Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 1

Liang Ie Shen, Seri Thian San-02: Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 1 Di luar kota Gan-bun-kwan, daerah yang luasnya seratus lie adalah daerah kosong atau no man’s land.
 
Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 1
Cerita Pendahuluan

Di luar kota Gan-bun-kwan, daerah yang luasnya seratus lie adalah daerah kosong atau no man’s land. Di dalam kota Gan-bun-kwan berdiam pasukan perang Kerajaan Beng, dan di pihak sana, di luar kota ada tentara bangsa Mongolia, ialah rombongan suku bangsa Watzu.

Selama tahun-tahun permulaan dari Kaisar Eng Cong dari Kerajaan Beng – belum empat puluh tahun dari wafatnya Beng Thay-couw Cu Goan Ciang, kaisar pendiri Ahala Beng – bangsa Mongolia di Barat-utara mulai bangkit-bangun pula, dan rombongan suku Watzu adalah yang terkuat. Rombongan ini setiap tahun maju dengan perlahan-lahan sampai di tahun Ceng-tong ke-3 – tahun Kaisar Eng Cong – tentaranya telah mendekati kota Gan-bun-kwan. Demikian terjadilah daerah yang kosong itu.

Pada suatu magrib, selagi angin barat meniup dengan kerasnya, hingga pasir kuning dan daun-daun rontok beterbangan, sedangnya kelenengan-kelenengan kuda bercampur-baur dengan suaranya terompet huchia dari orang Mongolia, maka di daerah kosong itu, ialah di jalan pegunungan di dalam selat, sebuah kereta keledai asyik lewat dengan kencangnya.

Kereta itu diiringi satu penunggang kuda – seorang usia pertengahan yang mengendong kantong busur pada bebokongnya dan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sering sekali pengiring ini berpaling ke belakang.

Selagi angin bertiup keras, bercampur dengan suara ringkikan kuda yang tak hentinya dan suara beradunya senjata-senjata tajam, tiba-tiba terdengar satu seruan panjang dan hebat, lalu setelah itu – dengan laratnya sang kereta keledai – suara berisik itu perlahan-lahan berubah menjadi kesunyian.

Dari dalam kereta, seorang tua menyingkap tenda, memperlihatkan kepalanya dengan rambut ubanan semua.

“Apakah Teng-ji memanggil aku?” tanya dia. “Apakah dia telah menemui kecelakaannya? Cia Hiapsu, tak usah kau pedulikan lagi padaku, pergi kau sambut mereka itu! Setelah sampai disini, mati pun aku akan meram….”

Pengiringnya itu perdengarkan jawabannya. Ia menunjuk jauh ke belakang.

“Selamat loopeh!” kata dia. “Lopeh dengar suara kalutnya tindakan kaki kuda itu. Itulah pasti tanda tentara Tartar telah mundur! Nah, lihat di sana, bukankah itu mereka ang tengah mendatangi?”

Habis berkata pengiring ini memutar kudanya, yang terus ia larikan, guna memapaki “mereka” yang katanya tengah mendatangi mereka.

Si orang tua di dalam kereta menghela napas, menyusul itu air matanya berlinang-linang, menetes turun.

Di dalam kereta itu, yang larinya tak tetap, ada satu bocah wanita. Dia bermuka merah kareha hawa yang dingin sekali, warna merah itu mirip dengan buah apel yang telah matang. Dikucak-kucaknya matanya seperti dia baru terjaga dari tidurnya.

“Yaya, adakah ini wilayah Tionggoan?” dia tanya.

Orang yang dipanggil “yaya” (engkong) itu menahan keretanya. Ia menyingkap pula tenda, untuk melihat ke tanah tempat sekitarnya.

“ Ya, inilah tanah daerah Tionggoan,” sahutnya dengan suara dalam. “A Lui, coba kau turun, kau tolongi yayamu menjemput segumpal tanah!”

Ketika itu dari mulut selat terlihat tiga ekor kuda kabur mendatangi, salah satu penunggangnya rebah tengkurap dengan pakaian morat-marit, robek di sana-sini. Yang terdepan adalah satu hweeshio atau pendeta.

Pengiring usia pertengahan yang dipanggil Cia Hiapsu oleh yayanya si bocah tadi memapaki hweeshio itu.

“Tiauw Im suheng, bagaimana dengan In Teng sutee?” dia tanya.

Hweeshio itu menahan kudanya. “’Dia telah menemui kematiannya,” ia menyahut, wajahnya muram. “Tidak kusangka, setelah melalui laksaan lie air dan ribuan lie gunung, setelah bisa menyingkir sampai di sini, selagi bisa menyingkir sampai di sini, selagi kota Gan-bun-kwan sudah terpandang di depan mata, dia masih tak dapat lolos dari tangan orang Tartar! Akan tetapi, tak kecewa dia menjadi satu laki-laki, dalam keadaan luka parah dia masih dapat membinasakan beberapa orang musuh, selagi menghadapi kematiannya, dia telah berhasil membunuh Tartar yang memimpin pasukannya, hingga dia membuatnya tentara Mongolia menjadi ketakutan dan kabur, sampai mereka itu tak berani mengejar terlebih jauh! Manusia siapakah yang tidak mati? Orang yang matinya seperti dia, matinya berharga! Muridmu juga tidak dapat dicela, dia pun berhasil membinasakan beberapa musuh, dengan paman gurunya dia mati bersama!.....”

Orang usia pertengahan itu membelalakan matanya, dengan mata bersorot kegusaran, dia dongak memandang udara, habis itu mendadak dia berseru panjang. “Kota Gan-bun-kwan telah berada di depan mata, kita akhirnya tidak menyia-nyiakan pesan sute In Teng!” katanya. “Kita telah antar ayahnya pulang, di alam baka In sute bolehlah meramkan matanya. Cuma In Tayjin pasti sangat berduka, hal ini untuk sementara harus disembunyikan baginya.”

Lantas ia larikan kembali kudanya, ke arah kereta keledai. Si orang tua telah duduk di depan kereta sekarang, tangannya memegang segumpal tanah. Nampaknya ia bersikap luar biasa sekali.

Si bocah wanita, yang berdiri diam di tanah, matanya mengawasi engkongnya saja.“In Tayjin, kita telah kembali,” berkata Tiauw Im Hweesio, yang turut si pengiring usia pertengahan itu.

“Mana anakku si Teng?” tanya si orang tua.

“Tentara Tartar telah kita pukul mundur,” sahut Tiauw Im. “Dia telah mendapat sedikit luka, dia ada di belakang bersama murid sute Thian Hoa.”

Hweeshio ini telah kuatkan hatinya, ia mencoba berlaku tenang, tapi tak sanggup ia menahan kedukaannya yang hebat, ini terutama tampak pada wajahnya yang suram dan suaranya yang sedikit gemetar.

Wajah si orang tua berubah dengan segera. Tiauw Im dan Cia Thian Hoa – demikian si hiapsu, orang gagah bangsa hiapkek – orang-orang kosen, akan tetapi tak sanggup mereka awasi sinar mata tajam dari orang tua itu, tanpa merasa mereka mundur dua-tiga tindak.

Orang tua itu sudah lantas tertawa bergelak-gelak. “Ayah adalah tiongsin dan anaknya hauwcu!” mendadak ia berkata dengan nyaring. “Tiongsin dan hauwcu hidup berkumpul dalam satu keluarga, maka aku, In Ceng, apa lagi yang aku rasakan kurang? Ha ha ha!” Itulah tertawa yang mengandung kedukaan hebat sekali. Cia Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio berdiam. Keduanya kagum berbareng terharu. Mereka telah saksikan apa yang dinamakan tiongsin – menteri setia dan hauwcu – anak berbakti.

Si bocah dongak mengawasi engkongnya itu. “Yaya, kau tertawakan apa?” dia tanya. “Aku takut yaya, jangan kau tertawa seperti itu……, Yaya, kenapa ayah masih belum datang?”

Orang tua itu berhenti tertawa dengan tiba-tiba , lantas dia berdiam. Tapi dia berdiam sebentar saja.

“Apa besok pagi-pagi kita bisa sampai di kota Gan-bun-kwan?” dia tanya, suaranya perlahan.

“Ya.” Sahut Thian Hoa. “Malam ini adalah malaman Cap-gwee Cap-go, di waktu malam sang rembulan terang sekali cahayanya. Besok pagi pastilah kita akan tiba di sana.”

Orang tua itu masih menggenggam tanah, agaknya ia pandang tanah itu bagaikan mestika, ia bawa itu ke hidungnya, untuk disedot beberapa kali. Tanah tu berbau daun-daun busuk. Akan tetapi si orang tua merasakannya itu harum sekali.

“Dua puluh tahun sudah!” katanya pula, tetap perlahan, tetapi suaranya itu tetap perlahan, tetapi suaranya itu tetap. “Baru sekarang aku dapat mencium lagi baunya tanah tumpah darahku….”

“Loopeh telah tinggal di negara asing, kehormatanmu dan kesetiaanmu telah dapat dilindungi,” berkata Cia Thian Hoa, “malah dibanding dengan Souw Bu, loopeh tinggal di sana satu tahun lebih lama. Maka itu, orang sebagai loopeh, siapa pun pasti menjunjungnya!”

Tetapi orang tua itu sendiri mengkerutkan alisnya.Ia ulurkan kedua tangannya, untuk membantu menarik si bocah naik ke kereta.

“ A Lui, tahun ini kau telah berumur tujuh tahun,” katanya dengan perlahan, “maka itu sudah seharusnya kau mulai mengerti urusan. Malam ini yayamu akan ceritakan kau sebuah dongeng, kau mesti ingat itu baik-baik dalam kalbumu.”

”Apa? Mesti diingat dalam kalbuku?” si bocah membaliki. “Aku tahu sudah, yaya hendak menutur tentang cerita yang mengenai diri yaya sendiri!”

Orang tua itu heran, ia awasi cucunya itu.

“Kau sungguh cerdik!” kata dia. “Dibanding dengan masa kecilku, kau jauh lebih cerdik!”

Tak ingat engkong ini bahwa bocah itu, sejak dilahirkannya, baru satu bulan berselang bertemu dengannya. Waktu baru bertemu sama sang engkong, si bocah telah menanya pada ayahnya kenapa bolehnya mendadak muncul seorang engkong untuknya, atas mana sang ayah menjawab,”Bukankah telah sering aku ceritakan kepadamu hal ikhwalnya Souw Bu? Cerita tentang yayamu ini ada jauh menarik daripada lelakonnya Souw Bu itu. Tunggu saja nanti, biar yayamu sendiri yang menuturkannya, tapi kau harus ingat itu baik-baik dalam kalbumu.”

Karena kata-kata ayah ini, maka bocah itu dapat menduga dongeng si engkong. Cia Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio seperti kitarkan kereta keledai itu, mereka berdiam, tetapi dengan penuh perhatian, seperti si bocah perempuan sendiri.

Orang tua itu jumput sebatang tongkat bambu, di kepala itu ada beberapa lembar bulunya yang jarang.

“Bulu dari tongkat ini, yang menjadi barang perhiasan, telah rusak karena salju yang beku bagaikan es dari tanah utara,” katanya. “Ini adalah tongkat yang dinamakan su-ciat. A Lui, tahukah kau artinya su-ciat? Nanti aku jelaskan.”

“Su-ciat adalah tongkat kehormatan, tongkat kepercayaan.”

Bocah itu awasi engkongnya.

“Pada dua puluh tahun yang lampau, engkongmu ini adalah satu utusan dari Kerajaan Beng yang besar,” yaya itu mulai dengan ceritanya. “Engkongmu telah diutus ke Mongolia, yaitu negara dari suku bangsa Watzu untuk mengikat persahabatan. Tongkat ini adalah pemberian dari Sri Baginda kepadaku, namanya ialah su-ciat. Dan su-ciat ini mewakilkan Raja, maka itu tongkat ini tak dapat termusnah. Ketika itu Mongolia terbagi dalam dua rombongan suku bangsa, ialah Watzu dan Tartar. Bangsa itu masih lemah. Menurut aturan utusan Kerajaan Beng mesti disambut secara hormat, akan tetapi di luar dugaan, di saat penyerahan surat-surat kepercayaan negara, telah terjadi satu perubahan. Mulanya raja Watzu tetap berlaku hormat seperti biasa, sampai tiba-tiba muncul seorang Han dalam pakaian bangsa Tartar. Dia datang ke istana dengan membawa pedang di pinggangnya, dia lantas menarik raja Watzu ke samping, untuk diajak berbisik, sambil bicara matanya melirik padaku. Orang Han itu berumur kurang lebih dua puluh tahun akan tetapi matanya memperlihatkan sinar kebencian hebat, dia sepertinya bermusuh denganku.”

“Apakah orang itu kenal loopeh?” Cia Thian Hoa tanya.

“Tidak,” sahut In Ceng. “Aku pun tidak kenal dia. Aku percaya, aku sebagai satu pembesar yang bersih, seumur hidupku aku tidak punya musuh, lebih-lebih tak mungkin terjadi ada musuh di antara bangsa Tartar. Tak tahu aku, mengap dia agaknya sangat membenci aku. Ketika itu, melihat dia dandan sebagai orang Tartar, tak ingin aku bicara dengannya. Setelah bicara sekian lama dengan raja Watzu itu, mendadak dia keluarkan perintah untuk menahanaku, malah dia hendak rampas juga su-ciatku. Aku menjadi gusar, aku membuat perlawanan. Aku sudah pikir, jiwaku boleh hilang tetapi tongkat kepercayaan dari Sri Baginda ini tidak. Aku benci dia bila aku ingat dia adalah orang Han.”

Keras suaranya orang tua ini sewaktu dia mengatakan demikian.

“Ketika dia dengar aku menyebut-nyebut Sri Baginda, dia tertawa besar,” dia melanjutkan. Kaisar Beng, Kaisar Beng!” katanya mengejek. “Haha! Apakah kau telah siap sedia untuk menjadi menteri setia dari Kaisar Beng? Kau bakal jadi Souw Bu kedua! Souw Bu menggembala kambing, kau sendiri boleh mengangon kuda!” Dan sejak itu, aku hidup di tanah Utara yang hawanya sangat dingin, aku tungkuli kuda sampai lamanya dua puluh tahun …..Mulanya aku masih mengharap pemerintah nanti mengirim angkatan perang guna menolong aku, akan tetapi bertahun-tahun telah lalu, tetap tidak ada kabar beritanya. Adalah kemudian aku dengar cerita bahwa Kaisar Tay Heng, yaitu Baginda Seng-Touw telah mangkat, dia digantikan Baginda Jin Tong. Habis itu, belum satu tahun, Kaisar Jin Tong juga wafat, ia lantas digantikan oleh satu Kaisar muda, hingga negara seperti tidak ada rajanya. Sampai di situ, habislah keangkaran dari Thay-couw dan Seng-couw. Karena itu, habis juga pengharapanku untuk dapat pulang kembali, dan aku percaya, pasti aku akan mati di negara asing. Putus harapanku akan dapat kembali ke tanah daerah Han! Siapa sangka, telah datang hari seperti ini!”



Thian Hoa dan Tiauw Im saling memandang, mereka bungkam, akan tetapi wajah mereka menunjukkan bahwa mereka kagum sekali. In Ceng lihat sikapnya dua orang itu, ia tidak ambil tahu, cuma sikapnya sendiri yang makin pendiam. Ia tekuk-tekuk sepuluh jari tangannya hingga berbunyi.

“Selama dua puluh tahun itu, bukan main kesengsaraan yang kuderita,” ia menyambungi ceritanya. “ Di laut pasir tidak ada air minum, sukar untuk mendapatnya, maka juga, ada kalanya aku menghilangkan dahaga dengan minum air kencing kuda, sedang di musim rontok dan dingin, aku minum air salju. Itulah hal biasa, itulah masih tidak berarti. Yang paling menjemukan adalah itu jahanam, dia sering kirim utusan menemui aku dan di depanku dia caci-maki kaisar Beng. Selama dua puluh tahun itu, tidak ada saat yang aku tidak bersedia untuk mati, tetapi menjemukan, dia justeru tidak hendak membunuh aku, dia Cuma menyiksa batinku!”

In Lui – ialah si A Lui, sebagaimana ia dipanggil engkongnya – jadi sangat gusar.

“Siapa namanya manusia busuk itu?” dia tanya. “Katakan padaku, yaya! Nanti, setelah Lui dewasa, Lui gantikan yaya menuntut balas!”

“Lama kelamaan, tahulah aku siapa dia,” In Ceng meneruskan lagi. Dengan begitu iapun jawab cucunya itu. “Dia she Thio, namanya Cong Ciu. Tentu saja, tak pantas dia menjadi manusia Han. Kenapa dia mencaci raja kita? Jiwi Hiapsu, coba katakan pantas atau tidak kalau jahanam itu dibinasakan?”

“Memang dia harus dibinasakan!” sahut Tiauw Im dan Thian Hoa berdua, malah si hweeshio sambil gedruk tanah dengan tongkatnya yang panjang seperti toya.

Baru sekarang In Ceng tersenyum. Ia mengusap-usap kepala cucunya.

“Kemudian ternyata, Thio Cong Ciu itu adalah dari keluarga dorna,” ia melanjutkan “Ayahnya sejak lama memangku pangkat di Mongolia, sampai kepadanya, dia semakin terpakai. Dia baru berumur dua puluh lebih, dia sudah menjadi yu-sinsiang, menteri muda. Bersama-sama cio-sinsiang Toat Hoan dia menjadi orang kepercayaan dari raja Watzu, Toto Puhwa Khan. Dia bertubuh sehat, mungkin dia masih dapat hidup lagi dua atau tiga puluh tahun. Siang dan malam selama aku mengembala kuda di tanah yang berlangit es dan berbumi salju itu, selalu aku mengharap-harapkan dia tidak mati siang-siang!”

“Kenapa begitu, tayjin?” tanya Tiauw Im.

In Ceng tertawa dingin. Sudah lama sekali ia berdendam, sekarang ingin ia melampiaskannya.

In Lui bergidik mendengar tertawa yang menyeramkan itu.

Engkong itu merogoh sakunya, dari mana ia keluarkan sepotong kulit kambing, di atas itu ada tertulis beberapa huruf warna merah. Dengan samar sekali, kulit itu menyiarkan bau bacin.

Cia Thian Hoa terperanjat melihat surat kulit kambing itu.

“In Loopeh, adakah ini surat darahmu?” dia tanya.

“Inilah yang kedua,” sahut In Ceng. “Seperti aku katakan tadi, mulanya aku katakan tadi, mulanya aku mengharap Pemerintah Agung mengerahkan angkatan perang untuk menegur dan menghukum raja Watzu, supaya jahanam itu dibekuk dan dihukum menurut undang-undang negara, kemudian aku dapat kenyataan, aku tidak mempunyai harapan lagi.Aku lalu memikir untuk membunuh jahanam itu dengan tanganku sendiri, hanya sayang bagiku, aku hanya satu sastrawan yang tak punya tenaga sekalipun untuk menyembelih ayam. Setelah berpikir pulang-pergi, aku jadi mengharap biarlah anak cucuku semua meninggalkan pelajaran surat, buat pelajari ilmu silat, guna mereka membalas sakit hatiku. Kemudian ternyata pengharapanku itu telah terkabul. Selang sepuluh tahun sejak aku menggembala kuda, anakku si Teng telah datang ke perbatasan, masuk ke dalam negeri Watzu itu. Tentu saja dia telah sembunyikan she dan namanya. Dengan susah payah dia cari aku. Ketika aku diutus ke Mongolia, si Teng baru saja lulus sebagai siucai. Dia adalah satu mahasiswa yang lemah tubuhnya, akan tetapi di tanah asing ini, aku dapatkan ia sebagai satu orang yang gagah. Nyatalah dia, oleh karena pemerintah agung tidak berminat menegur raja Watzu, sudah lantas meninggalkan ilmu suratnya, dia sengaja belajar silat, setelah mana dia menyelundup masuk ke Mongolia. Dia datang seorang diri. Katanya dia belajar silat pada Hian Kie It-su, ahli pedang nomor satu. Dia baru belajar tujuh tahun, dia belum lulus, akan tetapi kendati begitu, tiga sampai lima puluh orang biasa saja tidak nanti mampu dekati padanya. Demikian keras niatnya menolongi ayahnya, hingga tanpa menunggu sampai lulus dari perguruan, dia sudah mencari aku.”

In Lui mendengarkan dengan kedua matanya memain tak hentinya. Ia sangat tertarik tetapi ada sesuatu yang membuatnya ia tidak mengerti.

“Yaya,” tanyanya. “Ayah mempunyai kepandaian silat itu, kenapa aku sedikit juga aku tidak tahu? Aku lihat setiap hari ayah dan mama pergi bersama-sama untuk menggembala kambing, mereka tidak mempunyai pekerjaan lain. Satu hari ada seorang Tartar yang hinakan ayah, yang hendak merampas kambingnya, meskipun ia dipukul, sama sekali ia tidak membalas menyerang….”

Engkong itu menghela napas.

“A Lui, kau masih kecil,” katanya. “Ada banyak hal, kalau itu diberitahukan kepadamu, kau tidak akan mengerti. Di kemudian hari, umpama kata aku menutup mata, hingga tidak dapat aku menanti sampai kau dewasa, itu waktu kedua mamakmu yang akan memberikan keterangannya.”

Thian Hoa tahu bahwa ceritanya In Ceng ini, meski dikatakan kepada cucunya, sebenarnya ditujukan terhadap ia dan Tiauw Im Hweeshio. Cerita orang tua ini mengandung arti dalam. Ia dapat melihat pada tubuhnya yang bergetar dan napasnya memburu, maka itu ia lekas menghampiri, untuk memegang padanya.

“Mengasolah, loopeh,” katanya. “Masih banyak waktu untuk kau bercerita, maka tunggulah sampai kita tiba di Gan-bun-kwan, baru kau lanjutkan pula. Loopeh, andaikata di kemudian hari kau hendak menitahkan sesuatu padaku, pasti aku akan melakukannya.”

Orang tua itu batuk-batuk, ia menghela napas.

“Tidak, aku hendak melanjutkan,” katanya, suaranya tetap. “Sudah terlalu lama, urusan ini tersimpan dalam hatiku, jikalau tidak sekarang aku keluarkan, hatiku belum merasa lega…” Ia berhenti sebentar, kemudian ia lanjutkan,”Anakku Teng telah memandang urusan ini terlalu gampang. Dia percaya, dengan mengandalkan kegagahannya, dia sanggup menolongi aku menyingkir dari Mongolia. Dia tidak tahu, di luar langit ada langit lainnya, di atas manusia, ada manusia lainnya. Artinya orang gagah ada lagi yang terlebih gagah pula. Demikian di Mongolia, ada banyak orang kosen. Di bawahannya Thio Cong Ciu tak sedikit orang yang pandai silat. Selama aku menggembala, diam-diam telah ada orang yang mengintai aku. Dengan susah payah si Teng telah dapat cari aku, akan tetapi belum sempat dia mendamaikan daya untuk ajak aku menyingkirkan diri, di sudah dipergoki musuh. Coba aku tidak suruh dia segera angkat kaki, mungkin dia sudah kena terbekuk lebih dulu. Habis itu secara diam-diam pernah dia tempur orang-orang sebawahannya Thio Cong Ciu itu, sekian lama tidak pernah dia peroleh hasil. Sejak itu barulah dia lepaskan rencananya akan seorang diri saja menolongi aku. Selanjutnya dia bekerja menurut nasihatku. Dia lantas berdiam diri di Mongolia dengan bawa diri seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat, dia lewatkan waktunya sambil memikirkan daya yang sempurna. Dengan aku ia selalu mengadakan hubungan secara rahasia.”

Ia berhenti sejenak sebelum ia melanjutkan lagi.

“Telah aku nasihatkan supaya dia tinggal menetap di Barat utara, berbareng dengan itu, aku pun anjurkan dia menikah dengan satu nona Mongolia,” orang tua ini bercerita terlebih jauh. “Tindakanku ini maksudnya agar ia tidak sampai putus turunannya, supaya dia toh dapat menuntut balas. Aku teringat kepada dongeng dari Gie Kong yang mencoba memindahkan gunung. Andaikata anakku tidak dapat membalas sakit hati, nanti masih ada cucuku, nanti masih ada buyutku, demikian seterusnya, asal keluargaku masih punya turunan. Aku percaya, satu kali sakit hatiku mesti terbalas juga! Mengenai keluarga Thio itu, umpamanya Thio Cong Ciu sendiri mati, dia juga ada turunannya, dan turunan itu mesti menggantikan dia menerima pembalasan. Pada tujuh tahun yang lalu, aku dengar dia telah mendapatkan satu anak lelaki, waktu itu aku sudah lantas menulis surat darahku yang pertama, sebagai pesan kepada cucuku, supaya kalau nanti cucuku sudah dewasa, dia mesti membinasakan anak lelaki itu atau turunannya, tidak peduli lelaki atau perempuan, semua mesti dihabiskan!”

Orang tua ini menjadi sengit, sampai Thian Hoa yang kosen merasa bergidik. Hebat pesan itu. Hendak ia bicara, atau ia membatalkannya. Cuma di dalam hatinya, dia berpikir,”Beginilah dendam yang hebat! Tidakkah pembalasan ini ada lebih hebat daripada pembalasan dalam kalangan kaum kang-ouw? Rupanya setelah terbenam dalam penggembalaan kuda dua puluh tahun di antara es dan salju, saking sengsaranya, orang tua ini telah berputus asa, sampai dia kehilangan sifatnya yang umum. Biarlah, setelah nanti dia tiba di tanah daerah Tionggoan, sesudah kesehatannya pulih kembali, dia diberi hiburan dan nasihat secara perlahan-lahan.”

In Ceng tunjuk surat darah itu, napasnya sedikit memburu.

“ Si Teng dengar nasihatku itu, dia simpan surat darahitu dengan dijahit di baju anaknya, lalu anak itu dikirim pada satu suhengnya untuk diambil sebagai murid,” kembali ia melanjutkan. “Setelah itu, aku berpindah tempat menggembala, hingga putuslah perhubunganku dengan anakku itu. Baru pada tiga bulan yang lalu, berhasillah dia mencari aku, hingga kita dapat bertemu pula. Dia menemui aku secara rahasia. Dia beritahukan aku bahwa dia sudah bermufakat dengan saudara seperguruannya untuk datang menolongi aku. Itu waktu, mengingat aku telah berusia lanjut, aku tidak memikir lagi untuk menyingkirkan diri, maka apa yang dia katakan itu, tidak begitu kuperhatikan. Aku cuma tanya dia, selama berpisah tujuh tahun dariku, apakah dia telah mendapat lagi anak atau belum. Dia jawab bahwa dia telah memperoleh satu anak perempuan – ialah kau, A Lui. Aku lantas tulis pula surat untuk cucu perempuanku menuntut balas. Maka itu, Lui, kau mesti ingat, jikalau kau bertemu dengan turunannya Thio Cong Ciu nanti, kau mesti wakilkan aku membunuh mereka dan bakar mereka hingga tulang-tulangnya menjadi abu!”

In Lui mendengarkan dengan penuh perhatian, mendengar pesan yang terakhir ini pada wajahnya yang merah bagaikan apel terlihat roman ketakutan, dengan tiba-tiba dia menjerit, menangis.

“Yaya, apa begitu banyak orang mesti dibunuh?” katanya. “Oh, Lui Lui takut. Mama pun pesan supaya aku jangan sembarang membunuh orang, malah kambing yang baru dilahirkan juga mesti disayangi, dilindungi. Oh Mama! Kata ayah, mama hendak datang, kenapa sekarang mama masih belum kelihatan juga? Ya, kenapa ayah pun tidak kelihatan?”

Nona cilik ini tidak ketahui, sekalipun mamanya tidak tahu dia sebenarnya ayahnya, yang tinggal sembunyikan she dan namanya. Dan pada satu bulan yang lalu di luar tahu isterinya, ayah itu sudah tinggalkan rumahnya dengan bawa anaknya minggat.

In Ceng singkap kumisnya yang putih, dengan mendadak nampaknya ia gusar.

“Lui Lui, apakah kau tidak dengar perkataanku?” dia tanya, suaranya bengis. “Aku beritahu padamu, ayahmu, ayahmu itu, sudah …”

Bocah itu kaget, ia berhenti menangis.

Engkong itu awasi cucunya, ia menghela napas. Tidak dia lanjutkan perkataannya. Tidak tega ia memberitahukan sang cucu bahwa ayahnya sudah tidak ada lagi di dunia.

Cia Thian Hoa menggeleng-gelengkan kepalanya, diam-diam ia menghela napas. In Lui tunduk.

“Akan aku dengar perkataan yaya,” katanya perlahan.

In Ceng masukkan surat darah itu, yang ia baru tulis tiga bulan yang lalu, ke dalam sakunya si bocah, terus ia dongak dan tertawa.

“Tidak kusangka bahwa aku, In Ceng, masih dapat menyingkir dari negara asing dan dapat kembali ke negara sendiri,” katanya. “Aku harap semoga Thio Cong Ciu si jahanam tidak mati siang-siang supaya dia sendirilah terima pembalasan sakit hati dari cucuku! Cia Hiapsu, aku minta sukalah kau memandang mukanya anakku si Teng dengan terima bocah ini sebagai muridmu.”

Thian Hoa ragu-ragu, maka itu, ketika ia menjawab, ia menjawab dengan perlahan.

“Hal ini baik nanti saja dibicarakan lagi,” demikian jawabnya. “Oh, loopeh, aku minta jangan kau salah mengerti! Sama sekali bukannya aku menampik, tetapi aku sedang berpikir untuk carikan dia guru yang cakap.”

Thian Hoa dan Tiauw Im bersama In Teng ada saudara seperguruan, guru mereka adalah Hian Kie It-su yang bergelar Thian hee Tee it Kiam-kek,” ahli pedang nomor satu di kolong langit.” Guru itu bukan melainkan pandai ilmu pedang, ia mahir juga lain-lain kepandaian, yang semua bercampur menjadi satu. Dan dia pun mempunyai tabiat yang aneh, ialah dia mempunyai lima murid, setiap murid diwariskan semacam ilmu kepandaian. Umpama Cia Thian Hoa, ia utamakan ilmu pedang, tetapi ilmu pedang itu diturunkan hanya separuh! Kenapa separuh-separuh. Dia sebenarnya punya dua rupa ilmu pedang, yang dua ini bertentangan satusama lain. Perbedaan juga terdapat pada pedangnya. Dia telah bikin sepasang pedang terpisah antara pedang lelaki dan pedang perempuan, hiong-kiam dan ci-kiam. Pedang yang perempuan ci-kiam, diberi nama Ceng Beng (Awan Hijau), dan yang lelaki, hiong-kiam, diberi nama Pek In (Awan Putih). Pek In Kiam diserahkan pada Thian Hoa, dan Ceng Beng Kiam kepada satu muridnya yang lain, murid wanita. Ilmu silat pedang itu diciptakan Hian Kie It-su sesudah ia memikirkannya dalam-dalam dan lama. Jikalau ilmu itu dipakai bertempur berendeng, dapat dibilang “tidak ada tandingannya di kolong langit ini”. Maka itu, di antara murid-muridnya adalah Thian Hoa dan si murid wanita itu yang paling lihai, dan di antara mereka berdua, sukar dibedakan, yang mana yang terlebih mahir. In Teng adalah murid yang belum lulus, maka itu ia dapat dibilang masih lemah. Tiauw Im Hweeshio ada murid yang kedua, dia diwariskan ilmu tongkat panjang Hok-mo-thung “Tongkat Menakluki Iblis”. Kepandaian ini termasuk Gwa-kee, pihak “Luar”.

Thian Hoa dan Tiauw Im telah memenuhi permintaan In Teng datang ke Mongolia dengan mengajak masing-masing muridnya, maksudnya untuk menolong In Ceng, ayahnya itu, yang hendak di bawa buron kembali ke Tionggoan.

Hari yang dipilih kebetulan ada harian raja Watzu mendapat satu putera, di seluruh negeri diadakan pesta besar, maka itu, penjagaan atas diri In Ceng menjadi longgar sendirinya. Tiga saudara it sergap penjaga-penjaga, beberapa diantaranya dapat dibunuh. In Ceng dibawa minggat. Hanya di luar dugaan, sesudah lari begitu jauh, selagi mendekati kota Gan-bun-kwan, mereka kena disusul tentara pengejar, hingga terjadilah satu pertempuran mati-matian dengan kesudahannya In Teng menemui ajalnya dan murid satu-satunya dari Thian Hoa turut binasa juga. Masih syukur In Ceng telah kabur terus, hingga ia dapat lolos.

Habis bercerita, orang tua itu menjadi letih sekali, maka begitu ia rebahkan dirinya, ia lantas tidur pulas.

In Lui dengan menjublak mengawasi engkongnya.

Menampak demikian, Cia Thian Hoa ulapkan tangannya, atas mana kereta lantas dijalankan, guna melalui perjalanan sulit di lembah itu.

Sekarang bulan yang terang sudah muncul, suasana tenang.

Thian Hoa berikan dengdeng pada In Lui, dia dahar itu dan lalu minum, habis itu, setelah ditepuk-tepuk, dia tidur pulas….

Kereta lari terus, rodanya tak rada di jalannya.

Berselang sekian lama, mendadak terdengar In Ceng mengigau. “Dingin! Dingin! …Ada serigala!”

Tiauw Im Hweeshio tertawa.

“Orang tua ini menyangka ia masih ada di tempat penggembalaannya di Mongolia….” Katanya perlahan.

In Lui pun mengigau seperti engkongnya itu. “Mama, Lui Lui tidak bunuh orang, Lui Lui takut…”

Mendengar itu, Thian Hoa melengak, lalu ia goyangkan kepalanya.

Hampir berbareng dengan itu, sekonyong-konyong terdengar suara anak panah mengaung, melintasi selat itu.

Justeru itu, dalam mimpinya, In Ceng lompat bangun.

“Ada serigala!” dia berseru dalam mengigaunya. Tapi, ketika dia membuka matanya, dia lihat segumpal api biru melayang turun.

Menyusul itu, Tiauw Im Hweeshio lompat maju, untuk menyambut musuh.

“Jangan kuatir, loopeh, Cuma beberapa orang!” Thian Hoa hiburkan si orang tua.

In Ceng telah benar-benar sadar dari tidurnya.

“Celaka, inilah berbahaya!” kata dia. “Yang datang itu adalah pahlawan nomor satu dari Thio Cong Ciu, shenya Tantai, namanya Mie Ming. Nama itu adalah nama Mongolia, tetapi sebenarnya dia orang Han asli. Pernah si Teng tempur pahlawan itu, a kena dikalahkan. Dia memang sangat lihai.”

Orang tua itu kenali panah api musuh.

Cia Thian Hoa tertawa.

“Sepasang kepalan dan tongkatnya suhengku itu telah menggetarkan Tionggoan,” dia berkata, “maka itu belum ada artinya bagi orang kosen nomor satu dari Mongolia. Asal mereka itu tidak berjumlah banyak, aku tanggung dia bisa datang tetapi tidak bisa pulang. Biarkan kita tangkap padanya, untuk dibawa pulang oleh loopeh ke kota raja dan dipersembahkan sebagai jasa! Ingin aku melihat, musuh itu masih berani memusnahkan Kerajaan Beng atau tidak….”

Nama “Mie Ming” dari pahlawan Mongolia itu bisa berarti “memusnahkan kerajaan Beng”. Inilah kata-kata yang dibenci Thian Hoa, yang paling dibencinya ialah pengkhianat penjual negara. Maka itu, habis berkata, ia hunus pedangnya, dia pun lari ke mulut lembah untuk membantu Tiauw Im menghajar musuh.

Segera terlihat satu punggawa bangsa Mongolia dengan seragam perangnya yang bersalutkan emas, senjatanya ialah sepasang gaetan Hok-ciu-kauw, dan punggawa itu tengah bertempur dengan seru dengan Tiauw Im Hweeshio.

Pendeta itu memainkan tongkatnya hingga mengeluarkan angin menderu-deru, tanda hebatnya serangan, meskipun demikian, Tantai Mie Ming, punggawa Mongolia yang kosen itu, tidak sudi mundur, dia melawannya dengan gaetannya yang sama dashyatnya. Hingga beberapa kali tongkat panjang kena disampok terpental.

Menampak demikian, barulah Thian Hoa terperanjat. Inilah tidak disangka olehnya.

“Benar binatang itu lihai,” pikirnya. “Pantas In Teng tidak nempil terhadapnya. Mungkin sekali, suheng juga bukan tandingannya.”

Karena ini, dengan lantas ia maju, untuk bantui saudara seperguruannya itu. Ia menyerang dengan jurus Hut-liu-coan-hoa atau Mengebut cabang yangliu, mencari bunga, ujung pedangnya mencari sasaran ulu hati.

Pedang pun merupakan senjata yang diperantikan malawan gaetan dan sebangsanya.

Biasanya sulit untuk satu lawan lolos dari serangan semacam serangan Thian Hoa ini, akan tetapi kesudahannya, Thian Hoa adalah yang terkejut sendirinya. Waktu pedangnya tiba, sekalipun dia lagi desak Tiauw Im, Mie Ming dapat menangkis dengan tepat, lalu berbalik menggaet pedangnya sendiri. Hampir terlepas pedang she Cia itu, karena itu terkejut, ia segera berbalik kena diserang. Sebab Mie Ming segera melakukan serangan pembalasan.

Dengan terpaksa Thian Hoa mesti empos semangatnya, untuk melayani musuhnya dengan sungguh-sungguh. Ia menyerang dengan tidak kurang hebatnya, akan tetapi di samping itu, sekrang ia mesti waspada, agar pedangnya tak lagi tergaet seperti tadi. Celaka umpama kata pedangnya kena dibikin terlepas dari cekalannya. Maka ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya.

Dalam sekejap saja dapatlah Thian Hoa mendesak lawannya itu.

“Ilmu pedang yang bagus!” memuji Tantai Mie Ming walaupun ia terancam bahaya desakan. Kemudian, setelah tiga serangan yang berbahaya dapat dielakkan, ia berteriak pula. Kali ini,”Tahan!”

Thian Hoa tidak mau mengerti, ia lanjutkan serangannya.

Orang Mongolia itu menjadi gusar, romannya berubah.

“Apakah kau sangka aku jerih terhadapmu?” dia berser. Dan dia menyerang hebat, hingga pembalasan ini membuat Thian Hoa jadi seperti kecandak.

Tiauw Im Hweeshio berseru keras, kalau tadi ia berhenti, akan tonton saudaranya, sekarang ia maju, guna membantui.

Punggawa Mongolia itu tertawa.

“Melihat ilmu silatmu, mestinya kau ada ahli-ahli silat kenamaan,” berkata dia. “Menurut apa yang aku dengar, orang-orang kenamaan dari Rimba Persilatan dari Tionggoan sangat menghormati aturan bertarung satu lawan satu, maka itu heran aku! Apakah kamu memikir untuk rebut kemenangan dengan andalkan jumlah yang banyak?”

“Hai, binatang, apakah kau bukannya Tantai Mie Ming? Tiauw Im balas menegur.

Orang Mongolia itu menangkis pedangnya Thian Hoa, lalu ia mendesak, setelah mana, ia pandang si pendeta. Ia tertawa.

“Eh, hweeshio, kau juga tahu namaku?” tanya dia.

“Kau ada orang Han, tapi kau menjadi panglima Mongolia! Apakah kau tidak malu?” Tiauw Im menegur. “Terhadap kau, bangsat pengkhianat bangsa, siapa kesudian bicara tentang aturan kaum bu-lim dari Tionggoan? Lebih baik kau makan tongkatku ini!”

Benar-benar pendeta ini menyerang pula.

Mie Ming menangkis, wajahnya padam. Tapi sebentar saja, atau ia tertawa terbahak-bahak. Panjang tertawanya itu.

“Telah aku kaburkan kudaku malang-melintang di laut pasir Utara, hatiku ni dapat dihadapkan kepada Thian! Maka itu, siapakah pengkhianat?” dia berseru-seru. “Terhadap negara siapa aku berkhianat? Cu Goan Ciang telah merampas negara dengan gunakan kelicikannya, tetapi Cuma kamu saja, orang-orang yang tidak bersemangat, yang kesudian manggut-manggut menjadi hamba-hamba dari anak cucunya!”

Sambil mengucap demikian, ia berkelit dari serangan tongkatnya si hweeshio, setelah itu, ia tutup dirinya dengan putar sepasang gaetannya. Ketika ini digunakan olehnya untuk berkata-kata pula dengan nyaringnya. “Hweeshio sembrono, rupa-rupanya percuma bicara dengan kau! Baiklah, jikalau benar-benar kau hendak bertempur! Nanti aku titahkan dua orang muda melayani kau!”

Di belakang Mie Ming ini memang ada dua punggawa muda. Mereka ini segera maju ketika punggawa itu mendesak lawannya. Benar mereka masih muda tetapi mereka pun bukan orang sembarangan, maka itu, dapat mereka kepung Tiauw Im.

Pendeta ini tidak usah kalah, akan tetapi, untuk mencari kemenangan, itulah sulit untuknya, dengan begitu, maksudnya membantui Thian Hoa jadi tidak tercapai.

Thian Hoa sendiri heran mendengar kata-kata Tantai Mie Ming itu.

“Kalau begitu, punggawa ini bukan orang sembarangan,” pikirnya. “Tapi dia asal orang Han, sekarang dia bantui bangsa asing menindas orang Han, biar bagaimana, itulah perbuatan tidak selayaknya!”

Karena ini, ia lantas maju pula, akan serang pahlawan nomor satu dari Mongolia itu.

Mie Ming melayani bertempur.

“Apakah kau bukan muridnya Hian Kie It-su?” tanya dia berselang beberapa jurus.

Thian Hoa heran, sampai ia melengak.

Mie Ming melihat orang heran, ia tertawa riang.

“Dahulu gurumu telah mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mengalahkan guruku, dia tetap tidak berhasil!” demikian dia kata. “Maka itu sekarang kau hendak menandingi aku, mana bisa? Oleh karena kau tidak kenal aturan, baiklah! Hari ini kita bekerja untuk tuan masing-masing, mari kita bertempur pula sampai tiga atau lima ratus jurus!”

Kembali Thian Hoa tercengang. Sekarang ingat ia kepada omongan gurunya dahulu. Guru itu pernah menceritakan bahwa pada dua puluh tahun yang lalu dia pernah bertarung dengan satu kepala iblis untuk memperebutkan kedudukan Bu-lim Beng-cu, kepala dari kaum Rimba Persilatan, bahwa pertempuran dilakukan di atas gunung Ngo San, selama tiga hari tiga malam, tetapi selama itu, mereka tak ada yang menang atau yang kalah. Menurut gurunya itu, iblis itu ada seorang she Siangkoan bernama Thian Ya, seorang penjahat besar dari kalangan Rimba Hijau. Hanya sejak pertempuran dashyat itu, Siangkoan Thian Ya lantas sembunyikan diri, entah dimana. Sekarang, mendengar kata-kata Mie Ming ini, terang sudah, iblis itu telah menyingkir ke Mongolia, dan punggawa Mongolia ini mesti ada muridnya.

Tadinya Thian Hoa berniat menunda pertempuran itu, guna mendapat penjelasan dahulu, akan tetapi mendengar kata-katanya Tantai Mie Ming bahwa mereka berkelahi “untuk tuan masing-masing”, dia menjadi murka, terus saja dia perhebat serangannya.

Tantai Mie Ming benar-benar lihai, ia mainkan sepasang gaetannya dengan hebat, yang berkeredepan bagaikan dua bianglala emas. Ia menutup diri dari pelbagai serangan dashyat, di pihak lain, ia pun membalas menyerang, maka di samping membela dirinya, ia membuat lawannya repot juga.

Pertempuran berjalan jurus lewat jurus, dari belasan menjadi puluhan, lalu seratus jurus, masih tidak ada yang kalah atau menang. Hal ini membuat Thian Hoa heran bukan main.

“Sayang tak ada sumoi disini,” pikir hiapsu ini,” jikalau tidak, kita berdua bisa mainkan jurus-jurus dari dua pedang digabung menjadi satu, dengan begitu, walaupun ada tiga Mie Ming, dia akan terbinasa di tangan kita…”

Dengan sumoi Thian Hoa maksudkan adik seperguruannya yang wanita, yang keempat.

Dalam pertarungan selanjutnya, Me Ming mencoba melakukan penyerangan membalas, beruntun tiga kali ia kirim kedua gaetannya bergantian, tapi kontan ia dibalas hingga empat kali oleh lawannya. Setelah itu dengan sekonyong-kongyong ia lompat mundur sampi tertawa bekakakan.

“Bagaimana?” tegusnya. “Bukankah kau telah kerahkan seluruh tenagamu? Tapi kau tidak mampu rebut kemenangan! Maka itu baiklah kau hentikan saja pertempuran ini!…”

“Jangan banyak omong, pengkhianat bangsa!” damprat Thian Hoa. “Tak dapat kita hidup bersama! Hari ini, tak dapat tidak, kau mesti binasa!”

Dan ia menusuk dengan pedangnya.

Tantai Mie Ming tangkis serangan itu, dia tidak melakukan pembalasan, dia hanya buka mulutnya.

“Inilah yang dibilang tak tahu kebaikan hati orang!”demikian katanya. “Kau tahu, aku justeru hendak tolong padamu?!”

Thian Hoa tak mau berhenti, ia tarik pedangnya, untuk dipakai menyampok gaetan lawannya itu, hingga kedua gaetan itu terpental.

“Jarak ribuan lie telah kami lintasi, setelah sampai di sini, bencana apa lagi mengancam kami?” dia bentak. “Untuk apa kau tolongi aku? Jikalau benar kau insyaf akan kesesatanmu dan hendak kembali ke jalan yang terang, lekas kau lepaskan sepasang gaetanmu, mari kau turut kami!”

Punggawa Mongolia itu tertawa dingin.

“Benar-benar kau tidak tahu gelagat!” katanya dengan nyaring. “Kau tahu, aku sedang menjalani titah dari Thio Sinsiang untuk menasihati kamu kembali pulang! Apabila kamu berkeras hendak pulang ke Tionggoan, maka aku kuatir, belum lagi kamu memasuki kota Gan-bun-kwan, kamu akan mengalami bencana besar yang tak kamu harap-harapkan!”

Bukan kepalang murkanya Thian Hoa, ia sangat mendongkol.

“Pengkhianat, kau berani mempermainkan aku?” dia mendamprat sambil terus menikam pula.

Sampai di situ, Mie Ming pun menjadi gusar.

“Oleh karena kau sendiri mencari mampus, jangan kau sesalkan aku!” katanya dengan sengit. Ia tangkis tikaman itu.

Thian Hoa kertak giginya, tanpa membuka mulut lagi, ia ulangi serangannya, kali ini dengan bertubi-tubi.

Tidak berani Mie Ming mengalihkan perhatiannya, dengan waspada ia layani pelbagai serangan itu, yang setiap kalinya ia halau atau pecahkan. Ia pun kembali perlihatkan permainan sepasang gaetannya.

Maka pertarungan jadi berjalan lebih seru daripada tadi.

Jurus-jurus telah berlalu dengan cepat, tetapi masih saja mereka tak menemui keputusan, keduanya tetap sama tangguhnya.

Pada saat hebatnya pertarungan, dengan mendadak Mie Ming perdengarkan seruan keras, menyusul mana, dia tangkis satu serangan, terus dia berkelit, untuk angkat kaki.

Menelad sikapnya pemimpin ini, kedua punggawa muda turut menyingkir juga, mereka kabur bersama-sama.

Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio sedang murka, mereka tidak mau memberi hati, maka bersama-sama mereka mengejar. Adalah setelah sampai di satu tikungan bukit, Thian Hoa tiba-tiba mendapat satu pikiran,” pengkhianat itu belum kalah, kenapa mereka angkat kaki?” demikian pikirnya. “Mungkinkah dia sedang menggunakan tipu daya? Kita tinggalkan In Tayjin, dia tidak ada yang melindungi….Ah, jangan-jangan aku telah terkena akalnya itu!”

Tengah Thian Hoa bersangsi secara demikian, ia lihat Tantai Mie Ming berlompat turun ke dalam lembah. Ia jadi kaget dan heran. Itulah lembah yang dalam dan tidak rata. Itu adalah perbuatan mencari kematian sendiri….

Baru Thian Hoa berpikir begitu, atau segera ia tampai tangannya Mie Ming – yang sedang berlompat itu – terayun ke arah seberang, menyusul mana seutas tambang menyambar dan terus berpegang keras pada sebuah pohon cemara. Nyata tambang itu adalah gaetannya, karena mana, tubuhnya punggawa itu – bagaikan ayunan – telah berayun ke lain tepi dari lembah itu dengan tidak kurang suatu apa!

Thian Hoa melengak. Tidak ia sangka, Mie Ming punyakan semacam daya, pantas dia berani lakukan perbuatan nekat itu. Tapi tak lama, ia menjadi terperanjat sendirinya. Karena tahulah ia, dari lembah di tepi seberang itu, ada satu jalan yang membawa orang tepat ke tempat dimana In Ceng berada bersama kereta keledainya. Ia jadi kaget dan berkuatir. Ia sendiri tidak bisa lompat ke seberang untuk menyusul Mie Ming. Untuk lari kembali, ia mesti ambil tempo lebih lama. Tapi terpaksa, ia lari kembali juga. Ia terbenam dalam kekuatiran In Ceng telah jatuh ke dalam tangan lawan yang licin itu…

Akhirnya, Thian Hoa mengeluarkan keringat dingin. Ketika ia kembali, ke tempatnya In Tayjin, di sana dia dapatkan Tantai Mie Ming berada di depan kereta keledai. In Tayjin sendiri duduk di depan kereta, di tempat kusir, kedua orang itu tengah berhadapan satu dengan lain. Hanya yang aneh, tangan Mie Ming tidak bersenjata sama sekali, sepasang gaetannya tergantung di pinggannya dan dia sedang menghadapi In Ceng dengan air muka berseri-seri, agaknya dia sedang bicara. Sebaliknya, In Tayjin tengah memperlihatkan wajah sungguh-sungguh.

“Ngaco belo!” demikian suara nyaring yang Thian Hoa dengar tegas setelah ia datang mendekati mereka itu. “Dengan Thio Cong Ciu itu, permusuhanku ada permusuhan sangat hebat, maka jikalau kau hendak membunuhnya, bunuhlah, tetapi untuk kembali, untuk mengharap perlindungan dia, tidak nanti!”

Thian Hoa tidak mengerti, ia jadi heran.

Mie Ming tidak gusar walaupun dia telah dibentak, malah ketika dia berpaling kepada si orang she Cia, dia tersenyum.

“Kau telah saksikan sekarang,” demikian katanya, dengan sabar,”jikalau aku hendak ambil jiwa orang tua she In ini, dapat aku lakukan itu dengan gampang, seperti membalikkan telapak tangan saja, tak usah aku menanti sampai kau tiba.” Ia menoleh pula pada In Tayjin untuk menambahkan,”In Looji, telah aku berikan nasihat kepada kau, maka sekarang, tentang hidup atau matimu, tentang bencana atau keberuntungan kau, semua itu terserah kepada kau sendiri!”

In Tayjin gusar tak kepalang, hingga alisnya bangkit, kumisnya berdiri, tetapi masih dapat ia kendalikan diri.

“Jadi kau inginkan aku kembali menolongi Thio Tayjinmu menggembala kuda untuk dua puluh tahun di antara tempat yang ber-es dan bersalju?” demikian ia tegaskan.

Sebagai jawaban, Mie Ming tertawa bekakakan, nyaring dan panjang. Tetapi mendadak saja, ia perlihatkan wajah sungguh-sungguh.

“Justeru karena kau telah menjalankan tugasmu menggembala kuda dengan baik, hingga Thio Tayjin menghargai kau dan menghendaki kau kembali!”demikian katanya.

“Thio Cong Ciu adalah pengkhianat penjual negara, dia satu manusia sangat rendah martabatnya, tak perlu aku dengan penghargaanya itu!” bentak In Ceng. “Kau sangka aku orang macam apa?”

Tantai Mie Ming tertawa mengejek.

“Dengan pengutaraan kau ini, orang tua, nyata tepat apa yang dikatakan Thio Tayjin!” katanya. “Menurut Thio Tayjin kau ada satu orang tiong yang tolol, maka kau tidak dapat diajak merundingkan urusan negara yang besar! Kau tahu, Thio Tayjin telah mengatakan padaku bahwa tidak nanti kau sudi kembali, sekarang kata-katanya itu benar adanya! Walaupun demikian, Thio Tayjin bilang kau adalah satu laki-laki, karenanya dia tidak tega tidak menolongi melihat kau terancam bahaya kebinasaan, karenanya dia tugaskan aku menyusul kau sampai ribuan lie ini, untuk ajak kau kembali. Sayang kau telah mensia-siakan maksud hati yang baik dari Thio Tayjin itu….”

Saking murkanya, In Ceng sampai berpegangan keras kepada keretanya.

“Hm, kau katakana dia niat menolong aku?” dia berteriak. “Sudah duapuluh tahun aku si orang she In menggembala kuda, sekarang aku telah sampai di tempat tumpah darahku sendiri, jikalau di sini aku dapat kubur diriku, aku akan mati dengan mata meram, tetapi kau telah dapat candak aku, jikalau kau hendak membunuhnya, bunuhlah! Ini adalah tanah Tionggoan, dengan darahku aku siram tanah daerahku, tidak nanti aku menyesal!”

Akhirnya, Tantai Mie Ming menjadi gusar.

“Siapa hendak membunuh kau?” dia berseru. “Bukannya kami yang hendak membunuh padamu!”

In Ceng juga kertak gigi.

“Kau telah bunuh anakku si Teng!” dia menjerit. “Kau hendak sangkal? Kau masih hendak permainkan aku?” gemetar tubuhnya orang tua ini, hampir dia rubuh dari atas kereta, baiknya Mie Ming keburu pegangi tubuhnya.

“Bukan kami yang membunuh anakmu itu,” kata Mie Ming. “Kau tentu tidak mengerti apabila aku menjelaskannya. Marilah kita kembali, untuk menghadap Thio Tayjin, di sana nanti kau ketahui jelas.”

In Ceng meludah dengan reaknya, atas mana, punggawa bangsa Mongolia itu berkelit.

“Bukankah kamu yang membunuh anakku itu?” dia berteriak pula. “Apakah tentara itu ada tentara Beng?”

Tantai Mie Ming menyeringai.

“Mereka itu adalah tentara Co-sinsiang kami,” ia beritahu.

Co-sinsiang ialah perdana menteri.

“Apakah bedanya Co-sinsiang dan Yu-sinsiang!” masih In Ceng berteriak. “Mereka semua adalah Tartar rase! Sekarang aku telah berada dalam tanganmu, lekas kau bunuh, jangan kau banyak omong pula!”

Cia Thian Hoa juga anggap Tantai Mie Ming omong dengan diputar balik. Dia adalah punggawa dari negeri Watzu, tentara Watzu sudah membinasakan anak orang, sekarang dia masih hendak perhina dan permainkan orang tua ini, malah orang tua yang sudah menderita selama dua puluh tahun, dengan banyak sengsara….

Bukan main tegangnya kedua orang itu.

Akhirnya, Tantai Mie Ming rangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat kepada In Tayjin. Ia berkata dengan suara keras dan tegas,” In Tayjin, telah aku bicara, kau sudi dengar atau tidak, sekarang terserah kepada kau!”

Dalam murkanya itu, In Ceng tak dapat bilang suatu apa.

Cia Thian Hoa jadi sangat murka, ia membentak.

“Apakah artinya perbuatanmu ini mempermainkan orang tua yang umpama kata tidak punya tenaga untuk hanya menyembelih ayam? Jika kau berani, mari kita bertempur pula tiga atau lima ratus jurus!”

Tantai Mie Ming tidak melayani tantangan itu, ia bicara pula dengan In Tayjin, suaranya sangat perlahan.

“Jikalau begini sikapmu, apa boleh buat, hendak aku pergi,” demikian katanya. “Thio Sinsiang bilang, ia telah membuat kau bercape lelah menggembala kuda selama dua puluh tahun, ia merasa tak enak hati, ia menyesal. Memang telah ia menduganya, kau tidak bakal kembali, maka itu ia telah bekalkan aku tiga buah kimlong. Sinsiang bilang, dengan turuti bunyinya kimlong itu, jiwamu masih dapat ditolong. Thio sinsiang juga mengatakan tiga kimlong itu anggap saja sebagai pembalasan budi yang kau telah gembalai kudanya selama dua puluh tahun.”

Lantas punggawa ini mengibaskan tangannya, setelah mana terus ia putar tubuhnya, untuk berjalan pergi.

Thian Hoa heran, hingga ia tercengang, di saat mana, Mie Ming lewat di sampingnya.

Berbareng dengan itu, terdengar suara tubuh terbanting keras, terlihat In Tayjin rubuh di atas keretanya, rupanya disebabkan karena meluap hawa amarahnya dan lelah.

Dalam murkanya, Thian Hoa melakukan gerakan menimpuk ke arah Tantai Mie Ming atas mana lima batang Cu-ngo Toat-hun-teng (paku merampas roh) menyambar ke arah punggawa Mongolia itu.

Tanpa berpaling pula, Mie Ming menangkis ke belakang dengan dua batang gaetannya, maka berurutan lima kali terdengar suara tang-ting-tong, lantas kelima batang senjata rahasia itu terlempar jatuh ke tanah. Ia tertawa mengejek, tubuhnya melesat pergi, lalu tubuh itu lenyap di antara pohon-pohon cemara yang lebat yang bercampur batu-batu besar yang merupakan tikungan bukit.

Thian Hoa terkejut. Bukan maksudnya akan membunuh mati Mie Ming dengan timpukannya itu, itulah bukan tujuannya, tetapi yang heran adalah caranya punggawa itu menghalau kelima paku untuk menyelamatkan dirinya. Itulah suatu kepandaian luar biasa. Ia tidak mengejar, ia hanya lantas lompat ke kereta.

In Ceng tiak kurang suatu apa, ia Cuma bernapas tersengal-sengal. Ia lantas diusap-usap dadanya, setelah mana, ia muntahkan reak yang menggumpal, habis itu, ia berseru yang membuat napasnya lega. Ia lantas dapat duduk pula.

Hatinya Thian Hoa pun lega. Tadinya ia hendak hiburkan Tayjin ini atau mendadak ia dengar suara berisik dari Tiauw Im Hweeshio, yang muncul sambil berlari-lari keras dan menenteng tongkatnya. Mau atau tidak, ia menjadi heran dan kaget.

“Kau kenapa suhen?” ia Tanya saudara seperguruan itu.

“Ji-tee aku telah membuat suhu malu!” sahut pendeta itu. “Selama hidupku ini, jikalau aku tak hajar Tantai Mie Ming dengan tiga ratus kali tongkatku, tak bisa aku lampiaskan penasaranku!…”

“Mari duduk, suheng,” kata Thian Hoa, yang tahu tabiat dari saudaranya itu, tangan siapa ia tarik dan tubuhnya ia tekan. “Mari minum!”

Ia pun lantas menyuguhkan air.

“Sabar, suheng, mari kita omong dengan perlahan-lahat,” ia tambahkan kemudian. “Dengan mengandal kepada kita, empat saudara, sekalipun si kepala iblis Siangkoan sendiri yang datang kemari, pasti dapat kita balas sakit hati ini, apapula baru satu Tantai Mie Ming!”

Dengan bergerugukan, Tiauw Im hirup airnya.

“Aku juga jahanam itu hendak mencelakai Tayjin, maka keras niatku untuk kembali guna mencegah dia,” katanya kemudian, “apa celaka itu dua bangsat cilik libat aku, tak mau mereka melepaskan aku. Coba pada hari-hari biasa, dua bangsat itu tidak aku sambil mumat, sayang sekarang, setelah bertempur dua gebrakan, tenagaku telah berkurang. Terpaksa aku berkelahi sambil mundur, sambil berlari, meski begitu, selang dua ratus jurus, di saat aku mulai menang di atas angin, sungguh celaka, Mie Ming telah muncul di antara kita! Aku menyangka dia telah berhasil mencelakai Tayjin, aku lantas caci padanya, aku terus serang dengan hebat, tapi apa lacur, dengan dua gaetannya, ia sampok tongkatku hingga mental, menyusul mana, dengan akalnya, dia membuatnya aku rubuh terpelanting. Tapi itu belum semua! Dia masih rangsak aku, untuk menggampar kupingku seraya mencaci aku sebagai hweeshio gerubukan. Dia kata aku sudah ngaco belo tidak keruan, bahwa aku telah memutar lidah, karenanya dia gaplok aku, untuk ajar adat padaku! Habis mencaci aku, dia ajak kedua bangsat cilik angkat kaki. Sudah beberapa puluh tahun aku merantau, belum pernah aku dihina sedemikian rupa, coba kau piker, masa aku tidak jadi mendongkol?”

Dia berhenti sebentar, dia memandang sekitarnya.

“Eh, eh!” katanya kemudian, suaranya berisik, “bagaimana sebenarnya telah terjadi? Dia telah bertempur dengan kau atau tidak? Syukur Tayjin tidak kurang suatu apa! Eh, apa artinya tiga kimlong ini?”

Ia lihat tiga buah kimlong, surat yang berisikan rahasia, menggeletak di atas tanah, yang ia segera hampiri, untuk dijumput.

“Ah, indah benar sulamannya.” Katanya memuji. “Disini ada gambar sulaman unta-untaan. Bukankan ini sulaman bangsa Mongolia? Kimlong siapa ini?”

In Ceng dengar kata-katanya pendeta ini, ia lihat tiga kimlong itu, ia menjadi murka pula.

“Segala barangnya si Tartar busuk!” serunya. “Bikin hancur sudah! Lemparkan ke Lumpur!”

Tiauw Im melengak, tapi ia gunakan tenaganya untuk merobek kimlong itu, atas mana, ia rasakan tangannya sakit. Sebab sebat luar biasa Thian Hoa ketok lengannya, untuk merampas kimlong itu, guna mencegah kimlong itu dirobek.

“Sutee, kau…”ia berseru, kaget dan heran.

“Sabar,” kata sutee itu. “Bukankah tidak ada halangannya untuk In Tayjin untuk melihat dulu kimlong ini, untuk diketahui apa bunyinya? Masih ada ketikanya untuk kita merobek-robeknya apabila bunyinya ada ocehan belaka!”

Cia Thian Hoa heran atas sikapnya Tantai Mie Ming. Punggawa itu lihai, jikalau dia tidak niat membinasakan In Ceng, habis apa maksudnya perbuatan ini, mengejar-ngejar sampai sekian jauh? Mereka sudah menghadapi kota Gan-bun-kwan, mereka boleh dibilang telah menginjak tanah daerah Tionggoan, maka di dalam daerah ini, ada siapa lagi yang hendak mencelakai orang she In itu? Apakah itu bukan obrolan belaka, untuk memperdayakan orang? Tapi, apakah masuk di akal yang Mie Ming melakukan perjalanan demikian jauh cuma untuk menyampaikan kata-katanya? Nasihatnya? Kimlongnya? Pun aneh, walau dia kosen dan galak, agak jumawa juga, tapi dia bisa berlaku demikian baik budi? Kalau tidak, mana dapat Tiauw Im Hweeshio bisa lolos dari kematian?

Thian Hoa benar-benar sangat tidak mengerti.

Selagi orang she Cia ini terbenam dalam keraguannya, In Ceng telah menyambuti kimlong itu dan dia pandang dengan sikap yang sangat membenci.

Kimlong yang pertama diberi tanda dengan kata-kata “Buka dengan lantas”. Tanpa bilang suatu apa, In Ceng merobeknya dengan segera, hingga ia dapatkan sehelai kertas, atau sepucuk surat di dalamnya. Di situ tertulis:



“Sekarang lekas balik kembali ke Mongolia, dengan lantas kembali, bakal tidak ada urusan apa-apa. Tantai Ciangkun menanti bersama pasukan tentaranya di Co-in, dia dapat menyambut”



In Ceng mendongkol, habis membaca, ia robek surat itu dan melemparnya.

Thian Hoa lihat kumisnya yang ubanan bergerak-gerak dan air mukanya berubah menjadi kuning pucat, meskipun demikian, ia tiak berani menanyakan.

“Kimlong apa! Tak lain daripada ocehan belaka!” kata orang tua ini sambil mengawasi robekan kertas terbang melayang jatuh ke tanah.

Tapi, kendati ia mengucap demikian, ia toh baca tulisan di atas kimlong yang kedua. Disitu, dengan mendongkol, ia baca “Buka kimlong ini setibanya di tempat sejauh tujuh lie dari kota Gan-bun-kwan”.

“Tak sudi aku mendengarnya!” kata In Tayjin dengan sengit. Tapi ia toh robek kimlong itu, untuk membaca surat di dalamnya.

Kali ini bunyi surat rahasia itu begini:



“Keadaan berbahaya sudah sangat mengancam. Ketika ini tentulah di kota Gan-bun-kwan ada orang yang datang menyambut. Jikalau pemimpin pasukan terdepan bukannya Congpeng Ciu Kian, mesti kau segera kaburkan kudamu sebagai terbang untuk menyingkirkan diri. Suruhlah Cia Thian Hoa dan Tiauw Im menjaga di belakang, untuk cegat tentara itu, mungkin masih dapat kau lindungi kepalamu.”



Congpeng, atau brigadir jenderal, dari kota Gan-bun-kwan, benar bernama Ciu Kian. Dia dengan In Ceng adalah orang-orang asal satu kampung dan bersahabat, Cuma bedanya, yang satu mempelajari ilmu surat, yang lain meyakinkan ilmu silat, malah ketika membuat ujian, mereka sama-sama lulus sebagai cinsu, bun-cinsu dan bu-cinsu. Persahabatan itu berlangsung sampai In Ceng diutus ke Mongolia, sampai In Tayjin ini menderita, maka juga ketika In Teng, sang putera, berangkat untuk menolongi ayahnya, diam-diam dia peroleh bantuan dari Ciu Congpeng, yalah daya-daya pertolongan diatur bersama. In Teng telah mengirim kabar lebih dahulu kepada Ciu Kian tentang ia sudah berhasil kabur bersama ayahnya, ia minta congpeng itu memberi kabar terlebih dahulu kepada pemerintah agung, supaya pemerintah dapat mengetahuinya. Meskipun selama dalam perjalanan, perhubungan dengan Ciu Congpeng masih disambung terus. Maka itu, heran In Ceng membaca kimlong yang kedua itu.

“Kalau Ciu Kian lihat aku datang, mustahil dia tidak sambut aku?” berkata dia dalam hatinya. “Dalam halnya kehormatan, aku dapat dibandingkan dengan Souw Bu, maka itu, setelah sekarang aku kembali dari negara asing, andaikata Sri Baginda tidak mendirikan patung peringatan untuk aku, sedikitnya dia menghargai aku dengan memberi pangkat besar padaku. Tapi gilanya orang Tartar itu, dia mencoba merenggangkan aku dari Ciu Congpeng!…”

Karenanya, kimlong kedua inipun dirobek dan dibuang.

Waktu In Tayjin membaca, Thian Hoa berada di sampingnya, dari itu ia turut melihat kimlong itu. Ia menjadi heran mengetahui namanya disebut-sebut dalam surat rahasia itu. Sayangnya, ia tak sempat membaca sampai habis.

“Apa yang tertulis dalam kimlong itu?” dia Tanya.

“Masih sama saja, ocehan belaka!” sahun In Tayjin. “Tapi pengkhianat itu benar-benar lihai! Dia seperti sudah ketahui lebih dahulu yang kamu berdua telah turut memasuki Mongolia untuk menolongi aku. Hanya anehnya mengapa dia tidak membuat persiapan untuk mencegah aku kabur?”

Thian Hoa kerutkan alis, dia tunduk. Dia jadi semakin heran dan curiga.

In Ceng sudah lantas periksa kimlong ketiga. Ia sebenarnya berniat segera merobek itu, untuk membaca isinya, tapi tiba-tiba ia batalkan niatnya itu.

Cia Thian Hoa juga lihat tulisan di atas kimlong itu, yang mana membuatnya heran bukan kepalang. Tulisan itu ada berupa alamat, bunyinya adalah : “Surat ini harus disampaikan kepada Cia Thian Hoa untuk dibuka dan dibaca”.

In Tayjin segera melirik pada hiapsu itu, ia agaknya heran. Ia memang terbenam dalam kesangsian.

Thian Hoa adalah seorang kangouw yang ulung, ia pun teliti, maka itu, manampak roman Tayjin itu, ia tersenyum.

“Dorna itu sangat banyak akalnya,” kata ia, silakan In Tayjin buka kimlong itu dan baca, untuk mengetahui apa yang ditulisnya.”

Mula-mula In Ceng ragu-ragu kemudian dengan tak ayal ia robek sampul kimlong, dengan perlahan ia tarik keluar suratnya, lalu ia baca:



“Pada saat ini maka pastilah In Tayjin sudah kena tertawan. Di dalam sampul masih ada isinya, sebuah obat pulung. Obat itu mesti disimpan rahasia, jangan lantas dibuka. Habis itu, segera kau berangkat ke kota raja, untuk menghadap sendiri pada Ie Kiam, guna mendakwa Ong Cin.

Apa In Tayjin akan tertolong atau tidak, itu tergantung pada tindakan kau ini.”



“Hm!” In Ceng perdengarkan ejekannya. Karena ia sangat murka, maka surat itu ia lantas robek-robek, sampulnya pun dibuang sambil terus ia berseru,”Benar-benar ngaco belo! Aku adalah satu tiong-sin terbesar, mustahil aku bakal ditangkap!”

Thian Hoa lompat untuk menyambar sampul itu, dan ia dapatkan di dalamnya benar ada satu obat pulung, ialah yang terbungkus dengan lilin bundar sebesar gundu. Ia lantas simpan dalam sakunya.

Wajah In Ceng berubah melihat sikapnya hiapsu itu.

“Hendak aku simpan ini seperti barang mainan saja,” kata Thian Hoa, “Untuk menyimpannya pun tidak memakai banyak tempat…”

“Hm!” seru pula In Tayjin. Lalu ia kata dengan perlahan,” Barang itu pun dikirim untukmu jikalau kau hendak simpan, simpanlah. Aku bermusuh besar dengan pengkhianat itu, sekalipun tubuhku bakal hancur lebur, tidak sudi aku ditolongi olehnya!”

Sampai disitu, perjalanan lantas dilanjutkan, sampai rembulan muncul di antara jagat yang gelap.

Semangatnya In Ceng terbangun selagi mendekati tembok kota kupingnya mendengar suara terompet dari tentara penjaga kota tapal batas, hilang letihnya bekas perjalanan jauh dan lenyap rasa ngantuknya, lalu dengan tiba-tiba ia bersenandung sambil mendongakkan kepalanya.



”Girang aku dengan sisa hidupku ini dapat pulang pula ke tempat tumpah darahku.

Di kota yang kokoh kuat yang memisahkan neteri Tartar dengan negara Tionggoan.

Maka aku si orang she In besok akan memakai pula jubah dan kopiah.

Untuk sambil memegang tanda kehormatan memberi hormat pada junjunganku yang bijaksana”



Thian Hoa timpali menteri setia itu dengan berkata,” Tayjin sangat setia, di dalam seratus abad jarang di dapat seorang sebagai Tayjin, maka sudah pasti Sri Baginda akan memberi anugerah terhadap Tayjin. Semua itu sebenarnya masih belum cukup dikatakan sebagai hadian…”

Mendengar itu, In Ceng tersenyum.

“Apa yang aku lakukan adalah kewajiban satu menteri, dari itu aku tidak mengharap hadiah kerajaan untuk membalas budiku.” Tiba-tiba saja ia berhenti, akan kemudian meneruskan berkata,” Ketika aku meninggalkan negara, waktu itu adalah di tahun kerajaan Eng Lok kesepuluh, maka sekarang, sesudah berselang dua puluh tahun dan kerajaan berganti tiga kaisar, mengenai urusan pemerintah, sama sekali aku tak tahu suatu apa. Sebenarnya, sekarang ini siapakah yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan?”

“Sekarang adalah Ong Cin yang berkuasa,” sahut Thian Hoa.

In Ceng segera ingat bunyinya kimlong yang ketiga.

“Semoga Thian melindungi pemerintah kita,” memuji dia,” Ong Cin itu pasti ada satu tiongsin terbesar dan Ie Kiam adalah satu dorna!”

Justeru itu Tiauw Im sedang mengendarai kudanya di samping kereta, ketika ia dengar perkataannya menteri setia ini, ia hajarkan tongkatnya ke tanah sambil berkata dengan keras,”Tayjin, aku keliru! Ong Cin itu justru satu dorna terbesar! Jikalau dia sampai bersomplokan dengan aku si orang beribadat, nanti aku beri dia pelajaran dengan tongkatku ini!”

In Ceng melengak bahna herannya.

“Apa? Dia satu dorna?” tanyanya. “Aku rasa tak bisa! Kalau dia benar dorna, mengapa orang Tartar menganjurkan untuk Ie Kiam mendakwa terhadapnya?”

Cia Thian Hoa tahu kekeliruannya menteri itu, dia campur omong.

“Dengan sebenarnya, Tayjin,” kata dia,” Ong Cin itu adalah satu dorna, ya dorna kebiri!”

“Apa?Apakah dia satu thaykam?” kembali In Ceng menegaskan (Thaykam = orang kebiri).

“Benar,” Thian Hoa pastikan, “Turut apa yang didengar, dia asal kecamatan Oet-ciu, setelah bersekolah, dia turut dalam ujian dan berhasil mendapat pangkat tiekoan, tetapi belakangan dia berbuat salah, dia dihukum buang, hanya belum sampai dia menjalankan hukumannya, raja membutuhkan sejumlah thaykam, dia serahkan dirinya, dan diterima. Dalam istana dia diberi tugas melayani putera mahkota, ialah kaisar yang sekarang ini, yang waktu itu masih bersekolah. Ketika kemudian kaisar wafat, putera mahkota menggantikannya. Dengan sendirinya Ong Cin diangkat menjadi Su-lu thaykam, hingga dia berkuasa untuk mengurus surat-surat negara, bagian luar dan dalam istana, dengan berserikat sama menteri-menteri dorna, dengan cepat dia peroleh kekuasaan besar, hingga beranilah dia berbuat sewenang-wenang. Belum tiga tahun, dia telah dibenci juga oleh rakyat negeri. Maka itu, Tayjin, kalau nanti Tayjin pulang ke istana, baiklah Tayjin berhati-hati daripadanya itu.”

Masih In Ceng melengak, karena ia ragu-ragu.

“Ie Kiam itu adalah Peng-pou Sie-long,” Cia Thian Hoa memberi keterangan lebih jauh, mengenai Ie Kiam, Menteri Perang (Pengpou Sielong). “Turut pendengaran, Ie Pengpou adalah satu menteri yang jujur dan setia.”

Mendengar itu, In Tayjin berdiam. Ia hanya menutup mulut, tapi hatinya berpikir. Di dalam hatinya, ia kata,”Dua orang ini adalah orang-orang kangouw yang kasar, kata-katanya mereka tak dapat lantas dipercaya penuh. Baiklah nanti saja, sepulangnya ke istana, aku coba membuktikannya.”

Ia baru berpikir demikian, atau ia telah memikir pula,” Menurut ilmu perang, yang kosong itu berisi, demikian juga kedua orang ini, andaikata benar perkataan mereka, mestinya semua itu berdasarkan siasat Thio Cong Ciu untuk membantu aku menaruh kepercayaan, maka di dalamnya mesti ada tersembunyi sesuatu…”

Dalam kereta, In Lui tidur nyenyak. Terharu engkong ini mengawasi kedua pipi cucunya yang merah jambu itu, wajah yang menunjukkan kejujuran, kepolosan. Anak itu memang belum mengerti apa-apa. Tapi kepada cucu ini, engkong ini meletakkan harapannya. Ia telah mengharap, bila In Lui telah berusia dewasa, mesti dia pergi jauh ke negerinya bangsa Tartar, untuk menerjang es dan menjelajah salju, guna menuntut balas untuknya. Maka pada akhirnya, ia menghela napas. Teringat ia pada kesengsaraannya selama dua puluh tahun, mesti minum air dengan mengunyah salju dan es, mesti menderita kedinginan hebat. Ingat semua itu, panas hatinya. Tapi ia telah berusia lanjut, disebabkan terlalu banyak berpikir, ia menjadi letih sendirinya, hingga tanpa merasa, ia pun jatuh pulas seperti cucunya itu….”

Pada hari kedua, pagi-pagi In Ceng mendusin. Sekarang dapat ia saksikan samar-samar bendera berkibar-kibar di atas tembok kota Gan-bun-kwan.

“Inilah Cit-lie-pouw,” berkatan Tiauw Im Hweeshio. “Kita terpisah dari kota hanya tujuh lie lagi. Di sebelah depan sana ada pos tentara penjagaan di luar kota Gan-bun-kwan, untuk memeriksa lalu lintas.”

In Tayjin dengar itu, ia berbangkit dengan mencelat. Ia singkap tenda kereta, untuk melongok keluar.

Apakah Ciu Congpeng telah datang?” dia Tanya.

“Sutee Thian Hoa sudah pergi untuk memberi laporan akan tetapi belum terdengar kedatangannya tentara Ciu Congpeng,” jawab Tiauw Im.

In Ceng melengak, lalu ia tertawa sendirinya.

“Ah, aku juga telah dibikin pusing oleh kimlong itu!” katanya seorang diri. “Mana Ciu Congpeng bisa mengetahui yang hari ini aku balak sampai disini? Sebentar kemudian, sesudahnya ia diberitahukan, barulah dia pasti akan datang sendiri.”

Lantas ia perintahkan kereta dihentikan di muka pos penjagaan tentara, sedang tentaranya, sejumlah serdadu, mengawasi dari dalam tembok kota tanpa mereka membuat sesuatu gerakan.

Cia Thian Hoa ada seorang yang teliti, dia pergi lebih dahulu ke kota untuk melaporkan. Dengan Ciu Congpeng pernah beberapa kali dia bertemu, dia ketahui baik punggawa penjaga kota Gan-bun-kwan itu di samping sebagai sahabatnya In Ceng, ia pun jujur dan laki-laki, ia mirip dengan orang bangsa kangouw, maka dia mempercayainya dan suka membuat laporan itu. Sebentar saja dia telah sampai di kota dimana tak tampak apa-apa yang mencurigakan, maka tanpa ragu-ragu dia ikut Kie-pay-khoa yang menyambut padanya masuk ke dalam kantoran.

“Lucu juga,” kata ia dalam hatinya, hingga ia tersenyum sendiri, “sampaipun aku kena dipermainkan akal muslihatnya Tantai Mie Ming! Asal Ciu Congpeng yang tetap membelai kota ini, siapakah yang berani mencelakai In Tayjin?”

Setelah dipersilahkan duduk, Thian Hoa disuguhkan air the.

“Ciu Congpeng akan segera keluar,” berkata Kie-pay-khoa itu, maka silahkan Cia Hiapsu beristirahat dulu.”

Thian Hoa hirup air teh, setelah mana, ia loloskan pakaian luarnya, pakaian untuk berperang. Ia tengah duduk menanti ketika dengan sekonyong-konyong ia rasakan kepalanya pusing dan matanya kabur.

“Celaka!” dia menjerit. Dia lompat untuk sambar pedangnya, tetapi kiepay-khoa tadi mendahului jumput pedangnya itu, menyusul mana dari luar terlempar dua lembar tambang, maka di lain saat, orang she Cia ini sudah kena teringkus rubuh.

Thian Hoa telah sempurna latihan Iwee-kangnya, ilmu dalam, walaupun dia telah diperdayakan ingatannya masih belum kusut, dari itu, dia coba kerahkan tenaganya, untuk berontak, akan tetapi sangat menyesal, nyata dia telah kehilangan seantero tenaganya, hingga tidak berhasil dia dengan percobaannya itu, malah sebaliknya dia merasakan kepalanya semakin pusing. Lantas dia ingin tidur saja. Celakanya kedua matanya pun lantas tertutup rapat, walaupun dia ingin membukanya, tetapi dia tidak mampu. Berkat keuletan Iweekangny, dia masih kuatkan hati, dia tetap membuat perlawanan batin, maka terasalah olehnya, bahwa orang telah menggotong padanya, untuk dibawa di suatu tempat. Ia dengar suara pintu dikunci, maka ia menduga bahwa ia tengah dikunci di sebuah kamar gelap.

Memang, the yang diminum Thian Hoa telah dicampuri bonghanyoh, obat pulas, saking ulatnya ia, ia tak rubuh tanpa sadarkan diri lagi seperti korban-korban lainnya, masih terang ingatannya, cuma sia-sia saja perlawanannya untuk menjadi sadar, akan pulihkan tenaganya, yang habis seketika.

Berapa lama sang waktu sudah lewat, inilah Thian Hoa tidak ketahui, tetapi ia masih tetap sadar ketika ia dengar suara daun pintu ditolak terbuka, lalu seorang melongok masuk. Sekarang Thian Hoa dapat buka kedua matanya, segera ia kenali Ciu Kian, congpeng dari Gan-bun-kwan. Dengan tiba-tiba saja meluap hawa amarahnya, dengan sekuat tenaganya ia coba lompat bangun, untuk menyambar dengan tangannya pada muka orang.

“Inilah aku!” beritahu Ciu Congpeng sambil menangkis.

Masih belum pulih tenaganya Thian Hoa, atas tangkisan itu, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak, sampai ia membentur tembok. Tentu saja murkanya bertambah.

“Bagus!” serunya. “Ini dia yang dibuang, kenal manusia, kenal cecongornya, tak kenal hatinya! Oh, Congpeng tayjin, kau telah gunakan siasat rendah yang hina-dina, sungguh kau pandai!”

Tapi Congpeng itu maju menghampiri, untuk cekal lengan orang.

“Diam, keadaan sangat berbahaya!” katanya seperti berbisik. “Lekas makan ini obat pemunah! Mari kita pergi bersama untuk menolongi In Tayjin! Ini pedangmu, yang telah aku ambilkan. Lekas!”

Than Hoa tercengang.

“Apa?” tanyanya “Kau? Apakah artinya ini?”

Di dalam kamar tahanan yang gelap itu hanya terlihat sinar kedua matanya bergemerlapan dari Ciu Congpeng, sinar mata yang berpengaruh.

“Ciu Kian ada orang macam apa, mustahil kau masih belum ketahui!” katanya dengan perlahan. “Keadaan sekarang sangat genting, baiklah kita bicara nanti saja! Lekas kau turut aku!”

Mau atau tidak, Thian Hoa buka mulutnya untuk telan obat pemunah. Ia memang sadar, maka setelah makan obat itu, lenyaplah keinginan untuk tidur saja. Ia terima pedang yang disodorkan si congpeng itu, lantas ia lompat keluar kamarnya akan ikuti punggawa perang itu.

Di luar kota Gan-bun-kwan terdengar suara terompet yang panjang.

Sesampai mereka di luar kamar, mereka dihalangi kiepay-khoa yang menyuguhkan teh yang bercampur obat pulas.

Ciu Tayjin, kau mesti berpikir masak-masak berulang-ulang!” kata hamba pelayan ini. “Jangan tayjin sampai merusak hari depanmu….”

“Ciu Congpeng tidak menjawab nasehat itu, dia melainkan lompat kepada si kiepay-khoa sambil menyabet dengan goloknya, atas mana tubuh hamba itu kutung menjadi dua potong!

Sebagai tindakan terlebih jauh, Ciu Congpeng rampas dua ekor kuda dengan apa ia bersama Thian Hoa lantas kabur ke depan kantor, untuk menerobos keluar kota.

Tidak ada opsir lainnya atau serdadu-serdadu yang berani merintangi congpeng itu serta kawannya.

Ciu Kian memang tampak sangat keren. Di atas kudanya, dengan cambuknya, dia menuding ke arah Citlie-pouw.

“Diluar Citlie-pouw sana, mereka asyik bertempur!” katanya dengan nyaring. “Mari kita ambil jalan memotong!”

Dan ia kaburkan kudanya di sebelah depan, menuju ke sebuah jalan kecil, dari mana mereka lantas dengar suara berisik dari bergeraknya pasukan tentara di jalan besar, antaranya terdengar teriakan-teriakan “Ciu Congpeng kembali! Ciu Congpeng kembali!”

Akan tetapi congpeng itu tidak memperdulikannya.

Di Citlie-pouw, setelah dengar keterangannya Tiauw Im, In Ceng nantikan kembalinya Cia Thian Hoa. Ia masih saja mendongkol, kegusarannya tak dapat segera dilenyapkan. Ia pun mesti menantikan lama. Justeru begitu, mendadak terlihat mengepulnya debu yang diakibatkan oleh berlari-larinya belasan penunggang kuda mendatangi, menyusul mana pintu pos penjagaan segera dipentang lebar, perwira penjaga pos itu segera keluar untuk membikin penyambutan, suaranya yang nyaring pun terdengar mengundang masuk belasan penunggang kuda yang baru tiba itu.

In Ceng dari keretanya dapat melihat dengan nyata, hingga dia tahu, di antara belasan penunggang kuda itu, tidak ada Congpeng Ciu Kian, hingga ia jadi tidak puas. Walaupun demikian, ia berlaku tenang, ia bawa sikap agung. Ketika ia sampai di muka pos, ia bertindak masuk dengan pegangi su-ciatnya, tanda kebesarannya.

Di dalam pos tentara tapal batas itu ada ruang untuk duduk, di kedua tepi berdiri berbaris enam belas serdadu Gi-lim-kun, pengawal atau pahlawan raja. Mereka berada di undakan bawah.

Dua kimcee atau utusan raja, dengan pakaian resminya menyambut In Tayjin.

Melihat penyambutan itu In Ceng girang, Di dalam hatinya, ia berkata,”Nyata Sri Baginda Raja telah memberi berkahnya, ingat dia akan kesetiaanku dua puluh tahun, hari ini dia telah utus wakilnya ke tapal batas ini untuk memapak aku!” Maka itu, ia bilang kepada kedua kimcee itu. “Apakah karena jasaku, si orang she In, hingga kedua kimcee menyambutnya di tempat yang sejauh ini…”

Baru In Tayjin mengucap demikian, atau tiba-tiba, kedua kimcee itu perlihatkan wajah keren dan bengis, keduanya segera perdengarkan seruan, “In Ceng, menteri pengkhianat, berlututlah untuk menyambut firman Sri Baginda Raja!”

In Tayjin kaget bukan main, ia heran tak kepalang, sampai ketika ia angkat su-ciatnya, tangannya bergetar.

“Tidak berani aku menyambut firman ini!” katanya, untuk melawan. “Aku si orang she In telah diutus ke negera asing, selama dua puluh tahun aku hidup menggembala kuda di daerah bangsa Tartar, selama itu aku tetap bersetia, aku tahu diriku tidak bersalah dan berdosa!…”

Belum sampai menteri setia itu menutup mulutnya atau dua pahlawan sudah menyambar ia, untuk dibikin rubuh, sedang satu di antara kedua kimcee segera beberkan firman raja, untuk dibacakan dengan nyaring.

“Menteri yang berdosa, In Ceng, oleh mendiang Sri Baginda telah diberi kepercayaan, diutus ke negeri Watzu, tetapi bukannya dia bekerja dengan setia dan membalas budi negara, dia justeru memusuhinya, hingga dia melupakan negeri dari ayah bundanya. Begitulah hari ini In Ceng pulang secara diam-diam untuk maksudnya yang berbahaya guna menjadi penyambut sebelah dalam. Sebenarnya, mengingat dosanya, In Ceng tak mestinya mendapat ampun, akan tetapi karena mengingat ia adalah menteri dari mendiang Sri Baginda Raja, ia diberi kemerdekaan untuk minum obat guna menghabiskan jiwanya sendiri supaya dengan begitu tubuhnya utuh. Sekian!”

In Ceng kaget bukan kepalang, tubuhnya sampai gemetar keras. Inilah hal yang ia tidak pernah duga. Sampai saat terakhir, ia masih percaya rajanya menghargai jasanya…

Satu pahlawan, dengan gelas perak di tangannya, menghampiri menteri yang bercelaka ini. Gelas itu berisi air obat yang merah warnanya. Dia berkata dengan nyaring,” Menteri In Ceng yang berdosa, apakah kau masih tidak mau menghaturkan terima kasihmu untuk menaati bunyinya firman Sri Baginda!”

In Ceng rasakan kepalanya hendak meledak. Mendongkol dan gusar bercampur jadi satu. Bukan main panas hatinya. Tapi ia mesti kendalikan diri. Ia sambar gelas racun sambil berseru,” Kasih aku lihat firman itu! Aku tidak percaya!”

Kimcee yang membacakan firman tertawa dingin.

“Sungguh besar nyalimu!” kata dia dengan nyaring. “Apakah kau kira kau berhak melihat firman?”

Menyusul kata-katanya kimcee ini, terdengar suara kedua daun pintu kantor menjeblak, setelah mana terlihat masuk satu pendeta dengan tongkatnya di tangan, dengan tongkat itu terus menerjang.

Keenam belas pahlawan segera turun tangan, guna melabrak pendeta ini, yaitu Tiauw Im Hweeshio. Maka itu, mereka jadi bertarung dengan hebat sekali.

Tiauw Im mengamuk ke kiri dan kanan, tongkatnya yang besar dan berat tiap-tiap kali meminta korban.

Kedua kimcee menjadi ketakutan, muka mereka pucat, kaki mereka lemas.

Tiauw Im berhasil dengan serbuannya itu, ia mendesak sampai di ruang sekali, dengan sebelah tangannya ia cekuk kimcee yang membacakan firman tadi.

“Dengan susah payah In Tayjin kabur dari tempat pembuangannya, dia berhasil pulang kemari, kenapa sekarang kamu hendak membinasakan dia?” dia berteriak. “Aturan dari mana ini?”

Dan dengan satu gerakan tongkat, di antara suara nyaring, hancurlah kepala si kimcee yang galak, setelah mana sambil tertawa, pendeta itu cekuk kimcee yang kedua.

“Lepas! Lepas!” kimcee ini berteriak-teriak. “Kau berani melawan kimcee, kau tahu apa hukumanmu?”

Tiauw Im tancap tongkatnya di lantai, dengan dibantu tangannya yang lain, ia angkat tinggi tubuh kimcee itu.

“Jahanam!” dampratnya. “Berapa sih harga sekalinya satu kimcee?”

Ia pegang kedua kakinya kimcee itu yang ia lantas beset.

Semua serdadu Gi-lim-kun terkesiap, tidak ragu-ragu lagi, mereka lari keluar. Mereka memang sudah jeri terhadap pendeta ini, yang tadi memberikan labrakan pada mereka. Mereka lari untuk bunyikan terompet, mereka tidak pedulikan lagi kawan-kawan yang telah menjadi mayat.

In Ceng berdiri tercengang, ia terpagut. Di situ, kecuali beberapa mayat, tinggal ia bersama Tiauw Im. Ia berdiri diam seperti sedang bermimpi. Ketika Tiauw Im bertindak menghampirkan, baru dia sadar.

“Mari firman itu, hendak aku melihatnya!” dia berseru. Dia baru ingat kepada firman yang mengharuskan ia meminum racun, untuk menghabiskan nyawanya.

“Peduli apa segala firman begituan!” sahut si pendeta. “Mari turut aku menyingkir!”

In Ceng duduk numprah.

“Mari firman itu, kasih aku lihat!” dia kata pula, suaranya tetap.

Tiaum Im mendelik terhadap orang bandel itu, tetapi ia mengalah, ia ulurkan tangannya ke meja, untuk mengambil firman tadi, terus ia lemparkan.

“Nah, lihatlah!” katanya sengit. “Lekas baca! Lekas!”

Berbareng dengan itu, ia tak mengerti atas kebandelan orang itu.

In Ceng pungut firman itu, untuk dibuka dan dibaca, setelah mana, mukanya menjadi pucat seperti mayat.

Dengan tertera cap kerajaan, firman itu memang firman tulen. Masih ingat ia dahulu, ketika Kaisar Seng Couw merampas mahkota, pernah ia rampas cap kerajaan dari tangan Thaykam, lalu dibuangnya cap itu ke lantai hingga pecah ujungnya, kemudian ia menyuruh tukang menambal cacat itu. Sekarang ia dapat kenyataan, itulah cap yang ia kenal.

“Apakah kau telah melihat cukup!” tegus Tiauw Im menampak orang diam saja.

Masih In Ceng mengawasi firman itu, ia seperti tak dengar teguran itu. Dalam sekejap, ingat ia pada penderitaanya di tanah asing, tapi penderitaan itu kalah hebatnya dengan penderitaan sekarang. Sekarang habislah harapannya, lamunan sekian lama bahwa ia bakal dihargai rajanya. Ia dapat bertahan dua puluh tahun karena kesetiaannya, siapa sangka, bukan kenaikan pangkat yang ia peroleh, rajanya justeru menghendaki jiwanya.

Tiauw Im ulangi tegurannya, ia masih tidak dengar jawaban, hingga ia jadi sangat heran, selagi ia awasi menteri itu, mendadak ia tampak orang membanting su-ciat yang selama dua puluh tahun tak pernah terpisah daripadanya. Maka, karena terbanting keras, su-ciat itu patah menjadi dua potong.

Pada saat itu, kosonglah hati In Ceng, lenyap keinginannya untuk hidup terus, maka dengan tiba-tiba saja ia angkat gelas racun, untuk tenggak isinya.

“Hai, kau berbuat apa?” teriak Tiauw Im, yang terus melompat maju.

Akan tetapi orang kosen ini sudah terlambat, tubuh In Ceng rubuh seketika, dari hidungnya, mulutnya, matanya, kupingnya, dan setiap lobang keringatnya, darah mengucur keluar. Menteri setia ini telah menemui ajalnya dalam tempo yang cepat sekali, saking kerasnya racun raja, arak beracun yang dinamakan Hoo-teng-ang, apalagi racun itu sampai satu gelas.

Tiauw Im melengak menyaksikan kejadian itu, ia baru sadar ketika ia dengar suara ribut-ribut dari arah luar, ialah suaranya senjata beradu bercampur dengan tangisan In Lui.

Sebab diluar, kereta In Ceng sudah dikurung sisa pahlawan serta tentara pos penjaga, hingga mereka jadi bentrok dengan dua muridnya si pendeta.

Tidak tempo lagi, sambil berseru, Tiauw Im lari keluar, untuk menyerbu ke depan. Sejumlah serdadu maju, untuk mencegat, merintangi, tetapi ia serang mereka, hingga mereka menjadi bertempur, tetapi tidak lama, ia berhasil merangsak sampai ke kereta dimana segera ia sambar In Lui, untuk ditolongi.

“Jangan takut! Jangan takut!” ia hibur bocah itu sambil menepuk-nepuk, kemudian dengan sebelah tangan ia pondong bocah itu, lalu ia bekelahi pula, guna menoblos kurungan.

In Lui mendekam di bebokong si hweeshio, ia diam saja, tidak menangis atau menjerit, malah dengan mata bercelingukan, ia memandang ke sekitarnya. Rupanya, di tangan si pendeta, hatinya jadi tenang.

Bersama dua muridnya, Tiauw Im pecahkan kurungan, lantas mereka merampas kuda dengan apa mereka kabur bersama.

Tentara Beng mengejar, malah mereka lantas melepaskan anak panah.

Tiauw Im dan dua muridnya repot juga membuat penangkisan, kaburnya mereka jadi terhalang, dengan begitu, tentara pengejar jadi datang semakin hebat.

“Hebat!” keluh Tiauw Im dalam hatinya. Ia lihat bahaya mengancam. Sulitnya bagi dia, ia mesti lindungi In Lui, hingga sebelah tangannya tak dapat digunakan.

Sekonyong-konyong dua anak panah menyambar dan kedua muridnya si pendeta rubuh terguling, karena anak panah itu nancap di tenggorokan mereka.

Tiauw Im murka hingga ia menjerit. Ia putar tongkatnya untuk balik menyerang.

“Daripada mesti binasa, lebih baik aku binasakan dulu beberapa dari mereka!” demikian ia piker. Tapi, belum sempat ia mengamuk, ketika ia menoleh ke belakang, ia tampak mata jeli si bocah, mata itu hidup, tidak bersinar takut. Melihat ini, ia menghela napas.

Justeru itu, sebatang panah menyambar kepalanya, ia menangkis. Ia rasakan serangan panah yang hebat, maka ia menduga penyerangnya pasti bukan orang sembarangan.

Di saat tentara pengejar hampir sampai, Tiauw Im lihat bagian belakang pasukan itu kalut dengan tiba-tiba hingga hujan anak panah pun jadi berhenti sendirinya, lalu dari dalam barisan itu keluarlah dua orang yang ia kenali adalah Cia Thian Hoa dan Ciu Kian. Karena girangnya hampir ia tak mau percaya kepada matanya sendiri.

Mendadak satu punggawa musuh mencegat Thian Hoa, dia mainkan goloknya, atas mana Thian Hoa desak dia dengan tikaman pedang berulang-ulang hingga dia menjadi repot.

Selagi dua orang itu bertempur hebat, Ciu Kian berseru kepada punggawa itu,” Ouw Ciangkun, aku telah perlakukan baik padamu, sekarang aku mohon kebaikan kau!”

Punggawa itu tidak berkata suatu apa, ia cuma putar kudanya untuk meninggalkan musuhnya, hingga semua serdadu, meskipun mereka berteriak-teriak, tidak lagi ada yang menyerang, mencegat, atau mengejar.

Ciu Kian pandang tentaranya itu dengan siapa ia telah hidup bersama-sama bertahun-tahun, habis itu bersama Thian Hoa ia gabungi diri untuk angkat kaki menuju ke utara. Diam-diam ia mengucurkan air mata…

Di utara, musim ada lebih dingin, maka juga sampai tengah hari, sang batara surya masih belum muncul, dari itu, di bawah udara bagaikan mendung, bertiga mereka larikan kuda mereka.

Thian Hoa telah mengucurkan air mata, dari suhengnya ia ketahui nasibnya In Ceng. Dengan susah payah mereka kabur dari negara asing, siapa sangka, sesudah sampai di tanah tumpah darah sendiri, menteri itu mesti menemui ajalnya secara demikian kecewa dan mengenaskan. Di pihak lain, ia menyesal untuk Ciu Congpeng, yang guna membelai sahabat, sudah tinggalkan jabatannya, pangkatnya. Malah dengan perbuatannya itu, Ciu Kian telah memberontak terhadap pemerintahnya.

“Sudah, Ciu Congpeng,” kata dia kemudian, suaranya perlahan, “setelah kejadian ini, biar kita nanti berdaya perlahan-lahan saja untuk hidup kita. Aku menyesal yang aku telah membikin kau celaka.”

Tapi Congpeng itu tertawa, tertawanya sedih.

“Aku bukannya congpeng lagi!” demikian katanya. “Sudah sejak setengah bulan yang lalu, aku dipindahkan tempat jawatan, Cuma karena congpeng yang baru masih belum sampai, untuk sementara aku masih tetap mewakilkannya. Ouw Ciangkun itu adalah congpeng yang tulen>”

“Ciu Congpeng,” katanya, “kau telah berulang kali mendirikan pahala, mengapa kau dipindahkan? Anehnya, In Tayjin ada demikian setia, kenapa dia bolehnya diberik hadiah kematian?”

Bekas brigadir jenderal itu menggeleng-geleng kepala.

“Urusan pemerintah baiklah kita jangan pedulikan pula.” Katanya. Tapi ia berhenti sebentar, lantas ia melanjutkan,” Sekarang ini dorna yang berkuasa, melainkan orang-orang kepercayaannya yang menjabat pangkat. Aku bukan kepercayaannya Ong Cin, pasti sekali dia bedaya untuk pindahkan aku. Tentang sebabnya mengapa pemerintah membinasakan In Tayjin, inilah aku tidak mengerti, Cuma karena raja yang sekarang masih berusia sangat muda, sedang kekuasaan besar berada di tangan Ong Cin, kebinasaan In Tayjin tentulah kehendak Ong Cin itu.

Thian Hoa tutup mulunya, ia bungkam. Tapi kemudian.

“Apa pernah congpeng bertempur sama Thio Cong Ciu dari negeri Watzu?” dia Tanya.

“Apakah kau maksudkan itu pengkhianat she Thio?” Ciu Kian tegaskan. “Pada sepuluh tahun yang lalu, pernah dia datang kemari bersama tentaranya, sampai dua kali kita bertempur, kemudian diadakan perdamaian, sejak itu tidak pernah dia datang pula.”

“Satu hal membuat aku heran,” kata Thian Hoa. “Dia tahu betul tentang tindak-tanduk pemerintah kita, seperti ia mengetahui jari-jari tangannya sendiri, apa tak mungkin dia mempunyai perhubungan rahasia dengan salah satu menteri atau panglima kita?”

Ciu Kian awasi Thian Hoa dengan mendelong.

“Bagaimana dapat kau menerka demikian?” katanya. “Coba kau tidak mengatakannya, pastilah aku lupa! Ong Cin dan Co-sinsiang To Huan dari negeri Watzu adalah sahabat kekal, malah kabarnya, dia juga mempunyai hubungan dengan Thio Cong Ciu.”

Thian Hoa jadi tambah curiga. Lantas ia ingat pada obat pulung dari Thio Cong Ciu, yang dibawa Tantai Mie Ming. Ia keluarkan obatnya, ialah secarik kertas yang dipulung-pulung. Bersama Ciu Kian, ia baca kertas itu yang bertuliskan huruf-huruf yang menjadi buah kalamnya Ong Cin sendiri.

Nyata surat itu berasal dari Ong Cin untuk To Huan berdua Cong Ciu, bunyinya adalah mendamaikan urusan menukar barang-barang besi Tionggoan, buat ditukar dengan kuda Mongolia.

Thian Hoa menghela napas.

“Mongolia kekurangan besi, tanpa besi dari Tionggoan, sampai pun busur mereka tidak sanggup bikin,” katanya. “Bukankah ini terang-terang ada satu jalan untuk membantu musuh?”

“Benar,” sahut Ciu Kian. “Aku pun lupa satu hal. Kedua kimcee tadi, mereka tiba beberapa hari yang lalu, selama itu ada utusan Mongolia yang telah mengadakan perhubungan dengan mereka, entah apa yang mereka bicarakan, tetapi aku curigai sekongkolan untuk membikin celaka pada In Tayjin. Mungkin itu adalah dayanya To Huan atau Cong Ciu.”

“Kalau begitu.” Tanya Thian Hoa heran,” habis apa artinya Cong Ciu utus Tantai Mie Ming menyampaikan suratnya dalam obat pulung ini?”

Dan ia tuturkan halnya kimlong yang dibawa Mie Ming yang tadinya mengejar-ngejar mereka yang lagi buron.

Ciu Kian dan Tiauw Im turut menerka-nerka, tetapi mereka tak peroleh pemecahannya.

“Jahanam Cong Ciu itu mana punya maksud baik?” kata Ciu Kian kemudian. “Dari perbuatannya saja menyiksa In Tayjin selama dua puluh tahun, aku penasaran sudah tidak dapat membinasakan dia!”

Justeru itu, In Lui angkat kepalanya.

“Yaya? Mana yaya?” tanyanya. “Yaya suruh aku binasakan orang, kamu juga hendak binasakan orang, aku takut, takut!”

Thian Hoa usap-usap rambut orang.

“Membunuh orang jahat tak usah dibuat takut.” katanya perlahan.

Habis mengucap demikian, tiba-tiba saja orang she Cia ini lompat turun dari kudanya, untuk segera menghampiri Tiauw Im.

“Pergi kau bawa nona cilik ini kepada sumoay!” katanya. “Aku sendiri hendak kembali ke Mongolia.”

“Untuk apa kau kembali ke sana?” dia Tanya.

“Untuk bunuh Thio Cong Ciu!” sahut sang sutee.

Tiauw Im angkat tongkatnya.

“Itu benar!” ucapnya. “Dengan binasakan Cong Ciu, di belakang hari tak usah lagi nona cilik ini membinasakan dia! Baiklah, kita masing-masing yang satu merawat anak yatim piatu, yang lain membuat pembalasan! Nanti, lagi sepuluh tahun, kita boleh saling bertemu pula di kota Gan-bun-kwan!”

Maka itu berpisahlah mereka berdua, juga Ciu Kian.



I



Bagaikan melesatnya anak panah, demikian sang waktu. Sepuluh tahun telah berlalu atau orang berada dalam tahun Ceng Tong ke-XIII dari ahala Beng. Maka itu berubahlah pelbagai peristiwa dari sepuluh tahun yang telah silam itu, pasti orang telah lupa akan perbuatannya congpeng Ciu Kian dari kota Gan-bun-kwan, tentu orang tak ingat lagi riwayat sedih dari Tayjin In Ceng di daerah perbatasan itu. Meskipun demikian, di luar kota Gan-bun-kwan, di daerah seratus lie yang kosong, yang dinamakan no mans’s land itu, suasana bukannya tak tetap ramai. Keramaian-keramaian itu terjadi sejak beberapa tahun yang lampau.

Apa yang dinamakan keramaian itu adalah aksinya kawanan Lioklim atau Rimba Hijau, karena sikap mereka ini yang istimewa. Jumlah mereka tidak besar, akan tetapi mereka tidak takut terhadap tentara Beng, mereka tak jeri terhadap pasukan bangsa Mongolia, tentara Watzu. Mereka jarang keluar membegal atau merampok orang pelancongan, mereka cari mangsa di antara rombongan pembesar rakus, terutama mereka tak mau ganggu tentara kota Gan-bun-kwan. Rombongan ini terkenal dari benderanya Jit Goat Siang Kie atau sepasang Matahari dan Rembulan. Dan yang luar biasa, umum tidak ketahui siapa nama pemimpin mereka, apa yang diketahui, pemimpin itu ada seorang tua dengan potongan kepala macan tutul dan mata harimau. Sebab selagi menyerbu, di dalam pertempuran, dia selalu memakai topeng. Mak dia dikenal hanya dari goloknya, golok Kim-too hingga dia peroleh gelar Kim Too Loo-cat atau bangsat tua bergolok emas. Anehnya, apabila bentrok dengan pasukan tentara, bila dia peroleh kemenangan, tidak pernah ia kejar tentara pencundang itu.

Begitu terkenal rombongan berandal ini tetapi satu punggawa bernama Pui Keng belum pernah mendengarnya, hingga ia tak tahu keamanan yang terganggu di daerah tanah kosong itu.

Itulah terjadi pada musim semi ketika serombongan tentara yang mengiring angkutan mahal menuju kota Gan-bun-kwan. Yang jadi pemimpin tentara itu adalah Pui Keng tersebut, satu punggawa asal Bu-ki-jin, yang menyebut dirinya Sin-cian Pui Keng atau Pui Keng si Malaikat Panah sebab lihainya ia mainkan busur melepaskan anak panah, hingga ia berjumawa karenanya.

Pada musim itu Pui Keng mendapat tugas mengiring uang negara sebanyak empat puluh laksa tail, uang terdiri dari uang goanpo, setiap petinya berjumlah lima ratus tail. Seratus keledai dipakai guna menggendol harta besar itu. Tapi si Malaikat Panah tidak hanya membawa uang negara saja. Berbareng dengan seratus keledai itu, ada lagi empat belas ekor, yang bebokongnya dimuatkan dengan barang-barang kepunyaan pribadi dari Teng Toa Ko, congpeng dari Gan-bun-kwan.

Sama sekali Pui Keng cuma pimpin seratus serdadu, inilah sebabnya sampai sebegitu jauh belum pernah ia mengalami kegagalan.

Di bulan ketiga, daerah Kanglam mempunyai banyak rumput panjang, tapi di luar kota Kie-yong-kwan, salju masih belum cair, maka hawa udara jadi dingin sekali. Tapi melalui perjalanan yang jauh, hari itu, keseratus serdadu itu merasa gerah karena hawa yang panas, sedang mereka pun sudah letih, apapula ketika itu adalah tengah hari, matahari sedang memancarkan sinarnya.

Di atas kudanya, sambil menunjuk dengan cambuknya, Pui Keng berkata,” Besok tengah hari, kita akan sampai di kota Gan-bun-kwan! Kita berangkat cuma dengan seratus orang, angkutan kita banyak dan berat, kita juga mesti lintasi gunung melalui bukit-bukit, kita mesti melakoni perjalanan ribuan lie, maka syukur sekali, kita tak nampak sesuatu! Sesungguhnya, kita harus memuji diri!”

Pui Keng didampingi dua hu-khoa, pembantunya, mereka ini lantas berkata,” Tayjin kesohor dengan panahnya, di kolong langit ini siapakah yang tidak mengetahuinya? Umpama kata di tengah jalan ada rombongan bangsat kurcaci, dengan mendengar nama tayjin saja, angkat kepala pun mereka tidak berani!”

Pui Keng tertawa bergelak-gelak.

“Kamu memuji! Kamu memuji!” katanya riang gembira.

Tapi, mendengar itu, serdadu-serdadu tertawa di dalam hati, sebab mereka tahu hu-khoa hanya mengangkat-angkat saja.

Segera mereka berada di jalan di tepi mana ada sebuah warung arak, tempat untuk orang-orang pelancong singgah untuk membasahkan tenggorokan, melihat itu, Pui Keng girang.

“Kali ini kita melakukan perjalanan selamat tidak kurang suatu apa, ini bukan melulu karena tenagaku satu orang,” berkata dia, yang ingat kepada pahalanya semua serdadu,” ini adalah jasa kita beramai! Gan-bun-kwan sudah ada di depan mata, tidak usah kita terlalu terburu-buru, mari kita singgah di sini! Aku undang hu-khoa berdua minum arak!”

Lantas dia lompat turun dari kudanya, untuk masuk ke dalam warung arak itu, diikuti kedua pembantunya yang pandai sekali mengangkat-angkat.

Setelah menenggak beberapa cawan, penyakit jumawa dari Pui Keng kumat, terus ia bicara banyak, akan kepulkan kekosenannya. Ia bercerita ketika dulu ia masih menjadi polisi di kota Tongpeng, dengan panahnya, ia telah takluki serombongan orang jahat.

“Sayang sekarang tayjin sedang menjabat pangkat,” kata satu hu-khoa,” kalau tidak, tahun ini tayjin boleh turut ujian militer, niscaya sekali tayjin tidak akan lulus sebagai Bu-conggoan!”

Bu-conggoan atau conggoan militer adalah gelar tertinggi di dalam ujian yang dibikin di kota raja. Gelar kedua adalah ponggan dan gelar ketiga tam-hoa.

Hu-khoa yang kedua pun berkata,” Hari ini udara terang, dengan memberanikan diri aku mohon tayjin mencoba memperlihatkan kepandaian memanah supaya kami dapat lihat!”

Pui Keng tenggak kering satu cawan besar, ia tertawa, habis mana ia turunkan busurnya.

“Mari semua kamu turut aku!” katanya, mengajak orang kelataran. Ia segera siapkan dua batang anak panah.

“Kamu semua lihat biar tegas!” katanya pula, lalu dengan cepat dan lincah, ia memanah.

Dengan menerbitkan suara mengaung, sebatang anak panah melesat ke udara, kemudian, selagi anak panah itu mulai turun, dia disambar oleh yang kedua, yang dilepas hampir menyusul, dan tepat sekali, anak panah pertama itu menjadi sasaran yang kedua, lantas keduanya jatuh bersama.

Kedua hu-khoa berseru dengan pujiannya, dituruti oleh pujian sekalian serdadu. Di dalam hatinya, kedua hu-khoa tukang mengumpak itu berkata,” Benar-benar dia lihai, dia bukan cuma ngoceh saja.”

Selagi serdadu-serdadu itu memuji, di antara suara derapnya kaki kuda, tampak satu penunggang asyik mendatangi, dari mulutnya itu juga terdengar pujian, “Panah yang bagus! Panah yang bagus!”

Pui Keng menoleh dengan segera. Ia lihat seorang dengan dandanan sebagai siucay, ikat kepalanya hijau, romannya lemah lembut, akan tetapi di bebokongnya tergemblok sebuah busur hitam. Kudanya pun kecil dan kurus. Malah busur itu lebih kecil dari busur yang umum, apabila itu disbanding dengan busurnya punggawa ini, besar bedanya.

“Mestinya anak sekolah ini kuatirkan jalanan yang tidak aman!” Pui Keng tertawa di dalam hati. “Dia menggendol biang panah untuk membesar-besarkan nyalinya! …Sebenarnya percuma saja dia bawa biang panah itu! Umpama kata benar ada begal, pasti begal itu siang-siang ketahui dia adalah satu mahasiswa yang lemah dan tak berguna…”

Orang macam siucay itu sudah lantas tambat kudanya di sebuah pohon di tepi jalan, ia terus bertindak masuk ke dalam warung arak.

Pui Keng menduga orang ini ternama juga, ia memberi hormat sambil mengangkat tangannya.

“Kau she apa, hengtay,”tanyanya. “Kenapa kau jalan sendiri? Apa kau tidak takut kepada orang jahat?”

“Siauwtee she Beng nama Kie,” sahut siucay itu, yang bahasakan dirinya siauwtee (adik kecil). “Congpeng dari Gan-bun-kwan ada sanak jauh dari siauwtee. Dalam ujian tahun ini, siauwtee gagal, tetapi siauwtee tak ingin berdiam di rumah saja, maka itu siauwtee pergi jauh ke tapal batas ini dengan mengharap pertolongan dari sanakku itu, supaya ia beri sesuatu jabatan kecil di dalam kantornya.”

Mendengar begitu, Pui Keng mengawasi.

“Oh, kiranya kau siucay melarat yang mengharap pertolongan orang…”pikirnya. Lantas ia berkata,” Inilah bagus! Congpeng yang menjadi sanak jauhmu itu adalah besan dari Pengpou Siangsie kami dan dalam perjalananku ini mengangkut uang tentara, aku sekalian membawa sesuatu untuk sanakmu itu.”

Siucay Beng Kie itu pun lantas berkata,” Sungguh kebetulan! Nyata aku telah bertemu dengan satu tuan penolong! Aku dengar di bilangan sini ada ancaman kawanan penjahat, aku memang takut. Aku….aku…”

Pui Keng tahu hati orang, dia justeru sudah mulai terpengaruh susu macan, maka lantas ia tepuk dadanya.

:Kau telah bertemu dengan aku, hengtay, tak usah kau takut lagi!” katanya dengan jumawa. “Dengan andalkan busur ini, selama perjalanan yang jauh, kawanan penjahat bagikan menghadap angin dan menyingkir. Hengtay hendak pergi ke Gan-bun-kwan kepada sanakmu, mari kita jalan bersama!”

Mahasiswa itu perlihatkan air muka terang.

“Terima kasih, terima kasih!” ucapnya berulang-ulang. Dengan matanya, tak henti-hentinya ia awasi busur besi itu.

Kembali Pui Keng tertawa.

“Busur ini istimewa buatannya!” katanya tetap terkebur.

“Siapa tidak punya tenaga dari lima ratus kati, jangan harap dia sanggup pentang busur ini!”

“Hebat! Hebat!” Beng Kie memuji.

“Mari minum!” Pui Keng mengajak dalam kegembiraannya, dan ia tenggak pula araknya hingga kering beberapa cawan besar. Dan kemudian, sambil berbangkit ia berseru,” Mari kita lanjutkan perjalanan kita!”

Mereka lantas berlerot pergi.

Angin dingin membuatnya Pui Keng merasa kepalanya rada berat, tanda dari terlalu banyaknya ia menenggak air kata-kata.

Tidak lama, kemudian mereka telah berada di lamping gunung arah barat, jalanan di situ sukar, dari atas gunung terdengar pekiknya sang kera dan burung-burung belibis, dan binatang-binatang itu, yang berada di pohon-pohon dekat, lari menyingkir dan terbang pergi.

“Tempat ini agak berbahaya, aku kuatir ada penjahat di sini,” kata Beng Kie.

Pui Keng sebaliknya tertawa besar.

“Kalau penjahat muncul, itu artinya mereka cari mampus sendiri!” katanya.

Dengan cepat Beng Kie turunkan busurnya, wajahnya pucat.

Lagi-lagi Pui Keng tertawa.

“Kau takut, hengtay?” tanyanya.

“Sebenarnya aku agak jeri,” Beng Kie akui. “Di luar keinginanku, aku turunkan busurku, untuk bersiap sedia, guna menjaga diri. Ah, sungguh satu perbuatan gila, membikin tayjin tertawa saja!”

Pui Keng tertawa terbahak-bahak.

“Kau lupa bahwa kau tengah berjalan bersama-sama aku!” katanya. “Ha ha ha! Kalau benar penjahat muncul, apa gunanya busurmu itu?” Dan, terbenam dalam pengaruhnya susu macan, ia ulur sebelah tangannya. “Coba kau perlihatkan permainanmu itu!” ia menambahkan.

Beng Kie tersenyum.

“Aku bikin tayjin ketawa saja!” katanya. Tapi ia tidak menolak, ia turunkan busurnya untuk dihaturkan.

Pui Keng menyambutnya, ketika ia telah pegang busur hitam legam itu, ia terperanjat sendirinya. Di luar dugaannya, biang panah yang ia pandang enteng itu sebenarnya berat.

“Dari apa terbuatnya ini?” tanyanya separuh mengoceh. Lantas ia menarik, tetapi ia tak kuat menariknya hingga busur terpentang, sedang ia tahu, ia mempunyai tenaga kekuatan lima ratus kati. Dengan sendirinya, wajahnya berubah merah, ia kaget berbareng malu, hingga mulai sadar ia dari pusingnya akibat pengaruh arak.

“Kau….kau..”katanya suaranya terputus-putus.

Beng Kie ambil kembali busurnya itu, ia tertawa.

“Rupanya tayjin telah minum arak terlau banyak hingga kau tak dapat gunakan tenagamu,” kata dia. “Siauwtee membesarkan nyali, siawtee juga ingin mohon diberi ketika melihat busur tayjin.”

Dalam keragu-raguan, Pui Keng serahkan busurnya yang beratnya lima ratus kati.

Si siucay kurus itu mencekal dengan kedua tangannya, tangan kirinya menahan bagaikan “menahan gunung Taysan”, tangan kanannya ditarik melengkung bagaikan “mengempo bayi”, maka sekejap saja, busur itu telah terpentang bundar bagaikan bulan penuh “bulan purnama”.

“Sungguh bagus busur ini!” katanya sambil memuji. Tapi ia memuji keenakan, ia menarik terus, atau tahu-tahu. “Trak!” busur itu patah menjadi dua potong!

Hilanglah pengaruh arak di otaknya Pui Keng.

“Siapa kau?” dia tanya dengan bentakannya, dengan bengis.

Si mahasiswa melemparkan busur rusak itu ke tanah, habis itu ia berdongak ke arah langit sambil tertawa bekakakan, sama sekali ia tidak jawab teguran itu, sebaliknya, ia lari kepada kudanya yang kecil kurus, dengan sebat ia melepaskan tambatan, terus ia lompat naik ke bebokong binatang itu, yang terus kabur laksana terbang, meninggalkan debu di belakangnya.

“Panah!” teriak Pui Keng dengan titahnya.

Sejumlah serdadu taati titah itu, akan tetapi sudah kasip, orang sudah pergi terlalu jauh, anak panah menyambar tanpa mengenai sasarannya. Sebaliknya serangan anak panah itu seperti undangan belaka, sebab dari sana-sini dimana terdapat semak-semak, segera muncul sejumlah orang jahat, menyusul mana, Beng Kie juga kembali bersama kudanya.

“Busur lihai Cuma sebegitu saja!” kata si mahasiswa sambil tertawa di atas bebokong kudanya, tertawanya nyaring. “Kita justeru adalah orang-orang jahat yang hendak merampas uang angkutanmu! Beranikah kau bertanding denganku?”

Pui Keng bungkam. Ia telah dijumput busurnya, tetapi busur itu telah patah dan tidak ada gunanya lagi. Tapi ia mesti lindungi angkutannya, maka ia beri tanda kepada orang-orangnya untuk siap.

Tiba-tiba terdengar tertawa nyaring dari Beng Kie, lalu panahnya mengaung.

“Biar kamu tahu bahaya!” katanya dengan jumawa.

Tiba-tiba satu satu hu-khoa menjerit keras, jeritan dari kesakitan, lalu tubuhnya rubuh, karena sebatang panah menancap di tenggorokannya sekali, jiwanya melayang segera.

Kembali si mahasiswa kurus berseru, lagi sekali panahnya mengaung, lantas hu-khoa yang kedua rubuh menjerit seperti rekannya tadi, tubuhnya terguling dan binasa, sebab anak panah nancap di dadanya tembus ke bebokongnya.

Semua serdadu menjadi kaget, dengan satu teriakan, mereka lari kabur.

“Kau juga, mari rasakan sebatang panah!” seru Beng Kie akhirnya kepada punggawa pengantar harta besar itu.

Dan sret!

Beng Kie mencekal busurnya, ia menangkis, hingga terdengar satu suara nyaring dibarengi dengan meletiknya lelatu api.

Menyusul itu kembali terdengar suara mengaung yang kedua kali.

Bukan main kagetnya Pui Keng, ia berkelit begitu rupa hingga ia terguling dari atas kudanya. Anak panah lewat sedikit di atasan kepalanya.

“Habislah aku!” dia mengeluh.

Tapi anak panah yang ketiga, yang dikuatirkan, tidak datang menyerang, apa yang terdengar adalah gelak tertawanya si orang she Beng itu.

“Dua kali dapat kau kelit panahku, kau boleh dibilang kosen juga!” demikian katanya. “Sekarang aku suka memberi ampun padamu!”

Kata-kata itu ditutup dengan satu seruan nyaring, atas mana di jalanan di muka kereta segera meluruk jatuh banyak batu besar, batu-batu yang digulingkan dari atas gunung, mencegat jalanan itu. Menyusul itu muncul lagi satu rombongan begal.

Pui Keng kaget dan takut, ia gulingkan tubuhnya untuk terus lari. Ia masih dengar panah mengaung di kupingnya, ia bersyukur, tubuhnya tidak menjadi sasaran. Dengan terpaksa ia nelusup dalam semak-semak di dalam lembah, dari situ ia dengar suara berisik dan kalut, sampai sekian lama barulah ia dengar merata dari tindakannya lerotan kuda.

Akhirnya, ketika Pui Keng muncul dari tempat sembunyinya, ia lihta sang rembulan memancar di atas langit, di sekitarnya tidak ada orang lainnya, cuma kupingnya dengar suaranya kutu-kutu malam saling sahut. Dengan gunakan kaki dan tangannya, ia merayap naik, sampai di tempat tadi dimana ia tampak mayatnya kedua hu-khoa, tidak ada lain orang lagi.

Masih ia takut, hatinya masih goncang.

“Rupa-rupanya semua serdadu kena ditawan musuh.” pikirnya.

Tapi disitu, di sekelilingnya, tidak ada musuh juga.

Sekarang hatinya punggawa ini mulai tetap, akan tetapi, setelah itu, kedukaan datang berganti. Empat puluh laksa tail telah lenyap, itulah tanggung jawab yang berat. Hukuman yang berat sekali akan menimpa padanya. Ia usap-usap kepalanya, ia menjadi bingung. Mau menangis ia, tapi air matanya tidak ada.

“Sebenarnya lebih baik berandal panah saja aku hingga mati,” pikirnya kemudian, karena pepatnya. Ia duduk menjublak, akan awasi sang rembulan naik makin tinggi, makin tinggi.

“Tak dapat aku lolos dari kematian,” katanya pula di dalam hati sesudah ia piker dalam-dalam. Maka ia ambil suatu putusan, sesudah mana, ia menghela napas. Ia lantas cari selembar tambang, ia membuat buntalan, sesudah ikat itu kepada cabang pohon, ia kalak lehernya sendiri, lalu ia lepaskan cekalannya kepada tambang itu.

Menggantung diri adalah suatu siksaan hebat, inilah Pui Keng rasakan ketika tenggorokannya terjirat dan napasnya mulai susah jalannya. Untuk sedetik masih ia ingat, kenapa ia tidak terjun ke air saja, akan lelapkan diri.

Dalam keadaan itu, habis sudah dayanya Pui Keng, malah untuk menjerit saja, ia sudah tidak punya kemampuan. Di lain detik, ia rasakan kedua matanya gelap, segera ia tak ingat suatu apa lagi. Tapi tidak lama, ia rasakan tubuhnya enteng, samar-samar ia rasakan ada orang memeluk tubuhnya, yang diangkat turun, lalu di lain saat, napasnya berjalan pula.

Akhirnya dapatlah Pui Keng membuka matanya, hingga ia tampak satu pemuda, yang pakaiannya terdiri atas kain kasar, sedang berdiri di sampingnya, mengawasi dia sambil tersenyum. Ia menjadi heran. Ia menghela napas, ia merasa lega.

“Kenapa, kau tolongi aku!” ia tanya ketika ia sadar dari pingsannya.

“Adakah aturan untuk menyaksikan kematian orang, tapinya tidak menolongi?” tanya si anak muda sambil tertawa.

Masih Pui Keng mengawasi. Setelah sadar, ia ingat kepada urusannya, kepada tanggung jawabnya. Ia menjadi bingung pula. Ia tahu, ia mesti menghadapi hukuman berat, mungkin hukuman mati. Bukankah ia telah dibegal habis-habisan?

“Percuma kau tolongi aku!” katanya kemudian. Dan ia lompat bangun. Ia berniat melanjutkan membunuh diri.

“Sabar,” kata si anak mua. “Kenapa kau bunuh diri? Katakanlah padaku.”

Anak muda ini cekal lengan orang, sampai Pui Keng, yang hendak berontak, tidak sanggup mewujudkan niatnya itu. Ia jadi semakin bingung, ia menjadi gelisah.

“Lepaskan aku!” ia berteriak. Ia pun berjingkrak. “Jangan kau ganggu aku! Percuma diceritakan juga.”

Anak muda itu tertawa, ia lepaskan cekalannya.

“Melihat romanmu, kau adalah satu punggawa negeri,” katanya. “Ah, tahulah aku! Kau tentu sedang mengangkut rangsum tentara, lalu kau kena dibegal! Lantas kau cari matimu sendiri! Benarkah?”

Pui Keng heran, ia melengak.

“Kenapa kau ketahui itu?” tanyanya sambil berjingkrak.

“Kamu tentara negeri, setiap tahun sedikitnya dua kali kamu angkut rangsum,” sahut si anak muda. “Dan setiap kali kamu lewat angkut rangsum, tentu kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, maka siapakah yang tidak tahu?”

Pui Keng meringis.

“Karena kau sudah tahu, sudahlah, jangan kau halangi aku,” kata dia.

Si anak muda tidak menggubrisnya, hanya, seorang diri, dia berkata,” Meskipun kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, hingga rakyat menjadi tidak aman, sedikitnya kamu telah mengangkut rangsum tentara pelindung perbatasan, tanpat tentara tapal batas, mungkin bangsa Tartar sudah datang menyerang, maka itu pikirku, masih lebih baik kau jangan cari mampusmu sendiri.”

Heran Pui Keng, dari mengawasi, ia sambar lengan orang. Akan tetapi ia menyambar sasaran kosong.

“Kau bikin apa?” tanya si anak muda.

“Kau siapa?” bentak punggawa itu. “Darimana kau ketahui barangku dirampas begal?”

Anak muda itu tersenyum.

“Aku adalah penduduk tani di tanah pegunungan ini,” dia menyahut. “Tadi malam aku saksikan lewatnya serombongan berandal. Mereka itu menggiring banyak kereta serta sejumlah serdadu tawanan, mereka lewat di depan rumahku, mereka menuju ke arah gunung. Aku bukannya si tolol, menampak keadaan, mustahil aku tidak dapat menerka?”

Pui Keng anggap benar juga.

“Apakah kau tahu dimana sarangnya kawanan berandal itu?” dia tanya.

“Aku bukan koncohnya berandal, mana aku tahu?”

Pui Keng melengak.

“Ya, taruh kata aku tahu sarang berandal itu, apa yang aku dapat berbuat?” pikirnya kemudian. Karena ini, timbul pula kenekatannya.

“Biarlah aku cari kematianku!” ia berseru.

Si anak muda mengawasi.

“Jikalau barangmu didapat kembali, kau tentu tidak akan mencari mati, bukankah begitu?” tanya dia. “Mencari barangmu ada lebih berharga daripada cari mati, maka baiklah kau cari barangmu itu! Bukankah itu uang?”

Dengan tiba-tiba saja, Pui Keng ingat suatu apa. Ia sadar.

“Aku kuat pentang busur seberat lima ratus kati, itu artinya tenagaku ada di atas tenaga sembarang orang,” demikian ia berpikir,”akan tetapi barusan dia cekal aku, aku tidak mampu berontak, sebaliknya dia, tak dapat aku sambar tangannya. Mestinya dia bukan sembarang orang.”

Kalau tadi dia sangat jumawa, sekarang dia isnyaf. Tanpa merasa, dia beri hormat sambil menjura pada anak muda itu.

“Aku Pui Keng, insyaf bahwa kepandaianku tidak berarti,” dia akui. “Memang aku tidak sanggup melawan kawanan berandal itu. Hiapsu, sukakah kau menolong jiwaku?”

Tanpa ragu-ragu lagi, ia memanggil hiapsu (orang gagah) terhadap pemuda itu.

Si anak muda tertawa terbahak-bahak.

“Siapa kata aku satu hiapsu?” katanya. “Aku adalah orang sesama kampungku, mereka bisa tertawa terpingkal-pingkal hingga sakit perutnya.”

Pui Keng menjadi putus asa. Tapi, masih ia mengharap.

“Melihat kau, yang harus dikasihani,” kata si anak muda kemudian, sebelum orang sempat bicara, “aku suka memberi petunjuk pada jalan terang padamu.”

Mendengar ini, terbangunlah harapan si punggawa.

“Silahkan, tunjukkan aku jalan, hengtay,” katanya. Sekarang ia ubah bahasa panggilannya. (Hengtay = kakak yang mulia)

“Sabar,” kata si anak muda. “Aku sendiri tidak dapat menolong kau, aku cuma ingin memberi petunjuk. Tidak jauh dari sini ada seorang luar biasa, apabila kau mohon pertolongannya dan dia suka membantu, tentu sekali kau akan mendapatkan barangmu kembali.”

“Siapa she dan namanya orang luar biasa itu, hengtay?” tanya Pui Keng. “Dimanakah tinggalnya? Maukah hengtay memberitahukan kepadaku?”

“Tentu sekali,” sahut si anak muda. “Hanya ingin aku beritahu juga, karena dia ada seorang luar biasa, luar biasa juga perangainya. Kau tahu, bila dia mengetahui bahwa kau menanyakan she dan namanya, pasti kau bakal kehilangan nyawamu.”

Kaget Pui Keng hingga dia melongo.

“Sulit kalau begitu,” katanya. “Baiklah, nanti aku tidak cari tahu tentang dia. Aku minta hengtay saja yang perkenalkan aku dengannya.”

“Apakah kau sangka urusan sedemikian gampang?” si pemuda tegaskan.

Kembali Pui Keng melengak.

“Habis bagaimana?” dia tanya.

Anak muda itu tersenyum. Dia pungut tambang di tanah, yang tadi Pui Keng pakai untuk gantung diri.

Pui Keng tidak mengerti, dia mengawasi.

“Kau mesti sekali lagi mencari mati!” kata si anak muda.

“Besok pagi-pagi kau berangkat dari sini, pergi kau ke lembah sebelah barat sana sampai jauhnya tujuh atau delapan lie, sampai kau lihat sebuah rimbah pohon toh yang bercampur dengan pohon bunga lainnya. Itulah Ouw Tiap Kok, lembah kupu-kupu. Kira-kira seratus tindak ke muka hutan pohon toh itu ada sebuah batu besar, yang warnanya merah hingga mudah dikenal. Kau mesti sembunyi di batu itu sebelumnya matahari terbit. Orang luar biasa itu tinggal di belakang hutan toh itu, tidak dapat kau lantas menemui dia untuk mohon pertolongan. Biar kau lihat orang, tidak boleh kau keluar dari tempatmu sembunyi, kecuali bila sinar matahari sudah keluar di celah-celah tempat kau sembunyi itu sambil kau memasang mata. Kau mesti cari sebuah pohon toh, di situ kau mesti berpura-pura menggantung diri. Namanya berpura-pura, sebenarnya kau mesti gantung dirimu seperti barusan kau telah melakukannya. Nanti orang luar biasa itu akan menolongi kau. Ingat, jangan kau kalak diri tanggung-tanggung, mesti secara sungguh-sungguh. Aku pesan, kalau orang itu bertanya, jangan sekali-kali kau menyebut aku yang memberi petunjuk kepadamu!”

Pui Keng bersangsi.

Si anak muda mengawasi, dia tertawa.

“Bisa atau tidaknya kau menolong jiwamu, itu bergantung pada untungmu kali ini,” katanya. “Sekarang kau tidurlah, aku hendak pergi”

“Eh, hengtay, tunggu sebentar,” kata Pui Keng setelah bersangsi sesaat. Dia sambar tangan orang, untuk ditarik, akan tetapi dia telah kehilangan pemuda itu, yang menyingkir dengan sangat cepat.

Segera punggawa itu berpikir.

“Kata-katanya si anak muda ini aneh,” demikian pikirnya. “Daripada mesti mati terhukum, lebih baik aku turut nasihatnya itu, aku coba.”

Dengan lantas ia ambil putusan. Untuk menaati nasihat itu, supaya bisa menjaga waktu, ia tidak berani tidur. Ia lewatkan malam dengan gadangi sang rembulan. Begtu putri malam mulai condong, ia lantas berangkat ke arah barat. Beberapa lie ia telah jalan, rembulan mulai sirna, tinggal bintang-bintang yang berkelap-kelip, tetapi di samping itu, samar-samar sang fajar mulai muncul. Lagi dua lie, cuaca sudah mulai agak terang.

Sekarang Pui Keng dapat mencium harumnya bunga, hingga pikirannya jadi terbuka. Benar-benar ia lihat banyak pohon toh di sebelah depan, di antaranya ada banyak macam pohon bunga, merah dan putih campur aduk. Dan benar, di depan rimbah toh itu, ada sebuah batu besar, yang berwarna merah darah, tingginya kira-kira tiga orang berdiri. Batu besar itu bercelah, yang muat satu tubuh manusia. Tanpa sangsi lagi, Pui Keng hampiri batu itu, terus ia sembunyikan diri, tetapi matanya dibuka lebar, dipakai mengintip. Hatinya bekerja berdebar-debar. Sambil menanti ia pikirkan kata-kata si anak muda, benar atau tidak, berbukti atau tidak.

Sekian lama waktu telah lewat, tidak ada gerakan apa-apa di situ. Pui Keng sabarkan diri, ia menanti terus. Cuaca telah menjadi semakin terang. Masih ia menanti, sampai ia tampak sinar matahari muncul dari remang-remang merah menjadi merah, memberi pemandangan dari keindahan alam. Tanpa merasa, banyak kupu-kupu muncul dan terbang berseliweran, seperti memain di antara bunga-bunga.

Biar ia seorang militer, yang umumnya dianggap kasar, Pui Keng tertarik pada keindahan itu, hingga ia mengawasi dengan tersengsam.

Sebentar lagi, cahaya matahari mulai menembus hutan toh itu.

Matanya Pui Keng seperti terang, ketika mendadak, ia tampak satu orang di antara bunga-bunga itu, ialah satu nona muda dengan baju dan kunnya berwarna putih, hingga si nona mirip satu dewi. Tak tahu ia, dari mana munculnya anak dara itu.

Selagi mengawasi, Pui Keng heran atas kelakuan si nona. Nona itu menggerak-gerakkan tangannya, lalu pinggangnya, habis itu ia lari mengitari pohon-pohonan, terus dia berlari-lari, makin lama makin keras, hingga akhirnya, punggawa itu seperti kabur penglihatannya. Karena ia mengawasi terus, ia seperti merasa tubuhnya turut lari berputar-putar. Benar di saat ia mulai pusing, nona itu berhenti berlari, tetapi dia bukan berhenti untuk beristirahat, perlahan-lahan dia hampirkan sebuah pohon, dan dengan sekonyong-konyong lompat mencelat naik ke atas, guna berlompatan pula, dari pohon yang satu ke pohon yang lain, gerakannya cepat bagaikan burung terbang, gesit seperti kera.

Karena kagumnya, Pui Keng mengawasi dengan mulut ternganga.

“Benarkah dia ini si orang luar biasa seperti dikatakan si pemuda?” akhirnya dia menduga-duga.

Selagi mengawasi terus, Pui Keng lihat si nona lompat turun, tangan bajunya melayang, tertiup angin, hingga nona itu bagaikan dewi tengah menari.

Berbareng dengan turunnya si nona, bagaikan tertiup angin musim semi, bunga-bunga to itu pada rontok, melihat mana, si nona tertawa panjang, dengan tangan bajunya ia mengebut ke arah rontokan bunga, hingga banyak bunga yang teraup masuk ke dalam tangan bajunya itu!

Pui Keng menjadi menjublak.

“Apakah benar di kolong langit ini ada nona begini elok?” dia tanya dirinya sendiri.

Rombongan kupu-kupu, yang tadi terbang pergi karena aksinya si nona, sekarang datang pula, akan bermain di antara pohon-pohon bunga itu, menampak demikian, si nona mengebut dengan tangan bajunya dan rontokan bunga tadi terbang berhamburan, mengenai banyak kupu-kupu, yang menerbitkan suara dan rubuh.

Pui Keng heran dan kagum. Ia tidak sangka, rontokan bunga bisa dipakai sebagai senjata rahasia. Ia pun berkasihan terhadap kupu-kupu itu, yang ia sangka rubuh binasa, tidak tahunya, selang beberapa saat, semua kupu-kupu itu mengerakkan tubuhnya dan terbang pula.

“Oh, kupu!” kata si nona. “Kasihan, aku menyebabkan kamu kaget, aku telah mengganggu padamu.” Dan dia tertawa merdu. Habis itu, dia bertindak pergi, akan masuk ke dalam rumah kecil.

Berbareng dengan itu, Pui Keng terperanjat. Kalau tadinya ia berhati lega, sekarang hatinya menjadi tegang. Sebab berbareng dengan itu, sinar matahari pun menyerang ke celah-celah batu tempat ia mengintai.

“Tepat benar dugaan si anak muda,” pikir ia. “Baru si nona masuk atau matahari menyerbu ke celah-celah ini.”

Sekalipun ia masih ragu-ragu Pui Keng toh keluar dari tempat sembunyinya. Ia tahu benar, inilah saatnya ia mati atau hidup. Ia berlaku sebat, ia hampirkan sebuah pohon, untuk naik ke atasnya, guna mengikat tambang, buat mengalak lehernya, setelah mana ia gantung diri.

Lagi sekali punggawa yang bercelaka ini rasakan lehernya sakit dan terkancing, ia mulai susah bernapas. Selagi berbuat begitu, ia mengawasi ke arah rumah, ia harap si nona muncul, untuk menolongi padanya. Celakanya, untuk menjerit, ia sudah tak punyakan kemampuan.

“Mati aku sekarang!” keluhnya, matanya berkunang-kunang. Maka ia menyesal bukan main, ia antarkan jiwa percuma. Dalam keadaaan seperti itu, masih sempat ia menduga apa bukannya si anak mudah telah permainkan padanya.

Lalu kedua kakinya seperti berjingkrakan, sampai bunga-bunga pada rontok.

Karena ia bergerak, lehernya terjerat semakin keras, hingga matanya gelap, pikirannya lenyap. Di saat itu, ia masih merasa seperti ada angin meniup tubuhnya, lalu ia rasakan lehernya lega, sampai ia sanggup bernapas pula. Kemudian, ia buka mulutnya tetapi belum dapat ia berbicara.

Berbareng dengan pulihnya napasnya, Pui Keng buka kedua matanya maka di depannya ia tampak si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya.

“Terima kasih,” ia mengucap dengan perlahan, karena ia tahu, pasti si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya.

“Terima kasih,” ia mengucap dengan perlahan, karena ia tahu, pasti si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya.

Dengan sinar mata yang tajam, nona itu masih mengawasi.

“Eh, punggawa perang, mengapa kau nekat?” tanyanya sambil menatap terus.

Pui Keng memberi hormat sambil paykui.

“Aku sedang dalam kesulitan besar,” sahutnya. Dan ia tuturkan pembegalan harta antaran yang besar sekali itu. “Menurut undang-undang tentara, aku dapat dihukum picis.”

Nona itu kerutkan alisnya. Tiba-tiba ia kibaskan tangannya.

“Itulah urusan yang tak dapat aku mengurusnya!” katanya.

Pui Keng kaget, hatinya tegang. Ia sambar kun si nona.

“Tolong aku, nona,” katanya terus ia menangis,” aku masih mempunyai ibu yang sudah tua serta anak yang masih kecil, jikalau kau tidak menolongi aku, tiga jiwa yang penasaran akan melayang bersama.”

Nona itu berpaling.

“Benarkah itu?” dia tanya.

“Jikalau aku mendusta, biarlah aku digantung pula,” sahut Pui Keng.

Air muka si nona berubah menjadi keren.

“Kebetulan aku niat cari mereka, baiklah, aku nanti coba mencampuri urusanmu ini!” katanya kemudian.

Pui Keng girang tak kepalang.

“Terima kasih, nona, terima kasih!” katanya sambil manggut-manggut.

“Eh, kau bikin apa?” nona itu menegur. “Aku bukannya orang mati, mau apa kau manggut-manggut tak hentinya? Ah, apakah kau ingin merasai pula enaknya orang gantung diri? Ya, siapakah yang menganjurkan kau datang minta bantuanku?”

“Tidak, tidak ada yang menganjurkan,” Pui Keng menyangkal. Ia ingat baik pesan orang.

“Berapa kali sudah kau mencoba menggantung diri?” si nona tanya

“Baru kali ini,” punggawa itu menyangkal pula.

“Memangnya sebenarnya, aku peduli apa kau sudah gantung dirimu berapa kali!” katanya pula.

Mendengar ini, tercekat hatinya Pui Keng. Baiknya si nona segera tambahkan kata-katanya itu.

“Telah aku katakan, aku hendak menolongi kau,” katanya,” tidak perduli ada orang telah tunjukkan kau jalan, aku toh an menolong kamu. Menggantung diri itu tidak enak, lain kali jangan kau mencoba pula.”

Lantas ia tertawa dengan manis sampai dua kondenya memain.

Menurut Pui Keng, nona ini baru berumur enam atau tujuh belas tahun, yang tampak dari wajahnya yang masih kekanak-kanakan, tanpa merasa ia jadi berkuatir. Ia sangsi. “Dapatkah nona muda belia ini, seorang diri melawan kawanan berandal yang besar jumlahnya?”

Tapi si nona tak beri kesempatan akan dia berpikir banyak.

“Nah, mari kau turut aku!” dia mengajak.

Pui Keng berbangkit, dia ikut memasuki rumah kecil.

“Kau tentu telah lapar, mari dahar dulu daging harimau,” kata si nona itu.

Belum Pui Keng menyahuti, atau ia sudah terperanjat. Di pojok ia tampak seekor harimau besar sedang rebah.

Si nona lihat orang kaget.

“Itulah bangkai harimau!” katanya sambil tertawa. “Mengapa kau takut? Apa kau dapat keset kulit harimau?”

“Pernah aku lihat pemburu melakukannya,” jawab Pui Keng.

“Kalau begitu, coba kau tolong kesetkan,” kata si nona. “Tadi aku lihat tendangan kau kepada pohon toh, kau tentu kuat angkat harimau ini yang beratnya tiga ratus kati.”

Pui Keng hera. Tidak aneh si nona bisa rubuhkan harimau, tapi ia tidak mengerti si nona dapat menerka kekuatan tendangannya tadi cuma dengan melihat saja.

“Benar, dia satu ahli silat,” pikirnya.

Tidak lama, sehabis dahar daging harimau, Pui Keng lihat sang waktu sudah tengah hari.

Dari tembok, si nona turunkan sebatang pedang.

“Mari turut aku, kita pergi cari si orang jahat,” dia kata. “Kita minta kembali uangmu itu.”

Pui Keng menurut.

Mereka mendaki gunung sampai di tempat yang rimbanya lebat dan di kedua pihak terdapat puncak-puncak yang tinggi. Di situ ada sebuah guha, yang menghadap tanah datar lebar.

“Mungkin ini ada tempat dimana penjahat menyimpan harta itu,’ kata si nona. “Mari!”

Dan ia maju terus.

Pui Keng pun ikut nona itu.

Belum jauh mereka maju, atau tiba-tiba.

“Tahan!”

Dan menyusul itu, dari antara semak-semak lompat keluar dua orang dengan masing-masing memegang sebatang toya di tangannya, malah dengan senjata panjang itu, mereka sudah lantas mengemplang. Hebat serangan itu.

Nona itu lompat ke samping, kedua pentungan itu menyerang tempat yang kosong. Sambil lompat, nona itu gerakkan tangannya, atas mana, dua orang itu nyelonong ngrusuk, pertama karena serangan mereka hebat, kedua toya mereka kena ditarik. Keduanya rubuh terbanting dan terus terjengkang, keempat kaki mereka menjulang ke atas.

“Hm!” si nona mengejek, ia tertawa dingin. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia maju terus, dengan berlari-lari.

Di depan guha terdapat banyak batu-batu besar yang malang melintang, dengan tongkrongannya agak mirip dengan singa atau harimau atau kuda atau kerbau, yang mengitari sebuah tanah lapang dan rata.

Tanpa ragu-ragu nona itu lari masuk ke dalam tanah lapang itu, yang mirip dengan barisan batu rahasia.

“Tahan!” mendadak terdengar pula bentakan nyaring.

Itulah bentakannya dua orang, sebab dari belakang batu-batu besar, muncul dua orang dengan serangan golok dan tombak mereka kepada dada dan lutut.

Dengan berlompatan, si nona mengelak, kedua tangannya pun dikibaskan.

“Tak dapat kamu mencegat aku!” katanya dengan tawar. Ia tertawa.

Dua penyerang itu tidak rubuh ngusruk seperti dua kawannya tadi, tapi mereka tercengang, hingga mereka diam menatap.

“Mari!” si nona menggape, kepada Pui Keng. “Kau adalah pemilik harta, tanpa kau datang, kepada siapa harus aku kembalikan uang itu?”

Pui Keng belum masuk ke dalam lapangan itu, mendengar suara si nona, ia besarkan hati, ia bertindak maju.

Justeru waktu itu, si nona sudah tempur dua penyerang yang pertama, yang dibantu dua kawannya, yang muncul belakangan, yang bersenjatakan golok dan tombak. Si nona tidak hunus pedangnya, ia hanya berkelahi dengan tangan kosong, karenanya ia banyak berkelit atau lompat menyingkir, tubuhnya lincah sekali, hingga ia mirip kupu-kupu di antara bunga-bunga atau capung bermain di air.

Pui Keng mengerti silat, tetapi mengawasi gerakan si nona, ia tidak berani mengawasi terus-menerus. Dengan cepat matanya berkunang-kunang dan kabur. Ia mesti mengaso sebentar, baru berani mengawasi pula.

Setelah bertempur sekian lama, si nona berseru, tangannya menyambar lawannya yang kiri, yang bersenjatakan tombak. Lawan itu berada di sebelah depan kawannya.

Melihat itu, tiga kawannya yang lain segera datang. Yang maju terdepan adalah kawannya yang kanan, yang mencekal golok, disusul yang kiri, yang menggenggam tombak, lalu yang memegang toya.

Orang yang diserang itu kaget, untuk membela dirinya, dia jatuhkan dirinya bergulingan. Si nona tidak dapat menyusul, sebab tiga senjata datang saling-susul, maka dia menyambut dengan mendahului kakinya. Penyerang itu terpaksa lompat mundur.

Kembali si nona kena dikurung, tapi ia tidak berada dalam bahaya. Ia malah waspada, hingga ia lihat satu orang berdiri di antara batu sedang menarik busur mengarah padanya.

Pui Keng pun lihat orang itu ialah Beng Kie yang kemarin ini mematahkan busurnya, karena kagetnya, ia berteriak,”Awas panah gelap!” Tapi belum sampai ia menutupm mulutnya, atau busurnya si mahasiswa kurus sudah menjepret dan anak panahnya melesat.

Seperti juga ia tidak melihat bokongan, si nona tetap melayani musuh-musuhnya, akan tetapi ketika panah itu sampai, dengan tenang ia menyambuti dengan tangannya.

Panah Beng Kie yang kedua sudah segera menyambar pula.

Gentar hatinya Pui Keng, ia sangat berkuatir pada si nona dalam kurungan musuh, ia insyaf si kurus, sebagai ahli panah, pandai melepaskan tanah beruntun. Itulah berbahaya.

Tapi si nona walaupun sedang repot, ia masih dapat sanggapi panah yang kedua ini, tapi ia bukan sanggapi dengan tangan, hanya dengan panah di tangannya, yang ia pakai menimpuk, hingga dua anak panah bentrok satu pada lain, lalu mental dan jatuh ke tanah.

“Bagus!” teriak Pui Keng, yang lupa pada kagetnya.

Panah yang ketiga yang sudah meleset pula, sasarannya adalah tenggorokan si nona, hingga punggawa itu menjadi terkejut pula.

Kali ini si nona tidak gunakan tangannya, ia hanya sambuti anak panah itu sambil membuka mulutnya, guna menggigit panah itu. Sebab ia gunakan kepandaiannya yang paling lihai dalam hal menyanggapi panah.

Baru sekarang, setelah dibokong beruntun, si nona perlihatkan roman murka.

“Kehormatan tidak dibalas kehormatan adalah terlalu!” katanya nyaring, lalu tangan kirinya dipakai menyambit dengan enam batang senjata rahasia yang romannya mirip dengan bunga bwee.



II



Pui Keng belum melihat nyata akan tetapi kupingnya telah mendengar jeritan saling susul, sesudah mana ia dapat kenyataan, kecuali Beng Kie si kurus itu, empat lawan si nona telah rubuh semua. Beng Kie sendiri dapat mengelakkan diri dua kali dari dua batang senjata rahasia si nona itu.

“San-hoa Lie-hiap, namamu masyhur tidak kecewa!” demikian ia berseru setelah ia mendapat serangan pembalasan.

Menyusul pujiannya Beng Kie itu, empat lawan yang tadi menjerit dan rubuh, telah lompat bangun pula dengan masing-masing tangannya menggenggam senjata rahasia yang dipakai menyerang mereka, sambil bangkit berdiri hampir berbareng mereka berkata,” Kami menghaturkan terima kasih untuk kebaikan liehiap! Kami semua takluk!”

Nyata mereka telah terserang senjata rahasia yang digunakan dengan ilmu Thian-lie san-hoa (Puteri kayangan menyebar bunga), mereka terkena jalan darah begitu rupa, hingga setelah rubuh dan beristirahat sebentar, lantas mereka sadar pula akan dirinya, karena mana mereka jadi insyaf bahwa si nona telah berlaku murah hati terhadap mereka. Maka mereka mengucap terima kasih.

Nona berbaju putih itu tersenyum.

“Kiranya kamu sedang mencoba-coba aku, untuk mengetahui aku siapa!” berkata dia. “Sekarang tentunya kamu suka mengembalikan hartanya sahabat ini, bukan?” tanyanya sambil menunjuk Pui Keng.

Beng Kie menunjuk ke arah guha.

“Sayang kamu datang terlambat!” katanya. “Sekarang harta itu sudah dibawa pindah!”

Padam wajah si nona. Baru ia hendak menanya, si kurus telah dahului dia.

“Kamu mesti melakukan perjalanan lebih jauh!” katanya. “Untuk itu kami telah menyediakan kudanya. Pui Tayjin, tadi malam au telah merasakan kaget.”

Merah muka Pui Keng.

“Kalau begitu, hendak aku mengunjungi ceecu kamu,” kata si nona, yang menyebut-nyebut nama pemimpinnya (ceecu). “Nah, mari, kita berangkat sekarang!”

Beng Kie perdengarkan suitan mulut yang nyaring, atas mana dari belakang batu keluar seorang dengan menuntun empat ekor kuda.

Tanpa berkata suatu apa, si nona lompat naik ke atas seekor kuda, dan segera pula ia ikuti pengantarnya, yang pun telah naik kudanya seperti ia, begitupun Pui Keng.

Mereka lakukan perjalanan di gunung yang sukar, kuda mereka dilarikan keras, hingga si punggawa, sekalipun dia serang peperangan, hatinya goncang juga. Syukur baginya, keempat ekor kuda itu, sudah biasa dengan jalanan itu, mereka lari tetap di tanah datar.

Mereka berlari-lari sampai matahari sudah berada di atas kepala mereka, lalu Beng Kie sambil mengayun cambuknya, menunjuk dan berkata,”Di bawah ini ada kota Gan-bun-kwan. Teng Congpeng telah bersiap-siap untuk besok membayar gaji, karena uangnya tidak ada, sekarang entah bagaimana sibuknya dia.”

Pui Keng heran.

“Apakah kita sudah melalui Gan-bun-kwan?” tanyanya. “Apakah kamu bukannya orang-orangnya Kim Too Ceecu dari rombongan Jit Goat Kie?”

“Kau cuma tahu uangmu apa, tak usah kau banyak tanya!” Beng Kie senggapi.

Pui Keng terdiam, hatinya memukul. Di dalam hatinya dia berpikir,”Si bangsat tua Kim Too Ceecu itu tidak biasanya merampas angkutan negara, kenapa kali ini dia tentangi kebiasaan itu? Inilah hebat, sebab sebegitu jauh aku tahu, Kim Too ada bangsat tak takut langit tak jeri bumi, sampai tentara Beng dan pasukan Tartar juga tidak berani mengganggu padanya. Jikalau dia kehendaki harta besar itu, pastilah aku tidak akan mendapat kembali angkutanku itu. Jangan-jangan kepergian ini lebih banyak bahayanya daripada kebaikannya.”

Kuda berlari-lari terus sampai mereka tiba di suatu tempat terbuka yang merupakan tanah subur, di sana ada sawah-sawah dimana terdapat sejumlah orang tani yang tengah bekerja. Dilihat sepintas lalu, tempat itu miripdengna apa yang disebut dongeng To Hoa Goan (Sumber Bunga Toh).

“Disini tentu adalah sarang kawanan Kim Too itu.” Pui Keng menduga-duga.

Masih kuda dilarikan terus, sekarang di jalan pegunungan, sebab di kedua tepi ada lamping gunung dimana sering-sering terlihat bayangan orang berkelebat begitupun berkibarnya bendera-bendera.

Tidak lama kemudian, sampailah mereka di muka pesanggrahan.

Benteng berandal itu, dengan didampingi gunung, nampaknya bagus dan kuat. Disitu ada sarang berandal tapi suasananya tenang.

Dengan pikiran ragu-ragu Pui Keng, yang telah turun dari kudanya, ikut si nona berjalan kaki. Si nona telah mendahului dia turun dari kuda, ia meniru perbuatan pengantar mereka.

Segera juga ada orang yang papak mereka, untuk memimpin masuk ke dalam pesanggarahan dimana lantas terdengar suara genta yang nyaring serta ramainya bunyi tambur dan terompet tanda penyambutan.

Pintu pesanggarahan sudah lantas dipentang lebar-lebar, disitu lantas tampak dua baris serdadu berandal lengkap dengan alat senjata mereka, golok dan tombak yang berkilauan, sedang seragam mereka mentereng.

Disambut secara demikian garang si nona berbaju putih perlihatkan wajah berseri-seri, seperti juga bukan menghadapi ancaman, ia bertindak tenang.

Pui Keng sebaliknya beda dari si nona, walaupun ia seorang peperangan, cuma dengan tabahkan seberapa bisa, bisalah ia ikuti teladan si nona, mengikuti nona itu terus sampai di tiong-tong, ruang tengah, dari sarang berandal itu.

Di dalam ruang telah diatur rapi meja serta kursi-kursinya yang berlapis kulit harimau, tetapi disitu tidak ada orang yang menyambut atau menantikan. Artinya ruang itu adalah ruang kosong.

Menampak demikian, si nona memperlihatkan roman tak puas.

“Mana ceecu kamu?” tanyanya dengan suara tak senang.

Beng Kie tersenyum. Dia tidak menjawab, hanya dua orang, yang tubuhnya tegap, lantas menyingkap tirai untuk bertindak keluar sambil membawa satu guci arak yang besar serta nampan terisi makanan.

Guci itu bersinar kuning keemasan, rupanya terbuat dari tembaga dan beratnya mungkin ada lima sampai tujuh puluh kati. Sedang barang hidangannya, asapnya masih mengepul-ngepul, tapi pada tiap dagingnya ada ditancapkan pisau belati yang tajam mengkilap.

Kedua orang itu segera membuka mulutnya, sambil menjura, yang satu berkata dengan nyaring,”Tamu agung datang dari tempat yang jauh, menyesal kami tidak dapat menyuguhkan apa-apa, maka itu silahkan minum barang satu cawan arak!”

Kata-kata itu belum diucapkan habis atau orang itu sudah melemparkan guci araknya, dilemparkan kepada tetamu yang agung itu.

Si nona tidak jadi gentar hatinya, wajahnya pun tidak berubah.

“Jangan sungkan!” sahutnya sambil mengangkat tangannya, sedang tubuhnya digeser ke samping. Dengan cara itu dia sambuti guci arak, gucinya tidak miring, isi araknya tidak tumpah. Sedang menurut perkiraan, timpukan orang itu ditaksir ada dua tiga ratus kati beratnya.

Si nona tersenyum, dia tundukkan kepalanya, akan irup arak dari guci itu.

“Sungguh arak yang wangi, arak yang wangi!” dia memuji.

Kedua orang itu menjadi kaget, tapi yang di belakang, yang membawa barang hidangan, menjadi penasaran.

“Nah inilah temannya arak!” dia berseru, menyusul mana, sebatang pisau belati melayang, menyambar si nona.

Si nona tersenyum. Dia tidak berkelit atau menangkis, hanya, membuka mulutnya, dia tanggapi pisau belati itu, untuk digigit, setelah mana, dia buka pula mulutnya, akan semburkan pisau itu, yang terus melesat ke atas, nancap di penglari.

Kedua orang itu heran dan kaget, muka mereka menjadi pucat. Mereka saling memandang dengan menjublak.

“Nah ini aku balas arak satu cawan pada kamu!” kata si nona, suaranya keras, tangannya yang memegang guci segera digerakkan. Maka guci itu lantas melayang ke arah kedua orang itu, hingga mereka terkejut dan ketakutan bukan main. Mereka terpagut untuk berkelit atau menyingkir.

Di saat yang sehebat itu, mendadak satu anak muda lompat keluar, sebelah tangannya digerakkan, guna menyambut guci yang dibantu dengan gerakan sebelah kakinya, lalu diturunkan dengan perlahan-lahan hingga guci tidak terbalik, araknya tidak tumpah.

“Hai, dua kutu!” bentak si anak muda itu. “Untuk melayani tetamu saja kamu tidak becus, tapi masih kamu berani lama-lama berdiri di sini!” Habis berkata, terus dia hadapi si nona, untuk memberi hormat, untuk terus berkata,”Maaf, maaf, nona!”

Ketika Pui Keng lihat si anak muda, ia terkejut, hatinya tercekat. Dia kenali si anak muda yang telah menolongi jiwanya tadi malam, yang menasehati dan menganjurkan dia mohon bantuan si nona, si orang luar biasa, cuma kalau tadi malam orang dandan sebagai orang tani, sekarang ia dandan sebagai satu pemuda hartawan atau terpelajar, sikapnya halus.

“Kau lihai, kongcu!” kata si nona, yang membalas hormat.

Kedua orang itu, dengan tangan mereka diturunkan, menyapa pemuda itu dengan berkata,”Siauw-ceecu!”

Itulah tandanya pemuda itu adalah ceecu atau ketua mereka, yang muda.

Setelah unjuk hormatnya itu, sambil tertawa, si nona tambahkan,” Nah, sekarang barulah aku bertemu orang yang tepat! Aku mohon sukalah siauw-ceecu mengembalikan harta angkutan sahabat ini!”

“Uang sejumlah itu, tak usahlah dibuat pikiran,” sahut si anak muda. “Nona, silahkan duduk!” Terus ia memanggil,” Mana orang?” Segera ia melirik pada Pui Keng, yang ia silahkan duduk juga, hanya selagi melirik, matanya memain, mata itu mengandung arti. Ia seperti hendak berkata,”Kau lihat, petunjukku toh tidak keliru!”

Pui Keng duduk menjublak, ia benar-benar tidak mengerti.

“Kalau si anak muda ada pemimpin berandal yang muda, kenapa ia begal angkutanku dan berbareng juga menolong padaku? Kenapa anak muda itu membuatnya hingga si nona baju putih datang ke sarang berandal itu? Adakah itu tipu daya belaka dari si anak muda?” demikian ia ragu-ragu. Ia pun kuatir sekali, karena mereka berada dalam sarang harimau, di dalam dan di luar ada banyak musuh.

Punggawa ini tidak usah menantikan lama atau datang orang-orang yang mengangkut harta yang menjadi tanggung jawabnya itu, hingga harga itu bertumpuk di lorak.

“Sungguh kau baik, siauw-ceecu!” memuji si nona. “Terima kasih!”

Anak muda itu tertawa.

“Eh, tunggu dulu!” katanya.

Si nona tercengang.

Satu berandal sudah lantas tancapkan bendera pada tumpukan harta, itulah bendera dengan matahari merah serta bulan sabit. Itulah Jit Goan Kie, bendera Matahari dan Rembulan, tanda dari kawanan di atas gunung itu.

Anak muda tersenyum, lalu dari atas meja ia angkat poci arak yang kecil, ia tuang isinya ke dalam dua cawan, sesudah mana, cawan yang satu segera ia tenggak. Habis minum ia tertawa.

“Jumlah uang empat puluh laksa tail ini benar tak usah dibuat pikiran, tetapi bendara Jit Goat Kie berharga mahal bagaikan harga sebuath kota!”katanya.

Kedua mata si nona menyapu sekitarnya hingga ia tampak banyaknya kawanan berandal di dalam ruang itu, mereka itu tenang tetapi terang sekali mereka semua memperhatikan padanya. Tentu saja ia measa heran hingga rasa heran itu tertera pada wajahnya.

“Apakah artinya kata-katamu ini, siauw-ceecu?” dia tanya.

Pemuda itu tidak lantas menyahuti, ia hanya tersenyum pula.

Si nona berpikir, ia seperti ingat suatu apa.

“Oh, ya, bendera ini adalah bendera rombonganmu,”katanya. “Memang bendera ini mahal yang tak dapat diukur dengan uang puluhan ribu tail! Tapi, apakah hubungannya dengan urusan kita?”

Anak muda itu menjawab, dia hanya tertawa. Sebaliknya hampir semua berandal telah perlihatkan roman dari kemurkaan.

Pui Keng dengar semua pembicaraan ini, ia saksikan sikapnya si anak muda dan romannya kawanan berandal itu, ia berkuatir bukan main, hingga di dalam hatinya, ia mengeluh.

“Nona ini benar lihai ilmu silatnya,” ia berpikir,” tapi ia adalah satu anak dara yang mirip dengan anak pitik, buktinya, tanda-tanda dari kaum kangouw, ia tidak mengerti sama sekali! Bendera ditancap berarti “jikalau kau mempunyai kepandaian untuk mencabutnya, baru harta itu kau boleh ambil, jikalau tidak, baiklah kau mundur!” Terang inilah satu tantangan, maka kali ini, bahaya sungguh mengancam!”

Si nona ulangi pertanyaannya, ia tetap tidak peroleh jawaban, karena mana, wajahnya berubah menjadi merah, suatu tanda ia sudah mulai habis sabar. Begitulah, dengan alis berdiri, ia bangkit.

“Harta telah ada di sini, masihkah kau tidak hendak menghitungnya?” dia berkata pada Pui Keng sambil melambaikan tangannya. “Bendera itu adalah kepunyaan mereka jangan kau ambil, kau biarkan saja!”

Habis berkata, si nona putar tubuhnya, untuk bertindak, atau segera ia dengar tertawanya si anak muda, siapa dengan menenteng poci arak, dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sudah maju menghalang di hadapannya.

“Nona, baiklah kau duduk dulu untuk minum arak!”

Si nona menjadi gusar.

“Tak sudi aku minum arak! Siapa dapat memaksa aku?” dia kata. Dan dia bertindak terus maju.

Si anak muda tolak poci arak ke depan, tangan kirinya mengangkat cawan arak.

“Apakah muka terang ini tak hendak diberikan padaku?” ia tanya.

Poci dan cawan segera juga mendesak dada dan muka si nona. Itulah semacam serangan yang lihai sekali.

Akan tetapi, begitu si nona berkelit, si anak muda telah menubruk tempat kosong, maka juga cawan lantas jatuh dan pecah hancur berserakan, araknya berhamburan. Si nona, dengan kegesitannya, telah membentur tangannya.

Si anak muda nyata lihai, setelah cawannya terlepas dan jatuh, ia tidak mundur, sebaliknya, ia maju terus menghalang dengan pocinya, mulut poci diarahkan ke buah dada si nona.

Masih si nona dapat berkelit, berbareng dengan itu dia mendorong dengan kedua jari tangannya, hingga poci arak tertolak miring, araknya tumpah di lantai, baunya tersiar memenuhi ruangan.

Hal itu membuat semua orang heran dan kaget, tetapi poci arak tetap dicekal oleh si anak muda.

Dua kali mereka mengadu kepandaian, nyatanya si nona masih menang satu tingkat.

Si anak muda, yang ilmu silatnya tidak lemah, tidak berhenti sampai di situ. Dengan teruskan menindak satu kaki, ia putar tubuhnya, hingga tetap berada di muka nona.

“Biar bagaimana, arak ini mesti kau minum!” katanya tegas. Kali ini ia majukan pocinya dengan gerakan Liu-seng kan-goat (Bintang meteor menguber). “Kau harus memberi muka padaku!”

Si nona mundur dua tindak, untuk berkelit. Sepasang alisnya berdiri, romannya berubah. Berbareng dengan itu, ia hunus pedang di pinggangnya, hingga sinarnya berkilauan.

Mau atau tidak, anak muda itu pun mundur dua tindak, poci araknya dipakai melindungi dadanya. Dengan cara itu, ia menutup dirinya.

“Kau sangat tidak tahu aturan!” serunya. “Mari kita main-main!”

Semua berandal segera mundur sampai empat tindak, untuk membikin ruangan jadi terbuka lebar. Tapi berbareng dengan tu, mereka pererat kurungan mereka, supaya mereka bisa meluruk begitu lekas si anak muda keteter.

Hati Pui Keng menggetar, mukanya pucat. Ia jadi sangat berkuatir.

“Biar ia lihai, mana dapat si nona lolos dari kedung naga dan guha harimau ini?” pikirnya. Ia merasa, kalau nanti mereka berdua diserbu tentara berandal, tubuh mereka mesti dicincang habis.

Sementara itu, ruang jadi sangat sunyi, tapi suasana menyeramkan. Si pemuda dan pemudi tetap berdiam, karena pemuda itu tetap bersiap diri saja.

Diluar, dari kejauhan, terdengar suara terompet.

Si anak muda segera lompat mundur.

Itu waktu juga dari luar terlihat masuknya serombongan orang, yang jalan di muka adalah seorang tua dengan kumis jenggot panjang, usianya sudah enam puluh lebih, akan tetapi tubuhnya, romannya, masih gagah.

Si nona mengawasi, lalu ia memberi hormat.

“Apakah aku berhadapan dengan loo-ceecu?” dia tanya.

Si orang tua tersenyum.

“Telah kudengar nona datang, menyesal aku terlambat menyambut,”sahutnya. Sambil mengucap, ia tatap si nona, sikapnya agak luar biasa memperhatikannya.

Tak enak hati si nona di tatap secara demikian. Tapi tak alpa ia dengan pedangnya.

“Telah lama aku dengar nama masyhur dari ceecu,” katanya, ceecu yang mulia tak timpalan, maka itu hari ini beruntung aku telah datang berkunjung. Adalah maksudku untuk sekalian memohon sesuatu dari ceecu.”

“Kau memuji nona,” kata si orang tua dengan jawabannya. Lalu dengan tiba-tiba ia menanya,” Berapa usia nona tahun ini? Apakah kau shio Yo?”

Si nona tidak sangka ia balak ditanya begitu rupa, tidak heran ia jadi melengak. Berbareng dengan itu, ia pun merasa kurang enak.

“Apakah loo-ceecu maksudkan usiaku masih terlalu muda dan pengetahuanku cetek sekali hingga tak pantas mendaki gunung ini?” dia tanya. “Apakah tak pantas aku memohon sesuatu?”

Ditanya begitu, orang tua itu usap-usap kumisnya, ia tertawa terbahak-bahak.

“Harap kau tidak mengatakan demikian, nona,” sahutnya.

Tapi si nona mendesak, dia menuding kepada harta yang bertumpuk.

“Harta empat puluh laksa tail perak ini ada uang tentara kota Gan-bun-kwan.” katanya,” dengan turun tangannya loo-ceecu, bukan saja mencelakakan jiwa tuan punggawa ini kau pun membuat beberapa laksa jiwa serdadu di dalam kota, hanya minum angin barat daya!”

Kembali si orang tua tertawa terbahak-bahak.

“Mustahil aku tak ketahui itu nona.” Sahutnya pula ringkas.

Masih si nona mendesak.

“Jikalau loo-ceecu telah ketahui bahayanya, sudah selayaknya kau kembalikan harta itu,” kata dia.

Si orang tua urut-urut kumis jenggotnya.

“Ah, nona, ada sesuatu yang kau belum ketahui,” katanya.

“Kalau begitu, tolong ceecu beri penjelasan kepadaku.”

Si orang tua tunjuk benderanya.

“Menurut aturan kaum Rimba Hijau,” katanya menjelaskan,”jikalau perampasan telah dilakukan, apa yang dirampas tak dapat dikembalikan cuma dengan kata-kata saja. Harta adalah urusan kecil, adalah keangkeran bendera yang harus dilindungi. Nona, karena kau hendak membela tuan punggawa ini, untuk itu silahkan kau berikan beberapa jurus dari kepandaianmu guna membuka mata saudara-saudara di sini. Kalau tidak, andaikata harta itu aku kembalikan, mereka tentu tidak puas.”

Kembali si nona perlihatkan kemurkaannya.

“Aku melainkan tahu, mendengar nama kalah dengan bertemu muka,” katanya kaku,”siapa tahu ternyata sekali, bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Baiklah, sekarang loo-ceecu menyebutkannya!”

Lagi-lagi si orang tua tertawa.

“Oh, nona kecil,” katanya. “Memang di dalam dunia ini lebih banyak bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Demikian juga dengan aku si tua bangka ini! Bukankah kau sesalkan aku yang tidak lekas-lekas dan dengan rela menyerahkan kembali harta ini?”

Nona itu mengawasi, ia tidak berikan penyahutannya. Ia benar-benar seperti membawa perangai satu bocah cilik.

Untuk kesekian kalinya orang tua itu, si kepala berandal tertawa.

“Akan aku berikan keterangan yang jelas kepadamu!” katanya kemudian. “Kau mendaki gunungku dengan membawa-bawa pedang, tentunya dalam ilmu pedang kau telah berlatih dengan seksama, maka sekarang, baiklah dengan golok Kim-too ku ini, aku layani pedangmu untuk beberapa jurus. Di dalam ilmu silat, tidak ada orang yang terlebih dahulu belajar atau belakangan, hanya ada siapa yang tekun dan sungguh-sungguh, dialah yang berhasil, kaerna itu, aku minta janganlah karena kau pandang usiaku yang lanjut, nanti kau menaruh belas kasihan atas diriku. Nona, jikalau kau yang menang, harta empat puluh laksa tail ini akan aku kembalikan dan aku yang akan mengantarkan sendiri, aku tanggung satu tail juga tidak kurang!”

Aneh nampaknya orang tua ini, sambil bicara, ia minta arak, ketika ia habis bicara, dua cawan telah ditenggak kering. Ia menantang tetapi suaranya tetap hormat dan manis, cuma sikapnya tegas. Habis minum, ia lemparkan cawannya ke arah penglari, hinga ia lihat pisau belati nancap di situ, segera ia menanya dengan bengis,”Penglari yang tidak kurang suatu apa, siapakah yang tancapkan pisau di atasnya?” Hampir berbareng dengan hancurnya cawan, yang jatuh meluruk ke tanah, pisau belati itu pun turut jatuh.

Mau atau tidak, si nona terkejut juga. Si orang tua telah perlihatkan tenaga dalamnya. Tanpa latihan yang sempurna, tidak nanti pisau itu kena dilempar jatuh. Karena ini, ia ubah maksudnya untuk melayani si orang tua dengan tangan kosong, tanpa ragu-ragu lagi, ia hunus pedangnyaa, terus lompat ke tengah ruangan dimana ia berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya.

“Silahkan ceecu beri ajaran padaku!” ia mengundang.

Orang tua itu awasi senjata si nona.

“Pedang yang bagus!” ia memuji. Terus ia lambaikan tangannya, atas mana muncul dua serdadunya, yang datang membawa golok Kim-too yang besar dan cahayanya bersinar berkeredepan. Setelah ia terima, ia lonjorkan golok itu, yang ia cekal dengan kedua tangannya.

“Kim-too, kali ini kau bertemu tandinganmu!” ia kata. Terus ia tertawa. Setelah orang tua ini bersiap, keduanya sudah lantas berhadapan.

Si nona tahu ia menghadapi seorang tua, tiak mau ia turun tangan terlebih dahulu, malah ujung pedangnya diturunkan, sebagai tanda menghormat dari si muda terhadap si tua yang ia hendak lawan.

Orang tua itu mundur satu tindak.

Menampak orang mundur, si nona gerakkan pedangnya, dengan gerakan “Cay tiap coan hoa” atau Kupu-kupu belang tembusi bunga, melihat mana si orang tua berseru dengan pujiannya,” Bagus!”

Lantas ia maju dengan gerakan Hong hong toat ho atau Burung hong merampas sarang, hingga ia rampas tempatnya si nona.

Si nona kaget dan heran. Ia tidak sangka, orang tua itu sangat gesit, tak kalah dengan orang muda. Secara begitu, ia dapat dipengaruhi.

Semua rakyat berandal lantas bertepuk tangan.

Tapi dalam sekejap saja, kesunyian datang pula. Karena tubuh si nona mencelat tinggi, pedangnya berkelebat, dengan kesudahannya terdengar satu suara nyaring dari bentroknya dua macam senjata, lelatu apinya pun muncrat berhamburan, suara nyaring itu seperti memekakkan telinga.

Segera orang nampak si nona mundur kira-kira satu tombak dan si orang tua berdiri sambil melintangkan goloknya di depan dada.

“Pedang yang bagus! Ilmu pedang yang sempurna!” memuji orang tua itu. “Tidak ada yang kalah di antara kita, maka itu, mari kita mencoba pula!”

Pui Keng masih rendah ilmu silatnya, ia tidak melihat tegas, tidak dapat ia membuat perbedaan, ia cuma tetap berkuatir, akan tetapi, di antara berandal-berandal, ada yang hatinya gelisah. Walaupun si nona nampaknya kalah desak, tapi tampak golok besar dan berat dari ketua mereka somplak sedikit.

Si nona berdiri diam dengan napasnya sedikit memburu, benar ia telah lukai golok si orang tua, tetapi ia sendiri telah tertolak mundur satu tombak, hampir tak sanggup pertahankan tubuhnya. Ia insyaf, dalam hal tenaga dalam, iweekang, ia telah kalah dari jago tua itu.

Oleh karena ini, ketika kedua pihak sama-sama maju, untuk melanjutkan pertempuran, mereka sama-sama waspada.

Si nona berkelahi dengan lincah, tubuhnya melesat ke kiri dan kanan, cepat seperti sang kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga, pedangnya berkilauan tak hentinya. Terang ia bekelahi dengan andalkan keentengan tubuhnya. Di samping dia, Kim-too ceecu berdiri tegak bagaikan gunung, ia tidak membiarkan dirinya dipengaruhi, ia cuma memutar tubuh seperlunya, guna lindungi diri.

Beberapa kali si nona berseru, pedangnya menikam, setiap kali si raja gunung dapat hindarkan diri dari bahaya, ia bisa menghalau sesuatu ancaman bahaya. Maka itu, hebat dan luar biasa cara mereka bertarung.

Lima puluh jurus sudah berlalu, si nona tidak peroleh hasil dengan pelbagai serangannya itu, ia cuma membuat kawanan berandal menahan napas. Tadinya mereka menyangka pemimpin mereka dapat segera memperoleh kemenangan, tidak tahunya, banyak waktu telah dilewatkan tanpa sesuatu hasil.

Pui Keng pun berkuatir sangat, hingga ia dipengaruhi rasa tegang di antara kawanan penjahat itu.

“Pergi!” sekonyong-konyong si orang tua berteriak nyaring, dibarengi dengan berkilaunya goloknya, atas mana tubuh si nona mencelat mundur kira-kira satu tombak. Semua berandal pun berseru riuh.

Si nona mundur beberapa tindak, ia berdiri tenang, melihat mana, si orang tua heran dan kagum, karena tadinya dia percaya dia dapat membikin si nona terpental dan rubuh.

Tanpa berkata suatu apa, nona itu maju pula. Sekarang berubahlah cara ia bersilat. Ia masih berlompatan, akan tetapi serangannya bertambah gencar, ia bagaikan angin badai menggempur daun-daun atau topan hujan merusak bunga hingga di empat penjuru seperti terlihat ia sendiri beserta bekeredepnya cahaya pedangnya. Kali ini si nona membuat mata penonton berkunang-kunang.

Manampak demikian, gentar juga hati Kim-too Ceecu. Ia kagum melihat ilmu pedang yang luar biasa itu. Untuk mencari keselamatan, terpaksa ia tutup dirinya seperti tadi, dengan memasang mata dan berlaku waspada. Ia melayani kegesitan dengan ketenangan.

Lagi lima puluh jurus telah berlalu, setelah itu, si orang tua merasa bahwa ia mulai kena terdesak pengaruh pedang lawan. Tentu saja, ia menjadi penasaran. Maka kali ini, dengan hebat, ia kirim satu bacokan, guna membalas budi si nona yang menyerang tak hentinya. Justeru itu, si nona menggunakan pedangnya, untuk mendampingi golok orang tua itu, hingga ia menyerang tempat kosong, dan tubuhnya condong ke depan. Ia menjadi kaget. Itu berarti ia telah membuka pembelaan dirinya.

Si nona tidak dapat pengaruhi terus golok si orang tua, ia tidak dapat gunakan ketika yang baik itu, sebab si orang tua dengan lekas telah perbaiki diri, malah setelah itu, kembali ia didesak, hingga ia main mundur. Tidak mau ia sembarang membentrok golok besar dan berat itu.

Lagi-lagi Pui Keng jadi kuatir. Terang ia tampak si nona terdesak mundur, itu artinya ancaman bencana. Ia berdiam, ia mencoba menenangkan diri. Semua berandalpun bungkam. Maka itu, ruang jadi sunyi senyap. Bungkamnya kawanan berandal itu menandakan si orang tua bukannya telah menang di atas angin.

Herannya pihak berandal, setelah mereka saksikan ilmu pedang dari si nona seperti banyak macamnya, yang mirip ilmu pedang Bu-tong-pay, yang mirip ilmu pedang Tat-mo-kiam, yang mirip Thay-kek-kiam dan juga Sam-yang-kiam.

Si orang tua masih mendesak, si nona terus main mundur.

“Ceecu, hati-hati!” teriak seorang berandal waktu ia lihat si nona membuat gerakan ke belakang, tetapi hampir berbareng dengan itu, si nona sudah apungkan diri, untuk dari atas menikam ke bawah.

Kim-too Ceecu lihat gerakan lawannya, ia dengar teriakan peringatan itu, meski begitu, ia justeru tertawa bekakakan sambil terus berseru,”Lepas tanganmu!” Karena sambil mendak, ia membalas membacok ke pinggang si nona. Ia dapat berkelit, tapi goloknya hendak meminta korban.

“Bagus!” teriak pula pihak berandal, lenyaplah kaget mereka.

Selagi mereka itu berteriak-teriak, suasana telah berganti rupa dengan cepat.

Si nona tidak lompat mundur, ia tidak lepaskan pedangnya, tidak perduli ancaman bahaya sangat hebat, sebaliknya ia juga berteriak,”Lepas tangan!” Nyata ia sangat jeli matanya dan sangat sebat gerakan tangannya. Ia tampak ancaman bahaya itu, tapi ia tidak jadi gentar. Dengan kesebatannya, ia tekan ujung golok itu, setelah mana, dengan jalan di atasan golok, ia serosotkan pedangnya dengan membabat jeriji tangan orang tua yang mencekal golok. Itu waktu, ia barengi perdengarkan teriakannya. Tentu saja Kim-too Ceecu menjadi kaget hingga dia, yang mengerti bahaya, jadi dengar kata, dengan lantas dia lemparkan goloknya, karena kalau tidak jari tangannya bisa kutung.

Begitu rupa kepala berandal ini membuang goloknya, hingga golok itu terlempar ke atas, nancap di penglari rumah. Kejadian ini di luar dugaan si nona demikian lihai, ancaman bahaya dapat diubah jadi keselamatan, jadi kemenangan. Maka itu, ia jadi berdiri menjublak.

Habis itu, si nona tidak ulangi serangannya, malah ia hadapi tuan rumahnya, untuk memberi hormat, dengan niatnya mengucapkan,” Terima kasih, ceecu, kau telah mengalah!” Akan tetapi, ketika ia tampak wajah kepala berandal itu, ia tertegun, hingga batal ia membuka mulutnya.

Kim-too Ceecu perlihatkan tertawa meringis, air matanya berlinang.

“Heran,” pikir si nona. “Ia ada satu jago, mustahil karena kalah bertanding, dia menangis?” Karena ini, ia jadi mengawasi saja.

Kim-too Ceecu juga awasi si nona, ia menyeringai, kemudian ia merogoh sakunya, dari mana dia keluarkan sebatang bamboo pendek mirip sebuah tongkat, yang ujung bawahnya bercacat, rupanya seperti sisa tongkat bekar terbabat kutung.

Waktu si nona lihat bambu pendek itu, air mukanya berubah menjadi pucat, dengan tiba-tiba ia menjerit menangis, terus ia jatuh berlutut di tanah.

Itulah kejadian sangat aneh, maka semua orang menjadi tercengang.

Dengan tangan kirinya mencekal bambu itu, Kim-too Ceecu gunakan tangan kanannya mengangkat si nona berdiri, setelah mana dengan tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.

“In Ceng punya cucu perempuan semacam ini, di tempat baka niscaya ia meramkan mata!” katanya dengan puas.

Si nona menangis tersedu-sedu air matanya bercucuran deras. Karena, melihat tongkat itu, teringatlah ia akan kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, yang menjadi pengalaman hebat baginya. Ketika itu ia baru berumur tujuh tahun, bersama engkongnya, In Ceng, ia buron dari Mongolia, selama di atas kereta, ia telah lihat su-ciat, tanda kehormatan dari engkongnya itu. Ia pun teringat cerita dari engkongnya bagaimana si engkong menderita sebagai pengangon kuda di negara asing. Kejadian itu membuat ia berduka dan sedih. Dan sekarang ia lihat sisanya su-ciat itu, ialah potongan tongkat di tangan si kepala kampak.

Kim-too Ceecu susut kering air matanya yang berlinang itu, habis itu ia tertawa berkakakan.

“Sekarang ini kau bukan lagi satu bocah!” ia kata dengan gembira. “Ini hari kau adalah satu wanita gagah yang mendaki gunung untuk minta kembali harta besar! Maka tak perlu kau menangis! Lekas seka air matamu! Kau tahu, urusan kita masih belum selesai.”

Nona itu menyeka air matanya, mendadak saja ia putar tubuhnya, untuk terus lompat mencelat, ke atas penglari, dari mana ia cabut golok si orang tua itu, lalu ia bawa ke hadapan si kepala kampak. Ia berlutut pula. Ia persembahkan golok dengan bawa itu ke atasan kepalanya.

“Segala apa terserah kepada putusan susiok-couw,” ia kata.

Mendengar perkataan si nona Pui Keng menjadi kaget, sampai semangatnya seolah-olah pergi terbang.

“Celaka, celaka!” ia mengeluh. “Aku andalkan si nona, siapa tahu mereka adalah orang-orang sendiri.”

Si orang tua terima goloknya.

“Kau bangun,” katanya. “Sepotong bambu ini kau boleh simpan. Memang bambu ini membuat orang berduka, tetapi ini adalah warisan yayamu.”

Si nona terima warisan itu, ia seka air matanya.

“Pui Keng, kemari kau!” si kepala berandal memanggil.

Gemetar tubuhnya punggawa itu, kedua kakinya lemas.

Kim-too Ceecu tertawa.

“Coba bantu dia,” ia titahkan dua serdadu gunung.

“Inilah angkutanmu seharga empat puluh laksa tail perak, sekarang kau boleh bawa pergi!” kata pula si kepala berandal.

Inilah di luar dugaan, Pui Keng jadi girang bukan kepalang.

“Terima kasih, terima kasih,” ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Baru setelah itu, ia menjadi bingung. Ia berada sendirian, mana bisa ia angkut harta besar itu?

Kim-too Ceecu bisa terka hati orang, ia bicara berbisik pada satu orangnya, atas mana pintu pesanggrahan dipentang, kemudian di muka masing-masing pesanggrahan itu muncul sebarisan keledai bersama serdadu pengiringnya.

“Semua harta dan orang-orangmu aku kembalikan,” berkata Kim-too Ceecu sambil tertawa pada punggawa itu. “Sekarang hitung dulu uangmu supaya tidak ada yang kurang.”

Kembali Pui Keng mengucap terima kasih. Kejadian itu membikin ia sangat bergirang. Sekarang ia jadi bernyali besar, hingga ia berani menanyakan kepala kampak itu.

“Di samping uang empat puluh laksa tail ini masih ada lagi empat belas kereta keledai,” kata dia. “Itulah barang-barangnya Teng Congpeng. Aku mohon sukalah ceecu mengembalikan sekalian barang-barang itu.”

Sang ceecu tertawa bergelak-gelak.

“Barang pribadi dari Teng Congpeng?” kata dia, menegaskan. “Itulah barang-barang yang cocok sekali untuk keperluan pesanggarahanku ini, hendak aku menahannya!”

Pui Keng kaget. Uang negara didapat kembali, tapi barangnya dari Teng Congpeng lenyap, itu masih berarti kesulitan baginya. Mungkin itu tetap berarti hukuman mati. Maka ia lantas tekuk lutut di depan raja gunung itu, ia manggut-manggut.

“Aku mohon belas kasihan ceecu, sukalah ceecu tolong jiwaku,” ia mohon.

Kim-too Ceecu tertawa pula.

“Teng Congpeng sendiri rela menyerahkannya padaku, kenapa kau tidak?” katanya. Ia terus rogoh sakunya, akan keluarkan satu sampul, dari dalam mana ia keluarkan pula sepucuk surat warna merah.

Pui Keng lihat surat itu, ia baca, bunyinya,” Dengan hormat aku persembahkan barang-barang tidak berarti ini, aku mohon sudilah Ciu Tayjin menerimanya. Dari Teng Tay Ko.”

Pasti sekali Pui Keng menjadi kaget, heran dan bingung. Mustahil satu congpeng dari Gan-bun-kwan, satu panglima kerajaan, yang dipercayakan keselamatan tapal batas negara, boleh mempersembahkan sesuatu kepada kepala berandal? Inilah benar-benar tak dapat dimengerti. Tentu saja tidak dapat ia memikirnya, karena kepala berandal ini, yaitu Kim-too Ceecu, ada bekas congpeng Ciu Kian dari kota Gan-bun-kwan, congpeng dari sepuluh tahun yang lampau, dan Congpeng Teng Tay Ko yang sekarang ini adalah bekas hu-ciang sebawahannya.

Melihat orang mendelong, Ciu Kian tertawa.

“Rupa-rupanya kau masih kurang percaya,” ia kata. “Baik aku nanti suruh satu orang keluar.” Dan ia beri titahnya.

Tidak lama di antaranya dari dalam muncul satu opsir, ialah pembesar tentara yang diwajibkan oleh Teng Congpeng untuk nanti menerima harta angkutannya punggawa she Pui itu.

Ciu Kian tertawa pula dan berkata,” Ini uang empat puluh laksa tail sudah diperiksa betul oleh perwira ini, sama sekali tidak kurang, maka bolehlah kau tetapkan hatimu.”

Baru sekarang lega hatinya Pui Keng. Ia kenal baik opsir itu. Dengan demikian ia tidak usah khawatir lagi.

Sampai disitu, Ciu Kian silahkan kedua punggawa itu berangkat dan ia wajibkan beberapa orangnya pergi mengantarkan.

Pui Keng dan si opsir menghaturkan terima kasih.

Selagi orang hendak berangkat, Ciu Kian pesan si opsir,” Tolong kau sampaikan kepada Teng Congpeng, karena musuh luar ada di hadapan kita, kita seharusnya tetap bekarja sama untuk menghadapinya! Tentang perjanjian kemarin, harap kau tidak melupakannya.”

Opsir itu menyahuti bahwa ia mengerti.

“Beng Kie, kau wakilkan aku mengantar mereka turun gunung,” kata Ciu Kian pada si orang she Beng. “Bendera Jit Goat Kie kita itu biarlah ditancap terus sampai di kota Gan-bun-kwan.”

Pui Keng tahu, bendera itu ada suatu tanggungan, adanya bendera itu, sama saja seperti Kim-too Ceecu yang mengantarkannya sendiri. Maka lagi sekali ia haturkan terima kasihnya.

Ciu Kian tertawa.

Beng Kie pun tertawa, lantas ia jalan berendeng dengan Pui Keng untuk bertindak keluar, sedang harta besar itu lantas diangkut oleh serdadu-serdadu dan ditilik oleh si opsir.

“Pui Tayjin, kalau nanti kau sudah pulang, perlu kau yakinkan pula ilmu panahmu dan menunggang kuda!” kata Beng Kie sambil jalan.

Pui Keng merah mukanya, sebab ia ingat itu hari ia pentang mulut besar tapi akhirnya ia dirubuhkan si kurus kering ini.

Ciu Kian tunggu sampai orang sudah pergi semua, lalu ia menoleh pada si nona baju putih.

“Bagus kau datang, In Lui!” katanya.

Biar bagaimana, si nona masih ragu-ragu, hatinya belum tenang betul. Ketika sepuluh tahun yang lampau ia bertemu bekas congpeng ini di muka kota Gan-bun-kwan, ia masih kecil dan itu waktu pun sedang terbit pertempuran, ia tidak ingat betul akan roman orang itu. Ia heran Ciu Kian masih kenali dirinya.

Rupanya orang she Ciu itu bisa terka hati orang, ia tertawa.

“Jikalau hari ini aku tidak pancing kau mendaki gunung dan paksa kau keluarkan ilmu pedang istimewa ajaran Han Kie It-su, aku pun tidak nanti berani sembarang akui padamu!” katanya.

In Lui bisa mengerti keterangan itu, tapi ia tetap heran.

“Untuk memancing aku, dia berlaku begini hebat dan jenaka, susiok-couw ini agak keterlaluan,” pikirnya. “Terang sudah bahwa ia bertabiat aneh.”

Karena ini, meski di mulut ia tidak berkata suatu apa, di hati ia merasa kurang puas. Ia ada satu pemudi yang baru muncul dalam dunia kangouw, lihai ilmu silatnya, tapi masih hijau pengalamannya.

Ciu Kian tertawa nyaring.

“Cucu keponakan yang baik, tahukah kau kenapa aku coba merampas uang negara itu?” tanya ia kemudian.

“Bukankah, seperti kata susiok-couw, kau hendak pancing aku mendaki gunung?” si nona baliki. “Sebenarnya, sekalipun kau tidak memancing, hendak aku datang kemari.”

“Kenapa begitu?” Ciu Kian tegaskan.

“Kita harus kembali pada sepuluh tahun yang lampau,” sahut si nona. “Pada waktu itu Tiauw Im Taysu telah menolongi aku menyingkir dari Gan-bun-kwan dia sudah bawa aku ke gunung Siauw Cee San di Sucoan Utara dimana aku diserahkan pada guruku untuk dirawat dan dididik.”

“Bukankah gurumu itu Yap Eng Eng, yang bergelar Hui-thian Liong-li?” Ciu Kian memotong.

“Benar,” In Lui manggut. Lalu ia meneruskan keterangannya,” Sepuluh tahun aku telah belajar silat lantas suhu titahkan aku turun gunung. Lebih dahulu dia telah serahkan padaku surat darah dari yaya. Suhu kata, orang yang paling yaya benci adalah Thio Cong Ciu yang membikin yaya menderita dua puluh tahun mengangon kuda, akan tetapi yang mencelakai hingga ayah menutup mata adalah Ong Cin, itu hamba pemerintah, hanya duduknya perkara yang benar, suhu tidak ketahui jelas. Suhu kata, susiok-couw adalah sahabat paling kekal dari yaya, katanya justeru disebabkan kematian menyedihkan dari yaya, susiok-couw jadi meninggalkan pangkatnya di kota Gan-bun-kwan. Belakangan suhu kata lebih jauh, suhu dengar susiok-couw telah tuntut penghidupan sebagai berandal, cuma ia tidak tahu pasti kebenarannya itu, maka suhu titahkan aku turun gunung dengan tugas paling pertama pergi cari kau.”

Mendengar itu, Ciu Kian menggeleng-gelengkan kepala , ia menyeringai.

In Lui heran.

“Sudah sepuluh tahun sejak yayamu menutup mata, perkaranya itu masih perkara gantung,” kata si orang tua. Ia tuturkan kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, lalu ia meneruskan,” Thio Cong Ciu dengan Ong Cin itu memang mempunyai hubungan satu sama lain, akan tetapi, apabila dilihat duduk perkaranya waktu itu, soal masih gelap, maka itu sampai sekarang juga masih belum diketahui, di antar mereka berdua, siapa sebenarnya penjahat asli.”

“Sekarang ini aku anggap mereka berdua adalah musuh-musuhku!” kata In Lui. “Dan di antara mereka, aku anggap Thio Cong Ciu sebagai musuh nomor satu!”

Ciu Kian manggut.

“Memang, sakit hati itu tidak dapat tidak dibalas!” katanya.

“Aku dibebankan permusuhan dua turunan, aku nanti habiskan tenagaku untuk itu!” berkata pula In Lui. “Sampai mati baru aku mau berhenti.”

Si orang tua menghela napas.

‘Ketika pertama aku sampai di Gan-bun-kwan,” In Lui meneruskan pula,” segera aku dengar nama besar dari Kim-too Ceecu beserta benderanya Matahari dan Rembulan. Lantas aku menduga pada susiok-couw yang telah mendirikan pesanggrahan di atas gunung, tetapi karena aku belum peroleh kepastian, aku sengaja membuat gubuk di selat Ouw Tiap Kok. Adalah maksudku untuk perlahan-lahan membuat penyelidikan.”

Ciu Kian tertawa.

“Itulah hal yang aku ketahui,” katanya. “Masih ingatkah kau, begitu lekas kau turun gunung kau lantas sudah melabrak beberapa rombongan berandal dengan menggunakan senjata rahasiamu yang mirip bunga bwee? Karena itu dalam dunia kangouw kau peroleh julukan San-hoa Lie-hiap, si Wanita Gagah Penyebar Bunga.

“Julukan itu enak juga didengarnya,” kata In Lui, “hanya aku tidak dapat mengetahuinya.”

“Ketika kau bertempat tinggal di Ouw Tiap Kok, orang-orangku sudah dari siang-siang memasang mata. Cuma, berikut aku di dalamnya, kita maish belum ketahui jelas tentang dirimu. Begitulah aku gunakan akal untuk pancing kau mendaki gunungku ini, maksudku adalah untuk mencoba ilmu silatmu guna memastikan, siapakah engkau.”

“Justeru karena pancingan susiok-couw ini, dugaan semula menjadi meleset,” berkata si nona. “Aku pikir, kalau kau benar ada susiok-couw, tidak nanti kau rampas uang tentara kota Gan-bun-kwan. Inilah sebabnya kenapa aku jadi berani melayani susiok-couw bertanding.”

Ciu Kian tertawa terbahak-bahak.

“Sejak dulu tidak pernah aku merampas uang tentara kota Gan-bun-kwan,” ia berikan keterangan, “kalau kali ini aku membuatnya meski barusan aku berkata untuk pancing kau, sebenarnya itu tidak betul seluruhnya. Dalam pada ini masih ada hubungan yang sangat besar.”

In Lui tidak mengerti.

“Apakah itu, susiok-couw?” dia tanya.

“Soalnya adalah,” sahut si orang tua, ”kecilnya mengenai hidup-matinya kota Gan-bun-kwan dan pesanggrahanku ini, besarnya mengenai keselamatan kerajaan Beng serta tanah daerahnya yang besar dan luas.”

Kaget si nona, hingga ia mengawasi dengan mendelong.

“Apakah itu, susiok-couw?” dia tegaskan.

Ciu Kian tidak lantas menjawab, dia hanya dongak akan melihat langit.

“Sekarang sudah malam,” katanya perlahan, romannya berduka,” pergi kau tidur, untuk pelihara dirimu. Sebentar malam hendak aku mohon bantuan kau untuk satu urusan besar.”

Ia lantas beri tanda dengan tangannya. Berbareng dengan itu terdengarlah sambutan suara tambur dan gembreng, setelah mana si anak muda yang semula tempur In Lui serta satu tauwbak, maju menghadap, untuk berkata,” silahkan ceecu berikan titahmu.”

Ciu Kian manggut.

“Dia Ciu San Bin,” katanya menunjuk si anak muda. “Dia adalah pamanmu. Umurnya tidak berbeda jauh dengan kau.”

In Lui beri hormat pada anak muda itu.

“Maaf,” ia menghaturkan.

Ciu San Bin tertawa.

“Di dalam kalangan wanita muncul orang gagah, si orang gagah masih sangat muda,” katanya, “oh, keponakanku, kau jauh terlebih kosen daripada pamanmu.”

In Lui tersenyum.

“Sekarang silahkan kau beristirahat,” kata San Bin yang terus titahkan saru liauwlo (serdadu gunung) antar nona itu ke kamar yang sudah disediakan untuknya.

In Lui menurut, ia undurkan diri, akan tetapi tak dapat ia tidur pulas. Ia terganggu berisiknya gerakan tentara gunung.

Habis bersantap malam, pesanggrahan seperti kosong dari tentaranya, yang ada hanya beberapa orang saja yang menjadi penjaga.

“Apakah kita akan berperang dengan tentara negeri?” tanya In Lui.

“Bukan,” Ciu Kian menjawab.

“Apakah dengan bangsa Tartar?” si nona tanya pula.

“Masih belum pasti,” jawab si orang tua.

Heran anak dara ini.

“Habis untuk apa susiok-couw berikan titah pada tentaramu?” ia masih menanya.

“Baik kau jangan tanya-tanya dulu,” jawab Ciu Kian sambil tertawa. “Lebih baik mari kau turut aku pergi ke suatu tempat!”

In Lui bersedia, segera ia salin pakaian dengan ya-heng-ie, pakaian untuk jalan malam.

Berdua mereka keluar dari pesanggrahan, di luar mereka saksikan langit penuh bintang, jam pada waktu itu menunjukkan kira-kira pukul tiga.

Kim-too Ceecu ajak cucu keponakannya itu berlari-lari di jalanan gunung untuk mendaki puncak sebelah timur yang lebat dengan pohon-pohon dan pohon-pohon oyot, makin dalam makin lebat, makin jauh keadaannya makin berbahaya. In Lui mengikuti terus dengan ragu-ragu, ia berpikir keras dengan sia-sia, tak dapat ia terka maksud bekas congpeng ini. Ia pun heran,” Susiok-couw adalah kepala sebuah gunung, dia telah atur tentaranya keluar, kenapa tangsinya dikosongkan dan dia sendiri tidak menjaganya? Kenapa ia keluar malam-malam seorang diri?”

Nona ini terbenam dalam keanehan.

Pada malam yang sunyi itu, tiba-tiba terdengar suara air, makin lama makin tegas suaranya. Lalu terdengar juga suara bagaikan orang berseru panjang atau bagaikan suara terompet huchia. Mendengar itu, si orang tua tarik tangan si nona, untuk diajak bersembunyi di belakang sebuah batu besar.

Dalam keheranannya itu, In Lui menurut saja, ia memasang mata.

Di antara sinar rembulan layu dan bintang-bintang, In Lui lihat wajahnya si orang tua. Itulah roman tenang tetapi tegang. Jago tua ini pun lantas mendekam di tanah, untuk pasang kupingnya.

“Ah!” tiba-tiba ia bersuara seorang diri, “Mustahil aku menduga keliru?”

In Lui pasang kupingnya, ia tidak dengar suatu apa.

“Kau dengar apa susiok-couw?” tanyanya heran.

Ciu Kian tidak segera menjawab, ia hanya menunjuk.

“Lihat!” katanya kemudian. Ia menunjuk ke arah bawah, ke lembah, di sana tampak sawah lading yang luas dan gemuk yang dibuka oleh tentara gunung, di samping itu, bagaikan rintangan, adas gili-gili atau bendungan air yang tinggi dan besar buatan manusia. Gili-gili itu terbuat dari batu, tingginya mungkin sama dengan dua buah loteng. Di sebelah sana terdapat telaga, luasnya tidak terlalu besar, mungkin beberapa ratus bahu. Air telaga itu menggenang dan hitam berkilauan.

“Sawah ladang itu mendapat air dari telaga yang terbendung itu,” kata si raja gunung kemudian. “Telaga itu menyebabkan kami dapat hidup bertani di sini, maka telaga itu adalah jiwa kami.”

Ia lantas tuturkan bagaimana selama sepuluh tahun ia bangunkan bendungan dan kerjakan sawah ladang itu. Menutur itu, ia nampaknya gembira dan puas.Tapi, ia lantas menghela napas.

“Akant tetapi bangsa Tartar dan tentara negeri kita tidak mengijinkan kita tinggal di sini,” ia tambahkan. “Baru kemarin dulu aku terima laporan bahwa bangsa Tartar hendak mengirim orang-orangnya yang lihai mencuri masuk kemari untuk merusak bendungan ini.”

“Kelihatannya bendungan ini tak dapat dirusak tenaga manusia,” kata In Lui. “Baru beberapa orang saja tidak nanti dapat berbuat apa-apa.”

“Kau tidak tahu,” Ciu Kian terangkan. “Sekarang adalah musim semi dan biasanya, setiap musim semi, air bisa melanda secara hebat.”

Di sebelah atas kita masih membuat beberapa bendungan, untuk menjaga gempuran, sebab satu kali bendungan hancur, telaga ini akan meluap airnya, dan begitu air telaga meluap, celakalah kita yang berada di dalam lembah, terutama sawah ladang kita musnah tergenang air.”

“Sungguh hebat, menjemukan!”kata In Lui, yang menjadi sengit. “Jikalau mereka itu datang, nanti kuberi pelajaran dengan pedangku!”

“Tetapi kejahatan mereka tak sampai disini saja,” kata pula Ciu Kian. Tiba-tiba, ia dengar suara yang mengherankan padanya.

“Aneh!” katanya.

“Apakah yang aneh, susiok-couw?”

Ciu Kian pasang pula kupingnya.

“Turut pendengaranku seperti ada belasan penunggang kuda yang mengejar satu orang buronan,” dia menerangkan,” tadi mereka menuju ke arah barat akan tetapi sekarang mereka menuju arah kita! Ah, mereka itu tidak kenal jalanan, mereka tengah berputaran. Suaranya pun menjadi terlebih perlahan. Kau dengar tidak?”

In Lui menggelengkan kepala.

Orang tua itu tertawa.

“Selanjutnya kau akan hidup di kalangan kang-ouw, kepandaian mendengar suara ini harus kau yakinkan,” ia kata. Ia terus tambahkan,” Aku taksir pasti malam ini mereka akan datang merusak gili-gili tetapi mendengar suara itu, mereka tengah mengepung orang. Mungkinkah di antara mereka itu telah terbit perubahan?”

Baru In Lui mau menanya kenapa jago tua itu ketahui demikian pasti tentang sepak terjang musuh, atau mendadak Ciu Kian memberi isyarat supaya ia menutup mulut, hingga ia batalkan niatnya. Ciu Kian juga sudah lantas menunjuk dengan jari tangannya.

Di atas puncak kira-kira tujuh atau delapan tombak terpisah dari mereka muncul dua orang yang merupakan bayangan hitam. Pasti mereka itu ada orang-orang lihai, sebab demikian terang kuping Ciu Kian, sesudah orang dekat baru dia mengetahuinya.

Dua orang itu berdiri berendeng.

“Besok tengah hari,” kata yang seorang, sambil tangannya menunjuk ke arah lembah,” maka pesanggrahan itu yang luasnya seratus lie lebih akan tergenang air hingga merupakan suatu tanah datar! Haha! Tuhan memberkati negara kita, apa mau congpeng dari Gan-bun-kwan telah memohon bantuan kita. Sesudah kita tumpas si bangsat tua Kim-too, untuk merampas kota Gan-bun-kwan mudah saja, seperti orang membalikkan telapak tangan. Satu kali Gan-bun-kwan sudah rubuh, jalan ke kota raja sudah tidak ada rintangannya lagi, hingga negara seluas sembilan laksa lie dari kerajaan Beng akan menjadi kepunyaan kita. Tantai Ciangkun, jasamu kali ini bukan main besar!”

Terus orang itu tertawa terbahak-bahak, suaranya mendengung di lembah.

Mendengar itu, In Lui terkejut.

“Tepat sekali taksiran Paduka,” berkata orang yang satunya. “Paduka tak ada bandingannya! Meski demikian adanya, tak dapat kita tidak berlaku waspada. Jikalau besok tentara kota Gan-bun-kwan tidak dapat datang menyambut, apakah tentara kita yang terpecah di empat penjuru tidak akan menghadapi ancaman bahaya? Aku anggap adalah terlebih sempurna jikalau empat pasukan itu diperkecil menjadi dua barisan.”

Orang yang pertama tertawa pula.

“Raja Beng ingin sangat menindas bangsat tua Kim-too itu,” dia kata, “untuk itu tenaga tentara di Gan-bun-kwan tidak cukup, dia jadi tidak berdaya, karenanya dia bertindak memohon kita bekerja sama, maka itu, aku tak kuatir jika dia nanti melanggar janji. Ini adalah ketika yang paling baik! Satu kepala perang mengatur tentara, apakah perlu dia memandang ke kepala atau ke ekor?”

Dan lagi-lagi dia tertawa, tertawa besar.

In Lui ingat suatu apa, ia jadi berpikir,” Bukankah Tantai Ciangkun ini yang disebut Tantai Mie Ming oleh ji-supeh?” dia menduga-duga. “Jikalau benar dia adanya, dialah musuhku yang telah membinasakan ayahku, malam ini tak dapat dia dibiarkan lolos!”

Orang yang dipanggil Tantai Ciangkun itu berbicara pula.

“Lebih baik Paduka berlaku hati-hati,” demikian katanya. “Tempat ini masuk lingkungan bangsat tua Kim-too itu.”

Si paduka itu yang terang ada bangsa Ouw atau Tartar, kembali tertawa besar.

“Aku justeru khawatirkan mereka tidak muncul!” ujarnya. “Kita sedang bersiap menggempur gili-gili, kita hendak serang tempat yang mereka harus tolongi itu, maka jikalau mereka datang mengurung kita, kita yang berjumlah belasan dapat menarik perhatian mereka itu, dengan begitu pasukan-pasukan kita yang menerjang di empat penjuru di luar akan masuk di tempat yang seperti tidak ada orangnya. Dengan punyakan kepandaian, mana bisa mereka membekuk kita? Paling juga kita korbankan jiwa belasan serdadu yang menggempur gili-gili.”

“Sungguh busuk!” In Lui mendamprat dalam hatinya, mendengar tipu daya yang licik itu. Karena ini mengerti telah ia akan sepak terjangnya Ciu Kian malam ini.

“Kiranya susiok-couw mengatur tentaranya untuk menghadapi empat pasukan musuh di luar itu,” pikirnya. “Susiok-couw ajak aku datang kemari dengan maksud menghadapi musuh-musuh gelap yang hendak menggempur gili-gili ini. Sungguh tak tercela susiok-couw menjadi satu panglima perang! Tadinya aku menyangka dia keluar seorang diri untuk menempuh ancaman bencana, tidak tahunya, tindakan ini ada tindakan yang wajar!”

Lantas nona ini cekal keras gagang pedangnya, ia segera bersiap sedia.

Ciu Kian juga tampaknya tegang, akan tetapi dia masih menggeleng-gelengkan kepala mengisyaratkan agar kawannya sabarkan diri, supaya si nona jangan sembrono turun tangan. Maka In Lui berdiam, terus ia pasang kupingnya.

“Eh,” terdengar Tantai Ciangkun,” kenapa mereka masih belum datang?”

Si paduka atau ongya, juga berjalan mundar mandir, dia pun nampaknya sibuk tidak keruan.

“Eh!” seru Tantai Ciangkun itu kemudian. “Lihat mereka itu tengah mengepung siapa hah?”

Segera terdengar tindakan laratnya kuda yang mendatangi, lantas nampak satu penunggang kuda kabur di dalam lembah yang sempit, di belakangnya mengejar belasan penunggang kuda lainnya. Mereka itu merantau ke sawah ladang.

“Segala bantong!” si ongya mencaci, terus ia siapkan busurnya.

“Jangan binasakan dia, paduka!” Tantai Ciangkun mencegah. Tapi baru dia buka mulutnya atau busurnya sudah menjeprat, anak panahnya melesat menyambar.

Justeru itu, berbareng dengan bekerjanya panah, Ciu Kian tepuk pundak In Lui sambil berseru,” Serang raja muda Tartar itu!”

In Lui memang sudah siap, maka itu dapat ia dengan berbareng lompat bersama si orang tua, untuk menghampirkan Tantai Ciangkun dan ongyanya.

Si nona entengkan tubuhnya, pesat gerakannya, ia dapat mendahului, malah sambil memburu, ia pun sudah lantas lepaskan enam buah senjata rahasianya yang diberi mana Bwee-hoa Ouw-tiap-piauw (piauw kupu-kupu), menyerang ketiga arah, atas, tengah, dan bawah dari si ongya dan si ciangkun.

Ciangkun atau jenderal itu, memang Tantai Mie Ming adanya. Dia adalah orang yang sangat dibenci In Lui, tidak heran kalau si nona menyerang dengan luar biasa ganas. Dengan menggunakan piauwnya, dia sampai tak minta perkenan lagi dari si orang tua.

Mendapat serangan bokongan itu, Tantai Mie Ming tertawa bekakakan. Ia seperti dapat lihat tegas ketiga batang piauw itu, ia sampok tiga-tiganya hingga terlempar mental.

Sebaliknya, si ongya telah perdengarkan jeritan,”Aduh!” dan busurnya terlepas, jatuh di tanah, tubuhnya pun terhuyung dua tindak, hampir dia rubuh terguling, lalu dapat dia pertahankan diri.

Piauw si nona adalah piauw yang ia terima dari gurunya Hui-thian Liong Lie Yap Eng Eng, piauw itu dapat dipakai menyerang jalan darah. Si ongya benar lihai tetapi ketika dibokong, ia pun sedang membokong orang lain dengan panahnya, maka datangnya serangan gelap membuat ia terperanjat. Masih dapat ia tangkis satu piauw dan berkelit dari yang kedua, tetapi yang ketiga mengenai dengkulnya. Syukur untuknya, ia punyakan tenaga dalam yang lihai, ia tidak sampai terhuyung rubuh. Untung tidak enam panah dipakai menyerang, kalau tidak, tentu jiwanya tak dapat dihindarkan dari bahaya maut.

In Lui terkejut mendapatkan keenam piauwnya tidak memberikan hasil yang memuaskan, malah menyusul herannya, tahu-tahu Tantai Mie Ming yang berseru keras, telah lompat melesat ke hadapannya. Kembali ia terkejut. Dari gerakan ciangkun ini, ia ketahui, orang ada terlebih lihai daripadanya. Akan tetapi, ia kertak giginya, tak gentar ia menghadapi musuh tangguh. Maka jug “Sret!” pedangnya segera dihunus guna memapaki lawan itu.



III



Tantai Mie Ming bersenjatakan sepasang gaetan. Ia lihat penyerangnya ada satu nona, ia memandang enteng.

“Suruhlah orang tuamu yang keluar!” ia menantang. “Gaetanku tidak biasa membinasakan segala orang tak ternama!”

In Lui tidak gubris kata-kata jumawa itu, ia menerjang, terus sampai dua kali ketika tikamannya yang pertama ditangkis lawan itu. Tentu saja ia menjadi tambah gusar dan sengit.

“Hai, budak, apakah kau cari mampus?” bentak jenderal itu setelah ia sampok mental pedangnya. Kedua tikaman itu dapat dia elakkan. In Lui tidak mundur, dia malah maju mendesak. Dia membungkam ketika dia menyerang pula dengan Pek-hong koat jit (Bianglala menutupi matahari).

Mie Ming melayani dengan sungguh-sungguh, dengan sepasang gaetannya ia coba mengurung pedang si nona, tetapi In Lui tidak mau mengerti, ia bebaskan diri, ia menyerang pula, demikian hebat, hingga lawannya berseru,” Eh!”

Orang Mongolia yang tangguh ini heran, mau atau tidak, ia mesti bekerja keras, setelah kedua gaetannya membuka ke kiri dan kanan, lantas ia desak si nona hingga orang mundur tiga tindak, tindakannya hampir kacau.

Gadisnya In Ceng menjadi penasaran sekali, tanpa pedulikan desakan, ia lompat, ia balas menyerang secara hebat.

Tantai Mie Ming kerutkan alis.

“Siapa yang mengajarkan kau ilmu menyerang?” dia tanya. “Kau berkelahi secara nekat begini, mana kau bisa layani musuh yang tangguh?”

“Memang niat aku adu jiwa denganmu!” jawab si nona dengan kaku. Dan ia perhebat serangannya.

Mie Ming menyeringai.

“Nanti aku desak dia, supaya aku bisa tegaskan kenapa di nekat begini,” dia pikir. Terus ia mainkan sepasang gaetannya, untuk mengurung pula pedang si nona.

In Lui licin, satu kali ia telah dipedayakan, ia jadi waspada. Nampaknya ia sembrono, sebenarnya ia dapat berlaku hati-hati dan cerdik. Begitulah, selagi didesak, dengan tenang ia gerak-gerakkan pedangnya untuk memberi perlawanan, sambil berbuat begitu, ia cari ketika yang baik. Demikian waktu ketikanya telah sampai, ia menyontek ke atas, akan membentur langsung gaetannya.

Satu suara nyaring dari bentroknya senjata segera terdengar.

“Pedang yang bagus!” seru Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi kaget meski ujung gaetannya kena dipapas sempoak pedang si nona. Ia malah mendesak pula dengan dorongannya.

In Lui terkejut. Ia merasakan telapak tangannya kaku, ia lihat ujung gaetan menyambar ke dadanya. Tidak sempat ia memutar pedangnya untuk menangkis.

Tapi Tantai Mie Ming tidak meneruskan menyerang.

“Hian Kie It-su pernah apa denganmu?” dia tanya.

Justeru orang berseru. In Lui gunakan ketikanya akan lepaskan diri dari ancaman bahaya. Tentu saja ia jadi semakin mendongkol.

“Apakah pantas kau menyebut nama couwsuku?” dia menghina.

“Ha ha ha ha!” Tan Tai Mie Ming tertawa dan kembali dia ulangi desakannya.

In Lui mundur, dia sangat terdesak, repot dia membela diri. Pernah ia mendesak dengan nekat, tapi ia tidak peroleh hasil.

“Sekalipun gurumu, dia bukan tandinganku, kau tahu?” kata Mie Ming.

In Lui tidak perdulikan orang berjumawa, ia tetap berikan perlawanannya, beberapa kali lia membuat penyerangan balasan yang tak kurang hebatnya, walaupun ia mesti menempuh bahaya.

Mendongkol juga Mie Ming karena si nona terus mendesak padanya. Selang dua puluh jurus, In Lui mati daya, tak sanggup dia menangkis terlebih jauh. Ketika gaetan kiri musuh menyantel pedangnya, dan gaetan kanan mengancam dari atas kepada batok kepalanya, ia berseru dengan keluhannya,”Ayah, tak dapat anakmu membalas sakit hatimu.” Sambil mengucap demikian ia tarik pedangnya sekuat tenaga, karena ia masih mencoba untuk menangkis.

“He, budak cilik, apakah kau cucunya In Ceng?” tanya Tantai Mie Ming. Karena ini, tertundalah turunnya gaetan kematian itu.

In Lui lolos dari bahaya, segera ia menikam.

“Pemberontak, kau masih punyakan muka menyebut nama yayaku?” dia mengejek.

Mie Ming gusar mendengar hinaan itu.

“Memang telah cukup aku Tantai Mie Ming dicaci orang sebangsamu yang anggap dirinya kosen, setia, dan mulia hati. Baiklah, mari aku binasakan kau turunan orang-orang kosen, setia, dan mulia itu!”

Jenderal ini menyerang dengan hebat, maka itu, baru beberapa jurus, kembali In Lui mati kutu.

Selagi dua orang ini bertempur hebat, di pihak sana terdengar jeritan-jeritan hebat, sebab Ciu Kian yang melawan belasan musuh, telah peroleh hasil. Lega hati In Lui mendengar kemenangan susiok-couw itu.

Segera setelah itu terdengar seruan si ongya,” Tantai Ciangkun, jangan perlambat waktu! Si bangsat tua Kim-too sedang mendatangi!”


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar