Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 5
So So tengah mencari Hian Kie.
Ia tidak ketahui pemuda itu justeru berada di dalam kamar tulisnya, lagi tidur
nyenyak...
Di tengah gunung nampak si
Puteri Malam naik dengan perlahan-lahan. Di dalam rimba, kecuali suara tindakan
kakinya, cuma ada suara daun-daun yang rontok. Adalah suara daun yang rontok
itu mengganggu sekali hati yang risau. Masih So So berjalan di dalam rimba. Ia
bergidik kalau dari jauh-jauh ia mendengar geruman harimau atau pekiknya kera
yang memecah kesunyian sang hutan suara mana terbawa angin malam. Ia tidak
takut, ia hanyalah isang, hatinya tak tenang karena urusan ayahnya.
Mimpi pun tidak dia, bahwa
ayahnya telah melakukan itu macam kedosaan, dosa yang tak berampun. Toh dia
tetap ada ayahnya. Ayahnya itu telah menutur segala apa kepadanya. Ia
melihatnya mata yang penuh dengan sinar kesengsaraan hati, itu suara yang
menggetar. Itulah kelakuannya seorang berdosa yang hendak melepaskan napasnya
yang penghabisan. Maka, kuatkah hatinya menegur ayahnya itu?
Maka ingatlah ia kepada Tan
Hian Kie, Hian Kie yang ia harap-harap sangat. Cuma dengan berada di samping
Hian Kie, orang yang ia paling percaya dan buat andalan, baharu takutnya itu
dapat dikurangi sedikit...
Mendadak di dalam rimba itu
terdengar suara orang berlari-lari, seperti saling mengubar. Adakah itu
tindakannya Hian Kie? Kalau benar, dia bersama siapakah?
Tindakan kaki itu lantas
datang semakin dekat. Lalu terdengar panggilan berulang-ulang: "Entjie Oen
Lan, Entjie Oen Lan!"
Suara panggilan itu menggetar,
tanda dari hati yang goncang. Suara itu mirip dengan suara ayahnya ketika di
dalam guha ayahnya memanggil-manggil padanya. Ia mengenali, orang itu bukannya
Tan Hian Kie hanya Siangkoan Thian Ya.
So So berlompat naik ke atas
sebuah pohon, matanya memandang ke arah dimana suara berlari-lari itu
terdengar.
Di sana nampak seorang wanita
dengan rambut riap-riapan, lagi lari keras sekali, dan dia berlari terus
walaupun ada teriakannya Siangkoan Thian Ya, teriakan siapa sampai parau. Tidak
mau dia menghentikan tindakannya.
"Ah, dialah Siauw Oen
Lan!" pikir So So, "Kenapa dia menjadi begini? Apakah dia telah
mengetahuinya urusan engko Hian Kie dengan aku?"
Dalam masa terajuk sang cinta,
perasaan seorang nona paling gampang tersinggung, paling gampang ia ingat dan
menyangka-nyangka dalam halnya nona yang lain.
Tiba-tiba So So menjadi
berkasihan terhadap Oen Lan. Ia memang senangi siapa pun asal yang menyukai
Hian Kie, asal yang baik dengan Hian Kienya itu, tidak perduli orang yang
hendak merampasnya Hian Kie dari tangannya...
Dengan lantas So So menguntit
dua orang itu. Untuk ini ia dapat bertindak dengan leluasa sekali. Dalam hal
ilmu lari enteng, ia menang jauh daripada Oen Lan dan Thian Ya. Jangan kata di
saat itu selagi dua orang itu tak tenang hatinya, sekalipun di saat-saat biasa,
tidak nanti mereka mendapat ketahui.
Thian Ya baru saja pulih
tenaganya, sekian lama ia telah mengejar, masih tidak dapat ia menyandak si
nona. Hatinya menjadi panas.
"Entjie Oen Lan!" ia
memanggil dengan tajam. "Kau mau hidup atau mati, aku tetap mau ada
bersama kau! Apakah benar di dalam hatimu cuma ada satu Tan Hian Kie?"
Sampai di situ, Oen Lan
menghentikan larinya. Ia tertawa dingin sambil menoleh.
"Inginkah kau mati
bersama aku?" ia menanya.
"Sudah sekian banyak
tahun, apakah kau masih belum tahu hatiku?" balik tanya si anak muda.
Oen Lan berkata pula dengan
dingin: "Nampaknya kau sangat suka mendengar Tan Hian Kie! Hian Kie
menguatirkan tidak ada orang yang menginginkan aku, maka dia menghendaki kau
menjadi seperti bayanganku mengikuti aku! Hm! Kecewa kau menjadi seorang
laki-laki!"
"Eh apakah yang kau
katakan itu?" Thian Ya tanya. "'Tan Hian Kie menghendaki aku mencari
kau, itukah karena maksud yang baik."
Oen Lan mengasih lihat wajah
yang padam, di terangnya sinar rembulan, nampak kulit mukanya yang pucat, yang
membuatnya dingin hati siapa yang memandangnya. Menampak paras itu, Thian Ya
melengak.
Jarak di antara mereka cuma
satu tindak. Thian Ya sudah mementang kedua tangannya akan tetapi ia tidak berani
menghampirkan, untuk merangkul.
"Maksud baik?" kata
Oen Lan dingin. "Kalau begitu, aku bersyukur tak habisnya. Baiklah,
Siangkoan Thian Ya! Benar-benarkah kau hendak hidup dan mati bersama
denganku?"
"Kau titahkan saja,"
sahut Thian Ya. "Ke dalam air, ke dalam api, aku nanti terjun! Seratus
kali juga, aku tidak nanti tampik!"
"Bagus!" kata si
nona, tetap dingin. "Nah, pergilah kau bunuh Tan Hian Kie! Habis itu kau
kembali ke mari, nanti kita sama-sama terjun ke dalam jurang ini!"
Thian Ya kaget hingga ia
berjingkrak.
"Entjie Oen Lan!"
dia bereru. "Kau... kau... kau edankah?"
Cinta dan penasaran umpama
kata hanya terpisah sehelai kertas. Oen Lan sangat menyinta tetapi juga ia
sangat penasaran, pula ia sangat gusar, maka juga ia ingin mati bersama. So So
mengerti perasaannya itu, tidak demikian dengan Siangkoan Thian Ya, maka pemuda
ini kaget tak terkira.
Melihat orang berdiam, Oen Lan
berkata pula, dingin: "Nah, baiklah, pergi kau kawani teman baikmu itu,
jangan kau melibat pula aku!" Kata-kata ini ditutup dibarengi gerakan
tangannya, menotok ke arah pemuda di depannya.
Siangkoan Thian Ya tidak
menyangka apa-apa, ia kena tertotok dengan jitu, maka seketika itu juga dia
roboh terguling.
Melihat itu si nona tertawa
terbahak, nyaring sekali, terus dia lari sebagai angin puyuh ke dalam rimba
yang lebat!
Syukur Thian Ya tidak
terlukakan hebat, begitu lekas ia dapat mengempos semangatnya, tenaganya pulih,
ia bangun berdiri sesudah ia menggerak-geraki kaki dan tangannya, yang tidak
kurang suatu apa. Tapi rimba lebat sekali, si nona pun pergi dengan
berlari-lari keras, ke mana dia dapat dicari?
Ketika itu di langit terlihat
melayangnya mega hitam, sang Puteri Malam kena teraling karenanya, dari itu
rimba menjadi gelap dan seram. Dengan begitu juga, hati Thian Ya menjadi pepat
sekali.
Dialah seorang muda yang
hatinya bebas, inilah untuk pertama kali ia mendapat pukulan yang hebat itu. Ia
menjadi seperti kalap.
"Entjie Oen Lan! Entjie
Oen Lan!" ia berteriak-teriak pula di dalam rimba itu, berteriak sekeras-kerasnya.
"Hai, kaukah yang
menyebut nama Nona Siauw?" sekonyong-konyong datang teguran yang tak
diharap-harap.
Justeru itu gumpalan mega tadi
melayang terus, melewati rembulan, cahayanya si Puteri Malam nampak pula, maka
di situ, di hadapannya, Thian Ya melihat empat orang dengan pakaian mereka
serba hitam. Dengan lantas mereka itu mengambil sikap mengurung.
Orang yang berdiri di kiri ada
seorang tua dengan tubuh kate dan dampak, romannya bengis mirip malaikat Hian
Tan Kong. Dia maju sambil berjingkrak, matanya mendelik. Agaknya dia hendak
menelan bulat-bulat pemuda she Siangkoan ini.
"Kau siapa?" menanya
Thian Ya dengan mendongkol. "Aku memanggil entjie Oen Lanku, ada sangkut
pautnya apakah dengan kamu?"
Orang kate dampak itu maju
satu tindak mendekati, matanya menatap tajam.
"Hm!" terdengar
suaranya yang dingin seram. "Kau toh Siangkoan Thian Ya?" ia menanya.
"Habis kenapa?"
"Kau toh ahli waris yang
baru diangkat dari Boetong Pay?"
Thian Ya heran. Tentang
keangkatannya menjadi tjiangboendjin, ahli waris yang akan memegang tampuk
pimpinan partainya, masih belum resmi, dan yang mengetahuinya pun cuma beberapa
tertua partainya, maka heran, kenapa orang tua ini telah mendapat tahu juga?
Bukankah dia ini orang luar? Berbareng dengan itu, ia muak untuk kelakuan
orang.
"Habis bagaimana?"
ia menanya.
Belum berhenti suaranya pemuda
ini, atau sebelah tangan si orang tua sudah melayang ke arah kupingnya. Inilah
serangan yang tidak diduga-duga. Syukur ia bermata jeli dan gesit, dengan
berkelit ia meluputkan kupingnya sebagai sasaran. Cuma karena serangan itu
sangat dahsyat sambaran anginnya menyebabkan ia merasa sedikit sakit pada kulit
pipinya. Karenanya, ia menjadi naik darahnya.
"Oh, bangsat tua!"
ia mendamprat. "Apakah kau kira aku dapat dibuat permainan?"
Kata-kata ini dibarengi Thian
Ya oleh serangannya "Kwahouw tengsan, atau "Menunggang harimau
mendaki gunung," semacam tipu silat dari "Tiangkoen" atau
Koentauw Panjang.
Si orang tua menangkis, terus
dia berlenggak dan berkata sambil tertawa lebar: "Mengandali jumlah yang
banyak untuk menghina orang, itulah perbuatan biasa dari kamu partai Boetong
San! Bouw Tok It tidak mempunyai anak atau cucu, maka itu pembalasan atas
dirinya harus ditimpahkan kepada dirimu! Sekarang kau berlakulah jinak kau
berlutut dan mengangguk-angguk tiga kali kepada kami lalu kau turut segala
titahku!"
Thian Ya tidak pandai mengadu
omong, ia tidak menggubris perkataan orang, ia hanya melanjuti penyerangan
beruntun hingga tiga kali. Dengan itu ia mengumbar hawa amarahnya.
Mau atau tidak, si orang tua
muka hitam itu, menjadi terdesak, hingga dia mundur tiga tindak.
Menyaksikan itu, si orang
berpakaian hitam yang di sebelah barat berseru: "Toako, buat apa bicara
saja tidak keruan dengan dia?"
"Benar!" menimbrung
si orang berpakaian hitam di sebelah utara. Toako, kamu berdua saudara baiklah
menghajar habis padanya! Apa yang kita kehendaki, mustahil tak akan
didapatkan?"
"Kamu benar!"
tertawa si orang tua kate dampak itu. "Adikku, mari! Eh, bocah kau tidak
tahu diri, maka di lain tahun hari ini adalah hari ulang mampusmu!"
Atas suara itu, dari sebelah
kanan, seorang tua lain, yang kate dampak juga, sudah lantas menyahuti seraya
dia mengajukan diri, dari itu, Thian ya lantas dikepung berdua di kiri dan
kanan.
Dua yang lain, kawannya dua
penyerang itu, lalu memasang mata.
Sekarang Siangkoan Thian Ya
baru dapat melihat tegas dua musuh itu. Mereka beroman sama-sama kate dampak,
berimbang juga usianya, apa yang beda, yang tegas sekali, ialah yang satu
bermuka merah, yang lain hitam, yang satu bertangan hitam seperti tinta, yang
lain merah seperti sepuan tjoesee, dan setiap kali tangan itu menyambar,
anginnya menyiarkan bau bacin.
Thian Ya terkejut, dia lantas
berseru: "Hai, dua bangsat tua bangka, apakah kamu Kauwhoen
Siangsat?"
Pemuda ini menduga tepat.
Memang dua orang tua itu ialah Kauw-hoen Siangsat, Dua Malaikat jahat Tukang
Membetot Arwah. Merekalah dua saudara kembar, yang hitam mukanya si kakak,
bernama Tie Eng, pelajarannya ialah Tiatsee tjiang, Tangan Pasir Besi dan yang
bermuka merah sang adik, namanya Tie Pa, kepandaiannya yaitu Tjeksee tjiang,
Tangan Pasir Merah. Tangan mereka itu beracun, siapa kena terhajar, akan
keracunan, dalam tempo dua belas jam setelah racunnya bekerja, binasalah si
kurban. Karena itu, mereka diberikan itu julukan yang menakuti. Untuk Golongan
Hitam di propinsi Shoatang, nama mereka sangat tersohor.
Si orang tua muka hitam
tertawa berkakakan mendengar pertanyaannya pemuda itu.
"Kau telah mengetahui
namanya Kauwhoen SiangSat, bocah!" katanya mengejek. "Kenapa kau
tidak hendak lantas berlutut dan mengangguk-angguk tiga kali kepada kami?"
Si muka merah sebaliknya
membentak: "Kau masih hendak melawan? Hm! Hm! Benar-benarkah kau tidak
menghendaki lagi jiwamu?"
Thian Ya seorang bertabiat
keras, dia lebih gampang dilagui dengan sikap lunak daripada diperlakukan
kasar, demikian, sikapnya dua saudara she Tie itu cuma membangkitkan
kemendongkolannya, hingga ia tidak memperdulikannya mereka itu lihay dan
kenamaan.
"Baru orang-orang semacam
kamu dengan dua pasangan kuku anjing kamu!" katanya turut mengejek,
"tidak nanti kamu dapat membetot arwah orang atau merampas roh
manusia!"
Kata-kata ini dibarengi dengan
serangan berbareng dengan tipu silat "Membengkoki busur memanah burung
rajawali," tangan kiri menyerang Tie Eng, tangan kanan menghajar Tie Pa.
Maka repotlah dua saudara itu.
Pertempuran segera berlangsung
terus, dengan cepat berjalan hingga belasan jurus. Sebab dua-dua pihak bersikap
bengis. Dua saudara Tie penasaran dan hendak lekas menyudahi, dan Thian Ya
hendak membela diri dan melampiaskan kemendongkolannya. Selama itu, kedua
Malaikat jahat itu kewalahan juga.
"Hm! Hm!" Tie Eng
kemudian mengasih dengar suaranya yang dingin. "Adik, bocah ini tidak tahu
mampus tidak tahu hidup, mari kita kepung dia supaya kita mencekuk kura-kura di
dalam keranjang!"
Perkataan ini dibuktikan
dengan penyerangan, yang diturut Tie Pa, dari itu mereka menyerang dengan
serentak. Dengan cepat mereka merangsek, mendesak membuatnya gelanggang menjadi
ciut.
Dengan lantas Thian Ya
terancam bahaya. Dengan dua-dua musuh bertangan beracun, ia sebenarnya kalah
angin. Untuknya, penyerangan dapat dilakukan setiap ada lowongan, tetapi
sekarang, lowongan itu seperti telah ditutup. Ialah yang lagi diserbu!
Desakan Tie Eng dan Tie Pa
berlangsung terus, mereka maju dengan perlahan, kalangan terus menjadi semakin
ringkas. Thian Ya melihat itu, ia mengerti ancaman bahaya itu untuknya, maka
ketika kalangan tinggal kira delapan kaki, mendadak ia berseru nyaring,
tangannya digeraki, dari tangan terbuka menjadi kepalan, dengan itu ia
menyerang bagaikan "kapak membelah gunung" atau "martil memecah
batu." Ia telah menggunai dua-dua Kimkong tjiang, atau Tangan Kimkong,
serta Lohan koen, atau Kepalan Arhat, guna menggempur kedua musuh tangguh itu.
Ia pun telah mengerahkan semua tenaga sesuai yang diminta dua rupa ilmu silat
itu.
Itulah ilmu warisannya Bouw It
Siok, yang mahir dua-dua ilmu luar dan ilmu dalam yang telah menciptakan
pukulan menukar tangan terbuka dengan kepalan.
Dua saudara Tie itu segera
juga berteriak-teriak: "Celaka bocah ini nekat!" Sembari berteriak,
mereka mengundurkan diri, mereka mengambil sikap membela diri. Rupanya mereka
cerdik, tidak mau mereka keras melawan keras.
Memang benar Thian Ya telah
berlaku nekat. Kalau ia terhajar Tie Eng atau Tie Pa, celakalah ia. Sebaliknya
kalau mereka itu terkena kepalannya, mereka pun bakal dapat susah, mereka bisa
mati seketika atau entengnya terluka parah.
Kauwhoen Siangsat ada
orang-orang kenamaan, sungkan mereka roboh di tangan seorang muda, sedang
mereka pun telah merasa pasti bahwa merekalah yang bakal merebut kemenangan.
Siangkoan Thian Ya tidak
hendak mensia-siakan ketikanya yang baik. Satu kali ia sudah lolos dari
kurungan, tidak ingin ia nanti kena terkepung pula. Ia menyerang terus
bertubi-tubi, dengan pelbagai pukulannya, yang semuanya jurus-jurus dari
Kimkong tjioe dan Lohan koen itu, antaranya "Membentur roboh tihang",
"Menginjak-injak gunung Holao San," dan "Lo Tjia mengaduk
laut." Setiap serangan itu bertambah kehebatannya. Di akhirnya, sambil
berlompat menubruk, dia menghajar dengan tipu silatnya "Burung garuda
menyerang di udara" kepada Tie Pa, yang diarah batok kepalanya!
Orang she Tie si adik itu
menjadi kaget sekali. Untuk menyelamatkan dirinya, ia menjatuhkan tubuh ke
tanah, terus ia bergulingan beberapa kali.
Dengan begitu merdekalah Thian
Ya dari kurungan yang telah terpecahkan itu. Akan tetapi ia bebas bukan untuk
dapat bernapas. Segera ia diserang pula, kali ini oleh si orang berbaju hitam
yang tadi berjaga-jaga di sebelah timur.
"Bocah yang baik, kau
hendak kabur?" demikian dia itu membentak dengan ejekannya. "Jangan
harap! Di sini masih ada aku Thongtjioe Siang San Liong!"
Dan dia maju dengan Kauwkin
Hongliong pian, cambuk yang dinamakan Cambuk Naga, yang banyak durinya, yang
panjangnya setombak lebih, maka di waktu digeraki, ujung cambuk itu
mendengarkan suara angin keras. Karena panjangnya itu, kalau dipakai mencambuk
memutar, kalangannya jadi luas beberapa tombak. Siapa kena terhajar, jangan
kata langsung oleh cambuknya, kelanggar durinya saja, sudah celaka.
Maka beratlah Thian Ya, yang
bertangan kosong itu. Begitu diserang ia menjejak tanah, untuk berlompat
tinggi, akan mengasih lewat cambuk itu, setelah jumpalitan, ia turun di sebelah
belakangnya sekira tiga tombak jauhnya. Ia baru menaruh kaki, belum lagi tetap
kuda-kudanya, maka musuh yang berjaga-jaga di sebelah barat, juga berlompat
maju menikam padanya dengan pedang di tangannya, sasarannya ialah punggung
orang. Dia merasa pasti yang dia bakal berhasil, sambil menikam itu dia tertawa
terbahak-bahak lalu berseru: "Kau hendak lari, bocah cilik? Hm, di sini
ada aku Kongya Liang!"
Siang San Liong dan Kongya
Liang ini juga ada orang-orang jahat kenamaan dari Golongan Hitam, bahkan
mereka lebih tersohor daripada Kauwhoen Siangsat. Maka mendengar nama mereka,
Thian Ya menjadi terlebih kaget lagi.
Murid Boetong Pay ini kenal
baik aturan dari partainya, apapula sekarang ia telah dipilih sebagai
Tjiangboendjin. Adalah aturan itu yang melarang orang Boetong Pay menjadi
penjahat, bahkan tak boleh juga menjadi piauwsoe, tukang melindungi angkutan
uang atau barang berharga. Karena ini, meski pihak Boetong tidak bersahabat
sama kaum Golongan Hitam, mereka juga tidak bermusuhan. Lebih-lebih Thian Ya
ini, yang baru mulai muncul dalam dunia kangouw. Kenapa sekarang ia dihadapkan
musuh-musuh yang kesohor ini, malah jiwanya seakan-akan hendak dirampas mereka
itu?
Tidak sempat Thian Ya
berpikir. Heran tinggal heran, ia lagi terancam bahaya. Maka ia mesti bekerja,
untuk melindungi dirinya.
Siang San Liong dan Kongya
Liang sudah lantas merangsek, yang satu dengan cambuk panjang, yang lain dengan
pedang pendek. Hanya aneh mereka ini, selagi mendesak, mereka agaknya tidak mau
menurunkan tangan jahat, meskipun si anak muda terpaksa mundur, mereka tidak
lantas melukai, hanya orang dipaksa kembali ke kalangan di mana tadi dia
dikurung dua saudara Tie, hingga kembali dia terkurung pula Kauwhoen Siangsat!
Caranya Siang San Liong dan
Kongya Liang ini adalah caranya kaum Golongan Hitam menolong kawan mereka
mendapatkan muka.
Tie Eng lantas tertawa lebar.
"Terima kasih,
saudara-saudara!" ia mengucap.
Tie Pa sebaliknya gusar dan
ingin melampiaskan itu, tanpa berkata-kata, ia menyerang hebat, tangannya
kelihatan merah, bau bacinnya terbawa anginnya. Ia menyerang ke dadanya si anak
muda.
Siangkoan Thian Ya repot atas
desakan musuh, sedang begitu, kepalanya dirasakan pusing akibat bau bacin itu,
maka atas serangan dahsyat itu, ia merasa tak berdaya untuk menghindarkan diri
lagi.
Di detik yang sangat berbahaya
itu, kuping anak muda ini mendengar suara nyaring tetapi
halus: "Paman Tie,
berlakulah murah hati!"
Dan untuk keheranan Thian Ya,
dialah Siauw Oen Lan.
Tie Pa melengak, ia menarik
pulang serangannya itu. Otot di jidatnya pada timbul dan terlihat matang biru.
Thian Ya pun melengak. Ia
sebetulnya hendak memanggil si nona, akan tetapi belum lagi ia membuka
mulutnya, jalan darah Siauwhoe hiat di rusuknya telah kena ditotok, maka tidak
tempo lagi, robohlah tubuhnya. Sebab ia telah diserang Kongya Liang, yang
menimpuk dengan sebutir batu pada jalan darahnya itu.
Walaupun tubuhnya tidak dapat
bergerak, Thian Ya tapinya bisa melihat dengan kedua matanya. Ia mendapatkan
dua saudara Tie dan Siang San Liong dan Kongya Liang itu berdiri dalam dua
baris, terhadap Siauw Oen Lan mereka bersikap menghormat. Kemudian terdengarlah
suaranya Tie Eng itu: "Dengan titahnya loototjoe, nona diminta pulang!
"Aku tidak mau
pulang!" menjawab Oen Lan.
"Loototjoe kangen sekali
terhadap nona," berkata pula Tie Eng. "Sekarang ini loototjoe sudah
memilih hari yang baik untuk ia mencuci tangan guna membungkus pedangnya dan
menutup pintunya. Maka itu diminta nona suka pulang untuk mewakilkan menjadi
penggantinya!"
"Aku tidak mengharapkan
itu!" kata si nona pula, singkat.
Matanya Kongya Liang memain.
Ia maju satu tindak.
"Nona Siauw," ia
berkata, "ayahmu sudah berusia lanjut, ia tidak mempunyai anak laki-laki
kecuali kau satu anak perempuan, maka juga usahanya ini, yang ia bangunkan
dengan susah-payah, adalah bagianmu! Mungkin kau tidak mengharapi warisan itu
akan tetapi kau toh tentu ingat ayahmu itu..."
Oen Lan berdiam.
"Ayahmu telah membilang,
nona," berkata Siang San Liong, yang turut bicara, "asal nona pulang,
semua-mua ayahmu akan mendengar katamu. Urusan dengan keluarga Kim itu ayahmu
tidak akan menyebutnya pula."
Thian Ya dapat mendengar semua
pembicaraan itu, ia tertegun. Ia heran mendapatkan ke empat jago Shoatang itu
demikian menghormati Oen Lan, tetapi keheranan itu lantas merupakan kesadaran setelah
mendengar katanya Tie Eng bahwa orang tua si nona hendak mencuci tangan,
menutup pedang dan pintunya.
"Teranglah rupanya ayah
Oen Lan ini ada pemimpin kaum Rimba Hijau," katanya di dalam hati.
Tiga tahun sudah ia berkenalan
dan bergaul sama Siauw Oen Lan, belum pernah ia menanyakan asal-usul si nona.
Memang pernah nona itu menyebutkan "dia dari keluarga yang mengerti ilmu
silat." Kata nona itu, "Kalau seorang priya boleh merantau mencari
kepandaian, kenapa seorang wanita tidak?" Sikap ini ia hargakan. Ia merasa
angan-angan si nona mirip dengan angan-angannya sendiri. Karena ini, senang ia
mengikat janji sendiri untuk menyintai si nona, agar di belakang hari nona itu
menjadi isterinya. Ia menganggapnya si nona ialah seorang nona gagah-perkasa
dan mulia, tidak tahunya, sekarang ternyata dialah puterinya seorang bandit...
Tapi Thian Ya masih berpikir
terus. Apakah artinya puteri bandit? Dapatkah ia memandang hina kepada nona
itu? Ia menjadi berduka sendirinya. Ia hargakan nona itu, ia berlaku jujur terhadapnya,
siapa tahu si nona justeru mengelabui ia, si nona menyimpan rahasia dirinya, ia
dipandang sebagai orang luar...
Kenapa si nona meninggalkan
rumahnya? Adakah sebabnya itu? Apakah sebab itu? Bukankah si nona romannya
masgul? Dan ia sendiri, mengenai kedatangannya ke rumah In Boe Yang, untuk
meminta kitab ilmu pedang, tidakkah ia pun telah mendustai nona itu? Kecuali
dalam urusan ini, apakah si nona masih menyembunyikan lainnya lagi?
Nona Oen Lan seperti
memikirkan sesuatu ia berdiri menjublak, matanya mengawasi pemuda di depannya.
Hati Thian Ya goncang keras.
"Kenapa kamu menangkap
dia?" si nona tanya.
Tie Eng menjura.
"Harap nona ketahui,
bocah ini bernama Siangkoan Thian Ya," ia menyahuti, menerangkan,
"Dialah tjiangboendjin yang baru dari Boetong Pay!"
"Aku tahu!" kata si
nona singkat.
"Memang," berkata
pula Tie Eng. "Kalau loototjoe bukannya telah mendengar selentingan dan
kuatir nona nanti kena terperdayakan, tidak nanti dia menjadi demikian gelisah
dan menitahkan aku menyusul nona."
Sembari mengatakan begitu, Tie
Eng bersenyum menyeringai.
"Ya dia tjiangboendjin
dari Boetong Pay. Habis bagaimana?" Oen Lan tanya. Ia tidak menggubris
sikap orang.
"Ayahmu telah malang
melintang di selatan dan utara Sungai Besar, seumurnya belum pernah ada orang
yang berani memusuhkan dia," menjawab Tie Eng, "hanya satu kali saja,
di luar tahunya, dia roboh di tangannya satu bangsat tua. Dia menganggap itulah
suatu hinaan besar untuknya. Bangsat tua itu ialah Bouw Tok It, tjiangboendjin
generasi ke dua dari Boetong Pay!"
"Tentang itu ayah pernah
menutur padaku," kata Pula Oen Lan. "Habis ada apa hubungannya itu
dengan dia ini?"
Mendengar itu barulah Thian Ya
sadar. Pantas ketika pertama kali mendengar ia adalah Tjiangboendjin, ahli
waris, dari Boetong Pay, nona itu terperanjat.
Tie Eng mengasih dengar suara
"hm!" beberapa kali.
"Kenapa tidak ada
hubungannya?" sahutnya. "Dialah cucu murid Bouw Tok It! Dialah ahli
waris Boetong Pay!"
"Peristiwa telah
berselang tigapuluh tahun," berkata si nona, "ketika itu dia ini
masih belum terlahir! Aku bilang tidak ada hubungannya, tetap tidak ada
hubungannya!"
"Kalau nona membilang
hendak melepaskan dia, budakmu yang tua tidak berani menentangmu," berkata
Tie Eng, "hanya budakmu kuatir loototjoe sebaliknya membilang ada
hubungannya, dan budakmu ditegur, maka kalau itu sampai teijadi, sungguh aku
tidak sanggup menerimanya!"
Sepasang alisnya Oen Lan
berbangkit berdiri.
"Kau cuma tahu merdekakan
dia!!" ia bentak, "Aku sendiri yang nanti bicara sama ayahku!"
Inilah kata-kata si nona yang
diharapkan Tie Eng. Itu artinya ia telah lepas dari tanggungjawab. Memang ayah
itu menitah mencari anaknya untuk diajak pulang sebab ia mendengar kabar si
anak berhubungan erat dengan Siangkoan Thian Ya.
"Tie Toako," berkata
Kongya Liang, "karena nona suka pulang bersama kita, baiklah kita lepaskan
saja bocah ini. Cuma itu kitab pedang harus kita minta pulang
daripadanya."
Oen Lan heran.
"Kitab pedang apakah
itu?" ia tanya.
Sementara itu Kongya Liang,
dengan satu totokan jari tangannya, telah membebaskan Siangkoan Thian Ya.
"Entjie Oen Lan, kau
hendak pulang kemana?" menanya si anak muda. Ia baru bertindak atau segera
ia di halangi oleh ke empat orang.
"Dengan memandang nona,
kami beri ampun padamu!" Kongya Liang bilang. "Apakah kau masih tidak
hendak membayar pulang kitab ilmu pedang Tat Mo Kiampouw itu?"
"Tat Mo Kiampouw apakah
itu?" Thian Ya balik menanya.
"Kau berlagak pilon saja,
bocah!" kata Kongya Liang, tertawa dingin. "Tat Mo Kiampouw apa, kau
bilang? Kiampouw yang tigapuluh tahun lalu Bouw Tok It ambil dengan tipu
dayanya yang licik! Apakah itu bukannya Tat Mo Kiampouw? Habis apakah
itu?"
"Aku justeru menghendaki
kitab itu!" sahut Thian Ya. "Habis apa yang mesti aku serahkan
padamu?"
Kongya Liang menatap.
"Mustahilkah Bouw Tok It
membawa kitab itu ke dalam peti matinya?" dia tanya, "Kau ahli waris
Boetong Pay, kalau kitab tidak ada di tanganmu, habis dimanakah adanya?"
Oen Lan menjadi heran. Ia
menyelak di depan Kongya Liang.
"Kalau kitab pedang ada
kitab miliknya Boetong Pay, perlu apa kita menghendaki itu?" ia kata.
"Tidakkah itu jadi akan merusak nama baik ayahku?"
Kongya Liang memperlihatkan
roman heran.
"Ah, nona," katanya.
"Apakah ayahmu belum pernah memberi keterangan kepadamu? Kitab itu pada
asalnya bukan kepunyaannya Bouw Tok It!"
"Mustahilkah kitab itu
ada milik ayahku?" si nona tanya. Ia pun heran. Belum pernah aku mendengar
ayah menyebut-nyebut tentang kitab pedang itu."
"Sebenar-benarnya,"
berkata Tie Eng, "Tat Mo Kiampouw itu bukan kepunyaannya Bouw Tok It,
bukan juga kepunyaan ayahmu hanya setelah sampai di waktu ini orang yang
bersangkutan dengan kitab pedang ini telah menutup mata, maka kecuali ayahmu
tak ada lain orang yang tepat untuk menjadi pemiliknya."
So So di atas tempat
sembunyinya di atas pohon telah mendapat dengar semua pembicaraan itu, ia
menjadi heran.
Dulu hari ibuku telah membantu
ayah mencuri kitab itu," katanya di dalam hati, "karena perbuatannya
itu, ibu menyesal seumur hidupnya. Pasti sekali ibu tidak mendustakan aku...
Kenapa kitab itu bukan miliknya engkong luarku?..."
So So heran Siangkoan Thian Ya
terlebih heran pula. Memang Pit Leng Hong telah membilangi bahwa kitab pedang
itu bukan milik kakek gurunya, tetapi Pit Leng Hong pernah membilang juga,
kitab itu adalah milik seorang berilmu yang menyerahkannya kepada seorang gagah
terkenal yang sama berkenamaannya sama kakek gurunya itu. Orang gagah itu ialah
Tan Teng Hong. Maka kenapa sekarang ayahnya Nona Oen Lan pun bersangkutan
dengan Tat Mo Kiampouw itu?
Oen Lan tak kurang herannya.
Tie Eng tertawa, ia berkata
pula: "Kalau nona kurang jelas, silahkan nona pulang untuk menanyakannya
kepada ayahmu. Eh bocah, kau telah mendapat pulang jiwamu, apakah kau masih tak
rela mengeluarkan kitab itu?" Kata-kata yang belakangan ini ditujukan
kepada Siangkoan Thian Ya.
Thian Ya panas sekali hatinya.
"Kitab itu tidak ada
hubungannya dengan aku?" ia berkata nyaring. "Baiklah, aku beritahu
kepada kamu! Tat Mo Kiampouw berada di tangannya In Boe Yang, jikalau kamu
menghendakinya, pergi kamu ambil sendiri pada In Boe Yang itu, jangan kamu
gerembengi aku! Sekarang ini aku hanya hendak bicara dengan tenang dengan
entjie Oen Lan!"
Siang San Liong, yang sejak
tadi berdiam saja, memperlihatkan roman bengis.
"In Boe Yang!"
katanya. "Di mana adanya dia?" "Dia ada di atas ini gunung Holan
San!" sahut Thian Ya, nyaring pula.
"Hm, kau menggunai nama
In Boe Yang untuk menggertak kami?" kata Kongya Liang, dingin.
Tie Eng tapinya berpikir lain.
"Nona, adakah bocah ini
bicara benar?" ia menanya Oen Lan.
"Tentang kitab pedang itu
aku tidak tahu sama sekali," menyahut si nona, "Hanya mengenai
Siangkoan Thian Ya, belum pernah dia omong bohong dan inilah aku ketahui dengan
baik!"
"Kalau begitu, maafkan
kami hendak geledah dulu padanya!" berkata Tie Eng. Alisnya si nona
berdiri.
"Tie Eng!" serunya
bengis.
"Nona," kata orang
she Tie itu, hormat. Tapi dengan dingin, ia menambahkan: "Maafkan yang
budak tuamu berlaku kurang ajar! Bukannya budakmu tidak mau memberi muka kepada
nona, hanya kitab pedang itu adalah sangat penting, jikalau tidak sekarang aku
menggeledah dia, akan lenyaplah ketikanya yang paling baik! Kalau nanti
loototjoe menegur, siapakah yang berani bertanggung jawab? Geledahlah
dia!"
Oen Lan gusar hingga dia
menggigil. Empat orang itu memang ada orang-orangnya ayahnya, akan tetapi toh
benar, mereka pun masih terhitung pamannya sendiri. Bahwa Tie Eng menyebut
dirinya "budak tua," itu cuma tanda menghormat. Sebenarnya, ayahnya
pun memandang tinggi kepada Tie Eng beramai itu. Kalau mereka ini tidak
mentaati titah ayahnya, mana dapat? Mengarti ini, ia menjadi serba salah.
Justeru itu Tie Eng sudah
lantas berlompat ke depan Thian Ya.
"Bocah yang baik, angkat
tangan!" ia membentak dengan titahnya.
Siangkoan Thian Ya menjadi
sangat gusar, benar ia telah angkat sebelah tangannya tetapi ia melayangkan itu
sebagai satu serangan. Dia pun berseru, "Kenapa aku mesti mengijinkan kamu
menggeledah aku?"
Hampir saja Tie Eng kena
dihajar. Dia menjadi gusar sekali.
"He, bocah, kau berani
berlaku kasar?" bentaknya. "Kalau begitu, kau mesti dibekuk
dulu!"
Habis berkata, Tie Eng
menyerang. Perbuatannya itu ditelad Tie Pa, saudaranya. Dengan berbareng mereka
menggeraki tangan mereka, memperdengarkan suara nyaring ?ialah bergeraknya dua
helai rantai besi!
Dua-dua rantai itu menuju ke
arah lehernya Siangkoan Thian Ya, yang hendak dikalungkan.
Kongya Liang di lain pihak
menekan dengan pedangnya kepada punggung orang, sedang Siang San Liong dengan
cambuknya menyambar ke kedua kaki orang.
Diserang berbareng secara demikian,
biarpun ia sangat gagah, Siangkoan Thian Ya tidak berdaya. Di saat ia bakal
kena disambar cambuk dan dikalungi rantai, mendadak saja terdengar seruan
seorang wanita: "Tahan!"
Seruan itu datang dari tempat
jauh, terdengarnya berulang-ulang. Suara itu halus tetapi berpengaruh, dapat
mendatangkan rasa hormat orang.
Tie Eng terkejut, sedang tiga
kawannya melengak. Tapi, di dalam hati mereka, mereka berkata: "Tidak,
tidak bisa jadi dia! Mana mungkinkah dia?"
Tengah mereka itu terbengong,
mendadak terlihat suatu sinar berkelebat di depan mata mereka. Itulah sinar
bagaikan bianglala menyambar turun dari langit. Menyusuli sinar itu muncullah
seorang wanita dari usia pertengahan, yang tangannya mengibaskan sehelai
pelangi merah, gerakannya sangat lincah. Dan belum lagi mereka itu tahu
apa-apa, alat senjata mereka ialah cambuk, pedang pendek dan rantai besi, telah
kena dilibat pelangi itu!
Herannya Siangkoan Thian Ya
juga tak kalah dengan keempat lawannya itu. Suara wanita itu bukannya suara
Siauw Oen Lan. Ia lantas mengangkat kepalanya, untuk memandangi. Atau segera ia
mendengar suaranya wanita itu: "Benarlah apa yang dia bilang! Kitab ilmu
pedang itu memang ada di tangannya In Boe Yang!"
Sejenak itu keempat jago Rimba
Hijau itu berdiri tegak bagaikan patung-patung, tidak berani mereka sekalipun
berkelisik saja. Mereka seperti lagi menghadapi sesuatu yang sangat
mempengaruhi, muka mereka pucat pias, tanda dari takut yang hebat. Agaknya
mereka ketakutan seperti sedang menghadapi majikan mereka ya, tuan mereka!
Sejenak kemudian, adalah Tie
Eng yang sadar paling dulu. Ia mengeluarkan suara yang tertahan.
"Mari!" katanya. Lalu dipimpin olehnya, tiga kawannya mengikuti ia
bertekuk lutut di hadapan wanita itu.
"Toa siotjia, kau...
kau..." kata mereka, suaranya menggetar. "Ini... ini..."
"Tidak salah, inilah
aku!" menyahut wanita itu, yang romannya cantik, sebelah tangannya
dikibaskan. "Apakah kamu tidak mempercayai kata-kataku?"
"Hanya ini bagaimana
sebenarnya?" menanya Tie Eng, gugup. "I... In..."
"Diam!" membentak si
wanita. "Aku melarang kamu menyabutnya pula nama itu! Aku pun melarang
kamu membilangi siapa juga bahwa kamu telah bertemu sama aku!"
Tie Eng berempat saling
mengawasi. Tidak ada satu di antaranya yang berani membuka mulut.
Siangkoan Thian Ya menjadi
heran sekali. Beruntun beberapa hari ia menemui hal-hal aneh, dan hari ini
ialah yang teraneh.
"Siapakah nyonya
ini?" pikirnya. "Kenapa ini empat jago Rimba Hijau demikian takut dan
begini menghormatinya? Dia ditakuti jauh melebihi ditakutinya Entjie Oen Lan!
Kenapa dia dipanggilnya Toa siotjia? Bukankah, dari suara mereka, empat jago
ini seperti mengakuinya bahwa merekalah bujang atau budak-budaknya nyonya
ini?"
Selagi Thian Ya terbenam dalam
ragu-ragu itu, Siauw Oen Lan telah mendahului ia mengajukan pertanyaan. Si nona
ada terlebih heran lagi daripada pemuda ini. Dia telah memikirnya
berulang-ulang, dia tetap mengingat yang dia belum pernah bertemu dengan nyonya
ini. Heranlah dia, yang orang-orang ayahnya demikian mendengar katanya si nyonya.
Maka dia maju satu tindak.
"Aku mohon menanya,
apakah shemu, nyonya, dan dengan ayahku bagaimana kau memanggilnya?"
Wanita itu bersenyum. Ia menggeraki tangannya mengasih tanda untuk Tie Eng
berempat berbangkit.
"Adakah nona ini
puterinya Siauw Koan Eng?" ia tanya mereka itu. Sama sekali ia tidak
segera memberikan penyahutan kepada si nona.
"Benar," menjawab
Tie Eng mengangguk. "Siauw Toyoe menggantikan memegang pimpinan totjoe
sudah duapuluh tahun."
Nyonya itu tertawa, ia menoleh
kepada nona yang menanyanya.
"Kau menanya aku siapa,
nona kecil?" katanya manis.
"Pergi kau pulang, kau
tanyakan ayahmu, lantas kau akan mengetahuinya! Hari ini ialah hari pertama
yang kau bertemu denganku, aku tidak mempunyai apa-apa untuk dihadiahkan
padamu, maka itu aku melainkan dapat mengucapkan beberapa patah kata-kata.
Manusia itu ada mempunyai saatnya berduka dan bersuka-ria, bercerai dan
berkumpul, sebagaimana rembulan ada saatnya guram dan terang bercahaya, bundar
dan sempoak. Itu artinya di dalam dunia ini tidak ada benda yang sempurna dan
tanpa cacat. Maka itu andaikata kau mempunyai sesuatu yang tidak menyenangi
atau mencocoki hatimu, jangan kau simpan itu di dalam hati-sanubarimu."
Mendengar itu, Oen Lan
tercengang. Ia menampak sinar mata tajam dari si nyonya seperti menyapu
mukanya, bahwa hanya dalam saat sekelebatan itu, si nyonya seperti telah
mengetahui rahasia hatinya. Ia merasakan, hanya dengan beberapa kata-katanya si
nyonya itu, hatinya seperti dapat diredakan banyak...
Di antara mereka itu, masih
ada seorang lain yang tak kurang herannya. Dia inilah In So So. Mengawasi
wanita itu, dia merasa hatinya tidak tenteram.
"Ah, dia mirip dengan
ibuku!..." demikian sekilas pikirannya. "Bukannya mirip dalam
sifatnya, dalam wajahnya yang membenam kedukaan. Itu sinar matanya, sinar yang
seperti menyembunyikan sesuatu..."
Mau atau tidak, So So jadi
mengingat ibunya sendiri. Ia ingat kematiannya Tjio Thian Tok itu malam yang
menakuti.
"Ya, kemanakah ibu telah
pergi?" ia menanya dirinya.
Nona yang harus dikasihani ini,
sedikitpun dia tidak mengetahui yang ibunya pernah kembali dan telah bertemu
sama ayahnya, untuk meminta diri, untuk pamitan...
Lamunan So So telah dipecahkan
suaranya si wanita. Si wanita telah mengucapkan kata-kata yang membuatnya ia
goncang hati. Itulah disebutnya nama "Tan Hian Kie". Ialah pertanyaan
yang diajukan si nyonya kepada Siangkoan Thian Ya.
Thian Ya sendiri sebaliknya
tengah memikirkan itu nama "Siauw Koan Eng." Pernah ia mendengarnya
nama itu. Tiba-tiba ia ingat! Pernah gurunya, Bouw It Siok, pada suatu hari
menyebutnya nama itu. Itulah namanya satu pemimpin Rimba Hijau di lima propinsi
Utara. Ketika itu, ia tidak memperhatikannya. Sekarang ini lain. Ia tidak
sangka bahwa Siauw Koan Eng itu ialah ayahnya Siauw Oen Lan.
Lamunannya dipotong si nyonya,
Thian Ya lantas mengangkat kepalanya, mengawasi nyonya itu. Ia mendapatkan si
nyonya tengah memandangi ianya.
"Bukankah kau Siangkoan
Thian Ya?" nyonya itu menanya. "Bukankah Tan Hian Kie itu sahabat
karibmu?"
"Tidak salah!" ia
memberikan penyahutannya. "Kenalkah kau Hian Kie?"
Sinar matanya nyonya itu
bercahaya.
"Habis, mana Tan Hian
Kie?" ia menanya tanpa memperdulikan pertanyaan yang diajukan kepadanya.
"Dia baru saja pergi
mengikuti Nyonya In," sahut Thian Ya. Ia tidak menjadi kurang senang yang
pertanyaannya tidak segera dijawab.
"Nyonya In siapa
itu?" si nyonya menanya. "Isterinya In Boe Yang. Di gunung Holan San
ini di mana ada Nyonya In lainnya lagi?"
Tiba-tiba wajah si nona
menjadi guram, sinar matanya pun tak bercahaya lagi seperti tadi.
"Apa?" katanya,
suaranya menggetar. "Hian Kie... dia dia pergi ke rumah keluarga...
keluarga In?"
Thian Ya mengawasi. Ia heran
untuk kelakuannya orang.
Setelah itu terdengar si
nyonya menghela napas.
"Oh, pohon bwee yang
habis menderita musim dingin, dapatkah kau mempertahankan dirimu lagi dari
serangan sang angin?..." katanya perlahan. Kemudian ia menoleh kepada
empat jago Rimba Hijau itu, sembari mengibaskan tangannya, ia berkata nyaring:
Tie Eng, Tie Pa, pergilah kamu! Ingat pesanku, apa yang terjadi hari ini, tidak
dapat kau perkatakan pada lain orang siapa juga!"
Habis mengucap begitu, tanpa
menanti jawaban lagi, tanpa menunggu orang berlalu, nyonya ini mendahulukan
memutar tubuhnya, untuk pergi. Gesit sekali gerakannya itu, ia tidak nampak
lari, tetapi lekas juga ia lenyap, tak kelihatan bekas atau bayangannya lagi.
Menyaksikan caranya orang
berlalu itu, Siangkoan Thian Ya terkejut. Ia tahu ilmu ringan tubuh apa yang
telah digunakan nyonya luar biasa itu. Itulah ilmu "Menggeser rupa,
menukar bayangan," ilmu ringan tubuh yang lihay dari Tan Teng Hong,
seorang tayhiap atau pendekar yang namanya kesohor berbareng seperti kakek
gurunya.
So So mendekam di belakangnya
pohon kayu besar, mengawasi nyonya itu berlalu, dari cuma nampak punggungnya,
lalu sekejab saja lenyap. Berbareng sama kepergiannya nyonya itu, ia ingat
suatu apa.
"Dia sangat memperhatikan
Hian Kie, adakah dia ibunya Hian Kie?" ia tanya dirinya sendiri. Ia pernah
mendengarnya Hian Kie menyebut ibunya itu, di saat itu ia seperti berkesan
terhadap ibu orang, maka sekarang, memikir si nyonya, ia merasakan
kemiripannya. Tanpa merasa, ia menjadi girang hatinya. Hanya heran ia mengapa
nyonya itu melarang Tie Eng berempat menyebut nama ayahnya.
"Melihat sikapnya,
mendengar suaranya, ia seperti membenci keluarga In..." pikirnya pula.
"Ada hubungan apakah di antara dia dengan keluargaku?..."
Segera ia mendengar suaranya
Oen Lan, yang berbicara seorang diri: "Ah, siapakah dia?" Nona ini
maksudkan nyonya yang luar biasa itu.
"Nona Siauw, silahkan kau
pulang," berkata Tie Eng, yang menyahuti si nona walaupun bukannya ia yang
ditanya. "Setibanya kau di rumahku, segala apa akan lantas menjadi jelas
terang."
Oen Lan menoleh kepada Thian
Ya, cuma sejenak, lantas ia menjawab si orang she Tie itu.
"Baiklah, mari kita
pulang bersama!" katanya. "Mari kita melanjuti pekerjaan ayah yang
ujung goloknya berlumuran darah!"
"Entjie Oen Lan, kau
tunggu aku," berkata Siangkoan Thian Ya. "Kalau mau jadi penjahat,
marilah kita bersama-sama pergi!"
"Eh, bocah cilik, kau
banyak rewel!" kata Siang San Liong, yang tertawa mengejek. "Untuk
menjadi penjahat juga kau belum tepat!"
Dan ia mengulur cambuknya,
untuk menghalangi.
Oen Lan memandang ke langit,
ia tertawa sedih.
"Benar, orang ada
masing-masing jodohnya," katanya, "jodoh itu tidak dapat dipaksakan.
Sebagaimana manusia ada waktunya bersedih dan bergirang, berpisah dan
berkumpul, demikian dengan rembulan, ada katanya terang jernih, ada katanya
guram gelap, ada waktunya juga bundar dan bercacat... Ya, benarlah katanya si
nyonya, maka Siangkoan Thian Ya, kau berdiamlah di sini, kalau sebentar kau
bertemu sama Tan Hian Kie, kau wakilkan aku memberi selamat padanya, aku
mendoakan dia dan si Nona In itu hidup bersama sampai tua, tak ada dukanya, tak
ada sedihnya, biar seumurnya tidak ada hal-hal yang melukai hati mereka!"
Terharu si nona ketika ia
mengatakan itu. So So dan Thian Ya mendengarnya itu dengan nyata. Nyatalah si
nona masih menyintai Hian Kie. Thian Ya berdiri menjublak, di mulutnya terulang
itu kata-kata: "Benar, orang ada masing-masing jodohnya, jodoh itu tidak
dapat dipaksakan..." Kata-kata itu terang ditujukan kepadanya. Ia
mengangkat kepalanya, ia menampak si Puteri Malam di atas pohon. Oen Lan
sebaliknya telah pergi jauh...
Thian Ya merasakan kesepian
yang dulu-dulunya tak pernah ia merasainya. Di dalam dunia yang luas ini, tidak
dapat ia menemukan seorang jua yang bersatu hati dengannya. Ada Oen Lan tetapi
hati si nona tidak ada padanya. Ia lantas ingat Hian Kie. Tidak salah, Hian Kie
pernah berkurban untuknya, dia dipandangnya sebagai saudara kandung, tetapi,
Hian Kie juga tidak mengerti perasaannya. Ia menjadi tidak keruan rasa, ia
merasakan dirinya benar-benar bersendirian. Ia merasa, di dalam dunia ini,
orang yang mengetahui dia ialah cuma gurunya yang baru, guru yang tubuhnya
bercacat itu...
"Soehoe, soehoe," ia
lalu berkata-kata seorang diri, "soehoe, kenapa untukku kau masih hendak
merampas pedang itu, itu kitab ilmu pedang juga? Baiklah kita sama-sama
lekas-lekas meninggalkan ini tempat yang melukakan hati!..."
Sekonyong-konyong pemuda ini mendapat jawaban yang ia tidak diharap-harap.
"Thian Ya, ah, kau di
sini? Apakah yang kau ucapkan itu?"
Itulah suaranya seorang tua,
suara yang dalam.
Dengan cepat anak muda ini
menoleh, maka ia tampaklah di sana kelima paman gurunya, yang tengah bertindak
memasuki rimba. Ia jadi berdiri tercengang.
"Cara bagaimana kau dapat
lolos dari tangan lihay dari si bangsat tua In Boe Yang?" Tie Wan
bertanya. "Ah, apakah kau terluka?" w
Melihat orang diam saja, Tie
Wan Tiangloo menyangka keponakan murid itu telah terhajar Boe Yang.
Thian Ya mundur satu tindak.
"Semenjak sekarang ini
dan seterusnya, aku tidak akan perdulikan lagi urusan Tat Mo Kiampouw
itu!" katanya tiba-tiba. "Jikalau kamu menghendakinya, pergilah kamu
minta sendiri pada In Boe Yang!"
Tie Wan heran hingga ia
melengak.
"Apa kau bilang?"
dia menegasi.
"Coba kau periksa
nadinya," berkata Tie Hong Tiangloo. "Mungkin benar-benar dia telah
terluka..."
Thian Ya mengibas dengan
tangannya.
"Siapa bilang aku
terluka?" tanyanya.
"Baik, urusan kiampouw
kita bicarakan saja di belakang hari," kata Tie Hong. "Sekarang mari
kita pulang ke Boetong San!"
Empat imam yang lainnya
mengangguk berbareng. Mereka cocok. In Boe Yang tidak dapat diajak bicara,
dilawan pun dia tidak dapat dikalahkan, dari itu paling benar mereka pulang
dulu ke gunung mereka, untuk memastikan dulu kedudukan Tjiangboendjin mereka
itu. Adalah kemudian, mereka nanti mengumpulkan orang-orang Rimba Persilatan
dari golongan tertua, untuk bersama-sama mereka mendatangi pula In Boe Yang,
guna menghukum...
Tapi mereka dapat sambutan di
luar dugaan mereka.
Siangkoan Thian Ya mengangkat
kepalanya dan berkata dengan terang-jelas : "Aku tidak mau pulang ke
Boetong San! Aku pun bukan lagi Tjiangboendjin dari Boetong Pay!"
-xxXXXxx-
BAGIAN XII : Tidak
kesampaian...
Tie Wan Tiangloo heran bukan
main.
"Siangkoan Thian
Ya!" ia membentak. "Apakah kau sudah gila? Kenapa kau melepaskan
kedudukanmu itu yang demikian baik?"
"Aku tidak sukai kedudukan
itu tetapi mesti ada lain orang yang menyukainya!" menyahut Thian Ya
tenang.
Matanya imam itu membelalak.
"Siapakah yang
menghendaki itu?" ia menanya, berteriak.
"Soepee, beberapa soeheng
yang menjadi muridmu semua lebih menang daripada aku," sahut keponakan
murid itu.
"Hm!" imam itu
mengejek. "Siapakah telah gosok-gosok padamu?"
"Akulah yang ingin mundur
sendiri!" menyahut pula Thian Ya. "Dengan begitu tak usahlah soepee
dan soesiok semua mencapaikan hati lagi mengurus aku. Beberapa soeheng itu
tentulah sudah menerima panggilanmu dan telah tiba di Boetong San, maka itu
untuk apa aku pergi membantu meramaikan!"
Tie Wan memang telah
mempunyakan pikirannya sendiri, hendak ia mengatur murid-muridnya supaya ia
bisa merampas kedudukan tjiangboendjin itu untuk salah satu muridnya itu,
sekarang rahasia hatinya itu dibeber Thian Ya, ia menjadi malu dan gusar.
"Kau ngaco belo!" ia
membentak pula. "Apakah kedudukan tjiangboendjin boleh dibuat permainan?
Taruh kata benar kau hendak menyerahkannya itu kepada soeheng-mu, kau toh mesti
pulang dulu ke Boetong San, di sana kita nanti mengadakan rapat untuk
membicarakan dan memutuskanny!"
Siangkoan Thian Ya tertawa
dingin.
"Kenapakah mesti begitu
rewel, membuang-buang ketika?" ia berkata. "Sejak hari ini, aku bukan
lagi tjiangboendjin dari Boetong Pay! Maka itu urusan dalam partaimu, aku tak
akan mencampurinya pula!"
Tie Wan girang berbareng
mendongkol sangat. "Kau berani mendurhaka kepada partai dan
soetjouw?" ia membentak dalam murkanya.
Terhadap budi dan pengajaran
soehoe Bouw Tok It tidak nanti aku melupakannya," berkata Siangkoan Thian
Ya, "akan tetapi di dalam Rimba Persilatan, sesudah guru menutup mata,
kalau orang pergi menukar guru, itulah bukannya tidak ada contohnya."
"Bagus betul!" Tie
Wan berteriak. "Kau telah menukar guru kepada siapa?"
Empat imam lainnya pun gusar
sekali.
"Boetong Pay ialah partai
sejati dalam Rimba Persilatan!" kata mereka itu. "Semenjak dahulu,
ada juga orang yang membuang apa yang sesat untuk kembali kepada jalan yang
benar, tidak ada yang melepaskan jalan yang benar untuk pergi kepada yang
sesat!"
"Ngaco belo!"
membentak yang lain. "Masa satu tjiangboendjin pergi memasuki lain
partai?"
Maka itu berisiklah suara
mereka berempat.
Justeru keadaan kacau itu
karena murkanya lima tertua dari Boetong Pay itu, dari tempat jauh terdengar
suara tingtongnya tongkat besi, suara itu datangnya cepat sekali.
Boetong Ngoloo mendapat dengar
suara tongkat itu, wajah mereka berubah dengan segera. Tanpa merasa, suara
mereka berhenti serentak.
Segera setelah itu terdengar
tertawanya Pit Leng Hong, yang terus berkata: "Kelima tua bangka dari
Boetong Pay, bukankah aku Pit Leng Hong tidak mendustai kamu? Bukankah
tjiangboendjin kamu telah mengangkat aku jadi guru karena kerelaannya sendiri, bukannya
aku yang merampas dia? Haha, Siangkoan Thian Ya, kau telah mendengar tegas,
bukan?"
Siangkoan Thian Ya menjura.
"Semua aku telah
mendengar terang," sahutnya.
Boetong Ngoloo saling
mengawasi.
"Pit Leng Hong!"
kemudian Tie Wan Tiangloo berkata dengan gusar. "Kau baik sekali ya! Kau
harus ketahui, Boetong Pay tidak dapat diperhina sembarang orang!"
Pit Leng Hong tertawa
terbahak-bahak. Ia memutar tongkat besinya. Dengan begitu mukanya yang jelek
menjadi bertambah jelek, menjadi bengis menakuti. Dia tertawa dingin.
"Biarnya aku si orang she
Pit sudah bercacat, aku tidak jerihkan siapa juga!" katanya nyaring.
"Baiklah, biarpun kamu kaum Boetong Pay ada laksana gunung Tay San yang
menimpa menguruk, aku si orang she Pit dapat melonjorkan tanganku untuk
menampanya!"
Saking murkanya, paras lima
tertua Boetong Pay itu menjadi merah padam, tetapi meski demikian, mereka harus
menguasai diri mereka. Di tangan In Boe Yang mereka telah terluka pukulan
Ittjie sian, meski mereka sudah makan obat Siauwhoan Tan, kesehatan mereka
belum pulih kembali, sedang kepandaiannya Pit Leng Hong ini mereka telah
menyaksikannya dengan mata mereka sendiri. Mana dapat mereka melawan keras
dengan keras?
"Hari ini dapat kau
mengumbar bacotmu!" membentak Tie Wan. "Kau tunggu sampai lagi tiga
bulan, nanti aku mengumpulkan semua rekan Rimba Persilatan untuk nanti
berhitungan denganmu!"
Pit Leng Hong tertawa
berkakak.
"Siapa mempunyai
kesabaran untuk menanti sampai tiga bulan?" katanya memandang hina.
"Tiga hari juga aku tak sudi menantinya!"
"Kau suka menantikan atau
tidak, terserah kepadamu!" berkata Tie Wan. "Kami akan cari padamu
untuk berurusan pula atau tidak, itulah bergantung kepada kami sendiri! Biar
kau menjelajah ujung langit, pasti aku nanti cari padamu!"
Lagi-lagi Pit Leng Hong
tertawa.
"Hm!" ia bersuara,
seraya ia menancap tongkat-nya di tanah matanya mengawasi Boetong Ngoloo
mengangkat kaki. Dengan mengejek, dia berkata: "Sesudah tiga bulan kamu
hendak mencari aku? Haha! Itu waktu kamu boleh pergi menghadap Giamloo Ong
untuk meminta orang!"
"Soehoe," berkata
Siangkoan Thian Ya kaget, "walau pun ini beberapa paman guruku telah
terlalu mementingkan dirinya sendiri, mereka bukannya orang-orang berdosa tak
berampun, maka itu jikalau umpama kata di belakang hari mereka sampai datang
untuk menuntut balas, aku minta sudilah soehoe memandang kepadaku dan janganlah
soehoe berlaku bengis terhadap mereka..."
Pit Leng Hong memperlihatkan
roman guram tercampur duka, ketika ia tertawa, ia tertawa berduka.
"Siapa yang membilang aku
hendak membinasakan mereka itu?" katanya. "Ah, anak, kau tidak
mengerti apa-apa. Jodoh kita bakal lekas berakhir, maka kenapa kau masih
menyebut-nyebut hal-hal di belakang hari?..."
Aneh Thian Ya mendengarnya
perkataan gurunya itu, ia heran bukan kepalang.
"Kalau begitu, habis
apakah artinya pembilangan soehoe bahwa dia hendak menagih orang kepada Raja
Akherat," katanya di dalam hati. Karena penasaran, ia lantas menanya:
"Soehoe, kita baru saja bertemu pula, mengapa soehoe menyebutnya jodoh bakal
habis? Apakah mungkin teetjoe telah melakukan sesuatu kesalahan?"
Pit Leng Hong
menggeleng-geleng kepalanya. Ia tertawa pula, tertawa sedih. Sekarang, terlihat
kepalanya mengeluarkan peluh, di situ pun seperti ada hawa yang mengkedus
bagaikan uap.
"Pedang Koengo kiam serta
kitab pedang Tat Mo Kiampouw, dua-duanya tidak dapat aku mengambilnya pulang
untuk diserahkan padamu," berkata ia masgul.
Thian Ya menduga gurunya
bersusah hati melulu disebabkan pedang dan kitab itu, lekas-lekas ia berkata:
"Segala benda sampiran itu, teetjoe pun tidak menghiraukannya! Soehoe,
untuk teetjoe kau telah menempur In Boe Yang, hal itu saja telah menbuatnya
teetjoe sangat bersyukur! Soehoe, marilah kita lekas berlalu dari ini tempat
tidak keruan!"
Murid ini berkata demikian tanpa
ia mengetahui yang gurunya itu sudah kena tertotok totokan Ittjie sian dari In
Boe Yang, hingga dia mendapat luka di dalam badan, bahkan luka itu melebihkan
hebatnya luka yang diterima Boe Yang dari dianya. Pula, sikapnya Pit Leng Hong
tadi terhadap Boetong Ngoloo?lima tertua dari Boetong Pay?cuma gertakan belaka.
Dengan bantuan tongkat
besinya, Leng Hong berduduk.
"Mari dengar, anak,
mari!," ia berkata perlahan-lahan. "Tidak dapat tidak, tentang kitab
pedang itu mesti hari ini aku menuturkannya kepada kamu, jikalau tidak, lain
hari bakal tidak ada ketikanya lagi."
Hatinya Thian Ya berdenyutan.
Ia melihatnya bagaimana sungguh-sungguh sikapnya gurunya ini. Ia, dibuatnya
berkuatir karenanya.
Ketika itu rembulan mulai
bergeser ke tengah-tengah langit. Dalam kesunyian sang malam, dari gunung
terdengar pula mengeramnya si raja hutan.
"Selama beberapa hari ini
kau menemui tak sedikit kejadian-kejadian yang luar biasa," berkata itu
guru, "dan malam seperti ini juga dapat membikin ciut hati orang, maka
tidaklah heran yang kau ingin lekas-lekas berlalu dari gunung ini. Pada
duapuluh tahun yang lampau, aku juga pernah menemui malam seperti ini dan
bahkan kejadiannya lebih mengherankan lagi..."
Thian Ya memasang kuping.
"Ketika itu aku pun muda
belia seperti kau sekarang," Pit Leng Hong berceritera lebih jauh,
"semangatku sedang berkobar-kobar, aku bercita-cita membangun suatu usaha
besar. Kakakku, Pit Leng Hie, berdiam di dalam markasnya Thio Soe Seng, namanya
saja dia menjadi pangtjoe yaitu ketua dari Kay Pang, partai Pengemis di Utara,
segala pekerjaannya sebenarnya akulah yang mewakilkan dia mengurusnya. Tabiatku
pun gemar pesiar atau merantau, maka juga pernah aku pergi ke selatan dan utara
Sungai Besar, bahkan tiba juga di tapal batas."
Murid itu ketarik hatinya, ia
mendengari terus.
"Pada suatu hari tibalah
aku di gunung Bektjek San," teng Hong melanjuti. "Di dalam gunung itu
aku kesasar. Itulah di waktu magrib tatkala aku mendapatkan angin menderu-deru
dengan tiba-tiba, kemudian dengan tiba-tiba juga aku mendengar suatu suarayang
datangnya seperti dari bawah kakiku. Mulanya aku menyangka pada bumi yang
gempa. Selang tidak lama, aku mendengar suara yang menyayatkan hati keluarnya
dari dalam tanah, berbareng dengan mana, tanah di kakiku terasa lembek dan buyar.
Aku lantas menusuk dengan tongkatku. Di situ aku mendapatkan sebuah liang
seperti mulut guha. Mulut itu tertutup batu. Batunya aku lantas geser pindah.
Sekarang ternyata itulah sebuah guha batu yang kosong."
Thian Ya jadi semakin ketarik.
"Aku membesarkan hati.
Dengan pertolongan tambang, aku turun ke dalam lubang itu. Di dalam gelap
petang di sekitarku, tetapi di dalam gelap itu aku melihat berkelebatnya
pelbagai senjata tajam, aku mendengar desiran angin disebabkan pelbagai
senjata. Nyata di situ ada orang tengah bertempur. Pernah aku meyakinkan
senjata rahasia, biasa aku pelajari itu di tempat terang, maka itu di tempat
gelap, mataku kurang awas. Tapi aku berdiam, aku memasang mata terus.
Lama-lama, aku mulai menjadi biasa. Kemudian, walaupun dengan masih samar-samar
aku dapat melihat adanya tiga orang yang lagi bertarung itu, ialah dua orang
yang bertubuh besar tengah mengepung seorang tua, dan si orang tua sambil rebah
di atas pembaringan tanah. Golok dan pedang dua orang itu bergantian atau berbareng
menikam atau membacok, nampaknya dahsyat, akan tetapi yang kadang-kadang
mengasih dengar seruan atau jeritan adalah si dua pengeroyok itu! Maka dari
itu, kejadian sungguh luar biasa."
"Ketika itu aku masih
muda, aku biasa menuruti kehendak hatiku. Dua orang bertubuh besar dan kekar
mengepung seorang tua, bahkan seorang tua yang lagi sakit, hatiku menjadi
panas. Itulah perbuatan tidak pantas, hina sekali. Maka timbullah niatku untuk
membantui si orang tua. Aku sudah lantas mengambil putusanku, aku terus
bekerja. Dengan memutar tongkatku, aku maju menerjang.
"Justeru itu, aku dengar
teriakan si orang tua: 'Anak muda, kau mundur sedikit jauh! Hati-hati supaya
kau sendiri tidak turut terlibat dan terpelanting!'
"Hebat tenaga dalam si
orang tua, suaranya itu mendengung di dalam guha itu. Aku tercengang bahna
heran. Lekas-lekas aku mundur pula.
"Untung untukku, mataku
semakin biasa di ruang yang gelap itu. Sekarang aku dapat melihat si orang tua
bergegaman sebatang rotan, dengan itu, ia melayani kedua penyerangnya itu. Pula
aku melihat bagaimana dua musuh itu lantas kena dipermainkan, bagaikan kucing
menggoda tikus. Runtuhlah penyerangan kedua orang itu. Beberapa kali mereka
mencoba menyingkir, saban-saban mereka terhalang rotan yang cukup panjang itu.
"Baru sekarang aku
menginsafi yang si orang tua sangat lihay. Karena ini, sekarang timbul rasa
kasihanku terhadap dua penyerang itu. Tadinya aku muak terhadap mereka, yang
menghina seorang tua yang sakitan pula. Begitulah aku memintakan keampunan
untuk mereka. Kataku: 'Karena sudah terang mereka tidak dapat melukai kau,
loodjinkee, baiklah mereka disuruh pergi saja.'
Orang tua itu tertawa
terbahak-bahak.
"Baiklah!" katanya.
'Dengan memandang kau, saudara kecil, suka aku memberi sedikit
kelonggaran..."
Kata-kata itu disusul sama dua
serangannya saling susul. Di luar dugaanku, hebat sekali serangannya itu, kedua
lawannya terbinasa seketika.
"Mari!" ia memanggil
aku, tangannya menggapai. Aku menghampirkannya.
"Kau meminta ampun untuk
mereka ini, tahukah kau, mereka siapa?" ia tanya aku, suaranya dingin.
Aku memang tidak kenal mereka,
aku menyahut terus-terang bahwa aku tidak tahu.
"Bukankah kau datang ke
mari untuk mencari kitab pedang Tat Mo Kiampouw?" si orang tua tanya pula
aku.
Atas ini aku menjawab bahwa
aku sebenarnya belum pernah mendengar tentang kitab ilmu pedang itu. Mendengar
jawabanku ini, agaknya dia menjadi terlebih lunak.
"Jikalau bukannya tadi
aku melihat hatimu baik," katanya kemudian, "hari ini jangan kau
harap dapat keluar dari guha ini. Kau lihat, Selama duapuluh tahun lebih,
mereka yang pernah datang ke guha batu ini, mereka semua berkumpul di
situ!"
"Dia menunjuk, aku
mengikuti jari tangannya itu. Dipojok tembok ada bertumpuk tulang-tulang atau
tengkorak orang. Bergidik aku menyaksikan semua kerangka itu.
"Si orang tua menghela
napas panjang. Ia berkata pula: 'Sama sekali bukannya aku kejam, tetapi jikalau
aku membiarkan mereka keluar pula dari sini, maka di dalam dunia kangouw bakal
terbit gelombang yang semakin dahsyat. Djin wie tjay soe, niauw wie sit bong,
kata peribahasa. Manusia mati karena harta, burung mati karena makan. Inilah
tepat sekali. Demikian juga dengan mereka yang paham ilmu silat, banyak di
antaranya yang terbinasa karena pedang mustika dan kitab ilmu pedang yang luar
biasa. Semua itu cuma disebabkan satu kata-kata temaha! Tapi kau beda, kau
datang ke mari bukan dengan sengaja, suka aku untuk pertama kali?bertindak di
luar garis, suka aku membiarkan kau pergi keluar... Ah, anak muda, apakah
namamu?'
Atas pertanyaan itu, aku
memberitahukan she dan namaku. Mendengar itu, matanya si orang tua membelalak.
"Pernah apakah kau dengan
Pit Tjeng Tjoan?" dia tanya.
"Itulah ayahku," aku
menjawab.
"Pit Leng Hie?" dia
tanya pula.
"Itulah kakakku."
Lantas dia tertawa berkakak.
"Jikalau begitu, kau
bukannya orang luar!" katanya gembira. 'Pernahkah ayah dan kakakmu itu
menyebut namaku? Aku ialah Tamtay It Ie."
Mendengar nama itu, aku heran
hingga aku memperdengarkan suara kaget. Aku tahu Tamtay It Ie ini. Dia masih
termasuk golongan tertua daripada ayahku, dan dia telah menghilang semenjak
beberapa puluh tahun yang lampau, siapa tahu dia sebenarnya masih hidup.