Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 8

Liang Ie Shen, Seri Thian San-02: Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 8 Dengan duduk di atas sebuah perahu kecil yang enteng, seorang diri Thio Tan Hong tengah mengayuh dipermukaan telaga Thayouw,
 
Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 8
Dengan duduk di atas sebuah perahu kecil yang enteng, seorang diri Thio Tan Hong tengah mengayuh dipermukaan telaga Thayouw, tangan kanannya menyekal dayung,tangan kirinya menggenggam sebuah anak kunci dari emas yang bercahaya berkilau-kilauan. Dia pentang kedua matanya, memandang telaga yang luas itu. Dengan riang gembira, dia buka mulutnya dan bersenanjung dengan nada tinggi: "Telaga Thayouw yang luasnya tiga puluh enam ribu bahu, airnya masih tak dapat mencuci kedukaan orang-orang gagah dari jaman dahulu hingga sekarang!"

Keras dan nyaring suara itu hingga burung-burung di telaga itu beterbangan karena kagetnya.

Itulah anak kunci emas yang Thio Tan Hong dapatkan dari liang di dalam Koaywa Lim.

Dengan mengikuti petunjuk gambar itu, tahulah Tan Hong, bahwa harta besar simpanan leluhurnya itu dipendam di dalam taman penglipur itu. Itulah sebabnya ia telah pergi ke Koaywa Lim, untuk turut dalam perjudian dadu yang menggemparkan itu. Sementara itu ia telah ketahui, dari pesan leluhurnya, tempat menyimpan harta itu dipersiapkan dengan panah-panah beracun, maka itu, sebelum menggali, ia sudah membuat penjagaan diri, ini juga sebabnya kenapa ia berhasil membongkar tanpa menemui halangan. Hanya, setelah ia berhasil membongkar pekgiok pay, di situ ia tidak dapatkan barang lainnya kecuali anak kunci emas itu. Cuma, di atas anak kunci itu, ia lipat dua baris ukiran huruf-huruf halus yang berbunyi:

"Di telaga Thayouw, dibukit Tongteng San Barat, Dengan anak kunci ini, harta simpanan dapat dicari."

Pada waktu ia hendak pendam harta besarnya itu, Thio Soe Seng berpikir keras, ia memikir kan tempat di mana ia dapat menyimpan dengan aman. Ia berkedudukan di Souwtjioe, kalau ia simpan di kota itu juga, pasti Tjoe Goan Tjiang dapat menerkanya.

Sebaliknya, jikalau ia menyembunyikan di tempat jauh, sulit pengangkutannya dan itu pun mudah membuat rahasia bocor. Maka akhirnya ia mengambil keputusan untuk menyimpan harta itu di Say Tongteng San, yaitu gunung Tongteng San Barat, di telaga Thayouw. Dari kota Souwtjioe ke gunung itu, perjalanan hanya sehari satu malam. Demikian ia membuat persiapannya dan bekerja.

Tentang lukisan yang menunjukkan Koaywa Lim adalah tempat harta, itulah sebagian hanya akal belaka. Di sini cuma dititipkan anak kunci emas itu, yang dilindungi panah api beracun.

Setelah selesai segala apa, gambar lukisan itu diserahkan kepada "raja yang muda," yaitu putera Thio Soe Seng serta boesoe-nya, pahlawan kepercayaan, yang setia, ialah leluhurnya Tjio Eng. Pada putera dan pahlawan itu, telah diberitahukan bahwa di dalam liang diatur panah beracun itu serta caranya untuk membongkar pekgiok pay, supaya orang luput dari ancaman anak panah. Perihal anak kunci emas dan tempat yang benar di mana harta terpendam, serta lain rahasia itu, bukan cuma si putera malah si pahlawan juga tidak mengetahuinya suatu apa. Itu artinya selanjutnya si putera atau siapa pun,harus berikhtiar dan mencarinya sendiri.

Sewajarnya saja, Thio Tan Hong telah berlaku cerdik. Setelah dia dapatkan anak kunci emas itu, dia tutup dan uruk pula liang itu sebagaimana adanya, kecuali tanah bekas bongkaran sebelah atas, yang tak dapat dia tutup rapi sebagaimana asalnya. Habis itu,sebelumnya rombongan Kwee Hong tiba, dia sudah angkat kaki dari Koaywa Lim.

Untuk dapat pergi ke Say Tongteng San, Tan Hong menitipkan dahulu kuda putihnya kepada satu sahabatnya, lalu dengan sebuah perahu kecil dan enteng, yang telah disiapkan sejak siang-siang oleh sahabatnya, dia berangkat memasuki telaga Thayouw.

Tempat permulaan berangkat adalah di jembatan Banlian Kio di kota Souwtjioe itu. Ia berangkat tengah malam, maka dengan lekas ia telah keluar dari Siekauw, hingga ia sudah lantas berada di permukaan telaga yang luas dan di lingkungi bukit.

Tentu saja, dalam keadaan seperti itu, tidak ada kegembiraan Tan Hong akan menyaksikan keindahan alam di telaga itu, hanya sambil mengayuh, ia keluarkan anak kunci emas itu dan dibulak-balikkan untuk diperiksa.

"Huruf-huruf yang terdapat pada anak kunci ini berbunyi: dengan punyakan anak kunci ini, harta simpanan akan dapat dicari," demikian ia berpikir, "akan tetapi, bagaimana aku harus mencarinya? Gunung Say Tongteng San besarnya seratus kali lipat daripada Koaywa Lim, tidakkah aku bagaikan mencari sepotong jarum di laut yang besar? Tentang hartanya sendiri, itu adalah satu soal lain, tidak demikian dengan peta buminya — peta bumi itu berhubungan dengan nasib negara!"

Tan Hong memandang ke muka air di sekitarnya. Air, melulu air! Pemandangan tenang tetapi indah, terbuka juga hati Tan Hong. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. "Dengan perahu di tengah gelombang, tenanglah hati," pikir dia. Di tempat permai ini,di saat begini tenteram, perlu apakah aku berduka tidak keruan? Tidakkah aku tolol?"
Ia lantas simpan anak kunci itu, lalu mengayuh pula. Oleh karena perahu itu kecil dan enteng, dia dapat bergerak dengan laju, seperti dibantu oleh layar.

Telaga Thayouw mempunyai tujuh puluh dua puncak, di atas itu meganya indah, puas hati memandangnya. Sekarang Tan Hong telah membuktikan benarnya perkataan bahwa Thayouw ini, dengan keindahannya itu, dapat menangkan Tong Gouw.

Belum lama ia mengayun perahunya, atau lantas tampak puncak Say Tongteng San.Memang gunung itu tidak dapat menandingi Ngogak, ke lima gunung ternama dari Tionggoan, akan tetapi karena letaknya di antara telaga, gunung ini mempunyai keistimewaan sendiri, tebingnya curam, banyak batu yang aneh-aneh rupanya, yang menerbitkan berbagai kesan.

Begitu lekas ia tiba di kaki bukit, Tan Hong segera mendarat. Ia tampak di kaki bukit,sawah berjejer, sedang di atas gunung, banyak macam pohon-pohonan, yang rapat tumbuhnya, ada buahnya, ada bunganya, yang menyiarkan bau harum.

"Sungguh tenang dan nyaman jikalau di sini orang mendirikan gubuk untuk bertinggal," Tan Hong melamun.

Setelah mencari jalan, Tan Hong mulai mendaki bukit. Ia berjalan sambil berpikir, ke arah mana ia mesti cari tempat rahasia harta itu, tiba-tiba ia lihat dua bocah tukang angon kerbau tengah mendatangi ke arahnya bersama dua ekor binatang angonnya. Dua bocah itu sudah lantas mengawasi anak muda ini, sinar mata mereka menunjukkan keheranan atau bercuriga.

Tan Hong segera menghampiri mereka untuk mengajak mereka bicara.

"Kedua engko kecil, aku numpang tanya," dia kata. "Aku datang kemari untuk pesiar.Untuk naik ke atas gunung, adakah di sini jalan yang baik?"

Kedua bocah itu saling memandang.

"Aku tidak tahu!" sahut satu di antaranya, suaranya keras.

"Heran," pikir Tan Hong, "kenapa kedua bocah ini begini tidak tahu adat, mereka beda jauh daripada penduduk Tamtay Tjoen?"

Selagi Tan Hong berpikir demikian, ia heran mendapatkan kedua bocah angon itu tiba-tiba berselisih mulut, sama-sama mereka mementang mulut lebar. Yang di belakang berkata bocah yang di depan sengaja menginjak lumpur hingga lumpur sawah muncrat mengenai pakaiannya, yang di depan bilang, kawannya itu sengaja membikin kerbaunya
menendangi batu hingga ada batu yang terbang ke batok kepalanya.

"Lucu," pikir pemuda ini, yang berniat memisahkan mereka itu.

Dari berselisih mulut, kedua bocah itu sudah lantas saja berkelahi. Tidak cuma demikian, mereka juga menganjurkan kerbau mereka masing-masing untuk turut berkelahi juga. Hingga sebentar saja, keadaan menjadi kacau.

Celaka untuk Tan Hong, selagi jalanan sempit, kedua kerbau itu saling seruduk dan saling uber, ke arahnya. Ia sampai menjerit ketika ia hampir kena diterjang, terpaksa ia pentang kedua tangannya, dengan gerakan "Yama hoentjong," atau "Kuda hutan membuka suri," ia tolak kedua kerbau itu ke kiri dan kanan. Ia dapat lindungi dirinya, kedua kerbau itu ngusruk dan rubuh.

Saking kaget, kedua bocah itu menjerit keras.
Kalau mau, Tan Hong dapat melukai kedua kerbau itu, tapi ia telah menggunakan hanya tiga bagian dari tenaganya, maka itu, ia menjadi heran, ia menjadi kaget mendengar jeritan kedua bocah itu.

"Adakah aku memakai tenaga terlalu besar hingga kedua bocah itu turut terluka?" ia tanya dirinya. Lantas ia awasi kedua ekor kerbau. Kembali ia menjadi terkejut. Kedua kerbau itu tengah berlarian, kedua bocah angonnya tidak nampak.

"Ah, ke mana mereka pergi?" pikir Tan Hong. Pada saat ia hendak mencari, dari sebuah tikungan tampak dua orang tani baharu saja muncul, hanya, untuk herannya, ia dengar mereka itu segera berseru: "Setan, hari terang benderang, dari mana datangnya penjahat ini?....."

"Kedua engko, dengar dulu," kata Tan Hong dengan cepat. Ia menyangka pasti bahwa orang telah mencurigai padanya. "Aku bukannya orang jahat.....”

"Kau bukannya orang jahat?" bentak salah satu petani itu sebelum orang berhenti bicara. "Kenapa kau lukai kerbau kami dan menculik juga kedua anak kami?"

Tan Hong heran.

"Aku menculik anakmu?" dia tegaskan. "Mereka..... mereka....."

Dua petani itu tertawa dingin.

"Mereka..... mereka kenapakah?" katanya mengejek. "Kenapa mereka itu lenyap? Jikalau bukannya kau yang menyembunyikan mereka, pasti kau telah menyerahkan mereka kepada koncohmu, untuk segera dibawa pergi, buat dijual!" Mau atau tidak, Tan Hong tertawa. "Mana bisa terjadi demikian?" ia kata. "Coba periksa dahulu kerbaumu, binatang itu terluka atau tidak, habis itu baharu kamu pergi cari kedua bocah itu!"

Kedua petani itu menjadi murka, tanpa banyak omong lagi, mereka angkat pacul mereka masing-masing, dengan itu mereka menyerang!

Tan Hong terkejut, apapula ketika ia saksikan kesebatan orang. Walaupun dia bertenaga besar, orang tani biasa tidak nanti demikian sebatnya.

Terpaksa Tan Hong berkelit dengan gerakan "Poanliong djiauwpou," atau "Naga melilit." Tapi ia tidak cuma berkelit. Berbareng dengan itu ia pun mengangkat kedua tangannya, akan menyambuti pacul orang itu, untuk disamber dan dirampas.

"Tolong! Tolong!" teriak kedua petani itu. "Tolong, ada rampok! Ada rampok bunuh orang!"

Tan Hong mendongkol berbareng geli dalam hatinya.

"Jikalau aku berniat membunuh kamu, siang-siang jiwamu sudah akan melayang!" ia kata pada mereka itu. "Tidak nanti aku biarkan kamu membuat keributan!"

Segera ia ayunkan kedua tangannya, akan melemparkan kedua pacul orang.

Pada waktu itu pula, muncul lagi delapan orang, yang datang dari mana kedua orang tani tadi keluar, mereka juga membawa pacul, dan tanpa banyak omong lagi, mereka maju mengeroyok Tan Hong, dari depan dan belakang, dari kiri dan kanan.

Mau atau tidak, Tan Hong jadi mendongkol.

"Tidak keruan-keruan aku mesti berkelahi, sungguh naas," pikirnya. Ia lompat berkelit,ia memikir untuk meloloskan diri, meninggalkan mereka itu, atau mendadak ia jadi heran. Ia telah dikurung ke delapan orang itu, ke mana saja ia noblos, di situ ada petani yang menghalang dan pacul yang melayang ke mukanya.

"Inilah cara berkelahi yang terlatih," pikirnya kemudian. Karena ini, ia jadi bersungguh-sungguh, ia tunjukkan kehebatannya. Ia lantas peroleh hasil, tak lama berselang, ia dapat membuat orang kewalahan, hingga mereka itu main mundur, hanya pada saat itu, belum dapat ia mengalahkan mereka itu, kecuali apabila ia menggunakan kekerasan. Latihan mereka itu sempurna, masih dapat mereka mengurung, tidak mau mereka mengalah.

Akhir-akhirnya Tan Hong bertindak juga, sambil berseru, ia desak mereka, hingga mereka mundur satu tombak lebih.

"Jikalau kamu masih tidak hendak berhenti, jangan salahkan aku, aku tidak akan berbuat sungkan-sungkan lagi!" ia mengancam. Tapi ia tertawa.

"Apa artinya tidak sungkan-sungkan?" tanya satu petani, yang rupanya menjadi pemimpin. "Bangsat anjing, apakah kau kira kami takut?"

Tan Hong jadi mendelu juga. "Baik aku gunakan pedangku, untuk membuat pacul kalian kutung, hendak aku lihat, kamu jeri atau tidak.....” pikir dia. Lantas dia lindungi diri dengan tangan kiri, tangan kanannya dipakai merabah pedangnya.

Justeru itu, dari atas gunung, terdengar suara pertanyaan: "Hai, kenapa kamu berkelahi?"

Tan Hong mendongak, akan melihat ke atas, hingga ia tampak satu orang dengan kumis jenggot panjang, jidatnya lebar, hidungnya besar, dan dandannya seperti anak sekolah akan tetapi romannya seperti seorang yang mengerti silat.

"Penjahat ini melukai kerbau dan menculik anak kami!" sahut petani yang menjadi kepala itu.
"Kerbau kita tidak terluka," kata orang itu,yang terus memanggil-manggil: "A Tjiauw! A Seng!"

Tan Hong melirik kepada kedua ekor kerbau. Sekarang ia lihat, kedua binatang itu tidak lagi saling kejar, hanya berhenti berlari dan berdiri diam, dan dari bawah perutnya muncul kedua bocah angon tadi, keduanya sambil tertawa berkakakan! Terhadap Tan Hong,mereka pun mengejek secara Jenaka, hingga pemuda ini tersenyum.

"Aku juga heran kenapa kedua kerbau itu berputaran tak hentinya, kiranya mereka ini yang main gila," katanya di dalam hati. "Kepandaian mereka menungang kerbau nyata terlebih liehay daripada orang Mongolia menunggang kuda. Mereka muncul secara tiba-tiba, mereka berbuat itu dengan sengaja atau bukan? Baiklah aku berlaku waspada."

Orang di atas gunung itu, yang usianya telah lanjut, terdengar pula berkata: "Orang-orang tani desa biadab dan tidak tahu aturan, ini pun salah pengertian, maka itu akuharap kau tidak berkecil hati tuan. Eh, kenapa kamu tidak lekas-lekas menghaturkan maaf kepada tuan itu? Lekas! Setelah itu kamu lekas pergi meluku!"

Ke delapan petani itu, berikut kedua bocah, yang telah berkumpul menjadi satu, lantas menghadap Tan Hong, untuk memberi hormat. Sesudah mana, mereka semua ngeloyor pergi, hingga di situ Tan Hong berada seorang diri saja.

"Apakah siangkong datang untuk pesiar?" tanya si orang tua kemudian.
"Benar," sahut Tan Hong, singkat.
"Tujuh puluh dua puncak tak mudah habis dipandang, sawah yang luas juga dapat menghilangkan duka, maka kalau siangkong datang untuk pesiar, kau mesti berdiam di sini sedikitnya beberapa hari," berkata pula si orang tua.

Tan Hong lihat orang berlaku sopan, ia pun bersikap hormat.

"Aku ingin bertanya mengenai she dan nama iootiang," ia mohon.
"Tak usah kau tanyakan namaku, cukup kau memanggilnya aku iootiang," sahut orang tua itu. "Aku juga, cukup memanggil kau siangkong. Tidakkah ini sederhana?"

Tan Hong setuju dengan sifatnya orang tua itu. "Benar," ia jawab.

"Aku si orang tua tinggal di atas gunung ini," kata pula orang tua itu. "Beberapa sahabatku menamakan tempat kediamanku ini Tongteng San tjhoeng. Siangkong akan berpesiar beberapa hari di sini, apabila siangkong tidak berkeberatan, baiklah siangkong beri ketika bagiku untuk aku jadi si tuan rumah. Bagaimana siangkong pikir?"

"Kau baik sekali, iootiang, terima kasih," sahut Tan Hong. "Aku kuatir aku nanti mengganggu padamu.....”

Orang tua itu tertawa lebar. "Sama sekah tidak, siangkong1." ia kata. "Siangkong berpesiar, setelah lelah,kau datang ke gubukku, untuk beristirahat, jikalau ada jodoh, kita berkumpul, kalau tidak, sudah saja. Tidak ada gangguan bagiku.....”

Tan Hong girang, ia hampirkan orang tua itu, untuk memberi hormat, yang mana dibalas si orang tua. Ia merasa puas dengan perkenalan ini. Ia memang berniat mencari seseorang yang mungkin bantuannya bisa diharapkan untuk mencari tempat menyimpan harta, sekarang ada si orang tua, inilah kebetulan.

Si orang tua menunjuk kelereng gunung, ia berkata: "Di sana tidak ada apa-apa, akan tetapi sedikit sayur dan ikan tersedia juga. Kalau siangkong hendak pesiar, silahkan.

Sebentar malam siangkong mampir padaku, akan aku sediakan ikan segar dan arak putih untuk teman kita pasang omong."

"Terima kasih," Tan Hong mengucap, tangannya dirangkapkan. Di dalam hatinya, ia berpikir pula: "Kalau orang tua ini tidak menyembunyikan sesuatu maksud, ia mestinya seorang kangouw yang luar biasa, maka berhubung dengan kedatanganku ini, andaikata aku tidak berhasil mencari harta, senang aku dapat bersahabat dengan dia. Rombongan
petani itu juga bukan sembarang orang, ada baiknya juga untuk berkenalan dengan mereka.....”

Sampai di situ, mereka berpisahan, Tan Hong pun mendaki terus, untuk berpesiar katanya, sedang sebenarnya ia memasang mata, mencari sesuatu.

Selama berdiam di atas gunung, terus sampai lohor, dengan matanya yang awas, Tan Hong merasa bahwa kadang-kadang ada seorang petani, atau penduduk gunung itu, yang sedang mengambil kayu atau memetik buah hutan, memasang mata kepadanya. Ia heran,ia jadi bercuriga. Tapi ia tidak jeri. Ia tetap perhatikan tempat yang ia kunjungi, ia ingat baik-baik. Kemudian, ketika matahari sudah mulai turun, ia menetapi janji terhadap si orang tua, ia bertindak ke lamping gunung, ia pergi ke apa yang si orang tua sebutkan kampung Tongteng San tjhoeng.
Justeru waktu itu, pintu pekarangan telah dibuka dengan perlahan-lahan, yang membukakan nya adalah satu nona, yang kedua matanya bersinar dan kulit mukanya halus seperti nona Kanglam atau nona Utara yang manis.....

"Heran," pikir Tan Hong. "Kecantikan In Loei ada bagaikan bunga tjielan, kecantikan nona ini ada seumpama bunga mawar atau hoeyong. Kalau mereka berdua direndengkan,sungguh sulit untuk memilihnya....."

Tan Hong baharu hendak membuka mulut, atau si nona telah mendahului. Lebih dahulu nona itu tertawa manis.

"Siangkong, adakah kau siangkong yang datang berpesiar di gunung ini?" demikian dia menanya. "Ayah telah berbicara tentangmu kepadaku. Silahkan masuk!"

Tan Hong mengucap terima kasih, terus ia ikuti nona itu masuk ke dalam pekarangan dimana tertanam pohon rotan, rupa-rupa pohon bunga, paseban dan empang. Itu adalah sebuah taman yang menarik yang tak kalah dengan Koaywa Lim, hanya kalah besar.

Taman ini pun nyaman.

Si orang tua, atau tuan rurnah, tampak tengah berdiri di depan paseban di mana telah tersedia arak, melihat tetamunya, ia menyambut dangan manis.

"Bagaimana keindahan telaga dan gunung di sini?" ia menanya.
"Telaga Thayouw ini jauh lebih indah daripada Tonggouw," jawab Tan Hong. "Airnya,gunungnya, bagaikan lukisan saja. Hal ini pun telah dibenarkan oleh orang-orang jaman dahulu. Boanseng kagum sekali."

Orang tua itu tertawa. "Hanya sayang," katanya, "ada orang-orang yang memandang telaga dan gunung ini hingga mereka melupakan nama besar dan kedudukan tinggi, sampai di otak mereka hanya terdapat kuningan yang busuk saja. Tidakkah itu lucu dan mereka harus dikasihani?"

Mendengar itu, berdenyut hati Tan Hong.

"Mungkinkah dia ketahui bahwa aku datang kemari untuk mencari harta terpendam itu!" ia tanya dirinya sendiri. Tapi segera ia tertawakan dirinya, yang ia katakan banyak kecurigaannya. Tapi ia masih berpikir lebih jauh: "Leluhurku menyimpan harta, itulah satu rahasia. Aku juga ketahui harta disimpan di sini sesudah aku dapatkan anak kunci emas. Maka, cara bagaimana orang tua ini mengetahuinya? Perkataannya barusan mungkin kebetulan saja.....”

Tuan rumah silahkan tetamunya duduk, ia mengundang minum, lantas mereka pasang omong terlebih jauh, mengenai pemandangan alam dari telaga dan gunung, dari hal ilmu surat dan seni lukis. Nyata mereka cocok satu dengan lain. Cuma sampai sebegitu jauh,mereka pantang menanyakan asal-usul mereka masing-masing.

Setelah tenggak beberapa cangkir arak, orang tua itu kelihatan sudah pusing.

"Siangkong, aku sudah pusing, aku ingin tidur," berkata dia. "Pemandangan Thayouw di waktu malam indah sekali, jikalau siangkong ingin menyaksikan, silahkanlah. Tempatku ini ada pintunya yang senantiasa terbuka. Siangkong boleh minta ditemani anakku atau dapat juga pergi seorang diri. Kalau pulang, tidak usah siangkong mengetok pintu, asal
ditolak, pintu akan terbuka."

"Baik sekali orang tua ini," pikir Tan Hong. "Ia seolah-olah mengetahui isi hatiku.

Memang Thayouw mestinya indah di bawah cahaya Puteri Malam."
Ia lantas menghaturkan terima kasih. Orang tua itu pun lantas mengundurkan diri. Si nona tertawa manis, ia menanya: "Adakah ini yang pertama kali siangkong pesiar kesini?"
"Ya," sahut Tan Hong. "
"Siangkong kata, siangkong datang dari Utara, aku lihat kau seperti orang Kanglam," kata pula si nona, sambil tertawa. "Eh, ya, aku seperti pernah lihat siangkong, entah di mana, aku seperti kenal kau.....” '
"Kau omong main-main, nona!" Tan Hong pun tertawa. "Sebenarnya ingin aku lebih siang mengenal kau,maka sayang, baharu sekarang ada ketika bagiku datang kemari untuk menyaksikan keindahan telaga dan gunung di sini." Nona itu tertawa, ia tidak bilang suatu apa.

"Silakan siangkong ambil tempat di sini," kata dia. "Tempat kami buruk, harap siangkong tidak mencelanya."

Tan Hong sebaliknya melihat sebuah kamar yang bersih yang berada di tengah-tengah empang teratai, yang bunganya sedang mekar, warnanya merah dadu, hingga indah dipandangnya, semerbak harumnya.

Sambil tertawa, nona itu mengundurkan diri, akan tetapi masih terdengar suaranya yang halus: "Benar-benar, kalau melihat orang dari romannya, dia akan keliru mengenal Tjoe Ie. Menghadapi pemandangan bukit dan telaga ini, orang bicara dari hal manusia,sekalipun dibanding dengan kaisar, berapakah harga satu kati dari kaisar itu?"

Tan Hong lantas berpikir: "Benar-benar, ada ayahnya, ada puterinya! Nona ini sangat sederhana dan polos.....”

Lantas ia ingat In Loei, karena mana, bayangan si nona seperti tertindih. Ia mengawasi bunga teratai, ia ingat akan pengalamannya hari ini. Ia merasa aneh, ia merasa melayang, hingga tak ada keinginannya untuk tidur. Tanpa merasa, tak tahu ia berapa lama ia berdiam di dalam kamar itu, Tan Hong tiba-tiba melihat sinar rembulan memasuki jendela, ia pun dengar suara halus dari gelombang telaga itu. Ia lantas kerebongi dirinya dengan baju luarnya, ia tolak daun pintu belakang,untuk pergi keluar kamar, untuk mendaki bukit. Dari sebelah atas, sangat menarik memandang telaga yang indah itu, yang disinari cahaya Puteri Malam. Gunung Tongteng San Barat nyata berdiri agung di tengah-tengah telaga, yang luasnya delapan ratus lie.

Tak dapat dilukiskan kepermaian alam itu.

Selagi kesengsem dengan pemandangan itu, tiba-tiba Tan Hong dengar nyanyian si nona:
"Mega abu-abu menggulung, maka bersihlah langit keperak-perakan,Angin yang halus datang meniup gelombang sang rembulan,Pasir diam, air berhenti, lenyap juga suara dan bayangan. Dengan secawan aku menghaturkan, aku bernyanyi untuk tuan,Bagaikan air jernih cukup untuk mencuci bersih kekotoran. Dalam hidupnya untuk apa manusia menyatakan penyesalan.Emas, perak dan mutiara, semua merupakan benda penghalang, Semua itu harus dihabiskan di antara gelombang! Aku nasihati tuan-tuan Ada arak,minumlah hingga mabuk sendirian, Ada arak tak diminnm, sayanglah sang rembulan."
Merdu nyanyian itu, terbawa angin menjelajah telaga Thayouw.....

Thio Tan Hong termenung lalu ia berpikir. "Nona ini menyanyikan syair dari jaman Tong. Bukankah dengan itu ia tengah menasehati aku untuk jangan bercapai hati dan tenaga mencari harta simpanan itu? Ah, mana dia tahu cita-citaku! Aku tak berminat menguasai harta besar itu! Mana sudi aku segala benda busuk itu?"

Lalu timbul keinginannya untuk membalas si nona. Maka ia menyambutnya:"Tuan, berhentilah bernyanyi, dan kau dengar nyanyianku Puncak ini mendadak menjulang, menunjang "langit perak".
Di dalam dunia ini juga ada laki-laki sejati,
Berdiri dengan tegak dan gagah, dengan pedang dilintangkan!
Gelar kebangsawanan dan permata, semua itulah kotoran,
Cita-citanya ialah satu kali menggulung pemerintahan!"

Begitu lekas suara Tan Hong lenyap maka di sana, di antara batu-batu berdiri bagaikan ujung rebung, si nona, wajahnya tersungging senyuman. Dia memandang kepada si anak muda, tangannya dilambai-lambaikan dengan perlahan.

Tanpa merasa, anak muda ini bertindak menghampiri.

"Apakah benar kau hendak kukuhi cita-citamu?" tanya si nona tiba-tiba.
"Tak tahu aku, cita-cita apakah yang nona maksudkan," jawab Tan Hong. "Akan tetapi,
kalau satu laki-laki melakukan sesuatu, mana dapat dia gampang-gampang merubahnya?"
Wajah si nona berubah.
"Kau datang kemari dengan pikiran untuk mencuri harta!" dia kata sambil tertawa dingin. "Itulah kau jangan harap!"

Dengan sekonyong-konyong nona itu menghunus sebatang pedang pendek, yang sinarnya hijau berkelebat, dengan apa ia menikam dada si anak muda di depannya.

Tan Hong kaget, akan tetapi ia dapat berkelit.

"Nona, kau siapa?" ia tanya.
Nona itu tidak menyahuti, sebaliknya, dengan kegesitannya, ia menikam pula berulang kali.

Tan Hong tidak melakukan perlawanan, ia hanya berkelit, karenanya ia jadi terdesak sampai di tempat di mana terdapat banyak batu. "Nona, tunggu,....tunggu!" ia berkata, berulang-ulang. "Dengarkan dahulu.....” Ia belum menutup mulutnya, juga si nona belum menjawab dia, atau mendadak dari antara sela-sela batu yang banyak itu, muncul beberapa orang, di antara siapa terdapat si tuan rumah, yang usianya sudah lanjut dan tangannya menyekal sebatang tempuling,ketika dia lompat ke atas sebuah batu, dia langsung menikam ke arah uluhati si pemuda.

Hebat sambaran tempuling itu, maka tahulah Tan Hong bahwa orang tua itu liehay ilmu silatnya. Suara sambaran itu membuktikan orang terlatih baik.

"Lootiang, kau kenapa?" Tan Hong masih menanya. "Kenapakah sikap kau ini?"
"Hrn! Apakah benar kau sendiri masih belum mengerti?" jawab tuan rumah itu.
"Mulanya aku sangka kau seorang terhormat, kiranya kau ada satu manusia jahat yang dipengaruhi harta!"

Sementara itu Tan Hong kenali beberapa orang di antaranya adalah petani-petani yang tadi siang ia lihat.

"Memang telah kami lihat, kau bukannya orang baik-baik!" berkata beberapa orang itu.
"Lihat! Lihat pedang! Lihat tombak cagak!" Memang benar, senjata mereka itu banyak macamnya, ada pacul juga.

Tan Hong gentar juga karena orang segera mengepung dia, lebih-lebih tempuling si orang tua dan pedang pendek si nona. Ia tidak diberi kesempatan untuk bicara. Tentu saja, tanpa perlawanan yang berarti, ia bisa terkurung terus di tempat itu, yang banyak batunya. Maka terpaksa ia hunus pedangnya dengan apa segera ia tabas kutung senjatanya dua petani.

"Tahan!" ia berteriak, begitu lekas kedua orang itu mundur, mereka kaget sebab senjata mereka kena dibabat kutung.

Si orang tua tertawa berkakakan.

"Dengan terkurungnya kau di dalam barisan ini, percuma saja pedang mustikamu!" kata dia dengan wajar tetapi jumawa. Lantas dia maju pula, menikam dengan tempulingnya.

Tan Hong masih pandang orang tua ini, tidak mau ia mendesak, tidak ingin ia memapas senjata orang, ia hanya melawan yang lainnya. Akan tetapi, kalau yang satu mundur yang lain maju, atau mereka meluruk, atau mereka pun seperti menghilang di belakang batu.

Kali ini, mereka itu berlaku sangat licik, tidak sudi mereka membuat senjata mereka bentrok.

Setelah berkelahi sekian lama, Tan Hong lantas dapat perhatikan sikap orang. Berikut si orang tua dan si nona, ayah dan anak dara, lawan berjumlah delapan orang, dan kedudukan mereka pun di delapan penjuru, dan caranya mereka bertempur ialah tiap-tiap kali mereka mundur, akan berkelit di belakang batu, akan kemudian muncul lagi untuk melakukan serangan secara tiba-tiba.

"Coba aku arah satu orang," pikir anak muda itu."Ingin aku lihat, cara bagaimana kau sembunyikan dirimu.....”

Pikiran itu diwujudkan, Tan Hong desak satu petani, yang ia lihat kepandaiannya biasa saja. Petani itu berlari-lari di batu, lantas dia lenyap, sebagai gantinya, si nona dengan pedangnya dan satu petani lain dengan tumbaknya, menyerang dengan tiba-tiba dari kiri dan kanan dari mana mereka itu muncul secara mendadak. Ketika ia desak si nona, nona itu pun mundur menghilang, lalu si orang tua muncul sebagai gantinya, dan orang tua itu menyerang dengan hebat.

"Bagaimana harus aku layani mereka ?" pikir Tan Hong sambil terus melawan musuh-musuhnya.

Dari delapan lawan itu, kecuali si nona dan ayahnya, yang enam berkepandaian cukup untuk masuk dalam dunia kangouw, cuma di mata Tan Hong, mereka adalah orang-orang biasa saja, hanya yang aneh adalah caranya mereka berkelahi, main mundur dan menghilang, untuk dengan tiba-tiba muncul pula, menyerang separuh membokong.

Pertempuran luar biasa ini berlangsung sekian lama, tetap Tan Hong tidak bisa desak terus satu musuh, tidak mampu lagi ia menabas kutung senjata orang. Di lain pihak, tetap ia terkurung, tiap-tiap kali ia diserang. Lama kelamaan ia jadi kewalahan juga. Syukur untuknya, ia mempunyai pedang yang tajam luar biasa itu, yang ditakuti musuh, hingga
musuh tak dapat mendesak ia habis-habisan.

Lama juga Tan Hong berpikir, sampai tiba-tiba ia seperti tersadar. Tidakkah kurungan itu mirip dengan kurungan barisan istimewa Pat Tin Touw, atau "Delapan Barisan." dari Khong Beng? Ingat ini, ia lantas perhatikan lebih sungguh-sungguh, ia perhatikan letaknya berbagai batu. Ia lantas dapat lihat "delapan pintu" ialah "hioe" = berhenti, "seng" =
hidup, "siang" = luka, "touw" = tutup, "soe"=mati, "keng" = pemandangan, dan "kheng" = kaget. Ia tidak sangka bahwa ia akan menemui Pat Tin Touw di Say Tongteng San di Thayouw ini, sedang panglima-panglima perang, dahulu dan sekarang, hanya beberapa orang yang berhasil melihat itu.

Memperhatikan lagi sesaat, Tan Hong tahu pintu "seng" =hidup dijaga oleh si nona yang bersenjatakan pedang pendek itu. Ia lantas saja berpikir bagaimana caranya memukul pecah tin itu, untuk membebaskan dirinya. Lalu, dengan tidak bersangsi sedikit juga, ia lompat mencelat. Dari pintu soe ia lompat ke pintu kheng, dari sini ia melejit ke
pintu siang, terus memutar ke pintu touw, akan lebih jauh melesat ke pintu seng1.

Dengan cara penyerangan itu, barisan Pat Tin Touw itu lantas menjadi gempar,keadaan menjadi kacau, hingga si nona menjadi kaget sekali. Karena Tan Hong mendesak ia, berulangkah ia main berkelit saja.

Sebenarnya tidak sampai hati anak muda ini, akan tetapi ia ingin nerobos keluar, ia ingin, maka terpaksa ia mendesak terus, ujung pedangnya senantiasa bergerak-gerak di bebokong si nona. Dengan cara ini ia hendak paksa si nona keluar dari pintu "hidup" (seng) itu, untuk memimpin atau mengantarkan ia keluar.

Segera orang sampai di pintu keluar, si nona mendadak menjerit dengan tajam,agaknya ia sangat ketakutan.

Tan Hong melengak, ia menyangka, karena kurang hati-hati, ia telah melukai si nona.

Karena ini, terhentilah serangannya. Tapi justeru itu, bagaikan "bumi terbalik, langit berputar, terdengarlah satu suara nyaring, di muka bumi itu terbukalah suatu lobang besar, dan sebelum tahu apa-apa, tubuhnya sudah terjeblos ke dalam lobang itu! Nyatalah, tempat di mana barusan Tan Hong berhenti, adalah lobang jebakan. Atas tanah itu ada urukan pasir. Dalam keadaan biasa, karena liehaynya ilmu enteng tubuhnya,sebenarnya dapat Tan Hong lompat untuk menyelamatkan diri, akan tetapi jeritan si nona membuatnya ia tercengang, hingga ia merandak, dari itu, tak keburulah ia mencelat lagi.

Walaupun ia telah terjeblos, Tan Hong tidak lantas jatuh. Ia masih dapat kesempatan untuk lompat jumpalitan, maka ketika kakinya menginjak dasar lobang, ia jalan dengan perlahan. Ia hanya berada dalam gelap gulita, hingga sekalipun ke lima jari tangan di depan matanya, tidak dapat ia lihat.

Dalam sekejap ia kaget, lantas ia dapat kuasai pula dirinya. Yang paling dulu ia lakukan ialah merogo ke dalam sakunya, untuk mengeluarkan serenceng mutiara yabeng tjoe-nya,yang ia cantelkan diujung pedangnya, maka, cahaya mutiara itu, yang bentrok dengan cahaya pedang, segera menerbitkan sinar terang, hingga sekarang ia dapat melihat dengan nyata.

Lobang itu dalam sekali, kelihatannya sukar bagi orang merayap naik ke atas untuk keluar dari situ. Dasarnya juga tidak rata, dan tanahnya demak, bau demak itu tidak sedap. Untung bagi Tan Hong, lobang itu tidak buntu, ada lobang lainnya yang merupakan terowongan atau lorong. Karena mempunyai api istimewa itu, ia lalu bertindak mengikuti terowongan itu yang jalannya tidak rata, demak semua. Ketika ia tiba pada akhir terowongan, ia berhadapan dengan tembok batu. Jadi sampai di situ habislah terowongan itu.

Tanpa merasa, anak muda ini menghela napas.

"Tidak kusangka bahwa di sinilah tempat ajalku," katanya dengan perlahan. "Secara begini, aku akan menemui kematianku secara kecewa.....”

Tapi ia bukan seorang yang mudah putus asa. Selagi hilang harapan itu, timbul kemurkaannya. Sekonyong-konyong ia ayunkan kepalannya ke arah tembok.

"Duk!" begitulah terdengar suara keras. Tiba-tiba, tembok itu tampak bergerak sedikit.
"Hai!" berseru anak muda ini, yang timbul pula harapannya. Ia lantas saja bekerja.

Tidak lagi ia gunakan kepalannya, hanya ujung pedangnya untuk mengorek-ngorek dan menggurat-gurat. Harapannya makin besar ketika ia dapat kenyataan tembok itu gempur sedikit-sedikit, gempurannya meluruk jatuh.

Nyatalah batu itu ditambal, dengan gempurnya tambalan itu, batunya pun nampak bergerak sedikit. Melihat itu, Tan Hong menjadi dapat harapan. Segera ia pasang kuda-kudanya, menghadapi batu itu, setelah mengerahkan tenaganya, ia menolak dengan keras kepada batu itu. Dan..... terdengarlah satu suara keras dan nyaring batu itu rubuh ke lain arah, yang meninggalkan sebuah liang yang hanya muat tubuh satu orang! Tanpa bersangsi, Tan Hong memasuki liang itu, hingga sejenak saja ia telah berada di lain sebelah. Yang hebat adalah kedua matanya lantas menjadi silau. Ia meramkan matanya, ia buka lagi dengan perlahan, untuk meneliti cahaya yang membuat matanya itu silau. Apabila ia sudah melihat tegas, ia menjadi girang bukan kepalang.

Di sana terdapat sebuah terowongan, cahaya itu datangnya dari terowongan itu.

Ia lantas bertindak ke dalam terowongan itu, yang lebih pendek, dari yang semula tadi,maka itu, sebentar kemudian, sampailah ia di tempat yang buntu. Di situ terdapat sebuah pintu batu, bukan batu biasa, tetapi seluruhnya pekgiok, batu kumala warna putih. Batunya sendiri tidak aneh, yang aneh adalah besarnya. Maka dapatlah dimengerti jikalau kumala putih itu berharga besar bukan main.

Sekarang Tan Hong simpan yabeng tjoe-nya, ia rabah pintu kumala itu, yang licin. Ia merabah-rabah ke sekitarnya sampai jari tangannya menyentuh suatu liang kecil. Ketika ia awasi, ia dapat kenyataan liang itu adalah liang kunci. Kembali ia dapat harapan.

Tan Hong keluarkan anak kuncinya, ia masukkan itu ke dalam liang kunci itu, apabila ia memutarnya, pintu kumala itu terbuka. Dengan girang ia masuk ke pintu itu, hingga ia berada di lain ruangan. Sambil melewati pintu, tangannya mendorong ke belakang daun pintu, atas mana, pintu itu tertutup pula.

Sambil menyimpan anak kuncinya, Tan Hong pentang kedua matanya. Di hadapannya sekarang nampak sinar terang, yang bercahaya berkilauan, itulah sinar dari emas dan perak serta barang permata lainnya. Sekejap itu, ia dapatkan suatu perasaan. Bukankah ia tengah menghadapi suatu harta besar? Tan Hong gunakan tangannya, akan mengangkat berbagai permata itu, sampai di bawahnya ia dapatkan sebuah kotak kumala. Kotak itu tidak dikunci, hingga mudah dapat dibuka. Isinya adalah sehelai peta bumi yang lebar. Ia lantas beber peta itu, ia memandangnya dengan menggunakan sinar pelbagai barang permata itu.
Peta itu melukiskan dengan jelas setiap tempat, ada gunungnya, ada kalinya. Untuk tempat-tempat yang harus dibelai, atau diserang, ada petunjuk-petunjuk yang berupa catatan. Melihat jamannya, sangat lengkap peta itu.

Tan Hong tahu, itulah peta yang dicari-cari. Itulah peta Pheng Hoosiang, yang dibuatnya tentu dengan susah payah dan memakan waktu, untuk Thio Soe Seng memperebutkan negara dengan Tjoe Goan Tjiang.

Mengawasi peta itu, dengan sendirinya Tan Hong mengucurkan air mata.

Selagi mengawasi kotak kumala, di atas itu Tan Hong lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
"Bila peta ini muncul, maka bangkitlah pula Kerajaan Tjioe yang besar."

Tan Hong duga bahwa leluhurnya, yaitu Thio Soe Seng, percaya turunannya akan dapat menemui harta dan peta itu, maka ditinggalkannya pesan itu supaya turunan itu nanti mengusahakan untuk mewujudkan cita-citanya merubuhkan kerajaan Beng, untuk membangun pula kerajaan Tjioe.

Sambil menghadapi kotak kumala itu, Tan Hong paykoei sampai delapan kali, sambil memberikan hormatnya itu, ia angkat kepalanya, mendongak, seraya mengucap: "Thio Tan Hong, turunan yang tidak berbakti, mohon maaf leluhurnya, bahwa mungkin sekali Tan Hong tak dapat mewujudkan pesan memusnakan kerajaan Beng guna menghidupkan pula kerajaan Tjioe.....”

Dengan mencari harta dan peta itu, Thio Tan Hong sudah mempunyai suatu maksud tertentu, yaitu peta dan harta itu hendak ia serahkan kepada Kokloo Ie Kiam, supaya Ie Kokloo menggunakannya untuk menangkis penyerbu, petanya untuk pembelaan dan penyerangan, dan uangnya guna membeayai angkatan perang dan membeli alat senjata dan rangsum.

Setelah meneliti peta itu, Tan Hong menggulungnya pula.

"Sekarang aku mesti pergi ke mulut gua, untuk perdengarkan suara nyaring, guna membeber cita-citaku, guna memperlihatkan kecintaanku terhadap negara, mungkin Tongteng Tjhoengtjoe dapat mendengarnya dan akan insaf pada cita-citaku itu. Semoga dia nanti menurunkan dadung untuk aku naik ke atas.....”

Begitu ia berpikir, begitu Tan Hong bertindak ke pintu kumala. Tadi ia telah menutup pula pintu itu, sekarang ia mesti membukanya kembali. Ia terkejut, ketika ia dapatkan pintu terkunci, hingga tak dapat ia membukanya. Ia mencoba dengan anak kuncinya,akan tetapi terbukti, itu bukanlah anak kunci yang tepat. Nyata pintu itu mempunyai dua
macam kunci, satu untuk di luar, dan yang lain untuk yang di dalam.

"Celaka!.....” ia mengeluh.

Kali ini benar-benar hebat. Pintu itu tidak dapat digempur seperti pintu batu tadi. Di situ cuma ada emas dan perak serta permata, tidak ada barang makanan, itu artinya bahaya lapar mengancam padanya. Di situ pun tidak ada air, hingga tenggorokannya akan lekas menjadi kering. Leher kering sama bahayanya dengan perut kosong.

"Kelihatannya pasti aku akan mati kelaparan dan berdahaga di sini.....” pikirnya pula kemudian.

Menghadapi ancaman maut adalah sangat hebat, maka itu, dalam putus asanya. Tan Hong berteriak-teriak di muka pintu, ia harap suaranya itu terdengar sampai di luar. Tapi ia pentang suara tanpa ada hasilnya, suara itu cuma terdengar oleh kupingnya sendiri,hingga ia merasa tuli.....

"Orang kata, seseorang dapat bertahan selama tujuh hari jikalau ia tidak dahar, tapi aku terlatih ilmu silat, mungkin aku dapat bertahan selama sepuluh hari," pikir ia kemudian, menghibur diri. "Selama sepuluh hari, aku mesti berpikir untuk mendayakan sesuatu.....”

Pikiran Tan Hong lantas saja melayang, ke-permusuhan antara kedua keluarga Thio dan Tjoe, yang berjalan turun temurun, atau di lain saat ia ingat In Loei, wajah siapa segera terbayang dihadapan matanya. Ia lihat tegas nona itu cantik dan manis tapi berbareng dengan itu pun bengis, bagaikan tengah murka.....

"Oh, adik kecil, sukar bagi kita bertemu pula.....”

Tan Hong mengeluh.

Tan Hong tahu, sudah beberapa kali In Loei berniat membinasakan dia, tetapi ia tidak bersakit hati karenanya. Ia malah sangat tertarik terhadap nona itu, yang, kecuali sedang murka, juga manis dan menarik hati, karena gerak-geriknya yang halus.

"Memang dia berniat membunuh aku, tapi ada kalanya dia sangat lemah lembut," pikirnya pula. "Ya, halus budi pekertinya. Yang kurang padanya adalah kekerasan hati berlainan dengan anak daranya Tongteng thjungtjoe, aku percaya dia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, hingga alangkah baiknya apabila sifat mereka berdua dapat
digabung menjadi satu. Dengan begitu jadilah dia satu manusia yang sempurna.....”

Terkurung dalam guha itu, Tan Hong menjadi tidak keruan rasa. Untuk tungkuli diri, ia periksa semua harta leluhurnya itu, ia angkat sana dan angkat sini, ia balik-balikkan. Tiba-tiba tertindih oleh setumpuk mutiara, ia dapatkan satu kotak pualam lainnya. Ia angkat itu. Di atas kotak itu ia baca ukiran berikut: "Surat-suratnya guru marhum. Soe Seng
simpanlah dengan perhatian."

Dengan lekas Tan Hong buka kotak itu, untuk melihat isinya, ia dapatkan peta bumi yang masih terpisah satu dengan lain dan sejumlah catatan. Ia mengerti, terang sudah,semua itu adalah berbagai catatan dari Pheng Hoosiang ketika dia mulai dengan pembuatan peta buminya itu, yang dicatat di setiap tempat ke mana dia telah pergi, ketika semua itu telah dihimpunkan menjadi satu, terjadilah peta yang orang berebut mencarinya.

Tentu saja sekarang ini, peta kasar itu sudah tidak ada perlunya, kecuali itu pelbagai catatan lain, tentang penduduk sesuatu tempat dan kebiasaannya masing-masing, perihal keletakan pelbagai gunung dan sungai yang mengenai pergerakan tentera. Semua itu pun menyatakan ketelitian Pheng Hoosiang, kesungguhan hatinya, yang sudah bercapai hati untuk mengumpul dan membuat itu.

"Semua ini harus aku simpan dan kumpulkan dengan rapih, inilah bagus bila dibuat menjadi satu jilid buku istimewa," demikian Tan Hong pikir. Tapi, bukan bagian petanya,hanya tulisannya. Kali ini ia lihat catatan tersusun, yang merupakan sejilid buku tipis. Buku ini berkalimat "Hiankong Yauwkoat" atau "Rahasia ilmu silat." Ia baca lembaran pertama, tentang ucapan Khong Tjoe perihal "iie"= dasar, "khie"= hawa, dan "siang"=roman. Ia heran. Dari mana Khong Tjoe mengerti tentang hiankong atau Iweekang, ilmu silat bagian dalam? Maka ia membaca terus. Ia dapatkan penjelasannya: "Roman itu bersifat iimu siiat; hawa itu pengaruhnya iimu siiat; dan dasar adalah buahnya iimu siiat. Kaiau ketiganya diperoleh dengan lengkap, gerakan tangan dan kaki tak akan menyeleweng."

Lalu, lebih jauh, ada berbagai penjelasan lainnya lagi. Maka, setelah membaca itu, Tan Hong menghela napas saking kagum. Seorang diri ia kata: "Setelah membaca ini, baharu aku kenal akan diriku. Dibanding dengan guru besar ini, aku tak lain daripada sinar kunang-kunang."

Karena ini, ia menjadi sangat tertarik, kemudian ia lanjutkan terus.

Harus diketahui, Pheng Hoosiang itu bukan sembarang orang. Ia pun telah menjadi guru dari dua kaisar — Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng — maka dapatlah dimengerti yang ia mempunyai kepandaian istimewa, yang melebihi kebanyakan orang. Kebetulan sekali, Tan Hong adalah orang yang mendapatkan kitab warisan itu, dengan kecerdasan nya ia dapat menginsyafi isi kitab itu.

Kakek guru dari Tan Hong, Hian Kee Itsoe, telah mendidik empat murid, kepada tiap muridnya ia telah mewariskan masing-masing serupa kepandaian. Tan Hong ketahui, toasoepee Tang Gak mendapatkan Taylek Kimkong Tjioe, dan djiesoepee Tiauw Im Hweeshio mendapatkan Gwakang, ilmu silat bahagian luar, atau Ngekang — ilmu keras.

Sekarang, setelah ia membaca kitab ini, tanpa petunjuk lisan dari guru lagi, mengertilah ia isi dari kedua ilmu silat itu, hingga ia jadi girang tak kepalang.

"Dengan memiliki kitab ini, apabila aku meyakinkannya dengan sungguh-sungguh,bukankah aku akan mengerti maksud setiap ilmu silat dan mudah mempelajarinya sesuatu ilmu?" demikian ia kata seorang diri. Tapi begitu lekas ia sadar bahwa ia tengah terkurung, dengan tiba-tiba saja ia menjadi lesu pula.....”

Dengan cara bagaimana ia dapat keluar dari gua ini ?

-ooo0dw0ooo-

Biar bagaimana juga, Tan Hong adalah seorang yang keras hatinya, yang cerdas, maka setelah memikir sebentar, dapat ia legakan hatinya. Ia anggap tak usah ia pikirkan soal bisa keluar atau tidak, ia hanya harus meyakinkan dahulu kitab itu. Demikian ia bertekun dengan kitab itu.

Mulanya Tan Hong mulai merasa lapar, akan tetapi setelah meyakinkan kitab, ia merasa lega, hingga selama setengah hari, ia dapat merebahkan diri dan tidur pulas. Ketika ia mendusin, tidak tahu ia sudah jam beberapa waktu itu. berbagai batu permata bersinar terang sekali.

"Coba aku melatih diri," pikir Tan Hong kemudian. Ia ingat Taylek Kimkong Tjioe dari toasoepee-nya, maka lantas saja ia hajar pintu kumala dengan kepalannya. Pukulan itu menerbitkan suara yang keras, pintu tidak terbuka, tapi suara itu sudah menyatakan bahwa ia telah peroleh hasil.

Kelaparan satu hari, Tan Hong rasakan ia masih dapat melawannya, yang hebat adalah keringnya kerokongannya disebabkan dahaganya. Umumnya siapa kelaparan terus menerus, dalam tempo tujuh hari baharulah ia akan terbinasa sendirinya, tapi apabila orang tidak minum, kekuatan bertahannya cuma tiga hari atau ia akan meninggal dunia.Sekarang ia mencoba menguatkan hati, untuk menahan serangan lapar dan haus itu.Sementara itu, ia telah selesai membaca kitab "Hiankong Yauwkoat" itu, ia sudah sanggup menghafal di luar kepala. Hasilnya luar biasa, yaitu ia dapat mengurangkan rasa haus dan laparnya itu.

Selagi Tan Hong menghafal terus, tiba-tiba kupingnya mendengar satu suara perlahan. Segera ia memasang kuping. Ia dengar suara seperti orang sedang menggali tanah,sedang membongkar. Ia perhatikan arah dari mana suara itu datang.

"Siapa?" ia berseru sambil lompat setelah ia ketahui tempat asalnya suara itu, ialah arah pintu. Itu pun suara seperti orang tengah membongkar batu keras.\

Tidak ada jawaban dari luar, kecuali suara membongkar batu itu, yang masih tetap terdengar.

Dalam penasarannya, Tan Hong kerahkan tenaga di tangannya, lalu ia hajar pula pintu batu kumala itu. Pukulannya itu mendatangkan suara keras sekali, akan tetapi pintu tidak rubuh, bergeming pun tidak. Sebaliknya, tangan si penyerang dirasakan sangat sakit,seperti tangan itu hendak copot.

"Tidak sembarang alat besi dapat menggempur rubuh pintu ini." ia pikir kemudian.

"Siapa itu di luar?" kembali ia tanya. "Kalau kamu hendak menolong aku, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?"

Tetap tidak ada suara yang menyahuti. Cuma terus terdengar suara menggali tanah itu.

"Inilah hebat," pikir Tan Hong. Dari suara galian itu, ia duga orang yang bekerja cuma bersendirian. Apakah artinya tenaga satu orang? Bukankah ia tetap terancam bahaya kelaparan dan kehausan itu?

Tengah ia berpikir, Tan Hong lihat tanah gempur di bawah pintu, lantas ia gunakan pedangnya, akan mengorek ke arah itu, habis mana terlihat satu sinar kecil masuk dari bawah pintu. Teranglah, orang di sebelah luar sudah berhasil membongkar dan membuat lobang itu, yang besarnya sejari tangan. Ia menjadi lega, tapi ia pun heran.

"Apakah artinya ini?" ia menduga-duga. "Mungkinkah orang membuat liang supaya dia dapat menceploskan barang makanan untukku? Tapi liang ini masih terlalu kecil.....”

Ia memasang kuping. Ia dengar suara menggali di sebelah luar telah berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara lain, seperti orang mendorong dengan suatu benda keras. Ia lantas saja mengawasi.

Tiba-tiba terlihat suatu sinar berkilau, warnanya kuning emas. Segera tertampak diceploskan satu kunci emas. Ketika Tan Hong sambuti itu, ia dapat kenyataan anak kunci itu mirip dengan kepunyaannya. Sebagai seorang yang cerdas, ia lantas dapat menerka maksud orang. Maka tanpa membuang waktu sedetik juga, ia coba masukkan anak kunci itu keliang kunci pintu batu kumala itu. Begitu lekas ia memutar, daun pintu menjeblak dan satu nona cantik, dengan wajah tersungging senyuman manis, tengah berdiri di muka pintu, mengawasi kepadanya.

Ketika ia lihat tegas roman orang, Tan Hong merasa ia bagaikan tengah bermimpi.

Nona itu, ia kenali, adalah puterinya Tongteng Tjhoengtjoe, yang mukanya kemerahmerahan,yang senyumannya tidak segera lenyap.

Nona itu berdiri dengan tangan kirinya menyekal pedang, tangan kanan memegang linggis. Pada ujung pedangnya masih terdapat sisa lumpur. Di mulut gua, sebelah atas,tergantung sebuah tengloleng, hingga karenanya, barang-barang permata itu lantas bersinar di antara cahaya api.
"Terima kasih untuk pertolongan kau ini, nona!" kata Tan Hong sambil menjura kepada nona itu. Ia tahu, tidak dapat ia diam dan mengawasi saja. Nona itu tertawa dengan tiba-tiba,lekas-lekas ia tutup mulutnya.

"Tuan muda, keluargaku telah menantikan kau selama tiga turunan," berkata ia,suaranya halus dan merdu. "Tadi malam belum tahu kami bahwa kau adalah tuan muda kami, hampir saja kami celakai jiwamu, maka itu, bukannya kau menyalahkan kami, sebaliknya kau menghaturkan terima kasih terhadap kami!"

Mendengar demikian, Tan Hong insyaf dengan tiba-tiba. Ia tertawa berkakakan.

"Janganlah kau memanggil tuan muda kepadaku," ia mencegah. "Ada hubungan apakah antara aku dengan leluhurku itu yang kebetulan saja mengangkat dirinya menjadi raja? Aku adalah orang she Thio dan namaku Tan Hong, kau panggil aku Tan Hong saja!"

"Sejak dua bulan yang lalu aku telah ketahui she dan namamu itu," berkata pula si nona. "Ketika itu telah aku memikirnya, nama itu bagus sekali. Di pekarangan rumah kita ditanam banyak pohon hong, adakah kau melihatnya pohon itu?"

Masih si nona suka bersenyum, wajahnya berseri-seri. Ia tak pemaluan, ia bicara dengan si anak muda bagaikan kenalan lama, yang sudah biasa bergurau.

Tan Hong lantas saja berpikir. Ia lantas ingat In Loei. Nona ini nyata sangat bebas. Ia awasi nona ini, ia seperti melirik.

"Jangan kau kesusu untuk memberitahukan she dan namamu padaku," ia kata. "Kau biarkan aku menerkanya. Bukankah she-mu she rangkap Tamtay dan namamu memakai kata Beng di antaranya?"

"Kau menerka tepat," sahut si nona. "Bukankah kau ketahui she dan namaku ini karena kau diberitahu oleh Tamtay Biat Beng?"

"Tantai Tjiangkoen belum pernah berbicara denganku bahwa dia mempunyai adik perempuan yang cerdik sebagai kau ini," jawab Tan Hong.

Si nona tertawa.

"Aku kuatir, sebelumnya ini ia memang belum mengetahui bahwa ia mempunyai adik perempuan yang bodoh sebagai aku ini!" ia kata. "Baharu bulan yang lalu ia datang kemari secara sangat kesusu, untuk belajar kenal dengan keluarga kami, untuk perkenalkan diri dan mengakui pamili, habis itu, cuma menginap satu malam, dia sudah kabur pula!"

Tan Hong segera menghitung hari. Hari ketika Tantai Mie Ming datang ke Thayouw adalah harian si pangeran asing hendak pulang ke negerinya. Nyatalah setelah Mie Ming dan ia pergi menghadap Ie Kiam, Mie Ming terus secara diam-diam meninggalkan kota raja tanpa diketahui orang, sedang di kota raja terdapat banyak pahlawan kimie wie.

"Kalau begitu," berkata si nona, "seberlalunya Biat Beng dari sini, dia tidak bertemu pula dengan kau. Ketika itu hari dia datang, dia telah berbicara mengenai kau yang secara diam-diam nelusup masuk ke Tionggoan, katanya mungkin kau akan pergi ke Souwtjioe untuk mencari harta benda warisan leluhurnya, karenanya, dia suruh kami perhatikan kau.

Sayang dia datang dan pergi secara kesusu begitu rupa, sampai dia tidak sempat melukiskan tampang dan potongan kau. Kita mulanya percaya kau serupa seperti dia,setelah tinggal bertahun-tahun di Mongolia, romanmu seperti orang Mongolia saja. Siapa sangka, kau cakap ganteng melebihi pemuda-pemuda Souwtjioe dan Hangtjioe....."
Habis mengucap, si nona bersenyum pula, kedua bibirnya dibuat main. Rupanya dengan mendadak ia telah insyaf bahwa ia telah berbicara secara terlepasan, akan tetapi ia tak malu seperti nona-nona lainnya.

Tan Hong pun tertawa di dalam hatinya.

Tantai Mie Ming, atau Tamtay Biat Beng, rupanya seperti orang Ouw, orang Mongolia,itulah disebabkan engkong dan ayahnya telah menikah dengan orang Mongolia, jadi roman itu bukan disebabkan karena tinggal terlalu lama di Mongolia dan karenanya,wajahnya bisa berubah. Nona ini nampak cerdas akan tetapi kali ini, ia menduga keliru.....”

"Ketika pertama kali kau datang pesiar, kami sudah curiga," berkata pula si nona. "Selama belakangan ini kami tengah menghadapi suatu urusan, yaitu kabarnya ada orang jahat yang telah mendapatkan sehelai salinan peta kota Souwtjioe, karena peta itu, mereka menduga tempat menyimpan harta adalah taman Koaywa Lim, maka selama setengah bulan yang lalu, tak putusnya datang orang ke Koaywa Lim untuk melakukan pemeriksaan. Rahasia kami di sini, tidak diketahui orang luar, akan tetapi tak dapat kami tidak bersiaga. Begitulah kami menyangka jelek padamu."

Hong tertawa .

"Coba kau pandang aku, adakah aku mirip penjahat?" dia tanya.

"Itulah sebabnya," sahut si nona. "Kalau tidak, mungkin kau telah kehilangan jiwamu! Ayah telah melihat romanmu dan dengar suaramu yang halus, ia tak dapat menerka-nerka asal-usulmu. Ayah telah memikir untuk segera mencari tahu, apakah kau benar tuan muda kami atau bukan, ia masih ragu-ragu, ia kuatir nanti gagal dan karenanya, tanpa diinginkan, rahasia di sini terbuka sendirinya, maka itu, ia bersabar. Begitu ayah ambil putusan, biar kau terkurung, jangan kau sembarang kabur. Dikurung di dalam Pat Tin Touw ini, kau tidak diganggu, sebab ayah tak sudi mencelakai orang baik-baik. Kau tahu,meskipun kau kenal Pat Tin Touw dan dapat meloloskan diri, kau tidak dapat kabur terus."

Tan Hong mengawasi.

"Habis, kenapa akhirnya kamu kenali juga aku?" dia tanya.

Si nona juga tertawa.

"Di kolong langit ini, kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup membuka pintu kumala ini dari luar?" dia menjawab.

Juga Tan Hong tertawa pula. Ia kata: "Di kolong langit ini, kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup menolongi aku keluar dari sini?"

Nampaknya nona itu sangat puas. Kembali ia tertawa,"Memang seharusnya demikian, bukan?" kata dia. "Kedua anak kunci kita ada luar biasa, tapi pun kebetulan sekali. Tanpa kedua anak kunci ini, pintu tak dapat dibuka dan ditutup kembali.....”

Habis berkata, muka si nona menjadi merah sendirinya. Ia nampak malu. Inilah tidak heran. Dengan tiba-tiba ia ingat akan kata-kata ibunya. Waktu ia masih kecil, pernah ibunya berkata padanya: "Jodoh itu ada seumpama anak kunci. Suatu anak kunci mesti ada suatu biang kuncinya, suatu kunci tak dapat dibuka dengan anak kunci lainnya." Dan sekarang, kedua anak kunci itu telah menemui biangnya..... Maka ia menjadi jengah, sendirinya.
Tan Hong heran akan kelikatan orang. Ia tidak melihat alasannya untuk itu. Tentu saja,tak tahu ia akan kata-kata ibunya itu. Lalu ia mendehem.

"Dari she dan namamu, telah aku ketahui yang tiga," ia kata sambil bersenyum. "Masih ada satu lagi yang aku belum tahu.....”

"Kau lihat, benar-benar aku tolol!" kata nona itu. "Sampai pun she dan namaku belum aku beritahukan padamu. Aku ialah Tamtay Keng Beng, ayahku Tamtay Tionggoan, dan kakekku Tamtay Kwie Tjin. Kakekku adalah panglimanya kakekmu, Kaisar Thio itu....."

Tan Hong tertawa.

"Nama kakekmu itu aku kenal," ia kata. "Secara begini benar-benar aku harus berterima kasih kepada keluargamu. Oleh karena kakekmu itu turut kakekku, dia mendendam penasaran, dia menerima penghinaan. Tidakkah dia telah ikut pindah ke negara asing dan karenanya menjadi orang asing juga? Di pihak lain, keluargamu ini, selama beberapa turunan, telah menjagai gunung ini.....”

Tamtay Keng Beng tertawa.

"Apakah jeleknya untuk tinggal di sini?" dia tanya "Setiap pagi dan sore kami memandangi telaga dan gunung. Apakah itu tidak cocok dengan kau?" Ditanya begitu, Tan Hong bersenyum.

Si nona pun bersenyum, lalu ia berseru: "Ah! Kau lihat, kembali aku lupa suatu hal!"

"Apakah yang kau lupakan?" tanya Tan Hong.

"Aku lupa bahwa kau telah terkurung di sini satu hari satu malam!" sahut si nona. "Kau lihat, di sini aku telah membawa makanan untuk kau."

Dia bertindak keluar, dia ambil sebuah naya yang tadi dia tunda di luar pintu. Dia tenteng itu ke dalam. Isi naya itu ialah buah peksee piepee dari Tongteng San dari Thayouw serta rangsum kering berikut daging.

"Mari cobai!" ia kata kepada si anak muda.

Lebih dahulu Tan Hong dahar piepee, kemudian ia makan daging. Ia rasakan makanan itu lezad sekali, yang ia belum pernah merasakannya. Tentu saja, untuk makanan itu, ia haturkan terima kasihnya.

Selagi orang dahar, Tamtay Keng Beng memandang kesekitar ruangan, ia juga membuat main berbagai mutiara.

"Tidaklah heran kalau sejak dahulu kala sampai sekarang ini, banyak orang yang ingin sekali menjadi raja," kata dia kemudian sambil tertawa. "Lihat leluhurmu ini. Dia menjadi raja baharu beberapa tahun, dia sudah lantas dapat mengumpulkan harta begini besar.....”

Bagaikan batu, dia lempar-lemparkan beberapa butir mutiara yang besar. Dia bagaikan anak kecil yang gembira dengan barang mainan. Dia pun suka tertawa.

"Semua barang ini indah dan bagus untuk dibuat main," kata ia kemudian, "hanya sayang tidak dapat dipakai menghilangkan dahaga dan lapar. Aku lihat, mutiara ini tak seperti piepee-ku!.....”

Tan Hong tertawa.

"Maka itu, aku lebih suka piepee-mu, tak ingin aku mutiara ini!" ia kata.
"Enak didengarnya kata-katamu ini," berkata si nona. "Jikalau kau tidak menghendaki mutiara ini, perlu apa kau melakoni perjalanan yang penuh bahaya, jauh dari Mongolia kau datang ke Thayouw ini?"

"Itulah lain," terangkan Tan Hong. "Mutiara ini hendak aku serahkan kepada lain orang."

Tamtay Keng Beng heran. "Siapakah orang itu?" dia tanya.

"Dialah kaisar dari ahala Beng."

Keng Beng terkejut.

"Apa?" tanyanya. "Kau hendak serahkan kepada kaisar Beng? Bukankah kaisar itu musuh besar dari keluargamu?"
"Benar, kaisar Beng itu musuh keluargaku," Tan Hong akui.
"Habis, kenapa kau hendak serahkan harta ini kepada musuh itu?" si nona tegaskan.
"Memang niatku untuk menyerahkan harta ini padanya."
"Ah, tidak, tidak!" seru si nona. "Harta ini benar kepunyaan keluargamu akan tetapi keluarga kami, telah beberapa turunan mewakili keluargamu menjagainya. Apabila harta ini kau hendak serahkan pada orang lain, untuk itu kau perlu menanyakan dahulu sikap kami!"

"Bila aku menyebutkannya, kau tentu setuju," kata Tan Hong, tenang. Dan ia tuturkan cita-citanya untuk melindungi negara, sekalipun kaisar berasal dari keluarga lain, malah musuhnya.

Tamtay Keng Beng tertawa.

"Kalau begitu bukannya kau langsung memberikan kepada kaisar Beng!" dia kata. "Kau hendaknya menyerahkan kepada orang yang akan menggempur bangsa asing! Ah, kau bikin aku kaget.....”

Tan Hong dahar terus piepee hingga habis hampir separuhnya, selama itu Tamtay Keng Beng terus mengajak dia pasang omong, hingga nona ini seperti melupakan bahwa di luar guha, di atas liang, ada orang, yang mengharap-harap mereka berdua. Dengan begini, Tan Hong mengetahui banyak tentang keluarga Tamtay itu.

Ternyata dahulu Thio Soe Seng, pada malaman dari keruntuhannya, sudah meninggalkan pesan dan pertanggungkan puteranya kepada Tamtay Kwie Tjin, panglima yang setia itu, habis itu, Kwie Tjin menyingkir jauh ke Mongolia. Tentang Koaywa Lim, yaitu petanya, Thio Soe Seng menitipkan kepada satu dewi kz pahlawannya yang ia sangat percaya, seorang she Tjio, ialah leluhur Hongthianloei Tjio Eng. Pun secara rahasia, Thio Soe Seng sudah meminta adiknya Tamtay Kwie Tjin, ialah kakeknya Tamtay Keng Beng, untuk tinggal dan menjagai bukit Tongteng San Barat itu, di dalam gunung mana
harta besarnya disimpan, untuk pintu rahasianya ia tinggalkan cuma sepasang anak kunci yang dapat membuka pintu itu. Semua itu telah dilakukan secara sangat rahasia.

Tantai Mie Ming dengan Tamtay Keng Beng adalah kakak beradik sepupu, saudara tjintong, tapi mereka terpisah jauh satu sama lain, satu di Mongolia, gurun pasir Utara,yang lain di Kanglam, Selatan, sudah begitu, selama beberapa turunan, mereka tidak pernah surat menyurat satu pada lain, baharu bulan yang lalu, Tantai Mie Ming datang secara tiba-tiba, dengan menggunakan ketika itu untuk mengantarkan pangeran asing.

Baharu setelah itu, keluarga Tamtay ini ketahui bahwa junjungannya telah meninggalkan keturunan di Mongolia.
Senang hati Tan Hong mengawasi Nona Tamtay ini, yang wajahnya bercahaya di antara sinar batu-batu permata, hingga ia teringat sesuatu.

"Kalau nanti adik kecilku melihat kau, pasti ia senang sekali!" ia kata.

"Apa? Adik kecilmu?" tanya si nona. "Kenapa ia senang padaku?"

"Adik kecilku itu sejak kecil telah kehilangan ayah bundanya," sahut Tan Hong sambil tertawa. "Dia yatim piatu, bersendirian saja, tidak ada orang yang bermain dengan dia. Kau dengan dia seumur. Bukankah kamu berdua dapat menjadi sahabat-sahabat kekal?"

Tiba-tiba Tamtay Keng Beng menjadi gusar. "Apa? Aku harus menemani adik kecilmu bermain?" dia tegur. "Hm! Aku tidak suka bermain dengan bocah busuk!"

Baharu ia ucapkan kata-kata itu, nona ini lalu menjadi jengah sendirinya. Ia telah terlepasan berbicara. Bukankah Tan Hong juga satu "bocah busuk"? Dengan sendirinya, air mukanya menjadi bersemu dadu.

Tan Hong tertawa. "Adik kecilku itu bukan satu bocah busuk," ia beritahu.

"Kalau bukan bocah busuk tentu bocah harum!" kata si nona. "Hm! Bocah harum pun aku tak sukai!"

"Dia juga, bukannya bocah harum!" Tan Hong masih tertawa. "Dia, kau tahu, dia adalah satu nona kecil.....”

Keng Beng agaknya tercengang. "Satu nona kecil?" dia tegaskan.

"Ya, satu nona kecil," sahut Tan Hong. "Hanya ketika pertama aku bertemu dengan dia,dia dandan sebagai seorang priya, lalu karena kebiasaan, terus aku panggil dia adik kecil,panggilan ini tak dapat dirubah hingga sekarang ini."

Entah kenapa, mendengar orang menyebut "adik kecil," Nona Tamtay mendapat perasaan luar biasa. Agaknya orang telah berhubungan erat satu pada lain. Setahu kenapa, ia seperti merasa jelus atau cemburu. Ia merasa, seumurnya, belum pernah ia dapatkan perasaan semacam ini. Maka ia jadi heran sendirinya.

Tan Hong juga seperti merasakan sesuatu mengenai nona ini, maka itu, keduanya membungkam saja, sampai sekian lama, mereka terbenam dalam kesunyian.

Adalah kemudian, ketika ia ingat sesuatu, Tan Hong pecahkan kesunyian itu.

"Kenapa ayahmu tidak datang kemari!" dia tanya. "Ayah dapatkan ada satu musuh mendaki gunung, dia tentunya telah mengatur Pat Tin Touw," sahut si nona, suaranya wajar, bagaikan tak ada ancaman bahaya.

Tidak demikian dengan Tan Hong. Pemuda ini agaknya terkejut.

"Jikalau ada musuh mendaki gunung, itulah tentu musuh yang tanggu," ia kata. "Mari kita lekas pergi melihat!"

"Apa sih yang disebut musuh yang tanggu?" berkata si nona, masih dia acuh tak acuh.

"Musuh itu tidak nanti sanggup melawan tempuling ayahku! Atau kalau dia sanggup melawan ayah, dia toh masih tak sanggup lolos dari barisan batu.....”

Pat Tin Touw adalah barisan dengan tonggak-tonggak batu yang letaknya seperti tak teratur, maka itu si nona menyebutnya barisan batu. Nona ini juga nampaknya sangat mengandalkan kegagahan ayahnya itu, hingga ia tak berkuatir sedikit juga.
Di dalam hati kecilnya, Tan Hong berkata: "Ah, nona cilik, kau mana ketahui, di luar langit ada langit lainnya, di samping orang ada orang lainnya lagi! Musuh yang datang kali ini, kalau bukannya pahlawan-pahlawan dari istana, tentu sebangsa Anghoat Yauwliong.....” Tapi, ia kata kepada si nona: "Lebih baik marilah kita pergi melihat!"

"Baiklah!" kata Tamtay Keng Beng.

Lalu berdua mereka keluar dari guha, mereka kunci pintu kumala itu. Setibanya di mulut guha, di sana tergantung sehelai dadung, dengan itu keduanya, dengan saling susul, mendaki naik, hingga Tan Hong lihat pula sinar matahari. Ia bernapas lega.

Menurut letak matahari, ketika itu adalah tengah hari.

Pintu dari Tongteng Santjhoeng telah ditutup rapat, di lereng gunung, di antara batubatu tampak tubuh orang bergerak-gerak bagaikan bayangan. Dari sana pun terdengar bentrokan keras dari senjata-senjata tajam. Melihat itu, Tan Hong percepat tindakannya,ia hendak lari untuk memberikan bantuannya.

"Untuk apa kesusu?" berkata Nona Tamtay Keng Beng. "Ibu dan adik perempuanku pun telah tiba, musuh tangguh apa lagi yang dijerikan?"

Tan Hong heran mendengar perkataan nona ini. Ketika ia bermalam di Tongteng Santjhoeng, ia tidak lihat nyonya rumah.

"Oh, kiranya kau masih punya ibu?" tanyanya.

"Kenapa tidak?" Keng Beng membaliki "Hanya ibuku tidur di lain tempat, setiap sepuluh hari atau setengah bulan sekali, baharu ia datang kemari. Ketika tadi aku melihat ibu mendaki gunung, lekas-lekas aku susul kau, untuk menolongi padamu."

Tan Hong menjadi lebih heran, kali ini mengenai sikap nyonya rumah.

"Di sini tersedia tempat bagaikan tempat dewa, bukannya suami isteri tinggal bersamasama,tetapi mereka berpisahan, tinggal berjauhan rumah, kenapakah?" ia berpikir. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak sempat menanyakan keterangan. Maka itu, bersama-sama mereka lari terus. Setibanya di muka Pat Tin Touw, baharulah keduanya — atau lebih benar Tamtay Keng Beng — terkejut. Musuh-musuh yang terkurung di dalam tin, adalah barisan istimewa, yaitu musuh-musuh yang liehay sekali. Yang satu adalah seorang tua, yang lain satu toodjin, atau imam.

Si orang tua memegang sebatang senjata luar biasa, tongkat panjang berkepalakan seperti naga dengan di bahagian kepalanya ditambah pula dua rupa alat lainnya, yaitu yang satu menyerupai telapakan tangan dengan jeriji-jerijinya lancip sebagai gaetan, yang lainnya merupakan duri-duri yang tajam, maka selagi tongkat itu diputar, nampaknya seperti lengan orang hutan yang berbulu, seperti orang menerkam. Dan si imam memegang sebuah pedang panjang, yang tidak luar biasa, hanya apabila digerakgerakkan, pedang itu mengeluarkan sinar sebagai bunga pedang, hingga membuat lawan jeri. Masih ada seorang lainnya, musuh yang ketiga, yang tampak dari dandanannya, nyata dia seorang perwira, yang masih muda. Ia mempunyai kepalan yang liehay, yang menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara angin yang keras.

Tamtay Keng Beng mengawasi dengan saksama. Ia lihat ayahnya menjaga pintu "mati." Ayahnya terkurung musuh tetapi penjagaannya masih tetap kuat. Ia ingin membantui ayah itu, maka sambil menghunus pedangnya, ia berseru. Waktu ia hendak lompat menyerbu, ia tampak Tan Hong berdiri menjublak, matanya mendelong. Tentu saja ia jadi heran.
"Hai, kau kenapa?" tegur si nona. "Tadi kau sendiri yang tegang tidak keruan, sekarang kenapa kau diam saja? Kau hendak membantui ayahku, apa kau hendak tunggu?"

"Celaka!....." Tan Hong, mengeluh dalam hatinya.

Ia kenali si orang tua dan si imam, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong bersama Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe. Ia tidak pusingkan kedua orang itu, tetapi yang membuatnya ia bersangsi adalah si perwira muda, yang tidak lain daripada In Tiong kakak In Loei, itu Boe tjonggoan baru. Ia saksikan hebatnya pertempuran, ia kuatirkan ada jiwa yang melayang.

Tan Hong pun masih berpikir terlebih jauh: "Secara diam-diam aku telah membantui In Tiong peroleh gelarnya itu, meski demikian, aku tahu betul, dalam hatinya, ia masih membenci aku, rasa permusuhannya terhadapku masih belum lenyap. Aku telah memberikan penjelasan kepadanya, tapi ia tidak mau percaya, habis bagaimana sekarang? Jikalau sekarang aku maju membantui keluarga Tamtay ini, tidakkah itu akan membikin salah faham menjadi bertambah hebat?"

Inilah yang menyebabkan pemuda she Thio ini berdiam saja.

Justeru itu Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yang sinar pedangnya memain secara liehay,menerjang kepada si nona tua yang menjaga pintu "touw," atas mana, si nyonya berikan perlawanan dengan tongkatnya, tetapi baharu dua gebrakan, In Tiong sudah maju membantui Hian Leng Tjoe, begitu hebat kepalannya itu, hingga si nyonya mesti mundur keluar dari pintu jagaannya itu. Tentu saja, menyaksikan itu, Tan Hong menjadi terlebih kaget lagi.

Di lain pintu, yaitu di pintu "kheng," nona yang menjaganya telah dibikin repot oleh musuhnya yang mendesak hebat sekali.

"Adakah mereka itu ibu dan adikmu?" akhirnya Tan Hong tanya si nona dengan tidak mempedulikan tegurannya.

"Hai, bagaimana? si nona balik menanya, dengan gusar. "Kau hendak tunggu apa lagi?"

Tapi kali ini, sambil bicara, Tamtay Keng Beng sudah lari jauh beberapa tombak.

Pada waktu itu, Tan Hong sudah mendapatkan ketetapan hatinya.

"Kiranya orang-orang dikenal!" serunya sambil tertawa. Dan begitu ia lompat, ia sudah dapat menyandak nona Tamtay, untuk dilalui, hingga dialah yang terlebih dahulu menyerbu ke dalam tin.

"Tamtay Toanio, lindungi pintu touw" ia berseru kepada si nyonya tua, sedang kepada si nona, ia berteriak: "Adik Giok Beng, kau mutar ke pintu hioe. Aku datang!"

Lagi sekali Tan Hong lompat, ia lewati kepala Tiatpie Kimwan, ia nerobos ke pintu seng, maka di lain saat ia sudah ambil kedudukan didampingnya Tamtay Tionggoan, tjhoengtjoe atau tuan rumah dari Tongteng Santjhoeng, untuk menjaga pintu Pat Tin Touw.

Sebenarnya ketika hari itu In Tiong nampak kegagalan di Koaywa Lim, ia sangat mendongkol. Surat Tan Hong, yang merupakan nasehat, dipandang olehnya seperti sindiran. Ketika pulang ke kantor soenboe, besoknya ia bertemu dengan ke tujuh jago dari kota raja, yang telah datang lengkap. Mereka lantas ketahui bahwa Tan Hong sudah pergi ke Thayouw, mereka pun — berjumlah delapan orang — lantas menyusul. Mereka mendaki Tongteng San Barat pada hari kedua dari terjeblosnya Tan Hong ke dalam liang harta rahasia.
Adalah di saat mereka tengah mencari Tan Hong, tiba-tiba mereka dengar tertawa ejekkan dari samping mereka, begitu mereka berpaling, mereka tampak satu nyonya tua, yang rambutnya telah putih seluruhnya, tengah melambaikan sehelai kain sulam, yang bersulamkan sepuluh tangkai bunga merah yang besar, di antaranya, tujuh terkurung sulaman benang merah yang menyolok mata.

Satu siewie menjadi heran ketika ia mengawasi si nyonya tua.

"Eh, apakah dia bukannya si perempuan tua dari warung teh di Tamtay Tjoen?" berkata ia. "Ah, mana dia anak perempuannya? Ketika hari itu aku lewat di warung tehnya, nona itu sedang menyulam bunga ini.....”

"Benar," kata pahlawan yang satunya lagi. "Ketika itu hari aku lewat di warung, aku juga lihat si nona sedang menyulam bunga merah itu, malah aku dengar dia mengatakan,itu adalah bunga yang ke sepuluh."

Mendengar kedua kawan itu, In Tiong bercekat. Ia ingat, ketika ia lewat di warung teh yang dimaksudkan itu, ia tampak sulaman baharu selesai delapan tangkai.

"Bukankah hari itu kamu telah menanyakan tentang Thio Tan Hong?" ia tanya kedua siewie itu.

"Betul," sahut kedua siewie. "Apakah hubungannya dia dengan bunga sulaman merah itu?"

"Wanita tua ini pasti konconya Thio Tan Hong," In Tiong jawab. Dan segera ia lompat ke arah si nyonya tua.

Nyonya tua itu melambaikan pula sulamannya.

"Ah, sayang, sayang, kau juga telah datang!.....” katanya, suaranya tak enak didengarnya. "Tiga tangkai bunga merah ini pun akan dipetik Beng-cijie!.....”

Dengan "Beng-cijie" itu ia artikan "anak Beng." Tiatpie Kimwan si Kera Emas tangan besi menjadi gusar.

"Hai, perempuan siluman, kau tengah main gila!" ia bentak. Lantas ia ajak kawankawannya,akan menyusul si nyonya tua, yang sementara itu telah menyingkirkan diri,gesit gerakannya, dan larinya pun berliku-liku tak hentinya, hingga dalam tempo yang pendek, ia sudah pancing In Tiong serta ke tujuh toakhotjioe pahlawan pilihan dari istana,sampai di muka tin.

In Tiong segera lihat batu-batu bertumpuk tak teratur, bagaikan pintu-pintu. Ia menjadi curiga. Ia tidak kenal Pat Tin Touw, tetapi ia lebih mengerti dibanding dengan ke tujuh rekannya, ia telah membaca kitab-kitab ilmu perang, maka ia jadi ragu-ragu. Ia merandek sebelum ia maju terlebih jauh, matanya dibuka dengan lebar.

Segera juga di antara tumpukan-tumpukan batu itu muncul satu nona.

"Hai, kamu telah datang?" berkata nona itu sambil tertawa. "Mereka itu tengah menantikan rekan-rekannya, mereka sudah tidak sabaran!.....”

Terus dia menunjuk. Maka di sebelah kiri, di atas tumpukan-tumpukan batu, terlihat berbaris tujuh buah tengkorak. Entah dengan obat apa semua tengkorak itu direndamnya,semuanya mempunyai biji-biji mata dan kulit muka yang hidup.

In Tiong terkejut ketika ia kenali roman salah satu kepala orang itu, ialah kepala satu penunggang kuda yang telah melewati warung teh, sedang Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam kenali kedua yang lainnya ialah pahlawannya Soelee Thaykam Ong Tjin. Malah satu jago lagi mengenali juga satu kepala lainnya ialah kepalanya hoepangtjoe atau ketua muda dari Hayliong Pang!

Dalam sedetik itu, semua pahlawan ini sudah lantas menduga bahwa ke tujuh orang itu mestinya sudah datang di Thayouw untuk mencari Thio Tan Hong tetapi celaka, mereka,rubuh di tangan si nyonya tua dan puterinya itu. Tentu saja, mereka jadi sangat gusar.

Karena mereka semua bernyali besar, dengan serentak mereka menyerbu ke dalam tumpukan batu itu, yang mereka tidak ketahui barisan rahasia Pat Tin Touw adanya.

Malah In Tiong, tanpa ayal lagi, sudah turut menyerbu juga.

Dari dalam barisan segera terdengar suatu suara, yang disusul dengan munculnya seorang tua yang berkumis jenggot panjang terpecah tiga, yang tangannya menyekal hietjee, yaitu tempuling ikan, siapa lalu diturut oleh beberapa petani, yang semua bersenjatakan golok, tombak dan pacul, hanya mereka itu selanjutnya menghilang dan muncul dengan bergantian, secara mendadak.

Tiatpie Kimwan gusar menampak gerak-gerik orang itu.

"Baiklah bekuk dulu si tua bangka!" dia berteriak.

Tongteng Tjhoengtjoe dengar suara besar itu, ia tertawa berkakakan, terus ia mendahului menyerang dengan tempulingnya.

Dengan satu sampokan tongkatnya, Tiatpie Kimwan tangkis tempuling itu, tetapi baharu satu gebrakan saja atau si orang tua telah melesat ke samping dan segera lenyap dari pandangan si Kera Emas Lengan Besi. Hanya, baharu sedetik, tiba-tiba terdengar sambaran angin di belakangnya si Kera Emas, atau segera terlihat munculnya si nona dengan sepasang goloknya. Nona ini menyerang dengan dahsyat.

In Tiong maju akan tangkis serangan si nona, ia menggunakan tangan kosong.

"Sungguh liehay!" seru nona itu, yang terus lompat mundur, hingga ia lenyap pula.

Samhoa Kiam lompat, menolongi In Tiong mengejar nona itu, atau ia dicegat si nyonya tua, yang seperti tak ketahuan dari mana munculnya, dan dengan sepuluh jari tangannya,nyonya itu mencengkeram ke arah kepala!

Samhoa Kiam terperanjat melihat sambaran orang itu, yang ia kenali adalah tipu silat Taylek Engdjiauw Kang, dengan lekas ia mainkan pedangnya, guna menangkis sambaran itu.

Si nyonya tua lihat serangannya gagal, ia lantas menyusul dengan serangan lain. Ia berlaku sangat gesit, ia dibantu dengan saksama oleh kawan-kawannya, maka juga In Tiong berdelapan seperti telah terkurung di dalam tin itu.

Tujuh jago dari istana itu, bersama In Tiong, adalah orang-orang liehay, akan tetapi mereka tidak kenal Pat Tin Touw, mereka dipermainkan hingga mereka terlepas dari hubungan mereka satu dengan lain. Dengan begitu, tak dapat mereka perlihatkan kegagahan mereka.

In Tiong cerdas, ia lantas dapat melihat bahwa keadaan mereka telah menjadi kacau karenanya, segera ia teriaki kawan-kawannya: "Perhatikan! Mereka ada berdelapan, kita juga berdelapan, mari kita lawan satu dengan satu! Jangan kita kalutkan diri sendiri!"

Teriakan ini ditaati ke tujuh pahlawan, mereka itu lantas mencari masing-masing satu musuh, maka itu, pertempuran segera berganti rupa.

Pat Tin Touw adalah tin yang liehay, sayang bagi Tongteng Tjhoengtjoe, dia cuma tahu tiga bagian saja, karenanya tidak dapat dia bergerak dengan bebas, sedang di antara kawannya cuma dia sendiri, isterinya dan puterinya, yang cukup liehay untuk melayani musuh, yang lainnya bukannya tandingan setimpal dari pahlawan istana itu. Karena ini,walaupun musuh telah terkurung, mereka tidak menghadapi ancaman bencana langsung.

Kedua pihak nampak berimbang.

Adalah pada saat yang tegang itu, In Tiong perlahan-lahan mulai mengerti kedudukan mereka, tapi justeru Samhoa Kiam mendesak si nyonya tua, tiba-tiba muncullah Tan Hong dengan pedangnya yang hebat.

"Awas!" teriak In Tiong, yang menjadi kaget. Samhoa Kiam dan Tiatpie Kimwan lantas kenali Tan Hong, yang pernah permainkan mereka, maka sekarang, kedua pihak saling berhadapan, mereka jadi mendongkol, keduanya maju dengan berbareng, menyerang si anak muda.

Tan Hong putar pedangnya hingga terdengar suara menderu-deru, dengan itu ia layani kedua musuhnya. Ia bergerak-gerak sangat gesit, hingga baju putihnya berkibar-kibar di dalam tin itu. Ia melesat ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, pedangnya selalu merupakan tusukan atau tikaman, atau ia main berkelit dari senjata-senjata lawannya itu. Cara berkelahi ini membikin ke lima pahlawan jadi berpencar pula, cuma In Tiong bertiga Samhoa Kiam dan Tiatpie Kimwan yang bisa menghadapi betul-betul musuh-musuhnya.

"Bagus!" teriak Tamtay Keng Beng, yang kagum dan girang menyaksikan cara berkelahinya Tan Hong itu.

Tongteng Tjhoengtjoe pun girang sekali, Ia dapat kenyataan si anak muda mengerti lebih banyak daripadanya tentang tin itu. Maka ia berseru: "Bagus, majikan tua ada turunannya! Pasti Kerajaan Tjioe yang besar akan bangkit pula!"

Sudah delapan puluh tahun sejak Thio Soe Seng meninggalkan dunia yang fana akan tetapi keluarga Tamtay tetap memanggil ia sebagai "laotjoekong" atau majikan tua, hingga Tan Hong pun dipanggil "siauwtjoe" atau majikan muda. Dengan "majikan" itu diartikan junjungan.

Pheng Hoosiang pandai mengenai Pat Tin Touw, ia mewariskan kepada Thio Soe Seng,dan Thio Soe Seng, yang menghendaki keluarga Tamtay melindungi harta bendanya,sudah memberikan pelajaran pada keluarga ini. Demikian, pengetahuan tentang tin turun kepada Tamtay Tionggoan, tapi melihat kepandaian Tan Hong, tidak bersangsi lagi ia bahwa si anak muda ini adalah junjungannya yang muda. Demikian ia perdengarkan seruannya secara gembira itu.

Dengan nyeburnya Tan Hong dan Tamtay Keng Beng ke dalam medan pertempuran,suasana berubah dengan lantas, kalau tadinya ke delapan pahlawan istana menang di atas angin, sekarang mereka jadi terdesak, dari pihak penyerang, mereka menjadi pihak yang membela diri.

Tamtay Keng Beng berlaku sangat gesit, ia menerjang ke segala arah, akan desak setiap pahlawan yang kena dipermainkan, Tan Hong membuat mata mereka itu seperti kabur dan kepala pusing.....

Pembela dari pintu "kheng" adalah Tamtay Giok Beng, ialah adiknya Keng Beng. Dia tadi kena terserang In Tiong hampir rubuh, hanya tubuhnya terhuyung, sekarang ia saksikan musuh yang balik diserang, segera dia lompat keluar dari pintu jagaannya.

"Entjie." dia berteriak, "mari kita kepung satu musuh ini! Tadi dia menghina aku!" Dan dia tuding In Tiong.
Keng Beng sambut adiknya itu sambil tertawa. "Baiklah!" jawab ia. "Kau injak letak kian, maju ke letak kam, seranglah bagian kanannya!" Dan ia sendiri segera maju ke letak iie, untuk menuju letak tjin, lalu dengan jurus "Pekhong koandjit" = "Bianglala putih menutupi matahari," ia menikam pemuda she In itu.

In Tiong tangkis serangan itu, hingga pedang si nona terpental, setelah mana, hendak ia melakukan pembalasan, atau mendadak di sampingnya berkelebat satu sinar hijau,karena dengan pedangnya, Giok Beng yang gesit itu sudah taat kata-kata kakaknya untuk menyerang dari arah kanan. Ke arah kanan ini, angin hebat dari kepalannya pemuda itu tak sampai pengaruhnya.

In Tiong berkelit dengan lincah.

Keng Beng juga berlaku sangat gesit, setelah tarik pulang pedangnya, ia menyerang pula, tikamannya mengarah muka, karena mana, In Tiong terdesak di antara dua tonggak batu, hingga ia cuma dapat berkelit pula. Tapi ia tetap dalam bahaya, karena sempitnya tempat, untuk berkelit pun sukar. Maka ia tetap terancam.

Sebenarnya seorang diri In Tiong sanggup layani kedua nona Tamtay kakak beradik itu,Keng Beng dan Giok Beng, tetapi kalau sekarang ia kena terdesak, itu disebabkan ia hadapi tin batu dan kedua nona itu sudah terlatih bertempur di dalam t/n-nya itu.

Memang sengaja mereka itu mendesak terlebih dahulu, baharu hendak mereka turun tangan.

Dalam saat In Tiong terancam bahaya maut itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari bentroknya dua senjata, di situ Tan Hong mendadak muncul dari arah samping Dewi KZ, pedangnya dipakai menangkis pedang si nona, hingga pedang itu berubah arah tujuannya, dengan demikian In Tiong telah ketolongan.

Inilah Keng Beng tidak sangka, ia menjadi sangat heran. "Apakah yang kau lakukan?" dia tegur si anak muda.

"Kau pandang mukaku, luputkanlah tusukanmu kali ini," Tan Hong bilang.

Keng Beng tetap heran, akan tetapi ia berlega hati karena ia tampak si anak muda mengawasi ia dengan wajah tersungging senyuman, sinar matanya anak muda itu pun seperti mengandung suatu maksud. Ia tarik pulang pedangnya, tidak lagi ia ulangi serangannya.

Tongteng Tjhoengtjoe juga turut menjadi heran.

"Siapakah perwira itu?" dia tanya.

"Dialah yang bilang bahwa aku adalah musuh besarnya," Tan Hong jawab tuan rumahnya.

In Tiong mendongkol, ia gusar sekali.

"Siapa kesudian kau menaruh belas kasihan atas diriku!" kata dia dengan nyaring."Keluarga kita berdua adalah musuh-musuh besar, di jaman ini, semasa kita masih hidup bersama, jangan kau harap bahwa permusuhan itu dapat disudah habiskan!"

Dan dengan kepalannya yang dahsyat, pemuda ini maju menyerang.

Tongteng Tjhoengtjoe menjadi terlebih-lebih heran. Ia peroleh kesan, orang benarbenar memandang Tan Hong sebagai musuh besar, maka heran, kenapa Tan Hong itu sebaliknya senantiasa melindungi perwira itu.
Tan Hong ulur tangannya yang kiri, kelihatannya ia bergerak dengan ayal, akan tetapi ketika ia kena tangkis tangan In Tiong, perwira ini terkejut sendirinya.

"He, ia pun telah pelajari Taylek Kimkong Tjioe?" ia kata dalam hatinya. Selagi begitu,ia mesti mundur tiga tindak, kedua tangannya dilintangkan satu dengan lain.

Tan Hong juga mundur tiga tindak.

"Kakak In Tiong, mundur adalah jalan utama," Tan Hong berkata.

Tapi In Tiong menjadi bertambah gusar.

"Siapakah kakakmu?" ia membentak. Dan kembali ia menyerang dengan tangannya yang liehay. Tan Hong elakkan diri.

"Hendak aku tanya kau, untuk apa kau datang kemari?" ia tanya.

Kali ini Tiatpie Kimwan adalah yang campur bicara.

"Kau serahkan harta pendaman kepada kami, nanti kami pergi dari sini!" demikian si Kera Emas Lengan Besi dengan suaranya yang keras. Tapi ini adalah gertak belaka, yakni kata-kata untuk lindungi muka sendiri. Ia sudah lantas ketahui, dalam pertempuran ini,pihaknya tidak akan peroleh hasil, maka itu, ia minta harta pendaman itu sebagai pelabi.

Tan Hong melenggakkan tubuh, dia tertawa berkakakan.

"Jadinya kamu datang untuk harta pendaman leluhurku?" dia tegaskan, mereka itu.
"Memang harta itu aku niat menghadiahkannya kepada raja dari ahala Beng, sekarang ada kamu yang hendak tolong mengambilnya, untuk membawanya, sungguh inilah jalan paling baik!"

Mendengar perkataan itu, kecuali Tamtay Keng Beng, semua orang menjadi kaget.

"Siauwtjoe, apa kau bilang?" tanya Tongteng Tjhoengtjoe.

Belum lagi Tan Hong menjawab, In Tiong telah mendahuluinya. Pemuda ini yang masih gusar, kata pada pemuda she Thio itu: "Satu laki-laki terlebih baik mampus daripada terhina, maka itu, Tan Hong, kenapa kau berulang kali menghina aku?"

Dalam kemurkaannya itu, tak pernah In Tiong hendak memahami Tan Hong, yang omong dengan sebenar-benarnya.

Tan Hong tidak jadi gusar karena sikap orang itu.

"Apakah yang kau kehendaki supaya kau dapat mempercayainya?" ia tanya.

In Tiong tidak menjawab dengan perkataan, ia hanya menyahuti dengan kepalannya tiga kali beruntun, hingga Tan Hong repot mengelakkan dirinya. Pemuda ini mendongkol juga akan tetapi tak dapat ia turuti amarahnya itu. Ia mesti berlaku sabar.

Dalam suasana sedang tegang dan sulit itu, selagi In Tiong belum dapat menjawabnya,mendadak terdengar suara berisik di empat penjuru mereka, lalu dari pinggang gunung, di antara pohon-pohon dan batu-batu besar, tertampak munculnya banyak orang dengan potongan tubuhnya tak rata, ada yang kurus, ada yang gemuk, dan semuanya orang itu tengah mendatangi ke arah mereka.

Segera juga Tan Hong lihat seorang dengan rambut merah seluruhnya, yang awutawutan numpuk di kepalanya, orang mana ia kenali sebagai Anghoat Yauwliong Kwee Hong, orang yang pernah main dadu dengannya. Tapi yang membuatnya ia terperanjat,adalah ketika ia kenali seorang lain yang tubuhnya tinggi tujuh kaki lebih, yang berhidung bengkung dan matanya kelabu, yang gegamannya sepasang kampak besar. Sebab orang itu adalah Chalutu, pahlawan nomor 1 dari guru negara dari bangsa Watzu, yang kekosenannya, untuk di seluruh Watzu, cuma kalah setingkat dari Tantai Mie Ming. Saking heran, ia sampai kata dalam hatinya: "Kwee Hong adalah orang kepercayaannya Ong Tjin, sekarang kenapa berdua mereka ini berada dan bekerja sama? Apakah mungkin bangsa Watzu sudah menyerang Tionggoan?"

Ketika Tiatpie Kimwan lihat rombongan itu, dia berteriak-teriak: "Bagus kamu telah datang! Pengkhianat Thio Tan Hong justeru ada di sini!"

Kwee Hong tertawa dingin, sembari maju mendatangi, ia memberi tanda kepada rombongannya, untuk mereka itu mengurung, tidak dikecualikan tujuh pahlawan dari istana berikut In Tiong si Boetjonggoan, yang bertugas istimewa untuk raja.

Tiatpie Kimwan menjadi kaget sekali.

"Eh, eh, apakah kamu sudah tidak kenali kami?" dia berteriak-teriak pula, sekarang saking heran dan kuatir. "Kami berdelapan adalah orang-orang Sri Baginda sendiri!"

Kwee Hong tertawa pula dengan sama dinginnya ketika ia berikan penyahutannya: "Dan kami, kami semua bukan suruhannya raja kami! — Hm! Lekas kamu serahkan harta pendaman serta peta buminya!"

In Tiong menjadi sangat gusar.

"Apakah kamu berani mendurhaka?" dia tegur. "Harta pendaman dan peta bumi itu adalah barang-barang yang dikehendaki Sri Baginda!"

"Pergi kamu ke negeri Watzu, akan cari Sri Bagindamu itu!" dia jawab dengan jumawa.

"Harta dan peta bumi itu adalah Ong Kongkong yang menghendakinya!"

Dengan Ong Kongkong itu, Kwee Hong maksudkan Soelee Thaykam Ong Tjin, si dorna kebiri.

In Tiong tercengang.

"Apa kau bilang?" dia tanya. "Bagaimana dengan Sri Baginda?"

Lagi-lagi Kwee Hong tertawa.

"Tidak apa-apa!" jawabnya, sembarangan. "Angkatan perang Watzu sudah masuk ke dalam kota Ganboenkwan dan raja kamu sudah jadi tawanan bangsa Watzu!.....”

Tan Hong segera mengerti segala apa, tanpa tunggu In Tiong layani orang she Kwee itu, ia mendahului buka mulutnya.

"Kakak In Tiong, insafkah kau sekarang?" katanya. "Kita bergabung melawan musuh,itu yang utama!"

Lalu, tanpa tunggu jawaban pula, ia lompat maju akan segera serang Kwee Hong.

Dengan tiba-tiba pun In Tiong naik darahnya. Ia berseru dengan keras, ia lompat ke arah si orang asing, untuk lantas menyerang dengan kedua-dua tangannya, yaitu tangan kiri dengan kepalan, tangan kanan dengan goloknya — golok Ngohouw Toanboen too.

Chalutu gerakkan sebelah tangannya untuk menangkis, atas mana, In Tiong menjadi kesakitan dan kaget. Pecah telapak tangannya yang menyekal golok, tangan itu berdarahdarah,hingga hampir saja goloknya terlepas dari cekalannya.

Tapi orang asing itu bukannya tidak menjerit. Dia telah menangkis dengan sepasang kampaknya, dia berhasil, tetapi pukulan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong juga membuat tubuhnya tersampok terpelanting.
"Bagus, anak, kau liehay!" demikian jeritannya. Sehabis itu, dengan kerahkan semua tenaganya, ia maju mengampak, untuk membalas menyerang. Ia berlaku sangat bengis.

Kwee Hong sebaliknya, karena ia kenal liehaynya si anak muda, tidak berani tangkis serangannya Tan Hong. Ia berkelit, ia memutar tubuh, setelah itu baharulah ia balas menyerang.

Tan Hong menyerang dengan ancaman belaka, begitu ia tampak gerakan lawan, ia berlompat berbalik, hingga di lain saat ia telah dekati Chalutu si orang asing yang kuat, untuk ditikam, di saat kampak kirinya mendesak In Tiong, hingga karenanya, In Tiong jadi terhindar dari bahaya. Mau atau tidak, diam-diam pemuda ini mesti bersyukur terhadap "musuh besarnya" itu.....

Chalutu pentang lebar kedua matanya kapan ia telah lihat tegas, siapa yang merintangi padanya.
"Ha, Thio Kongtjoe, kiranya kau!" dia berseru.

"Kau bukan berdiam di Watzu, mengapa kau datang kemari, apa perlunya?" Tan Hong balik menanya. "Kau harus ketahui, di sini bukanlah tempatmu! Kau lekas pergi!"

Tapi orang asing itu tidak sudi pergi.

"Keluargamu telah sering terima budi besar dari raja kami, apakah benar kau berani berontak?" dia pun balik tanya.

"Biarpun aku terbakar menjadi abu, aku tetap bangsa Tionghoa!" sahut Tan Hong. "Tak mungkin aku bekerja untuk rajamu!"

Chalutu menjadi gusar.

"Memang telah aku lihat kau berhati serong!" katanya. "Sekarang teranglah sudah, kau lari pulang secara diam-diam ke negaramu melulu untuk jadi musuh kami! Hm! hm! Mari makan kampakku!"

Tan Hong tidak tunggu sampai ia diserang. Ia mendahului menyerang orang kosen dari Watzu itu. Dua kali ia mendesak dengan tikamannya.

Chalutu berkelit, dia mainkan kampaknya, yang bagaikan gunung Tay San turun dengan berat ke arah batok kepalanya si anak muda.

Tan Hong ketahui tenaga besar musuh, tidak mau ia adu kekuatan. Ia segera perlihatkan kegesitannya untuk mengimbangi orang kuat itu.

Kekuatan Chalutu tak di sebawahan Tantai Mie Ming, dalam hal enteng tubuh, ia kalah dari Tan Hong, maka itu, guna layani anak muda ini, ia ambil sikap membela diri,sepasang kampaknya melindungkan tubuhnya. Hingga sinar pedang dan kampak saling berkilauan.

Sampai di situ, terjadilah satu pertempuran yang kalut.

Kwee Hong datang dalam jumlah kira-kira empat puluh orang, mereka itu adalah orang-orangnya Ong Tjin, di antaranya orang-orang kangouw dari Hektoo, Jalan Hitam,malah juga orang-orang Hayliong Pang yang turut dalam perebutan Koaywa Lim. Dengan jumlah yang lebih besar, bisa Kwee Hong kurung lawannya. Tapi semua lawan adalah orang-orang pilihan, tidak mudah untuk segera dapat dikalahkannya, mereka ini cuma dapat dibikin mengeluarkan tenaga lebih banyak.

Thio Tan Hong yang cerdik segera melihat suasana.
"Semua mundur ke dalam Pat Tin Touw!" ia berseru setelah ia layani dahulu untuk beberapa puluh jurus.

Chalutu tertawa bergelak.

"Semua barisan batu, apa dia dapat berbuat terhadapku?" katanya dengan jumawa.

Dan ia menyerang dengan kampaknya, membuat setumpuk batu gempur.

Dua pahlawan istana maju, untuk rintangi orang kuat dari Watzu ini, tetapi mereka tidak kenal Pat Tin Touw, mereka justeru masuk ke pintu "mati."

Tan Hong kaget.
"Lekas mundur!" dia teriak-teriak.

Chalutu tidak mau memberi ketika, dia mendesak, kampaknya bergerak liehay dari kiri dan kanan.

Dua pahlawan itu terdesak di antara tumpukan batu, mereka jadi tak leluasa bergerak,maka itu, ketika kampaknya Chalutu turun dengan hebat, mereka tidak berdaya, tubuh mereka terkampak menjadi dua potong.

Karena kemenangannya ini, orang kuat itu tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia rasakan desiran angin di bebokongnya, sambil memutar tubuh, ia menangkis ke belakang. Ia menangkis angin tapi berbareng dengan itu, ia dengar suara memberebet, ialah tanda dari ujung bajunya yang kena disabet robek pedang Tan Hong, sebaliknya, tubuh Tan Hong sendiri tak tertampak. Karena ini, ia memikir untuk lompat keluar. Tapi justeru itu, kembali sinar putih dari pedang berkelebat, ia tampak Tan Hong dengan air muka berseri-seri muncul di kiri, dari antara tumpukan batu. Dengan sebat ia angkat sepasang kampaknya,guna menangkis dan teruskan menyerang juga. Tapi ia kalah sebat, lengan kirinya terlanggar ujung pedang hingga bajunya robek dan dagingnya mengucurkan darah. Tentu
saja ia jadi sangat gusar, maka sambil berteriak, ia lompat akan mengampak pemuda itu.

Tan Hong berada di antara tumpukan batu, ia dapat hindarkan diri, sebaliknya tumpukan batu yang menghalang di hadapannya menjadi gempur runtuh kena kampakan yang dahsyat itu, batu hancurannya terbang berhamburan.

Menggunai ketika itu, kembali Tan Hong menyerang, menikam pundak orang.

Chalutu hendak membalas menyerang tapi ia tidak berdaya. Dengan batu hancur berhamburan, sukar untuk ia melihat tegas tubuh si anak muda yang lincah. Iapun terhalang oleh tin yang ia tidak kenal, sedang Tan Hong dapat bergerak dengan merdeka di antara pelbagai tonggak batu itu.

Sesudah tiga kali kena tertikam, walaupun luka-lukanya tidak berbahaya, baharu Chalutu insyaf, percuma ia andalkan kampaknya atau tenaganya yang besar, maka itu, ia lantas lompat ke tempat yang lebih lega, untuk dari situ putar kampaknya guna bela diri.

Tan Hong kenali ilmu silat Chalutu, yaitu dua jurus tipu yang digabung menjadi satu, di atas Chalutu mainkan "Soathoa khayteng" = "Kembang salju menutupi kepala," dan di bawah "Kouwsie poankin" = "Pohon tua rubuh akarnya." Ia biarkan orang bersilat sendiri,ia hanya tertawa terbahak-bahak, di lain pihak, ia berkelebatan ke sana sini, untuk hajar lain lawannya, hingga ia berhasil melukai beberapa orang lagi. Akan tetapi karena musuh berjumlah besar, mereka tidak dapat dipukul mundur, sedang dipihaknya, dua lagi pahlawan telah terbinasa di tangan musuh itu.

In Tiong, yang gunai Taylek Kimkong Tjioe, telah perlihatkan liehaynya pukulannya yang dahsyat. Beberapa musuh telah rubuh binasa. Ia tengah berkelahi terus ketika ia tampak Anghoat Yauwliong Kwee Hong sedang didesak Tongteng Tjhoengtjoe, si Naga Siluman Rambut Merah itu mendatangi dekat padanya. Ia kenali si Rambut Merah itu, yang ia benci, maka dengan sekonyong-konyong ia tinggalkan lawan-lawannya sendiri, ia mencelat ke arah Kwee Hong itu, untuk segera menyerang dengan tangan kosongnya ke batok kepala orang.

Berbareng dengan itu terdengar teriakan Tan Hong: "Awas, tangannya jahanam itu ada racunnya!"

In Tiong tahu teriakan itu ditujukan terhadap ia, ia terkejut, karena dalam keadaan seperti itu, tidak sanggup ia menarik pulang kepalannya itu.

Kwee Hong lihat orang menyerang padanya, dia menangkis dengan putar tangannya,yang dia buka kepalannya, hingga terlihat tegas telapak tangannya berwarna merah.

Dengan segera kedua tangan bentrok keras, disusul dengan jeritannya Anghoat Yauwliong, yang lengannya kena terpukul parah dan patah seketika, hingga lengannya itu mesti dikasi turun tanpa ia berdaya.

In Tiong juga menjadi kaget sekali. Dengan lantas ia merasakan tangannyapun kaku.

Karena ini, bukannya ia menerjang terus tapi ia lekas-lekas mundur.

"Kakak In, empos semangatmu!" Tan Hong teriaki Boetjonggoan itu. "Tahan napas,jangan kasih hawa beracun naik melewati lenganmu!" In Tiong berpaling kepada anak muda itu, lalu segera ia jatuhkan diri, untuk duduk numprah di tanah.

Thio Tan Hong bersuara pula: "Keng Beng, kau lindungi dia! Jangan ijinkan musuh ganggu meskipun selembar rambutnya!"

Keng Beng pun menoleh kepada Tan Hong, untuk melirik, setelah itu dengan tidak bilang suatu apa, ia dekati In Tiong, untuk menjadi pelindung.

Kwee Hong sementara itu merasakan sakit bukan main, hebat akibat serangan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong, rupanya ia tidak sanggup menderita lebih lama, maka tibatiba,dengan kesehatannya, ia rampas golok seorang kawannya terus dengan itu ia tabas kutung lengannya yang terluka itu sebatas lukanya, setelah mana, seorang diri ia obati lukanya itu. Ia robek bajunya untuk membungkus lukanya.

"Aku tidak akan mati!" dia teriaki kawan-kawannya. "Perhebat serangan!"

Semua orang heran dan kagum atas kegagahan si rambut merah ini, semua lantas berkelahi pula dengan hebat.

Di pihak rombongan Kwee Hong ini, kekurangan satu Kwee Hong memang kurangnya satu tenaga yang berarti tetapi itu tidak membuatnya mereka menderita kerugian sangat besar, itu tidak mengurangkan sangat kurungan mereka. Di pihak Tan Hong hal ada sebaliknya. Kurang satu In Tiong sudah berarti kerugian besar, lalu ditambah dengan Keng Beng, yang seperti ditarik pulang, karena nona ini mesti melindungi In Tiong saja. Di mana jumlah mereka kurang, kehilangan tenaganya Keng Beng besar sekali artinya.

Kwee Hong benar-benar ulet. Ia duduk numprah, tetapi ia masih punya sebelah tangan untuk terus pegang pimpinan, melanjutkan penyerangan, hingga ia berbalik menjadi berada di atas angin.

Tan Hong mesti saksikan pertempuran yang tak selayaknya itu. Ia mengerti, kalau terus ia bertempur secara demikian, di akhirnya ia bakal nampak kerugian. Ia bersusah hati.

Sejenak itu, belum tahu dengan cara bagaimana ia bisa kalahkan musuh, untuk gempur pengurungan nya. Ia telah berhasil merubuhkan lagi beberapa musuh, akan tetapi pihaknya sendiri, kembali rubuh satu jago pilihan dari istana dan dua tjhoengteng.

Keadaan nampaknya makin berbahaya untuk pihaknya.....

Di saat-saat dari kesukaran itu, tiba-tiba dari kejauhan terdengarlah suara seruling,mulanya sayup-sayup, lalu perlahan-lahan menjadi terang, ialah suara itu datangnya dari arah pohon-pohon bunga di lamping bukit. Sang angin telah membawanya suara itu, berikut suara nyanyian yang menimpali irama seruling itu:

"Siapakah yang ramai-ramai menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe dan Hangtjioe?
Bunga teratai tersiarnya sepuluh lie,
Bunga koeihoa mekarnya tiga bulan.
Siapa tahu, pohon-pohon adalah benda tak berbudi,
Dia menyeret bagaikan sungai Tiangkang, Menyebabkan kedukaan dari laksaan tahun!
Ya, ya, dia menyeret bagaikan sungai Tiangkang,
Dia menyebabkan kedukaan dari laksaan tahun....."

Halus tetapi terang nyanyian itu, tarikannya bagaikan tarikan penasaran atau keluhan.

Kata-kata nyanyian itu justeru adalah kata-kata tulisannya Tan Hong pada gambar lukisannya!

Sejenak saja, bagaikan terkontakkan hawa listrik, Tan Hong tercengang. Tapi ia tak usah tergugu lama atau menanti lama-lama. Segera juga dari antara pohon-pohon bunga, yang banyak bunganya, ia tampak munculnya satu nona remaja yang tangannya menyekal sebuah seruling pendek, tindakan nya perlahan.

Nona itu mengenakan pakaian warna mirip dengan airnya telaga, ujung baju dan celananya tertiup-tiup angin. Ia beroman cantik sekali, setimpal dengan tindakannya yang elok, hingga ia bagaikan seorang dewi.

Terkejut Tamtay Keng Beng menyaksikan nona itu, sedang ia sendiri adalah satu anak dara yang cantik manis, di dalam hati kecilnya, ia menanya: "Adakah dia dewi dari telaga Thayouw ini yang terbang naik ke puncak gunung?" Ia menjadi malu sendirinya, sebab ia biasa merasa angku sekali dengan kecantikannya, sekarang ia kalah pamor.....

Beda daripada si nona Tamtay itu, Thio Tan Hong, yang telah sadar dengan segera,sudah segera memanggil: "Adik kecil!"

"Oh!....." seru Keng Beng, tertahan. Tak dapat ia mengatakan sesuatu, ia sudah lantas dapat merasakan suatu perasaan, entah perasaan apa itu.....

Pada matanya In Tiong juga sudah lantas tampak suatu sinar terang.....

Datangnya si cantik secara mendadak itu, menyebabkan pertempuran jadi terlambat,karena semua orang, mau atau tidak, dengan sendirinya, sudah menoleh mengawasi nona itu.

"Ah, perempuan ini tentunya perempuan sesat!.....” seru Kwee Hong. "Lekas membagi diri! Cegat kepadanya! Jangan kasi dia menyerbu!"

Si nona sendiri, sebaliknya tetap bungkam, hanya tindakan kakinya, yang perlahan,tak ia hentikan. Ia maju terus, tetap dengan perlahan.....

Semangatnya Tan Hong terbangun secara tiba-tiba. Dengan mendadak dia perdengarkan suitan panjang, berbareng tubuhnyapun mencelat, lompat dari batu yang satu kepada batu yang lain! Sambil berbuat demikian, ia terjang musuh-musuhnya.

Dengan cepat ia telah melukai beberapa di antara mereka itu.

Dengan waktu tidak lama, ia sudah lantas berada di luar kurungan di mana, dengan cepat ia lompat kepada si nona yang baharu datang itu, tangan siapa ia segera sambar!

"Ah, adik kecil!" serunya, "kau pun datang juga!....."

Ia ada demikian bernapsu dan gembira, hingga ia melelehkan air mata.

Si nona kibaskan tangannya, untuk lepaskan cekalannya si anak muda. Tetapi ia bukannya bergusar, ia bukannya tak menyukainya, ia hanya pakai tangannya itu untuk menghunus pedangnya.

"Sret!" demikian pedangnya itu bersuara.
"Mana kakakku?" tanyanya.

Nona ini adalah In Loei. Dia telah tiba di Kanglam, wilayah Selatan yang beda sekali daripada tanah Utara, maka juga setibanya ia di sini, ia telah salin pakaian — tidak lagi ia menyamar sebagai satu pemuda. Maka menterenglah kecantikannya itu.

"Kakakmu terkurung di dalam tin itu!" Tan Hong beritahu. "Marilah lebih dahulu kita pecahkan kurungan musuh, baharu kita bicara!"

Kwee Hong sementara itu sudah berhasil dengan pemecahan tenaganya. Dia telah tugaskan lima jago pilihan untuk rintangi Tan Hong dan In Loei. Lima jago itu tidak kenal si pemudi, mereka memandang enteng pemudi itu, tiga di antaranya sudah lompat menerjang, mendahului dua yang lain.

Dan si pemudilah yang mereka serang!

In Loei sudah hunus pedangnya, dengan sebat ia menangkis. Maka berkelebatlah suatu sinar pedang yang hijau, menyusul mana, nampak pula cahaya putih yang berkilau, dari pedangnya Tan Hong, ia mendahului sinar hijau itu, hingga kedua sinar, berbaling silih ganti. Dan dengan tergabungnya kedua sinar, yaitu kedua pedang, hebatlah akibatnya. Di mana dua jago yang lain pun telah tiba dengan cepat dan sudah lantas menerjang juga, dalam dua gebrakan saja, ke limanya rubuh semuanya, tanpa mereka sempat menjerit lagi, tubuh mereka bergulingan ke kaki bukit!

Kwee Hong saksikan terjangan jago-jagonya, ia lihat kesudahannya pertempuran itu, ia menjadi sangat kaget.

Bagaikan dua bayangan, Tan Hong dan In Loei sudah lantas tiba di dalam Pat Tin Touw, keduanya sudah lantas beraksi. Ke kiri dan kanan tubuh mereka bergerak, dengan lincah serta rapi, erat perhubungannya. Di antara tonggak-tonggak batu mereka nyeplos sana dan nyeplos sini, bagaikan capung menyambar air atau kupu-kupu menembus bunga-bunga, sinar pedang mereka tak hentinya berkilau, berkelebatan. Tubuh mereka bagaikan berada di empat penjuru, di delapan persegi, kedua sinar pedang putih dan hijau bergulungan berpencaran, bergulungan pula. Ke mana sinar pedang menyambar, di situ ada musuh yang terluka atau rubuh, maka juga, dalam tempo yang cepat, orangorangnya Anghoat Yauwliong telah menjadi berkurang lebih daripada separuhnya.

Chalutu menjadi bermata merah bahna murka dan mendongkolnya. Ia lompat menerjang, ia mengampak Tan Hong dengan sepasang kampaknya.

Thio Tan Hong tertawa, tangannya yang menyekal pedang diputar dari kiri ke kanan,sedang pedangnya In Loei, yang bergerak berbareng, digeser dari kanan ke kiri. Maka bersatulah kedua pedang! Dan terdengarlah satu suara keras dan nyaring, atau kedua kampaknya Chatutu telah tertangkis terpental, hampir terlepas dari cekalan, sebab telapak tangan si pemilik kampak dirasakan sangat sakit, telapak tangan itu bermandikan darah!

Chalutu sangat agulkan kekuatannya, dia jumawa sekali, sekarang insyaflah ia,sepasang pedang dari kedua lawannya itu nyatalah ada jauh terlebih hebat daripada sepasang kampaknya itu!

Tan Hong pun kagum akan menyaksikan kampak lawan tidak terpental terlepas. Ia lantas tertawa pula! "Nah, marilah sambut lagi ini!" seru dia kepada lawannya itu, lalu sambil miringkan sedikit tubuhnya dari arah samping, ia menikam.

Chalutu masih sanggup tarik pulang sepasang kampaknya, masih kuat ia menyekal senjatanya itu, untuk menangkis serangan. Kalau tadi ia yang menyerang, sekarang ia jadi si pembela diri. Ia memecah kampaknya, ke atas dan kebawah, dengan tipu silat "Tjiethian watee," atau "Menundukkan langit, menggores bumi." Di atas ia menangkis untuk bela diri, di bawah ia membabat ke arah kaki.

Berbareng dengan itu, juga pedangnya In Loei bergerak, mengimbangi gerakan pedangnya Tan Hong, maka setelah ke empat senjata bergerak berbareng, terdengarlah pula suara nyaring dari bentroknya kedua pasang senjata itu. Begitu hebat kampaknya Chalutu, kedua kampaknya turun terus, mengenai tonggak batu, hingga tonggak itu gempur, batunya hancur, terbang berhamburan!
Tapi Tan Hong berdua In Loei, telah berkelit diri.

"Kau pergilah pulang!" demikian suara si anak muda, setelah ia maju pula dengan satu lompatan pesat, hingga ujung pedangnya segera dapat diarahkan ke bebokong musuh, ke arah urat besar!
Chalutu segera perdengarkan jeritan keras, berbareng dengan terlepas dan terlemparnya sepasang kampaknya, ia menyemburkan darah hidup dan dalam mulutnya, lalu dengan terhuyung-huyung tubuhnya rubuh ke tanah, tanpa bergerak lagi.

Melayanglah jiwanya!

Kwee Hong yang melihat itu, kaget bukan main, hatinya menjadi ciut. Sekarang tak ingat lagi ia kepada tugasnya memegang pimpinan, malah melupakan lengannya yang sakit, ia ulur tangannya yang satunya pula, ditempel kepada tanah, untuk ia kerahkan tenaganya mengenjot diri, untuk berlompat jumpalitan, untuk setelah itu, mencari jalan menyingkirkan diri. Ia gunai kedua kakinya dan tubuhnya juga, ialah habis berlompat, ia bergulingan.....

"Ke mana kau hendak kabur?" bentak Tamtay Keng Beng, yang lihat aksi musuh itu. Sambil berseru, si nona berlompat, pedangnya menuding ke arah musuh, tepat menancap di dada ujungnya tembus ke bebokong, hingga si Naga Sakti Rambut Merah tak dapat bernapas terlebih jauh!

Lagi sejenak, maka berhentilah pula pertempuran yang dahsyat itu. Di pihak Kwee Hong, orangnya habis musnah. Di pihak Tan Hong, empat pahlawan istana binasa dan satu terluka. Syukur bagi Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam, mereka tidak kurang suatu apa. Pada pihaknya Tongteng Tjhoengtjoe ada kerugian beberapa orang binasa dan luka.

Dengan tidak membuang tempo lagi, Tan Hong ajak In Loei lari kepada In Tiong yang terluka parah, mereka lihat anak muda itu separuh meram, dan tangannya bengkak seumpama lodong.
In Loei lantas bercucuran air mata.

"Koko" dia lompat kepada kakaknya itu.

Tan Hong segera maju menghampirkan. "Adik kecil, adik kecil!" Tan Hong berkata, "biarkan kakakmu beristirahat! Mari kita gendong dahulu ia, untuk dibawa pulang ke rumah!.....”

In Loei sangat menyayangi kakaknya itu, ia berkuatir, dari itu, ia seperti tidak gubris nasihatnya Tan Hong itu.

Syukur bagi In Tiong, dia telah dapat empos semangatnya, bisa ia menahan napas,walaupun lengannya parah, namun racun, tidak berhasil mendesak sampai kehati.

"Koko, bagaimana kau rasa?" In Loei tanya kakaknya itu. "Toa..... Tan Hong, apakah lukanya kakakku ini berbahaya?"

Si nona tanya kakaknya, lalu tanpa tunggu jawahan, ia balik menanya Tan Hong, yang hampir saja ia panggil toako. Memang telah biasa ia menggunakan kata-kata toako itu,hanya sekarang dihadapan In Tiong dan beberapa orang lainnya, tiba-tiba ia merasa likat.

Karena menyebut nama Tan Hong itu, dengan sendirinya wajahnya menjadi bersemu dadu.
"Tidak, tidak apa-apa....." Tan Hong jawab.
"Hanya terlebih baik biarkan dia beristirahat.....”

In Tiong sendiri telah tidak jawab adiknya itu, sewaktu ditanya, dia tengah memejamkan mata, ia seperti tak sadar akan dirinya. Baharu kemudian, mendadak ia buka kedua matanya.

"Kau siapa?" ia balik tanya adiknya.
"Koko, akulah adik kandungmu," In Loei jawab.
In Tiong lirik Tan Hong, lalu ia tertawa dingin.
"Kau adik kandungku? Apakah kau tidak keliru kenali orang?" dia tanya adiknya.

In Loei menangis.

"Koko, kau tega." Kata dia. "Betapa sengsara aku mencari kau.....”
"Adakah aku mempunyai adik perempuan yang sedemikian baik hatinya?" In Tiong masih mengejek.
"Memang aku adalah adik kandungmu." sang adik bilang. "Jikalau kau tidak percaya.....”
"Bukti apa kau ada punya?" kakak itu tanya, keras.

In Loei kertek giginya, tangannya merogo ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan surat wasiat kulit kambing yang bertuliskan dengan darah. "Koko, kau lihat ini!" ia kata.

Dua saudara ini memang masing-masing ada punyai separuh dari surat wasiat itu, itu adalah bukti paling kuat.

In Tiong lirik surat wasiat itu, lalu ia lirik juga si nona. Ia lihat dua butir air mata jatuh dari kedua matanya adik itu.

"Hm," katanya, "masihkah kau ada punya muka untuk keluarkan surat wasiat engkong?"
Tahu sudah In Tiong akan adiknya ini tetapi sengaja ia bawa sikapnya itu, untuk paksa si adik keluarkan surat wasiat itu.

Sakit rasanya hati In Loei, tetapi karena sikap aneh dari kakaknya ini, ia tidak jadi menangis, air matanya tak mengucur terlebih jauh.

Sehabis mengejek adiknya itu, In Tiong pandang Tan Hong, sekonyong-konyong ia angkat tangannya untuk menuding. Di saat ia hendak buka mulut, untuk mengatakan sesuatu, sekonyong-konyong juga Tan Hong berlompat, dengan jari-jari tangannya yang kuat bagaikan tombak cagak, ia totok lengannya In Tiong itu. In Loei kaget bukan kepalang.

"Hai, kau berbuat apa?" dia tanya.
Tan Hong belum menjawab, atau In Tiong sudah menghela napas.
"Thio Tan Hong, tidak usah kau berlaku baik hati, tak usah kau berpura-pura," ia kata.
"Aku, walaupun aku mesti terbinasa, tidak nanti aku kesudian menerima budi kebaikanmu.....”

Mendengar ini, In Loei lantas insyaf.

Nyatalah Tan Hong bukan serang kakaknya itu, yang sedang sakit dan tidak berdaya,tapi Tan Hong justeru menggunakan kepandaiannya untuk tolong sang kakak. Serangan itu adalah semacam pukulan untuk mencegah jalan darah, guna mencegah racun menjalar naik.

"Adik kecil, marilah kita lekas pulang!" Tan Hong kata tanpa mempedulikan sikap kasar dari si Boetjonggoan. "Mari, mari, kita, bicara!"

Dan dengan ulur tangannya, ia tarik tangan baju si nona.

In Loei melirik kepada kakaknya, lantas ia putar pergelangan tangannya, dengan begitu loloskan cekalannya si anak muda. Mukanya menjadi pucat pias, ia berdiri tanpa sepatah kata.

Tan Hong jadi sangat bersusah hati, ia pun jengah, maka dengan membungkam ia menjauhkan dirinya.

Tamtay Toanio, yang sejak tadi berdiam saja, menggeleng kepala.

Tamtay Keng Beng jadi sangat heran, hingga di dalam hati kecilnya, berkata: "Jikalau kata-kata Tan Hong yang aku dengar di dalam guha, terang sekali dia sangat erat hubungannya dengan nona ini, mestinya si nona adalah jantung hatinya, maka heran, kenapa nona ini bersikap begini tawar terhadapnya?"

Sambil berpikir demikian, Keng Beng menoleh kepada Tan Hong, justeru si anak muda angkat tangannya, menggape kepadanya.

Dengan hati bimbang, Nona Tamtay menghampiri anak muda itu.

Tan Hong tunggu orang telah datang dekat sekali padanya, ia berkata dengan perlahan: "Lukanya In Tiong bercampur racun tangan liehay, luka itu tidak dapat dia mengobatinya sendiri. Aku Dewi ada KZ punya obat mustajab warisan leluhurku, hendak aku ajarkan kau cara mengobatinya, untuk kau obati dia hingga menjadi sembuh.....” Sambil berkata Tan Hong sambil serahkan obatnya yang lantas diterima oleh Keng Beng.

"Siapakah nona itu?" Keng Beng tanya.
Tan Hong menyeringai ketika ia jawab: "Aku adalah musuh dia!"
Nona Tamtay melengak.
"Apa? Dia itu musuhmu?" ia tanya.
"Bukan! Akulah musuh dia!" sahut Tan Hong. "Oh, bukan! Dia anggap aku adalah musuhnya.....”
"Kalau begitu, kenapa tidak kau sendiri yang obati dia?" Nona Tamtay tanya. Ia masih heran. "Tidakkah dengan begitu, permusuhan dapat dibikin habis?"

Tan Hong tertawa.

"Aku justeru tidak ingin dia ketahui bahwa akulah yang menolongnya," ia jawab. "Aku tak ingin nanti dia mengatakan, aku tolong dia justeru dia tengah terancam bahaya maut,supaya aku jadi melepas budi terhadapnya."

Sementara itu Tongteng Tjhoengtjoe sudah lantas suruh satu orangnya gendong In Tiong untuk dibawa pulang. Ketua Tongteng Santjhoeng ketahui pentingnya waktu, jadi tak dapat mereka berdiam lama-lama di dalam tin itu.

In Loei lantas berjalan mengikuti, tapi satu waktu ia menoleh ke belakang, maka matanya segera bentrok dengan satu pemandangan, yang membuat hatinya tergerak. Ia tampak Tan Hong jalan berendeng dengan Keng Beng, pemuda dan pemudi itu tengah berbicara satu dengan lain, muka mereka dekat sekali satu pada lain, hingga mulut si anak muda bagaikan nempel kepada rambut di samping kupingnya si nona. Mereka pun bicara sambil tertawa-tawa, agaknya mereka tengah bergurau.

Tak keruan rasa hatinya Nona In ini.

"Baiklah, kau tidak pedulikan aku, aku juga tak akan pedulikan kau!" pikirnya, "bila diumpamakan saja sebagai orang yang belum pernah kenal satu pada lain, kita berpisah saja, habis perkara!.....”

Tiba-tiba saja muncul kesedihannya si nona, tanpa dapat ia pertahankan lagi, air matanya turun mengetes.

"Nona, luka kakakmu tidak berbahaya," berkata Tongteng Tjhoengtjoe, membujuk.
"Jangan kau menangis....."

Ketua rumah ini tak tahu hati orang, ia menyangka si nona kuatirkan keselamatan jiwa kakaknya, maka itu ia menghiburkannya.

In Loei berdiam, ia seperti tidak mendengarnya. Ia sekarang menangis dengan tersedusedu.

Ketika di akhirnya orang sampai di Tongteng Santjhoeng, itulah waktunya asap mulai mengepul dari dapurnya setiap rumah.

Tongteng Tjhoengtjoe pernahkan In Tiong dalam sebuah kamar bersih dan sunyi, ia tugaskan satu orangnya untuk menjaga dan melayaninya. Di lain pihak, ia perintahkan lekas mensajikan barang hidangan.

Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam menjadi tak enak hati. Tuan rumah sangat manis budi dan ramah tamah sekali, ia juga tidak hendak sebut-sebut halnya mereka itu datang untuk mencari harta simpanan.

Selagi bersantap, dua orang itu menghaturkan terima kasih kepada Tan Hong yang telah tolongi mereka.
Tak lama sehabis dahar, semua orang undurkan diri untuk beristirahat.

Tamtay Keng Beng taati pesan Tan Hong. Sehabis bersantap, seorang diri ia pergi ke kamar In Tiong. Dari luar kamar ia sudah tampak sinar api, yang memperlihatkan bayangannya In Loei. Ia hentikan tindakannya di muka pintu.

"Koko, kakek kita bukanlah dia yang mencelakainya," begitu ia dengar Nona In bicara kepada kakaknya. "Tentang itu, Ie Kokioo sudah membicarakannya dengan jelas sekali.Maka itu, sakit hati itu baiklah jangan dibalas lagi."

"Habis apa kau hendak bilang tentang sakit hati selama dua puluh tahun kakek mesti menggembala kuda?" terdengar In Tiong, sang kakak.
"Itulah perbuatan ayahnya," In Loei bilang. "Memang perbuatan itu tidak selayaknya.
Itu juga bukannya suatu permusuhan yang hebat sekali." In Tiong tertawa dingin.
"Pandai kau membelai musuh!" katanya, tajam.

In Loei lantas menangis.

"Koko....." katanya, tertahan.
"Apa?" sang kakak bilang. "Gadisnya Keluarga In dilarang tidak bersemangat jantan!"

In Loei gigit giginya atas dan bawah, ia seka kering air matanya.

"Koko, gurumu sendiripun mengatakan bahwa Thio Tan Hong itu adalah orang kaum kita," berkata ia, sungguh-sungguh. "Yang mesti diutamakan adalah musuh luar, musuh asing, maka segala apa yang dapat disudahi, baiklah dibikin habis saja.....”

Berulangkah In Tiong perdengarkan suara tawarnya, "Hm! Hm!" Kemudian dengan tiba-tiba, ia kata dengan keras: "Aku tahu kau memang cintai bocah she Thio itu!"

In Loei sudah pertahankan sedapat-dapat untuk tidak menangis, tetapi mendengar suara kakaknya itu, ia menangis pula menangis dengan merasa malu dan mendongkol.

"Siapa bilang aku cinta ke padanya?" dia tanya dengan keras. "Dia..."
"Kau cinta dia, baik! Kau tidak cinta dia pun baik!" kakak itu memotong. "Tapi, pendek kata, aku larang kau menikah dengan dia!"
"Diapun telah punyakan orang yang dia penujui!" In Loei berseru. "Seumurku, tidak akan aku menikah, maka tak usahlah kau capekan hati untukku!"

In Tiong melengak. Ia juga mendongkol. Di dalam hati kecil, ia kata: "Kiranya karena kau tidak dapat menikah dengan Tan Hong, kau jadinya tidak sudi menikah....."

Sebenarnya hendak kakak ini tegur adiknya itu, atau ia lihat kedua mata adiknya merah, ia jadi batal sendirinya. Sesaat itu ia ingat bahwa adik ini adalah adik satusatunya,sedang pertemuan mereka ini adalah yang pertama sejak perpisahan mereka belasan tahun. Ia menjadi tak tega hati. Di akhirnya, ia menghela napas sendiri.

Adalah di saat itu, mereka dengar suara pintu berkeletek, disusul oleh suara batukbatuk perlahan, lalu daun pintu terpentang, tertolak dari luar, dari mana terlihat Nona Keng Beng bertindak masuk.

In Loei jengah sendirinya. Baharu ia bicarakan nona itu, sekarang si nona sendiri muncul. Tapi ia paksakan hati, untuk menyambutnya sambil tertawa.

"Terima kasih, nona," kata In Tiong. "Sebenarnya tidak berani aku mengharap kedatanganmu ini.....”
Nona Tamtay berlaku polos.

"Mari ijinkan aku lihat lukamu," ia kata, langsung.
"Lukaku tidak berarti, terima kasih untuk perhatianmu," kata pula In Tiong,
"Loei, tolong kau antarkan nona ini."

Sebenarnya mendongkol Keng Beng melihat sikap dan mendengar perkataan In Tiong itu, akan tetapi ia dapat atasi dirinya. Ia melirik, ia lantas bawa sikap seperti tak terjadi sesuatu. Malah ia tertawa tertahan.

"Benarkah tidak apa-apa?" tanyanya, masih tertawa. "Cobalah kau menyedot napas,ingin aku lihat!"

Tadi In Tiong bentrok sama adiknya, karena bangkitnya kemurkaannya, lukanya kambu tanpa ia merasa, racun bekerja, maka itu, waktu ia menarik napas, ia merasakan dadanya sesak, iapun ingin tumpah-tumpah.

Keng Beng lihat itu, segera ia kata: "Jikalau kau tidak obati lukamu ini, kau tak akan dapat lewatkan malam ini jam dua belas! Untuk satu laki-laki, walaupun ada dibilang, dia pandang kematian bagaikan berjalan pulang, akan tetapi kematianmu secara begini, sungguh-sungguh sangat tidak berharga! Kalau aku, hm, tidak nanti aku sudi menjadi lakilaki semacam itu!.....”

Mendadak wajahnya In Tiong menjadi pucat pias. Ia rasakan lukanya mendatangkan rasa sangat sakit yang sangat.

"Nona Tamtay, tak dapatkah dia diobati?" In Loei tanya nona rumah.
"Aku hanya kuatir kakakmu menolak orang hingga satu lie lebih!" sahut Keng Beng.

Penyahutan ini ada mengandung dua maksud: Satu menyindir In Tiong, dan kedua,mengenai juga penolakan In Tiong itu untuk Tan Hong.

In Tiong tidak menginsafi itu, ia kata: "Terima kasih, nona. Di sini aku telah menjadi tetamumu, sebenarnya tidak berani aku membuatnya kau berabe.....”

In Loei sebaliknya mengarti akan maksud kata-kata itu.

"Kiranya Tan Hong telah bicara segala apa kepada nona ini.....” pikirnya. Ia jadi berduka. Tapi di sini ada mengenai keselamatan kakaknya, suka ia menindas perasaan hatinya. Maka ia kata: "Jikalau nona dapat menolong kakakku ini, kita berdua saudara akan bersyukur tak habisnya."

"Tak usahlah kamu bersyukur," bilang Nona Tamtay, yang sebenarnya hendak mengatakan, "Sudah cukup untukku asal kau tidak benci dan mencaci aku.....” Tibatiba ia merasa seperti melihat Tan Hong lirik ia, maka pikirnya terlebih jauh. "Perlu apa aku melukai hati kekasihnya?" Ia lantas lirik pula In Loei, di dalam hatinya dengan menyesal ia kata: "Nyatalah nona ini ada jauh terlebih beruntung daripada aku.....”

Segera nona ini keluarkan obatnya, yang ada dua rupa, yaitu satu untuk dimakan, satu lagi untuk dipakai di luar. Ia juga membekal sebilah pisau perak serta segumpal kapas.

"Entjie, kau tolong bantu aku," ia mohon kepada In Loei.

Tangan baju In Tiong segera digulung naik. Tempat yang luka, yang bengkak, lantas digurat dua kali, merupakan segi empat, kemudian, dengan cekal lengan orang, Nona Tamtay gunai jari-jari tangannya akan menekan, atas mana, dari luka guratan itu sudah lantas mengucur keluar darah yang hitam, yang berbau bacin.
Sebat bekerjanya nona rumah ini. Setelah merasa darah sudah keluar cukup, ia sekai luka itu untuk bersihkan darahnya, lalu ia memborehkan obat, yang lebih jauh ia tutup pula dengan kapas untuk terus dibalut.

Lengan In Tiong itu sebenarnya kaku dan ba'al, tidak mendatangkan rasa sakit, akan tetapi setelah perawatannya Keng Beng itu, sebentar kemudian, anak muda ini merasakan tekanan, atau pencetan, sepuluh jari si nona, membuatnya ia merasa sakit sedikit, sakitsakit enak.....

Selama di gurun pasir Utara, jarang In Tiong melihat nona-nona remaja, sekarang ia menghadapi nona ini, yang cantik manis luar biasa, tanpa merasa hatinya tergerak, jantungnya berdenyut dan goncang bagaikan berlompatan. Kulit mukanyapun ia rasakan panas sendirinya.

"Budimu yang sangat besar ini, nona, tidak nanti aku melupakannya," kata ia akhirnya.
"Menyesal aku telah membuatnya kau bercape lelah.....”

Tamtay Keng Beng tidak angkat mukanya ketika ia berikan penyahutannya: "Aku lihat kau adalah satu laki-laki sejati, mengapa sekarang kau bawa sikapmu sebagai satu nona pemaluan?"

In Tiong adalah satu laki-laki, jikalau di waktu-waktu biasa ada orang mengatakan ia bersifat bagaikan perempuan, ia tentu akan gusar, sebab ia anggap itu suatu penghinaan besar, tetapi sekarang Tamtay Keng Beng yang mengatakan itu, sebaliknya, ia jadi merasa sangat senang. Begitulah ia merasa mukanya panas.....

"Terima kasih, entjie," kata In Loei setelah nona itu selesai dengan tugasnya. "Biarlah selanjutnya aku yang merawati kakakku ini."

Memang niat Keng Beng, sehabis mengobati, hendak ia lantas undurkan diri, maka ketika mendengar perkataan itu, ia tinggalkan sisa obat, ia berikan petunjuk terlebih jauh, setelah kesemuanya itu, tanpa mengucap sepatah kata, cuma dengan manggut perlahan kepada Nona In itu, ia bertindak pergi.

Heran In Loei menyaksikan sikap itu.

"Nona ini datang untuk menolongi, kenapa sikapnya begini dingin?" ia berpikir.
"Mungkinkah dia telah dengar perkataan-perkataanku tadi?.....”

Karena ini, ia menjadi merasa kurang tenang.

In Tiong tunggu sampai suara tindakan kaki orang mulai lenyap, baharu ia buka mulutnya.

"Nona Tamtay itu baik sekali!" bilangnya. Pada sinar matanyapun nampak tanda bahwa ia merasa puas, sinar mata itu bersorot halus.

Mendengar ini, melihat sinar mata kakak itu, hati In Loei tergerak. Segera teringat ia akan pertemuannya tadi dengan Tan Hong. Ia pandang kakaknya itu, hendak ia bicara,atau ia batal sendirinya.

In Tiong lihat wajah adiknya itu, kelakuan mana agak luar biasa, ia menjadi heran. Bibir adik itu sudah hendak bergerak, lalu urung. Sinar mata adik itupun yang semula bercahaya, lalu guram. Nampaknya adik itu berkuatir atau tegang. Paras adik itu mendatangkan rasa kasihan orang.....

Nona Tamtay di lain pihak sudah berjalan terus, ia melintasi lorong, ia mutar ke gunung-gunungan palsu, dari mana ia hendak langsung pergi kepada Tan Hong, untuk melaporkan bahwa tugasnya telah selesai.
Tan Hong tetap bertempat di dalam kamar indah di tengah empang teratai itu. Ketika itu sang rembulan dari tanggal muda baharu saja mulai muncul, menyinari bunga teratai,membuatnya suasana di situ sangat tenang. Ketika itu si pemuda tengah menyenderkan tubuh kepada loneng. Ia mengenakan pakaian serba putih, yang putih mulus bagaikan salju. Matanya memandang jauh ke depan, dari mulutnya terdengar suara bersenanjung perlahan.

Keng Beng menghentikan tindakannya ketika ia dengar suara orang, yang telah terbawa angin. Ia mengawasi sambil memasang kuping.

Yang disuarakan itu adalah syair "Lim Kang Sian" atau "Dewi turun ke sungai" dari Lok Kian Ie dari negeri Houw Siok, Siok Belakangan, dari jaman Ngo Tay. Tamtay Keng Beng kenal syair itu, di dalam hati kecilnya, ia kata: "Dia pinjam syair itu, inilah sangat tepat.

Tepat tempatnya, tepat suasananya. Dari telaga ini ia memandang keselatan, di sanalah kota Souwtjioe. Kota Souwtjioe itu dahulu adalah tempat letaknya istana Thio Soe Seng,hanyalah sekarang, istana itu telah menjadi tanah belukar, gempur temboknya, lebat lumut dan rumputnya. Pantas dia teringat akan itu semua.....”

Setelah berdiam sejenak, nona ini berpikir pula: "Dia mengenangkan negaranya begini rupa, toh dia hendak serahkan peta buminya dan harta pusakanya kepada musuh dari leluhurnya, yaitu kaisar ahala Beng, sikapnya dan perbuatannya itu, sungguh ada hal yang ganjil.....”

Selagi ia bagaikan melamun, nona ini dengar lebih jauh suara orang, yang di akhiri tangisan sesegukan. Ia menjadi heran sekali. Tidak ia sangka, pemuda yang gemar tertawa itu pun bisa menangis. Ia turut menjadi terharu. Tapi, sehabis menangis, tiba-tiba Tan Hong tertawa, akan akhirnya dia bersenanjung pula: "Tali baju menjadi longgar, tidak aku menyesal, untuk dia aku menjadi kurus layu, aku pun puas. Apakah yang hendak dibuat duka? Ya, adik kecil, adik kecil, walaupun kau menyiksa pula padaku, tidak nanti aku gusar dan sesalkan kau.....”

Mendengar itu, Keng Beng menjadi tidak keruan rasa, perasaannya pun menjadi campur aduk. Ia berduka. Ia tersadar dengan terkejut ketika kemudian ia tampak bayangan bunga telah bergeser, sedang dari luar pekarangan, ia dengar suara kentongan,yang berbunyi tiga kali. Tidakkah ia datang ke situ untuk memberi laporan kepada Tan Hong? Kenapa ia berdiam saja di tengah jalan, seperti ia takut menemui Tan Hong itu ?

"Nyatalah sangat sekali cintanya ia terhadap In Loei," ia berpikir. "Untuk In Loei itu, ia rela menderita. Seandainya ada lain orang yang menyinta aku seperti cintanya dia itu, oh,matipun aku puas..... Ah, sayang sekali mereka ada dari keluarga-keluarga yang saling bermusuh.

In Tiong ada demikian berkeras hati, bagaimana nanti

-ooo00dw00oooTiraikasih

Nona Tamtay terus berdiri diam, pikirannya terus bekerja keras, hingga tak sadar ia bahwa sang waktu telah berjalan terus, sampai kemudian, ketika ia angkat kepalanya memandang ke arah Tan Hong, anak muda itu telah lenyap dari tempatnya meloneng tadi.

"Rupanya sia-sia ia menantikan aku, ia sudah lantas pergi tidur," ia berpikir.

Karena ini, Keng Beng lantas membalik tubuh, untuk jalan kembali. Tengah ia keluar dari gunung-gunungan, ia lihat satu tubuh berkelebat di antara pohon-pohon bunga,segera ia lompat maju untuk memapaki, segera In Loei tampak di depannya.

"Oh, entjie." ia membuka suara. "Sudah begini malam, kenapa kau masih belum tidur?"

Nona In melengak.

"Aku baharu saja tunggui kakak tidur," ia menyahut kemudian. "Aku keluar untuk mencari angin.....”

"Bagaimana keadaannya kakakmu?" Keng Beng tanya pula.

"Terima kasih, entjie. Sungguh kau pandai mengobati, sekarang bengkaknya lengan kakakku telah kempes delapan atau sembilan bagian. Aku percaya, besok kakakku akan sudah dapat turun dari pembaringan."
Selagi mengucap demikian. In Loei merasa sangat heran. Ia berpikir: "Tadi di waktu merawat kakak, dia bersikap sangat tawar, mengapa sekarang dia sangat ramah tamah terhadap aku?"

Keng Beng bersenyum. Ia seperti tidak ambil pusing bahwa orang heran, ia malah ulur tangannya ke pundak nona itu, ia dekatkan mulutnya kekuping si nona. Terus saja ia berbisik: "Entjie, jangan kau mengucap terima kasih terhadap aku..... kau seharusnya bersyukur kepada Tan Hong....."

In Loei makin jadi heran. "Apa?" tanyanya.
"Obat adalah kepunyaannya, pun cara mengobatinya dialah yang mengajarinya padaku," Nona Tamtay jawab.
"Oh!" In Loei berseru, lalu ia bungkam, matanya mendelong. Untuk sejenak itu tak dapat ia berkata-kata.

Keng Beng melanjutkan perkataannya. Ia kata: "Kemarin dia lihat In Toako memaksa kau keluarkan itu surat wasiat kulit kambing yang berdarah, dia tidak menghendaki kau dan kakakmu ketahui bahwa dialah yang memberi obat, maka dia pinjam tanganku."

Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata: "Kiranya kemarin mereka bicarakan urusan ini, nyatalah anggapanku itu keliru." Karena ini, ia jadi bersyukur kepada Tan Hong, ia menginsyafi perhatiannya anak muda itu. "Ah, mengapa ia mesti berbuat demikian?" katanya, menanya.

"Umpama akupun menyukai satu orang, aku akan berbuat demikian juga," ia bilang.

"Asal saja orang akan merasa beruntung, tidak ada artinya kalau kita sendiri rugi sedikit.....”

Kembali In Loei melengak.

"Nona ini baharu kenal aku, kenapa dia bergurau begini rupa?" ia pikir. Tapi ia merasa bahwa orang rupanya bersungguh-sungguh, maka ia menatap, hingga sinar kedua pasang mata jadi bentrok satu pada lain. Ia lantas lihat bahwa pada senyuman nona itu ada apaapa yang dingin.

Nona Keng Beng ada cerdik sekali, melihat wajahnya In Loei, ia menduga bahwa orang masih bercuriga, maka itu, ia gigit kedua baris giginya dengan keras, untuk menguasai dirinya, guna cegah berdenyutnya jantungnya.

"Kakakmu adalah satu laki-laki, entjie, hanya sayang ia sedikit keras kepala," ia bilang.

Kembali heran In Loei akan dengar kata-kata itu, akan tetapi kakaknya dipuji, ia lantas tertawa. Apakah kau hanya punya satu kakak?" Keng Beng tanya pula, secara mendadak.

"Ya, aku hanya punya seorang kakak," In Loei jawab.
"Apakah ada lain orang lagi dalam rumahmu?" lagi-lagi Keng Beng tanya.
"Masih ada ibuku, tetapi sekarang ia berada di Mongolia, entah di mana," In Loei jawab. "Di belakang hari, akan aku cari ibuku itu.....”
"Kecuali ibu, apakah tidak ada lagi sanak terdekat?" Keng Beng tanya pula. Ia seperti tak habisnya menanya.
"Tidak ada lagi. Kakakku masih belum menikah."
"Oh, entjie belum punya enso?"
Sampai di situ, keheranan In Loei bersalin rupa. Terang si nona tengah mencari jalan untuk bicara tentang kakaknya. Mulanya ia menyangka, nona itu menaruh hati kepada Tan Hong, tapi nyatanya sekarang bahwa dia sebenarnya memperhatikan kakaknya itu.

Hampir saja ia mengatakannya: "Jikalau kau sudi jadi enso-ku, itulah baik sekali!" Tapi masih dapat ia mengatasi diri, terhadap seorang yang baharu dikenal, tidak berani ia sembarang bergurau. Hanya pada alisnya sajalah tampak tegas kegirangannya. Ia awasi nona itu, ia bersenyum.

"Ya, aku masih belum punya enso....." ia jawab.

In Loei tidak tahu bahwa sebenarnya, dengan paksakan diri, Keng Beng ucapkan katakatanya melulu untuk melenyapkan kecurigaan, atau cemburu terhadap ia.

Di antara sinar rembulan, yang nyeplos antara daun-daun pohon-pohonan, kelihatan kedua nona itu saling menjabat tangan, keduanya bertindak dengan perlahan dengan hati mereka masing-masing bergoncang sendirinya. Mereka berjalan di tepi pengempang teratai, hingga di lain saat, di antara tedengan gorden, mereka lihat suatu bayangan tubuh.

"Tan Hong masih belum tidur!" kata Keng Beng sambil tertawa. "Dia tengah menantikan kau, entjie1."
"Cis" seru In Loei, yang segera merasakan mukanya panas sendirinya. Ketika tadi ia keluar dari kamar In Tiong memang hatinya pepat, ingin ia melegakannya. Ia bimbang.

Adalah niatnya untuk menyingkir dari Tan Hong, akan tetapi, adalah niatnya juga, untuk tengok anak muda itu, maka ia telah bertindak ke arah pengempang. Adalah di luar dugaannya bahwa rahasia hatinya itu dapat dibade Keng Beng. Maka ia menjadi jengah.

Keng Beng sudah lantas tertawa geli, ia terus putar tangannya untuk dapat terlepas dari cekalannya si Nona In, setelah mana, ia lari mutar ke gunung-gunungan akan kemudian lenyap dalam semak-semak pohon bunga.

In Loei awasi orang menyingkir. Kapan kemudian ia menoleh ke arah paseban di tengah empang, ia tampak Tan Hong sudah pentang daun jendela dan kepalanya ditongolkan keluar.

"Adik kecil! Adik kecil!" demikian suaranya anak muda itu, perlahan tetapi tedas di antara kesunyian malam itu.

In Loei tidak jawab panggilan itu. Ia seperti terhilang rasa, tetapi dengan perlahanlahan,ia bertindak ke arah empang teratai itu.

Keng Beng dari tempatnya sembunyi saksikan pemandangan itu, ia menjadi girang berbareng sedih, hingga tanpa merasa, ia mengucurkan air mata.

In Tiong sementara itu dapat tidur nyenyak selama satu malam, ketika keesokannya ia mendusi, ia tampak matahari sudah naik tinggi. Ia ingat kepada lukanya, ia lantas menggerak-gerakkan lengannya yang sakit. Untuk kegirangannya, ia dapat bergerak dengan leluasa, seperti biasa. Melainkan tubuhnya, ia rasakan masih sedikit lemah.

Ia berdahaga, ia lantas ceguk secawan air. Kemudian ia berbangkit akan rapikan pakaiannya, untuk bertindak keluar dari kamar, dengan begitu dengan lantas ia dapat saksikan keindahannya Tongteng Santjhoeng dengan gunung dan gua palsunya, dengan tamannya, dengan pengempangnya dan lain-lainnya lagi.
Dengan pikiran terbuka, In Tiong jalan terus, tindakannya lambat. Ketika ia tiba di depan gunung-gunungan, tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di arah belakang gunung palsu itu. Suara itu keras. Itulah suara orang bertengkar, berebut omong.

"Harta simpanan ini telah kita jagai untuk iaotjoekong selama beberapa turunan," demikian satu orang, "kenapa sekarang harta itu hendak diserahkan kepada musuhnya, kepada kaisar keluarga Tjoe? Di alam baka, pastilah Iaotjoekong tak akan meram mata!" ("Laotjoekong" ialah "majikan atau junjungan yang tua").

"Duduknya hal tidak demikian," terdengar satu suara orang tua, yang tegas dan nyata.

"Benar seperti katanya siauwtjoe, dahulu adalah dua keluarga memperebutkan negara,akan tetapi sekarang adalah suatu bangsa asing hendak datang menyerbu! Dalam hal ini kita mesti menimbang berat dan entengnya, maka itu mestilah kita bersatu hati dan bersatu tenaga, untuk menangkis musuh luar!"

Seorang lagi berkata: "Aku tidak percaya kaisar keluarga Tjoe hendak bersungguhsungguh hati menangkis serangan musuh luar itu!"

Kembali terdengar suara angker dari si orang tua tadi: "Dalam keadaan hebat seperti ini, dia tidak melawan juga tak mungkin! Kita harus ingat, di samping kaisar itu, ada Ie Kiam dan lain menteri besar yang setia kepada negara. Sekarang telah pasti keputusanku, hendak aku turut perkataannya siauwtjoe, maka kamu semua jangan banyak omong pula!" ("Siauwtjoe" ialah "tuan atau junjungan yang muda.")

In Tiong kenali, orang tua itu adalah Tongteng Tjhoengtjoe, tuan rumah dari Tongteng Santjhoeng itu, maka yang lainnya tentulah orang-orangnya si tuan rumah.

Hatinya lantas saja bercekat. "Sri Baginda telah menganggap Thio Tan Hong mencari harta simpanan dan peta bumi itu hendak dipakai memberontak melawan pemerintah," ia berpikir, "tetapi sekarang buktinya, harta besar itu justeru hendak dipersembahkan kepada Sri Baginda!"

In Tiong merasa aneh, ia menjadi kagum, hatinya goncang keras. Dalam saat seperti itu, ia tak bisa berbuat lain daripada berdiri terpaku bagaikan patung.

Atau mendadak: "Hai Tjonggoan thaydjin kau pun telah datang kemari?" demikian satu teguran, yang datangnya dari arah lorong, teguran mana diberikuti suara tertawa.

Dengan terkejut In Tiong menoleh. Maka dilorong itu, ia tampak dua orang tengah mendatangi ke arahnya. Ia segera kenali, mereka itu adalah si ibu dan anak daranya yang ia ketemukan di warung teh. Tentu saja sekarang tahulah ia siapa ibu dan anak itu.

"Peebo" ia lantas memanggil sambil terus memberi hormat.
Tamtay Toanio lantas tertawa.
"Bagaimana, kau telah sembuh?" tanya nyonya itu. "Sungguh kau beruntung!"

Dan si nona atau Tamtay Giok Beng, telah bawa kejenakaannya. Ia tertawa hahahihi ketika ia berkata kepada ibunya: "Aku telah dengar entjie mengatakan bahwa kemarin dia masih berlagak menjadi satu laki-laki!.....”

Paras In Tiong menjadi merah sendirinya.

Nona yang jail itu tidak memperdulikannya, dia malah tertawa dingin sekarang. Dengan sebat dia rogo sakunya, untuk tarik keluar sehelai saputangan tersulam, dengan satu gerakan tangan, ia kibaskan itu yang membuatnya terbeber, maka di dalam saputangan itu tertampaklah sulaman dari sepuluh tangkai bunga merah, yang berkibar secara menyolok mata!
In Tiong lihat saputangan dengan sulaman bunganya itu, kembali hatinya bercekat.

Tamtay Toanio tertawa.
"Anak Beng, jangan kau bikin kaget tetamumu!" dia kata.

Masih Giok Beng tertawa cekikikan. Dengan dua jari tangannya yang sebelah, ia gulung tujuh tangkai bunga merah itu, sambil menggulung ia berkata dengan wajar: "Ini tujuh butir telur busuk yang hendak bikin celaka toako Tan Hong telah aku petik! Tinggal tiga lagi tetapi Toako Tan Hong larang aku mengganggunya, di larang sekalipun disentuh saja!.....”

In Tiong bercekat pula. Ia tahu, tiga tangkai itu dimaksudkan terhadap dia bersama Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam.

Tamtay Toanio tertawa pula.
"Sejak di paseban teh telah aku lihat In Siangkong adalah orang baik-baik," ia bilang.
"Sudahlah, anak Beng, aku larang kau bergurau pula!"

Keluarga Tamtay ini bertugas melindungi harta simpanan, oleh karena itu Tongteng Tjhoengtjoe Tamtay Tionggoan telah wajibkan diri menduduki Tongteng San Barat itu.

Selaku persiapan, bagaikan mata-mata, telah diadakan warung teh itu, yang dilakukan Tamtay Toanio serta puterinya, untuk mengawasi setiap orang yang mendaki bukit di tengah telaga itu. Sebelum ia masuk ke Tongteng Santjhoeng, Tan Hong sendiri tidak tahu bahwa nyonya dan nona itu adalah isteri dan anaknya Tamtay Tionggoan.

Tamtay Toanio tidak pedulikan orang heran atau bingung.

"In Siangkong," ia berkata pula kepada tetamunya itu, "mari aku ajak kau melihat-lihat sesuatu!"

Dalam keadaan seperti itu, tak dapat tidak, In Tiong lantas ikuti nyonya itu. Mereka jalan di lorong, memutari gunung-gunungan, sampai di suatu tempat di mana — begitu berkilau sinar terang mengkilap — In Tiong tampak tumpukkan emas dan perak, dari barang-barang permata lainnya! Di sana pun berdiri Tongteng Tjhoengtjoe bersama beberapa petani, mendampingi harta besar itu.

"Ha, In Thaydjin, bagus kau datang!" seru tuan rumah begitu ia tampak tetamunya itu.

Kemudian, menoleh kepada satu orangnya, ia menitahkan: "Pergi kau undang Thio Siangkong datang kemari!"

Tongteng Tjhoengtjoe biasa memanggil siauwtjoe, tuan muda, kepada Thio Tan Hong,akan tetapi Tan Hong keras menampik, maka kesudahannya dia mengubahnya panggilan itu, dari siauwtjoe menjadi siangkong.

Tidak berselang lama, tampak Tan Hong datang bersama-sama In Loei. Mereka itu bertindak di antara jalanan yang berbariskan pohon-pohon bunga. Waktu In Loei lihat kakaknya, ia segera kendorkan tindakannya, dari berendeng, ia jadi ketinggalan di sebelah Tan Hong.

In Tiong saksikan pemandangan itu, diam-diam ia menghela napas, ia merasa likat sendirinya. Tapi sekarang ia tidak lagi bergusar seperti kemarinnya.

"Bagaimana dengan lukamu, saudara In?" tanya Tan Hong begitu lekas ia telah datang dekat.

Sebenarnya In Tiong tidak niat menjawabnya, akan tetapi kesopanan memintanya,maka ia manggut dengan tawar.
"Tak usah kau kuatirkan, aku masih hidup," ia jawab.

Tan Hong tidak marah, ia malah bersenyum. "Bagus!" katanya. Ia menanya pun dengan sengaja, karena ia tahu kemujaraban obatnya, yang begitu dipakai tentu bakal menyembuhkan lukanya. Tongteng Tjhoengtjoe tidak pedulikan ketegangan di antara kedua anak muda itu.

"Harta ini aku telah menjaganya selama beberapa turunan," ia berkata, maka sekarang telah tiba saatnya untuk aku melepaskan pikulanku yang beratnya ribuan kati! In Thaydjin, aku minta sukalah kau beristirahat sedikitnya dua hari lagi di sini, setelah itu hendak aku mohon agar kau angkut harta ini ke kota raja, untuk dipersembahkan kepada junjunganmu supaya dipakai sebagai belanja tentera."

Tan Hong tidak tunggu jawabannya In Tiong lagi, berkata: "Apa yang dikatakan Anghoat Yauwliong kemarin bukan kedustaan belaka," ia bilang. "Telah aku peroleh kabar pasti, angkatan perang Watzu benar-benar sudah menerjang ke Ganboenkwan, di sana telah terbit perang di antara kedua negeri!"

In Tiong dengar itu, ia menjadi sangat gusar, hingga dengan tangannya ia sampok batu gunung-gunungan dihadapannya.

"Jikalau aku tidak sapu habis tentara Watzu, aku sumpah tak akan jadi manusia!"

Tiba-tiba ia terhuyung, dari mulutnya ia muntah-kan darah hidup.

In Loei kaget, ia lompat akan tubruk kakak itu, untuk pegangi tubuhnya

Tan Hong pun sambar tangan orang akan periksa nadinya.

"Jangan kuatir," kata ia setelah memeriksa. "Ini cuma disebabkan kemurkaan disatu saat. Saudara In," ia tambahkan, "lagi dua hari, kau akan sembuh pula. Jangan kau pikirkan tentang bahaya perang, walau keadaan sangat genting, peperangan bukannya urusan dua tiga hari. Yang penting adalah harta besar ini, di waktu diangkut, kau harus mohon bantuannya Tjhoengtjoe, supaya nanti di tengah jalan tak sampai ada yang begal!"

"Dan kau?" Tongteng Tjhoengtjoe tanya anak muda itu, menegasi.

"Aku masih punyakan lainnya yang jauh lebih penting dari harta ini," jawab Tan Hong.

"Ah, peta bumi, kau maksudkan?" tanya Tongteng Tjhoengtjoe.

"Benar," sahut Tan Hong. "Sekarang ini musuh tangguH dan kita lemah, peta itu penting bagi pihak kita. Bukankah kita jadi berada di tempat terang dan musuh di tempat gelap? Itu artinya lebih berfaedah daripada tambahan sepuluh laksa serdadu!"

Mendengar itu, Tongteng Tjhoengtjoe tiba-tiba menggeleng kepala, pada wajahnya pun lantas tampak roman berduka.

"Kenapa ha?" tanya Tan Hong.
"Thio Siangkong," sahut orang tua itu, "walaupun kau gagah dan cerdas, dengan kau hanya seorang diri, hatiku tidak tenteram. Peta itu ada mengenai nasibnya negara kita,dan dorna Ong Tjin telah ketahui halnya itu! Benar rombongannya Anghoat Yauwliong telah dapat kita tumpas, tetapi tak dapat kita pastikan bahwa dia tidak akan mengirim lain rombongan lagi! Perjalanan ada ribuan lie jauhnya, kau berjalan seorang diri, jikalau terjadi sesuatu di tengah jalan kami tentunya tidak ketahui itu.....”

Tan Hong rupanya menginsyafi itu, ia bungkam.
"Selayaknya aku titahkan orang untuk temani siangkong," Tongteng Tjhoengtjoe berkata pula, "akan tetapi, sayang aku tak dapat lakukan itu. Orang-orang di sini, semua kepandaiannya ada di bawahan siangkong, maka jikalau siangkong menghadapi musuh tanggu, siangkong tidak ada orang yang membantuinya....."

"Memang juga perjalananku kali ini agak berbahaya," Tan Hong akui, "tetapi aku cuma membawa sehelai peta bumi, itu tidaklah terlalu menyolok mata. Adalah kau, yang mengangkut harta besar, kau memerlukan banyak tenaga. Maka untuk aku, janganlah kau memecah-mecah tenaga."

In Tiong yang mendengar orang "adu mulut" jadi berpikir keras. Tapi lekas sekali ia telah dapatkan pikiran. Maka ia angkat kepalanya.

"Adik Loei, kau pergilah bersama dia!" tiba-tiba dia kata, suaranya nyaring.

Mendengar itu, semua orang tercengang. In Loei sendiri girang berbareng kaget,hatinya goncang. Inilah ia tidak sangka.

Rupanya In Tiong tahu keheranan semua orang, berikut adiknya itu.

"Aku tahu kamu berdua mempunyai ilmu silat pedang yang tergabung menjadi satu," ia tambahkan, "maka itu, walaupun musuh ada jauh terlebih liehay, masih kamu dapat melayaninya. Dengan kau yang pergi, hatiku tenang."

Dengan "ilmu silat pedang yang tergabung menjadi satu" itu, In Tiong maksudkan "Siangkiam happek," yang ringkasnya, "sepasang pedang terangkap."

Tan Hong segera menjura dalam kepada orang she In itu.

"Terima kasih, saudara In!" ia mengucap.
"Hm!....." In Tiong perdengarkan suara dingin.
"Terima kasih apa? Aku tidak memikir untuk kau!"
"Aku tahu maksudmu kepada peta bumi," sahut Tan Hong. "Bagaimana jikalau aku menghaturkan terima kasih kepadamu atas namanya negara kerajaan Beng?"
"Baik!" jawab In Tiong. "Karena kau hendak bekerja untuk Kerajaan Beng, suka aku membalas hormatmu!" Dan ia lantas menjura. Mau atau tidak, In Loei jadi bersenyum.
"Loei, mari!" In Tiong panggil adiknya itu.

In Loei hampirkan kakaknya, lalu berdua, sambil bergandengan tangan, mereka bertindak ke arah pohon-pohon yang lebat. Di sini In Tiong usap-usap rambut yang halus dari adiknya itu, sinar matanya pun menyatakan ia sangat mengasihi adik itu.

"Adikku, adakah kau gusar kepadaku?" ia tanya, perlahan, suaranya halus.
"Koko, aku justeru sangat girang!" sang adik jawab.
"Sejak kita berpisahan, tiada satu saat yang aku tidak pikirkan kau," kata kakak itu pula. "Aku kangen terhadap kau, Loei, sehingga kadang, aku bermimpi menemui kau.....
Aku mimpikan kau bagaikan kau baharu berumur tiga tahun, dengan tiga untai kuncirmu,bagaimana dipadang rumput kau mengawasi ibu mengembala kambing.....”

In Loei girang dan terharu, hingga ia mengeluarkan air mata.

"Koko, aku tahu, kau memang menyayangi aku, mengasihi aku....." katanya.
In Tiong menghela napas panjang. "Kemudian," katanya, meneruskan, "tatkala untuk pertama kali kita bertemu di Tjengliong Kiap, ketika itu kau menyamar sebagai laki-laki,kau justeru membantui musuh menentang pihakku. Itu waktu aku telah berpikir, di mana pernah aku lihat orang ini? Ah, dia mirip dengan saudaraku..... Karena itu juga waktu itu aku tidak memikir untuk berlaku telengas."

"Ya, kita yang bersaudara, perasaan kita memang sama." kata In Loei. "Ketika itu,koko, aku juga berpikir seperti kau pikir itu."
"Kemarin," tiba-tiba In Tiong bicara getas, "tahulah aku bahwa kau adalah adikku, aku jadi sangat girang, tetapi berbareng akupun berduka, sakit hatiku..... Ya, kau nampaknya bergaul sangat erat dengan dia itu!"

Hati In Loei memukul, ia lantas tunduk, air, matanya pun segera mengucur dengan deras.

"Adikku," In Tiong berkata pula, "ilmu pedangmu sudah cukup untukmu menjelajahdunia kangouw, hanya sayang, hatimu terlalu lemah. Kau sebagai gadisnya keluarga In,sekarang aku ingin supaya kau kuatkan hatimu dan jawab satu hal."

Parasnya In Loei menjadi pucat, tetapi ia menyahuti.
"Silahkan bilang, koko," katanya.

In Tiong awasi adik itu.

"Sakit hati terhadap Thio Tan Hong boleh aku tidak membalasnya," ia bilang, "akan tetapi, walau bagaimanapun, dia tetap seorang putera dari musuh kita yang kakek paling bencikan, maka itu kau, selama hidupmu sekarang, di jaman ini, tak dapat kau dan dia menjadi suami isteri! Kalau sekarang kau pergi bersama ia, untuk mengantarkannya, itu melulu untuk mengantar peta bumi itulah untuk Kerajaan Beng kita yang terbesar! Selama di tengah jalan, tak dapat kau kasi dirimu ditipu dengan kata-katanya yang manis. Jikalau sampai kejadian kau benar-benar sukai dia, baiklah persaudaraan kita kakak beradik dibacok kutung saja menjadi dua potong! Loei, sekali lagi aku peringatkan aku larang kau dan dia menjadi suami isteri! Ini adalah apa yang hendak aku katakan. Dapatkah kau
meluluskan atau tidak? Bilang, bilanglah! Bilanglah!"

In Loei jadi sangat serba salah. Iapun ada sangat berduka. Kalau kakak itu bicara seperti kemarin, keras dan kasar, mungkin ia segera berikan jawabannya yang sama kerasnya, menuruti napsu amarahnya. Tapi sekarang..... sekarang kakak ini menatap ia dengan sinar mata yang memohon sangat..... Ia mencoba kuatkan hatinya. Ia angkat kepalanya, untuk membalas menatap kakak itu. Di akhirnya, ia menjawab dengan perlahan: "Baiklah, koko, aku berjanji....."

Sehabis bersantap pagi, Thio Tan Hong bersama In Loei pamitan dari orang banyak,mereka turun dari bukit, untuk menyeberangi telaga. Keluarga Tamtay, ayah dan gadisnya, mengantar sampai di tepi telaga.

Sebuah perahu telah tersedia di tepi telaga, di bawah sebuah pohon yanglioe, itulah sebuah perahu yang enteng, yang di dalamnya itu telah disiapkan arak harum buatan Tongteng San, berikut daging kering dari ayam dan lainnya. Semua itu adalah hasil dari perhatian yang besar dari Tongteng Tjhoengtjoe.

Tamtay Keng Beng, dengan tangan memegangi cabang yanglioe yang meroyot turun,mengawasi orang naik keperahu. Dengan perlahan sekali, ia mengucapkan: "Ribuan oyot yanglioe tak dapat mengikat menghentikan sebuah perahu yang berlayar....." Wajahnya tampak suram.
"Entjie Keng Beng," berkata In Loei kepada nona itu, "tolong kau perhatikan kakakku!

Lain hari nanti kita bertemu pula di kota raja!" Keng Beng tertawa.

"Entjie In Loei," ia menjawab, "tolong kau perhatikan siauwtjoe kami!"

Tongteng Tjhoengtjoe juga nimbrung: "Aku pujikan supaya kamu selamat di perjalanan, supaya peta bumi dapat dibawa ke kota raja, supaya tidak sia-sialah yang keluarga kami telah melindunginya selama beberapa turunan!"

Di mukanya In Loei tertampak warna merah, tetapi tjhoengtjoe itu bicara secara sungguh-sungguh, ia lantas angkat kedua tangannya, untuk membalas hormat sambil mengucapkan terima kasih.

Thio Tan Hong telah kenyang melawan gelombang, sekarang dapat ia berkumpul berdua dengan In Loei, ia girang bukan kepalang. Maka juga, selagi membuatnya perahunya laju, ia menepuk-nepuk irama untuk bernyanyi. Tapi, ketika ia menoleh ke tepi tadi, ia tampak Tamtay Keng Beng masih memegangi cabang yanglioe dan matanya si nona mengawasi kepadanya.....

"Eh, saudara kecil, mengapa kau tidak tertawa?" tanya Tan Hong, yang lihat orang diam membungkam.

"Apakah yang mesti ditertawainya?" tanya In Loei sambil membuat main tali bajunya.

"Kita dapat membuat perjalanan bersama, apakah itu bukan suatu hal yang menggirangkan?" tanya Tan Hong.

"Jaraknya perjalanan tapinya terlalu pendek," kata si nona.

Untuk sejenak, Tan Hong melengak. Tapi segera ia insyaf. Maka ia pikir dalam hatinya:
"Memang, perjalanan hidup manusia ada jauh tetapi perjalanan kita terlalu pendek.....”

Lalu ia kata: "Tidak usah kau mengatakannya, aku dapat menerka apa katanya kakakmu kepadamu. Tentang itu kau tidak usah kuatir. Tujuan kakakmu sama dengan tujuan kita,mungkin akan datang waktunya yang ia nanti ijinkan kita melakukan perjalanan jauh bersama-sama....."

Mendengar ini, hati In Loei tergerak.

"Memang, sikap kakak kemarin dan hari ini beda sekali," pikir ia. "Sebelumnya ia sangat keras mencegah aku berjalan bersama Tan Hong. Dahulu ia membenci sangat Tan Hong,ia berkukuh hendak membalasnya, tetapi sekarang, permusuhan itu telah berkurang banyak. Benar seperti kata toako, dalam dunia ini tak ada benda yang selamanya tak berubah.....”

Baharu nona ini berpikir demikian, atau lain pikiran datang pula.

"Apa yang pagi ini koko katakan, semuanya beralasan," demikian pikirnya pula. "Akukuatir setelah ini, untuk selanjutnya, ia tak dapat mengalah lebih jauh.....”

Karena ini, ia jadi bertambah duka. Tapi, hendak ia hiburkan diri. Maka ia pikir, baiklah ia ke sampingkan dahulu urusan pernikahan, lebih baik ia mementingkan kejadian yang ia hadapi. Bukankah sudah cukup asal ia sering bertemu muka sama Tan Hong, bertemu muka bukan sebagai musuh?

Tan Hong biarkan orang berpikir, ia mengawasi sambil bersenyum. Ia telah menerka
apa yang si nona pikirkan, ia sengaja membiarkannya saja, tak mau ia mengganggunya.
Dengan membungkam, orang bisa dapatkan sesuatu yang baik.....
Di waktu magrib, kedua anak muda ini telah seberangi telaga Thayouw. Mereka bermalam di kota Souwtjioe.

Ketika pertama kali ia mendaki Tongteng San, Tan Hong telah titipkan kudanya,Tjiauwya saytjoe ma, pada satu keponakannya Tamtay Toanio, sekarang ia ambil kudanya itu, untuk di hari kedua ia bersama In Loei lakukan perjalanan ke Utara. Di sepanjang jalan mereka lihat banyak kuda kereta berjalan bererot mengangkut rangsum, tahulah mereka artinya kegentingan ketenteraan.

Begitu lekas mereka memasuki wilayah propinsi Hoopak, Tan Hong dan In Loei saksikan suasana yang terlebih tegang. Mereka yang menuju ke Utara sedikit sekali,sebaliknya mereka yang menuju ke Selatan, makin lama makin banyak, mereka menyingkir untuk mengungsi.

Lagi dua hari mereka berjalan, kecuali mereka berdua, tidak tampak orang lainnya lagi.

Di jalan besar, di jalan kecil, sampai di gili-gili sawah, yang tampak adalah mereka yang tengah mengungsi, berisik suara mereka itu. Orang-orang tua dipayang, anak-anak kecil dituntun..... Dan anak-anak yang lebih kecil ada yang memanggil-manggil ayah dan ibunya.....

Mereka itu sangat mengharukan dipandangnya. Kabar angin juga berbareng ada tersiar luas. Ada yang mengatakan bahwa pasukan perang Mongolia sudah menerjang masuk ke kota Kieyongkwan atau telah tiba di Hoaydjoe atau Bitin, dua kecamatan di utara kota raja. Ada lagi yang bilang musuh sudah lintasi Patatleng. Yang lebih hebat lagi adalah kabar burung bahwa ibu kota Pakkhia sudah dikurung musuh.

Sejumlah rakyat pengungsi itu ketika ketahui Tan Hong berdua hendak pergi ke Pakkhia, semua mereka menunjukkan roman heran dan kaget, lalu mereka memberi nasehat untuk keduanya mengurungkan niat mereka, sebab katanya itulah perjalanan mengantarkan jiwa.....

Mau atau tidak, Tan Hong jadi berduka juga. Ia mesti pergi ke Pakkhia, walaupun keadaan genting dan berbahaya. Tidak bisa lain, ia ubah ambil jalan, yaitu ia tak lagi ambil jalan besar, ia hanya ambil jalan kecil untuk memotong jalan ini, baharu dua hari, mereka sudah tidak bertemu seorang jua. Di kampung-kampung dalam sepuluh, sembilan orang telah pergi menyingkir. Terang sudah, siapa yang dapat mengungsi, dia telah singkirkan dirinya dari daerah perang.

Segera Tan Hong dan In Loei tiba di sebuah desa dekat Pong San. Di sini mereka berputar-putar mencari rumah penduduk yang ada penghuninya, setelah setengah harian,baharu mereka ketemui satu keluarga tani yang belum mengungsi. Keluarga ini terdiri dari satu nyonya tua dan satu anak muda, ibu dan anak. Si ibu sudah tua dan lemah, tak kuat jalan, dan si anak tak tega eninggalkannya.

Tan Hong minta dikasi menumpang. Nyonya tua itu baik budi, suka ia memberi tempat meneduh, tetapi ia bilang, tak dapat ia menyediakan beras atau nasi.

"Tidak apa," kata Tan Hong, yang terus berikan separuh dari bekalan sekantong berasnya. Malah iapun obati nyonya itu, yang dapat sakit mejen. Ia memang ada membekal obat-obatan.

Si orang tua bersyukur, karena dengan lekas ia telah sembuh dari sakitnya itu.

Ditanya tentang keadaan perang, nyonya tua itu tidak dapat memberi keterangan kecuali katanya menurut kabar bahwa kota Hoaydjoe sudah jatuh, sedang kota itu terpisah dari kampungnya cuma kira-kira seratus lie. Kabar itu ia dengar dari sanaknya yang lewat mengungsi di kampungnya itu.

Nyonya rumah tidak punya kamar lebih, Tan Hong dan In Loei terpaksa rebahkan diri di kamar yang dijadikan gudang kayu. In Loei telah menyamar sebagai satu pemuda, ia tak usah kuatir mendatangkan kecurigaan orang. Tetapi mereka tak dapat tidur pules, mereka kuatirkan urusan negara.

Tepat jam tiga, Tan Hong dengar pintu depan didobrak terbuka, ketika ia lompat keluar, ia dapati tuan rumah yang muda sedang dicekal keras oleh satu perwira yang mukanya berlumuran darah.

"Lekas masak nasi untukku, atau aku bunuh kau!" demikian si perwira mengancam.

"Berlakulah murah hati, tuan, lepaskan anakku," memohon si nenek.

"Baik, tapi lekas masak nasi!" kata perwira itu. "Di sini ada dua ekor kuda, mari kasikan yang satu padaku. Anakmu pun mesti gendol barangku!.....

"Akan aku masak nasi, tuan," kata pula si nenek. "Tapi kasihani anakku yang tinggal satu-satunya ini. Dari tiga anakku, yang dua sudah dipaksa dibawa pergi oleh kamu.Kasihani kami, tuan, bebaskanlah dia....."
"Tua bangka tolol" Bentak perwira itu. "Tentara Mongolia sudah menerjang, siapa juga mesti pergi perang!..... Tiba-tiba ia menoleh, ia lihat Tan Hong di pojokan yang suram, karena api pelita yang kelak-kelik. Ia lantas saja tertawa, terus ia kata: "Hai, babi tua, kau mendustai Lihat di sana, apa bukan masih ada satu lagi anakmu?"

Sambil pegangi tangan si anak muda, yang ia pencet nadinya, perwira itu maju kepada Tan Hong, untuk jambak pemuda kita itu.

Tan Hong mengawasi dengan dingin.

"Bukannya kau pergi berperang, kau sebaliknya mengganggu rakyat!" katanya dengan bengis. Ia menangkis sambil berniat cekal tangan perwira itu.

Si perwira tarik tangannya, ia lantas menyerang. Tapi Tan Hong dapat menangkis pula.

Setelah dua tiga gebrak, Tan Hong heran. Ilmu silat si perwira ternyata adalah ilmu silat dari Tiamtjhong Pay. Terpaksa ia mendesak, untuk bikin perwira itu lepaskan cekalannya kepada tuan rumah, setelah mana, ia mendesak lebih jauh.

Masih si perwira melawan, sampai kemudian dia berteriak "Aduh!" dan tubuhnya rubuh terguling, karena tak dapat dia bertahan lama.

"Eh, eh, kau toh Thio Tan Hong?" dia berseru selagi dia rebah dan matanya mengawasi orang yang merubuhkan padanya. "Kau, kau.. ampunilah aku,jangan kau tangkap aku dan bawa ke Mongolia .....”

Tan Hong heran, ia mengawasi.

"Jangan ngaco!" katanya. "Siapa mau tangkap kau untuk dibawa ke Mongolia?"

Ia maju akan cekal tangan orang, untuk menyeka mukanya yang penuh darah itu,setelah meneliti, iapun melenggak.

Perwira itu nyata adalah Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, pantas dia liehay.

"Memang, segala pembesar banyak yang galak.....” kata si nenek. Ia menghela napas."Tapi kasihan dia ini, dia terluka begini rupa.....”
Tubuh Tiauw Hay itu terlukakan belasan anak panah, dua antaranya belum tercabut.Kecuali mukanya, pakaiannya pun berlepotan darah. Dia ada sangat lelah, kedua matanya pun hilang sinarnya.

"Dia benar tangguH, walanpun dia terluka parah, masih sanggup dia melayani aku beberapa jurus," pikir Tan Hong. Tapi, ketika ia periksa luka orang, kebanyakan luka itu tidak berbahaya, kecuali dua yang anak panahnya masih menancap. Ia lantas cabut terus ia memberikan obat.

"Apakah dia sahabatmu?" si orang tua tanya.
"Ya," sahut Tan Hong sembarangan. Tapi ia jengah untuk mengucap demikian. Di dalam hati kecilnya, ia berkata: "Apabila orang tahu dia ini Taylwee Tjongkoan, sekalipun raja akan turut dapat malu....."

Setelah itu, si nenek hendak pergi masak nasi. "Tidak usah," Tan Hong cegah, "nanti aku sendiri yang layani dia."

Benar-benar Tan Hong pergi untuk memasak nasi.

"Kong Tjongkoan, kau dahar seadanya saja," ia bilang kemudian.

Di waktu pieboe, Tiauw Hay telah menitahkan orang bekuk Tan Hong, sekarang ia lihat orang bersikap baik, kepadanya dengan diobati dan dikasi makan, tidak berani ia banyak omong. Ia dahar dengan cepat dan banyak, hingga dengan cepat juga ia mulai pulih kesegaran tubuhnya.

"Kong Tjongkoan, kenapa kau tidak ikuti Sri Baginda?" tanya Tan Hong kemudian.
"Kenapa kau menyingkir seorang diri kemari?"

Tjongkoan itu perlihatkan rupa berduka.

"Panjang untuk berceritera," ia jawab. Ia menghela napas. "Sebenarnya aku memang mengiringi Sri Baginda, tentera kita berjumlah lima puluh laksa jiwa, tetapi pasukan itu termusnah semua, jikalau aku tidak lekas lari, sudah pasti jiwaku pun turut lenyap....."

Tan Hong terkejut, hingga ia memotong: "Apa?" tanyanya. "Benarkah kau ikuti Sri Baginda? Mungkinkah tentara Mongolia sudah masuk ke Pakkhia?"

"Bukan," Tiauw Hay jawab, cepat. "Sebenarnya Sri Baginda mengepalai sendiri angkatan perangnya, sekarang dia berada di luar kota Hoaydjoe di mana dia telah dikurung rapat-rapat oleh musuh.....”

Kembali Tan Hong terkejut.

"Apa? Sri Baginda pimpin sendiri angkatan perang?" dia tanya. "Usul siapakah itu?"
"Itulah kehendak Ong Kongkong....." sahut Tiauw Hay.
Tan Hong ada demikian gusar hingga ia hajar meja di depannya sehingga ujung meja itu pecah.
"Ong Tjin, itu jahanam!" teriaknya. "Sunguh dia sangat jahat!"

Tiauw Hay tidak berani buka mulut, ia bungkam.

In Loei, yang sejak tadi diam saja, datang menghampirkan.

"Jangan kau bergusar," ia menyabarkan. "Cobalah tanya dia lebih jauh."
"Kenapa tidak dititahkan Ie Kiam Ie Thaydjin yang mengepalai angkatan perang?" Tan Hong tanya.
"Itu ada urusan pemerintah, aku tahu apa?" Tiauw Hay jawab. "Apa yang aku dengar,orang mengatakan Ie Kiam adalah menteri sipil, dia tidak mampu memimpin tentara."
"Hm! Sekarang mereka itu yang pegang pimpinan, bagaimana dan jadinya?"

Tiauw Hay tidak menjawab, tetapi dia menutur: "Sri Baginda bersama Ong Kongkong yang pegang pimpinan, mereka berangkat dari Pakkhia pada tanggal enam belas bulan tujuh, tanggal sembilan belas mereka lewat di Kieyongkwan, tanggal dua puluh tiga tiba di Soanhoa, lalu pada tanggal satu bulan delapan mereka memasuki kota Taytong. Selama itu, beberapa hari lamanya, terbit hujan angin besar, tentara menderita kedinginan. Karena tidak ada persiapan baju dingin. Di kota Taytong itu, beberapa laksa jiwa mati beku, maka belum mereka menghadapi musuh, barisan itu sudah kacau sendirinya. Celakanya, Pengpou Siangsie Kong Tim telah jatuh dari kudanya dan terluka parah. Oleh karena kejadian-kejadian tidak diingin itu, Hoepouw Siangsie Ong Tjo mengusulkan untuk menarik pulang angkatan perang. Ong Kongkong tolak usul itu, malah ketika angkatan perang diberangkatkan lebih jauh, Hoepouw Siangsie dihukum berlutut di tanah berumput. Pada tanggal dua bulan delapan, Sianhong Tjio Heng telah mulai menghadapi tentara Watzu di Vanghookauw, dia kalah dan barisannya musnah. Pangeran Boetjinpek Tjoe Bian merangkap tjongpeng dan Pangeran Seelenghouw Song Eng merangkap tjongtok dari Taytong telah terbinasa bergantian dalam pertempuran itu. Atas itu Tjongpeng Kwee Teng dari Taytong mengasi pikiran kepada Sri Baginda untuk mundur dari kota Tjiekengkwan, tetapi kembali Ong Kongkong menolak. Ong Kongkong adalah orang asal Wietjioe, dia hendak ajak Sri Baginda pergi ke rumahnya, karena mana,angkatan perang lantas di pimpin ke kota Wietjioe itu. Orang baharu jalan empat puluh lie, tiba-tiba tujuan diubah ke arah timur, alasannya ialah Ong Kongkong kuatirkan sawah ladangnya nanti ludas terinjak-injak pasukan tentera. Kesudahannya orang ambil jalan bekas, untuk kembali ke Soanhoa. Ketika pada tanggal sepuluh pasukan tentara tiba di kota Soanhoa, pasukan musuh telah dapat menyandak. Pertempuran terjadi di bukit Yauwdjieleng. Di sinilah angkatan perang kena dipukul rusak dan buyar. Baharu kemarin dahulu Sri Baginda menyingkir ke Touwbokpo. Pasukan depan dari musuh sementara itu, dengan ambil jalan kecil, sudah mendahului Sri Baginda, maka itu pasukan musuh itu dapat balik kembali, untuk terus melakukan pengurungan."

Thio Tan Hong menjadi terlebih-lebih gusar. Tahulah ia sekarang bahwa orang yang menganjurkan raja maju perang sendiri, yang pimpin tentara, yang mengajaknya mundur, semua adalah dorna Ong Tjin seorang. Terang sudah, Ong Tjin sudah merencanakan semua itu, hingga karenanya, angkatan perang Kerajaan itu menjadi hancur lebur.

Selagi anak muda ini mencoba menenangkan diri, Kong Tiauw Hay telah bicara pula.

Kata dia: "Syukur aku dapat melihat gelagat, diam-diam di waktu malam, aku nerobos keluar dari kepungan. Seandainya aku terus terkurung di Touwbokpo itu, jikalau aku tidak terbinasa dalam peperangan, tentulah aku mati kelaparan.....”

Tan Hong perdengarkan suara dingin "Hm!"

"Di bebokongmu ini ada tergendol bungkusan besar yang agaknya berat, barang apakah itu?" ia tanya sambil menunjuk ke belakangnya tjongkoan itu.

Kong Tiauw Hay tidak segera menjawab, tetapi mukanya menjadi pucat.

Sebet bagaikan kilat, tangannya Tan Hong menyambar ke bebokong orang, hingga dalam sedetik bungkusan itu telah berpindah tangan, lalu terus si anak muda membantingnya di tanah, sehingga bungkusan itu pecah dan isinya berhamburan.
Untuk herannya semua orang, isi bungkusan itu adalah goanpo atau uang emas potongan semua. Tan Hong tertawa dingin.

"Jadinya kaburmu ini ialah untuk harta besar ini!" katanya.

Kong Tiauw Hay turut tertawa.

"Harta ini semua adalah hadiah Sri Baginda kepadaku," ia berikan, keterangan. "Semua ini bukannya harta tidak halal. Hari ini kau telah tolong aku, suka aku untuk kita membagi dua harta ini.....”

Kembali Tan Hong tertawa dingin. Tapi setelah itu, mendadak ia unjuk roman bengis.

"Kecewa kau menjadi Taylwee Tjongkoan1. Kecewa kau menyebut-nyebut budinya Sri Baginda!" kata dia. "Sri Baginda telah berlaku baik hati terhadap kau, kenapa di saat Sri Baginda terancam bahaya, kau tinggal dia lari?"

Kong Tiauw Hay melengak. Ia tahu Thio Tan Hong ini musuh raja, maka ia heran kenapa anak muda itu menegur ia secara demikian. Ia berani majukan usulnya itu pun karena menganggap pemuda ini musuh junjungannya.

"Malam ini kau berdiam di sini," kata Tan Hong. "Besok pagi kau turut aku pergi ke Touwbokpo."
"Apa? Pergi untuk mengantarkan jiwa?" Tiauw Hay tanya.
"Kau gegares gaji negara, sekalipun nyata-nyata ada untuk antarkan jiwa, itu sudah seharusnya!" Tan Hong bilang. "Kenapa kau takut? Kau toh antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun turut antarkan jiwa bersama?"

Wajahnya Tiauw Hay menjadi pucat sekali. Ia tidak bilang apa-apa lagi, hanya lantas ia membungkam, untuk terus punguti uang goanpo itu, untuk dikumpulkan.

Tan Hong bersama In Loei tertawa dingin, mereka mengawasi tanpa mencegah.

Kuda putih dari Tan Hong dan kuda merah dari In Loei berada didekat mereka, ada goanpo yang mencelat ke kuda itu, maka Tiauw Hay terus punguti semua uangnya. Di saat ia datang dekat kuda putih, mendadak ia lompat akan sambar lehernya kuda itu!.

Tjiauwya saytjoe ma bukan kuda sembarangan, dia kaget dan berontak, lantas dia menyentil berulang-ulang, dia meringkik tak hentinya.

"Hai, apa kau bikin" bentak Tan Hong. Tiauw Hay tidak menjawab, karena dia tidak bisa takluki kuda putih itu, ia terus lompat naik ke bebokongnya kuda merah. Ia lantas saja tertawa.

"Aku Kong Tiauw Hay masih ingin hidup senang lagi beberapa tahun, maka maafkan aku, tidak dapat aku antarkan kamu!" kata dia, yang terus gunakan goloknya menumblas kempolan kuda, saking kaget dan sakit, kuda itu sudah lantas berlompat lari, kabur keluar, hingga sesaat kemudian kuda dan penunggangnya lenyap di malam yang gelap itu.

In Loei jadi kaget.

"Toako, mari kita kejar!" dia berteriak. Tan Hong tapinya menggeleng kepala.

"Orang semacam dia, dicandak pun tidak ada faedahnya.....” ia bilang. Ia terus menarik napas panjang, dengan lesu ia jatuhkan diri ke kursi, ia kata: "Dahulu Gak Boe Bok pernah bilang, 'Pembesar sipil doyan duit, pembesar militer sayang jiwa, kalau begitu, apakah artinya urusan penting?1 Dan sekarang ini, pembesar sipil, pembesar militer, semuanya doyan duit! Kejahatannya Ong Tjin itu nyata tak kalah daripada kejahatannya Tjin Kwee,karenanya aku kuatir hikayat Ahala Song bakal terulang pula, kehinaannya Baginda Hwie Tjong dan Baginda Kim Tjong, yang tertawan musuh, akan terlihat pula hari ini!.....”

"Di dalam kerajaan ada Tjin Kwee, di sana pun ada Gak Boe Bok," berkata In Loei, "Di mana Ie Kokloo tidak kalah daripada Gak Boe Bok itu, aku harap toako tidak menjadi tawar hati."

"Hanya sayang Ie Kokloo itu tidak punya kekuasaan atas tentara," bilang Tan Hong, yang masih berduka. "Menyesal aku tidak punya sayap untuk terbang ke Pakkhia,supaya aku bisa bantu Ie Kokloo itu....."

Dua anak muda ini jadi sangat bersusah hati. Karena ini, tidak tunggu sampai pagi,mereka sudah lantas pamitan dari si nenek dan anaknya, dengan menunggang kuda putih, mereka berangkat pergi. Belum lama mereka jalan mereka lantas dengar suara tambur dan terompet yang datangnya dari arah depan.

Tan Hong larikan kudanya mendaki tanjakan, dari situ ia memandang jauh ke depan,hingga ia tampak banyak bendera, boleh dibilang di seluruh bukit dan tegalan, tertampak tentara Mongolia.....

"Tidak dapat kita lewati mereka itu.....” kata In Loei, lesu.
"Aku ada akal," kata Tan Hong. "Kau turunlah dan tunggu di sini." In Loei menurut.
"Kau umpetkan diri," Tan Hong kata pula. Lalu ia larikan kudanya turun gunung, ia
menghampirkan dan masuk ke dalam pasukan musuh! .

In Loei kaget bukan main, mukanya pucat sekali. Syukur ia tak usah ketakutan terlalu lama. Sebab segera juga ia lihat Tan Hong telah kembali bersama dua perwira bangsa Watzu. Tentu saja, ia sekarang menjadi sangat heran.

Nona In dewi kz tidak ketahui bahwa Tan Hong pandai bahasa Mongolia, bahwa di dalam sakunya pemuda ini ada menyimpan sehelai lengtjhie, bendera pertandaan militer, yang dia curi ketika dahulu dia keluar dari Mongolia, untuk menyusup masuk ke Tionggoan. Sekarang lengtjhie itu dia gunakan, dia akui bahwa dirinya adalah mata-mata Watzu yang diutus ke Tionggoan semenjak sebelumnya perang. Dan dia dipercaya dua perwira Mongolia itu.

Tan Hong mendusta terlebih jauh, katanya di bukit itu dia lihat seorang yang mencurigakan, dia ajak kedua perwira, untuk memeriksa, maka itu, mereka datang bersama. Tapi, begitu lekas mereka sudah mendaki bukit di mana In Loei berada, dengan sekonyong-konyong dia hajar dua perwira itu hingga mereka rubuh binasa sebelum tahu apa-apa.

Bukit itu terpisah dari barisan Mongolia beberapa lie jauhnya, maka itu, tidak ada satu serdadu Mongolia yang lihat apa yang terjadi dengan kedua perwira mereka.

In Loei telah saksikan kejadian itu, ia lantas muncul.

"Bagus!" kata Tan Hong kepada kawannya itu. "Sekarang mari kita menyamar sebagai dua perwira Mongolia ini. Bukankah kau belum lupa akan bahasa Mongolia?"

"Ya, aku masih belum lupa!" sahut In Loei sambil tertawa. "Aku tidak sangka bahwa sekarang bahasa itu berguna bagi kita..."

"Aku telah cari keterangan jelas," Tan Hong berkata pula. "Mereka ini adalah pasukan tangga ketiga dari resimen kedua, dan kemarin, barisan ini baharu saja melakukan pertempuran hebat. Mungkin barisan ini telah bentrok dengan Gielim koen di bawah Thio Hong Hoe dan mendapat kerugian besar maka sekarang mereka sedang disiapkan untuk dipersatukan dengan pasukan lainnya. Maka cocoklah kalau kita menyamar jadi kepala barisan mereka. Ingat, kau bernama Hawa dan aku Talai."

In Loei manggut, ia bersedia akan iringi kawannya itu. Keduanya lantas lucuti seragam kedua perwira Mongolia itu, untuk mereka pakai. Syukur bentuk tubuh mereka tidak beda jauh.

Tan Hong tunggu sampai sudah magrib, baharu ia ajak In Loei turun dari tempat sembunyi itu, untuk larikan kuda mereka ke dalam barisan Mongolia itu, untuk campurkan diri. Mereka tidak tampak kesukaran, karena pemuda she Thio itu ketahui baik segala aturan tentara Mongolia. Mereka dapat tempat dalam satu pasukan yang baharu saja disusun rapi.

Keesokan paginya, barisan ini sudah lantas dimajukan pula. Mereka di kirim ke Touwbokpo sebagai bala bantuan. Lewat tengah hari, mereka tiba di medan perang.

Begitu melihat keadaan pihak Beng, Tan Hong kaget sekali. Barisan Beng itu telah kena dihajar hingga hancur menjadi sejumlah barisan-barisan kecil, yang berserabutan ke timur dan barat.....

-ooo00dw00ooo

Dengan berisik terdengarlah suara terompet di dalam pasukan perang Watzu, disusul gemuruhnya suara tambur perang, lalu di atas gunung terlihat berkibarnya sehelai bendera besar dengan tanda hurufnya "Komandan." Dan satu perwira Mongolia,yang dandan sebagai pangeran, kelihatan bercokol di atas kudanya di atas gunung itu. Dengan cambuknya, pangeran itu menunjuk ke arah depan.

Dia itu adalah Thaysoe Ya Sian, orang yang pegang kekuasaan besar atas bala tentera Watzu. Dia sedang pimpin barisannya, akan hajar tentera kerajaan Beng itu, yang dicegat sana sini, hingga tentera itu jadi kalut sekali.

Dalam keadaan kacau itu, sekonyong-konyong di sebelah timur, muncul satu pasukan Beng yang mengibarkan bendera naga, ketika tentera Watzu lihat bendera itu, mereka lantas saja berteriak-teriak: "Ha, raja Bengtiauw ada di sana!"

Menyaksikan itu Tan Hong kertek gigi.

"Sungguh Ong Tjin jahat sekali!" kata dia dalam hatinya. "Nyatalah dia masih kuatir musuh tidak tahu di mana adanya Sri Baginda!"

Sebab maksud dikibarkannya bendera raja itu adalah untuk memberi tanda kepada musuh, agar musuh ketahui di mana adanya raja.
Kaisar Kie Tin dari Kerajaan Beng telah terkurung satu hari dan satu malam di benteng Touwbokpo, ia berkuatir bukan main. Ia telah saksikan angkatan perangnya telah dihajar rusak oleh musuh, sampai ia tidak sanggup mengumpulkan dan menyusunnya pula dengan sempurna. Ia sekarang hanya mengandalkan kepada Thio Hong Hoe serta pasukan pengawalnya sendiri. Begitulah ia ajak komandan dari Kimie wie itu membicarakan soal menoblos kurungan musuh.

Raja dan pahlawannya ini tengah berbicara tatkala mereka lihat Ong Tjin berlari-lari datang dengan muka terpucat-pucat, dan begitu tiba di hadapan raja, orang kebiri itu perdengarkan suaranya yang tak wajar: "Sri Baginda, celaka! Tentera lapis besi musuh sudah sampai di muka kubu-kubu! Lekas Sri Baginda titahkan Thio Tongnia pergi menangkis mereka!.....”

Selagi raja tercengang, Thio Hong Hoe sudah perdengarkan suaranya: "Jangan kaget,Sri Baginda!" demikian pahlawan ini. "Hari ini, meski mesti kurbankan jiwa, hambamu akan lindungi Sri Baginda menoblos kurungan!"

Sehabis mengucap demikian, pahlawan ini segera lari keluar, untuk wujudkan katakatanya,guna memukul mundur musuh.

Seberlalunya pahlawan itu, tiba-tiba saja Ong Tjin tertawa menyeringai. Tidak lagi ia bermuka pucat dan beroman sangat ketakutan seperti tadi. Ia malah bergembira.

"Sri Baginda," berkata dia, "hari ini habis sudah harapan kita, kecuali kita menyerah dan menakluk, tidak ada lain jalan hidup pula. Hambamu mohon agar Sri Baginda sudi pergi ke tangsi Watzu untuk mohon perdamaian....."

Kaisar kaget bukan main mendengar perkataan hambanya ini.

"Cara bagaimana aykeng dapat mengatakan begini?" dia tanya. "Aykeng" berarti "menteri yang dicintai."

Ong Tjin tidak menjawab rajanya itu, yang masih menghargai padanya. Dengan tibatiba ia perlihatkan roman bengis.

"Mana pahlawanku?" dia memanggil. Atas panggilan itu, dari luar kemah muncul pahlawan dorna kebiri itu, dan raja, tanpa berdaya, sudah lantas saja diringkus.

Hong Hoe sendiri, selekasnya dia tiba di luar kemah, dia kaget bukan main. Dia telah saksikan dikereknya bendera naga. Seperti Tan Hong, segera dia insyaf akan akal muslihatnya Ong Tjin yang jahat itu. Sebenarnya ingin dia kembali ke dalam kemah, akan tengok junjungannya, akan tetapi tentara Watzu benar-benar sudah menerjang, terpaksa ia maju terus, untuk melakukan perlawanan. Hebat untuknya, dengan lekas ia telah kena dikurung musuh, yang telah memutuskan jalannya kembali kepada rajanya.

Sementara itu, darah In Loei bergolak-golak saking murkanya.

"Toako, mari kita bunuh Ong Tjin, untuk menolong Sri Baginda!" ia ajak Tan Hong.

Bersama-sama Tan Hong, In Loei ini memimpin satu barisan tengah, dari itu, di depan mereka terdapat lain barisan, yang berjumlah besar, maka, untuk bisa menyerbu ke arah kaisar Beng, adalah sulit sekali. Mungkin mereka tidak mampu berbuat demikian sekalipun mereka mempunyai kuda-kuda jempolan.

Tan Hong tertawa meringis.
"Di saat seperti ini tidak lagi kita dapat berlaku nekat," katanya, masgul. "Mari kita naik ke tempat tinggi, untuk melihat keadaan.....”
Dan dari tempat yang tinggi, mereka saksikan Ong Tjin menaikkan Kaisar Kie Tin ke atas kuda dengan tubuh terbelenggu. Dengan tangannya sendiri, dorna kebiri itu mengangkat naik bendera putih, untuk dilambai-lambaikan, hingga bendera tanda menakluk itu berkibar-kibar di antara sampokan angin. Beberapa pahlawan yang setia telah mencoba maju, untuk menolongi raja, akan tetapi mereka dirintangi oleh pahlawanpahlawannya si dorna. Dipihak lain, barisan musuh sudah datang mendekati raja yang tak beruntung itu.

Dalam saat seperti itu, sekonyong-konyong terdengar suara teriakan keras bagaikan guntur, lalu tertampak Hokwie Tjiangkoen Hoan Tiong, dengan sepasang gembolan di tangan, mengaburkan kudanya ke arah raja. Panglima ini seperti kalap, tak lagi ia menghiraukan dirinya. Tapi ia pun segera dicegat dan dikepung oleh pahlawanpahlawannya Ong Tjin dibantu tentara watzu yang melepaskan anak panah.

Hoan Tiong mengenakan lapisan baja di depan dadanya dan kopiah di kepalanya,kedua belah anggota tubuh itu bebas dari anak-anak panah, tidak demikian dengan pundak dan bebokongnya, maka itu, belasan anak panah, telah menancap di tubuhnya itu, tetapi ia tangguh sekali, ia tak rubuh karenanya. Ia paksa maju terus ke arah junjungannya, hingga ia datang dekat si dorna kebiri.

Ong Tjin terkejut menyaksikan kegagahan orang itu.

"Hoan Tjiangkoen, marilah kita bicara!" ia serukan. Ia sangat berkuatir.

Jawaban Hoan Tiong adalah teriakan berguntur: "Hari ini aku akan mewakili negara membasmi penghianat!" Dan teriakan itu dibarengi dengan turunnya sebilah gembolannya yang berat itu, menimpa Ong Tjin, hingga tubuh si dorna rubuh dari atas kudanya.

Sementara itu, dia sendiri pun tidak bebas dari beberapa bacokan musuh.

Dalam keadaan luka parah itu, Hoan Tiong tertawa berkakakan, lalu tiba-tiba ia ayunkan gembolannya ke arah kepalanya sendiri, maka sedetik saja, ia rubuh dari kudanya dengan kepalanya pecah, jiwanya melayang. Ia lebih suka bunuh diri daripada tertawan atau terbinasa ditangan musuh.

Bagaikan air bah, demikian serbuan tentara Watzu, maka sejenak kemudian, kaisar Beng yang sudah tidak berdaya itu telah menjadi orang tawanan, sedang menterimenterinya,yang turut ke medan perang, seperti Siangsie Kong Tim, Ong Tjoh, Haksoe Tjo Teng dan Thio Ek, pangeran Enqkok-kong Thio Hoe dan lainnya, telah berkurban untuknya. Juga di antara pahlawan-pahlawan Ong Tjin, ada delapan atau sembilan yang terluka dan terbinasa.

Kejadian yang menyedihkan dalam hikayat Kerajaan Beng ini adalah yang dinamakan "Peristiwa di Touwbok." Thio Hong Hoe telah lihat junjungannya tertawan, mendadak saja ia muntahkan darah hidup. Kemurkaannya tak terkira. Dengan nekat ia lantas terjang musuh, dalam tempo pendek ia telah rubuhkan belasan musuhnya, tetapi ia pun tetap terkurung, jumlah musuh yang besar membikin mereka merupakan seperti tembok besi dinding tembaga, tidak dapat ia pecahkan kurungan itu.

Akhir-akhirnya ia berteriak: "Raja terhina, menteri terbinasa!" dan ia balikkan goloknya, untuk menabas batang lehernya sendiri. Tapi anak panah musuh mendahului ia, lengannya kena terpanah, goloknya terlepas dari cekalan, jatuh ke tanah, hingga di lain saat, ia pun menjadi orang tawanan.

Dengan kemenangan besar itu, dengan membunyikan gembreng, tentera Watzu telah menyelesaikan peperangan. Daerah Touwbokpo itu yang luasnya beberapa ratus lie lantas dibersihkan dari musuh, di situ didirikan kemah. Segera pun babi dan kerbau disembelih, untuk membikin pesta besar, untuk merayakan kemenangan.
Di dalam tentera itu, terdapat Thio Tan Hong dan In Loei. Mereka tak dikenal dalam penyamaran mereka. Maka itu mereka dapat mendengar pembicaraan di antara beberapa perwira.

"Malam ini di dalam kemah jenderal akan diadakan keramaian yang istimewa," kata satu perwira, "sayang aku hanya berpangkat kapten, aku tak berhak untuk turut hadir dalam pesta itu.....”

"Keramaian apakah itu?" tanya satu perwira lain. Perwira yang pertama bicara itu menyahuti: "Aku dengar malam ini jenderal kita hendak paksa kaisar Beng menjadi pelayannya, untuk melayani dia minum arak. Tidakkah itu luar biasa bagus?"

"Ya, benar bagus!" kata perwira yang menanya. "Kaisar Beng telah kita tawan,aku lihat peperangan akan segera berakhir, dengan begitu, lekas juga kita akan pulang," berkata satu perwira lain lagi. "Kita akan merayakan tahun baru kita!"

"Tetapi kita masih belum masuk ke Pakkhia," kata satu perwira rekannya. "Tionggoan itu luas tanahnya, banyak rakyatnya, mereka tak dapat dibunuh habis, maka itu tidak mudah urusan peperangan ini dapat diselesaikan?" Perwira yang pertama itu tertawa.

"Bangsa Han pandang rajanya sebagai naga sejati," kata dia pula, "kalau rombongan naga tidak ada kepalanya, mana mereka dapat berperang? Kalau rajanya itu sayangi jiwanya, dia mesti menakluk dengan baik-baik, dia mesti umumkan pernyataannya suka menjadi taklukkan kita. Setelah itu baharulah negara Beng itu menjadi kepunyaan kita."

Mendengar pembicaraan itu, hati Tan Hong panas berbareng duka.

"Memang sungguh celaka kalau Sri Baginda suka menyerah," pikir dia. "Aku harap saja Sri Baginda bukannya raja yang takut mati.....”

Perwira yang pertama berbicara itu masih mengatakan pula: "Tentera Beng itu tidak harus dibuat takut. Lain halnya dengan Kimtoo Tjeetjoe di luar kota Ganboenkwan, dia masih saja bergelandangan di luar kota itu, sebentar muncul, sebentar menghilang, sukar untuk menumpas padanya. Dia baharulah yang dinamakan bahaya di dalam tubuh!"

Tapi satu perwira lain tertawa.

"Tapi pesanggrahannya telah kita serbu hingga rata dengan tanah!" katanya. "Bangsat tua Kimtoo itu serta anaknya, meskipun mereka dapat lolos, mereka tak lebih tak kurang seperti penyakit di kulit saja! Lagi pula sekarang Jenderal Tantai telah menempatkan tenteranya di kota Ganboenkwan, sudah pasti dia tidak akan dapat mengacau pula, maka itu, untuk apa kita kuatirkan dia?"

Mendengar pembicaraan itu, lega juga hati Tan Hong dan In Loei. Sekarang mereka ketahui halnya Tjioe Kian ayah dan anak, yang tak kurang suatu apa, sedang mereka pun mendapat tahu di mana adanya Tantai Mie Ming.

Pada waktu itu kaisar Beng sebagai tawanan musuh, oleh Yasian, perdana menteri Watzu, telah di tempatkan di dalam kemah yang terjaga kuat hingga tiga lapis, sedang di dalam kemah sendiri, dia diawasi oleh tiga pahlawan pilihan, yang setiap saat meletakkan tangan di gagang pedang. Di antara tiga pahlawan itu, yang satu adalah Ngochito,pahlawan harimau dari Yasian sendiri. Dia ini selainnya liehay ilmu silat pedang Hongloei kiam yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus, orangnya pun cerdik sekali. Maka itu,berduka kaisar itu, yang melihat tidak mempunyai harapan untuk kabur. Tapi yang membikin Kie Tin sangat berkuatir adalah ketika ia dengar malam itu Yasian hendak mewajibkan dia melayani perdana menteri itu minum arak. Dia jadi mendongkol dan malu,dia jadi sangat bingung.
"Aku hadiri pesta itu atau jangan?" dia tanya dirinya berulang-ulang. Dia insyaf, kalau dia hadir, dia akan jadi kedua Kaisar Hwie Tjong dan Kim Tjong dari ahala Song, yang mesti hinakan diri di hadapan musuh. Perbuatan itu tidak saja merendahkan dirinya dan negaranya, dia pun akan menjadi buah tertawaan berabad-abad. Kalau dia tidak hadir, dia kuatirkan keselamatan jiwanya.....

Tengah kaisar ini berputus asa, tiba-tiba di luar kemah terdengar suara panggilan, katanya: "Thaysoe undang Jenderal Ngochito datang ke markas untuk berbicara!"

"Thaysoe" adalah sebutan untuk Perdana Menteri Yasian.

Berbareng dengan itu satu perwira bertindak masuk dengan tangannya menyekal sebatang lengtjhie, panah titahan.

Ngochito sangat teliti, ia sambut lengtjhie itu untuk diperiksa dulu, hingga ia peroleh kenyataan keasliannya. Panah titahan itu cuma dipakai oleh pembesar paling tinggi dalam suatu angkatan perang, sebab itu adalah hadiah dari raja Watzu sendiri, terbuatnya pun dari kemala hijau.

Percaya bahwa Yasian mempunyai urusan penting hendak dibicarakan dengannya,Ngochito lantas saja tinggalkan kemah jagaannya itu.

Perwira yang membawa lengtjhie itu, begitu ia lihat Ngochito sudah pergi jauh, dengan mendadak ia putar tubuhnya sambil mengayunkan kedua tangannya, masing-masing diarahkan kepada kedua pahlawan lainnya, yang berdiri dekat dengannya. Luar biasa sebat gerakannya, tidak peduli kedua pahlawan itu liehay, mereka toh kena ditotok, tanpa bersuara lagi, keduanya jatuh rubuh. Lekas sekali si perwira pembawa lengtjhie membuka kopiahnya, sambil bersenyum, dia kata kepada Kie Tin: "Sri Baginda, masih ingatkah Sri Baginda kepadaku?"

Raja Beng memang heran atas kejadian itu, ia mendelong mengawasi perwira itu.

Akhirnya, ia jadi terperanjat. Ia lantas kenali siapa orang itu yang berdiri dihadapannya,ialah Thio Tan Hong.

Ayahnya Tan Hong, yaitu Thio Tjong Tjioe, menjadi Yoesinsiang, Menteri Muda dari raja Watzu, dengan begitu kedudukannya seimbang dengan kedudukan To Huan, Tjosinsiang, yang menjadi ayahnya Yasian. Mereka sama pengaruhnya, mereka disayangi Raja Watzu, dan keduanya pun berkuasa mencampuri urusan ketenteraan. Maka itu raja memberikan mereka masing-masing sebatang lengtjhie dengan apa mereka berhak memanggil setiap perwira menghadap mereka. Adalah kemudian, setelah kedudukan To Huan turun kepada puteranya, Yasian, pengaruhnya ini meningkat, hingga dia mengangkat dirinya menjadi Thaysoe, Mahaguru. Thio Tjong Tjoe sebaliknya, untuk menjaga dirinya, tidak perhatikan urusan tentera, maka itu, sudah sepuluh tahun belum pernah ia pakai lengtjhie itu. Ketika Tan Hong berlalu dari Watzu, dia curi lengtjhie ayahnya itu, tidak pernah ia menyangka,kali ini, di sini, dapat dia pakai panah titahan itu untuk mengelabui Ngochito.

"Di harian pieboe di atas loeitay, telah aku kirimkan kau sepucuk surat, sudahkah kau baca itu?" Tan Hong tanya pula.

"Kau? Kau jadinya Thio Tan Hong?" raja tegaskan, suaranya menggetar.

"Tidak salah!" Tan Hong jawab.. "Aku adalah musuhmu yang kau hendak tawan!"

"Baiklah!" kata raja itu, yang hatinya menjadi mantap. "Hari ini aku terjatuh ke dalam tanganmu, tidak usah kau banyak omong lagi, lekas-lekas kau bunuh aku!"

Tapi Tan Hong tertawa.
"Jikalau aku hendak bunuh kau, apa kau kira aku menanti sampai hari ini?" kata dia.
"Sekalipun aku memakai pakaian asing, hatiku adalah hati Han!"
"Kalau begitu, kau tolonglah aku!" kata raja.

Kie Tin seperti lupa bahwa ia tengah dikurung berlapis-lapis. Bagaimana gampang untuk buron.....

Tan Hong awasi raja itu, ia tertawa pula. "Sri Baginda," katanya, "hari ini cuma kau sendiri yang dapat menolong dirimu." Raja heran.

"Apakah kau kata?" dia tanya. "Malam ini Yasian akan memaksa kau menyatakan menakluk," kata Tan Hong. "Jikalau kau menakluk, bukan saja dengan itu kau lenyapkan negara Kerajaan Beng yang terbesar yang luasnya sembilan laksa lie, juga jiwamu sendiri tidak akan terjamin. Tapi jikalau kau menolak, maka Kokloo Ie Kiam akan membangun angkatan perang suka rela, untuk berperang membelai negara. Di dalam negara Watzu tidak ada persatuan, maka itu Yasian akan terserang musuh dalam dan luar. Hal ini diketahui baik sekali oleh Yasian, karenanya, mana dia berani bunuh kau? Oleh karena itu,sekarang ini, kau bersabarlah, kau pertahankan diri untuk menderita. Dengan bersabar,bukan saja negara akan dapat dilindungi, kami juga kemudian akan mendapat jalan untuk
menolongi kau. Kau bukannya seorang tolol, hal ini tentunya kau dapat pikir sendiri.....”

Raja tidak menjawab, ia perdengarkan suara perlahan sekali.

"Harta pusaka leluhurku berikut peta buminya, telah berhasil aku cari dan mengambilnya," Tan Hong beritahu, "harta dan peta itu tengah diangkut ke Pakkhia,bersama dengan itu, aku sendiri akan menghabiskan tenagaku untuk membantu Ie Kokloo. Masih ada lagi yang kami dapat lakukan, dari itu, jangan kau berduka."

Thio Tan Hong perlihatkan sinar matanya yang tajam, yang menandakan kekerasan hatinya, yang membuatnya orang menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Bibir raja sudah bergerak seperti ia hendak mengucap sesuatu, tetapi ia urung.

Tan Hong awasi raja itu, matanya mencilak.

"Menteri besarmu In Tjeng telah menggembala kuda di negara asing selama dua puluh tahun, selama itu dari awal hingga akhirnya, ia tidak bertekuk lutut!" katanya dengan nyaring. "Kau adalah orang yang paling agung dari satu negara, apakah kau mesti kalah dengan menterimu?" Raja pun mengawasi.

"Baik!" dia jawab akhirnya. "Aku juga tidak akan pikirkan pula kehidupanku, akan aku perbuat seperti katamu!"

Tan Hong masih hendak berbicara ketika, "Bret!" dan robeklah tenda kemah, terbelah dua, dari situ tampak Ngochito lompat masuk, pesat bagaikan angin puyuh. Ketika dia lihat siapa yang rebah di tanah, kemurkaannya bertambah meluap.

"Bangsat bernyali besar, mari makan pedangku!" dia mendamprat sambil menikam dengan pedangnya, dengan tipu silat "Geledek menyambar batok kepala".

Tan Hong terkejut ketika ujung pedang menjurus ke tenggorokannya. Ia pun tidak menyangka Ngochito bisa kembali demikian lekas, walaupun ia tahu, ia hanya dapat mengabui untuk sementara waktu saja.

Sudah dibilang, Ngochito adalah seorang yang cerdik. Baharu saja ia sampai di luar kemah, ia lantas dapat pikiran. Ia telah berpikir: "Thaysoe menghendaki aku mengawasi kaisar Beng. Tidakkah tugas itu sangat penting? Mungkinkah dia hendak menukar tugasku itu? Lagi pula perwira pembawa lengtjhie itu sangat asing untukku. Kalau Thaysoe mengutus orang membawa lengtjhie padaku, ia mestinya menitahkan orang di kiri kanannya, yang ia percayai. Juga, kenapa perwira itu tidak turut aku keluar? Inilah mencurigakan.....”

Keras Ngochito berpikir, kecurigaannya jadi semakin besar, maka akhirnya ia putar tubuhnya, untuk balik ke dalam kemah, begitu sampai, ia tidak lagi ambil jalan pintu kemah, tapi ia merobek kain tenda. Karenanya ia segera dapat lihat kedua kawannya rebah di tanah. Ia lantas menduga, mereka itu tentu telah kena ditotok, bahwa si perwira mestinya orang jahat, dari itu, ia menyerang tanpa buang tempo lagi.

Tan Hong kaget tetapi ia tidak gugup, dengan sebat ia berkelit.

"Sungguh Hongloei Kiamhoat yang liehay?" ia serukan.

Ilmu silat pedang Ngochito benar-benar liehay. Lolos tikaman yang pertama, segera menyusul yang kedua, yang ketiga, cepat dan bengis. Tan Hong menjadi repot juga. Ia tidak sempat membuat perlawanan, ia selalu egoskan diri. Apamau kemah itu tidak terlalu luas, tak merdeka ia berlompat ke kiri dan ke kanan.

Sementara itu di luar pun segera terdengar suara riuh. Mestinya itu adalah bala bantuan untuk Ngochito.

"Trang!" demikian terdengar sekonyong-konyong. Ujung pedang Ngochito telah mengenai kopiah perang Tan Hong, tetapi serangan itu tidak tepat, pedang meleset ke samping.

Tan Hong telah menggunakan tipu yang berbahaya. Ia sengaja memberikan kopiahnya ditikam, selagi tertikam, ia miringkan kepalanya. Karena pedangnya meleset, Ngochito tak dapat unjuk kesehatannya untuk segera menarik pulang, malah saking heran, ia melengak sebentar.

Ketika yang baik itu digunakan Tan Hong dengan sebat sekali, selagi ia ditikam, ia gunakan kesempatan akan menghunus pedangnya, pedang Pekin kiam hadiah dari gurunya, pedang mana tadi tak sempat ia mencabutnya karena ia didesak terus-menerus.

Sekarang, setelah menghunus pedang, ia teruskan itu, ia pakai menabas ke arah pedang musuh.

"Trang!" kembali suara terdengar, tetapi tak sekeras, tadi. Karena kali ini, kedua pedang beradu sepintas lalu, dan ujung pedangnya Ngochito kena tertabas kutung!.

Panglima Watzu itu kaget tidak terkira. Ia tahu tajamnya pedangnya, yang terbuat dengan campuran bahan emas, sudah tajam, pedang itu jauh lebih berat daripada pedang-pedang seumumnya. Tapi pedang itu kutung dengan satu kali bentrok saja!

Tan Hong gunakan ketikanya, ia tunjukkan kecerdikannya. Selagi lawan berdiam,ia lompat ke samping sambil memutar pedangnya. Dengan satu tabasan saja, ia bikin tenda terbelah, menyusul mana, selagi dengan tangan kiri ia menyambar, akan pentang tenda itu, tubuhnya mencelat lebih jauh, noblos keluar dari lobang pecahan itu.

Ngochito heran menampak kecerdikan musuh, untuk kesehatannya itu. Mengertilah ia bahwa musuh ini liehay sekali. Tapi ia pun satu pahlawan Watzu, tidak sudi ia menunjukkan kelemahannya. Maka sambil memutar pedangnya, ia juga noblos keluar dari liang tenda dari mana Tan Hong nerobos keluar. Setibanya di luar, ia lihat musuh sudah melintasi dua undakan kemah.

"Tangkap penjahat!" ia berteriak. Ia lompat, untuk mengejar.
"Sar ser!" demikian terdengar suara ketika Ngochito lihat musuh memutar tangannya ke belakang, terayun, menyusul mana tertampak sinar-sinar kecil berwarna perak menyambar ke arahnya.

Itulah senjata rahasia jarum dari Tan Hong, yang ia gunakan untuk menahan musuh yang mengejarnya.

Ngochito insyaf kepada malapetaka itu, ia putarkan pedangnya, untuk menangkis.

Gagal serangan Tan Hong itu. Gagal separuhnya. Sebab dengan repot menangkis,majunya Ngochito tercegah, hingga terlambat. Dan kelambatan ini digunakan Tan Hong untuk lari lebih jauh, ke lapis tenda yang ketiga.

Cuaca malam itu gelap, cuaca ini menolong banyak pada Tan Hong. Ia dengar suara riuh dari tanda bahaya, ia lari terus. Segera juga anak-anak panah menyambar saling susul, tetapi tidak ada satu yang mengenai sasarannya. Ia terus lari, hingga melintasi belasan tenda.

Ngochito mengejar terus, tapi ia kalah dalam ilmu enteng tubuh, ia tidak dapat menyandak, meski begitu, Tan Hong toh repot, sebab suara tanda bahaya telah membangunkan tentera Watzu dipelbagai tangsi, sedang seluruh tangsi luasnya kira-kira seratus lie.

Ketika ia sudah melewati puluhan tangsi, Tan Hong tiba di suatu tempat yang merupakan tanah kosong, di situ ada dua baris tangsi, yang berjejer di kedua tepi. Di tenda, atau kemah sebelah depan, api dipasang terang-terang, samar-samar tertampak serdadu ronda. Apa yang beda, dari tangsi di depan itu tidak merubul serdadu-serdadu Watzu seperti dari tangsi-tangsi lainnya. Heran juga Tan Hong, karena ia tahu, tata tertib tentera Watzu biasanya keras sekali, begitu ada pertandaan, semuanya mesti bergerak.

Tetapi ini satu tidak.

"Mungkinkah di sini ada dua jenderal yang masing-masing memegang pimpinan?" bertanya hati kecilnya. "Walaupun ada dua pemimpin, mereka tetap berada di bawah satu pemerintah, tidak seharusnya mereka berlainan pimpinan.....”

Tidak peduli ia heran atau bersangsi, Tan Hong insyaf ia tidak boleh membuang-buang tempo, maka itu, ia lompat, untuk lari terus. Ia dapat kenyataan, di belakangnya ada pengejar-pengejar yang menunggang kuda. Ia tiba di tengah tegalan itu di mana terdapat banyak tumpukan rumput yang tinggi bagaikan bukit kecil. Itulah tumpukan rangsum kuda, yang tentera Watzu paksa penduduk setempat mengumpulkannya.

"Baiklah aku menyusup kesalah satu tumpukan, untuk sembunyikan diri," pikir Tan Hong. "Aku mesti tunggu, sampai semua sudah sirap, baharu aku berlalu dengan diamdiam."

Tan Hong pikir, kalau toh tumpukan-tumpukan rumput itu hendak digeledah, orang mesti menggunakan banyak serdadu, karena ia memakai seragam tentera Watzu, ia mengharap akan ada kemungkinan untuk bercampur dengan mereka itu, untuk turut menggeledah bersama-sama.....

Demikian ia nelusup masuk ke dalam sebuah tumpukan, akan menantikan saatnya.

Tapi, begitu ia masuk, begitu lekas juga ia terkejut. Kupingnya telah menangkap suara tertawa geli, dekat sekali, menyusul mana bebokongnya terasa ditekan barang keras bagaikan besi, yang dingin seperti es.
"Aku telah nantikan lama padamu!" demikian sekonyong-konyong ia dengar suara,yang halus dan menggiurkan. "Jangan kau bergerak! Bila kau bergerak, akan aku menjerit-jerit!....."

Tan Hong kaget dan heran. Ia berada di medan perang, di dalam tangsi, dari mana datangnya satu wanita, mungkin satu nona? Karena itulah suaranya seorang perempuan.

Ia merasa lega juga, karena orang mengancam secara lunak.

"Baik, aku tidak akan bergerak," ia jawab. Wanita itu tertawa pula, dengan terlebih geli. Sekarang ia lemparkan sebuntal pakaian.

"Lekas kau loloskan seragammu," ia kata. "Lekas kau tukar itu dengan pakaian ini. Kau tunggu sebentar, aku akan segera kembali."

Habis berkata, wanita itu keluar dari tumpukan rumput.

Segera terdengar suara berisik, dari serdadu-serdadu dan kuda mereka. Suara berisik itu melintasi tegalan, tiba ke dekat tumpukan di mana Tan Hong menyembunyikan diri,tempat dari mana barusan si wanita muncul.

"Keke, adakah keke melihat satu perwira lari lewat di sini?" demikian Tan Hong dengar pertanyaan satu orang.

"Ya, aku lihat dia," jawab si wanita tadi. "Dia lari sangat cepat, aku tak dapat menyandak dia. Dia lari dari sini, terus kesana. Mungkin sekarang dia sudah melewati tangsi wanita dan telah sampai di depan."

Dengan berteriak-teriak, "Mari! Mari!" serdadu pengejar itu lari ke arah yang ditunjuk, sebentar saja, suara mereka menjadi kurang berisiknya dan akhirnya lenyap, hingga kesunyian kembali di situ.

Tan Hong dapat menenangkan diri, ia mengintai dari tumpukan rumputnya itu. Ia ditolong oleh cahaya api dari tangsi yang terdekat. Ia periksa pakaian yang diberikan kepadanya. Ia kenali itu adalah seragam dari serdadu wanita Mongolia. Ia menjadi heran.

Teringat akan panggilan tentera tadi kepada si wanita, ia pun menjadi bingung. Ia tahu apa artinya panggilan "keke" itu. Orang Mongolia, begitupun orang Manchu, kalau ia memanggil nona anggauta keluarga raja, maka mereka memanggilnya keke. Jadi wanita itu, nona itu, adalah dari keluarga agung. Sementara itu, ia bersangsi untuk pakaian itu.

"Apakah aku mesti menyamar sebagai serdadu wanita?" ia berpikir. Tapi ia ingin lolos dari kepungan, ia tidak bersangsi lama.

"Apakah kau sudah salin?" tak lama ia dengar suara si nona. "Nah, sekarang kau sudah boleh keluar."

Tan Hong buntal pakaiannya, sambil bawa itu, ia munculkan diri.

Si nona tertawa geli sekali.

"Mari turut aku!" katanya. Terus dia bertindak. Sekarang Tan Hong merasa bahwa ia seperti kenal nona ini, bahwa pernah ia melihatnya, hanya entah di mana, sesaat itu,tidak dapat ia mengingatnya.

Nona itu pergi kesebuah kemah ke dalam mana ia terus bertindak masuk. Di dalam situ, semuanya adalah serdadu-serdadu wanita.

Sekarang baharulah Tan Hong insyaf kenapa ia disuruh salin pakaian. Di tangsi wanita,tak boleh ada pria mencampurkan diri. Pantas tadi pengejar-pengejarnya tidak menggeledah di situ. Hanya sekarang, biar bagaimana, ia merasa jengah juga sebab begitu banyak mata wanita mengawasi padanya, agaknya mereka itu heran. Terpaksa ia tunduk.

"Oh, keke sudah kembali?" demikian si nona ditanya beberapa serdadu wanita itu. "Ada terjadi apakah di luar?"

"Kabarnya mereka menawan satu orang jahat," jawab si nona. "Kamu jangan usilan!"

Serdadu-serdadu wanita itu mengawasi pula Tan Hong tetapi mereka tidak ada yang berani menanyakan sesuatu.

Nona itu ajak Tan Hong ke sebuah kemah lain, begitu tenda dipentang, dari situ tersiar bau harum semerbak, yang membuat hatinya jadi terbuka.

Tan Hong lihat sebuah pedupaan kayu gaharu. Di situ ada sebuah meja marmer serta satu meja kecil dari batu pekgiok. Di atas meja kecil itu ada beberapa tangkai bunga bwee dalam sebuah tempat bunga. Orang berada di tangsi tentera, tapi kemah diperlengkapi bagaikan kamar wanita, hanya sederhana.

Begitu berada di dalam, nona itu membuka ikat kepalanya. Ia berpaling kepada si anak muda, matanya berkerling hidup.

"Tan Hong, masihkah kau kenal aku?" tiba-tiba ia menanya.

Tan Hong memandang dengan tercengang. Sinar lilin di situ terang sekali, wajah si nona tampak tegas. Orang tengah mengawasi ia dengan sunggingan senyuman berseriseri.

Dengan lantas ia ingat. "Kaulah Topuhua!" ia jawab.

Nona itu manggut.

"Benar," sahutnya. "Sudah banyak tahun sejak kita berpisah, kau masih belum melupakan aku!"

Di dalam hatinya, Tan Hong mengeluh.

Topuhua adalah puterinya Yasian, kepala perang Watzu itu. Dimasa kecilnya, Tan Hong pernah bermain-main bersama nona ini. Setelah umur mereka tiga atau empat belas tahun, baharu mereka berpisahan. Sebabnya ialah, di antara Thio Tjong Tjioe dan Yasian,mereka cuma baik di mulut, di hati berlainan, sedang mereka —Tan Hong dan Topuhua —sudah mulai mengerti urusan orang dewasa.

Nona itu tertawa ketika ia berkata: "Aku ingat betul suatu kejadian semasa kita kecil.Itu hari aku dan kau pergi berburu di tepi air Yuching di kaki bukit Wuwang, selagi memandang air di mana ada bayangan kita, kau mengatakannya aku mirip pria dan aku bilang kau mirip wanita. Ingatkah kau itu?"

"Ya", sahut Tan Hong, cara sembarangan saja. Baharu saja ia menyahuti atau tiba-tiba si nona menarik tangannya, untuk membawa ia ke muka kaca.

"Kau lihat!" katanya sambil tertawa. "Sekarang kau pakai pakaianku, kau lebih mirip lagi dengan wanita! Lihatlah!"

Wajah Tan Hong menjadi merah. Di dalam hatinya, ia kata: "In Loei salin pakaian menjadi pria, aku justeru menyamar jadi wanita, jikalau dia ketahui perbuatanku ini, tidakkah ia mentertawakan aku?"

Topuhua tertawa pula.
"Pada malam di muka keberangkatan angkatan perang kita, ia berkata, "aku telah dengar kabar kau sudah mencuri masuk ke Tionggoan. Hal kepergian kau itu ditanyakan kepada Thio Sinsiang, dia tidak mau memberi keterangan. Aku telah menyangka, selama hidup kita ini, kita tidak akan bertemu pula satu dengan lain, akan tetapi Allah telah memberkahinya, kita justeru bertemu di sini. Sudah banyak tahun kita tidak pernah bertemu, maka itu kali ini kau mesti berdiam untuk beberapa hari bersama aku di sini."

Tan Hong terperanjat."Mana dapat itu dilakukan?" katanya.

"Kenapa tidak?" Topuhua tanya. "Aku jamin tak akan ada orang yang ketahui kau! Umpama ada juga yang mengetahuinya, mereka semua ada orang kepercayaanku, tidak nanti mereka berani membuka rahasia."

Tan Hong menggoyangkan tangannya berulang-ulang.

Mendadak saja nona itu perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Jikalau kau menampik, sekarang juga aku berteriak!" ia kata.

Pemuda itu tidak membiarkan dirinya digertak. "Baik, kau berteriaklah!" ia kata."Dengan sebenarnya aku beri tahu padamu, hari ini aku menjadi musuhmu, kau boleh belenggu aku, kau boleh serahkan aku kepada ayahmu! Aku telah memberanikan diri mendatangi tangsi tenteramu, karena aku tidak memikirkan pula jiwaku!"

Mendengar itu, si nona tertawa pula, nampaknya ia sangat manis dan menarik.

"Kau tertawakan apa?" tanya Tan Hong, gusar. "Kau masih tetap bawa sifatmu semasa kanak-kanak," sahut Topuhua. "Kau selamanya suka jaili aku. Kau bilang kau adalah musuhku, aku sebaliknya tidak pandang kau sebagai musuh. Kau bilang kau tidak sayangi jiwamu, baiklah, sekarang aku tanya, kau pikirkan jiwa ayahmu atau tidak?"

Diam-diam Tan Hong terkejut.

"Ayahku masih ada di Watzu, dan di sana Yasian-lah yang berkuasa," ia berpikir. "Lagi pula, kalau nanti aku hendak mengacaukan bahagian dalam dari Watzu, aku membutuhkan bantuannya ayahku. Mengurbankan diri adalah perkara gampang, untuk membangun negara sesungguhnya sulit. Baiklah, aku bersabar."

Ia lantas tunduk.

Topuhua mengawasi, ia menyangka orang telah menurut, kembali ia tertawa.

"Sebenarnya, apa sih yang tak baik untukmu tinggal bersama aku di sini?" dia tanya,suaranya manis. "Tempatku ini, di mana juga dalam kalangan tentera Watzu, tidak nanti kau dapatkan keduanya terlebih menyenangkan."

Tan Hong berjingkrak. "Apa?" tanyanya. "Kau hendak suruh aku berdiam di sini?"

"Jikalau kau tidak tinggal di sini, habis di mana lagi?" si nona tertawa pula. "Apakah kau hendak tinggal di luar rumah bercampur dengan serdadu-serdadu wanita? Kau tak usah takut ditertawai!"

Tan Hong berpikir keras. Ia benar menghadapi kesulitan. Memang, kalau mesti berdiam di dalam tangsi, ia mesti berdiam sama si nona. Ia lantas ingat pula In Loei, kembali ia mengeluh dalam hatinya. Topuhua lantas teriaki satu serdadunya untuk ambil setahang air panas.
"Pergi kau mandi di belakang kemah ini", katanya pada anak muda kita. "Kau bersihkan tubuhmu dari kotoran tanah dan rumput, supaya tidak ada orang yang mencurigai kau.Tak usah kau malu-malu, di sini tidak ada orang melihat padamu."

Ia menarik tenda dari apa yang disebut kemah belakang itu, ke situ ia tolak masuk tubuh Tan Hong, habis mana, tenda itu ditutup pula rapat-rapat, sampai angin pun tak dapat masuk.

"Sekarang baharulah hatiku tetap!" masih menggoda si nona. "Kalau sebentar kau telah selesai mandi, aku masih hendak bicara denganmu."

Tan Hong sementara itu mengasah otaknya, guna memikirkan daya untuk meloloskan diri. Sekian lama ia telah berpikir, belum juga ia memperoleh akal. Hal ini membuatnya ia masgul.

Pada waktu itu ia dengar tanda waktu dalam tangsi, kentongan dibunyikan dua kali.

Jadi sudah jam dua.

Berbareng dengan itu, satu serdadu wanita bertindak masuk.

"Keke, Thaysoe datang menjenguk," dia memberitahukan.
"Silakan Thaysoe masuk", sahut Topuhua. Baharu saja serdadunya keluar, nona ini sudah tertawa pula.
"Kau jangan terbitkan suara apa-apa, aku tak akan memberitahukan ayah tentang kau!" ia kata. Tentu saja kata-kata ini ditujukan kepada si anak muda.

Jantung Tan Hong memukul. Ia memasang kuping.

Sebentar kemudian terdengarlah tindakan kaki. Itulah Yasian.

"Ayah," Topuhua sambut ayahnya itu, "kabarnya malam ini ayah hendak menyuruh raja Beng melayani kau minum arak, kenapa sekarang kau sempat menjenguk aku? — Ah, ada urusan apakah, ayah? Kau nampaknya tidak gembira.....”

Tan Hong menahan napas. Ia dengar suaranya Yasian.

"Apa yang terjadi malam ini sungguh di luar dugaanku!" kata menteri itu. "Bagaimana,ayah?"

"Aku tadinya anggap kaisar Beng seorang yang takut mati," berkata pula Yasian, "aku percaya, bila dia sudah menakluk, dapat aku gunakan ia sebagai kaisar untuk mempengaruhi menteri-menterinya. Aku pikir, itu waktu, kita sudah punyakan wilayah kerajaan Beng. Tapi dugaanku itu keliru. Dia membangkang atas titahku itu, dia tidak menghadiri pesta.....”

Topuhua heran.

"Benarkah dia begitu bernyali besar?" dia tanya. "Benar," jawab sang ayah. "Sungguh aku tidak sangka."

Mendengar itu, Tan Hong girang bukan kepalang.

"Kie Tin masih punyakan semangat," ia berkata di dalam hatinya. "Dia menang banyak dibanding dengan dua kaisar ahala Song. Nyata dia tidak mensia-siakan lelahku ini."

"Tidak sukar bagiku membinasakan dia," Yasian berkata pula, "hanya aku kuatir, jikalau aku binasakan dia, itu bisa mengakibatkan kemurkaan rakyat Beng, hal mana pasti akan memperlambat peperangan ini. Untuk kita, perang lama pun belum tentu ada manfaatnya . Aku dengar Atzu Tiwan sekarang ini sedang mengumpulkan tentera diam-diam, rupanya dia pikir, selagi aku pergi perang di tempat jauh, hendak dia rampas kekuasaanku. Hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram."

Yang disebut Tiwan Atzu itu adalah si pangeran Mongolia yang diutus ke Pakkhia.

"Ayah, kau gagah perkasa, buat apa kau kuatirkan hal itu?" kata sang puteri. "Lagi pula hari ini kita telah peroleh kemenangan besar, maka tidak selayaknya kau mengucapkan kata-katamu ini."

Yasian tertawa.

"Kau benar, anakku!" ia kata. "Sekarang hendak aku bicara dengan kau tentang hal yang akan membuatnya kau girang. Ya, apakah kau masih ingat Thio Tan Hong puteranya Thio Tjong Tjioe?"

Kaget Tan Hong mendengar perkataan itu.

"Kenapa, ayah?" Topuhua balas menanya. "Meskipun Thio Tjong Tjioe tidak hendak memberitahukannya, tetapi telah aku peroleh endusan, Thio Tan Hong sebenarnya telah menyusup ke Tionggoan," sahut sang ayah. "Hal itu membuatnya aku curiga.....”

"Kenapa begitu, ayah?"

"Keluarga Thio itu dengan kaisar Beng adalah musuh turunan, karenanya tidak ada alasan untuk mencurigai Tan Hong nanti membantu musuhnya itu," menerangkan Yasian,"tetapi sejak aku menggerakkan angkatan perang sampai pada hari ini, sudah berselang satu bulan, Thio Tan Hong yang berada di Tionggoan itu, kenapa dia tidak datang padaku untuk melaporkan sesuatu? Sebenarnya inilah waktu yang paling baik untuk ia menuntut balas bagi permusuhan turun temurunnya."

"Mungkin dia terhalang karena berhadapannya kedua pasukan perang dan ia belum mendapatkan kesempatannya," Topuhua utarakan dugaannya. Ia main komedi dengan ayahnya itu. "Kalau nanti ayah sudah rampas Tionggoan, mustahil dia tak muncul?"

Yasian tertawa.

"Sampai itu waktu, itulah sudah pasti!" ia kata. "Kau tahu, kali ini aku menerjang ke Tionggoan, maksudku untuk menawan dua orang.....”

"Siapakah kedua orang itu?"

"Yang pertama yaitu kaisar Beng," jawab sang ayah. "Dengan ditawannya kaisar itu,meskipun dia tidak sudi menakluk, sisa tentera Beng pasti masih ragu-ragu, lambat laun,negara Beng itu akan jadi kepunyaanku juga."
"Dan yang kedua, ayah? Siapa dia?"
"Yang kedua ialah Thio Tan Hong."
"Ayah hendak tawan dia, apakah ayah persalahkan dia karena dia telah menyusup masuk ke Tionggoan?" sang anak tanya pula.
"Ya dan bukan," Yasian jawab.
"Apakah artinya itu, ayah?"
"Thio Tan Hong itu gagah dan pintar, dia sangat berguna," Yasian berikan keterangan pula. "Jikalau aku telah menangkap dia, umpama kata dia tidak sudi tunduk padaku, akan aku dakwa dia telah lancang menyusup ke Tionggoan, akan aku bunuh dia. Tindakan ini ialah untuk mencegah bahaya di belakang hari."
"Ah....." Topuhua berseru tertahan. "Tidakkah itu terlalu kejam?"

Yasian tertawa.

"Dia bermusuh dengan kerajaan Beng, dalam sepuluh, sembilan bagian sudah pasti dia akan turut aku!" dia kata. "Anakku, itulah maksud urusanku yang menggirangkan!"

Topuhua berpura-pura likat.

"Ah, ayah, kembali kau mengejek aku!.....” katanya.

Yasian tertawa berkakakan.

"Ayahmu bukannya seorang tolol!" ia kata. "Sudah sejak siang-siang aku lihat kau sukai Thio Tan Hong si bocah itu! Sekarang ini kau sudah berusia dua puluh tiga tahun,menurut adat istiadat kita bangsa Watzu, kau seharusnya sudah membuat aku mengempo cucu! Banyak pangeran telah meminangmu, kau selalu menampik, ayahmu juga tidak hendak memaksa. Kenapa sikapku itu? Itulah karena aku tahu kau menantikan Thio Tan Hong! Baiklah, akan aku bikin kau menjadi puas!"

Topuhua tunduk, ia diam, tetapi hatinya girang bukan kepalang.

"Hanya malam ini, bangsat itu!" tiba-tiba Yasian berseru keras. "Dia benar-benar bernyali besar! Dia telah menyusup ke dalam kemah harimau, dia mencoba untuk membawa buron kaisar Beng, malah dia juga mempunyai lengtjhie kumala! Aku agak sangsi.....”

"Siapa yang kau sangsikan, ayah?" tanya Topuhua.
"Aku kuatir penjahat itu adalah Thio Tan Hong....."

Si nona heran.

"Bukankah ayah sendiri yang mengatakan dia bermusuh dengan kaisar Beng?" dia tanya.

"Itulah yang menyebabkan kesangsianku. Sebegitu jauh yang aku ketahui, lengtjhie itu diberikan mendiang Sri Baginda kepada tiga orang, ialah kesatu ayahmu, kedua Thio Tjong Tjioe, dan ketiga Pangeran Atzu. Aku duga penjahat itu, kalau dia bukannya ThioTan Hong, dia mesti orangnya pangeran itu. Mungkin pangeran itu juga berniat menculik kaisar Beng, supaya dia dapat bersaing denganku. Tapi soal ini tidak terlalu sukar, kalau nanti aku sudah pulang perang, akan aku selidiki. Umpama kata perbuatan itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, walaupun kau menyayangi dia, terpaksa aku harus singkirkan padanya!"

Topuhua terkejut, di dalam hatinya, ia mengeluh. Ia bersyukur yang ia belum sampai memberitahu kan ayahnya hal Tan Hong ada bersama dengannya. Yasian berpaling ke meja kecil, untuk menuang teh, tiba-tiba ia tampak tenda bergerak perlahan, samar-samar terdengar suara.

"Siapa di dalam tenda?" ia menegur. Terus ia menoleh pula, melihat puterinya tengah mengipas dengan kipas kayu cendana.

"Di mana ada orang di sini, ayah?" kata anak itu sambil tertawa. "Mungkinkah ayah dibikin kaget penjahat itu maka sekarang ayah menjadi kurang tenteram hati hingga ayah menjadi bercuriga tidak keruan?"

Wajah ayah itu berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa besar.

Topuhua tetapkan hatinya, ia mengipas dengan terlebih keras.

"Hawa udara di Tiongkok beda dengan kita di Mongolia," berkata Yasian kemudian.

"Dalam bulan sembilan yang berhawa sejuk, di sana sudah turun salju, di sini sebaliknya hawa masih panas. Kiranya kipas kau yang membikin tenda itu bergerak-gerak, hingga aku menyangka yang bukan-bukan..."

Habis mengucap, ayah ini tertawa pula, ber-gelak-gelak. Ia tidak tahu, Topuhua mengipas sesudah tenda bergerak, hanya puterinya ini mengipas dengan cepat, sedang iapun tengah berpaling, ia tidak engah.

Di dalam hatinya, Topuhua sesalkan Tan Hong, yang menganggap telah berlaku tidak hati-hati.

"Sekarang ini aku telah mengumumkan titahku," berkata Yasian kemudian, "yaitu kecuali dengan titah yang tertulis dengan tanganku sendiri serta ditandai dengan cap kebesaran panglima perang tertinggi, siapa juga dilarang datang dekat kepada kaisar Beng. Aku pun telah menarik dua belas pahlawan ke Kemah Harimau, untuk bantu membuat penjagaan. Maka, tidak peduli penjahat liehay luar biasa, tidak nanti dia dapat menyusup masuk ke dalam kemah kaisar itu. Kau tahu kita pun telah dapat menawan Thio Hong Hoe, komandan Gielim koen kerajaan Beng itu. Tentang dia, aku telah dengar dari Tantai Mie Ming, sekarang telah aku saksikan sendiri, dia benar gagah, dari itu aku harap dapat aku bujuk dia menakluk kepada kita, apabila dia suka menyerah, dia pasti lebih berharga daripada dua belas pahlawan itu. Dia telah terluka panah, dia tidak membutuhkan banyak orang untuk menjaganya karena itu aku telah menarik kedua belas pahlawan itu."

Atas kata-katanya ayah ini mengenai Thio Hong Hoe, Topuhua tidak menaruh perhatian, ia menyahuti secara sembarangan saja, ia hanya sedang pikirkan keras perihal jodohnya dengan Thio Tan Hong.

"Apakah ayah telah mendapat persetujuan dengan Thio Tjong Tjioe?" ia tanya. Inilah hal yang penting baginya. Kalau kedua orang itu sudah cocok satu dengan lain, tidak usah ia kuatirkan apa-apa lagi.

"Sebenarnya aku tidak bercidera dengannya," Yasian jawab puterinya itu, "kita cuma kurang cocok sedikit dalam hal pendapat. Aku percaya, sesudah nanti kita menjadi besan, perhubungan kita akan menjadi lebih baik pula." Ia tertawa, lalu ia menambahkan: "Aku percaya Thio Tjong Tjioe tidak akan lolos dari kekuasaanku. Keluarga Thio itu sudah turun temurun membantu negara kita dalam hal tata tertib negara, bisa dianggap dia berjasa besar, cuma mereka telah memikir yang tidak-tidak, yaitu mereka berniat meminjam angkatan perang kita untuk membangun pula Kerajaannya, yaitu Kerajaan Tjioe. Tentu saja, itu bukannya satu urusan yang sederhana sebagaimana yang mereka pikir. Sekarang ini aku biarkan Thio Tjong Tjioe berdiam di dalam negeri. Sikapnya nampaknya aneh. Yang dia pikirkan siang dan malam adalah untuk kembali ke negerinya, untuk membangun kerajaannya, itu artinya, ia harapkan masuknya angkatan perang kita ke Tionggoan. Sekarang ini angkatan perang kita sudah bergerak, kita sudah masuk ke dalam wilayah Tionggoan, tetapi heran, ketika aku minta ia berdiam di dalam negeri, ia tidak menentangnya. Kelihatannya ia girang-girang saja. Kenapa begitu sikapnya? Hal ini membikin aku sulit menerka hati Tjong Tjioe itu. Tapi dia adalah seorang pandai, maka aku pikir jikalau nanti telah selesai aku merampas Tionggoan dan mengangkat diriku menjadi raja, hendak aku berikan dia kedudukan sebagai perdana menteri. Oh, anakku, dengan aku menjadi raja, kau akan menjadi puteri!"

Ketika itu terdengar kentongan tiga kali.

"Ayah, waktu sudah larut malam," kata Topuhua sambil tertawa. "Sekarang sudah waktunya ayah beristirahat. Besok ayah akan melanjutkan memimpin pasukan perang,untuk menyerang kota Pakkhia, setelah kota itu dapat dirampas, baharu ayah menjadi raja dan aku menjadi puteri!"

Yasian tertawa. "Kau benar, anak!" ia kata, hatinya gembira. Setelah mencium puterinya ia meninggalkan tangsi wanita itu.

Begitu ayahnya berlalu, lekas juga Topuhua bernapas lega. Ia merasakan bagaimana keringatnya telah membasahi baju dalamnya. Ia lantas salin pakaiannya, sambil dandan dan tertawa, ia kata: "Engko Thio, kau lihat, bagaimana baik hati ayahku! Maka kau bolehlah legakan hatimu..."

Dari kemah dalam tidak ada penyahutan. "Ayahku sudah pergi!" kata pula Topuhua sambil tertawa. "Kau lekas mandi! Apakah airnya sudah dingin? Apakah kau ingin tukar itu dengan air panas yang baru?"

Dari dalam tenda itu tetap tidak ada jawaban, tidak ada suara apa-apa.

"Engko, engko Thio, ah, kenapa kau tidak menjawab?" tanya Topuhua. Sekarang ia mulai merasa heran. Ketika ia tetap tidak peroleh penyahutan, ia kerutkan alis. Ia lantas bertindak menghampirkan tenda. Tapi ia tidak berani lantas memegangnya, untuk menariknya, buat membukanya. Ia kuatir si anak muda tengah membuka pakaian.

"Engko Thio, engko Thio!" ia memanggil pula, dua kali.

Masih saja tidak ada jawaban dari Tan Hong. Sampai di situ, Topuhua menjadi curiga.

Ia pun menjadi tidak senang, hingga ia kertek giginya. Sekarang ia tidak pikirkan apa-apa lagi, ia sambar tenda dengan kedua tangannya dan menariknya dengan keras!

Bukan main herannya Topuhua begitu lekas tenda sudah terpentang. Tenda itu kosong,Thio Tan Hong tidak ada di dalamnya! Maka ia masuk ke dalam, untuk memeriksa. Segera ia menjadi terkejut. Tenda itu rapat, tidak ada jalan keluar di sebelah belakang, tetapi sekarang telah terbuka satu lowongan, yaitu tenda pecah bekas dipotong! Itulah tanda yang Tan Hong telah memotong tenda itu, akan membuka jalan untuk buron!

Topuhua melengak, ia mendongkol berbareng menyesal, ia menjadi bingung dan berduka.

"Dasar aku yang tolol," ia pikir kemudian. "Tidak selayaknya aku mengijinkan dia membawa-bawa pedang."

Selagi tunduk, Topuhua tampak corat caret di tanah. Itulah surat yang ditulisnya dengan ujung pedang. Ia lantas membaca:
"Terima kasih untuk pertolonganmu, lain waktu akan aku balas budi ini. Sekarang aku sangat kesusu, tidak ada ketika untuk kita pasang omong. Di mana kedua negara sedang berperang , sekarang pun bukan saatnya untuk berunding, maka itu, aku pergi dahulu!"
Di bawahnya tertera tanda tangan Tan Hong.

Dengan hati panas, Topuhua pergi keluar. Ia tanyakan keterangan pada serdadunya yang menjaga di luar.

"Dia pergi sudah lama," ia dapat jawaban.
"Kenapa kau tidak cegah padanya?" si nona tanya.
"Dia masuk bersama nona," sahut serdadu itu, "dan nona pun pesan supaya kami jangan banyak omong, karena itu, kepergiannya, mana kami berani menghalanginya?"
Bukan main mendongkolnya Topuhua, akan tetapi ia tidak dapat berkata suatu apa.

Dengan mendongkol dan masgul, ia kembali ke dalam kemahnya.

Sementara itu, di lain kemah, Thio Hong Hoe pun dapat meloloskan diri.

Ditahan di dalam kemah, Hong Hoe dijaga dua pahlawan. Sejak ia ditawan, ia sudah memikir tidak ingin hidup, tetapi ia dibelenggu, tidak ada jalan untuknya akan membunuh diri, maka itu, ia mogok makan. Yaitu dikasi makanan apa juga, ia tolak, hingga atas titahnya Yasian, ia dipaksa dicekoki kuwah jinsom, sedang lukanya telah diobati. Lukanya tidak berbahaya, setelah diobati dan makan kuwah jinsom, kesehatannya telah pulih dengan cepat. Sekarang ia bisa gunakan otaknya.

"Kalau toh aku mesti mati, aku harus menukar jiwaku dengan beberapa jiwa!" demikian ia berpikir. Karena ini, seterusnya suka ia dahar.

Pembahan sikap ini membikin girang kedua pahlawan penjaganya, karena mereka tak usah main paksa orang minum dan dahar. Mereka tidak menyangka, dengan suka bersantap, Hong Hoe hendak pelihara diri, untuk mengumpulkan tenaganya.

Demikian malam itu, kira-kira jam tiga, selagi seluruh tangsi terbenam dalam kesunyian, Hong Hoe empos semangatnya, ia pusatkan tenaganya, habis itu, ia gerakkan kedua tangannya yang terbelenggu rantai. Ia bertenaga besar, siapa tahu, rantai ada tangguh sekali, rantai itu tidak terputus, hanya menerbitkan suara nyaring, hingga kedua penjaganya kaget.

"Hai, kau bikin apa?" tegur dua pahlawan itu.

Hong Hoe tidak menjawab, dia hanya kerahkan pula tenaganya, kali ini ia berhasil membikin sehelai rantai putus, suaranya semakin nyaring.

Kaget kedua pahlawan itu, mereka hunus golok mereka, untuk mengancam. Ingin mereka mencegah orang buron.

Hong Hoe mendelik, hingga ia nampaknya menjadi bengis sekali.

"Mampus dia yang mendekati aku!" teriaknya. Ia lompat, ia merabu dengan rantainya.

Kedua pahlawan itu mundur, bukan saja serangan hebat, mereka pun tidak berani membu nuh tawanan ini, mereka lompat berkelit, niat mereka adalah menyerang dari samping ke arah kaki tawanan itu.

Hong Hoe liehay, dia ganas, selagi dia hendak dibacok, dia mendahului, hebat sabetannya dengan rantai.

"Aduh!" teriak satu pahlawan, yang rubuh seketika, kakinya patah di bagian dengkul kena rabuan rantai.

Pahlawan yang kedua kaget tapi ia lantas membacok. Ia insyaf akan ancaman bencana.

Hong Hoe rubuhkan diri, sambil rebah celentang, ia menyapu dengan kakinya, yang pun terbelenggu. Tapi pahlawan itu liehay, dapat dia berkelit, terus dia membacok pula,untuk mencegah orang berbangkit bangun.

Hong Hoe bergulingan, atas mana, ia disusul bacokan berturut-turut, hingga tak ada ketika baginya untuk lompat bangun. Dalam keadaan sangat berbahaya itu, selagi pundaknya terancam akan terbabat kutung, mendadak terdengar satu suara keras, dari bentroknya senjata-senjata tajam, lantas golok si pahlawan terlepas jatuh.

Hong Hoe menjadi kaget, lekas-lekas ia lompat bangun, untuk berdiri, berbareng mana,ia tampak menyerbu masuk, dua orang yang mukanya bertopeng.
"Lekas bekuk tawanan ini!" teriak si pahlawan. Ia lihat, dua orang itu adalah kawannya.

Ia lantas lompat, untuk menjumput goloknya yang barusan terlepas. Untuk itu, ia membungkuk. Tapi di luar dugaannya, kedua orang itu, yang memakai seragam perwira Mongolia, tahu-tahu dengan berbareng telah membabat dengan pedang mereka, hingga tanpa menjerit lagi, tubuh pahlawan itu terputus dua dan rubuh dengan berlumuran darah.

"Kau?" teriak Hong Hoe ketika ia lihat, kedua orang itu.
Kedua orang itu membuka penutup muka mereka.
"Ya, aku!" jawab yang satunya, sambil tertawa.

Mereka itu tidak lain daripada Tan Hong dan In Loei.

Tan Hong mendengar dari Yasian, di mana adanya Hong Hoe, maka itu, selagi Yasian dan puterinya berbicara, ia berlalu dengan cepat. Dengan mudah ia akali serdadu wanita,yang menjaga tenda, karena ia masih dandan sebagai seorang wanita, habis itu, ia salin seragam serdadu Mongolia, ia lekas lari pulang ke tangsinya, untuk mengajak In Loei,bersama siapa, ia pergi ke kemah di mana Hong Hoe ditahan, malah tepat sekali di saat tongnia Gielim koen itu menghadapi bahaya, hingga ia dapat memberikan bantuannya.

Dengan cepat Tan Hong dan In Loei gunakan pedang mereka yang tajam, guna memutuskan semua belenggu Hong Hoe, tapi mereka masih terlambat, di depan kemah sudah lantas terdengar suara berisik, sebab tadi, pengawal kemah telah dengar keributan di dalam, dia lari untuk memberi kabar.

Hong Hoe tertawa besar.

"Bagus!" dia berseru. "Akan aku adu jiwaku! Dengan membunuh satu jiwa, pulang modalku! Membunuh dua jiwa, aku sudah untung! Tapi hari ini, hendak aku binasakan sedikitnya sepuluh, tak boleh kurang!"

Dia lantas sambar golok seorang pahlawan, untuk dipakai berlaku nekat.

Tiba-tiba Tan Hong totok komandan Gielim koen itu.

"Kau... kau..." Hong Hoe berseru tertahan, kaget. Ia cuma dapat mengucap demikian,terus kedua matanya rapat, tubuhnya rubuh.

In Loei heran, ia lirik kawannya itu.

"Tak dapat dia dibiarkan nekat," kata Tan Hong. "Mari!"

Anak muda ini mengangkat tubuh orang, untuk dipanggul.

In Loei mengerti, ia dewi kz lantas mengikuti. Tidak ada lain jalan, mereka pergi ke depan, untuk menghadapi musuh. Tanpa tanda apa-apa lagi, keduanya maju menerjang,untuk membuka jalan. Segera pedang mereka berkelebat, segera terdengar suara beradunya pelbagai senjata tajam. Untuk kagetnya musuh, senjata mereka semua terpapas kutung, hingga terpaksa mereka lompat minggir.

Tan Hong dan In Loei gunakan ketikanya, selagi jalanan terbuka, mereka maju dengan cepat. Terus mereka babat kutung senjata musuh, terus mereka nerobos, sampai mereka dapat dekati tenda dan lompat naik ke atasnya.

Itulah pahlawan-pahlawan kelas dua, karena yang dua belas, yang kelas satu, sudah ditarik ke tengah, untuk menjaga raja Beng. Maka itu, mereka semua tak berdaya menghadapi pasangan anak muda itu, hingga, begitu lekas mereka berdua sudah lompat naik ke tenda, lekas sekali keduanya dapat lolos dengan jalan melintasi pelbagai tenda lainnya.

Begitu lekas mereka sudah berada di luar kalangan berbahaya, Thio Tan Hong lantas perdengarkan suitannya yang nyaring, suitan mana disambut dengan ringkikan kuda di arah kiri mereka.

"Kita bebas!" kata Tan Hong dengan girang apabila ia telah dengar suara kuda itu.
"Mari!" ia ajak kawannya.

In Loei ikuti kawan ini. Mereka hampirkan kuda Tjiauwya saytjoe ma, yang sudah menantikan mereka sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Bertiga bersama Hong Hoe, Tan Hong menyingkir dengan kudanya itu, yang lari keras.

"Biarkan dia tidur!" kata Tan Hong pada kawannya ketika ia mengikat Hong Hoe diperut kuda.

Komandan Gielim koen itu masih belum sadar, sebab ia belum ditotok pula. Tan Hong mempunyai dua macam ilmu totok, ialah yang membahayakan jiwa dan tidak. Hong Hoe ditotok urat tidurnya, dengan begitu ia pingsan tanpa terganggu jalan napas dan jalan darahnya.

Mulanya In Loei bersangsi akan naik bersama atas seekor kuda, hingga Tan Hong desak dia, "Naiklah, adik kecil!" katanya. Ia bersangsi sejenak, kemudian ia lompat naik ke atas bebokong kuda. Ia mesti insyaf, mereka perlu lekas menyingkir jauh dari musuh.

Meski begitu, tak dapat ia cegah mukanya menjadi merah dan kulit mukanya dirasakan panas, saking jengah. Mau atau tidak mereka harus tempelkan tubuh mereka satu dengan lain.

Dengan perdengarkan suara yang nyaring, Tjiauwya saytjoe ma berlompat lari, dia membikin tentera Watzu tidak berdaya walaupun mereka ini dengar suaranya.

Dapat dikatakan tak sampai satu jam, kuda putih yang jempolan itu sudah meninggalkan tangsi Watzu terpisah jauh di belakangnya. Kerap kali di tengah jalan beberapa serdadu ronda dari Watzu mencegat akan tetapi menghadapi Tan Hong dan In Loei, mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa, dengan gam pang kedua anak muda itu dapat melalui mereka. Mereka yang berani dengan segera menjadi kurban pedangnya pasangan itu. Lega hati Tan Hong begitu lekas ia lihat mereka sudah lolos dari ancaman bahaya. Mereka telah berada kira-kira empat puluh lie jauhnya dari daerah tangsi Watzu
di Touwbokpo. Ia menjadi sangat girang. Satu kali ia tertawa tak disengaja ketika rambut halus dan bagus dari In Loei menyampok hidungnya, yang membuatnya ia merasa geli.

"Toako, coba perlahankan kuda putihnya," In Loei minta kemudian.

Tan Hong meluluskan, maka sesaat kemudian, Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas bertindak perlahan. Ini membuatnya si anak muda lantas merasakan keindahan sang malam dengan rembulannya yang permai. Ia seperti sadar sesudah ia berpikir sebentar.

Baharu sekarang ia ingat, malam itu adalah malam Tiong Tjioe — bulan delapan tanggal lima belas! Tanpa merasa, ia tertawa.

"Adik kecil!" katanya, "tahun ini Tiong Tjioe dilalui dengan berkesan!"
"Memang benar!" sahut In Loei, yang hendak menggoda. "Hari raya Tiong Tjioe dinamakan juga Toan Wan Tjiat, artinya Bundar dan Bulat, dan kau bersama puterinya Yasian telah berada bersama bagaikan manusia dan rembulan lama bundar bulatnya!"
Tan Hong terperanjat, ia segera lirik nona itu. Ia tampak In Loei tertawa manis, bersenyum simpul, dari mulutnya pun tersiar bau harum, maka hatinya goncang sendirinya.

"Adik kecil," katanya, sambil tertawa, "bukankah pribahasa mengatakan, 'Di medan perang menyaksikan rembulan permai, di atas kuda merasakan keindahan Tiong Tjioe?' Adik kecil, semoga kita setiap tahun merasakan malam-malam seperti malam ini! Apa yang kau katakan memang benar, malam ini manusia dan rembulan sama bundarbulatnya, maka juga puteri Yasian itu, apabila dia melihat kau, dia pasti mengiri!..."

Tan Hong balas menggoda, yang mengandung maksud. Dengan samar ia telah utarakan cintanya. Tanpa merasa, In Loei menjadi jengah, ia likat sekali. "Ah, toako, kau jail sekali!" dia kata. "Jikalau kau terus menggoda aku, akan aku lompat turun dari kuda ini, tak mau aku menunggangnya bersama-sama kau!" Tan Hong menoleh, akan pandang si nona. Ia tampak suatu paras seperti girang seperti gusar, hatinya menjadi goncang. Ia tidak jawab nona itu, sebaliknya, ia lantas bersenanjung perlahan. Rembulan tanggal lima belas itu adalah bahan sasarannya.

"Eh, toako, kau angot?" tegur In Loei, heran.

Masih Tan Hong tidak menjawab, ia hanya bersenanjung terus, dengan perlahan:
"Semoga manusia hidup kekal. untuk bersama-sama merasakan keindahan alam seribu lie." Dengan "keindahan alam" itu ia maksudkan seorang wanita cantik manis.

Tanpa merasa, In Loei menimpali, perlahan ia bersenanjung: "Manusia mempunyai kedukaan, kegirangan, perpisahan, berkumpul, seperti juga mendung, ada terang, ada bundar, ada sempoaknya. Hal itu, sejak dahulu hingga sekarang, tak pernah sempurna.

Toako, jangan kau ingat saja bahagian yang kau ambil, bagian belakang, kau melupakan bahagian ini..."

Habis berkata, wajah si nona menjadi suram.

Tan Hong lihat keindahan malam itu, ia mengharap supaya ia dapat hidup bersama In Loei sehingga tua, akan tetapi si nona, walaupun hatinya tergerak, dia tidak melupakan kata-kata kakaknya, maka dia utarakan bahwa penghidupan manusia itu tak kekal tak sempurna selamanya. Karenanya, ia jadi berduka.

Justeru itu segumpal awan lewat, mengalingi si puteri malam, yang sinarnya menjadi guram.

Menampak itu, In Loei paksakan untuk tertawa.

"Nah, toako, kau lihat!" ia kata. "Di dalam dunia ini mana ada manusia hidup berbahagia selamanya, mana ada rembulan purnama terus menerus?"

Mau atau tidak, Tan Hong turut tertawa.

"Adik kecil, ingatkah kau pada syairnya Tjoe Siok Tjin itu penyair wanita?" ia tanya.
"Bahagian yang manakah itu, toako?" In Loei balas menanya.
"Itu syair yang dibuatnya di malam Tiong Tjioe," sahut Tan Hong. "Malam itu Tjoe Siok Tjin melihat rembulan dialingi mega, lalu teringatlah ia kepada nasibnya sendiri, lantas ia menulis syairnya."

Terus Tan Hong perdengarkan syair itu:
"Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya, Maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Kenapa kalau sang mega disingkirkan, Agar rembulan bercahaya selaksa lie?"
Tjoe Siok Tjin adalah satu di antara dua penyair terkenal dari Ahala Song. Yang satu lagi adalah Lie Tjeng Tjiauw. Kalau Lie Tjeng Tjiauw dapat menikah dengan satu suami sempurna, Tjoe Siok Tjin dapat pasangan satu suami desa, maka juga seumurnya ia senantiasa berduka, maka syairnya itu menandakan kedukaan hatinya. Maka juga kumpulan syairnya diberi berjudul "Tuan chang tsi" artinya. "Kumpulan Usus Putus."

Mendengar nyanyian Tan Hong itu, hati In Loei bercekat, tanpa merasa, ia berpikir:
"Tjoe Siok Tjin dapat pasangan tidak kebetulan, ia hidup selalu berduka, maka aku, mustahillah aku bakal menelad dia?...”

Tan Hong, sambil tertawa, sudah berkata pula: "Syair Tjoe Siok Tjin mengandung banyak kedukaan, hanya ini satu, yang tidak berduka seluruhnya. Syair ini mengandung harapan besar! Dia tahu, Thian tidak mengasihaninya, tapi ia masih mengharap agar mega disingkir kan, supaya sang rembulan dapat bercahaya pula. Tjoe Siok Tjin adalah satu nona lemah, dia tidak berdaya menyingkirkan mega, kau sebaliknya bukan seorang lemah! Tjoe Siok Tjin cuma dapat mengharap, kau sebaliknya dapat berusaha, bekerja!"

Mendengar itu, hati In Loei berdebar. Ia berpikir: "Kakakku melarang aku bersahabat dengan Tan Hong, itu sama saja dengan syairnya Tjoe Siok Tjin yang mengatakan, 'Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya', maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Tapi kata-kata kakak itu, apakah aku mesti anggap seperti kehendak Thian? Mega yang menutupi rembulan itu mesti disingkirkan... akan tetapi, bagaimanakah cara menyingkirkannya?"

Ketika ia angkat kepalanya, nona ini dapatkan mega justeru melintas dan sang rembulan bersinar permai lagi seperti tadi!

Kedua anak muda ini telah menempuh gelombang, banyak pengalamannya yang penuh bahaya, sekarang mereka bersama dapat menaiki seekor kuda, bersama-sama mereka menggadangi sang rembulan, walaupun hati mereka berlainan, mereka toh mengicipi bayangan penghidupan manis dari manusia. Rambut di samping kuping mereka beradu , mereka dengar napas masing-masing, tubuh mereka pun melekat satu pada lain... Mereka saksikan bagaimana di langit sang rembulan naik dan turun... Mereka menyesal, seolaholah mereka mempunyai laksaan omongan tetapi tak dapat mereka keluarkan itu semua...

Sebenarnya, untuk apa mereka mengatakannya? Bukankah hati mereka sama, mereka sama-sama telah mengerti maksud hati masing-masing?

Kuda putih berjalan terus, perlahan-lahan sampai tanpa merasa, cuaca telah menjadi terang. Dan di depan mereka, jauh, samar-samar, tampak tangsi tentera Watzu. Nyatalah,Yasian telah memusatkan angkatan perang besarnya di Touwbokpo, sebaliknya pasukan depannya sudah mendekati Pakkhia. Maka itu di sepanjang jalan sejauh dua ratus lie lebih, setiap delapan atau sepuluh lie, telah kedapatan tangsi atau benteng tentera Watzu itu.

"Sekarang bolehlah kita turunkan Thio Hong Hoe," berkata Tan Hong akhirnya.

Hong Hoe di perut kuda masih belum sadar akan dirinya. Tan Hong turunkan tubuh orang dengan perlahan-lahan, habis itu, ia menepuknya.

Boleh dibilang dalam sekejap saja, Hong Hoe lantas sadar, malah segera ia merasa kesegarannya pulih, ia merasa sehat betul. Ia lantas memandang kesekitarnya, ia merasa heran sekali.

"Tempat apakah ini?" dia tanya.
"Tempat ini telah terpisah mungkin seratus lie dari Touwbokpo," sahut Tan Hong.

Hong Hoe menghela napas.

"Tan Hong," katanya, "kenapa kau cegah aku menghabiskan jiwaku untuk menunaikan tugasku?"

Tan Hong menatap dengan tenang.

Kematianmu adalah urusan kecil," ia kata, "akan tetapi kalau setiap orang mengurbankan jiwanya untuk raja, habis siapa lagi yang hendak kurbankan dirinya untuk negara? Jikalau seorang raja menutup mata, masih ada yang menggantikannya, tetapi kalau negara jatuh ke dalam tangan bangsa asing, sungguh sulit untuk mengambilnya kembali! Kau tahu, rajamu sendiri masih belum mati!"

Hong Hoe insaf dengan cepat.

"Habis bagaimana kita dapat tiba di Pakkhia?" ia tanya akhirnya.

-ooo00dw00ooo

Dengan berisik terdengarlah suara terompet di dalam pasukan perang Watzu, disusul gemuruhnya suara tambur perang, lalu di atas gunung terlihat berkibarnya sehelai bendera besar dengan tanda hurufnya "Komandan." Dan satu perwira Mongolia,yang dandan sebagai pangeran, kelihatan bercokol di atas kudanya di atas gunung itu. Dengan cambuknya, pangeran itu menunjuk ke arah depan.

Dia itu adalah Thaysoe Ya Sian, orang yang pegang kekuasaan besar atas bala tentera Watzu. Dia sedang pimpin barisannya, akan hajar tentera kerajaan Beng itu, yang dicegat sana sini, hingga tentera itu jadi kalut sekali.

Dalam keadaan kacau itu, sekonyong-konyong di sebelah timur, muncul satu pasukan Beng yang mengibarkan bendera naga, ketika tentera Watzu lihat bendera itu, mereka lantas saja berteriak-teriak: "Ha, raja Bengtiauw ada di sana!"

Menyaksikan itu Tan Hong kertek gigi.

"Sungguh Ong Tjin jahat sekali!" kata dia dalam hatinya. "Nyatalah dia masih kuatir musuh tidak tahu di mana adanya Sri Baginda!"

Sebab maksud dikibarkannya bendera raja itu adalah untuk memberi tanda kepada musuh, agar musuh ketahui di mana adanya raja.
Kaisar Kie Tin dari Kerajaan Beng telah terkurung satu hari dan satu malam di benteng Touwbokpo, ia berkuatir bukan main. Ia telah saksikan angkatan perangnya telah dihajar rusak oleh musuh, sampai ia tidak sanggup mengumpulkan dan menyusunnya pula dengan sempurna. Ia sekarang hanya mengandalkan kepada Thio Hong Hoe serta pasukan pengawalnya sendiri. Begitulah ia ajak komandan dari Kimie wie itu membicarakan soal menoblos kurungan musuh.

Raja dan pahlawannya ini tengah berbicara tatkala mereka lihat Ong Tjin berlari-lari datang dengan muka terpucat-pucat, dan begitu tiba di hadapan raja, orang kebiri itu perdengarkan suaranya yang tak wajar: "Sri Baginda, celaka! Tentera lapis besi musuh sudah sampai di muka kubu-kubu! Lekas Sri Baginda titahkan Thio Tongnia pergi menangkis mereka!.....”

Selagi raja tercengang, Thio Hong Hoe sudah perdengarkan suaranya: "Jangan kaget,Sri Baginda!" demikian pahlawan ini. "Hari ini, meski mesti kurbankan jiwa, hambamu akan lindungi Sri Baginda menoblos kurungan!"

Sehabis mengucap demikian, pahlawan ini segera lari keluar, untuk wujudkan katakatanya,guna memukul mundur musuh.

Seberlalunya pahlawan itu, tiba-tiba saja Ong Tjin tertawa menyeringai. Tidak lagi ia bermuka pucat dan beroman sangat ketakutan seperti tadi. Ia malah bergembira.

"Sri Baginda," berkata dia, "hari ini habis sudah harapan kita, kecuali kita menyerah dan menakluk, tidak ada lain jalan hidup pula. Hambamu mohon agar Sri Baginda sudi pergi ke tangsi Watzu untuk mohon perdamaian....."

Kaisar kaget bukan main mendengar perkataan hambanya ini.

"Cara bagaimana aykeng dapat mengatakan begini?" dia tanya. "Aykeng" berarti "menteri yang dicintai."

Ong Tjin tidak menjawab rajanya itu, yang masih menghargai padanya. Dengan tibatiba ia perlihatkan roman bengis.

"Mana pahlawanku?" dia memanggil. Atas panggilan itu, dari luar kemah muncul pahlawan dorna kebiri itu, dan raja, tanpa berdaya, sudah lantas saja diringkus.

Hong Hoe sendiri, selekasnya dia tiba di luar kemah, dia kaget bukan main. Dia telah saksikan dikereknya bendera naga. Seperti Tan Hong, segera dia insyaf akan akal muslihatnya Ong Tjin yang jahat itu. Sebenarnya ingin dia kembali ke dalam kemah, akan tengok junjungannya, akan tetapi tentara Watzu benar-benar sudah menerjang, terpaksa ia maju terus, untuk melakukan perlawanan. Hebat untuknya, dengan lekas ia telah kena dikurung musuh, yang telah memutuskan jalannya kembali kepada rajanya.

Sementara itu, darah In Loei bergolak-golak saking murkanya.

"Toako, mari kita bunuh Ong Tjin, untuk menolong Sri Baginda!" ia ajak Tan Hong.

Bersama-sama Tan Hong, In Loei ini memimpin satu barisan tengah, dari itu, di depan mereka terdapat lain barisan, yang berjumlah besar, maka, untuk bisa menyerbu ke arah kaisar Beng, adalah sulit sekali. Mungkin mereka tidak mampu berbuat demikian sekalipun mereka mempunyai kuda-kuda jempolan.

Tan Hong tertawa meringis.
"Di saat seperti ini tidak lagi kita dapat berlaku nekat," katanya, masgul. "Mari kita naik ke tempat tinggi, untuk melihat keadaan.....”
Dan dari tempat yang tinggi, mereka saksikan Ong Tjin menaikkan Kaisar Kie Tin ke atas kuda dengan tubuh terbelenggu. Dengan tangannya sendiri, dorna kebiri itu mengangkat naik bendera putih, untuk dilambai-lambaikan, hingga bendera tanda menakluk itu berkibar-kibar di antara sampokan angin. Beberapa pahlawan yang setia telah mencoba maju, untuk menolongi raja, akan tetapi mereka dirintangi oleh pahlawanpahlawannya si dorna. Dipihak lain, barisan musuh sudah datang mendekati raja yang tak beruntung itu.

Dalam saat seperti itu, sekonyong-konyong terdengar suara teriakan keras bagaikan guntur, lalu tertampak Hokwie Tjiangkoen Hoan Tiong, dengan sepasang gembolan di tangan, mengaburkan kudanya ke arah raja. Panglima ini seperti kalap, tak lagi ia menghiraukan dirinya. Tapi ia pun segera dicegat dan dikepung oleh pahlawanpahlawannya Ong Tjin dibantu tentara watzu yang melepaskan anak panah.

Hoan Tiong mengenakan lapisan baja di depan dadanya dan kopiah di kepalanya,kedua belah anggota tubuh itu bebas dari anak-anak panah, tidak demikian dengan pundak dan bebokongnya, maka itu, belasan anak panah, telah menancap di tubuhnya itu, tetapi ia tangguh sekali, ia tak rubuh karenanya. Ia paksa maju terus ke arah junjungannya, hingga ia datang dekat si dorna kebiri.

Ong Tjin terkejut menyaksikan kegagahan orang itu.

"Hoan Tjiangkoen, marilah kita bicara!" ia serukan. Ia sangat berkuatir.

Jawaban Hoan Tiong adalah teriakan berguntur: "Hari ini aku akan mewakili negara membasmi penghianat!" Dan teriakan itu dibarengi dengan turunnya sebilah gembolannya yang berat itu, menimpa Ong Tjin, hingga tubuh si dorna rubuh dari atas kudanya.

Sementara itu, dia sendiri pun tidak bebas dari beberapa bacokan musuh.

Dalam keadaan luka parah itu, Hoan Tiong tertawa berkakakan, lalu tiba-tiba ia ayunkan gembolannya ke arah kepalanya sendiri, maka sedetik saja, ia rubuh dari kudanya dengan kepalanya pecah, jiwanya melayang. Ia lebih suka bunuh diri daripada tertawan atau terbinasa ditangan musuh.

Bagaikan air bah, demikian serbuan tentara Watzu, maka sejenak kemudian, kaisar Beng yang sudah tidak berdaya itu telah menjadi orang tawanan, sedang menterimenterinya,yang turut ke medan perang, seperti Siangsie Kong Tim, Ong Tjoh, Haksoe Tjo Teng dan Thio Ek, pangeran Enqkok-kong Thio Hoe dan lainnya, telah berkurban untuknya. Juga di antara pahlawan-pahlawan Ong Tjin, ada delapan atau sembilan yang terluka dan terbinasa.

Kejadian yang menyedihkan dalam hikayat Kerajaan Beng ini adalah yang dinamakan "Peristiwa di Touwbok." Thio Hong Hoe telah lihat junjungannya tertawan, mendadak saja ia muntahkan darah hidup. Kemurkaannya tak terkira. Dengan nekat ia lantas terjang musuh, dalam tempo pendek ia telah rubuhkan belasan musuhnya, tetapi ia pun tetap terkurung, jumlah musuh yang besar membikin mereka merupakan seperti tembok besi dinding tembaga, tidak dapat ia pecahkan kurungan itu.

Akhir-akhirnya ia berteriak: "Raja terhina, menteri terbinasa!" dan ia balikkan goloknya, untuk menabas batang lehernya sendiri. Tapi anak panah musuh mendahului ia, lengannya kena terpanah, goloknya terlepas dari cekalan, jatuh ke tanah, hingga di lain saat, ia pun menjadi orang tawanan.

Dengan kemenangan besar itu, dengan membunyikan gembreng, tentera Watzu telah menyelesaikan peperangan. Daerah Touwbokpo itu yang luasnya beberapa ratus lie lantas dibersihkan dari musuh, di situ didirikan kemah. Segera pun babi dan kerbau disembelih, untuk membikin pesta besar, untuk merayakan kemenangan.
Di dalam tentera itu, terdapat Thio Tan Hong dan In Loei. Mereka tak dikenal dalam penyamaran mereka. Maka itu mereka dapat mendengar pembicaraan di antara beberapa perwira.

"Malam ini di dalam kemah jenderal akan diadakan keramaian yang istimewa," kata satu perwira, "sayang aku hanya berpangkat kapten, aku tak berhak untuk turut hadir dalam pesta itu.....”

"Keramaian apakah itu?" tanya satu perwira lain. Perwira yang pertama bicara itu menyahuti: "Aku dengar malam ini jenderal kita hendak paksa kaisar Beng menjadi pelayannya, untuk melayani dia minum arak. Tidakkah itu luar biasa bagus?"

"Ya, benar bagus!" kata perwira yang menanya. "Kaisar Beng telah kita tawan,aku lihat peperangan akan segera berakhir, dengan begitu, lekas juga kita akan pulang," berkata satu perwira lain lagi. "Kita akan merayakan tahun baru kita!"

"Tetapi kita masih belum masuk ke Pakkhia," kata satu perwira rekannya. "Tionggoan itu luas tanahnya, banyak rakyatnya, mereka tak dapat dibunuh habis, maka itu tidak mudah urusan peperangan ini dapat diselesaikan?" Perwira yang pertama itu tertawa.

"Bangsa Han pandang rajanya sebagai naga sejati," kata dia pula, "kalau rombongan naga tidak ada kepalanya, mana mereka dapat berperang? Kalau rajanya itu sayangi jiwanya, dia mesti menakluk dengan baik-baik, dia mesti umumkan pernyataannya suka menjadi taklukkan kita. Setelah itu baharulah negara Beng itu menjadi kepunyaan kita."

Mendengar pembicaraan itu, hati Tan Hong panas berbareng duka.

"Memang sungguh celaka kalau Sri Baginda suka menyerah," pikir dia. "Aku harap saja Sri Baginda bukannya raja yang takut mati.....”

Perwira yang pertama berbicara itu masih mengatakan pula: "Tentera Beng itu tidak harus dibuat takut. Lain halnya dengan Kimtoo Tjeetjoe di luar kota Ganboenkwan, dia masih saja bergelandangan di luar kota itu, sebentar muncul, sebentar menghilang, sukar untuk menumpas padanya. Dia baharulah yang dinamakan bahaya di dalam tubuh!"

Tapi satu perwira lain tertawa.

"Tapi pesanggrahannya telah kita serbu hingga rata dengan tanah!" katanya. "Bangsat tua Kimtoo itu serta anaknya, meskipun mereka dapat lolos, mereka tak lebih tak kurang seperti penyakit di kulit saja! Lagi pula sekarang Jenderal Tantai telah menempatkan tenteranya di kota Ganboenkwan, sudah pasti dia tidak akan dapat mengacau pula, maka itu, untuk apa kita kuatirkan dia?"

Mendengar pembicaraan itu, lega juga hati Tan Hong dan In Loei. Sekarang mereka ketahui halnya Tjioe Kian ayah dan anak, yang tak kurang suatu apa, sedang mereka pun mendapat tahu di mana adanya Tantai Mie Ming.

Pada waktu itu kaisar Beng sebagai tawanan musuh, oleh Yasian, perdana menteri Watzu, telah di tempatkan di dalam kemah yang terjaga kuat hingga tiga lapis, sedang di dalam kemah sendiri, dia diawasi oleh tiga pahlawan pilihan, yang setiap saat meletakkan tangan di gagang pedang. Di antara tiga pahlawan itu, yang satu adalah Ngochito,pahlawan harimau dari Yasian sendiri. Dia ini selainnya liehay ilmu silat pedang Hongloei kiam yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus, orangnya pun cerdik sekali. Maka itu,berduka kaisar itu, yang melihat tidak mempunyai harapan untuk kabur. Tapi yang membikin Kie Tin sangat berkuatir adalah ketika ia dengar malam itu Yasian hendak mewajibkan dia melayani perdana menteri itu minum arak. Dia jadi mendongkol dan malu,dia jadi sangat bingung.
"Aku hadiri pesta itu atau jangan?" dia tanya dirinya berulang-ulang. Dia insyaf, kalau dia hadir, dia akan jadi kedua Kaisar Hwie Tjong dan Kim Tjong dari ahala Song, yang mesti hinakan diri di hadapan musuh. Perbuatan itu tidak saja merendahkan dirinya dan negaranya, dia pun akan menjadi buah tertawaan berabad-abad. Kalau dia tidak hadir, dia kuatirkan keselamatan jiwanya.....

Tengah kaisar ini berputus asa, tiba-tiba di luar kemah terdengar suara panggilan, katanya: "Thaysoe undang Jenderal Ngochito datang ke markas untuk berbicara!"

"Thaysoe" adalah sebutan untuk Perdana Menteri Yasian.

Berbareng dengan itu satu perwira bertindak masuk dengan tangannya menyekal sebatang lengtjhie, panah titahan.

Ngochito sangat teliti, ia sambut lengtjhie itu untuk diperiksa dulu, hingga ia peroleh kenyataan keasliannya. Panah titahan itu cuma dipakai oleh pembesar paling tinggi dalam suatu angkatan perang, sebab itu adalah hadiah dari raja Watzu sendiri, terbuatnya pun dari kemala hijau.

Percaya bahwa Yasian mempunyai urusan penting hendak dibicarakan dengannya,Ngochito lantas saja tinggalkan kemah jagaannya itu.

Perwira yang membawa lengtjhie itu, begitu ia lihat Ngochito sudah pergi jauh, dengan mendadak ia putar tubuhnya sambil mengayunkan kedua tangannya, masing-masing diarahkan kepada kedua pahlawan lainnya, yang berdiri dekat dengannya. Luar biasa sebat gerakannya, tidak peduli kedua pahlawan itu liehay, mereka toh kena ditotok, tanpa bersuara lagi, keduanya jatuh rubuh. Lekas sekali si perwira pembawa lengtjhie membuka kopiahnya, sambil bersenyum, dia kata kepada Kie Tin: "Sri Baginda, masih ingatkah Sri Baginda kepadaku?"

Raja Beng memang heran atas kejadian itu, ia mendelong mengawasi perwira itu.

Akhirnya, ia jadi terperanjat. Ia lantas kenali siapa orang itu yang berdiri dihadapannya,ialah Thio Tan Hong.

Ayahnya Tan Hong, yaitu Thio Tjong Tjioe, menjadi Yoesinsiang, Menteri Muda dari raja Watzu, dengan begitu kedudukannya seimbang dengan kedudukan To Huan, Tjosinsiang,yang menjadi ayahnya Yasian. Mereka sama pengaruhnya, mereka disayangi Raja Watzu,dan keduanya pun berkuasa mencampuri urusan ketenteraan. Maka itu raja memberikan mereka masing-masing sebatang lengtjhie dengan apa mereka berhak memanggil setiap perwira menghadap mereka. Adalah kemudian, setelah kedudukan To Huan turun kepada puteranya, Yasian, pengaruhnya ini meningkat, hingga dia mengangkat dirinya menjadi Thaysoe, Mahaguru. Thio Tjong Tjoe sebaliknya, untuk menjaga dirinya, tidak perhatikan urusan tentera, maka itu, sudah sepuluh tahun belum pernah ia pakai lengtjhie itu. Ketika Tan Hong berlalu dari Watzu, dia curi lengtjhie ayahnya itu, tidak pernah ia menyangka,kali ini, di sini, dapat dia pakai panah titahan itu untuk mengelabui Ngochito.

"Di harian pieboe di atas loeitay, telah aku kirimkan kau sepucuk surat, sudahkah kau baca itu?" Tan Hong tanya pula.

"Kau? Kau jadinya Thio Tan Hong?" raja tegaskan, suaranya menggetar.

"Tidak salah!" Tan Hong jawab.. "Aku adalah musuhmu yang kau hendak tawan!"

"Baiklah!" kata raja itu, yang hatinya menjadi mantap. "Hari ini aku terjatuh ke dalam tanganmu, tidak usah kau banyak omong lagi, lekas-lekas kau bunuh aku!"

Tapi Tan Hong tertawa.
"Jikalau aku hendak bunuh kau, apa kau kira aku menanti sampai hari ini?" kata dia.
"Sekalipun aku memakai pakaian asing, hatiku adalah hati Han!"
"Kalau begitu, kau tolonglah aku!" kata raja.

Kie Tin seperti lupa bahwa ia tengah dikurung berlapis-lapis. Bagaimana gampang untuk buron.....

Tan Hong awasi raja itu, ia tertawa pula. "Sri Baginda," katanya, "hari ini cuma kau sendiri yang dapat menolong dirimu." Raja heran.

"Apakah kau kata?" dia tanya. "Malam ini Yasian akan memaksa kau menyatakan menakluk," kata Tan Hong. "Jikalau kau menakluk, bukan saja dengan itu kau lenyapkan negara Kerajaan Beng yang terbesar yang luasnya sembilan laksa lie, juga jiwamu sendiri tidak akan terjamin. Tapi jikalau kau menolak, maka Kokloo Ie Kiam akan membangun angkatan perang suka rela, untuk berperang membelai negara. Di dalam negara Watzu tidak ada persatuan, maka itu Yasian akan terserang musuh dalam dan luar. Hal ini diketahui baik sekali oleh Yasian, karenanya, mana dia berani bunuh kau? Oleh karena itu,sekarang ini, kau bersabarlah, kau pertahankan diri untuk menderita. Dengan bersabar,bukan saja negara akan dapat dilindungi, kami juga kemudian akan mendapat jalan untuk menolongi kau. Kau bukannya seorang tolol, hal ini tentunya kau dapat pikir sendiri.....”

Raja tidak menjawab, ia perdengarkan suara perlahan sekali.

"Harta pusaka leluhurku berikut peta buminya, telah berhasil aku cari dan mengambilnya," Tan Hong beritahu, "harta dan peta itu tengah diangkut ke Pakkhia,bersama dengan itu, aku sendiri akan menghabiskan tenagaku untuk membantu Ie Kokloo. Masih ada lagi yang kami dapat lakukan, dari itu, jangan kau berduka."

Thio Tan Hong perlihatkan sinar matanya yang tajam, yang menandakan kekerasan hatinya, yang membuatnya orang menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Bibir raja sudah bergerak seperti ia hendak mengucap sesuatu, tetapi ia urung.

Tan Hong awasi raja itu, matanya mencilak.

"Menteri besarmu In Tjeng telah menggembala kuda di negara asing selama dua puluh tahun, selama itu dari awal hingga akhirnya, ia tidak bertekuk lutut!" katanya dengan nyaring. "Kau adalah orang yang paling agung dari satu negara, apakah kau mesti kalah dengan menterimu?" Raja pun mengawasi.

"Baik!" dia jawab akhirnya. "Aku juga tidak akan pikirkan pula kehidupanku, akan aku perbuat seperti katamu!"

Tan Hong masih hendak berbicara ketika, "Bret!" dan robeklah tenda kemah, terbelah dua, dari situ tampak Ngochito lompat masuk, pesat bagaikan angin puyuh. Ketika dia lihat siapa yang rebah di tanah, kemurkaannya bertambah meluap.

"Bangsat bernyali besar, mari makan pedangku!" dia mendamprat sambil menikam dengan pedangnya, dengan tipu silat "Geledek menyambar batok kepala".

Tan Hong terkejut ketika ujung pedang menjurus ke tenggorokannya. Ia pun tidak menyangka Ngochito bisa kembali demikian lekas, walaupun ia tahu, ia hanya dapat mengabui untuk sementara waktu saja.

Sudah dibilang, Ngochito adalah seorang yang cerdik. Baharu saja ia sampai di luar kemah, ia lantas dapat pikiran. Ia telah berpikir: "Thaysoe menghendaki aku mengawasi kaisar Beng. Tidakkah tugas itu sangat penting? Mungkinkah dia hendak menukar tugasku itu? Lagi pula perwira pembawa lengtjhie itu sangat asing untukku. Kalau Thaysoe mengutus orang membawa lengtjhie padaku, ia mestinya menitahkan orang di kiri kanannya, yang ia percayai. Juga, kenapa perwira itu tidak turut aku keluar? Inilah mencurigakan.....”

Keras Ngochito berpikir, kecurigaannya jadi semakin besar, maka akhirnya ia putar tubuhnya, untuk balik ke dalam kemah, begitu sampai, ia tidak lagi ambil jalan pintu kemah, tapi ia merobek kain tenda. Karenanya ia segera dapat lihat kedua kawannya rebah di tanah. Ia lantas menduga, mereka itu tentu telah kena ditotok, bahwa si perwira mestinya orang jahat, dari itu, ia menyerang tanpa buang tempo lagi.

Tan Hong kaget tetapi ia tidak gugup, dengan sebat ia berkelit.

"Sungguh Hongloei Kiamhoat yang liehay?" ia serukan.

Ilmu silat pedang Ngochito benar-benar liehay. Lolos tikaman yang pertama, segera menyusul yang kedua, yang ketiga, cepat dan bengis. Tan Hong menjadi repot juga. Ia tidak sempat membuat perlawanan, ia selalu egoskan diri. Apamau kemah itu tidak terlalu luas, tak merdeka ia berlompat ke kiri dan ke kanan.

Sementara itu di luar pun segera terdengar suara riuh. Mestinya itu adalah bala bantuan untuk Ngochito.

"Trang!" demikian terdengar sekonyong-konyong. Ujung pedang Ngochito telah mengenai kopiah perang Tan Hong, tetapi serangan itu tidak tepat, pedang meleset ke samping.

Tan Hong telah menggunakan tipu yang berbahaya. Ia sengaja memberikan kopiahnya ditikam, selagi tertikam, ia miringkan kepalanya. Karena pedangnya meleset, Ngochito tak dapat unjuk kesehatannya untuk segera menarik pulang, malah saking heran, ia melengak sebentar.

Ketika yang baik itu digunakan Tan Hong dengan sebat sekali, selagi ia ditikam, ia gunakan kesempatan akan menghunus pedangnya, pedang Pekin kiam hadiah dari gurunya, pedang mana tadi tak sempat ia mencabutnya karena ia didesak terus-menerus.

Sekarang, setelah menghunus pedang, ia teruskan itu, ia pakai menabas ke arah pedang musuh.

"Trang!" kembali suara terdengar, tetapi tak sekeras, tadi. Karena kali ini, kedua pedang beradu sepintas lalu, dan ujung pedangnya Ngochito kena tertabas kutung!.

Panglima Watzu itu kaget tidak terkira. Ia tahu tajamnya pedangnya, yang terbuat dengan campuran bahan emas, sudah tajam, pedang itu jauh lebih berat daripada pedang-pedang seumumnya. Tapi pedang itu kutung dengan satu kali bentrok saja!

Tan Hong gunakan ketikanya, ia tunjukkan kecerdikannya. Selagi lawan berdiam,ia lompat ke samping sambil memutar pedangnya. Dengan satu tabasan saja, ia bikin tenda terbelah, menyusul mana, selagi dengan tangan kiri ia menyambar, akan pentang tenda itu, tubuhnya mencelat lebih jauh, noblos keluar dari lobang pecahan itu.

Ngochito heran menampak kecerdikan musuh, untuk kesehatannya itu. Mengertilah ia bahwa musuh ini liehay sekali. Tapi ia pun satu pahlawan Watzu, tidak sudi ia menunjukkan kelemahannya. Maka sambil memutar pedangnya, ia juga noblos keluar dari liang tenda dari mana Tan Hong nerobos keluar. Setibanya di luar, ia lihat musuh sudah melintasi dua undakan kemah.

"Tangkap penjahat!" ia berteriak. Ia lompat, untuk mengejar.
"Sar ser!" demikian terdengar suara ketika Ngochito lihat musuh memutar tangannya ke belakang, terayun, menyusul mana tertampak sinar-sinar kecil berwarna perak menyambar ke arahnya.

Itulah senjata rahasia jarum dari Tan Hong, yang ia gunakan untuk menahan musuh yang mengejarnya.

Ngochito insyaf kepada malapetaka itu, ia putarkan pedangnya, untuk menangkis.

Gagal serangan Tan Hong itu. Gagal separuhnya. Sebab dengan repot menangkis,majunya Ngochito tercegah, hingga terlambat. Dan kelambatan ini digunakan Tan Hong untuk lari lebih jauh, ke lapis tenda yang ketiga.

Cuaca malam itu gelap, cuaca ini menolong banyak pada Tan Hong. Ia dengar suara riuh dari tanda bahaya, ia lari terus. Segera juga anak-anak panah menyambar saling susul, tetapi tidak ada satu yang mengenai sasarannya. Ia terus lari, hingga melintasi belasan tenda.

Ngochito mengejar terus, tapi ia kalah dalam ilmu enteng tubuh, ia tidak dapat menyandak, meski begitu, Tan Hong toh repot, sebab suara tanda bahaya telah membangunkan tentera Watzu dipelbagai tangsi, sedang seluruh tangsi luasnya kira-kira seratus lie.

Ketika ia sudah melewati puluhan tangsi, Tan Hong tiba di suatu tempat yang merupakan tanah kosong, di situ ada dua baris tangsi, yang berjejer di kedua tepi. Di tenda, atau kemah sebelah depan, api dipasang terang-terang, samar-samar tertampak serdadu ronda. Apa yang beda, dari tangsi di depan itu tidak merubul serdadu-serdadu Watzu seperti dari tangsi-tangsi lainnya. Heran juga Tan Hong, karena ia tahu, tata tertib tentera Watzu biasanya keras sekali, begitu ada pertandaan, semuanya mesti bergerak.

Tetapi ini satu tidak.

"Mungkinkah di sini ada dua jenderal yang masing-masing memegang pimpinan?" bertanya hati kecilnya. "Walaupun ada dua pemimpin, mereka tetap berada di bawah satu pemerintah, tidak seharusnya mereka berlainan pimpinan.....”

Tidak peduli ia heran atau bersangsi, Tan Hong insyaf ia tidak boleh membuang-buang tempo, maka itu, ia lompat, untuk lari terus. Ia dapat kenyataan, di belakangnya ada pengejar-pengejar yang menunggang kuda. Ia tiba di tengah tegalan itu di mana terdapat banyak tumpukan rumput yang tinggi bagaikan bukit kecil. Itulah tumpukan rangsum kuda, yang tentera Watzu paksa penduduk setempat mengumpulkannya.

"Baiklah aku menyusup kesalah satu tumpukan, untuk sembunyikan diri," pikir Tan Hong. "Aku mesti tunggu, sampai semua sudah sirap, baharu aku berlalu dengan diamdiam."

Tan Hong pikir, kalau toh tumpukan-tumpukan rumput itu hendak digeledah, orang mesti menggunakan banyak serdadu, karena ia memakai seragam tentera Watzu, ia mengharap akan ada kemungkinan untuk bercampur dengan mereka itu, untuk turut menggeledah bersama-sama.....

Demikian ia nelusup masuk ke dalam sebuah tumpukan, akan menantikan saatnya.

Tapi, begitu ia masuk, begitu lekas juga ia terkejut. Kupingnya telah menangkap suara tertawa geli, dekat sekali, menyusul mana bebokongnya terasa ditekan barang keras bagaikan besi, yang dingin seperti es.
"Aku telah nantikan lama padamu!" demikian sekonyong-konyong ia dengar suara,yang halus dan menggiurkan. "Jangan kau bergerak! Bila kau bergerak, akan aku menjerit-jerit!....."

Tan Hong kaget dan heran. Ia berada di medan perang, di dalam tangsi, dari mana datangnya satu wanita, mungkin satu nona? Karena itulah suaranya seorang perempuan.

Ia merasa lega juga, karena orang mengancam secara lunak.

"Baik, aku tidak akan bergerak," ia jawab. Wanita itu tertawa pula, dengan terlebih geli. Sekarang ia lemparkan sebuntal pakaian.

"Lekas kau loloskan seragammu," ia kata. "Lekas kau tukar itu dengan pakaian ini. Kau tunggu sebentar, aku akan segera kembali."

Habis berkata, wanita itu keluar dari tumpukan rumput.

Segera terdengar suara berisik, dari serdadu-serdadu dan kuda mereka. Suara berisik itu melintasi tegalan, tiba ke dekat tumpukan di mana Tan Hong menyembunyikan diri,tempat dari mana barusan si wanita muncul.

"Keke, adakah keke melihat satu perwira lari lewat di sini?" demikian Tan Hong dengar pertanyaan satu orang.

"Ya, aku lihat dia," jawab si wanita tadi. "Dia lari sangat cepat, aku tak dapat menyandak dia. Dia lari dari sini, terus kesana. Mungkin sekarang dia sudah melewati tangsi wanita dan telah sampai di depan."

Dengan berteriak-teriak, "Mari! Mari!" serdadu pengejar itu lari ke arah yang ditunjuk, sebentar saja, suara mereka menjadi kurang berisiknya dan akhirnya lenyap, hingga kesunyian kembali di situ.

Tan Hong dapat menenangkan diri, ia mengintai dari tumpukan rumputnya itu. Ia ditolong oleh cahaya api dari tangsi yang terdekat. Ia periksa pakaian yang diberikan kepadanya. Ia kenali itu adalah seragam dari serdadu wanita Mongolia. Ia menjadi heran.

Teringat akan panggilan tentera tadi kepada si wanita, ia pun menjadi bingung. Ia tahu apa artinya panggilan "keke" itu. Orang Mongolia, begitupun orang Manchu, kalau ia memanggil nona anggauta keluarga raja, maka mereka memanggilnya keke. Jadi wanita itu, nona itu, adalah dari keluarga agung. Sementara itu, ia bersangsi untuk pakaian itu.

"Apakah aku mesti menyamar sebagai serdadu wanita?" ia berpikir. Tapi ia ingin lolos dari kepungan, ia tidak bersangsi lama.

"Apakah kau sudah salin?" tak lama ia dengar suara si nona. "Nah, sekarang kau sudah boleh keluar."

Tan Hong buntal pakaiannya, sambil bawa itu, ia munculkan diri.

Si nona tertawa geli sekali.

"Mari turut aku!" katanya. Terus dia bertindak. Sekarang Tan Hong merasa bahwa ia seperti kenal nona ini, bahwa pernah ia melihatnya, hanya entah di mana, sesaat itu,tidak dapat ia mengingatnya.

Nona itu pergi kesebuah kemah ke dalam mana ia terus bertindak masuk. Di dalam situ, semuanya adalah serdadu-serdadu wanita.

Sekarang baharulah Tan Hong insyaf kenapa ia disuruh salin pakaian. Di tangsi wanita,tak boleh ada pria mencampurkan diri. Pantas tadi pengejar-pengejarnya tidak menggeledah di situ. Hanya sekarang, biar bagaimana, ia merasa jengah juga sebab begitu banyak mata wanita mengawasi padanya, agaknya mereka itu heran. Terpaksa ia tunduk.

"Oh, keke sudah kembali?" demikian si nona ditanya beberapa serdadu wanita itu. "Ada terjadi apakah di luar?"

"Kabarnya mereka menawan satu orang jahat," jawab si nona. "Kamu jangan usilan!"

Serdadu-serdadu wanita itu mengawasi pula Tan Hong tetapi mereka tidak ada yang berani menanyakan sesuatu.

Nona itu ajak Tan Hong ke sebuah kemah lain, begitu tenda dipentang, dari situ tersiar bau harum semerbak, yang membuat hatinya jadi terbuka.

Tan Hong lihat sebuah pedupaan kayu gaharu. Di situ ada sebuah meja marmer serta satu meja kecil dari batu pekgiok. Di atas meja kecil itu ada beberapa tangkai bunga bwee dalam sebuah tempat bunga. Orang berada di tangsi tentera, tapi kemah diperlengkapi bagaikan kamar wanita, hanya sederhana.

Begitu berada di dalam, nona itu membuka ikat kepalanya. Ia berpaling kepada si anak muda, matanya berkerling hidup.

"Tan Hong, masihkah kau kenal aku?" tiba-tiba ia menanya.

Tan Hong memandang dengan tercengang. Sinar lilin di situ terang sekali, wajah si nona tampak tegas. Orang tengah mengawasi ia dengan sunggingan senyuman berseriseri.

Dengan lantas ia ingat. "Kaulah Topuhua!" ia jawab.

Nona itu manggut.

"Benar," sahutnya. "Sudah banyak tahun sejak kita berpisah, kau masih belum melupakan aku!"

Di dalam hatinya, Tan Hong mengeluh.

Topuhua adalah puterinya Yasian, kepala perang Watzu itu. Dimasa kecilnya, Tan Hong pernah bermain-main bersama nona ini. Setelah umur mereka tiga atau empat belas tahun, baharu mereka berpisahan. Sebabnya ialah, di antara Thio Tjong Tjioe dan Yasian,mereka cuma baik di mulut, di hati berlainan, sedang mereka —Tan Hong dan Topuhua —sudah mulai mengerti urusan orang dewasa.

Nona itu tertawa ketika ia berkata: "Aku ingat betul suatu kejadian semasa kita kecil.Itu hari aku dan kau pergi berburu di tepi air Yuching di kaki bukit Wuwang, selagi memandang air di mana ada bayangan kita, kau mengatakannya aku mirip pria dan aku bilang kau mirip wanita. Ingatkah kau itu?"

"Ya", sahut Tan Hong, cara sembarangan saja. Baharu saja ia menyahuti atau tiba-tiba si nona menarik tangannya, untuk membawa ia ke muka kaca.

"Kau lihat!" katanya sambil tertawa. "Sekarang kau pakai pakaianku, kau lebih mirip lagi dengan wanita! Lihatlah!"

Wajah Tan Hong menjadi merah. Di dalam hatinya, ia kata: "In Loei salin pakaian menjadi pria, aku justeru menyamar jadi wanita, jikalau dia ketahui perbuatanku ini, tidakkah ia mentertawakan aku?"

Topuhua tertawa pula.
"Pada malam di muka keberangkatan angkatan perang kita, ia berkata, "aku telah dengar kabar kau sudah mencuri masuk ke Tionggoan. Hal kepergian kau itu ditanyakan kepada Thio Sinsiang, dia tidak mau memberi keterangan. Aku telah menyangka, selama hidup kita ini, kita tidak akan bertemu pula satu dengan lain, akan tetapi Allah telah memberkahinya, kita justeru bertemu di sini. Sudah banyak tahun kita tidak pernah bertemu, maka itu kali ini kau mesti berdiam untuk beberapa hari bersama aku di sini."

Tan Hong terperanjat."Mana dapat itu dilakukan?" katanya.

"Kenapa tidak?" Topuhua tanya. "Aku jamin tak akan ada orang yang ketahui kau! Umpama ada juga yang mengetahuinya, mereka semua ada orang kepercayaanku, tidak nanti mereka berani membuka rahasia."

Tan Hong menggoyangkan tangannya berulang-ulang.

Mendadak saja nona itu perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Jikalau kau menampik, sekarang juga aku berteriak!" ia kata.

Pemuda itu tidak membiarkan dirinya digertak. "Baik, kau berteriaklah!" ia kata."Dengan sebenarnya aku beri tahu padamu, hari ini aku menjadi musuhmu, kau boleh belenggu aku, kau boleh serahkan aku kepada ayahmu! Aku telah memberanikan diri mendatangi tangsi tenteramu, karena aku tidak memikirkan pula jiwaku!"

Mendengar itu, si nona tertawa pula, nampaknya ia sangat manis dan menarik.

"Kau tertawakan apa?" tanya Tan Hong, gusar. "Kau masih tetap bawa sifatmu semasa kanak-kanak," sahut Topuhua. "Kau selamanya suka jaili aku. Kau bilang kau adalah musuhku, aku sebaliknya tidak pandang kau sebagai musuh. Kau bilang kau tidak sayangi jiwamu, baiklah, sekarang aku tanya, kau pikirkan jiwa ayahmu atau tidak?"

Diam-diam Tan Hong terkejut.

"Ayahku masih ada di Watzu, dan di sana Yasian-lah yang berkuasa," ia berpikir. "Lagi pula, kalau nanti aku hendak mengacaukan bahagian dalam dari Watzu, aku membutuhkan bantuannya ayahku. Mengurbankan diri adalah perkara gampang, untuk membangun negara sesungguhnya sulit. Baiklah, aku bersabar."

Ia lantas tunduk.

Topuhua mengawasi, ia menyangka orang telah menurut, kembali ia tertawa.
"Sebenarnya, apa sih yang tak baik untukmu tinggal bersama aku di sini?" dia tanya,suaranya manis. "Tempatku ini, di mana juga dalam kalangan tentera Watzu, tidak nanti kau dapatkan keduanya terlebih menyenangkan."

Tan Hong berjingkrak. "Apa?" tanyanya. "Kau hendak suruh aku berdiam di sini?"

"Jikalau kau tidak tinggal di sini, habis di mana lagi?" si nona tertawa pula. "Apakah kau hendak tinggal di luar rumah bercampur dengan serdadu-serdadu wanita? Kau tak usah takut ditertawai!"

Tan Hong berpikir keras. Ia benar menghadapi kesulitan. Memang, kalau mesti berdiam di dalam tangsi, ia mesti berdiam sama si nona. Ia lantas ingat pula In Loei, kembali ia menge luh dalam hatinya. Topuhua lantas teriaki satu serdadunya untuk ambil setahang air panas.
"Pergi kau mandi di belakang kemah ini", katanya pada anak muda kita. "Kau bersihkan tubuhmu dari kotoran tanah dan rumput, supaya tidak ada orang yang mencurigai kau.Tak usah kau malu-malu, di sini tidak ada orang melihat padamu."

Ia menarik tenda dari apa yang disebut kemah belakang itu, ke situ ia tolak masuk tubuh Tan Hong, habis mana, tenda itu ditutup pula rapat-rapat, sampai angin pun tak dapat masuk.

"Sekarang baharulah hatiku tetap!" masih menggoda si nona. "Kalau sebentar kau telah selesai mandi, aku masih hendak bicara denganmu."

Tan Hong sementara itu mengasah otaknya, guna memikirkan daya untuk meloloskan diri. Sekian lama ia telah berpikir, belum juga ia memperoleh akal. Hal ini membuatnya ia masgul.

Pada waktu itu ia dengar tanda waktu dalam tangsi, kentongan dibunyikan dua kali.

Jadi sudah jam dua.

Berbareng dengan itu, satu serdadu wanita bertindak masuk.

"Keke, Thaysoe datang menjenguk," dia memberitahukan.
"Silakan Thaysoe masuk", sahut Topuhua. Baharu saja serdadunya keluar, nona ini sudah tertawa pula.
"Kau jangan terbitkan suara apa-apa, aku tak akan memberitahukan ayah tentang kau!" ia kata. Tentu saja kata-kata ini ditujukan kepada si anak muda.

Jantung Tan Hong memukul. Ia memasang kuping.

Sebentar kemudian terdengarlah tindakan kaki. Itulah Yasian.

"Ayah," Topuhua sambut ayahnya itu, "kabarnya malam ini ayah hendak menyuruh raja Beng melayani kau minum arak, kenapa sekarang kau sempat menjenguk aku? — Ah, ada urusan apakah, ayah? Kau nampaknya tidak gembira.....”

Tan Hong menahan napas. Ia dengar suaranya Yasian.

"Apa yang terjadi malam ini sungguh di luar dugaanku!" kata menteri itu. "Bagaimana,ayah?"

"Aku tadinya anggap kaisar Beng seorang yang takut mati," berkata pula Yasian, "aku percaya , bila dia sudah menakluk, dapat aku gunakan ia sebagai kaisar untuk mempenga ruhi menteri-menterinya. Aku pikir, itu waktu, kita sudah punyakan wilayah kerajaan Beng. Tapi dugaanku itu keliru. Dia membangkang atas titahku itu, dia tidak menghadiri pesta.....”

Topuhua heran.

"Benarkah dia begitu bernyali besar?" dia tanya. "Benar," jawab sang ayah. "Sungguh aku tidak sangka."

Mendengar itu, Tan Hong girang bukan kepalang.

"Kie Tin masih punyakan semangat," ia berkata di dalam hatinya. "Dia menang banyak dibanding dengan dua kaisar ahala Song. Nyata dia tidak mensia-siakan lelahku ini."

"Tidak sukar bagiku membinasakan dia," Yasian berkata pula, "hanya aku kuatir, jikalau aku binasakan dia, itu bisa mengakibatkan kemurkaan rakyat Beng, hal mana pasti akan memperlambat peperangan ini. Untuk kita, perang lama pun belum tentu ada anfaatnya.Aku dengar Atzu Tiwan sekarang ini sedang mengumpulkan tentera diam-diam, rupanya dia pikir, selagi aku pergi perang di tempat jauh, hendak dia rampas kekuasaanku. Hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram."

Yang disebut Tiwan Atzu itu adalah si pangeran Mongolia yang diutus ke Pakkhia.

"Ayah, kau gagah perkasa, buat apa kau kuatirkan hal itu?" kata sang puteri. "Lagi pula hari ini kita telah peroleh kemenangan besar, maka tidak selayaknya kau mengucapkan kata-katamu ini."

Yasian tertawa.

"Kau benar, anakku!" ia kata. "Sekarang hendak aku bicara dengan kau tentang hal yang akan membuatnya kau girang. Ya, apakah kau masih ingat Thio Tan Hong puteranya Thio Tjong Tjioe?"

Kaget Tan Hong mendengar perkataan itu.

"Kenapa, ayah?" Topuhua balas menanya. "Meskipun Thio Tjong Tjioe tidak hendak memberitahukannya, tetapi telah aku peroleh endusan, Thio Tan Hong sebenarnya telah menyusup ke Tionggoan," sahut sang ayah. "Hal itu membuatnya aku curiga.....”

"Kenapa begitu, ayah?"

"Keluarga Thio itu dengan kaisar Beng adalah musuh turunan, karenanya tidak ada alasan untuk mencurigai Tan Hong nanti membantu musuhnya itu," menerangkan Yasian,"tetapi sejak aku menggerakkan angkatan perang sampai pada hari ini, sudah berselang satu bulan, Thio Tan Hong yang berada di Tionggoan itu, kenapa dia tidak datang padaku untuk melaporkan sesuatu? Sebenarnya inilah waktu yang paling baik untuk ia menuntut balas bagi permusuhan turun temurunnya."

"Mungkin dia terhalang karena berhadapannya kedua pasukan perang dan ia belum mendapatkan kesempatannya," Topuhua utarakan dugaannya. Ia main komedi dengan ayahnya itu. "Kalau nanti ayah sudah rampas Tionggoan, mustahil dia tak muncul?"

Yasian tertawa.

"Sampai itu waktu, itulah sudah pasti!" ia kata. "Kau tahu, kali ini aku menerjang ke Tionggoan, maksudku untuk menawan dua orang.....”

"Siapakah kedua orang itu?"

"Yang pertama yaitu kaisar Beng," jawab sang ayah. "Dengan ditawannya kaisar itu,meskipun dia tidak sudi menakluk, sisa tentera Beng pasti masih ragu-ragu, lambat laun,negara Beng itu akan jadi kepunyaanku juga."
"Dan yang kedua, ayah? Siapa dia?"
"Yang kedua ialah Thio Tan Hong."
"Ayah hendak tawan dia, apakah ayah persalahkan dia karena dia telah menyusup masuk ke Tionggoan?" sang anak tanya pula.
"Ya dan bukan," Yasian jawab.
"Apakah artinya itu, ayah?"
"Thio Tan Hong itu gagah dan pintar, dia sangat berguna," Yasian berikan keterangan pula. "Jikalau aku telah menangkap dia, umpama kata dia tidak sudi tunduk padaku, akan aku dakwa dia telah lancang menyusup ke Tionggoan, akan aku bunuh dia. Tindakan ini ialah untuk mencegah bahaya di belakang hari."
"Ah....." Topuhua berseru tertahan. "Tidakkah itu terlalu kejam?"

Yasian tertawa.

"Dia bermusuh dengan kerajaan Beng, dalam sepuluh, sembilan bagian sudah pasti dia akan turut aku!" dia kata. "Anakku, itulah maksud urusanku yang menggirangkan!"

Topuhua berpura-pura likat.

"Ah, ayah, kembali kau mengejek aku!.....” katanya.

Yasian tertawa berkakakan.

"Ayahmu bukannya seorang tolol!" ia kata. "Sudah sejak siang-siang aku lihat kau sukai Thio Tan Hong si bocah itu! Sekarang ini kau sudah berusia dua puluh tiga tahun,menurut adat istiadat kita bangsa Watzu, kau seharusnya sudah membuat aku mengempo cucu! Banyak pangeran telah meminangmu, kau selalu menampik, ayahmu juga tidak hendak memaksa. Kenapa sikapku itu? Itulah karena aku tahu kau menantikan Thio Tan Hong! Baiklah, akan aku bikin kau menjadi puas!"

Topuhua tunduk, ia diam, tetapi hatinya girang bukan kepalang.

"Hanya malam ini, bangsat itu!" tiba-tiba Yasian berseru keras. "Dia benar-benar bernyali besar! Dia telah menyusup ke dalam kemah harimau, dia mencoba untuk membawa buron kaisar Beng, malah dia juga mempunyai lengtjhie kumala! Aku agak sangsi.....”
"Siapa yang kau sangsikan, ayah?" tanya Topuhua.
"Aku kuatir penjahat itu adalah Thio Tan Hong....."

Si nona heran.

"Bukankah ayah sendiri yang mengatakan dia bermusuh dengan kaisar Beng?" dia tanya.

"Itulah yang menyebabkan kesangsianku. Sebegitu jauh yang aku ketahui, lengtjhie itu diberikan mendiang Sri Baginda kepada tiga orang, ialah kesatu ayahmu, kedua Thio Tjong Tjioe, dan ketiga Pangeran Atzu. Aku duga penjahat itu, kalau dia bukannya ThioTan Hong, dia mesti orangnya pangeran itu. Mungkin pangeran itu juga berniat menculik kaisar Beng, supaya dia dapat bersaing denganku. Tapi soal ini tidak terlalu sukar, kalau nanti aku sudah pulang perang, akan aku selidiki. Umpama kata perbuatan itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, walaupun kau menyayangi dia, terpaksa aku harus singkirkan padanya!"

Topuhua terkejut, di dalam hatinya, ia mengeluh. Ia bersyukur yang ia belum sampai memberitahu kan ayahnya hal Tan Hong ada bersama dengannya. Yasian berpaling ke meja kecil, untuk menuang teh, tiba-tiba ia tampak tenda bergerak perlahan, samar-samar terdengar suara.

"Siapa di dalam tenda?" ia menegur. Terus ia menoleh pula, melihat puterinya tengah mengipas dengan kipas kayu cendana.

"Di mana ada orang di sini, ayah?" kata anak itu sambil tertawa. "Mungkinkah ayah dibikin kaget penjahat itu maka sekarang ayah menjadi kurang tenteram hati hingga ayah menjadi bercuriga tidak keruan?"

Wajah ayah itu berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa besar.

Topuhua tetapkan hatinya, ia mengipas dengan terlebih keras.

"Hawa udara di Tiongkok beda dengan kita di Mongolia," berkata Yasian kemudian.

"Dalam bulan sembilan yang berhawa sejuk, di sana sudah turun salju, di sini sebaliknya hawa masih panas. Kiranya kipas kau yang membikin tenda itu bergerak-gerak, hingga aku menyangka yang bukan-bukan..."

Habis mengucap, ayah ini tertawa pula, ber-gelak-gelak. Ia tidak tahu, Topuhua mengipas sesudah tenda bergerak, hanya puterinya ini mengipas dengan cepat, sedang iapun tengah berpaling, ia tidak engah.

Di dalam hatinya, Topuhua sesalkan Tan Hong, yang menganggap telah berlaku tidak hati-hati.

"Sekarang ini aku telah mengumumkan titahku," berkata Yasian kemudian, "yaitu kecuali dengan titah yang tertulis dengan tanganku sendiri serta ditandai dengan cap kebesaran panglima perang tertinggi, siapa juga dilarang datang dekat kepada kaisar Beng. Aku pun telah menarik dua belas pahlawan ke Kemah Harimau, untuk bantu membuat penjagaan. Maka, tidak peduli penjahat liehay luar biasa, tidak nanti dia dapat menyusup masuk ke dalam kemah kaisar itu. Kau tahu kita pun telah dapat menawan Thio Hong Hoe, komandan Gielim koen kerajaan Beng itu. Tentang dia, aku telah dengar dari Tantai Mie Ming, sekarang telah aku saksikan sendiri, dia benar gagah, dari itu aku harap dapat aku bujuk dia menakluk kepada kita, apabila dia suka menyerah, dia pasti lebih berharga daripada dua belas pahlawan itu. Dia telah terluka panah, dia tidak membutuhkan banyak orang untuk menjaganya karena itu aku telah menarik kedua belas pahlawan itu."

Atas kata-katanya ayah ini mengenai Thio Hong Hoe, Topuhua tidak menaruh perhatian, ia menyahuti secara sembarangan saja, ia hanya sedang pikirkan keras perihal jodohnya dengan Thio Tan Hong.

"Apakah ayah telah mendapat persetujuan dengan Thio Tjong Tjioe?" ia tanya. Inilah hal yang penting baginya. Kalau kedua orang itu sudah cocok satu dengan lain, tidak usah ia kuatirkan apa-apa lagi.

"Sebenarnya aku tidak bercidera dengannya," Yasian jawab puterinya itu, "kita cuma kurang cocok sedikit dalam hal pendapat. Aku percaya, sesudah nanti kita menjadi besan, perhubungan kita akan menjadi lebih baik pula." Ia tertawa, lalu ia menambahkan: "Aku percaya Thio Tjong Tjioe tidak akan lolos dari kekuasaanku. Keluarga Thio itu sudah turun temurun membantu negara kita dalam hal tata tertib negara, bisa dianggap dia berjasa besar, cuma mereka telah memikir yang tidak-tidak, yaitu mereka berniat meminjam angkatan perang kita untuk membangun pula Kerajaannya, yaitu Kerajaan Tjioe. Tentu saja, itu bukannya satu urusan yang sederhana sebagaimana yang mereka pikir. Sekarang ini aku biarkan Thio Tjong Tjioe berdiam di dalam negeri. Sikapnya nampaknya aneh.Yang dia pikirkan siang dan malam adalah untuk kembali ke negerinya, untuk membangun kerajaannya, itu artinya, ia harapkan masuknya angkatan perang kita ke Tionggoan. Sekarang ini angkatan perang kita sudah bergerak, kita sudah masuk ke dalam wilayah Tionggoan, tetapi heran, ketika aku minta ia berdiam di dalam negeri, ia tidak menentangnya. Kelihatannya ia girang-girang saja. Kenapa begitu sikapnya? Hal ini membikin aku sulit menerka hati Tjong Tjioe itu. Tapi dia adalah seorang pandai, maka aku pikir jikalau nanti telah selesai aku merampas Tionggoan dan mengangkat diriku menjadi raja, hendak aku berikan dia kedudukan sebagai perdana menteri. Oh, anakku, dengan aku menjadi raja, kau akan menjadi puteri!"

Ketika itu terdengar kentongan tiga kali.

"Ayah, waktu sudah larut malam," kata Topuhua sambil tertawa. "Sekarang sudah waktunya ayah beristirahat. Besok ayah akan melanjutkan memimpin pasukan perang,untuk menyerang kota Pakkhia, setelah kota itu dapat dirampas, baharu ayah menjadi raja dan aku menjadi puteri!"

Yasian tertawa. "Kau benar, anak!" ia kata, hatinya gembira. Setelah mencium puterinya ia meninggalkan tangsi wanita itu.

Begitu ayahnya berlalu, lekas juga Topuhua bernapas lega. Ia merasakan bagaimana keringatnya telah membasahi baju dalamnya. Ia lantas salin pakaiannya, sambil dandan dan tertawa, ia kata: "Engko Thio, kau lihat, bagaimana baik hati ayahku! Maka kau bolehlah legakan hatimu..."

Dari kemah dalam tidak ada penyahutan. "Ayahku sudah pergi!" kata pula Topuhua sambil tertawa. "Kau lekas mandi! Apakah airnya sudah dingin? Apakah kau ingin tukar itu dengan air panas yang baru?"

Dari dalam tenda itu tetap tidak ada jawaban, tidak ada suara apa-apa.

"Engko, engko Thio, ah, kenapa kau tidak menjawab?" tanya Topuhua. Sekarang ia mulai merasa heran. Ketika ia tetap tidak peroleh penyahutan, ia kerutkan alis. Ia lantas bertindak menghampirkan tenda. Tapi ia tidak berani lantas memegangnya, untuk menariknya, buat membukanya. Ia kuatir si anak muda tengah membuka pakaian.

"Engko Thio, engko Thio!" ia memanggil pula, dua kali.

Masih saja tidak ada jawaban dari Tan Hong. Sampai di situ, Topuhua menjadi curiga.

Ia pun menjadi tidak senang, hingga ia kertek giginya. Sekarang ia tidak pikirkan apa-apa lagi, ia sambar tenda dengan kedua tangannya dan menariknya dengan keras!

Bukan main herannya Topuhua begitu lekas tenda sudah terpentang. Tenda itu kosong,Thio Tan Hong tidak ada di dalamnya! Maka ia masuk ke dalam, untuk memeriksa. Segera ia menjadi terkejut. Tenda itu rapat, tidak ada jalan keluar di sebelah belakang, tetapi sekarang telah terbuka satu lowongan, yaitu tenda pecah bekas dipotong! Itulah tanda yang Tan Hong telah memotong tenda itu, akan membuka jalan untuk buron!

Topuhua melengak, ia mendongkol berbareng menyesal, ia menjadi bingung dan berduka.

"Dasar aku yang tolol," ia pikir kemudian. "Tidak selayaknya aku mengijinkan dia membawa-bawa pedang."

Selagi tunduk, Topuhua tampak corat caret di tanah. Itulah surat yang ditulisnya dengan ujung pedang. Ia lantas membaca:
"Terima kasih untuk pertolonganmu, lain waktu akan aku balas budi ini. Sekarang aku sangat kesusu, tidak ada ketika untuk kita pasang omong. Di mana kedua negara sedang berperang, sekarang pun bukan saatnya untuk berunding, maka itu, aku pergi dahulu!"
Di bawahnya tertera tanda tangan Tan Hong.

Dengan hati panas, Topuhua pergi keluar. Ia tanyakan keterangan pada serdadunya yang menjaga di luar.

"Dia pergi sudah lama," ia dapat jawaban.
"Kenapa kau tidak cegah padanya?" si nona tanya.
"Dia masuk bersama nona," sahut serdadu itu, "dan nona pun pesan supaya kami jangan banyak omong, karena itu, kepergiannya, mana kami berani menghalanginya?"
Bukan main mendongkolnya Topuhua, akan tetapi ia tidak dapat berkata suatu apa.

Dengan mendongkol dan masgul, ia kembali ke dalam kemahnya.

Sementara itu, di lain kemah, Thio Hong Hoe pun dapat meloloskan diri.

Ditahan di dalam kemah, Hong Hoe dijaga dua pahlawan. Sejak ia ditawan, ia sudah memikir tidak ingin hidup, tetapi ia dibelenggu, tidak ada jalan untuknya akan membunuh diri, maka itu, ia mogok makan. Yaitu dikasi makanan apa juga, ia tolak, hingga atas titahnya Yasian, ia dipaksa dicekoki kuwah jinsom, sedang lukanya telah diobati. Lukanya tidak berbahaya, setelah diobati dan makan kuwah jinsom, kesehatannya telah pulih dengan cepat. Sekarang ia bisa gunakan otaknya.

"Kalau toh aku mesti mati, aku harus menukar jiwaku dengan beberapa jiwa!" demikian ia berpikir. Karena ini, seterusnya suka ia dahar.

Pembahan sikap ini membikin girang kedua pahlawan penjaganya, karena mereka tak usah main paksa orang minum dan dahar. Mereka tidak menyangka, dengan suka bersantap, Hong Hoe hendak pelihara diri, untuk mengumpulkan tenaganya.

Demikian malam itu, kira-kira jam tiga, selagi seluruh tangsi terbenam dalam kesunyian, Hong Hoe empos semangatnya, ia pusatkan tenaganya, habis itu, ia gerakkan kedua tangannya yang terbelenggu rantai. Ia bertenaga besar, siapa tahu, rantai ada tangguh sekali, rantai itu tidak terputus, hanya menerbitkan suara nyaring, hingga kedua penjaganya kaget.

"Hai, kau bikin apa?" tegur dua pahlawan itu.

Hong Hoe tidak menjawab, dia hanya kerahkan pula tenaganya, kali ini ia berhasil membikin sehelai rantai putus, suaranya semakin nyaring.

Kaget kedua pahlawan itu, mereka hunus golok mereka, untuk mengancam. Ingin mereka mencegah orang buron.

Hong Hoe mendelik, hingga ia nampaknya menjadi bengis sekali.

"Mampus dia yang mendekati aku!" teriaknya. Ia lompat, ia merabu dengan rantainya.

Kedua pahlawan itu mundur, bukan saja serangan hebat, mereka pun tidak berani membunuh tawanan ini, mereka lompat berkelit, niat mereka adalah menyerang dari samping ke arah kaki tawanan itu.

Hong Hoe liehay, dia ganas, selagi dia hendak dibacok, dia mendahului, hebat sabetannya dengan rantai.

"Aduh!" teriak satu pahlawan, yang rubuh seketika, kakinya patah di bagian dengkul kena rabuan rantai.

Pahlawan yang kedua kaget tapi ia lantas membacok. Ia insyaf akan ancaman bencana.

Hong Hoe rubuhkan diri, sambil rebah celentang, ia menyapu dengan kakinya, yang pun terbelenggu. Tapi pahlawan itu liehay, dapat dia berkelit, terus dia membacok pula,untuk mencegah orang berbangkit bangun.

Hong Hoe bergulingan, atas mana, ia disusul bacokan berturut-turut, hingga tak ada ketika baginya untuk lompat bangun. Dalam keadaan sangat berbahaya itu, selagi pundaknya terancam akan terbabat kutung, mendadak terdengar satu suara keras, dari bentroknya senjata-senjata tajam, lantas golok si pahlawan terlepas jatuh.

Hong Hoe menjadi kaget, lekas-lekas ia lompat bangun, untuk berdiri, berbareng mana,ia tampak menyerbu masuk, dua orang yang mukanya bertopeng.
"Lekas bekuk tawanan ini!" teriak si pahlawan. Ia lihat, dua orang itu adalah kawannya.

Ia lantas lompat, untuk menjumput goloknya yang barusan terlepas. Untuk itu, ia membungkuk. Tapi di luar dugaannya, kedua orang itu, yang memakai seragam perwira Mongolia, tahu-tahu dengan berbareng telah membabat dengan pedang mereka, hingga tanpa menjerit lagi, tubuh pahlawan itu terputus dua dan rubuh dengan berlumuran darah.

"Kau?" teriak Hong Hoe ketika ia lihat, kedua orang itu.
Kedua orang itu membuka penutup muka mereka.
"Ya, aku!" jawab yang satunya, sambil tertawa.

Mereka itu tidak lain daripada Tan Hong dan In Loei.

Tan Hong mendengar dari Yasian, di mana adanya Hong Hoe, maka itu, selagi Yasian dan puterinya berbicara, ia berlalu dengan cepat. Dengan mudah ia akali serdadu wanita,yang menjaga tenda, karena ia masih dandan sebagai seorang wanita, habis itu, ia salin seragam serdadu Mongolia, ia lekas lari pulang ke tangsinya, untuk mengajak In Loei,bersama siapa, ia pergi ke kemah di mana Hong Hoe ditahan, malah tepat sekali di saat tongnia Gielim koen itu menghadapi bahaya, hingga ia dapat memberikan bantuannya.

Dengan cepat Tan Hong dan In Loei gunakan pedang mereka yang tajam, guna memutuskan semua belenggu Hong Hoe, tapi mereka masih terlambat, di depan kemah sudah lantas terdengar suara berisik, sebab tadi, pengawal kemah telah dengar keributan di dalam, dia lari untuk memberi kabar.

Hong Hoe tertawa besar.

"Bagus!" dia berseru. "Akan aku adu jiwaku! Dengan membunuh satu jiwa, pulang modalku! Membunuh dua jiwa, aku sudah untung! Tapi hari ini, hendak aku binasakan sedikitnya sepuluh, tak boleh kurang!"

Dia lantas sambar golok seorang pahlawan, untuk dipakai berlaku nekat.

Tiba-tiba Tan Hong totok komandan Gielim koen itu.

"Kau... kau..." Hong Hoe berseru tertahan, kaget. Ia cuma dapat mengucap demikian,terus kedua matanya rapat, tubuhnya rubuh.

In Loei heran, ia lirik kawannya itu.

"Tak dapat dia dibiarkan nekat," kata Tan Hong. "Mari!"

Anak muda ini mengangkat tubuh orang, untuk dipanggul.

In Loei mengerti, ia dewi kz lantas mengikuti. Tidak ada lain jalan, mereka pergi ke depan, untuk menghadapi musuh. Tanpa tanda apa-apa lagi, keduanya maju menerjang,untuk membuka jalan. Segera pedang mereka berkelebat, segera terdengar suara beradunya pelbagai senjata tajam. Untuk kagetnya musuh, senjata mereka semua terpapas kutung, hingga terpaksa mereka lompat minggir.

Tan Hong dan In Loei gunakan ketikanya, selagi jalanan terbuka, mereka maju dengan cepat. Terus mereka babat kutung senjata musuh, terus mereka nerobos, sampai mereka dapat dekati tenda dan lompat naik ke atasnya.

Itulah pahlawan-pahlawan kelas dua, karena yang dua belas, yang kelas satu, sudah ditarik ke tengah, untuk menjaga raja Beng. Maka itu, mereka semua tak berdaya menghadapi pasangan anak muda itu, hingga, begitu lekas mereka berdua sudah lompat naik ke tenda, lekas sekali keduanya dapat lolos dengan jalan melintasi pelbagai tenda lainnya.

Begitu lekas mereka sudah berada di luar kalangan berbahaya, Thio Tan Hong lantas perdengarkan suitannya yang nyaring, suitan mana disambut dengan ringkikan kuda di arah kiri mereka.

"Kita bebas!" kata Tan Hong dengan girang apabila ia telah dengar suara kuda itu.
"Mari!" ia ajak kawannya.

In Loei ikuti kawan ini. Mereka hampirkan kuda Tjiauwya saytjoe ma, yang sudah menantikan mereka sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Bertiga bersama Hong Hoe, Tan Hong menyingkir dengan kudanya itu, yang lari keras.

"Biarkan dia tidur!" kata Tan Hong pada kawannya ketika ia mengikat Hong Hoe diperut kuda.

Komandan Gielim koen itu masih belum sadar, sebab ia belum ditotok pula. Tan Hong mempunyai dua macam ilmu totok, ialah yang membahayakan jiwa dan tidak. Hong Hoe ditotok urat tidurnya, dengan begitu ia pingsan tanpa terganggu jalan napas dan jalan darahnya.

Mulanya In Loei bersangsi akan naik bersama atas seekor kuda, hingga Tan Hong desak dia, "Naiklah, adik kecil!" katanya. Ia bersangsi sejenak, kemudian ia lompat naik ke atas bebokong kuda. Ia mesti insyaf, mereka perlu lekas menyingkir jauh dari musuh.

Meski begitu, tak dapat ia cegah mukanya menjadi merah dan kulit mukanya dirasakan panas, saking jengah. Mau atau tidak mereka harus tempelkan tubuh mereka satu dengan lain.

Dengan perdengarkan suara yang nyaring, Tjiauwya saytjoe ma berlompat lari, dia membikin tentera Watzu tidak berdaya walaupun mereka ini dengar suaranya.

Dapat dikatakan tak sampai satu jam, kuda putih yang jempolan itu sudah meninggalkan tangsi Watzu terpisah jauh di belakangnya. Kerap kali di tengah jalan beberapa serdadu ronda dari Watzu mencegat akan tetapi menghadapi Tan Hong dan In Loei, mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa, dengan gam pang kedua anak muda itu dapat melalui mereka. Mereka yang berani dengan segera menjadi kurban pedangnya pasangan itu. Lega hati Tan Hong begitu lekas ia lihat mereka sudah lolos dari ancaman bahaya. Mereka telah berada kira-kira empat puluh lie jauhnya dari daerah tangsi Watzu di Touwbokpo. Ia menjadi sangat girang. Satu kali ia tertawa tak disengaja ketika rambut halus dan bagus dari In Loei menyampok hidungnya, yang membuatnya ia merasa geli.

"Toako, coba perlahankan kuda putihnya," In Loei minta kemudian.

Tan Hong meluluskan, maka sesaat kemudian, Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas bertindak perlahan. Ini membuatnya si anak muda lantas merasakan keindahan sang malam dengan rembulannya yang permai. Ia seperti sadar sesudah ia berpikir sebentar.

Baharu sekarang ia ingat, malam itu adalah malam Tiong Tjioe — bulan delapan tanggal lima belas! Tanpa merasa, ia tertawa.

"Adik kecil!" katanya, "tahun ini Tiong Tjioe dilalui dengan berkesan!"
"Memang benar!" sahut In Loei, yang hendak menggoda. "Hari raya Tiong Tjioe dinamakan juga Toan Wan Tjiat, artinya Bundar dan Bulat, dan kau bersama puterinya Yasian telah berada bersama bagaikan manusia dan rembulan lama bundar bulatnya!"
Tan Hong terperanjat, ia segera lirik nona itu. Ia tampak In Loei tertawa manis, bersenyum simpul, dari mulutnya pun tersiar bau harum, maka hatinya goncang sendirinya.

"Adik kecil," katanya, sambil tertawa, "bukankah pribahasa mengatakan, 'Di medan perang menyaksikan rembulan permai, di atas kuda merasakan keindahan Tiong Tjioe?' Adik kecil, semoga kita setiap tahun merasakan malam-malam seperti malam ini! Apa yang kau katakan memang benar, malam ini manusia dan rembulan sama bundarbulatnya, maka juga puteri Yasian itu, apabila dia melihat kau, dia pasti mengiri!..."

Tan Hong balas menggoda, yang mengandung maksud. Dengan samar ia telah utarakan cintanya. Tanpa merasa, In Loei menjadi jengah, ia likat sekali. "Ah, toako, kau jail sekali!" dia kata. "Jikalau kau terus menggoda aku, akan aku lompat turun dari kuda ini, tak mau aku menunggangnya bersama-sama kau!" Tan Hong menoleh, akan pandang si nona. Ia tampak suatu paras seperti girang seperti gusar, hatinya menjadi goncang. Ia tidak jawab nona itu, sebaliknya, ia lantas bersenanjung perlahan. Rembulan tanggal lima belas itu adalah bahan sasarannya.

"Eh, toako, kau angot?" tegur In Loei, heran.

Masih Tan Hong tidak menjawab, ia hanya bersenanjung terus, dengan perlahan:
"Semoga manusia hidup kekal. untuk bersama-sama merasakan keindahan alam seribu lie." Dengan "keindahan alam" itu ia maksudkan seorang wanita cantik manis.

Tanpa merasa, In Loei menimpali, perlahan ia bersenanjung: "Manusia mempunyai kedukaan, kegirangan, perpisahan, berkumpul, seperti juga mendung, ada terang, ada bundar, ada sempoaknya. Hal itu, sejak dahulu hingga sekarang, tak pernah sempurna.

Toako, jangan kau ingat saja bahagian yang kau ambil, bagian belakang, kau melupakan bahagian ini..."

Habis berkata, wajah si nona menjadi suram.

Tan Hong lihat keindahan malam itu, ia mengharap supaya ia dapat hidup bersama In Loei sehingga tua, akan tetapi si nona, walaupun hatinya tergerak, dia tidak melupakan kata-kata kakaknya, maka dia utarakan bahwa penghidupan manusia itu tak kekal tak sempurna selamanya. Karenanya, ia jadi berduka.

Justeru itu segumpal awan lewat, mengalingi si puteri malam, yang sinarnya menjadi guram.

Menampak itu, In Loei paksakan untuk tertawa.

"Nah, toako, kau lihat!" ia kata. "Di dalam dunia ini mana ada manusia hidup berbahagia selamanya, mana ada rembulan purnama terus menerus?"

Mau atau tidak, Tan Hong turut tertawa.

"Adik kecil, ingatkah kau pada syairnya Tjoe Siok Tjin itu penyair wanita?" ia tanya.
"Bahagian yang manakah itu, toako?" In Loei balas menanya.
"Itu syair yang dibuatnya di malam Tiong Tjioe," sahut Tan Hong. "Malam itu Tjoe Siok Tjin melihat rembulan dialingi mega, lalu teringatlah ia kepada nasibnya sendiri, lantas ia menulis syairnya."

Terus Tan Hong perdengarkan syair itu:
"Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya, Maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Kenapa kalau sang mega disingkirkan, Agar rembulan bercahaya selaksa lie?"
Tjoe Siok Tjin adalah satu di antara dua penyair terkenal dari Ahala Song. Yang satu lagi adalah Lie Tjeng Tjiauw. Kalau Lie Tjeng Tjiauw dapat menikah dengan satu suami sempurna, Tjoe Siok Tjin dapat pasangan satu suami desa, maka juga seumurnya ia senantiasa berduka, maka syairnya itu menandakan kedukaan hatinya. Maka juga kumpulan syairnya diberi berjudul "Tuan chang tsi" artinya. "Kumpulan Usus Putus."

Mendengar nyanyian Tan Hong itu, hati In Loei bercekat, tanpa merasa, ia berpikir:
"Tjoe Siok Tjin dapat pasangan tidak kebetulan, ia hidup selalu berduka, maka aku, mustahillah aku bakal menelad dia?...”

Tan Hong, sambil tertawa, sudah berkata pula: "Syair Tjoe Siok Tjin mengandung banyak kedukaan, hanya ini satu, yang tidak berduka seluruhnya. Syair ini mengandung harapan besar! Dia tahu, Thian tidak mengasihaninya, tapi ia masih mengharap agar mega disingkirkan, supaya sang rembulan dapat bercahaya pula. Tjoe Siok Tjin adalah satu nona lemah, dia tidak berdaya menyingkirkan mega, kau sebaliknya bukan seorang lemah! Tjoe Siok Tjin cuma dapat mengharap, kau sebaliknya dapat berusaha, bekerja!"

Mendengar itu, hati In Loei berdebar. Ia berpikir: "Kakakku melarang aku bersahabat dengan Tan Hong, itu sama saja dengan syairnya Tjoe Siok Tjin yang mengatakan, 'Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya', maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Tapi kata-kata kakak itu, apakah aku mesti anggap seperti kehendak Thian? Mega yang menutupi rembulan itu mesti disingkirkan... akan tetapi, bagaimanakah cara menyingkirkannya?"

Ketika ia angkat kepalanya, nona ini dapatkan mega justeru melintas dan sang rembulan bersinar permai lagi seperti tadi!

Kedua anak muda ini telah menempuh gelombang, banyak pengalamannya yang penuh bahaya, sekarang mereka bersama dapat menaiki seekor kuda, bersama-sama mereka menggadangi sang rembulan, walaupun hati mereka berlainan, mereka toh mengicipi bayangan penghidupan manis dari manusia. Rambut di samping kuping mereka beradu,mereka dengar napas masing-masing, tubuh mereka pun melekat satu pada lain... Mereka saksikan bagaimana di langit sang rembulan naik dan turun... Mereka menyesal, seolaholah mereka mempunyai laksaan omongan tetapi tak dapat mereka keluarkan itu semua...

Sebenarnya, untuk apa mereka mengatakannya? Bukankah hati mereka sama, mereka sama-sama telah mengerti maksud hati masing-masing?

Kuda putih berjalan terus, perlahan-lahan sampai tanpa merasa, cuaca telah menjadi terang. Dan di depan mereka, jauh, samar-samar, tampak tangsi tentera Watzu. Nyatalah,Yasian telah memusatkan angkatan perang besarnya di Touwbokpo, sebaliknya pasukan depannya sudah mendekati Pakkhia. Maka itu di sepanjang jalan sejauh dua ratus lie lebih, setiap delapan atau sepuluh lie, telah kedapatan tangsi atau benteng tentera Watzu itu.

"Sekarang bolehlah kita turunkan Thio Hong Hoe," berkata Tan Hong akhirnya.

Hong Hoe di perut kuda masih belum sadar akan dirinya. Tan Hong turunkan tubuh orang dengan perlahan-lahan, habis itu, ia menepuknya.

Boleh dibilang dalam sekejap saja, Hong Hoe lantas sadar, malah segera ia merasa kesegarannya pulih, ia merasa sehat betul. Ia lantas memandang kesekitarnya, ia merasa heran sekali.

"Tempat apakah ini?" dia tanya.
"Tempat ini telah terpisah mungkin seratus lie dari Touwbokpo," sahut Tan Hong.

Hong Hoe menghela napas.

"Tan Hong," katanya, "kenapa kau cegah aku menghabiskan jiwaku untuk menunaikan tugasku?"

Tan Hong menatap dengan tenang.

Kematianmu adalah urusan kecil," ia kata, "akan tetapi kalau setiap orang mengurbankan jiwanya untuk raja, habis siapa lagi yang hendak kurbankan dirinya untuk negara? Jikalau seorang raja menutup mata, masih ada yang menggantikannya, tetapi kalau negara jatuh ke dalam tangan bangsa asing, sungguh sulit untuk mengambilnya kembali! Kau tahu, rajamu sendiri masih belum mati!"

Hong Hoe insaf dengan cepat.

"Habis bagaimana kita dapat tiba di Pakkhia?" ia tanya akhirnya.

-ooo00dw00ooo

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar