Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 9
Justeru itu terdengar suara
kuda lari mendatangi. Tan Hong semua berpaling. Mereka lihat dua serdadu Watzu,
yang rupanya tengah meronda. Menampak dua serdadu itu, Tan Hong tertawa.
"Mengandal kepada mereka
berdua, aku tanggung kau akan sampai di Pakkhia," ia kata.
Kedua serdadu Watzu sementara
itu nampaknya heran. Mereka lihat dua perwira Watzu bersama satu perwira Han.
Maka segera mereka menghampiri.
Tan Hong berdua In Loei
bertindak sangat cepat. Sekejap saja mereka sudah sampok terlepas senjata kedua
serdadu Watztu itu, lalu diancamkan pedangnya ke batang leher mereka.
"Kamu mau hidup atau
mati?" Tan Hong mengancam.
"Mau hidup..." sahut
kedua serdadu, yang putus asa.
"Baik!" kata Tan
Hong. "Adik kecil, bawa dia seratus tindak jauhnya, tanyakan padanya
pertandaan hari ini."
In Loei menurut, ia tarik
serdadu yang satu.
"Bagus!" kata pula
Tan Hong, suaranya keras. "Sekarang mari kita mulai tanya mereka! Jikalau
penyahutan mereka berbeda, itu tandanya mereka mendusta, maka adik kecil, kau
boleh lantas tabas padanya!"
Dengan sempurnanya
Iweekang-nya, walaupun mereka terpisah seratus tindak, suara Tan Hong itu dapat
didengar jelas sekali oleh In Loei. Coba Tan Hong ada lain orang, tidak nanti
suaranya itu dapat terdengar.
Hong Hoe kagumi anak muda ini.
"Tan Hong benar
teliti," kata dia dalam hatinya. "Jikalau mereka ini tidak
dipisahkan,umpama mereka menyahuti secara palsu, sulit untuk mengetahui
kedustaan mereka."
Tan Hong sudah tanya si
serdadu dan ia telah peroleh jawabannya.
"Bagaimana?" dia tanya
In Loei.
"Dia kata tanda-kata hari
ini adalah bidadari," jawab In Loei.
Bangsa Watzu juga tahu tadi
malam adalah malaman Tiong Tjioe untuk bangsa Han,mereka sengaja pakai
kata-kata "bidadari" untuk tanda kata mereka.
"Akur!" berseru Tan
Hong. "Mereka tidak mendustai”
In Loei segera kembali bersama
serdadu itu.
Tan Hong bertindak terlebih
jauh, dengan sebat ia buka seragam kedua serdadu itu,setelah mana, ia ikat
mereka itu di atas pohon.
"Maafkan kami," ia
kata pada mereka. "Kalian boleh menunggu di sini sampai sahabatsahabatmu
nanti datang menolong kamu." Ia tidak tunggu jawaban lagi, terus ia
berkata pada Hong Hoe: "Silakan kau pakai seragam ini."
Hong Hoe menurut, dengan cepat
ia salin pakaian.
"Sekarang mari!"
mengajak pula Tan Hong. Dan kali ini, dengan masing-masing menunggang seekor
kuda — untuk mana kudanya kedua serdadu Watzu itu mereka rampas — ia ajak kedua
kawannya mengaburkan kuda mereka .
Hong Hoe kenal baik jalanan
itu, ia mengajaknya ambil jalan kecil, untuk memotong jalan. Secara begini
dapat mereka menyingkir dari tiap-tiap tangsi bangsa Watzu. Benar mereka kerap
kali bertemu serdadu ronda, tetapi dengan mengucapkan perkataan
"Bidadari!" mereka selalu bebas dari pemeriksaan. Maka akhirnya,
sebelum matahari turun, mereka telah tiba di luar kota Pakkhia. Di sana pasukan
depan bangsa Watzu sudah mengatur persiapan untuk bertempur, karena mereka
tengah berhadapan dengan tentera Beng. Di antara mereka terdapat tanah
perbatasan yang kosong, yaitu no man's land.
Dengan berani Hong Hoe bertiga
menerobos dari kalangan tentera Watzu, untuk melintasi tanah kosong, guna
menghampiri tentera Han. Mereka lantas disambut hujan panah oleh tentera Beng,
akan tetapi mereka maju terus, mereka sampok jatuh setiap anak panah.
Pasukan Beng itu di kepalai
oleh Yo Wie, hoetongnia dari Gielim koen, serta Kiekie Touwoet Hoan Tjoen,
belum lagi Hong Hoe datang dekat, mereka itu sudah melihat dan mengenali, maka
itu dengan lekas mereka larang serdadunya melepaskan panah terlebih jauh,
mereka sendiri lantas maju, untuk menyambut.
"Bagaimana sikap
tentera?" Tan Hong tanya.
Inilah pertanyaan yang
pertama.
Yo Wie menyahut dengan
perlahan: "Kami telah mendengar kabar angin bahwa Sri Baginda telah
ditawan musuh di Touwbokpo, kabar itu telah membuatnya hati tentera sedikit
goncang..."
"Berita mengenai Sri
Baginda ditawan musuh bukan kabar angin belaka, itulah kejadian benar,"
kata Tan Hong. "Sekarang lekas kamu antar kami masuk ke dalam kota untuk
menghadap Ie Thaydjin."
"Mana kakakku?"
tanya Hoan Tjoen. Ia maksudkan Hoan Tiong.
"Kakakmu sudah
mengurbankan dirinya untuk negara," jawab Hong Hoe. "Aku harap kau
nanti meneruskan cita-citanya, untuk melindungi kota Pakkhia!"
Lantas komandan Gielim koen
ini tuturkan kegagahannya Hoan Tiong, yang telah menghajar mampus dorna Ong
Tjin dengan gembolannya, habis mana, sekalipun dia terbinasa, Hoan Tiong tidak
sudi menakluk pada musuh. Hoan Tjoen berduka, tetapi hatinya terhibur.
Yo Wie pun berduka, ia terharu
berbareng puas juga.
Sampai di situ, Yo Wie
persilakan ketiga orang itu salin pakaian, sesudah mana, ia antar mereka masuk
ke dalam kota.
Di mana-mana di dalam kota
terlihat rakyat, dalam rombongan-rombongan kecil,berbisik-bisik, untuk satu
dengan lain menanyakan keadaan dari medan perang. Pada wajah mereka tampak roman
berkuatir dan tegang.
Hong Hoe bersama Tan Hong dan
In Loei menuju ke gedung Ie Kiam. Ketika itu sudah jam tiga tetapi gedung
menteri itu masih terang benderang.
Tan Hong maju di muka, untuk
mengetok pintu, guna memohon menghadap.
Tidak lama, pintu besar
dipentang, kuasa rumah muncul untuk mengatakannya: "Thaydjin ada di ruang
tengah, silakan kamu masuk!"
Ketika Tan Hong tiba di lorak,
ia tampak Ie Kiam seorang diri sedang jalan mondarmandir.
"Ie Thaydjin, kami telah
kembali!" Tan Hong segera berkata.
"Ah, kamu telah
kembali..." kata menteri itu, yang masih mondar-mandir terus.
In Loei menjadi heran.
"Ie Kiam dengan Tan Hong
bersahabat kekal," ia berpikir, "dia pun perlakukan kami seperti
keponakan atau anak, sekarang kita kembali, mengapa sikapnya begini
tawar?"
Karena ini, ia campur bicara,
katanya: "Kami pun telah membawa pulang peta bumi.Tentang harta besar dari
leluhurnya Thio Toako, itu pun akan diangkut kemari!"
Pada wajah Ie Kiam terlihat
sorot kegirangan, tetapi alisnya masih tetap mengkerut.
"Benarkah itu?"
tanyanya, menegaskan. "Aku kuatir sudah terlambat..."
Dan kembali ia jalan
mondar-mandir.
Tan Hong dapat menerka orang
sedang menghadapi kesulitan, ia kedipkan matanya kepada In Loei untuk mencegah
nona ini berbicara pula. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Ia lihat di bawah
lorak ada tumpukan kapur tembok dan di kedua tepinya telah banyak yang runtuh.
Di dalam hatinya, ia menghela napas.
"Jikalau tidak melihat
sendiri, siapa sangka Ie Kokloo demikian melarat," katanya dalam hati
kecilnya. "Rumahnya sudah begini tua, untuk membetulkan temboknya, ia cuma
menitahkan orangnya Sendiri..."
Ia angkat kepalanya, ia tampak
sebuah syair yang digantung di dalam ruangan itu. Ia baca:
"Seribu kali gali,
selaksa kali gempur, digali keluar dari dalam gunung,Dengan api yang berkobar
besar dibakar, bukan main hebatnya, Tulang-tulang boleh jadi abu, tubuh lebur,
tetapi hati tak gentar, Asal dapat pernahkan nama putih bersih di dalam dunia
ini."
Di bawah itu, di sebelah kiri,
terdapat tambahan huruf-huruf halus yang berbunyi:
"Dicatat pula di harian
tentera Watzu mengurung kota, sebagai kesan." Di bawah itu ditulis nama Ie
Kiam, penulisnya.
Tergerak hati Tan Hong, hingga
dengan keras ia berkata: "Ie Thaydjin, oleh karena kau tidak gentar
tulang-tulang dan tubuhmu hancur lebur, kenapa kau jeri akan segala ocehan
tidak keruan atau fitnahan pembesar hikayat?"
Ie Kiam terperanjat, hingga
kedua matanya bersinar dengan tiba-tiba. Ia angkat kepalanya, memandang langit.
"Hiantit," katanya
kemudian, "cuma kau seorang yang ketahui isi hatiku. Tapi urusan ini
sangat besar, untukku tulang hancur dan tubuh lebur adalah soal kedua, hanya
aku kuatir, di belakang hari, aku nanti mengalami perkara penasaran yang tak
dapat dilampiaskan..."
Tan Hong mendesak.
"Sekarang ini Sri Baginda
sudah ditawan musuh," kata dia, "maka itu thaydjin harus memikirkan
negara, mesti thaydjin segera mengambil putusan. Sekarang telah tiba saatnya!
Umpama kata benar di belakang hari raja toh mempersalahkannya, tetapi thaydjin
telah pernahkan nama bersih di antara rakyat, nama itu akan teringat laksaan
tahun, akan tercatat untuk selamanya dalam hikayat. Apakah yang harus
digentarkan pula?"
Alisnya Ie Kiam bergerak pula,
ia sudah lantas ambil putusannya. Ia keprak meja ketika ia berseru:
"Hiantit benar! Besok aku angkat raja baru, akan aku basmi kawanan
dorna,lalu aku akan mengepalai sendiri angkatan perang untuk melawan
musuh!"
Memang Ie Kiam telah mendengar
berita mengenai raja sudah tertawan musuh, hal mana membuat nya ia menyesal, berduka
dan berkuatir. Ia sudah menerka, bangsa Watzu pasti akan menggunakan raja itu
sebagai alat untuk memaksakan segala permintaannya, maka itu, ia memikirkan
daya upaya untuk menghadapinya. Ia sudah ketahui, jalan satu-satunya ialah
mengangkat raja baru, untuk menunjukan bahwa ia hendak mempertahankan diri,
guna membela negara, hanya ia bersangsi sebab ia sendiri bukannya anggauta
kerajaan, kalau ia sendiri saja yang mengepalai pengangkatan raja baru itu,
tanggung jawabnya terlalu besar dan berat. Ia pun kuatirkan serangan kawanan
dorna, sedang dalam kalangan keluarga raja, banyak yang berpendirian tak tetap.
Di samping itu ia pikirkan juga, umpama kata raja yang tertawan itu mendapat
kemerdekaannya kembali dan telah pulang ke dalam negeri, ada kemungkinan raja
itu tak akan mengerti sikapnya itu, hingga ia akan terancam kebinasaan berikut
seluruh keluarganya. Maka itu, sudah satu hari satu malam ia berpikir keras,
masih saja ia belum dapat mengambil putusan. Sampai sekarang ini Tan Hong telah
bicara dengan tandas,
baharu ia dapat mengambil
ketetapannya itu.
Di hari kedua, Ie Kiam
buktikan perkataannya. Ia himpunkan para menteri besar, ia utarakan
keputusannya dan beritahukan rencananya untuk melawan musuh. Paling dahulu ia
angkat adiknya kaisar Kie Tin, yaitu Kie Giok, menjadi raja, menjadi kaisar Tay
Tjong,sedang Kie Tin diangkat menjadi Tahongsiang. Habis itu dikeluarkan
perintah akan membunuh semua kambrat Ong Tjin.
Setelah Kie Giok naik tahta,
ia pakai gelaran negara Keng Tay, lalu dengan menuruti nasihat Ie Kiam, dalam
satu hari itu, telah menghukum mati kambratnya Ong Tjin yang berjumlah tiga
ratus jiwa lebih. Segera Ie Kiam diangkat merangkap menjadi Pengpou Siangsie,
menteri perang, dengan diberi kekuasaan untuk memimpin angkatan perang guna
melawan musuh.
Ie Kiam sudah lantas bertindak
sebagai kepala perang, ia kumpulkan tentera, ia kobarkan semangat rakyat, maka
di dalam kota Pakkhia itu, ia berhasil membangun barisannya, untuk memulai
perlawanan terhadap musuh.
Demikian peperangan telah
dimulai pula. Sebab Yasian, yang telah berhasil menawan kaisar Kie Tin, meleset
dalam dugaannya. Ia mulanya menyangka, dengan kaisar musuh dapat ditawan, kota
Pakkhia akan dapat dirampas dengan mudah, dengan begitu seluruh Tionggoan akan
terjatuh ke dalam pelukannya, siapa nyana, Ie Kiam telah bangkit pula.
Maka ia menjadi kaget
berbareng gusar.
"Maju!" demikian ia
serukan tenteranya, untuk mengurung kota Pakkhia.
Pada bulan sepuluh tanggal
sembilan, Yasian dapat memukul pecah kota Tjiekengkwan,pada tanggal sebelasnya,
pasukan depannya sudah tiba di luar pintu kota Saytit moei di barat kota
Pakkhia.
Kie Giok tidak punya
pendirian, ia sudah lantas usulkan untuk memohon perdamaian,akan tetapi Ie Kiam
menentangnya, menteri perang ini menganjurkan perlawanan terus,ia sendiri yang
pimpin tenteranya. Hebat pertempuran yang berlaku lima hari lima malam itu.
Tentera Watzu berhasil memukul pecah pintu-pintu Tjianggie moei dan Tekseng
moei,akan tetapi tentera Beng melawan terus, tak peduli banyak sekali kurban
yang rubuh.
Mereka telah dibantu rakyat
penduduk kota raja, wanita dan pria, tua dan muda, menggulung tangan baju
bersama, akan pertahankan negara mereka. Mereka itu turut naik ke tembok kota,
akan melawan serbuan musuh. Anak panah tidak cukup, tanpa raguragu mereka
merusakkan rumah mereka, mereka pakai batunya untuk melontar musuh.
Maka selama lima hari lima
malam itu, hebat suara pertempuran itu, demikian pula jalannya pertempuran.
Tentera Watzu gagah, tetapi
menghadapi perlawanan musuh itu, gentar juga hati mereka.
Pada hari ke enam telah datang
sejumlah tentara suka rela, yang datang dari beberapa tempat, bendera mereka
tertampak ramai dari atas kota Pakkhia.
Segera Thio Hong Hoe pimpin
pasukan Gielim koen, akan menyerbu keluar kota.
Dengan cepat ia telah binasakan
tiga perwira musuh yang tanggu.
Menampak demikian, Ie Kiam
berikan titahnya untuk menyerbu, maka tentera dan tentera rakyat segera pentang
pintu kota, mereka maju menerjang musuh.
Yasian saksikan nekatnya
musuh, ia lantas berikan titahnya untuk mundur. Ia kuatir nanti sampai pula
bala bantuan dari pelbagai tempat, apabila itu sampai terjadi, ada kemungkinan
jalan mundurnya nanti tertutup, hingga ia terkurung.
Hebat kerusakan Yasian karena
pengundurannya ini. Pada tanggal sebelas ia masuk ke Saytit moei, tetapi ketika
ia mundur pada tanggal tujuh belas, ia menderita kerugian sebanyak kira-kira
delapan laksa serdadu yang luka dan binasa, ia mundur tanpa peroleh hasil! .
Pada tanggal delapan belas, di
luar kota Pakkhia sudah bersih dari musuh. Sebaliknya dari Thongtjioe dan
Hoolam telah datang beberapa pasukan suka rela.
Sebenarnya jumlah bala bantuan
itu, cuma beberapa laksa, tidak berarti apabila dibandingkan dengan besarnya
angkatan perang Watzu, tetapi semangat tentera dan rakyat kota Pakkhia telah
berkobar-kobar, sehingga menyebabkan musuh mundur terpaksa. Maka itu, semua
orang sangat bergembira, semua berseru-seru kegirangan.
Ie Kiam sambut dengan baik
setiap bala bantuan suka rela itu. Yang membuatnya ia kagum adalah ketika ia
dapatkan satu pasukan yang datang jauh sekali dari propinsi Kangsouw. Itulah
pasukan suka rela di bawah pimpinan In Tiong, pasukan yang berasal dari
tjhoengteng atau penduduk tani ketua dari Tamtay tjhoeng dan mulanya cuma
terdiri dari beberapa ratus jiwa, tapi di sepanjang jalan mereka dapat
mengumpulkan lagi kawan-kawan hingga jumlah mereka semua meliputi seribu jiwa
lebih. Ketika barisan ini tiba di kota raja, jumlahnya tinggal kira-kira
separuh. Sebab di tengah jalan mereka telah bertempur dengan musuh, banyak di
antara mereka terbinasa dan luka, malah In Tiong
sendiri terpisah dari mereka,
dari itu, sekarang pasukan itu dipimpin oleh Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong.
Yang paling penting dari
barisan suka rela dari Kangsouw ini adalah mereka sudah tidak mensia-siakan
tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh Thio Tan Hong. Yaitu mereka sudah
mengiringi dengan selamat harta warisan Thio Soe Song sampai di Pakkhia.
Dalam kegembiraannya, Ie Kiam
lantas undang Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe membikin pertemuan
dengan Tan Hong dan In Loei.
Nona In terperanjat mendengar
kakaknya lenyap, maka ia lantas tanya, bilamana dan bagaimana itu terjadinya.
"Itu terjadi
kemarin," sahut Tiatpie Kimwan, menerangkan. "In Tjonggoan titahkan
kita menerjang musuh untuk melindungi harta, ia sendiri bertanggung jawab di
bahagian belakang, guna merintangi kalau-kalau musuh mengejar. Nona Tamtay
bersama belasan tjhoengteng pun membantu melindungi dari sebelah kiri. Kami
tahu, tindakan itu berbahaya, tapi karena harta mesti dilindungi, kami tidak
bisa berbuat lain. Kejadianlah yang rombongan kita kena dipotong tentera Watzu.
In Tjonggoan sungguh gagah, ia telah membuka jalan, sayang di tengah-tengah
pertempuran dahsyat itu, sebatang anak panah mengenai Nona Tamtay, hingga dia
tak menerjang terlebih jauh. In Tjonggoan segera
kembali ke belakang, untuk
menolongi nona itu. Demikian maka mereka itu jadi terpisah dari kami, yang
dapat membuka jalan dan menuju terus kemari."
In Loei jadi sangat berkuatir
dan berduka.
"Syukur musuh telah mundur
sekarang," berkata Ie Kiam. "nanti aku titahkan untuk mencari di
sekitar luar kota ini. Aku percaya mereka dapat diketemukan."
Hati In Loei menjadi sedikit
lega, tapi ia masih tetap memikirkan kakaknya itu.
Bagaimana keadaannya si kakak,
yang menolongi Nona Tamtay itu? Ia jadi lebih berkuatir karena si Nona Tamtay
tengah terluka, entah lukanya itu hebat atau ringan.
Hari itu In Tiong telah
menempuh bahaya, ia tunjukkan kegagahannya. Begitu ia lihat Tamtay Keng Beng
terluka panah, segera ia pergi menghampiri untuk menolongi. Ia putar golok
Toanboen too-nya, untuk melindungi si nona dan untuk membelai dirinya. Dengan
tangan kiri, dengan pukulan-pukulan Taylek Kimkong Tjioe, ia rubuhkan atau
mundurkan setiap musuh yang datang dekat. Tapi musuh berjumlah banyak, mereka
terus terkurung.
Kematian beberapa puluh musuh
tidak berarti apa-apa. Di saat In Tiong mulai lelah,mendadak ia dengar suara
tambur dan gembreng musuh disusul dengan suara terompetnya, lalu disusul pula
dengan mundurnya barisan musuh. Dengan begitu In Tiong mendapat keringanan,
segera ia membuka jalan darah, untuk meloloskan diri dari kepungan. Ia tidak
tahu bahwa mundurnya musuh disebabkan Yasian membutuhkan bantuan, untuk
angkatan perang Watzu itu mundur seluruhnya.
Selang setengah jam, In Tiong
sudah lari cukup jauh, bersama Tamtay Keng Beng, ia jadi berada jauh dari
pasukan musuh. Ia bernapas lega. Ia hanya kaget ketika ia tampak wajah pucat
pasi dari si nona.
"Bagaimana kau
rasakan?" ia tanya nona itu.
"Tidak apa-apa,"
sahut si nona.
Di mulut Keng Beng mengucapkan
demikian, akan tetapi les kuda yang ia pegang tak kencang lagi dan tubuhnya pun
bergoyang-goyang seperti hendak rubuh.
Mau atau tidak, In Tiong
bersenyum.
"Adik Tamtay," ia
berkata. "Ketika dulu aku terluka, banyak aku terima budimu.Bukankah kau
telah menasihati agar aku jangan paksakan diri berkuat-kuat. Ingatkah kau akan
hal itu?"
Di mulut In Tiong berkata
begitu, sepak terjangnya adalah lain. Gesit luar biasa ia lompat dari kudanya
ke kuda si nona, untuk duduk di belakang nona itu, les kuda siapa ia sambar,
untuk mewakilkan memegang kendali, untuk sekalian menjagai tubuh si nona supaya
tubuh itu tidak rubuh terguling.
"Adik Tamtay, kau harus
beristirahat," ia berkata pula."Mari kita cari satu rumah penduduk
untuk menumpang beberapa hari kalau nanti lukamu sudah sembuh, baharu kita
berdaya untuk pergi masuk ke Pakkhia."
Tamtay Keng Beng tidak
berkesan baik terhadap In Tiong, akan tetapi sekarang ia saksikan sikap orang
yang lemah lembut dan sangat perhatikan kepadanya, dengan sendirinya, hatinya
tergerak juga. Maka ia biarkan orang bawa padanya.
Sibuk juga In Tiong sesudah ia
mencari-cari rumah penduduk di sekitar itu. Dusun itu telah rusak, penduduknya
tidak ada. Dengan sangat berduka dan, berkuatir, ia mencari terus, sampai di
depannya ia tampak sebuah rumah yang letaknya pada lereng bukit. Dari jauh
kelihatan rumah itu masih utuh juga.
"Thian tidak memutuskan
jalan makhlukNya," ia berseru. "Akhir-akhirnya kita menjumpai juga
sebuah rumah!"
Tapi Tamtay Keng Beng menggelengkan
kepalanya.
"Aku kuatir itu bukannya
rumah penduduk baik-baik," ia utarakan kesangsiannya.
"Saudara In, kau mesti
berhati-hati..."
"Dalam keadaan seperti
kita ini, tak dapat kita terlalu bercuriga," In Tiong jawab. "Yang
penting adalah kau mesti beristirahat!"
Maka ia larikan kudanya ke
arah rumah kampung itu. Setibanya di situ, ia bantui Keng Beng turun dari
kudanya, habis mana terus ia mengetok pintu, yang tertutup rapat.
"Siapa?" terdengar
suara keras dari dalam rumah.
In Tiong heran. Ia seperti
kenali suara itu. "Aku adalah serdadu suka rela dari Kangsouw," ia
lantas menjawab. "Aku hendak numpang menginap." Dengan berani ia
bicara terus terang.
Dengan menerbitkan suara,
pintu segera di-pentang. Berbareng dengan itu, dari dalam terdengar suara pula:
"Oh, kiranya In Tjonggoan1." Hanya kali ini suara itu sedikit
menggetar, seperti dikeluarkan oleh seorang yang tengah terkejut berbareng
kegirangan.
Itulah di luar dugaan In
Tiong, apapula ketika ia lihat tegas orangnya yang berbicara itu, yang berdiri
di muka pintu, berendeng bersama orang lain. Untuk tercengangnya, ia kenali Low
Beng dan Low Liang, kedua boesoe atau guru silat dari istana kaisar.
"Saudara-saudara Low,
mengapa kamu masih berada di sini?" In Tiong tanya.
"Pada setengah bulan yang
lalu," Low Beng menyahut, "ketika aku lihat musuh datang menyerbu,
aku minta ijin cuti, maksudku ialah mengantarkan keluargaku pulang ke kota raja
untuk melindungi mereka. Di luar dugaan kami, musuh datang terlalu cepat, kami
tercegat, perhubungan kami terputus, hingga kami tak dapat pergi terus ke kota
raja, terpaksa kami menunda di sini. Ah, apakah nona gagah ini pun serdadu suka
rela? Dia terluka, lekas ajak dia masuk! Kami mempunyai obat luka yang
mustajab."
"Djiewie, baiklah minum
dulu air teh panas," berkata Low Liang, yang terus menyuruh orangnya
menyuguhkan air teh.
Tamtay Keng Beng adalah
seorang yang berhati-hati, ia segera berpikir: "Mereka ini adalah
guru-guru silat negara, kenapa di saat gentingnya peperangan, mereka diijinkan
cuti? Dengan mundurnya tentera Watzu, di mana tentera itu lewat, ayam dan
anjing pun tidak aman, rumah-rumah musnah, maka aneh, kenapa cuma mereka ini
yang tetap utuh?"
Oleh karena kecurigaannya itu,
Keng Beng memandang seluruh rumah. Ia dapatkan di thia ada pelbagai macam alat
senjata. Ia jadi bertambah curiga.
In Tiong rupanya tidak
menyangka suatu apa, ia angkat cawan teh, untuk di minum,tetapi Keng Beng, yang
lihat itu, segera kedipkan mata padanya. In Tiong seperti tidak lihat kedipan
mata itu, ia bawa terus cawan teh ke mulutnya. Bukan main kuatirnya si nona,
hampir ia menjerit.
Tiba-tiba terdengar satu suara
keras dan nyaring, tahu-tahu cawan jatuh dan pecah, air tehnya tumpah
berhamburan.
"Ah." In Tiong
berseru. "Celaka! Maafkan aku," ia terus mohon. "Tolong ditukar
cawannya..."
In Tiong belum tutup rapat
mulutnya, atau air teh yang melimpah itu kelihatan bercahaya seperti api.
Itulah tanda air teh itu telah dicampurkan racun. Hal ini mengejutkan kedua
tuan rumah dan tetamunya.
In Tiong pun bercuriga. Ia
lantas ingat, Low Beng dan Low Liang adalah kepercayaannya dorna kebiri Ong
Tjin.
Ia memang belum tahu yang Ong
Tjin selama di Touwbokpo sudah dihajar mampus oleh Hoan Tiong tapi ia tahu baik
kejahatannya dorna kebiri itu, maka umpama kata Nona Tamtay tidak memberi tanda
padanya, ia sudah berhati-hati sendirinya. Karenanya ia sengaja melepaskan
cangkir teh itu, hingga jatuh pecah dan rahasia kedua saudara Low itu terbuka!
Low Beng dan Low Liang
berseru, dengan lantas mereka lari ke tempat alat senjata,untuk menyambar
gegaman mereka masing-masing, habis mana mereka tidak membuang tempo untuk
mengurung tetamunya itu, ialah In Tiong.
Low Beng bersenjatakan
sebatang pedang panjang dan Low Liang tameng besi. Dan pedang Low Beng itu
memain di antara gerak-geriknya tameng, yang perdengarkan suara angin
menyambar-nyambar. Itulah ilmu tameng Koengoan pay yang tersohor.
In Tiong bela dirinya dengan
tangan kiri, dengan pedang di tangan kanan, ia siap melayani musuh-musuhnya.
"Apakah kamu, kedua
saudara hendak memberontak?" ia tegur mereka itu.
Low Beng tertawa
bergelak-gelak.
"Tidak salah!"
sahutnya, jumawa. "Memang kami hendak memberontak! Kau tahu, kau masih
dalam mimpi, kau masih belum tahu berapa tingginya langit dan berapa tebalnya
bumi!"
"Apa kau bilang?" In
Tiong tegaskan.
"Hendak aku tanya
kau," jawab Low Liang. "Kau bawa pasukan suka rela ke kota
raja,bukankah itu untuk menunjang raja?"
"Memang!" sahut In
Tiong sambil mendesak tiga kali, setelah mana, ia tangkis tameng dan pedang
kedua lawannya.
Low Liang tertawa
terbahak-bahak.
"Rajamu yang tua bangka
itu sudah sejak siang-siang menjadi tawanan bangsa Watzu!" katanya separuh
mengejek. "Bukankah kau kenal peribahasa, siapa kenal gelagat dialah
seorang cerdik? Maka itu baiklah kau lekas letakkan senjatamu, mari kau turut
kami menakluk kepada bangsa Watzu! Dengan menakluk, kau masih mempunyai harapan
memangku pangkat dan hidup senang, tetapi sebaliknya, kau bakal celaka! Lihat
angkatan perang Watzu yang berada di daerah ini! Kau adalah Boetjonggoan dari
kerajaan Beng,umpama kata kami tidak membunuh kau, kau toh sukar lolos dari
kematianmu!"
In Tiong menjadi sangat gusar.
Mana bisa ia dibujuk secara demikian? Tapi masih dapat ia kendalikan diri. Ia
tertawa dingin.
"Kiranya kamu berdua
adalah orang-orang yang kenal selatan!" katanya. "Maaf,maafkan
aku..."
Low Beng menduga bahwa orang
telah tergerak hatinya, ia maju mendekati.
"Bagaimana pikiran kau,
saudara In?" ia tanya.
Dengan sekonyong-konyong saja
In Tiong berteriak keras sekali.
"Pikiranku adalah untuk
mengambil jiwa anjingmu!" demikian jawabannya yang dibarengi dengan satu
bacokan hebat.
Low Beng kaget, ia menangkis.
Tapi kagetnya bertambah apabila ia dapat kenyataan pedangnya telah tertabas
kutung dan gagang pedang itu hampir saja terlepas dari cekalannya! .
In Tiong sedang gusar, ia
ulangi bacokannya yang tidak kurang hebatnya. Kali ini goloknya itu bentrok
keras dengan tamengnya Low Liang, yang menggantikan saudaranya menangkis. Ia
terkejut. Juga lawannya terperanjat. Kedua-duanya merasakan telapakan tangan
mereka sakit, panas dan kesemutan.
"Kau mempunyai kepandaian
apa maka kau berani pentang bacot lebar?" tegur Low Liang, sambil terus
mengulangi serangannya dengan tamengnya, yang turun dari atas ke bawah, dalam
gerakan "Taysan apteng" — "Gunung Taysan menimpa batok
kepala."
Tameng adalah senjata berat,
Low Liang pun bertenaga besar sekali, tidak heran apabila serangannya kali ini
sangat mengancam.
In Tiong tidak jeri, dengan
berani ia menangkis pula.
"Trang!" demikian
satu suara sangat nyaring, yang disusul dengan meletiknya lelatu api.
Hebat kesudahan dari
bentroknya kedua senjata itu. Tameng Low Liang sempoak sedikit dan golok In
Tiong pun bengkok ujungnya. Keduanya menjadi kaget, dengan sendirinya mereka
masing-masing mundur tiga tindak.
Low Beng dari samping tidak
mengambil peduli orang sedang mundur, ia maju untuk membarengi menyerang
musuhnya. Tapi ia bukannya maju kepada In Tiong, atau membantu Low Liang,
saudaranya, hanya ia lompat kepada Tamtay Keng Beng, yang ia tikam dengan tiba-tiba,
sinar pedangnya berkilauan! .
Nona Tamtay sedang terluka,
waktu itu ia pun tengah merasakan sakit yang sangat karena lukanya itu,
tenaganya hilang banyak, maka waktu diserang, walaupun ia melihat dan dapat
menangkisnya, tetap ia terancam bahaya. Ia telah terpelanting, hingga rubuh.
In Tiong saksikan musuh
berlaku rendah, ia menjadi sangat gusar hingga ia menjerit,habis mana ia lompat
kepada Low Beng itu, untuk menyerang padanya. Ia tidak pedulikan yang Low
Liang, dengan tamengnya, mencoba merintanginya. Ia dapat mendekati Keng Beng,
untuk melindungi nona itu. Ia sudah berlaku seperti nekat ketika ia coba
mendesak kedua saudara Low itu hingga mereka mesti mundur dulu.
Keng Beng dapat kesempatan
untuk menyingkir ke ruang dalam.
"In Toako, layani saja
musuh-musuhmu itu!" kata si nona kepada si anak muda. "Kau bikin
habis mereka semua, tak usah kau kuatirkan aku!"
Inilah anjuran berharga bagi
In Tiong. Pemuda ini membuang napas, lantas ia menerjang pula.
Low Beng tertawa dingin.
"Ha, kau benar, sebelum
kau sampai di tengah sungai Hong Hoo, kau belum insyaf." katanya mengejek,
menghina. "Sebelumnya melihat peti mati, kau tidak mengucurkan air mata!
Kau harus diperkenalkan pada marah bencana. Lihat pedangku!"
Bagaikan bisa ular
menyambar-nyambar, demikian gerakan pedang orang she Low ini,yang diimbangi,
gerak-gerik tamengnya, hingga In Tiong selalu diserang di bahagian yang
berbahaya. Tapi pemuda itu memutar goloknya, hingga ia seperti terkurung sinar
perak yang berkelebatan, berkilauan, dan golok itu pun kadang-kadang menembus
tameng untuk mencari sasarannya. Kedua pihak sama-sama terancam bahaya,
disebabkan sempitnya ruangan, yang membuatnya mereka tak dapat bergerak dengan
leluasa.
Pasangan saudara Low ini
memang liehay, tameng dan pedang mereka terlatih sempurna. Demikian di kota
raja, pernah mereka melayani Thio Hong Hoe dan Thio Hong Hoe tak dapat berbuat
banyak terhadap mereka. In Tiong kalah dari Hong Hoe, tidak heran kalau ia
lekas terdesak, apapula ia sudah keluarkan terlalu banyak tenaga. Setelah lewat
seratus jurus, tenaganya tak dapat mengiringi lagi kehendak hatinya, sulit
untuknya melakukan penyerangan pembalasan.
Lagi dua puluh jurus, kedua
saudara itu nampaknya semakin gagah.
"In Tiong, apakah kau
masih tidak hendak menyerah?" tanya Low Beng sambil tertawa.
"Jikalau sekarang kau
letakkan golokmu dan mengaku kalah, kita dapat memberi ampun daripada
kematian..."
In Tiong mendongkol tak
terkira, ia kertek giginya, ia menyerang dengan sengit.
Setelah beberapa bacokan, yang
tidak memberi hasil, ia menjadi lemah pula, hatinya pun menjadi dingin.
"Walaupun aku mesti
terbinasa, tidak nanti aku sudi menerima penghinaan," ia berpikir.
Ia sudah hendak sambarkan
goloknya ke lehernya tetapi ia ingat sesuatu, hingga ia berpikir pula:
"Jikalau sekarang aku terbinasa, bukankah adik Tamtay ini akan terjatuh ke
dalam tangan orang-orang jahat ini?"
Ia lantas melirik kepada Keng
Beng, ia tampak nona itu tengah mengawasi kepadanya,ia lihat sinar mata orang
yang mengandung kedukaan dan kekuatiran tercampur rasa syukur, pada mana pun
berpeta anjuran dan kepercayaan, pengharapan besar. Tiba-tiba semangatnya jadi
terbangun pula.
"Mundur kamu!"
sekonyong-konyong ia berteriak, sambil menyerang dengan tangan kirinya dan
mengerahkan semua tenaganya. Itulah serangan hebat dari Taylek Kimkong Tjioe
yang dibarengi dengan seruan bagaikan guntur menggelegar.
Tidak kurang hebatnya adalah
suara yang menyusuli seruan itu. Karena serangan dahsyat itu tepat mengenai
tamengnya Low Liang, maka dia menjerit keras sekali! Dia kaget terkena gempuran
Taylek Kimkong Tjioe itu, hingga tamengnya terlepas dan mental, telapak
tangannya dirasakan sakit dan mengeluarkan darah, sedang sebelah lengannya
kehabisan tenaga, tak dapat digerakkan lagi! .
Selain Low Liang, Low Beng
juga kaget tidak terkira. Inilah di luar dugaan mereka,sebab waktu itu, musuh
sudah terdesak dan nampaknya kehabisan tenaga.
In Tiong di lain pihak dapat
tambahan semangat, ia tidak berhenti sampai di situ, ia malah melanjutkan
serangannya — sambil berseru pula, ia menyerang kembali sehebat tadi. Kali ini
tangannya yang liehay itu menyambar ke pinggang Low Beng.
Orang she Low ini cerdik dan
licin, ia berkelahi dengan waspada, waktu serangan tiba,ia berkelit dengan
cepat. Ia memang gesit. Akan tetapi In Tiong tidak mau kalah gesit,habis
menggempur yang tidak mengenai sasarannya ia putar tangannya, kali ini dipakai
menyambar pedang lawan! .
Percuma saja Low Beng terkejut
dan mencoba akan menyingkirkan pedangnya, senjata itu sudah lantas kena
dirampas, akan di lain saat terdengar suara terpatah. Karena dalam sengitnya,
In Tiong tekuk pedang itu, hingga senjata orang itu jadi terkutung dua! .
Kedua saudara Low itu
terkesiap hatinya, bagaikan sudah berjanji, dengan serentak mereka lompat
keluar rumah, untuk singkirkan diri. Mereka insyaf, tanpa senjata, mereka tak
dapat berkelahi terlebih lama pula. Hanya, begitu lekas mereka berada di luar,
tibatiba terdengar mereka tertawa besar.
In Tiong heran hingga ia
berdiri melengak. Di saat ia hendak lompat menyusul, ia dengar teriakan kaget
dari Keng Beng: "Celaka!" Sebab seolah-olah rumah itu bergerak keras,
terputar, sejenak saja, kedua anak muda itu terbenam dalam kegelapan, tubuh
mereka pun turut terbalik. Akhirnya terdengarlah suara sangat berisik.
Ternyatalah ruang itu telah
dipasangi alat rahasia, dilapis di sebelah dalam dengan papan-papan tembaga,
yang bergerak turun, maka di saat itu juga, In Tiong berdua Tamtay Keng Beng
sudah menjadi orang-orang kurungan.
Dalam murkanya, In Tiong
serang tembok tembaga yang mengurung mereka itu, ia telah gunakan tenaganya.
Kesudahannya, ia mesti tarik kembali tangannya yang dirasakan sakit bukan main,
tangannya menjadi semper, sedang kurungannya tidak bergeming sedikit juga.
Dari sebelah luar lantas
terdengar tertawa mengejek dari Low Beng dan Low Liang berdua!
"In Tiong, jangan kau
umbar hawa amarahmu!" Low Beng mengejek pula. "Kau berdiam di dalam
dengan tenang untuk beberapa hari! Harap saja kau suka memberi maaf kepada kami
yang tidak dapat melayani kamu!..."
In Tiong mendongkol dengan
tidak berdaya. Terang sudah kedua saudara Low itu hendak mengurung mereka
supaya mereka kelaparan selama beberapa hari.
Untuk kedua saudara Low,
kebetulan saja mereka bertemu dengan In Tiong dan Keng Beng. Mereka baharu
buron dari kota raja, disebabkan mereka merasa panas, mereka kuatir nanti kena
dibekuk karena aksi dari Ie Kokloo yang berbareng dengan mengangkat raja baru
telah menangkapi konco-konconya si dorna kebiri Ong Tjin. Mereka sering keluar
masuk di gedung Ong Tjin, semua orang tahu mereka adalah kambratnya dorna
kebiri itu, karenanya, mereka mendahului kabur. Adalah maksud mereka untuk
pulang dulu ke rumah mereka, untuk mencari suatu pahala untuk nanti dibawa
kepada bangsa Watzu kepada siapa mereka hendak menakluk, maka datangnya In Tiong
berdua adalah sebagai kurban-kurban yang mengantarkan diri...
Di dalam gelap itu, In Tiong
meraba-raba.
"Aku di sini," Keng
Beng perdengarkan suaranya. Ia menduga si anak muda mencari padanya.
Dengan tindakan perlahan, In
Tiong mendekati, tangannya masih meraba-raba.
"Aduh" tiba-tiba si
nona menjerit. Karena si anak muda telah menyentuh lukanya.
"Maaf!" In Tiong
memohon. Lalu ia menambahkan: "Nona Tamtay, tidak harus disayangi jikalau
aku mesti mati di sini, hanya aku menyesal, aku telah membawa kau ke tempat
celaka ini..."
Tadinya Keng Beng berniat
menegur kesembronoan orang, akan tetapi mendengar suara orang yang halus, ia
merasa tak enak sendirinya.
"Bukan kau, aku justeru
yang bikin kau celaka!" katanya cepat. "Sebenarnya, sendirian saja
kau dapat menyingkir dari sini."
In Tiong tak tenang
hatinya."Bagaimana dengan lukamu? “ ia tanya. "Sakitkah itu?..."
"Oleh karena kita akan
mati, tak perlu aku pedulikan rasa sakit atau tidak," jawab Keng Beng.
"Bukan begitu," kata
In Tiong. "Tidak ingin aku melihat kau bersengsara..."
In Tiong berkata-kata tanpa
melihat si nona, kecuali sinar matanya.
Keng Beng berdiam. Semakin
berkuranglah kesannya yang kurang baik terhadap si anak muda, tanpa merasa,
hatinya tergerak oleh sikap orang yang halus dan memperhatikannya itu. Di
tempat gelap itu, ia masih tundukkan kepalanya.
"Coba kau buka
bajumu," In Tiong minta. "Hendak aku pakaikan obat pada lukamu
itu."
Baharu sekarang si anak muda
ingat akan luka orang itu.
Sambil mengucap demikian, ia
pun ulurkan tangannya perlahan-lahan. Ia menambahkan: "Kau pegang tanganku
ini, kau bawa ke tempat yang luka itu."
Keng Beng rasakan mukanya
panas. Tetapi mereka berada di tempat gelap, ia anggap tidak ada halangannya
untuk membuka bajunya. Ia pun memang seorang yang polos.
Maka ia tidak tolak tangan In
Tiong. Setelah membuka bajunya, ia bawa tangan sahabat itu pada lukanya.
Nona ini tidak punyakan cuma
satu luka. Luka yang pertama di bahu dan yang lainnya di punggung. Kedua luka
itu diobati In Tiong, siapa merasakan kulitnya yang halus.
Pemuda ini mendapat suatu
perasaan aneh ketika tangannya menyentuh tubuh orang.
"Kau muda dan gagah, kau
pun telah berkedudukan tinggi," berkata si nona selagi orang mengobati
dia, "kalau sekarang kau terbinasa secara begini kecewa, apakah itu tidak
harus disayangi?"
"Harta pusaka Thio Tan
Hong, yang keselamatannya dibebankan kepadaku, hari ini mesti tiba di kota
raja," sahut In Tiong. "Aku berbuat segala apa untuk negara, kalau
untuk tugas sekecil ini aku mesti korbankan diriku, aku tidak menyesal."
Kembali tergerak hati si nona,
sejenak itu, kembali berkurang pula kesannya yang kurang manis terhadap pemuda
itu. Di dalam hati kecilnya, ia berkata: "Anak ini agak kukuh,
pandangannya pun agak cupat, akan tetapi dia mencintai negara dan polos, ia
mempunyai bahagian-bahagian sifatnya yang baik..."
Sementara itu, tanpa merasa,
mereka sama-sama melewatkan sang waktu di dalam ruang yang gelap itu, entah
sudah berapa lama, tatkala mereka dengar berisiknya suara kuda di arah luar.
Terang sudah yang datang bukannya cuma satu penunggang.
"Inilah hebat,"
berkata In Tiong. "Sekarang ini kota Pakkhia tengah dikurung musuh,yang
datang ini mestinya tentera Watzu, ada kemungkinan besar kita bakal ditawan
mereka... Apabila itu sampai terjadi, aku minta kau suka maafkan aku, tidak
sanggup aku menolong kau terlebih lama pula, hendak aku bunuh diri, sebab tak
sudi aku tertawan dan terhina!"
Mendengar itu, sebaliknya dari
kaget dan berkuatir atau berduka, Nona Tamtay justeru tertawa.
"Jikalau kau terbinasa,
apakah kau kira aku akan hidup sendirian saja?" demikian katanya.
"Jikalau aku terus tinggal hidup, aku mensia-siakan pengharapan Thio Tan
Hong!"
In Tiong berpikir apabila ia
dengar perkataan orang itu. Pun agak luar biasa lagu suaranya si nona selagi
dia menyebut nama Tan Hong. Itulah lagu suara tak sewajarnya.
"Kiranya dia lebih
menghargai Tan Hong daripada aku," pikirnya pula.
Suara kuda di luar terdengar
datang semakin dekat, akhirnya tiba di muka rumah dan lalu berhenti. Menyusul itu
terdengar tindakan kaki orang yang mendatangi.
Tanpa merasa, In Tiong pegang
tangannya si nona dan menyekalnya dengan keras,yang mana dibalas oleh si nona.
Keduanya membungkam.
Segera juga terdengar suara
pertanyaan dari luar, suara yang kaku: "Siapa yang terkurung di dalam
kamar rahasia ini?"
Terkejut In Tiong, akan kenali
suara itu. Ia segera berbisik di kuping si nona: "Dialah Tantai Mie Ming,
pahlawan Watzu!..."
"Ya, aku pun kenali
suaranya itu," jawab Keng Beng. "Dialah kakakku sepupu. Pada bulan
lima yang baharu lalu dia pernah datang secara diam-diam ke Souwtjioe, untuk
beberapa hari dia tinggal bersama kita di Tongteng Santjhoeng."
In Tiong heran dan
beragu-ragu. Ia memang belum ketahui halnya keluarga Tamtay ini. Maka ia
berpikir dalam hatinya: "Tantai Mie Ming gagah perkasa, jikalau aku
tertawan dia, sudah pasti aku tak akan dapat kesempatan untuk membunuh
diri..."
"Kau jangan
bersuara," Keng Beng kata dengan perlahan. Dia rupanya menyangka si anak
muda akan mengucapkan sesuatu. "Hari ini kita tidak akan nampak bahaya.
Coba kau dengar apakah katanya kakakku itu terhadap mereka?"
Mereka dengar suaranya Low
Beng: "Harap Tjiangkoen ketahui, orang-orang yang terkurung di dalam sini
bukannya orang-orang biasa saja..."
"Orang-orang macam apakah
mereka itu?" Mie Ming tanya.
"Pasti Tjiangkoen akan
jadi girang sekali apabila aku mengatakannya, kata pula orang she Low itu.
"Yang satu adalah In Tiong, Boetjonggoan baru. Dia pernah jadi tongnia
dari Gielim koen. Ketika dulu Tjiangkoen datang ke kota raja, pasti Tjiangkoen
pernah bertemu dengannya. Di dalam kalangan Gielim koen, dia sekarang ini cuma
berada di bawahan Thio Hong Hoe. Bukankah dia seorang yang penting? Yang
lainnya adalah satu nona, katanya ia ada punggawa suka rela yang datang dari
Kangsouw.
Tjiangkoen tahu, ia adalah
satu nona yang cantik sekali! Sebenarnya aku telah merencanakan untuk mengurung
mereka selama beberapa hari, kemudian akan aku bekuk dia, si nona sendiri
hendak aku serahkan kepada Tjiangkoen, maka kebetulan sekali, sekarang
Tjiangkoen telah tiba. Silakan Tjiangkoen ambil putusan sendiri mengenai mereka
itu."
"Satu nona yang datang
dari Kangsouw?" Tantai Mie Ming tegaskan. "Tahukah kau shenya?"
"Belum sempat kami
periksa dia, Tjiangkoen," jawab Low Beng. "Sekarang Tjiangkoen ada di
sini, Tjiangkoen saja yang periksa dia itu. Umpama kata Tjiangkoen penuju nona
itu, tinggallah dia di sini. Mengenai ini, tidak nanti aku buka rahasia
terhadap Thaysoe..."
Dengan Thaysoe itu, Low Beng
maksudkan Yasian.
Berani Low Beng dan Low Liang,
mereka hendak persembahkan nona itu kepada kakaknya si nona sendiri!.
Mendengar itu, Tamtay Keng
Beng mendongkol berbareng merasa lucu.
Segera terdengar suaranya
Tantai Mie Ming: "Baiklah, sekarang kamu keluarkan mereka, hendak aku
melihatnya!"
Boleh dibilang baharu panglima
itu mengucapkan perkataannya, atau mendadak In Tiong dan Keng Beng dengar satu
suara nyaring yang disusul dengan berputarnya ruangan dengan keras, lalu daun
jendela terbuka. Maka sekejap saja mereka itu melihat pula sinar terang dari
langit.
Dengan lekas pintu pun
terpentang. Hingga di muka pintu terlihat tubuh Tantai Mie Ming yang besar dan
tegap, wajahnya dingin dan bengis.
"Adakah ini mereka
itu?" dia menegaskan.
"Ya Tjiangkoen, benar
mereka," jawab Low Beng. Ia terkejut ketika ia tampak wajah panglima itu,
hingga ia menambahkan: "Eh eh, Tjiangkoen, apakah yang kurang
beres?..."
Pertanyaan itu belum habis
diucapkan ketika Tantai Mie Ming, dengan kesehatannya yang luar biasa, sudah
menyambar Low Beng dan Low Liang dengan kedua tangannya dan sebelum orang tahu
apa-apa, kepala mereka telah diadukan satu dengan lain, hingga sambil keluarkan
jeritan tertahan, tubuh mereka rubuh dengan bermandikan darah, sebab kepala
mereka pecah, polonya berhamburan! .
Tamtay Keng Beng girang bukan
kepalang, hingga ia lompat akan tubruk kakaknya itu sambil berseru:
"Kokol"
"Bukankah kau terluka
panah?" kakak itu berkata. "Mari perlihatkan lukamu itu! — Ah,tidak
apa-apa!" ia segera menambahkan. "Kali ini kau sangat menderita. Kau
kurang pengalaman, kau telah terjebak dua saudara Low itu. Pasti kau kaget,
bukan? Tapi anak muda menderita, ia dapat pengalaman, inilah baik juga sebagai
latihan..."
In Tiong berdiri melengak di
samping. Ia awasi Keng Beng dan Mie Ming bergantian,tak dapat ia berkata suatu
apa. Ia masih berdiam saja sampai Mie Ming berpaling kepadanya dan tertawa.
"Saudara In Tiong,
sungguh kebetulan!" demikian katanya. "Kita rupanya berjodoh maka di
sini kita bertemu pula! Hanya kali ini kau tak usah mengadu jiwa lagi
denganku..."
Ia tertawa pula. Terus ia
menanya lagi: "Saudara, kau telah datang ke Souwtjioe, apakah kau telah
ketemu Thio Tan Hong?"
"Ya, aku bertemu
dengannya," sahut In Tiong, meski sebenarnya ia heran.
"Apakah permusuhan di
antara kamu kedua keluarga telah dapat dihapuskan?" Tantai Mie Ming tanya.
Anak muda itu berdiam, ia
tidak menjawab. Keng Beng sebaliknya, menggelengkan kepalanya terhadap
kakaknya.
Mie Ming berkata pula:
"Ini adalah urusan kamu berdua keluarga, aku adalah orang luar, tak dapat
aku mencampuri urusan itu,akan tetapi ingin aku memesan kau, bila kau nanti
bertemu pula dengan Tan Hong, tolong kau sampaikan padanya agar ia melegakan
hatinya, karena pengurungan atas kota Pakkhia sudah buyar dan angkatan perang
Watzu dalam tempo beberapa hari lagi mungkin akan sudah berangkat kembali ke
negerinya."
Mendengar itu, girang Tamtay
Keng Beng.
"Ah, benarkah itu?"
dia tanya. "Koko, adakah itu Yasian yang mengatakannya padamu?"
"Tidak nanti dia dapat
memberitahukannya sendiri hal itu kepadaku," jawab sang kakak. "Hanya
aku melihat gelagat, tak dapat tidak, mesti dia bawa kembali pasukan perangnya
itu. Sebenarnya aku tengah menerima titah dari Yasian itu, ialah dia yang
menugaskan aku menjaga kota Ganboenkwan... Yasian kuatir tentera suka rela
pihak Beng nanti memutuskan perjalanannya kembali, dia menitahkan nya, sambil
menjaga kota Ganboenkwan itu, aku harus memecah pasukanku untuk memapak dia.
Sementara itu diam-diam aku telah kisiki Kimtoo Tjeetjoe supaya, di harian aku
berangkat, dia datang menyerbu kota Ganboenkwan itu. Kemarin dahulu aku terima
warta, bahwa tentera Watzu yang menjaga kota Ganboen kwan itu sudah bentrok
dengan tentera suka rela di luar tembok kota, kesuda hannya tentera itu telah
dirusak separuhnya oleh Kimtoo Tjeetjoe. Yasian tidak menyangka tindak tandukku
ini, dia hanya menduga, karena kepergianku tenaga tenteranya di Ganboenkwan
menjadi kurang banyak, karena mana, tenteranya itu jadi kalah perang. Kekalahan
itu membuatnya angkatan perang Watzu goncang. Sudah begitu, keadaan di dalam
negeri pun nampaknya tak tenang. Aku lihat, tidak sampai setengah bulan, dia
akan sudah mundur sendirinya."
In Tiong dengar perkataan
orang itu, dia berdiri menjublak. Sungguh ia tidak pernah sangka sikapnya
Tantai Mie Ming ini, yang secara diam-diam sudah membantui pihak Beng.
"Bagaimana sekarang
dengan tjoekong kita?" Keng Beng tanya pula kakaknya.
Dengan "tjoekong"
yaitu "junjungan," Nona Tamtay maksudkan Thio Tjong Tjioe,ayahnya Tan
Hong. In Tiong ketahui ini, ia menjadi bertambah heran, hingga jantungnya
memukul. Nyata mereka ini sudah bicarakan musuh turunannya itu. Ia menjadi
bingung.
Tantai Mie Ming menyeringai
sebelum ia menjawab adiknya itu.
"Selama ini pikiran
tjoekong kita itu kusut sekali," demikian penyahutannya. "Tak
hentinya ia memikirkan soal merampas kembali kerajaan Beng, untuk itu ia
menghendaki bangsa Watzu menduduki Tionggoan. Hanya ia bersangsi akan akibatnya
nanti. Pikirannya itu tengah bertentangan sendiri. Tidak berhasil aku membujuk
dia untuk bersabar dan menetapkan hati."
Habis berkata, Mie Ming lihat
langit.
"Aku dititahkan Yasian
untuk mengajak pulang Low Beng dan Low Liang," ia berkata pula,
"sekarang tidak ada jalan lain, aku harus memberi laporan bahwa mereka
telah terbinasa di tangan musuh. Sekarang hari sudah malam, aku mesti
pergi."
Ia pamitan dari adiknya dan In
Tiong, terus ia bertindak keluar, akan mengajak orang-orangnya berlalu dari
rumah kedua saudara Low itu.
Selekasnya kakaknya dan barisannya
pergi, Tamtay Keng Beng ajak In Tiong berlalu juga. Mereka menunggang kuda
mereka, untuk kabur ke arah Pakkhia.
Benar-benar kota Pakkhia sudah
terlepas dari kurungan, di sekitar kota sampai beberapa puluh lie jauhnya,
tidak terdapat seorang musuh jua. Mereka baharu melalui tiga puluh lie, lantas
mereka bertemu dengan barisan Beng, yang lantas mengajak mereka masuk ke dalam
kota, untuk segera bertemu dengan Tan Hong.
Bukan main girangnya In Tiong.
Sekarang ini telah lenyap pula beberapa bahagian dari rasa permusuhannya
terhadap orang she Thio itu.
Kata-kata Tantai Mie Ming tadi
terhadap Nona Tamtay, membikin ia dapat melihat duduknya hal mengenai Tan Hong
itu. Mie Ming sendiri nyatanya bukan musuh...
Tentera suka rela sementara
itu telah berbaris masuk ke dalam kota raja. Tibanya mereka itu saling susul.
Ie Kokloo telah mengeluarkan barang-barang berharga dari Thio Soe Seng, untuk
dijadikan uang, buat dipakai membeli rangsum dan lainnya. Di samping itu, ia
telah periksa peta bumi dan memahami itu. Ia jadi bertambah bersemangat.
Begitu, dalam beberapa pertempuran, ia terus peroleh kemenangan maka telah
kejadian, setelah setengah bulan, angkatan perang Watzu telah mundur dari
Ganboenkwan.
Pada suatu hari, Ie Kokloo
panggil Tan Hong dan In Tiong datang padanya.
"Ada sesuatu yang
berbahaya, apakah hiantit bersedia untuk melakukan itu?" ia tanya kedua
anak muda sehadirnya mereka itu.
"Apa yang thaydjin
titahkan, meskipun untuk menyerbu api berkobar, tidak nanti kita tampik,"
Tan Hong berikan jawabannya.
Ie Kiam berdiam sebentar.
"Tadi malam aku telah
menulis syair," kata ia kemudian. "Coba kau lihat dulu." Dan ia
serahkan syairnya.
Tan Hong menyambuti, terus ia
membaca. Ia lantas manggut-manggut. Karena ia mengerti maksud kepala perang
itu. Ie Kokloo telah melukiskan, bahwa perang sudah berhenti, kawanan dorna
telah dibasmi, maka itu orang-orang yang berjasa dalam peperangan diberi
anugerah. Ia mengharap ancaman di perbatasan telah lenyap, supaya tak timbul
lagi peperangan.
"Bagus," Tan Hong
memuji. "Bukankah maksud thaydjin untuk membuat perdamaian dengan bangsa
Watzu?"
"Benar," jawab Ie
Kiam. "Di kolong langit ini tidak ada peperangan yang tidak dapat di
akhiri. Sekarang kita sudah peroleh kemenangan, inilah waktunya untuk
merundingkan perdamaian. Untuk kita, itu bukannya suatu hinaan. Taysianghong
berada di negara asing,sudah selayaknya kita menyambut ia pulang.
Di hati kecilnya, Tan Hong
terkejut juga mendengar, niatnya Ie Kokloo ini. Ia berpikir: "Kokloo
berniat menolongi taysianghong dapat pulang ke dalam negeri,tetapi sekarang
sudah ada raja baru, dengan pulangnya taysianghong, dikuatirkan dia tak akan
mengerti ihtiarnya Kokloo ini. Bukankah Kokloo jadi menghadapi ancaman
malapetaka?"
Ie Kiam rupanya melihat
kesangsian anak muda itu.
"Hiantit, niatku sudah
pasti!" dia kata. "Tak dapat diubah lagi niat itu. Tentang
perseorangan, berhasil atau gagal, kemulian atau kehinaan, itulah bukan soal
yang berarti banyak, akan tetapi raja negara kita yang besar, ia tidak dapat
dibiarkan selamanya menjadi tawanan di negeri musuh. Sekarang ini pergilah kamu
selidiki terlebih dahulu, sesudah itu baharu aku akan kirim utusan untuk pergi
mengadakan perundingan, guna akhirnya menyambut Taysianghong pulang. Kita ketahui
cita-cita Yasian besar, aku kuatir setelah kekalahannya nanti dia datang
menyerbu untuk kedua kalinya.Dengan
kepergianmu ini hiantit, kau
juga boleh sekalian berdaya bersama ayahmu untuk mengajak Pangeran Atzu mencoba
mempengaruhi Yasian, agar dia tidak sampai bergerak pula. Ini juga merupakan
satu jasa besar untukmu."
Tan Hong berpikir sebentar,
segera ia berikan jawabannya.
"Baiklah, besok akan aku
berangkat!" kata dia. "Sebenarnya aku berniat tidak akan kembali ke
Watzu, akan tetapi untuk urusan ini, biar mesti menghadapi golok dan
gergaji,akan aku pergi juga. Thaydjin, apakah aku harus pergi seorang
diri?"
"Aku telah bicara dengan
In Tiong untuk In Loei pergi bersama kau," sahut Ie Kokloo. "Aku
dengar kamu berdua mempunyai kepandaian silat dengan pedang Siangkiam happek
benarkah itu?"
"Itulah benar, selama ini
belum pernah kami menemui lawan yang tangguh," jawab Tan Hong. "Hanya
dengan dia turut bersama, itulah terlebih baik pula. Jadi bila kami, umpama
kata bertemu musuh yang lebih tangguh, dapat kami menghadapinya."
Ie Kiam bersenyum. Itulah
senyuman yang berarti...
Besoknya, Thio Tan Hong dan In
Loei berangkat berdua. Mereka akan menempuh jarak yang jauh, hati mereka
masing-masing terbuka sekali.
"Adik kecil," kata
Tan Hong sambil tertawa di tengah jalan, ketika dulu kita berangkat dari
Kangsouw menuju ke Pakkhia, kau pernah bicara dari hal sulitnya perjalanan yang
sukar, sekarang kita berangkat menuju ke Watzu, perjalanan ini lebih jauh
lagi..."
In Loei bersenyum.
"Toh ada harinya yang perjalanan
itu dapat dilakukan hingga ditujuannya?" ia jawab.
Tan Hong tertawa, ia lantas
bersenanjung: "Di dalam hidupnya, manusia tidak sedikit mengalami
perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka orang mesti menerjang es melawan hawa
dingin untuk melanjutkan perjalanannya itu. Demikian dengan kita sekarang ini,
berapa banyak perjalanan sukar yang mesti dilintasi, dari itu, mana ada hari
yang dapat di akhirkannya?..."
Hati In Loei bercekat.
Mengertilah ia maksud kata-kata Tan Hong ini. Orang hendak minta supaya ia
menjadi teman sehidup semati. Tentu saja ia bersyukur akan cinta orang itu.
Akan tetapi hatinya menjadi ciut ketika ia ingat pesan atau permintaan
kakaknya,untuk mana ia telah berikan janjinya. Maka ia merasa suram akan
penghidupannya nanti.
Terpaksa, ia berpura-pura
kurang mengerti. Ia pun paksakan diri untuk bersenyum.
"Oh, sioetjay kutu
buku!" katanya, menggoda. "Sudahlah, jangan kau main bersenanjung
saja! Jikalau kau tidak lekaskan perjalanan kita ini, apabila kita memperlambat
hari, aku kuatir, sebelumnya kita tiba di Kwangwa, salju sudah akan turun
secara besar-besaran! Kalau itu sampai terjadi, baharu benar-benar kita
menerjang es dan melawan hawa dingin!...”
Tan Hong tertawa. Si nona pun
tertawa.
Demikian tidaklah sunyi mereka
di tengah perjalanan, cuma setiap kali si pemuda bicara tentang hari kemudian
mereka berdua, si pemudi senantiasa mengelakkan diri.
Itu hari tibalah mereka di
Yangkiok. Habis perang, kota menjadi sepi sekali, sebahagian dari toko-toko
belum dibuka pula. Tapi Tan Hong girang juga ketika ia saksikan rumah makan di
mana ia untuk pertama kali bertemu dengan In Loei, rumah makan itu masih
mengibar-ngibarkan bendera mereknya.
"Adik kecil, masihkah kau
ingat rumah makan itu?" dia tanya kawan seperjalanannya.
"Seumurku, tak nanti
kulupakan itu!" sahut In Loei.
Tan Hong tertawa.
"Oh, adik kecil!"
katanya dalam keriangan hatinya. "Bagus sekali, ingatanmu dan ingatanku
ada serupa..."
"Ah, ingatan apa
sih?" In Loei potong. "Tak dapat aku melupakannya yang di dalam rumah
makan itu kau telah mencuri uangku, hingga hampir saja aku mendapat
malu..."
Tan Hong tercengang. Itulah
jawaban yang ia tidak harapkan. Tapi sebentar saja, atau ia sudah tertawa pula.
"Sudahlah, jangan kita
adu mulut..." katanya. "Kita telah tiba di tempat yang lama, tak
dapat kita melupakan kejadian-kejadian yang telah berlalu itu, marilah kita
minum arak,untuk memuaskan hati kita. Adik kecil, kau jangan kuatir, kali ini
akulah yang undang tetamu, tidak nanti aku membiarkan kau dahar pula tanpa
membayar!..." Gembira In Loei mendengar orang menyebut-nyebut kejadian
sudah lewat itu, ia lirik si anak muda, ia tertawa.
"Jikalau kau berani
mengulangi mempertunjukkan kepandaianmu tangan liehay," katanya,
"lihat, akan aku patahkan lenganmu..."
Kembali keduanya tertawa,
mereka saling pandang.
Segera mereka sampai di depan
rumah makan, keduanya turun dari kuda, untuk menambat binatang tunggangan
mereka, habis mana, mereka bertindak masuk ke dalam rumah makan itu. Masih
mereka saling lirik dan bersenyum.
Rumah makan itu tidak banyak
tetamunya, ini pun menandakan akibatnya bahaya perang.
Tan Hong masih ingat tempat
duduk mereka yang dulu, yaitu di meja di sebelah selatan yang menghadapi
jendela, maka ia ajak In Loei ke meja yang dahulu itu. Ia lantas panggil jongos,
untuk minta dua poci arak serta daging dua setengah kati. Begitu lekas arak
disajikan, ia lantas saja tenggak tiga cawan.
"Dahulu ketika aku duduk
minum seorang diri di sini," kata dia menimbulkan soal lama. "Kau
juga ada bersendirian, adik kecil. Ingat benar aku itu hari, kau senantiasa
melirik aku, tetapi sekarang, bagus sekali, kita sekarang berada berdua!
Sekarang, adik kecil, tak usah lagi kau tiap-tiap kali mengalihkan pandanganmu
kepadaku!...”
Jengah juga In Loei mendengar
kata-kata orang itu. Tetapi ia tidak menjadi gusar karena ia tahu pemuda itu
tengah bergurau.
"Bicara perlahan
sedikit!" tegurnya. "Siapakah yang tiap-tiap kali melirikmu? Hari itu
aku berpaling kepadamu karena tingkah polamu lucu dan juga ada orang jahat yang
mengintai padamu tanpa kau mengetahuinya. Memang aku sering menoleh kepadamu,disebabkan
tingkah lakumu itu! Hanya aku tidak menyangka, kau justeru hendak mempermainkan
aku. Sudahlah, urusan lama jangan ditimbulkan pula. Bicara tentang itu,
sekarang panas hatiku terhadapmu..."
Tan Bong bersenyum, ia
menatap.
"Benarkah itu?" dia
menegaskan, separuh main-main.
In Loei kewalahan.
"Ah, kau jail
sekali!" katanya. "Buruk hatimu..."
"Eh, apakah itu
benar?" tanya Tan Hong. "Kalau begitu, pastilah aku menjadi kakakmu
sang busuk hatinya..."
"Sudahlah!" kata si
nona, akhirnya. "Kalau tetap kau menggoda aku, nanti aku tak sudi bicara
lagi denganmu..."
Tan Hong irup araknya. Ia
tertawa pula.
"Aku ingat kedua penjahat
yang hari itu mengarah aku," kata dia, "mereka itu duduk di situ, di
sebelah timur..." Ia menoleh ke arah yang ia sebutkan. Di sana justeru
duduk seorang imam yang jubanya hijau, yang romannya seperti bukan imam
sembarang imam.
In Loei pun berpaling ke arah
itu.
"Kali ini dia bukannya
jahat!..." katanya sambil tertawa. Ia pun keringkan cawannya.
Di mulutnya, In Loei bilang
tak ingin membicarakan soal-soal lama, akan tetapi sekarang ia berada di tempat
dahulu itu, mau atau tidak, teringat segala, seperti berpeta apa yang mereka
tampak dahulu itu. Begitulah ia ingat, dapat ia membayangkan saat-saat
pertemuannya pertama kali dengan Tan Hong. Maka juga hatinya jadi bekerja.
"Dulu aku berkesan
menjemukan terhadap dia, aku tidak sangka, sekarang dia menjadi sahabatku yang
kekal," demikian ia berpikir. "Yang lebih-lebih aku tidak sangka, dia
justeru musuh besarku. Koko-pun sangat membenci dia. Benar-benar di dalam hidup
manusia terdapat banyak hal yang tak disangka-sangka semulanya..."
Kembali si nona ceguk araknya.
Dengan jalan ini ia mencoba akan melenyapkan kenang-kenangannya itu, karena
mana, dapat ia minum, dahar dan pasang omong dengan gembira bersama Tan Hong.
Karena ini, tanpa merasa juga, ia telah tenggak beberapa cawan.
"Adik kecil," kata
Tan Hong pula. "Lagi sepuluh lie dari sini adalah dusun Hektjio tjhoeng,
maka itu, inginkah kau menemui mertuamu?"
In Loei melengak. Tidak ia sangka,
sahabatnya ini menimbulkan soal itu. Maka ia lantas ingat pernikahannya dengan
Nona Tjio Tjoei Hong dan apa yang terjadi pada malam pengantin itu. Tiba-tiba
ia merasa lucu, hampir ia semburkan araknya. Ia tertawa.
Tan Hong bersenyum, ia
mengawasi.
"Kasihan isterimu yang
cantik itu, yang telah menantikan kau sampai hari ini," kata dia ,
romannya sungguh-sungguh. "Sekian lama dia tungkuli nama isteri kosong
belaka...
Setelah sekarang habis perang,
sudah selayaknya kau pergi menjenguk dia, supaya hatinya menjadi lega..."
Tergerak juga hatinya In Loei
mendengar disebutnya Tjoei Hong. Ia jadi ingat cintanya Nona Tjio itu
terhadapnya.
"Benar, sudah selayaknya
aku pergi menengok dia," ia berpikir. "Hanya, perlukah aku membuka
rahasia terhadapnya tentang diriku sendiri?"
Ia menjadi bersangsi. Dahulu
ia suka menikah dengan Tjoei Hong karena terpaksa,untuk meloloskan diri, ia
tidak nyana, nona itu demikian keras menyintai ia, ia dipandang sebagai suami
yang benar-benar dapat diandalkan. Sekarang, setelah dapat pengalaman, lain
lagi perasaannya. Ia tidak lagi seperti dulu, yang masih hijau. Dahulu ia
anggap menyamar sebagai pemuda, habis perkara, tak pernah ia pikirkan akibatnya
di belakang hari. Karena ini, ia angkat kepalanya, ia pandang Tan Hong.
Pemuda itu pun tengah
mengawasi si nona, wajahnya seolah-olah berseri-seri...
"Eh, mengapa kau
tertawa?" si pemudi menegur.
"Bukankah kau pun pernah
menyamar menjadi wanita, malah hampir saja kau menikah dengan puterinya Yasian
itu?"
Tan Hong tertawa.
"Aku belum sampai
menikah!" katanya, menggoda pula.
"Sudahlah!" kata
nona In akhirnya. "Mari lekas minum, habis kita pergi menengok dia,hendak
aku menutur segala apa dengan terang kepadanya. Sayang kita sekarang tak
ketahui Tjioe San Bin ada di mana..."
"Hai, kau lucu!"
kata Tan Hong. "Urusanmu sendiri masih belum beres, kau sudah memikir
untuk menjadi comblang! Sekarang aku tanya kau, kau hendak salin pakaian atau
tidak? Awas, kalau nanti Nona Tjio lihat kau, bisa-bisa dia gerembengi pula
padamu!..."
In Loei tunduk, memandang
pakaiannya sendiri. Sejak berangkat dari kota raja, ia memang telah dandan pula
sebagai satu pemuda. Ia menjadi tertawa sendirinya.
"Kau omong perlahan
sedikit..." ia peringatkan pula sahabatnya itu. "Kau lihat, si imam
agaknya memperhatikan kita..."
Tapi Tan Hong menyahuti
seenaknya saja.
"Nah, mari kita
berangkat!" kata dia kemudian, sambil berbangkit. Ia hendak mendahulukan
membayar uang santapan mereka. "Aku tidak inginkan kau yang
membayar!"
Ia sudah lantas merogo
sakunya, atau mendadak ia menjadi melengak. Tangannya itu masuk ke dalam saku
yang kosong — uangnya sudah terbang tanpa sayap! .
"Ah, toako, kembali kau
godai aku!" katanya kemudian pada Tan Hong. "Lekas kau kembalikan
uangku!" Sambil mengucap demikian, ia menoleh kepada si imam, siapa
justeru sudah berdiri di sampingnya.
Tan Hong tidak menyahuti
kawannya, hanya sambil berlompat bangun, ia terjang imam itu.
"Di kolong langit yang
begini terang benderang kau berani menjadi bangsat?" ia mendamprat. Imam
itu menangkis dengan sebat, enteng dan gesit gerakan tangannya.
"Hai, kau berani lancang
memukul orang?" tegurnya.
In Loei terkejut melihat
kesebatan orang itu. Memang luar biasa serangan Tan Hong yang dapat ditangkis
secara demikian. Hampir ia lompat untuk membantui kawannya,baiknya dapat ia
bersabar.
Tan Hong tidak berhenti karena
tangkisan itu.
"Ah, kiranya kau satu
ahli?" katanya, sambil menyerang pula. Ia berlaku sangat sebat,hingga
dapat ia sambar apa yang ia arah, ialah kantong uangnya In Loei. "Apa kau
hendak katakan sekarang?" dia tanya pula. "Di sini ada
buktinya!" Imam itu melejit, tetapi Tan Hong sambar bajunya, hingga
"Bret!" pecahlah ujung jubahnya.
Imam itu mencoba meloloskan
diri dengan kelitan "Kimsian toatkok" atau "Tonggeret melepaskan
sarung tubuhnya." Ia tidak pedulikan ujung jubah pecah, terus ia lompat ke
jendela, untuk kabur.
Tuan rumah makan lihat orang
lari.
"Eh, eh, uang
makanmu!" dia teriaki. "Ada orang jahat! Ada orang jahat! Ia lantas
berteriak-teriak pula.
Tan Hong buka kantong uangnya,
untuk mengeluarkan sepotong perak, yang ia letakkan di atas meja.
"Semua akulah yang
bayar!" dia kata kepada tuan rumah.
Potongan perak itu, meski
dibayarkan sekalian pada uang makan si imam, masih ada kelebihannya, maka itu,
girang tuan rumah itu, tetapi, ketika ia hendak haturkan terima kasihnya, Tan
Hong sudah menarik tangan In Loei untuk diajak lari keluar dengan jalan
melompati jendela juga! .
Itu waktu, sedikit sekali
orang berlalu lintas di jalan besar, si imam terlihat tengah melarikan dirinya
sambil menunggang kuda, dia sudah mulai keluar dari pintu kota.
Tan Hong lari kepada kudanya,
terus ia lompat naik di bebokongnya.
"Mari kita kejar
dia!" ia ajak In Loei. "Kantong uang telah didapat kembali, untuk apa
melaya ni dia itu" In Loei tanya.
"Bukan begitu," kata
Tan Hong. "Dia liehay, dia bukannya penjahat sembarang! Hendak aku
selidiki tentang dirinya!"
Tjiauwya saytjoe ma pun segera
meringkik dan kabur.
Menampak demikian, terpaksa In
Loei larikan kudanya, untuk menyusul.
-ooo00dw00ooo
Kuda Tan Hong adalah kuda
jempolan, kuda In Loei — hadiah dari Ie Kiam juga adalah kuda pilihan, maka
itu, dalam sekejap saja keduanya sudah berada di luar kota kecamatan Yangkiok
itu, lantas mereka candak si imam, yang telah melarikan kudanya.
"Berhenti!" teriak
Tan Hong kepada imam itu.
Heran agaknya si imam, dia
menoleh, tetapi segera dia tertawa besar.
"Kau tahu aku kekurangan
uang untuk ongkos perjalanan, apakah kau hendak mengantarkan aku?" dia
tanya, sikapnya wajar.
Tan Hong tidak pedulikan sikap
orang berlagak pilon itu.
"Di rumah makan ada
banyak orang, tidak merdeka untuk bicara di sana," ia jawab.
"Tootiang, apakah sampai
di sini masih kau hendak bergurau?" Imam itu perlihatkan roman suram
secara mendadak.
"Siapa main-main
denganmu?" dia kata.
"Jikalau tootiang tidak
main-main, aku minta kau memberi keterangan tentang dirimu kepadaku," Tan
Hong minta.
"Selama hidupku aku
mencopet, belum pernah aku gagal", berkata imam itu, "sayang hari
ini, aku telah dipergoki kau. Uangmu telah aku bayar kembali, apa perlunya kau
susul aku? Bukankah itu berarti bahwa kau, tuan besar yang mempunyai banyak
uang, hendak mempermainkan aku? Hm, hm! Baik kau rasakan pedangku ini!"
Dia berkata dengan wajar,
tidak mirip dia hendak bergurau, setelah itu segera dia hunus pedangnya, untuk
lantas menikam dengan tikaman "Kimtjiam inshoa" atau "Jarum emas
memimpin benang."
Tan Hong berkelit, atas mana,
tiga kali ia diserang saling susul, hingga ia mesti terus-menerus mengegoskan
diri, tetapi karena ini, ia lihat ilmu pedang orang mirip dengan ilmu pedang
Lianhoan Toatbeng kiam dari Boetong Pay. Ia menjadi heran.
Si imam masih tidak puas,
masih ia keluarkan kata-kata yang tak sedap didengar.
"Kau andalkan kudamu yang
keras larinya, apakah itu perbuatan satu enghiong?" (Enghiong = orang
gagah, satu laki-laki).
Heran Tan Hong atas kelakuan
orang yang jumawa itu.
"Mungkinkah dia hendak
mencoba-coba ilmu pedangku?" ia dapat pikiran. Maka terus ia lompat turun
dari kudanya, akan segera menjawab: "Baiklah, akan aku temani tootiang
untuk beberapa jurus..."
Imam itu sudah lantas lompat
turun dari kudanya, sambil berlompat, ia menghampiri si anak muda, maka itu,
begitu menginjak tanah, ia bisa mendahului dengan tikamannya ke arah jalan
darah hoenboen hiat dari Tan Hong.
Tentu saja anak muda itu
menjadi mendongkol, karena ia kenali tikaman yang berbahaya itu, maka setelah
menangkis dengan "Hengkee kimliang" atau "Melintangkan penglari
emas," ia lantas membalas dengan "Kimtjiam hielong" atau
"Kodok emas membuat main gelombang," disusul dengar dua tikaman
lainnya, hingga si imam jadi kaget juga. Sebab ketiga tikaman itu mengarah
bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya.
"Sungguh liehay!"
dia berseru. Dengan gesit ia elakkan dirinya, habis mana, lagi sekali ia
menyerang.
Diam-diam Tan Hong kagumi ilmu
silat pedang orang itu.
"Dia jauh terlebih liehay
daripada Siong Sek Toodjin," ia berpikir. "Ia mesti salah satu ahli
silat dari Boetong Pay."
Oleh karena ini, Tan Hong
lantas melayani terus dengan perhatian. Ia segera keluarkan ilmu pedang
"Pekpian Hian Kee Kiamhoat-nya," maka berbareng dengan kelincahannya,
kegesitannya, ia menikam dan membabat dengan berulang-ulang, ke segala arah, ke
delapan jurus.
Imam itu melepaskan napas lega
setelah ia dapat membela diri dari pelbagai serangan yang berbahaya itu, ia
baharu hendak melakukan pembalasan, atau di luar dugaannya, si anak muda
kembali menyerang padanya, dengan tikaman "Inheng Tjinnia" atau
"Mega melintang di atas bukit Tjinnia" yang diubah menjadi sabatan
"Soatyong Lankwan" atau "Salju menindih kota Lankwan."
Bukan kepalang kagetnya imam
itu. Repot ia berkelit. Tidak urung, kopiah keimamannya tersabet juga hingga
putus bahagian atasnya. Ia menjerit bahna kagetnya, ia mundur hingga beberapa
tindak.
"Hai, pantas Siong Sek
Soetee telah menderita kekalahan hingga dia bersumpah
tak hendak menggunakan pedang
lagi!..." ia pun berseru. Mendengar seruan itu, Tan Hong ingat kepada
Siong Sek Toodjin, yang diakui si imam sebagai soetee (adik seperguruan).
Siong Sek Toodjin adalah si
imam yang telah membantu See To ayah dan anak mencoba merampas kudanya si anak
muda, karena mana dia dikalahkan anak muda itu.
Maka anak muda itu jadi heran.
"Tootiang," ia
menanya sambil menahan pedangnya, "adakah kau bermaksud menuntut balas
untuk Siong Sek Toodjin?"
Imam itu tertawa berkakakan.
"Untuk urusan kecil itu
aku hendak menuntut balas?" sahutnya. "Sungguh aku tidak kebanyakan
tempo! Melihat kudamu, menyaksikan ilmu pedangmu ini, kau mestinya Thio Tan
Hong. Syukur aku telah mencoba-coba kepadamu, jikalau tidak, pasti sekali kau
akan jadi penasaran. Aku tanya kau, bukankah kau hendak pergi ke Heksek
tjhoeng?"
Tan Hong heran. Ia tetap tidak
melanjutkan serangannya.
"Apa kau bilang?" ia
tanya.
"Tidak apa-apa,"
jawab imam itu. "Hanya, kalau benar kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng, di
sana kau tidak akan dapat menemui Hongthianloei!"
"Jikalau dia tidak berada
di Heksek tjhoeng, habis di mana?" Tan Hong tanya.
"Dia berada di dalam
pesanggrahan See To yang menjadi saudara angkatnya," si imam menjawab
dengan keterangannya.
Persahabatan antara Tjio Eng
dan See To memang kekal sekali, akan tetapi sejak Tjio Eng
"menikahkan" puterinya dengan In Loei, persahabatan itu menjadi
renggang. See To dan puteranya menjadi tidak senang, sebab mereka merasa diri
mereka seperti dihina.
Mendengar keterangan itu, Tan
Hong bersangsi.
"Benarkah keteranganmu
ini, tootiang?" ia tegaskan.
"Untuk apa aku mendustai
kau?" imam itu balik menanya. "Sekarang ini See To tengah mengundang
banyak sekali orang-orang kaum Rimba Hijau, di antaranya termasuk pintoo,namun
pintoo tak sudi memenuhi undangan itu. Pintoo telah menolak undangan dengan
menuliskan penolakan itu di kaki gunung, habis itu pintoo lantas berlalu.
Kebetulan saja di atas gunung itu, pintoo bertemu Tjio Eng."
"Bagaimana dengan anak
perempuannya?" In Loei tanya. Ia campur bicara secara tibatiba setelah
lama membungkam saja.
Si imam tertawa.
"Tentu saja ia berada
bersama ayahnya!" sahutnya. "Eh, engko kecil, ada urusan apakah di
antara kau dan mereka itu hingga kau menanyakan halnya si nona Tjio itu?"
"Aku mohon bertanya,
tootiang, apakah gelaran mulia dari tootiang?" Tan Hong memotong In Loei,
hingga kawannya tak sempat menjawab.
"Pintoo adalah imam dari
Boetong San," sahut imam itu. "Namaku Tjek Hee."
"Oh, kiranya Tjek Hee
Tootiang." kata Tan Hong. "Telah lama aku dengar nama
besar dari tootiang,"
Dengan mengatakan demikian,
pemuda ini bukan cuma berlaku hormat menurut
keharusan, ia hanya omong
dengan sebenarnya, sebab Tjek Hee Toodjin ini memang
salah satu imam kenamaan dari
Boetong Pay.
"Masih ada satu hal yang
pintoo dengar di tengah jalan," berkata pula imam dari Boetong San itu,
"hanya entahlah kabar itu benar atau dusta..." "Kabar apakah
itu,tootiang?" "Kabarnya ketika angkatan perang Watzu menduduki
wilayah ini, See To ayah dan anak mempunyai perhubungan dengan tentera asing
itu," terangkan Tjek Hee. "Inilah sebabnya kenapa pesanggrahan See To
itu utuh hingga sekarang."
Tan Hong terperanjat. Inilah
kabar penting, yang ia tidak sangka. Ia memang belum pernah dengar kabar itu.
"Bagaimana dengan Tjio
Eng?" ia tanya.
"Sampai begitu jauh,
pintoo tidak tahu," jawab Tjek Hee. "Sebetulnya pintoo berniat
menyampaikan kabar mengenai See To itu kepada Tjio Eng, sayang ia selalu
didampingi orangnya See To hingga pintoo tak mendapat ketika."
Tan Hong kaget hingga ia
berseru sambil mencelat.
"Tootiang, terima kasih
untuk kebaikanmu ini!" ia mengucap sambil menjura, setelah mana ia beri
tanda kepada In Loei, terus ia lompat naik ke atas kudanya, lalu ia kaburkan
binatang itu.
In Loei menurut, akan tetapi
ia kurang mengerti.
"Bagaimana kau pikir
tentang imam itu?" ia tanya.
"Menurut keterangan imam
itu, mestinya See To dan anaknya itu mempunyai maksud tertentu dan mereka
sedang mengatur tipu daya," jawab Tan Hong. "Mungkin mereka sedang
pancing Tjio Eng supaya Tjio Eng terjebak. Imam itu mencoba kita selagi kita
berada di rumah makan tadi, untuk mengetahui kita sebenarnya siapa, dengan
perbuatannya itu ia rupanya hendak menunjukkan kita jalan supaya kita menolongi
Tjio Eng." In Loei kaget juga.
"Apakah benar Tjio Eng
tengah menghadapi bencana besar?" ia tanya.
Tan Hong tidak berikan
penyahutannya, dia hanya berkata: "Karena kita mempunyai kuda yang keras
larinya, mari kita pergi dahulu ke Heksek tjhoeng untuk melihat-lihat, apabila
benar-benar Tjio Looenghiong tidak ada di rumahnya, kita mesti pergi terus
kepada See To untuk membuat perhitungan."
In Loei tidak punya pikiran
lain, ia menurut saja. Maka itu, keduanya kaburkan keras kuda mereka. Tidak
sampai setengah jam, tibalah mereka di Heksek tjhoeng. Mereka tampak pintu
pekarangan dipentang lebar dan dari sebelah dalam mereka dengar suara berisik
campur aduk. Dengan lantas mereka hunus pedang mereka, untuk memasuki
pekarangan.
Dua orang yang dandannya
seperti tauwbak gunung muncul untuk menghalangi.
Tan Hong dan In Loei tidak
sudi dirinya dirintangi, mereka serang kedua tauwbak itu.
Baharu dua tiga jurus, kedua
perintang itu sudah kena dirubuhkan. Maka itu, keduanya lantas maju terus.
Suara berisik di dalam itu
adalah suara pertempuran. Nyata Heksek tjhoeng sedang diserbu, dari sepuluh
bagian penghuninya, hampir sembilan sudah tidak berdaya, mereka itu sudah
terbelenggu. Tinggal beberapa di antaranya, yang mengerti silat, masih
bertempur dengan sejumlah tiauwto.
Dengan memberi tanda kepada In
Loei, Tan Hong lompat turun dari kudanya, untuk menerjang kawanan liauwlo itu,
ialah serdadu gunung. In Loei lantas menuruti perintah itu. Kali ini mereka
simpan pedang mereka, mereka gunakan tangan kosong.
Tidak ada perlawanan yang
berarti dari rombongan liauwlo itu, belum sampai setengah jam, mereka sudah
ditotok hingga semua mati kutunya. Di pihak lain, semua tjhoengteng sudah
lantas ditolongi hingga mereka mendapat kemerdekaannya kembali.
"Sebenarnya, apakah yang
telah terjadi?" Tan Hong tanya satu tjhoengteng.
"Tadi tjhoengtjoe
berangkat, belum ada setengah jam, lalu muncul kawanan penjahat ini,"
demikian tjhoengteng itu berikan keterangannya.
"Mulanya kami menyangka
mereka adalah orang-orangnya See To, yang memang bersahabat dengan tjhoengtjoe,
kami ijinkan mereka masuk. Di luar dugaan kami, mereka lantas menyerang.
Kejadian ini adalah suatu hinaan untuk Heksek tjhoeng, kalau tjhoengtjoe nanti
mendapat tahu, pasti jiwa mereka ini tidak akan diberi ampun!"
Tan Hong bebaskan satu
tauwbak.
"Apakah Toh See To yang
suruh kamu datang kemari?" ia tanya tauwbak itu. "Untuk apakah
perbuatan kamu ini?"
Tauwbak itu berkepala batu,
dia tidak mau bicara, dia membungkam saja.
Tan Hong bersenyum. Ia totok
iga orang.
"Kau hendak bicara atau
tidak?" ia menanya.
Mulanya si tauwbak cuma kaget,
setelah itu barulah dia berjengit. Lekas sekali dia rasakan seluruh tubuhnya
sakit, bagaikan ditusuki jarum. Tentu saja, tidak dapat dia berkepala batu
terus. Sekarang ia minta ampun.
Tan Hong tidak segera
melayani, ia hanya bersenyum kepada In Loei dan berkata:
"Tidak ada niatku untuk
menyiksa dia ini, tetapi untuk menghadapi manusia hina semacam dia, rupanya
tidak ada lain jalan lagi, hingga aku jadi tidak berdaya."
"Kami dititahkan See
Tjeetjoe," tauwbak itu mengaku sambil menahan sakitnya. "Kami
dititahkan menyerang Heksek tjhoeng, untuk kemudian mengangkut semua harta
bendanya, guna dibawa pulang ke pesanggrahan kami. Kami pun dipesan untuk
mengambil semua gambar lukisan dan jangan sampai ada yang tertinggal sehelai
pun..."
Mendengar ini, Tan Hong lantas
berpikir.
"Terang sudah, See To
tidak saja hendak merampas harta benda," demikian pikirnya.
"Diapun menghendaki semua
gambar, tentunya dia anggap peta bumi yang berharga itu mesti masih ada di
dalam rumah ini. Yang aneh, kenapa dia juga ketahui tentang peta bumi
itu?"
"Eh, toako, kau sedang
pikirkan apa?" tanya In Loei, yang melihat orang berdiam saja, rupanya
otaknya sedang bekerja.
"Benarlah apa yang
dikatakan Tjek Hee Too-tiang," jawab Tan Hong. "Tidak salah lagi,See
To telah berkongkol dengan bangsa Watzu." Ia lantas totok bebas si
tauwbak, setelah mana, ia kata pada pengurus rumah Heksek tjhoeng: "Kau
belenggu penjahat ini, tunggu sampai nanti tjhoengtjoe kamu pulang untuk
mengambil putusannya."
Pengurus rumah itu terima
pesan tersebut, atas mana tanpa berayal lagi, Tan Hong ajak In Loei larikan
kuda mereka menuju Lioktjiang San, ialah bukit di mana See To berdiam, yang
letaknya tidak berapa jauh dari Heksek tjhoeng, cuma kira-kira tiga puluh lie.
Belum sampai setengah jam, tibalah mereka di bukit itu. Dari kaki bukit
tertampak, pesanggrahan See To yang panjang dan berliku-liku bagaikan tubuh
naga, kecuali bentengan, di situ pun terdapat banyak pohon kayu yang
besar-besar dan tinggi. Maka itu, bagus letaknya bukit itu.
Setelah turun dari kuda
mereka, Tan Hong dan In Loei bertindak mendaki.
"Siapa kamu?" begitu
mereka ditegur satu /iauwlo, serdadu gunung, yang membuat penjagaan.
"Kami adalah tetamu yang
diundang tjeetjoe kamu," sahut Tan Hong.
"Coba perlihatkan surat
undangannya," serdadu gunung itu minta.
"Kau sambuti ini!"
kata Tan Hong seraya mengangsurkan tangannya dengan cepat.
Liauwlo itu mengawasi, ia
tidak lihat suatu apa, justeru ia hendak menanya lagi, tibatiba ia menjerit, tubuhnya
lantas rubuh pingsan.
Tan Hong telah menyerang orang
dengan jarum rahasianya, jarum mana apabila mengenai jalan darah, membuat orang
tak sadar akan dirinya selama dua belas jam,sesudah itu, orang dapat mendusi
sendirinya.
Dengan rubuhnya liauwlo itu,
rintangan sudah tidak ada lagi, maka dengan menggunakan kengsin soet, ilmu
entengkan tubuh, dengan pesat Tan Hong dan In Loei lari mendaki bukit
Lioktjiang San itu. Mereka pun dapat melalui beberapa tempat jagaan lainnya. Di
mana dapat, mereka menghindarkan diri dari /iauwlo-liauwlo penjaga itu, kalau
tidak, Tan Hong terpaksa gunakan jarumnya untuk membikin orang tidak berdaya.
Karena ini, dengan lekas mereka telah sampai di atas gunung.
"Tempat ini berbahaya,
hati-hati!" Tan Hong pesan kawannya setibanya mereka di suatu bahagian
bukit, di mana sudah tidak ada jalan lain kecuali, batu panjang yang melonjor
bagaikan jembatan tunggal. "Mari kita maju terus!"
Pemuda itu bertindak di
jembatan batu itu, In Loei mengiringi ia.
Baharu saja mereka sampai di tengah-tengah
jembatan istimewa itu, lantas mereka dengar mengaungnya anak-anak panah, yang
menyambar dari arah belakang mereka.
In Loei lantas hunus
pedangnya, yang ia putar, untuk menjatuhkan setiap anak panah.
"Segala panah tidak
keruan, apa gunanya?" kata dia sambil tertawa.
Kata-kata si nona belum habis
diucapkan ketika dari samping, di antara batu gunung,
lompat seorang ke arahnya.
Tan Hong lihat orang itu, ia
menyambut dengan pedangnya, tetapi segera ia merasakan tenaga orang yang besar,
karena telapak tangannya dirasakan panas. Orang itu pun sudah lantas menaruh
kaki di antara ia dan In Loei, yang mencoba menjatuhkan.
Dalam saat berbahaya itu,
sekonyong-konyong Tan Hong menjerit tajam, tubuhnya menyusul terhuyung.
In Loei lihat keadaan kawannya
itu, saking kaget, ia berteriak.
Orang yang baharu datang itu
juga lihat Tan Hong, ia menyangka orang rubuh, ia menjadi sangat girang, cepat
sekali ia angkat kakinya, untuk mendupak.
Tapi Tan Hong tengah
menggunakan akalnya. Nampaknya ia hendak jatuh, tetapi sebenarnya, sebelah
kakinya dipakai menyantel batu, berbareng dengan mana, sebelah tangannya
terayun.
Orang itu kaget, terpaksa ia
lompat kembali ke tempat asalnya.
"Lekas!" Tan Hong
teriaki si nona, ia sendiri lantas lari, untuk mencapai lain tepi.
In Loei pun mengerti bahaya,
ia lari mengikuti.
Baharu saja mereka tiba di
lain tepi itu, orang tadi sudah lompat pula, akan menyusul mereka, sedang dari
atas bukit terlihat datangnya beberapa orang lain, yang terus mengambil sikap
mengurung.
Tan Hong lihat orang tadi
liehay, ia waspada.
"Hai, kiranya kau!"
teriak orang itu, yang agaknya kaget.
"Hm, kiranya kau!"
Tan Hong pun perdengarkan suaranya.
Tadi mereka belum melihat
tegas satu dengan lain, mereka tidak segera saling mengenali, sekarang mereka
berdiri berhadapan, mereka sudah lantas melihat nyata.
Orang itu adalah Ngochito,
pahlawan nomor satu dari Yasian. Selama itu, ia tahu kegagahan orang. Memang,
di Watzu, Ngochito cuma berada di bawahan Tantai Mie Ming.
"Adik kecil!" Tan
Hong serukan kawannya, "menangkap berandal mesti membekuk rajanya dulu,
maka mari kita bereskan dia ini!"
In Loei mengerti, dari itu ia
lantas maju. Maka itu, dalam sesaat saja, Ngochito telah dikepung berdua, malah
dua batang pedang segera menyerang ke arah mukanya. Dia menjadi gusar, sambil
berseru, dia menangkis. Tapi kesudahannya, dia menjadi kaget sekali. Tahu-tahu,
pedangnya terkutung menjadi tiga potong! .
"Hai!" dia berseru
sambil lompat kepada kawan-kawannya, untuk meminjam pedangnya, dengan apa dia
membuat perlawanan terlebih jauh. Hanya kali ini, tidak berani dia mengadu pula
senjatanya. Dia berkelahi dengan menggunakan ilmu silat pedang Hongloei kiam,
hingga pedangnya itu, di samping suaranya mengaung, pun berkilauan bagaikan
kilat menyambar-nyambar.
"Bagus!" seru Tan
Hong, yang kagum melihat ilmu silat orang itu. Tapi ia tidak gentar,bersama In
Loei, ia menyerang terus.
Ngochito selalu menghindarkan
pedangnya, tetapi tidak urung, ia terdesak juga. Ia kaget sekali ketika runce
dari kopiahnya terbabat pedang lawan. Dasar ia licin, dapat ia meloloskan diri
dari ancaman bahaya maut.
Tan Hong pun kagumi kegesitan
orang itu.
Pertempuran berjalan terus. In
Loei penasaran, ia menyerang dengan hebat. Langsung pedangnya menikam ke arah
uluhati. Berbareng dengan itu, pedang Tan Hong membabat ke bawah. Seperti sudah
diketahui, pedang mereka berdua selalu bekerja sama,senantiasa menyambar ke
sasarannya masing-masing. Untuk itu, tak usah mereka memberi isyarat lagi satu
dengan lain, mereka bagaikan sudah berlatih sempurna.
Sedetik itu, Ngochito jadi
terkurung sinar pedang, dia terancam kebinasaan. Dia mesti melindungi dadanya,
atau kakinya. Untuk melindungi kedua-duanya, sulit. Dia mesti memilih.
"Biar aku terbinasa, tak
sudi aku menerima malu berkaki kutung..." demikian ia memilih. Maka itu
dia lompat mundur sambil menangkis pedang In Loei.
Di saat yang sangat berbahaya
itu bagi Ngochito, mendadak In Loei dengar sambaran angin ke arahnya, dengan
cepat ia berkelit, maka dengan sendirinya pedangnya tak mengenai sasarannya. Di
antara satu suara nyaring, Ngochito juga menjerit dengan tubuhnya mencelat
jatuh kira-kira satu tombak!
"Berhenti!" demikian
tiba-tiba satu suara nyaring sekali, menyusul mana satu orang, yang mukanya
bertopeng, muncul di antara mereka. Dia mempunyai mata yang sinarnya mencorong
tajam. Dialah yang telah menolongi Ngochito itu.
Semua telah terjadi dengan
sangat cepat. Pedang Ngochito terbabat kutung. Ia sudah mencoba berkelit, tidak
urung ujung kakinya terluka juga. Untung baginya, jiwanya telah tertolong.
Dengan napas tersengal-sengal, ia berdiam di samping mereka itu.
"Djiewie," berkata
si orang bertopeng, "karena kamu telah datang berkunjung, harap kamu
mentaati undang-undang kita kaum kangouw. Silakan djiewie datang dahulu ke
dalam pesanggrahan, janganlah tidak keruan-keruan kamu bertempur."
Tan Hong dan In Loei mesti
kagumi kepandaian orang ini, yang dapat menolongi Ngochito di saat pahlawannya
Yasian itu terkepung sepasang pedang yang liehay.
"Heran, kenapa See To
ayah dan anak mendapat kawan segagah ini?" kata Tan Hong dalam hatinya.
Karena ini ia mendapat firasat bahwa usaha mereka berdua hari ini berjalan
kurang lancar...
"Katakan, kau orang Ouw
atau orang Han?" sekonyong-konyong In Loei tegur si orang bertopeng itu.
Sudah sekian lama, baharu kali ini ia buka mulutnya.
Orang yang ditegur itu
melengak.
"Apakah artinya
pertanyaan kau ini?" dia balik menanya.
"Melihat romanmu, kau
adalah orang Han," kata In Loei, "tetapi kau justeru membantui bangsa
Ouw! Mungkinkah kau juga tahu malu, maka itu kau menutupi mukamu dengan
topeng?"
Tiba-tiba saja orang itu
menjadi murka sekali, dengan mendadak ia mencelat maju,untuk serang si nona
secara sangat hebat.
Tan Hong tahu musuh liehay, ia
waspada. Demikian, atas serangan orang ini kepada In Loei, ia mendahului si
nona turun tangan. Ia bukannya menangkis, ia hanya menyerang.
Dalam hal ini, ia tidak
menyerang sendirian. Sebab juga In Loei, yang awas dan sebat,sudah menyerang
juga sambil menangkis. Maka kedua pedang kembali bekerja sama,satu menuju ke
kiri, yang lain ke kanan, mengarah kedua pundak si orang bertopeng itu.
Hebat si orang bertopeng itu,
masih ia dapat melindungi dirinya, sesudah mana ia pun membalas menyerang pula.
Ia bersendirian, tetapi agaknya ia seperti berdua, karenanya,ia dapat melayani
pemuda dan pemudi itu dengan baik! Tetapi selewatnya jurus ketiga,mulai ke
empat, lalu ke lima, ia nampak tak begitu leluasa lagi bergeraknya, dan
akhirnya,ia segera terdesak.
Ilmu pedang siangkiam happek
dari Hian Kee Itsoe, yang diciptakannya dengan susah payah, sesudah suatu
pemusatan pikiran yang lama, merupakan satu karya yang istimewa.
Setelah ia peroleh tempo yang
senggang, dengan tertawa dingin, In Loei berkata kepada lawannya yang tidak
dikenal itu: "Satu penghianat atau dorna, setiap manusia berhak
membunuhnya, maka itu kami dengan kau, perlu apa kami bicara lagi tentang
aturan kaum kangouw?"
Teguran ini disusul dengan
tiga kali desakan, yang membuatnya musuh mundur terus,sebab dia kewalahan untuk
membuat perlawanan terlebih jauh, dia cuma masih sanggup melindungi dirinya
sendiri, agaknya habis sudah daya pembalasannya.
"Adik kecil, tahan!"
sekonyong-konyong Tan Hong perdengarkan suaranya.
"Untuk apakah?" si
nona balik menanya.
"Orang ini melawan kita
dengan sepasang kepalannya, dia dapat bertahan sampai sepuluh jurus lebih, dia
terhitung juga satu hoohan," kata Tan Hong, "maka itu, jikalau dia
sampai terbinasa, pasti dia tidak puas. Baiklah, mari kita ikut dia masuk ke
dalam untuk melihat-lihat!"
Tidak setuju In Loei dengan
sikap kawan ini, akan tetapi mereka bicara di muka musuh,ia terpaksa
mengiringi. Tidak baik untuk berselisih dengan kawan sendiri di saat seperti
itu. Ia tidak tahu, dengan menunda pertempuran, Tan Hong tengah pikirkan
lawannya ini,untuk menduga-duga siapa dia sebenarnya, sebab setelah belasan
jurus itu, tidak peduli ilmu silat musuh agaknya luar biasa, ia mulai dapat
mengendus...
Setelah pertempuran ditunda,
si muka bertopeng mengawasi kedua anak muda itu.
"Siapakah yang mengajar
kamu ilmu silat pedang ini?" tanyanya kemudian dengan tibatiba.
"Pantaskah kau menanyakan
tentang guruku?" balas In Loei dengan jumawa.
Kelihatannya orang bertopeng
itu gusar sekali, mungkin dia hendak mengumbar hawa amarahnya itu dengan
menyerang pula, akan tetapi lekas juga ia dapat kuasai dirinya, maka ia cuma
perdengarkan suara "Hm!" Ia kata: "Anak kecil, kau belum tahu
apa-apa,sebentar kau lihat!"
Lantas dia pimpin mereka masuk
ke dalam pesanggrahan, sampai di ruang Tjiegie thia,yang besar dan luas, mirip
dengan suatu tempat untuk berlatih silat, di sana pun telah berkumpul banyak
orang kangouw. Luar biasa sikap orang-orang kangouw ini, atas kedatangan Tan
Hong bertiga, mereka perlihatkan sikap tidak memperhatikan, malah sama sekali
tidak ada yang melirik.
Segera juga In Loei lihat Tjio
Eng dan gadisnya terkurung di tengah-tengah, dan Tjoei Hong sudah lantas
mengawasi padanya, dari wajahnya, nona itu seperti heran, girang dan penasaran,
ketika ia hendak membuka mulutnya, ayahnya, yang melihat mereka, telah
mendahuluinya.
"Hiansay, kau juga datang
kemari?" demikian mertua itu menanya sambil memanggil baba mantu
(hiansay). "Kau tahu, urusan di sini tidak ada sangkut pautnya dengan
kau!"
Tan Hong bersenyum, ia
mendahului In Loei menyahuti.
"Dengan dia tidak ada
sangkut pautnya, denganku tentu ada!" sahutnya. Lalu ia maju terus, akan
dekati Tjio Eng itu di samping siapa ia jatuhkan diri untuk duduk. See To
perlihatkan roman gusar.
"Bagus!" serunya.
"Kau hendak mencampuri urusan kita, itulah paling bagus!"
Selagi sang ayah murka, See Boe
Kie, putera-nya, mendongkol bukan main, dengan mata mendelik, ia awasi In Loei,
agaknya ia ingin telan nona itu. Apakah karena nona Tjio tak dapat menjadi
isterinya, hingga ia sangat membenci In Loei yang dipandang telah merampas
kekasihnya itu?
"Tjio Looenghiong,
sebenarnya urusan ini urusan apakah?" Tan Hong tanya jago she Tjio itu.
Belum lagi Tjio Eng memberikan
jawabannya, See To sudah mendahului.
"Tjio Toako, siapa kenal
selatan, dialah si orang gagah!" demikian orang she See ini,suaranya
nyaring. "Sekarang ini sudah habis takdir kehidupan dari kerajaan Beng,
sedang tentang Kerajaan Tjioe yang besar dari Thio Soe Seng tak usah lagi
dibicarakan! Bilakah Toako pernah menyaksikan abu api yang telah padam hidup
pula? Maka itu kenapa kau hendak mati-matian menjadi budak orang, untuk
melindungi harta bendanya?"
Tjio Eng adalah satu
laki-laki, dia pun bertabeat keras, maka itu, gusar ia diperlakukan demikian
rupa, tapi masih ia mencoba untuk mengatasi dirinya. Maka itu, ia cuma tertawa
dingin.
"Kehendakmu, kita harus
menjadi budak bangsa Watzu?" ia tanya.
Muka See To menjadi merah, dia
sangat jengah, tetapi dia paksakan diri untuk tertawa.
"Toako, bukan itu yang
aku maksudkan," sahutnya, lemah.
"Habis apa yang kau
hendak maksudkan?" tanya Tjio Eng keras.
"Kau keluarkan gambar
lukisan," jawab See To, "lantas kita pergi mencari tempat menyimpan
harta dari Thio Soe Seng, sesudah kita mendapatkannya, justeru dunia tengah
kacau ini, kita terus melakukan sesuatu yang besar. Umpama kata kita tidak
pergi mengandal kepada bangsa Watzu, kita pun dapat mengangkat diri sendiri
menjadi raja!"
"Siapa kata aku punya
gambar lukisan yang kau maksudkan itu?" tanya Tjio Eng."Katakan!
Lekas katakan!"
Sebagai ketua dari kaum Rimba
Persilatan dari dua propinsi Shoatang dan Siamsay,walaupun ia berada di dalam
pesanggrahan musuh — artinya ia tengah dikurung — Tjio Eng tidak menjadi jeri,
ia tetap gagah. See To terkesiap ketika ia melihat sinar mata orang yang tajam,
hingga ia membungkam.
"Akulah yang
memberitahukannya!" tiba-tiba terdengar satu suara keras tetapi
serak."Habis, apa yang kau kehendaki?"
Tjio Eng segera berpaling
untuk memandang si suara serak itu. Ia lihat seorang bermuka bengkak yang
kulitnya matang biru, romannya kasar dan kedua matanya bersinar tajam.
"Kau siapa?" bentak
Tjio Eng, yang sangat murka, sambil menuding.
Tan Hong tertawa dingin, tidak
tunggu sampai orang membuka suara, ia telah mendahului. Ia kata: "Dialah
Ngochito, pahlawan nomor satu di bawahan Yasian! Aku toh tidak salah,
bukan?"
Ngochito itu gagah tetapi
tabeatnya keras, dia tidak kenal gelagat, melayani Tan Hong dan In Loei,
mukanya hingga bengkak dan matang biru. Ia tidak sabaran mengawasi tingkah
polanya See To itu, dia tidak mau pikir, mungkin See To mempunyai kesangsiannya
sendiri. Maka itu, mendengar suara Tan Hong, dia turuti hawa amarahnya.
"Tidak salah
katamu!" dia menjawab dengan jumawa. "Angkatan perang kami bangsa
Watzu gagah perkasa, dengan kami mengundang kamu bekerja sama, itu tandanya
kami telah menghormati kamu! Bocah, jikalau kau tidak puas, mari kita bertempur
satu dengan satu, untuk kau lihat kesudahannya!"
Kata-kata ini separuh
menyindir See To, yang dianggapnya bernyali kecil, sedang terhadap Tan Hong
adalah tantangan, karena dia ingin membalas.
Sementara itu, dengan
datangnya Tan Hong, suasana telah mulai berubah sendirinya.
Yaitu, kecuali konco sehidup
semati dari See To serta mereka yang telah dapat dibeli atau dibujuk, yang
lainnya mulai tawar hati untuk menjual tenaga mereka bagi orang she See ini.
Mereka pun tertarik oleh sikap jantan dari Tjio Eng.
Tjio Eng tidak puas terhadap
kejumawaan orang, dengan mata mendelik, ia berbangkit. Ia kibaskan tangan
bajunya. Sebenarnya hendak ia membuka suara, atau Tan Hong mendahuluinya.
"Percuma saja kamu
bercape hati!" berkata si anak muda. "Untuk sehelai gambar lukisan,
kamu sudah pancing Tjio Looenghiong datang kemari, berbareng dengan itu,kamu
pun sudah merampok habis-habisan rumah orang! Aku mengatakannya percuma,sebab
kamu tidak memperoleh hasil apa jua! See To, kau adalah satu tjeetjoe yang
kenamaan, kau adalah satu laki-laki, tetapi kau melakukan perbuatan sebagai
tikus dan anjing bangsat, tak takutkah kau nanti ditertawai manusia sekolong
langit?"
Dengan menegur See To, Tan
Hong tak gubris Ngochito.
Tjio Eng kaget. Baharu
sekarang ia tahu yang rumahnya telah dirampok. Maka dengan tiba-tiba saja ia
keprak meja, hingga ujungnya rusak. Ia pun berseru: "Di jaman dahulu,orang
memutuskan persahabatan dengan memotong tikar, maka sekarang aku melakukannya
dengan merusak meja! See To, bangsat tua, di sini aku putuskan perhubungan kita
sebagai saudara angkat! Ingat, jikalau kau masih hendak paksa aku,maka aku
tidak akan sungkan-sungkan lagi!"
Muka See To menjadi merah dan
biru bergantian. Tentu saja ia menjadi sangat gusar dihina dihadapan kawan dan
lawan, hingga ia ambil putusan nekat.
"Tua bangka she
Tjio!" ia pun berteriak, "jikalau hari ini kau tidak serahkan gambar
lukisanmu itu, jangan kau harap bisa keluar lagi dari pesanggrahanku ini!"
Lalu, dengan kibaskan tangannya,
tjeetjoe ini berniat melakukan kekerasan.
Dengan berkelebatnya sinar
yang menyilaukan mata, Tan Hong hunus pedangnya,tetapi ketika ia menghalang di
depan Tjio Eng, ia tidak gunakan pedangnya itu, hanya dengan lengannya, ia
bentur See To hingga tuan rumah ini terpelanting setombak lebih.
Menampak itu, koncoh-koncoh
See To menjadi murka dan berseru-seru, hingga suaranya menjadi sangat berisik,
tetapi ketika mereka hendak maju, untuk turun tangan,tiba-tiba mereka merandak.
Tan Hong, menyekal pedang dengan
tangan kanan, dan dengan tangan kiri ia mengeluarkan gambar lukisannya, untuk
dipertontonkan. Terus ia tertawa terbahakbahak.
"Siapa yang menghendaki
gambar lukisan ini, mari datang padaku!" katanya dengan nyaring. "Aku
adalah pemilik dari gambar lukisan ini! Hanya hendak aku jelaskan, dengan
mendapatkan gambar lukisan ini, bagi kamu sudah tidak ada harganya! Kamu tahu,
harta pendaman itu berikut petanya, telah siang-siang aku dapatkan, sudah aku
bongkar! Malah aku telah menyerahkannya kepada Kaisar Beng yang sekarang
ini!"
Mendengar itu, seluruh
pesanggrahan menjadi heran. Orang tidak tahu siapa anak muda ini, karenanya
orang sangsikan kebenaran perkataannya itu. Maka itu,pesanggrahan menjadi sunyi
senyap.
Dalam kesunyian yang
mengandung ketegangan itu, tiba-tiba terdengar satu suara tertawa dingin,
disusul dengan kata-kata nyaring dari orang yang tertawa mengejek itu:
"Thio Tan Hong, siapakah
yang kau hendak dustakan?"
Semua mata diarahkan kepada
orang yang berani membuka suara itu. Dialah Tjitjiangho, juga pahlawan dari
Yasian, cuma dia tidak sering berada di dalam pasukan tentera seperti Ngochito,
maka sedikit orang yang mengenal padanya. Sebagai orang kepercayaannya Yasian,
tidak heran dia mengenal Tan Hong.
Ngochito heran mendengar
perkataan rekannya itu.
"Apa?" katanya
sambil menatap Tan Hong. "Kau puteranya Yoesinsiang Thio Tjong Tjioe?
Kalau begitu, sungguh kebetulan! Memang Thaysoe sedang mencari padamu! Nah,
mari lekas kau ikut aku pulang!"
"Aku pun justeru hendak
menghadap Thaysoe kamu itu!" jawab Tan Hong. "Hanya tak ingin aku
pulang bersama kau! Aku adalah rakyat Tionggoan, siapa kesudian bekerja untuk
negeri Watzu?"
Tjitjiangho heran.
"Keluargamu dengan pihak
Beng dari keluarga Tjoe adalah musuh turunan," katanya,"sekarang kau
telah mendapatkan harta pendaman dan peta buminya, kenapa kau justeru serahkan
itu kepada musuh? Mana ada aturan itu? Sekarang begini saja: Harta pendaman itu
adalah kepunyaanmu, kami tidak inginkan itu, kau serahkan saja peta buminya
kepadaku, supaya dapat aku persembahkan kepada Thaysoe1. Kau baik jangan
bergurau lebih lama pula..."
Tan Hong tidak gubris bujukan
itu. Sambil menaruh sebelah kakinya dikursi, ia kibarkan gambar lukisan itu. Ia
bersikap menantang.
"Siapa main-main dengan
kau?" katanya. "Jikalau kau punya nyali, nah, kau ambillah
sendiri!"
Tjitjiangho ragu-ragu, tidak
berani ia maju untuk merampas gambar lukisan itu. Juga beberapa pahlawan
Mongolia lainnya, yang menyamar tidak berani sembarangan perlihatkan diri.
Demikian juga kawan-kawannya See To, baik yang telah berubah pikirannya, maupun
yang hendak membela mati-matian, bersangsi juga untuk maju, yang pertama
disebabkan hatinya sudah tawar, yang belakangan karena jeri untuk keberanian
Tan Hong itu.
Tjoei Hong sementara itu
senderkan diri pada In Loei.
"Sejak kita berpisah,
apakah kau memikirkan aku?" ia berbisik di kuping "suaminya"
itu.
"Lihat, orang banyak
tengah mengawasi kita!" sahut In Loei dengan perlahan. "Aku kuatir
hari ini kita sukar lolos dari kematian, tetapi kenapa kau masih mempunyai hati
untuk berbicara demikian terhadapku?..."
Memang pesanggrahan itu telah
dikurung tiga lapis sedang Tjio Eng cuma ada berempat. Tapi Tjoei Hong tidak
pedulikan itu.
"Sudah hampir satu tahun
aku berduka saja," katanya pula, tetap dengan perlahan,"maka kalau
aku tidak bicara sekarang, sampai kapan hendak aku menunggunya? Hari ini aku
tidak peduli kita akan dapat lolos atau tidak, jikalau aku mesti mati, dengan
mati bersama kau, hatiku puas..."
Tjoei Hong dengan In Loei
adalah suami isteri, tetapi itu cuma nama saja, hal yang sebenarnya nona Tjio
tidak ketahui, maka itu, selagi mereka sudah lama berpisah, tidak heran dia
sangat memikirkan suaminya itu, dari itu setelah sekarang mereka bertemu,mana
sanggup dia menahan hatinya terlebih lama pula? Demikianlah, di ruangan di mana
terdapat banyak orang, dia bertingkah laku seperti anak kecil...
Sedang In Loei kewalahan
melayani "isterinya" itu, tiba-tiba ia lihat lompat maju dua orang ke
arah Tan Hong. Mereka bertubuh besar dan kasar. Mereka kawan-kawan dari See To,
mereka pernah meyakinkan ilmu silat "Taylek Sinkoen," dari itu, hebat
kepalan mereka. Mereka lihat Tan Hong muda dan tubuhnya biasa, mereka tidak
memandang mata. Begitulah mereka maju, yang satu berniat menyambar lengan
orang, untuk dibikin tidak berdaya, yang lain berniat merampas gambar lukisan.
Tan Hong lihat cara orang itu
maju, ia gerakkan pedangnya. Cuma satu sinar berkelebat, atau penyerang yang
satunya itu berkaok, terus dia rubuh pingsan, sebab sebelah tangannya kutung.
Sedang kawannya, dia rubuh terjungkal didupak si anak muda,hingga patahlah
tulang-tulangnya!.
"Sungguh tidak punya
malu!" teriak Tan Hong. "Kamu hendak merebut kemenangan dengan
mengandalkan jumlahmu yang banyak? Hm!"
Mukanya See To kembali jadi
merah padam, tetapi di dalam hatinya, ia kata: "Dalam keadaan seperti ini,
siapa hendak pedulikan lagi segala aturan kaum kangouw?" Ia hendak berikan
titahnya ketika si orang bertopeng, yang tadi menolongi Ngochito, sudah
perdengarkan suaranya: "Bagus, bagus!" demikian katanya. "Hari
ini udara bagus, tepat waktunya untuk melempangkan urat-urat! Bertempur satu
sama satu, itulah paling bagus!".
Suara orang itu nyaring
bagaikan suara genta, menderum di dalam ruangan itu.
Tergerak hati See To melihat
sikap dan mendengar suara orang itu, ia lantas perhatikan tubuhnya, di dalam
hati kecilnya ia berkata: "Dengan bertempur satu lawan satu, dia pasti
dapat membikin musuh-musuhnya mati lelah..."
Dalam suasana seperti itu,
Tjoei Hong buktikan kata-katanya. Ia tetap menyender kepada In Loei, masih ia
perdengarkan kata-katanya yang halus. Adalah waktu itu, See Boe Kie, puteranya
See To, memajukan diri. Dia berlompat sambil menggerakkan kedua tangannya,
sikapnya jumawa.
"Aku undang In Siangkong
untuk main-main beberapa jurus!" demikian pemuda ini perdengarkan
suaranya, langsung ia tantang In Loei, orang yang ia paling benci. Ia menjadi
sangat panas karena menyaksikan lagaknya Nona Tjio itu, hingga tak berkuasa
lagi ia atas hawa amarahnya.
In Loei lepaskan diri dari
Tjoei Hong, ia hunus pedangnya, pedang Tjengbeng kiam.
Selama di Heksek tjhoeng, di
dalam rimba pohon cemara di luar kampung, pernah In Loei tempur See Boe Kie
maka tahulah ia, walaupun Boe Kie benar gagah, orang tidak berada di atasannya,
karenanya, ia tidak jeri sedikit pun jua. Hanya kali ini, See Boe Kie telah
kerahkan tenaganya, dia perlihatkan kekosenannya, dengan tangan kirinya ia
mengancam, dengan tangan kanannya ia menyerang secara hebat. Itulah serangan
yang luar biasa.
In Loei berkelit dengan tipu
silat "Toatpauw djiangwie,"="Membuka jubah untuk menyerahkan
kedudukan." Ia menggeser ke samping kanan, pundaknya diturunkan,sesudah
mana, baharulah ia menyabet, untuk membalas menyerang.
"Kena!" teriak Boe
Kie selagi ia menyerang itu.
Hebat kesudahannya serangan
itu. In Loei lompat mundur, ia merasa heran. Boe Kie pun mundur, tetapi darah
mengucur dari kakinya, sebab celananya kena tersabet robek, kulitnya terkena
ujung pedang!.
In Loei heran, karena
kepandaian orang beda daripada yang sudah-sudah. Ia tentu tidak tahu, setelah
kekalahannya di Heksek tjhoeng, Boe Kie sudah mencari seorang Biauw dari siapa
ia peroleh ilmu pukulan Imyang Toksee Tjiang, Tangan Pasir Beracun, hingga
siapa terkena telak, di dalam tempo tujuh hari, dia mesti terbinasa. Syukur
bagi In Loei, ia gesit sekali, ia keburu berkelit, kalau tidak, ia bisa celaka.
Adalah karena kegesitannya
itu, ia pun dapat mengarahkan pedangnya pada sasarannya.
See Boe Kie menjadi gusar dan
kalap. Ia terluka tetapi tidak parah, maka itu, setelah berkaok-kaok, ia lompat
maju pula, untuk mengulangi serangannya.
In Loei cerdik karena
pengalamannya yang pertama itu, tidak mau ia sembarang menikam atau menyabet,
untuk melayani lawan yang liehay itu,ia perlihatkan kelincahannya,ia berkelit,
ia berputaran di sekitar lawannya itu.
Dalam sekejap saja, Boe Kie
seperti dikurung si nona, sama sekali tak berhasil pelbagai serangan dengan
tangan jahatnya itu, jangan kata mengenai tubuh si nona, bajunya pun tidak
pernah tersentuh. Maka itu, sesudah dua puluh jurus, ia menjadi bimbang.
Insyaflah ia bahwa ia bukan lawan si "pemuda", di lain pihak, tidak
sudi ia menyerah, ia penasaran sekali. Karena itu, ia ambil keputusan sama-sama
bercelaka. Ia ingin berlaku nekat! .
Segera datang serangannyaa
yang liehay, yaitu "Shiapek Hoasan," atau "Dari samping
menggempur gunung Hoasan." Ia bersedia mengorbankan sebelah lengannya,
asal serangannya berhasil, supaya In Loei terkena racun tangannya itu, supaya
saingan itu menemui ajalnya dalam tempo beberapa hari! .
In Loei cerdik, ia dapat
menduga maksud lawannya apabila ia saksikan serangannya. Ia lantas bergerak
dengan cepat dengan tipu silat "Hong tiamtauw" atau "Burung Hong
manggut." Dengan sebat ia balikkan pedangnya, guna memapaki tangan musuh!
Di saat pedang dan lengan hampir beradu, dan lengan yang akan terkutung atau
tangan jahat mengenai In Loei, tiba-tiba seorang mencelat di samping mereka,
tangan kirinya menarik, tangan kanannya menyambar, dalam saat yang berbareng
itu, Boe Kie kena ditarik, In Loei diserang pada nadinya. Orang ini luar biasa,
tubuhnya jangkung kurus bagaikan sebatang gala, ke sepuluh jari tangannya
berkuku panjang dan hitam
mengkilap.
Sambil melakukan gerakan itu,
dia tertawa menyeramkan, mulutnya mengucapkan: "Babah mantu yang manis
dari Tjio Tjhoengtjoe benar-benar liehay, biarlah aku yang melayani dia
beberapa jurus!"
Orang itu tidak lain daripada
gurunya See Boe Kie, yaitu si orang Biauw yang bernama Tjek Sin Tjoe. Dia
adalah orang dari propinsi Koeitjioe, dia pesiar ke Utara, maka juga orang
Utara, dalam sepuluh, sembilan tidak mengenal dia.
Segera juga In Loei mesti
melayani orang Biauw ini.
Tjek Sin Tjoe betul-betul
liehay, dia gagah sepuluh kali lipat daripada See Boe Kie. Di antara
berkilaunya pedang, tubuhnya bergerak-gerak lincah sekali, kadang-kadang masih
dapat ia ulur jari-jari tangannya yang liehay untuk menyambar tubuh si nona.
Seringkah,karena gerakan tangannya, tulang-tulangnya di bahagian buku
perdengarkan suara meretek.
In Loei heran terhadap
musuhnya ini, ia berlaku sangat hati-hati. Ia mainkan pedangnya demikian rupa,
hingga ia lebih banyak membela diri daripada melakukan penyerangan. Ia
menganggap, melindungi diri adalah paling utama.
Sekian lama Tjek Sin Tjoe
tidak peroleh hasil, dia menjadi tidak sabar. Satu kali dia berseru keras,
lantas kedua tangannya menyambar-nyambar dengan cepat dan hebat,sampai sambaran
anginnya mendatangkan hawa dingin.
In Loei menjadi heran sekali.
Beberapa kali ia rasakan pedangnya tersampok miring atau terpental sedikit.
Tapi yang menguatirkan adalah ketika ia merasa hatinya bagaikan goncang, hati
itu panas seperti orang memancing hawa amarahnya. Waktu ia sadar, ia bersikap
membela diri saja, tapi selang lima puluh jurus, tak dapat ia kuasai pula
dirinya,ia sudah lantas mencoba untuk membalas menyerang juga.
Nyatalah Tjek Sin Tjoe telah
menggunakan tipu silat Imhong Toksee Tjiang, "tangan pasir beracun"
dibarengi angin yang menyeramkan. Sambaran angin itu, yang sangat dingin,
meresap ke dalam tubuh lawan, dengan perlahan-lahan hawa dingin itu
mempengaruhi pikirannya, mengganggu urat syarafnya. Memang maksud orang Biauw
ini memancing serangan membalas supaya selagi hati lawan panas, ia dapat
merebut kemenangan. In Loei kirimkan satu tusukan ke arah dada, cepat dan
langsung.
Nampaknya Tjek Sin Tjoe akan
menjadi korban, tidak nanti dia dapat menghindarkan diri pula. Mendadak dia
berseru, tubuhnya lompat mencelat, lalu dari atas, dia ulurkan kedua tangannya,
untuk menyengkeram dengan sepuluh jarinya.
Tjoei Hong menonton sejak
tadi, dia kaget melihat serangan itu, sampai dia menjerit,hampir dia pingsan.
Hebat akibat kedua orang yang
saling menyerang secara dahsyat itu, hebat juga tertawanya para hadirin di
pihak tuan rumah. Mereka ini menyangka, selesai sudah pertempuran itu. Tetapi
akhirnya, mereka semua berdiri melengak.
In Loei dan Tjek Sin Tjoe
telah memisahkan diri sejauh satu tombak. Tidak keruan baju orang Biauw itu,
karena baju itu robek di bahagian pundak. Kekasih Tjoei Hong juga tidak kurang
"rusaknya," dapat dikatakan lebih-lebihan. Saputangan In Loei yang
dipakai menutupi rambutnya dengan memakai jepitan emas telah terputus menjadi
dua potong, ikat rambut itu terlepas, maka terlihatlah tegas bahagian dari
rambutnya yang bagus dan panjang, hingga sekarang terbukalah rahasianya bahwa
ia bukannya satu pemuda melainkan satu pemudi! .
Jurus itu sangat berbahaya
bagi kedua pihak, maka itu keduanya, di dalam waktu yang sangat hebat itu,
mencoba mengelakkan dirinya masing-masing, tetapi mereka telah saling sambar
juga, hingga keadaannya menjadi demikian rupa. Tentu saja, orang-orang menjadi
tercengang, sedang pihak See To kemudian perdengarkan pula tertawa mereka,
sebab mereka anggap kesudahan itu lucu.
"Cis" Tjek Sin Tjoe
meludah. "Sungguh apes, bolehnya aku bertemu denganmu,siluman! Tak sudi
aku bertempur dengan seorang wanita!..."
Paras In Loei menjadi
merah-padam, ia malu, jengah dan mendongkol. Ia lantas maju pula, sambil
menggerakkan pedangnya, untuk menyerang pula.
"Adik kecil,
beristirahatlah," tiba-tiba ia dengar suara Tan Hong, perlahan dan sabar.
"Nanti aku yang melayani
dia!"
Selagi mengucap demikian,
tubuh si anak muda sudah melesat, menghadapi Tjek Sin Tjoe, yang terus ia
serang, maka dengan segera mereka bertempur.
Masih saja orang tertawa,
semua mata diarahkan kepada In Loei, yang menjadi sangat likat dan mendongkol.
Tidak kurang herannya adalah
Tjio Eng dan gadisnya, mereka ini mengawasi dengan melengak, bahna heran,
berduka dan putus harapan... Ayah dan gadis itu merasa tidak keruan, mereka
kecele dan masgul, terutama si nona sendiri.
Tjoei Hong tidak sangka, suami
yang ia harap-harapkan itu sebenarnya adalah satu nona...
Selagi semua pandangan
diarahkan padanya, In Loei lekas-lekas betulkan ikat kepalanya. Ia mesti
kuatkan hati, untuk menahan malu, hanya tetap ia likat.
Akhir-akhirnya, Tjoei Hong menghampiri
"suaminya" itu. Ia menjadi bersangsi.
"In Siangkong, mengapa
kau gemar memelihara rambut panjang?" ia tanya sambil berbisik. Kau...
kau... kau sebenarnya pria atau wanita?..."
Merah muka In Loei. Ia memang
sudah pikir, satu waktu ia hendak buka rahasianya terhadap Nona Tjio ini,
tetapi tidak ia sangka, di sini, dalam keadaan begini, ia mesti membuka
rahasianya itu. Maka itu, ditanya si nona, ia membungkam saja.
"Hayo katakan!"
Tjoei Hong mendesak, sambil menekan iga orang dengan kedua jarinya.
In Loei tidak menjawab,
sebaliknya, ia mengawasi kepada kedua orang yang sedang bertanding. Dengan
mendadak saja, berhentilah suara tertawa yang riuh itu, sebagai gantinya para
hadirin memandang kekalangan pertandingan di mana kedua lawan telah sampai pada
saat pertempuran yang dahsyat.
In Loei mendelong mengawasi
Tan Hong, sinar matanya jelas menandakan perhatiannya yang luar biasa. Tjoei
Hong lihat sikap orang, ia heran, lalu ia rasakan hatinya dingin. Bukankah itu
sinar matanya satu kekasih? Demikian rupa perhatiannya terhadap In Loei sebelum
ia ketahui In Loei adalah satu pemudi sebagai ia sendiri. Maka ia menjadi
sangat berduka, hancur hatinya seperti bayangan rembulan indah di muka air yang
hancur luluh ditimpa batu oleh satu bocah nakal...
Di medan pertandingan, dengan
tenang Tan Hong layani Tjek Sin Tjoe. Ia memang mempunyai iweekang yang jauh
terlebih sempurna daripada iweekang-nya In Loei.
Ketenangan ini membuatnya
orang Biauw itu tidak dapat berbuat banyak, sebab setiap serangannya selalu
dapat dipecahkan.
Lama-kelamaan Tjek Sin Tjoe
menjadi tidak sabar, ia menjadi penasaran sekali.
Bukankah tadi ia berhasil
mempengaruhi In Loei? Kenapa sekarang ia gagal? Ia telah mencoba pelbagai macam
serangannya. Akhirnya, ia berseru, ia menyambar sambil lompat mencelat, seperti
tadi ia serang In Loei. Hebat nampaknya kesepuluh jari tangannya yang hitam
itu, dengan kuku-kukunya yang tajam dan beracun.
Beda daripada In Loei, Tan
Hong tidak sambuti serangan dahsyat itu, ia hanya lompat berkelit. Habis itu,
ia terus main berkelit pula. Kadang-kadang ia gunakan pedangnya untuk memapaki
serangan yang mengancam padanya.
Tjek Sin Tjoe menghembuskan
hawa dingin, ia heran bukan main. Ia tahu ilmu silat Imhong Toksee Tjiang-nya
itu diciptakan dengan melatih diri menelad perkelahian burungburung di atas
gunung, sejak ia turun gunung, tidak pernah ia pertontonkan itu, pun kepada See
Boe Kie ia belum mewariskan semuanya, tapi heran, Tan Hong seperti mengerti
ilmu silat itu. Anak muda ini selalu bisa mengelakkan diri, atau dia
menyambutnya secara membahayakan jari-jari tangannya yang beracun itu.
Sebenarnya, sejak ia
mendapatkan kitab peninggalan Pheng Hoosiang, yaitu "Hiankong
Yauwkoat," yang telah dibacanya dengan seksama, Tan Hong menjadi seorang
yang cerdas luar biasa, disebabkan pengetahuannya bertambah banyak sekali.
Baginya dengan cepat ia dapat mengetahui sifat ilmu silat lain kaum bila ia
menyaksikan ilmu silat itu.
Selama menyaksikan See Boe Kie
bertempur dengan In Loei, Tan Hong sudah perhatikan ilmu silat yang luar biasa
itu, habis itu, ia tonton kepandaian Tjek Sin Tjoe.
Kemudian, ia sendiri pun
melayani orang Biauw itu, sampai kira-kira seratus jurus. Semua itu sudah cukup
baginya untuk mengetahui ilmu silat orang, maka sambil bertempur dengan tenang,
tapi pun dengan tidak kurang sebat dan waspadanya, dapat ia melayani dengan
baik. Kalau akhirnya musuh jadi penasaran, ia sendiri masih tetap sabar seperti
biasa. Adalah kemudian, sesudah lewat banyak jurus, ia membuatnya musuh lelah,
hingga Tjek Sin Tjoe, yang menginsyafi itu, menjadi bingung. Baharu sekarang
orang Biauw ini memikir untuk mengangkat kaki saja. Caranya ia sudah tahu,
ialah dengan jalan menggertak dulu lawannya. Demikian ia beraksi untuk
menyerang dengan hebat, untuk
kemudian mengangkat langkah
panjang...
Tan Hong melihat tegas orang
sudah tidak berdaya, sekarang orang menyerang secara demikian hebat, ia dapat
menduga maksud orang.
"Eh, siluman, kau
tinggalkanlah satu pertandaan!" katanya dengan bentakannya selagi ia
diserang, dan sambil membentak dengan sebat luar biasa, ia papaki serangan itu!
Tanpa dapat dihindarkan lagi,
lengan dan pedang telah beradu satu dengan lain sambil perdengarkan satu suara,
menyusul itu, lengan Tjek Sin Tjoe terputus jatuh di lantai dan mengeluarkan
banyak darah! .
Selagi para hadirin kaget,
hingga mereka perdengarkan seruan tertahan, Tjek Sin Tjoe sendiri lari keluar,
ia nerobos di antara orang banyak, setibanya di luar pesanggrahan, ia menoleh,
akan perdengarkan ancamannya: "Bocah yang baik, lagi sepuluh tahun, tjouwsoe-mu
akan datang pula mencari kau untuk membalas sakit hati!"
Tan Hong tidak kejar lawan
itu, dengan tenang ia seka pedangnya yang berlumuran darah, ketika ia dengar
ancaman itu, ia lantas menjawab: "Baik, akan aku tunggui kau!"
Orang-orang merasa kagum
ketika menyaksikan Tjek Sin Tjoe, yang telah terluka demikian parah, masih
dapat lari dengan pesat.
Tan Hong menyesal juga yang ia
telah menahas lengan orang. Mulanya ia tidak memikir untuk berbuat demikian,
mendadak ia panas hati mendengar orang mendamprat dengan menggunakan kata-kata
"siluman" terhadap In Loei.
Setelah itu, tidak ada lagi
orang yang berani muncul untuk bertempur satu sama satu.
Mereka sudah menyaksikan
kelihayan pemuda dan pemudi itu. Hal ini membuatnya See To menjadi masgul dan panas
hati, ia masih penasaran, maka ingin ia menyerukan pula konco-konconya untuk
mengepung musuhnya.
Justeru itu, orang mendengar
tertawa yang tegas disusul pujian: "Ilmu pedang yang bagus, ilmu pedang
yang bagus! Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus darimu!" .
Tan Hong segera menoleh, akan
kenali si orang bertopeng, sepasang mata siapa bersinar tajam, agaknya seperti
mengandung rahasia.
Kaget In Loei mendengar
tantangan orang itu, ia kuatir, dengan satu lawan satu, Tan Hong bukan
tandingan orang tidak dikenal itu.
Orang itu sudah maju
menghampiri.
"Mulailah!" ia
menantang begitu lekas ia pasang kuda-kuda.
Tan Hong tidak lantas maju, ia
hanya tancap pedangnya.
"Tuan tidak mencabut
pedang, biar aku layani kau dengan tangan kosong," ia kata.
In Loei kerutkan alisnya. Ia
anggap Tan Hong terlalu percaya dirinya sendiri. Tadi dengan dikerubuti berdua,
si muka bertopeng dapat bertahan lama, itu menandakan keliehayan orang, maka,
dengan menggunakan pedang, mungkin Tan Hong sebanding, dengan tangan kosong,
mesti dia kalah...
Orang bertopeng itu tertawa
terbahak-bahak. "Baiklah," katanya. "Silakan tuan mulai lebih
dahulu!"
"Tetamu tak dapat
melancangi tuan rumah, maka itu, silakan tuan yang mulai!" Tan Hong
merendahkan diri.
Kembali si muka bertopeng
tertawa.
"Thio Siangkong, kau
selalu tidak hendak mendahului lain orang, sifatmu benar-benar sifat guru yang
kenamaan," ia berkata pula. "Sebenarnya kita sama-sama tetamu di
sini.
Tapi siangkong ingin aku yang
terlebih dahulu mempertunjukkan keburukanku, baiklah,akan aku berlaku
lancang."
Mendadak saja ia tekuk
tangannya ke dalam, lalu dengan gerakan "Wankiong siagoat" atau
"Menarik busur memanah rembulan," jari tangannya terus menyambar ke
dada si anak muda, untuk menotok urat besarnya, yaitu hiankee hiat.
Liehay ilmu totok si orang
bertopeng ini, akan tetapi Tan Hong juga bukan orang sembarang, tak dapat ia
ditotok dalam sekejap itu saja, di saat jari tangan orang hampir mengenai
bajunya, ia sedot dada dan perutnya berbareng, hingga jarak jari tangan dengan
dadanya menjadi terpisah satu kaki, berbareng dengan mana, tangan kanannya
digerakkan, untuk menggantikan memapaki serangan itu. Itulah tipu silat
"Tionglioe teetjoe" atau "Di tengah aliran air menancap tiang
batu."
Liehay tangan Tan Hong ini,
yang terlatih sempurna. Biasanya, siapa kena dipapaki secara begitu, jari
tangannya bisa patah. Karena ini, berani ia mengadu tangan dengan totokan
lawan.
Cerdik si orang bertopeng itu,
selagi kedua tangan baharu bentrok perlahan, dengan sebat ia tarik kembali
tangannya itu, hingga batal ia menyerang. Ia pun memuji pula,katanya:
"Orang dengan usia begini muda sudah punya tenaga latihan begini
liehay,sungguh hebat. Nah, kau sambutlah ini!".
Dengan sebat si orang
bertopeng ini ubah jari-jari tangannya yang terbuka itu menjadi satu telapak
tangan yang rapat dan dilebarkan, dengan itu ia menyerang pula.
Tan Hong terkejut. Barusan,
bentrokan yang perlahan, membikin ia merasa tangannya kesemutan, coba ia tak
mempunyai Iweekang yang sempurna, hampir ia tidak dapat pertahankan diri, dan
sekarang, ia diserang pula. Tidak mau ia berlaku sembrono, tetapi masih hendak
ia mencoba pula. Kali ini ia kerahkan tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe,hingga
tenaga tangannya itu seumpama "gunung rubuh yang menguruk lautan."
Bentrokan sudah lantas
terjadi. Hebat bentrokan itu, keduanya sampai mundur masingmasing tiga tindak.
Tapi itulah belum terlalu hebat. Masih ada akibat lainnya. Si orang bertopeng
mundur tanpa air mukanya berubah, sebaliknya Tan Hong, ia merasakan telapak tangannya
seperti beku. Orang luar tidak lihat suatu apa, wajah Tan Hong tetap tak
berubah, tapi pemuda ini insyaf, si muka bertopeng itu mempunyai tenaga latihan
yang melebihi daripadanya.
"Heran..." Tan Hong
berpikir. Ia tahu, orang itu telah menggunakan kepandaian "Ittjie
siankang" atau "latihan sebuah jari", dan jurus itu dinamakan
"Tiat piepee" atau "Piepee besi".
Tiat piepee biasa, banyak
dimengerti orang, tetapi kepunyaan si orang bertopeng ini benar-benar jarang
sekali.
Mau atau tidak, Tan Hong jadi
berpikir keras, ia menduga-duga siapa lawan ini. Dia tahu, dia mestinya seorang
kenamaan, hanya aneh, kenapa seorang kenamaan mencampurkan diri di dalam
rombongan See To, yang terang adalah satu penghianat bangsa. Juga aneh,
mendengar suaranya, dia seperti ketahui gurunya. Selagi si anak muda berpikir,
si orang bertopeng tertawa dan berkata pula: "Sudah lama sekali aku tidak
bertemu lawan yang tangguh, baharu hari ini aku dapat menyambut murid seorang
kenamaan. Sungguh aku girang!".
Tan Hong membarengi kata-kata
itu dengan serangan pula, yang diulangi hingga tiga kali beruntun. Ketiga
serangan itu sangat berbahaya, sebab serangan itu seolah-olah mengancam.
Dikatakan bukan ancaman tapi mirip mengancam, dikatakan ancaman tapi sebenarnya
bukan...
Tan Hong lantas mainkan ilmu
silat "Hongtjiam lokhoa" atau "Angin meniup daun rontok."
Dengan jurus ini, ia senantiasa berkelit dengan sebat dan sambil berkelit ia
gunakan ketika itu untuk balas menyerang. Ia berkelit tetapi ia tidak mundur
setindak juga.
Serangan pertama dari si orang
berkedok dipunahkan dengan satu jurus Thaykek Koen yang dinamakan
"Djiehong djiepie" = "Seperti membungkus, seperti menutup."
Yang kedua dilawan dengan Siauwlim Koen punya "Kwee Seng tektauw"
atau "Kwee Seng menendang bintang." Perlawanan ini adalah tangkisan
tangan dan tendangan kaki dengan berbareng, jadi merupakan pembelaan diri
berbareng perlawanan, untuk memaksa lawan menukar haluan. Dan yang ketiga ia
gunakan ilmu silat gurunya sendiri, yaitu satu jurus dari "Pekpian Hian
Kee Tjianghoat" Dengan ini, ia pukul kembali tangan lawannya.
"Ah!..." si orang
bertopeng perdengarkan kekaguman atau keheranannya, sebab dalam segebrakkan
itu, anak muda ini sudah menggunakan jurus-jurus dari tiga kaum persilatan.
Tanpa merasa, saking cepatnya,
orang sudah bertempur kira-kira tiga puluh jurus.
Si orang bertopeng masih tetap
gunakan "Tiat Piepee" yang dipadu dengan "Ittjie siankang,"
ia tetap tangguh. Tan Hong sebaliknya sudah lantas ubah haluan, yaitu tidak
lagi ia andalkan "Hiankong Yauwkoat" untuk membingungkan lawannya. Ia
merasa, kalau terus ia bersilat secara demikian, lama kelamaan ia akan
kehabisan tenaga dan bisa celaka. Ia menukar dengan ilmu silat "Taysiemie
Tjiangsie" ajaran gurunya. Dengan begitu, ia lindungi dirinya dengan kedua
tangannya.
Ilmu silat ini ringkas
kalangannya, rapat penjagaannya, teguh kedudukannya,kalau sangat didesak, keras
juga penolakannya. Agaknya si muka bertopeng kewalahan juga dengan
penyerangannya, sebab belum pernah ia dapat menembus pembelaan diri orang itu,
meskipun ia bergerak sangat cepat dan berbahaya, angin serangannya bersiursiur
keras. Ittjie siankang-nya pun kerap kali menotok ke jalan darah.
Masih Tan Hong tidak dapat
menduga, siapa musuh ini, dia orang apa. "Tiat Piepee"-nya mirip
kepandaian Tantai Mie Ming, sama liehaynya, tetapi dia bukan Tantai Mie Ming.
Sebab Tantai Mie Ming tidak
mengerti Ittjie siankang. Mungkinkah mereka dari satu perguruan? Kalau benar,
kenapa dia pandai Ittjie Siankang? Mungkinkah guru Mie Ming berat sebelah? Juga
Mie Ming pernah berkata, dia tidak mempunyai soeheng, kakak seperguruan lelaki,
ada juga soemoay, yaitu adik seperguruan wanita.
Mereka masih bertempur, si
orang bertopeng terus mendesak, malah kali ini, ia mendesak terlebih hebat,
dengan jari tangannya, dengan kepalan atau telapak tangannya.
Sampai kira-kira lima puluh
jurus Tan Hong merasakan sangat terdesak. Inilah disebabkan ia kalah
Iweekang-nya daripada lawannya itu.
"Hati-hati!"
tiba-tiba si orang bertopeng berseru ketika ia telah melakukan serangan beberapa
kali. Tapi kali ini ia menyerang dengan berbareng, yaitu tangan kirinya
membentur sikut orang, tangan kanannya menotok.
Tan Hong jadi sangat terancam.
Kalau ia singkirkan totokan tangan kanan, ia mesti terkena benturan tangan kiri
lawannya itu, demikian sebaliknya. Tapi ia tidak menjadi gugup, hatinya tak
gentar, ia berlaku tenang, hanya untuk membela diri, ia bertindak cepat. Dengan
sekejap saja ia putar tubuhnya, sambil berputar ia bebaskan diri,lalu ia
membalas menyapu ke arah tangan musuh! .
"Ah!..." si musuh
berseru tertahan, bahna kagum. Ia telah saksikan serangannya dihalau dengan
Tiat Piepee dan Ittjie siankang dengan berbareng. Ittjie siankang tak dapat
dilatih sempurna dalam sekejap saja, mesti menggunakan waktu sedikitnya sepuluh
tahun, tetapi luar biasa, Tan Hong dapat menjiplaknya selama mereka bertempur.
Tentu saja, ia membuatnya musuh sangat heran. Justeru itu, ia menukar lagi
jurus-jurusnya dengan Pekpian Hian Kee Tjianghoat, hingga ia mendapat ketika.
Sekejap saja si orang
bertopeng melengak, akhirnya ia tertawa besar.
"Kau sangat cerdik!"
katanya. "Hampir saja aku teperdaya!"
Kata-kata ini disusul dengan
totokan ke be-bokong Tan Hong, sasarannya ialah jalan darah thiantjoe hiat.
Tan Hong berkelit. Ia dapat
membela dirinya. Lawan itu penasaran, ia ulangi serangannya hingga tiga kali.
Selalu ia gunakan tenaga besar.
Bukan main sulitnya Tan Hong
melayani terus lawan ini, meski begitu, ia masih dapat bertahan lagi kira-kira
dua puluh jurus, sampai di saat mana, ia lantas menghadapi serangan dua tangan
berbareng, hanya yang satu mengancam, yang lain bukan — itulah tangan kiri yang
menggertak, tangan kanan yang majunya ayal, ialah yang menepak benar-benar. Tan
Hong menyambut dengan tangan kiri, atau segera ia insyaf bahwa ia telah diperdayai,
kedua tangannya kena ditolak.
Tiba-tiba saja si muka
bertopeng tertawa terbahak-bahak.
"Kau tidak
mendustai" demikian katanya sehabis tertawa. "Harta pendaman Thio Soe
Seng serta kitab Pheng Hoosiang telah kau dapatkan! Maka apakah artinya untuk aku
berdiam lebih lama pula di sini?"
Habis mengucap demikian, ia
mengancam pula dengan tangannya, tetapi ia tidakmenyerang terus, hanya melompat
mundur, lalu lari keluar pesanggrahan, untuk menyingkirkan diri! .
Aneh kelakuan orang rahasia
ini. Datangnya tiba-tiba, perginya pun tiba-tiba. Dia mirip seekor naga yang
nampak kepalanya, tetapi ekornya tidak. Semua orang heran dan tercengang. Lebih
heran pula Tan Hong, sebab ia merasa pasti, bila ia membuat perlawanan terus
menerus, mesti orang itu menang. Kenapa dia berhenti dengan tibatiba?
Sebenarnya si orang bertopeng
datang bersama Ngochito. Sejak bermula, ia sudah tidak sudi perlihatkan
wajahnya. Sekalipun See To dan puteranya, tidak tahu ia siapa, hanya karena ia
pernah perlihatkan ilmu silatnya, ia dihargai, ia dibiarkan membawa dirinya
sendiri.
Seberlalunya si orang
bertopeng, yang mana membuat See To kaget dan berkuatir,karena ia tahu
kedudukannya menjadi lemah, maka itu, tidak ayal lagi, ia titahkan
kawankawannya maju menyerbu, guna mengepung Tan Hong berdua.
Ngochito, karena ingin mencari
balas, sudah maju paling depan.
Tan Hong tertawa berkakakan.
"Adik kecil, mari!"
ia mengajak In Loei.
Nona In telah bersiap, malah
ia telah beristirahat cukup lama, maka tanpa ayal lagi, ia maju kepada Tan Hong,
untuk berdiri berendeng.
Ngochito sambar pedang panjang
dari salah satu orangnya See To, dengan itu ia serang musuhnya, tetapi baharu
dua jurus, dan sebelum kawan-kawannya sempat membantui padanya, pedangnya sudah
terpapas kutung! Tentu saja ia menjadi kaget berbareng mendongkol.
Tjitjiangho, sebawahannya
Ngochito, majukan dirinya, tetapi ia tidak lantas menyerang,ia hanya menegur.
"Thio Tan Hong,"
demikian katanya, "kau telah berulangkah menerima budi besar dari negara
kita, kenapa sekarang kau begini gelap pikiran?"
Tan Hong tidak mau melayani
bicara, ia justeru serang pahlawan Yasian itu. Mau atau tidak, Tjitjiangho
menangkis, tetapi baharu satu gebrak, goloknya sudah terbabat kutung,hingga dia
menjadi kaget sekali.
"Thio Tan Hong! Kau...
kau..." ia berseru, lalu tertahan, sebab pedang In Loei menyambar ke
arahnya. Karena ia berada di bawahan Ngochito, kepandaiannya pun kalah, tanpa
berdaya, ia tertikam si nona, hingga jiwanya lantas melayang.
Ngochito kaget, dia lompat,
berbareng dengan mana, dia dengar teriakan hebat di belakangnya.Itulah Tjio
Eng, yang telah lantas turun tangan. Tjio Eng ini ternama,tenaganya pun besar,
bisa dimengerti hebatnya serangan yang dibarengi seruannya itu.
Dalam keadaan bingung dan
pusing, Ngochito tidak berdaya lagi, tidak sempat dia berkelit atau menyingkir,
kepalan Tjio Eng telah sampai pada bebokongnya, maka di antara suara
"Duk!" yang keras sekali, dia rubuh. Sekalipun lapis emasnya untuk
melindungi tubuhnya telah pecah karenanya. Maka ia lantas memuntahkan darah
hidup.
Masih syukur baginya, ia
memakai lapisan itu, hingga ia cuma jatuh pingsan, kalau tidak,jiwanya mesti
melayang dengan segera.
Beberapa pahlawan pengiring
sudah lantas menubruk Ngochito, untuk diangkat dan dibawa lari.
Pahlawan-pahlawan itu tidak
berani mengadakan perlawanan terlebih jauh.
Waktu itu kawan-kawannya See
To yang sejak tadi bersangsi dan yang telah berubah pikirannya serta
orang-orang yang datang memenuhi undangannya, sudah lantas angkat kaki. Tidak
mau mereka memberikan bantuannya. Sebaliknya, mereka yang bersatu padu
pikirannya, yang hendak membela mati-matian, apabila mereka saksikan Tan Hong
dan In Loei demikian kosen, mereka itu jadi kecil nyalinya.
Sambil tertawa berkakakan, Tan
Hong serang mereka yang berani merintangi ia dan In Loei, cuma karena jumlah
orangnya See To itu besar, tidak dapat mereka lantas dipukul mundur.
Tjio Eng lihat mereka
terkurung, ia berseru: "Tangkap penjahat, tangkap rajanya! Hai,bangsat tua
she See, hendak aku membuat perhitungan dengan kau!"
Benar-benar, habis berseru,
jago tua ini lompat kepada orang she See itu.
See To tidak maju untuk
melayani orang yang hendak membikin perhitungan dengannya, dia hanya berseru
keras, menyusul mana, dia putar tubuhnya untuk lari meninggalkan ruangan
berkumpul itu. Seruan itu rupanya dimengerti kawan-kawannya, serta merta mereka
ini juga membalik tubuh, untuk lari juga.
Tan Hong berempat menjadi
heran. Kenapa musuh meninggalkan Tjiegie thia secara serentak itu? Tapi mereka
tak usah berpikir lama, atau mendadak terdengar satu suara nyaring sekali, lalu
di depan mereka, turunlah pintu besi rahasia, yang memutuskan hubungan mereka
di kedua pihak.
Baharu sekarang mereka
mengerti, mereka jadi terkejut. Sekarang sukar untuk mereka dapat keluar, meski
umpama kata mereka kuat mengangkat pintu rahasia itu, sebab dibalik pintu
rahasia itu See To berada dengan orang-orangnya yang bersenjatakan panah,
bandring dan barisan arit. Begitu mereka angkat pintu besi, tentu mereka akan
diserbu, di hujani anak panah, batu dan babatan arit itu...
Tjio Eng menghela napas.
"Biarlah kita terkurung
di sini!..." katanya, masgul.
Dari luar terdengar suara See
To: "Serahkan gambar lukisan itu padaku, nanti aku hentikan pengurungan
ini, malah mengingat kepada persaudaraan kita dahulu kala, suka aku mengijinkan
kamu berlalu dari sini!" In Loei tertawa mendengar orang menginginkan
gambar itu.
"Toako," kata dia
pada Tan Hong, "mereka masih tidak percaya bahwa kau telah mendapatkan
harta dan peta bumi itu! Apakah tidak baik gambar itu diserahkan saja pada
mereka? Mereka toh tidak akan dapat menggunakan itu!"
"Aku justeru tidak hendak
menyerahkannya!" sahut Tan Hong.
"Benar, jangan
serahkan!" kata Tjio Eng. "Gambar itu adalah warisan dari mendiang
Sri Baginda,mana boleh warisan itu diserahkan pada mereka?"
In Loei tertawa.
"Aku pun cuma
main-main!" katanya. "Walaupun terkurung hingga terbinasa, tidak
seharusnya kita minta ampun hingga karenanya kita mesti merendahkan derajat
kita!"
"Adik kecil," kata
Tan Hong kepada kawannya itu, "aku biasanya tertawakan kelemahan hatimu,
siapa tahu kau sebenarnya mempunyai semangat laki-laki."
Tan Hong bergurau, akan tetapi
In Loei meludah.
"Foei! Apakah kau anggap
hanya kamu bangsa pria yang bersifat laki-laki?" katanya.
Tjio Eng dan gadisnya terkejut
mendengar pembicaraan kedua anak muda itu, terutama kata-kata In Loei. Tjoei
Hong dekati In Loei, untuk mencekal tangannya, untuk ditarik.
"In Siangkong, apakah
benar-benar kau satu nona?" ia tegaskan.
Merah muka Nona In, ia tunduk.
"Benar, entjie, aku adalah
satu wanita..." sahutnya perlahan.
Wajah Tjoei Hong menjadi
pucat-pasi. "Oh, oh, kau!..." katanya, lalu suaranya tertahan.
Setelah peroleh kepastian, habis sudah harapannya. Ia tidak dapat berbuat lain,
akhirnya ia menangis.
In Loei jengah sendirinya, ia
pun tak enak hati.
"Entjie, karena terpaksa,
aku mendustai kau," ia berkata pula. "Aku harap kau jangan
gusar. Entjie, aku punya satu
saudara angkat..."
Nona Tjio angkat kepalanya,
mukanya merah, matanya mencorong.
"Siapa pedulikan saudara
angkatmu itu!" katanya keras. "Ah, dasar kau tidak ketahui
hatiku..."
Ia tahu anak muda dihadapannya
adalah satu pemudi, akan tetapi dari lagu suaranya, masih Tjoei Hong pandang
orang sebagai satu pemuda.
Tan Hong sebaliknya, tertawa
melihat kelakuan kedua pemudi itu.
Tjio Eng, yang telah lanjut
usianya, dapat mengendalikan hatinya. Ia tarik Tan Hong ke samping, untuk
menanyakan keterangan mengenai In Loei. Dan Tan Hong tuturkan jelas perihal
Nona In itu.
"Ketika itu kau sangat
bernapsu mencari babah mantu," Tan Hong tambahkan sambil tertawa,
"dan In Loei, di samping usianya masih muda, pun telah terdesak, demikian
maka terjadilah hal Jenaka ini. Kamu cuma terkelabui untuk satu tahun, tidak
apa,kejadian itu tidak sampai mentelantarkan usia puterimu Looenghiong,
bukankah kau telah melihat puteranya Kimtoo Tjioe Kian? Bukankah ia, di
kalangan kaum muda, gagah dan tampan?"
Tjio Eng ingat San Bin, ia
penuju pada anak muda itu. Tapi ia jawab: "Urusan jodoh anakku, tak dapat
aku mengurusnya lagi... San Bin itu, apabila dia dipadu dengan In Siangkong,
dia tak dapat ditimpali, akan tetapi dia, memang cukup baik."
Oleh karena sudah kebiasaan,
seperti puterinya, jago tua ini masih sebut In Loei sebagai In Siangkong.
Mendengar sebutan ini, Tan Hong tertawa.
Tiba-tiba, Hongthianloei
berkata: "Siauwtjoe, aku kehilangan satu babah mantu tetapi hendak aku
beri selamat padamu! Kionghie."
"Untuk apakah pemberian
selamat ini?" tanya Tan Hong sambil menghela napas. Ia ingat sesuatu
ketika mendengar ucapan jago tua itu.
Tjio Eng mengawasi.
"Kamu adalah pasangan
yang sangat setimpal!" ia kata. "Anakku itu tidak sepadan
direndengkan dengan In Siangkong1. Dan walaupun anakku tidak setuju, akan aku
desak supaya dia menyerahkan In Siangkong kepadamu! Bilamana kamu hendak
mengundang aku minum arak? Haha-haha, sungguh suatu jodoh yang manis
sekali!"
"Looenghiong, masih
terlalu pagi untuk membicarakan urusan ini," kata Tan Hong. "Masih
ada yang kau belum ketahui..."
Tjio Eng heran, ia mengawasi.
"Apakah itu?" tanyanya.
"Satu soal sulit,
looenghiong," jawab si anak muda, yang terus menuturkan permusuhan antara
kedua keluarga In dan Thio.
Tjio Eng heran, ia pun menjadi
bingung.
Sementara itu, Tjoei Hong dan
In Loei masih saja pasang omong. Nona Tjio adalah yang paling banyak bicara, ia
kecewa tetapi masih ia berat memikirkan In Loei. Dan In Loei, yang merasa
dirinya bersalah, terpaksa harus melayani nona yang ia perdayakan itu.
Ia berkasihan terhadap nona
ini.
"Entjie yang baik,"
katanya kemudian, "seumurku, tidak akan aku menikah, maka itu, akan aku
temani kau!"
Tjio Eng bersenyum.
"Adakah itu benar?"
dia tanya.
"Kenapa tidak?"
sahut In Loei, dengan sifat kekanak-kanakan. Ia pun tertawa. "Cuma,entjie
yang baik, aku mempunyai satu saudara lelaki, kau sebaliknya tidak. Bagiku,
tidak apa aku tidak menikah, tetapi kau, apabila kau tidak menikah, siapa akan
melanjutkan Keluarga Tjio kamu?"
"Cis" nona Tjio
meludah. Ia tidak sangka bahwa ia akan digodai. Ia lantas menoleh kepada Tan
Hong, lalu tiba-tiba ia dewi kz kata: "In Siangkong, aku tahu apa yang kau
katakan tidak keluar dari hatimu yang tulus! Di hati lain, di mulut lain!
Memang aku tolol tetapi telah aku lihat siapa yang berada di dalam
hatimu!..."
In Loei merasa tertusuk, ia
menghela napas.
"Seumurku, tidak akan aku
menikah," katanya, dengan lesu. "Jikalau kau tidak percaya,entjie,
nanti aku sumpah dihadapanmu!"
Tjoei Hong bekap mulut orang.
"Tidak keruan-keruan, untuk apa angkat sumpah?" katanya. "Aku
telah dapatkan kau sebagai adikku, aku puas."
"Bagus, bagus!" puji
Tjio Eng apabila ia dengar pembicaraan orang itu. Ia sebenarnya sedang berduka
tetapi untuk sesaat, dapat ia lupakan kedukaannya itu. "Kamu telah mengaku
menjadi entjie dan adik, maka, In Siangkong, mengapa kau tidak hendak memberi
hormat kepada ayah pungutmu?"
In Loei tertawa, ia bertindak
menghampiri orang tua itu, ia memberi hormat sambil paykoei.
Tjio Eng mengangkat nona itu
bangun.
"Baiklah, In Siangkong,
aku terima hormatmu ini!" ia kata.
"Haha-haha!" tertawa
Tan Hong. "Masih saja memanggil In Siangkong1."
Mendengar ini, semua orang
tertawa. Sampai di situ, baharu mereka ingat pula bahwa mereka masih berada di
dalam kurungan. Waktu itu sudah mendekati magrib, di luar Tjiegie thia, masih
terdengar suara berisik. Di dalam ruang itu tidak ada makanan. Maka syukur, Tan
Hong dan In Loei mempunyai bekal rangsum kering, bersama-sama, berempat, mereka
tangsel perut mereka sekedarnya.
"Sang hari akan lekas
berlalu, bagaimana besok?" tanya In Loei. Ia pecahkan kesunyian sehabisnya
mereka dahar.
"Besok adalah urusan
besok, untuk apa kau pikirkan?" kata Tan Hong sambil tertawa riang.
"Benar!" kata Tjio
Eng.
Maka itu, mereka dapat
bercakap-cakap dengan gembira.
Selagi ke empat orang ini
tidak kesepian, See To di luar sibuk memikirkan mereka. Mereka mesti tungkuli kesabaran
diri, sebab di antaranya tidak ada yang berani menyerbu, semua masing-masing
jeri untuk kegagahannya pasangan anak muda itu...
Malam itu dilewatkan dengan
Tan Hong dan Tjio Eng bergantian berjaga-jaga. In Loei berdua Tjoei Hong tidur
bersama di atas sebuah bangku panjang, mereka ini masih bercakap-cakap selama
mereka belum pulas, masing-masing menuturkan isi hati mereka.
Dalam tempo yang pendek itu,
keduanya lantas erat sekali perhubungannya, bagaikan saudara-saudara kandung
saja.
"Ketika itu kita berpisah
di Tjengliong Kiap," kata In Loei, "ayahmu memaksa kau lekas pulang,
untuk apakah itu?"
"Tidak lain untuk urusan
gambar lukisan," jawab Tjoei Hong. "Ayah dengar kabar, pihak Watzu
hendak mengirim orang untuk merampas gambar itu. Entah bagaimana duduknya hal,
maka bangsa itu ketahui gambar berada di rumah kami. Karena itu ayah
menginginkan aku lekas pulang, untuk kami serumah tangga menyingkir ke Im Ma
Tjoan,di pesanggrahan Na Tjeetjoe. Kami kembali pulang sehabisnya perang. Yang
kami tidak sangka adalah bangsat tua she See itu yang berkongkol dengan musuh,
tanpa mempedulikan persaudaraan, dia tidak hendak melepaskan kami!" In
Loei tertawa.
"Dan mereka tidak
ketahui, sejak siang-siang gambar itu sudah berada di tangan toakoku." ia
kata.
Berduka Tjoei Hong mendengar
demikian erat rasanya In Loei menyebutkan kata-kata "toako" itu untuk
Tan Hong.
"Kau sudah punya toako,
kau lupakan entjie-mu!" ia kata.
Tapi In Loei lantas menghela
napas. Biar bagaimana, ia adalah satu nona, maka tidak dapat ia membuka rahasia
hatinya, tak peduli terhadap kakak sendiri...
Heran Tjoei Hong menyaksikan
roman entjie ini, cuma tidak mau ia menanyakan. Ia hanya bicarakan urusan lain,
sampai tiba saatnya mereka mengantuk dan tidur.
Berapa lama ia sudah pulas,
Tjoei Hong dan In Loei tidak tahu, mereka hanya tersadar tatkala mereka dengar
suara sangat berisik di luar Tjiegie thia.
"Adik kecil, lekas
bangun!" Tan Hong memanggil.
"Lihat! Baharu kau
percakapkan Tjo Tjoh, ia sudah muncul! Coba dengar, apakah itu bukan kakak
angkatmu yang datang?"
In Loei buka matanya, ia
dapatkan matahari sudah naik tinggi. Masih mereka terkurung pintu rahasia,
tetapi di kedua tepi tembok terdapat liang kecil sebesar batang anak panah,dari
situ mereka bisa mengintai keluar. Dan di luar tampak nyata bendera
berkibar-kibar,di antaranya ada dua helai bendera yang besar luar biasa hingga
menyolok mata. Itulah bendera yang berlukiskan matahari merah dan si Puteri
Malam, itulah Djitgoat Siangkie,bendera Kimtoo Tjeetjoe!
Pertempuran telah terjadi di
luar, itulah yang menerbitkan suara sangat berisik.
"Tjioe San Bin datang
pada saatnya yang tepat!" kata Tan Hong. Kata-kata ini mengandung dua
maksud, maka In Loei menjebikan bibirnya dan tertawa,Dengan lewatnya sang
waktu, suara pertempuran terdengar semakin reda, akan di lain saat, pintu
rahasia mulai terangkat naik, hingga sinar terang lantas menembus masuk, lalu
tampak San Bin bertindak masuk ke dalam Tjiegie thia.
Rahasia In Loei telah terbuka,
tetapi karena terlanjur, ia masih dandan sebagai wanita,ketika San Bin tampak
nona ini, ia heran. Ia menegur Tan Hong dan Tjio Eng tetapi kepada si Nona In
ia cuma melirik saja.
In Loei tidak menjadi likat,
sebaliknya, ia berlaku twapan.
"Apa yang kau minta
padaku, telah aku selesaikan!" katanya kepada anak muda itu.
Setelah salin pakaian, dan
waktu ia tertawa, hingga nampak sujennya, In Loei menjadi sangat manis, ia
bagaikan bunga baharu mekar. Di mata San Bin ia menjadi luar biasa elok, hingga
pemuda itu tergiur bukan main. Tapi di sana ia tampak Tan Hong dengan wajahnya
seolah-olah tertawa, lalu hatinya itu menjadi dingin.
Pemuda ini sangat menyintai In
Loei, akan tetapi setelah ketahui Tan Hong pun menyintai nona itu, ia dapat
kendalikan dirinya, kemudian Tantai Mie Ming secara diamdiam membantui ia
menangkan peperangan dan Mie Ming pun jelaskan bagaimana kesengsaraan hati Tan
Hong untuk membela negara, ia ambil ketetapan untuk mengalah, untuk
mengundurkan diri dari medan cinta itu. Inilah sebabnya, dalam tempo yang
pendek sekali, dapat ia kuasai hatinya.
"Tjioe Hiantit, cara
bagaimana kau ketahui kita terkurung di sini?" tanya Tjio Eng sambil
tertawa kepada penolongnya itu.
Pertanyaan ini tepat, maka
semua pandangan diarahkan kepada anak muda itu.
"Selama penyerbuan
tentera Watzu, terpaksa kita berkeliaran ke empat penjuru negara," jawab
San Bin, "begitu lekas perang sudah selesai, kami sudah lantas
menggabungkan diri pula, dan niat kami adalah kembali ke tempat asal. Kemarin
kami mendirikan kubu-kubu di dekat sini, tadi malam kami nampak kejadian yang
luar biasa..."
"Apakah itu?" tanya
Hongthianloei.
"Ada seorang yang memakai
topeng menyusup masuk ke dalam kubu-kubu kami," sahut pula San Bin.
"Dia melempar golok yang tertusukkan sehelai surat. Dalam surat itu
ditulis terang halnya looenghiong beramai tengah dikurung di sini karena
terjebak oleh See To. Liehay si orang bertopeng itu, ketika kami pergoki dia,
dalam sekejap saja ia sudah menghilang pula."
"Seorang bertopeng?"
kata Tan Hong, yang hatinya bercekat. Timbullah kecurigaannya.
"Benar, dia seorang
bertopeng," San Bin pastikan. "Kami tidak kenal dia, dia aneh, akan
tetapi ayahku bilang, daripada tidak mempercayai, lebih baik kita percaya
padanya, bahwa tak dapat tidak kami harus pergi menolongi setelah kami ketahui
looenghiong terjebak dalam kurungan. Demikian ayah menitahkan siauwtit datang
bersama barisanku."
Tan Hong terus memikirkan si
orang bertopeng itu, demikian juga In Loei.
"Selama penyerbuan bangsa
Watzu itu," San Bin meneruskan keterangannya,"beberapa kali ayah
mengirim orangnya pergi ke rumah Tjio Loopee, kami dapat keterangan loopee
tengah mengungsi dan belum pulang, karenanya, sampai sebegitu jauh, kami tidak
dengar suatu apa tentang loopee."
"Terima kasih untuk
perhatian ayahmu itu," Tjio Eng mengucap. "Lain hari akan aku
berkunjung kepadanya."
Sementara itu orang tua ini
telah melihat tegas anak muda itu, yang romannya gagah dan tampan, sekalipun
dia tak dapat dibanding dengan Tan Hong atau In Loei.
Di dalam pesanggrahan See To
itu mereka bersantap pagi. Sehabisnya bersantap, Tan Hong dan In Loei lantas
pamitan, karena perlu mereka lekas-lekas melanjutkan perjalanan mereka, hingga
tak dapat mereka ditahan lagi.
Tjio Eng dan gadisnya juga
tidak mau berdiam lama di pesanggrahan musuh, hendak mereka berangkat pulang, maka
itu, San Bin antar mereka bersama-sama sampai di kaki gunung.
Tan Hong dan In Loei dengan
bergantian telah perdengarkan suitan mereka, atas mana muncullah binatang
tunggangan mereka, yaitu Tjiauwya saytjoe ma serta kuda pilihan dari istana
kaisar.
Selagi melihat In Loei lompat
naik ke atas kudanya, tiba-tiba San Bin ingat suatu apa.
"Nona In, tunggu
dulu!" ia segara memanggil.
Dari atas kudanya, In Loei
berpaling.
"Ada apa, Tjioe
Toako?" tanyanya.
"Tadi kau katakan bahwa
kau telah bicara jelas dengan Nona Tjio, karena itu, tak usah aku omong banyak
lagi," sahut San Bin. "Nah, terimalah kembali barangmu ini!"
Dari sakunya San Bin keluarkan
batu permata sanhu.
-ooo00dwooo
Itulah batu permata yang Tjioe
Kian haturkan kepada In Loei dan In Loei menyerahkannya lebih jauh kepada Tjoei
Hong, selaku tanda mata, kemudian In Loei serahkan pada Tjioe San Bin dengan
permintaan supaya San Bin nanti mengatakan pada Tjio Eng, untuk menjelaskan
duduknya hal, agar pernikahannya dengan Tjoei Hong dapat dibatalkan.
Tjoei Hong lihat batu permata
itu, yang membawa peranan, mukanya menjadi merah,ia likat sendirinya.
San Bin majukan kudanya,
hendak ia serahkan batu itu kepada In Loei, tetapi Si Nona In tertawa sambil
berkata: "Permata itu asalnya kepunyaan keluargamu sendiri, untuk apakah
hendak dikembalikan kepadaku?"
Lantas ia tepok kudanya, untuk
dilarikan berendeng bersama Tan Hong! Keras larinya kuda mereka, dalam sekejap
saja mereka sudah lenyap, hingga tinggallah San Bin yang mengawasinya sambil
menjublak...
Benar-benar cepat Tan Hong dan
In Loei kaburkan kuda mereka, pada hari kedua mereka telah lintasi kota
Ganboenkwan, di tempat perbatasan kedua bangsa Ouw dan Han.
Di tempat pengembalaan orang
Mongolia, adalah umum yang kaum wanitanya menunggang kuda, oleh karena itu, In
Loei tidak perlu salin pakaian lagi, ia tetap dandan sebagai satu nona.
Puas hati Tan Hong menyaksikan
si nona duduk di atas kudanya di tanah datar berumput hijau. Ia tertawa
sendirinya.
"Jikalau aku berada terus
bersama kau," katanya, gembira, "meskipun seumur hidupku aku mesti
tinggal merantau, sudi aku, puas hatiku!"
In Loei singkap rambutnya, ia
menoleh sambil melirik.
"Hai, engko tolol
mengucapkan kata-kata tolol!" katanya tertawa.
Berdebar hati Tan Hong, hampir
tak dapat ia kuasai dirinya.
Habis perang, kota Ganboenkwan
dan sekitarnya jadi tidak keruan macam. Waktu itu pun tentera kerajaan Beng,
yang mesti menempati kota itu, masih belum tiba, yang ada hanya beberapa
serdadu saja.
Melihat keadaan kota, Tan Hong
berdiam, pikirannya bekerja. Ia menyayangi kota itu.
Selagi berpikir, tiba-tiba ia
dengar In Loei menarik napas.
"Adik kecil, kau
kenapa?" ia tanya.
"Aku teringat kepada
keadaan waktu aku masih kecil, ketika itu aku ikut kakek pulang," sahut si
nona, "Ah, tanpa merasa, sepuluh tahun sudah lewat... Ya, di sini aku
ingat benar. Waktu itu adalah tanggal lima belas bulan sepuluh. Di sini kakekku
menyerahkan surat wasiatnya, yaitu kulit kambing yang berdarah..."
Mendapat kenang-kenangan ini,
wajah si nona menjadi guram. Ia berdiam. Tan Hong juga berdiam.
"Begitulah hidupnya
manusia!" kata si pemuda kemudian. "Berapa lama manusia dapat hidup?
Baiklah kau jangan mengingat-ingat pula hal yang tak menyenangkan itu..."
Keduanya menjalankan kuda
mereka dengan perlahan-lahan.
"Hidup manusia,
benar-benar aneh," kata In Loei kemudian.
"Kenapa aneh?" tanya
Tan Hong sambil mengawasi.
In Loei pandang pemuda itu,
sinar matanya berarti. Agaknya hendak ia bicara, tetapi selalu urung.
"Manusia memang mengalami
banyak perubahan di luar dugaannya," kata Tan Hong.
"Lihat saja aku sebagai
contoh. Tadinya aku pikir, selama hidupku ini tidak nanti aku keluar pula dari
Ganboenkwan, siapa sangka, hari ini aku toh berada di sini! Maka itu, apa yang
kau katakan aneh, bukan aneh. Adalah hal, yang dilihatnya tak mungkin
terjadi,pada suatu waktu terjadi dengan tiba-tiba..."
Kata-kata pemuda ini
mengandung arti.
In Loei berdiam. Pada otaknya
berkelebat surat wasiat kakeknya, dan wajah bengis dari kakaknya. Tapi ketika
ia angkat kepalanya, ia tampak roman tampan dan menarik dari Tan Hong yang
tersung ging senyuman, dalam sekejap saja, hilanglah mega gelap bagaikan
tersapu angin...
Tan Hong jalankan kudanya
terus berdampingan dengan kuda si nona, tapi di saat ia hendak meng hibur si
nona, mendadak kuda Tjiauwya saytjoe ma meringkik keras dan panjang lalu lompat
lari dengan tiba-tiba, seolah-olah tak memperhatikan lagi majikannya!.
Tan Hong heran bukan main.
Inilah belum pernah terjadi pada kudanya itu. Ia sudah hendak tarik keras tali
lesnya ketika mendadak ia ingat sesuatu.
"Dia kabur dan menjadi
binal begini, mesti ada sebabnya," ia berpikir. "Coba aku lihat ke
mana dia hendak lari..."
Maka ia kendorkan lesnya, ia
biarkan kuda itu kabur seenaknya.
Tjiauwya Saytjoe ma lari
dengan tidak mengikuti jalan besar, ia mengambil jalan kecil di sepanjang tepi
bukit, dia lompat di setiap tempat yang tinggi atau rendah, dia pun tak
henti-hentinya perdengar kan suaranya.
In Loei heran seperti Tan
Hong, ia larikan kudanya untuk menyusul. Kudanya kalah tangkas, ia terting gal
kira-kira setengah lie.
Sesudah kuda jempolan itu lari
serintasan, dari sebelah depan terdengar suara kuda lainnya, hingga kedua
binatang itu jadi seperti saling sahut.
Tan Hong memandang jauh ke
depan, untuk herannya, ia melihat dua orang tengah bertanding. Di samping
mereka itu, terlihat seekor kuda putih tengah berlari-lari, kuda itu mirip
betul dengan Tjiau wya saytjoe ma.
Tan Hong awasi hingga ia dapat
lihat kedua orang yang sedang asyik bertempur itu. Ia menjadi terperanjat dan
heran. Ia kenali, satu di antaranya adalah Djiesoepee Tiauw Im Hweeshio, sedang
lawan paman guru yang kedua itu adalah seorang berumur empat puluh lebih,
tubuhnya agak gemuk, gerakan-gerakannya gesit luar biasa.
Keras suara angin dari tongkat
panjang bagaikan toya dari Tiauw Im Hweeshio. Itulah tong kat Hangmo thung,
Penakluk Iblis, yang dimainkan menurut ilmu silat toya Hangmo thung. Lawannya
menggunakan bergantian jari-jari tangannya yang terbuka dan tertutup, menya bet
atau menusuk, dia menyerang setiap kali dia menyampok tongkat atau sehabis nya
berkelit. Nyata lawan itu tak kurang liehaynya.
Tan Hong heran apabila ia
mengawasi pula sekian lama. Ia dapat perasaan, ilmu silat orang berusia
pertengahan itu mirip dengan ilmu silat si orang bertopeng, yang pandai ilmu
silat Tiat piepee dan Ittjie siankang! .
Di bawah tanjakan, di dekat
tempat pertempuran, ada satu wanita yang sambil tertawa menonton pertempuran
itu. Dia berumur kira-kira tiga puluh lebih, mukanya bundar bagaikan rembulan
tanggal lima belas. Dia mirip dengan satu nyonya muda, sedangkan sebenarnya dia
adalah satu nona.
Tiauw Im gagah, dia juga
bersenjatakan tongkat, akan tetapi lama-kelamaan, dia dibikin kewalahan oleh
lawannya yang berkelahi dengan mengandalkan kedua tangannya yang tak bersenjata
itu, hingga kesudahannya si orang beribadat jadi sangat mendongkol dan gusar.
Demikian satu kali, menuruti hawa amarahnya, ia menyerang hebat dengan tipu
pukulan "Tokpek Hoasan"="Menggempur gunung Hoasan." Itulah
salah satu kemplangan yang berbahaya dan hebat.
Pesat sekali gerakan si lawan,
serangannya demikian dahsyat, tapi ia dapat menghindar kannya dengan jalan
berkelit. Tiauw Im terlalu sengit, ia gunakan seluruh tenaganya, ketika
serangan itu tidak mengenai sasarannya, ia tidak dapat kendalikan lagi senjata
itu, maka sang tongkat dengan hebat menghajar batu di tanah hingga hancur, dan
hancurannya terbang berhamburan.
"Hahaha!" si lawan
tertawa bergelak, habis mana, ia membalas menyerang,tangannya, atau lebih tepat
jari-jari tangannya, tidak hentinya menyambar-nyambar kepada Tiauw Im Hweeshio,
yang mengarah iganya.
Dalam keadaan sangat terancam
itu, Tiauw Im Hweeshio dapat membela dirinya sendiri. Ia letakkan tongkatnya di
tanah, berbareng dengan itu, tubuhnya mencelat naik, untuk terus jumpalitan, akan
menyingkir jauh.
Melihat orang mundur secara
hebat itu, si wanita tertawa berkakakan.
"Begitu saja kepandaian
murid Hian Kee Itsoe!" demikian ejeknya. "Haha-haha! Sungguh satu
nama kosong belaka!"
Tan Hong lantas datang dekat,
ia menyaksikan segala apa dengan tegas. Hampir ia lompat maju, untuk menolongi
paman gurunya, tapi tiba-tiba ia ingat suatu apa, hingga alisnya dikerutkan.
"Lelaki ini terang adalah
si orang bertopeng tetapi aneh sekali perbuatannya," demikian ia berpikir.
"Dia bersama orang-orangnya
Yasian berada di dalam pesanggrahan See To, dia juga kemudian memanggil Tjioe
San Bin untuk menolongi kita. Kenapa sekarang dia menyulitkan djiesoepee?"
Ia lantas menoleh, ia tampak
In Loei tengah mendatangi dengan cepat. Ketika itu jarak antara mereka berdua
ada kira-kira setengah lie. Ketika ia berpaling kepada kudanya, ia dapatkan
Tjiauwya saytjoe ma tengah saling menjilat dengan kuda Tiauw Im Hweeshio,ialah
kuda putih yang tadi terlihat dari jauh. Kuda putih itu adalah binatang tunggangan
.
Thio Tjong Tjioe. Ketika
dahulu Tiauw Im pergi ke Watzu di mana ia menyatroni rumah Tjong Tjioe, selagi
ia terancam bahaya, Tjia Thian Hoa telah menolongi secara diam-diam,dan kuda
itu diberikan padanya, untuk dipakai angkat kaki. Kuda itu dengan kuda Tan Hong
adalah biang dan anak, itulah sebabnya ketika kuda Tan Hong dengar suaranya,
tak dapat dikendalikan lagi majikannya, Tjiauwya saytjoe ma kabur untuk menemui
biangnya.
Dengan cepat In Loei tiba di
medan pertempuran, ia terkejut ketika ia kenali si pendeta.
"Itulah Tiauw Im
Soepee\" ia berseru. Dan terus ia memanggil: "Soepee\"
Tiauw Im sedang didesak
lawannya, mendengar panggilan itu, ia tak sempat menoleh akan melihat orang
yang memanggil padanya, sebaliknya, lawannya, dia ketahui datangnya sepasang
pemuda pemudi itu, dia berpaling ke arah mereka, lalu dia tertawa.
Dia pun lantas berkata:
"Benar-benar selama manusia masih hidup, tidak ada tempat di mana mereka
tidak bertemu! Kembali aku menjumpai kamu di sini! Adakah ini hweeshio ampas
soepee-mul"
Tiauw Im gusar dikatakan
manusia tidak berharga, ia mengamuk dengan tongkatnya,tetapi lawannya terlalu
tangguh untuknya, amarahnya hebat, tenaga kepandaiannya kurang, tetap ia tidak
dapat berbuat suatu apa terhadap lawan itu, di pihak lain,pundaknya terbentur
musuh hingga ia terhuyung-huyung, hampir ia rubuh terjungkal! .
Hian Kee Itsoe mempunyai empat
murid, di antara mereka itu, Tjia Thian Hoa yang paling liehay. Guru In Loei
yaitu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng sudah melatih diri sambil menghadapi tembok
selama dua puluh tahun, karenanya dia peroleh kemajuan besar hingga ilmu
silatnya kemudian tak berada di bawahan Thian Hoa. Murid kepalanya adalah
Kimkong Tjioe Tang Gak, dalam ilmu dalam dia tak dapat melampaui Tjia Thian Hoa
dan Yap Eng Eng akan tetapi dalam bahagian luar, Gwakang, dia telah mencapai
puncak kesempurnaannya, hingga ilmu silat Kimkong tjioe-nya tak ada tandingan
nya. Yang paling rendah kepandaiannya adalah Tiauw Im Hweeshio, ini disebabkan
karena tabeat nya,hingga tak dapat ia menyusul lain-lain saudara
seperguruannya, baik dalam ilmu dalam maupun ilmu luar, dari itu, gurunya
mewariskan dia ilmu tongkat Hangmo thunghoat serta ilmu luar secukup nya,
meskipun demikian, di kalangan kangouw,dia sudah sukar menemui tandingan. Hanya
kali ini, menghadapi lawan yang tangguh itu, ia kewalahan, ia senantiasa
terdesak.
Tan Hong lihat paman guru itu
sudah tak berdaya.
"Djiesoepee,
beristirahatlah dulu!" seru keponakan murid itu. "Nanti keponakanmu
yang menggan tikan kau!" Lalu ia menghunus pedangnya. Sambil maju
mendekati, dia kata kepada lawan paman gurunya itu: "Tjianpwee, aku mohon
sukalah kau memberi pengajaran pada kami! Kami adalah murid-murid turunan
ketiga dari Hian Kee Itsoe. Kami adalah anak-anak muda, dengan memohon
pengajaran tjianpwee, tidak berani kami bertempur satu dengan satu, dari itu
kami mohon tjianpwee memaafkan sikap kami yang tidak tahu aturan ini! Kami akan
maju bersama!" Ia kibaskan pedangnya, sambil menoleh pada In Loei, ia
kata: "Adik kecil, mari kau pun maju, untuk mohon pengajaran satu dua
jurus dari tjianpwee1."
Dengan sikapnya yang
menghormat, Tan Hong memanggil orang "tjianpwee," —yang tertua.
In Loei terima ajakan
sahabatnya itu, tanpa mengucap sepatah kata ia maju sambil menghunus pedangnya,
maka di lain saat, kedua pedang telah bergabung menjadi satu —siangkiam happek
— hingga kedua sinar perak lantas berkilau bagaikan saling sambar ke arah lawan
yang tangguh dari Tiauw Im itu.
Orang itu menggerakkan kedua
tangannya, kepada Tan Hong ia gunakan tangannya terbuka,terhadap In Loei ia
pakai jari tangannya. Jadi untuk melayani kedua lawan muda ini, ia gunakan Tiat
piepee dan Ittjie siankang.
Siangkiam happek lihay,
gerak-geriknya bagaikan gelombang besar dari sungai Tiangkang, seperti ombak
dari lautan besar, rapat desakannya, yang mana dibantu banyak dengan kegagahan
Tan Hong. Selama bertempur di rumah Pit To Hoan, Tan Hong dapat merendengi
Tiauw Im, sang paman guru, sekarang setelah meyakinkan Hiankong Yauwkoat, ia
peroleh kemajuan luar biasa, ia telah lombai Tiauw Im. Dan sekarang ini, dengan
siangkiam happek, bersama In Loei, baharu sepuluh jurus, ia sudah dapat
mendesak lawannya hingga lawan itu cuma dapat membela diri, tidak dapat
membalas
menyerang.
Meski ia sudah terdesak, orang
itu tidak menjadi jeri.
"Siangkiam happek
benar-benar liehay!" dia berkata. "Eh, soemoay, mari! Kau pun boleh
coba-coba berkenalan!"
Kata-kata ini ditujukan kepada
si wanita, siapa sudah lantas menyahuti "Ya!" Entah bagaimana
gerakannya, tahu-tahu dia sudah sampai di kalangan pertandingan, dan begitu
lekas dia gerakkan kedua tangannya, yang menerbitkan suara, dia telah keluarkan
dua macam senjata — tangan kirinya menyekal satu kimkauw, gaetan emas, tangan
kanannya memegang sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar ke perak-perakan.
Dengan dua macam senjata ini,
dengan gaetan ia menyambar dan menarik, dengan pedangnya, ia menikam.
Tan Hong dan In Loei merasakan
siuran angin dari kedua macam gegaman itu, maka dibantu dengan totokan si pria,
mau atau tidak, mereka mesti mundur hingga tiga tindak.
Tapi mereka cuma mundur
sebentar, setelah itu, mereka maju pula, Tan Hong di kiri, In Loei di kanan,
kedua pedangnya bergabung pula, hingga kedua lawannya mesti mundur di luar
kalangan sinar pedang mereka.
Si wanita liehay, ia mundur,
lalu ia maju pula, dengan dua macam senjatanya itu, dia membalas mendesak.
Kembali dia dibantu kawannya, soeheng-nya, si kakak seperguruan,sebagaimana dia
dipanggil soemoay, adik seperguruan wanita. Dan si soeheng tetap menggunakan
Tiat piepee dan Ittjie sian secara bergantian, setiap serangannya sangat
membahayakan.
Tan Hong menangkis hingga dua
kali beruntun, dengan "Hoeiliong tjaythian" atau "Naga terbang
di langit," dalam hal mana, ia ditimpali In Loei dengan "Tjianliong
djiptee" atau "Naga sembunyi dalam tanah." Secara begini, dapat
mereka berdua melayani pedang dan gaetan dan kedua tangannya lawan itu yang
liehay.
"Bagus!" memuji si
wanita, yang telah menggerakkan kedua bibirnya yang merah.
Tan Hong gunakan ketikanya ini
untuk menanya: "Aku ingin bertanya, djiewie dengan Tantai Mie Ming pernah
apa?".
Sekarang si anak muda telah
melihat tegas, Tiat piepee si pria mirip betul dengan kepandaian Tantai Mie
Ming, dan si wanita, ilmu silat gaetannya mirip dengan gaetan Gouwkauw kiam
dari Tamtay Toanio, bedanya ialah Tamtay Toanio menggunakan sepasang gaetan
(siangkauw) dan wanita itu punya gaetan ditimpali dengan pedang, karenanya,
gerak-gerik kedua senjata itu jadi terlebih luar biasa.
Ditanya begitu, si wanita
tercengang sesaat, lantas dia tertawa.
"Kami cuma ingin belajar
kenal dengan ilmu silat istimewa dari Hian Kee Itsoe!" sahutnya.
"Siapa mempunyai kesempatan untuk mendengarkan pertanyaanmu?"
Dan jawaban itu disusul dengan
serangannya pula, dengan pedang dan gaetannya.
Tan Hong melengak karena ia
ketemu batunya, ia menjadi agak mendongkol.
"Baik, akan aku
perkenalkan kamu dengan ilmu silat kakek guruku!" katanya dalam hatinya,
saking mendongkolnya. Terus saja ia menyerang dengan hebat, dalam hal mana
dengan serta merta ia ditelad In Loei, gerakan siapa selalu diturut. Maka
sekarang kedua pedang bergerak bagaikan "sepasang naga bermain di
air" atau sinar pedangnya bagaikan "bianglala
menyambar-nyambar". Maka lagi sekali, wanita dan pria itu terkurung sinar
pedang mereka.
Kedua musuh itu liehay luar
biasa, di luar mereka tampak terkurung, mereka seperti tak berdaya, tetapi di
dalam, mereka perlihatkan kepandaian mereka, masih dapat mereka membalas.
Pertempuran berlangsung dengan
cepat, jurus demi jurus, tanpa merasa, mereka sudah melalui tujuh puluh jurus.
Bagi Tan Hong, pertempuran berlarut itu tidak banyak artinya, tidak demikian
dengan In Loei, yang tenaga dalamnya kalah banyak, maka sehabis itu, ia rasakan
dadanya sesak, hampir ia tak dapat bernapas. Ketika Tan Hong lihat keadaan kawannya
ini, ia menghembuskan napas dingin.
"Betul-betul di luar
langit masih ada langit lainnya," pikir dia dalam hatinya, "di
samping manusia masih ada manusia lainnya... Aku pikir, siangkiam happek kami
tidak ada
bandingannya di kolong langit
ini, siapa tahu pasangan pria dan wanita ini dapat menangkan kami di atas
angin...
Sebenarnya di sini orang tidak
dapat bicara mengenai hal kepandaian, tetapi dalam hal latihan. In Loei kalah
latihan dalam, itulah sebabnya sekarang ia kalah ulat.
In Loei kuatkan hatinya, ia
pertahankan dirinya, dengan begitu mereka bertempur sampai lima puluh jurus,
masih saja mereka sama tangguhnya.
Pada saat yang tegang itu,
tiba-tiba kedua pihak dengar tindakan kaki kuda yang mendatangi ke arah mereka,
mulanya, jauh lalu makin dekat, akhirnya tibalah si penunggang kuda, yang
menyoren sebatang pedang. Dia nampaknya tenang sekali.
Ketika dia melihat sebentar
kepada mereka yang sedang bertempur seru, sekonyongkonyong dia tertawa
sendirinya: "Kamu lihat!" dia berseru. "Sekalipun muridku kamu
tidak sanggup mengalahkannya! Maka bagaimana kamu hendak melindungi mukanya si
Siluman Tua Siangkoan?" Tan Hong sudah lantas kenali orang itu.
"Soehoe ia memanggil.
Memang orang yang baharu
datang ini Tjia Thian Hoa adanya.
"Tiauw Im Soeheng, kau beristirahatlah
terus!" berkata Thian Hoa kepada kakak seperguruannya. "Kau tunggu
saja, hendak aku belajar kenal dengan ilmu silat dari muridmurid Siangkoan
Laokoay — Eh, Kimkauw Siantjoe, lebih dahulu ingin aku mohon pengajaran darimu!
Dan kau, Ouw Laodjie, kau boleh bertempur lamaan sedikit dengan muridku...
Sekarang jelaslah siapa adanya
pasangan pria dan wanita itu, yaitu murid-muridnya Siangkoan Thian Va si
Laokoay atau "Siluman Tua", si orang she Ouw itu adalah Ouw Bong Hoe,
dialah murid kedua dari Siangkoan Thian Va. Dan si wanita, yang dipanggil .
Kimkauw Siantjoe, Dewi Gaetan
Emas, adalah Lim Sian In, murid yang ketiga.
Antara Siangkoan Thian Ya dan
Hian Kee Itsoe pernah terjadi perebutan untuk menjadi jago dunia Rimba
Persilatan, untuk itu mereka sudah bertempur selama tiga hari tiga malam tanpa
ada yang menang dan kalah. Siangkoan Thian Ya mempunyai beberapa macam ilmu
silat yang istimewa, di antaranya Ittjie siankang, singkatnya Ittjie sian, ilmu
menggunakan jeriji tangan, untuk menotok. Tapi ilmu kepandaiannya aneh. Ilmu
Ittjie sian itu bersama satu ilmu lainnya mesti diyakinkan berbareng oleh
seorang pria dan seorang wanita yang masih suci kehormatannya, tapi kalau ilmu
itu sudah dapat diyakinkan sempurna dan kedua murid itu menikah, ilmu itu
berkurang sendiri kefaedahannya.
Maka juga, sebelumnya Thian Ya
menerima murid, dia tegaskan muridnya, apakah mereka di kemudian hari akan
menikah atau tidak, siapa yang bersedia tidak menikah, dia akan diajari ilmu
Ittjie sian itu. Murid kepalanya adalah Tantai Mie Ming. Mie Ming ini telah
pergi ke negara lain — Watzu — dia tidak menghendaki turunannya terputus,
karenanya dia tidak dapat mempelajari Ittjie sian itu. Karena ini, Mie Ming
cuma mendapatkan ilmu silat gaetan dan lainnya dari bahagian luar (Gwakang),
Ilmu Ittjie sian, tidak diyakinkan. Tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe, murid
yang kedua.
Ouw Bong Hoe sangat ingin
mempunyai kepandaian tinggi, dia sangat kemaruk, begitu dia masuk menjadi murid
Siangkoan Thian Ya, lantas dia menyatakan dan bersumpah bahwa seumurnya dia
tidak akan menikah. Dengan demikian, dia telah diajari ilmu Ittjie sian itu.
Lim Sian In, ialah Kimkauw
Siantjoe, si Dewi Gaetan Emas, murid yang ketiga, cantik luar biasa, setiap
hari dia bergaul dengan Ouw Bong Hoe, sama-sama mereka belajar silat,lama
kelamaan mereka berdua jatuh cinta satu pada lain. Tapi Sian In adalah seorang
wanita, dia terlebih tenang, dia tidak menonjolkan rasa cintanya itu, tidak
demikian dengan Ouw Bong Hoe. Dia ini segera minta soemoay itu, Sian In, suka
menikah dengannya. Hal itu sudah lantas tertampak di mata guru mereka.
Adalah cita-cita yang
terkandung lama dari Siangkoan Thian Ya untuk mengajarkan beberapa murid yang
liehay, supaya ia dapat mengulangi pertandingannya dengan Hian Kee Itsoe. Ia masih
penasaran , ingin ia peroleh kemenangan. Ia pun hendak menepati janji, untuk
nanti bertanding pula. Dalam hal janji itu, ia tak sudi tidak menetapkannya, ia
sungkan menghilangkan kepercayaan. Maka itu, ketika ia ketahui kelakuan Ouw
Bong Hoe berdua Lim Sian In, ia menjadi gusar sekali, menuruti hawa amarah nya,
ia usir muridnya itu. Inilah sebabnya kenapa Tantai Mie Ming cuma menyebut
bahwa ia cuma mempunyai satu soemoay, tidak pernah ia menyebut-nyebut Ouw Bong
Hoe.
Setelah diusir dari rumah
perguruan, Ouw Bong Hoe menyesal tanpa berdaya. Ia tetap masih menyintai rumah
perguruannya itu. Di samping kedukaannya, ia penasaran. Di dalam hatinya ia
berpikir keras: Apa mungkin di dalam dunia ini tidak ada kepandaian yang dapat
diyakinkan bersama di antara sepasang suami isteri? Kata gurunya, Ittjie sian
akan berkurang bila orang menikah. Inilah ia sangsikan. Alasan gurunya ialah
bila menikah, orang telah kehilangan keperjakaannya. Mustahilkah tidak ada
jalan, atau ilmu,untuk memegang kekal keperjakaan itu? Karena penasaran ini, ia
lantas merantau, ia mencoba mencari ilmu untuk membuktikan tak benarnya
pendirian gurunya itu. Sudah
belasan tahun ia merantau,
masih ia belum peroleh ilmu yang dicari itu, tapi masih ia terus mencari.
Pernah Ouw Bong Hoe dengar Tantai
Mie Ming berbicara perihal Thio Soe Seng dan Pheng Hoosiang, bahwa Pheng
Hoosiang itu mempunyai kitab "Hiankong Yauwkoat." Ia tertarik pada
kitab itu, walaupun ia belum tahu apa isinya. Ia menaruh kepercayaan besar atas
kitab itu mengingat lihaynya Pheng Hoosiang. Maka ia mencoba mencari kitab itu.
Baharu pada bulan yang sudah
ia pulang ke Mongolia, dengan kebetulan bertemu Ngochito, pahlawan Yasian.
Ngochito memberitahukan bahwa ia telah mendapat keterangan, di mana harta Thio
Soe Seng serta kitabnya telah disimpan, disembunyikan,di Souwtjioe, bahwa untuk
mendapatkan itu, lebih dahulu mesti didapatkan petunjuknya yaitu sebuah gambar
lukisan yang berada pada Tjio Eng. Ngochito tahu, itu adalah soetee dari Tantai
Mie Ming, dia lantas minta bantuannya. Ia suka memberikan bantuannya,sebab ia
mengharap nanti memperoleh kitab Pheng Hoosiang. Lantas ia turut Ngochito ke
pesanggrahannya See To. Kebetulan sekali, di sini ia bertemu Thio Tan Hong dan
mendapat keterangan
"Hiankong Yauwkoat" sudah didapatkan si orang she Thio. Ia adalah
dari tingkatan terlebih tua, iapun menganggap dirinya sebagai seorang kenamaan
dalam Rimba Persilatan, tidak sudi ia meminta kitab dari Tan Hong. Maka ia
sudah lantas mengundurkan diri.
Ouw Bong Hoe ini tidak
mempunyai kesan baik terhadap bangsa asing, lebih-lebih karena niatnya adalah
mencari kepandaian yang terlebih tinggi, ia tidak perhatikan urusan peperangan
antara hangsa Watzu dan Kerajaan Beng, meski begitu, karena ia tahu duduknya
hal, tidak suka ia melihat Tan Hong beramai terbinasa ditangan Ngochito dan See
To, ia tidak ingin kitab Pheng Hoosiang nanti terjatuh ke dalam tangan pahlawan
Mongolia, dari itu seberlalunya dari sarangnya See To, terus ia pergi ke
tempatnya Kimtoo Tjioe Kian, untuk memberikan kisikannya dengan menimpukan
surat budek yang
ditusukkan pada golok.
Tentang Lim Sian In, si adik
seperguruan, walaupun di lahir ia tidak memberikan sesuatu petunjuk, di dalam
hatinya, ia tak dapat melupakan Ouw Bong Hoe, sang kekasih.
Setelah sepuluh tahun lebih
mengikuti gurunya, dia telah peroleh kepandaian tinggi, oleh gurunya ia disuruh
turun gunung, untuk berdiri sendiri. Ia lantas ambil tempat di sebuah gunung di
luar Ganboenkwan. Di sini ia terus melatih dirinya, untuk itu ia tidak menerima
murid. Baharulah beberapa hari yang lalu, Ouw Bong Hoe datang padanya, hingga
soeheng dan soemoay itu bertemu pula.
Banyak yang mereka bicarakan,
tetapi keduanya berduka, sebab jodoh mereka telah terhalang. Sampai waktu itu,
mereka masih tidak berani bicara mengenai hal jodoh mereka. Kemudian Ouw Bong
Hoe bercerita mengenai kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe akan keluar dari
Ganboenkwan.
"Selama beberapa puluh
tahun soehoe bercita-cita untuk dapat menangkan Hian Kee Itsoe," berkata
Lim Sian In, "hanya selama beberapa puluh tahun itu, entah kepandaian
istimewa macam apa lagi yang telah diciptakan Hian Kee Itsoe itu. Soehoe pun
mengharap-harap yang murid-muridnya nanti dapat menangkan juga murid-muridnya
Hian Kee Itsoe itu, guna mengangkat pamornya. Sekarang ada kedua cucu murid
dari Hian Kee Itsoe, mari kita pergi keluar Ganboenkwan, untuk menemui mereka,
untuk kita mencoba mengadu kepandaian. Syukur jikalau kita dapat menangkan
mereka, tapi
andaikata kita tidak berhasil,
sedikitnya kita sudah ketahui tentang kepandaian mereka itu.
Dengan demikian, kita jadi
berbuat jasa untuk soehoe. Siapa tahu, karena jasamu ini,mungkin soehoe kasihan
dan akan sudi menerima pula kau dalam rumah perguruan..."
Ouw Bong Hoe tertarik
mendengar pikiran adik seperguruan ini.
"Baiklah, mari kita pergi,
untuk mencoba-coba," ia nyatakan persetujuannya.
Demikianlah keduanya turun
gunung. Mereka lantas pergi ke jalan di mana orang akan lewat, untuk mencegat.
Ouw Bong Hoe berniat mencegat kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe, tetapi
kebetulan sekali, ia bertemu Tiauw Im Hweeshio, sekalian saja ia cegat hweeshio
ini, yang ditantang berkelahi.
Begitulah terjadi sebagaimana
kita telah ketahui.
Sebenarnya tidak puas Tiauw Im
atas sikap Thian Hoa, akan tetapi ia tidak bilang suatu apa.
Sejak tadi ia memang sudah
berdiam saja menantikan pertempurannya Tan Hong dan In Loei, dan kepandaian Tan
Hong, sang keponakan murid, membuatnya ia kagum. Ia tidak sangka, keponakan
murid itu demikian gagah, sanggup melayani orang yang ia sendiri tidak bisa
melawannya.
"Apakah kau Tjia Thian
Hoa?" tanya Lim Sian In kepada penantangnya.
"Tidak salah, akulah Tjia
Thian Hoa yang rendah," jawab Thian Hoa.
"Telah aku dengar,"
Lim Sian In berkata pula, "di antara murid-murid Hian Kee Itsoe,Tjia Thian
Hoa-lah yang terpandai, hari ini kau datang kemari, inilah kebetulan. Aku juga
ingin menyaksikan kepandaianmu!".
Terus ia menyerang dengan
tangan kirinya, dengan gaetannya.
Thian Hoa sambuti gaetan itu,
sambil memutar tangannya, ia tarik kembali pedangnya.
Kimkauw Siantjoe terperanjat.
Ia kena ditarik, hampir saja gaetannya terlepas. Ia terutama kaget karena
gaetannya adalah untuk menaklukkan golok dan pedang, siapa tahu, sekarang
gaetannya kena "ditaklukkan" pedang lawan! Thian Hoa lantas bertindak
terus, selagi si nona melengak, ia gerakkan lagi pedangnya, menarik terus.
Inilah jurus yang liehay dari gurunya.
Kimkauw Siantjoe tidak
menjublak lama, untuk menolong gaetannya, supaya terlepas,pedangnya di tangan
kanan membarengi bekerja, menikam dengan tikaman "Gioklie tjoantjiam"
atau "Bidadari menusuk jarum," ke arah jalan darah hiankee hiat-nya.
Inilah tipu "Wie Goei kioe Tio" atau "Mengurung negeri Goei
untuk menolong negeri Tio," supaya Thian Hoa segera menarik kembali
pedangnya.
"Mana aku sudi membiarkan
diriku ditikam..." kata Thian Hoa dalam hati kecilnya. Ia lantas berkelit,
pedangnya sendiri masih terus dipakai menempel gaetan lawan itu.
Sian In juga menggunakan tipu,
yaitu selagi orang berkelit, ia putar gaetannya begitu rupa sambil terus
menarik, maka untuk girangnya, gaetan itu dapat diloloskan, sedang pedangnya,
yang dipakai menikam, diubah untuk diteruskan dipakai membabat. Inilah gerakan
"Pengsee lokgan" atau "Burung belibis turun di pasir
datar."
"Bagus!" memuji
Thian Hoa atas kecerdikannya itu. "Kimkauw Siantjoe, pujian untukmu
bukannya pujian kosong belaka!"
Sambil berseru demikian, ia
tangkis pedang orang berikut gaetannya, yang sudah dibarengi dipakai menyerang
juga. Tapi ia tidak cuma menangkis, setelah itu ia merangsak, ia membabat dan
menikam silih ganti, untuk mendesak. Dengan jalan ini ia berhasil membuat si
nona cuma bisa membela diri sambil mundur, hingga si nona pun,dengan diam-diam,
memuji keliehayan lawan ini. Ia harus mengakui, Thian Hoa berada di atasan
soeheng-nya.
Selagi Thian Hoa tempur Lim
Sian In, Tan Hong sudah bertarung pula dengan Ouw Bong Hoe. Kali ini Tan Hong
lawan musuh itu satu sama satu, ia tidak mengerubuti pula bersama In Loei.
Sebenarnya ia bukan tandingan orang she Ouw itu akan tetapi sekarang ia menang
di atas angin. Inilah karena Bong Hoe sudah lelah, setelah melayani Tiauw Im
Hweeshio dan dikepung sepasang pemuda-pemudi yang liehay ilmu pedangnya.
Begitulah selama tiga puluh jurus, ia tidak dapat menang di atas angin.
Sambil berkelahi, kerap kali
Thian Hoa lirik muridnya. Ia menjadi sangat girang melihat muridnya peroleh
kemajuan sangat pesat, malah serangannya luar biasa, hingga ia menjadi heran.
Akhirnya ia tertawa berkakakan.
"Ouw Bong Hoe!" ia
berkesempatan meneriaki muridnya Siangkoan Thian Va itu.
"Bagaimana? Sampai
muridku saja kau tidak sanggup melawan?..."
Ouw Bong Hoe sangat
mendongkol, karena mana tiga kali ia membalas menyerang secara dahsyat, secara
berani ia mendesak, jari-jari tangannya yang liehay bekerja. Ia selalu mencari
jalan darah Tan Hong.
Anak muda itu cerdik, selagi
didesak, ia perkecil kalangan pembelaannya, ia membuat dirinya seperti
terkurung pedangnya, hingga biarpun dia sangat kosen, tidak dapat Ouw Bong Hoe
memecahkan kurungan itu, hingga sia-sia saja penyerangan membalas itu.
Sang waktu berjalan cepat,
kedua pihak telah berkelahi sampai kira-kira delapan puluh jurus. Di pihak
Thian Hoa, dia dapat membuat Lim Sian In main mundur. Adalah dipihak Ouw Bong
Hoe, Tan Hong yang main mundur, tetapi dia tetap kuat dengan pembelaan dirinya.
Kembali Thian Hoa tertawakan
orang she Ouw itu.
"Bagaimana, Ouw
Laodjie?" serunya mengejek. "Sudah hampir seratus jurus! Apa masih
tetap kau tidak sanggup mengalahkan muridku?"
Ouw Bong Hoe menjadi malu
sendirinya, karena tak dapat merubuhkan satu lawan dari tingkatan lebih muda.
Ia pun menjadi berkuatir karena menampak Lim Sian In didesak musuh yang
mulutnya jail itu. Maka ia pikir baiklah jangan dilanjutkan pertandingan itu.
"Tjia Thian Hoa," ia
lantas menyahuti, "muridmu ini memang tidak kecewa! Hanya aku lihat, kepandaianmu
juga tak lebih tinggi daripadanya! Kau tahu, aku biasa menyayangi anak-anak
muda yang kepandaiannya sempurna, dan itu suka aku membiarkan dia dapat
bernapas. Sudah, Thian Hoa, hari ini baiklah pertandingan jangan dilanjutkan.
Lain hari saja hendak aku mohon pengajaran dari kau sendiri..."
Untuk membuktikan kata-katanya
itu. Ouw Bong Hoe lompat mundur, untuk keluar dari kalangan.
Perbuatannya ditelad Lim Sian
In, habis mana, bersama-sama mereka lantas menyingkir ke arah barat utara.
Tjia Thian Hoa biarkan orang
angkat kaki.
"Eh, Tan Hong, dari mana
kau peroleh kepandaianmu?" guru ini tanya muridnya. Ia bicara sambil
tertawa. "Lagi dua tahun maka aku tidak berani menjadi gurumu pula!"
Lalu ia teruskan kepada Tiauw Im Hweeshio, soeheng-nya itu: "Hari ini kita
menang di atas angin, tetapi ilmu silat mereka benar-benar jarang nampak di
dalam Rimba Persilatan.
Muridnya demikian liehay, maka
dapatlah dimengerti entah bagaimana liehaynya Siangkoan Laokoay sendiri! Guru
kita tidak sudi bertempur dengan Siluman Tua itu, maka aku kuatir, aku berdua
soemoay-mu pun mungkin rubuh di tangannya..."
Tan Hong hendak tuturkan
gurunya bahwa ia telah mendapatkan kitab Pheng Hoosiang, akan tetapi sebelum ia
sempat bicara, ia heran menampak muka Tiauw Im Hweeshio menjadi suram dengan
mendadak.
"Hm, kau masih ingat
soehoe?" katanya, suaranya dalam.
Thian Hoa heran.
"Soeheng, apa
katamu?" dia tanya. "Aku tadinya menyangka hari ini kau tidak akan
datang..." kata soeheng itu. Ia tidak gubris pertanyaan orang.
"Apakah soeheng sesalkan
aku datang terlambat?" tanya soetee itu.
Masih Tiauw Im tidak sahuti
adik seperguruan itu, ia hanya menoleh kepada In Loei,keponakan muridnya itu.
"Eh, In Loei, kebetulan
sekali kau datang kemari!" katanya. "Kau tahu hari ini tanggal berapa?".
Si nona tercengang. Ia berada
di dalam perjalanan, ia sampai lupa tanggal. Ia ingat sudah dua malam rembulan
bercahaya terang, maka ia menduga, kalau bukan tanggal lima belas tentu tanggal
enam belas. Belum sampai ia menyahut, Tan Hong telah mendahuluinya.
"Hari ini tahun Tjengtong
Capgwee Caplak!" kata keponakan murid yang lelaki.
Sekonyong-konyong saja In Loei
ingat hari ini, Capgwee Caplak, tanggal enam belas bulan sepuluh, adalah hari
dari tahun yang ke sepuluh meninggalnya kakeknya yang sangat menderita itu. Ia
sudah seperti melupakan hari peringatan itu, atau sekarang hari itu nampak
sangat nyata, maka tidak terasa lagi, air matanya turun bercucuran...
Baharu sekarang Tiauw Im
menoleh kepada adik seperguruannya.
"Tjia Thian Hoa," ia
berkata, "pada sepuluh tahun yang lampau itu, apakah yang kita bicarakan
di sini?"
Tanpa bersangsi, Tjia Thian
Hoa menjawab: "Hari itu kita berdua berjanji saling menepuk tangan! Kita
berjanji, yang satu merawat si anak piatu, yang satu lagi menuntut balas. Kau
berjanji untuk membawa cucu perempuan dari In Tjeng kepada soemoay,untuk
dirawat sampai menjadi manusia, dan aku berjanji akan pergi ke Watzu untuk
membunuh Thio Tjong Tjioe!"
Tiauw Im angkat kepalanya
dengan jumawa, ia tertawa dingin.
"Jadi kau masih ingat
janji kita dengan terang sekali!" katanya pula. "In Loei, mari
sini!"
Nona In menghampiri dua
tindak.
"Kau lihat!" berkata
pendeta itu kepada adik seperguruannya. "Inilah bocah cilik yang dahulu
dan sekarang telah menjadi begini besar dan kenamaan sebagai ahli pedang! .
Dengan begini selesailah
tugasku! Kau? Bagaimana dengan kau? Kau bawa atau tidak kepala Thio Tjong
Tjioe?"
"Tidak!" sahut Thian
Hoa dengan tenang.
"Hm!" si pendeta
perdengarkan ejekannya. "Nyatalah kau kemaruk kekayaan dan kemuliaan,
tanpa tahu malu kau telah bekerja untuk musuh!" .
Membarengi kata-katanya itu,
Tiauw Im serang soetee-nya dengan tongkatnya. Hebat serangan itu, tongkat
sampai perdengarkan angin menderu.
Thian Hoa berkelit, ia lolos
dari serangan tongkat itu.
"Sabar!" ia berkata.
"Mana soemoay? Datangkah dia kemari?"
Tapi Tiauw Im menjadi
bertambah gusar, meluap hawa amarahnya.
"Kau berani mengandalkan
kepandaianmu untuk menghina soeheng-mu?tt dia berteriak. "Aku tidak
membutuhkan bantuan soemoay1. Aku hendak menghajar kau dengan tiga ratus
tongkatku ini! Jikalau benar kau berani melawan yang lebih tua,hunuslah
pedangmu, bunuhlah aku!"
"Bukan, bukan
maksudnya," jawab Thian Hoa, sang soetee. "Aku duga kau dan soemoay
datang bersama. Kenapa dia tidak kelihatan?" .
Memang Tiauw Im telah
menjanjikan soemoay-nya, adik seperguruannya, Yap Eng Eng,guru In Loei, untuk
pergi ke Ganboenkwan, guna mencari Tjia Thian Hoa, oleh karena kudanya lebih
kuat larinya, ia sampai terlebih dahulu daripada soemoay itu. Tapi ia menjadi
heran, mengapa sang soemoay masih belum tiba, sedang seharusnya dia sudah mesti
sampai. Maka itu ditanya Thian Hoa, ia melengak.
"Mari kita tunggu tibanya
soemoay, baharu kita bicara pula!" kata Thian Hoa. "Nanti dapat kita
bicara jelas."
Kembali bangkit hawa amarahnya
si pendeta. "Ha, kiranya di matamu sudah tidak ada soeheng-mu ini!"
dia berteriak. Dia sangka, karena soetee itu mendesak menantikan Vap Eng Eng,
dia jadi tidak dipandang. Dan sambil membentak, dia menyerang pula.
Menuruti tabeatnya itu, Tiauw
Im menyerang terus menerus sampai tujuh atau delapan kali, hingga Thian Hoa
hanya menyeringai, berduka dan malu. Dengan terpaksa soetee ini gunakan
kepandaiannya, untuk menghalau diri, dengan berkelit atau menangkis, akan
achirnya, menahan turunnya tongkat.
"Tan Hong, kebetulan kau
datang di sini!" katanya pada muridnya. "Coba kau bicara dengan
djiesoepee-mu ini!"
"Urusan Tan Hong telah
aku mengetahuinya lebih dari separuhnya" Tiauw Im mendahului keponakan
muridnya. "Dia memang tak kecewa menjadi satu laki-laki sejati! Akan
tetapi ayah adalah ayah, anak adalah anak, di mana naga beranak sembilan macam,
ayah, anak dan saudara-saudara pun berbeda satu sama lain! Thio Tjong Tjioe
sudah menakluk kepada bangsa Watzu, dia menjadi menteri muda, dialah penghianat
dan dorna yang telah bekerja sama dengan musuh! Perbuatannya itu tidak
ada sangkut pautnya dengan Tan
Hong! Aku cuma hendak menegurmu karena kesalahanmu, yang sudah melanggar janji
dan sumpah kita!"
Merocos bagaikan petasan
demikian kata-kata si pendeta, yang mengumbar isi perutnya yang panas. Dan
belum habis ia bersuara, tongkatnya sudah menyerang pula! .
Memang Hokmo thunghoat, sekali
dipakai menyerang, mesti saling susul tak hentinya, umpama gelombang menyusun
gelombang, maka juga Tiauw Im ini, agaknya, kecuali tongkatnya dirampas, tidak
akan mau berhenti.
Thian Hoa terus menerus
berkelit, ia masih saja tertawa meringis.
Tan Hong pun bingung, tak tahu
ia mesti mengucapkan apa.
Selagi Tjia Thian Hoa berada
dalam kesulitan, tiba-tiba terdengar suatu suara luar biasa, yang seperti
mengaung lewat di udara. Suara itu mirip dengan terompet orang Ouw akan tetapi
terlebih keras.
Mendengar suara itu, muka In
Loei menjadi pucat.
"Toako, mari turut
aku!" ia segera berkata kepada Tan Hong.
"Ada apakah?" tanya
si anak muda.
Selagi anak muda ini menanya
In Loei, Tjia Thian Hoa telah menyampok tongkat Tiauw Im Hweeshio, setelah mana
ia enjot tubuhnya, untuk lompat mencelat, bagaikan burung menembusi rimba,
demikian ia tiba di samping kudanya Tiauw im.
Kuda putih itu nampaknya
kaget, dia angkat kepalanya, dia merangsang dengan kedua kaki depannya, tetapi
Thian Hoa, tanpa pedulikan itu, sudah lompat naik ke bebokongnya, sedang
pundaknya, yang dicekal, lantas ditepuk perlahan-lahan. Segera kuda itu
lari,sambil meringkik tak hentinya, seperti orang yang tidak suka tunduk kepada
penunggangnya yang asing ini.
Tiauw Im menjadi sangat gusar.
"Kau berani bawa kabur,
kudaku!" dia berteriak.
Thian Hoa merasa lucu
mendengar suara soeheng-nya. Kuda itu toh ia yang mencurinya, untuk si soeheng
menyingkirkan diri dari bahaya, sekarang soeheng itu membuka mulutnya tanpa
berpikir lagi! .
In Loei pun sudah lompat naik
ke kudanya, yang ia kaburkan keras, selagi kabur, tak hentinya ia berpaling ke
belakang, kepada Tan Hong, berulang-ulang, untuk diajak lari bersama, seperti
tadi ia mengajak sahabat itu.
"Tan Hong, mari pinjamkan
kuda putihmu kepadaku!" kata Tiauw Im pada keponakan muridnya itu. Ia
hendak pinjam kuda orang, untuk mengejar Thian Hoa.
Tan Hong sahuti paman guru itu
sambil tertawa.
"Djiesoepee, hari ini kau
sangat lelah, baiklah kau beristirahat" demikian keponakan murid ini.
"Sebentar aku datang menengok pula padamu!"
Dan ia lompat naik ke atas
kudanya, untuk terus kabur, guna menyusul In Loei.
Bukan kepalang mendongkolnya
paman guru ini, karena ia merasa tidak dihiraukan,saking penasaran, terpaksa ia
lari kepada kuda Thian Hoa, untuk dipakai mengejar.
Ketiga kuda itu jempolan,
bukan saja larinya sudah terlebih dahulu, juga larinya sangat pesat, maka itu,
meski kuda Thian Hoa bukan kuda jelek, kuda ini tidak sanggup menyusul ketiga
kuda itu. Inilah menyebabkan si pendeta mendongkol terus menerus.
Tjiauwya saytjoe ma adalah
yang paling kencang larinya, dalam sekejap saja Tan Hong sudah dapat menyandak
gurunya, habis itu ia disusul In Loei.
Kuda putih Thian Hoa ini
jempol, dia pun dapat mengendalikannya, tetapi kuda itu sendiri masih penasaran
rupanya, di sepanjang jalan masih membandel saja, demikian maka In Loei pun
dapat menyandaknya.
"Soehoe, ada apa?"
Tan Hong tanya gurunya itu.
"Pergilah kau terlebih
dahulu bersama Nona In" sahut sang guru. "Sekarang ini kau,jangan
terlalu banyak bertanya..."
Tan Hong menurut, ia tepuk
kudanya, untuk dilarikan, guna menyusul In Loei, siapa telah lari terus, hingga
pada saat itu, ia telah melewati jauh kedua guru dan murid itu.
Diudara masih terdengar suara
luar biasa tadi, satu panjang dan satu pendek,terdengarnya makin lama makin
nyata.
In Loei lari terus, didampingi
Tan Hong. Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas menyusul kuda merah si nona.
Suara aneh itu masih terdengar
baharu kemudian lenyap...
In Loei heran, mukanya pucat
pasi.
"Eh, toako, kenapa suara
itu lenyap?" ia tanya Tan Hong. Ia awasi pemuda itu, ia pasang kupingnya.
Tan Hong heran, tak dapat ia
berdiam lebih lama lagi.
"Adik kecil,"
tanyanya, "Urusan apakah ini sebenarnya? Kenapa kau nampaknya sangat
ketakutan?"
"Guruku menghadapi
malapetaka!..." sahut si nona akhirnya.
Tan Hong kaget sekali.
"Gurumu?" ia balik
menanya.
"Benar!" jawab In
Loei. "Itulah tanda bahaya dari guruku. Cuma aku dan samsoepee yang kenal
suara pertandaan itu!"
Tan Hong tetap heran.
"Gurumu sangat liehay, di
jaman ini, cuma beberapa orang saja yang sanggup
menempur dia maka heranlah
aku, kenapa dia dapat menghadapi bahaya?" berkata Tan Hong.
"Aku pun tidak mengerti,
tetapi itu benar tanda bahaya daripadanya!" In Loei menyahuti.
Di gunung Siauwhan San tumbuh
semacam pohon bambu, kalau batang bambu itu dibuatnya sebagai seruling, kalau
ditiup, suaranya nyaring dan tajam, suara itu dapat didengar sampai sepuluh lie
jauhnya. Hoeithian Lionglie liehay tenaga dalamnya, maka dengan meniup seruling
itu, dia dapat perdengarkan hingga dua kali lipat jauhnya, sampai kira-kira dua
puluh lie, sedang suara itu diperdengarkan di tanah pegunungan yang sunyi.
Tadinya, semasa ia belum
berlatih dengan duduk bercokol menghadapi tembok, untuk menjalankan hukuman
gurunya, Yap Eng Eng gunakan seruling itu sebagai alat tetabuhan biasa, sebagai
mainan saja. Waktu itu secara memain ia berkata pada Thian Hoa,umpama kata
dikemudian hari ia menemui sesuatu bencana, akan ia tiup serulingnya itu
sebagai tanda bahaya, untuk memohon bantuan.
Kemudian, ketika In Loei naik
ke gunung untuk menuntut pelajaran pada gurunya ini, selama sepuluh tahun,
antara mereka berdua, guru dan murid, tidak ada soal yang tidak dibicarakan,
maka itu, In Loei mengetahui hal seruling itu.
Itulah suara seruling yang In
Loei dan Tjia Thian Hoa dengar sebagai suara yang luar biasa, yang mengalun
jauh diudara, maka itu keduanya menjadi kaget, lantas mereka lari kabur
meninggalkan Tiauw I m Hweeshio.
Suara seruling itu berhenti
dengan tiba-tiba, itulah tanda bahwa Yap Eng Eng mungkin sudah menghadapi
bencana hebat atau jiwanya telah melayang, kalau tidak, mesti dia masih sanggup
meniupnya terus.
Tan Hong bercekat apabila ia
mendengar keterangan Nona In. Tiba-tiba ia ingat Siangkoan Thian Ya berada di
gunung di perbatasan antara Mongolia dan Thibet. Ia merasa pasti, kecuali
gurunya sendiri, Hian Kee dewi kz Itsoe, cuma Siangkoan Thian Ya seorang yang
sanggup lawan Hoeithian Lionglie. Mungkinkah Siangkoan Thian Ya berada di sini
dan dia menyusahkan Yap Eng Eng? Tapi dia berkedudukan di tingkat atas, sulit
untuk mempercayai kedatangannya dari tempat ribuan lie hanya untuk mengganggu
gurunya In Loei. Habis, kalau bukan dia, siapa lagi?
Apa yang ia pikirkan, Tan Hong
utarakan pada Nona In. In Loei pun sependapat dengannya. Keduanya menjadi
sangat bingung, apapula In Loei, yang menjadi berkuatir.
Dengan berhentinya suara
seruling, sukar untuk mereka mencari arah dari mana tadi suara seruling itu
datang.
"Toako, bagaimana
sekarang?" In Loei tanya. Yang sukar, suara tadi mengalun di udara, coba
datangnya dari bawah, tentu lebih mudah mencarinya.
Dalam keadaan bingung dan
berkuatir, tiba-tiba mereka lihat dua penunggang kuda di depan mereka. Mereka
kenali, kedua orang itu adalah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.
Kuda mereka lari sangat pesat,
dengan tidak disengaja, mereka telah dapat menyusul soeheng dan soemoay itu.
Ouw Bong Hoe berpaling, dia
tertawa.
"Eh, Thio Tan Hong,
apakah kamu menyusul kami untuk bertempur pula?" dia tanya.
Tan Hong tidak menjadi gusar.
"Tidak," ia menjawab
dengan tenang. "Aku hanya ingin bertanya apakah di wilayah ini berdiam
seorang berilmu..."
Masih orang she Ouw itu tertawa.
"Mana mungkin orang
berilmu dapat kau ketemukan?" katanya, mengejek.
"Aku tidak peduli dia
suka menemui aku atau tidak, aku hendak minta kau ajak aku pergi padanya, itu
juga kalau kau suka menjadi pengantar kami," kata Tan Hong.
"Kau sungguh seorang yang
kenal adat istiadat!" berkata Ouw Bong Hoe.
Ia kewalahan karena orang
tidak dapat dipancing kegusarannya. Ia lantas berpaling kepada Lim Sian In,
lalu berkata: "Sammoay, coba kau tolong menanyakannya."
Kimkauw Siantjoe tidak
menjawab soeheng itu, ia hanya perdengarkan suitan panjang,atas mana, tak lama
berselang, ia mendapat penyahutan yang bersamaan, hanya suara ini jauh lebih
nyaring dan berpengaruh, suatu tanda, bahwa orang yang mengeluarkan suara itu
sempurna tenaga dalamnya.
Mendengar jawaban itu, Lim
Sian In menggelengkan kepala.
"Hari ini orang berilmu
itu tidak sudi menemui siapa juga!" ia kata.
Tan Hong tidak bilang suatu
apa, akan tetapi ia telah mendengar nyata. Suara itu datangnya dari bukit yang
berdekatan.
"Terima kasih untuk
kebaikanmu!" katanya pada kedua orang itu sambil menunjukkan hormatnya.
Terus ia menoleh pada In Loei:
"Mari, soemay" ia mengajak.
Keduanya lantas meninggalkan
Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.
"Hai!" si Nona Lim
memanggil. "Kamu belum mendapat ijin, tetapi sudah lancang hendak mendaki
bukit, apakah kamu hendak cari mampus? Ingat, kamu masih berusia sangat muda,
sayang jikalau kamu sampai mati..."
Tan Hong dan In Loei tidak
pedulikan kata-kata orang itu, mereka larikan terus kuda mereka, hingga di lain
saat tibalah mereka di kaki bukit yang mereka tuju. Sekarang sesudah berjauhan
dengan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, mereka jalankan kuda mereka
perlahan-lahan, dan akhirnya mereka lompat turun dari kuda mereka, untuk
mendaki bukit dengan berlari-lari dan berlompatan, dengan menggunakan kepesatan
tubuh mereka.
Sebentar kemudian sampailah
mereka di tengah perjalanan memanjat, mereka merasakan siuran angin halus, yang
membawakan harum bunga segar, hingga hati mereka menjadi rawan.
"Inilah bau harum yang
biasa dipakai guruku," berkata In Loei, yang hatinya menjadi sedikit lega.
"Untuk mendapatkan harum wangi yang ia gemari, soehoe membuatnya sendiri
air wangi Pekhoa hiang."
Lega hati Tan Hong mendengar
keterangan In Loei ini. Teranglah Hoeithian Lionglie berada di gunung itu. Maka
tidak ayal lagi, terus lari naik.
In Loei lari mengikuti, sampai
mereka tiba di puncak gunung.
-ooo00dw00ooo
Di atas gunung itu ada sebuah
kelenteng, di samping kelenteng ada sekelompok hutan bambu, yang terkurung
dengan tembok merah. Bagus pohon-pohon bambu itu yang tingginya melewati
tembok. Suasana di situ sangat tenteram. Dan di situ, pemuda dan pemudi ini
dapat mencium harum tadi, semakin keras.
"Kenapa tidak terdengar
suara senjata beradu?" tanya Tan Hong. Ia seperti bicara seorang diri.
Nona In juga heran sekali, ia
menjadi curiga, maka ia lantas hunus pedangnya, setelah mana ia enjot tubuhnya
untuk meloncat naik.
"Di sini ada orang
berilmu yang tertua, jangan sembarangan..." Tan Hong nasehati.
Tapi sudah kasip. Ingin ia
menjambret si nona, tetapi tidak keburu. In Loei sudah sampai di atas tembok.
Berbareng dengan gerakan In
Loei terdengar tertawa dingin disusuli bentakan:
"Lepaskan pedangmu!"
Itulah bentakan yang suaranya
halus, seperti suara wanita.
In Loei terkejut, pedangnya seperti
tersampok, tubuhnya pun limbung, hampir ia rubuh terpeleset, syukur ia sudah
cukup terlatih, pedangnya tidak terlepas, tubuhnya tidak rubuh. Ketika ia
berpaling, ia lihat Tan Hong pun sudah lompat naik dan roman si anak mudapun
berubah seperti ia sendiri.
Juga pemuda itu mendengar
bentakan "Lepaskan pedangmu!" dan merasakan sampokan, akan tetapi ia
lebih liehay daripada In Loei, ia tidak sampai terhuyung. Hanya ia dibarengi
dengan serangan senjata rahasia, hingga ia mesti berkelit sambil menangkis.
Untuk herannya dan kagetnya,
ia dapatkan senjata rahasia itu adalah daun bambu, yang ujungnya lancip seperti
bekas diraut, dan karena serangan itu, tangan bajunya sampai berlobang!
Tan Hong kaget dan bergidik,
karena tentang senjata rahasia semacam itu, pernah ia mendengar dari gurunya.
Senjata rahasia daun bambu itu dibubuhi kata-kata "Memetik daun,
menerbangkan bunga, sekali melukai, mesti orang mati segera." Dan inilah
baharu pertama kali ia melihat senjata rahasia yang istimewa itu, yang membutuhkan
latihan tenaga dalam yang luhur sekali. Ketika Tan Hong lihat pedangnya In
Loei, kembali ia jadi heran. Bahagian yang tajam dari pedang si nona itu
seperti dilapok daun bambu. Itulah aneh, mengingat ketajaman pedang itu, yang
dapat dipakai memapas besi, tetapi daun saja tak dapat dipotong...
Kemudian terdengar dari dalam
pohon bambu helaan napas seperti yang mengagumi kepandaian pemuda dan pemudi
itu.
Tan Hong yang tahu diri sudah
lantas perdengarkan suaranya.
"Teetjoe adalah Thio Tan
Hong dan In Loei," demikian ia berkata. "Kebetulan saja kami lewat di
sini, tidak tahu kami bahwa ada tjianpwee, maka itu kami mohon maaf untuk
kelancangan kami..."
Menyahuti suara Tan Hong itu,
terdengar pertanyaan dan titah yang keluar dari suara yang membentak tadi:
"Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Baik, kamu boleh lompat
turun!"
"Maaf!" kata Tan
Hong meski ia belum melihat rupa orang, lalu bersama-sama In Loei ia lompat
turun ke sebelah dalam tembok.
Segera setelah tiba di dalam
kelompok pohon bambu itu, di mana ada lapangan terbuka, kedua orang ini
menyaksikan pemandangan yang mengherankan mereka. Mereka tampak dua orang
wanita sedang bertarung. Yang satu seorang wanita dari usia pertengahan yang
romannya cantik, yang lainnya satu nyonya tua yang rambutnya beruban!
Tapi In Loei menjadi sangat
girang. "Soehoe" dia berseru. "Apakah soehoe baik! Inilah
teetjoe."
Si nyonya usia pertengahan,
yang sedang bertempur hebat, cuma perdengarkan suara "Ai..." lalu ia
berkelahi, agaknya tidak berani ia mengganggu pemusatan pikirannya.
Dengan mendengar panggilan In
Loei, tahulah Tan Hong bahwa si nyonya usia pertengahan itu adalah Hoeithian
Lionglie Yap Eng Eng, guru kawannya itu. Sudah lama ia dengar namanya bibi guru
itu, yang ilmu pedangnya kesohor seperti ilmu pedang gurunya, baharu sekarang
ia lihat romannya, maka dengan sendirinya ia lantas menaruh perhatian.
Yap Eng Eng menggunakan pedang
Tjengkong kiam yang umum, cara bersilatnya sama seperti cara In Loei, dia cuma
menang gesit dan pesat, menang berlipat kali daripada muridnya itu. Pun aneh,
pedang dimainkan begitu sebat tetapi suara anginnya tidak terdengar, jadi
gerakan itu mirip dengan "hengin lioesoei" atau "mega melayang
air mengalir."
"Benar-benar hebat!"
Tan Hong memuji dengan kekaguman. "Sayang soehoe belum tiba, kalau tidak,
dengan siangkiam happek, mesti si nyonya tua dapat dipecundangkan..."
Memang, Yap Eng Eng sudah
liehay luar biasa, akan tetapi lawannya, tak perduli usianya telah lanjut,
masih menang di atas angin, sedang senjata nyonya tua itu pun adalah sebatang
bambu yang diraut mirip dengan pedang yang tajam. Kelihatannya si nyonya tua
didesak, dikurung sinar pedang, akan tetapi sebenarnya, dialah yang lebih
membahayakan lawannya!
Cara bagaimana Hoeithian
Lionglie bisa sampai di rimba bambu itu? Sebenarnya pikirannya sedang kusut.
Dia turun gunung atas ajakan Tiauw Im Hweeshio, adik seperguruannya. Dia
diminta Tiauw Im untuk mencari Tjia Thian Hoa, guna menegur soetee itu. Tiauw
Im memberi tahukan, apabila terbukti Tjia Thian Hoa telah berhianat,mendurhakai
gurunya dengan menakluk kepada musuh, dia mesti membantu soeheng itu mengepung
Thian Hoa, untuk disingkirkan dari dunia. Dengan Thian Hoa itu dia justeru
mempunyai perhubungan istimewa. Sudah dua belas tahun keduanya berpisah, masih
mereka memikirkan satu pada lain. Dia ketahui baik sifatnya Thian Hoa, seorang
halus budi pekertinya dan teliti, berpikir panjang, tidak seharusnya Thian Hoa
menakluk kepada musuh. Atau bila itu benar ia menghamba kepada Thio Tjong
Tjioe, itu mesti ada sebabnya. Tapi, sebelum dia peroleh kepastian, tidak dapat
dia menolak ajakan Tiauw Im si sembrono itu. Maka, tanpa membelai Thian Hoa
lagi, ia turut Tiauw Im turun gunung.
Setibanya Yap Eng Eng di kota
Ganboenkwan, pikirannya menjadi bertambah kusut.
Kesatu karena segera dia harus
bertemu dengan kekasihnya itu, dan kedua dia kuatirkan kesudahan nya apabila
Thian Hoa menjelaskan segala apa. Jikalau Tiauw Im turun tangan,apa dia mesti
turun tangan juga, atau berdiam saja? Inilah yang membikin dia sulit.
Akhirnya dapat juga dia
gunakan otaknya.
Dia lantas menggunakan akal.
Malam itu di rumah penginapan
dalam kota Ganboenkwan,Eng Eng beritahu Tiauw Im Bahwa dia kurang sehat pertama
disebabkan dia telah melakukan perjalanan jauh, kedua karena pertukaran hawa
udara, yang kurang tepat untuk dirinya. Maka malam itu dia hendak bersamedhi,
untuk memusatkan pikirannya, guna memulihkan kesehatannya itu.
Karenanya, dia kuatir dia
nanti tidak dapat bangun pagi-pagi. Maka andaikata dia kesiangan, dia minta
Tiauw Im suka berangkat terlebih dulu, nanti dia menyusul. Tapi sebenarnya,
malam itu belum jam empat, dia telah mendahului Tiauw Im meninggalkan rumah
penginapan. Dia ingin sampai lebih dahulu di tempat yang dijanjikan, supaya dia
dapat bertemu dengan Tjia Thian Hoa berdua saja, agar dia dapat ketika meminta
keterangan jelas dari Thian Hoa mengenai duduknya hal, supaya dia dapat
menimbang dan mengambil putusan. Dia percaya Thian Hoa tengah melakukan tugas
yang dirahasiakan, yang tak dapat diberitahukan kepada Tiauw Im. Dia percaya,
terhadap dirinya, Thian Hoa suka menuturkan segala apa. Tiauw Im toh seorang
yang sembrono, tidak seperti soemoay ini yang teliti. Tiauw Im turuti kehendak
soemoay itu, ketika besoknya ia berangkat, ia menyangka Yap Eng Eng masih tidur
di dalam kamarnya...
Dalam hal enteng tubuh, antara
saudara-saudara seperguruannya, Yap Eng Eng adalah yang paling liehay, maka
itu, waktu berangkat jam empat, setelah terang tanah dia sudah sampai di
Ganboenkwan. Dia berjalan terus, karena ingin segera bertemu dengan Thian Hoa.
Dia berangkat terlalu pagi, dia pun lari dengan cepat, ini dia ketahui, dari
itu dia tertawa sendirinya karena dia masih belum bertemu saudaranya meski dia
sudah maju terlebih jauh. Ketika dia perlahankan tindakannya, dia mulai
memasuki sebuah lembah,ialah lembah atau selat yang merupakan jalan penting
untuk wilayah Watzu memasuki daerah Ganboenkwan.
Bagus hawa udara di dalam
lembah itu, permai juga pemandangannya. Bunga-bunga bwee tengah mekar. Sambil
memandangi keindahan alamnya, di situ Yap Eng Eng diam menantikan Tjia Thian
Hoa. Dia menjadi lebih tertarik ketika hidungnya mencium bau harum yang terbawa
angin halus, yang membuat hatinya lega.
Eng Eng ingat harum bau itu
pernah memasuki kamar bersemedhi Hian Kee Itsoe,gurunya. Ketika itu, Eng Eng
merasa heran atas kesukaan gurunya itu. Guru itu sudah berusia tujuh puluh
tahun, mengapa dia masih gemar akan bau-bauan? Tentu saja,sebagai murid, tidak
berani ia minta keterangan dari gurunya itu.
Sekarang, di dalam lembah, Eng
Eng dapat mencium bau yang ia kenal baik itu. Ia menjadi heran sekali. Ia
dongak, akan melihat cuaca. Ia dapatkan waktu masih jauh untuk sampai kepada
tengah hari, maka ia lantas bertindak, akan mengikuti bau harum itu.
Setelah sampai di atas ia
tampak sebuah rumah berhala untuk niekouw, pendeta wanita,dan di samping rumah
suci itu ada hutan bambunya. Dari dalam hutan bambu itulah keluarnya bau harum
itu.
Dengan perlahan Yap Eng Eng
bertindak ke arah rimba. Tiba-tiba dia peroleh pengalaman seperti In Loei dan
Tan Hong. Dengan sekonyong-konyong orang membokong ia dengan senjata rahasia —
senjata rahasia daun bambu itu. Tentu sekali, ia tidak dapat dilukai. Karena
ini tahulah ia, di dalam rimba itu, mesti berdiam seorang berilmu, mungkin dia
sedang bertapa.
"Teetjoe adalah murid
Hian Kee Itsoe," ia lantas perkenalkan diri. Ia pun hentikan tindakannya.
"Teetjoe mohon bertanya she dan nama atau gelaran tjianpwee..."
Di luar dugaan Eng Eng, di
hadapannya segera muncul seorang wanita tua, romannya bengis, dia perdengarkan
tertawa dingin. Tentu saja ia menjadi heran, hingga melengak.
"Apakah kau murid Hian
Kee Itsoe?" tanya si uwak sambil tertawa dingin dan mengejek. "Hian
Kee Itsoe katanya liehay ilmu silatnya, di kolong langit ini dialah yang nomor
satu, sekarang kau berani datang kemari dengan membawa pedang, pasti kau juga
pandai ilmu pedang! Baik, ingin aku mencoba kamu! Daripada muridnya, ingin aku
mencoba gurunya, ingin aku ketahui, bagaimana istimewanya ilmu silat pedang
Hian Kee Itsoe itu!..."
Eng Eng heran. Ia juga tidak
berani turun tangan. Dari perkataan orang, rupanya orang tua ini sudah kenal
gurunya.
"Teetjoe tidak tahu
aturan tjianpwee di sini," katanya sambil memberi hormat, "teetjoe
tidak ketahui orang dilarang memasuki rimba dengan membawa pedang, harap
tjianpwee memberi maaf kepada teetjoe yang lancang ini."
CATATAN
halaman 449 — Puteri Ie Kiam, Ie Sin Tjoe kelak akan menjadi murid Thio
Tan Hong
dan In Loei, Ie Sin Tjoe adalah salah satu peran utama dalam
cerita-cerita berikutnya,
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (Sanhoa Lihiap) dan Kisah Pedang Bersatu
Padu
(Liankiam Hongin).
halaman 452 — Taman Koaywa Lim (Saycu Lim) ini kelak terpaksa dijual
Thio Tan Hong
(dalam cerita Liankiam Hongin), dan dalam cerita Pendekar Pemetik Harpa
(Khongling
Kiam), anak keturunan Kiutauw Saytjoe (Singa Kepala Sembilan) In Thian
Sek muncul lagi
dan menguasai kembali taman tsb. Karena dendam pada Thio Tan Hong,
keturunan
Kiutauw Saytjoe membalas dendam kepada keturunan/ murid dari Thio Tan
Hong dan In
Tiong.
-ooo00dwkz00ooo-
Topuhua tertawa.
"Suara berisik itu adalah
suaranya pahlawan-pahlawan yang sedang bekerja," ia bilang.
"Kau jangan takut."
Ia merabah jidat orang untuk rasai kepalanya si anak muda panas atau tidak.
Sekonyong-konyong Tan Hong
muntah, keluarlah barang makanan yang tadi ia dahar,muntah itu mengenai
pakaiannya si nona, justru pakaian baharu yang dia paling sayang.
Selagi muntah, tangannya
menarik, memegang baju, hingga baju itu menjadi robek! Karena itu, kotoran pun
mengenai dada yang putih halus dan montok dari si nona itu.
Walau bagaimana, nona ini
mengerutkan alisnya juga.
"Ah, mengapakah kau mabuk
hingga begini?" katanya. Tak dapat ia gusar, ia menjadi masgul. Ia pencet
hidung orang, ia mencekoki adukan air jinsom.
Tan Hong menolak dengan
mengibas-ngibaskan tangannya.
"Aku mabuk, ingin aku
tidur, pergilah kau!" ia berkata. "Oh, oh, kalau kau tidak hendak
pergi, mari, mari kita minum pula tiga cawan!..."
Air jinsom kena tersampok,
tumpah ke pakaiannya si nona, cangkirnya pun jatuh pecah. Karena tangannya kena
tersampok, Topuhua rasai tangannya itu sakit.
Tan Hong letakkan kepalanya di
atas bantal, ia tidur secara sembarangan, kedua tangannya rapa-repe ke tepi
pembaringan.
"Hebat mabuknya dia, obat
yang manjur pun masih tidak memberikan hasil..." berkata si nona di dalam
hatinya. Oleh karena pakaiannya pecah dan kotor, baunya pun keras sekali,
terpaksa akhirnya ia undurkan diri.
"Buka jendela!"
terdengar suaranya Tan Hong, bagaikan ngelindur. "Jangan padamkan api! Aku
takut kepada gelap petang, kau tahu?"
Topuhua menoleh, justru Tan
Hong muntah pula.
"Ah!..." mengeluh
nona ini, yang terus bertindak keluar. Tapi ia suruh pelayannya untuk bersihkan
kotoran bekas muntah itu...
Bukan main leganya hati Tan
Hong setelah ia dapat kenyataan ia sudah terlepas dari libatannya nona
puterinya perdana menteri Watzu itu, akan tetapi, begitu lekas ia ingat sepak
terjangnya Yasian, lenyap kegembiraannya itu. Ia berbalik mesti berpikir
keras.Sudah terang keras sekali minatnya Yasian untuk merampas negara. Itu pun
berarti ancaman bahaya juga bagi kerajaan Beng. Untuk sementara itu, tak dapat
ia memikir jalan guna menentangi tindakannya perdana menteri ini. Ia jadi
berduka.
Ia pikir, mungkin tak sukar
untuk ia bunuh Yasian, tetapi kesudahannya pasti itu tidak akan membawa banyak
perubahan, dan di antara kedua negeri, peperangan tidak akan dapat dihindarkan.
Lagipun dengan begitu, kaisar Beng yang tertawan musuh, mungkin akan terlebih
sukar untuk dimerdekakan. Tan Hong sendiri, begitu juga Ie Kiam, bercitacita
supaya kedua negara hidup akur dan rukun. Karena ini, tak sudi Tan Hong ambil
peranan sebagai satu pembunuh terhadap Yasian itu.
Terus Tan Hong rebahkan
dirinya sambil terus berpikir. Sama sekali tak dapat ia tidur.
Begitulah ketika kentongan
berbunyi tiga kali, ia dengar pertanda waktu itu. Ia memandang ke arah jendela,
ia tampak si Puteri Malam yang baharu muncul. Pada pepohonan ada gerakan dari
angin halus. Masih ia tidak peroleh daya.
Tiba-tiba terlihat cabang
pohon di muka jendela bergoyang, lalu satu bayangan orang berkelebat, belum
sempat si anak muda membuka mulutnya, untuk menegur, bayangan itu sudah berdiri
di depannya. Luar biasa sehatnya bayangan itu.
Akan tetapi ketika Tan Hong
telah melihat roman orang, ia girang tak kepalang. Bayangan itu adalah gurunya
sendiri.
"Aku lihat tanda-tanda
kau di dalam kota," berkata Tjia Thian Hoa dengan perlahan,mendahului
muridnya itu kepada siapa ia menggoyangkan tangan, "menuruti tanda-tanda
itu, aku dapat ketemui In Loei, dari dia tahulah aku ke mana kau telah pergi,
hingga aku ketahui juga kau sedang tertahan di sini. Sekarang tidak dapat kita
berayal pula, mari lekas kau turut aku!"
"Sebenarnya, asal aku
menghendaki, sejak tadi sudah dapat aku berlalu dari sini," Tan Hong
bilang, agaknya ia ragu-ragu.
"Habis, apakah yang kau
pikir?" gurunya tanya.
"Apakah soesoesiok sudah
datang?" murid itu balik menanya. Dengan "soesoesiok," paman
guru yang ke empat, ia maksudkan Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng.
"Dia sudah datang,
sekarang dia ada di rumah penginapan tengah menemani In Loei," Thian Hoa
jawab.
"Dan djiesoepee?"
Tan Hong tanya pula. Thian Hoa menghela napas.
"Aku tak dapat bertemu
dengannya," ia beri-tahu. Agaknya ia hendak bicara banyak akan tetapi tak
dapat ia mengutarakannya itu.
"Sekarang telah aku
dapatkan akal untuk meloloskan diri," berkata Tan Hong kemudian,
"besok pasti aku akan keluar dari sini. Maka besok saja kita bicara
pula.Sekarang ini harap soehoe tidak berlambat lagi, akan bersama Yap Soesiok
segera berangkat ke istana raja!"
Tiba-tiba saja nampaknya
pemuda ini menjadi gelisah.
Thian Hoa tidak mengerti.
"Untuk apakah?" dia tanya.
Tan Hong segera berbisik di
kupingnya guru itu, setelah mana, dengan cepat Thian Hoa angkat kaki.
Seberlalunya guru itu, baharu
Tan Hong merasa hatinya lega, demikianlah ketika ia rebahkan diri, dapat ia
tidur nyenyak. Ia tidak tahu berapa lama ia sudah tidur, hanya tahu-tahu ia
terbangun dengan terkejut disebabkan satu suara nyaring. Ketika ia buka
matanya, ia tampak Yasian telah berada di dalam kamarnya itu. Maka lekas-lekas
ia berbangkit, untuk berduduk. Ia lihat sinar matahari, yang molos di jendela,
maka tahulah ia, itulah di pagi keesokannya...
"Thaysoe bangun pagi-pagi
sekali!" ia bilang.
"Ya, selamat pagi!"
sahut perdana menteri itu. "Apakah telah lenyap mabukmu?"
"Tadi malam aku berlaku
kurang hormat, harap Thaysoe memaafkannya," Tan Hong minta. Dengan itu ia
telah berikan jawabannya.
Perdana menteri itu
perdengarkan suara di hidung.
"Apakah kau telah dapat
memikir?" ia bertanya. "Apakah kamu, ayah dan anak, sudah bersedia
untuk bekerja sama dengan aku menyingkirkan Atzu, untuk sama-sama kita hidup
bahagia?"
"Aku telah dapat
memikir," sahut Tan Hong. "Aku justeru hendak bicara kepada
Thaysoe."
Tan Hong lihat wajahnya
perdana menteri itu, yang sepasang alisnya dikerutkan, romannya tawar bagaikan
membeku. Diam-diam ia tertawa di dalam hatinya, karena ia bisa duga apa yang
tengah dipikirkan perdana menteri ini.
Tadi malam Tjeng Kok Hoatsoe
dan Ma I Tjan, seperti biasanya, seperti ditugaskan Yasian, sudah pergi
melakukan pengawasan di istana. Kira jam tiga, tengah mereka berjaga-jaga,
mereka lihat berkelebatnya dua bayangan orang, yang mencelat keluar dari dalam
istana. Dengan lantas mereka keluar dari tempat sembunyinya akan mencegat dan
merintangi dua bayangan itu, guna ketahui siapa adanya kedua bayangan itu.
Kesudahannya adalah di luar
dugaan mereka.
Dua bayangan itu sebat sekali,
sebat kaki tangannya, kalau tadi mereka bisa berlari dan berlompat dengan
pesat, kali ini, gerakan tangan mereka bagaikan kilat menyambar.
Sebelum Ma I Tjan tahu
apa-apa, kepalanya telah kena ditabas kutung! Tjeng Kok Hoatsoe ada terlebih
liehay daripada kawannya ini, akan tetap baharu dia bertempur dua jurus,
kupingnya telah kena dipapas kutung! .
Bayangan itu, atau lebih benar
lawannya, sambil tertawa terus berkata padanya: "Suka aku memberi ampun
kepada jiwamu! Sekarang pergilah kau melaporkan kepada Yasian! Katakan padanya,
jikalau dia hendak menjadi raja Watzu, kami tidak menghiraukannya,tetapi
jikalau setelah berhasil merampas tahta dia hendak menyerang Tionggoan, maka
tak dapat kami beri ampun kepadanya!" .
Dari perkataannya bayangan
itu, terang sudah bahwa mereka adalah orang-orang Han.
Sehabis berkata begitu,
keduanya segera menghilang. Ketika Yasian telah diberitahukan kejadian itu, ia
kaget dan gusar sekali, di akhirnya, ia jadi sangat masgul. Bagaimana ia tidak
menjadi kaget karena ia tahu liehaynya Tjeng Kok Hoatsoe, seorang Ihama dari
Agama Merah yang kenamaan? Bagaimana ia tidak jadi kaget akan dengar
kebinasaannya Ma I Tjan, sebab pahlawan ini tak kurang liehaynya, cuma berada
di bawahan Ngochito? .
Kalau kedua pahlawan itu bisa
secara demikian gampang dirubuhkan musuh, yang tidak dikenal, umpama musuh itu
datang satroni ia di sianghoe, siapa sanggup rintangi mereka itu? Dengan
perbuatannya itu, terang sudah mereka itu secara diam-diam tengah melindungi
raja Watzu. Karena ini, ia jadi berduka. Kelihatan nyata, untuk ia mewujudkan
niatnya merampas kerajaan, ia pasti akan menghadapi kesulitan. Tentu saja ia
jadi mendongkol, ia jadi gusar.
Tan Hong awasi perdana menteri
itu, ia tertawa.
"Thaysoe," katanya,
"kau adalah seorang peperangan yang berpengalaman, kau seharusnya mengarti
baik ilmu perang..."
"Habis kenapa?"
tanya Yasian heran.
"Sebab ilmu perang ada
membilang," sahut Tan Hong: "Bersiap terlalu banyak, menjadi terbagi,
tenaga kurang, mestinya kalah. Yang paling dipantang ialah berperang berbareng
di beberapa garis perang. Lihat saja di jaman peperangan Tjoen Tjioe di
Tionggoan dahulu hari, sesuatu jago, sesuatu negeri, semua memperebuti negara
kawan, untuk bersekutu, semua memikir mendapatkan kawan berbareng mengurangi
musuh. Inilah sarinya ilmu perang itu."
"Mustahil aku tidak
mengerti tentang itu?" berkata Yasian, yang tidak mau kalah. "Itu
juga sebabnya kenapa aku memikir untuk bergandengan tangan denganmu. Aku
pikir,paling dulu harus aku persatukan Watzu, setelah itu baharu kita bicara
pula."
Tan Hong tertawa.
"Tetapi Thaysoe harus
mengerti, tenaganya aku ayah dan anak ada sangat berbatas, sebaliknya
kekuatannya Tionggoan tiada batas habisnya!" ia kata.
Yasian bungkam.
"Aku telah menyusup masuk
ke Tionggoan, di sana aku telah melihat tegas," berkata pula Tan Hong,
melanjutkan. "Melihat Tionggoan, aku jadi sangat tertarik hatiku.
Tionggoan itu luas sangat
tanah daerahnya, banyak sekali rakyatnya. Maka jikalau Tionggoan itu dapat
digunai dengan tepat, jangankan baharu satu, walaupun sepuluh negara Watzu
sekalipun tidak nanti mampu menggoncangkan dia!"
Yasian awasi anak muda itu.
"Apakah kau bicara untuk Tionggoan?" dia tanya. Kembali Tan Hong
tertawa.
"Apakah Thaysoe masih
belum ketahui tentang diriku?" ia balik tanya. "Bagaimana aku dapat
bicara untuk Tionggoan? Jikalau aku sebagai wakilnya Tionggoan, jikalau aku
hendak bicara untuk Tionggoan, pasti aku akan bicara juga untuk Watzu, tentu
akulah yang terlebih dahulu membuka pembicaraan dengan Thaysoe1."
Agaknya Perdana Menteri itu
kena terdesak.
"Baiklah," katanya
kemudian. "Kau bicaralah!"
"Sekarang ini Ie Kiam
memegang kekuasaan di Tionggoan, dia telah atur kuat angkatan perangnya,"
berkata Tan Hong. "Pertama kali Thaysoe menyerbu ke Tionggoan, Thaysoe
masih dapat menyerang sampai di Pakkhia,akan tetapi kalau satu kali lagi
Thaysoe menyerbu pula, mungkin untuk dapat sampai ditapal batas sajapun sukar.
Itu masih belum semua. Umpama Tionggoan mendapat tahu Thaysoe berniat merampas
tahta kerajaan, untuk menjadi jago, ada kemungkinan dia nanti majukan
tenteranya ke Utara, untuk berserikat dengan Pangeran Atzu, untuk samasama menumpas
pemberontakan di Watzu. Kalau itu sampai terjadi, Thaysoe hendak berbuat
apakah?".
Hatinya Yasian bercekat.
Apabila Tan Hong bicara begini pada setengah tahun yang sudah lewat, pasti dia
akan mentertawainya tak hentinya. Itu waktu Yasian beranggapan dapat ia
memastikan sembarang waktu untuk menakluki Tionggoan, ia sangat tidak memandang
mata terhadap angkatan perang Kerajaan Beng. Adalah sesudah berperang di
Pakkhia, baharu ia insyaf bahwa Tionggoan tak gampang untuk ditelannya. Dan
paling belakang ini, sesudah perlawanannya Ie Kiam yang dapat mengatur
tenteranya, yang juga mengandalkan peta bumi dari Pheng Hoosiang, setelah
beberapa kali bertempur, ia kena dipukul mundur, hingga ia mundur pulang ke
dalam negerinya, baharu ia terkejut.
Sekarang ia insyaf, memang
benar tentera Tionggoan dapat berbalik mempengaruhi padanya. Dan sekarang
mendengar perkataannya Tan Hong itu, pada wajahnya ia tidak menunjukkan
perubahan, seperti juga ia tidak mempedulikannya, namun di hati ia kaget dan
jeri.
Tan Hong biarkan orang
berdiam, ia melanjutkan: "Setelah aku masuk dalam ke Tionggoan, dapat aku
menyaksikan semangat rakyat yang terbangun, hingga mereka tak lagi dapat
dipandang enteng. Raja mereka itu telah tertawan di Touwbokpo, kejadian itu
membuatnya mereka, yang di atas dan di bawah, merasa bahwa itulah suatu hinaan
besar, yang membuatnya mereka merasa sangat malu. Aku kuatir, Thaysoe, belum
lagi kau sempat memimpin angkatan perang untuk berangkat ke Selatan, mereka
sendiri akan mendahului maju ke Utara, guna menuntut balas. Memang benar
Thaysoe ada punya angkatan perang yang tangguh tetapi aku sangsikan kau akan
sanggup menangkis serbuan tentera Tionggoan itu, karena selain penyerbuan dari
luar itu, di dalampun ada perlawanan dari Pangeran Atzu..."
Dua kali Yasian batuk-batuk,
kali ini wajahnya berubah sedikit. Tapi, masih ia mencoba akan besarkan kepala.
"Aku masih punyakan
tentera sepuluh laksa jiwa dan ribuan panglima perang!" demikian katanya.
"Umpama benar Tionggoan dan Atzu menyerang berbareng dari luar dan dalam,
akibatnya paling sedikitnya batu kemala dan batu koral akan musnah bersama!
Satu laki-laki, jikalau dia tidak dapat menjadi satu jago, jikalau dia
terbinasa,sedikitnya dia mesti terbinasa sebagai setan jagoan! Maka itu, ada
apa yang harus dibuat takut?".
Tan Hong tertawa gelak-gelak.
"Jikalau belum lagi orang
keluar perang, lalu dia terbinasa tidak keruan, apa jadinya?" ia tanya.
"Bahwa orang berhasil dan menjadi raja, orang gagal dan menjadi
berandal,itulah sudah umum. Mengenai kau, Thaysoe, kau anggap dirimu sebagai
satu enghiong,tetapi orang lain, belum tentu dia mau mengakuinya kau sebagai
Tjo Beng Tek..."
Yasian kena terdesak.
"Apakah benar kerajaan
Beng ada demikian membenci aku hingga dia akan mengirim algojonya untuk
membunuh aku?" dia tanya.
"Menurut apa yang aku
ketahui, pemerintah Beng memang benar ada kirim utusannya yang berupa
kiamkek," sahut Tan Hong, "hanya halnya kiamkek itu bisa atau tidak
membunuh kau, itulah bergantung daripada tindak tandukmu sendiri, Thaysoe..."
"Kiamkek" adalah
jago yang bersenjatakan pedang.
Yasian lantas ingat kejadian
tadi malam, tanpa merasa, bulu romanya pada bangun berdiri. Tetapi ia masih
tidak sudi tunjuk kelemahannya, ia paksakan diri untuk tertawa wajar.
"Pemerintah Beng ada
punya kiamkek yang liehay, apakah kau sangka aku tidak punya orang kosen yang
sanggup membunuh ular naga dan menakluki harimau?" begitu katanya.
Kembali Tan Hong tertawa
bergelak-gelak.
"Orang kosenmu itu,
Thaysoe, adalah bangsa gentong arak dan kantong nasi!" ia bilang dengan
berani. "Aku kuatir, jikalau dia berhadapan dengan orang gagah
sejati,dalam satu jurus saja, dia akan dibikin terbang batok kepalanya!".
Yasian berjingkrak saking
kagetnya.
"Eh! Apakah kau ketahui
kejadian semalam?" tanyanya kaget.
"Kejadian apakah
itu?" tanya Tan Hong, tenang. "Aku cuma bicara saja. Apakah
benarbenar pahlawan Thaysoe telah orang binasakan dalam satu jurus saja?"
Yasian masih ingat kejadian
semalam itu, ia bergidik sendirinya.
"Tadi malam dia mabuk
arak dan rebah bagaikan mayat, tidak pernah dia keluar dari kamarnya ini, tidak
setindakpun jua," ia berpikir, "mungkin benar dia cuma bicara
saja...Tetapi, apa yang dia katakan itu benar adanya..."
"Pahlawan yang mana itu
yang telah kena dibinasakan?" Tan Hong tanya sambil tertawa.
"Ah tidak..." kata
perdana menteri itu, separuh menghibur dirinya. "Tadi malam ada datang
orang jahat, tapi dia telah dapat diusir pergi. Dipihak kita cuma satu dua
orang terluka..."
Tan Hong tertawa pula.
"Itulah untung kamu yang
bagus!" katanya pula. Ia tertawa sebab apa yang tadi malam terjadi di
sianghoe, gedung perdana menteri, adalah menurut rencananya. Kebinasaannya Ma I
Tjan dan hilangnya kuping Tjeng Kok Hoatsoe adalah perbuatannya Tjia Thian Hoa
berdua Yap Eng Eng.
Di mulutnya, Yasian bicara makin
lama makin keras, tanda bahwa ia bernyali besar,akan tetapi, di dalam hatinya
ia justeru makin jeri.
"Thaysoe, rencanamu
sekarang ini bukannya suatu rencana yang baik," kata Tan Hong kemudian.
Dengan berani anak muda ini berikan pengutaraannya itu.
"Apakah kau mempunyai
daya yang bagus?" perdana menteri itu tanya.
Tan Hong hendak buka mulutnya
tatkala ia dengar suara berisik di luar gedung.
Yasian, dengan alis
dikerutkan, perdengarkan suaranya, memanggil orang masuk. "Ada kejadian
apakah?" ia tanya. "Ada beberapa pengemis mencoba memaksa masuk ke
dalam gedung untuk meminta amal," sahut pengawal yang masuk atas
panggilannya majikan itu."Mereka itu sangat menjemukan!"
Kembali Yasian kerutkan
alisnya.
"Mereka toh boleh
diberikan saja sedikit uang atau diusir," katanya, "perlu apa sampai
mesti menerbitkan keributan?" Dan ia kibaskan tangannya, akan beri tanda
supaya hambanya itu undurkan diri.
Tan Hong segera ingat sesuatu,
ia lantas saja berpikir.
"Thio Sieheng, kau ada
punya daya apa yang baik?" Yasian mengulangi pertanyaannya selagi anak
muda itu berdiam.
Tan Hong bersenyum, ia bawa
sikap dengan tenang sekali.
"Thaysoe," katanya,
"jikalau Thaysoe hendak mengamankan pihak dalam maka sudah selayaknya
terlebih dahulu Thaysoe membuat perdamaian dengan pihak luar.
Secara demikian baharulah
Thaysoe akan terluput dari gencetan pihak luar dan dalam.
Tionggoan luas tanah daerahnya
dan subur hasil buminya, jikalau Watzu tidak terlebih dahulu serbu dia, tak
mungkin dia akan datang menyerang kemari. Maka itu, menurut pendapatku, baiklah
Thaysoe antar rajanya pulang ke negerinya, lalu Thaysoe membuat perjanjian
persahabatan dengannya. Inilah daya yang paling utama."
Yasian bungkam, ia berpikir.
Tan Hong mengawasi, ia tertawa
pula.
"Ketika baharu ini Thaysoe
tawan raja Beng itu di Touwbokpo," katanya, "tak lain tak bukan,
Thaysoe hanya ingin bikin raja itu menjadi orang tawanan, supaya dia bisa
dijadikan perkakas untuk menuruti kehendak Thaysoe, supaya cita-cita Thaysoe
dapat terwujud. Demikian Thaysoe telah gunai segala macam tipu daya. Tetapi
sekarang adalah lain. Ie Kiam sudah angkat raja yang baru, dengan begitu tidak
ada gunanya lagi akan menahan terlebih lama kepada raja tawanan itu, malah
sebaliknya, itu justeru meninggalkan bencana di belakang hari bagi kedudukan
Thaysoe..."
Yasian pikir kata-katanya
pemuda ini benar.
"Telah beratus kali aku
bertempur dengan pemerintah Beng, pertempuran besar dan kecil, selamanya aku
lebih banyak menang, sedikit kalahnya," berkata dia. "Mungkinkah aku
mengantarkan kaisar Beng itu ke negerinya sambil aku harus memohon perdamaian
dari Ie Kiam?"
Lagi-lagi Tan Hong tertawa.
Perkataannya perdana menteri itu berarti dia telah menyetujuinya perdamaian,
tapi untuk muka terangnya, dia masih membawa lagak.
"Jikalau kedua negara
membuat perdamaian, keduanya harus berhubungan sebagai saudara di antara
saudara," ia kata, "karena itu, ada apakah yang harus dibuat malu?
Jikalau Thaysoe tidak hendak memulai mengusulkan perdamaian itu, baiklah
Thaysoe minta supaya Tionggoan yang terlebih dahulu mengirimkan utusannya
datang kemari untuk membicarakan urusan itu. Ini toh boleh, bukan?"
Yasian menatap orang sambil
biji matanya berputar.
"Sebenarnya siapa kau
ini?" dia bertanya. "Kenapa kau agaknya berani mewakilkan Ie Kiam
merundingkan soal perdamaian ini?"
Tan Hong balik mengawasi, ia
tertawa.
"Biarlah aku omong terus
terang saja," ia menyahut. "Sebenarnya, sebelum aku pulang ke Watzu
ini, lebih dahulu aku telah bertemu Ie Kiam. Apa yang aku katakan barusan
adalah karena aku percaya aku tidak bakal bertentangan dengan pendapat Ie Kiam
itu."
Yasian jatuhkan diri di kursi,
ia nampaknya sangat lesu. Sekian lama ia berdiam saja.Baharu kemudian ia angkat
kepalanya, akan menatap si anak muda.
"Apakah benar kau telah
lupa akan sakit hatimu yang turun temurun itu dan sekarang hendak jual tenagamu
terhadap keluarga Tjoe kaisar dari ahala Beng itu?" dia tegaskan.
Untuk kesekian lamanya, Tan
Hong tertawa. Ia tertawa besar.
"Aku tidak jual tenagaku
kepada siapa juga!" ia jawab, nyaring. "Aku hanya bekerja untuk
Tionggoan dan Watzu! Ingin aku tanya Thaysoe, umpama kata perdamaian dapat
dicapai, apakah itu bukan berarti keselamatannya kedua negara?"
Kembali Yasian bungkam. Ia
mesti berpikir keras.
"Seandainya perdamaian
telah dapat diwujudkan, kelak kau akan berdiam di mana?" ia tanya
kemudian. Rupanya perdana menteri ini memikir jauh dan ingin ia peroleh
kepastian.
"Aku adalah orang Han,
sudah tentu aku pulang ke Tionggoan," sahut Tan Hong dengan terus terang.
"Bukankah itu berarti kau
hendak menjadi satruku?" Yasian menegaskan pula.
"Jikalau Thaysoe tidak
pimpin angkatan perangmu menyerbu Tionggoan, tak mungkin aku akan menjadi
satrumu!" jawab si anak muda.
"Bagaimana dengan
ayahmu?" masih perdana menteri itu tanya.
"Pasti aku akan bujuk
ayah untuk pulang ke negerinya, untuk lewatkan hari-hari selanjutnya,"
sahut pula si anak muda.
"Apakah kamu ayah dan
anak tidak kuatir nanti dibunuh kaisar Beng?"
Tan Hong tertawa.
"Jikalau itu sampai
terjadi, ikhlas hatiku!" ia jawab. "Tentang itu tidak usahlah Thaysoe
memusingkan kepala!"
Yasian jalan mundar-mandir, ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berpikir terlebih keras pula. Ia merasa
bahwa benarlah apa yang dikatakan Tan Hong itu. Memang, jikalau ia hendak
kangkangi Watzu untuk dipersatukan, tidak selayaknya ia memusuhi Tionggoan.
"Thio Tjong Tjioe ayah
dan anak ini pintar dan gagah," ia berpikir terlebih jauh.Sekarang ia
ingat Tjong Tjioe dan anaknya ini. Jikalau mereka tinggal di Watzu, percuma
saja, mereka tak dapat aku gunai tenaganya untukku, bahkan sebaliknya, mereka
bisa menjadi penambah tenaga bagi pihak musuh. Oleh karena itu, lebih baik aku
biarkan mereka pulang ke negerinya, supaya di sana mereka hidup tenang dan
senang. Di kemudian hari, apabila aku berhasil mempersatukan betul-betul negara
Watzu ini serta sudah mempunyai angkatan perang yang kuat serta rangsum cukup,
perjanjian
persahabatan itu boleh aku
langgar sembarang waktu, itu waktu aku ada merdeka untuk menyerbu pula
Tionggoan. Sampai itu waktu, perlu apa aku jeri lagi Thio Tan Hong menjadi
musuhku? Hanya bagaimana dengan jodohnya anakku?"
Tan Hong lihat orang terus
berpikir, ia memotong.
"Satu laki-laki harus
dapat dengan sepatah katanya mengambil keputusan, karena itu masih ada apa lagi
yang Thaysoe ragu-ragukan?" ia mendesak.
Kedua matanya Yasian menjadi
bersinar, rupanya ia telah dapat mengambil keputusan.
"Baik, akan aku turut
perkataanmu!" katanya, nyaring. "Aku Yasian, aku bukannya orang yang
dapat diperhina sembarang orang! Kalau pemerintah Beng kirim orangnya untuk
membokong mati kepadaku, akan aku segera kerahkan seluruh kekuatanku, akan aku
titahkan angkatan perangku meluruk ke Selatan, supaya, tak peduli kemala atau
batu biasa, biar semuanya musnah bersama!"
Tan Hong bersenyum. Tahulah
ia, Yasian tetap kuatirkan keselamatan dirinya.
"Orang Tionggoan paling
hargakan kehormatannya," dia berkata, "maka kalau Thaysoe hendak
berdamai dan bersahabat dengan sesungguh hati, tak mungkin Tionggoan akan kirim
orangnya untuk membunuh Thaysoe1."
"Baiklah," kata
Yasian akhirnya. "Dengan ini kita mengambil ketetapan. Akan aku tunggu
tibanya utusan dari kerajaan Beng, itu waktu aku nanti membuat perjanjian
perdamaian. Sekarang, coba bentangkan padaku, daya apa kau punya untuk menindas
Pangeran Atzu?"
"Kami ayah dan anak sudah
berketetapan untuk pulang ke negeri kami," jawab Tan Hong, "oleh
karena itu, mengenai urusan di dalam negeri Watzu, kami tidak hendak campur
tangan pula."
"Baik!" Yasian
mengatakan pula. "Asal kamu pernahkan diri di luar kami, aku juga tidak
hendak mengganggu pula pada kamu. Sekarang pergilah kau pulang, boleh kau
anjurkan ayahmu untuk besok menghadap di istana, untuk dia sendiri yang majukan
permohonannya meletakkan jabatan."
Tan Hong girang sekali. Sekian
lama ia memutar otak, baharu sekarang ia berhasil "menundukkan"
perdana menteri itu. Karena itu, ia berlaku hormat, ia undurkan diri sebagai
seorang yang usianya terlebih muda. Ia baharu melangkah di pintu tempo ia ingat
suatu apa, ia lantas merandek.
"Apakah kau masih hendak
mohon sesuatu?" tanya Yasian, yang lihat sikap orang itu.
"Apakah itu?"
"Jikalau Thaysoe sudi
memperkenankannya, aku ingin sekali ini saja menemui raja Beng," ia jawab.
Yasian berpikir sebelum ia berikan ijinnya.
"Baik," demikian
sahutnya. "Kau boleh sekalian bicara kepadanya, untuk beritahu sikapmu,
supaya ia mengetahui maksud baik dari aku."
Perdana menteri ini sudah
lantas panggil dua pahlawannya kelas satu, ia hendak titahkan mereka antarkan
anak muda ini, akan tetapi mendadak ia ubah pikirannya itu.
"Lebih baik kita pergi
bersama!" ia bilang.
Kedua pahlawan itu heran atas
sikapnya perdana menteri ini tetapi mereka tidak berani bilang suatu apa. Tan
Hong sendiri tak berkeberatan akan pergi bersama.
Kaisar Beng yang menjadi
tawanan Yasian itu, yaitu Kaisar Eng Tjong yang bernama Kie Tin, telah ditahan
di dalam sebuah pagoda batu di dalam gedung perdana menteri, pagoda mana
diperuntukkan memuja Sang Buddha. Tangga dari pagoda itu terdiri dari tiga
undak, setiap undak terjaga oleh pahlawannya perdana menteri. Bahwa tempat
tahanan itu ada sangat dirahasiakan, sekalipun raja Watzu sendiri tak
mengetahuinya.
Tiga bulan sudah sejak Kie Tin
dikurung di dalam pagoda, dapat dibayangkan penderitaannya itu. Ia adalah satu
junjungan dari satu negara besar tetapi sekarang ia kehilangan kemerdekaannya,
ia hidup terkurung dan di bawah pengawasan keras. Hari itu, kaisar ini tengah
berduka sekali. Ia dengar menderunya hebat angin Utara, ia lihat burung-burung
belibis dari Utara terbang ke Selatan, sambil terbang mereka itu perdengarkan
suaranya yang mengharukan hati, maka itu, ia pun bersedih sendirinya. Memandang
dirinya sendiri, sakit hatinya Kie Tin, bajunya telah robek, sedang hawa
udara di Utara itu dingin
sekali. Ia kedinginan akan tetapi Yasian tidak berikan ia baju baharu untuk
salin. Maka ingatlah ia akan jaman jayanya, di dalam keraton ia ada punya enam
selir, hidupnya sangat mewah.
Selagi kaisar ini menungkuli
diri, tiba-tiba ia dengar pintu dibuka, lantas ia lihat Yasian bertindak masuk
bersama Thio Tan Hong, keduanya jalan berendeng. Ia menjadi sangat terperanjat.
"Kenalkah kau pada dia
ini?" Yasian lantas menanya sambil menunjuk Tan Hong.
Kaisar Beng ini tidak tahu
maksud kedatangan Tan Hong, ia ragu-ragu, iapun belum hilang kagetnya, maka
itu, ketika ia menyahut, suaranya tidak tegas.
Yasian mengawasi sambil
tertawa.
"Dia ini adalah musuhmu,
dia juga tuan penolongmu!" berkata perdana menteri ini.
"Tahukah kau?"
Tidak tunggu sampai kaisar
menjawab, Tan Hong kata pada perdana menteri itu:
"Aku mohon Thaysoe
ijinkan aku bicara berduaan dengannya, sebentar saja."
"Baik, bicaralah,"
sahut Yasian. "Kamu orang-orang Tionghoa, apa yang kamu lakukan,tak dapat
aku menerkanya. Kamu berdua keluarga telah perebutkan dunia tetapi sekarang
kamu berdua hendak pasang omong!..."
Lantas perdana menteri ini
undurkan diri pergi keluar, buat bicara dengan pahlawanpahlawannya.
Kie Tin dibiarkan di dalam
kamarnya itu bersama si anak muda she Thio itu.
Tidak tenang hatinya kaisar
Beng itu berada berdua Tan Hong. Ia telah saksikan bagaimana dengan sinar mata
yang tajam, anak muda itu pandang ia pulang pergi. Ia ditatap. Kemudian dengan
tiba-tiba saja, Tan Hong tertawa.
"Kau biasa menjadi
kaisar, kau belum pernah merasakan kegetiran hidupnya seorang rakyat
jelata!" kata Tan Hong kemudian. "Maka itu, baiklah yang kau satu
kali merasakannya!"
Mendengar itu, raja ini
menjadi gusar.
"Jadinya dahulu hari itu
kau berpura-pura saja berbaik hati!" dia menegur. "Aku memang tahu,
permusuhan di antara rakyat jelata mudah dibereskan tetapi pertentangan di
antara raja sukar didamaikan! Karena kau adalah orang kepercayaannya Yasian,
tidak lain, aku cuma mau minta supaya aku diberikan mayat lengkap dan utuh!
Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah lekas! Kau harus insyaf, raja tak dapat
diperhina!"
Tan Hong mengawasi dengan air mukanya
tertawa bukan tertawa, ia tidak gubris permintaan itu.
"Kau telah menderita
begini rupa, maka di belakang hari, sebagai raja, layak kau ketahui
keharusanmu!" ia kata pula. "Kalau nanti kau kembali ke istanamu,
jangan sekali kau lupakan kesengsaraanmu hari ini!"
Kie Tin melengak.
"Apa kau bilang?" ia
tanya. Mendadak saja ia lompat mencelat.
"Paling lama tak beberapa
bulan lagi, kau akan dapat pulang ke negerimu!" kata Tan Hong, tawar.
Kie Tin seperti juga tidak
mempercayai kupingnya sendiri.
"Apa kau bilang?" ia
tegaskan. "Adakah itu benar? Apakah Yasian sendiri yang mengatakannya itu
padamu? Benarkah dia hendak membiarkan aku pulang ke negeriku,untuk aku naik
pula atas tahtaku? Ha! Naik pula di atas tahta!..."
"Bukannya Yasian yang
menginginkan kau kembali ke negerimu," Tan Hong terangkan,tetap dengan
sikapnya yang tawar. "Adalah Kokloo Ie Kiam yang akan sambut kau
pulang!"
Kembali Kie Tin menjadi heran.
Kalau tadi ia dapat bersenyum, sekarang lenyap pula kegembiraannya. Ia seperti
diguyur air dingin. Setelah itu, di antara roman lesu dari putus asa, ia
nampaknya jadi gusar sekali. Terus ia tuding anak muda di depannya.
"Walaupun aku terkurung,
tetap aku adalah satu raja!" ia berseru. "Beranikah kau berulangkah
mempermainkan aku?"
Tan Hong awasi raja itu. Ia
mendongkol berbareng merasa lucu dan kasihan.
"Jikalau kau mengharap
musuh nanti merdeka-kanmu dan membiarkannya kau pulang ke negerimu, seumur
hidupmu, janganlah kau harap itu!" katanya, tegas-tegas. "Hanya bila
rakyat Tionggoan yang menghendaki kau pulang, baharulah ada ketikanya untuk kau
hidup terus! Apakah kau menyangka cuma Yasian seorang yang mempunyai kekuasaan
untuk hidup atau matimu? Mari aku katakan terus terang padamu! Sekarang ini
jiwamu berada di dalam genggamannya Kokloo Ie Kiam! Asalkan Ie Kokloo bilang
kau bisa pulang,lantas kau dapat pulang!"
Kie Tin awasi anak muda itu,
sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Lantas ia dapat perasaan bahwa Tan
Hong itu dapat dipercaya, bahwa perkataannya si anak muda tak dapat disangsikan
pula. Tanpa merasa, ia jadi kalah pengaruh.
"Sebenarnya, apakah
artinya ini?" dia tanya akhirnya, suaranya tak tegas.
"Itulah sebab kau, jelek
atau bagus, kau tetap raja dari satu negara!" berkata Tan Hong dalam
jawabannya.
"Sebab kau ada satu raja,
jikalau kau tetap berada di tangan musuh, itu artinya satu kehinaan untuk
Tionggoan! Itupun sebabnya kenapa sekarang kami menghendaki kau pulang ke
negeri sendiri! Dengan ada Tionggoan yang menjadi tulang punggungmu, cara
bagaimana Yasian berani tidak melepaskan kau pulang?"
Kie Tin heran, ia tetap
mengawasi. Ia ingin sangat satu penjelasan.
Sampai di situ, Tan Hong
tuturkan raja ini tentang duduknya urusan.
Kie Tin menjadi girang
berbareng heran.
"Jikalau aku bisa pulang
dan naik pula di atas tahta kerajaan, akan aku anugerahkan kau pangkat yang
besar!" ia berkata. Hampir tanpa merasa, ia berikan janji hadiahnya itu.
"Katakanlah, kau ingin
pangkat apa? Pangkat tongnia dari Gielim koen atau Kioeboen Teetok? Atau
pangkat Menteri Perang? Pasti sekali aku akan membuat kau merasa puas,supaya
tercapai segala cita-citamu!".
Tan Hong bawa sikap tenang.
"Jikalau nanti kau sudah
pulang ke dalam negeri," ia berkata, tawar, "kau bisa atau tidak
tetap menjadi raja pula, itulah tergantung kepada suasana di dalam istanamu dan
urusan keluargamu sendiri, mengenai itu aku bersama Ie Kiam tidak akan campur
tahu! Aku sendiri tidak mengharapkan pangkat dari kau!" .
Kie Tin menjadi putus asa,
hingga ia jadi seperti menggerutu.
"Bisa pulang, itulah
baik! Bisa pulang, itulah baik..." demikian ia ngoce sendiri,suaranya
tidak tegas. Lalu ia ingat sesuatu, hingga ia nampaknya jadi bersemangat. Maka
berkatalah ia seorang diri dengan lebih keras: "Di dalam istana,
kebanyakan menteri boen dan boe adalah orang-orang kepercayaanku, tidak nanti
Kie Giok dapat rampas tahtaku! .
Kalau nanti aku telah pulang,
dia akan mengalah dan membiarkan aku menjadi yang dipertuan pula! Kau tidak
hendak pangku pangkat, tidak apa, aku bersedia akan iringi segala kehendakmu,
akan aku memberikan hadiah kepadamu!".
Tan Hong menjadi sangat sebal.
"Apa juga aku tidak
menghendakinya!" katanya dengan dingin. "Aku hanya hendak minta satu
hal!"
"Apakah itu?" Kie
Tin tanya. "Semuanya akan aku meluluskannya!"
"Setelah nanti kau
pulang, bilamana kau tetap menjadi raja, bagaimana sikapmu terhadap Ie
Kiam?" Tan Hong tanya.
Inilah pertanyaan yang Kie Tin
tak sangka-sangka.
"Aku..." katanya,
lalu terhenti, karena Tan Hong memotongnya: "Setelah kau kena ditawan
musuh, Ie Kiam telah angkat raja baru," Tan Hong menerangkan. "Kau
tentunya sangat benci dia karena perbuatannya itu! Benarkah itu?"
"Tidak, tidak!"
sahut raja. "Begitu lekas aku pulang, akan aku naikkan pangkatnya tiga
tingkat!" .
Dalam keadaan seperti itu,
tengah terdesak, raja ini bicara tanpa berpikir pula. Ie Kiam adalah Lweekok
Haksoe, karena mana ia dipanggil Kokloo, kedudukannya itu sudah mirip dengan
perdana menteri, di samping itu, ia merangkap menjadi Pengpou Siangsie,Menteri
Perang, ia jadinya berada di tingkat tertinggi, dari itu, pada dasarnya, ia tak
dapat dinaikkan pula pangkatnya apapula sampai tiga tingkat. Maka itu,
mendengar kata-kata raja ini, Tan Hong mendongkol berbareng merasa lucu.
"Ie Kokloo bukanlah satu
orang yang temaha akan pangkat tinggi atau keagungan," berkata anak muda ini.
"Aku hanya menginginkan bila nanti kau sudah pulang, kau berlaku murah
hati terhadapnya, kau beri dia ampun dari kematian..."
"Itulah pasti, itulah
pasti!" kata Kie Tin berulang-ulang. Kembali ia tidak memikir-mikir lagi.
"Adakah ini benar?"
tanya Tan Hong. Mendadak saja ia keraskan suaranya, hingga ia bentak raja itu.
Kie Tin melengak. Inilah ia
tidak sangka.
"Satu raja tidak bicara
main-main!" ia jawab kemudian. Iapun segera menjawab begitu
lekas ia sadar.
Tan Hong bersenyum. Tadinya ia
hendak bicara pula tapi ia membatalkannya. Tiba-tiba terdengar suara berisik
dari luar, suaranya pengemis yang menyanyikan lagu "Lian Hoa Lok" =
"Bunga Bwee Rontok." Tentu saja ia menjadi bercekat.
"Setangkai, secabang
bunga teratai," demikian ia dengar nyanyian itu. "Raja pun pernah
dipanggilnya pengemis. Raja itu bergantian jadinya, maka juga lain tahun ada
gilirannya keluargaku. Di sini ada disimpan mustika yang indah, maka itu hendak
aku memohonnya!"
Nyanyian itu disusul oleh
suara berisik, seperti juga orang tengah mengusir pengemis yang
bernyanyi-nyanyi itu.
Menyusuli suara berisik itu,
lalu terdengar teriakan: "Ada orang jahat!" Lalu menyusul pula suara
nyaring dari rubuhnya tubuh manusia. Satu pahlawan, yang lompat keluar jendela,
belum sempat dia berlompat terus naik ke atas payon, sudah kena dihajar rubuh!.
Tan Hong terkejut.
"Sungguh liehay pengemis
itu!" pikirnya. Tapi iapun tak sempat berpikir lama-lama.
Dengan cepat telah terdengar
pula satu suara keras dan nyaring, ternyata daun jendela kamar kurungan kaisar
Beng itu terhajar terpentang, disusul dengan lompat masuknya satu pengemis,
tangan kanannya memegang tongkat, dengan tangan kirinya segera dia sambar Kie
Tin.
"Aduh!" teriak raja
itu yang kagetnya tidak terkira.
Tan Hong tidak sempat cabut pedangnya,
dengan tangannya ia membacok tangannya si pengemis.
"Kau, Thio Tan
Hong?" berseru pengemis itu, agaknya ia terkejut. Ia sudah lantas tarik
pulang tangan kirinya itu, tubuhnya pun berkelit ke samping. Tapi ia tidak
berhenti sampai di situ, dengan cepat ia ayun sebelah kakinya, menjejak ke arah
dengkulnya kaisar Beng.
Tan Hong pun kaget.
"Ah, kiranya Pit
Lootjianpwee]" ia berseru ketika segera dapat mengenali pengemis
itu,terutama dari suaranya. Tapi kaisar berada dalam bahaya, tidak dapat ia diam
saja, dari itu dengan terpaksa ia angsurkan tangannya, untuk menekan dengan
perlahan kakinya jago tua yang jejakannya hebat itu. Dalam gerakannya ini, Tan
Hong gunai tenaga Taylek Kimkong Tjioe.
Pit To Hoan lompat mundur,
hingga ia menyender pada tembok, napasnyapun memburu keras.
"Thio Tan Hong,
menyingkir kau!" ia berseru.
"Lootjianpwee, marilah
kita bicara secara baik-baik," Tan Hong berkata, dengan sabar.
"Aku harap kau tidak
membuatnya kaget pada raja yang tengah bersengsara ini..."
"Bagaimana hei?"
bentak To Hoan. "Apakah kau menjadi anjing penjaga pintunya Yasian?"
Kali ini jago tua itu
menyerang dengan genggaman ditangannya.
Tan Hong tahu tak sempat ia
berbicara banyak, terpaksa ia hunus pedangnya pedang Pekin kiam — untuk
menangkis. Ia telah gunai belakangnya pedang. Maka kedua senjata bentrok dengan
keras, sampai muncratlah lelatu apinya. Bentrokan itu membuatnya kedua pihak
kesemutan tangannya.
"Lootjianpwee, mohon kau
berlalu dulu dari sini!" Tan Hong berkata pula. "Kau boleh sebutkan
satu tempat, nanti aku kunjungi padamu untuk menerima pengajaran darimu!"
Pit To Hoan tapinya seperti
orang kalap, tanpa menjawab, ia menyerang pula beruntun tiga kali, untuk
mendesak anak muda itu, lalu setelah itu kembali dengan tangan kirinya
menyambar pula Kie Tin. Teranglah ia ingin sangat dapat menyengkeram raja Beng
itu.
Di luar, di bawah pagoda,
ketika itu pun telah terdengar suara berisik sekali, suara yang bercampur kan
beradunya pelbagai alat senjata, hingga kuping rasanya menjadi ketulian.
Dari luar kamar juga terdengar
teriakannya Yasian, akan tetapi apa katanya itu, Tan Hong tidak dapat mendengar
nyata. Lalu, menyusuli itu, pintu kamar segera terpentang, dari mana terlihat
masuknya dua pahlawan dengan golok di tangan masing-masing.
Meninggalkan Tan Hong atau
kaisar, Pit To Hoan papaki dua pahlawan itu. Ia maju dengan gerakan
"Poanliong djiauwpou" = "Naga mendekam menggerakkan kakinya
melingkar," sedang tangannya, ialah senjatanya, ia mainkan dari kiri ke
kanan, atas mana goloknya kedua pahlawan itu lantas saja kena dibikin terlepas
dan terbang!
"Yang menyingkir selamat!
Yang menghalang celaka!"
To Hoan kemudian berteriak
dengan bengis, sepasang matanya lebar, terputar. Ia bergelar
"Tjinsamkay" = "Menggetarkan Tiga Dunia," tidak heran kalau
bentakannya itu dahsyat sekali.
Dengan terpaksa kedua pahlawan
itu undurkan diri, karena senjata mereka pun sudah hilang.
Dari luar masih terdengar
suara berisik, kali ini dari tindakan kaki yang berat dan kekar,disusuli
bersama jeritan teraduh-aduh, dari bentroknya alat senjata. Teranglah itu ada
tanda dari orang yang dari bawah mendaki tangga pagoda sambil menyerang naik.
Pit To Hoan sudah mundurkan
kedua musuhnya, kembali ia menghampirkan Kie Tin. Ia dihalangi-halangi Tan
Hong, karenanya, ia mencoba akan paksa melewati anak muda itu.
"Untuk apakah kau hendak
menawan dia?" Tan Hong tanya.
"Apakah kau telah lupa
akan sakit hatinya leluhurmu?" To Hoan membaliki. "Jahanam ini tidak
surup untuk menjadi raja! Untuk apa kau melindungi padanya? Kita harus bekuk
dia, untuk dibawa pulang ke Tionggoan, nanti di sana kita bangunkan suatu
pemerintah baru!"
Mendengar itu, Tan Hong
melengak. Dengan begitu orang tua ini masih ada punya semangat untuk mendirikan
suatu pemerintah. Ia hendak berkata pula ketika kembali terdengar satu suara
keras, ialah dari terbukanya dengan paksa pintu dari pagoda undakan ketiga. Dan
suara itu disusul dengan munculnya satu orang, yang segera pentang mulutnya
yang lebar, akan perdengarkan suaranya yang nyaring: "Ha, bagus benar! Kau
juga ada di sini? Marilah rasai tiga ratus tongkatku!"
Untuk herannya Tan Hong, ia
kenali Tiauw Im Hweeshio, sang soepee yang gurunya dan Yap Eng Eng telah
sia-sia saja mencarinya. Sementara itu ia masih sempat melirik ke arah Yasian,
yang umpetkan diri di satu pojok dari mana perdana menteri itu sedang berikan
titahnya kepada pahlawan-pahlawannya untuk mencegat jalan mundur orang.
"Inilah hebat..."
pikir Tan Hong, yang menjadi berkuatir. "Djiesoepee sembrono, urusan akan
menjadi kacau kalau ia sampai kemplang mampus pada Yasian. Perdana menteri ini
ada punya putera dan perwira sebawahannya, ia masih punyakan beberapa puluh
laksa serdadu, kalau karena kejadian di sini jadi terbit perang di antara kedua
negara, itulah hebat, pasti akan terjadi darah tumpah mengalir di daerah
luasnya ribuan lie..."
Anak muda ini menjadi masgul.
Hendak ia menerjang keluar, tapi ia dihalang-halangi Pit To Hoan dengan ruyung
panjangnya — Hangliong pang. Sekarang meski ia jauh terlebih gagah daripada
jago tua itu, akan tetapi ia sungkan melawannya, ia juga tidak hendak melukai
orang. Dalam keadaan sangat tegang itu, mendadak ia berseru dengan tegurannya:
"Tjinsamkay, kau masih punya kehormatan kangouw atau tidak?"
Heran jago tua itu, hingga ia
tercengang.
"Apa kau bilang?" ia
berbalik menanya.
"Untuk merampas dunia,
itulah bukannya tugasmu. Kau tidak tepat!" berkata anak muda itu dengan
jawabannya.
Di waktu Tan Hong pertama kali
masuk ke Tionggoan, ia ada bawa warisan leluhurnya ialah peta dari tempat
disimpannya harta pendaman leluhurnya itu di Souwtjioe. Ketika itu, dalam
pertandingan dengan Pit To Hoan, keduanya telah membuat perjanjian, kalau Pit
To Hoan kalah, untuk selanjutnya suka ia dengar segala perkataannya si anak
muda.
Janji itu ada mengandung
maksud, jikalau di kemudian hari Thio Tan Hong hendak rampas negara dari tangan
kerajaan Beng, Pit To Hoan cuma harus membantu, tidak dapat ia menentanginya.
Karena itulah maka sekarang dalam keadaan sangat terpaksa itu, Tan Hong menagih
janji.
Mendengar itu, walaupun sangat
bertentangan dengan hatinya, Hangliong pang dari Pit To Hoan menjadi bergerak
dengan perlahan, lalu di akhirnya, sambil menghela napas, ia berkata:
"Baiklah, aku mengalah terhadapmu!..." Setelah mengucap begitu,
dengan gesit sekali ia lompat keluar jendela!
Kie Tin takut bukan main,
mukanya pucat pasi hingga seperti tidak ada darahnya. Ia mendekam di suatu
pojok, napasnya memburu. Tan Hong tidak sempat perhatikan lagi raja itu, dia
lompat keluar kamar, hingga dia dapatkan Tiauw Im Hweeshio, paman guru yang kedua
itu, tengah kerahkan tenaganya, mengamuk hebat dengan tongkatnya, yang menjadi
lawannya adalah Ngochito serta dua pahlawan lainnya Ngochito bukannya seorang
yang lemah akan tetapi menghadapi pendeta itu, walaupun ia dibantu dua
pahlawan, ia kewalahan juga. Tiauw Im liehay dengan gwakang-nya, ilmu bahagian
luar, liehay juga ilmu tongkatnya, Hokmo Thunghoat, yang terdiri dari seratus
delapan jurus, dengan ilmu tongkat ini dia desak tiga lawannya itu. Di
akhirnya,Ngochito cuma bisa bela diri, tak sanggup balas menyerang.
Beruntung bagi Tiauw Im
Hweeshio, Yasian telah kehilangan dua pahlawannya yang ia paling andalkan,
ialah Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, yang kepandaiannya tidak ada di bawahann
ya pendeta ini, yang tadi malam telah rubuh di tangannya Tjia Thian Hoa dan Yap
Eng Eng yang liehay dengan cara bertempurnya siangkiam happek, hingga yang satu
terluka, yang lainnya binasa, bila tidak demikian, pasti sekali Pit To Hoan dan
Tiauw Im tak akan dapat bergerak dengan leluasa seperti ini.
Yasian lihat munculnya Tan
Hong, segera ia perdengarkan suaranya yang dingin: "Hm,bagus ya! Kamu
orang-orang Han, kamu tidak punya kehormatan!"
Tan Hong dengar ejek-ejekan
itu, ia tidak mempedulikannya, hanya terus ia lompat kepada Tiauw Im, dengan
ulur sebelah tangannya, ia sambar tongkatnya djiesoepee itu, si paman guru yang
kedua.
Tiauw Im lihat keponakan murid
itu, ia jadi sangat gusar, hingga ia berteriak : "Ya kamu berdua guru dan
murid semua bukannya manusia benar!" Justeru itu ia tengah menyerang
Ngochito secara hebat sekali, sampai pahlawannya Yasian itu putus asa. Maka
beruntung bagi pahlawan ini, Tan Hong muncul di waktu yang tepat, selagi si
pendeta egoskan tongkatnya dari tangan si anak muda, ia lantas lompat keluar
kalangan, perbuatan ini ditelad dua kawannya.
"Tan Hong, kau berani
lawan yang tuaan!" membentak Tiauw Im dalam murkanya.
"Lagi sekali kau
merintangi aku! Lihat kalau-kalau aku tidak kemplang mampus padamu dengan
tongkatku ini!"
Tan Hong tapinya telah tetap
dengan putusannya.
"Sekalipun kau bunuh aku,
aku tetap menghendaki kau mundur dari sini!" demikian jawabannya.
Dalam kalapnya, Tiauw Im
segera serang keponakan murid itu.
Tan Hong tidak berani layani
paman guru ini terus dengan tangan kosong, terpaksa ia cabut pedangnya, maka
itu keduanya bertarung dalam ruang itu.
Pada waktu pertama kali Tan
Hong masuk ke Tionggoan, kepandaiannya Tan Hong berimbang dengan paman gurunya,
akan tetapi setelah mempelajari Hiankang Yauwkoat,ia telah peroleh kemajuan
pesat sekali, maka sekarang ia sudah dapat lampaui paman gurunya itu. Belasan
kali sudah Tiauw Im mendesak dengan tongkatnya yang liehay, yang tadi
membuatnya Ngochito bertiga kewalahan, tapi kali ini, tidak mampu ia membuat
keponakan muridnya itu mundur setindak juga, malah sebaliknya, setiap kali si anak
muda menggerakkan pedangnya, ia seperti tak sanggup gerakkan tongkatnya yang
liehay itu!
Bukan kepalang mendongkolnya
pendeta ini, hingga matanya jadi mendelik.
"Tan Hong, apakah masih
ada orang yang tertua di depan matamu?" ia menegur sambil berteriak
sekeras-kerasnya.
Ditegur begitu, anak muda ini
cuma bersenyum.
"Maaf, soepee. Walau
bagaimanapun, sekarang aku minta soepee mundur dulu dari sini! Untuk bicara,
nanti lain kali saja, sekalian aku haturkan maafku!"
Perkataannya Tan Hong ini
membuatnya semua pahlawan kaget dan heran.
"Ha, kiranya mereka
adalah paman guru dan keponakan murid!..." seru mereka sambil tertawa.
"Hahaha, sungguh lucu! Di sini ada soepee yang tidak sanggup lawan
keponakan muridnya! Benar-benar tidak punya guna, sampai pengaruh si tua
dipakai untuk menindih si muda! Sungguh tidak tahu malu!"
Ejekan itu ditambahkan pula
oleh tertawa dingin yang riuh.
Mukanya Tiauw Im menjadi merah
padam, lalu pucat pias, Kegusarannya tak terkirakan.
"Binatang cilik, lain
kali akan aku membuat perhitungan terhadapmu!" ia berteriak, lalu dengan
menyeret tongkatnya, ia lompat keluar kalangan, untuk angkat kaki dari pagoda
itu. Maka celakalah beberapa pahlawan yang berada diundakan tangga, mereka
telah dilabrak oleh pendeta yang sedang mungsang-mangsing itu!
Tan Hong lompat ke jendela,
untuk melongok keluar. Ia tampak Pit To Hoan, dengan memimpin tiga pengemis,
tengah menerobos kepungan. Liehay tiga pengemis itu,beberapa puluh pahlawan
masih tidak sanggup merintangi mereka. Tiauw Im sudah lantas gabungkan diri
pada empat orang itu, berlima mereka membuka jalan untuk menjauhkan diri.
"Beberapa pengemis itu
liehay," pikir Tan Hong. "Entah bagaimana caranya mereka bekerja,
sehingga mereka mendapat tahu raja dikurung di sini..."
Ketika itu, Yasian pun menghampirkan
jendela, sambil menyender, ia melongok keluar.
Sekarang dapat ia bernapas
lega. Ketika kemudian ia menoleh, ia lantas dengar suaranya Tan Hong: "Aku
minta Thaysoe suka memberi maaf padaku," demikian anak muda itu.
"Soepee-ku itu menyangka
aku sedang terkurung di sini, maka itu telah terbit salah paham. Akan aku cari
dia, untuk memberi penjelasan. Aku berani tanggung dia tidak akan datang pula
mengacau kemari!"
Yasian dapat kesan baik
terhadap anak muda ini. Ia telah saksikan sendiri bagaimana hebatnya orang
tahan desakannya si pendeta serta kawan-kawannya itu, hingga ia jadi terbebas
dari ancaman marah bahaya.
"Sudahlah!" katanya
sambil tertawa. "Sekarang mari kita bekerja seperti apa yang kita sudah
damaikan tadi. Kau tidak usah kuatirkan apa-apa."
"Terima kasih," Tan
Hong ucapkan.
"Nah silakan masuk pula,
untuk tengok rajamu," Yasian berkata pula.
Meskipun ia mengatakan
demikian, perdana menteri ini tapinya jalan berendeng dengan pemuda itu masuk
ke kamarnya Kie Tin.
Kaisar Beng terpucat-pucat
mukanya, ia menyender di tembok, tubuhnya menggigil keras. Nyata ia sangat
ketakutan.
Yasian bersenyum melihat
keadaannya raja musuh itu.
"Biarlah dia pulang untuk
jadi raja pula, dia mungkin akan memberi kebaikan terhadapku..." demikian
ia pikir. Lantas ia tertawa dan kata: "Kau tentunya dapat kekagetan!
Inilah ada baiknya untukmu, sebab ini berarti, habis pahit, datang manis! Kau
tunggu saja, kalau nanti telah tiba utusan negaramu, kau boleh ikut pulang ke
negerimu untuk hidup senang pula seperti biasa. Mudah-mudahan kau tidak akan
lupakan kebaikanku!..."
Hati Kie Tin lega, hingga
ingin ia menghaturkan terima kasih kepada perdana menteri Watzu itu. Tetapi Tan
Hong telah mengedipkan mata padanya, atas mana segera ia insyaf akan dirinya.
Bukankah ia seorang raja dari suatu negara besar dan Yasian tak lebih tak
kurang sebagai perdana menteri dari Watzu? Jikalau ia haturkan maafnya, ia jadi
menghina diri sendiri. Maka ia lantas angkat dada.
"Tidak usah kau
menyebutnya, budi kebaikanmu ini telah aku ingat!" demikian ia berikan
jawabannya.
"Thaysoe, masih hendak
aku memohon sesuatu darimu," Tan Hong berkata. Ia seperti tidak
menghiraukan pembicaraannya kedua orang itu.
"Apakah itu? Silakan
sebutkan," Yasian jawab.
Tan Hong loloskan mantel kulit
di pundaknya — itulah mantel kulit rase yang halus dan enteng —sambil berbuat
begitu, ia berkata: "Aku mohon Thaysoe ijinkan aku kasihkan mantelku ini
kepadanya."
Dengan "padanya"
itu, pemuda ini maksudkan raja Beng.
Yasian segera perlihatkan
roman terperanjat. "Ah, saking repot, aku sampai melayaninya kurang
sempurna!" katanya. "Orang-orangku pun alpa! Kami sampai lupa untuk
menyiapkan pakaian baharu untuk junjungan kamu! — Mana orang?"
Perdana menteri ini menjadi
repot agaknya, ia perintah orangnya ukur tubuhnya Kie Tin, untuk segera
dibuatkan pakaian baru, pakaian dari kulit. Ia juga pesan, barang hidangan
harus dibikin lebihan, supaya sekalian dapat dihidangkan kepada raja tawanan
itu. Setelah itu, ia bertindak keluar.
Tan Hong mengikuti perdana menteri
itu, tetapi mantel kulitnya ia tinggalkan di situ.
Selagi bertindak, ia melirik
kepada raja, ia tampak matanya raja itu mengembeng air.
"Agaknya hatinya telah
tergerak juga," pikir anak muda ini. "Semoga ia nanti ingat
pengalamannya yang pahit di sini, supaya nanti sepulangnya ke negerinya, ia
nanti tidak mendatangkan kesulitan bagi Ie Kokloo..."
Tan Hong lantas ingat Topuhoa,
ia kuatir digerembengi pula oleh si nona, maka itu,begitu keluar dari menara
batu itu, ia lantas pamitan dari Yasian. Ia segera menuju ke tempat
penginapannya In Loei. Akan tetapi di sana ia tidak dapat menemui si nona. In
Loei cuma meninggalkan sehelai surat untuknya.
Ringkas saja suratnya In Loei
itu. Ia pesan, kalau nanti Tan Hong sudah selesaikan segala urusannya, anak muda
itu harus segera pergi kebukit Peklo San di luar pintu timur,untuk mereka
bertemu di sana.
-ooo00dw00ooo