Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 9

Liang Ie Shen, Seri Thian San-02: Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 9 Justeru itu terdengar suara kuda lari mendatangi. Tan Hong semua berpaling. Mereka lihat dua serdadu Watzu, yang rupanya tengah meronda. Menampak dua serdadu itu, Tan Hong tertawa.
 
Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 9
Justeru itu terdengar suara kuda lari mendatangi. Tan Hong semua berpaling. Mereka lihat dua serdadu Watzu, yang rupanya tengah meronda. Menampak dua serdadu itu, Tan Hong tertawa.

"Mengandal kepada mereka berdua, aku tanggung kau akan sampai di Pakkhia," ia kata.
Kedua serdadu Watzu sementara itu nampaknya heran. Mereka lihat dua perwira Watzu bersama satu perwira Han. Maka segera mereka menghampiri.

Tan Hong berdua In Loei bertindak sangat cepat. Sekejap saja mereka sudah sampok terlepas senjata kedua serdadu Watztu itu, lalu diancamkan pedangnya ke batang leher mereka.

"Kamu mau hidup atau mati?" Tan Hong mengancam.
"Mau hidup..." sahut kedua serdadu, yang putus asa.
"Baik!" kata Tan Hong. "Adik kecil, bawa dia seratus tindak jauhnya, tanyakan padanya pertandaan hari ini."

In Loei menurut, ia tarik serdadu yang satu.
"Bagus!" kata pula Tan Hong, suaranya keras. "Sekarang mari kita mulai tanya mereka! Jikalau penyahutan mereka berbeda, itu tandanya mereka mendusta, maka adik kecil, kau boleh lantas tabas padanya!"

Dengan sempurnanya Iweekang-nya, walaupun mereka terpisah seratus tindak, suara Tan Hong itu dapat didengar jelas sekali oleh In Loei. Coba Tan Hong ada lain orang, tidak nanti suaranya itu dapat terdengar.

Hong Hoe kagumi anak muda ini.

"Tan Hong benar teliti," kata dia dalam hatinya. "Jikalau mereka ini tidak dipisahkan,umpama mereka menyahuti secara palsu, sulit untuk mengetahui kedustaan mereka."

Tan Hong sudah tanya si serdadu dan ia telah peroleh jawabannya.

"Bagaimana?" dia tanya In Loei.
"Dia kata tanda-kata hari ini adalah bidadari," jawab In Loei.

Bangsa Watzu juga tahu tadi malam adalah malaman Tiong Tjioe untuk bangsa Han,mereka sengaja pakai kata-kata "bidadari" untuk tanda kata mereka.

"Akur!" berseru Tan Hong. "Mereka tidak mendustai”

In Loei segera kembali bersama serdadu itu.

Tan Hong bertindak terlebih jauh, dengan sebat ia buka seragam kedua serdadu itu,setelah mana, ia ikat mereka itu di atas pohon.

"Maafkan kami," ia kata pada mereka. "Kalian boleh menunggu di sini sampai sahabatsahabatmu nanti datang menolong kamu." Ia tidak tunggu jawaban lagi, terus ia berkata pada Hong Hoe: "Silakan kau pakai seragam ini."

Hong Hoe menurut, dengan cepat ia salin pakaian.

"Sekarang mari!" mengajak pula Tan Hong. Dan kali ini, dengan masing-masing menunggang seekor kuda — untuk mana kudanya kedua serdadu Watzu itu mereka rampas — ia ajak kedua kawannya mengaburkan kuda mereka .

Hong Hoe kenal baik jalanan itu, ia mengajaknya ambil jalan kecil, untuk memotong jalan. Secara begini dapat mereka menyingkir dari tiap-tiap tangsi bangsa Watzu. Benar mereka kerap kali bertemu serdadu ronda, tetapi dengan mengucapkan perkataan "Bidadari!" mereka selalu bebas dari pemeriksaan. Maka akhirnya, sebelum matahari turun, mereka telah tiba di luar kota Pakkhia. Di sana pasukan depan bangsa Watzu sudah mengatur persiapan untuk bertempur, karena mereka tengah berhadapan dengan tentera Beng. Di antara mereka terdapat tanah perbatasan yang kosong, yaitu no man's land.

Dengan berani Hong Hoe bertiga menerobos dari kalangan tentera Watzu, untuk melintasi tanah kosong, guna menghampiri tentera Han. Mereka lantas disambut hujan panah oleh tentera Beng, akan tetapi mereka maju terus, mereka sampok jatuh setiap anak panah.

Pasukan Beng itu di kepalai oleh Yo Wie, hoetongnia dari Gielim koen, serta Kiekie Touwoet Hoan Tjoen, belum lagi Hong Hoe datang dekat, mereka itu sudah melihat dan mengenali, maka itu dengan lekas mereka larang serdadunya melepaskan panah terlebih jauh, mereka sendiri lantas maju, untuk menyambut.

"Bagaimana sikap tentera?" Tan Hong tanya.
Inilah pertanyaan yang pertama.

Yo Wie menyahut dengan perlahan: "Kami telah mendengar kabar angin bahwa Sri Baginda telah ditawan musuh di Touwbokpo, kabar itu telah membuatnya hati tentera sedikit goncang..."

"Berita mengenai Sri Baginda ditawan musuh bukan kabar angin belaka, itulah kejadian benar," kata Tan Hong. "Sekarang lekas kamu antar kami masuk ke dalam kota untuk menghadap Ie Thaydjin."
"Mana kakakku?" tanya Hoan Tjoen. Ia maksudkan Hoan Tiong.
"Kakakmu sudah mengurbankan dirinya untuk negara," jawab Hong Hoe. "Aku harap kau nanti meneruskan cita-citanya, untuk melindungi kota Pakkhia!"

Lantas komandan Gielim koen ini tuturkan kegagahannya Hoan Tiong, yang telah menghajar mampus dorna Ong Tjin dengan gembolannya, habis mana, sekalipun dia terbinasa, Hoan Tiong tidak sudi menakluk pada musuh. Hoan Tjoen berduka, tetapi hatinya terhibur.

Yo Wie pun berduka, ia terharu berbareng puas juga.

Sampai di situ, Yo Wie persilakan ketiga orang itu salin pakaian, sesudah mana, ia antar mereka masuk ke dalam kota.

Di mana-mana di dalam kota terlihat rakyat, dalam rombongan-rombongan kecil,berbisik-bisik, untuk satu dengan lain menanyakan keadaan dari medan perang. Pada wajah mereka tampak roman berkuatir dan tegang.

Hong Hoe bersama Tan Hong dan In Loei menuju ke gedung Ie Kiam. Ketika itu sudah jam tiga tetapi gedung menteri itu masih terang benderang.

Tan Hong maju di muka, untuk mengetok pintu, guna memohon menghadap.

Tidak lama, pintu besar dipentang, kuasa rumah muncul untuk mengatakannya: "Thaydjin ada di ruang tengah, silakan kamu masuk!"

Ketika Tan Hong tiba di lorak, ia tampak Ie Kiam seorang diri sedang jalan mondarmandir.

"Ie Thaydjin, kami telah kembali!" Tan Hong segera berkata.
"Ah, kamu telah kembali..." kata menteri itu, yang masih mondar-mandir terus.

In Loei menjadi heran.

"Ie Kiam dengan Tan Hong bersahabat kekal," ia berpikir, "dia pun perlakukan kami seperti keponakan atau anak, sekarang kita kembali, mengapa sikapnya begini tawar?"

Karena ini, ia campur bicara, katanya: "Kami pun telah membawa pulang peta bumi.Tentang harta besar dari leluhurnya Thio Toako, itu pun akan diangkut kemari!"

Pada wajah Ie Kiam terlihat sorot kegirangan, tetapi alisnya masih tetap mengkerut.

"Benarkah itu?" tanyanya, menegaskan. "Aku kuatir sudah terlambat..."

Dan kembali ia jalan mondar-mandir.

Tan Hong dapat menerka orang sedang menghadapi kesulitan, ia kedipkan matanya kepada In Loei untuk mencegah nona ini berbicara pula. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Ia lihat di bawah lorak ada tumpukan kapur tembok dan di kedua tepinya telah banyak yang runtuh. Di dalam hatinya, ia menghela napas.
"Jikalau tidak melihat sendiri, siapa sangka Ie Kokloo demikian melarat," katanya dalam hati kecilnya. "Rumahnya sudah begini tua, untuk membetulkan temboknya, ia cuma menitahkan orangnya Sendiri..."

Ia angkat kepalanya, ia tampak sebuah syair yang digantung di dalam ruangan itu. Ia baca:
"Seribu kali gali, selaksa kali gempur, digali keluar dari dalam gunung,Dengan api yang berkobar besar dibakar, bukan main hebatnya, Tulang-tulang boleh jadi abu, tubuh lebur, tetapi hati tak gentar, Asal dapat pernahkan nama putih bersih di dalam dunia ini."

Di bawah itu, di sebelah kiri, terdapat tambahan huruf-huruf halus yang berbunyi:
"Dicatat pula di harian tentera Watzu mengurung kota, sebagai kesan." Di bawah itu ditulis nama Ie Kiam, penulisnya.

Tergerak hati Tan Hong, hingga dengan keras ia berkata: "Ie Thaydjin, oleh karena kau tidak gentar tulang-tulang dan tubuhmu hancur lebur, kenapa kau jeri akan segala ocehan tidak keruan atau fitnahan pembesar hikayat?"

Ie Kiam terperanjat, hingga kedua matanya bersinar dengan tiba-tiba. Ia angkat kepalanya, memandang langit.

"Hiantit," katanya kemudian, "cuma kau seorang yang ketahui isi hatiku. Tapi urusan ini sangat besar, untukku tulang hancur dan tubuh lebur adalah soal kedua, hanya aku kuatir, di belakang hari, aku nanti mengalami perkara penasaran yang tak dapat dilampiaskan..."

Tan Hong mendesak.

"Sekarang ini Sri Baginda sudah ditawan musuh," kata dia, "maka itu thaydjin harus memikirkan negara, mesti thaydjin segera mengambil putusan. Sekarang telah tiba saatnya! Umpama kata benar di belakang hari raja toh mempersalahkannya, tetapi thaydjin telah pernahkan nama bersih di antara rakyat, nama itu akan teringat laksaan tahun, akan tercatat untuk selamanya dalam hikayat. Apakah yang harus digentarkan pula?"

Alisnya Ie Kiam bergerak pula, ia sudah lantas ambil putusannya. Ia keprak meja ketika ia berseru: "Hiantit benar! Besok aku angkat raja baru, akan aku basmi kawanan dorna,lalu aku akan mengepalai sendiri angkatan perang untuk melawan musuh!"

Memang Ie Kiam telah mendengar berita mengenai raja sudah tertawan musuh, hal mana membuat nya ia menyesal, berduka dan berkuatir. Ia sudah menerka, bangsa Watzu pasti akan menggunakan raja itu sebagai alat untuk memaksakan segala permintaannya, maka itu, ia memikirkan daya upaya untuk menghadapinya. Ia sudah ketahui, jalan satu-satunya ialah mengangkat raja baru, untuk menunjukan bahwa ia hendak mempertahankan diri, guna membela negara, hanya ia bersangsi sebab ia sendiri bukannya anggauta kerajaan, kalau ia sendiri saja yang mengepalai pengangkatan raja baru itu, tanggung jawabnya terlalu besar dan berat. Ia pun kuatirkan serangan kawanan dorna, sedang dalam kalangan keluarga raja, banyak yang berpendirian tak tetap. Di samping itu ia pikirkan juga, umpama kata raja yang tertawan itu mendapat kemerdekaannya kembali dan telah pulang ke dalam negeri, ada kemungkinan raja itu tak akan mengerti sikapnya itu, hingga ia akan terancam kebinasaan berikut seluruh keluarganya. Maka itu, sudah satu hari satu malam ia berpikir keras, masih saja ia belum dapat mengambil putusan. Sampai sekarang ini Tan Hong telah bicara dengan tandas,
baharu ia dapat mengambil ketetapannya itu.

Di hari kedua, Ie Kiam buktikan perkataannya. Ia himpunkan para menteri besar, ia utarakan keputusannya dan beritahukan rencananya untuk melawan musuh. Paling dahulu ia angkat adiknya kaisar Kie Tin, yaitu Kie Giok, menjadi raja, menjadi kaisar Tay Tjong,sedang Kie Tin diangkat menjadi Tahongsiang. Habis itu dikeluarkan perintah akan membunuh semua kambrat Ong Tjin.

Setelah Kie Giok naik tahta, ia pakai gelaran negara Keng Tay, lalu dengan menuruti nasihat Ie Kiam, dalam satu hari itu, telah menghukum mati kambratnya Ong Tjin yang berjumlah tiga ratus jiwa lebih. Segera Ie Kiam diangkat merangkap menjadi Pengpou Siangsie, menteri perang, dengan diberi kekuasaan untuk memimpin angkatan perang guna melawan musuh.

Ie Kiam sudah lantas bertindak sebagai kepala perang, ia kumpulkan tentera, ia kobarkan semangat rakyat, maka di dalam kota Pakkhia itu, ia berhasil membangun barisannya, untuk memulai perlawanan terhadap musuh.

Demikian peperangan telah dimulai pula. Sebab Yasian, yang telah berhasil menawan kaisar Kie Tin, meleset dalam dugaannya. Ia mulanya menyangka, dengan kaisar musuh dapat ditawan, kota Pakkhia akan dapat dirampas dengan mudah, dengan begitu seluruh Tionggoan akan terjatuh ke dalam pelukannya, siapa nyana, Ie Kiam telah bangkit pula.

Maka ia menjadi kaget berbareng gusar.

"Maju!" demikian ia serukan tenteranya, untuk mengurung kota Pakkhia.

Pada bulan sepuluh tanggal sembilan, Yasian dapat memukul pecah kota Tjiekengkwan,pada tanggal sebelasnya, pasukan depannya sudah tiba di luar pintu kota Saytit moei di barat kota Pakkhia.

Kie Giok tidak punya pendirian, ia sudah lantas usulkan untuk memohon perdamaian,akan tetapi Ie Kiam menentangnya, menteri perang ini menganjurkan perlawanan terus,ia sendiri yang pimpin tenteranya. Hebat pertempuran yang berlaku lima hari lima malam itu. Tentera Watzu berhasil memukul pecah pintu-pintu Tjianggie moei dan Tekseng moei,akan tetapi tentera Beng melawan terus, tak peduli banyak sekali kurban yang rubuh.

Mereka telah dibantu rakyat penduduk kota raja, wanita dan pria, tua dan muda, menggulung tangan baju bersama, akan pertahankan negara mereka. Mereka itu turut naik ke tembok kota, akan melawan serbuan musuh. Anak panah tidak cukup, tanpa raguragu mereka merusakkan rumah mereka, mereka pakai batunya untuk melontar musuh.

Maka selama lima hari lima malam itu, hebat suara pertempuran itu, demikian pula jalannya pertempuran.

Tentera Watzu gagah, tetapi menghadapi perlawanan musuh itu, gentar juga hati mereka.

Pada hari ke enam telah datang sejumlah tentara suka rela, yang datang dari beberapa tempat, bendera mereka tertampak ramai dari atas kota Pakkhia.

Segera Thio Hong Hoe pimpin pasukan Gielim koen, akan menyerbu keluar kota.

Dengan cepat ia telah binasakan tiga perwira musuh yang tanggu.

Menampak demikian, Ie Kiam berikan titahnya untuk menyerbu, maka tentera dan tentera rakyat segera pentang pintu kota, mereka maju menerjang musuh.
Yasian saksikan nekatnya musuh, ia lantas berikan titahnya untuk mundur. Ia kuatir nanti sampai pula bala bantuan dari pelbagai tempat, apabila itu sampai terjadi, ada kemungkinan jalan mundurnya nanti tertutup, hingga ia terkurung.

Hebat kerusakan Yasian karena pengundurannya ini. Pada tanggal sebelas ia masuk ke Saytit moei, tetapi ketika ia mundur pada tanggal tujuh belas, ia menderita kerugian sebanyak kira-kira delapan laksa serdadu yang luka dan binasa, ia mundur tanpa peroleh hasil! .

Pada tanggal delapan belas, di luar kota Pakkhia sudah bersih dari musuh. Sebaliknya dari Thongtjioe dan Hoolam telah datang beberapa pasukan suka rela.

Sebenarnya jumlah bala bantuan itu, cuma beberapa laksa, tidak berarti apabila dibandingkan dengan besarnya angkatan perang Watzu, tetapi semangat tentera dan rakyat kota Pakkhia telah berkobar-kobar, sehingga menyebabkan musuh mundur terpaksa. Maka itu, semua orang sangat bergembira, semua berseru-seru kegirangan.

Ie Kiam sambut dengan baik setiap bala bantuan suka rela itu. Yang membuatnya ia kagum adalah ketika ia dapatkan satu pasukan yang datang jauh sekali dari propinsi Kangsouw. Itulah pasukan suka rela di bawah pimpinan In Tiong, pasukan yang berasal dari tjhoengteng atau penduduk tani ketua dari Tamtay tjhoeng dan mulanya cuma terdiri dari beberapa ratus jiwa, tapi di sepanjang jalan mereka dapat mengumpulkan lagi kawan-kawan hingga jumlah mereka semua meliputi seribu jiwa lebih. Ketika barisan ini tiba di kota raja, jumlahnya tinggal kira-kira separuh. Sebab di tengah jalan mereka telah bertempur dengan musuh, banyak di antara mereka terbinasa dan luka, malah In Tiong
sendiri terpisah dari mereka, dari itu, sekarang pasukan itu dipimpin oleh Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong.

Yang paling penting dari barisan suka rela dari Kangsouw ini adalah mereka sudah tidak mensia-siakan tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh Thio Tan Hong. Yaitu mereka sudah mengiringi dengan selamat harta warisan Thio Soe Song sampai di Pakkhia.

Dalam kegembiraannya, Ie Kiam lantas undang Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe membikin pertemuan dengan Tan Hong dan In Loei.

Nona In terperanjat mendengar kakaknya lenyap, maka ia lantas tanya, bilamana dan bagaimana itu terjadinya.

"Itu terjadi kemarin," sahut Tiatpie Kimwan, menerangkan. "In Tjonggoan titahkan kita menerjang musuh untuk melindungi harta, ia sendiri bertanggung jawab di bahagian belakang, guna merintangi kalau-kalau musuh mengejar. Nona Tamtay bersama belasan tjhoengteng pun membantu melindungi dari sebelah kiri. Kami tahu, tindakan itu berbahaya, tapi karena harta mesti dilindungi, kami tidak bisa berbuat lain. Kejadianlah yang rombongan kita kena dipotong tentera Watzu. In Tjonggoan sungguh gagah, ia telah membuka jalan, sayang di tengah-tengah pertempuran dahsyat itu, sebatang anak panah mengenai Nona Tamtay, hingga dia tak menerjang terlebih jauh. In Tjonggoan segera
kembali ke belakang, untuk menolongi nona itu. Demikian maka mereka itu jadi terpisah dari kami, yang dapat membuka jalan dan menuju terus kemari."

In Loei jadi sangat berkuatir dan berduka.

"Syukur musuh telah mundur sekarang," berkata Ie Kiam. "nanti aku titahkan untuk mencari di sekitar luar kota ini. Aku percaya mereka dapat diketemukan."
Hati In Loei menjadi sedikit lega, tapi ia masih tetap memikirkan kakaknya itu.

Bagaimana keadaannya si kakak, yang menolongi Nona Tamtay itu? Ia jadi lebih berkuatir karena si Nona Tamtay tengah terluka, entah lukanya itu hebat atau ringan.

Hari itu In Tiong telah menempuh bahaya, ia tunjukkan kegagahannya. Begitu ia lihat Tamtay Keng Beng terluka panah, segera ia pergi menghampiri untuk menolongi. Ia putar golok Toanboen too-nya, untuk melindungi si nona dan untuk membelai dirinya. Dengan tangan kiri, dengan pukulan-pukulan Taylek Kimkong Tjioe, ia rubuhkan atau mundurkan setiap musuh yang datang dekat. Tapi musuh berjumlah banyak, mereka terus terkurung.

Kematian beberapa puluh musuh tidak berarti apa-apa. Di saat In Tiong mulai lelah,mendadak ia dengar suara tambur dan gembreng musuh disusul dengan suara terompetnya, lalu disusul pula dengan mundurnya barisan musuh. Dengan begitu In Tiong mendapat keringanan, segera ia membuka jalan darah, untuk meloloskan diri dari kepungan. Ia tidak tahu bahwa mundurnya musuh disebabkan Yasian membutuhkan bantuan, untuk angkatan perang Watzu itu mundur seluruhnya.
Selang setengah jam, In Tiong sudah lari cukup jauh, bersama Tamtay Keng Beng, ia jadi berada jauh dari pasukan musuh. Ia bernapas lega. Ia hanya kaget ketika ia tampak wajah pucat pasi dari si nona.

"Bagaimana kau rasakan?" ia tanya nona itu.
"Tidak apa-apa," sahut si nona.

Di mulut Keng Beng mengucapkan demikian, akan tetapi les kuda yang ia pegang tak kencang lagi dan tubuhnya pun bergoyang-goyang seperti hendak rubuh.

Mau atau tidak, In Tiong bersenyum.

"Adik Tamtay," ia berkata. "Ketika dulu aku terluka, banyak aku terima budimu.Bukankah kau telah menasihati agar aku jangan paksakan diri berkuat-kuat. Ingatkah kau akan hal itu?"

Di mulut In Tiong berkata begitu, sepak terjangnya adalah lain. Gesit luar biasa ia lompat dari kudanya ke kuda si nona, untuk duduk di belakang nona itu, les kuda siapa ia sambar, untuk mewakilkan memegang kendali, untuk sekalian menjagai tubuh si nona supaya tubuh itu tidak rubuh terguling.

"Adik Tamtay, kau harus beristirahat," ia berkata pula."Mari kita cari satu rumah penduduk untuk menumpang beberapa hari kalau nanti lukamu sudah sembuh, baharu kita berdaya untuk pergi masuk ke Pakkhia."

Tamtay Keng Beng tidak berkesan baik terhadap In Tiong, akan tetapi sekarang ia saksikan sikap orang yang lemah lembut dan sangat perhatikan kepadanya, dengan sendirinya, hatinya tergerak juga. Maka ia biarkan orang bawa padanya.

Sibuk juga In Tiong sesudah ia mencari-cari rumah penduduk di sekitar itu. Dusun itu telah rusak, penduduknya tidak ada. Dengan sangat berduka dan, berkuatir, ia mencari terus, sampai di depannya ia tampak sebuah rumah yang letaknya pada lereng bukit. Dari jauh kelihatan rumah itu masih utuh juga.

"Thian tidak memutuskan jalan makhlukNya," ia berseru. "Akhir-akhirnya kita menjumpai juga sebuah rumah!"

Tapi Tamtay Keng Beng menggelengkan kepalanya.

"Aku kuatir itu bukannya rumah penduduk baik-baik," ia utarakan kesangsiannya.
"Saudara In, kau mesti berhati-hati..."
"Dalam keadaan seperti kita ini, tak dapat kita terlalu bercuriga," In Tiong jawab. "Yang penting adalah kau mesti beristirahat!"

Maka ia larikan kudanya ke arah rumah kampung itu. Setibanya di situ, ia bantui Keng Beng turun dari kudanya, habis mana terus ia mengetok pintu, yang tertutup rapat.

"Siapa?" terdengar suara keras dari dalam rumah.

In Tiong heran. Ia seperti kenali suara itu. "Aku adalah serdadu suka rela dari Kangsouw," ia lantas menjawab. "Aku hendak numpang menginap." Dengan berani ia bicara terus terang.

Dengan menerbitkan suara, pintu segera di-pentang. Berbareng dengan itu, dari dalam terdengar suara pula: "Oh, kiranya In Tjonggoan1." Hanya kali ini suara itu sedikit menggetar, seperti dikeluarkan oleh seorang yang tengah terkejut berbareng kegirangan.

Itulah di luar dugaan In Tiong, apapula ketika ia lihat tegas orangnya yang berbicara itu, yang berdiri di muka pintu, berendeng bersama orang lain. Untuk tercengangnya, ia kenali Low Beng dan Low Liang, kedua boesoe atau guru silat dari istana kaisar.

"Saudara-saudara Low, mengapa kamu masih berada di sini?" In Tiong tanya.

"Pada setengah bulan yang lalu," Low Beng menyahut, "ketika aku lihat musuh datang menyerbu, aku minta ijin cuti, maksudku ialah mengantarkan keluargaku pulang ke kota raja untuk melindungi mereka. Di luar dugaan kami, musuh datang terlalu cepat, kami tercegat, perhubungan kami terputus, hingga kami tak dapat pergi terus ke kota raja, terpaksa kami menunda di sini. Ah, apakah nona gagah ini pun serdadu suka rela? Dia terluka, lekas ajak dia masuk! Kami mempunyai obat luka yang mustajab."

"Djiewie, baiklah minum dulu air teh panas," berkata Low Liang, yang terus menyuruh orangnya menyuguhkan air teh.

Tamtay Keng Beng adalah seorang yang berhati-hati, ia segera berpikir: "Mereka ini adalah guru-guru silat negara, kenapa di saat gentingnya peperangan, mereka diijinkan cuti? Dengan mundurnya tentera Watzu, di mana tentera itu lewat, ayam dan anjing pun tidak aman, rumah-rumah musnah, maka aneh, kenapa cuma mereka ini yang tetap utuh?"

Oleh karena kecurigaannya itu, Keng Beng memandang seluruh rumah. Ia dapatkan di thia ada pelbagai macam alat senjata. Ia jadi bertambah curiga.

In Tiong rupanya tidak menyangka suatu apa, ia angkat cawan teh, untuk di minum,tetapi Keng Beng, yang lihat itu, segera kedipkan mata padanya. In Tiong seperti tidak lihat kedipan mata itu, ia bawa terus cawan teh ke mulutnya. Bukan main kuatirnya si nona, hampir ia menjerit.

Tiba-tiba terdengar satu suara keras dan nyaring, tahu-tahu cawan jatuh dan pecah, air tehnya tumpah berhamburan.

"Ah." In Tiong berseru. "Celaka! Maafkan aku," ia terus mohon. "Tolong ditukar cawannya..."

In Tiong belum tutup rapat mulutnya, atau air teh yang melimpah itu kelihatan bercahaya seperti api. Itulah tanda air teh itu telah dicampurkan racun. Hal ini mengejutkan kedua tuan rumah dan tetamunya.

In Tiong pun bercuriga. Ia lantas ingat, Low Beng dan Low Liang adalah kepercayaannya dorna kebiri Ong Tjin.
Ia memang belum tahu yang Ong Tjin selama di Touwbokpo sudah dihajar mampus oleh Hoan Tiong tapi ia tahu baik kejahatannya dorna kebiri itu, maka umpama kata Nona Tamtay tidak memberi tanda padanya, ia sudah berhati-hati sendirinya. Karenanya ia sengaja melepaskan cangkir teh itu, hingga jatuh pecah dan rahasia kedua saudara Low itu terbuka!

Low Beng dan Low Liang berseru, dengan lantas mereka lari ke tempat alat senjata,untuk menyambar gegaman mereka masing-masing, habis mana mereka tidak membuang tempo untuk mengurung tetamunya itu, ialah In Tiong.

Low Beng bersenjatakan sebatang pedang panjang dan Low Liang tameng besi. Dan pedang Low Beng itu memain di antara gerak-geriknya tameng, yang perdengarkan suara angin menyambar-nyambar. Itulah ilmu tameng Koengoan pay yang tersohor.

In Tiong bela dirinya dengan tangan kiri, dengan pedang di tangan kanan, ia siap melayani musuh-musuhnya.

"Apakah kamu, kedua saudara hendak memberontak?" ia tegur mereka itu.

Low Beng tertawa bergelak-gelak.

"Tidak salah!" sahutnya, jumawa. "Memang kami hendak memberontak! Kau tahu, kau masih dalam mimpi, kau masih belum tahu berapa tingginya langit dan berapa tebalnya bumi!"

"Apa kau bilang?" In Tiong tegaskan.

"Hendak aku tanya kau," jawab Low Liang. "Kau bawa pasukan suka rela ke kota raja,bukankah itu untuk menunjang raja?"

"Memang!" sahut In Tiong sambil mendesak tiga kali, setelah mana, ia tangkis tameng dan pedang kedua lawannya.

Low Liang tertawa terbahak-bahak.

"Rajamu yang tua bangka itu sudah sejak siang-siang menjadi tawanan bangsa Watzu!" katanya separuh mengejek. "Bukankah kau kenal peribahasa, siapa kenal gelagat dialah seorang cerdik? Maka itu baiklah kau lekas letakkan senjatamu, mari kau turut kami menakluk kepada bangsa Watzu! Dengan menakluk, kau masih mempunyai harapan memangku pangkat dan hidup senang, tetapi sebaliknya, kau bakal celaka! Lihat angkatan perang Watzu yang berada di daerah ini! Kau adalah Boetjonggoan dari kerajaan Beng,umpama kata kami tidak membunuh kau, kau toh sukar lolos dari kematianmu!"

In Tiong menjadi sangat gusar. Mana bisa ia dibujuk secara demikian? Tapi masih dapat ia kendalikan diri. Ia tertawa dingin.

"Kiranya kamu berdua adalah orang-orang yang kenal selatan!" katanya. "Maaf,maafkan aku..."

Low Beng menduga bahwa orang telah tergerak hatinya, ia maju mendekati.

"Bagaimana pikiran kau, saudara In?" ia tanya.

Dengan sekonyong-konyong saja In Tiong berteriak keras sekali.

"Pikiranku adalah untuk mengambil jiwa anjingmu!" demikian jawabannya yang dibarengi dengan satu bacokan hebat.
Low Beng kaget, ia menangkis. Tapi kagetnya bertambah apabila ia dapat kenyataan pedangnya telah tertabas kutung dan gagang pedang itu hampir saja terlepas dari cekalannya! .

In Tiong sedang gusar, ia ulangi bacokannya yang tidak kurang hebatnya. Kali ini goloknya itu bentrok keras dengan tamengnya Low Liang, yang menggantikan saudaranya menangkis. Ia terkejut. Juga lawannya terperanjat. Kedua-duanya merasakan telapakan tangan mereka sakit, panas dan kesemutan.

"Kau mempunyai kepandaian apa maka kau berani pentang bacot lebar?" tegur Low Liang, sambil terus mengulangi serangannya dengan tamengnya, yang turun dari atas ke bawah, dalam gerakan "Taysan apteng" — "Gunung Taysan menimpa batok kepala."

Tameng adalah senjata berat, Low Liang pun bertenaga besar sekali, tidak heran apabila serangannya kali ini sangat mengancam.

In Tiong tidak jeri, dengan berani ia menangkis pula.

"Trang!" demikian satu suara sangat nyaring, yang disusul dengan meletiknya lelatu api.

Hebat kesudahan dari bentroknya kedua senjata itu. Tameng Low Liang sempoak sedikit dan golok In Tiong pun bengkok ujungnya. Keduanya menjadi kaget, dengan sendirinya mereka masing-masing mundur tiga tindak.

Low Beng dari samping tidak mengambil peduli orang sedang mundur, ia maju untuk membarengi menyerang musuhnya. Tapi ia bukannya maju kepada In Tiong, atau membantu Low Liang, saudaranya, hanya ia lompat kepada Tamtay Keng Beng, yang ia tikam dengan tiba-tiba, sinar pedangnya berkilauan! .

Nona Tamtay sedang terluka, waktu itu ia pun tengah merasakan sakit yang sangat karena lukanya itu, tenaganya hilang banyak, maka waktu diserang, walaupun ia melihat dan dapat menangkisnya, tetap ia terancam bahaya. Ia telah terpelanting, hingga rubuh.

In Tiong saksikan musuh berlaku rendah, ia menjadi sangat gusar hingga ia menjerit,habis mana ia lompat kepada Low Beng itu, untuk menyerang padanya. Ia tidak pedulikan yang Low Liang, dengan tamengnya, mencoba merintanginya. Ia dapat mendekati Keng Beng, untuk melindungi nona itu. Ia sudah berlaku seperti nekat ketika ia coba mendesak kedua saudara Low itu hingga mereka mesti mundur dulu.

Keng Beng dapat kesempatan untuk menyingkir ke ruang dalam.

"In Toako, layani saja musuh-musuhmu itu!" kata si nona kepada si anak muda. "Kau bikin habis mereka semua, tak usah kau kuatirkan aku!"

Inilah anjuran berharga bagi In Tiong. Pemuda ini membuang napas, lantas ia menerjang pula.

Low Beng tertawa dingin.

"Ha, kau benar, sebelum kau sampai di tengah sungai Hong Hoo, kau belum insyaf." katanya mengejek, menghina. "Sebelumnya melihat peti mati, kau tidak mengucurkan air mata! Kau harus diperkenalkan pada marah bencana. Lihat pedangku!"

Bagaikan bisa ular menyambar-nyambar, demikian gerakan pedang orang she Low ini,yang diimbangi, gerak-gerik tamengnya, hingga In Tiong selalu diserang di bahagian yang berbahaya. Tapi pemuda itu memutar goloknya, hingga ia seperti terkurung sinar perak yang berkelebatan, berkilauan, dan golok itu pun kadang-kadang menembus tameng untuk mencari sasarannya. Kedua pihak sama-sama terancam bahaya, disebabkan sempitnya ruangan, yang membuatnya mereka tak dapat bergerak dengan leluasa.

Pasangan saudara Low ini memang liehay, tameng dan pedang mereka terlatih sempurna. Demikian di kota raja, pernah mereka melayani Thio Hong Hoe dan Thio Hong Hoe tak dapat berbuat banyak terhadap mereka. In Tiong kalah dari Hong Hoe, tidak heran kalau ia lekas terdesak, apapula ia sudah keluarkan terlalu banyak tenaga. Setelah lewat seratus jurus, tenaganya tak dapat mengiringi lagi kehendak hatinya, sulit untuknya melakukan penyerangan pembalasan.

Lagi dua puluh jurus, kedua saudara itu nampaknya semakin gagah.

"In Tiong, apakah kau masih tidak hendak menyerah?" tanya Low Beng sambil tertawa.
"Jikalau sekarang kau letakkan golokmu dan mengaku kalah, kita dapat memberi ampun daripada kematian..."

In Tiong mendongkol tak terkira, ia kertek giginya, ia menyerang dengan sengit.

Setelah beberapa bacokan, yang tidak memberi hasil, ia menjadi lemah pula, hatinya pun menjadi dingin.

"Walaupun aku mesti terbinasa, tidak nanti aku sudi menerima penghinaan," ia berpikir.

Ia sudah hendak sambarkan goloknya ke lehernya tetapi ia ingat sesuatu, hingga ia berpikir pula: "Jikalau sekarang aku terbinasa, bukankah adik Tamtay ini akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat ini?"

Ia lantas melirik kepada Keng Beng, ia tampak nona itu tengah mengawasi kepadanya,ia lihat sinar mata orang yang mengandung kedukaan dan kekuatiran tercampur rasa syukur, pada mana pun berpeta anjuran dan kepercayaan, pengharapan besar. Tiba-tiba semangatnya jadi terbangun pula.

"Mundur kamu!" sekonyong-konyong ia berteriak, sambil menyerang dengan tangan kirinya dan mengerahkan semua tenaganya. Itulah serangan hebat dari Taylek Kimkong Tjioe yang dibarengi dengan seruan bagaikan guntur menggelegar.

Tidak kurang hebatnya adalah suara yang menyusuli seruan itu. Karena serangan dahsyat itu tepat mengenai tamengnya Low Liang, maka dia menjerit keras sekali! Dia kaget terkena gempuran Taylek Kimkong Tjioe itu, hingga tamengnya terlepas dan mental, telapak tangannya dirasakan sakit dan mengeluarkan darah, sedang sebelah lengannya kehabisan tenaga, tak dapat digerakkan lagi! .

Selain Low Liang, Low Beng juga kaget tidak terkira. Inilah di luar dugaan mereka,sebab waktu itu, musuh sudah terdesak dan nampaknya kehabisan tenaga.

In Tiong di lain pihak dapat tambahan semangat, ia tidak berhenti sampai di situ, ia malah melanjutkan serangannya — sambil berseru pula, ia menyerang kembali sehebat tadi. Kali ini tangannya yang liehay itu menyambar ke pinggang Low Beng.

Orang she Low ini cerdik dan licin, ia berkelahi dengan waspada, waktu serangan tiba,ia berkelit dengan cepat. Ia memang gesit. Akan tetapi In Tiong tidak mau kalah gesit,habis menggempur yang tidak mengenai sasarannya ia putar tangannya, kali ini dipakai menyambar pedang lawan! .

Percuma saja Low Beng terkejut dan mencoba akan menyingkirkan pedangnya, senjata itu sudah lantas kena dirampas, akan di lain saat terdengar suara terpatah. Karena dalam sengitnya, In Tiong tekuk pedang itu, hingga senjata orang itu jadi terkutung dua! .
Kedua saudara Low itu terkesiap hatinya, bagaikan sudah berjanji, dengan serentak mereka lompat keluar rumah, untuk singkirkan diri. Mereka insyaf, tanpa senjata, mereka tak dapat berkelahi terlebih lama pula. Hanya, begitu lekas mereka berada di luar, tibatiba terdengar mereka tertawa besar.

In Tiong heran hingga ia berdiri melengak. Di saat ia hendak lompat menyusul, ia dengar teriakan kaget dari Keng Beng: "Celaka!" Sebab seolah-olah rumah itu bergerak keras, terputar, sejenak saja, kedua anak muda itu terbenam dalam kegelapan, tubuh mereka pun turut terbalik. Akhirnya terdengarlah suara sangat berisik.

Ternyatalah ruang itu telah dipasangi alat rahasia, dilapis di sebelah dalam dengan papan-papan tembaga, yang bergerak turun, maka di saat itu juga, In Tiong berdua Tamtay Keng Beng sudah menjadi orang-orang kurungan.

Dalam murkanya, In Tiong serang tembok tembaga yang mengurung mereka itu, ia telah gunakan tenaganya. Kesudahannya, ia mesti tarik kembali tangannya yang dirasakan sakit bukan main, tangannya menjadi semper, sedang kurungannya tidak bergeming sedikit juga.

Dari sebelah luar lantas terdengar tertawa mengejek dari Low Beng dan Low Liang berdua!

"In Tiong, jangan kau umbar hawa amarahmu!" Low Beng mengejek pula. "Kau berdiam di dalam dengan tenang untuk beberapa hari! Harap saja kau suka memberi maaf kepada kami yang tidak dapat melayani kamu!..."

In Tiong mendongkol dengan tidak berdaya. Terang sudah kedua saudara Low itu hendak mengurung mereka supaya mereka kelaparan selama beberapa hari.

Untuk kedua saudara Low, kebetulan saja mereka bertemu dengan In Tiong dan Keng Beng. Mereka baharu buron dari kota raja, disebabkan mereka merasa panas, mereka kuatir nanti kena dibekuk karena aksi dari Ie Kokloo yang berbareng dengan mengangkat raja baru telah menangkapi konco-konconya si dorna kebiri Ong Tjin. Mereka sering keluar masuk di gedung Ong Tjin, semua orang tahu mereka adalah kambratnya dorna kebiri itu, karenanya, mereka mendahului kabur. Adalah maksud mereka untuk pulang dulu ke rumah mereka, untuk mencari suatu pahala untuk nanti dibawa kepada bangsa Watzu kepada siapa mereka hendak menakluk, maka datangnya In Tiong berdua adalah sebagai kurban-kurban yang mengantarkan diri...

Di dalam gelap itu, In Tiong meraba-raba.

"Aku di sini," Keng Beng perdengarkan suaranya. Ia menduga si anak muda mencari padanya.

Dengan tindakan perlahan, In Tiong mendekati, tangannya masih meraba-raba.

"Aduh" tiba-tiba si nona menjerit. Karena si anak muda telah menyentuh lukanya.
"Maaf!" In Tiong memohon. Lalu ia menambahkan: "Nona Tamtay, tidak harus disayangi jikalau aku mesti mati di sini, hanya aku menyesal, aku telah membawa kau ke tempat celaka ini..."

Tadinya Keng Beng berniat menegur kesembronoan orang, akan tetapi mendengar suara orang yang halus, ia merasa tak enak sendirinya.

"Bukan kau, aku justeru yang bikin kau celaka!" katanya cepat. "Sebenarnya, sendirian saja kau dapat menyingkir dari sini."

In Tiong tak tenang hatinya."Bagaimana dengan lukamu? “ ia tanya. "Sakitkah itu?..."

"Oleh karena kita akan mati, tak perlu aku pedulikan rasa sakit atau tidak," jawab Keng Beng.

"Bukan begitu," kata In Tiong. "Tidak ingin aku melihat kau bersengsara..."

In Tiong berkata-kata tanpa melihat si nona, kecuali sinar matanya.

Keng Beng berdiam. Semakin berkuranglah kesannya yang kurang baik terhadap si anak muda, tanpa merasa, hatinya tergerak oleh sikap orang yang halus dan memperhatikannya itu. Di tempat gelap itu, ia masih tundukkan kepalanya.

"Coba kau buka bajumu," In Tiong minta. "Hendak aku pakaikan obat pada lukamu itu."

Baharu sekarang si anak muda ingat akan luka orang itu.

Sambil mengucap demikian, ia pun ulurkan tangannya perlahan-lahan. Ia menambahkan: "Kau pegang tanganku ini, kau bawa ke tempat yang luka itu."

Keng Beng rasakan mukanya panas. Tetapi mereka berada di tempat gelap, ia anggap tidak ada halangannya untuk membuka bajunya. Ia pun memang seorang yang polos.

Maka ia tidak tolak tangan In Tiong. Setelah membuka bajunya, ia bawa tangan sahabat itu pada lukanya.

Nona ini tidak punyakan cuma satu luka. Luka yang pertama di bahu dan yang lainnya di punggung. Kedua luka itu diobati In Tiong, siapa merasakan kulitnya yang halus.

Pemuda ini mendapat suatu perasaan aneh ketika tangannya menyentuh tubuh orang.

"Kau muda dan gagah, kau pun telah berkedudukan tinggi," berkata si nona selagi orang mengobati dia, "kalau sekarang kau terbinasa secara begini kecewa, apakah itu tidak harus disayangi?"

"Harta pusaka Thio Tan Hong, yang keselamatannya dibebankan kepadaku, hari ini mesti tiba di kota raja," sahut In Tiong. "Aku berbuat segala apa untuk negara, kalau untuk tugas sekecil ini aku mesti korbankan diriku, aku tidak menyesal."

Kembali tergerak hati si nona, sejenak itu, kembali berkurang pula kesannya yang kurang manis terhadap pemuda itu. Di dalam hati kecilnya, ia berkata: "Anak ini agak kukuh, pandangannya pun agak cupat, akan tetapi dia mencintai negara dan polos, ia mempunyai bahagian-bahagian sifatnya yang baik..."

Sementara itu, tanpa merasa, mereka sama-sama melewatkan sang waktu di dalam ruang yang gelap itu, entah sudah berapa lama, tatkala mereka dengar berisiknya suara kuda di arah luar. Terang sudah yang datang bukannya cuma satu penunggang.

"Inilah hebat," berkata In Tiong. "Sekarang ini kota Pakkhia tengah dikurung musuh,yang datang ini mestinya tentera Watzu, ada kemungkinan besar kita bakal ditawan mereka... Apabila itu sampai terjadi, aku minta kau suka maafkan aku, tidak sanggup aku menolong kau terlebih lama pula, hendak aku bunuh diri, sebab tak sudi aku tertawan dan terhina!"

Mendengar itu, sebaliknya dari kaget dan berkuatir atau berduka, Nona Tamtay justeru tertawa.

"Jikalau kau terbinasa, apakah kau kira aku akan hidup sendirian saja?" demikian katanya. "Jikalau aku terus tinggal hidup, aku mensia-siakan pengharapan Thio Tan Hong!"
In Tiong berpikir apabila ia dengar perkataan orang itu. Pun agak luar biasa lagu suaranya si nona selagi dia menyebut nama Tan Hong. Itulah lagu suara tak sewajarnya.

"Kiranya dia lebih menghargai Tan Hong daripada aku," pikirnya pula.

Suara kuda di luar terdengar datang semakin dekat, akhirnya tiba di muka rumah dan lalu berhenti. Menyusul itu terdengar tindakan kaki orang yang mendatangi.

Tanpa merasa, In Tiong pegang tangannya si nona dan menyekalnya dengan keras,yang mana dibalas oleh si nona. Keduanya membungkam.

Segera juga terdengar suara pertanyaan dari luar, suara yang kaku: "Siapa yang terkurung di dalam kamar rahasia ini?"

Terkejut In Tiong, akan kenali suara itu. Ia segera berbisik di kuping si nona: "Dialah Tantai Mie Ming, pahlawan Watzu!..."

"Ya, aku pun kenali suaranya itu," jawab Keng Beng. "Dialah kakakku sepupu. Pada bulan lima yang baharu lalu dia pernah datang secara diam-diam ke Souwtjioe, untuk beberapa hari dia tinggal bersama kita di Tongteng Santjhoeng."

In Tiong heran dan beragu-ragu. Ia memang belum ketahui halnya keluarga Tamtay ini. Maka ia berpikir dalam hatinya: "Tantai Mie Ming gagah perkasa, jikalau aku tertawan dia, sudah pasti aku tak akan dapat kesempatan untuk membunuh diri..."

"Kau jangan bersuara," Keng Beng kata dengan perlahan. Dia rupanya menyangka si anak muda akan mengucapkan sesuatu. "Hari ini kita tidak akan nampak bahaya. Coba kau dengar apakah katanya kakakku itu terhadap mereka?"

Mereka dengar suaranya Low Beng: "Harap Tjiangkoen ketahui, orang-orang yang terkurung di dalam sini bukannya orang-orang biasa saja..."

"Orang-orang macam apakah mereka itu?" Mie Ming tanya.

"Pasti Tjiangkoen akan jadi girang sekali apabila aku mengatakannya, kata pula orang she Low itu. "Yang satu adalah In Tiong, Boetjonggoan baru. Dia pernah jadi tongnia dari Gielim koen. Ketika dulu Tjiangkoen datang ke kota raja, pasti Tjiangkoen pernah bertemu dengannya. Di dalam kalangan Gielim koen, dia sekarang ini cuma berada di bawahan Thio Hong Hoe. Bukankah dia seorang yang penting? Yang lainnya adalah satu nona, katanya ia ada punggawa suka rela yang datang dari Kangsouw.

Tjiangkoen tahu, ia adalah satu nona yang cantik sekali! Sebenarnya aku telah merencanakan untuk mengurung mereka selama beberapa hari, kemudian akan aku bekuk dia, si nona sendiri hendak aku serahkan kepada Tjiangkoen, maka kebetulan sekali, sekarang Tjiangkoen telah tiba. Silakan Tjiangkoen ambil putusan sendiri mengenai mereka itu."

"Satu nona yang datang dari Kangsouw?" Tantai Mie Ming tegaskan. "Tahukah kau shenya?"
"Belum sempat kami periksa dia, Tjiangkoen," jawab Low Beng. "Sekarang Tjiangkoen ada di sini, Tjiangkoen saja yang periksa dia itu. Umpama kata Tjiangkoen penuju nona itu, tinggallah dia di sini. Mengenai ini, tidak nanti aku buka rahasia terhadap Thaysoe..."

Dengan Thaysoe itu, Low Beng maksudkan Yasian.

Berani Low Beng dan Low Liang, mereka hendak persembahkan nona itu kepada kakaknya si nona sendiri!.

Mendengar itu, Tamtay Keng Beng mendongkol berbareng merasa lucu.
Segera terdengar suaranya Tantai Mie Ming: "Baiklah, sekarang kamu keluarkan mereka, hendak aku melihatnya!"

Boleh dibilang baharu panglima itu mengucapkan perkataannya, atau mendadak In Tiong dan Keng Beng dengar satu suara nyaring yang disusul dengan berputarnya ruangan dengan keras, lalu daun jendela terbuka. Maka sekejap saja mereka itu melihat pula sinar terang dari langit.

Dengan lekas pintu pun terpentang. Hingga di muka pintu terlihat tubuh Tantai Mie Ming yang besar dan tegap, wajahnya dingin dan bengis.

"Adakah ini mereka itu?" dia menegaskan.

"Ya Tjiangkoen, benar mereka," jawab Low Beng. Ia terkejut ketika ia tampak wajah panglima itu, hingga ia menambahkan: "Eh eh, Tjiangkoen, apakah yang kurang beres?..."

Pertanyaan itu belum habis diucapkan ketika Tantai Mie Ming, dengan kesehatannya yang luar biasa, sudah menyambar Low Beng dan Low Liang dengan kedua tangannya dan sebelum orang tahu apa-apa, kepala mereka telah diadukan satu dengan lain, hingga sambil keluarkan jeritan tertahan, tubuh mereka rubuh dengan bermandikan darah, sebab kepala mereka pecah, polonya berhamburan! .

Tamtay Keng Beng girang bukan kepalang, hingga ia lompat akan tubruk kakaknya itu sambil berseru: "Kokol"

"Bukankah kau terluka panah?" kakak itu berkata. "Mari perlihatkan lukamu itu! — Ah,tidak apa-apa!" ia segera menambahkan. "Kali ini kau sangat menderita. Kau kurang pengalaman, kau telah terjebak dua saudara Low itu. Pasti kau kaget, bukan? Tapi anak muda menderita, ia dapat pengalaman, inilah baik juga sebagai latihan..."

In Tiong berdiri melengak di samping. Ia awasi Keng Beng dan Mie Ming bergantian,tak dapat ia berkata suatu apa. Ia masih berdiam saja sampai Mie Ming berpaling kepadanya dan tertawa.

"Saudara In Tiong, sungguh kebetulan!" demikian katanya. "Kita rupanya berjodoh maka di sini kita bertemu pula! Hanya kali ini kau tak usah mengadu jiwa lagi denganku..."

Ia tertawa pula. Terus ia menanya lagi: "Saudara, kau telah datang ke Souwtjioe, apakah kau telah ketemu Thio Tan Hong?"

"Ya, aku bertemu dengannya," sahut In Tiong, meski sebenarnya ia heran.

"Apakah permusuhan di antara kamu kedua keluarga telah dapat dihapuskan?" Tantai Mie Ming tanya.
Anak muda itu berdiam, ia tidak menjawab. Keng Beng sebaliknya, menggelengkan kepalanya terhadap kakaknya.

Mie Ming berkata pula: "Ini adalah urusan kamu berdua keluarga, aku adalah orang luar, tak dapat aku mencampuri urusan itu,akan tetapi ingin aku memesan kau, bila kau nanti bertemu pula dengan Tan Hong, tolong kau sampaikan padanya agar ia melegakan hatinya, karena pengurungan atas kota Pakkhia sudah buyar dan angkatan perang Watzu dalam tempo beberapa hari lagi mungkin akan sudah berangkat kembali ke negerinya."

Mendengar itu, girang Tamtay Keng Beng.

"Ah, benarkah itu?" dia tanya. "Koko, adakah itu Yasian yang mengatakannya padamu?"

"Tidak nanti dia dapat memberitahukannya sendiri hal itu kepadaku," jawab sang kakak. "Hanya aku melihat gelagat, tak dapat tidak, mesti dia bawa kembali pasukan perangnya itu. Sebenarnya aku tengah menerima titah dari Yasian itu, ialah dia yang menugaskan aku menjaga kota Ganboenkwan... Yasian kuatir tentera suka rela pihak Beng nanti memutuskan perjalanannya kembali, dia menitahkan nya, sambil menjaga kota Ganboenkwan itu, aku harus memecah pasukanku untuk memapak dia. Sementara itu diam-diam aku telah kisiki Kimtoo Tjeetjoe supaya, di harian aku berangkat, dia datang menyerbu kota Ganboenkwan itu. Kemarin dahulu aku terima warta, bahwa tentera Watzu yang menjaga kota Ganboen kwan itu sudah bentrok dengan tentera suka rela di luar tembok kota, kesuda hannya tentera itu telah dirusak separuhnya oleh Kimtoo Tjeetjoe. Yasian tidak menyangka tindak tandukku ini, dia hanya menduga, karena kepergianku tenaga tenteranya di Ganboenkwan menjadi kurang banyak, karena mana, tenteranya itu jadi kalah perang. Kekalahan itu membuatnya angkatan perang Watzu goncang. Sudah begitu, keadaan di dalam negeri pun nampaknya tak tenang. Aku lihat, tidak sampai setengah bulan, dia akan sudah mundur sendirinya."

In Tiong dengar perkataan orang itu, dia berdiri menjublak. Sungguh ia tidak pernah sangka sikapnya Tantai Mie Ming ini, yang secara diam-diam sudah membantui pihak Beng.

"Bagaimana sekarang dengan tjoekong kita?" Keng Beng tanya pula kakaknya.

Dengan "tjoekong" yaitu "junjungan," Nona Tamtay maksudkan Thio Tjong Tjioe,ayahnya Tan Hong. In Tiong ketahui ini, ia menjadi bertambah heran, hingga jantungnya memukul. Nyata mereka ini sudah bicarakan musuh turunannya itu. Ia menjadi bingung.

Tantai Mie Ming menyeringai sebelum ia menjawab adiknya itu.

"Selama ini pikiran tjoekong kita itu kusut sekali," demikian penyahutannya. "Tak hentinya ia memikirkan soal merampas kembali kerajaan Beng, untuk itu ia menghendaki bangsa Watzu menduduki Tionggoan. Hanya ia bersangsi akan akibatnya nanti. Pikirannya itu tengah bertentangan sendiri. Tidak berhasil aku membujuk dia untuk bersabar dan menetapkan hati."

Habis berkata, Mie Ming lihat langit.

"Aku dititahkan Yasian untuk mengajak pulang Low Beng dan Low Liang," ia berkata pula, "sekarang tidak ada jalan lain, aku harus memberi laporan bahwa mereka telah terbinasa di tangan musuh. Sekarang hari sudah malam, aku mesti pergi."

Ia pamitan dari adiknya dan In Tiong, terus ia bertindak keluar, akan mengajak orang-orangnya berlalu dari rumah kedua saudara Low itu.

Selekasnya kakaknya dan barisannya pergi, Tamtay Keng Beng ajak In Tiong berlalu juga. Mereka menunggang kuda mereka, untuk kabur ke arah Pakkhia.

Benar-benar kota Pakkhia sudah terlepas dari kurungan, di sekitar kota sampai beberapa puluh lie jauhnya, tidak terdapat seorang musuh jua. Mereka baharu melalui tiga puluh lie, lantas mereka bertemu dengan barisan Beng, yang lantas mengajak mereka masuk ke dalam kota, untuk segera bertemu dengan Tan Hong.

Bukan main girangnya In Tiong. Sekarang ini telah lenyap pula beberapa bahagian dari rasa permusuhannya terhadap orang she Thio itu.

Kata-kata Tantai Mie Ming tadi terhadap Nona Tamtay, membikin ia dapat melihat duduknya hal mengenai Tan Hong itu. Mie Ming sendiri nyatanya bukan musuh...

Tentera suka rela sementara itu telah berbaris masuk ke dalam kota raja. Tibanya mereka itu saling susul. Ie Kokloo telah mengeluarkan barang-barang berharga dari Thio Soe Seng, untuk dijadikan uang, buat dipakai membeli rangsum dan lainnya. Di samping itu, ia telah periksa peta bumi dan memahami itu. Ia jadi bertambah bersemangat. Begitu, dalam beberapa pertempuran, ia terus peroleh kemenangan maka telah kejadian, setelah setengah bulan, angkatan perang Watzu telah mundur dari Ganboenkwan.

Pada suatu hari, Ie Kokloo panggil Tan Hong dan In Tiong datang padanya.

"Ada sesuatu yang berbahaya, apakah hiantit bersedia untuk melakukan itu?" ia tanya kedua anak muda sehadirnya mereka itu.

"Apa yang thaydjin titahkan, meskipun untuk menyerbu api berkobar, tidak nanti kita tampik," Tan Hong berikan jawabannya.

Ie Kiam berdiam sebentar.

"Tadi malam aku telah menulis syair," kata ia kemudian. "Coba kau lihat dulu." Dan ia serahkan syairnya.

Tan Hong menyambuti, terus ia membaca. Ia lantas manggut-manggut. Karena ia mengerti maksud kepala perang itu. Ie Kokloo telah melukiskan, bahwa perang sudah berhenti, kawanan dorna telah dibasmi, maka itu orang-orang yang berjasa dalam peperangan diberi anugerah. Ia mengharap ancaman di perbatasan telah lenyap, supaya tak timbul lagi peperangan.

"Bagus," Tan Hong memuji. "Bukankah maksud thaydjin untuk membuat perdamaian dengan bangsa Watzu?"

"Benar," jawab Ie Kiam. "Di kolong langit ini tidak ada peperangan yang tidak dapat di akhiri. Sekarang kita sudah peroleh kemenangan, inilah waktunya untuk merundingkan perdamaian. Untuk kita, itu bukannya suatu hinaan. Taysianghong berada di negara asing,sudah selayaknya kita menyambut ia pulang.

Di hati kecilnya, Tan Hong terkejut juga mendengar, niatnya Ie Kokloo ini. Ia berpikir: "Kokloo berniat menolongi taysianghong dapat pulang ke dalam negeri,tetapi sekarang sudah ada raja baru, dengan pulangnya taysianghong, dikuatirkan dia tak akan mengerti ihtiarnya Kokloo ini. Bukankah Kokloo jadi menghadapi ancaman malapetaka?"

Ie Kiam rupanya melihat kesangsian anak muda itu.

"Hiantit, niatku sudah pasti!" dia kata. "Tak dapat diubah lagi niat itu. Tentang perseorangan, berhasil atau gagal, kemulian atau kehinaan, itulah bukan soal yang berarti banyak, akan tetapi raja negara kita yang besar, ia tidak dapat dibiarkan selamanya menjadi tawanan di negeri musuh. Sekarang ini pergilah kamu selidiki terlebih dahulu, sesudah itu baharu aku akan kirim utusan untuk pergi mengadakan perundingan, guna akhirnya menyambut Taysianghong pulang. Kita ketahui cita-cita Yasian besar, aku kuatir setelah kekalahannya nanti dia datang menyerbu untuk kedua kalinya.Dengan
kepergianmu ini hiantit, kau juga boleh sekalian berdaya bersama ayahmu untuk mengajak Pangeran Atzu mencoba mempengaruhi Yasian, agar dia tidak sampai bergerak pula. Ini juga merupakan satu jasa besar untukmu."

Tan Hong berpikir sebentar, segera ia berikan jawabannya.

"Baiklah, besok akan aku berangkat!" kata dia. "Sebenarnya aku berniat tidak akan kembali ke Watzu, akan tetapi untuk urusan ini, biar mesti menghadapi golok dan gergaji,akan aku pergi juga. Thaydjin, apakah aku harus pergi seorang diri?"
"Aku telah bicara dengan In Tiong untuk In Loei pergi bersama kau," sahut Ie Kokloo. "Aku dengar kamu berdua mempunyai kepandaian silat dengan pedang Siangkiam happek benarkah itu?"

"Itulah benar, selama ini belum pernah kami menemui lawan yang tangguh," jawab Tan Hong. "Hanya dengan dia turut bersama, itulah terlebih baik pula. Jadi bila kami, umpama kata bertemu musuh yang lebih tangguh, dapat kami menghadapinya."

Ie Kiam bersenyum. Itulah senyuman yang berarti...

Besoknya, Thio Tan Hong dan In Loei berangkat berdua. Mereka akan menempuh jarak yang jauh, hati mereka masing-masing terbuka sekali.

"Adik kecil," kata Tan Hong sambil tertawa di tengah jalan, ketika dulu kita berangkat dari Kangsouw menuju ke Pakkhia, kau pernah bicara dari hal sulitnya perjalanan yang sukar, sekarang kita berangkat menuju ke Watzu, perjalanan ini lebih jauh lagi..."

In Loei bersenyum.

"Toh ada harinya yang perjalanan itu dapat dilakukan hingga ditujuannya?" ia jawab.

Tan Hong tertawa, ia lantas bersenanjung: "Di dalam hidupnya, manusia tidak sedikit mengalami perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka orang mesti menerjang es melawan hawa dingin untuk melanjutkan perjalanannya itu. Demikian dengan kita sekarang ini, berapa banyak perjalanan sukar yang mesti dilintasi, dari itu, mana ada hari yang dapat di akhirkannya?..."

Hati In Loei bercekat. Mengertilah ia maksud kata-kata Tan Hong ini. Orang hendak minta supaya ia menjadi teman sehidup semati. Tentu saja ia bersyukur akan cinta orang itu. Akan tetapi hatinya menjadi ciut ketika ia ingat pesan atau permintaan kakaknya,untuk mana ia telah berikan janjinya. Maka ia merasa suram akan penghidupannya nanti.

Terpaksa, ia berpura-pura kurang mengerti. Ia pun paksakan diri untuk bersenyum.

"Oh, sioetjay kutu buku!" katanya, menggoda. "Sudahlah, jangan kau main bersenanjung saja! Jikalau kau tidak lekaskan perjalanan kita ini, apabila kita memperlambat hari, aku kuatir, sebelumnya kita tiba di Kwangwa, salju sudah akan turun secara besar-besaran! Kalau itu sampai terjadi, baharu benar-benar kita menerjang es dan melawan hawa dingin!...”

Tan Hong tertawa. Si nona pun tertawa.

Demikian tidaklah sunyi mereka di tengah perjalanan, cuma setiap kali si pemuda bicara tentang hari kemudian mereka berdua, si pemudi senantiasa mengelakkan diri.

Itu hari tibalah mereka di Yangkiok. Habis perang, kota menjadi sepi sekali, sebahagian dari toko-toko belum dibuka pula. Tapi Tan Hong girang juga ketika ia saksikan rumah makan di mana ia untuk pertama kali bertemu dengan In Loei, rumah makan itu masih mengibar-ngibarkan bendera mereknya.

"Adik kecil, masihkah kau ingat rumah makan itu?" dia tanya kawan seperjalanannya.
"Seumurku, tak nanti kulupakan itu!" sahut In Loei.

Tan Hong tertawa.

"Oh, adik kecil!" katanya dalam keriangan hatinya. "Bagus sekali, ingatanmu dan ingatanku ada serupa..."

"Ah, ingatan apa sih?" In Loei potong. "Tak dapat aku melupakannya yang di dalam rumah makan itu kau telah mencuri uangku, hingga hampir saja aku mendapat malu..."
Tan Hong tercengang. Itulah jawaban yang ia tidak harapkan. Tapi sebentar saja, atau ia sudah tertawa pula.

"Sudahlah, jangan kita adu mulut..." katanya. "Kita telah tiba di tempat yang lama, tak dapat kita melupakan kejadian-kejadian yang telah berlalu itu, marilah kita minum arak,untuk memuaskan hati kita. Adik kecil, kau jangan kuatir, kali ini akulah yang undang tetamu, tidak nanti aku membiarkan kau dahar pula tanpa membayar!..." Gembira In Loei mendengar orang menyebut-nyebut kejadian sudah lewat itu, ia lirik si anak muda, ia tertawa.

"Jikalau kau berani mengulangi mempertunjukkan kepandaianmu tangan liehay," katanya, "lihat, akan aku patahkan lenganmu..."

Kembali keduanya tertawa, mereka saling pandang.

Segera mereka sampai di depan rumah makan, keduanya turun dari kuda, untuk menambat binatang tunggangan mereka, habis mana, mereka bertindak masuk ke dalam rumah makan itu. Masih mereka saling lirik dan bersenyum.

Rumah makan itu tidak banyak tetamunya, ini pun menandakan akibatnya bahaya perang.

Tan Hong masih ingat tempat duduk mereka yang dulu, yaitu di meja di sebelah selatan yang menghadapi jendela, maka ia ajak In Loei ke meja yang dahulu itu. Ia lantas panggil jongos, untuk minta dua poci arak serta daging dua setengah kati. Begitu lekas arak disajikan, ia lantas saja tenggak tiga cawan.

"Dahulu ketika aku duduk minum seorang diri di sini," kata dia menimbulkan soal lama. "Kau juga ada bersendirian, adik kecil. Ingat benar aku itu hari, kau senantiasa melirik aku, tetapi sekarang, bagus sekali, kita sekarang berada berdua! Sekarang, adik kecil, tak usah lagi kau tiap-tiap kali mengalihkan pandanganmu kepadaku!...”

Jengah juga In Loei mendengar kata-kata orang itu. Tetapi ia tidak menjadi gusar karena ia tahu pemuda itu tengah bergurau.

"Bicara perlahan sedikit!" tegurnya. "Siapakah yang tiap-tiap kali melirikmu? Hari itu aku berpaling kepadamu karena tingkah polamu lucu dan juga ada orang jahat yang mengintai padamu tanpa kau mengetahuinya. Memang aku sering menoleh kepadamu,disebabkan tingkah lakumu itu! Hanya aku tidak menyangka, kau justeru hendak mempermainkan aku. Sudahlah, urusan lama jangan ditimbulkan pula. Bicara tentang itu, sekarang panas hatiku terhadapmu..."

Tan Bong bersenyum, ia menatap.

"Benarkah itu?" dia menegaskan, separuh main-main.

In Loei kewalahan.

"Ah, kau jail sekali!" katanya. "Buruk hatimu..."

"Eh, apakah itu benar?" tanya Tan Hong. "Kalau begitu, pastilah aku menjadi kakakmu sang busuk hatinya..."

"Sudahlah!" kata si nona, akhirnya. "Kalau tetap kau menggoda aku, nanti aku tak sudi bicara lagi denganmu..."

Tan Hong irup araknya. Ia tertawa pula.
"Aku ingat kedua penjahat yang hari itu mengarah aku," kata dia, "mereka itu duduk di situ, di sebelah timur..." Ia menoleh ke arah yang ia sebutkan. Di sana justeru duduk seorang imam yang jubanya hijau, yang romannya seperti bukan imam sembarang imam.

In Loei pun berpaling ke arah itu.

"Kali ini dia bukannya jahat!..." katanya sambil tertawa. Ia pun keringkan cawannya.

Di mulutnya, In Loei bilang tak ingin membicarakan soal-soal lama, akan tetapi sekarang ia berada di tempat dahulu itu, mau atau tidak, teringat segala, seperti berpeta apa yang mereka tampak dahulu itu. Begitulah ia ingat, dapat ia membayangkan saat-saat pertemuannya pertama kali dengan Tan Hong. Maka juga hatinya jadi bekerja.

"Dulu aku berkesan menjemukan terhadap dia, aku tidak sangka, sekarang dia menjadi sahabatku yang kekal," demikian ia berpikir. "Yang lebih-lebih aku tidak sangka, dia justeru musuh besarku. Koko-pun sangat membenci dia. Benar-benar di dalam hidup manusia terdapat banyak hal yang tak disangka-sangka semulanya..."

Kembali si nona ceguk araknya. Dengan jalan ini ia mencoba akan melenyapkan kenang-kenangannya itu, karena mana, dapat ia minum, dahar dan pasang omong dengan gembira bersama Tan Hong. Karena ini, tanpa merasa juga, ia telah tenggak beberapa cawan.

"Adik kecil," kata Tan Hong pula. "Lagi sepuluh lie dari sini adalah dusun Hektjio tjhoeng, maka itu, inginkah kau menemui mertuamu?"

In Loei melengak. Tidak ia sangka, sahabatnya ini menimbulkan soal itu. Maka ia lantas ingat pernikahannya dengan Nona Tjio Tjoei Hong dan apa yang terjadi pada malam pengantin itu. Tiba-tiba ia merasa lucu, hampir ia semburkan araknya. Ia tertawa.

Tan Hong bersenyum, ia mengawasi.

"Kasihan isterimu yang cantik itu, yang telah menantikan kau sampai hari ini," kata dia , romannya sungguh-sungguh. "Sekian lama dia tungkuli nama isteri kosong belaka...

Setelah sekarang habis perang, sudah selayaknya kau pergi menjenguk dia, supaya hatinya menjadi lega..."

Tergerak juga hatinya In Loei mendengar disebutnya Tjoei Hong. Ia jadi ingat cintanya Nona Tjio itu terhadapnya.

"Benar, sudah selayaknya aku pergi menengok dia," ia berpikir. "Hanya, perlukah aku membuka rahasia terhadapnya tentang diriku sendiri?"

Ia menjadi bersangsi. Dahulu ia suka menikah dengan Tjoei Hong karena terpaksa,untuk meloloskan diri, ia tidak nyana, nona itu demikian keras menyintai ia, ia dipandang sebagai suami yang benar-benar dapat diandalkan. Sekarang, setelah dapat pengalaman, lain lagi perasaannya. Ia tidak lagi seperti dulu, yang masih hijau. Dahulu ia anggap menyamar sebagai pemuda, habis perkara, tak pernah ia pikirkan akibatnya di belakang hari. Karena ini, ia angkat kepalanya, ia pandang Tan Hong.

Pemuda itu pun tengah mengawasi si nona, wajahnya seolah-olah berseri-seri...

"Eh, mengapa kau tertawa?" si pemudi menegur.

"Bukankah kau pun pernah menyamar menjadi wanita, malah hampir saja kau menikah dengan puterinya Yasian itu?"

Tan Hong tertawa.

"Aku belum sampai menikah!" katanya, menggoda pula.
"Sudahlah!" kata nona In akhirnya. "Mari lekas minum, habis kita pergi menengok dia,hendak aku menutur segala apa dengan terang kepadanya. Sayang kita sekarang tak ketahui Tjioe San Bin ada di mana..."

"Hai, kau lucu!" kata Tan Hong. "Urusanmu sendiri masih belum beres, kau sudah memikir untuk menjadi comblang! Sekarang aku tanya kau, kau hendak salin pakaian atau tidak? Awas, kalau nanti Nona Tjio lihat kau, bisa-bisa dia gerembengi pula padamu!..."

In Loei tunduk, memandang pakaiannya sendiri. Sejak berangkat dari kota raja, ia memang telah dandan pula sebagai satu pemuda. Ia menjadi tertawa sendirinya.

"Kau omong perlahan sedikit..." ia peringatkan pula sahabatnya itu. "Kau lihat, si imam agaknya memperhatikan kita..."

Tapi Tan Hong menyahuti seenaknya saja.

"Nah, mari kita berangkat!" kata dia kemudian, sambil berbangkit. Ia hendak mendahulukan membayar uang santapan mereka. "Aku tidak inginkan kau yang membayar!"

Ia sudah lantas merogo sakunya, atau mendadak ia menjadi melengak. Tangannya itu masuk ke dalam saku yang kosong — uangnya sudah terbang tanpa sayap! .

"Ah, toako, kembali kau godai aku!" katanya kemudian pada Tan Hong. "Lekas kau kembalikan uangku!" Sambil mengucap demikian, ia menoleh kepada si imam, siapa justeru sudah berdiri di sampingnya.

Tan Hong tidak menyahuti kawannya, hanya sambil berlompat bangun, ia terjang imam itu.

"Di kolong langit yang begini terang benderang kau berani menjadi bangsat?" ia mendamprat. Imam itu menangkis dengan sebat, enteng dan gesit gerakan tangannya.

"Hai, kau berani lancang memukul orang?" tegurnya.

In Loei terkejut melihat kesebatan orang itu. Memang luar biasa serangan Tan Hong yang dapat ditangkis secara demikian. Hampir ia lompat untuk membantui kawannya,baiknya dapat ia bersabar.

Tan Hong tidak berhenti karena tangkisan itu.

"Ah, kiranya kau satu ahli?" katanya, sambil menyerang pula. Ia berlaku sangat sebat,hingga dapat ia sambar apa yang ia arah, ialah kantong uangnya In Loei. "Apa kau hendak katakan sekarang?" dia tanya pula. "Di sini ada buktinya!" Imam itu melejit, tetapi Tan Hong sambar bajunya, hingga "Bret!" pecahlah ujung jubahnya.

Imam itu mencoba meloloskan diri dengan kelitan "Kimsian toatkok" atau "Tonggeret melepaskan sarung tubuhnya." Ia tidak pedulikan ujung jubah pecah, terus ia lompat ke jendela, untuk kabur.
Tuan rumah makan lihat orang lari.

"Eh, eh, uang makanmu!" dia teriaki. "Ada orang jahat! Ada orang jahat! Ia lantas berteriak-teriak pula.

Tan Hong buka kantong uangnya, untuk mengeluarkan sepotong perak, yang ia letakkan di atas meja.
"Semua akulah yang bayar!" dia kata kepada tuan rumah.
Potongan perak itu, meski dibayarkan sekalian pada uang makan si imam, masih ada kelebihannya, maka itu, girang tuan rumah itu, tetapi, ketika ia hendak haturkan terima kasihnya, Tan Hong sudah menarik tangan In Loei untuk diajak lari keluar dengan jalan melompati jendela juga! .

Itu waktu, sedikit sekali orang berlalu lintas di jalan besar, si imam terlihat tengah melarikan dirinya sambil menunggang kuda, dia sudah mulai keluar dari pintu kota.

Tan Hong lari kepada kudanya, terus ia lompat naik di bebokongnya.

"Mari kita kejar dia!" ia ajak In Loei. "Kantong uang telah didapat kembali, untuk apa melaya ni dia itu" In Loei tanya.

"Bukan begitu," kata Tan Hong. "Dia liehay, dia bukannya penjahat sembarang! Hendak aku selidiki tentang dirinya!"

Tjiauwya saytjoe ma pun segera meringkik dan kabur.

Menampak demikian, terpaksa In Loei larikan kudanya, untuk menyusul.

-ooo00dw00ooo

Kuda Tan Hong adalah kuda jempolan, kuda In Loei — hadiah dari Ie Kiam juga adalah kuda pilihan, maka itu, dalam sekejap saja keduanya sudah berada di luar kota kecamatan Yangkiok itu, lantas mereka candak si imam, yang telah melarikan kudanya.

"Berhenti!" teriak Tan Hong kepada imam itu.

Heran agaknya si imam, dia menoleh, tetapi segera dia tertawa besar.

"Kau tahu aku kekurangan uang untuk ongkos perjalanan, apakah kau hendak mengantarkan aku?" dia tanya, sikapnya wajar.

Tan Hong tidak pedulikan sikap orang berlagak pilon itu.

"Di rumah makan ada banyak orang, tidak merdeka untuk bicara di sana," ia jawab.

"Tootiang, apakah sampai di sini masih kau hendak bergurau?" Imam itu perlihatkan roman suram secara mendadak.

"Siapa main-main denganmu?" dia kata.

"Jikalau tootiang tidak main-main, aku minta kau memberi keterangan tentang dirimu kepadaku," Tan Hong minta.

"Selama hidupku aku mencopet, belum pernah aku gagal", berkata imam itu, "sayang hari ini, aku telah dipergoki kau. Uangmu telah aku bayar kembali, apa perlunya kau susul aku? Bukankah itu berarti bahwa kau, tuan besar yang mempunyai banyak uang, hendak mempermainkan aku? Hm, hm! Baik kau rasakan pedangku ini!"

Dia berkata dengan wajar, tidak mirip dia hendak bergurau, setelah itu segera dia hunus pedangnya, untuk lantas menikam dengan tikaman "Kimtjiam inshoa" atau "Jarum emas memimpin benang."

Tan Hong berkelit, atas mana, tiga kali ia diserang saling susul, hingga ia mesti terus-menerus mengegoskan diri, tetapi karena ini, ia lihat ilmu pedang orang mirip dengan ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam dari Boetong Pay. Ia menjadi heran.

Si imam masih tidak puas, masih ia keluarkan kata-kata yang tak sedap didengar.

"Kau andalkan kudamu yang keras larinya, apakah itu perbuatan satu enghiong?" (Enghiong = orang gagah, satu laki-laki).

Heran Tan Hong atas kelakuan orang yang jumawa itu.

"Mungkinkah dia hendak mencoba-coba ilmu pedangku?" ia dapat pikiran. Maka terus ia lompat turun dari kudanya, akan segera menjawab: "Baiklah, akan aku temani tootiang untuk beberapa jurus..."

Imam itu sudah lantas lompat turun dari kudanya, sambil berlompat, ia menghampiri si anak muda, maka itu, begitu menginjak tanah, ia bisa mendahului dengan tikamannya ke arah jalan darah hoenboen hiat dari Tan Hong.

Tentu saja anak muda itu menjadi mendongkol, karena ia kenali tikaman yang berbahaya itu, maka setelah menangkis dengan "Hengkee kimliang" atau "Melintangkan penglari emas," ia lantas membalas dengan "Kimtjiam hielong" atau "Kodok emas membuat main gelombang," disusul dengar dua tikaman lainnya, hingga si imam jadi kaget juga. Sebab ketiga tikaman itu mengarah bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya.

"Sungguh liehay!" dia berseru. Dengan gesit ia elakkan dirinya, habis mana, lagi sekali ia menyerang.
Diam-diam Tan Hong kagumi ilmu silat pedang orang itu.

"Dia jauh terlebih liehay daripada Siong Sek Toodjin," ia berpikir. "Ia mesti salah satu ahli silat dari Boetong Pay."

Oleh karena ini, Tan Hong lantas melayani terus dengan perhatian. Ia segera keluarkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee Kiamhoat-nya," maka berbareng dengan kelincahannya, kegesitannya, ia menikam dan membabat dengan berulang-ulang, ke segala arah, ke delapan jurus.

Imam itu melepaskan napas lega setelah ia dapat membela diri dari pelbagai serangan yang berbahaya itu, ia baharu hendak melakukan pembalasan, atau di luar dugaannya, si anak muda kembali menyerang padanya, dengan tikaman "Inheng Tjinnia" atau "Mega melintang di atas bukit Tjinnia" yang diubah menjadi sabatan "Soatyong Lankwan" atau "Salju menindih kota Lankwan."

Bukan kepalang kagetnya imam itu. Repot ia berkelit. Tidak urung, kopiah keimamannya tersabet juga hingga putus bahagian atasnya. Ia menjerit bahna kagetnya, ia mundur hingga beberapa tindak.

"Hai, pantas Siong Sek Soetee telah menderita kekalahan hingga dia bersumpah
tak hendak menggunakan pedang lagi!..." ia pun berseru. Mendengar seruan itu, Tan Hong ingat kepada Siong Sek Toodjin, yang diakui si imam sebagai soetee (adik seperguruan).

Siong Sek Toodjin adalah si imam yang telah membantu See To ayah dan anak mencoba merampas kudanya si anak muda, karena mana dia dikalahkan anak muda itu.

Maka anak muda itu jadi heran.

"Tootiang," ia menanya sambil menahan pedangnya, "adakah kau bermaksud menuntut balas untuk Siong Sek Toodjin?"

Imam itu tertawa berkakakan.

"Untuk urusan kecil itu aku hendak menuntut balas?" sahutnya. "Sungguh aku tidak kebanyakan tempo! Melihat kudamu, menyaksikan ilmu pedangmu ini, kau mestinya Thio Tan Hong. Syukur aku telah mencoba-coba kepadamu, jikalau tidak, pasti sekali kau akan jadi penasaran. Aku tanya kau, bukankah kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng?"

Tan Hong heran. Ia tetap tidak melanjutkan serangannya.

"Apa kau bilang?" ia tanya.

"Tidak apa-apa," jawab imam itu. "Hanya, kalau benar kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng, di sana kau tidak akan dapat menemui Hongthianloei!"

"Jikalau dia tidak berada di Heksek tjhoeng, habis di mana?" Tan Hong tanya.

"Dia berada di dalam pesanggrahan See To yang menjadi saudara angkatnya," si imam menjawab dengan keterangannya.

Persahabatan antara Tjio Eng dan See To memang kekal sekali, akan tetapi sejak Tjio Eng "menikahkan" puterinya dengan In Loei, persahabatan itu menjadi renggang. See To dan puteranya menjadi tidak senang, sebab mereka merasa diri mereka seperti dihina.

Mendengar keterangan itu, Tan Hong bersangsi.

"Benarkah keteranganmu ini, tootiang?" ia tegaskan.

"Untuk apa aku mendustai kau?" imam itu balik menanya. "Sekarang ini See To tengah mengundang banyak sekali orang-orang kaum Rimba Hijau, di antaranya termasuk pintoo,namun pintoo tak sudi memenuhi undangan itu. Pintoo telah menolak undangan dengan menuliskan penolakan itu di kaki gunung, habis itu pintoo lantas berlalu. Kebetulan saja di atas gunung itu, pintoo bertemu Tjio Eng."

"Bagaimana dengan anak perempuannya?" In Loei tanya. Ia campur bicara secara tibatiba setelah lama membungkam saja.

Si imam tertawa.

"Tentu saja ia berada bersama ayahnya!" sahutnya. "Eh, engko kecil, ada urusan apakah di antara kau dan mereka itu hingga kau menanyakan halnya si nona Tjio itu?"

"Aku mohon bertanya, tootiang, apakah gelaran mulia dari tootiang?" Tan Hong memotong In Loei, hingga kawannya tak sempat menjawab.

"Pintoo adalah imam dari Boetong San," sahut imam itu. "Namaku Tjek Hee."
"Oh, kiranya Tjek Hee Tootiang." kata Tan Hong. "Telah lama aku dengar nama
besar dari tootiang,"

Dengan mengatakan demikian, pemuda ini bukan cuma berlaku hormat menurut
keharusan, ia hanya omong dengan sebenarnya, sebab Tjek Hee Toodjin ini memang
salah satu imam kenamaan dari Boetong Pay.
"Masih ada satu hal yang pintoo dengar di tengah jalan," berkata pula imam dari Boetong San itu, "hanya entahlah kabar itu benar atau dusta..." "Kabar apakah itu,tootiang?" "Kabarnya ketika angkatan perang Watzu menduduki wilayah ini, See To ayah dan anak mempunyai perhubungan dengan tentera asing itu," terangkan Tjek Hee. "Inilah sebabnya kenapa pesanggrahan See To itu utuh hingga sekarang."

Tan Hong terperanjat. Inilah kabar penting, yang ia tidak sangka. Ia memang belum pernah dengar kabar itu.

"Bagaimana dengan Tjio Eng?" ia tanya.
"Sampai begitu jauh, pintoo tidak tahu," jawab Tjek Hee. "Sebetulnya pintoo berniat menyampaikan kabar mengenai See To itu kepada Tjio Eng, sayang ia selalu didampingi orangnya See To hingga pintoo tak mendapat ketika."

Tan Hong kaget hingga ia berseru sambil mencelat.

"Tootiang, terima kasih untuk kebaikanmu ini!" ia mengucap sambil menjura, setelah mana ia beri tanda kepada In Loei, terus ia lompat naik ke atas kudanya, lalu ia kaburkan binatang itu.

In Loei menurut, akan tetapi ia kurang mengerti.

"Bagaimana kau pikir tentang imam itu?" ia tanya.

"Menurut keterangan imam itu, mestinya See To dan anaknya itu mempunyai maksud tertentu dan mereka sedang mengatur tipu daya," jawab Tan Hong. "Mungkin mereka sedang pancing Tjio Eng supaya Tjio Eng terjebak. Imam itu mencoba kita selagi kita berada di rumah makan tadi, untuk mengetahui kita sebenarnya siapa, dengan perbuatannya itu ia rupanya hendak menunjukkan kita jalan supaya kita menolongi Tjio Eng." In Loei kaget juga.

"Apakah benar Tjio Eng tengah menghadapi bencana besar?" ia tanya.

Tan Hong tidak berikan penyahutannya, dia hanya berkata: "Karena kita mempunyai kuda yang keras larinya, mari kita pergi dahulu ke Heksek tjhoeng untuk melihat-lihat, apabila benar-benar Tjio Looenghiong tidak ada di rumahnya, kita mesti pergi terus kepada See To untuk membuat perhitungan."

In Loei tidak punya pikiran lain, ia menurut saja. Maka itu, keduanya kaburkan keras kuda mereka. Tidak sampai setengah jam, tibalah mereka di Heksek tjhoeng. Mereka tampak pintu pekarangan dipentang lebar dan dari sebelah dalam mereka dengar suara berisik campur aduk. Dengan lantas mereka hunus pedang mereka, untuk memasuki pekarangan.

Dua orang yang dandannya seperti tauwbak gunung muncul untuk menghalangi.

Tan Hong dan In Loei tidak sudi dirinya dirintangi, mereka serang kedua tauwbak itu.

Baharu dua tiga jurus, kedua perintang itu sudah kena dirubuhkan. Maka itu, keduanya lantas maju terus.

Suara berisik di dalam itu adalah suara pertempuran. Nyata Heksek tjhoeng sedang diserbu, dari sepuluh bagian penghuninya, hampir sembilan sudah tidak berdaya, mereka itu sudah terbelenggu. Tinggal beberapa di antaranya, yang mengerti silat, masih bertempur dengan sejumlah tiauwto.

Dengan memberi tanda kepada In Loei, Tan Hong lompat turun dari kudanya, untuk menerjang kawanan liauwlo itu, ialah serdadu gunung. In Loei lantas menuruti perintah itu. Kali ini mereka simpan pedang mereka, mereka gunakan tangan kosong.

Tidak ada perlawanan yang berarti dari rombongan liauwlo itu, belum sampai setengah jam, mereka sudah ditotok hingga semua mati kutunya. Di pihak lain, semua tjhoengteng sudah lantas ditolongi hingga mereka mendapat kemerdekaannya kembali.

"Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?" Tan Hong tanya satu tjhoengteng.

"Tadi tjhoengtjoe berangkat, belum ada setengah jam, lalu muncul kawanan penjahat ini," demikian tjhoengteng itu berikan keterangannya.

"Mulanya kami menyangka mereka adalah orang-orangnya See To, yang memang bersahabat dengan tjhoengtjoe, kami ijinkan mereka masuk. Di luar dugaan kami, mereka lantas menyerang. Kejadian ini adalah suatu hinaan untuk Heksek tjhoeng, kalau tjhoengtjoe nanti mendapat tahu, pasti jiwa mereka ini tidak akan diberi ampun!"

Tan Hong bebaskan satu tauwbak.

"Apakah Toh See To yang suruh kamu datang kemari?" ia tanya tauwbak itu. "Untuk apakah perbuatan kamu ini?"

Tauwbak itu berkepala batu, dia tidak mau bicara, dia membungkam saja.

Tan Hong bersenyum. Ia totok iga orang.

"Kau hendak bicara atau tidak?" ia menanya.

Mulanya si tauwbak cuma kaget, setelah itu barulah dia berjengit. Lekas sekali dia rasakan seluruh tubuhnya sakit, bagaikan ditusuki jarum. Tentu saja, tidak dapat dia berkepala batu terus. Sekarang ia minta ampun.

Tan Hong tidak segera melayani, ia hanya bersenyum kepada In Loei dan berkata:
"Tidak ada niatku untuk menyiksa dia ini, tetapi untuk menghadapi manusia hina semacam dia, rupanya tidak ada lain jalan lagi, hingga aku jadi tidak berdaya."

"Kami dititahkan See Tjeetjoe," tauwbak itu mengaku sambil menahan sakitnya. "Kami dititahkan menyerang Heksek tjhoeng, untuk kemudian mengangkut semua harta bendanya, guna dibawa pulang ke pesanggrahan kami. Kami pun dipesan untuk mengambil semua gambar lukisan dan jangan sampai ada yang tertinggal sehelai pun..."

Mendengar ini, Tan Hong lantas berpikir.

"Terang sudah, See To tidak saja hendak merampas harta benda," demikian pikirnya.

"Diapun menghendaki semua gambar, tentunya dia anggap peta bumi yang berharga itu mesti masih ada di dalam rumah ini. Yang aneh, kenapa dia juga ketahui tentang peta bumi itu?"

"Eh, toako, kau sedang pikirkan apa?" tanya In Loei, yang melihat orang berdiam saja, rupanya otaknya sedang bekerja.

"Benarlah apa yang dikatakan Tjek Hee Too-tiang," jawab Tan Hong. "Tidak salah lagi,See To telah berkongkol dengan bangsa Watzu." Ia lantas totok bebas si tauwbak, setelah mana, ia kata pada pengurus rumah Heksek tjhoeng: "Kau belenggu penjahat ini, tunggu sampai nanti tjhoengtjoe kamu pulang untuk mengambil putusannya."

Pengurus rumah itu terima pesan tersebut, atas mana tanpa berayal lagi, Tan Hong ajak In Loei larikan kuda mereka menuju Lioktjiang San, ialah bukit di mana See To berdiam, yang letaknya tidak berapa jauh dari Heksek tjhoeng, cuma kira-kira tiga puluh lie. Belum sampai setengah jam, tibalah mereka di bukit itu. Dari kaki bukit tertampak, pesanggrahan See To yang panjang dan berliku-liku bagaikan tubuh naga, kecuali bentengan, di situ pun terdapat banyak pohon kayu yang besar-besar dan tinggi. Maka itu, bagus letaknya bukit itu.

Setelah turun dari kuda mereka, Tan Hong dan In Loei bertindak mendaki.

"Siapa kamu?" begitu mereka ditegur satu /iauwlo, serdadu gunung, yang membuat penjagaan.

"Kami adalah tetamu yang diundang tjeetjoe kamu," sahut Tan Hong.

"Coba perlihatkan surat undangannya," serdadu gunung itu minta.

"Kau sambuti ini!" kata Tan Hong seraya mengangsurkan tangannya dengan cepat.

Liauwlo itu mengawasi, ia tidak lihat suatu apa, justeru ia hendak menanya lagi, tibatiba ia menjerit, tubuhnya lantas rubuh pingsan.

Tan Hong telah menyerang orang dengan jarum rahasianya, jarum mana apabila mengenai jalan darah, membuat orang tak sadar akan dirinya selama dua belas jam,sesudah itu, orang dapat mendusi sendirinya.

Dengan rubuhnya liauwlo itu, rintangan sudah tidak ada lagi, maka dengan menggunakan kengsin soet, ilmu entengkan tubuh, dengan pesat Tan Hong dan In Loei lari mendaki bukit Lioktjiang San itu. Mereka pun dapat melalui beberapa tempat jagaan lainnya. Di mana dapat, mereka menghindarkan diri dari /iauwlo-liauwlo penjaga itu, kalau tidak, Tan Hong terpaksa gunakan jarumnya untuk membikin orang tidak berdaya. Karena ini, dengan lekas mereka telah sampai di atas gunung.

"Tempat ini berbahaya, hati-hati!" Tan Hong pesan kawannya setibanya mereka di suatu bahagian bukit, di mana sudah tidak ada jalan lain kecuali, batu panjang yang melonjor bagaikan jembatan tunggal. "Mari kita maju terus!"

Pemuda itu bertindak di jembatan batu itu, In Loei mengiringi ia.

Baharu saja mereka sampai di tengah-tengah jembatan istimewa itu, lantas mereka dengar mengaungnya anak-anak panah, yang menyambar dari arah belakang mereka.

In Loei lantas hunus pedangnya, yang ia putar, untuk menjatuhkan setiap anak panah.

"Segala panah tidak keruan, apa gunanya?" kata dia sambil tertawa.

Kata-kata si nona belum habis diucapkan ketika dari samping, di antara batu gunung,
lompat seorang ke arahnya.

Tan Hong lihat orang itu, ia menyambut dengan pedangnya, tetapi segera ia merasakan tenaga orang yang besar, karena telapak tangannya dirasakan panas. Orang itu pun sudah lantas menaruh kaki di antara ia dan In Loei, yang mencoba menjatuhkan.

Dalam saat berbahaya itu, sekonyong-konyong Tan Hong menjerit tajam, tubuhnya menyusul terhuyung.

In Loei lihat keadaan kawannya itu, saking kaget, ia berteriak.

Orang yang baharu datang itu juga lihat Tan Hong, ia menyangka orang rubuh, ia menjadi sangat girang, cepat sekali ia angkat kakinya, untuk mendupak.
Tapi Tan Hong tengah menggunakan akalnya. Nampaknya ia hendak jatuh, tetapi sebenarnya, sebelah kakinya dipakai menyantel batu, berbareng dengan mana, sebelah tangannya terayun.

Orang itu kaget, terpaksa ia lompat kembali ke tempat asalnya.

"Lekas!" Tan Hong teriaki si nona, ia sendiri lantas lari, untuk mencapai lain tepi.

In Loei pun mengerti bahaya, ia lari mengikuti.

Baharu saja mereka tiba di lain tepi itu, orang tadi sudah lompat pula, akan menyusul mereka, sedang dari atas bukit terlihat datangnya beberapa orang lain, yang terus mengambil sikap mengurung.

Tan Hong lihat orang tadi liehay, ia waspada.

"Hai, kiranya kau!" teriak orang itu, yang agaknya kaget.

"Hm, kiranya kau!" Tan Hong pun perdengarkan suaranya.

Tadi mereka belum melihat tegas satu dengan lain, mereka tidak segera saling mengenali, sekarang mereka berdiri berhadapan, mereka sudah lantas melihat nyata.

Orang itu adalah Ngochito, pahlawan nomor satu dari Yasian. Selama itu, ia tahu kegagahan orang. Memang, di Watzu, Ngochito cuma berada di bawahan Tantai Mie Ming.

"Adik kecil!" Tan Hong serukan kawannya, "menangkap berandal mesti membekuk rajanya dulu, maka mari kita bereskan dia ini!"

In Loei mengerti, dari itu ia lantas maju. Maka itu, dalam sesaat saja, Ngochito telah dikepung berdua, malah dua batang pedang segera menyerang ke arah mukanya. Dia menjadi gusar, sambil berseru, dia menangkis. Tapi kesudahannya, dia menjadi kaget sekali. Tahu-tahu, pedangnya terkutung menjadi tiga potong! .

"Hai!" dia berseru sambil lompat kepada kawan-kawannya, untuk meminjam pedangnya, dengan apa dia membuat perlawanan terlebih jauh. Hanya kali ini, tidak berani dia mengadu pula senjatanya. Dia berkelahi dengan menggunakan ilmu silat pedang Hongloei kiam, hingga pedangnya itu, di samping suaranya mengaung, pun berkilauan bagaikan kilat menyambar-nyambar.

"Bagus!" seru Tan Hong, yang kagum melihat ilmu silat orang itu. Tapi ia tidak gentar,bersama In Loei, ia menyerang terus.

Ngochito selalu menghindarkan pedangnya, tetapi tidak urung, ia terdesak juga. Ia kaget sekali ketika runce dari kopiahnya terbabat pedang lawan. Dasar ia licin, dapat ia meloloskan diri dari ancaman bahaya maut.

Tan Hong pun kagumi kegesitan orang itu.

Pertempuran berjalan terus. In Loei penasaran, ia menyerang dengan hebat. Langsung pedangnya menikam ke arah uluhati. Berbareng dengan itu, pedang Tan Hong membabat ke bawah. Seperti sudah diketahui, pedang mereka berdua selalu bekerja sama,senantiasa menyambar ke sasarannya masing-masing. Untuk itu, tak usah mereka memberi isyarat lagi satu dengan lain, mereka bagaikan sudah berlatih sempurna.

Sedetik itu, Ngochito jadi terkurung sinar pedang, dia terancam kebinasaan. Dia mesti melindungi dadanya, atau kakinya. Untuk melindungi kedua-duanya, sulit. Dia mesti memilih.

"Biar aku terbinasa, tak sudi aku menerima malu berkaki kutung..." demikian ia memilih. Maka itu dia lompat mundur sambil menangkis pedang In Loei.
Di saat yang sangat berbahaya itu bagi Ngochito, mendadak In Loei dengar sambaran angin ke arahnya, dengan cepat ia berkelit, maka dengan sendirinya pedangnya tak mengenai sasarannya. Di antara satu suara nyaring, Ngochito juga menjerit dengan tubuhnya mencelat jatuh kira-kira satu tombak!

"Berhenti!" demikian tiba-tiba satu suara nyaring sekali, menyusul mana satu orang, yang mukanya bertopeng, muncul di antara mereka. Dia mempunyai mata yang sinarnya mencorong tajam. Dialah yang telah menolongi Ngochito itu.

Semua telah terjadi dengan sangat cepat. Pedang Ngochito terbabat kutung. Ia sudah mencoba berkelit, tidak urung ujung kakinya terluka juga. Untung baginya, jiwanya telah tertolong. Dengan napas tersengal-sengal, ia berdiam di samping mereka itu.

"Djiewie," berkata si orang bertopeng, "karena kamu telah datang berkunjung, harap kamu mentaati undang-undang kita kaum kangouw. Silakan djiewie datang dahulu ke dalam pesanggrahan, janganlah tidak keruan-keruan kamu bertempur."

Tan Hong dan In Loei mesti kagumi kepandaian orang ini, yang dapat menolongi Ngochito di saat pahlawannya Yasian itu terkepung sepasang pedang yang liehay.

"Heran, kenapa See To ayah dan anak mendapat kawan segagah ini?" kata Tan Hong dalam hatinya. Karena ini ia mendapat firasat bahwa usaha mereka berdua hari ini berjalan kurang lancar...

"Katakan, kau orang Ouw atau orang Han?" sekonyong-konyong In Loei tegur si orang bertopeng itu. Sudah sekian lama, baharu kali ini ia buka mulutnya.

Orang yang ditegur itu melengak.

"Apakah artinya pertanyaan kau ini?" dia balik menanya.

"Melihat romanmu, kau adalah orang Han," kata In Loei, "tetapi kau justeru membantui bangsa Ouw! Mungkinkah kau juga tahu malu, maka itu kau menutupi mukamu dengan topeng?"

Tiba-tiba saja orang itu menjadi murka sekali, dengan mendadak ia mencelat maju,untuk serang si nona secara sangat hebat.

Tan Hong tahu musuh liehay, ia waspada. Demikian, atas serangan orang ini kepada In Loei, ia mendahului si nona turun tangan. Ia bukannya menangkis, ia hanya menyerang.

Dalam hal ini, ia tidak menyerang sendirian. Sebab juga In Loei, yang awas dan sebat,sudah menyerang juga sambil menangkis. Maka kedua pedang kembali bekerja sama,satu menuju ke kiri, yang lain ke kanan, mengarah kedua pundak si orang bertopeng itu.

Hebat si orang bertopeng itu, masih ia dapat melindungi dirinya, sesudah mana ia pun membalas menyerang pula. Ia bersendirian, tetapi agaknya ia seperti berdua, karenanya,ia dapat melayani pemuda dan pemudi itu dengan baik! Tetapi selewatnya jurus ketiga,mulai ke empat, lalu ke lima, ia nampak tak begitu leluasa lagi bergeraknya, dan akhirnya,ia segera terdesak.

Ilmu pedang siangkiam happek dari Hian Kee Itsoe, yang diciptakannya dengan susah payah, sesudah suatu pemusatan pikiran yang lama, merupakan satu karya yang istimewa.

Setelah ia peroleh tempo yang senggang, dengan tertawa dingin, In Loei berkata kepada lawannya yang tidak dikenal itu: "Satu penghianat atau dorna, setiap manusia berhak membunuhnya, maka itu kami dengan kau, perlu apa kami bicara lagi tentang aturan kaum kangouw?"
Teguran ini disusul dengan tiga kali desakan, yang membuatnya musuh mundur terus,sebab dia kewalahan untuk membuat perlawanan terlebih jauh, dia cuma masih sanggup melindungi dirinya sendiri, agaknya habis sudah daya pembalasannya.

"Adik kecil, tahan!" sekonyong-konyong Tan Hong perdengarkan suaranya.

"Untuk apakah?" si nona balik menanya.

"Orang ini melawan kita dengan sepasang kepalannya, dia dapat bertahan sampai sepuluh jurus lebih, dia terhitung juga satu hoohan," kata Tan Hong, "maka itu, jikalau dia sampai terbinasa, pasti dia tidak puas. Baiklah, mari kita ikut dia masuk ke dalam untuk melihat-lihat!"

Tidak setuju In Loei dengan sikap kawan ini, akan tetapi mereka bicara di muka musuh,ia terpaksa mengiringi. Tidak baik untuk berselisih dengan kawan sendiri di saat seperti itu. Ia tidak tahu, dengan menunda pertempuran, Tan Hong tengah pikirkan lawannya ini,untuk menduga-duga siapa dia sebenarnya, sebab setelah belasan jurus itu, tidak peduli ilmu silat musuh agaknya luar biasa, ia mulai dapat mengendus...

Setelah pertempuran ditunda, si muka bertopeng mengawasi kedua anak muda itu.

"Siapakah yang mengajar kamu ilmu silat pedang ini?" tanyanya kemudian dengan tibatiba.

"Pantaskah kau menanyakan tentang guruku?" balas In Loei dengan jumawa.

Kelihatannya orang bertopeng itu gusar sekali, mungkin dia hendak mengumbar hawa amarahnya itu dengan menyerang pula, akan tetapi lekas juga ia dapat kuasai dirinya, maka ia cuma perdengarkan suara "Hm!" Ia kata: "Anak kecil, kau belum tahu apa-apa,sebentar kau lihat!"

Lantas dia pimpin mereka masuk ke dalam pesanggrahan, sampai di ruang Tjiegie thia,yang besar dan luas, mirip dengan suatu tempat untuk berlatih silat, di sana pun telah berkumpul banyak orang kangouw. Luar biasa sikap orang-orang kangouw ini, atas kedatangan Tan Hong bertiga, mereka perlihatkan sikap tidak memperhatikan, malah sama sekali tidak ada yang melirik.

Segera juga In Loei lihat Tjio Eng dan gadisnya terkurung di tengah-tengah, dan Tjoei Hong sudah lantas mengawasi padanya, dari wajahnya, nona itu seperti heran, girang dan penasaran, ketika ia hendak membuka mulutnya, ayahnya, yang melihat mereka, telah mendahuluinya.

"Hiansay, kau juga datang kemari?" demikian mertua itu menanya sambil memanggil baba mantu (hiansay). "Kau tahu, urusan di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kau!"

Tan Hong bersenyum, ia mendahului In Loei menyahuti.

"Dengan dia tidak ada sangkut pautnya, denganku tentu ada!" sahutnya. Lalu ia maju terus, akan dekati Tjio Eng itu di samping siapa ia jatuhkan diri untuk duduk. See To perlihatkan roman gusar.

"Bagus!" serunya. "Kau hendak mencampuri urusan kita, itulah paling bagus!"

Selagi sang ayah murka, See Boe Kie, putera-nya, mendongkol bukan main, dengan mata mendelik, ia awasi In Loei, agaknya ia ingin telan nona itu. Apakah karena nona Tjio tak dapat menjadi isterinya, hingga ia sangat membenci In Loei yang dipandang telah merampas kekasihnya itu?
"Tjio Looenghiong, sebenarnya urusan ini urusan apakah?" Tan Hong tanya jago she Tjio itu.

Belum lagi Tjio Eng memberikan jawabannya, See To sudah mendahului.

"Tjio Toako, siapa kenal selatan, dialah si orang gagah!" demikian orang she See ini,suaranya nyaring. "Sekarang ini sudah habis takdir kehidupan dari kerajaan Beng, sedang tentang Kerajaan Tjioe yang besar dari Thio Soe Seng tak usah lagi dibicarakan! Bilakah Toako pernah menyaksikan abu api yang telah padam hidup pula? Maka itu kenapa kau hendak mati-matian menjadi budak orang, untuk melindungi harta bendanya?"

Tjio Eng adalah satu laki-laki, dia pun bertabeat keras, maka itu, gusar ia diperlakukan demikian rupa, tapi masih ia mencoba untuk mengatasi dirinya. Maka itu, ia cuma tertawa dingin.

"Kehendakmu, kita harus menjadi budak bangsa Watzu?" ia tanya.

Muka See To menjadi merah, dia sangat jengah, tetapi dia paksakan diri untuk tertawa.

"Toako, bukan itu yang aku maksudkan," sahutnya, lemah.

"Habis apa yang kau hendak maksudkan?" tanya Tjio Eng keras.

"Kau keluarkan gambar lukisan," jawab See To, "lantas kita pergi mencari tempat menyimpan harta dari Thio Soe Seng, sesudah kita mendapatkannya, justeru dunia tengah kacau ini, kita terus melakukan sesuatu yang besar. Umpama kata kita tidak pergi mengandal kepada bangsa Watzu, kita pun dapat mengangkat diri sendiri menjadi raja!"

"Siapa kata aku punya gambar lukisan yang kau maksudkan itu?" tanya Tjio Eng."Katakan! Lekas katakan!"

Sebagai ketua dari kaum Rimba Persilatan dari dua propinsi Shoatang dan Siamsay,walaupun ia berada di dalam pesanggrahan musuh — artinya ia tengah dikurung — Tjio Eng tidak menjadi jeri, ia tetap gagah. See To terkesiap ketika ia melihat sinar mata orang yang tajam, hingga ia membungkam.

"Akulah yang memberitahukannya!" tiba-tiba terdengar satu suara keras tetapi serak."Habis, apa yang kau kehendaki?"

Tjio Eng segera berpaling untuk memandang si suara serak itu. Ia lihat seorang bermuka bengkak yang kulitnya matang biru, romannya kasar dan kedua matanya bersinar tajam.

"Kau siapa?" bentak Tjio Eng, yang sangat murka, sambil menuding.

Tan Hong tertawa dingin, tidak tunggu sampai orang membuka suara, ia telah mendahului. Ia kata: "Dialah Ngochito, pahlawan nomor satu di bawahan Yasian! Aku toh tidak salah, bukan?"

Ngochito itu gagah tetapi tabeatnya keras, dia tidak kenal gelagat, melayani Tan Hong dan In Loei, mukanya hingga bengkak dan matang biru. Ia tidak sabaran mengawasi tingkah polanya See To itu, dia tidak mau pikir, mungkin See To mempunyai kesangsiannya sendiri. Maka itu, mendengar suara Tan Hong, dia turuti hawa amarahnya.

"Tidak salah katamu!" dia menjawab dengan jumawa. "Angkatan perang kami bangsa Watzu gagah perkasa, dengan kami mengundang kamu bekerja sama, itu tandanya kami telah menghormati kamu! Bocah, jikalau kau tidak puas, mari kita bertempur satu dengan satu, untuk kau lihat kesudahannya!"
Kata-kata ini separuh menyindir See To, yang dianggapnya bernyali kecil, sedang terhadap Tan Hong adalah tantangan, karena dia ingin membalas.

Sementara itu, dengan datangnya Tan Hong, suasana telah mulai berubah sendirinya.

Yaitu, kecuali konco sehidup semati dari See To serta mereka yang telah dapat dibeli atau dibujuk, yang lainnya mulai tawar hati untuk menjual tenaga mereka bagi orang she See ini. Mereka pun tertarik oleh sikap jantan dari Tjio Eng.

Tjio Eng tidak puas terhadap kejumawaan orang, dengan mata mendelik, ia berbangkit. Ia kibaskan tangan bajunya. Sebenarnya hendak ia membuka suara, atau Tan Hong mendahuluinya.

"Percuma saja kamu bercape hati!" berkata si anak muda. "Untuk sehelai gambar lukisan, kamu sudah pancing Tjio Looenghiong datang kemari, berbareng dengan itu,kamu pun sudah merampok habis-habisan rumah orang! Aku mengatakannya percuma,sebab kamu tidak memperoleh hasil apa jua! See To, kau adalah satu tjeetjoe yang kenamaan, kau adalah satu laki-laki, tetapi kau melakukan perbuatan sebagai tikus dan anjing bangsat, tak takutkah kau nanti ditertawai manusia sekolong langit?"

Dengan menegur See To, Tan Hong tak gubris Ngochito.

Tjio Eng kaget. Baharu sekarang ia tahu yang rumahnya telah dirampok. Maka dengan tiba-tiba saja ia keprak meja, hingga ujungnya rusak. Ia pun berseru: "Di jaman dahulu,orang memutuskan persahabatan dengan memotong tikar, maka sekarang aku melakukannya dengan merusak meja! See To, bangsat tua, di sini aku putuskan perhubungan kita sebagai saudara angkat! Ingat, jikalau kau masih hendak paksa aku,maka aku tidak akan sungkan-sungkan lagi!"

Muka See To menjadi merah dan biru bergantian. Tentu saja ia menjadi sangat gusar dihina dihadapan kawan dan lawan, hingga ia ambil putusan nekat.

"Tua bangka she Tjio!" ia pun berteriak, "jikalau hari ini kau tidak serahkan gambar lukisanmu itu, jangan kau harap bisa keluar lagi dari pesanggrahanku ini!"

Lalu, dengan kibaskan tangannya, tjeetjoe ini berniat melakukan kekerasan.

Dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata, Tan Hong hunus pedangnya,tetapi ketika ia menghalang di depan Tjio Eng, ia tidak gunakan pedangnya itu, hanya dengan lengannya, ia bentur See To hingga tuan rumah ini terpelanting setombak lebih.

Menampak itu, koncoh-koncoh See To menjadi murka dan berseru-seru, hingga suaranya menjadi sangat berisik, tetapi ketika mereka hendak maju, untuk turun tangan,tiba-tiba mereka merandak.

Tan Hong, menyekal pedang dengan tangan kanan, dan dengan tangan kiri ia mengeluarkan gambar lukisannya, untuk dipertontonkan. Terus ia tertawa terbahakbahak.

"Siapa yang menghendaki gambar lukisan ini, mari datang padaku!" katanya dengan nyaring. "Aku adalah pemilik dari gambar lukisan ini! Hanya hendak aku jelaskan, dengan mendapatkan gambar lukisan ini, bagi kamu sudah tidak ada harganya! Kamu tahu, harta pendaman itu berikut petanya, telah siang-siang aku dapatkan, sudah aku bongkar! Malah aku telah menyerahkannya kepada Kaisar Beng yang sekarang ini!"

Mendengar itu, seluruh pesanggrahan menjadi heran. Orang tidak tahu siapa anak muda ini, karenanya orang sangsikan kebenaran perkataannya itu. Maka itu,pesanggrahan menjadi sunyi senyap.
Dalam kesunyian yang mengandung ketegangan itu, tiba-tiba terdengar satu suara tertawa dingin, disusul dengan kata-kata nyaring dari orang yang tertawa mengejek itu:
"Thio Tan Hong, siapakah yang kau hendak dustakan?"

Semua mata diarahkan kepada orang yang berani membuka suara itu. Dialah Tjitjiangho, juga pahlawan dari Yasian, cuma dia tidak sering berada di dalam pasukan tentera seperti Ngochito, maka sedikit orang yang mengenal padanya. Sebagai orang kepercayaannya Yasian, tidak heran dia mengenal Tan Hong.

Ngochito heran mendengar perkataan rekannya itu.

"Apa?" katanya sambil menatap Tan Hong. "Kau puteranya Yoesinsiang Thio Tjong Tjioe? Kalau begitu, sungguh kebetulan! Memang Thaysoe sedang mencari padamu! Nah, mari lekas kau ikut aku pulang!"

"Aku pun justeru hendak menghadap Thaysoe kamu itu!" jawab Tan Hong. "Hanya tak ingin aku pulang bersama kau! Aku adalah rakyat Tionggoan, siapa kesudian bekerja untuk negeri Watzu?"

Tjitjiangho heran.

"Keluargamu dengan pihak Beng dari keluarga Tjoe adalah musuh turunan," katanya,"sekarang kau telah mendapatkan harta pendaman dan peta buminya, kenapa kau justeru serahkan itu kepada musuh? Mana ada aturan itu? Sekarang begini saja: Harta pendaman itu adalah kepunyaanmu, kami tidak inginkan itu, kau serahkan saja peta buminya kepadaku, supaya dapat aku persembahkan kepada Thaysoe1. Kau baik jangan bergurau lebih lama pula..."

Tan Hong tidak gubris bujukan itu. Sambil menaruh sebelah kakinya dikursi, ia kibarkan gambar lukisan itu. Ia bersikap menantang.

"Siapa main-main dengan kau?" katanya. "Jikalau kau punya nyali, nah, kau ambillah sendiri!"

Tjitjiangho ragu-ragu, tidak berani ia maju untuk merampas gambar lukisan itu. Juga beberapa pahlawan Mongolia lainnya, yang menyamar tidak berani sembarangan perlihatkan diri. Demikian juga kawan-kawannya See To, baik yang telah berubah pikirannya, maupun yang hendak membela mati-matian, bersangsi juga untuk maju, yang pertama disebabkan hatinya sudah tawar, yang belakangan karena jeri untuk keberanian Tan Hong itu.

Tjoei Hong sementara itu senderkan diri pada In Loei.

"Sejak kita berpisah, apakah kau memikirkan aku?" ia berbisik di kuping "suaminya" itu.

"Lihat, orang banyak tengah mengawasi kita!" sahut In Loei dengan perlahan. "Aku kuatir hari ini kita sukar lolos dari kematian, tetapi kenapa kau masih mempunyai hati untuk berbicara demikian terhadapku?..."

Memang pesanggrahan itu telah dikurung tiga lapis sedang Tjio Eng cuma ada berempat. Tapi Tjoei Hong tidak pedulikan itu.

"Sudah hampir satu tahun aku berduka saja," katanya pula, tetap dengan perlahan,"maka kalau aku tidak bicara sekarang, sampai kapan hendak aku menunggunya? Hari ini aku tidak peduli kita akan dapat lolos atau tidak, jikalau aku mesti mati, dengan mati bersama kau, hatiku puas..."

Tjoei Hong dengan In Loei adalah suami isteri, tetapi itu cuma nama saja, hal yang sebenarnya nona Tjio tidak ketahui, maka itu, selagi mereka sudah lama berpisah, tidak heran dia sangat memikirkan suaminya itu, dari itu setelah sekarang mereka bertemu,mana sanggup dia menahan hatinya terlebih lama pula? Demikianlah, di ruangan di mana terdapat banyak orang, dia bertingkah laku seperti anak kecil...

Sedang In Loei kewalahan melayani "isterinya" itu, tiba-tiba ia lihat lompat maju dua orang ke arah Tan Hong. Mereka bertubuh besar dan kasar. Mereka kawan-kawan dari See To, mereka pernah meyakinkan ilmu silat "Taylek Sinkoen," dari itu, hebat kepalan mereka. Mereka lihat Tan Hong muda dan tubuhnya biasa, mereka tidak memandang mata. Begitulah mereka maju, yang satu berniat menyambar lengan orang, untuk dibikin tidak berdaya, yang lain berniat merampas gambar lukisan.

Tan Hong lihat cara orang itu maju, ia gerakkan pedangnya. Cuma satu sinar berkelebat, atau penyerang yang satunya itu berkaok, terus dia rubuh pingsan, sebab sebelah tangannya kutung. Sedang kawannya, dia rubuh terjungkal didupak si anak muda,hingga patahlah tulang-tulangnya!.

"Sungguh tidak punya malu!" teriak Tan Hong. "Kamu hendak merebut kemenangan dengan mengandalkan jumlahmu yang banyak? Hm!"

Mukanya See To kembali jadi merah padam, tetapi di dalam hatinya, ia kata: "Dalam keadaan seperti ini, siapa hendak pedulikan lagi segala aturan kaum kangouw?" Ia hendak berikan titahnya ketika si orang bertopeng, yang tadi menolongi Ngochito, sudah perdengarkan suaranya: "Bagus, bagus!" demikian katanya. "Hari ini udara bagus, tepat waktunya untuk melempangkan urat-urat! Bertempur satu sama satu, itulah paling bagus!".

Suara orang itu nyaring bagaikan suara genta, menderum di dalam ruangan itu.

Tergerak hati See To melihat sikap dan mendengar suara orang itu, ia lantas perhatikan tubuhnya, di dalam hati kecilnya ia berkata: "Dengan bertempur satu lawan satu, dia pasti dapat membikin musuh-musuhnya mati lelah..."

Dalam suasana seperti itu, Tjoei Hong buktikan kata-katanya. Ia tetap menyender kepada In Loei, masih ia perdengarkan kata-katanya yang halus. Adalah waktu itu, See Boe Kie, puteranya See To, memajukan diri. Dia berlompat sambil menggerakkan kedua tangannya, sikapnya jumawa.

"Aku undang In Siangkong untuk main-main beberapa jurus!" demikian pemuda ini perdengarkan suaranya, langsung ia tantang In Loei, orang yang ia paling benci. Ia menjadi sangat panas karena menyaksikan lagaknya Nona Tjio itu, hingga tak berkuasa lagi ia atas hawa amarahnya.

In Loei lepaskan diri dari Tjoei Hong, ia hunus pedangnya, pedang Tjengbeng kiam.

Selama di Heksek tjhoeng, di dalam rimba pohon cemara di luar kampung, pernah In Loei tempur See Boe Kie maka tahulah ia, walaupun Boe Kie benar gagah, orang tidak berada di atasannya, karenanya, ia tidak jeri sedikit pun jua. Hanya kali ini, See Boe Kie telah kerahkan tenaganya, dia perlihatkan kekosenannya, dengan tangan kirinya ia mengancam, dengan tangan kanannya ia menyerang secara hebat. Itulah serangan yang luar biasa.

In Loei berkelit dengan tipu silat "Toatpauw djiangwie,"="Membuka jubah untuk menyerahkan kedudukan." Ia menggeser ke samping kanan, pundaknya diturunkan,sesudah mana, baharulah ia menyabet, untuk membalas menyerang.

"Kena!" teriak Boe Kie selagi ia menyerang itu.
Hebat kesudahannya serangan itu. In Loei lompat mundur, ia merasa heran. Boe Kie pun mundur, tetapi darah mengucur dari kakinya, sebab celananya kena tersabet robek, kulitnya terkena ujung pedang!.

In Loei heran, karena kepandaian orang beda daripada yang sudah-sudah. Ia tentu tidak tahu, setelah kekalahannya di Heksek tjhoeng, Boe Kie sudah mencari seorang Biauw dari siapa ia peroleh ilmu pukulan Imyang Toksee Tjiang, Tangan Pasir Beracun, hingga siapa terkena telak, di dalam tempo tujuh hari, dia mesti terbinasa. Syukur bagi In Loei, ia gesit sekali, ia keburu berkelit, kalau tidak, ia bisa celaka.

Adalah karena kegesitannya itu, ia pun dapat mengarahkan pedangnya pada sasarannya.
See Boe Kie menjadi gusar dan kalap. Ia terluka tetapi tidak parah, maka itu, setelah berkaok-kaok, ia lompat maju pula, untuk mengulangi serangannya.

In Loei cerdik karena pengalamannya yang pertama itu, tidak mau ia sembarang menikam atau menyabet, untuk melayani lawan yang liehay itu,ia perlihatkan kelincahannya,ia berkelit, ia berputaran di sekitar lawannya itu.

Dalam sekejap saja, Boe Kie seperti dikurung si nona, sama sekali tak berhasil pelbagai serangan dengan tangan jahatnya itu, jangan kata mengenai tubuh si nona, bajunya pun tidak pernah tersentuh. Maka itu, sesudah dua puluh jurus, ia menjadi bimbang. Insyaflah ia bahwa ia bukan lawan si "pemuda", di lain pihak, tidak sudi ia menyerah, ia penasaran sekali. Karena itu, ia ambil keputusan sama-sama bercelaka. Ia ingin berlaku nekat! .

Segera datang serangannyaa yang liehay, yaitu "Shiapek Hoasan," atau "Dari samping menggempur gunung Hoasan." Ia bersedia mengorbankan sebelah lengannya, asal serangannya berhasil, supaya In Loei terkena racun tangannya itu, supaya saingan itu menemui ajalnya dalam tempo beberapa hari! .

In Loei cerdik, ia dapat menduga maksud lawannya apabila ia saksikan serangannya. Ia lantas bergerak dengan cepat dengan tipu silat "Hong tiamtauw" atau "Burung Hong manggut." Dengan sebat ia balikkan pedangnya, guna memapaki tangan musuh! Di saat pedang dan lengan hampir beradu, dan lengan yang akan terkutung atau tangan jahat mengenai In Loei, tiba-tiba seorang mencelat di samping mereka, tangan kirinya menarik, tangan kanannya menyambar, dalam saat yang berbareng itu, Boe Kie kena ditarik, In Loei diserang pada nadinya. Orang ini luar biasa, tubuhnya jangkung kurus bagaikan sebatang gala, ke sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan hitam
mengkilap.

Sambil melakukan gerakan itu, dia tertawa menyeramkan, mulutnya mengucapkan: "Babah mantu yang manis dari Tjio Tjhoengtjoe benar-benar liehay, biarlah aku yang melayani dia beberapa jurus!"

Orang itu tidak lain daripada gurunya See Boe Kie, yaitu si orang Biauw yang bernama Tjek Sin Tjoe. Dia adalah orang dari propinsi Koeitjioe, dia pesiar ke Utara, maka juga orang Utara, dalam sepuluh, sembilan tidak mengenal dia.

Segera juga In Loei mesti melayani orang Biauw ini.

Tjek Sin Tjoe betul-betul liehay, dia gagah sepuluh kali lipat daripada See Boe Kie. Di antara berkilaunya pedang, tubuhnya bergerak-gerak lincah sekali, kadang-kadang masih dapat ia ulur jari-jari tangannya yang liehay untuk menyambar tubuh si nona. Seringkah,karena gerakan tangannya, tulang-tulangnya di bahagian buku perdengarkan suara meretek.
In Loei heran terhadap musuhnya ini, ia berlaku sangat hati-hati. Ia mainkan pedangnya demikian rupa, hingga ia lebih banyak membela diri daripada melakukan penyerangan. Ia menganggap, melindungi diri adalah paling utama.

Sekian lama Tjek Sin Tjoe tidak peroleh hasil, dia menjadi tidak sabar. Satu kali dia berseru keras, lantas kedua tangannya menyambar-nyambar dengan cepat dan hebat,sampai sambaran anginnya mendatangkan hawa dingin.

In Loei menjadi heran sekali. Beberapa kali ia rasakan pedangnya tersampok miring atau terpental sedikit. Tapi yang menguatirkan adalah ketika ia merasa hatinya bagaikan goncang, hati itu panas seperti orang memancing hawa amarahnya. Waktu ia sadar, ia bersikap membela diri saja, tapi selang lima puluh jurus, tak dapat ia kuasai pula dirinya,ia sudah lantas mencoba untuk membalas menyerang juga.

Nyatalah Tjek Sin Tjoe telah menggunakan tipu silat Imhong Toksee Tjiang, "tangan pasir beracun" dibarengi angin yang menyeramkan. Sambaran angin itu, yang sangat dingin, meresap ke dalam tubuh lawan, dengan perlahan-lahan hawa dingin itu mempengaruhi pikirannya, mengganggu urat syarafnya. Memang maksud orang Biauw ini memancing serangan membalas supaya selagi hati lawan panas, ia dapat merebut kemenangan. In Loei kirimkan satu tusukan ke arah dada, cepat dan langsung.

Nampaknya Tjek Sin Tjoe akan menjadi korban, tidak nanti dia dapat menghindarkan diri pula. Mendadak dia berseru, tubuhnya lompat mencelat, lalu dari atas, dia ulurkan kedua tangannya, untuk menyengkeram dengan sepuluh jarinya.

Tjoei Hong menonton sejak tadi, dia kaget melihat serangan itu, sampai dia menjerit,hampir dia pingsan.

Hebat akibat kedua orang yang saling menyerang secara dahsyat itu, hebat juga tertawanya para hadirin di pihak tuan rumah. Mereka ini menyangka, selesai sudah pertempuran itu. Tetapi akhirnya, mereka semua berdiri melengak.

In Loei dan Tjek Sin Tjoe telah memisahkan diri sejauh satu tombak. Tidak keruan baju orang Biauw itu, karena baju itu robek di bahagian pundak. Kekasih Tjoei Hong juga tidak kurang "rusaknya," dapat dikatakan lebih-lebihan. Saputangan In Loei yang dipakai menutupi rambutnya dengan memakai jepitan emas telah terputus menjadi dua potong, ikat rambut itu terlepas, maka terlihatlah tegas bahagian dari rambutnya yang bagus dan panjang, hingga sekarang terbukalah rahasianya bahwa ia bukannya satu pemuda melainkan satu pemudi! .

Jurus itu sangat berbahaya bagi kedua pihak, maka itu keduanya, di dalam waktu yang sangat hebat itu, mencoba mengelakkan dirinya masing-masing, tetapi mereka telah saling sambar juga, hingga keadaannya menjadi demikian rupa. Tentu saja, orang-orang menjadi tercengang, sedang pihak See To kemudian perdengarkan pula tertawa mereka, sebab mereka anggap kesudahan itu lucu.

"Cis" Tjek Sin Tjoe meludah. "Sungguh apes, bolehnya aku bertemu denganmu,siluman! Tak sudi aku bertempur dengan seorang wanita!..."

Paras In Loei menjadi merah-padam, ia malu, jengah dan mendongkol. Ia lantas maju pula, sambil menggerakkan pedangnya, untuk menyerang pula.

"Adik kecil, beristirahatlah," tiba-tiba ia dengar suara Tan Hong, perlahan dan sabar.
"Nanti aku yang melayani dia!"

Selagi mengucap demikian, tubuh si anak muda sudah melesat, menghadapi Tjek Sin Tjoe, yang terus ia serang, maka dengan segera mereka bertempur.
Masih saja orang tertawa, semua mata diarahkan kepada In Loei, yang menjadi sangat likat dan mendongkol.

Tidak kurang herannya adalah Tjio Eng dan gadisnya, mereka ini mengawasi dengan melengak, bahna heran, berduka dan putus harapan... Ayah dan gadis itu merasa tidak keruan, mereka kecele dan masgul, terutama si nona sendiri.

Tjoei Hong tidak sangka, suami yang ia harap-harapkan itu sebenarnya adalah satu nona...

Selagi semua pandangan diarahkan padanya, In Loei lekas-lekas betulkan ikat kepalanya. Ia mesti kuatkan hati, untuk menahan malu, hanya tetap ia likat.

Akhir-akhirnya, Tjoei Hong menghampiri "suaminya" itu. Ia menjadi bersangsi.

"In Siangkong, mengapa kau gemar memelihara rambut panjang?" ia tanya sambil berbisik. Kau... kau... kau sebenarnya pria atau wanita?..."

Merah muka In Loei. Ia memang sudah pikir, satu waktu ia hendak buka rahasianya terhadap Nona Tjio ini, tetapi tidak ia sangka, di sini, dalam keadaan begini, ia mesti membuka rahasianya itu. Maka itu, ditanya si nona, ia membungkam saja.

"Hayo katakan!" Tjoei Hong mendesak, sambil menekan iga orang dengan kedua jarinya.

In Loei tidak menjawab, sebaliknya, ia mengawasi kepada kedua orang yang sedang bertanding. Dengan mendadak saja, berhentilah suara tertawa yang riuh itu, sebagai gantinya para hadirin memandang kekalangan pertandingan di mana kedua lawan telah sampai pada saat pertempuran yang dahsyat.

In Loei mendelong mengawasi Tan Hong, sinar matanya jelas menandakan perhatiannya yang luar biasa. Tjoei Hong lihat sikap orang, ia heran, lalu ia rasakan hatinya dingin. Bukankah itu sinar matanya satu kekasih? Demikian rupa perhatiannya terhadap In Loei sebelum ia ketahui In Loei adalah satu pemudi sebagai ia sendiri. Maka ia menjadi sangat berduka, hancur hatinya seperti bayangan rembulan indah di muka air yang hancur luluh ditimpa batu oleh satu bocah nakal...

Di medan pertandingan, dengan tenang Tan Hong layani Tjek Sin Tjoe. Ia memang mempunyai iweekang yang jauh terlebih sempurna daripada iweekang-nya In Loei.

Ketenangan ini membuatnya orang Biauw itu tidak dapat berbuat banyak, sebab setiap serangannya selalu dapat dipecahkan.

Lama-kelamaan Tjek Sin Tjoe menjadi tidak sabar, ia menjadi penasaran sekali.

Bukankah tadi ia berhasil mempengaruhi In Loei? Kenapa sekarang ia gagal? Ia telah mencoba pelbagai macam serangannya. Akhirnya, ia berseru, ia menyambar sambil lompat mencelat, seperti tadi ia serang In Loei. Hebat nampaknya kesepuluh jari tangannya yang hitam itu, dengan kuku-kukunya yang tajam dan beracun.

Beda daripada In Loei, Tan Hong tidak sambuti serangan dahsyat itu, ia hanya lompat berkelit. Habis itu, ia terus main berkelit pula. Kadang-kadang ia gunakan pedangnya untuk memapaki serangan yang mengancam padanya.

Tjek Sin Tjoe menghembuskan hawa dingin, ia heran bukan main. Ia tahu ilmu silat Imhong Toksee Tjiang-nya itu diciptakan dengan melatih diri menelad perkelahian burungburung di atas gunung, sejak ia turun gunung, tidak pernah ia pertontonkan itu, pun kepada See Boe Kie ia belum mewariskan semuanya, tapi heran, Tan Hong seperti mengerti ilmu silat itu. Anak muda ini selalu bisa mengelakkan diri, atau dia menyambutnya secara membahayakan jari-jari tangannya yang beracun itu.

Sebenarnya, sejak ia mendapatkan kitab peninggalan Pheng Hoosiang, yaitu "Hiankong Yauwkoat," yang telah dibacanya dengan seksama, Tan Hong menjadi seorang yang cerdas luar biasa, disebabkan pengetahuannya bertambah banyak sekali. Baginya dengan cepat ia dapat mengetahui sifat ilmu silat lain kaum bila ia menyaksikan ilmu silat itu.

Selama menyaksikan See Boe Kie bertempur dengan In Loei, Tan Hong sudah perhatikan ilmu silat yang luar biasa itu, habis itu, ia tonton kepandaian Tjek Sin Tjoe.

Kemudian, ia sendiri pun melayani orang Biauw itu, sampai kira-kira seratus jurus. Semua itu sudah cukup baginya untuk mengetahui ilmu silat orang, maka sambil bertempur dengan tenang, tapi pun dengan tidak kurang sebat dan waspadanya, dapat ia melayani dengan baik. Kalau akhirnya musuh jadi penasaran, ia sendiri masih tetap sabar seperti biasa. Adalah kemudian, sesudah lewat banyak jurus, ia membuatnya musuh lelah, hingga Tjek Sin Tjoe, yang menginsyafi itu, menjadi bingung. Baharu sekarang orang Biauw ini memikir untuk mengangkat kaki saja. Caranya ia sudah tahu, ialah dengan jalan menggertak dulu lawannya. Demikian ia beraksi untuk menyerang dengan hebat, untuk
kemudian mengangkat langkah panjang...

Tan Hong melihat tegas orang sudah tidak berdaya, sekarang orang menyerang secara demikian hebat, ia dapat menduga maksud orang.

"Eh, siluman, kau tinggalkanlah satu pertandaan!" katanya dengan bentakannya selagi ia diserang, dan sambil membentak dengan sebat luar biasa, ia papaki serangan itu!

Tanpa dapat dihindarkan lagi, lengan dan pedang telah beradu satu dengan lain sambil perdengarkan satu suara, menyusul itu, lengan Tjek Sin Tjoe terputus jatuh di lantai dan mengeluarkan banyak darah! .

Selagi para hadirin kaget, hingga mereka perdengarkan seruan tertahan, Tjek Sin Tjoe sendiri lari keluar, ia nerobos di antara orang banyak, setibanya di luar pesanggrahan, ia menoleh, akan perdengarkan ancamannya: "Bocah yang baik, lagi sepuluh tahun, tjouwsoe-mu akan datang pula mencari kau untuk membalas sakit hati!"

Tan Hong tidak kejar lawan itu, dengan tenang ia seka pedangnya yang berlumuran darah, ketika ia dengar ancaman itu, ia lantas menjawab: "Baik, akan aku tunggui kau!"

Orang-orang merasa kagum ketika menyaksikan Tjek Sin Tjoe, yang telah terluka demikian parah, masih dapat lari dengan pesat.

Tan Hong menyesal juga yang ia telah menahas lengan orang. Mulanya ia tidak memikir untuk berbuat demikian, mendadak ia panas hati mendengar orang mendamprat dengan menggunakan kata-kata "siluman" terhadap In Loei.

Setelah itu, tidak ada lagi orang yang berani muncul untuk bertempur satu sama satu.

Mereka sudah menyaksikan kelihayan pemuda dan pemudi itu. Hal ini membuatnya See To menjadi masgul dan panas hati, ia masih penasaran, maka ingin ia menyerukan pula konco-konconya untuk mengepung musuhnya.

Justeru itu, orang mendengar tertawa yang tegas disusul pujian: "Ilmu pedang yang bagus, ilmu pedang yang bagus! Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus darimu!" .

Tan Hong segera menoleh, akan kenali si orang bertopeng, sepasang mata siapa bersinar tajam, agaknya seperti mengandung rahasia.
Kaget In Loei mendengar tantangan orang itu, ia kuatir, dengan satu lawan satu, Tan Hong bukan tandingan orang tidak dikenal itu.

Orang itu sudah maju menghampiri.

"Mulailah!" ia menantang begitu lekas ia pasang kuda-kuda.

Tan Hong tidak lantas maju, ia hanya tancap pedangnya.

"Tuan tidak mencabut pedang, biar aku layani kau dengan tangan kosong," ia kata.

In Loei kerutkan alisnya. Ia anggap Tan Hong terlalu percaya dirinya sendiri. Tadi dengan dikerubuti berdua, si muka bertopeng dapat bertahan lama, itu menandakan keliehayan orang, maka, dengan menggunakan pedang, mungkin Tan Hong sebanding, dengan tangan kosong, mesti dia kalah...

Orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak. "Baiklah," katanya. "Silakan tuan mulai lebih dahulu!"

"Tetamu tak dapat melancangi tuan rumah, maka itu, silakan tuan yang mulai!" Tan Hong merendahkan diri.

Kembali si muka bertopeng tertawa.

"Thio Siangkong, kau selalu tidak hendak mendahului lain orang, sifatmu benar-benar sifat guru yang kenamaan," ia berkata pula. "Sebenarnya kita sama-sama tetamu di sini.

Tapi siangkong ingin aku yang terlebih dahulu mempertunjukkan keburukanku, baiklah,akan aku berlaku lancang."

Mendadak saja ia tekuk tangannya ke dalam, lalu dengan gerakan "Wankiong siagoat" atau "Menarik busur memanah rembulan," jari tangannya terus menyambar ke dada si anak muda, untuk menotok urat besarnya, yaitu hiankee hiat.

Liehay ilmu totok si orang bertopeng ini, akan tetapi Tan Hong juga bukan orang sembarang, tak dapat ia ditotok dalam sekejap itu saja, di saat jari tangan orang hampir mengenai bajunya, ia sedot dada dan perutnya berbareng, hingga jarak jari tangan dengan dadanya menjadi terpisah satu kaki, berbareng dengan mana, tangan kanannya digerakkan, untuk menggantikan memapaki serangan itu. Itulah tipu silat "Tionglioe teetjoe" atau "Di tengah aliran air menancap tiang batu."

Liehay tangan Tan Hong ini, yang terlatih sempurna. Biasanya, siapa kena dipapaki secara begitu, jari tangannya bisa patah. Karena ini, berani ia mengadu tangan dengan totokan lawan.

Cerdik si orang bertopeng itu, selagi kedua tangan baharu bentrok perlahan, dengan sebat ia tarik kembali tangannya itu, hingga batal ia menyerang. Ia pun memuji pula,katanya: "Orang dengan usia begini muda sudah punya tenaga latihan begini liehay,sungguh hebat. Nah, kau sambutlah ini!".

Dengan sebat si orang bertopeng ini ubah jari-jari tangannya yang terbuka itu menjadi satu telapak tangan yang rapat dan dilebarkan, dengan itu ia menyerang pula.

Tan Hong terkejut. Barusan, bentrokan yang perlahan, membikin ia merasa tangannya kesemutan, coba ia tak mempunyai Iweekang yang sempurna, hampir ia tidak dapat pertahankan diri, dan sekarang, ia diserang pula. Tidak mau ia berlaku sembrono, tetapi masih hendak ia mencoba pula. Kali ini ia kerahkan tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe,hingga tenaga tangannya itu seumpama "gunung rubuh yang menguruk lautan."
Bentrokan sudah lantas terjadi. Hebat bentrokan itu, keduanya sampai mundur masingmasing tiga tindak. Tapi itulah belum terlalu hebat. Masih ada akibat lainnya. Si orang bertopeng mundur tanpa air mukanya berubah, sebaliknya Tan Hong, ia merasakan telapak tangannya seperti beku. Orang luar tidak lihat suatu apa, wajah Tan Hong tetap tak berubah, tapi pemuda ini insyaf, si muka bertopeng itu mempunyai tenaga latihan yang melebihi daripadanya.

"Heran..." Tan Hong berpikir. Ia tahu, orang itu telah menggunakan kepandaian "Ittjie siankang" atau "latihan sebuah jari", dan jurus itu dinamakan "Tiat piepee" atau "Piepee besi".

Tiat piepee biasa, banyak dimengerti orang, tetapi kepunyaan si orang bertopeng ini benar-benar jarang sekali.

Mau atau tidak, Tan Hong jadi berpikir keras, ia menduga-duga siapa lawan ini. Dia tahu, dia mestinya seorang kenamaan, hanya aneh, kenapa seorang kenamaan mencampurkan diri di dalam rombongan See To, yang terang adalah satu penghianat bangsa. Juga aneh, mendengar suaranya, dia seperti ketahui gurunya. Selagi si anak muda berpikir, si orang bertopeng tertawa dan berkata pula: "Sudah lama sekali aku tidak bertemu lawan yang tangguh, baharu hari ini aku dapat menyambut murid seorang kenamaan. Sungguh aku girang!".

Tan Hong membarengi kata-kata itu dengan serangan pula, yang diulangi hingga tiga kali beruntun. Ketiga serangan itu sangat berbahaya, sebab serangan itu seolah-olah mengancam. Dikatakan bukan ancaman tapi mirip mengancam, dikatakan ancaman tapi sebenarnya bukan...

Tan Hong lantas mainkan ilmu silat "Hongtjiam lokhoa" atau "Angin meniup daun rontok." Dengan jurus ini, ia senantiasa berkelit dengan sebat dan sambil berkelit ia gunakan ketika itu untuk balas menyerang. Ia berkelit tetapi ia tidak mundur setindak juga.

Serangan pertama dari si orang berkedok dipunahkan dengan satu jurus Thaykek Koen yang dinamakan "Djiehong djiepie" = "Seperti membungkus, seperti menutup." Yang kedua dilawan dengan Siauwlim Koen punya "Kwee Seng tektauw" atau "Kwee Seng menendang bintang." Perlawanan ini adalah tangkisan tangan dan tendangan kaki dengan berbareng, jadi merupakan pembelaan diri berbareng perlawanan, untuk memaksa lawan menukar haluan. Dan yang ketiga ia gunakan ilmu silat gurunya sendiri, yaitu satu jurus dari "Pekpian Hian Kee Tjianghoat" Dengan ini, ia pukul kembali tangan lawannya.

"Ah!..." si orang bertopeng perdengarkan kekaguman atau keheranannya, sebab dalam segebrakkan itu, anak muda ini sudah menggunakan jurus-jurus dari tiga kaum persilatan.

Tanpa merasa, saking cepatnya, orang sudah bertempur kira-kira tiga puluh jurus.

Si orang bertopeng masih tetap gunakan "Tiat Piepee" yang dipadu dengan "Ittjie siankang," ia tetap tangguh. Tan Hong sebaliknya sudah lantas ubah haluan, yaitu tidak lagi ia andalkan "Hiankong Yauwkoat" untuk membingungkan lawannya. Ia merasa, kalau terus ia bersilat secara demikian, lama kelamaan ia akan kehabisan tenaga dan bisa celaka. Ia menukar dengan ilmu silat "Taysiemie Tjiangsie" ajaran gurunya. Dengan begitu, ia lindungi dirinya dengan kedua tangannya.

Ilmu silat ini ringkas kalangannya, rapat penjagaannya, teguh kedudukannya,kalau sangat didesak, keras juga penolakannya. Agaknya si muka bertopeng kewalahan juga dengan penyerangannya, sebab belum pernah ia dapat menembus pembelaan diri orang itu, meskipun ia bergerak sangat cepat dan berbahaya, angin serangannya bersiursiur keras. Ittjie siankang-nya pun kerap kali menotok ke jalan darah.

Masih Tan Hong tidak dapat menduga, siapa musuh ini, dia orang apa. "Tiat Piepee"-nya mirip kepandaian Tantai Mie Ming, sama liehaynya, tetapi dia bukan Tantai Mie Ming.

Sebab Tantai Mie Ming tidak mengerti Ittjie siankang. Mungkinkah mereka dari satu perguruan? Kalau benar, kenapa dia pandai Ittjie Siankang? Mungkinkah guru Mie Ming berat sebelah? Juga Mie Ming pernah berkata, dia tidak mempunyai soeheng, kakak seperguruan lelaki, ada juga soemoay, yaitu adik seperguruan wanita.

Mereka masih bertempur, si orang bertopeng terus mendesak, malah kali ini, ia mendesak terlebih hebat, dengan jari tangannya, dengan kepalan atau telapak tangannya.

Sampai kira-kira lima puluh jurus Tan Hong merasakan sangat terdesak. Inilah disebabkan ia kalah Iweekang-nya daripada lawannya itu.

"Hati-hati!" tiba-tiba si orang bertopeng berseru ketika ia telah melakukan serangan beberapa kali. Tapi kali ini ia menyerang dengan berbareng, yaitu tangan kirinya membentur sikut orang, tangan kanannya menotok.

Tan Hong jadi sangat terancam. Kalau ia singkirkan totokan tangan kanan, ia mesti terkena benturan tangan kiri lawannya itu, demikian sebaliknya. Tapi ia tidak menjadi gugup, hatinya tak gentar, ia berlaku tenang, hanya untuk membela diri, ia bertindak cepat. Dengan sekejap saja ia putar tubuhnya, sambil berputar ia bebaskan diri,lalu ia membalas menyapu ke arah tangan musuh! .

"Ah!..." si musuh berseru tertahan, bahna kagum. Ia telah saksikan serangannya dihalau dengan Tiat Piepee dan Ittjie siankang dengan berbareng. Ittjie siankang tak dapat dilatih sempurna dalam sekejap saja, mesti menggunakan waktu sedikitnya sepuluh tahun, tetapi luar biasa, Tan Hong dapat menjiplaknya selama mereka bertempur. Tentu saja, ia membuatnya musuh sangat heran. Justeru itu, ia menukar lagi jurus-jurusnya dengan Pekpian Hian Kee Tjianghoat, hingga ia mendapat ketika.

Sekejap saja si orang bertopeng melengak, akhirnya ia tertawa besar.

"Kau sangat cerdik!" katanya. "Hampir saja aku teperdaya!"

Kata-kata ini disusul dengan totokan ke be-bokong Tan Hong, sasarannya ialah jalan darah thiantjoe hiat.

Tan Hong berkelit. Ia dapat membela dirinya. Lawan itu penasaran, ia ulangi serangannya hingga tiga kali. Selalu ia gunakan tenaga besar.

Bukan main sulitnya Tan Hong melayani terus lawan ini, meski begitu, ia masih dapat bertahan lagi kira-kira dua puluh jurus, sampai di saat mana, ia lantas menghadapi serangan dua tangan berbareng, hanya yang satu mengancam, yang lain bukan — itulah tangan kiri yang menggertak, tangan kanan yang majunya ayal, ialah yang menepak benar-benar. Tan Hong menyambut dengan tangan kiri, atau segera ia insyaf bahwa ia telah diperdayai, kedua tangannya kena ditolak.

Tiba-tiba saja si muka bertopeng tertawa terbahak-bahak.

"Kau tidak mendustai" demikian katanya sehabis tertawa. "Harta pendaman Thio Soe Seng serta kitab Pheng Hoosiang telah kau dapatkan! Maka apakah artinya untuk aku berdiam lebih lama pula di sini?"

Habis mengucap demikian, ia mengancam pula dengan tangannya, tetapi ia tidakmenyerang terus, hanya melompat mundur, lalu lari keluar pesanggrahan, untuk menyingkirkan diri! .

Aneh kelakuan orang rahasia ini. Datangnya tiba-tiba, perginya pun tiba-tiba. Dia mirip seekor naga yang nampak kepalanya, tetapi ekornya tidak. Semua orang heran dan tercengang. Lebih heran pula Tan Hong, sebab ia merasa pasti, bila ia membuat perlawanan terus menerus, mesti orang itu menang. Kenapa dia berhenti dengan tibatiba?

Sebenarnya si orang bertopeng datang bersama Ngochito. Sejak bermula, ia sudah tidak sudi perlihatkan wajahnya. Sekalipun See To dan puteranya, tidak tahu ia siapa, hanya karena ia pernah perlihatkan ilmu silatnya, ia dihargai, ia dibiarkan membawa dirinya sendiri.

Seberlalunya si orang bertopeng, yang mana membuat See To kaget dan berkuatir,karena ia tahu kedudukannya menjadi lemah, maka itu, tidak ayal lagi, ia titahkan kawankawannya maju menyerbu, guna mengepung Tan Hong berdua.

Ngochito, karena ingin mencari balas, sudah maju paling depan.

Tan Hong tertawa berkakakan.

"Adik kecil, mari!" ia mengajak In Loei.

Nona In telah bersiap, malah ia telah beristirahat cukup lama, maka tanpa ayal lagi, ia maju kepada Tan Hong, untuk berdiri berendeng.

Ngochito sambar pedang panjang dari salah satu orangnya See To, dengan itu ia serang musuhnya, tetapi baharu dua jurus, dan sebelum kawan-kawannya sempat membantui padanya, pedangnya sudah terpapas kutung! Tentu saja ia menjadi kaget berbareng mendongkol.

Tjitjiangho, sebawahannya Ngochito, majukan dirinya, tetapi ia tidak lantas menyerang,ia hanya menegur.

"Thio Tan Hong," demikian katanya, "kau telah berulangkah menerima budi besar dari negara kita, kenapa sekarang kau begini gelap pikiran?"

Tan Hong tidak mau melayani bicara, ia justeru serang pahlawan Yasian itu. Mau atau tidak, Tjitjiangho menangkis, tetapi baharu satu gebrak, goloknya sudah terbabat kutung,hingga dia menjadi kaget sekali.

"Thio Tan Hong! Kau... kau..." ia berseru, lalu tertahan, sebab pedang In Loei menyambar ke arahnya. Karena ia berada di bawahan Ngochito, kepandaiannya pun kalah, tanpa berdaya, ia tertikam si nona, hingga jiwanya lantas melayang.

Ngochito kaget, dia lompat, berbareng dengan mana, dia dengar teriakan hebat di belakangnya.Itulah Tjio Eng, yang telah lantas turun tangan. Tjio Eng ini ternama,tenaganya pun besar, bisa dimengerti hebatnya serangan yang dibarengi seruannya itu.

Dalam keadaan bingung dan pusing, Ngochito tidak berdaya lagi, tidak sempat dia berkelit atau menyingkir, kepalan Tjio Eng telah sampai pada bebokongnya, maka di antara suara "Duk!" yang keras sekali, dia rubuh. Sekalipun lapis emasnya untuk melindungi tubuhnya telah pecah karenanya. Maka ia lantas memuntahkan darah hidup.

Masih syukur baginya, ia memakai lapisan itu, hingga ia cuma jatuh pingsan, kalau tidak,jiwanya mesti melayang dengan segera.
Beberapa pahlawan pengiring sudah lantas menubruk Ngochito, untuk diangkat dan dibawa lari.

Pahlawan-pahlawan itu tidak berani mengadakan perlawanan terlebih jauh.

Waktu itu kawan-kawannya See To yang sejak tadi bersangsi dan yang telah berubah pikirannya serta orang-orang yang datang memenuhi undangannya, sudah lantas angkat kaki. Tidak mau mereka memberikan bantuannya. Sebaliknya, mereka yang bersatu padu pikirannya, yang hendak membela mati-matian, apabila mereka saksikan Tan Hong dan In Loei demikian kosen, mereka itu jadi kecil nyalinya.

Sambil tertawa berkakakan, Tan Hong serang mereka yang berani merintangi ia dan In Loei, cuma karena jumlah orangnya See To itu besar, tidak dapat mereka lantas dipukul mundur.

Tjio Eng lihat mereka terkurung, ia berseru: "Tangkap penjahat, tangkap rajanya! Hai,bangsat tua she See, hendak aku membuat perhitungan dengan kau!"

Benar-benar, habis berseru, jago tua ini lompat kepada orang she See itu.

See To tidak maju untuk melayani orang yang hendak membikin perhitungan dengannya, dia hanya berseru keras, menyusul mana, dia putar tubuhnya untuk lari meninggalkan ruangan berkumpul itu. Seruan itu rupanya dimengerti kawan-kawannya, serta merta mereka ini juga membalik tubuh, untuk lari juga.

Tan Hong berempat menjadi heran. Kenapa musuh meninggalkan Tjiegie thia secara serentak itu? Tapi mereka tak usah berpikir lama, atau mendadak terdengar satu suara nyaring sekali, lalu di depan mereka, turunlah pintu besi rahasia, yang memutuskan hubungan mereka di kedua pihak.

Baharu sekarang mereka mengerti, mereka jadi terkejut. Sekarang sukar untuk mereka dapat keluar, meski umpama kata mereka kuat mengangkat pintu rahasia itu, sebab dibalik pintu rahasia itu See To berada dengan orang-orangnya yang bersenjatakan panah, bandring dan barisan arit. Begitu mereka angkat pintu besi, tentu mereka akan diserbu, di hujani anak panah, batu dan babatan arit itu...

Tjio Eng menghela napas.

"Biarlah kita terkurung di sini!..." katanya, masgul.

Dari luar terdengar suara See To: "Serahkan gambar lukisan itu padaku, nanti aku hentikan pengurungan ini, malah mengingat kepada persaudaraan kita dahulu kala, suka aku mengijinkan kamu berlalu dari sini!" In Loei tertawa mendengar orang menginginkan gambar itu.

"Toako," kata dia pada Tan Hong, "mereka masih tidak percaya bahwa kau telah mendapatkan harta dan peta bumi itu! Apakah tidak baik gambar itu diserahkan saja pada mereka? Mereka toh tidak akan dapat menggunakan itu!"

"Aku justeru tidak hendak menyerahkannya!" sahut Tan Hong.

"Benar, jangan serahkan!" kata Tjio Eng. "Gambar itu adalah warisan dari mendiang Sri Baginda,mana boleh warisan itu diserahkan pada mereka?"

In Loei tertawa.

"Aku pun cuma main-main!" katanya. "Walaupun terkurung hingga terbinasa, tidak seharusnya kita minta ampun hingga karenanya kita mesti merendahkan derajat kita!"

"Adik kecil," kata Tan Hong kepada kawannya itu, "aku biasanya tertawakan kelemahan hatimu, siapa tahu kau sebenarnya mempunyai semangat laki-laki."
Tan Hong bergurau, akan tetapi In Loei meludah.

"Foei! Apakah kau anggap hanya kamu bangsa pria yang bersifat laki-laki?" katanya.

Tjio Eng dan gadisnya terkejut mendengar pembicaraan kedua anak muda itu, terutama kata-kata In Loei. Tjoei Hong dekati In Loei, untuk mencekal tangannya, untuk ditarik.

"In Siangkong, apakah benar-benar kau satu nona?" ia tegaskan.

Merah muka Nona In, ia tunduk.

"Benar, entjie, aku adalah satu wanita..." sahutnya perlahan.

Wajah Tjoei Hong menjadi pucat-pasi. "Oh, oh, kau!..." katanya, lalu suaranya tertahan. Setelah peroleh kepastian, habis sudah harapannya. Ia tidak dapat berbuat lain, akhirnya ia menangis.

In Loei jengah sendirinya, ia pun tak enak hati.

"Entjie, karena terpaksa, aku mendustai kau," ia berkata pula. "Aku harap kau jangan
gusar. Entjie, aku punya satu saudara angkat..."
Nona Tjio angkat kepalanya, mukanya merah, matanya mencorong.
"Siapa pedulikan saudara angkatmu itu!" katanya keras. "Ah, dasar kau tidak ketahui
hatiku..."

Ia tahu anak muda dihadapannya adalah satu pemudi, akan tetapi dari lagu suaranya, masih Tjoei Hong pandang orang sebagai satu pemuda.

Tan Hong sebaliknya, tertawa melihat kelakuan kedua pemudi itu.

Tjio Eng, yang telah lanjut usianya, dapat mengendalikan hatinya. Ia tarik Tan Hong ke samping, untuk menanyakan keterangan mengenai In Loei. Dan Tan Hong tuturkan jelas perihal Nona In itu.

"Ketika itu kau sangat bernapsu mencari babah mantu," Tan Hong tambahkan sambil tertawa, "dan In Loei, di samping usianya masih muda, pun telah terdesak, demikian maka terjadilah hal Jenaka ini. Kamu cuma terkelabui untuk satu tahun, tidak apa,kejadian itu tidak sampai mentelantarkan usia puterimu Looenghiong, bukankah kau telah melihat puteranya Kimtoo Tjioe Kian? Bukankah ia, di kalangan kaum muda, gagah dan tampan?"

Tjio Eng ingat San Bin, ia penuju pada anak muda itu. Tapi ia jawab: "Urusan jodoh anakku, tak dapat aku mengurusnya lagi... San Bin itu, apabila dia dipadu dengan In Siangkong, dia tak dapat ditimpali, akan tetapi dia, memang cukup baik."

Oleh karena sudah kebiasaan, seperti puterinya, jago tua ini masih sebut In Loei sebagai In Siangkong. Mendengar sebutan ini, Tan Hong tertawa.

Tiba-tiba, Hongthianloei berkata: "Siauwtjoe, aku kehilangan satu babah mantu tetapi hendak aku beri selamat padamu! Kionghie."

"Untuk apakah pemberian selamat ini?" tanya Tan Hong sambil menghela napas. Ia ingat sesuatu ketika mendengar ucapan jago tua itu.

Tjio Eng mengawasi.

"Kamu adalah pasangan yang sangat setimpal!" ia kata. "Anakku itu tidak sepadan direndengkan dengan In Siangkong1. Dan walaupun anakku tidak setuju, akan aku desak supaya dia menyerahkan In Siangkong kepadamu! Bilamana kamu hendak mengundang aku minum arak? Haha-haha, sungguh suatu jodoh yang manis sekali!"

"Looenghiong, masih terlalu pagi untuk membicarakan urusan ini," kata Tan Hong. "Masih ada yang kau belum ketahui..."

Tjio Eng heran, ia mengawasi. "Apakah itu?" tanyanya.

"Satu soal sulit, looenghiong," jawab si anak muda, yang terus menuturkan permusuhan antara kedua keluarga In dan Thio.

Tjio Eng heran, ia pun menjadi bingung.

Sementara itu, Tjoei Hong dan In Loei masih saja pasang omong. Nona Tjio adalah yang paling banyak bicara, ia kecewa tetapi masih ia berat memikirkan In Loei. Dan In Loei, yang merasa dirinya bersalah, terpaksa harus melayani nona yang ia perdayakan itu.

Ia berkasihan terhadap nona ini.

"Entjie yang baik," katanya kemudian, "seumurku, tidak akan aku menikah, maka itu, akan aku temani kau!"

Tjio Eng bersenyum.

"Adakah itu benar?" dia tanya.

"Kenapa tidak?" sahut In Loei, dengan sifat kekanak-kanakan. Ia pun tertawa. "Cuma,entjie yang baik, aku mempunyai satu saudara lelaki, kau sebaliknya tidak. Bagiku, tidak apa aku tidak menikah, tetapi kau, apabila kau tidak menikah, siapa akan melanjutkan Keluarga Tjio kamu?"

"Cis" nona Tjio meludah. Ia tidak sangka bahwa ia akan digodai. Ia lantas menoleh kepada Tan Hong, lalu tiba-tiba ia dewi kz kata: "In Siangkong, aku tahu apa yang kau katakan tidak keluar dari hatimu yang tulus! Di hati lain, di mulut lain! Memang aku tolol tetapi telah aku lihat siapa yang berada di dalam hatimu!..."

In Loei merasa tertusuk, ia menghela napas.

"Seumurku, tidak akan aku menikah," katanya, dengan lesu. "Jikalau kau tidak percaya,entjie, nanti aku sumpah dihadapanmu!"

Tjoei Hong bekap mulut orang. "Tidak keruan-keruan, untuk apa angkat sumpah?" katanya. "Aku telah dapatkan kau sebagai adikku, aku puas."

"Bagus, bagus!" puji Tjio Eng apabila ia dengar pembicaraan orang itu. Ia sebenarnya sedang berduka tetapi untuk sesaat, dapat ia lupakan kedukaannya itu. "Kamu telah mengaku menjadi entjie dan adik, maka, In Siangkong, mengapa kau tidak hendak memberi hormat kepada ayah pungutmu?"

In Loei tertawa, ia bertindak menghampiri orang tua itu, ia memberi hormat sambil paykoei.

Tjio Eng mengangkat nona itu bangun.

"Baiklah, In Siangkong, aku terima hormatmu ini!" ia kata.

"Haha-haha!" tertawa Tan Hong. "Masih saja memanggil In Siangkong1."

Mendengar ini, semua orang tertawa. Sampai di situ, baharu mereka ingat pula bahwa mereka masih berada di dalam kurungan. Waktu itu sudah mendekati magrib, di luar Tjiegie thia, masih terdengar suara berisik. Di dalam ruang itu tidak ada makanan. Maka syukur, Tan Hong dan In Loei mempunyai bekal rangsum kering, bersama-sama, berempat, mereka tangsel perut mereka sekedarnya.

"Sang hari akan lekas berlalu, bagaimana besok?" tanya In Loei. Ia pecahkan kesunyian sehabisnya mereka dahar.

"Besok adalah urusan besok, untuk apa kau pikirkan?" kata Tan Hong sambil tertawa riang.

"Benar!" kata Tjio Eng.

Maka itu, mereka dapat bercakap-cakap dengan gembira.

Selagi ke empat orang ini tidak kesepian, See To di luar sibuk memikirkan mereka. Mereka mesti tungkuli kesabaran diri, sebab di antaranya tidak ada yang berani menyerbu, semua masing-masing jeri untuk kegagahannya pasangan anak muda itu...

Malam itu dilewatkan dengan Tan Hong dan Tjio Eng bergantian berjaga-jaga. In Loei berdua Tjoei Hong tidur bersama di atas sebuah bangku panjang, mereka ini masih bercakap-cakap selama mereka belum pulas, masing-masing menuturkan isi hati mereka.

Dalam tempo yang pendek itu, keduanya lantas erat sekali perhubungannya, bagaikan saudara-saudara kandung saja.

"Ketika itu kita berpisah di Tjengliong Kiap," kata In Loei, "ayahmu memaksa kau lekas pulang, untuk apakah itu?"

"Tidak lain untuk urusan gambar lukisan," jawab Tjoei Hong. "Ayah dengar kabar, pihak Watzu hendak mengirim orang untuk merampas gambar itu. Entah bagaimana duduknya hal, maka bangsa itu ketahui gambar berada di rumah kami. Karena itu ayah menginginkan aku lekas pulang, untuk kami serumah tangga menyingkir ke Im Ma Tjoan,di pesanggrahan Na Tjeetjoe. Kami kembali pulang sehabisnya perang. Yang kami tidak sangka adalah bangsat tua she See itu yang berkongkol dengan musuh, tanpa mempedulikan persaudaraan, dia tidak hendak melepaskan kami!" In Loei tertawa.

"Dan mereka tidak ketahui, sejak siang-siang gambar itu sudah berada di tangan toakoku." ia kata.

Berduka Tjoei Hong mendengar demikian erat rasanya In Loei menyebutkan kata-kata "toako" itu untuk Tan Hong.

"Kau sudah punya toako, kau lupakan entjie-mu!" ia kata.

Tapi In Loei lantas menghela napas. Biar bagaimana, ia adalah satu nona, maka tidak dapat ia membuka rahasia hatinya, tak peduli terhadap kakak sendiri...

Heran Tjoei Hong menyaksikan roman entjie ini, cuma tidak mau ia menanyakan. Ia hanya bicarakan urusan lain, sampai tiba saatnya mereka mengantuk dan tidur.

Berapa lama ia sudah pulas, Tjoei Hong dan In Loei tidak tahu, mereka hanya tersadar tatkala mereka dengar suara sangat berisik di luar Tjiegie thia.

"Adik kecil, lekas bangun!" Tan Hong memanggil.

"Lihat! Baharu kau percakapkan Tjo Tjoh, ia sudah muncul! Coba dengar, apakah itu bukan kakak angkatmu yang datang?"

In Loei buka matanya, ia dapatkan matahari sudah naik tinggi. Masih mereka terkurung pintu rahasia, tetapi di kedua tepi tembok terdapat liang kecil sebesar batang anak panah,dari situ mereka bisa mengintai keluar. Dan di luar tampak nyata bendera berkibar-kibar,di antaranya ada dua helai bendera yang besar luar biasa hingga menyolok mata. Itulah bendera yang berlukiskan matahari merah dan si Puteri Malam, itulah Djitgoat Siangkie,bendera Kimtoo Tjeetjoe!

Pertempuran telah terjadi di luar, itulah yang menerbitkan suara sangat berisik.

"Tjioe San Bin datang pada saatnya yang tepat!" kata Tan Hong. Kata-kata ini mengandung dua maksud, maka In Loei menjebikan bibirnya dan tertawa,Dengan lewatnya sang waktu, suara pertempuran terdengar semakin reda, akan di lain saat, pintu rahasia mulai terangkat naik, hingga sinar terang lantas menembus masuk, lalu tampak San Bin bertindak masuk ke dalam Tjiegie thia.

Rahasia In Loei telah terbuka, tetapi karena terlanjur, ia masih dandan sebagai wanita,ketika San Bin tampak nona ini, ia heran. Ia menegur Tan Hong dan Tjio Eng tetapi kepada si Nona In ia cuma melirik saja.

In Loei tidak menjadi likat, sebaliknya, ia berlaku twapan.

"Apa yang kau minta padaku, telah aku selesaikan!" katanya kepada anak muda itu.

Setelah salin pakaian, dan waktu ia tertawa, hingga nampak sujennya, In Loei menjadi sangat manis, ia bagaikan bunga baharu mekar. Di mata San Bin ia menjadi luar biasa elok, hingga pemuda itu tergiur bukan main. Tapi di sana ia tampak Tan Hong dengan wajahnya seolah-olah tertawa, lalu hatinya itu menjadi dingin.

Pemuda ini sangat menyintai In Loei, akan tetapi setelah ketahui Tan Hong pun menyintai nona itu, ia dapat kendalikan dirinya, kemudian Tantai Mie Ming secara diamdiam membantui ia menangkan peperangan dan Mie Ming pun jelaskan bagaimana kesengsaraan hati Tan Hong untuk membela negara, ia ambil ketetapan untuk mengalah, untuk mengundurkan diri dari medan cinta itu. Inilah sebabnya, dalam tempo yang pendek sekali, dapat ia kuasai hatinya.

"Tjioe Hiantit, cara bagaimana kau ketahui kita terkurung di sini?" tanya Tjio Eng sambil tertawa kepada penolongnya itu.

Pertanyaan ini tepat, maka semua pandangan diarahkan kepada anak muda itu.

"Selama penyerbuan tentera Watzu, terpaksa kita berkeliaran ke empat penjuru negara," jawab San Bin, "begitu lekas perang sudah selesai, kami sudah lantas menggabungkan diri pula, dan niat kami adalah kembali ke tempat asal. Kemarin kami mendirikan kubu-kubu di dekat sini, tadi malam kami nampak kejadian yang luar biasa..."

"Apakah itu?" tanya Hongthianloei.

"Ada seorang yang memakai topeng menyusup masuk ke dalam kubu-kubu kami," sahut pula San Bin. "Dia melempar golok yang tertusukkan sehelai surat. Dalam surat itu ditulis terang halnya looenghiong beramai tengah dikurung di sini karena terjebak oleh See To. Liehay si orang bertopeng itu, ketika kami pergoki dia, dalam sekejap saja ia sudah menghilang pula."

"Seorang bertopeng?" kata Tan Hong, yang hatinya bercekat. Timbullah kecurigaannya.

"Benar, dia seorang bertopeng," San Bin pastikan. "Kami tidak kenal dia, dia aneh, akan tetapi ayahku bilang, daripada tidak mempercayai, lebih baik kita percaya padanya, bahwa tak dapat tidak kami harus pergi menolongi setelah kami ketahui looenghiong terjebak dalam kurungan. Demikian ayah menitahkan siauwtit datang bersama barisanku."
Tan Hong terus memikirkan si orang bertopeng itu, demikian juga In Loei.

"Selama penyerbuan bangsa Watzu itu," San Bin meneruskan keterangannya,"beberapa kali ayah mengirim orangnya pergi ke rumah Tjio Loopee, kami dapat keterangan loopee tengah mengungsi dan belum pulang, karenanya, sampai sebegitu jauh, kami tidak dengar suatu apa tentang loopee."

"Terima kasih untuk perhatian ayahmu itu," Tjio Eng mengucap. "Lain hari akan aku berkunjung kepadanya."

Sementara itu orang tua ini telah melihat tegas anak muda itu, yang romannya gagah dan tampan, sekalipun dia tak dapat dibanding dengan Tan Hong atau In Loei.

Di dalam pesanggrahan See To itu mereka bersantap pagi. Sehabisnya bersantap, Tan Hong dan In Loei lantas pamitan, karena perlu mereka lekas-lekas melanjutkan perjalanan mereka, hingga tak dapat mereka ditahan lagi.

Tjio Eng dan gadisnya juga tidak mau berdiam lama di pesanggrahan musuh, hendak mereka berangkat pulang, maka itu, San Bin antar mereka bersama-sama sampai di kaki gunung.

Tan Hong dan In Loei dengan bergantian telah perdengarkan suitan mereka, atas mana muncullah binatang tunggangan mereka, yaitu Tjiauwya saytjoe ma serta kuda pilihan dari istana kaisar.

Selagi melihat In Loei lompat naik ke atas kudanya, tiba-tiba San Bin ingat suatu apa.

"Nona In, tunggu dulu!" ia segara memanggil.

Dari atas kudanya, In Loei berpaling.

"Ada apa, Tjioe Toako?" tanyanya.
"Tadi kau katakan bahwa kau telah bicara jelas dengan Nona Tjio, karena itu, tak usah aku omong banyak lagi," sahut San Bin. "Nah, terimalah kembali barangmu ini!"

Dari sakunya San Bin keluarkan batu permata sanhu.

-ooo00dwooo

Itulah batu permata yang Tjioe Kian haturkan kepada In Loei dan In Loei menyerahkannya lebih jauh kepada Tjoei Hong, selaku tanda mata, kemudian In Loei serahkan pada Tjioe San Bin dengan permintaan supaya San Bin nanti mengatakan pada Tjio Eng, untuk menjelaskan duduknya hal, agar pernikahannya dengan Tjoei Hong dapat dibatalkan.

Tjoei Hong lihat batu permata itu, yang membawa peranan, mukanya menjadi merah,ia likat sendirinya.

San Bin majukan kudanya, hendak ia serahkan batu itu kepada In Loei, tetapi Si Nona In tertawa sambil berkata: "Permata itu asalnya kepunyaan keluargamu sendiri, untuk apakah hendak dikembalikan kepadaku?"

Lantas ia tepok kudanya, untuk dilarikan berendeng bersama Tan Hong! Keras larinya kuda mereka, dalam sekejap saja mereka sudah lenyap, hingga tinggallah San Bin yang mengawasinya sambil menjublak...

Benar-benar cepat Tan Hong dan In Loei kaburkan kuda mereka, pada hari kedua mereka telah lintasi kota Ganboenkwan, di tempat perbatasan kedua bangsa Ouw dan Han.
Di tempat pengembalaan orang Mongolia, adalah umum yang kaum wanitanya menunggang kuda, oleh karena itu, In Loei tidak perlu salin pakaian lagi, ia tetap dandan sebagai satu nona.

Puas hati Tan Hong menyaksikan si nona duduk di atas kudanya di tanah datar berumput hijau. Ia tertawa sendirinya.

"Jikalau aku berada terus bersama kau," katanya, gembira, "meskipun seumur hidupku aku mesti tinggal merantau, sudi aku, puas hatiku!"

In Loei singkap rambutnya, ia menoleh sambil melirik.

"Hai, engko tolol mengucapkan kata-kata tolol!" katanya tertawa.

Berdebar hati Tan Hong, hampir tak dapat ia kuasai dirinya.

Habis perang, kota Ganboenkwan dan sekitarnya jadi tidak keruan macam. Waktu itu pun tentera kerajaan Beng, yang mesti menempati kota itu, masih belum tiba, yang ada hanya beberapa serdadu saja.

Melihat keadaan kota, Tan Hong berdiam, pikirannya bekerja. Ia menyayangi kota itu.

Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar In Loei menarik napas.

"Adik kecil, kau kenapa?" ia tanya.

"Aku teringat kepada keadaan waktu aku masih kecil, ketika itu aku ikut kakek pulang," sahut si nona, "Ah, tanpa merasa, sepuluh tahun sudah lewat... Ya, di sini aku ingat benar. Waktu itu adalah tanggal lima belas bulan sepuluh. Di sini kakekku menyerahkan surat wasiatnya, yaitu kulit kambing yang berdarah..."

Mendapat kenang-kenangan ini, wajah si nona menjadi guram. Ia berdiam. Tan Hong juga berdiam.

"Begitulah hidupnya manusia!" kata si pemuda kemudian. "Berapa lama manusia dapat hidup? Baiklah kau jangan mengingat-ingat pula hal yang tak menyenangkan itu..."

Keduanya menjalankan kuda mereka dengan perlahan-lahan.

"Hidup manusia, benar-benar aneh," kata In Loei kemudian.
"Kenapa aneh?" tanya Tan Hong sambil mengawasi.

In Loei pandang pemuda itu, sinar matanya berarti. Agaknya hendak ia bicara, tetapi selalu urung.

"Manusia memang mengalami banyak perubahan di luar dugaannya," kata Tan Hong.

"Lihat saja aku sebagai contoh. Tadinya aku pikir, selama hidupku ini tidak nanti aku keluar pula dari Ganboenkwan, siapa sangka, hari ini aku toh berada di sini! Maka itu, apa yang kau katakan aneh, bukan aneh. Adalah hal, yang dilihatnya tak mungkin terjadi,pada suatu waktu terjadi dengan tiba-tiba..."

Kata-kata pemuda ini mengandung arti.

In Loei berdiam. Pada otaknya berkelebat surat wasiat kakeknya, dan wajah bengis dari kakaknya. Tapi ketika ia angkat kepalanya, ia tampak roman tampan dan menarik dari Tan Hong yang tersung ging senyuman, dalam sekejap saja, hilanglah mega gelap bagaikan tersapu angin...

Tan Hong jalankan kudanya terus berdampingan dengan kuda si nona, tapi di saat ia hendak meng hibur si nona, mendadak kuda Tjiauwya saytjoe ma meringkik keras dan panjang lalu lompat lari dengan tiba-tiba, seolah-olah tak memperhatikan lagi majikannya!.

Tan Hong heran bukan main. Inilah belum pernah terjadi pada kudanya itu. Ia sudah hendak tarik keras tali lesnya ketika mendadak ia ingat sesuatu.

"Dia kabur dan menjadi binal begini, mesti ada sebabnya," ia berpikir. "Coba aku lihat ke mana dia hendak lari..."

Maka ia kendorkan lesnya, ia biarkan kuda itu kabur seenaknya.

Tjiauwya Saytjoe ma lari dengan tidak mengikuti jalan besar, ia mengambil jalan kecil di sepanjang tepi bukit, dia lompat di setiap tempat yang tinggi atau rendah, dia pun tak henti-hentinya perdengar kan suaranya.

In Loei heran seperti Tan Hong, ia larikan kudanya untuk menyusul. Kudanya kalah tangkas, ia terting gal kira-kira setengah lie.

Sesudah kuda jempolan itu lari serintasan, dari sebelah depan terdengar suara kuda lainnya, hingga kedua binatang itu jadi seperti saling sahut.

Tan Hong memandang jauh ke depan, untuk herannya, ia melihat dua orang tengah bertanding. Di samping mereka itu, terlihat seekor kuda putih tengah berlari-lari, kuda itu mirip betul dengan Tjiau wya saytjoe ma.

Tan Hong awasi hingga ia dapat lihat kedua orang yang sedang asyik bertempur itu. Ia menjadi terperanjat dan heran. Ia kenali, satu di antaranya adalah Djiesoepee Tiauw Im Hweeshio, sedang lawan paman guru yang kedua itu adalah seorang berumur empat puluh lebih, tubuhnya agak gemuk, gerakan-gerakannya gesit luar biasa.

Keras suara angin dari tongkat panjang bagaikan toya dari Tiauw Im Hweeshio. Itulah tong kat Hangmo thung, Penakluk Iblis, yang dimainkan menurut ilmu silat toya Hangmo thung. Lawannya menggunakan bergantian jari-jari tangannya yang terbuka dan tertutup, menya bet atau menusuk, dia menyerang setiap kali dia menyampok tongkat atau sehabis nya berkelit. Nyata lawan itu tak kurang liehaynya.

Tan Hong heran apabila ia mengawasi pula sekian lama. Ia dapat perasaan, ilmu silat orang berusia pertengahan itu mirip dengan ilmu silat si orang bertopeng, yang pandai ilmu silat Tiat piepee dan Ittjie siankang! .

Di bawah tanjakan, di dekat tempat pertempuran, ada satu wanita yang sambil tertawa menonton pertempuran itu. Dia berumur kira-kira tiga puluh lebih, mukanya bundar bagaikan rembulan tanggal lima belas. Dia mirip dengan satu nyonya muda, sedangkan sebenarnya dia adalah satu nona.

Tiauw Im gagah, dia juga bersenjatakan tongkat, akan tetapi lama-kelamaan, dia dibikin kewalahan oleh lawannya yang berkelahi dengan mengandalkan kedua tangannya yang tak bersenjata itu, hingga kesudahannya si orang beribadat jadi sangat mendongkol dan gusar. Demikian satu kali, menuruti hawa amarahnya, ia menyerang hebat dengan tipu pukulan "Tokpek Hoasan"="Menggempur gunung Hoasan." Itulah salah satu kemplangan yang berbahaya dan hebat.

Pesat sekali gerakan si lawan, serangannya demikian dahsyat, tapi ia dapat menghindar kannya dengan jalan berkelit. Tiauw Im terlalu sengit, ia gunakan seluruh tenaganya, ketika serangan itu tidak mengenai sasarannya, ia tidak dapat kendalikan lagi senjata itu, maka sang tongkat dengan hebat menghajar batu di tanah hingga hancur, dan hancurannya terbang berhamburan.
"Hahaha!" si lawan tertawa bergelak, habis mana, ia membalas menyerang,tangannya, atau lebih tepat jari-jari tangannya, tidak hentinya menyambar-nyambar kepada Tiauw Im Hweeshio, yang mengarah iganya.

Dalam keadaan sangat terancam itu, Tiauw Im Hweeshio dapat membela dirinya sendiri. Ia letakkan tongkatnya di tanah, berbareng dengan itu, tubuhnya mencelat naik, untuk terus jumpalitan, akan menyingkir jauh.

Melihat orang mundur secara hebat itu, si wanita tertawa berkakakan.

"Begitu saja kepandaian murid Hian Kee Itsoe!" demikian ejeknya. "Haha-haha! Sungguh satu nama kosong belaka!"

Tan Hong lantas datang dekat, ia menyaksikan segala apa dengan tegas. Hampir ia lompat maju, untuk menolongi paman gurunya, tapi tiba-tiba ia ingat suatu apa, hingga alisnya dikerutkan.

"Lelaki ini terang adalah si orang bertopeng tetapi aneh sekali perbuatannya," demikian ia berpikir.

"Dia bersama orang-orangnya Yasian berada di dalam pesanggrahan See To, dia juga kemudian memanggil Tjioe San Bin untuk menolongi kita. Kenapa sekarang dia menyulitkan djiesoepee?"

Ia lantas menoleh, ia tampak In Loei tengah mendatangi dengan cepat. Ketika itu jarak antara mereka berdua ada kira-kira setengah lie. Ketika ia berpaling kepada kudanya, ia dapatkan Tjiauwya saytjoe ma tengah saling menjilat dengan kuda Tiauw Im Hweeshio,ialah kuda putih yang tadi terlihat dari jauh. Kuda putih itu adalah binatang tunggangan .

Thio Tjong Tjioe. Ketika dahulu Tiauw Im pergi ke Watzu di mana ia menyatroni rumah Tjong Tjioe, selagi ia terancam bahaya, Tjia Thian Hoa telah menolongi secara diam-diam,dan kuda itu diberikan padanya, untuk dipakai angkat kaki. Kuda itu dengan kuda Tan Hong adalah biang dan anak, itulah sebabnya ketika kuda Tan Hong dengar suaranya, tak dapat dikendalikan lagi majikannya, Tjiauwya saytjoe ma kabur untuk menemui biangnya.

Dengan cepat In Loei tiba di medan pertempuran, ia terkejut ketika ia kenali si pendeta.

"Itulah Tiauw Im Soepee\" ia berseru. Dan terus ia memanggil: "Soepee\"

Tiauw Im sedang didesak lawannya, mendengar panggilan itu, ia tak sempat menoleh akan melihat orang yang memanggil padanya, sebaliknya, lawannya, dia ketahui datangnya sepasang pemuda pemudi itu, dia berpaling ke arah mereka, lalu dia tertawa.

Dia pun lantas berkata: "Benar-benar selama manusia masih hidup, tidak ada tempat di mana mereka tidak bertemu! Kembali aku menjumpai kamu di sini! Adakah ini hweeshio ampas soepee-mul"

Tiauw Im gusar dikatakan manusia tidak berharga, ia mengamuk dengan tongkatnya,tetapi lawannya terlalu tangguh untuknya, amarahnya hebat, tenaga kepandaiannya kurang, tetap ia tidak dapat berbuat suatu apa terhadap lawan itu, di pihak lain,pundaknya terbentur musuh hingga ia terhuyung-huyung, hampir ia rubuh terjungkal! .

Hian Kee Itsoe mempunyai empat murid, di antara mereka itu, Tjia Thian Hoa yang paling liehay. Guru In Loei yaitu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng sudah melatih diri sambil menghadapi tembok selama dua puluh tahun, karenanya dia peroleh kemajuan besar hingga ilmu silatnya kemudian tak berada di bawahan Thian Hoa. Murid kepalanya adalah Kimkong Tjioe Tang Gak, dalam ilmu dalam dia tak dapat melampaui Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng akan tetapi dalam bahagian luar, Gwakang, dia telah mencapai puncak kesempurnaannya, hingga ilmu silat Kimkong tjioe-nya tak ada tandingan nya. Yang paling rendah kepandaiannya adalah Tiauw Im Hweeshio, ini disebabkan karena tabeat nya,hingga tak dapat ia menyusul lain-lain saudara seperguruannya, baik dalam ilmu dalam maupun ilmu luar, dari itu, gurunya mewariskan dia ilmu tongkat Hangmo thunghoat serta ilmu luar secukup nya, meskipun demikian, di kalangan kangouw,dia sudah sukar menemui tandingan. Hanya kali ini, menghadapi lawan yang tangguh itu, ia kewalahan, ia senantiasa terdesak.

Tan Hong lihat paman guru itu sudah tak berdaya.

"Djiesoepee, beristirahatlah dulu!" seru keponakan murid itu. "Nanti keponakanmu yang menggan tikan kau!" Lalu ia menghunus pedangnya. Sambil maju mendekati, dia kata kepada lawan paman gurunya itu: "Tjianpwee, aku mohon sukalah kau memberi pengajaran pada kami! Kami adalah murid-murid turunan ketiga dari Hian Kee Itsoe. Kami adalah anak-anak muda, dengan memohon pengajaran tjianpwee, tidak berani kami bertempur satu dengan satu, dari itu kami mohon tjianpwee memaafkan sikap kami yang tidak tahu aturan ini! Kami akan maju bersama!" Ia kibaskan pedangnya, sambil menoleh pada In Loei, ia kata: "Adik kecil, mari kau pun maju, untuk mohon pengajaran satu dua jurus dari tjianpwee1."

Dengan sikapnya yang menghormat, Tan Hong memanggil orang "tjianpwee," —yang tertua.

In Loei terima ajakan sahabatnya itu, tanpa mengucap sepatah kata ia maju sambil menghunus pedangnya, maka di lain saat, kedua pedang telah bergabung menjadi satu —siangkiam happek — hingga kedua sinar perak lantas berkilau bagaikan saling sambar ke arah lawan yang tangguh dari Tiauw Im itu.

Orang itu menggerakkan kedua tangannya, kepada Tan Hong ia gunakan tangannya terbuka,terhadap In Loei ia pakai jari tangannya. Jadi untuk melayani kedua lawan muda ini, ia gunakan Tiat piepee dan Ittjie siankang.

Siangkiam happek lihay, gerak-geriknya bagaikan gelombang besar dari sungai Tiangkang, seperti ombak dari lautan besar, rapat desakannya, yang mana dibantu banyak dengan kegagahan Tan Hong. Selama bertempur di rumah Pit To Hoan, Tan Hong dapat merendengi Tiauw Im, sang paman guru, sekarang setelah meyakinkan Hiankong Yauwkoat, ia peroleh kemajuan luar biasa, ia telah lombai Tiauw Im. Dan sekarang ini, dengan siangkiam happek, bersama In Loei, baharu sepuluh jurus, ia sudah dapat mendesak lawannya hingga lawan itu cuma dapat membela diri, tidak dapat membalas
menyerang.

Meski ia sudah terdesak, orang itu tidak menjadi jeri.

"Siangkiam happek benar-benar liehay!" dia berkata. "Eh, soemoay, mari! Kau pun boleh coba-coba berkenalan!"

Kata-kata ini ditujukan kepada si wanita, siapa sudah lantas menyahuti "Ya!" Entah bagaimana gerakannya, tahu-tahu dia sudah sampai di kalangan pertandingan, dan begitu lekas dia gerakkan kedua tangannya, yang menerbitkan suara, dia telah keluarkan dua macam senjata — tangan kirinya menyekal satu kimkauw, gaetan emas, tangan kanannya memegang sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar ke perak-perakan.

Dengan dua macam senjata ini, dengan gaetan ia menyambar dan menarik, dengan pedangnya, ia menikam.
Tan Hong dan In Loei merasakan siuran angin dari kedua macam gegaman itu, maka dibantu dengan totokan si pria, mau atau tidak, mereka mesti mundur hingga tiga tindak.

Tapi mereka cuma mundur sebentar, setelah itu, mereka maju pula, Tan Hong di kiri, In Loei di kanan, kedua pedangnya bergabung pula, hingga kedua lawannya mesti mundur di luar kalangan sinar pedang mereka.

Si wanita liehay, ia mundur, lalu ia maju pula, dengan dua macam senjatanya itu, dia membalas mendesak. Kembali dia dibantu kawannya, soeheng-nya, si kakak seperguruan,sebagaimana dia dipanggil soemoay, adik seperguruan wanita. Dan si soeheng tetap menggunakan Tiat piepee dan Ittjie sian secara bergantian, setiap serangannya sangat membahayakan.

Tan Hong menangkis hingga dua kali beruntun, dengan "Hoeiliong tjaythian" atau "Naga terbang di langit," dalam hal mana, ia ditimpali In Loei dengan "Tjianliong djiptee" atau "Naga sembunyi dalam tanah." Secara begini, dapat mereka berdua melayani pedang dan gaetan dan kedua tangannya lawan itu yang liehay.

"Bagus!" memuji si wanita, yang telah menggerakkan kedua bibirnya yang merah.

Tan Hong gunakan ketikanya ini untuk menanya: "Aku ingin bertanya, djiewie dengan Tantai Mie Ming pernah apa?".

Sekarang si anak muda telah melihat tegas, Tiat piepee si pria mirip betul dengan kepandaian Tantai Mie Ming, dan si wanita, ilmu silat gaetannya mirip dengan gaetan Gouwkauw kiam dari Tamtay Toanio, bedanya ialah Tamtay Toanio menggunakan sepasang gaetan (siangkauw) dan wanita itu punya gaetan ditimpali dengan pedang, karenanya, gerak-gerik kedua senjata itu jadi terlebih luar biasa.

Ditanya begitu, si wanita tercengang sesaat, lantas dia tertawa.

"Kami cuma ingin belajar kenal dengan ilmu silat istimewa dari Hian Kee Itsoe!" sahutnya. "Siapa mempunyai kesempatan untuk mendengarkan pertanyaanmu?"

Dan jawaban itu disusul dengan serangannya pula, dengan pedang dan gaetannya.

Tan Hong melengak karena ia ketemu batunya, ia menjadi agak mendongkol.

"Baik, akan aku perkenalkan kamu dengan ilmu silat kakek guruku!" katanya dalam hatinya, saking mendongkolnya. Terus saja ia menyerang dengan hebat, dalam hal mana dengan serta merta ia ditelad In Loei, gerakan siapa selalu diturut. Maka sekarang kedua pedang bergerak bagaikan "sepasang naga bermain di air" atau sinar pedangnya bagaikan "bianglala menyambar-nyambar". Maka lagi sekali, wanita dan pria itu terkurung sinar pedang mereka.

Kedua musuh itu liehay luar biasa, di luar mereka tampak terkurung, mereka seperti tak berdaya, tetapi di dalam, mereka perlihatkan kepandaian mereka, masih dapat mereka membalas.

Pertempuran berlangsung dengan cepat, jurus demi jurus, tanpa merasa, mereka sudah melalui tujuh puluh jurus. Bagi Tan Hong, pertempuran berlarut itu tidak banyak artinya, tidak demikian dengan In Loei, yang tenaga dalamnya kalah banyak, maka sehabis itu, ia rasakan dadanya sesak, hampir ia tak dapat bernapas. Ketika Tan Hong lihat keadaan kawannya ini, ia menghembuskan napas dingin.

"Betul-betul di luar langit masih ada langit lainnya," pikir dia dalam hatinya, "di samping manusia masih ada manusia lainnya... Aku pikir, siangkiam happek kami tidak ada
bandingannya di kolong langit ini, siapa tahu pasangan pria dan wanita ini dapat menangkan kami di atas angin...

Sebenarnya di sini orang tidak dapat bicara mengenai hal kepandaian, tetapi dalam hal latihan. In Loei kalah latihan dalam, itulah sebabnya sekarang ia kalah ulat.

In Loei kuatkan hatinya, ia pertahankan dirinya, dengan begitu mereka bertempur sampai lima puluh jurus, masih saja mereka sama tangguhnya.

Pada saat yang tegang itu, tiba-tiba kedua pihak dengar tindakan kaki kuda yang mendatangi ke arah mereka, mulanya, jauh lalu makin dekat, akhirnya tibalah si penunggang kuda, yang menyoren sebatang pedang. Dia nampaknya tenang sekali.

Ketika dia melihat sebentar kepada mereka yang sedang bertempur seru, sekonyongkonyong dia tertawa sendirinya: "Kamu lihat!" dia berseru. "Sekalipun muridku kamu tidak sanggup mengalahkannya! Maka bagaimana kamu hendak melindungi mukanya si Siluman Tua Siangkoan?" Tan Hong sudah lantas kenali orang itu. "Soehoe ia memanggil.

Memang orang yang baharu datang ini Tjia Thian Hoa adanya.

"Tiauw Im Soeheng, kau beristirahatlah terus!" berkata Thian Hoa kepada kakak seperguruannya. "Kau tunggu saja, hendak aku belajar kenal dengan ilmu silat dari muridmurid Siangkoan Laokoay — Eh, Kimkauw Siantjoe, lebih dahulu ingin aku mohon pengajaran darimu! Dan kau, Ouw Laodjie, kau boleh bertempur lamaan sedikit dengan muridku...

Sekarang jelaslah siapa adanya pasangan pria dan wanita itu, yaitu murid-muridnya Siangkoan Thian Va si Laokoay atau "Siluman Tua", si orang she Ouw itu adalah Ouw Bong Hoe, dialah murid kedua dari Siangkoan Thian Va. Dan si wanita, yang dipanggil .

Kimkauw Siantjoe, Dewi Gaetan Emas, adalah Lim Sian In, murid yang ketiga.

Antara Siangkoan Thian Ya dan Hian Kee Itsoe pernah terjadi perebutan untuk menjadi jago dunia Rimba Persilatan, untuk itu mereka sudah bertempur selama tiga hari tiga malam tanpa ada yang menang dan kalah. Siangkoan Thian Ya mempunyai beberapa macam ilmu silat yang istimewa, di antaranya Ittjie siankang, singkatnya Ittjie sian, ilmu menggunakan jeriji tangan, untuk menotok. Tapi ilmu kepandaiannya aneh. Ilmu Ittjie sian itu bersama satu ilmu lainnya mesti diyakinkan berbareng oleh seorang pria dan seorang wanita yang masih suci kehormatannya, tapi kalau ilmu itu sudah dapat diyakinkan sempurna dan kedua murid itu menikah, ilmu itu berkurang sendiri kefaedahannya.

Maka juga, sebelumnya Thian Ya menerima murid, dia tegaskan muridnya, apakah mereka di kemudian hari akan menikah atau tidak, siapa yang bersedia tidak menikah, dia akan diajari ilmu Ittjie sian itu. Murid kepalanya adalah Tantai Mie Ming. Mie Ming ini telah pergi ke negara lain — Watzu — dia tidak menghendaki turunannya terputus, karenanya dia tidak dapat mempelajari Ittjie sian itu. Karena ini, Mie Ming cuma mendapatkan ilmu silat gaetan dan lainnya dari bahagian luar (Gwakang), Ilmu Ittjie sian, tidak diyakinkan. Tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe, murid yang kedua.

Ouw Bong Hoe sangat ingin mempunyai kepandaian tinggi, dia sangat kemaruk, begitu dia masuk menjadi murid Siangkoan Thian Ya, lantas dia menyatakan dan bersumpah bahwa seumurnya dia tidak akan menikah. Dengan demikian, dia telah diajari ilmu Ittjie sian itu.

Lim Sian In, ialah Kimkauw Siantjoe, si Dewi Gaetan Emas, murid yang ketiga, cantik luar biasa, setiap hari dia bergaul dengan Ouw Bong Hoe, sama-sama mereka belajar silat,lama kelamaan mereka berdua jatuh cinta satu pada lain. Tapi Sian In adalah seorang wanita, dia terlebih tenang, dia tidak menonjolkan rasa cintanya itu, tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe. Dia ini segera minta soemoay itu, Sian In, suka menikah dengannya. Hal itu sudah lantas tertampak di mata guru mereka.

Adalah cita-cita yang terkandung lama dari Siangkoan Thian Ya untuk mengajarkan beberapa murid yang liehay, supaya ia dapat mengulangi pertandingannya dengan Hian Kee Itsoe. Ia masih penasaran , ingin ia peroleh kemenangan. Ia pun hendak menepati janji, untuk nanti bertanding pula. Dalam hal janji itu, ia tak sudi tidak menetapkannya, ia sungkan menghilangkan kepercayaan. Maka itu, ketika ia ketahui kelakuan Ouw Bong Hoe berdua Lim Sian In, ia menjadi gusar sekali, menuruti hawa amarah nya, ia usir muridnya itu. Inilah sebabnya kenapa Tantai Mie Ming cuma menyebut bahwa ia cuma mempunyai satu soemoay, tidak pernah ia menyebut-nyebut Ouw Bong Hoe.

Setelah diusir dari rumah perguruan, Ouw Bong Hoe menyesal tanpa berdaya. Ia tetap masih menyintai rumah perguruannya itu. Di samping kedukaannya, ia penasaran. Di dalam hatinya ia berpikir keras: Apa mungkin di dalam dunia ini tidak ada kepandaian yang dapat diyakinkan bersama di antara sepasang suami isteri? Kata gurunya, Ittjie sian akan berkurang bila orang menikah. Inilah ia sangsikan. Alasan gurunya ialah bila menikah, orang telah kehilangan keperjakaannya. Mustahilkah tidak ada jalan, atau ilmu,untuk memegang kekal keperjakaan itu? Karena penasaran ini, ia lantas merantau, ia mencoba mencari ilmu untuk membuktikan tak benarnya pendirian gurunya itu. Sudah
belasan tahun ia merantau, masih ia belum peroleh ilmu yang dicari itu, tapi masih ia terus mencari.

Pernah Ouw Bong Hoe dengar Tantai Mie Ming berbicara perihal Thio Soe Seng dan Pheng Hoosiang, bahwa Pheng Hoosiang itu mempunyai kitab "Hiankong Yauwkoat." Ia tertarik pada kitab itu, walaupun ia belum tahu apa isinya. Ia menaruh kepercayaan besar atas kitab itu mengingat lihaynya Pheng Hoosiang. Maka ia mencoba mencari kitab itu.

Baharu pada bulan yang sudah ia pulang ke Mongolia, dengan kebetulan bertemu Ngochito, pahlawan Yasian. Ngochito memberitahukan bahwa ia telah mendapat keterangan, di mana harta Thio Soe Seng serta kitabnya telah disimpan, disembunyikan,di Souwtjioe, bahwa untuk mendapatkan itu, lebih dahulu mesti didapatkan petunjuknya yaitu sebuah gambar lukisan yang berada pada Tjio Eng. Ngochito tahu, itu adalah soetee dari Tantai Mie Ming, dia lantas minta bantuannya. Ia suka memberikan bantuannya,sebab ia mengharap nanti memperoleh kitab Pheng Hoosiang. Lantas ia turut Ngochito ke pesanggrahannya See To. Kebetulan sekali, di sini ia bertemu Thio Tan Hong dan
mendapat keterangan "Hiankong Yauwkoat" sudah didapatkan si orang she Thio. Ia adalah dari tingkatan terlebih tua, iapun menganggap dirinya sebagai seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, tidak sudi ia meminta kitab dari Tan Hong. Maka ia sudah lantas mengundurkan diri.

Ouw Bong Hoe ini tidak mempunyai kesan baik terhadap bangsa asing, lebih-lebih karena niatnya adalah mencari kepandaian yang terlebih tinggi, ia tidak perhatikan urusan peperangan antara hangsa Watzu dan Kerajaan Beng, meski begitu, karena ia tahu duduknya hal, tidak suka ia melihat Tan Hong beramai terbinasa ditangan Ngochito dan See To, ia tidak ingin kitab Pheng Hoosiang nanti terjatuh ke dalam tangan pahlawan Mongolia, dari itu seberlalunya dari sarangnya See To, terus ia pergi ke tempatnya Kimtoo Tjioe Kian, untuk memberikan kisikannya dengan menimpukan surat budek yang
ditusukkan pada golok.

Tentang Lim Sian In, si adik seperguruan, walaupun di lahir ia tidak memberikan sesuatu petunjuk, di dalam hatinya, ia tak dapat melupakan Ouw Bong Hoe, sang kekasih.

Setelah sepuluh tahun lebih mengikuti gurunya, dia telah peroleh kepandaian tinggi, oleh gurunya ia disuruh turun gunung, untuk berdiri sendiri. Ia lantas ambil tempat di sebuah gunung di luar Ganboenkwan. Di sini ia terus melatih dirinya, untuk itu ia tidak menerima murid. Baharulah beberapa hari yang lalu, Ouw Bong Hoe datang padanya, hingga soeheng dan soemoay itu bertemu pula.

Banyak yang mereka bicarakan, tetapi keduanya berduka, sebab jodoh mereka telah terhalang. Sampai waktu itu, mereka masih tidak berani bicara mengenai hal jodoh mereka. Kemudian Ouw Bong Hoe bercerita mengenai kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe akan keluar dari Ganboenkwan.

"Selama beberapa puluh tahun soehoe bercita-cita untuk dapat menangkan Hian Kee Itsoe," berkata Lim Sian In, "hanya selama beberapa puluh tahun itu, entah kepandaian istimewa macam apa lagi yang telah diciptakan Hian Kee Itsoe itu. Soehoe pun mengharap-harap yang murid-muridnya nanti dapat menangkan juga murid-muridnya Hian Kee Itsoe itu, guna mengangkat pamornya. Sekarang ada kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe, mari kita pergi keluar Ganboenkwan, untuk menemui mereka, untuk kita mencoba mengadu kepandaian. Syukur jikalau kita dapat menangkan mereka, tapi
andaikata kita tidak berhasil, sedikitnya kita sudah ketahui tentang kepandaian mereka itu.

Dengan demikian, kita jadi berbuat jasa untuk soehoe. Siapa tahu, karena jasamu ini,mungkin soehoe kasihan dan akan sudi menerima pula kau dalam rumah perguruan..."

Ouw Bong Hoe tertarik mendengar pikiran adik seperguruan ini.

"Baiklah, mari kita pergi, untuk mencoba-coba," ia nyatakan persetujuannya.

Demikianlah keduanya turun gunung. Mereka lantas pergi ke jalan di mana orang akan lewat, untuk mencegat. Ouw Bong Hoe berniat mencegat kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe, tetapi kebetulan sekali, ia bertemu Tiauw Im Hweeshio, sekalian saja ia cegat hweeshio ini, yang ditantang berkelahi.

Begitulah terjadi sebagaimana kita telah ketahui.

Sebenarnya tidak puas Tiauw Im atas sikap Thian Hoa, akan tetapi ia tidak bilang suatu apa.

Sejak tadi ia memang sudah berdiam saja menantikan pertempurannya Tan Hong dan In Loei, dan kepandaian Tan Hong, sang keponakan murid, membuatnya ia kagum. Ia tidak sangka, keponakan murid itu demikian gagah, sanggup melayani orang yang ia sendiri tidak bisa melawannya.

"Apakah kau Tjia Thian Hoa?" tanya Lim Sian In kepada penantangnya.
"Tidak salah, akulah Tjia Thian Hoa yang rendah," jawab Thian Hoa.
"Telah aku dengar," Lim Sian In berkata pula, "di antara murid-murid Hian Kee Itsoe,Tjia Thian Hoa-lah yang terpandai, hari ini kau datang kemari, inilah kebetulan. Aku juga ingin menyaksikan kepandaianmu!".

Terus ia menyerang dengan tangan kirinya, dengan gaetannya.

Thian Hoa sambuti gaetan itu, sambil memutar tangannya, ia tarik kembali pedangnya.

Kimkauw Siantjoe terperanjat. Ia kena ditarik, hampir saja gaetannya terlepas. Ia terutama kaget karena gaetannya adalah untuk menaklukkan golok dan pedang, siapa tahu, sekarang gaetannya kena "ditaklukkan" pedang lawan! Thian Hoa lantas bertindak terus, selagi si nona melengak, ia gerakkan lagi pedangnya, menarik terus. Inilah jurus yang liehay dari gurunya.
Kimkauw Siantjoe tidak menjublak lama, untuk menolong gaetannya, supaya terlepas,pedangnya di tangan kanan membarengi bekerja, menikam dengan tikaman "Gioklie tjoantjiam" atau "Bidadari menusuk jarum," ke arah jalan darah hiankee hiat-nya. Inilah tipu "Wie Goei kioe Tio" atau "Mengurung negeri Goei untuk menolong negeri Tio," supaya Thian Hoa segera menarik kembali pedangnya.

"Mana aku sudi membiarkan diriku ditikam..." kata Thian Hoa dalam hati kecilnya. Ia lantas berkelit, pedangnya sendiri masih terus dipakai menempel gaetan lawan itu.

Sian In juga menggunakan tipu, yaitu selagi orang berkelit, ia putar gaetannya begitu rupa sambil terus menarik, maka untuk girangnya, gaetan itu dapat diloloskan, sedang pedangnya, yang dipakai menikam, diubah untuk diteruskan dipakai membabat. Inilah gerakan "Pengsee lokgan" atau "Burung belibis turun di pasir datar."

"Bagus!" memuji Thian Hoa atas kecerdikannya itu. "Kimkauw Siantjoe, pujian untukmu bukannya pujian kosong belaka!"

Sambil berseru demikian, ia tangkis pedang orang berikut gaetannya, yang sudah dibarengi dipakai menyerang juga. Tapi ia tidak cuma menangkis, setelah itu ia merangsak, ia membabat dan menikam silih ganti, untuk mendesak. Dengan jalan ini ia berhasil membuat si nona cuma bisa membela diri sambil mundur, hingga si nona pun,dengan diam-diam, memuji keliehayan lawan ini. Ia harus mengakui, Thian Hoa berada di atasan soeheng-nya.

Selagi Thian Hoa tempur Lim Sian In, Tan Hong sudah bertarung pula dengan Ouw Bong Hoe. Kali ini Tan Hong lawan musuh itu satu sama satu, ia tidak mengerubuti pula bersama In Loei. Sebenarnya ia bukan tandingan orang she Ouw itu akan tetapi sekarang ia menang di atas angin. Inilah karena Bong Hoe sudah lelah, setelah melayani Tiauw Im Hweeshio dan dikepung sepasang pemuda-pemudi yang liehay ilmu pedangnya. Begitulah selama tiga puluh jurus, ia tidak dapat menang di atas angin.

Sambil berkelahi, kerap kali Thian Hoa lirik muridnya. Ia menjadi sangat girang melihat muridnya peroleh kemajuan sangat pesat, malah serangannya luar biasa, hingga ia menjadi heran. Akhirnya ia tertawa berkakakan.

"Ouw Bong Hoe!" ia berkesempatan meneriaki muridnya Siangkoan Thian Va itu.
"Bagaimana? Sampai muridku saja kau tidak sanggup melawan?..."

Ouw Bong Hoe sangat mendongkol, karena mana tiga kali ia membalas menyerang secara dahsyat, secara berani ia mendesak, jari-jari tangannya yang liehay bekerja. Ia selalu mencari jalan darah Tan Hong.

Anak muda itu cerdik, selagi didesak, ia perkecil kalangan pembelaannya, ia membuat dirinya seperti terkurung pedangnya, hingga biarpun dia sangat kosen, tidak dapat Ouw Bong Hoe memecahkan kurungan itu, hingga sia-sia saja penyerangan membalas itu.

Sang waktu berjalan cepat, kedua pihak telah berkelahi sampai kira-kira delapan puluh jurus. Di pihak Thian Hoa, dia dapat membuat Lim Sian In main mundur. Adalah dipihak Ouw Bong Hoe, Tan Hong yang main mundur, tetapi dia tetap kuat dengan pembelaan dirinya.

Kembali Thian Hoa tertawakan orang she Ouw itu.

"Bagaimana, Ouw Laodjie?" serunya mengejek. "Sudah hampir seratus jurus! Apa masih tetap kau tidak sanggup mengalahkan muridku?"
Ouw Bong Hoe menjadi malu sendirinya, karena tak dapat merubuhkan satu lawan dari tingkatan lebih muda. Ia pun menjadi berkuatir karena menampak Lim Sian In didesak musuh yang mulutnya jail itu. Maka ia pikir baiklah jangan dilanjutkan pertandingan itu.

"Tjia Thian Hoa," ia lantas menyahuti, "muridmu ini memang tidak kecewa! Hanya aku lihat, kepandaianmu juga tak lebih tinggi daripadanya! Kau tahu, aku biasa menyayangi anak-anak muda yang kepandaiannya sempurna, dan itu suka aku membiarkan dia dapat bernapas. Sudah, Thian Hoa, hari ini baiklah pertandingan jangan dilanjutkan. Lain hari saja hendak aku mohon pengajaran dari kau sendiri..."

Untuk membuktikan kata-katanya itu. Ouw Bong Hoe lompat mundur, untuk keluar dari kalangan.

Perbuatannya ditelad Lim Sian In, habis mana, bersama-sama mereka lantas menyingkir ke arah barat utara.

Tjia Thian Hoa biarkan orang angkat kaki.

"Eh, Tan Hong, dari mana kau peroleh kepandaianmu?" guru ini tanya muridnya. Ia bicara sambil tertawa. "Lagi dua tahun maka aku tidak berani menjadi gurumu pula!" Lalu ia teruskan kepada Tiauw Im Hweeshio, soeheng-nya itu: "Hari ini kita menang di atas angin, tetapi ilmu silat mereka benar-benar jarang nampak di dalam Rimba Persilatan.

Muridnya demikian liehay, maka dapatlah dimengerti entah bagaimana liehaynya Siangkoan Laokoay sendiri! Guru kita tidak sudi bertempur dengan Siluman Tua itu, maka aku kuatir, aku berdua soemoay-mu pun mungkin rubuh di tangannya..."

Tan Hong hendak tuturkan gurunya bahwa ia telah mendapatkan kitab Pheng Hoosiang, akan tetapi sebelum ia sempat bicara, ia heran menampak muka Tiauw Im Hweeshio menjadi suram dengan mendadak.

"Hm, kau masih ingat soehoe?" katanya, suaranya dalam.

Thian Hoa heran.

"Soeheng, apa katamu?" dia tanya. "Aku tadinya menyangka hari ini kau tidak akan datang..." kata soeheng itu. Ia tidak gubris pertanyaan orang.

"Apakah soeheng sesalkan aku datang terlambat?" tanya soetee itu.

Masih Tiauw Im tidak sahuti adik seperguruan itu, ia hanya menoleh kepada In Loei,keponakan muridnya itu.

"Eh, In Loei, kebetulan sekali kau datang kemari!" katanya. "Kau tahu hari ini tanggal berapa?".

Si nona tercengang. Ia berada di dalam perjalanan, ia sampai lupa tanggal. Ia ingat sudah dua malam rembulan bercahaya terang, maka ia menduga, kalau bukan tanggal lima belas tentu tanggal enam belas. Belum sampai ia menyahut, Tan Hong telah mendahuluinya.

"Hari ini tahun Tjengtong Capgwee Caplak!" kata keponakan murid yang lelaki.

Sekonyong-konyong saja In Loei ingat hari ini, Capgwee Caplak, tanggal enam belas bulan sepuluh, adalah hari dari tahun yang ke sepuluh meninggalnya kakeknya yang sangat menderita itu. Ia sudah seperti melupakan hari peringatan itu, atau sekarang hari itu nampak sangat nyata, maka tidak terasa lagi, air matanya turun bercucuran...

Baharu sekarang Tiauw Im menoleh kepada adik seperguruannya.

"Tjia Thian Hoa," ia berkata, "pada sepuluh tahun yang lampau itu, apakah yang kita bicarakan di sini?"
Tanpa bersangsi, Tjia Thian Hoa menjawab: "Hari itu kita berdua berjanji saling menepuk tangan! Kita berjanji, yang satu merawat si anak piatu, yang satu lagi menuntut balas. Kau berjanji untuk membawa cucu perempuan dari In Tjeng kepada soemoay,untuk dirawat sampai menjadi manusia, dan aku berjanji akan pergi ke Watzu untuk membunuh Thio Tjong Tjioe!"

Tiauw Im angkat kepalanya dengan jumawa, ia tertawa dingin.

"Jadi kau masih ingat janji kita dengan terang sekali!" katanya pula. "In Loei, mari sini!"

Nona In menghampiri dua tindak.

"Kau lihat!" berkata pendeta itu kepada adik seperguruannya. "Inilah bocah cilik yang dahulu dan sekarang telah menjadi begini besar dan kenamaan sebagai ahli pedang! .

Dengan begini selesailah tugasku! Kau? Bagaimana dengan kau? Kau bawa atau tidak kepala Thio Tjong Tjioe?"

"Tidak!" sahut Thian Hoa dengan tenang.

"Hm!" si pendeta perdengarkan ejekannya. "Nyatalah kau kemaruk kekayaan dan kemuliaan, tanpa tahu malu kau telah bekerja untuk musuh!" .

Membarengi kata-katanya itu, Tiauw Im serang soetee-nya dengan tongkatnya. Hebat serangan itu, tongkat sampai perdengarkan angin menderu.

Thian Hoa berkelit, ia lolos dari serangan tongkat itu.

"Sabar!" ia berkata. "Mana soemoay? Datangkah dia kemari?"

Tapi Tiauw Im menjadi bertambah gusar, meluap hawa amarahnya.

"Kau berani mengandalkan kepandaianmu untuk menghina soeheng-mu?tt dia berteriak. "Aku tidak membutuhkan bantuan soemoay1. Aku hendak menghajar kau dengan tiga ratus tongkatku ini! Jikalau benar kau berani melawan yang lebih tua,hunuslah pedangmu, bunuhlah aku!"

"Bukan, bukan maksudnya," jawab Thian Hoa, sang soetee. "Aku duga kau dan soemoay datang bersama. Kenapa dia tidak kelihatan?" .

Memang Tiauw Im telah menjanjikan soemoay-nya, adik seperguruannya, Yap Eng Eng,guru In Loei, untuk pergi ke Ganboenkwan, guna mencari Tjia Thian Hoa, oleh karena kudanya lebih kuat larinya, ia sampai terlebih dahulu daripada soemoay itu. Tapi ia menjadi heran, mengapa sang soemoay masih belum tiba, sedang seharusnya dia sudah mesti sampai. Maka itu ditanya Thian Hoa, ia melengak.

"Mari kita tunggu tibanya soemoay, baharu kita bicara pula!" kata Thian Hoa. "Nanti dapat kita bicara jelas."

Kembali bangkit hawa amarahnya si pendeta. "Ha, kiranya di matamu sudah tidak ada soeheng-mu ini!" dia berteriak. Dia sangka, karena soetee itu mendesak menantikan Vap Eng Eng, dia jadi tidak dipandang. Dan sambil membentak, dia menyerang pula.

Menuruti tabeatnya itu, Tiauw Im menyerang terus menerus sampai tujuh atau delapan kali, hingga Thian Hoa hanya menyeringai, berduka dan malu. Dengan terpaksa soetee ini gunakan kepandaiannya, untuk menghalau diri, dengan berkelit atau menangkis, akan achirnya, menahan turunnya tongkat.

"Tan Hong, kebetulan kau datang di sini!" katanya pada muridnya. "Coba kau bicara dengan djiesoepee-mu ini!"
"Urusan Tan Hong telah aku mengetahuinya lebih dari separuhnya" Tiauw Im mendahului keponakan muridnya. "Dia memang tak kecewa menjadi satu laki-laki sejati! Akan tetapi ayah adalah ayah, anak adalah anak, di mana naga beranak sembilan macam, ayah, anak dan saudara-saudara pun berbeda satu sama lain! Thio Tjong Tjioe sudah menakluk kepada bangsa Watzu, dia menjadi menteri muda, dialah penghianat dan dorna yang telah bekerja sama dengan musuh! Perbuatannya itu tidak
ada sangkut pautnya dengan Tan Hong! Aku cuma hendak menegurmu karena kesalahanmu, yang sudah melanggar janji dan sumpah kita!"

Merocos bagaikan petasan demikian kata-kata si pendeta, yang mengumbar isi perutnya yang panas. Dan belum habis ia bersuara, tongkatnya sudah menyerang pula! .

Memang Hokmo thunghoat, sekali dipakai menyerang, mesti saling susul tak hentinya, umpama gelombang menyusun gelombang, maka juga Tiauw Im ini, agaknya, kecuali tongkatnya dirampas, tidak akan mau berhenti.

Thian Hoa terus menerus berkelit, ia masih saja tertawa meringis.
Tan Hong pun bingung, tak tahu ia mesti mengucapkan apa.

Selagi Tjia Thian Hoa berada dalam kesulitan, tiba-tiba terdengar suatu suara luar biasa, yang seperti mengaung lewat di udara. Suara itu mirip dengan terompet orang Ouw akan tetapi terlebih keras.

Mendengar suara itu, muka In Loei menjadi pucat.

"Toako, mari turut aku!" ia segera berkata kepada Tan Hong.
"Ada apakah?" tanya si anak muda.

Selagi anak muda ini menanya In Loei, Tjia Thian Hoa telah menyampok tongkat Tiauw Im Hweeshio, setelah mana ia enjot tubuhnya, untuk lompat mencelat, bagaikan burung menembusi rimba, demikian ia tiba di samping kudanya Tiauw im.

Kuda putih itu nampaknya kaget, dia angkat kepalanya, dia merangsang dengan kedua kaki depannya, tetapi Thian Hoa, tanpa pedulikan itu, sudah lompat naik ke bebokongnya, sedang pundaknya, yang dicekal, lantas ditepuk perlahan-lahan. Segera kuda itu lari,sambil meringkik tak hentinya, seperti orang yang tidak suka tunduk kepada penunggangnya yang asing ini.

Tiauw Im menjadi sangat gusar.

"Kau berani bawa kabur, kudaku!" dia berteriak.

Thian Hoa merasa lucu mendengar suara soeheng-nya. Kuda itu toh ia yang mencurinya, untuk si soeheng menyingkirkan diri dari bahaya, sekarang soeheng itu membuka mulutnya tanpa berpikir lagi! .

In Loei pun sudah lompat naik ke kudanya, yang ia kaburkan keras, selagi kabur, tak hentinya ia berpaling ke belakang, kepada Tan Hong, berulang-ulang, untuk diajak lari bersama, seperti tadi ia mengajak sahabat itu.

"Tan Hong, mari pinjamkan kuda putihmu kepadaku!" kata Tiauw Im pada keponakan muridnya itu. Ia hendak pinjam kuda orang, untuk mengejar Thian Hoa.

Tan Hong sahuti paman guru itu sambil tertawa.

"Djiesoepee, hari ini kau sangat lelah, baiklah kau beristirahat" demikian keponakan murid ini. "Sebentar aku datang menengok pula padamu!"
Dan ia lompat naik ke atas kudanya, untuk terus kabur, guna menyusul In Loei.

Bukan kepalang mendongkolnya paman guru ini, karena ia merasa tidak dihiraukan,saking penasaran, terpaksa ia lari kepada kuda Thian Hoa, untuk dipakai mengejar.

Ketiga kuda itu jempolan, bukan saja larinya sudah terlebih dahulu, juga larinya sangat pesat, maka itu, meski kuda Thian Hoa bukan kuda jelek, kuda ini tidak sanggup menyusul ketiga kuda itu. Inilah menyebabkan si pendeta mendongkol terus menerus.

Tjiauwya saytjoe ma adalah yang paling kencang larinya, dalam sekejap saja Tan Hong sudah dapat menyandak gurunya, habis itu ia disusul In Loei.

Kuda putih Thian Hoa ini jempol, dia pun dapat mengendalikannya, tetapi kuda itu sendiri masih penasaran rupanya, di sepanjang jalan masih membandel saja, demikian maka In Loei pun dapat menyandaknya.

"Soehoe, ada apa?" Tan Hong tanya gurunya itu.
"Pergilah kau terlebih dahulu bersama Nona In" sahut sang guru. "Sekarang ini kau,jangan terlalu banyak bertanya..."

Tan Hong menurut, ia tepuk kudanya, untuk dilarikan, guna menyusul In Loei, siapa telah lari terus, hingga pada saat itu, ia telah melewati jauh kedua guru dan murid itu.

Diudara masih terdengar suara luar biasa tadi, satu panjang dan satu pendek,terdengarnya makin lama makin nyata.

In Loei lari terus, didampingi Tan Hong. Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas menyusul kuda merah si nona.

Suara aneh itu masih terdengar baharu kemudian lenyap...

In Loei heran, mukanya pucat pasi.

"Eh, toako, kenapa suara itu lenyap?" ia tanya Tan Hong. Ia awasi pemuda itu, ia pasang kupingnya.
Tan Hong heran, tak dapat ia berdiam lebih lama lagi.

"Adik kecil," tanyanya, "Urusan apakah ini sebenarnya? Kenapa kau nampaknya sangat ketakutan?"
"Guruku menghadapi malapetaka!..." sahut si nona akhirnya.

Tan Hong kaget sekali.

"Gurumu?" ia balik menanya.
"Benar!" jawab In Loei. "Itulah tanda bahaya dari guruku. Cuma aku dan samsoepee yang kenal suara pertandaan itu!"

Tan Hong tetap heran.

"Gurumu sangat liehay, di jaman ini, cuma beberapa orang saja yang sanggup
menempur dia maka heranlah aku, kenapa dia dapat menghadapi bahaya?" berkata Tan Hong.
"Aku pun tidak mengerti, tetapi itu benar tanda bahaya daripadanya!" In Loei menyahuti.

Di gunung Siauwhan San tumbuh semacam pohon bambu, kalau batang bambu itu dibuatnya sebagai seruling, kalau ditiup, suaranya nyaring dan tajam, suara itu dapat didengar sampai sepuluh lie jauhnya. Hoeithian Lionglie liehay tenaga dalamnya, maka dengan meniup seruling itu, dia dapat perdengarkan hingga dua kali lipat jauhnya, sampai kira-kira dua puluh lie, sedang suara itu diperdengarkan di tanah pegunungan yang sunyi.

Tadinya, semasa ia belum berlatih dengan duduk bercokol menghadapi tembok, untuk menjalankan hukuman gurunya, Yap Eng Eng gunakan seruling itu sebagai alat tetabuhan biasa, sebagai mainan saja. Waktu itu secara memain ia berkata pada Thian Hoa,umpama kata dikemudian hari ia menemui sesuatu bencana, akan ia tiup serulingnya itu sebagai tanda bahaya, untuk memohon bantuan.

Kemudian, ketika In Loei naik ke gunung untuk menuntut pelajaran pada gurunya ini, selama sepuluh tahun, antara mereka berdua, guru dan murid, tidak ada soal yang tidak dibicarakan, maka itu, In Loei mengetahui hal seruling itu.

Itulah suara seruling yang In Loei dan Tjia Thian Hoa dengar sebagai suara yang luar biasa, yang mengalun jauh diudara, maka itu keduanya menjadi kaget, lantas mereka lari kabur meninggalkan Tiauw I m Hweeshio.

Suara seruling itu berhenti dengan tiba-tiba, itulah tanda bahwa Yap Eng Eng mungkin sudah menghadapi bencana hebat atau jiwanya telah melayang, kalau tidak, mesti dia masih sanggup meniupnya terus.

Tan Hong bercekat apabila ia mendengar keterangan Nona In. Tiba-tiba ia ingat Siangkoan Thian Ya berada di gunung di perbatasan antara Mongolia dan Thibet. Ia merasa pasti, kecuali gurunya sendiri, Hian Kee dewi kz Itsoe, cuma Siangkoan Thian Ya seorang yang sanggup lawan Hoeithian Lionglie. Mungkinkah Siangkoan Thian Ya berada di sini dan dia menyusahkan Yap Eng Eng? Tapi dia berkedudukan di tingkat atas, sulit untuk mempercayai kedatangannya dari tempat ribuan lie hanya untuk mengganggu gurunya In Loei. Habis, kalau bukan dia, siapa lagi?

Apa yang ia pikirkan, Tan Hong utarakan pada Nona In. In Loei pun sependapat dengannya. Keduanya menjadi sangat bingung, apapula In Loei, yang menjadi berkuatir.

Dengan berhentinya suara seruling, sukar untuk mereka mencari arah dari mana tadi suara seruling itu datang.

"Toako, bagaimana sekarang?" In Loei tanya. Yang sukar, suara tadi mengalun di udara, coba datangnya dari bawah, tentu lebih mudah mencarinya.

Dalam keadaan bingung dan berkuatir, tiba-tiba mereka lihat dua penunggang kuda di depan mereka. Mereka kenali, kedua orang itu adalah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.

Kuda mereka lari sangat pesat, dengan tidak disengaja, mereka telah dapat menyusul soeheng dan soemoay itu.

Ouw Bong Hoe berpaling, dia tertawa.

"Eh, Thio Tan Hong, apakah kamu menyusul kami untuk bertempur pula?" dia tanya.

Tan Hong tidak menjadi gusar.

"Tidak," ia menjawab dengan tenang. "Aku hanya ingin bertanya apakah di wilayah ini berdiam seorang berilmu..."

Masih orang she Ouw itu tertawa.

"Mana mungkin orang berilmu dapat kau ketemukan?" katanya, mengejek.
"Aku tidak peduli dia suka menemui aku atau tidak, aku hendak minta kau ajak aku pergi padanya, itu juga kalau kau suka menjadi pengantar kami," kata Tan Hong.
"Kau sungguh seorang yang kenal adat istiadat!" berkata Ouw Bong Hoe.
Ia kewalahan karena orang tidak dapat dipancing kegusarannya. Ia lantas berpaling kepada Lim Sian In, lalu berkata: "Sammoay, coba kau tolong menanyakannya."

Kimkauw Siantjoe tidak menjawab soeheng itu, ia hanya perdengarkan suitan panjang,atas mana, tak lama berselang, ia mendapat penyahutan yang bersamaan, hanya suara ini jauh lebih nyaring dan berpengaruh, suatu tanda, bahwa orang yang mengeluarkan suara itu sempurna tenaga dalamnya.

Mendengar jawaban itu, Lim Sian In menggelengkan kepala.

"Hari ini orang berilmu itu tidak sudi menemui siapa juga!" ia kata.

Tan Hong tidak bilang suatu apa, akan tetapi ia telah mendengar nyata. Suara itu datangnya dari bukit yang berdekatan.

"Terima kasih untuk kebaikanmu!" katanya pada kedua orang itu sambil menunjukkan hormatnya.

Terus ia menoleh pada In Loei: "Mari, soemay" ia mengajak.

Keduanya lantas meninggalkan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.

"Hai!" si Nona Lim memanggil. "Kamu belum mendapat ijin, tetapi sudah lancang hendak mendaki bukit, apakah kamu hendak cari mampus? Ingat, kamu masih berusia sangat muda, sayang jikalau kamu sampai mati..."

Tan Hong dan In Loei tidak pedulikan kata-kata orang itu, mereka larikan terus kuda mereka, hingga di lain saat tibalah mereka di kaki bukit yang mereka tuju. Sekarang sesudah berjauhan dengan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, mereka jalankan kuda mereka perlahan-lahan, dan akhirnya mereka lompat turun dari kuda mereka, untuk mendaki bukit dengan berlari-lari dan berlompatan, dengan menggunakan kepesatan tubuh mereka.

Sebentar kemudian sampailah mereka di tengah perjalanan memanjat, mereka merasakan siuran angin halus, yang membawakan harum bunga segar, hingga hati mereka menjadi rawan.

"Inilah bau harum yang biasa dipakai guruku," berkata In Loei, yang hatinya menjadi sedikit lega. "Untuk mendapatkan harum wangi yang ia gemari, soehoe membuatnya sendiri air wangi Pekhoa hiang."

Lega hati Tan Hong mendengar keterangan In Loei ini. Teranglah Hoeithian Lionglie berada di gunung itu. Maka tidak ayal lagi, terus lari naik.

In Loei lari mengikuti, sampai mereka tiba di puncak gunung.

-ooo00dw00ooo

Di atas gunung itu ada sebuah kelenteng, di samping kelenteng ada sekelompok hutan bambu, yang terkurung dengan tembok merah. Bagus pohon-pohon bambu itu yang tingginya melewati tembok. Suasana di situ sangat tenteram. Dan di situ, pemuda dan pemudi ini dapat mencium harum tadi, semakin keras.

"Kenapa tidak terdengar suara senjata beradu?" tanya Tan Hong. Ia seperti bicara seorang diri.

Nona In juga heran sekali, ia menjadi curiga, maka ia lantas hunus pedangnya, setelah mana ia enjot tubuhnya untuk meloncat naik.

"Di sini ada orang berilmu yang tertua, jangan sembarangan..." Tan Hong nasehati.

Tapi sudah kasip. Ingin ia menjambret si nona, tetapi tidak keburu. In Loei sudah sampai di atas tembok.

Berbareng dengan gerakan In Loei terdengar tertawa dingin disusuli bentakan:
"Lepaskan pedangmu!"

Itulah bentakan yang suaranya halus, seperti suara wanita.

In Loei terkejut, pedangnya seperti tersampok, tubuhnya pun limbung, hampir ia rubuh terpeleset, syukur ia sudah cukup terlatih, pedangnya tidak terlepas, tubuhnya tidak rubuh. Ketika ia berpaling, ia lihat Tan Hong pun sudah lompat naik dan roman si anak mudapun berubah seperti ia sendiri.

Juga pemuda itu mendengar bentakan "Lepaskan pedangmu!" dan merasakan sampokan, akan tetapi ia lebih liehay daripada In Loei, ia tidak sampai terhuyung. Hanya ia dibarengi dengan serangan senjata rahasia, hingga ia mesti berkelit sambil menangkis.

Untuk herannya dan kagetnya, ia dapatkan senjata rahasia itu adalah daun bambu, yang ujungnya lancip seperti bekas diraut, dan karena serangan itu, tangan bajunya sampai berlobang!

Tan Hong kaget dan bergidik, karena tentang senjata rahasia semacam itu, pernah ia mendengar dari gurunya. Senjata rahasia daun bambu itu dibubuhi kata-kata "Memetik daun, menerbangkan bunga, sekali melukai, mesti orang mati segera." Dan inilah baharu pertama kali ia melihat senjata rahasia yang istimewa itu, yang membutuhkan latihan tenaga dalam yang luhur sekali. Ketika Tan Hong lihat pedangnya In Loei, kembali ia jadi heran. Bahagian yang tajam dari pedang si nona itu seperti dilapok daun bambu. Itulah aneh, mengingat ketajaman pedang itu, yang dapat dipakai memapas besi, tetapi daun saja tak dapat dipotong...

Kemudian terdengar dari dalam pohon bambu helaan napas seperti yang mengagumi kepandaian pemuda dan pemudi itu.

Tan Hong yang tahu diri sudah lantas perdengarkan suaranya.

"Teetjoe adalah Thio Tan Hong dan In Loei," demikian ia berkata. "Kebetulan saja kami lewat di sini, tidak tahu kami bahwa ada tjianpwee, maka itu kami mohon maaf untuk kelancangan kami..."

Menyahuti suara Tan Hong itu, terdengar pertanyaan dan titah yang keluar dari suara yang membentak tadi: "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Baik, kamu boleh lompat turun!"

"Maaf!" kata Tan Hong meski ia belum melihat rupa orang, lalu bersama-sama In Loei ia lompat turun ke sebelah dalam tembok.

Segera setelah tiba di dalam kelompok pohon bambu itu, di mana ada lapangan terbuka, kedua orang ini menyaksikan pemandangan yang mengherankan mereka. Mereka tampak dua orang wanita sedang bertarung. Yang satu seorang wanita dari usia pertengahan yang romannya cantik, yang lainnya satu nyonya tua yang rambutnya beruban!

Tapi In Loei menjadi sangat girang. "Soehoe" dia berseru. "Apakah soehoe baik! Inilah teetjoe."

Si nyonya usia pertengahan, yang sedang bertempur hebat, cuma perdengarkan suara "Ai..." lalu ia berkelahi, agaknya tidak berani ia mengganggu pemusatan pikirannya.

Dengan mendengar panggilan In Loei, tahulah Tan Hong bahwa si nyonya usia pertengahan itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, guru kawannya itu. Sudah lama ia dengar namanya bibi guru itu, yang ilmu pedangnya kesohor seperti ilmu pedang gurunya, baharu sekarang ia lihat romannya, maka dengan sendirinya ia lantas menaruh perhatian.

Yap Eng Eng menggunakan pedang Tjengkong kiam yang umum, cara bersilatnya sama seperti cara In Loei, dia cuma menang gesit dan pesat, menang berlipat kali daripada muridnya itu. Pun aneh, pedang dimainkan begitu sebat tetapi suara anginnya tidak terdengar, jadi gerakan itu mirip dengan "hengin lioesoei" atau "mega melayang air mengalir."

"Benar-benar hebat!" Tan Hong memuji dengan kekaguman. "Sayang soehoe belum tiba, kalau tidak, dengan siangkiam happek, mesti si nyonya tua dapat dipecundangkan..."

Memang, Yap Eng Eng sudah liehay luar biasa, akan tetapi lawannya, tak perduli usianya telah lanjut, masih menang di atas angin, sedang senjata nyonya tua itu pun adalah sebatang bambu yang diraut mirip dengan pedang yang tajam. Kelihatannya si nyonya tua didesak, dikurung sinar pedang, akan tetapi sebenarnya, dialah yang lebih membahayakan lawannya!

Cara bagaimana Hoeithian Lionglie bisa sampai di rimba bambu itu? Sebenarnya pikirannya sedang kusut. Dia turun gunung atas ajakan Tiauw Im Hweeshio, adik seperguruannya. Dia diminta Tiauw Im untuk mencari Tjia Thian Hoa, guna menegur soetee itu. Tiauw Im memberi tahukan, apabila terbukti Tjia Thian Hoa telah berhianat,mendurhakai gurunya dengan menakluk kepada musuh, dia mesti membantu soeheng itu mengepung Thian Hoa, untuk disingkirkan dari dunia. Dengan Thian Hoa itu dia justeru mempunyai perhubungan istimewa. Sudah dua belas tahun keduanya berpisah, masih mereka memikirkan satu pada lain. Dia ketahui baik sifatnya Thian Hoa, seorang halus budi pekertinya dan teliti, berpikir panjang, tidak seharusnya Thian Hoa menakluk kepada musuh. Atau bila itu benar ia menghamba kepada Thio Tjong Tjioe, itu mesti ada sebabnya. Tapi, sebelum dia peroleh kepastian, tidak dapat dia menolak ajakan Tiauw Im si sembrono itu. Maka, tanpa membelai Thian Hoa lagi, ia turut Tiauw Im turun gunung.

Setibanya Yap Eng Eng di kota Ganboenkwan, pikirannya menjadi bertambah kusut.

Kesatu karena segera dia harus bertemu dengan kekasihnya itu, dan kedua dia kuatirkan kesudahan nya apabila Thian Hoa menjelaskan segala apa. Jikalau Tiauw Im turun tangan,apa dia mesti turun tangan juga, atau berdiam saja? Inilah yang membikin dia sulit.

Akhirnya dapat juga dia gunakan otaknya.

Dia lantas menggunakan akal.

Malam itu di rumah penginapan dalam kota Ganboenkwan,Eng Eng beritahu Tiauw Im Bahwa dia kurang sehat pertama disebabkan dia telah melakukan perjalanan jauh, kedua karena pertukaran hawa udara, yang kurang tepat untuk dirinya. Maka malam itu dia hendak bersamedhi, untuk memusatkan pikirannya, guna memulihkan kesehatannya itu.

Karenanya, dia kuatir dia nanti tidak dapat bangun pagi-pagi. Maka andaikata dia kesiangan, dia minta Tiauw Im suka berangkat terlebih dulu, nanti dia menyusul. Tapi sebenarnya, malam itu belum jam empat, dia telah mendahului Tiauw Im meninggalkan rumah penginapan. Dia ingin sampai lebih dahulu di tempat yang dijanjikan, supaya dia dapat bertemu dengan Tjia Thian Hoa berdua saja, agar dia dapat ketika meminta keterangan jelas dari Thian Hoa mengenai duduknya hal, supaya dia dapat menimbang dan mengambil putusan. Dia percaya Thian Hoa tengah melakukan tugas yang dirahasiakan, yang tak dapat diberitahukan kepada Tiauw Im. Dia percaya, terhadap dirinya, Thian Hoa suka menuturkan segala apa. Tiauw Im toh seorang yang sembrono, tidak seperti soemoay ini yang teliti. Tiauw Im turuti kehendak soemoay itu, ketika besoknya ia berangkat, ia menyangka Yap Eng Eng masih tidur di dalam kamarnya...

Dalam hal enteng tubuh, antara saudara-saudara seperguruannya, Yap Eng Eng adalah yang paling liehay, maka itu, waktu berangkat jam empat, setelah terang tanah dia sudah sampai di Ganboenkwan. Dia berjalan terus, karena ingin segera bertemu dengan Thian Hoa. Dia berangkat terlalu pagi, dia pun lari dengan cepat, ini dia ketahui, dari itu dia tertawa sendirinya karena dia masih belum bertemu saudaranya meski dia sudah maju terlebih jauh. Ketika dia perlahankan tindakannya, dia mulai memasuki sebuah lembah,ialah lembah atau selat yang merupakan jalan penting untuk wilayah Watzu memasuki daerah Ganboenkwan.

Bagus hawa udara di dalam lembah itu, permai juga pemandangannya. Bunga-bunga bwee tengah mekar. Sambil memandangi keindahan alamnya, di situ Yap Eng Eng diam menantikan Tjia Thian Hoa. Dia menjadi lebih tertarik ketika hidungnya mencium bau harum yang terbawa angin halus, yang membuat hatinya lega.

Eng Eng ingat harum bau itu pernah memasuki kamar bersemedhi Hian Kee Itsoe,gurunya. Ketika itu, Eng Eng merasa heran atas kesukaan gurunya itu. Guru itu sudah berusia tujuh puluh tahun, mengapa dia masih gemar akan bau-bauan? Tentu saja,sebagai murid, tidak berani ia minta keterangan dari gurunya itu.

Sekarang, di dalam lembah, Eng Eng dapat mencium bau yang ia kenal baik itu. Ia menjadi heran sekali. Ia dongak, akan melihat cuaca. Ia dapatkan waktu masih jauh untuk sampai kepada tengah hari, maka ia lantas bertindak, akan mengikuti bau harum itu.

Setelah sampai di atas ia tampak sebuah rumah berhala untuk niekouw, pendeta wanita,dan di samping rumah suci itu ada hutan bambunya. Dari dalam hutan bambu itulah keluarnya bau harum itu.

Dengan perlahan Yap Eng Eng bertindak ke arah rimba. Tiba-tiba dia peroleh pengalaman seperti In Loei dan Tan Hong. Dengan sekonyong-konyong orang membokong ia dengan senjata rahasia — senjata rahasia daun bambu itu. Tentu sekali, ia tidak dapat dilukai. Karena ini tahulah ia, di dalam rimba itu, mesti berdiam seorang berilmu, mungkin dia sedang bertapa.

"Teetjoe adalah murid Hian Kee Itsoe," ia lantas perkenalkan diri. Ia pun hentikan tindakannya. "Teetjoe mohon bertanya she dan nama atau gelaran tjianpwee..."

Di luar dugaan Eng Eng, di hadapannya segera muncul seorang wanita tua, romannya bengis, dia perdengarkan tertawa dingin. Tentu saja ia menjadi heran, hingga melengak.

"Apakah kau murid Hian Kee Itsoe?" tanya si uwak sambil tertawa dingin dan mengejek. "Hian Kee Itsoe katanya liehay ilmu silatnya, di kolong langit ini dialah yang nomor satu, sekarang kau berani datang kemari dengan membawa pedang, pasti kau juga pandai ilmu pedang! Baik, ingin aku mencoba kamu! Daripada muridnya, ingin aku mencoba gurunya, ingin aku ketahui, bagaimana istimewanya ilmu silat pedang Hian Kee Itsoe itu!..."

Eng Eng heran. Ia juga tidak berani turun tangan. Dari perkataan orang, rupanya orang tua ini sudah kenal gurunya.

"Teetjoe tidak tahu aturan tjianpwee di sini," katanya sambil memberi hormat, "teetjoe tidak ketahui orang dilarang memasuki rimba dengan membawa pedang, harap tjianpwee memberi maaf kepada teetjoe yang lancang ini."

CATATAN
halaman 449 — Puteri Ie Kiam, Ie Sin Tjoe kelak akan menjadi murid Thio Tan Hong
dan In Loei, Ie Sin Tjoe adalah salah satu peran utama dalam cerita-cerita berikutnya,
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (Sanhoa Lihiap) dan Kisah Pedang Bersatu Padu
(Liankiam Hongin).
halaman 452 — Taman Koaywa Lim (Saycu Lim) ini kelak terpaksa dijual Thio Tan Hong
(dalam cerita Liankiam Hongin), dan dalam cerita Pendekar Pemetik Harpa (Khongling
Kiam), anak keturunan Kiutauw Saytjoe (Singa Kepala Sembilan) In Thian Sek muncul lagi
dan menguasai kembali taman tsb. Karena dendam pada Thio Tan Hong, keturunan
Kiutauw Saytjoe membalas dendam kepada keturunan/ murid dari Thio Tan Hong dan In
Tiong.

-ooo00dwkz00ooo-

Topuhua tertawa.

"Suara berisik itu adalah suaranya pahlawan-pahlawan yang sedang bekerja," ia bilang.
"Kau jangan takut." Ia merabah jidat orang untuk rasai kepalanya si anak muda panas atau tidak.

Sekonyong-konyong Tan Hong muntah, keluarlah barang makanan yang tadi ia dahar,muntah itu mengenai pakaiannya si nona, justru pakaian baharu yang dia paling sayang.

Selagi muntah, tangannya menarik, memegang baju, hingga baju itu menjadi robek! Karena itu, kotoran pun mengenai dada yang putih halus dan montok dari si nona itu.

Walau bagaimana, nona ini mengerutkan alisnya juga.
"Ah, mengapakah kau mabuk hingga begini?" katanya. Tak dapat ia gusar, ia menjadi masgul. Ia pencet hidung orang, ia mencekoki adukan air jinsom.

Tan Hong menolak dengan mengibas-ngibaskan tangannya.
"Aku mabuk, ingin aku tidur, pergilah kau!" ia berkata. "Oh, oh, kalau kau tidak hendak pergi, mari, mari kita minum pula tiga cawan!..."
Air jinsom kena tersampok, tumpah ke pakaiannya si nona, cangkirnya pun jatuh pecah. Karena tangannya kena tersampok, Topuhua rasai tangannya itu sakit.

Tan Hong letakkan kepalanya di atas bantal, ia tidur secara sembarangan, kedua tangannya rapa-repe ke tepi pembaringan.

"Hebat mabuknya dia, obat yang manjur pun masih tidak memberikan hasil..." berkata si nona di dalam hatinya. Oleh karena pakaiannya pecah dan kotor, baunya pun keras sekali, terpaksa akhirnya ia undurkan diri.
"Buka jendela!" terdengar suaranya Tan Hong, bagaikan ngelindur. "Jangan padamkan api! Aku takut kepada gelap petang, kau tahu?"

Topuhua menoleh, justru Tan Hong muntah pula.

"Ah!..." mengeluh nona ini, yang terus bertindak keluar. Tapi ia suruh pelayannya untuk bersihkan kotoran bekas muntah itu...

Bukan main leganya hati Tan Hong setelah ia dapat kenyataan ia sudah terlepas dari libatannya nona puterinya perdana menteri Watzu itu, akan tetapi, begitu lekas ia ingat sepak terjangnya Yasian, lenyap kegembiraannya itu. Ia berbalik mesti berpikir keras.Sudah terang keras sekali minatnya Yasian untuk merampas negara. Itu pun berarti ancaman bahaya juga bagi kerajaan Beng. Untuk sementara itu, tak dapat ia memikir jalan guna menentangi tindakannya perdana menteri ini. Ia jadi berduka.

Ia pikir, mungkin tak sukar untuk ia bunuh Yasian, tetapi kesudahannya pasti itu tidak akan membawa banyak perubahan, dan di antara kedua negeri, peperangan tidak akan dapat dihindarkan. Lagipun dengan begitu, kaisar Beng yang tertawan musuh, mungkin akan terlebih sukar untuk dimerdekakan. Tan Hong sendiri, begitu juga Ie Kiam, bercitacita supaya kedua negara hidup akur dan rukun. Karena ini, tak sudi Tan Hong ambil peranan sebagai satu pembunuh terhadap Yasian itu.

Terus Tan Hong rebahkan dirinya sambil terus berpikir. Sama sekali tak dapat ia tidur.

Begitulah ketika kentongan berbunyi tiga kali, ia dengar pertanda waktu itu. Ia memandang ke arah jendela, ia tampak si Puteri Malam yang baharu muncul. Pada pepohonan ada gerakan dari angin halus. Masih ia tidak peroleh daya.

Tiba-tiba terlihat cabang pohon di muka jendela bergoyang, lalu satu bayangan orang berkelebat, belum sempat si anak muda membuka mulutnya, untuk menegur, bayangan itu sudah berdiri di depannya. Luar biasa sehatnya bayangan itu.

Akan tetapi ketika Tan Hong telah melihat roman orang, ia girang tak kepalang. Bayangan itu adalah gurunya sendiri.

"Aku lihat tanda-tanda kau di dalam kota," berkata Tjia Thian Hoa dengan perlahan,mendahului muridnya itu kepada siapa ia menggoyangkan tangan, "menuruti tanda-tanda itu, aku dapat ketemui In Loei, dari dia tahulah aku ke mana kau telah pergi, hingga aku ketahui juga kau sedang tertahan di sini. Sekarang tidak dapat kita berayal pula, mari lekas kau turut aku!"

"Sebenarnya, asal aku menghendaki, sejak tadi sudah dapat aku berlalu dari sini," Tan Hong bilang, agaknya ia ragu-ragu.
"Habis, apakah yang kau pikir?" gurunya tanya.
"Apakah soesoesiok sudah datang?" murid itu balik menanya. Dengan "soesoesiok," paman guru yang ke empat, ia maksudkan Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng.
"Dia sudah datang, sekarang dia ada di rumah penginapan tengah menemani In Loei," Thian Hoa jawab.
"Dan djiesoepee?" Tan Hong tanya pula. Thian Hoa menghela napas.
"Aku tak dapat bertemu dengannya," ia beri-tahu. Agaknya ia hendak bicara banyak akan tetapi tak dapat ia mengutarakannya itu.

"Sekarang telah aku dapatkan akal untuk meloloskan diri," berkata Tan Hong kemudian, "besok pasti aku akan keluar dari sini. Maka besok saja kita bicara pula.Sekarang ini harap soehoe tidak berlambat lagi, akan bersama Yap Soesiok segera berangkat ke istana raja!"

Tiba-tiba saja nampaknya pemuda ini menjadi gelisah.

Thian Hoa tidak mengerti. "Untuk apakah?" dia tanya.

Tan Hong segera berbisik di kupingnya guru itu, setelah mana, dengan cepat Thian Hoa angkat kaki.

Seberlalunya guru itu, baharu Tan Hong merasa hatinya lega, demikianlah ketika ia rebahkan diri, dapat ia tidur nyenyak. Ia tidak tahu berapa lama ia sudah tidur, hanya tahu-tahu ia terbangun dengan terkejut disebabkan satu suara nyaring. Ketika ia buka matanya, ia tampak Yasian telah berada di dalam kamarnya itu. Maka lekas-lekas ia berbangkit, untuk berduduk. Ia lihat sinar matahari, yang molos di jendela, maka tahulah ia, itulah di pagi keesokannya...

"Thaysoe bangun pagi-pagi sekali!" ia bilang.
"Ya, selamat pagi!" sahut perdana menteri itu. "Apakah telah lenyap mabukmu?"
"Tadi malam aku berlaku kurang hormat, harap Thaysoe memaafkannya," Tan Hong minta. Dengan itu ia telah berikan jawabannya.

Perdana menteri itu perdengarkan suara di hidung.

"Apakah kau telah dapat memikir?" ia bertanya. "Apakah kamu, ayah dan anak, sudah bersedia untuk bekerja sama dengan aku menyingkirkan Atzu, untuk sama-sama kita hidup bahagia?"
"Aku telah dapat memikir," sahut Tan Hong. "Aku justeru hendak bicara kepada Thaysoe."

Tan Hong lihat wajahnya perdana menteri itu, yang sepasang alisnya dikerutkan, romannya tawar bagaikan membeku. Diam-diam ia tertawa di dalam hatinya, karena ia bisa duga apa yang tengah dipikirkan perdana menteri ini.

Tadi malam Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, seperti biasanya, seperti ditugaskan Yasian, sudah pergi melakukan pengawasan di istana. Kira jam tiga, tengah mereka berjaga-jaga, mereka lihat berkelebatnya dua bayangan orang, yang mencelat keluar dari dalam istana. Dengan lantas mereka keluar dari tempat sembunyinya akan mencegat dan merintangi dua bayangan itu, guna ketahui siapa adanya kedua bayangan itu.

Kesudahannya adalah di luar dugaan mereka.

Dua bayangan itu sebat sekali, sebat kaki tangannya, kalau tadi mereka bisa berlari dan berlompat dengan pesat, kali ini, gerakan tangan mereka bagaikan kilat menyambar.

Sebelum Ma I Tjan tahu apa-apa, kepalanya telah kena ditabas kutung! Tjeng Kok Hoatsoe ada terlebih liehay daripada kawannya ini, akan tetap baharu dia bertempur dua jurus, kupingnya telah kena dipapas kutung! .

Bayangan itu, atau lebih benar lawannya, sambil tertawa terus berkata padanya: "Suka aku memberi ampun kepada jiwamu! Sekarang pergilah kau melaporkan kepada Yasian! Katakan padanya, jikalau dia hendak menjadi raja Watzu, kami tidak menghiraukannya,tetapi jikalau setelah berhasil merampas tahta dia hendak menyerang Tionggoan, maka tak dapat kami beri ampun kepadanya!" .

Dari perkataannya bayangan itu, terang sudah bahwa mereka adalah orang-orang Han.

Sehabis berkata begitu, keduanya segera menghilang. Ketika Yasian telah diberitahukan kejadian itu, ia kaget dan gusar sekali, di akhirnya, ia jadi sangat masgul. Bagaimana ia tidak menjadi kaget karena ia tahu liehaynya Tjeng Kok Hoatsoe, seorang Ihama dari Agama Merah yang kenamaan? Bagaimana ia tidak jadi kaget akan dengar kebinasaannya Ma I Tjan, sebab pahlawan ini tak kurang liehaynya, cuma berada di bawahan Ngochito? .

Kalau kedua pahlawan itu bisa secara demikian gampang dirubuhkan musuh, yang tidak dikenal, umpama musuh itu datang satroni ia di sianghoe, siapa sanggup rintangi mereka itu? Dengan perbuatannya itu, terang sudah mereka itu secara diam-diam tengah melindungi raja Watzu. Karena ini, ia jadi berduka. Kelihatan nyata, untuk ia mewujudkan niatnya merampas kerajaan, ia pasti akan menghadapi kesulitan. Tentu saja ia jadi mendongkol, ia jadi gusar.

Tan Hong awasi perdana menteri itu, ia tertawa.

"Thaysoe," katanya, "kau adalah seorang peperangan yang berpengalaman, kau seharusnya mengarti baik ilmu perang..."

"Habis kenapa?" tanya Yasian heran.

"Sebab ilmu perang ada membilang," sahut Tan Hong: "Bersiap terlalu banyak, menjadi terbagi, tenaga kurang, mestinya kalah. Yang paling dipantang ialah berperang berbareng di beberapa garis perang. Lihat saja di jaman peperangan Tjoen Tjioe di Tionggoan dahulu hari, sesuatu jago, sesuatu negeri, semua memperebuti negara kawan, untuk bersekutu, semua memikir mendapatkan kawan berbareng mengurangi musuh. Inilah sarinya ilmu perang itu."

"Mustahil aku tidak mengerti tentang itu?" berkata Yasian, yang tidak mau kalah. "Itu juga sebabnya kenapa aku memikir untuk bergandengan tangan denganmu. Aku pikir,paling dulu harus aku persatukan Watzu, setelah itu baharu kita bicara pula."

Tan Hong tertawa.

"Tetapi Thaysoe harus mengerti, tenaganya aku ayah dan anak ada sangat berbatas, sebaliknya kekuatannya Tionggoan tiada batas habisnya!" ia kata.

Yasian bungkam.

"Aku telah menyusup masuk ke Tionggoan, di sana aku telah melihat tegas," berkata pula Tan Hong, melanjutkan. "Melihat Tionggoan, aku jadi sangat tertarik hatiku.

Tionggoan itu luas sangat tanah daerahnya, banyak sekali rakyatnya. Maka jikalau Tionggoan itu dapat digunai dengan tepat, jangankan baharu satu, walaupun sepuluh negara Watzu sekalipun tidak nanti mampu menggoncangkan dia!"

Yasian awasi anak muda itu. "Apakah kau bicara untuk Tionggoan?" dia tanya. Kembali Tan Hong tertawa.
"Apakah Thaysoe masih belum ketahui tentang diriku?" ia balik tanya. "Bagaimana aku dapat bicara untuk Tionggoan? Jikalau aku sebagai wakilnya Tionggoan, jikalau aku hendak bicara untuk Tionggoan, pasti aku akan bicara juga untuk Watzu, tentu akulah yang terlebih dahulu membuka pembicaraan dengan Thaysoe1."

Agaknya Perdana Menteri itu kena terdesak.

"Baiklah," katanya kemudian. "Kau bicaralah!"
"Sekarang ini Ie Kiam memegang kekuasaan di Tionggoan, dia telah atur kuat angkatan perangnya," berkata Tan Hong. "Pertama kali Thaysoe menyerbu ke Tionggoan, Thaysoe masih dapat menyerang sampai di Pakkhia,akan tetapi kalau satu kali lagi Thaysoe menyerbu pula, mungkin untuk dapat sampai ditapal batas sajapun sukar. Itu masih belum semua. Umpama Tionggoan mendapat tahu Thaysoe berniat merampas tahta kerajaan, untuk menjadi jago, ada kemungkinan dia nanti majukan tenteranya ke Utara, untuk berserikat dengan Pangeran Atzu, untuk samasama menumpas pemberontakan di Watzu. Kalau itu sampai terjadi, Thaysoe hendak berbuat apakah?".

Hatinya Yasian bercekat. Apabila Tan Hong bicara begini pada setengah tahun yang sudah lewat, pasti dia akan mentertawainya tak hentinya. Itu waktu Yasian beranggapan dapat ia memastikan sembarang waktu untuk menakluki Tionggoan, ia sangat tidak memandang mata terhadap angkatan perang Kerajaan Beng. Adalah sesudah berperang di Pakkhia, baharu ia insyaf bahwa Tionggoan tak gampang untuk ditelannya. Dan paling belakang ini, sesudah perlawanannya Ie Kiam yang dapat mengatur tenteranya, yang juga mengandalkan peta bumi dari Pheng Hoosiang, setelah beberapa kali bertempur, ia kena dipukul mundur, hingga ia mundur pulang ke dalam negerinya, baharu ia terkejut.

Sekarang ia insyaf, memang benar tentera Tionggoan dapat berbalik mempengaruhi padanya. Dan sekarang mendengar perkataannya Tan Hong itu, pada wajahnya ia tidak menunjukkan perubahan, seperti juga ia tidak mempedulikannya, namun di hati ia kaget dan jeri.

Tan Hong biarkan orang berdiam, ia melanjutkan: "Setelah aku masuk dalam ke Tionggoan, dapat aku menyaksikan semangat rakyat yang terbangun, hingga mereka tak lagi dapat dipandang enteng. Raja mereka itu telah tertawan di Touwbokpo, kejadian itu membuatnya mereka, yang di atas dan di bawah, merasa bahwa itulah suatu hinaan besar, yang membuatnya mereka merasa sangat malu. Aku kuatir, Thaysoe, belum lagi kau sempat memimpin angkatan perang untuk berangkat ke Selatan, mereka sendiri akan mendahului maju ke Utara, guna menuntut balas. Memang benar Thaysoe ada punya angkatan perang yang tangguh tetapi aku sangsikan kau akan sanggup menangkis serbuan tentera Tionggoan itu, karena selain penyerbuan dari luar itu, di dalampun ada perlawanan dari Pangeran Atzu..."

Dua kali Yasian batuk-batuk, kali ini wajahnya berubah sedikit. Tapi, masih ia mencoba akan besarkan kepala.

"Aku masih punyakan tentera sepuluh laksa jiwa dan ribuan panglima perang!" demikian katanya. "Umpama benar Tionggoan dan Atzu menyerang berbareng dari luar dan dalam, akibatnya paling sedikitnya batu kemala dan batu koral akan musnah bersama! Satu laki-laki, jikalau dia tidak dapat menjadi satu jago, jikalau dia terbinasa,sedikitnya dia mesti terbinasa sebagai setan jagoan! Maka itu, ada apa yang harus dibuat takut?".

Tan Hong tertawa gelak-gelak.
"Jikalau belum lagi orang keluar perang, lalu dia terbinasa tidak keruan, apa jadinya?" ia tanya. "Bahwa orang berhasil dan menjadi raja, orang gagal dan menjadi berandal,itulah sudah umum. Mengenai kau, Thaysoe, kau anggap dirimu sebagai satu enghiong,tetapi orang lain, belum tentu dia mau mengakuinya kau sebagai Tjo Beng Tek..."

Yasian kena terdesak.

"Apakah benar kerajaan Beng ada demikian membenci aku hingga dia akan mengirim algojonya untuk membunuh aku?" dia tanya.

"Menurut apa yang aku ketahui, pemerintah Beng memang benar ada kirim utusannya yang berupa kiamkek," sahut Tan Hong, "hanya halnya kiamkek itu bisa atau tidak membunuh kau, itulah bergantung daripada tindak tandukmu sendiri, Thaysoe..."

"Kiamkek" adalah jago yang bersenjatakan pedang.

Yasian lantas ingat kejadian tadi malam, tanpa merasa, bulu romanya pada bangun berdiri. Tetapi ia masih tidak sudi tunjuk kelemahannya, ia paksakan diri untuk tertawa wajar.

"Pemerintah Beng ada punya kiamkek yang liehay, apakah kau sangka aku tidak punya orang kosen yang sanggup membunuh ular naga dan menakluki harimau?" begitu katanya.

Kembali Tan Hong tertawa bergelak-gelak.

"Orang kosenmu itu, Thaysoe, adalah bangsa gentong arak dan kantong nasi!" ia bilang dengan berani. "Aku kuatir, jikalau dia berhadapan dengan orang gagah sejati,dalam satu jurus saja, dia akan dibikin terbang batok kepalanya!".

Yasian berjingkrak saking kagetnya.

"Eh! Apakah kau ketahui kejadian semalam?" tanyanya kaget.
"Kejadian apakah itu?" tanya Tan Hong, tenang. "Aku cuma bicara saja. Apakah benarbenar pahlawan Thaysoe telah orang binasakan dalam satu jurus saja?"

Yasian masih ingat kejadian semalam itu, ia bergidik sendirinya.

"Tadi malam dia mabuk arak dan rebah bagaikan mayat, tidak pernah dia keluar dari kamarnya ini, tidak setindakpun jua," ia berpikir, "mungkin benar dia cuma bicara saja...Tetapi, apa yang dia katakan itu benar adanya..."
"Pahlawan yang mana itu yang telah kena dibinasakan?" Tan Hong tanya sambil tertawa.
"Ah tidak..." kata perdana menteri itu, separuh menghibur dirinya. "Tadi malam ada datang orang jahat, tapi dia telah dapat diusir pergi. Dipihak kita cuma satu dua orang terluka..."

Tan Hong tertawa pula.

"Itulah untung kamu yang bagus!" katanya pula. Ia tertawa sebab apa yang tadi malam terjadi di sianghoe, gedung perdana menteri, adalah menurut rencananya. Kebinasaannya Ma I Tjan dan hilangnya kuping Tjeng Kok Hoatsoe adalah perbuatannya Tjia Thian Hoa berdua Yap Eng Eng.

Di mulutnya, Yasian bicara makin lama makin keras, tanda bahwa ia bernyali besar,akan tetapi, di dalam hatinya ia justeru makin jeri.
"Thaysoe, rencanamu sekarang ini bukannya suatu rencana yang baik," kata Tan Hong kemudian. Dengan berani anak muda ini berikan pengutaraannya itu.

"Apakah kau mempunyai daya yang bagus?" perdana menteri itu tanya.

Tan Hong hendak buka mulutnya tatkala ia dengar suara berisik di luar gedung.

Yasian, dengan alis dikerutkan, perdengarkan suaranya, memanggil orang masuk. "Ada kejadian apakah?" ia tanya. "Ada beberapa pengemis mencoba memaksa masuk ke dalam gedung untuk meminta amal," sahut pengawal yang masuk atas panggilannya majikan itu."Mereka itu sangat menjemukan!"

Kembali Yasian kerutkan alisnya.

"Mereka toh boleh diberikan saja sedikit uang atau diusir," katanya, "perlu apa sampai mesti menerbitkan keributan?" Dan ia kibaskan tangannya, akan beri tanda supaya hambanya itu undurkan diri.

Tan Hong segera ingat sesuatu, ia lantas saja berpikir.

"Thio Sieheng, kau ada punya daya apa yang baik?" Yasian mengulangi pertanyaannya selagi anak muda itu berdiam.

Tan Hong bersenyum, ia bawa sikap dengan tenang sekali.

"Thaysoe," katanya, "jikalau Thaysoe hendak mengamankan pihak dalam maka sudah selayaknya terlebih dahulu Thaysoe membuat perdamaian dengan pihak luar.

Secara demikian baharulah Thaysoe akan terluput dari gencetan pihak luar dan dalam.

Tionggoan luas tanah daerahnya dan subur hasil buminya, jikalau Watzu tidak terlebih dahulu serbu dia, tak mungkin dia akan datang menyerang kemari. Maka itu, menurut pendapatku, baiklah Thaysoe antar rajanya pulang ke negerinya, lalu Thaysoe membuat perjanjian persahabatan dengannya. Inilah daya yang paling utama."

Yasian bungkam, ia berpikir.

Tan Hong mengawasi, ia tertawa pula.

"Ketika baharu ini Thaysoe tawan raja Beng itu di Touwbokpo," katanya, "tak lain tak bukan, Thaysoe hanya ingin bikin raja itu menjadi orang tawanan, supaya dia bisa dijadikan perkakas untuk menuruti kehendak Thaysoe, supaya cita-cita Thaysoe dapat terwujud. Demikian Thaysoe telah gunai segala macam tipu daya. Tetapi sekarang adalah lain. Ie Kiam sudah angkat raja yang baru, dengan begitu tidak ada gunanya lagi akan menahan terlebih lama kepada raja tawanan itu, malah sebaliknya, itu justeru meninggalkan bencana di belakang hari bagi kedudukan Thaysoe..."

Yasian pikir kata-katanya pemuda ini benar.

"Telah beratus kali aku bertempur dengan pemerintah Beng, pertempuran besar dan kecil, selamanya aku lebih banyak menang, sedikit kalahnya," berkata dia. "Mungkinkah aku mengantarkan kaisar Beng itu ke negerinya sambil aku harus memohon perdamaian dari Ie Kiam?"

Lagi-lagi Tan Hong tertawa. Perkataannya perdana menteri itu berarti dia telah menyetujuinya perdamaian, tapi untuk muka terangnya, dia masih membawa lagak.

"Jikalau kedua negara membuat perdamaian, keduanya harus berhubungan sebagai saudara di antara saudara," ia kata, "karena itu, ada apakah yang harus dibuat malu? Jikalau Thaysoe tidak hendak memulai mengusulkan perdamaian itu, baiklah Thaysoe minta supaya Tionggoan yang terlebih dahulu mengirimkan utusannya datang kemari untuk membicarakan urusan itu. Ini toh boleh, bukan?"

Yasian menatap orang sambil biji matanya berputar.
"Sebenarnya siapa kau ini?" dia bertanya. "Kenapa kau agaknya berani mewakilkan Ie Kiam merundingkan soal perdamaian ini?"

Tan Hong balik mengawasi, ia tertawa.
"Biarlah aku omong terus terang saja," ia menyahut. "Sebenarnya, sebelum aku pulang ke Watzu ini, lebih dahulu aku telah bertemu Ie Kiam. Apa yang aku katakan barusan adalah karena aku percaya aku tidak bakal bertentangan dengan pendapat Ie Kiam itu."

Yasian jatuhkan diri di kursi, ia nampaknya sangat lesu. Sekian lama ia berdiam saja.Baharu kemudian ia angkat kepalanya, akan menatap si anak muda.

"Apakah benar kau telah lupa akan sakit hatimu yang turun temurun itu dan sekarang hendak jual tenagamu terhadap keluarga Tjoe kaisar dari ahala Beng itu?" dia tegaskan.

Untuk kesekian lamanya, Tan Hong tertawa. Ia tertawa besar.
"Aku tidak jual tenagaku kepada siapa juga!" ia jawab, nyaring. "Aku hanya bekerja untuk Tionggoan dan Watzu! Ingin aku tanya Thaysoe, umpama kata perdamaian dapat dicapai, apakah itu bukan berarti keselamatannya kedua negara?"

Kembali Yasian bungkam. Ia mesti berpikir keras.
"Seandainya perdamaian telah dapat diwujudkan, kelak kau akan berdiam di mana?" ia tanya kemudian. Rupanya perdana menteri ini memikir jauh dan ingin ia peroleh kepastian.

"Aku adalah orang Han, sudah tentu aku pulang ke Tionggoan," sahut Tan Hong dengan terus terang.
"Bukankah itu berarti kau hendak menjadi satruku?" Yasian menegaskan pula.
"Jikalau Thaysoe tidak pimpin angkatan perangmu menyerbu Tionggoan, tak mungkin aku akan menjadi satrumu!" jawab si anak muda.
"Bagaimana dengan ayahmu?" masih perdana menteri itu tanya.
"Pasti aku akan bujuk ayah untuk pulang ke negerinya, untuk lewatkan hari-hari selanjutnya," sahut pula si anak muda.
"Apakah kamu ayah dan anak tidak kuatir nanti dibunuh kaisar Beng?"

Tan Hong tertawa.
"Jikalau itu sampai terjadi, ikhlas hatiku!" ia jawab. "Tentang itu tidak usahlah Thaysoe memusingkan kepala!"

Yasian jalan mundar-mandir, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berpikir terlebih keras pula. Ia merasa bahwa benarlah apa yang dikatakan Tan Hong itu. Memang, jikalau ia hendak kangkangi Watzu untuk dipersatukan, tidak selayaknya ia memusuhi Tionggoan.

"Thio Tjong Tjioe ayah dan anak ini pintar dan gagah," ia berpikir terlebih jauh.Sekarang ia ingat Tjong Tjioe dan anaknya ini. Jikalau mereka tinggal di Watzu, percuma saja, mereka tak dapat aku gunai tenaganya untukku, bahkan sebaliknya, mereka bisa menjadi penambah tenaga bagi pihak musuh. Oleh karena itu, lebih baik aku biarkan mereka pulang ke negerinya, supaya di sana mereka hidup tenang dan senang. Di kemudian hari, apabila aku berhasil mempersatukan betul-betul negara Watzu ini serta sudah mempunyai angkatan perang yang kuat serta rangsum cukup, perjanjian
persahabatan itu boleh aku langgar sembarang waktu, itu waktu aku ada merdeka untuk menyerbu pula Tionggoan. Sampai itu waktu, perlu apa aku jeri lagi Thio Tan Hong menjadi musuhku? Hanya bagaimana dengan jodohnya anakku?"

Tan Hong lihat orang terus berpikir, ia memotong.
"Satu laki-laki harus dapat dengan sepatah katanya mengambil keputusan, karena itu masih ada apa lagi yang Thaysoe ragu-ragukan?" ia mendesak.

Kedua matanya Yasian menjadi bersinar, rupanya ia telah dapat mengambil keputusan.

"Baik, akan aku turut perkataanmu!" katanya, nyaring. "Aku Yasian, aku bukannya orang yang dapat diperhina sembarang orang! Kalau pemerintah Beng kirim orangnya untuk membokong mati kepadaku, akan aku segera kerahkan seluruh kekuatanku, akan aku titahkan angkatan perangku meluruk ke Selatan, supaya, tak peduli kemala atau batu biasa, biar semuanya musnah bersama!"

Tan Hong bersenyum. Tahulah ia, Yasian tetap kuatirkan keselamatan dirinya.
"Orang Tionggoan paling hargakan kehormatannya," dia berkata, "maka kalau Thaysoe hendak berdamai dan bersahabat dengan sesungguh hati, tak mungkin Tionggoan akan kirim orangnya untuk membunuh Thaysoe1."

"Baiklah," kata Yasian akhirnya. "Dengan ini kita mengambil ketetapan. Akan aku tunggu tibanya utusan dari kerajaan Beng, itu waktu aku nanti membuat perjanjian perdamaian. Sekarang, coba bentangkan padaku, daya apa kau punya untuk menindas Pangeran Atzu?"

"Kami ayah dan anak sudah berketetapan untuk pulang ke negeri kami," jawab Tan Hong, "oleh karena itu, mengenai urusan di dalam negeri Watzu, kami tidak hendak campur tangan pula."

"Baik!" Yasian mengatakan pula. "Asal kamu pernahkan diri di luar kami, aku juga tidak hendak mengganggu pula pada kamu. Sekarang pergilah kau pulang, boleh kau anjurkan ayahmu untuk besok menghadap di istana, untuk dia sendiri yang majukan permohonannya meletakkan jabatan."

Tan Hong girang sekali. Sekian lama ia memutar otak, baharu sekarang ia berhasil "menundukkan" perdana menteri itu. Karena itu, ia berlaku hormat, ia undurkan diri sebagai seorang yang usianya terlebih muda. Ia baharu melangkah di pintu tempo ia ingat suatu apa, ia lantas merandek.

"Apakah kau masih hendak mohon sesuatu?" tanya Yasian, yang lihat sikap orang itu.
"Apakah itu?"
"Jikalau Thaysoe sudi memperkenankannya, aku ingin sekali ini saja menemui raja Beng," ia jawab. Yasian berpikir sebelum ia berikan ijinnya.
"Baik," demikian sahutnya. "Kau boleh sekalian bicara kepadanya, untuk beritahu sikapmu, supaya ia mengetahui maksud baik dari aku."

Perdana menteri ini sudah lantas panggil dua pahlawannya kelas satu, ia hendak titahkan mereka antarkan anak muda ini, akan tetapi mendadak ia ubah pikirannya itu.

"Lebih baik kita pergi bersama!" ia bilang.

Kedua pahlawan itu heran atas sikapnya perdana menteri ini tetapi mereka tidak berani bilang suatu apa. Tan Hong sendiri tak berkeberatan akan pergi bersama.
Kaisar Beng yang menjadi tawanan Yasian itu, yaitu Kaisar Eng Tjong yang bernama Kie Tin, telah ditahan di dalam sebuah pagoda batu di dalam gedung perdana menteri, pagoda mana diperuntukkan memuja Sang Buddha. Tangga dari pagoda itu terdiri dari tiga undak, setiap undak terjaga oleh pahlawannya perdana menteri. Bahwa tempat tahanan itu ada sangat dirahasiakan, sekalipun raja Watzu sendiri tak mengetahuinya.

Tiga bulan sudah sejak Kie Tin dikurung di dalam pagoda, dapat dibayangkan penderitaannya itu. Ia adalah satu junjungan dari satu negara besar tetapi sekarang ia kehilangan kemerdekaannya, ia hidup terkurung dan di bawah pengawasan keras. Hari itu, kaisar ini tengah berduka sekali. Ia dengar menderunya hebat angin Utara, ia lihat burung-burung belibis dari Utara terbang ke Selatan, sambil terbang mereka itu perdengarkan suaranya yang mengharukan hati, maka itu, ia pun bersedih sendirinya. Memandang dirinya sendiri, sakit hatinya Kie Tin, bajunya telah robek, sedang hawa
udara di Utara itu dingin sekali. Ia kedinginan akan tetapi Yasian tidak berikan ia baju baharu untuk salin. Maka ingatlah ia akan jaman jayanya, di dalam keraton ia ada punya enam selir, hidupnya sangat mewah.

Selagi kaisar ini menungkuli diri, tiba-tiba ia dengar pintu dibuka, lantas ia lihat Yasian bertindak masuk bersama Thio Tan Hong, keduanya jalan berendeng. Ia menjadi sangat terperanjat.

"Kenalkah kau pada dia ini?" Yasian lantas menanya sambil menunjuk Tan Hong.

Kaisar Beng ini tidak tahu maksud kedatangan Tan Hong, ia ragu-ragu, iapun belum hilang kagetnya, maka itu, ketika ia menyahut, suaranya tidak tegas.

Yasian mengawasi sambil tertawa.

"Dia ini adalah musuhmu, dia juga tuan penolongmu!" berkata perdana menteri ini.
"Tahukah kau?"
Tidak tunggu sampai kaisar menjawab, Tan Hong kata pada perdana menteri itu:
"Aku mohon Thaysoe ijinkan aku bicara berduaan dengannya, sebentar saja."
"Baik, bicaralah," sahut Yasian. "Kamu orang-orang Tionghoa, apa yang kamu lakukan,tak dapat aku menerkanya. Kamu berdua keluarga telah perebutkan dunia tetapi sekarang kamu berdua hendak pasang omong!..."

Lantas perdana menteri ini undurkan diri pergi keluar, buat bicara dengan pahlawanpahlawannya.
Kie Tin dibiarkan di dalam kamarnya itu bersama si anak muda she Thio itu.

Tidak tenang hatinya kaisar Beng itu berada berdua Tan Hong. Ia telah saksikan bagaimana dengan sinar mata yang tajam, anak muda itu pandang ia pulang pergi. Ia ditatap. Kemudian dengan tiba-tiba saja, Tan Hong tertawa.

"Kau biasa menjadi kaisar, kau belum pernah merasakan kegetiran hidupnya seorang rakyat jelata!" kata Tan Hong kemudian. "Maka itu, baiklah yang kau satu kali merasakannya!"

Mendengar itu, raja ini menjadi gusar.

"Jadinya dahulu hari itu kau berpura-pura saja berbaik hati!" dia menegur. "Aku memang tahu, permusuhan di antara rakyat jelata mudah dibereskan tetapi pertentangan di antara raja sukar didamaikan! Karena kau adalah orang kepercayaannya Yasian, tidak lain, aku cuma mau minta supaya aku diberikan mayat lengkap dan utuh! Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah lekas! Kau harus insyaf, raja tak dapat diperhina!"
Tan Hong mengawasi dengan air mukanya tertawa bukan tertawa, ia tidak gubris permintaan itu.
"Kau telah menderita begini rupa, maka di belakang hari, sebagai raja, layak kau ketahui keharusanmu!" ia kata pula. "Kalau nanti kau kembali ke istanamu, jangan sekali kau lupakan kesengsaraanmu hari ini!"

Kie Tin melengak.

"Apa kau bilang?" ia tanya. Mendadak saja ia lompat mencelat.
"Paling lama tak beberapa bulan lagi, kau akan dapat pulang ke negerimu!" kata Tan Hong, tawar.

Kie Tin seperti juga tidak mempercayai kupingnya sendiri.

"Apa kau bilang?" ia tegaskan. "Adakah itu benar? Apakah Yasian sendiri yang mengatakannya itu padamu? Benarkah dia hendak membiarkan aku pulang ke negeriku,untuk aku naik pula atas tahtaku? Ha! Naik pula di atas tahta!..."

"Bukannya Yasian yang menginginkan kau kembali ke negerimu," Tan Hong terangkan,tetap dengan sikapnya yang tawar. "Adalah Kokloo Ie Kiam yang akan sambut kau pulang!"

Kembali Kie Tin menjadi heran. Kalau tadi ia dapat bersenyum, sekarang lenyap pula kegembiraannya. Ia seperti diguyur air dingin. Setelah itu, di antara roman lesu dari putus asa, ia nampaknya jadi gusar sekali. Terus ia tuding anak muda di depannya.

"Walaupun aku terkurung, tetap aku adalah satu raja!" ia berseru. "Beranikah kau berulangkah mempermainkan aku?"

Tan Hong awasi raja itu. Ia mendongkol berbareng merasa lucu dan kasihan.

"Jikalau kau mengharap musuh nanti merdeka-kanmu dan membiarkannya kau pulang ke negerimu, seumur hidupmu, janganlah kau harap itu!" katanya, tegas-tegas. "Hanya bila rakyat Tionggoan yang menghendaki kau pulang, baharulah ada ketikanya untuk kau hidup terus! Apakah kau menyangka cuma Yasian seorang yang mempunyai kekuasaan untuk hidup atau matimu? Mari aku katakan terus terang padamu! Sekarang ini jiwamu berada di dalam genggamannya Kokloo Ie Kiam! Asalkan Ie Kokloo bilang kau bisa pulang,lantas kau dapat pulang!"

Kie Tin awasi anak muda itu, sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Lantas ia dapat perasaan bahwa Tan Hong itu dapat dipercaya, bahwa perkataannya si anak muda tak dapat disangsikan pula. Tanpa merasa, ia jadi kalah pengaruh.

"Sebenarnya, apakah artinya ini?" dia tanya akhirnya, suaranya tak tegas.
"Itulah sebab kau, jelek atau bagus, kau tetap raja dari satu negara!" berkata Tan Hong dalam jawabannya.
"Sebab kau ada satu raja, jikalau kau tetap berada di tangan musuh, itu artinya satu kehinaan untuk Tionggoan! Itupun sebabnya kenapa sekarang kami menghendaki kau pulang ke negeri sendiri! Dengan ada Tionggoan yang menjadi tulang punggungmu, cara bagaimana Yasian berani tidak melepaskan kau pulang?"

Kie Tin heran, ia tetap mengawasi. Ia ingin sangat satu penjelasan.

Sampai di situ, Tan Hong tuturkan raja ini tentang duduknya urusan.

Kie Tin menjadi girang berbareng heran.
"Jikalau aku bisa pulang dan naik pula di atas tahta kerajaan, akan aku anugerahkan kau pangkat yang besar!" ia berkata. Hampir tanpa merasa, ia berikan janji hadiahnya itu.

"Katakanlah, kau ingin pangkat apa? Pangkat tongnia dari Gielim koen atau Kioeboen Teetok? Atau pangkat Menteri Perang? Pasti sekali aku akan membuat kau merasa puas,supaya tercapai segala cita-citamu!".

Tan Hong bawa sikap tenang.

"Jikalau nanti kau sudah pulang ke dalam negeri," ia berkata, tawar, "kau bisa atau tidak tetap menjadi raja pula, itulah tergantung kepada suasana di dalam istanamu dan urusan keluargamu sendiri, mengenai itu aku bersama Ie Kiam tidak akan campur tahu! Aku sendiri tidak mengharapkan pangkat dari kau!" .

Kie Tin menjadi putus asa, hingga ia jadi seperti menggerutu.

"Bisa pulang, itulah baik! Bisa pulang, itulah baik..." demikian ia ngoce sendiri,suaranya tidak tegas. Lalu ia ingat sesuatu, hingga ia nampaknya jadi bersemangat. Maka berkatalah ia seorang diri dengan lebih keras: "Di dalam istana, kebanyakan menteri boen dan boe adalah orang-orang kepercayaanku, tidak nanti Kie Giok dapat rampas tahtaku! .

Kalau nanti aku telah pulang, dia akan mengalah dan membiarkan aku menjadi yang dipertuan pula! Kau tidak hendak pangku pangkat, tidak apa, aku bersedia akan iringi segala kehendakmu, akan aku memberikan hadiah kepadamu!".

Tan Hong menjadi sangat sebal.

"Apa juga aku tidak menghendakinya!" katanya dengan dingin. "Aku hanya hendak minta satu hal!"
"Apakah itu?" Kie Tin tanya. "Semuanya akan aku meluluskannya!"
"Setelah nanti kau pulang, bilamana kau tetap menjadi raja, bagaimana sikapmu terhadap Ie Kiam?" Tan Hong tanya.

Inilah pertanyaan yang Kie Tin tak sangka-sangka.

"Aku..." katanya, lalu terhenti, karena Tan Hong memotongnya: "Setelah kau kena ditawan musuh, Ie Kiam telah angkat raja baru," Tan Hong menerangkan. "Kau tentunya sangat benci dia karena perbuatannya itu! Benarkah itu?"
"Tidak, tidak!" sahut raja. "Begitu lekas aku pulang, akan aku naikkan pangkatnya tiga
tingkat!" .

Dalam keadaan seperti itu, tengah terdesak, raja ini bicara tanpa berpikir pula. Ie Kiam adalah Lweekok Haksoe, karena mana ia dipanggil Kokloo, kedudukannya itu sudah mirip dengan perdana menteri, di samping itu, ia merangkap menjadi Pengpou Siangsie,Menteri Perang, ia jadinya berada di tingkat tertinggi, dari itu, pada dasarnya, ia tak dapat dinaikkan pula pangkatnya apapula sampai tiga tingkat. Maka itu, mendengar kata-kata raja ini, Tan Hong mendongkol berbareng merasa lucu.

"Ie Kokloo bukanlah satu orang yang temaha akan pangkat tinggi atau keagungan," berkata anak muda ini. "Aku hanya menginginkan bila nanti kau sudah pulang, kau berlaku murah hati terhadapnya, kau beri dia ampun dari kematian..."

"Itulah pasti, itulah pasti!" kata Kie Tin berulang-ulang. Kembali ia tidak memikir-mikir lagi.
"Adakah ini benar?" tanya Tan Hong. Mendadak saja ia keraskan suaranya, hingga ia bentak raja itu.
Kie Tin melengak. Inilah ia tidak sangka.
"Satu raja tidak bicara main-main!" ia jawab kemudian. Iapun segera menjawab begitu
lekas ia sadar.

Tan Hong bersenyum. Tadinya ia hendak bicara pula tapi ia membatalkannya. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar, suaranya pengemis yang menyanyikan lagu "Lian Hoa Lok" = "Bunga Bwee Rontok." Tentu saja ia menjadi bercekat.

"Setangkai, secabang bunga teratai," demikian ia dengar nyanyian itu. "Raja pun pernah dipanggilnya pengemis. Raja itu bergantian jadinya, maka juga lain tahun ada gilirannya keluargaku. Di sini ada disimpan mustika yang indah, maka itu hendak aku memohonnya!"

Nyanyian itu disusul oleh suara berisik, seperti juga orang tengah mengusir pengemis yang bernyanyi-nyanyi itu.

Menyusuli suara berisik itu, lalu terdengar teriakan: "Ada orang jahat!" Lalu menyusul pula suara nyaring dari rubuhnya tubuh manusia. Satu pahlawan, yang lompat keluar jendela, belum sempat dia berlompat terus naik ke atas payon, sudah kena dihajar rubuh!.

Tan Hong terkejut.

"Sungguh liehay pengemis itu!" pikirnya. Tapi iapun tak sempat berpikir lama-lama.

Dengan cepat telah terdengar pula satu suara keras dan nyaring, ternyata daun jendela kamar kurungan kaisar Beng itu terhajar terpentang, disusul dengan lompat masuknya satu pengemis, tangan kanannya memegang tongkat, dengan tangan kirinya segera dia sambar Kie Tin.

"Aduh!" teriak raja itu yang kagetnya tidak terkira.

Tan Hong tidak sempat cabut pedangnya, dengan tangannya ia membacok tangannya si pengemis.
"Kau, Thio Tan Hong?" berseru pengemis itu, agaknya ia terkejut. Ia sudah lantas tarik pulang tangan kirinya itu, tubuhnya pun berkelit ke samping. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ, dengan cepat ia ayun sebelah kakinya, menjejak ke arah dengkulnya kaisar Beng.

Tan Hong pun kaget.

"Ah, kiranya Pit Lootjianpwee]" ia berseru ketika segera dapat mengenali pengemis itu,terutama dari suaranya. Tapi kaisar berada dalam bahaya, tidak dapat ia diam saja, dari itu dengan terpaksa ia angsurkan tangannya, untuk menekan dengan perlahan kakinya jago tua yang jejakannya hebat itu. Dalam gerakannya ini, Tan Hong gunai tenaga Taylek Kimkong Tjioe.

Pit To Hoan lompat mundur, hingga ia menyender pada tembok, napasnyapun memburu keras.
"Thio Tan Hong, menyingkir kau!" ia berseru.
"Lootjianpwee, marilah kita bicara secara baik-baik," Tan Hong berkata, dengan sabar.
"Aku harap kau tidak membuatnya kaget pada raja yang tengah bersengsara ini..."
"Bagaimana hei?" bentak To Hoan. "Apakah kau menjadi anjing penjaga pintunya Yasian?"

Kali ini jago tua itu menyerang dengan genggaman ditangannya.
Tan Hong tahu tak sempat ia berbicara banyak, terpaksa ia hunus pedangnya pedang Pekin kiam — untuk menangkis. Ia telah gunai belakangnya pedang. Maka kedua senjata bentrok dengan keras, sampai muncratlah lelatu apinya. Bentrokan itu membuatnya kedua pihak kesemutan tangannya.

"Lootjianpwee, mohon kau berlalu dulu dari sini!" Tan Hong berkata pula. "Kau boleh sebutkan satu tempat, nanti aku kunjungi padamu untuk menerima pengajaran darimu!"

Pit To Hoan tapinya seperti orang kalap, tanpa menjawab, ia menyerang pula beruntun tiga kali, untuk mendesak anak muda itu, lalu setelah itu kembali dengan tangan kirinya menyambar pula Kie Tin. Teranglah ia ingin sangat dapat menyengkeram raja Beng itu.

Di luar, di bawah pagoda, ketika itu pun telah terdengar suara berisik sekali, suara yang bercampur kan beradunya pelbagai alat senjata, hingga kuping rasanya menjadi ketulian.

Dari luar kamar juga terdengar teriakannya Yasian, akan tetapi apa katanya itu, Tan Hong tidak dapat mendengar nyata. Lalu, menyusuli itu, pintu kamar segera terpentang, dari mana terlihat masuknya dua pahlawan dengan golok di tangan masing-masing.

Meninggalkan Tan Hong atau kaisar, Pit To Hoan papaki dua pahlawan itu. Ia maju dengan gerakan "Poanliong djiauwpou" = "Naga mendekam menggerakkan kakinya melingkar," sedang tangannya, ialah senjatanya, ia mainkan dari kiri ke kanan, atas mana goloknya kedua pahlawan itu lantas saja kena dibikin terlepas dan terbang!

"Yang menyingkir selamat! Yang menghalang celaka!"

To Hoan kemudian berteriak dengan bengis, sepasang matanya lebar, terputar. Ia bergelar "Tjinsamkay" = "Menggetarkan Tiga Dunia," tidak heran kalau bentakannya itu dahsyat sekali.

Dengan terpaksa kedua pahlawan itu undurkan diri, karena senjata mereka pun sudah hilang.

Dari luar masih terdengar suara berisik, kali ini dari tindakan kaki yang berat dan kekar,disusuli bersama jeritan teraduh-aduh, dari bentroknya alat senjata. Teranglah itu ada tanda dari orang yang dari bawah mendaki tangga pagoda sambil menyerang naik.

Pit To Hoan sudah mundurkan kedua musuhnya, kembali ia menghampirkan Kie Tin. Ia dihalangi-halangi Tan Hong, karenanya, ia mencoba akan paksa melewati anak muda itu.

"Untuk apakah kau hendak menawan dia?" Tan Hong tanya.
"Apakah kau telah lupa akan sakit hatinya leluhurmu?" To Hoan membaliki. "Jahanam ini tidak surup untuk menjadi raja! Untuk apa kau melindungi padanya? Kita harus bekuk dia, untuk dibawa pulang ke Tionggoan, nanti di sana kita bangunkan suatu pemerintah baru!"

Mendengar itu, Tan Hong melengak. Dengan begitu orang tua ini masih ada punya semangat untuk mendirikan suatu pemerintah. Ia hendak berkata pula ketika kembali terdengar satu suara keras, ialah dari terbukanya dengan paksa pintu dari pagoda undakan ketiga. Dan suara itu disusul dengan munculnya satu orang, yang segera pentang mulutnya yang lebar, akan perdengarkan suaranya yang nyaring: "Ha, bagus benar! Kau juga ada di sini? Marilah rasai tiga ratus tongkatku!"

Untuk herannya Tan Hong, ia kenali Tiauw Im Hweeshio, sang soepee yang gurunya dan Yap Eng Eng telah sia-sia saja mencarinya. Sementara itu ia masih sempat melirik ke arah Yasian, yang umpetkan diri di satu pojok dari mana perdana menteri itu sedang berikan titahnya kepada pahlawan-pahlawannya untuk mencegat jalan mundur orang.
"Inilah hebat..." pikir Tan Hong, yang menjadi berkuatir. "Djiesoepee sembrono, urusan akan menjadi kacau kalau ia sampai kemplang mampus pada Yasian. Perdana menteri ini ada punya putera dan perwira sebawahannya, ia masih punyakan beberapa puluh laksa serdadu, kalau karena kejadian di sini jadi terbit perang di antara kedua negara, itulah hebat, pasti akan terjadi darah tumpah mengalir di daerah luasnya ribuan lie..."

Anak muda ini menjadi masgul. Hendak ia menerjang keluar, tapi ia dihalang-halangi Pit To Hoan dengan ruyung panjangnya — Hangliong pang. Sekarang meski ia jauh terlebih gagah daripada jago tua itu, akan tetapi ia sungkan melawannya, ia juga tidak hendak melukai orang. Dalam keadaan sangat tegang itu, mendadak ia berseru dengan tegurannya: "Tjinsamkay, kau masih punya kehormatan kangouw atau tidak?"

Heran jago tua itu, hingga ia tercengang.

"Apa kau bilang?" ia berbalik menanya.
"Untuk merampas dunia, itulah bukannya tugasmu. Kau tidak tepat!" berkata anak muda itu dengan jawabannya.

Di waktu Tan Hong pertama kali masuk ke Tionggoan, ia ada bawa warisan leluhurnya ialah peta dari tempat disimpannya harta pendaman leluhurnya itu di Souwtjioe. Ketika itu, dalam pertandingan dengan Pit To Hoan, keduanya telah membuat perjanjian, kalau Pit To Hoan kalah, untuk selanjutnya suka ia dengar segala perkataannya si anak muda.

Janji itu ada mengandung maksud, jikalau di kemudian hari Thio Tan Hong hendak rampas negara dari tangan kerajaan Beng, Pit To Hoan cuma harus membantu, tidak dapat ia menentanginya. Karena itulah maka sekarang dalam keadaan sangat terpaksa itu, Tan Hong menagih janji.

Mendengar itu, walaupun sangat bertentangan dengan hatinya, Hangliong pang dari Pit To Hoan menjadi bergerak dengan perlahan, lalu di akhirnya, sambil menghela napas, ia berkata: "Baiklah, aku mengalah terhadapmu!..." Setelah mengucap begitu, dengan gesit sekali ia lompat keluar jendela!

Kie Tin takut bukan main, mukanya pucat pasi hingga seperti tidak ada darahnya. Ia mendekam di suatu pojok, napasnya memburu. Tan Hong tidak sempat perhatikan lagi raja itu, dia lompat keluar kamar, hingga dia dapatkan Tiauw Im Hweeshio, paman guru yang kedua itu, tengah kerahkan tenaganya, mengamuk hebat dengan tongkatnya, yang menjadi lawannya adalah Ngochito serta dua pahlawan lainnya Ngochito bukannya seorang yang lemah akan tetapi menghadapi pendeta itu, walaupun ia dibantu dua pahlawan, ia kewalahan juga. Tiauw Im liehay dengan gwakang-nya, ilmu bahagian luar, liehay juga ilmu tongkatnya, Hokmo Thunghoat, yang terdiri dari seratus delapan jurus, dengan ilmu tongkat ini dia desak tiga lawannya itu. Di akhirnya,Ngochito cuma bisa bela diri, tak sanggup balas menyerang.

Beruntung bagi Tiauw Im Hweeshio, Yasian telah kehilangan dua pahlawannya yang ia paling andalkan, ialah Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, yang kepandaiannya tidak ada di bawahann ya pendeta ini, yang tadi malam telah rubuh di tangannya Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng yang liehay dengan cara bertempurnya siangkiam happek, hingga yang satu terluka, yang lainnya binasa, bila tidak demikian, pasti sekali Pit To Hoan dan Tiauw Im tak akan dapat bergerak dengan leluasa seperti ini.

Yasian lihat munculnya Tan Hong, segera ia perdengarkan suaranya yang dingin: "Hm,bagus ya! Kamu orang-orang Han, kamu tidak punya kehormatan!"
Tan Hong dengar ejek-ejekan itu, ia tidak mempedulikannya, hanya terus ia lompat kepada Tiauw Im, dengan ulur sebelah tangannya, ia sambar tongkatnya djiesoepee itu, si paman guru yang kedua.

Tiauw Im lihat keponakan murid itu, ia jadi sangat gusar, hingga ia berteriak : "Ya kamu berdua guru dan murid semua bukannya manusia benar!" Justeru itu ia tengah menyerang Ngochito secara hebat sekali, sampai pahlawannya Yasian itu putus asa. Maka beruntung bagi pahlawan ini, Tan Hong muncul di waktu yang tepat, selagi si pendeta egoskan tongkatnya dari tangan si anak muda, ia lantas lompat keluar kalangan, perbuatan ini ditelad dua kawannya.

"Tan Hong, kau berani lawan yang tuaan!" membentak Tiauw Im dalam murkanya.
"Lagi sekali kau merintangi aku! Lihat kalau-kalau aku tidak kemplang mampus padamu dengan tongkatku ini!"

Tan Hong tapinya telah tetap dengan putusannya.
"Sekalipun kau bunuh aku, aku tetap menghendaki kau mundur dari sini!" demikian jawabannya.

Dalam kalapnya, Tiauw Im segera serang keponakan murid itu.

Tan Hong tidak berani layani paman guru ini terus dengan tangan kosong, terpaksa ia cabut pedangnya, maka itu keduanya bertarung dalam ruang itu.

Pada waktu pertama kali Tan Hong masuk ke Tionggoan, kepandaiannya Tan Hong berimbang dengan paman gurunya, akan tetapi setelah mempelajari Hiankang Yauwkoat,ia telah peroleh kemajuan pesat sekali, maka sekarang ia sudah dapat lampaui paman gurunya itu. Belasan kali sudah Tiauw Im mendesak dengan tongkatnya yang liehay, yang tadi membuatnya Ngochito bertiga kewalahan, tapi kali ini, tidak mampu ia membuat keponakan muridnya itu mundur setindak juga, malah sebaliknya, setiap kali si anak muda menggerakkan pedangnya, ia seperti tak sanggup gerakkan tongkatnya yang liehay itu!

Bukan kepalang mendongkolnya pendeta ini, hingga matanya jadi mendelik.
"Tan Hong, apakah masih ada orang yang tertua di depan matamu?" ia menegur sambil berteriak sekeras-kerasnya.

Ditegur begitu, anak muda ini cuma bersenyum.
"Maaf, soepee. Walau bagaimanapun, sekarang aku minta soepee mundur dulu dari sini! Untuk bicara, nanti lain kali saja, sekalian aku haturkan maafku!"

Perkataannya Tan Hong ini membuatnya semua pahlawan kaget dan heran.

"Ha, kiranya mereka adalah paman guru dan keponakan murid!..." seru mereka sambil tertawa. "Hahaha, sungguh lucu! Di sini ada soepee yang tidak sanggup lawan keponakan muridnya! Benar-benar tidak punya guna, sampai pengaruh si tua dipakai untuk menindih si muda! Sungguh tidak tahu malu!"

Ejekan itu ditambahkan pula oleh tertawa dingin yang riuh.
Mukanya Tiauw Im menjadi merah padam, lalu pucat pias, Kegusarannya tak terkirakan.
"Binatang cilik, lain kali akan aku membuat perhitungan terhadapmu!" ia berteriak, lalu dengan menyeret tongkatnya, ia lompat keluar kalangan, untuk angkat kaki dari pagoda itu. Maka celakalah beberapa pahlawan yang berada diundakan tangga, mereka telah dilabrak oleh pendeta yang sedang mungsang-mangsing itu!
Tan Hong lompat ke jendela, untuk melongok keluar. Ia tampak Pit To Hoan, dengan memimpin tiga pengemis, tengah menerobos kepungan. Liehay tiga pengemis itu,beberapa puluh pahlawan masih tidak sanggup merintangi mereka. Tiauw Im sudah lantas gabungkan diri pada empat orang itu, berlima mereka membuka jalan untuk menjauhkan diri.

"Beberapa pengemis itu liehay," pikir Tan Hong. "Entah bagaimana caranya mereka bekerja, sehingga mereka mendapat tahu raja dikurung di sini..."

Ketika itu, Yasian pun menghampirkan jendela, sambil menyender, ia melongok keluar.

Sekarang dapat ia bernapas lega. Ketika kemudian ia menoleh, ia lantas dengar suaranya Tan Hong: "Aku minta Thaysoe suka memberi maaf padaku," demikian anak muda itu.

"Soepee-ku itu menyangka aku sedang terkurung di sini, maka itu telah terbit salah paham. Akan aku cari dia, untuk memberi penjelasan. Aku berani tanggung dia tidak akan datang pula mengacau kemari!"

Yasian dapat kesan baik terhadap anak muda ini. Ia telah saksikan sendiri bagaimana hebatnya orang tahan desakannya si pendeta serta kawan-kawannya itu, hingga ia jadi terbebas dari ancaman marah bahaya.

"Sudahlah!" katanya sambil tertawa. "Sekarang mari kita bekerja seperti apa yang kita sudah damaikan tadi. Kau tidak usah kuatirkan apa-apa."

"Terima kasih," Tan Hong ucapkan.
"Nah silakan masuk pula, untuk tengok rajamu," Yasian berkata pula.

Meskipun ia mengatakan demikian, perdana menteri ini tapinya jalan berendeng dengan pemuda itu masuk ke kamarnya Kie Tin.

Kaisar Beng terpucat-pucat mukanya, ia menyender di tembok, tubuhnya menggigil keras. Nyata ia sangat ketakutan.

Yasian bersenyum melihat keadaannya raja musuh itu.

"Biarlah dia pulang untuk jadi raja pula, dia mungkin akan memberi kebaikan terhadapku..." demikian ia pikir. Lantas ia tertawa dan kata: "Kau tentunya dapat kekagetan! Inilah ada baiknya untukmu, sebab ini berarti, habis pahit, datang manis! Kau tunggu saja, kalau nanti telah tiba utusan negaramu, kau boleh ikut pulang ke negerimu untuk hidup senang pula seperti biasa. Mudah-mudahan kau tidak akan lupakan kebaikanku!..."

Hati Kie Tin lega, hingga ingin ia menghaturkan terima kasih kepada perdana menteri Watzu itu. Tetapi Tan Hong telah mengedipkan mata padanya, atas mana segera ia insyaf akan dirinya. Bukankah ia seorang raja dari suatu negara besar dan Yasian tak lebih tak kurang sebagai perdana menteri dari Watzu? Jikalau ia haturkan maafnya, ia jadi menghina diri sendiri. Maka ia lantas angkat dada.

"Tidak usah kau menyebutnya, budi kebaikanmu ini telah aku ingat!" demikian ia berikan jawabannya.

"Thaysoe, masih hendak aku memohon sesuatu darimu," Tan Hong berkata. Ia seperti tidak menghiraukan pembicaraannya kedua orang itu.

"Apakah itu? Silakan sebutkan," Yasian jawab.

Tan Hong loloskan mantel kulit di pundaknya — itulah mantel kulit rase yang halus dan enteng —sambil berbuat begitu, ia berkata: "Aku mohon Thaysoe ijinkan aku kasihkan mantelku ini kepadanya."
Dengan "padanya" itu, pemuda ini maksudkan raja Beng.

Yasian segera perlihatkan roman terperanjat. "Ah, saking repot, aku sampai melayaninya kurang sempurna!" katanya. "Orang-orangku pun alpa! Kami sampai lupa untuk menyiapkan pakaian baharu untuk junjungan kamu! — Mana orang?"

Perdana menteri ini menjadi repot agaknya, ia perintah orangnya ukur tubuhnya Kie Tin, untuk segera dibuatkan pakaian baru, pakaian dari kulit. Ia juga pesan, barang hidangan harus dibikin lebihan, supaya sekalian dapat dihidangkan kepada raja tawanan itu. Setelah itu, ia bertindak keluar.

Tan Hong mengikuti perdana menteri itu, tetapi mantel kulitnya ia tinggalkan di situ.

Selagi bertindak, ia melirik kepada raja, ia tampak matanya raja itu mengembeng air.

"Agaknya hatinya telah tergerak juga," pikir anak muda ini. "Semoga ia nanti ingat pengalamannya yang pahit di sini, supaya nanti sepulangnya ke negerinya, ia nanti tidak mendatangkan kesulitan bagi Ie Kokloo..."

Tan Hong lantas ingat Topuhoa, ia kuatir digerembengi pula oleh si nona, maka itu,begitu keluar dari menara batu itu, ia lantas pamitan dari Yasian. Ia segera menuju ke tempat penginapannya In Loei. Akan tetapi di sana ia tidak dapat menemui si nona. In Loei cuma meninggalkan sehelai surat untuknya.

Ringkas saja suratnya In Loei itu. Ia pesan, kalau nanti Tan Hong sudah selesaikan segala urusannya, anak muda itu harus segera pergi kebukit Peklo San di luar pintu timur,untuk mereka bertemu di sana.

-ooo00dw00ooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar