Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 8
Dengan duduk di atas sebuah
perahu kecil yang enteng, seorang diri Thio Tan Hong tengah mengayuh
dipermukaan telaga Thayouw, tangan kanannya menyekal dayung,tangan kirinya
menggenggam sebuah anak kunci dari emas yang bercahaya berkilau-kilauan. Dia pentang
kedua matanya, memandang telaga yang luas itu. Dengan riang gembira, dia buka
mulutnya dan bersenanjung dengan nada tinggi: "Telaga Thayouw yang luasnya
tiga puluh enam ribu bahu, airnya masih tak dapat mencuci kedukaan orang-orang
gagah dari jaman dahulu hingga sekarang!"
Keras dan nyaring suara itu
hingga burung-burung di telaga itu beterbangan karena kagetnya.
Itulah anak kunci emas yang
Thio Tan Hong dapatkan dari liang di dalam Koaywa Lim.
Dengan mengikuti petunjuk
gambar itu, tahulah Tan Hong, bahwa harta besar simpanan leluhurnya itu
dipendam di dalam taman penglipur itu. Itulah sebabnya ia telah pergi ke Koaywa
Lim, untuk turut dalam perjudian dadu yang menggemparkan itu. Sementara itu ia
telah ketahui, dari pesan leluhurnya, tempat menyimpan harta itu dipersiapkan
dengan panah-panah beracun, maka itu, sebelum menggali, ia sudah membuat
penjagaan diri, ini juga sebabnya kenapa ia berhasil membongkar tanpa menemui
halangan. Hanya, setelah ia berhasil membongkar pekgiok pay, di situ ia tidak dapatkan
barang lainnya kecuali anak kunci emas itu. Cuma, di atas anak kunci itu, ia
lipat dua baris ukiran huruf-huruf halus yang berbunyi:
"Di telaga Thayouw,
dibukit Tongteng San Barat, Dengan anak kunci ini, harta simpanan dapat
dicari."
Pada waktu ia hendak pendam
harta besarnya itu, Thio Soe Seng berpikir keras, ia memikir kan tempat di mana
ia dapat menyimpan dengan aman. Ia berkedudukan di Souwtjioe, kalau ia simpan
di kota itu juga, pasti Tjoe Goan Tjiang dapat menerkanya.
Sebaliknya, jikalau ia
menyembunyikan di tempat jauh, sulit pengangkutannya dan itu pun mudah membuat
rahasia bocor. Maka akhirnya ia mengambil keputusan untuk menyimpan harta itu
di Say Tongteng San, yaitu gunung Tongteng San Barat, di telaga Thayouw. Dari
kota Souwtjioe ke gunung itu, perjalanan hanya sehari satu malam. Demikian ia
membuat persiapannya dan bekerja.
Tentang lukisan yang
menunjukkan Koaywa Lim adalah tempat harta, itulah sebagian hanya akal belaka.
Di sini cuma dititipkan anak kunci emas itu, yang dilindungi panah api beracun.
Setelah selesai segala apa,
gambar lukisan itu diserahkan kepada "raja yang muda," yaitu putera
Thio Soe Seng serta boesoe-nya, pahlawan kepercayaan, yang setia, ialah
leluhurnya Tjio Eng. Pada putera dan pahlawan itu, telah diberitahukan bahwa di
dalam liang diatur panah beracun itu serta caranya untuk membongkar pekgiok
pay, supaya orang luput dari ancaman anak panah. Perihal anak kunci emas dan
tempat yang benar di mana harta terpendam, serta lain rahasia itu, bukan cuma
si putera malah si pahlawan juga tidak mengetahuinya suatu apa. Itu artinya
selanjutnya si putera atau siapa pun,harus berikhtiar dan mencarinya sendiri.
Sewajarnya saja, Thio Tan Hong
telah berlaku cerdik. Setelah dia dapatkan anak kunci emas itu, dia tutup dan
uruk pula liang itu sebagaimana adanya, kecuali tanah bekas bongkaran sebelah
atas, yang tak dapat dia tutup rapi sebagaimana asalnya. Habis itu,sebelumnya
rombongan Kwee Hong tiba, dia sudah angkat kaki dari Koaywa Lim.
Untuk dapat pergi ke Say
Tongteng San, Tan Hong menitipkan dahulu kuda putihnya kepada satu sahabatnya,
lalu dengan sebuah perahu kecil dan enteng, yang telah disiapkan sejak
siang-siang oleh sahabatnya, dia berangkat memasuki telaga Thayouw.
Tempat permulaan berangkat
adalah di jembatan Banlian Kio di kota Souwtjioe itu. Ia berangkat tengah
malam, maka dengan lekas ia telah keluar dari Siekauw, hingga ia sudah lantas
berada di permukaan telaga yang luas dan di lingkungi bukit.
Tentu saja, dalam keadaan
seperti itu, tidak ada kegembiraan Tan Hong akan menyaksikan keindahan alam di
telaga itu, hanya sambil mengayuh, ia keluarkan anak kunci emas itu dan
dibulak-balikkan untuk diperiksa.
"Huruf-huruf yang
terdapat pada anak kunci ini berbunyi: dengan punyakan anak kunci ini, harta
simpanan akan dapat dicari," demikian ia berpikir, "akan tetapi,
bagaimana aku harus mencarinya? Gunung Say Tongteng San besarnya seratus kali
lipat daripada Koaywa Lim, tidakkah aku bagaikan mencari sepotong jarum di laut
yang besar? Tentang hartanya sendiri, itu adalah satu soal lain, tidak demikian
dengan peta buminya — peta bumi itu berhubungan dengan nasib negara!"
Tan Hong memandang ke muka air
di sekitarnya. Air, melulu air! Pemandangan tenang tetapi indah, terbuka juga
hati Tan Hong. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. "Dengan perahu di
tengah gelombang, tenanglah hati," pikir dia. Di tempat permai ini,di saat
begini tenteram, perlu apakah aku berduka tidak keruan? Tidakkah aku
tolol?"
Ia lantas simpan anak kunci
itu, lalu mengayuh pula. Oleh karena perahu itu kecil dan enteng, dia dapat
bergerak dengan laju, seperti dibantu oleh layar.
Telaga Thayouw mempunyai tujuh
puluh dua puncak, di atas itu meganya indah, puas hati memandangnya. Sekarang
Tan Hong telah membuktikan benarnya perkataan bahwa Thayouw ini, dengan
keindahannya itu, dapat menangkan Tong Gouw.
Belum lama ia mengayun
perahunya, atau lantas tampak puncak Say Tongteng San.Memang gunung itu tidak
dapat menandingi Ngogak, ke lima gunung ternama dari Tionggoan, akan tetapi
karena letaknya di antara telaga, gunung ini mempunyai keistimewaan sendiri,
tebingnya curam, banyak batu yang aneh-aneh rupanya, yang menerbitkan berbagai
kesan.
Begitu lekas ia tiba di kaki
bukit, Tan Hong segera mendarat. Ia tampak di kaki bukit,sawah berjejer, sedang
di atas gunung, banyak macam pohon-pohonan, yang rapat tumbuhnya, ada buahnya,
ada bunganya, yang menyiarkan bau harum.
"Sungguh tenang dan
nyaman jikalau di sini orang mendirikan gubuk untuk bertinggal," Tan Hong
melamun.
Setelah mencari jalan, Tan
Hong mulai mendaki bukit. Ia berjalan sambil berpikir, ke arah mana ia mesti
cari tempat rahasia harta itu, tiba-tiba ia lihat dua bocah tukang angon kerbau
tengah mendatangi ke arahnya bersama dua ekor binatang angonnya. Dua bocah itu
sudah lantas mengawasi anak muda ini, sinar mata mereka menunjukkan keheranan
atau bercuriga.
Tan Hong segera menghampiri
mereka untuk mengajak mereka bicara.
"Kedua engko kecil, aku
numpang tanya," dia kata. "Aku datang kemari untuk pesiar.Untuk naik
ke atas gunung, adakah di sini jalan yang baik?"
Kedua bocah itu saling
memandang.
"Aku tidak tahu!"
sahut satu di antaranya, suaranya keras.
"Heran," pikir Tan
Hong, "kenapa kedua bocah ini begini tidak tahu adat, mereka beda jauh
daripada penduduk Tamtay Tjoen?"
Selagi Tan Hong berpikir
demikian, ia heran mendapatkan kedua bocah angon itu tiba-tiba berselisih
mulut, sama-sama mereka mementang mulut lebar. Yang di belakang berkata bocah
yang di depan sengaja menginjak lumpur hingga lumpur sawah muncrat mengenai
pakaiannya, yang di depan bilang, kawannya itu sengaja membikin kerbaunya
menendangi batu hingga ada
batu yang terbang ke batok kepalanya.
"Lucu," pikir pemuda
ini, yang berniat memisahkan mereka itu.
Dari berselisih mulut, kedua
bocah itu sudah lantas saja berkelahi. Tidak cuma demikian, mereka juga
menganjurkan kerbau mereka masing-masing untuk turut berkelahi juga. Hingga
sebentar saja, keadaan menjadi kacau.
Celaka untuk Tan Hong, selagi
jalanan sempit, kedua kerbau itu saling seruduk dan saling uber, ke arahnya. Ia
sampai menjerit ketika ia hampir kena diterjang, terpaksa ia pentang kedua
tangannya, dengan gerakan "Yama hoentjong," atau "Kuda hutan
membuka suri," ia tolak kedua kerbau itu ke kiri dan kanan. Ia dapat
lindungi dirinya, kedua kerbau itu ngusruk dan rubuh.
Saking kaget, kedua bocah itu
menjerit keras.
Kalau mau, Tan Hong dapat
melukai kedua kerbau itu, tapi ia telah menggunakan hanya tiga bagian dari
tenaganya, maka itu, ia menjadi heran, ia menjadi kaget mendengar jeritan kedua
bocah itu.
"Adakah aku memakai tenaga
terlalu besar hingga kedua bocah itu turut terluka?" ia tanya dirinya.
Lantas ia awasi kedua ekor kerbau. Kembali ia menjadi terkejut. Kedua kerbau
itu tengah berlarian, kedua bocah angonnya tidak nampak.
"Ah, ke mana mereka
pergi?" pikir Tan Hong. Pada saat ia hendak mencari, dari sebuah tikungan
tampak dua orang tani baharu saja muncul, hanya, untuk herannya, ia dengar
mereka itu segera berseru: "Setan, hari terang benderang, dari mana
datangnya penjahat ini?....."
"Kedua engko, dengar
dulu," kata Tan Hong dengan cepat. Ia menyangka pasti bahwa orang telah
mencurigai padanya. "Aku bukannya orang jahat.....”
"Kau bukannya orang
jahat?" bentak salah satu petani itu sebelum orang berhenti bicara.
"Kenapa kau lukai kerbau kami dan menculik juga kedua anak kami?"
Tan Hong heran.
"Aku menculik
anakmu?" dia tegaskan. "Mereka..... mereka....."
Dua petani itu tertawa dingin.
"Mereka..... mereka
kenapakah?" katanya mengejek. "Kenapa mereka itu lenyap? Jikalau
bukannya kau yang menyembunyikan mereka, pasti kau telah menyerahkan mereka
kepada koncohmu, untuk segera dibawa pergi, buat dijual!" Mau atau tidak,
Tan Hong tertawa. "Mana bisa terjadi demikian?" ia kata. "Coba
periksa dahulu kerbaumu, binatang itu terluka atau tidak, habis itu baharu kamu
pergi cari kedua bocah itu!"
Kedua petani itu menjadi
murka, tanpa banyak omong lagi, mereka angkat pacul mereka masing-masing,
dengan itu mereka menyerang!
Tan Hong terkejut, apapula
ketika ia saksikan kesebatan orang. Walaupun dia bertenaga besar, orang tani biasa
tidak nanti demikian sebatnya.
Terpaksa Tan Hong berkelit
dengan gerakan "Poanliong djiauwpou," atau "Naga melilit."
Tapi ia tidak cuma berkelit. Berbareng dengan itu ia pun mengangkat kedua
tangannya, akan menyambuti pacul orang itu, untuk disamber dan dirampas.
"Tolong! Tolong!"
teriak kedua petani itu. "Tolong, ada rampok! Ada rampok bunuh
orang!"
Tan Hong mendongkol berbareng
geli dalam hatinya.
"Jikalau aku berniat
membunuh kamu, siang-siang jiwamu sudah akan melayang!" ia kata pada
mereka itu. "Tidak nanti aku biarkan kamu membuat keributan!"
Segera ia ayunkan kedua
tangannya, akan melemparkan kedua pacul orang.
Pada waktu itu pula, muncul
lagi delapan orang, yang datang dari mana kedua orang tani tadi keluar, mereka
juga membawa pacul, dan tanpa banyak omong lagi, mereka maju mengeroyok Tan
Hong, dari depan dan belakang, dari kiri dan kanan.
Mau atau tidak, Tan Hong jadi
mendongkol.
"Tidak keruan-keruan aku
mesti berkelahi, sungguh naas," pikirnya. Ia lompat berkelit,ia memikir
untuk meloloskan diri, meninggalkan mereka itu, atau mendadak ia jadi heran. Ia
telah dikurung ke delapan orang itu, ke mana saja ia noblos, di situ ada petani
yang menghalang dan pacul yang melayang ke mukanya.
"Inilah cara berkelahi
yang terlatih," pikirnya kemudian. Karena ini, ia jadi bersungguh-sungguh,
ia tunjukkan kehebatannya. Ia lantas peroleh hasil, tak lama berselang, ia
dapat membuat orang kewalahan, hingga mereka itu main mundur, hanya pada saat
itu, belum dapat ia mengalahkan mereka itu, kecuali apabila ia menggunakan
kekerasan. Latihan mereka itu sempurna, masih dapat mereka mengurung, tidak mau
mereka mengalah.
Akhir-akhirnya Tan Hong
bertindak juga, sambil berseru, ia desak mereka, hingga mereka mundur satu
tombak lebih.
"Jikalau kamu masih tidak
hendak berhenti, jangan salahkan aku, aku tidak akan berbuat sungkan-sungkan
lagi!" ia mengancam. Tapi ia tertawa.
"Apa artinya tidak
sungkan-sungkan?" tanya satu petani, yang rupanya menjadi pemimpin.
"Bangsat anjing, apakah kau kira kami takut?"
Tan Hong jadi mendelu juga.
"Baik aku gunakan pedangku, untuk membuat pacul kalian kutung, hendak aku
lihat, kamu jeri atau tidak.....” pikir dia. Lantas dia lindungi diri dengan
tangan kiri, tangan kanannya dipakai merabah pedangnya.
Justeru itu, dari atas gunung,
terdengar suara pertanyaan: "Hai, kenapa kamu berkelahi?"
Tan Hong mendongak, akan
melihat ke atas, hingga ia tampak satu orang dengan kumis jenggot panjang,
jidatnya lebar, hidungnya besar, dan dandannya seperti anak sekolah akan tetapi
romannya seperti seorang yang mengerti silat.
"Penjahat ini melukai
kerbau dan menculik anak kami!" sahut petani yang menjadi kepala itu.
"Kerbau kita tidak
terluka," kata orang itu,yang terus memanggil-manggil: "A Tjiauw! A
Seng!"
Tan Hong melirik kepada kedua
ekor kerbau. Sekarang ia lihat, kedua binatang itu tidak lagi saling kejar,
hanya berhenti berlari dan berdiri diam, dan dari bawah perutnya muncul kedua
bocah angon tadi, keduanya sambil tertawa berkakakan! Terhadap Tan Hong,mereka
pun mengejek secara Jenaka, hingga pemuda ini tersenyum.
"Aku juga heran kenapa
kedua kerbau itu berputaran tak hentinya, kiranya mereka ini yang main
gila," katanya di dalam hati. "Kepandaian mereka menungang kerbau
nyata terlebih liehay daripada orang Mongolia menunggang kuda. Mereka muncul
secara tiba-tiba, mereka berbuat itu dengan sengaja atau bukan? Baiklah aku
berlaku waspada."
Orang di atas gunung itu, yang
usianya telah lanjut, terdengar pula berkata: "Orang-orang tani desa
biadab dan tidak tahu aturan, ini pun salah pengertian, maka itu akuharap kau
tidak berkecil hati tuan. Eh, kenapa kamu tidak lekas-lekas menghaturkan maaf
kepada tuan itu? Lekas! Setelah itu kamu lekas pergi meluku!"
Ke delapan petani itu, berikut
kedua bocah, yang telah berkumpul menjadi satu, lantas menghadap Tan Hong,
untuk memberi hormat. Sesudah mana, mereka semua ngeloyor pergi, hingga di situ
Tan Hong berada seorang diri saja.
"Apakah siangkong datang
untuk pesiar?" tanya si orang tua kemudian.
"Benar," sahut Tan
Hong, singkat.
"Tujuh puluh dua puncak
tak mudah habis dipandang, sawah yang luas juga dapat menghilangkan duka, maka
kalau siangkong datang untuk pesiar, kau mesti berdiam di sini sedikitnya
beberapa hari," berkata pula si orang tua.
Tan Hong lihat orang berlaku
sopan, ia pun bersikap hormat.
"Aku ingin bertanya
mengenai she dan nama iootiang," ia mohon.
"Tak usah kau tanyakan
namaku, cukup kau memanggilnya aku iootiang," sahut orang tua itu.
"Aku juga, cukup memanggil kau siangkong. Tidakkah ini sederhana?"
Tan Hong setuju dengan sifatnya
orang tua itu. "Benar," ia jawab.
"Aku si orang tua tinggal
di atas gunung ini," kata pula orang tua itu. "Beberapa sahabatku
menamakan tempat kediamanku ini Tongteng San tjhoeng. Siangkong akan berpesiar
beberapa hari di sini, apabila siangkong tidak berkeberatan, baiklah siangkong
beri ketika bagiku untuk aku jadi si tuan rumah. Bagaimana siangkong
pikir?"
"Kau baik sekali,
iootiang, terima kasih," sahut Tan Hong. "Aku kuatir aku nanti
mengganggu padamu.....”
Orang tua itu tertawa lebar.
"Sama sekah tidak, siangkong1." ia kata. "Siangkong berpesiar,
setelah lelah,kau datang ke gubukku, untuk beristirahat, jikalau ada jodoh,
kita berkumpul, kalau tidak, sudah saja. Tidak ada gangguan bagiku.....”
Tan Hong girang, ia hampirkan
orang tua itu, untuk memberi hormat, yang mana dibalas si orang tua. Ia merasa
puas dengan perkenalan ini. Ia memang berniat mencari seseorang yang mungkin
bantuannya bisa diharapkan untuk mencari tempat menyimpan harta, sekarang ada
si orang tua, inilah kebetulan.
Si orang tua menunjuk kelereng
gunung, ia berkata: "Di sana tidak ada apa-apa, akan tetapi sedikit sayur
dan ikan tersedia juga. Kalau siangkong hendak pesiar, silahkan.
Sebentar malam siangkong
mampir padaku, akan aku sediakan ikan segar dan arak putih untuk teman kita
pasang omong."
"Terima kasih," Tan
Hong mengucap, tangannya dirangkapkan. Di dalam hatinya, ia berpikir pula:
"Kalau orang tua ini tidak menyembunyikan sesuatu maksud, ia mestinya
seorang kangouw yang luar biasa, maka berhubung dengan kedatanganku ini,
andaikata aku tidak berhasil mencari harta, senang aku dapat bersahabat dengan
dia. Rombongan
petani itu juga bukan
sembarang orang, ada baiknya juga untuk berkenalan dengan mereka.....”
Sampai di situ, mereka
berpisahan, Tan Hong pun mendaki terus, untuk berpesiar katanya, sedang
sebenarnya ia memasang mata, mencari sesuatu.
Selama berdiam di atas gunung,
terus sampai lohor, dengan matanya yang awas, Tan Hong merasa bahwa
kadang-kadang ada seorang petani, atau penduduk gunung itu, yang sedang mengambil
kayu atau memetik buah hutan, memasang mata kepadanya. Ia heran,ia jadi
bercuriga. Tapi ia tidak jeri. Ia tetap perhatikan tempat yang ia kunjungi, ia
ingat baik-baik. Kemudian, ketika matahari sudah mulai turun, ia menetapi janji
terhadap si orang tua, ia bertindak ke lamping gunung, ia pergi ke apa yang si
orang tua sebutkan kampung Tongteng San tjhoeng.
Justeru waktu itu, pintu
pekarangan telah dibuka dengan perlahan-lahan, yang membukakan nya adalah satu
nona, yang kedua matanya bersinar dan kulit mukanya halus seperti nona Kanglam
atau nona Utara yang manis.....
"Heran," pikir Tan
Hong. "Kecantikan In Loei ada bagaikan bunga tjielan, kecantikan nona ini
ada seumpama bunga mawar atau hoeyong. Kalau mereka berdua direndengkan,sungguh
sulit untuk memilihnya....."
Tan Hong baharu hendak membuka
mulut, atau si nona telah mendahului. Lebih dahulu nona itu tertawa manis.
"Siangkong, adakah kau
siangkong yang datang berpesiar di gunung ini?" demikian dia menanya.
"Ayah telah berbicara tentangmu kepadaku. Silahkan masuk!"
Tan Hong mengucap terima
kasih, terus ia ikuti nona itu masuk ke dalam pekarangan dimana tertanam pohon
rotan, rupa-rupa pohon bunga, paseban dan empang. Itu adalah sebuah taman yang
menarik yang tak kalah dengan Koaywa Lim, hanya kalah besar.
Taman ini pun nyaman.
Si orang tua, atau tuan
rurnah, tampak tengah berdiri di depan paseban di mana telah tersedia arak,
melihat tetamunya, ia menyambut dangan manis.
"Bagaimana keindahan
telaga dan gunung di sini?" ia menanya.
"Telaga Thayouw ini jauh
lebih indah daripada Tonggouw," jawab Tan Hong. "Airnya,gunungnya,
bagaikan lukisan saja. Hal ini pun telah dibenarkan oleh orang-orang jaman
dahulu. Boanseng kagum sekali."
Orang tua itu tertawa.
"Hanya sayang," katanya, "ada orang-orang yang memandang telaga
dan gunung ini hingga mereka melupakan nama besar dan kedudukan tinggi, sampai
di otak mereka hanya terdapat kuningan yang busuk saja. Tidakkah itu lucu dan
mereka harus dikasihani?"
Mendengar itu, berdenyut hati
Tan Hong.
"Mungkinkah dia ketahui
bahwa aku datang kemari untuk mencari harta terpendam itu!" ia tanya
dirinya sendiri. Tapi segera ia tertawakan dirinya, yang ia katakan banyak
kecurigaannya. Tapi ia masih berpikir lebih jauh: "Leluhurku menyimpan
harta, itulah satu rahasia. Aku juga ketahui harta disimpan di sini sesudah aku
dapatkan anak kunci emas. Maka, cara bagaimana orang tua ini mengetahuinya?
Perkataannya barusan mungkin kebetulan saja.....”
Tuan rumah silahkan tetamunya
duduk, ia mengundang minum, lantas mereka pasang omong terlebih jauh, mengenai
pemandangan alam dari telaga dan gunung, dari hal ilmu surat dan seni lukis.
Nyata mereka cocok satu dengan lain. Cuma sampai sebegitu jauh,mereka pantang
menanyakan asal-usul mereka masing-masing.
Setelah tenggak beberapa
cangkir arak, orang tua itu kelihatan sudah pusing.
"Siangkong, aku sudah
pusing, aku ingin tidur," berkata dia. "Pemandangan Thayouw di waktu
malam indah sekali, jikalau siangkong ingin menyaksikan, silahkanlah. Tempatku
ini ada pintunya yang senantiasa terbuka. Siangkong boleh minta ditemani anakku
atau dapat juga pergi seorang diri. Kalau pulang, tidak usah siangkong mengetok
pintu, asal
ditolak, pintu akan
terbuka."
"Baik sekali orang tua
ini," pikir Tan Hong. "Ia seolah-olah mengetahui isi hatiku.
Memang Thayouw mestinya indah
di bawah cahaya Puteri Malam."
Ia lantas menghaturkan terima
kasih. Orang tua itu pun lantas mengundurkan diri. Si nona tertawa manis, ia
menanya: "Adakah ini yang pertama kali siangkong pesiar kesini?"
"Ya," sahut Tan
Hong. "
"Siangkong kata,
siangkong datang dari Utara, aku lihat kau seperti orang Kanglam," kata
pula si nona, sambil tertawa. "Eh, ya, aku seperti pernah lihat siangkong,
entah di mana, aku seperti kenal kau.....” '
"Kau omong main-main,
nona!" Tan Hong pun tertawa. "Sebenarnya ingin aku lebih siang
mengenal kau,maka sayang, baharu sekarang ada ketika bagiku datang kemari untuk
menyaksikan keindahan telaga dan gunung di sini." Nona itu tertawa, ia
tidak bilang suatu apa.
"Silakan siangkong ambil
tempat di sini," kata dia. "Tempat kami buruk, harap siangkong tidak
mencelanya."
Tan Hong sebaliknya melihat
sebuah kamar yang bersih yang berada di tengah-tengah empang teratai, yang
bunganya sedang mekar, warnanya merah dadu, hingga indah dipandangnya, semerbak
harumnya.
Sambil tertawa, nona itu
mengundurkan diri, akan tetapi masih terdengar suaranya yang halus:
"Benar-benar, kalau melihat orang dari romannya, dia akan keliru mengenal
Tjoe Ie. Menghadapi pemandangan bukit dan telaga ini, orang bicara dari hal
manusia,sekalipun dibanding dengan kaisar, berapakah harga satu kati dari
kaisar itu?"
Tan Hong lantas berpikir:
"Benar-benar, ada ayahnya, ada puterinya! Nona ini sangat sederhana dan
polos.....”
Lantas ia ingat In Loei,
karena mana, bayangan si nona seperti tertindih. Ia mengawasi bunga teratai, ia
ingat akan pengalamannya hari ini. Ia merasa aneh, ia merasa melayang, hingga
tak ada keinginannya untuk tidur. Tanpa merasa, tak tahu ia berapa lama ia
berdiam di dalam kamar itu, Tan Hong tiba-tiba melihat sinar rembulan memasuki
jendela, ia pun dengar suara halus dari gelombang telaga itu. Ia lantas
kerebongi dirinya dengan baju luarnya, ia tolak daun pintu belakang,untuk pergi
keluar kamar, untuk mendaki bukit. Dari sebelah atas, sangat menarik memandang
telaga yang indah itu, yang disinari cahaya Puteri Malam. Gunung Tongteng San
Barat nyata berdiri agung di tengah-tengah telaga, yang luasnya delapan ratus
lie.
Tak dapat dilukiskan
kepermaian alam itu.
Selagi kesengsem dengan
pemandangan itu, tiba-tiba Tan Hong dengar nyanyian si nona:
"Mega abu-abu menggulung,
maka bersihlah langit keperak-perakan,Angin yang halus datang meniup gelombang
sang rembulan,Pasir diam, air berhenti, lenyap juga suara dan bayangan. Dengan
secawan aku menghaturkan, aku bernyanyi untuk tuan,Bagaikan air jernih cukup
untuk mencuci bersih kekotoran. Dalam hidupnya untuk apa manusia menyatakan
penyesalan.Emas, perak dan mutiara, semua merupakan benda penghalang, Semua itu
harus dihabiskan di antara gelombang! Aku nasihati tuan-tuan Ada arak,minumlah hingga
mabuk sendirian, Ada arak tak diminnm, sayanglah sang rembulan."
Merdu nyanyian itu, terbawa
angin menjelajah telaga Thayouw.....
Thio Tan Hong termenung lalu
ia berpikir. "Nona ini menyanyikan syair dari jaman Tong. Bukankah dengan
itu ia tengah menasehati aku untuk jangan bercapai hati dan tenaga mencari
harta simpanan itu? Ah, mana dia tahu cita-citaku! Aku tak berminat menguasai
harta besar itu! Mana sudi aku segala benda busuk itu?"
Lalu timbul keinginannya untuk
membalas si nona. Maka ia menyambutnya:"Tuan, berhentilah bernyanyi, dan
kau dengar nyanyianku Puncak ini mendadak menjulang, menunjang "langit
perak".
Di dalam dunia ini juga ada
laki-laki sejati,
Berdiri dengan tegak dan
gagah, dengan pedang dilintangkan!
Gelar kebangsawanan dan permata,
semua itulah kotoran,
Cita-citanya ialah satu kali
menggulung pemerintahan!"
Begitu lekas suara Tan Hong
lenyap maka di sana, di antara batu-batu berdiri bagaikan ujung rebung, si
nona, wajahnya tersungging senyuman. Dia memandang kepada si anak muda,
tangannya dilambai-lambaikan dengan perlahan.
Tanpa merasa, anak muda ini
bertindak menghampiri.
"Apakah benar kau hendak
kukuhi cita-citamu?" tanya si nona tiba-tiba.
"Tak tahu aku, cita-cita
apakah yang nona maksudkan," jawab Tan Hong. "Akan tetapi,
kalau satu laki-laki melakukan
sesuatu, mana dapat dia gampang-gampang merubahnya?"
Wajah si nona berubah.
"Kau datang kemari dengan
pikiran untuk mencuri harta!" dia kata sambil tertawa dingin. "Itulah
kau jangan harap!"
Dengan sekonyong-konyong nona
itu menghunus sebatang pedang pendek, yang sinarnya hijau berkelebat, dengan
apa ia menikam dada si anak muda di depannya.
Tan Hong kaget, akan tetapi ia
dapat berkelit.
"Nona, kau siapa?"
ia tanya.
Nona itu tidak menyahuti,
sebaliknya, dengan kegesitannya, ia menikam pula berulang kali.
Tan Hong tidak melakukan
perlawanan, ia hanya berkelit, karenanya ia jadi terdesak sampai di tempat di
mana terdapat banyak batu. "Nona, tunggu,....tunggu!" ia berkata,
berulang-ulang. "Dengarkan dahulu.....” Ia belum menutup mulutnya, juga si
nona belum menjawab dia, atau mendadak dari antara sela-sela batu yang banyak
itu, muncul beberapa orang, di antara siapa terdapat si tuan rumah, yang
usianya sudah lanjut dan tangannya menyekal sebatang tempuling,ketika dia
lompat ke atas sebuah batu, dia langsung menikam ke arah uluhati si pemuda.
Hebat sambaran tempuling itu,
maka tahulah Tan Hong bahwa orang tua itu liehay ilmu silatnya. Suara sambaran
itu membuktikan orang terlatih baik.
"Lootiang, kau
kenapa?" Tan Hong masih menanya. "Kenapakah sikap kau ini?"
"Hrn! Apakah benar kau
sendiri masih belum mengerti?" jawab tuan rumah itu.
"Mulanya aku sangka kau
seorang terhormat, kiranya kau ada satu manusia jahat yang dipengaruhi
harta!"
Sementara itu Tan Hong kenali
beberapa orang di antaranya adalah petani-petani yang tadi siang ia lihat.
"Memang telah kami lihat,
kau bukannya orang baik-baik!" berkata beberapa orang itu.
"Lihat! Lihat pedang!
Lihat tombak cagak!" Memang benar, senjata mereka itu banyak macamnya, ada
pacul juga.
Tan Hong gentar juga karena
orang segera mengepung dia, lebih-lebih tempuling si orang tua dan pedang
pendek si nona. Ia tidak diberi kesempatan untuk bicara. Tentu saja, tanpa
perlawanan yang berarti, ia bisa terkurung terus di tempat itu, yang banyak batunya.
Maka terpaksa ia hunus pedangnya dengan apa segera ia tabas kutung senjatanya
dua petani.
"Tahan!" ia
berteriak, begitu lekas kedua orang itu mundur, mereka kaget sebab senjata
mereka kena dibabat kutung.
Si orang tua tertawa
berkakakan.
"Dengan terkurungnya kau
di dalam barisan ini, percuma saja pedang mustikamu!" kata dia dengan
wajar tetapi jumawa. Lantas dia maju pula, menikam dengan tempulingnya.
Tan Hong masih pandang orang
tua ini, tidak mau ia mendesak, tidak ingin ia memapas senjata orang, ia hanya
melawan yang lainnya. Akan tetapi, kalau yang satu mundur yang lain maju, atau
mereka meluruk, atau mereka pun seperti menghilang di belakang batu.
Kali ini, mereka itu berlaku
sangat licik, tidak sudi mereka membuat senjata mereka bentrok.
Setelah berkelahi sekian lama,
Tan Hong lantas dapat perhatikan sikap orang. Berikut si orang tua dan si nona,
ayah dan anak dara, lawan berjumlah delapan orang, dan kedudukan mereka pun di
delapan penjuru, dan caranya mereka bertempur ialah tiap-tiap kali mereka
mundur, akan berkelit di belakang batu, akan kemudian muncul lagi untuk
melakukan serangan secara tiba-tiba.
"Coba aku arah satu
orang," pikir anak muda itu."Ingin aku lihat, cara bagaimana kau
sembunyikan dirimu.....”
Pikiran itu diwujudkan, Tan
Hong desak satu petani, yang ia lihat kepandaiannya biasa saja. Petani itu
berlari-lari di batu, lantas dia lenyap, sebagai gantinya, si nona dengan
pedangnya dan satu petani lain dengan tumbaknya, menyerang dengan tiba-tiba
dari kiri dan kanan dari mana mereka itu muncul secara mendadak. Ketika ia
desak si nona, nona itu pun mundur menghilang, lalu si orang tua muncul sebagai
gantinya, dan orang tua itu menyerang dengan hebat.
"Bagaimana harus aku
layani mereka ?" pikir Tan Hong sambil terus melawan musuh-musuhnya.
Dari delapan lawan itu,
kecuali si nona dan ayahnya, yang enam berkepandaian cukup untuk masuk dalam
dunia kangouw, cuma di mata Tan Hong, mereka adalah orang-orang biasa saja,
hanya yang aneh adalah caranya mereka berkelahi, main mundur dan menghilang,
untuk dengan tiba-tiba muncul pula, menyerang separuh membokong.
Pertempuran luar biasa ini
berlangsung sekian lama, tetap Tan Hong tidak bisa desak terus satu musuh,
tidak mampu lagi ia menabas kutung senjata orang. Di lain pihak, tetap ia
terkurung, tiap-tiap kali ia diserang. Lama kelamaan ia jadi kewalahan juga.
Syukur untuknya, ia mempunyai pedang yang tajam luar biasa itu, yang ditakuti
musuh, hingga
musuh tak dapat mendesak ia
habis-habisan.
Lama juga Tan Hong berpikir,
sampai tiba-tiba ia seperti tersadar. Tidakkah kurungan itu mirip dengan
kurungan barisan istimewa Pat Tin Touw, atau "Delapan Barisan." dari
Khong Beng? Ingat ini, ia lantas perhatikan lebih sungguh-sungguh, ia
perhatikan letaknya berbagai batu. Ia lantas dapat lihat "delapan
pintu" ialah "hioe" = berhenti, "seng" =
hidup, "siang" =
luka, "touw" = tutup, "soe"=mati, "keng" =
pemandangan, dan "kheng" = kaget. Ia tidak sangka bahwa ia akan
menemui Pat Tin Touw di Say Tongteng San di Thayouw ini, sedang
panglima-panglima perang, dahulu dan sekarang, hanya beberapa orang yang
berhasil melihat itu.
Memperhatikan lagi sesaat, Tan
Hong tahu pintu "seng" =hidup dijaga oleh si nona yang bersenjatakan
pedang pendek itu. Ia lantas saja berpikir bagaimana caranya memukul pecah tin
itu, untuk membebaskan dirinya. Lalu, dengan tidak bersangsi sedikit juga, ia
lompat mencelat. Dari pintu soe ia lompat ke pintu kheng, dari sini ia melejit
ke
pintu siang, terus memutar ke
pintu touw, akan lebih jauh melesat ke pintu seng1.
Dengan cara penyerangan itu,
barisan Pat Tin Touw itu lantas menjadi gempar,keadaan menjadi kacau, hingga si
nona menjadi kaget sekali. Karena Tan Hong mendesak ia, berulangkah ia main
berkelit saja.
Sebenarnya tidak sampai hati
anak muda ini, akan tetapi ia ingin nerobos keluar, ia ingin, maka terpaksa ia
mendesak terus, ujung pedangnya senantiasa bergerak-gerak di bebokong si nona.
Dengan cara ini ia hendak paksa si nona keluar dari pintu "hidup"
(seng) itu, untuk memimpin atau mengantarkan ia keluar.
Segera orang sampai di pintu
keluar, si nona mendadak menjerit dengan tajam,agaknya ia sangat ketakutan.
Tan Hong melengak, ia
menyangka, karena kurang hati-hati, ia telah melukai si nona.
Karena ini, terhentilah
serangannya. Tapi justeru itu, bagaikan "bumi terbalik, langit berputar,
terdengarlah satu suara nyaring, di muka bumi itu terbukalah suatu lobang
besar, dan sebelum tahu apa-apa, tubuhnya sudah terjeblos ke dalam lobang itu!
Nyatalah, tempat di mana barusan Tan Hong berhenti, adalah lobang jebakan. Atas
tanah itu ada urukan pasir. Dalam keadaan biasa, karena liehaynya ilmu enteng
tubuhnya,sebenarnya dapat Tan Hong lompat untuk menyelamatkan diri, akan tetapi
jeritan si nona membuatnya ia tercengang, hingga ia merandak, dari itu, tak
keburulah ia mencelat lagi.
Walaupun ia telah terjeblos,
Tan Hong tidak lantas jatuh. Ia masih dapat kesempatan untuk lompat jumpalitan,
maka ketika kakinya menginjak dasar lobang, ia jalan dengan perlahan. Ia hanya
berada dalam gelap gulita, hingga sekalipun ke lima jari tangan di depan
matanya, tidak dapat ia lihat.
Dalam sekejap ia kaget, lantas
ia dapat kuasai pula dirinya. Yang paling dulu ia lakukan ialah merogo ke dalam
sakunya, untuk mengeluarkan serenceng mutiara yabeng tjoe-nya,yang ia cantelkan
diujung pedangnya, maka, cahaya mutiara itu, yang bentrok dengan cahaya pedang,
segera menerbitkan sinar terang, hingga sekarang ia dapat melihat dengan nyata.
Lobang itu dalam sekali,
kelihatannya sukar bagi orang merayap naik ke atas untuk keluar dari situ.
Dasarnya juga tidak rata, dan tanahnya demak, bau demak itu tidak sedap. Untung
bagi Tan Hong, lobang itu tidak buntu, ada lobang lainnya yang merupakan
terowongan atau lorong. Karena mempunyai api istimewa itu, ia lalu bertindak
mengikuti terowongan itu yang jalannya tidak rata, demak semua. Ketika ia tiba
pada akhir terowongan, ia berhadapan dengan tembok batu. Jadi sampai di situ
habislah terowongan itu.
Tanpa merasa, anak muda ini
menghela napas.
"Tidak kusangka bahwa di
sinilah tempat ajalku," katanya dengan perlahan. "Secara begini, aku
akan menemui kematianku secara kecewa.....”
Tapi ia bukan seorang yang
mudah putus asa. Selagi hilang harapan itu, timbul kemurkaannya.
Sekonyong-konyong ia ayunkan kepalannya ke arah tembok.
"Duk!" begitulah
terdengar suara keras. Tiba-tiba, tembok itu tampak bergerak sedikit.
"Hai!" berseru anak
muda ini, yang timbul pula harapannya. Ia lantas saja bekerja.
Tidak lagi ia gunakan
kepalannya, hanya ujung pedangnya untuk mengorek-ngorek dan menggurat-gurat.
Harapannya makin besar ketika ia dapat kenyataan tembok itu gempur
sedikit-sedikit, gempurannya meluruk jatuh.
Nyatalah batu itu ditambal,
dengan gempurnya tambalan itu, batunya pun nampak bergerak sedikit. Melihat
itu, Tan Hong menjadi dapat harapan. Segera ia pasang kuda-kudanya, menghadapi
batu itu, setelah mengerahkan tenaganya, ia menolak dengan keras kepada batu
itu. Dan..... terdengarlah satu suara keras dan nyaring batu itu rubuh ke lain
arah, yang meninggalkan sebuah liang yang hanya muat tubuh satu orang! Tanpa
bersangsi, Tan Hong memasuki liang itu, hingga sejenak saja ia telah berada di
lain sebelah. Yang hebat adalah kedua matanya lantas menjadi silau. Ia meramkan
matanya, ia buka lagi dengan perlahan, untuk meneliti cahaya yang membuat
matanya itu silau. Apabila ia sudah melihat tegas, ia menjadi girang bukan
kepalang.
Di sana terdapat sebuah
terowongan, cahaya itu datangnya dari terowongan itu.
Ia lantas bertindak ke dalam
terowongan itu, yang lebih pendek, dari yang semula tadi,maka itu, sebentar
kemudian, sampailah ia di tempat yang buntu. Di situ terdapat sebuah pintu
batu, bukan batu biasa, tetapi seluruhnya pekgiok, batu kumala warna putih.
Batunya sendiri tidak aneh, yang aneh adalah besarnya. Maka dapatlah dimengerti
jikalau kumala putih itu berharga besar bukan main.
Sekarang Tan Hong simpan
yabeng tjoe-nya, ia rabah pintu kumala itu, yang licin. Ia merabah-rabah ke
sekitarnya sampai jari tangannya menyentuh suatu liang kecil. Ketika ia awasi,
ia dapat kenyataan liang itu adalah liang kunci. Kembali ia dapat harapan.
Tan Hong keluarkan anak
kuncinya, ia masukkan itu ke dalam liang kunci itu, apabila ia memutarnya,
pintu kumala itu terbuka. Dengan girang ia masuk ke pintu itu, hingga ia berada
di lain ruangan. Sambil melewati pintu, tangannya mendorong ke belakang daun
pintu, atas mana, pintu itu tertutup pula.
Sambil menyimpan anak
kuncinya, Tan Hong pentang kedua matanya. Di hadapannya sekarang nampak sinar
terang, yang bercahaya berkilauan, itulah sinar dari emas dan perak serta
barang permata lainnya. Sekejap itu, ia dapatkan suatu perasaan. Bukankah ia
tengah menghadapi suatu harta besar? Tan Hong gunakan tangannya, akan
mengangkat berbagai permata itu, sampai di bawahnya ia dapatkan sebuah kotak
kumala. Kotak itu tidak dikunci, hingga mudah dapat dibuka. Isinya adalah
sehelai peta bumi yang lebar. Ia lantas beber peta itu, ia memandangnya dengan
menggunakan sinar pelbagai barang permata itu.
Peta itu melukiskan dengan
jelas setiap tempat, ada gunungnya, ada kalinya. Untuk tempat-tempat yang harus
dibelai, atau diserang, ada petunjuk-petunjuk yang berupa catatan. Melihat
jamannya, sangat lengkap peta itu.
Tan Hong tahu, itulah peta
yang dicari-cari. Itulah peta Pheng Hoosiang, yang dibuatnya tentu dengan susah
payah dan memakan waktu, untuk Thio Soe Seng memperebutkan negara dengan Tjoe
Goan Tjiang.
Mengawasi peta itu, dengan
sendirinya Tan Hong mengucurkan air mata.
Selagi mengawasi kotak kumala,
di atas itu Tan Hong lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
"Bila peta ini muncul,
maka bangkitlah pula Kerajaan Tjioe yang besar."
Tan Hong duga bahwa
leluhurnya, yaitu Thio Soe Seng, percaya turunannya akan dapat menemui harta
dan peta itu, maka ditinggalkannya pesan itu supaya turunan itu nanti
mengusahakan untuk mewujudkan cita-citanya merubuhkan kerajaan Beng, untuk
membangun pula kerajaan Tjioe.
Sambil menghadapi kotak kumala
itu, Tan Hong paykoei sampai delapan kali, sambil memberikan hormatnya itu, ia
angkat kepalanya, mendongak, seraya mengucap: "Thio Tan Hong, turunan yang
tidak berbakti, mohon maaf leluhurnya, bahwa mungkin sekali Tan Hong tak dapat
mewujudkan pesan memusnakan kerajaan Beng guna menghidupkan pula kerajaan
Tjioe.....”
Dengan mencari harta dan peta
itu, Thio Tan Hong sudah mempunyai suatu maksud tertentu, yaitu peta dan harta
itu hendak ia serahkan kepada Kokloo Ie Kiam, supaya Ie Kokloo menggunakannya
untuk menangkis penyerbu, petanya untuk pembelaan dan penyerangan, dan uangnya
guna membeayai angkatan perang dan membeli alat senjata dan rangsum.
Setelah meneliti peta itu, Tan
Hong menggulungnya pula.
"Sekarang aku mesti pergi
ke mulut gua, untuk perdengarkan suara nyaring, guna membeber cita-citaku, guna
memperlihatkan kecintaanku terhadap negara, mungkin Tongteng Tjhoengtjoe dapat
mendengarnya dan akan insaf pada cita-citaku itu. Semoga dia nanti menurunkan
dadung untuk aku naik ke atas.....”
Begitu ia berpikir, begitu Tan
Hong bertindak ke pintu kumala. Tadi ia telah menutup pula pintu itu, sekarang
ia mesti membukanya kembali. Ia terkejut, ketika ia dapatkan pintu terkunci,
hingga tak dapat ia membukanya. Ia mencoba dengan anak kuncinya,akan tetapi
terbukti, itu bukanlah anak kunci yang tepat. Nyata pintu itu mempunyai dua
macam kunci, satu untuk di
luar, dan yang lain untuk yang di dalam.
"Celaka!.....” ia
mengeluh.
Kali ini benar-benar hebat.
Pintu itu tidak dapat digempur seperti pintu batu tadi. Di situ cuma ada emas
dan perak serta permata, tidak ada barang makanan, itu artinya bahaya lapar
mengancam padanya. Di situ pun tidak ada air, hingga tenggorokannya akan lekas
menjadi kering. Leher kering sama bahayanya dengan perut kosong.
"Kelihatannya pasti aku
akan mati kelaparan dan berdahaga di sini.....” pikirnya pula kemudian.
Menghadapi ancaman maut adalah
sangat hebat, maka itu, dalam putus asanya. Tan Hong berteriak-teriak di muka
pintu, ia harap suaranya itu terdengar sampai di luar. Tapi ia pentang suara
tanpa ada hasilnya, suara itu cuma terdengar oleh kupingnya sendiri,hingga ia
merasa tuli.....
"Orang kata, seseorang
dapat bertahan selama tujuh hari jikalau ia tidak dahar, tapi aku terlatih ilmu
silat, mungkin aku dapat bertahan selama sepuluh hari," pikir ia kemudian,
menghibur diri. "Selama sepuluh hari, aku mesti berpikir untuk mendayakan
sesuatu.....”
Pikiran Tan Hong lantas saja
melayang, ke-permusuhan antara kedua keluarga Thio dan Tjoe, yang berjalan
turun temurun, atau di lain saat ia ingat In Loei, wajah siapa segera terbayang
dihadapan matanya. Ia lihat tegas nona itu cantik dan manis tapi berbareng
dengan itu pun bengis, bagaikan tengah murka.....
"Oh, adik kecil, sukar
bagi kita bertemu pula.....”
Tan Hong mengeluh.
Tan Hong tahu, sudah beberapa
kali In Loei berniat membinasakan dia, tetapi ia tidak bersakit hati karenanya.
Ia malah sangat tertarik terhadap nona itu, yang, kecuali sedang murka, juga manis
dan menarik hati, karena gerak-geriknya yang halus.
"Memang dia berniat
membunuh aku, tapi ada kalanya dia sangat lemah lembut," pikirnya pula.
"Ya, halus budi pekertinya. Yang kurang padanya adalah kekerasan hati
berlainan dengan anak daranya Tongteng thjungtjoe, aku percaya dia berani
berbuat dan berani bertanggung jawab, hingga alangkah baiknya apabila sifat
mereka berdua dapat
digabung menjadi satu. Dengan
begitu jadilah dia satu manusia yang sempurna.....”
Terkurung dalam guha itu, Tan
Hong menjadi tidak keruan rasa. Untuk tungkuli diri, ia periksa semua harta
leluhurnya itu, ia angkat sana dan angkat sini, ia balik-balikkan. Tiba-tiba
tertindih oleh setumpuk mutiara, ia dapatkan satu kotak pualam lainnya. Ia
angkat itu. Di atas kotak itu ia baca ukiran berikut: "Surat-suratnya guru
marhum. Soe Seng
simpanlah dengan
perhatian."
Dengan lekas Tan Hong buka
kotak itu, untuk melihat isinya, ia dapatkan peta bumi yang masih terpisah satu
dengan lain dan sejumlah catatan. Ia mengerti, terang sudah,semua itu adalah
berbagai catatan dari Pheng Hoosiang ketika dia mulai dengan pembuatan peta
buminya itu, yang dicatat di setiap tempat ke mana dia telah pergi, ketika
semua itu telah dihimpunkan menjadi satu, terjadilah peta yang orang berebut
mencarinya.
Tentu saja sekarang ini, peta
kasar itu sudah tidak ada perlunya, kecuali itu pelbagai catatan lain, tentang
penduduk sesuatu tempat dan kebiasaannya masing-masing, perihal keletakan
pelbagai gunung dan sungai yang mengenai pergerakan tentera. Semua itu pun menyatakan
ketelitian Pheng Hoosiang, kesungguhan hatinya, yang sudah bercapai hati untuk
mengumpul dan membuat itu.
"Semua ini harus aku
simpan dan kumpulkan dengan rapih, inilah bagus bila dibuat menjadi satu jilid
buku istimewa," demikian Tan Hong pikir. Tapi, bukan bagian petanya,hanya
tulisannya. Kali ini ia lihat catatan tersusun, yang merupakan sejilid buku
tipis. Buku ini berkalimat "Hiankong Yauwkoat" atau "Rahasia
ilmu silat." Ia baca lembaran pertama, tentang ucapan Khong Tjoe perihal
"iie"= dasar, "khie"= hawa, dan "siang"=roman. Ia
heran. Dari mana Khong Tjoe mengerti tentang hiankong atau Iweekang, ilmu silat
bagian dalam? Maka ia membaca terus. Ia dapatkan penjelasannya: "Roman itu
bersifat iimu siiat; hawa itu pengaruhnya iimu siiat; dan dasar adalah buahnya
iimu siiat. Kaiau ketiganya diperoleh dengan lengkap, gerakan tangan dan kaki
tak akan menyeleweng."
Lalu, lebih jauh, ada berbagai
penjelasan lainnya lagi. Maka, setelah membaca itu, Tan Hong menghela napas
saking kagum. Seorang diri ia kata: "Setelah membaca ini, baharu aku kenal
akan diriku. Dibanding dengan guru besar ini, aku tak lain daripada sinar
kunang-kunang."
Karena ini, ia menjadi sangat
tertarik, kemudian ia lanjutkan terus.
Harus diketahui, Pheng
Hoosiang itu bukan sembarang orang. Ia pun telah menjadi guru dari dua kaisar —
Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng — maka dapatlah dimengerti yang ia mempunyai
kepandaian istimewa, yang melebihi kebanyakan orang. Kebetulan sekali, Tan Hong
adalah orang yang mendapatkan kitab warisan itu, dengan kecerdasan nya ia dapat
menginsyafi isi kitab itu.
Kakek guru dari Tan Hong, Hian
Kee Itsoe, telah mendidik empat murid, kepada tiap muridnya ia telah mewariskan
masing-masing serupa kepandaian. Tan Hong ketahui, toasoepee Tang Gak mendapatkan
Taylek Kimkong Tjioe, dan djiesoepee Tiauw Im Hweeshio mendapatkan Gwakang,
ilmu silat bahagian luar, atau Ngekang — ilmu keras.
Sekarang, setelah ia membaca
kitab ini, tanpa petunjuk lisan dari guru lagi, mengertilah ia isi dari kedua
ilmu silat itu, hingga ia jadi girang tak kepalang.
"Dengan memiliki kitab
ini, apabila aku meyakinkannya dengan sungguh-sungguh,bukankah aku akan
mengerti maksud setiap ilmu silat dan mudah mempelajarinya sesuatu ilmu?"
demikian ia kata seorang diri. Tapi begitu lekas ia sadar bahwa ia tengah
terkurung, dengan tiba-tiba saja ia menjadi lesu pula.....”
Dengan cara bagaimana ia dapat
keluar dari gua ini ?
-ooo0dw0ooo-
Biar bagaimana juga, Tan Hong
adalah seorang yang keras hatinya, yang cerdas, maka setelah memikir sebentar,
dapat ia legakan hatinya. Ia anggap tak usah ia pikirkan soal bisa keluar atau
tidak, ia hanya harus meyakinkan dahulu kitab itu. Demikian ia bertekun dengan
kitab itu.
Mulanya Tan Hong mulai merasa
lapar, akan tetapi setelah meyakinkan kitab, ia merasa lega, hingga selama
setengah hari, ia dapat merebahkan diri dan tidur pulas. Ketika ia mendusin,
tidak tahu ia sudah jam beberapa waktu itu. berbagai batu permata bersinar
terang sekali.
"Coba aku melatih
diri," pikir Tan Hong kemudian. Ia ingat Taylek Kimkong Tjioe dari
toasoepee-nya, maka lantas saja ia hajar pintu kumala dengan kepalannya.
Pukulan itu menerbitkan suara yang keras, pintu tidak terbuka, tapi suara itu
sudah menyatakan bahwa ia telah peroleh hasil.
Kelaparan satu hari, Tan Hong
rasakan ia masih dapat melawannya, yang hebat adalah keringnya kerokongannya
disebabkan dahaganya. Umumnya siapa kelaparan terus menerus, dalam tempo tujuh
hari baharulah ia akan terbinasa sendirinya, tapi apabila orang tidak minum,
kekuatan bertahannya cuma tiga hari atau ia akan meninggal dunia.Sekarang ia
mencoba menguatkan hati, untuk menahan serangan lapar dan haus itu.Sementara
itu, ia telah selesai membaca kitab "Hiankong Yauwkoat" itu, ia sudah
sanggup menghafal di luar kepala. Hasilnya luar biasa, yaitu ia dapat
mengurangkan rasa haus dan laparnya itu.
Selagi Tan Hong menghafal
terus, tiba-tiba kupingnya mendengar satu suara perlahan. Segera ia memasang
kuping. Ia dengar suara seperti orang sedang menggali tanah,sedang membongkar.
Ia perhatikan arah dari mana suara itu datang.
"Siapa?" ia berseru
sambil lompat setelah ia ketahui tempat asalnya suara itu, ialah arah pintu.
Itu pun suara seperti orang tengah membongkar batu keras.\
Tidak ada jawaban dari luar,
kecuali suara membongkar batu itu, yang masih tetap terdengar.
Dalam penasarannya, Tan Hong
kerahkan tenaga di tangannya, lalu ia hajar pula pintu batu kumala itu.
Pukulannya itu mendatangkan suara keras sekali, akan tetapi pintu tidak rubuh,
bergeming pun tidak. Sebaliknya, tangan si penyerang dirasakan sangat
sakit,seperti tangan itu hendak copot.
"Tidak sembarang alat
besi dapat menggempur rubuh pintu ini." ia pikir kemudian.
"Siapa itu di luar?"
kembali ia tanya. "Kalau kamu hendak menolong aku, kenapa kamu tidak
menjawab pertanyaanku?"
Tetap tidak ada suara yang
menyahuti. Cuma terus terdengar suara menggali tanah itu.
"Inilah hebat,"
pikir Tan Hong. Dari suara galian itu, ia duga orang yang bekerja cuma
bersendirian. Apakah artinya tenaga satu orang? Bukankah ia tetap terancam
bahaya kelaparan dan kehausan itu?
Tengah ia berpikir, Tan Hong
lihat tanah gempur di bawah pintu, lantas ia gunakan pedangnya, akan mengorek
ke arah itu, habis mana terlihat satu sinar kecil masuk dari bawah pintu.
Teranglah, orang di sebelah luar sudah berhasil membongkar dan membuat lobang
itu, yang besarnya sejari tangan. Ia menjadi lega, tapi ia pun heran.
"Apakah artinya
ini?" ia menduga-duga. "Mungkinkah orang membuat liang supaya dia
dapat menceploskan barang makanan untukku? Tapi liang ini masih terlalu kecil.....”
Ia memasang kuping. Ia dengar
suara menggali di sebelah luar telah berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara
lain, seperti orang mendorong dengan suatu benda keras. Ia lantas saja
mengawasi.
Tiba-tiba terlihat suatu sinar
berkilau, warnanya kuning emas. Segera tertampak diceploskan satu kunci emas.
Ketika Tan Hong sambuti itu, ia dapat kenyataan anak kunci itu mirip dengan
kepunyaannya. Sebagai seorang yang cerdas, ia lantas dapat menerka maksud
orang. Maka tanpa membuang waktu sedetik juga, ia coba masukkan anak kunci itu
keliang kunci pintu batu kumala itu. Begitu lekas ia memutar, daun pintu
menjeblak dan satu nona cantik, dengan wajah tersungging senyuman manis, tengah
berdiri di muka pintu, mengawasi kepadanya.
Ketika ia lihat tegas roman
orang, Tan Hong merasa ia bagaikan tengah bermimpi.
Nona itu, ia kenali, adalah
puterinya Tongteng Tjhoengtjoe, yang mukanya kemerahmerahan,yang senyumannya
tidak segera lenyap.
Nona itu berdiri dengan tangan
kirinya menyekal pedang, tangan kanan memegang linggis. Pada ujung pedangnya
masih terdapat sisa lumpur. Di mulut gua, sebelah atas,tergantung sebuah
tengloleng, hingga karenanya, barang-barang permata itu lantas bersinar di
antara cahaya api.
"Terima kasih untuk
pertolongan kau ini, nona!" kata Tan Hong sambil menjura kepada nona itu.
Ia tahu, tidak dapat ia diam dan mengawasi saja. Nona itu tertawa dengan
tiba-tiba,lekas-lekas ia tutup mulutnya.
"Tuan muda, keluargaku
telah menantikan kau selama tiga turunan," berkata ia,suaranya halus dan
merdu. "Tadi malam belum tahu kami bahwa kau adalah tuan muda kami, hampir
saja kami celakai jiwamu, maka itu, bukannya kau menyalahkan kami, sebaliknya
kau menghaturkan terima kasih terhadap kami!"
Mendengar demikian, Tan Hong
insyaf dengan tiba-tiba. Ia tertawa berkakakan.
"Janganlah kau memanggil
tuan muda kepadaku," ia mencegah. "Ada hubungan apakah antara aku
dengan leluhurku itu yang kebetulan saja mengangkat dirinya menjadi raja? Aku
adalah orang she Thio dan namaku Tan Hong, kau panggil aku Tan Hong saja!"
"Sejak dua bulan yang
lalu aku telah ketahui she dan namamu itu," berkata pula si nona.
"Ketika itu telah aku memikirnya, nama itu bagus sekali. Di pekarangan
rumah kita ditanam banyak pohon hong, adakah kau melihatnya pohon itu?"
Masih si nona suka bersenyum,
wajahnya berseri-seri. Ia tak pemaluan, ia bicara dengan si anak muda bagaikan
kenalan lama, yang sudah biasa bergurau.
Tan Hong lantas saja berpikir.
Ia lantas ingat In Loei. Nona ini nyata sangat bebas. Ia awasi nona ini, ia
seperti melirik.
"Jangan kau kesusu untuk
memberitahukan she dan namamu padaku," ia kata. "Kau biarkan aku
menerkanya. Bukankah she-mu she rangkap Tamtay dan namamu memakai kata Beng di
antaranya?"
"Kau menerka tepat,"
sahut si nona. "Bukankah kau ketahui she dan namaku ini karena kau
diberitahu oleh Tamtay Biat Beng?"
"Tantai Tjiangkoen belum
pernah berbicara denganku bahwa dia mempunyai adik perempuan yang cerdik
sebagai kau ini," jawab Tan Hong.
Si nona tertawa.
"Aku kuatir, sebelumnya
ini ia memang belum mengetahui bahwa ia mempunyai adik perempuan yang bodoh
sebagai aku ini!" ia kata. "Baharu bulan yang lalu ia datang kemari
secara sangat kesusu, untuk belajar kenal dengan keluarga kami, untuk
perkenalkan diri dan mengakui pamili, habis itu, cuma menginap satu malam, dia
sudah kabur pula!"
Tan Hong segera menghitung
hari. Hari ketika Tantai Mie Ming datang ke Thayouw adalah harian si pangeran
asing hendak pulang ke negerinya. Nyatalah setelah Mie Ming dan ia pergi
menghadap Ie Kiam, Mie Ming terus secara diam-diam meninggalkan kota raja tanpa
diketahui orang, sedang di kota raja terdapat banyak pahlawan kimie wie.
"Kalau begitu,"
berkata si nona, "seberlalunya Biat Beng dari sini, dia tidak bertemu pula
dengan kau. Ketika itu hari dia datang, dia telah berbicara mengenai kau yang
secara diam-diam nelusup masuk ke Tionggoan, katanya mungkin kau akan pergi ke
Souwtjioe untuk mencari harta benda warisan leluhurnya, karenanya, dia suruh
kami perhatikan kau.
Sayang dia datang dan pergi
secara kesusu begitu rupa, sampai dia tidak sempat melukiskan tampang dan
potongan kau. Kita mulanya percaya kau serupa seperti dia,setelah tinggal
bertahun-tahun di Mongolia, romanmu seperti orang Mongolia saja. Siapa sangka,
kau cakap ganteng melebihi pemuda-pemuda Souwtjioe dan Hangtjioe....."
Habis mengucap, si nona
bersenyum pula, kedua bibirnya dibuat main. Rupanya dengan mendadak ia telah
insyaf bahwa ia telah berbicara secara terlepasan, akan tetapi ia tak malu
seperti nona-nona lainnya.
Tan Hong pun tertawa di dalam
hatinya.
Tantai Mie Ming, atau Tamtay
Biat Beng, rupanya seperti orang Ouw, orang Mongolia,itulah disebabkan engkong
dan ayahnya telah menikah dengan orang Mongolia, jadi roman itu bukan
disebabkan karena tinggal terlalu lama di Mongolia dan karenanya,wajahnya bisa
berubah. Nona ini nampak cerdas akan tetapi kali ini, ia menduga keliru.....”
"Ketika pertama kali kau
datang pesiar, kami sudah curiga," berkata pula si nona. "Selama
belakangan ini kami tengah menghadapi suatu urusan, yaitu kabarnya ada orang
jahat yang telah mendapatkan sehelai salinan peta kota Souwtjioe, karena peta
itu, mereka menduga tempat menyimpan harta adalah taman Koaywa Lim, maka selama
setengah bulan yang lalu, tak putusnya datang orang ke Koaywa Lim untuk
melakukan pemeriksaan. Rahasia kami di sini, tidak diketahui orang luar, akan
tetapi tak dapat kami tidak bersiaga. Begitulah kami menyangka jelek
padamu."
Hong tertawa .
"Coba kau pandang aku,
adakah aku mirip penjahat?" dia tanya.
"Itulah sebabnya,"
sahut si nona. "Kalau tidak, mungkin kau telah kehilangan jiwamu! Ayah
telah melihat romanmu dan dengar suaramu yang halus, ia tak dapat menerka-nerka
asal-usulmu. Ayah telah memikir untuk segera mencari tahu, apakah kau benar
tuan muda kami atau bukan, ia masih ragu-ragu, ia kuatir nanti gagal dan
karenanya, tanpa diinginkan, rahasia di sini terbuka sendirinya, maka itu, ia
bersabar. Begitu ayah ambil putusan, biar kau terkurung, jangan kau sembarang
kabur. Dikurung di dalam Pat Tin Touw ini, kau tidak diganggu, sebab ayah tak
sudi mencelakai orang baik-baik. Kau tahu,meskipun kau kenal Pat Tin Touw dan
dapat meloloskan diri, kau tidak dapat kabur terus."
Tan Hong mengawasi.
"Habis, kenapa akhirnya
kamu kenali juga aku?" dia tanya.
Si nona juga tertawa.
"Di kolong langit ini,
kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup membuka pintu kumala ini dari
luar?" dia menjawab.
Juga Tan Hong tertawa pula. Ia
kata: "Di kolong langit ini, kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup
menolongi aku keluar dari sini?"
Nampaknya nona itu sangat
puas. Kembali ia tertawa,"Memang seharusnya demikian, bukan?" kata
dia. "Kedua anak kunci kita ada luar biasa, tapi pun kebetulan sekali.
Tanpa kedua anak kunci ini, pintu tak dapat dibuka dan ditutup kembali.....”
Habis berkata, muka si nona
menjadi merah sendirinya. Ia nampak malu. Inilah tidak heran. Dengan tiba-tiba
ia ingat akan kata-kata ibunya. Waktu ia masih kecil, pernah ibunya berkata
padanya: "Jodoh itu ada seumpama anak kunci. Suatu anak kunci mesti ada
suatu biang kuncinya, suatu kunci tak dapat dibuka dengan anak kunci
lainnya." Dan sekarang, kedua anak kunci itu telah menemui biangnya.....
Maka ia menjadi jengah, sendirinya.
Tan Hong heran akan kelikatan
orang. Ia tidak melihat alasannya untuk itu. Tentu saja,tak tahu ia akan
kata-kata ibunya itu. Lalu ia mendehem.
"Dari she dan namamu,
telah aku ketahui yang tiga," ia kata sambil bersenyum. "Masih ada
satu lagi yang aku belum tahu.....”
"Kau lihat, benar-benar
aku tolol!" kata nona itu. "Sampai pun she dan namaku belum aku
beritahukan padamu. Aku ialah Tamtay Keng Beng, ayahku Tamtay Tionggoan, dan
kakekku Tamtay Kwie Tjin. Kakekku adalah panglimanya kakekmu, Kaisar Thio
itu....."
Tan Hong tertawa.
"Nama kakekmu itu aku
kenal," ia kata. "Secara begini benar-benar aku harus berterima kasih
kepada keluargamu. Oleh karena kakekmu itu turut kakekku, dia mendendam
penasaran, dia menerima penghinaan. Tidakkah dia telah ikut pindah ke negara
asing dan karenanya menjadi orang asing juga? Di pihak lain, keluargamu ini,
selama beberapa turunan, telah menjagai gunung ini.....”
Tamtay Keng Beng tertawa.
"Apakah jeleknya untuk
tinggal di sini?" dia tanya "Setiap pagi dan sore kami memandangi
telaga dan gunung. Apakah itu tidak cocok dengan kau?" Ditanya begitu, Tan
Hong bersenyum.
Si nona pun bersenyum, lalu ia
berseru: "Ah! Kau lihat, kembali aku lupa suatu hal!"
"Apakah yang kau
lupakan?" tanya Tan Hong.
"Aku lupa bahwa kau telah
terkurung di sini satu hari satu malam!" sahut si nona. "Kau lihat,
di sini aku telah membawa makanan untuk kau."
Dia bertindak keluar, dia
ambil sebuah naya yang tadi dia tunda di luar pintu. Dia tenteng itu ke dalam.
Isi naya itu ialah buah peksee piepee dari Tongteng San dari Thayouw serta
rangsum kering berikut daging.
"Mari cobai!" ia
kata kepada si anak muda.
Lebih dahulu Tan Hong dahar
piepee, kemudian ia makan daging. Ia rasakan makanan itu lezad sekali, yang ia
belum pernah merasakannya. Tentu saja, untuk makanan itu, ia haturkan terima
kasihnya.
Selagi orang dahar, Tamtay
Keng Beng memandang kesekitar ruangan, ia juga membuat main berbagai mutiara.
"Tidaklah heran kalau
sejak dahulu kala sampai sekarang ini, banyak orang yang ingin sekali menjadi
raja," kata dia kemudian sambil tertawa. "Lihat leluhurmu ini. Dia
menjadi raja baharu beberapa tahun, dia sudah lantas dapat mengumpulkan harta
begini besar.....”
Bagaikan batu, dia
lempar-lemparkan beberapa butir mutiara yang besar. Dia bagaikan anak kecil
yang gembira dengan barang mainan. Dia pun suka tertawa.
"Semua barang ini indah
dan bagus untuk dibuat main," kata ia kemudian, "hanya sayang tidak
dapat dipakai menghilangkan dahaga dan lapar. Aku lihat, mutiara ini tak
seperti piepee-ku!.....”
Tan Hong tertawa.
"Maka itu, aku lebih suka
piepee-mu, tak ingin aku mutiara ini!" ia kata.
"Enak didengarnya
kata-katamu ini," berkata si nona. "Jikalau kau tidak menghendaki
mutiara ini, perlu apa kau melakoni perjalanan yang penuh bahaya, jauh dari
Mongolia kau datang ke Thayouw ini?"
"Itulah lain,"
terangkan Tan Hong. "Mutiara ini hendak aku serahkan kepada lain
orang."
Tamtay Keng Beng heran.
"Siapakah orang itu?" dia tanya.
"Dialah kaisar dari ahala
Beng."
Keng Beng terkejut.
"Apa?" tanyanya.
"Kau hendak serahkan kepada kaisar Beng? Bukankah kaisar itu musuh besar
dari keluargamu?"
"Benar, kaisar Beng itu
musuh keluargaku," Tan Hong akui.
"Habis, kenapa kau hendak
serahkan harta ini kepada musuh itu?" si nona tegaskan.
"Memang niatku untuk
menyerahkan harta ini padanya."
"Ah, tidak, tidak!"
seru si nona. "Harta ini benar kepunyaan keluargamu akan tetapi keluarga
kami, telah beberapa turunan mewakili keluargamu menjagainya. Apabila harta ini
kau hendak serahkan pada orang lain, untuk itu kau perlu menanyakan dahulu
sikap kami!"
"Bila aku menyebutkannya,
kau tentu setuju," kata Tan Hong, tenang. Dan ia tuturkan cita-citanya
untuk melindungi negara, sekalipun kaisar berasal dari keluarga lain, malah
musuhnya.
Tamtay Keng Beng tertawa.
"Kalau begitu bukannya
kau langsung memberikan kepada kaisar Beng!" dia kata. "Kau hendaknya
menyerahkan kepada orang yang akan menggempur bangsa asing! Ah, kau bikin aku
kaget.....”
Tan Hong dahar terus piepee
hingga habis hampir separuhnya, selama itu Tamtay Keng Beng terus mengajak dia
pasang omong, hingga nona ini seperti melupakan bahwa di luar guha, di atas
liang, ada orang, yang mengharap-harap mereka berdua. Dengan begini, Tan Hong
mengetahui banyak tentang keluarga Tamtay itu.
Ternyata dahulu Thio Soe Seng,
pada malaman dari keruntuhannya, sudah meninggalkan pesan dan pertanggungkan
puteranya kepada Tamtay Kwie Tjin, panglima yang setia itu, habis itu, Kwie
Tjin menyingkir jauh ke Mongolia. Tentang Koaywa Lim, yaitu petanya, Thio Soe
Seng menitipkan kepada satu dewi kz pahlawannya yang ia sangat percaya, seorang
she Tjio, ialah leluhur Hongthianloei Tjio Eng. Pun secara rahasia, Thio Soe
Seng sudah meminta adiknya Tamtay Kwie Tjin, ialah kakeknya Tamtay Keng Beng,
untuk tinggal dan menjagai bukit Tongteng San Barat itu, di dalam gunung mana
harta besarnya disimpan, untuk
pintu rahasianya ia tinggalkan cuma sepasang anak kunci yang dapat membuka
pintu itu. Semua itu telah dilakukan secara sangat rahasia.
Tantai Mie Ming dengan Tamtay
Keng Beng adalah kakak beradik sepupu, saudara tjintong, tapi mereka terpisah
jauh satu sama lain, satu di Mongolia, gurun pasir Utara,yang lain di Kanglam,
Selatan, sudah begitu, selama beberapa turunan, mereka tidak pernah surat
menyurat satu pada lain, baharu bulan yang lalu, Tantai Mie Ming datang secara
tiba-tiba, dengan menggunakan ketika itu untuk mengantarkan pangeran asing.
Baharu setelah itu, keluarga
Tamtay ini ketahui bahwa junjungannya telah meninggalkan keturunan di Mongolia.
Senang hati Tan Hong mengawasi
Nona Tamtay ini, yang wajahnya bercahaya di antara sinar batu-batu permata,
hingga ia teringat sesuatu.
"Kalau nanti adik kecilku
melihat kau, pasti ia senang sekali!" ia kata.
"Apa? Adik kecilmu?"
tanya si nona. "Kenapa ia senang padaku?"
"Adik kecilku itu sejak
kecil telah kehilangan ayah bundanya," sahut Tan Hong sambil tertawa.
"Dia yatim piatu, bersendirian saja, tidak ada orang yang bermain dengan
dia. Kau dengan dia seumur. Bukankah kamu berdua dapat menjadi sahabat-sahabat
kekal?"
Tiba-tiba Tamtay Keng Beng
menjadi gusar. "Apa? Aku harus menemani adik kecilmu bermain?" dia
tegur. "Hm! Aku tidak suka bermain dengan bocah busuk!"
Baharu ia ucapkan kata-kata
itu, nona ini lalu menjadi jengah sendirinya. Ia telah terlepasan berbicara.
Bukankah Tan Hong juga satu "bocah busuk"? Dengan sendirinya, air
mukanya menjadi bersemu dadu.
Tan Hong tertawa. "Adik
kecilku itu bukan satu bocah busuk," ia beritahu.
"Kalau bukan bocah busuk
tentu bocah harum!" kata si nona. "Hm! Bocah harum pun aku tak
sukai!"
"Dia juga, bukannya bocah
harum!" Tan Hong masih tertawa. "Dia, kau tahu, dia adalah satu nona
kecil.....”
Keng Beng agaknya tercengang.
"Satu nona kecil?" dia tegaskan.
"Ya, satu nona
kecil," sahut Tan Hong. "Hanya ketika pertama aku bertemu dengan
dia,dia dandan sebagai seorang priya, lalu karena kebiasaan, terus aku panggil
dia adik kecil,panggilan ini tak dapat dirubah hingga sekarang ini."
Entah kenapa, mendengar orang
menyebut "adik kecil," Nona Tamtay mendapat perasaan luar biasa.
Agaknya orang telah berhubungan erat satu pada lain. Setahu kenapa, ia seperti
merasa jelus atau cemburu. Ia merasa, seumurnya, belum pernah ia dapatkan
perasaan semacam ini. Maka ia jadi heran sendirinya.
Tan Hong juga seperti
merasakan sesuatu mengenai nona ini, maka itu, keduanya membungkam saja, sampai
sekian lama, mereka terbenam dalam kesunyian.
Adalah kemudian, ketika ia
ingat sesuatu, Tan Hong pecahkan kesunyian itu.
"Kenapa ayahmu tidak
datang kemari!" dia tanya. "Ayah dapatkan ada satu musuh mendaki
gunung, dia tentunya telah mengatur Pat Tin Touw," sahut si nona, suaranya
wajar, bagaikan tak ada ancaman bahaya.
Tidak demikian dengan Tan
Hong. Pemuda ini agaknya terkejut.
"Jikalau ada musuh
mendaki gunung, itulah tentu musuh yang tanggu," ia kata. "Mari kita
lekas pergi melihat!"
"Apa sih yang disebut
musuh yang tanggu?" berkata si nona, masih dia acuh tak acuh.
"Musuh itu tidak nanti
sanggup melawan tempuling ayahku! Atau kalau dia sanggup melawan ayah, dia toh
masih tak sanggup lolos dari barisan batu.....”
Pat Tin Touw adalah barisan
dengan tonggak-tonggak batu yang letaknya seperti tak teratur, maka itu si nona
menyebutnya barisan batu. Nona ini juga nampaknya sangat mengandalkan kegagahan
ayahnya itu, hingga ia tak berkuatir sedikit juga.
Di dalam hati kecilnya, Tan
Hong berkata: "Ah, nona cilik, kau mana ketahui, di luar langit ada langit
lainnya, di samping orang ada orang lainnya lagi! Musuh yang datang kali ini,
kalau bukannya pahlawan-pahlawan dari istana, tentu sebangsa Anghoat
Yauwliong.....” Tapi, ia kata kepada si nona: "Lebih baik marilah kita
pergi melihat!"
"Baiklah!" kata
Tamtay Keng Beng.
Lalu berdua mereka keluar dari
guha, mereka kunci pintu kumala itu. Setibanya di mulut guha, di sana
tergantung sehelai dadung, dengan itu keduanya, dengan saling susul, mendaki
naik, hingga Tan Hong lihat pula sinar matahari. Ia bernapas lega.
Menurut letak matahari, ketika
itu adalah tengah hari.
Pintu dari Tongteng Santjhoeng
telah ditutup rapat, di lereng gunung, di antara batubatu tampak tubuh orang
bergerak-gerak bagaikan bayangan. Dari sana pun terdengar bentrokan keras dari
senjata-senjata tajam. Melihat itu, Tan Hong percepat tindakannya,ia hendak
lari untuk memberikan bantuannya.
"Untuk apa kesusu?"
berkata Nona Tamtay Keng Beng. "Ibu dan adik perempuanku pun telah tiba,
musuh tangguh apa lagi yang dijerikan?"
Tan Hong heran mendengar
perkataan nona ini. Ketika ia bermalam di Tongteng Santjhoeng, ia tidak lihat
nyonya rumah.
"Oh, kiranya kau masih
punya ibu?" tanyanya.
"Kenapa tidak?" Keng
Beng membaliki "Hanya ibuku tidur di lain tempat, setiap sepuluh hari atau
setengah bulan sekali, baharu ia datang kemari. Ketika tadi aku melihat ibu
mendaki gunung, lekas-lekas aku susul kau, untuk menolongi padamu."
Tan Hong menjadi lebih heran,
kali ini mengenai sikap nyonya rumah.
"Di sini tersedia tempat
bagaikan tempat dewa, bukannya suami isteri tinggal bersamasama,tetapi mereka
berpisahan, tinggal berjauhan rumah, kenapakah?" ia berpikir. Dalam
keadaan seperti itu, ia tidak sempat menanyakan keterangan. Maka itu,
bersama-sama mereka lari terus. Setibanya di muka Pat Tin Touw, baharulah
keduanya — atau lebih benar Tamtay Keng Beng — terkejut. Musuh-musuh yang
terkurung di dalam tin, adalah barisan istimewa, yaitu musuh-musuh yang liehay
sekali. Yang satu adalah seorang tua, yang lain satu toodjin, atau imam.
Si orang tua memegang sebatang
senjata luar biasa, tongkat panjang berkepalakan seperti naga dengan di
bahagian kepalanya ditambah pula dua rupa alat lainnya, yaitu yang satu
menyerupai telapakan tangan dengan jeriji-jerijinya lancip sebagai gaetan, yang
lainnya merupakan duri-duri yang tajam, maka selagi tongkat itu diputar,
nampaknya seperti lengan orang hutan yang berbulu, seperti orang menerkam. Dan
si imam memegang sebuah pedang panjang, yang tidak luar biasa, hanya apabila
digerakgerakkan, pedang itu mengeluarkan sinar sebagai bunga pedang, hingga
membuat lawan jeri. Masih ada seorang lainnya, musuh yang ketiga, yang tampak
dari dandanannya, nyata dia seorang perwira, yang masih muda. Ia mempunyai
kepalan yang liehay, yang menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara angin
yang keras.
Tamtay Keng Beng mengawasi dengan
saksama. Ia lihat ayahnya menjaga pintu "mati." Ayahnya terkurung
musuh tetapi penjagaannya masih tetap kuat. Ia ingin membantui ayah itu, maka
sambil menghunus pedangnya, ia berseru. Waktu ia hendak lompat menyerbu, ia
tampak Tan Hong berdiri menjublak, matanya mendelong. Tentu saja ia jadi heran.
"Hai, kau kenapa?"
tegur si nona. "Tadi kau sendiri yang tegang tidak keruan, sekarang kenapa
kau diam saja? Kau hendak membantui ayahku, apa kau hendak tunggu?"
"Celaka!....." Tan
Hong, mengeluh dalam hatinya.
Ia kenali si orang tua dan si
imam, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong bersama Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe.
Ia tidak pusingkan kedua orang itu, tetapi yang membuatnya ia bersangsi adalah
si perwira muda, yang tidak lain daripada In Tiong kakak In Loei, itu Boe
tjonggoan baru. Ia saksikan hebatnya pertempuran, ia kuatirkan ada jiwa yang
melayang.
Tan Hong pun masih berpikir
terlebih jauh: "Secara diam-diam aku telah membantui In Tiong peroleh
gelarnya itu, meski demikian, aku tahu betul, dalam hatinya, ia masih membenci
aku, rasa permusuhannya terhadapku masih belum lenyap. Aku telah memberikan
penjelasan kepadanya, tapi ia tidak mau percaya, habis bagaimana sekarang?
Jikalau sekarang aku maju membantui keluarga Tamtay ini, tidakkah itu akan
membikin salah faham menjadi bertambah hebat?"
Inilah yang menyebabkan pemuda
she Thio ini berdiam saja.
Justeru itu Samhoa Kiam Hian
Leng Tjoe, yang sinar pedangnya memain secara liehay,menerjang kepada si nona
tua yang menjaga pintu "touw," atas mana, si nyonya berikan
perlawanan dengan tongkatnya, tetapi baharu dua gebrakan, In Tiong sudah maju
membantui Hian Leng Tjoe, begitu hebat kepalannya itu, hingga si nyonya mesti
mundur keluar dari pintu jagaannya itu. Tentu saja, menyaksikan itu, Tan Hong
menjadi terlebih kaget lagi.
Di lain pintu, yaitu di pintu
"kheng," nona yang menjaganya telah dibikin repot oleh musuhnya yang
mendesak hebat sekali.
"Adakah mereka itu ibu
dan adikmu?" akhirnya Tan Hong tanya si nona dengan tidak mempedulikan
tegurannya.
"Hai, bagaimana? si nona
balik menanya, dengan gusar. "Kau hendak tunggu apa lagi?"
Tapi kali ini, sambil bicara,
Tamtay Keng Beng sudah lari jauh beberapa tombak.
Pada waktu itu, Tan Hong sudah
mendapatkan ketetapan hatinya.
"Kiranya orang-orang
dikenal!" serunya sambil tertawa. Dan begitu ia lompat, ia sudah dapat
menyandak nona Tamtay, untuk dilalui, hingga dialah yang terlebih dahulu
menyerbu ke dalam tin.
"Tamtay Toanio, lindungi
pintu touw" ia berseru kepada si nyonya tua, sedang kepada si nona, ia berteriak:
"Adik Giok Beng, kau mutar ke pintu hioe. Aku datang!"
Lagi sekali Tan Hong lompat,
ia lewati kepala Tiatpie Kimwan, ia nerobos ke pintu seng, maka di lain saat ia
sudah ambil kedudukan didampingnya Tamtay Tionggoan, tjhoengtjoe atau tuan
rumah dari Tongteng Santjhoeng, untuk menjaga pintu Pat Tin Touw.
Sebenarnya ketika hari itu In
Tiong nampak kegagalan di Koaywa Lim, ia sangat mendongkol. Surat Tan Hong,
yang merupakan nasehat, dipandang olehnya seperti sindiran. Ketika pulang ke
kantor soenboe, besoknya ia bertemu dengan ke tujuh jago dari kota raja, yang
telah datang lengkap. Mereka lantas ketahui bahwa Tan Hong sudah pergi ke
Thayouw, mereka pun — berjumlah delapan orang — lantas menyusul. Mereka mendaki
Tongteng San Barat pada hari kedua dari terjeblosnya Tan Hong ke dalam liang
harta rahasia.
Adalah di saat mereka tengah
mencari Tan Hong, tiba-tiba mereka dengar tertawa ejekkan dari samping mereka,
begitu mereka berpaling, mereka tampak satu nyonya tua, yang rambutnya telah
putih seluruhnya, tengah melambaikan sehelai kain sulam, yang bersulamkan
sepuluh tangkai bunga merah yang besar, di antaranya, tujuh terkurung sulaman
benang merah yang menyolok mata.
Satu siewie menjadi heran
ketika ia mengawasi si nyonya tua.
"Eh, apakah dia bukannya
si perempuan tua dari warung teh di Tamtay Tjoen?" berkata ia. "Ah,
mana dia anak perempuannya? Ketika hari itu aku lewat di warung tehnya, nona
itu sedang menyulam bunga ini.....”
"Benar," kata
pahlawan yang satunya lagi. "Ketika itu hari aku lewat di warung, aku juga
lihat si nona sedang menyulam bunga merah itu, malah aku dengar dia
mengatakan,itu adalah bunga yang ke sepuluh."
Mendengar kedua kawan itu, In
Tiong bercekat. Ia ingat, ketika ia lewat di warung teh yang dimaksudkan itu,
ia tampak sulaman baharu selesai delapan tangkai.
"Bukankah hari itu kamu
telah menanyakan tentang Thio Tan Hong?" ia tanya kedua siewie itu.
"Betul," sahut kedua
siewie. "Apakah hubungannya dia dengan bunga sulaman merah itu?"
"Wanita tua ini pasti
konconya Thio Tan Hong," In Tiong jawab. Dan segera ia lompat ke arah si
nyonya tua.
Nyonya tua itu melambaikan
pula sulamannya.
"Ah, sayang, sayang, kau
juga telah datang!.....” katanya, suaranya tak enak didengarnya. "Tiga
tangkai bunga merah ini pun akan dipetik Beng-cijie!.....”
Dengan "Beng-cijie"
itu ia artikan "anak Beng." Tiatpie Kimwan si Kera Emas tangan besi
menjadi gusar.
"Hai, perempuan siluman,
kau tengah main gila!" ia bentak. Lantas ia ajak kawankawannya,akan
menyusul si nyonya tua, yang sementara itu telah menyingkirkan diri,gesit
gerakannya, dan larinya pun berliku-liku tak hentinya, hingga dalam tempo yang
pendek, ia sudah pancing In Tiong serta ke tujuh toakhotjioe pahlawan pilihan
dari istana,sampai di muka tin.
In Tiong segera lihat
batu-batu bertumpuk tak teratur, bagaikan pintu-pintu. Ia menjadi curiga. Ia
tidak kenal Pat Tin Touw, tetapi ia lebih mengerti dibanding dengan ke tujuh
rekannya, ia telah membaca kitab-kitab ilmu perang, maka ia jadi ragu-ragu. Ia
merandek sebelum ia maju terlebih jauh, matanya dibuka dengan lebar.
Segera juga di antara
tumpukan-tumpukan batu itu muncul satu nona.
"Hai, kamu telah
datang?" berkata nona itu sambil tertawa. "Mereka itu tengah
menantikan rekan-rekannya, mereka sudah tidak sabaran!.....”
Terus dia menunjuk. Maka di
sebelah kiri, di atas tumpukan-tumpukan batu, terlihat berbaris tujuh buah
tengkorak. Entah dengan obat apa semua tengkorak itu direndamnya,semuanya
mempunyai biji-biji mata dan kulit muka yang hidup.
In Tiong terkejut ketika ia
kenali roman salah satu kepala orang itu, ialah kepala satu penunggang kuda
yang telah melewati warung teh, sedang Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam kenali
kedua yang lainnya ialah pahlawannya Soelee Thaykam Ong Tjin. Malah satu jago
lagi mengenali juga satu kepala lainnya ialah kepalanya hoepangtjoe atau ketua
muda dari Hayliong Pang!
Dalam sedetik itu, semua
pahlawan ini sudah lantas menduga bahwa ke tujuh orang itu mestinya sudah
datang di Thayouw untuk mencari Thio Tan Hong tetapi celaka, mereka,rubuh di
tangan si nyonya tua dan puterinya itu. Tentu saja, mereka jadi sangat gusar.
Karena mereka semua bernyali
besar, dengan serentak mereka menyerbu ke dalam tumpukan batu itu, yang mereka
tidak ketahui barisan rahasia Pat Tin Touw adanya.
Malah In Tiong, tanpa ayal
lagi, sudah turut menyerbu juga.
Dari dalam barisan segera
terdengar suatu suara, yang disusul dengan munculnya seorang tua yang berkumis
jenggot panjang terpecah tiga, yang tangannya menyekal hietjee, yaitu tempuling
ikan, siapa lalu diturut oleh beberapa petani, yang semua bersenjatakan golok,
tombak dan pacul, hanya mereka itu selanjutnya menghilang dan muncul dengan
bergantian, secara mendadak.
Tiatpie Kimwan gusar menampak
gerak-gerik orang itu.
"Baiklah bekuk dulu si
tua bangka!" dia berteriak.
Tongteng Tjhoengtjoe dengar
suara besar itu, ia tertawa berkakakan, terus ia mendahului menyerang dengan
tempulingnya.
Dengan satu sampokan
tongkatnya, Tiatpie Kimwan tangkis tempuling itu, tetapi baharu satu gebrakan
saja atau si orang tua telah melesat ke samping dan segera lenyap dari
pandangan si Kera Emas Lengan Besi. Hanya, baharu sedetik, tiba-tiba terdengar
sambaran angin di belakangnya si Kera Emas, atau segera terlihat munculnya si
nona dengan sepasang goloknya. Nona ini menyerang dengan dahsyat.
In Tiong maju akan tangkis
serangan si nona, ia menggunakan tangan kosong.
"Sungguh liehay!"
seru nona itu, yang terus lompat mundur, hingga ia lenyap pula.
Samhoa Kiam lompat, menolongi
In Tiong mengejar nona itu, atau ia dicegat si nyonya tua, yang seperti tak
ketahuan dari mana munculnya, dan dengan sepuluh jari tangannya,nyonya itu
mencengkeram ke arah kepala!
Samhoa Kiam terperanjat
melihat sambaran orang itu, yang ia kenali adalah tipu silat Taylek Engdjiauw
Kang, dengan lekas ia mainkan pedangnya, guna menangkis sambaran itu.
Si nyonya tua lihat
serangannya gagal, ia lantas menyusul dengan serangan lain. Ia berlaku sangat
gesit, ia dibantu dengan saksama oleh kawan-kawannya, maka juga In Tiong
berdelapan seperti telah terkurung di dalam tin itu.
Tujuh jago dari istana itu,
bersama In Tiong, adalah orang-orang liehay, akan tetapi mereka tidak kenal Pat
Tin Touw, mereka dipermainkan hingga mereka terlepas dari hubungan mereka satu
dengan lain. Dengan begitu, tak dapat mereka perlihatkan kegagahan mereka.
In Tiong cerdas, ia lantas
dapat melihat bahwa keadaan mereka telah menjadi kacau karenanya, segera ia
teriaki kawan-kawannya: "Perhatikan! Mereka ada berdelapan, kita juga
berdelapan, mari kita lawan satu dengan satu! Jangan kita kalutkan diri sendiri!"
Teriakan ini ditaati ke tujuh
pahlawan, mereka itu lantas mencari masing-masing satu musuh, maka itu,
pertempuran segera berganti rupa.
Pat Tin Touw adalah tin yang
liehay, sayang bagi Tongteng Tjhoengtjoe, dia cuma tahu tiga bagian saja,
karenanya tidak dapat dia bergerak dengan bebas, sedang di antara kawannya cuma
dia sendiri, isterinya dan puterinya, yang cukup liehay untuk melayani musuh,
yang lainnya bukannya tandingan setimpal dari pahlawan istana itu. Karena
ini,walaupun musuh telah terkurung, mereka tidak menghadapi ancaman bencana
langsung.
Kedua pihak nampak berimbang.
Adalah pada saat yang tegang
itu, In Tiong perlahan-lahan mulai mengerti kedudukan mereka, tapi justeru
Samhoa Kiam mendesak si nyonya tua, tiba-tiba muncullah Tan Hong dengan
pedangnya yang hebat.
"Awas!" teriak In
Tiong, yang menjadi kaget. Samhoa Kiam dan Tiatpie Kimwan lantas kenali Tan
Hong, yang pernah permainkan mereka, maka sekarang, kedua pihak saling
berhadapan, mereka jadi mendongkol, keduanya maju dengan berbareng, menyerang
si anak muda.
Tan Hong putar pedangnya
hingga terdengar suara menderu-deru, dengan itu ia layani kedua musuhnya. Ia
bergerak-gerak sangat gesit, hingga baju putihnya berkibar-kibar di dalam tin
itu. Ia melesat ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, pedangnya
selalu merupakan tusukan atau tikaman, atau ia main berkelit dari
senjata-senjata lawannya itu. Cara berkelahi ini membikin ke lima pahlawan jadi
berpencar pula, cuma In Tiong bertiga Samhoa Kiam dan Tiatpie Kimwan yang bisa
menghadapi betul-betul musuh-musuhnya.
"Bagus!" teriak
Tamtay Keng Beng, yang kagum dan girang menyaksikan cara berkelahinya Tan Hong
itu.
Tongteng Tjhoengtjoe pun
girang sekali, Ia dapat kenyataan si anak muda mengerti lebih banyak
daripadanya tentang tin itu. Maka ia berseru: "Bagus, majikan tua ada
turunannya! Pasti Kerajaan Tjioe yang besar akan bangkit pula!"
Sudah delapan puluh tahun
sejak Thio Soe Seng meninggalkan dunia yang fana akan tetapi keluarga Tamtay
tetap memanggil ia sebagai "laotjoekong" atau majikan tua, hingga Tan
Hong pun dipanggil "siauwtjoe" atau majikan muda. Dengan
"majikan" itu diartikan junjungan.
Pheng Hoosiang pandai mengenai
Pat Tin Touw, ia mewariskan kepada Thio Soe Seng,dan Thio Soe Seng, yang
menghendaki keluarga Tamtay melindungi harta bendanya,sudah memberikan
pelajaran pada keluarga ini. Demikian, pengetahuan tentang tin turun kepada
Tamtay Tionggoan, tapi melihat kepandaian Tan Hong, tidak bersangsi lagi ia
bahwa si anak muda ini adalah junjungannya yang muda. Demikian ia perdengarkan
seruannya secara gembira itu.
Dengan nyeburnya Tan Hong dan
Tamtay Keng Beng ke dalam medan pertempuran,suasana berubah dengan lantas,
kalau tadinya ke delapan pahlawan istana menang di atas angin, sekarang mereka
jadi terdesak, dari pihak penyerang, mereka menjadi pihak yang membela diri.
Tamtay Keng Beng berlaku
sangat gesit, ia menerjang ke segala arah, akan desak setiap pahlawan yang kena
dipermainkan, Tan Hong membuat mata mereka itu seperti kabur dan kepala
pusing.....
Pembela dari pintu
"kheng" adalah Tamtay Giok Beng, ialah adiknya Keng Beng. Dia tadi
kena terserang In Tiong hampir rubuh, hanya tubuhnya terhuyung, sekarang ia
saksikan musuh yang balik diserang, segera dia lompat keluar dari pintu
jagaannya.
"Entjie." dia
berteriak, "mari kita kepung satu musuh ini! Tadi dia menghina aku!"
Dan dia tuding In Tiong.
Keng Beng sambut adiknya itu
sambil tertawa. "Baiklah!" jawab ia. "Kau injak letak kian, maju
ke letak kam, seranglah bagian kanannya!" Dan ia sendiri segera maju ke
letak iie, untuk menuju letak tjin, lalu dengan jurus "Pekhong
koandjit" = "Bianglala putih menutupi matahari," ia menikam
pemuda she In itu.
In Tiong tangkis serangan itu,
hingga pedang si nona terpental, setelah mana, hendak ia melakukan pembalasan,
atau mendadak di sampingnya berkelebat satu sinar hijau,karena dengan
pedangnya, Giok Beng yang gesit itu sudah taat kata-kata kakaknya untuk
menyerang dari arah kanan. Ke arah kanan ini, angin hebat dari kepalannya
pemuda itu tak sampai pengaruhnya.
In Tiong berkelit dengan
lincah.
Keng Beng juga berlaku sangat
gesit, setelah tarik pulang pedangnya, ia menyerang pula, tikamannya mengarah
muka, karena mana, In Tiong terdesak di antara dua tonggak batu, hingga ia cuma
dapat berkelit pula. Tapi ia tetap dalam bahaya, karena sempitnya tempat, untuk
berkelit pun sukar. Maka ia tetap terancam.
Sebenarnya seorang diri In
Tiong sanggup layani kedua nona Tamtay kakak beradik itu,Keng Beng dan Giok
Beng, tetapi kalau sekarang ia kena terdesak, itu disebabkan ia hadapi tin batu
dan kedua nona itu sudah terlatih bertempur di dalam t/n-nya itu.
Memang sengaja mereka itu
mendesak terlebih dahulu, baharu hendak mereka turun tangan.
Dalam saat In Tiong terancam
bahaya maut itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari bentroknya dua senjata,
di situ Tan Hong mendadak muncul dari arah samping Dewi KZ, pedangnya dipakai
menangkis pedang si nona, hingga pedang itu berubah arah tujuannya, dengan
demikian In Tiong telah ketolongan.
Inilah Keng Beng tidak sangka,
ia menjadi sangat heran. "Apakah yang kau lakukan?" dia tegur si anak
muda.
"Kau pandang mukaku,
luputkanlah tusukanmu kali ini," Tan Hong bilang.
Keng Beng tetap heran, akan
tetapi ia berlega hati karena ia tampak si anak muda mengawasi ia dengan wajah
tersungging senyuman, sinar matanya anak muda itu pun seperti mengandung suatu
maksud. Ia tarik pulang pedangnya, tidak lagi ia ulangi serangannya.
Tongteng Tjhoengtjoe juga
turut menjadi heran.
"Siapakah perwira
itu?" dia tanya.
"Dialah yang bilang bahwa
aku adalah musuh besarnya," Tan Hong jawab tuan rumahnya.
In Tiong mendongkol, ia gusar
sekali.
"Siapa kesudian kau
menaruh belas kasihan atas diriku!" kata dia dengan nyaring."Keluarga
kita berdua adalah musuh-musuh besar, di jaman ini, semasa kita masih hidup
bersama, jangan kau harap bahwa permusuhan itu dapat disudah habiskan!"
Dan dengan kepalannya yang
dahsyat, pemuda ini maju menyerang.
Tongteng Tjhoengtjoe menjadi
terlebih-lebih heran. Ia peroleh kesan, orang benarbenar memandang Tan Hong
sebagai musuh besar, maka heran, kenapa Tan Hong itu sebaliknya senantiasa
melindungi perwira itu.
Tan Hong ulur tangannya yang
kiri, kelihatannya ia bergerak dengan ayal, akan tetapi ketika ia kena tangkis
tangan In Tiong, perwira ini terkejut sendirinya.
"He, ia pun telah pelajari
Taylek Kimkong Tjioe?" ia kata dalam hatinya. Selagi begitu,ia mesti
mundur tiga tindak, kedua tangannya dilintangkan satu dengan lain.
Tan Hong juga mundur tiga
tindak.
"Kakak In Tiong, mundur
adalah jalan utama," Tan Hong berkata.
Tapi In Tiong menjadi
bertambah gusar.
"Siapakah kakakmu?"
ia membentak. Dan kembali ia menyerang dengan tangannya yang liehay. Tan Hong
elakkan diri.
"Hendak aku tanya kau,
untuk apa kau datang kemari?" ia tanya.
Kali ini Tiatpie Kimwan adalah
yang campur bicara.
"Kau serahkan harta
pendaman kepada kami, nanti kami pergi dari sini!" demikian si Kera Emas
Lengan Besi dengan suaranya yang keras. Tapi ini adalah gertak belaka, yakni
kata-kata untuk lindungi muka sendiri. Ia sudah lantas ketahui, dalam pertempuran
ini,pihaknya tidak akan peroleh hasil, maka itu, ia minta harta pendaman itu
sebagai pelabi.
Tan Hong melenggakkan tubuh,
dia tertawa berkakakan.
"Jadinya kamu datang
untuk harta pendaman leluhurku?" dia tegaskan, mereka itu.
"Memang harta itu aku
niat menghadiahkannya kepada raja dari ahala Beng, sekarang ada kamu yang
hendak tolong mengambilnya, untuk membawanya, sungguh inilah jalan paling
baik!"
Mendengar perkataan itu,
kecuali Tamtay Keng Beng, semua orang menjadi kaget.
"Siauwtjoe, apa kau
bilang?" tanya Tongteng Tjhoengtjoe.
Belum lagi Tan Hong menjawab,
In Tiong telah mendahuluinya. Pemuda ini yang masih gusar, kata pada pemuda she
Thio itu: "Satu laki-laki terlebih baik mampus daripada terhina, maka itu,
Tan Hong, kenapa kau berulang kali menghina aku?"
Dalam kemurkaannya itu, tak
pernah In Tiong hendak memahami Tan Hong, yang omong dengan sebenar-benarnya.
Tan Hong tidak jadi gusar
karena sikap orang itu.
"Apakah yang kau
kehendaki supaya kau dapat mempercayainya?" ia tanya.
In Tiong tidak menjawab dengan
perkataan, ia hanya menyahuti dengan kepalannya tiga kali beruntun, hingga Tan
Hong repot mengelakkan dirinya. Pemuda ini mendongkol juga akan tetapi tak
dapat ia turuti amarahnya itu. Ia mesti berlaku sabar.
Dalam suasana sedang tegang
dan sulit itu, selagi In Tiong belum dapat menjawabnya,mendadak terdengar suara
berisik di empat penjuru mereka, lalu dari pinggang gunung, di antara
pohon-pohon dan batu-batu besar, tertampak munculnya banyak orang dengan
potongan tubuhnya tak rata, ada yang kurus, ada yang gemuk, dan semuanya orang
itu tengah mendatangi ke arah mereka.
Segera juga Tan Hong lihat
seorang dengan rambut merah seluruhnya, yang awutawutan numpuk di kepalanya,
orang mana ia kenali sebagai Anghoat Yauwliong Kwee Hong, orang yang pernah
main dadu dengannya. Tapi yang membuatnya ia terperanjat,adalah ketika ia
kenali seorang lain yang tubuhnya tinggi tujuh kaki lebih, yang berhidung
bengkung dan matanya kelabu, yang gegamannya sepasang kampak besar. Sebab orang
itu adalah Chalutu, pahlawan nomor 1 dari guru negara dari bangsa Watzu, yang
kekosenannya, untuk di seluruh Watzu, cuma kalah setingkat dari Tantai Mie
Ming. Saking heran, ia sampai kata dalam hatinya: "Kwee Hong adalah orang
kepercayaannya Ong Tjin, sekarang kenapa berdua mereka ini berada dan bekerja
sama? Apakah mungkin bangsa Watzu sudah menyerang Tionggoan?"
Ketika Tiatpie Kimwan lihat
rombongan itu, dia berteriak-teriak: "Bagus kamu telah datang! Pengkhianat
Thio Tan Hong justeru ada di sini!"
Kwee Hong tertawa dingin, sembari
maju mendatangi, ia memberi tanda kepada rombongannya, untuk mereka itu
mengurung, tidak dikecualikan tujuh pahlawan dari istana berikut In Tiong si
Boetjonggoan, yang bertugas istimewa untuk raja.
Tiatpie Kimwan menjadi kaget
sekali.
"Eh, eh, apakah kamu
sudah tidak kenali kami?" dia berteriak-teriak pula, sekarang saking heran
dan kuatir. "Kami berdelapan adalah orang-orang Sri Baginda sendiri!"
Kwee Hong tertawa pula dengan
sama dinginnya ketika ia berikan penyahutannya: "Dan kami, kami semua bukan
suruhannya raja kami! — Hm! Lekas kamu serahkan harta pendaman serta peta
buminya!"
In Tiong menjadi sangat gusar.
"Apakah kamu berani
mendurhaka?" dia tegur. "Harta pendaman dan peta bumi itu adalah
barang-barang yang dikehendaki Sri Baginda!"
"Pergi kamu ke negeri
Watzu, akan cari Sri Bagindamu itu!" dia jawab dengan jumawa.
"Harta dan peta bumi itu
adalah Ong Kongkong yang menghendakinya!"
Dengan Ong Kongkong itu, Kwee
Hong maksudkan Soelee Thaykam Ong Tjin, si dorna kebiri.
In Tiong tercengang.
"Apa kau bilang?"
dia tanya. "Bagaimana dengan Sri Baginda?"
Lagi-lagi Kwee Hong tertawa.
"Tidak apa-apa!"
jawabnya, sembarangan. "Angkatan perang Watzu sudah masuk ke dalam kota
Ganboenkwan dan raja kamu sudah jadi tawanan bangsa Watzu!.....”
Tan Hong segera mengerti
segala apa, tanpa tunggu In Tiong layani orang she Kwee itu, ia mendahului buka
mulutnya.
"Kakak In Tiong, insafkah
kau sekarang?" katanya. "Kita bergabung melawan musuh,itu yang
utama!"
Lalu, tanpa tunggu jawaban
pula, ia lompat maju akan segera serang Kwee Hong.
Dengan tiba-tiba pun In Tiong
naik darahnya. Ia berseru dengan keras, ia lompat ke arah si orang asing, untuk
lantas menyerang dengan kedua-dua tangannya, yaitu tangan kiri dengan kepalan,
tangan kanan dengan goloknya — golok Ngohouw Toanboen too.
Chalutu gerakkan sebelah
tangannya untuk menangkis, atas mana, In Tiong menjadi kesakitan dan kaget.
Pecah telapak tangannya yang menyekal golok, tangan itu berdarahdarah,hingga
hampir saja goloknya terlepas dari cekalannya.
Tapi orang asing itu bukannya
tidak menjerit. Dia telah menangkis dengan sepasang kampaknya, dia berhasil,
tetapi pukulan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong juga membuat tubuhnya
tersampok terpelanting.
"Bagus, anak, kau
liehay!" demikian jeritannya. Sehabis itu, dengan kerahkan semua
tenaganya, ia maju mengampak, untuk membalas menyerang. Ia berlaku sangat
bengis.
Kwee Hong sebaliknya, karena
ia kenal liehaynya si anak muda, tidak berani tangkis serangannya Tan Hong. Ia
berkelit, ia memutar tubuh, setelah itu baharulah ia balas menyerang.
Tan Hong menyerang dengan
ancaman belaka, begitu ia tampak gerakan lawan, ia berlompat berbalik, hingga
di lain saat ia telah dekati Chalutu si orang asing yang kuat, untuk ditikam,
di saat kampak kirinya mendesak In Tiong, hingga karenanya, In Tiong jadi
terhindar dari bahaya. Mau atau tidak, diam-diam pemuda ini mesti bersyukur
terhadap "musuh besarnya" itu.....
Chalutu pentang lebar kedua
matanya kapan ia telah lihat tegas, siapa yang merintangi padanya.
"Ha, Thio Kongtjoe,
kiranya kau!" dia berseru.
"Kau bukan berdiam di
Watzu, mengapa kau datang kemari, apa perlunya?" Tan Hong balik menanya.
"Kau harus ketahui, di sini bukanlah tempatmu! Kau lekas pergi!"
Tapi orang asing itu tidak
sudi pergi.
"Keluargamu telah sering
terima budi besar dari raja kami, apakah benar kau berani berontak?" dia
pun balik tanya.
"Biarpun aku terbakar
menjadi abu, aku tetap bangsa Tionghoa!" sahut Tan Hong. "Tak mungkin
aku bekerja untuk rajamu!"
Chalutu menjadi gusar.
"Memang telah aku lihat
kau berhati serong!" katanya. "Sekarang teranglah sudah, kau lari
pulang secara diam-diam ke negaramu melulu untuk jadi musuh kami! Hm! hm! Mari
makan kampakku!"
Tan Hong tidak tunggu sampai
ia diserang. Ia mendahului menyerang orang kosen dari Watzu itu. Dua kali ia
mendesak dengan tikamannya.
Chalutu berkelit, dia mainkan
kampaknya, yang bagaikan gunung Tay San turun dengan berat ke arah batok
kepalanya si anak muda.
Tan Hong ketahui tenaga besar
musuh, tidak mau ia adu kekuatan. Ia segera perlihatkan kegesitannya untuk
mengimbangi orang kuat itu.
Kekuatan Chalutu tak di
sebawahan Tantai Mie Ming, dalam hal enteng tubuh, ia kalah dari Tan Hong, maka
itu, guna layani anak muda ini, ia ambil sikap membela diri,sepasang kampaknya
melindungkan tubuhnya. Hingga sinar pedang dan kampak saling berkilauan.
Sampai di situ, terjadilah
satu pertempuran yang kalut.
Kwee Hong datang dalam jumlah
kira-kira empat puluh orang, mereka itu adalah orang-orangnya Ong Tjin, di
antaranya orang-orang kangouw dari Hektoo, Jalan Hitam,malah juga orang-orang
Hayliong Pang yang turut dalam perebutan Koaywa Lim. Dengan jumlah yang lebih
besar, bisa Kwee Hong kurung lawannya. Tapi semua lawan adalah orang-orang
pilihan, tidak mudah untuk segera dapat dikalahkannya, mereka ini cuma dapat
dibikin mengeluarkan tenaga lebih banyak.
Thio Tan Hong yang cerdik
segera melihat suasana.
"Semua mundur ke dalam
Pat Tin Touw!" ia berseru setelah ia layani dahulu untuk beberapa puluh
jurus.
Chalutu tertawa bergelak.
"Semua barisan batu, apa
dia dapat berbuat terhadapku?" katanya dengan jumawa.
Dan ia menyerang dengan
kampaknya, membuat setumpuk batu gempur.
Dua pahlawan istana maju,
untuk rintangi orang kuat dari Watzu ini, tetapi mereka tidak kenal Pat Tin
Touw, mereka justeru masuk ke pintu "mati."
Tan Hong kaget.
"Lekas mundur!" dia
teriak-teriak.
Chalutu tidak mau memberi
ketika, dia mendesak, kampaknya bergerak liehay dari kiri dan kanan.
Dua pahlawan itu terdesak di
antara tumpukan batu, mereka jadi tak leluasa bergerak,maka itu, ketika
kampaknya Chalutu turun dengan hebat, mereka tidak berdaya, tubuh mereka
terkampak menjadi dua potong.
Karena kemenangannya ini,
orang kuat itu tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia rasakan desiran angin di
bebokongnya, sambil memutar tubuh, ia menangkis ke belakang. Ia menangkis angin
tapi berbareng dengan itu, ia dengar suara memberebet, ialah tanda dari ujung
bajunya yang kena disabet robek pedang Tan Hong, sebaliknya, tubuh Tan Hong
sendiri tak tertampak. Karena ini, ia memikir untuk lompat keluar. Tapi justeru
itu, kembali sinar putih dari pedang berkelebat, ia tampak Tan Hong dengan air
muka berseri-seri muncul di kiri, dari antara tumpukan batu. Dengan sebat ia
angkat sepasang kampaknya,guna menangkis dan teruskan menyerang juga. Tapi ia kalah
sebat, lengan kirinya terlanggar ujung pedang hingga bajunya robek dan
dagingnya mengucurkan darah. Tentu
saja ia jadi sangat gusar,
maka sambil berteriak, ia lompat akan mengampak pemuda itu.
Tan Hong berada di antara
tumpukan batu, ia dapat hindarkan diri, sebaliknya tumpukan batu yang
menghalang di hadapannya menjadi gempur runtuh kena kampakan yang dahsyat itu,
batu hancurannya terbang berhamburan.
Menggunai ketika itu, kembali
Tan Hong menyerang, menikam pundak orang.
Chalutu hendak membalas menyerang
tapi ia tidak berdaya. Dengan batu hancur berhamburan, sukar untuk ia melihat
tegas tubuh si anak muda yang lincah. Iapun terhalang oleh tin yang ia tidak
kenal, sedang Tan Hong dapat bergerak dengan merdeka di antara pelbagai tonggak
batu itu.
Sesudah tiga kali kena
tertikam, walaupun luka-lukanya tidak berbahaya, baharu Chalutu insyaf, percuma
ia andalkan kampaknya atau tenaganya yang besar, maka itu, ia lantas lompat ke
tempat yang lebih lega, untuk dari situ putar kampaknya guna bela diri.
Tan Hong kenali ilmu silat
Chalutu, yaitu dua jurus tipu yang digabung menjadi satu, di atas Chalutu
mainkan "Soathoa khayteng" = "Kembang salju menutupi
kepala," dan di bawah "Kouwsie poankin" = "Pohon tua rubuh
akarnya." Ia biarkan orang bersilat sendiri,ia hanya tertawa
terbahak-bahak, di lain pihak, ia berkelebatan ke sana sini, untuk hajar lain
lawannya, hingga ia berhasil melukai beberapa orang lagi. Akan tetapi karena
musuh berjumlah besar, mereka tidak dapat dipukul mundur, sedang dipihaknya,
dua lagi pahlawan telah terbinasa di tangan musuh itu.
In Tiong, yang gunai Taylek
Kimkong Tjioe, telah perlihatkan liehaynya pukulannya yang dahsyat. Beberapa
musuh telah rubuh binasa. Ia tengah berkelahi terus ketika ia tampak Anghoat
Yauwliong Kwee Hong sedang didesak Tongteng Tjhoengtjoe, si Naga Siluman Rambut
Merah itu mendatangi dekat padanya. Ia kenali si Rambut Merah itu, yang ia
benci, maka dengan sekonyong-konyong ia tinggalkan lawan-lawannya sendiri, ia
mencelat ke arah Kwee Hong itu, untuk segera menyerang dengan tangan kosongnya
ke batok kepala orang.
Berbareng dengan itu terdengar
teriakan Tan Hong: "Awas, tangannya jahanam itu ada racunnya!"
In Tiong tahu teriakan itu
ditujukan terhadap ia, ia terkejut, karena dalam keadaan seperti itu, tidak sanggup
ia menarik pulang kepalannya itu.
Kwee Hong lihat orang
menyerang padanya, dia menangkis dengan putar tangannya,yang dia buka
kepalannya, hingga terlihat tegas telapak tangannya berwarna merah.
Dengan segera kedua tangan
bentrok keras, disusul dengan jeritannya Anghoat Yauwliong, yang lengannya kena
terpukul parah dan patah seketika, hingga lengannya itu mesti dikasi turun
tanpa ia berdaya.
In Tiong juga menjadi kaget
sekali. Dengan lantas ia merasakan tangannyapun kaku.
Karena ini, bukannya ia menerjang
terus tapi ia lekas-lekas mundur.
"Kakak In, empos
semangatmu!" Tan Hong teriaki Boetjonggoan itu. "Tahan napas,jangan
kasih hawa beracun naik melewati lenganmu!" In Tiong berpaling kepada anak
muda itu, lalu segera ia jatuhkan diri, untuk duduk numprah di tanah.
Thio Tan Hong bersuara pula:
"Keng Beng, kau lindungi dia! Jangan ijinkan musuh ganggu meskipun
selembar rambutnya!"
Keng Beng pun menoleh kepada
Tan Hong, untuk melirik, setelah itu dengan tidak bilang suatu apa, ia dekati
In Tiong, untuk menjadi pelindung.
Kwee Hong sementara itu
merasakan sakit bukan main, hebat akibat serangan Taylek Kimkong Tjioe dari In
Tiong, rupanya ia tidak sanggup menderita lebih lama, maka tibatiba,dengan
kesehatannya, ia rampas golok seorang kawannya terus dengan itu ia tabas kutung
lengannya yang terluka itu sebatas lukanya, setelah mana, seorang diri ia obati
lukanya itu. Ia robek bajunya untuk membungkus lukanya.
"Aku tidak akan
mati!" dia teriaki kawan-kawannya. "Perhebat serangan!"
Semua orang heran dan kagum
atas kegagahan si rambut merah ini, semua lantas berkelahi pula dengan hebat.
Di pihak rombongan Kwee Hong
ini, kekurangan satu Kwee Hong memang kurangnya satu tenaga yang berarti tetapi
itu tidak membuatnya mereka menderita kerugian sangat besar, itu tidak
mengurangkan sangat kurungan mereka. Di pihak Tan Hong hal ada sebaliknya.
Kurang satu In Tiong sudah berarti kerugian besar, lalu ditambah dengan Keng
Beng, yang seperti ditarik pulang, karena nona ini mesti melindungi In Tiong
saja. Di mana jumlah mereka kurang, kehilangan tenaganya Keng Beng besar sekali
artinya.
Kwee Hong benar-benar ulet. Ia
duduk numprah, tetapi ia masih punya sebelah tangan untuk terus pegang
pimpinan, melanjutkan penyerangan, hingga ia berbalik menjadi berada di atas
angin.
Tan Hong mesti saksikan
pertempuran yang tak selayaknya itu. Ia mengerti, kalau terus ia bertempur
secara demikian, di akhirnya ia bakal nampak kerugian. Ia bersusah hati.
Sejenak itu, belum tahu dengan
cara bagaimana ia bisa kalahkan musuh, untuk gempur pengurungan nya. Ia telah
berhasil merubuhkan lagi beberapa musuh, akan tetapi pihaknya sendiri, kembali
rubuh satu jago pilihan dari istana dan dua tjhoengteng.
Keadaan nampaknya makin
berbahaya untuk pihaknya.....
Di saat-saat dari kesukaran
itu, tiba-tiba dari kejauhan terdengarlah suara seruling,mulanya sayup-sayup,
lalu perlahan-lahan menjadi terang, ialah suara itu datangnya dari arah
pohon-pohon bunga di lamping bukit. Sang angin telah membawanya suara itu,
berikut suara nyanyian yang menimpali irama seruling itu:
"Siapakah yang
ramai-ramai menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe dan Hangtjioe?
Bunga teratai tersiarnya
sepuluh lie,
Bunga koeihoa mekarnya tiga
bulan.
Siapa tahu, pohon-pohon adalah
benda tak berbudi,
Dia menyeret bagaikan sungai
Tiangkang, Menyebabkan kedukaan dari laksaan tahun!
Ya, ya, dia menyeret bagaikan
sungai Tiangkang,
Dia menyebabkan kedukaan dari
laksaan tahun....."
Halus tetapi terang nyanyian
itu, tarikannya bagaikan tarikan penasaran atau keluhan.
Kata-kata nyanyian itu justeru
adalah kata-kata tulisannya Tan Hong pada gambar lukisannya!
Sejenak saja, bagaikan
terkontakkan hawa listrik, Tan Hong tercengang. Tapi ia tak usah tergugu lama
atau menanti lama-lama. Segera juga dari antara pohon-pohon bunga, yang banyak
bunganya, ia tampak munculnya satu nona remaja yang tangannya menyekal sebuah
seruling pendek, tindakan nya perlahan.
Nona itu mengenakan pakaian
warna mirip dengan airnya telaga, ujung baju dan celananya tertiup-tiup angin.
Ia beroman cantik sekali, setimpal dengan tindakannya yang elok, hingga ia
bagaikan seorang dewi.
Terkejut Tamtay Keng Beng
menyaksikan nona itu, sedang ia sendiri adalah satu anak dara yang cantik
manis, di dalam hati kecilnya, ia menanya: "Adakah dia dewi dari telaga
Thayouw ini yang terbang naik ke puncak gunung?" Ia menjadi malu
sendirinya, sebab ia biasa merasa angku sekali dengan kecantikannya, sekarang
ia kalah pamor.....
Beda daripada si nona Tamtay
itu, Thio Tan Hong, yang telah sadar dengan segera,sudah segera memanggil:
"Adik kecil!"
"Oh!....." seru Keng
Beng, tertahan. Tak dapat ia mengatakan sesuatu, ia sudah lantas dapat
merasakan suatu perasaan, entah perasaan apa itu.....
Pada matanya In Tiong juga
sudah lantas tampak suatu sinar terang.....
Datangnya si cantik secara
mendadak itu, menyebabkan pertempuran jadi terlambat,karena semua orang, mau
atau tidak, dengan sendirinya, sudah menoleh mengawasi nona itu.
"Ah, perempuan ini
tentunya perempuan sesat!.....” seru Kwee Hong. "Lekas membagi diri! Cegat
kepadanya! Jangan kasi dia menyerbu!"
Si nona sendiri, sebaliknya
tetap bungkam, hanya tindakan kakinya, yang perlahan,tak ia hentikan. Ia maju
terus, tetap dengan perlahan.....
Semangatnya Tan Hong terbangun
secara tiba-tiba. Dengan mendadak dia perdengarkan suitan panjang, berbareng
tubuhnyapun mencelat, lompat dari batu yang satu kepada batu yang lain! Sambil
berbuat demikian, ia terjang musuh-musuhnya.
Dengan cepat ia telah melukai
beberapa di antara mereka itu.
Dengan waktu tidak lama, ia
sudah lantas berada di luar kurungan di mana, dengan cepat ia lompat kepada si
nona yang baharu datang itu, tangan siapa ia segera sambar!
"Ah, adik kecil!"
serunya, "kau pun datang juga!....."
Ia ada demikian bernapsu dan
gembira, hingga ia melelehkan air mata.
Si nona kibaskan tangannya,
untuk lepaskan cekalannya si anak muda. Tetapi ia bukannya bergusar, ia
bukannya tak menyukainya, ia hanya pakai tangannya itu untuk menghunus
pedangnya.
"Sret!" demikian
pedangnya itu bersuara.
"Mana kakakku?"
tanyanya.
Nona ini adalah In Loei. Dia
telah tiba di Kanglam, wilayah Selatan yang beda sekali daripada tanah Utara,
maka juga setibanya ia di sini, ia telah salin pakaian — tidak lagi ia menyamar
sebagai satu pemuda. Maka menterenglah kecantikannya itu.
"Kakakmu terkurung di
dalam tin itu!" Tan Hong beritahu. "Marilah lebih dahulu kita
pecahkan kurungan musuh, baharu kita bicara!"
Kwee Hong sementara itu sudah
berhasil dengan pemecahan tenaganya. Dia telah tugaskan lima jago pilihan untuk
rintangi Tan Hong dan In Loei. Lima jago itu tidak kenal si pemudi, mereka
memandang enteng pemudi itu, tiga di antaranya sudah lompat menerjang,
mendahului dua yang lain.
Dan si pemudilah yang mereka
serang!
In Loei sudah hunus pedangnya,
dengan sebat ia menangkis. Maka berkelebatlah suatu sinar pedang yang hijau,
menyusul mana, nampak pula cahaya putih yang berkilau, dari pedangnya Tan Hong,
ia mendahului sinar hijau itu, hingga kedua sinar, berbaling silih ganti. Dan
dengan tergabungnya kedua sinar, yaitu kedua pedang, hebatlah akibatnya. Di
mana dua jago yang lain pun telah tiba dengan cepat dan sudah lantas menerjang
juga, dalam dua gebrakan saja, ke limanya rubuh semuanya, tanpa mereka sempat
menjerit lagi, tubuh mereka bergulingan ke kaki bukit!
Kwee Hong saksikan terjangan
jago-jagonya, ia lihat kesudahannya pertempuran itu, ia menjadi sangat kaget.
Bagaikan dua bayangan, Tan
Hong dan In Loei sudah lantas tiba di dalam Pat Tin Touw, keduanya sudah lantas
beraksi. Ke kiri dan kanan tubuh mereka bergerak, dengan lincah serta rapi,
erat perhubungannya. Di antara tonggak-tonggak batu mereka nyeplos sana dan
nyeplos sini, bagaikan capung menyambar air atau kupu-kupu menembus
bunga-bunga, sinar pedang mereka tak hentinya berkilau, berkelebatan. Tubuh
mereka bagaikan berada di empat penjuru, di delapan persegi, kedua sinar pedang
putih dan hijau bergulungan berpencaran, bergulungan pula. Ke mana sinar pedang
menyambar, di situ ada musuh yang terluka atau rubuh, maka juga, dalam tempo
yang cepat, orangorangnya Anghoat Yauwliong telah menjadi berkurang lebih
daripada separuhnya.
Chalutu menjadi bermata merah
bahna murka dan mendongkolnya. Ia lompat menerjang, ia mengampak Tan Hong
dengan sepasang kampaknya.
Thio Tan Hong tertawa,
tangannya yang menyekal pedang diputar dari kiri ke kanan,sedang pedangnya In
Loei, yang bergerak berbareng, digeser dari kanan ke kiri. Maka bersatulah
kedua pedang! Dan terdengarlah satu suara keras dan nyaring, atau kedua
kampaknya Chatutu telah tertangkis terpental, hampir terlepas dari cekalan,
sebab telapak tangan si pemilik kampak dirasakan sangat sakit, telapak tangan
itu bermandikan darah!
Chalutu sangat agulkan
kekuatannya, dia jumawa sekali, sekarang insyaflah ia,sepasang pedang dari
kedua lawannya itu nyatalah ada jauh terlebih hebat daripada sepasang kampaknya
itu!
Tan Hong pun kagum akan
menyaksikan kampak lawan tidak terpental terlepas. Ia lantas tertawa pula!
"Nah, marilah sambut lagi ini!" seru dia kepada lawannya itu, lalu
sambil miringkan sedikit tubuhnya dari arah samping, ia menikam.
Chalutu masih sanggup tarik
pulang sepasang kampaknya, masih kuat ia menyekal senjatanya itu, untuk
menangkis serangan. Kalau tadi ia yang menyerang, sekarang ia jadi si pembela
diri. Ia memecah kampaknya, ke atas dan kebawah, dengan tipu silat
"Tjiethian watee," atau "Menundukkan langit, menggores
bumi." Di atas ia menangkis untuk bela diri, di bawah ia membabat ke arah
kaki.
Berbareng dengan itu, juga
pedangnya In Loei bergerak, mengimbangi gerakan pedangnya Tan Hong, maka
setelah ke empat senjata bergerak berbareng, terdengarlah pula suara nyaring
dari bentroknya kedua pasang senjata itu. Begitu hebat kampaknya Chalutu, kedua
kampaknya turun terus, mengenai tonggak batu, hingga tonggak itu gempur,
batunya hancur, terbang berhamburan!
Tapi Tan Hong berdua In Loei,
telah berkelit diri.
"Kau pergilah
pulang!" demikian suara si anak muda, setelah ia maju pula dengan satu
lompatan pesat, hingga ujung pedangnya segera dapat diarahkan ke bebokong
musuh, ke arah urat besar!
Chalutu segera perdengarkan
jeritan keras, berbareng dengan terlepas dan terlemparnya sepasang kampaknya,
ia menyemburkan darah hidup dan dalam mulutnya, lalu dengan terhuyung-huyung
tubuhnya rubuh ke tanah, tanpa bergerak lagi.
Melayanglah jiwanya!
Kwee Hong yang melihat itu,
kaget bukan main, hatinya menjadi ciut. Sekarang tak ingat lagi ia kepada
tugasnya memegang pimpinan, malah melupakan lengannya yang sakit, ia ulur
tangannya yang satunya pula, ditempel kepada tanah, untuk ia kerahkan tenaganya
mengenjot diri, untuk berlompat jumpalitan, untuk setelah itu, mencari jalan
menyingkirkan diri. Ia gunai kedua kakinya dan tubuhnya juga, ialah habis
berlompat, ia bergulingan.....
"Ke mana kau hendak
kabur?" bentak Tamtay Keng Beng, yang lihat aksi musuh itu. Sambil
berseru, si nona berlompat, pedangnya menuding ke arah musuh, tepat menancap di
dada ujungnya tembus ke bebokong, hingga si Naga Sakti Rambut Merah tak dapat
bernapas terlebih jauh!
Lagi sejenak, maka berhentilah
pula pertempuran yang dahsyat itu. Di pihak Kwee Hong, orangnya habis musnah.
Di pihak Tan Hong, empat pahlawan istana binasa dan satu terluka. Syukur bagi
Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam, mereka tidak kurang suatu apa. Pada pihaknya
Tongteng Tjhoengtjoe ada kerugian beberapa orang binasa dan luka.
Dengan tidak membuang tempo
lagi, Tan Hong ajak In Loei lari kepada In Tiong yang terluka parah, mereka
lihat anak muda itu separuh meram, dan tangannya bengkak seumpama lodong.
In Loei lantas bercucuran air
mata.
"Koko" dia lompat
kepada kakaknya itu.
Tan Hong segera maju
menghampirkan. "Adik kecil, adik kecil!" Tan Hong berkata,
"biarkan kakakmu beristirahat! Mari kita gendong dahulu ia, untuk dibawa
pulang ke rumah!.....”
In Loei sangat menyayangi
kakaknya itu, ia berkuatir, dari itu, ia seperti tidak gubris nasihatnya Tan
Hong itu.
Syukur bagi In Tiong, dia
telah dapat empos semangatnya, bisa ia menahan napas,walaupun lengannya parah,
namun racun, tidak berhasil mendesak sampai kehati.
"Koko, bagaimana kau
rasa?" In Loei tanya kakaknya itu. "Toa..... Tan Hong, apakah lukanya
kakakku ini berbahaya?"
Si nona tanya kakaknya, lalu
tanpa tunggu jawahan, ia balik menanya Tan Hong, yang hampir saja ia panggil
toako. Memang telah biasa ia menggunakan kata-kata toako itu,hanya sekarang
dihadapan In Tiong dan beberapa orang lainnya, tiba-tiba ia merasa likat.
Karena menyebut nama Tan Hong
itu, dengan sendirinya wajahnya menjadi bersemu dadu.
"Tidak, tidak
apa-apa....." Tan Hong jawab.
"Hanya terlebih baik
biarkan dia beristirahat.....”
In Tiong sendiri telah tidak
jawab adiknya itu, sewaktu ditanya, dia tengah memejamkan mata, ia seperti tak
sadar akan dirinya. Baharu kemudian, mendadak ia buka kedua matanya.
"Kau siapa?" ia
balik tanya adiknya.
"Koko, akulah adik
kandungmu," In Loei jawab.
In Tiong lirik Tan Hong, lalu
ia tertawa dingin.
"Kau adik kandungku?
Apakah kau tidak keliru kenali orang?" dia tanya adiknya.
In Loei menangis.
"Koko, kau tega."
Kata dia. "Betapa sengsara aku mencari kau.....”
"Adakah aku mempunyai
adik perempuan yang sedemikian baik hatinya?" In Tiong masih mengejek.
"Memang aku adalah adik
kandungmu." sang adik bilang. "Jikalau kau tidak percaya.....”
"Bukti apa kau ada
punya?" kakak itu tanya, keras.
In Loei kertek giginya,
tangannya merogo ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan surat wasiat kulit
kambing yang bertuliskan dengan darah. "Koko, kau lihat ini!" ia
kata.
Dua saudara ini memang
masing-masing ada punyai separuh dari surat wasiat itu, itu adalah bukti paling
kuat.
In Tiong lirik surat wasiat
itu, lalu ia lirik juga si nona. Ia lihat dua butir air mata jatuh dari kedua
matanya adik itu.
"Hm," katanya,
"masihkah kau ada punya muka untuk keluarkan surat wasiat engkong?"
Tahu sudah In Tiong akan
adiknya ini tetapi sengaja ia bawa sikapnya itu, untuk paksa si adik keluarkan
surat wasiat itu.
Sakit rasanya hati In Loei,
tetapi karena sikap aneh dari kakaknya ini, ia tidak jadi menangis, air matanya
tak mengucur terlebih jauh.
Sehabis mengejek adiknya itu,
In Tiong pandang Tan Hong, sekonyong-konyong ia angkat tangannya untuk
menuding. Di saat ia hendak buka mulut, untuk mengatakan sesuatu,
sekonyong-konyong juga Tan Hong berlompat, dengan jari-jari tangannya yang kuat
bagaikan tombak cagak, ia totok lengannya In Tiong itu. In Loei kaget bukan
kepalang.
"Hai, kau berbuat
apa?" dia tanya.
Tan Hong belum menjawab, atau
In Tiong sudah menghela napas.
"Thio Tan Hong, tidak
usah kau berlaku baik hati, tak usah kau berpura-pura," ia kata.
"Aku, walaupun aku mesti
terbinasa, tidak nanti aku kesudian menerima budi kebaikanmu.....”
Mendengar ini, In Loei lantas
insyaf.
Nyatalah Tan Hong bukan serang
kakaknya itu, yang sedang sakit dan tidak berdaya,tapi Tan Hong justeru
menggunakan kepandaiannya untuk tolong sang kakak. Serangan itu adalah semacam
pukulan untuk mencegah jalan darah, guna mencegah racun menjalar naik.
"Adik kecil, marilah kita
lekas pulang!" Tan Hong kata tanpa mempedulikan sikap kasar dari si
Boetjonggoan. "Mari, mari, kita, bicara!"
Dan dengan ulur tangannya, ia
tarik tangan baju si nona.
In Loei melirik kepada
kakaknya, lantas ia putar pergelangan tangannya, dengan begitu loloskan
cekalannya si anak muda. Mukanya menjadi pucat pias, ia berdiri tanpa sepatah
kata.
Tan Hong jadi sangat bersusah
hati, ia pun jengah, maka dengan membungkam ia menjauhkan dirinya.
Tamtay Toanio, yang sejak tadi
berdiam saja, menggeleng kepala.
Tamtay Keng Beng jadi sangat
heran, hingga di dalam hati kecilnya, berkata: "Jikalau kata-kata Tan Hong
yang aku dengar di dalam guha, terang sekali dia sangat erat hubungannya dengan
nona ini, mestinya si nona adalah jantung hatinya, maka heran, kenapa nona ini
bersikap begini tawar terhadapnya?"
Sambil berpikir demikian, Keng
Beng menoleh kepada Tan Hong, justeru si anak muda angkat tangannya, menggape
kepadanya.
Dengan hati bimbang, Nona
Tamtay menghampiri anak muda itu.
Tan Hong tunggu orang telah
datang dekat sekali padanya, ia berkata dengan perlahan: "Lukanya In Tiong
bercampur racun tangan liehay, luka itu tidak dapat dia mengobatinya sendiri.
Aku Dewi ada KZ punya obat mustajab warisan leluhurku, hendak aku ajarkan kau
cara mengobatinya, untuk kau obati dia hingga menjadi sembuh.....” Sambil
berkata Tan Hong sambil serahkan obatnya yang lantas diterima oleh Keng Beng.
"Siapakah nona itu?"
Keng Beng tanya.
Tan Hong menyeringai ketika ia
jawab: "Aku adalah musuh dia!"
Nona Tamtay melengak.
"Apa? Dia itu
musuhmu?" ia tanya.
"Bukan! Akulah musuh
dia!" sahut Tan Hong. "Oh, bukan! Dia anggap aku adalah
musuhnya.....”
"Kalau begitu, kenapa
tidak kau sendiri yang obati dia?" Nona Tamtay tanya. Ia masih heran.
"Tidakkah dengan begitu, permusuhan dapat dibikin habis?"
Tan Hong tertawa.
"Aku justeru tidak ingin
dia ketahui bahwa akulah yang menolongnya," ia jawab. "Aku tak ingin
nanti dia mengatakan, aku tolong dia justeru dia tengah terancam bahaya
maut,supaya aku jadi melepas budi terhadapnya."
Sementara itu Tongteng
Tjhoengtjoe sudah lantas suruh satu orangnya gendong In Tiong untuk dibawa
pulang. Ketua Tongteng Santjhoeng ketahui pentingnya waktu, jadi tak dapat
mereka berdiam lama-lama di dalam tin itu.
In Loei lantas berjalan mengikuti,
tapi satu waktu ia menoleh ke belakang, maka matanya segera bentrok dengan satu
pemandangan, yang membuat hatinya tergerak. Ia tampak Tan Hong jalan berendeng
dengan Keng Beng, pemuda dan pemudi itu tengah berbicara satu dengan lain, muka
mereka dekat sekali satu pada lain, hingga mulut si anak muda bagaikan nempel
kepada rambut di samping kupingnya si nona. Mereka pun bicara sambil
tertawa-tawa, agaknya mereka tengah bergurau.
Tak keruan rasa hatinya Nona
In ini.
"Baiklah, kau tidak
pedulikan aku, aku juga tak akan pedulikan kau!" pikirnya, "bila
diumpamakan saja sebagai orang yang belum pernah kenal satu pada lain, kita
berpisah saja, habis perkara!.....”
Tiba-tiba saja muncul
kesedihannya si nona, tanpa dapat ia pertahankan lagi, air matanya turun
mengetes.
"Nona, luka kakakmu tidak
berbahaya," berkata Tongteng Tjhoengtjoe, membujuk.
"Jangan kau
menangis....."
Ketua rumah ini tak tahu hati
orang, ia menyangka si nona kuatirkan keselamatan jiwa kakaknya, maka itu ia
menghiburkannya.
In Loei berdiam, ia seperti
tidak mendengarnya. Ia sekarang menangis dengan tersedusedu.
Ketika di akhirnya orang
sampai di Tongteng Santjhoeng, itulah waktunya asap mulai mengepul dari
dapurnya setiap rumah.
Tongteng Tjhoengtjoe pernahkan
In Tiong dalam sebuah kamar bersih dan sunyi, ia tugaskan satu orangnya untuk
menjaga dan melayaninya. Di lain pihak, ia perintahkan lekas mensajikan barang
hidangan.
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam
menjadi tak enak hati. Tuan rumah sangat manis budi dan ramah tamah sekali, ia juga
tidak hendak sebut-sebut halnya mereka itu datang untuk mencari harta simpanan.
Selagi bersantap, dua orang
itu menghaturkan terima kasih kepada Tan Hong yang telah tolongi mereka.
Tak lama sehabis dahar, semua
orang undurkan diri untuk beristirahat.
Tamtay Keng Beng taati pesan
Tan Hong. Sehabis bersantap, seorang diri ia pergi ke kamar In Tiong. Dari luar
kamar ia sudah tampak sinar api, yang memperlihatkan bayangannya In Loei. Ia
hentikan tindakannya di muka pintu.
"Koko, kakek kita
bukanlah dia yang mencelakainya," begitu ia dengar Nona In bicara kepada
kakaknya. "Tentang itu, Ie Kokioo sudah membicarakannya dengan jelas
sekali.Maka itu, sakit hati itu baiklah jangan dibalas lagi."
"Habis apa kau hendak
bilang tentang sakit hati selama dua puluh tahun kakek mesti menggembala
kuda?" terdengar In Tiong, sang kakak.
"Itulah perbuatan
ayahnya," In Loei bilang. "Memang perbuatan itu tidak selayaknya.
Itu juga bukannya suatu
permusuhan yang hebat sekali." In Tiong tertawa dingin.
"Pandai kau membelai musuh!"
katanya, tajam.
In Loei lantas menangis.
"Koko....." katanya,
tertahan.
"Apa?" sang kakak
bilang. "Gadisnya Keluarga In dilarang tidak bersemangat jantan!"
In Loei gigit giginya atas dan
bawah, ia seka kering air matanya.
"Koko, gurumu sendiripun
mengatakan bahwa Thio Tan Hong itu adalah orang kaum kita," berkata ia,
sungguh-sungguh. "Yang mesti diutamakan adalah musuh luar, musuh asing,
maka segala apa yang dapat disudahi, baiklah dibikin habis saja.....”
Berulangkah In Tiong perdengarkan
suara tawarnya, "Hm! Hm!" Kemudian dengan tiba-tiba, ia kata dengan
keras: "Aku tahu kau memang cintai bocah she Thio itu!"
In Loei sudah pertahankan
sedapat-dapat untuk tidak menangis, tetapi mendengar suara kakaknya itu, ia
menangis pula menangis dengan merasa malu dan mendongkol.
"Siapa bilang aku cinta
ke padanya?" dia tanya dengan keras. "Dia..."
"Kau cinta dia, baik! Kau
tidak cinta dia pun baik!" kakak itu memotong. "Tapi, pendek kata,
aku larang kau menikah dengan dia!"
"Diapun telah punyakan orang
yang dia penujui!" In Loei berseru. "Seumurku, tidak akan aku
menikah, maka tak usahlah kau capekan hati untukku!"
In Tiong melengak. Ia juga
mendongkol. Di dalam hati kecil, ia kata: "Kiranya karena kau tidak dapat
menikah dengan Tan Hong, kau jadinya tidak sudi menikah....."
Sebenarnya hendak kakak ini
tegur adiknya itu, atau ia lihat kedua mata adiknya merah, ia jadi batal
sendirinya. Sesaat itu ia ingat bahwa adik ini adalah adik satusatunya,sedang
pertemuan mereka ini adalah yang pertama sejak perpisahan mereka belasan tahun.
Ia menjadi tak tega hati. Di akhirnya, ia menghela napas sendiri.
Adalah di saat itu, mereka
dengar suara pintu berkeletek, disusul oleh suara batukbatuk perlahan, lalu
daun pintu terpentang, tertolak dari luar, dari mana terlihat Nona Keng Beng
bertindak masuk.
In Loei jengah sendirinya.
Baharu ia bicarakan nona itu, sekarang si nona sendiri muncul. Tapi ia paksakan
hati, untuk menyambutnya sambil tertawa.
"Terima kasih,
nona," kata In Tiong. "Sebenarnya tidak berani aku mengharap
kedatanganmu ini.....”
Nona Tamtay berlaku polos.
"Mari ijinkan aku lihat
lukamu," ia kata, langsung.
"Lukaku tidak berarti,
terima kasih untuk perhatianmu," kata pula In Tiong,
"Loei, tolong kau
antarkan nona ini."
Sebenarnya mendongkol Keng Beng
melihat sikap dan mendengar perkataan In Tiong itu, akan tetapi ia dapat atasi
dirinya. Ia melirik, ia lantas bawa sikap seperti tak terjadi sesuatu. Malah ia
tertawa tertahan.
"Benarkah tidak
apa-apa?" tanyanya, masih tertawa. "Cobalah kau menyedot napas,ingin
aku lihat!"
Tadi In Tiong bentrok sama
adiknya, karena bangkitnya kemurkaannya, lukanya kambu tanpa ia merasa, racun
bekerja, maka itu, waktu ia menarik napas, ia merasakan dadanya sesak, iapun
ingin tumpah-tumpah.
Keng Beng lihat itu, segera ia
kata: "Jikalau kau tidak obati lukamu ini, kau tak akan dapat lewatkan
malam ini jam dua belas! Untuk satu laki-laki, walaupun ada dibilang, dia
pandang kematian bagaikan berjalan pulang, akan tetapi kematianmu secara
begini, sungguh-sungguh sangat tidak berharga! Kalau aku, hm, tidak nanti aku
sudi menjadi lakilaki semacam itu!.....”
Mendadak wajahnya In Tiong
menjadi pucat pias. Ia rasakan lukanya mendatangkan rasa sangat sakit yang
sangat.
"Nona Tamtay, tak
dapatkah dia diobati?" In Loei tanya nona rumah.
"Aku hanya kuatir kakakmu
menolak orang hingga satu lie lebih!" sahut Keng Beng.
Penyahutan ini ada mengandung
dua maksud: Satu menyindir In Tiong, dan kedua,mengenai juga penolakan In Tiong
itu untuk Tan Hong.
In Tiong tidak menginsafi itu,
ia kata: "Terima kasih, nona. Di sini aku telah menjadi tetamumu,
sebenarnya tidak berani aku membuatnya kau berabe.....”
In Loei sebaliknya mengarti
akan maksud kata-kata itu.
"Kiranya Tan Hong telah
bicara segala apa kepada nona ini.....” pikirnya. Ia jadi berduka. Tapi di sini
ada mengenai keselamatan kakaknya, suka ia menindas perasaan hatinya. Maka ia
kata: "Jikalau nona dapat menolong kakakku ini, kita berdua saudara akan
bersyukur tak habisnya."
"Tak usahlah kamu
bersyukur," bilang Nona Tamtay, yang sebenarnya hendak mengatakan,
"Sudah cukup untukku asal kau tidak benci dan mencaci aku.....” Tibatiba
ia merasa seperti melihat Tan Hong lirik ia, maka pikirnya terlebih jauh.
"Perlu apa aku melukai hati kekasihnya?" Ia lantas lirik pula In
Loei, di dalam hatinya dengan menyesal ia kata: "Nyatalah nona ini ada
jauh terlebih beruntung daripada aku.....”
Segera nona ini keluarkan
obatnya, yang ada dua rupa, yaitu satu untuk dimakan, satu lagi untuk dipakai
di luar. Ia juga membekal sebilah pisau perak serta segumpal kapas.
"Entjie, kau tolong bantu
aku," ia mohon kepada In Loei.
Tangan baju In Tiong segera
digulung naik. Tempat yang luka, yang bengkak, lantas digurat dua kali,
merupakan segi empat, kemudian, dengan cekal lengan orang, Nona Tamtay gunai
jari-jari tangannya akan menekan, atas mana, dari luka guratan itu sudah lantas
mengucur keluar darah yang hitam, yang berbau bacin.
Sebat bekerjanya nona rumah
ini. Setelah merasa darah sudah keluar cukup, ia sekai luka itu untuk bersihkan
darahnya, lalu ia memborehkan obat, yang lebih jauh ia tutup pula dengan kapas
untuk terus dibalut.
Lengan In Tiong itu sebenarnya
kaku dan ba'al, tidak mendatangkan rasa sakit, akan tetapi setelah perawatannya
Keng Beng itu, sebentar kemudian, anak muda ini merasakan tekanan, atau
pencetan, sepuluh jari si nona, membuatnya ia merasa sakit sedikit, sakitsakit
enak.....
Selama di gurun pasir Utara,
jarang In Tiong melihat nona-nona remaja, sekarang ia menghadapi nona ini, yang
cantik manis luar biasa, tanpa merasa hatinya tergerak, jantungnya berdenyut
dan goncang bagaikan berlompatan. Kulit mukanyapun ia rasakan panas sendirinya.
"Budimu yang sangat besar
ini, nona, tidak nanti aku melupakannya," kata ia akhirnya.
"Menyesal aku telah
membuatnya kau bercape lelah.....”
Tamtay Keng Beng tidak angkat
mukanya ketika ia berikan penyahutannya: "Aku lihat kau adalah satu
laki-laki sejati, mengapa sekarang kau bawa sikapmu sebagai satu nona
pemaluan?"
In Tiong adalah satu
laki-laki, jikalau di waktu-waktu biasa ada orang mengatakan ia bersifat
bagaikan perempuan, ia tentu akan gusar, sebab ia anggap itu suatu penghinaan
besar, tetapi sekarang Tamtay Keng Beng yang mengatakan itu, sebaliknya, ia
jadi merasa sangat senang. Begitulah ia merasa mukanya panas.....
"Terima kasih, entjie,"
kata In Loei setelah nona itu selesai dengan tugasnya. "Biarlah
selanjutnya aku yang merawati kakakku ini."
Memang niat Keng Beng, sehabis
mengobati, hendak ia lantas undurkan diri, maka ketika mendengar perkataan itu,
ia tinggalkan sisa obat, ia berikan petunjuk terlebih jauh, setelah kesemuanya
itu, tanpa mengucap sepatah kata, cuma dengan manggut perlahan kepada Nona In
itu, ia bertindak pergi.
Heran In Loei menyaksikan
sikap itu.
"Nona ini datang untuk
menolongi, kenapa sikapnya begini dingin?" ia berpikir.
"Mungkinkah dia telah
dengar perkataan-perkataanku tadi?.....”
Karena ini, ia menjadi merasa
kurang tenang.
In Tiong tunggu sampai suara
tindakan kaki orang mulai lenyap, baharu ia buka mulutnya.
"Nona Tamtay itu baik
sekali!" bilangnya. Pada sinar matanyapun nampak tanda bahwa ia merasa
puas, sinar mata itu bersorot halus.
Mendengar ini, melihat sinar
mata kakak itu, hati In Loei tergerak. Segera teringat ia akan pertemuannya
tadi dengan Tan Hong. Ia pandang kakaknya itu, hendak ia bicara,atau ia batal
sendirinya.
In Tiong lihat wajah adiknya
itu, kelakuan mana agak luar biasa, ia menjadi heran. Bibir adik itu sudah
hendak bergerak, lalu urung. Sinar mata adik itupun yang semula bercahaya, lalu
guram. Nampaknya adik itu berkuatir atau tegang. Paras adik itu mendatangkan
rasa kasihan orang.....
Nona Tamtay di lain pihak
sudah berjalan terus, ia melintasi lorong, ia mutar ke gunung-gunungan palsu,
dari mana ia hendak langsung pergi kepada Tan Hong, untuk melaporkan bahwa
tugasnya telah selesai.
Tan Hong tetap bertempat di
dalam kamar indah di tengah empang teratai itu. Ketika itu sang rembulan dari
tanggal muda baharu saja mulai muncul, menyinari bunga teratai,membuatnya
suasana di situ sangat tenang. Ketika itu si pemuda tengah menyenderkan tubuh
kepada loneng. Ia mengenakan pakaian serba putih, yang putih mulus bagaikan
salju. Matanya memandang jauh ke depan, dari mulutnya terdengar suara
bersenanjung perlahan.
Keng Beng menghentikan
tindakannya ketika ia dengar suara orang, yang telah terbawa angin. Ia
mengawasi sambil memasang kuping.
Yang disuarakan itu adalah
syair "Lim Kang Sian" atau "Dewi turun ke sungai" dari Lok
Kian Ie dari negeri Houw Siok, Siok Belakangan, dari jaman Ngo Tay. Tamtay Keng
Beng kenal syair itu, di dalam hati kecilnya, ia kata: "Dia pinjam syair
itu, inilah sangat tepat.
Tepat tempatnya, tepat
suasananya. Dari telaga ini ia memandang keselatan, di sanalah kota Souwtjioe.
Kota Souwtjioe itu dahulu adalah tempat letaknya istana Thio Soe Seng,hanyalah
sekarang, istana itu telah menjadi tanah belukar, gempur temboknya, lebat lumut
dan rumputnya. Pantas dia teringat akan itu semua.....”
Setelah berdiam sejenak, nona
ini berpikir pula: "Dia mengenangkan negaranya begini rupa, toh dia hendak
serahkan peta buminya dan harta pusakanya kepada musuh dari leluhurnya, yaitu
kaisar ahala Beng, sikapnya dan perbuatannya itu, sungguh ada hal yang
ganjil.....”
Selagi ia bagaikan melamun,
nona ini dengar lebih jauh suara orang, yang di akhiri tangisan sesegukan. Ia
menjadi heran sekali. Tidak ia sangka, pemuda yang gemar tertawa itu pun bisa
menangis. Ia turut menjadi terharu. Tapi, sehabis menangis, tiba-tiba Tan Hong
tertawa, akan akhirnya dia bersenanjung pula: "Tali baju menjadi longgar,
tidak aku menyesal, untuk dia aku menjadi kurus layu, aku pun puas. Apakah yang
hendak dibuat duka? Ya, adik kecil, adik kecil, walaupun kau menyiksa pula
padaku, tidak nanti aku gusar dan sesalkan kau.....”
Mendengar itu, Keng Beng
menjadi tidak keruan rasa, perasaannya pun menjadi campur aduk. Ia berduka. Ia
tersadar dengan terkejut ketika kemudian ia tampak bayangan bunga telah
bergeser, sedang dari luar pekarangan, ia dengar suara kentongan,yang berbunyi
tiga kali. Tidakkah ia datang ke situ untuk memberi laporan kepada Tan Hong?
Kenapa ia berdiam saja di tengah jalan, seperti ia takut menemui Tan Hong itu ?
"Nyatalah sangat sekali
cintanya ia terhadap In Loei," ia berpikir. "Untuk In Loei itu, ia
rela menderita. Seandainya ada lain orang yang menyinta aku seperti cintanya
dia itu, oh,matipun aku puas..... Ah, sayang sekali mereka ada dari
keluarga-keluarga yang saling bermusuh.
In Tiong ada demikian berkeras
hati, bagaimana nanti
-ooo00dw00oooTiraikasih
Nona Tamtay terus berdiri
diam, pikirannya terus bekerja keras, hingga tak sadar ia bahwa sang waktu
telah berjalan terus, sampai kemudian, ketika ia angkat kepalanya memandang ke
arah Tan Hong, anak muda itu telah lenyap dari tempatnya meloneng tadi.
"Rupanya sia-sia ia
menantikan aku, ia sudah lantas pergi tidur," ia berpikir.
Karena ini, Keng Beng lantas
membalik tubuh, untuk jalan kembali. Tengah ia keluar dari gunung-gunungan, ia
lihat satu tubuh berkelebat di antara pohon-pohon bunga,segera ia lompat maju
untuk memapaki, segera In Loei tampak di depannya.
"Oh, entjie." ia
membuka suara. "Sudah begini malam, kenapa kau masih belum tidur?"
Nona In melengak.
"Aku baharu saja tunggui
kakak tidur," ia menyahut kemudian. "Aku keluar untuk mencari
angin.....”
"Bagaimana keadaannya
kakakmu?" Keng Beng tanya pula.
"Terima kasih, entjie.
Sungguh kau pandai mengobati, sekarang bengkaknya lengan kakakku telah kempes
delapan atau sembilan bagian. Aku percaya, besok kakakku akan sudah dapat turun
dari pembaringan."
Selagi mengucap demikian. In
Loei merasa sangat heran. Ia berpikir: "Tadi di waktu merawat kakak, dia
bersikap sangat tawar, mengapa sekarang dia sangat ramah tamah terhadap
aku?"
Keng Beng bersenyum. Ia
seperti tidak ambil pusing bahwa orang heran, ia malah ulur tangannya ke pundak
nona itu, ia dekatkan mulutnya kekuping si nona. Terus saja ia berbisik:
"Entjie, jangan kau mengucap terima kasih terhadap aku..... kau seharusnya
bersyukur kepada Tan Hong....."
In Loei makin jadi heran.
"Apa?" tanyanya.
"Obat adalah
kepunyaannya, pun cara mengobatinya dialah yang mengajarinya padaku," Nona
Tamtay jawab.
"Oh!" In Loei
berseru, lalu ia bungkam, matanya mendelong. Untuk sejenak itu tak dapat ia
berkata-kata.
Keng Beng melanjutkan
perkataannya. Ia kata: "Kemarin dia lihat In Toako memaksa kau keluarkan
itu surat wasiat kulit kambing yang berdarah, dia tidak menghendaki kau dan
kakakmu ketahui bahwa dialah yang memberi obat, maka dia pinjam tanganku."
Mendengar itu, di dalam
hatinya, In Loei kata: "Kiranya kemarin mereka bicarakan urusan ini,
nyatalah anggapanku itu keliru." Karena ini, ia jadi bersyukur kepada Tan
Hong, ia menginsyafi perhatiannya anak muda itu. "Ah, mengapa ia mesti
berbuat demikian?" katanya, menanya.
"Umpama akupun menyukai
satu orang, aku akan berbuat demikian juga," ia bilang.
"Asal saja orang akan
merasa beruntung, tidak ada artinya kalau kita sendiri rugi sedikit.....”
Kembali In Loei melengak.
"Nona ini baharu kenal
aku, kenapa dia bergurau begini rupa?" ia pikir. Tapi ia merasa bahwa
orang rupanya bersungguh-sungguh, maka ia menatap, hingga sinar kedua pasang mata
jadi bentrok satu pada lain. Ia lantas lihat bahwa pada senyuman nona itu ada
apaapa yang dingin.
Nona Keng Beng ada cerdik
sekali, melihat wajahnya In Loei, ia menduga bahwa orang masih bercuriga, maka
itu, ia gigit kedua baris giginya dengan keras, untuk menguasai dirinya, guna
cegah berdenyutnya jantungnya.
"Kakakmu adalah satu
laki-laki, entjie, hanya sayang ia sedikit keras kepala," ia bilang.
Kembali heran In Loei akan
dengar kata-kata itu, akan tetapi kakaknya dipuji, ia lantas tertawa. Apakah
kau hanya punya satu kakak?" Keng Beng tanya pula, secara mendadak.
"Ya, aku hanya punya
seorang kakak," In Loei jawab.
"Apakah ada lain orang
lagi dalam rumahmu?" lagi-lagi Keng Beng tanya.
"Masih ada ibuku, tetapi
sekarang ia berada di Mongolia, entah di mana," In Loei jawab. "Di
belakang hari, akan aku cari ibuku itu.....”
"Kecuali ibu, apakah
tidak ada lagi sanak terdekat?" Keng Beng tanya pula. Ia seperti tak
habisnya menanya.
"Tidak ada lagi. Kakakku
masih belum menikah."
"Oh, entjie belum punya
enso?"
Sampai di situ, keheranan In
Loei bersalin rupa. Terang si nona tengah mencari jalan untuk bicara tentang
kakaknya. Mulanya ia menyangka, nona itu menaruh hati kepada Tan Hong, tapi
nyatanya sekarang bahwa dia sebenarnya memperhatikan kakaknya itu.
Hampir saja ia mengatakannya:
"Jikalau kau sudi jadi enso-ku, itulah baik sekali!" Tapi masih dapat
ia mengatasi diri, terhadap seorang yang baharu dikenal, tidak berani ia
sembarang bergurau. Hanya pada alisnya sajalah tampak tegas kegirangannya. Ia
awasi nona itu, ia bersenyum.
"Ya, aku masih belum
punya enso....." ia jawab.
In Loei tidak tahu bahwa
sebenarnya, dengan paksakan diri, Keng Beng ucapkan katakatanya melulu untuk
melenyapkan kecurigaan, atau cemburu terhadap ia.
Di antara sinar rembulan, yang
nyeplos antara daun-daun pohon-pohonan, kelihatan kedua nona itu saling
menjabat tangan, keduanya bertindak dengan perlahan dengan hati mereka
masing-masing bergoncang sendirinya. Mereka berjalan di tepi pengempang
teratai, hingga di lain saat, di antara tedengan gorden, mereka lihat suatu
bayangan tubuh.
"Tan Hong masih belum
tidur!" kata Keng Beng sambil tertawa. "Dia tengah menantikan kau,
entjie1."
"Cis" seru In Loei,
yang segera merasakan mukanya panas sendirinya. Ketika tadi ia keluar dari
kamar In Tiong memang hatinya pepat, ingin ia melegakannya. Ia bimbang.
Adalah niatnya untuk
menyingkir dari Tan Hong, akan tetapi, adalah niatnya juga, untuk tengok anak
muda itu, maka ia telah bertindak ke arah pengempang. Adalah di luar dugaannya
bahwa rahasia hatinya itu dapat dibade Keng Beng. Maka ia menjadi jengah.
Keng Beng sudah lantas tertawa
geli, ia terus putar tangannya untuk dapat terlepas dari cekalannya si Nona In,
setelah mana, ia lari mutar ke gunung-gunungan akan kemudian lenyap dalam
semak-semak pohon bunga.
In Loei awasi orang
menyingkir. Kapan kemudian ia menoleh ke arah paseban di tengah empang, ia
tampak Tan Hong sudah pentang daun jendela dan kepalanya ditongolkan keluar.
"Adik kecil! Adik
kecil!" demikian suaranya anak muda itu, perlahan tetapi tedas di antara
kesunyian malam itu.
In Loei tidak jawab panggilan
itu. Ia seperti terhilang rasa, tetapi dengan perlahanlahan,ia bertindak ke
arah empang teratai itu.
Keng Beng dari tempatnya
sembunyi saksikan pemandangan itu, ia menjadi girang berbareng sedih, hingga
tanpa merasa, ia mengucurkan air mata.
In Tiong sementara itu dapat
tidur nyenyak selama satu malam, ketika keesokannya ia mendusi, ia tampak
matahari sudah naik tinggi. Ia ingat kepada lukanya, ia lantas
menggerak-gerakkan lengannya yang sakit. Untuk kegirangannya, ia dapat bergerak
dengan leluasa, seperti biasa. Melainkan tubuhnya, ia rasakan masih sedikit
lemah.
Ia berdahaga, ia lantas ceguk
secawan air. Kemudian ia berbangkit akan rapikan pakaiannya, untuk bertindak
keluar dari kamar, dengan begitu dengan lantas ia dapat saksikan keindahannya
Tongteng Santjhoeng dengan gunung dan gua palsunya, dengan tamannya, dengan
pengempangnya dan lain-lainnya lagi.
Dengan pikiran terbuka, In
Tiong jalan terus, tindakannya lambat. Ketika ia tiba di depan gunung-gunungan,
tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di arah belakang gunung palsu itu. Suara
itu keras. Itulah suara orang bertengkar, berebut omong.
"Harta simpanan ini telah
kita jagai untuk iaotjoekong selama beberapa turunan," demikian satu
orang, "kenapa sekarang harta itu hendak diserahkan kepada musuhnya,
kepada kaisar keluarga Tjoe? Di alam baka, pastilah Iaotjoekong tak akan meram
mata!" ("Laotjoekong" ialah "majikan atau junjungan yang
tua").
"Duduknya hal tidak
demikian," terdengar satu suara orang tua, yang tegas dan nyata.
"Benar seperti katanya
siauwtjoe, dahulu adalah dua keluarga memperebutkan negara,akan tetapi sekarang
adalah suatu bangsa asing hendak datang menyerbu! Dalam hal ini kita mesti
menimbang berat dan entengnya, maka itu mestilah kita bersatu hati dan bersatu
tenaga, untuk menangkis musuh luar!"
Seorang lagi berkata:
"Aku tidak percaya kaisar keluarga Tjoe hendak bersungguhsungguh hati
menangkis serangan musuh luar itu!"
Kembali terdengar suara angker
dari si orang tua tadi: "Dalam keadaan hebat seperti ini, dia tidak
melawan juga tak mungkin! Kita harus ingat, di samping kaisar itu, ada Ie Kiam
dan lain menteri besar yang setia kepada negara. Sekarang telah pasti
keputusanku, hendak aku turut perkataannya siauwtjoe, maka kamu semua jangan
banyak omong pula!" ("Siauwtjoe" ialah "tuan atau junjungan
yang muda.")
In Tiong kenali, orang tua itu
adalah Tongteng Tjhoengtjoe, tuan rumah dari Tongteng Santjhoeng itu, maka yang
lainnya tentulah orang-orangnya si tuan rumah.
Hatinya lantas saja bercekat.
"Sri Baginda telah menganggap Thio Tan Hong mencari harta simpanan dan
peta bumi itu hendak dipakai memberontak melawan pemerintah," ia berpikir,
"tetapi sekarang buktinya, harta besar itu justeru hendak dipersembahkan
kepada Sri Baginda!"
In Tiong merasa aneh, ia
menjadi kagum, hatinya goncang keras. Dalam saat seperti itu, ia tak bisa
berbuat lain daripada berdiri terpaku bagaikan patung.
Atau mendadak: "Hai
Tjonggoan thaydjin kau pun telah datang kemari?" demikian satu teguran,
yang datangnya dari arah lorong, teguran mana diberikuti suara tertawa.
Dengan terkejut In Tiong
menoleh. Maka dilorong itu, ia tampak dua orang tengah mendatangi ke arahnya.
Ia segera kenali, mereka itu adalah si ibu dan anak daranya yang ia ketemukan
di warung teh. Tentu saja sekarang tahulah ia siapa ibu dan anak itu.
"Peebo" ia lantas
memanggil sambil terus memberi hormat.
Tamtay Toanio lantas tertawa.
"Bagaimana, kau telah
sembuh?" tanya nyonya itu. "Sungguh kau beruntung!"
Dan si nona atau Tamtay Giok
Beng, telah bawa kejenakaannya. Ia tertawa hahahihi ketika ia berkata kepada
ibunya: "Aku telah dengar entjie mengatakan bahwa kemarin dia masih
berlagak menjadi satu laki-laki!.....”
Paras In Tiong menjadi merah
sendirinya.
Nona yang jail itu tidak
memperdulikannya, dia malah tertawa dingin sekarang. Dengan sebat dia rogo
sakunya, untuk tarik keluar sehelai saputangan tersulam, dengan satu gerakan
tangan, ia kibaskan itu yang membuatnya terbeber, maka di dalam saputangan itu
tertampaklah sulaman dari sepuluh tangkai bunga merah, yang berkibar secara
menyolok mata!
In Tiong lihat saputangan
dengan sulaman bunganya itu, kembali hatinya bercekat.
Tamtay Toanio tertawa.
"Anak Beng, jangan kau
bikin kaget tetamumu!" dia kata.
Masih Giok Beng tertawa
cekikikan. Dengan dua jari tangannya yang sebelah, ia gulung tujuh tangkai
bunga merah itu, sambil menggulung ia berkata dengan wajar: "Ini tujuh
butir telur busuk yang hendak bikin celaka toako Tan Hong telah aku petik! Tinggal
tiga lagi tetapi Toako Tan Hong larang aku mengganggunya, di larang sekalipun
disentuh saja!.....”
In Tiong bercekat pula. Ia
tahu, tiga tangkai itu dimaksudkan terhadap dia bersama Tiatpie Kimwan dan
Samhoa Kiam.
Tamtay Toanio tertawa pula.
"Sejak di paseban teh
telah aku lihat In Siangkong adalah orang baik-baik," ia bilang.
"Sudahlah, anak Beng, aku
larang kau bergurau pula!"
Keluarga Tamtay ini bertugas
melindungi harta simpanan, oleh karena itu Tongteng Tjhoengtjoe Tamtay
Tionggoan telah wajibkan diri menduduki Tongteng San Barat itu.
Selaku persiapan, bagaikan
mata-mata, telah diadakan warung teh itu, yang dilakukan Tamtay Toanio serta
puterinya, untuk mengawasi setiap orang yang mendaki bukit di tengah telaga
itu. Sebelum ia masuk ke Tongteng Santjhoeng, Tan Hong sendiri tidak tahu bahwa
nyonya dan nona itu adalah isteri dan anaknya Tamtay Tionggoan.
Tamtay Toanio tidak pedulikan
orang heran atau bingung.
"In Siangkong," ia
berkata pula kepada tetamunya itu, "mari aku ajak kau melihat-lihat sesuatu!"
Dalam keadaan seperti itu, tak
dapat tidak, In Tiong lantas ikuti nyonya itu. Mereka jalan di lorong, memutari
gunung-gunungan, sampai di suatu tempat di mana — begitu berkilau sinar terang
mengkilap — In Tiong tampak tumpukkan emas dan perak, dari barang-barang
permata lainnya! Di sana pun berdiri Tongteng Tjhoengtjoe bersama beberapa
petani, mendampingi harta besar itu.
"Ha, In Thaydjin, bagus
kau datang!" seru tuan rumah begitu ia tampak tetamunya itu.
Kemudian, menoleh kepada satu
orangnya, ia menitahkan: "Pergi kau undang Thio Siangkong datang
kemari!"
Tongteng Tjhoengtjoe biasa
memanggil siauwtjoe, tuan muda, kepada Thio Tan Hong,akan tetapi Tan Hong keras
menampik, maka kesudahannya dia mengubahnya panggilan itu, dari siauwtjoe
menjadi siangkong.
Tidak berselang lama, tampak
Tan Hong datang bersama-sama In Loei. Mereka itu bertindak di antara jalanan
yang berbariskan pohon-pohon bunga. Waktu In Loei lihat kakaknya, ia segera
kendorkan tindakannya, dari berendeng, ia jadi ketinggalan di sebelah Tan Hong.
In Tiong saksikan pemandangan
itu, diam-diam ia menghela napas, ia merasa likat sendirinya. Tapi sekarang ia
tidak lagi bergusar seperti kemarinnya.
"Bagaimana dengan lukamu,
saudara In?" tanya Tan Hong begitu lekas ia telah datang dekat.
Sebenarnya In Tiong tidak niat
menjawabnya, akan tetapi kesopanan memintanya,maka ia manggut dengan tawar.
"Tak usah kau kuatirkan,
aku masih hidup," ia jawab.
Tan Hong tidak marah, ia malah
bersenyum. "Bagus!" katanya. Ia menanya pun dengan sengaja, karena ia
tahu kemujaraban obatnya, yang begitu dipakai tentu bakal menyembuhkan lukanya.
Tongteng Tjhoengtjoe tidak pedulikan ketegangan di antara kedua anak muda itu.
"Harta ini aku telah
menjaganya selama beberapa turunan," ia berkata, maka sekarang telah tiba
saatnya untuk aku melepaskan pikulanku yang beratnya ribuan kati! In Thaydjin,
aku minta sukalah kau beristirahat sedikitnya dua hari lagi di sini, setelah
itu hendak aku mohon agar kau angkut harta ini ke kota raja, untuk
dipersembahkan kepada junjunganmu supaya dipakai sebagai belanja tentera."
Tan Hong tidak tunggu
jawabannya In Tiong lagi, berkata: "Apa yang dikatakan Anghoat Yauwliong
kemarin bukan kedustaan belaka," ia bilang. "Telah aku peroleh kabar
pasti, angkatan perang Watzu benar-benar sudah menerjang ke Ganboenkwan, di
sana telah terbit perang di antara kedua negeri!"
In Tiong dengar itu, ia
menjadi sangat gusar, hingga dengan tangannya ia sampok batu gunung-gunungan
dihadapannya.
"Jikalau aku tidak sapu
habis tentara Watzu, aku sumpah tak akan jadi manusia!"
Tiba-tiba ia terhuyung, dari
mulutnya ia muntah-kan darah hidup.
In Loei kaget, ia lompat akan
tubruk kakak itu, untuk pegangi tubuhnya
Tan Hong pun sambar tangan
orang akan periksa nadinya.
"Jangan kuatir,"
kata ia setelah memeriksa. "Ini cuma disebabkan kemurkaan disatu saat.
Saudara In," ia tambahkan, "lagi dua hari, kau akan sembuh pula.
Jangan kau pikirkan tentang bahaya perang, walau keadaan sangat genting,
peperangan bukannya urusan dua tiga hari. Yang penting adalah harta besar ini,
di waktu diangkut, kau harus mohon bantuannya Tjhoengtjoe, supaya nanti di
tengah jalan tak sampai ada yang begal!"
"Dan kau?" Tongteng
Tjhoengtjoe tanya anak muda itu, menegasi.
"Aku masih punyakan
lainnya yang jauh lebih penting dari harta ini," jawab Tan Hong.
"Ah, peta bumi, kau
maksudkan?" tanya Tongteng Tjhoengtjoe.
"Benar," sahut Tan
Hong. "Sekarang ini musuh tangguH dan kita lemah, peta itu penting bagi
pihak kita. Bukankah kita jadi berada di tempat terang dan musuh di tempat gelap?
Itu artinya lebih berfaedah daripada tambahan sepuluh laksa serdadu!"
Mendengar itu, Tongteng
Tjhoengtjoe tiba-tiba menggeleng kepala, pada wajahnya pun lantas tampak roman
berduka.
"Kenapa ha?" tanya
Tan Hong.
"Thio Siangkong,"
sahut orang tua itu, "walaupun kau gagah dan cerdas, dengan kau hanya
seorang diri, hatiku tidak tenteram. Peta itu ada mengenai nasibnya negara
kita,dan dorna Ong Tjin telah ketahui halnya itu! Benar rombongannya Anghoat
Yauwliong telah dapat kita tumpas, tetapi tak dapat kita pastikan bahwa dia
tidak akan mengirim lain rombongan lagi! Perjalanan ada ribuan lie jauhnya, kau
berjalan seorang diri, jikalau terjadi sesuatu di tengah jalan kami tentunya
tidak ketahui itu.....”
Tan Hong rupanya menginsyafi
itu, ia bungkam.
"Selayaknya aku titahkan
orang untuk temani siangkong," Tongteng Tjhoengtjoe berkata pula,
"akan tetapi, sayang aku tak dapat lakukan itu. Orang-orang di sini, semua
kepandaiannya ada di bawahan siangkong, maka jikalau siangkong menghadapi musuh
tanggu, siangkong tidak ada orang yang membantuinya....."
"Memang juga perjalananku
kali ini agak berbahaya," Tan Hong akui, "tetapi aku cuma membawa
sehelai peta bumi, itu tidaklah terlalu menyolok mata. Adalah kau, yang
mengangkut harta besar, kau memerlukan banyak tenaga. Maka untuk aku, janganlah
kau memecah-mecah tenaga."
In Tiong yang mendengar orang
"adu mulut" jadi berpikir keras. Tapi lekas sekali ia telah dapatkan
pikiran. Maka ia angkat kepalanya.
"Adik Loei, kau pergilah
bersama dia!" tiba-tiba dia kata, suaranya nyaring.
Mendengar itu, semua orang
tercengang. In Loei sendiri girang berbareng kaget,hatinya goncang. Inilah ia
tidak sangka.
Rupanya In Tiong tahu
keheranan semua orang, berikut adiknya itu.
"Aku tahu kamu berdua
mempunyai ilmu silat pedang yang tergabung menjadi satu," ia tambahkan,
"maka itu, walaupun musuh ada jauh terlebih liehay, masih kamu dapat
melayaninya. Dengan kau yang pergi, hatiku tenang."
Dengan "ilmu silat pedang
yang tergabung menjadi satu" itu, In Tiong maksudkan "Siangkiam happek,"
yang ringkasnya, "sepasang pedang terangkap."
Tan Hong segera menjura dalam
kepada orang she In itu.
"Terima kasih, saudara
In!" ia mengucap.
"Hm!....." In Tiong
perdengarkan suara dingin.
"Terima kasih apa? Aku
tidak memikir untuk kau!"
"Aku tahu maksudmu kepada
peta bumi," sahut Tan Hong. "Bagaimana jikalau aku menghaturkan
terima kasih kepadamu atas namanya negara kerajaan Beng?"
"Baik!" jawab In
Tiong. "Karena kau hendak bekerja untuk Kerajaan Beng, suka aku membalas
hormatmu!" Dan ia lantas menjura. Mau atau tidak, In Loei jadi bersenyum.
"Loei, mari!" In
Tiong panggil adiknya itu.
In Loei hampirkan kakaknya,
lalu berdua, sambil bergandengan tangan, mereka bertindak ke arah pohon-pohon
yang lebat. Di sini In Tiong usap-usap rambut yang halus dari adiknya itu,
sinar matanya pun menyatakan ia sangat mengasihi adik itu.
"Adikku, adakah kau gusar
kepadaku?" ia tanya, perlahan, suaranya halus.
"Koko, aku justeru sangat
girang!" sang adik jawab.
"Sejak kita berpisahan,
tiada satu saat yang aku tidak pikirkan kau," kata kakak itu pula.
"Aku kangen terhadap kau, Loei, sehingga kadang, aku bermimpi menemui
kau.....
Aku mimpikan kau bagaikan kau
baharu berumur tiga tahun, dengan tiga untai kuncirmu,bagaimana dipadang rumput
kau mengawasi ibu mengembala kambing.....”
In Loei girang dan terharu,
hingga ia mengeluarkan air mata.
"Koko, aku tahu, kau
memang menyayangi aku, mengasihi aku....." katanya.
In Tiong menghela napas
panjang. "Kemudian," katanya, meneruskan, "tatkala untuk pertama
kali kita bertemu di Tjengliong Kiap, ketika itu kau menyamar sebagai
laki-laki,kau justeru membantui musuh menentang pihakku. Itu waktu aku telah
berpikir, di mana pernah aku lihat orang ini? Ah, dia mirip dengan
saudaraku..... Karena itu juga waktu itu aku tidak memikir untuk berlaku
telengas."
"Ya, kita yang
bersaudara, perasaan kita memang sama." kata In Loei. "Ketika
itu,koko, aku juga berpikir seperti kau pikir itu."
"Kemarin," tiba-tiba
In Tiong bicara getas, "tahulah aku bahwa kau adalah adikku, aku jadi
sangat girang, tetapi berbareng akupun berduka, sakit hatiku..... Ya, kau
nampaknya bergaul sangat erat dengan dia itu!"
Hati In Loei memukul, ia
lantas tunduk, air, matanya pun segera mengucur dengan deras.
"Adikku," In Tiong
berkata pula, "ilmu pedangmu sudah cukup untukmu menjelajahdunia kangouw,
hanya sayang, hatimu terlalu lemah. Kau sebagai gadisnya keluarga In,sekarang
aku ingin supaya kau kuatkan hatimu dan jawab satu hal."
Parasnya In Loei menjadi
pucat, tetapi ia menyahuti.
"Silahkan bilang,
koko," katanya.
In Tiong awasi adik itu.
"Sakit hati terhadap Thio
Tan Hong boleh aku tidak membalasnya," ia bilang, "akan tetapi, walau
bagaimanapun, dia tetap seorang putera dari musuh kita yang kakek paling
bencikan, maka itu kau, selama hidupmu sekarang, di jaman ini, tak dapat kau
dan dia menjadi suami isteri! Kalau sekarang kau pergi bersama ia, untuk
mengantarkannya, itu melulu untuk mengantar peta bumi itulah untuk Kerajaan
Beng kita yang terbesar! Selama di tengah jalan, tak dapat kau kasi dirimu
ditipu dengan kata-katanya yang manis. Jikalau sampai kejadian kau benar-benar
sukai dia, baiklah persaudaraan kita kakak beradik dibacok kutung saja menjadi
dua potong! Loei, sekali lagi aku peringatkan aku larang kau dan dia menjadi
suami isteri! Ini adalah apa yang hendak aku katakan. Dapatkah kau
meluluskan atau tidak? Bilang,
bilanglah! Bilanglah!"
In Loei jadi sangat serba
salah. Iapun ada sangat berduka. Kalau kakak itu bicara seperti kemarin, keras
dan kasar, mungkin ia segera berikan jawabannya yang sama kerasnya, menuruti
napsu amarahnya. Tapi sekarang..... sekarang kakak ini menatap ia dengan sinar
mata yang memohon sangat..... Ia mencoba kuatkan hatinya. Ia angkat kepalanya,
untuk membalas menatap kakak itu. Di akhirnya, ia menjawab dengan perlahan: "Baiklah,
koko, aku berjanji....."
Sehabis bersantap pagi, Thio
Tan Hong bersama In Loei pamitan dari orang banyak,mereka turun dari bukit,
untuk menyeberangi telaga. Keluarga Tamtay, ayah dan gadisnya, mengantar sampai
di tepi telaga.
Sebuah perahu telah tersedia
di tepi telaga, di bawah sebuah pohon yanglioe, itulah sebuah perahu yang
enteng, yang di dalamnya itu telah disiapkan arak harum buatan Tongteng San,
berikut daging kering dari ayam dan lainnya. Semua itu adalah hasil dari
perhatian yang besar dari Tongteng Tjhoengtjoe.
Tamtay Keng Beng, dengan
tangan memegangi cabang yanglioe yang meroyot turun,mengawasi orang naik
keperahu. Dengan perlahan sekali, ia mengucapkan: "Ribuan oyot yanglioe
tak dapat mengikat menghentikan sebuah perahu yang berlayar....." Wajahnya
tampak suram.
"Entjie Keng Beng,"
berkata In Loei kepada nona itu, "tolong kau perhatikan kakakku!
Lain hari nanti kita bertemu
pula di kota raja!" Keng Beng tertawa.
"Entjie In Loei," ia
menjawab, "tolong kau perhatikan siauwtjoe kami!"
Tongteng Tjhoengtjoe juga
nimbrung: "Aku pujikan supaya kamu selamat di perjalanan, supaya peta bumi
dapat dibawa ke kota raja, supaya tidak sia-sialah yang keluarga kami telah
melindunginya selama beberapa turunan!"
Di mukanya In Loei tertampak
warna merah, tetapi tjhoengtjoe itu bicara secara sungguh-sungguh, ia lantas
angkat kedua tangannya, untuk membalas hormat sambil mengucapkan terima kasih.
Thio Tan Hong telah kenyang
melawan gelombang, sekarang dapat ia berkumpul berdua dengan In Loei, ia girang
bukan kepalang. Maka juga, selagi membuatnya perahunya laju, ia menepuk-nepuk
irama untuk bernyanyi. Tapi, ketika ia menoleh ke tepi tadi, ia tampak Tamtay
Keng Beng masih memegangi cabang yanglioe dan matanya si nona mengawasi
kepadanya.....
"Eh, saudara kecil,
mengapa kau tidak tertawa?" tanya Tan Hong, yang lihat orang diam
membungkam.
"Apakah yang mesti
ditertawainya?" tanya In Loei sambil membuat main tali bajunya.
"Kita dapat membuat
perjalanan bersama, apakah itu bukan suatu hal yang menggirangkan?" tanya
Tan Hong.
"Jaraknya perjalanan
tapinya terlalu pendek," kata si nona.
Untuk sejenak, Tan Hong
melengak. Tapi segera ia insyaf. Maka ia pikir dalam hatinya:
"Memang, perjalanan hidup
manusia ada jauh tetapi perjalanan kita terlalu pendek.....”
Lalu ia kata: "Tidak usah
kau mengatakannya, aku dapat menerka apa katanya kakakmu kepadamu. Tentang itu
kau tidak usah kuatir. Tujuan kakakmu sama dengan tujuan kita,mungkin akan
datang waktunya yang ia nanti ijinkan kita melakukan perjalanan jauh bersama-sama....."
Mendengar ini, hati In Loei
tergerak.
"Memang, sikap kakak
kemarin dan hari ini beda sekali," pikir ia. "Sebelumnya ia sangat
keras mencegah aku berjalan bersama Tan Hong. Dahulu ia membenci sangat Tan
Hong,ia berkukuh hendak membalasnya, tetapi sekarang, permusuhan itu telah
berkurang banyak. Benar seperti kata toako, dalam dunia ini tak ada benda yang
selamanya tak berubah.....”
Baharu nona ini berpikir
demikian, atau lain pikiran datang pula.
"Apa yang pagi ini koko
katakan, semuanya beralasan," demikian pikirnya pula. "Akukuatir
setelah ini, untuk selanjutnya, ia tak dapat mengalah lebih jauh.....”
Karena ini, ia jadi bertambah
duka. Tapi, hendak ia hiburkan diri. Maka ia pikir, baiklah ia ke sampingkan
dahulu urusan pernikahan, lebih baik ia mementingkan kejadian yang ia hadapi.
Bukankah sudah cukup asal ia sering bertemu muka sama Tan Hong, bertemu muka
bukan sebagai musuh?
Tan Hong biarkan orang
berpikir, ia mengawasi sambil bersenyum. Ia telah menerka
apa yang si nona pikirkan, ia
sengaja membiarkannya saja, tak mau ia mengganggunya.
Dengan membungkam, orang bisa
dapatkan sesuatu yang baik.....
Di waktu magrib, kedua anak
muda ini telah seberangi telaga Thayouw. Mereka bermalam di kota Souwtjioe.
Ketika pertama kali ia mendaki
Tongteng San, Tan Hong telah titipkan kudanya,Tjiauwya saytjoe ma, pada satu
keponakannya Tamtay Toanio, sekarang ia ambil kudanya itu, untuk di hari kedua
ia bersama In Loei lakukan perjalanan ke Utara. Di sepanjang jalan mereka lihat
banyak kuda kereta berjalan bererot mengangkut rangsum, tahulah mereka artinya
kegentingan ketenteraan.
Begitu lekas mereka memasuki
wilayah propinsi Hoopak, Tan Hong dan In Loei saksikan suasana yang terlebih
tegang. Mereka yang menuju ke Utara sedikit sekali,sebaliknya mereka yang
menuju ke Selatan, makin lama makin banyak, mereka menyingkir untuk mengungsi.
Lagi dua hari mereka berjalan,
kecuali mereka berdua, tidak tampak orang lainnya lagi.
Di jalan besar, di jalan
kecil, sampai di gili-gili sawah, yang tampak adalah mereka yang tengah
mengungsi, berisik suara mereka itu. Orang-orang tua dipayang, anak-anak kecil
dituntun..... Dan anak-anak yang lebih kecil ada yang memanggil-manggil ayah
dan ibunya.....
Mereka itu sangat mengharukan
dipandangnya. Kabar angin juga berbareng ada tersiar luas. Ada yang mengatakan
bahwa pasukan perang Mongolia sudah menerjang masuk ke kota Kieyongkwan atau
telah tiba di Hoaydjoe atau Bitin, dua kecamatan di utara kota raja. Ada lagi
yang bilang musuh sudah lintasi Patatleng. Yang lebih hebat lagi adalah kabar
burung bahwa ibu kota Pakkhia sudah dikurung musuh.
Sejumlah rakyat pengungsi itu
ketika ketahui Tan Hong berdua hendak pergi ke Pakkhia, semua mereka
menunjukkan roman heran dan kaget, lalu mereka memberi nasehat untuk keduanya mengurungkan
niat mereka, sebab katanya itulah perjalanan mengantarkan jiwa.....
Mau atau tidak, Tan Hong jadi
berduka juga. Ia mesti pergi ke Pakkhia, walaupun keadaan genting dan
berbahaya. Tidak bisa lain, ia ubah ambil jalan, yaitu ia tak lagi ambil jalan
besar, ia hanya ambil jalan kecil untuk memotong jalan ini, baharu dua hari,
mereka sudah tidak bertemu seorang jua. Di kampung-kampung dalam sepuluh,
sembilan orang telah pergi menyingkir. Terang sudah, siapa yang dapat
mengungsi, dia telah singkirkan dirinya dari daerah perang.
Segera Tan Hong dan In Loei
tiba di sebuah desa dekat Pong San. Di sini mereka berputar-putar mencari rumah
penduduk yang ada penghuninya, setelah setengah harian,baharu mereka ketemui
satu keluarga tani yang belum mengungsi. Keluarga ini terdiri dari satu nyonya
tua dan satu anak muda, ibu dan anak. Si ibu sudah tua dan lemah, tak kuat
jalan, dan si anak tak tega eninggalkannya.
Tan Hong minta dikasi
menumpang. Nyonya tua itu baik budi, suka ia memberi tempat meneduh, tetapi ia
bilang, tak dapat ia menyediakan beras atau nasi.
"Tidak apa," kata
Tan Hong, yang terus berikan separuh dari bekalan sekantong berasnya. Malah
iapun obati nyonya itu, yang dapat sakit mejen. Ia memang ada membekal
obat-obatan.
Si orang tua bersyukur, karena
dengan lekas ia telah sembuh dari sakitnya itu.
Ditanya tentang keadaan
perang, nyonya tua itu tidak dapat memberi keterangan kecuali katanya menurut
kabar bahwa kota Hoaydjoe sudah jatuh, sedang kota itu terpisah dari kampungnya
cuma kira-kira seratus lie. Kabar itu ia dengar dari sanaknya yang lewat
mengungsi di kampungnya itu.
Nyonya rumah tidak punya kamar
lebih, Tan Hong dan In Loei terpaksa rebahkan diri di kamar yang dijadikan
gudang kayu. In Loei telah menyamar sebagai satu pemuda, ia tak usah kuatir
mendatangkan kecurigaan orang. Tetapi mereka tak dapat tidur pules, mereka
kuatirkan urusan negara.
Tepat jam tiga, Tan Hong
dengar pintu depan didobrak terbuka, ketika ia lompat keluar, ia dapati tuan
rumah yang muda sedang dicekal keras oleh satu perwira yang mukanya berlumuran
darah.
"Lekas masak nasi
untukku, atau aku bunuh kau!" demikian si perwira mengancam.
"Berlakulah murah hati,
tuan, lepaskan anakku," memohon si nenek.
"Baik, tapi lekas masak
nasi!" kata perwira itu. "Di sini ada dua ekor kuda, mari kasikan
yang satu padaku. Anakmu pun mesti gendol barangku!.....
"Akan aku masak nasi,
tuan," kata pula si nenek. "Tapi kasihani anakku yang tinggal
satu-satunya ini. Dari tiga anakku, yang dua sudah dipaksa dibawa pergi oleh
kamu.Kasihani kami, tuan, bebaskanlah dia....."
"Tua bangka tolol"
Bentak perwira itu. "Tentara Mongolia sudah menerjang, siapa juga mesti
pergi perang!..... Tiba-tiba ia menoleh, ia lihat Tan Hong di pojokan yang
suram, karena api pelita yang kelak-kelik. Ia lantas saja tertawa, terus ia
kata: "Hai, babi tua, kau mendustai Lihat di sana, apa bukan masih ada
satu lagi anakmu?"
Sambil pegangi tangan si anak
muda, yang ia pencet nadinya, perwira itu maju kepada Tan Hong, untuk jambak
pemuda kita itu.
Tan Hong mengawasi dengan
dingin.
"Bukannya kau pergi
berperang, kau sebaliknya mengganggu rakyat!" katanya dengan bengis. Ia
menangkis sambil berniat cekal tangan perwira itu.
Si perwira tarik tangannya, ia
lantas menyerang. Tapi Tan Hong dapat menangkis pula.
Setelah dua tiga gebrak, Tan
Hong heran. Ilmu silat si perwira ternyata adalah ilmu silat dari Tiamtjhong
Pay. Terpaksa ia mendesak, untuk bikin perwira itu lepaskan cekalannya kepada
tuan rumah, setelah mana, ia mendesak lebih jauh.
Masih si perwira melawan,
sampai kemudian dia berteriak "Aduh!" dan tubuhnya rubuh terguling,
karena tak dapat dia bertahan lama.
"Eh, eh, kau toh Thio Tan
Hong?" dia berseru selagi dia rebah dan matanya mengawasi orang yang
merubuhkan padanya. "Kau, kau.. ampunilah aku,jangan kau tangkap aku dan
bawa ke Mongolia .....”
Tan Hong heran, ia mengawasi.
"Jangan ngaco!"
katanya. "Siapa mau tangkap kau untuk dibawa ke Mongolia?"
Ia maju akan cekal tangan
orang, untuk menyeka mukanya yang penuh darah itu,setelah meneliti, iapun melenggak.
Perwira itu nyata adalah
Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, pantas dia liehay.
"Memang, segala pembesar
banyak yang galak.....” kata si nenek. Ia menghela napas."Tapi kasihan dia
ini, dia terluka begini rupa.....”
Tubuh Tiauw Hay itu terlukakan
belasan anak panah, dua antaranya belum tercabut.Kecuali mukanya, pakaiannya
pun berlepotan darah. Dia ada sangat lelah, kedua matanya pun hilang sinarnya.
"Dia benar tangguH,
walanpun dia terluka parah, masih sanggup dia melayani aku beberapa
jurus," pikir Tan Hong. Tapi, ketika ia periksa luka orang, kebanyakan
luka itu tidak berbahaya, kecuali dua yang anak panahnya masih menancap. Ia
lantas cabut terus ia memberikan obat.
"Apakah dia
sahabatmu?" si orang tua tanya.
"Ya," sahut Tan Hong
sembarangan. Tapi ia jengah untuk mengucap demikian. Di dalam hati kecilnya, ia
berkata: "Apabila orang tahu dia ini Taylwee Tjongkoan, sekalipun raja
akan turut dapat malu....."
Setelah itu, si nenek hendak
pergi masak nasi. "Tidak usah," Tan Hong cegah, "nanti aku sendiri
yang layani dia."
Benar-benar Tan Hong pergi
untuk memasak nasi.
"Kong Tjongkoan, kau
dahar seadanya saja," ia bilang kemudian.
Di waktu pieboe, Tiauw Hay
telah menitahkan orang bekuk Tan Hong, sekarang ia lihat orang bersikap baik,
kepadanya dengan diobati dan dikasi makan, tidak berani ia banyak omong. Ia
dahar dengan cepat dan banyak, hingga dengan cepat juga ia mulai pulih
kesegaran tubuhnya.
"Kong Tjongkoan, kenapa
kau tidak ikuti Sri Baginda?" tanya Tan Hong kemudian.
"Kenapa kau menyingkir
seorang diri kemari?"
Tjongkoan itu perlihatkan rupa
berduka.
"Panjang untuk
berceritera," ia jawab. Ia menghela napas. "Sebenarnya aku memang
mengiringi Sri Baginda, tentera kita berjumlah lima puluh laksa jiwa, tetapi
pasukan itu termusnah semua, jikalau aku tidak lekas lari, sudah pasti jiwaku
pun turut lenyap....."
Tan Hong terkejut, hingga ia
memotong: "Apa?" tanyanya. "Benarkah kau ikuti Sri Baginda?
Mungkinkah tentara Mongolia sudah masuk ke Pakkhia?"
"Bukan," Tiauw Hay
jawab, cepat. "Sebenarnya Sri Baginda mengepalai sendiri angkatan
perangnya, sekarang dia berada di luar kota Hoaydjoe di mana dia telah dikurung
rapat-rapat oleh musuh.....”
Kembali Tan Hong terkejut.
"Apa? Sri Baginda pimpin
sendiri angkatan perang?" dia tanya. "Usul siapakah itu?"
"Itulah kehendak Ong
Kongkong....." sahut Tiauw Hay.
Tan Hong ada demikian gusar
hingga ia hajar meja di depannya sehingga ujung meja itu pecah.
"Ong Tjin, itu
jahanam!" teriaknya. "Sunguh dia sangat jahat!"
Tiauw Hay tidak berani buka
mulut, ia bungkam.
In Loei, yang sejak tadi diam
saja, datang menghampirkan.
"Jangan kau
bergusar," ia menyabarkan. "Cobalah tanya dia lebih jauh."
"Kenapa tidak dititahkan
Ie Kiam Ie Thaydjin yang mengepalai angkatan perang?" Tan Hong tanya.
"Itu ada urusan pemerintah,
aku tahu apa?" Tiauw Hay jawab. "Apa yang aku dengar,orang mengatakan
Ie Kiam adalah menteri sipil, dia tidak mampu memimpin tentara."
"Hm! Sekarang mereka itu
yang pegang pimpinan, bagaimana dan jadinya?"
Tiauw Hay tidak menjawab,
tetapi dia menutur: "Sri Baginda bersama Ong Kongkong yang pegang
pimpinan, mereka berangkat dari Pakkhia pada tanggal enam belas bulan tujuh,
tanggal sembilan belas mereka lewat di Kieyongkwan, tanggal dua puluh tiga tiba
di Soanhoa, lalu pada tanggal satu bulan delapan mereka memasuki kota Taytong.
Selama itu, beberapa hari lamanya, terbit hujan angin besar, tentara menderita
kedinginan. Karena tidak ada persiapan baju dingin. Di kota Taytong itu,
beberapa laksa jiwa mati beku, maka belum mereka menghadapi musuh, barisan itu
sudah kacau sendirinya. Celakanya, Pengpou Siangsie Kong Tim telah jatuh dari
kudanya dan terluka parah. Oleh karena kejadian-kejadian tidak diingin itu,
Hoepouw Siangsie Ong Tjo mengusulkan untuk menarik pulang angkatan perang. Ong
Kongkong tolak usul itu, malah ketika angkatan perang diberangkatkan lebih
jauh, Hoepouw Siangsie dihukum berlutut di tanah berumput. Pada tanggal dua
bulan delapan, Sianhong Tjio Heng telah mulai menghadapi tentara Watzu di
Vanghookauw, dia kalah dan barisannya musnah. Pangeran Boetjinpek Tjoe Bian
merangkap tjongpeng dan Pangeran Seelenghouw Song Eng merangkap tjongtok dari
Taytong telah terbinasa bergantian dalam pertempuran itu. Atas itu Tjongpeng
Kwee Teng dari Taytong mengasi pikiran kepada Sri Baginda untuk mundur dari
kota Tjiekengkwan, tetapi kembali Ong Kongkong menolak. Ong Kongkong adalah
orang asal Wietjioe, dia hendak ajak Sri Baginda pergi ke rumahnya, karena
mana,angkatan perang lantas di pimpin ke kota Wietjioe itu. Orang baharu jalan
empat puluh lie, tiba-tiba tujuan diubah ke arah timur, alasannya ialah Ong
Kongkong kuatirkan sawah ladangnya nanti ludas terinjak-injak pasukan tentera.
Kesudahannya orang ambil jalan bekas, untuk kembali ke Soanhoa. Ketika pada
tanggal sepuluh pasukan tentara tiba di kota Soanhoa, pasukan musuh telah dapat
menyandak. Pertempuran terjadi di bukit Yauwdjieleng. Di sinilah angkatan
perang kena dipukul rusak dan buyar. Baharu kemarin dahulu Sri Baginda
menyingkir ke Touwbokpo. Pasukan depan dari musuh sementara itu, dengan ambil jalan
kecil, sudah mendahului Sri Baginda, maka itu pasukan musuh itu dapat balik
kembali, untuk terus melakukan pengurungan."
Thio Tan Hong menjadi
terlebih-lebih gusar. Tahulah ia sekarang bahwa orang yang menganjurkan raja
maju perang sendiri, yang pimpin tentara, yang mengajaknya mundur, semua adalah
dorna Ong Tjin seorang. Terang sudah, Ong Tjin sudah merencanakan semua itu,
hingga karenanya, angkatan perang Kerajaan itu menjadi hancur lebur.
Selagi anak muda ini mencoba
menenangkan diri, Kong Tiauw Hay telah bicara pula.
Kata dia: "Syukur aku
dapat melihat gelagat, diam-diam di waktu malam, aku nerobos keluar dari
kepungan. Seandainya aku terus terkurung di Touwbokpo itu, jikalau aku tidak
terbinasa dalam peperangan, tentulah aku mati kelaparan.....”
Tan Hong perdengarkan suara
dingin "Hm!"
"Di bebokongmu ini ada
tergendol bungkusan besar yang agaknya berat, barang apakah itu?" ia tanya
sambil menunjuk ke belakangnya tjongkoan itu.
Kong Tiauw Hay tidak segera
menjawab, tetapi mukanya menjadi pucat.
Sebet bagaikan kilat,
tangannya Tan Hong menyambar ke bebokong orang, hingga dalam sedetik bungkusan
itu telah berpindah tangan, lalu terus si anak muda membantingnya di tanah,
sehingga bungkusan itu pecah dan isinya berhamburan.
Untuk herannya semua orang,
isi bungkusan itu adalah goanpo atau uang emas potongan semua. Tan Hong tertawa
dingin.
"Jadinya kaburmu ini
ialah untuk harta besar ini!" katanya.
Kong Tiauw Hay turut tertawa.
"Harta ini semua adalah
hadiah Sri Baginda kepadaku," ia berikan, keterangan. "Semua ini
bukannya harta tidak halal. Hari ini kau telah tolong aku, suka aku untuk kita
membagi dua harta ini.....”
Kembali Tan Hong tertawa
dingin. Tapi setelah itu, mendadak ia unjuk roman bengis.
"Kecewa kau menjadi
Taylwee Tjongkoan1. Kecewa kau menyebut-nyebut budinya Sri Baginda!" kata
dia. "Sri Baginda telah berlaku baik hati terhadap kau, kenapa di saat Sri
Baginda terancam bahaya, kau tinggal dia lari?"
Kong Tiauw Hay melengak. Ia
tahu Thio Tan Hong ini musuh raja, maka ia heran kenapa anak muda itu menegur
ia secara demikian. Ia berani majukan usulnya itu pun karena menganggap pemuda
ini musuh junjungannya.
"Malam ini kau berdiam di
sini," kata Tan Hong. "Besok pagi kau turut aku pergi ke
Touwbokpo."
"Apa? Pergi untuk
mengantarkan jiwa?" Tiauw Hay tanya.
"Kau gegares gaji negara,
sekalipun nyata-nyata ada untuk antarkan jiwa, itu sudah seharusnya!" Tan
Hong bilang. "Kenapa kau takut? Kau toh antarkan jiwa bukannya sendirian
saja? Kamipun antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun turut antarkan
jiwa bersama?"
Wajahnya Tiauw Hay menjadi
pucat sekali. Ia tidak bilang apa-apa lagi, hanya lantas ia membungkam, untuk
terus punguti uang goanpo itu, untuk dikumpulkan.
Tan Hong bersama In Loei
tertawa dingin, mereka mengawasi tanpa mencegah.
Kuda putih dari Tan Hong dan
kuda merah dari In Loei berada didekat mereka, ada goanpo yang mencelat ke kuda
itu, maka Tiauw Hay terus punguti semua uangnya. Di saat ia datang dekat kuda
putih, mendadak ia lompat akan sambar lehernya kuda itu!.
Tjiauwya saytjoe ma bukan kuda
sembarangan, dia kaget dan berontak, lantas dia menyentil berulang-ulang, dia
meringkik tak hentinya.
"Hai, apa kau bikin"
bentak Tan Hong. Tiauw Hay tidak menjawab, karena dia tidak bisa takluki kuda
putih itu, ia terus lompat naik ke bebokongnya kuda merah. Ia lantas saja
tertawa.
"Aku Kong Tiauw Hay masih
ingin hidup senang lagi beberapa tahun, maka maafkan aku, tidak dapat aku
antarkan kamu!" kata dia, yang terus gunakan goloknya menumblas kempolan
kuda, saking kaget dan sakit, kuda itu sudah lantas berlompat lari, kabur
keluar, hingga sesaat kemudian kuda dan penunggangnya lenyap di malam yang
gelap itu.
In Loei jadi kaget.
"Toako, mari kita
kejar!" dia berteriak. Tan Hong tapinya menggeleng kepala.
"Orang semacam dia,
dicandak pun tidak ada faedahnya.....” ia bilang. Ia terus menarik napas
panjang, dengan lesu ia jatuhkan diri ke kursi, ia kata: "Dahulu Gak Boe
Bok pernah bilang, 'Pembesar sipil doyan duit, pembesar militer sayang jiwa,
kalau begitu, apakah artinya urusan penting?1 Dan sekarang ini, pembesar sipil,
pembesar militer, semuanya doyan duit! Kejahatannya Ong Tjin itu nyata tak
kalah daripada kejahatannya Tjin Kwee,karenanya aku kuatir hikayat Ahala Song
bakal terulang pula, kehinaannya Baginda Hwie Tjong dan Baginda Kim Tjong, yang
tertawan musuh, akan terlihat pula hari ini!.....”
"Di dalam kerajaan ada
Tjin Kwee, di sana pun ada Gak Boe Bok," berkata In Loei, "Di mana Ie
Kokloo tidak kalah daripada Gak Boe Bok itu, aku harap toako tidak menjadi
tawar hati."
"Hanya sayang Ie Kokloo
itu tidak punya kekuasaan atas tentara," bilang Tan Hong, yang masih
berduka. "Menyesal aku tidak punya sayap untuk terbang ke Pakkhia,supaya
aku bisa bantu Ie Kokloo itu....."
Dua anak muda ini jadi sangat
bersusah hati. Karena ini, tidak tunggu sampai pagi,mereka sudah lantas pamitan
dari si nenek dan anaknya, dengan menunggang kuda putih, mereka berangkat
pergi. Belum lama mereka jalan mereka lantas dengar suara tambur dan terompet
yang datangnya dari arah depan.
Tan Hong larikan kudanya
mendaki tanjakan, dari situ ia memandang jauh ke depan,hingga ia tampak banyak
bendera, boleh dibilang di seluruh bukit dan tegalan, tertampak tentara
Mongolia.....
"Tidak dapat kita lewati
mereka itu.....” kata In Loei, lesu.
"Aku ada akal," kata
Tan Hong. "Kau turunlah dan tunggu di sini." In Loei menurut.
"Kau umpetkan diri,"
Tan Hong kata pula. Lalu ia larikan kudanya turun gunung, ia
menghampirkan dan masuk ke
dalam pasukan musuh! .
In Loei kaget bukan main,
mukanya pucat sekali. Syukur ia tak usah ketakutan terlalu lama. Sebab segera
juga ia lihat Tan Hong telah kembali bersama dua perwira bangsa Watzu. Tentu
saja, ia sekarang menjadi sangat heran.
Nona In dewi kz tidak ketahui
bahwa Tan Hong pandai bahasa Mongolia, bahwa di dalam sakunya pemuda ini ada
menyimpan sehelai lengtjhie, bendera pertandaan militer, yang dia curi ketika
dahulu dia keluar dari Mongolia, untuk menyusup masuk ke Tionggoan. Sekarang
lengtjhie itu dia gunakan, dia akui bahwa dirinya adalah mata-mata Watzu yang
diutus ke Tionggoan semenjak sebelumnya perang. Dan dia dipercaya dua perwira
Mongolia itu.
Tan Hong mendusta terlebih
jauh, katanya di bukit itu dia lihat seorang yang mencurigakan, dia ajak kedua
perwira, untuk memeriksa, maka itu, mereka datang bersama. Tapi, begitu lekas
mereka sudah mendaki bukit di mana In Loei berada, dengan sekonyong-konyong dia
hajar dua perwira itu hingga mereka rubuh binasa sebelum tahu apa-apa.
Bukit itu terpisah dari
barisan Mongolia beberapa lie jauhnya, maka itu, tidak ada satu serdadu
Mongolia yang lihat apa yang terjadi dengan kedua perwira mereka.
In Loei telah saksikan
kejadian itu, ia lantas muncul.
"Bagus!" kata Tan
Hong kepada kawannya itu. "Sekarang mari kita menyamar sebagai dua perwira
Mongolia ini. Bukankah kau belum lupa akan bahasa Mongolia?"
"Ya, aku masih belum
lupa!" sahut In Loei sambil tertawa. "Aku tidak sangka bahwa sekarang
bahasa itu berguna bagi kita..."
"Aku telah cari
keterangan jelas," Tan Hong berkata pula. "Mereka ini adalah pasukan
tangga ketiga dari resimen kedua, dan kemarin, barisan ini baharu saja
melakukan pertempuran hebat. Mungkin barisan ini telah bentrok dengan Gielim
koen di bawah Thio Hong Hoe dan mendapat kerugian besar maka sekarang mereka
sedang disiapkan untuk dipersatukan dengan pasukan lainnya. Maka cocoklah kalau
kita menyamar jadi kepala barisan mereka. Ingat, kau bernama Hawa dan aku
Talai."
In Loei manggut, ia bersedia
akan iringi kawannya itu. Keduanya lantas lucuti seragam kedua perwira Mongolia
itu, untuk mereka pakai. Syukur bentuk tubuh mereka tidak beda jauh.
Tan Hong tunggu sampai sudah
magrib, baharu ia ajak In Loei turun dari tempat sembunyi itu, untuk larikan
kuda mereka ke dalam barisan Mongolia itu, untuk campurkan diri. Mereka tidak
tampak kesukaran, karena pemuda she Thio itu ketahui baik segala aturan tentara
Mongolia. Mereka dapat tempat dalam satu pasukan yang baharu saja disusun rapi.
Keesokan paginya, barisan ini
sudah lantas dimajukan pula. Mereka di kirim ke Touwbokpo sebagai bala bantuan.
Lewat tengah hari, mereka tiba di medan perang.
Begitu melihat keadaan pihak
Beng, Tan Hong kaget sekali. Barisan Beng itu telah kena dihajar hingga hancur
menjadi sejumlah barisan-barisan kecil, yang berserabutan ke timur dan
barat.....
-ooo00dw00ooo
Dengan berisik terdengarlah
suara terompet di dalam pasukan perang Watzu, disusul gemuruhnya suara tambur
perang, lalu di atas gunung terlihat berkibarnya sehelai bendera besar dengan
tanda hurufnya "Komandan." Dan satu perwira Mongolia,yang dandan
sebagai pangeran, kelihatan bercokol di atas kudanya di atas gunung itu. Dengan
cambuknya, pangeran itu menunjuk ke arah depan.
Dia itu adalah Thaysoe Ya
Sian, orang yang pegang kekuasaan besar atas bala tentera Watzu. Dia sedang
pimpin barisannya, akan hajar tentera kerajaan Beng itu, yang dicegat sana
sini, hingga tentera itu jadi kalut sekali.
Dalam keadaan kacau itu,
sekonyong-konyong di sebelah timur, muncul satu pasukan Beng yang mengibarkan
bendera naga, ketika tentera Watzu lihat bendera itu, mereka lantas saja
berteriak-teriak: "Ha, raja Bengtiauw ada di sana!"
Menyaksikan itu Tan Hong
kertek gigi.
"Sungguh Ong Tjin jahat
sekali!" kata dia dalam hatinya. "Nyatalah dia masih kuatir musuh
tidak tahu di mana adanya Sri Baginda!"
Sebab maksud dikibarkannya
bendera raja itu adalah untuk memberi tanda kepada musuh, agar musuh ketahui di
mana adanya raja.
Kaisar Kie Tin dari Kerajaan
Beng telah terkurung satu hari dan satu malam di benteng Touwbokpo, ia
berkuatir bukan main. Ia telah saksikan angkatan perangnya telah dihajar rusak
oleh musuh, sampai ia tidak sanggup mengumpulkan dan menyusunnya pula dengan
sempurna. Ia sekarang hanya mengandalkan kepada Thio Hong Hoe serta pasukan
pengawalnya sendiri. Begitulah ia ajak komandan dari Kimie wie itu membicarakan
soal menoblos kurungan musuh.
Raja dan pahlawannya ini
tengah berbicara tatkala mereka lihat Ong Tjin berlari-lari datang dengan muka
terpucat-pucat, dan begitu tiba di hadapan raja, orang kebiri itu perdengarkan
suaranya yang tak wajar: "Sri Baginda, celaka! Tentera lapis besi musuh
sudah sampai di muka kubu-kubu! Lekas Sri Baginda titahkan Thio Tongnia pergi
menangkis mereka!.....”
Selagi raja tercengang, Thio
Hong Hoe sudah perdengarkan suaranya: "Jangan kaget,Sri Baginda!"
demikian pahlawan ini. "Hari ini, meski mesti kurbankan jiwa, hambamu akan
lindungi Sri Baginda menoblos kurungan!"
Sehabis mengucap demikian,
pahlawan ini segera lari keluar, untuk wujudkan katakatanya,guna memukul mundur
musuh.
Seberlalunya pahlawan itu,
tiba-tiba saja Ong Tjin tertawa menyeringai. Tidak lagi ia bermuka pucat dan
beroman sangat ketakutan seperti tadi. Ia malah bergembira.
"Sri Baginda,"
berkata dia, "hari ini habis sudah harapan kita, kecuali kita menyerah dan
menakluk, tidak ada lain jalan hidup pula. Hambamu mohon agar Sri Baginda sudi
pergi ke tangsi Watzu untuk mohon perdamaian....."
Kaisar kaget bukan main
mendengar perkataan hambanya ini.
"Cara bagaimana aykeng
dapat mengatakan begini?" dia tanya. "Aykeng" berarti
"menteri yang dicintai."
Ong Tjin tidak menjawab rajanya
itu, yang masih menghargai padanya. Dengan tibatiba ia perlihatkan roman
bengis.
"Mana pahlawanku?"
dia memanggil. Atas panggilan itu, dari luar kemah muncul pahlawan dorna kebiri
itu, dan raja, tanpa berdaya, sudah lantas saja diringkus.
Hong Hoe sendiri, selekasnya
dia tiba di luar kemah, dia kaget bukan main. Dia telah saksikan dikereknya
bendera naga. Seperti Tan Hong, segera dia insyaf akan akal muslihatnya Ong
Tjin yang jahat itu. Sebenarnya ingin dia kembali ke dalam kemah, akan tengok
junjungannya, akan tetapi tentara Watzu benar-benar sudah menerjang, terpaksa
ia maju terus, untuk melakukan perlawanan. Hebat untuknya, dengan lekas ia
telah kena dikurung musuh, yang telah memutuskan jalannya kembali kepada
rajanya.
Sementara itu, darah In Loei bergolak-golak
saking murkanya.
"Toako, mari kita bunuh
Ong Tjin, untuk menolong Sri Baginda!" ia ajak Tan Hong.
Bersama-sama Tan Hong, In Loei
ini memimpin satu barisan tengah, dari itu, di depan mereka terdapat lain
barisan, yang berjumlah besar, maka, untuk bisa menyerbu ke arah kaisar Beng,
adalah sulit sekali. Mungkin mereka tidak mampu berbuat demikian sekalipun
mereka mempunyai kuda-kuda jempolan.
Tan Hong tertawa meringis.
"Di saat seperti ini
tidak lagi kita dapat berlaku nekat," katanya, masgul. "Mari kita
naik ke tempat tinggi, untuk melihat keadaan.....”
Dan dari tempat yang tinggi,
mereka saksikan Ong Tjin menaikkan Kaisar Kie Tin ke atas kuda dengan tubuh
terbelenggu. Dengan tangannya sendiri, dorna kebiri itu mengangkat naik bendera
putih, untuk dilambai-lambaikan, hingga bendera tanda menakluk itu
berkibar-kibar di antara sampokan angin. Beberapa pahlawan yang setia telah
mencoba maju, untuk menolongi raja, akan tetapi mereka dirintangi oleh
pahlawanpahlawannya si dorna. Dipihak lain, barisan musuh sudah datang
mendekati raja yang tak beruntung itu.
Dalam saat seperti itu,
sekonyong-konyong terdengar suara teriakan keras bagaikan guntur, lalu
tertampak Hokwie Tjiangkoen Hoan Tiong, dengan sepasang gembolan di tangan,
mengaburkan kudanya ke arah raja. Panglima ini seperti kalap, tak lagi ia
menghiraukan dirinya. Tapi ia pun segera dicegat dan dikepung oleh
pahlawanpahlawannya Ong Tjin dibantu tentara watzu yang melepaskan anak panah.
Hoan Tiong mengenakan lapisan
baja di depan dadanya dan kopiah di kepalanya,kedua belah anggota tubuh itu
bebas dari anak-anak panah, tidak demikian dengan pundak dan bebokongnya, maka
itu, belasan anak panah, telah menancap di tubuhnya itu, tetapi ia tangguh
sekali, ia tak rubuh karenanya. Ia paksa maju terus ke arah junjungannya,
hingga ia datang dekat si dorna kebiri.
Ong Tjin terkejut menyaksikan
kegagahan orang itu.
"Hoan Tjiangkoen, marilah
kita bicara!" ia serukan. Ia sangat berkuatir.
Jawaban Hoan Tiong adalah
teriakan berguntur: "Hari ini aku akan mewakili negara membasmi
penghianat!" Dan teriakan itu dibarengi dengan turunnya sebilah
gembolannya yang berat itu, menimpa Ong Tjin, hingga tubuh si dorna rubuh dari
atas kudanya.
Sementara itu, dia sendiri pun
tidak bebas dari beberapa bacokan musuh.
Dalam keadaan luka parah itu,
Hoan Tiong tertawa berkakakan, lalu tiba-tiba ia ayunkan gembolannya ke arah
kepalanya sendiri, maka sedetik saja, ia rubuh dari kudanya dengan kepalanya
pecah, jiwanya melayang. Ia lebih suka bunuh diri daripada tertawan atau terbinasa
ditangan musuh.
Bagaikan air bah, demikian
serbuan tentara Watzu, maka sejenak kemudian, kaisar Beng yang sudah tidak
berdaya itu telah menjadi orang tawanan, sedang menterimenterinya,yang turut ke
medan perang, seperti Siangsie Kong Tim, Ong Tjoh, Haksoe Tjo Teng dan Thio Ek,
pangeran Enqkok-kong Thio Hoe dan lainnya, telah berkurban untuknya. Juga di
antara pahlawan-pahlawan Ong Tjin, ada delapan atau sembilan yang terluka dan
terbinasa.
Kejadian yang menyedihkan
dalam hikayat Kerajaan Beng ini adalah yang dinamakan "Peristiwa di
Touwbok." Thio Hong Hoe telah lihat junjungannya tertawan, mendadak saja
ia muntahkan darah hidup. Kemurkaannya tak terkira. Dengan nekat ia lantas
terjang musuh, dalam tempo pendek ia telah rubuhkan belasan musuhnya, tetapi ia
pun tetap terkurung, jumlah musuh yang besar membikin mereka merupakan seperti
tembok besi dinding tembaga, tidak dapat ia pecahkan kurungan itu.
Akhir-akhirnya ia berteriak:
"Raja terhina, menteri terbinasa!" dan ia balikkan goloknya, untuk
menabas batang lehernya sendiri. Tapi anak panah musuh mendahului ia, lengannya
kena terpanah, goloknya terlepas dari cekalan, jatuh ke tanah, hingga di lain
saat, ia pun menjadi orang tawanan.
Dengan kemenangan besar itu,
dengan membunyikan gembreng, tentera Watzu telah menyelesaikan peperangan.
Daerah Touwbokpo itu yang luasnya beberapa ratus lie lantas dibersihkan dari
musuh, di situ didirikan kemah. Segera pun babi dan kerbau disembelih, untuk
membikin pesta besar, untuk merayakan kemenangan.
Di dalam tentera itu, terdapat
Thio Tan Hong dan In Loei. Mereka tak dikenal dalam penyamaran mereka. Maka itu
mereka dapat mendengar pembicaraan di antara beberapa perwira.
"Malam ini di dalam kemah
jenderal akan diadakan keramaian yang istimewa," kata satu perwira,
"sayang aku hanya berpangkat kapten, aku tak berhak untuk turut hadir
dalam pesta itu.....”
"Keramaian apakah
itu?" tanya satu perwira lain. Perwira yang pertama bicara itu menyahuti:
"Aku dengar malam ini jenderal kita hendak paksa kaisar Beng menjadi pelayannya,
untuk melayani dia minum arak. Tidakkah itu luar biasa bagus?"
"Ya, benar bagus!"
kata perwira yang menanya. "Kaisar Beng telah kita tawan,aku lihat
peperangan akan segera berakhir, dengan begitu, lekas juga kita akan
pulang," berkata satu perwira lain lagi. "Kita akan merayakan tahun
baru kita!"
"Tetapi kita masih belum
masuk ke Pakkhia," kata satu perwira rekannya. "Tionggoan itu luas
tanahnya, banyak rakyatnya, mereka tak dapat dibunuh habis, maka itu tidak
mudah urusan peperangan ini dapat diselesaikan?" Perwira yang pertama itu
tertawa.
"Bangsa Han pandang
rajanya sebagai naga sejati," kata dia pula, "kalau rombongan naga
tidak ada kepalanya, mana mereka dapat berperang? Kalau rajanya itu sayangi
jiwanya, dia mesti menakluk dengan baik-baik, dia mesti umumkan pernyataannya
suka menjadi taklukkan kita. Setelah itu baharulah negara Beng itu menjadi
kepunyaan kita."
Mendengar pembicaraan itu,
hati Tan Hong panas berbareng duka.
"Memang sungguh celaka
kalau Sri Baginda suka menyerah," pikir dia. "Aku harap saja Sri
Baginda bukannya raja yang takut mati.....”
Perwira yang pertama berbicara
itu masih mengatakan pula: "Tentera Beng itu tidak harus dibuat takut.
Lain halnya dengan Kimtoo Tjeetjoe di luar kota Ganboenkwan, dia masih saja
bergelandangan di luar kota itu, sebentar muncul, sebentar menghilang, sukar
untuk menumpas padanya. Dia baharulah yang dinamakan bahaya di dalam
tubuh!"
Tapi satu perwira lain
tertawa.
"Tapi pesanggrahannya
telah kita serbu hingga rata dengan tanah!" katanya. "Bangsat tua
Kimtoo itu serta anaknya, meskipun mereka dapat lolos, mereka tak lebih tak
kurang seperti penyakit di kulit saja! Lagi pula sekarang Jenderal Tantai telah
menempatkan tenteranya di kota Ganboenkwan, sudah pasti dia tidak akan dapat
mengacau pula, maka itu, untuk apa kita kuatirkan dia?"
Mendengar pembicaraan itu,
lega juga hati Tan Hong dan In Loei. Sekarang mereka ketahui halnya Tjioe Kian
ayah dan anak, yang tak kurang suatu apa, sedang mereka pun mendapat tahu di
mana adanya Tantai Mie Ming.
Pada waktu itu kaisar Beng
sebagai tawanan musuh, oleh Yasian, perdana menteri Watzu, telah di tempatkan
di dalam kemah yang terjaga kuat hingga tiga lapis, sedang di dalam kemah
sendiri, dia diawasi oleh tiga pahlawan pilihan, yang setiap saat meletakkan tangan
di gagang pedang. Di antara tiga pahlawan itu, yang satu adalah
Ngochito,pahlawan harimau dari Yasian sendiri. Dia ini selainnya liehay ilmu
silat pedang Hongloei kiam yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus, orangnya
pun cerdik sekali. Maka itu,berduka kaisar itu, yang melihat tidak mempunyai
harapan untuk kabur. Tapi yang membikin Kie Tin sangat berkuatir adalah ketika
ia dengar malam itu Yasian hendak mewajibkan dia melayani perdana menteri itu
minum arak. Dia jadi mendongkol dan malu,dia jadi sangat bingung.
"Aku hadiri pesta itu
atau jangan?" dia tanya dirinya berulang-ulang. Dia insyaf, kalau dia
hadir, dia akan jadi kedua Kaisar Hwie Tjong dan Kim Tjong dari ahala Song,
yang mesti hinakan diri di hadapan musuh. Perbuatan itu tidak saja merendahkan
dirinya dan negaranya, dia pun akan menjadi buah tertawaan berabad-abad. Kalau
dia tidak hadir, dia kuatirkan keselamatan jiwanya.....
Tengah kaisar ini berputus
asa, tiba-tiba di luar kemah terdengar suara panggilan, katanya: "Thaysoe
undang Jenderal Ngochito datang ke markas untuk berbicara!"
"Thaysoe" adalah
sebutan untuk Perdana Menteri Yasian.
Berbareng dengan itu satu
perwira bertindak masuk dengan tangannya menyekal sebatang lengtjhie, panah
titahan.
Ngochito sangat teliti, ia
sambut lengtjhie itu untuk diperiksa dulu, hingga ia peroleh kenyataan
keasliannya. Panah titahan itu cuma dipakai oleh pembesar paling tinggi dalam
suatu angkatan perang, sebab itu adalah hadiah dari raja Watzu sendiri,
terbuatnya pun dari kemala hijau.
Percaya bahwa Yasian mempunyai
urusan penting hendak dibicarakan dengannya,Ngochito lantas saja tinggalkan
kemah jagaannya itu.
Perwira yang membawa lengtjhie
itu, begitu ia lihat Ngochito sudah pergi jauh, dengan mendadak ia putar
tubuhnya sambil mengayunkan kedua tangannya, masing-masing diarahkan kepada
kedua pahlawan lainnya, yang berdiri dekat dengannya. Luar biasa sebat
gerakannya, tidak peduli kedua pahlawan itu liehay, mereka toh kena ditotok,
tanpa bersuara lagi, keduanya jatuh rubuh. Lekas sekali si perwira pembawa
lengtjhie membuka kopiahnya, sambil bersenyum, dia kata kepada Kie Tin:
"Sri Baginda, masih ingatkah Sri Baginda kepadaku?"
Raja Beng memang heran atas
kejadian itu, ia mendelong mengawasi perwira itu.
Akhirnya, ia jadi terperanjat.
Ia lantas kenali siapa orang itu yang berdiri dihadapannya,ialah Thio Tan Hong.
Ayahnya Tan Hong, yaitu Thio
Tjong Tjioe, menjadi Yoesinsiang, Menteri Muda dari raja Watzu, dengan begitu
kedudukannya seimbang dengan kedudukan To Huan, Tjosinsiang, yang menjadi
ayahnya Yasian. Mereka sama pengaruhnya, mereka disayangi Raja Watzu, dan
keduanya pun berkuasa mencampuri urusan ketenteraan. Maka itu raja memberikan
mereka masing-masing sebatang lengtjhie dengan apa mereka berhak memanggil
setiap perwira menghadap mereka. Adalah kemudian, setelah kedudukan To Huan
turun kepada puteranya, Yasian, pengaruhnya ini meningkat, hingga dia
mengangkat dirinya menjadi Thaysoe, Mahaguru. Thio Tjong Tjoe sebaliknya, untuk
menjaga dirinya, tidak perhatikan urusan tentera, maka itu, sudah sepuluh tahun
belum pernah ia pakai lengtjhie itu. Ketika Tan Hong berlalu dari Watzu, dia
curi lengtjhie ayahnya itu, tidak pernah ia menyangka,kali ini, di sini, dapat
dia pakai panah titahan itu untuk mengelabui Ngochito.
"Di harian pieboe di atas
loeitay, telah aku kirimkan kau sepucuk surat, sudahkah kau baca itu?" Tan
Hong tanya pula.
"Kau? Kau jadinya Thio
Tan Hong?" raja tegaskan, suaranya menggetar.
"Tidak salah!" Tan
Hong jawab.. "Aku adalah musuhmu yang kau hendak tawan!"
"Baiklah!" kata raja
itu, yang hatinya menjadi mantap. "Hari ini aku terjatuh ke dalam
tanganmu, tidak usah kau banyak omong lagi, lekas-lekas kau bunuh aku!"
Tapi Tan Hong tertawa.
"Jikalau aku hendak bunuh
kau, apa kau kira aku menanti sampai hari ini?" kata dia.
"Sekalipun aku memakai
pakaian asing, hatiku adalah hati Han!"
"Kalau begitu, kau
tolonglah aku!" kata raja.
Kie Tin seperti lupa bahwa ia
tengah dikurung berlapis-lapis. Bagaimana gampang untuk buron.....
Tan Hong awasi raja itu, ia
tertawa pula. "Sri Baginda," katanya, "hari ini cuma kau sendiri
yang dapat menolong dirimu." Raja heran.
"Apakah kau kata?"
dia tanya. "Malam ini Yasian akan memaksa kau menyatakan menakluk,"
kata Tan Hong. "Jikalau kau menakluk, bukan saja dengan itu kau lenyapkan
negara Kerajaan Beng yang terbesar yang luasnya sembilan laksa lie, juga jiwamu
sendiri tidak akan terjamin. Tapi jikalau kau menolak, maka Kokloo Ie Kiam akan
membangun angkatan perang suka rela, untuk berperang membelai negara. Di dalam
negara Watzu tidak ada persatuan, maka itu Yasian akan terserang musuh dalam
dan luar. Hal ini diketahui baik sekali oleh Yasian, karenanya, mana dia berani
bunuh kau? Oleh karena itu,sekarang ini, kau bersabarlah, kau pertahankan diri
untuk menderita. Dengan bersabar,bukan saja negara akan dapat dilindungi, kami
juga kemudian akan mendapat jalan untuk
menolongi kau. Kau bukannya
seorang tolol, hal ini tentunya kau dapat pikir sendiri.....”
Raja tidak menjawab, ia
perdengarkan suara perlahan sekali.
"Harta pusaka leluhurku
berikut peta buminya, telah berhasil aku cari dan mengambilnya," Tan Hong
beritahu, "harta dan peta itu tengah diangkut ke Pakkhia,bersama dengan
itu, aku sendiri akan menghabiskan tenagaku untuk membantu Ie Kokloo. Masih ada
lagi yang kami dapat lakukan, dari itu, jangan kau berduka."
Thio Tan Hong perlihatkan
sinar matanya yang tajam, yang menandakan kekerasan hatinya, yang membuatnya
orang menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Bibir raja sudah bergerak seperti
ia hendak mengucap sesuatu, tetapi ia urung.
Tan Hong awasi raja itu,
matanya mencilak.
"Menteri besarmu In Tjeng
telah menggembala kuda di negara asing selama dua puluh tahun, selama itu dari
awal hingga akhirnya, ia tidak bertekuk lutut!" katanya dengan nyaring.
"Kau adalah orang yang paling agung dari satu negara, apakah kau mesti
kalah dengan menterimu?" Raja pun mengawasi.
"Baik!" dia jawab
akhirnya. "Aku juga tidak akan pikirkan pula kehidupanku, akan aku perbuat
seperti katamu!"
Tan Hong masih hendak
berbicara ketika, "Bret!" dan robeklah tenda kemah, terbelah dua,
dari situ tampak Ngochito lompat masuk, pesat bagaikan angin puyuh. Ketika dia
lihat siapa yang rebah di tanah, kemurkaannya bertambah meluap.
"Bangsat bernyali besar,
mari makan pedangku!" dia mendamprat sambil menikam dengan pedangnya,
dengan tipu silat "Geledek menyambar batok kepala".
Tan Hong terkejut ketika ujung
pedang menjurus ke tenggorokannya. Ia pun tidak menyangka Ngochito bisa kembali
demikian lekas, walaupun ia tahu, ia hanya dapat mengabui untuk sementara waktu
saja.
Sudah dibilang, Ngochito
adalah seorang yang cerdik. Baharu saja ia sampai di luar kemah, ia lantas
dapat pikiran. Ia telah berpikir: "Thaysoe menghendaki aku mengawasi
kaisar Beng. Tidakkah tugas itu sangat penting? Mungkinkah dia hendak menukar
tugasku itu? Lagi pula perwira pembawa lengtjhie itu sangat asing untukku.
Kalau Thaysoe mengutus orang membawa lengtjhie padaku, ia mestinya menitahkan
orang di kiri kanannya, yang ia percayai. Juga, kenapa perwira itu tidak turut
aku keluar? Inilah mencurigakan.....”
Keras Ngochito berpikir,
kecurigaannya jadi semakin besar, maka akhirnya ia putar tubuhnya, untuk balik
ke dalam kemah, begitu sampai, ia tidak lagi ambil jalan pintu kemah, tapi ia
merobek kain tenda. Karenanya ia segera dapat lihat kedua kawannya rebah di tanah.
Ia lantas menduga, mereka itu tentu telah kena ditotok, bahwa si perwira
mestinya orang jahat, dari itu, ia menyerang tanpa buang tempo lagi.
Tan Hong kaget tetapi ia tidak
gugup, dengan sebat ia berkelit.
"Sungguh Hongloei
Kiamhoat yang liehay?" ia serukan.
Ilmu silat pedang Ngochito
benar-benar liehay. Lolos tikaman yang pertama, segera menyusul yang kedua,
yang ketiga, cepat dan bengis. Tan Hong menjadi repot juga. Ia tidak sempat
membuat perlawanan, ia selalu egoskan diri. Apamau kemah itu tidak terlalu
luas, tak merdeka ia berlompat ke kiri dan ke kanan.
Sementara itu di luar pun
segera terdengar suara riuh. Mestinya itu adalah bala bantuan untuk Ngochito.
"Trang!" demikian
terdengar sekonyong-konyong. Ujung pedang Ngochito telah mengenai kopiah perang
Tan Hong, tetapi serangan itu tidak tepat, pedang meleset ke samping.
Tan Hong telah menggunakan
tipu yang berbahaya. Ia sengaja memberikan kopiahnya ditikam, selagi tertikam,
ia miringkan kepalanya. Karena pedangnya meleset, Ngochito tak dapat unjuk
kesehatannya untuk segera menarik pulang, malah saking heran, ia melengak
sebentar.
Ketika yang baik itu digunakan
Tan Hong dengan sebat sekali, selagi ia ditikam, ia gunakan kesempatan akan
menghunus pedangnya, pedang Pekin kiam hadiah dari gurunya, pedang mana tadi
tak sempat ia mencabutnya karena ia didesak terus-menerus.
Sekarang, setelah menghunus
pedang, ia teruskan itu, ia pakai menabas ke arah pedang musuh.
"Trang!" kembali
suara terdengar, tetapi tak sekeras, tadi. Karena kali ini, kedua pedang beradu
sepintas lalu, dan ujung pedangnya Ngochito kena tertabas kutung!.
Panglima Watzu itu kaget tidak
terkira. Ia tahu tajamnya pedangnya, yang terbuat dengan campuran bahan emas,
sudah tajam, pedang itu jauh lebih berat daripada pedang-pedang seumumnya. Tapi
pedang itu kutung dengan satu kali bentrok saja!
Tan Hong gunakan ketikanya, ia
tunjukkan kecerdikannya. Selagi lawan berdiam,ia lompat ke samping sambil
memutar pedangnya. Dengan satu tabasan saja, ia bikin tenda terbelah, menyusul
mana, selagi dengan tangan kiri ia menyambar, akan pentang tenda itu, tubuhnya
mencelat lebih jauh, noblos keluar dari lobang pecahan itu.
Ngochito heran menampak
kecerdikan musuh, untuk kesehatannya itu. Mengertilah ia bahwa musuh ini liehay
sekali. Tapi ia pun satu pahlawan Watzu, tidak sudi ia menunjukkan
kelemahannya. Maka sambil memutar pedangnya, ia juga noblos keluar dari liang
tenda dari mana Tan Hong nerobos keluar. Setibanya di luar, ia lihat musuh
sudah melintasi dua undakan kemah.
"Tangkap penjahat!"
ia berteriak. Ia lompat, untuk mengejar.
"Sar ser!" demikian
terdengar suara ketika Ngochito lihat musuh memutar tangannya ke belakang,
terayun, menyusul mana tertampak sinar-sinar kecil berwarna perak menyambar ke
arahnya.
Itulah senjata rahasia jarum
dari Tan Hong, yang ia gunakan untuk menahan musuh yang mengejarnya.
Ngochito insyaf kepada
malapetaka itu, ia putarkan pedangnya, untuk menangkis.
Gagal serangan Tan Hong itu.
Gagal separuhnya. Sebab dengan repot menangkis,majunya Ngochito tercegah,
hingga terlambat. Dan kelambatan ini digunakan Tan Hong untuk lari lebih jauh,
ke lapis tenda yang ketiga.
Cuaca malam itu gelap, cuaca
ini menolong banyak pada Tan Hong. Ia dengar suara riuh dari tanda bahaya, ia
lari terus. Segera juga anak-anak panah menyambar saling susul, tetapi tidak
ada satu yang mengenai sasarannya. Ia terus lari, hingga melintasi belasan
tenda.
Ngochito mengejar terus, tapi
ia kalah dalam ilmu enteng tubuh, ia tidak dapat menyandak, meski begitu, Tan
Hong toh repot, sebab suara tanda bahaya telah membangunkan tentera Watzu
dipelbagai tangsi, sedang seluruh tangsi luasnya kira-kira seratus lie.
Ketika ia sudah melewati
puluhan tangsi, Tan Hong tiba di suatu tempat yang merupakan tanah kosong, di
situ ada dua baris tangsi, yang berjejer di kedua tepi. Di tenda, atau kemah
sebelah depan, api dipasang terang-terang, samar-samar tertampak serdadu ronda.
Apa yang beda, dari tangsi di depan itu tidak merubul serdadu-serdadu Watzu
seperti dari tangsi-tangsi lainnya. Heran juga Tan Hong, karena ia tahu, tata
tertib tentera Watzu biasanya keras sekali, begitu ada pertandaan, semuanya
mesti bergerak.
Tetapi ini satu tidak.
"Mungkinkah di sini ada
dua jenderal yang masing-masing memegang pimpinan?" bertanya hati
kecilnya. "Walaupun ada dua pemimpin, mereka tetap berada di bawah satu
pemerintah, tidak seharusnya mereka berlainan pimpinan.....”
Tidak peduli ia heran atau
bersangsi, Tan Hong insyaf ia tidak boleh membuang-buang tempo, maka itu, ia
lompat, untuk lari terus. Ia dapat kenyataan, di belakangnya ada
pengejar-pengejar yang menunggang kuda. Ia tiba di tengah tegalan itu di mana
terdapat banyak tumpukan rumput yang tinggi bagaikan bukit kecil. Itulah
tumpukan rangsum kuda, yang tentera Watzu paksa penduduk setempat
mengumpulkannya.
"Baiklah aku menyusup
kesalah satu tumpukan, untuk sembunyikan diri," pikir Tan Hong. "Aku
mesti tunggu, sampai semua sudah sirap, baharu aku berlalu dengan
diamdiam."
Tan Hong pikir, kalau toh
tumpukan-tumpukan rumput itu hendak digeledah, orang mesti menggunakan banyak
serdadu, karena ia memakai seragam tentera Watzu, ia mengharap akan ada
kemungkinan untuk bercampur dengan mereka itu, untuk turut menggeledah
bersama-sama.....
Demikian ia nelusup masuk ke
dalam sebuah tumpukan, akan menantikan saatnya.
Tapi, begitu ia masuk, begitu
lekas juga ia terkejut. Kupingnya telah menangkap suara tertawa geli, dekat
sekali, menyusul mana bebokongnya terasa ditekan barang keras bagaikan besi,
yang dingin seperti es.
"Aku telah nantikan lama
padamu!" demikian sekonyong-konyong ia dengar suara,yang halus dan
menggiurkan. "Jangan kau bergerak! Bila kau bergerak, akan aku
menjerit-jerit!....."
Tan Hong kaget dan heran. Ia
berada di medan perang, di dalam tangsi, dari mana datangnya satu wanita,
mungkin satu nona? Karena itulah suaranya seorang perempuan.
Ia merasa lega juga, karena
orang mengancam secara lunak.
"Baik, aku tidak akan
bergerak," ia jawab. Wanita itu tertawa pula, dengan terlebih geli.
Sekarang ia lemparkan sebuntal pakaian.
"Lekas kau loloskan
seragammu," ia kata. "Lekas kau tukar itu dengan pakaian ini. Kau
tunggu sebentar, aku akan segera kembali."
Habis berkata, wanita itu
keluar dari tumpukan rumput.
Segera terdengar suara
berisik, dari serdadu-serdadu dan kuda mereka. Suara berisik itu melintasi
tegalan, tiba ke dekat tumpukan di mana Tan Hong menyembunyikan diri,tempat
dari mana barusan si wanita muncul.
"Keke, adakah keke
melihat satu perwira lari lewat di sini?" demikian Tan Hong dengar
pertanyaan satu orang.
"Ya, aku lihat dia,"
jawab si wanita tadi. "Dia lari sangat cepat, aku tak dapat menyandak dia.
Dia lari dari sini, terus kesana. Mungkin sekarang dia sudah melewati tangsi
wanita dan telah sampai di depan."
Dengan berteriak-teriak,
"Mari! Mari!" serdadu pengejar itu lari ke arah yang ditunjuk,
sebentar saja, suara mereka menjadi kurang berisiknya dan akhirnya lenyap,
hingga kesunyian kembali di situ.
Tan Hong dapat menenangkan
diri, ia mengintai dari tumpukan rumputnya itu. Ia ditolong oleh cahaya api
dari tangsi yang terdekat. Ia periksa pakaian yang diberikan kepadanya. Ia
kenali itu adalah seragam dari serdadu wanita Mongolia. Ia menjadi heran.
Teringat akan panggilan
tentera tadi kepada si wanita, ia pun menjadi bingung. Ia tahu apa artinya
panggilan "keke" itu. Orang Mongolia, begitupun orang Manchu, kalau
ia memanggil nona anggauta keluarga raja, maka mereka memanggilnya keke. Jadi
wanita itu, nona itu, adalah dari keluarga agung. Sementara itu, ia bersangsi
untuk pakaian itu.
"Apakah aku mesti
menyamar sebagai serdadu wanita?" ia berpikir. Tapi ia ingin lolos dari
kepungan, ia tidak bersangsi lama.
"Apakah kau sudah
salin?" tak lama ia dengar suara si nona. "Nah, sekarang kau sudah
boleh keluar."
Tan Hong buntal pakaiannya,
sambil bawa itu, ia munculkan diri.
Si nona tertawa geli sekali.
"Mari turut aku!"
katanya. Terus dia bertindak. Sekarang Tan Hong merasa bahwa ia seperti kenal
nona ini, bahwa pernah ia melihatnya, hanya entah di mana, sesaat itu,tidak
dapat ia mengingatnya.
Nona itu pergi kesebuah kemah
ke dalam mana ia terus bertindak masuk. Di dalam situ, semuanya adalah
serdadu-serdadu wanita.
Sekarang baharulah Tan Hong
insyaf kenapa ia disuruh salin pakaian. Di tangsi wanita,tak boleh ada pria
mencampurkan diri. Pantas tadi pengejar-pengejarnya tidak menggeledah di situ. Hanya
sekarang, biar bagaimana, ia merasa jengah juga sebab begitu banyak mata wanita
mengawasi padanya, agaknya mereka itu heran. Terpaksa ia tunduk.
"Oh, keke sudah
kembali?" demikian si nona ditanya beberapa serdadu wanita itu. "Ada
terjadi apakah di luar?"
"Kabarnya mereka menawan
satu orang jahat," jawab si nona. "Kamu jangan usilan!"
Serdadu-serdadu wanita itu
mengawasi pula Tan Hong tetapi mereka tidak ada yang berani menanyakan sesuatu.
Nona itu ajak Tan Hong ke
sebuah kemah lain, begitu tenda dipentang, dari situ tersiar bau harum
semerbak, yang membuat hatinya jadi terbuka.
Tan Hong lihat sebuah pedupaan
kayu gaharu. Di situ ada sebuah meja marmer serta satu meja kecil dari batu
pekgiok. Di atas meja kecil itu ada beberapa tangkai bunga bwee dalam sebuah
tempat bunga. Orang berada di tangsi tentera, tapi kemah diperlengkapi bagaikan
kamar wanita, hanya sederhana.
Begitu berada di dalam, nona
itu membuka ikat kepalanya. Ia berpaling kepada si anak muda, matanya
berkerling hidup.
"Tan Hong, masihkah kau
kenal aku?" tiba-tiba ia menanya.
Tan Hong memandang dengan
tercengang. Sinar lilin di situ terang sekali, wajah si nona tampak tegas.
Orang tengah mengawasi ia dengan sunggingan senyuman berseriseri.
Dengan lantas ia ingat.
"Kaulah Topuhua!" ia jawab.
Nona itu manggut.
"Benar," sahutnya.
"Sudah banyak tahun sejak kita berpisah, kau masih belum melupakan
aku!"
Di dalam hatinya, Tan Hong
mengeluh.
Topuhua adalah puterinya
Yasian, kepala perang Watzu itu. Dimasa kecilnya, Tan Hong pernah bermain-main
bersama nona ini. Setelah umur mereka tiga atau empat belas tahun, baharu
mereka berpisahan. Sebabnya ialah, di antara Thio Tjong Tjioe dan Yasian,mereka
cuma baik di mulut, di hati berlainan, sedang mereka —Tan Hong dan Topuhua
—sudah mulai mengerti urusan orang dewasa.
Nona itu tertawa ketika ia
berkata: "Aku ingat betul suatu kejadian semasa kita kecil.Itu hari aku
dan kau pergi berburu di tepi air Yuching di kaki bukit Wuwang, selagi
memandang air di mana ada bayangan kita, kau mengatakannya aku mirip pria dan
aku bilang kau mirip wanita. Ingatkah kau itu?"
"Ya", sahut Tan
Hong, cara sembarangan saja. Baharu saja ia menyahuti atau tiba-tiba si nona
menarik tangannya, untuk membawa ia ke muka kaca.
"Kau lihat!" katanya
sambil tertawa. "Sekarang kau pakai pakaianku, kau lebih mirip lagi dengan
wanita! Lihatlah!"
Wajah Tan Hong menjadi merah.
Di dalam hatinya, ia kata: "In Loei salin pakaian menjadi pria, aku
justeru menyamar jadi wanita, jikalau dia ketahui perbuatanku ini, tidakkah ia
mentertawakan aku?"
Topuhua tertawa pula.
"Pada malam di muka
keberangkatan angkatan perang kita, ia berkata, "aku telah dengar kabar
kau sudah mencuri masuk ke Tionggoan. Hal kepergian kau itu ditanyakan kepada
Thio Sinsiang, dia tidak mau memberi keterangan. Aku telah menyangka, selama
hidup kita ini, kita tidak akan bertemu pula satu dengan lain, akan tetapi
Allah telah memberkahinya, kita justeru bertemu di sini. Sudah banyak tahun
kita tidak pernah bertemu, maka itu kali ini kau mesti berdiam untuk beberapa
hari bersama aku di sini."
Tan Hong
terperanjat."Mana dapat itu dilakukan?" katanya.
"Kenapa tidak?"
Topuhua tanya. "Aku jamin tak akan ada orang yang ketahui kau! Umpama ada
juga yang mengetahuinya, mereka semua ada orang kepercayaanku, tidak nanti mereka
berani membuka rahasia."
Tan Hong menggoyangkan
tangannya berulang-ulang.
Mendadak saja nona itu
perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Jikalau kau menampik,
sekarang juga aku berteriak!" ia kata.
Pemuda itu tidak membiarkan
dirinya digertak. "Baik, kau berteriaklah!" ia kata."Dengan
sebenarnya aku beri tahu padamu, hari ini aku menjadi musuhmu, kau boleh
belenggu aku, kau boleh serahkan aku kepada ayahmu! Aku telah memberanikan diri
mendatangi tangsi tenteramu, karena aku tidak memikirkan pula jiwaku!"
Mendengar itu, si nona tertawa
pula, nampaknya ia sangat manis dan menarik.
"Kau tertawakan
apa?" tanya Tan Hong, gusar. "Kau masih tetap bawa sifatmu semasa
kanak-kanak," sahut Topuhua. "Kau selamanya suka jaili aku. Kau
bilang kau adalah musuhku, aku sebaliknya tidak pandang kau sebagai musuh. Kau
bilang kau tidak sayangi jiwamu, baiklah, sekarang aku tanya, kau pikirkan jiwa
ayahmu atau tidak?"
Diam-diam Tan Hong terkejut.
"Ayahku masih ada di
Watzu, dan di sana Yasian-lah yang berkuasa," ia berpikir. "Lagi
pula, kalau nanti aku hendak mengacaukan bahagian dalam dari Watzu, aku
membutuhkan bantuannya ayahku. Mengurbankan diri adalah perkara gampang, untuk
membangun negara sesungguhnya sulit. Baiklah, aku bersabar."
Ia lantas tunduk.
Topuhua mengawasi, ia
menyangka orang telah menurut, kembali ia tertawa.
"Sebenarnya, apa sih yang
tak baik untukmu tinggal bersama aku di sini?" dia tanya,suaranya manis.
"Tempatku ini, di mana juga dalam kalangan tentera Watzu, tidak nanti kau
dapatkan keduanya terlebih menyenangkan."
Tan Hong berjingkrak.
"Apa?" tanyanya. "Kau hendak suruh aku berdiam di sini?"
"Jikalau kau tidak
tinggal di sini, habis di mana lagi?" si nona tertawa pula. "Apakah
kau hendak tinggal di luar rumah bercampur dengan serdadu-serdadu wanita? Kau
tak usah takut ditertawai!"
Tan Hong berpikir keras. Ia
benar menghadapi kesulitan. Memang, kalau mesti berdiam di dalam tangsi, ia
mesti berdiam sama si nona. Ia lantas ingat pula In Loei, kembali ia mengeluh
dalam hatinya. Topuhua lantas teriaki satu serdadunya untuk ambil setahang air
panas.
"Pergi kau mandi di
belakang kemah ini", katanya pada anak muda kita. "Kau bersihkan
tubuhmu dari kotoran tanah dan rumput, supaya tidak ada orang yang mencurigai
kau.Tak usah kau malu-malu, di sini tidak ada orang melihat padamu."
Ia menarik tenda dari apa yang
disebut kemah belakang itu, ke situ ia tolak masuk tubuh Tan Hong, habis mana,
tenda itu ditutup pula rapat-rapat, sampai angin pun tak dapat masuk.
"Sekarang baharulah
hatiku tetap!" masih menggoda si nona. "Kalau sebentar kau telah
selesai mandi, aku masih hendak bicara denganmu."
Tan Hong sementara itu
mengasah otaknya, guna memikirkan daya untuk meloloskan diri. Sekian lama ia
telah berpikir, belum juga ia memperoleh akal. Hal ini membuatnya ia masgul.
Pada waktu itu ia dengar tanda
waktu dalam tangsi, kentongan dibunyikan dua kali.
Jadi sudah jam dua.
Berbareng dengan itu, satu
serdadu wanita bertindak masuk.
"Keke, Thaysoe datang
menjenguk," dia memberitahukan.
"Silakan Thaysoe masuk",
sahut Topuhua. Baharu saja serdadunya keluar, nona ini sudah tertawa pula.
"Kau jangan terbitkan
suara apa-apa, aku tak akan memberitahukan ayah tentang kau!" ia kata.
Tentu saja kata-kata ini ditujukan kepada si anak muda.
Jantung Tan Hong memukul. Ia
memasang kuping.
Sebentar kemudian terdengarlah
tindakan kaki. Itulah Yasian.
"Ayah," Topuhua
sambut ayahnya itu, "kabarnya malam ini ayah hendak menyuruh raja Beng
melayani kau minum arak, kenapa sekarang kau sempat menjenguk aku? — Ah, ada
urusan apakah, ayah? Kau nampaknya tidak gembira.....”
Tan Hong menahan napas. Ia
dengar suaranya Yasian.
"Apa yang terjadi malam
ini sungguh di luar dugaanku!" kata menteri itu.
"Bagaimana,ayah?"
"Aku tadinya anggap
kaisar Beng seorang yang takut mati," berkata pula Yasian, "aku
percaya, bila dia sudah menakluk, dapat aku gunakan ia sebagai kaisar untuk
mempengaruhi menteri-menterinya. Aku pikir, itu waktu, kita sudah punyakan
wilayah kerajaan Beng. Tapi dugaanku itu keliru. Dia membangkang atas titahku
itu, dia tidak menghadiri pesta.....”
Topuhua heran.
"Benarkah dia begitu
bernyali besar?" dia tanya. "Benar," jawab sang ayah.
"Sungguh aku tidak sangka."
Mendengar itu, Tan Hong girang
bukan kepalang.
"Kie Tin masih punyakan
semangat," ia berkata di dalam hatinya. "Dia menang banyak dibanding
dengan dua kaisar ahala Song. Nyata dia tidak mensia-siakan lelahku ini."
"Tidak sukar bagiku
membinasakan dia," Yasian berkata pula, "hanya aku kuatir, jikalau
aku binasakan dia, itu bisa mengakibatkan kemurkaan rakyat Beng, hal mana pasti
akan memperlambat peperangan ini. Untuk kita, perang lama pun belum tentu ada
manfaatnya . Aku dengar Atzu Tiwan sekarang ini sedang mengumpulkan tentera
diam-diam, rupanya dia pikir, selagi aku pergi perang di tempat jauh, hendak dia
rampas kekuasaanku. Hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram."
Yang disebut Tiwan Atzu itu
adalah si pangeran Mongolia yang diutus ke Pakkhia.
"Ayah, kau gagah perkasa,
buat apa kau kuatirkan hal itu?" kata sang puteri. "Lagi pula hari
ini kita telah peroleh kemenangan besar, maka tidak selayaknya kau mengucapkan
kata-katamu ini."
Yasian tertawa.
"Kau benar, anakku!"
ia kata. "Sekarang hendak aku bicara dengan kau tentang hal yang akan
membuatnya kau girang. Ya, apakah kau masih ingat Thio Tan Hong puteranya Thio
Tjong Tjioe?"
Kaget Tan Hong mendengar
perkataan itu.
"Kenapa, ayah?"
Topuhua balas menanya. "Meskipun Thio Tjong Tjioe tidak hendak
memberitahukannya, tetapi telah aku peroleh endusan, Thio Tan Hong sebenarnya
telah menyusup ke Tionggoan," sahut sang ayah. "Hal itu membuatnya
aku curiga.....”
"Kenapa begitu,
ayah?"
"Keluarga Thio itu dengan
kaisar Beng adalah musuh turunan, karenanya tidak ada alasan untuk mencurigai
Tan Hong nanti membantu musuhnya itu," menerangkan Yasian,"tetapi
sejak aku menggerakkan angkatan perang sampai pada hari ini, sudah berselang
satu bulan, Thio Tan Hong yang berada di Tionggoan itu, kenapa dia tidak datang
padaku untuk melaporkan sesuatu? Sebenarnya inilah waktu yang paling baik untuk
ia menuntut balas bagi permusuhan turun temurunnya."
"Mungkin dia terhalang
karena berhadapannya kedua pasukan perang dan ia belum mendapatkan
kesempatannya," Topuhua utarakan dugaannya. Ia main komedi dengan ayahnya
itu. "Kalau nanti ayah sudah rampas Tionggoan, mustahil dia tak
muncul?"
Yasian tertawa.
"Sampai itu waktu, itulah
sudah pasti!" ia kata. "Kau tahu, kali ini aku menerjang ke
Tionggoan, maksudku untuk menawan dua orang.....”
"Siapakah kedua orang
itu?"
"Yang pertama yaitu
kaisar Beng," jawab sang ayah. "Dengan ditawannya kaisar itu,meskipun
dia tidak sudi menakluk, sisa tentera Beng pasti masih ragu-ragu, lambat
laun,negara Beng itu akan jadi kepunyaanku juga."
"Dan yang kedua, ayah?
Siapa dia?"
"Yang kedua ialah Thio
Tan Hong."
"Ayah hendak tawan dia,
apakah ayah persalahkan dia karena dia telah menyusup masuk ke Tionggoan?"
sang anak tanya pula.
"Ya dan bukan,"
Yasian jawab.
"Apakah artinya itu,
ayah?"
"Thio Tan Hong itu gagah
dan pintar, dia sangat berguna," Yasian berikan keterangan pula.
"Jikalau aku telah menangkap dia, umpama kata dia tidak sudi tunduk
padaku, akan aku dakwa dia telah lancang menyusup ke Tionggoan, akan aku bunuh
dia. Tindakan ini ialah untuk mencegah bahaya di belakang hari."
"Ah....." Topuhua
berseru tertahan. "Tidakkah itu terlalu kejam?"
Yasian tertawa.
"Dia bermusuh dengan
kerajaan Beng, dalam sepuluh, sembilan bagian sudah pasti dia akan turut
aku!" dia kata. "Anakku, itulah maksud urusanku yang
menggirangkan!"
Topuhua berpura-pura likat.
"Ah, ayah, kembali kau
mengejek aku!.....” katanya.
Yasian tertawa berkakakan.
"Ayahmu bukannya seorang
tolol!" ia kata. "Sudah sejak siang-siang aku lihat kau sukai Thio
Tan Hong si bocah itu! Sekarang ini kau sudah berusia dua puluh tiga
tahun,menurut adat istiadat kita bangsa Watzu, kau seharusnya sudah membuat aku
mengempo cucu! Banyak pangeran telah meminangmu, kau selalu menampik, ayahmu
juga tidak hendak memaksa. Kenapa sikapku itu? Itulah karena aku tahu kau
menantikan Thio Tan Hong! Baiklah, akan aku bikin kau menjadi puas!"
Topuhua tunduk, ia diam,
tetapi hatinya girang bukan kepalang.
"Hanya malam ini, bangsat
itu!" tiba-tiba Yasian berseru keras. "Dia benar-benar bernyali
besar! Dia telah menyusup ke dalam kemah harimau, dia mencoba untuk membawa
buron kaisar Beng, malah dia juga mempunyai lengtjhie kumala! Aku agak
sangsi.....”
"Siapa yang kau
sangsikan, ayah?" tanya Topuhua.
"Aku kuatir penjahat itu
adalah Thio Tan Hong....."
Si nona heran.
"Bukankah ayah sendiri
yang mengatakan dia bermusuh dengan kaisar Beng?" dia tanya.
"Itulah yang menyebabkan
kesangsianku. Sebegitu jauh yang aku ketahui, lengtjhie itu diberikan mendiang
Sri Baginda kepada tiga orang, ialah kesatu ayahmu, kedua Thio Tjong Tjioe, dan
ketiga Pangeran Atzu. Aku duga penjahat itu, kalau dia bukannya ThioTan Hong,
dia mesti orangnya pangeran itu. Mungkin pangeran itu juga berniat menculik
kaisar Beng, supaya dia dapat bersaing denganku. Tapi soal ini tidak terlalu
sukar, kalau nanti aku sudah pulang perang, akan aku selidiki. Umpama kata
perbuatan itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, walaupun kau menyayangi dia,
terpaksa aku harus singkirkan padanya!"
Topuhua terkejut, di dalam
hatinya, ia mengeluh. Ia bersyukur yang ia belum sampai memberitahu kan ayahnya
hal Tan Hong ada bersama dengannya. Yasian berpaling ke meja kecil, untuk
menuang teh, tiba-tiba ia tampak tenda bergerak perlahan, samar-samar terdengar
suara.
"Siapa di dalam
tenda?" ia menegur. Terus ia menoleh pula, melihat puterinya tengah
mengipas dengan kipas kayu cendana.
"Di mana ada orang di
sini, ayah?" kata anak itu sambil tertawa. "Mungkinkah ayah dibikin
kaget penjahat itu maka sekarang ayah menjadi kurang tenteram hati hingga ayah
menjadi bercuriga tidak keruan?"
Wajah ayah itu berubah, akan
tetapi mendadak ia tertawa besar.
Topuhua tetapkan hatinya, ia
mengipas dengan terlebih keras.
"Hawa udara di Tiongkok
beda dengan kita di Mongolia," berkata Yasian kemudian.
"Dalam bulan sembilan
yang berhawa sejuk, di sana sudah turun salju, di sini sebaliknya hawa masih
panas. Kiranya kipas kau yang membikin tenda itu bergerak-gerak, hingga aku
menyangka yang bukan-bukan..."
Habis mengucap, ayah ini
tertawa pula, ber-gelak-gelak. Ia tidak tahu, Topuhua mengipas sesudah tenda
bergerak, hanya puterinya ini mengipas dengan cepat, sedang iapun tengah berpaling,
ia tidak engah.
Di dalam hatinya, Topuhua
sesalkan Tan Hong, yang menganggap telah berlaku tidak hati-hati.
"Sekarang ini aku telah
mengumumkan titahku," berkata Yasian kemudian, "yaitu kecuali dengan
titah yang tertulis dengan tanganku sendiri serta ditandai dengan cap kebesaran
panglima perang tertinggi, siapa juga dilarang datang dekat kepada kaisar Beng.
Aku pun telah menarik dua belas pahlawan ke Kemah Harimau, untuk bantu membuat
penjagaan. Maka, tidak peduli penjahat liehay luar biasa, tidak nanti dia dapat
menyusup masuk ke dalam kemah kaisar itu. Kau tahu kita pun telah dapat menawan
Thio Hong Hoe, komandan Gielim koen kerajaan Beng itu. Tentang dia, aku telah
dengar dari Tantai Mie Ming, sekarang telah aku saksikan sendiri, dia benar
gagah, dari itu aku harap dapat aku bujuk dia menakluk kepada kita, apabila dia
suka menyerah, dia pasti lebih berharga daripada dua belas pahlawan itu. Dia
telah terluka panah, dia tidak membutuhkan banyak orang untuk menjaganya karena
itu aku telah menarik kedua belas pahlawan itu."
Atas kata-katanya ayah ini
mengenai Thio Hong Hoe, Topuhua tidak menaruh perhatian, ia menyahuti secara
sembarangan saja, ia hanya sedang pikirkan keras perihal jodohnya dengan Thio
Tan Hong.
"Apakah ayah telah
mendapat persetujuan dengan Thio Tjong Tjioe?" ia tanya. Inilah hal yang
penting baginya. Kalau kedua orang itu sudah cocok satu dengan lain, tidak usah
ia kuatirkan apa-apa lagi.
"Sebenarnya aku tidak
bercidera dengannya," Yasian jawab puterinya itu, "kita cuma kurang
cocok sedikit dalam hal pendapat. Aku percaya, sesudah nanti kita menjadi
besan, perhubungan kita akan menjadi lebih baik pula." Ia tertawa, lalu ia
menambahkan: "Aku percaya Thio Tjong Tjioe tidak akan lolos dari
kekuasaanku. Keluarga Thio itu sudah turun temurun membantu negara kita dalam
hal tata tertib negara, bisa dianggap dia berjasa besar, cuma mereka telah
memikir yang tidak-tidak, yaitu mereka berniat meminjam angkatan perang kita
untuk membangun pula Kerajaannya, yaitu Kerajaan Tjioe. Tentu saja, itu bukannya
satu urusan yang sederhana sebagaimana yang mereka pikir. Sekarang ini aku
biarkan Thio Tjong Tjioe berdiam di dalam negeri. Sikapnya nampaknya aneh. Yang
dia pikirkan siang dan malam adalah untuk kembali ke negerinya, untuk membangun
kerajaannya, itu artinya, ia harapkan masuknya angkatan perang kita ke
Tionggoan. Sekarang ini angkatan perang kita sudah bergerak, kita sudah masuk
ke dalam wilayah Tionggoan, tetapi heran, ketika aku minta ia berdiam di dalam
negeri, ia tidak menentangnya. Kelihatannya ia girang-girang saja. Kenapa
begitu sikapnya? Hal ini membikin aku sulit menerka hati Tjong Tjioe itu. Tapi
dia adalah seorang pandai, maka aku pikir jikalau nanti telah selesai aku
merampas Tionggoan dan mengangkat diriku menjadi raja, hendak aku berikan dia
kedudukan sebagai perdana menteri. Oh, anakku, dengan aku menjadi raja, kau
akan menjadi puteri!"
Ketika itu terdengar kentongan
tiga kali.
"Ayah, waktu sudah larut
malam," kata Topuhua sambil tertawa. "Sekarang sudah waktunya ayah
beristirahat. Besok ayah akan melanjutkan memimpin pasukan perang,untuk
menyerang kota Pakkhia, setelah kota itu dapat dirampas, baharu ayah menjadi
raja dan aku menjadi puteri!"
Yasian tertawa. "Kau
benar, anak!" ia kata, hatinya gembira. Setelah mencium puterinya ia
meninggalkan tangsi wanita itu.
Begitu ayahnya berlalu, lekas
juga Topuhua bernapas lega. Ia merasakan bagaimana keringatnya telah membasahi
baju dalamnya. Ia lantas salin pakaiannya, sambil dandan dan tertawa, ia kata:
"Engko Thio, kau lihat, bagaimana baik hati ayahku! Maka kau bolehlah
legakan hatimu..."
Dari kemah dalam tidak ada
penyahutan. "Ayahku sudah pergi!" kata pula Topuhua sambil tertawa.
"Kau lekas mandi! Apakah airnya sudah dingin? Apakah kau ingin tukar itu
dengan air panas yang baru?"
Dari dalam tenda itu tetap
tidak ada jawaban, tidak ada suara apa-apa.
"Engko, engko Thio, ah,
kenapa kau tidak menjawab?" tanya Topuhua. Sekarang ia mulai merasa heran.
Ketika ia tetap tidak peroleh penyahutan, ia kerutkan alis. Ia lantas bertindak
menghampirkan tenda. Tapi ia tidak berani lantas memegangnya, untuk menariknya,
buat membukanya. Ia kuatir si anak muda tengah membuka pakaian.
"Engko Thio, engko
Thio!" ia memanggil pula, dua kali.
Masih saja tidak ada jawaban
dari Tan Hong. Sampai di situ, Topuhua menjadi curiga.
Ia pun menjadi tidak senang,
hingga ia kertek giginya. Sekarang ia tidak pikirkan apa-apa lagi, ia sambar
tenda dengan kedua tangannya dan menariknya dengan keras!
Bukan main herannya Topuhua
begitu lekas tenda sudah terpentang. Tenda itu kosong,Thio Tan Hong tidak ada
di dalamnya! Maka ia masuk ke dalam, untuk memeriksa. Segera ia menjadi
terkejut. Tenda itu rapat, tidak ada jalan keluar di sebelah belakang, tetapi
sekarang telah terbuka satu lowongan, yaitu tenda pecah bekas dipotong! Itulah
tanda yang Tan Hong telah memotong tenda itu, akan membuka jalan untuk buron!
Topuhua melengak, ia
mendongkol berbareng menyesal, ia menjadi bingung dan berduka.
"Dasar aku yang
tolol," ia pikir kemudian. "Tidak selayaknya aku mengijinkan dia membawa-bawa
pedang."
Selagi tunduk, Topuhua tampak
corat caret di tanah. Itulah surat yang ditulisnya dengan ujung pedang. Ia
lantas membaca:
"Terima kasih untuk
pertolonganmu, lain waktu akan aku balas budi ini. Sekarang aku sangat kesusu,
tidak ada ketika untuk kita pasang omong. Di mana kedua negara sedang berperang
, sekarang pun bukan saatnya untuk berunding, maka itu, aku pergi dahulu!"
Di bawahnya tertera tanda
tangan Tan Hong.
Dengan hati panas, Topuhua
pergi keluar. Ia tanyakan keterangan pada serdadunya yang menjaga di luar.
"Dia pergi sudah
lama," ia dapat jawaban.
"Kenapa kau tidak cegah
padanya?" si nona tanya.
"Dia masuk bersama
nona," sahut serdadu itu, "dan nona pun pesan supaya kami jangan
banyak omong, karena itu, kepergiannya, mana kami berani menghalanginya?"
Bukan main mendongkolnya
Topuhua, akan tetapi ia tidak dapat berkata suatu apa.
Dengan mendongkol dan masgul,
ia kembali ke dalam kemahnya.
Sementara itu, di lain kemah,
Thio Hong Hoe pun dapat meloloskan diri.
Ditahan di dalam kemah, Hong
Hoe dijaga dua pahlawan. Sejak ia ditawan, ia sudah memikir tidak ingin hidup,
tetapi ia dibelenggu, tidak ada jalan untuknya akan membunuh diri, maka itu, ia
mogok makan. Yaitu dikasi makanan apa juga, ia tolak, hingga atas titahnya
Yasian, ia dipaksa dicekoki kuwah jinsom, sedang lukanya telah diobati. Lukanya
tidak berbahaya, setelah diobati dan makan kuwah jinsom, kesehatannya telah
pulih dengan cepat. Sekarang ia bisa gunakan otaknya.
"Kalau toh aku mesti
mati, aku harus menukar jiwaku dengan beberapa jiwa!" demikian ia
berpikir. Karena ini, seterusnya suka ia dahar.
Pembahan sikap ini membikin
girang kedua pahlawan penjaganya, karena mereka tak usah main paksa orang minum
dan dahar. Mereka tidak menyangka, dengan suka bersantap, Hong Hoe hendak
pelihara diri, untuk mengumpulkan tenaganya.
Demikian malam itu, kira-kira
jam tiga, selagi seluruh tangsi terbenam dalam kesunyian, Hong Hoe empos
semangatnya, ia pusatkan tenaganya, habis itu, ia gerakkan kedua tangannya yang
terbelenggu rantai. Ia bertenaga besar, siapa tahu, rantai ada tangguh sekali,
rantai itu tidak terputus, hanya menerbitkan suara nyaring, hingga kedua
penjaganya kaget.
"Hai, kau bikin
apa?" tegur dua pahlawan itu.
Hong Hoe tidak menjawab, dia
hanya kerahkan pula tenaganya, kali ini ia berhasil membikin sehelai rantai
putus, suaranya semakin nyaring.
Kaget kedua pahlawan itu,
mereka hunus golok mereka, untuk mengancam. Ingin mereka mencegah orang buron.
Hong Hoe mendelik, hingga ia
nampaknya menjadi bengis sekali.
"Mampus dia yang
mendekati aku!" teriaknya. Ia lompat, ia merabu dengan rantainya.
Kedua pahlawan itu mundur,
bukan saja serangan hebat, mereka pun tidak berani membu nuh tawanan ini,
mereka lompat berkelit, niat mereka adalah menyerang dari samping ke arah kaki
tawanan itu.
Hong Hoe liehay, dia ganas,
selagi dia hendak dibacok, dia mendahului, hebat sabetannya dengan rantai.
"Aduh!" teriak satu
pahlawan, yang rubuh seketika, kakinya patah di bagian dengkul kena rabuan
rantai.
Pahlawan yang kedua kaget tapi
ia lantas membacok. Ia insyaf akan ancaman bencana.
Hong Hoe rubuhkan diri, sambil
rebah celentang, ia menyapu dengan kakinya, yang pun terbelenggu. Tapi pahlawan
itu liehay, dapat dia berkelit, terus dia membacok pula,untuk mencegah orang
berbangkit bangun.
Hong Hoe bergulingan, atas
mana, ia disusul bacokan berturut-turut, hingga tak ada ketika baginya untuk
lompat bangun. Dalam keadaan sangat berbahaya itu, selagi pundaknya terancam
akan terbabat kutung, mendadak terdengar satu suara keras, dari bentroknya
senjata-senjata tajam, lantas golok si pahlawan terlepas jatuh.
Hong Hoe menjadi kaget,
lekas-lekas ia lompat bangun, untuk berdiri, berbareng mana,ia tampak menyerbu
masuk, dua orang yang mukanya bertopeng.
"Lekas bekuk tawanan
ini!" teriak si pahlawan. Ia lihat, dua orang itu adalah kawannya.
Ia lantas lompat, untuk
menjumput goloknya yang barusan terlepas. Untuk itu, ia membungkuk. Tapi di
luar dugaannya, kedua orang itu, yang memakai seragam perwira Mongolia,
tahu-tahu dengan berbareng telah membabat dengan pedang mereka, hingga tanpa
menjerit lagi, tubuh pahlawan itu terputus dua dan rubuh dengan berlumuran
darah.
"Kau?" teriak Hong
Hoe ketika ia lihat, kedua orang itu.
Kedua orang itu membuka
penutup muka mereka.
"Ya, aku!" jawab
yang satunya, sambil tertawa.
Mereka itu tidak lain daripada
Tan Hong dan In Loei.
Tan Hong mendengar dari
Yasian, di mana adanya Hong Hoe, maka itu, selagi Yasian dan puterinya
berbicara, ia berlalu dengan cepat. Dengan mudah ia akali serdadu wanita,yang
menjaga tenda, karena ia masih dandan sebagai seorang wanita, habis itu, ia
salin seragam serdadu Mongolia, ia lekas lari pulang ke tangsinya, untuk
mengajak In Loei,bersama siapa, ia pergi ke kemah di mana Hong Hoe ditahan,
malah tepat sekali di saat tongnia Gielim koen itu menghadapi bahaya, hingga ia
dapat memberikan bantuannya.
Dengan cepat Tan Hong dan In
Loei gunakan pedang mereka yang tajam, guna memutuskan semua belenggu Hong Hoe,
tapi mereka masih terlambat, di depan kemah sudah lantas terdengar suara berisik,
sebab tadi, pengawal kemah telah dengar keributan di dalam, dia lari untuk
memberi kabar.
Hong Hoe tertawa besar.
"Bagus!" dia
berseru. "Akan aku adu jiwaku! Dengan membunuh satu jiwa, pulang modalku!
Membunuh dua jiwa, aku sudah untung! Tapi hari ini, hendak aku binasakan
sedikitnya sepuluh, tak boleh kurang!"
Dia lantas sambar golok
seorang pahlawan, untuk dipakai berlaku nekat.
Tiba-tiba Tan Hong totok
komandan Gielim koen itu.
"Kau... kau..." Hong
Hoe berseru tertahan, kaget. Ia cuma dapat mengucap demikian,terus kedua
matanya rapat, tubuhnya rubuh.
In Loei heran, ia lirik
kawannya itu.
"Tak dapat dia dibiarkan
nekat," kata Tan Hong. "Mari!"
Anak muda ini mengangkat tubuh
orang, untuk dipanggul.
In Loei mengerti, ia dewi kz
lantas mengikuti. Tidak ada lain jalan, mereka pergi ke depan, untuk menghadapi
musuh. Tanpa tanda apa-apa lagi, keduanya maju menerjang,untuk membuka jalan.
Segera pedang mereka berkelebat, segera terdengar suara beradunya pelbagai
senjata tajam. Untuk kagetnya musuh, senjata mereka semua terpapas kutung,
hingga terpaksa mereka lompat minggir.
Tan Hong dan In Loei gunakan
ketikanya, selagi jalanan terbuka, mereka maju dengan cepat. Terus mereka babat
kutung senjata musuh, terus mereka nerobos, sampai mereka dapat dekati tenda
dan lompat naik ke atasnya.
Itulah pahlawan-pahlawan kelas
dua, karena yang dua belas, yang kelas satu, sudah ditarik ke tengah, untuk
menjaga raja Beng. Maka itu, mereka semua tak berdaya menghadapi pasangan anak
muda itu, hingga, begitu lekas mereka berdua sudah lompat naik ke tenda, lekas
sekali keduanya dapat lolos dengan jalan melintasi pelbagai tenda lainnya.
Begitu lekas mereka sudah
berada di luar kalangan berbahaya, Thio Tan Hong lantas perdengarkan suitannya
yang nyaring, suitan mana disambut dengan ringkikan kuda di arah kiri mereka.
"Kita bebas!" kata
Tan Hong dengan girang apabila ia telah dengar suara kuda itu.
"Mari!" ia ajak
kawannya.
In Loei ikuti kawan ini.
Mereka hampirkan kuda Tjiauwya saytjoe ma, yang sudah menantikan mereka sambil
menggoyang-goyangkan ekornya. Bertiga bersama Hong Hoe, Tan Hong menyingkir
dengan kudanya itu, yang lari keras.
"Biarkan dia tidur!"
kata Tan Hong pada kawannya ketika ia mengikat Hong Hoe diperut kuda.
Komandan Gielim koen itu masih
belum sadar, sebab ia belum ditotok pula. Tan Hong mempunyai dua macam ilmu
totok, ialah yang membahayakan jiwa dan tidak. Hong Hoe ditotok urat tidurnya,
dengan begitu ia pingsan tanpa terganggu jalan napas dan jalan darahnya.
Mulanya In Loei bersangsi akan
naik bersama atas seekor kuda, hingga Tan Hong desak dia, "Naiklah, adik
kecil!" katanya. Ia bersangsi sejenak, kemudian ia lompat naik ke atas
bebokong kuda. Ia mesti insyaf, mereka perlu lekas menyingkir jauh dari musuh.
Meski begitu, tak dapat ia
cegah mukanya menjadi merah dan kulit mukanya dirasakan panas, saking jengah.
Mau atau tidak mereka harus tempelkan tubuh mereka satu dengan lain.
Dengan perdengarkan suara yang
nyaring, Tjiauwya saytjoe ma berlompat lari, dia membikin tentera Watzu tidak
berdaya walaupun mereka ini dengar suaranya.
Dapat dikatakan tak sampai
satu jam, kuda putih yang jempolan itu sudah meninggalkan tangsi Watzu terpisah
jauh di belakangnya. Kerap kali di tengah jalan beberapa serdadu ronda dari
Watzu mencegat akan tetapi menghadapi Tan Hong dan In Loei, mereka itu tidak
dapat berbuat apa-apa, dengan gam pang kedua anak muda itu dapat melalui
mereka. Mereka yang berani dengan segera menjadi kurban pedangnya pasangan itu.
Lega hati Tan Hong begitu lekas ia lihat mereka sudah lolos dari ancaman
bahaya. Mereka telah berada kira-kira empat puluh lie jauhnya dari daerah
tangsi Watzu
di Touwbokpo. Ia menjadi
sangat girang. Satu kali ia tertawa tak disengaja ketika rambut halus dan bagus
dari In Loei menyampok hidungnya, yang membuatnya ia merasa geli.
"Toako, coba perlahankan
kuda putihnya," In Loei minta kemudian.
Tan Hong meluluskan, maka
sesaat kemudian, Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas bertindak perlahan. Ini
membuatnya si anak muda lantas merasakan keindahan sang malam dengan rembulannya
yang permai. Ia seperti sadar sesudah ia berpikir sebentar.
Baharu sekarang ia ingat,
malam itu adalah malam Tiong Tjioe — bulan delapan tanggal lima belas! Tanpa
merasa, ia tertawa.
"Adik kecil!"
katanya, "tahun ini Tiong Tjioe dilalui dengan berkesan!"
"Memang benar!"
sahut In Loei, yang hendak menggoda. "Hari raya Tiong Tjioe dinamakan juga
Toan Wan Tjiat, artinya Bundar dan Bulat, dan kau bersama puterinya Yasian
telah berada bersama bagaikan manusia dan rembulan lama bundar bulatnya!"
Tan Hong terperanjat, ia
segera lirik nona itu. Ia tampak In Loei tertawa manis, bersenyum simpul, dari
mulutnya pun tersiar bau harum, maka hatinya goncang sendirinya.
"Adik kecil,"
katanya, sambil tertawa, "bukankah pribahasa mengatakan, 'Di medan perang
menyaksikan rembulan permai, di atas kuda merasakan keindahan Tiong Tjioe?'
Adik kecil, semoga kita setiap tahun merasakan malam-malam seperti malam ini!
Apa yang kau katakan memang benar, malam ini manusia dan rembulan sama
bundarbulatnya, maka juga puteri Yasian itu, apabila dia melihat kau, dia pasti
mengiri!..."
Tan Hong balas menggoda, yang
mengandung maksud. Dengan samar ia telah utarakan cintanya. Tanpa merasa, In
Loei menjadi jengah, ia likat sekali. "Ah, toako, kau jail sekali!"
dia kata. "Jikalau kau terus menggoda aku, akan aku lompat turun dari kuda
ini, tak mau aku menunggangnya bersama-sama kau!" Tan Hong menoleh, akan
pandang si nona. Ia tampak suatu paras seperti girang seperti gusar, hatinya
menjadi goncang. Ia tidak jawab nona itu, sebaliknya, ia lantas bersenanjung
perlahan. Rembulan tanggal lima belas itu adalah bahan sasarannya.
"Eh, toako, kau
angot?" tegur In Loei, heran.
Masih Tan Hong tidak menjawab,
ia hanya bersenanjung terus, dengan perlahan:
"Semoga manusia hidup
kekal. untuk bersama-sama merasakan keindahan alam seribu lie." Dengan
"keindahan alam" itu ia maksudkan seorang wanita cantik manis.
Tanpa merasa, In Loei
menimpali, perlahan ia bersenanjung: "Manusia mempunyai kedukaan,
kegirangan, perpisahan, berkumpul, seperti juga mendung, ada terang, ada
bundar, ada sempoaknya. Hal itu, sejak dahulu hingga sekarang, tak pernah
sempurna.
Toako, jangan kau ingat saja
bahagian yang kau ambil, bagian belakang, kau melupakan bahagian ini..."
Habis berkata, wajah si nona
menjadi suram.
Tan Hong lihat keindahan malam
itu, ia mengharap supaya ia dapat hidup bersama In Loei sehingga tua, akan
tetapi si nona, walaupun hatinya tergerak, dia tidak melupakan kata-kata
kakaknya, maka dia utarakan bahwa penghidupan manusia itu tak kekal tak
sempurna selamanya. Karenanya, ia jadi berduka.
Justeru itu segumpal awan
lewat, mengalingi si puteri malam, yang sinarnya menjadi guram.
Menampak itu, In Loei paksakan
untuk tertawa.
"Nah, toako, kau
lihat!" ia kata. "Di dalam dunia ini mana ada manusia hidup berbahagia
selamanya, mana ada rembulan purnama terus menerus?"
Mau atau tidak, Tan Hong turut
tertawa.
"Adik kecil, ingatkah kau
pada syairnya Tjoe Siok Tjin itu penyair wanita?" ia tanya.
"Bahagian yang manakah
itu, toako?" In Loei balas menanya.
"Itu syair yang dibuatnya
di malam Tiong Tjioe," sahut Tan Hong. "Malam itu Tjoe Siok Tjin
melihat rembulan dialingi mega, lalu teringatlah ia kepada nasibnya sendiri,
lantas ia menulis syairnya."
Terus Tan Hong perdengarkan
syair itu:
"Malam ini rembulan tak
diijinkan bercahaya, Maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Kenapa kalau
sang mega disingkirkan, Agar rembulan bercahaya selaksa lie?"
Tjoe Siok Tjin adalah satu di
antara dua penyair terkenal dari Ahala Song. Yang satu lagi adalah Lie Tjeng
Tjiauw. Kalau Lie Tjeng Tjiauw dapat menikah dengan satu suami sempurna, Tjoe
Siok Tjin dapat pasangan satu suami desa, maka juga seumurnya ia senantiasa
berduka, maka syairnya itu menandakan kedukaan hatinya. Maka juga kumpulan
syairnya diberi berjudul "Tuan chang tsi" artinya. "Kumpulan
Usus Putus."
Mendengar nyanyian Tan Hong
itu, hati In Loei bercekat, tanpa merasa, ia berpikir:
"Tjoe Siok Tjin dapat
pasangan tidak kebetulan, ia hidup selalu berduka, maka aku, mustahillah aku
bakal menelad dia?...”
Tan Hong, sambil tertawa,
sudah berkata pula: "Syair Tjoe Siok Tjin mengandung banyak kedukaan,
hanya ini satu, yang tidak berduka seluruhnya. Syair ini mengandung harapan
besar! Dia tahu, Thian tidak mengasihaninya, tapi ia masih mengharap agar mega
disingkir kan, supaya sang rembulan dapat bercahaya pula. Tjoe Siok Tjin adalah
satu nona lemah, dia tidak berdaya menyingkirkan mega, kau sebaliknya bukan
seorang lemah! Tjoe Siok Tjin cuma dapat mengharap, kau sebaliknya dapat
berusaha, bekerja!"
Mendengar itu, hati In Loei
berdebar. Ia berpikir: "Kakakku melarang aku bersahabat dengan Tan Hong,
itu sama saja dengan syairnya Tjoe Siok Tjin yang mengatakan, 'Malam ini
rembulan tak diijinkan bercahaya', maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya.
Tapi kata-kata kakak itu, apakah aku mesti anggap seperti kehendak Thian? Mega
yang menutupi rembulan itu mesti disingkirkan... akan tetapi, bagaimanakah cara
menyingkirkannya?"
Ketika ia angkat kepalanya,
nona ini dapatkan mega justeru melintas dan sang rembulan bersinar permai lagi
seperti tadi!
Kedua anak muda ini telah
menempuh gelombang, banyak pengalamannya yang penuh bahaya, sekarang mereka
bersama dapat menaiki seekor kuda, bersama-sama mereka menggadangi sang
rembulan, walaupun hati mereka berlainan, mereka toh mengicipi bayangan
penghidupan manis dari manusia. Rambut di samping kuping mereka beradu , mereka
dengar napas masing-masing, tubuh mereka pun melekat satu pada lain... Mereka
saksikan bagaimana di langit sang rembulan naik dan turun... Mereka menyesal,
seolaholah mereka mempunyai laksaan omongan tetapi tak dapat mereka keluarkan
itu semua...
Sebenarnya, untuk apa mereka
mengatakannya? Bukankah hati mereka sama, mereka sama-sama telah mengerti
maksud hati masing-masing?
Kuda putih berjalan terus,
perlahan-lahan sampai tanpa merasa, cuaca telah menjadi terang. Dan di depan
mereka, jauh, samar-samar, tampak tangsi tentera Watzu. Nyatalah,Yasian telah
memusatkan angkatan perang besarnya di Touwbokpo, sebaliknya pasukan depannya
sudah mendekati Pakkhia. Maka itu di sepanjang jalan sejauh dua ratus lie
lebih, setiap delapan atau sepuluh lie, telah kedapatan tangsi atau benteng
tentera Watzu itu.
"Sekarang bolehlah kita
turunkan Thio Hong Hoe," berkata Tan Hong akhirnya.
Hong Hoe di perut kuda masih
belum sadar akan dirinya. Tan Hong turunkan tubuh orang dengan perlahan-lahan,
habis itu, ia menepuknya.
Boleh dibilang dalam sekejap
saja, Hong Hoe lantas sadar, malah segera ia merasa kesegarannya pulih, ia
merasa sehat betul. Ia lantas memandang kesekitarnya, ia merasa heran sekali.
"Tempat apakah ini?"
dia tanya.
"Tempat ini telah
terpisah mungkin seratus lie dari Touwbokpo," sahut Tan Hong.
Hong Hoe menghela napas.
"Tan Hong," katanya,
"kenapa kau cegah aku menghabiskan jiwaku untuk menunaikan tugasku?"
Tan Hong menatap dengan
tenang.
Kematianmu adalah urusan
kecil," ia kata, "akan tetapi kalau setiap orang mengurbankan jiwanya
untuk raja, habis siapa lagi yang hendak kurbankan dirinya untuk negara?
Jikalau seorang raja menutup mata, masih ada yang menggantikannya, tetapi kalau
negara jatuh ke dalam tangan bangsa asing, sungguh sulit untuk mengambilnya
kembali! Kau tahu, rajamu sendiri masih belum mati!"
Hong Hoe insaf dengan cepat.
"Habis bagaimana kita
dapat tiba di Pakkhia?" ia tanya akhirnya.
-ooo00dw00ooo
Dengan berisik terdengarlah
suara terompet di dalam pasukan perang Watzu, disusul gemuruhnya suara tambur
perang, lalu di atas gunung terlihat berkibarnya sehelai bendera besar dengan
tanda hurufnya "Komandan." Dan satu perwira Mongolia,yang dandan
sebagai pangeran, kelihatan bercokol di atas kudanya di atas gunung itu. Dengan
cambuknya, pangeran itu menunjuk ke arah depan.
Dia itu adalah Thaysoe Ya
Sian, orang yang pegang kekuasaan besar atas bala tentera Watzu. Dia sedang
pimpin barisannya, akan hajar tentera kerajaan Beng itu, yang dicegat sana
sini, hingga tentera itu jadi kalut sekali.
Dalam keadaan kacau itu,
sekonyong-konyong di sebelah timur, muncul satu pasukan Beng yang mengibarkan
bendera naga, ketika tentera Watzu lihat bendera itu, mereka lantas saja
berteriak-teriak: "Ha, raja Bengtiauw ada di sana!"
Menyaksikan itu Tan Hong
kertek gigi.
"Sungguh Ong Tjin jahat
sekali!" kata dia dalam hatinya. "Nyatalah dia masih kuatir musuh
tidak tahu di mana adanya Sri Baginda!"
Sebab maksud dikibarkannya
bendera raja itu adalah untuk memberi tanda kepada musuh, agar musuh ketahui di
mana adanya raja.
Kaisar Kie Tin dari Kerajaan
Beng telah terkurung satu hari dan satu malam di benteng Touwbokpo, ia
berkuatir bukan main. Ia telah saksikan angkatan perangnya telah dihajar rusak
oleh musuh, sampai ia tidak sanggup mengumpulkan dan menyusunnya pula dengan
sempurna. Ia sekarang hanya mengandalkan kepada Thio Hong Hoe serta pasukan
pengawalnya sendiri. Begitulah ia ajak komandan dari Kimie wie itu membicarakan
soal menoblos kurungan musuh.
Raja dan pahlawannya ini
tengah berbicara tatkala mereka lihat Ong Tjin berlari-lari datang dengan muka
terpucat-pucat, dan begitu tiba di hadapan raja, orang kebiri itu perdengarkan
suaranya yang tak wajar: "Sri Baginda, celaka! Tentera lapis besi musuh
sudah sampai di muka kubu-kubu! Lekas Sri Baginda titahkan Thio Tongnia pergi
menangkis mereka!.....”
Selagi raja tercengang, Thio
Hong Hoe sudah perdengarkan suaranya: "Jangan kaget,Sri Baginda!"
demikian pahlawan ini. "Hari ini, meski mesti kurbankan jiwa, hambamu akan
lindungi Sri Baginda menoblos kurungan!"
Sehabis mengucap demikian,
pahlawan ini segera lari keluar, untuk wujudkan katakatanya,guna memukul mundur
musuh.
Seberlalunya pahlawan itu,
tiba-tiba saja Ong Tjin tertawa menyeringai. Tidak lagi ia bermuka pucat dan
beroman sangat ketakutan seperti tadi. Ia malah bergembira.
"Sri Baginda,"
berkata dia, "hari ini habis sudah harapan kita, kecuali kita menyerah dan
menakluk, tidak ada lain jalan hidup pula. Hambamu mohon agar Sri Baginda sudi
pergi ke tangsi Watzu untuk mohon perdamaian....."
Kaisar kaget bukan main
mendengar perkataan hambanya ini.
"Cara bagaimana aykeng
dapat mengatakan begini?" dia tanya. "Aykeng" berarti
"menteri yang dicintai."
Ong Tjin tidak menjawab
rajanya itu, yang masih menghargai padanya. Dengan tibatiba ia perlihatkan
roman bengis.
"Mana pahlawanku?"
dia memanggil. Atas panggilan itu, dari luar kemah muncul pahlawan dorna kebiri
itu, dan raja, tanpa berdaya, sudah lantas saja diringkus.
Hong Hoe sendiri, selekasnya
dia tiba di luar kemah, dia kaget bukan main. Dia telah saksikan dikereknya
bendera naga. Seperti Tan Hong, segera dia insyaf akan akal muslihatnya Ong
Tjin yang jahat itu. Sebenarnya ingin dia kembali ke dalam kemah, akan tengok
junjungannya, akan tetapi tentara Watzu benar-benar sudah menerjang, terpaksa
ia maju terus, untuk melakukan perlawanan. Hebat untuknya, dengan lekas ia
telah kena dikurung musuh, yang telah memutuskan jalannya kembali kepada
rajanya.
Sementara itu, darah In Loei
bergolak-golak saking murkanya.
"Toako, mari kita bunuh
Ong Tjin, untuk menolong Sri Baginda!" ia ajak Tan Hong.
Bersama-sama Tan Hong, In Loei
ini memimpin satu barisan tengah, dari itu, di depan mereka terdapat lain
barisan, yang berjumlah besar, maka, untuk bisa menyerbu ke arah kaisar Beng,
adalah sulit sekali. Mungkin mereka tidak mampu berbuat demikian sekalipun
mereka mempunyai kuda-kuda jempolan.
Tan Hong tertawa meringis.
"Di saat seperti ini
tidak lagi kita dapat berlaku nekat," katanya, masgul. "Mari kita
naik ke tempat tinggi, untuk melihat keadaan.....”
Dan dari tempat yang tinggi,
mereka saksikan Ong Tjin menaikkan Kaisar Kie Tin ke atas kuda dengan tubuh
terbelenggu. Dengan tangannya sendiri, dorna kebiri itu mengangkat naik bendera
putih, untuk dilambai-lambaikan, hingga bendera tanda menakluk itu
berkibar-kibar di antara sampokan angin. Beberapa pahlawan yang setia telah
mencoba maju, untuk menolongi raja, akan tetapi mereka dirintangi oleh
pahlawanpahlawannya si dorna. Dipihak lain, barisan musuh sudah datang
mendekati raja yang tak beruntung itu.
Dalam saat seperti itu,
sekonyong-konyong terdengar suara teriakan keras bagaikan guntur, lalu
tertampak Hokwie Tjiangkoen Hoan Tiong, dengan sepasang gembolan di tangan,
mengaburkan kudanya ke arah raja. Panglima ini seperti kalap, tak lagi ia
menghiraukan dirinya. Tapi ia pun segera dicegat dan dikepung oleh
pahlawanpahlawannya Ong Tjin dibantu tentara watzu yang melepaskan anak panah.
Hoan Tiong mengenakan lapisan
baja di depan dadanya dan kopiah di kepalanya,kedua belah anggota tubuh itu
bebas dari anak-anak panah, tidak demikian dengan pundak dan bebokongnya, maka
itu, belasan anak panah, telah menancap di tubuhnya itu, tetapi ia tangguh
sekali, ia tak rubuh karenanya. Ia paksa maju terus ke arah junjungannya,
hingga ia datang dekat si dorna kebiri.
Ong Tjin terkejut menyaksikan
kegagahan orang itu.
"Hoan Tjiangkoen, marilah
kita bicara!" ia serukan. Ia sangat berkuatir.
Jawaban Hoan Tiong adalah
teriakan berguntur: "Hari ini aku akan mewakili negara membasmi
penghianat!" Dan teriakan itu dibarengi dengan turunnya sebilah
gembolannya yang berat itu, menimpa Ong Tjin, hingga tubuh si dorna rubuh dari
atas kudanya.
Sementara itu, dia sendiri pun
tidak bebas dari beberapa bacokan musuh.
Dalam keadaan luka parah itu,
Hoan Tiong tertawa berkakakan, lalu tiba-tiba ia ayunkan gembolannya ke arah
kepalanya sendiri, maka sedetik saja, ia rubuh dari kudanya dengan kepalanya
pecah, jiwanya melayang. Ia lebih suka bunuh diri daripada tertawan atau
terbinasa ditangan musuh.
Bagaikan air bah, demikian
serbuan tentara Watzu, maka sejenak kemudian, kaisar Beng yang sudah tidak
berdaya itu telah menjadi orang tawanan, sedang menterimenterinya,yang turut ke
medan perang, seperti Siangsie Kong Tim, Ong Tjoh, Haksoe Tjo Teng dan Thio Ek,
pangeran Enqkok-kong Thio Hoe dan lainnya, telah berkurban untuknya. Juga di
antara pahlawan-pahlawan Ong Tjin, ada delapan atau sembilan yang terluka dan
terbinasa.
Kejadian yang menyedihkan
dalam hikayat Kerajaan Beng ini adalah yang dinamakan "Peristiwa di
Touwbok." Thio Hong Hoe telah lihat junjungannya tertawan, mendadak saja
ia muntahkan darah hidup. Kemurkaannya tak terkira. Dengan nekat ia lantas
terjang musuh, dalam tempo pendek ia telah rubuhkan belasan musuhnya, tetapi ia
pun tetap terkurung, jumlah musuh yang besar membikin mereka merupakan seperti
tembok besi dinding tembaga, tidak dapat ia pecahkan kurungan itu.
Akhir-akhirnya ia berteriak:
"Raja terhina, menteri terbinasa!" dan ia balikkan goloknya, untuk
menabas batang lehernya sendiri. Tapi anak panah musuh mendahului ia, lengannya
kena terpanah, goloknya terlepas dari cekalan, jatuh ke tanah, hingga di lain
saat, ia pun menjadi orang tawanan.
Dengan kemenangan besar itu,
dengan membunyikan gembreng, tentera Watzu telah menyelesaikan peperangan.
Daerah Touwbokpo itu yang luasnya beberapa ratus lie lantas dibersihkan dari
musuh, di situ didirikan kemah. Segera pun babi dan kerbau disembelih, untuk
membikin pesta besar, untuk merayakan kemenangan.
Di dalam tentera itu, terdapat
Thio Tan Hong dan In Loei. Mereka tak dikenal dalam penyamaran mereka. Maka itu
mereka dapat mendengar pembicaraan di antara beberapa perwira.
"Malam ini di dalam kemah
jenderal akan diadakan keramaian yang istimewa," kata satu perwira,
"sayang aku hanya berpangkat kapten, aku tak berhak untuk turut hadir
dalam pesta itu.....”
"Keramaian apakah
itu?" tanya satu perwira lain. Perwira yang pertama bicara itu menyahuti:
"Aku dengar malam ini jenderal kita hendak paksa kaisar Beng menjadi
pelayannya, untuk melayani dia minum arak. Tidakkah itu luar biasa bagus?"
"Ya, benar bagus!"
kata perwira yang menanya. "Kaisar Beng telah kita tawan,aku lihat
peperangan akan segera berakhir, dengan begitu, lekas juga kita akan
pulang," berkata satu perwira lain lagi. "Kita akan merayakan tahun
baru kita!"
"Tetapi kita masih belum
masuk ke Pakkhia," kata satu perwira rekannya. "Tionggoan itu luas
tanahnya, banyak rakyatnya, mereka tak dapat dibunuh habis, maka itu tidak
mudah urusan peperangan ini dapat diselesaikan?" Perwira yang pertama itu
tertawa.
"Bangsa Han pandang
rajanya sebagai naga sejati," kata dia pula, "kalau rombongan naga
tidak ada kepalanya, mana mereka dapat berperang? Kalau rajanya itu sayangi
jiwanya, dia mesti menakluk dengan baik-baik, dia mesti umumkan pernyataannya
suka menjadi taklukkan kita. Setelah itu baharulah negara Beng itu menjadi
kepunyaan kita."
Mendengar pembicaraan itu,
hati Tan Hong panas berbareng duka.
"Memang sungguh celaka
kalau Sri Baginda suka menyerah," pikir dia. "Aku harap saja Sri
Baginda bukannya raja yang takut mati.....”
Perwira yang pertama berbicara
itu masih mengatakan pula: "Tentera Beng itu tidak harus dibuat takut.
Lain halnya dengan Kimtoo Tjeetjoe di luar kota Ganboenkwan, dia masih saja
bergelandangan di luar kota itu, sebentar muncul, sebentar menghilang, sukar
untuk menumpas padanya. Dia baharulah yang dinamakan bahaya di dalam
tubuh!"
Tapi satu perwira lain
tertawa.
"Tapi pesanggrahannya
telah kita serbu hingga rata dengan tanah!" katanya. "Bangsat tua
Kimtoo itu serta anaknya, meskipun mereka dapat lolos, mereka tak lebih tak
kurang seperti penyakit di kulit saja! Lagi pula sekarang Jenderal Tantai telah
menempatkan tenteranya di kota Ganboenkwan, sudah pasti dia tidak akan dapat mengacau
pula, maka itu, untuk apa kita kuatirkan dia?"
Mendengar pembicaraan itu,
lega juga hati Tan Hong dan In Loei. Sekarang mereka ketahui halnya Tjioe Kian
ayah dan anak, yang tak kurang suatu apa, sedang mereka pun mendapat tahu di
mana adanya Tantai Mie Ming.
Pada waktu itu kaisar Beng
sebagai tawanan musuh, oleh Yasian, perdana menteri Watzu, telah di tempatkan
di dalam kemah yang terjaga kuat hingga tiga lapis, sedang di dalam kemah
sendiri, dia diawasi oleh tiga pahlawan pilihan, yang setiap saat meletakkan
tangan di gagang pedang. Di antara tiga pahlawan itu, yang satu adalah
Ngochito,pahlawan harimau dari Yasian sendiri. Dia ini selainnya liehay ilmu
silat pedang Hongloei kiam yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus, orangnya
pun cerdik sekali. Maka itu,berduka kaisar itu, yang melihat tidak mempunyai
harapan untuk kabur. Tapi yang membikin Kie Tin sangat berkuatir adalah ketika
ia dengar malam itu Yasian hendak mewajibkan dia melayani perdana menteri itu
minum arak. Dia jadi mendongkol dan malu,dia jadi sangat bingung.
"Aku hadiri pesta itu
atau jangan?" dia tanya dirinya berulang-ulang. Dia insyaf, kalau dia
hadir, dia akan jadi kedua Kaisar Hwie Tjong dan Kim Tjong dari ahala Song,
yang mesti hinakan diri di hadapan musuh. Perbuatan itu tidak saja merendahkan
dirinya dan negaranya, dia pun akan menjadi buah tertawaan berabad-abad. Kalau
dia tidak hadir, dia kuatirkan keselamatan jiwanya.....
Tengah kaisar ini berputus
asa, tiba-tiba di luar kemah terdengar suara panggilan, katanya: "Thaysoe
undang Jenderal Ngochito datang ke markas untuk berbicara!"
"Thaysoe" adalah
sebutan untuk Perdana Menteri Yasian.
Berbareng dengan itu satu
perwira bertindak masuk dengan tangannya menyekal sebatang lengtjhie, panah
titahan.
Ngochito sangat teliti, ia sambut
lengtjhie itu untuk diperiksa dulu, hingga ia peroleh kenyataan keasliannya.
Panah titahan itu cuma dipakai oleh pembesar paling tinggi dalam suatu angkatan
perang, sebab itu adalah hadiah dari raja Watzu sendiri, terbuatnya pun dari
kemala hijau.
Percaya bahwa Yasian mempunyai
urusan penting hendak dibicarakan dengannya,Ngochito lantas saja tinggalkan
kemah jagaannya itu.
Perwira yang membawa lengtjhie
itu, begitu ia lihat Ngochito sudah pergi jauh, dengan mendadak ia putar
tubuhnya sambil mengayunkan kedua tangannya, masing-masing diarahkan kepada
kedua pahlawan lainnya, yang berdiri dekat dengannya. Luar biasa sebat gerakannya,
tidak peduli kedua pahlawan itu liehay, mereka toh kena ditotok, tanpa bersuara
lagi, keduanya jatuh rubuh. Lekas sekali si perwira pembawa lengtjhie membuka
kopiahnya, sambil bersenyum, dia kata kepada Kie Tin: "Sri Baginda, masih
ingatkah Sri Baginda kepadaku?"
Raja Beng memang heran atas
kejadian itu, ia mendelong mengawasi perwira itu.
Akhirnya, ia jadi terperanjat.
Ia lantas kenali siapa orang itu yang berdiri dihadapannya,ialah Thio Tan Hong.
Ayahnya Tan Hong, yaitu Thio
Tjong Tjioe, menjadi Yoesinsiang, Menteri Muda dari raja Watzu, dengan begitu
kedudukannya seimbang dengan kedudukan To Huan, Tjosinsiang,yang menjadi
ayahnya Yasian. Mereka sama pengaruhnya, mereka disayangi Raja Watzu,dan
keduanya pun berkuasa mencampuri urusan ketenteraan. Maka itu raja memberikan
mereka masing-masing sebatang lengtjhie dengan apa mereka berhak memanggil
setiap perwira menghadap mereka. Adalah kemudian, setelah kedudukan To Huan
turun kepada puteranya, Yasian, pengaruhnya ini meningkat, hingga dia mengangkat
dirinya menjadi Thaysoe, Mahaguru. Thio Tjong Tjoe sebaliknya, untuk menjaga
dirinya, tidak perhatikan urusan tentera, maka itu, sudah sepuluh tahun belum
pernah ia pakai lengtjhie itu. Ketika Tan Hong berlalu dari Watzu, dia curi
lengtjhie ayahnya itu, tidak pernah ia menyangka,kali ini, di sini, dapat dia
pakai panah titahan itu untuk mengelabui Ngochito.
"Di harian pieboe di atas
loeitay, telah aku kirimkan kau sepucuk surat, sudahkah kau baca itu?" Tan
Hong tanya pula.
"Kau? Kau jadinya Thio
Tan Hong?" raja tegaskan, suaranya menggetar.
"Tidak salah!" Tan
Hong jawab.. "Aku adalah musuhmu yang kau hendak tawan!"
"Baiklah!" kata raja
itu, yang hatinya menjadi mantap. "Hari ini aku terjatuh ke dalam
tanganmu, tidak usah kau banyak omong lagi, lekas-lekas kau bunuh aku!"
Tapi Tan Hong tertawa.
"Jikalau aku hendak bunuh
kau, apa kau kira aku menanti sampai hari ini?" kata dia.
"Sekalipun aku memakai
pakaian asing, hatiku adalah hati Han!"
"Kalau begitu, kau
tolonglah aku!" kata raja.
Kie Tin seperti lupa bahwa ia
tengah dikurung berlapis-lapis. Bagaimana gampang untuk buron.....
Tan Hong awasi raja itu, ia
tertawa pula. "Sri Baginda," katanya, "hari ini cuma kau sendiri
yang dapat menolong dirimu." Raja heran.
"Apakah kau kata?"
dia tanya. "Malam ini Yasian akan memaksa kau menyatakan menakluk,"
kata Tan Hong. "Jikalau kau menakluk, bukan saja dengan itu kau lenyapkan
negara Kerajaan Beng yang terbesar yang luasnya sembilan laksa lie, juga jiwamu
sendiri tidak akan terjamin. Tapi jikalau kau menolak, maka Kokloo Ie Kiam akan
membangun angkatan perang suka rela, untuk berperang membelai negara. Di dalam
negara Watzu tidak ada persatuan, maka itu Yasian akan terserang musuh dalam
dan luar. Hal ini diketahui baik sekali oleh Yasian, karenanya, mana dia berani
bunuh kau? Oleh karena itu,sekarang ini, kau bersabarlah, kau pertahankan diri
untuk menderita. Dengan bersabar,bukan saja negara akan dapat dilindungi, kami
juga kemudian akan mendapat jalan untuk menolongi kau. Kau bukannya seorang
tolol, hal ini tentunya kau dapat pikir sendiri.....”
Raja tidak menjawab, ia
perdengarkan suara perlahan sekali.
"Harta pusaka leluhurku
berikut peta buminya, telah berhasil aku cari dan mengambilnya," Tan Hong
beritahu, "harta dan peta itu tengah diangkut ke Pakkhia,bersama dengan
itu, aku sendiri akan menghabiskan tenagaku untuk membantu Ie Kokloo. Masih ada
lagi yang kami dapat lakukan, dari itu, jangan kau berduka."
Thio Tan Hong perlihatkan
sinar matanya yang tajam, yang menandakan kekerasan hatinya, yang membuatnya
orang menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Bibir raja sudah bergerak seperti
ia hendak mengucap sesuatu, tetapi ia urung.
Tan Hong awasi raja itu,
matanya mencilak.
"Menteri besarmu In Tjeng
telah menggembala kuda di negara asing selama dua puluh tahun, selama itu dari
awal hingga akhirnya, ia tidak bertekuk lutut!" katanya dengan nyaring.
"Kau adalah orang yang paling agung dari satu negara, apakah kau mesti
kalah dengan menterimu?" Raja pun mengawasi.
"Baik!" dia jawab
akhirnya. "Aku juga tidak akan pikirkan pula kehidupanku, akan aku perbuat
seperti katamu!"
Tan Hong masih hendak
berbicara ketika, "Bret!" dan robeklah tenda kemah, terbelah dua,
dari situ tampak Ngochito lompat masuk, pesat bagaikan angin puyuh. Ketika dia
lihat siapa yang rebah di tanah, kemurkaannya bertambah meluap.
"Bangsat bernyali besar,
mari makan pedangku!" dia mendamprat sambil menikam dengan pedangnya,
dengan tipu silat "Geledek menyambar batok kepala".
Tan Hong terkejut ketika ujung
pedang menjurus ke tenggorokannya. Ia pun tidak menyangka Ngochito bisa kembali
demikian lekas, walaupun ia tahu, ia hanya dapat mengabui untuk sementara waktu
saja.
Sudah dibilang, Ngochito
adalah seorang yang cerdik. Baharu saja ia sampai di luar kemah, ia lantas
dapat pikiran. Ia telah berpikir: "Thaysoe menghendaki aku mengawasi
kaisar Beng. Tidakkah tugas itu sangat penting? Mungkinkah dia hendak menukar
tugasku itu? Lagi pula perwira pembawa lengtjhie itu sangat asing untukku.
Kalau Thaysoe mengutus orang membawa lengtjhie padaku, ia mestinya menitahkan
orang di kiri kanannya, yang ia percayai. Juga, kenapa perwira itu tidak turut
aku keluar? Inilah mencurigakan.....”
Keras Ngochito berpikir,
kecurigaannya jadi semakin besar, maka akhirnya ia putar tubuhnya, untuk balik
ke dalam kemah, begitu sampai, ia tidak lagi ambil jalan pintu kemah, tapi ia
merobek kain tenda. Karenanya ia segera dapat lihat kedua kawannya rebah di
tanah. Ia lantas menduga, mereka itu tentu telah kena ditotok, bahwa si perwira
mestinya orang jahat, dari itu, ia menyerang tanpa buang tempo lagi.
Tan Hong kaget tetapi ia tidak
gugup, dengan sebat ia berkelit.
"Sungguh Hongloei
Kiamhoat yang liehay?" ia serukan.
Ilmu silat pedang Ngochito
benar-benar liehay. Lolos tikaman yang pertama, segera menyusul yang kedua,
yang ketiga, cepat dan bengis. Tan Hong menjadi repot juga. Ia tidak sempat
membuat perlawanan, ia selalu egoskan diri. Apamau kemah itu tidak terlalu
luas, tak merdeka ia berlompat ke kiri dan ke kanan.
Sementara itu di luar pun
segera terdengar suara riuh. Mestinya itu adalah bala bantuan untuk Ngochito.
"Trang!" demikian
terdengar sekonyong-konyong. Ujung pedang Ngochito telah mengenai kopiah perang
Tan Hong, tetapi serangan itu tidak tepat, pedang meleset ke samping.
Tan Hong telah menggunakan
tipu yang berbahaya. Ia sengaja memberikan kopiahnya ditikam, selagi tertikam,
ia miringkan kepalanya. Karena pedangnya meleset, Ngochito tak dapat unjuk
kesehatannya untuk segera menarik pulang, malah saking heran, ia melengak
sebentar.
Ketika yang baik itu digunakan
Tan Hong dengan sebat sekali, selagi ia ditikam, ia gunakan kesempatan akan
menghunus pedangnya, pedang Pekin kiam hadiah dari gurunya, pedang mana tadi
tak sempat ia mencabutnya karena ia didesak terus-menerus.
Sekarang, setelah menghunus
pedang, ia teruskan itu, ia pakai menabas ke arah pedang musuh.
"Trang!" kembali
suara terdengar, tetapi tak sekeras, tadi. Karena kali ini, kedua pedang beradu
sepintas lalu, dan ujung pedangnya Ngochito kena tertabas kutung!.
Panglima Watzu itu kaget tidak
terkira. Ia tahu tajamnya pedangnya, yang terbuat dengan campuran bahan emas,
sudah tajam, pedang itu jauh lebih berat daripada pedang-pedang seumumnya. Tapi
pedang itu kutung dengan satu kali bentrok saja!
Tan Hong gunakan ketikanya, ia
tunjukkan kecerdikannya. Selagi lawan berdiam,ia lompat ke samping sambil
memutar pedangnya. Dengan satu tabasan saja, ia bikin tenda terbelah, menyusul
mana, selagi dengan tangan kiri ia menyambar, akan pentang tenda itu, tubuhnya
mencelat lebih jauh, noblos keluar dari lobang pecahan itu.
Ngochito heran menampak
kecerdikan musuh, untuk kesehatannya itu. Mengertilah ia bahwa musuh ini liehay
sekali. Tapi ia pun satu pahlawan Watzu, tidak sudi ia menunjukkan
kelemahannya. Maka sambil memutar pedangnya, ia juga noblos keluar dari liang
tenda dari mana Tan Hong nerobos keluar. Setibanya di luar, ia lihat musuh
sudah melintasi dua undakan kemah.
"Tangkap penjahat!"
ia berteriak. Ia lompat, untuk mengejar.
"Sar ser!" demikian
terdengar suara ketika Ngochito lihat musuh memutar tangannya ke belakang,
terayun, menyusul mana tertampak sinar-sinar kecil berwarna perak menyambar ke
arahnya.
Itulah senjata rahasia jarum
dari Tan Hong, yang ia gunakan untuk menahan musuh yang mengejarnya.
Ngochito insyaf kepada
malapetaka itu, ia putarkan pedangnya, untuk menangkis.
Gagal serangan Tan Hong itu.
Gagal separuhnya. Sebab dengan repot menangkis,majunya Ngochito tercegah,
hingga terlambat. Dan kelambatan ini digunakan Tan Hong untuk lari lebih jauh,
ke lapis tenda yang ketiga.
Cuaca malam itu gelap, cuaca
ini menolong banyak pada Tan Hong. Ia dengar suara riuh dari tanda bahaya, ia
lari terus. Segera juga anak-anak panah menyambar saling susul, tetapi tidak
ada satu yang mengenai sasarannya. Ia terus lari, hingga melintasi belasan tenda.
Ngochito mengejar terus, tapi
ia kalah dalam ilmu enteng tubuh, ia tidak dapat menyandak, meski begitu, Tan
Hong toh repot, sebab suara tanda bahaya telah membangunkan tentera Watzu
dipelbagai tangsi, sedang seluruh tangsi luasnya kira-kira seratus lie.
Ketika ia sudah melewati
puluhan tangsi, Tan Hong tiba di suatu tempat yang merupakan tanah kosong, di
situ ada dua baris tangsi, yang berjejer di kedua tepi. Di tenda, atau kemah
sebelah depan, api dipasang terang-terang, samar-samar tertampak serdadu ronda.
Apa yang beda, dari tangsi di depan itu tidak merubul serdadu-serdadu Watzu
seperti dari tangsi-tangsi lainnya. Heran juga Tan Hong, karena ia tahu, tata
tertib tentera Watzu biasanya keras sekali, begitu ada pertandaan, semuanya
mesti bergerak.
Tetapi ini satu tidak.
"Mungkinkah di sini ada
dua jenderal yang masing-masing memegang pimpinan?" bertanya hati
kecilnya. "Walaupun ada dua pemimpin, mereka tetap berada di bawah satu
pemerintah, tidak seharusnya mereka berlainan pimpinan.....”
Tidak peduli ia heran atau
bersangsi, Tan Hong insyaf ia tidak boleh membuang-buang tempo, maka itu, ia
lompat, untuk lari terus. Ia dapat kenyataan, di belakangnya ada
pengejar-pengejar yang menunggang kuda. Ia tiba di tengah tegalan itu di mana
terdapat banyak tumpukan rumput yang tinggi bagaikan bukit kecil. Itulah
tumpukan rangsum kuda, yang tentera Watzu paksa penduduk setempat
mengumpulkannya.
"Baiklah aku menyusup
kesalah satu tumpukan, untuk sembunyikan diri," pikir Tan Hong. "Aku
mesti tunggu, sampai semua sudah sirap, baharu aku berlalu dengan
diamdiam."
Tan Hong pikir, kalau toh
tumpukan-tumpukan rumput itu hendak digeledah, orang mesti menggunakan banyak
serdadu, karena ia memakai seragam tentera Watzu, ia mengharap akan ada
kemungkinan untuk bercampur dengan mereka itu, untuk turut menggeledah
bersama-sama.....
Demikian ia nelusup masuk ke
dalam sebuah tumpukan, akan menantikan saatnya.
Tapi, begitu ia masuk, begitu
lekas juga ia terkejut. Kupingnya telah menangkap suara tertawa geli, dekat
sekali, menyusul mana bebokongnya terasa ditekan barang keras bagaikan besi,
yang dingin seperti es.
"Aku telah nantikan lama
padamu!" demikian sekonyong-konyong ia dengar suara,yang halus dan
menggiurkan. "Jangan kau bergerak! Bila kau bergerak, akan aku menjerit-jerit!....."
Tan Hong kaget dan heran. Ia
berada di medan perang, di dalam tangsi, dari mana datangnya satu wanita,
mungkin satu nona? Karena itulah suaranya seorang perempuan.
Ia merasa lega juga, karena
orang mengancam secara lunak.
"Baik, aku tidak akan
bergerak," ia jawab. Wanita itu tertawa pula, dengan terlebih geli.
Sekarang ia lemparkan sebuntal pakaian.
"Lekas kau loloskan
seragammu," ia kata. "Lekas kau tukar itu dengan pakaian ini. Kau
tunggu sebentar, aku akan segera kembali."
Habis berkata, wanita itu
keluar dari tumpukan rumput.
Segera terdengar suara
berisik, dari serdadu-serdadu dan kuda mereka. Suara berisik itu melintasi
tegalan, tiba ke dekat tumpukan di mana Tan Hong menyembunyikan diri,tempat
dari mana barusan si wanita muncul.
"Keke, adakah keke
melihat satu perwira lari lewat di sini?" demikian Tan Hong dengar
pertanyaan satu orang.
"Ya, aku lihat dia,"
jawab si wanita tadi. "Dia lari sangat cepat, aku tak dapat menyandak dia.
Dia lari dari sini, terus kesana. Mungkin sekarang dia sudah melewati tangsi
wanita dan telah sampai di depan."
Dengan berteriak-teriak,
"Mari! Mari!" serdadu pengejar itu lari ke arah yang ditunjuk,
sebentar saja, suara mereka menjadi kurang berisiknya dan akhirnya lenyap,
hingga kesunyian kembali di situ.
Tan Hong dapat menenangkan
diri, ia mengintai dari tumpukan rumputnya itu. Ia ditolong oleh cahaya api
dari tangsi yang terdekat. Ia periksa pakaian yang diberikan kepadanya. Ia
kenali itu adalah seragam dari serdadu wanita Mongolia. Ia menjadi heran.
Teringat akan panggilan
tentera tadi kepada si wanita, ia pun menjadi bingung. Ia tahu apa artinya
panggilan "keke" itu. Orang Mongolia, begitupun orang Manchu, kalau
ia memanggil nona anggauta keluarga raja, maka mereka memanggilnya keke. Jadi
wanita itu, nona itu, adalah dari keluarga agung. Sementara itu, ia bersangsi
untuk pakaian itu.
"Apakah aku mesti
menyamar sebagai serdadu wanita?" ia berpikir. Tapi ia ingin lolos dari
kepungan, ia tidak bersangsi lama.
"Apakah kau sudah
salin?" tak lama ia dengar suara si nona. "Nah, sekarang kau sudah
boleh keluar."
Tan Hong buntal pakaiannya,
sambil bawa itu, ia munculkan diri.
Si nona tertawa geli sekali.
"Mari turut aku!"
katanya. Terus dia bertindak. Sekarang Tan Hong merasa bahwa ia seperti kenal nona
ini, bahwa pernah ia melihatnya, hanya entah di mana, sesaat itu,tidak dapat ia
mengingatnya.
Nona itu pergi kesebuah kemah
ke dalam mana ia terus bertindak masuk. Di dalam situ, semuanya adalah
serdadu-serdadu wanita.
Sekarang baharulah Tan Hong insyaf
kenapa ia disuruh salin pakaian. Di tangsi wanita,tak boleh ada pria
mencampurkan diri. Pantas tadi pengejar-pengejarnya tidak menggeledah di situ.
Hanya sekarang, biar bagaimana, ia merasa jengah juga sebab begitu banyak mata
wanita mengawasi padanya, agaknya mereka itu heran. Terpaksa ia tunduk.
"Oh, keke sudah
kembali?" demikian si nona ditanya beberapa serdadu wanita itu. "Ada
terjadi apakah di luar?"
"Kabarnya mereka menawan
satu orang jahat," jawab si nona. "Kamu jangan usilan!"
Serdadu-serdadu wanita itu
mengawasi pula Tan Hong tetapi mereka tidak ada yang berani menanyakan sesuatu.
Nona itu ajak Tan Hong ke
sebuah kemah lain, begitu tenda dipentang, dari situ tersiar bau harum
semerbak, yang membuat hatinya jadi terbuka.
Tan Hong lihat sebuah pedupaan
kayu gaharu. Di situ ada sebuah meja marmer serta satu meja kecil dari batu
pekgiok. Di atas meja kecil itu ada beberapa tangkai bunga bwee dalam sebuah
tempat bunga. Orang berada di tangsi tentera, tapi kemah diperlengkapi bagaikan
kamar wanita, hanya sederhana.
Begitu berada di dalam, nona
itu membuka ikat kepalanya. Ia berpaling kepada si anak muda, matanya
berkerling hidup.
"Tan Hong, masihkah kau
kenal aku?" tiba-tiba ia menanya.
Tan Hong memandang dengan
tercengang. Sinar lilin di situ terang sekali, wajah si nona tampak tegas.
Orang tengah mengawasi ia dengan sunggingan senyuman berseriseri.
Dengan lantas ia ingat.
"Kaulah Topuhua!" ia jawab.
Nona itu manggut.
"Benar," sahutnya.
"Sudah banyak tahun sejak kita berpisah, kau masih belum melupakan
aku!"
Di dalam hatinya, Tan Hong
mengeluh.
Topuhua adalah puterinya
Yasian, kepala perang Watzu itu. Dimasa kecilnya, Tan Hong pernah bermain-main
bersama nona ini. Setelah umur mereka tiga atau empat belas tahun, baharu
mereka berpisahan. Sebabnya ialah, di antara Thio Tjong Tjioe dan Yasian,mereka
cuma baik di mulut, di hati berlainan, sedang mereka —Tan Hong dan Topuhua
—sudah mulai mengerti urusan orang dewasa.
Nona itu tertawa ketika ia
berkata: "Aku ingat betul suatu kejadian semasa kita kecil.Itu hari aku
dan kau pergi berburu di tepi air Yuching di kaki bukit Wuwang, selagi
memandang air di mana ada bayangan kita, kau mengatakannya aku mirip pria dan
aku bilang kau mirip wanita. Ingatkah kau itu?"
"Ya", sahut Tan
Hong, cara sembarangan saja. Baharu saja ia menyahuti atau tiba-tiba si nona
menarik tangannya, untuk membawa ia ke muka kaca.
"Kau lihat!" katanya
sambil tertawa. "Sekarang kau pakai pakaianku, kau lebih mirip lagi dengan
wanita! Lihatlah!"
Wajah Tan Hong menjadi merah.
Di dalam hatinya, ia kata: "In Loei salin pakaian menjadi pria, aku
justeru menyamar jadi wanita, jikalau dia ketahui perbuatanku ini, tidakkah ia
mentertawakan aku?"
Topuhua tertawa pula.
"Pada malam di muka
keberangkatan angkatan perang kita, ia berkata, "aku telah dengar kabar
kau sudah mencuri masuk ke Tionggoan. Hal kepergian kau itu ditanyakan kepada
Thio Sinsiang, dia tidak mau memberi keterangan. Aku telah menyangka, selama
hidup kita ini, kita tidak akan bertemu pula satu dengan lain, akan tetapi
Allah telah memberkahinya, kita justeru bertemu di sini. Sudah banyak tahun
kita tidak pernah bertemu, maka itu kali ini kau mesti berdiam untuk beberapa
hari bersama aku di sini."
Tan Hong
terperanjat."Mana dapat itu dilakukan?" katanya.
"Kenapa tidak?"
Topuhua tanya. "Aku jamin tak akan ada orang yang ketahui kau! Umpama ada
juga yang mengetahuinya, mereka semua ada orang kepercayaanku, tidak nanti
mereka berani membuka rahasia."
Tan Hong menggoyangkan
tangannya berulang-ulang.
Mendadak saja nona itu
perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Jikalau kau menampik,
sekarang juga aku berteriak!" ia kata.
Pemuda itu tidak membiarkan
dirinya digertak. "Baik, kau berteriaklah!" ia kata."Dengan
sebenarnya aku beri tahu padamu, hari ini aku menjadi musuhmu, kau boleh
belenggu aku, kau boleh serahkan aku kepada ayahmu! Aku telah memberanikan diri
mendatangi tangsi tenteramu, karena aku tidak memikirkan pula jiwaku!"
Mendengar itu, si nona tertawa
pula, nampaknya ia sangat manis dan menarik.
"Kau tertawakan
apa?" tanya Tan Hong, gusar. "Kau masih tetap bawa sifatmu semasa
kanak-kanak," sahut Topuhua. "Kau selamanya suka jaili aku. Kau
bilang kau adalah musuhku, aku sebaliknya tidak pandang kau sebagai musuh. Kau
bilang kau tidak sayangi jiwamu, baiklah, sekarang aku tanya, kau pikirkan jiwa
ayahmu atau tidak?"
Diam-diam Tan Hong terkejut.
"Ayahku masih ada di
Watzu, dan di sana Yasian-lah yang berkuasa," ia berpikir. "Lagi
pula, kalau nanti aku hendak mengacaukan bahagian dalam dari Watzu, aku
membutuhkan bantuannya ayahku. Mengurbankan diri adalah perkara gampang, untuk
membangun negara sesungguhnya sulit. Baiklah, aku bersabar."
Ia lantas tunduk.
Topuhua mengawasi, ia
menyangka orang telah menurut, kembali ia tertawa.
"Sebenarnya, apa sih yang
tak baik untukmu tinggal bersama aku di sini?" dia tanya,suaranya manis.
"Tempatku ini, di mana juga dalam kalangan tentera Watzu, tidak nanti kau
dapatkan keduanya terlebih menyenangkan."
Tan Hong berjingkrak.
"Apa?" tanyanya. "Kau hendak suruh aku berdiam di sini?"
"Jikalau kau tidak
tinggal di sini, habis di mana lagi?" si nona tertawa pula. "Apakah
kau hendak tinggal di luar rumah bercampur dengan serdadu-serdadu wanita? Kau
tak usah takut ditertawai!"
Tan Hong berpikir keras. Ia
benar menghadapi kesulitan. Memang, kalau mesti berdiam di dalam tangsi, ia
mesti berdiam sama si nona. Ia lantas ingat pula In Loei, kembali ia menge luh
dalam hatinya. Topuhua lantas teriaki satu serdadunya untuk ambil setahang air
panas.
"Pergi kau mandi di
belakang kemah ini", katanya pada anak muda kita. "Kau bersihkan
tubuhmu dari kotoran tanah dan rumput, supaya tidak ada orang yang mencurigai
kau.Tak usah kau malu-malu, di sini tidak ada orang melihat padamu."
Ia menarik tenda dari apa yang
disebut kemah belakang itu, ke situ ia tolak masuk tubuh Tan Hong, habis mana,
tenda itu ditutup pula rapat-rapat, sampai angin pun tak dapat masuk.
"Sekarang baharulah
hatiku tetap!" masih menggoda si nona. "Kalau sebentar kau telah
selesai mandi, aku masih hendak bicara denganmu."
Tan Hong sementara itu
mengasah otaknya, guna memikirkan daya untuk meloloskan diri. Sekian lama ia
telah berpikir, belum juga ia memperoleh akal. Hal ini membuatnya ia masgul.
Pada waktu itu ia dengar tanda
waktu dalam tangsi, kentongan dibunyikan dua kali.
Jadi sudah jam dua.
Berbareng dengan itu, satu
serdadu wanita bertindak masuk.
"Keke, Thaysoe datang
menjenguk," dia memberitahukan.
"Silakan Thaysoe
masuk", sahut Topuhua. Baharu saja serdadunya keluar, nona ini sudah
tertawa pula.
"Kau jangan terbitkan
suara apa-apa, aku tak akan memberitahukan ayah tentang kau!" ia kata.
Tentu saja kata-kata ini ditujukan kepada si anak muda.
Jantung Tan Hong memukul. Ia
memasang kuping.
Sebentar kemudian terdengarlah
tindakan kaki. Itulah Yasian.
"Ayah," Topuhua
sambut ayahnya itu, "kabarnya malam ini ayah hendak menyuruh raja Beng
melayani kau minum arak, kenapa sekarang kau sempat menjenguk aku? — Ah, ada
urusan apakah, ayah? Kau nampaknya tidak gembira.....”
Tan Hong menahan napas. Ia
dengar suaranya Yasian.
"Apa yang terjadi malam
ini sungguh di luar dugaanku!" kata menteri itu.
"Bagaimana,ayah?"
"Aku tadinya anggap
kaisar Beng seorang yang takut mati," berkata pula Yasian, "aku
percaya , bila dia sudah menakluk, dapat aku gunakan ia sebagai kaisar untuk
mempenga ruhi menteri-menterinya. Aku pikir, itu waktu, kita sudah punyakan
wilayah kerajaan Beng. Tapi dugaanku itu keliru. Dia membangkang atas titahku
itu, dia tidak menghadiri pesta.....”
Topuhua heran.
"Benarkah dia begitu
bernyali besar?" dia tanya. "Benar," jawab sang ayah.
"Sungguh aku tidak sangka."
Mendengar itu, Tan Hong girang
bukan kepalang.
"Kie Tin masih punyakan
semangat," ia berkata di dalam hatinya. "Dia menang banyak dibanding
dengan dua kaisar ahala Song. Nyata dia tidak mensia-siakan lelahku ini."
"Tidak sukar bagiku
membinasakan dia," Yasian berkata pula, "hanya aku kuatir, jikalau
aku binasakan dia, itu bisa mengakibatkan kemurkaan rakyat Beng, hal mana pasti
akan memperlambat peperangan ini. Untuk kita, perang lama pun belum tentu ada
anfaatnya.Aku dengar Atzu Tiwan sekarang ini sedang mengumpulkan tentera
diam-diam, rupanya dia pikir, selagi aku pergi perang di tempat jauh, hendak
dia rampas kekuasaanku. Hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram."
Yang disebut Tiwan Atzu itu
adalah si pangeran Mongolia yang diutus ke Pakkhia.
"Ayah, kau gagah perkasa,
buat apa kau kuatirkan hal itu?" kata sang puteri. "Lagi pula hari
ini kita telah peroleh kemenangan besar, maka tidak selayaknya kau mengucapkan
kata-katamu ini."
Yasian tertawa.
"Kau benar, anakku!"
ia kata. "Sekarang hendak aku bicara dengan kau tentang hal yang akan
membuatnya kau girang. Ya, apakah kau masih ingat Thio Tan Hong puteranya Thio
Tjong Tjioe?"
Kaget Tan Hong mendengar
perkataan itu.
"Kenapa, ayah?"
Topuhua balas menanya. "Meskipun Thio Tjong Tjioe tidak hendak
memberitahukannya, tetapi telah aku peroleh endusan, Thio Tan Hong sebenarnya
telah menyusup ke Tionggoan," sahut sang ayah. "Hal itu membuatnya
aku curiga.....”
"Kenapa begitu,
ayah?"
"Keluarga Thio itu dengan
kaisar Beng adalah musuh turunan, karenanya tidak ada alasan untuk mencurigai
Tan Hong nanti membantu musuhnya itu," menerangkan Yasian,"tetapi
sejak aku menggerakkan angkatan perang sampai pada hari ini, sudah berselang
satu bulan, Thio Tan Hong yang berada di Tionggoan itu, kenapa dia tidak datang
padaku untuk melaporkan sesuatu? Sebenarnya inilah waktu yang paling baik untuk
ia menuntut balas bagi permusuhan turun temurunnya."
"Mungkin dia terhalang
karena berhadapannya kedua pasukan perang dan ia belum mendapatkan
kesempatannya," Topuhua utarakan dugaannya. Ia main komedi dengan ayahnya
itu. "Kalau nanti ayah sudah rampas Tionggoan, mustahil dia tak
muncul?"
Yasian tertawa.
"Sampai itu waktu, itulah
sudah pasti!" ia kata. "Kau tahu, kali ini aku menerjang ke
Tionggoan, maksudku untuk menawan dua orang.....”
"Siapakah kedua orang
itu?"
"Yang pertama yaitu
kaisar Beng," jawab sang ayah. "Dengan ditawannya kaisar itu,meskipun
dia tidak sudi menakluk, sisa tentera Beng pasti masih ragu-ragu, lambat
laun,negara Beng itu akan jadi kepunyaanku juga."
"Dan yang kedua, ayah?
Siapa dia?"
"Yang kedua ialah Thio
Tan Hong."
"Ayah hendak tawan dia,
apakah ayah persalahkan dia karena dia telah menyusup masuk ke Tionggoan?"
sang anak tanya pula.
"Ya dan bukan,"
Yasian jawab.
"Apakah artinya itu,
ayah?"
"Thio Tan Hong itu gagah
dan pintar, dia sangat berguna," Yasian berikan keterangan pula.
"Jikalau aku telah menangkap dia, umpama kata dia tidak sudi tunduk
padaku, akan aku dakwa dia telah lancang menyusup ke Tionggoan, akan aku bunuh
dia. Tindakan ini ialah untuk mencegah bahaya di belakang hari."
"Ah....." Topuhua
berseru tertahan. "Tidakkah itu terlalu kejam?"
Yasian tertawa.
"Dia bermusuh dengan
kerajaan Beng, dalam sepuluh, sembilan bagian sudah pasti dia akan turut
aku!" dia kata. "Anakku, itulah maksud urusanku yang
menggirangkan!"
Topuhua berpura-pura likat.
"Ah, ayah, kembali kau
mengejek aku!.....” katanya.
Yasian tertawa berkakakan.
"Ayahmu bukannya seorang
tolol!" ia kata. "Sudah sejak siang-siang aku lihat kau sukai Thio
Tan Hong si bocah itu! Sekarang ini kau sudah berusia dua puluh tiga
tahun,menurut adat istiadat kita bangsa Watzu, kau seharusnya sudah membuat aku
mengempo cucu! Banyak pangeran telah meminangmu, kau selalu menampik, ayahmu
juga tidak hendak memaksa. Kenapa sikapku itu? Itulah karena aku tahu kau
menantikan Thio Tan Hong! Baiklah, akan aku bikin kau menjadi puas!"
Topuhua tunduk, ia diam,
tetapi hatinya girang bukan kepalang.
"Hanya malam ini, bangsat
itu!" tiba-tiba Yasian berseru keras. "Dia benar-benar bernyali
besar! Dia telah menyusup ke dalam kemah harimau, dia mencoba untuk membawa
buron kaisar Beng, malah dia juga mempunyai lengtjhie kumala! Aku agak
sangsi.....”
"Siapa yang kau
sangsikan, ayah?" tanya Topuhua.
"Aku kuatir penjahat itu
adalah Thio Tan Hong....."
Si nona heran.
"Bukankah ayah sendiri
yang mengatakan dia bermusuh dengan kaisar Beng?" dia tanya.
"Itulah yang menyebabkan
kesangsianku. Sebegitu jauh yang aku ketahui, lengtjhie itu diberikan mendiang
Sri Baginda kepada tiga orang, ialah kesatu ayahmu, kedua Thio Tjong Tjioe, dan
ketiga Pangeran Atzu. Aku duga penjahat itu, kalau dia bukannya ThioTan Hong,
dia mesti orangnya pangeran itu. Mungkin pangeran itu juga berniat menculik
kaisar Beng, supaya dia dapat bersaing denganku. Tapi soal ini tidak terlalu
sukar, kalau nanti aku sudah pulang perang, akan aku selidiki. Umpama kata
perbuatan itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, walaupun kau menyayangi dia,
terpaksa aku harus singkirkan padanya!"
Topuhua terkejut, di dalam
hatinya, ia mengeluh. Ia bersyukur yang ia belum sampai memberitahu kan ayahnya
hal Tan Hong ada bersama dengannya. Yasian berpaling ke meja kecil, untuk
menuang teh, tiba-tiba ia tampak tenda bergerak perlahan, samar-samar terdengar
suara.
"Siapa di dalam
tenda?" ia menegur. Terus ia menoleh pula, melihat puterinya tengah
mengipas dengan kipas kayu cendana.
"Di mana ada orang di
sini, ayah?" kata anak itu sambil tertawa. "Mungkinkah ayah dibikin
kaget penjahat itu maka sekarang ayah menjadi kurang tenteram hati hingga ayah
menjadi bercuriga tidak keruan?"
Wajah ayah itu berubah, akan
tetapi mendadak ia tertawa besar.
Topuhua tetapkan hatinya, ia
mengipas dengan terlebih keras.
"Hawa udara di Tiongkok
beda dengan kita di Mongolia," berkata Yasian kemudian.
"Dalam bulan sembilan
yang berhawa sejuk, di sana sudah turun salju, di sini sebaliknya hawa masih
panas. Kiranya kipas kau yang membikin tenda itu bergerak-gerak, hingga aku
menyangka yang bukan-bukan..."
Habis mengucap, ayah ini
tertawa pula, ber-gelak-gelak. Ia tidak tahu, Topuhua mengipas sesudah tenda
bergerak, hanya puterinya ini mengipas dengan cepat, sedang iapun tengah
berpaling, ia tidak engah.
Di dalam hatinya, Topuhua
sesalkan Tan Hong, yang menganggap telah berlaku tidak hati-hati.
"Sekarang ini aku telah
mengumumkan titahku," berkata Yasian kemudian, "yaitu kecuali dengan
titah yang tertulis dengan tanganku sendiri serta ditandai dengan cap kebesaran
panglima perang tertinggi, siapa juga dilarang datang dekat kepada kaisar Beng.
Aku pun telah menarik dua belas pahlawan ke Kemah Harimau, untuk bantu membuat
penjagaan. Maka, tidak peduli penjahat liehay luar biasa, tidak nanti dia dapat
menyusup masuk ke dalam kemah kaisar itu. Kau tahu kita pun telah dapat menawan
Thio Hong Hoe, komandan Gielim koen kerajaan Beng itu. Tentang dia, aku telah
dengar dari Tantai Mie Ming, sekarang telah aku saksikan sendiri, dia benar
gagah, dari itu aku harap dapat aku bujuk dia menakluk kepada kita, apabila dia
suka menyerah, dia pasti lebih berharga daripada dua belas pahlawan itu. Dia
telah terluka panah, dia tidak membutuhkan banyak orang untuk menjaganya karena
itu aku telah menarik kedua belas pahlawan itu."
Atas kata-katanya ayah ini
mengenai Thio Hong Hoe, Topuhua tidak menaruh perhatian, ia menyahuti secara
sembarangan saja, ia hanya sedang pikirkan keras perihal jodohnya dengan Thio
Tan Hong.
"Apakah ayah telah
mendapat persetujuan dengan Thio Tjong Tjioe?" ia tanya. Inilah hal yang
penting baginya. Kalau kedua orang itu sudah cocok satu dengan lain, tidak usah
ia kuatirkan apa-apa lagi.
"Sebenarnya aku tidak
bercidera dengannya," Yasian jawab puterinya itu, "kita cuma kurang
cocok sedikit dalam hal pendapat. Aku percaya, sesudah nanti kita menjadi
besan, perhubungan kita akan menjadi lebih baik pula." Ia tertawa, lalu ia
menambahkan: "Aku percaya Thio Tjong Tjioe tidak akan lolos dari
kekuasaanku. Keluarga Thio itu sudah turun temurun membantu negara kita dalam
hal tata tertib negara, bisa dianggap dia berjasa besar, cuma mereka telah
memikir yang tidak-tidak, yaitu mereka berniat meminjam angkatan perang kita
untuk membangun pula Kerajaannya, yaitu Kerajaan Tjioe. Tentu saja, itu
bukannya satu urusan yang sederhana sebagaimana yang mereka pikir. Sekarang ini
aku biarkan Thio Tjong Tjioe berdiam di dalam negeri. Sikapnya nampaknya
aneh.Yang dia pikirkan siang dan malam adalah untuk kembali ke negerinya, untuk
membangun kerajaannya, itu artinya, ia harapkan masuknya angkatan perang kita
ke Tionggoan. Sekarang ini angkatan perang kita sudah bergerak, kita sudah
masuk ke dalam wilayah Tionggoan, tetapi heran, ketika aku minta ia berdiam di
dalam negeri, ia tidak menentangnya. Kelihatannya ia girang-girang saja. Kenapa
begitu sikapnya? Hal ini membikin aku sulit menerka hati Tjong Tjioe itu. Tapi
dia adalah seorang pandai, maka aku pikir jikalau nanti telah selesai aku
merampas Tionggoan dan mengangkat diriku menjadi raja, hendak aku berikan dia
kedudukan sebagai perdana menteri. Oh, anakku, dengan aku menjadi raja, kau akan
menjadi puteri!"
Ketika itu terdengar kentongan
tiga kali.
"Ayah, waktu sudah larut
malam," kata Topuhua sambil tertawa. "Sekarang sudah waktunya ayah
beristirahat. Besok ayah akan melanjutkan memimpin pasukan perang,untuk
menyerang kota Pakkhia, setelah kota itu dapat dirampas, baharu ayah menjadi
raja dan aku menjadi puteri!"
Yasian tertawa. "Kau
benar, anak!" ia kata, hatinya gembira. Setelah mencium puterinya ia
meninggalkan tangsi wanita itu.
Begitu ayahnya berlalu, lekas
juga Topuhua bernapas lega. Ia merasakan bagaimana keringatnya telah membasahi
baju dalamnya. Ia lantas salin pakaiannya, sambil dandan dan tertawa, ia kata:
"Engko Thio, kau lihat, bagaimana baik hati ayahku! Maka kau bolehlah
legakan hatimu..."
Dari kemah dalam tidak ada penyahutan.
"Ayahku sudah pergi!" kata pula Topuhua sambil tertawa. "Kau
lekas mandi! Apakah airnya sudah dingin? Apakah kau ingin tukar itu dengan air
panas yang baru?"
Dari dalam tenda itu tetap
tidak ada jawaban, tidak ada suara apa-apa.
"Engko, engko Thio, ah,
kenapa kau tidak menjawab?" tanya Topuhua. Sekarang ia mulai merasa heran.
Ketika ia tetap tidak peroleh penyahutan, ia kerutkan alis. Ia lantas bertindak
menghampirkan tenda. Tapi ia tidak berani lantas memegangnya, untuk menariknya,
buat membukanya. Ia kuatir si anak muda tengah membuka pakaian.
"Engko Thio, engko
Thio!" ia memanggil pula, dua kali.
Masih saja tidak ada jawaban
dari Tan Hong. Sampai di situ, Topuhua menjadi curiga.
Ia pun menjadi tidak senang,
hingga ia kertek giginya. Sekarang ia tidak pikirkan apa-apa lagi, ia sambar
tenda dengan kedua tangannya dan menariknya dengan keras!
Bukan main herannya Topuhua
begitu lekas tenda sudah terpentang. Tenda itu kosong,Thio Tan Hong tidak ada
di dalamnya! Maka ia masuk ke dalam, untuk memeriksa. Segera ia menjadi
terkejut. Tenda itu rapat, tidak ada jalan keluar di sebelah belakang, tetapi
sekarang telah terbuka satu lowongan, yaitu tenda pecah bekas dipotong! Itulah
tanda yang Tan Hong telah memotong tenda itu, akan membuka jalan untuk buron!
Topuhua melengak, ia
mendongkol berbareng menyesal, ia menjadi bingung dan berduka.
"Dasar aku yang
tolol," ia pikir kemudian. "Tidak selayaknya aku mengijinkan dia
membawa-bawa pedang."
Selagi tunduk, Topuhua tampak
corat caret di tanah. Itulah surat yang ditulisnya dengan ujung pedang. Ia
lantas membaca:
"Terima kasih untuk
pertolonganmu, lain waktu akan aku balas budi ini. Sekarang aku sangat kesusu,
tidak ada ketika untuk kita pasang omong. Di mana kedua negara sedang
berperang, sekarang pun bukan saatnya untuk berunding, maka itu, aku pergi
dahulu!"
Di bawahnya tertera tanda
tangan Tan Hong.
Dengan hati panas, Topuhua
pergi keluar. Ia tanyakan keterangan pada serdadunya yang menjaga di luar.
"Dia pergi sudah
lama," ia dapat jawaban.
"Kenapa kau tidak cegah
padanya?" si nona tanya.
"Dia masuk bersama
nona," sahut serdadu itu, "dan nona pun pesan supaya kami jangan
banyak omong, karena itu, kepergiannya, mana kami berani menghalanginya?"
Bukan main mendongkolnya
Topuhua, akan tetapi ia tidak dapat berkata suatu apa.
Dengan mendongkol dan masgul,
ia kembali ke dalam kemahnya.
Sementara itu, di lain kemah,
Thio Hong Hoe pun dapat meloloskan diri.
Ditahan di dalam kemah, Hong
Hoe dijaga dua pahlawan. Sejak ia ditawan, ia sudah memikir tidak ingin hidup,
tetapi ia dibelenggu, tidak ada jalan untuknya akan membunuh diri, maka itu, ia
mogok makan. Yaitu dikasi makanan apa juga, ia tolak, hingga atas titahnya
Yasian, ia dipaksa dicekoki kuwah jinsom, sedang lukanya telah diobati. Lukanya
tidak berbahaya, setelah diobati dan makan kuwah jinsom, kesehatannya telah
pulih dengan cepat. Sekarang ia bisa gunakan otaknya.
"Kalau toh aku mesti
mati, aku harus menukar jiwaku dengan beberapa jiwa!" demikian ia
berpikir. Karena ini, seterusnya suka ia dahar.
Pembahan sikap ini membikin
girang kedua pahlawan penjaganya, karena mereka tak usah main paksa orang minum
dan dahar. Mereka tidak menyangka, dengan suka bersantap, Hong Hoe hendak
pelihara diri, untuk mengumpulkan tenaganya.
Demikian malam itu, kira-kira
jam tiga, selagi seluruh tangsi terbenam dalam kesunyian, Hong Hoe empos
semangatnya, ia pusatkan tenaganya, habis itu, ia gerakkan kedua tangannya yang
terbelenggu rantai. Ia bertenaga besar, siapa tahu, rantai ada tangguh sekali,
rantai itu tidak terputus, hanya menerbitkan suara nyaring, hingga kedua
penjaganya kaget.
"Hai, kau bikin
apa?" tegur dua pahlawan itu.
Hong Hoe tidak menjawab, dia
hanya kerahkan pula tenaganya, kali ini ia berhasil membikin sehelai rantai
putus, suaranya semakin nyaring.
Kaget kedua pahlawan itu,
mereka hunus golok mereka, untuk mengancam. Ingin mereka mencegah orang buron.
Hong Hoe mendelik, hingga ia
nampaknya menjadi bengis sekali.
"Mampus dia yang
mendekati aku!" teriaknya. Ia lompat, ia merabu dengan rantainya.
Kedua pahlawan itu mundur,
bukan saja serangan hebat, mereka pun tidak berani membunuh tawanan ini, mereka
lompat berkelit, niat mereka adalah menyerang dari samping ke arah kaki tawanan
itu.
Hong Hoe liehay, dia ganas,
selagi dia hendak dibacok, dia mendahului, hebat sabetannya dengan rantai.
"Aduh!" teriak satu
pahlawan, yang rubuh seketika, kakinya patah di bagian dengkul kena rabuan
rantai.
Pahlawan yang kedua kaget tapi
ia lantas membacok. Ia insyaf akan ancaman bencana.
Hong Hoe rubuhkan diri, sambil
rebah celentang, ia menyapu dengan kakinya, yang pun terbelenggu. Tapi pahlawan
itu liehay, dapat dia berkelit, terus dia membacok pula,untuk mencegah orang
berbangkit bangun.
Hong Hoe bergulingan, atas
mana, ia disusul bacokan berturut-turut, hingga tak ada ketika baginya untuk
lompat bangun. Dalam keadaan sangat berbahaya itu, selagi pundaknya terancam
akan terbabat kutung, mendadak terdengar satu suara keras, dari bentroknya
senjata-senjata tajam, lantas golok si pahlawan terlepas jatuh.
Hong Hoe menjadi kaget,
lekas-lekas ia lompat bangun, untuk berdiri, berbareng mana,ia tampak menyerbu
masuk, dua orang yang mukanya bertopeng.
"Lekas bekuk tawanan
ini!" teriak si pahlawan. Ia lihat, dua orang itu adalah kawannya.
Ia lantas lompat, untuk menjumput
goloknya yang barusan terlepas. Untuk itu, ia membungkuk. Tapi di luar
dugaannya, kedua orang itu, yang memakai seragam perwira Mongolia, tahu-tahu
dengan berbareng telah membabat dengan pedang mereka, hingga tanpa menjerit
lagi, tubuh pahlawan itu terputus dua dan rubuh dengan berlumuran darah.
"Kau?" teriak Hong
Hoe ketika ia lihat, kedua orang itu.
Kedua orang itu membuka
penutup muka mereka.
"Ya, aku!" jawab
yang satunya, sambil tertawa.
Mereka itu tidak lain daripada
Tan Hong dan In Loei.
Tan Hong mendengar dari
Yasian, di mana adanya Hong Hoe, maka itu, selagi Yasian dan puterinya
berbicara, ia berlalu dengan cepat. Dengan mudah ia akali serdadu wanita,yang
menjaga tenda, karena ia masih dandan sebagai seorang wanita, habis itu, ia
salin seragam serdadu Mongolia, ia lekas lari pulang ke tangsinya, untuk
mengajak In Loei,bersama siapa, ia pergi ke kemah di mana Hong Hoe ditahan,
malah tepat sekali di saat tongnia Gielim koen itu menghadapi bahaya, hingga ia
dapat memberikan bantuannya.
Dengan cepat Tan Hong dan In
Loei gunakan pedang mereka yang tajam, guna memutuskan semua belenggu Hong Hoe,
tapi mereka masih terlambat, di depan kemah sudah lantas terdengar suara
berisik, sebab tadi, pengawal kemah telah dengar keributan di dalam, dia lari
untuk memberi kabar.
Hong Hoe tertawa besar.
"Bagus!" dia
berseru. "Akan aku adu jiwaku! Dengan membunuh satu jiwa, pulang modalku!
Membunuh dua jiwa, aku sudah untung! Tapi hari ini, hendak aku binasakan
sedikitnya sepuluh, tak boleh kurang!"
Dia lantas sambar golok
seorang pahlawan, untuk dipakai berlaku nekat.
Tiba-tiba Tan Hong totok
komandan Gielim koen itu.
"Kau... kau..." Hong
Hoe berseru tertahan, kaget. Ia cuma dapat mengucap demikian,terus kedua
matanya rapat, tubuhnya rubuh.
In Loei heran, ia lirik
kawannya itu.
"Tak dapat dia dibiarkan
nekat," kata Tan Hong. "Mari!"
Anak muda ini mengangkat tubuh
orang, untuk dipanggul.
In Loei mengerti, ia dewi kz
lantas mengikuti. Tidak ada lain jalan, mereka pergi ke depan, untuk menghadapi
musuh. Tanpa tanda apa-apa lagi, keduanya maju menerjang,untuk membuka jalan.
Segera pedang mereka berkelebat, segera terdengar suara beradunya pelbagai
senjata tajam. Untuk kagetnya musuh, senjata mereka semua terpapas kutung,
hingga terpaksa mereka lompat minggir.
Tan Hong dan In Loei gunakan
ketikanya, selagi jalanan terbuka, mereka maju dengan cepat. Terus mereka babat
kutung senjata musuh, terus mereka nerobos, sampai mereka dapat dekati tenda
dan lompat naik ke atasnya.
Itulah pahlawan-pahlawan kelas
dua, karena yang dua belas, yang kelas satu, sudah ditarik ke tengah, untuk
menjaga raja Beng. Maka itu, mereka semua tak berdaya menghadapi pasangan anak
muda itu, hingga, begitu lekas mereka berdua sudah lompat naik ke tenda, lekas
sekali keduanya dapat lolos dengan jalan melintasi pelbagai tenda lainnya.
Begitu lekas mereka sudah
berada di luar kalangan berbahaya, Thio Tan Hong lantas perdengarkan suitannya
yang nyaring, suitan mana disambut dengan ringkikan kuda di arah kiri mereka.
"Kita bebas!" kata
Tan Hong dengan girang apabila ia telah dengar suara kuda itu.
"Mari!" ia ajak
kawannya.
In Loei ikuti kawan ini.
Mereka hampirkan kuda Tjiauwya saytjoe ma, yang sudah menantikan mereka sambil
menggoyang-goyangkan ekornya. Bertiga bersama Hong Hoe, Tan Hong menyingkir
dengan kudanya itu, yang lari keras.
"Biarkan dia tidur!"
kata Tan Hong pada kawannya ketika ia mengikat Hong Hoe diperut kuda.
Komandan Gielim koen itu masih
belum sadar, sebab ia belum ditotok pula. Tan Hong mempunyai dua macam ilmu
totok, ialah yang membahayakan jiwa dan tidak. Hong Hoe ditotok urat tidurnya,
dengan begitu ia pingsan tanpa terganggu jalan napas dan jalan darahnya.
Mulanya In Loei bersangsi akan
naik bersama atas seekor kuda, hingga Tan Hong desak dia, "Naiklah, adik
kecil!" katanya. Ia bersangsi sejenak, kemudian ia lompat naik ke atas
bebokong kuda. Ia mesti insyaf, mereka perlu lekas menyingkir jauh dari musuh.
Meski begitu, tak dapat ia
cegah mukanya menjadi merah dan kulit mukanya dirasakan panas, saking jengah.
Mau atau tidak mereka harus tempelkan tubuh mereka satu dengan lain.
Dengan perdengarkan suara yang
nyaring, Tjiauwya saytjoe ma berlompat lari, dia membikin tentera Watzu tidak
berdaya walaupun mereka ini dengar suaranya.
Dapat dikatakan tak sampai
satu jam, kuda putih yang jempolan itu sudah meninggalkan tangsi Watzu terpisah
jauh di belakangnya. Kerap kali di tengah jalan beberapa serdadu ronda dari
Watzu mencegat akan tetapi menghadapi Tan Hong dan In Loei, mereka itu tidak
dapat berbuat apa-apa, dengan gam pang kedua anak muda itu dapat melalui
mereka. Mereka yang berani dengan segera menjadi kurban pedangnya pasangan itu.
Lega hati Tan Hong begitu lekas ia lihat mereka sudah lolos dari ancaman
bahaya. Mereka telah berada kira-kira empat puluh lie jauhnya dari daerah
tangsi Watzu di Touwbokpo. Ia menjadi sangat girang. Satu kali ia tertawa tak
disengaja ketika rambut halus dan bagus dari In Loei menyampok hidungnya, yang
membuatnya ia merasa geli.
"Toako, coba perlahankan
kuda putihnya," In Loei minta kemudian.
Tan Hong meluluskan, maka
sesaat kemudian, Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas bertindak perlahan. Ini
membuatnya si anak muda lantas merasakan keindahan sang malam dengan
rembulannya yang permai. Ia seperti sadar sesudah ia berpikir sebentar.
Baharu sekarang ia ingat,
malam itu adalah malam Tiong Tjioe — bulan delapan tanggal lima belas! Tanpa
merasa, ia tertawa.
"Adik kecil!"
katanya, "tahun ini Tiong Tjioe dilalui dengan berkesan!"
"Memang benar!"
sahut In Loei, yang hendak menggoda. "Hari raya Tiong Tjioe dinamakan juga
Toan Wan Tjiat, artinya Bundar dan Bulat, dan kau bersama puterinya Yasian
telah berada bersama bagaikan manusia dan rembulan lama bundar bulatnya!"
Tan Hong terperanjat, ia
segera lirik nona itu. Ia tampak In Loei tertawa manis, bersenyum simpul, dari
mulutnya pun tersiar bau harum, maka hatinya goncang sendirinya.
"Adik kecil,"
katanya, sambil tertawa, "bukankah pribahasa mengatakan, 'Di medan perang
menyaksikan rembulan permai, di atas kuda merasakan keindahan Tiong Tjioe?'
Adik kecil, semoga kita setiap tahun merasakan malam-malam seperti malam ini!
Apa yang kau katakan memang benar, malam ini manusia dan rembulan sama
bundarbulatnya, maka juga puteri Yasian itu, apabila dia melihat kau, dia pasti
mengiri!..."
Tan Hong balas menggoda, yang
mengandung maksud. Dengan samar ia telah utarakan cintanya. Tanpa merasa, In
Loei menjadi jengah, ia likat sekali. "Ah, toako, kau jail sekali!"
dia kata. "Jikalau kau terus menggoda aku, akan aku lompat turun dari kuda
ini, tak mau aku menunggangnya bersama-sama kau!" Tan Hong menoleh, akan
pandang si nona. Ia tampak suatu paras seperti girang seperti gusar, hatinya
menjadi goncang. Ia tidak jawab nona itu, sebaliknya, ia lantas bersenanjung
perlahan. Rembulan tanggal lima belas itu adalah bahan sasarannya.
"Eh, toako, kau
angot?" tegur In Loei, heran.
Masih Tan Hong tidak menjawab,
ia hanya bersenanjung terus, dengan perlahan:
"Semoga manusia hidup
kekal. untuk bersama-sama merasakan keindahan alam seribu lie." Dengan
"keindahan alam" itu ia maksudkan seorang wanita cantik manis.
Tanpa merasa, In Loei
menimpali, perlahan ia bersenanjung: "Manusia mempunyai kedukaan,
kegirangan, perpisahan, berkumpul, seperti juga mendung, ada terang, ada
bundar, ada sempoaknya. Hal itu, sejak dahulu hingga sekarang, tak pernah
sempurna.
Toako, jangan kau ingat saja
bahagian yang kau ambil, bagian belakang, kau melupakan bahagian ini..."
Habis berkata, wajah si nona
menjadi suram.
Tan Hong lihat keindahan malam
itu, ia mengharap supaya ia dapat hidup bersama In Loei sehingga tua, akan
tetapi si nona, walaupun hatinya tergerak, dia tidak melupakan kata-kata
kakaknya, maka dia utarakan bahwa penghidupan manusia itu tak kekal tak
sempurna selamanya. Karenanya, ia jadi berduka.
Justeru itu segumpal awan
lewat, mengalingi si puteri malam, yang sinarnya menjadi guram.
Menampak itu, In Loei paksakan
untuk tertawa.
"Nah, toako, kau
lihat!" ia kata. "Di dalam dunia ini mana ada manusia hidup
berbahagia selamanya, mana ada rembulan purnama terus menerus?"
Mau atau tidak, Tan Hong turut
tertawa.
"Adik kecil, ingatkah kau
pada syairnya Tjoe Siok Tjin itu penyair wanita?" ia tanya.
"Bahagian yang manakah
itu, toako?" In Loei balas menanya.
"Itu syair yang dibuatnya
di malam Tiong Tjioe," sahut Tan Hong. "Malam itu Tjoe Siok Tjin
melihat rembulan dialingi mega, lalu teringatlah ia kepada nasibnya sendiri,
lantas ia menulis syairnya."
Terus Tan Hong perdengarkan
syair itu:
"Malam ini rembulan tak
diijinkan bercahaya, Maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Kenapa kalau
sang mega disingkirkan, Agar rembulan bercahaya selaksa lie?"
Tjoe Siok Tjin adalah satu di
antara dua penyair terkenal dari Ahala Song. Yang satu lagi adalah Lie Tjeng
Tjiauw. Kalau Lie Tjeng Tjiauw dapat menikah dengan satu suami sempurna, Tjoe
Siok Tjin dapat pasangan satu suami desa, maka juga seumurnya ia senantiasa
berduka, maka syairnya itu menandakan kedukaan hatinya. Maka juga kumpulan
syairnya diberi berjudul "Tuan chang tsi" artinya. "Kumpulan
Usus Putus."
Mendengar nyanyian Tan Hong
itu, hati In Loei bercekat, tanpa merasa, ia berpikir:
"Tjoe Siok Tjin dapat
pasangan tidak kebetulan, ia hidup selalu berduka, maka aku, mustahillah aku
bakal menelad dia?...”
Tan Hong, sambil tertawa,
sudah berkata pula: "Syair Tjoe Siok Tjin mengandung banyak kedukaan,
hanya ini satu, yang tidak berduka seluruhnya. Syair ini mengandung harapan
besar! Dia tahu, Thian tidak mengasihaninya, tapi ia masih mengharap agar mega
disingkirkan, supaya sang rembulan dapat bercahaya pula. Tjoe Siok Tjin adalah
satu nona lemah, dia tidak berdaya menyingkirkan mega, kau sebaliknya bukan
seorang lemah! Tjoe Siok Tjin cuma dapat mengharap, kau sebaliknya dapat
berusaha, bekerja!"
Mendengar itu, hati In Loei
berdebar. Ia berpikir: "Kakakku melarang aku bersahabat dengan Tan Hong,
itu sama saja dengan syairnya Tjoe Siok Tjin yang mengatakan, 'Malam ini
rembulan tak diijinkan bercahaya', maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya.
Tapi kata-kata kakak itu, apakah aku mesti anggap seperti kehendak Thian? Mega
yang menutupi rembulan itu mesti disingkirkan... akan tetapi, bagaimanakah cara
menyingkirkannya?"
Ketika ia angkat kepalanya,
nona ini dapatkan mega justeru melintas dan sang rembulan bersinar permai lagi
seperti tadi!
Kedua anak muda ini telah
menempuh gelombang, banyak pengalamannya yang penuh bahaya, sekarang mereka
bersama dapat menaiki seekor kuda, bersama-sama mereka menggadangi sang
rembulan, walaupun hati mereka berlainan, mereka toh mengicipi bayangan
penghidupan manis dari manusia. Rambut di samping kuping mereka beradu,mereka
dengar napas masing-masing, tubuh mereka pun melekat satu pada lain... Mereka
saksikan bagaimana di langit sang rembulan naik dan turun... Mereka menyesal,
seolaholah mereka mempunyai laksaan omongan tetapi tak dapat mereka keluarkan
itu semua...
Sebenarnya, untuk apa mereka
mengatakannya? Bukankah hati mereka sama, mereka sama-sama telah mengerti
maksud hati masing-masing?
Kuda putih berjalan terus,
perlahan-lahan sampai tanpa merasa, cuaca telah menjadi terang. Dan di depan
mereka, jauh, samar-samar, tampak tangsi tentera Watzu. Nyatalah,Yasian telah
memusatkan angkatan perang besarnya di Touwbokpo, sebaliknya pasukan depannya
sudah mendekati Pakkhia. Maka itu di sepanjang jalan sejauh dua ratus lie
lebih, setiap delapan atau sepuluh lie, telah kedapatan tangsi atau benteng
tentera Watzu itu.
"Sekarang bolehlah kita
turunkan Thio Hong Hoe," berkata Tan Hong akhirnya.
Hong Hoe di perut kuda masih
belum sadar akan dirinya. Tan Hong turunkan tubuh orang dengan perlahan-lahan,
habis itu, ia menepuknya.
Boleh dibilang dalam sekejap
saja, Hong Hoe lantas sadar, malah segera ia merasa kesegarannya pulih, ia
merasa sehat betul. Ia lantas memandang kesekitarnya, ia merasa heran sekali.
"Tempat apakah ini?"
dia tanya.
"Tempat ini telah
terpisah mungkin seratus lie dari Touwbokpo," sahut Tan Hong.
Hong Hoe menghela napas.
"Tan Hong," katanya,
"kenapa kau cegah aku menghabiskan jiwaku untuk menunaikan tugasku?"
Tan Hong menatap dengan
tenang.
Kematianmu adalah urusan
kecil," ia kata, "akan tetapi kalau setiap orang mengurbankan jiwanya
untuk raja, habis siapa lagi yang hendak kurbankan dirinya untuk negara?
Jikalau seorang raja menutup mata, masih ada yang menggantikannya, tetapi kalau
negara jatuh ke dalam tangan bangsa asing, sungguh sulit untuk mengambilnya
kembali! Kau tahu, rajamu sendiri masih belum mati!"
Hong Hoe insaf dengan cepat.
"Habis bagaimana kita
dapat tiba di Pakkhia?" ia tanya akhirnya.
-ooo00dw00ooo