Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 5

Liang Ie Shen, Seri Thian San-02: Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 5 “Bahwa hweeshio-hweeshio dari Hong Kak Sie menjadi galak dan berbuat sewenang-wenang, tidak usahlah aku ceritakan lagi,”
 
Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 5
“Bahwa hweeshio-hweeshio dari Hong Kak Sie menjadi galak dan berbuat sewenang-wenang, tidak usahlah aku ceritakan lagi,” Tiauw Im lanjutkan. Mereka itu tidak pantang, mereka tidak hormati aturan suci. Begitulah pada saat paceklik itu, mereka membeli banyak anak-anak perempuan dari orang-orang yang bersengsara dan hendak mengungsi, anak-anak itu dipelihara di dalam biara, mereka dijadikan korban-korban perkosaan. Di sepanjang jalan telah aku dengar orang banyak berbicara tentang anak-anak perempuan yang dijual pada biara itu, ada yang menjualnya buat lima ratus chie, ada yang cuma tiga ratur chie. Dan uang sebanyak itu tidak cukup untuk ongkos belanja sepuluh hari. Malah yang lebih hebat lagi, yaitu tidak apa anaknya tidak dibeli, asal saja dapat menumpang di dalam biara itu. Panas hatiku mendengar hal itu! Di kolong langit ini ada semacam biara, ada semacam hweeshio, maka hweeshio sebagai aku ini, yang makan daging, sungguh lenyap muka terangku!”

Memang kejadian itu sangat memanaskan hati.

“Usiaku waktu itu belum cukup tiga puluh tahun,” Tiauw Im melanjutkan pula.

Waktu itu aku berdarah panas melebihi sekarang ini. Aku tidak perdulikan lagi bahwa biara itu ada biara raja, dengan membawa tongkatku, aku pergi ke biara itu, aku cari hweeshio kepalany, yang terus aku damprat habis-habisan. Diluar sangkaanku, rata-rata hweeshio disitu mengerti ilmu silat, malah kepalanya ada satu ahli. Semua hweeshio muncul hendak membekuk aku, untuk menyiksa dan membinasakan aku. Aku layani mereka, hingga dapat aku membinasakan beberapa diantaranya, akan tetapi lama-kelamaan aku kehabisan tenaga, ini berbahaya bagiku. Disaat aku sangat terancam, datanglah satu hweeshio perantauan. Dia menabuh bok-hie, lalu dia berkata dengan nyaring, “Di waktu langit terang benderang ini, hai kamu kawanan murid murtad dari Sang Buddha, bagaimana kamu berani menganiaya orang?” Habis itu, sambil tetap masih berdoa, ia turun tangan ia serang hweeshio dari biara itu, hingga banyak hweeshio jahat yang terbinasa atau terluka.

Melihat perbuatan hweeshio itu aku menjadi girang, aku jadi mendapat hati, tetapi berbareng dengan itu hatiku menjadi lemah. “Suheng ampunilah mereka itu!” aku teriaki hweeshio perantauan yang kosen itu. Tapi dia menjawab, “Hweeshio dari lain-lain biara boleh diberi ampun, hweeshio-hweeshio disini adalah yang aku paling benci! Jikalau kau merasa kasihan, biarkan aku saja yang turun tangan sendirian!” Dan ia lanjutkan terus serangannya.

Di dalam biara itu digantungkan gambar Beng-thay-couw, gambar itu lebih tinggi daripada orang biasa. Adalah lucu di dalam sebuah biara dipajang gambar satu raja. Lebih lucu lagi, gambar itu bukannya gambar hweeshio yang gundul kepalanya. Di hadapan gambar itu, hweeshio pengembara itu tertawa tiga kali, lalu ia meludah!

Terhadap raja, perbuatan itu merupakan perbuatan sangat kurang ajar. Terhadap segala pembesar jahat dan ok-pa, yang biasa menindas rakyat jelata, aku sangat membenci, akan tetapi melihat dia demikian menghina raja, aku gentar juga.

“Jangan kau takut!” kata hweeshio itu padaku. Dahulu waktu Cu Goan Ciang belum menjadi raja, dia adalah sama sebagai kita. Dia takut sekali orang mengatakannya dia pernah menjadi hweeshio. Aku benci pada sikapnya itu, itulah penghinan untuk kita hweeshio seumumnya. Kau berani bunuh hweeshio murtad dan cabul ini, kenapa tidak benci pada raja yang pernah jadi hweeshio yang mengumbar hweeshio-hweeshio jahat dan busuk melangsungkan kejahatan dan kebusukannya? Dia jadi sengit sekali, akhirnya dia robek gambar raja itu, dihancurkan. Aku sendiri, mendengar teguran itu, bagaikan mendengar pengajaran Sang Buddha, aku jadi sadar dan tidak takut lagi. “Bagus! Bagus!” aku berteriak-teriak sambil takepkan kedua tanganku. “Puas! Puas!”

“Membunuh orang memuaskan, tetapi menolong orang, banyak kesulitannya, berkata pula hweeshio itu. Siapa mendjadi manusia, dia tidak boleh cuma merasa puas, tetapi jeri terhadap kesulitan. Dengan berkata demikian, hweeshio itu maksudkan halnya banyak wanita yang disembunyikan di dalam biara Hong Kak Sie itu. Ayah bunda mereka itu sudah mengungsi, dimana mereka dapat dicari, kemana kaum wanita itu hendak diserahkan? Tentu saja tidak dapat mereka dibiarkan pergi seorang diri.

“Menolong orang harus secara sungguh-sungguh sampai pada akhirnya,” berkata hweeshio itu pula. “Mari kita berdua bekerja sama, untuk mengantar mereka, untuk menolongi mereka mencari orang tuanya.” Itulah benar. Membunuh orang gampang, tetapi menolong orang sulit. Syukur untuk kami, setelah bersusah payah dua bulan, berhasil juga kami menolong kaum wanita itu. Tentang harta yang tersimpan di dalam Hong Kak Sie, kita amalkan itu kepada rakyat yang bersengsara. Inilah jasaku yang pertama setelah aku turun gunug, peristiwa itu tak nanti aku lupakan seumur hidupku.

Dua bulan lamanya aku diam bersama hweeshio itu, kita sangat cocok satu dengan lain. Dalam hal ilmu silat, kepandaian kita juga berimbang. Kita lantas ikat persahabatan. Hweeshio itu adalah Cin-sam-kay Pit To Hoan yang sekarang ini. Dengan sesungguhnya, aku kangen kepadanya. Sayang, sejak pertemuan yang pertama kali itu, selanjutnya kita belum pernah bertemu pula satu pada lain.”

Tergerak hati In Lui, ia berkesan baik mengenai peristiwa itu, mengenai sikap Pit To Hoan. Memikirkan perbuatan Pit To Hoan, bagaikan membayangkan pula waktu To Hoan meludahi gambar Cu Goan Ciang. Kenapa Pit To Hoan begitu membenci kaisar pendiri dari kerajaan Beng itu? Inilah hal yang harus dipikirkan masak-masak.

Tiba-tiba In Lui ingat Thio Tan Hong. Ia ingat, waktu berbicara tentang Cu Goan Ciang, Thio Tan Hong memperlihatkan sikap sangat jemu. Kenapa? Ini juga hal yang memusingkan kepala memikirkannya.

Tiba-tiba Ciu San Bin tertawa.

“Taysu, kali ini kau akan bertemu dengannya!” kata orang she Ciu ini. “Pit To Hoan sendiri sudah cukup untuk melayani bangsat kecil itu, maka ditambah kau, biar dia punya tiga kepala dan enam tangan, tidak nanti dapat dia terbang pergi! Ha-ha, hiantee, sakit hatimu pasti akan terbalaskan!” dia tambahkan kepada In Lui. “Kakekmu di tanah baka tentulah akan meramkan mata........”

In Lui berdiam, matanya mendelong jauh ke depan. Ia tidak menjawab perkataan San Bin. Sikap ini membuat Tiauw Im dan Cui Hong menjadi heran.

Ketika bayangan matahari menunjukkan sudah dekat tengah hari, Tiauw Im lompat berjingkrak.

“Janji atau tantangan si mahasiswa berkuda putih itu tinggal empat hari lagi,” dia kata, “maka itu sekarang sudah seharusnya kita cepat-cepat berangkat.”

Pengutaraan ini dapat persetujuan, maka itu, berempat mereka berlerot keluar dari dalam kuburan. In Lui dongak, ia memandang ke langit, ia rasakan seperti baru habis bermimpi.

Tiauw Im Hweeshio dengna kuda putihnya adalah yang larinya paling pesat, yang kedua ialah kuda merah dari In Lui, tetapi si hweeshio tidak bedal kudanya itu, maka itu, dapat ia rendengkan binatang itu dengan kuda In Lui. San Bin dan Cui Hong jauh tertinggal di belakang, Cui Hong jadi sangat tidak puas. Akan tetapi, ia tak dapat berbuat suatu apa.

Dekat magrib rombongan ini telah sampai di sebuah dusun kecil di timur kecamatan Him-koan, disini mereka kebetulan bertemu dengan dua rombongan lain, yaitu satu rombongan dari Hwee-sin-tan Cek Chungcu, dan yang lainnya rombongan dari Na Ceecu dari Im-ma-ce. Tiauw Im dan San Bin kenal kedua rombongan itu, kedua pihak lantas membuat pertemuan. Nyata kedua rombongan itu juga tengah menuju ke rumah Pit To Hoan.

Tiauw Im segera mencari sebuah penginapan yang paling besar, ia minta tiga kamar untuknya, yaitu ia bersama San Bin mengambil sebuah kamar, In Lui dan Cui Hong masing-masing satu kamar. Cui Hong menjadi tidak puas, tetapi disitu banyak orang lain, ia terpaksa bungkam.

Malam itu, In Lui tidak dapat tidur, ia bergelisah di atas pembaringannya, sampai ia dengan ketokan perlahan sekali, pada pintu kamarnya.

“Siapa?” tanyanya,

“Aku...”

Itulah suara Cui Hong, suaranya perlahan.

Supaya tidak menerbitkan peristiwa yang bisa jadi buah tertawaan, In Lui lantas rapikan pakaiannya, ia pakai kopiahnya, habis mana ia buka pintu untuk menemui “isterinya” itu.

Cui Hong bermandikan air mata pada mukanya, ia lantas tubruk In Lui hingga nona In ini mesti peluk padanya, lantas ia bawa ke pembaringan.

“Kau kenapa?” tanya In Lui.

Cui Hong mengawasi, sinar matanya mengandung sinar penasaran.

“In Siangkong,” ia jawab. “aku bukannya seorang hina, tak dapat aku menahan sabar...”

“Kau sebenarnya kenapa? Siapa yang menghina kau?” tanya pula In Lui.

“Paman gurumu itu serta kakak angkatmu, kenapa seperti hendak merenggangkan hubungn kita?” kata Cui Hong. “Mereka seperti tidak pandang aku adalah isterimu. Apakah mereka anggap aku tidak pantas untuk jadi pasanganmu? Mungkinkah mereka hendak mencarikan lain pasangan untukmu?”

Setelah ketahui urusan itu, In Lui tertawa cekikikan.

“Hai, kau memikirkan apa?” dia tanya. “Sebenarnya mereka bermaksud baik.”

Cui Hong mendongkol.

“Bagus betul!” katanya. “Mereka hendak mencarikan kau lain jodoh, kau kata mereka bermaksud baik! Apakah salahku, hingga kau hendak ceraikan aku?”

Ia lantas saja menangis.

Sibuk juga In Lui.

“Apa? Apa katamu?” tanyanya. “Kapan aku hendak ceraikan kau?”

“Habis, kau....kau...”

Tak dapat si nona mengatakan terus, agaknya ia malu.

In Lui berpikir keras.

“Bagaimana aku harus bersikap sekarang?” dia bingung.

“Kau dengar,” ia kata. “Kakak angkatku itu....”

“Fui!” Cui Hong memotong. “Kakak angkatmu itu! Jikalau kau sebut-sebut dia pula, nanti aku segera cari ayahku untuk minta keputusannya! Kau nikah aku atau kakak angkatmu? Hm! Aku benci dia!”

In Lui tetap bingung, hingga ia memikirkan untuk membuka rahasia saja. Ia belum sempat membuka mulutnya, ketika ia dengar suara berdehem di luar kamar.

“Hiantee, kau bicara dengan siapa?” terdengar San Bin menanya.

Hatinya menjadi lega. Ia segera tolak tubuh Cui Hong.

“Ciu Toako diluar?” tegurnya. “Lekas kau keluar! Kau seka air matamu, supaya dia tidak dapat melihat....”

Cui Hong mendongkol bukan main, ia lantas lari keluar, tanpa apa mau, ia justeru bersomplokan dengan San Bin, dalam sengitnya, ia joroki anak muda itu sampai hampir jatuh. Ia lari terus ke dalam kamarnya, ia tutupi kepalanya dengan selimut, ia menangis.

In Lui heran yang San Bin datang malam-malam padanya.

“Hian-moay,” ia dengar San Bin, “kita ada bagaikan orang sendiri, tidak ada halangannya untuk kau bicara terus terang. Sebenarnya kau mempunyai kesulitan apa?”

Sejenak In Lui terperanjat. Tapi segera ia tertawa.

“Memang ada kesulitanku,” ia jawab. “Apakah kau tidak lihat nona Cio gerembengi aku? Ini sulit, kesulitan ini tidak dapat aku pecahkan. Aku lihat, toako, cuma kau yang dapat membantu aku.”

San Bin terperanjat, wajahnya berubah.

“Cui Hong adalah satu anak yang baik,” berkata pula In Lui, “ia sesuai dengan kau. Toako, kau telah berjalan bersama-sama dia, apakah kau tidak pikir suatu apa mengenai dia?'

Pemuda itu melengak, ia merasa tak enak.

“Adakah In Lui telah melihat lain orang, maka hendak ia serahkan Cui Hong padaku?” ia menduga-duga, ia mulai cemburu.

In Lui polos, tidak ia menyangka akan kesangsiannya San Bin itu, maka itu, heran ia menampak air muka orang menjadi pucat. Ia tercengang.

“Adik In, jangan kau dustakan aku,” San Bin berkata pula. “Bukankah kau mempunyai orang lain?”

“Apa toako?” In Lui tanya.

San Bin menatap.

“Anak Thio Cong Ciu telah melakukan perjalanan bersama-sama kau, bukankah ia baik sekali terhadapmu?” tanyanya, tiba-tiba.

Tubuh In Lui gemetar.

“Ya, baik sekali,” ia menjawab.

“Tapi ia ada dari keluarga musuhmu!” San Bin peringatkan.

“Tentang itu tak usah kau memperingatkannya,” sahut In Lui, “surat wasiat kakekku telah menjelaskannya terang sekali.”

“Apakah yang ditulisnya?'

“Surat wasiat itu menghendaki supaya aku membunuh habis keluarga Thio, tidak perduli lelaki atau perempuan!”

“Tetapi ia berlaku baik sekali terhadapmu!” San Bin kata pula.

“Baik atau tidak sama saja. Aku....aku....aku tidak bisa tentangi pesan kakekku!”

In Lui menangis tersedu-sedu, tak dapat ia bicara terus.

San Bin bingung, hatinya separuh lega. Ia awasi si nona, pikirannya ruwet. Ia merasa tak tega, ia merasa kasihan terhadap nona ini. Ia ulur tangannya, niatnya menghibur si nona, akan tetapi ketika tangannya membentur lengan orang, segera ia menarik kembali. Ia merasakan getaran.

Justeru itu di luar penginapan terdengar bentakan keras.

“Oh, bangsat!” demikian suara Tiauw Im Hweeshio.

“Besar nyalimu! Aku ada disini, kau berani datang menyatroni!”

San Bin kaget, tapi segera ia lompat keluar, tangannya mencabut golok. Ia terus lompat naik ke atas genteng.

Di bawah sinar rembulan yang permai, disana tampak satu mahasiswa yang putih bersih, seolah-olah ia sedang tersenyum, dengan tegak ia berdiri diantara siuran angin halus. Ia adalah “si bangsat kecil berkuda putih” untuk melayani siapa San Bin bersama Cio Eng sudah menyiarkan panah Lok-lim-cian.

Waktu itu Na Ceecu dan Cek Chungcu pun telah muncul di pojok payon.

Menampak San Bin, Tiauw Im berkata, “Aku tidak mau melayani anak muda, akan aku gantikan kau mengurus kuda putih itu! Hati-hatilah kamu, supaya dia tidak sampai lolos!”

San Bin tidak sahuti paman guru itu, ia hanya berkata, “Adik Lui, lekas kemari!”

Cek Chungcu, yang bernama Po Ciang dan bergelas Hwee-sin-tan, si Peluru Malaikat, sudah lantas menimpuk dengan tiga biji hwee-cu, peluru api, mengarah muka orang.

Dengan mengegoskan tubuhnya si mahasiswa lolos dari sasaran peluru lihai itu.

Na Ceecu, yang bernama Thian Sek, sudah lantas maju menyerang dengan sepasang Poan-koan-pitnya, yaitu alat semacam pit, alat tulis.

Si mahasiswa tidak hunus senjatanya, sambil menyamping sedikit, dengan sebelah tangannya ia menangkis, tangan yang lain dipakai membalas menyerang. Secara demikian ia membuat serangan Na Ceecu gagal, yang terpaksa mundur dua tindak.

Waktu itu, San Bin lompat dengan bacokan goloknya.

Gesit sekali mahasiswa itu, ia tidak menangkis atau lari, hanya selagi golok menyambar, ia berkelit sambil memutar diri, tangannya yang sebelah diayunkan, hingga ketika ia berbalik pula, lengan San Bin kena tersampok, sampai lengan itu bengkak dan terasa sakit.

In Lui sudah lantas muncul diatas genteng, pedang Pek-in-kiam pun sudah dihunus, segera ia lihat si mahasiswa, mata siapa seperti menyinarkan api. Ia kertak giginya, terus ia menikam.

Si mahasiswa kelitkan dirinya sambil berseru, “Telah aku dengar semua pembicaraanmu! Kiranya kamu semua membenci aku!” Ia tidak membalas serangan si nona.

“Tikam dia! Jangan kasih hati!” berseru San Bin.

Cek Po Ciang kembali menyerang dengan pelurunya, menyusul mana, Tan Hong dikepung bertiga.

Dalam saat yang sangat mengancam itu, Thio Tan Hong masih sempat bersendung, “Tubuh yang kecil boleh pulang ke dalam tanah, akan tetapi bagaimana, budi permusuhan masih belum jelas?”

Pemuda ini berkelit pula dari pedang In Lui, berbareng dengan itu ia serang muka Na Thian Sek dengan tangan kosong. Na Ceecu berkelit sambil lompat nyamping, untuk membela dirinya. Gerakan ini digunakan sebagai ketika oleh Tan Hong, yang sudah lompat turun.

“Kejar dia!” berteriak San Bin.

Semua orang lantas mengejar, tidak terkecuali In Lui, tetapi nona ini cuma ikut-ikutan saja, ia sebenarnya tidak punya tujuan.

Thio Tan Hong perdengarkan suara nyaring, ia rupanya memanggil kudanya. Sebagai jawaban ia dapatkan kuda itu berbenger, yang berada jauh daripadanya. Ia lari menghampiri.

Tiauw Im Hweeshio, diatas kuda putihnya, menghalang antara Tan Hong dan Ciauw-ya Say-cu-ma. Kuda putih itu seperti kenal baik satu pada lain, maka juga, meski dia dengar panggilan, kuda si mahasiswa tidak mau menghampiri majikannya.

Tan Hong perdengarkan pula suara panggilannya, yang panjang. Kali ini Ciauw-ya Say-cu-ma perdengarkan jawabannya sambil berdiri pada kedua kaki belakangnya.

Tiauw Im lihat sikap kuda itu, ia serang batang lehernya. Atas mana, kuda tersebut rubuh.

Sakit hati Tan Hong menyaksikan kudanya disakiti, ia menjadi gusar sekali.

“Hweeshio bangsat, kau berani lukai kudaku?” dia berteriak. Terus ia maju, menyerang si hweeshio itu, atau segera ia tercandak Cek Chungcu, Na Ceecu, San Bin, dan In Lui, yang terus mengurung padanya. Ia menjadi mendongkol, tidak bisa ia lantas loloskan diri. Ia pun tidak sempat mencabut pedangnya.

Tiauw Im tertawa, dia berkata, “Tanpa kudamu, cara bagaimana kau dapat meloloskan diri?”

Belum pendeta ini menutup mulutnya, sekonyong-konyong kudanya berbenger dan berjingkrak, kedua kaki depannya diangkat tinggi, hingga ia menjadi kaget, sebab hampir ia terpelanting dari atas kudanya itu. Inilah ia tidak sangka, sebab sekian lama, dapat ia menjinakkan kuda itu.

Pendeta ini tidak tahu, kudanya dengan Ciauw-ya Say-cu-ma mempunyai hubungan yang sangat erat. Ciauw-ya Say-cu-ma itu adalah anak kuda putih putih itu! Thio Cong Ciu sangat menyayangi puteranya, ia berikan Ciauw-ya Say-cu-ma kepada sang putera. Tiauw Im telah hajar kuda itu, tidak heran kudanya menjadi kaget dan marah, setelah berjingkrak, kuda itu lari kabur. Ia mesti mendekam dan pegangi keras kuda itu, yang tak dapat segera dikendalikan. Ia dibawa kabur sampai beberapa lie.

Ciauw-ya Say-cu-ma berbenger pula, terus dia lompat bangun, terus dia lari ke arah majikannya.

“Bagus! Bagus!” seru Thio Tan Hong.

Na Thian Sek maju dengan pitnya, Cek Po Ciang dengan cambuknya, dan Ciu San Bin dengan goloknya, bertiga mereka hendak rintangi si anak muda menghampiri kuda itu.

Tan Hong lihat sikap orang, ia justeru lompat kearah In Lui.

Nona In kertak giginya, ia segera serang anak muda itu, akan tetapi dengan mengegoskan mukanya, Tan Hong dapat mengelakkan pedang itu ke samping mukanya.

Adalah pada saat itu, Ciauw-ya Say-cu-ma telah datang dekat pada majikannya.

San Bin tidak mau diterjang kuda, ia berkelit. Ketika ini digunakan Tan Hong untuk lompat ke punggung kudanya itu.

Cek Chungcu menyerang dengan pelurunya, ia sebat, akan tetapi Ciauw-ya Say-cu-ma sangat gesit, dia membuat peluru lewat di belakangnya.

Sambil kaburkan terus kudanya, dari kejauhan, si mahasiswa telah perdengarkan suaranya yang nyaring, “Maafkan aku, tidak dapat kau menemani lebih lama! Nanti saja, lagi tiga hari, kami bertemu pula!”

Kata-kata itu, yang seperti ejekan, diakhiri dengan suara tertawa, yang segera lenyap di udara terbuka, diantara sampokan angin, yang kemudian disusul menghilangnya si penunggang kuda dan kudanya.

In Lui berdiri menjublak, sedang Cek Chungcu, Na Ceecu dan San Bin lesu sekali, mereka menyesal sekali, mereka jengah sendirinya. Beramai mereka tak sanggup membekuk satu orang.

Tidak lama diantaranya, tiba-tiba Tiauw Im Hweeshio. Pendeta ini kembali sesudah ia dapat kuasai kudanya, ia merasa kecele, karenanya ia larikan kudanya perlahan-lahan. Ketika ia saksikan roman kawan-kawannya, sambil menyeringai, ia berkata, “Malam ini kita rubuh! Nanti, setelah tiga hari, terpaksa aku mesti turun tangan.”

Besok paginya, perjalanan dilanjutkan.

Cui Hong mendongkol berbareng berduka, karena kejadian semalam itu. Tak mau ia bicara dengan In Lui.

San Bin pun berdiam, akan tetapi ia pikirkan pertempuran semalam. Terang ia dapat melihat, sekalipun In Lui, dia masih kalah terhadap Thio Tan Hong yang lihai itu. Ia juga dapat melihat, Tan Hong tidak berniat mencelakai si nona walaupun nona ini ada musuhnya. Bukankah itu tandanya bahwa antara mereka berdua telah ada perhubungan yang erat? Maka akhirnya, ia menjadi masgul sekali, pikirannya pepat. Ia tidak punya kegembiraan untuk bicara dengan nona In.

Nona ini lihat sikap pemuda she Ciu itu, ini membuatnya ia berlega hati. Meski demikian, teringat halnya Tan Hong, ia berduka juga.

Perjalanan dilanjutkan terus, sesudah tiga hari, sampailah mereka di Hok-lok.

Perkampungan tempat kediamannya Cin-sam-kay Pit To Hoan dikitari air dan bukit, bagus letaknya.

Tiauw Im Hweeshio maju di depan, ia temui pengawal pintu, untuk perkenalkan diri dan utarakan maksud kedatangannya, setelah mana, mereka dipersilahkan masuk.

Nyata di dalam telah ada lain-lain tetamu, roman mereka umumnya tegang.

Sudah dua puluh tahun Pit To Hoan dan Tiauw Im tidak pernah bertemu, pertemuan ini membuat mereka girang sekali, banyak yang mereka omongkan, tentang kenangan-kenangan mereka, perihal kesehatan dan lainnya, hingga untuk sesaat itu, tak sempat Pit To Hoan melayani lain-lain tetamunya, yang semua datang karena menerima panah Lok-lim-cian atau diundang langsung oleh Thio Tan Hong.

Kemudian orang menanyakan Ciu San Bin tentang Thio Tan Hong, mereka ingin ketahui jelas perihal orang she Thio itu.

“Ayahmu, Kim Too Ceecu,” berkata Pit To Hoan, “meskipun dia belum pernah bertemu denganku, akan tetapi telah lama aku dengar tentang dia, aku tahu dia orang macam apa, maka aku percaya orang yang dia ingin bekuk mesti ada seorang yang jahat sekali. Sekarang pun terbukti, melihat sepak terjangnya, penjahat itu sangat cerdik dan berbahaya. Maka itu, tidak usah kau menjelaskan banyak, aku berniat turun tangan terhadapnya.”

Kemudian, menampak Cio Cui Hong, tuan rumah urut-urut kumisnya.

“Maafkan aku, aku tak tahu sekarang telah muncul seorang wanita gagah,” ia kata.

Segera San Bin memperkenalkan.

“Nona ini puteri Hong-thian-lui,” katanya.

Cui Hong segera maju, untuk memberi hormatnya, seraya memberitahukan yang ayahnya telah mengirim surat untuk menanyakan kesehatan tuan rumah itu.

Pit To Hoan girang sekali, ia tertawa.

“Jikalau Hong-thian-lui menitahkan sesuatu, walaupun harus menerjang api, tidak nanti aku menolak!” dia kata. “Sudah belasan tahun aku nantikan suratnya itu!”

Cui Hong serahkan surat ayahnya, tuan rumah menerimanya, untuk terus dibuka dan dibaca, habis mana mendadak air mukanya berubah menjadi pucat.

Hati In Lui goncang. Tak tahu ia, apa bunyi surat Cio Eng itu.

Pit To Hoan berlaku tenang, dengan perlahan ia lipat pula surat itu, terus ia masukkan ke dalam sakunya.

San Bin mengawasi, ingin ia bicara, untuk menjelaskan perihal si mahasiswa berkuda putih, atau To Hoan, yang memandang padanya, mendahului dia.

“Tidak usah kau menjelaskannya, sudah aku ketahui,” katanya. Ia segera memandang kepada In Lui kearah siapa ia berpaling.

“Tuan ini adalah keponakan murid dari Tiauw Im Tauysu, ia juga menjadi menantu dari Cio loo-enghiong,” San Bin cepat memperkenalkan.

“Menantu Hong-thian-lui telah datang, sayang Hong-thian-lui tidak, “kata To Hoan. “Aku kuatir urusan tidak akan dapat diselesaikan.”

Ia lantas angkat kepalanya, hingga tampak sinar kedua matanya yang hitam dan bengis. Habis itu terdengar tertawanya yang kering.

“Mari turut aku!” kata ia kemudian sambil melambaikan tangan pada In Lui dan Cui Hong. Ia pun memesan, “Kalau si mahasiswa berkuda putih datang dengan tiba-tiba, Tiauw Im suheng, tolong kau wakilkan aku melayani dia.”

Sudah lama To Hoan kembali menjadi orang biasa, bukan hweeshio lagi, tapi kepada Tiauw Im tetap ia memanggil “suheng”, panggilan cara keagamaan.

In Lui dan Cui Hong turut tuan rumah itu. Mereka melewati lorong dan naik keatas sebuah loteng kecil, disitu kedapatan sehelai gambar lukisan kota dan air, dengan pohon-pohon bunga. Mestinya gambar ini dibuat oleh satu pelukis dengan gambar yang ada di rumah Cui Hong, bedanya ialah gambar ini jauh terlebih kecil.

Belum lagi tuan rumah dan tetamu-tetamunya duduk, atau satu bocah telah datang berlarian, terus saja dia tunjuk gambar itu sambil berseru, “Ayah, berikan padaku, berikan padaku buat main!”

Bocah itu berumur kira-kira delapan tahun, gesit dan manis, siapa saja tentu menyukai dia.

To Hoan urut-urut kumisnya, ia turunkan gambar itu, lalu ia berikan pada bocah itu.

“Pergi ambil!” katanya. “Hari ini akan terlihat barang aslinya, maka barang tiruan ini tak usah aku menghargainya lagi!”

Mendapat gambar itu, bocah itu tertawa dan berjingkrakan, lantas dia pergi. Kelihatannya, dia seperti sudah sering minta gambar itu kepada orang tuanya dan baru kali ini diberikan.

Dengan matanya, To Hoan antar bocah itu turun dari loteng, habis itu ia menoleh kepada Cui Hong. Ia tertawa.

“Nona Cio,” katanya, “ketika tahun itu aku pergi ke rumahmu, kau masih sebesar dia. Masihkah kau ingat?”

“Dua bulan ayahku rebah di pembaringan, mana aku dapat melupainya?” jawab nona Cio.

To Hoan menghela napas.

“Hari itu aku sangat ganas,” katanya, “sampai pada hari ini, apakah kau masi membenci aku? Apakah yang ayahmu katakan padamu?”

“Sedikit juga ayah tidak membenci kau,” sahut Cui Hong. “Kali ini, apabila kau bisa membantu membalas sakit hati, ayah akan sangat berterima kasih padamu.”

“Membalas sakit hati?” To Hoan heran. “Sakit hati apakah itu?”

Cui Hong berbalk menjadi heran.

“Apakah ayah tidak menjelaskan dalam suratnya?” ia tanya. “Bukankah si mahasiswa berkuda putih itu ada musuh besar dari In Siangkong?”

To Hoan awasi nona itu.

“Begitu?” dia tegaskan.

Muka In Lui menjadi pucat sekali.

“Benar apa yang nona Cio ini katakan,” ia turut bicara. “Memang itu ada urusan sakit hati. Hanya dalam hal itu, tidak mau aku pinjam tangan lain orang!”

“Bagus, itulah bersemangat!” puji Pit To Hoan. “Tapi aku lihat, di dalam urusan ini terlibat lain urusan lagi, yang menjadi sulit bagiku...”

“Apa?” tanya Cui Hong heran. “Inilah aku tidak pikir. Apakah yang ayahku tulis dalam suratnya itu?”

To Hoan tertawa tawar, separuh berpaling, ia pandang nona itu.

“Sekarang aku undang kau kemari, ini adalah untuk menuturkan kau sebuah dongeng,” katanya kemudian. “Dongeng ini tentunya ayahmu belum ketahui semuanya.”

Dan ia lantas mulai dengan dongengnya itu.

Dahulu kala ada satu hweeshio yang pandai ilmu silat, dan pintar sekali dalam soal agama. Pada masa itu masuklah satu bangsa lain ke Tionggoan dan memerintahnya. Karena itu negara menjadi kalut sekali.

Waktu itu hidup dua saudara angkat, si kakak hidup sebagai pedagang garam gelap, si adik menjadi pengemis. Kedua saudara ini berangan-angan besar. Mereka bercita-cita mengumpulkan tentara guna mengusir bangsa asing itu. Akan tetapi si hweeshio telah mendahului mereka, di Hoaysee dia telah mengerek bendera pemberontakan suci.

“Hweeshio tua itu mempunyai dua murid, ialah si penjual garam gelap sebagai kakak dan si pengemis sebagai adiknya,” In Lui menyelak.

Bersinar mata To Hoan, dia pandang tamu ini. Lantas ia tersenyum.

“Kau juga belum mengetahui jelas,” ia beritahu. “Hweeshio itu bukan mempunyai cuma dua murid, tetapi tiga. Siapa menuturkan kau dongeng yang tidak lengkap itu?”

“Untuk bicara terus terang, yang mendongengkan ialah orang yang hari ini kamu semua hendak menghadapinya,” sahut In Lui. “Dia sebenarnya hendak ceritakan aku tiga buah dongeng. Dongeng yang pertama ialah apa yang baru saja kau tuturkan. Dongeng yang kedua aku pun sudah ketahui. Tinggal dongeng yang ketiga, yang ia belum ceritakan padaku.”

Cui Hong menjadi heran, hingga ia awasi “suaminya” itu serta To Hoan dengan bergantian. To Hoan bersikap tenang, malah dia seperti sudah ketahui atau telah menduganya.

“Benar,” kata To Hoan kemudian. “Dibanding denganku, dia itu mengetahui terlebih banyak. Dongengku ini mungkin ada dongeng yang ketiga, tapi hanya sebagian saja.”

Cui Hong bertambah heran, wajah padam. Ia melirik pada In Lui, ia agaknya hendak sesalkan “suami” itu mengada dia sekian lama sudah bungkam saja terhadapnya.

“Oleh karena dia telah menceritakan dongeng itu, baiklah akupun tidak usah menyembunyikan lagi,” berkata pula To Hoan kemudian. “Penjual garam gelap itu adalah Thio Su Seng, dan si pengemis adalah Cu Goan Ciang. Dan si hweeshio tua, yang menjadi guru mereka adalah Peng Eng Giok.”

In Lui dan Cui Hong mengawasi, keduanya diam. Cui Hong nyata masih bingung.

Pit To Hoan lanjutkan ceritanya.

Peng Eng Giok itu masih mempunyai satu murid lain yang bernama Pit Leng Hie. Murid ini mengerti ilmu perang, dia cerdas sekali. Dia pernah ikuti gurunya merantau, dia pandai menyamarkan diri. Begitulah dia pernah menyamar sebagai hweeshio dan juga sebagai pengemis.

“Cu Goan Ciang itu, sebelum dia masuk ke dalam kalangan Ang Kin Koan, Tentara Pelangi Merah, pernah dia bekerja dalam pasukan suka rela gurunya itu, yang menjabat sebagai satu pemimpin kecil. Mungkin hal ini telah dituturkan orang itu kepadamu,” ia tambahkan pada In Lui.

Pada masa itu tentara kerajaan Goan ada tangguh. Sebaliknya tentara kaum pemberontak, yang bergerak dengan berbareng, jumlah tenaganya Peng Eng Giok tidak besar. Begitulah, beberapa kali Peng Eng Giok kena dikalahkan pasukan perang Goan, hingga keadaannya menjadi terancam bahaya besar. Cu Goan Ciang telah berpikir lain, untuk mewujudkan pikirannya itu, ia menanti ketikanya.Kembali Peng Eng Giok mendapat pukulan yang hebat. Inilah ketika yang baik bagi Cu Goan Ciang. Dengan akal muslihatnya, ia jual gurunya kepada musuh, ia sendiri, dengan air mata bercucuran, memperlihatkan diri sebagai seorang baik. Habis itu dengan membawa sisa tentara gurunya, ia pergi kepada pasukan Ang Kin Kun yang paling kuat, dengan siasat ni ia gunakan tentara itu sebagai modalnya untuk merebut negara.

Cu Goan Ciang menduga gurunya mesti terbinasa. Dugaan ini meleset. Gurunya itu diantar ke Pakkhia, kota raja bangsa Goan. Di tengah jalan, guru itu disusul Pit Leng Hie. Murid yang setia ini menggunakan segala macam akal, akhirnya berhasil juga dia menolongi gurunya, yang dia ajak menyingkir. Tentang pengalaman Pit Leng Hie itu, yang sulit sekali, tidak usah aku jelaskan disini.

Keadaan negara telah menjadi kacau sekali ketika itu. Peng Eng Giok dan muridnya tidak dapat kembali ke Kanglam, tapi mereka masih dapat mengumpulkan pengikut baru, untuk bangun pula. Di Utara ada tempat kedudukan tentara Goan, begitu Peng Eng Giok bergerak, begitu ia diserbu. Dalam satu pertempuran Peng Eng Giok terluka parah. Selagi hendak menghembuskan napasnya yang penghabisan, Peng Eng Giok berkata pada muridnya, “Seorang tak dapat lolos dari kematian, sekarang aku terbinasa di medan perang, inilah kemenangan yang terhormat. Cuma ada satu hal yang belum aku selesai lakukan, untuk itu aku minta kau yang menggantikan mengurusnya. Melihat keadaan, aku percaya bangsa Han akan bangun pula. Inilah sudah pasti. Diantara jago-jago yang sekarang sedang bergulat, yang mempunyai harapan untuk naik di tahta, menurut pandanganku, mesti kedua adik seperguruanmu, kalau bukan si Cu, tentu si Thio. Yang lain-lainnya tidak ada yang mempunyai ketika. Cu Goan Ciang berambekan besar dan cerdik sekali, tetapi dia bersifat buruk, dia tidak kenal budi kebaikan. Bukannya aku benci padanya, yang telah menjual aku, tapi sebenarnya aku tidak ingin dia yang menjadi raja. Dia dapat mencelakai rakyat negeri. Sejak muda aku telah merantau, mengembara di seluruh negeri, karenanya aku ketahui letak tempat, yang mana yang baik untuk mengumpulkan tentara. Maka itu aku telah menyiapkan sebuah peta bumi yang dibutuhkan oleh pergerakan tentara. Aku percaya, siapa memperoleh peta itu, dialah yang akan berhasil dalam usaha menjadi jago. Sekarang aku minta kau serahkan peta itu kepada Thio Su Seng.”

Pit Leng Hie terima pesan itu, dengan menerjang bahaya, dia berangkat ke Selatan. Sayang dia terlambat, waktu dia tiba di Selatan, perebutan kekuasaan sudah memberikan roman baru, yaitu Thio Su Seng telah terkurung di daerah Souwciu, dalam setiap saat dia dapat dimusnahkan. Tapi Thio Su Seng tidak ingin mati terkurung, dia hendak coba ketikanya yang terakhir. Dia telah tantang Cu Goan Ciang untuk melakukan pertempuran yang memutuskan di sungai Tiangkang.

Pit Leng Hie menganjurkan Thio Su Seng untuk menggunakan seantero kekuatannya yang masih ada, untuk menerjang keluar dari kurungan itu. Thio Su Seng tertawa dan berkata,” Mana bisa aku menghilang kepercayaanku terhadap si pengemis?” Dia lantas perintahkan memanggil tukang lukis yang kenamaan yang disuruh melukis panorama kota Souwciu. Dia gemar main catur, malam itu dengan sikap tenang, seperti biasa, dia ajak Pit Leng Hie main catur sambil menghadapi arak. Dia main terus sampai fajar menyingsing, pada waktu itu, selesailah gambar itu. Gambar itu dibuatnya indah dan jelas sekali, sampai bukit-bukit dan menara kota pun terlukis lengkap.

Sesudah itu Thio Su Seng menyembunyikan semua sisa harta bendanya, berikut pelbagai permata dan gambar pesan dari gurunya. Dia sembunyikan itu di suatu tempat yang dia rahasiakan. Tempat itu cuma terlihat di dalam gambar panorama itu. Gambar itu diserahkan pada seorang yang dipercaya, yang ia tugaskan untuk mengajak puteranya menyingkir di waktu malam. Pit Leng Hie berkesan sangat akan putusan dan perbuatan Thio Su Seng ini, dari itu ia mengambil keputusan untuk tidak meninggalkan kota. Dalam pertempuran yang memutuskan di Tiangkang itu, Pit Leng Hie mendahului Thio Su Seng terbinasa. Pit Leng Hie mempunyai satu putera, anak itu menyingkir diantara serdadu-serdadu yang lari kalang kabut. Syukur untuknya, pada akhirnya dia sampai di tempat yang selamat. Harta benda Thio Su Seng itu ada satu soal, akan tetapi yang sangat berharga adalah gambar panorama itu. Umpama ada seseorang yang mendapatkan itu, dia dapat bergerak dan nantin dapat perebutkan negara melawan anak cucu Cu Goan Ciang.

Cui Hong heran.

“Bagaimana dengan gambar itu?” dia tanya.

Belum nona ini menutup mulutnya, tiba-tiba, “srett!” lalu terlihat sebuah panah api warna biru melayang naik ke udara, pertandaan itu disusul dengan teriakan-teriakan, “Si mahasiswa berkuda putih telah datang!”

Suasana menjadi tegang, genting, akan tetapi Pit To Hoan bersikap tenang sekali. Ia berbangkit dengan ayal-ayalan. Sambil tersenyum, ia jawab si nona, “Gambar itu a di rumahmu, nona Cio. Mungkin sekarang gambar itu sudah berada di tangan si mahasiswa berkuda putih itu!”

Cui Hong ternganga, matanya mendelong.

Pit To Hoan tersenyum, dia berkata pula, “Isi surat ayahmu itu adalah menghendaki aku menemui si mahasiswa berkuda putih itu, sama sekali ayahmu tidak memohon bantuanku, lebih-lebih tidak untuk meminta aku membantu menuntut balas. Di dalam segala hal, ayahmu serahkan segala apa kepada keputusanku. Sebenarnya masih ada beberapa soal yang masih kurang jelas bagiku, sayang ayahmu tidak mau datang sendiri menemui aku. Maka itu, hari ini ia membuatnya aku sukar mengambil keputusan.”

Cui Hong melengak, In Lui pun terdiam. Justeru itu lalu terdengar suara tertawa dari Thio Tan Hong.

“Si mahasiswa berkuda putih itu sungguh seorang yang luar biasa!” berkata Pit To Hoan. “Ada baiknya untuk menemui dia.”

Lantas dia gerakkan kedua tangannya, tangan kiri menarik Cui Hong, untuk dengan perlahan-lahan mengajak mereka turun dari loteng.

Hati In Lui gelisah, ia merasa sangat tegang, karena selagi mendekati keluar, ia sudah mulai dengar riuhnya suara pertempuran. Segera sesampainya di luar, ia tampak Tiauw Im Hweeshio tengah bertarung dengan Thio Tan Hong.

Pendeta itu tersohor Gwa-kee kang-hunya, ialah ilmu luar yang telah sempurna, maka itu semua tetamunya Pit To Hoan berkumpul untuk menyaksikan pertempuran itu, yang dashyat sekali. Sian-thung dari si pendeta telah perdengarkan suara angin yang keras. Di pihak sana, tubuh si mahasiswa berkuda putih telah bergerak berkelebatan lincah sekali dan sinar pedangnya bergemerlapan bagaikan bianglala.

Untuk sekian lama, tidak ada tanda-tandanya akan ada keputusan siapa terlebih tangguh, siapa terlebih lemah. Tiauw Im Hweeshio kemudian perdengarkan seruannya, menyusul mana, ia perhebat gerakan tongkat panjangnya. Atas mana lawannya telah mengubah sikapnya, pedangnya tidak lagi bergerak sama cepatnya, kakinya juga mengambil kedudukan Ngo-heng Pat-kwa, ialah ia main mundur secara teratur.

Apabila ia telah menonton sekian lama, Pit To Hoan bersenyum.

“Ilmu tongkat Hok Mo Thung-hoat dari Tiauw-im Suheng telah mau pesat sekali,” katanya. Ia memberi nilai. “Akan tetapi ilmu pedang dari si mahasiswa berkuda putih, belum pernah aku melihatnya.”

Pertempuran berlangsung terus, sampai dua puluh jurus, selagi Tiauw Im tetap mendesak setindak demi setindak, sekonyong-konyong, terdengar suara “Trang!” dari beradunya senjata yang disusul dengan meletiknya lelalu-lelatu api.

“Sungguh pedang yang bagus!” memuji orang banyak.

Kedua senjata, tongkat dan pedang, telah bentrok dengan keras, sebagai kesudahan, tongkat si pendeta telah sempoak, hingga semua penonton menjadi terperanjat dan kagum, hingga tanpa merasa, mereka memberikan pujiannya.

Tiauw Im Hweeshio tampak lompat merangsak, tongkatnya menyambar lurus ke depan. Serangan tiba-tiba ini adalah suatu ilmu pukulan mematikan dari Hok Mo Thung-hoat, ilmu tongkat “Menaklukkan Hantu”. Itulah ilmu tongkat yang telah diyakinkan selama beberapa puluh tahun. Maka segera juga si mahasiswa berkuda putih seperti dikurung tongkat, di kiri-kanan, di atas dan dibawah, dia bagaikan tertutup.

In Lui berkuatir sekali, hingga tanpa disengaja ia perdengarkan seruan.

Mengakhiri deskannya itu, sekonyong-konyong Tiauw Im Hweeshio tertawa berkakakan. Sebab dengan tiba-tiba pedang si mahasiswa telah terlepas dari tangannya dan mental ke udara.

Karena kagum dan girang, semua penonton, yang terdiri dari jago-jago Rimba Hijau, telah perdengarkan seruan mereka yang gemuruh.

Tiauw Im sudah lantas tarik kembali tongkatnya, ia lompat keluar kalangan.

Thio Tan Hong juga lompat, akan tetapi ia mencelat tinggi, guna mengulur tangannya, guna menjemput pedangnya yang tengah jatuh turun, dengan demikian ia dapat ambil kembali pedangnya yang tajam itu.

Segera terdengar suara nyaring dari si pendeta, “Gurumu menjemukan! Tapi kau adalah orang muda dari kaum kita, maka itu tak dapat aku seorang yang tua, menghina yang muda. Nah, pergilah kau!”

Kata-kata itu membuat semua jago-jago Rimba Hijau heran, mereka saling mengawasi, sinar mata mereka semua merupakan tanda tanya satu dengan lain. Mereka juga lantas berbisik, saling menanya.

Cuma Pit To Hoan, yang nampak girang. Dia tersenyum.

“Makin lama soal menjadi makin aneh!” katanya. “Bagaimanakah maka mahasiswa berkuda putih ini bisa menjadi orang yang terlebih muda tingkatannya dalam kaum Tiauw Im Suheng? Tongkat tercacatkan, pedang telah terlempar, mereka ada paman guru dan keponakan murid, tetapi mereka bertempur seri. Sungguh-sungguh menarik!”

Thio Tan Hong sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia usap-usap gagang pedang itu. Dengan sikap yang tenang sekali, ia berkata dengan nyaring,” Aku yang muda, Thio Tan Hong, telah datang untuk memenuhi janji. Aku mohon bertemu dengan Pit Loo-enghiong!”

Cek Chungcu serta Kong Ciong, yang menjadi begal tunggal di Tay-koan, adalah orang-orang yang paling keras adatnya diantara hadirin itu, mereka tidak tunggu tuan rumah memberikan jawabannya, mereka sudah lantas mendahului muncul. Mereka ini masing-masing mencekal cambuk dan tiat-pay, dengan itu mereka maju menyerang, yang satu seperti menggulung, yang lain dari atas turun menindih.

Thio Tan Hong sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi ia tidak melakukan perlawanan atau balas menyerang, ia hanya berkelit. Ia melejit di antara dua senjata jago-jago itu.

“Tahan!” Pit To Hoan segera perdengarkan suaranya. “Siapa pun jangan turun tangan! Saudara Thio, silahkan turut aku!”

Nyaring suara tuan rumah ini.

Semua jago Rimba Hijau menduga, Cin-sam-kay hendak menandingi si anak muda.

Pit To Hoan lantas bertindak, untuk memimpin Thio Tan Hong ke belakang, ke taman bunga. Disini mereka jalan memutari gunung buatan, untuk menghampiri sebuah paseban di dalam mana ada stau meja batu. Di atas meja itu ada sehelai papan catur serta biji-bijinya yang letaknya tidak teratur, seolah-olah permainan belum berakhir.

“Lekas ambil dua poci arak!” To Hoan titahkan hambanya, kemudian dia tambahkan. “Panglima kenamaan gemar catur, ahli surat mencintai gambar lukisan, kesukaan ini, dahulu dan sekarang sama saja. Saudara, punyakah kau kegembiraan menemani aku si orang tua main catur untuk satu rintasan? Sayang disini aku tidak mempunyai lukisan indah yang dapat dipandang.”

Thio Tan Hong mengiringi tuan rumah itu, dia bersenyum, lalu ia menjura dengan dalam.

“Boanseng adalah seorang bodoh,” dia kata dengan merendah. Dia menggunakan kata-kata boanseng itu, yang berarti “orang yang muda”. “Tapi dengan mendengarkan nyanyian, tahulah aku maksudnya yang bagus itu. Boanseng membawa sehelai gambar, walaupun itu bukannya karya dari satu pelukis yang kenamaan, mungkin itu ada harganya juga untuk ditonton.”

Lantas ia keluarkan gambar yang ia ambil dari rumah Cio Eng, ia pajang itu di paseban tersebut.

Ketika Pit To Hoan memandang gambar itu, ia menghela napas panjang.

“Bila negara tak kurang suatu apa, aku kan kembali.....” katanya denga perlahan. Terus dia menambahkan,” Ketika dahulu gambar ini dilukis, mungkin orang telah menemaninya sambil main catur dan minum arak. Saudara Thio, kau ada dari keluarga terpelajar, silahkan kau pegang biji putih/”

Tingkah pola kedua orang ini membuat heran orang banyak. Bagaimana penting artinya Lok-lim-cian yang disiarkan, akan tetapi sekarang ini, mereka berdua bercokol memandangi gambar, bermain catur.

Tiauw Im tidak kurang herannya.

“Keponakan muridku ini sebenarnya belum pernah aku melihatnya, kenapa Cin-sam-kay ketahui dia ada dari keluarga sasterawan?” ia berpikir. “Kenapa dia ketahui orang pandai main catur?”

In Lui berada di samping pendeta itu, dia berpaling kepadanya seraya berkata, “Pasti saja dia mengetahuinya, oleh karena gambar itu ada gambar kota Souwciu!”

Tiauw Im terlebih heran.

“Kau belum pernah pergi ke Souwciu, kenapa kau pun ketahui itu?” dia tanya.

Cui Hong ada bersama mereka ini, dengan dingin dia berkata, “Pasti sekali dia ketahui!” Dengan “dia”, dia maksudkan In Lui.

Tiauw Im berdiam, ia terbenam dalam kegelapan.

Di paseban sebaliknya, kedua orang yang sedang main catur dengan tenang, asyik menceguk arak mereka. Semua orang mengawasi mereka dari kejauhan, semua terbenam dalam keheranan, hingga mereka jadi masgul sendirinya.

Pit To Hoan dengan biji hitamnya yang telah mengatur siasat “Yan siang hui”, “Burung walet terbang berpasangan”. Ia ambil kedudukan di satu pojok. Atas itu Tan Hong segera menyerang ke tengah, mengambil kedudukan “Thian-goan”, “Asalnya langit”.

“Ah, saudara, tak segan kau berebut sepotong daerah denganku?” kata Pit To Hoan yang terdesak. Ia berpikir lama, baru ia geser pula satu bijinya, akan tetapi Tan Hong bertindak seperti tanpa berpikir pula. Kembali dia pengaruhi lawannya.

Pertandingan berjalan terus, sampai setengah jam, habis itu, dengan keringatnya mengetel, Pit To Hoan berbangkit, dengan tangannya, ia sampok biji caturnya.

“Tak dapat aku lawan terus padamu....” katanya masgul.

Tan Hong berbangkit sambil tertawa.

“Terima kasih, kau mengalah!” katanya. Terus ia gulung gambar yang dipajang itu.

Semua orang heran, tetapi mereka bergerak.

Pit To Hoan dapat melirik sikap tetamunya itu.

“Saudara Thio, bukannya aku si orang tua tak tahu aturan,” ia lantas berkata, “karena kau telah mengundang begini banyak sahabat, tidak dapat tidak, mesti aku bertindak dengan turuti aturan. Saudara, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus ilmu pedang darimu..”

Sepasang mata Tan Hong bercahaya. Baginya, permintaan To Hoan ini seperti diluar sangkaannya. Tetapi tetap ia bersikap tenang. Terus ia menjura.

“Jikalau begitu, baiklah,” ia kata. “Aku minta loocianpwee menaruh belas kasihan terhadapku.”

Dari pojok tembok, To Hoan turunkan sepotong tongkat panjang.

“Tongkat pengemis ini dapat juga digunakan!” katanya.

Tan Hong sudah lantas ambil kedudukan di sebelah bawah.

To Hoan tahu orang tidak berani turun tangan terlebih dahulu, maka dia tak mau buang tempo lagi.

“Awas!” ia peringatkan. Terus ia menyambar pinggangnya si anak muda.

“Bagus!” seru Tan Hong sambil lompat, hingga tongkat Han-liong-pang, yang terbuat dari kayu hangliong yang kuat, lewat di bawah kakinya. Habis itu, tidak tunggu sampai tubuhnya turun menginjak tanah, pedangnya sudah menggantikan menyambar, menikam ke arah jalan darah hoa-khay-hiat. Itulah serangan 'Pek-hong koan-jit”, “Bianglala putih mengalingi matahari”.

“Bagus!” berseru To Hoan, sambil mundur, seraya menarik kembali tongkatnya, untuk dipakai menotok nadi orang.

Itulah serangan saling balas yang dashyat sekali.

Tan Hong tarik kembali tangannya berikut tubuhnya, akan menyingkir dari ancaman To Hoan. Ia telah gunakan tipu “Jit goat keng thian”, “Matahari dan rembulan melewati garis”.

“Bagus, saudara Thio!” Pit To Hoan memuji pula. “Sungguh lihai ilmu pedangmu!”

Selagi memberi pujian, jago tua ini ulangi serangannya dengan gerakan yang cepat.

Nampaknya tidak ada jalan untuk Tan Hong berkelit atau menangkis, ia sudah sangat terdesak, akan tetapi di saat ujung tongkatnya mengancam, tahu-tahu, “Trang!” demikian terdengar. Karena keberaniannya, si anak muda toh menangkis juga. Maka itu lelatu api pun muncrat.

Pit To Hoan kaget, hingga ia mencelat mundur, kalau tidak, ujung pedang yang menyambar terus, bisa mengenai tubuhnya.

Semua tetamu berseru kaget dalam hati mereka. Malah Tiauw Im Hweeshio turut merasa heran juga. Mungkinkah Tan Hong tidak dapat mempengaruhi pula pedangnya?

Melainkan To Hoan sendiri yang mendahului bahwa anak muda itu telah mengalah terhadapnya. Ia lantas periksa tongkatnya, tongkat itu tidak gompal. Ia tertawa.

“Pedangmu dan tongkatku sama-sama tidak rusak, mari, tak usah kau sungkan-sungkan!” ia menantang. Malah ia yang mendahului menyerang pula. Kali ini, ia berlaku lebih bengis pula.

Dengan sebat tetapi tenang Thio Tan Hong mengadakan perlawanan. Tongkatnya sangat mendesak, ia melayaninya dengan kegesitan tubuhnya, yang enteng sekali.

Cepat jalannya pertempuran, sebentar saja sudah lima puluh jurus.

Satu kali Tan Hong menyerang dengan tipu “Liong-bun kouw liong” di saat ujung pedang hampir bentrok dengan tongkat, mendadak To Hoan menarik kembali, akan balik menyambar ke arah pinggang.

Diserang secara demikian rupa, Tan Hong mendak, terus ia mencelat ke samping.

“Sayang! Sayang!” mengeluh orang banyak dalam hatinya.

Tiauw Im kembali heran. Ia tahu, bila tongkat diturunkan sedikit lagi, punggung atau kempolan Tan Hong mesti kena tersapu. Mungkinkah To Hoan juga tak dapat menguasai tongkatnya itu?

Cuma Tan Hong yang tahu, jago tua itu mengalah terhadapnya, seperti tadi ia mengalah terhadap orang tua itu. Selagi ia belum tahu pasti apa baik ia ulangi serangannya atau tidak, tiba-tiba ia dengar tuan rumah tertawa terbahak-bahak.



X



“Saudara Thio, ilmu pedangmu lihai, tetaplah hatiku ini orang tua!” To Hoan mengucap habis tertawa. Terus ia menikam dengan tongkatnya ke arah perut si anak muda, di depan mana ada melintang pedangnya.

Tan Hong menolak dengan pedangnya, untuk mengelakkan diri, dengan begitu kedua senjata jadi membentur satu dengan lain.

Tapi inilah gerakan untuk menyudahi pertempuran, untuk mengubah permusuhan menjadi persahabatan.

Selagi orang banyak heran, Pit To Hoan telah berkata dengan nyaring, “Saudara Thio, kau adalah sahabatku, maka itu, urusan bagaimana besar juga, dengan memandang mukaku, sukalah kau menghabiskannya!”

Terus ia lemparkan tongkatnya, lalu ia cekal tangan Tan Hong, untuk dituntun sampai di pintu luar, untuk mengantar sendiri orang pergi.

Sepasang mata Ciu San Bin berputar, semua jago Rimba Hijau pun menjadi tegang sendiri.

Dengan sikapnya yang tenang tetapi angker, To Hoan jalan berendeng dengan Thio Tan Hong. Ia tahu sikapnya San Bin dan tetamu-tetamunya, seperti tidak mengambil mumat, ia jalan terus. Ini ada cara agung dari orang kang-ouw mengantarkan tetamunya pergi pulang. Biar mereka tidak puas, San Bin dan tetamu-tetamunya membiarkan To Hoan mengantar Thio Tan Hong berlalu.

Di luar, kuda putih berjingkrakan dan berbenger.

Tan Hong hampiri kudanya itu, dengan sebelah tangan memegang gagang pedang, ia menjura kepada Pit To Hoan.

“Loopeh, terima kasih!” ia mengucap, menyusul mana tubuhnya mencelat naik ke punggung kudanya. Terus ia bersandung,” Di saat terancam dari Tiong-ciu, akan aku kembali, semoga negera nanti mengeluarkan jago yang pandai. Jikalau nanti datang hari dari gelombang tenang, ingin aku bersama kau mendaki panggung orang-orang cendekiawan.”

Ketika itu, mata pemuda she Thio ini bentrok dengan sinar mata In Lui, yang mengawasi kepadanya, tetapi terus ia keprak kudanya, untuk dilarikan, hingga sejenak kemudian hilanglah ia ari pandangan mata orang banyak, untuk melalui beberapa lie jauhnya.

Pit To Hoan terus mengawasi tetamunya yang muda dan gagah itu, akhirnya dia tunjukkan jempolnya dan memuji, “Sungguh agung! Dia dapat menangkan leluhurnya! Tidak kecewa Cio Eng mewakilkan dia menjaga selama beberapa puluh tahun!”

Ceecu Na Thian Sek lampaui orang banyak, akan menghampiri tuan rumah.

“Siapakah sebenarnya anak muda berkuda putih itu?” dia tanya. “Hong-thian-lui bersama Kim Too Ceecu telah mengirimkan panah Lok-lim-cian, adakah itu diakhiri secara begini saja?”

To Hoan alihkan pandanganya ke arah Cui Hong, ia tertawa.

“Nona Cio, mengertikah kau sekarang?” dia tanya. “Kakek guruku itu, Peng Hweeshio, mempunyai tiga murid. Murid yang kedua, Cu Goan Ciang, mulia kedudukannya, dia menjadi kaisar yang membangun Kerajaan Beng yang besar. Murid yang kesatu, Thio Su Seng, telah terbinasa dalam peperangan di Tiangkang, tetapi si anak muda berkuda putih ini adalah turunannya. Di antara ketiga muridnya itu, akulah yang paling tidak berguna, turun-temurun, kami tetap hidup sebagai orang biasa saja..”

Semua tetamu belum pernah mendengar riwayat keluarga she Pit ini atau dongengnya itu, mereka semua tidak mengerti.

“Apa? Apa kau kata?” tanya mereka. “Jadi si mahasiswa berkuda putih itu turunan Thio Su Seng? Hubungan apa yang ada antar Hong-thian-lui dengan dia itu?”

Cui Hong tidak perdulikan pertanyaan orang banyak itu, ia menghela napas.

“Ya, mengertilah aku sekarang,” ia sahuti tuan rumah itu. “Rupanya leluhurku dulu adalah orang kepercayaan yang menerima tugas dari Thio Su Seng untuk menyimpan gambar itu. Akan tetapi dia ini, adalah musuh besar dari In Siangkong....”

Pit To Hoan kerutkan alisnya.

:Maka itu telah kukatakan, masih ada sesuatu yang belum jelas bagiku,” ia berkata, “dan ini adalah satu diantaranya. Dalam surat ayahmu itu tidak dituliskan sesuatu.....In Siangkong, bagaimana caranya maka kau jadi bermusuhan degnan dia itu?” ia terus tanya In Lui.

Pucat muka orang yang ditanya itu, air matanya berlinang. Sekian lama, ia berdiam saja.

Semua orang makin heran, ada pula yang bertanya.

“Marilah kita berbicara di dalam,” akhirnya To Hoan mengajak.

Mereka kembali ke ruang dalam, untuk duduk. Sekarang ia ingin memberikan keterangannya.

“Pada waktu dahulu, tiga saudara angkat telah bersama-sama mengangkat senjata,” ia jelaskan, “lalu belakangan, cuma satu yang berhasil membangun negara. Berbicara sebenarnya, aku pun tidak puas. Adalah aturan dalam keluargaku, anak-anak kami mesti hidup sepuluh tahun sebagai pendeta dan sepuluh tahun sebagai pengemis. Inilah peringatan leluhur kami yang pertama, kedua kami diberi ketika untuk merantau di seluruh negeri, guna mencari gambar yang mempunyai hubungan dengan usaha pembangunan negara, supaya setelah mendapat gambar itu, kami bisa berdaya untuk dengan anak cucunya Cu Goan Ciang memperebutkan kegagahan. Sekarang ini tidak usah aku bersusah hati pula, selanjutnya anakku tak usah lagi menjadi hweeshio, tak usah lagi menjadi pengemis!”

“Apakah artinya kata-kata kau ini, Pit Loo-enghiong?” tegas Na Ceecu.

Pit To Hoan tertawa sedih, ia menyahut,” Pada jaman dahulu Hong Jiam Kek bercita-cita mengendalikan negara, dia telah main catur dengan Lie Si Bin, belum sampai satu rintasan, atau dia telah mengaduk-aduk biji caturnya, dia kata, tak dapat lagi dia memperebutkan negara. Nyata ia telah putus asa, kalah dari Lie Sie Bin. Aku tidak berangan-angan besar sebagai Hong Jiam Kek itu, sebab dahulunya aku tidak tahu diri, aku masih memikir, setelah aku berhasil mendapatkan gambar itu, hendak aku bergerak, untuk memburu menjangan di Tionggoan. Tapi sekarang ini, ikhlas aku, aku menyerah kalah terhadap Thio Tan Hong. Gambar itu telah bertemu dengan pemiliknya yang sah! Bukankah kamu telah mendengar syair Thio Tan Hong itu, yang ia ucapkan tadi. Bagaimana besarnya cita-citanya! Dengan menuruti petunjuk dalam gambar itu, Thio Tan Hong hendak menggali harta besar yang dipendam leluhurnya dulu, dengan menggunakan peta buminya itu, dia mencoba bergerak, untuk sekali lagi memperebutkan negara dengan anak cucunya keluarga Cu!”


San Bin habis sabar, ia berjingkrak.

“Hanya aku kuatir dia nanti persembahkan negara kepada bangsa asing!” katanya dengan dingin.

“Apa kau kata?” tanya To Hoan dengan tenang.

“Pit Loo-cianpwee, apakah kau masih belum ketahui?” San Bin balik menanya, hatinya masih sangat mendongkol. “Ayah si pemuda berkuda putih itu, Thio Cong Ciu, berada di negara Watzu dimana dia menjadi perdana menteri muda. Sekarang ini usaha negara Watzu untuk menerjang masuk ke negeri kita di depan mata, dia telah datang seorang diri kemari, jikalau dia bukannya mata-mata, habis lebih berbahaya daripada mata-mata umumnya! Coba pikir, kalau dia berhasil mendapatkan peta negeri itu, mungkin wilayah kita yang bagus letaknya, akan berada dalam telapak tangannya, dia dapat melihat dengan tegas, jikalau peta itu diserahkan kepada bangsa Watzu dan bangsa itu mengerahkan angkatan perangnya menuruti petunjuk peta itu, dapatkan Tionggoan melakukan perlawanan?”

Wajah Pit To Hoan berubah menjadi pucat.

“Benarkah apa yang kau katakan ini?” tanyanya.

“Sedikitpun aku tak dusta!” sahut San Bin. “Kami ayah dan anak telah mengerek bendera Jit Goat Kie, kami menentang bangsa Tartar, umum telah ketahui, maka dalam urusan demikian besar, mana dapat aku omong kosong! Demikian sakit hati yang besar dari In Siangkong ini, itupun disebabkan si pengkhianat besar Thio Cong Ciu! Adik Lui, coba kau ceritakan semua kepada orang-orang gagah ini!”

Tak tahan In Lui akan kedukaannya, mendengar perkataan San Bin itu, ia menangis, hingga tak dapat ia bicara.

“Jangan berduka, adik Lui, “ San Bin menghibur. “Pit Loo-cianpwee dan semua orang gagah ini pastilah akan berbuat sesuatu untukmu. Baiklah aku yang mewakilkan kau menuturkannya.”

Segera San Bin ceritakan halnya In Ceng disiksa menggembala kuda di negara asing, bagaimana In Ceng itu teraniaya dalam perjalanan pulang dan lainnya.

Mendengar semua itu, To Hoan rubuhkan diri dalam kursinya.

“Pantas keluargaku mencari turunan Thio Su Seng dengan sia-sia saja,” katanya selang sekian lama, “sedikit juga kita tidak dapat mengendus, kiranya dia telah pergi jauh ke padang pasir.”

Tiba-tiba jago tua ini lompat bangun, nampaknya ia murka.

“Benarkah Thio Su Seng mempunyai anak cucu demikian buruk?” tanya dia. “Melihat roman Thio Tan Hong, mana pantas dia menjadi satu pengkhianat?'

“Ada bapaknya mesti ada anaknya!” kata San Bin. “Dengan melihat tabiatnya saja mana bisa diputuskan dia sebenarnya manusia macam apa?”

Muka To Hoan menjadi merah, matanya menyala, seolah-olah hendak menyemburkan api.

“Jikalau demikian, akulah yang keliru!” akhirnya dia berseru.

Baru San Bin hendak melanjutkan, Tiauw Im telah menyambungi dia.

“Loo-toako, aku katakan kau keliru,” kata pendeta ini. “Thio Cong Ciu itu memang benar satu pengkhianat besar! Pernahg aku mendatangi negara Watzu itu dan karenanya pernah aku tercelakai dia!”

Pit To Hoan tunduk, tapi masih ia mengatakan dengan perlahan, “Aku salah! Apa benar aku salah?”

Melihat sikap orang, San Bin berkata pula.

“Pit Loo-cianpwee,” katanya, “mungkin karena kekeliruan kau, dan kurang perhatian, kau kena dikelabui pengkhianat itu. Thio Tan Hong telah mengundang semua orang gagah datang ke rumahmu, ia tentunya telah perhitungkan masak-masak, mungkin ia pergunakan kau sebagai tameng, supaya kau dapat menolongi dia memberi keterangan, untuk memecahkan kesulitannya, supaya selanjutnya kaum Rimba Hijau tidak lagi menyusahkan padanya.”

“Hm!” jago tua itu perdengarkan suaranya, “apabila dia benar-benar pengkhianat, pasti akan aku binasakan dia dengan tanganku sendiri!”

Matnaya lantas bersinar, tapi wajahnya tetap penuh keragu-raguan.

San Bin tahu orang tentu belum percaya penuh padanya, masih ia hendak meyakinkannya, tetapi selagi ia hendak membuka mulutnya, ia lihat tuan rumah itu pergi keluar sambil memanggil, “Mana orang!” terus dia perintahkan satu pegawainya, “Lekas kau selidiki, apakah orang yang aku titahkan sudah kembali atau belum?” Habis itu, ia kembali ke dalam sambil mengatakan, “Kalau dilihat begini, mungkin di depan mata kita ini akan terbit ancaman bahaya besar!”

Semua hadirin menjadi heran.

“Ancaman bencana apakah?” tanya mereka yang tak mengerti. “Kita berjumlah banyak disini, bencana apakah itu? Mungkinkah kita tidak dapat menentangnya?”

“Saudara-saudara, kamu masih belum mengetahui jelass,” sahut Pit To Hoan dengan penjelasannya. “Keluargaku adalah keluarga yang menjadi musuh turunan besar dari kaisar Kerajaan Beng. Di masa hidupnya Cu Goan Ciang pernah mengumumkan titah rahasia untuk membasmi sampai di akarnya kedua keluarga Thio dan Pit. Keluarga kami menjadi pendeta dan pengemis selama turun-temurun, sebabnya, kecuali alasan-alasan yang pernah aku sebutkan, satu alasan lainnya adalah guna melindungi diri dari ancaman bahaya itu. Bersyukur kepada leluhurku, berkat perlindungannya, beberapa turunan kami telah selamat tidak kurang suatu apa dan belum pernah kami dapat diendus pemerintah. Atau mungkin karena aku pernah merantau, nama kosongku telah mengundang ancaman bahaya. Ialah sejak beberapa tahun yang lalu, aku tahu ada 'elang dan anjing' yang memperhatikan diriku. Itulah sebabnya kenapa aku mengambil tempat yang sepi ini untuk menyembunyikan diri. Tapi aku rasa aku belum bebas. Beberapa hari yang lalu, telah datang beberapa orang asing yang tidak dikenal. Menurut orang-orang kampung, mereka itu telah menanyakan asal-usulku. Aku percaya, mereka adalah kaki-tangan pemerintah. Baiklah aku bicara terus-terang, beberapa hari yang lalu, aku berniat untuk pindah dari sini, akan tetapi karena Thio Tan Hong menjanjikan untuk membuat pertemuan disini, aku telah menunda kepindahanku itu. Umpama kata pemerintah mengetahui kita akan berkumpul disini, pasti kaisar she Cu itu mengirimkan orang-orangnya yang pandai untuk membekuk kita! Bukankah mereka dapat menggunakan jaring untuk meringkus kita semua?”

Mendengar ini, semua tetamu-tetamu jago Rimba Hijau, jadi bimbang. Dugaan To Hoan masuk diakal.

Cek Po Tiang, yang pernah dikalahkan Thio Tan Hong lantas berkata, “Apakah betul urusan begini kebenaran? Ya, aku percaya, inilah jebakan yang diatur si bangsat kecil berkuda putih itu!”

To Hoan berpikir keras, tidak dapat ia bicara.

“Sungguh mencurigakan!” Na Ceecu turut mengutarakan pikirannya.

“Bagaimana anak cucunya Thio Su Seng dapat bekerja sama dengan pemerintah?” To Hoan kemukakan pula kesangsiannya.

“Jangan ragu-ragu, loo-cianpwee!” kata Ciu San Bin. “Thio Cong Ciu ayah dan anak bisa menjadi mata-mata bangsa Watzu, maka itu, mereka pasti juga bisa menjadi mata-mata pemerintah! Orang sebangsa dia, apa yang dia tidak dapat lakukan?'

“Benar!” Tiauw Im campur bicara. “Thio Cong Ciu itu pernah berhubungan surat-menyurat dengan dorna kebiri Ong Cin, inilah aku ketahui!”

Pit To Hoan buat main kumisnya, ia berpikir keras.

“Sebenarnya aku tidak menduga jelek terhadapnya,” katanya kemudian, “tapi sekarang, mendengar keteranganmu, Ciu Hiantit, benar-benar sulit untuk aku mengambil keputusan. Ah, urusan ada begini suram, sulit untuk dipecahkannya. Mungkinkah Thio Tan Hong menggunakan akal memperlambat gerakan pasukan guna mencegah kepindahanku supaya kaki tangan pemerintah keburu datang untuk melakukan penangkapan? Ah, benar-benar, tahu manusia, tahu mukanya, tak tahu hatinya! Apakah aku telah keliru melihat orang?”

Pit To Hoan cerdas, ia pandai melihat segala apa, hari ini adalah untuk pertama kalinya ia terbenam dalam kesangsian hingga tak dapat ia segera mengambil keputusan.

Ciu San Bin mengumbar hawa amarahnya.

“Urusan ini jangan disangsikan pula!” katanya dengan nyaring. “Pastilah sudah, ini ada jebakan yang dipasang Thio Tan Hong! Maka sekarang marilah kita bicarakan daya untuk mengadakan perlawanan terhadapnya!”

Riuh suara para tetamu itu, mereka masing-masing mengutarakan pikiran mereka. Ada yang menghendaki menunggu datangnya musuh, untuk memberikan perlawanan. Ada yang menganggap, lebih baik menyingkir terlebih dahulu, supaya nanti mereka dapat lantas menyiarkan panah Lok-lim-cian secara luas, guna mengumpulkan semua anggota Jalan Hitam di Selatan dan Utara, guna bersama-sama menghadapi Thio Tan Hong itu, sedikitnya Thio Tan Hong harus dikurung, hingga sulit baginya untuk angkat kaki satu tindak saja.

Pit To hoan menjadi bergelisah, masih ia bersangsi, sedang suara para hadirin itu, hampir semuanya menentang Thio Tan Hong. Diantaranya, cuma In Lui seorang, yang duduk diam diatas kursinya. Dia sangat berduka, air matanya masih berlinang. Menampak sikap orang itu, ia menjadi curiga.

“Bicara tentang permusuhan, dialah yang bermusuh paling hebat dengan Thio Tan Hong,” ia berpikir. “Kenapa sekarang dia diam saja? Apakah disini terselip suatu urusan lain?”

Tiba-tiba ingin To Hoan menghampiri In Lui, untuk bicara dengannya, bicara berdua saja, tetapi waktu itu, orang ramai berbicara, ruang menjadi berisik, tak ada kata-kata yang terdengar nyata. Maka itu, tuan rumah ini kerutkan sepasang alisnya.

Dalam keriuhan itu, sekonyong-konyong orang mendengar kuda berbenger.

“Si bangsat kecil berkuda putih datang pula!” tiba-tiba ada yang bersuara.

Sekejap saja, ruang menjadi sunyi, ketegangan muncul sebagai gantinya.

Suara kelenengan kuda pun lantas terdengar nyata, makin lama makin dekat.

Pit To Hoan lompat bangun, dia lari keluar.

Satu penunggang kuda tengah mendatangi! Dialah Thio Tan Hong! Mukanya pucat, penuh dengan keringat. Begitu sampai, ia lompat turun dari kudanya, menghampiri tuan rumah.

“Sie-peh, lekas lari!” katanya cepat, singkat.

To Hoan mengawasi dengan mata mendelik.

“Bagus!” ujarnya dingin. “Lelakon apa lagi kau mainkan?”

Tan Hong melengak, mukanya menjadi pucat, tapi segera ia dongak, akan tertawa bergelak-gelak.

“Langit yang tinggi, siapakah yang kenal aku?” katanya, lalu ia teruskan,” Tuan Pit, pada saat ini tak ingin aku memainkan lidah, untuk kau mempercayai aku, aku cuma mohon, lekas kau pergi, untuk menyingkirkan diri! Tentara negeri terpisah kurang lebih sepuluh lie lagi dari sini!”

Inilah To Hoan tidak sangka, ia menjadi sangat gusar.

“Bagus!” serunya. “Aku akan adu jiwaku, akan aku siram tanah dengan darah! Untuk membuat kau.....”

Dalam keadaan yang sangat murka, tak dapat To Hoan melanjutkan kata-katanya. Sebenarnya hendak ia mengucapkan, “....berhasil!” Tapi berbareng dengan itu, sekarang ia dapat melihat lebih nyata. Ia tampak pakaiannya kecipratan darah, mukanya tegang. Maka itu, dapatkah pemuda ini mendusta.

Selagi orang berdiam, Tan Hong berkata pula, “Aku baru sampai belasan lie di luar kampung ini ketika aku berpapasan dengan pasukan serdadu pemerintah. Kita bentrok. Aku rubuhkan dua diantaranya! Mengandal kepada kudaku ini, yang larinya keras, aku kembali kesini, untuk menyampaikan kabar...”

“Sret!” demikian terdengar satu suara, yang disusul dengan suara menghembus. Dan panah api sudah menyambar ke arah Thio Tan Hong.

Hwee-sin-tan Cek Po Ciang sangat gusar, maka itu, belum sampai ia lompat maju, panah apinya, coa-yam-cian, telah ia lepaskan.

Menyusul ini beberapa orang lompat maju, diantaranya Na Ceecu dari Im-ma-coan.

“Bocah cilik!” dia mendamprat. “Apakah kau sangka kami bertiga anak-anak kecil, hingga dapat kau permainkan?” Dan tidak memberikan ketika untuk orang membela diri, ia maju terlebih jauh.

Empat-lima orang lainnya juga merangsek maju.

“Binatang cilik, kau ngaco belo!” mereka itu mencaci. “Siapa yang hendak kau dustai? Kau mesti dibunuh dulu, baru kita labrak tentara negeri! Jangan harap kau bisa jaring kita semua! Tak gampang!”

Cacian ini membikin yang merangsek makin banyak, di lain saat, Tan Hong telah dikurung, diserang pelbagai macam senjata.

Mau atau tidak, terpaksa pemuda itu harus menggunakan pedangnya, untuk membela diri. Diantar suara “trang...trang” banyak kali, terlihatlah beberapa senjata terbabat kutung oleh pedang pemuda itu, hingga kurungan itu nampak sia-sia saja. Siapa tak bersenjata, ia terpaksa mesti muncul.

Menampak demikian, San Bin tolak tubuh In Lui.

“Lekas maju!” dia menganjurkan. “Gunakan pedangmu untuk melawan dia!”

Tanpa merasa orang she In ini menghunus pedangnya, ia menyerbu ke dalam kurungan.

Tan Hong berkelebatan di antara pengepung-pengepungnya, baju putihnya pun beterbangan, sambil terus melindungi diri, ia berteriak-teriak pula, “Kamu lihat kudaku! Jikalau benar aku memihak tentara negeri, mana bisa kudaku terluka demikian?”

Orang-orang menoleh dan mereka dapatkan, pada sebelah kaki kuda itu tertancap dua batang anak panah. Itulah anak panah tentara negeri.

Orang-orang kaum Rimba Persilatan sangat menyayangi kuda itu, apapula poo-ma, kuda mestika atau jempolah seperti Ciauw-ya Say-cu-ma, maka itu, tertarik hati mereka. Mereka sayangi kuda itu, yang anak panahnya belum sempat dicabut Tan Hong, sebab perlu ia lekas-lekas memberi kabar.

“Siapa tahu jikalau ia tidak lagi menggunakan akal menyiksa diri?” teriak Hwee-sin-tan Cek Po Ciang, yang ingat kepada “Kouw-ciok-kee”, tipu daya mempersakiti kulit daging. Dan dengan cambuknya, ia menyerang.

Tan Hong tangkis serangan itu, yang hebat, menyusul mana, cambuk itu terpapas kutung ujungnya.

“Maju!” San Bin menganjurkan pula.

Adalah di saat itu, In Lui telah datang dekat si anak muda, yang terus ia serang dengan pedangnya.

Tan Hong terkejut, mukanya menjadi pucat. Ia tidak mau melayani berkelahi, malah menangkis pun tidak, dengan kesebatannya, ia berkelit, terus ia menjauhkan diri.

Poo Ciang lihat cara orang berkelahi, ia menyangka orang telah mulai jerih, dengan sengit, ia merangsek pula. Mulanya ia putar cambuknya, habis itu, ia menyerang. Mulanya ia mengancam keatas, dengan tipu “Soat hoa kay teng”, “Kembang salju menutupi kepala”, setelah itu, ia menyambar kebawah dengan “Kouw sie poan kin”, “Pohon tua terbongkar akarnya.”

Tan Hong tangkis serangan itu. Akibatnya adalah satu suara nyaring terdengar dari terkutungnya cambuk itu menjadi dua potong, hingga selanjutnya, senjata itu tidak dapat digunakan lagi.

In Lui menghampiri pula si anak muda, seperti orang tak sadar akan dirinya, kembali ia menyerang, tapi pedangnya kali ini seperti tertahan di udara, turun tidak, ditarik pun tidak.

Thio Tan Hong berteriak pula, “Api sudah membakar alis, kenapa kamu masih belum hendak angkat kaki? Kenapa kamu masih libat aku?”

“Cis, kau hendak gertak kita dengan tentara negeri?” Na Ceecu mengejek. “Kita justeru ada orang-orang yang menjadi besar diantara golok dan tombak tentara negeri itu! Maju!”

Dan ia maju sambil anjurkan kawan-kawannya.

Thio Tan Hong memutar diri, pedangnya pun berputaran. Dengan cara itu hendak dia mencegah serangan.

“Mereka yang datang itu adalah rombongan pahlawan Kim-ie-wie dari kota raja!” dia masih berteriak, memperingatkan. “Apa kamu sangka mereka ada pasukan serdadu yang biasa? Mungkin juga bersama mereka datang tiga ahli silat terbesar dari kota raja!”

Kim-ie-wie adalah pasukan pahlawan berjubah sulam, dan tiga jago yang Tan Hong maksudkan adalah Kim-ie-wie Cie-hui Thio Hong Hu, komandan barisan pahlawan berseragam sulam itu, gie-cian Siewie Hoan Tiong, pahlawan pengiring raja dan Lwee-teng Wie-su Khoan Tiong, pahlawan dari keraton. Mereka asalnya tiga jago Rimba Persilatan, mereka kosen dan sangat terkenal, hingga mereka disebut “Keng-su Sam Toa Kho-ciu” yaitu tiga jago silat dari kota raja.

Mendengar seruan orang yang terakhir ini, barulah orang-orang Rimba Hijau itu terperanjat. Memang berbahaya kalau di pihak pahlawan Kim-ie-wie, yang tidak boleh dipandang ringan, terdapat juga tiga jago kenamaan itu. Mereka tercengang.

Waktu itu kuda Thio Tan Hong memperdengarkan suara nyaring. Ia telah dirintangi Tiauw Im Hweeshio, yang menghalang di depannya. Ia berbunyi karena luka dikakinya terasa sakit.

Melihat kuda itu terluka, Pit To Hoan berpikir.

“Kuda ini kuda pilihan, larinya pesat dan kencang sekali, sekarang dia kena panah sampai dua kali, benar heran! Orang yang sanggup memanah kuda ini, kalau bukan ketiga jago yang barusan disebutkan itu, mesti ada orang gagah luar biasa lainnya! Maka itu, apa yang dikatakan bocah ini, lebih baik dipercaya daripada tidak!”

Dalam kesangsian itu, To Hoan masih dengar pula keterangan Tan Hong.

“Di belakang pasukan Kim-ie-wie itu masih ada satu barisan besar tentara Gie-lim-kun!” demikian si mahasiswa. “Jikalau yang hendak ditawan cuma Tuan Pit seorang saja, untuk apa dikerahkan begitu banyak tentara? Jikalau Gie-lim-kun memecah kekuatannya, untuk menyerbu pesanggrahan tuan masing-masing, bagaimana nanti tuan-tuan melayani mereka?”

Benar pengaruh perkataan ini, lantas sebagian kecil tetamu yang dengan tersipu-sipu pamitan dari Pit To Hoan, dengan naiki kudanya masng-masing mereka kabur pulang.

Tapi San Bin menjadi sangat mendongkol dan murka.

“Pengkhianat, kau main gertak!” dia berteriak. “Kau bukannya pemimpin pasukan Gie-lim-kun itu, cara bagaimana kau ketahui siasat mereka mengatur tentara? Pastilah kau koncoh mereka!”

Thio Tan Hong melengak, dia tertawa terbahak-bahak. Lalu dengan gerakan “Pat-hong hong ie”, “Hujan angin di empat penjuru”, ia halau senjata Na Thian Sek, Cek Po Cun, dan San Bin sekaligus. Ia masih tertawa pula dan berkata, “Kecewa ayahmu yang pernah menjadi panglima perbatasan! Andaikata kau benar belum pernah membaca kitab perang, mestinya kau mengerti ilmu perang walupun hanya sedikit! Siapa menjadi panglima perang, dia harus dapat menerka peraturan musuh, dia mesti faham akan pertahanan pihak sendiri, atau paling sedikit ia mesti melihat gelagat. Kau menyebut aku pengkhianat, tapi sekarang kita berhadapan dengan musuh yang berjumlah besar, apa tidak bodoh kalau kamu mencelakai diri sendiri karena aku seorang?”

Belum sempat Tan Hong menutup mulutnya, sebagian pengurungnya telah mengundurkan diri, untuk angkat kaki.

Muka Ciu San Bin menjadi merah, ia malu dan mendongkol.

“Pesanggrahanku bukan disini, aku juga tidak takut tentara negeri nanti mengurung aku!” ia berteriak dalam murkanya. “Masih hendak aku mencoba ilmu pedangmu! Adik Lui, maju!”

In Lui tangkis pedang Tan Hong, untuk disampok, atas mana San Bin membacok.

Tan Hong tersenyum. Pedangnya tidak mental atas sampokan In Lui, sebaliknya, dengan dibantu gerakan tangan kiri, ia sambarkan itu ke arah San Bin, dari bacokan siapa ia berkelit. Suara “Trang!” segera terdengar, lalu tanpa dia merasa, orang she Ciu itu kehilangan goloknya, yang telah terlepas dari cekalannya dan jatuh ke tanah.

Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia mengerti, maka diam-diam ia angguk-anggukkan kepalanya.

“Jikalau Thio Tan Hong turun tangan sungguh-sungguh, San Bin mesti terbinasa atau sedikitnya terluka,” ia berpikir. “Semua orang yang mengepung Tan Hong, tertabas senjatanya, dari sepuluh, sembilan yang terkena.”

Sementara itu si kuda putih masih terhalang Tiauw Im, tak henti-hentinya dia perdengarkan suaranya. Menampak demikian, To Hoan maju, mulutnya perdengarkan suara meniru benger kuda, kemudian sambil menggerakkan tangan kirinya, ia lompat untuk mendekati kuda itu.

Kuda putih itu cerdas sekali, dia seperti tahu orang bermaksud baik, dia taruh keempat kakinya di tanah, tidak lagi dia berlompatan atau berjingkrakan, maka To Hoan dapat menghampiri untuk segera mengusap-usap lehernya, setelah mana, dengan tangan kanan, cepat bagaikan kilat, orang she Pit ini mencabut kedua anak panah yang nancap dipahanya dan kemudian dengan tak kurang sebatnya, ia obati luka itu.

Sebagai seorang kang-ouw ulung, Pit To Hoan mengerti segala apa, sampai sifat kuda dan cara mengobatinya.

Tiauw Im tercengang bahna kagumnya.

San Bin di lain pihak sudah memungut pula goloknya, untuk bersama Thian Sek mengepung pula lawannya. In Lui pun, dengan bengis, melakukan serangannya berulang-ulang.

Tak tenang hati To Hoan menyaksikan pertempuran macam itu.

“Saudara Thio, ini kudamu!” akhirnya ia teriaki Tan Hong. “Lekaslah kau berlalu!”

San Bin terkejut, ia berpaling, ia lihat To Hoan tengah menolak minggir pada Tiauw Im Hweeshio, akan membiarkan kuda putih lari ke arah majikannya.

Cek Po Ciang menjadi gelisah.

“Pit Loo-enghiong, harap kau pikir masak-masak!” ia serukan tuan rumah itu. “Membekuk harimau mudah, melepaskannya berbahaya!” ia peringatkan.

Pit To Hoan seperti tidak mendengar perkataan orang.

“Saudara Thio, aku mengerti kau, aku terima kebaikanmu!” masih ia berkata pada Tan Hong. “Luka kudamu tidak parah, lekaslah kau pergi!”

Karena heran, Na Thian Sek mundur, untuk menghentikan serangannya. Melihat demikian, In Lui pun lompat kesamping. Karena ini, Ciu San Bin turut mundur beberapa tindak.

Thio Tan Hong tersenyum, separuh bersenandung, ia berkata, “Persahabatan dari beberapa turunan benar berharga, tapi persahabatan pada suatu saat lebih berharga pula....Pit Loopeh, jangan kau perdulikan aku, lekas-lekas kau singkirkan dirimu!”

“Keluargaku besar, aku pun masih harus berbenah,” sahut Pit To Hoan. “Baiklah kau sendiri yang menyingkir terlebih dahulu! Eh, Na Ceecu, Cek Chungcu, juga engkau Ciu Hiantit, lekas-lekas kamu angkat kaki! Tentang Tan Hong, tak usah kau pedulikan pula!”

Na Thian Sek bingung, akan tetapi tanpa mengucap sepatah kata, ia naik keatas kudanya, untuk segera berlalu.

Cek Po Ciang berdiri menjublak, masih ia belum mengerti.

San Bin juga berdiri diam dengan goloknya di tangan, ia masih memikir, kemudian, selagi ia berniat membuka mulutnya, sekonyong-konyong ia dengar suara sangat riuh dari datangnya pasukan tentara dan tindakan ratusan ekor kuda, menyusul mana, anak-anak panah sudah lantas menyambar saling susul, suaranya keras menderu-deru. Bagaikan bukit ambruk, demikian seruan tak putusnya dari tentara negeri, yang mendatangi sangat pesat.

Wajah Pit To Hoan menjadi pucat pasi.

“Lekas!” ia teriaki pengurus rumah itu. Kemudian, dengan suara sangat berduka, ia menambahkan, “Kamu semua tidak mau siang-siang angkat kaki, sekarang sungguh sukar!”

Kampung halaman si orang she Pit dikurung bukit-bukit, dari suatu jalan bukit terlihat tiga orang mendatangi dengan cepat seperti bayangan, di belakang mereka ada beberapa puluh penunggang kuda yang muncul dari antara lembah. Lantas ketiga penunggang kuda itu menghampiri mereka, untuk perlihatkan diri di depan mereka. Habis itu, mereka semua lantas menuju kearah rumah Pit To Hoan.

Jauh di belakang seperti terdengar adanya banyak tentara lainnya, yang tengah mendatangi.

Menampak datangnya musuh, Pit To Hoan tertawa berkakakan. Segera ia maju, untuk memapak ketiga penunggang kuda itu serta barisan mereka.

“Apakah harganya aku si orang tua she Pit dengan beberapa potong tulang-tulangnya yang telah tua?” berkata ia. “Sam-wie tayjin, berhubung dengan kunjunganmu itu, aku merasa beruntung!”

Dari ketiga perwira itu, yang di tengah mempunyai “alis pedang” dan “mata harimau”, romannya bengis. Ia adalah Thio Hong Hu, ciehui atau komandan dari pasukan pahlawan bersulan Kim-ie-wie. Ia kesohor dengan ilmu golok Ngo-houw Toan-bun-too, “Lima harimau mencegat pintu”.

Orang yang berada di sebelah kiri komandan ini bermuka hitam bagaikan pantat kuali, kumisnya pendek dan kaku. Dia adalah Gie-cian Sie-wie Hoan Tiong, pahlawan kaisar. Sedang yang berada di sebelah kanan, yang wajahnya kuning gelap dengan mata yang belo, adalah ahli silat dari keraton ialah Khoan Tiong yang kenamaan.

Hoan Tiong pada belasan tahun yang lampau pernah mengenal Pit To Hoan, maka itu ialah yang mulai bicara.

“Pit Toaya, kami datang atas titah Sri Baginda,” demikian katanya, “maka itu, aku minta janganlah kau sesalkan aku. Kami minta sukalah kau turut berjalan bersama kami. Tidak nanti kami membuat kau susah.”

Pit To Hoan menyambut dengan tertawa dingin, ia telah memikir untuk memberikan jawabannya ketika ia dengar Thio Hong Hu tertawa bergelak-gelak sendirinya, setelah mana, dia berkata jumawa, “Hoan Hiantee, bukankah sia-sia belaka kata-katamu ini? Kau tahu macam apa Cin-sam-kay yang kenamaan itu? Mana dia mau menyerah begitu saja? Maka baiklah kita bicara terus terang kepadanya!” Lalu dia pandang Pit To Hoan dan melanjutkan, “Pit Toaya, untuk urusan kita hari ini, tak dapat tidak mesti kita turun tangan! Oleh karena itu, silahkan kau hunus senjatamu, mari kau berikan pengajaranmu beberapa jurus! Jikalau kau dapat layani golokku ini, tak perduli urusan bagaimana besar pun, aku berani bertanggung jawab, untuk membiarkan kau angkat kaki! Tentang saudara-saudara kaum Rimba Hijau, yang kebetulan turut hadir disini, aku pun mengundangnya untuk mereka turun tangan juga, sedang mereka yang termasuk bukan saudara-saudara Rimba Hijau, aku persilahkan mereka untuk lekas menyingkir. Kami datang tidak untuk menawan mereka yang tidak bersalah dan berdosa!”

Habis mengucap demikian, tiba-tiba mata ciehui dari Kim-ie-wie ini menyapu, sambil menggerakkan goloknya, dia menegur, “Eh, tuan mahasiswa, kau sebenarnya ada hoohan dari golongan apa?”

Thio Tan Hong tertawa atas teguran itu.

“Kau adalah ciehui yang hendak melakukan penangkapan, aku adalah cinsu yang hendak membekuk setan!” dia menjawab.

Thio Hong Hu tertawa bergelak.

“Jikalau demikian adanya, kita juga harus mengadu kepandaian!” ia kata. Ia sangat menantang.

Khoan Tiong adalah yang tadi mendahului rombongan, dialah yang telah memanah kuda putih, maka itu, ia sudah lantas melirik pada Thio Tan Hong.

“Ah, kiranya kau juga berada disini!” kata dia dengan jumawa. “Bagus, bagus! Sahabat, kuda putih itu mesti ditinggalkan disini untuk aku!”

Ia pun segera siapkan busur dan anak panahnya, untuk memanah pula.

“Khoan Hiantee, tahan!” seru Hoan Tiong, yang suka sekali pada kuda pilihan itu. “Jangan kau memanah pula, lebih baik kuda itu ditangkap hidup-hidup!”

Dan Gie-cian siewie ini sudah lantas mengajak barisannya untuk maju menangkap kuda putih yang dimaksudkan itu.

Tiba-tiba saja beberapa anggota Kim-ie-wie perdengarkan jeritan mereka, jeritan dari kesakitan. Tanpa mereka ketahui apa sebabnya, bahu mereka itu telah diserang senjata bagaikan jarum halusnya, yang membuatnya mereka merasa sangat sakit.

Khoan Tiong sudah lantas mengerti.

“Ah, kiranya kau pandai menggunakan jarum Bwee-hoa-ciam!” ia tegus Thio Tan Hong. “Kalau ada kehormatan tetapi tidak dibalas, itu namanya tidak hormat. Nah, kau lihat panahku!”

Busur segera ditarik, dan anak panah melesat bagaikan bintang jatuh, nyaring bunyinya. “Sret!”

Thio Tan Hong tidak berani menyambuti anak panah itu, ia hanya berkelit.

Anak panah itu melesat menjurus ke muka Tiauw Im. Maka pendeta ini menggunakan tongkatnya, hingga kedua senjata bentrok keras dan lelatu apinya muncrat. Karena serangan ini, dia menjadi murka sekali.

“Ciu Hiantit, mari maju!” dia berteriak dengan anjurannya, lalu dengan memutar tongkatnya itu, dia menyerbu ke dalam pasukan Kim-ie-wie.

Hoan Tiong menggunakan sepasang gembolan, ia maju, untuk cegat pendeta itu. Karena ini, senjata mereka berdua jadi bentrok dengan menerbitkan suara keras.

Tongkat Tiauw Im kena tersampok hingga sedikit mental ke samping, tetapi di lain pihak, telapak tangan Hoan Tiong terasa sakit dan kesemutan, hampir saja ia lepaskan gembolannya. Tentu saja pahlawan kaisar ini menjadi kaget sekali, sebab di dalam istana, diantara kawannya, ialah yang tersohor sebagai toa-leksu, orang yang terkuat. Tapi ia tidak menjadi jerih, dengan cepat ia maju pula, untuk melawan pendeta itu.

Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia tertawa terbahak-bahak. Ia lantas ambil toya Hang-liong-pangnya.

“Thio Tayjin, kau sangat memandang mata padaku, marilah kita coba!” ia tantang Thio Hong Hu.

“Bagus, bagus!” Hong Hu pun tertawa seraya memutar goloknya. “Mari kita pakai aturan kaum kang-ouw, kita bertempur satu lawan satu! Jikalau kau dapat lolos dari golokku ini, aku suka menjelaskannya, disini tidak akan ada orang yang nanti berani menghalang-halangi pula padamu!”

Masih komandan Kim-ie-wie itu memperlihatkan kejumawaannya.

Dalam murkanya, Pit To Hoan maju untuk segera menyerang.

Thio Hong Hu bertindak kesamping, untuk melewatkan serangan itu, berbareng dengan tindakannya, goloknya menyambar, untuk membalas. Tanpa dapat dicegah, toya dan golok bentrok keras, hingga mereka masing-masing mundur tiga tindak.

“Bagus!” seru Pit To Hoan. “Tak kecewa ahli silat nomor satu dari kota raja!”

Sambil mengucap demikian, ia ulangi serangannya.

Dengan ujung goloknya, Hong Hu menyambut toya secara enteng, waktu goloknya mental keatas, tiba-tiba saja ia membacok, dari atas kebawah, membabat batang leher.

Hebat serangan yang berbahaya itu, hingga To Hoan, untuk menghindarkan diri, sudah menggunakan ilmu silat “Thie Poan Kiu” atau “Jembatan papan besi”. Ialah dengan kaki kiri menahan diri, kaki kanannya diangkat lurus, tubuhnya berbareng melenggak ke belakang, hingga ia jadi terlentang dengan bantuan kaki kirinya itu. Dengan begitu, sambaran golok lewat tanpa mengenai sasarannya. Habis itu, dengan lompatan “Lee hie ta teng” atau “Ikan gabus meletik”, ia bangkit bangun, hingga golok lawan hampir saja kena didupak.

“Nama Cin-sam-kay bukan nama kosong belaka!” Thio Hong Hu memuji, sambil maju menyerang pula, dengan desakan “Lian-hoan sam too” atau “Bacokan tiga kali beruntun”.

Didesak secara demikian, Pit To Hoan main mundur.

Di pihak lain, Khoan Tiong sudah bertempur dengan Thio Tan Hong. Pahlawan dari keraton ini menggunakan sam-ciat joan-pian, karena ia mengandalkan kepandaiannya, sedang ia juga belum kenal si mahasiswa, ia memandang enteng kepada musuh yang menyerupai anak sekolah itu. Begitulah ia mulai, dengan menindak maju, ia menyerang dengan “Ouw-liong jiauw cu” atau “Naga hitam melilit tiang”, untuk melibat lengan orang dengan cambuknya guna merampas pedangnya.

Thio Tan Hong perdengarkan tertawa menghina beberapa kali, ia kumpulkan tenaganya di lengannya, berbareng dengan itu, ia membabat berulang-ulang, tanpa mensia-siakan waktu.

Khoan Tiong terkejut, hingga ia mesti lompat mundur. Karena dia seorang ahli, dengan cepat dia dapat perbaiki diri, hingga di saat itu, dia lolos dari bahaya, malah dia dapat gunakan “Kim-na-hoat”, ilmu “Menangkap” untuk menjambak rambut orang.

Tan Hong elakkan diri dengan membabat tangan orang, tetapi karena ini, sam-ciat-pian dari lawan itu menjadi bebas, hingga kembali cambuk itu dapat dipakai menyerang pula. Kali ini sasaran adalah pinggang si mahasiswa.

Thio Tan Hong tidak mau mengalah, setelah berkelit dari jambakan itu, bacokannya menyambar berulang kali, hingga Khoan Tiong mesti mundur.

Pahlawan dari keraton itu menggunakan senjata panjang, akan tetapi ia tidak mendapat kesempatan mengambil keuntungan dari genggamannya itu.

Selagi begitu, sejumlah anggota Kim-ie-wie telah lari ke arah rumah Pit To Hoan.

Sambil bertempur, Thio Tan Hong melirik kearah kawan-kawannya. Tiauw Im dan Hoan Tiong ada seimbang, tidak demikian dengan Pit To Hoan, yang terdesak Thio Hong Hu. Komandan itu terutama menang diatas angin karena golok Bian-toonya tajam luar biasa dan dia ada terlebih muda dan sedang gagahnya. To Hoan cuma dapat membela diri, maka itu, lama kelamaan ia bisa menghadapi bencana.

Melirik ke pihak lain lagi, Tan Hong dapatkan In Lui dengan pedangnya telah membabat kutung senjata pelbagai anggota Kim-ie-wie, dengan carai itu si nona lindungi Ciu San Bin dan Cek Po Ciang. Tentu saja, mereka itu berkelahi sambil mundur. Hingga akhirnya mereka mendekati Tiauw Im Hweeshio.

Hoan Tiong tengah melawan si pendeta dengan hebat, sampai ia berulang kali berseru, tatkala tiba-tiba ia lihat sebatang pedang berkilau menyambar ke arah dadanya. Ia lantas gunakan gembolan kirinya, guna menjaga diri, dengan gembolan kanan, ia menangkis.

In Lui berlaku gesit dan cerdik, tidak sudi ia membentur senjata berat dari lawannya itu, maka itu, kecewalah Hoan Tiong, yang menyangka dapat membuat pedang musuh terpental. Selagi ia sibuk mengawsi pedang berkelebatan, gembolannya yang kiri telah kena ditahan tongkat Tiauw Im Hweeshio, hingga tak dapat ia berbuat suatu apa. Maka pada akhirnya, pundaknya kena tertusuk pedang, dalam murkanya, ia berteriak keras, terus ia menimpuk dengan gembolan kirinya.

In Lui berlaku sangat sebat, begitu gembolan melayang, begitu ia egoskan tubuhnya, maka gembolan itu melayang terus. Lalu menyusul suatu suara sangat keras, batu gunung pecah berhamburan. Sebab batu itu kena terhajar gembolan, yang menyambar beberapa tombak jauhnya.

Ketika si penyerang berpedang itu berkelit, Hoan Tiong lompat keluar kalangan, guna menyingkir dari kepungan.

In Lui tidak mau mengejar, hanya bersama Tiauw Im Hweeshio, ia pun menerjang keluar kurungan, hingga dilain saat, ia telah dihampirkan kudanya, keatas mana ia lompat naik, hingga seterusnya dapat ia membuka jalan.

Tan Hong lega menampak In Lui lolos dari kepungan, karenanya dengan semangat bertambah-tambah, terus ia desak Khoan Tiong, hingga Giecian siewie itu mesti mundur pula beberapa tindak. Ia segera gunakan ketikanya, akan teriaki To Hoan tentang ancaman bencana, supaya Cin-sam-kay angkat kaki.

Pit To Hoan tengah berkelahi dengan hebat, ia berdiam, ia tidak sahuti teriakan orang itu.

Tan Hong kerutkan alis. Ia tahu, orang tua itu sudah nekad, perigatannya itu tidak digubris. Ketika ia memandang pula kearah In Lui, ia tampak si nona tetap membuka jalan, dikirinya ada Tiauw Im Hweeshio, dikanannya ada Cui Hong bersama San Bin. Cek Po Ciang bersama lain-lain orang Rimba Hijau mengikuti di belakang pembuka jalan itu. Kelihatannya mereka segera akan lolos dari kepungan.”

“Jikalau tidak sekarang aku menyingkir, aku hendak tunggu kapan lagi?” pikir anak muda ini. Maka dengan nyaring ia teriaki pula Pit To Hoan, “Biarkan gunung tetap hijau, jangan kuatirkan tak ada kayu bakar! Pit Loo-enghiong, mari kita bersama menerjang!”

Cin-sam-kay tetap tidak menyahuti, hanya dengan Hang-liong-pangnya ia layani musuhnya bertarung. Nampaknya ia telah menjadi benar-benar nekad.

Dalam masgulnya, tiba-tiba Tan Hong ingat janji tadi diantara Pit To Hoan dan Thio Hong Hu. Yaitu apabila jago tua itu tak dapat lolos dari golok musuh, atau tegasnya, tak dapat dia kalahkan komandan Kim-ie-wie itu, tidak mau dia angkat kaki, karenanya, walaupun dia terdesak, masih dia ngotot melayani musuh yang tangguh. Itulah berbahaya.

“Dalam keadaan seperti ini, mana dapat orang berkepala batu?” pikir Tan Hong terlebih jauh. Tapi tetap ia tidak peroleh daya. Ia tahu, umpama kata ia bantui To Hoan dan mereka menang, tentu To Hoan tidak mau mengakhiri karena mereka itu telah berjanji satu lawan satu.

Tiba-tiba terdengar satu suara keras, “Turunkan aku! Hendak aku menghajar penjahat!”

Dengan segera tergeraklah hati Tan Hong. Orang yang bicara itu adalah putera To Hoan. Putera itu tengah digendong koan-kee, kuasa rumah. Si koankee sendiri, bersama sejumlah orang To Hoan, asyik melawan musuh, untuk menoblos kurungan. Bocah itu belum tahu suatu apa, ia berani, maka itu ingin ia turun dari gendongan untuk membantu melabrak musuh.

Tanpa bersangsi pula, Tan Hong tinggalkan lawannya, dengan berlompatan, ia menerjang kearah rombongan Kim-ie-wie-su. Ia putarkan pedangnya hingga tidak ada orang yang dapat merintangi padanya. Pada lain saat sampailah kepada si koankee. Dengan tidak berkata suatu apa, ia jambrek anak To Hoan, hingga koankee itu kaget dan berteriak.

“Lekas kamu menyerbu keluar!” Tan Hong serukan si koankee dan kawan-kawannya. Sementara itu ia telah bunuh seberapa musuh, yang mencoba menerjang kepadanya. Ia pun menerobos keluar, akan akhirnya perdengarkan suitan mulut yang nyaring.

Kuda Ciauw-ya Say-cu-ma sedang dikurung, dia menerjang kesana-sini tanpa hasil, ketika dia dengar suitan tuannya dengan tiba-tiba dia lompat, akan menerjang hebat sekali. Maka kali ini dia berhasil, sebab dua musuh dihadapannya kena ditubruk rubuh dan terinjak tubuhnya.

“Duduklah diatasnya!” seru Tan Hong kepada si bocah, tubuh siapa ia naikkan ke atas punggung kudanya itu, yang telah datang padanya. “Pegang dengan keras!”

Bocah itu baru berumur tujuh atau delapan tahun, dia benar bernyali besar sekali, begitu duduk di punggung kuda, dia mendekam, dia pegangi surai kuda, yang membawa dia kabur.

Thio Tan Hong masih bekerja. Ia pun tunjukkan kegesitannya. Dengan berlompatan, dia hampiri Pit To Hoan.

Justeru itu beberapa wiesu mencoba menahan kuda putih, atas itu si bocah berteriak, kuda itu juga berbenger keras.

Tan Hong gunakan ketikanya.

“Pit Loopeh, kau dengar!” dia berseru. “Apakah masih tak hendak melindungi puteramu itu?”

Sambil mengucap demikian, Tan Hong pakai pedangnya akan membentur golok Bian-too dari Thio Hong Hu yang dipakai membacok si jago tua.

To Hoan menghela napas, masih ia menyerang musuhnya hingga dua kali, habis itu ia lari kearah tengah, kearah kuda putih beserta kudanya. Karena ini, Tan Hong kembali perdengarkan suitannya, yang ditujukan kepada kudanya, hingga kuda itu tidak lagi menyerbu keras mendobrak rintangan.

Dengan cepat To Hoan menghampiri Ciauw-ya Say-cu-ma, dengan tiga batang senjata rahasianya, ia rubuhkan tiga wiesu yang mengepung kuda, hingga ia dapat ketika akan datang dekat sekali pada kuda itu, ke punggung siapa ia segera lompat. Yang paling dulu ia lakukan ialah memondong puteranya.

Kuda putih itu berbenger keras dan panjang, terus dia lompat, untuk lari kabur, hingga sesaat kemudian keluarlah dari kepungan.

Thio Hong Hu menjadi sangat gusar. Ia merasa orang telah permainkan padanya. Maka dengan sebat ia serang Tan Hong, si pengacau itu.

Tan Hong tangkis bacokan golok Toan-bun-too, ia merasakan satu benturan keras sekali, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalannya. Ia segera insyaf akan ketangguhan komandan ini.

“Dia bukannya bernama kosong, dia benar lihai,” demikian ia pikir. “Tidak kecewa dia menjadi jago silat nomor satu dari kota raja.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar