Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 2

Liang Ie Shen, Seri Thian San-02: Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 2 Dan benar-benar, Ciu Kian tahu-tahu sudah sampai di kalangan dan sudah lantas menyerang dengan golok besarnya.
 
Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 2
Dan benar-benar, Ciu Kian tahu-tahu sudah sampai di kalangan dan sudah lantas menyerang dengan golok besarnya.

Tantai Mie Ming tinggalkan si nona, ia tangkis bacokan bekas congpeng itu, hingga berdua mereka jadi bertempur.

“Jikalau hari ini tidak dapat aku bunuh mampus padamu, percuma aku punyakan golok Kim-too ini!” berseru Kim-too Ceecu sambil mengulangi serangannya yang berbahaya.

Mie Ming berkelit, ia tertawa mengejek.

“Baiklah, aku ingin saksikan golok emasmu!” katanya. Ia menyerang, ia berkelit, ia menyerang pula, lalu ia tertawa kembali. Lalu ia berkata,” Adakah ini yang disebut golok emas atau golok perak? Hm! Dimataku inilah tak lebih daripada tembaga rongsokan!”

Ia gerakkan gaetannya, ia ketok belakang golok musuh itu.

Ciu Kian jadi murka, benar ia diam saja, tapi ia balas menyerang.

Sampai disitu, In Lui maju pula, untuk membantu kawannya.

Tidak sibuk Tantai Mie Ming ketika ia tangkis dua senjata dari dua musuhnya itu, tidak perduli In Lui gesit dan golok emas berat, dapat ia melayani dengan leluasa, malah kemudian ialah yang lebih banyak menyerang.

Ciu Kian dan In Lui bingung pula, meskipun mengepung berdua mereka tak dapat hasil. Ciu Kian berkata dalam hatinya” Sudah lama aku dengar negara Watzu mempunyai panglima kosen ini, dia benar-benar gagah perkasa. Orang lihai semacam dia kena dipakai oleh bangsa Tartar, sungguh sayang.”

Ketika itu terdengar pula suara si ongya,” Tantai Ciangkun, ketika yang baik sudah tiba, jangan kau berkelahi lama-lama!”

Mendengar suara si ongya, Ciu Kian dapat daya.

“Menawan bangsat menawan rajanya!” demikian pikirnya yang menyandingi. “Apa perlunya aku berkelahi mati-matian dengan dia ini?”

Maka dia menangkis dengan keras, akan pecahkan kurungan gaetan, di saat Tantai Mie Ming mundur tiga tindak, dia teriaki In Lui,” In Lui, layani terus padanya, berlakulah hati-hati!” Habis mengucap demikian, ia lompat mundur, akan tinggalkan lawan untuk sebaliknya lompat lebih jauh kepada si ongya.

In Lui sangat cerdas, segera ia mengerti maksudnya susiok-couw itu, maka lantas ia desak Tantai Mie Ming hingga tidak perduli orang Mongolia ini terlebih lihai, ia toh repot juga.

Si ongya sudah lantas diserang Ciu Kian. Ia lihat datangya musuh, dengan pertahankan tubuh sebisa-bisanya, ia tangkis bacokan itu. Kedua senjata beradu dengan keras, suaranya sangat nyaring.

Ciu Kian heran akan dapatkan orang bertenaga besar, ia kagum. Ia tahu, ngya itu sedang terluka, coba dia segar bugar, entah bagaimana besar tambahan tenaganya.

Si ongya juga tidak kurang kagetnya, telapak tangannya sampai pecah dan mengeluarkan darah, karena a telah menangkis dengan sekuat tenaganya untuk selamatkan diri. Celaka baginya, ia tidak sanggup berlompatan.

Kim-too Ceecu penasaran, ia ulangi serangannya, terus sampai tiga kali, serangan yang ketiga itu tak sanggup ditangkis lagi oleh si ongya, goloknya terpukul keras, terlepas dari cekalannya dan terlempar, maka dengan leluasa Ciu Kian kirim bacokan susulannya yang keempat.

“Habis aku!” teriak si ongya. Kendati demikian, dengan lawan sakit di kakinya yang terhajar piauw, ia buang dirinya untuk bergulingan.

Ciu Kian membacok tempat kosong, ia jadi semakin penasaran, maka ia maju terus, akan susul ongya itu, guna mengirim bacokannya terlebih jauh. Justeru itu ia dengar sambaran angin di belakangnya, hampir tanpa menoleh ia menangkis.

“Trang!”

Kepala berandal ini merasakan getaran keras pada tangannya, ketika ia berpaling, ia tampak Tantai Mie Ming yang membokong padanya. Ia belum sempat bersiap, atau Mie Ming sudah simpan sepasang gaetannya, buru-buru dia lompat pada ongyanya, untuk sambar tubuh si ongya, untuk segera dibawa kabur.

Ciu Kian tidak mau mengerti, ia lantas lompat, guna mengejar, goloknya dipakai membabat.

Mie Ming tidak bersenjata, ia pun sedang pondong ongyanya, tidak ada jalan lain, ia berkelit sambil mendak rendah, sebelah tangannya dipakai membarengi menyerang lengan lawan.

Ciu Kian menyerang dengan hebat, serangannya tidak mengenai sasarannya, goloknya jadi terulur ke depan, karena itu, tidak keburu ia menarik kembali tangannya atau lengannya itu telah dihajar lawannya, begitu rupa, sampai ia merasakan sakit sekali, hingga goloknya terlepas jatuh.

Tantai juga tidak luput dari serangan, ialah dadanya terkena tangan Kim-too Ceecu, hingga ia pun merasakan sakit, akan tetapi, dengan kuatkan diri, dengan menutup rapat mulutnya, ia terus lari dengan bawa kabur cukongnya itu.

In Lui lompat mengejar. Ia menjadi gusar dan penasaran. Tadi ia telah didesak mundur jauh, karena itu, Mie Ming keburu menolong ongya-nya dari tangan Ciu Kian. Dalam murkanya, ia ayunkan tangannya, akan menimpuk dengan tiga batang piauw.

Orang Mongolia itu benar lihai. Ia tidak berkelit, sambil lari, ia putar tangannya ke belakang, satu demi satu, ia sambuti ketiga piauw itu, untuk diteruskan dipakai menyerang kembali. Nyata ia bertenaga besar, timpukannya pun hebat.

In Lui dengar suara angin, tidak berani ia menanggapi piauwnya itu, yang ia lewatkan sambil berkelit, hingga piauw mengenai satu batu besar di sebelah belakang sambil perdengarkan suara nyaring dan muncratkan lelatu api.

“Hebat!”seru si nona di dalam hati. Ia lihat ketiga piauwnya nancap di batu, tidak jatuh.

Itu waktu Tantai Mie Ming sudah lari terus.

Masih In Lui hendak mengejar tatkala di timur lembah terdengar suara letusasn, hingga gunung bagaikan tergetar, menyusul mana, Ciu Kian berteriak,” A Lui, jangan kejar musuh yang sudah mogok!”

Si nona batal mengejar, sedang itu waktu, di selatan, di barat dan utara lembah saling susul terdengar suara letusan nyaring seperti yang pertama tadi, begitupun terdengar suara riuh dari pertempuran-pertempuran yang mestinya dashyat.

Ciu Kian jumput goloknya, ia tertawa besar.

“Tidak perduli bangsa Tartar itu putar otaknya, mereka toh menjadi kura-kura dalam kerajaanku!” ia berkata dengan puas.

In Lui tidak mengerti, ia hendak bertanya pada si orang tua itu, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, Kim-too Ceecu sudah mendahului lari pergi, sambil lari dia menggape dan berseru,”Mari lekas, bantui aku menolong orang!”

Dengan masih tidak mengerti, si nona lari menyusul.

Di bawah gunung, mayat-mayat bergeletakan di sana-sini, darah berlimpahan. Itulah korban-korban Ciu Kian tadi. Tak tega In Lui menyaksikan itu, ia lari sambil menutupi muka.

“A Lui, apakah kau bawa obat luka pemunah racun?” begitu terdengar pertanyaan dari si orang she Ciu. “Eh, A Lui kau kenapa? Kau takut? Bagaimana nanti kau dapat membalas dendam?”

“Tak takut aku bertempur sama segala bangsat,” sahut si nona. “tetapi tak tega aku menyaksikan mayat-mayat itu.”

Ciu Kian tertawa.

“Sungguh kau satu pemudi gagah yang pemurah hati,” ia kata. “Di medan perang, dimana pemandangan lebih mengerikan daripada ini masih dapat disaksikan! Mari, mari, kau tengok, kalau nanti kau sudah biasa, hatimu tidak akan goncang lagi.”

In Lui lari terus kepada jago tua itu, ketika sudah datang dekat, ia lihat si jago tua sedang pondong satu orang dengan dandanan sebagai busu, orang yang mengerti ilmu silat, di bebokong siapa nancap sebatang panah yang masuk hampir separuhnya.

“Apakah dia masih dapat ditolong?” nona ini tanya.

“Dia masih bernapas, kita coba saja,” jawab Ciu Kian.

“Aku membekal obat luka pemunah racun, hanya entah tepat atau tidak,” kata si nona, yang terus berikan obat itu.

Ciu Kian terima obat itu. Ia cabut panah di bebokong orang itu yang terluka, yang tubuhnya diletakkan di tanah. Dari lobang luka terus keluar darah hitam.

“Benar-benar panah beracun,” kata orang tua ini sambil mengobati luka itu, kemudian ia urut-urut tubuhnya.

Tidak lama antaranya, si luka itu membuka kedua matanya, cuma napasnya masih lemah, belum dapat ia membuka mulutnya.

Ciu Kian mengawasi, ia geleng-gelengkan kepalanya.

“Bagaimana?” tanya In Lui.

“Inilah racun Mongolia yang hebat sekali, tanpa obat pemunah dari si pemilik panah, tak dapat kita menolongnya,” sahut si orang tua. “Syukur orang ini mempunyai tenaga dalam yang tangguh, karenanya ia masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Obatmu dan urutanku cuma bisa menolong ia untuk sementara waktu, untuk membuatnya sadar, akan tetapi jiwanya tidak dapat bertahan sampai besok.”

In Lui jadi sangat berduka.

“Kalau begitu, lebih baik kita tidak tolong dia, supaya dia lantas mati dan tak usah menderita terlebih lama,” ia kata.

“Dia buron dari tanah daerah Tartar, dia dikepung sampai di sini, mungkin dia mempunyai rahasia penting,” Ciu Kian utarakan sangkaannya.

“Maka kalau dia tidak dapat berbicara sebelum dia menutup mata, mungkin dia mati tidak puas.”

Dari sakunya, ciu Kian keluarkan sepotong jinsom korea, lalu dipotongnya, kemudian dimasukkan ke dalam mulut orang itu. Obat ini (koleesom) mempunyai khasiat manjur, rupanya ia mengharap orang itu dapat ditolong.

Di empat penjuru lembah masih terdengar riuhnya suara pertempuran, juga ringkikan dari banyak kuda, terutama letusan-letusan yang memekakkan kuping. Mendengar itu semua, Ciu Kian ketok-ketok goloknya sambil tertawa.

“Tidak sampai terang tanah, tentara Tartar akan musnah semuanya,” kata dia. “In Lui, sekarang tahulah kau sebabnya kenapa aku rampas angkutan harta tentara kota Gan-bun-kwan.”

In Lui cerdik, ia cuma berpikir sebentar atau ia tertawa sambil tepuk-tepuk tangan.

“Sungguh tipu dayamu yang bagus, susiok-couw!” dia memuji. “Kau rampas uang negara, itu artinya kau hendak bikin congpeng dari Gan-bun-kwan dengar perkataanmu. Begitulah ketika bangsa Tartar menjanjikan dia untuk bekerja sama, kau suruh dia diam saja, jangan gerakkan tentara. Demikian, kau berada di tempat terang, musuh berada di tempat gelap. Semua kau atur sempurna, pasti sekali kau menang perang!”

Ciu Kian puas, ia tertawa pula.

“Teng Tay Ko itu bukannya seorang yang buruk,” ia kata. “Pemerintah titahkan dia membasmi berandal, dia insyaf bahwa tenaganya tidak cukup, dia membuat perhubungan dengan bangsa Tartar. Lebih dahulu aku rampas hartanya, setelah itu seorang diri aku pergi padanya. Aku tegaskan padanya apakah dia ingin mampus dicincang tentaranya yang kelaparan atau hendak bermusuh dengan bangsa Tartar. Nyata dia masih sayangi jiwa dan pangkatnya, dia dengar perkataanku. Sekarang nampaklah buktinya.”

Tak tahan jago tua ini, kembali dia tertawa.

“Aku tertawa karena Teng Congpeng itu jenaka,” sahut si orang tua. Di dalam surat-surat resminya dia namakan aku Kim-too si bangsat tua, akan tetapi bila berhadapan dengan aku sendiri, dia berulang kali memanggil tayjin, tandanya ia tetap akui aku sebagai atasannya.”

Mau tidak mau In Lui juga tertawa.

“Apakah sebelum dia berada di sini, dia tahu Kim-too si bangsat tua ada seatasannya?” dia tegaskan sambil berkelakar.

“Dia adalah orang angkatanku,” Ciu Kian beri keterangan. “Begitu ia saksikan golokku, dia mesti dapat menduga aku siapa. Cuma tadinya dia berpura-pura tidak tahu. Pun biasanya, setiap kali aku tempur tentara negeri, aku selalu pakai topeng, maksudku ialah agar mereka tidak mengenali aku.”

“Kenapa begitu, susiok-couw?”

“Jikalau tentaranya mengetahui aku adalah bekas congpeng dari kota Gan-bun-kwan,” sahut si orang tua, “ ada kemungkinan sebagian dari tentaranya itu akan lari ke pihakku. Gan-bun-kwan adalah kota perbatasan, sudah semestinya kota itu mempunyai pasukan penjaga yang kuat, karena ini aku cuma terima orang-orang melarat, aku tolak tentara negeri.”

In Lui masih muda sekali, tidak pernah ia pikirkan siasat semacam itu, karenanya ia melengak mendengar pembicaraan Kim-too Ceecu yang dalam maksudnya itu.

“Bagus, dia telah mendusin!” tiba-tiba Ciu Kian berseru.

Memang benar si orang luka itu membalikkan tubuhnya.

“Kamu siapa?” tanya dia pertama kali dia membuka mulutnya, suaranya serak. “Lekas pimpin aku, aku hendak bertemu dengan Kim-too Ceecu!”

Ciu Kian girang.

“Akulah Kim-too Ceecu,” ia perkenalkan dirinya.

Orang itu segera menanya,”Apakah kau tahu cucu perempuan dari In Ceng yang bernama Lui? Tahukah kau dimana dia berada?”

In Lui terkejut.

“Aku adalah In Lui!” ia segera menjawab.

Dengan mendadak orang itu pentang lebar matanya.

“Kau In Lui?” katanya. “Bagus! Bagus! Mati pun aku meram! Kakakmu masih hidup, sekarang dia telah pergi ke kota raja untuk turut dalam ujian, maka lekaslah kau pergi susul dia!”

Kembali si nona terkejut. Memang ia tahu yang ia masih mempunyai satu saudara lelaki, dan usianya lebih tua, namanya In Tiong, akan tetapi waktu kakaknya itu berumur lima tahun, ayahnya telah mengirimkan dia pada satu suhengnya, kakak seperguruan, untuk dijadikan muridnya. Hal ini ia baru tahu kemudian, sesudah ia dengar keterangan gurunya..

Sama sekali Hian Kie It-su, guru In Teng, mempunyai lima murid. In Teng keluar dari perguruan sebelum tamat, dia pergi ke negeri asing untuk menolong ayahnya, In Ceng. Empat murid lainnya, masing-masing mendapat serupa kepandaian istimewa. Tiauw Im adalah murid yang kedua, dia mendapat ilmu tongkat Hok-mo-thung serta gwa-kang, ilmu tenaga luar. Cia Thian Hoa yang ketiga, bersama Hui-thian Liong-lie, yang keempat, berdua mereka peroleh ilmu pedang. Murid kesatu adalah Tang Gak, dia diberi pelajaran Tay-lek Eng-jiauw-kang, Tenaga cengkraman garuda, dari ilmu slat Kim-kong-ciu, Tangan Arhat. In Tiong telah dikirim kepada Tang Gak ini. Sejak Tang Gak tiba di Mongolia, dari mana ia berpesiar ke perbatasan Tibet, untuk selama sepuluh tahun, selama itu tidak pernah ada kabar ceritanya, maka itu apakah In Tiong sudah mati atau masih hidup, orang tidak mengetahuinya. Siapa tahu sekarang mendadak datang kabar dari orang yang tidak dikenal ini.

In Lui menjadi girang berbareng heran.

“Kau siapa?” ia tanya.

“Aku adalah suheng dari kakamu,” ia berikan jawaban.

“Ah! Kalau begitu, kau juga adalah suhengku.” Ia beritahu. Tadinya ia niat menanyakan lebih jelas, tiba-tiba ia tampak matanya menjadi putih mencilak, lalu dengan lebih serak, suheng itu berkata,” Masih ada kabarku yang lebih penting pula. Bangsa Tartar berniat mengurung gunungmu, untuk merusak bendungan air.”

“Tentang itu, aku telah ketahui dari siang-siang,” Ciu Kian beri keterangan. “Dapatkah kau dengar suara ledakan? Itu tandanya pihakku telah peroleh kemenangan.”

Orang itu tersenyum, ia perlihatkan roman girang.

“Musuh juga akan mengerahkan angkata perangnya untuk menggempur kerajaan Beng,” dia masih menerangkan lebih jauh. “Kau …..kau mesti berdaya untuk memberi kisikan kepada Sri Baginda. Di……d…..di badanku ada sepucuk surat untukmu…… Bagus, aku telah bertemu dengan kamu, bolehlah aku pergi.”

Suaranya semakin perlahan, begitu ia berhenti bicara, ia tersenyum pula, habis itu, kedua matanya dimeramkan kembali.

Secara demikian dia berpulang ke alam baka.

Ciu Kian terharu, ia menghela napas. Ia ambil surat yang dimaksudkan, ia menekes batu untuk menyalakan api.

“Inilah surat toa-supeehmu,” ia kata.

Surat itu ditulis dengan huruf “Co-jie” suatu tanda ditulisnya lekas-lekas. Ciu Kian lantas sobek sampulnya, untuk membaca suratnya. Mula-mula ia baca, “Gak adalah seorang gunung. Ia titipkan dirinya di padang pasir, cita-citanya besar, akan tetapi akhirnya, dengan arak ia membuat dirinya sinting selalu. Seumurnya tidak ada yang Gak buat menyesal, kecuali belum pernah berkenalan dengan tuan.”

Di dalam hatinya, Ciu Kian berpikir,” Tang Gak ini mempunyai cita-cita luhur.” Ia membaca terus,” Walaupun tuan dengan aku belum pernah bertemu, akan tetapi dari saudara Thian Hoa, tahulah aku tentang kegagahan tuan yang kaum kang-ouw mengaguminya. Benar tuan telah berdiri sendiri dengan menduduki sebuah gunung dengan menolak bangsa Han dan menentang bangsa asing, akan tetapi aku tahu pasti tuan tak sudi melihat bangsa asing meluruk ke selatan untuk menggembala kuda hingga kesudahannya Tionggoan nanti berubah Han menjadi asing.”

Ciu Kian menghela napas.

“Sungguh orang ini mengenal diriku.” Ia kata. Ia membaca pula,” Di negara Watzu setelah perdana menteri To Hoan menutup mata, puteranya yang bernama Ya Sian telah menggantikannya, mulanya sebagai menteri, belakangan dia angkat dirinya guru negara, hingga dia pegang kekuasaan atas pemerintahan dan tentara. Dia telah menyiapkan angkatan perangnya dengan maksud menyerbu Tionggoan. Sekarang dia mengumpulkan rangsum dan lain-lainnya, hingga rasanya tak lama lagi ia akan mulai menggerakkan tentaranya itu. Musuh tangguh sudah seperti di depan pintu kota perbatasan, akan tetapi di dalam pemerintahan, menteri-menteri tengah bermabuk-mabukan, mereka seperti tengah bermimpi adakah itu bagus?”

Jago tua itu berpikir keras. Memang kelihatan, kaum dorna tengah main gila. Ia membaca lebih jauh,” Muridku In Tiong berniat keras membalas dendam, ia telah berangkat pulang ke dalam negeri, tetapi dia masih muda dan pengalamannya kurang, dia tak tahu bahwa yang berkuasa adalah kaum dorna, aku kuatir dia nampak kegagalan. Maka itu, semoga tuan ingat kepada sahabat lama, sukalah kau mendidik dia. Gak pun dengar, saudara In Teng masih mempunyai satu anak perempuan bernama Lui, andai kata tuan ketahui dimana adanya anak itu, tolong beritahukan padanya tentang kakaknya ini. Aku menyesal mengenai sutee Thian Hoa, sejak pertemuan kita di perbatasan pada sepuluh tahun yang lalu, sampai sekarang ini terputuslah perhubungan kita. Cerita di luaran mengatakan dia telah terbinasa di tangan pengkhianat she Thio atau ia telah tertawan dan terkurung di dalam istana bangsa asing. Gak sekarang bersendirian saja, aku tidak sanggup berbuat suatu apa, dari itu Gak mohon sukalah tuan mengabarkan kepada sutee Tiauw Im dan sumoay Eng Eng agar mereka lekas berangkat ke negara asing. Semua ini, aku mohon bantuan tuan, untuk itu, tak berani aku menghaturkannya terima kasih.”

Habis membaca, Ciu Kian menghela napas.

“Jikalau demikian adanya,” kata In Lui, “baiklah aku pergi dulu ke kota raja untuk mencari kakakku.”

Orang tua itu lirik si nona, ia berpikir.

“Begitupun baik,” sahutnya setelah lama berpikir.

In Lui heran melihat wajah orang tua itu.

“Rasanya aku dapat menduga niat kakakmu itu,” kata Ciu Kian kemudian. “Kabarnya raja yang sekarang sedang mencari orang-orang pintar dan gagah, untuk itu ia berminat memberi hadiah yang istimewa pada mereka yang tahun ini ikut ujian, setelah ujian umum, ia lantas mengadakan ujian conggoan. Pasti kakakmu hendak ambil jalan melalui ujian itu untuk memajukan dirinya, supaya kemudian ia dapat meminjam tenaga pemerintah untuk mewujudkan pembalasan bagi engkongnya. Maksud ini baik, sayang kawanan dorna sedang berkuasa, dari itu aku kuatir,dia tidak akan mendapat hasil.”

Orang tua ini mendongak, melihat bintang-bintang. Tiba-tiba ia memandang In Lui.

“A Lui, pernahkah kau membaca surat balasan Lie Leng kepada Souw Bu?” tiba-tiba ia bertanya.

Si nona manggut, memang ia pernah membaca surat itu, karena engkongnya membandingkan dirinya dengan Souw Bu, maka ia telah minta kepada engkongnya untuk menceritakannya.

“Masa dulu Lie Leng, dengan tentaranya telah melawan bangsa Ouw,” berkata Ciu Kian. “Serdadunya cuma lima ribu jiwa, tapi ia melawan musuh dengan tentara sepuluh laksa jiwa, bisa dimengerti kelemahannya. Walaupun demikian, ia masih bisa membinasakan panglima dan merebut benderanya, mengejar sana mengejar sini, hanya pada akhirnya, karena yang sedikit tidak dapat melawan yang banyak, ia kehabisan tenaga dan ditawan juga. Kalau diingat, besar jasa Lie Leng, tetapi pemerintah tidak menghargainya, malah dia dihukum mati serumah tangganya, maka itu, ia jadi putus asa, tak ada keinginannya untuk pulang ke negerinya. Dalam suratnya pada Souw Bu, ia teringat kepada ibunya, kepada anak isterinya, ia sesalkan nasibnya yang buruk. Maka itu, Lie Leng itu sungguh harus dibuat menyesal.”

Ia mendongak pula, ia menghela napas.

“Susiok-couw,” berkata In Lui, “ Kau tetap menentang tentara bangsa Ouw, mana bisa kau dipadu dengan Lie Leng?”

“Kau belum tahu tentang aku, anak,” kata Ciu Kian. “Dalam usiamu tujuh tahun, kau telah mendengar riwayat engkongmu, maka sekarang, akan aku tuturkan tentang diriku. Dahulu di masa aku menguasai kota Gan-bun-kwan, pernah aku melakukan peperangan besar dan kecil sampai beberapa pulu kali, setiap kali berperang, tentu aku peroleh kemenangan, maka sungguh tak diduga, oleh karena mendengar hasutan, raja telah memecatku. Bagiku, kejadian itu tidak berarti apa-apa. Tapi engkongmu? Dia bandingkan dirinya dengan Souw Bu, tapi dia mengalami lebih hebat, dia dihadiahkan kematian! Apakah ini adil? Karena itu, aku lantas tinggalkan Gan-bun-kwan. Awalnya, aku tidak mempunyai pikiran untuk menduduki gunung, siapa tahu, raja Beng berbuat sama seperti raja Han terhadap Lie Leng. Keluargaku semua telah dihukum mati! Syukur satu bujangku yang setia berhasil menolong puteraku! Dialah orang yang memancing kau mendaki gunung”

In Lui terharu sehingga ia mengalirkan air mata. Ketika ia memandang jago tua itu, wajah Ciu Kian muram, jago itu membungkam. Tapi kemudian, dengan goloknya Ciu Kian menunjuk benderanya yang melambai-lambai ditiup angin malam yang dingin. “Lihat di sana, benderaku tetap bendera Jit Goat Kie!”

In Lui angkat kepalanya, ia turut memandang bendera itu dengan matahari dan bulan sabitnya. Yang luar biasa adalah huruf ‘jit’ (matahari) dan goat (rembulan) apabila keduanya digabung menjadi satu, kedua huruf itu menjadi huruf “Beng” (terang), tetapi disini diartikan Beng dari kerajaan Beng.

“Kiranya sekalipun susiok-couw menjadi berandal, masih kau tak melupakan kerajaan kita!” ia kata.

Ciu Kian tidak menjawab, ia hanya berkata,” Kalau nanti kau dapat cari kakakmu itu, katakan padanya supaya dia jangan turut dalam ujian buconggoan, tapi lebih baik dia kembali, untuk datang padangku di sini. Pemerintah sangat tidak berbudi, buktinya lihat yayamu itu! Apakah itu tak dijadikan contoh untuk hati menjadi ciut?”

Si nona mengangguk.

“Susiok-couw benar” sahutnya.

Ciu Kian lipat suratnya, ia masukkan itu ke dalam sakunya.

“Samsusiok Cia Thian Hoa-mu gagal, dia juga orang yang aku kagumi.” dia berkata pula. “Aku ingat pada sepuluh tahun yang lampau, bersama-sama Tiauw Im Taysu, dia telah membuat janji, yang satu memelihara anak tunggal, yang lain menuntut balas. Sekarang ini Tiauw Im Taysu sudah menitipkan kau kepada adik seperguruannya yang perempuan untuk merawat kamu, akan tetapi tentang pembalasan dari Thian Hoa, entahlah! Tidakkah ini membuat orang berduka?”

“Nanti aku beritahukan guruku,” kata In Lui, “biar ia bersama ji-supeeh pergi ke perbatasan untuk mencari sam-supeeh.”

“Kau, sendirian saja, mana dapat kau bekerja untuk dua jurusan?” kata Ciu Kian. “Begini saja. Pergi kau cari kakakmu, aku yang akan memberitahukan kepada gurumu.”

“Itulah lebih baik. Baiklah besok aku akan berangkat.”

Ciu Kian tertawa.

“Kau masih mempunyai waktu beberapa hari,” katanya. “Dalam hal ilmu silat, kau lebih pandai, tapi tentang pengalaman, kau perlu belajar dari aku!”

Waktu cuaca makin terang dan dentuman sudah mulai sepi, Ciu Kian dan In Lui kembali ke pesanggrahan.

Tepat tengah hari, tentara yang bersembunyi di empat penjuru sudah kembali dengan warta kemenangannya yang besar, tentara Mongolia dihajar kocar-kacir dan banyak yang tertawan berikut kudanya. Karena itu, Ciu Kian menitahkan untuk memberi hadiah, hingga ia menjadi repot untuk beberapa saat.

“Kau benar gaga, tetapi mengenai seluk-beluk kaum kang-ouw, kau masih kurang,” berkata pula Ciu Kian sambil tertawa. “Nanti aku suruh San Bin mengajarkan padamu.”

In Lui cerdas, dengan gampang ia dapat mengerti, maka baru tiga hari,m ia sudah tahu segala apa mengenai kaum kang-ouw.

Ciu Kian masih kuatirkan orang kurang pengalaman, kenalan pun ia tak mempunyai banyak, dari itu ia serahkan sebuah benderanya, bendera Jit-goat-kie.

“Semua orang kaum kita di lima propinsi utara, baik dari kalangan darat maupun sungai, apabila mereka lihat bendera ini, pasti mereka akan suka mengalah,” ia beri keterangan. “Umpama kata kau menghadapi ancaman bahaya, kau keluarkan saja bendera ini. Cuma ingat, tidak dapat kau keluarkan secara sembarangan.”

In Lui terima bendera itu, ia haturkan terima kasihnya, akan tetapi, di dalam hatinya, ia berpikir,” Aku hendak merantau, aku membutuhkan pengalaman, perlu apa aku dengan perlindungan bendera ini?” Tapi tidak ia utarakan pikirannya ini.

Ciu Kian juga keluarkan beberapa potong pakaian orang lelaki, emas dan perak serta permata. Sambil tertawa ia kata,” Satu nona tunggal membuat perjalanan ke kota raja, kau mudah membangkitkan perhatian orang, maka itu perlulah kau salin pakaian, untuk menyamar sebagai satu pemuda. Uang dan permata ini, kau boleh simpan untuk dipakai di tengah perjalanan.”

In Lui angggap salin pakaian adalah benar, maka ia tidak membantah. Ia dandan dengan lantas. Ia terima bekalan itu. Segera ia memberi hormat, untuk pamitan.

“San Bin, pergi kau antar serintasan!” Ciu Kian titahkan.

Demikian In Lui keluar dari pesanggrahan, ia menunggan kuda pilihannya, maka itu, pada waktu tengah hari ia sudah melintasi Gan-bun-kwan.

“Siok-hu, silahkan kau kembali!” ia minta pada pengantarnya.

San Bin mengawasi dengan tajam.

“Kau harus lekas kembali” katanya, suaranya dalam. Ia tidak lantas putar kudanya, sebaliknya, ia jalan terus berendengan dengan si nona, agaknya ia berat untuk berpisah.

“Siok-hu, terima kasih untuk kebaikanmu,” kata In Lui. “Silahkan kembali!”

Tiba-tiba wajah San Bin bersemu merah, lalu ia tertawa sendirinya.

“Sebenarnya perbedaan usia kita berdua tidak seberapa,” berkata dia. “Di antara kita ada tingkat, karenanya kita bukan lagi saudara. Coba kita bicara hanya hal umur, lebih tepat kita menjadi kakak dan adik.”

In Lui menjadi heran. Tiba-tiba ia ingat, selama beberapa hari, San Bin berlaku luar biasa baik terhadapnya. Di dalam hatinya, ia kata,” Paman ini seorang yang baik, sayang cara bicaranya tidak ada batasnya.”

Muda usianya si nona, ia tidak dapat berpikir lebih dalam.

“Siok-hu, apakah kau tidak suka aku memanggil paman kepadamu?” tanyanya sambil tertawa. “Baiklah, lain kali aku kembali, aku akan bicara dengan susiok-couw supaya kita mengubah panggilan kita.”

Kembali muka San Bin merah.

In Lui tertawa, terus ia pecut kudanya untuk dilarikan. Ketika ia berpaling, nampak Ciu San Bin masih duduk diam di atas kudanya sambil mengawasinya.

Tiga hari In Lui melakukan perjalanan, pada hari ketiga ia tiba di Yang-kiok yang ramai, setibanya di dalam kota, nampak banyak rumah makan. Ia lantas merasa lapar.

“Sudah lama aku dengar arak hun-ciu dari Shoasay sangat tersohor, hari ini aku mencobanya,” pikir nona ini. Lantas ia hampirkan sebuah rumah makan yang di depannya tampak ditambatkan seekor kuda putih, putih juga keempat kakinya, roman kudanya pun bagus. Ia menghampiri lebih dekat. Justeru itu matanya bentrok dengan satu tanda rahasia orang kang-ouw di tembok, ia jadi heran. Dengan tenang, ia bertindak masuk, hingga ia dapatkan tempat di pojok selatan, dekat dengan jendela, duduk satu anak sekolah yang sedang minum seorang diri, sedang di sebelah timur duduk dua orang laki-laki yang tubuh dan romannya kasar, yang satu kurus, yang lain gemuk, keduanya minum dengan asyik. Tetapi di mata si nona, mereka itu ternyata sering-sering melirik pada si mahasiswa.

Anak sekolah itu indah pakaiannya, dia mirip dengan seorang putera hartawan. Dia juga minum seorang diri, secawan demi secawan, sampai tubuhnya nampak sedikit limbung, suatu tanda bahwa ia telah menenggak terlalu banyak.

Tiba-tiba si anak muda ini menyanyi,” Tuhan wariskan kita kepandaian, itu mesti ada gunanya. Kalau seribu emas dihabiskan, itu mesti dapat balik kembali. Memasak kambing, menyembelih kerbau, untuk berpesta bersenang-senang, maka itu haruslah diminum habis tiga ratus cangkir.”

Ia lantas goyang-goyangkan kepalanya, nampaknya ia tolol. Kembali ia teguk satu cawan, hingga tenggorokannya berbunyi.

Di dalam hatinya, In Lui berkata,” Siucay ini benar-benar tolol, ia tidak insyaf bahwa ini membahayakan perjalanannya. Dua penjahat sedang pasang mata terhadapnya, tapi ia masih tungkuli araknya saja.”

Si kurus di timur itu terdengar berseru,” Minum habis tiga ratus cangkir! Bagus! Hai, saudara, lain orang minum tiga ratus cangkir, kau sendiri, tiga cangkir kau masih belum tenggak!”

Sang kawan, si gemuk, berjingkrak.

“Kau ngaco!” tegurnya. “Kau cuma minum satu cawan, kau suruh aku habiskan tiga!”

“Tapi kau harus ingat, kau lebih besar tiga kali lipat daripadaku!” kata si kurus. “Aku minum satu cawan, kau sendiri mesti tiga, tak boleh kurang.”

“Angin busuk! Angin busuk!” si terokmok mendongkol. “Tidak, aku tidak mau minum!”

“Eh, kau tidak mau minum?” tanya si kurus.

Gusar si terokmok, ia menolak dengan keras, maka arak tumpa menyiram tubuhnya.

Si kurus melawan, mereka berdua jadi bergumul, keduanya terhuyung hingga melanggar si mahasiswa.

“Kurang ajar!” anak sekolah itu membentak. Ia gusar, ia bangkit.

Berbareng dengan itu terdengar suara barang jatuh, itulah kantong sulam si anak muda dari mana meletik keluar sepotong emas serta serenceng mutiara. Emas masih bagus tapi mutiara itu, di antara sinar matahari, sudah bercahaya terang sekali.

Si anak muda angkat kakinya, untuk menginjak kantongnya, lalu ia membungkuk untuk menjemput emas dan mutiara itu.

“Kamu hendak merampas?” ia berseru.

Dua orang itu berhenti bergumul.

“Siapa yang merampas barangmu?” bentak mereka. “Kau berani tuduh orang? Nanti aku hajar padamu!”

Beberapa tamu lain lantas maju, untuk memisahkan.

In Luin tertawa menyaksikan pertunjukan itu. Di matanya, sudah terang si gemuk dan si kurus itu adsalah dua penjahat, mereka sengaja bergumul untuk menjatuhkan kantong uang orang untuk dirampas, sedikitnya untuk mengetahui lebih dahulu, kantong itu kosong atau berisi, akan tetapi tak kesampaian maksud mereka. Di dalam hatinya ia berkata,” Di sini ada aku, tidak nanti aku biarkan kamu mencapai maksudmu.”

Nona ini bangkit, untuk menghampiri. Dengan kedua tangannya, ia tolak si gemuk dan si kurus itu.

“Kamu mabuk arak, kenapa kamu bergumul hingga ke tempat orang lain?” ia tegur mereka. Sambil berkata begitu, dengan sebat tangannya meraba saku kedua orang itu, akan rampas uangnya. Tidak ada orang yang melihat perbuatannya ini.

Ditolaknya dada kedua orang itu, mereka merasa sakit, hingga mereka jadi kaget, karena mana, tidak berani mereka beraksi lebih jauh.

“Siapa suruh dia menuduh kita merampas...” mereka mendumal.

“Sudah, sudahlah!” kata seorang tam. “Kamu telah menubruk orang, kamu yang bersalah. Baiklah kamu pulang, untuk minum arak di rumah saja.”

Si mahasiwa angkat cawannya.

“Saudara, mari minum!” ia mengundang, suaranya menyiarkan bau arak yang keras.

“Terima kasih,” sahut In Lui. Ia duduk pula di kursinya, dari situ ia awasi kedua orang itu.

Kedua orang ini terang masih mendongkol, mereka memandang orang dengan sorot mata tajam. Lalu satu di antaranya teriaki tuan rumah untuk membuat perhitungan.

Orang yang kedua, si kurus, meraba sakunya. Rupanya ia hendak mengeluarkan uang. Tiba-tiba ia melengak, wajahnya menjadi pucat.

Si gemuk lihat roman orang, ia terkejut. Ia lantas raba sakunya. Ia pun melongo dengan mendadak. Sebab ia pun dapatkan sakunya kosong. Keduanya lantas saling mengawasi, mulut mereka bungkam.

“Sama sekali satu tail tiga chie,” kata tuan rumah, yang menghampiri kedua tamunya itu.

Kedua orang itu menyeringai, tangan mereka masih belum ditarik keluar dari saku mereka.

“Tuan-tuan, semua menjadi satu tail tiga chie,” kata pula si tuan rumah.

“Apakah boleh kami bayar lain hari saja?” tanya si kurus akhirnya.

Tuan rumah memperlihatkan roman heran, habis itu ia tertawa dingin.

“Kalau setiap tamu berhutang, tidakkah kami balak makan angin?” kata dia.

Jongos, yang tidak senang, turut bicara,” Apakah kamu berdua bukannya sengaja hendak mengganggu kami? Kamu sudah minum dengan puas, lalu berkelahi, menubruk orang, sekarang kamu juga hendak menganglap! Jikalau kamu tidak punya uang, buka saja bajumu!”

Kasar suara jongos ini, tetapi ia membuat tamu-tamu lain tertawa, hingga ruangan menjadi ramai.

“Memang mereka berdua yang salah.” ada orang yang turut bicara.

Melihat suasana buruk, kedua orang itu membuka bajunya.

“Dua potong baju saja belum cukup!” kata si jongos, yang tahu-tahu sudah menyambar kopiah orang, lalu dia menambahkan,” Dasar kita yang lagi sial! Nah, sudah, pergilah kamu!”

Merah muka kedua orang itu, terpaksa mereka ngeloyor pergi.

Puas In Lui menyaksikan kejadian itu, ia keringkan lagi dua cawan. Ketika ia menoleh pada si anak sekolah, dia itu masih duduk minum. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Terang sudah kedua orang itu adalah orang-orang jahat, mereka mesti orang-orang bawahan, kena dihina, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi sepulangnya mereka mungkin mereka mengadu kepada kepalanya. Aku sendiri tidak takut, tapi bagaimana dengan anak sekolah itu? Ia terancam bahaya.”

Karenanya ia bangkit, ia teriaki tuan rumah,” Berapa aku telah minum?” Ia sudah ambil keputusan akan susul kedua orang itu.

Tuan rumah menghampiri dengan wajah berseri-seri. Ia telah lihat pakaian orang yang indah.

“Semuanya satu tail dua chie,” ia jawab.

In Lui merogoh sakunya. Di situ ia taruh uang dari Ciu Kian. Tiba-tiba ia tercekat, sakunya kosong. Maka lekas ia rogoh saku kiri. Di sini ia taruh uang dari dua orang tadi. Kembali ia terkejut, uang copetannya juga lenyap. Tanpa merasa, ia keluarkan keringat dingin.

Tuan rumah mengawasi dengan heran. Dari dandanannya, ia tidak percaya bahwa ia sedang menghadapi seorang tukang anglap lain.

“Apakah tuan tidak punya uang kecil?” dia tanya. “Uang goanpo juga boleh, dapat aku menukarnya.”

Bingung In Lui, takut ia nanti disuruh buka pakaian.

Tuan rumah mengawasi orang merogoh dan merogoh lagi ke kedua sakunya, akhirnya ia menjadi curiga.

“Kau kenapa, tuan?” dia tanya, suaranya tawar.

Justeru itu si mahasiswa menghampiri, sambil tertawa ia berkata,” Di empat penjuru lautan semua orang bersaudara. Uang seribu tail dibuyarkan pun bisa didapat kembali. Biarlah aku yang tolong bayarkan uang araknya engko kecil ini.”

Ia rogoh sakunya akan keluarkan sepotong perak berat kira-kira sepuluh tail. Ia lemparkan perak itu pada tuan rumah.

“Ini uangnya,” katanya. “Lebihnya kau boleh ambil!”

“Terima kasih! Terima kasih!” ia mengucap berulang-ulang.

Merah muka In Lui.

“Terima kasih,” ia pun menghaturkan terima kasih.

“Tak usah,” kata si anak muda, tenang. “Aku hendak mengajarkan kau satu rahasia. Yaitu lain kali kalau pergi minum arak, harus kau pakai baju dua rangkap, dengan begitu, jangan kuatir apa-apa lagi di waktu hendak membayar uang arak.”

Di waktu bicara, kembali mulutnya berbau arak keras. Ia tetap berlaku tenang habis bekata, tanpa perdulikan lagi si anak muda, ia ngeloyor pergi.

In Lui mendongkol bukan main, ia jengah.

“Satu anak sekolah tidak tahu aturan,” pikirnya. “Coba tadi aku tidak tolong padamu, pasti uangmu telah orang rampas.” Kemudian ia mengawasi sekitarnya, ia tidak melihat tamu yang mencurigakan. Ia jadi putus asa. Dengan masih mendongkol dan masgul, ia pun lantas angkat kaki, dengan menunggang kudanya, ia lanjutkan perjalanannya. Bingung juga ia karena sekarang ia tidak punya uang.

Setibanya di luar kota, In Lui lihat si anak muda yang bersama kudanya yang putih berada di sebelah depan.

“Bukankan dia yang telah main gila?” tiba-tiba ia curiga. “Tapi dia tak mirip sama sekali.”

Ia larikan kudanya, untuk menyusul mahasiswa itu, lalu ia mencambuk si anak sekolah.

Inilah satu ujian. Kalau si anak muda seorang lihai, ia mesti dapat egoskan tubuhnya akan tersingkir dari ancaman bencana.

Sekonyong-konyong si anak muda menjerit, ia tidak berkelit dari cambuk itu, tubuhnya lantas saja terhuyung, hampir ia jatuh dari atas kudanya.

“Maaf, aku kesalahan!” berkata In Lui. “Aku tidak sengaja.”

Mahasiswa itu menoleh.

“Ah, orang yang hendak menganglap.” katanya. “Jangan kau ikuti aku karena aku mempunyai uang, dengan uangku aku hanya hendak ikat persahabatan. Orang semacam kau, yang sudah menganglap dan sekarang juga memukul orang denganmu tak suka aku bersahabat!”

In Lui mendongkol berbareng merasa lucu.

“Apakah kau masih sinting?” ia tanya.

Si mahasiswa tidak menjawab, ia hanya mengoceh seorang diri,” Dengan golok membacok air, air tak terputus hanya mengalir terus. Angkat cawan meminum arak, untuk melenyapkan kedukaan, tapi kedukaan tambah kedukaan. Memang hidup di dalam dunia sukar mendapatkan kepuasan, maka lebih baik besok pergi main perahu! Eh, eh, tak sudi aku minum arak bersama kau, tak sudi aku!”

Kelihatan nyata sintingnya mahasiwa ini.

Bingung juga In Lui. Ia maju, ia ingin pegang tubuhnya yang limbung di atas kuda itu. Atau mendadak si mahasiswa jepit perut kudanya, hingga kuda itu melompat kabur.

Kuda In Lui adalah kuda Mongolia pilihan, akan tetapi ketika ia kaburkan kudanya untuk menyusul, tidak dapat ia susul si anak muda.

“Dia tidak mengerti silat, tetapi kudanya jempolan sekali,” pikirnya.

Terpaksa ia jalan terus seorang diri, pikirannya pepat.

Lama In Lui lanjutkan perjalanannya, sampai ia melihat matahari merah mulai condong ke arah barat dan dari sana-sini mulai terlihat asap mengepul, tanda orang sudah mulai menyalakan api. Ia memikir untuk singgah pada seorang tani, tapi ia sangsi, bukankah ia sudah tidak punya uang?

Ia masih jalan terus, sampai mendadak ia mendengar kuda meringkik.

Nyata di sebelah depannya ada pohon-pohon yang lebat, di situ ada sebuah kuil, dan di muka kuil itu seekor kuda putih sedang makan rumput, ia segera mengenali kuda itu.

“Eh, ia pun ada di sini!” pikirnya heran. “Orang-orang beribadat adalah orang-orang yang murah hati, baik aku singgah di sini saja.”

Ia tambat kudanya di luar, ia bertindak masuk ke dalam kuil setelah menolak daun pintu yang tertutup rapat. Segera ia lihat mahasiswa lagi nongkrong di depan tabunan, dia sedang menambus ubi.

Melihat si nona, atau lebih benar si anak muda, anak sekolah itu perdengarkan suaranya. “Dimana hidup bisa tak bertemu denganmu? Ah, ah, kembali kita bertemu pula!”

In Lui mengawasi.

“Apakah kau telah sadar dari sintingmu?” dia tanya.

“Eh, kapan aku sinting?” si anak sekolah membaliki. “Aku tahu kau adalah si orang yang menganglap.”

In Lui mendongkol.

“Kau tahu apa?” katanya nyaring. “Ada orang jahat mencopet uangku!”

Berjingkrak si mahasiwa, ia melompat bangun.

“Apa?” serunya. “Ada orang jahat? Di kuil ini tidak ada pendetanya, kalau penjahat datang, sungguh hebat! Tidak, aku tidak mau berdiam di sini.”

In Lui mendongkol berbareng geli hatinya.

‘Kau hendak pergi kemana?” dia tanya. “Begitu kau keluar dari sini, penjahat akan membegal dirimu! Tidak ada orang yang dapat menolongi kau! Dengan ada aku di sini, seratur penjahat pun aku tidak takut.”

Si mahasiwa pentang matanya lebar-lebar, sekonyong-konyong ia tertawa.

“Jikalau kau mempunyai kegagahan seperti itu, kenapa kau anglap barang makanan orang?” dia tanya.

“Sebab ada copet yang mencuri uangku,” In Lui akui.

Mahasiwa itu tertawa terpingkal-pingkal, lantas dia tunjuk orang di hadapannya ini.

“Kau tidak takuti seratus penjahat, tetapi uangmu dicopet orang!” katanya. “Hahaha! Nyata kepandaianmu mendusta ada terlebih lihai dari pada kepandaianmu menganglap!” Nampaknya dia hendak berlalu, tetapi dia batal sendirinya. Dia tambahkan,” Tak sudi aku mendengar kau! Dunia begini aman, dimana ada segala tukang copet?”

Dan dia balik-balikkan ubi bakarnya.

Bukan kepalang mendongkolnya In Lui. Tak dapat ia gusar karena kata-kata orang itu beralasan. Tapi tak dapat ia diam saja menahan kemendongkolannya.

“Kau tidak percaya, ya sudahlah!” katanya. “Akupun tak perlu kau mempercayaiku!”

Ubi bakar itu harum sekali, terseranglah nafsu makan In Lui. Ia memang telah melarikan kudanya lama dan telah datang rasa laparnya, harum ubi itu menambah hebat nafsu makannya. Ia menelan ludah tetapi tidak berani ia membuka muluntya. Orang sudah mengatakan ia si tukang anglap. Tapi itu adalah satu kuil kosong, tidak ada pendetanya, dimana disitu ia bisa cari makanan untuk menangsal perutnya?

In Lui menderita, apa pula ia melihat orang mulai makan ubinya yang harum itu. Sambil makan, mahasiswa itu mengoceh seorang diri. “Arak memang dapat membuat orang sinting. Ikan dan daging memang lezat. Sungguh wangi, sungguh wangi!”

In Lui deliki orang itu, lantas ia melengos.

Tiba-tiba si mahasiwa berkata,” Eh, tukang anglap, aku bagi kau ubi ini!” Dan lantas ia lemparka sepotong ubi yang masih panas.

“Siapa kesudian makan ubimu?” bentak In Lui. Ia tidak sambuti ubi itu, hanya sambil menelan ludah, ia duduk bersila, matanya melihat hidung, hidungnya melihat hati. Dengan begitu, sambil bersemedhi dapat ia kuasa rasa laparnya. Ia malah cepat merasa lega hati, hingga ia bisa buka kedua matanya. Sekarang ia dapatkan si mahasiswa sedang rebah tidur, ubinya terletak di sampingnya.

Melihat demikian, In Lui ulur lidahnya. Ia juga hendak ulur tangannya ketika ia lihat si anak sekolah membalikkan tubuhnya. Dia tidak bangun, tapi dia tidur pula.

“Setan alas!” kata In Lui dalam hatinya. “Biar aku kelaparan satu malam, toh tidak jadi apa!”

Si mahasiswa tidur dengan mengorok, suaranya sangat berisik. In Lui ingin tidur, tetapi tidak bisa. Ia awasi tubuh orang itu.

“Tetapi dia ini aneh,” ia pikir tentang anak sekolah ini. “Dia berpakaian indah, uangnya pun nampaknya banyak. Kenapa ia membuat perjalanan tanpa ada pengantarnya? Kenapa ia berani mondok di kuil ini, di tempat begini sepi? Kenapa dia justeru makan ubi yang idak ada harganya? Apa mungkin dia mengerti silat tetapi ia sengaja berpura-pura? Melihat romannya, tak mestinya dia mengerti ilmu silat.”

In Lui bangkit. Timbul di otaknya pikiran untuk menggeledah anak sekolah itu. Justeru itu, kembali si anak mudah membalikkan tubuhnya.

“Jikalau ia mendusin, bukankah ia akan sangka aku hendak mencuri uangnya? “ ia ragu-ragu. Ia sudah maju tiga tindak, kemudian mundur lagi dua tindak.

Tiba-tiba terdengar satu suara keras dari luar kuil, entah suara apa itu.

In Lui menoleh, ia tidak melihat apa-apa, ketika ia berpaling kepada si mahasiwa, dia ini tetap tidur mendengkur bagaikan babi.

“Sebenarnya aku tidak mau ambil mumat padamu,” pikirnya kemudian, “ akan tetapi aku kasihan padamu. Hitung saja untungmu bagus, baiklah nonamu akan talangi kau menangkis si orang jahat!”

Tanpa ragu-ragu, In Lui lari keluar, kemudian ia lompat naik ke atas sebuah pohon, di atas itu ia sembunyikan diri sambil memasang mata. Ia mencurigai suara itu.

Ketika itu cahaya rembulan tampak remang-remang dbantu sinar bintang, In Lui segera melihat datangnya dua orang, muka mereka ditutupi topeng.

“Dengan melihat kuda putih itu, terang sudah dia ada di sini,” begitu terdengar seorang berkata.

“Bagaimana jika dia tidak suka menurut?” tanya yang lain.

“Jikalau tak dapat dengan cara baik, terpaksa kita mesti ambil batok kepalanya!” menyatakan orang yang pertama bicara.

“Bagaimana dapat kita berbuat begitu?” berkata pula kawannya. “Apakah tak cukup kita lukai saja padanya?”

In Lui gusar mendengar pembicaraan itu.

“Sungguh jahat kamu!” pikirnya. “Sudah hendak merampas harta orang, juga kamu menghendaki jiwanya!”

Tiba-tiba salah satu di antaranya berseru,” Awas! Di atas pohon itu ada orang!”

In Lui berlaku sebat, dua batang piauwnya, Ouw-tiap-piauw (piauw kupu-kupu) telah dilepaskan.

Dua orang bertopeng itu gesit, mereka berhasil berkelit.

In Lui penasaran, sambil hunus pedangnya, ia lompat turun, untuk serang dua orang yang ia percayai merupakan orang-orang jahat.

Dua orang itu, yang satu mencekal tongkat besi, yang lain sepasang gaetan, menangkis serangan itu. Maka bentroklah pelbagai senjata itu. Mereka lantas saja menjadi kaget. Sebab yang bersenjatakan tongkat, tongkatnya somplak, yang mengenggam gaetan, gaetannya tersampok mental, syukur tidak sampai terlepas dari cekalan.

“Mereka lihai juga,” begitu pikir In Lui yang merasakan tangkisan keras.

Kedua orang itu kaget, mereka hendak tanya lawannya ini, tetapi tidak punya kesempatan. In Lui sudah lantas menyerang dengan gencar.

Pedang In Lui adalah pedang Ceng-beng, salah satu dari sepasang pedang Hian-Kee It-su, pedang ini tajam dan biasanya dapat membabat kutung senjata biasa, tetapi karena tongkat itu besi tua, tongkat si orang bertopeng tak bisa dibabat kutung, sedang sepasang gaetannya hanya kena tersampok.

Orang yang bersenjatakan gaetan sebat sekali, bagus juga permainan gaetannya, karena mengetahui pedang lawan tajam, ia tidak mau membuat gaetannya kena tabas. Ia membalas menyerang, ia lebih banyak berkelit daripada menangkis.

In Lui berkelahi dengan gunakan ilmu silat Hui-hoa pok tiap atau Bunga terbang menyambar kupu-kupu. Ia pun senantiasa menyingkir dari kedua macam senjata lawan itu, yang mencoba mendesaknya.

Belum lama kedua orang bertopeng itu sudah kewalahan, tidak perduli mereka dua orang dan mendapat ketika baik untuk mengepung, terpaksa mereka main mundur, akan tetapi karena mereka licin, tidak lantas mereka kena dipecundangkan.

In Lui menjadi penasaran hingga ia kertak giginya. Kalau tadinya ia tidak memikir untuk mengambil jiwa orang, sekarang ia tak gentar untuk melakukan itu. Begitulah, satu kali, ia serang orang yang menggenggam sepasang gaetan dengan tipu silat Toat-beng-sin atau Malaikat mencabut jiwa yang ia peroleh dari Hui-thian Liong Lie. Ia ingin rubuhkan lawan yang satu dulu, baru nanti yang kedua.

Di luar dugaan nona ini, orang bertopeng itu perlihatkan kelicinannya. Dia loloskan diri dari tikaman, berbareng dengan itu, ia membalas dengan gaetannya yang kanan, yaitu selagi pedang lewat, tidak mengenai gaetan kiri, gaetan kanan dipakai menggaet dan menarik dengan keras.

Si nona kaget, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Ia kenali tipu silat gaetan itu adalah salah satu dari tipu Tantai Mie Ming.

“Hai, apakah kamu murid-murid Tantai Mie Ming?” ia tegur mereka. Ia desak yang memegang tongkat sambil menyingkir dari orang yang menggenggam gaetan.

Orang yang pegang gaetan itu menyahut dengan seruannya,” Nyata kau ketahui kita siapa! Karena itu, lain tahun pada hari ini adalah hari peringatan satu tahun kematianmu!”

Dan seruan itu disusul dengan serang hebat.

Merah mata In Lui, ia jadi sangat gusar.

“Orang Tartar bernyali besar! Cara bagaimana kamu berani nyelundup masuk ke Tionggoan? Apakah kamu sangka Tionggoan sudah tidak ada manusianya?” dia berteriak. Dia pun balas menyerang dengan dashyat.

Pertempuran berjalan seru. Akan tetapi selang sekian lama, In Lui jeri sendiri. Ia lapar dan kurang tidur, selang seratus jurus, ia menjadi lelah. Keringatnya pun mulai keluar. Di luar sangkaannya, kedua musuh tangguh, rapi kepungan mereka. Dengan sendirinya, ia jadi kena dikurung, percuma agaknya ia mempunyai pedang yang tajam itu.

“Pedang bocah ini bagus,” kata lawan yang pegang tongkat,” bolehkah sebentar pedang itu diberikan kepadaku?”

“Boleh, boleh sekali!” sahut kawannya. “Aku suka mengalah, suka aku berikan pedang itu kepada kau, akan tetapi kau mesti berjanji, kalau sebentar kita bekuk dia, dia mesti diserahkan padaku, kau mesti dengar perkataanku!”

In Lui mendongkol mendengar ocehan itu, lebih-lebih perkataannya orang yang bersenjata gaetan itu. Kata-kata bisa bermaksud buruk. Karenanya, ia ulangi serangannya yang dashyat, ia desak lawan yang bersenjatakan tongkat itu.

“Aduh!” teriak lawan ini ketika satu kali ia tangkis serangan-serangan dari tipu silat Hui pauw liu coan atau Air tumpah terbang mengalir jadi selokan dan tangannya pun diturunkan.

In Lui gunakan ketikanya yang paling baik, ia tunjukkan kesebatannya, meyusul itu, pedangnya menyambar ke tenggorokan.

Tak sampai menjerit lagi, lawan itu rubuh binasa.

Kaget lawan yang menggenggam gaetan itu. Inilah hebat untuknya, sebab selagi ia berdiri ternganga, pedang sudah menyambar pula, hingga gaetannya yang kiri kena terbabat kutung. Kali ini ia tidak tercengang lagi, lantas ia melompat mundur, untuk memutar diri dan angkat kaki panjang.

In Lui sedang murka, ia menyerang dengan tiga batang Bwee-hoa Ouw-tiap-piauw, ia arah punggungnya, akan tetapi terdengarlah suara nyaring beruntun, lantas ketiga piauw runtuh sendirinya, entah kena terhajar apa. Maka dalam sekejap saja, musuh sudah lenyap di tempat gelap.

Nona ini tak mengerti sendirinya. Tak mengerti ia kenapa lawan yang bersenjata tongkat itu gampang dikalahkan, mestinya ia masih sanggup bertahan.

“Apakah ada orang yang membantu aku secara diam-diam?” ia berpikir. Ia juga heran atas runtuhnya piauwnya barusan. Apa benar ada orang yang membantu dan berbareng menolong juga lawannya itu? Tapi tampaknya tak beralasan, dugaan ini bertentangan dengan kenyataan.

Lantas In Lui hampiri korbannya, kemudian topengnya ia singkap dengan pedang. Ia lihat benar, orang itu adalah orang Tartar. Maka terang sudah, orang ini bukan sembarang penjahat. Siapa dia? Apa maksud mereka berdua?

Tanpa pikir panjang lagi, In Lui menggeledah tubuh orang. Tapi ia tidak dapatkan apa-apa kecuali beberapa tail perak hancur serta rangsum kering.

“Inilah kebetulan untukku!” kata si nona, yang jadi tertawa sendirinya. Maka dia simpan uang dan makanan rangsum kering itu.

Tidak lama, dari tempat pohon-pohon lebat terdengar pula suara aneh seperti tadi, lalu muncul lagi dua orang bertopeng, yang berlari-lari ke arah kuil.

“Sahabat sekawan, air semangkok mesti diminum bersama!” demikian suara yang terdengar dari satu di antara dua orang itu. Itu artinya, kedua orang itu mau minta bagian.

In Lui jadi mendongkol.

“Baik!” jawabnya. “Kamu berjumlah berapa orang? Mari semua sama-sama minum!” Tapi mendadak ia sadar bahwa ia sedang menyamar maka ia mengubahnya.

Kedua orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.

“Hahahaha! Ini barulah sahabat baik! Kita harus sama-sama kalau punya makanan!”

Orang yang berkata-kata itu, yang sudah lantas datang dekat, segera mengulurkan tangannya, untuk dipakai menanggapi bagiannya.

In Lui tertawa dingin, ia menyabet dengan pedangnya.

Orang bertopeng itu terkejut, ia tarik kembali tangannya sambil lompat mundur. Tapi begitu ia lolos dari bahaya, mendadak ia maju menyerang, tangannya merupakan bacokan. Sebab yang ia gunakan adalah tipu silat Toa Kim-na-ciu atau Tangkapan tangan. Ia bertangan kosong, lain dari kawannya yang mencekal sebilah golok.

In Lui terkejut, ia sodorkan pedangnya guna menangkis sambaran itu.

“Awas, dia lihai!” berseru orang yang pegang golok, yang terus membacok.

In Lui bela dirinya dengan tipu silat Coan hoa jiauw sie atau Menembusi bunga dengan mengitari pohon, dengan begitu ia dapat jauhkan diri dari lawannya yang pertama itu.

Nyata kedua lawan itu bukan lawan-lawan yang ringan, syukur pedangnya lihai, hingga mereka itu kewalahan.

“Baiklah!” berseru lawan yang bertangan kosong sesudah melalui lima puluh jurus. “Biarlah kau yang menelannya sendiri. Tapi kau mesti beritahu she dan namamu agar kemudian kita bisa menjadi sahabat!”

“Siapa sudi bersahabat dengan kamu?” bentak In Lui. “Kejahatanmu hendak merampas barang dapat dimaafkan, tetapi yang hebat adalah kamu telah bersekongkol dengan musuh untuk mencelakakan negara!”

Kata-kata ini dibarengi dengan serangan Hun-hoa hoat lie atau Memecah bunga, mengebut pohon, ujung pedangnya menyambar ke kiri tetapi agaknya seperti menikam ke kanan. Tipu ini membuat musuh bingung, hingga orang yang mencekal golok lantas saja berkaok keras, karena lengannya kena tertikam, sampai goloknya jatuh terlempar.

Lawan yang bertangan kosong itu licin, dengan ciutkan diri, ia lolos dari serangan yang saling susul, tapi ia mash diserang berulang-ulang.

In Lui membuat orang tidak berdaya, di saat ujung pedangnya hendak menusuk punggungnya, tiba-tiba ia rasakan lengannya seperti digigit semut besar, karena mana, tak lurus lagi serangannya, maka lawannya itu dapat berkelit pula, kali ini dia berkelit untuk terus kabur, disusul kawannya yang terluka itu. Keduanya terus lenyap di antara pohon-pohon yang lebat.

“Bangsat tukang bokong, keluar kamu!” berteriak In Lui, yang tidak berniat mengejar musuh-musuhnya itu. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dibokong orang yang tidak dikenal.

Tidak ada jawaban atas cacian itu, di sekitarnya keadaan sunyi.

Masih In Lui menanti sebentar, apabila tetap tidak ada yang menyahuti, ia lihat lengannya yang terasa digigit semut itu. Disitu ada sekelumit daging muncul, bengkak sebesar kacang kedelai. Teranglah itu adalah hasil serangan gelap dari semacam senjata rahasia, hanya entah siapa penyerang yang bersembunyi itu, dia terus tidak sudi perlihatkan diri.

Tidak puas In Lui sekalipun ia peroleh dua kali kemenangan, karena orang telah membokong dirinya, maka itu ia kembali ke dalam kuil dengan perasaan mendongkol berbareng lesu. Tiba di dalam, ia dapatkan si mahasiswa masih rebah tidur, napasnya masih menggeros keras.

‘Hai, orang mampus!” ia menegur. “Sungguh senang kau tidur!”

Mahasiswa itu membalikkan tubuhnya, ia perdengarkan dua kali suara ngulet.

“Ada penjahat!” In Lui berteriak pula.

Si anak sekolah membuka kedua matanya, dengan malas ia bangkit duduk.

“Impian sedap, siapakah yang lebih dahulu merasai?” katanya seperti orang ngigo. “Itulah aku, aku yang mengetahui.”

“Kau ketahui apa?” kata In Lui dengan dingin, sambil tertawa tawar. “Ada penjahat datang kemari!”

Mahasiswa itu kucak-kucak matanya.

“Tengah malam buta kau ganggu orang sedang mimpi,” katanya. “He, engko kecil, mengapa sih kau selalu ganggu aku?”

Sama sekali ia tidak percaya In Lui, bukan saja ia tidak menyatakan terima kasih, malahan ia menyesalinya.

“Jikalau kau tidak percaya, kau keluar melihatnya,” kata In Lui.

Anak sekolah itu ngulet pula.

“Umpama kata benar ada penjahat datang, toh buktinya tidak terjadi apa-apa,” katanya kemudian, sambil tertawa. “Buat apa kau bangunkan aku?”

In Lui mendongkol berbareng merasa lucu

“Akulah yang pukul mundur mereka itu!” katanya sengit.

“Apakah itu benar?” tanya si mahasiswa. “Sungguh bagus! Sungguh bagus! Kau makan sepotong ubi, kali ini kau bukannya menerima upah tanpa jasa, tidak mau aku mengatakan kau menganglap lagi!”

Dan plok, ia lemparkan sepotong ubi padasi pemuda tetiron, yang menyampok dengan mendongkol.

“Siapa main-main denganmu?” dia menegur. “Eh, aku tanya kau, kau she apa dan namamu siapa? Kau datang darimana?”

Mahasiswa itu mainkan kedua biji matanya. Tiba-tiba ia ikuti teladan orang, sebelah tangannya dipakai menuding.

“Eh, kau tanya kau, kau she apa, namamu siapa? Kau datang darimana?” demikian pertanyaannya.

In Lui jadi sangat mendongkol, ia gusar.

“Apa?” tanyanya.

Tapi si anak muda tertawa tawar.

“Kau tanya aku seperti kau memeriksa, mustahil aku pun tak dapat menanya padamu.” ia jawab. “Apakah kau hakim tukang periksa orang?”

In Lui mendongkol tetapi ia bungkam. Anak muda itu berkepala batu tapi dia benar juga.

“Mana dapat aku beritahu tentang diriku?” In Lui berpikir.

Mahasiswa itu melirik, sikapnya ngguh membuat In Lui sangat mendelu. Meski demikian, nona ini masih dapat memikir. “Tentang diriku tidak dapat aku beritahukan dia, tentang dirinya mungkin juga tak dapat diberitahukan padaku! Kalau sendiri tak suka, kenapa mesti paksa orang lain? Tentang dua orang Tartar itu, mereka datang dari tempat ribuan lie, bukankah mereka sedang mencari orang seperti yayaku yang kabur dari Mongolia, yaitu anak sekolah ini!”

Menerka demikian, tiba-tiba In Lui jadi ingin menghargai mahasiswa itu, cuma ketika ia lirik orang itu, kembali ia merasa jemu. Tetap tingkah pola si mahasiwa itu sangat menyebalkan, dia mengawasi dengan wajah tertawa tapi bukan tertawa, matanya dikecilkan.

Masih In Lui berpikir. Akhirnya ia keluarkan bendera Jit-goat-kie dari Ciu Kian, ia lemparkan itu pada si mahasiwa.

“Nih, aku berikan kau ini!” katanya. “Tak mau aku jalan sama-sama kau!”

Mahasiswa itu melirik.

“Aku toh bukannya anak wayang!” katanya. “Perlu apa aku dengan benderamu ini yang dua mukanya?”

“Kau berjalan sendirian, kau terancam bahaya,” berkata In Lui. Terpaksa ia berikan keterangan. “Dengan adanya bendera ini, orang jahat nanti tak berani ganggu padamu.”

“Apa?” tanya si mahasiswa. “Apakajh bendera itu adalah suatu firman?”

Mau tak mau In Lui tertawa.

“Mungkin ini lebih berpengaruh daripada firman raja!” ia jawab. “Ini adalah Jit-goat-kie dari Kim-too Ceecu. Kau datang dari Utara, mustahil kau tidak pernah dengar nama Ceecu itu. Kim-too Ceecu mirip dengan kepala penjahat di Utara, di kalangan Rimba Hijau, semua orang menghormatinya!”

Maksud In Lui baik menyerahkan bendera bulan sabit itu.

Tetapi si anak muda, wajahnya berubah dengan tiba-tiba. Ia jemput bendera itu, mendadak ia tertawa dingin.

“Satu laki-laki yang hendak bangkit berdiri, mana dapat ia mengharapkan perlindungan orang lain?” katanya jumawa. “Apakah kau pernah baca Khong Cu atau Beng Cu?”

Mendadak ia gunakan tangannya, di antara suara berebet, bendera Jit-goat-kie itu robek menjadi empat bagian.

Merah padam wajah In Lui, kegusarannya bukan kepalang besarnya.

“Kim-too Ceecu sangat terkenal, dia satu laki-laki sejati, kau berani menghina dirinya?” dia berteriak, lalu sebelah tangannya melayang ke arah kuping orang. Justeru itu ia lihat kulit muka orang yang putih dan halus, bagaikan kulit telur, ia ingat,” Tidakkah tanganku akan membuat mukanya bengkak? Tidakkah itu hebat?” Karenanya ia segera tahan tangannya itu. Lantas ia berkata dengan sengit. “Aku tidak mau berlaku seperti kau, anak sekolah busuk! Baik, baiklah, suka aku memberi ampun padamu kali ini! Kalau besok lusa kau dibegal dan dibunuh orang jahat, bukankah itu karena kau mencari mampus sendiri? Baiklah, aku tak mau perdulikan lagi padamu!”

Lantas ia putar tubuhnya, dengan cepat dia lari keluar. Ia sangat menyesal karena maksud hatinya yang baik tidak diterima orang. Ia jadi merasa tak enak sendirinya.

Si mahasiswa mengawasi orang dengan sepasang matanya yang tajam, ketika ia tampak orang sudah keluar dari pintu, ia bangkit dengan perlahan-lahan. Nampaknya ia hendak memanggil tetapi ia batal sendirinya, sebaliknya ia tertawa dingin.

Sekeluarnya dari kuil, In Lui lompat naik ke atas kudanya yang ia terus larikan. Ia baru sampai di tempat yang lebat dengan pohon-pohonan tatkala ia dengar satu suara menyambar di atasan kepalanya. Ia lantas tahan kudanya.

“Bangsat tukang membokong, jikalau ada nyalimu, mari keluar!” ia berseru.

Kembali terdengar satu suara seperti tadi, atas itu, In Lui tarik kepala kudanya, untuk berkelit. Menyusul itu sebatang pohon jatuh di depannya, pada cabang itu diikatkan satu bungkusan dari sapu tangan sulam.Ia lantas menjadi kaget, ia kenali, itulah bungkusannya yang lenyap. Ia segera mengambil, untuk membuka bungkusannya, maka di situ ia dapatkan uang dan permata bekalan Ciu Kian berikut uangnya hasil mencopet.

Heran dan penasaran, dari atgas kudanya, In Lui lompat menyambar pohon untuk naik ke atasnya, lalu ia melihat ke sekitarnya. Tidak ada orang di dekat situ, ada juga sinar bintang-bintang yang sudah guram dan angin bersiur-siur.

“Sudahlah,” akhirnya ia menghela napas. “Benarkah pepatah di luar langit ada lagi langit lainnya. Siapa sangka di sini aku bertemu dengan orang lihay.”

Ia lantas larikan kudanya, sampai di luar rimba, fajar sedang mendatangi. Menggunakan ketika pagi, ia larikan kudanya maju terus ke barat. Segera ia melihat ada orang-orang yang menunggang kuda, yang romannya gagah. Ia percaya, mereka itu adalah orang-orang kangouw. Ia teringat akan ajaran Ciu Kian tentang kaum kangouw.

“Kelihatannya mereka ini hendak menghadiri suatu upacara besar atau sedikitnya pertemuan kaum rimba persilatan,” ia menduga-duga.

Mereka itu melewati nona ini, sama sekali mereka tidak menaruh perhatian. Mungkin mereka anggap mereka hanya bertemu satu pemuda biasa saja.

Setelah jalan serintasan, In Lui merasa lapar, ia segera mampir pada tukang bubur di tepi jalan yang juga menjual the. Ia lantas isi perutnya.

“Hari ini perdagangan ramai,” kata ia pada tukang teh, yang tengah masak dua panci teh.

“Tuan, apakajh tuan hendak pergi ke Hek-cio-chung?” tanya tukang teh itu sambil tertawa.

“Apa itu Hek-cio-chung?” In Lui balik menanya.

“Kalau begitu, tuan orang dari luar,” sahut tukang teh itu. "Hari ini Cio toaya dari Hek-sek-chung merayakan ulang tahunnya, banyak sekali sahabatnya yang datang untuk memberi selamat.

In Lui ingat sesuatu.

"Apakah kau maksudkan Hong-thian-lui Cio Eng, Cio Loo-enghiong?" ia tegaskan.

Segera tukang teh itu perlihatkan sikap menghormat.

"Oh, kiranya tuan sahabat Cio Toaya," katanya.

"Siapakah yang tidak tahu Cio Loo-enghiong?" kata In Lui. "Aku memang berasal dari lain propinsi tapi pernah aku dengar nama Cio Loo-enghiong itu."

Tukang teh itu manggut.

"Benar! Cio Toaya itu luas pergaulannya, semua orang dari berbagai kalangan, kenal atau tidak, asal datang ke rumahnya, tidak ada yang tidak disambut secara baik."

In Lui pun manggut. Tentang Cio Eng itu, ia dengar dari Ciu Kian. Katanya Cio Eng terkenal dengan pedangnya, pedang Liap-in-kiam dan senjata rahasianya, batu Hui-hong-sek. Adalah karena senjata rahasia ini Cio Eng peroleh julukan Hong-thian-lui (Geledek menggetarkan langit). Sebab bila mengenai tubuh orang, senjata rahasia itu perdengarkan suara nyaring. Cio Eng gagah dan gemar bergaul, akan tetapi toh tabiatnya aneh.

"Siapa tahu dia tinggal di luar kota Yang-kiok ini," pikir In Lui. "Baiklah aku pun pergi memberi selamat padanya. Di sana ada banyak orang, mungkin juga ada si orang lihai yang telah permainkan aku."

Karena ini, ia pinjam pit dan minta kertas dari tukang teh, untuk menuliskan karcis pemberian selamatnya.

Aku tidak tahu loo-enghiong merayakan ulang tahunnya, inilah kebetulan," katanya sambil tertawa. Terus ia tanyakan letak Hek-cio-chung setelah membayar uang teh, ia naik ke atas kudanya, akan menuju ke rumah Hong-thian-lui.

Sudah banyak tamu di rumah Cio Eng. Setelah In Lui serahkan karcis namanya, ia diterima dengan tak ditanya ini dan itu, terus ia diantar ke taman bunga dimana pesta diadakan, justeru perjamuan hendak dimulai. Ia dipersilahkan duduk di meja pojok, kawan-kawan semejanya adalah orang yang tidak ia kenal, hingga ia mesti dengarkan saja mereka itu berbicara.

"Hari ini Cio Loo-enghiong tidak saja merayakan ulang tahunnya, kabarnya ia hendak memilih juga mantu," kata seorang diantaranya.

"Bisa pusing kepala orang tua itu," kata seorang yang lain. "Aku dengar See Ceecu, Han To-cu dan Lim Chungcu berbareng memajukan lamaran! Bagaimana mereka hendak dilayani?"

Orang yang ketiga tertawa.

"Mau apa kau pusingkan kepala?" ujarnya. "Pasti sekali Hong-thian-lui mempunyai caranya sendiri!" ia lantas menunjuk," Kau lihat!"

In Lui berpaling ke arah yang ditunjuk orang itu, maka ia tampak sebuah lui-tay (panggung untuk pertempuran) yang besar dan tingginya dua tombak lebih.

Orang itu tertawa, ia menambahkan," Hong-thian-lui telah berlaku terus terang, dia adakan pertandingan untuk pilih menantu, siapa yang menang, dialah mantunya itu, untuk ini, ia tidak pandang sanak atau sahabat, karenanya ketiga pelamar itu tak dapat berkata apa-apa."

"Kalau begitu, pasti bakal ramai!" kata yang lain.

In Lui tertawa dalam hati.

"Inilah cara aneh," demikian ia pikir. "Kalau yang menang seorang yang jelek, apa tidak kasihan anak gadisnya?"

Selagi matahari condong ke barat, lantas terdengar ucapan-ucapan selamat yang riuh, di sana-sini orang pada bangkit. In Lui pun bangun, ia mengawasi ke arah dimana suara ucapan itu terdengar.

Seorang tua, yang mukanya merah, kelihatan muncul, ia menuntun satu nona. Ia minta jalan di antara orang banyak, terus dia lompat naik ke atas luitay, perbuatannya diikuti si nona.

In Lui lihat satu nona yang cantik, wajahnya seperti tersungging senyuman, alisnya lentik dan panjang hampir melekat pada ujung rambutnya. Untuk melihat lebih jelas, ia maju mendekati. Ia dapatkan nona itu polos, tidak pemaluan, tidak jengah berhadapan dengan banyak tamu.

Dari pembicaraan orang banyak, In Lui tahu orang tua muka merah itu adalah tuan rumah, yaitu Hong-thian-lui Cio Eng, dan si nona adalah puterinya, yang bernama Cui Hong.

"Heran juga," pikir pemuda tetiron ini," Cio Eng bermuka bagaikan Lui Kong, tetapi ia mempunyai anak dara yang begini elok."

Lui Kong = Malaikat Geledek.

Tidak sempat In Lui berpikir lebih jauh, ia lihat Cio Eng tengah memberi selamat pada para tamunya, kemudian terdengarlah suaranya yang keras," Hari ini adalah hari ulang tahunku, aku berterima kasih pada saudara-saudara yang telah datang mengunjungi. Sebagai hormatku, marilah minum dahulu tiga cangkir!"

"Bagus!" seru sekalian tamunya, terus mereka keringkan cawan mereka masing-masing.

Cio Eng urut-urut kumis dan jenggotnya, ia tertawa.

"Hek-cio-chung adalah satu desa yang sepi, tidak ada keramaian apa-apa disini, tetapi saudara-saudara telah datang kemari, harap saudara-saudara jangan menertawakan!" kata pula tuan rumah melanjutkan. "Anakku ini mengerti ilmu silat kasar, baiklah dia pertunjukkan beberapa jurus, sebagai hidangan saudara-saudara minum arak!"

Kembali orang-orang berseru. "Bagus! Bagus!" suatu tanda persetujuan.

Cio Eng tertawa pula.

"Akan tetapi, bersilat seorang diri saja tidak menarik hati," ia menambahkan," maka itu aku persilahkan putera-putera dari See Ceecu, Han Tocu, dan Lim Chungcu untuk naik ke panggung untuk memberi pengajaran kepada anakku itu. Aku ingin lihat siapa yang permainannya paling bagus, kepadanya hendak aku hadiahkan sesuatu yang tidak berarti. Samwi sieheng, bagaimana pikiranmu?"

Dengan samwi sieheng, tiga kakanda, tuan rumah maksudkan ketiga tamunya yang disebutkan itu, See Ceecu, Han Tocu, dan Lim Chungcu.

Tuan rumah ini tidak mengatakan terang-terangan, bahwa pertandingan itu untuk memilih menantu, akan tetapi semua tamunya sudah mengerti maksudnya itu.

"Bagus, bagus!" Han Tocu dan Lim Cungcu menyatakan akur. Lalu keduanya dengan masing-masing mengajak anaknya minta jalan di antara para tamu, dengan saling susul mereka lompat naik. Tampak nyata kegesitan mereka.

See Ceecu bersangsi sedetik saja, ia pun ajak puteranya lompat naik. Ia dapat melompat dengan sempurna, tapi puteranya, ujung kakinya kena membentur pinggiran panggung, hampir saja ia tergelincir. Melihat ini, semua tamu heran.

Untuk kalangan Hek-too, jalan hitam, See Ceecu terkenal terutama tentang ilmu silatnya, orang percaya puteranya telah mewarisi kepandaiannya itu, karena putera ini pun sudah tersohor menyusul nama ayahnya, maka ada yang menduga, anak itu pasti akan peroleh kemenangan, siapa tahu, dalam hal melompat, dia kalah dengan putera Han Tocu dan Lim Chungcu. See Ceecu kerutkan alisnya, dia hendak bicara tapi batal, cuma mulutnya kemak-kemik.

Putera dari Han Tocu, yaitu Han Toa Hay, sudah lantas maju ke tengah, untuk memberi hormat pada tuan rumah.

"Cio Loopee berlaku baik sekali, aku pun tak sungkan-sungkan lagi," berkata anak muda ini. "Baiklah aku ingin menerima pelajaran beberapa jurus dari Cio Sie-moay, asal siemoay suka berlaku murah hati."

"Bagus, bagus!" tertawa Cio Eng. "Memang aku senang pada orang yang berlaku terus terang! Sekarang ini siapa juga tak usah sungkan-sungkan, silahkan keluarkan semua kepandaianmu, siapa yang terluka, aku sediakan obatnya!"

"Baik, loopee," kata Toa Hay, yang terus rangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat dengan sikap "Tong-cu pay Koan Im" atau "Kacung suci menghormat Dewi Koan Im".

"Bagus!" Cio Eng memuji.

See Ceecu melihat hal itu, ia menoleh pada puteranya, yang juga berpaling kepadanya, keduanya lantas menyeringai. Ayah ini hendak bicara, kembali ia batalkan.

Segera pertandingan dimul, Toa Hay menyerang lebih dulu.

Cui Hong berlaku tenang tetapi gesit, waktu diserang ia tidak menangkis, ia hanya berkelit ke samping, terus ia lompat ke belakang penyerang itu. Lincah sekali tubuhnya itu.

Toa Hay segera putar tubuhnya, ia menyerang pula, apabila ini pun gagal, terus ia menyerang ke depan, ke kiri dan kanan, akan tetapi, sebegitu jauh, tidak ia peroleh hasil, malah menyentuh baju orang pun tidak.

"Eh, pelajaran dia sama dengan pelajaranku," kata In Lui dalam hatinya apabila ia lihat gerak-geriknya Nona Cio. Itulah ilmu silat "Pat-kwa yu sin ciang" yang bergerak ke delapan penjuru. "Coan hoa jiauw sie" yang ia pelajari adalah salah satu tipu silat daripada Pat-kwa Yu-sin-ciang itu.

Toa Hay lantas juga merasakan matanya berkunang-kunang, karena ia seperti dilibat si nona, yang seperti berada di empat muka dan delapan penjuru, bayangannya saja yang nampak berkelebatan.

Diam-diam In Lui tertawa di dalam hatinya.

Masih Toa Hay berputaran masih menyerang, walaupun tiap-tiap kali ia serang sasaran kosong, tak sudi dia berhenti.

Han Tocu kerutkan alisnya.

"Anak tolol!" akhirnya dia berseru. "Kau bukan tandingan Nona Cio! Apakah kau tidak hendak undurkan diri?"

Mendengar suara Han Tocu, Cio Cui Hong segera perlambat gerakannya, tapi justeru itu, Toa Hay lompat menyerang, kedua kepalannya menyambar saling susul.

In Lui lihat serangan itu, ia tertawa dalam hati, pikirnya," Orang tolol yang tidak tahu mundur atau maju! Orang sudah mengalah, dia masih belum tahu."

Atas desakan itu Cui Hong melejit ke samping, sikut kirinya dilonjorkan untuk dipakai membentur tubuh Toa Hay, atas mana tubuh besar dari putera Han Tocu segera terhuyung, rubuh terbanting.

Cio Eng lompat maju guna membangunkan pemuda itu.

"Hong-jie, lekas haturkan maaf!" kata tuan rumah ini.

"Tidak apa," kata Toa Hay," Nona Cio, kau lihai sekali, aku..aku.."

Nyata pemuda ini tolol dan polos, hampir ia mengatakan,"....aku tidak berani ambil kau sebagai isteriku." Baiknya Han Tocu awasi dia dengan mata melotot dan ia melihatnya, hingga tak jadi dia berbicara terus.

Begitu Toa Hay mundur, ia digantikan oleh Too An, putera Lim Chungcu. Pemuda ini maju dengan perlahan, sambil mengoyang-goyangkan kipasnya.

"Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus, harap kau suka mengalah, siemoay," kata dia, suaranya seram dan luar biasa. Nampaknya ia halus bagaikan wanita, demikian juga lagu suaranya. Tapi ia mengerti Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah, maka setelah dilipat kipasnya, tahu-tahu kipas itu dipakai menyodok iga si nona.

Cui Hong berkelit, terus saja ia bersilat pula dengan "Pat-kwa Yu-sin-ciang" untuk membuat lawan itu lelah dan kabur matanya, seperti tadi ia berbuat terhadap Toa Hay.

Too An cerdik, tidak mau ia menyerang sembrono, sebaliknya, dengan tenang ia lindungi dirinya. Ia pun tiak gencar putar tubuhnya seperti Toa Hay tadi, ia cuma memasang mata, maka juga, sewaktu-waktu dapat ia balas menyerang dengan totokannya.

Nona Cio menjadi hilang sabar.

"Dia pasti bukan orang benar," ia pun berpikir. "Lihat matanya yang demikian lihai! Dia menjemukan, tidak boleh dia dibiarkan mencapai maksudnya.'

Nona ini tidak sudi menikah dengan pemuda lawannya itu, ia pun lantas perhebat serangannya, tubuhnya bergerak sangat lincah mengitari si anak muda.

Too An benar-benar lihai, ia tabah dan teliti, dengan sabar ia jaga dirinya.

Lima puluh jurus sudah lewat, Cui Hong tetap belum berhasil menjatuhkan lawan ini, Too An dalam ketenangannya telah berpikir," Aku hendak lihat, berapa banyak kau punya tenaga untuk melayani aku." Dan ia terus berlaku sabar.

Mereka bertempur terus sampai tiba-tiba selagi ia merangsak, Cui Hong tersenyum, hingga tampak kedua baris giginya yang putih halus dan sepasang sujennya yang manis. Sebagai orang cantik, dengan senyumnya, tentu sekali nona ini kelihatan sangat menggiurkan.

Hati Too An goncang, ia sangat tertarik, hingga ia berpikir," Orang seperti aku, yang berkepandaian silat tinggi, pasti aku membuat hatinya kagum." Maka ia anggap nona itu tentu menaruh hati padanya, nona itu mungkin suka mengalah, karenanya, di waktu ia menutup diri, ia pun tersenyum.

Sekonyong-konyong saja Cui Hong berseru,” Maaf!” Lalu dengan mendadak kedua tangannya dimajukan ke muka Too An, tangan yang satu menyusul yang lain, hingga si anak muda terperanjat. Ia kaget waktu tamparannya kena ditekan si nona, sampai ia berkaok, matanya pun kabur, tanpa ampun lagi, ia rubuh di lantai panggung.

Lim Chungcu mendongkol bukan main menyaksikan puteranya, yang sedikit lagi akan menang, dengan mendadak kena dikalahkan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pertandingan tlah dilakukan secara adil.

“Tidak apa, tidak apa!” Cio Eng cepat berkata. “Eh, anak Hong, kenapa kau gerakkan tanganmu secara sembrono sekali?”

Justeru itu Too An bangkit.

“Nona Cio, aku terima pengajaranmu!” katanya sambil tertawa dingin, lalu tanpa berkata apa-apa, berbareng dengan ayahnya ia melompat turun dari panggung.

Melihat itu Cio Eng menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi kemudian sambil urut-urut kumisnya dan tertawa ia berkata,” Anakku telah beruntung menangkan dua pertandingan, maka sekarang adalah giliran Bu ki Sieheng yang memberikan pengajaran padanya, supaya dia jangan jadi terlalu besar kepala.”

Bu Ki adalah nama putera See Ceecu. Cio Eng kenal baik sekali dengan anak muda itu, baik kepandaiannya maupun tabiatnya. Pemuda itu telengas, di dalam Rimba Hijau, dia terkenal tanpa kebijaksanaan. Mesi demikian, jago tua ini sadar, manusia tak ada yang seratus persen sempurna, maka ia anggap tidak terlalu mengecewakan ia mendapat menantu seperti Bu Ki.

Cio Eng juga pikir, pastilah Bu Ki senang sekali dengan pertandingan ini, karena anak muda itu pasti berada di atas angin, akan tetapi kesudahannya ia menjadi heran sekali.

Tiba-tiba saja Bu Ki kerutkan alisnya dan berkata,” Sudahlah, tak usah aku turut bertanding lagi, karena akhirnya aku akan kalah.”

Semua tamu terkejut karena herannya, mereka melongo.

“Cio Hiantit, mengapa kau mengatakan demikian?” ia tegur. “Mungkinkah anakku tak dapat diajar?”

Bu Ki tertawa meringis, dengan perlahan ia angkat lengannya, lalu ia gulung lengan bajunya, maka tampaklah tanda bekas luka yang panjang dan dalam pada lengannya sampai tulangnya kelihatan.

“Kau kenapa Hiantit?” tanya Cio Eng terperanjat.

Bu Ki memandang sekelebat ke bawah pangggung.

“Kemarin ini perahuku karam di dalam sungai,” ia menjawab, suaranya menyatakan penasarannya. “Hm! Aku telah dicurangi satu bangsat tidak dikenal!”

See Ceecu yang bernama To melanjutkan cerita puteranya,” Kemarin aku titahkan Ouw Lo-jie bersama dia pergi mengejar seekor kambing dari Utara. Tapi tak disangka, kambing itu dengan diam-diam dilindungi satu piauwsu yang lihai sekali dan Bu Ki kena dilukai.”

Dengan “kambing” See To maksudkan orang yang ia hendak jadikan korban pembegalan.

Cio Eng terperanjat, ia heran sekali, ia tahu Ouw Loo-ji itu adalah bawahan Hu-ceecu, dan kepandaiannya adalah lebih tinggi daripada See Bu Ki. Ini adalah luar biasa jika mereka berdua kena dikalahkan satu piauwsu.

“Nah, Cio Toako, bagaimana pendapatmu?” tiba-tiba See To menanya.

Cio Eng berdiam sebentar, kemudian ia tertawa.

“Nyatakah piauwsu itu seorang pandai!” katanya. “Entah siapa dia itu dan dimana adanya dia sekarang?” Ingin sekali aku menemui dia itu, supaya dapat aku mengadakan perdamaian di antara kamu kedua pihak.”

Wajah See Bu Ki berubah padam.

“Belum pernah aku diperhina secara begini, di sini tidak ada perdamaian!” katanya nyaring. Terang ia sangat sengit. Tiba-tiba ia memandang ke bawah panggung, tangannya segera menuding, dengan keras ia menambahkan,” Binatang itu nyata telah makan jantung serigala dan nyali macan tutul, dia sangat berani, dia sekarang ada di sini!”

See Tio lantas berseru,” Kami ayah dan anak ingin menemui kau, orang pandai! Kemana kau hendak pergi?’

Bagaikan bayangan kedua orang segera lompat turun dari panggung.

“Dimana dia?” terdengar orang bertanya. Dia adalah sahabat See To dan karenanya ia berniat membantu ceecu itu.

Waktu itu juga, See To telah lompat ke depan In Lui, dengan sebelah tangannya, yang semua jerijinya terbuka, ia menyambar kepala orang.

In Lui sudah lantas berkelit, tapi justeru ia berkelit, tikaman pisau belati dari See Bu Ki telah sampai kepadanya. Ia tidak kaget atau takut, malah sambil menangkis ia kata sambil tertawa,” Oh, kiranya kau penjahat yang bertopeng itu?”

Di antara satu suara nyaring, pisau belati Bu Ki terlepas dan jatuh.

Hampir berbareng dengan itu, dengan gerakan susul-menyusul dengan sikut dan tendangannya, nona dalam penyamaran ini sudah merubuhkan dua penyerang lain, yang menjadi sahabat kedua orang she See itu, habis mana dia lompat naik ke atas sebuah meja.

See To hunus goloknya, dia lompat untuk menyerang.

“Orang tidak tahu malu, kamu main keroyok!” teriak In Lui. Ia lompat turun, untuk membalikkan meja hingga piring dan mangkok jatuh pecah berhamburan.

See To tidak dapat berkelit, ia tersiram kuah, bajunya basah. Tentu saja ia menjadi bertambah gusar, maka ia ulangi serangannya. Ia sangat sebat.

In Lui terpaksa cabut pedangnya dengan apa ia tangkis bacokan itu.

See To tarik kembali goloknya lalu ia menunduk untuk membabat ke bawah.

“Orang kejam!” teriak In Lui sambil melompat dengan tipu “Yan-cu sia hui” atau “Burung walet terbang menyamping”. Dengan begitu ia lolos dari bahaya, setelah mana, pedangnya menikam dada lawan.

See To terperanjat, ia menangkis sambil berkelit, maka kedua senjata jadi bentrok dengan keras, dengan kesudahannya golok kena terpapas kutung.

In Lui tidak berniat membunuh, tidak demikian dengan See To, walaupun dia terperanjat, dia tidak mundur, sebaliknya dia menyerang pula dengan sambarannya. Maka si nona sambut tangannya dengan satu babatan hingga ia menjadi kaget, terpaksa dia tarik kembali tangannya itu. Dia jeri terhadap pedang orang yang tajam, karenanya, dia siap sedia. Masih dia tidak mau menyingkir, dia melawan terus dengan lincah, hingga sukar bagi In Lui untuk memukul mundur ceecu ini, yang sementara itu telah dibantu pula oleh beberapa sahabatnya.

“Kau rasakan!” seru See To ketika ia kirim serangannya yang berbahaya.

In Lui awas, ia terkejut melihat tangannya merah. Tahulah ia ceecu ini pernah mempelajari Tok-see-ciang atau Tangan Pasir Beracun. Pantas ia berani sekali dengan tangannya itu. Maka untuk menolong dirinya, ia tarik satu musuh di sampingnya guna dipakai membentengi dirinya.

See To batalkan serangannya itu, untuk tidak mencelakai kawannya. Kesempatan ini dipakai In Lui untuk melompat sebuah meja, lalu dari meja sebelah ia sambar mangkok yang kemudian ia lemparkan hingga ada beberapa sahabat See To yang matang biru mukanya tersiram sayur.

“Hebat! Hebat!” lalu terdengar beberapa seruan.

Memang, keadaan sangat kacau.

See Bu Ki sambar sebuah kursi, dengan itu ia merangsak, berulang kali ia menyerang, tapi In Lui telah membabat kutung kursi itu.

Pada waktu itu, See To menyerang pula.

Di saat In Lui hendak melayani ceecu itu, satu bayangan berkelebat di antara mereka berdua, dengan pentang kedua tangannya, bayangan itu membuat kedua musuh mundur dua tiga tindak.

“See Toako, coba pandang padaku!” demikian suara si tuan rumah,” Dan kau engko kecil, coba kau berhenti dulu!”

“Toako, aku mohon keadilan darimu!” kata See To. “Muka kami ayah dan anak bergantung pada sepatah katamu!”

Cio Eng pandang In Lui, ia heran dan kagum.

“Apa benar ada pemuda begini cakap?” katanya di dalam hati. “Jikalau bukan aku lihat sendiri, sungguh aku tidak percaya dia dapat mengalahkan Bu Ki dan membuat ayah dan anak kewalahan.”

“Cio Chungcu, maafkan aku,” berkata In Lui. “Aku telah bentrok dengan tamumu yang mulia. Aku sebenarnya datang untuk memberi selamat, tidak kusangka sekarang terjadi perkara ini. Tentu saja aku tidak berani turun tangan kalau tidak terpaksa. Sekarang terserah pada chungcu, kau hendak hukum aku atau bagaimana.”

Menurut aturan kamu kang-ouw, In Lui adalah tamu Cio Eng, maka dalam segala hal, Cio Eng sebagai tuan rumah harus memegang semua tanggung jawab. Maka itu, mendengar perkataan orang itu, See To mendongkol bukan kepalang.

“Manusia licin!” ia mendamprat dalam hatinya, matanya pun mendelik. Tapi tiba-tiba ia dapat daya, ia lantas menghadap tuan rumah.

“Toako, apakah she dan nama engko kecil ini?” demikian ia tanya. “Siapakah gurunya?”

Cio Eng melengak ditanya begitu.

“Aku tidak tahu,” sahutnya terpaksa.

Maka tertawalah See To berkakakan.

“Kiranya toako tidak kenal dia siapa?” katanya puas. “Saudara-saudara hadirin, siapakah yang kenal engko kecil ini?” dia tanya semua tamu.

Semua orang datang berkerumun, tidak satu pun diantara mereka yang kenal anak muda ini, mereka itu membungkam atau menggelengkan kepala.

Kembali See Ceecu tertawa, sekarang ia tertawa dingin.

“Baiklah toako ketahui,” kata ia pada tuan rumah. “Jahanam ini sudah sengaja mengaku jadi tamu, namanya saja dia datang untuk memberi selamat, sebenarnya dia hendak menyingkirkan diri. Tidak apa dia datang makan di sini, makan tanpa membayar, tetapi perbuatannya ini merusak kaum Hek-to di Shoasay ini!”

Cio Eng menjadi bingung, ia pun tidak senang.

“Habis, bagaimana menurut See Toako?” dia tanya.

“Mesti diminta supaya dia keluarkan semua barang berharga dari orang yang dia lindungi!” jawab See Ceecu. “Suruh dia serahkan kuda Ciauw-ya Say-cu-ma! Habis itu, dia mesti dipaksa menyerah untuk Bu Ki tikam lengannya seperti dia tikam lengan Bu Ki! Dengan begitu barulah urusan dapat diselesaikan.”

Tercekat In Lui mendengar orang menyebut nama kuda Ciauw-ya Say-cu-ma. Memang sejak lama ia sudah dengar nama kuda jempolan asal Mongolia itu, yang tak dapat dibeli dengan uang seribu tail emas. Maka tidak ia sangka kuda si mahasiswa adalah kuda jempolan itu. Lantas saja, di depan matanya, terbayang tampang si mahasiswa yang cakap dan sikapnya yang sangat polos. Ia pun jadi semakin mencurigai mahasiswa itu.

Melihat orang diam saja, Cio Eng sangka si anak muda kaget, maka ia tepuk pundaknya.

“Engko kecil, apa pembelaanmu?”

In Lui bukannya tidak sadar.

“Dia membegal orang, aku menolong orang itu, demikian duduk perkaranya!” sahut ia dengan tenang. “Apa lagi yang hendak dikatakan? Jikalau mereka tidak puas, silahkan mereka maju! Asal mereka ayah dan anak dapat mengalahkan aku, jangan kata baru dibacok satu kali lenganku, enam kali mereka tikam tubuhku, masih boleh, tidak nanti aku lari!”

Hati tuan rumah itu bergetar.

“Nyatalah dia anak ayam yang baru menetas,” pikirnya. “Dia tidak tahu, dalam urusan seperti ini, akulah yang berkuasa atas dirinya. Dia menantang mereka, bukankah itu sama artinya dengan menantangku?”

See To pun tertawa berkakakan mendengar perkataan orang itu.

In Lui mendelik.

“Kau tertawakan apa?” dia tegur. “Kamu ayah dan anak, silahkan kamu maju! Apakah kamu sangka aku jeri terhadapmu? Hm!”

Dengan mengucap demikian, In Lui ingat pesan Ci Kian, yaitu kalau menghadapi musuh banyak, terutama musuh tersohor, mesti dijaga supaya musuh itu sendirilah yang mesti ditantang, untuk bertempur satu lawan satu. Ia pun merasa, ayah dan anak itu bukan tandingannya, jadi dia tidak perlu takut, ia jadi senang dapat menantang aya dan anak itu. Ia hanya tidak tahu, pesan Ciu Kian tidak mengenai urusan seperti kali ini.

“Cio Toako, kau dengar tidak?” tanya See To pada Cio Eng. “Di mata bocah ini tidak saja tidak ada aku, juga tidak ada kau!”

Wajah tuan rumah kembali berubah.

“Aku tahu!” ia menjawab. Terus ia hadapi si anak muda. “Eh, engko kecil, kau mau adu pedang atau adu kepalan?” dia tanya.

“Apa? Bertanding dengan kau?” In Lui tegaskan. “Chungcu, Lian-in-kiammu kesohor di kolong langit, cara bagaimana aku yang muda berani melawan kau? Aku hanya hendak main-main dengan mereka berdua!”

“Tutup mulutmu!” Tiba-tiba Cio Eng membentak. “Siapa yang ingin bertempur di tempatku ini? Kau lihat!” Dan sinar matanya menyapu.

Kata-kata ini dikeluarkan di depan In Lui tapi sebenarnya ditujukan kepada See To ayah dan anak.

Kembali In Lui melengak, tak tahu ia bagaimana menjawab.

Cio Eng tidak gubris orang berdiam.

“Jikalau kau jeri terhadap pedangku, nah mari kita bertanding dengan tangan kosong saja!” Cio Eng berkata pula.

“Aku yang rendah tidak berani,” In Lui menyahuti.

“Tidak bertanding, itulah tidak bisa!” dia berkata. “Tapi mengingat kau satu anak muda, baik, aku memberi kesempatan, aku tidak melayani kau. Eh, anak Hong, mari! Coba kau wakilkan aku melayani dia beberapa jurus! Anak, lekas kau naik ke panggung!”

Sikap Cio Eng membuat hadirin heran, malah See To dan anaknya jadi mendongkol, hingga wajah mereka merah pada. Tahulah semua orang, mengapa Cio Eng menyuruh gadisnya melawan anak muda itu. Itu adalah pertandingan untuk memilih jodoh untuk gadisnya itu.

Cio Eng melirik, ia tetap bersikap tak memperdulikan. Ia hanya mendesak si anak muda.

“Eh, bocah bila kau punya nyali untuk menyelinap ke salam Hek-cio-chung ini, kau juga harus punya nyali untuk naik ke panggung!” demikian katanya. “Eh, apakah kau masih tidak mau naik? Apakah kau ingin paksa aku nanti melemparkan tubuhmu?”

Desakan orang tua ini membuat romannya jadi bengis sekali. Tapi di dalam hatinya semua tamu tertawa. Semakin jelas saja tuan rumah menyukai anak muda itu.

In Lui berpaling ke atas panggung, di sana ia lihat wajah Cio Cui Hong, dengan muka merah dadu, matanya mengawasi ke bawah panggung liutay, hingga mata mereka berdua jadi bentrok. Tiba-tiba saja ia dapat satu pikiran. Maka lekas-lekas ia angkat bajunya.

“Baiklah aku turut perintah, aku nanti naik ke panggung untuk terima pengajaran dari siocia,” ia kata. Habis itu, orang banyak sudah membuka jalan, ia bertindak ke arah luitay dan lantas ia lompat naik.

Cio Eng segera bicara dengan beberapa pembantunya, kemudian ia duduk menemani See To.

“See Toako,” katanya sambil tertawa dan mengurut-urut kumisnya, “kita bersahabat sudah bertahun-tahun, tidak nanti u membuat kau malu.”

Ceecu itu berdiam, ia sedang mendongkol, tak dapat dia bicara, dia pun tak dapat mengutarakan kegusarannya.

Cio Eng tersenyum.

“Biar bagaimana anak-anak muda tak dapat tidak dipupuk,” katanya pula. “Jikalau anak muda mesti dibunuh, sungguh kita jadi menunjukkan pandangan yang cupat.”

Cio Eng adalah pemimpin Rimba Persilatan di dua propinsi Shoasay dan Siamsay, karenanya See To mesti menahan sabar.

“Toako benar,” ia kata. “Ak terima pengajaran dari kau. Sekarang ingin aku pamitan.”

Baru ia hendak bangkit tapi Cio Eng telah menekannya.

“Kita saksikan dulu pertandingan ini, masih ada waktu,” katanya. “Lihat, mereka sedang seru!”

Memang di atas panggung, “pemuda” dan pemudi itu tengah bertempur tubuh mereka berkelebatan bagaikan bayangan, karena pesatnya mereka bergerak-gerak. Pakaian mereka sangat menarik, yaitu In Lui berbaj putih dan Cio Cui Hong berbaju hijau dan celana merah hingga nampak bagaikan awan putih yang berseling sinar layung merah di antara laut hijau.

Dengan kepandaiannya, In Lui dapat rubuhkan si nona dalam waktu tiga puluh jurus, akan tetapi ia ingin saksikan ilmu silat “Liap-in-pouw” si nona, dari ituia tidak segera berlaku keras. Liap-in-pouw merupakan jurus tangan kosong, sedangkan Liap-in-kiam memakai pedang.

“Baik permainannya, sayang belum sempurna,” pikir In Lui kemudian. Waktu itu mereka sudah melalui seratus jurus.

Cui Hong sementara itu telah berpikir juga. Ia lihat bagaimana si “anak muda” melayani ia seperti sedang bermain-main.

“Aku perlihatkan kepandaianku, kalau tidak, setelah menikah nanti, ia bisa pandang enteng padaku,” berpikir ia lebih jauh. Ia lantas tertarik pada anak muda itu, sedang maksud ayahnya dapat dia duga.

Benar saja, habis berpikir demikian, si nona menyerang dengan dashyat. Ia telah keluarkan kepandaiannya, yaitu ilmu silat Liap-in-pouw (Tindakan mengejar mega). Gesit gerakannya, berat tangannya, baik bacokannya, maupun totokannya.

In Lui gentar juga menyaksikan perubahan itu, ia lantas melayani dengan ilmu silat Pek-pian Hian-kee, ilmu pedang yang ia ubah menjadi bertangan kosong. Maka ia pun jadi bergerak sangat lincah.

Sebentar saja, pemuda ini telah menguasai pertempuran, akan tetapi, ketika si pemudi melihatnya, hatinya menjadi rawan.

“Akhirnya dapat juga aku paksa kau keluarkan kepandaianmu,” pikirnya.

Lalu si nona paksakan berkelahi terus, ia seperti berlaku nekad, ia merangsak, begitu rupa sampai akhirnya ia msuk ke dalam pelukan orang. Di pihak lain ia mencoba memegang lengan In Lui.

Kaget juga pemuda tetiron itu, sampai ia menjadi bingung. Mau atau tidak, ia terpaksa merangkul dengan tangan kiri, lalu dengan jari tangannya ia pegang iganya, hingga Cui Hong rasakan tubuhnya bergetar.

Karena jengah In Lui keluarkan seruan tertahan. Tapi, dengan kemalu-maluan di bawah panggung penonton telah bersorak-sorai. Maka lekas ia totok pula si nona, untuk menghidupkan pula jalan darahnya, habis mana ia tolak tubuh nona itu, ia sendiri melompat mundur.

“Maaf, nona!” katanya sambil memberi hormat.

Cio Eng perlihatkan wajah berseri-seri, ia urut-urut kumisnya. Tapi sahabatnya See Ceecu merah mukanya.

“Kionghi Toako, kau telah pilih menantumu!” katanya sambil memberi hormat. “Nah, ijinkanlah aku pulang!”

Cio Eng panggil pembantunya yang tadi.

“See Hiantee, toakomu memohon maaf,” ia kata. “Di sini ada sebungkus mutiara, hitunglah sebagai pengganti kerugian. Tentang kuda Ciauw-ya Say-cu-ma harap kau tidak buat pikiran pula, karenanya silahkan kau pergi ke istalku, pilihlah sepuluh ekor yang paling baik untuk dijadikan gantinya. Hiantee, aku minta sukalah kau berlaku murah hati, untuk membebaskan piauw yang ia lindungi itu.”

Tuan rumah mengatakan demikian karena ia percaya perkataan See To bahwa In Lui telah menjadi piauwsu diam-diam.

See Ceecu tertawa tawar.

“Terima kasih, toako,” katanya. “Aku masih punya harta, tidak berani aku memiliki kepunyaanmu. Aku melainkan minta kau suka menaati undang-undang Golongan Hitam.Dalam hal ini, aku minta toako memberi maaf padaku.”

Habis berkata, ceecu ini menjura dalam pada tuan rumah, lalu ia tarik tangan Bu Ki untuk diajak berlalu.

Cio Eng menjadi sangat tidak puas, tetapi ia tidak bisa berbuat lain, maka setelah menyuruh pembantunya mengantar tamu, ia sendiri lantas lompat naik ke atas panggung.

Cui Hong merah wajahnya, melihat ayahnya naik, ia menunduk, tangannya memainkan ujung bajunya.

In Lui menyeringai, ia jengah.

Orang tua itu tertawa terbahak-bahak.

“Inilah yang dikata, gelombang sungai Tiang Kang yang belakang mendorong gelombang terdepan, atau orang baru menggantikan orang lama!” katanya. “Kau adalah satu pemuda gagah, kau adalah seorang yang sukar dicari bandingannya.”

Sekaranga Cio Eng sudah mengetahui she dan nama orang ini. Tadi ia telah titahkan pembantunya memeriksa karcis nama. Maka sambil tertawa ia meneruskan berkata,” In Siangkong, kau mempunyai kepandaian, buat apa kau menjadi piauwsu?”

“Sama sekali aku tidak menjadi piauwsu,” In Lui menyangkal. “Kemarin di tengah perjalanan aku berkenalan dengan satu sahabat, aku menolong dia menolak penjahat, aku tidak tahu karenanya aku jadi bentrok dengan See Ceecu ayah dan anak.”

Lega hati Cio Eng mendengar keterangan ini.

“Oh, begitu,” katanya. “Di rumah aku masih ada siapa lagi? Apakah kau sudah mengikat jodoh?”

In Lui bersangsi sedetik ketika ia mejawab.

“Aku punya satu kakak,” sahutnya. “Aku belum mengikat jodoh.”

Tuan rumah itu tertawa.

“Biasanya anak muda, bila ditanya hal jodohnya, dia jadi jengah!” katanya.

“Kau telah peroleh kemenangan, hendak aku berikan hadiah padamu!” berkata pula Cio Eng. Ia keluarkan sebuah cincin batu giok hijau yang ditaburkan dengan dua butir permata mata kucing yang cahayanya berkilauan. “Ini adalah peninggalan ibu Cui Hong yang diberikannya di waktu dia hendak menutup mata, sekarang aku haturkan ini padamu.”

“Karena barang itu milik si nona, tidak berani aku terima,” In Lui menampik dengan merendah.

Cio Eng tertawa bergelak

“Ini adalah tanda mata untuk pertunangan kamu, mengapa kau tidak mau terima?” ia kata.

“Sebenarnya aku tidak berani terima kehormatan itu,” In Lui menolak pula.

Mendadak saja wajah tuan rumah itu menjadi merah padam.

“Apakah kau cela anakku?” tanyanya, tetapi dengan perlahan.

“Mana berani aku mencela,” sahut si anak muda. “Aku hanya tak dapat menuruti kehendak loopeh.”

Cio Eng menjadi tidak senang.

“Mengapa?” ia tanya, mendesak.

In Lui melirik kepada Cui Hon, ia lihat si nona, yang pegangi ujung celananya, merah mukanya, kedua matanya yang besar dan bundar diarahkan kepadanya, pada matanya tampak air mata yang berlinang. Tiba-tiba saja ia mendapat satu pikiran.

“Baiklah, aku terima dia sampai nanti datang waktunya aku menggesernya,” demikian pikirnya. Ia menyahuti tapi ia masih pura-pura. “Aku belum dapat izin dari orang yang lebih tua, cara bagaimana aku dapat diam-diam mengikat jodoh?”

“Dimanakah kakakmu sekarang?” tanya Cio Eng.

“Aku tak tahu ia berada dimana,” jawab In Lui. “Dengan saudaraku, aku berpisah sewaktu kami masih kecil.”

Cio Eng kerutkan alisnya.

“Habis, pada siapa kau hendak beritahukan hal ini, untuk memohon perkenan?” dia tanya pula.

“Ayah dan ibuku tealah menutup mata, yang masih ada hanya ceekong,” sahut In Lui. “Ceekong perlakukan aku seperti cucunya sendiri, maka ingin aku beritahukan padanya urusan perjodohanku ini.”

“Siapakah nama ceekongmu itu?”

“Tak dapat aku menyebutkan nama ceekong disini,” jawab In Lui. “Dia seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan.”

Cio Eng heran, ia tertawa.

“Kalau dia seorang kenamaan, mesti dia tahu namaku!” katanya dengan gembira. “Atau sedikitnya dia kenal aku. Maka baiklah kau jangan kuatir suatu apa.”

In Lui terdesak, ia lantas memberi hormat sambil berlutut pada “bakal mertua” yang ia panggil “gak-hu”, habis mana dari sakunya ia keluarkan sepotong batu permata untuk diserahkan.

Cio Eng terima tanda mata itu, yang ia terus serahkan pada anak daranya, setelah mana ia pimpin bangun babah mantunya, untuk disuruh berdiri di tengah panggung.

“Sejak ini, In Siangkong ini adalah bagaikan setengah anakku,” ia berkata pada tetamunya, “maka itu aku berharap, kalau nanti dia membuat perjalanan, sukalah saudara-saudara membantu melihat-lihat padanya.”

Riuh suara para tetamu menyambut pernyataan it, mereka pun memberi selamat.

Cio Eng tunggu sampai reda, lalu ia berkata pula, “Aku telah berusia lanjut, dan justeru saudara-saudara berada di sini, baiklah sekarang saja pernikahan dirayakan! Secara begini di kemudian hari tidak usah aku mengundang pula saudara-saudara, yang mana membikin berabe saja!”

Orang banyak lantas bertepuk tangan.

“Bagus! Bagus!” mereka berseru. Malah seroang lantas menghampiri In Lui dengan Arak di tangan, untuk memberi selamat.

“Usiaku masih terlalu muda, baiknya pernikahan ditunda dulu,” kata In Lui. Ia terdesak, ingin ia mengelak.

“Aku ingin dapat mendampingi kau, maka itu pernikahanmu perlu dirayakan siang-siang,” Cio Eng mendesak. “Aku Hong-thian-lui seorang sederhana, aku mengadakan luitay untuk memilih mantu, sekarang mantu telah aku dapatkan, baik sekarang juga pernikahan dilangsungkan! Dengan begini kita tak usah dipersulit segala adat-istiadat.”

Semua tetamu tertawa, mereka puji cara sederhana ini. Maka In Lui dipaksa menjalankan upacara yang sederhana, yaitu berdua Cui Hong ia memberi hormat pada langit dan bumi, lalu pada Cio Eng, habis mana banyak orang memberi selamat dengan arak.

Bukan main masgulnya In Lui, ia mengeluh dalam hatinya. Tak dapat ia meloloskan diri. Inilah main-main menjadi sungguhan. Ia pun tak dapat menolak pemberian selamat dengan arak itu. Ketika ia telah tenggak belasan cawan arak, ia gunakan tenaga dalamnya, lalu dengan suara keras, ia muntahkan itu. Maka kupingnya lantas dengar teriakan orang banyak, “In Siangkong mabuk!”

Memang In Lui tidak kuat minum, sedikitnya susu macan telah mempengaruhi dia, maka selagi berpura-pura sinting, yang orang percaya, sengaja ia terhuyung kepada Cui Hong.

“Anak muda tidak biasa minum, dia pun tidak tahu aturan,” berkata Cio

Eng, yang juga kena dikelabui babah mantunya itu. “Anak Cui, pergi kau bawa ia ke dalam,” Lalu pada orang banyak dia tambahkan,” Aku girang, aku tidak pakai aturan lagi! Saudara-saudara, mari, mari kita minum!”

In Lui pejamkan kedua matanya, ia letakkan kepalanya di pundak Cui Hong, ia biarkan dirinya dipapah ke dalam terus ke kamar dimana ia rebahkan diri tanpa salin pakaian lagi. Mulanya ia berpura-pura mabuk, tapi karena pusing dan lelah, ia tertidur sendirinya. Ketika ia mendusin, ia lihat kamar sudah terang dengan cahaya api, tanda sudah malam. Ia lihat Cui Hong duduk di tepi pembaringan, si nona tidak salin pakaiannya, rupanya dia terus menemani.

Melihat orang membuka matanya, nona ini tertawa.

“Kau mabuk siangkong?” dia tanya. Lantas dia suguhkan secangkir teh tua, katanya, “Inilah teh Sin-kiok untuk menghilangkan rasa mabuk. Tidak usah siangkong bangun, aku nanti meminumkan.”

Benar-benar ia angkat sedikit tubuh In Lui, ke mulut siapa ia bawakan cangkir tehnya itu.

In Lui merasa segar sehabis minum air teh itu yang harum. Sekarang ia dapat melihat jelas kamar yang dihias rapi. Dupa mengepulkan asap di atas sebuah meja kecil, pendupaannya berkaki tiga dan bagus sekali.

Menampak perhatian orang itu Cui Hong tertawa.

“Menurut kata ayah, inilah pendupaan jaman Ciu,” katanya,” Tapi dimataku, aku tidak melihat perbedaannya. Pun meja kecil itu, katanya terbuat dari kayu wangi asal Lamhay.”

Heran In Lui. Pendupaan tua dari jaman Ciu dan meja kayu wangi dari Lamhay? Sungguh itu barang-barang yang mahal sekali harganya. Tapi si nona pandang barang itu sebagai barang biasa saja. Disitu pun terdapat lain-lain barang berharga, seperti batu giok, mutiara, dan lainnya, yang indah adalah pohon karang.

“Cio Eng satu jagoan silat, siapa tahu, ia pun hartawan besar,” pikir babah mantu ini.

Cui Hong dampingi “suaminya” ini.

“Siangkong, kau sebenarnya dari keluarga mana?” dia tanya.

“Ayah dan ibu menutup mata waktu aku masih kecil sekali,” jawab In Lui. “Menurut keterangan kita adalah dari keturunan keluarga berpangkat.”

Nona itu mengawasi, alisnya agak mengkerut.

“Siangkong, apa benar kau mencintai aku?” ia tanya perlahan.

“Kau cantik sekali, kau juga gagah, bukan cuma aku, setiap pemuda yang melihat pasti mencintai kau,” jawab In Lui.

“Ah, apakah kau kata?”

“Aku punya satu saudara angkat, baik roman maupun kepandaiannya, dia melebihi aku,” In Lui sahuti.

Heran si nona, alisnya sampai bangun.

“Saudara angkatmu itu mempunyai hubungan apa denganku?” dia tanya. “Ah, aku tahu sekarang, tadi kau berulang-ulang menampik, kau sebenarnya tak suka menikah dengan aku.”

In Lui pandang nona itu.

“Bukannya aku tidak suka,” katanya. “Kau dengar dulu omonganku. Saudara angkatku itu………”

Mendadak saja Cui Hong menangis.

“Bagaimana pandanganmu terhadapku?” dia tanya, gusar. “Kalau kau sebut-sebut pula tentang saudara angkatmu itu, nanti aku bunuh diri di hadapanmu! Jikalau kau tidak suka padaku, katakanlah terus terang! Memang aku tahu kamu bangsa pembesar negeri, kamu pandang rendah orang sebangsa kami.”

“Ah, mengapa kau ngaco?” berkata In Lui. “Sebenarnya kau bangsa apa? Aku tidak tahu.”

Si nona mengawasi.

“Apa benar-benar kau tidak tahu?” tanyanya. “Aku adalah anak tunggal dari satu penjahat besar!”

In Lui tersenyum.

“Itulah tidak berarti apa-apa!” dia kata. “Saudara angkatku itu juga ada satu penjahat besar.”

Bukan main mendongkolnya Cio Cui Hong.

“Kau selalu sebut saudara angkatmu itu, sebenarnya, apakah maksudmu?” dia tanya.

Melihat orang murka, In Lui berpikir. Memang tak tepat pada malam pengantin berbicara tentang seorang lelaki lain.

“Aku hendak jodohkan paman San Bin, tidak dapat aku terburu nafsu,” ia berpikir pula.

“Kau belum kenal aku!” kata si nona. “Sejak kecil aku telah ikuti ayah merantau, selama itu entah berapa banyak orang yang telah melamar aku, akan tetapi aku sendiri telah bersumpah, tidak mau aku menikah kecuali pada orang yang aku penuju! Kalau ada orang yang aku penuju tetapi dia tidak suka padaku, tidak ada jalan lain daripada mengorbankan jiwaku! Tadi diatas luitay, kau telah berlaku ceriwis terhadapku, dan sekarang, setelah kita menikah, kenapa kau tidak pandang aku sebagai isterimu? Apakah memang kau sengaja hendak perhina aku?”

In Lui tidak sangka orang berhati demikian keras. Maka kembali ia berpikir, “Dia belum pernah lihat paman San Bin, apakah dia penuju pada paman itu?” demikian ia beragu-ragu. “Kalau begini, tidak boleh aku sembarang timbulkan niatku menggeser pernikahanku ini.”

“Katakan!” Cui Hong mendesak, “sudikah kau mengambil aku sebagai isterimu?” dia membaliki. “Jangan kau menangis, Kau ingin aku berbuat bagaimana supaya aku membikikn kau puas?”

Cui Hong hendak mengatakannya tetapi batal, ia malu sendirinya. Cuma air matanya yang mengalir.

In Lui cekal tangan orang, untuk ditarik. Ia tersenyum.

“Enci, berapa usiamu?” ia tanya.

“Delapan belas tahun,” sahut Cui Hong dengan ringkas.

“Kalau begitu, kau lebih tua satu tahun daripadaku,” menerangkan nona In. “Benar-benar aku mesti panggil enci padamu. Enci, adikmu….”

Dengan kata adik itu ia maksudkan moa-moay (adik perempuan).

Cui Hong heran, hingga ia mengawasi.

“Apakah kau belum sadar betul dari mabukmu?” dia tanya. “Bukankah tadi telah aku terangkan bahwa aku tidak punya adik perempuan?”

In Lui melengak. Untuk sedetik, ia lupa bahwa ia tengah menyamar. Lalu ia tertawa sendirinya.

“Benar gila!” katanya. “Enci, bolehkan aku jadi adikmu yang lelaki? Enci, adikmu ini tidak pandai bicara, aku minta kau tidak persalahkan dia.”

Dengan perlahan ia usap-usap tangannya.

Cui Hong tertawa.

“Benar-benar kau anak tolol!” katanya. “Baiklah! Sekarang kau mesti dengar perkataan encimu! Lekas kau salin pakaianmu, baru kau tidur pula! Kau lihat, kau tidak loloskan sepatumu! Ah, ini seprei mesti ditukar.”

Kalau tadi si nona masih malu, sekarang ia menjadi berani. Melihat orang tidak mau bangkit, ia kata, "Apakah kau inginkan encimu yang menukarkan pakaianmu?" Ia lantas tertawa, mukanya menjadi merah. Ia merasa bahwa ia telah kelepasan bicara.

In Lui berdiam, ia benar-benas sangsi.

Tiba-tiba ada pertanyaan dari luar, budak perempuan, "Apa babah mantu sudah sadar dari mabuknya?"

"Sudah," sahut Cui Hong.

"Looya minta nona dan babah mantu menemuinya," kata pula budak itu.

"Oh, ya, aku sampai lupa!" kata si nona. Terus ia menambahkan dengan perlahan, "Adikku, mari bangun. Tak usah kau salin pakaian dulu."

Lega hati In Lui. Ia singkap selimutnya lalu lompat turun.

Cui Hong membuka pintu kamar.

"Kau tukar sepreinya!" ia perintahkan budaknya.

Budak itu lihat seprei bertapakkan sepatu kotor, ia tertawa sambil menutup mulutnya.

Cui Hong ambil lentera, sambil bawa itu, ia tarik tangan In Lui, untuk diajak keluar. Mereka mesti melewati beberapa ruangan, untuk sampai di sebuah loteng besar, yang tingginya lima tingkat.

Tingkat kelima itu merupakan satu ruangan, ada meja dan kursinya. Di atas meja, In Lui lihat banyak barang permata. Cio Eng duduk dengan ditemani empat orang di kiri dan kanannya.

Menampak babah mantunya, Cio Eng tertawa.

"Anak Cui! Anak Lui!" katanya. "Mari kamu pilih ini, masing-masing ambil satu rupa, yang selebihnya adalah untuk sahabat-sahabatku ini!"

In Lui heran, ia berdiam.

"Inilah aturan kami yang tertentu," Cui Hong beritahu. "Kau turut perkataan ayah. Kau pilih satu rupa!"

In Lui ambil satu singa-singaan dari batu giok dan Cui Hong mengambil sebatang tusuk konde dari giok juga. Habis itu In Lui pandang ruang itu, yang sangat sederhana, sebab kecuali sebuah lemari besi, perabotan lainnya tidak ada, melainkan di tembok tergantung sebuah gambar yang besar dimana terlukis sebuah kota yang dikitari air, kota itu ada pesebannya, ranggonnya, tamannya, dan penduduknya. Dilihat dari romannya, itu adalah sebuah kota di Kanglam.

"Apakah kau suka pada gambar itu?" tanya Cio Eng sambil tertawa. "Besok akan aku tuturkan kau tentang kota itu. Sekarang kembalilah kamu."

Cui Hong ajak suaminya undurkan diri, selagi keluar dari kamar, ia masih dengar kata-kata salah satu tetamu," Harus sangat disayangkan, ini adalah perdagangan kita yang terakhir."

Cio Eng tertawa, ia kata," Di dalam dunia dimana ada bunga yang tak rontok dalam seratus tahun? Usiaku telah lanjut, aku pun tidak ingin melakukan perdagangan semacam ini. Baiklah kita pakai cara lama, kamu boleh taksir harganya."

In Lui heran, ia ingin mendengar lebih jauh tapi Cui Hong sudah menarik tangannya, mengajak ia turun dari loteng.

Setibanya di kamar, mereka tampak seprei sudah ditukar dengan yang baru, hingga pembaringan itu nampaknya lebih indah. Pada saat itu dari kejauhan terdengar suara kentongan.

"Ah, sudah jam tiga!" kata Cui Hong.

"Sekarang ini aku tidak ingin tidur," kata In Lui. "Baik kau beritahukan aku, urusan apakah sebenarnya urusan ayahmu tadi?"

"Ayah adalah satu penjahat tunggal," Cui Hong menjawab dengan terus terang, "setiap tahun ia cuma bekerja satu kali. Penduduk sini tidak ketahui perbuatan ayah itu. Sudah menjadi kebiasaan, setiap habis bekerja, ayah menyuruh aku memilih salah satu barang hasil kerjanya, yang lainnya lantas dijual habis."

"Barang boleh merampas bagaimana dapat dijual?" tanya In Lui.

"Sudah tentu dapat, untuk itu ada pembelinya. Begitulah keempat orang tadi, mereka biasa membeli barang dari ayah. Mereka itu lihai, barang asal utara mereka jual di selatan, demikian sebaliknya. Belum pernah mereka itu gagal. Uang yang ayah dapatkan dari penjualan itu, yang sebagian kecil ia tahan untuk dijadikan harta benda, selebihnya ia pakai menolongi sahabat-sahabat kang-ouw yang kesusahan."

In Lui heran dan kagum.

"Begitu?" katanya. "Pantas ayahmu diberi gelar Say Beng Siang."

"Say Beng Siang" berarti "Melebihi Beng Siang" dan "Beng Sian" itu adalah Beng Siang Kun, seorang kenamaan yang biasa mengumpulkan banyak tetamu, dermawan, dan berharta besar.

Cui Hong tersenyum pada "suaminya" itu.

Tidak lama terdengar pula suara kentongan satu kali.

"Apakah kau ingin aku bicara terus sepanjang malam?" sang isteri tanya "suaminya" itu sambil melirik dengan tajam dan manis.

"Hendak aku menanyakan lagi," In Lui jawab. "Tentang gambar lukisan tadi. Adakah ceritanya mengenai gambar itu?"

"Aku tidak tahu. Tentang itu, belum pernah ayah berkata padaku." Ia berdiam sebentar. "Aku pun merasa aneh. Segala apa ayah beritahukan padaku, cuma gambar itu belum pernah ia menyebutkannya."

Tak lama, kembali terdengar kentongan.

"Nah, apa lagi kau hendak tanya? tanya Cui Hong sambil tertawa.

In Lui berpikir, tidak ia dapatkan daya untuk memperlambat waktu. Tanpa alasan, tentu tak dapat ia bicara terus dengan "isterinya" itu. Maka ia jadi sibuk sendirinya.

"In Siankong," akhirnya Cui Hong tanya, perlahan, "apakah benar-benar kau tidak cela aku?"

"Untuk selamanya kau akan menjadi enciku, bagaimana dapat aku cela padamu?" In Lui baliki.

"Baiklah!" kata si nona, suaranya halus. "Besok saja kita bicara pula, sekarang kau perlu beristirahat."

In Lui raba kancing bajunya.

"Benar, sekarang sudah waktunya tidur," katanya. Tapi tangannya cuma meraba kancing, tidak ia membukanya. Justeru itu, di luar terdengar berisiknya suara banyak orang, di antaranya ada yang berteriak-teriak," Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!"

Di rumah Hong-thian-lui ada penjahat, itulah lucu.

Di antara tetamunya Cio Eng, ada yang numpang bermalam di rumahnya, mereka ini terkejut mendengar teriakan itu, lantas mereka memburu keluar, guna mencari penjahat itu.

In Lui tidak kaget, sebaliknya ia tertawa.

"Kita bakalan tak dapat tidur!" katanya. "Penjahat itu tentu datang sebab ayahmu mempunyai banyak barang permata."

Cui Hong tidak menjawab, dia hanya lari keluar, untuk kabur ke loteng tempat menyimpan permata itu. In Lui ikuti "isterinya" itu.

In Lui sempurna ilmu enteng tubuhnya, ia berada di atas kebanyakan orangain, maka itu kecuali ia telah lombai bujang-bujang dan tetamu, ia pun telah tinggalkan Cui Hong jauh di sebelah belakang. Hal ini membuat "isteri" itu girang berbareng mendongkol. Girang sebab "suami"ini lihai dan kelihatannya membela betul keluarga Cio, dan mendongkol karena dipanggil-panggil, dia tidak mau kembali atau menunggu.

Luas pekarangan Cio-kee-chung itu, letak loteng tempat menyimpan barang berharga ada di pojok timur, di sana In Lui sampai dalam tempo yang cepat sekali, ketika ia menoleh, ia lihat Cui Hong baru tiba di atas genteng dari rumah besar. Ia tidak mau menantikan, sambil hunus pedangnya, ia lompat untuk sambar payon dimana terus ia cantelkan kakinya, akan ayunkan tubuhnya dengan dibantu oleh tekanan sebelah tangannya, dengan begitu ia sampai di loteng kedua. Di sini ia pasang kuping, hingga ia dengar suara seperti suara setan.

"Bangsat kau mainkan lelakon iblismu untuk menakut-nakuti aku!" In Lui kata di dalam hatinya. Ia dengar suara dari dalam loteng, untuk masuk ke dalamnya, terlebih dahulu ia nyalakan sumbu bekalannya, yang ia sulut dengan api tekesan. Sebentar kemudian ia sudah berada di dalam, terus tetangga dari loteng ketiga. Ketika ia angkat kepalanya melihat ke atas, ia tampak bayangan dari empat orang yang tubuhnya besar, mereka itu berdiri dengan sebelah kaki masing-masing, agaknya mereka sedang bertindak untuk lari turun, hanya, seperti dipengaruhi "Teng-sin-hoat" yaitu ilmu mendiamkan diri, mereka jadi berdiri diam, cuma mata mereka mendelong dan tenggorokan mereka perdengarkan suara tak nyata. Yang hebat adalah wajah mereka, daging muka mereka pada mengkerut, hingga mereka mirip iblis-iblis bengis dan jahat.

Terkejut juga In Lui setelah dia melihat dengan tegas, tapi ia hunus pedangnya, dia lari naik di tangga, niatnya menyerang mereka itu, yang dia duga adalah si orang-orang jahat. Dia baru hendak menikam, atau dia batalkan maksudnya. Tiba-tiba saja dia menduga, keempat orang itu tentu telah jadi korban totokan, sedang dia belum mendapat kepastian mereka itu ada "lawan atau kawan". Maka dia lantas suluhi mereka, mereka mengawasi. Tidak peduli wajah orang itu jelek, tapi dia kenali, mereka itu adalah orang-orang yang tadi siang menjadi pembeli-pembeli dari barang-barangnya Cio Eng. Dia menjadi heran, sebab dia percaya, walaupun mereka saudagar, mereka tentunya pandai silat. Kenapa mereka kena ditotok Siapakah yang menotoknya?

"Belum pernah aku saksikan ilmu totokan lihai seperti ini," In Lui berpikir pula. "Jikalau aku gunakan kepandaianku, dapatkah aku membebaskan mereka ini?"

Ia awasi mereka terlebih jauh, ia selidiki dengan teliti. Ia duga orang telah ditotok urat "moa-hiat" nya atau "ah-hiat". Totokan di urat itu bisa menyebabkan tubuh orang seperti mati atau gagu. Ia masih mengawasi sekian lama, baru ia mencobanya menotok mereka.

"Aduh!" mereka itu menjerit setelah kena ditotok, terus mereka rubuh.

In Lui lompat minggir.

Menyusul itu terdengar suara berisik, dari batu-batu permata yang jatuh dari kantong keempat orang itu, yang berhamburan di lantai. Itulah harta yang berharga lebih dari sepuluh laksa tail.

In Lui melengak. Terang baginya sekarang, penyerang keempat orang ini bukannya hendak mengambil harta itu. Kalau tidak, harta itu pasti sudah dirampas.

"Apakah penyerangmu sudah pergi?" ia tanya keempat saudagar itu.

Keempat orang itu masing-masing menekan dadanya, dengan sebelah tangan yang lain, mereka menunjuk ke atas. Tidak dapat mereka bicara, napas mereka sesak.

Dengan berani In Lui lompat keluar jendela, untuk naik ke loteng keempat, setibanya di payon, dari atas wuwungan ia dengar suara nyaring dari Cio Eng. "Kami dua turunan sudah menantikan enam puluh tahun. Apakah benar kau tidak sudi perlihatkan wajahmu terhadap kami?"

In Lui naik terus, ia segera tampak bayangan orang, yang telah perdengarkan suaranya.

"Mari!" Itulah suara yang ia pernah dengar, entah dimana, ia lupa.

Cio Eng ambil gambarnya, ia gulung itu, atas mana si bayangan ulurkan kedua tangannya, ia menyambut dengan tangan yang satu, sedang tangan yang lain, agaknya menepuk ke arah kepala tuan rumah.

Menampak demikian, In Lui membentak, tubuhnya naik ke genteng, tapi berbareng dengan itu, ia diserang senjata rahasia. Ia menyampok dengan pedangnya, lantas ia rasakan satu dorongan tenaga yang kuat sekali. Benar senjata rahasia itu hancur dan menyemburkan lelatu, tapi nona ini tak dapat pertahankan diri, tubuhnya terhuyung jatuh. Syukur ia masih dapat mencantelkan kakinya ke payon, dengan begitu ia tidak jatuh terus ke bawah loteng.

Malam itu gelap.

Kembali datang senjata rahasia yang kedua, yang perdengarkan sambarang angin seperti yang pertama.

Dengan pedangnya, In Lui tangkis pula senjata rahasia itu, yang kembali hancur dan lelatunya meletik berhamburan. Sekarang ternyata, senjata rahasia itu adalah sepotong batu.

Pada saat itu, Cio Eng tongolkan kepalanya.

"Siapa?" dia menegur.

Belum In Lui menjawab, atau ia dengar suara yang berubah, suara yang agak terkejut. "Anak Lui disitu? Ini bukan urusanmu, lekas kau menyingkir!"

Itulah suara Cio Eng. Mendengar itu, In Lui heran. Sudah terang penjahat itu hendak merampas barangnya, kenapa Cio Eng, si "mertua" membantu pencuri itu? Kenapa Cio Eng menyerang dengan batu hui-hong-sek untuk mencegah dia membantui?

Waktu itu di bawah loteng terlihat beberapa tetamu yang datang untuk memberikan bantuan mereka. Cio Eng lihat mereka itu, tidak tunggu sampai In Lui menyingkir, ia sudah lompat keluar, sambil berkata dengan nyaring," Penjahat telah aku usir, sudah tidak ada apa-apa lagi! Saudara-saudara, silahkan kembali!"

Tapi In Lui bermata awas, ia lihat si pencuri lompat keluar dari belakang jendela, pesat sekali gerakannya. Tanpa sangsi lagi, ia pun lompat ke lain arah. Dengan sebat si penjahat sudah sampai di tembok pekarangan. Masih In Lui menyusul, ia juga tunjukkan kesebatannya.

Selagi hendak lompat dari tembok, orang yang disangka penjahat itu berpaling, tangannya dilambaikan pada si nona. Nyata ia memakain topeng, sepasang matanya bersinar tajam. Tanpa melihat tegas, In Lui lompat mengejar terus.

Di luar tembok pekarangan ada pohon-pohonan lebat, dari sana terdengar suara kuda berbenger, lalu di antara cahaya rembulan, tampak muncul seekor kuda putih.

Melihat kuda itu, In Lui terkejut. Ia kenali itu adalah kuda putih dari si mahasiswa. Ia jadi menjublak, ia tak mengerti. Bukankah ia telah uji dan si anak sekolah tidak mengerti silat? Kenapa sekarang dia datang mencuri? Adakah benar orang bertopeng itu si mahasiswa adanya dan dia datang bukan untuk mencuri? Kalau dia benar mencuri, kenapa dia biarkan harta besar di tangan keempat saudagar itu dan dia cuma ambil gambar lukisan saja, meskipun gambar itu berharga besar sekali. Tapi anehnya, kalau benar si pencuri adalah si mahasiswa, kenapa Cio Eng mengatakan sudah menantikan enam puluh tahun?

In Lui masih tercengang terus kalau ia tidak diganggu suara berisik di arah belakangnya, disusul dengan suara Cio Eng yang nyaring. "Jangan kejar penjahat yang sudah kabur! Anak Lui, lekas kembali!"

Masih In Lui terbenam dalam keheranan, sebab sikap aneh dari "mertuanya" ini. Terang sudah, Cio Eng tengah melindungi si penjahat, si orang bertopeng. Karena ini, ia tidak perdulikan panggilan orang tua itu, ia justeru lompat keluar tembok, ke arah pohon-pohonan lebat. Tapi disini lagi-lagi ia hadapi kejadian yang membuatnya sangat heran.

Suara seekor kuda lain terdengar pula, apabila In Lui sudah melihat, ia tercengang. Itulah kuda berbulu merah, kudanya sendiri. Kuda itu, ia tahu benar, ditambatkan di depan kampung. Kenapa kuda itu sekarang berada di dalam rimba?

Ketika itu si orang bertopeng sudah duduk di atas kudanya. Ia tidak segera lari, hanya kembali ia menoleh, tangannya menggape kepada si nona.

Sekarang In Lui merasa pasti, orang itu adalah si mahasiswa. Tiba-tiba saja ia jadi tidak senang.

"Hai, binatang, kenapa kau berulang kali mempermainkan aku?" bentaknya. Terus ia lompat naik ke atas kudanya, ia jepit perut kudanya, untuk mengejar. Kuda putih telah kabur pesat di sebelah depan.

Dari suara banyak kuda di sebelah belakang, In Lui percaya Cio Eng beramai juga mengejar, akan tetapi mereka ini juga ketinggalan jauh.

Kuda putih kabur terus, kuda merah tetap menyusul, maka itu dari Yang-kiok, tak lama kemudian, keduanya mengambil jalan besar ke kota raja.

Jarak antara kedua kuda ada kira-kira setengah lie, sampai disitu, kuda putih kendorkan larinya.

In Lui mendongkol berbareng heran, ia penasaran, dari itu, ia keprak kudanya untuk mengejar terus. Malam itu diterangi hanya oleh sisa rembulan.

Tanpa diketahui seratus lie lebih telah dilalui, dan tanpa merasa sang fajar telah mendatangi. Entah dimana mereka berada, cuma tahu-tahu di depan mereka ada sebuah rimba

"Maaf, tak dapat aku menemani lebih lama!" terdengar suara si orang bertopeng, habis berkata dia larikan kudanya masuk di antara pohon-pohonan yang lebat.

"Walaupun kau lari ke ujung langit, akan aku menyusulnya!" teriak In Lui dalam murkanya. Benar saja, ia kaburkan terus kudanya untuk memasuki rimba. Akan tetapi baru dia sampai di tepian atau ia dengar kuda putih berbunyi nyaring, disusul dengan seruan orang. Ia terkejut dan heran, dengan tiba-tiba ia tahan kudanya. Berbareng dengan itu, tampaklah kuda putih lari keluar tanpa penunggangnya di bebokongnya.

In Lui terkejut, si orang bertopeng mestinya lihai, apa mungkin orang telah mencelakai dia, dengan membokong hingga tinggal kudanya saja yang lari keluar?

Setelah seruan itu, di dalam rimba itu menyusul terdengar teriakan-teriakan. Cuma sedetik In Lui bersangsi, atau ia sudah lompat turun dari kudanya, untuk lari masuk ke dalam rimba itu, untuk lompat naik ke atas sebuah pohon.

Segera juga tertampak beberapa orang memburu keluar rimba.

"Sayang, sayang!" kata mereka. "Kuda putih itu lolos! Eh, eh, ada kuda merah! Ah, ah, sayang dia juga kabur!"

In Lui tidak kuatirkan kudanya itu, yang jinak dan mengerti. Ia tahu, kudanya telah lari menyingkir. Ia percaya, bila sebentar ia panggil, kuda itu akan kembali. Karena ini, dengan gunakan ilmu enteng tubuhnya,ia melapai dan berlompatan di pohon-pohon itu, dari yang satu kepada yang lain hingga di lain saat ia telah sampai di dalam rimba.

Di sana terdengar suara berisik sekali.

Dengan hati-hati In Li maju terus, lalu ia umpetkan diri, untuk mengintai. Ia lantas saksikan satu pemandangan yang membuatnya heran, yang kesudahannya memberikan penerangan padanya.

Di atas sebuah batu besar tampak si mahasiswa berdiri, dia telah melucuti topengnya. Di sekitarnya, di bawah batu, mengurung delapan orang, tubuh siapa tinggi dan rendah tak rata. Dua orang segera In Lui kenali ialah See To dan puteranya. Yang menyolok mata adalah dua orang lain, ialah satu tauwto yang rambutnya terurai, dan satu imam berjubah hijau. (Tauwto adalah pendeta yang piara rambut).

Terdengarlah suara Ceecu See To, suaranya yang dingin," Meskipun kau sangat licin, binatang, tak nanti kau lolos dari tanganku! Apakah kau masih mengharap jiwam?'

Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala.

"Sekalipun semut masih menyayangi jiwanya, apapula manusia?" katanya dengan sabar.

"Jikalau begitu," kata See Ceecu," lekas kau panggil kembali kuda Ciauw-ya Say-cu-mamu! Tentang barang-barang permata, biarlah, tak aku inginkan itu, tidak demikian dengan kudamu!"

Mahasiswa itu tetap menggelengkan kepalanya.

"Kuda itu ada kuda jempolan, dia tidak mudah berpindah tangan," dia kata.

See To tertawa dingin.

"Pembelamu telah nmenjadi tamu agung di Hek-see-chung, disini siapa yang akan menolong kamu?" katanya mengejek.

Anak muda itu tiba-tiba menunjuk.

"Kau mana tahu, orang sasterawan!" katanya. "Pembelaku itu telah datang" Lalu dengan tiba-tiba ia perdengarkan seruan nyaring. "Pembelaku kenapa kau tidak lekas-lekas turun untuk menolongi tuanmu!"

In Lui mendongkol bukan main. Tidak ia sangka, tibanya disitu telah diketahui si mahasiwa. Mau atau tidak, terpaksa ia lompat turun dari tempatnya sembunyi di atas pohon itu.

Si tauwto kaget, tapi dia tabah, dengan lantas dia menyerang memakai senjata rahasia, ialah tiga batang piauw, yang menyambar dengan beruntun.

In Lui terkejut. Ia tengah lompat turun, waktu itu ia belum hunus pedangnya, ia jadi serba salah. Tidak bisa ia menangkis, tidak mampu ia berkelit.

Justeru itu dengan perdengarkan suara nyaring, ketiga piauw dari si tauwto jatuh ke tanah saling susul, hingga si tauwto jadi kaget. Dengan cepat dia merogoh pula sakunya.

"Tunggu dulu!" berseru See To. "Biar dia punya sayap, bocah ini, tidak nanti mampu terbang!" Terus dia memberi tanda dengan gerakan tangannya, maka In Lui lantas dikurung deapan orang itu.

Merah mata See To Bu Ki menyaksikan si anak muda, yang ia pandang bagaikan jarum di biji matanya. Ia jelus dan mendongkol. Dengan tertawa aneh, dia membentak, "Binatang, bukannya kau berdiam di Hek-sek-chung sebagai tamu, apa perlunya kau datang kemari? Kau tahu, meski tangan Hong-thian-lui panjang, tangan itu tidak nanti dapat diulur sampai disini untuk melindungi kamu!"

Lantas dia angkat goloknya, hendak dia maju.

See To tarik puteranya itu.

"Apakah Cio Eng yang menitahkan kau datang kemari?" ceecu itu tanya. Dia jeri terhadap tuan dari Hek-sek-chung, tanpa penjelasan, tak berani dia berlaku lancang.

Mendahului In Lui, si mahasiswa, yang bercokol di atas batu, perdengarkan tertawanya yang nyaring. Dia menggantikan menjawab, "Apakah kamu tidak dengar perkataanku barusan? Akulah yang panggil dia datang kemari! Dialah piauwsu pembelaku! Kamu hendak merampas uangku, kamu juga hendak ambil jiwaku, cara bagaimana dia bisa tidak datang? Eh, pembelaku!" dia teruskan berkata kepada In Lui, "kau makan dariku, kau minum dari aku juga, sekarang aku mendapat susah kenapa kaumasih tidak hendak turun tangan?"

"Apakah benar-benar kamu tidak mempunyai hubungan dengan Hong-thian-lui?" tanya See To dengan bentakannya.

In Lui mendongkol bukan main terhadap mahasiwa itu, akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia tidak turun tangan untuk orang yang pernah ia lindungi itu, maka ia hunus pedangnya sambil terus membentak, "Perlu aka kau sebut-sebut Hong-thian-lui? Aku cuma andalkan pedangku ini untuk pergi kemana aku suka, pergi sendirian saja, tanpa main gila, licik-licikan, cuma bisa menyuruh lain orang turun tangan!"

Dengan kata-kata ini, dengan menyindir In Lui tegur si mahasiswa. Si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.

"Bagus! Bagus!" serunya. "Inilah piauwsu yang tak kecewa untuk diundangnya! Dia benar-benar satu piauwsu laki-laki!"

"Binatang!" See To menjerit. "Karena kau tidak punya hubungan dengan Hong-thian-lui, tibalah saatnya kau mampus!" Lalu dengan menggerakkan sepasang tangannya, dia lompat maju.

Si tauwto dan si imam, juga turut maju, untuk mengepung.

Dengan berani In Lui layani tiga lawan, ketika ia lompat, ia barengi menikam pundak See To, tapi si tauwto menalangi kawannya menangkis, dengan goloknya, golok kaytoo, dia bentur pedang orang hingga si nona terperanjat. Keras sekali benturan itu, sampai ia rasakan tangannya gemetar. Justeru itu, si imam menusuk dengan pedangnya, hingga ia mesti berkelit, sebab buat menangkis, ia tak punya kesempatan.

"Bret!" demikian terdengar suara yang menyusuli tusukan si imam, ujung pedang siapa mengenai baju si pemuda tetiron.

Sementara si tauwto serukan kawan-kawannya, "Awas pedangnya, itulah pedang mustika!" Sebab ia dapat kenyataan, goloknya kena terpapas sedikit.

Si imam tidak takut, dia malah tertawa besar.

"Bagus!" dia berseru. "Pedang mustika, kuda pilihan, itulah kepunyaan kita!" Terus saja dia menyerang pula.

In Lui menangkis.

Licin imam ini, ketika ia ditangkis, mendadak saja ia tarik kembali pedangnya, untuk dibalikkan, dipakai menikam terus. Dia pun berseru, "Kena!"

In Lui tidak jadi kaget. Melihat orang demikian gesit, ia pun berlaku tak kurang sebatnya. Ia teruskan menikam perut orang sambil berseru pula, "Kena!"

Itulah serangan Teng-to im yang atau Memutarbalikkan im dan yang. Itulah satu nama lain dari ilmu pedang Hian Kee It-su yang nama lengkapnya "Pek-pian Im Yang Hian-kee-kiam" yang banyak perubahannya, yang diciptakan berbareng dengan satu ilmu pedang lainnya "Ban-liu Tiauw-hay Goan-goan-kiam".

Kaget si imam, kesatu, sebab tikamannya gagal, kedua karena datangnya serangan membalas itu. Ia sebenarnya gesit, ia sudah lantas berkelit, tapi tidak urung, ikat jubahnya kena disambar juga hingga putus, hingga ia mandi keringat dingin.

In Lui kecewa karena gagalnya serangan itu, apapula di lain pihak ia mesti tangkis goloknya si tauwto, yang sudah merangsak pula, sedang dari sambarannya See To yang tangannya lihai, ia mesti egoskan tubuhnya. Si imam juga sangat bengis, habis itu, dia maju pula.

Selagi dikeroyok See Bu Ki berteriak, "Jikalau dia tidak dapat dibekuk hidup-hidup, mati pun boleh! Mari maju, kita cincang tubuhnya!"

Benar-benar In Lui segera dikurung dengan rapat.

See To dan puteranya tak dapat dipandang ringan, si tauwto dan si imam juga liai, malah si tauwto menggunakan sepasang golok, maka itu In Lui menjadi repot, dia mesti berlaku sangat gesit dan sebat untuk menangkis sesuatu serangan. Bu Ki merangsak dengan hebat, rupanya ia sangat penasaran karena tidak dapat memiliki nona Cio.

Begitulah kejadian, selagi banyak alat meluruk, Bu Ki membacok dengan golok Kwie-tauw-too nya. Ia kertakkan giginya, ia gunakan seluruh tenaganya. Tapi tiba-tiba ia menjerit keras sekali dan goloknya pun terlepas, terlempar, karena ia merasakan sikutnya sakit sekali seperti tertusuk jarum.

In Lui terperanjat menampak golok melayang ke arah kepalanya, dengan sebat ia berkelit.

Berbareng dengan itu satu penyerang yang bersenjatakan tombak gaetan seperti arit, juga menjeri seperti Bu Ki, malah dia terus rubuh tanpa bangun lagi, karena dia juga merasa dirinya tertusuk jarum, sampai gaetannya, yang terlepas, menyambar dadanya sendiri.

"Bagus! Bagus! " si mahasiswa berseru dengan pujiannya sambil tertawa, apabila dia saksikan "piauwsunya" lolos dari bahaya dan dua lawannya terluka. "Hai piauwsuku yang baik, senjata rahasiamu bagus sekali!"

Mendengar teriakan itu, In Lui sadar dengan mendadak.

"Musuh banyak, au sendirian, tidak dapat tidak, mesti aku gunakan senjata rahasia!" demikian ia pikir. Maka ketika ia sedang bebas, tangan kirinya merogo ke sakunya, untuk meraup piauw Bwee-hoa Ouw-tiap-piauwnya. Itu segera ia menyerang.

Belum lama In Lui muncul di dunia kangouw, ia sudah mendapat julukan "San Hoa Lie-hiap" itulah karena pandainya ia menggunakan piauwnya, ini kali ia gunakan senjata rahasia itu, dalam sekejap saja ia membuat musuh-musuhnya kaget dan repot. Berulang kali terdengar suara nyaring dari bentroknya pelbagai piauw dengan senjata-senjata lawan, yang mengadakan penangkisan, sebagai kesudahannya, kecuali See To, si imam dan tauwto, yang lainnya rubuh sebagai korban.

Tauwto dan imam itu adalah orang-orang lihai undangan See To untuk membantu ceecu ini, mereka heran melihat senjata-senjata rahasia. Mereka insyaf bedanya senjata rahasia In Lui dari senjata rahasia yang bermula. Mereka tiba-tiba mengerti, selagi dikepung rapat, bagaimana In Lui dapat kesempatan akan mengunakan senjata rahasianya itu. Tapi, kalau senjata itu bukan dilepaskan In Lui, mesti disitu bersembunyi seorang lihai lain yang membantu pemuda ini.

Akhirnya si tauwto berseru, "Siong Sek Tooheng, kau tahan dia, libat padanya! See Ceecu, kau rampas pedangnya! Hendak aku melihat-lihat!"

Dan "Sret!" terdengar suara halus atau lengan si tauwto kena tertusuk.

Si imam berbaju hijau adalah orang terlihai di antara tiga orang ini, ia telah memasang mata sejak tadi, maka kali ini ia dapat lihat si mahasiswa yang sedang bercokol di atas batu, telah bergerak tubuhnya. Tidak tempo lagi, ia berseru, "Suheng, itu kambing yang main gila!" Lalu ia lompat melewati In Lui, guna menyeranga anak sekolah itu.

"Tolong! Tolong!" si mahasiswa menjerit-jerit, tubuhnya gemetar.

Siong Sek Tojin ada satu murid tingkatan kedua dari Bu Tong Pay, partai yang tersohor dengan ilmu pedang Citcapji-ciu Lin-hoan Toat-beng-kiam, maka itu bisa dimengerti bagaimana hebatnya ketika ia tikam si mahasiswa, akan tetapi kali ini, ujung pedangnya lewat di dekat iga, sama sekali tidak mengenai atau menyinggung bajunya. Karena itu, ia lantas ulangi serangannya, beruntun sampai empat kali.

Bukan main repotnya si mahasiswa, dia berteriak-teriak, dia berlompatan, untuk menyingkir dari ancaman sasarannya, kelihatannya dia seperti sedang bermain-main.

In Lui terkejut mendengar jeritan si mahasiswa. Ia sekarang menjadi rinan karena Siong Sek Tojin meninggalkan padanya, akan tetapi meski demikian, ia mesti berkelahi secara sungguh-sungguh, sebab si tauwto lihai dengan goloknya dan See Ceecu berbahaya dengan tangannya.

"Apakah aku keliru melihat orang?" nona ini berpikir. "Benar-benarkah si mahasiswa tidak mengerti silat?"

Karena ia berpikir, ia jadi alpa, maka satu kali, hampir ia kena bacok si tauwto. Ia jadi sangat mendongkol terhadap si mahasiswa itu, maka juga, di dalam hatinya, ia berkata pula, "Menjemukan mahasiswa itu! Aku tolongi dia, dia sebaliknya permainkan aku! Biar, habis ini tak akan aku perdulikan lagi padanya."

Nona ini mendelu, ia tak tahu, Siong Sek Tojin terlebih mendelu pula menghadapi mahasiswa itu hingga dia seperti kalap. Sebab setiap kali dia menikam, setiap kali juga dia gagal, sasarannya senantiasa meleset. Dan si mahasiswa sendiri masih saja berteriak "Tolong! Tolong!"

Kemudian dengan mendadak si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.

"Ha, kiranya kau sedang permainkan aku?" dia berseru. Terus saja dia menghitung. "Satu! Dua! Tiga!" terus sampai "Dua puluh!" Dia menghitung setiap kali dia ditikam.

Disaat dia menghitung sampai dua puluh, Bu Ki yang terkena jarum tetapi tidak parah lukanya, sudah merayap bangun, terus ia ambil goloknya, lantas ia menghampiri dengan diam-diam pada si anak sekolah.

Anak sekolah ini berkelahi sambil tiap-tiap kali kelitkan diri, ia tidak melihat ke kiri dan kanannya. Maka leluasa Bu Ki mendekatinya, untuk lantas lompat dibarengi dengan bacokannya. Tapi mendahului itu, tangan si mahasiswa melayang ke belakang, tepat mengenai hidung orang, hingga hidung itu menyemburkan darah hidup.

"Manusia tolol!" bentak si mahasiswa. "Telah aku tolongi kau, kau sebaliknya menghendaki jiwaku, jikalau aku tidak hajar padamu, kau tidak akan insyaf! Apakah kau tidak diajar aturan? Apakah si bangsat tua she See mengajar kau membalas kebaikan dengan kejahatan?"

Bu Ki kelabakan karena hidungnya bercucuran darah, ia mesti bekap hidungnya itu. Gagallah bokongannya. Tapi kata-kata si mahasiswa membuat See To, Bu Ki dan In Lui menjadi sadar. Ketika malam itu Bu Ki bersama Hu-cee-cu membokong di kuil tua, dia mestinya terbinasa di ujung pedang In Lui, akan tetapi secara menggelap ada orang menolongnya, tangan In Lui kena dihajar senjata rahasia hingga ujung pedangnya nyasar, dan Bu Ki lolos dari bencana. Tentang kejadian itu, Bu Ki telah katakan pada ayahnya, mereka menduga-duga, sama sekali mereka tidak menyangka si mahasiswalah yang menolongnya. Karena ini, See To jadi melengak. Tapi justeru itu, In Lui menyerang, ia kena dibacok kopiahnya hingga rusak. Ia jadi sangat gusar. Di dalam hatinya, ceecu ini berpikir, "Aku hendak mencuri permata dan kudanya, dia sebaliknya diam-diam membantu aku! Tidakkah ini aneh?" Ia tidak berpikir lama, dia sudah lantas sambar muka In Lui. Juga si tauwto turut menyerang, sebab tauwto ini panas hatinya. Dia satu jago di Jalan Hitam tetapi hampir dia celaka di tangan "pemuda" ini. Tauwto ini telah berpikir, In Lui mesti dirubuhkan dulu, baru nanti mereka kepung si mahasiswa.

Repot In Lui didesak secara hebat, sampai tak sempat ia memperhatikan si anak sekolah, lebih-lebih ketika See To menyambar dadanya dan si tauwto membacok mukanya. Tapi justeru itu, bentrokan senjata terdengar keras dan lelatu api muncrat, dibarengi dengan jeritan si tauwto yang kemudian disusul dengan teriakan si mahasiswa. "Hai, pendeta, kaulah yang paling menjemukan, hendak aku berikan tanda mata padamu!" Setelah ini, tidak ayal lagi, si tauwto lari kabur, diikuti oleh See To.

Pada saat si "pemuda" itu terancam bahaya, si mahasiswa sudah tunjukkan kesebatannya yang luar biasa, ia lompat ke arah si tauwto, golok siapa ia tangkis dengan pedang Siong Sek Toojin yang ia rampas. Hebat tangkisan itu, golok kaytoo menjadi kutung karenanya. Tauwto itu kaget dan jeri, begitu juga See Ceecu, maka keduanya segera angkat kaki.

Si mahasiswa lantas tertawa berkakakan, lalu sambil melemparkan pedangnya kepada Siong Sek Toojin, dia berkata dengan logat anak sekolah, “Menipu uang dan merampas jiwa, itulah perbuatan tak berperikemanusiaan, dan tidak tahu tenaga sendiri, itu namanya tolol. Manusia tak berperikemanusiaan dan tolol, bukankah perbuatannya onar belaka? Ini, aku kembalikan pedangmu, supaya kau belajar lebih jauh lagi sepuluh tahun!”

Imam itu menjadi sangat lesu.

“Tolong kau sebutkan namamu,” ia minta.

Si mahasiswa tertawa.

“Apakah kau berniat balas dendam kepadaku?” dia tanya.

“Tidak,” sahut si imam.

“Jikalau tidak, untuk apa kau tanya namaku? Aku tidak berani bermusuh dengan kau, aku juga tidak ingin bersahabat denganmu, karena kita bukan musuh dan bukan sahabat, buat apa kita saling berkenalan?”

Siong Sek Toojin membungkam, ia menghela napas, tapi karena ia sangat mendongkol, ia patahkan pedangnya itu, sesudah mana ia ngeloyor pergi. Seorang diri ia bersumpah untuk selanjutnya tidak lagi menggunakan pedang.

Kembali si mahasiswa tertawa besar.

“Baik, pergilah kamu semua!” katanya sambil terus mendekati sekalian lawannya, untuk mendupak pergi.

Orang-orang yang diserang senjata rahasia In Lui terkena urat-uratnya hingga mereka tak dapat bergerak, sekarang setelah didupaki si mahasiwa, darahnya jalan pula, hingga mereka dapat bergerak lagi.

In Lui heran yang si anak muda dapat menyadarkan orang-orang itu sedang ia tahu, totokan piauwnya adalah totokan istimewa.

Si mahasiswa rupanya dapat melihat keheranan orang, sambil tertawa, dia berkata, “Kemarin kau pecahkan totokanku, sekarang aku pecahkan kepunyaanmu, tidakkah itu sama saja?”

Tapi tetap In Lui heran.

See Bu Ki telah saksikan perbuatan si anak sekolah, seperti lupa pada hajaran si anak sekolah tadi, ia lantas menghampiri, untuk memberi hormat sambil menjura, “Kau telah menolongi jiwaku, kau telah hajar aku dengan tanganmu, maka itu di belakang hari, aku pun hendak memberi ampun satu kali pada jiwamu dan menghajar kau satu kali juga!”

Mendengar itu dan melihat kelakuan orang, si anak sekolah tertawa.

“Aku tolong kau karena aku pandang muka si bangsat tua she See, dari itu tidak usah kau ingat budi,” ia kata. “Kau hendak memberi ampun satu kali pada jiwaku, itulah tidak usah, tetapi bahwa kau hendak membayar satu tanganmu, untuk itu aku menanti. Kau kalah dari Siong Sek Toojin, kau mestinya pulang dulu untuk belajar lagi dua puluh tahun! Nah, pergilah lekas!”

See Bu Ki itu cupat pandangannya, bisa dimengerti bagaimana ia mendongkolnya. Ia pandang si mahasiswa dan In Lui dengan mata mendelik, lalu ia ajak kawan-kawannya berlalu.

Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala, ia tertawa melenggak.

“Orang she See itu mempunyai nama kosong belaka di jalan hitam,” katanya, “maka aku tidak sangka dia demikian tak berguna!”

Ia nampaknya jadi sangat kecele.

In Lui sebenarnya berniat berlalu, akan tetapi mendengar perkataan orang itu, ia menoleh. Ia anggap orang telah menghina golongan Jalan Hitam.

“Bagaimana dengan Kim-to Ceecu dari Gan-bun-kwan luar?” dia tanya. “Apakah dia tak dapat dihitung sebagai satu orang gagah?”

Berubah wajah si mahasiswa, tetapi cepat sekali, ia tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan kepala pula.

“Kim-too Ceecu dan See Bu Ki, ayah dan anak, tak dapat dipandang sama,” sahutnya. “Mengenai mereka itu ada perbedaan waktunya. Untuk menyebut dia sebagai orang gagah itulah belum dapat!”

Mendongkol In Lui.

“Baiklah!” serunya, “di kolong langit ini rupanya cuma kau seorang yang gagah!”

Karena tetap masih mendongkol, ia lantas bertindak pergi, akan berlalu dari rimba itu. Belum jauh ia berlalu atau satu bayangan orang berkelebat di depannya.

“Saudara kecil, perlahan sedikit!” demikian suara bayangan itu, ialah si mahasiswa. “Menurut aku, kaulah si orang gagah!”

In Lui melengak tapi segera ia angkat kakinya, untuk pergi terus. Ia bertindak ke kiri, si mahasiswa cegat ia , ia bertindak ke kanan, masih ia dihalangi. Ia bertindak pula ke kiri dan ke kanan, tetap ia dirintangi. Si mahasiswa bergerak dengan sebat sekali.

“Kenapa kau cegat aku?” bentak si “pemuda” hatinya panas sekali. Kali ini ia terus lompat, untuk dengan mendadak melewati si mahasiswa itu.

Maka gusarlah si “pemuda” hingga ia mendelik.

“Kau…..kau berani menghina….” Bentaknya. Hampir ia mengatakan “nonamu”. Syukur dapat ia cegah itu di tenggorokannya, habis mana terus saja dengan pedangnya ia tikam tenggorokan si mahasiswa, hingga orang menjadi kaget, baiknya dia dapat lompat mundur.

Menyusul tikamannya itu, si “pemuda” perdengarkan seruan kaget, terus ia meringis. Tangan kanannya, yang mencekal pedang, telah turun sendirinya. Begitu hebat tikamannya itu, ketika tikaman itu tidak mengenai sasarannya, tangannya terlonjorkan kaget sekali, sedang tubuhnya tertahan kuda-kudanya. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit karena lengannya bagaikan copot dari pundaknya.

Si mahasiswa lihat itu.

“Mari aku tolong sambung lenganmu,” katanya sambil maju, dengan niat memberikan pertolongannya.

“Jangan kau pedulikan aku!” bentak si “pemuda”. Ia mencekal lengan kanannya itu dengan tangan kiri, ia mendorong dengan dikagetkan, dengan begitu, ia sambung pula lengan itu, kemudian dengan membalik tubuh, membelakangi si mahasiswa, ia buka tangan bajunya, terus ia obati lengan yang seperti copot itu. Sebenarnya ia ingin lantas berlalu dari situ, baru ia berniat angkat kaki, untuk berlari pergi, atau sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya lemah. Segera ia insaf, karena telah bertempur terlalu lama, tenaganya menjadi habis sendirinya.

Si mahasiswa mendekati, ia menjura.

“Aku mohon maaf,” katanya perlahan. “Saudara kecil, hatimu polos dan baik, kau dapat menolong sesamanya, ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lama, baru aku ketemukan orang dengan pribadi sepertimu ini. Aku biasa beradat tinggi, andai kata aku telah berbuat salah terhadapmu, sukakah kau memaafkannya.”

Dengan matanya yang bersinar hidup, ia awasi wajah orang.

Mukanya In Lui bersemu dadu, Di matanya, di dalam hatinya, ia merasa si mahasiswa ini luhur budi pekertinya, kelakuannya dapat membuat orang kagum.

“Kenapa kau mencaci Kim-too Ceecu?” akhirnya ia tanya, sambil tunduk.

Tertawa anak sekolah itu.

“Orang yang kau kagumi belum tentu dikagumi juga olehku,” katanya. “Kenapa kau seperti hendak memaksakan supaya orang turut padamu? Lagi pula, aku tidak mencaci dia. Mungkin dia mempunyai bagian-bagian yang membuatnya orang kagum, akan tetapi…..Sudahlah, terlalu panjang untuk diuraikan, lebih baik aku tidak mengatakannya.”

Tergerak hati In Lui.

“Apakah kau datang dari luar Gan-bun-kwan?” dia tanya.

Si mahasiswa mendongak, ia tertawa.

“Sang kapu-kapu terumbang-ambing karena tak ada gunanya, dia terhanyut sampai di sungai dan telaga, tak usahlah tuan menanyakan sebabnya,” ia bersenandung, seorang diri. Lalu ia tertawa pula, suaranya mengharukan.

“Mestinya dia punyakan riwayat sedih,” pikir In Lui, “riwayat yang sama dengan lelakon hidupku. Aku tak sudi orang mengetahui tentang diriku, maka buat apa aku menanyakan tentang dia?”

Oleh karena ini, dengan tiba-tiba nona ini menaruh rasa simpati terhadap si anak sekolah.

“Baik,” katanya kemudian, “tak nanti aku ganggu pula padamu. Disini kita berpisah!”

Si mahasiwa tertawa pula.

“Saudara kecil,” katanya, “hari ini kau telah menjadi piawsuku, sudah seharusnya aku undang kau minum arak. Kali ini kau telah berjasa, wajib kau menerima hadiah, dan tidak lagi aku mengatakan kau penganglap!”

In Lui tidak menjadi gusar. Ia anggap biasa saja seperti orang sedang bersenda gurau. Ia lantas memandang ke sekitarnya.

“Di hutan sebagai ini dimana ada arak?” tanyanya kemudian.

Si anak muda tidak menjawab, dia hanya perdengarkan suitan nyaring dan panjang, setelah itu terdengar jawaban yang berupa bengernya kuda, habis mana, dalam sekejap saja, tampak dua ekor kuda lari muncul dari dalam rimba. Itulah kuda putih dari si mahasiswa disusul kuda merah si nona.

“Lihat, mereka telah mendahului bersahabat!” kata si anak sekolah sambil tertawa.

Kuda putih itu menghampiri majikannya, dan si mahasiswa lantas mengulurkan tangannya, guna menurunkan satu kantong kulit dari bebokongnya, dari dalam kantong itu ia keluarkan satu gendul arak warna merah.

“Kau telah lelah, silahkan kau minum lebih dahulu,” katanya seraya mengangsurkan gendul itu kepada si nona.

In Lui sambuti gendul itu, ia irup araknya. Tiba-tiba ia kerutkan alisnya.

“Ah, kiranya benar kau datang dari Mongolia!” ia kata.

Arak itu ada arak susu dari Mongolia, arak yang keras sifatnya dan sarinya agak asam. In Lui kenali arak ini, karena semasa kecilnya pernah ia turut ayahnya meminumnya. Ia tidak suak arak yang keras, karenanya, tak dapat ia melupakan arak ini.

Dengan sepasang matanya yang jeli, si mahasiswa mengawasi.

“Apakah kau juga datang dari Mongolia?” ia Tanya. “Melihat kau begini lemah lembut, mestinya kau kelahiran daerah Kanglam yang indah.”

Tersenyum In Lui karena pujian itu.

Tiba-tiba si mahasiswa bertepuk tangan hingga menerbitkan suara nyaring. Terus ia tertawa.

“Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber asalnya?” katanya. “Bukankah air mengalir dan mega yang melayang harus dibiarkan sekehendak hatinya? Kau tak usah bertanya aku, aku juga tak usah bertanya perihalmu. Dalam halku ini, keliru aku sudah menanyakan kau berasal darimana.”

In Lui heran, hingga tak dapat ia kendalikan hatinya.

“Pada malam itu, apakah kedua orang Tartar itu hendak paksa kau pulang?” dia tanya tanpa merasa.

Si anak muda tenggak araknya, ia tersenyum, tidak ia menjawab.

In Lui tidak mendesak, hanya seorang diri, ia berkata, “Di antara Watzu dan Tiongkok akan terbit perang, karena kau satu putera Tiongkok, kau telah lari dari wilayah Tartar itu, bukankah begitu?”

Si mahasiswa tertawa meringis. Ia tenggak pula araknya, ia tidak menjawab, ia seperti membiarkan si “pemuda” menduga-duga.

In Lui angkat mukanya, ia tatap wajah orang.

“Dua orang Tartar itu mengejar kau untuk ditawannya, kenapa kau bantui aku membunuh yang satu dan sebaliknya kau tolongi yang lainnya?” tanyanya.

Lagi-lagi si mahasiswa tenggak araknya. Tiba-tiba saja ia tertawa.

“Saudara kecil, sungguh kau gemar menanya!” katanya. “Tahukah kau, orang macam apa yang telah aku tolongi?”

“Dialah murid Tantai Mie Ming!” sahut In Lui cepat. Dia seperti keterlepasan buka mulut.

Si mahasiswa melirik orang di hadapannya, nampaknya ia merasa aneh. Ia lalu tertawa tawar.

“Yang terbinasa adalah salah satu pahlawannya To Hoan,” katanya perlahan. Dan begitu ia berkata, terus ia tutup mulutnya.

In Lui heran. Ia berpikir,” Tantai Mie Ming adalah pahlawan paling tangguh dan paling dipercaya dari Thio Cong Ciu dan yang mati itu adalah pahlawan To Hoan…Thio Cong Ciu dan To Hoan adalah menteri-menteri dari Watzu, apakah bedanya antara kedua menteri itu? Kenapa sekarang pahlawan To Hoan dibinasakan dan pahlawan Thio Cong Ciu dilepaskan?”

Benar-benar si nona tidak mengerti, hingga ia ingin menanyakannya. Akan tetapi, ketika ia tampak orang repot menenggak susu macannya, ia batalkan niatnya itu, ia anggap percuma saja untuk menanyakannya pula.

Masih si mahasiswa menenggak araknya, lalu ia goyang-goyangkan gendulnya, nampak ia terkejut.

“Ah, tinggal separuh lagi,” katanya. Ia nampaknya menyesal.

“Apa sih lezatnya arak itu?” kata In Lui tertawa. Dimana-mana di Tiongkok ada orang yang menjual arak! Apakah itu semua tak cukup banyak untuk kau minum?”

Berduka nampaknya si anak sekolah, ia kata, “Orang meninggalkan kampung halamannya, rendah terpandangnya, barang-barang meninggalkan tempat asalnya, mahal harganya, itulah sebabnya kenapa aku hargakan arak ini.”

Ia bawa gendulnya ke hidungnya dan menciumnya.

Melihat kelakukan orang itu, In Lui ingat halnya semasa kecil, selagi berumur tujuh tahun. Itu waktu bersama engkongnya, ia baru balik ke Tionggoan. Setibanya di luar kota Gan-bun-kwan, engkongnya meraup tanah, berulang kali tanah itu diciumnya, romannya sangat bersungguh-sungguh. Ingat ini, tiba-tiba ia tanya si mahasiswa, “Apakah kau orang Han?”

Agaknya heran anak sekolah itu.

“Kau lihat aku, apakah aku tak mirip orang Han?” dia balik menanya.

In Lui menatap muka orang. Ia dapatkan orang beralis kereng dan mata jeli, romannya sangat ganteng, jangan kata di Mongolia, sekalipun di Kanglam sukar untuk mencari orang secakap dia. Menatap wajah orang, mukanya menjadi dadu sendirinya.

“Biar kau telah menutup mata dan menjadi abu, kau tetap orang Han!” ia kata. Tiba-tiba ia menjadi jengah sendirinya, ia insyaf bahwa ia telah kelepasan berbicara.

Kedua mata si mahasiswa bersinar.

“Benar, benar sekali!” katanya. “Meski aku mati menjadi abu, tetap aku seorang Han! Mari minum!”

Ia buka tutup gendulnya itu, kembali ia menenggak.

In Lui tertawa menampak kelakuan orang itu.

“Kau minum bagaikan ikan lodan atau kerbau, dengan beberapa ceguk saja, arakmu kering, apakah tidak saying?” dia tanya.

Memain mata si anak muda, terus ia tertawa bergelak.

“Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan bagiku, sudah seharusnya aku minum sampai puas!” katanya.

“Apakah itu yang paling menyenangkan kau?”

Si mahasiswa tertawa.

“Pertama-tama aku dapat bersahabat dengan orang semacam kau, dan kedua karena aku peroleh mustika yang langka!” sahutnya. “Mari, mari, saudara kecil! Aku undang kau minum arak sambil memandang gambar yang indah!”

Ia rogoh kantong kulitnya, akan keluarkan segulung kertas, yang mana, ia beberkan di antara sampokan angin, terus ia gantung di cabang sebuah pohon.

“Kau lihat!” katanya pula. “Bukankah ini mustika yang langka?” Dengan “mustika” ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu.

In Lui ada turunan orang berpangkat, engkongnya pernah menjadi hamba negeri kelas satu dan bertanggung jawab sebagai satu utusan, sedang ayahnya, mulanya satu pembesar sipil kemudian menjadi seorang peperangan, maka ayah itu pandai ilmu surat. Demikian In Lui, sejak ia masih kecil sudah ia belajar surat, sudah ia mengenal gambar-gambar lukisan, maka tahulah ia gambar mana yang berharga, mana yang tidak. Sedang gambar ini adalah gambar yang Cio Eng gantung di Eng Chong Lauw, loteng tempat menyimpan barang-barang berharga. Tadi malam ia tak lihat nyata gambar itu, sekarang dapat ia memandangnya dengan tegas. Itu ada pemandangan alam di dalam kota, ada airnya, pepohonan, dan ada juga orangnya, lukisannya bagus, mirip karya satu pelukis pandai, hanya bila dipandang terlebih lama, masih ada kekurangannya. Maka itu, ia tertawa di dalam hatinya.

“Mahasiswa ini masih kurang pemandangannya tentang seni lukis,” pikirnya.

Si mahasiswa tenggak habis araknya yang terakhir, ia tertawa.

“Apakah kau tak nampak keindahan pada gambar ini?” dia tanya.

In Lui belum menyahuti atau si mahasiswa sudah menghampiri gambar itu, untuk terus diusap-usap, untuk dipandang dan dipandang pula, kemudian ia bernyanyi dengan nada tinggi. “Siapakah yang menyanyikan lagu Souwcu dan Hangciu? Bunga teratai menyiarkan harumnya sepuluh lie dan kembang kui-hoa tiga musim, tetapi rumput dan pohon kayu tidak kekal, mereka mengenangkan penderitaan sungai Tiang-kang dari berlaksa tahun! Ya, ya , penderitaan sungai Tiang-kang dari berlaksa tahun…”

Kata-kata yang terakhir itu diucapkan secara bersenandung.

In Lui berpikir, “Orang-orang tua dahulu mengatakan, bernyanyi keterlaluan menyebabkan tangisan, sekarang mendengar nyanyian ini, itu sama hebatnya seperti mendengar tangisan.”

Ia tengah berpikir begitu atau di luar dugaannya, benar-benar si mahasiswa menangis, tangisannya keras dan menyedihkan sekali, hingga umpama kata menyebabkan “daun-daun rontok dan burung-burung terbang pergi”.

Bingung In Lui, tak tahu ia, kenapa si mahasiswa berduka, kenapa ia menangis, begitu sedih.

Hebatnya, lama anak sekolah ini menangis, hingga si nona menjadi tambah bingung. Bukankah anak sekolah ini orang asing baginya? Bukankah dia satu anak muda? Cara bagimana ia dapat menghiburnya? Ia pun tidak dapat meninggalkannya, itulah perbuatan tidak pantas. Habis, apa yang mesti dilakukan?

Masih si mahasiswa menangis, makin lama makin sedih, mengenaskan mendengarnya, hingga tanpa merasa, si nona turut mengucurkan air mata di luar keinginannya.

Si mahasiswa lihat orang menangis, ia lantas seka air matanya, dengan tiba-tiba ia ia berhenti menangis, ketika ia angkat kepalanya, mendongak, dengan tiba-tiba pula ia tertawa terbahak-bahak.

“Fui!” In Lui berseru. “Apakah kau telah mabuk?” tegurnya. “Kenapa kau tertawa dan menangis tidak keruan? Apakah sebabnya?”

Si mahasiswa mengawasi orang, ia menunjuk.

“Kau juga sudah mabuk!” katanya. “Toh, sama saja bukan?”

In Lui tunduk, ia lihat bajunya, yang pun basah dengan air mata. Ya, tanpa alas an, ia turut orang menangis. Ia jengah sendirinya, tetapi segera ia tertawa.

Si mahasiswa tertawa pula, bergerak-gerak, lalu ia bersenandung pula, “Makin kalap, makin gagah, itu baharulah orang kenamaan sejati. Bia menangis, bisa tertawa, itulah bukannya orang yang biasa….Kalau mestinya menangis, menangislah, kalau mestinya tertawa, tertawalah! Kenapa mesti malu-malu tak ada perlunya? Kita adalah orang-orang dari satu golongan, kita menangis, kita tertawa, apakah anehnya?”

Dengan kedua tangannya, ia gulung gambar itu, kembali ia bersenandung, “Sungai Tiangkang terus-menerus mengalir ke timur…menaruh kaki di tanah daerah asing, tetapi cita-cita belum tercapai….Bila memandang kembali kepada enam puluh tahun yang lampau, sungai di Selatan, di padang pasir di Utara, tidakkah itu sangat mendukakan orang?”

Tergerak hati In Lui mendengar itu. Ia berpikir pula, “Ketika tadi malam si mahasiswa ini pergi ke Hek-sek-chung mengambil gambar, Cio Eng mengatakan sudah menanti enam puluh tahun. Kenapa jumlah tahun itu akur satu dengan lain? Teka-teki apakah tersembunyi di dalam ini? Si mahasiswa baharu berumur dua puluh lebih, dan usianya Cio Eng belum lewat enam puluh tahun, maka apakah yang diartikan dengan enam puluh tahun itu?”

Ia pikirkan, ia pikirkan pula, masih ia tidak mengerti, sampai ia dengar pula kata-kata perlahan dari si mahasiswa.

“Hari ini aku tertawa puas, menangis pun puas, sayang sekali, araknya sudah habis…” demikian katanya. Rupanya dia sangat menyesal atau sengit, dia banting gendul araknya ke tanah hingga gendul itu pecah hancur.

Aneh kelakuan si mahasiswa ini, tetapi pada itu In Lui lihat suatu tenaga menarik yang luar biasa.

Waktu itu, matahari sudah menunjukkan lewat tengah hari.

“Ah, sudah waktunya kita berpisah…” kata si nona. Tapi, ia mengatakan ini dengan agak sedih. Ia seperti merasa berat untuk berpisahan.

“Kau hendak pergi kemana?” Tanya si mahasiswa. “Apa kau hendak kembali ke Hek-sek-chung?”

“Tak perlu kau ketahui itu,” jawab In Lui.

Si mahasiswa tertawa.

“Apa yang kau perbuat tadi malam, semua telah aku lihat!” katanya.

Teringat pada kejadian di dalam kamar, muka In Lui menjadi merah.

“Nona Cio cantik luar biasa,” kata si mahasiswa, “dia juga mengerti ilmu silat. Saudara kecil, mengapa kau menampik, tak mau kau menikah dengannya?”

“Aku mau atau tidak, apa sangkutannya dengan kau?” In Lui balik menjawab.

Mahasiswa itu tertawa pula.

“Jikalau malam itu aku tidak mengacau, tidak nanti kau dapat lolos dari Hek-sek-chung,” dia kata. “Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih terhadapku?”

Mau atau tidak, In Lui tersenyum.

“Kita, bangsa orang gagah, kita memang tak boleh terjeblos dalam jebakan sang cinta,” berkata si mahasiswa. “Imanmu teguh, saudara kecil, aku kagum terhadapmu.”

Kembali merah wajah In Lui. Ia jadi jeri untuk bicara lebih lama dengan anak muda ini, ia kuatir rahasianya nanti terbuka, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia lompat ke atas kudanya, yang terus dikaburkan.

Baharu ia keluar dari rimba, atau di belakangnya, ia dengar suara kelenengan kuda, hingga ia mesti berpaling, rupanya kuda putih si mahasiswa telah menyandak padanya.

“Saudara kecil, aku ingin bicara padamu!” kata si mahasiswa.

In Lui tahan kudanya.

“Bicaralah!” katanya.

Si mahasiswa perlambat jalan kudanya, hingga berendeng dengan kuda si “pemuda”.

“Di dalam wilayah Shoasay ini, Cio Eng dan See To sangat berpengaruh,” kata si mahasiswa sambil tersenyum, “maka bila kau berjalan seorang diri saja, pada akhirnya kau bukannya dicandak Cio Eng, untuk dibawa pulang untuk dijadikan babah mantunya, melainkan kau akan dibekuk si orang she See ayah dan anak itu, untuk disiksa mereka. Karenanya, baiklah kau berjalan bersama-sama aku, aku akan menjadi piauwsu pembelamu.”

In Lui anggap, berjalan bersama itu ada alasannya, akan tetapi, belum sempat ia menjawab, si anak muda sudah menanya pula kepadanya, “Sebenarnya kemana kau hendak pergi?”

“Ke Pakkhia,” jawab In Lui.

“Sungguh kebetulan!” seru si anak sekolah. “Aku juga hendak pergi ke kota Pakkhia! Baiklah kita mengaku engko dan adik satu sama lain.”

In Lui tertawa, ia anggap orang lucu.

“Aku belum tahu she dan namamu, mana dapat kita berbasa secara demikian?” katanya. “Apa aku mesti selalu panggil engko saja padamu?”

Anak sekolah itu tersenyum.

“Aku she Thio, namaku Tan Hong,” jawabnya. “Tan dari tan-sim (putih bersih) dan Hong dari pohon hong.”

In Lui tertawa.

“Satu nama yang bagus!” pujinya. “Akan tetapi di Mongolia tidak ada pohon hong, maka itu, dari mana kau ambil namamu ini?”

“Hiantee, namamu?” Tanya si anak sekolah, yang tidak menjawab. Ia pun sudah lantas berbasa “hiantee” (adik).

“Aku orang she In dan namaku cuma satu, Lui,” sahut si “pemuda”. “Lui dari pwee-lui (pusuh bunga).”

“Sungguh nama yang indah!” tertawa si mahasiswa. “Cuma nama itu sedikit berbau nama wanita. Di perbatasan tanah asing dimana ada es dan salju jarang tertampak busu bunga, dari itu, dari arti apa namamu diambil?”

Wajah In Lui berubah.

“Cara bagaimana kau ketahui aku menjadi besar di perbatasan tanah asing yang ber es dan bersalju itu?” dia tanya.

Si anak sekolah tertawa.

“Dari arakku!” sahutnya. “Begitu kau ceguk arakku, aku mengetahuinya. Bukankah caramu tadi membeber sendiri tentang asal-usulmu?”

In Lui berpikir, lantas ia tertawa sendirinya, ia merasa kurang senang hatinya. Dilihat dari sikap anak sekolah itu, mungkin dia masih mengetahui terlebih banyak tentang dirinya.

Dengan berbicara terlebih jauh maka tahulah In Lui bahwa Thio Tang Hong ini luas pengetahuannya, tentang ilmu bumi, perihal ilmu alam begitupun pengetahuan ilmu surat, syair, dan ilmu silatnya. Dengan sendirinya, ia jadi merasa sangat tertarik, hingga tanpa merasa, ia kurang akan penjagaan atas dirinya. Selama berjalan, asyik sekali mereka pasang omong.

Tanpa merasa, sang sore telah datang pula.

Thio Tan Hong menunjuk dengan cambuknya.

“Di depan sana ada sebuah dusun,” katanya, “ sudah tiba saatnya untuk kita bermalam.”

Ia bunyikan cambuknya untuk melarikan kudanya.

In Lui telad anak sekolah itu, maka kaburlah kuda mereka, hingga sebentar kemudian tibalah mereka di tempat yang ditunjuk anak sekolah itu. Dengan lantas mereka cari rumah penginapan.

“Berikan kami sebuah kamar besar yang menghadap ke selatan,” Tan Hong minta.

“Kita inginkan dua kamar!” In Lui campur bicara.

Kuasa hotel menggeleng-gelengkan kepala.

“Yang betul, satu atau dua?” ia tegaskan.

“Dua kamar!” sahut In Lui cepat dan keras. “Dua kamar!”

Thio Tan Hong mengawasi juga, ia tertawa.

“Baiklah, dua kamar!” sahutnya.

“Apakah tuan-tuan berdua saja?” masih pengurus hotel itu menanya.

“Ya, Cuma kita berdua,” jawab si anak sekolah.

Pengurus itu heran, ini tampak pada wajahnya. Akan tetapi dua kamar ada terlebih banyak daripada satu kamar, sewanya jadi bertambah, maka ia tidak menegaskan terlebih jauh. Ia lantas ajak kedua tetamunya untuk periksa kamarnya, habis mana, ia undurkan diri untuk menyediakan barang santapan bagi mereka.

Di dalam kamarnya, Thio Tan Hong tertawa.

“Hiantee, bukannya aku pelit mengeluarkan lagi beberapa potong perak,” kata dia. “Dengan berada berdua kita dapat pasang omong. Tidakkah itu lebih baik? Kenapa kau menghendaki dua buah kamar?”

“Kau tidak tahu, hian-heng,” sahut In Lui, yang pun berbasa “kakak”, “seumurku paling takut aku tidur bersama-sama orang lain.”

Tan Hong tertawa pula.

“Pantas di Hek-sek-chung kau tak mau tidur sama-sama Cio-siocia!” katanya.

Merah wajahnya In Lui, lantas ia alihkan pembicaraannya.

Si anak sekolah juga tidak menanyakan lebih jauh.

Habis bersantap malam, dua sahabat ini tidur dalam kamarnya masing-masing.

In Lui tidak tengan hatiny, ia palang pintu kamarnya, ia tutup jendelanya, malah di waktu merebahkan diri, ia tidak salin pakaian. Tidak dapat ia lantas tidur nyenyak, masih ia pikirkan si anak sekolah, ia ingat akan kata-katanya dan tertawanya. Ia malah tidak rapatkan matanya.

Ketika terdengar kentongan tiga kali, hotel sudah sangat sunyi. Sampai saat itu, baharu In Lui merasakan hatinya tak terlalu tegang lagi, ia merasa lega, ia malah tertawa sendirinya.

“Tampaknya anak sekolah itu, walaupun ia berandalan, ia bukannya seorang ceriwis…” ia berpikir.

Oleh karena hatinya lega dan merasa ngantuk, In Lui lantas saja tidur pulas. Tidak tahu ia, berapa lama ia sudah tidur, tiba-tiba secara layap-layap ia tampak si anak sekolah mendatangi, mendekati pembaringannya, sambil membungkuk ia tersenyum. Ia kaget, ia hunus pedangnya, berbareng mana, si anak sekolah menjerit, lalu dalam sekejap saja, dia bermandikan darah seluruh tubuhnya. In Lui kaget sekali, hingga ia berseru. Adalah pada waktu itu, ia dengar ketokan pada jendela.

“Hiantee, lekas kemari!” demikian suaranya Thio Tan Hong.

In Lui berbangkit, ia kucek-kucek matanya. Insyaflah ia bahwa ia sedang bermimpi. Ia dengar suaranya Thio Tan Hong, ia kenali. Ia menjadi heran, hingga ia ragu-ragu, ia tengah bermimpi atau bukan.

Kembali terdengar suara Tan Hong, kali ini disusul dengan ringkikan kuda yang berirama sedih. Maka tak ayal lagi ia lompat turun. Syukur untuknya, ia tidur tanpa salin pakaian. Dengan lantas ia dapat buka pintu, untuk lari keluar.

Dari wuwungan rumah, terdengar Thio Tan Hong berseru, “Orang telah mencuri kuda kita! Mari lekas, kita kejar! Lekas!”

Kuda Ciauw-ya Say-cu-ma dan kuda merah dari Thio Tan Hong dan In Lui ada kuda-kuda pilihan, tidak sembarang orang dapat mendekati kedua binatang itu, malah kuda Tan Hong bengis sekali dan mengerti, kecuali tuannya, lain orang tidak dapat mengendalikannya. Karena itu, Tan Hong sangat percaya kudanya itu, barangnya yang berharga pun ia biarkan di bebokong kuda, sama sekali ia tidak kuatirkan apa-apa, maka itu, adalah di luar sangkaan, kali ini ada orang yang mencuri kuda itu. Pastilah pencurinya seorang yang sangat cerdik atau suatu ahli. Tidak perduli ia bernyali besar dan tabah, Tan Hong toh gentar juga.

In Lui lompat naik ke atas genteng.

“Dapatkah kita susul mereka?” ia Tanya.

“Kuda kita tentu tak sudi turut lain orang, mesti dapat kita susul,” jawab Tan Hong. Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak, yang mana ia lemparkan ke dalam rumah. Sampai pengurus hotel itu mendusin, mendengar suara yang berisik.

“Uang sewa kamarmu di lantai!” teriak Tan Hong, habis mana ia lompat pergi.

In Lui segera ikuti kawan ini.

Di sebelah depan mereka masih terdengar ringkiknya kuda.

Pengejaran dilakukan terus sampai di sebuah tegalan. Di bawah rembulan yang remang-remang, dibantu dengan cahaya bintang-bintang, segera tertampak kedua kuda-kuda itu, kuda merah di sebelah depan, kuda putih di sebelah belakang. Kedua kuda itu lari dengan berjingkrakan, terang keduanya tak sudi lari, keduanya berontak.

Pun si pencuri kuda tampak juga. Mereka mengenakan pakaian biru, muka mereka ditutupi topeng. Masing-masing memegang sebatang hio, yang apinya menyala, hingga sinar api itu mirip dengan cahaya bintang, terutama di tempat yang gelap tampak tegas. Dan dengan hio itu, tiap kali mereka suluti tubuh kuda. Itulah cara paksaan untuk membikin kuda lari, tidak perduli kuda itu meringkik kesakitan dan terus berjingkrakan. Kedua pencuri itu mengepitkan kaki mereka dengan keras, hingga kuda jadi tidak berdaya, saking sakitnya, mau juga kuda itu lari. Disebabkan sering berjingkrak, kedua kuda itu tak dapat lari jauh, atau segera Tan Hong dan In Lui dapat menyusul.

Sakit hati Tan Hong dan In Lui mendengar suara kuda mereka yang tersiksa, itu, sambil mengejar, mereka memanggil-manggil.

Ciauw-ya Say-cu-ma sudah lantas dengar suara majikannya, dia berjingkrak keras, karena mana, si penjahat lagi-lagi menyulut tubuhnya.

Selagi mengejar terus, Thio Tan Hong perdengarkan seruannya yang nyaring, menyusul mana tangannya terayun, hingga belasan sinar perak menyambar ke arah kedua pencuri kuda itu. Tapi mereka seperti punya mata di batok kepala mereka, atas datangnya serangan itu mereka jatuhkan diri, akan sembunyi di perut kuda.

Thio Tan Hong sayangi kudanya, ia tidak mau serang kudanya itu, ia cuma serang si pencuri, karenanya, serangan senjata rahasia itu jadi gagal, tidak ada sebuah jua dari jarumnya yang mengenai sasarannya.

Oleh karena sakitnya, kedua kuda itu kabur keras, ke arah gunung.

Berdua In Lui, Tan Hong mengejar terus, sampai tiba-tiba terdengar kedua pencuri kuda itu tertawa berkakakan, iramanya seperti tertawa wanita. Tentu saja In Lui jadi terperanjat bahna herannya.

Di atas tanjakan pun segera terlihat cahaya api berkelap-kelip bagaikan kunang-kunang bermain di antara gombolan rumput. Tanjakan itu sunyi dan seram nampaknya, sampai In Lui bergidik sendirinya.

Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa nyaring.

“Apakah benar ada si cantik manis yang menjadi pencuri dan di tengah malam buta berkawan dengan iblis?” katanya nyaring. “Kembalikan kudaku! Tidak sudi aku bertempur dengan wanita!”

Ia lantas lompat, untuk mendaki tanjakan itu, In Lui ikuti padanya.

Sementara itu terdengar suara nyaring dari wanita, “Eh, besar juga nyali si pencuri mustika!”

In Lui lantas lihat dua ekor kuda, yang mengangkat tinggi kaki depannya, hingga kedua binatang itu bagaikan orang tengah berdiri di tanjakan yang satu di depan, yang lain di belakang. Kedua kuda itu tidak berbunyi juga tidak bergerak, maka di bawah sinar rembulan yang suram, nampaknya aneh dan luar biasa. Tanpa merasa, In Lui perdengarkan suara tertahan.

Thio Tan Hong sebaliknya, tertawa dingin.

“Oh, kiranya kamu yang main gila!” demikian si mahasiswa.

In Lui tenangkan dirinya, ia pasang matanya. Kali ini ia dapat melihat lebih tegas. Ia tampak empat orang tengah berdiri di tanjakan, masing-masing mengangkat sebelah kakinya, sebagai orang sedang menindak turun di tangga loteng, akan tetapi wajah mereka “diam”, mereka bagaikan patung-patung saja. Mereka adalah empat saudagar barang permata yang sedang berurusan dagang dengan Cio Eng, keadaan mereka sekarang ini mirip benar dengan keadaan mereka tadi malam setelah mereka ditotok Tan Hong.

Melihat keadaan orang itu, In Lui menghela napas lega. Ia kagum untuk orang yang pandai menotok itu, yang dapat menotok orang-orang ini tanpa mereka ini bisa berdaya. Ia menduga, mereka ini adalah pencuri-pencuri kuda, rupanya mereka mencuri untuk membalas dendam yang kemarin mereka ditotok.

Tanpa kuatir suatu apa, In Lui segera hampirkan keempat saudagar itu.

“Tadi malam aku telah membebaskan kamu dari totokan, kenapa sekarang kamu berbalik mengganggu kuda kami!” ia tegur mereka itu.

Empat saudagar itu tidak menjawab, mereka tetap diam sebagai patung.

Tiba-tiba dari atas tanjakan terdengar suara, “Apakah tetamu sudah datang? Bawa mereka ke dalam kuburan!”

Meneliti suara itu, seolah-olah datangnya dari dalam tanah, seperti jauh, seperti dekat. Mendengar itu, In Lui treperanjat. Itulah suara yang menandakan bahwa orang yang berkata-kata itu mempunyai iweekang (ilmu dalam) yang sempurna. Menduga orang itu tentulah musuh, In Lui lantas bayangkan bahwa ia tengah menghadapi lawan yang merupakan memedi.

Menyusul mana suara dalam itu, dari antara tumpukan batu-batu gunung segera tampak munculnya dua tubuh bagaikan bayangan. Mereka ini mengenakan baju hijau, mata mereka masing-masing menyorot tajam. Karena muka mereka ditutupi topeng, mata mereka pun mirip dengan kunang-kunang yang bercahaya di tempat gelap. Mereka tak mirip wanita Tionghoa. Tapi keduanya terus menekuk lutut mereka, untuk memberi hormat.

“Silahkan!” demikian mereka mengundang.

“Lebih dahulu tolongi kuda kita, baharu kita bicara!” kata Tan Hong.

“Tuan kami pesan supaya tuan jangan berkecil hati,” kata salah satu penyambut ini. “Katanya tanpa diambilnya tindakan ini, tidak nanti kita dapat pimpin tuan dan kawanmu datang kemari.”

“Siapa tuan kamu itu?” Tanya In Lui, karena ia lihat orang bersikap hormat.

Salah satu penyambut itu tertawa, ia menoleh pada kawannya.

“Ya, aku sampai lupa pada aturan kamu kaum Rimba Hijau dari Tionggoan,” katanya. “Ji-so, tolong serahkan karcis undangan kita!”

Penyambut yang kedua itu, yang berada di sebelah belakang, sudah lantas putar tubuhnya, kemudian setelah berbalik pula, ia serahkan apa yang dinamakan karcis undangan, ialah dua potong tulang kepala manusia.

Melihat kartu nama semacam itu, wajah Tan Hong berubah.

In Lui juga terperanjat, akan tetapi ia kuasai dirinya.

“Kartu undangan ini istimewa sekali!” katanya.

Kedua penyambut itu tidak menjawab, terus mereka jalan di sebelah depan.

Tan Hong dekati In Lui, di kuping siapa ia segera berbisik, “Lekas kau singkirkan diri! Majikan mereka adalah Hek Pek Mo-ko!…”

“Hek Pek Mo-ko….” In Lui ulangi, lalu dalam sekejap saja, ia sadar. Ia segera ingat keterangannya Ciu San Bin tentang kedua orang aneh dari kaum kangouw pada jaman itu, dua “manusia aneh” yang paling ditakuti.

Hek Pek Mo-ko itu katanya berayah orang India, yang datang ke See-chong atau Tibet, untuk berniaga, lalu ia masuk kebangsaan Tibet, dia menikah dengan satu nona Tibet, dari siapa dia peroleh sepasang anak kembar, yang masing-masing berkulit putih dan hitam, yang romannya luar biasa. Menurut bahasa Hindu tua, iblis jahat dipanggil “mo-ko” karenanya orang memanggil kedua anak itu, sang kakak Hek Mo-ko dan sang adik Pek Mo-ko. Ayah mereka pandai ilmu silat India, mereka dapat mewariskan kepandaian ayah mereka itu, yang dicampur dengan ilmu silat Tibet dan Mongolia juga, maka mereka mempunyai rupa-rupa ilmu silat hingga kesudahannya mereka jadi lihai sekali. Katanya setelah memasuki umur belasan tahun, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko pergi berpesiar sampai di Tionggoan dimana kabarnya, di Kwie-ciu (Canton) mereka telah menikah dengan anak seorang saudagar hartawan bangsa Iran. Untungnya kedua saudara ini, mereka juga pandai bahasa Tionghoa, Iran, Tibet, dan Mongolia disamping bahasanya sendiri, bahasa India. Mereka seperti dapat keluar dan masuk tanpa ketentuan.

Di beberapa tempat mereka mempunyai rumah, hingga mereka bisa tinggal dan berdiam dimana mereka suka. Mereka mempunyai banyak harta dan barang permata, umpama kata ada pembesar Rimba Hijau rakus yang menginginkan permata mereka, pasti mereka akan mendapat bagian, setelah disiksa, dia baharu dibinasakan. Maka kaum Jalan Putih dan Jalan Hitam pandang mereka ini sebagai bintang bencana. Apa sebabnya mereka suka membawa-bawa barang permata, tidak ada orang yang ketahui jelas, orang cuma bisa duga, permata itu berasal curian atau memangnya barang dagangan. Tidak ada orang yang berani menanyakannya. Sedang sebenarnya, mereka adalah tukang-tukang tadah, mereka bisa beli permata dari begal tunggal, yang mereka biasa jual ke India atau Iran, hingga mereka menjadi aman. Maka itu, mereka kenal baik banyak begal atau penjahat tunggal. Demikian, Hon-thian-lui Cio Eng adalah langganan mereka. Empat saudagar, yang malam itu In Lui lihat, ada pembelinya. Tentu sekali in Lui, juga Thio Tan Hong, tidak ketahui rahasianya Cio Eng serta tukang tadah itu. Walaupun demikian, Tan Hong tahu tanda rahasia dari Hek Pek Mo-ko, ialah tengkorak manusia, karena mana, ia kisiki In Lui untuk lari menyingkir.

Tapi In Lui berpikir lain, bukan dia kabur, dia justeru tersenyum.

“Bukankah tadi kau menyuruh aku menjadi piauwsu?” katanya. “Maka sekarang, tak dapat tidak, aku mesti menyertai kau!”

Tan Hong percaya orang tak tahu lihainya Hek Pek Mo-ko, ia memikir untuk menjelaskannya, akan tetapi, untuk itu, ketikanya tidak ada. Untuk itu, ia mesti bicara banyak. Ia lihat tegas, kedua wanita Iran itu tiap-tiap kali berpaling ke arahnya. Karenanya, ia jadi mengeluh sendirinya.

“Ah, kau belum tahu lihainya kedua hantu itu…” demikian keluhnya dalam hati.

Tan Hong keliru apabila ia menduga In Lui tidak tahu ancaman bahaya, In Lui justeru tak hendak meninggalkan dia pada saat seperti itu. Ia ingin turut bersama.

Kedua wanita Iran itu jalan di muka untuk memimpin, mereka melalui jalan belukar yang banyak batunya, di antara pelbagai kuburan, sesaat kemudian tibalah mereka di depan sebuah kuburan besar luar biasa.

Segera terdengar suara nyaring dari dalam kuburan itu, “Apakah yang datang itu dua bocah cilik?”

Kedua wanita itu tertawa.

“Benar!” terdengar pula suara dari dalam kuburan itu. “Bawa mereka masuk!”

Satu wanita mendekati pintu kuburan, ia gunakan sebelah tangannya untuk menekan, atas itu terdengarlah suara berisik pada daun pintu.

“Brak!” demikian terdengar suara nyaring dan berisik, karena daun pintu itu segera rubuh menggabruk. Dia terus tertawa, dia pun berkata, “Tidak usah kau mengundang lagi, aku sendiri dapat datang!”

Kuburan itu mempunyai thia, yaitu ruang muka, yang indah perabotannya, yang mirip dengan ruang suatu istana. Disini dipasang dua puluh empat lilin yang besar, yang membuat ruangan menjadi sangat terang. Rupanya itu adalah suatu istana di dalam tanah, yang ada hubungannya dengan dunia luar, karena dengan berada di dalam ruang itu, orang tidak bernapas sesak.

In Lui segera lihat sebuah meja besar di tengah ruangan itu. Meja itu adalah meja marmer. Di tengah-tengah meja duduk dua orang, yang romannya benar-benar luar biasa. Rambut mereka bergelintir, hidung mereka bengkung, muka mereka, yang satu putih meletak, yang lain hitam legam, hingga perbedaan antara kedua orang itu sangat tegas. Di kedua sisi mereka duduk masing-masing dua orang Han, yaitu keempat saudagar barang permata itu. Maka, mengenal mereka itu, In Lui berkata dalam hatinya, “Terang sudah, kuburan ini mempunyai pintu belakang….”

“Apakah mereka berdua ini yang mencuri permata?” Tanya Hek Pek Mo-ko, kedua orang dengan roman luar biasa itu.

“Itulah yang usianya terlebih tua,” sahut satu saudagar. “Yang lebih muda itu ada babah mantunya Cio Eng, dia tidak turut mencuri, dia malah telah menolongi kami dengan membebaskan kami dari bekas totokan.”

Hek Moko manggut.

“Kau berdiri di pinggir!” kata dia pada In Lui, tangannya menunjuk.

Tapi In Lui membangkang.

“Aku datang bersama-sama dia,” katanya. “Kenapa aku mesti berdiri di pinggir?”

Pek Moko kerutkan alisnya.

“Bocah cilik, kau tidak tahu apa?” katanya.

Hek Moko menuding Tan Hong.

“Eh, bocah gede, besar nyalimu!” katanya. “Kenapa kau berani datang-datang ke Hek-sek-chung untuk mencuri permata dan melukai orang? Kenapa kau pun berani menghajar rubuh pintuku ini? Apakah kau anggap kami dapat dibuat permainan?”

Thio Tan Hong tidak menjawab, dia hanya balik menanya.

“Berapa lama sudah kamu sampai di Tionggoan?” demikian pertanyaannya.

“Apakah maksudmu?” Tanya kedua hantu ini, dengan murka.

“Pernahkah kamu dengar satu pepatah Tionghoa yang mengatakan dendam ada kepalanya, hutang ada tuannya?” Tan Hong tanya pula. “Jangan kata aku memang tidak pergi ke Hek-sek-chung untuk mencuri, taruh kata benar apa hubungannya dengan kamu berdua? Cio Eng toh tidak menginginkan kamu yang campur tahu perkara itu?”

Muka kedua hantu itu mendadak berubah.

Thio Tan Hong tak menggubris, ia hanya menambahkan, “Adalah kamu yang mencuri kuda kami, kenapa sekarang kamu herankan yang aku hajar rusak daun pintumu? Lagi pula tempat ini bukannya tempatmu, tempat ini adalah tempat orang mati!”

“Apakah kamu kira cuma kamu sendiri yang boleh menguasai lain orang?” Tan Hong tertawa. “Aku lihat, lebih baik kau tutup rapat pintu kuburanmu ini, jangan kau pergi keluar lagi!”

“Apa katamu?” tegaskan Pek Moko, si Hantu Putih.

“Ini adalah kuburan suatu pangeran!” kata Tan Hong.

“Ia ada pangeran dari kerajaan Chin. Habis kau hendak apa?” tanya Pek Moko.

“Ada pepatah yang mengatakan. Menutup pintu besar untuk menjadi raja” sahut Thio Tan Hong, “maka itu jikalau sekarang kamu tutup kuburan ini, bukankah kamu pun boleh menjadi raja, sedikitnya kamu bisa menjadi pangeran Chin! Sebenarnya, untuk menjadi raja tidak ada artinya.”

Murka kedua hantu itu dipermainkan secara demikian. Tanpa terlihat gerakan mereka, tahu-tahu mereka sudah mencelat dari kursi mereka masing-masing sampai kepada Tan Hong, empat tangan mereka menyambar ke arah batok kepala orang.

In Lui terkejut hingga ia keluarkan seruan tertahan.

Menyusul sambaran empat tangan itu, terlihatlah berkelebatnya satu sinar putih bagaikan rantai. Sebab Thio Tan Hong, dengan kesebatannya, telah hunus pedangnya, yang berkelebat mirip bianglala.

Kedua hantu Hitam dan Putih ini perdengarkan seruan, “Pedang yang bagus!” Diantara satu suara “Bret!” terlihat tubuh mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan.

Pada saat itu juga terdengar tertawanya Thio Tan Hong, yang menyambungi, “Bagus, bagus! Hek Moko dan Pek Moko mengerubuti satu bocah!”

Mendengar ejekan itu, kedua hantu itu sudah lantas jumpalitan mundur, hingga di lain saat keduanya sudah duduk bercokol pula di kursi mereka masing-masing, muka mereka menyeringai. Mereka ini tidak pandang Thio Tan Hong sebagai tandingan mereka, barusan mereka menyerang disebabkan hawa amarah mereka yang meluap dengan tiba-tiba, hingga mereka melakukan sesuatu yang melanggar hokum rimba persilatan. Mereka percaya, dengan satu kali turun tangan, mereka dapat mencekik si “bocah gede” itu. Tidak tahunya, meleset dugaan mereka, hingga mereka menjadi malu sendirinya, mereka jadi jengah.

Luar biasa sebat Tan Hong menghunus pedang, cepat sekali ia gerakkan pedangnya itu, meskipun sekali berkelit, bajunya kena disambar hingga baju itu robek, di lain pihak, pedangnya sudah memapas kopiah orang sampai rambutnya ikut terpapas pula. Dan hebatnya, karena perbuatannya itu, Hek Pek Moko pun akan tercela karena mereka telah menghina orang yang terlebih muda.

Hek Moko, si Hantu Hitam, lantas mengawasi Tan Hong.

“Bagus ilmu pedangmu!” katanya. “Mari, mari kita mencoba-coba!”

Kali ini hantu itu tidak lagi memandang orang sebagai “bocah”, ia anggap sekarang boca itu adalah pantarannya, maka itu, ia telah ubah sikapnya, ia sudah lantas menantang.

Thio Tan Hong tersenyum, ia awasi kedua hantu itu.

“Bagaimana kehendakmu?” ia tanya. “Kamu berdua hendak maju berbareng atau melayani satu dengan satu? Bagaimana kalau kalah? Dalam hal ini, perlu mengatur terlebih dahulu!”

Hek Moko gusar sekali.

“Kamu berdua, kita juga berdua, tidakkah itu berimbang?” katanya.

Hek Moko kesohor, sekarang ia ingin bertanding satu sama lain, itu artinya ia sudah lantas merasa agak jeri.

Akan tetapi Thio Tan Hong kata, “Urusanku ini tidak ada hubungannya dengan saudaraku ini! Adalah aku seorang diri yang akan melayani kami..”

“Jikalau demikian,” kata Hek Moko, “baik, aku sendiri yang melayani kau.”

Tapi In Lui campur bicara.

“Kita datang berdua, maka itu aku juga hendak melayani kamu!” demikian katanya.

“Bagus, bagus!” Pek Moko turut berbicara, “Jikalau kamu turun tangan berbareng, aku suka turut menemani kamu!”

“Sudahlah, jangan terlalu banyak omong!” Hek Moko menjadi tidak sabaran. “Aku akan layani kau seorang!” ia maksudkan Thio Tan Hong, “Jikalau saudaramu tidak turun tangan! Tidakkah ini jelas?”

In Lui masih hendak bicara, tetapi Tan Hong cegah dia.

“Sudahlah, saudara yang baik! Kau biarkan aku yang mencoba-coba dulu. Umpama kata aku tidak berdaya, baharulah kau turun tangan. Apakah itu tidak terlambat?”

Hek Moko tidak perdulikan kedua saudara itu sedang berebut omong, ia ulurkan sebelah tangannya ke arah tembok, dari situ ia menarik sebatang tongkat kemala, yang mengeluarkan sinar terang bercahaya hijau, setelah itu ia berbangkit dari kursinya, ia bertindak ke ruang yang lega.

“Mari, mari!” ia menantang. “Jikalau aku menang maka kuda dan permatamu, semua itu akan menjadi kepunyaanku!”

“Jikalau kau yang kalah, bagaimana?” tanya Tan Hong.

“Jikalau aku yang kalah, maka tempat ini akan menjadi kepunyaanmu!” hantu itu berjanji.

Kuburan itu adalah tempat Hek Pek Moko menyimpan harta besar mereka, di antaranya ada barang berharga yang hampir semahal sebuah kota. Hek Moko anggap, taruhan ini adalah taruhan yang pantas sekali.

Akan tetapi Thio Tan Hong berpikir lain. Dia tertawa.

“Siapa kesudian menjadi tuan dari guha hantu ini!” katanya mengejek.

“Habis, apa yang kau kehendaki?” tanya si Hantu Hitam.

“Kau mesti obati kuda kami hingga sembuh!” dia menjawab.

Hek Moko juga tertawa bergelak.

“Inilah gampang!” jawabnya. “Aku biasa berdagang, aku hargakan perkataanku. Baik kita omong secara pantas. Aku pun tidak menginginkan bendamu. Di antara banda kita, sukar untuk menetapkan harganya. Sekarang terserah kepadamu! Nah, majulah!”

Thio Tan Hong lantas rapikan dandanannya. Ia loloskan baju panjangnya, yang kena dirobek kedua hantu itu.

“Dengan dandananku ini, aku mirip dengan satu pengemis….”katanya, yang terus merobek baju panjangnya itu. Ia sekarang dandan dengan singset, nyata ia telah pakai baju kutang yang tersulamkan dua ekor naga emas tengah bertarung di tengah laut yang bergelombang. Di antara cahaya lilin, baju kutang itu nampaknya indah.

In Lui lihat baju kutang itu, ia heran.

“Apakah benar di Mongolia juga ada sulaman Souwciu?” tanya ia pada dirinya sendiri. Tapi ia tak sempat berpikir lama, atau pertandingan sudah lantas dimulai.

“Kau yang mulai!” Tan Hong tantang lawannya, setelah ia selesai dandan dan beri hormat sambil menjura.

Hek Moko dapat kesan baik untuk kelakuan dan kesopanan orang itu, ia merasa puas hingga ia tersenyum, akan tetapi meskipun demikian, denan tiba-tiba saja ia mulai dengan serangannya, tongkatnya menyambar ke arah muka.

Thio Tan Hong tidak menjadi kaget karena serangan mendadak itu, malah dengan gesit ia telah angkat pedangnya, untuk menangkis, hingga tidak ampun lagi, kedua senjata telah beradu satu sama lain hingga terdengar suara yang keras dan nyaring. Sinar pedang pun menyilaukan mata.



VI

In Lui terperanjat melihat bentroknya kedua senjata itu.

“Aku tidak sangka, tongkat kemala itu, ada barang mustika juga,” pikirnya.

Kedua senjata seperti menempel satu dengan lain, karena masing-masing tidak menarik kembali tangan mereka, sebaliknya, mereka saling menekan.

Kedua pihak berdiri tegak dengan kuda-kuda mereka, keduanya sama-sama empos semangat, untuk mengerahkan tenaga mereka. Karena ini, dalam sekejap saja, keduanya mulai mengalirkan keringat di jidat mereka.

Tegang hati In Lui menyaksikan pertempuran adu tenaga dan keuletan itu.

“Secara begini, tidakkah keduanya akan sama-sama bercelaka?” demikian ia pikir pula. Ia jadi berkuatir.

Tak lama kemudian terdengar seruan Hek Moko, tubuh siapa terus mencelat. Menyusul itu terdengar pula suara kedua senjata.

Di pihak lain Thio Tan Hong pun mencelat mundur, dengan begitu, senjata mereka jadi terlepas dan terpisah. Selagi lompat, Tan Hong perdengarkan seruan, “Celaka!”

In Lui terkejut hingga hendak ia hunus pedangnya, Cuma sebelum ia sampai berbuat begitu, ia segera dengar tertawanya Tan Hong.

“Tidak apa, tidak apa!” demikian Tan Hong buka mulutnya. “Kiranya kau adalah seekor keledai tua! Sekian lama senjata kita sudah bentrok tapi kau tidak mampu berbuat suatu apa! Haha haha! Namamu kosong belaka! Nyata kau tidak sanggup memukul mundur satu bocah! Hahahaha! Haha haha!”

Suara tertawa itu belum berhenti atau Hek Moko, dalam murkanya yang hebat, sudah berseru nyaring sekali.

“Bocah, kau tidak tahu mampus!” Lalu tubuhnya mencelat maju, sinar hijau dari tongkatnya pun berkelebat, sinar itu menyambar ke arah jidat si orang she Thio.

Sebenarnya In Lui ingin tertawa mendengar kata-kata Tan Hong, tapi ia terhenti di tengah jalan, sebaliknya ia menjerit, “Oh!” disebabkan serangan si hantu yang sangat dashyat itu.

Tiba-tiba terdengar pula tertawa nyaring dari Tan Hong yang terus berkata dengan keras, “Lihat, lihat! Si bocah akan kemplang kepala si keledai tua!”

Atas datangnya serangan dashyat itu, Tan Hong menyamping satu tindak, sambil mundur ia angkat pedangnya, dengan itu ia membalas menabas ke arah lengan orang.

Hek Moko pun sangat awas dan gesit sekali, lekas-lekas ia tarik kembali tangannya.

Tan Hong tahu orang lihai, sengaja ia mainkan lidahnya guna membikin orang mendelu. Ia dapat menduga, Hek Moko mulanya tidak pandang mata padanya, maka ia dipanggil bocah, dari itu, sengaja ia gunakan perkataan bocah itu untuk membuat orang panas hati. Dalam hal ini, ia berhasil membakar hatinya si Hantu Hitam.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar