Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 4

Liang Ie Shen, Seri Thian San-02: Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 4 In Lui terperanjat apabila ia sudah pandang muka orang yang baru datang ini. Ia kenali orang itu adalah si orang Tartar,
 
Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 4
In Lui terperanjat apabila ia sudah pandang muka orang yang baru datang ini. Ia kenali orang itu adalah si orang Tartar, si bangsat dengan siapa ia pernah bertempur di luar kuil tua pada malam itu. Dia adalah murid Tantai Mie Ming.

Ketika Ciu San Bin sudah melihat tegas, ia lompat sambil membacok, mulutnya pun mengucapkan “Orang Tartar bernyali besar! Kau telah nyelundup ke Tionggoan, kau hendak berbuat apa?”

San Bin segera kenali musuh negaranya, sebab Tantai Mie Ming bersama muridnya itu pernah membawa pasukan tentara menyerang Ciu Kian dan dia pernah bertempur dengan musuh ini.

Murid Tantai Mie Ming itu, yang bernama Katalai, begitu dia masuk ke dalam pekuburan, lantas dia memanggil dengan suara keras, “Thio Siangkong!” Dia kaget apabila tiba-tiba dia dibentak dan diserang. Akan tetapi dia tabah dan sebat, maka dia sempat mencabut sepasang gaetannya, untuk dipakai menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring.

“Apakah kau telah membunuh Thio Siangkong?” tanya Katalai dengan bentakannya.

“Sekalipun kau, hendak aku mencincangnya!” jawab San Bin sengit, kembali dia membacok.

Katalai menangkis, lalu ia balas menyerang, maka dengan begitu, mereka jadi bertempur. Tapi orang Tartar itu menyerang hebat, ia sudah lantas mendesak, dari itu tidak lama, ia telah membikin San Bin kewalahan, sampai orang she Ciu ini cuma bisa menangkis, tidak mampu ia membalas menyerang. Hingga pertempuran jadi tidak seimbang.

Cui Hong berkuatir melihat pemuda itu bakal kena dikalahkan, di dalam hatinya, dia kata, “Toapeh ini kurang ajar, akan tetapi mesti aku bantu dia!” Dengan sendirinya, ia akui orang sebagai toapehnya, paman dari pihak “suaminya”. Maka lantas ia hunus goloknya, terus ia maju menerjang, hingga orang Tartar itu kena dikepung berdua.

Dibanding dengan Katalai, Cui Hong kalah tenaga, akan tetapi dia menang enteng tubuh, dia jauh terlebih gesit, maka dengan andalkan kegesitannya itu dapat dia berikan bantuan berharga pada San Bin, hingga San Bin tidak lagi terdesak, malah sesaat kemudian, keadaan jadi berbalik, Katalai adalah yang kena didesak mereka itu.

Katalai tahu diri, selagi berkelahi, dia berseru keras, sepasang gaetannya juga bekerja, untuk menyerang dengan hebat kedua lawannya. Nyata ia telah gunakan siasat. Sebab begitu mendesak, dia lantas lompat mundur, dia putar tubuhnya, untuk segera lari keluar kuburan.

San Bin lompat untuk mengejar, di belakang dia, Cui Hong menyusul, dari itu, sebentar saja, ketiga orang itu sudah lenyap dari dalam kuburan.

In Lui yang menyaksikan pertempuran itu, goncang hatinya. Ia lantas angkat kepalanya, untuk memandang Thio Tan Hong. Justeru itu, si anak muda pun memandang padanya sambil tersenyum, agaknya dia hendak bertanya, “Kau lihat, adakah aku satu pengkhianat atau bukan?”

In Lui sangat percaya Ciu Kian dan puteranya, coba ia tidak berada bersama Tan Hong selama beberapa hari, hingga ia dapat menyaksikan kelakuan orang, begitu mendengar ucapan “pengkhianat” dari San Bin, tentu ia sudah tikam pemuda di sisinya ini. Akan tetapi sekarang, pikirannya jadi berlawanan satu dengan lain. Tidak nanti San Bin lancang menuduh, tapi juga Tan Hong tidak pantas ia menjadi pengkhianat bangsa. Selama bergaul rapat beberapa hari, dari jemu ia menjadi gemar bergaul dengan orang she Thio ini, malah agaknya ia menaruh penghargaan.

“Dia baru kembali dari Mongolia, “demikian ia berpikir lebih jauh, “mungkin dia telah menyingkirkan diri dari negara asing, karena mana bangsa Mongolia jadi hendak membekuk dia kembali ... Mungkin karena itu, San Bin menyangka dia ada satu pengkhianat.”

Tidak lama In Lui berada dalam kesangsian, lantas ia dapat tenangkan diri. Begitulah ia tersenyum sendirinya.

“Toako, aku percaya kau,” katanya kemudian dengan perlahan.

Wajah Tan Hong pun menjadi terang, nyata sekali ia gembira.

“Hiantee,” katanya, dengan perlahan, “seumurku kau adalah sahabatku satu-satunya yang mengenal diriku. Sekarang lanjutkan semedhimu. Malam ini hendak aku perdengarkan kau dongeng yang kesatu.”

Tan Hong bertindak keluar dari kamar rahasia, ia pergi menutup pintu depan, yang ia ganjal dengan dua potong batu besar yang panjang, hingga tanpa tenaga seribu kati, sulit untuk orang membuka pintu kuburan itu.

In Lui melanjutkan istirahatnya, semedhinya. Ia rasakan darahnya mengalir dengan sempurna, ia merasa tubuhnya jadi sehat sekali.

Waktu telah berlalu, tidak ada sinar terang lagi yang molos masuk dari sela-sela di atas wuwungan, itu tandanya bahwa sang magrib telah datang.

Hek Pek Moko mempunyai persediaan barang makanan di dalam istananya itu, maka Thio Tan Hong bisa menyalakan api, untuk masak bubur, untuk memanaskan daging dan ayam. Lalu ia suguhkan makanan itu pada In Lui, hingga si nona menjadi bersyukur sekali.

Tan Hong mengawasi sambil tersenyum ketika ia berkata,” Kesehatanmu telah maju baik, akan tetapi kau masih belum boleh bicara banyak. Kau cuma harus dengarkan aku, tidak boleh kau banyak menanya. Sekarang hendak aku mulai dengan dongengku yang pertama. Nanti setelah selesai aku ceriakan tiga dongengan, baru aku tuturkan jelas tentang diriku kepadamu.”



VII



In Lui angkat kepalanya, akan pandang anak muda di depannya itu.

Thio Tan Hong sudah lantas mulai dengan dongengnya.

“Pada jaman dahulu maka adalah dua orang bersengsara yang bekerja sebagai tukang meluku sawah dari satu tuan tanah. Belakangan, karena malapetaka alam, hidup mereka jadi semakin sukar, hingga kesudahannya, yang satu menukar penghidupannya sebagai pengemis, yang satu lagi menjadi tukang selundup garam gelap. Kedua orang ini hidup sangat akur satu pada lain, hingga mereka mengangkat saudara.”

“Pada waktu itu, Tionggoan telah diduduki oleh bangsa asing. Karena ini pencinta-pencinta negara, yang hidupnya terpencar, bercita-cita membuat perlawanan. Juga kedua saudara itu berangan-angan besar, mereka mirip dengan Tan San dan Gouw Kong di jaman Liat Kok yang hendak merubuhkan kerajaan Cin. Mereka angkat saudara dengan bertepuk tangan, mereka saling berjanji, apabila mereka berhasil dan menjadi orang besar, mereka tak akan melupai satu pada lain.”

“Berbareng dengan itu, bersama dua saudara angkat itu ada satu hweesio. Dia berusia jauh terlebih tua daripada dua saudara itu, dia ajarkan mereka ilmu silat, maka itu, ia dipanggil guru.”

“Garam itu ada usaha negara, maka kalau rakyat membikin dan menjualnya dengan diam-diam, dia bakal ditangkap pembesar negeri dan dihukum mati. Apa mau si pengemis, si saudara muda, tidak berani bekerja sebagai kakak angkatnya itu, sebaliknya, dia pergi ke sebuah kuil dimana ia sucikan diri sebagai hweesio. Apa celaka, datanglah musim paceklik, tidak ada dermawan yang menunjang kuil, telah kejadian, dari sepuluh hweeshio, tujuh atau delapan diantaranya mati kelaparan. Dalam kesukaran itu, si kakak, yang jadi penjual garam gelap, menunjang adik angkatnya ini. Karena sisa-sisa hweeshio bubar, si pengemis juga ikut merantau, ia pergi kemana saja untuk hidup sambil menerima amal.”

“Belakangan, guru dari kedua saudara itu telah berhasil angkat senjata. Si adik, si hweeshio asal pengemis, turut gerakan gurunya itu, dia ikut dalam pasukan tentara. Dalam satu pertempuran besar, si hweeshio guru lenyap tak keruan paran, ada yang mengatakan dia terbinasa, ada yang mengatakan dia lolos dan kembali menuntut penghidupan sebagai hweeshio. Bagaimana sebenarnya dengan hweeshio guru ini, pada akhirnya tak ada yang mengetahuinya.”

“Sekarang diceritakan tentang si tukang garam. Dia telah berusaha jauh sampai di Kangpak Utara, disana dia dapat kemajuan hingga dia dapat mengumpulkan beberapa ratus pegawai. Dia pun lantas berontak, dia angkat dirinya sebagai raja. Selama beberapa tahun, dia terus berhasil, hingga pengaruhnya jadi tambah besar. Begitulah ia angkat dirinya jadi kaisar di kota Souwciu.”

“Beberapa propinsi di sepanjang sungai Tiang Kang adalah wilayahnya raja bekas penyelundup garammini, maka itu ia gunakan pengaruhnya untuk mencari adik angkatnya. Sekian lama, tidak pernah ia peroleh hasil.”

“Sementara itu, kaum pergerakan muncul disana-sini, diantaranya rombongan Pelangi Merah. Dia pun pengaruhnya besar. Dua tahun kemudian, pemimpin Pelangi Merah itu telah menutup mata, dia digantikan oleh satu pemuda kosen, yang berhasil merampas pelbagai kota hingga daerahnya meluas di Tiangkang Selatan.”

'Kaisar di Souwciu itu terus mencari keterangan perihal adiknya, ia lantas dapat dengar, pemimpin Pelangi Merah itu sebenarnya berasal dari satu hweeshio. Tapi berberang dengan itu, ia dengar lelakonnya adiknya ini. Katanya, ketika adik ini turut gurunya memberontak dan gurunya itu kalah, diam-diam ia telah jual gurunya pada pemerintah, musuh, dia sendiri berpura-pura menjadi orang baik-baik, dia melanjutkan memimpin pasukan gurunya itu, yang dia robah menjadi Pelangi Merah. Dia berjasa dalam pasukan Pelangi Merah itu, sampai akhirnya ia diangkat menjadi pemimpin utama. Lelakokn ini tidak dipercaya si kakak angkat, tapi dia kirim utusan, untuk mengajak bekerja sama, yang mana diterima baik. Adalah setelah ini, ia dapat kepastian pemimpin Pelangi Merah benar-benar ada adik angkatnya itu.”

“Segera juga ada pertentangan pengaruh di wilayah Tiangkang antara kedua saudara ini. Si kakak mengirim utusan menyeberangi sungai, ia kirim surat yang berbunyi 'Kita berdua bersaudara, siapa pun yang menjadi kaisar, sama saja. Mari kau seberangi sungai, untuk kita bertemu, lebih dahulu kita bicara sebagai saudara, kemudian kita rundingkan dan tetapkan rencana bekerja untuk bersama-sama melawan musuh asing'. Di luar dugaan, adik itu merobek surat itu, dia tidak mau menyeberang, malah dia sebaliknya memotong kuping si pembawa surat, siapa disuruh pulang sambil memberikan pesan 'Diatas langit tidak ada dua matahari, dimuka bumi tidak ada dua raja, maka itu, sama-sama kita adalah orang-orang gagah dari jaman ini, baiklah jikalau bukan kau yang mati, akulah yang binasa!'.”

“Kakak itu jadi sangat gusar, maka terjadilah peperangan antara mereka berdua. Selama beberapa tahun, mereka bergantian menang dan kalah. Pertempuran terakhir terjadi di Tiangkang. Kesudahannya, sang adik yang menang, si kakak kena ditawan, di dipaksa untuk menyerah, supaya dia suka jadi hamba dan akui si adik sebagai junjungannya. Si kakak tidak sudi tunduk, sambil tertawa bekakakan, dia kata 'Pengemis, jikalau kau dapat menurunkan tanganmu, kau bunuh saja aku!' Adik itu tidak menyahuti kakaknya, dia hanya perintahkan orang mengemplangi kakaknya hingga binasa, lalu mayatnya ditenggelamkan di dalam sungai Tiangkang. Habis memusnahkan kakaknya, adik ini angkat dirinya menjadi kaisar. Beberapa tahun kemudian, raja ini berhasil mengusir bangsa asing dari Tionggoan, dia dapat membasmi lain-lain jago, hingga dia berhasil juga mempersatukan negara. Dengan begitu, jadilah dia satu kaisar yang membuka satu jaman baru. Nah, adikku, coba kau katakan kaisar ini jahat atau tidak?”

Demikian Tan Hong akhiri dongengnya yang pertama itu.

“Adik itu tidak ingat saudara, pasti dia jahat,” sahut In Lui, yang mendengarkan dengan perhatian. “Tetapi dia dapat mengusir bangsa asing, dia dapat merampas kembali negara, dia dapat dikatakan satu orang gagah, enghiong atau hoo-kiat.”

Mendengar itu, air muka Tan Hong sedikit berubah.

“Hiantee, kau juga mempunyai pemandangan begini?” kata dia dengan tawar. “Pengemis itu, setelah dia menjadi kaisar, dia bunuh menteri-menteri yang berjasa, dan terhadap turunan kakaknya, dia tak sudi berlaku murah hati, dia sudah kirim orang keempat penjuru untuk mencarinya, turunan si kakak itu hendak dihabiskan. Maka juga, turunan si kakak itu, bersama-sama turunan beberapa menteri berjasa, sudah kabur jauh sekali, mereka telah berpencaran. Eh, adikku, kau telah dahar habis buburmu, bagus! Dongengku juga telah tamat.”

In Lui angkat kepalanya, akan pandang kawannya itu.

“Toako,” katanya,” tentang dongengmu ini, dapat aku menduganya. Kau bicara tentang permulaan berdirinya kerajaan kita. Si pengemis itu adalah Beng-thay-couw Cu Goan Ciang, dan si kakak penjual garam gelap itu adalah orang yang menamakan dirinya Thio Su Seng, kaisar dari kerajaan Ciu. Hanya belum pernah aku mendengarnya yang mereka itu berdua telah angkat saudara satu sama lain. Dalam buku hikayat juga tidak ditulis demikian, sebaliknya ada dicatat bahwa Thio Su Seng itu asalnya orang yang rendah martabatnya dan Thay Couw membunuh dia adalah untuk membantu rakyat menghukum pemberontak.”

Tan Hong tertawa dingin.

“Siapa berhasil, dia menjadi raja, siapa gagal, dia jadi berandal, demikian bunyi sebuah pepatah,” dia kata. “Inilah pepatah yang dari jaman purba sampai sekarang ini tetap menjadi kenyataan. Mengenai mereka mengangkat saudara, jangan kata hikayat tidak berani menuliskan Cu Goan Ciang asal pengemis, asal hweeshio perantauan, malah dalam hikayat buatan negara tak disebutnya sama sekali. Sebenarnya, orang menjadi pengemis, orang jadi hweeshio melarat, bukankah itu tidak menghina leluhur mereka? Hm!”

Halnya Beng-thay-couw Cu Goan Ciang pernah menjadi pengemis dan di kuil Hong Kak Sie menjadi hweeshio, di kolong langit ini tidak ada orang yang tidak mengetahuinya. Tapi setelah Cu Goan Ciang menjadi kaisar, hal ikhwalnya itu ia jadikan pantangan untuk diceritakan orang, karena pantangannya itu, hingga ia telah menghukum mati beberapa orang yang dianggap sudah melanggar larangannya itu. Tentang ini, In Lui pernah dengar engkongnya bercerita, ia pun ketahui itu. Sekarang, mendengar cerita Thio Tan Hong, ia jadi ingat kepada bencana yang dialami engkongnya itu sendiri, yang teraniaya dan terbinasa secara kecewa. Maka di dalam hatinya ia berkata, “Dasar mereka yang menjadi raja semua bukan orang baik-baik, peduli apa kau dengan Cu Goan Ciang atau Thio Su Seng itu? Cuma, apa maksud toako menceritakan dongeng ini? Kenapa dia kelihatannya membenci kepada Beng Thay Couw pendiri dari kerajaan kita ini?”

“Sudah, jangan kau bicara banyak,” kata Tan Hong, melarang orang banyak omong, dan ia teruskan menguruti “pemuda” itu.

In Lui terdiam, ia berdiam terus, karena ia tertidur. Ketika besok pagi ia mendusin, ia dapatkan Thio Tan Hong tengah berduduk di sisinya, apabila ia lihat tubuh orang, ia dapatkan orang belum merapikan pakaiannya. Yang membuatnya heran, ialah mata si mahasiswa tampak bengkak, suatu tanda bahwa tadi malam kawannya ini banyak menangis. Ia terharu, ia merasa berkasihan.

“Pasti dia berduka, sebentar telah ia selesai menutur padaku, aku mesti hibur dia,” ia ambil putusan.

Ketika Thio Tan Hong lihat kawannya itu telah bangun dari tidurnya, ia tersenyum.

“Adakah kau merasa baikan?” dia tanya.

“Banyak baik,” sahut In Lui cepat. “Tentunya semalam toako tidak tidur?...”

Tan Hong tertawa.

“Bagiku tidak tidur beberapa hari atau sekalipun tidur hingga beberapa hari ada sama saja, biasa saja,” sahutnya. “Tak usah kau pikirkan aku. Sekarang mari lonjorkan kakimu.”

In Lui menurut, ia majukan kaki kanannya itu.

Tan Hong loloskan sepatu orang, habis itu ia mulai menguruti kaki itu, dari ujung sampai ke mata kaki, ke seputarnya, lalu naik hingga ke betis. Selama itu, In Lui merasakan sedikit sakit. Itulah tanda bahwa urutan itu tepat sekali. Lalu, setelah itu, ia merasakan hatinya lega.

“Sekarang cukup sampai disini!” kata Tan Hong, yang menghentikan urutannya pada apa yangdia namakan “samyang”. Besok akan kuurut pula, supaya pulih kesehatanmu. Sekarang kau boleh beristirahat pula, kau bersemedhi.”

Habis berkata, ia geser tubuhnya, untuk kemudian keluarkan gambarnya. Ia gunakan terang api lilin untuk memandang gambar itu. Lama ia mengawasi, ia meneliti, seperti ia tengah mencari sesuatu dalam gambar itu. Begitu lama In Lui beristirahat, begitu lama juga ia memandangi gambar itu. Sampai tiba-tiba terdengar tindakan kaki di luar pekuburan. Baru setelah itu, pemuda ini menghela napas, lantas ia gulung pula gambar itu.

“Kenapa sih ada orang yang sangat menyukai tempat hantu ini?” katanya perlahan, setelah mana, ia pesan kawannya. “Tidak perduli apa yang kau saksikan, jangan kau buka suara!”

Rupanya di luar kubur itu bukan berada cuma satu orang, itulah ternyata dari suara dan caranya tanah digali, dibongkar. Tidak lama kemudian terdengar suara menggabruk keras, dari terbukanya daun pintu. Ini juga menandakan usahanya suatu tenaga yang besar sekali.

Segera ternyata, mereka itu berjumlah lima orang. Mereka membawaobor. Dengan melerot, mereka masuk ke dalam kuburan.

In Lui pasang matanya. Ia kenali, yang keempat adalah si saudagar barang-barang permata. Mereka ini, dua jalan di depan, dua lagi di sebelah belakang. Yang jalan di tengah adalah Hek-sek-chung Chungcu, atau tuan rumah dari Hek-sek-chung atau Cio-kee-chung, ialah Hong-thian-lui Cio Eng. Ia terkejut.

“Empat saudagar itu mestinya ketahui kamar rahasia ini,” ia berpikir. “Jikalau Cio Eng menitahkan aku pulang, bagaimana?”

Ia menjadi bingung.

“Mereka berdua mesti masih berada di dalam sini,” terdengar satu saudagar berkata. “Cio Loo-chungcu, kami mohon pertimbanganmu.”

Menuruti hawa amarahnya, Hek Pek Moko sudah lantas menuju pulang ke Tibet, karena kepergiannya itu, mereka titahkan keempat saudagar pergi berusaha ke Selatan, untuk menyelesaikan usaha mereka. Dua hantu ini, dengan sudah menyerahkan harta bendanya, tidak ingin melanjutkan pekerjaannya itu. Tidak demikian dengan keempat saudagar ini, mereka ini tidak puas, maka kebetulan sekali untuk mereka, di tengah jalan, mereka bertemu dengan Cio Eng yang tengah menyusul gadisnya. Mereka tuturkan pada Cio Eng apa yang mereka alami, tentang Hek Pek Moko juga, setelah mana, mereka minta jago tua ini membantu mereka. Mereka pun sebut-sebut nama Thio Tan Hong yang mereka tunjuk adalah pencuri di rumah Cio Eng pada malam itu. Mereka tahu, Cio Eng kalah lihai daripada Hek Pek Moko, akan tetapi chungcu ini besar pengaruhnya, kalau “Liok-lim-cian” diumumkan, mereka percaya, Thio Tan Hong, tidak akan dapat terbang lolos.



Mohon sesuatu dari lain orang. Lagi pula, menindih orang dengan kekuatan pengaruh, itu membuat mukaku tidak terang. Bicara terus terang, jikalau aku takut orang menyiarkan Liok-lim-cian, tadi begitu aku keluar, begitu lekas juga dapat aku menghabiskan jiwa kakak angkatmu itu. Aku justeru hendak membiarkan orang mencobanya, ya Cio Cui Hong dengan Ciu San Bin itu memang setimpal sekali, pantas kau di dalam kamar pengantin selalu menyebut-nyebut kakak angkatmu itu!”

Tan Hong ucapkan kata-katanya yang terbelakang itu secara wajar.

Biar bagaimana, In Li toh berduka, ia berkuatir. Tidak tahu ia, diantara Tan Hong dan Ciu Kian ada urusan apa, mungkin antara mereka itu ada ganjalan.

Thio Tan Hong awasi si nona, ia tersenyum.

“Melihat wajahmu, kau maju banyak,” ia kata. “Sekarang lanjutkanlah istirahatmu. Sebentar, selagi bersantap malam, akan aku ceritakan kau dongeng yang kedua.”

In Lui turut nasihat itu, karena ia berbakat baik, pada waktu hendak bersantap malam, kesehatannya telah pulih tujuh atau delapan bagian, hingga dapat ia makan rangsum kering.

Thio Tan Hong layani orang dahar, sambil melayani, ia ceritakan dongengnya.

“Pada jaman dahulu kala, ada sebuah negara,” demikian ia memulai. “Di dalam negara itu ada seorang menteri yang setia. Apa she dan nama menteri itu, tidak usah aku menyebutkannya. Sebab tidak peduli di jaman atau kerajaan apa, mesti ada saja semacam menteri setia itu. Mungkin dia she Thio, mungkin dia she Lie, bisa jadi juga dia she Ong atau she In...”

“Di samping negera itu, ada sebuah negara lain yang bertetangga dengannya. Kedua negara itu sering berperang satu pada lain. Suatu waktu, negara yang satu yang menyerbu, ada kalanya, negara yang lain yang menerjang, tapi, tidak peduli negara yang mana yang menerjang masuk, kesudahannya yang celaka adalah di rakyat jelata.

“Ketika terjadinya dongengku ini, kebetulan negara dari si menteri besar yang setia dan berpengaruh itu, menghendaki negara yang lain itu membayar upeti setiap tahun dan setiap tahun harus mengirim utusan selaku tanda hormat dan setia. Negara ini, yang kalah pengaruh, menjadi sangat tidak puas, maka itu ia mengumpulkan orang-orang cerdik pandai, hingga perlahan-lahan ia pun menjadi kuat. Negara si menteri besar dan setia itu tak senang melihat tetangganya menjadi kuat, dia berkuatir, segera dia kirim si menteri besar dan setia selaku utusan dengan tugas, di satu pihak untuk mempererat persahabatan katanya, di lain pihak untuk dengan cara diam-diam menyelidiki keadaaan yang besar dari negara taklukannya ini. Diluar sangkaan, menteri besar dan setia itu telah pergi dua puluh tahun lamanya...Eh, saudara kecil, kau kenapa?..Kau tahu, kenapa dia pergi sampai lamanya dua puluh tahun itu? Kiranya....Eh, adik Lui, adik Lui!”

Thio Tan Hong dongeng sambil mengawasi sahabatnya itu, selama hampir setiap detik, ia tampak air muka orang berubah sedikit demi sedikit, sampai waktunya ia menyebutkan “dua puluh tahun”, wajah In Lui menjadi pucat sekali dan tubuhnya pun bergoyang, bagaikan hendak rubuh, ia menjad kaget, maka dengan lantas ia ulurkan tangannya, untuk pegang tubuh orang, untuk cegah dia jatuh.

Walaupun keadaannya sedemikian rupa, bagaikan kesehatannya sangat terganggu dengan tiba-tiba, In Lui masih dapat bicara, malah ketika ia buka mulutnya, ia seperti menyambungi dongeng Tan Hong itu. Ia kata, “Kau tahu, kenapa menteri besar dan setia itu pergi sampai dua puluh tahun? Kiranya orang telah menahan dia, dia dipaksa menggembala kuda di tempat dimana ada banyak es dan salju! Sudah, toako, tak usah kau lanjutkan dongengmu ini, tak usah aku mendengarnya...”

Wajah Tan Hong juga lantas berubah menjadi pucat, sepasang alisnya dikerutkan. Agaknya dongengnya ini, dongeng yang tua, sekarang telah berubah menjadi kenyataan. Nampaknya, ia seperti telah sadar dengan tiba-tiba dari mimpinya. Dengan tajam ia terus awasi In Lui.

“Saudara kecil,” katanya kemudian, “kiranya kau telah ketahui dongeng ini. Kalau begitu, baiklah, besok malam aku akan ceritakan dongeng yang ketiga, nanti kau dapat mengerti semuanya. Saudara kecil, sekarang apapun kau tidak usah tanyakan, apa juga tidak usah kau mengatakannya. Kau harus beristirahat, tak dapat kau banyak bergerak dan banyak berpikir, nanti kau gagal memulihkan kembali kesehatanmu. Saudara kecil, mari aku bantu pula padamu.”

Ia cekal kedua telapak tangan In Lui, tangan itu, ia rasakan, berhawa panas. Ia juga lihat bahwa sinar mata si nona guram.

“Saudara kecil, hatimu sedang pepat,” ia kata. “Baiklah kau menunda sebentar untuk bersemedhi.”

Ia lepaskan cekalannya, lantas ia jalan mondar-mandir di dalam kamar rahasia itu, atau ia jalan mengitari ruangan.

In Lui mesti tenangkan hati, kalau tidak kesehatannya tak akan pulih. Ia lihat kelakuan orang itu, ia insyaf Tan Hong sedang berduka. Beberapa kali hendak ia menanya, ia batal, masih dapat ia kendalikan diri. Akhirnya, ia singkap rambutnya, ia tersenyum.

“Toako, perlu kau tidur siang-siang,” ia kata. “Akan aku sabarkan diri, untuk menanti sampai besok, guna mendengarkan dongengmu yang ketiga.”

Setelah mengucap demikian, hati si nona benar-benar menjadi tenang.

Thio Tan Hong pun tersenyum, ia angkat ouw-kimnya dari atas meja kemala, lantas ia akurkan talinya, terus ia menabuh, yang mana ia iringi dengan nyanyiannya sendiri.Ia nyanyikan sebuah syair pujian untuk kota Hangciu yang indah, syair dari jaman Kerajaan Song. Pandai ia menabuh, merdu ia bernyanyi.

Mendengar itu, lega hati In Lui, lenyap kedukaannya.

Habis memainkan lagu dan bernyanyi Tan Hong letakkan ouwkimnya di atas meja, terus ia hampirkan si nona. Ia usap-usap rambut orang.

“Adik kecil, kau tidur, tidurlah,” katanya perlahan.

Bagaikan kena pengaruh sihir, In Lui meramkan matanya, tidak lama, ia tertidur.

Besok pagi-pagi apabila ia mendusin, In Lui merasakan tubuhnya segar. Semalam ia tidur dengan nyenyak, tanpa gangguan. Girang Tan Hong menampak keadaan In Lui.

“Adik kecil, hari ini kau beristirahat pula,” katanya. “Habis ini, kesehatanmu akan kembali seluruhnya, malah tenaga dalammu bukannya berkurang, tapi bertambah!”

In Lui menurut, ia terus beristirahat, ia terus bersemedhi. Tan hong pun tak bosan-bosan selang setiap satu jam, dengan tetap ia berikan bantuannya, untuk mengempos semangat si nona. Demikian, selewatnya tengah hari, selesailah ia dengan cara pengobatan sam-yang dan sam-im nya. Wajah In Lui telah bersemu merah sekarang.

“Saudara kecil,” kata Tan Hong dengan girang. “Lewat lagi dua jam, kau akan pulih seanteronya!”

In Lui girang, ia tersenyum. Selagi ia terus bersemedhi, Tan Hong duduk sendirian di sisinya, memandangi gambarnya.

Berselang setengah jam, tiba-tiba Tan Hong kerutkan alis. Dengan kupingnya yang tajam sekali, ia dengar suara orang di luar pekuburan itu.

“Kenapa ada lagi orang datang mengacau?” ia berpikir.

Dengan sekonyong-konyong terdengarlah kuda Ciauw-ya Say-cu-ma berbenger, lalu disusul dengan satu suara sangat keras dan nyaring, yang mengakibatkan gempurnya pintu pekuburan, hingga debu pun mengepul. Lalu menyusul itu terlihatlah seekor kuda putih lari masuk, di punggungnya ada seorang dengan pakaian hitam.

Tanah dimana nancap tiang pintu memang telah lenyap kekuatannya, akan tetapi walaupun demikian, tidak sembarang orang dapat menggempurnya, sekarang orang berpakaian hitam itu dapat melakukannya, itulah suatu tanda bahwa tenaganya besar sekali. Dan yang lainnya yang mendatangkan keheranan adalah si kuda putih, kuda Ciauw-ya Say-cu-ma, kuda yang istimewa karena binalnya. Kuda ini tidak akan menurut kecuali pada majikannya, akan tetapi aneh, sekarang dia dapat dikendalikan orang lain.

Maka itu, di dalam kamar rahasia, In Lui dan Tan Hong terkejut.

Di ruang dalam, kuda putih itu berbenger pula dengan keras, berulang kali. Mulai dari pintu, dia sudah lari keras, sampai di dalam dia lari berputar-putar.

Di ruang dalam itu, si penunggang kuda lompat turun dari punggung kuda, begitu dia injak tanah, dia berulang kali perdengarkan panggilannya,” Tan Hong! Tan Hong!”

Sekarang diantara kaca rahasia, Tan Hong kenali orang itu, ialah Tantai Mie Ming, panglima dari negara Watzu.

In Lui kaget sekali, sampai ia menjerit, lalu ia gerakkan tubuhnya, untuk lompat turun, tetapi, belum sampai ia bergerak, ia segera rasakan pinggangnya lemah, kaku, hingga tak dapat ia bergerak.

Dengan sebat luar biasa Thio Tan Hong totok kawan ini menyusul mana dia berbisik di kuping si nona, “Saudara kecil, jangan bergerak, lanjutkan semedhimu! Aku hendak keluar, segera aku kembali. Kau sabar, kau tunggu, nanti aku tuturkan kau dongeng yang ketiga itu...”

“Tan Hong, kau ada bersama siapa di dalam?”

In Lui, yang terus memandangi kaca, dapat melihat dengan tegas. Kuda putih berdiri di samping Tantai Mie Ming, kuda itu seperti telah kenal baik pahlawan asing itu.

Tan Hong sudah lantas membuka pintu rahasia, dia lompat keluar. “St!” katanya.

Milihat si anak muda, Tantai Mie Ming berkata pula, “Tan Hong, Siangya......” Lalu mendadak, ia berhenti.

“St!” demikian suara Tan Hong pula.

“Tan Hong, ayahmu menyuruh kau pulang!” terdengar Tantai Mie Ming berkata. Tidak lagi ia menyebut “Siangya”, “Sri Paduka”, panggilan untuk perdana menteri.

“Tantai Ciangkun,” Tan Hong menyahuti, “tolong kau sampaikan kepada orangtuaku, setelah aku meninggalkan Mongolia, untuk selanjutnya hidupku adalah sebagai bangsa Tionghoa, dan aku tidak akan kembali lagi!”

Tantai Mie Ming tidak segera undurkan diri.

“Kau ingat, Tan Hong,” katanya, “sekalipun kau tidak memikirkan lagi ayahmu, kau toh mesti pikirkan dirimu sendiri. Seorang diri kau memasuki Tionggoan, diantara orang-orang gagah dari Tionggoan itu, siapakah yang ketahui dirimu, siapa yang tahu hatimu?”

Tapi Tan Hong menjawab dengan suara pelan.

“Walaupun tubuhku hancur lebur menjadi laksaan keping, akhirnya, tubuhku mesti dikubur di tanah Tionggoan! Inilah terlebih baik daripada mayatku dipendam di negara asing, hingga aku meninggalkan bau busuk di negara lain! Aku minta tolong kau sampaikan kepada orang tuaku, pesanlah agar dia rawat dirinya baik-baik.”

Mendengar sampai disitu, bukan main herannya In Lui.

“Kalau Tan Hong ada orang Tionghoa yang bertempat di Mongolia, kenapa Tantai Mie Ming berlaku begini baik padanya?” ia berpikir. “Tantai menyebutnya Siangya….Siangya….Mungkinkah Tan Hong ada?….”

Tak dapat nona ini berpikir terus, pikirannya itu terganggu oleh seruan Tantai Mie Ming. Panglima Watzu ini mengayunkan tangannya ketika ia menegaskan, “Apakah benar-benar kau tidak hendak turut aku pulang?”

“Tantai Ciangkun,” katanya dengan sangat masgul, “kenapa kau begini mendesak padaku?”

Kembali tangan Tantai melayang, kali ini ke arah dada.

Tan Hong tidak berkelit pula, ia menangkis, tapi karena ini, ia diserang pula, terus-menerus, setiap serangan panglima Watzu itu mendatangkan suara angin, satu kali dia menyambar batang leher orang, secara hebat.

Kalut pikiran In Lui. Ia heran, ia kaget, ia pun girang. Ia kaget karena serangan dashyat dari Tantai Mie Ming, serangan yang jauh melebihi hebatnya serangan dari Hek Pek Moko. Ia girang karena akhirnya Tan Hong membuat perlawanan, hingga teranglah sudah, Tan Hong itu bukan orang segolongan Mie Ming. Yang membikin ia heran dan curiga, adalah kata-kata “Siangya”, Sri Paduka Perdana Menteri. Ia sampai merasa ulu hatinya bagaikan ditikam pisau tajam. Ia jadi ragu-ragu untuk dirinya orang she Thio ini.

Oleh karena perlawanan Tan Hong itu, pertempuran jadi berlangsung hebat, tubuh mereka berdua melesat pergi datang, mendatangkan sambaran angin tak putusnya. Tubuh mereka bagaikan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak cepat tak hentinya.

Tantai Mie Ming gesit bagaikan kera, kepalannya berat bagaikan tubrukan harimau. Nyata ia sangat kuat dan lincah. Dengan serbuannya itu ia membuat Tan Hong tiap-tiap kali mundur.

In Lui bertegang hati, ia sangat berkuatir. Mau ia lompat, tapi tak dapat ia berbuat. Ia coba empos dirinya akan bebaskan diri dari totokan Tan Hong, ini pun tidak berhasil. Ia jadi mengawasi dengan mendelong, hatinya berdenyut keras.

Tiba-tiba Tantai Mie Ming ulur sebelah tangannya, menyambar tubuh Tan Hong, sambil menyambar, ia berseru nyaring, “Pergilah kau!”

Tan Hong kena disambar, lalu tubuhnya dilemparkan ke atas, dilepaskan dari cekalan.

In Lui kaget hingga ia meramkan matanya dan berseru tertahan. Begitu ia buka pula matanya, hatinya menjadi lega.

Tubuh Tan Hong terlempar, ketika jatuh ke tanah, ia perdengarkan suara, tetapi In Lui dapatkan ia tengah berdiri dengan tidak kurang suatu apa. Benar Tan Hong telah dilemparkan, tetapi ia dilemparkan hingga tubuhnya jumpalitan, maka itu, waktu tubuh itu turun, kakinya yang tiba lebih dahulu di tanah.

Sampai disitu, Tantai Mie Ming maju dua tindak kepada si anak muda. Ia tampak bersenyum.

“Tan Hong, tidak kecewa gurumu mengajari kau dengan susah payah!” katanya dengan kagum. “Kau benar-benar lihai! Karena kau sanggup melayani aku selama lima puluh jurus, kau boleh menjagoi di kalangan kang-ouw. Baiklah, kau boleh bawa dirimu, berlakulah hati-hati! Di depan ayahmu nanti, akan aku talangi kau bicara, kau jangan kuatir.”

Baru sekarang Tan Hong ketahui orang sebenarnya mencoba padanya, orang bermaksud baik. Karenanya, ia lantas menjura.

“Tantai Ciangkun, dalam segala hal, aku mengandal pada kau!” ia kata.

Tantai manggut, atau mendadak ia tanya, “Siapa itu di dalam kamar?”

“Dia adalah satu sahabatku,” Tan Hong beritahu. “Dia tidak ingin bertemu denganmu, dari itu aku mohon, dengan memandang aku, jangan kau membuat dia kaget.”

“Jikalau dia tidak sudi menemui, tak usah dia dipaksa,” kata Tantai. ‘Kau tahu, adalah maksud Thaysu bahwa pada bulan sepuluh….”

“St!” Tan Hong perdengarkan pula cegahannya.

Tantai berhenti dengan tiba-tiba, lalu ia tertawa.

“Setelah sekarang ini, tak dapat diketahui di belakang hari kita akan bertemu pula atau tidak,” kata dia, menyambungi, “maka marilah kau keluar, untuk kita bicara sebentar.’’

Tanpa tunggu jawaban, Tantai sambar tubuh Tan Hong, untuk dibawa lompat naik ke atas kuda, kuda mana segera dikeprak untuk dilarikan keluar kuburan.

In Lui bernapas lega, atau segera ia merasa tertekan pula, seolah-olah jantungnya ditindih batu seberat seribu kati. Bukankah Tan Hong diajak keluar dengan paksa? Tapi karena ia tidak berkuatir, cuma hatinya yang tidak tenteram, lekas-lekas ia bersemedhi, untuk tenangkan diri. Ia empos semangatnya, ia mencoba kerahkan tenaga dalamnya. Kali ini, di luar dugaannya, ia berhasil. Ia bebas dari totokan. Maka lantas saja ia lompat turun.

“Kau tunggu, akan aku pecahkan rahasia dirimu!” ia kata di dalam hatinya. Ia melihat ke sekitarnya. Ia dapatkan pedang Tan Hong masih tergantung di tembok. Ia hampirkan pedang itu dan menurunkannya. Ia periksa gagangnya, ia dapatkan ukiran dua huruf “Pek In”, Mega Putih. Lantas hatinya memukul.

Pek In beserta Ceng Beng adalah dua pedang atau sepasang pedang yang menjadi peryakinannya Hian Kee It-su. Ceng-beng-kiam telah diwariskan kepada Cia Thian Hoa, pedang Pek-in-kiam kepada Yap Eng Eng. Inilah sebab yang menggoncangkan hati si nona.

“Darimana Tan Hong peroleh pedang ini?” dia tanya dirinya sendiri. “Apa mungkin dia murid sam-supeh?”

Ia awasi pula pedang itu, yang bergantungkan sepotong batu kemala dan berukirkan naga-nagaan. Ia meneliti batu itu, yang pun ada ukiran-ukiran huruf-huruf “Yu Sin-siang-hu”, artinya Istana perdana menteri muda. Di samping ukiran itu masih ada lain ukiran huruf-huruf yang halus sekali, yang menjelaskan darimana asal pedang itu. Huruf-huruf halus itu berbunyi, “Hadiah dari Raja ketika anak Hong dilahirkan.”

Kaget In Lui, lemas kaki tangannya, hingga dengan menerbitkan suara nyaring, pedang Pek-in-kiam itu terlepas dari cekalannya dan jatuh ke lantai.

Terang sudah sekarang bagi In Lui, pemuda itu dengan siapa ia berada sekian lama adalah putera Thio Cong Ciu yang dipandang sebagai pengkhianat besar dan menjadi musuh besar dari kaum keluarga In. Maka itu, untuk sejenak, kosonglah hatinya, tak sanggup ia berpikir, ia seperti bukan lagi berada di dalam dunia.

Tiba-tiba In Lui, dengan membawakan tangannya ke dada, tanpa merasa, telah membentur suatu barang yang kecil tapi keras. Ia ingat, itu adalah warisan dari kakeknya, surat darah kulit kambing. Selama sepuluh tahun selalu ia bawa warisan istimewa itu, yang bunyinya “Turunan keluarga In, dimana saja ia bertemu dengan turunan keluarga Thio Cong Ciu, tak perduli lelaki atau perempuan, turunan keluarga Ciu itu mesti dibinasakan.” Sudah sepuluh tahun surat wasiat itu disimpan, rasanya masih saja ada bau bacinnya.


In Lui rasakan tubuh dan hatinya gemetar. Ia menjadi ngeri tidak keruan. Surat wasiat berdarah itu bagaikan es yang sangat dingin, yang mengurung dirinya. Ia pun merasakan bagaikan ada tenaga yang tak dapat ia melawannya, yang menitahkan ia membunuh Thio Tan Hong dengan tangannya sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara kuda dari luar liang kubur, itulah tanda bahwa Thio Tan Hong telah kembali. In Lui segera tetapkan hati, ia sampai kertakkan gigi, ia menggigitnya dengan keras. Dengan cepat ia kembali ke tempatnya beristirahat, ia duduk sambil tunduk, bagaikan ia tengah bersemedhi, padahal ia sedang umpetkan mukanya yang pucat pasi itu, supaya Tan Hong tidak dapat melihatnya. Hatinya memukul keras, ia coba menenangkannya.

Thio Tan Hong menolak pintu dengan perlahan-lahan, ia bertindak masuk.

“Dongengku yang ketiga segera akan aku tuturkan,” katanya sambil tertawa. “Kali ini aku mempercepat waktunya. Eh, saudara kecil, kau kenapa?”

Kendati ia menanya demikian, Tan Hong sebaliknya hampirkan kaca, di depan mana ia rapikan rambutnya yang kusut. Tiba-tiba saja pada kaca itu terlihat bayangan In Lui, kedua mata siapa mendelik berapi, tangannya tengah menikam dengan pedang.

Bergetar tangan In Lui itu, tapi hebat serangannya, hingga kaca perunggu itu pecah karenanya. Tan Hong lolos dari ancaman bencana, pedang itu lewat di samping lehernya, di atas pundak, langsung mengenai kaca itu.

“Saudara kecil, saudara kecil, kau dengar aku....” kata Tan Hong sambil berpaling.

In Lui tidak memperdulikannya, ia menikam pula, kali ini sambil meramkan mata, ketika ternyata ia kembali gagal, terus ia mengulangi hingga tiga kali.

Tan Hong masih berkelit, yang terakhir ia lompat melewati meja.

Segera juga terdengar tangis In Lui.

“Aku sudah tahu semua!” teriaknya. “Tak usah lagi kau tuturkan dongengmu yang ketiga!” ia lompat maju, lagi-lagi ia menyerang.

Tan Hong egoskan tubuhnya, ia menghela napas.

“Kau toh cucu perempuan dari In Ceng?” dia tanya.

“Dan kaulah anak musuh keluargaku!” teriak si nona, seraya menikamkan pedangnya kearah ulu hati.

Dengan sekonyong-konyong saja Tan Hong pasang dadanya.

“Baiklah, saudara kecil, tikamlah!” berkata dia. “Tak mau aku minta maaf padamu!”

Pedang menyambar, tetapi menyimpang ke kanan Tan Hong, dengan begitu bahu pemuda itu lantas saja mengeluarkan darah. Pemuda ini benar-benar tidak berkelit dari tikaman itu, adalah si nona yang tak dapat menarik pula pedangnya, telah menggeser incarannya. Masih Tan Hong tidak menyingkir.

“Adik kecil,” berkata pula si anak muda, “kalau sebentar kau telah binasakan aku, kau jangan terus turuti hawa amarahmu, jangan gusar, hanya duduklah diam-diam kira-kira satu jam. Di atas meja kemala itu ada satu botol kecil dari perak, yang berisikan obat, itulah obat yang sengaja aku sediakan untukmu, guna menguatkan tubuhmu. Nah, sudah, adik kecil, tak mau aku mohon maafmu, kau tikam pula padaku!”

Kedua mata In Lui lantas mencucurkan air mata, tangannya gemetar, hatinya dirasakan sakit, hampir saja terlepas pedang Ceng-beng-kiam dari cekalannya. Berbareng dengan itu, ia juga merasakan seperti surat wasiat darah di dadanya menjadi besar bagaikan bukit, seperti menindih sangat berat kepada hatinya, sebagai juga ia dipaksa untuk melakukan pembalasan sakit hati.

Sesaat saja Nona In berdiam, lantas ia acungkan pedangnya.

“Ambillah pedangmu!” ia kata kepada anak muda di depannya. “Aku tidak hendak membinasakan seorang yang tidak memegang senjata di tangannya!”

Nona ini tahu baik Tan Hong ada terlebih kosen daripadanya, jikalau mereka berdua bertanding, yang akan terbinasa bukannya si anak muda, tapi dia sendiri, setahu kenapa, dia menghendaki Tan Hong tempur padanya, dia seperti ingin terbunuh Tan Hong. Dia seperti percaya, dengan binasanya dia di tangan Tan Hong, tidak nanti dia merasa kecewa terhadap kakeknya.

Tan Hong berdiri di tempatnya, tanpa bergerak, cuma wajahnya yang berubah daripada biasanya. Ia kelihatan nangis bukan, tertawa bukan. In Lui tak berani mengawasi air muka orang itu.

Melihat orang terus berdiam, si nona kertak giginya, ia jemput Pek-in-kiam yang terletak di tanah, terus ia lemparkan itu kepada si anak muda.

“Permusuhan kita kedua keluarga ada permusuhan sangat besar bagaikan langit!” ia kata. “Maka itu, jikalau bukannya kau yang mati, tentulah aku! Lekas kau hunus pedangmu!”

Thio Tan Hong sambuti pedannya itu.

“Adik kecil,” berkata dia, dengan suara duka, “aku telah angkat sumpah, selama hidupku ini, tidak hendak aku bertempur dengan kau, maka itu jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah! Saudara kecil, jikalau kau tidak hendak turun tangan, aku akan pergi dari sini!”

In Lui membabat ke arah muka Tan Hong, akan tetapi pedang cuma berkelebat di depan muka, lalu ditarik kembali.

Menampak demikian, Tan Hong menghela napas, lantas ia lompat keluar dari kamar rahasia itu, setibanya di luar segera ia lompat naik ke atas kuda putih.

“Adik kecil, rawatlah dirimu baik-baik!” terdengar ia berkata dengan nyaring. “Saudara, aku pergi!”

Dengan bengernya kuda satu kali, sunyilah istana Hek Pek Moko itu, malah sedetik kemudian, Tan Hong sudah berada jauhnya beberapa lie. Di lain pihak, In Lui berdiri menjublak, pedangnya telah jatuh ke lantai. Di hadapan nona ini, segala apa ada suram, gelap.



VIII



Di luar pekuburan terdengar kuda berbenger, lalu keadaan menjadi sunyi dan Thio Tan Hong telah lenyap.

Biarlah Thio Tan Hong lenyap untuk selama-lamanya! Misalkan saja di dunia ini belum pernah ada Thio Tan Hong itu!

Demikian pikiran aneh yang melayang di kepala In Lui. Tapi Thio Tan Hong yang berdarah daging, yang telah berdiam bersama ia di dalam kamar rahasia, bagaimana bisa dia tidak ada di dunia? Tiga hari mereka berada bersama.

Ya, Thio Tan Hong telah pergi jauh, Thio Tan Hong tak tertampak pula. Benarkah dia telah menghilang? Oh, tidak, tidak! Lihat! Kau lihat, dia telah kembali, dia kembali, dia kembali! Bayangannya, secara sangat samar, secara perlahan sekali, telah nelusup masuk ke dalam hati In Lui, dan surat wasiat berdarah itu, telah hilang dialingi bayangan Thio Tan Hong itu.

In Lui berada dalam kegelapan, ia bagaikan meraba-raba. Membencikah ia? Mencintakah ia? Girangkah ia? Atau, berdukakah ia? Inilah ia tidak ketahui, tak dapat ia membeda-bedakannya. Kebaikan budi dan permusuhan sudah melibat menjadin satu, begitupun sang cinta dan kebencian, tak dapat itu diputuskan dengan gunting, hendak dibereskannya, tetap kusut.

Pada saat itu, tak dapat In Lui memikir apa jua, otaknya bagaikan kosong, tak suatu apa ketinggalan di kepalanya. Tapi dalam keadaanya seperti itu, dengan lapat-lapat ia seperti tampak Thio Tan Hong tengah mendatangi ke arahnya, dan akhirnya pemuda itu berbisik di telinganya, “Adik kecil, adik kecil...”

In Lui seperti mendengar kebengisan yang agung dari kakeknya, ia seperti melihat mata yang menyinta dari ibunya...Ia mendengar satu suara yang halus sekali, yang memanggil-manggil padanya. Di dunia dimana ada suara si lemah itu? Dimana ada sinar mata sehalus itu?

Itulah suara Tan Hong tadi. Itulah sinar mata Tan Hong tadi.

Kedua mata In Lui dengan perlahan-lahan menggeser, berpindah ke arah meja berbatu kemala, di atas mana Tan Hong telah meletakkan botol peraknya yang kecil. Itulah botol yang berisikan obat yang Tan Hong sediakan untuknya.

“Bukankah itu ada barang musuh? Tidak, tidak, tak dapat aku memakannya. Tetapi ini ada barang yang menandakan kebaikan terakhir dari Tan Hong. Tidak, tidak selayaknya aku menolaknya.”

Kembali dua macam pikiran bertentangan satu pada lain. Kembali dengan sayup-sayup si nona seperti melihat sinar mata menyinta dari Tan Hong tengah mengawasi ia, lalu di kupingnya terdengar suara yang halus dan merdu. “Adik kecil, meski benar lukamu telah sembuh, akan tetapi tenaga dalammu belum pulih seanteronya, maka, adikku, makan, makanlah obat itu..”

Itulah sinar mata yang tak dapat ditentang, itulah suara halus yang tak dapat dibangkang. Tanpa merasa, In Lui ulur tangannya, menjemput botol itu, dari dalamnya ia keluarkan tiga butir obat warna merah terus ia masukkan ke dalam mulutnya.

Sekonyong-konyong dari luar kuburan terdengar kuda meringkik.

In Lui terperanjat, hatinya goncang. Dengan gesit dia lompat bangun, hatinya pun berpikir, “Mustahilkan dia kembali?”

Tiba-tiba terdengar satu seruan dari kegirangan yang meluap-luap, lalu disana, di lorong kuburan, tampak Ciu San Bin lari mendatangi dengan keras sekali.

“Adik In! Oh, sungguh benar kau berada disini?” demikian seru she Ciu itu. Tapi segera suara itu disusul suara kaget dan sangat berkuatir, “Eh, eh, adik In, apakah kau terkena tangan jahat binatang itu?”

In Lui perlihatkan senyuman tawar, ia mengeleng-gelengkan kepalanya.

San Bin sudah lantas sampai pada si nona, malah segera ia duduk di sampingya, terus ia tatap muka orang. Ia tampak satu wajah yang kumal, roman yang lesu, seperti orang kehilangan semangat, maka itu, ia merasa kuatir untuk nona itu.

In Lui berdiam, ia coba menenangkan diri.

“Kiranya kau dan dia bersembunyi di dalam kuburan,” kata San Bin. “Apakah dia tidak mengganggu padamu? Tahukah kau, siapa dia? Dia adalah putera pengkhianat besar Thio Cong Ciu! Ya, dia adalah musuh besar dari kakekmu!”

San Bin menyangka, mendengar perkataanya itu, si nona akan kaget, tapi sangkaannya meleset.

“Ya, aku sudah tahu,” sahut si nona, perlahan sekali.

Maka itu, adalah San Bin yang terperanjat bahna herannya, hingga ia lompat berjingkrak.

“Apa?” tanyanya separuh berteriak. “Kau telah ketahui? Bila kau ketahui itu?”

Tubuh In Lui tetap tidak bergerak.

“Baru saja aku mengetahuinya,” ia menyahut, tetap dengan perlahan. “Tantai Mie Ming barusan datang kemari...”

San Bin keluarkan napas lega.

“Begitu?” katanya. “Aku heran, kalau kau tahu dia ada musuhmu, kenapa kau ada bersama dia. Apakah kau telah bertempur dengannya? Apakah kau tidak terluka?”

“Aku terluka di tangan Pek Moko,” kata In Lui beritahu. “Dia justeru yang mengobati aku…”

San Bin heran.

“Dia?” ia ulangi. “Dia siapa?”

“Ialah dia musuhnya kakekku.”

San Bin melengak.

“Apakah dia tidak tahu bahwa kau cucu perempuan In Ceng?” tanyanya.

“Aku telah menikam dia dengan pedang. Dia telah mendapat tahu.”

Kembali San Bin melengak. Tapi kali ini segera ia sadar.

“Oh, aku tahu sudah!” ia kata. “Mulanya anak pengkhianat itu tidak tahu bahwa kau adalah musuhnya, maka itu ia berdaya mengambil hatimu, supaya kau dapat digunakan untuk keuntungan dia, kemudian setelah kau tikam padanya, dan ia tahu bukannya tandinganmu, ia lari kabur! Sayang kau tengah terluka, tenagamu belum pulih, jikalau tidak, pasti kau dapat membunuhnya. Coba kau ketahui, tidak usah kau berdaya demikian keras.”

In Lui tunduk, ia tidak berkata suatu apa.

Tapi San Bin, sambil tertawa, berkata pula, “Jikalau aku tahu ilmu silatnya tidak lihai, tidak nanti aku berdaya keras, hingga aku minta Hong-thian-lui Cio Eng mengirimkan Lok-lim-cian…”

In Lui terkejut.

“Apa? Lok-lim-cian?” dia Tanya.

San Bin tertawa.

“Pengalamanmu mengenai kaum kang-ouw masih belum banyak,” ia berikan keterangannya. “Apakah benar kau masih belum tahu apa itu lok-lim-cian? Itulah panah titah yang dikirim pemimpin kaum Lok-lim kepada jago-jago Lok-lim, siapa yang melihat itu, dia tentu akan datang untuk memberikan bantuannya walaupun dia mesti terjang api. Adik In, inilah pengaruh malaikat atau iblis yang membuat anak Thio Cong Ciu berani seorang diri saja masuk ke Tionggoan. Adik, pastilah sakit hatimu akan dapat dibalas, dilampiaskan.”


Pada mata In Lui, surat wasiat berdarah itu tampaknya seperti melar semakin besar. Pada saat itu, tak tahu ia, warta San Bin ini harus diterima dengan kegirangan atau kedukaan. Ia tahu, pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut balas, tidak dapat diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun. Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain orang? Pantaskah kalau ia tidak turun tangan sendiri?

Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti tercincang golok kaum Rimba Hijau, tidak berani ia membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia memikirkannya.

“Adik In,” terdengar pula San Bin berkata, “sejak kau meninggalkan gunung, aku selalu pikirkan kau…”

Suara itu sangat perlahan, manis terdengarnya.

“Banyak terima kasih untuk perhatianmu,” katanya, lemah.

Kecewa San Bin melihat orang lesu.

“Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan kau,” berkata pula pemuda she Ciu. Itu, “sayang, aku senantiasa repot. Mana bisa aku segera cari kau? Baru satu bulan yang lalu mata-mataku di perbatasan dapat mengendus bahwa putera Thio Cong Ciu sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor kuda putih, kuda jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-orang kita. Rata-rata orang anggap kedatangan Thio Tan Hong ke Tionggoan tidak nanti ia mengandung maksud baik, pasti dia mengandung tujuan untuk mengacau-balau Tiongkok, maka itu ayah menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan supaya bekerja sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk bersama membekuk dia. Begitulah lok-lim-cian telah disiarkan. Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin Rimba Hijau dari kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Cio Eng, dari itu aku sudah lantas cari ketua she Cio itu. Sayang, ketika aku sampai di rumahnya, Cio Loo-enghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku Cuma dapat bertemu dengan puterinya. Dari Nona Cio aku mendapat keterangan, kau telah menjadi baba mantu Cio Loo-enghiong itu. Selagi aku cari Cio Loo-enghiong, dia sendiri sedang mencari kau. Haha, adik in, sandiwaramu ini membikin aku tertawa geli sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Cio itu sungguh-sungguh menyintai kau!”

In Lui tersenyum.

“Bagaimana kau lihat Nona Cio itu?” dia Tanya.

“Ilmu silatnya cukup baik,” sahut San Bin.

“Yang lainnya lagi?” Tanya pula In Lui.

“Aku kenal dia sebentar saja, mana aku ketahui sifatnya yang lain lagi?” San Bin membaliki.

In Lui bersenyum pula. Hendak dia berkata pula, tapi ia tercegah halnya lok-lim-cian, panah Rimba Hijau itu. Ia bingung, Cio Eng begitu menghormati Thio Tan Hong, kenapa dia bekerja sama dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu? Inilah satu soal, yang perlu ia ketahui jelas.

San Bin tidak ketahui apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun tidak. Ia bicara terus.

“Itu hari bersama-sama nona Cio aku telah kejar muridnya Tantai Mie Ming,” kata dia. “Murid Mie Ming itu menunggang seekor kuda pilihan, kita kejar dia sampai kira-kira lima puluh lie, tapi tak dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua telah kehabisan tenaga. Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul terus.”

“Bagaimana dengan Nona Cio?” Tanya In Lui.

San Bin tertawa.

“Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu maksud!” katanya. “Terus-menerus kau angkat aku, dari suaramu, agaknya kau merasa kurang puas terhadap kakak angkatmu ini, hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh kakak angkatmu? Ada hubungan apa antara Nona Cio itu dengan aku?”

Di dalam hatinya, In Lui tertawa. Ia ingat halnya sendiri pada malam pengantin, terhadap Cui Hong berulang kali ia menyebut-nyebut San Bin.

San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula, “Oleh karena kita gagal mengejar musuh itu, Cui Hong dan aku berselisih mulut sebentar, katanya dia hendak pulang sendirian saja, tidak ingin dia mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia pun membikinn banyak ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya, seperti juga dia anggap sanhu itu bagaikan jiwamu.”

Tanpa merasa, In Lui tertawa.

San Bin berkata pula, “Aku tahu, batu itu engkaulah yang memberikan padanya selaku tanda mata terhadapmu, dia sangat menyinta, pantas ia sangat menyayangi batu itu.”

In Lui tertawa.

“Tetapi kali ini adalah kau memberikan dia tanda mata, bukannya aku yang memberikannya!” katanya.

“Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti, aku robek mulutmu!” Dan ia ulur tangannya.

In Lui palingkan mukanya, masih ia tertawa.

“Mari kita bicara dari hal urusan yang benar,” ia kata kemudian. “Nona Cio tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari manakah kau dapatkan panah Lok-lim-cian itu?”

“Itu adalah kejadian yang kebetulan saja,” jawab San Bin. “Sesudah nona Cio tidak mau mengajak aku, dia berangkat, kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke barat. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan Hong-thian-lui Cio Eng, ayahnya itu. Cio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama gadisnya. Rupanya ayah dan anak itu mengambil jalan yang berlainan, hingga mereka tak bertemu satu dengan lain.”

“Bukankah Cio Loo-enghiong itu ada bersama empat saudagar barang permata?” In Lui tanya.

“Benar! Dia jalan terburu-buru, seperti mempunyai urusan sangat penting, hingga dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta lok-lim-cian padanya. Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak padanya, untuk menceritakan gadisnya, tapi dia sudah mendahului mengoyang-goyangkan tangannya dan berkata ‘nama Kim-too Ceecu sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui? Kau hendak bekuk seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak berampun, maka tentang dia, tak usah kau menjelaskannya. Kau perlu Lok-lim-cian, kau boleh dapatkan itu. Aku mempunyai urusan penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau. Siauwceecu, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau datang ke Hek-sek-chung, nanti kita pasang omong dengan asyik’. Tanpa tanya apa-apa lagi, ia serahkan Lok-lim-cian padaku, terus ia ajak keempat saudagar itu melanjutkan perjalanannya.”

“Oh, demikian duduknya hal….” In Lui berpikir. “Coba Cio Eng menanyakan nya dan ia ketahui siapa yang hendak dibekuk orang she Ciu ini, tidak nanti akan terjadi kekeliruan semacam ini.”

“Aku bertemu dengan Cio Loo-enghiong di ekeat tanjakan Beng-liang-kong,” berkata pula San Bin, “tempat itu adalah daerah pengaruhnya Ceecu Na Thian Sek. Aku lantas pergi menemui Thian Sek, aku serahkan Lok-lim-cian kepadanya sambil menitahkan dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada seluruh kaum Rimba Hijau. Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar-dengar kabar. Lancar jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama antara Cio Eng dan ayahku, ada beberapa orang yang tadinya tidak sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di tempatnya masing-masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In, kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa? Kenapa kelihatannya tidak gembira?”

San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini karena tiba-tiba saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan tetapi nona itu, begitu ditegur, dia paksakan diri untuk tertawa.

“Sebenarnya aku merasa kurang sehat,” ia kata. “Tapi sekarang aku sudah sehat, aku, aku girang sekali.”

“Tentang Lok-lim-cian itu tidak usah aku memperhatikannya terlebih jauh,” San Bin menerangkan pula. “Satu kali panah telah dikirimkan, orang-orang Lok-lim sendiri masing-masing tahu bagaimana harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di tempat ini aku bertemu dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari kau. Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!”

In Lui berdiam.

San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar suatu apa, lantas ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya memasang kupingnya.

“Apakah ada orang tengah mendatangi?” tanya In Lui menyaksikan kelakuan orang itu. “Kenapa aku tidak dengar apa-apa?”

San Bin lantas bangkit pula.

“Ada orang datang, tapi masih jauh,” sahutnya. Lantas ia lari keluar, untuk coba menutup pintu, kemudian ia kembali.

Itulah “Hek-tee teng-seng” atau ilmu memasang kuping sambil mendekam di tanah yang San Bin gunakan, itu adalah suatu ilmu istimewa. Pernah In Lui pelajari ilmu itu tetapi belum sempurna.

San Bin awasi si nona, lalu ia bersenyum.

“Bukankah baik kau salin pakaian?” katanya.

Merah wajah In Lui. Kata-kata San Bin seolah-olah teguran untuknya. Sambil tunduk, ia bertindak masuk ke dalam kamar rahasia, yang pintunya terus ia tutup.

Ditinggal seorang diri San Bin berpikir keras. Ia sangsikan nona ini, ia bercuriga. Bukankah selama ia belum ketahui Thio Tan Hong ada musuhnya, In Lui telah bergaul rapat sekali dengan Tan Hong? Sampai dimana pergaulan mereka?

In Lui sendiri, selagi ia buka bungkusan pakaiannya, di kepalanya seperti terbayang wajah Thio Tan Hong yang seolah-olah sedang tertawa, kupingnya seperti berulang kali mendengar, “Adik kecil, adik kecil…” suara itu halus dan manis yang menggoncangkan semangat. Ia menjadi tidak keruan rasa, hingga ketika ia angkat bajunya, baju untuk wanita, ia merobeknya. Kenapa ia menjadi sengit? Bencikah ia pada bajunya itu? Tidak. Tak tahu kenapa dengan mendadak ia jadi sengit. Lalu timbul keinginan untuk menjadi seorang lelaki! Ia percaya, kalau ia menjadi seorang pria, mungkin tak akan dialaminya segala kesukaran ini.

Tengah memeriksa pakaiannya, nona ini lihat sepotong baju merah tua. Ia ingat, inilah baju yang pertama kali ia pakai setelah Tan Hong ketahui bahwa dia adalah satu nona. Ketika itu, Tan Hong, yang mengawasinya dengan tajam padanya, sangat mengagumi dan memuji kecantikannya. Ia lantas menghela napas. Ia terus pandang bajunya itu. Ya, tidak salah, itulah baju yang dipuji Tan Hong. Ia lantas usap-usap baju itu, lalu disimpan secara hati-hati juga.

Di luar kamar rahasia, terdengar tindakan kaki San Bin, yang rupanya sedang jalan mondar-mandir. Mendengar itu, mendadak In Lui sadar dari lamunannya.

“Pastilah tak sabara Ciu Toako menantikan aku!” pikirnya, maka ia lantas pilih seperangkat pakaian pria dan segera dipakainya dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia bertindak keluar.

San Bin tengah sandarkan tubuh di pintu batu.

“Kau dengar tidak tindakan kaki kuda itu?” dia berkata. “Orang telah datang semakin dekat. Orang yang datang ke tempat pekuburan ini, mestinya bukan sembarang orang. Bagaimana dengan kesehatanmu? Dapatka kau menggunakan pedangmu?”

“Rasanya aku dapat,” jawab In Lui. “Ciu toako, coba kau tuturkan pula adanya tentang Lok-lim-cian.”

Itulah pertanyaan yang San Bin tidak sangka, ia menjadi heran. Bagaimana dalam keadaan demikian si nona masih sempat menanyakan urusan panah kaum

Rimba Hijau itu?

“Aku percaya, sekarang ini, panah itu sudah tersiar luas,” ia menjawab. “Apa lagi yang hendak dibicarakan mengenai panah itu?”

“Di dalam propinsi Shoasay ini, siapakah jagonya Lok-lim?” In Lui tanya.

San Bin mengawasi, ia tertawa.

“Ah, apakah kau sangsi tak akan dapat menuntut balas?” dia bali menanya. “Di dalam propinsi ini, ada banyak jago Lok-lim! Ya, aku sampai lupa memberitahukan kau satu hal. Kau tahu, Ji-supeeh Tiauw Im Taysumu, yang belum lama ini baru kembali dari Mongolia, sekarang berada di daerah ini. Jangan-jangan dia pun telah mendapat tahu tentang panah kita itu.”

In Lui heran.

“Adakah itu benar?” dia tanya. “Kapan ji-supeeh pergi ke Mongolia? Apakah kau telah bertemu padanya?”

“Aku sendiri tidak menemuinya, aku dengar pembicaraan orang,” sahut San Bin. “St, jangan kau bicara pula! Dengar, di luar ada suara orang memanggil kau!”

Memang benar kata-kata orang she Ciu ini.

“In Lui! In Lui!” demikian suara panggilan di luar pekuburan.

Itulah suara Cui Hong.

In Lui heran hingga ia tercengang. Baru ia hendak berkata, “Jangan bukakan pintu,” San bin sudah pentang pintu kuburan, hingga nona Cio bisa lari masuk, larinya keras sekali.

Begitu ia lihat In Lui, Cui Hong girang bukan kepalang.

“In Siangkong, kau benar ada disini!” dia berseru. Cuma itu yang ia dapat katakana, lantas saja ia menangis tersedu-sedu, menangis karena girangnya.

“Luka In Siangkong baru baikan, kau jangan ganggu dia,” San Bin peringatkan.

Baru sekarang Cui Hong lihat pemuda she Ciu itu, untuk sedetik ia tercengang, habis itu, sepasang alisnya berdiri, wajahnya menunjukkan kegusaran.

“Kita ada suami-isteri, kenapa kau usilan?” dia bentak. Tapi terus ia hampirkan In Lui.

“In Siangkong, adakah kau terkena tangan jahat Hek Pek Moko?” dia tanya dengan perlahan sekali.

In Lui manggut.

“Kau jangan kuatir, sekarang ini aku sudah sembuh,” ia jawab. Ia pegang tangan si nona, untuk ditarik. “Benar apa yang dikatakan Ciu Toako, perlu aku beristirahat. Kau lihat, hari sudah sore.”

Muka Cui Hong menjadi bersemu merah.

“Kau bantu kakak angkatmu, kau tidak perhatikan aku…..”katanya dalam hati, saking mendongkol. Ia Cuma bisa berpikir, tidak berani ia utarakan kemendongkolannya itu.

San Bin disamping mereka tertawa perlahan.

“Eh, kau tertawakan apa?” tegur Cui Hong, matanya mendelik.

In Lui menyelak tanpa tunggu jawaban San Bin yang bersenyum.

“Aku sudah lapar, Nona Cio, tolong kau masakkan aku makanan,” demikian katanya. “Disini ada beras, ada daging. Ingin aku beristirahat, maka kalau nanti makanan itu sudah sedia, baru kau panggil aku…”

Habis berkata terus ia masuk ke dalam kamar rahasia.

San Bin hendak ikuti si nona, baru ia jalan dua tindak, Cui Hong sudah perdengarkan suaranya yang kaku, “Eh, mari kau bantui aku ambil air untuk cuci beras!”

Biar bagaimana, pemuda ini jengah, urung ia masuk ke dalam kamar rahasia.

In Lui menoleh, ia bersenyum kepada pemuda itu. Ia bagaikan anak nakal yang merasa sangat puas karena berhasil mengodai orang.

San Bin masgul sekali, dengan mulut membungkam ia bantui Cui Hong mengambil air untuk cuci beras, lalu menyalakan api, untuk memasak nasi.

Cui Hong juga bungkam terus, tidak ia perdulikan anak muda itu, suatu tanda ia murka.

Adalah In Lui, yang katanya hendak beristirahat, di dalam kamar rahasia sudah mengasah otaknya. Ia pikirkan, dengan cara bagaimana dapat ia menjodohkan kedua pemuda dan pemudi mitu. Ia tersenyum bila ia dengar orang tidak perdengarkan suara satu pada lain.

“Cui Hong sangat membenci dia, itulah tentu disebabkan karena ia menyangka aku sangat berpihak pada toako San Bin,” ia pikir. “Tapi kalau nanti ia ketahui aku pun seorang wanita sebagai dia, pastilah dia akan tertawa. Adakah ini yang dikatakan, kalau bukan musuh tidak berkumpul menjadi satu?”

Selagi memikir demikian, Nona In ini jengah sendiri. Tidakkah ia pun demikian ketika pertama kali ia bertemu dengan Tan Hong? Tidakkah ia juga semula menpunyai perasaan jemu? Karena ini, ia menghela napas sendirinya.

In Lui tidak tahu berapa lama ia telah melamun, tahu-tahu dia dengar Cui Hong mengetok pintu kamar.

“In Siangkong, nasi sudah matang!” kata “isteri” itu.

Bagaikan baru sadar dari mimpinya, dengan gugup In Lui buka pintu. Ia lantas dapat tenangkan diri. Tapi begitu lekas ia tampak sikap San Bin dan Cui Hong berdua, yang tetap masih saling membungkam dan tak perdulikan satu sama lain, tak tertahan lagi, ia tertawa.

Cui Hong dan San Bin berebut hendak menyajikan nasi untuk In Lui. Karenanya, nona itu kembali deliki si anak muda, hingga dia ini dengan jengah mesti mengalah.

In Lui tersenyum, ia sambuti nasi dari Nona Cio.

San Bin jengah, kuatir ia nanti ditertawakan In Lui, ia diam dengan muka yang merah.

“Cui Hong,” berkata In Lui kemudian, “Ciu Toako adalah Jit Goat Siang-kie Kim Too Siauw Ceecu. Ia ada seorang yang banyak pemandangannya, luas pengetahuannya. Maka, itu pantaslah kalau kau meminta pengajaran darinya.”

Dengan sengaja In Lui menyebutkan lengkap “Jit Goat Siang-kie Kim Too Siauw Ceecu” atau Ceecu muda berjuluk Kim Too, si Golok Emas, dari pesanggrahan yang berbendera Jit Goat Siang-kie, bendera sepasang matahari dan rembulan.

Mendengar itu Cui Hong perdengarkan suara di hidung, “Hm!”

“Memang telah aku ketahui kakak angkatmu itu ada seorang gagah yang luar biasa,” demikian katanya secara memandang enteng. “Jikalau bukannya begitu, cara bagaimana kau begini mendengar kata terhadapnya?”

Mendengar demikian, San Bin menjadi sangat jengah. Tidak demikian dengan si nona In, yang tak perdulikan ejekan itu. Ia telah menduga yang ia akan mendapat sambutan demikian. Sambil tertawa, ia berkapa pada si nona, “Turut katanya Ciu Toako, itu hari kau terburu-buru pulang, kenapa sekarang kau keluar pula?”

“Memang,” jawab Cui Hong. “Tidak lama setibanya aku di rumah, ayah pun pulang. Wajah ayah muram sekali, ia seperti tengah menghadapi soal yang sangat sulit. Aku tanya ayah apa ia dapat menemui kau, ayah jawab tidak. Ayah tahu betul kau masih berada di dalam kuburan Hek Pek Moko, tetapi ada orang yang mencegah dia menemui kau. Hal itu membuat aku heran sekali.”

San Bin pun heran, hingga ia campur bicara.

“Ayahmu ada seorang gagah, ia disegani kaum Rimba Hijau, siapa yang berani merintangi dia?” demikian ia tanya.

Mendengar orang memuji ayahnya, kesan jelek Cui Hong terhadap pemud itu berkurang dengan segera. Tapi masih ia tidak mau melayani orang berbicara, ia hanya memandang In Lui.

“Berulang kali aku tanya ayah, siapa itu orang yang mencegah dia, ayah tetap tidak hendak mengatakannya,” kata Cui Hong. Ayah katakana ia tidak takuti siapa pun juga, melainkan perkataan orang itu tak dapat ia tidak mendengarnya. Ayah pun berkata, tentang jodohmu, itu ditanggung olehnya serta In Siangkong. Ia kata tidak usah aku pusingkan kepala lagi.

Berkata sampai disitu, merah muka Cui Hong, hingga tidak berani ia bertemu mata dengan In Lui, tangannya pun membuat main ujung bajunya saja.

In Lui tertawa di dalam hati, ia girang, ia pun berduka. Ia girang menyaksikan kemalu-maluan Cui Hong dan Cio Eng yang demikian menghargai Thio Tan Hong. Tapi ia berduka untuk nasibnya sendiri, yang belum tahu bagaimana jadinya nanti. Bukankah Tan Hong itu musuhnya? Ia tahu benar, orang yang dimaksudkan Cio Eng itu adalah Thio Tan Hong, tapi tentang pemuda she Thio itu, tidak hendak ia menyebutkannya.

“Selama belasan hari ini, sikap ayah menjadi luar biasa sekali,” Cui Hong menambahkan, “Biasanya, dalam hal apa juga, ayah selalu bicara denganku, hanya selama ini, semua gerak-geriknya ia rahasiakan. Tentang siapa adanya si bangsat cilik berkuda putih itu, perihal selembar gambar lukisan, juga mengenai orang yang mencegah padanya, semua itu ayah tak hendak beritahukan sedikit jua padaku. Ayah sampai tidak mempedulikannya yang aku menjadi gusar. Sebaliknya ayah menghendaki aku segera mengantarkan surat……..”

“Mengantarkan surat?” tanya In Lui. “Mengantar surat untuk siapa?” Ia perlihatkan roman heran dan sangat ingin mengetahuinya.

Cui Hong sebaliknya bersenyum.

“Surat itu mesti disampaikan kepada seorang kangouw yang kenamaan, yang aneh,” ia beritahu. Tapi Cuma sampai disitu ia memberitahukannya, lalu ia tambahkan,” Sekarang ini tidak hendak aku beritahukan dulu kepadamu. Jikalau kau ingin bertemu dengan orang aneh itu, besok kau boleh turut aku pergi bersama!”

“Di propinsi Shoasay ini dimana ada orang kenamaan yang aneh seperti yang kau maksudkan itu?” San Bin campur bicara pula. “Apakah dia itu Na Tayhiap? Ataukah Cek Chungcu? Atau?”

“Hm!” Cui Hong memotong. “Tak usah kau menduga-duga tidak keruan! Kau memang ada Kim Too Siauw ceecu yang kenamaan akan tetapi tidak nanti kau ketahui orang kangouw kenamaan yang aneh itu!”

San Bin ketemu batunya, ia bungkam pula.

In Lui tertawa.

“Sudahlah, jangan kau main sandiwara!” kata dia. “Akan aku turut perkataanmu. Besok bersama-sama Ciu Toako, aku akan turut kau! Sekarang sudah malam, hendak aku tidur!”

Dia tolak pintu kamar rahasia ke dalam mana ia bertindak masuk.

Cui Hong Cuma bersangsi sebentar, ia turut masuk juga ke dalam kamar itu.

“Enci Hong, disana masih ada sebuah kamar,” berkata In Lui dengan perlahan pada nona ini.

Cui Hong jengah dan mendongkol, hingga ia berhenti bertindak. Ketika ia hendak buka mulutnya, dari luar ia dengar suara San Bin berkata seorang diri, “Hebat kuburan ini, bagaikan satu dunia baru saja! Ruang di dalam tanah bagaikan istana, sudah ada ruang besar, masih ada beberapa kamar lainnya, sungguh bagus! Kamu berdua boleh tidur masing-masing di kamar, aku sendiri, aku tidur di ruang besar ini, untuk berjaga malam. Hiantee, kau baru sembuh, perlu kau beristirahat, mesti kau tidur siang-siang, jangan kau terlalu banyak bicara.”

Muka Cui Hong merah hingga ke kupingnya, ia lompat keluar kamar rahasia. Di ruang tengah itu, ia tampak San Bin mengawasi ia, wajahnya seolah-olah bersenyum. San Bin menutup mulut.

Mendongkol Nona Cio, hingga ingin ia bacok pemuda itu sampai tubuhnya kutung. Dengan mendongkol, ia tolak keras daun pintu dari kamar yang ditunjukkan In Lui, ke dalam mana ia bertindak masuk. Karena terus mendongkol, sampai jauh malam belum dapat ia tidur pulas.

Besoknya, pagi-pagi, bertiga mereka itu telah mendusin dari tidurnya. Mereka berkumpul di ruang tengah. In Lui bicara dengan San Bin, tapi San Bin dan Cui Hong tidak bicara satu pada lain. Tidak lama, mereka duduk bersantap bersama-sama. Habis dahar, ketika mereka mau keluar dari kuburan itu, tiba-tiba terdengar di kejauhan suara kuda berbunyi.

San Bin lompat bangun.

“Cepat sekali datangnya kuda itu!” kata dia. Ia bicara seperti tanpa juntrungannya. Baru ia tutup mulutnya, atau suara kuda terdengar makin dekat. Dua kali binatang itu berbenger.

“Eh!” Cui Hong berseru, tanpa ia merasa. “Suara kuda itu seperti suara si kuda putih!”

Mendadak wajah In Lui menjadi pucat, tubuhnya pun limbung bagaikan hendak jatuh.

Ciu San Bin sudah lantas cabut goloknya.

“Bagus! Dia telah mendahului datang mencari kita!” ia kaa. “Mari kira gabung tenaga kita untuk tempur dia!”

In Lui raba pedangnya, tangannya gemetar. Belum lagi ia hunus pedangnya itu, terdengarlah suara berisik dari tubuhnya pintu depan, menyusul mana seekor kuda putih menyerbu masuk.

San Bin berseru, kaget campur girang, terus ia lompat menyambut sambil memberi hormat kepada orang yang menunggang kuda putih itu.

In Lui pasang matanya, ia dapatkan orang itu bukannya Thio Tan Hong yang ia harap-harap, hanya di luar sangkaannya orang itu adalah Tiauw Im Hweeshio! Ia menjadi girang berbareng kecewa, hingga ia berdiri menjublak di hadapan pendeta itu, tak dapat ia bicara.

Si pendeta pun heran menampak orang dandan bagaikan satu pemuda, hingga ia keluarkan suara tertahan, “Ah!” Kemudian, selagi ia hendak minta keterangan, Ciu San Bin telah menarik ujung bajunya, mengajaknya ke pinggir, untuk dibisiki. Akhirnya ia tertawa berkakakan.

“Anak Lui, mari!” ia memanggil sambil melambaikan tangannya. “Baru beberapa tahun aku tidak lihat kau, sekarang kau telah menjadi demikian rupa.”

“Susiok!” In Lui memanggil, yang maju seraya memberi hormat.

Cui Hong turut di belakang In Lui, ia pun memberikan hormatnya.

Tiauw Im melirik kepada nona Cio, lalu ia tertawa berkakakan pula.

“Sungguh cantik!” katanya gembira. “Anak Lui, jangan kau sia-siakan padanya!”

“Apa susiok ada baik?” tanya Cui Hong. Ia agak malu.

Tiauw Im mengawasi, ia tertawa pula.

“Kau begini cantik, apakah kau juga bisa masak nasi?” dia tanya.

Melengak Nona Cio ditanya begitu.

“Teehu sangat cerdik!” San Bin menyelak, untuk mewakilkan si nona menjawab paman guru yang jenaka itu. ‘Ia bukan Cuma pandai masak nasi, ia pun pandai masak sayur!”

“Bagus, bagus!” seru pendeta itu. “Selama dua hari aku telah melakukan perjalanan tujuh atau delapan ratus lie, sekarang perutku lapar sekali, maka itu, lekas matangkan aku nasi dan sayurnya!”

Cui Hong melengak, di dalam hatinya, ia kata, “Walaupun kau lapar, tidak selayaknya kau berlaku demikian terhadapku! Ayahku sendiri belum pernah menitahkan aku begini rupa…..”

Tiauw Im sudah lantas tambatkan kudanya, habis mana itu ia jatuhkan diri untuk duduk.

“San Bin Hiantit,” kata dia pada pemuda she Ciu itu, yang ia panggil Hiangit atau keponakan, “kau juga pergi bantui iparmu masak nasi! Kau masak kira-kira tiga kati beras. Sayurnya tak usah banyak, cukup enam atau tujuh rupa!”

Tanpa ragu-ragu lagi Tiauw Im berikan titahnya itu, ia membuat Cui Hong tak dapat menangis dan tertawa. Di dalam hatinya ia mengeluh, “Kenapa paman guru In Lui begini keterlaluan?” Akan ttapi ia mesti pandang In Lui, walaupun sambil jebikan bibir, ia toh pergi ke belakang.

San Bin sudah lantas susul nona itu.

“Tak mau aku dibantui kau!” kata Cui Hong dengan bengis. Ia tengah mendongkol, tak dapat ia sabarkan diri lagi.

“St, perlahan sedikit….” San Bin berbisik. “Kau tidak tahu, paman guru In Lui ada seorang sembrono. Jikalau kau berbisik dan ia mendengarnya, nanti di depan In Lui dia ceritakan tentang dirimu.”

Benar-benar Cui Hong membungkam.

San Bin tidak perdulikan orang gusari dia sambil dideliki, malah sambil tertawa ia berkata pada nona itu, “Kau dengar apa kata pendeta itu, bukan? Dia berperut besar sekali, dia mengatakannya tujuh macam sayur masih belum banyak. Coba kau pikir, seorang diri saja, dapatkah kau matangkan semua sayur itu?”

Cui Hong mendongkol, tetapi kata-kata pemuda itu benar. Ia menoleh kearah si pendeta. “Cis!” ia meludah.

“St!” San Bin mencegah pula. “Paman guru dan keponakan muridnya itu asyik pasang omong, jangan kau ganggu mereka. Pendeta sembrono itu beradat aneh sekali, terhadap dia kau mesti berhati-hati…….”

Cui Hong mendongkol, hingga ia ingin menangis.

“Bagus ya, kamu paman dan keponakan!” katanya sengit. “Kau perhina aku sebagai orang luar! Nanti aku tegur In Lui!”

Justeru itu dari dalam ruang, terdengar Tiauw Im batuk-batuk.

Mendengar suara orang, Cui Hong berdiam, dengan masih mendongkol, ia lantas bekerja bersama-sama San Bin.

San Bin geli di dalam hati, ia layani si nona, supaya dengan begitu in Lui dapat kesempatan untuk pasang omong dengan paman gurunya itu. Ia berbuat demikian, tak tahu ia, bahwa ia juga tengah dipermainkan In Lui. Karena Nona In bermaksud supaya mereka berada berdua agak lamaan.

Selagi pemuda dan pemudi itu berada di dapur, In Lui tuturkan Tiauw Im bagaimana caranya ia “menikah” di Hek-sek-chung, hingga mendengar kejadian lucu itu, paman guru itu tertawa tak hentinya. Tapi, setelah ia berhenti tertawa, mendadak ia perlihatkan roman sungguh-sungguh.

“Kau berjenaka disini!” katanya nyaring. “Kau tak tahu, untukmu, aku telah berusaha di Mongolia setengah mati setengah hidup!”

In Lui terkejut, mendelong ia mengawasi paman guru itu.

“Anak Lui,” kata si pendeta kemudian, dengan samar, “masih ingatkah kau ketika itu tahun kau bersama kakekmu kembali ke Tionggoan?”

“Aku masih ingat,” sahut keponakan murid itu. “Ketika itu ada tahun Ceng-tong ketiga.”

“Dan sekarang?” Tiauw Im Tanya sambil mengawasi.

“Sekarang tahun Ceng-tong ketiga belas.”

Pendeta itu menghela napas.

“Pesat sekali jalannya sang waktu!” dia mengucap. “Sekejap saja sudah sepuluh tahun! Pada sepuluh tahun yang lampau, aku ada bersama Samsupeh Cia Thian Hoamu, kita berada di luar kota Gan-bun-kwan dimana kita bersumpah sambil menepuk tangan! Kita telah bersumpah, yang satu melindungi si anak tunggal, yang lain harus menuntut balas. Akulah yang bertugas membawa kau ke gunung Siauw Han San untuk diserahkan kepada su-sumoay untuk dirawat dan dididik, dan sam-supehmu itu bertugas pergi jauh ke Mongolia untuk membunuh Thio Cong Ciu si pengkhianat! Tentang sakit hatimu ini dan tindakan untuk membuat pembalasan, mestinya gurumu telah menuturkan kepadamu, bukan?”

In Lui segera mencucurkan air mata.

“Ya, suhu menuturkannya, “ sahutnya, dengan perlahan. “Aku berterima kasih sangat yang supeh telah bekerja banyak sekali untukku…”

Tiauw Im Hweeshio menghela napas pula.

“Terlalu siang kau ucapkan terima kasihmu ini,” ia berkata. Ia berhenti sebentar, lalu ia teruskan. “Dengan sutee Thian Hoa itu aku telah membikin perjanjian, setelah sepuluh tahun, kita harus membuat pertemuan di suatu tempat di luar kota Gan-bun-kwan. Di luar dugaanku, dia tidak dating untuk memenuhi janji kita itu. Menurut kabar angin, tidak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau telah meninggal dunia. Ada yang mengatakan dia telah kena ditawan Thio Cong Ciu. Untuk memperoleh kepastian, dengan menunggang kuda, aku berangkat seorang diri jauh ke tanah Ouw, masuk ke dalam wilayah Watzu. Aku telah mengambil keputusan, jikalau benar sutee Thian Hoa nampak bahaya, akulah yang mesti mewakili dia, guna membalaskan juga sakit hatinya.”

“Suhu katakana, Cia supeh lihai ilmu silatnya, dia gagah dan cerdik,” berkata In Lui, “maka itu, aku sangsikan jikalau dia terbinasa di tangan musuh! Mungkinkah itu?”

Tiauw Im tertawa dingin.

“Memang benar ilmu silatnya Cia Thian Hoa ada lihai sekali, jikalau tidak demikian, sudah pasti aku telah membalaskan dendammu!” katanya dengan sengit.

In Lui heran hingga ia mendelong mengawasi supeh itu.

“Ji-supeh, aku tidak mengerti,” katanya. “Apakah yang supeh maksudkan?’

Tiauw Im menepuk meja, hingga ujungnya gempur.

“Aku juga sangat tidak mengerti!” dia berseru.

Maka heranlah In Lui.

Paman guru itu menghela napas panjang-panjang.

“Setelah aku tiba di Watzu, segera aku mengadakan penyelidikan,” ia melanjutkan. “Sekian lama aku telah bekerja, tidak aku peroleh hasil, tidak aku ketahui dimana adanya sutee Thian Hoa atau apa yang telah terjadi atas dirinya. Aku lantas piker untuk membalasnya seorang diri. Dalam hal ini, aku pun terhalang. Thio Cong Ciu terlindung kuat oleh Tantai Mie Ming, sedang gedungnya ada tangguh dan rapat penjagaannya. Tidak bias aku sembarang turun tangan. Aku menjadi tidak sabaran, hingga aku rasa, satu hari sama lamanya dengan satu tahun.”

“Akhirnya, datang juga hari yang aku tunggu-tunggu. Aku dapat mengendus bahwa Tantai Mie Ming tidak berada di dampingnya Thio Cong Ciu. Mungkin dia dititahkan si pengkhianat pergi ke suatu tempat jauh untuk suatu tugas penting. Segera aku selidiki kebenaran itu, sesudah mana aku ambil kepastian untuk memasuki gedung si pengkhianat itu. Aku lakukan ini pada suatu malam yang gelap dan angin tengah menderu keras. Aku datang sendirian, tentu saja, aku juga bekerja seorang diri. Besar sekali gedung si pengkhianat itu, yang menjadi Yu-sinsiang, perdana menteri muda. Luas sekali pekarangan gedung itu. Melihat gedung itu nyatalah dia hidup mewah dan mulia. Negara asing di utara gobi itu adalah tempat yang dingin dan sulit, tetapi disana telah dibangun suatu gedung mirip gedung-gedung di Kanglam, ada lotengnya, ada ranggonnya, yang mengambil contoh dari Hangciu dan Souwciu. Boleh dikatakan setengah malaman aku berkeliaran di luar gedung itu, aku baru berhasil memergoki dan mencekik satu kacung dari siapa aku ketahui, tempat kediamannya si pengkhianat, yaitu di loteng di pojok timur kanan.

Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul lima, akan tetapi sangatlah aneh, sampai pada saat itu si pengkhianat masih belum tidur. Aku dapatkan dia berada seorang diri, tengah duduk menulis di dalam kamarnya itu. Ia terus tunduk dan menulis, tidak ia menyangka bahwa di luar jendela kamarnya ada orang yang sedang menghadang jiwanya.

Aku menggenggam tiga batang kim-chie-piauw. Aku pun tidak hendak menyia-nyiakan ketika yang baik ini. Begitulah, melalui jendela aku lakukan penyeranganku, penyerang yang saling susul terhadap tiga jalan darah ciang-tay-hiat, soan-kee-hiat, dan kim-coan-hiat. Biasanya, dalam jarak tiga tombak, tidak pernah aku gagal dengan piauwku itu. Dan biasanya, jangan kata orang yang tengah duduk menulis dan lengah, walaupun orang yang pandai silat dan siap sedia, sukar dapat meloloskan diri dari serangan ketiga piauwku itu. Akan tetapi kali ini, kesudahannya membuat aku melengak. Begitu piauwku menyambar, begitu juga aku dengar suara trang-trang tiga kali, lalu ketiga piauw itu jatuh di atas lantai. Di dalam kamar itu ada kamar rahasianya, aku lihat si pengkhianat lari minggir ke tembok, ketika aku menyambar, tubuhnya nyeplos lenyap ke dalam tembok rahasia itu, aku melainkan dapat menjambret ujung bajunya, yang menjadi robek. Selagi aku menyambar, tiba-tiba ada orang yang lompat kepadaku dan menolak tubuhku hingga aku jatuh ke atas meja. Anak Lui, dapatkah kau menerka, siapa orang itu?”

“Mungkin Tantai Mie Ming tidak pergi kemana-mana dan ia hanya menggunakan tipu daya untuk mendustai orang?” In Lui balik menanya. Tapi baru selesai ia menjawab demikian, tiba-tiba ia sadar sendirinya. Bukankah pada permulaan bulan yang lampau ia bersama Kim-too Ciu Kian di luar kota Gan-bun-kwan, telah mengerubuti Tantai Mie Ming itu? Karenanya, ia lants menambahkan, “Mungkinkah Tantai Mie Ming mempunyai ilmu memecah tubuhnya? Tapi jikalau bukan Tantai Mie Ming, siapakah yang ilmu silatnya demikian lihai?”


Tiauw Im Hweeshio tertawa dingin.

“Jikalau dia ada Tantai Mie Ming, itulah tidak aneh!” katanya dengan keras. “Dia adalah orang yang perhubungannya dengan aku bagaikan kaki dengan tangan! Dia adalah saudara seperguruanku, Cia Thian Hoa!”

In Lui heran bukan kepalang, hingga ia menjerit.

“Samsupeh?” dia tegaskan.

“Tidak salah! Dialah Cia Thian Hoa!” Tiauw Im pastikan. “Dia membuat aku tegur padanya ‘Apakah kau telah melupakan janji kita sepuluh tahun yang lalu? Kau hendak menuntut balas atau bekerja sama dengan musuh?’ Dia mendelik terhadapku, terus ia menyerang, beruntun tiga kali. Dia telah gunakan pedangnya. Dia mendesak aku mundur hingga keluar. Aku lari, dia mengejar. Diantara saudara-saudara seperguruanku, dialah yang paling lihai, aku tahu aku bukan tandingannya, akan tetapi aku ada demikian gusar, akhirnya aku berhenti berlari, aku putar tubuhku, hendak aku tempur dia.

Aneh sekali sikapnya waktu itu. Di dalam kamar, dia sangat bengis terhadapku, setelah berada diluar, dia sebaliknya tidak gunakan kepandaiannya. Dia Cuma berkelit dari serangan-seranganku. Malah dengan perlahan, dia berkata padaku ‘kau tahu Thio Cong Ciu itu orang macam apa?’

Aku sedang murka, aku damprat dia. ‘Bagaimana kau dapat bicara begini?’ aku tegur dia. Tidak nanti pengkhianat she Thio itu seorang baik-baik. Kembali aku bacok dia.

Aku melakukannya pada malam hari, karenaya tidak dapat aku bawa tongkat sian-thungku, maka itu aku bawa golok pendek. Senjata itu kurang tepat untukku. Dengan senjata itu, mana dapat aku bacok jitu kepadanya? Baru aku ulangi bacokanku dua kali, dari yang mana ia selalu egoskan diri, ia berkata dengan perlahan, “Hai, suheng yang tolol! Dengan mendadak dan sebat sekali, ia desak aku, sebelah tangannya menyambar hingga aku tertotok, lalu dia panggul tubuhku untuk dibawa pergi.

Waktu itu, aku dengar suara mulai gempar. Terang sudah bahwa pengawal-pengawal telah sadar dan mengendus adanya bahaya. Tapi dia telah membawa lari aku berlompatan, berputaran, hingga tak lama kemudian kita sudah berada di dalam taman bunga, di suatu pojok yang semak, gelap dan sunyi. Disitu pun ada sebuah kandang kuda yang bagus, dari dalam kandang itu dia tuntun keluar seekor kuda putih, yang ia serahkan padaku.

Aku tidak mau naiki kuda itu. Aku katakana padanya: Jikalau kau tidak berikan aku keterangan yang jelas, tidak mau aku pergi dari sini! Wajahnya menjadi berubah pucat, lalu merah. Dia bentak aku: Jikalau kau tidak pergi, jangan sesalkan aku berlaku kejam! Bukan Cuma aku inginkan kau berlalu dari gedung ini, aku juga berikan kau tempo tiga hari untuk meninggalkan Mongolia! Atau aku nanti ambil jiwamu!

Aku menjadi sangat gusar, aku sambar dia dengan golokku. Tapi dia rampas golokku itu, di depanku, dia membuatnya patah dua. Belum sempat aku mengatakan sesuatu, dia sudah angkat tubuhku, untuk digabrukkan ke atas kuda. Dia pun membentak pula: Apakah benar kau tidak menghendaki lagi jiwamu?”

Benar-benar aku tidak sangka dia menjadi demikian rupa. Maka aku pun pikir: Dia ada begini tidak berbudi, apabila aku korbankan jiwaku, siapa nanti ketahui dia adalah satu murid yang murtad? Baiklah aku menyingkir dulu, biar di belakang hari aku cari pula dia untuk membuat perhitungan. Karena ini, aku lantas angkat kaki.

Kuda putih itu benar-benar satu kuda jempolan, tanpa dikendalikan dia telah bawa aku kabur. Syukur aku pandai juga menunggang kuda. Sia-sia saja aku mencoba kendalikan dia. Dia telah membawa aku menyingkir dari kalangna gedung perdana menteri itu. Di belakangku ada ratusan penunggang kuda yang mengejar aku, mereka pun berteriak-teriak, diantaranya aku dengar ada yang mengatakan: “Besar nyalinya penjahat itu, dia berani curi kuda Yang Mulia Perdana Menteri!”

Hai, kiranya kuda itu ada kuda pilihan kepunyaan si pengkhianat she Thio. Besar hatiku. Aku lari terus sampai dapat aku mengendalikannya. Kuda itu kabur bagaikan terbang, hingga dalam sekejap saja semua pengejar tertinggal jauh di belakang, tidak dapat mereka mengejar terus kepadaku. Malam itu aku mendongkol bukan main, tetapi di luar dugaanku, aku mendapatkan kuda yang jempolan.

Kuda putih itu ditambat di ruang itu, dia seperti mengerti perkataan si pendeta, dia berbenger.

In Lui pandang kuda itu, ia dapatkan itulah kuda yang mirip betul dengan kuda Ciauw-ya Say-cu-ma kepunyaan Thio Tan Hong. Cuma pada leher kuda ini ada tumbuh segumpal bulu kuning. Teranglah, kedua kua itu ada sebangsa.

“Anak Lui, kau diam memikirkan apa?” Tiauw Im tegur si nona.

“Aku pikirkan sikap aneh dari sam-supeh,” sahut keponakan murid ini. “Jikalau benar samsupeh kesudian menjadi hamba musuh kita, kenapa dia serahkan kuda Thio Cong Ciu ini?”

“Maka itu, aku pun sangat tidak mengerti!” sahut si pendeta. “Tanpa kuda ini, tidak nanti aku lolos dari Mongolia.”

In Lui menggelengkan kepala.

“Benar-benar ruwet…”katanya. “Sebenarnya Thio Cong Ciu itu orang macam apa? Mustahil dia….”

“Plok!” demikian suara yang diterbitkan Tiauw Im, yang kembali mengeprak gempur ujung meja kemala. Dia gusar, dia berkata dengan nyaring, “Thio Cong Ciu itu ada dari keluarga pengkhianat, turun-menurun dia menghamba pada negeri Watzu, dia yang mengatur tentara Watzu itu. Watzu bercita-cita menelan Tionggoan! Pengkhianat besar yang diketahui umum oleh dunia, adakah dia satu manusia baik-baik?”

In Lui teringat pada kakeknya yang tersiksa, yang mesti menggembala kuda dua puluh tahun lamanya di lading yang ber-es dan bersalju, hatinya menjadi sakit. Maka menggetarlah suaranya ketika ia memberikan jawabannya.

“Dia ada satu pengkhianat besar yang sangat jahat dan tak berampun! Dialah musuh besar keluargaku! Tapi, supeh, kau lihat, apakah dia mempunyai suatu maksud lain?’

Kedua biji mata Tiauw Im berputar. Tiba-tiba saja ia ingat suatu apa. Maka lantas ia merogoh ke dalam sakunya, darimana ia keluarkan segumpal kertas. Ia buka itu sambil berkata, “Ketika malam itu aku serang pengkhianat she Thio dan aku dijoroki Thian Hoa hingga menubruk meja, tanganku kena pegang surat ini yang terus aku tak lepaskan lagi. Inilah surat yang sedang ditulis si pengkhianat itu. Dia menulis tengah malam, aku duga urusan sangat penting, maka itu, aku bawa surat itu. Sayang dia menulis dalam huruf Co-jie, yang aku tidak mengerti. Inilah suratnya, coba kau lihat. Setiap barisnya terdiri dari tujuh huruf, tidak kurang tidak lebih, maka itu, semua huruf ada dua puluh delapan. Apakah ini surat biasa atau syair?”

In Lui anggap paman guru itu lucu, tak tahan dia tidak tertawa. Tapi dia terima surat itu, untuk dibaca. Sekian lama dia diam saja.

“Apakah kura-kura itu tulis?” Tanya Tiauw Im.

“Syair,” sahut In Lui. Terus dia bacakan:



“Siapakah yang menyanyikan lagu-lagu Souwciu dan Hangciu? Bunga teratai harum sepuluh lie, bunga kui di musim Ciu. Siapa tahu, rumput dan kayu dasarnya tidak berperasaan! Menyebabkan sungai Tiangkang jadi laksaan tahun kedukaan.”



Itulah syair yang diucapkan Thio Tan Hong ketika Tan Hong menggelar gambarnya, memandang itu ia rupanya telah mendapat suatu perasaan.

Tiauw Im kerutkan alisnya.

“Sampai jauh malam pengkhianat itu tidak tidur, adakah syair semacam ini saja yang dia tulis?” ia kata. “Ia menyebut-nyebut kedukaan, kedukaan apakah itu? Kenapa sungai Tiangkang dapat menerbitkan kedukaan? Hm, aku tak mengerti, tak mengerti!”

In Lui merasa geli hingga tak dapat ia tidak tertawa pula. Ia tertawa perlahan.

“Inilah syairnya satu penyair di jaman Song,” ia kata. “Sungai Tiangkang itu sejak jaman dulu adalah daerah peperangan antara pihak selatan dan utara. Menurut penglihatanku, syair ini bermaksud dalam sekali…”

Tiauw Im merasa jengah, ia tertawa menyeringai.

“Kalau begitu, dasar aku yang tidak mengerti apa-apa,” katanya. “Coba kau jelaskan padaku, apa maksud dia menulis syair ini?”

In Lui berpikir sekian lama.

“Syair ini adalah karya penyair Cia Cie Houw di jaman Song itu,” katanya kemudian. “Ada bagian depan dan belakang, yang Cong Ciu rubah. Syair yang asli menyebut-nyebut lagu Hangciu tapi dia ubah dan tambah menjadi Hangciu dan Souwciu. Pada akhirnya ia tulis laksaan tahun kedukaan sedang aslinya adalah kedukaan dari laksaan lie. Jadi jarak jauh, lie, dia ubah menjadi waktu, tahun. Terang sudah, itu adalah lamunan dari suatu orang yang tengah terluka hatinya. Tetapi Hangciu, kenapa itu ditambah dengan Souwciu? Apakah artinya? Ah, ya, Cong Ciu, Cong Ciu, Cong Ciu…”

“Eh, mengapa kau sebut-sebut nama pengkhianat itu?” Tanya si pendeta heran.

In Lui tiba-tiba seperti teringat suatu apa, ia tidak menjawab paman guru ini, sebaliknya, dia Tanya, “Bukankah jiesupeh mengatakan bahwa gedung Thio Cong Ciu itu dibangun mirip dengan gedung-gedung di Kanglam? Belum pernah aku pergi ke Souwciu, akan tetapi aku tahu, gedung-gedung berikut tamannya disana ada kesohor sekali. Apakah gedung Cong Ciu itu dibuat mirip dengan gedung-gedung di Souwciu?”

“Memang sama,” sahut Tiauw Im. “Nampaknya pengkhianat itu suka sekali akan kota Souwciu.”

In Lui berpikir pula, ia berdiam sekian lama. Kemudian, sambil tunduk, dengan perlahan, ia menyebut pula, “Cong Ciu, Cong Ciu, Cong Ciu.”

Tiauw Im terperanjat, ia heran.

“Eh, anak Lui, apakah kau kemasukan iblis?” dia tegur.

In Lui sebenarnya sedang teringat akan dongengnya Tan Hong, pada otaknya berkelebat suatu ingatan. Ia lantas angkat kepalanya.

“Aku mengerti sekarang!” katanya tiba-tiba. “Thio Cong Ciu adalah turunan Thio Su Seng!”

Pada ketika itu sang waktu belum lewat tujuh atau delapan puluh tahun dari mulainya Cu Goan Ciang membangun kerajaan Beng, lelakon Thio Su Seng itu masih tersiar di antara rakyat jelata.

Tiauw Im Hweeshio melengak.

“Thio Su Seng?” katanya. “Apakah kau maksudkan Thio Su Seng, yang bersama Beng Thay Couw telah memperebutkan negara?”

“Thio Su Seng mengangkat dirinya menjadi raja di Souwciu dan dia pakai nama kerajaan Tay Ciu, Ciu yang besar!” kata In Lui. “Dan Thio Cong Ciu itu, bukankah terang-terang berarti apa yang dia junjung adalah kerajaan Ciu yang besar itu dari leluhurnya? Sama sekali ia bukannya menjunjung kerajaan Beng yang besar dari Cu Goan Ciang!”

Dengan “cong” dari Cong Ciu itu, In Lui artikan “leluhur”.

“Hai, budak cilik!” seru paman guru yang kedua itu. “Kenapa kau bicara putar-balik hingga pengertianmu itu, seperti teka-teki saja?”

In Lui tunduk, kata-kata paman guru itu seolah-olah ia tidak mendengarnya.

Sang pendeta nampaknya habis sabar.

“Aku tidak perduli dia turunan Thio Su Seng atau bukan!” dia kata dengan nyaring. “Dia membantu bangsa Watzu dia pasti bukan manusia baik-baik!”

In merasakan ruwetnya soal.

“Supeh benar juga,” katanya. Tapi meski di mulutnya mengucap demikian, di hatinya, ia kenangkan segala apa selama ia berada bersama-sama Tan Hong beberapa hari.

“Pastilah Tan Hong telah sengaja menyingkir dari Mongolia…….”demikian ia berpikir. “Karena dia pasti bukan sebangsa ayahnya itu…Akan tetapi, supeh Thian Honga, dia kesohor gagah…Jikalau Thio Cong Ciu benar ada saru pengkhianat yang terkutuk dan tak berampun, kenapa dia tidak membunuhnya? Kenapa sebaliknya dia melindunginya?”

Soal ada demikian sulit, pada waktu itu, tak dapat si nona memecahkannya. Kemudia ia pikir pula,tidak perduli Thio Cong Ciu dan Thio Tan Hong buruk atau baik, mereka adalah musuh-musuh besar dari keluarga In, mereka adalah yang kakeknya pesan dalam surat wasiatnya yang berdarah untuk dibasmi habis.

Tiauw Im Hweeshio menghela napas.

“Aku tidak dapat memikirnya yang sutee Thian Hoa telah tergoda iblis,” katanya. “Karena sudah terang dia telah membantu pengkhianat, sekarang ini habis sudah persaudaraan antara dia dan aku. Sekarang aku berniat pergi kepada suhu, untuk minta suhu mempersingkat waktu dengan tiga tahun, supaya ia ijinkan gurumu segera turun gunung. Kepandaian gurumu itu, disbandingkan dengan kepandaian Thian Hoa, ada berimbang, maka aku percaya, jikalau dia bekerja sama dengan aku mengepung Thian Hoa, pasti kita dapat menyingkirkan Thian Hoa itu.”

Mendengar perkataan jiesupeh ini, tiba-tiba In Lui teringat kejadian itu malam sebelum ia turun gunung. Ketika itu gurunya telah mengadakan perjamuan perpisahan, di waktu mabuk, guru itu menuturkan tentang penderitaannya selama sepuluh tahun meyakinkan ilmunya, guru itu tak dapat melupakan Thian Hoa, suatu bukti dia sangat menyayangi saudara seperguruan itu. Maka sekarang, kalau gurunya itu ketahui hal ikhwalnya Thian Hoa, yang “tersesat” itu, tidak tahu betapa besar kedukaannya.

Sementara itu, Tiauw Im tertawa sendirinya.

“Thian Hoa memberikan aku kuda ini, inilah kuda yang berguna!” katanya. “Jikalau aku pakai ini untuk pergi ke Siauw Han San, tak sampai satu bulan, aku akan udah tiba disana! Sungguh, ini seekor kuda jempolan! Ha-ha-ha!”

Selagi paman guru dan keponakannya berbicara, San Bin dan Cui Hong telah selesai dengan makanan mereka, yang terus mereka sajikan, sesudah mana, San Bin pergi memandangi kuda si pendeta, kuda mana ia puji tak hentinya, ia sangat mengaguminya.

Tiauw Im Hweeshio dahar secara rakus sekali, itulah tanda bahwa ia sangat lapar. Ia hajar daging, ia tenggak arak, ia sapu nasi hingga habis.

Akhirnya, ia usap-usap perutnya.

“Hai, cucu mantu yang baik!” ia memuji. “Tak tercela masakanmu ini! Nasinya harum, sayurnya lezat!”

Kemendongkolan Cui Hong belum lenyap, ia Cuma tersenyum tawar. Ia berpaling, untuk memandang kuda putih, yang juga ia kagumi.

Kembali terdengar si pendeta tertawa.

“Kuda ini kuda jempolan,” ia kata, “akan tetapi masih ada lain kuda yang terlebih jempolan pula, aku si hweeshio harus mengaku kalah terhadapnya!”

San Bin pandai melihat kuda, ia heran.

“Apa?” katanya. “Ada kuda lainnya yang melebihi ini?”

Tiauw Im pandang keponakan murid itu.

“Benar!” sahutnya. “Memang di kolong langit ini ada seekor kuda lainnya yang melebihi kejempolannya! Keponakan San Bin, kau telah memakai nama Kim Too Ceecu yang kesohor dan menggabung itu dengan nama Cio Eng, untuk menyiarkan panah Lok-lim-cian. Hal ini baru saja kemarin dahulu aku mengetahuinya. Di dalam propinsi Shoasay ini, aku kenal semua orang kenamaan dari Jalan Hitam, maka itu menuruti kegemaranku, dengan menunggang kuda putih ini, aku pergi mengunjungi mereka. Nyatalah, orang yang hendak kau bekuk itu adalah satu mahasiswa yang menunggang kuda putih. Dia sungguh seorang yang nyalinya sangat besar, dia sudah membuat dunia Rimba Hijau menjadi gempar!”

“Apakah yang dia lakukan?” tanya mereka berbareng. Wajah mereka pun menunjukkan bagaimana tergeraknya hati mereka.

Tiauw Im adukan jeriji tengahnya dengan jeriji manisnya, hingga perdengarkan suatu suara, habis itu, ia menghela napas. Itu bukanlah helaan napas dari kedukaan atau kemasgulan, hanya dari kekaguman.

“Ciu Hiantit, tahukah kau, orang macam apa si mahasiswa berkuda putih yang kamu sedang cari itu?” dia tanya. “Menurut penglihatanku, dia adalah satu enghiong, seorang gagah! Kalau orang lain, apabila terhadapnya disiarkan panah Lok-lim-cian, hingga karenanya ia mesti menghadapi jago-jago Rimba Hijau, sebenarnya untuknya, untuk menyingkirkan diri saja sudah sulit, akan tetapi lain halnya dengan dia. Dia bukannya pergi bersembunyi, dia justeru pergi menyatroni jago-jago Rimba Hijau!”

San Bin heran bukan main.

“Dia datang menyatroni?” dia ulangi. “Siapakah yang dia telah satroni itu?”

“Mungkin sudah dia satroni semua orang yang telah kau kirimkan panah Lok-lim-cian itu!” sahut Tiauw Im. “Kemarin dulu aku pergi pada Na Tayhiap, dia baru saja terima surat golok yang ditinggalkan mahasiswa berkuda putih itu, dia telah tantang untuk tujuh hari kemudian pergi ke rumah Cin-sam-kay Pit To Hoan untuk membuat pertemuan.”

San Bin dan Cui Hong terperanjat.

“Cin-sam-kay Pit To Hoan,” mereka ulangi.

In Lui tidak tahu siapa itu Pit To Hoan yang berjulukan Cin-sam-kay, “orang yang menggetarkan tiga dunia”, akan tetapi dari sikapnya San Bin dan Cui Hong itu, tahulah dia bahwa orang itu mestinya sangat terkenal.

“Benar, Cin-sam-kay Pit To Hoan!” Tiauw Im jawab. “Bukankah itu berarti si mahasiswa berkuda putih telah gegaras hati serigala dan jantung macan tutul? Setelah pamitan dari Na Tayhiap, lohornya aku pergi pada Liong Ceecu. Dia juga baru saja menerima surat goloknya si mahasiswa berkuda putih, yang pun menjanjikan dia untuk tujuh hari kemudian pergi berkumpul di rumah Cin-sam-kay Pit To Hoan. Na Tayhiap dan Liong Ceecu ada orang-orang kenamaan kaum Rimba Persilatan, tapi toh si mahasiswa berani masuk ke dalam rumah mereka itu untuk meninggalkan suratnya yang tertusukkan golok itu. Dan itu baru diketahui sesudah golok ditimpukkan. Maka itu, benar lihai si mahasiswa itu!”

Mendengar perkataan supeh ini, In Lui tidak heran. Beberapa kali ia telah dipermainkan Tan Hong, keentengan tubuh siapa ia telah saksikan. Tidak demikian adalah San Bin dan Cui Hong, yang menjadi heran dan kagum.

“Karena aku merasa sangat heran, ingin aku cari si mahasiswa,” Tiauw Im meneruskan. “Aku percaya betul pada kudaku. Begitulah aku pergi. Aku girang ketika sampai di utara kecamatan Kok-koan, di satu tegalan, aku telah melihat dia. Aku menduga dia, karena dandanan dan kudanya itu. Lantas aku bedal kudaku, untuk susul dia, guna menyandaknya. Dia melihat aku, rupanya dia dapat menerka aku hendak menyusul dia, berulang kali ia berpaling, tiap-tiap kali aku dengar suaranya tertawa. Dari kejauhan, dia pun teriaki aku, “Apakah kau juga menerima panah Lok-lim-cian dari Hong-thian-lui? Maafkan aku, aku belum tahu dimana letak pesanggrahanmu, hingga belum aku kunjungi padamu! Baiklah, lagi tujuh hari, silahkan kau pergi ke rumah Cin-sam-kay Pit To Hoan! Rupanya dia menyangka aku adalah salah seorang yang hendak membekuk dia. Kudaku lari keras, kudanya lari lebih keras lagi, tidak dapat aku menyandaknya. Tak ada makanan di tanah datar itu, dia telah jauh meninggalkan aku, hingga aku dapat melihat hanya titik-titik putih. Sorenya tibalah aku di barat kecamatan Tay-koan, di rumah Cek Chungcu. Nyata Cek Chungcu pada tadi magrib, telah juga menerima surat dari si mahasiswa berkuda putih itu. Jadi teranglah, kudanya dapat lari setengah hari lebih cepat daripada kudaku.”

San Bin heran.

“Cin-sam-kay Pit To Hoan ada seorang kenamaan di Jalan Hitam dan Jalan Putih,” kata dia, “dia biasanya tak ketentuan sepak terjangnya, maka itu, si mahasiswa berkuda putih yang baru saja sampai dari Mongolia, cara bagaimana dia bisa ketahui tempat tinggal orang itu?’

Inilah benar, maka itu, Tiauw Im dan Cui Hong turut merasa heran, mereka terperanjat, wajah mereka berubah. Tiauw Im pun heran mendengar disebutnya Mongolia. Cui Hong juga merasa heran terhadap San Bin, yang ketahui jelas tentang Pit To Hoan.

“Pit To Hoan tinggal di sebuah desa kecil yang dinamakan Hok-lok antara perbatasan kedua propinsi Hoopak dan Shoasay,” kata Tiauw Im. “Aku pun baru mengetahuinya setelah aku pergi ke rumah Na Tayhiap. Si mahasiswa berkuda putih baru saja datang dari Mongolia, kenapa dia ketahui jelas tentang orang-orang kenamaan dari Tionggoan? Hal ini aneh sekali dan mencurigakan…Ah, bukankah?…”

Pendeta ini berhenti dengan tiba-tiba, ketika ia hendak melanjutkan, In Lui mendahului dia.

“Kamu menyebut Cin-sam-kay Pit To Hoan berulang-ulang, dia sebenarnya orang macam apa?” tanya nona ini.



IX



“Walaupun kau tidak menanyakannya, hendak aku menuturkannya,” berkata Tiauw Im. “Keluarga Cin-sam-kay Pit To Hoan adalah satu keluarga paling aneh dalam kalangan Rimba Persilatan. Keluarga itu, turun-temurun, memegang kukuh semacam aturan rumah tangga yang aneh sekali untuk kita semua. Setiap anak lelaki she Pit, setelah masuk usia enam belas tahun, dia harus mencukur rambutnya untuk menjadi pendeta, dia mesti hidup merantau. Setelah hidup suci sepuluh tahun, anak itu diijinkan memelihara rambut pula. Sampai waktu itu, ia tidak diperkenankan mendirikan rumah tangga, sebaliknya, dia mesti menuntut lain macam penghidupan selama sepuluh tahun. Kali ini dia mesti menderita sebagai pengemis. Adalah sesudah selesai menjalankan tugas sepuluh tahun sebagai tukang minta-minta itu, baru dia merdeka untuk menikah, untuk berumah tangga, memelihara anak. Oleh karena ini, seorang putera keluarga itu, untuk menikah, dia mesti lebih dahulu berusia tiga puluh enam tahun. Mungkin juga disebabkan kelambatan pernikahan ini, keluarga itu jadi tak banyak jumlah anggota-anggota keluarganya. Pit To Hoan sendiri lihai, sepuluh tahun ia jadi pendeta, sepuluh tahun ia jadi pengemis, setelah kembali jadi manusia biasa, banyak penderitaannya, luas pengalamannya. Itulah sebabnya kenapa ia diberi gelar Cin-sam-kay, Menggetarkan Tiga Dunia. Dengan dunia diartikan juga kalangan atau golongan, yaitu dunia pendeta, dunia pengemis, dan dunia manusia biasa. Maka itu, orang semacam dia, setelah menerima panah Lok-lim-cian, dapatkan dia campur tangan?”

“Mana aku berani mengirim panah Lok-lim-cian kepada jago itu?” sahut San Bin. “Hanya, kalau Pit Loo-cianpwe sudi membantu, itulah pengharapanku.”

“Kau minta ayahku turut bersama mengirim panah Lok-lim-cian, untuk apakah itu?” Cui Hong tanya si pemuda she Ciu. “Dan itu bangsat cilik berkuda putih, dia sebenarnya orang macam apa?”

Ditanya begitu, San Bin bersenyum.

“Untuk membalaskan dendam suamimu,” ia jawab. “Bangsat cilik berkuda putih itu adalah putera tunggal dari pengkhianat besar Thio Cong Ciu, dia adalah musuh besar dari saudara In Lui ini,” ia berhenti sebentar, segera ia menambahkan,” turut penglihatanku, kebanyakan Pit Loo-cianpwee dapat turun tangan untuk memberikan bantuannya, sayang tadinya aku tidak tahu dia tinggal di Hok-lok, jikalau tidak sudah tentu aku sudah minta Cio Loo-enghiong turut mengundang dia.”

Cui Hong segera menoleh kepada “suaminya”.

“In Siangkong, benarkah bangsat cilik berkuda putih itu musuh besarmu?” dia tegaskan.

“Oh, ya….” Sahut In Lui, yang mukanya pucat. “Benar, dia adalah musuh keluargaku.”

Sepasang alis Nona Cio berdiri dengan tiba-tiba.

“Kalau begitu, haruslah kau mengucap terima kasih padaku!” katanya. Ia rogoh sakunya, ia keluarkan sesampul surat. Terus ia berkata pula, “Nyata ayahku telah dapat memikirkannya! Kamu tidak berani mengundang Pit Loo-cianpwee itu, bolehlah aku yang menalangi!”

San Bin lihat alamat surat itu, benar itu adalah untuk Pit To Hoan. Saking girang, ia tertawa sambil menepuk tangan.

“Sempurna sekali apa yang Cio Loo-cianpwee pikir!” ia memuji, “Ah, bangsat cilik itu bagaikan melemparkan dirinya ke dalam jala! Hiantee, segera kau dapat lampiaskan dendammu dengan tanganmu sendiri!”

Cui Hong sangat puas, ia gembira sekali.

“Begitu lekas aku pulang, ayah sudah lantas menulis surat ini dan menitahkan aku segera mengirimkannya,” ia terangkan lebih jauh. “Sebenarnya aku heran kenapa ayah menjadi demikian tak sabaran, kiranya bangsat cilik itu menjadi satu musuh besar kita. Sebentar kita pergi bersama, akan aku perkenalkan kamu dengan Cin-sam-kay Pit To Hoan yang kenamaan itu!”

In Lui terkejut di dalam hatinya.

“Pernahkah kau baca surat ini?” dia tanya “isterinya”.

“Eh, apa kau tidak dengar perkataanku barusan?” Cui Hong baliki. “Bukankah ayah telah permainkan aku? Apabila aku telah baca surat ini, mustahil sekarang aku masih belum tahu akan duduknya hal? Tapi sekarang ini, dengan tidak usah membaca lagi surat ini, sudah tahu aku akan isinya. Pastilah itu ada permintan bantuan Cin-sam-kay!”

In Lui penuh dengan keragu-raguan. Cio Eng tidak tahu Thio Tan Hong itu musuhnya. Dan ia telah menyaksikan dengan mata sendiri, terhadap Tan Hong, Cio Eng bersikap bagaikan pegawai terhadap majikannya. Mustahil sekali Cio Eng nanti menulis surat kepada Pit To Hoan, guna meminta bantuan untuk menghadapi Thio Tan Hong, guna membinasakan Tan Hong itu. Habis, apa isi surat itu? Sungguh sukar untuk menerkanya.

“Eh, In Siangkong, kau sedang memikirkan apa?” Cui Hong menegur. Ia heran. “Ayahku telah menolongi kau membalas dendam, apakah benar kau masih tidak gembira?”

In Lui paksakan diri untuk tertawa.

“Aku merasa girang luar biasa!” ia jawab. “Nona Cio, apakah ayahmu serta Cin-sam-kay Pit To Hoan itu bersahabat erat sekali?”

“Bukan!” sahut Cui Hong. “Dia justeru lawan dari ayahku! Dia berlaku sewenang-wenang. Belum pernah aku saksikan ada orang yang berani menghina ayahku seperti yang diperbuatnya itu!”

“Siapa kata Pit To Hoan berlaku sewenang-wenang?” tanya Tiauw Im.

“Eh, ya, cara bagaimana dia menghina ayahmu?” In Lui pun tanya.

San Bin pun kurang mengertinya.

“Jikalau demikian adanya, mengapa ayahmu menulis surat kepadanya?” dia tanya.

Dikepung tiga orang, Cui Hong tertawa geli.

“Memang dia telah menghina ayahku, akan tetapi ayahku sangat mengagumi dia,” jawabnya, masih ia tertawa. “Kamu menanya bagaimana caranya dia menghina ayahku? Untuk menutur itu, aku mesti kembali pada kejadian pada sepuluh tahun yang lampau!”

Semua orang lantas awasi nona ini.

Cui Hong tidak berayal untuk memberikan keterangannya.

“Ketika itu aku baru berumur tujuh atau delapan tahun,” ia mulai. “Benar usiaku masih sangat muda, akan tetapi peristiwa itu aku ingat baik-baik. Pada suatu hari kami kedatangan satu pengemis busuk. Orangku memberikan dia nasi, tapi dia tolak. Dia diberi uang, dia menampik. Dia minta ayah menghadiahkan dia semacam barang permata. Siapa yang tidak tahu ayah adalah seorang saudagar barang permata di kalangan Jalan Hitam? Orang-orangku anggap dia hendak memeras, dia segera diserang. Kesudahannya aneh. Tidak kelihatan dia menggerakkan tubuhnya, tetapi orang-orangku, penyerangnya, terpental sendirinya setombak lebih. Barulah kemudian aku ketahui dia telah gunakan ilmu silat Ciam-ie Sip-pat-tiat yang sempurna sekali.”

Waktu itu ayah tengah mengajarkan aku membaca buku dan menulis surat. Seorang bujang datang masuk, memberitahukan ayah tentang perbuatan dan tingkah laku pengemis jahat itu. Ayah kaget dan heran, mukanya menjadi pucat.

“Baik, silahkan dia masuk!” ia titahkan. Sesudah ia masuk, siapa juga tak boleh turut masuk. Umpama kata aku akan dihajar mati olehnya, jika aku masuk! Ayah pun menitahkan aku menyembunyikan diri di kamar tidur, aku dilarang keluar. Aku menjadi takut sekali, tetapi aku masih tidak gubris larangannya itu. Ketika si pengemis masuk, aku sembunyikan diri di satu pojok di luar kamar, untuk mengintai.

Luar biasa roman si pengemis itu. Rambutnya kusut, kulit mukanya hitam seperti pantat kuali. Dia membawa-bawa sebatang tongkat panjang. Dipandang seluruhnya, dia mirip dengan satu memedi. Begitu dia masuk, terus dia duduk di depan ayah. Dia mengawasi dengan sepasang matanya yang bersinar tajam dan bengis. Sampai sekian lama, keduanya tidak bicara satu dengan lain.

Akhirnya ayah menghela napas, ia bertindak masuk ke kamar dalam, untuk mengambil permata. Ayah tumpukkan barang itu di depan si pengemis, “Tuan Pit, inilah semua apa yang aku miliki,” kata ayah.

Pengemis itu tertawa dingin, dia sampok semua barang permata itu.

“Hong-thian-lui, untuk apa kau berpura-pura?” dia tegur ayah. “Keluargaku telah mencari kau berulang-ulang, sampai beberapa puluh tahun, baru sekarang kau dapat dicari. Barang itu terang ada padamu, apakah kau masih tidak hendak mengeluarkannya untuk diserahkan kepadaku?”

“Barang itu juga bukan kepunyaanmu!” kata ayah. “Alasan apa kau punyai untuk memaksa aku menyerahkannya?”

Pengemis itu tertawa dingin.

“Mungkinkah barang itu ada kepunyaanmu sendiri?” dia membaliki. “Kau ketahui asal-usulnya barang itu, secara bagaimana kau berani mengatakan aku bukan pemiliknya?”

Belum pernah aku saksikan ada orang yang berani bicara demikian rupa terhadap ayah. Ayah menjadi lain waktu itu. Bagaikan orang yang memohon sesuatu, ayah katakana pada orang itu, “Memang barang ini pernah kau memegangnya, tetapi itu bukan alas an untuk mengatakan kaulah pemilik seluruhnya. Aku mendapat pesan dan pesan itu harus aku jalankan. Aku boleh tak menghendaki rumah tanggaku, tetapi permata itu, Tuan Pit, aku minta sudilah kau lepaskan dari tanganmu!”

Pengemis itu lantas menjadi gusar, dia lompat bangun.

“Rumah tanggamu! Rumah tanggamu!” dia berteriak-teriak. “Siapakah yang kemaruk dengan rumah tanggamu? Katakanlah, hendak kau serahkan atau tidak barang itu padaku?”

“Tidak!” sahut ayah dengan tetap.

Si pengemis tertawa pula, dengan tawar. Dia putar-putar tongkatnya itu.

“Baik!” akhirnya dia berseru.

“Karena kau tidak sudi memberikan, sekarang ingin aku menerima pengajaran darimu, pelajaran ilmu silat pedang Liap-in Kiam-hoat yang menjagoi sendirian di kolong langit ini!”

Ayah terim tantangan itu. Dia kata, “Jikalau begitu, maafkan aku untuk kelancanganku!” Ayah lantas hunus pedangnya, maka disitu mereka lantas bertempur, secara bengis sekali.

Ketika itu aku masih belum belajar ilmu silat pedang, aku menonton saja dengan perhatian. Ayah bergerak bagaikan harimau kalap, sinar pedangnya bergemerlapan. Terang ayah berkelahi secara mati-matian. Tongkat panjang si pengemis telah terkurung sinar pedang, tapi dia dapat bergerak dengan leluasa bagaikan seekor ular besar. Mataku menjadi seperti kabur karenanya.

Sengit sekali mereka bertanding. Sampai sekian lama, masih belum ada keputusannya. Lalu dengan mendadak terdengar bentakan si pengemis,” Kau serahkan atau tidak?” Menyusul itu ayah kena terpukul pundaknya.

“Tidak!” Segera ayah pun membalas, hingga pundak pengemis itu mengeluarkan darah. “Satu laki-laki!” seru si pengemis.

Masih mereka bertempur. Satu kali, kembali ayah kena terpukul, sesaat kemudian, berhasil tongkat si pengemis yang ketiga kali. Kali ini ayah kena tersampok hinga dia berjumpalitan. Tanpa mengeluh, ayah merayap bangun, untuk menyerang pula. Lalu tidak lama kemudian ayah dapat menikam pula pengemis itu. Seperti ayah, dia juga tidak berteriak kesakitan.

‘Pertempuran berjalan terus, tak kurang dashyatnya. Darah telah berceceran di tanah. Beruntun beberapa kali ayah kena dibikin jumpalitan pula, malah jidanya telah diserempet tongkat hingga kulitnya pecah dan berlumuran darah. Berbareng dengan itu, si pengemis juga tidak unggul banyak, rambutnya yang kusut kena terpapas pendek, tubuhnya terluka beberapa lobang.

Setelah lama bertempur, kedua-duanya telah menjadi sangat lelah. Masih ayah kena terpukul pula dan si pengemis kena tertikam lagi. Habis itu keduanya terhuyung rubuh, tidak dapat mereka merayap bangun. Tentu sekali aku tidak berani muncul atau bersuara, sekarang ini aku menjerit dan menangis.

Ayah bergulingan beberapa kali, lalu aku dengar ia paksakan berkata, “Baik, Tuan Pit, kau ambillah! Aku menyerah……….”Menggetar suara ayah, suara itu seram, menakutkan.

“Tidak, kau tidak kalah,” si pengemis pun berkata. “Kau setia kepada pesan yang menjadi tugasmu. Seumurku baru kali ini aku lihat kau sebagai satu laki-laki! Untuk sementara, permata itu boleh kau simpan terus, tidak hendak aku mengambilnya secara paksa. Sejak ini, apabila kau mendapatkan sesuatu kesukaran, yang harganya seimbang kalau ditukar dengan permata itu, asal kau buka mulutmu, tidak nanti aku tidak berbuat segala apa untukmu.”

Habis berkata, dia merayap bangun, dia balut sendiri luka-lukanya, dengan gunakan tongkatnya, untuk menahan tubuhnya, dia bertindak keluar dengan limbung. Ayah tidak dapat bangun, aku pergi panggil orang, untuk membantu mengangkat ayah naik ke pembaringan. Setengah bulan lebih ayah berobat, baru dia dapat turun dari pembaringannya, untuk berjalan.

Suatu hari dengan berpegangan tembok, seorang diri ayah naik ke loteng tempat ia menyimpan barang-barang permata. Disana di hadapan sebuah gambar ia keluarkan air mata. Biasanya tidak pernah aku berkisar dari samping ayah, tapi untuk naik ke loteng, aku sembunyi-sembunyi. Aku lihat segala apa, aku tidak berani menanyakannya. Aku tidak berani karena usiaku yang muda sekali. Adalah kemudian, setelah banyak tahun, aku Tanya ayah. Ayah tidak mau memberikan keterangan.”

Hati In Lui tergerak.

“Gambar apakah itu?” dia Tanya.

“Itulah gambar lebar yang pada harian nikah kita kau melihatnya diatas loteng,” sahut Cui Hong.

“Oh….” Kata In Lui, yang terus berdiam.

“Belakangan baru ayah mengatakan padaku,” Cui Hong menambahkan. “Ayah katakan si pengemis jahat sebenarnya bukan seorang jahat, dia malah seorang luar biasa. Dari lagu dan suaranya, ternyata ayah sangat kagumi pengemis itu. Tak mau aku percaya ayah. Hari itu aku saksikan sendiri dia sangat menghina ayah, dia berbuat terlalu sewenang-wenang. Orang semacam dia bagaimana bukan orang jahat? Ayah menjadi saudagar permata di Jalan Hitam, ancaman bahaya terhadapnya banyak dan besar sekali, beberapa kali ia menghadapi bahaya maut. Akhirnya ayah beritahukan padaku bahwa si pengemis jahat dahulu kala adalah Cin-sam-kay Pit To Hoan sekarang ini. Ayah katakan juga, di dalam segala hal, kalau kita minta bantuan Tuan Pit itu, ancaman bahaya bias berubah menjadi keselamatan. Ayah mengatakan demikian, tapi sebegitu jauh, belum pernah ayah memohon bantuan Pit To Hoan. Tapi In Siangkong, kali ini untuk urusan kau, ayah telah menulis suratnya ini. Ini membuktikan bahwa ia menyayangi kau melebihi dirinya sendiri, malah melebihi daripada aku juga. Maka itu, sekarang, tidak perduli dia orang jahat atau bukan, orang luar biasa atau siluman, asal dia suka Bantu kau, aku merasa girang sekali, selanjutnya tidak lagi aku ingat-ingat kejahatannya dahulu itu!”

In Lui tengah berpikir keras, perkataan Cui Hong itu seolah-olah tidak ia mendengarnya.

“Tentang Cin-sam-kay Pit To Hoan itu,” berkata Tiauw Im, “jikalau kau katakana dia jahat, dia memang jahat sekali, tetapi jikalau kau katakan dia orang baik, dia memang baik sekali. “ Pada dua puluh tahun yang lalu, pernah aku bertemu dengan dia itu. Ketika itu, dia ada bersamaku, dia ada satu hweeshio, dia belum menjadi pengemis.

Pada waktu itu aku baru keluar dari rumah perguruan, aku telah pergi merantau ke segala penjuru, aku selalu hidup di luaran. Pada suatu hari sampailah aku di Hong-yang, dalam propinsi Shoatang. Itulah tempat yang menjadi kampung asalnya kaisar Beng-thay-couw Cu Goan Ciang. Mengenai kota Hongyang ini, ada cerita burung yang bunyinya demikian, “Bicara tentang kota Hongyang, mengatakan perihal kota Hongyang, kota Hongyang asalnya ada suatu tempat yang baik, tetapi sejak munculnya kaisar she Cu, dalam sepuluh tahun, kota Hongyang mengalami sembilan tahun paceklik, kalau si orang hartawan menjual barang makanannya, si orang melarat menjual anak-anaknya, dan siapa yang tidak mempunyai anak, pasti dia menggondol tamburnya pergi merantau keempat penjuru. Maka itu, meskipun Hongyang merupakan kota tempat kelahiran satu raja, kotanya sendiri sedikit juga tak dapat kebaikan raja itu, sebaliknya raja telah mengadakan berbagai macam pajak yang berat-berat, hingga rakyat hidup sengsara dan celaka, satu kali datang musim kemarau, rakyat terlunta-lunta ke segala jurusan. Demikian tahun itu, Hongyang kebetulan sedang menderita musim kering, dari sepuluh rumah, sembilan yang kosong. Bahaya paceklik mengancam demikian hebat, tetapi ada sebuah tempat yang indah luar biasa. Kamu tahu, tempat apakah itu? Itu adalah sebuah biara!”

In Lui heran sekali hingga ia segera buka mulutnya.

“Biara?” katanya. “Bukankah biara itu tempat kediaman hweeshio?”

“Tidak salah, biara itu adalah tempat kediaman hweeshio,” jawab Tiauw Im. “Tapi hweeshio yang mendiami biara itu bukan hweeshio seperti aku ini. Dia adalah satu hweeshio besar yang banyak uangnya, yang besar pengaruhnya. Disini tak usah takut mengatakannya. Kaisar kerajaan kita sekarang ini, Cu Goan Ciang, di masa mudanya adalah satu hweeshio di biara tersebut. Mulanya biara itu ada sebuah biara kecil, sesudah Cu Goan Ciang menjadi kaisar, biara itu dirombak, diperbaharui menjadi besar dan indah, yang menjadi biara paling besar di seluruh negara. Oleh karena satu raja pernah menyucikan dirinya di sana, maka nama biara itu memakai nama Hong Kak Sie, artinya biara raja.”

San Bing mendengarkan dengan perhatian.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar