedikit juga terhadap suaminya itu.

Sinar matanya si anak melintas kepada wajahnya ayah itu, kembali ia nampaknya seperti dapat melihat sesuatu yang membuatnya sangat takut, bahkan ia mundur tiga tindak!

"Semua-mua aku telah mendengarnya!" katanya tajam, bagaikan teriakan, "Semua-mua aku telah mengetahuinya! Jangan datang dekat padaku!"

Tubuhnya Boe Yang bergidik, bergemetar. Tiba-tiba ia menarik napas panjang. Ia lantas saja mengasi dengar nyanyiannya yang seperti orang menangis:

"Mengingat langit dan bumi yang demikian samar, siapakah yang mengenal aku?

Mengingat akan hari ayal si ksatria, menang pun apanya yang harus dibuat girang?

Dan kalau kalah, apanya yang harus dibuat berduka?

Beginilah penghidupan yang gampang menghilang. Burung hong terbang, burung loan melayang, maka itu siapakah yang nanti mengikuti aku?"

Dengan diimbangi tindakan kaki, suara itu makin lama makin jauh terdengarnya.

Terluka hatinya So So, airmatanya bercucuran deras.

"Ayah! Ayah!" ia memanggil tanpa merasa. Tapi ayahnya itu sudah tak dapat mendengarnya.

Nona ini menyender pula pada pohon bwee, ia menangis tersedu-sedu, sampai kemudian ada tangan yang halus dan hangat, dengan perlahan sekali, merabah rambut kepalanya. Lalu itu disusul dengan satu suara yang sabar dan lembut: "So So, So So, jangan menangis..."

Si nona mengangkat kepalanya. Tiba-tiba: "Hian Kie!" panggilnya. Dan air matanya turun semakin deras.

Hian Kie tidak dapat membilang suatu apa, ia mengeluarkan sapu tangan suteranya, dengan perlahan-lahan ia menyusuti air mata si nona.

Selang sesaat, sambil menangis sesegukan, So So berkata: "Oh ayah! Ayah yang menyebalkan, ayah yang harus dikasihani! Hian Kie, kau tak tahu, semenjak masih kecil aku telah memandangnya ayah sebagai satu-satunya ksatria di kolong langit ini, yang tak ada yang ke duanya!..."

"Memang juga sekarang ini tidak ada orang yang dapat menandingi ayahmu," Hian Kie membenarkan.

"Benar, mulai hari ini, ayahlah yang ilmu silatnya paling nomor satu lihay!" membenarkan juga si nona, "akan tetapi patung yang aku punya di dalam hatiku sudah hancur lebur, dia bukan lagi itu ksatria yang aku junjung! Dia sudah mencuri kitab pedang kakekku, dia telah memaksa ibuku mengangkat kaki, dia membunuh sahabat-sahabatnya, dia telah mengurung Siangkoan Thian Ya, bahkan dia tak segan membantu itu komandan Kimie wie untuk membekuk rekan-rekannya! Semua itu aku ketahui sekarang!"

"Dia mengurung Siangkoan Thian Ya?" tanya Hian Kie heran. "Ah, di manakah Siangkoan Thian Ya sekarang?"

"Tadi malam aku telah bertemu sama Siangkoan Thian Ya," menyahut si nona. "Banyak hal yang dia telah memberitahukannya kepadaku. Di dalam dua hari ini, aku pula telah mendengar sesuatu hal. Aku percaya Siangkoan Thian Ya tidak mendustakan aku. Ya ayahku memanglah si orang busuk!"

Hian Kie merangkul nona itu, ia menatap matanya di mana airmata mengembeng sinar matanya sayup-sayup, menandakan terlukanya hatinya.

Memang, di dalam dunia ini ada urusan pribadi apakah yang dapat melebihkan putus asanya seorang anak terhadap ayah atau ibunya?

"Kau legakan hatimu," Hian Kie menghibur. Tanpa merasa ia mencium pipi orang.

"Mungkin semua ini bukannya kesalahan ayahmu seorang," katanya pula.

So So mengawasi.

"Bukankah kau hendak membunuh dia?" ia menanya.

Si pemuda menghela napas

"Inilah urusan yang sangat ruwet, benar salahnya, sekarang ini sulit untuk dijelaskan," ia menyahut. Ia mendongak, melihat sinar matahari sudah tiba di dalam pekarangan. Ia melepaskan kedua tangan si nona, yang ia pegangi, lalu ia berbangkit untuk berdiri.

"Ibuku sudah pergi, ayahku sudah pergi, apakah kau juga hendak pergi?" menanya So So, mengawasi.

"Ah," Hian Kie kata seperti mengeluh, "jikalau kau menitahkannya aku pergi, akan aku pergi..."

Si nona menangis pula.

"Baiklah, kau pergilah..." katanya.

Pemuda itu melengak.

"So So, benar-benarkah kau menghendaki aku pergi?" ia menegasi.

"Aku tidak menghendaki kau pergi, tetapi aku juga tidak sudi orang jemu terhadapku," jawab si pemudi.

Hian Kie heran.

"Apakah maksudmu?" ia menanya pula.

"Aku tahu di hatimu sudah ada seorang lain, ialah nona yang kau paling menyintainya..."

Mendengar itu, Hian Kie tertawa.

"Di dalam dunia ini di mana ada lain nona yang terlebih manis daripada kau?" katanya. "Rupa-rupanya kau mendengar hal ini dari Thian Ya."

"Apa dan perlunya Thian Ya mendustai aku?"

Hian Kie tertawa pula.

"Nona itu justeru ada nona yang paling manis di matanya Thian Ya sendiri! Dan nona yang diukir di dalam hatiku adalah kau!"

So So mengawasi, sinar matanya penuh dengan kesangsian.

"Benarkah itu?" menegasinya dengan perlahan.

"Siangkoan Thian Ya menyintai nona itu melebihkan ia menyintai dirinya sendiri," Hian Kie berkata pula. "Tetapi dia menyangka bahwa jodoh nona itu dengan jodohku adalah perjodohan yang paling manis dan mempuaskan. Sebenarnya, sama sekali aku tidak berpikir demikian. Berulang kali telah aku menjelaskannya kepadanya, tetap ia tak mau mempercayainya. So So, mustahilkah kau juga tidak percaya aku?"

Matanya si nona bersinar terang.

"Pantas juga Siangkoan Thian Ya telah mencaci aku," katanya, "kiranya dia kuatir aku nanti merusak perjodohan kamu."

"Baiklah, segala apa sudah terang sekarang!" kata Hian Kie. "Mari kita pergi kepada Thian Ya, untuk memerdekakan padanya."

"Tidak, dia tidak sudi mengangkat kaki!"

"Apa? Dia tak sudi pergi?"

"Benar! Tadi malam dia bilang padaku, sekalipun ayahku yang menyuruh dia pergi, dia masih tak sudi pergi!"

Hian Kie menjadi heran sekali.

"Kenapa dimerdekakan tetapi dia tak sudi pergi. Tabiatnya benar-benar aneh!"

"Aku justeru menyukai tabiat orang semacam dia!" kata So So, yang terus menunduk. "Ah, Hian Kie, dapatkah kau juga bertabiat seperti dia itu?"

Hian Kie bertambah heran.

"Kau menghendaki tabiatku seperti tabiat dia?" katanya. Tiba-tiba datang sinar terang di dalam hatinya, maka lekas ia menambahkan perkataannya, menambahkan dengan halus: "Bisa, aku juga bisa bertabiat seperti dia terhadap nona itu, aku menyintai kau melebihkan aku menyintai diriku sendirl. Jikalau tidak, tidak nanti tadi malam aku mencuri datang ke mari!"

So So girang berbareng jengah, hingga ia menjerit "Ah!" tanpa merasa, menyusul mana ia dirangkul pula si pemuda.

"So So, aku minta kau antar aku kepada Siangkoan Thian Ya," ia minta.

Si nona merapikan pakaiannya, terus ia cekal tangan si anak muda, untuk ditarik, dituntun melintasi pintu belakang. Mereka jalan di sebuah jalan kecil yang banyak tikungannya, hingga tidak lama kemudian tibalah mereka di muka sebuah guha, yang kedua pintunya yang besar dan tebal tertutup rapat.

"Guha ini dibikin dan diperlengkapi ayahku peranti dia berlatih silat," So So menerangkan. "Aku sendiri baru tadi malam untuk pertama kalinya memasukinya secara mencuri. Siangkoan Thian Ya dikurung di dalam guha ini."

Nona ini bertindak hingga di depan guha sekali.

"Coba kau putar itu gelang pintu," ia kata pada Hian Kie, yang mendampingi padanya, "kau putar ke kiri tiga kali, lalu ke kanan tiga kali juga, nanti pintu terbuka sendirinya."

Hian Kie sudah lantas bekerja menuruti petunjuk nona itu. Hanya ketika tangannya menyentuh daun pintu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia lantas mendorong dengan perlahan, lalu terjadilah hal yang aneh. Kedua daun pintu roboh menjeblak karena dorongan yang sangat perlahan itu, roboh hancur menjadi banyak potongan kecil, mirip dengan dempul.

So So heran hingga ia mengeluarkan jeritan tertahan.

"Eh, mengapa begini?" katanya.

Daun pintu itu terbuat dari kayunya semacam pohon yang terdapat di gunung Holan San itu, kayu yang kuat, dibuatnya pun tebal, dalam keadaan biasa, untuk mendobraknya dengan golok atau kampak pun akan meminta tenaga dan tempo, siapa tahu sekarang terdorong perlahan tetapi runtuh. Ketika tadi malam So So datang ke situ, pintu masih tegar dan kuat seperti biasanya.

Bagaikan tak percaya akan diri sendiri, si nona menatap si pemuda. Ia mendapatkan orang heran berbareng tak tenang hatinya.

"Mari," kata si nona. Ia mengajak si anak muda menyentuh daun pintu yang hancur itu, mereka hanya menggunai sedikit tenaga, potongan-potongan kecil itu lantas merupakan abu.

"Inilah akibatnya satu serangan tenaga dalam," kata Hian Kie kemudian. "Rupanya orang itu sengaja hendak mempertontonkan kepandaiannya yang mahir itu. Lihaynya ialah dia merusak bagian dalam, bagian luarnya pintu nampak wajar saja."

"Benar, inilah akibat serangan tenaga dalam," si nona membenarkan. "Hanya sekarang ini siapakah yang tenaga dalamnya begini lihay?"

Hian Kie tidak menjawab, ia hanya berpikir. "Kalau Tjio Thian Tok masih hidup, ia mau menduga jago she Tjio itu, tetapi menurut pembicaraan Thian Tok dan Nyonya In kemarin, dia cuma memikirkan usahanya untuk junjungannya yang muda, dia tidak tahu suatu apa mengenai Siangkoan Thian Ya. Maka pengrusakan pintu itu pasti bukan perbuatannya Thian Tok itu. Habis, siapakah?"

"Hian Kie, kau memikirkan apa?" menanya si nona mendapatkan orang menjublak.

"So So," Hian Kie tidak menjawab, hanya balik menanya, "tadi malam jam berapa kau datang ke mari?"

"Kira-kira dekat jam empat," menyahut si nona. "Ah, itu waktu dia dengan Thian Tok sudah bertempur..." katanya seorang diri. "Eh, kau memikir bagaimana?" tanya So So. "Mengapa kau menyebut-nyebut ayahku? Mustahilkah ayah mau merusak kamar berlatihnya sendiri? Jikalau ayah hendak memerdekakan orang, tidakkah dapat ia membuka saja pintunya?"

"Memang benar. Inilah yang menjadi anehnya!"

Si nona pun berpikir keras. Pintu bukan dirusak Thian Tok. Kalau begitu, masih ada seorang lain yang dapat menandingi lihaynya ayahnya. Siapakah dia itu? Pula terang, dia berlaku demikian selaku satu tantangan terhadap ayahnya.

"Mari kita masuk akan melihat ke dalam," Hian Kie mengajak. "Entah bagaimana dengan Thian Ya... Thian Ya! Thian Ya!" ia lantas memanggil-manggil. "Saudara Siangkoan, bagaimana dengan kau?"

Tidak ada jawaban dari dalam guha, tak terdengar suara apa jua.

Hian Kie bergelisah, cemas hatinya. Ia menduga Thian Ya tengah terluka parah. Maka ia berlari masuk. Tiba di dalam, ia berdiri melengak. Guha itu kosong. Dengan pintu besarnya runtuh, cahaya matahari dapat masuk ke dalam dan segala apa nampak terang. Siangkoan Thian Ya tak ada di situ.

So So menjadi terlebih heran dari pada si anak muda. Ia bahkan kaget.

"Dia yang membilangnya sendiri, kalau bukan dia yang menerjangnya, tidak nanti dia sudi berlalu dari guha ini?" katanya seorang diri. "Siapa pun yang memintanya, dia bakal menolak. Dia rela mengubur diri di gunung belukar tetapi dia tidak sudi menerimanya belas kasihannya siapa juga! Tapi sekarang?"

Hian Kie berpikir tetapi matanya memandang ke sekitar guha. Di tembok itu terdapat banyak lukisan yang mengenai ilmu silat pedang, tegas terlukis pelbagai sikap dedak. Ia memperhatikannya, tetapi tidak gampang untuk ia segera dapat mengerti.

"So So," kemudian ia menanya pula si pemudi, "bagaimana caranya kau bertemu Siangkoan Thian Ya dan apakah katanya?"

Si nona tidak lantas menjawab, hanya ia berkata: "Aku hidup di gunung ini semenjak masih kecil, kecuali dengan ayah dan ibuku, sangat jarang aku bertemu dengan orang lain siapa juga. Ada kalanya aku turun gunung, untuk berburu tapi belum pernah aku melintas lebih jauh daripada lima lie di sekitar sini. Hanya tak tahulah aku, sejak itu hari aku melihat kau untuk pertama kali lantas aku mendapat perasaan bahwa kau mirip orang yang terdekat denganku..."

"Inilah aneh. Kenapa hati kita serupa? Ketika itu hari aku sadar, begitu melihat kau, aku lantas merasa kaulah adikku dengan siapa aku belum pernah bertemu."

Kedua belah pipinya si pemudi menjadi bersemu dadu.

"Ketika tadi malam aku mengasi makan kuda putihmu, aku lantas ingat kau," katanya perlahan, "maka itu aku lantas lari ke atas gunung di mana aku menabu khim. Apakah kau mendengar itu?"

"Aku justeru kena ditarik oleh suara khim dan nyanyianmu itu," Hian Kie aku. "Aku tidak menyangka bahwa demikian rupalah kesanmu terhadap aku. Semoga mulai hari ini kita berdua tak bakal berpisah lagi!"

So So menyingkap rambutnya, ia bersenyum manis. Cuma sebentar ia memandang si anak muda, lantas ia tunduk.

"Sembari menabu khim, aku terus memikirkan kau," ia berkata pula, mengaku. "Aku ingat halnya kau hendak membunuh ayahku. Tegang hatiku, aku cemas sekali. Itulah bukan disebabkan kau dapat membinasakan ayah. Ayah pernah membilang, jikalau kau hendak melawan ayah, untuk dapat berimbang saja, kau masih harus berlajar lagi sedikitnya sepuluh tahun. Aku hanya berkuatir untuk ayahku. Aku sangat memuja ayah, maka takut aku bahwa ia benar-benar seorang busuk? Pula aku menguatirkan keselamatanmu andaikata kau dapat bertemu sama ayah. Tanpa aku berada bersama, ayah dapat membunuhmu! Di sebelah itu aku memikirkan segala apa yang aku lihat dan dengar selama dua hari ini. Di mataku, semua perbuatan ayah tak wajar adanya, lebih-lebih kenapa ayah tidak sudi membayar pulang kitab pedang itu dan ia mengurung Siangkoan Thian Ya?... Ya, ayah bersikap tidak manis terhadapmu, hal itu membuatnya aku malu sekali. Maka itu, sebagai seorang yang berdosa, yang hendak menebus dosanya itu, ingin aku berbuat sesuatu untuk menyenangi hatimu. Untuk ini, aku juga bersedia untuk berbuat baik terhadap orang yang biasa berbuat baik terhadapmu. Demikian, aku jadi ingat Siangkoan Thian Ya. Bukankah dia telah datang kemari dengan menempuh bahaya? Bukankah dia telah sudi melepaskan kedudukannya sebagai Tjiangboendjin partainya, bahkan dia rela tak mendapatkan kitab pedang, asal itu semua dapat ditukar dengan kemerdekaanmu? Aku juga memikir kau pastilah hendak menolongi dia."

"Siangkoan Thian Ya itulah sahabatku satu-satunya yang mengenal aku baik sekali," berkata Hian Kie, "cuma dia masih belum dapat menembusi hatiku sebagaimana yang kau berbuat. Aku heran, kenapa pikiranmu selalu akur dengan pikiranku, sebagai juga hati kita berdua terangkap menjadi satu?"

Tanpa merasa keduanya saling memegang tangan mereka dengan erat sekali.

Kemudian si nona menghela napas perlahan.

"Sebenarnya ayahku sangat menyayang aku," ia menambahkan, "maka mimpi pun tidak yang sekarang aku mesti menentanginya. Demikian tadi malam aku telah berlaku dengan diam-diam datang ke mari untuk membuka pintu guha ini, untuk menolong memerdekakan Siangkoan Thian Ya. Sebenarnya aku jeri untuk sikapnya yang bengis itu, tetapi aku telah mengambil keputusan, andaikata ia salah mengerti dan hendak menghajar aku, aku tidak akan membalasnya."

"Adikku, kau baik sekali!" Hian Kie memuji, kagum. Ia tahu betul, kecuali ibunya sendiri yang bijaksana tidak ada lain orang daripada si Nona In ini yang begini polos.

"Benar saja, bermula kita bertemu, dia bersikap garang sekali," So So melanjuti, "cuma tidaklah sampai dia menyerang aku. Setelah dia mendengar perkataanku, aku lihat dia menggigil, tubuhnya gemetaran. Dia bilang sungguh dia tidak menyangka bahwa aku sudi berlaku demikian baik hati terhadapnya. Mulanya dia tertawa, kemudian dia menangis, rupanya saking terharu. Kemudian dari itu, kau tahu, dia mendamprat aku! Dia menegur aku, aku tahu atau tidak bahwa kau telah mempunyai kekasih..."

"Salah faham itu tadi aku telah menjelaskannya," kata Hian Kie tertawa. "Apa lagi katanya dia?"

"Aku menahan sabar, aku lawan kesedihanku, aku membiarkan dia mencaci aku," menyahut si nona. "Aku tetap berlaku baik dengannya. Aku bilang, jikalau dia menghendaki kitab pedang, akan aku mencurinya untuknya, supaya dia boleh mengangkat kaki. Aku pun membilangi dia bahwa kau sudah lolos dan selamat, karenanya tidak ada artinya untuk dia berdiam lebih lama pula di sini, bahkan lebih baik dia mengambil kitab pedang sebelum ayahku pulang, untuk dia kabur. Di luar dugaanku, kembali dia menunjuki tabiatnya yang keras."

"Demikian memang tabiatnya Siangkoan Thian Ya!" kata pula Hian Kie, tertawa.

"Dia bilang kitab pedang itu ada kepunyaan partainya, Boetong Pay, maka itu katanya, perlu apa dia mengambilnya dengan jalan mencuri. Dia memastikan, kecuali dia dapat mengalahkan ayah hingga ayah rela menyerahkannya, biarnya aku mengantarinya kepadanya, biarnya dia dianjurkan menyingkir, tidak sudi dia melakukannya. Dia telah bersumpah bahwa dia lebih suka mati daripada berbuat begitu. Sambil tertawa dingin, dia kata: "Ayahmu sengaja berlaku bijaksana, dia seperti bermaksud baik untuk menolong aku, tetapi aku tidak kesudian menerima budinya itu. Kitab itu ada milikku! Sungguh, aku tidak mengerti maksudnya itu."

Mendengar sampai di situ, Hian Kie ketahui sudah maksudnya Siangkoan Thian Ya. Maka ia tertawa pula.

"Kau lihat semua lukisan di empat penjuru tembok ini," ia berkata kepada si nona sambil tangannya menunjuk keliling tembok. "Bukankah itu peta dari ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat?"

"Mungkin benar," menyahut si nona, "Aku mempelajari Tat Mo Kiamhoat itu baru tiga bagian, semuanya yang aku pelajari berada dalam peta ini. Kau lihat itu peta jari tangan, itulah ilmu silat Ittjie Sian. Aku mengerti sekarang, ayah telah melukiskan di sini semua kepandaiannya, maka itu siapa dapat meyakinkan semua ini dengan sempurna, dia lebih menang daripada belajar menuruti kitab pedang itu. Ayah mengurung Siangkoan disini, rupanya ia bermaksud biarlah Thian Ya mempelajarinya. Sekarang tidaklah heran lagi yang Thian Ya tidak sudi berlalu dari guha kurungannya itu!"

So So mengatakan demikan, akhirnya ia heran sekali, sebab Thian Ya toh menghilang juga.

"Menurut tabiatnya Thian Ya," kata Hian Ki, "asal dia bersumpah tidak mau pergi, meskipun gunung ambruk dan bumi longsor dan guha ini keurukan, tidak nanti dia lari keluar, tetapi sekarang dia menghilang, inilah aneh."

Keduanya berpikir, keduanya bicara lebih jauh, dengan duga-dugaan mereka, tetap mereka tidak mengerti, tidak ada dugaan mereka yang tepat. Hian Kie menjadi masgul sekali.

"Dia sudah pergi, tidak ada perlunya kita berdiam di sini lebih lama pula," kata So So kemudian. "Mari kita pulang. Kau tentunya sudah lapar."

Hian Kie menurut, maka mereka kembali ke rumah. Melihat rusaknya lantai dan pohon bwee, yang daunnya berhamburan, keduanya berduka. Rumah yang tadinya demikian tenang seperti tempat dewa dewi, sekarang kacau tidak keruan. Segala apa nampak menyedihkan dan seram juga.

"Mari kasi aku pinjam pacul," Hian Kie minta. So So carikan alat yang diminta itu. Ia mengerti maksud orang.

"Kau bekerjalah sendiri," katanya sambil memberi hormat, "aku hendak menyalin pakaian sekalian terus mematangi sesuatu untukmu."

"Pergilah," menjawab si anak muda, yang terus saja bekerja. Ia menggali lubang, yang mana mengambil tempo lama juga, sesudah mana, ia pondong tubuhnya Tjio Thian Tok untuk dikubur di situ, dikubur menurut cara yang paling sederhana. Tidak ada perlengkapan, tidak ada upacara, cuma kemudian, di atas itu ditumpuk cabang-cabang pohon dan dedaunan. Ia menjadi sangat terharu mengingat demikian macamlah akhirnya seorang gagah perkasa, yang pernah mengeluarkan tenaganya untuk negara.

Belum lama Hian Kie selesai beketja, So So muncul dengan pakaian baru. Si nona tidak datang menghampirkan, ia hanya menyender di pintu.

"Eh, mengapa kau menjublak memandang aku?" menegur ia sambil tertawa geli. Memang Hian Kie mendelong mengawasi ia. "Apakah kau belum kenal aku?"

"Dengan dandananmu ini, ya, kau sungguh cantik!" memuji si anak muda, yang kesengsam, hanya habis itu, ia menghela napas. Ia masih terharu dan penuh dengan pelbagai dugaan.

"Ada apakah yang luar biasa?" tanya si nona. "Bajuku ini aku bikin menurut pola yang direncanakan ayahku, katanya inilah pakaian dari jaman tigapuluh tahun yang lampau, yang ketika itu sangat digemari. Dan ini sepatu sulam dengan dua ekor burung hong dan terabur mutiara sekarang sudah sangat jarang orang yang memakainya."

"Ibuku juga mempunyai sepatu semacam ini," berkata Hian Kie. "Ibu simpan itu di dalam koper, satu kali aku pernah melihatnya, cuma belum pernah aku lihat ibu memakai itu."

Si nona berdiam sebentar, lalu ia berkata pula: "Karena ini ada dandanan tigapuluh tahun yang berselang, tidak heran jikalau ibumu masih menyimpannya." Ia mengatakan demikian, tapi sebenarnya, ia pun heran.

So So mengatur barang hidangan di kamar tulis.

Ia memasak dua rupa sayur yang disukai Hian Kie. Sebenarnya hendak Hian Kie memujinya, apa mau ia terbenam dalam kedukaan, ia melainkan bisa mengucapkan: "Terima kasih!"

"Sebenarnya kau memikirkan apa?" si pemudi tanya kemudian.

Pemuda itu mengangkat kepalanya.

"Tidak," sahutnya sembarangan.

Si nona tertawa.

"Aku tahu kau tengah memikirkan ibumu!" katanya. "Itu hari ketika kau tidur, kau telah ngelindur memanggil-manggil ibumu itu. Sungguh berbahagia ibumu itu yang mempunyai anak berbakti seperti kau."

Habis berkata begitu, nona ini mendadak ingat ibunya sendiri, ia menjadi sedih sendirinya, saking sedih, ia sampai tak dapat menangis dengan bersuara.

Hian Kie bisa menduga kesusahan hati orang, ia mengusap rambut nona itu.

"Ibuku pasti akan menyukai kau," kata ia perlahan. "Mulai hari ini, dalam hidupku ada dua orang yang terdekat dan menyintai aku. Yang satu ibuku, yang lain ialah kau."

Airmatanya So So mengucur deras. Ia berduka berbareng girang.

"Ah, baru aku salin pakaian, sekarang kukotorkan lagi dengan air mata," katanya likat.

"Memang!" berkata si anak muda. "Siapa suruh kau doyan menangis? Mari kita bicara dari hal-hal yang menggembirakan!"

"Ya aku ingat sekarang," berkata si nona. "Bukankah itu hari kau membilang bahwa kamar tulismu sama dengan kamar tulisku ini? Sayang sekarang ini pohon-pohon bwee pada gundul. Setahu sampai kapan aku ada mempunyai untung bagus akan dapat pergi melihat rumahmu itu..."

Senang Hian Kie mendengar kata-kata itu, tetapi berbareng ia pun sedikit terkesiap. Entah kenapa, ia menjadi bersangsi. Semakin ia memperhatikan kamar tulis ini, makin ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa seperti juga kepalanya ditindih bayangan gelap hingga ia sukar bernapas...

"Ah, kau nampaknya ketakutan?" menanya So So, yang mengawasi wajah orang sebab si anak muda diam saja, matanya memandang kelilingan kamar, mata itu seperti lenyap sinarnya.

Mendadak Hian Kie berjingkrak bangun.

"Berada di rumahmu ini benar-benar aku merasa takut," ia mengaku. "So So, maukah kau mengikut aku pergi?"

Si nona tertawa dengan manis.

"Tentu sekali akan aku ikut kau!" sahutnya.

Pemuda itu bernapas lega. Ia pun lantas merasakan tubuh yang lemah-lembut dari si nona berada dalam rangkulannya.

Dalam itu saat yang pemuda ini melayang-layang pikirannya karena mabuk cintanya itu, sekonyong-konyong ia mendengar satu suara keras dan dingin: "Kau lepaskan anakku!" Ia menjadi kaget sekali begitupun So So, bahkan nona itu lompat berjingkrak. Ia melihat ayahnya, yang setahu kapan sudah berada di dalam kamar tulis itu, berdiri di depan mereka sejarak tak ada tiga kaki. Ayah itu bermuram durja, pucat mukanya seperti tak ada darahnya. Tangan kanan ayah itu pun diangkat perlahan-lahan.

Anak ini dapat menduga maksud ayahnya itu. "Jikalau kau bunuh dia, kau bunuhlah aku sekalian!" berseru kepada ayahnya itu.

Kepalan Boe Yang seperti tertunda di tengah udara, lalu kemudian dengan sama pelahannya seperti tadi, dikasi turun pula. Ia pun menghela napas.

"Mana ada niatku akan membunuh orang pula?" katanya. "So So, kau suruh dia keluar, hendak aku bicara denganmu."

Lagu suaranya ayah ini bukan lagi lagu suara menitah dari seorang ayah, hanya bernada sebagai mohon sesuatu kepada seorang sahabat. So So pun lantas melihat di wajah dingin dari ayah itu bagaikan ada sinar kecintaan orang tua kepada anaknya. Dengan sendiri hatinya menjadi terharu.

"Hian Kie, kau keluarlah sebentar," ia minta pada si anak muda, suaranya sangat perlahan.

Si anak muda menurut, maka sebentar kemudian di dalam kamar tulis tinggallah si ayah dan anak daranya berdua saja. Mereka berdiri berhadapan, saling mengawasi. Merekalah biasanya orang-orang paling terdekat satu dengan lain akan tetapi sekarang mereka bagaikan orang asing dengan orang asing.

Berselang beberapa saat, sinar matahari mulai menjadi lunak.

"Di dalam hidupku ini cuma kaulah seorang yang aku paling cintai," berkata sang ayah kemudian, "apa pun dapat aku kurbankan kecuali kau."

"Aku tahu itu, ayah," menjawab si anak.

"Ibumu telah pergi," berkata pula si ayah. "Selama belasan tahun ini aku mengerti hatinya ibumu itu, ia terbenam dalam kedukaan, tetapi juga aku kapannya aku tidak pernah berduka? Tentang rumahku ini, sebenarnya sudah tak aku menghendakinya pula, tetapi masih ada sesuatu, jikalau aku tidak utarakan itu pada kau, setelah aku mati nanti, pastilah hatiku tidak tenang, maka itu sekarang aku balik juga kemari. Sesudah aku berbicara, suka kau mengakui aku sebagai ayah, bagus, tidak suka kau mengakuinya, juga bagus, terserah padamu!"

So So mengangkat kepalanya.

"Ayah, bicaralah," berkata sang anak. "Sebenarnya anakmu tak dapat meninggalkan kau..."

-xxXXXxx-

Boe Yang menghela napas panjang.

"Selama beberapa hari ini kau telah melihat sesuatu, kau mendengar sesuatu juga," berkata ayah ini. "Ibumu, Tan Hian Kie, juga Siangkoan Thian Ya, pasti telah mengucapkan sesuatu tentangku di hadapanmu, maka tidaklah heran jikalau kau sangat menyesalkan aku."

"Tan Hian Kie tidak membilang suatu apa tentang ayah." menerangkan si anak.

"Aku ketahui apa yang mereka itu perkatakan. Semua itu benar atau salah, tidak hendak aku membantahnya. Memang dulu hari itu aku pernah berdaya merampas kitab ilmu pedang kakekmu itu dan sekian lama aku telah perlakukan dingin pada ibumu, itulah suatu kenyataan. Jikalau mereka cela aku, aku tidak gusar."

Kedua tangannya So So bergemetaran, dengan itu ia menutup mukanya.

"Kenapa ayah perlakukan dingin pada ibu?" dia menanya. "Aku dengar, di waktu ibu menikah dengan ayah, ibu sudah mengurbankan cintanya satu ayah dengan anak gadisnya. Ialah ibu telah menolongi ayah mencuri pedang itu. Apakah Prbuatan ibu itu terhadap ayah masih tidak cukup

"Dalam hal itu memang aku yang tidak berbuat selayaknya," In Boe Yang mengaku. "Sebenarnya saja aku menikah dengan ibumu itu untuk kitab itu."

Si nona menjerit tajam, ia mundur dua tindak. Bukan main sakit hatinya. Tidak pernah ia menyangka ayah ini akan mengaku terus terang secara demikian, menjadi benar apa yang orang telah memberitahukan kepadanya.

Terdengar In Boe Yang berkata pula, dengan sabar sekali.

"Anak, kau polos dan bersih sekali," katanya, "kau tidak dapat mengijinkan orang berbuat keliru sedikit juga. Adakah cuma karena ini urusan remeh maka kau menjadi takut?"

"Apakah cuma karena ini?" si anak mengulangi. "Belasan tahun kau telah perlakukan dingin pada ibu, adakah itu suatu urusan remeh?"

Boe Yang tertawa, tertawa sedih.

"Selama hidupku, aku telah melakukan sejumlah kesalahan," ia berkata pula, "apa yang mereka itu bilang, ada yang dusta. Tapi, umpama kata semua itu benar, itu pun tidak berarti apa-apa. Yang paling membikin aku bersusah hati adalah satu kesalahan besar yang aku telah perbuatnya. Di kolong langit ini, tidak ada seorang jua yang mengetahui itu. Selama ini belasan tahun, itulah yang membikin aku sangat menyesal. Ya, So So, mengertikah kau apa yang membuatnya hati orang paling bersengsara? Itulah melakukan suatu dosa tanpa ada orang lain yang mengetahuinya, tidak ada orang yang menegurnya, hingga dia menjadi tersiksa sendirinya, tersiksa bathinnya. Inilah hukuman yang paling kejam di kolong langit ini! Kaulah anak yang aku paling cinta, sekarang aku hendak memberitahu padamu. Untuk itu aku bersedia untuk kau tegur, untuk kau ludahi..."

Inilah hal yang tidak disangka-sangka. In Boe Yang yang demikian kosen, suatu jago, berbicara secara demikian menyedihkan, ia mirip seorang penjahat di muka seorang hakim, hingga ia rela meminta teguran puterinya sendiri. Tadinya mukanya pucat, sekarang paras muka itu menjadi merah. Itulah tanda dari bergolaknya sanubarinya, hati nuraninya. Tetapi So So pun mendapat goncangan hati yang terlebih hebat lagi, mulanya dia kaget, lalu dia menjadi heran, akhirnya dia menjadi ketakutan, menjadi berkasihan.

"Ayah, kau bicaralah," katanya, suaranya mengemetar. "Kesalahan besar apa juga kau telah lakukan, So So tetap anakmu."

Boe Yang telah mengkerut alisnya, sekarang ia dapat buka itu.

"Pada duapuluh tahun yang lalu..." katanya. "Ah, tunggu dulu, hendak aku melihat yang mana yang telah datang berkunjung..."

So So ingin minta ayahnya cerita terus, tetapi ketika ia sudah memasang kupingnya, ia mendengar suara tak wajar, mulanya jauh di pekarangan luar, atau lekas juga telah berada di pekarangan dalam. Itulah suara dari beberapa orang.

"So So, kau berdiam di dalam kamar ini, jangan kau keluar," berkata sang ayah. Ia nampaknya gelisah jauh melebihkan daripada datangnya Tjio Thian Tok.

So So melihat keluar dari antara jendela. Ia melihat lima orang tua berdiri berbaris di dalam pekarangan dalamnya. Tiga antaranya toosoe atau imam, yang dua lagi orang biasa, hanya yang satu gemuk yang lain kurus, mereka ini mirip dengan seorang dusun dan seorang guru sekolah.

In Boe Yang tertawa terbahak-bahak.

"Boetong Ngoloo datang berbareng sungguh suatu kehormatan untukku!" berkata dia dengan nyaring. Boetong Ngoloo itu ialah lima tertua dari Boetong Pay.

So So terkejut. Ia pernah mendengar namanya lima tertua itu dari ayahnya. Boetong Pay diakui umum sebagai suatu partai persilatan yang terbesar di jamannya itu dan muridnya pun paling banyak, di antaranya ada murid imam, ada juga murid orang biasa, artinya yang tidak mensucikan diri. Dan ketiga imam ini adalah tiangloo-tiangloo dari Boetong San, yaitu Tie Wan Tiangloo si ketua, Tie Hong Tiangloo si penilik, dan Tie Kong Tiangloo kepala dari pendopo Tat Mo Ih. Orang yang mirip orang dusun itu ialah Tjioe Tong, salah satu tertua Boetong Pay dari kalangan orang biasa, dan yang seperti guru sekolah ialah Kok Tjiong, juga satu tertua dari kalangan orang biasa itu, hanya yang satu dari Boetong Pay golongan Utara, Pak Pay, yang lain dari golongan Selatan, Lam Pay. Mereka ini berdua satu di selatan dan satu lagi di utara, terpisah jauh satu dengan lain, tetapi sekarang mereka ada bersama tiga tertua dari Boetong San, itulah bukan kejadian yang biasa saja.

"Tanpa ada urusan tidak berani kami datang berkunjung," berkata Tie Wan Tiangloo. "Hari ini kami datang untuk meminta orang."

Imam ini bicara dengan singkat dan terang tentang maksud kedatangannya itu.

In Boe Yang sudah dapat menduga apa yang orang akan mengatakannya. Coba Boetong Ngoloo datang pada dua hari yang lalu, pastilah ia mau menganggap mereka mengancam dan dia bakal menjadi gusar sekali. Tapi sekarang, setelah ia mendapatkan pengalamannya yang paling belakang ini, hatinya sudah menjadi dingin.

"Kamu meminta orang, inilah gampang," sahutnya. "Silahkan masuk dulu untuk minum teh."

Jawaban ini di luar dugaannya ke lima tetamu itu. Mereka menyangka bakal terjadi satu pertengkaran, tidak dinyana, Boe Yang lantas saja menerima baik.

"Di mana adanya Siangkoan Thian Ya sekarang?" Tie Hong tanya. "Apakah kau sudah berbuat atas dirinya ahli waris dari Boetong Pay kami?"

Tjioe Tong ada seorang yang keras adatnya, tanpa menanti Tie Hong berhenti bicara, ia sudah turut campur bicara.

"Jikalau gampang, lekas kau antar dia keluar!" bentaknya. "Siapa mempunyai kesempatan untuk meminum air tehmu?"

Wajahnya Boe Yang menjadi muram, akan tetapi ia masih dapat mengendalikan diri. Ia berdongak dan tertawa bergelak.

"Jikalau Ngoloo tak tenang hatinya, marilah kita pergi," ia menjawab. "Malah kita lihat apakah aku orang she In telah perlakukan tak selayaknya kepada ahli waris kamu."

"Ayah!" berkata So So dari balik jendela. Ia ketahui ayahnya bakal kecele.

Ia hendak lompat keluar jendela, ketika ia dengar ayahnya berkata dengan lunak: "So So, tak usah kau campur urusan ini. Aku berjanji padamu hari ini aku hendak berbuat murah hati untukmu, kau jangan buat kuatir."

Selagi ayah ini berkata-kata mereka sudah berjalan keluar dari pintu besar dan mulai berlari-lari mendaki bukit. Suaranya Boe Yang itupun dikeluarkan menurut suara tenaga dalam.

Si nona menjadi bingung, ia berlari keluar, untuk menyusul. Baharu ia menikung atau ia telah melihat ayahnya itu dan Boetong Ngoloo sudah berada di depan guha. Hanya Boe Yang segera menjadi kaget sekali, sebab pintu guha ambruk runtuh. Ia mendahului lari masuk ke dalam guha itu, akan akhirnya dengan murka ia berseru: "Kamu sudah bekerja sama merusak pintu guhaku ini, sekarang kamu datang untuk meminta orang!" Ia lantas menyangka, menuduh lima tertua itu.

Tie Hong pun menjadi terlebih murka.

"Kau seorang kenamaan!" bentaknya. "Kenapa kau mendusta begini macam?"

"Di mana kau tahan ahli waris kami?" Tjioe Tong menanya. "Benarkah kau telah menganiaya dia?"

Dalam murkanya, jago Pak Pay ini sudah lantas menyerang dengan pukulannya "Mega menutup gunung Tjhong San," lima jari tangannya menyambar ke tulang piepee dari tuan rumahnya.

Boe Yang tertawa dingin. Belum lagi serangan tiba, ia sudah menangkis sambil menyambar dan diteruskan dengan satu tarikan, maka tidak ampun lagi, Tjioe Tong kena tertarik keluar guha. Di ambang pintu, tuan rumah itu berdiri tegar.

"Jikalau kamu hendak bertempur, marilah di luar!" tantangnya. "Jangan di dalam, nanti kamu membikin rusak kamar samedhiku!"

Tie Wan Tiangloo sabar sekali.

"Kami bukannya bangsa buaya darat," ia berkata, "maka silahkan kamu berdua menghentikan tangan kamu. Mari kita bicara dulu, untuk mengetahui kenyataan, benar atau salah akan terbukti belakangan."

Kata-kata itu kelihatannya menegur kedua pihak, tetapi sebenarnya Tjioe Tong yang dilindungi.

Boe Yang sangat mendongkol, tetapi untuk memegang derajat, ia menahan sabar. Ia telah berketetapan untuk tidak takuti mereka itu.

Tie Wan yang keluar paling belakang. Ia memeriksa ke tanah di pintu.

"Kiesoe membilangnya pintu guha ini kamilah yang merusak," ia berkata, tenang. Wiesoe adalah seorang kenamaan, pasti kau dapat melihatnya. Kami benar mengerti juga sedikit ilmu silat tetapi inilah bukan perbuatan kami. Kiesoe periksa sendiri, bukankah ini hanya serangan tangan dari satu orang? Kenapa kiesoe menuduh kami, adakah itu disengaja?"

Hatinya Boe Yang bercekat. Ia lantas memeriksanya. Memang, kalau dihajar berlima dengan berbareng, akibatnya tidak nanti berupa demikian macam. Ia telah terlepasan omong. Ia menduga demikian karena Thian Tok sudah mati dan ia menyangka tidak ada lain orang yang melebihkan Thian Tok kecuali Boetong Ngoloo ini. Sekarang ia disenggapi imam tua itu.

"Ya, aku telah melihat keliru," katanya, mengaku. "Kalau begitu, Siangkoan Thian Ya sudah melarikan diri."

"Hm!" Tie Hong Tiangloo tertawa dingin.

"Pintu guha ini kau yang menggempurnya sendiri, sekarang kau menuduh kami, bagus benar, Apakah maksudmu?"

"Dia sudah mengaku salah sudahlah," Tie Wan Tiangloo menyelak. "Sekarang kami cuma perlu meminta orang!"

"Kau telah mengurung ahli waris kami, lalu kau juga sengaja menggempur pintu guhamu!" Tjioe Tong campur bicara. "Hm! Kau sengaja hendak menimpakan kesalahan kepada lain orang! Sebenarnya, apakah kau telah perbuat atas ahli waris kami itu?"

Makin hebat pertanyaannya rombongan Boetong Ngoloo itu.

In Boe Yang menjadi gusar.

"Untuk membinasakan Siangkoan Thian Ya, perlu apa aku sampai memakai segala akal begini?" ia berseru. "Asal aku lemparkan dia ke gunung untuk digegarasi serigala, lalu aku menyangkal, apa kamu bisa bilang?"

Alasan ini dapat diterima baik. Memang, perlu apa Boe Yang memakai akal yang berbelit-belit itu bahkan merusak percuma-cuma pintu guhanya? Tetap, Boetong Ngoloo berpendapat: "Kecuali In Boe Yang, tidak ada orang lain setangguh dia."

Boe Yang berkata pula: "Kamu lihat bagian dari guhaku ini, di tembok penuh segala coretan ilmu silat yang aku sedang yakinkan, dengan ini kamu bisa menduga kenapa aku kurung Siangkoan Thian Ya di dalam guha ini. Mustahilkah kamu tidak dapat melihat maksudku yang baik?"

"Tetapi itulah kata-katamu sendiri!" kata Tie Kong dingin. "Siapa yang ketahui maksudmu yang sebenarnya?"

"Memang!" Kok Tjiong membenarkan kawannya itu. "Kau mengurung dia di sini atau tidak, siapakah yang mengetahuinya? Umpama kata benar kau kurung dia di sini, habis kau menggempur pintunya, tidakkah itu bukan berarti kau berniat kurang baik terhadap dirinya?"

"Kecuali kau cari Siangkoan Thian Ya, iblis pun tak akan mempercayaimu!" Tie Hong putuskan.

Selagi Boe Yang belum sempat menjawab tertua-tua Boetong Pay itu, tiba-tiba terdengarlah satu suara yang halus tetapi terang: "Memang benar Siangkoan Thian Ya dikurung di dalam ini guha akan tetapi pintunya bukanlah ayahku yang menggempurnya."

Di antara mereka segera muncul seorang nona. Mereka semua orang lantas berpaling dan mengawasi nona itu.

"Nona In, kau hendak menjadi saksi untuk ayahmu?" Tie Hong Tiangloo tanya. Pertanyaan itu bersifat mengejek.

So So berdiri tegak, sikapnya halus tetapi keren.

"Memang aku menjadi saksi di pihak ayahku," ia mennyahut, tenang. "Tadi malam aku sendiri telah datang kemari dan aku telah bertemu sama Siangkoan Thian Ya. Adalah maksudku untuk menolong memerdekakan dia tapi dia menolak." Ia terus menoleh kepada ayahnya dan berkata: "Ayah, kau toh tidak marahkan aku bukan?"

"Nona In bermaksud baik sekali!" kata Kok Tjiong tertawa.

"Memang juga di bawahan panglima gagah tak ada serdadu yang loyo!" Tie Hong turut mengejek. Teranglah mereka tidak sudi percaya nona itu. In Boe Yang menjadi sangat mendongkol dan gusar. Tidak apa orang tidak mempercayai dia, tetapi anak daranya tidak dipercaya juga, inilah hebat, itulah satu penghinaan terhadap dirinya. Tiba-tiba saja ia menghajar sebuah batu besar di dekatnya hingga batu itu pecah hancur berhamburan!

Boetong Ngoloo terkejut, segera mereka mengambil sikap bersedia untuk bertempur.

"Kau memaksakan keteranganmu, karena kau tidak berhasil, kau menjadi malu dan gusar, bukankah?" Tie Wan Tiangloo tanya.

"Untuk bicara dengan pantas, aku mesti lihat dulu pihak sana pantas diajak bicara atau tidak!" berkata Boe Yang, yang tertawa terbahak. "Karena kau bilang aku memaksakan, baiklah, sekarang aku memaksa! Siangkoan Thian Ya ada satu anak muda, ia dari tingkatan bawahan, tetapi terhadap aku dia berbuat kurang ajar. Di waktu tengah malam buta rata, dia lancang naik ke gunungku ini dan memasuki rumahku, maka itu aku telah bekuk dia dan membunuhnya! Sekarang pergi kamu mengundang kaum Rimba Persilatan untuk mereka memberikan keputusannya!"

Boetong Ngoloo saling mengawasi. Mereka terbenam dalam kesangsian. Benarkah kata orang ini atau dia mendusta?

Tie Wan Tiangloo biasa menghargai diri sendiri, biarnya Boe Yang berkeras, ia lihat pada itu bukannya tidak ada alasannya. Maka itu ia berkata dengan sabar: "Jikalau benar Siangkoan Thian Ya memasuki tanpa sebab musabab, sekalipun kau membunuh dia, aku tidak dapat membilang suatu apa. Tetapi kau telah mencuri kitab ilmu pedang dari Boetong Pay, dialah ahli waris kami, maka itu dia datang untuk meminta pulang kitab itu, maka kenapa kau berani bilang dia datang tanpa alasan?"

Parasnya In Boe Yang berubah, akan tetapi ia menoleh kepada puterinya dan berkata: "Sekalipun kata-katanya seorang muda tak dapat terlalu diandalkan, maka itu lain kali kau mesti berlaku waspada. Aku pandang Siangkoan Thian Ya sebagai seorang muda yang berbakat baik, kiranya dia pun mendustakan aku!"

Memang Siangkoan Thian Ya membilang dia diutus Bouw It Siok, bahwa halnya kitab pedang itu dia tidak pernah omong kepada lain orang, bahwa sebelum dia datang ke gunung Holan San ini, dia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Tie Wan Tiangloo, surat mana barulah boleh dibuka Tie Wan andaikata berselang satu tahun tak ada kabar ceritanya tentang dia. Tapi sekarang, dalam tempo yang pendek, Boetong Ngoloo datang bersama, bahkan mereka segera menyebut-nyebut tentang kitab ilmu pedang itu. Seandainya Siangkoan Thian Ya tidak mendusta maka terang sudah Tie Wan Tiangloo sudah lancang mendahului membuka suratnya itu sebelum tempo satu tahun. Dengan mengatakan Thian Ya mendustakan dia, Boe Yang hendak memberi ingat kepada puterinya supaya puteri ini pun jangan terlalu percaya Tan Hian Kie, agar anaknya ini tidaklah sampai kena diperdayakan.

Tie Wan Tiangloo melengak mendengar perkataannya tuan rumah ini.

"Dalam hal apakah Siangkoan Thian Ya menipu kau?" ia tanya.

Suratnya Thian Ya memang dibuka Tie Wan, dibuka dengan lantas, tanpa menghormati pesan Siangkoan Thian Ya untuk menanti satu tahun. Inilah disebabkan terutama karena Tie Wan sendiri pernah mendengar kabar angin bahwa In Boe Yang telah mencuri kitab pedangnya Bouw Tok It. Ketika ia menerima suratnya Thian Ya itu dengan Thian Ya lantas pergi tanpa pamitan lagi, ia sudah lantas menduga urusan kitab itu. Tentu saja ia menjadi curiga dan menguatirkan itu murid yang menjadi ahli waris, maka ia buka surat orang dan lantas bertindak mengumpulkan kawan dan menyusul ke Holan San ini dengan niat membantu atau menolongi ahli waris itu.

In Boe Yang menjawab: "Siangkoan Thian Ya telah menipu aku, sudah saja, hitung-hitung mataku buta. Tentang itu tak usah kau tanya-tanya lagi. Kau menyebut kitab ilmu pedang, baiklah, mari kita omong tentang kitab itu. Aku ada mantunya keluarga Bouw kamu sendiri, kamu pernah apakah? Mentuaku itu bekas tjiangboendjin dari partaimu tetapi kitab pedang yang ia dapatkan itu belum pasti milik partaimu itu. Di dalam kalangan Rimba Persilatan tidak ada semacam aturan. Seandainya mertuaku ada pesannya bahwa ilmu pedangnya itu tidak dapat diwariskan kepada anak perempuan dan mesti cuma kepada ahli waris, yang kemudian menjadi tjiangboendjin, nah, aku minta, kamu tunjukilah surat wasiatnya itu!"

Ini pun alasan yang dipaksakan, tetapi karena itu, merah mukanya Tie Wan Tiangloo tidak dapat ia alasan untuk menjawab.

Menampak itu, Kok Tjiong melirik kepada tiga kawannya yang lain, dari berduduk, ia bangun berdiri. Dengan dingin, nadanya seram, ia berkata: "mertuamu itu terbinasa di tanganmu yang berbisa, dia mati secara mendadak, walaupun dia memikir untuk menulis surat wasiatnya, sudah tidak ada ketikanya lagi!"

Mendengar ini, So So kaget bukan kepalang. Tiba-tiba ia ingat: "Ayah pernah mengatakannya bahwa seumur hidupnya ia pernah melakukan satu kesalahan besar, yang ia buat penyesalan, adakah ini kesalahannya itu? Jikalau benar dia bunuh kakekku, mustahil ibu dapat tetap tinggal dengannya untuk banyak tahun? Seharusnya, tidak menanti sampai sekarang, ibu sudah mesti pergi meninggalkannya....

Boe Yang bermuram durja. Pada matanya tampak sinar pembunuhan. Mendadak saja, ia mendongak dan tertawa panjang.

Kok Tjiong adalah murid kepala dari Bouw Tok It. Pula ia terlebih tua sepuluh tahun daripada Bouw It Siok. Katanya ketika Bouw Tok It meninggal dunia, orang yang mendampinginya adalah ia sendiri bersama It Siok. Maka itu, dengan kedudukannya itu, tidak mungkin Kok Tjiong melainkan menuduh Boe Yang.

So So menjadi sangat berkuatir, ia memandang ayahnya itu.

"Aku si orang she In telah berdosa di matanya orang luar, itulah terjadi bukan cuma urusan ini saja!" katanya nyaring, "semua itu tuduhan belaka! Boetong Ngoloo, hari ini kamu datang, sikapmu sangat galak, kiranya kamu datang untuk menegur aku. Baiklah, aku tidak hendak membantah lagi. Kamu menghendaki cara apa, silahkan kamu menyebutkannya. Sekalipun menghadapi pedang atau golok, tak nanti aku mengerutkan keningku!"

Hatinya So So goncang pula. Kata-katanya ayah ini terang menunjuki Kok Tjiong memfitnah belaka. Melihat sikap ayahnya, itulah terang bukan sikapnya seorang yang berdosa. Kemudian lega juga hatinya. Toh tetap ia ragu-ragu, benar atau tidak kakeknya terbinasa di tangan ayahnya itu..."

Kok Tjiong tertawa pula dengan dingin.

"Memang biasa seorang berdosa besar, bisa dia memainkan lidah!" katanya. "Kau boleh menyebutkannya aku memfitnah, tetapi kematiannya guruku itu akulah yang menyaksikan dengan mataku sendiri! Adakah kau kira Kok Tjiong satu pendusta? Mustahilkah aku hendak memfitnah padamu?"

In Boe Yang mengangkat kepalanya, ia mengawasi kelima orang itu, sikapnya jumawa.

"Kau mendusta atau tidak, cuma kau sendirilah yang mengetahuinya!" ia berkata. "Sudah aku bilang, tidak hendak aku membantah. Perlu apa kau banyak bacot lagi?" Ia mengangkat alisnya, ia menambahkan dengan nyaring: "Untukku, julukan si orang berdosa besar tetaplah sudah, maka itu, baiklah, mari aku menambah itu dengan melakukan satu kedosaan besar lainnya! Maafkan aku, Ngoloo, sekarang aku hendak menahan kamu!"

Tie Hong menjadi sangat murka.

"In, In Boe Yang!" serunya. "Kau sangat terkebur! Berapa tingginya kepandaian kau maka kau berani menahan kami? Hendak aku lihat, hari ini siapakah yang bakal mengubur tulang belulangnya di ini gunung belukar!"

Boetong Ngoloo ada bagaikan gunung Tay San atau bintang Pak Tauw dalam kalangan Rimba Persilatan, jangan kata mereka berlima, satu saja di antaranya tidak nanti sudi orang permainkan. Sekarang In Boe Yang tidak memandang mata kepada mereka mereka hendak "dibereskan," tidak aneh mereka menjadi gusar, lebih-lebih Tie Hong yang berangasan.

"Hari ini kau hendak menahan kami, itulah bagus!" kata Kok Tjiong dengan tawar. "Kami disebut tiangloo dari Boetong Pay, tetapi kami belum pernah menyaksikan ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat yang diwariskan oleh tjouwsoe kami, maka sekarang adalah ketikanya yang paling baik untuk belajar kenal. Umpama kata kami berlima mesti roboh di tanganmu, itulah berharga, supaya dengan begitu dunia akan mendapat ketahui lihaynya ilmu silat partai kami!"

Kok Tjiong ini dikenal sebagai "Imkan Sioetjay," Sasterawan Neraka, maka itu bisa dimengerti jikalau dia licin sekali. Dengan kata-katanya itu, di luar ia memuji In Boe Yang, di lain pihak ia menyindir yang Boe Yang sudah mencuri ilmu silat Boetong Pay dengan apa dia menentangi murid-murid Boetong Pay sendiri, maka juga, menang atau kalah, muka Boe Yang tidak bakal jadi terang cemerlang.

Sepasang alisnya Boe Yang, bergerak pula, kembali dia tertawa lebar.

"Kamu berkukuh bahwa Tat Mo Kiamhoat ada ilmu pedang Boetong Pay, baiklah! katanya. "Hari ini aku si orang she In tidak hendak menggunai pedang, aku hanya akan melayani kamu dengan sepasang tangan kosong! Kamu lihat bisa atau tidak aku menahan kamu!"

Habis sabarnya Tie Hong, tanpa membilang apa-apa lagi tinjunya melayang!

Berbareng dengan itu, Boetong Ngoloo mendengar suara tertawa yang nyaring dan panjang, yang seperti menulikan kuping, lantas mereka melihat tangannya Boe Yang bergerak laksana kilat. Habis itu, di antara bentroknya dua tangan Tie Hong roboh terbanting, menyusul mana tangan kirinya si orang she In, ialah dua jarinya, mencari jalan darah giokkoat dan imhiat dari Kok Tjiong. Itulah dua jalan darah yang utama, yang tidak sembarang orang dapat menotoknya. Rupanya saking panas hatinya, Boe Yang mengarah kedua jalan darah itu. Siapa tertotok di jalan darah itu, kalau dia tidak lantas binasa, sedikitnya tubuhnya akan bercacat.

Maka itu, menampak demikian, Tie Kong dan Tjioe Tong kaget tidak terkira, keduanya berseru, sambil berseru, mereka lompat maju. Mereka ini ada terlebih lihay daripada Tie Hong, tangan mereka masing-masing menyambar ke dada dan perutnya si orang she In itu.

"Bagus!" Boe Yang berseru seraya segera mengubah cara bergeraknya. Ia bukannya menangkis, hanya jeriji tangannya memapaki Tie Kong. Tepat ia mengenai jalan darah kioktie, hingga seketika itu juga, sebagian tubuhnya tiangloo itu seperti mati kaku, hingga dia terhuyung dua tiga tindak.

Boe Yang tidak berhenti sampai di situ, sikutnya bekerja terus, mampir di tubuhnya Tjioe Tong, hingga dia ini, jago Boe Tong Pay dari Utara, mesti melengkung-melengking pinggangnya. Menyusuli itu, dengan Tangan Geledek berantai, Boe Yang terus meninju punggungnya Kok Tjiong. Hanya kali ini, belum lagi tinjunya itu sampai pada sasarannya, ia merasakan dorongan angin yang keras sekali hingga ia mesti membatalkan seragannya itu seraya memutar tubuhnya, untuk berkelit. Tetapi ia tidak cuma berkelit, hanya dengan kedua tangannya, ia menahan dorongan yang luar biasa itu. Maka bentroklah empat buah tangan.

Penyerang itu, yang menolongi Kok Tjiong, adalah Tie Wan Tiangloo, orang tertangguh di antara Boetong Ngoloo.

"Roboh!, berseru In Boe Yang, yang tak berhenti karena hanya rintangan itu. Kedua tangannya, dengan masing-masing terlentang dan tengkurap, bergerak dengan sangat dahsyat menghalau tangannya Tie Wan Tiangloo, hingga ketua Boetong Pay ini mesti terhuyung beberapa tindak. Masih syukur untuknya, dia tidak sampai terguling roboh.

Lagi-lagi In Boe Yang mengasi dengar tertawanya yang nyaring dan lantang, karena sekarang ia berpikir: "Aku tidak sangka Boetong Ngoloo ada seperti kantung nasi saja! Tie Wan sendiri cuma dapat menyambut tiga jurusku!" Sebenarnya ia hendak menyindir mereka itu, tempo terlihat Tie Kong bersama Tie Hong, Kok Tjiong dan Tjioe Tong, pada berlompat bangun, bahkan dengan mengambil keletakan empat penjuru mereka maju mengurung.

Sekarang Boe Yang memandang enteng sekali pada kelima lawannya itu. Kata dia sambil tertawa dingin, "Hm! Serombongan kambing menyerbu harimau galak! Apakah faedahnya jumlah kamu yang banyak!"

Baru orang she In berkata demikian atau mendadak ia merasakan dirinya terkurung dorongan angin yang dahsyat. Tentu saja ia menjadi kaget sekali. Tapi ia besar nyalinya, ia tidak takut. Dengan lantas ia membela diri dengan gerakannya "Angin hujan di delapan penjuru", kedua tangannya bergerak memutar bundar dengan apa ia menolak mundur serangan lawan. Kesudahannya itu, karena bentroknya tangan mereka, empat jago Boetong itu mundur setindak dan Boe Yang terhuyung. Sebab meski benar ia dapat menangkis, membela dirinya, satu melawan empat, ia kasih keteter.

Baru sekarang Boe Yang terkejut. Insaflah ia, satu lawan satu, mereka itu tidak berarti banyak tetapi apabila mereka bergabung, mereka merupakan lawan yang tangguh. Ia memangnya tidak mengetahui, apabila mereka bekerja sama, empat jago Boetong itu menjadi hebat sekali, empat seperti berubah menjadi delapan.

Hanya mundur satu tindak, Tie Hong berempat sudah mengambil pula kedudukan mereka, lagi sekali mereka maju dengan berbareng.

Boe Yang telah merasakan tenaga orang, sekarang ia tidak berani memandang enteng pula. Dengan lantas ia menancap kuda-kudanya, kedua tangannya dirangkap, tidak lagi dipisah seperti bermula tadi. Ia pun mengeluarkannya dengan perlahan. Maka sekarang tenaganya tidak terpencar pula. Kali ini ia berhasil, ia tidak sampai terhuyung. Keempat jago Boetong itu pun tidak dapat maju setengah tindak juga dengan penyerangan tergabungnya itu.

Tie Wan menyaksikan itu pertempuran, matanya jadi seperti menyala, mukanya menjadi suram. Itulah tanda bahwa ia ada sangat gusar. Ia lantas bertindak maju, perlahan tindakannya itu.

In Boe Yang dapat melihat sikapnya ketua Boetong Pay itu, ia mengeluh di dalam hatinya. Melawan empat jago saja ia sudah merasakan hebat sekali. Tapi terpaksa ia mengempos semangatnya, untuk mengerahkan tenaga di kedua tangannya itu.

"In Boe Yang," berkata Tie Wan Tiangloo sambil mengertak gigi, "hari ini beberapa tulangku yang tua hendak aku serahkan padamu!" Kata-kata ini disusul sama diulurnya tangannya yang satu, dikasi turun dari atas ke bawah.

Ancaman Tie Wan ini adalah batok kepalanya Boe Yang. Berbareng dengan itu Tie Hong berempat juga menyerang serentak.

Boe Yang mencoba mempertahankan diri, ia merasakan hampir sukar bernapas. Ia tidak kalah tetapi toh lawannya itu dapat maju satu tindak.

Tipu silat Boetong Ngoloo, ini ialah yang dinamakan "Ngoloei Thiansim Tjianghoat," Tangan Lima Geledek khasiatnya ialah lima menjadi satu. Dengan ini mereka berhasil mendesak lawan, sia-sia Boe Yang mempertahankan diri, pihak lawan dapat maju sedikit demi sedikit. Maka diakhirnya ia berpikir, tidak dapat ia bertahan terus secara demikian.

Kembali bersinar cahaya matanya jago she In ini. Mendadak saja dia berseru disusuli melayangnya tangannya yang kiri diarahkan kepada Tie Hong, salah satu lawan yang paling lemah.

Imam ini terkejut, dengan sendirinya ia kena digertak beberapa tindak.

Menampak itu, Boe Yang girang sekali. Maka hendak ia berlompat, untuk menerjang keluar. Tapi ia menjadi kaget ketika ia merasakan batok kepalanya tersambar angin. Ia mengerti itulah serangan dari belakangnya.

Memang itulah serangan Tie Wan Tiangloo berdua Tjioe Tong, mereka itu menggunai masing-masing sepasang tangan mereka.

Dalam kagetnya, Boe Yang berkelit, untuk menangkis, karena mana, batal ia menerjang keluar, sebaliknya, ia menjadi kena terkurung pula.

"Kepala, dan buntut berantai, dari empat penjuru menyerang berbareng," Tie Wan mengasi isyarat perlahan kepada keempat kawannya. "Jangan kemaruk untuk maju."

Tie Hong berempat mengangguk perlahan.

Benar saja, habis itu serangan mereka tidak sehebat tadi sebaliknya pembelaan dirinya bertambah kuat, ke mana saja Boe Yang menyerang, ia seperti menyerang tembok yang kokoh besar. Beberapa kali ia mencoba menerjang dengan kesudahan tanpa hasil.

Beberapa saat kemudian, kening Boe Yang bermandikan keringat. Dari kepalanya pun menghembus hawa seperti asap.

So So cemas hatinya. Ia belum mahir dalam ilmu tenaga dalam tetapi ia mengerti yang ayahnya sudah mengerahkan tenaga melebihkan batas kekuatannya. Itu artinya ancaman bahaya untuk ayahnya itu.

Selagi begitu, Boetong Ngoloo berbareng berseru, berbareng dengan desakan mereka, serangan mereka diikuti dengan majunya kaki satu tindak. Tie Wan Tiangloo pun menyerang dua kali dengan beruntun.

"Kelihatannya Boe Yong sangat terdesak, ia bagaikan tak kuat untuk membalas menyerang. Dengan begitu kelima lawannya dapat merangsak lebih jauh.

"Walaupun kitab pedang Boetong Pay kami dapat kau curi," berkata Tie Wan dengan dingin, "kau yang sangat kesohor ilmunya, In Boen Yang, tidak nanti kau dapat menahan tulang-tulang tua dari kami1 Kau sekarang akan tunduk bukankah? Hm! Kau sendiri boleh telengas, hendak kau menghabiskan lain orang, tetapi kami orang-orang Boetong Pay, kami bukannya bangsa jahat dan busuk, asal kau menyerah dan suka mengangguk tiga kali kepada kami sambil menyerahkan kitab pedang itu, suka kami berlaku murah, akan kami memberi ampun kepada jiwa cilikmu!"

Mendengar itu, kedua matanya Boe Yang bersinar pula. Tetapi ia tidak menghunjuk kemurkaannya, sebaliknya, ia tertawa.

"Kau bicara tentang menghabiskan, tentang jahat dan busuk? Ha, kau justeru menyadarkan aku!" jawabnya.

Tie Wan terkejut juga mendengar perkataan orang itu. Ia memberi tanda kepada kawan-kawannya, ia lantas menyerang pula dengan hebat untuk mencegah orang mendapat ketika akan membebaskan diri.

Beberapa jurus kemudian, dengan satu suara nyaring, pundak Boe Yang kena terhajar kepalannya Tie Kong Tiangloo.

"Ayah!" berteriak So So. "Bukannya kau yang membunuh kakek, mengapa kau tidak mau menyangkal?"

Nona ini berkata demikian, tetapi sebenarnya ia tak tahu suatu apa tentang kematian kakek luarnya itu, hanya sebagai anak, dapat ia melihat roman ayahnya, mau ia percaya ayahnya bukanlah si pembunuh, kalau tidak, tidak nanti tadi ia tak tahu suatu apa tentang kematian kakek luarnya itu, hanya sebagai anak, dapat ia melihat roman ayahnya jadi sangat mendongkol dan gusar.

Boe Yang telah terkurung, ia sudah merasakan bogem mentah, akan tetapi ia masih dapat bersenyum, cuma mulutnya saja yang tinggal bungkam.

Lagi satu kali terdengar suara "Duk!" dan kali ini Tie Wan Tiangloo yang dapat menyerang dengan jitu. Imam ini lebih lihay daripada empat kawannya, maka juga robeklah baju di punggungnya si orang she In, hingga di punggung itu terlihat tapak tangan yang merah.



Dengan menggunakan ilmu It-tjie-sian, Boe Yang melawan Boe Tong Ngo Looyang mengurungnya dengan ilmu silat Ian Tyang-hoat.



"Ayah, inilah pedangmu!" So So berteriak. Ia memegang Koengo kiam, hendak ia menghunus pedang itu, untuk diserahkan kepada ayahnya itu. Ia tidak dapat menonton saja ayahnya terdesak demikian rupa. Benar Boe Yang sudah menantang tetapi dia dikepung berlima, inilah tidak adil.

Baru sekarang Boe Yang membuka suaranya. Ia menyahut sambil tertawa jumawa: "So So, sejak kapan perkataannya ayahmu tak dapat dihormati!"

Justeru orang she In ini berbicara, justeru lagi-lagi ia dirangsak. Nampaknya sekarang ia sudah tidak, dapat mundur lagi. Justeru itu, ia berseru keras sekali, selagi berseru, sinar matanya bentrok sama sinar mata puterinya, So So menjadi kaget dan ketakutan. Ia melihat sinar matanya ayah itu seperti pada waktu sang ayah membinasakan Tjio Thian Tok.

"Ayah, jangan!" anak ini berseru, untuk mencegah.

Belum berhenti suaranya anak ini atau Boe Yang terlihat mendak dengan kedua tangannya diturunkan ke dengkulnya. Dengan berkelit secara demikian, serangannya ke lima tertua Boetong Pay itu mengenakan tempat kosong. Setelah itu, tubuh Boe Yang terlihat terputar bagaikan angin puyuh, kedua tangannya digeraki, sepuluh jarinya dipentang, lalu di luar sangkaan, Boetong Ngoloo pada roboh terguling, tak sempat mereka itu menjerit, pula paras muka mereka memperlihatkan roman mengerikan.

Boe Yang sudah lantas berdiri tegar, kedua tangannya dihentikan bergeraknya. Dengan tawar ia berkata: "Aku si orang she In tolol, tetapi akhirnya dapat juga aku menahan Boetong Ngoloo!"

Tie Wan berlima tidak dapat membilang suatu apa. Ada terdengar suara di tenggorokannya, tapi kata-katanya tak keluar. Rupanya jalan darah mereka sudah tertutup.

"Ayah!" menjerit So So, ketakutan.

"Hari ini ayahmu berlaku sangat murah hati," menyahut ayah itu. "Coba tadi kau tidak menjerit, mungkin aku telah melakukan satu pembunuhan besar-besaran!"

Delapan belas tahun In Boe Yang mengeram diri di gunung Holan San, kecuali ia berhasil menyempurnakan ilmu pedangnya, ia juga telah meyakinkan Ittjie sian, ialah ilmu totok dengan sebuah jari tangan. Dengan ilmu totok ini, ia dapat membuatnya orang mati atau bercacat seumur hidup, terserah kepada belas kasihannya. Boetong Ngoloo gagah, mereka sangat mendesak, di mana ia tidak dapat menggunai pedang seperti kata-katanya yang ia hormati, di saat sangat genting itu, Boe Yang terpaksa menggunai Ittjie sian. Inilah tidak pernah disangka Tie Wan berlima, maka itu robohlah mereka secara kecewa.

Setelah berdiam beberapa detik, Boetong Ngoloo dapat juga bergerak, untuk berduduk. Mereka lantas mengempos semangat mereka, untuk mengerahkan tenaga. Beberapa kali mereka mencoba dengan sia-sia tidak sanggup mereka membebaskan diri dari totokan lawannya itu. Bahkan bukan mereka merasa napasnya semakin lega, sebaliknya, mereka nyeri. Diam-diam dinginlah hatinya lima jago ini. Mereka menyesal. Coba mereka membiarkan Boe Yang menggunai pedangnya, mungkin mereka mati lantas, tidak seperti sekarang, dirobohkan dan terhina, tersiksa juga.

Selagi orang mencoba akan membebaskan diri, Boe Yang berdiam saja, melainkan matanya mengawasi dengan tajam, menyapu mukanya semua pecundangnya itu. Baru kemudian terdengar suara tertawanya yang dingin, yang menusuk hatinya kelima jago Boetong Pay itu.

Dengan sabar orang she In ini merogo ke sakunya, akan mengeluarkan kitab ilmu pedang yang menjadi sumber kerewelan itu. Setelah ini baru ia berkata, dengan suaranya yang jumawa.

"Oleh karena gara-garanya kitab ini maka juga ahli waris Boetong Pay serta kamu sendiri sekalian tertua dari Boetong Pay, datang berkunjung ke rumahku," demikian katanya. "Sebenarnya aku si orang she In merasa tidak enak hati. Lantaran pihak kamu sangat memustikakan kitab ini, baiklah, suka aku berlaku baik hati, suka aku menyerahkannya kepada kamu. Akan tetapi Rimba Persilatan ada mempunyai ini satu aturan. Kalau suatu ilmu diturunkan, ilmu itu harus diturunkan kepada orang sebawahannya atau sanaknya yang terdekat, atau kepada murid yang menjadi ahli warisnya. Aku ada satu anggauta dari Keluarga Bouw, sebagai keluarga aku berhasil memahamkan ilmu pedangku. Sebenarnya sudah sepantasnya saja aku menurunkan pelajaran ini kepada sanak atau ahli warisku, atau orang sebawahan, tetapi kamu Boetong Ngoloo, kedudukanmu ada sangat mulia, tingkat derajatmu sangat tinggi, dari itu tidak dapat aku menerima kamu sebagai orang-orang sebawahan yang terlebih rendah derajatnya."

Boetong Ngoloo tidak bebas lagi, walaupun merasa sangat mendongkol, terpaksa mereka bungkam. Mereka anggap Boe Yang berbuat berlebihan, memaksai alasan, sebab dia berkeras mengaku sebagai seorang anggauta dari Keluarga Bouw.

Terdengar pula suara angkuh dan dingin dari In Boe Yang.

"Coba hari ini aku tidak memandang pada anak daraku, Boetong Ngoloo, jangan kamu mengharap dapat pulang dengan masih hidup!" demikian suaranya itu. "Gara-gara sejilid kitab ilmu pedang, kamu menjual jiwamu di gunung belukar ini, tidakkah itu kecewa? Karena itu lebih baiklah aku musnahkan kitab ini, supaya di belakang hari tidak lagi ada orang yang menyontoh teladanmu ini!"

Benar-benar In Boe Yang membuktikan kata-katanya itu. Dengan kedua tangannya yang kuat, ia merobek-robek kitabnya itu, menjadi empat juwir, habis mana ia meremes-remesnya, maka di lain saat hancur-leburlah kitab mustika itu, terbang dibawa sang angin.6)

Boetong Ngoloo mengawasi dengan hati terkesiap.

Bahkan So So, saking tidak menyangka, sudah mengeluarkan jeritan.

Boe Yang sebaliknya, tertawa terbahak-bahak." Ia merangkap kedua tangannya.

"Mulai saat ini hingga selanjutnya, cuma aku seoranglah yang mengetahui Tat Mo Kiamhoat!" berkata ia nyaring. "Jikalau kamu sakit hatimu, juga kamu kuatir ilmu ini lenyap untuk partaimu, kamu kirimkan saja Siangkoan Thian Ya yang menjadi ahli waris kamu, suruh dia datang padaku dan mengangkat aku menjadi gurunya, aku bukan saja akan mengajarkan dia ilmu pedang Tat Mo Kiam itu, aku juga akan mewariskan Ittjie sian kepadanya. Dengan begitu maka jadilah dia muridku yang menerima warisanku. Untuk partai kamu, kamu boleh memilih lain orang!"

-xxXXXxx-

Di dalam dunia Rimba Persilatan adalah umum yang seorang menukar partai untuk mempelajari ilmu silat partai lainnya. Tapi ini mengenai hanya orang-orang dari tingkat derajat yang lebih muda, ialah kaum sebawahan. Untuk menerima murid yang merupakan ahli waris dari suatu partai, itulah belum pernah terjadi. Maka itu kata-katanya In Boe Yang terhadap Boetong Ngoloo tak lebih tak kurang daripada penghinaan belaka. Meski begitu, tetap Tie Wan berlima tak dapat membuka mulut mereka, tinggal mata mereka saja yang bersinar menyala, menandakan kemurkaan mereka yang melewati batas.

So So berpaling ke lain arah, ia tunduk, tidak dapat ia mengawasi Boetong Ngoloo.

"Ayah!.... ia memanggil.

Boe Yang tidak menanti terhentinya suara puterinya itu. Ia merogo sakunya, untuk mengeluarkan sebuah botol kecil. Dari dalam itu ia menuang keluar tiga butir obat pel yang warnanya hijau. Itulah dia pel Siauwyang Siauwhoan tan, yang katanya ia telah minta dari Kwie Tjhong Taysoe sesudah ia bercapai lelah memintanya, pel mana, yang berjumlah enam butir, yang tiga sudah diambil So So untuk dipakai mengobati Tan Hian Kie, maka sekarang sisanya tinggal tiga butir itu.

Dengan menggunai kuku tangannya, Boe Yang membelah setiap butir pel itu, satu menjadi dua, dengan begitu, semuanya sekarang menjadi enam potong. Yang sepotong ia lantas kasih masuk ke dalam mulutnya, untuk dimamah dan ditelan. Yang lima lainnya ia serahkan pada anaknya.

"Kau berikan ini sepotong kepada setiap tua bangka itu," katanya, tawar. "Seranganku barusan tidak hebat, berselang tiga hari, kesehatan mereka akan pulih kembali, ilmu silat mereka pun tidak termusnah."

So So menyambuti obat itu, ia bertindak kepada Boetong Ngoloo.

Dadanya Tie Wan Tiangloo bergerak naik turun tenggorokannya berbunyi nyaring, sedang kedua matanya mendelik. Itulah tanda yang dia ada sangat gusar, karena mana, tak sudi ia menerima obat itu. Bukankah mereka ada orang-orang dengan kedudukan sangat tinggi? Mana dapat mereka menerima budinya In Boe Yang? Kalau kejadian itu sampai tersiar dalam dunia kangouw, di kalangan Sungai Telaga, kemana mereka mesti menaruh muka mereka? Tentu sekali, karena itu, tidak dapat mereka memusuhkan pula pada Boe Yang.

So So adalah seorang nona yang polos, belum tahu ia pantangan kaum Rimba Persilatan seperti itu, ia cuma ketahui, tanpa obat itu, Boetong Ngoloo bakal jadi orang bercacat. Ia pikir di dalam hatinya: "Mereka sudah tua, dengan tidak memakan obat ini, kecuali bercacat, ada kemungkinan mereka nanti mati karenanya. Tidakkah itu akan menambah hebatnya kedosaan ayah?" Karena ini ia tidak memperdulikan penolakan kelima jago itu.

Lihay nona ini dengan tangan kirinya, ia menekan, maka di luar keinginannya, Tie Wan membuka mulutnya, maka dengan dibarengi, masuklah obat ke dalam mulutnya itu, di mana, dalam sekejab, obat itu lumer, tertelan masuk ke dalam perut. Tapi si nona kuatir obat belum termakan, ia menarik kepala orang hingga melenggak dan ia menggoyang-goyangnya juga. Secara begini, umpama kata Tie Wan hendak memuntahkannya, pun tidak dapat. Kemudian dengan bergantian ia cekok juga empat jago lainnya. Hingga semua jago-jago itu terpaksa memakan obat itu, hingga terpaksa juga mereka menerima budinya In Boe Yang!

In Boe Yang tertawa riang gembira.

"Bagus! Bagus!" ia memuji gadisnya. Ia puas sekali.

Cuma sebentar Boetong Ngoloo sudah lantas dapat menarik napas, setelah mana mereka mengawasi satu pada lain, mata mereka sayup-sayup, roman mereka sangat lesuh. Sangat menyedihkan sikap mereka itu.

So So memandangi orang. Ia merasa heran.

"Tentulah mereka malu karena mereka dikalahkan ayah," pikirnya. Kemudian ia berkata pada ayahnya: "Ayah, mereka sudah makan obat, biarkan mereka beristirahat sebentar. Mari kita pulang, supaya mereka dapat bersamedhi dengan tenang."

Boe Yang tertawa.

"So So, kau sangat menahui orang, katanya.

Boe Yang hendak meluluskan ajakan gadisnya itu untuk pergi pulang, ketika kupingnya mendengar suara beradunya tongkat besi kepada tanah. Ia memasang kupingnya, lantas ia tertawa.

"Mungkinkah ada lain orang lagi yang tak takut mampus datang juga ke mari untuk meminta kitab ilmu pedang!" bilangnya.

Boleh dibilang belum berhenti suaranya jago ini, di sana nampak orang yang berjalan dengan tongkat besi, dengan tongkatnya itu terus mengasi dengar suaranya, sebab setiap tindak, tongkat itu dipakai menotok tanah.

Melihat orang muncul dari tikungan, So So lantas saja kaget.

Semakin dekat orang itu datang, semakin nyata terlihatnya ia.

Dialah seorang dengan kumis atau berewok kusut bagaikan rumput, mukanya ditutup topeng hitam hingga di samping kupingnya. Berewoknya itu muncul dari bawah topeng. Di sebelah itu, dia mempunyai hanya sebelah tangan yang utuh, sebab tangan kirinya buntung sebatas sikut dan ujung sikutnya itu nonjol tajam. Rupanya tangannya itu bekas orang tabas kutung separuhnya. Tulang sikut yang tajam itu diikati pita merah. Sudah tangan kiri orang buntung, juga kaki kirinya pincang, kaki itu tak dapat menginjak tanah, terpisah kaki itu dari tanah ada sekira tiga dim. Karena itu, untuk dapat berjalan ia mengandali kaki kanannya dengan ketiaknya ditunjang tongkat besinya itu yang terus memperdengarkan suara, sebab tongkat itu adalah ganti kaki pincangnya itu. Sudah romannya luar biasa, juga pakaian orang itu beda daripada dandanan kebanyakan orang. Dia memakai baju makwa, baju pendek seperti rompi, yang melapiskan baju panjangnya. Makwa itu berwarna biru, dan jubahnya tersulam, bahannya bahan mahal, bukan saja bersih tetapi juga masih baru sekali. Hanya aneh, pada itu ditambahkan tujuh atau delapan tambalan, sedang bahan tambalannya itu ada kain-kain tua dan robek dari pelbagai warna. Maka dialah seorang tidak keruan, yang agaknya mendatangkan rasa jemu...

In Boe Yang melengak setelah ia mengawasi orang itu, agaknya ia heran dan kaget.

"Sahabat, adakah kau Tokpie Koayto yang menyebut dirimu Poantian Sinkay?" ia lantas menegur suaranya membentak.

Boe Yang benar menyekap diri di dalam gunung, akan tetapi ia bukannya sama sekali tak pernah bepergian. Setiap beberapa tahun sekali suka juga ia turun gunung, dari itu pendengarannya tidak budek sama sekali. Demikian kira lima atau enam tahun yang lalu, ia mendengar kabar bahwa di dalam Hek Too, yaitu Kalangan Hitam, di propinsi Siamsay Utara, telah muncul seorang begal tunggal yang luar biasa macam dan tindak-tanduknya. Begal itu biasa menyaterukan kaum piauwsoe, tukang mengantar dan melindungi barang atau uang dan pembesar negeri, bahwa belum pernah dia suka memperlihatkan wajahnya, bahwa dia sangat berkepala besar. Mungkin disebabkan cacatnya itu, sebelah tubuhnya tak utuh lagi, maka dia menamakan dirinya Poan-tian Sinkay, si Pengemis Sisa. Di Kalangan Hitam dan Putih, dia dikenal sebagai Tokpie Koayto, begal aneh yang bertangan satu. Sebenarnya pernah Boe Yang menghendaki mencari dia, untuk belajar kenal, akan tetapi sebab orang menyembunyikan diri, ia tidak peroleh kesempatannya. Maka aneh, sekarang si begal aneh itu muncul sendirinya.

Mendengar suaranya Boe Yang itu, Boetong Ngoloo pun terkejut, hingga mereka turut

mengawasi.

"Hm! Hm!" orang bercacat itu mengasi dengar suaranya yang dingin. Lantas dia tertawa hingga dua rintasan. Itu artinya dia menyangkal tegurannya Boe Yang.

"Kau datang ke mari, tuan, apakah maksudmu?" Boe Yang menanya pula. Ia tidak memperdulikan sikap jumawa dari orang itu.

"Akulah leluhurnya bangsat!" orang itu menyahuti. "Aku datang kepada kau, maling kecil, untuk minta kau menunjuki hormatmu padaku, untuk kau menghadiahkan sesuatu!"

Dengan lantas Boe Yang menjadi gusar.

"Kau menghendaki hadiah apa?" dia menanya.

Orang itu tertawa dingin, seram suaranya.

"Kau sudah mencuri kitab ilmu pedang dari Bouw Tok It," sahutnya, "kau telah pakai itu selama delapan belas tahun, apakah tempo itu belum cukup lama? Maka sekarang lekas kau serahkan kitab itu padaku!"

Boe Yang kaget. Tentang kitab itu adalah semacam rahasia, maka aneh, mengapa pengemis aneh itu mendapat tahu itu? Tapi karena ia seorang berani dan sudah berpengalaman, ia tidak mengentarakan sesuatu, cuma tercengang sebentar, lalu ia bersikap biasa lagi. Ia tertawa terbahak.

"Tuan, dengan tubuhmu semacam ini, apa perlunya kau dengan kitab itu?" ia menanya. "Tuan menamakan dirimu Setengah Sisa, sudah selayaknya saja apabila kau tahu diri sendiri! Apakah kau hendak menggunai senjata pedang? Itulah tidak dapat kecuali kau menitis pula menjadi satu orang lain!"

Ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat ada ilmu pedang luar biasa, cara bagaimana itu dapat dipelajari oleh seorang yang tangannya buntung dan kakinya pincang? Boe Yang mengatakan benar, hanya dia terlalu menghina orang.

So So pun jemu terhadap si cacat itu, tetapi ia juga merasa ayahnya terlalu menghina. Maka pikirnya. "Meskipun dia agaknya jumawa, tetapi dia bercacat, dia harus dikasihan juga. Kenapa ayah menghina dia?"

Biasanya, kalau seorang bercacat disebut-sebut cacatnya, dia suka menjadi tidak senang bahkan gusar, akan tetapi aneh adalah si buntung dan pincang ini, dia sama sekaii tidak gusar. Cuma kedua matanya, yang sinarnya molos dari topengnya, kelihatan bercahaya tajam.

"Aku sendiri tidak dapat memakai pedang karena cacatku tetapi muridku dapat," ia berkata, memberi keterangan. "Sebenarnya dia sendiri yang hendak datang padamu untuk merampas kitab itu, hanya karena dia sabar, dia dapat menunggu waktu. Adalah aku sendiri yang tidak dapat menunda hingga sepuluh tahun lagi, maka sekarang aku datang memintanya barang curian itu. Aku anggap inilah cuma perbuatan memindahkan tangan saja untuk menghadiahkan murid!"

Baik kelakuannya, maupun cara bicaranya, manusia bercacat ini bertambah luar biasa, benar suaranya itu dibikin tajam, tetapi Boe Yang rasa-rasanya mengenali suara orang itu, melainkan tak ingat, siapa orang ini dan di mana ia pernah bertemu denganya. Ia jadi berpikir keras untuk mengingat-ingatnya. Dengan mata tajam ia mengawasi mata orang, ia maju setindak lebih dekat.

"Siapakah itu muridmu?" ia tanya, keras. "Siangkoan Thian Ya!"

Jawaban pun keras, bahkan membuat Boe Yang melengak bahna heran.

So So tidak kurang herannya, hingga ia berpikir. Berhubung dengan perkenalannya dengan Tan Hian Kie, si nona pun jadi berkesan baik terhadap pemuda she Siangkoan itu. Pikirnya: "Thian Ya orang macam apa, mustahil dia kesudian menjadi muridmu!" Tetapi dia halus budi-pekertinya, biarpun ia mendongkol, tidak mau ia mencaci atau menegur pengemis aneh itu. Ia berdiam saja.

Sebaliknya adalah Tie Wan Tiang-loo. Bukankah orang menyebut-nyebut ahli waris dari Boetong Pay itu? Kenapa pengemis ini mengaku ahli waris itu sebagai muridnya? Biar ia menjadi imam, setelah sekarang pulih kesehatannya, ia menjadi gusar dan tak dapat mengendalikan diri.

"Ngaco belo!" ia membentak. "Siangkoan Thian Ya adalah ahli waris Boetong Pay, dia menjadi Tjiangboendjin, berdasarkan apa kau, si jelek ini, berani mengambil dia sebagai muridmu?"

Orang tanpa daksa itu tertawa, dingin tertawanya.

"Meskipun aku jelek akan tetapi dibanding dengan kamu beberapa orang tua pendusta, aku masih jauh lebih baik!" katanya. "Siangkoan Thian Ya demikian lunak, dia sendiri ingin mengangkat aku menjadi guru, apakah dengan begitu kamu mau menganggap aku tidak mempunyai murid dan hanya hendak merampas Tjiangboendjin-mu? Hm!"

Mata Tie Wan membelalak, hampir-hampir dia pingsan. Tak terkira kemurkaan dan kemendongkolannya itu.

Ketika itu, In Boe Yang menyelak. Tiba-tiba saja ia ingat akan sesuatu.

"Kau telah datang kemari, apakah kau masih tidak hendak memperlihatkan wajahmu kepada sahabat lama?" demikian tanyanya dengan lantang. Kata-kata ini disusul lompatannya yang gesit serta sambaran tangannya yang sebat, guna menjambret topeng si pincang yang buntung itu.

In Boe Yang lihay sekali, jarak di antara mereka juga cuma beberapa kaki, menurut pantas, tidak nanti ia gagal dengan serangannya itu akan tetapi kenyataannya lain sekali. Adalah di luar dugaan, bahwa meski juga kakinya buntung, si pengemis aneh itu gesit luar biasa. Dengan tongkat besinya diketukkan pada tanah hingga bersuara nyaring tahu-tahu tubuhnya telah melesat setombak lebih, loloslah ia dari cengkeraman si orang she In.

Saking heran, So So sampai menjerit.

"In Boe Yang, kau ingin melihat wajahku yang asli?" tanya si orang aneh, suaranya dingin. "Hm, mana aku masih mempunyai wajahku yang asli untuk diperlihatkan kepadamu? Tapi biarlah kau ingin melihatnya, terserah padamu, hanya aku kuatir kau nanti merasa tidak enak hati!..."

In Boe Yang menatap wajah orang itu. Begitu juga So So dan Boetong Ngoloo, mereka turut mengawasi. Mereka pun ingin sekali mengetahui siapa dia itu.

Si orang aneh mengangkat tangannya ke mukanya, dengan perlahan ia merabah topengnya, begitu lekas topeng itu disingkirkan, begitu juga hati Boe Yang bergoncang, sedang si nona lantas menutupi mukanya. Boetong Ngoloo, yang tak kurang herannya, mengawasi dengan bengong, hati mereka giris.

Pengemis dengan kaki dan tangan kutung itu benar-benar istimewa wajahnya, jelek bukan main. Sungguh di luar dugaan siapa juga. Muka itu penuh tanda luka, yang malang melintang, umpama kata bagaikan jalan perapatan. Dimata So So dan Boetong Ngoloo, wajah itu jelek dan menakutkan, di mata In Boe Yang, lebih daripada itu.

Boe Yang adalah ahli pedang nomor satu pada jamannya itu, matanya tajam melebihi orang lain, maka ia dapat melihat dengan tegas bahwa tapak itu adalah bekas guratan ujung pedang yang lancip tajam. Guratan itu mirip dengan tjodjie, tulisan cepat dan singkat oleh seorang ahli, meski guratannya tampak kacau, toh ada jalannya. Demikian tapak itu, tidak terlihat hingga ditulang-tulang pipi, tidak juga merusak mata dan hidung. Boe Yang berpikir, kalau ia yang membuatnya, tidak nanti ia dapat menggurat seperti itu. Maka, siapakah si ahli pedang yang mencacah muka si pengemis aneh ini?

"Bagaimana?" tanya si pengemis, dengan dinginnya. "Kau tidak mengenali aku? Ia pun tertawa mengejek."

Boe Yang segera memperdengarkan suaranya, yang seperti gerutuan.

"Kaulah Giokbin Hiapkay Pit Leng Hong!" dia menjawab agak ragu-ragu.

So So telah menutup mukanya, akan tetapi mendengar suara ayahnya, ia mengasi turun kedua tangannya, ia membuka matanya sedikit, untuk mengintai. Ia masih tidak berani memandangi orang dengan kedua matanya dipentang lebar-lebar. Dalam herannya, kata dalam hatinya: "Manusia begini aneh tetapi demikian indah julukannya....

"Giokbin Hiapkay" itu berarti Pengemis Pendekar Muka Kumala.

Memang juga, pada duapuluh tahun dulu, Pit Leng Hong adalah seorang priya yang tampan sekali, karenanya, ia memperoleh julukannya itu. Hanya karena hidup sebagai pengemis yang gagah dan murah hati, ia dapat tambahan Hiap Kay itu, Pengemis Pendekar. Kakaknya ialah Pit Leng Hie, ialah satu di antara tiga orang gagah luar biasa di bawahan Thio Soe Seng. Mereka itu bertiga ialah, Tjeng Too Kay," artinya pendeta, si imam, dan si pengemis. Dua yang lain si pendeta dan si imam ialah Peng Eng Giok dan Tjit Sioe Toodjin. Sedang Pheng Eng Giok itu, bersama-sama Tjio Thian Tok dan In Boe Yang adalah yang dikenal sebagai Houw Hong Samkiat," ialah si Naga, si Harimau, dan burung Hong.

Enam jago itu sama tersohornya, hanya di dalam hal kedudukan, Pheng Eng Giok melebihkan lima yang lainnya inilah disebabkan Pheng hweeshio ini berbareng menjadi gurunya Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng. Pit Leng Hie berada bersama dalam pasukan tentara, ia mengagumi Pheng Hweeshio, ia pun minta diangkat menjadi murid, maka ia terhitung murid yang ke tiga. Kepandaiannya Pit Leng Hong ini didapat dari Pit Leng Hie, kakaknya, dengan begitu, meskipun secara tidak langsung, ia pun mewariskan kepandaiannya Pheng Eng Giok, hingga untuk menjunjung paderi itu, ia mengaku ialah murid Eng Giok. Leng Hong ada seorang bebas, tidak kerasan ia berdiam dalam pasukan tentara, ia ceburkan diri dalam dunia pengemis. Ia tidak bergaul rapat dengan In Boe Yang, tetapi mengingat persahabatan Boe Yang dengan kakaknya, dulu hari itu mereka toh mengaku saudara satu dengan lain. Satu tahun di muka keruntuhannya Thio Soe Seng, mereka berdua telah berpisahan, maka itu, dengan pertemuannya hari ini, sebenarnya mereka sudah berpisah sembilan belas tahun.

Sekarang, melihat romannya orang itu, Boe Yang heran sekali. Ada dua hal yang ia tak dapat memikirnya. Tak seberapa orang yang bisa melawan Leng Hong, maka siapakah itu orang kosen yang dapat menaklukannya dan mencacah mukanya sedemikian rupa? Kenapa dia tidak dibunuh saja? Dan ke dua yaitu, dulu-dulu Pit Leng Hong menghormati ia, kenapa sekarang si pengemis aneh ini datang dengan tingkah polanya yang sangat memandang enteng terhadapnya, bahkan menyebut diri "si bangsat kecil" dan berani meminta kitab ilmu pedang padanya? Mungkinkah, karena wajahnya sudah berubah tabiatnya turut berubah juga?

Mungkinkah, karena dia mengetahui rahasianya, dia jadi berani datang untuk memeras?

Mengingat itu semua, Boe Yang menjadi mendongkol.

"Sudah sembilan belas tahun kita tidak bertemu satu pada lain," katanya, sengit, "sekarang kau datang kepadaku, apakah maksudmu cuma menghendaki kitab ilmu pedang?"

Pit Leng Hong menjawab tawar: "Aku telah menerima seorang murid baru, sudah seharusnya jikalau aku menghadiahkan sesuatu kepadanya. Oleh karena kitab itu asalnya ialah miliknya, maka jikalau aku tidak mencari kau, aku mesti cari siapa lagi?"

Boe Yang menepuk tangan.

"Ha, sayang kau telah datang terlambat satu tindak!" katanya tawar. "Kitab itu baru saja aku robek hancur! Jikalau Siangkoan Thian Ya berniat mempelajari ilmu silat pedang, suruhlah dia menghadap aku."

Pit Leng Hong tetap tertawa dingin.

"Justeru karena Siangkoan Thian Ya tidak sudi belajar padamu, ia jadi sudah mengangkat aku menjadi guru!" ia bilang. "Baiklah karena kitab sudah dibikin rusak, aku sekarang hendak meminta serupa barang darimu untuk aku tetap dapat menghadiahkan dia!"

Kata-kata ini ditutup sama tekanan tongkat besinya ke tanah dan jejakan kakinya yang utuh, dengan begitu tubuhnya jadi mencelat ke arah So So, berbareng dengan mana, tangannya diulur untuk merampas pedang di tangan si nona.

So So kaget hingga ia tak sempat menjerit.

Pit Leng Hong demikian gesit, gesit juga In Boe Yang. Begitu si pengemis mencelat ia mencelat juga, di saat tangan si pengemis diulur, tangannya di pakai untuk menyerang tangan orang itu seraya ia membentak: "Pit Leng Hong, kau berani berlaku begini kurang ajar?"

Hebat serangannya Boe Yang tetapi serangan itu tidak mengenai sasarannya. Dengan kesebatannya, Pit Leng Hong dapat menghindarkan diri, meskipun betul dengan begitu menjadi batal merampas pedang si nona.

"Kau juga mendapati pedang Koengo kiam ini dengan jalan mencuri!" berkata si pengemis, suaranya terus-menerus dingin. "Kau mencurinya dengan terang-terangan, aku dengan jalan merampas. Karena perbuatan kita sama sifatnya, cara bagaimana kau berani membilang aku kurang ajar?"

Hatinya So So baru tenang atau sekarang ia menjadi heran, sampai ia tercengang. Aneh kata-katanya pengemis ini. Kenapa dia ketahui namanya pedangnya itu dan ketahui juga ayahnya mendapatnya dari mencuri? Ia lantas ingat halnya pertama kali ia bertemu sama Tan Hian Kie, pemuda itu telah tanya ia, apa pedang itu pusakanya atau bukan... Mungkinkah... mungkinkah benar pedang ini asal curian? Hanya, semenjak ia kecil, ia ketahui pedang itu sudah ada di rumahnya dan ayahnya pernah membilang, pedang itu untuk selama-lamanya adalah pusaka Keluarga In.

Tidak berhenti sampai di situ pikirannya nona ini. Kalau benar pedang asal curian, setelah berselang begitu banyak tahun, kenapa pemiliknya tidak pernah datang untuk mencari atau memintanya pulang? Mungkinkah pemilik itu telah dibinasakan ayahnya?

"Ah, mungkinkah ini ialah itu kedosaan besar yang disebutkan ayah kedosaan tak berampun?" ia berpikir lebih jauh.

Tapi lekas juga berubah lagi pikirannya itu. Si pemilik pedang mesti bukan sembarang orang, andaikata benar ayahnya mencuri pedangnya itu dan membunuh si pemiliknya, mustahil dalam dunia Rimba Persilatan tidak timbul gelombang dahsyat sebagai akibatnya? Seharusnya sahabat-sahabat si pemilik pedang bergerak untuk menghukum atau memintanya pulang, tidak nanti mereka berdiam saja. Adalah aneh hari ini si pengemis datang memintanya.

Bingung So So, hingga ingin ia lekas-lekas mendapatkan pemecahannya. Lupa kepada si pengemis yang romannya menakuti itu, ia lantas berpaling kepada ayahnya dan mengawasinya. Ia ingin ketahui bagaimana ayahnya akan bertindak terhadap pengemis itu. Memandang ayahnya, kembali ia dibuatnya heran.

In Boe Yang memperlihatkan roman dan sikap yang tak biasanya. Dia berdiri diam seperti orang yang kena tertotok jalan darahnya. Sudah sebelah kakinya menindak atau tindakannya itu batal. Kulit mukanya menjadi tegang dan matanya bersinar tajam. Agaknya ia terbenam dalam keragu-raguan.

Tiba-tiba saja Boe Yang berseru: "Pit Leng Hong, lekas kau menyingkir! Kalau kau berlambat satu detik saja, aku bakal tak dapat menguasai diriku lagi!"

Suara itu bergemetar, sepuluh jari dari kedua tangannya bergerak-gerak, dilempangkan dan ditekuk bergantian, hingga terdengar suaranya meretak. Kelihatannya jago ini seperti hendak melakukan pembunuhan.

So So kaget dan takut, hatinya menjadi dingin. Melihat sikap ayah itu, mungkin pedang itu mempunyai asal-usul aneh. Kalau tidak, mengapa si ayah jadi berkelakuan sebagai seekor binatang liar yang kena terluka? Bukankah kata-katanya si pengemis aneh mirip dengan tusukan anak panah?

Si pengemis tidak takut, dia bahkan tertawa tergelak.

"In Boe Yang, kau hendak membunuh aku?" tanyanya. "Jikalau aku takut, tidak nanti aku datang ke mari? Benarkah kau menganggap, setelah mendapatkan kitab pedang dan membinasakan Tjio Thian Tok, kau pandang dirimu sebagai ahli pedang nomor satu di kolong langit ini? Selagi masih ada muridnya Pheng Hweeshio di sini, aku kuatir tidak dapat kau bertingkah pola!"

"Kalau Pheng Weedio berada di sini, mungkin aku takuti dia tiga bagian," berkata Boe Yang. "Sekarang ini, walaupun kakakmu hidup pula aku tidak takut! Kau sendiri, kau makhluk apakah?"

Meluap hawa amarahnya orang she In ini hingga ia mengibas dengan tangannya, jari tangannya bergerak bagaikan orang mementil piepee. Itulah sikap penyerangan dengan Ittjie sian, Jari Tunggal.

Pit Leng Hong tetap tidak jeri.

"Jikalau kau tidak menggunai pedang, juga aku tidak akan memakai senjata!" katanya sama dinginnya. Dia lantas menancap tongkatnya di tanah, tangannya itu terus diputar, untuk memapaki serangan.

Boetong Ngoloo telah menyaksikan jari tangan lihay dari In Boe Yang, mereka telah merasainya, maka heran mereka untuk keberaniannya si pengemis pincang dan buntung ini.

"Mustahilkah pengemis ini mengerti ilmu sesat hingga ia tak takuti Ittjie sian?" tanya mereka di dalam hati.

Atas tangkisan lawan, In Boe Yang berubah paras mukanya, tangannya segera ditarik pulang, batal ia menyerang dengan jari tangannya, tetapi ia membuka telapakan tangannya, untuk menyambuti tangan orang.

Tidak ampun lagi, kedua tangan bentrok satu pada lain. Nampaknya kedua pihak mengerahkan habis tenaga mereka, tetapi ketika kedua tangan bentrok, tidak terdengar suara apa juga, tangan si pengemis lembek bagaikan getah.

Boetong Ngoloo heran, hingga mereka mengawasi dengan mendelong.

Nyatanya Pit Leng Hong mempunyai kepandaian melemaskan tangan seperti kapas maka juga tangannya In Boe Yang mengenai suatu barang seperti lumpur, bukan saja tenaganya jadi tidak berdaya bahkan sebaliknya, tangan itu seperti kena tersedot. Ittjie sian bisa menutup jalan darah, tetapi kali ini, punahlah khasiatnya itu. Karena itu, ia mengubah tangannya menjadi terbuka.

"Gunailah kedua tanganmu berbareng!" Pit Leng Hong berseru, menantang.

"Hm!" In Boe Yang mengasi dengar ejekannya. Ia tidak memperdulikan tangan itu, ketika ia menyerang kembali ia menggunai sebelah tangannya.

Hanya sebentar saja, Boe Yang lantas mengeluarkan keringat dingin pada jidatnya.

Mendadak dia berseru: "Ha, kiranya kaulah yang merusak pintu guha dari kamar samedhiku ini!"

Pit Leng Hong tertawa.

"Telah aku membilangnya!" jawabnya. "Kau tidak mau percaya, habis apa aku bisa bilang? Jikalau aku tidak menghajar pintu guhamu, cara bagaimana aku dapat membawa pergi Siangkoan Thian Ya?"

So So heran bukan main. Walaupun ia tidak percaya, ia toh mesti percaya keterangan pengemis ini. Memang aneh menghilangnya Thian Ya.

Boetong Ngoloo juga heran bukan kepalang. Melihat begini, mestinya In Boe Yang bakal menemui batunya. Mereka heran berbareng girang. Betapa tidak girang melihat lawannya yang tangguh itu bakal roboh? Mereka tidak meminjamnya toh mereka seperti meminjam juga tangannya manusia aneh ini. Hanya dingin hati mereka kapan mereka ingat si manusia aneh memaksai Thian Ya, tjiangboendjin mereka menjadi muridnya...

Sebenarnya dalam ilmu dalam, Boe Yang menang daripada Pit Leng Hong, kalau sekarang ia keter, itulah disebabkan ia telah mengeluarkan tenaga terlalu banyak di waktu menempur Boetong Ngoloo, sebab Ngoloei Thiansim tjiang dari kelima jago Boetong hebat sekali. Coba ia tidak telah makan pel Siauwhoan tan, mungkin ia tak dapat bertahan begitu lama.

Lagi beberapa saat, keringat di jidat Boe Yang menjadi titik-titik besar.

"Gunai kedua tanganmur Pit Leng Hong berkata pula seraya ia tertawa dingin.

Memang Boe Yang tidak hendak menggunai dua-dua tangannya. Bukankah ia lagi menghadapi seorang tanpa dakpa, yang kaki dan tangannya tinggal sebelah? Ia percaya ketangguhannya sendiri, ia pun merasa malu. Sekarang? Sekarang ia menjadi bersangsi. Ia tahu bahwa ia sudah mengeluarkan banyak sekali tenaga, maka umpama kata ia menggunai dua-dua tangannya, belum tentu ia berhasil. Tapi ia tidak dapat tidak berdaya. Maka ia tertawa dingin dan berkata: "Inilah kau yang menghendaki sendiri!"

"Kau gunailah kedua tanganmu, mati pun aku tak menyesal!" menyahut Leng Hong.

Tanya ayal lagi, Boe Yang merangkap kedua tangannya. Inilah serangan yang dapat menggempur batu.

Tubuh Pit Leng Hong, yang ditahan cuma oleh sebelah kakinya, lantas bergoyang-goyang tak hentinya, bergerak ke depan dan ke belakang, ke kiri dan kanan, tubuhnya itu mirip sebuah perahu kecil di antara damparan gelombang.

So So menyaksikan itu, biar bagaimana ia merasa jemu, ia toh berkasihan juga. Bukankah orang bercacat, tinggal sebelah kaki dan sebelah tangannya? Karena ini hendak ia menyerukan ayahnya, untuk memberi ampun. Atau mendadak ia melihat paras ayahnya itu berubah. Lenyap keringat dari jidat si ayah, sebaliknya di situ nampak tegas urat-uratnya yang biru.

Meskipun ia merasa heran, si nona masih tidak percaya yang ayahnya lagi terancam bahaya. Karena itu, ia batal meneriaki ayahnya itu.

Hebat tenaga tangannya si pengemis aneh. Begitu dahsyat kedua tangannya Boe Yang, tangan itu seperti batu melebas di dalam air, hilang tanpa bekas-bekasnya. Sudah begitu dari tangan si orang aneh telah keluar hawa dingin yang merembas ke dalam tangan lawannya, menembus ke ulu hati. Boe Yang kaget hingga ia mesti mengempos semangatnya, untuk mempertahankan diri, meski begitu ia masih merasakan tak sanggup...

Pit Leng Hong merasa puas sekali, ia tertawa lebar. Karena tertawanya itu, wajahnya nampak jadi semakin luar biasa. Cuma satu kali ia tertawa, lalu ia berkata dengan suaranya yang dingin: "Jikalau kau menghendaki jiwamu, serahkan pedang itu!"

So So, yang memegangi pedang, maju dua tindak.

"Ayah, kasihlah dia!" ia berkata kepada ayahnya. Ia putus asa. Biar bagaimana, ia menyayangi ayahnya itu.

Matanya Boe Yang bersinar memandangi puterinya. Itulah sinar dari mengasihani dan teguran. Sang anak mengerti. Mau atau tidak, ia terpaksa mundur pula.

Dengan tiba-tiba terdengar Boe Yang membentak, kedua tangannya ditarik pula, lalu dimajukan kembali. Di belakang telapakan tangannya dan di jidatnya juga, terlihat otot-ototnya yang menonjol keluar. Agaknya ia tengah mendorong barang berat ribuan kati.

So So ketahui baik yang ayahnya sudah mengerahkan semua tenaga dalamnya. Itulah hebat.

Tubuh Pit Leng Hong kembali bergoyang, senyuman pada mukanya lenyap seketika, tetapi meskipun demikian, kaki tunggalnya itu tetap bertahan di muka bumi, bagaikan terpaku kokohnya.

Lewat lagi sesaat, Pit Leng Hong pun menjadi seperti Boe Yang, peluhnya keluar mengucur. Hanya berbareng dengan itu, kulit mukanya Boe Yang berubah menjadi matang biru.

Selagi dua jago ini bertempur hebat, mengadu tenaga dalam mereka, Boetong Ngoloo berdiam bersamedhi, mereka bercokol di tanah untuk mempulihkan tenaga mereka. Cuma mata mereka yang terus mengawasi, mata mereka itu mengeluarkan sorot heran dan ngeri.

Memang juga Pit Leng Hong dan In Boe Yang sudah mencapai taraf yang akan memutuskan pertarungan mereka itu. Itu artinya mereka mati atau hidup, atau sedikitnya terluka parah. Tenaga dalam Boe Yang kumpul di ujung jari tangannya, dari situ keluar hawa panas. Itulah hawa panas untuk menahan serangan hawa dingin dari tangannya Pit Leng Hong, hawa untuk membalas menyerang.

Sudah terang Leng Hong kalah tenaga dalam, sebab ia dapat pelajarannya Pheng Hweeshio dengan parantaraan kakaknya, Pit Leng Hie. Bahwa sekarang ia dapat melawan, itulah disebabkan In Boe Yang sudah terlalu letih habis menempur Tjio Thian Tok dan Boetong Ngoloo, semuanya lawan yang tangguh luar biasa.

Kembali sang waktu berjalan lewat. Dari samar-samar, warna matang biru di mukanya Boe Yang menjadi terlihat tegas. Sekarang dia mengeluarkan pula keringat sebesar kedele. Karena ini, bajunya mulai demak. Dari sinar matanya, yang layu, nyata ia sudah letih luar biasa.

Sampai di saat itu, sekonyong-konyong Pit Leng Hong berseru secara aneh tangannya ditolakkan perlahan ke depan.

Boe Yang menggunai dua-dua tangannya tapi agaknya ia tak dapat bertahan. Ini ternyata dari kedua tangannya, yang mulai melengkung.

Di saat sangat genting itu, tiba-tiba saja Kok Tjiong dari Boetong Ngoloo berlompat bangun sambil ia menjerit hebat: "Kiranya kau si makhluk aneh yang membinasakan guruku!"

Seruan itu tidak cuma membikin So So menjadi bingung bahna tidak mengertinya, juga Boe Yang menjadi heran sekali. Maka juga orang she In ini berkata di dalam hatinya: "Kelakuannya Pit Leng Hong hari ini memang sangat aneh. Dulu dia dikenal sebagai Kayhiap, pendekar pengemis, dengan mertuaku, dia tidak ada hubungannya, maka itu, kenapa dia bolehnya membunuh mertuaku itu? Tadi Kok Tjiong menuduh aku, kenapa sekarang ia berbalik menuduh Leng Hong?"

Boe Yang memang gelap untuk semua itu.

Kematiannya Bouw Tok It diliputi suasana terahasia. Ketika itu Kok Tjiong memang seperti mendampingi gurunya itu. Itulah waktu tengah malam yang Kok Tjiong mendengar suara gurunya lagi bertempur sama seorang yang ia tidak kenal. Ia lari memburu tetapi musuh itu sudah mengangkat kaki, tinggal gurunya, yang sudah tidak mampu berbicara, muka guru itu matang biru, warnanya itu sama dengan mukanya In Boe Yang sekarang. Karena inilah maka ia menuduh Leng Hong.

Kok Tjiong tidak cuma berseru, dia pun berlompat maju untuk menyerang. Perbuatannya ini disusul oleh empat saudaranya, yang maju dengan berbareng. Mereka mengambil sikap mengurung, sepuluh jari tangan mereka mengarah satu jurusan. Mereka ini belum pulih seanteronya tetapi Ngoloei Thiansim tjiang dasarnya hebat, tak dapat itu dipandang enteng.

Diserang secara mendadak demikian macam, Pit Leng Hong berseru sambil kaki tunggalnya berputar, membawa badannya, menyusul mana badannya itu lompat mencelat berjumpalitan, selagi tubuhnya itu seperti tergantung di udara, kakinya terus menendang, ujung kakinya mencari jalan darah pethay di iganya Tie Hong, sedang tangan kanannya, yang utuh itu, menyambar tempelengan Tie Kong Tiangloo. Tangan kirinya buntung, tetapi tangan itu masih ada sikutnya, yang tajam pula, tajam sebab dilapis besi, yang terbungkus pita merah, maka dengan sikutnya itu ia menghajar jalan darah siankie di dadanya Tie Wan Tiangloo. Maka itu sungguh hebat si tanpa dakpa ini, berbareng ia dapat menggunai tiga anggauta tubuhnya itu untuk menyerang berbareng kepada tiga musuh yang lihay.

Serangannya Boetong Ngoloo telah berlangsung tatkala mereka menampak sasaran mereka mencelat dan berjumpalitan, kedua tangannya bergerak terpentang, sebelah kakinya bergerak juga. Tie Hong dan Tie Kong kaget, hingga hati mereka terkesiap, belum sempat mereka melihat apa-apa, tubuh mereka sudah mental kira-kira setombak. Hanya syukur untuk mereka, jatuhnya mereka tidak terbanting, bahkan seperti ada orang yang menurunkannya dengan perlahan, hingga mereka tak usah merasakan sakit. Setelah itu tahulah mereka bahwa mereka sudah ditolongi In Boe Yang, yang membebaskan mereka dari serangan berbahaya dari Leng Hong.

Sementara itu sikut kiri Leng Hong telah menyambar ke dadanya Tie Wan, imam ini terancam bahaya sebab untuknya tidak lagi ketika guna menarik pulang kedua tangannya. Di samping ia, In Boe Yang telah menunjuki ketangkasannya, ialah jari tangannya dengan ilmunya Ittjie sian menyambar ke sikut kiri si orang she Pit, tepat di ujungnya sikut hingga pitanya robek dan nampak ujungnya besi, yang ada ukirannya merupakan naga-nagaan. Melihat ukiran itu, Boe Yang kaget sekali, mendadak saja ia merasakan seperti ia menampak sesuatu yang aneh, yang membingungkan hatinya, dari itu, belum lagi jelas untuknya, ia merasakan hawa dingin menyerang uluh hatinya. Demikian, tak tertahankan lagi, ia roboh terguling dengan terbanting. Di lain pihak tubuh Leng Hong yang kurus kering itu, bagaikan layangan putus, terpental tiga tombak lebih melayang ke bawah tanjakan, kemudian terdengar sindirannya dua kali, akan kemudian, tanpa menoleh lagi, ia menghilang di kejauhan, tak nampak lagi bayangannya.

In Boe Yang dan Boetong Ngoloo tidak dapat berbuat apa-apa kepada musuh itu, barulah setelah bekerja sama, mereka dapat menghajar hingga lawan mereka terpental. Lebih dulu Leng Hong kena tertotok Boe Yang, baru ia tergempur serangannya Boetong Ngoloo.

Sekian lama So So menjublak, baru ia sadar ketika ia mendengar suaranya Tie Wan Tiangloo, suara yang dalam sekali: "Dengan ini impas sudah budi pemberian obatmu, maka marilah kita bertemu pula di lain waktu!" Lalu berlima mereka bertindak pergi.

In Boe Yang mengawasi orang mengangkat kaki, mulutnya bungkam, cuma wajahnya guram. Agaknya ia tetap memikirkan sesuatu yang masih gelap sekali untuknya yang sulit pemecahan atas keputusannya.

"Ayah, kau kenapa?" So So menanya.

"Kakek luarmu telah dibinasakan orang aneh ini," menyahut Boe Yang dengan perlahan. Ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan: "Pit Leng Hong terkutung tangannya, terbuntung kakinya dan terusak mukanya, semua itu perbuatannya kakek luarmu itu..."

Nona itu menggigil sendirinya. Ia heran. Belum pernah ia melihat kakek luar itu akan tetapi menurut keterangan ibunya, kakek itu benar tabiatnya keras akan tetapi hatinya pemurah, maka ada dendam apa di antara dia dan orang aneh ini maka keduanya jadi bertempur secara demikian hebat?...

"Pit Leng Hong itu dikenal dengan julukannya Giokbin Kayhiap," berkata pula Boe Yang, "dia tadinya tampan tetapi dia dibikin oleh kakekmu jadi begini jelek, sudah selayaknya saja dia jadi sangat gusar dan penasaran, maka juga dia telah gunai tangan jahatnya untuk menuntut balas. Di lengan buntungnya itu ada cacahan naga-nagaan, itulah tanda dari kakek luarmu. Sebenarnya telah aku melihatnya, kecuali kakek luarmu itu, di kolong langit ini tidak ada orang lainnya yang sangat lihay ilmu pedangnya. Hanya sebegitu jauh aku ketahui, di antara mereka tidak ada hubungannya, kenapa mereka jadi bentrok demikian hebat? Inilah yang membuatnya aku sangat tidak mengerti."

So So bergemetar tangannya hingga "Traang!" jatuhlah pedang di tangannya, terlepas dari cekalannya di luar keinginannya. Selama delapan belas tahun ia itu hidup tenteram dan damai dan bergembira atau hari ini ia merasakan pukulan yang dahsyat. Kejadian saling susul dan semuanya hebat-hebat, hingga hatinya berdebaran.

Ketika pertama kali bertemu sama Hian Kie dan Hian Kie menyebut tentang pedang itu, ia heran sekali, siapa tahu kata-katanya Poantian Sinkay ini lebih aneh dan mengejutkan. Bukankah pedang itu, di sebelah urusannya kitab ilmu pedang, ada terlebih mujijat pula?

"So So," berkata si ayah, perlahan, tangannya menunjuk kepada pedang, "apakah kau masih ingat pembilanganku bahwa pernah aku melakukan suatu kedosaan yang tak dapat aku melupakannya?"

"Aku ingat, ayah," menyahut si anak dara, tunduk, suaranya perlahan.

"Kedosaan itu timbul karena pedang ini," In Boe Yang berkata pula. "Ah, sebenarnya masih terlalu enteng Pit Leng Hong menyebut kesalahanku itu. Dia bilang pedang ini telah aku curi. Hal yang benar ada lebih menakuti daripada itu. Aku... telah membunuh pemilik pedang itu, dan dia... dialah orang seumurku berlaku paling baik terhadapku...

So So menjerit bahna kagetnya. Ia melihat kening ayahnya mengeluarkan keringat, romannya penuh dengan kemenyesalan dan kedukaan. Melihat itu, ia merasa sangat berkasihan.

"Ayah kau tuturkanlah peristiwa itu," ia minta. "Jangan kau simpan saja, supaya kau dapat melegakan hatimu. Jangan kau bikin dirimu sengsara dan menderita karenanya."

"Tidak salah, So So. Memang... memang aku hendak memberitahukanmu..."

Suaranya orang tua ini menjadi serak dan perlahan.

So So mengeluarkan sapu tangannya, dengan itu ia menyusuti peluh ayahnya itu. Ia merasakan peluh itu dingin, menyeresap di tangannya. Ia terkejut.

"Peristiwa itu sangat panjang untuk dituturkan, aku kuatir tak dapat aku menuturkan habis," berkata pula si ayah.

"Baiklah ayah beristirahat dulu," meminta sang anak dara. "Pergi ayah bersamedhi, nanti aku menanti dan menjagaimu."

"Tidak, tidak usah," berkata ayah itu. "Kau tolongi saja aku mengambil arak Kenghoa Hweeyang tjioe. Sudah duapuluh tahun aku pendam peristiwa ini di dalam hatiku, memang sudah lama aku hendak menuturkannya, maka sekarang tidak mau aku menanti kendatipun buat hanya tiga hari tiga malam..."

Mendengar ini baru So So ketahui bahwa ayahnya telah mendapat luka hebat di dalam tubuh, bahwa Siauwhoan tan masih tidak dapat menolong, maka dia memerlukan arak obatnya. Rupanya luka itu tak dapat sembuh sebelumnya lewat tiga hari dan tiga malam.

"Kalau aku pergi, ayah," berkata anak ini, "kau jadi berada sendirian di sini, hatiku tidak tenang..."

"Tidak apa, asal kau lekas pergi dan lekas kembali. Kau bawa itu ke rumah batu di mana aku menantikan kau. Tidak nanti datang pula Pit Leng Hong yang kedua."

Terpaksa So So menurut, maka ia pulang dengan berlari-lari. Di sepanjang jalan, ia dipengaruhkan kekuatirannya. Pula ia merasakan bahwa di sekitarnya ia dikurung dengan segala rahasia. Bukankah sekalipun ayahnya, karena itu pedang, membuatnya ia berpikir keras?

Tiba di rumahnya, sedih hati si nona. Gundul pohon bweenya, cabang dan daunnya berserakan di tanah. Di situ pun ada segundukan tanah munjul yang teruruk dedaunan. Sunyi segala apa. Mendadak ia ingat akan kedatangannya Hian Kie, yang disusul pelbagai peristiwa hebat itu. Sudah datang Boetong Ngoloo, datang pula si pengemis aneh yang lihay itu, yang membawa teka-teki baru. Semuanya kejadian yang tidak diduga-duga. Sirap itu semua, sekarang ayahnya terluka, ayah itu hendak membuka rahasia. Kembali ia memikirkan Hian Kie orang kepada siapa ia hendak menumpangkan diri. Hanya, ke mana perginya anak muda itu?

Nona ini memanggil, hingga beberapa kali, ia tidak memperoleh jawaban. Ia telah terbenam dalam kesunyian. Cuma datang jawaban dari kumandang suaranya sendiri. Ia benar-benar tidak ketahui ke mana perginya si anak muda...

Kemana Hian Kie pergi? Mau atau tidak, So So menenangkan diri. Ia ingat, ayahnya hendak bicara berduaan saja dengannya, Hian Kie disuruh menyingkir, ia pun memberi tanda akan pemuda pujaannya itu mengundurkan diri. Mungkinkah, karena itu Hian Kie menjadi tidak puas dan menyesalkan ia? Ia ingat, memang belum lama ia kenal pemuda itu tetapi hati mereka sudah lantas terikat satu dengan lain. Tidak mungkin pemuda itu jengkel hati terhadapnya, tidak nanti dia bergusar meski benar di antara dia dan ayahnya ada ganjalan. Maka itu, kenapa dia tidak menantikan padanya? Umpama kata pemuda itu mengikuti dan mengintai pertempuran, sekarang dia sudah seharusnya kembali...

Tiba-tiba So So ingat sorot mata luar biasa dari Hian Kie ketika si anak muda mengundurkan diri. Ketika ia memasuki kamar tulis, hatinya pun seperti kosong. Delapan belas tahun lamanya ia hidup di rumahnya ini, baru sekarang ia merasakan rumah itu bagaikan kota iblis. Ibunya sudah pergi, ayahnya berdiam di rumah batu. Kalau nanti ayah itu sembuh, belum tentu dia akan lantas pulang ke rumah. Karena Hian Kie tidak ada, ia merasa sepi sekali.

Dalam keadaannya seperti itu, So So tidak melupakan kewajibannya. Ia lantas mengambil cupu-cupu merah yang besar yang ayahnya perantikan menaruh araknya, buat dibawa ke mana-mana. Ia isikan cupu-cupu itu. Selagi berbuat begitu, ia ingat halnya ia memberikan arak itu kepada Hian Kie hingga si anak muda tak sadarkan diri. Tapi tak lama ia berpikir, lantas ia lari pula keluar, untuk pergi ke rumah batu.

Matahari sudah silam di barat, kamar batu guram.

"Ayah," si anak memanggil.

Tidak ada jawaban.

Bercekat hati si nona, ia terkejut.

"Ayah!" ia memanggil pula, kali ini terus ia bertindak masuk. Ia seperti merabah-rabah untuk sampai di kamar ayahnya. Akhirnya ia menampak juga ayah itu, yang lagi duduk bersamedhi menghadap ke tembok. Baru sekarang hatinya lega.

Dengan terus memegangi cupu-cupunya, So So menempatkan diri di sisi ayahnya itu. Ia tidak mau mengganggu pemusatan pikiran ayahnya, ia berdiam saja.

Selang sekian lama, baru Boe Yang dengan perlahan mengangkat kepalanya. Ia pun mengangkat tangannya dan mengulurnya kepada anaknya.

So So sudah lantas mengangsurkan cupu-cupu di tangannya itu.

Sang ayah menyambuti, ia terus mencegluk-nya. Di tenggorokannya terdengar suara gelogokan.

Lagi sekian lama, baru ayah itu membuka mulutnya.

"Anak, kau duduk," suaranya bergemetar. "Kau dengari penyesalan ayahmu....

Tanpa serangan hawa dingin, si nona menggigil. Ia berdahaga untuk keterangan ayahnya itu tetapi sekarang ia takut untuk mendengarnya. Bukankah itu rahasia ayahnya? Kedosaan apakah ayah itu pernah perbuat? Maka itu, tak tenang pikirannya. Dengan menguatkan hati, ia mencoba menetapkan diri.

Selagi ayah dan anak itu berdiam dan si ayah hendak bercerita, dan si anak bersedia akan mendengarinya, tiba-tiba terdengar suara menyanyi mengalun jauh dari dalam rimba. Samar-samar tetapi ketahuan itulah suaranya seorang wanita.

"Rembulan di langit mengejar sang Surya,

Nona di bumi mengejar kekasihnya.

Sang Surya naik di timur,

Sang Rembulan silam di barat.

Bidadari di istana rembulan sia-sia berduka."

Demikian nyanyian itu, nyanyian yang sebentar berhenti dan sebentar diulangi. Selama terhentinya, samar-samar terdengar suara si nona memanggil, "Hian Kie! Hian Kie!..."

"Siapakah nona itu?" So So menduga-duga. "Ada hubungan apakah di antara ia dan Hian Kie? Adakah dia si nona yang disebut-sebut Siangkoan Thian Ya? Jadinya Hian Kie dipanggil nona itu ?"

Tengah ia tersengsam, So So dibikin terkejut suara ayahnya.

"So So, kau pikirkan apa?" begitu ayah itu. "Mari datang lebih dekat, kau dengari aku. Adakah kau takut? Oh, aku sendiri takut juga..."

Boe Yang lantas mulai menutur perbuatannya itu, yang membuatnya menyesal sekali, yang ia katakan kesalahan atau kedosaan besar.

Tatkala itu matahari sudah turun seanteronya, maka kamar batu itu menjadi gelap petang.

-xxXXXxx-

BAGIAN IX : Ayah, ibu, anak... berpisah semua

Kemanakah perginya Hian Kie?

Dia pun, seperti So So, dalam saat yang singkat itu, telah menghadapi pelbagai kejadian yang di luar dugaannya.

Tadi malam dia datang ke rumah Boe Yang dengan menempuh bahaya, itu melulu untuk menemui So So. Ia telah berhasil. Bukan saja ia dapat menemui si nona, hati mereka pun cocok dan si nona suka menyerahkan dirinya kepadanya. Maka itu bukan main bunga hatinya. Sayang, tiba-tiba saja Boe Yang pulang, lantas ayah dan anak itu berbicara, bahkan si ayah hendak omong urusan yang penting, hingga ia disuruh menyingkir dan So So pun minta ia suka mengundurkan diri dulu. Ia merasa tidak enak hati tetapi toh ia pergi juga keluar. Ia berpikir keras.

Bersediakah Boe Yang menyerahkan puterinya kepadanya? Ia berpikir.

Ia sudah menerima tugas untuk membunuh Boe Yang itu! Dengan adanya tugas itu, dapatkah mertua dan mantunya kecocokan, untuk hidup bersama? Bukankah erat sekali hubungan di antara ayah dan anak? So So anak satu-satunya, kalau ia membawanya minggat, tidakkah karenanya putus hubungan di antara ayah dan anak itu? Kalau itu sampai tetjadi, siapa berani menjamin yang So So nanti tak bersikap tawar seperti ibunya terhadap Boe Yang, ialah penasaran dan menyesali suaminya?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar