Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 2
Dan benar-benar, Ciu Kian
tahu-tahu sudah sampai di kalangan dan sudah lantas menyerang dengan golok
besarnya.
Tantai Mie Ming tinggalkan si
nona, ia tangkis bacokan bekas congpeng itu, hingga berdua mereka jadi
bertempur.
“Jikalau hari ini tidak dapat aku
bunuh mampus padamu, percuma aku punyakan golok Kim-too ini!” berseru Kim-too
Ceecu sambil mengulangi serangannya yang berbahaya.
Mie Ming berkelit, ia tertawa
mengejek.
“Baiklah, aku ingin saksikan
golok emasmu!” katanya. Ia menyerang, ia berkelit, ia menyerang pula, lalu ia
tertawa kembali. Lalu ia berkata,” Adakah ini yang disebut golok emas atau
golok perak? Hm! Dimataku inilah tak lebih daripada tembaga rongsokan!”
Ia gerakkan gaetannya, ia
ketok belakang golok musuh itu.
Ciu Kian jadi murka, benar ia
diam saja, tapi ia balas menyerang.
Sampai disitu, In Lui maju
pula, untuk membantu kawannya.
Tidak sibuk Tantai Mie Ming
ketika ia tangkis dua senjata dari dua musuhnya itu, tidak perduli In Lui gesit
dan golok emas berat, dapat ia melayani dengan leluasa, malah kemudian ialah
yang lebih banyak menyerang.
Ciu Kian dan In Lui bingung
pula, meskipun mengepung berdua mereka tak dapat hasil. Ciu Kian berkata dalam
hatinya” Sudah lama aku dengar negara Watzu mempunyai panglima kosen ini, dia
benar-benar gagah perkasa. Orang lihai semacam dia kena dipakai oleh bangsa
Tartar, sungguh sayang.”
Ketika itu terdengar pula
suara si ongya,” Tantai Ciangkun, ketika yang baik sudah tiba, jangan kau
berkelahi lama-lama!”
Mendengar suara si ongya, Ciu
Kian dapat daya.
“Menawan bangsat menawan
rajanya!” demikian pikirnya yang menyandingi. “Apa perlunya aku berkelahi
mati-matian dengan dia ini?”
Maka dia menangkis dengan
keras, akan pecahkan kurungan gaetan, di saat Tantai Mie Ming mundur tiga
tindak, dia teriaki In Lui,” In Lui, layani terus padanya, berlakulah
hati-hati!” Habis mengucap demikian, ia lompat mundur, akan tinggalkan lawan
untuk sebaliknya lompat lebih jauh kepada si ongya.
In Lui sangat cerdas, segera
ia mengerti maksudnya susiok-couw itu, maka lantas ia desak Tantai Mie Ming
hingga tidak perduli orang Mongolia ini terlebih lihai, ia toh repot juga.
Si ongya sudah lantas diserang
Ciu Kian. Ia lihat datangya musuh, dengan pertahankan tubuh sebisa-bisanya, ia
tangkis bacokan itu. Kedua senjata beradu dengan keras, suaranya sangat
nyaring.
Ciu Kian heran akan dapatkan
orang bertenaga besar, ia kagum. Ia tahu, ngya itu sedang terluka, coba dia
segar bugar, entah bagaimana besar tambahan tenaganya.
Si ongya juga tidak kurang
kagetnya, telapak tangannya sampai pecah dan mengeluarkan darah, karena a telah
menangkis dengan sekuat tenaganya untuk selamatkan diri. Celaka baginya, ia
tidak sanggup berlompatan.
Kim-too Ceecu penasaran, ia
ulangi serangannya, terus sampai tiga kali, serangan yang ketiga itu tak
sanggup ditangkis lagi oleh si ongya, goloknya terpukul keras, terlepas dari
cekalannya dan terlempar, maka dengan leluasa Ciu Kian kirim bacokan susulannya
yang keempat.
“Habis aku!” teriak si ongya.
Kendati demikian, dengan lawan sakit di kakinya yang terhajar piauw, ia buang
dirinya untuk bergulingan.
Ciu Kian membacok tempat
kosong, ia jadi semakin penasaran, maka ia maju terus, akan susul ongya itu,
guna mengirim bacokannya terlebih jauh. Justeru itu ia dengar sambaran angin di
belakangnya, hampir tanpa menoleh ia menangkis.
“Trang!”
Kepala berandal ini merasakan
getaran keras pada tangannya, ketika ia berpaling, ia tampak Tantai Mie Ming
yang membokong padanya. Ia belum sempat bersiap, atau Mie Ming sudah simpan
sepasang gaetannya, buru-buru dia lompat pada ongyanya, untuk sambar tubuh si
ongya, untuk segera dibawa kabur.
Ciu Kian tidak mau mengerti,
ia lantas lompat, guna mengejar, goloknya dipakai membabat.
Mie Ming tidak bersenjata, ia
pun sedang pondong ongyanya, tidak ada jalan lain, ia berkelit sambil mendak
rendah, sebelah tangannya dipakai membarengi menyerang lengan lawan.
Ciu Kian menyerang dengan
hebat, serangannya tidak mengenai sasarannya, goloknya jadi terulur ke depan,
karena itu, tidak keburu ia menarik kembali tangannya atau lengannya itu telah
dihajar lawannya, begitu rupa, sampai ia merasakan sakit sekali, hingga
goloknya terlepas jatuh.
Tantai juga tidak luput dari
serangan, ialah dadanya terkena tangan Kim-too Ceecu, hingga ia pun merasakan
sakit, akan tetapi, dengan kuatkan diri, dengan menutup rapat mulutnya, ia
terus lari dengan bawa kabur cukongnya itu.
In Lui lompat mengejar. Ia
menjadi gusar dan penasaran. Tadi ia telah didesak mundur jauh, karena itu, Mie
Ming keburu menolong ongya-nya dari tangan Ciu Kian. Dalam murkanya, ia ayunkan
tangannya, akan menimpuk dengan tiga batang piauw.
Orang Mongolia itu benar
lihai. Ia tidak berkelit, sambil lari, ia putar tangannya ke belakang, satu
demi satu, ia sambuti ketiga piauw itu, untuk diteruskan dipakai menyerang
kembali. Nyata ia bertenaga besar, timpukannya pun hebat.
In Lui dengar suara angin,
tidak berani ia menanggapi piauwnya itu, yang ia lewatkan sambil berkelit,
hingga piauw mengenai satu batu besar di sebelah belakang sambil perdengarkan
suara nyaring dan muncratkan lelatu api.
“Hebat!”seru si nona di dalam
hati. Ia lihat ketiga piauwnya nancap di batu, tidak jatuh.
Itu waktu Tantai Mie Ming
sudah lari terus.
Masih In Lui hendak mengejar
tatkala di timur lembah terdengar suara letusasn, hingga gunung bagaikan tergetar,
menyusul mana, Ciu Kian berteriak,” A Lui, jangan kejar musuh yang sudah
mogok!”
Si nona batal mengejar, sedang
itu waktu, di selatan, di barat dan utara lembah saling susul terdengar suara
letusan nyaring seperti yang pertama tadi, begitupun terdengar suara riuh dari
pertempuran-pertempuran yang mestinya dashyat.
Ciu Kian jumput goloknya, ia
tertawa besar.
“Tidak perduli bangsa Tartar
itu putar otaknya, mereka toh menjadi kura-kura dalam kerajaanku!” ia berkata
dengan puas.
In Lui tidak mengerti, ia
hendak bertanya pada si orang tua itu, akan tetapi belum lagi ia membuka
mulutnya, Kim-too Ceecu sudah mendahului lari pergi, sambil lari dia menggape
dan berseru,”Mari lekas, bantui aku menolong orang!”
Dengan masih tidak mengerti,
si nona lari menyusul.
Di bawah gunung, mayat-mayat
bergeletakan di sana-sini, darah berlimpahan. Itulah korban-korban Ciu Kian
tadi. Tak tega In Lui menyaksikan itu, ia lari sambil menutupi muka.
“A Lui, apakah kau bawa obat
luka pemunah racun?” begitu terdengar pertanyaan dari si orang she Ciu. “Eh, A
Lui kau kenapa? Kau takut? Bagaimana nanti kau dapat membalas dendam?”
“Tak takut aku bertempur sama
segala bangsat,” sahut si nona. “tetapi tak tega aku menyaksikan mayat-mayat
itu.”
Ciu Kian tertawa.
“Sungguh kau satu pemudi gagah
yang pemurah hati,” ia kata. “Di medan perang, dimana pemandangan lebih
mengerikan daripada ini masih dapat disaksikan! Mari, mari, kau tengok, kalau
nanti kau sudah biasa, hatimu tidak akan goncang lagi.”
In Lui lari terus kepada jago
tua itu, ketika sudah datang dekat, ia lihat si jago tua sedang pondong satu
orang dengan dandanan sebagai busu, orang yang mengerti ilmu silat, di bebokong
siapa nancap sebatang panah yang masuk hampir separuhnya.
“Apakah dia masih dapat
ditolong?” nona ini tanya.
“Dia masih bernapas, kita coba
saja,” jawab Ciu Kian.
“Aku membekal obat luka
pemunah racun, hanya entah tepat atau tidak,” kata si nona, yang terus berikan
obat itu.
Ciu Kian terima obat itu. Ia
cabut panah di bebokong orang itu yang terluka, yang tubuhnya diletakkan di
tanah. Dari lobang luka terus keluar darah hitam.
“Benar-benar panah beracun,”
kata orang tua ini sambil mengobati luka itu, kemudian ia urut-urut tubuhnya.
Tidak lama antaranya, si luka
itu membuka kedua matanya, cuma napasnya masih lemah, belum dapat ia membuka
mulutnya.
Ciu Kian mengawasi, ia
geleng-gelengkan kepalanya.
“Bagaimana?” tanya In Lui.
“Inilah racun Mongolia yang
hebat sekali, tanpa obat pemunah dari si pemilik panah, tak dapat kita
menolongnya,” sahut si orang tua. “Syukur orang ini mempunyai tenaga dalam yang
tangguh, karenanya ia masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Obatmu dan
urutanku cuma bisa menolong ia untuk sementara waktu, untuk membuatnya sadar,
akan tetapi jiwanya tidak dapat bertahan sampai besok.”
In Lui jadi sangat berduka.
“Kalau begitu, lebih baik kita
tidak tolong dia, supaya dia lantas mati dan tak usah menderita terlebih lama,”
ia kata.
“Dia buron dari tanah daerah
Tartar, dia dikepung sampai di sini, mungkin dia mempunyai rahasia penting,”
Ciu Kian utarakan sangkaannya.
“Maka kalau dia tidak dapat
berbicara sebelum dia menutup mata, mungkin dia mati tidak puas.”
Dari sakunya, ciu Kian
keluarkan sepotong jinsom korea, lalu dipotongnya, kemudian dimasukkan ke dalam
mulut orang itu. Obat ini (koleesom) mempunyai khasiat manjur, rupanya ia
mengharap orang itu dapat ditolong.
Di empat penjuru lembah masih
terdengar riuhnya suara pertempuran, juga ringkikan dari banyak kuda, terutama
letusan-letusan yang memekakkan kuping. Mendengar itu semua, Ciu Kian
ketok-ketok goloknya sambil tertawa.
“Tidak sampai terang tanah,
tentara Tartar akan musnah semuanya,” kata dia. “In Lui, sekarang tahulah kau
sebabnya kenapa aku rampas angkutan harta tentara kota Gan-bun-kwan.”
In Lui cerdik, ia cuma berpikir
sebentar atau ia tertawa sambil tepuk-tepuk tangan.
“Sungguh tipu dayamu yang
bagus, susiok-couw!” dia memuji. “Kau rampas uang negara, itu artinya kau
hendak bikin congpeng dari Gan-bun-kwan dengar perkataanmu. Begitulah ketika
bangsa Tartar menjanjikan dia untuk bekerja sama, kau suruh dia diam saja,
jangan gerakkan tentara. Demikian, kau berada di tempat terang, musuh berada di
tempat gelap. Semua kau atur sempurna, pasti sekali kau menang perang!”
Ciu Kian puas, ia tertawa
pula.
“Teng Tay Ko itu bukannya
seorang yang buruk,” ia kata. “Pemerintah titahkan dia membasmi berandal, dia
insyaf bahwa tenaganya tidak cukup, dia membuat perhubungan dengan bangsa
Tartar. Lebih dahulu aku rampas hartanya, setelah itu seorang diri aku pergi
padanya. Aku tegaskan padanya apakah dia ingin mampus dicincang tentaranya yang
kelaparan atau hendak bermusuh dengan bangsa Tartar. Nyata dia masih sayangi
jiwa dan pangkatnya, dia dengar perkataanku. Sekarang nampaklah buktinya.”
Tak tahan jago tua ini,
kembali dia tertawa.
“Aku tertawa karena Teng
Congpeng itu jenaka,” sahut si orang tua. Di dalam surat-surat resminya dia
namakan aku Kim-too si bangsat tua, akan tetapi bila berhadapan dengan aku
sendiri, dia berulang kali memanggil tayjin, tandanya ia tetap akui aku sebagai
atasannya.”
Mau tidak mau In Lui juga
tertawa.
“Apakah sebelum dia berada di
sini, dia tahu Kim-too si bangsat tua ada seatasannya?” dia tegaskan sambil
berkelakar.
“Dia adalah orang angkatanku,”
Ciu Kian beri keterangan. “Begitu ia saksikan golokku, dia mesti dapat menduga
aku siapa. Cuma tadinya dia berpura-pura tidak tahu. Pun biasanya, setiap kali
aku tempur tentara negeri, aku selalu pakai topeng, maksudku ialah agar mereka
tidak mengenali aku.”
“Kenapa begitu, susiok-couw?”
“Jikalau tentaranya mengetahui
aku adalah bekas congpeng dari kota Gan-bun-kwan,” sahut si orang tua, “ ada
kemungkinan sebagian dari tentaranya itu akan lari ke pihakku. Gan-bun-kwan
adalah kota perbatasan, sudah semestinya kota itu mempunyai pasukan penjaga yang
kuat, karena ini aku cuma terima orang-orang melarat, aku tolak tentara
negeri.”
In Lui masih muda sekali,
tidak pernah ia pikirkan siasat semacam itu, karenanya ia melengak mendengar
pembicaraan Kim-too Ceecu yang dalam maksudnya itu.
“Bagus, dia telah mendusin!”
tiba-tiba Ciu Kian berseru.
Memang benar si orang luka itu
membalikkan tubuhnya.
“Kamu siapa?” tanya dia
pertama kali dia membuka mulutnya, suaranya serak. “Lekas pimpin aku, aku
hendak bertemu dengan Kim-too Ceecu!”
Ciu Kian girang.
“Akulah Kim-too Ceecu,” ia
perkenalkan dirinya.
Orang itu segera
menanya,”Apakah kau tahu cucu perempuan dari In Ceng yang bernama Lui? Tahukah
kau dimana dia berada?”
In Lui terkejut.
“Aku adalah In Lui!” ia segera
menjawab.
Dengan mendadak orang itu
pentang lebar matanya.
“Kau In Lui?” katanya. “Bagus!
Bagus! Mati pun aku meram! Kakakmu masih hidup, sekarang dia telah pergi ke
kota raja untuk turut dalam ujian, maka lekaslah kau pergi susul dia!”
Kembali si nona terkejut.
Memang ia tahu yang ia masih mempunyai satu saudara lelaki, dan usianya lebih
tua, namanya In Tiong, akan tetapi waktu kakaknya itu berumur lima tahun,
ayahnya telah mengirimkan dia pada satu suhengnya, kakak seperguruan, untuk
dijadikan muridnya. Hal ini ia baru tahu kemudian, sesudah ia dengar keterangan
gurunya..
Sama sekali Hian Kie It-su,
guru In Teng, mempunyai lima murid. In Teng keluar dari perguruan sebelum
tamat, dia pergi ke negeri asing untuk menolong ayahnya, In Ceng. Empat murid
lainnya, masing-masing mendapat serupa kepandaian istimewa. Tiauw Im adalah
murid yang kedua, dia mendapat ilmu tongkat Hok-mo-thung serta gwa-kang, ilmu
tenaga luar. Cia Thian Hoa yang ketiga, bersama Hui-thian Liong-lie, yang
keempat, berdua mereka peroleh ilmu pedang. Murid kesatu adalah Tang Gak, dia
diberi pelajaran Tay-lek Eng-jiauw-kang, Tenaga cengkraman garuda, dari ilmu
slat Kim-kong-ciu, Tangan Arhat. In Tiong telah dikirim kepada Tang Gak ini.
Sejak Tang Gak tiba di Mongolia, dari mana ia berpesiar ke perbatasan Tibet,
untuk selama sepuluh tahun, selama itu tidak pernah ada kabar ceritanya, maka
itu apakah In Tiong sudah mati atau masih hidup, orang tidak mengetahuinya.
Siapa tahu sekarang mendadak datang kabar dari orang yang tidak dikenal ini.
In Lui menjadi girang
berbareng heran.
“Kau siapa?” ia tanya.
“Aku adalah suheng dari
kakamu,” ia berikan jawaban.
“Ah! Kalau begitu, kau juga
adalah suhengku.” Ia beritahu. Tadinya ia niat menanyakan lebih jelas,
tiba-tiba ia tampak matanya menjadi putih mencilak, lalu dengan lebih serak,
suheng itu berkata,” Masih ada kabarku yang lebih penting pula. Bangsa Tartar
berniat mengurung gunungmu, untuk merusak bendungan air.”
“Tentang itu, aku telah
ketahui dari siang-siang,” Ciu Kian beri keterangan. “Dapatkah kau dengar suara
ledakan? Itu tandanya pihakku telah peroleh kemenangan.”
Orang itu tersenyum, ia
perlihatkan roman girang.
“Musuh juga akan mengerahkan
angkata perangnya untuk menggempur kerajaan Beng,” dia masih menerangkan lebih
jauh. “Kau …..kau mesti berdaya untuk memberi kisikan kepada Sri Baginda.
Di……d…..di badanku ada sepucuk surat untukmu…… Bagus, aku telah bertemu dengan
kamu, bolehlah aku pergi.”
Suaranya semakin perlahan,
begitu ia berhenti bicara, ia tersenyum pula, habis itu, kedua matanya
dimeramkan kembali.
Secara demikian dia berpulang
ke alam baka.
Ciu Kian terharu, ia menghela
napas. Ia ambil surat yang dimaksudkan, ia menekes batu untuk menyalakan api.
“Inilah surat toa-supeehmu,”
ia kata.
Surat itu ditulis dengan huruf
“Co-jie” suatu tanda ditulisnya lekas-lekas. Ciu Kian lantas sobek sampulnya,
untuk membaca suratnya. Mula-mula ia baca, “Gak adalah seorang gunung. Ia
titipkan dirinya di padang pasir, cita-citanya besar, akan tetapi akhirnya,
dengan arak ia membuat dirinya sinting selalu. Seumurnya tidak ada yang Gak buat
menyesal, kecuali belum pernah berkenalan dengan tuan.”
Di dalam hatinya, Ciu Kian
berpikir,” Tang Gak ini mempunyai cita-cita luhur.” Ia membaca terus,” Walaupun
tuan dengan aku belum pernah bertemu, akan tetapi dari saudara Thian Hoa,
tahulah aku tentang kegagahan tuan yang kaum kang-ouw mengaguminya. Benar tuan
telah berdiri sendiri dengan menduduki sebuah gunung dengan menolak bangsa Han
dan menentang bangsa asing, akan tetapi aku tahu pasti tuan tak sudi melihat
bangsa asing meluruk ke selatan untuk menggembala kuda hingga kesudahannya
Tionggoan nanti berubah Han menjadi asing.”
Ciu Kian menghela napas.
“Sungguh orang ini mengenal
diriku.” Ia kata. Ia membaca pula,” Di negara Watzu setelah perdana menteri To
Hoan menutup mata, puteranya yang bernama Ya Sian telah menggantikannya,
mulanya sebagai menteri, belakangan dia angkat dirinya guru negara, hingga dia
pegang kekuasaan atas pemerintahan dan tentara. Dia telah menyiapkan angkatan
perangnya dengan maksud menyerbu Tionggoan. Sekarang dia mengumpulkan rangsum
dan lain-lainnya, hingga rasanya tak lama lagi ia akan mulai menggerakkan
tentaranya itu. Musuh tangguh sudah seperti di depan pintu kota perbatasan,
akan tetapi di dalam pemerintahan, menteri-menteri tengah bermabuk-mabukan,
mereka seperti tengah bermimpi adakah itu bagus?”
Jago tua itu berpikir keras.
Memang kelihatan, kaum dorna tengah main gila. Ia membaca lebih jauh,” Muridku
In Tiong berniat keras membalas dendam, ia telah berangkat pulang ke dalam
negeri, tetapi dia masih muda dan pengalamannya kurang, dia tak tahu bahwa yang
berkuasa adalah kaum dorna, aku kuatir dia nampak kegagalan. Maka itu, semoga
tuan ingat kepada sahabat lama, sukalah kau mendidik dia. Gak pun dengar,
saudara In Teng masih mempunyai satu anak perempuan bernama Lui, andai kata
tuan ketahui dimana adanya anak itu, tolong beritahukan padanya tentang
kakaknya ini. Aku menyesal mengenai sutee Thian Hoa, sejak pertemuan kita di
perbatasan pada sepuluh tahun yang lalu, sampai sekarang ini terputuslah
perhubungan kita. Cerita di luaran mengatakan dia telah terbinasa di tangan
pengkhianat she Thio atau ia telah tertawan dan terkurung di dalam istana
bangsa asing. Gak sekarang bersendirian saja, aku tidak sanggup berbuat suatu
apa, dari itu Gak mohon sukalah tuan mengabarkan kepada sutee Tiauw Im dan
sumoay Eng Eng agar mereka lekas berangkat ke negara asing. Semua ini, aku
mohon bantuan tuan, untuk itu, tak berani aku menghaturkannya terima kasih.”
Habis membaca, Ciu Kian
menghela napas.
“Jikalau demikian adanya,”
kata In Lui, “baiklah aku pergi dulu ke kota raja untuk mencari kakakku.”
Orang tua itu lirik si nona,
ia berpikir.
“Begitupun baik,” sahutnya
setelah lama berpikir.
In Lui heran melihat wajah
orang tua itu.
“Rasanya aku dapat menduga
niat kakakmu itu,” kata Ciu Kian kemudian. “Kabarnya raja yang sekarang sedang
mencari orang-orang pintar dan gagah, untuk itu ia berminat memberi hadiah yang
istimewa pada mereka yang tahun ini ikut ujian, setelah ujian umum, ia lantas
mengadakan ujian conggoan. Pasti kakakmu hendak ambil jalan melalui ujian itu
untuk memajukan dirinya, supaya kemudian ia dapat meminjam tenaga pemerintah
untuk mewujudkan pembalasan bagi engkongnya. Maksud ini baik, sayang kawanan
dorna sedang berkuasa, dari itu aku kuatir,dia tidak akan mendapat hasil.”
Orang tua ini mendongak,
melihat bintang-bintang. Tiba-tiba ia memandang In Lui.
“A Lui, pernahkah kau membaca
surat balasan Lie Leng kepada Souw Bu?” tiba-tiba ia bertanya.
Si nona manggut, memang ia
pernah membaca surat itu, karena engkongnya membandingkan dirinya dengan Souw
Bu, maka ia telah minta kepada engkongnya untuk menceritakannya.
“Masa dulu Lie Leng, dengan
tentaranya telah melawan bangsa Ouw,” berkata Ciu Kian. “Serdadunya cuma lima
ribu jiwa, tapi ia melawan musuh dengan tentara sepuluh laksa jiwa, bisa
dimengerti kelemahannya. Walaupun demikian, ia masih bisa membinasakan panglima
dan merebut benderanya, mengejar sana mengejar sini, hanya pada akhirnya,
karena yang sedikit tidak dapat melawan yang banyak, ia kehabisan tenaga dan
ditawan juga. Kalau diingat, besar jasa Lie Leng, tetapi pemerintah tidak
menghargainya, malah dia dihukum mati serumah tangganya, maka itu, ia jadi
putus asa, tak ada keinginannya untuk pulang ke negerinya. Dalam suratnya pada
Souw Bu, ia teringat kepada ibunya, kepada anak isterinya, ia sesalkan nasibnya
yang buruk. Maka itu, Lie Leng itu sungguh harus dibuat menyesal.”
Ia mendongak pula, ia menghela
napas.
“Susiok-couw,” berkata In Lui,
“ Kau tetap menentang tentara bangsa Ouw, mana bisa kau dipadu dengan Lie
Leng?”
“Kau belum tahu tentang aku,
anak,” kata Ciu Kian. “Dalam usiamu tujuh tahun, kau telah mendengar riwayat
engkongmu, maka sekarang, akan aku tuturkan tentang diriku. Dahulu di masa aku
menguasai kota Gan-bun-kwan, pernah aku melakukan peperangan besar dan kecil
sampai beberapa pulu kali, setiap kali berperang, tentu aku peroleh kemenangan,
maka sungguh tak diduga, oleh karena mendengar hasutan, raja telah memecatku.
Bagiku, kejadian itu tidak berarti apa-apa. Tapi engkongmu? Dia bandingkan
dirinya dengan Souw Bu, tapi dia mengalami lebih hebat, dia dihadiahkan
kematian! Apakah ini adil? Karena itu, aku lantas tinggalkan Gan-bun-kwan.
Awalnya, aku tidak mempunyai pikiran untuk menduduki gunung, siapa tahu, raja
Beng berbuat sama seperti raja Han terhadap Lie Leng. Keluargaku semua telah
dihukum mati! Syukur satu bujangku yang setia berhasil menolong puteraku!
Dialah orang yang memancing kau mendaki gunung”
In Lui terharu sehingga ia
mengalirkan air mata. Ketika ia memandang jago tua itu, wajah Ciu Kian muram,
jago itu membungkam. Tapi kemudian, dengan goloknya Ciu Kian menunjuk
benderanya yang melambai-lambai ditiup angin malam yang dingin. “Lihat di sana,
benderaku tetap bendera Jit Goat Kie!”
In Lui angkat kepalanya, ia
turut memandang bendera itu dengan matahari dan bulan sabitnya. Yang luar biasa
adalah huruf ‘jit’ (matahari) dan goat (rembulan) apabila keduanya digabung
menjadi satu, kedua huruf itu menjadi huruf “Beng” (terang), tetapi disini
diartikan Beng dari kerajaan Beng.
“Kiranya sekalipun susiok-couw
menjadi berandal, masih kau tak melupakan kerajaan kita!” ia kata.
Ciu Kian tidak menjawab, ia
hanya berkata,” Kalau nanti kau dapat cari kakakmu itu, katakan padanya supaya
dia jangan turut dalam ujian buconggoan, tapi lebih baik dia kembali, untuk
datang padangku di sini. Pemerintah sangat tidak berbudi, buktinya lihat yayamu
itu! Apakah itu tak dijadikan contoh untuk hati menjadi ciut?”
Si nona mengangguk.
“Susiok-couw benar” sahutnya.
Ciu Kian lipat suratnya, ia
masukkan itu ke dalam sakunya.
“Samsusiok Cia Thian Hoa-mu
gagal, dia juga orang yang aku kagumi.” dia berkata pula. “Aku ingat pada
sepuluh tahun yang lampau, bersama-sama Tiauw Im Taysu, dia telah membuat
janji, yang satu memelihara anak tunggal, yang lain menuntut balas. Sekarang
ini Tiauw Im Taysu sudah menitipkan kau kepada adik seperguruannya yang
perempuan untuk merawat kamu, akan tetapi tentang pembalasan dari Thian Hoa,
entahlah! Tidakkah ini membuat orang berduka?”
“Nanti aku beritahukan
guruku,” kata In Lui, “biar ia bersama ji-supeeh pergi ke perbatasan untuk
mencari sam-supeeh.”
“Kau, sendirian saja, mana
dapat kau bekerja untuk dua jurusan?” kata Ciu Kian. “Begini saja. Pergi kau
cari kakakmu, aku yang akan memberitahukan kepada gurumu.”
“Itulah lebih baik. Baiklah
besok aku akan berangkat.”
Ciu Kian tertawa.
“Kau masih mempunyai waktu
beberapa hari,” katanya. “Dalam hal ilmu silat, kau lebih pandai, tapi tentang
pengalaman, kau perlu belajar dari aku!”
Waktu cuaca makin terang dan
dentuman sudah mulai sepi, Ciu Kian dan In Lui kembali ke pesanggrahan.
Tepat tengah hari, tentara
yang bersembunyi di empat penjuru sudah kembali dengan warta kemenangannya yang
besar, tentara Mongolia dihajar kocar-kacir dan banyak yang tertawan berikut
kudanya. Karena itu, Ciu Kian menitahkan untuk memberi hadiah, hingga ia
menjadi repot untuk beberapa saat.
“Kau benar gaga, tetapi
mengenai seluk-beluk kaum kang-ouw, kau masih kurang,” berkata pula Ciu Kian
sambil tertawa. “Nanti aku suruh San Bin mengajarkan padamu.”
In Lui cerdas, dengan gampang
ia dapat mengerti, maka baru tiga hari,m ia sudah tahu segala apa mengenai kaum
kang-ouw.
Ciu Kian masih kuatirkan orang
kurang pengalaman, kenalan pun ia tak mempunyai banyak, dari itu ia serahkan
sebuah benderanya, bendera Jit-goat-kie.
“Semua orang kaum kita di lima
propinsi utara, baik dari kalangan darat maupun sungai, apabila mereka lihat
bendera ini, pasti mereka akan suka mengalah,” ia beri keterangan. “Umpama kata
kau menghadapi ancaman bahaya, kau keluarkan saja bendera ini. Cuma ingat,
tidak dapat kau keluarkan secara sembarangan.”
In Lui terima bendera itu, ia
haturkan terima kasihnya, akan tetapi, di dalam hatinya, ia berpikir,” Aku
hendak merantau, aku membutuhkan pengalaman, perlu apa aku dengan perlindungan
bendera ini?” Tapi tidak ia utarakan pikirannya ini.
Ciu Kian juga keluarkan
beberapa potong pakaian orang lelaki, emas dan perak serta permata. Sambil
tertawa ia kata,” Satu nona tunggal membuat perjalanan ke kota raja, kau mudah
membangkitkan perhatian orang, maka itu perlulah kau salin pakaian, untuk
menyamar sebagai satu pemuda. Uang dan permata ini, kau boleh simpan untuk
dipakai di tengah perjalanan.”
In Lui angggap salin pakaian
adalah benar, maka ia tidak membantah. Ia dandan dengan lantas. Ia terima
bekalan itu. Segera ia memberi hormat, untuk pamitan.
“San Bin, pergi kau antar
serintasan!” Ciu Kian titahkan.
Demikian In Lui keluar dari
pesanggrahan, ia menunggan kuda pilihannya, maka itu, pada waktu tengah hari ia
sudah melintasi Gan-bun-kwan.
“Siok-hu, silahkan kau
kembali!” ia minta pada pengantarnya.
San Bin mengawasi dengan
tajam.
“Kau harus lekas kembali”
katanya, suaranya dalam. Ia tidak lantas putar kudanya, sebaliknya, ia jalan
terus berendengan dengan si nona, agaknya ia berat untuk berpisah.
“Siok-hu, terima kasih untuk
kebaikanmu,” kata In Lui. “Silahkan kembali!”
Tiba-tiba wajah San Bin
bersemu merah, lalu ia tertawa sendirinya.
“Sebenarnya perbedaan usia
kita berdua tidak seberapa,” berkata dia. “Di antara kita ada tingkat, karenanya
kita bukan lagi saudara. Coba kita bicara hanya hal umur, lebih tepat kita
menjadi kakak dan adik.”
In Lui menjadi heran.
Tiba-tiba ia ingat, selama beberapa hari, San Bin berlaku luar biasa baik
terhadapnya. Di dalam hatinya, ia kata,” Paman ini seorang yang baik, sayang
cara bicaranya tidak ada batasnya.”
Muda usianya si nona, ia tidak
dapat berpikir lebih dalam.
“Siok-hu, apakah kau tidak
suka aku memanggil paman kepadamu?” tanyanya sambil tertawa. “Baiklah, lain
kali aku kembali, aku akan bicara dengan susiok-couw supaya kita mengubah
panggilan kita.”
Kembali muka San Bin merah.
In Lui tertawa, terus ia pecut
kudanya untuk dilarikan. Ketika ia berpaling, nampak Ciu San Bin masih duduk
diam di atas kudanya sambil mengawasinya.
Tiga hari In Lui melakukan
perjalanan, pada hari ketiga ia tiba di Yang-kiok yang ramai, setibanya di
dalam kota, nampak banyak rumah makan. Ia lantas merasa lapar.
“Sudah lama aku dengar arak
hun-ciu dari Shoasay sangat tersohor, hari ini aku mencobanya,” pikir nona ini.
Lantas ia hampirkan sebuah rumah makan yang di depannya tampak ditambatkan
seekor kuda putih, putih juga keempat kakinya, roman kudanya pun bagus. Ia
menghampiri lebih dekat. Justeru itu matanya bentrok dengan satu tanda rahasia
orang kang-ouw di tembok, ia jadi heran. Dengan tenang, ia bertindak masuk,
hingga ia dapatkan tempat di pojok selatan, dekat dengan jendela, duduk satu
anak sekolah yang sedang minum seorang diri, sedang di sebelah timur duduk dua
orang laki-laki yang tubuh dan romannya kasar, yang satu kurus, yang lain
gemuk, keduanya minum dengan asyik. Tetapi di mata si nona, mereka itu ternyata
sering-sering melirik pada si mahasiswa.
Anak sekolah itu indah
pakaiannya, dia mirip dengan seorang putera hartawan. Dia juga minum seorang
diri, secawan demi secawan, sampai tubuhnya nampak sedikit limbung, suatu tanda
bahwa ia telah menenggak terlalu banyak.
Tiba-tiba si anak muda ini
menyanyi,” Tuhan wariskan kita kepandaian, itu mesti ada gunanya. Kalau seribu
emas dihabiskan, itu mesti dapat balik kembali. Memasak kambing, menyembelih
kerbau, untuk berpesta bersenang-senang, maka itu haruslah diminum habis tiga
ratus cangkir.”
Ia lantas goyang-goyangkan
kepalanya, nampaknya ia tolol. Kembali ia teguk satu cawan, hingga
tenggorokannya berbunyi.
Di dalam hatinya, In Lui
berkata,” Siucay ini benar-benar tolol, ia tidak insyaf bahwa ini membahayakan
perjalanannya. Dua penjahat sedang pasang mata terhadapnya, tapi ia masih
tungkuli araknya saja.”
Si kurus di timur itu
terdengar berseru,” Minum habis tiga ratus cangkir! Bagus! Hai, saudara, lain
orang minum tiga ratus cangkir, kau sendiri, tiga cangkir kau masih belum
tenggak!”
Sang kawan, si gemuk,
berjingkrak.
“Kau ngaco!” tegurnya. “Kau
cuma minum satu cawan, kau suruh aku habiskan tiga!”
“Tapi kau harus ingat, kau
lebih besar tiga kali lipat daripadaku!” kata si kurus. “Aku minum satu cawan,
kau sendiri mesti tiga, tak boleh kurang.”
“Angin busuk! Angin busuk!” si
terokmok mendongkol. “Tidak, aku tidak mau minum!”
“Eh, kau tidak mau minum?”
tanya si kurus.
Gusar si terokmok, ia menolak
dengan keras, maka arak tumpa menyiram tubuhnya.
Si kurus melawan, mereka
berdua jadi bergumul, keduanya terhuyung hingga melanggar si mahasiswa.
“Kurang ajar!” anak sekolah
itu membentak. Ia gusar, ia bangkit.
Berbareng dengan itu terdengar
suara barang jatuh, itulah kantong sulam si anak muda dari mana meletik keluar
sepotong emas serta serenceng mutiara. Emas masih bagus tapi mutiara itu, di
antara sinar matahari, sudah bercahaya terang sekali.
Si anak muda angkat kakinya,
untuk menginjak kantongnya, lalu ia membungkuk untuk menjemput emas dan mutiara
itu.
“Kamu hendak merampas?” ia
berseru.
Dua orang itu berhenti
bergumul.
“Siapa yang merampas
barangmu?” bentak mereka. “Kau berani tuduh orang? Nanti aku hajar padamu!”
Beberapa tamu lain lantas
maju, untuk memisahkan.
In Luin tertawa menyaksikan
pertunjukan itu. Di matanya, sudah terang si gemuk dan si kurus itu adsalah dua
penjahat, mereka sengaja bergumul untuk menjatuhkan kantong uang orang untuk
dirampas, sedikitnya untuk mengetahui lebih dahulu, kantong itu kosong atau
berisi, akan tetapi tak kesampaian maksud mereka. Di dalam hatinya ia berkata,”
Di sini ada aku, tidak nanti aku biarkan kamu mencapai maksudmu.”
Nona ini bangkit, untuk menghampiri.
Dengan kedua tangannya, ia tolak si gemuk dan si kurus itu.
“Kamu mabuk arak, kenapa kamu
bergumul hingga ke tempat orang lain?” ia tegur mereka. Sambil berkata begitu,
dengan sebat tangannya meraba saku kedua orang itu, akan rampas uangnya. Tidak
ada orang yang melihat perbuatannya ini.
Ditolaknya dada kedua orang
itu, mereka merasa sakit, hingga mereka jadi kaget, karena mana, tidak berani
mereka beraksi lebih jauh.
“Siapa suruh dia menuduh kita
merampas...” mereka mendumal.
“Sudah, sudahlah!” kata
seorang tam. “Kamu telah menubruk orang, kamu yang bersalah. Baiklah kamu
pulang, untuk minum arak di rumah saja.”
Si mahasiwa angkat cawannya.
“Saudara, mari minum!” ia
mengundang, suaranya menyiarkan bau arak yang keras.
“Terima kasih,” sahut In Lui.
Ia duduk pula di kursinya, dari situ ia awasi kedua orang itu.
Kedua orang ini terang masih
mendongkol, mereka memandang orang dengan sorot mata tajam. Lalu satu di
antaranya teriaki tuan rumah untuk membuat perhitungan.
Orang yang kedua, si kurus,
meraba sakunya. Rupanya ia hendak mengeluarkan uang. Tiba-tiba ia melengak,
wajahnya menjadi pucat.
Si gemuk lihat roman orang, ia
terkejut. Ia lantas raba sakunya. Ia pun melongo dengan mendadak. Sebab ia pun
dapatkan sakunya kosong. Keduanya lantas saling mengawasi, mulut mereka
bungkam.
“Sama sekali satu tail tiga
chie,” kata tuan rumah, yang menghampiri kedua tamunya itu.
Kedua orang itu menyeringai,
tangan mereka masih belum ditarik keluar dari saku mereka.
“Tuan-tuan, semua menjadi satu
tail tiga chie,” kata pula si tuan rumah.
“Apakah boleh kami bayar lain
hari saja?” tanya si kurus akhirnya.
Tuan rumah memperlihatkan
roman heran, habis itu ia tertawa dingin.
“Kalau setiap tamu berhutang,
tidakkah kami balak makan angin?” kata dia.
Jongos, yang tidak senang,
turut bicara,” Apakah kamu berdua bukannya sengaja hendak mengganggu kami? Kamu
sudah minum dengan puas, lalu berkelahi, menubruk orang, sekarang kamu juga
hendak menganglap! Jikalau kamu tidak punya uang, buka saja bajumu!”
Kasar suara jongos ini, tetapi
ia membuat tamu-tamu lain tertawa, hingga ruangan menjadi ramai.
“Memang mereka berdua yang
salah.” ada orang yang turut bicara.
Melihat suasana buruk, kedua
orang itu membuka bajunya.
“Dua potong baju saja belum
cukup!” kata si jongos, yang tahu-tahu sudah menyambar kopiah orang, lalu dia
menambahkan,” Dasar kita yang lagi sial! Nah, sudah, pergilah kamu!”
Merah muka kedua orang itu,
terpaksa mereka ngeloyor pergi.
Puas In Lui menyaksikan
kejadian itu, ia keringkan lagi dua cawan. Ketika ia menoleh pada si anak
sekolah, dia itu masih duduk minum. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Terang sudah
kedua orang itu adalah orang-orang jahat, mereka mesti orang-orang bawahan,
kena dihina, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi sepulangnya mereka
mungkin mereka mengadu kepada kepalanya. Aku sendiri tidak takut, tapi
bagaimana dengan anak sekolah itu? Ia terancam bahaya.”
Karenanya ia bangkit, ia
teriaki tuan rumah,” Berapa aku telah minum?” Ia sudah ambil keputusan akan
susul kedua orang itu.
Tuan rumah menghampiri dengan
wajah berseri-seri. Ia telah lihat pakaian orang yang indah.
“Semuanya satu tail dua chie,”
ia jawab.
In Lui merogoh sakunya. Di
situ ia taruh uang dari Ciu Kian. Tiba-tiba ia tercekat, sakunya kosong. Maka
lekas ia rogoh saku kiri. Di sini ia taruh uang dari dua orang tadi. Kembali ia
terkejut, uang copetannya juga lenyap. Tanpa merasa, ia keluarkan keringat
dingin.
Tuan rumah mengawasi dengan
heran. Dari dandanannya, ia tidak percaya bahwa ia sedang menghadapi seorang tukang
anglap lain.
“Apakah tuan tidak punya uang
kecil?” dia tanya. “Uang goanpo juga boleh, dapat aku menukarnya.”
Bingung In Lui, takut ia nanti
disuruh buka pakaian.
Tuan rumah mengawasi orang
merogoh dan merogoh lagi ke kedua sakunya, akhirnya ia menjadi curiga.
“Kau kenapa, tuan?” dia tanya,
suaranya tawar.
Justeru itu si mahasiswa
menghampiri, sambil tertawa ia berkata,” Di empat penjuru lautan semua orang
bersaudara. Uang seribu tail dibuyarkan pun bisa didapat kembali. Biarlah aku
yang tolong bayarkan uang araknya engko kecil ini.”
Ia rogoh sakunya akan
keluarkan sepotong perak berat kira-kira sepuluh tail. Ia lemparkan perak itu
pada tuan rumah.
“Ini uangnya,” katanya.
“Lebihnya kau boleh ambil!”
“Terima kasih! Terima kasih!”
ia mengucap berulang-ulang.
Merah muka In Lui.
“Terima kasih,” ia pun
menghaturkan terima kasih.
“Tak usah,” kata si anak muda,
tenang. “Aku hendak mengajarkan kau satu rahasia. Yaitu lain kali kalau pergi
minum arak, harus kau pakai baju dua rangkap, dengan begitu, jangan kuatir
apa-apa lagi di waktu hendak membayar uang arak.”
Di waktu bicara, kembali
mulutnya berbau arak keras. Ia tetap berlaku tenang habis bekata, tanpa
perdulikan lagi si anak muda, ia ngeloyor pergi.
In Lui mendongkol bukan main,
ia jengah.
“Satu anak sekolah tidak tahu
aturan,” pikirnya. “Coba tadi aku tidak tolong padamu, pasti uangmu telah orang
rampas.” Kemudian ia mengawasi sekitarnya, ia tidak melihat tamu yang
mencurigakan. Ia jadi putus asa. Dengan masih mendongkol dan masgul, ia pun lantas
angkat kaki, dengan menunggang kudanya, ia lanjutkan perjalanannya. Bingung
juga ia karena sekarang ia tidak punya uang.
Setibanya di luar kota, In Lui
lihat si anak muda yang bersama kudanya yang putih berada di sebelah depan.
“Bukankan dia yang telah main
gila?” tiba-tiba ia curiga. “Tapi dia tak mirip sama sekali.”
Ia larikan kudanya, untuk
menyusul mahasiswa itu, lalu ia mencambuk si anak sekolah.
Inilah satu ujian. Kalau si
anak muda seorang lihai, ia mesti dapat egoskan tubuhnya akan tersingkir dari
ancaman bencana.
Sekonyong-konyong si anak muda
menjerit, ia tidak berkelit dari cambuk itu, tubuhnya lantas saja terhuyung,
hampir ia jatuh dari atas kudanya.
“Maaf, aku kesalahan!” berkata
In Lui. “Aku tidak sengaja.”
Mahasiswa itu menoleh.
“Ah, orang yang hendak
menganglap.” katanya. “Jangan kau ikuti aku karena aku mempunyai uang, dengan
uangku aku hanya hendak ikat persahabatan. Orang semacam kau, yang sudah
menganglap dan sekarang juga memukul orang denganmu tak suka aku bersahabat!”
In Lui mendongkol berbareng
merasa lucu.
“Apakah kau masih sinting?” ia
tanya.
Si mahasiswa tidak menjawab,
ia hanya mengoceh seorang diri,” Dengan golok membacok air, air tak terputus
hanya mengalir terus. Angkat cawan meminum arak, untuk melenyapkan kedukaan,
tapi kedukaan tambah kedukaan. Memang hidup di dalam dunia sukar mendapatkan
kepuasan, maka lebih baik besok pergi main perahu! Eh, eh, tak sudi aku minum
arak bersama kau, tak sudi aku!”
Kelihatan nyata sintingnya
mahasiwa ini.
Bingung juga In Lui. Ia maju,
ia ingin pegang tubuhnya yang limbung di atas kuda itu. Atau mendadak si
mahasiswa jepit perut kudanya, hingga kuda itu melompat kabur.
Kuda In Lui adalah kuda
Mongolia pilihan, akan tetapi ketika ia kaburkan kudanya untuk menyusul, tidak
dapat ia susul si anak muda.
“Dia tidak mengerti silat,
tetapi kudanya jempolan sekali,” pikirnya.
Terpaksa ia jalan terus
seorang diri, pikirannya pepat.
Lama In Lui lanjutkan
perjalanannya, sampai ia melihat matahari merah mulai condong ke arah barat dan
dari sana-sini mulai terlihat asap mengepul, tanda orang sudah mulai menyalakan
api. Ia memikir untuk singgah pada seorang tani, tapi ia sangsi, bukankah ia
sudah tidak punya uang?
Ia masih jalan terus, sampai
mendadak ia mendengar kuda meringkik.
Nyata di sebelah depannya ada
pohon-pohon yang lebat, di situ ada sebuah kuil, dan di muka kuil itu seekor
kuda putih sedang makan rumput, ia segera mengenali kuda itu.
“Eh, ia pun ada di sini!”
pikirnya heran. “Orang-orang beribadat adalah orang-orang yang murah hati, baik
aku singgah di sini saja.”
Ia tambat kudanya di luar, ia
bertindak masuk ke dalam kuil setelah menolak daun pintu yang tertutup rapat.
Segera ia lihat mahasiswa lagi nongkrong di depan tabunan, dia sedang menambus
ubi.
Melihat si nona, atau lebih
benar si anak muda, anak sekolah itu perdengarkan suaranya. “Dimana hidup bisa
tak bertemu denganmu? Ah, ah, kembali kita bertemu pula!”
In Lui mengawasi.
“Apakah kau telah sadar dari
sintingmu?” dia tanya.
“Eh, kapan aku sinting?” si
anak sekolah membaliki. “Aku tahu kau adalah si orang yang menganglap.”
In Lui mendongkol.
“Kau tahu apa?” katanya
nyaring. “Ada orang jahat mencopet uangku!”
Berjingkrak si mahasiwa, ia
melompat bangun.
“Apa?” serunya. “Ada orang
jahat? Di kuil ini tidak ada pendetanya, kalau penjahat datang, sungguh hebat!
Tidak, aku tidak mau berdiam di sini.”
In Lui mendongkol berbareng
geli hatinya.
‘Kau hendak pergi kemana?” dia
tanya. “Begitu kau keluar dari sini, penjahat akan membegal dirimu! Tidak ada
orang yang dapat menolongi kau! Dengan ada aku di sini, seratur penjahat pun
aku tidak takut.”
Si mahasiwa pentang matanya
lebar-lebar, sekonyong-konyong ia tertawa.
“Jikalau kau mempunyai
kegagahan seperti itu, kenapa kau anglap barang makanan orang?” dia tanya.
“Sebab ada copet yang mencuri
uangku,” In Lui akui.
Mahasiwa itu tertawa
terpingkal-pingkal, lantas dia tunjuk orang di hadapannya ini.
“Kau tidak takuti seratus
penjahat, tetapi uangmu dicopet orang!” katanya. “Hahaha! Nyata kepandaianmu
mendusta ada terlebih lihai dari pada kepandaianmu menganglap!” Nampaknya dia
hendak berlalu, tetapi dia batal sendirinya. Dia tambahkan,” Tak sudi aku
mendengar kau! Dunia begini aman, dimana ada segala tukang copet?”
Dan dia balik-balikkan ubi
bakarnya.
Bukan kepalang mendongkolnya
In Lui. Tak dapat ia gusar karena kata-kata orang itu beralasan. Tapi tak dapat
ia diam saja menahan kemendongkolannya.
“Kau tidak percaya, ya
sudahlah!” katanya. “Akupun tak perlu kau mempercayaiku!”
Ubi bakar itu harum sekali,
terseranglah nafsu makan In Lui. Ia memang telah melarikan kudanya lama dan
telah datang rasa laparnya, harum ubi itu menambah hebat nafsu makannya. Ia
menelan ludah tetapi tidak berani ia membuka muluntya. Orang sudah mengatakan
ia si tukang anglap. Tapi itu adalah satu kuil kosong, tidak ada pendetanya,
dimana disitu ia bisa cari makanan untuk menangsal perutnya?
In Lui menderita, apa pula ia
melihat orang mulai makan ubinya yang harum itu. Sambil makan, mahasiswa itu
mengoceh seorang diri. “Arak memang dapat membuat orang sinting. Ikan dan
daging memang lezat. Sungguh wangi, sungguh wangi!”
In Lui deliki orang itu,
lantas ia melengos.
Tiba-tiba si mahasiwa
berkata,” Eh, tukang anglap, aku bagi kau ubi ini!” Dan lantas ia lemparka
sepotong ubi yang masih panas.
“Siapa kesudian makan ubimu?”
bentak In Lui. Ia tidak sambuti ubi itu, hanya sambil menelan ludah, ia duduk
bersila, matanya melihat hidung, hidungnya melihat hati. Dengan begitu, sambil
bersemedhi dapat ia kuasa rasa laparnya. Ia malah cepat merasa lega hati,
hingga ia bisa buka kedua matanya. Sekarang ia dapatkan si mahasiswa sedang
rebah tidur, ubinya terletak di sampingnya.
Melihat demikian, In Lui ulur
lidahnya. Ia juga hendak ulur tangannya ketika ia lihat si anak sekolah
membalikkan tubuhnya. Dia tidak bangun, tapi dia tidur pula.
“Setan alas!” kata In Lui
dalam hatinya. “Biar aku kelaparan satu malam, toh tidak jadi apa!”
Si mahasiswa tidur dengan
mengorok, suaranya sangat berisik. In Lui ingin tidur, tetapi tidak bisa. Ia
awasi tubuh orang itu.
“Tetapi dia ini aneh,” ia
pikir tentang anak sekolah ini. “Dia berpakaian indah, uangnya pun nampaknya
banyak. Kenapa ia membuat perjalanan tanpa ada pengantarnya? Kenapa ia berani
mondok di kuil ini, di tempat begini sepi? Kenapa dia justeru makan ubi yang idak
ada harganya? Apa mungkin dia mengerti silat tetapi ia sengaja berpura-pura?
Melihat romannya, tak mestinya dia mengerti ilmu silat.”
In Lui bangkit. Timbul di
otaknya pikiran untuk menggeledah anak sekolah itu. Justeru itu, kembali si
anak mudah membalikkan tubuhnya.
“Jikalau ia mendusin, bukankah
ia akan sangka aku hendak mencuri uangnya? “ ia ragu-ragu. Ia sudah maju tiga
tindak, kemudian mundur lagi dua tindak.
Tiba-tiba terdengar satu suara
keras dari luar kuil, entah suara apa itu.
In Lui menoleh, ia tidak
melihat apa-apa, ketika ia berpaling kepada si mahasiwa, dia ini tetap tidur
mendengkur bagaikan babi.
“Sebenarnya aku tidak mau
ambil mumat padamu,” pikirnya kemudian, “ akan tetapi aku kasihan padamu.
Hitung saja untungmu bagus, baiklah nonamu akan talangi kau menangkis si orang
jahat!”
Tanpa ragu-ragu, In Lui lari
keluar, kemudian ia lompat naik ke atas sebuah pohon, di atas itu ia
sembunyikan diri sambil memasang mata. Ia mencurigai suara itu.
Ketika itu cahaya rembulan
tampak remang-remang dbantu sinar bintang, In Lui segera melihat datangnya dua
orang, muka mereka ditutupi topeng.
“Dengan melihat kuda putih
itu, terang sudah dia ada di sini,” begitu terdengar seorang berkata.
“Bagaimana jika dia tidak suka
menurut?” tanya yang lain.
“Jikalau tak dapat dengan cara
baik, terpaksa kita mesti ambil batok kepalanya!” menyatakan orang yang pertama
bicara.
“Bagaimana dapat kita berbuat
begitu?” berkata pula kawannya. “Apakah tak cukup kita lukai saja padanya?”
In Lui gusar mendengar
pembicaraan itu.
“Sungguh jahat kamu!”
pikirnya. “Sudah hendak merampas harta orang, juga kamu menghendaki jiwanya!”
Tiba-tiba salah satu di
antaranya berseru,” Awas! Di atas pohon itu ada orang!”
In Lui berlaku sebat, dua
batang piauwnya, Ouw-tiap-piauw (piauw kupu-kupu) telah dilepaskan.
Dua orang bertopeng itu gesit,
mereka berhasil berkelit.
In Lui penasaran, sambil hunus
pedangnya, ia lompat turun, untuk serang dua orang yang ia percayai merupakan
orang-orang jahat.
Dua orang itu, yang satu mencekal
tongkat besi, yang lain sepasang gaetan, menangkis serangan itu. Maka
bentroklah pelbagai senjata itu. Mereka lantas saja menjadi kaget. Sebab yang
bersenjatakan tongkat, tongkatnya somplak, yang mengenggam gaetan, gaetannya
tersampok mental, syukur tidak sampai terlepas dari cekalan.
“Mereka lihai juga,” begitu
pikir In Lui yang merasakan tangkisan keras.
Kedua orang itu kaget, mereka
hendak tanya lawannya ini, tetapi tidak punya kesempatan. In Lui sudah lantas
menyerang dengan gencar.
Pedang In Lui adalah pedang
Ceng-beng, salah satu dari sepasang pedang Hian-Kee It-su, pedang ini tajam dan
biasanya dapat membabat kutung senjata biasa, tetapi karena tongkat itu besi
tua, tongkat si orang bertopeng tak bisa dibabat kutung, sedang sepasang gaetannya
hanya kena tersampok.
Orang yang bersenjatakan
gaetan sebat sekali, bagus juga permainan gaetannya, karena mengetahui pedang
lawan tajam, ia tidak mau membuat gaetannya kena tabas. Ia membalas menyerang,
ia lebih banyak berkelit daripada menangkis.
In Lui berkelahi dengan
gunakan ilmu silat Hui-hoa pok tiap atau Bunga terbang menyambar kupu-kupu. Ia
pun senantiasa menyingkir dari kedua macam senjata lawan itu, yang mencoba
mendesaknya.
Belum lama kedua orang
bertopeng itu sudah kewalahan, tidak perduli mereka dua orang dan mendapat
ketika baik untuk mengepung, terpaksa mereka main mundur, akan tetapi karena
mereka licin, tidak lantas mereka kena dipecundangkan.
In Lui menjadi penasaran
hingga ia kertak giginya. Kalau tadinya ia tidak memikir untuk mengambil jiwa
orang, sekarang ia tak gentar untuk melakukan itu. Begitulah, satu kali, ia
serang orang yang menggenggam sepasang gaetan dengan tipu silat Toat-beng-sin
atau Malaikat mencabut jiwa yang ia peroleh dari Hui-thian Liong Lie. Ia ingin
rubuhkan lawan yang satu dulu, baru nanti yang kedua.
Di luar dugaan nona ini, orang
bertopeng itu perlihatkan kelicinannya. Dia loloskan diri dari tikaman,
berbareng dengan itu, ia membalas dengan gaetannya yang kanan, yaitu selagi
pedang lewat, tidak mengenai gaetan kiri, gaetan kanan dipakai menggaet dan
menarik dengan keras.
Si nona kaget, hampir saja
pedangnya terlepas dari pegangannya. Ia kenali tipu silat gaetan itu adalah
salah satu dari tipu Tantai Mie Ming.
“Hai, apakah kamu murid-murid
Tantai Mie Ming?” ia tegur mereka. Ia desak yang memegang tongkat sambil
menyingkir dari orang yang menggenggam gaetan.
Orang yang pegang gaetan itu
menyahut dengan seruannya,” Nyata kau ketahui kita siapa! Karena itu, lain
tahun pada hari ini adalah hari peringatan satu tahun kematianmu!”
Dan seruan itu disusul dengan
serang hebat.
Merah mata In Lui, ia jadi
sangat gusar.
“Orang Tartar bernyali besar!
Cara bagaimana kamu berani nyelundup masuk ke Tionggoan? Apakah kamu sangka
Tionggoan sudah tidak ada manusianya?” dia berteriak. Dia pun balas menyerang
dengan dashyat.
Pertempuran berjalan seru.
Akan tetapi selang sekian lama, In Lui jeri sendiri. Ia lapar dan kurang tidur,
selang seratus jurus, ia menjadi lelah. Keringatnya pun mulai keluar. Di luar
sangkaannya, kedua musuh tangguh, rapi kepungan mereka. Dengan sendirinya, ia
jadi kena dikurung, percuma agaknya ia mempunyai pedang yang tajam itu.
“Pedang bocah ini bagus,” kata
lawan yang pegang tongkat,” bolehkah sebentar pedang itu diberikan kepadaku?”
“Boleh, boleh sekali!” sahut
kawannya. “Aku suka mengalah, suka aku berikan pedang itu kepada kau, akan
tetapi kau mesti berjanji, kalau sebentar kita bekuk dia, dia mesti diserahkan
padaku, kau mesti dengar perkataanku!”
In Lui mendongkol mendengar
ocehan itu, lebih-lebih perkataannya orang yang bersenjata gaetan itu.
Kata-kata bisa bermaksud buruk. Karenanya, ia ulangi serangannya yang dashyat,
ia desak lawan yang bersenjatakan tongkat itu.
“Aduh!” teriak lawan ini
ketika satu kali ia tangkis serangan-serangan dari tipu silat Hui pauw liu coan
atau Air tumpah terbang mengalir jadi selokan dan tangannya pun diturunkan.
In Lui gunakan ketikanya yang
paling baik, ia tunjukkan kesebatannya, meyusul itu, pedangnya menyambar ke
tenggorokan.
Tak sampai menjerit lagi,
lawan itu rubuh binasa.
Kaget lawan yang menggenggam
gaetan itu. Inilah hebat untuknya, sebab selagi ia berdiri ternganga, pedang
sudah menyambar pula, hingga gaetannya yang kiri kena terbabat kutung. Kali ini
ia tidak tercengang lagi, lantas ia melompat mundur, untuk memutar diri dan
angkat kaki panjang.
In Lui sedang murka, ia
menyerang dengan tiga batang Bwee-hoa Ouw-tiap-piauw, ia arah punggungnya, akan
tetapi terdengarlah suara nyaring beruntun, lantas ketiga piauw runtuh
sendirinya, entah kena terhajar apa. Maka dalam sekejap saja, musuh sudah
lenyap di tempat gelap.
Nona ini tak mengerti
sendirinya. Tak mengerti ia kenapa lawan yang bersenjata tongkat itu gampang
dikalahkan, mestinya ia masih sanggup bertahan.
“Apakah ada orang yang
membantu aku secara diam-diam?” ia berpikir. Ia juga heran atas runtuhnya
piauwnya barusan. Apa benar ada orang yang membantu dan berbareng menolong juga
lawannya itu? Tapi tampaknya tak beralasan, dugaan ini bertentangan dengan
kenyataan.
Lantas In Lui hampiri
korbannya, kemudian topengnya ia singkap dengan pedang. Ia lihat benar, orang
itu adalah orang Tartar. Maka terang sudah, orang ini bukan sembarang penjahat.
Siapa dia? Apa maksud mereka berdua?
Tanpa pikir panjang lagi, In
Lui menggeledah tubuh orang. Tapi ia tidak dapatkan apa-apa kecuali beberapa
tail perak hancur serta rangsum kering.
“Inilah kebetulan untukku!”
kata si nona, yang jadi tertawa sendirinya. Maka dia simpan uang dan makanan
rangsum kering itu.
Tidak lama, dari tempat
pohon-pohon lebat terdengar pula suara aneh seperti tadi, lalu muncul lagi dua
orang bertopeng, yang berlari-lari ke arah kuil.
“Sahabat sekawan, air
semangkok mesti diminum bersama!” demikian suara yang terdengar dari satu di
antara dua orang itu. Itu artinya, kedua orang itu mau minta bagian.
In Lui jadi mendongkol.
“Baik!” jawabnya. “Kamu
berjumlah berapa orang? Mari semua sama-sama minum!” Tapi mendadak ia sadar
bahwa ia sedang menyamar maka ia mengubahnya.
Kedua orang bertopeng itu
tertawa terbahak-bahak.
“Hahahaha! Ini barulah sahabat
baik! Kita harus sama-sama kalau punya makanan!”
Orang yang berkata-kata itu,
yang sudah lantas datang dekat, segera mengulurkan tangannya, untuk dipakai
menanggapi bagiannya.
In Lui tertawa dingin, ia
menyabet dengan pedangnya.
Orang bertopeng itu terkejut,
ia tarik kembali tangannya sambil lompat mundur. Tapi begitu ia lolos dari
bahaya, mendadak ia maju menyerang, tangannya merupakan bacokan. Sebab yang ia
gunakan adalah tipu silat Toa Kim-na-ciu atau Tangkapan tangan. Ia bertangan
kosong, lain dari kawannya yang mencekal sebilah golok.
In Lui terkejut, ia sodorkan
pedangnya guna menangkis sambaran itu.
“Awas, dia lihai!” berseru
orang yang pegang golok, yang terus membacok.
In Lui bela dirinya dengan
tipu silat Coan hoa jiauw sie atau Menembusi bunga dengan mengitari pohon,
dengan begitu ia dapat jauhkan diri dari lawannya yang pertama itu.
Nyata kedua lawan itu bukan
lawan-lawan yang ringan, syukur pedangnya lihai, hingga mereka itu kewalahan.
“Baiklah!” berseru lawan yang
bertangan kosong sesudah melalui lima puluh jurus. “Biarlah kau yang menelannya
sendiri. Tapi kau mesti beritahu she dan namamu agar kemudian kita bisa menjadi
sahabat!”
“Siapa sudi bersahabat dengan
kamu?” bentak In Lui. “Kejahatanmu hendak merampas barang dapat dimaafkan,
tetapi yang hebat adalah kamu telah bersekongkol dengan musuh untuk
mencelakakan negara!”
Kata-kata ini dibarengi dengan
serangan Hun-hoa hoat lie atau Memecah bunga, mengebut pohon, ujung pedangnya
menyambar ke kiri tetapi agaknya seperti menikam ke kanan. Tipu ini membuat
musuh bingung, hingga orang yang mencekal golok lantas saja berkaok keras,
karena lengannya kena tertikam, sampai goloknya jatuh terlempar.
Lawan yang bertangan kosong
itu licin, dengan ciutkan diri, ia lolos dari serangan yang saling susul, tapi
ia mash diserang berulang-ulang.
In Lui membuat orang tidak
berdaya, di saat ujung pedangnya hendak menusuk punggungnya, tiba-tiba ia
rasakan lengannya seperti digigit semut besar, karena mana, tak lurus lagi
serangannya, maka lawannya itu dapat berkelit pula, kali ini dia berkelit untuk
terus kabur, disusul kawannya yang terluka itu. Keduanya terus lenyap di antara
pohon-pohon yang lebat.
“Bangsat tukang bokong, keluar
kamu!” berteriak In Lui, yang tidak berniat mengejar musuh-musuhnya itu.
Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dibokong orang yang tidak dikenal.
Tidak ada jawaban atas cacian
itu, di sekitarnya keadaan sunyi.
Masih In Lui menanti sebentar,
apabila tetap tidak ada yang menyahuti, ia lihat lengannya yang terasa digigit
semut itu. Disitu ada sekelumit daging muncul, bengkak sebesar kacang kedelai.
Teranglah itu adalah hasil serangan gelap dari semacam senjata rahasia, hanya
entah siapa penyerang yang bersembunyi itu, dia terus tidak sudi perlihatkan
diri.
Tidak puas In Lui sekalipun ia
peroleh dua kali kemenangan, karena orang telah membokong dirinya, maka itu ia
kembali ke dalam kuil dengan perasaan mendongkol berbareng lesu. Tiba di dalam,
ia dapatkan si mahasiswa masih rebah tidur, napasnya masih menggeros keras.
‘Hai, orang mampus!” ia
menegur. “Sungguh senang kau tidur!”
Mahasiswa itu membalikkan
tubuhnya, ia perdengarkan dua kali suara ngulet.
“Ada penjahat!” In Lui
berteriak pula.
Si anak sekolah membuka kedua
matanya, dengan malas ia bangkit duduk.
“Impian sedap, siapakah yang
lebih dahulu merasai?” katanya seperti orang ngigo. “Itulah aku, aku yang
mengetahui.”
“Kau ketahui apa?” kata In Lui
dengan dingin, sambil tertawa tawar. “Ada penjahat datang kemari!”
Mahasiswa itu kucak-kucak
matanya.
“Tengah malam buta kau ganggu
orang sedang mimpi,” katanya. “He, engko kecil, mengapa sih kau selalu ganggu
aku?”
Sama sekali ia tidak percaya
In Lui, bukan saja ia tidak menyatakan terima kasih, malahan ia menyesalinya.
“Jikalau kau tidak percaya,
kau keluar melihatnya,” kata In Lui.
Anak sekolah itu ngulet pula.
“Umpama kata benar ada
penjahat datang, toh buktinya tidak terjadi apa-apa,” katanya kemudian, sambil
tertawa. “Buat apa kau bangunkan aku?”
In Lui mendongkol berbareng
merasa lucu
“Akulah yang pukul mundur
mereka itu!” katanya sengit.
“Apakah itu benar?” tanya si
mahasiswa. “Sungguh bagus! Sungguh bagus! Kau makan sepotong ubi, kali ini kau
bukannya menerima upah tanpa jasa, tidak mau aku mengatakan kau menganglap
lagi!”
Dan plok, ia lemparkan sepotong
ubi padasi pemuda tetiron, yang menyampok dengan mendongkol.
“Siapa main-main denganmu?”
dia menegur. “Eh, aku tanya kau, kau she apa dan namamu siapa? Kau datang
darimana?”
Mahasiswa itu mainkan kedua
biji matanya. Tiba-tiba ia ikuti teladan orang, sebelah tangannya dipakai
menuding.
“Eh, kau tanya kau, kau she
apa, namamu siapa? Kau datang darimana?” demikian pertanyaannya.
In Lui jadi sangat mendongkol,
ia gusar.
“Apa?” tanyanya.
Tapi si anak muda tertawa
tawar.
“Kau tanya aku seperti kau memeriksa,
mustahil aku pun tak dapat menanya padamu.” ia jawab. “Apakah kau hakim tukang
periksa orang?”
In Lui mendongkol tetapi ia
bungkam. Anak muda itu berkepala batu tapi dia benar juga.
“Mana dapat aku beritahu
tentang diriku?” In Lui berpikir.
Mahasiswa itu melirik,
sikapnya ngguh membuat In Lui sangat mendelu. Meski demikian, nona ini masih
dapat memikir. “Tentang diriku tidak dapat aku beritahukan dia, tentang dirinya
mungkin juga tak dapat diberitahukan padaku! Kalau sendiri tak suka, kenapa mesti
paksa orang lain? Tentang dua orang Tartar itu, mereka datang dari tempat
ribuan lie, bukankah mereka sedang mencari orang seperti yayaku yang kabur dari
Mongolia, yaitu anak sekolah ini!”
Menerka demikian, tiba-tiba In
Lui jadi ingin menghargai mahasiswa itu, cuma ketika ia lirik orang itu,
kembali ia merasa jemu. Tetap tingkah pola si mahasiwa itu sangat menyebalkan,
dia mengawasi dengan wajah tertawa tapi bukan tertawa, matanya dikecilkan.
Masih In Lui berpikir.
Akhirnya ia keluarkan bendera Jit-goat-kie dari Ciu Kian, ia lemparkan itu pada
si mahasiwa.
“Nih, aku berikan kau ini!”
katanya. “Tak mau aku jalan sama-sama kau!”
Mahasiswa itu melirik.
“Aku toh bukannya anak
wayang!” katanya. “Perlu apa aku dengan benderamu ini yang dua mukanya?”
“Kau berjalan sendirian, kau
terancam bahaya,” berkata In Lui. Terpaksa ia berikan keterangan. “Dengan
adanya bendera ini, orang jahat nanti tak berani ganggu padamu.”
“Apa?” tanya si mahasiswa.
“Apakajh bendera itu adalah suatu firman?”
Mau tak mau In Lui tertawa.
“Mungkin ini lebih berpengaruh
daripada firman raja!” ia jawab. “Ini adalah Jit-goat-kie dari Kim-too Ceecu.
Kau datang dari Utara, mustahil kau tidak pernah dengar nama Ceecu itu. Kim-too
Ceecu mirip dengan kepala penjahat di Utara, di kalangan Rimba Hijau, semua
orang menghormatinya!”
Maksud In Lui baik menyerahkan
bendera bulan sabit itu.
Tetapi si anak muda, wajahnya
berubah dengan tiba-tiba. Ia jemput bendera itu, mendadak ia tertawa dingin.
“Satu laki-laki yang hendak
bangkit berdiri, mana dapat ia mengharapkan perlindungan orang lain?” katanya
jumawa. “Apakah kau pernah baca Khong Cu atau Beng Cu?”
Mendadak ia gunakan tangannya,
di antara suara berebet, bendera Jit-goat-kie itu robek menjadi empat bagian.
Merah padam wajah In Lui, kegusarannya
bukan kepalang besarnya.
“Kim-too Ceecu sangat
terkenal, dia satu laki-laki sejati, kau berani menghina dirinya?” dia
berteriak, lalu sebelah tangannya melayang ke arah kuping orang. Justeru itu ia
lihat kulit muka orang yang putih dan halus, bagaikan kulit telur, ia ingat,”
Tidakkah tanganku akan membuat mukanya bengkak? Tidakkah itu hebat?” Karenanya
ia segera tahan tangannya itu. Lantas ia berkata dengan sengit. “Aku tidak mau
berlaku seperti kau, anak sekolah busuk! Baik, baiklah, suka aku memberi ampun
padamu kali ini! Kalau besok lusa kau dibegal dan dibunuh orang jahat, bukankah
itu karena kau mencari mampus sendiri? Baiklah, aku tak mau perdulikan lagi
padamu!”
Lantas ia putar tubuhnya,
dengan cepat dia lari keluar. Ia sangat menyesal karena maksud hatinya yang
baik tidak diterima orang. Ia jadi merasa tak enak sendirinya.
Si mahasiswa mengawasi orang
dengan sepasang matanya yang tajam, ketika ia tampak orang sudah keluar dari
pintu, ia bangkit dengan perlahan-lahan. Nampaknya ia hendak memanggil tetapi
ia batal sendirinya, sebaliknya ia tertawa dingin.
Sekeluarnya dari kuil, In Lui
lompat naik ke atas kudanya yang ia terus larikan. Ia baru sampai di tempat
yang lebat dengan pohon-pohonan tatkala ia dengar satu suara menyambar di
atasan kepalanya. Ia lantas tahan kudanya.
“Bangsat tukang membokong,
jikalau ada nyalimu, mari keluar!” ia berseru.
Kembali terdengar satu suara
seperti tadi, atas itu, In Lui tarik kepala kudanya, untuk berkelit. Menyusul
itu sebatang pohon jatuh di depannya, pada cabang itu diikatkan satu bungkusan
dari sapu tangan sulam.Ia lantas menjadi kaget, ia kenali, itulah bungkusannya
yang lenyap. Ia segera mengambil, untuk membuka bungkusannya, maka di situ ia
dapatkan uang dan permata bekalan Ciu Kian berikut uangnya hasil mencopet.
Heran dan penasaran, dari
atgas kudanya, In Lui lompat menyambar pohon untuk naik ke atasnya, lalu ia
melihat ke sekitarnya. Tidak ada orang di dekat situ, ada juga sinar
bintang-bintang yang sudah guram dan angin bersiur-siur.
“Sudahlah,” akhirnya ia
menghela napas. “Benarkah pepatah di luar langit ada lagi langit lainnya. Siapa
sangka di sini aku bertemu dengan orang lihay.”
Ia lantas larikan kudanya,
sampai di luar rimba, fajar sedang mendatangi. Menggunakan ketika pagi, ia
larikan kudanya maju terus ke barat. Segera ia melihat ada orang-orang yang
menunggang kuda, yang romannya gagah. Ia percaya, mereka itu adalah orang-orang
kangouw. Ia teringat akan ajaran Ciu Kian tentang kaum kangouw.
“Kelihatannya mereka ini
hendak menghadiri suatu upacara besar atau sedikitnya pertemuan kaum rimba
persilatan,” ia menduga-duga.
Mereka itu melewati nona ini,
sama sekali mereka tidak menaruh perhatian. Mungkin mereka anggap mereka hanya
bertemu satu pemuda biasa saja.
Setelah jalan serintasan, In
Lui merasa lapar, ia segera mampir pada tukang bubur di tepi jalan yang juga
menjual the. Ia lantas isi perutnya.
“Hari ini perdagangan ramai,”
kata ia pada tukang teh, yang tengah masak dua panci teh.
“Tuan, apakajh tuan hendak
pergi ke Hek-cio-chung?” tanya tukang teh itu sambil tertawa.
“Apa itu Hek-cio-chung?” In
Lui balik menanya.
“Kalau begitu, tuan orang dari
luar,” sahut tukang teh itu. "Hari ini Cio toaya dari Hek-sek-chung
merayakan ulang tahunnya, banyak sekali sahabatnya yang datang untuk memberi
selamat.
In Lui ingat sesuatu.
"Apakah kau maksudkan
Hong-thian-lui Cio Eng, Cio Loo-enghiong?" ia tegaskan.
Segera tukang teh itu
perlihatkan sikap menghormat.
"Oh, kiranya tuan sahabat
Cio Toaya," katanya.
"Siapakah yang tidak tahu
Cio Loo-enghiong?" kata In Lui. "Aku memang berasal dari lain
propinsi tapi pernah aku dengar nama Cio Loo-enghiong itu."
Tukang teh itu manggut.
"Benar! Cio Toaya itu
luas pergaulannya, semua orang dari berbagai kalangan, kenal atau tidak, asal
datang ke rumahnya, tidak ada yang tidak disambut secara baik."
In Lui pun manggut. Tentang
Cio Eng itu, ia dengar dari Ciu Kian. Katanya Cio Eng terkenal dengan
pedangnya, pedang Liap-in-kiam dan senjata rahasianya, batu Hui-hong-sek.
Adalah karena senjata rahasia ini Cio Eng peroleh julukan Hong-thian-lui
(Geledek menggetarkan langit). Sebab bila mengenai tubuh orang, senjata rahasia
itu perdengarkan suara nyaring. Cio Eng gagah dan gemar bergaul, akan tetapi
toh tabiatnya aneh.
"Siapa tahu dia tinggal
di luar kota Yang-kiok ini," pikir In Lui. "Baiklah aku pun pergi
memberi selamat padanya. Di sana ada banyak orang, mungkin juga ada si orang
lihai yang telah permainkan aku."
Karena ini, ia pinjam pit dan
minta kertas dari tukang teh, untuk menuliskan karcis pemberian selamatnya.
Aku tidak tahu loo-enghiong
merayakan ulang tahunnya, inilah kebetulan," katanya sambil tertawa. Terus
ia tanyakan letak Hek-cio-chung setelah membayar uang teh, ia naik ke atas
kudanya, akan menuju ke rumah Hong-thian-lui.
Sudah banyak tamu di rumah Cio
Eng. Setelah In Lui serahkan karcis namanya, ia diterima dengan tak ditanya ini
dan itu, terus ia diantar ke taman bunga dimana pesta diadakan, justeru
perjamuan hendak dimulai. Ia dipersilahkan duduk di meja pojok, kawan-kawan
semejanya adalah orang yang tidak ia kenal, hingga ia mesti dengarkan saja
mereka itu berbicara.
"Hari ini Cio
Loo-enghiong tidak saja merayakan ulang tahunnya, kabarnya ia hendak memilih
juga mantu," kata seorang diantaranya.
"Bisa pusing kepala orang
tua itu," kata seorang yang lain. "Aku dengar See Ceecu, Han To-cu
dan Lim Chungcu berbareng memajukan lamaran! Bagaimana mereka hendak
dilayani?"
Orang yang ketiga tertawa.
"Mau apa kau pusingkan
kepala?" ujarnya. "Pasti sekali Hong-thian-lui mempunyai caranya
sendiri!" ia lantas menunjuk," Kau lihat!"
In Lui berpaling ke arah yang
ditunjuk orang itu, maka ia tampak sebuah lui-tay (panggung untuk pertempuran)
yang besar dan tingginya dua tombak lebih.
Orang itu tertawa, ia
menambahkan," Hong-thian-lui telah berlaku terus terang, dia adakan
pertandingan untuk pilih menantu, siapa yang menang, dialah mantunya itu, untuk
ini, ia tidak pandang sanak atau sahabat, karenanya ketiga pelamar itu tak
dapat berkata apa-apa."
"Kalau begitu, pasti
bakal ramai!" kata yang lain.
In Lui tertawa dalam hati.
"Inilah cara aneh,"
demikian ia pikir. "Kalau yang menang seorang yang jelek, apa tidak
kasihan anak gadisnya?"
Selagi matahari condong ke
barat, lantas terdengar ucapan-ucapan selamat yang riuh, di sana-sini orang
pada bangkit. In Lui pun bangun, ia mengawasi ke arah dimana suara ucapan itu
terdengar.
Seorang tua, yang mukanya
merah, kelihatan muncul, ia menuntun satu nona. Ia minta jalan di antara orang
banyak, terus dia lompat naik ke atas luitay, perbuatannya diikuti si nona.
In Lui lihat satu nona yang
cantik, wajahnya seperti tersungging senyuman, alisnya lentik dan panjang
hampir melekat pada ujung rambutnya. Untuk melihat lebih jelas, ia maju
mendekati. Ia dapatkan nona itu polos, tidak pemaluan, tidak jengah berhadapan
dengan banyak tamu.
Dari pembicaraan orang banyak,
In Lui tahu orang tua muka merah itu adalah tuan rumah, yaitu Hong-thian-lui
Cio Eng, dan si nona adalah puterinya, yang bernama Cui Hong.
"Heran juga," pikir
pemuda tetiron ini," Cio Eng bermuka bagaikan Lui Kong, tetapi ia
mempunyai anak dara yang begini elok."
Lui Kong = Malaikat Geledek.
Tidak sempat In Lui berpikir
lebih jauh, ia lihat Cio Eng tengah memberi selamat pada para tamunya, kemudian
terdengarlah suaranya yang keras," Hari ini adalah hari ulang tahunku, aku
berterima kasih pada saudara-saudara yang telah datang mengunjungi. Sebagai
hormatku, marilah minum dahulu tiga cangkir!"
"Bagus!" seru
sekalian tamunya, terus mereka keringkan cawan mereka masing-masing.
Cio Eng urut-urut kumis dan
jenggotnya, ia tertawa.
"Hek-cio-chung adalah
satu desa yang sepi, tidak ada keramaian apa-apa disini, tetapi saudara-saudara
telah datang kemari, harap saudara-saudara jangan menertawakan!" kata pula
tuan rumah melanjutkan. "Anakku ini mengerti ilmu silat kasar, baiklah dia
pertunjukkan beberapa jurus, sebagai hidangan saudara-saudara minum arak!"
Kembali orang-orang berseru.
"Bagus! Bagus!" suatu tanda persetujuan.
Cio Eng tertawa pula.
"Akan tetapi, bersilat
seorang diri saja tidak menarik hati," ia menambahkan," maka itu aku
persilahkan putera-putera dari See Ceecu, Han Tocu, dan Lim Chungcu untuk naik
ke panggung untuk memberi pengajaran kepada anakku itu. Aku ingin lihat siapa
yang permainannya paling bagus, kepadanya hendak aku hadiahkan sesuatu yang
tidak berarti. Samwi sieheng, bagaimana pikiranmu?"
Dengan samwi sieheng, tiga
kakanda, tuan rumah maksudkan ketiga tamunya yang disebutkan itu, See Ceecu,
Han Tocu, dan Lim Chungcu.
Tuan rumah ini tidak
mengatakan terang-terangan, bahwa pertandingan itu untuk memilih menantu, akan
tetapi semua tamunya sudah mengerti maksudnya itu.
"Bagus, bagus!" Han
Tocu dan Lim Cungcu menyatakan akur. Lalu keduanya dengan masing-masing
mengajak anaknya minta jalan di antara para tamu, dengan saling susul mereka
lompat naik. Tampak nyata kegesitan mereka.
See Ceecu bersangsi sedetik
saja, ia pun ajak puteranya lompat naik. Ia dapat melompat dengan sempurna,
tapi puteranya, ujung kakinya kena membentur pinggiran panggung, hampir saja ia
tergelincir. Melihat ini, semua tamu heran.
Untuk kalangan Hek-too, jalan
hitam, See Ceecu terkenal terutama tentang ilmu silatnya, orang percaya
puteranya telah mewarisi kepandaiannya itu, karena putera ini pun sudah
tersohor menyusul nama ayahnya, maka ada yang menduga, anak itu pasti akan
peroleh kemenangan, siapa tahu, dalam hal melompat, dia kalah dengan putera Han
Tocu dan Lim Chungcu. See Ceecu kerutkan alisnya, dia hendak bicara tapi batal,
cuma mulutnya kemak-kemik.
Putera dari Han Tocu, yaitu
Han Toa Hay, sudah lantas maju ke tengah, untuk memberi hormat pada tuan rumah.
"Cio Loopee berlaku baik
sekali, aku pun tak sungkan-sungkan lagi," berkata anak muda ini.
"Baiklah aku ingin menerima pelajaran beberapa jurus dari Cio Sie-moay,
asal siemoay suka berlaku murah hati."
"Bagus, bagus!"
tertawa Cio Eng. "Memang aku senang pada orang yang berlaku terus terang!
Sekarang ini siapa juga tak usah sungkan-sungkan, silahkan keluarkan semua
kepandaianmu, siapa yang terluka, aku sediakan obatnya!"
"Baik, loopee," kata
Toa Hay, yang terus rangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat dengan
sikap "Tong-cu pay Koan Im" atau "Kacung suci menghormat Dewi
Koan Im".
"Bagus!" Cio Eng
memuji.
See Ceecu melihat hal itu, ia
menoleh pada puteranya, yang juga berpaling kepadanya, keduanya lantas
menyeringai. Ayah ini hendak bicara, kembali ia batalkan.
Segera pertandingan dimul, Toa
Hay menyerang lebih dulu.
Cui Hong berlaku tenang tetapi
gesit, waktu diserang ia tidak menangkis, ia hanya berkelit ke samping, terus
ia lompat ke belakang penyerang itu. Lincah sekali tubuhnya itu.
Toa Hay segera putar tubuhnya,
ia menyerang pula, apabila ini pun gagal, terus ia menyerang ke depan, ke kiri
dan kanan, akan tetapi, sebegitu jauh, tidak ia peroleh hasil, malah menyentuh
baju orang pun tidak.
"Eh, pelajaran dia sama
dengan pelajaranku," kata In Lui dalam hatinya apabila ia lihat
gerak-geriknya Nona Cio. Itulah ilmu silat "Pat-kwa yu sin ciang"
yang bergerak ke delapan penjuru. "Coan hoa jiauw sie" yang ia
pelajari adalah salah satu tipu silat daripada Pat-kwa Yu-sin-ciang itu.
Toa Hay lantas juga merasakan
matanya berkunang-kunang, karena ia seperti dilibat si nona, yang seperti
berada di empat muka dan delapan penjuru, bayangannya saja yang nampak
berkelebatan.
Diam-diam In Lui tertawa di
dalam hatinya.
Masih Toa Hay berputaran masih
menyerang, walaupun tiap-tiap kali ia serang sasaran kosong, tak sudi dia
berhenti.
Han Tocu kerutkan alisnya.
"Anak tolol!"
akhirnya dia berseru. "Kau bukan tandingan Nona Cio! Apakah kau tidak hendak
undurkan diri?"
Mendengar suara Han Tocu, Cio
Cui Hong segera perlambat gerakannya, tapi justeru itu, Toa Hay lompat
menyerang, kedua kepalannya menyambar saling susul.
In Lui lihat serangan itu, ia
tertawa dalam hati, pikirnya," Orang tolol yang tidak tahu mundur atau
maju! Orang sudah mengalah, dia masih belum tahu."
Atas desakan itu Cui Hong
melejit ke samping, sikut kirinya dilonjorkan untuk dipakai membentur tubuh Toa
Hay, atas mana tubuh besar dari putera Han Tocu segera terhuyung, rubuh terbanting.
Cio Eng lompat maju guna
membangunkan pemuda itu.
"Hong-jie, lekas haturkan
maaf!" kata tuan rumah ini.
"Tidak apa," kata
Toa Hay," Nona Cio, kau lihai sekali, aku..aku.."
Nyata pemuda ini tolol dan
polos, hampir ia mengatakan,"....aku tidak berani ambil kau sebagai
isteriku." Baiknya Han Tocu awasi dia dengan mata melotot dan ia
melihatnya, hingga tak jadi dia berbicara terus.
Begitu Toa Hay mundur, ia
digantikan oleh Too An, putera Lim Chungcu. Pemuda ini maju dengan perlahan,
sambil mengoyang-goyangkan kipasnya.
"Aku juga ingin menerima
pelajaran beberapa jurus, harap kau suka mengalah, siemoay," kata dia,
suaranya seram dan luar biasa. Nampaknya ia halus bagaikan wanita, demikian
juga lagu suaranya. Tapi ia mengerti Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah,
maka setelah dilipat kipasnya, tahu-tahu kipas itu dipakai menyodok iga si
nona.
Cui Hong berkelit, terus saja
ia bersilat pula dengan "Pat-kwa Yu-sin-ciang" untuk membuat lawan
itu lelah dan kabur matanya, seperti tadi ia berbuat terhadap Toa Hay.
Too An cerdik, tidak mau ia
menyerang sembrono, sebaliknya, dengan tenang ia lindungi dirinya. Ia pun tiak
gencar putar tubuhnya seperti Toa Hay tadi, ia cuma memasang mata, maka juga,
sewaktu-waktu dapat ia balas menyerang dengan totokannya.
Nona Cio menjadi hilang sabar.
"Dia pasti bukan orang
benar," ia pun berpikir. "Lihat matanya yang demikian lihai! Dia
menjemukan, tidak boleh dia dibiarkan mencapai maksudnya.'
Nona ini tidak sudi menikah
dengan pemuda lawannya itu, ia pun lantas perhebat serangannya, tubuhnya
bergerak sangat lincah mengitari si anak muda.
Too An benar-benar lihai, ia
tabah dan teliti, dengan sabar ia jaga dirinya.
Lima puluh jurus sudah lewat,
Cui Hong tetap belum berhasil menjatuhkan lawan ini, Too An dalam ketenangannya
telah berpikir," Aku hendak lihat, berapa banyak kau punya tenaga untuk
melayani aku." Dan ia terus berlaku sabar.
Mereka bertempur terus sampai
tiba-tiba selagi ia merangsak, Cui Hong tersenyum, hingga tampak kedua baris
giginya yang putih halus dan sepasang sujennya yang manis. Sebagai orang
cantik, dengan senyumnya, tentu sekali nona ini kelihatan sangat menggiurkan.
Hati Too An goncang, ia sangat
tertarik, hingga ia berpikir," Orang seperti aku, yang berkepandaian silat
tinggi, pasti aku membuat hatinya kagum." Maka ia anggap nona itu tentu
menaruh hati padanya, nona itu mungkin suka mengalah, karenanya, di waktu ia
menutup diri, ia pun tersenyum.
Sekonyong-konyong saja Cui
Hong berseru,” Maaf!” Lalu dengan mendadak kedua tangannya dimajukan ke muka
Too An, tangan yang satu menyusul yang lain, hingga si anak muda terperanjat.
Ia kaget waktu tamparannya kena ditekan si nona, sampai ia berkaok, matanya pun
kabur, tanpa ampun lagi, ia rubuh di lantai panggung.
Lim Chungcu mendongkol bukan
main menyaksikan puteranya, yang sedikit lagi akan menang, dengan mendadak kena
dikalahkan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pertandingan tlah
dilakukan secara adil.
“Tidak apa, tidak apa!” Cio
Eng cepat berkata. “Eh, anak Hong, kenapa kau gerakkan tanganmu secara sembrono
sekali?”
Justeru itu Too An bangkit.
“Nona Cio, aku terima
pengajaranmu!” katanya sambil tertawa dingin, lalu tanpa berkata apa-apa,
berbareng dengan ayahnya ia melompat turun dari panggung.
Melihat itu Cio Eng menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tapi kemudian sambil urut-urut kumisnya dan tertawa ia berkata,”
Anakku telah beruntung menangkan dua pertandingan, maka sekarang adalah giliran
Bu ki Sieheng yang memberikan pengajaran padanya, supaya dia jangan jadi terlalu
besar kepala.”
Bu Ki adalah nama putera See
Ceecu. Cio Eng kenal baik sekali dengan anak muda itu, baik kepandaiannya
maupun tabiatnya. Pemuda itu telengas, di dalam Rimba Hijau, dia terkenal tanpa
kebijaksanaan. Mesi demikian, jago tua ini sadar, manusia tak ada yang seratus
persen sempurna, maka ia anggap tidak terlalu mengecewakan ia mendapat menantu
seperti Bu Ki.
Cio Eng juga pikir, pastilah
Bu Ki senang sekali dengan pertandingan ini, karena anak muda itu pasti berada
di atas angin, akan tetapi kesudahannya ia menjadi heran sekali.
Tiba-tiba saja Bu Ki kerutkan
alisnya dan berkata,” Sudahlah, tak usah aku turut bertanding lagi, karena
akhirnya aku akan kalah.”
Semua tamu terkejut karena
herannya, mereka melongo.
“Cio Hiantit, mengapa kau
mengatakan demikian?” ia tegur. “Mungkinkah anakku tak dapat diajar?”
Bu Ki tertawa meringis, dengan
perlahan ia angkat lengannya, lalu ia gulung lengan bajunya, maka tampaklah
tanda bekas luka yang panjang dan dalam pada lengannya sampai tulangnya
kelihatan.
“Kau kenapa Hiantit?” tanya
Cio Eng terperanjat.
Bu Ki memandang sekelebat ke
bawah pangggung.
“Kemarin ini perahuku karam di
dalam sungai,” ia menjawab, suaranya menyatakan penasarannya. “Hm! Aku telah
dicurangi satu bangsat tidak dikenal!”
See Ceecu yang bernama To
melanjutkan cerita puteranya,” Kemarin aku titahkan Ouw Lo-jie bersama dia
pergi mengejar seekor kambing dari Utara. Tapi tak disangka, kambing itu dengan
diam-diam dilindungi satu piauwsu yang lihai sekali dan Bu Ki kena dilukai.”
Dengan “kambing” See To
maksudkan orang yang ia hendak jadikan korban pembegalan.
Cio Eng terperanjat, ia heran
sekali, ia tahu Ouw Loo-ji itu adalah bawahan Hu-ceecu, dan kepandaiannya
adalah lebih tinggi daripada See Bu Ki. Ini adalah luar biasa jika mereka berdua
kena dikalahkan satu piauwsu.
“Nah, Cio Toako, bagaimana
pendapatmu?” tiba-tiba See To menanya.
Cio Eng berdiam sebentar,
kemudian ia tertawa.
“Nyatakah piauwsu itu seorang
pandai!” katanya. “Entah siapa dia itu dan dimana adanya dia sekarang?” Ingin
sekali aku menemui dia itu, supaya dapat aku mengadakan perdamaian di antara
kamu kedua pihak.”
Wajah See Bu Ki berubah padam.
“Belum pernah aku diperhina
secara begini, di sini tidak ada perdamaian!” katanya nyaring. Terang ia sangat
sengit. Tiba-tiba ia memandang ke bawah panggung, tangannya segera menuding,
dengan keras ia menambahkan,” Binatang itu nyata telah makan jantung serigala
dan nyali macan tutul, dia sangat berani, dia sekarang ada di sini!”
See Tio lantas berseru,” Kami
ayah dan anak ingin menemui kau, orang pandai! Kemana kau hendak pergi?’
Bagaikan bayangan kedua orang
segera lompat turun dari panggung.
“Dimana dia?” terdengar orang
bertanya. Dia adalah sahabat See To dan karenanya ia berniat membantu ceecu
itu.
Waktu itu juga, See To telah
lompat ke depan In Lui, dengan sebelah tangannya, yang semua jerijinya terbuka,
ia menyambar kepala orang.
In Lui sudah lantas berkelit,
tapi justeru ia berkelit, tikaman pisau belati dari See Bu Ki telah sampai
kepadanya. Ia tidak kaget atau takut, malah sambil menangkis ia kata sambil
tertawa,” Oh, kiranya kau penjahat yang bertopeng itu?”
Di antara satu suara nyaring,
pisau belati Bu Ki terlepas dan jatuh.
Hampir berbareng dengan itu,
dengan gerakan susul-menyusul dengan sikut dan tendangannya, nona dalam
penyamaran ini sudah merubuhkan dua penyerang lain, yang menjadi sahabat kedua
orang she See itu, habis mana dia lompat naik ke atas sebuah meja.
See To hunus goloknya, dia
lompat untuk menyerang.
“Orang tidak tahu malu, kamu
main keroyok!” teriak In Lui. Ia lompat turun, untuk membalikkan meja hingga
piring dan mangkok jatuh pecah berhamburan.
See To tidak dapat berkelit,
ia tersiram kuah, bajunya basah. Tentu saja ia menjadi bertambah gusar, maka ia
ulangi serangannya. Ia sangat sebat.
In Lui terpaksa cabut
pedangnya dengan apa ia tangkis bacokan itu.
See To tarik kembali goloknya
lalu ia menunduk untuk membabat ke bawah.
“Orang kejam!” teriak In Lui
sambil melompat dengan tipu “Yan-cu sia hui” atau “Burung walet terbang
menyamping”. Dengan begitu ia lolos dari bahaya, setelah mana, pedangnya
menikam dada lawan.
See To terperanjat, ia
menangkis sambil berkelit, maka kedua senjata jadi bentrok dengan keras, dengan
kesudahannya golok kena terpapas kutung.
In Lui tidak berniat membunuh,
tidak demikian dengan See To, walaupun dia terperanjat, dia tidak mundur,
sebaliknya dia menyerang pula dengan sambarannya. Maka si nona sambut tangannya
dengan satu babatan hingga ia menjadi kaget, terpaksa dia tarik kembali
tangannya itu. Dia jeri terhadap pedang orang yang tajam, karenanya, dia siap
sedia. Masih dia tidak mau menyingkir, dia melawan terus dengan lincah, hingga
sukar bagi In Lui untuk memukul mundur ceecu ini, yang sementara itu telah
dibantu pula oleh beberapa sahabatnya.
“Kau rasakan!” seru See To
ketika ia kirim serangannya yang berbahaya.
In Lui awas, ia terkejut
melihat tangannya merah. Tahulah ia ceecu ini pernah mempelajari Tok-see-ciang
atau Tangan Pasir Beracun. Pantas ia berani sekali dengan tangannya itu. Maka
untuk menolong dirinya, ia tarik satu musuh di sampingnya guna dipakai
membentengi dirinya.
See To batalkan serangannya
itu, untuk tidak mencelakai kawannya. Kesempatan ini dipakai In Lui untuk
melompat sebuah meja, lalu dari meja sebelah ia sambar mangkok yang kemudian ia
lemparkan hingga ada beberapa sahabat See To yang matang biru mukanya tersiram
sayur.
“Hebat! Hebat!” lalu terdengar
beberapa seruan.
Memang, keadaan sangat kacau.
See Bu Ki sambar sebuah kursi,
dengan itu ia merangsak, berulang kali ia menyerang, tapi In Lui telah membabat
kutung kursi itu.
Pada waktu itu, See To
menyerang pula.
Di saat In Lui hendak melayani
ceecu itu, satu bayangan berkelebat di antara mereka berdua, dengan pentang
kedua tangannya, bayangan itu membuat kedua musuh mundur dua tiga tindak.
“See Toako, coba pandang
padaku!” demikian suara si tuan rumah,” Dan kau engko kecil, coba kau berhenti
dulu!”
“Toako, aku mohon keadilan
darimu!” kata See To. “Muka kami ayah dan anak bergantung pada sepatah katamu!”
Cio Eng pandang In Lui, ia heran
dan kagum.
“Apa benar ada pemuda begini
cakap?” katanya di dalam hati. “Jikalau bukan aku lihat sendiri, sungguh aku
tidak percaya dia dapat mengalahkan Bu Ki dan membuat ayah dan anak kewalahan.”
“Cio Chungcu, maafkan aku,”
berkata In Lui. “Aku telah bentrok dengan tamumu yang mulia. Aku sebenarnya
datang untuk memberi selamat, tidak kusangka sekarang terjadi perkara ini.
Tentu saja aku tidak berani turun tangan kalau tidak terpaksa. Sekarang
terserah pada chungcu, kau hendak hukum aku atau bagaimana.”
Menurut aturan kamu kang-ouw,
In Lui adalah tamu Cio Eng, maka dalam segala hal, Cio Eng sebagai tuan rumah
harus memegang semua tanggung jawab. Maka itu, mendengar perkataan orang itu,
See To mendongkol bukan kepalang.
“Manusia licin!” ia mendamprat
dalam hatinya, matanya pun mendelik. Tapi tiba-tiba ia dapat daya, ia lantas
menghadap tuan rumah.
“Toako, apakah she dan nama
engko kecil ini?” demikian ia tanya. “Siapakah gurunya?”
Cio Eng melengak ditanya
begitu.
“Aku tidak tahu,” sahutnya
terpaksa.
Maka tertawalah See To
berkakakan.
“Kiranya toako tidak kenal dia
siapa?” katanya puas. “Saudara-saudara hadirin, siapakah yang kenal engko kecil
ini?” dia tanya semua tamu.
Semua orang datang berkerumun,
tidak satu pun diantara mereka yang kenal anak muda ini, mereka itu membungkam
atau menggelengkan kepala.
Kembali See Ceecu tertawa,
sekarang ia tertawa dingin.
“Baiklah toako ketahui,” kata
ia pada tuan rumah. “Jahanam ini sudah sengaja mengaku jadi tamu, namanya saja
dia datang untuk memberi selamat, sebenarnya dia hendak menyingkirkan diri.
Tidak apa dia datang makan di sini, makan tanpa membayar, tetapi perbuatannya
ini merusak kaum Hek-to di Shoasay ini!”
Cio Eng menjadi bingung, ia
pun tidak senang.
“Habis, bagaimana menurut See
Toako?” dia tanya.
“Mesti diminta supaya dia
keluarkan semua barang berharga dari orang yang dia lindungi!” jawab See Ceecu.
“Suruh dia serahkan kuda Ciauw-ya Say-cu-ma! Habis itu, dia mesti dipaksa
menyerah untuk Bu Ki tikam lengannya seperti dia tikam lengan Bu Ki! Dengan
begitu barulah urusan dapat diselesaikan.”
Tercekat In Lui mendengar
orang menyebut nama kuda Ciauw-ya Say-cu-ma. Memang sejak lama ia sudah dengar
nama kuda jempolan asal Mongolia itu, yang tak dapat dibeli dengan uang seribu
tail emas. Maka tidak ia sangka kuda si mahasiswa adalah kuda jempolan itu.
Lantas saja, di depan matanya, terbayang tampang si mahasiswa yang cakap dan
sikapnya yang sangat polos. Ia pun jadi semakin mencurigai mahasiswa itu.
Melihat orang diam saja, Cio
Eng sangka si anak muda kaget, maka ia tepuk pundaknya.
“Engko kecil, apa
pembelaanmu?”
In Lui bukannya tidak sadar.
“Dia membegal orang, aku
menolong orang itu, demikian duduk perkaranya!” sahut ia dengan tenang. “Apa
lagi yang hendak dikatakan? Jikalau mereka tidak puas, silahkan mereka maju!
Asal mereka ayah dan anak dapat mengalahkan aku, jangan kata baru dibacok satu
kali lenganku, enam kali mereka tikam tubuhku, masih boleh, tidak nanti aku
lari!”
Hati tuan rumah itu bergetar.
“Nyatalah dia anak ayam yang
baru menetas,” pikirnya. “Dia tidak tahu, dalam urusan seperti ini, akulah yang
berkuasa atas dirinya. Dia menantang mereka, bukankah itu sama artinya dengan
menantangku?”
See To pun tertawa berkakakan
mendengar perkataan orang itu.
In Lui mendelik.
“Kau tertawakan apa?” dia
tegur. “Kamu ayah dan anak, silahkan kamu maju! Apakah kamu sangka aku jeri
terhadapmu? Hm!”
Dengan mengucap demikian, In
Lui ingat pesan Ci Kian, yaitu kalau menghadapi musuh banyak, terutama musuh
tersohor, mesti dijaga supaya musuh itu sendirilah yang mesti ditantang, untuk
bertempur satu lawan satu. Ia pun merasa, ayah dan anak itu bukan tandingannya,
jadi dia tidak perlu takut, ia jadi senang dapat menantang aya dan anak itu. Ia
hanya tidak tahu, pesan Ciu Kian tidak mengenai urusan seperti kali ini.
“Cio Toako, kau dengar tidak?”
tanya See To pada Cio Eng. “Di mata bocah ini tidak saja tidak ada aku, juga
tidak ada kau!”
Wajah tuan rumah kembali
berubah.
“Aku tahu!” ia menjawab. Terus
ia hadapi si anak muda. “Eh, engko kecil, kau mau adu pedang atau adu kepalan?”
dia tanya.
“Apa? Bertanding dengan kau?”
In Lui tegaskan. “Chungcu, Lian-in-kiammu kesohor di kolong langit, cara
bagaimana aku yang muda berani melawan kau? Aku hanya hendak main-main dengan
mereka berdua!”
“Tutup mulutmu!” Tiba-tiba Cio
Eng membentak. “Siapa yang ingin bertempur di tempatku ini? Kau lihat!” Dan
sinar matanya menyapu.
Kata-kata ini dikeluarkan di
depan In Lui tapi sebenarnya ditujukan kepada See To ayah dan anak.
Kembali In Lui melengak, tak
tahu ia bagaimana menjawab.
Cio Eng tidak gubris orang
berdiam.
“Jikalau kau jeri terhadap
pedangku, nah mari kita bertanding dengan tangan kosong saja!” Cio Eng berkata
pula.
“Aku yang rendah tidak
berani,” In Lui menyahuti.
“Tidak bertanding, itulah
tidak bisa!” dia berkata. “Tapi mengingat kau satu anak muda, baik, aku memberi
kesempatan, aku tidak melayani kau. Eh, anak Hong, mari! Coba kau wakilkan aku
melayani dia beberapa jurus! Anak, lekas kau naik ke panggung!”
Sikap Cio Eng membuat hadirin
heran, malah See To dan anaknya jadi mendongkol, hingga wajah mereka merah
pada. Tahulah semua orang, mengapa Cio Eng menyuruh gadisnya melawan anak muda
itu. Itu adalah pertandingan untuk memilih jodoh untuk gadisnya itu.
Cio Eng melirik, ia tetap
bersikap tak memperdulikan. Ia hanya mendesak si anak muda.
“Eh, bocah bila kau punya
nyali untuk menyelinap ke salam Hek-cio-chung ini, kau juga harus punya nyali
untuk naik ke panggung!” demikian katanya. “Eh, apakah kau masih tidak mau
naik? Apakah kau ingin paksa aku nanti melemparkan tubuhmu?”
Desakan orang tua ini membuat
romannya jadi bengis sekali. Tapi di dalam hatinya semua tamu tertawa. Semakin
jelas saja tuan rumah menyukai anak muda itu.
In Lui berpaling ke atas
panggung, di sana ia lihat wajah Cio Cui Hong, dengan muka merah dadu, matanya
mengawasi ke bawah panggung liutay, hingga mata mereka berdua jadi bentrok.
Tiba-tiba saja ia dapat satu pikiran. Maka lekas-lekas ia angkat bajunya.
“Baiklah aku turut perintah,
aku nanti naik ke panggung untuk terima pengajaran dari siocia,” ia kata. Habis
itu, orang banyak sudah membuka jalan, ia bertindak ke arah luitay dan lantas
ia lompat naik.
Cio Eng segera bicara dengan
beberapa pembantunya, kemudian ia duduk menemani See To.
“See Toako,” katanya sambil
tertawa dan mengurut-urut kumisnya, “kita bersahabat sudah bertahun-tahun,
tidak nanti u membuat kau malu.”
Ceecu itu berdiam, ia sedang
mendongkol, tak dapat dia bicara, dia pun tak dapat mengutarakan kegusarannya.
Cio Eng tersenyum.
“Biar bagaimana anak-anak muda
tak dapat tidak dipupuk,” katanya pula. “Jikalau anak muda mesti dibunuh,
sungguh kita jadi menunjukkan pandangan yang cupat.”
Cio Eng adalah pemimpin Rimba
Persilatan di dua propinsi Shoasay dan Siamsay, karenanya See To mesti menahan
sabar.
“Toako benar,” ia kata. “Ak
terima pengajaran dari kau. Sekarang ingin aku pamitan.”
Baru ia hendak bangkit tapi
Cio Eng telah menekannya.
“Kita saksikan dulu
pertandingan ini, masih ada waktu,” katanya. “Lihat, mereka sedang seru!”
Memang di atas panggung, “pemuda”
dan pemudi itu tengah bertempur tubuh mereka berkelebatan bagaikan bayangan,
karena pesatnya mereka bergerak-gerak. Pakaian mereka sangat menarik, yaitu In
Lui berbaj putih dan Cio Cui Hong berbaju hijau dan celana merah hingga nampak
bagaikan awan putih yang berseling sinar layung merah di antara laut hijau.
Dengan kepandaiannya, In Lui
dapat rubuhkan si nona dalam waktu tiga puluh jurus, akan tetapi ia ingin
saksikan ilmu silat “Liap-in-pouw” si nona, dari ituia tidak segera berlaku
keras. Liap-in-pouw merupakan jurus tangan kosong, sedangkan Liap-in-kiam
memakai pedang.
“Baik permainannya, sayang
belum sempurna,” pikir In Lui kemudian. Waktu itu mereka sudah melalui seratus
jurus.
Cui Hong sementara itu telah
berpikir juga. Ia lihat bagaimana si “anak muda” melayani ia seperti sedang
bermain-main.
“Aku perlihatkan kepandaianku,
kalau tidak, setelah menikah nanti, ia bisa pandang enteng padaku,” berpikir ia
lebih jauh. Ia lantas tertarik pada anak muda itu, sedang maksud ayahnya dapat
dia duga.
Benar saja, habis berpikir
demikian, si nona menyerang dengan dashyat. Ia telah keluarkan kepandaiannya,
yaitu ilmu silat Liap-in-pouw (Tindakan mengejar mega). Gesit gerakannya, berat
tangannya, baik bacokannya, maupun totokannya.
In Lui gentar juga menyaksikan
perubahan itu, ia lantas melayani dengan ilmu silat Pek-pian Hian-kee, ilmu
pedang yang ia ubah menjadi bertangan kosong. Maka ia pun jadi bergerak sangat
lincah.
Sebentar saja, pemuda ini
telah menguasai pertempuran, akan tetapi, ketika si pemudi melihatnya, hatinya
menjadi rawan.
“Akhirnya dapat juga aku paksa
kau keluarkan kepandaianmu,” pikirnya.
Lalu si nona paksakan
berkelahi terus, ia seperti berlaku nekad, ia merangsak, begitu rupa sampai
akhirnya ia msuk ke dalam pelukan orang. Di pihak lain ia mencoba memegang
lengan In Lui.
Kaget juga pemuda tetiron itu,
sampai ia menjadi bingung. Mau atau tidak, ia terpaksa merangkul dengan tangan
kiri, lalu dengan jari tangannya ia pegang iganya, hingga Cui Hong rasakan
tubuhnya bergetar.
Karena jengah In Lui keluarkan
seruan tertahan. Tapi, dengan kemalu-maluan di bawah panggung penonton telah
bersorak-sorai. Maka lekas ia totok pula si nona, untuk menghidupkan pula jalan
darahnya, habis mana ia tolak tubuh nona itu, ia sendiri melompat mundur.
“Maaf, nona!” katanya sambil
memberi hormat.
Cio Eng perlihatkan wajah
berseri-seri, ia urut-urut kumisnya. Tapi sahabatnya See Ceecu merah mukanya.
“Kionghi Toako, kau telah
pilih menantumu!” katanya sambil memberi hormat. “Nah, ijinkanlah aku pulang!”
Cio Eng panggil pembantunya
yang tadi.
“See Hiantee, toakomu memohon
maaf,” ia kata. “Di sini ada sebungkus mutiara, hitunglah sebagai pengganti
kerugian. Tentang kuda Ciauw-ya Say-cu-ma harap kau tidak buat pikiran pula,
karenanya silahkan kau pergi ke istalku, pilihlah sepuluh ekor yang paling baik
untuk dijadikan gantinya. Hiantee, aku minta sukalah kau berlaku murah hati,
untuk membebaskan piauw yang ia lindungi itu.”
Tuan rumah mengatakan demikian
karena ia percaya perkataan See To bahwa In Lui telah menjadi piauwsu
diam-diam.
See Ceecu tertawa tawar.
“Terima kasih, toako,”
katanya. “Aku masih punya harta, tidak berani aku memiliki kepunyaanmu. Aku
melainkan minta kau suka menaati undang-undang Golongan Hitam.Dalam hal ini,
aku minta toako memberi maaf padaku.”
Habis berkata, ceecu ini
menjura dalam pada tuan rumah, lalu ia tarik tangan Bu Ki untuk diajak berlalu.
Cio Eng menjadi sangat tidak
puas, tetapi ia tidak bisa berbuat lain, maka setelah menyuruh pembantunya
mengantar tamu, ia sendiri lantas lompat naik ke atas panggung.
Cui Hong merah wajahnya,
melihat ayahnya naik, ia menunduk, tangannya memainkan ujung bajunya.
In Lui menyeringai, ia jengah.
Orang tua itu tertawa
terbahak-bahak.
“Inilah yang dikata, gelombang
sungai Tiang Kang yang belakang mendorong gelombang terdepan, atau orang baru
menggantikan orang lama!” katanya. “Kau adalah satu pemuda gagah, kau adalah
seorang yang sukar dicari bandingannya.”
Sekaranga Cio Eng sudah
mengetahui she dan nama orang ini. Tadi ia telah titahkan pembantunya memeriksa
karcis nama. Maka sambil tertawa ia meneruskan berkata,” In Siangkong, kau
mempunyai kepandaian, buat apa kau menjadi piauwsu?”
“Sama sekali aku tidak menjadi
piauwsu,” In Lui menyangkal. “Kemarin di tengah perjalanan aku berkenalan dengan
satu sahabat, aku menolong dia menolak penjahat, aku tidak tahu karenanya aku
jadi bentrok dengan See Ceecu ayah dan anak.”
Lega hati Cio Eng mendengar
keterangan ini.
“Oh, begitu,” katanya. “Di
rumah aku masih ada siapa lagi? Apakah kau sudah mengikat jodoh?”
In Lui bersangsi sedetik
ketika ia mejawab.
“Aku punya satu kakak,”
sahutnya. “Aku belum mengikat jodoh.”
Tuan rumah itu tertawa.
“Biasanya anak muda, bila
ditanya hal jodohnya, dia jadi jengah!” katanya.
“Kau telah peroleh kemenangan,
hendak aku berikan hadiah padamu!” berkata pula Cio Eng. Ia keluarkan sebuah
cincin batu giok hijau yang ditaburkan dengan dua butir permata mata kucing
yang cahayanya berkilauan. “Ini adalah peninggalan ibu Cui Hong yang
diberikannya di waktu dia hendak menutup mata, sekarang aku haturkan ini
padamu.”
“Karena barang itu milik si
nona, tidak berani aku terima,” In Lui menampik dengan merendah.
Cio Eng tertawa bergelak
“Ini adalah tanda mata untuk
pertunangan kamu, mengapa kau tidak mau terima?” ia kata.
“Sebenarnya aku tidak berani
terima kehormatan itu,” In Lui menolak pula.
Mendadak saja wajah tuan rumah
itu menjadi merah padam.
“Apakah kau cela anakku?”
tanyanya, tetapi dengan perlahan.
“Mana berani aku mencela,”
sahut si anak muda. “Aku hanya tak dapat menuruti kehendak loopeh.”
Cio Eng menjadi tidak senang.
“Mengapa?” ia tanya, mendesak.
In Lui melirik kepada Cui Hon,
ia lihat si nona, yang pegangi ujung celananya, merah mukanya, kedua matanya
yang besar dan bundar diarahkan kepadanya, pada matanya tampak air mata yang
berlinang. Tiba-tiba saja ia mendapat satu pikiran.
“Baiklah, aku terima dia
sampai nanti datang waktunya aku menggesernya,” demikian pikirnya. Ia menyahuti
tapi ia masih pura-pura. “Aku belum dapat izin dari orang yang lebih tua, cara
bagaimana aku dapat diam-diam mengikat jodoh?”
“Dimanakah kakakmu sekarang?”
tanya Cio Eng.
“Aku tak tahu ia berada
dimana,” jawab In Lui. “Dengan saudaraku, aku berpisah sewaktu kami masih
kecil.”
Cio Eng kerutkan alisnya.
“Habis, pada siapa kau hendak
beritahukan hal ini, untuk memohon perkenan?” dia tanya pula.
“Ayah dan ibuku tealah menutup
mata, yang masih ada hanya ceekong,” sahut In Lui. “Ceekong perlakukan aku
seperti cucunya sendiri, maka ingin aku beritahukan padanya urusan perjodohanku
ini.”
“Siapakah nama ceekongmu itu?”
“Tak dapat aku menyebutkan
nama ceekong disini,” jawab In Lui. “Dia seorang kenamaan dalam Rimba
Persilatan.”
Cio Eng heran, ia tertawa.
“Kalau dia seorang kenamaan,
mesti dia tahu namaku!” katanya dengan gembira. “Atau sedikitnya dia kenal aku.
Maka baiklah kau jangan kuatir suatu apa.”
In Lui terdesak, ia lantas
memberi hormat sambil berlutut pada “bakal mertua” yang ia panggil “gak-hu”,
habis mana dari sakunya ia keluarkan sepotong batu permata untuk diserahkan.
Cio Eng terima tanda mata itu,
yang ia terus serahkan pada anak daranya, setelah mana ia pimpin bangun babah
mantunya, untuk disuruh berdiri di tengah panggung.
“Sejak ini, In Siangkong ini
adalah bagaikan setengah anakku,” ia berkata pada tetamunya, “maka itu aku
berharap, kalau nanti dia membuat perjalanan, sukalah saudara-saudara membantu
melihat-lihat padanya.”
Riuh suara para tetamu
menyambut pernyataan it, mereka pun memberi selamat.
Cio Eng tunggu sampai reda,
lalu ia berkata pula, “Aku telah berusia lanjut, dan justeru saudara-saudara
berada di sini, baiklah sekarang saja pernikahan dirayakan! Secara begini di
kemudian hari tidak usah aku mengundang pula saudara-saudara, yang mana
membikin berabe saja!”
Orang banyak lantas bertepuk
tangan.
“Bagus! Bagus!” mereka
berseru. Malah seroang lantas menghampiri In Lui dengan Arak di tangan, untuk
memberi selamat.
“Usiaku masih terlalu muda,
baiknya pernikahan ditunda dulu,” kata In Lui. Ia terdesak, ingin ia mengelak.
“Aku ingin dapat mendampingi
kau, maka itu pernikahanmu perlu dirayakan siang-siang,” Cio Eng mendesak. “Aku
Hong-thian-lui seorang sederhana, aku mengadakan luitay untuk memilih mantu,
sekarang mantu telah aku dapatkan, baik sekarang juga pernikahan dilangsungkan!
Dengan begini kita tak usah dipersulit segala adat-istiadat.”
Semua tetamu tertawa, mereka
puji cara sederhana ini. Maka In Lui dipaksa menjalankan upacara yang
sederhana, yaitu berdua Cui Hong ia memberi hormat pada langit dan bumi, lalu
pada Cio Eng, habis mana banyak orang memberi selamat dengan arak.
Bukan main masgulnya In Lui,
ia mengeluh dalam hatinya. Tak dapat ia meloloskan diri. Inilah main-main
menjadi sungguhan. Ia pun tak dapat menolak pemberian selamat dengan arak itu.
Ketika ia telah tenggak belasan cawan arak, ia gunakan tenaga dalamnya, lalu
dengan suara keras, ia muntahkan itu. Maka kupingnya lantas dengar teriakan
orang banyak, “In Siangkong mabuk!”
Memang In Lui tidak kuat
minum, sedikitnya susu macan telah mempengaruhi dia, maka selagi berpura-pura
sinting, yang orang percaya, sengaja ia terhuyung kepada Cui Hong.
“Anak muda tidak biasa minum,
dia pun tidak tahu aturan,” berkata Cio
Eng, yang juga kena dikelabui
babah mantunya itu. “Anak Cui, pergi kau bawa ia ke dalam,” Lalu pada orang
banyak dia tambahkan,” Aku girang, aku tidak pakai aturan lagi!
Saudara-saudara, mari, mari kita minum!”
In Lui pejamkan kedua matanya,
ia letakkan kepalanya di pundak Cui Hong, ia biarkan dirinya dipapah ke dalam
terus ke kamar dimana ia rebahkan diri tanpa salin pakaian lagi. Mulanya ia
berpura-pura mabuk, tapi karena pusing dan lelah, ia tertidur sendirinya.
Ketika ia mendusin, ia lihat kamar sudah terang dengan cahaya api, tanda sudah
malam. Ia lihat Cui Hong duduk di tepi pembaringan, si nona tidak salin pakaiannya,
rupanya dia terus menemani.
Melihat orang membuka matanya,
nona ini tertawa.
“Kau mabuk siangkong?” dia
tanya. Lantas dia suguhkan secangkir teh tua, katanya, “Inilah teh Sin-kiok
untuk menghilangkan rasa mabuk. Tidak usah siangkong bangun, aku nanti
meminumkan.”
Benar-benar ia angkat sedikit
tubuh In Lui, ke mulut siapa ia bawakan cangkir tehnya itu.
In Lui merasa segar sehabis
minum air teh itu yang harum. Sekarang ia dapat melihat jelas kamar yang dihias
rapi. Dupa mengepulkan asap di atas sebuah meja kecil, pendupaannya berkaki
tiga dan bagus sekali.
Menampak perhatian orang itu
Cui Hong tertawa.
“Menurut kata ayah, inilah
pendupaan jaman Ciu,” katanya,” Tapi dimataku, aku tidak melihat perbedaannya.
Pun meja kecil itu, katanya terbuat dari kayu wangi asal Lamhay.”
Heran In Lui. Pendupaan tua
dari jaman Ciu dan meja kayu wangi dari Lamhay? Sungguh itu barang-barang yang
mahal sekali harganya. Tapi si nona pandang barang itu sebagai barang biasa
saja. Disitu pun terdapat lain-lain barang berharga, seperti batu giok,
mutiara, dan lainnya, yang indah adalah pohon karang.
“Cio Eng satu jagoan silat,
siapa tahu, ia pun hartawan besar,” pikir babah mantu ini.
Cui Hong dampingi “suaminya”
ini.
“Siangkong, kau sebenarnya
dari keluarga mana?” dia tanya.
“Ayah dan ibu menutup mata
waktu aku masih kecil sekali,” jawab In Lui. “Menurut keterangan kita adalah
dari keturunan keluarga berpangkat.”
Nona itu mengawasi, alisnya
agak mengkerut.
“Siangkong, apa benar kau
mencintai aku?” ia tanya perlahan.
“Kau cantik sekali, kau juga
gagah, bukan cuma aku, setiap pemuda yang melihat pasti mencintai kau,” jawab
In Lui.
“Ah, apakah kau kata?”
“Aku punya satu saudara
angkat, baik roman maupun kepandaiannya, dia melebihi aku,” In Lui sahuti.
Heran si nona, alisnya sampai
bangun.
“Saudara angkatmu itu
mempunyai hubungan apa denganku?” dia tanya. “Ah, aku tahu sekarang, tadi kau
berulang-ulang menampik, kau sebenarnya tak suka menikah dengan aku.”
In Lui pandang nona itu.
“Bukannya aku tidak suka,” katanya.
“Kau dengar dulu omonganku. Saudara angkatku itu………”
Mendadak saja Cui Hong
menangis.
“Bagaimana pandanganmu
terhadapku?” dia tanya, gusar. “Kalau kau sebut-sebut pula tentang saudara
angkatmu itu, nanti aku bunuh diri di hadapanmu! Jikalau kau tidak suka padaku,
katakanlah terus terang! Memang aku tahu kamu bangsa pembesar negeri, kamu
pandang rendah orang sebangsa kami.”
“Ah, mengapa kau ngaco?”
berkata In Lui. “Sebenarnya kau bangsa apa? Aku tidak tahu.”
Si nona mengawasi.
“Apa benar-benar kau tidak
tahu?” tanyanya. “Aku adalah anak tunggal dari satu penjahat besar!”
In Lui tersenyum.
“Itulah tidak berarti
apa-apa!” dia kata. “Saudara angkatku itu juga ada satu penjahat besar.”
Bukan main mendongkolnya Cio
Cui Hong.
“Kau selalu sebut saudara
angkatmu itu, sebenarnya, apakah maksudmu?” dia tanya.
Melihat orang murka, In Lui
berpikir. Memang tak tepat pada malam pengantin berbicara tentang seorang
lelaki lain.
“Aku hendak jodohkan paman San
Bin, tidak dapat aku terburu nafsu,” ia berpikir pula.
“Kau belum kenal aku!” kata si
nona. “Sejak kecil aku telah ikuti ayah merantau, selama itu entah berapa
banyak orang yang telah melamar aku, akan tetapi aku sendiri telah bersumpah,
tidak mau aku menikah kecuali pada orang yang aku penuju! Kalau ada orang yang
aku penuju tetapi dia tidak suka padaku, tidak ada jalan lain daripada
mengorbankan jiwaku! Tadi diatas luitay, kau telah berlaku ceriwis terhadapku,
dan sekarang, setelah kita menikah, kenapa kau tidak pandang aku sebagai
isterimu? Apakah memang kau sengaja hendak perhina aku?”
In Lui tidak sangka orang
berhati demikian keras. Maka kembali ia berpikir, “Dia belum pernah lihat paman
San Bin, apakah dia penuju pada paman itu?” demikian ia beragu-ragu. “Kalau
begini, tidak boleh aku sembarang timbulkan niatku menggeser pernikahanku ini.”
“Katakan!” Cui Hong mendesak,
“sudikah kau mengambil aku sebagai isterimu?” dia membaliki. “Jangan kau
menangis, Kau ingin aku berbuat bagaimana supaya aku membikikn kau puas?”
Cui Hong hendak mengatakannya
tetapi batal, ia malu sendirinya. Cuma air matanya yang mengalir.
In Lui cekal tangan orang,
untuk ditarik. Ia tersenyum.
“Enci, berapa usiamu?” ia
tanya.
“Delapan belas tahun,” sahut
Cui Hong dengan ringkas.
“Kalau begitu, kau lebih tua
satu tahun daripadaku,” menerangkan nona In. “Benar-benar aku mesti panggil
enci padamu. Enci, adikmu….”
Dengan kata adik itu ia
maksudkan moa-moay (adik perempuan).
Cui Hong heran, hingga ia
mengawasi.
“Apakah kau belum sadar betul
dari mabukmu?” dia tanya. “Bukankah tadi telah aku terangkan bahwa aku tidak
punya adik perempuan?”
In Lui melengak. Untuk
sedetik, ia lupa bahwa ia tengah menyamar. Lalu ia tertawa sendirinya.
“Benar gila!” katanya. “Enci,
bolehkan aku jadi adikmu yang lelaki? Enci, adikmu ini tidak pandai bicara, aku
minta kau tidak persalahkan dia.”
Dengan perlahan ia usap-usap
tangannya.
Cui Hong tertawa.
“Benar-benar kau anak tolol!”
katanya. “Baiklah! Sekarang kau mesti dengar perkataan encimu! Lekas kau salin
pakaianmu, baru kau tidur pula! Kau lihat, kau tidak loloskan sepatumu! Ah, ini
seprei mesti ditukar.”
Kalau tadi si nona masih malu,
sekarang ia menjadi berani. Melihat orang tidak mau bangkit, ia kata,
"Apakah kau inginkan encimu yang menukarkan pakaianmu?" Ia lantas
tertawa, mukanya menjadi merah. Ia merasa bahwa ia telah kelepasan bicara.
In Lui berdiam, ia benar-benas
sangsi.
Tiba-tiba ada pertanyaan dari
luar, budak perempuan, "Apa babah mantu sudah sadar dari mabuknya?"
"Sudah," sahut Cui
Hong.
"Looya minta nona dan
babah mantu menemuinya," kata pula budak itu.
"Oh, ya, aku sampai
lupa!" kata si nona. Terus ia menambahkan dengan perlahan, "Adikku,
mari bangun. Tak usah kau salin pakaian dulu."
Lega hati In Lui. Ia singkap
selimutnya lalu lompat turun.
Cui Hong membuka pintu kamar.
"Kau tukar
sepreinya!" ia perintahkan budaknya.
Budak itu lihat seprei
bertapakkan sepatu kotor, ia tertawa sambil menutup mulutnya.
Cui Hong ambil lentera, sambil
bawa itu, ia tarik tangan In Lui, untuk diajak keluar. Mereka mesti melewati
beberapa ruangan, untuk sampai di sebuah loteng besar, yang tingginya lima
tingkat.
Tingkat kelima itu merupakan
satu ruangan, ada meja dan kursinya. Di atas meja, In Lui lihat banyak barang
permata. Cio Eng duduk dengan ditemani empat orang di kiri dan kanannya.
Menampak babah mantunya, Cio
Eng tertawa.
"Anak Cui! Anak
Lui!" katanya. "Mari kamu pilih ini, masing-masing ambil satu rupa,
yang selebihnya adalah untuk sahabat-sahabatku ini!"
In Lui heran, ia berdiam.
"Inilah aturan kami yang
tertentu," Cui Hong beritahu. "Kau turut perkataan ayah. Kau pilih
satu rupa!"
In Lui ambil satu
singa-singaan dari batu giok dan Cui Hong mengambil sebatang tusuk konde dari
giok juga. Habis itu In Lui pandang ruang itu, yang sangat sederhana, sebab
kecuali sebuah lemari besi, perabotan lainnya tidak ada, melainkan di tembok
tergantung sebuah gambar yang besar dimana terlukis sebuah kota yang dikitari
air, kota itu ada pesebannya, ranggonnya, tamannya, dan penduduknya. Dilihat
dari romannya, itu adalah sebuah kota di Kanglam.
"Apakah kau suka pada
gambar itu?" tanya Cio Eng sambil tertawa. "Besok akan aku tuturkan
kau tentang kota itu. Sekarang kembalilah kamu."
Cui Hong ajak suaminya
undurkan diri, selagi keluar dari kamar, ia masih dengar kata-kata salah satu
tetamu," Harus sangat disayangkan, ini adalah perdagangan kita yang
terakhir."
Cio Eng tertawa, ia
kata," Di dalam dunia dimana ada bunga yang tak rontok dalam seratus
tahun? Usiaku telah lanjut, aku pun tidak ingin melakukan perdagangan semacam
ini. Baiklah kita pakai cara lama, kamu boleh taksir harganya."
In Lui heran, ia ingin
mendengar lebih jauh tapi Cui Hong sudah menarik tangannya, mengajak ia turun
dari loteng.
Setibanya di kamar, mereka
tampak seprei sudah ditukar dengan yang baru, hingga pembaringan itu nampaknya
lebih indah. Pada saat itu dari kejauhan terdengar suara kentongan.
"Ah, sudah jam
tiga!" kata Cui Hong.
"Sekarang ini aku tidak
ingin tidur," kata In Lui. "Baik kau beritahukan aku, urusan apakah
sebenarnya urusan ayahmu tadi?"
"Ayah adalah satu
penjahat tunggal," Cui Hong menjawab dengan terus terang, "setiap
tahun ia cuma bekerja satu kali. Penduduk sini tidak ketahui perbuatan ayah
itu. Sudah menjadi kebiasaan, setiap habis bekerja, ayah menyuruh aku memilih
salah satu barang hasil kerjanya, yang lainnya lantas dijual habis."
"Barang boleh merampas
bagaimana dapat dijual?" tanya In Lui.
"Sudah tentu dapat, untuk
itu ada pembelinya. Begitulah keempat orang tadi, mereka biasa membeli barang
dari ayah. Mereka itu lihai, barang asal utara mereka jual di selatan, demikian
sebaliknya. Belum pernah mereka itu gagal. Uang yang ayah dapatkan dari
penjualan itu, yang sebagian kecil ia tahan untuk dijadikan harta benda,
selebihnya ia pakai menolongi sahabat-sahabat kang-ouw yang kesusahan."
In Lui heran dan kagum.
"Begitu?" katanya.
"Pantas ayahmu diberi gelar Say Beng Siang."
"Say Beng Siang"
berarti "Melebihi Beng Siang" dan "Beng Sian" itu adalah
Beng Siang Kun, seorang kenamaan yang biasa mengumpulkan banyak tetamu,
dermawan, dan berharta besar.
Cui Hong tersenyum pada
"suaminya" itu.
Tidak lama terdengar pula
suara kentongan satu kali.
"Apakah kau ingin aku
bicara terus sepanjang malam?" sang isteri tanya "suaminya" itu
sambil melirik dengan tajam dan manis.
"Hendak aku menanyakan
lagi," In Lui jawab. "Tentang gambar lukisan tadi. Adakah ceritanya
mengenai gambar itu?"
"Aku tidak tahu. Tentang
itu, belum pernah ayah berkata padaku." Ia berdiam sebentar. "Aku pun
merasa aneh. Segala apa ayah beritahukan padaku, cuma gambar itu belum pernah
ia menyebutkannya."
Tak lama, kembali terdengar
kentongan.
"Nah, apa lagi kau hendak
tanya? tanya Cui Hong sambil tertawa.
In Lui berpikir, tidak ia
dapatkan daya untuk memperlambat waktu. Tanpa alasan, tentu tak dapat ia bicara
terus dengan "isterinya" itu. Maka ia jadi sibuk sendirinya.
"In Siankong,"
akhirnya Cui Hong tanya, perlahan, "apakah benar-benar kau tidak cela
aku?"
"Untuk selamanya kau akan
menjadi enciku, bagaimana dapat aku cela padamu?" In Lui baliki.
"Baiklah!" kata si
nona, suaranya halus. "Besok saja kita bicara pula, sekarang kau perlu
beristirahat."
In Lui raba kancing bajunya.
"Benar, sekarang sudah
waktunya tidur," katanya. Tapi tangannya cuma meraba kancing, tidak ia
membukanya. Justeru itu, di luar terdengar berisiknya suara banyak orang, di
antaranya ada yang berteriak-teriak," Tangkap penjahat! Tangkap
penjahat!"
Di rumah Hong-thian-lui ada
penjahat, itulah lucu.
Di antara tetamunya Cio Eng,
ada yang numpang bermalam di rumahnya, mereka ini terkejut mendengar teriakan
itu, lantas mereka memburu keluar, guna mencari penjahat itu.
In Lui tidak kaget, sebaliknya
ia tertawa.
"Kita bakalan tak dapat
tidur!" katanya. "Penjahat itu tentu datang sebab ayahmu mempunyai
banyak barang permata."
Cui Hong tidak menjawab, dia
hanya lari keluar, untuk kabur ke loteng tempat menyimpan permata itu. In Lui
ikuti "isterinya" itu.
In Lui sempurna ilmu enteng
tubuhnya, ia berada di atas kebanyakan orangain, maka itu kecuali ia telah
lombai bujang-bujang dan tetamu, ia pun telah tinggalkan Cui Hong jauh di
sebelah belakang. Hal ini membuat "isteri" itu girang berbareng
mendongkol. Girang sebab "suami"ini lihai dan kelihatannya membela
betul keluarga Cio, dan mendongkol karena dipanggil-panggil, dia tidak mau
kembali atau menunggu.
Luas pekarangan Cio-kee-chung
itu, letak loteng tempat menyimpan barang berharga ada di pojok timur, di sana
In Lui sampai dalam tempo yang cepat sekali, ketika ia menoleh, ia lihat Cui
Hong baru tiba di atas genteng dari rumah besar. Ia tidak mau menantikan, sambil
hunus pedangnya, ia lompat untuk sambar payon dimana terus ia cantelkan
kakinya, akan ayunkan tubuhnya dengan dibantu oleh tekanan sebelah tangannya,
dengan begitu ia sampai di loteng kedua. Di sini ia pasang kuping, hingga ia
dengar suara seperti suara setan.
"Bangsat kau mainkan
lelakon iblismu untuk menakut-nakuti aku!" In Lui kata di dalam hatinya.
Ia dengar suara dari dalam loteng, untuk masuk ke dalamnya, terlebih dahulu ia
nyalakan sumbu bekalannya, yang ia sulut dengan api tekesan. Sebentar kemudian
ia sudah berada di dalam, terus tetangga dari loteng ketiga. Ketika ia angkat
kepalanya melihat ke atas, ia tampak bayangan dari empat orang yang tubuhnya
besar, mereka itu berdiri dengan sebelah kaki masing-masing, agaknya mereka
sedang bertindak untuk lari turun, hanya, seperti dipengaruhi
"Teng-sin-hoat" yaitu ilmu mendiamkan diri, mereka jadi berdiri diam,
cuma mata mereka mendelong dan tenggorokan mereka perdengarkan suara tak nyata.
Yang hebat adalah wajah mereka, daging muka mereka pada mengkerut, hingga
mereka mirip iblis-iblis bengis dan jahat.
Terkejut juga In Lui setelah
dia melihat dengan tegas, tapi ia hunus pedangnya, dia lari naik di tangga,
niatnya menyerang mereka itu, yang dia duga adalah si orang-orang jahat. Dia
baru hendak menikam, atau dia batalkan maksudnya. Tiba-tiba saja dia menduga,
keempat orang itu tentu telah jadi korban totokan, sedang dia belum mendapat
kepastian mereka itu ada "lawan atau kawan". Maka dia lantas suluhi
mereka, mereka mengawasi. Tidak peduli wajah orang itu jelek, tapi dia kenali,
mereka itu adalah orang-orang yang tadi siang menjadi pembeli-pembeli dari
barang-barangnya Cio Eng. Dia menjadi heran, sebab dia percaya, walaupun mereka
saudagar, mereka tentunya pandai silat. Kenapa mereka kena ditotok Siapakah yang
menotoknya?
"Belum pernah aku
saksikan ilmu totokan lihai seperti ini," In Lui berpikir pula.
"Jikalau aku gunakan kepandaianku, dapatkah aku membebaskan mereka
ini?"
Ia awasi mereka terlebih jauh,
ia selidiki dengan teliti. Ia duga orang telah ditotok urat
"moa-hiat" nya atau "ah-hiat". Totokan di urat itu bisa
menyebabkan tubuh orang seperti mati atau gagu. Ia masih mengawasi sekian lama,
baru ia mencobanya menotok mereka.
"Aduh!" mereka itu
menjerit setelah kena ditotok, terus mereka rubuh.
In Lui lompat minggir.
Menyusul itu terdengar suara
berisik, dari batu-batu permata yang jatuh dari kantong keempat orang itu, yang
berhamburan di lantai. Itulah harta yang berharga lebih dari sepuluh laksa
tail.
In Lui melengak. Terang
baginya sekarang, penyerang keempat orang ini bukannya hendak mengambil harta
itu. Kalau tidak, harta itu pasti sudah dirampas.
"Apakah penyerangmu sudah
pergi?" ia tanya keempat saudagar itu.
Keempat orang itu
masing-masing menekan dadanya, dengan sebelah tangan yang lain, mereka menunjuk
ke atas. Tidak dapat mereka bicara, napas mereka sesak.
Dengan berani In Lui lompat
keluar jendela, untuk naik ke loteng keempat, setibanya di payon, dari atas
wuwungan ia dengar suara nyaring dari Cio Eng. "Kami dua turunan sudah
menantikan enam puluh tahun. Apakah benar kau tidak sudi perlihatkan wajahmu
terhadap kami?"
In Lui naik terus, ia segera
tampak bayangan orang, yang telah perdengarkan suaranya.
"Mari!" Itulah suara
yang ia pernah dengar, entah dimana, ia lupa.
Cio Eng ambil gambarnya, ia
gulung itu, atas mana si bayangan ulurkan kedua tangannya, ia menyambut dengan
tangan yang satu, sedang tangan yang lain, agaknya menepuk ke arah kepala tuan
rumah.
Menampak demikian, In Lui
membentak, tubuhnya naik ke genteng, tapi berbareng dengan itu, ia diserang
senjata rahasia. Ia menyampok dengan pedangnya, lantas ia rasakan satu dorongan
tenaga yang kuat sekali. Benar senjata rahasia itu hancur dan menyemburkan
lelatu, tapi nona ini tak dapat pertahankan diri, tubuhnya terhuyung jatuh.
Syukur ia masih dapat mencantelkan kakinya ke payon, dengan begitu ia tidak
jatuh terus ke bawah loteng.
Malam itu gelap.
Kembali datang senjata rahasia
yang kedua, yang perdengarkan sambarang angin seperti yang pertama.
Dengan pedangnya, In Lui tangkis
pula senjata rahasia itu, yang kembali hancur dan lelatunya meletik
berhamburan. Sekarang ternyata, senjata rahasia itu adalah sepotong batu.
Pada saat itu, Cio Eng
tongolkan kepalanya.
"Siapa?" dia
menegur.
Belum In Lui menjawab, atau ia
dengar suara yang berubah, suara yang agak terkejut. "Anak Lui disitu? Ini
bukan urusanmu, lekas kau menyingkir!"
Itulah suara Cio Eng.
Mendengar itu, In Lui heran. Sudah terang penjahat itu hendak merampas
barangnya, kenapa Cio Eng, si "mertua" membantu pencuri itu? Kenapa
Cio Eng menyerang dengan batu hui-hong-sek untuk mencegah dia membantui?
Waktu itu di bawah loteng
terlihat beberapa tetamu yang datang untuk memberikan bantuan mereka. Cio Eng
lihat mereka itu, tidak tunggu sampai In Lui menyingkir, ia sudah lompat
keluar, sambil berkata dengan nyaring," Penjahat telah aku usir, sudah
tidak ada apa-apa lagi! Saudara-saudara, silahkan kembali!"
Tapi In Lui bermata awas, ia
lihat si pencuri lompat keluar dari belakang jendela, pesat sekali gerakannya.
Tanpa sangsi lagi, ia pun lompat ke lain arah. Dengan sebat si penjahat sudah
sampai di tembok pekarangan. Masih In Lui menyusul, ia juga tunjukkan
kesebatannya.
Selagi hendak lompat dari
tembok, orang yang disangka penjahat itu berpaling, tangannya dilambaikan pada
si nona. Nyata ia memakain topeng, sepasang matanya bersinar tajam. Tanpa
melihat tegas, In Lui lompat mengejar terus.
Di luar tembok pekarangan ada
pohon-pohonan lebat, dari sana terdengar suara kuda berbenger, lalu di antara
cahaya rembulan, tampak muncul seekor kuda putih.
Melihat kuda itu, In Lui
terkejut. Ia kenali itu adalah kuda putih dari si mahasiswa. Ia jadi menjublak,
ia tak mengerti. Bukankah ia telah uji dan si anak sekolah tidak mengerti
silat? Kenapa sekarang dia datang mencuri? Adakah benar orang bertopeng itu si
mahasiswa adanya dan dia datang bukan untuk mencuri? Kalau dia benar mencuri,
kenapa dia biarkan harta besar di tangan keempat saudagar itu dan dia cuma
ambil gambar lukisan saja, meskipun gambar itu berharga besar sekali. Tapi
anehnya, kalau benar si pencuri adalah si mahasiswa, kenapa Cio Eng mengatakan
sudah menantikan enam puluh tahun?
In Lui masih tercengang terus
kalau ia tidak diganggu suara berisik di arah belakangnya, disusul dengan suara
Cio Eng yang nyaring. "Jangan kejar penjahat yang sudah kabur! Anak Lui,
lekas kembali!"
Masih In Lui terbenam dalam
keheranan, sebab sikap aneh dari "mertuanya" ini. Terang sudah, Cio
Eng tengah melindungi si penjahat, si orang bertopeng. Karena ini, ia tidak
perdulikan panggilan orang tua itu, ia justeru lompat keluar tembok, ke arah
pohon-pohonan lebat. Tapi disini lagi-lagi ia hadapi kejadian yang membuatnya
sangat heran.
Suara seekor kuda lain
terdengar pula, apabila In Lui sudah melihat, ia tercengang. Itulah kuda
berbulu merah, kudanya sendiri. Kuda itu, ia tahu benar, ditambatkan di depan
kampung. Kenapa kuda itu sekarang berada di dalam rimba?
Ketika itu si orang bertopeng
sudah duduk di atas kudanya. Ia tidak segera lari, hanya kembali ia menoleh,
tangannya menggape kepada si nona.
Sekarang In Lui merasa pasti,
orang itu adalah si mahasiswa. Tiba-tiba saja ia jadi tidak senang.
"Hai, binatang, kenapa
kau berulang kali mempermainkan aku?" bentaknya. Terus ia lompat naik ke
atas kudanya, ia jepit perut kudanya, untuk mengejar. Kuda putih telah kabur
pesat di sebelah depan.
Dari suara banyak kuda di
sebelah belakang, In Lui percaya Cio Eng beramai juga mengejar, akan tetapi
mereka ini juga ketinggalan jauh.
Kuda putih kabur terus, kuda
merah tetap menyusul, maka itu dari Yang-kiok, tak lama kemudian, keduanya
mengambil jalan besar ke kota raja.
Jarak antara kedua kuda ada
kira-kira setengah lie, sampai disitu, kuda putih kendorkan larinya.
In Lui mendongkol berbareng
heran, ia penasaran, dari itu, ia keprak kudanya untuk mengejar terus. Malam
itu diterangi hanya oleh sisa rembulan.
Tanpa diketahui seratus lie
lebih telah dilalui, dan tanpa merasa sang fajar telah mendatangi. Entah dimana
mereka berada, cuma tahu-tahu di depan mereka ada sebuah rimba
"Maaf, tak dapat aku
menemani lebih lama!" terdengar suara si orang bertopeng, habis berkata
dia larikan kudanya masuk di antara pohon-pohonan yang lebat.
"Walaupun kau lari ke
ujung langit, akan aku menyusulnya!" teriak In Lui dalam murkanya. Benar
saja, ia kaburkan terus kudanya untuk memasuki rimba. Akan tetapi baru dia
sampai di tepian atau ia dengar kuda putih berbunyi nyaring, disusul dengan
seruan orang. Ia terkejut dan heran, dengan tiba-tiba ia tahan kudanya.
Berbareng dengan itu, tampaklah kuda putih lari keluar tanpa penunggangnya di
bebokongnya.
In Lui terkejut, si orang
bertopeng mestinya lihai, apa mungkin orang telah mencelakai dia, dengan
membokong hingga tinggal kudanya saja yang lari keluar?
Setelah seruan itu, di dalam
rimba itu menyusul terdengar teriakan-teriakan. Cuma sedetik In Lui bersangsi,
atau ia sudah lompat turun dari kudanya, untuk lari masuk ke dalam rimba itu,
untuk lompat naik ke atas sebuah pohon.
Segera juga tertampak beberapa
orang memburu keluar rimba.
"Sayang, sayang!"
kata mereka. "Kuda putih itu lolos! Eh, eh, ada kuda merah! Ah, ah, sayang
dia juga kabur!"
In Lui tidak kuatirkan kudanya
itu, yang jinak dan mengerti. Ia tahu, kudanya telah lari menyingkir. Ia
percaya, bila sebentar ia panggil, kuda itu akan kembali. Karena ini, dengan
gunakan ilmu enteng tubuhnya,ia melapai dan berlompatan di pohon-pohon itu,
dari yang satu kepada yang lain hingga di lain saat ia telah sampai di dalam
rimba.
Di sana terdengar suara
berisik sekali.
Dengan hati-hati In Li maju
terus, lalu ia umpetkan diri, untuk mengintai. Ia lantas saksikan satu
pemandangan yang membuatnya heran, yang kesudahannya memberikan penerangan
padanya.
Di atas sebuah batu besar
tampak si mahasiswa berdiri, dia telah melucuti topengnya. Di sekitarnya, di
bawah batu, mengurung delapan orang, tubuh siapa tinggi dan rendah tak rata.
Dua orang segera In Lui kenali ialah See To dan puteranya. Yang menyolok mata
adalah dua orang lain, ialah satu tauwto yang rambutnya terurai, dan satu imam
berjubah hijau. (Tauwto adalah pendeta yang piara rambut).
Terdengarlah suara Ceecu See
To, suaranya yang dingin," Meskipun kau sangat licin, binatang, tak nanti
kau lolos dari tanganku! Apakah kau masih mengharap jiwam?'
Si mahasiswa
menggeleng-gelengkan kepala.
"Sekalipun semut masih menyayangi
jiwanya, apapula manusia?" katanya dengan sabar.
"Jikalau begitu,"
kata See Ceecu," lekas kau panggil kembali kuda Ciauw-ya Say-cu-mamu!
Tentang barang-barang permata, biarlah, tak aku inginkan itu, tidak demikian
dengan kudamu!"
Mahasiswa itu tetap
menggelengkan kepalanya.
"Kuda itu ada kuda
jempolan, dia tidak mudah berpindah tangan," dia kata.
See To tertawa dingin.
"Pembelamu telah nmenjadi
tamu agung di Hek-see-chung, disini siapa yang akan menolong kamu?"
katanya mengejek.
Anak muda itu tiba-tiba
menunjuk.
"Kau mana tahu, orang
sasterawan!" katanya. "Pembelaku itu telah datang" Lalu dengan
tiba-tiba ia perdengarkan seruan nyaring. "Pembelaku kenapa kau tidak
lekas-lekas turun untuk menolongi tuanmu!"
In Lui mendongkol bukan main.
Tidak ia sangka, tibanya disitu telah diketahui si mahasiwa. Mau atau tidak,
terpaksa ia lompat turun dari tempatnya sembunyi di atas pohon itu.
Si tauwto kaget, tapi dia
tabah, dengan lantas dia menyerang memakai senjata rahasia, ialah tiga batang
piauw, yang menyambar dengan beruntun.
In Lui terkejut. Ia tengah
lompat turun, waktu itu ia belum hunus pedangnya, ia jadi serba salah. Tidak
bisa ia menangkis, tidak mampu ia berkelit.
Justeru itu dengan
perdengarkan suara nyaring, ketiga piauw dari si tauwto jatuh ke tanah saling
susul, hingga si tauwto jadi kaget. Dengan cepat dia merogoh pula sakunya.
"Tunggu dulu!"
berseru See To. "Biar dia punya sayap, bocah ini, tidak nanti mampu
terbang!" Terus dia memberi tanda dengan gerakan tangannya, maka In Lui lantas
dikurung deapan orang itu.
Merah mata See To Bu Ki
menyaksikan si anak muda, yang ia pandang bagaikan jarum di biji matanya. Ia
jelus dan mendongkol. Dengan tertawa aneh, dia membentak, "Binatang,
bukannya kau berdiam di Hek-sek-chung sebagai tamu, apa perlunya kau datang
kemari? Kau tahu, meski tangan Hong-thian-lui panjang, tangan itu tidak nanti
dapat diulur sampai disini untuk melindungi kamu!"
Lantas dia angkat goloknya,
hendak dia maju.
See To tarik puteranya itu.
"Apakah Cio Eng yang
menitahkan kau datang kemari?" ceecu itu tanya. Dia jeri terhadap tuan
dari Hek-sek-chung, tanpa penjelasan, tak berani dia berlaku lancang.
Mendahului In Lui, si
mahasiswa, yang bercokol di atas batu, perdengarkan tertawanya yang nyaring.
Dia menggantikan menjawab, "Apakah kamu tidak dengar perkataanku barusan?
Akulah yang panggil dia datang kemari! Dialah piauwsu pembelaku! Kamu hendak
merampas uangku, kamu juga hendak ambil jiwaku, cara bagaimana dia bisa tidak
datang? Eh, pembelaku!" dia teruskan berkata kepada In Lui, "kau
makan dariku, kau minum dari aku juga, sekarang aku mendapat susah kenapa
kaumasih tidak hendak turun tangan?"
"Apakah benar-benar kamu
tidak mempunyai hubungan dengan Hong-thian-lui?" tanya See To dengan
bentakannya.
In Lui mendongkol bukan main
terhadap mahasiwa itu, akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia
tidak turun tangan untuk orang yang pernah ia lindungi itu, maka ia hunus
pedangnya sambil terus membentak, "Perlu aka kau sebut-sebut
Hong-thian-lui? Aku cuma andalkan pedangku ini untuk pergi kemana aku suka,
pergi sendirian saja, tanpa main gila, licik-licikan, cuma bisa menyuruh lain
orang turun tangan!"
Dengan kata-kata ini, dengan
menyindir In Lui tegur si mahasiswa. Si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.
"Bagus! Bagus!"
serunya. "Inilah piauwsu yang tak kecewa untuk diundangnya! Dia
benar-benar satu piauwsu laki-laki!"
"Binatang!" See To
menjerit. "Karena kau tidak punya hubungan dengan Hong-thian-lui, tibalah
saatnya kau mampus!" Lalu dengan menggerakkan sepasang tangannya, dia
lompat maju.
Si tauwto dan si imam, juga
turut maju, untuk mengepung.
Dengan berani In Lui layani
tiga lawan, ketika ia lompat, ia barengi menikam pundak See To, tapi si tauwto
menalangi kawannya menangkis, dengan goloknya, golok kaytoo, dia bentur pedang
orang hingga si nona terperanjat. Keras sekali benturan itu, sampai ia rasakan
tangannya gemetar. Justeru itu, si imam menusuk dengan pedangnya, hingga ia
mesti berkelit, sebab buat menangkis, ia tak punya kesempatan.
"Bret!" demikian terdengar
suara yang menyusuli tusukan si imam, ujung pedang siapa mengenai baju si
pemuda tetiron.
Sementara si tauwto serukan
kawan-kawannya, "Awas pedangnya, itulah pedang mustika!" Sebab ia
dapat kenyataan, goloknya kena terpapas sedikit.
Si imam tidak takut, dia malah
tertawa besar.
"Bagus!" dia
berseru. "Pedang mustika, kuda pilihan, itulah kepunyaan kita!" Terus
saja dia menyerang pula.
In Lui menangkis.
Licin imam ini, ketika ia
ditangkis, mendadak saja ia tarik kembali pedangnya, untuk dibalikkan, dipakai
menikam terus. Dia pun berseru, "Kena!"
In Lui tidak jadi kaget.
Melihat orang demikian gesit, ia pun berlaku tak kurang sebatnya. Ia teruskan
menikam perut orang sambil berseru pula, "Kena!"
Itulah serangan Teng-to im
yang atau Memutarbalikkan im dan yang. Itulah satu nama lain dari ilmu pedang
Hian Kee It-su yang nama lengkapnya "Pek-pian Im Yang Hian-kee-kiam"
yang banyak perubahannya, yang diciptakan berbareng dengan satu ilmu pedang
lainnya "Ban-liu Tiauw-hay Goan-goan-kiam".
Kaget si imam, kesatu, sebab
tikamannya gagal, kedua karena datangnya serangan membalas itu. Ia sebenarnya
gesit, ia sudah lantas berkelit, tapi tidak urung, ikat jubahnya kena disambar
juga hingga putus, hingga ia mandi keringat dingin.
In Lui kecewa karena gagalnya
serangan itu, apapula di lain pihak ia mesti tangkis goloknya si tauwto, yang
sudah merangsak pula, sedang dari sambarannya See To yang tangannya lihai, ia
mesti egoskan tubuhnya. Si imam juga sangat bengis, habis itu, dia maju pula.
Selagi dikeroyok See Bu Ki
berteriak, "Jikalau dia tidak dapat dibekuk hidup-hidup, mati pun boleh!
Mari maju, kita cincang tubuhnya!"
Benar-benar In Lui segera
dikurung dengan rapat.
See To dan puteranya tak dapat
dipandang ringan, si tauwto dan si imam juga liai, malah si tauwto menggunakan
sepasang golok, maka itu In Lui menjadi repot, dia mesti berlaku sangat gesit
dan sebat untuk menangkis sesuatu serangan. Bu Ki merangsak dengan hebat,
rupanya ia sangat penasaran karena tidak dapat memiliki nona Cio.
Begitulah kejadian, selagi
banyak alat meluruk, Bu Ki membacok dengan golok Kwie-tauw-too nya. Ia
kertakkan giginya, ia gunakan seluruh tenaganya. Tapi tiba-tiba ia menjerit
keras sekali dan goloknya pun terlepas, terlempar, karena ia merasakan sikutnya
sakit sekali seperti tertusuk jarum.
In Lui terperanjat menampak
golok melayang ke arah kepalanya, dengan sebat ia berkelit.
Berbareng dengan itu satu
penyerang yang bersenjatakan tombak gaetan seperti arit, juga menjeri seperti
Bu Ki, malah dia terus rubuh tanpa bangun lagi, karena dia juga merasa dirinya
tertusuk jarum, sampai gaetannya, yang terlepas, menyambar dadanya sendiri.
"Bagus! Bagus! " si
mahasiswa berseru dengan pujiannya sambil tertawa, apabila dia saksikan
"piauwsunya" lolos dari bahaya dan dua lawannya terluka. "Hai
piauwsuku yang baik, senjata rahasiamu bagus sekali!"
Mendengar teriakan itu, In Lui
sadar dengan mendadak.
"Musuh banyak, au
sendirian, tidak dapat tidak, mesti aku gunakan senjata rahasia!" demikian
ia pikir. Maka ketika ia sedang bebas, tangan kirinya merogo ke sakunya, untuk
meraup piauw Bwee-hoa Ouw-tiap-piauwnya. Itu segera ia menyerang.
Belum lama In Lui muncul di
dunia kangouw, ia sudah mendapat julukan "San Hoa Lie-hiap" itulah
karena pandainya ia menggunakan piauwnya, ini kali ia gunakan senjata rahasia
itu, dalam sekejap saja ia membuat musuh-musuhnya kaget dan repot. Berulang
kali terdengar suara nyaring dari bentroknya pelbagai piauw dengan
senjata-senjata lawan, yang mengadakan penangkisan, sebagai kesudahannya,
kecuali See To, si imam dan tauwto, yang lainnya rubuh sebagai korban.
Tauwto dan imam itu adalah
orang-orang lihai undangan See To untuk membantu ceecu ini, mereka heran
melihat senjata-senjata rahasia. Mereka insyaf bedanya senjata rahasia In Lui
dari senjata rahasia yang bermula. Mereka tiba-tiba mengerti, selagi dikepung
rapat, bagaimana In Lui dapat kesempatan akan mengunakan senjata rahasianya
itu. Tapi, kalau senjata itu bukan dilepaskan In Lui, mesti disitu bersembunyi
seorang lihai lain yang membantu pemuda ini.
Akhirnya si tauwto berseru,
"Siong Sek Tooheng, kau tahan dia, libat padanya! See Ceecu, kau rampas
pedangnya! Hendak aku melihat-lihat!"
Dan "Sret!"
terdengar suara halus atau lengan si tauwto kena tertusuk.
Si imam berbaju hijau adalah
orang terlihai di antara tiga orang ini, ia telah memasang mata sejak tadi,
maka kali ini ia dapat lihat si mahasiswa yang sedang bercokol di atas batu,
telah bergerak tubuhnya. Tidak tempo lagi, ia berseru, "Suheng, itu
kambing yang main gila!" Lalu ia lompat melewati In Lui, guna menyeranga
anak sekolah itu.
"Tolong! Tolong!" si
mahasiswa menjerit-jerit, tubuhnya gemetar.
Siong Sek Tojin ada satu murid
tingkatan kedua dari Bu Tong Pay, partai yang tersohor dengan ilmu pedang
Citcapji-ciu Lin-hoan Toat-beng-kiam, maka itu bisa dimengerti bagaimana
hebatnya ketika ia tikam si mahasiswa, akan tetapi kali ini, ujung pedangnya
lewat di dekat iga, sama sekali tidak mengenai atau menyinggung bajunya. Karena
itu, ia lantas ulangi serangannya, beruntun sampai empat kali.
Bukan main repotnya si
mahasiswa, dia berteriak-teriak, dia berlompatan, untuk menyingkir dari ancaman
sasarannya, kelihatannya dia seperti sedang bermain-main.
In Lui terkejut mendengar
jeritan si mahasiswa. Ia sekarang menjadi rinan karena Siong Sek Tojin meninggalkan
padanya, akan tetapi meski demikian, ia mesti berkelahi secara sungguh-sungguh,
sebab si tauwto lihai dengan goloknya dan See Ceecu berbahaya dengan tangannya.
"Apakah aku keliru
melihat orang?" nona ini berpikir. "Benar-benarkah si mahasiswa tidak
mengerti silat?"
Karena ia berpikir, ia jadi
alpa, maka satu kali, hampir ia kena bacok si tauwto. Ia jadi sangat mendongkol
terhadap si mahasiswa itu, maka juga, di dalam hatinya, ia berkata pula,
"Menjemukan mahasiswa itu! Aku tolongi dia, dia sebaliknya permainkan aku!
Biar, habis ini tak akan aku perdulikan lagi padanya."
Nona ini mendelu, ia tak tahu,
Siong Sek Tojin terlebih mendelu pula menghadapi mahasiswa itu hingga dia
seperti kalap. Sebab setiap kali dia menikam, setiap kali juga dia gagal,
sasarannya senantiasa meleset. Dan si mahasiswa sendiri masih saja berteriak
"Tolong! Tolong!"
Kemudian dengan mendadak si
mahasiswa tertawa terbahak-bahak.
"Ha, kiranya kau sedang
permainkan aku?" dia berseru. Terus saja dia menghitung. "Satu! Dua!
Tiga!" terus sampai "Dua puluh!" Dia menghitung setiap kali dia
ditikam.
Disaat dia menghitung sampai
dua puluh, Bu Ki yang terkena jarum tetapi tidak parah lukanya, sudah merayap
bangun, terus ia ambil goloknya, lantas ia menghampiri dengan diam-diam pada si
anak sekolah.
Anak sekolah ini berkelahi
sambil tiap-tiap kali kelitkan diri, ia tidak melihat ke kiri dan kanannya.
Maka leluasa Bu Ki mendekatinya, untuk lantas lompat dibarengi dengan
bacokannya. Tapi mendahului itu, tangan si mahasiswa melayang ke belakang,
tepat mengenai hidung orang, hingga hidung itu menyemburkan darah hidup.
"Manusia tolol!"
bentak si mahasiswa. "Telah aku tolongi kau, kau sebaliknya menghendaki
jiwaku, jikalau aku tidak hajar padamu, kau tidak akan insyaf! Apakah kau tidak
diajar aturan? Apakah si bangsat tua she See mengajar kau membalas kebaikan
dengan kejahatan?"
Bu Ki kelabakan karena
hidungnya bercucuran darah, ia mesti bekap hidungnya itu. Gagallah bokongannya.
Tapi kata-kata si mahasiswa membuat See To, Bu Ki dan In Lui menjadi sadar.
Ketika malam itu Bu Ki bersama Hu-cee-cu membokong di kuil tua, dia mestinya
terbinasa di ujung pedang In Lui, akan tetapi secara menggelap ada orang
menolongnya, tangan In Lui kena dihajar senjata rahasia hingga ujung pedangnya
nyasar, dan Bu Ki lolos dari bencana. Tentang kejadian itu, Bu Ki telah katakan
pada ayahnya, mereka menduga-duga, sama sekali mereka tidak menyangka si
mahasiswalah yang menolongnya. Karena ini, See To jadi melengak. Tapi justeru
itu, In Lui menyerang, ia kena dibacok kopiahnya hingga rusak. Ia jadi sangat
gusar. Di dalam hatinya, ceecu ini berpikir, "Aku hendak mencuri permata
dan kudanya, dia sebaliknya diam-diam membantu aku! Tidakkah ini aneh?" Ia
tidak berpikir lama, dia sudah lantas sambar muka In Lui. Juga si tauwto turut
menyerang, sebab tauwto ini panas hatinya. Dia satu jago di Jalan Hitam tetapi
hampir dia celaka di tangan "pemuda" ini. Tauwto ini telah berpikir,
In Lui mesti dirubuhkan dulu, baru nanti mereka kepung si mahasiswa.
Repot In Lui didesak secara
hebat, sampai tak sempat ia memperhatikan si anak sekolah, lebih-lebih ketika
See To menyambar dadanya dan si tauwto membacok mukanya. Tapi justeru itu,
bentrokan senjata terdengar keras dan lelatu api muncrat, dibarengi dengan
jeritan si tauwto yang kemudian disusul dengan teriakan si mahasiswa.
"Hai, pendeta, kaulah yang paling menjemukan, hendak aku berikan tanda
mata padamu!" Setelah ini, tidak ayal lagi, si tauwto lari kabur, diikuti
oleh See To.
Pada saat si
"pemuda" itu terancam bahaya, si mahasiswa sudah tunjukkan
kesebatannya yang luar biasa, ia lompat ke arah si tauwto, golok siapa ia
tangkis dengan pedang Siong Sek Toojin yang ia rampas. Hebat tangkisan itu,
golok kaytoo menjadi kutung karenanya. Tauwto itu kaget dan jeri, begitu juga
See Ceecu, maka keduanya segera angkat kaki.
Si mahasiswa lantas tertawa
berkakakan, lalu sambil melemparkan pedangnya kepada Siong Sek Toojin, dia
berkata dengan logat anak sekolah, “Menipu uang dan merampas jiwa, itulah
perbuatan tak berperikemanusiaan, dan tidak tahu tenaga sendiri, itu namanya
tolol. Manusia tak berperikemanusiaan dan tolol, bukankah perbuatannya onar
belaka? Ini, aku kembalikan pedangmu, supaya kau belajar lebih jauh lagi
sepuluh tahun!”
Imam itu menjadi sangat lesu.
“Tolong kau sebutkan namamu,”
ia minta.
Si mahasiswa tertawa.
“Apakah kau berniat balas
dendam kepadaku?” dia tanya.
“Tidak,” sahut si imam.
“Jikalau tidak, untuk apa kau
tanya namaku? Aku tidak berani bermusuh dengan kau, aku juga tidak ingin
bersahabat denganmu, karena kita bukan musuh dan bukan sahabat, buat apa kita
saling berkenalan?”
Siong Sek Toojin membungkam,
ia menghela napas, tapi karena ia sangat mendongkol, ia patahkan pedangnya itu,
sesudah mana ia ngeloyor pergi. Seorang diri ia bersumpah untuk selanjutnya tidak
lagi menggunakan pedang.
Kembali si mahasiswa tertawa
besar.
“Baik, pergilah kamu semua!”
katanya sambil terus mendekati sekalian lawannya, untuk mendupak pergi.
Orang-orang yang diserang
senjata rahasia In Lui terkena urat-uratnya hingga mereka tak dapat bergerak,
sekarang setelah didupaki si mahasiwa, darahnya jalan pula, hingga mereka dapat
bergerak lagi.
In Lui heran yang si anak muda
dapat menyadarkan orang-orang itu sedang ia tahu, totokan piauwnya adalah
totokan istimewa.
Si mahasiswa rupanya dapat
melihat keheranan orang, sambil tertawa, dia berkata, “Kemarin kau pecahkan
totokanku, sekarang aku pecahkan kepunyaanmu, tidakkah itu sama saja?”
Tapi tetap In Lui heran.
See Bu Ki telah saksikan
perbuatan si anak sekolah, seperti lupa pada hajaran si anak sekolah tadi, ia
lantas menghampiri, untuk memberi hormat sambil menjura, “Kau telah menolongi
jiwaku, kau telah hajar aku dengan tanganmu, maka itu di belakang hari, aku pun
hendak memberi ampun satu kali pada jiwamu dan menghajar kau satu kali juga!”
Mendengar itu dan melihat
kelakuan orang, si anak sekolah tertawa.
“Aku tolong kau karena aku
pandang muka si bangsat tua she See, dari itu tidak usah kau ingat budi,” ia
kata. “Kau hendak memberi ampun satu kali pada jiwaku, itulah tidak usah,
tetapi bahwa kau hendak membayar satu tanganmu, untuk itu aku menanti. Kau
kalah dari Siong Sek Toojin, kau mestinya pulang dulu untuk belajar lagi dua
puluh tahun! Nah, pergilah lekas!”
See Bu Ki itu cupat
pandangannya, bisa dimengerti bagaimana ia mendongkolnya. Ia pandang si
mahasiswa dan In Lui dengan mata mendelik, lalu ia ajak kawan-kawannya berlalu.
Si mahasiswa
menggeleng-gelengkan kepala, ia tertawa melenggak.
“Orang she See itu mempunyai
nama kosong belaka di jalan hitam,” katanya, “maka aku tidak sangka dia
demikian tak berguna!”
Ia nampaknya jadi sangat
kecele.
In Lui sebenarnya berniat
berlalu, akan tetapi mendengar perkataan orang itu, ia menoleh. Ia anggap orang
telah menghina golongan Jalan Hitam.
“Bagaimana dengan Kim-to Ceecu
dari Gan-bun-kwan luar?” dia tanya. “Apakah dia tak dapat dihitung sebagai satu
orang gagah?”
Berubah wajah si mahasiswa,
tetapi cepat sekali, ia tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan kepala pula.
“Kim-too Ceecu dan See Bu Ki,
ayah dan anak, tak dapat dipandang sama,” sahutnya. “Mengenai mereka itu ada
perbedaan waktunya. Untuk menyebut dia sebagai orang gagah itulah belum dapat!”
Mendongkol In Lui.
“Baiklah!” serunya, “di kolong
langit ini rupanya cuma kau seorang yang gagah!”
Karena tetap masih mendongkol,
ia lantas bertindak pergi, akan berlalu dari rimba itu. Belum jauh ia berlalu
atau satu bayangan orang berkelebat di depannya.
“Saudara kecil, perlahan
sedikit!” demikian suara bayangan itu, ialah si mahasiswa. “Menurut aku, kaulah
si orang gagah!”
In Lui melengak tapi segera ia
angkat kakinya, untuk pergi terus. Ia bertindak ke kiri, si mahasiswa cegat ia
, ia bertindak ke kanan, masih ia dihalangi. Ia bertindak pula ke kiri dan ke
kanan, tetap ia dirintangi. Si mahasiswa bergerak dengan sebat sekali.
“Kenapa kau cegat aku?” bentak
si “pemuda” hatinya panas sekali. Kali ini ia terus lompat, untuk dengan
mendadak melewati si mahasiswa itu.
Maka gusarlah si “pemuda”
hingga ia mendelik.
“Kau…..kau berani menghina….”
Bentaknya. Hampir ia mengatakan “nonamu”. Syukur dapat ia cegah itu di
tenggorokannya, habis mana terus saja dengan pedangnya ia tikam tenggorokan si
mahasiswa, hingga orang menjadi kaget, baiknya dia dapat lompat mundur.
Menyusul tikamannya itu, si
“pemuda” perdengarkan seruan kaget, terus ia meringis. Tangan kanannya, yang
mencekal pedang, telah turun sendirinya. Begitu hebat tikamannya itu, ketika
tikaman itu tidak mengenai sasarannya, tangannya terlonjorkan kaget sekali,
sedang tubuhnya tertahan kuda-kudanya. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit karena
lengannya bagaikan copot dari pundaknya.
Si mahasiswa lihat itu.
“Mari aku tolong sambung
lenganmu,” katanya sambil maju, dengan niat memberikan pertolongannya.
“Jangan kau pedulikan aku!”
bentak si “pemuda”. Ia mencekal lengan kanannya itu dengan tangan kiri, ia
mendorong dengan dikagetkan, dengan begitu, ia sambung pula lengan itu,
kemudian dengan membalik tubuh, membelakangi si mahasiswa, ia buka tangan
bajunya, terus ia obati lengan yang seperti copot itu. Sebenarnya ia ingin
lantas berlalu dari situ, baru ia berniat angkat kaki, untuk berlari pergi,
atau sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya lemah. Segera ia insaf, karena telah
bertempur terlalu lama, tenaganya menjadi habis sendirinya.
Si mahasiswa mendekati, ia
menjura.
“Aku mohon maaf,” katanya
perlahan. “Saudara kecil, hatimu polos dan baik, kau dapat menolong sesamanya,
ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lama, baru aku ketemukan orang dengan
pribadi sepertimu ini. Aku biasa beradat tinggi, andai kata aku telah berbuat
salah terhadapmu, sukakah kau memaafkannya.”
Dengan matanya yang bersinar
hidup, ia awasi wajah orang.
Mukanya In Lui bersemu dadu,
Di matanya, di dalam hatinya, ia merasa si mahasiswa ini luhur budi pekertinya,
kelakuannya dapat membuat orang kagum.
“Kenapa kau mencaci Kim-too
Ceecu?” akhirnya ia tanya, sambil tunduk.
Tertawa anak sekolah itu.
“Orang yang kau kagumi belum
tentu dikagumi juga olehku,” katanya. “Kenapa kau seperti hendak memaksakan
supaya orang turut padamu? Lagi pula, aku tidak mencaci dia. Mungkin dia
mempunyai bagian-bagian yang membuatnya orang kagum, akan tetapi…..Sudahlah,
terlalu panjang untuk diuraikan, lebih baik aku tidak mengatakannya.”
Tergerak hati In Lui.
“Apakah kau datang dari luar
Gan-bun-kwan?” dia tanya.
Si mahasiswa mendongak, ia
tertawa.
“Sang kapu-kapu
terumbang-ambing karena tak ada gunanya, dia terhanyut sampai di sungai dan
telaga, tak usahlah tuan menanyakan sebabnya,” ia bersenandung, seorang diri.
Lalu ia tertawa pula, suaranya mengharukan.
“Mestinya dia punyakan riwayat
sedih,” pikir In Lui, “riwayat yang sama dengan lelakon hidupku. Aku tak sudi
orang mengetahui tentang diriku, maka buat apa aku menanyakan tentang dia?”
Oleh karena ini, dengan
tiba-tiba nona ini menaruh rasa simpati terhadap si anak sekolah.
“Baik,” katanya kemudian, “tak
nanti aku ganggu pula padamu. Disini kita berpisah!”
Si mahasiwa tertawa pula.
“Saudara kecil,” katanya,
“hari ini kau telah menjadi piawsuku, sudah seharusnya aku undang kau minum
arak. Kali ini kau telah berjasa, wajib kau menerima hadiah, dan tidak lagi aku
mengatakan kau penganglap!”
In Lui tidak menjadi gusar. Ia
anggap biasa saja seperti orang sedang bersenda gurau. Ia lantas memandang ke
sekitarnya.
“Di hutan sebagai ini dimana
ada arak?” tanyanya kemudian.
Si anak muda tidak menjawab,
dia hanya perdengarkan suitan nyaring dan panjang, setelah itu terdengar
jawaban yang berupa bengernya kuda, habis mana, dalam sekejap saja, tampak dua
ekor kuda lari muncul dari dalam rimba. Itulah kuda putih dari si mahasiswa
disusul kuda merah si nona.
“Lihat, mereka telah
mendahului bersahabat!” kata si anak sekolah sambil tertawa.
Kuda putih itu menghampiri
majikannya, dan si mahasiswa lantas mengulurkan tangannya, guna menurunkan satu
kantong kulit dari bebokongnya, dari dalam kantong itu ia keluarkan satu gendul
arak warna merah.
“Kau telah lelah, silahkan kau
minum lebih dahulu,” katanya seraya mengangsurkan gendul itu kepada si nona.
In Lui sambuti gendul itu, ia
irup araknya. Tiba-tiba ia kerutkan alisnya.
“Ah, kiranya benar kau datang
dari Mongolia!” ia kata.
Arak itu ada arak susu dari
Mongolia, arak yang keras sifatnya dan sarinya agak asam. In Lui kenali arak
ini, karena semasa kecilnya pernah ia turut ayahnya meminumnya. Ia tidak suak
arak yang keras, karenanya, tak dapat ia melupakan arak ini.
Dengan sepasang matanya yang
jeli, si mahasiswa mengawasi.
“Apakah kau juga datang dari
Mongolia?” ia Tanya. “Melihat kau begini lemah lembut, mestinya kau kelahiran
daerah Kanglam yang indah.”
Tersenyum In Lui karena pujian
itu.
Tiba-tiba si mahasiswa
bertepuk tangan hingga menerbitkan suara nyaring. Terus ia tertawa.
“Kapu-kapu telah hanyut, untuk
apa menanyakan tentang sumber asalnya?” katanya. “Bukankah air mengalir dan
mega yang melayang harus dibiarkan sekehendak hatinya? Kau tak usah bertanya
aku, aku juga tak usah bertanya perihalmu. Dalam halku ini, keliru aku sudah
menanyakan kau berasal darimana.”
In Lui heran, hingga tak dapat
ia kendalikan hatinya.
“Pada malam itu, apakah kedua
orang Tartar itu hendak paksa kau pulang?” dia tanya tanpa merasa.
Si anak muda tenggak araknya,
ia tersenyum, tidak ia menjawab.
In Lui tidak mendesak, hanya
seorang diri, ia berkata, “Di antara Watzu dan Tiongkok akan terbit perang,
karena kau satu putera Tiongkok, kau telah lari dari wilayah Tartar itu,
bukankah begitu?”
Si mahasiswa tertawa meringis.
Ia tenggak pula araknya, ia tidak menjawab, ia seperti membiarkan si “pemuda”
menduga-duga.
In Lui angkat mukanya, ia
tatap wajah orang.
“Dua orang Tartar itu mengejar
kau untuk ditawannya, kenapa kau bantui aku membunuh yang satu dan sebaliknya
kau tolongi yang lainnya?” tanyanya.
Lagi-lagi si mahasiswa tenggak
araknya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
“Saudara kecil, sungguh kau
gemar menanya!” katanya. “Tahukah kau, orang macam apa yang telah aku tolongi?”
“Dialah murid Tantai Mie
Ming!” sahut In Lui cepat. Dia seperti keterlepasan buka mulut.
Si mahasiswa melirik orang di
hadapannya, nampaknya ia merasa aneh. Ia lalu tertawa tawar.
“Yang terbinasa adalah salah
satu pahlawannya To Hoan,” katanya perlahan. Dan begitu ia berkata, terus ia
tutup mulutnya.
In Lui heran. Ia berpikir,”
Tantai Mie Ming adalah pahlawan paling tangguh dan paling dipercaya dari Thio
Cong Ciu dan yang mati itu adalah pahlawan To Hoan…Thio Cong Ciu dan To Hoan
adalah menteri-menteri dari Watzu, apakah bedanya antara kedua menteri itu?
Kenapa sekarang pahlawan To Hoan dibinasakan dan pahlawan Thio Cong Ciu
dilepaskan?”
Benar-benar si nona tidak
mengerti, hingga ia ingin menanyakannya. Akan tetapi, ketika ia tampak orang repot
menenggak susu macannya, ia batalkan niatnya itu, ia anggap percuma saja untuk
menanyakannya pula.
Masih si mahasiswa menenggak
araknya, lalu ia goyang-goyangkan gendulnya, nampak ia terkejut.
“Ah, tinggal separuh lagi,”
katanya. Ia nampaknya menyesal.
“Apa sih lezatnya arak itu?”
kata In Lui tertawa. Dimana-mana di Tiongkok ada orang yang menjual arak!
Apakah itu semua tak cukup banyak untuk kau minum?”
Berduka nampaknya si anak
sekolah, ia kata, “Orang meninggalkan kampung halamannya, rendah terpandangnya,
barang-barang meninggalkan tempat asalnya, mahal harganya, itulah sebabnya
kenapa aku hargakan arak ini.”
Ia bawa gendulnya ke hidungnya
dan menciumnya.
Melihat kelakukan orang itu,
In Lui ingat halnya semasa kecil, selagi berumur tujuh tahun. Itu waktu bersama
engkongnya, ia baru balik ke Tionggoan. Setibanya di luar kota Gan-bun-kwan,
engkongnya meraup tanah, berulang kali tanah itu diciumnya, romannya sangat
bersungguh-sungguh. Ingat ini, tiba-tiba ia tanya si mahasiswa, “Apakah kau orang
Han?”
Agaknya heran anak sekolah
itu.
“Kau lihat aku, apakah aku tak
mirip orang Han?” dia balik menanya.
In Lui menatap muka orang. Ia
dapatkan orang beralis kereng dan mata jeli, romannya sangat ganteng, jangan
kata di Mongolia, sekalipun di Kanglam sukar untuk mencari orang secakap dia.
Menatap wajah orang, mukanya menjadi dadu sendirinya.
“Biar kau telah menutup mata
dan menjadi abu, kau tetap orang Han!” ia kata. Tiba-tiba ia menjadi jengah
sendirinya, ia insyaf bahwa ia telah kelepasan berbicara.
Kedua mata si mahasiswa
bersinar.
“Benar, benar sekali!”
katanya. “Meski aku mati menjadi abu, tetap aku seorang Han! Mari minum!”
Ia buka tutup gendulnya itu,
kembali ia menenggak.
In Lui tertawa menampak
kelakuan orang itu.
“Kau minum bagaikan ikan lodan
atau kerbau, dengan beberapa ceguk saja, arakmu kering, apakah tidak saying?”
dia tanya.
Memain mata si anak muda,
terus ia tertawa bergelak.
“Hari ini adalah hari yang
paling menyenangkan bagiku, sudah seharusnya aku minum sampai puas!” katanya.
“Apakah itu yang paling
menyenangkan kau?”
Si mahasiswa tertawa.
“Pertama-tama aku dapat
bersahabat dengan orang semacam kau, dan kedua karena aku peroleh mustika yang
langka!” sahutnya. “Mari, mari, saudara kecil! Aku undang kau minum arak sambil
memandang gambar yang indah!”
Ia rogoh kantong kulitnya,
akan keluarkan segulung kertas, yang mana, ia beberkan di antara sampokan
angin, terus ia gantung di cabang sebuah pohon.
“Kau lihat!” katanya pula.
“Bukankah ini mustika yang langka?” Dengan “mustika” ia maksudkan gambar yang
ia anggap berharga itu ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu.
In Lui ada turunan orang
berpangkat, engkongnya pernah menjadi hamba negeri kelas satu dan bertanggung
jawab sebagai satu utusan, sedang ayahnya, mulanya satu pembesar sipil kemudian
menjadi seorang peperangan, maka ayah itu pandai ilmu surat. Demikian In Lui,
sejak ia masih kecil sudah ia belajar surat, sudah ia mengenal gambar-gambar
lukisan, maka tahulah ia gambar mana yang berharga, mana yang tidak. Sedang
gambar ini adalah gambar yang Cio Eng gantung di Eng Chong Lauw, loteng tempat
menyimpan barang-barang berharga. Tadi malam ia tak lihat nyata gambar itu,
sekarang dapat ia memandangnya dengan tegas. Itu ada pemandangan alam di dalam
kota, ada airnya, pepohonan, dan ada juga orangnya, lukisannya bagus, mirip
karya satu pelukis pandai, hanya bila dipandang terlebih lama, masih ada
kekurangannya. Maka itu, ia tertawa di dalam hatinya.
“Mahasiswa ini masih kurang
pemandangannya tentang seni lukis,” pikirnya.
Si mahasiswa tenggak habis
araknya yang terakhir, ia tertawa.
“Apakah kau tak nampak
keindahan pada gambar ini?” dia tanya.
In Lui belum menyahuti atau si
mahasiswa sudah menghampiri gambar itu, untuk terus diusap-usap, untuk
dipandang dan dipandang pula, kemudian ia bernyanyi dengan nada tinggi.
“Siapakah yang menyanyikan lagu Souwcu dan Hangciu? Bunga teratai menyiarkan
harumnya sepuluh lie dan kembang kui-hoa tiga musim, tetapi rumput dan pohon
kayu tidak kekal, mereka mengenangkan penderitaan sungai Tiang-kang dari
berlaksa tahun! Ya, ya , penderitaan sungai Tiang-kang dari berlaksa tahun…”
Kata-kata yang terakhir itu
diucapkan secara bersenandung.
In Lui berpikir, “Orang-orang
tua dahulu mengatakan, bernyanyi keterlaluan menyebabkan tangisan, sekarang
mendengar nyanyian ini, itu sama hebatnya seperti mendengar tangisan.”
Ia tengah berpikir begitu atau
di luar dugaannya, benar-benar si mahasiswa menangis, tangisannya keras dan
menyedihkan sekali, hingga umpama kata menyebabkan “daun-daun rontok dan
burung-burung terbang pergi”.
Bingung In Lui, tak tahu ia,
kenapa si mahasiswa berduka, kenapa ia menangis, begitu sedih.
Hebatnya, lama anak sekolah
ini menangis, hingga si nona menjadi tambah bingung. Bukankah anak sekolah ini
orang asing baginya? Bukankah dia satu anak muda? Cara bagimana ia dapat
menghiburnya? Ia pun tidak dapat meninggalkannya, itulah perbuatan tidak
pantas. Habis, apa yang mesti dilakukan?
Masih si mahasiswa menangis,
makin lama makin sedih, mengenaskan mendengarnya, hingga tanpa merasa, si nona
turut mengucurkan air mata di luar keinginannya.
Si mahasiswa lihat orang
menangis, ia lantas seka air matanya, dengan tiba-tiba ia ia berhenti menangis,
ketika ia angkat kepalanya, mendongak, dengan tiba-tiba pula ia tertawa terbahak-bahak.
“Fui!” In Lui berseru. “Apakah
kau telah mabuk?” tegurnya. “Kenapa kau tertawa dan menangis tidak keruan?
Apakah sebabnya?”
Si mahasiswa mengawasi orang,
ia menunjuk.
“Kau juga sudah mabuk!”
katanya. “Toh, sama saja bukan?”
In Lui tunduk, ia lihat
bajunya, yang pun basah dengan air mata. Ya, tanpa alas an, ia turut orang
menangis. Ia jengah sendirinya, tetapi segera ia tertawa.
Si mahasiswa tertawa pula,
bergerak-gerak, lalu ia bersenandung pula, “Makin kalap, makin gagah, itu
baharulah orang kenamaan sejati. Bia menangis, bisa tertawa, itulah bukannya
orang yang biasa….Kalau mestinya menangis, menangislah, kalau mestinya tertawa,
tertawalah! Kenapa mesti malu-malu tak ada perlunya? Kita adalah orang-orang
dari satu golongan, kita menangis, kita tertawa, apakah anehnya?”
Dengan kedua tangannya, ia
gulung gambar itu, kembali ia bersenandung, “Sungai Tiangkang terus-menerus
mengalir ke timur…menaruh kaki di tanah daerah asing, tetapi cita-cita belum
tercapai….Bila memandang kembali kepada enam puluh tahun yang lampau, sungai di
Selatan, di padang pasir di Utara, tidakkah itu sangat mendukakan orang?”
Tergerak hati In Lui mendengar
itu. Ia berpikir pula, “Ketika tadi malam si mahasiswa ini pergi ke
Hek-sek-chung mengambil gambar, Cio Eng mengatakan sudah menanti enam puluh
tahun. Kenapa jumlah tahun itu akur satu dengan lain? Teka-teki apakah
tersembunyi di dalam ini? Si mahasiswa baharu berumur dua puluh lebih, dan
usianya Cio Eng belum lewat enam puluh tahun, maka apakah yang diartikan dengan
enam puluh tahun itu?”
Ia pikirkan, ia pikirkan pula,
masih ia tidak mengerti, sampai ia dengar pula kata-kata perlahan dari si
mahasiswa.
“Hari ini aku tertawa puas,
menangis pun puas, sayang sekali, araknya sudah habis…” demikian katanya.
Rupanya dia sangat menyesal atau sengit, dia banting gendul araknya ke tanah
hingga gendul itu pecah hancur.
Aneh kelakuan si mahasiswa
ini, tetapi pada itu In Lui lihat suatu tenaga menarik yang luar biasa.
Waktu itu, matahari sudah
menunjukkan lewat tengah hari.
“Ah, sudah waktunya kita
berpisah…” kata si nona. Tapi, ia mengatakan ini dengan agak sedih. Ia seperti
merasa berat untuk berpisahan.
“Kau hendak pergi kemana?”
Tanya si mahasiswa. “Apa kau hendak kembali ke Hek-sek-chung?”
“Tak perlu kau ketahui itu,” jawab
In Lui.
Si mahasiswa tertawa.
“Apa yang kau perbuat tadi
malam, semua telah aku lihat!” katanya.
Teringat pada kejadian di
dalam kamar, muka In Lui menjadi merah.
“Nona Cio cantik luar biasa,”
kata si mahasiswa, “dia juga mengerti ilmu silat. Saudara kecil, mengapa kau
menampik, tak mau kau menikah dengannya?”
“Aku mau atau tidak, apa
sangkutannya dengan kau?” In Lui balik menjawab.
Mahasiswa itu tertawa pula.
“Jikalau malam itu aku tidak
mengacau, tidak nanti kau dapat lolos dari Hek-sek-chung,” dia kata. “Kenapa
kau tidak menghaturkan terima kasih terhadapku?”
Mau atau tidak, In Lui
tersenyum.
“Kita, bangsa orang gagah,
kita memang tak boleh terjeblos dalam jebakan sang cinta,” berkata si
mahasiswa. “Imanmu teguh, saudara kecil, aku kagum terhadapmu.”
Kembali merah wajah In Lui. Ia
jadi jeri untuk bicara lebih lama dengan anak muda ini, ia kuatir rahasianya
nanti terbuka, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia lompat ke atas kudanya,
yang terus dikaburkan.
Baharu ia keluar dari rimba,
atau di belakangnya, ia dengar suara kelenengan kuda, hingga ia mesti
berpaling, rupanya kuda putih si mahasiswa telah menyandak padanya.
“Saudara kecil, aku ingin
bicara padamu!” kata si mahasiswa.
In Lui tahan kudanya.
“Bicaralah!” katanya.
Si mahasiswa perlambat jalan
kudanya, hingga berendeng dengan kuda si “pemuda”.
“Di dalam wilayah Shoasay ini,
Cio Eng dan See To sangat berpengaruh,” kata si mahasiswa sambil tersenyum,
“maka bila kau berjalan seorang diri saja, pada akhirnya kau bukannya dicandak
Cio Eng, untuk dibawa pulang untuk dijadikan babah mantunya, melainkan kau akan
dibekuk si orang she See ayah dan anak itu, untuk disiksa mereka. Karenanya,
baiklah kau berjalan bersama-sama aku, aku akan menjadi piauwsu pembelamu.”
In Lui anggap, berjalan bersama
itu ada alasannya, akan tetapi, belum sempat ia menjawab, si anak muda sudah
menanya pula kepadanya, “Sebenarnya kemana kau hendak pergi?”
“Ke Pakkhia,” jawab In Lui.
“Sungguh kebetulan!” seru si
anak sekolah. “Aku juga hendak pergi ke kota Pakkhia! Baiklah kita mengaku
engko dan adik satu sama lain.”
In Lui tertawa, ia anggap
orang lucu.
“Aku belum tahu she dan
namamu, mana dapat kita berbasa secara demikian?” katanya. “Apa aku mesti
selalu panggil engko saja padamu?”
Anak sekolah itu tersenyum.
“Aku she Thio, namaku Tan
Hong,” jawabnya. “Tan dari tan-sim (putih bersih) dan Hong dari pohon hong.”
In Lui tertawa.
“Satu nama yang bagus!”
pujinya. “Akan tetapi di Mongolia tidak ada pohon hong, maka itu, dari mana kau
ambil namamu ini?”
“Hiantee, namamu?” Tanya si
anak sekolah, yang tidak menjawab. Ia pun sudah lantas berbasa “hiantee”
(adik).
“Aku orang she In dan namaku
cuma satu, Lui,” sahut si “pemuda”. “Lui dari pwee-lui (pusuh bunga).”
“Sungguh nama yang indah!”
tertawa si mahasiswa. “Cuma nama itu sedikit berbau nama wanita. Di perbatasan
tanah asing dimana ada es dan salju jarang tertampak busu bunga, dari itu, dari
arti apa namamu diambil?”
Wajah In Lui berubah.
“Cara bagaimana kau ketahui
aku menjadi besar di perbatasan tanah asing yang ber es dan bersalju itu?” dia
tanya.
Si anak sekolah tertawa.
“Dari arakku!” sahutnya.
“Begitu kau ceguk arakku, aku mengetahuinya. Bukankah caramu tadi membeber
sendiri tentang asal-usulmu?”
In Lui berpikir, lantas ia
tertawa sendirinya, ia merasa kurang senang hatinya. Dilihat dari sikap anak
sekolah itu, mungkin dia masih mengetahui terlebih banyak tentang dirinya.
Dengan berbicara terlebih jauh
maka tahulah In Lui bahwa Thio Tang Hong ini luas pengetahuannya, tentang ilmu
bumi, perihal ilmu alam begitupun pengetahuan ilmu surat, syair, dan ilmu
silatnya. Dengan sendirinya, ia jadi merasa sangat tertarik, hingga tanpa
merasa, ia kurang akan penjagaan atas dirinya. Selama berjalan, asyik sekali
mereka pasang omong.
Tanpa merasa, sang sore telah
datang pula.
Thio Tan Hong menunjuk dengan
cambuknya.
“Di depan sana ada sebuah
dusun,” katanya, “ sudah tiba saatnya untuk kita bermalam.”
Ia bunyikan cambuknya untuk
melarikan kudanya.
In Lui telad anak sekolah itu,
maka kaburlah kuda mereka, hingga sebentar kemudian tibalah mereka di tempat
yang ditunjuk anak sekolah itu. Dengan lantas mereka cari rumah penginapan.
“Berikan kami sebuah kamar
besar yang menghadap ke selatan,” Tan Hong minta.
“Kita inginkan dua kamar!” In
Lui campur bicara.
Kuasa hotel
menggeleng-gelengkan kepala.
“Yang betul, satu atau dua?”
ia tegaskan.
“Dua kamar!” sahut In Lui
cepat dan keras. “Dua kamar!”
Thio Tan Hong mengawasi juga,
ia tertawa.
“Baiklah, dua kamar!”
sahutnya.
“Apakah tuan-tuan berdua
saja?” masih pengurus hotel itu menanya.
“Ya, Cuma kita berdua,” jawab
si anak sekolah.
Pengurus itu heran, ini tampak
pada wajahnya. Akan tetapi dua kamar ada terlebih banyak daripada satu kamar,
sewanya jadi bertambah, maka ia tidak menegaskan terlebih jauh. Ia lantas ajak
kedua tetamunya untuk periksa kamarnya, habis mana, ia undurkan diri untuk
menyediakan barang santapan bagi mereka.
Di dalam kamarnya, Thio Tan
Hong tertawa.
“Hiantee, bukannya aku pelit
mengeluarkan lagi beberapa potong perak,” kata dia. “Dengan berada berdua kita
dapat pasang omong. Tidakkah itu lebih baik? Kenapa kau menghendaki dua buah
kamar?”
“Kau tidak tahu, hian-heng,”
sahut In Lui, yang pun berbasa “kakak”, “seumurku paling takut aku tidur
bersama-sama orang lain.”
Tan Hong tertawa pula.
“Pantas di Hek-sek-chung kau
tak mau tidur sama-sama Cio-siocia!” katanya.
Merah wajahnya In Lui, lantas
ia alihkan pembicaraannya.
Si anak sekolah juga tidak
menanyakan lebih jauh.
Habis bersantap malam, dua
sahabat ini tidur dalam kamarnya masing-masing.
In Lui tidak tengan hatiny, ia
palang pintu kamarnya, ia tutup jendelanya, malah di waktu merebahkan diri, ia
tidak salin pakaian. Tidak dapat ia lantas tidur nyenyak, masih ia pikirkan si
anak sekolah, ia ingat akan kata-katanya dan tertawanya. Ia malah tidak
rapatkan matanya.
Ketika terdengar kentongan
tiga kali, hotel sudah sangat sunyi. Sampai saat itu, baharu In Lui merasakan
hatinya tak terlalu tegang lagi, ia merasa lega, ia malah tertawa sendirinya.
“Tampaknya anak sekolah itu,
walaupun ia berandalan, ia bukannya seorang ceriwis…” ia berpikir.
Oleh karena hatinya lega dan
merasa ngantuk, In Lui lantas saja tidur pulas. Tidak tahu ia, berapa lama ia
sudah tidur, tiba-tiba secara layap-layap ia tampak si anak sekolah mendatangi,
mendekati pembaringannya, sambil membungkuk ia tersenyum. Ia kaget, ia hunus
pedangnya, berbareng mana, si anak sekolah menjerit, lalu dalam sekejap saja,
dia bermandikan darah seluruh tubuhnya. In Lui kaget sekali, hingga ia berseru.
Adalah pada waktu itu, ia dengar ketokan pada jendela.
“Hiantee, lekas kemari!”
demikian suaranya Thio Tan Hong.
In Lui berbangkit, ia
kucek-kucek matanya. Insyaflah ia bahwa ia sedang bermimpi. Ia dengar suaranya
Thio Tan Hong, ia kenali. Ia menjadi heran, hingga ia ragu-ragu, ia tengah
bermimpi atau bukan.
Kembali terdengar suara Tan
Hong, kali ini disusul dengan ringkikan kuda yang berirama sedih. Maka tak ayal
lagi ia lompat turun. Syukur untuknya, ia tidur tanpa salin pakaian. Dengan
lantas ia dapat buka pintu, untuk lari keluar.
Dari wuwungan rumah, terdengar
Thio Tan Hong berseru, “Orang telah mencuri kuda kita! Mari lekas, kita kejar!
Lekas!”
Kuda Ciauw-ya Say-cu-ma dan
kuda merah dari Thio Tan Hong dan In Lui ada kuda-kuda pilihan, tidak sembarang
orang dapat mendekati kedua binatang itu, malah kuda Tan Hong bengis sekali dan
mengerti, kecuali tuannya, lain orang tidak dapat mengendalikannya. Karena itu,
Tan Hong sangat percaya kudanya itu, barangnya yang berharga pun ia biarkan di
bebokong kuda, sama sekali ia tidak kuatirkan apa-apa, maka itu, adalah di luar
sangkaan, kali ini ada orang yang mencuri kuda itu. Pastilah pencurinya seorang
yang sangat cerdik atau suatu ahli. Tidak perduli ia bernyali besar dan tabah,
Tan Hong toh gentar juga.
In Lui lompat naik ke atas genteng.
“Dapatkah kita susul mereka?”
ia Tanya.
“Kuda kita tentu tak sudi
turut lain orang, mesti dapat kita susul,” jawab Tan Hong. Ia rogo sakunya,
akan keluarkan sepotong perak, yang mana ia lemparkan ke dalam rumah. Sampai
pengurus hotel itu mendusin, mendengar suara yang berisik.
“Uang sewa kamarmu di lantai!”
teriak Tan Hong, habis mana ia lompat pergi.
In Lui segera ikuti kawan ini.
Di sebelah depan mereka masih
terdengar ringkiknya kuda.
Pengejaran dilakukan terus
sampai di sebuah tegalan. Di bawah rembulan yang remang-remang, dibantu dengan
cahaya bintang-bintang, segera tertampak kedua kuda-kuda itu, kuda merah di
sebelah depan, kuda putih di sebelah belakang. Kedua kuda itu lari dengan
berjingkrakan, terang keduanya tak sudi lari, keduanya berontak.
Pun si pencuri kuda tampak
juga. Mereka mengenakan pakaian biru, muka mereka ditutupi topeng.
Masing-masing memegang sebatang hio, yang apinya menyala, hingga sinar api itu
mirip dengan cahaya bintang, terutama di tempat yang gelap tampak tegas. Dan
dengan hio itu, tiap kali mereka suluti tubuh kuda. Itulah cara paksaan untuk
membikin kuda lari, tidak perduli kuda itu meringkik kesakitan dan terus
berjingkrakan. Kedua pencuri itu mengepitkan kaki mereka dengan keras, hingga
kuda jadi tidak berdaya, saking sakitnya, mau juga kuda itu lari. Disebabkan
sering berjingkrak, kedua kuda itu tak dapat lari jauh, atau segera Tan Hong
dan In Lui dapat menyusul.
Sakit hati Tan Hong dan In Lui
mendengar suara kuda mereka yang tersiksa, itu, sambil mengejar, mereka
memanggil-manggil.
Ciauw-ya Say-cu-ma sudah
lantas dengar suara majikannya, dia berjingkrak keras, karena mana, si penjahat
lagi-lagi menyulut tubuhnya.
Selagi mengejar terus, Thio
Tan Hong perdengarkan seruannya yang nyaring, menyusul mana tangannya terayun,
hingga belasan sinar perak menyambar ke arah kedua pencuri kuda itu. Tapi
mereka seperti punya mata di batok kepala mereka, atas datangnya serangan itu
mereka jatuhkan diri, akan sembunyi di perut kuda.
Thio Tan Hong sayangi kudanya,
ia tidak mau serang kudanya itu, ia cuma serang si pencuri, karenanya, serangan
senjata rahasia itu jadi gagal, tidak ada sebuah jua dari jarumnya yang
mengenai sasarannya.
Oleh karena sakitnya, kedua
kuda itu kabur keras, ke arah gunung.
Berdua In Lui, Tan Hong
mengejar terus, sampai tiba-tiba terdengar kedua pencuri kuda itu tertawa
berkakakan, iramanya seperti tertawa wanita. Tentu saja In Lui jadi terperanjat
bahna herannya.
Di atas tanjakan pun segera
terlihat cahaya api berkelap-kelip bagaikan kunang-kunang bermain di antara
gombolan rumput. Tanjakan itu sunyi dan seram nampaknya, sampai In Lui bergidik
sendirinya.
Tiba-tiba saja Tan Hong
tertawa nyaring.
“Apakah benar ada si cantik
manis yang menjadi pencuri dan di tengah malam buta berkawan dengan iblis?”
katanya nyaring. “Kembalikan kudaku! Tidak sudi aku bertempur dengan wanita!”
Ia lantas lompat, untuk
mendaki tanjakan itu, In Lui ikuti padanya.
Sementara itu terdengar suara
nyaring dari wanita, “Eh, besar juga nyali si pencuri mustika!”
In Lui lantas lihat dua ekor
kuda, yang mengangkat tinggi kaki depannya, hingga kedua binatang itu bagaikan
orang tengah berdiri di tanjakan yang satu di depan, yang lain di belakang.
Kedua kuda itu tidak berbunyi juga tidak bergerak, maka di bawah sinar rembulan
yang suram, nampaknya aneh dan luar biasa. Tanpa merasa, In Lui perdengarkan
suara tertahan.
Thio Tan Hong sebaliknya,
tertawa dingin.
“Oh, kiranya kamu yang main
gila!” demikian si mahasiswa.
In Lui tenangkan dirinya, ia
pasang matanya. Kali ini ia dapat melihat lebih tegas. Ia tampak empat orang
tengah berdiri di tanjakan, masing-masing mengangkat sebelah kakinya, sebagai
orang sedang menindak turun di tangga loteng, akan tetapi wajah mereka “diam”,
mereka bagaikan patung-patung saja. Mereka adalah empat saudagar barang permata
yang sedang berurusan dagang dengan Cio Eng, keadaan mereka sekarang ini mirip
benar dengan keadaan mereka tadi malam setelah mereka ditotok Tan Hong.
Melihat keadaan orang itu, In
Lui menghela napas lega. Ia kagum untuk orang yang pandai menotok itu, yang
dapat menotok orang-orang ini tanpa mereka ini bisa berdaya. Ia menduga, mereka
ini adalah pencuri-pencuri kuda, rupanya mereka mencuri untuk membalas dendam
yang kemarin mereka ditotok.
Tanpa kuatir suatu apa, In Lui
segera hampirkan keempat saudagar itu.
“Tadi malam aku telah
membebaskan kamu dari totokan, kenapa sekarang kamu berbalik mengganggu kuda
kami!” ia tegur mereka itu.
Empat saudagar itu tidak
menjawab, mereka tetap diam sebagai patung.
Tiba-tiba dari atas tanjakan
terdengar suara, “Apakah tetamu sudah datang? Bawa mereka ke dalam kuburan!”
Meneliti suara itu,
seolah-olah datangnya dari dalam tanah, seperti jauh, seperti dekat. Mendengar
itu, In Lui treperanjat. Itulah suara yang menandakan bahwa orang yang
berkata-kata itu mempunyai iweekang (ilmu dalam) yang sempurna. Menduga orang
itu tentulah musuh, In Lui lantas bayangkan bahwa ia tengah menghadapi lawan
yang merupakan memedi.
Menyusul mana suara dalam itu,
dari antara tumpukan batu-batu gunung segera tampak munculnya dua tubuh
bagaikan bayangan. Mereka ini mengenakan baju hijau, mata mereka masing-masing
menyorot tajam. Karena muka mereka ditutupi topeng, mata mereka pun mirip
dengan kunang-kunang yang bercahaya di tempat gelap. Mereka tak mirip wanita
Tionghoa. Tapi keduanya terus menekuk lutut mereka, untuk memberi hormat.
“Silahkan!” demikian mereka
mengundang.
“Lebih dahulu tolongi kuda
kita, baharu kita bicara!” kata Tan Hong.
“Tuan kami pesan supaya tuan
jangan berkecil hati,” kata salah satu penyambut ini. “Katanya tanpa diambilnya
tindakan ini, tidak nanti kita dapat pimpin tuan dan kawanmu datang kemari.”
“Siapa tuan kamu itu?” Tanya
In Lui, karena ia lihat orang bersikap hormat.
Salah satu penyambut itu
tertawa, ia menoleh pada kawannya.
“Ya, aku sampai lupa pada
aturan kamu kaum Rimba Hijau dari Tionggoan,” katanya. “Ji-so, tolong serahkan
karcis undangan kita!”
Penyambut yang kedua itu, yang
berada di sebelah belakang, sudah lantas putar tubuhnya, kemudian setelah
berbalik pula, ia serahkan apa yang dinamakan karcis undangan, ialah dua potong
tulang kepala manusia.
Melihat kartu nama semacam
itu, wajah Tan Hong berubah.
In Lui juga terperanjat, akan
tetapi ia kuasai dirinya.
“Kartu undangan ini istimewa
sekali!” katanya.
Kedua penyambut itu tidak
menjawab, terus mereka jalan di sebelah depan.
Tan Hong dekati In Lui, di
kuping siapa ia segera berbisik, “Lekas kau singkirkan diri! Majikan mereka
adalah Hek Pek Mo-ko!…”
“Hek Pek Mo-ko….” In Lui
ulangi, lalu dalam sekejap saja, ia sadar. Ia segera ingat keterangannya Ciu
San Bin tentang kedua orang aneh dari kaum kangouw pada jaman itu, dua “manusia
aneh” yang paling ditakuti.
Hek Pek Mo-ko itu katanya
berayah orang India, yang datang ke See-chong atau Tibet, untuk berniaga, lalu ia
masuk kebangsaan Tibet, dia menikah dengan satu nona Tibet, dari siapa dia
peroleh sepasang anak kembar, yang masing-masing berkulit putih dan hitam, yang
romannya luar biasa. Menurut bahasa Hindu tua, iblis jahat dipanggil “mo-ko”
karenanya orang memanggil kedua anak itu, sang kakak Hek Mo-ko dan sang adik
Pek Mo-ko. Ayah mereka pandai ilmu silat India, mereka dapat mewariskan
kepandaian ayah mereka itu, yang dicampur dengan ilmu silat Tibet dan Mongolia
juga, maka mereka mempunyai rupa-rupa ilmu silat hingga kesudahannya mereka
jadi lihai sekali. Katanya setelah memasuki umur belasan tahun, Hek Mo-ko dan
Pek Mo-ko pergi berpesiar sampai di Tionggoan dimana kabarnya, di Kwie-ciu
(Canton) mereka telah menikah dengan anak seorang saudagar hartawan bangsa Iran.
Untungnya kedua saudara ini, mereka juga pandai bahasa Tionghoa, Iran, Tibet,
dan Mongolia disamping bahasanya sendiri, bahasa India. Mereka seperti dapat
keluar dan masuk tanpa ketentuan.
Di beberapa tempat mereka
mempunyai rumah, hingga mereka bisa tinggal dan berdiam dimana mereka suka.
Mereka mempunyai banyak harta dan barang permata, umpama kata ada pembesar
Rimba Hijau rakus yang menginginkan permata mereka, pasti mereka akan mendapat bagian,
setelah disiksa, dia baharu dibinasakan. Maka kaum Jalan Putih dan Jalan Hitam
pandang mereka ini sebagai bintang bencana. Apa sebabnya mereka suka
membawa-bawa barang permata, tidak ada orang yang ketahui jelas, orang cuma
bisa duga, permata itu berasal curian atau memangnya barang dagangan. Tidak ada
orang yang berani menanyakannya. Sedang sebenarnya, mereka adalah tukang-tukang
tadah, mereka bisa beli permata dari begal tunggal, yang mereka biasa jual ke
India atau Iran, hingga mereka menjadi aman. Maka itu, mereka kenal baik banyak
begal atau penjahat tunggal. Demikian, Hon-thian-lui Cio Eng adalah langganan
mereka. Empat saudagar, yang malam itu In Lui lihat, ada pembelinya. Tentu
sekali in Lui, juga Thio Tan Hong, tidak ketahui rahasianya Cio Eng serta
tukang tadah itu. Walaupun demikian, Tan Hong tahu tanda rahasia dari Hek Pek
Mo-ko, ialah tengkorak manusia, karena mana, ia kisiki In Lui untuk lari
menyingkir.
Tapi In Lui berpikir lain,
bukan dia kabur, dia justeru tersenyum.
“Bukankah tadi kau menyuruh
aku menjadi piauwsu?” katanya. “Maka sekarang, tak dapat tidak, aku mesti
menyertai kau!”
Tan Hong percaya orang tak
tahu lihainya Hek Pek Mo-ko, ia memikir untuk menjelaskannya, akan tetapi,
untuk itu, ketikanya tidak ada. Untuk itu, ia mesti bicara banyak. Ia lihat
tegas, kedua wanita Iran itu tiap-tiap kali berpaling ke arahnya. Karenanya, ia
jadi mengeluh sendirinya.
“Ah, kau belum tahu lihainya
kedua hantu itu…” demikian keluhnya dalam hati.
Tan Hong keliru apabila ia
menduga In Lui tidak tahu ancaman bahaya, In Lui justeru tak hendak
meninggalkan dia pada saat seperti itu. Ia ingin turut bersama.
Kedua wanita Iran itu jalan di
muka untuk memimpin, mereka melalui jalan belukar yang banyak batunya, di
antara pelbagai kuburan, sesaat kemudian tibalah mereka di depan sebuah kuburan
besar luar biasa.
Segera terdengar suara nyaring
dari dalam kuburan itu, “Apakah yang datang itu dua bocah cilik?”
Kedua wanita itu tertawa.
“Benar!” terdengar pula suara
dari dalam kuburan itu. “Bawa mereka masuk!”
Satu wanita mendekati pintu
kuburan, ia gunakan sebelah tangannya untuk menekan, atas itu terdengarlah
suara berisik pada daun pintu.
“Brak!” demikian terdengar
suara nyaring dan berisik, karena daun pintu itu segera rubuh menggabruk. Dia
terus tertawa, dia pun berkata, “Tidak usah kau mengundang lagi, aku sendiri
dapat datang!”
Kuburan itu mempunyai thia,
yaitu ruang muka, yang indah perabotannya, yang mirip dengan ruang suatu
istana. Disini dipasang dua puluh empat lilin yang besar, yang membuat ruangan
menjadi sangat terang. Rupanya itu adalah suatu istana di dalam tanah, yang ada
hubungannya dengan dunia luar, karena dengan berada di dalam ruang itu, orang
tidak bernapas sesak.
In Lui segera lihat sebuah
meja besar di tengah ruangan itu. Meja itu adalah meja marmer. Di tengah-tengah
meja duduk dua orang, yang romannya benar-benar luar biasa. Rambut mereka
bergelintir, hidung mereka bengkung, muka mereka, yang satu putih meletak, yang
lain hitam legam, hingga perbedaan antara kedua orang itu sangat tegas. Di
kedua sisi mereka duduk masing-masing dua orang Han, yaitu keempat saudagar
barang permata itu. Maka, mengenal mereka itu, In Lui berkata dalam hatinya,
“Terang sudah, kuburan ini mempunyai pintu belakang….”
“Apakah mereka berdua ini yang
mencuri permata?” Tanya Hek Pek Mo-ko, kedua orang dengan roman luar biasa itu.
“Itulah yang usianya terlebih
tua,” sahut satu saudagar. “Yang lebih muda itu ada babah mantunya Cio Eng, dia
tidak turut mencuri, dia malah telah menolongi kami dengan membebaskan kami
dari bekas totokan.”
Hek Moko manggut.
“Kau berdiri di pinggir!” kata
dia pada In Lui, tangannya menunjuk.
Tapi In Lui membangkang.
“Aku datang bersama-sama dia,”
katanya. “Kenapa aku mesti berdiri di pinggir?”
Pek Moko kerutkan alisnya.
“Bocah cilik, kau tidak tahu
apa?” katanya.
Hek Moko menuding Tan Hong.
“Eh, bocah gede, besar
nyalimu!” katanya. “Kenapa kau berani datang-datang ke Hek-sek-chung untuk
mencuri permata dan melukai orang? Kenapa kau pun berani menghajar rubuh
pintuku ini? Apakah kau anggap kami dapat dibuat permainan?”
Thio Tan Hong tidak menjawab,
dia hanya balik menanya.
“Berapa lama sudah kamu sampai
di Tionggoan?” demikian pertanyaannya.
“Apakah maksudmu?” Tanya kedua
hantu ini, dengan murka.
“Pernahkah kamu dengar satu
pepatah Tionghoa yang mengatakan dendam ada kepalanya, hutang ada tuannya?” Tan
Hong tanya pula. “Jangan kata aku memang tidak pergi ke Hek-sek-chung untuk
mencuri, taruh kata benar apa hubungannya dengan kamu berdua? Cio Eng toh tidak
menginginkan kamu yang campur tahu perkara itu?”
Muka kedua hantu itu mendadak
berubah.
Thio Tan Hong tak menggubris,
ia hanya menambahkan, “Adalah kamu yang mencuri kuda kami, kenapa sekarang kamu
herankan yang aku hajar rusak daun pintumu? Lagi pula tempat ini bukannya
tempatmu, tempat ini adalah tempat orang mati!”
“Apakah kamu kira cuma kamu
sendiri yang boleh menguasai lain orang?” Tan Hong tertawa. “Aku lihat, lebih
baik kau tutup rapat pintu kuburanmu ini, jangan kau pergi keluar lagi!”
“Apa katamu?” tegaskan Pek
Moko, si Hantu Putih.
“Ini adalah kuburan suatu
pangeran!” kata Tan Hong.
“Ia ada pangeran dari kerajaan
Chin. Habis kau hendak apa?” tanya Pek Moko.
“Ada pepatah yang mengatakan.
Menutup pintu besar untuk menjadi raja” sahut Thio Tan Hong, “maka itu jikalau
sekarang kamu tutup kuburan ini, bukankah kamu pun boleh menjadi raja,
sedikitnya kamu bisa menjadi pangeran Chin! Sebenarnya, untuk menjadi raja
tidak ada artinya.”
Murka kedua hantu itu
dipermainkan secara demikian. Tanpa terlihat gerakan mereka, tahu-tahu mereka
sudah mencelat dari kursi mereka masing-masing sampai kepada Tan Hong, empat
tangan mereka menyambar ke arah batok kepala orang.
In Lui terkejut hingga ia
keluarkan seruan tertahan.
Menyusul sambaran empat tangan
itu, terlihatlah berkelebatnya satu sinar putih bagaikan rantai. Sebab Thio Tan
Hong, dengan kesebatannya, telah hunus pedangnya, yang berkelebat mirip
bianglala.
Kedua hantu Hitam dan Putih
ini perdengarkan seruan, “Pedang yang bagus!” Diantara satu suara “Bret!” terlihat
tubuh mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan.
Pada saat itu juga terdengar
tertawanya Thio Tan Hong, yang menyambungi, “Bagus, bagus! Hek Moko dan Pek
Moko mengerubuti satu bocah!”
Mendengar ejekan itu, kedua
hantu itu sudah lantas jumpalitan mundur, hingga di lain saat keduanya sudah
duduk bercokol pula di kursi mereka masing-masing, muka mereka menyeringai.
Mereka ini tidak pandang Thio Tan Hong sebagai tandingan mereka, barusan mereka
menyerang disebabkan hawa amarah mereka yang meluap dengan tiba-tiba, hingga
mereka melakukan sesuatu yang melanggar hokum rimba persilatan. Mereka percaya,
dengan satu kali turun tangan, mereka dapat mencekik si “bocah gede” itu. Tidak
tahunya, meleset dugaan mereka, hingga mereka menjadi malu sendirinya, mereka
jadi jengah.
Luar biasa sebat Tan Hong
menghunus pedang, cepat sekali ia gerakkan pedangnya itu, meskipun sekali
berkelit, bajunya kena disambar hingga baju itu robek, di lain pihak, pedangnya
sudah memapas kopiah orang sampai rambutnya ikut terpapas pula. Dan hebatnya,
karena perbuatannya itu, Hek Pek Moko pun akan tercela karena mereka telah
menghina orang yang terlebih muda.
Hek Moko, si Hantu Hitam,
lantas mengawasi Tan Hong.
“Bagus ilmu pedangmu!”
katanya. “Mari, mari kita mencoba-coba!”
Kali ini hantu itu tidak lagi
memandang orang sebagai “bocah”, ia anggap sekarang boca itu adalah
pantarannya, maka itu, ia telah ubah sikapnya, ia sudah lantas menantang.
Thio Tan Hong tersenyum, ia
awasi kedua hantu itu.
“Bagaimana kehendakmu?” ia
tanya. “Kamu berdua hendak maju berbareng atau melayani satu dengan satu?
Bagaimana kalau kalah? Dalam hal ini, perlu mengatur terlebih dahulu!”
Hek Moko gusar sekali.
“Kamu berdua, kita juga
berdua, tidakkah itu berimbang?” katanya.
Hek Moko kesohor, sekarang ia
ingin bertanding satu sama lain, itu artinya ia sudah lantas merasa agak jeri.
Akan tetapi Thio Tan Hong
kata, “Urusanku ini tidak ada hubungannya dengan saudaraku ini! Adalah aku
seorang diri yang akan melayani kami..”
“Jikalau demikian,” kata Hek
Moko, “baik, aku sendiri yang melayani kau.”
Tapi In Lui campur bicara.
“Kita datang berdua, maka itu
aku juga hendak melayani kamu!” demikian katanya.
“Bagus, bagus!” Pek Moko turut
berbicara, “Jikalau kamu turun tangan berbareng, aku suka turut menemani kamu!”
“Sudahlah, jangan terlalu
banyak omong!” Hek Moko menjadi tidak sabaran. “Aku akan layani kau seorang!”
ia maksudkan Thio Tan Hong, “Jikalau saudaramu tidak turun tangan! Tidakkah ini
jelas?”
In Lui masih hendak bicara,
tetapi Tan Hong cegah dia.
“Sudahlah, saudara yang baik!
Kau biarkan aku yang mencoba-coba dulu. Umpama kata aku tidak berdaya,
baharulah kau turun tangan. Apakah itu tidak terlambat?”
Hek Moko tidak perdulikan
kedua saudara itu sedang berebut omong, ia ulurkan sebelah tangannya ke arah
tembok, dari situ ia menarik sebatang tongkat kemala, yang mengeluarkan sinar
terang bercahaya hijau, setelah itu ia berbangkit dari kursinya, ia bertindak
ke ruang yang lega.
“Mari, mari!” ia menantang.
“Jikalau aku menang maka kuda dan permatamu, semua itu akan menjadi
kepunyaanku!”
“Jikalau kau yang kalah,
bagaimana?” tanya Tan Hong.
“Jikalau aku yang kalah, maka
tempat ini akan menjadi kepunyaanmu!” hantu itu berjanji.
Kuburan itu adalah tempat Hek
Pek Moko menyimpan harta besar mereka, di antaranya ada barang berharga yang
hampir semahal sebuah kota. Hek Moko anggap, taruhan ini adalah taruhan yang
pantas sekali.
Akan tetapi Thio Tan Hong
berpikir lain. Dia tertawa.
“Siapa kesudian menjadi tuan
dari guha hantu ini!” katanya mengejek.
“Habis, apa yang kau
kehendaki?” tanya si Hantu Hitam.
“Kau mesti obati kuda kami
hingga sembuh!” dia menjawab.
Hek Moko juga tertawa
bergelak.
“Inilah gampang!” jawabnya.
“Aku biasa berdagang, aku hargakan perkataanku. Baik kita omong secara pantas.
Aku pun tidak menginginkan bendamu. Di antara banda kita, sukar untuk
menetapkan harganya. Sekarang terserah kepadamu! Nah, majulah!”
Thio Tan Hong lantas rapikan
dandanannya. Ia loloskan baju panjangnya, yang kena dirobek kedua hantu itu.
“Dengan dandananku ini, aku
mirip dengan satu pengemis….”katanya, yang terus merobek baju panjangnya itu.
Ia sekarang dandan dengan singset, nyata ia telah pakai baju kutang yang
tersulamkan dua ekor naga emas tengah bertarung di tengah laut yang
bergelombang. Di antara cahaya lilin, baju kutang itu nampaknya indah.
In Lui lihat baju kutang itu,
ia heran.
“Apakah benar di Mongolia juga
ada sulaman Souwciu?” tanya ia pada dirinya sendiri. Tapi ia tak sempat
berpikir lama, atau pertandingan sudah lantas dimulai.
“Kau yang mulai!” Tan Hong
tantang lawannya, setelah ia selesai dandan dan beri hormat sambil menjura.
Hek Moko dapat kesan baik
untuk kelakuan dan kesopanan orang itu, ia merasa puas hingga ia tersenyum,
akan tetapi meskipun demikian, denan tiba-tiba saja ia mulai dengan
serangannya, tongkatnya menyambar ke arah muka.
Thio Tan Hong tidak menjadi
kaget karena serangan mendadak itu, malah dengan gesit ia telah angkat
pedangnya, untuk menangkis, hingga tidak ampun lagi, kedua senjata telah beradu
satu sama lain hingga terdengar suara yang keras dan nyaring. Sinar pedang pun
menyilaukan mata.
VI
In Lui terperanjat melihat
bentroknya kedua senjata itu.
“Aku tidak sangka, tongkat
kemala itu, ada barang mustika juga,” pikirnya.
Kedua senjata seperti menempel
satu dengan lain, karena masing-masing tidak menarik kembali tangan mereka,
sebaliknya, mereka saling menekan.
Kedua pihak berdiri tegak
dengan kuda-kuda mereka, keduanya sama-sama empos semangat, untuk mengerahkan
tenaga mereka. Karena ini, dalam sekejap saja, keduanya mulai mengalirkan
keringat di jidat mereka.
Tegang hati In Lui menyaksikan
pertempuran adu tenaga dan keuletan itu.
“Secara begini, tidakkah
keduanya akan sama-sama bercelaka?” demikian ia pikir pula. Ia jadi berkuatir.
Tak lama kemudian terdengar
seruan Hek Moko, tubuh siapa terus mencelat. Menyusul itu terdengar pula suara
kedua senjata.
Di pihak lain Thio Tan Hong
pun mencelat mundur, dengan begitu, senjata mereka jadi terlepas dan terpisah.
Selagi lompat, Tan Hong perdengarkan seruan, “Celaka!”
In Lui terkejut hingga hendak
ia hunus pedangnya, Cuma sebelum ia sampai berbuat begitu, ia segera dengar
tertawanya Tan Hong.
“Tidak apa, tidak apa!”
demikian Tan Hong buka mulutnya. “Kiranya kau adalah seekor keledai tua! Sekian
lama senjata kita sudah bentrok tapi kau tidak mampu berbuat suatu apa! Haha
haha! Namamu kosong belaka! Nyata kau tidak sanggup memukul mundur satu bocah!
Hahahaha! Haha haha!”
Suara tertawa itu belum
berhenti atau Hek Moko, dalam murkanya yang hebat, sudah berseru nyaring
sekali.
“Bocah, kau tidak tahu
mampus!” Lalu tubuhnya mencelat maju, sinar hijau dari tongkatnya pun
berkelebat, sinar itu menyambar ke arah jidat si orang she Thio.
Sebenarnya In Lui ingin
tertawa mendengar kata-kata Tan Hong, tapi ia terhenti di tengah jalan,
sebaliknya ia menjerit, “Oh!” disebabkan serangan si hantu yang sangat dashyat
itu.
Tiba-tiba terdengar pula
tertawa nyaring dari Tan Hong yang terus berkata dengan keras, “Lihat, lihat!
Si bocah akan kemplang kepala si keledai tua!”
Atas datangnya serangan
dashyat itu, Tan Hong menyamping satu tindak, sambil mundur ia angkat
pedangnya, dengan itu ia membalas menabas ke arah lengan orang.
Hek Moko pun sangat awas dan
gesit sekali, lekas-lekas ia tarik kembali tangannya.
Tan Hong tahu orang lihai,
sengaja ia mainkan lidahnya guna membikin orang mendelu. Ia dapat menduga, Hek
Moko mulanya tidak pandang mata padanya, maka ia dipanggil bocah, dari itu,
sengaja ia gunakan perkataan bocah itu untuk membuat orang panas hati. Dalam
hal ini, ia berhasil membakar hatinya si Hantu Hitam.