Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 1
"Rembulan di langit mengejar sang Surya.
Nona di bumi mengejar kekasihnya.
Sang Surya naik di Timur.
Sang Rembulan silan di Barat.
Bidadari di istana rembulan sia-sia berduka....
Layung sore menabur langit biru.
Sinar sang Surya menyinari sang Rembulan.
Meski sang Surya dapat dikatakan tak berbudi,
Tetapi si Gagak Emas1) tetap mendampingi si Kelinci Kumala.2)
Oh, engko, Kenapa kau tak menoleh memandang 'daku?"
Sang Surya telah menyilam akan
tetapi sinar layungnya masih bertebaran, di saat itu sang angin sore telah
bertiup mengantarkan suara nyanyian yang perlahan ? nyanyian yang menggenggam
rasa penasaran, rasa kekaguman, bagaikan tangisan mengeluh, hingga
burung-burung yang berterbangan pulang ke rimbanya mesti terbang terputar-putar
di atas rimba, tak turun ke bawah. Walaupun demikian halus nyanyian itu
mengalun, nyanyi itu masih tak dapat menahan seekor kuda pilihan yang
berlari-lari di dalam lembah.
Penunggang kuda itu adalah
seorang muda dengan baju putih yang tampan rupanya, dia bukannya tidak
mengetahui yang di belakangnya ada si nona remaja, yang mengejar ia, yang
bernyanyi untuknya, ia tapinya telah mengeraskan hatinya, ia mengaburkan terus
kudanya itu. Setelah suara nyanyian hilang lenyap dan lembah menjadi sunyi kosong,
diam segala apa, baharulah ia menghela napas dan bersenandung:
"Sungai Ek Soei tenang
diam, angin barat yang dingin berdesir, si orang gagah sekali pergi tak
kembali. Mengadu jiwa hanya mengandali sebatang pedang panjang tiga kaki,
biarpun cintanya sangat tetapi dia menoleh ke belakang, ia tidak cuma dapat
mensia-siakan si nona belia..."
Kemudian ia menoleh kebelakang
ia tidak melihat seorang jua. Kudanya itu kuda jempolan yang bagaikan dapat
"mengejar kilat mengubar angin," maka dengan kaburnya barusan, dia
telah meninggalkan jauh si nona hingga terpisah dengan beberapa buah bukit...
Pemuda itu adalah Tan Hian Kie
dan ia tengah menjalankan tugas yang berat yang dibebankan kepadanya, ialah
untuk membunuh seorang ahli silat kenamaan yang tinggal mendiamkan diri,
bersembunyi di gunung Holan San. Maka itu jangankan ia memangnya tak berniat
menyintakan si nona, taruh kata ia menyintainya dengan sangat, di dalam saatnya
seperti itu, tidak dapat ia terhalang oleh nyanyian itu.
Memang, nyanyian itu telah
dapat menggoncangkan hati sanubarinya, di lain pihak si nona telah terpisah
dengan beberapa lapis gunung, dari itu nona itu tak dapat mendengar helaan
napas dan senandungnya itu dan tak dapat melihat juga air yang mengembeng pada
kedua matanya...
Matahari telah berturun, angin
berhawa dingin, maka sang magrib datang makin lama makin suram. Tan Hian Kie
mengangkat kepalanya, memandang ke arah depan. Di sana samar-samar terlihatlah
puncak dari gunung Holan San itu. Tanpa merasa hatinya menjadi tegang
sendirinya. Segera ia membiluki kudanya, dengan mengayun cambuknya, ia
melaratkannya ke arah barat.
Sekeluarya dari mulut lembah,
pemuda ini mulai mendaki di jalan pegunungan yang berliku-liku. Ia sekarang
berada dalam ragu-ragu. Kudanya memang kuda jempolan, tetapi ia berada di jalan
pegunungan yang sesukar itu, pula di depan ada seorang musuh yang lihay sekali,
walaupun ia tidak jeri, apabila ia menunda perjalanan untuk melewatkan sang
malam di situ, ia bisa mendapat kesulitan dari si nona... Bagaimana kalau nona itu
dapat menyandak ia dan karenanya ia menjadi kena terlibat? Tengah ia bersangsi
itu, bimbang hati, tiba-tiba kupingnya mendengar suara tindakan kaki kabur dari
seekor kuda, yang datangnya dari arah depan. Hanya sekejab saja, kuda itu sudah
tiba di depannya, hampir kedua binatang saling tabrak, atau mendadak saja
penunggangnya telah berlompat turun, tangannya diulur untuk mencegah tabrakan
itu.
Kudanya si anak muda
berjingkrak berdiri seraya memperdengarkan ringkikan yang keras, tetapi dia
tidak dapat maju terus, maka itu si anak muda sendiri pun mesti berlompat
turun. Sekarang dapatlah ia melihat di hadapannya seorang muda dengan alis yang
kereng dan mata yang besar yang wajahnya bermuram durja, dingin, seperti tak
ada perasaannya, sedang di saat magrib seperti itu, cuaca remang-remang, dia
nampaknya seram...
Hanya sedetik Tan Hian Kie
tercengang, lantas ia mengangkat kedua tangannya, untuk memberi hormat.
"Saudara Siangkoan,
sungguh beruntung, sungguh beruntung untuk pertemuan kita ini!" katanya.
Anak muda itu mengasi dengar
suara dingin, "Hm!"
"Memang, sungguh
beruntung pertemuan kita ini!" berkata dia, tawar.
Hanya sedetik Tan Hian Kie
tercengang, lantas ia mengangkat kedua tangannya, untuk memberi hormat.
"Saudara Siangkoan,
sungguh beruntung, sungguh beruntung untuk pertemuan kita katanya.
Anak muda itu mengasih dengar
suara dingin, "Hm!" "Memang, sungguh beruntung pertemuan kita
ini!" berkata dia, tawar. "Mana Oen Lan?"
"Dia berada di
belakang," menyahut Hian Kie.
"Jikalau kau melintasi
gunung ini, mungkin kau dapat bertemu dengannya."
Dengan tangannya, dia
menunjuk.
Terbangun sepasang alisnya
anak muda itu, wajahnya nampak terlebih muram.
"Jadinya dia menyusul
kau?" tanyanya.
Parasnya Hian Kie menjadi
bersemu merah.
"Jangan bergurau, saudara
Siangkoan."
Tetapi si anak muda, yang
dipanggil "saudara Siangkoan" itu, menjadi gusar.
"Siapa bergurau
denganmu?" bentaknya. "Aku cuma hendak menanya kau, kau menginginkan
dia atau tidak?"
"Eh, saudara Siangkoan,
kau bicara apakah?" tanya Hian Kie keras, "Terhadap entjie Oen Lan
itu belum pernah aku memikir yang tidak-tidak!"
"Jikalau demikian adanya,
kau cuma mempermainkan dia, kau memincuknya, lalu sekarang kau
mensia-siakannya?"
Parasnya Hian Kie berubah.
"Saudara Siangkoan, kau
pandang aku orang macam apa?" dia kata nyaring. "Terhadap Oen Lan aku
cuma memandang sebagai saudara, maka mana dapat kau membilangnya tentang
mempermainkan dan memincuknya?"
Pemuda itu tertawa dingin.
"Jadi, menurut kau, Oen
Lan adalah yang memincukmu?" katanya.
Hian Kie mengerutkan kening.
Yang benar memang Oen Lan yang "melibat" padanya. Akan tetapi, mana
dapat ia membilangnya terus terang? Tidakkah itu akan merusak nama baiknya anak
dara itu?
Pemuda itu, pemuda she
Siangkoan, bernama Thian Ya, maju dua tindak.
"Tan Hian Kie, kau
kembalilah!" katanya bengis.
"Kau menghendaki
apa?" Hian Kie tanya.
"Kau menghaturkan maaf
terhadap Oen Lan, lalu kau bersumpah bahwa selanjutnya kau tidak akan
mensia-siakan lagi padanya!" berkata Thian Ya tetap bengis. "Hendak
aku mengawasi kau bersumpah itu, aku melarang kau menyangkalnya!"
Bengis suaranya pemuda itu
akan tetapi akhirnya bernada sedih, seperti juga ia tengah memohon terhadap
Hian Kie yang mulanya ia perlakukan hebat sekali.
Hian Kie mundur dua tindak.
"Saudara Siangkoan, aku
mengerti maksudmu, aku tahu hatimu," ia berkata. "Kau menyintai
entjie Oen Lan, mengapa kau menyimpannya itu di dalam hati saja?"
"Tidak salah!"
menjawab Thian Ya. "Dialah orang satu-satunya yang aku sangat
menyintainya, maka itu tidak nanti aku membuatnya dia berduka, tidak nanti aku
membiarkannya kau mensia-siakan padanya!"
"Saudara Siangkoan, kau
tidak mengetahui hatiku," kata Hian Kie. "Dengan setulusnya aku
berdoa supaya kamu berdua menjadi pasangan yang berbahagia! Kenapa kau
bercuriga? Kau membuatnya aku jadi menyesal."
Hian Kie telah membeber
hatinya itu, akan tetapi Thian Ya beradat tinggi, ia menerimanya secara keliru.
Ia mau menganggap bahwa ia justeru dipermainkan. Ia menduga Hian Kie adalah si
pemenang dalam perebutan asmara ini. Tentu sekali, inilah di luar dugaan pemuda
she Tan itu.
Wajah Thian Ya kembali menjadi
muram, kedua matanya dibuka lebar.
"Tan Hian Kie, jangan
banyak omong pula!" ia membentak. "Kau hendak kembali atau
tidak?"
Hian Kie melihat ke langit,
melihat cuaca, hatinya cemas.
"Kau tidak dapat
mengerti, saudaraku aku tidak bisa membilang apa-apa lagi," katanya.
"Tetapi aku ada punya urusan yang sangat penting, aku minta sukalah kau
membagi jalan padaku..."
Kata-kata itu belum habis
diucapkannya, atau "Sret!" maka Thian Ya telah menarik keluar
sepasang gaetannya.
"Aku justeru tidak hendak
melepaskan padamu, lelaki tidak berbudi!" bentaknya.
Bukan main mendongkolnya Hian
Kie.
"Apa sangkutannya aku
denganmu, aku berbudi atau tidak?" pikirnya. Tapi tengah ia berpikir itu,
di depan mukanya telah berkelebat gaetan orang, yang bersinar kuning bagaikan
emas.
"Masih kau tidak hendak
menghunus pedangmu?" Thian Ya berseru.
"Saudara Thian Ya,
sabar," berkata Hian Kie berkelit. "Dengar dulu aku."
"Kau hendak ngaco apa lagi?"
kata Thian Ya dengan dingin. "Kau masih hendak banyak omong pula?"
"Kalau saudara pasti
hendak memberikan pelajaran padaku, tidak berani aku menolaknya," berkata
Hian Ki sabar, sedang hatinya panas dan berduka, "Hanya benar-benar hair
ini aku mempunyai urusan yang sangat penting. Begini saja, selang sepuluh hari
nanti aku datang pula ke mari untuk menerima pengajaranmu itu. Umpama kata pada
hari yang aku janjikan itu aku tidak muncul, bukanlah aku salah janji, hanya
terang aku telah kena orang bunuh, dengan begitu tak usahlah saudara menjadi
mencapaikan tangan lagi."
Thian Ya melengak. Tapi hanya
sejenak.
"Kau tidak mempunyai
tempo, apakah kau sangka aku sempat menantikanmu?" katanya keras,
"Lekas geraki tanganmu, di sini kita memastikan menang atau kalah, supaya
Oen Lan tidak lagi berduka!"
Sambil mengucap demikian,
Thian Ya menggeraki kedua tangannya, menyambar dari kiri dan kanan.
Dengan terpaksa, Hian Kie
mencabut pedangnya. Maka juga gaetan dan pedang bentrok keras sekali, sampai
pedangnya Hian Kie hampir terlepas terbang dari cekalannya.
Siangkoan Thian Ya tertawa
lebar menyaksikan pedang orang mental.
"Oen Lan memuji ilmu
silat pedangmu sampai di langit lapis ke tigapuluh tiga, tidak tahunya cuma
sebegini saja!" katanya mengejek.
Hian Kie mendongkol berbareng
geli di hati.
"Kau hendak melampiaskan
hatimu, baiklah aku mengalah," pikirnya.
Setelah berpikir begitu, anak
muda itu membalas menikam. Ia memikir untuk mencari ketika untuk meninggalkan
lawannya itu. Di luar sangkaannya, gaetan Thian Ya dapat juga digunakan sebagai
pedang, ia dilawan secara hebat. Sebab setelah hasilnya yang pertama, Thian Ya
mendesak, serangannya bertubi-tubi. Dia hendak mencegah orang mengangkat kaki.
Cuaca sementara itu semakin
suram, tanda sang sore lagi mendatangi.
Ketika itu ada terdengar
tindakan kaki kuda.
Hian Kie menduga kepada Oen
Lan, si nona yang tadi bernyanyi dan menyusul padanya. Maka ia berpikir:
"Meski aku lekas menyingkir, apabila dia keburu tiba di sini, sulit
nanti...
Karena itu, kalau tadi ia melayani
hanya untuk membela diri, sekarang ia membalas menyerang secara
sungguh-sungguh.
Thian Ya lantas saja menjadi
terkejut. Inilah ia tidak mengira.
"Pantas adik Oen
menyintai bocah busuk ini, benar-benar dia lihay!" katanya di dalam hati.
Tentu sekali ia tidak mau mengalah, ia pun berkelahi dengan terlebih hebat.
Sementara itu tindakan kaki
kuda mendatangi semakin dekat.
Hian Kie membalik tangannya,
ia menyerang dengan hebat. Dengan jurusnya ini, ia membuatnya gaetan Thian Ya
terdesak ke samping.
"Kau masih tidak suka
membuka jalan?" katanya perlahan tetapi membentak.
Dalam cuaca remang-remang itu,
di sana terlihat kabur mendatanginya seekor kuda, lalu penunggangnya, seorang
nona, berseru menanya: "Hian Kie, kau bertempur dengan siapa? Ah! Apa? Kau,
Thian Ya? Hayo, kamu berhentilah!"
Siangkoan Thian Ya menyahuti:
"Bocah ini tidak sudi menemui kau, nanti aku bekuk dia untuk diserahkan
padamu!"
Hian Kie mendesak pula tetapi
orang di depannya tidak mau mundur. Ia menjadi berpikir: "Kalau aku melukai
ia didepan Oen Lan, mungkin jodoh mereka tidak bakal terangkap...
Tengah orang berpikir itu,
sepasang gaetannya Thian Ya menyambar hebat, lalu dua-duanya terlempar
terpental, tetapi sebagai pembalasan untuk itu, sebelah tangannya orang she
Siangkoan itu melayang ke dada Hian Kie hingga dia ini menjerit tertahan,
tubuhnya mental setombak lebih.
Hian Kie tidak menyangka,
setelah pedangnya terlepas, Siangkoan Thian Ya bakal meneruskan menyerang
dengan tangan kosong, ia sampai tak waspada.
Thian Ya tercengang untuk
hasil serangannya itu.
Oen Lan, yang sudah lantas
tiba, berseru: "Thian Ya! Kau bikin apa? Kenapa kau menurunkan tangan
berat? Lekas, lekas kau mengasi dia bangun!"
Thian Ya mencoba menenangkan
dirinya, habis itu ia bertindak menghampiri Hian Kie, hanya segera ia kecele.
Mendadak ia melihat satu tubuh mencelat naik ke atas kuda, lalu dengan sekali
tepuk kempolannya, binatang itu berlompat untuk lari kabur. Ia terkejut. Untuk
mencegah, sia-sia belaka. Sekalipun ekor kuda, tak dapat ia mencekalnya. Ia
heran sekali, setelah roboh, pemuda itu masih dapat berlompat naik atas
kudanya. Hanya sekarang Hian Kie tidak duduk tegak di atas kudanya itu, dia
mendekam seraya memeluki erat-erat leher binatang tunggangan itu.
Kuda itu kuda terdidik berlari
pesat sekali, hingga di lain saat dia telah menyelinyap di sebuah tikungan.
"Minggir!" Oen Lan
berseru selagi Thian Ya menjublak mengawasi kaburnya lawannya itu, sambil
memperdengarkan suaranya itu, si nona pun mencambuk ke arah pemuda she
Siangkoan itu.
Bukan main mendongkol,
menyesal, malu dan cemburunya Thian Ya. Ia bertindak untuk si nona, sekarang si
nona membentak dan mencambuk padanya. Sedetik itu ingin ia menyambar si nona
untuk menjewer kupingnya, buat di lain saat memelukinya sambil menangis. Tapi semua
itu telah lewat. Hanya, di luar kehendaknya, ia pun naik atas kudanya, untuk
menyusul nona...
Oen Lan mengaburkan kudanya
dalam cuaca remang-remang, tempo ia menikung, kudanya melanggar sebuah tunggul
batu, tidak tempo lagi, ia kena dibikin terpental.
Justeru Siangkoan Thian Ya
tiba, ia kaget sekali, ia lantas berlompat untuk menyambar, guna menolongi si
nona.
Oen Lan tidak roboh
terbanting, selagi terlempar, ia melompat jumpalitan hingga ia dapat berdiri
dengan kedua kakinya, hanya ia berdiri tepat di depannya si anak muda.
"Hm!" bersuara si
nona. "Kau baik sekali!" Lantas ia menolak tubuh orang. Hanya
berbarang dengan itu ia terperanjat. Ia mendapatkan tangan Thian Ya berlepotan
darah, sebab tadi selagi menyerang dada Hian Kie, tangan itu membentur pedang
lawannya, yang nyerepet ke lengan.
Oen Lan terperanjat hingga ia
tercengang. Ia memandang pemuda itu, yang terus menyenderkan tubuh di sebuah
batu, wajahnya sangat bersedih. Ia lantas menghela napas.
"Ah, orang dewasa
semacammu masih mengucurkan airmata," katanya, perlahan. "Apakah kau
tidak malu? Mari kasi aku lihat lukamu!"
Memang juga, saking menyesal,
Thian Ya berlinang airmatanya.
Nona itu merobek ujung baju,
dengan itu dengan perlahan-lahan ia membalut lukanya si anak muda.
Thian Ya memutar tangannya,
untuk menolak, ia merasakan tenaganya hilang. Ia tidak sanggup bertahan, ketika
si nona mengusap lengannya. Maka saking malu, ia berpaling ke lain arah,
didalam hatinya ia mencaci dirinya...
"Beruntung lukanya tak
mengenakan tulang," berkata si nona menghela napas.
"Umpama kata aku mati pun
tidak ada halangannya!" berkata si anak muda, tawar.
"Ah!" berkata si
nona. "Mengapa kamu mengadu jiwa untukku?"
Dengan tiba-tiba Thian Ya
menoleh.
"Adik Lan," katanya,
perlahan, "mengapa kau tak ketahui hatiku? Aku, aku... ah, aku berbuat itu
untuk kebaikan kamu... Seranganku barusan memang bukannya enteng tetapi
mengingat tenaga dalamnya Hian Kie sempurna, tidaklah itu bakal mengambil
jiwanya. Asal untuk kebaikanmu, tubuhku hancur-lebur pun tidak apa..."
Oen Lan menghela napas.
"Masih kau mengatakan
demikian. Memang tanganmu tidak membinasakan dia, tetapi karena lukanya itu,
cara bagaimana dia dapat meloloskan diri dari tangan lain orang?"
Siangkoan Thian Ya kaget.
"Apa kau bilang?"
tanyanya cepat.
"Dia hendak membinasakan
satu orang. Orang itu sudah melenyapkan diri dari dunia kangouw duapuluh tahun
lamanya. Selama duapuluh tahun itu, dia telah mengangkat namanya hingga menjadi
tersohor. Setelah berselang duapuluh tahun, bisa dimengarti yang sekarang ini
ilmu silatnya bertambah dahsyat!"
Thian Ya melengak. Sekarang
ingatlah ia akan kata-katanya Hian Kie tadi. Hian Kie meminta tempo sepuluh
hari, andaikata dia tidak muncul pastilah sudah bahwa dia telah dibinasakan
orang.
"Siapakah orang
itu?" ia tanya tanpa merasa.
"Apakah kau pernah dengar
nama In Boe Yang?" si nona balik menanya.
"Apa?" menegasi
Thian Ya, kaget. "Dialah In Boe Yang?"
Paras pemuda ini menjadi
berubah.
Oen Lan heran.
"Kenalkah kau
dengannya?"
"Pada duapuluh tahun itu,
aku adalah bocah umur tiga tahun," menyahut Thian Ya, "maka itu, mana
aku kenal dia? Coba bilang, mengapa Hian Kie hendak membunuh In Boe Yang?"
"Panjang untuk menutur
itu," sahut si nona. "Sekarang ini tahun Hong Boe ke berapa?"
"Tahun ini tahun ke tiga
belas. Kenapa kau tidak tahu?"
"Pasti aku mengetahuinya.
Hanya sekarang ini ada serombongan orang yang masih tidak sudi
menggunakannya!"
"Pastilah mereka itu
bekas orang-orangnya Thio Soe Seng dan Tan Yoe Liang."
"Benar. Walaupun kita
terlahir belakangan tetapi kita pernah mendengar ceritanya orang tua dan
saudara bahwa dulu hari itu adalah orang itu yang bergulat hebat dengan Kaisar
Hong Boe memperebutkan kerajaan. Mereka itu sama-sama memakai nama kerajaan
sendiri-sendiri, ialah yang satu Tay Han, kerajaan Han yang terbesar, yang lain
Tay Tjioe, kerajaan Tjioe yang agung."
"Habis, apakah
hubungannya itu dengan percobannya Hian Kie sekarang untuk membunuh In Boe
Yang?"
"Dulu hari itu Thio Soe
Seng telah mendapat bantuannya beberapa orang gagah kaum Rimba Persilatan,
tahukah kau?" si nona tanya.
"Ya," menyahut si
anak muda. "Pertama-tama Pheng Hwesio yang bernama Eng Giok. Katanya dia,
dalam hal tenaga dalam, tak ada tandingannya."
"Memang. Habis, siapa
lagi?"
"Yang ke dua yaitu Tjio
Thian Tok. Katanya dia ini dengan sepasang Tangan Besinya pernah menjagoi di
seluruh negara."
"Masih ada lagi?"
"Orang gagah di jaman
dahulu itu, mana aku dapat mengingat semuanya?" menyahut Thian Ya, yang
tapinya matanya bersinar, seperti ia memikir sesuatu tetapi ia mencegah sendiri
untuk menyebutnya.
"Yang ketiga itu ialah In
Boe Yang ini!" menambahkan si nona. Ia memandang si anak muda tetapi anak
muda ini tidak mengentarakan sesuatu sikap, nampaknya ia sudah tahu tapi
sengaja ia menghendaki si nona yang menyebutkannya.
"Pada duapuluh tahun yang
lalu itu Thio Soe Seng telah bertempur sama Kaisar Hong Boe di sungai
Tiangkang, dia kalah dan kena ditawan, di itu hari juga dia tenggelam mati di
sungai itu, akan tetapi orang-orang sebawahannya yang dapat lolos bukan sedikit
jumlahnya, bahkan puteranya terbakar telah dapat ditolongi Tjio Thian Tok itu.
Selama sepuluh tahun yang belakangan ini, orang-orang sebawahannya Thio Soe
Seng itu pada hidup sembunyi dan menyendiri, dengan diam-diam mereka berusaha
untuk bangun pula. Tentang asal-usulnya Hian Kie, belum pernah dia
memberitahukannya kepadaku tetapi aku tahu dialah turunan dari salah seorang
bawahannya Thio Soe Seng itu."
"Jikalau demikian adanya,
sudah selayaknya Hian Kie memanggil paman kepada In Boe Yang. Kenapa dia hendak
membinasakan In Boe Yang itu?"
"Kabarnya itu disebabkan
In Boe Yang sudah mendurhakai kepada tuannya untuk mendapatkan pangkat tinggi,
maka itu Hian Kie mendapat tugas dan yang lain-lainnya untuk membinasakan dia,
bahkan tak dapat tidak, dia mesti dibunuhnya. Hanya mengenai penjelasannya, aku
tidak mendapat tahu."
Siangkoan Thian Ya tertawa
terbahak.
"Jikalau benar demikian
halnya, apabila In Boe Yang sampai terbinasa terbunuh, dia pasti mati tak
puas!" katanya.
"Mengapa begitu eh?"
bertanya si nona.
"Isteri pertama dari In
Boe Yang itu justeru telah terbinasa dalam peperangan di sungai Tiangkang itu.
Maka kenapa dia bisa berbalik menunjang kaisar yang sekarang ini?"
"Kenapa kau ketahui itu
?"
"Sebab isteri yang ke-dua
dari In Boe Yang itu ialah bibi guruku..."
"Bagaimana? Kau jadinya
murid dari Boetong Pay?" tanya si nona heran. "Kenapa tak pernah kau
memberitahukannya? Bahkan belum pernah aku menyaksikan kau menjalankan ilmu
silat Boetong Pay itu?"
Di dalam cuaca samar-samar
malam itu, kedua matanya Siangkoan Thian Ya bersinar tajam. Bibirnya pun telah
bergerak akan tetapi dia tidak mengatakan sesuatu.
Isteri ke dua dari In Boe Yang
itu dengan siapa Boe Yang menikah setelah kebinasaannya isterinya yang pertama
adalah puterinya Bouw Tok It yang menjadi tjiangboendjin, ahli waris yang
memegang pimpinan partai Boetong Pay, yang semasa hidupnya dikenal sebagai ahli
silat pedang nomor satu. Memang benar Siangkoan Thian Ya memanggil dia soekouw,
bibi guru, karena mana, Bouw Tok It itu ialah kakek gurunya, soetjouw. Hanya
selama beberapa tahun Oen Lan mengenal Thian Ya, pemuda ini belum pernah
mengasi lihat ilmu silat pedangnya, ilmu silat pedang Boetong Pay itu, baharu
sekarang secara tiba-tiba dia menyebutnya. Maka mau atau tidak, si nona menjadi
heran.
Siangkoan Thian Ya pun
terbenam dalam keragu-raguan, beberapa kali dia hendak membuka mulutnya tetapi
senantiasa gagal. Hanya, berselang sekian lama, baharulah sambil tertawa
menyeringai ia berkata juga: "Aku baharu mempelajari kulit atau bulunya ilmu
silat pedang Boetong Pay itu, maka itu cara bagaimana aku berani
petantang-petenteng di muka orang banyak? Tidakkah dengan begitu aku akan dapat
membuat malu rumah perguruanku itu?"
Oen Lan cerdas sekali,
walaupun orang mengatakannya demikian, ia dapat membade pemuda di depannya ini
niscaya mempunyai kesulitan yang tak dapat dia menjelaskannya. Maka berpikirlah
ia: "Biasanya Siangkoan Thian Ya belum pernah tak memberitahukan aku
segala apa, kenapa sekarang, di dalam urusan ini, dia hendak menutupnya? Adakah
urusan itu demikian besar hingga mesti dirahasiakan?"
Nona ini merasa heran, dari
itu meskipun ia tidak menanyakannya pula, herannya itu menjadi
bertambah-tambah.
Sang malam merayap terus,
sebentar lagi muncullah si Puteri Malam.
"Hian Kie terluka parah,
di waktu malam sunyi begini dia berada di tanah pegunungan ini, siapakah yang
nanti menolongi dia?" berkata si nona menghela napas.
Di mana cahaya rembulan
menyinari wajah mereka, Oen Lan heran menampak muka Thian Ya pucat mendadak
sedang kedua matanya dipentang lebar-lebar, pada kedua mata itu bagaikan hendak
mengalir air mata dara...
Tanpa merasa, nona ini
menggigil sendirinya.
"Aku tidak menyesalkan
kau, aku hanya berkuatir untuk Hian Kie," katanya, menjelaskan, suaranya
perlahan.
Siangkoan Thian Ya tidak
menyahuti si nona, sebaliknya dia bertanya: "Barusan kau membilang Hian
Kie hendak membunuh In Boe Yang, tahukah kau In Boe Yang itu berada di
mana?"
"Katanya dia berada di
gunung Holan San di depan ini," menyahut si nona.
Baharu si nona berkata atau
Siangkoan Thian Ya sudah berlompat berjingkrak.
"Adik Lan, jangan
kuatir!" serunya. "aku tidak dapat mencari Hian Kie, untuk
selama-lamanya tak nanti aku kembali!"
Hanya sejenak itu dia sudah
berlari-lari mendaki gunung, gesitnya bagaikan seekor kera, hingga di lain saat
lenyaplah tubuhnya di antara pepohonan yang gelap, juga dengan sang malamnya.
Hendak Oen Lan menyusul akan
tetapi ia telah terlambat.
Sang Puteri Malam bersinar
menggenclang akan tetapi tanah pegunungan itu sunyi senyap, maka itu, berada
sendirian, Oen Lan menjadi kesepian.
Hian Kie sudah pergi, Thian Ya
juga, tinggallah ia seorang diri. Bukankah kudanya pun telah terbinasa. Maka
itu, gunung itu, dengan lembahnya yang diam, bukankah menakutkan?
Dengan samar-samar Oen Lan
masih dapat menampak tapak kaki kudanya Hian Kie.
"Hian Kie, Hian Kie, kau
di manakah?" ia menanya, matanya mendelong mengawasi tapak kuda itu.
"Kau tunggu aku..."
Ia ketahui kuda Hian Kie kuda
pilihan hanya tak tahu ia kuda itu sudah kabur ke mana, tetapi walaupun
demikian, ia lantas membuka tindakannya, untuk mengikuti tapak kuda itu,
mengikuti tanpa harapan...
Hian Kie sendiri telah tiba di
suatu tempat yang ia tidak menyangkanya sama sekali. Ia terluka bukannya enteng
tetapi ia kabur bersama kudanya itu, selagi dibawa lari binatang itu, ia
merasakan dadanya sesak dan kepalanya nyeri sekali, maka sebentar kemudian,
gelaplah pikirannya, lenyap kesadarannya. Sebagai gantinya timbullah hayalnya.
Ia menjadi ingat saatnya gurunya menyuguhkan ia arak untuk memberi selamat
jalan padanya, kupingnya seperti mendengar nyanyiannya Nona Oen Lan, si nona
yang seperti terus mengintil di belakangnya.
"Tidak, aku tidak dapat
mati, tidak dapat mati!" kemudian ia kata dalam hatinya.
Sekonyong-konyong, ia
mendengar suara kuda meringkik keras, lalu tubuhnya seperti terlempar jauh
berlaksa tombak di dalam awan, terlempar turun ke jurang yang dalam sekali,
atau mendadak ia merasakan hawa yang dingin luar biasa.
Kiranya kudanya telah
tersandung dan ia terdampar ke dalam jurang.
Dalam keadaan tak sadar itu
Hian Kie merasakan tangan yang halus dan satu nona mengusut-usut dadanya.
Adakah dia Nona Oen Lan? Tak tahulah ia! Ingin ia membuka matanya, untuk
melihat tegas, tetapi tak dapat, matanya itu tak sudi mengikuti keinginannya.
Ia merasa, dalam hawa yang sangat dingin itu, hatinya menjadi hangat, ia merasa
sangat nyaman, maka tak lama kemudian, pulaslah ia dengan nyenyaknya.
-xxXXXxx-
BAGIAN II : Kitab ilmu pedang
Entah berapa lama sudah lewat,
mendadak Hian Kie seperti mendusin dari mimpinya yang buruk dan hebat, dia
seperti dibawa terbang kudanya berlaksa lie, dia bertempur dahsyat di gunung
belukar di malam hari, lalu dia ingat kejadian atas dirinya. Ia menggeraki
tubuhnya, untuk berbalik.
"Ha, aku berada di
mana?" tanyanya seorang diri. "Mana Siangkoan Thian Ya? Mana Oen Lan?
Mana kudaku? Eh, tempat ini tempat apakah?"
Ia terbenam dalam keheranan,
matanya mengawasi ke arah jendela. Di sana terasa angin halus mendesir masuk,
hidungnya membaui bau yang harum halus, hatinya menjadi lapang. Karena ia
merasakan nyaman itu, tiba-tiba ia berbangkit untuk berduduk.
"Hai, mengapa aku telah
kembali ke rumahku?" ia berseru seorang diri tanpa ia merasa.
Inilah sungguh di luar dugaan.
Ia mengucak-ngucak kedua matanya, ia pun menggigit jari tangannya sendiri.
Bukan, ia bukan tengah bermimpi! Ia ingat baik sekali bahwa ia telah tiba di
gunung Holan San, di kaki gunung, yang terpisah dan rumahnya ribuan lie.
Mustahilkah ia telah ketiduran hingga seratus hari? Bahwa tengah pulas orang
sudah mengangkatnya, menggotong ia pulang ke rumahnya? Atau, mustahillah di
dalam dunia ini ada dewa, yang telah menggunakan ilmunya membikin ciut bumi,
hingga dari kaki gunung Holan San ia telah dibawa pulang ke kampung halamannya
di Soetjoan Utara?
Tidak, itulah tak dapat
terjadi! Toh ia bukannya lagi bermimpi!
Jendela di depannya itu
menghadap ke selatan, jendela itu tertutup dengan kaca, di luar jendela
berbayang pohon bwee. Semua itu, berikut almari buku di dalam kamarnya ini ? ia
ingat, adalah kamar tulisnya sendiri...
Ketika itu terdengar tindakan
kaki di luar kamar. Tidak ayal lagi, pemuda ini bergerak untuk turun dari
pembaringan.
"Ibu!" ia memanggil
keras.
Tiba-tiba terdengarlah suara
tertawa geli, lalu tertampak seorang nona menyingkap layar bertindak masuk.
Dialah seorang nona dengan alis lengkung bagaikan bulan sisir, mulutnya kecil
mungil seperti buah engtho, dan di sorot matahari pagi itu, mukanya yang
potongan telur bersemu dadu cemerlang, hingga jelaslah kecantikan dan
kesegarannya. Hanya pada wajah itu nampak roman kekanak-kanakkan.
Heran Hian Kie hingga ia
berdiri tercengang.
"Bagus!" terdengar
si nona membuka mulutnya, memperdengarkan suara yang halus. "Kau telah
dapat turun dari pembaringan! Bagaimana? Apakah kau kangen akan rumahmu?"
Kembali Hian Kie tercengang.
"Ah, jadinya ini bukan
rumahku?" pikirnya heran.
Nona itu menghampirkan dengan
tindakan perlahan sekali hingga terasa hawa mulutnya yang harum wangi. Ia
tertawa pula ketika ia berkata lagi: "Aku lihat kau membawa-bawa pedang,
kau menunggang seekor kuda jempolan, tetapi kiranya kaulah seorang bocah gedeh,
sebab begitu kau sadar kau memanggil ibu!"
Hian Kie heran, ia tak
mengambil mumat kata-kata itu.
"Aku mohon bertanya, nona
apakah shemu yang mulia ?" tanyanya. "Kenapa aku dapat datang
kemari?"
Si nona kembali tertawa.
"Aku justeru hendak
menanyakannya kepadamu!" sahutnya. "Kenapa orang telah melukai kau
begini hebat? Coba aku tidak menyimpan pel mustajab Siauwyang Siauwhoan tan,
aku kuatir kau bakal mesti merawat sedikitnya setengah tahun."
"Terima kasih, nona,
terima kasih! Aku mohon bertanya, tempat ini tempat apakah?"
"Inilah rumahku. Adakah
kau mencelanya buruk?"
Hian Kie mementang lebar kedua
matanya. Ia mengawasi ke sekitarnya.
Di tembok ada tergantung
sebuah pigura yang melukiskan panorama di waktu malam di musim rontok di sungai
Tiangkang, di sana nampak si Puteri Malam tergantung di atasan sungai, di
sungai sendiri terlihat empat atau lima buah kapal perang. Kota pun seperti
berlatarkan belakang sungai itu, kotanya besar dan angker. Di atasan itu ada
seruas syair yang memuji keindahan sungai Tiangkang itu.
Di samping pigura itu pula ada
tergantung sebatang pedang, mungkin pedang mustika, sebab romannya luar biasa.
Itulah dua rupa benda yang tak
ada di dalam kamarnya sendiri.
Maka lagi sekali ia memandang
kelilingan.
Perlengkapan kamar ini ada
bagiannya yang tak sama dengan kamarnya, hanya itu jendela kaca, pula luarnya
jendela di mana ada pohon bwee.
Bagaimana mirip!
Nona itu tertawa mengawasi
orang yang berdiam bingung seperti si tolol.
"Kenapa?" tanyanya.
"Kamar ini indah, mengapa
dibuatnya jendela itu?" si anak muda bertanya.
Biasanya dulu-dulu, sebuah
rumah besar berjendela kecil dan dipakaikan kaca keluaran Pakkhia dan itu
jarang tertampak kecuali di Kanglam. Nona itu heran orang menanyakan jendela.
Tapi ia bersenyum manis.
"Itulah perlengkapan yang
dibuat ayahku," sahutnya.
Sambil berpegangan pada
tembok, Hian Kie menghampirkan jendela itu, perlahan tindakannya.
Ketika itu di luar jendela,
bunga bwee tengah mekar, baunya harum.
Tanpa merasa, Hian Kie berkata
perlahan:
"Membuka jendela
menyambut matahari pagi, menggulung layar mencium bau harum, di mana telah
berada pekarangan penuh dengan bunga bwee, sudah seharusnya diadakannya jendela
ini..."
Mendengar itu, si nona
melengak.
"Ah," serunya
perlahan, "nyatalah kegemaranmu sama dengan kegemaran ayahku. Ayah pun
membilangnya, lebih banyak jendela dibuka, supaya sinar matahari nembus ke
dalam, hingga harum bunga memenuhi kamar, itu membuatnya pikiran orang nyaman
dan terbuka."
Hian Kie pun heran.
"Tapi itulah bukan
kegemaranku belaka, itulah..." katanya.
"Bagaimana?" si nona
memotong.
"Kamarmu ini tak beda
banyak dengan kamarku," menerangkan si anak muda. "Hanya kamarku itu
adalah ibuku yang mengaturnya."
Kelihatan nona itu sangat
ketarik hati dan kagum.
"Kau mempunyai ibu
seperti ibumu itu, sungguh kau beruntung!"
Hian Kie dan ibunya memang
sangat saling menyayangi, maka itu senang ia mendengar pujian si nona.
"Juga ilmu silatku ada
ajarannya ibuku itu," katanya bersenyum.
"Hanya sayang ibuku
sendiri, selama sepuluh tahun, ia selalu menyekap diri di dalam kamar,"
berkata si nona tanpa diminta. "Dalam satu tahun, cuma beberapa hari saja
ia mendapat lihat matahari..."
"Oh, kiranya peebo berada
di rumah," kata Hian Kie, agak terperanjat. "Aku masih belum
menemuinya..."
"Kesehatan ibuku buruk,
seluruh tahun ia berdiam saja merawat dirinya di dalam kamar," berkata
pula si nona, "sekalipun pintu depan, tak suka ia pergi melintasinya, maka
itu jangan dikata pula untuk menemui tetamu."
Hian Kie melihat kening orang
dikerutkan, ia menyesal dengan kata-katanya itu. Maka syukurlah untuknya,
sejenak kemudian kembali si nona dapat bersenyum.
"Kiranya ilmu silatmu ada
ajarannya ibumu," katanya. "Bagaimana dengan ayahmu?"
Wajahnya Hian Kie menjadi
guram.
"Ayahku telah menutup
mata sebelumnya aku dilahirkan," sahutnya berduka.
"Ah!" berseru si
nona tertahan, terus ia berdiam.
Hian Kie tak dapat melenyapkan
keheranannya.
"Aku Tan Hian Kie,"
katanya memperkenalkan diri. "Boleh aku menanya she yang mulia dari nona?
Adakah ayah nona di rumah?"
Ditanya begitu, sebaliknya, si
nona tertawa.
"Aku tidak mengharap
balasan budimu, mengapakah kau menanya tak habis-habisnya?" tanyanya,
manis.
Parasnya Hian Kie menjadi
merah, ia likat. Memang aneh akan menanyakan she atau namanya seorang nona yang
baharu dikenal. Ia menanya saking hatinya tertarik sangat oleh gerak-gerik nona
itu. Tidak disangka, ia ketemu batunya...
Nona itu mengangkat kepalanya
melihat matahari.
"Kau telah tidur nyenyak
satu malam, sekarang tentulah kau lapar," katanya kemudian. "Kau
tunggu sebentar."
Ia tertawa, terus ia
menyingkap layar untuk bertindak pergi. Hanya tiba di ambang pintu, ia
berpaling.
"Baiklah aku beritahu
padamu, aku she In," katanya perlahan.
Hati Hian Kie bercekat.
"She In," katanya di
dalam hatinya itu, "mustahilkah?..."
Tapi segera ia mengubah
pikirannya. Ia berpikir pula: "Di kolong langit ini tidak sedikit orang
she In, tidak nanti terjadi peristiwa sangat kebetulan seperti ini..."
Sendirinya ia menghibur diri
tetapi tetap ia masgul, tak tenang pikirannya. Ia lalu mencoba menggerak-geraki
tangan dan kakinya. Senang hatinya. Ia dapat bergerak dengan merdeka.
"Pukulannya Siangkoan
Thian Ya berat tetapi obatnya si nona begini mujarab," pikirnya pula.
"Mungkin dia dari keluarga ilmu persilatan."
Ia mengangkat kepalanya,
memandang tembok. Menampak itu pedang yang luar biasa, tak kuat ia menahan
kehendak hatinya, ia mengulur tangannya untuk mengasi turun senjata itu. Ia pun
menghunusnya. Maka tampaklah sinar pedang dalam mana samar-samar terbenam
cahaya kehijau-hijauan. Itulah benar suatu pedang yang istimewa.
Muda ia ada, Hian Kie adalah
suatu ahli untuk alat-alat senjata. Maka tercenganglah ia.
"Nona ini sangat
mempercayai aku," pikirnya pula. "Enak saja ia menggantung pedangnya
di sini, tidak kuatir ia nanti aku mencurinya."
Ia menunduk, akan mengawasi
saksama pedang itu. Di gagang pedang ada ukiran dua huruf kuno yang luar biasa,
menampak mana, anak muda ini lantas merasa ia bagaikan terbenam di dalam
kabut...
Huruf kuno itu adalah yang
dinamakan huruf model Tjiongteng, huruf semacam itu ia pernah melihatnya dalam
kumpulan kitab syair kakek luarnya. Adalah ibunya yang membacakan, mengajari
ia. Maka tahulah ia sekarang, pedang ini ialah pedang Koengo kiam, benar-benar
sebuah benda kuno.
Kakek luar dari Hian Kie tidak
mempunyai anak laki-laki, maka juga semenjak dilahirkannya, Hian Kie dipandang
sebagai anaknya, untuk menurunkan she keluarga, dari itu ia memakai she ibunya
yaitu she Tan. Kakek luarnya itu bernama Teng Hong, seorang penyair kenamaan di
akhir kerajaan Goan (Mongolia), tetapi berbareng pun pandai silat, hingga
karenanya dia dijulukan Boelim Siangtjoat, artinya seorang Rimba Persilatan
yang sempurna, boenboe tjoantjay, pandai surat dan silat. Di dalam sebuah
syairnya pun pernah ia melukiskan tentang pedang ini. Karena syair itu, pedang
ini seperti juga ada milik kakeknya itu, hal mana pernah ia menanyakan ibunya,
apakah ibu itu pernah melihat Koengo kiam, pedang itu, hanya jawaban dari sang
ibu adalah menyimpang, seperti disengaja, sedang waktu itu, wajah ibu itu
agaknya berduka. Soal itu membuatnya Hian Kie sangat tidak mengerti, sia-sia
belaka ia memikirkannya, siapa sangka di sini justeru ia menemukan Koengo kiam.
Adakah pedang ini pedang
kakeknya itu atau keluarga In mendapatnya dari lain orang? Keras Hian Kie
memikirkannya. Ia tidak memperoleh jawaban sampai ia mendengar tindakan kaki
mendatangi. Lekas sekali ia menggantungkannya kembali pedang itu di tempatnya.
Segera terlihat si nona muncul
dengan penampan di kedua tangan, di atas itu ada bubur yang asapnya masih
mengepul-ngepul serta dua rupa sayurnya.
"Kau baharu saja sembuh,
mari makan bubur!" berkata si nona, manis. "Eh, kau tengah memikirkan
apakah?" Ia heran melihat orang seperti tercengang, maka ia mengikuti
pandangan mata si anak muda. Maka tahulah ia apa sebabnya itu.
Tiba-tiba saja ia tertawa
irang. "Ah, kiranya kau penuju pedangku!" katanya.
Merah muka dan kupingnya Hian
Kie.
"Aku lihat pedang itu
luar biasa," ia mengaku, perlahan.
"Bagaimana?"
"Agaknya itulah sebilah
pedang kuno..."
"Benar. Menurut ayahku,
inilah pedang pembuatannya Auw Ya Tjoe di jaman Tjian Kok, jaman Perang Antar
Negara. Sungguh matamu tajam!"
"Adakah pedang ini pedang
turunan keluargamu, nona?"
Si nona tertawa pula dengan
manis.
"Itulah seharusnya!"
sahutnya. "Kalau tidak, masakah pedang ini digantung di sini? Itulah
mustikanya ayahku, biasanya tidak pernah ia mengijinkannya lain orang untuk
merabahnya saja. Baharulah pada suatu hari dari bulan yang baru silam, hari
ulang tahunku yang ke delapan belas, ia mewariskannya padaku."
Habis mengucap, paras si nona
merah sendirinya. Ia menyesal sendirinya, hingga ia menjadi jengah karenanya
sebab ia telah terlepasan memberitahukan usianya tanpa diminta!
"Jikalau begitu, nona
pastilah seorang ahli silat," kata Hian Kie tanpa memperdulikan si nona.
"Apakah artinya
ahli?" menyahut si nona. Kembali ia dapat tertawa sekarang. "Ayahku
membilangnya aku belum dapat mewariskan tiga bagian saja."
Mendapatkan orang demikian
polos, hatinya Hian Kie menjadi besar.
"Nona terlalu
sungkan," katanya. "Sudikah nona membuka kedua mataku?"
"Kau melebihkan aku
sepuluh lipat, cara bagaimana aku berani membuat diri malu di depanmu?"
katanya tertawa.
Hian Kie memperlihatkan roman
heran. "Kapannya kau pernah melihat aku bersilat?"tanyanya.
"Kau terluka parah,
bukankah? Tapi kau dapat sembuh hanya dalam sehari semalam. Memang harus
dibilang pel Siauwyang Siauwhoan tan mujarab sekali, akan tetapi apabila itu
tak dibantuoleh tenaga dalam yang mahir, yang telah ada dasarnya, tak nanti
kesembuhannya begini cepat.Menurut pandanganku, kepandaian kau sudah takbeda
jauh daripada kepandaian ayahku. Sayangayah tengah melancong, jikalau tidak,
pastilah kaudapat berunding dengannya."
"Walaupun benar aku tidak
berjodoh bertemudengan ayahmu, nona, dengan mendengar katamu saja tahulah aku
bahwa ayahmu itu seorang ahlisilat. Karena itu aku minta sukalah kau memberi
petunjuk padaku."
Nona itu tertawa.
"Aku belum
berpengalaman," ia mengaku, "aku cuma tahu ayahku sendiri yang
mengerti ilmu silat dan jadi memujinya. Sungguh aku membuatnya kau
mentertawainya. Aku tidak dapat menyuguhkan masakan yang sedap untukmu, baiklah
aku memainkan sejurus ilmu pedang padamu, hanya aku harap sudilah kau nanti
memberi petunjuk padaku..."
Hian Kie girang sekali.
"Nona, sangat girang aku
akan mendapat menyaksikan kepandaian kau!" ujarnya.
"Ah, kau pandai sekali
bicara!" kata si nona, yang terus tertawa. Setelah itu ia menurunkan pedangnya,
ia menghunusnya, atau di lain saat ia sudah mulai bersilat. Tidak saja sinar
pedang berkilau-kilau, tubuh si nona pun bergerak-gerak dengan lincah menuruti
gerak tangannya. Kelihatannya ia menikam atau membabat secara wajar, tetapi
sebenarnya tikaman dan babatan yang dahsyat. Bahkan sejenak kemudian, tubuh
nona itu bergerak pesat dan cepat sekali, bukan lagi lincah hanya sangat gesit,
cahaya pedangnya pun berkelebatan ke segala penjuru.
Diam-diam Hian Kie menyedot
hawa dingin. Orang membilangnya ilmu pedangnya sudah mahir, tetapi kalau ia
diadu dengan nona ini, mungkin ia belum dapat menandinginya.
Meski juga usianya masih
sangat muda, Hian Kie mengenal baik ilmu silatnya pelbagai partai persilatan,
hanya kepandaiannya nona cantik dan manis ini, tak tahu ia bersumbar dari
partai mana. Nampaknya itu mirip dengan ilmu silat Boetong Pay akan tetapi
kelincahannya melebihkan dari apa yang pernah ia saksikan. Sekonyong-konyong,
sambil bersilat itu, si nona bemyanyi:
"Udara kosong penuh
dengan asap. Jauh di empat penjuru, tahun apakah itu? Di sana, dari langit yang
biru, jatuhlah bintang yang panjang! Di langit itu terlihat pohon-pohon dari
mega. Nona-nona manis di dalam Istana Emas, di sana pula sisa-sisa istana raja
jago. Panah yang ampuh menembus angin, memanah mata, cipratan airnya pedang
membasahkan bunga. Sang suasana membuatnya sepasang burung wanyoh
memperdengarkan suaranya. Di lorong maka daun-daun pohon membuatnya suara dari
musim rontok. Di dalam keraton, raja Gouw tenggelam dalam mabuk araknya, dan
telaga Thay Ouw menyebabkan tetamu yang berpesiar menjadi kantuk. Seorang diri
memancing ikan di lembah Seng Seng, menegur gelombang tak dijawab. Rambut indah
bagaikan gunung hijau, air dalam, ranggon tinggi menjulang udara. Mengantar
sang gagak terbang pulang di waktu matahari turun. Berulang-ulang meminta arak,
mendaki panggung musik di mana musim rontok dan sang mega ada berserta."
Hian Kie berdiam mendengar
nyanyian itu di antara bayangan pedang. Ia teringat kepada Raja Gouw di jaman
Tjian Kok, yang mabuk arak hingga lupa daratan. Atau adakah itu dimaksudkan
Tjoe Goan Tjiang yang memperebutkan negara terhadap Thio Soe Seng yang
mengangkat diri menjadi raja di Souwtjioe? Tapi, kapan ia memandang pigura yang
tergantung di tembok yang melukiskan rembulan di musim rontok di sungai
Tiangkang, maka mulutnya yang telah dibuka dirapatkan pula, batal ia berbicara.
Sampai di situ, berhentilah si
nona bersilat. Ia tertawa dan menanya, bagaimana dengan nyanyiannya itu, yang
menjadi syairnya Gouw Boen Eng dari ahala Song Selatan.
Ditanya begitu, mukanya Hian
Kie bersemu merah. Sedikit sekali ia membaca kitab syair, ia sampai tak ingat
akan penyair yang kenamaan itu.
"Nona ini menyebut-nyebut
syair tua tetapi suasana dari itu mirip dengan suasana jaman sekarang, adakah
karena ia sengaja atau bukan menyebutkannya itu? Kalau ia sengaja menanya aku,
benar-benar ia cerdas sekali..." demikian pikirnya. Maka ia mencoba
mengendalikan diri untuk tidak mengentarakan sesuatu.
Si nona lagi-lagi tertawa.
"Aku telah membawakan
bubur untukmu, aku pun sudah bersilat, tetapi kau, sumpit pun kau tidak
menyentuhnya satu kali jua!" katanya.
Ditegur begitu, Hian Kie
tertawa.
"Hebat ilmu silatmu nona,
hingga aku lupa segala apa!" ia memuji. Ia lantas menunduki kepala, untuk
memegang sumpitnya. Ia mulai bersantap, ia merasakan santapan cara propinsi
Soetjoan, sederhana tetapi lezat. Maka heranlah ia. Gunung Holan San ini jauh
di Lenghee, terpisahnya dari Soetjoan beberapa ribu lie, mengapa sekarang di
sini ia dapat makan masakan Soetjoan itu? Dan yang terlebih aneh lagi, itulah
dua rupa sayur yang ia menggemarinya semenjak ia masih kecil. Mau atau tidak,
ia menjadi menjublak pula.
"Bagaimana, eh?" si
nona tanya, tertawa. "Apakah masakannya tidak enak?"
Hian Kie menyumpit pula, ia
menggayam.
"Enak sekali!"
serunya. "Inilah masakan seperti masakan ibuku!"
Wajah si nona menjadi merah.
"Inilah masakanku
sendiri," berkata ia. "Mengapa kau menjadi ingat ibumu? Hayolah
dahar, buburnya nanti keburu dingin!"
Bubur itu wangi, masakannya
daging campur sayur yang lezat, maka terbangunlah napsu daharnya, maka ia
menghajar habislah tiga mangkok bubur,
Si nona memandangi orang
bersantap.
"Telah lama kau rebah di
solokan gunung, sekarang kau baharu sembuh, baiklah kau minum secawan arak untuk
menghidupkan darahmu," katanya pula. Dan dari poci arak yang berukiran, ia
menuangi araknya, ia menyodorkan itu pada si anak muda di depannya.
Hian Kie tidak pandai minum
arak tetapi ia cegluk itu hingga habis.
"Arak begini sedap, kalau
karenanya orang mati karena mabuk, dia mati rela!" katanya tertawa.
Nona itu menutup mulutnya
sendiri untuk mencegah tertawanya.
Hian Kie menjadi heran sekali,
ia pun lalu merasakan apa-apa yang luar biasa.
"Kau... kau... eh, apakah
artinya ini?" katanya tak lancar, sebab ia segera merasakan lemas seluruh
tubuhnya, ia menjadi ingin tidur saja. Beberapa kali ia menguap, ia merasakan
lidahnya pun rada kaku...
Nona itu mengulur tangannya,
ia mendorong dengan perlahan, tetapi si anak muda...
"Bruk!" dan robohlah
dia ke atas pembaringannya, ia agaknya kaget tetapi kedua matanya terus meram
tertutup. Lapat-lapat ia mendengar tindakan kaki berlalu meninggalkan kamarnya
itu, samar-samar ia mendengar si nona tertawa dan berkata, "Kau berpikir
terlalu banyak, maka itu kau tidurlah biar nyenyak..."
Hian Kie benar-benar tidur
pulas dan baharu sadar sesudah magrib. Ia masih dalam keadaan samar-samar. Ia
melihat sang rembulan di atas pohon bunga bwee, ia mendapatkan asap dupa
melayang-layang di dalam kamarnya itu. Di meja kecil di kepala pembaringan ada
tersedia sebuah teekoan teh yang tehnya masih panas. Ia heran, karena ia masih
tetap di kamarnya yang luar biasa itu. Ia mencoba bernapas, ia tidak merasa
sesuatu yang menghalanginya, ia bahkan merasa lebih segar daripada siang tadi.
Tiba-tiba saja ia dapat mengerti. Maka bersyukurlah ia terhadap si nona.
"Siapa nyana nona ini pun
mengerti ilmu ketabiban," katanya di dalam hati. "Ia melihat aku
berpikir banyak, ia kuatir kesehatanku tak pulih seperti sediakala, ia
memberikan aku arak obat, obat yang mujarab sekali... Ah, akulah yang keliru,
tadinya aku menyangka ia meracuni aku...
Tengah pemuda ini berpikir
itu, ia dapat mendengar tindakan kaki di luar kamar. Lantas saja ia menduga
kepada si nona, maka hendak ia lekas berbangkit untuk menyambut. Atau mendadak
ia merandak. Ia mendapat kenyataan tindakan itu bukannya dari seorang-orang.
Dengan cepat ia mengintai dari jendela. Di sana ia menampak bayangan dari dua
tubuh yang besar. Segera juga ia mendengar suara tertawa dari satu orang, yang
terus berkata-kata: "Saudara Boe Yang, tempatmu ini benar-benar mirip
dengan tempat dewa, pantas kau kerasan tinggal disini belasan tahun, tak pernah
kau turun gunung. Sebaliknya aku, masih muncang-mancing saja di antara angin
dan debu, dibandingkan dengan kau, aku seperti ketinggalan jauh beberapa
lie!"
Orang itu bicara dengan
perlahan tetapi di kupingnya Hian Kie terdengarnya bagaikan guntur menggelegar,
karena satu di antara mereka itu adalah In Boe Yang, orang yang ia sateroni
untuk dibunuhnya. Tidakkah dia dipanggil "saudara Boe Yang"? Maka
teranglah sudah, rumah ini rumah In Boe Yang si musuh!
Lalu ia mendengar suara
jawaban, suara seperti dari seorang tua: "Selama belasan tahun ini aku
tidak memperoleh kemajuan satu dim jua, maka itu cara bagaimana aku dapat
dibandingkan dengan kau, saudara, yang telah membantu menunjang seorang raja
yang bijaksana hingga kau berulangkali mendirikan jasa besar?"
Hian Kie berpikir keras.
Tahulah ia sekarang, In Boe Yang ini benar telah mendurhaka kepada junjungannya
yang lama. Bukankah dia bersahabat erat dengan orangnya pemerintah? Hanya belum
tahu ia, siapa itu yang seorang lagi.
Sementara itu terlihat
sinarnya api di luar jendela, sebab itulah si nona yang muncul dengan sebuah
lentera di tangannya.
"Ayah baru pulang!"
sambutnya.
"Ya, aku pulang lambat
sekali," menyahut sang ayah.
"Inilah paman Lo, Taydjin
Lo Kim Hong yang sekarang menjadi Kimie wie Tjongtjiehoei, komandan utama dari
pasukan pengawal Sri Baginda Raja,
Si nona agaknya tak mengerti
apa itu Kimie wie pasukan pengawal raja, ia cuma memberi hormat secara wajar
saja. Sebaliknya Hian Kie, kembali ia berpikir keras. Ia kenal Lo Kim Hong ini,
sebab dialah jago kelas satu di bawahan Tjoe Goan Tjiang. Selama peperangan di
sungai Tiangkang, Lo Kim Hong inilah yang mendapat membekuk Thio Soe Seng.
Karena jasanya ini yang besar, sekarang ia menanjak kedudukan komandan utama
dari Kimie wie, sebuah pasukan yang tugasnya teristimewa membekuk segala musuh
negara. Maka sesaat itu bergolaklah darahnya, ia bergusar berbareng cemas hati.
Bukankah ia berada di antara musuhnya dan musuh yang tangguh pula?
Ketika pertama kali Hian Kie
menerima tugas untuk membinasakan In Boe Yang, ia sudah ketahui Boe Yang sangat
lihay, maka itu tidak pernah ia memikir untuk pulang hidup, setelah menyaksikan
ilmu pedangnya anak darah orang, ia semakin menginsafi malapetaka yang
mengancam dirinya. Bukankah telah ternyata, ilmu kepandaiannya Boe Yang ada
berlipat ganda melebihkan ia? Bahkan sekarang In Boe Yang berada bersama
seorang jago kelas satu dari istana kaisar.
Di samping segala itu, yang
membuatnya Hian Kie sangat bergelisah ialah itu kenyataan Boe Yang adalah ayah
si gadis cantik manis, yang lemah lembut itu, yang telah menolong jiwanya.
Dapatkah ia turun tangan terhadap ayahnya gadis itu?
"Siapa itu di kamar
tulis?" tiba-tiba Hian Kie mendengar pertanyaannya Boe Yang selagi ia
bagaikan ngelamun. Ia berjingkrak, tangannya diulur ke bantal kepalanya di
bawah mana ia menyimpan pedangnya.
"Dialah seorang muda yang
mendapat luka parah," demikian ia mendengar jawaban si nona. "Dia
terjatuh ke dalam solokan, tidak ada orang yang menolonginya, maka itu anakmu
telah membawanya pulang."
"Orang muda macam apakah
dia itu!" terdengar pula Boe Yang. "Kenapa dia terluka?"
"Dia telah tidur pulas
satu hari satu malam, baru saja dia mendusin, maka itu anakmu belum sempat
menanyakan keterangannya," si nona menjawab pula.
"Ah, So So, kau membikin
berabeh dirimu!" menyesali si ayah.
Baru sekarang Hian Kie ketahui
bahwa nama si nona adalah So So.
"Satu nama yang bagus
sekali!" pujinya dalam hati.
"Ayah," ia mendengar
pula si nona, agaknya ia penasaran, sebagaimana itu terbukti dari nada
suaranya, "bukankah kau setiap hari telah mengatakan kepadaku tentang
perbuatan-perbuatan mulia menolongi orang? Di depan mata kita ada seorang
asing, pula dia terluka parah, apakah kita harus membiarkannya saja?"
"Tetapi tak usahlah
sampai dia ditempatkan di kamar tulis," berkata sang ayah.
"Mama takut suara
berisik, apakah dia mesti ditempatkan di orang dalamr sang anak menanya.
"Sebenarnya dia terluka
apa?" tanya Boe Yang, menyampingi puterinya itu.
"Kelihatannya dia terkena
pukulan tenaga dalam."
"Kalau begitu, mengapa
dia dapat sembuh hanya dalam sehari semalam?"
"Anak telah memberikan
dia tiga butir pel Siauwyang Siauwhoan tan," menerangkan si nona.
"Dari tadi, sesadarnya dia, anak pun memberikan ia minum secawan arak
Kenghoa Thianhio Hweeyang tioe buatan ayah. Mungkin hingga sekarang ia masih
belum mendusin dari tidurnya..."
"Apa? Kau memberikannya itu
pel yang aku dapat minta dari Siang Kwie Taysoe!" tanya si ayah,
terperanjat. "Aku dapat minta hanya enam butir, sekarang kau memberikannya
separuhnya! Dan itu arak Hweeyang tjioe, aku membuatnya setelah membuang tempo
lima tahun, tahukah kau?"
"Aku tahu itu,
ayah," sang anak menyahuti. "Apakah ayah menyesali aku?"
Nona ini nampaknya manja
sekali.
Hian Kie tidak melihat
gerak-gerik orang tetapi ia dapat membayangi itu. Ia menjadi cemas hati.
"Si nona tidak kenal aku
tetapi dia ada begitu mulia dan telah menolongi secara sungguh-sungguh
padaku," katanya dalam hatinya.
Memang aneh jalannya urusan di
dalam dunia ini. Oen Lan sangat menyinta dia, menyinta seperti panasnya api,
hatinya tidak tergerak, tetapi sekarang, baru pertama kali ini ia bertemu dengan
So So, segera ia kena terpengaruh...
Hian Kie lantas juga mendengar
tertawanya Boe Yang.
"Baiklah," berkata
ayah itu, "kalau besok dia sudah bangun, hendak aku berbicara dengannya,
hendak aku mencari tahu tentang ilmu silatnya, ingin aku melihat apa benar-benar
dia berharga diberikan itu tiga butir pel mustajab."
In Boe Yang menyebutnya
"besok," karena ia ketahui baik sekali, siapa minum arak Kenghoa
Thianhio Hweeyang tjioe, dia mesti tidur selama sehari semalam. Ia tidak
menyangka, sempurna sekali tenaga dalam dari Hian Kie, sejak makan obat, dia
telah sembuh, dari itu, dia cuma tidur seharian sudah ia mendusin.
Hian Kie terbenam dalam
kebimbangan. Baikkah malam itu ia bokong In Boe Yang, untuk membinasakan
padanya, atau ia harus mengangkat kaki, menyingkir secara diam-diam? Ia
berpikir tanpa ada keputusannya, ia terus beragu-ragu.
"Bagaimana dengan ibumu
selama beberapa hari ini?" kemudian terdengar In Boe Yang menanya pula.
"Ibu bilang makan obat
pun sama saja," menyahut sang anak. "Pada dua hari yang pertama ia
telah minum setengah mangkok, habis itu melarang aku memasaknya pula. Ayah,
mengapa penyakit, ibu tak sembuh-sembuh?"
"Apakah enso kurang
sehat?" Lo Kim Hong menyelak.
"Ia sakit tetapi bukannya
sakit berat, ia melainkan sering merasakan kepalanya pusing hingga ia tidak
suka berjalan-jalan. Eh, So So, pergi kau membilangi ibumu, besok aku akan
menjenguk dia."
Hian Kie ada seorang anak
berbakti kepada ibunya, mendengar perkataannya Boe Yang itu, ia merasa tertusuk
sendirinya.
"Aneh sekali!"
pikirnya. "Isteri sakit, suaminya pulang, tetapi kenapa suami ini tidak
lantas melihat isterinya itu? Bukankah tidak pantas? Menurut kabar isterinya In
Boe Yang ini ada puterinya Bouw Tok It ahli waris dari Boetong Pay dan pada
belasan tahun yang sudah, sebelum orang ketahui Boe Yang berkhianat kepada
tuannya yang lama, merekalah suami isteri yang setimpal yang mendapat pujian
umum, kenapa sekarang ia ada begini tawar terhadap isterinya itu? Dan aneh pula
Nyonya In itu. Benar ia sakit dan tak suka berjalan-jalan, tetapi sakitnya itu
tidak menyebabkan ia tak dapat bangun dari pembaringannya, kenapa sekarang
suaminya pulang ia tidak keluar menyambut?"
Terdengar suara menyahut
perlahan dari So So, yang lantas bertindak pergi dengan perlahan-lahan, di lain
pihak, di kaca jendela terlihat lewatnya satu bayangan orang. Sebat sekali,
Hian Kie berpura-pura tidur pulas, matanya dirapatkan hanya untuk mengintai
terus.
Di kaca jendela sekarang
terlihat wajah cantik dari So So. Malam sunyi, rembulan bercahaya indah, pohon
bunga bwee berbayang miring, dan di kaca jendela itu si cantik mengintai ke
dalam, kepada orang yang tengah tidur...
Bagaimana indah pemandangan
itu, walau pelukis kenamaan, belum tentu ia dapat melukiskannya.
Si nona terdengar tertawanya
yang perlahan.
"Bocah yang baik, kau
tidurlah biar nyenyak," katanya, perlahan juga. "Kau sangat
memikirkan rumahmu baiklah dalam mimpimu kau bertemu dengan ibumu itu. Aku juga
hendak pergi pada ibuku."
Hian Kie tertawa di dalam hati
karena ia dipanggil "bocah yang baik," tetapi hatinya goncang, ketika
ia mendengar tindakan kaki orang sudah jauh, hampir ia mau berteriak
memanggilnya.
Kata-katanya In Boe Yang
membuatnya pemuda ini seperti sadar.
"Saudara Lo, bukannya kau
berdiam di kota raja untuk mengicipi kebahagianmu, sekarang kau datang
menjenguk aku, mungkinkah Sri Baginda menugaskan kau sesuatu yang penting?
"Saudara mengenal sifat
junjungan kita, baiklah aku memberikan keterangan," menjawab Lo Kim Hong.
"Sri Baginda mengangkat saudara dengan Thio Soe Seng, sayang Thio Soe Seng
itu tidak sudi menakluk terhadapnya. Di atas langit tidak ada dua matahari maka
itu, rakyat pun tidak layak mempunyai dua raja, karena ini dengan sangat
terpaksa Sri Baginda menghadiahkan kematian kepadanya. Itulah kejadian sangat terpaksa.
Tapi sekarang terbukti, banyak orang sebawahannya yang tidak puas. Negara aman
sentosa, Baginda juga sudah memerintah tiga belas tahun lamanya, meski begitu,
mereka itu masih bergerak terus, mereka asyik menantikan ketika untuk turun
tangan. Bukankah perbuatan mereka itu perbuatan tidak mengenal selatan?"
"Memang! Untuk satu
keluarga atau satu she, orang memperebutkan negara, itu cuma mencelakai rakyat
jelata. Apakah perlunya itu? Aku menginsafi itu, maka juga aku menyingkir
kemari, seperti si harimau tua rela mati di gunung belukar!"
"Memang benar!" Hian
Kie mengulangi di dalam hatinya. "Untuk satu keluarga atau satu she, orang
memperebutkan negara, itu cuma mencelakai rakyat jelata. Apakah perlunya
itu?"
Kata-kata itu belum pernah
Hian Kie mendengar orang mengucapkannya, baharu sekarang ia mendengar dari
mulutnya In Boe Yang ini. Kata-katanya In Boe Yang ini memang beralasan. Maka
berpikir pulalah ia: "Asal In Boe Yang benar rela mati di gunung belukar
ini sebagai si harimau tua, nah, perlu apa aku membunuhnya?"
Di luar kamar itu terdengar
tertawanya Lo Kim Hong si komandan Kimie wie.
"Kau seorang sadar,
saudara, aku kagum terhadapmu," katanya. "Tetapi mereka itu menentang
Sri Baginda, sebelum ancaman bencana itu disingkirkan, mana hati kita menjadi
tenang? Saudara lihay ilmu silatnya, mengingat itu pepatah, 'Macan tutul mati
meninggalkan kulit, orang mati meninggal nama' maka kalau saudara menanti hari
akhirmu di gunung ini, apakah itu tidak sayang?"
"Sebutan lihay ilmu
silatnya, itulah saudara sendiri yang berhak menerimanya," berkata In Boe
Yang. "Aku sendiri, mana aku sanggup? Sri Baginda telah memperoleh bantuan
saudara, perlu apa lagi aku si tolol dan bodoh?"
Lo Kim Hong tertawa bergelak.
"Saudara, keliru
kata-katamu ini, kau memandang terlalu asing terhadapku. Karena kota raja tidak
ada lain orang lagi, terpaksa aku menerima pangkatku ini, tetapi ini pun untuk
sementara waktu. Sebenarnya aku menantikan saudara turun gunung untuk nanti
menyerahkannya padamu."
"Saudara Lo, kau
membuatnya aku malu sendiri. Apakah yang aku dapat lakukan?"
"Orang-orang sebawahannya
Thio Soe Seng itu, dalam sepuluh, yang sembilan ada sahabat-sahabat saudara,
maka itu Sri Baginda memikir untuk saudara yang pergi memberi nasihat kepada
mereka agar mereka suka datang menghamba."
"Umpama kata mereka tidak
sudi menyerah?"
Kim Hong kembali tertawa.
"Saudara seorang sadar,
tak usah aku menjelaskannya lagi! Andaikata saudara masih memberati
sahabat-sahabat lama dan karenanya tak dapat menurunkan tangan sendiri, cukup
asal kau memberitahukan aku alamat mereka. Jasa ini tetap ada jasa
saudara."
Hati Hian Kie terkesiap.
"Sudah banyak tahun aku
hidup menyembunyikan diri di gunung ini, mengenai mereka itu aku tak jelas
lagi. Sekarang begini saja. Saudara memberi tempo tiga bulan padaku, selewatnya
tiga bulan itu, saudara datang berkunjung pula ke rumahku ini, itu waktu nanti
aku memberikan jawaban pada saudara."
Kata-kata itu dapat diartikan,
selama tiga bulan ia bakal mendapat tahu sepak terjangnya orang Thio Soe Seng
itu, lalu jasanya itu hendak ditukar dengan semacam pangkat tinggi dan mulia.
Hian Kie menjadi mendongkol dan gusar sekali. Pikirnya: "Kau tidak
menyetujui satu keluarga atau she memperebutkan negara, karena itu bolehlah kau
menempatkan dirimu di luar garis, itu masih bagus untukmu. Tapi kalau kau
menyelidiki mereka dan kemudian membuka rahasia, bukankah itu berarti
mencelakai banyak orang gagah?"
Terdengar pula Lo Kim Hong
tertawa lebar.
"Baiklah, selewatnya tiga
bulan, aku bakal datang pula ke mari!" katanya. "Di sini aku tidak
dapat berdiam lama, dari itu ijinkanlah aku mengundurkan diri."
In Boe Yang tidak menahan
tetamunya itu, yang ia antar hingga di luar. Tidak lama ia sudah kembali,
sambil memegangi cabang bunga bwee, ia bersenandung: "Peperangan itu
mendatangkan penasaran, cuma merusak bunga ini" Dari suaranya itu, nyata
hatinya sangat terpengaruh malapetaka peperangan.
Hian Kie melengak, tidak dapat
ia menangkap hati orang.
Tidak antara lama terdengarlah
daun pintu dibuka, tertolak dari sebelah luar, lalu terdengar tindakan kaki
mendatangi. Hian Kie heran hingga ia menanya dirinya sendiri, "Eh mengapa
Lo Kim Hong balik kembali?" Ia mengangkat kepalanya, untuk mengintai
keluar jendela. Sebentar saja, ia melihat sesosok tubuh manusia. Untuk kagetnya,
ia sampai tak mempercayai matanya sendiri.
Yang datang itu ialah
Siangkoan Thian Ya!
Juga In Boe Yang agaknya
heran. Tapi ialah seorang jago yang berpengalaman. Ia melirik kepada tetamunya
yang tidak diundang itu, sikapnya tenang, bahkan tawar.
"Siapakah kau,
tuan?" tanyanya. "Kenapa tengah malam seperti ini tuan datang
kemari?"
"Aku Siangkoan Thian
Ya," menyahut anak muda itu, suaranya dalam, "Bouw It Siok menitahkan
aku datang ke mari menanyakan kesehatan lootjianpwee."
Boe Yang nampaknya terperanjat,
sampai air mukanya berubah.
"Kau masih begini muda,
tuan, mengapa kau belajar mendusta?" tegurnya, dingin. "Bukankah Bouw
It Siok itu telah meninggal dunia pada bulan delapan yang baru lewat?"
Bouw It Siok itu keponakan
satu-satunya dari Bouw Tok It, dialah yang menggantikan Tok It, pamannya,
menjadi tjiangboendjin dari Boetong Pay.
Hian Kie heran mendengar
perkataan Thian Ya itu.
"Kiranya Thian Ya
benar-benar murid Boetong Pay? Kenapa tadi-tadinya ia tidak pernah menyebutnya?
Dan In Boe Yang ini, lihay kupingnya. Dia berdiam di dalam gunung ini tapi dia
ketahui segala apa. Aku sendiri tak tahu yang Bouw It Siok sudah menutup
mata."
"Benar," menyahut
Thian Ya, tetap dingin. "Oleh karena guruku itu telah meninggal dunia maka
beranilah aku menerima pesannya yang berupa titah untuk datang ke mari. Apakah
soekouw masih sehat walafiat? Bolehkah aku diperkenankan menghunjuk hormat
kepadanya?"
Thian Ya memanggil soekouw,
bibi guru, kepada isterinya Boe Yang itu.
"Isteriku itu telah putus
hubungannya dengan dunia luar," berkata Boe Yang sambil tertawa dingin,
"maka tak usahlah kau mencapaikan diri untuk menemuinya. Laginya jikalau
Keluarga Bouw itu ada mempunyai urusan, kenapa Bouw It Siok tidak datang
sendiri di saat ia belum menutup mata?"
Juga Thian Ya tertawa dingin.
"In Lootjianpwee,"
katanya, "kau tahu tetapi sengaja kau menanyakannya! Guruku marhum itu,
karena mengingat kecintaan kakak dan adik, tak ingin ia datang sendiri untuk
meminta pulang kitab ilmu pedangnya. Kitab itu adalah kitab milik Boetong Pay,
karenanya apakah dapat orang luar yang menyimpannya? Lootjianpwee telah
meminjam itu lamanya duapuluh tahun, aku pikir pastilah kau telah apal
semua-muanya."
"Hm!" Boe Yang
memperdengarkan ejekannya. "Jadinya pesan Bouw It Siok itu menugaskan kau
menjadi Tjiangboendjin?"
"Thian Ya seorang bodoh,
karena dia menerima budi, kecintaan gurunya, dia tidak dapat menampik,"
jawab anak muda. "Setelah mendapatkan kitab silat pedang itu baharu aku
akan kembali ke Boetong Pay untuk menerima tugasku itu."
"Hm!" kembali Boe
Yan, mengejek. "Kecuali kau, ada siapa lagi yang mengetahui kitab pedang
itu berada di tanganku?"
"Aku sendiri mengetahui
itu baru pada tiga bulan yang selam setelah aku menerima pesan guruku. Karena
memandang muka saudaranya, guru menyimpan urusan ini selama hampir duapuluh
tahun. Bukankah itu telah cukup sebagai tanda bahwa ia menghargai kau,
lootjianpwee!"
Boe Yang tetap dengan sikapnya
yang dingin. Ia tertawa.
"Meskipun kitab itu
kitabnya keluarga Bouw tetapi itu bukan miliknya Boetong Pay." ia bilang.
"Kau tahu sendiri, juga gurumu belum pernah melihat kitab itu!"
"Itulah benar,"
Thian Ya mengakui. "Kitab itu kakek guru yang membuatnya setelah ia
mendapatkan kitabnya Tat Mo Tjouwsoe, lalu ia menciptakan sendiri ilmu silatnya
itu. Kakek guruku ada orang Boetong Pay, maka itu, ilmu silat pedang itu
digabung dengan ilmu silat pedang Boe Tong Pay itu. Adalah maksudnya kakek guru
untuk mewariskan ilmu silat pedang itu kepada murid-murid Boetong Pay."
"Apakah kau pernah dengar
sendiri kata-katanya kakek gurumu itu?" tanya Boe Yang terus tertawa
dingin.
"In Lootjianpwee,"
berkata Thian Ya, menyahuti, kaulah seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan,
mengapa kau mengeluarkan kata-katamu ini yang merupakan sangkalan? Mustahilkah
benar-benar segala apa sudah mati dan menjadi tidak ada saksi atau
buktinya?"
Muka Boe Yang menjadi merah.
"Jikalau kau membawa
surat wasiat dari mertuaku untuk meminta kitab itu, mungkin aku
memberikannya," kata dia, keras. "Kitab itu milik Keluarga Bouw dan
mentuaku itu tidak punya anak laki-laki, maka sekali It Siok masih hidup, tidak
dapat dia datang untuk memperebutkannya."
Siangkoan Thian Ya tertawa
terbahak-bahak.
"Kiranya beginilah In Boe
Yang yang pada duapuluh tahun yang lampau namanya menggetarkan dunia!"
In Boe Yang menjadi gusar.
"Sekalipun gurumu yang
datang ke mari, tidak nanti dia berani berlaku kurang ajar begini!"
katanya sengit, tertawanya dingin. "Kau sendiri makhluk apa maka kau
berani berlaku kurang ajar di depanku?"
Thian Ya tidak takut.
"Memang aku telah memikir
bahwa aku tidak bakal pulang dengan masih bernyawa!" katanya. "Hanya
aku kuatir, apabila kabar kematianku telah tersiar luas maka Tie Wan Tiangloo
dari Boetong San pastilah akan membuka dan membaca surat wasiatku, hingga itu
waktu semua orang Boetong Pay akan mendapat tahu duduknya hal yang sebenarnya.
Mungkin Boetong Pay sendiri tak dapat membuatnya kau jeri, tetapi putusan yang
maha adil dari kaum Rimba Persilatan pastilah In Loo-Ljianpwee tak dapat
menerimanya."
Boe Yang terkesiap tetapi ia
tidak suka mengalah kepada anak muda itu, tak sudi ia menunjuki kelemahannya.
"Hm!" serunya,
"seumurku, aku si orang she In tidak pernah dipengaruhi orang lain!
Jikalau aku tidak melihat usiamu yang masih begini muda, hingga kemajuan dan
hari kemudianmu harus disayangi, pastilah sudah aku membinasakan padamu! Hm,
benar-benarkah kau menghendaki kitab ilmu pedang itu?"
Kata-kata itu menggabung sikap
keras dan lunak. Hian Kie menduga Thian Ya bakal tetap berkepala batu. Siapa
tahu, ia menduga keliru.
Mendadak pemuda itu mengubah
lagu suaranya.
"Memang sejak lama aku
mengetahui kau bercita-cita menjagoi di kolong langit ini," demikian
katanya, "kau ingin menjadi ahli silat pedang nomor satu! Maka itu mana
kau sudi membayar pulang kitab pedang itu!"
Kata-kata ini tajam dan telak
mengenai jantungnya In Boe Yang.
"Kau telah mengetahui,
habis perlu apa kau datang juga kemari!" tegurnya.
"Jikalau tetap kau tidak
sudi membayar pulang kitab pedang itu, baiklah," berkata Thian Ya, keras
tetapi sabar, "tetapi di samping itu kau mesti menyerahkan pulang satu
orang padaku! Seberlalunya aku dari sini aku akan tidak omongkan pula tentang
kitab ilmu pedang itu kepada lain orang."
Mendengar itu, Boe Yang
menjadi heran sekali. Ia benar-benar tidak menduga Thian Ya suka menukar kitab
dengan satu orang, bahkan dia bersedia mengurbankan kedudukan tjiangboendjin,
ketua partai Boetong Pay. Siapakah orang itu yang dia sangat menyayanginya? Ia
berpikir, la wajahnya berubah.
"Hm!" katanya,
matanya dipentang lebar. Ia tidak lagi bergusar seperti tadi tetapi ia tetap
angker.
"Kau bilang,"
katanya, dingin, "siapakah orang itu? Jikalau kau omong kurang ajar
sedikit saja, kau bakal mampus di bawah telapakan tanganku ini!"
Boe Yang mempunyai semacam
penyakit di hati, ialah kecurigaannya. Ia mau menerka, mungkinkah keluarga Bouw
hendak mengirim wakil untuk mengajak pulang isterinya? Atau, mungkinkah pemuda
ini menaruh hati kepada puterinya, agar puteri itu dapat ditukar dengan kitab
pedang itu? Sama sekali ia tidak menyangka bahwa kecurigaannya, terkaannya itu,
salah tampa.
Siangkoan Thian Ya mundur satu
tindak karena ancamannya tuan rumah yang bengis dan lihay itu tetapi ia tidak
jeri, ia tetap berlaku tenang.
"Aku minta kau
menyerahkan pulang Tan Hian Kie padaku!" demikian penyahutannya.
Itulah syaratnya menukar kitab
pedang dengan manusia.
In Boe Yang menjadi sangat
heran.
"Apa?" tanyanya.
"Siapa itu Tan Hian Kie?"
"Jangan kau berlagak
pilon!" kata Thian Ya keras. "Kudanya Tan Hian Kie itu, masih ada di
luar rumahmu ini! Umpama kata benar dia memusuhkan kau tetapi orang dengan
kedudukan sebagai kau, adakah kau puas hatimu untuk membinasakan seorang yang
tengah terluka parah?"
Boe Yang bertambah heran.
Hanya sejenak, ia bagaikan, sadar.
"Bukankah Tan Hian Kie
itu orang yang telah ditolong So So?" terkanya. "Sampai sekarang ini
pemuda yang tidur di kamar tulisku itu masih belum aku ketahui she dan namanya.
Kenapa dia hendak memusuhkan aku?"
"Bagaimana?"
Siangkoan Thian Ya mendesak. "Sebuah kitab kaum Rimba Persilatan ditukar
dengan satu orang, kau toh tidak rugi, bukan?"
Kedua matanya Boe Yang
membelalak, sinarnya menyapu tajam bagaikan kilat. Ia memandang tajam pemuda di
depannya itu.
"Tan Hian Kie itu orang
macam apa?" dia menanya. "Kenapa kau sudi mengurbankan kitab pedang
dan kedudukan ketua Boetong Pay hanya dengan meminta aku melepaskan, dia?"
Siangkoan Thian Ya tidak
menduga sama sekali yang In Boe Yang belum ketahui halnya Hian Kie itu, maka
itu, mendengar pertanyaan orang, ialah yang balik melengak. Ia heran kenapa
jago ini belum mengetahui hal ihwalnya Hian Kie. Dengan menatap mata orang yang
bengis itu, ia berkata: "Hian Kie itu telah terluka parah olehku! Kalau
atas dirinya terjadi sesuatu yang tak terduga, atau karena lukanya tak dapat ia
menempur kau, hingga dia terbinasa di tanganmu, apa kata aku terhadap kaum
Rimba Persilatan?"
Hian Kie di kamar tulis dapat
mendengar semua pembicaraan itu. Ia terharu untuk sikapnya Thian Ya itu. Boe
Yang sebaliknya menjadi semakin gelap. Tapi dia tertawa bergelak.
"Aku si orang she In,
baharu pertama kali ini selama hidupku mendengar kejadian aneh seperti ini.
Benarkah ada orang yang suka mengurbankan kedudukan ketua partainya cuma karena
untuk memohon untuk musuhnya? Haha! Mendengar kau, bolehlah dianggap bahwa kau ada
seorang ksatria !"
"Tidak berani aku
menerima pujian ini!" menjawab Thian Ya tanpa memperdulikan ejekan orang.
"Di dalam hal ini aku tidak melainkan hendak melepaskan kedudukanku
sebagai tjiangboendjin, aku juga bersedia akan mengurbankan jiwaku!"
"Bagus!" In Boe Yang
menerima, menantang. "Nah, kau serahkanlah jiwamu!"
Dengan mendadak saja dua
jeriji tangannya jago itu menyambar ke mukanya si anak muda.
Siangkoan Thian Ya kaget tak
terkira. Inilah benar-benar ia tidak duga. Tidak ada ketika lagi untuk
menangkis atau berkelit, maka dengan bersedia kedua biji matanya dikorek
keluar, ia membarengi dengan satu kepalannya ke arah jago itu.
Kedua pihak berdiri sejarak
dua tindak, turut pantas, matanya Thian Ya mesti kena ditusuk dan dikorek,
sebaliknya, In Boe Yang juga mesti kena dihajar hebat, akan tetapi kesudahannya
adalah di luar sangkaan. Matanya Thian Ya selamat, tak kurang suatu apa, dan
tubuhnya Boe Yang seperti menghilang dari hadapan si anak muda, kepalan siapa
menghajar sebuah pohon bwee di belakang Boe Yang hingga di antara satu suara
nyaring, pohon itu patah dua cabangnya, daunnya rontok bagaikan hujan. Thian Ya
melengak karenanya. Atau mendadak ia mendengar dari sampingnya: "Benar,
kau benarlah mewariskan ilmu silat Boetong Pay! Sekarang mari coba satu kali
lagi!"
Masih belum tetap hatinya
Thian Ya tatkala ia merasakan, jeriji tangan yang dingin merabah pipinya. Tidak
ayal lagi ia menolak dengan kedua tangannya dengan gerakannya "Dua naga
menindak melingkar." Karena ia mengerahkan seluruh tenaganya, tangkisan
ini berat sedikitnya seratus kati, hanya heran ia ketika tangannya itu mengenai
sasaran, ia tidak menghajar barang yang keras hanya sesuatu yang kosong. Sebab
dengan cara sederhana saja Boe Yang dapat menghindarkannya. Tentu sekali kembali
ia menjadi kaget, maka segera juga ia bertindak mundur, tetapi ia kalah sebat,
jalan darahnya, jalan darah tjiangboen hiat di iganya, telah kena tertotok,
maka, "Bruk!" robohlah ia terguling di tanah!
Pertempuran itu tidak lolos
dari matanya Tan Hian Kie. Sekarang dapatlah ia membuktikan tidak saja ilmu
ringan tubuh dari Boe Yang sudah mencapai puncak kemahiran serta ilmu pedangnya
mentajubkan, juga totokannya totokan luar biasa yaitu totokan Ittjie sian ?
totokan Sebuah Jari tangan. Ia menyedot hawa dingin, saking kagum dan terkesiap
hatinya.
"Aku tidak sangka sama
sekali bahwa malam ini ialah malam penghabisan untuk hidupku dalam dunia
ini..." katanya di dalam hati. Ia lantas menjumput pedangnya untuk membuka
pintu, guna menerjang In Boe Yang. Biar bagaimana, ia mesti membelai Siangkoan
Thian Ya, yang sudah berguna untuknya. Ia tahu ia kalah lihay tetapi ia tak
menghiraukannya lagi. Malu ia andaikata ia mesti mengangkat kaki meninggalkan
Thian Ya di tangan musuhnya. Hanya, belum lagi ia membuka pintu, atau ia
mendengar pula tindakan kaki orang, di sana muncul So So nona cantik manis
puterinya jago she In itu.
"Ayah, ada kejadian
apakah?" menanya si manis, suaranya merdu. Si nona menanya tanpa menanti
ia sudah datang dekat kepada ayahnya itu.
"Tidak ada apa-apa,"
menyahut sang ayah tenang. "Ada satu maling cilik lancang masuk ke mari
dan aku telah bekuk padanya."
So So tertawa geli.
"Ah, benarkah ada maling
cilik yang berani lancang memasuki rumah kita?" katanya. "Dia
benar-benar tak tahu mampus!"
Segera si nona sampai kepada
ayahnya itu. Apabila ia sudah melihat si "maling cilik," ia heran
bukan main. Itulah seorang pemuda bukan dengan roman sembarang, meski betul dia
telah ditotok roboh hingga tak dapat berkutik tetapi sinar matanya tajam dan
berpengaruh, sinar itu menandakan kegusaran yang tak mengenal takut. Orang
semacam itu tak selayaknya menjadi maling.
Selagi nona ini
keheran-heranan ketika matanya bentrok sama mata ayahnya, juga ayah itu
menunjuki roman heran sekali. Dengan lantas ia mendengar ayahnya itu menanya
padanya: "So So, apakah itu di tanganmu?"
Nona In ini mencekal dua
potong baju priya, yang satu baju luar, yang lain baju dalam. Itulah bajunya
Hian Kie, yang ia loloskan dan kemudian tukar, karena baju itu berlepotan
darah, ia telah tolong mencucinya, sesudah kering hendak ia membawanya ke kamar
si pemuda, tetapi karena ia mendengar suara apa-apa, ia segera datang kepada
ayahnya dengan melupakan barang yang ia bawa-bawa itu. Lantas saja mukanya
menjadi merah, lekas-lekas ia menunduk.
"Inilah kepunyaannya
orang itu..." katanya sangat perlahan.
"Kepunyaannya Tan Hian
Kie?" sang ayah menegaskan.
"Eh, ayah, mengapa kau
ketahui namanya dia itu?" si nona balik menanya, heran. "Apakah dia
pernah bertemu denganmu?"
Boe Yang tidak menjawab, hanya
dengan suara seram ia kata: "Kau kasi bangun bocah itu, kau suruh dia
keluar menemui aku!"
Kedua matanya So So
berlinangan air, mulutnya yang mungil bergerak.
"Mustahilkah orang yang
anakmu tolongi itu seorang jahat?" katanya. "Kenapa ayah menjadi begini?
Kalau ada bicara, tidakkah itu dapat ditunggu sampai besok?..."
Tetapi, baru si nona
mengucapkan kata-katanya itu, "Blak!" daun pintu telah menjeblak
terpentang, di sana muncul Tan Hian Kie dengan pedang di tangan.
"Tak usah mencapaikan
hati untuk memanggilnya, disinilah Tan Hian Kie!" katanya, suaranya
lancar, terang dan jelas.
Malam itu malam tanggal tujuh
belas bulan pertama, rembulan bercahaya indah dan terang bagaikan kaca rasa,
maka itu dapat In Boe Yang memandang dengan jelas wajah dan potongan tubuh si
anak muda yang bernyali besar itu. Tanya merasa ia terkesiap.
"Rasanya pernah aku
melihat dia ini, entah di mana," pikirnya. Sudah lama ia tidak pernah
merantau, jarang ia bertemu orang, tidak heran tak ingatlah ia akan pemuda she
Tan ini. Yang terang ia sekarang menghadapinya pula seorang muda lain yang tak
kenal takut.
"Ayah, kau tanyalah ia
secara baik-baik," berkata So So halus, "jangan ayah membuatnya dia
kaget, dia baru sembuh dari sakitnya..."
"Anak So, kau
minggir," berkata Boe Yang. "Jangan kau banyak mulut!"
Belum pernah So So menghadapi
perlakuan demikian kasar dari ayahnya itu, ia merasa tertusuk, ia penasaran
sekali, akan tetapi ia menghampirkan sebuah pohon bwee, untuk di situ
menyenderkan tubuhnya. Hampir ia menangis karenanya.
"Eh, bocah, nyalimu
sangat besar!" terdengar suara keren dari In Boe Yang. "Siapakah yang
telah mengirim kau ke mari?"
"Itulah sejumlah
sahabat-sahabatmu atau sekalian pamanku," menjawab Hian Kie dengan berani.
"Merekalah yang menitahkan aku datang ke mari!"
Kedua matanya In Boe Yang
menyapu anak muda di depannya itu.
"Jikalau begitu, ayahmu
pastilah bekas rekanku," ia berkata. "Apakah namanya ayahmu itu? Dia
berpangkat apakah di bawahnya Thio Soe Seng?"
So So heran dan terkejut.
Heran ia mengapa ayahnya segera mendapat tahu asal-usulnya pemuda ini. Ia tidak
menginsafinya yang baju dalam dari Hian Kie itu ada tersulamkan tanda burung
garuda jantan. Dulu hari itu, semua siewie atau pahlawan yang mendampingi Thio
Soe Seng, rata-rata memakai pertandaan itu.
Hian Kie pun terkejut, hingga
ia tercengang. Dengan lantas ia mundur setindak tangannya mencekal keras gagang
pedangnya. Karena rahasianya telah dibeber Boe Yang, ia semakin bulat tekadnya
untuk menempur jago itu. Hanya heran ia, nada suaranya orang itu bukan seperti
nadanya orang yang bermusuh. Meski begitu, pertanyaan orang membuatnya
tertegun.
Hian Kie ingat belum pernah
ibunya bicara dari hal ayahnya, ia cuma tahu ayahnya itu pernah membantu Thio
Soe Seng memperebutkan negara dan dalam pertempuran paling belakang di sungai
Tiangkang, ayah itu telah menemui ajalnya. Perihal pangkat ayahnya itu, tentang
segala sepak terjangnya, sedikit jua ia tak mengetahuinya. Pula belum pernah ia
menanyakan kepada ibunya sebab ia kuatir ibu itu menjadi bersusah hati
karenanya.
In Boe Yang menjadi sangat
bercuriga. Ia maju satu tindak.
"Bocah, lekas
bicara!" katanya, angker. "Bicara terus terang! Dengan memandang
bekas rekanku, suka aku mengampuni jiwamu!"
Tapi Hian Kie tidak takut, ia
bahkan menjadi gusar.
"Mana kau mempunyai rasa
cinta kepada rekanmu!" ia berkata dengan keras. "Untukmu baiklah kau
menanti lagi tiga bulan itu waktu bolehlah kau berangkat ke kota raja untuk
menerima hadiah!"
Mukanya Boe Yang bermuram
durja.
"Hai, kau berani mencuri
dengar pembicaraanku dengan Lo Taydjin!" katanya bengis.
"Memang aku telah
mendengarnya, tak pun sepatah kata yang lolos!" menyahut Hian Kie dengan
berani. "Aku telah mendengar semuanya!"
"Sebenarnya, apa perlunya
kau datang ke mari?" Boe Yang membentak pula, matanya mengawasi tak
berkesip.
"Aku telah menerima tugas
dari bekas kawan-kawanmu itu untuk membunuh kau si manusia tak berbudi yang
menjual kawan-kawan cuma untuk memperoleh pangkat!" sahut Hian Kie tetap.
So So kaget tidak terkira.
"Apa?" jeritnya,
tajam. "Kau hendak membunuh ayahku?"
Boe Yang sebaliknya tertawa
nyaring terbahak- bahak.
"Kau hendak membunuh
aku!" ejeknya. "Hm!"
"Jangan temberang!"
Hian Kie membentak. "Biarnya aku bukan tandinganmu tetapi hendak aku
memberitahukan kau bahwa di kolong langit ini masih ada orang-orang yang tak
takut mampus! Bahwa apabila kau menjual sahabatmu karena hendak mendapatkan
hadiah uang dan pangkat, dunia Rimba Persilatan bakal mengasingkanmu! Aku
kuatir, sehabisnya aku ini, di belakang hari akan masih banyak orang lainnya
yang bakal mencari kau untuk membunuh padamu! Dapatkah kau membunuh habis
mereka itu?"
Boe Yang menggetar juga
hatinya, ia bergidik tanpa merasa. Memang hebat ancaman bahaya itu. Tetapi ia
tak sudi kalah gertak. Ia tertawa terbahak.
"Hanya di dalam satu
malam, ke sini datang dua bocah tolol yang tidak takut mampus!" katanya.
"Seorang ksatria asalnya satu pemuda, itulah benar adanya! Nah, kau hendak
membunuh aku, mengapa kau tidak menghunus pedangmu?"
"Malam ini telah aku
mengambil keputusan," berkata Hian Kie, menyahuti. "Ini ksatria she
Siangkoan telah menukar aku dengan kitab ilmu pedang, tapi itu tak perlu
dilakukannya lagi. Sekarang kau bebaskan dia dari totokanmu, kau kembalikan
kitabnya itu kepadanya, untuk itu aku suka menyediakan jiwaku, akan aku
menempur engkau!"
Boe Yang melirik kepada itu
anak muda. Mendadak ia tertawa pula.
"Tidak salah, kau terluka
karena pukulan ilmu silat Boetong Pay yang menjadi kaumku, jadinya ini bocah
tolol tidak mendustakan aku," kata dia. "Hanya pada ini ada
keanehannya! Jikalau tidak ada permusuhan hebat di antara kamu berdua, tidak
nanti dia menurunkan tangan dahsyat terhadapmu, maka kenapa sekarang kau
justeru memohonkan keampunan untuknya?"
"Inilah urusan orang
luar, tak perlu kau mencampuri tahu!" jawab Hian Kie ketus. "Aku cuma
mau tanya kau, kau suka melepaskannya atau tidak?"
Boe Yang juga tertawa dingin.
"Urusan lain orang, kau
pun tak perlu mencampurinya!" ia membaliki. Kedua matanya terpentang
lebar, cahayanya tajam penuh sinar pembunuhan.
So So sudah lantas mencelat
maju.
"Ayah!" teriaknya
tajam.
Sementara itu Hian Kie segera
merasakan sambaran angin dari pukulan tangan ke arah punggungnya. Ia berbalik
dengan gesit seraya menghunus pedangnya, untuk membabat, tetapi yang ia kena
babat itu hanya tempat kosong, bukannya tangan lawan. Di lain pihak ia melihat,
di tangannya Boe Yang telah tercekal sebatang pedang, tangannya sendiri sudah
tidak menyekal senjata. Tengah ia tercengang, ia merasakan tangannya dijejalkan
sesuatu, hingga ia menjadi heran dan kaget. Tapi ia sadar dengan cepat, untuk
mendengar suaranya jago she In itu: "Telah aku kembalikan pedangmu! Apakah
kau masih tidak hendak turun tangan? So So, lekas kau mundur!"
Dengan mengibaskan tangannya,
Boe Yang membuat gadisnya itu terhuyung setombak jauhnya.
Nona ini berdiri tercengang.
Belum pernah ia menyaksikan ayahnya begini gusar.
Hian Kie benar-benar turunan
jago, nyalinya besar. Ia tahu Boe Yang sangat lihay, pedangnya telah dirampas
tanpa merasa ia masih tidak jeri. Cuma sejenak ia berdiam segera ia mulai
dengan penyerangannya. Ia menggunakan jurus "Menaiki naga memancing burung
hong," pedangnya mencari tenggorokan lawan, setelah mana ia menyabet
pulang pergi ke kedua pundak.
In Boe Yang mengibaskan kedua
tangan bajunya, tubuhnya turut bergerak pula, maka bebaslah ia dari ancaman
bahaya itu.
Hian Kie terkejut akan
mendapatkan ia menyerang tempat kosong, atau di lain pihak ia mendengar suara
angin di belakang batok kepalanya, akan mendengar juga pertanyaan ini:
"Siapa yang ajarkan kau ilmu pedang ini?"
Pemuda itu mengertak gigi.
Tidak sudi ia melayani bicara. Dengan tangan kirinya mengimbangi pedangnya,
menyerang pula ke bawah, lalu menyontek ke atas, kapan serangan itu tidak
memberikan hasil, ia menyerang pula, bertubi-tubi. Dengan saling susul ia
menggunai tipu-tipu silat Garuda Emas Mementang Sayap, Ayam Galak Merebut Gaba,
Kera Putih Bergelantungan Di Cabang dan Kuda Liar Melompati Solokan.
Serangannya itu bagaikan gelombang sungai Tiangkang yang saling tindih,
semuanya menuju ke anggauta tubuh yang berbahaya.
Memangnya, ilmu pedang Hian
Kie ini sangat bercampur baur. Sebelum usianya tiga belas tahun, ia dididik
oleh ibunya, setelah itu, ia dididik lebih jauh bergantian oleh beberapa
pamannya, entjek dan empee, semuanya rekan-rekan ayahnya. Pembantu-pembantunya
Thio Soe Seng itu, semua ada ahli-ahli silat yang lihay, masing-masing dengan
kepandaian sendiri yang istimewa, maka juga ilmu silat Hian Kie ini aneh
nampaknya, luar biasa sekali.
In Boe Yang mengibaskan tangan
bajunya berulang-ulang, dengan itu ia pecahkan semua serangan maut itu, meski
begitu, ia tetap heran hingga di dalam hatinya mengeram pelbagai pertanyaan.
"Eh, ilmu silatmu jauh
terlebih lihay daripada ini bocah she Siangkoan, kenapa kau sebaliknya kena
dilukai hebat olehnya?" ia bertanya. Ia seperti lupa bahwa ia lagi
menempur musuh.
Hian Kie tidak mengambil
mumat, ia terus saja dengan serangannya tak hentinya. Ia sudah nekat dan
penasaran, ia melupakan segala apa. Ia telah keluarkan seantero kepandaiannya
dan kegesitannya.
"Ilmu pedang Ngokim
Kiamhoat, ilmu pedang Tjengjang Kiamhoat," Boe Yang mengoceh sambil
saban-saban ia membebaskan diri. "Ah, inilah ilmu silat Khongtong Pay!
Sayang belum mahir! Dan ini jurus Naga Sakti Kehilangan Ekor, tabasannya rada
lambat..."
Biar bagaimana, Hian Kie pun
heran. Orang dapat mengenalnya setiap jurusnya itu. Mau atau tidak, hatinya toh
gentar.
Pertempuran berlanjut hingga
tigapuluh lima jurus, habis mana In Boe Yang tertawa dingin.
"Kiranya ilmu silatmu ini
adalah buah ajarannya sekalian sahabat-sahabatku!" katanya. Pantaslah kau
dikirim mereka itu! Pheng Hweesio sudah mati, Tjio Thian Tok lenyap tidak
keruan paran, tak ada bayangannya, tak ada bekasnya, maka meskipun semua gurumu
itu bergabung menjadi satu memusuhkan aku, aku tidak jeri sedikit juga! Ilmu
silat pedangmu ini, jikalau itu dihadapkan kepada pemuda-pemuda sepantaranmu,
memang sudah luar biasa hebatnya, tetapi bila dipadu denganku sayang sekali,
kau masih jauh sekali terbelakang!"
So So bingung bukan main. Ia
telah menyaksikan itu pertempuran aneh. Ayahnya berkelahi sambil ngoceh saja,
nada suaranya itu semakin hebat. Ia jadi sangat berkuatir.
"Ayah!" katanya
kemudian, suaranya tajam. "Ayah, kau biasa menyayangi orang pandai, dengan
memandang ilmu silat pedangnya dia ini, kau ampunilah dia...."
"Hm!" ada jawabannya
si ayah. "Orang-orang semacam dia ini senantiasa mengarah aku, jikalau
hari ini aku beri ampun padanya, maka nanti lagi sepuluh tahun, setelah dia
tumbuh sayap yang panjang belum tentu dia suka mengampuni aku!"
Habis mengucap, mendadak
tangannya jago ini melayang ke muka Hian Kie. Justeru itu waktu, tubuh gadisnya
pun melesat, lompat ke depannya untuk menghadang di muka si anak muda. Anak
dara ini pun sambil menyerukan: "Ayah, ilmu silatmu tak ada tandingannya
di kolong langit ini, kiranya kau masih jeri lagi sepuluh tahun kau bakal tidak
dapat menandingi dia ini..."
Hian Kie sudah merasakan
sambaran angin atau itu lenyap secara mendadak. Ia segera mendengar suara
nyaring dari In Boe Yang: "Kali ini aku beri ampun padamu! Lagi sepuluh
tahun, kau datang pula padaku, untuk bertanding kembali, untuk memastikan siapa
jantan siapa betina! Jikalau kau tidak tahu diri, belum lagi kepandaianmu
sempurna, kau sudah datang pula ke mari, itu tandanya kau cari mampusmu
sendiri!"
Kaget Hian Kie mendengar suara
itu tetapi lebih kaget pula ia ketika ia merasakan tubuhnya tercekal orang
tanpa ia merasa, lalu diangkat tinggi-tinggi dan diputar. Masih ia mendengar
seruan orang, "Pergilah kau!" atau segera tubuhnya itu dilemparkan.
Maka di lain saat, habis merasakan diri seperti melayang-layang di antara mega
dan kabut, hingga rasanya bumi berputar, ia terus tak sadarkan dirinya...
Lama rasanya sudah lewat,
baharu dengan perlahan-lahan si anak muda sadarkan diri. Ia sudah lantas
membuka kedua matanya. Yang paling dulu merasakan ialah bau yang harum
menyerang hidungnya.
"So So! So So!"
segera memanggil-manggil.
Ia tidak mendapat jawaban,
sebaliknya, ia merasakan bahwa ia lagi rebah di sebuah tempat yang dingin dan
keras. Ia pun merasakan tubuhnya nyeri anteronya, nyeri ke tulang-tulang, ke
pelbagai bukuh. Jadinya ia bukan berada di rumah keluarga In, bukannya sedang
rebah di atas pembaringan yang indah dan empuk. Ia menjadi terkejut sendiri. Ia
mementang matanya lebar-lebar. Lantas ia mendengar satu suara yang halus merdu,
yang didahului tertawa yang empuk: "Apa itu So So, kau tengah bermimpikan
siapa, ha?"
Dan itulah Oen Lan, si nona
she Siauw.
Baharu sekarang Hian Kie
mendapat tahu yang dirinya berada di dalam sebuah guha. Ia menjadi sangat
heran.
"Kenapa kau ketahui aku
berada di rumah orang she In itu?" tanyanya.