Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 6
Tapi mahasiswa ini tidak
jerih, waktu ia tangkis pula lain bacokan ia kerahkan tenaga di tangannya
hingga kedua senjata beradu dengan keras. Tapi suara yang diperdengarkan tidak
nyaring seperti semula tadi. Kesudahannya pun membuat Hong Hu kaget sebab goloknya
telah dibikin sempoak pedang lawannya itu.
“Tak takut aku dengan
pedangmu!” dia berseru kemudian, sambil tertawa. Lagi-lagi ia menyerang.
Tan Hong tangkis serangan itu,
kali ini, ia menjadi heran. Begitu rupa lawan menggunakan goloknya, hingga golok
Toan-bun-too itu seperti nempel dengan pedangnya, sulit pedang itu ditarik
kembali dan sukar untuk digerakkan terlebih jauh. Itulah ilmu yang dinamakan
ilmu “tempel”.
“Bagus! Mari kita adu
kepandaian!”
Itulah suara nyaring dari Tan
Hong, yang telah tertawa besar, karena ia tidak menjadi jerih pedangnya hendak
dibikin “mati”. Dengan satu gerakan lain, pedangnya lantas lolos dari tempelan.
Ia tahu tipunya bagaimana melepaskan diri.
Waktu itu terdengar suara
mengaungnya anak panah, disusul dengan berbengernya kuda putih dan pula dengan
teriak Khoan Tiong, “Toako, lekas kejar! Si bangsat tua she Pit sudah kabur!”
Hong Hu sadar dalam sekejap
itu. Tahulah ia bahwa ia telah diperdayai Thio Tan Hong, yang menggunakan akal
“Wie Gui Kiu Tio” yaitu “mengurung negeri Gui untuk menolongi negeri Tio”.
Mahasiswa itu melibat ia untuk memberi ketika supaya To Hoan dapat
menyingkirkan diri.
Meskipun ia sangat mendongkol,
Hong Hu toh lompat keluar kalangan, akan tetapi disamping ia, Thio Tan Hong
tidak diam saja, mahasiswa ini pun lompat sambil menikam padanya. Ia putar
tubuhnya, ia tangkis pedang, dilain pihak, dengan tangan kiri ia menyerang ke
dada lawan.
Thio Tan Hong berkelit dengan
cepat, tidak urung ia terkena juga angin serangan itu, yang membuatnya merasa
sakit, hingga ia mesti empos semangatnya, menjalankan napasnya, guna
menghindarkan diri dari akibat serangan itu.
Thio Hong Hu berlompat pula,
malah segera ia dapat rampas seekor kuda dengan apa ia terus kejar Pit To Hoan
atau si kuda putih Ciauw-ya Say-cu-ma.
Thio Tan Hong tertawa menampak
musuh mengejar itu. Di dalam hatinya, ia kata, “Walaupun kudaku telah terkena
tiga batang anak panah, tidak nanti kau sanggup kejar dan candak dia!”
Akan tetapi, ia sendiri pun
tidak segera dapat lolos. Selagi ia hendak toblos kepungan, ia menghadapi
kepungan berlapis sebab Hoan Tiong sambil memutar gembolannya, menghadang di
tengah jalan, dia cegat orang, terus ia menyerang. Hingga Tan Hong menghadapi
kesukaran. Sepasang gembolan lawan sangat berat, sulit dilawa dengan pedang.
Disamping orang she Hoan itu ada lagi pelbagai pahlawan, anggota-anggota dari
Kim-ie-wie, yang menerjang sambil mengurung. Hoan Tiong itu gagah, dia
berimbang dengan Tiauw Im, maka dia pun setanding dengan Tan Hong.
In Lui sudah lolos dari
kepungan ketika ia dengar suara riuh di belakangnya, ketika ia menoleh, ia
tampak Tan Hong tengah dikepung musuh yang berseru-seru. Tanpa merasa, ia
menjadi berkuatir sekali, hingga untuk sesaat, ia berduduk diam diatas kudanya.
Justeru itu Khoan Tiong telah melepaskan anak panahnya yang lihai. Dalam
kagetnya, In Lui masih dapat berkelit, tapi celaka, leher kudanya terkena anak
panah musuh, hingga pada ketika itu juga kuda rubuh terguling, dan
penunggangnya pun turut rubuh juga.
Belum sempat ia bangun,
beberapa wiesu sudah maju, untuk menubruk, guna menyerbu musuh ini. In Lui
masih sempat membalikkan tubuh, begitu berbalik, begitu ia menyabet dengan
pedangnya. Hebat tangkisan ini, hingga banyak senjata lawan terbabat kutung.
Sekalian musuh itu terkejut,
selagi mereka tercengang, In Lui lompat bangun untuk berdiri. Tapi begitu lekas
ia bangun, begitu lekas juga datang serangan Khoan Tiong, dengan sam-ciat-pian
yang mengarah ke pinggangnya. Dengan kesusu ia menangkis.
Lihai cambuk sambung tiga dari
Khoan Tiong, setelah serangan pertama itu gagal, ia mengulanginya, terus ia
mendesak.
In Lui repot juga, tidak dapat
ia membabat kutung cambuk itu, yang dimainkan dengan sempurna oleh pemiliknya.
Ia jadi penasaran, ia juga mencoba mendesak.
Satu kali, Khoan Tiong lompat
mundur tiga tindak, begitu mundur, ia kerahkan tenaganya, ia mencambuk pula.
In Lui lompat dari sambaran
itu, ia lolos dari bahaya.
Keduanya lantas bertarung
dengan seru. Sayang bagi In Lui, ia kalah tenaga, maka itu, berselang kira-kira
tiga puluh jurus, keringatnya lantas mengucur, karenanya, tenaganya menjadi
berkurang sendiri.
Khoan Tiong lihat keadaan
musuhnya, ia tertawa besar, ia ulangi desakannya. Ia mengharap segera dapat
merubuhkan lawan itu.
Belasan anggota Kim-ie-wie
sementara itu telah memecah diri di sekitar kedua orang yang sedang bertanding
itu, mereka menjaga supaya In Lui tak dapat kabur dan lolos.
Di pihak lain, Thio Tan Hong
telah berada dalam kepungan, pedangnya yang tajam itu dibikin tak berdaya oleh
sepasang gembolan yang berat dari Hoan Tiong, disamping itu, ia pun harus
waspada terhadap senjata kawan-kawan Hoan Tiong itu. Selagi ia terkepung itu,
Tan Hong lihat In Lui rubuh dari kudanya, hingga ia menjadi kaget sekali.
Karena ni, mendadak ia memutar tubuh dan pedangnya dibabatkan dengan hebat
kepada musuhnya, dengan tangan kirinya ia sambar satu anggota Kim-ie-wie yang
dengan berani merangsak padanya. Ia menyambar leher bajunya, ia tarik musuh
itu, hingga tubuhnya terangkat. Ini ada baiknya untuknya hingga musuh lainnya
menjadi jerih karena takut menikam kawan sendiri.
Hoan Tiong penasaran, dia
membalas menyerang.
Tan Hong berlaku cerdik,
bukannya ia menangkis, ia hanya majukan tubuh musuh yang telah ia bekuk itu.
Hoan Tiong kaget, terpaksa
dengan cepat ia tarik kembali gembolannya. Ketika ini dipakai Tan Hong untuk
menerjang keluar, tubuh mangsanya tetap ia gunakan sebagai tameng.
Hoan Tiong penasaran sekali,
ia mengejar.
Tan Hong lihat kelakuan musuh,
ia tertawa berkakakan.
“Kau sambutlah!” ia berseru,
lantas ia lemparkan musuhny ke arah si orang she Hoan.
Hoan Tiong tidak dapat berbuat
lain daripada menyambut tubuh anggota Kim-ie-wie itu. Tan Hong sebaliknya,
sambil masih tertawa sudah menyerbu ke dalam kepungan In Lui.
Nona In sedang terancam bahaya
ketika ia tampak munculnya Tan Hong. Tiba-tiba saja hatinya tercekat. Dengan
lantas ia ingat surat wasiat kulit kambing yang berdarah. Siapa sangkat
“musuhnya” ini, yang ia benci, tapi yang ia sayangi, kembali datang untuk
menolongnya. Maka bimbanglah ia. Apakah orang mesti dipandang sebagai sahabat
atau tetap sebagai musuh besar? Apakah ia mesti terima bantuannya musuh ini?
Oleh karena ia sedang
menggunakan otaknya, In Lui terperanjat sekai ketika cambuk Khoan Tiong
menyambar kepalanya, akan tetapi sebelum ia menangkis atau berkelit, kupingnya
mendengar seruan yang ia kenal baik, “Adik kecil, lekas kau menangkis!” Atas
ini, benar-benar ia gerakkan pedangnya dan menangkis dengan hebat. Satu suara
nyaring terdengar atas tangkisan itu, yang membuat Khoan Tiong kaget dan mendongkol
tidak kepalang, sebab sam-ciat-piannya kena terbabat kutung menjadi empat
potong.
Segera juga Tan Hong dan In
Lui bertempur berdampingan, senjata mereka dapat digunakan masing-masing dikiri
dan kanan. Sekarang mereka dapat bergerak dengan leluasa.
Sebentar saja belasan anggota
Kim-ie-wie rubuh terluka.
Hoan Tiong, dengan memutar
gembolannya datang memburu. Khoan Tiong lihat kawan itu, ia berteriak dengan
peringatannya, “Jieko, hati-hati!”
Dengan tetap berdampingan, Tan
Hong dan In Lui berbareng menyerang musuh kosen ini yang bersenjatakan
genggaman berat itu.
Disambut secara demikian rupa,
Hoan Tiong kaget, sampai ia menjadi gugup, bukannya ia menangkis, ia hanya
melempar kedua gembolannya, ia sendiri lompat bergulingan, akan tetapi walaupun
demikian, meskipun jiwanya tertolong, rambutnya toh terbabat juga hingga putus
sebagian.
Belum pernah Hoan Tiong
dikalahkan begini macam, ketika ia lompat bangun, a menjadi sangat gusar.
“Serbu mereka dengan pasukan
kuda!” ia berteriak dengan titahnya.
Beberapa puluh anggota
Kim-ie-wie taati titah itu, mereka mencari kuda mereka, untuk lompat naik
keatasnya, habis mana, dengan mengatur diri menjadi empat baris, mereka maju
untuk menerjang.
“Lekas naik ke gunung!”
berseru Tan Hong, yang melihat sikap musuh. Kalau mereka sampai kena diterjang,
pasti mereka tidak berdaya.
In Lui turut nasihat itu, ia
sudah lantas lompat mundur, akan seterusnya lari ke arah gunung. Ia lari dengan
cepat sekali. Di depan rumah Pit To Hoan, kira-kira satu lie jauhnya memang ada
sebuah bukit. Dengan cepat ia sudah sampai di kaki bukit itu.
Tan Hong terus dampingin si
nona dengan siapa ia lari bersama.
Pasukan kuda musuh juga lari
cepat, sebentar kemudian mereka sudah mendatangi dekat. Satu penunggang kuda
dapat melampaui kawan-kawannya, ia telah datang dekat sekali.
Tan Hong lihat bahaya, ia
sambar tubuh In Lui, terus ia lemparkan ke arah gunung. Ia sendiri segera
memutar tubuh, untuk lompat minggir, hingga musuh melewati ia. Tapi, begitu
musuh lewat, begitu ia lompat mencelat, naik ke punggung kuda di belakang
musuh, dan belum sempat musuh berdaya, ia sudah menjambak, ia menarik dengan
keras, ia melemparnya, hingga tubuh musuh terpental beberapa tombak di
belakang.
Masih syukur untuk anggota
Kim-ie-wie ini, coba ia dilemparkan ke depan kuda, pasti dia kena
terinjak-injak kuda yang tengah lari kencang itu,
Dengan kuda musuh itu, Tan
Hong lari terus sampai di tepi gunung. Disitu terdapat beberapa pohon kayu
besar. Dari atas kudanya, dengan berani Tan Hong lompat, untuk menyambar
sebatang pohon. Oleh karena gerakan itu, tubuhnya menjadi terayun. Justeru ia
sedang terayun, ia lepaskan cekalannya, maka dilain saat, tubuhnya telah sampai
di tanjakan bukit dimana ia ia bisa menaruh kaki dengan tepat hingga ia tidak
kurang suatu apa. Kemudian ia menoleh ke arah In Lui, si nona tengah berdiri
mengawasi padanya.
Nona In telah berada di tengah
bukit.
Ketika itu hari sudah magrib,
maka pasukan berkuda Kim-ie-wie tidak berani mencoba mengejar terus, hingga
mereka cuma bisa berteriak-teriak di kaki bukit.
Hoan Tiong masih penasaran,
dia mendatangkan sejumlah pasukan Gie-lim-kun untuk membuat penjagaan di kaki
bukit yang bersiap sedia dengan panah mereka. Dia pun tertawa dan berkata
secara mengejek, “Hendak aku lihat, berapa lama kamu dapat berdiam di atas
bukit!”
Tan Hong telah menyusul In
Lui, mereka naik ke atas, dari sana mereka memandang ke sekitarnya. Mereka
tampak bukit itu telah terkurung musuh. Yang paling nyata tertampak adalah
bendera-bendera Gie-lim-kun, pasukan kaisar.
Sesudah bertempur mati-matian
sekian lama, Tan Hong dan In Lui merasakan sangat lelah dan juga lapar. Hal ini
membuat mereka berpikir..
Ketika itu adalah musim
pertama, dan seperti biasanya di musim pertama itu, pada siang hari sang siang
jadi terang benderang, maka pada magrib atau selewatnya suka turun hujan.
Demikian hari itu, tiba-tiba air dari langit mulai turun.
“Adik kecil, mari kita cari
tempat berlindung!” Tan Hong mengajak. “Tentang barang makanan, kau jangan
kuatir, aku masih membekal sedikit ransum kering.”
In Lui bungkam ia cuma
menoleh. Tak tahu ia, harus bicara atau tidak dengan musuh turunan ini.
“Disana ada sebuah guha,” Tan
Hong berkata pula. “Mari kita pergi kesana.”
Mahasiswa ini bukan cuma
mengajak, tapi tanpa menunggu jawaban lagi, ia sambar sebelah tangan orang
untuk dituntun.
Beradu tangan dengan si anak
muda, In Lui merasakan tubuhnya mengkirik, tangannya dingin.
Tan Hong merasakan tangan
dingin itu, ia dapat menerka hati si nona tentu sedang bimbang, pikirannya
tidak tenteram.
Guha itu bukan sewajarnya,
hanya tanah berlubang saja, karena di atasnya terdapat dua potong batu besar
yang ujungnya lebih, yang tidak mengenai tanah atau batu karang, hingga
dibawahnya ada tempat yang luang, cukup untuk dua orang dan mereka tak akan tertimpa
air hujan.
Tan Hong tuntun kawannya
memasuki guha itu, disitu mereka berdiri berhadapan, hati mereka sama-sama
memukul, di dalam hati, mereka saling Tanya, apa yang mereka harus lakukan.
Adalah Tan Hong, yang hatinya
terlebih tenang.
“Adik kecil,” berkata si anak
muda kemudian, sesudah mereka sama-sama bungkam sekian lama, “benarkah
permusuhan kita kedua keluarga tak dapat diselesaikan?”
Cuaca waktu itu suram,
walaupun mereka berdekatan, Tan Hong tak dapat melihat tegas air muka si nona.
Meski begitu, kupingnya dapat menangkap suara baju nona itu, yang disebabkan
tangannya telah meraba gagang pedangnya.
Tan Hong menghela napas.
“Inilah yang dikatakan, kita
tak dapat berkumpul bersama!” katanya dengan duka. “Adik kecil, baiklah kau
bunuh saja aku! Binasa ditanganmu, mati pun aku tak menyesal, tak penasaran.”
Justeru itu geledek
menggelegar, kilat menyambar, dengan terangnya cahaya kilat itu, Tan Hong
tampak wajah In Lui pucat pasi, sedang matanya berlinangkan air mata. Dengan
menyender pada batu, si nona pegangi tali bajunya, sedang pedangnya telah
tercabut separuh, suatu tanda ia ingin menghunusnya tetapi tertunda.
Dengan lenyapnya cahaya kilat
itu, guha pun menjadi gelap kembali.
Dalam kegelapan itu,
terdengarlah suara napasnya si nona In. Sampai sekian lama, masih tidak
terdengar jawabannya atas perkataannya si anak muda.
Tan Hong keluarkan ransum
keringnya.
“Adik kecil, mari dahar,” ia
mengundang.
In Lui tetap menyender,
sedikit jua tubuhnya tak bergeming.
Masgul Tan Hong menampak sikap
orang itu, tetapi dengan paksakan diri, ia tertawa geli.
“Adik kecil, kali ini tidak
akan aku katakan kau menganglap makanan!” katanya bergurau, “Mari dahar!”
Pemuda ini mengharap si nona
gembira, tidak tahunya, “Plok!” tangannya kena disampok nona itu, rangsum
keringnya jatuh ke tanah. Ia jadi sangat menyesal, dengan tertawa meringis, ia
punguti rangsum kering itu, yang terus ia letakkan di atas batu.
In Lui sangat berduka, hatinya
pepat sekali, hingga ingin ia menangis, tetapi tidak dapat ia perdengarkan
suaranya, air matanya pun tidak mau mengucur keluar. Di dalam kegelapan itu, ia
dengar helaan napas dari anak muda di depannya.
“Pembalasan sakit
hati….pembalasan sakit hati….” Kata si anak muda, suaranya perlahan, “Sakit
hati saling balas, bilakah itu akan berakhir? Leluhurku dengan Cu Goan Ciang
telah memperebutkan negara, dia telah mewariskan surat wasiat yang memesan
supaya anak cucunya mewakilkan dia menuntut balas…..Meskipun demikian, pesan
pembalasan keluargaku itu bukannya dimaksudkan menuruti hawa napsu saja
membunuh musuh, tetapi yang paling utama adalah berdaya untuk merampas kerajaan
Beng!”
In Lui dengar itu, tubuhnya
bergidik.
“Memang benar, saling balas
ini ada hebat sekali, begitu dahulu, begitu sekarang…” ia berpikir. “Jikalau
keluarga Thio dapat membalas sakit hatinya, bukankah mereka akan membinasakan
segenap orang kota, hingga darah mengalir di seluruh tegalan..”
“Jikalau Thio Tan Hong, untuk
pembalasannya itu, bersekutu dengan bangsa Watzu, tentara siapa ia bawa masuk
ke Tionggoan untuk menggempur kerajaan Beng, maka dia adalah satu manusia yang
paling berdosa…” ia memikir pula. “Jikalau itu sampai terjadi, aku pun tidak
akan memberi ampun padanya!”
Hebat nona ini berpikir, tanpa
merasa, tangannya telah meraba pula gagang pedangnya. Tapi segera ia dengar
suara orang.
“Leluhurku menyingkir ke
negeri Watzu,” demikian Tan Hong berkata, seorang diri. “Ketika itu bangsa
Mongolia sedang lemahnya, di bagian dalam, mereka terpecah-belah. Ketika itu
juga tentara kerajaan Beng berulang kali dating menyerbu, melakukan perampasan.
Di samping itu, kerajaan Beng juga meminta bangsa Mongolia setiap tahun
mengantar upeti. Hal ini membuatnya bangsa Mongolia menjadi sangat bersakit
hati, merasa penasaran dan bergusar sangat, hingga mereka memikir untuk mencari
balas. Ha, manusia terhadap manusia, negara terhadap negara, mengapa diantara
mereka ada demikian banyak dendam? Mengapa mereka hendak saling menuntut balas?
Sungguh aku tidak mengerti! Kenapa mereka tidak hendak saling memperlakukan
sama rata, sama derajat, untuk hidup damai satu dengan lain?’
Tertarik hati In Lui mendengar
kata-kata itu.
“Leluhurku dan marhum raja
Watzu sama-sama memikir untuk mencari balas,” Tan Hong berkata pula,”mereka
hendak mencari balas terhadap kerajaan Beng. Oleh karena minatnya itu,
leluhurku telah memangku pangkat di dalam negeri Watzu. Setiap hari bangsa
Watzu itu jadi semakin kuat. Berbareng dengan itu, pangkat leluhurku juga
setiap waktu menjadi terlebih tinggi. Demikian, setelah turun sampai pada
ayahku, bukan saja ayah telah diwariskan pangkat leluhurku itu, malah
belakangan dia diangkat menjadi Yu-sinsiang, perdana menteri muda.”
Belum selesai Tan Hong dengan
kata-katanya itu, tidak peduli tidak ada orang yang melayani ia bicara, karena
si nona tetap bungkam, ia melanjutkan pula, “Ayahku ingat baik-baik sakit hati
itu, maka itu terhadap anak-cucu Cu Goan Ciang, juga terhadap mereka yang
sangat mencintai kerajaan Beng, dia mendendam hebat sekali, sampai meresasp ke
tulang-tulangnya! ..Pada tiga puluh tahun yang lampau ketika engkongmu diutus
ke negeri Watzu,” ia menambahkan kepada In Lui, “disana ia selalu mengutarakan
bahwa dia adalah menteri yang sangat setia dari kerajaan Beng. Mendengar itu,
ayahku menjadi naik darah, maka ayah segera menahan engkongmu itu, engkongmu
itu dipaksa berdiam di daerah es dan salju, ia hidup dengan menggembala kuda
sampai dua puluh tahun lamanya!”
In Lui kertakkan giginya.
Kata-kata Tan Hong membuat ia berpikir keras.
“Engkong telah menderita
selama dua puluh tahun, “ ia berpikir, “karena sakit hati itu, engkong
menginginkan supaya sekeluarga Thio dibunuh semua. Tapi kerajaan Beng telah
merampas negara leluhurnya, tidak heran kalau keluarga Thio jadi sangat
bersakit hati, sampai karenanya, engkongku turut terlibat. Sungguh ini ada dendam
turun-temurun……Dapatkah aku tak memperdulikan sakit hati leluhurku itu? Engkong
ingin turunannya membalas dendam, bolehkah aku membiarkannya?”
In Lui cekal gagang pedangnya,
akan tetapi pikirannya sangat ruwet.
“Engkongmu itu menggembala
kuda diantara es dan salju sampai dua puluh tahun lamanya, selama itu tidak
pernah ia hendak tunduk, “terdengar Tan Hong mulai berkata pula, “Oleh karena
itu kemudian ayahku pun tertarik hatinya dan mengagumi kekerasan hati dari
engkongmu itu. Ayahku pernah bercerita kepadaku tentang hikayat engkongmu itu.
Ayah katakana ketika engkongmu secara diam-diam minggat pulang ke negerinya,
sebelumnya ayahku telah mengetahuinya, sekalipun demikian, ayah sengaja tidak
mengirim pasukan tentara untuk mencegah, engkongmu dibiarkan dapat menyingkir.
Malah ayahku pun berkata, ketika itu ayah telah tugaskan Tantai Ciangkun
menyampaikan kepada engkongmu tiga pucuk surat tertutup untuk menolong
engkongmu dari ancaman bahaya maut. Hanya sayang sekali, engkongmu tidak sudi
mempercayainya, hingga dengan begitu engkongmu telah menyia-nyiakan maksud hati
baik dari ayahku itu hingga ayah merasa kecewa.”
In Lui mendengar, ia
bersangsi. Benarkah cerita Tan Hong ini? Masih ia membungkam. Masih ia pegangi
gagang pedangnya.
Tan Hong menghela napas.
“Memang perbuatan ayahku
terhadap engkongmu ada keterlaluan,” ia berkata pula, “maka itu tidaklah heran
kalau engkongmu tidak mempercayai maksud baik dari ayahku itu. Orang tua marhum
telah berhutang, sudah selayaknya turunannya membayar hutang itu! Maka juga
tidak mengherankan bahwa kau jadi membenci sangat padaku! Ah…”
In Lui tetap membungkam.
Si anak muda melanjutkan pula,
“Negeri Watzu itu setiap hari bertambah kuat, karenanya kerajaan Beng
selanjutnya tidak berani menghina pula. Malah kemudian, keadaan menjadi
berbalik. Pada sepuluh tahun yang lalu, guruku telah datang ke negeri Watzu.
Mulanya mendengar kabar, guruku itu hendak melakukan pembalasan untuk engkongmu
itu, akan tetapi kemudian, ia berbalik menjadi guruku. Dialah yang mengingatkan
aku bahwa aku adalah bangsa Tionghoa, bahwa karenanya tidak dapat aku pandang
Tionggoan sebagai musuh! Belakangan, setelah datangnya guruku itu, perangai
ayahku telah berubah. Sering aku lihat ayahku di waktu malam, menumbuki dadanya
sendiri, seorang diri ia suka jalan mengitari kamarnya. Pernah ayahku mengoceh
seorang diri, katanya ‘membalas dendam! Membalas dendam! Harus atau tidak aku
membalas dendam?’ Dalam keadaan itu ayah tampak beringas, sikapnya menakutkan.
Pernah beberapa kali aku hiburi ayah, tapi ia menjadi gusar, dia deliki aku!
Dia kata ‘anak, kau mesti ingat sakit hati leluhurmu yang bagaikan gunung
besarnya!’ “
“Kau tahu dengan cara
bagaimana aku sekarang aku pulang ke Tionggoan? Sebenarnya aku telah membolos.
Dari semua orang, melainkan guruku seorang yang mengetahuinya. Guruku telah
menjelaskan segala apa mengenai kaum Rimba Persilatan di Tionggoan. Kau harus
ketahui, aku adalah bangsa Tionghoa, pasti aku tidak akan membantu bangsa Watzu
menyerbu Tionggoan! Akan tetapi, aku juga hendak menuntut balas…”
“Bagaimana kau hendak
membalasnya?”
In Lui tergerak hatinya,
hingga ia bertanya demikian.
“Setelah aku sampai di
Tionggoan, yang pertama-tama aku lakukan ialah membuat penyelidikan,” sahut Tan
Hong. “Aku telah melihat jelas, pemerintahan kerajaan Beng sesungguhnya telah
menjadi buruk sekali. Maka itu, untuk menuntut balas, tampaknya tidak ada
kesukarannya. Apabila aku mendapatkan peta bumi serta harta yang terpendam,
maka dengan menggunakah pengaruh uang itu aku kumpulkan kawan sekerja, untuk kemudian
mengerek bendera, dengan demikian tidaklah sukar untuk merampas kerajaan Beng!”
In Lui terperanjat.
“Apakah kau berniat menjadi
kaisar?” dia tanya.
Thio Tan Hong tertawa.
“Kaisar pun asalnya rakyat
jelata!” dia kata. “Negara dari satu keluarga, dari satu she, dapatkah itu
dipegang kekal untuk beratus abad? Jikalau aku dapat merampas kerajaan Beng,
bukan saja aku hendak menjadi raja..”
“Apakah itu untuk mencari
balas?” In Lui tanya pula.
“Juga bukan hanya untuk
membalas dendam!” jawab Tan Hong. “Andaikata berlaksa negara di kolong langit
ini tidak menggerakkan senjata, bagaimana baiknya?” ia berhenti sebentar, ia
tertawa bergelak. Lalu ia bersenandung, “Berapakah usianya manusia? Negara
aman, bagaimana dapat ditunggu? Coba muncul satu nabi, bukankah persamaan kekal
abadi untuk berlaksa abad? Haha! Jikalau dapat aku mencapai keinginan hatiku,
untuk apa aku mesti menjadi kaisar?”
Di tempat gelap seperti itu,
In Lui tidak tampak wajah orang, akan tetapi dapat ia merasakah hati besar
orang itu.
“Kau menjadi kaisar atau
tidak, itulah tidak aneh!” ia campur bicara. Tak sanggup dia untuk terus
membungkam. “Hanya jikalau kau bercita-cita merampas negara yang luasnya
sembilan laksa lie dari kerajaan Beng, maka kau menghendaki atau tidak, aku
kuatir kau toh akan membunuh seluruh orang kota hingga darah mengalir seluas
tegalan! Sekarang ini bangsa Mongolia hendak menyerbu, jikalau kau memusuhi
kerajaan Beng, bukankah kau jadi membantu bangsa Watzu itu?”
Ditanya begitu, Tan Hong
berdiam sebentar.
“Adik kecil, kata-katamu
beralasan juga,” ia menyahut dengan perlahan. “Adik kecil, kakakmu suka
mendengar perkataanmu. Jikalau kau tidak mengizinkan aku menjadi kaisar, aku
suka tidak menjadi kaisar. Adik kecil, katakanlah, akan aku turut kau.”
Halus suara pemuda ini, enak
didengarnya. Maka merahlah muka In Lui, ia jengah tetapi ia pun girang.
Tiba-tiba saja ia gerakkan sebelah tangannya, akan tolak tubuh orang.
“Siapakah yang inginkan kau
dengar perkataanku!” dia bentak, suaranya gusar.
“Bagaimana? Kembali kau gusar.”
Kata Tan Hong.
Si nona diam, tidak ia
menyahuti.
Tan Hong menghela napas,
tangannya diulurkan ke batu dimana ia taruh rangsum keringnya. Ia dapatkan batu
telah kosong. Rangsum itu telah dimakan si nona! Selama mendengarkan orang
bercerita, tanpa merasa, In Lui dahar rangsum itu. Pernah ia sadar bahwa “tidak
selayaknya” ia makan rangsum itu, tidak tahunya ia telah dahar hingga potongan
yang terakhir.
Diam-diam Tan Hong tertawa
dalam hatinya. Ketika ia awasi si nona, di tempat yang gelap itu ia hanya
tampak sepasang mata yang bersinar hidup bagaikan bintang di malam gelap
gulita.
“Adik kecil, sudah waktunya
untuk kau tidur,” Tan Hong kata kemudian. Lalu dengan perlahan, ia nyanyikan
sebuah lagu halus.
In Lui lelah dan ngantuk, ia
telah dahar cukup, hatinya tertarik, di luar tahunya, ia meramkan matanya.
Tan Hong, dengan pedang
ditangan, bertindak ke mulut guha, untuk menjadi centeng.
Hujan telah berhenti, akan
tetapi di malam buta, tentara pahlawan tidak berani mendaki bukit untuk
mengejar terus orang-orang yang menyingkirkan diri itu.
Pemuda itu pun lelah dan
ngantuk, akan tetapi untuk menjaga In Lui, ia kuatkan hati untuk tinggal melek.
Tidak berani ia tidur.
Sekonyong-konyong terdengar
teriakan In Lui, “Engko! Engko!…Engkong, engkong!”
“Ya,” sahut si anak muda.
Habis itu, ia tidak dengar apa-apa lagi. Ia berpaling ke dalam tapi In Lui diam
terus, Cuma suara napasnya terdengar perlahan.
“Dia ngigo….”kata si anak
muda, yang terus bertindak ke dalam, akan membuka baju luarnya, baju mana ia
pakai menyelimuti tubuh si nona, tanpa nona itu sadar. Kemudian ia kembali ke
mulut guha, dimana ia duduk mendeprok.
In Lui tengah bermimpi. Ia
lihat Thio Tan Hong melenggakkan kepalanya dan tertawa panjang, tetapi ketika
si anak muda mengusap-usap gambar lukisannya, tiba-tiba ia menangis sedih dan
kemudian, dia berjanji dengan nada tinggi. Heran In Lui atas tingkah laku
orang, ia pun merasa kasihan. Maka ia menghampirinya, ia pegang pundak orang.
Di saat itu ia tampak engkongnya menghampiri dia, tangan engkong itu mencekal
tongkat bambu yang ada bulunya. Bengis roman si engkong ketika ia nyelak
diantara kedua orang itu, terus dia angkat tongkatnya, dipakai mengemplang!
“Engko, tolong!” teriak In Lui
dalam mimpinya itu.
Segera nona ini lihat suciat,
yaitu tanda kebesaran di tangan engkongnya, telah berubah menjadi surat wasiat
kulit kambing yang berdarah, dengan surat wasiat itu, sang engkong tutupi
kepala cucunya, sambil mendamprat, “Siapakah engkomu? Lekas kau bunuh dia!”
Waktu itu In Lui endus baunya
yang berbau bacin, yang berulang kali menyerang hidungnya, hingga hampir tak
kuat ia menahannya. Lebih celaka lagi, ia tidak dapat berteriak, maka akhirnya,
sadarlah ia dari tidurnya, dari mimpinya yang hebat itu.
Mengawasi ke mulut guha, si
nona tampak sorot matahari yang melusup di sela-sela. Ia mengawasi, ia
tenteramkan hatinya, yang berdenyut. Begitu ia merasa tenang, ia dapatkan
tubuhnya berkerudung baju Tan Hong. Segera ia rasakan pipinya panas, hatinya
pun memukul. Lantas ia turunkan baju itu, terus ia jalan perlahan, menuju ke
mulut guha.
Tan Hong tengah duduk di batu,
ujung pedangnya menunjang tanah, kepalanya ditundukkan. Karena ngantuknya anak
muda ini tidak sanggup bertahan lagi, ia ngelenggut, mendekati terang tanah, ia
tertidur juga…
Kembali surat wasiat kulit
kambing yang berdarah berkelebat di mata In Lui, terus saja ia cekal keras
gagang pedangnya. Di dalam hatinya, nona ini berkata, “Jikalau aku hendak tikam
dia, inilah ketikanya yang baik. Ah, ah, mengapa aku berpikir begini macam?
Engkong, engkong,” ia mengeluh, “engkong, jangan paksa aku, jangan paksa aku…”
Samar-samar In Lui seperti
lihat engkongnya mendatangi dengan tangannya masih memegang su-ciat, tepat
seperti di waktu ia bermimpi, mata engkongnya itu bengis.
“Mustahilkah aku masih bermimpi?”
Sambil menanya begitu dalam
hatinya, In Lui terus gigit jari tangannya. Kontan ia merasakan sakit, maka
terang sudah, ia bukan tengah bermimpi pula. Tapi, kalau itu bukan impian,
kenapa ia seperti sedang bermimpi, ia bagaikan belum sadar? Kalau ia sadar,
sungguh hebat penderitaannya ini. Ia tengah menghadapi musuhnya, yang
engkongnya titahkan ia bunuh.
“Jikalau aku lepaskan ketika
yang baik ini, aku tidak binasakan orang keluarga Thio, apakah engkong di alam
baka tidak sesalkan aku?” demikian ia Tanya dirinya.
Dengan tangan pada gagang
pedang, In Lui maju lagi dua tindak, tiba-tiba ia masukkan satu jari tangannya
ke dalam mulut, ia menggigit, kembali ia sadar benar-benar, di depan matanya
tidak lagi terbayang engkongnya. Maka pedang, yang ia telah cabut, ia masukkan
pula ke dalam sarungnya. Sebaliknya daripada menikam pemuda itu, adalah baju
orang yang ia keredongkan kepada pemiliknya.
Thio Tan Hong merasa tubuhnya
tersentuh, ia segera lempangkan tubuhnya, lantas ia lompat bangun. Segera ia
tertawa.
“Eh, adik kecil, pagi-pagi
begini kau sudah bangun?” dia Tanya. “Kenapa kau tidak tidur pula?”
In Lui gigit bibirnya, mukanya
menjadi pucat.
Tan Hong awasi pemudi ini,
matanya bersinar halus, ia nampaknya sangat mengasihani si nona.
Nona In lihat sinar mata orang
itu, ia tampak wajahnya sangat simpati, luka hatinya, hingga hampir ia
menangis. Lekas-lekas ia putar tubuhnya, untuk tidak mengawasi lebih jauh
pemuda itu.
Tan Hong menghela napas, terus
ia memandang ke arah bawah bukit. Ia lihat beberapa puluh pahlawan Kim-ie-wie,
bersama-sama dengan serdadu-serdadu Gie-lim-kun, mereka terpecah dalam beberapa
rombongan, mereka tengah mendaki bukit. Terang sekali mereka hendak mencari
terlebih jauh kedua orang yang mereka sedang kepung.
Bingung juga si anak muda.
Tidak sukar menggempur beberapa puluh pahlawan. Tidak demikian dengan kurungan
di bawah bukit itu, dimana, tertampak bendera-bendera dari pengurungan yang
rapat. Cara bagaimana kurungan itu dapat ditoblos?
Selagi anak muda ini berpikir
keras, ia lihat kawanan pahlawan sudah sampai di tengah bukit. Ia lantas sambar
tangan In Lui, untuk diajak lari ke belakang satu batu besar.
Makin lama rombongan pahlawan
datang makin dekat. Sekonyong-konyong terdengar seruan Thio Hong Hu.
“Keluar! Keluar kamu! Aku
telah melihat padamu! Hendak aku bicara dengan kamu!”
Hati Tan Hong tercekat, Thio
Hong Hu adalah satu jago dari kota raja. Ia tidak sangka orang dapat datang
demikian cepat, malah dialah yang pimpin rombongan pahlawan dan serdadu istana
itu untuk menggeledah bukit.
Dengan golok Biantoonya, Thio
Hong Hu menuding ke atas bukit, kembali ia perdengarkan suaranya yang nyaring,
“Kenapa kamu main sembunyi-sembunyian? Begitukah kelakuannya satu hoohan?”
Kali ini belum Hong Hu menutup
mulutnya atau satu orang, bagaikan bayangan, telah lompat muncul, bajunya
berkibar-kibar ditiup angin. Ditangannya terhunus pedang.
“Thio Tayjin gagah perkasa!”
demikian orang itu, ialah Thio Tan Hong, berkata sambil tertawa, “kau telah
pimpin beribu-ribu serdadu dan kuda, kau juga telah menyerang bukit ini,
sungguh kau satu hoohan!”
Melengak Thio Hong Hu, mukanya
menjadi merah secara mendadak. Itulah sindiran hebat.
“Jangan kau memancing
kemurkaanku!” katanya kemudian. Dapat ia tenangkan diri. “Meski benar dibawah
gunung ini ada pasukan perang yang berjumlah besar, kamu sebenarnya boleh
berurusan dengan aku si orang she Thio saja!”
Thio Tan Hong kibaskan
pedangnya, ia tertawa.
“Bagus, bagus!” katanya dengan
gembira. “Kalau begitu, silahkan kau kemukakan syarat-syaratmu!”
Thio Hong Hu tidak lantas
sambut tantangan itu, ia hanya mengawasi dengan tajam kepada dua orang itu.
Waktu itu In Lui pun turut munculkan diri.
“Aku lihat kamu bukan
orang-orang Jalan Hitam,” katanya. “Sebenarnya kamu mempunyai hubungan apa
dengan Cin-sam-kay Pit To Hoan?'
“Tentang hubungan itu, tak
usah kau mengetahuinya,” jawab Tan Hong, “baik kita jangan ngobrol saja! Mari
kita bertempur sampai tiga atau lima ratus jurus! Bagaimana andaikata kau tidak
mampu mengalahkan aku?”
Tan Hong merasa, dalam tenaga
dalam, ia kalah dari komandan Kim-ie-wie itu, akan tetapi dalam hal ilmu
pedang, ia menang diatas angin, maka ia percaya, dengan bertanding sekian
banyak jurus, mestinya mereka seri. Ia tahu Thio Hong Hu kagumi dirinya
sendiri, sengaja dia gunakan kata-kata itu untuk membangkitkan kemendongkolan
orang.
Kembali Thio Hong Hu lirik
kedua orang itu.
“Tidak usah kita bertanding
satu lawan satu!” katanya dengan jumawa. “Kamu boleh maju berdua berbareng!”
Tan Hong tertawa dingin.
“Kalau begitu maka sejak ini
Keng-su Sam Toa-kho-ciu akan tinggal dua orang saja!” katanya secara menghina.
(Keng-su Sam Toa-kho-ciu berarti “tiga jago terbesar dari kota raja”)
Dengan perkataan ini Tan Hong
artikan bahwa ia berdua In Lui mengerubuti komandan Kim-ie-wie itu, sudah pasti
si komandan akan terbinasa.
Thio Hong Hu tidak kena
dipancing, ia tertawa.
“Aku lihat itulah tidak
mudah!” katanya. “Ilmu silat kamu berdua telah aku lihat, jikalau kita
bertanding satu lawan satu, mungkin kau dapat bertahan lima ratus jurus. Kau
majukan tantanganmu ini, mengerti aku maksudmu. Sudah tentu aku tidak sudi
diperdayakan!”
“Sungguh orang ini lihai!”
kata Tan Hong dalam hatinya, ia tercekat. “Tahu pihak sana, tahu pihak sendiri,
demikian pepatah. Pikiran dia sama dengan pikiranku.” Lantas dia menyahuti, “
Kalau begitu baiklah kita tidak mengadakan batas lima ratus jurus itu! Mari
kita bertempur satu lawan satu. Kau boleh utarakan syaratmu!”
Thio Hong Hu sebutkan
syaratnya, ia kata, “Tentang sahabatmu ini, dengan ilmu silatnya, mungkin dia
dapat bertahan sampai seratus jurus, maka itu, baiklah kita atur begini, “Kamu
berdua maju bersama, kita bertempur sebanyak lima puluh jurus. Jikalau kamu
yang peroleh kemenangan, nanti aku pujikan kamu supaya kamu diangkat bu-kiejin
tahun ini, untuk itu kamu tidak usah diuji pula!”
Thio Tan Hong tertawa
bergelak.
“Untuk kami berdua menangkan
kau, itulah gampang, sama seperti kita membalikkan tangan!” katanya. “Perlu apa
menunggu sampai lima puluh jurus? Malah dalam lima jurus, bila kami tidak dapat
mengalahkan kau, kau boleh perbuat sesukamu atas diri kami! Jikalau dalam lima
jurus kami menangkan kau, kami tidak kemaruk dengan gelaran bu-conggoan-mu,
apapula bu-cinsu! Untuk kami, air ada biru, gunung ada hijau, di belakang hari
masih dapat kita bertemu pula!”
Inilah ejekan untuk Hong Hu,
dia dipancing kegusarannya. Dengan itupun Tan Hong maksudkan, andaikata mereka
berdua yang menang, maka Thio Hong Hu mesti membiarkan mereka angkat kaki tanpa
gangguan.
Sementara itu Hong Hu
mempunyai maksud, ia berkeras hendak tempur kedua orang ini. Kemarin ia tidak
berhasil mengejar Pit To Hoan, ketika ia kembali, ia tampak Hoan Tiong dan
Khoan Tiong mendapat luka, ia menjadi kaget.
“Apa yang telah terjadi?” ia
tanya kedua kawan itu.
Hoan Tiong dan Khoan Tiong
tuturkan pengepungannya terhadap Tan Hong dan In Lui, mau atau tidak, mereka
mesti puji ilmu silat kedua orang yang hendak ditawan itu. Pada waktu
berkata-kata, mereka ini nampaknya masih jerih.
Mendengar itu, Thio Hong Hu
menjadi sangat heran, hingga ia berpikir.
“Dari mereka berdua, si
mahasiswa berkuda putih nampaknya yang lebih lihai, kelihatannya dia melebihi
satu tingkat daripada Hoan Tiong dan Khoan Tiong, tetapi, dengan berkelahi
bersama, dalam tujuh puluh jurus, tidak heran apabila mereka dapat mengalahkan
kedua sahabat ini. Yang aneh adalah mereka dapat merebut kemenangan dalam
beberapa jurus saja!”
Hong Hu adalah ahli silat
kenamaan, ia tahu bagaimana peryakinan ilmu silatnya, maka, mendengar ada orang
yang demikian lihai, timbullah keinginannya untuk mencoba-coba kepandaian orang
itu. Demikian ia majukan tantangannya. Benar-benar ia tidak percaya, di dalam
lima puluh jurus ia akan dapat dikalahkan. Tapi sekarang ia dengar Tan Hong
mengatakan lima jurus, bukan main mendongkolnya ia. Meski demikian, ia tertawa
terbahak-bahak, goloknya diacungkan.
“Baiklah!” serunya. “Sekarang
jurus yang pertama! Kamu sambut!”
Segera golok berkelebat,
kelihatannya seperti kekiri dan kekanan. Hong Hu telah menggunakan jurus
“Liu-seng sian tian” atau “Bintang sapu menyambar, kilat berkelebat”. Serangan
itu ditujukan kearah kedua lawannya.
In Lui menyender di lamping
batu, ia bagaikan orang tak sadar akan dirinya, Tan Hong lihat keadaan orang,
dia menyerukan, “Adik kecil, lekas keluarkan kepandaianmu!”
Tan Hong tidak hanya
berteriak, berbareng dengan kata-katanya itu, tubuhnya mencelat ke depan In
Lui, pedangnya digerakkan dalam gerakan “Memotong Sungai”. Dengan itu ia
tangkis serangan pertama dari Hong Hu.
Golok menyerang, pedang
menangkis, maka itu, keduanya bentrok keras, suaranya nyaring, tetapi golok
Hong Hu benar-benar lihai, sekalipun ditangkis, sambarannnya tak kehilangan
sasarannya, masih ujung golok bergerak kearah In Lui.
Nona In sudah lantas
menangkis, habis itu tubuhnya limbung, ia mundur dua tindak. Tidak berhasil ia
mencegah serangan Hong Hu itu. Coba Tan Hong tidak mendahului menangkis,
mungkin pedangnya terlepas dan terpental dari cekalannya.
Thio Hong Hu lihat ia
berhasil, ia tertawa bekakakan.
“Kiranya ilmu pedang kamu cuma
sebegini!” katanya dengan mengejek.
“Hati-hati, kamu sambut
golokku! Inilah jurusku yang kedua, namanya Pat hong hong ie, yaitu Angin dan
hujan di delapan penjuru! Kamu mesti menyambutnya dengan pedang berbareng! Aku
memberitahukan ini supaya jangan nanti kamu sesalkan aku!”
In Lui tidak sadar akan adanya
bahaya meskipun ia telah dihajar hingga sempoyongan dan mundur, sepasang
matanya yang tadinya hidup sekarang lenyap sinarnya.
Tan Hong lihat keadaan orang
itu, ia segera membisiki, “Adik kecil, meskipun kau membenci aku, tapi sekarang
mesti kita mundurkan dulu musuh ini! Kau boleh sayangi jiwamu, agar di belakang
hari dapat kau mencari balas terhadapku! Oh, adik tolol...”
Adalah di saat itu, serangan
yang kedua dari Hong Hu telah tiba, sinar golok itu berkelebatan menyilaukan
mata. Serangan itu ada jurus yang paling lihai dari ilmu silat “Ngo-houw
toan-bun-to” atau “Lima ekor harimau mencegat pintu”. Sudah tentu jurus ini ada
terlebih lihai daripada yang pertama.
Tergerak hati In Lui, tetapi
air matanya segera mengembeng. Tapi sekarang ia tidak lagi sedungu tadi. Ia
angkat pedangnya, dengan putarkan itu, ia menangkis. Perbuatannya ini
diturutkan dengan gerakan serupa dari Thio Tan Hong. Maka itu, berangkaplah
pedang mereka masing-masing. Dan gagallah serangan Hong Hu yang kedua kali itu.
“Bagus!” seru komandan
Kim-ie-wie itu, “Benar-benar bagus cara kamu menangkis ini! Sekarang sambutlah
lagi yang ketiga!”
Hong Hu maju satu tindak,
golok Bian-too dimajukan, bukan sejurus, tapi kembali kekiri dan kekanan,
cepatnya luar biasa. Itupun ada jurus, “Hun hoa hut liu” yaitu “Memisah bunga,
mengebut yangliu”. Halus mulanya, keras akibatnya. Dengan cara ini, ia
menyerang sambil membela diri. Serangan juga disusul dengan tertawa nyaring dan
panjang.
In Lui gerakkan tangannya, maka
menyambarlah Ceng-beng-kiam diikut berbareng dengan pedangnya Tan Hong, hingga
kedua pedang kembali berangkap menjadi satu dengan apa golok lawan dapat
ditutup.
Kali ini barulah Thio Hong Hu
terkejut, hatinya tercekat. Lekas-lekas ia tarik goloknya, untuk dipakai
melindungi diri. Ia telah kerahkan tenaganya, karena goloknya itu terjepit
keras. Ia berhasil juga menarik goloknya akan tetapi ia mesti mundur dengan
limbung, napasnya pun memburu.
“Bagus, tak kecewa ia menjadi
orang kosen nomor satu di kota raja,” Tan Hong memuji di dalam hatinya.
Sementara itu ia telah memasang mata tajam. Hong Hu telah memasang kuda-kuda
“Put-teng put-pat” goloknya melintang di depan dada, kedua matanya dibuka
lebar-lebar, sinar matanya masih menunjukkan kagetnya tadi.
Tan Hong kerutkan alisnya, ia
berpikir, “Orang ini luas pengalamannya, sekarang ia ambil sikap membela diri,
dengan lagi satu jurus, belum tentu dia dapat dikalahkan..”
Setelah memasang kuda-kudanya
itu, tenang hatinya Thio Hong Hu.
“Aku telah menyerang tiga
kali, masih ada satu kali lagi!” ia berseru dengan nyaring. “Habis itu, akan
aku biarkan kamu berlalu terlebih dahulu! Kamu sudah siap? Bagus! Sambutlah!”
Thio Tan Hong melirik pada In
Lui, kali ini ia tampak kedua matanya bersinar tajam. Itulah sinar mata yang
wajar, nyata keadaan si nona telah pulih kembali. Dengan sinar mata demikian,
In Lui tengah mengawasi musuh.
Menampak demikian, Tan Hong
dapat harapan. Tiba-tiba saja ia berseru, terus ia maju menyerang. Perbuatan
ini dengan serentak diturut In Lui, hingga mereka jadi maju berbareng, kedua
pedang berkelebatan, ujungnya menikam.
Thio Hong Hu mendak, goloknya
dilintangkan, dipakai menangkis kedua pedang lawan. Habis itu, ia putar
tubuhnya, goloknya tergerak pula, disusul dengan mencelatnya tubuhnya.
Tan Hong tak sangka orang ada
demikian sebat, di dalam hatinya, ia mengeluh, “Celaka....kalau ini gagal, dia
lolos, dengan begitu lewatlah jurus keempat, kita mesti mengaku kalah...”
Maka itu, hendak ia lanjutkan
serangannya. Untuk itu hendak ia menangkis dulu, baru ia menikam.
Selagi Tan Hong memikir
demikian, In Lui telah bekerja.
Sekonyong-konyong Hong Ju
menjerit, disusul dengan rubuhnya tubuhnya.
In Lui telah berlaku sangat
sebat, selagi pedang Tan Hong melayani golok lawan, ia menyambar kaki orang,
tepat ujung pedang itu mengenai sasarannya, maka bahna kaget dan sakit, jago
dari kota raja itu tak dapat injak tanah lagi.
Tan Hong terkejut karena
herannya. Ia menduga, dengan mencelatnya Hong Hu, pedang In Lui akan menemui
tempat kosong seperti pedangnya sendiri.
Dengan lompatan “Le hie ta
teng” atau “Ikan gabus meletik” Hong Hu mencelat bangun, terus ia pandang kedua
lawannya dengan menyeringai. Ia mengibas sebelah tangannya, lalu ia berkata,
“Benar lihai sepasang pedang kamu! Sekarang kamu boleh pergi!”
Khoan Tiong sudah mendampingi
kawannya ini.
“Toako, secara demikian mudah
kau membebaskan mereka?” ia menegur.
“Ya,” jawab Hong Hu. “Kun-cu
it gan, koay-ma it pian! Biarkan mereka pergi!”
Khoan Tiong seperti menggerutu
“Kun-cu It gan, koay-ma it pian” - “Gentleman dengan sepatah kata, kudan
jempolan dengan satu cambukan”, tapi ia berdiam tidak berani mengucapkan
kata-kata.
“Mereka bukannya orang-orang
Jalan Hitam!” kata Hong Hu pula. “Dengan melepaskan mereka, kita tidak mendapat
salah. Kenapa kita mesti serakahkan jasa semacam ini?”
Merah wajah Khoan Tiong.
“Oleh karena kau yang
menanggung jawab, toako, kita tidak dapat berkata apa-apa lagi,” katanya.
Hong Hu segera berikan
titahnya untuk memberi jalan kepada kedua anak muda itu.
Thio Tan Hong menghormat pada
komandan Kim-ie-wie itu.
“Dua kali kita telah
bertempur, masih belum tahu aku she dan namamu,” berkata Hong Hu, “sebenarnya
kau datang darimana?”
Tan Hong bersikap lesu, ia
menguap.
“Kau orang she Thio, aku juga
orang she Thio,” sahutnya, “Thio kau tidak sama dengan Thio aku, akan tetapi
pada lima ratus tahun yang lalu kita berasal dari satu keluarga. Maka itu,
baiklah aku panggil kau toako. Toako,” ia tambahkan, “adikmu telah lelah
sekali, disini pun banyak orang dan berisik, tidak dapat aku tidur disini,
karenanya, maafkan aku, tak dapat kami temani kau lebih lama pula..”
Wajah Khoan Tiong berubah pula
menjadi merah, tidak demikian dengan Thio Hong Hu, dengan sikap wajar, dia
malah tertawa.
“Kau jumawa, kau juga gagah,
tidak kecewa aku mendapatkan saudara satu she sebagai kau!” ia kata. “Bailah
saudara, kau boleh pergi!”
Tan Hong segera bersenandung.
“Jikalau masih ada sifat orang
kang-ouw, orang menjadi jenderal pun tidak kecewa... Air biru, gunung hijau, di
belakang hari nanti kita bertemu pula, saudara, aku pergi!” ia tambahkan. Terus
ia tuntun tangan In Lui untuk diajak turun gunung dimana tidak ada satu serdadu
juga yang merintangi mereka.
Di sepanjang jalan, In Lui
terus bungkam. Setelah melalui kira-kira tujuh lie, mereka tinggalkan tentara
negeri jauh sekali di belakang mereka. Di depan mereka terdapat jalan simpang
tiga, disitu Tan Hong menguap.
“Adik kecil, mari kita cari
tempat untuk beristirahat dulu,” ia kata pada kawannya. “Jalan yang di tengah
ini untuk ke kota Ceng-teng, yang di kiri untuk ke kota Loan-shia. Aku pikir,
baik kita menuju ke Ceng-teng saja.”
In Lui kebutkan bajunya.
“Kau ambil jalanmu, aku ambil
jalanku!” ia menyahut dengan dingin.
Tan Hong melengak.
“Demikian rupa kau benci aku?”
dia tanya.
In Lui menyingkir dari
pandangan orang, ia kerutkan alisnya.
“Aku haturkan terima kasih
yang kau telah menolong aku,” si nona berkata pula, “akan tetapi permusuhan
kita kedua keluarga, tidak ada jalan untuk memecahkannya!..Ah, siapa surut
engkong menutup mata siang-siang, coba ia masih hidup, mungkin aku dapat
menasehati supaya dia mengubah pikirannya...Sekarang sudah tidak dapat
lagi...Pesan dari leluhur, cara bagaimana turunannya dapat menentangnya?
....Ah, ini dia takdir...”
“Aku tidak percaya takdir!” kata
Tan Hong tegas.
“Kalau kau tidak percaya,
habis kau mau apa?” si nona tanya. “Baiklah kau boleh pergi! Jikalau kau menuju
ke timur, nanti aku menuju ke barat!”
Wajah Tan Hong tampaknya
muram.
“Jikalau sudah pasti kau
hendak menuntut balas, kenapa kau tidak lakukan itu sekarang saja?” dia tanya.
Ia lesu sekali.
Merah mata In Lui, kakinya
terus menindak. Ia berjalan dengan sangat cepat, tidak ia menoleh.
XI
Walaupun ia berlari-lari, In
Lui toh dengar helaan napas panjang di belakangnya, helaan mana disusul dengan
kata-kata, “Melihat kau menyebabkan kau berduka, tidak melihat kau, maka akulah
yang bersusah hati....Ah, daripada kau yang berduka, baiklah aku saja.... Adik
kecil, baik-baiklah kau jaga dirimu. Kau pergi adik, kau pergi!”
Nona in keras hati meskipun ia
rasakan hatinya itu sakit. Ia masih dapat kuatkan hati, untuk tidak menoleh.
Akan tetapi, air matanya, tak dapat ditahan.
Dengan terbawa angin, In Lui
masih dengar kata-kata orang,” Saling melihat, tetapi tidak seperti saling
melihat, merasa cinta toh tidak merasa cinta.”
Dalam usianya tujuh belas
tahun, belum pernah In Lui memikir halnya kasih sayang antara pemuda dan
pemudi, mendengar itu, merah mukanya. Di dalam hatinya, ia jadi memikir,
“Apakah benar aku telah terjerumus ke dalam jala cinta?”
Lantas hatinya menjadi
bimbang, mukanya merah sampai ke kupingnya. Ia lari terus, setelah beberapa
puluh tombak, baru ia berani berpaling ke belakang. Sekarang ini ia tidak lihat
sekalipun bayangan Thio Tan Hong!
Akhirnya tibalah In Lui di
kota Ceng-teng, sebelum matahari terbenam. Ia langsung mencari sebuah hotel
besar dimana, dengan mengunci pintu rapat-rapat ia segera rebahkan diri di atas
pembaringan.
Tak tahu nona ini, berapa lama
ia telah pulas, waktu ia sadar, ia dengar suara gembreng diiringi dengan
kata-kata nyaring, seperti orang tengah membentak-bentak, yang mengetuk pintu
setiap kamar untuk memberitahukan, “Hotelku telah disewa seluruhnya oleh
pembesar negeri, menyesal sekali aku minta tuan meninggalkan hotelku ini untuk
mencari rumah penginapan. Tentang uang sewa, itu akan aku kembalikan. Inilah
terpaksa, harap tuan sudi memaafkannya.”
Seperti sudah menjadi
kebiasaan, satu kali sebuah hotel diborong oleh pembesar negeri,
penumpang-penumpang itu puas atau tidak, mereka harus pindah. Demikianlah
tindakan terpaksa dari pemilik hotel.
Kamar In Lui diketok paling
belakang, ia sudah dandan, sudah siap sedia, begitu ia membuka pintu, ia
katakan pada jongos yang mengetoknya, “Kau tidak usah menjelaskan lagi, aku
sudah tahu, sekarang aku pergi!”
“Maaf,” kata jongos itu, yang
terus mengawasi tetamunya, dari atas ke bawah, dari bawah keatas.
In Lui heran atas dikap orang.
“Apakah yang kau awasi?” dia
tanya.
“Aku lihat tuan bukan penduduk
sini,” sahut jongos itu, “maka itu, dalam keadaan begini mungkin sulit bagi kau
mencari lain rumah penginapan.”
In Lui makin heran.
“Apa?” dia tegaskan. “Kenapa
jadi sulit?”
Jongos itu menutup pintu.
“Apakah tuan tahu kenapa
pembesar negeri hendak pakai hotel kami ini?” kata ia perlahan sekali.
In Lui menggelengkan kepala.
“Suara tadi sangat berisik,
aku tidak dapat dengar nyata,” ia kata.
“Apa yang aku ketahui, inilah
persiapan untuk melayani utusan dari Mongolia,” terang jongos itu, suaranya
tetap perlahan. “Sampai Sri Baginda menugaskan pasukan Gie-lim-kun guna
mengiringi utusan itu. Berhubung dengan itu, semua hotel di Ceng-teng, tengah
hari telah mendapat pemberitahuan bahwa kalau hotelnya menumpang tetamu yang
dapat menimbulkan kecurigaan, dia atau mereka itu mesti dilaporkan pada polisi.
Maka itu, aku kuatir dengan pindah ke lain hotel, tuan bisa menemui kesulitan
yang memusingkan kepala.”
Mendengar itu, In lui tertawa.
“Habis, cara bagaimana kau
berani membiarkan aku tetap menumpang disini?” katanya. “Apakah aku tidak
mendatangkan kecurigaan itu?”
Jongos itu berdiam, tiba-tiba
ia ingat suatu apa.
“Bukankah tuan she In?”
tanyanya.
In Lui tercekat. Waktu
mendaftarkan nama, ia memakai she dan nama palsu. Ia heran kenapa jongos itu
ketahui she nya. Maka segera ia sambar tangan orang, yang nadinya terus ia
pegangi.
“Kau siapa?” dia tanya dengan
bengis.
“Jangan kuatir, tuan,” sahut
jongos itu, agaknya ia tidak takut. “Kita ada orang sendiri. Jikalau tuan tidak
percaya padaku, aku mempunyai suatu barang yang tuan telah tinggalkan disini,
kalau tuan melihat itu, tuan akan segera ketahui duduknya hal.”
In Lui tidak takut. Ia pikir,
kalau toh mesti menggunakan kekerasan, jongos ini tidak akan lolos dari
tangannya. Karena itu ia lepaskan cekalannya, ia biarkan jongos itu pergi
mengambil barang yang dia sebutkan itu.
Jongos itu ngeloyor pergi,
tidak lama kemudian kembalilah ia bersama kuasa hotel, siapa memegang satu
bungkusan kecil yang terbungkus oleh kain sutera, terus ia berikan kepada
tetamunya.
“In Siangkong, inilah barang
yang tetamuku tinggalkan untukmu,” ia kata.
In Lui terima bungkusan itu,
dengan hati-hati ia membukanya. Ia lantas lihat sepotong san-hu biru-hijau,
yang mempunyai sembilan tangkai. Ia menjadi tercengang. Karena itulah san-hu
kepunyaannya sendiri yang ia berikan kepada Cio Cui Hong selaku tanda mata.
“Apakah dia juga datang
kemari?” tanyanya. Dengan “dia” ia maksudkan “dia” wanita. “Apakah dia juga
berdiam disini?”
“Nona Cio sampai disini
kemarin,” jawab kuasa hotel itu. “Dia telah melukiskan jelas padaku tentang
roman dan potongan In Siangkong, dia minta kami memperhatikannya. Sungguh
kebetulan, benar-benar In Siangkong datang ke hotel kami!”
In Lui berdiam. Ia segera
ingat cintanya Cui Hong terhadapnya, yang nona itu tidak dapat lupakan. Karena
ini, ia jadi mengeluh sendirinya.
“Baiklah aku menjelaskan,
tuan, “si kuasa hotel berkata pula “Hotel kami ini adalah milik partai Hay Yang
Pang, dan usaha kita adalah dengan cara diam-diam melayani keperluan orang
kang-ouw yang menjadi kaum kita. Hong-thian-lui Cio Loocianpwee itu adalah
kenalan baik kami, dan Nona Cio datang kesusu kemarin malam, terus dia titipkan
barangnya ini. Nona itu juga memesan supaya kau besok pergi ke Ceng-liong-kiap,
untuk menantikan dia. Si nona pesan, bila Siangkong sampai disana, nanti ada
orang yang menyambut padamu untuk diantarkan.”
In Lui manggut.
“Habis, sekarang aku harus
bermalam dimana?” dia tanya.
“Oleh karena siangkong ada
orang kita sendiri,” sahut si kuasa hotel, “aku minta siangkong suka serahkan
kamar itu, untuk kami menggantinya dengan kamar kerjaku sendiri. Aku harap
siangkong suka memaafkan sikap kami ini.”
Tetapi In Lui menunjukkan
kegirangannya.
“Bagus, bagus!” katanya.
“Sekalian aku hendak tengok macamnya utusan dari Mongolia itu, bagaimana
keangkerannya hingga ia mesti dilayani secara begini!”
Maka malam itu, habis
bersantap, In Lui berpura-pura tidur. Dengan begitu, ia jadi dapat
beristirahat.
Segera juga terdengar tindakan
kaki-kaki kuda dan suara bengernya, pun suara manusia terdengar riuh menjadi
satu. Dan hamba-hamba hotel lantas berlari-lari keluar untuk mengadakan
penyambutan.
In Lui tidak berani munculkan
diri, maka itu ia cuma mengintai dari sela-sela pintu.
Segera juga tampak empat
perwira mengantarkan delapan orang Mongolia memasuki hotel, yang berjalan di tengah,
diiringi di kedua sampingnya. Dengan segera In Lui kenali orang yang jalan di
tengah-tengah, yang istimewa menarik perhatiannya. Dia adalah si pangeran asing
yang pernah bertempur dengannya ketika terjadi penyerbuan kepada Ciu Kian.
Hotel itu adalah yang terbesar
di kota Ceng-teng, banyak kamarnya, keempat perwira Gie-lim-kun memeriksa semua
kamar, habis itu mereka tanya kuasa hotel, “Apakah disini tak ada orang lain
lagi?’
“Paduka tuan telah sudi pakai
hotel kita, mana kita berani menerima lain penumpang,” kuasa itu menjawab
dengan hormat.
Tadinya masih hendak dilakukan
pemeriksaan ke dalam, tempat keluarga kuasa hotel dan orang-orangnya, tetapi si
pangeran asing mencegah.
“Tak usah tong-nia demikian
teliti, “katanya sambil tertawa, “Walaupun Tionggoan besar, mungkin belum ada
orang yang berani menjadi lawan kami! Atau andaikata ada juga yang berani, dia
tentunya ingin mencari mampusnya sendiri, untuk itu tak usah tongnia beramai
turun tangan, cukup asal kamu bertanggung jawab atas penguburan mereka itu!”
“Benar, benar!” memuji keempat
perwira Gie-lim-kun itu. “Memang orang-orang gagah dari negeri Tuan, semua tak
ada tandingannya di kolong langit ini. Adalah kami yang terlalu berhati-hati.”
Mendongkol In Lui mendengar
perkataan orang itu.
“Sebentar akan aku berikan
kamu pengertian apa yang dinamakan lihai!” pikirnya. Ia anggap orang menghina
diri sendiri, sedang disini ada soal kebangsaan.
Sebentar kemudian, selesai
sudah utusan itu mengambil kamar, lalu dua orang Mongolia serta dua perwira Gie-lim-kun
ditugaskan bergantian berjaga malam.
In Lui tunggu saatnya, untuk
salin ya-heng-ie, pakaian untuk keluar malam, begitu lekas ia dengar suara
kentongan tiga kali, dengan hati-hati ia keluar dari kamarnya, untuk mendekam
dulu di ujung payon. Tapi ia siap sedia dengan senjata rahasianya, Bwee-hoa
Ouw-tiap-piauw (Kupu-kupu yang bermain diantara bunga-bunga Bwee). Ia tunggu
waktu, bila kedua cinteng Mongolia itu membalik belakang terhadapnya, hendak ia
serang mereka itu.
Tiba-tiba diatas wuwungan berkelebat
satu bayangan putih. In Lui lihat itu, ia terkejut. Sekejap saja ia lihat
berkelebatnya satu tubuh manusia, orang itu memakai topeng, bajunya putih dan
panjang, maka di dalam gelap tampak tegas warna putih dari pakaiannya itu.
Segera juga hati In Lui berdenyut. Sekelebatan ia ingat kejadian pada malam
itu, waktu Thio Tan Hong nyelundup masuk ke Cio-kee-chung. Karena ini, ia
lantas goyangkan tangannya, untuk memberi tanda.
Orang bertopeng itu
membalikkan tubuhnya, ia rupanya melihat tanda yang diberikan, malah ia
membalas menggerakkan kedua tangannya, menunjuk ke arah luar, maksudnya
menyuruh si nona lekas berlalu.
Belum sempat In Lui berpikir,
untuk mengambil keputusan, ia tampak orang itu sudah lompat turun, menyusul
mana ia dengar dua jeritan dari kesakitan. Sebab dengan kesebatannya, orang
bertopeng itu sudah menyerang dan membinasakan kedua pahlawan itu.
“Itulah serangan Kim-kong-ciu
yang lihai!” memuji In Lui, kagum, “Belum pernah aku tampak Tan Hong
menggunakan semacam pukulan…Apakah dia adanya atau lain orang?”
Tengah si nona berpikir, dari
dalam telah lompat keluar kedua cinteng Gie-lim-kun, tetapi kembali dengan
kesebatannya, bukan ia menyingkir, si orang bertopeng justeru menerjang, ketika
kedua tangannya bergerak, tidak ampun lagi ia menotok urat lemah di
pinggangnya.
Itulah perwira Gie-lim-kun
yang di sebelah kiri, tetapi yang di sebelah kanan, kepandaiannya tidak selemah
kawannya, dengan gerakan “Cui hui pie pe” atau “Tangan mementil pie-pee” dapat
ia egoskan diri dari bahaya.
Si orang bertopeng segera
berseru, “Kenapa anak cucunya Oey Tee mesti jual jiwa untuk bangsa Tartar?”
Suara itu perlahan, In Lui
tidak dapat mendengar dengan nyata. Ia hanya heran kenapa dari pukulan
kematian, orang itu mengubahnya dengan totokan jalan darah, hingga orang
Gie-lim-kun itu tidak dibinasakan.
Tidak lama mereka itu
bertempur, lantas perwira Gie-lim-kun itu mundur, atas mana si orang bertopeng
lompat ke dalam, ke arah kamar dari si pangeran asing.
Belum sampai orang itu di muka
pintu, dengan tiba-tiba daun pintu terpentang lebar, disusul dengan suara
tertawa yang nyaring, dan munculnya satu bayangan, gerakan tubuh bayangan itu
mendatangkan siuran angin.
Mau atau tidak, si orang
bertopeng mundur tiga tindak.
In Lui tidak pergi ketika
diberi tanda oleh si orang bertopeng, ia diam di tempatnya mendekam, dari situ
ia dapat lihat siapa adanya orang yang keluar dari dalam kamar itu, ialah
Tantai Mie Ming.
Jago Mongolia itu telah
memasuki Tionggoan, entah dengan cara bagaimana, sekarang ia menemani si pangeran
asing yang menjadi utusan itu.
Segera In Lui lihat, setelah
mundur, si orang bertopeng maju pula, dia menyerang.
Tantai Mie Ming gerakkan
tangannya berikut tubuhnya, atas mana si orang bertopeng rubuh terjungkal,
jumpalitan, tapi sekejap saja, ia sudah berdiri pula.
Kaget sekali In Lui, hingga ia
berteriak, “Lekas menyingkir!” sedang tiga batang senjata rahasianya dengan
saling susul ditimpukkan kepada Tantai Mie Ming. Ia tujukan ke atas, untuk
membuatnya orang repot.
Tantai Mie Ming kibaskan kedua
tangannya, belum lagi senjata rahasia tiba pada tubuhnya, tiga-tiganya suah
jatuh ke lantai.
Selagi jago asing itu
menangkis piauw, si orang bertopeng sudah maju pula dengan serangan kedua
tangannya. Masih sempat Tantai Mie Ming menangkis, juga dengan kedua tangannya,
maka itu keempat tangan jadi beradu dengan suara keras hingga terbit suara
nyaring. Sebagai akibatnya, si orang bertopeng mundur dengan tubuh limbung,
tapi tidak sampai rubuh.
“Bagus!” seru Tantai Mie Ming.
“Siapa sanggup lawan tanganku, dia terhitung satu hoohan juga!”
Setelah kegagalannya ini, si
orang bertopeng lari keluar, berniat lompat naik ke atas genteng.
Perwira Gie-lim-kun yang tadi
menyaksikan jalannya pertempuran, ketika ia lihat orang hendak lari, dengan
mendadak ia membokong dengan joan-piannya, cambuk yang lemas.
In Lui saksikan perbuatan
orang itu, ia menjadi gusar, serta merta tangannya terayun, sebatang piauwnya
terbang menyambar.
Perwira itu tidak sepandai
Tantai Mie Ming, lengannya terkena piauw, tak ampun lagi, ia rubuh dengan tak
sadarkan diri, cambuknya turut jatuh.
Pada saat itu si orang
bertopeng pun sudah naik ke atas tembok, darimana ia lompat terus ke atas
genteng.
“Terima kasih!” ia mengucap
dengan perlahan kepada nona kita, ia tidak berhenti lari atau menghampiri, ia
berlalu terus dengan cepat sekali.
Karena In Lui tercengang
menyaksikan kelakuan orang itu, ia hanya melihat bagian belakangnya saja. Ia
jadi berpikir. Mendengar suaranya dan melihat punggungnya, seolah-olah ia
pernah kenal orang itu, orang itu tak mirip dengan Thio Tan Hong.
Sedang ia diam berpikir,
beberapa pahlawan Mongolia serta anggota-anggota Gie-lim-kun tampak mendatangi,
malah Tantai Mie Ming menjurus ke arah tempatnya sembunyi, hingga ia menjadi
terkejut. Lebih-lebih ketika Mie Ming, sambil memandang ke arahnya,
perdengarkan tertawanya.
“Mana si orang jahat?”
pahlawan-pahlawan itu saling menanya.
Sekonyong-konyong Tantai Mie
Ming putar tubuhnya dan ia melepaskan panah ke lain arah daripada In Lui, habis
mana ia kata, “Orang-orang jahat banyak jumlahnya, diantara kamu, dua orang
melindungi ong-ya, yang lainnya semua turut aku!”
Inilah diluar sangkaan In Lui,
maka ia menjadi heran atas sikap Tantai Mie Ming. Bukankah Mie Ming telah dapat
mencari ia? Kenapa dia justeru mengajak rombongannya pergi ke lain jurusan?
Sungguh ia tidak mengerti.
Setelah orang-orang pergi, In
Lui turun dari tempatnya sembunyi, dengan matanya yang awas ia segera tampak
jongos hotel, yang menyembunyikan dia di pojok yang gelap, melambaikan
tangannya. Ia lantas menghampiri.
“Mari turut aku!” kata jongos
itu. “Selagi keadaan kalut, kita mesti menyingkir.”
In Lui ikut dengan tidak
banyak omong. Ia percaya jongos itu. Untung bagi mereka, mereka tidak menemui
siapa juga.
Ketika itu pintu kota masih
belum ditutup, si jongos mengajak tetamunya sampai di suatu tanjakan di luar
kota.
“Sebentar jam lima, ada orang
yang akan menjemput siangkong,” kata jongos itu lega.
In Lui keluarkan napas.
“Sungguh berbahaya!” ia kata.
Dalam cahaya rembulan dan
bintang-bintang yang samar-samar, si nona tampak wajah si jongos berseri-seri.
Dia pun berkata, “Nona Cio memesan supaya siangkong ingat untuk membawa sanhu.
Apakah siangkong telah sediakan itu?”
In Lui menjadi masgul, ruwet
pikirannya. Baru tenang satu gelombang, sudah dating gelombang yang lain.
“Aku tahu sudah, “ katanya
dengan terpaksa.
Menampak wajah si “pemuda”
berubah, jongos itu tidak berani tertawa lagi.
Berselang kira-kira setengah
jam, dua ekor kuda tampak mendatangi, yang satu ada penunggangnya, yang lain
kosong. Setelah penunggang kuda itu datang dekat, ia kenali orang itu adalah
Cek Po Ciang.
Hwee-sin-tan Cek Po Ciang ini
sangat membenci Thio Tan Hong, terhadap In Lui ia juga tidak berkesan terlalu
baik, akan tetapi bertemu kali ini, ia girang juga, maka sambil memberi hormat,
ia kata, “Kau juga dapat lolos? Bagaimana dengan si bangsat berkuda putih itu?
Bukankah itu hari dialah yang datang membawa pasukan negeri?”
Orang she Cek itu tetap
menyangka Tan Hong mencelakai mereka.
In Lui menyahut dengan dingin
sekali, “Dia justeru mengorbankan segala apa untuk menolongi Pit Loo-enghiong!
Apakah Pit Loo-enghiong tidak menceritakannya padamu?”
“Adakah itu benar?” ia
menegaskan. “Aku belum bertemu dengan Pit Loo-enghiong. Cuma Nona Cio yang
menyuruh aku menyambut kau, supaya dengnan menunggang kuda kita mencari dia.”
Tanpa menjawab kata-kata
orang, In Lui menanya.
“Dimana adanya Pit
Loo-enghiong sekarang?” demikian pertanyaannya.
“Menurut nona Cio, setelah Pit
Loo-enghiong lolos dari bahaya, dia bernaung di tempat Na Thian Sek di
Im-ma-coan. Tempat itu terpisah dari sini kira-kira sepuluh lie. Ah, cahaya
terang sudah mendatangi, kita mesti lekas berangkat!”
Po Ciang lantas serahkan kuda
yang kosong, ia silahkan In Lui menaikinya, sesudah mana ia jalan di sebelah
depan sebagai pengantar.. Mereka kaburkan kuda mereka dan pada waktu fajar
sampailah mereka di sebuah lembah.
“Inilah selat
Ceng-liong-kiap,” Cek Po Ciang memberitahukan. Terus ia bersuit tiga kali
beruntun.
“Itulah nona Cio sedang
mendatangi,” kata Po Ciang. “Pergi kau masuk ke lembah untuk papaki dia. Aku
sendiri masih hendak pergi kepada Pit Loo-enghiong.”
In Lui menurut, ia turun dari
kudanya, ia lantas bertindak ke dalam lembah. Belum jauh ia jalan atau dari
satu tikungan ia tampak munculnya satu orang, ialah Cio Cui Hong.
Nona itu mendatangi sambil
berlari-lari, air matanya bercucuran, ia lompat menubruk, ia merangkul dengan
keras.
“Ah, akhirnya kita bertemu
pula…” serunya.
In Lui pegangin orang, untuk
diajak duduk.
“Kau telah janjikan aku untuk
bertemu dengan kau, “katanya tertawa, “tentunya itu bukan untuk bicara tentang
cinta.”
Cui Hong cemberut, matanya
melotot, tapi ia seka air matanya.
“Thian telah melindungi hingga
kita telah bertemu pula, “katanya dengan perasaan bersyukur, “akan tetapi engko
Ciu….engko Ciu…”
In Lui terkejut.
“Engko Ciu kenapa?” dia Tanya.
“Aku berkesan keliru terhadap
kakak angkatmu itu, dia sebenarnya orang baik hati…” Cui Hong jawab.
“Katakan lekas, engko Ciu
kenapa?” tegas In Lui tanpa perdulikan pengutaraan orang.
“Ketika itu hari kau rubuh
dari kuda hingga kau kena terkurung, “sahut Cui Hong dengan ceritanya, “kami
telah kembali dengan niat menolongi kau. Tapi kami telah dipotong musuh.
Belakangan muncul Thio Hong Hu. Dia gagal mengejar Pit Loo-enghiong, dia
rintangi aku dan Ciu Toako. Kami berdua bukan tandingan dari Hong Hu, baru
belasan jurus, aku telah kena tersampok belakang goloknya hingga aku rubuh dari
kudaku, pada saat itu hampir aku kena dibekuk musuh, Ciu Toako telah berlaku
mati-matian menolongi aku. Ia lompat turun dari kudanya, dengan menerjang
bahaya terinjak-injak kaki kuda, ia sambar paha Thio Hong Hu, ia gigit. Karena
ini, Thio Hong Hu mengemplang dengan goloknya, hingga ia pingsan, habis itu,
dia naik ke kudanya untuk lari pergi, mungkin untuk mengobati lukanya, hingga
kau tidak dikejarnya terlebih jauh.”
Diantara In Lui dan Ciu San
Bin ada perasaan yang tidak menyenangkan mereka, akan tetapi meskipun demikian,
mereka menyayangi satu pada lain bagaikan saudara sendiri, maka itu, mendengar
keadaan San Bin itu, In Lui kaget dan kuatir.
“Kalau begitu, perlu kita
lekas pergi menolong!” katanya.
“Aku minta kau datang kemari
justeru untuk mencari daya buat menolongi dia,” kata Cui Hong. “Dengar dulu
perkataanku. Masih ada satu hal yang aneh sekali. Setelah hari itu aku lolos
dari bahaya, lalu kemarin dulu aku bermalam di kecamatan Kee-koan. Disitu, pada
waktu tengah malam, aku dibikin sadar karena kaget oleh seorang yang bertopeng,
yang memancing aku pergi ke luar kota. Turut penglihatanku ilmu silat dia itu
ada terlebih lihai daripada aku, tetapi dia tidak mencelakai aku. Setibanya di
luar kota, dia lanta tinggalkan aku pergi. Perbuatannya itu membuat aku menjadi
heran dan berpikir. Baru besok siang, aku mengerti perbuatannya si orang
bertopeng itu. Kiranya malam itu, polisi di kota Kee-koan telah dikerahkan
tenaganya untuk melakukan penggeledahan umum. Hotel-hotel diperiksa teliti,
mereka yang berlalu lintas juga ditanyai melit-melit. Menurut kabar, tindakan
itu diambil untuk persiapan menyambut seorang besar, untuk menjaga keamanan.
Terang sudah, si orang bertopent itu memancing aku keluar kota karena ia telah
mengetahui terlebih dahulu tentang akan dilakukannya penggeledahan itu. Dan
tentu sekali, dia bermaksud baik.”
In Lui menjadi heran sekali.
“Orang bertopeng….orang
bertopeng?” katanya tak tegas. “Bagaimana tentang potongan tubuhnya, dia mirip
atau tidak dengan orang yang telah nyelusup masuk ke rumahmu dahulu, yaitu si
mahasiswa berkuda putih?”
“Di waktu malam gelap seperti
itu, aku tidak dapat melihat dengan nyata,” sahut Cui Hong. “Lain dari itu, aku
juga tidak memikir tentang mahasiswa berkuda putih itu. Karenanya, tak dapat
aku berkata suatu apa.”
Dengan sendirinya, wajah In
Lui menjadi bersemu dadu.
“Aku tahu siapa si orang besar
yang hendak disambut di Kee-koan itu,” ia beritahu. “Mereka adalah utusan
bangsa Mongolia serta sekalian pengiringnya. Oleh karena Kee-koan ada sebuah
kota besar, rupanya dipandang perlu untuk melakukan penggeledahan umum itu.”
Cui Hong heran.
“Bagaimana kau ketahui itu?”
tanyanya.
“Tadi malam aku juga telah
melihat orang yang bertopeng itu,” jawab In Lui. “Tentang ini, belakangan saja
kita perbincangkan pula. Baiklah kau bicara terlebih dahulu, tentang kau.”
Cui Hong menurut.
“Kemarin malam aku telah
bertemu dengan satu sahabat dari ayahku,” ia bercerita. “Dari sahabat itu, aku
dapat tahu Pit Loo-enghiong sudah lolos dari ancaman marah bahaya. Lantas aku
cari Pit Loo-enghiong itu. Tidak tahunya, Pit Loo-enghiong juga telah bertemu
dengan si orang bertopeng dan si orang bertopeng itu telah menitipkan sepucuk
surat padanya. Pit Loo-enghiong berkata, si orang bertopeng mirip seperti Thio
Tan Hong yang kedua. Kemudian Pit Loo-enghiong tiba di rumah keluarga Na,
disana pun si orang bertopeng telah meninggalkan suratnya. Oleh karena ia baru
saja terlepas dari bahaya, Pit Loo-enghiong tidak berniat untuk mencari tahu
tentang orang bertopeng itu.”
“Bagaimana bunyi surat si
orang bertopeng itu?” Tanya In Lui.
“Surat itu mengatakan bahwa si
orang bertopeng ketahui rombongan utusan bangsa Watzu itu pergi ke Pakkhia,
yang menjadi pemimpin adalah satu pangeran. Dia menduga bangsa Watzu hendak
mengajukan suatu permintaan. Benar perhubungan antara Kerajaan Beng dan negara
Watzu telah menjadi buruk, tetapi kaisar Beng berniat memperbaiki itu, maka
juga terhadap utusan Watzu itu, ia menyambutnya dengan gembira, dalam hal
tindakan memberi perlindungan ia sangat berhati-hati. Surat itu juga
mengatakan, si orang bertopeng ketahui Ciu Toako berada di tangan tentara
negeri. Untuk menolong Ciu Toako, dia usulkan supaya kita berkumpul, supaya
kita cegat rombongan utusan bangsa Watzu itu, untuk menawan si pangeran juga.
Dengan tindakan kita ini, jikalau kita berhasil, kesatu kita dapat menolongi
Ciu Toako, dan kedua pemerintah juga tak usah dengan tundukkan kepala memohon
perdamaian dari bangsa asing itu. Lebih jauh surat itu menunjuk, selat Ceng
Liong Kiap bagus letaknya, berbahaya, maka ia anggap, disini dapat kita
umpetkan diri, untuk mencegat rombongan utusan itu. Si orang bertopeng
berjanji, pada saat pencegatan mungkin dia bias datang untuk memberikan
bantuannya.”
“Bagaimana pikiran Pit
Loo-enghiong?” In Lui tanya pula.
“Ketika Pit Loo-enghiong
ketahui Ciu Toako tertawan musuh, ia kaget dan kuatir bukan main. Ia tahu,
tidak ada waktu lagi untuk mengirim panah lok-lim-cian, sebab air yang jauh
tidak dapat dipakai menolong kebakaran yang dekat, maka itu ia setuju akan daya
yang disarankan si orang bertopeng, tidak perduli tindakan ini sangat
berbahaya. Baiklah kita mencobanya. Karena itu Pit Loo-enghiong minta kita
bergantian memasang mata disini, untuk menunggu ia datang bersama
kawan-kawannya.
In Lui berpikir, hingga tak
dapat ia bicara. Ia tahu Tantai Mie Ming gagah luar biasa, sungguh sulit
merampas orang dibawah perlindungan dia. Selagi ia masih berpikir, si nona
tegur padanya.
“Apakah jongos hotel telah
menyerahkan sanhu padamu?” demikian tanyanya.
“Ya, sudah,” jawab In Lui.
“Justeru sekarang masih ada
tempo, ingin aku tanya kau suatu hal, “ kata pula Nona Cio.
“Apakah itu?” In Lui balik
menanya.
Cui Hong mengawasi.
“Sepanjang jalan ini,
bagaimana sikapmu terhadapku kau tahu sendiri, “ ia kata. “Meskipun kita ada
suami-isteri, yang benar adalah tak pernah kau perlakukan aku sebagai isterimu
bukan?”
“Ah, mengapa di waktu begini
kau menanyakan urusan itu?” Tanya In Lui, romannya tidak wajar, agaknya dia
bingung.
“Sudah sekian hari hatiku
pepat, “ Cui Hong akui. “Aku adalah seorang dengan perangai terburu napsu, maka
urusan ini tidak bias aku tidak menanyakannya dengan jelas.”
In Lui kewalahan.
Ketika itu matahari sudah
mulai muncul, maka dapat dipercaya, perutusan Watzu akan segera tiba di selat.
Karena ini, In Lui jadi bertambah tidak bernapsu akan bicara tentang
perhubungan mereka sebagai suami-isteri. Tiba-tiba ia tertawa, kedua biji
matanya pun berputar.
“Encie Hong!” katanya riang
gembira, “aku mengerti maksudmu. Kau suruh si jongos menyampaikan sanhu padaku
ialah agar….” Ia berhenti, agaknya ia tengah berpikir.
Cui Hong memotong, “Ialah
untuk menanyakan pikiranmu. Umpama kata kau tidak suka padaku, sanhu itu kau
simpan, untuk diserahkan pada lain orang. Seandainya kau…”
In Lui pun memotong.
“Encie Hong, sanhu ini adalah
kepunyaanku untuk kau, selaku pesalin, cara bagaimana itu dapat diserahkan kepada
lain orang? Sekarang, dengan tanganku sendiri, aku serahkan pula padamu.”
Cui Hong terhibur, ia menerima
batu permata itu.
Tiba-tiba saja In Lui berkata
secara sembarangan, “Ah, Ciu Toako benar-benar seorang yang baik….bukankah aku
tidak mendustai kau?”
Cui Hong tercengang, lekas ia
tunduk, hingga ia tampak pada sanhu itu, di lembaran bunga yang ketiga ukiran
huruf “Ciu”. Lantas saja wajahnya berubah.
Tadinya nona Cio ini hendak
bicara, segera ia tercegah oleh berisiknya suara serombongan kuda dan orang
yang mendatangi di luar selat, yang terus memasuki selat itu.
Dengan lantas In Lui dan Cui
Hong sembunyikan diri diantara batu besar yang berdiri tegak bagaikan rebung,
dari situ mereka tampak serombongan kecil barisan serdadu sebagai pembuka
jalan. Disana terlihat si pangeran Mongolia berjalan dengan merendengkan
kudanya bersama Tantai Mie Ming.
“Celaka, mereka telah tiba!”
berbisik Cui Hong pada In Lui, agaknya ia terkejut.
“Pit To Hoan sendiri masih
belum datang.”
Si pangeran mainkan cambuknya,
diatas kudanya itu, ia tampak bangga atas dirinya sendiri.
Selagi rombongan itu berjalan
terus, tiba-tiba terdengar orang menyanyikan satu lagu rakyat Mongolia, si
penyanyi tengah mendatangi dari arah depan, memapaki rombongan itu.
Aku adalah garuda dari tanah
datar berumput
Sayapku terbuka membiak angin
dan mega
Di waktu pagi, aku terbang ke
sungai Onan
Di waktu malam, aku menginap
di kota Karim
Tiga bulan telah aku terbang,
Tak dapat aku bebas dari
tangan Khan terbesar!”
Itulah nyanyian rakyat
Mongolia yang memuji Khan mereka yang terbesar, yaitu Genghis Khan. Mendengar
itu, si pangeran jadi gembira bukan main. Tidak ia sangka, di tempat asing ini,
dapat ia menemui bangsanya sendiri dan mendengar nyanyian yang paling
dibanggakan. Maka segera ia tahan kudanya, ia lompat turun.
“Untuk membangun pula
kebesaran Khan Terbesar, itu harus dilihat dari kita!” kata ia pada Tantai Mie
Ming. Kemudian ia berikah titahnya, “Coba panggil orang Mongolia itu.”
Masih orang itu bernyanyi
pula.
Tangan Khan Terbesar
menangkrap bumi
Dimasa hidunya dia sangat
kenamaan
Tetapi dia toh mati dan
kembali ke tanah
Luas tanahnya tak lebih
daripada satu kuburan
Lagu ini dinyanyikan dalam
bahasa Mongolia, akan tetapi itu bukannya nyanyian rakyat Mongolia seperti yang
pertama itu. Inilah lagu karya si penyanyi sendiri.
Mendengar itu, pucat muka si
pangeran.
Sementara itu si penyanyi
telah datang dekat.
“Apakah kau datang dari
Mongolia?” Tanya pangeran ini. “Lagumu yang belakangan itu belum pernah aku
mendengarnya. Dari mana kau dapat nyanyian itu?”
Penyanyi itu memakai karpus
Mongolia, yang pinggirannya terbuat dari kulit kambing hingga menutupi mukanya
dan yang tampak hanya sepasang matanya yang tajam. Pakaiannya pun pakaian
rakyat Mongolia, hanya dipakainya di tanah daerah Tionggoan hingga nampaknya
asing dan menyolok mata sekali. Tapi ditanya demikian, ia menjura.
“Itulah lagi yang istimewa
yang kubuat untuk kau mendengarnya,” demikian jawabannya. Lalu habis berkata
begitu, sebelah tangannya bergerak bagaikan kilat, menyambar lengan bawah dari
si pangeran, bagian nadinya.
Tantai Mie Ming telah siap
sedia untuk segala kejadian, dia sangat teliti dan cerdik, dia mempunyai mata
yang tajam sekali, begitu ia tampak orang bergerak, begitu dia bergerak juga
dengan sikutnya.
Si penyanyi itu rubuh sambil
menarik si pangeran, sampai setelah jatuh bersama, masih ia tidak hendak
melepaskannya.
Tantai Mie Ming bergerak pula,
pesat bagaikan angin, menendang, tangan kanannya menyambar.
Si penyanyi menggulingkan
tubuhnya, untuk mengegoskan diri dari dua serangan berbareng, akan tetapi dia
kalah sebat, tangan Mie Ming telah menyambar lehernya.
Si pangeran sendiri juga
lihai, dengan gunakan ketika yang baik itu, ia menyerang dengan tangan kirinya
yang bebas dari cekalan, sedang dengkulnya dipakai mendengkul perut orang.
Diserang secara demikian,
terpaksa si penyanyi lepaskan cekalannya, dia lompat, justeru untuk menyambut
kepalan Mie Ming, yang telah menyerang pula padanya. Ia berhasil loloskan
lehernya dari jambakan. Waktu lompat dan menginjak tanah, tubuhnya limbung,
akan tetapi atas desakan, ia melawan terus hingga dua tiga gebrak. Nyata ia
pandai ilmu silat Mongolia, ilmu Tay-lek Kim-kong-ciu!
In Lui kaget dan heran tidak
terkira.
“Dialah si orang bertopeng!”
serunya. Ia tidak lihat tegas roman orang, tapi ia seperti mengenalnya, cuma
tak ingat ia, siapa orang itu dan dimana mereka pernah bertemu.
Tantai Mie Ming bergerak
lincah bagaikan kera, kepalannya menyambar-nyambar bagaikan tubrukan harimau,
dengan cara itu dia membuat si penyanyi tidak dikenal itu mesti senantiasa
mundur dengan terpaksa. Cuma kepalannya perdengarkan suara angin tak kalah
hebatnya, tak kalah berbahayanya, walaupun ia main mundur ilmu silatnya tidak
menjadi kacau.
In Lui menjadi gelisah
memikirkan orang yang tak dikenal ini.
“Dia tak mirip dengan Thio Tan
Hong..” katanya dalam hatinya. “Dia dapat melayani Tantai Mie Ming secara
begini gigih, kepandaiannya tidak ada dibawah Tan Hong.”
“Juga aneh,” si nona berpikir
terlebih jauh. “Bukankah kemarin malam Tantai Mie Ming seperti memberi ketika
untuk dia menyingkirkan diri, tapi kenapa sekarang Mie Ming membela mati-matian
pangeran Mongolia itu? Sungguh aneh.”
Setelah dia menang diatas
angin, Tantai Mie Ming lanjutkan terus desakannya.
Pahlawan-pahlawan Mongolia
ketahui baik lihainya Mie Ming dan sifatnya juga, tak sudi Mie Ming dibantu,
maka itu, mereka tonton pertempuran itu. Tidak demikian dengan dua anggota
Gie-lim-kun, mereka ini hendak mencari muka, dengan lantas mereka maju dari
kiri dan kanan, untuk menyerang secara curang.
Dengan sekonyong-konyong
Tantai Mie Ming berhenti menyerang.
“Minggir!” dia berseru.
Akan tetapi selagi jago
Mongolia ini membentak, si penyanyi dengan tidak menyia-nyiakan sedetik juga
ketikanya yang baik itu, sudah bergerak pula dengan ilmu silat Tay-lek
Kim-kong-ciu. Maka sekejap saja, kedua serdadu Gie-lim-kun itu kena disambar,
untuk terus dilemparkan ke lembah.
Habis itu, tak menunda pula,
penyanyi ini kembali maju, untuk tempur Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi jerih
walaupun tadi ia kena didesak hebat lawannya yang tangguh itu.
Setelah beberapa jurus, Tantai
Mie Ming berseru dengna nyaring sekali, seruan itu dibarengi dengan gerakan
tangannya.
Dengan telak si penyanyi kena
dihajar pundaknya, atas itu, dia rubuh terguling, mental sampai sejauh satu
tombak, ketika ia lompat bangun pula, tubuhnya limbung dan terhuyung.
Tantai Mie Ming tidak maju
pula untuk meneruskan serangannya, dia cuma tertawa riang. Adalah beberapa
pahlawan Mongolia lainnya, yang maju dengna berbareng untuk mencekuk si
penyanyi itu.
Adalah di saat itu, mendadak
terdengar suara sangat riuh, dari muncul dan merangsaknya serombongan orang,
hingga pasukan depan si pangeran menjadi kacau dengan lantas. Itulah rombongan
Pit To Hoan yang telah datang dengan tepat adan membuat tentara negeri tak
dapat merintangi mereka.
Tantai Mie Ming lompat maju,
segera ia cegat Pit To Hoan, hingga mereka jadi bertempur satu sama lain.
Dengan tipu silat “Mega melintang, memotong puncak gunung” jago Mongolia ini
menurunkan tangan jahat.
Pit To Hoan, yang
bersenjatakan tongkat Hang-liong-kun, membebaskan diri, habis mana, ia pun
membalas dengan menotok jalan darah ciang-bun-hiat, mengarah kedua mata
lawannya.
Gelaran Cin-sam-kay tersohor
selama beberapa puluh tahun karena lihai ilmu silat tongkatnya.
“Bagus!” berseru Tantai Mie
Ming. Dengan gerakan tubuhnya, ia membuat tongkat To Hoan kehilangan
sasarannya. Malah sebaliknya, hampir Cin-sam-kay kena dijambret, syukur dia
keburu tancap kaki dengan ilmu “Cin-kin-twie”, “Berat seribu kati”, berbareng
dengan mana, tongkatnya menyambar pula.
Mau atau tidak, Mie Ming
terkejut juga.
Selagi keadaan kacau itu, si
penyanyi dapat melabrak pengepungnya, hingga beberapa orang kena dirubuhkan,
hingga ia mendapat ketika untuk lolos dari kepungan.
In Lui kerutkan alis, ia
sangat tidak mengerti. Penyanyi itu demikian bernyali besar, sorang diri dia
serang si pangeran, tapi sekarang, justeru datang bala bantuan, mengapa dia
singkirkan diri. Dan kaburnya pun sangat cepat seperti angin menuju kearah ia.
In Lui tak dapat menahan lagi
hatinya, dia lompat keluar dari tempatnya sembunyi.
“Kau siapa?” ia menegur selagi
ia papaki penyanyi itu.
Orang itu tidak membuka
mulutnya, dia justeru menyahuti dengan atu kepalannya.
Dalam herannya, In Lui
berkelit, sesudah mana, ia hunus pedangnya.
“Tidak membantu kawan, itulah
perbuatan tidak cerdik!” kata In Lui. “Mari kita maju untuk membasmi musuh!”
Melihat In Lui menghunus
Ceng-beng-kiam yang tajam luas biasa, si penyanyi juga cabut goloknya, dengan
sepasang mata mencorong, ia terus saja membacok.
Kembali In Lui menjadi heran,
akan tetapi ia menangkis.
Habis menyerang, si penyanyi
memutar tubuhnya, untuk lari.
Cui Hong juga lompat keluar.
“Sungguh seorang aneh!”
katanya.
In Lui memandang ke kalangan
pertempuran.
“Baik kita jangan
memperhatikan dia,” kata nona In. “Mari kita bantui Pit Loo-enghiong!”
Waktu itu Tantai Mie Ming dan
Pit To Hoan bertarung seru selama beberapa puluh jurus, bedanya adalah Mie Ming
bertangan kosong, To Hoan bersenjatakan toya.
“Bagus!” seru Mie Ming selagi
mereka bertempur terus. “Sejak aku menginjak tanah daerah Tionggoan, kau adalah
hohan yang pertama-tama aku menemuinya. Sekarang hendak aku menggunakan
senjata!” Dan segera ia cabut sepasang gaetannya dengan apa ia tangkis toya Pit
To Hoan hingga terpental, setelah itu, ia balas menyerang, terus ia mendesak.
Nampaknya To Hoan repot,
hingga melihat itu, In Lui berseru, “Celaka!” Lantas ia maju menerjang. Apa mau
ia telah dicegat beberapa musuh, benar ia dapat menabas golok musuh, tapi ia
toh kena dilibat oleh dua pahlawan Mongolia, hingga ia mesti melayani dulu
mereka itu, yang dua-duanya bersenjatakan gegaman berat yang sulit untuk
ditabas kutung.
Na Thian Sek, Cek Po Ciang,
dan Cio Cui Hong beramai juga menemui tandingannya masing-masing, mereka telah
dikurung hingga tak dapat mereka rapatkan diri, untuk berkumpul menjadi satu.
Pit To Hoan telah mengeluarkan
seantero kepandaiannya, masih ia tidak mampu undurkan Tantai Mie Ming,
siang-kauwnya, sepasang gaetan, bergerak-gerak cepat bagaikan ular naga keluar
dari laut atau burung garuda mengejar mega. Beberapa kali Hang-liong-pang
hampir saja kena digaet terlepas.
“Aku tidak sangka aku akan
terbinasa di tangan orang Ouw ini…” kata To Hoan dalam hatinya, saking berduka.
Dalam saat sangat tegang itu
bagi pihak penyerbu, mendadak serdadu-serdadu pengiring pangeran
berteriak-teriak, semua lari berserabutan, diantara itu terdengar suara
menggelugur berulang-ulang, yang menggetarkan selat.
Ketika In Lui memandang keatas
bukit, ia tampak perbuatan luar biasa dari si penyanyi yang dandan sebagai
orang Mongolia itu, siapa dengan tenaganya yang kuat, satu demi satu batu-batu
yang besar dia tolak hingga menggelinding jatuh ke bawah bukit hingga melanggar
para tentara pengiring, yang menyebabkan mereka berlarian menyingkirkan diri.
Selat Ceng Liong Kiap terletak
diantara kedua bukit yang tinggi, selatnya sempit, dengan bergelantungan
batu-batu besar, maka bahaya itu sangat mengancam, siapa kena dilanggar, tak
dapat dikira-kirakan bencana yang dia dapatkan, maka musuh semua buyar, lari
berserabutan.
Juga pahlawan-pahlawan
Mongolia jadi kaget dan ketakutan.
In Lui gunakan ketikanya, ia
rubuhkan satu diantara dua lawannya, setelah yang kedua mundur, ia lari kearah
Tantai Mie Ming, siapa terus ia serang, malah dengan cara mendesak.
“Ha, kembali kau, nona cilik!”
seru Mie Ming, yang dengan gaetan kirinya mencoba menempel Ceng-beng-kiam.
“Mari kita mundur!” kata Pit
To Hoan pada In Lui. Sambil mengucap begitu, ia tangkis serangannya Mie Ming,
lalu ia mundur dengan cepat, sedang In Lui dapat ketika untuk mundur bersama.
Tantai Mie Ming lompat untuk
mengejar, tapi baru ia lari dua tindak, di sebelah depannya, sebuah batu besar
menggelinding turun, tepat menjurus padanya. Dalam keadaan seperti itu, ia
pasang kuda-kudanya, ketika batu sampai, ia menahan dengan kedua tangannya,
lalu dengan mengerahkan tenaganya, ia tolak batu itu, hingga batu itu
terpental, menimpa batu lainnya yang menerbitkan terbang ke segala penjuru.
Ketika ini digunakan oleh Pit
To Hoan beramai akan singkirkan diri ke atas bukit.
Tantai Mie Ming masih hendak
mengejar, ia dicegah si pangeran.
“Tantai Ciangkun, sudahlah,
jangan kejar mereka!” kata pangeran ini, yang hatinya ciut. Ia juga kuatirkan
musuhnya mengatur barisan sembunyi.
Pit To Hoan beramai telah lari
terus mendaki bukit.
“Hoohan, tunggu!” ia teriaki
penolongnya.
Si orang tidak dikenal yang
dandan sebagai orang Mongolia itu telah menantikan sampai To Hoan semua tiba di
tengah bukit, tiba-tiba ia perdenarkan suitan panjang, habis mana, ia lari
turun ke belakang bukit. Maka ketika To Hoan sampai diatas, orang aneh itu
sudah pasti Cek Laotee terancam bahaya besar.”
“Mungkin, untuk menghindarkan
tentara negeri bercelaka, maka dia berbuat demikian,” kata Cek Po Ciang.
Mendengar semua pembicaraan
itu, In Lui tertawa.
“Dia bukannya orang Ouw, dia
adalah Tantai Mie Ming!” ia beritahu. “Dia adalah orang Han yang menjadi besar
di Mongolia.”
Pit To Hoan kerutkan alisnya.
“Walaupun aku benci sangat
turunannya Cu Goan Ciang,” berkata jago tua ini, “akan tetapi siapa membantu
bangsa Ouw, apapula dia bernama Mie Ming, dia sungguh menyebalkan! Aku benci
padanya!”
“Mie Ming” itu atau “Biat
Beng” artinya “Memusnahkan Ahala Ming (Beng)”
In Lui juga tuturkan halnya
Tantai Mie Ming yang sengaja membiarkan dia dapat loloskan diri.
Kembali orang ramai bicarakan
sikap Mie Ming itu.
“Tentang si orang aneh, lain
kali saja kita selidiki asal-usulnya. “ kata To Hoan kemudian. “Tentang sikap
Tantai Mie Ming, kita juga baik tunda dulu. Sekarang ini yang paling perlu
adalah dengan cara bagaimana kita dapat menolong San Bin.”
Mereka itu bungkam, tidak ada
yang mendapat pikiran baik.
‘Oleh karena kita tidak
peroleh daya, terpaksa kita mesti gunakan kekerasan.” Kata In Lui akhirnya.
“Kita merampas kereta pesakitan di tengah jalan!”
“Jumlah tentara pengiring
sangat besar,” Cek Po Ciang peringatkan, “juga terdapat tiga pahlawan nomor
satu dari kota raja, aku kuatir bukan saja kita tidak akan berhasil, mungkin
kita akan nampak kerugian.”
“Sekarang baiklah kita
selidiki dulu,” To Hoan usulkan kemudian.
Demikianlah mereka bekerja.
Pada waktu magrib, penyelidik
telah kembali dengna warta yang diperolehnya “Thio Hong Hu telah menugaskan
Khoan Tiong mengepalai sebagian besar serdadu-serdadu Gie-lim-kun serta anggota
Kim-ie-wie, untuk membantu menyapu pelbagai pesanggrahan, sedang dia sendiri
bersama Hoan Tiong, dengan mengajak kira-kira tujuh puluh serdadu Gie-lim-kun,
sudah berangkat mengiringi orang-orang tawanan pulang ke kota raja.
“Besok mereka akan lewat
disini,” demikian mata-mata itu mengakhiri laporannya.
“Bagus!” seru To Hoan dengan
girang. “Biarlah besok kita ambil sikap keras terhadap mereka itu!”
XII
Malam itu In Lui merasa
gelisah, tak dapat ia tidur pulas. Ia sangat berduka mengingat San Bin berada
dalam tangan musuh.
“Besok, sekalipun mesti
mengadu jiwa, aku mesti tolongi dia!” ia berpikir.
Segera ia bayangkan bagaimana
San Bin menghendaki supaya mereka berdua bersikap sebagai kakak beradik satu
dengan lain. Ia pun merasa tidak tenteram mengenai kesan San Bin terhadap
dirinya.
“Untukku berkorban guna
menolongi dia, ada urusan gampang,” ia berpikir lebih jauh, “akan tetapi untuk
aku terima cintanya, itulah tak dapat.”
Waktu itu ia dengar suara
batuk-batuk dari Cui Hong yang tidur di kamar sebelah. Ia duga, nona Cio juga
sedang berpikir keras, maka nona itu masih belum tidur pulas.
Tertawalah In Lui seorang diri
ketika ia ingat tingkah laku Cui Hong yang sangat menyintai ia, yang
“tergila-gila” padanya. Karena ini, terbayanglah Cui Hong dan San Bin di depan
matanya. Maka ia tertawa dalam hatinya, dan berkata, “Baik, begini harus aku
bekerja! Mereka itu mesti dipadukan satu pada lain, dengan begitu terhindarlah
aku dari segala kesulitan.”
Baru lenyap bayangan San Bin
dan Cui Hong, atau sekarang berpetalah bayangan dari Thio Tan Hong, si
mahasiswa berkuda putih. Ini bukan lagi satu kesulitan, ini adalah “hal yang
sangat hebat”.
Bimbang hati In Lui, sampai ia
tak dapat memikir suatu apa, ia rasakan otaknya seperti kosong. Tidak mau ia
memikirkannya terlebih jauh, tidak berani ia mengingat-ingat pula si anak muda.
Di hari kedua pagi-pagi Pit To
Hoan sudah siap sedia. Ketika In Lui muncul di thia, ruang luar, disana telah
berkumpul kawan-kawan mereka.
“Kami telah mendapat
keterangan jelas,” berkata To Hoan, “Thio Hong Hu bersama Hoan Tiong telah
pimpin lima puluh serdadu Gie-lim-kun, mereka mengiring enam buah kereta
pesakitan, diantaranya ada sebuah yang besar istimewa, selama dalam perjalanan,
Hong Hu diatas kudanya tak pernah berpisah jauh dari kiri kanan kereta istimewa
itu. Maka itu aku duga, tawanan dalam kereta itu mestinya keponakan San Bin.
Mengenai usaha kita ini, tak keburu kita mengirim pula berita lok-lim-cian.
Jumlah orang-orangnya saudara Na serta saudara-saudara yang berada di dekat
sini ada lebih daripada empat puluh jiwa, aku anggap jumlah ini sudah cukup.
Thio Hong Hu memang lihai, tetapi aku rasa, dengan aku berdua In Siangkong yang
melayani padanya, mungkin kita dapat mempertahankan diri. Ceng Liong Kiap ada
selat berbahaya, maka kita pun dapat menggunakan akalnya si orang aneh yang
kemarin menggelindingkan batu-batu dari atas bukit.”
“Jika kita menyerang pakai
batu yang besar-besar, apa tak kuatir kita nanti mengenai kereta-kereta pesakitan?”
Tanya Na Thian Sek.
“Jangan kita pakai batu yang
besar-besar,” To Hoan beritahu. “Kita pakai batu-batu koral sebesar telur
angsa, dengan itu kita melempari kalang kabutan pada tentara negeri. Maksud
kita adalah untuk membuat mereka kalut, supaya perhatiannya menjadi kacau
balau. Na Ceecu, Nona Cio, silahkan kamu pimpin belasan saudara, untuk mendaki
bukit, guna mengacau musuh itu. Barangkali tentara negeri itu akan sampai di
lembah pada waktu tengah hari, maka sekarang juga kita boleh bersiap-sedia.
Mari kita berangkat!”
Segera rombongan itu keluar
dari thia, akan naiki kudanya masing-masing dan mulai berangkat. In Lui larikan
kudanya berdampingan dengan Cin-sam-kay Pit To Hoan.
“Pit Loo-cianpwee, kenapa kau
tidak pakai kuda putih?” Tanya nona ini.
Memang To Hoan tidak pakai
kuda putih itu. Ia tertawa.
“Telah aku kembalikan kuda itu
pada pemiliknya!” ia jawab sambil tertawa.
“Apa? Kapan Thio Tan Hong
bertemu pula dengan loocianpwee?” Tanya In Lui heran.
“Ciauw-ya Say-cu-ma
benar-benar kuda yang sangat luar biasa,” jawab To Hoan. “Sifatnya cerdas
sekali. Hari itu dia dititahkan majikannya untuk membawa aku kabur, dia telah
meloloskan aku dari bahaya, habis itu dia berbenger tiada hentinya, tak mau dia
tunduk lagi terhadap aku. Tahulah aku, dia ingat pada majikannya, maka aku
lepaskan dia pergi sendirian.”
“Bagaimana loocianpwee bisa
ketahui dia pasti akan dapat mencari majikannya?” In Lui tanya pula. “Apakah
tidak saying umpama kata dia dicegat orang jahat di tengah jalan?”
To Hoan kembali tertawa.
“Adalah biasanya kuda perang
yang baik dapat mencari majikannya sendiri,” ia kata, “apapula Ciauw-ya
Say-cu-ma ada seekor kuda yang luar biasa sekali. Lagi pula, siapa yang tidak
lihai luar biasa, tidak nanti dia sanggup mencegat kuda jempolan itu!”
In Lui memang ketahui
kecerdikan kuda itu, akan tetapi karena ia pikirkan sangat Tan Hong, ia jadi
berkuatir juga.
Habis berbicara, To Hoan
tertawa pula.
“In Siangkong,” kata dia,
“kalau nona Cio tidak memberitahukannya kepadaku, sungguh aku tidak ketahui
Thio Tan Hong itu adalah musuh besarmu turun-temurun.”
Muka In Lui merah. Ia tidak
menjawab. Untuk menyingkir dari To Hoan, ia bunyikan cambuknya hingga kudanya
lompat kabur.
Heran To Hoan menyaksikan
kelakuan orang itu. Ia lantas menduga pada sesuatu hal. Karena ini, ia tidak
menanyakan terlebih lanjut.
Tidak lama berselang,
sampailah mereka di selat, lantas mereka masuk ke dalam lembah. Seperti telah
direncanakan, To Hoan lantas atur rombongan yang mesti sembunyikan diri, habis
mana mereka terus menantikan sang waktu.
Tepat selagi matahari mulai
condong ke barat, dari arah depan datang warta pemberitahuan dari juru
pengintai. “Sudah datang! Sudah datang!”
Semua orang segera menyiapkan
senjatanya masing-masing, tegang hati mereka selagi mereka memasang mata,
menanti-nanti. Mereka tidak usah menunggu lama atau mereka lantas nampak
lerotan dari enam buah kereta pesakitan serta barisan serdadu pengiringnya.
Perlahan bergeraknya lerotan itu.
“Itulah kereta yang di
tengah!” To Hoan kata pada In Lui sambil menunjuk.
In Lui mengawasi dengan tajam.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa nyaring dari Thio Hong Hu, sambil berkata dengan keras, “Untuk merampas
pesakitan, inilah saatnya!”
To Hoan dan In Lui jadi
terperanjat. Nyata, dengan begitu, komandan Kim-ie-wie itu telah menduga maksud
mereka dan telah bersedia untuk menyerbu tukang cegat. Tapi anak panah telah
dipasang busurnya, tak dapat jikalau tidak terus dipanahkan. Maka To Hoan
memberikan isyaratnya.
Segera rombongan yang
bersembunyi munculkan diri.
Thio Hong Hu dengan sebat
mengatur barisannya, untuk melindungi kereta-kereta, guna menyambut serangan.
Dengan berani To Hoan maju di
muka rombongannya, untuk menyerbu.
Barisan Gie-lim-kun adalah
barisan yang terpilih, maka itu rapi perlawanan mereka, tidak perduli rombongan
dari Na-kee-chung ada tangguh, mereka tidak dapat segera digempur hancur,
mereka dapat membuat perlawanan yang gigih.
Kembali terdengar tertawa
nyaring dari Thio Hong Hu.
“Cin-sam-kay, orang tua she
Pit!” demikian suaranya itu, yang berupa ejekan. “Kemarin ini aku telah
membiarkan kau lolos, kenapa sekarang kau berani antarkan diri masuk ke dalam
nyaring?”
Pit To Hoan tahan kudanya, ia
pun bersikap dingin.
“Lihat saja siapa yang masuk
ke dalam jarring!” sahutnya. Lalu dengan mendadak ia perdengarkan suitan
nyaring, yang berkumandang di dalam lembah sampai umpama kata burung-burung
kaget dan pada terbang.
Itulah tanda rahasia untuk
rombongan tersembunyi diatas bukit, tanda untuk mereka itu mulai turun tangan.
Menyambut tanda rahasia itu,
Na Po Ciang segera perlihatkan diri, di belakangnya ada rombongannya.
Belum lagi Poo Ciang bergerak,
atau sekonyong-konyong terdengar suara dari sambar-menyambarnya pelbagai
senjata rahasia, hingga ia jadi kaget sekali.
“Cekala!” serunya.
Juga banyak batu-batu
ditimpukkan kearah rombongan Na-keechung ini.
Nyata pihak penyerang dipimpin
Hoan Tiong, Gie-cian Sie-wie yang menjadi slah salah satu dari tiga jago nomor
satu dari kota raja. Dia mempunyai senjata rahasia “bor terbang” hui-cui.
Cek Poo Ciang adalah ahli
senjata rahasia, walaupun demikian, tidak dapat ia tidak berlaku hati-hati
untuk melayani musuh, sedang orang-orangnya menjadi repot, karena mereka kalah
desak.
Pertempuran dilakukan terutama
dengan main saling timpuk batu.
Oleh karena serangan diluar
dugaan itu, barisan bersembunyi ini jadi tidak mampu membantu kawannya di dalam
lembah, untuk membokong tentara negeri.
Thio Hong Hu merasa sangat
puas, hingga ia tertawa bekakakan.
“Satu panglima, mana boleh
tidak memeriksa keletakan tempat!” katanya. “Satu panglima mesti senantiasa
berjaga-jaga! Cin-sam-kay, dalam ilmu silat kau lihai, tetapi kurang membaca
kitab perang!”
Pit To Hoan menjadi sangat
mendongkol, ia seperti ngamuk dengan toya Han-liong-pangnya, setelah menyampok
beberapa senjata musuh, sambil maju, tangan kirinya menyambar satu musuh yang
ia cekuk, habis mana bagaikan entengnya rumput, tubuh itu dilemparkan jauh.
In Lui dilain pihak juga sudah
menerjang hebat, dengan dua bacokan, ia rusakkan seragam besi orang, hingga
musuh-musuh yang berada di depannya terpaksa harus mundur. Dengan begitu, dapat
ia merangsak seperti Pit To Hoan.
Thio Hong Hu memimpin dengan
tabah, dengan memberikan isyaratnya, barisannya terpecah dua, membiarkan To
Hoan dan In Lui menyerbu diantara mereka. Satu pasukan lainnya mencegat majunya
rombongan pesakitan itu.