Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 10 (Tamat)
Peklo San adalah bukit
kenamaan, letaknya dekat dengan kota raja. Di atas bukit, yang indah
pemandangannya, ada berdiri beberapa rumah penduduk. Tan Hong ketahui
itu,makanya ia menjadi heran akan bunyinya surat kawannya itu.
"In Loei belum pernah
datang ke kota raja bangsa Watzu ini, dia masih asing di kota ini, kenapa dia
dapat mendaki bukit Peklo San?" demikian ia berpikir. Ia juga merasa
pusing sedikit. Ia dipesan mencari ke atas bukit tetapi di dalam surat tidak
dituliskan alamat yang terang. Ke mana ia harus mencari? Tidakkah itu sulit?
Berbareng iapun menjadi berkuatir juga. In Loei pindah, agaknya dengan cara
kesusuh, apakah itu bukan disebabkan si nona hendak menyingkir dari matanya
Yasian? .
Oleh karena ia tidak dapat
menemui si nona, terpaksa Tan Hong pulang dulu ke rumahnya. Kali ini ia dapat
kenyataan pahlawan-pahlawannya Yasian, yang ditugaskan mengawasi rumahnya itu,
sudah ditarik pulang. Adalah Tantai Mie Ming, yang muncul membukakan pintu.
Maka itu, girang keduanya akan pertemuan ini.
Mie Ming berkata:
"Beberapa hari yang lalu kami telah dikurung di dalam gedung, aku sebal
sekali. Kalau menuruti adatku, pasti aku sudah menerjang keluar! Tjoekong telah
membujuki aku untuk jangan gunai kekerasan."
"Memang ada terlebih baik
jangan menerjang keluar," kata Tan Hong sambil tertawa."Mana
ayahku?"
"Tjoekong ada di kamar
tulis," sahut Tantai Mie Ming. "Selama ini, hati tjoekong pepat,bagus
kau telah pulang."
Tan Hong lantas pergi ke kamar
tulis. Perlahan tindakan kakinya. Ia tampak ayahnya tengah berduduk diam
seorang diri sambil bertopang dagu. Ayah itu seperti sedang memikiri sesuatu.
"Ayah!" ia
memanggil, dengan perlahan.
"Oh, kau telah
kembali!" menyahut ayah itu. Ia menoleh. "Aku tadinya menyangka bahwa
kita sukar untuk dapat bertemu pula satu dengan lain..."
Air matanya orang tua itu
lantas saja menetes turun.
"Anakmu yang poethauw
pulang untuk memohon ampun," kata Tan Hong.
Ayah itu tidak pedulikan akan
kebaktian anaknya itu.
"Aku dengar dari Tantai
Tjiangkoen, benarkah kau telah tiba di Souwtjioe?" tanyanya.
"Justeru untuk itulah
anakmu memohon ampun," jawab Tan Hong. "Harta pendaman dan peta bumi
simpanan leluhur kita sudah aku gali, semua itu aku telah berikan kepada Ie
Kiam dari kerajaan Beng, untuk digunakan membantu kaisar dari Keluarga Tjoe
memukul mundur angkatan perang Watzu..."
"Tentang sepak terjangmu
itu, dari mulut Tantai Tjiangkoen telah aku dengar sedikit," berkata sang
ayah. "Dengan tindakanmu ini, terhadap Tionggoan kau telah unjukkan
jasamu, tetapi karena itu, kita kaum keluarga Thio, untuk selama-lamanya akan
tidak punya lagi ketika yang baik untuk memperebutkan dunia..."
Tan Hong bungkam. Ia dapat
merasai kedukaannya ayah itu. Ketika ia memikir, untuk menghibur ayahnya, ia
dengar ayah itu menghela napas seraya terus berkata: "Hidup tak ingin
menjadi tihang negara, mati tak sudi menjadi Raja Akherat. Sekalipun Raja
Akherat, selagi ia memutuskan orang menjadi setan, hatinya sering tak tega,
sedang menjadi tihang negara, yang mencintai rakyatnya, kewajibannya menjadi bertambah-tambah
banyak... Setelah perubahan besar ini, dengan perlahan-lahan habis sudah
tergosok semangatku yang besar. Menjadi perdana menteri aku tidak menghendaki
lagi, apapula untuk menjadi raja yang pasti memusingkan kepala. Oleh karena kau
sendiri sudah tak
ingin menjadi raja yang
memulai membangun negara, aku juga ingin mengakhiri hidupku di negara asing
ini. Semua yang kau telah lakukan, tidak aku buat menyesal, tidak aku
persalahkan kau!"
"Ayah," berkata
putera itu. "Daun itu rontok jatuh ke akarnya, dari itu, aku masih
mengharap kau nanti pulang ke negeri kita..."
Thio Tjong Tjioe menghela
napas, ia hempaskan tangannya.
"Selama ini kau banyak
letih, pergilah kau beristirahat dulu," katanya. "Sebentar malam
nanti kita bicara pula."
Tan Hong tidak berani
mendesak, ia lantas undurkan diri.
Sorenya, sehabis bersantap
malam, anak ini bersama ayahnya jalan-jalan di dalam taman. Di bawah sinarnya
si Puteri Malam, pohon-pohon bunga menciptakan bayanganbayangan.
Menarik hati memandang
loneng-loneng yang terukir. Di dalam keindahan sang malam itu, ayah dan anak
berhadapan berdiri sambil mereka menyenderkan tubuh di loneng. Sampai lama,
mereka tak bicara satu pada lain.
Akhirnya, Tan Hong petik
setangkai bunga bwee.
"Kali ini bunga bwee
mekar terlebih indah daripada tahun yang lalu," kata dia. Ia mulai
pecahkan kesunyian.
"Benarkah itu?"
tanya ayahnya. "Kau telah sampai di istana lama di Souwtjioe,bagaimana kau
lihat keadaan di sana?"
"Istana itu telah dijual
oleh negara, telah dijadikan tamannya satu okpa," sahut si anak.
"Ukiran huruf-huruf di
tembok pun sudah pada runtuh..."
Tjong Tjioe tidak bilang suata
apa, ia cuma menghela napas.
"Tetapi ayah jangan
berduka," Tan Hong menghibur. "Tempat kita itu telah anakmu menangkan
kembali."
Tjong Tjioe heran."Apa katamu?"
ia tanya.
Tan Hong segera beri
keterangan halnya itu hari ia menangkan pertaruhan dengan Kioetauw Saytjoe
hingga ia dapat pulang Koaywa Lim, tamannya itu, dan hal apa yang ia telah
lakukan terlebih jauh mengenai taman itu.
Ayah itu tengah berduka tetapi
mendengar penuturan puteranya, ia tertawa berkakakan. Itulah tanda ia setujui
sikap anaknya itu.
"Anakmu poethauw,
ayah," Tan Hong berkata pula. "Sekarang ini anakmu mengharap ayah
suka pulang, supaya di taman sendiri ayah bisa tinggal dengan damai dan
tenang..."
Tjong Tjioe kembali tidak
menyahuti, ia cuma menghela napas. Kelihatannya ia sangat lesu.
"Ayah, justeru adalah
paling baik kau gunai ketika ini untuk keluar dari segala keruwetan," Tan
Hong membujuk pula. Lalu ia tuturkan apa yang ia bicarakan tadi pagi dengan
Yasian. Ia tambahkan: "Telah aku melancangi ayah menerima baik sarannya
Yasian itu, maka itu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu untuk meletakkan
jabatan,supaya ayah tak usah lagi menjadi menterinya Watzu yang memusingkan diri
ini."
"Untuk undurkan diri,
itulah memang cocok sama cita-citaku," berkata ayah itu. "Sudah dua
puluh tahun lebih aku menjadi menteri, aku telah merasa letih sekali. Dahulu
juga aku tidak punya niatan untuk menjadi menteri."
"Memang, ayah, mega itu
tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak,dan burung, setelah
letih beterbangan, tahu akan pulang ke sarangnya," kata Tan
Hong."Maka, ayah, untuk kita adalah terlebih baik jikalau kita pulang ke
kampung halaman kita."
Tjong Tjioe menghela napas.
"Memang, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak,
dan burung setelah letih beterbangan tahu akan pulang ke sarangnya," ia
ulangi kata-kata puteranya. "Itulah dua runtunan kata-kata yang tepat
sekali dari To Van Beng. Pulang, pergi, kembali! Ya, sekarang adalah waktunya
untuk pergi pulang..."
Tan Hong menjadi sangat
girang.
"Kalau begitu baiklah
besok ayah ajukan permohonanmu meletakkan jabatan," ia kata."Sesudah
itu kita menanti saja tibanya utusan kerajaan Beng, setelah perdamaian beres
selesai, kita lantas pulang ke negeri kita."
Tapi Tjong Tjioe
menggeleng-geleng kepalanya.
"Apa yang aku katakan
dengan pergi pulang itu bukanlah seperti yang kau maksudkan pulang ke negeri
kita sendiri!" katanya, dengan suaranya yang dalam.
Tan Hong heran, hingga ia
tercengang.
"Bagaimana, ayah ?"
ia tanya.
"Arak habis, perjamuan
bubar, orang pergi pulang," sahut ayah itu. "Demikian kemuliaan,
kementerengan, itulah impian kosong belaka. Di dalam dunia ini aku telah hidup
enam puluh tahun, dari itu sudah seharusnya aku pergi pulang..."
Kali ini suaranya itu lain
daripada biasanya. Nyata dengan "pergi pulang" itu ia maksudkan pergi
pulang ke alam baka. Karena ini, ketika sang anak berkata pula,suaranya
rada-rada menggetar.
"Ayah semakin sehat, masih
jauh ayah ke usia seratus tahun, kenapa ayah mengucapkan kata-kata yang tak
beralamat baik ini?" ia tanya.
Tjong Tjioe tertawa meringis.
"Bukankah di dalam dunia ini tidak ada pesta yang tidak bubar?" ia
balik tanya.
"Kanglam itu indah,
itulah justeru tempat untuk ayah beristirahat!" kata Tan Hong,gugup.
Tapi sang ayah jawab:
"Apakah aku masih ada muka untuk kembali ke Kanglam? Dahulu hari Tjouw Pa
Ong sungkan melintasi sungai Ouw Kang, itu artinya dia tak ingin menjumpai pula
penduduk Kangtong!"
Tan Hong menjadi sangat
berduka, ia berkuatir. "Ah, mengapakah ayah membuat bandingan ini?"
ia kata. Ia masih berniat membujuk,tetapi ayahnya telah menggoyangkan
tangannya.
"Putusanku sudah tetap,
tak usah kau banyak omong lagi!" kata orang tua itu. "Boleh aku
letakkan jabatanku sebagai menteri akan tetapi tanah daerah leluhurku tak sudi
aku menginjaknya pula!"
"Kalau begitu,
ayah," tanya Tan Hong, "apakah ayah anggap keliru tentang
perjalananku ke Tionggoan ini?"
Tjong Tjioe berdongak
memandang langit. Dari kejauhan, dengan lapat-lapat,terdengar suaranya terompet
huchia. Sekian lama ia membisu, baharu ia bersuara pula."Jikalau usiaku
muda empat puluh tahun, aku juga dapat melakukan seperti apa yang kau telah
perbuat," ia berkata. "Mengandalkan orang untuk melakukan sesuatu
adalah sangat tak boleh diharap, sekarang insaflah aku bahwa pikiran akan
pinjam tenaga bangsa Watzu untuk membangunkan pula Kerajaan Tjioe kita yang
besar adalah suatu pikiran yang keliru."
Mendengar ini, Tan Hong girang
berbareng berduka.
"Ayah..." katanya
pula.
"Tak usah kau omong
banyak lagi!" sang ayah memotong. "Hanya ingin aku menyadarkan kau.
Yasian itu adalah seorang yang sangat licik, terhadapnya kau mesti waspada
kalau-kalau dia berbalik berpikir. Dengan sesungguhnya aku mengharap-harap
lekas tibanya utusan dari pemerintah Beng! Bilamana aku menutup mata di negara
Watzu ini, tidak nanti aku melupakan Tionggoan... Turut katamu itu, Ie Kiam
adalah seorang menteri bijaksana yang sukar dicari keduanya selama seratus
tahun ini. Mudah-mudahan,sejak saat ini, Tionggoan kelak akan menjadi makmur
dan kuat. Aku merasa senang juga
apabila aku dapat melihat
utusannya."
Luar biasa perasaannya Tan
Hong sesaat itu. Mereka berada dekat tapi mereka seperti terpisah jauh satu
dari lain... Tan Hong seperti merasakan bahwa jantung ayahnya berdenyut keras,
berdenyut dengan tak dapat diartikan maksudnya... Karena ini,pikirannyapun
menjadi kacau.
Sekonyong-konyong di antara
kelompok pohon di depan mereka, satu bayangan orang tampak berkelebat, berbareng
dengan itu terdengar bentakannya Tantai Mie Ming: "Siapa bernyali begini
besar berani menyusup masuk ke dalam sianghoe?" Bentakan itu disusul
dengan serangan sebelah tangan, lalu menyusul satu suara berisik dari rubuhnya
sebuah pohon kembang, disusul pula dengan lompat keluarnya satu orang
mengenakan pakaian warna abu-abu. Tantai Mie Ming sendiri terlihat terhuyung
beberapa tindak, baharu dapat ia pertahankan tubuhnya.
Tan Hong kaget sekali. Siapa
orang itu, yang demikian kosen sanggup membuat Tantai Mie Ming terhuyung?
Mendadak ia dengar tertawa yang nyaring diiringi pertanyaan: "Ah,Tan Hong,
kau telah kembali?"
Baharu sekarang Tan Hong
melihat tegas, orang itu adalah toasoepee-nya, Tang Gak.
Maka itu, ia jadi girang luar
biasa. Ia lantas memberi hormat pada paman gurunya yang paling tua itu, siapa
ia segera ajar kenal dengan ayahnya.
"Mari kita duduk di
dalam," kemudian ia mengajak.
Demikianlah mereka pergi ke
ruang tamu. Tang Gak irup air teh yang disuguhkan, terus ia tertawa.
"Tantai Tjiangkoen,
kepandaian Tiat Piepee-mu telah menjadi terlebih liehay daripada
dulu-dulu!" ia memuji.
Tantai Mie Ming pun tertawa.
"Dan Taylek Kimkong Tjioe
darimu pun sukar sekali untuk dilayani!" ia balik memuji.
Tjong Tjioe menghaturkan
terima kasih pada tetamunya yang tidak diundang itu.
"Anakku telah dapat
perlindunganmu, aku sangat berterima kasih," kata ia pada paman guru
puteranya itu.
"Dan akupun bersyukur
kepada kau yang selama sepuluh tahun sudah melindungi soetee-ku," Tang Gak
pun berkata, ia maksudkan Thian Hoa. Kemudian, sambil tertawa pula, ia
menambahkan. "Sinsiang, baharu sekarang aku tahu hatimu! Nyata tidaklah
salah apa yang dikatakan soetee-ku itu! Aku merasa bersyukur yang aku tidak
sampai berlaku sembrono..."
Tan Hong pun dengan diam-diam
bersyukur juga.
"Baiknya ia dapat dengar
pembicaraan ayahku barusan," katanya di dalam hati. "Kalau dia
sebagai djiesoepee, entah apa yang akan terjadi... Apakah soepee telah ketemu
guruku?" ia terus tanya toasoepee itu.
"Ya, telah aku ketemu
padanya," sahut Tang Gak.
"Tjia Sianseng sudah
pergi untuk banyak hari," Tjong Tjioe turut bicara. "Mulanya aku
tidak tahu apa yang dia niat lakukan, aku berkuatir. Dia telah kembali, mengapa
dia tidak turut bersama datang kemari?"
Tang Gak irup pula tehnya, ia tidak
lantas menjawab.
"Pahlawan-pahlawannya
Yasian sudah dibubarkan, meski demikian sukar dijamin bahwa ia tidak akan
mengirim orang lagi untuk memata-matai kita," berkata Tantai Mie Ming.
"Nanti aku pergi ke depan untuk melihat-lihat."
Tan Hong tertawa atas
kepergiannya jenderal itu.
"Tantai Tjiangkoen telah
memikir terlalu banyak," katanya. "Dia kuatir di antara kita mungkin
hendak membicarakan sesuatu yang tak dapat dilakukan di depannya, maka itu ia
berlalu..."
"Ia benar," Tang Gak
bilang. "Apa yang hendak aku bicarakan justeru adalah urusan
gurunya."
Gurunya Tantai Mie Ming ialah
Siangkoan Thian Ya, justeru adalah lawan dari Hian Kee Itsoe. Maka mendengar
soepee ini, Tan Hong menjadi heran.
"Apa?" tanyanya
"Bukankah Siangkoan Thian Ya Si kepala iblis tua itu sudah lama
mengumpetkan diri? Mungkinkah sekarang dia muncul pula?"
"Dia tidak keluar dari
gunungnya akan tetapi kita hendak pergi mengunjungi padanya!" kata Tang
Gak.
"Bagaimana sebenarnya
soepee?" tanya pula Tan Hong, heran.
"Tak tahu bagaimana
jalannya, iblis kepala yang tua itu telah mendengar yang kami beberapa saudara
telah datangi negara Watzu ini," Tang Gak beri keterangan, "dan ia
segera kirim orang untuk memberitahukan kami supaya kami pergi ke gunungnya
untuk menghadap padanya."
"Apakah maksudnya?"
Tan Hong tanya pula.
"Aku juga tidak tahu.
Mungkin dia hendak uji kepandaian kami. Dia adalah satu lootjianpwee, dia telah
berikan titahnya, tidak dapat kami tidak turut titahnya itu."
"Apakah Tantai Tjiangkoen
tidak ketahui urusan ini?" Tan Hong tanya. Ia jadi berpikir keras.
"Jikalau dia tidak
mengatakan apa-apa, jangan kau timbulkan urusan ini kepadanya,"
Tang Gak pesan. Ia tidak jawab
keponakan murid itu, ia bicara secara sungguh-sungguh.
Di dalam kalangan kaum Rimba
Persilatan ada aturan yang harus dihormati, yaitu jikalau pada kedua pihak kaum
tertua ada perselisihan, maka murid-murid mereka itu meskipun mereka bersahabat
satu pada lain, harus si murid saling menjauhkan diri. Tan Hong tahu aturan
itu, ia sebenarnya kurang memperhatikannya, tetapi sebab ia lihat soepee ini
bicara demikian rupa terpaksa ia tidak berani banyak omong.
Tang Gak melanjutkan
kata-katanya: "Begitulah pada kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, guru
kami bersama Siangkoan Thian Va itu telah melakukan pertempuran di atas gunung
Ngobie San, sampai tiga hari tiga malam lamanya, mereka tidak menang dan tidak
kalah. Pertempuran itu telah disudahi dengan mereka saling berjanji, bahwa lagi
tiga puluh tahun kemudian mereka bertemu pula. Tidak lama sehabisnya itu, keduanya
menjauhkan diri dari muka umum, mereka menyembunyikan diri, yang satu di
Tionggoan, yang lain di tapal batas Mongolia. Sejak itu, keduanya tidak pernah
berhubungan lagi satu sama lain. Aku telah anggap urusan akan sudah habis
sampai di situ. Tak disangkanya pada tahun ini di permulaan musin semi, aku
dengar omongannya seorang sahabat kaum Rimba Persilatan, bahwa katanya
Siangkoan Thian Ya hendak mewujudkan janji dahulu hari itu. Oleh karena ini,
lekas-lekas aku berangkat untuk menyampaikan kabar kepada soetjouw-mu.
Soetjouw-mu itu tidak mengatakan, suka atau tidak ia menyambut Siangkoan Thian
Va itu, ia hanya titahkan kami pergi terlebih dahulu ke Watzu. Sampai sekarang
ini aku tetap belum tahu soetjouw-mu itu hendak datang atau tidak..."
"Turut apa yang aku
dengar dari soehoe," berkata Tan Hong, "jurus silat pedang siangkiam
happek ciptaan soehoe adalah diperuntukkan melawan iblis tua itu.Mungkin,
karena itulah soetjouw tidak niat turun tangan sendiri."
"Tentang liehaynya
siangkiam happek itu belum pernah aku saksikan," kata Tang
Gak."Samsoetee dan soemoay memang cerdas sekali, mereka jauh lebih menang
daripada aku, akan tetapi jikalau mereka hendak diajukan untuk melayani iblis
tua itu, rasanya bedanya masih terlalu jauh..."
Tan Hong tahu liehaynya
siangkiam happek, tak percaya ia akan kata-katanya paman guru yang tertua itu,
akan tetapi terhadap toasoepee ini ia tidak berani sembarang omong, ia juga
tidak hendak pertontonkan ilmu silat pedang gabungan itu, maka ia membungkam.
"Eh, Tan Hong, mana sahabatmu
yang muda?" tiba-tiba Tang Gak tanya. Baharu sekarang ia ingat In Loei.
Hatinya Tan Hong bercekat.
Tentang In Loei, ia belum omong kepada ayahnya, ia anggap belum tiba saatnya,
tapi sekarang toasoepee itu menimbulkannya, hatinya menjadi kebat-kebit.
Lekas-lekas ia mengedipkan mata kepada paman guru itu.
"Apakah kau tidak
memikiri dia?" tanya pula toasoepee itu, dia agaknya tak mengerti tanda
kedipan mata dari keponakan murid itu.
"Anak Hong," berkata
Tjong Tjioe, setelah ia dengar perkataannya Tang Gak itu, "kau datang
bersama sahabatmu itu, ajaklah dia menemui aku."
"Ia ada urusan, ayah, dia
telah pergi terlebih dahulu," Tan Hong terpaksa mendusta.
"Bukankah dia hendak
pergi ke lembah selatan dari gunung Tangkula untuk cari ibunya?" tanya
lagi Tang Gak. Dengan "dia", paman guru ini maksudkan "dia"
wanita.
Kembali Tan Hong bercekat.
"Ha, toasoepee ini!" katanya dalam hati kecilnya. "Rupanya
toasoepee telah ketemu In Loei, jikalau tidak, tidak nanti ia ketahui In Loei
hendak cari ibunya itu..."
Di samping itu, girang juga
Tan Hong, hingga sinar matanya menjadi bercahaya. Ia ada seorang cerdas,
tahulah ia bahwa Tang Gak tentunya campur dalam halnya In Loei pergi mencari
ibunya itu.
Tjong Tjioe sementara itu
nampaknya heran. "Sahabat macam apa dia itu?" ia tanya.
"Satu sahabat yang
jujur." sahut Tan Hong.
"Kalau begitu, lain hari
mesti kau ajak dia ke rumah kita," kata ayah itu.
"Baik, ayah," sahut
si anak. Di dalam hatinya, ia ada sangat berduka. Bukankah In Loei telah
menyatakan tak ingin menemui ayahnya itu?
Sampai di situ, Tang Gak
berbicara pula.
"Si iblis Siangkoan itu
berdiamnya di puncak tertinggi dari gunung Tangkula sebelah utara,"
demikian katanya. "Jikalau dari lembah sebelah selatan, di mana ada
bertinggal suku bangsa Ngolo, kita pergi kesebelah utara, lalu mendaki puncak
utara yang tinggi itu, perjalanan ada sekira lamanya tiga hari. Tadi Thio
Thaydjin menanyakan halnya Thian Hoa, dia sebenarnya sudah pergi terlebih
dahulu kesana."
"Kapan Siangkoan Thian Ya
menyuruh soepee beramai pergi mengunjungi padanya?"Tan Hong tanya.
"Harinya masih belum
ditetapkan," sahut Tang Gak. "Sebelumnya Tjengbeng, Thian Hoa sudah
berangkat. Akulah yang menyuruh dia pergi, sebab ia mesti sambangi dulu satu
sahabat Rimba Persilatan. Adalah kehendakku dewi kz, di saat yang perlu,
sahabat itu harus muncul untuk menjadi si juru pemisah. Di mana djiesoepee-mu?
Aku dengar dia telah tiba juga. Bersama Thian Hoa, aku belum menemui dia."
"Djiesoepee ada bersama
Tjinsamkay Pit To Hoan", Tan Hong beritahukan. Dan ia tuturkan kejadian
tadi malam.
Mendengar itu, Tang Gak
tertawa.
"Tabeatnya Tiauw Im masih
tetap saja aseran seperti dulu-dulu," kata dia. "Baiklah,akan aku
berdiam di sini beberapa hari, untuk mencari dia, setelah bertemu
dengannya,baharu kita bicara pula."
"Kalau begitu, besok aku
mesti berangkat?" berkata Tan Hong kemudian. Tjong Tjioe terperanjat.
"Eh, anak Hong!"
katanya. "Kau baharu pulang, bagaimana kau sudah hendak berangkat
pula?"
"Inilah perlu,
ayah," anak itu jawab. "Di sini ada mengenai urusan penting dari
guruku, sebagai murid, layak aku berbuat sesuatu untuk soehoe. Kalau soehoe
pergi menghadapi bencana, layakkah aku tidak menyusulnya?"
Tjong Tjioe berdiam. Ia dapat
membenarkan perkataan anaknya ini. Bukankah Tan Hong telah dididik sempurna
oleh Thian Hoa, gurunya itu? Maka tak dapat ia mencegahnya.
"Mana kudamu, Tjiauwya
saytjoe ma?" kemudian ia tanya.
"Kuda itu dibawa oleh
sahabatku yang disebutkan tadi," sahut Tan Hong.
"Ah!..." Tjong Tjioe
berseru perlahan. Di dalam hatinya, ia kata: "Pasti persahabatannya anak
ini dengan sahabatnya itu bukan persahabatan biasa saja..." Oleh karena
ini semakin keraslah niatnya untuk bertemu dengan orang yang dimaksud itu.
Keesokan paginya, Tan Hong
pamitan dari ayahnya, juga kepada Tang Gak,toasoepee itu. "Mari aku antar
kau keluar," berkata Tjong Tjioe, yang terus pegang tangan anaknya. Mereka
berjalan dengan perlahan-lahan.
Tantai Mie Ming ada bersama,
ia menemani Tang Gak. Berdua mereka telah mendahului tiba di pintu depan.
"Ayah, kau
masuklah," Tan Hong minta. "Ayah masih harus pergi ke istana."
"Surat perletakan jabatan
telah aku tulis selesai tadi malam, karenanya tak usah aku kesusuh," sahut
sang ayah. "Sejak sekarang ini, dengan tidak memangku pangkat, aku jadi
merdeka. Aku hanya harapkan kau lekas kembali."
"Jangan ayah pikirkan
aku. Bersama-sama soehoe pasti aku akan kembali."
"Hanya aku kuatir,
setelah kembali, kamu nanti pergi pula," menyatakan pula ayah itu akan
kesangsiannya. "Kalau nanti kau pulang, mungkin utusan kerajaan Beng pun
telah tiba."
"Kenapa ayah tidak hendak
bersama-sama pulang ke Tionggoan?" Tan Hong tanya pula. Ia mengulangi.
"Semalam telah kita
bicarakan urusan itu, maka sekarang tak usah banyak dibicarakan pula!"
kata ayah itu, ringkas.
Tan Hong menurut, tetapi
tiba-tiba ia tanyakan lainnya hal. "Ayah," demikian katanya,
"apakah ayah masih ingat In Tjeng, itu utusan kerajaan Beng yang dahulu
hari?"
Tjong Tjioe melengak. Tan Hong
rasakan telapak tangan ayahnya basah tiba-tiba dengan keringat, tangan itu
gemetar.
Selang sesaat baharulah Tjong
Tjioe seperti sadar, terus ia menghela napas. "Ya, sudah tiga puluh
tahun..." katanya, seperti kepada dirinya sendiri. "Urusan dari tiga
puluh tahun seperti terbayang di depan mata... Utusan In itu adalah satu laki-laki
yang seumurku baharu pernah menemuinya! Bagaimana aku tidak ingat kepadanya?
Kalau tidak salah, sejak dia pulang ke negerinya, sepuluh tahun sudah
berselang..."
"Hanya nasibnya harus
disayangkan," Tan Hong tambahkan. "Dia pulang ke negerinya,baharu
saja dia tiba di pintu negeri, dia sudah dianiaya hingga binasa oleh Ong Tjin
yang telah menggunakan firman palsu!"
Tjong Tjioe agaknya terkejut.
"Kejadian itu pernah aku
mendengarnya," ia bilang. "Ah, itulah disebabkan kesalahanku. Ketika
itu aku masih bersemangat muda, aku sangat benci raja Beng,karenanya, aku benci
juga semua orang yang bersetia kepada kerajaan Beng itu. Karena itu juga maka
In Tjeng telah aku kirim ke tepi telaga yang seperti berlangitkan es dan
berbumikan salju, hingga lamanya dua puluh tahun dia mesti mengembala kuda.
Selama dua puluh tahun dia minum es dan mengemu salju, toh selama itu tetap dia
bersetia
kepada kaisar dari Keluarga
Tjoe itu. Dia adalah musuhku tetapi aku sangat kagum terhadapnya. Selama
tahun-tahun yang belakangan ini, apabila aku ingat padanya, aku jadi bersusah
hati. Inilah kesalahanku, ya kedosaanku yang pertama-tama selama hidupku... Aku
harap utusan kerajaan Beng yang akan datang itu nanti ada sebagai In Tjeng
jantannya!"
"Ayah tahu tidak,"
kata Tan Hong pula, "kabarnya In Tjeng itu ada punya dua cucu,yang satu
pria, yang lain wanita, keduanya usianya tak berjauhan dengan usiaku."
"Benarkah itu?"
tanya Tjong Tjioe. "Aku harap yang aku bisa dapat bertemu dengan mereka
itu."
"Ayah, umpama ada sesuatu
yang mereka hendak mohon darimu, sudikah kau menerimanya?" Tan Hong
berkata pula.
"Kau adalah
mustikaku," sahut orang tua itu, "kalau untuk mereka itu, meski aku
kehilangan kau, aku ikhlas sekali!" Tiba-tiba ia menghela napas. Ia
menambahkan: "Jikalau mereka itu masih hidup dan telah menjadi dewasa,
pasti sekali mereka ketahui peristiwa engkong-nya itu, pasti sekali mereka akan
pandang aku sebagai musuhnya. Oleh karena itu, cara bagaimana mereka hendak
meminta sesuatu dari aku?"
Lega hatinya Tan Hong akan
dengar kata-kata ayahnya ini. Ia tahu, itulah kata-kata yang keluar dari hati
yang putih murni.
"Bagaimana caranya maka
kau ketahui tentang dua anak itu?" kemudian Tjong Tjioe tanya pula.
Sebenarnya ingin Tan Hong
tuturkan pergaulannya dengan In Loei, atau mendadak ia pikir baiklah ia bersabar
dulu.
"Aku dapat mendengar
pembicaraan di antara sahabat-sahabat kaum kangouw," demikian ia jawab.
"Kabarnya mereka itu sudah ikuti satu guru silat yang terkenal dari siapa
mereka telah pelajari kepandaian. Cucu lelaki dari In Tjeng itu mungkin bekerja
pada pemerintah."
"Kalau benar begitu,
senang hatiku," berkata Tjong Tjioe. "Aku harap saja, utusan Beng
yang akan di kirim kemari itu adalah cucunya In Tjeng itu."
Tan Hong lihat ayahnya
benar-benar bergembira.
Sementara itu, mereka sudah
sampai di samping pintu.
"Ayah baik-baiklah di
rumah," Tan Hong bilang. Lalu, bersama Tang Gak ia keluar dari pintu
belakang.
Tjong Tjioe senderkan tubuh di
pintu, ia masih mengawasi, sinar matanya suram.
"Sungguh soetee Thian Hoa
sabar dan jauh pandangannya," berkata Tang Gak."Sekarang mengertilah
aku kenapa dia sudi tinggal di rumahmu sampai sepuluh tahun.Oleh karena ayahmu
suka membantu Tionggoan, nampaknya Yasian tidak akan mampu terbitkan sesuatu
gelombang."
Atas ucapannya soepee itu, Tan
Hong hanya angguk-anggukkan kepala. "Sekarang kita menuju ke mana?"
ia tanya.
"Tentu saja ke Peklo
San!" sahut paman guru itu. "Adik kecilmu tengah
memikirkanmu..."
"Oh, jadinya soepee
adalah yang menitahkan dia pergi ke Peklo San?"
"Di atas Peklo San itu
ada satu sahabatku," jawab Tang Gak. "In Loei tinggal di rumah
penginapan, itulah tidak sempurna, maka itu aku suruh dia pergi menumpang di
rumah sahabatku itu."
Keduanya berjalan dengan
cepat, maka tidak lama sampailah mereka di kaki gunung Peklo San itu. Hawa ada
sangat dingin, daun-daun kuning seperti mengampari bukit itu.
Tan Hong sangat bergembira,
pemandangan itu baginya adalah seperti pemandangan di musim semi...
Di tengah gunung ada sebuah
rumah, temboknya dari tanah liat. Kelihatan rumah itu terawat baik. Di pintu
depan, sambil menyender, ada satu nona. Dialah In Loei.
"Adik kecil! Adik
kecil!" Tan Hong segera memanggil. "Adik kecil, aku sudah
kembali!"
In Loei menyahuti dengan
tawar, ia nampaknya lesu.
Tang Gak lihat sikap orang
itu, ia menggeleng kepala, ia kata dengan perlahan: "Kamu berdua adalah
sepasang musuh..."
"Telah aku bicara dengan
ayah perihal peristiwa dulu-dulu, ia sangat menyesal," kata Tan Hong. Ia
ingin beritahukan In Loei perihal ayahnya mengharap sangat bertemu dengan dia
dan kakaknya, tapi In Loei dengan dingin mengatakannya lebih dahulu, "Aku
pun menyesal..."
"Menyesal? Apa yang kau
sesahnya?"
"Kakekku dahulu
mengembala kambing," jawab si nona. "Kalau nanti aku bersama kau
pergi melihat ibuku, tidak tahu apa yang harus aku katakan..."
Tan Hong menghela napas.
Pantas kalau In Loei menyesal untuk ibunya itu — ibu yang telah terlunta,
sangat menderita.
Mengawasi sepasang anak muda
itu, Tang Gak tertawa. "Kamu anak-anak muda, kamu bertemu untuk saling
menghela napas, kamu membuatnya aku si tua bangka jadi sangat tidak
mengerti!" katanya, Jenaka. "Kalau ada omongan, mari masuk ke dalam,
di sana kita membicarakannya."
Masih Tan Hong menghela napas.
"Untukku, walaupun harus menginjak api, akan aku turut kau mencari ibumu
itu," ia kata pada In Loei. "Kalau nanti kita sudah bertemu, apa juga
kata ibumu, bagaimanapun ia tegur aku, akan aku terima saja..."
Tiba-tiba saja In Loei tertawa
geli.
"Untuk apa ibuku tegur
kau?" tanya dia. "Ibuku itu, seumurnya belum pernah menegur
orang!"
Satu kali si nona tertawa,
maka sang awan gelap seperti juga lantas tersapu sinarnya Batara Surya!
Maka dengan hati lega, mereka
masuk ke dalam rumah.
Sahabatnya Tang Gak itu adalah
seorang ahli silat suku bangsa Hui yang tinggal di Mongolia ini, seorang yang
ramah tamah sekali. Begitu ia sambut tetamunya, lantas ia pergi ke belakang,
untuk mencuci dan mensesel dagingnya seekor kambing hutan yang kemarinnya ia
dapat dari memburu, untuk di matangi, dengan apa ia jamu tetamunya itu.
Tak lupa ia menyediakan
araknya.
"Samsoepee dan soehoe
telah lewat di sini kemarin," kata In Loei selagi mereka duduk bersama.
"Tentang itu telah aku
beritahukan Tan Hong," kata Tang Gak. "Sekarang aku masih hendak
berdiam beberapa hari di sini, untuk cari djiesoepee-mu serta Pit To Hoan,setelah,
menemukan mereka baharu aku akan langsung kepuncak selatan dari gunung
Tangkula, untuk menghadiri pertemuan. Kau, In Loei, setelah kau dapat cari
ibumu, harus kau lekas bersama Tan Hong menyusul ke sana. Mungkin sekali kita,
orang-orang tua dan muda dari dua tingkat turunan, akan bersama-sama menempur
iblis tua bangka itu!"
"Apakah benar si tua
bangka iblis itu ada demikian liehay?" In Loei tanya.
"Sekalipun kita kepung
padanya, aku sangsikan kemenangan ada di pihak kita!" sahut Tang Gak.
"Kalau begitu, bukankah
dia jadi ada terlebih liehay daripada si wanita tua dari hutan
bambu?" tanya pula si
nona.
Tang Gak heran, ia melengak.
"Wanita tua siapakah yang
kau maksudkan itu?" ia menegaskan.
In Loei pun segera ingat
perkataannya Thian Hoa bahwa kecuali cuma toasoepee ini yang ketahui hal
ihwalnya si wanita tua, maka itu ia lantas menjelaskannya.
"Dia adalah seorang tua
yang tak sudi memberitahukan she dan namanya," demikian penyahutannya. Dia
pandai menggunai senjata rahasia yang berupa daun bambu.Toasoepee, tahukah
siapa dia itu?"
Nona ini lalu menjelaskan
pertemuan di hutan bambu itu.
"Ah, aku tidak sangka
lootjianpwee itu masih ada di dalam dunia ini" berkata si paman guru
setelah ia dengar semua. "Nyata dia masih tak melupai segala kejadian dahulu
hari itu. Oleh karena dia muncul, di belakang hari mungkin dia campur tangan,
dan itu artinya urusan bisa menjadi bertambah sulit..."
"Sebenarnya siapakah
dia?" In Loei tanya pula.
"Dia itu bersama
soetjouw-mu serta si tua bangka iblis ada punya suatu urusan, hanya kita yang
menjadi anak muda, tak tepat untuk kita membicarakan urusan mereka itu. Di
belakang hari kau akan ketahui sendiri."
Demikian jawaban Tang Gak. In
Loei tidak berani mendesak untuk menanyakannya terlebih jauh. Tentu saja,
sendirinya ia jadi masgul. Sehabis bersantap, sang waktu sudah tengah hari.
Keras sekali niatnya In Loei untuk mencari ibunya, maka ia desak Tan Hong untuk
segera berangkat. Karena itu, sebentar kemudian keduanya sudah pamitan dari
tuan rumah serta toasoepee mereka, untuk berangkat terlebih dahulu.
Sudah sekian lama Tjiauwya
saytjoe ma dibawa In Loei ke gunung Tangkula ini, dan sekarang kuda itu melihat
Tan Hong, lantas saja ia angkat kepalanya dan meringkik keras dan panjang.
Tan Hong usap-usap lehernya
binatang tunggangannya itu.
"Sekarang aku membutuhkan
kau pula!" katanya sambil tertawa.
Kedua pemuda pemudi naik atas
masing-masing kudanya. Lantas mereka mulai dengan perjalanannya.
Orang berada di dalam musim
dingin yang dekat berakhir, merekapun membuat perjalanan ke Utara, maka itu,
mereka menghadapi angin Utara yang hebat. Jalan penuh dengan salju, hingga
jagat menjadi putih anteronya. Di tengah jalan juga sedikit sekali orang yang
berlalu lintas.
Namun dalam keadaan seperti
itu, Tan Hong melakukan perjalanannya dengan hati terbuka, di atas kudanya ia
mainkan cambuknya, dengan nada tinggi ia perdengarkan suaranya: "Cuma
terdengar denyutan dua hati, yang putih bagaikan salju, yang tak sedikit jua
dibiarkan dikotori debu!..."
"Hai, sioetjay
tolol!" berkata In Loei sambil bersenyum. "Kau menyebut-nyebut
salju,kalau sebentar sang angin membawa datang salju itu, baharulah kau tahu
rasanya hawa dingin! Nanti kau sukar berjalan..."
Tan Hong bersenyum, ia tidak
sahuti nona itu.
Manjur mulutnya In Loei, belum
lama atau sang angin mulai meniup-niup, membawa benda halus yang dingin rasanya
itu. Beterbanganlah bunga salju, yang terbawa angin yang meniupnya lantas
menjadi menderu-deru.
Tan Hong tidak hiraukan
gangguan salju itu, ia larikan kudanya yang diikuti In Loei.
Maka itu, basah kuyup tangan
baju mereka, penuh saljulah pelana mereka.
Benar-benar Tan Hong tidak
takut hawa dingin, ia pentang bajunya menyambut hawa yang dingin itu dengan
dadanya. Ia buat main cambuknya, berulang kali ia berseru kegembiraan! Ia
baharu berhenti ketika ia dengar suara nona kawannya: "Eh, kau
dengar!" demikian In Loei, yang rendengkan kuda mereka. "Kau dengar!
Itu suara angin atau suara siulan?..."
Tan Hong segera pasang
kupingnya. Segera ia menjadi keheranan.
"Itulah suara siulan yang
bercampuran suara angin...." katanya kemudian. "Eh, ada juga suara
kaki kuda yang berlari-lari seperti saling kejar... Orang yang bersiul itu
mestinya orang yang liehay ilmu dalamnya.. Mari kita lihat!"
Dan ia segera kaburkan
kudanya. In Loei mengikuti dibelakangnya.
Lari belum lama, jauh di depan
mereka, di antara tanah datar bersalju, mereka tampak dua orang tengah
bertarung seru, keduanya bertubuh besar. Di samping mereka, di pinggiran, ada
tiga ekor kuda yang bagus, penungganganya adalah dua wanita serta seorang pria
yang tubuhnya besar dan kekar juga.
"Rasanya mereka adalah
orang-orang yang kukenal..." kata Tan Hong, yang terus bedal kudanya, maka
di lain saat, tibalah mereka di tempat pertempuran itu, hingga ia melihat
dengan tegas, benarlah terkaannya, mereka adalah orang-orang yang dikenal
olehnya, ialah Hek Pek Moko dengan isteri-isterinya bangsa Iran. Dan yang
sedang berkelahi itu adalah Hek Moko. Hanya, untuk keheranannya, ia kenali juga
lawannya Hek Moko itu,yang bukan lain daripada Kong Tiauw Hay, bekas tjongkoan
dari istana kaisar Beng, dari Kaisar Kie Tin! .
Kong Tiauw Hay itu dandan
sebagai seorang Mongolia, akan tetapi sekarang bajunya telah compang-camping,
romannyapun sudah tidak keruan macam, dia nampak lebih perok. Dia memang kalah
tenaga dari Hek Moko, maka itu setibanya Tan Hong belum lama, ia telah kena
dibikin terjungkal oleh lawannya!.
Tan Hong pun heran, kenapa
mereka itu berkelahi. Tengah keheranannya itu ia lihat Kong Tiauw Hay, setelah
berbangkit bangun telah menghunus sebatang golok, yang dinamakan golok kuda —
matoo, dengan bengisnya ia membacok musuhnya.
"Hai, begal jahat, kau
berani turun tangan terhadap datomu !" demikian bekas tjongkoan itu
perdengar kan suaranya yang keras. "Bagaimana kau berani curi barangku? Lekas
kau kembalikan barangku, perkara ini aku akan bikin habis!" .
Hek Moko tapinya tidak takut,
dia malah tertawa gelak-gelak. Dengan sebat dia keluarkan senjatanya, ruyung
Lekgiok thung, dengan itu ia menangkis.
"Traang!" demikian
satu suara nyaring, lelatu api pun berhamburan. Dan goloknya Tiauw Hay kentop!
"Belum pernah aku ketemu dato!" Hek Moko kata sambil tertawa
pula."Kau bicaralah dengan aku secara baik-baik, kita mungkin masih dapat
berdamai. Jikalau kau tetap hendak berlagak kosen — hm! hm! — kau lihatlah, kau
dapat bacok aku mampus atau ruyungku akan mengemplang remuk paha
anjingmu!"
Hek Moko bergurau tetapi ia
pun berkelahi dengan hebat, sebab Tiauw Hay serang ia bertubi-tubi, halmana
menandakan bekas tjongkoan ini gusar bukan main.
Tan Hong kembali menjadi
heran. Hek Pek Moko adalah "saudagar-saudagar besar," tak sudi mereka
bekerja kecil, maka anehlah kenapa mereka mau curi barangnya Kong Tiauw Hay.
Masih ada lagi satu keanehan, yaitu meski Hek Moko bertempur hebat,nampak nyata
dia tidak niat menurunkan tangan jahat terhadap lawannya itu...
Ini disebabkan Tiauw Hay
bukanlah satu tandingan yang tepat.
Tan Hong lantas berpikir:
"Kong Tiauw Hay ini memang satu manusia rendah, meski demikian ia pernah
aku kenal. Entah apa sebabnya yang utama maka kedua orang ini jadi berkelahi...
Baik aku memisahkannya."
Pikiran ini segera diwujudkan.
Tan Hong majukan kudanya, untuk menyelak di antara mereka. Justeru itu, Kong
Tiauw Hay berteriak keras, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak. Sementara
itu Pek Moko, yang sejak tadi menonton saja, telah lihat Tan Hong yang ia
kenali, ia menjadi girang luar biasa.
"Toako. Thio Kongtjoe
datang!" ia serukan kakaknya.
"Bagus Thio Kongtjoe
datang!" Hek Moko pun berseru. Lalu ia teruskan pada Tiauw Hay: "Coba
kau kasih lihat beberapa mustikamu itu padanya, dia dapat mengenali atau
tidak!"
"Mustika apakah
itu?" tanya Tan Hong, yang menjadi tertarik hati.
Menampak kedatangannya Tan
Hong, Kong Tiauw Hay menjadi terkejut, tapi,berbareng iapun mengharap anak muda
itu nanti suka bantu ia. Ia lantas berseru: "Dua penjahat ini telah curi
mustikaku! Tan Hong, tolong kau berikan pertimbanganmu yang adil!"
"Kau ada punya mustika
apa?" tanya Tan Hong, sambil ia lompat turun dari kudanya. Ia jadi semakin
tertarik hati, hingga ia ingin sekali ketahui duduknya hal.
Sekonyong-konyong, Hek Moko
tertawa.
"Benar, kau ada punya
mustika apa?" katanya dengan keras. Pertanyaannya Tan Hong membuat ia
dapat pikiran. "Kemarin kau berkeras mengatakan bahwa kau tidak punya
mustika apa-apa, kenapa sekarang kau akui mempunyainya?".
Tiauw Hay melengak, tapi ia
sadar lekas.
"Tan Hong, itu memang
mustikaku!" ia berseru.
"Dari mana kau dapatkan
mustika itu?" Tan Hong tanya pula.
Belum sempat bekas tjongkoan
itu memberikan penyahutannya, Pek Moko telah keluarkan satu bungkusan kuning,
yang disodorkan kepada si anak muda.
"Kau lihat, semuanya ada
di dalam bungkusan ini!" dia bilang. "Aku sangsikan asal usulnya
beberapa mustika ini! Mungkin jahanam ini dapat dari curian! Coba kau
periksa,kongtjoe, mungkin kau bisa memberikan keterangan kepada kami."
Hatinya Tan Hong tergerak.
Pernah ia lihat bungkusan kuning itu. Ia lantas saja ingat.
Selama peperangan di
Touwbokpo, selagi tentera Beng dikurung musuh, Kong Tiauw Hay melarikan diri,
Tiauw Hay menumpang bermalam di rumah seorang tani, di situ dia ketemu Tan Hong
dan In Loei. Ketika itu Tiauw Hay menggendol bungkusan kuning itu di bebokong
nya, bungkusan itu berisi uang goanpo emas. Pernah Tan Hong lemparkan bungkusan
itu, tapi Tiauw Hay memungutnya, terus dibawa kabur. Maka berpikirlah Tan Hong:
"Mustahil Hek Pek Moko kepincuk beberapa potong goanpo itu?"
Karena ini, ia lantas buka
bungkusan itu, atau segera matanya menjadi silau. Di dalam bungkusan itu,
kecuali belasan potong goanpo emas, ada lagi beberapa barang berharga lainnya!
Ialah pekgiok sanhoe, yang sangat bercahaya, yang tak ada cacatnya. Batu itu
jauh terlebih bagus daripada sanhoe yang In Loei berikan kepada Tjio Tjoei Hong
sebagai pesalin. Yang satu lagi adalah sebatang tusuk konde dengan dua batu
permata yang dinamakan "mata kucing" yang emasnya berukirkan empat
huruf "Hauw Kim Honghouw," artinya "Permaisuri Hauw Kim."
Yang lainnya lagi adalah sebuah permata singa-singaan,yang terbungkus kertas.
Tapi yang paling berharga adalah sebuah cap terbuat dari batu kumala, yang
berukirkan enam huruf "Tjeng Tong Hong Tee Tjie In," atau artinya
"Cap Kaisar Tjeng Tong." Itulah cap yang hanya sebawahan sedikit dari
gioksie, cap kerajaan.Lagi beberapa yang lainnya adalah barang kuno dari jaman
Siang serta serenceng rantai mutiara, yang harganya tak ternilai, sebab semua
itu adalah permata-permata dari dalam istana.
Mau atau tidak, Tan Hong
menjadi tertawa tawar. "Dari mana kau dapatkan semua ini?" akhirnya
ia tanya bekas tjongkoan itu.
"Semua itu adalah hadiah
bertahun-tahun dari Sri Baginda terhadapku," sahut Tiauw Hay.
"Ya, sampaipun cap
pribadi kaisar dan tusuk konde permaisuri juga dihadiahkan padamu!"
katanya si anak muda, yang tertawa mengejek. Sekarang telah ia dapat menduga,
ketika Kong Tiauw Hay kabur dari Touwbokpo, dia tentunya kabur sambil curi
barang-barang berharga dari kaisar, berikut cap pribadi raja itu serta tusuk
konde permaisuri yang dikasihkan kepada kaisar selaku tanda mata. Rupanya, di
waktu dia ketemu si anak muda di rumah si orang tani, cap dan tusuk konde itu
belum berani ia bungkus jadi satu dalam bungkusan uang, karenanya Tan Hong
tidak lihat itu.
Terkaan Tan Hong ini tidak
keliru. Tapi Tiauw Hay bukan mencuri untuk mendapatkan uang saja, iapun ada
kandung satu maksud lain. Tiauw Hay duga Tionggoan pasti bakal dirampas bangsa
Watzu, bahwa negara tentu akan jadi kalut, maka dia memikir untuk mencuri semua
permata itu, supaya dia bisa lari dan umpetkan diri, untuk hidup sebagai
hartawan. Nyata sangkaannya negara akan musnah itu meleset adanya. Yasian kalah
dan mundur dan raja baharu telah dinobatkan. Karena ini, hatinya jadi ciut.
Justeru itu, kedua paman gurunya, yaitu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam dapat
ditakluki Thio Tan Hong,mereka bekerja kepada Ie Kiam, dia menjadi terlebih
kuatir pula. Dia takut nanti kedua paman guru cari padanya, dia bisa
dipersalahkan merat dari medan perang. Kekuatiran yang lain adalah kalau-kalau
raja yang baru nanti tarik panjang mustika-mustika kaisar Tjeng Tong yang dia
curi itu. Maka, nekatlah dia. Dia kabur ke Mongolia. Dia bercita-cita membeli
tanah di Mongolia , untuk membangun suatu usaha peternakan, untuk hidup mewah
dan aman. Tentu saja sulit untuk dia mengeluarkan cap pribadi raja dan tusuk
konde permaisuri, maka dia memikir hendak menghadiahkannya kepada Yasian,
supaya Yasian suka berikan dia suatu pangkat. Banyak macam cita-citanya itu
yang belum dapat dia wujudkan, maka dia berada dalam keragu-raguan. Malang
baginya, di tengah jalan dia berpapasan dengan Hek Pek Moko, dua saudara saudagar
yang matanya sangat liehay, yang telah berpengalaman selama beberapa puluh
tahun. Dua saudara Moko itu menjadi curiga. Mulanya mereka niat membeli permata
itu tetapi Tiauw Hay menyangkal keras bahwa dia mempunyai barang permata, Hek
Pek Moko penasaran dan mendongkol, maka malamnya mereka satroni bekas tjongkoan
itu dan curi bungkusannya. Tiauw Hay kelabakan, tapi dia pun liehay, dia
menduga jelek pada Hek Pek Moko, yang dia terus cari,hingga kesudahannya kedua
pihak ketemu di tengah jalan itu dan jadi bertempur.
Bungkam Tiauw Hay ditegur Tan
Hong.
"Kecewa kau menjadi
taylwee tjongkoan1." Tan Hong tegur. "Raja perlakukan baik padamu, di
saat raja dalam bahaya terkurung musuh, bukannya kau membela matimatian,kau
justeru meninggalkannya lari sambil curi juga barang-barang
berharganya.Kedosaanmu karena kabur saja, bahagianmu adalah bahagian mati, itu
ditambah pula dengan pencurian!"
Hek Moko menjadi tertawa
bergelak-gelak. "Benar-benar kau perolehnya dari mencuri!" dia
berkata, dia mengejek. "Oh, kau kiranya juga satu taylwee tjongkoan1.
Baik, mari rasai ruyungku ini!"
Kata-kata itu ditutup dengan
satu serangan.
Dengan terpaksa Kong Tiauw Hay
melakukan perlawanan pula.
Thianmo Thunghoat dari Hek
Moko liehay sekali, dan sekarang ia menyerang dengan sungguh-sungguh, tidak
separuh memain seperti tadi, maka itu, baharu lima jurus, Tiauw Hay sudah
kewalahan, walaupun dia telah keluarkan antero kepandaiannya. Tepat pada jurus
ke enam, goloknya bekas tjongkoan itu kena disampok terlepas dan terpental,
menyusul mana , Lekgiok thung turun terus untuk meminta jiwa! Tan Hong
terkejut, hatinya tak tega. "Ampuni dia!" ia berseru. "Rusakkan
saja ilmu silatnya!"
Ruyungnya Hek Moko turun
terus, tepat mengenai pundaknya Tiauw Hay meskipun dia telah mencoba mengegos
tubuhnya. Dia menjerit keras dan rubuh, tulang piepee-nya telah patah remuk,
habis musnalah kepandaiannya Kimtjiong tiauw, ilmu kebal itu, turut musnah juga
semua kepandaian silatnya, hingga selanjutnya dia jadi seorang biasa yang
bercacat.
"Djin wie tjay soe, niauw
wie sit bong, itulah bagianmu!" Tan Hong berkata. "Hari ini kau tidak
sampai binasa, inilah untungmu! Maka selanjutnya baiklah kau mencoba untuk
menjadi orang baik-baik!..."
Tiauw Hay merasakan tepatnya
teguran Tan Hong itu. Memang — djin wie tjay soe,niauw wie sit bong = manusia
mati karena harta, burung mampus sebab makan. Maka dengan paksakan melawan rasa
sakitnya, ia bangun berdiri untuk terus lari terbirit-birit.
Dari seorang "berharta
besar," ia menjadi seorang rudin dan bercacat juga, untuk hidupnya
selanjutnya ia manda menjadi kuli di sebuah perusahaan pengembalaan, di mana
pun, saking berduka, ia kemudian mati mereras...
Sekaburnya Kong Tiauw Hay, Hek
Pek Moko membuat pertemuan dengan Tan Hong.
Mereka saling unjuk hormat,
lalu kedua pihak sama-sama tertawa riuh.
"Kamu datang dari
mana?" kemudian Tan Hong tanya.
"Kami baharu pulang dari
India di mana kami berusaha, baharu kemarin dulu kami tiba di gunung
Tangkula," sahut Hek Moko.
"Bukankah itu wilayahnya
suku bangsa Ngolo?" kata Tan Hong, yang tiba-tiba ingat sesuatu.
"Apakah kau bertemu kepala suku Ngolo itu?" Pek Moko tertawa.
"Kami adalah kaum
saudagar, tak sempat kami menghadap kepala suku itu." dia menyahuti.
"Ada juga lain rombongan orang besar yang pergi berkunjung kepada kepala
suku bangsa itu! Selama beberapa hari ini, dia sedang sangat repot..."
"Siapakah yang
mengunjungi kepala suku itu?" Tan Hong tanya.
"Kabarnya utusannya
Yasian."
"Oh!" seru anak muda
itu, tertahan. "Utusannya Yasian?"
"Kabarnya Yasian hendak
beli suku itu, untuk diajak sama-sama menentang Pangeran Atzu," kata Pek
Moko. "Aku dengar hal ini di tengah jalan, dari satu sahabat. Nampaknya di
dalam negeri Watzu bakal terbit kekalutan. Kawanku kuatir terhalang
perjalanannya,mereka siap sedia untuk pergi ke Selatan. Eh, ya, ayahmu adalah
menteri muda dari Watzu, apakah kau tidak dengar kabar halnya Yasian itu?"
"Aku dapat dengar, hanya
sedikit," Tan Hong jawab. Lalu mendadak ia ingat sesuatu.
Maka terus ia berkata kepada
dua saudara itu: "Maukah kau kasihkan dua rupa barang itu padaku, yaitu
cap pribadi kaisar dan tusuk kondenya permaisuri? Ayahku ada punya milik di ibu
kota Watzu, biarlah aku tukar itu dengan dua rupa barang ini." Hek Moko
tertawa.
"Oh, tidak, tidak hendak
aku jual!" ia kata.
Dua barang itu, yang satu
adalah mustika negara, yang lain perhiasannya permaisuri,Tan Hong hendak beli
itu, untuk nanti dikembalikan kepada Kaisar Tjeng Tong, tetapi Hek Moko
menolak, ia menjadi tidak gembira. Kembali Hek Moko tertawa.
"Barang itu memang tidak
hendak aku jual, tetapi suka aku menghadiahkannya kepadamu!" ia berkata
pula. "Bukankah benda ini kami dapat pungut di tengah jalan? Tidak hanya
itu dua barang, juga semua bungkusan ini, semua hendak aku hadiahkan
kepadamu!"
Tan Hong heran. "Apa
katamu?" dia tanya.
Lagi-lagi Hek Moko tertawa.
"Apakah di kolong langit ini hanya kau seorang yang diperkenankan untuk
berlaku murah hati?" dia tanya. "Apakah hanya kau yang boleh
mengamal? Dahulu hari kau telah
pulangkan barang-barang
pendaman yang aku kalah bertaruh denganmu, dari itu, apa artinya beberapa rupa
barang ini? Karena barang ini dapat kau pergunakan, kau ambillah semua!"
Matanya Tan Hong memain, ia
tertawa. "Baiklah," katanya. "Kamu baik hati sekali,djiewie, aku
tidak sungkan-sungkan lagi. Sekarang aku hendak minta djiewie tolong aku dalam
satu urusan..."
Hek Pek Moko biasanya tidak
sungkan terhadap siapa juga, tetapi terhadap Tan Hong mereka kagum dan takluk,
maka itu, dengan lekas mereka berikan jawabannya.
"Katakanlah, apakah
itu?" berkata Hek Moko. "Walau urusan itu ada sebesar langit,kami
berdua saudara sanggup melakukannya!"
Tan Hong
bersenyum."Itulah bukan urusan sebesar langit!" katanya. "Aku
cuma hendak minta kamu antarkan sepucuk suratku. Surat itu harus disampaikan
sambil lalu."
"Kepada siapakah surat
itu mesti diterimakan-nya?" Hek Moko tanya.
"Bukankah dalam
perjalananmu ini kamu akan melalui wilayah barat dari Atzu Tiewan?" Tan
Hong menegaskan.
"Memang. Jadi kau hendak
kirim surat pada Pangeran Atzu?" Pek Moko pun menegaskan.
"Benar."
"Baiklah! Mana suratmu
itu?"
Di tengah jalan itu tidak ada
kertas dan alat tulisnya, maka tidak ada lain jalan, Tan Hong ambil sepotong
kulit kambing di atas mana ia "menulis" dengan ujung pedangnya.
Setelah selesai, surat
istimewa itu ia serahkan pada Hek Moko berikut dua rupa batu permata.
"Aku minta surat ini
berikut dua rupa mustika ini kau serahkan pada Atzu," ia bilang.
Hek Moko menyambuti, ia simpan
surat dan permata itu.
"Nah, sampai kita ketemu
pula!" kata dia kemudian, yang bersama adiknya terus pamitan dari si anak
muda.
"Sampai ketemu
pula!" balas Tan Hong.
Maka di situ mereka
berpisahan.
"Toako, kau tulis surat
apa itu?" tanya In Loei sesudah mereka berada berdua saja.
Sejak tadi ia cuma jadi
penonton.
"Aku mewakilkan bangsa
Ngolo membuat perserikatan kepada Pangeran Atzu," sahut Tan Hong.
In Loei heran.
"Kenapa kau ketahui suku
Ngolo itu hendak berserikat kepada Pangeran Atzu?" ia tegaskan.
Tan Hong tertawa. "Hal
itu aku tahu pasti," ia jawab. "Memang hal itu telah aku rencanakan.
Lagi tiga hari,kau akan ketahui semua!".
In Loei masih tidak mengerti
tetapi ia tidak menanyakan lebih jauh. Ia hanya kasih lari kudanya, berendeng
dengan kudanya si anak muda.
Kuda mereka bisa lari tiga
sampai empat ratus lie setiap hari meskipun jalanan bersalju dan licin, angin
meniup-niup, maka itu, tiga hari kemudian, tibalah mereka di selatannya gunung
Tangkula. Di sini, selagi memasuki lembah, baharulah mereka jalankan kudanya
perlahan-lahan.
In Loei umbar matanya. Inilah
tempatnya semasa ia kecil. Samar-samar ia masih ingat segala apa. Demikian ia
tunjukkan ini dan itu kepada Tan Hong.
"Di sana di bawah pohon
besar itu, aku biasa main petak bersama anak-anak tetanggaku," demikian
katanya. "Dan di tepinya batu besar itu, suka aku berebahan diri."
Akan tetapi sehabisnya
kata-kata itu, mata nona ini mengembeng air mata. Ingat masa kecilnya, ia jadi
gembira berbareng duka.
"Segera bakal kau menemui
ibumu, untuk apa kau menangis?" kata Tan Hong.
In Loei susuti air matanya.
"Aku terlalu
gembira!" ia jawab. "Bagaimana pendapatmu, baik atau tidak kalau aku
ajak kau bersama menemui ibuku?"
"Kenapa tidak baik?"
sahut Tan Hong. "Apakah kau kuatir ditertawakan ibumu?"
"Bukan! Aku hanya kuatir
ibu ketahui kau adalah musuh keluarga kami!"
Likat In Loei ketika ia
mengatakan itu. Iapun berduka.
"Asal kau tidak pandang
aku sebagai musuh, ibumu tentu akan anggap aku sebagai keponakannya."
In Loei ingat ibunya adalah
seorang halus budi pekertinya, jikalau ia tuturkan jelas tentang Tan Hong,
mungkin ibu itu tidak gusar, bila ibu itu menerima baik, maka tak kuatir ia
akan tentangan dari kakaknya. Mengingat ini, ia jadi bersenyum.
"Kau tertawakan
apakah?" si anak muda tanya. "Segera aku akan bertemu ibuku,bagaimana
aku tidak bergirang?" si nona kata. Tapi sejenak saja, lenyap wajah gembiranya.
Di detik itu ia ingat ibunya ada di rumah kepala suku, bekerja sebagai bujang,
sebagai perawat kuda... Bukankah pekerjaan itu rendah dan hidup ibunya
bersengsara? Maka ia jadi berduka dengan tiba-tiba, kedua alisnya mengkerut...
Tan Hong mengawasi, ia
perlihatkan roman Jenaka. "Apa artinya sebentar ketawa, sebentar
menangis?" ia menggoda. "Dari mana datangnya kesusahan hati?"
In Loei terpaksa bersenyum.
"Kau juga pernah
bertingkah laku demikian!" katanya.
"Nyatalah makin lama kita
jadi makin mirip satu pada lain!" kata si anak muda.
Mukanya In Loei jadi bersemu
dadu.
"Bisa jadi!" kata
dia. "Sudahlah, aku tidak hendak tertawa lagi kepadamu! Mari kita lekas
pergi menemui kepala suku!"
Tan Hong tertawa, ia larikan
kudanya.
Belum sepasang pemuda pemudi
ini tiba di rumah kepala suku, kepala suku itu telah lebih dahulu terima warta
perihal mereka. Inilah disebabkan mereka asing dan kuda merekapun luar biasa,
hingga dengan sendirinya mereka menarik perhatian penduduk di situ. Demikian
setibanya mereka, sebelum mereka minta pengawal pintu mewartakan kedatangan
mereka, tuan rumah, ialah kepala suku, sudah memberi titah untuk pimpin mereka
masuk, untuk mengadakan pertemuan. Dengan demikian, mereka jadi tidak usah
menunggu lama.
Pintu depan dari kepala suku
itu telah dipajang, rupanya ia sedang melayani tetamu agung.
Setelah serahkan kuda mereka,
yang mereka minta tolong dijagai, Tan Hong dan In Loei bertindak ke dalam
mengikuti pengantarnya, ialah satu nana, bujangnya tuan rumah.
Mereka dibawa ke dalam sebuah
kamar di mana terdapat dua perapian untuk menghangati kamar itu, di atas itu
mereka dipersilakan duduk.
Adalah kebiasaan penduduk
Utara, saban musim dingin, mereka nyalakan api di kolong kang, semacam dipan
atau pembaringan tanah, umpan apinya tak tentu, ada dari kayu, arang, atau
kotoran kuda yang sudah dikeringkan.
"Sekarang ini ketua kami
sedang menyambut tetamu di ruang depan," berkata nana kemudian. "Kamu
diminta sukalah duduk menanti dahulu di sini, dia akan menyuruh tjuitjung
melayani kamu. Segala apa kamu boleh sampaikan kepada tjuitjung itu."
"Tjuitjung" adalah
semacam hoatsoe atau pendeta, yang di kalangan suku Ngolo ini berkedudukan
hanya di bawahan "yutjang," kepala suku. Maka itu, penyambutan ini
adalah penyambutan yang terhormat.
Tapi In Loei kecele akan
dengar tuan rumah tidak dapat segera menemui mereka.
Keras sekali keinginannya
untuk cepat-cepat dapat menemui ibunya. Sementara itu ia dengar suara kuda,
ialah suara kudanya sendiri dan kuda Tan Hong, ia jadi seperti ngelamun.
"Apakah kedua kuda itu
bukan tengah dipelihara ibuku? Ah!... Aku ada di dalam kamar hangat dari kepala
suku, menjadi tetamu yang dihormati, tetapi ibu tengah menderita, ia justeru
mesti rawati kuda-kudaku dan Tan Hong..."
Ia jadi sangat masgul, hingga
ia duduk diam saja.
Tan Hong sebaliknya mengajak
si hana bercakap-cakap.
"Tetamu macam apa itu
yang tengah ketuamu layani?" dia tanya.
"Katanya utusan
Yasian," sahut si nana.
"Bukankah utusan itu
sudah datang lama?"
"Ya, sudah sejak tujuh
hari yang lalu."
"Kenapa baharu sekarang
di jamu?"
Hana itu tidak menjawab,
agaknya ia bersangsi.
Tan Hong bersenyum, ia rogo
keluar sepotong emas.
"Kau kerja cape di sini,
ambillah emas ini untuk kau beli arak," ia kata.
Sudah lama hana itu bekerja
pada ketuanya, kalau ia dikasih presen, cuma satu atau dua potong perak kecil,
hampir belum pernah ia lihat emas potongan, sekarang ia diberi hadiah ini, air
mukanya lantas menjadi terang. Ia terima uang itu sambil berulang-ulang
menghatur kan terima kasih, kemudian, tanpa ditanya lagi tetamunya, ia
beritahu:
"Kabarnya hari ini ketua
kami dan utusan Yasian itu hendak memastikan persekutuan , sekarang dibikin
pesta, mungkin persekutuan hendak disyahkan dalam sebuah upacara."
Tan Hong terkejut. "Ah,
syukur aku keburu datang!" katanya dalam hatinya.
Justeru waktu itu tjuitjung,
wakilnya tuan rumah, belum muncul, anak muda kita ini segera berbangkit.
"Ha, sungguh
kebetulan!" katanya, tingkah lakunya wajar "Kamipun adalah pesuruhnya
Thaysoe Yasian, syukur kami dapat susul utusan itu. Thaysoe kami lihat
rombongan utusannya lama belum kembali, dia titahkan kami menyusul untuk
menanyakan hasilnya."
Ia rogo lagi sakunya, untuk
keluarkan dua potong emas. "Tolong kau serahkan ini kepada tjuitjung,
sebagai tanda hormat kami. Kau katakan padanya, tidak usah lagi dia layani
kami, besok kami sendiri akan mengunjungi padanya."
Hana itu berpikir melihat
orang ada demikian royal. "Mungkin benar mereka ini pesuruhnya
Yasian," demikian katanya di dalam hati kecilnya. "Kalau tidak, mana
bisa mereka begini pemurah hati?" Maka ia lantas berkata: "Kalau
begitu akan aku kabarkan ketuaku, untuk minta dia kirim wakilnya untuk ajak
kamu masuk ke dalam."
"Ah, tidak usah, membikin
berabeh saja," Tan Hong mencegah. "Kami dapat masuk sendiri. Kau baik
berdiam di sini untuk tunggui tjuitjung."
Lantas pemuda kita tanya di
mana letaknya ruang depan tempat pesta itu, ia minta ditunjukkan jalannya,
setelah itu bersama In Loei, yang ia beri tanda, ia keluar dari kamar itu,
untuk pergi ke ruang depan.
Hana itu tidak berani
mencegah, ia terpengaruh oleh emas presenannya...
Tan Hong bertindak dengan
cepat, In Loei mengikuti. Tidak ada orangnya tuan rumah yang mencegah, karena
orang tidak tahu hal mereka yang disangkanya datang atas undangan sang majikan.
Sebentar kemudian mereka telah sampai di ruang depan di mana lilin dipasang
terang-terang. Tuan rumah tengah melayani dua tetamunya minum.
Begitu tidak diduga munculnya
dua orang itu, ruang lantas menjadi sunyi, semua orang tercengang. Kemudian
adalah kedua tetamu, ialah utusannya Yasian, yang berbangkit paling dulu, untuk
memberi hormat kepada dua orang ini, yang mereka sangka tetamutetamunya tuan
rumah. Tan Hong dan In Loei memang dandan dengan rapi dan pakaian mereka bukan
pakaian sembarang.
Tan Hong bersenyum, ia
bertindak menghampiri tuan rumah. Ia menyerahkan sepucuk surat. Ia tidak tunggu
sampai tuan rumah menanyakan apa-apa, ia terus keluarkan juga pekgiok sanhoe
serta singa-singaan kumala, yang ia letakkan di atas meja.
Semua barang itu adalah barang
permata dari istana, sinarnya lantas mencorong di antara cahaya lilin, hingga
perhatian semua hadirin sangat tertarik kepada benda itu. Tuan rumah pun
mengawasi dengan diam saja.
"Barang-barang tidak
berharga ini," berkata Tan Hong sambil bersenyum, "majikanku mohon
supaya, biar bagaimana, yutjang sukalah menerimanya."
"Tak berani aku terima
hadiah demikian besar dari Thaysoe," berkata si tuan rumah dengan
jawabannya. Ia sudah lantas menduga Yasian. Akan tetapi, setelah ia lihat surat
di tangannya, ia terperanjat. Di situ ada tertulis namanya Tiewan Atzu. Ia
lantas menjadi bingung. Tan Hong lihat kesangsian orang, ia mendesak.
"Majikanku minta ongya
membubuhi persekutuan untuk sama-sama menyerang Yasian"demikian ia kata
pula, dengan nyaring.
Mendengar ini, kagetlah
utusannya Yasian itu, mereka menjadi gusar, dengan berbareng keduanya lompat
bangun.
"Kau siapa?" mereka
membentak.
"Kita adalah rekan!"
sahut Tan Hong sambil tertawa. "Kamu adalah utusannya Yasian dan aku
utusannya Atzu."
"Kau berani rusakkan
perserikatan kami?" bentak utusan yang satu dengan sangat mendongkol.
Terus ia memandang kepada tuan rumah sambil terus berkata: "Kami mohon
ongya perintah membekuk dua orang ini, untuk mereka diserahkan kepada
Thaysoe."
Tentu saja kepala suku itu
menjadi bersangsi, hingga masih ia berdiam saja.
"Aku minta ongya
bertindak dengan sudah dipikir terlebih dahulu masak-masak," berkata pula
Tan Hong. Di pihak utusannya Yasian itu berlaku bengis, Tan Hong sebaliknya
berlaku manis sambil tertawa-tawa. "Yasian itu mempunyai sifat harimau
atau srigala, maka bila terjadi dia sudah telan Atzu, tak mungkinlah ongya
dapat hidup seorang diri!"
"Hai, jahanam, kau sangat
besar nyalimu!" bentak pula si utusannya Yasian itu.
"Nyatalah kau sedang
memecah, kau menghina Thaysoe1. Ongya, aku minta lekas kau keluarkan titah
menawan mereka ini!"
Yutjang itu menjadi tidak
senang menghadapi kelakuan garang dan kasar dari dua utusannya Yasian itu.
"Aku tahu bagaimana harus
bertindak, tidak usah tuan-tuan capekan hati!" ia menyahut dengan dingin.
Tan Hong tidak pedulikan
kegarangan kedua utusan itu, terus ia bawa sikapnya yang sabar. Ia bersenyum
pula ketika ia pandang tuan rumah dan berkata lebih jauh: "Kini memang
Yasian kuat dan Atzu lemah, maka itu untuk bantu si kuat untuk menindih si
lemah adalah pekerjaan sangat gampang, akan tetapi apakah pernah ongya
memikirnya: Yang keras itu sukar melawan yang keras, yang lemah itu gampang
untuk menyesuaikan diri?"
Hatinya yutjang itu tergerak.
Kata-katanya Tan Hong ini adalah soal yang membuatnya ia ragu-ragu selama tujuh
hari, hingga selama itu belum juga ia ambil keputusannya akan menandatangani
surat perjanjian persekutuan. Sekarang setelah mendengar perkataannya utusannya
Atzu itu, ia insyaf dengan mendadakan, ia merasa seperti ditusuk-tusuk
jarum,peluh dinginnya mengucur.
"Benarlah akan
kata-katanya dia ini," dia berpikir. "Yasian memang lebih kuat
berlipat kali dari aku, jikalau tercapai cita-citanya, asal satu hari saja ia
membalik muka, celakalah aku. Mana bisa aku lawan dia? Kekuatannya Atzu
berimbang dengan kekuatanku, kalau ia bergabung dengan pelbagai yutjang, untuk
menghadapi Yasian, ia mesti berhasil. Setelah itu, bisalah kita semua hidup
damai, dengan masing-masing mengurus tanah daerahnya sendiri..."
Kedua utusan Yasian menjadi
tegang hatinya, mereka menjadi bingung. Mereka lihat kedua matanya tuan rumah
bersinar, memain pergi datang. Mereka tahu tuan rumah tengah bersangsi. Inilah
berbahaya bagi tugas mereka. Mereka bingung, mereka pun mendongkol. Kalau
mereka gagal? Karena itu, mereka lantas saja ambil keputusan.
Mereka adalah perwira-perwira
sebawahan Yasian, mereka kosen, maka itu, mereka lantas memikir untuk
menggunakan kekerasan. Demikian, tak bersangsi lebih lama pula,mereka menghunus
golok, mereka terus terjang Tan Hong.
Anak muda kita cerdik, ia
tabah hatinya. Ia tidak tangkis serangan itu, ia hanya berkelit dan lompat ke
belakangnya tuan rumah. Ia tidak diam saja, sebelumnya berkelit, ia telah ejek
kedua utusan itu, hingga mereka itu bertambah mendeluh.
Kedua utusan itu menyerang
dengan sengit, hampir saja mereka kena bacok tuan rumah. Karena ini yutjang itu
menjadi gusar.
"Ringkus dua orang jahat
ini!" ia berikan titahnya.
"Siapa berani tangkap
kami?" berseru dua utusannya Yasian itu, yang jadi semakin gusar. Oleh karena
mereka tidak mau menyerah, mereka jadi bertempur dengan orangorangnya tuan
rumah. Sesudah bertempur sekian lama, baharu hati mereka menjadi ciut.
Nyata mereka tidak bisa rebut
kemenangan. Karena ini mereka jadi memikir untuk menoblos keluar. Tapi sekarang
sudah terlambat. Baharu mereka memikir begitu,mendadak mereka rasakan kakinya
kaku, hingga di luar kehendaknya, mereka terlutut di depannya Tan Hong. Itu
waktu mereka justeru sedang merangsak sampai di depan anak muda kita.
"Hai, tadinya galak lalu
belakangan menjadi demikian hormat?" berkata Tan Hong sambil tertawa.
/
Orang-orangnya yutjang
mendupak dua utusan itu, setelah mereka rubuh terguling,mereka lantas
diringkus. Sampai waktu itu, mereka masih tidak ketahui bahwa mereka telah
dipermainkan Tan Hong. "Kurung mereka!" yutjang berikan titahnya
pula. Titah itu sudah ditaati dengan segera.
"Baiklah, akan aku
berserikat dengan Tiewan1." kemudian tuan rumah kata pada Tan Hong.
Ia sebenarnya jeri terhadap
Yasian, tetapi sampai sebegitu jauh, seperti orang yang menunggang harimau, ia
tidak bisa memilih lain. Ia harus lindungkan dirinya.
In Loei tertawa di dalam
hatinya menyaksikan yutjang itu membubuhi surat perjanjian bersama Tan Hong.
Sejak tadi, meski ia diam saja, ia sudah bertambah mengagumi anak muda itu,
teman seperjalanannya.
"Tan Hong sangat pintar
dan aneh juga!" ia berpikir. "Dia palsukan diri sebagai utusan
Pangeran Atzu dan dia berhasil mengelabui yutjang ini."
Sebenarnya Tan Hong memang
telah mengatur rencana. Di dalam suratnya untuk Pangeran Atzu, yang ia telah
minta Hek Pek Moko yang menyampaikannya, ia telah menjelaskan rencananya itu.
Dengan singkat ia minta Atzu terima baik perserikatan yang dia atur dengan
yutjang itu. Karena ini, meskipun secara luar biasa, ia sebenarnya adalah utusannya
Atzu Tiewan itu.
Setelah membubuhi tanda
tangan, sekarang yutjang teruskan perjamuan dengan tetap ia sendiri yang
melayani kedua utusan yang baru ini.
Walaupun sepak terjangnya Tan
Hong telah memberikan hasil yang memuaskan, yang mestinya menyenangkan hati
mereka, namun In Loei tidak sedemikian anteronya. Ia tetap memikiri ibunya,
malah sekarang makin keras, hingga sukar arak turun dikerongkongannya.
Demikian, sesudah mencoba
menyabarkan diri sekian lama, akhirnya ia tidak dapat menguasai dirinya lebih
jauh.
"Ongya, aku mohon
tanya," begitu katanya, "adakah atau tidak di sini seorang wanita
yang bekerja sebagai pengurus kuda?" Ia pun lukiskan roman dan potongan
tubuh ibunya sebegitu jauh yang ia masih ingat.
Heran tuan rumah yang
tetamunya menanyakan hal demikian, hingga ia mesti berpikir sekian lama.
"Rasanya benar ada wanita
itu," sahutnya kemudian, "tetapi aku sudah tidak ingat betul. Baiklah
aku nanti tanyakan dahulu kepada hana yang urus istal." Lantas ia titahkan
orangnya.
Tidak selang lama, muncul hana
yang dimaksudkan itu. Yutjang tanya hambanya itu,lalu In Loei menegaskannya.
Hana itu tidak lantas
menyahuti, iapun berpikir dahulu.
"Benar, memang ada wanita
itu," sahutnya akhirnya, perlahan.
Tiba-tiba saja, In Loei
menjadi sangat girang.
"Tolong minta nyonya tua
itu datang kemari!" katanya, lekas. "Kami ingin sangat bertemu
dengannya!"
Hampir nona ini beritahukan
bahwa si nyonya tua adalah ibunya, syukur baharu ia berniat membuka mulutnya,
segera ia dapat pikiran lain, maka ia menahan sabar. Hendak ia menanti sampai
telah ada kepastian. Ia juga hendak cegah kalau-kalau tuan rumahnya menjadi
tidak enak hati karenanya.
Masih si hana berlaku
ayal-ayalan, agaknya ia tengah berpikir keras. "Itulah tujuh tahun yang
telah lampau ketika nyonya tua itu merawat kuda di sini," menerangkan dia
kemudian. "Sekarang dia..."
Hatinya In Loei seperti
melompat. "Sekarang dia ada di mana?" tanyanya. Ia memotong tanpa
merasa. Tegang sekali hatinya sehingga ia tak berkuasa lagi atas dirinya.
Hana itu heran, hingga ia
mendelong mengawasi orang.
"Dia sekarang sudah tidak
bekerja di sini," sahutnya kemudian. "Pada tiga tahun yang lalu, dia
telah berangkat dari sini, kabarnya dia kembali ke tempatnya yang dulu. Sukar
penghidupannya dia itu, tapi kabarnya kini dia ada jauh lebih
mendingan..."
Sekarang dapat si hana bicara
dengan lancar, tetapi sebaliknya, habis kesabarannya In Loei, yang sudah lantas
berbangkit berdiri.
"Baiklah," kata dia.
"Sekarang kami berniat pergi menemui nyonya tua itu. Ongya, kami mohon
diri!"
Tuan rumah dan hambanya
menjadi heran sekali, tetapi adat sopan santun melarang mereka banyak tanya.
"Perlukah aku kirim orang
untuk mengantarkannya?" yutjang tanya.
"Aku sudah ketahui.
Terima kasih!" sahut In Loei. Ia terus memberi hormat untuk pamitan,
perbuatan mana diturut Tan Hong, maka sejenak kemudian, keduanya sudah keluar
dari gedung.
Sesudah orang pergi baharulah
si hana ingat bahwa romannya In Loei sama mirip dengan roman si nyonya tua
tukang merawat kuda itu, tetapi tentang ini ia tidak bilang suatu apa.
In Loei dan Tan Hong berangkat
dengan menunggang kuda mereka. Si nona bungkam akan tetapi wajahnya menandakan
hatinya tegang, pikirannya terbuka, penuh harapan,sehingga bahna tegangnya, ia
jadi mengucurkan air mata, yang berulang-ulang ia mesti menepasnya.
Tan Hong bisa duga ketegangan
dan kegirangannya si nona yang luar biasa, ia tidak hendak menegur.
Setelah larikan kuda mereka
sekian lama, tiba-tiba In Loei merandek dan turun dari kudanya.
"Selewatnya kali kecil
ini, di depan sana, rumah dari tanah liat yang kuning itu adalah rumahku!"
berkata si nona tanpa kawannya menanya. "Ah, itu pohon bwee di muka pintu
masih seperti dulu! Pohon cemara di belakang pun masih kecil, di dalam
semak-semak pohon cemara itu ibu suka menyanyi untukku!..."
Lantas ia jalankan pula
kudanya, sampai Tan Hong lompat turun dari kudanya juga.
"Habis pahit, manis
datang!" ia berkata, sambil tertawa. "Hari ini peebo melihat
kau,betapa girangnya dia!"
Dengan lantas pemuda ini
memanggil peebo — bibi — kepada ibunya si nona.
In Loei tidak bilang suatu
apa, matanya tengah mengawasi ke pintu rumahnya. Ia lantas saja dihinggapi
rupa-rupa kenangan semasa kecilnya, semasa ia tinggal di gubuknya itu. Ia
berduka, tetapipun ia bergembira. Tanpa merasa, dengan perlahan, ia menyanyikan
nyanyian si cilik tukang gembala kambing yang ibunya ajarkan padanya:
Aku ikuti ibu pergi mengembala kambing —
Anak kambing makan rumput, sangat girang dia.
Bunga di tanjakan sedang mekar, harum baunya,
Ibu Bernyanyi, nyaring suaranya,
Dan hatiku, bukan main girangnya! Aduh!
Di udara terbang berputar seekor garuda besar,
Hendak dia menyambar anak kambing kami! Kasihan,
Anak kambing berlari-lari berkelitan!
"Hai, jangan takut, jantung hatiku!"
Anak kambing itu berlindung di sisi ibunya.
"Ya, kau berlindunglah disisi ibumu,
"Di mana pun tak ada tempat seaman sisi ibu!"
Garuda itu tak dapat sambar anak kambing,
Tak dapat dia merampas jantung hatiku! .
Sambil bernyanyi In Loei
bertindak ke arah pintu. Tan Hong awasi si nona, tanpa merasa, air matanya
mengembeng. Terharu ia untuk saksikan kelakuannya kawan ini.
Tiba-tiba terdengar satu suara
nyaring,lalu sepasang daun pintu bobrok terpentang rerbu ka , dari mana muncul
seorang wanita Mongolia yang kepalanya terbungkus ikat kepala, romannya kucel,
sepasang matanya celong, dan bajunya walaupun bersih, telah banyak tambalannya.
Air matanya In Loei bercucuran
begitu lekas ia tampak nyonya itu, lantas saja ia berlarilari,untuk akhirnya
menubruk, merangkul.
Nyonya tua itupun bermandikan
air mata, ia tatap muka orang.
"Sepuluh tahun telah aku
nantikan kau!" serunya. "Benarkah kau, jantung hatiku?..."
In Loei menangis
sesegukan."Benar, ibu, inilah aku..." In Loei menjawab. "Apa ibu
tidak dapat lihat aku?"
"Mari dekatan, kasih aku
pandang kau!" berkata si nyonya, walaupun orang telah berada dihadapannya.
"Benar-benar kau mustikaku, jantung hatiku!..."
Kasihan ibunya In Loei ini.
Dahulu hari, karena secara mendadak ia kehilangan suaminya serta anak
perempuannya, saking berduka, ia menangis terus menerus sampai air matanya
seperti mau kering, karenanya penglihatan matanya itu menjadi kabur, benar ia
tidak menja di buta akan tetapi di antara jarak tiga kaki lebih, tidak sanggup
ia mengenali orang lagi, ia cuma seperti lihat segumpal bayangan hitam. Demikian
sebabnya, walaupun gadisnya bera da di depannya, ia tidak lantas dapat melihat
tegas, ia melainkan dapat merasakan saja.
Tan Hong telah saksikan itu,
ia bersusah hati bukan main. "Begini hebat penderitaannya nyonya yang baik
ini," katanya di dalam hatinya. "Ya, semua ini disebabkan kedosaan
keluargaku..."
Selama di tengah jalan, banyak
yang anak muda ini pikir. Ia telah siapkan kata-kata yang akan diucapkan nanti
dalam pembicaraan dengan ibunya In Loei, untuk menghibur nyonya tua itu, akan
tetapi sekarang, menyaksikan kesengsaraan orang, ia menjadi bungkam, tidak
sepatah kata juga yang dapat ia ucapkan. Maka ia cuma bertindak menghampiri
seperti seorang yang tanpa perasaan.
In Loei dan ibunya berpelukan,
mereka sedang menangis amat sedihnya. Sang nyonya tidak tahu ada lain orang di
situ, dan In Loei lupa kepada kawan seperjalanannya itu.
Selang sekian lama, baharu
terdengar suaranya si nyonya: "Ayahnya In Loei, kau dengar tidak?"
demikian katanya.
Hampir berbareng dengan itu,
di muka pintu muncul seorang, melihat siapa, In Loei tercengang.
Orang itu adalah seorang
laki-laki, mukanya bercacat dengan bekas-bekas luka,tindakan kakinya
dingkluk-dingkluk, pincang. Rambutnya yang tipis, sudah separuhnya berubah
menjadi putih. Juga pakaiannya sudah tidak keruan macam, seperti pakaian si
nyonya. In Loei hampir tidak dapat mengenali laki-laki itu jikalau ia tidak
dengar ibunya mengatakan "ayahnya A Loei." Menampak keadaan ayahnya
itu, jantungnya In Loei memukul keras! .
Dengan duduk di atas sebuah
perahu kecil yang enteng, seorang diri Thio Tan Hong tengah mengayuh
dipermukaan telaga Thayouw, tangan kanannya menyekal dayung,tangan kirinya
menggenggam sebuah anak kunci dari emas yang bercahaya berkilau-kilauan. Dia
pentang kedua matanya, memandang telaga yang luas itu. Dengan riang gembira,
dia buka mulutnya dan bersenanjung dengan nada tinggi: "Telaga Thayouw
yang luasnya tiga puluh enam ribu bahu, airnya masih tak dapat mencuci kedukaan
orang-orang gagah dari jaman dahulu hingga sekarang!"
Keras dan nyaring suara itu
hingga burung-burung di telaga itu beterbangan karena kagetnya.
Itulah anak kunci emas yang
Thio Tan Hong dapatkan dari liang di dalam Koaywa Lim.
Dengan mengikuti petunjuk
gambar itu, tahulah Tan Hong, bahwa harta besar simpanan leluhurnya itu
dipendam di dalam taman penglipur itu. Itulah sebabnya ia telah pergi ke Koaywa
Lim, untuk turut dalam perjudian dadu yang menggemparkan itu. Sementara itu ia
telah ketahui, dari pesan leluhurnya, tempat menyimpan harta itu dipersiapkan
dengan panah-panah beracun, maka itu, sebelum menggali, ia sudah membuat
penjagaan diri, ini juga sebabnya kenapa ia berhasil membongkar tanpa menemui
halangan. Hanya, setelah ia berhasil membongkar pekgiok pay, di situ ia tidak
dapatkan barang lainnya kecuali anak kunci emas itu. Cuma, di atas anak kunci
itu, ia lipat dua baris ukiran huruf-huruf halus yang berbunyi:
"Di telaga Thayouw,
dibukit Tongteng San Barat, Dengan anak kunci ini, harta simpanan dapat
dicari."
Pada waktu ia hendak pendam
harta besarnya itu, Thio Soe Seng berpikir keras, ia memikirkan tempat di mana
ia dapat menyimpan dengan aman. Ia berkedudukan di Souwtjioe, kalau ia simpan
di kota itu juga, pasti Tjoe Goan Tjiang dapat menerkanya.
Sebaliknya, jikalau ia
menyembunyikan di tempat jauh, sulit pengangkutannya dan itu pun mudah membuat
rahasia bocor. Maka akhirnya ia mengambil keputusan untuk menyimpan harta itu
di Say Tongteng San, yaitu gunung Tongteng San Barat, di telaga Thayouw. Dari
kota Souwtjioe ke gunung itu, perjalanan hanya sehari satu malam. Demikian ia
membuat persiapannya dan bekerja.
Tentang lukisan yang
menunjukkan Koaywa Lim adalah tempat harta, itulah sebagian hanya akal belaka.
Di sini cuma dititipkan anak kunci emas itu, yang dilindungi panah api beracun.
Setelah selesai segala apa,
gambar lukisan itu diserahkan kepada "raja yang muda," yaitu putera
Thio Soe Seng serta boesoe-nya, pahlawan kepercayaan, yang setia, ialah
leluhurnya Tjio Eng. Pada putera dan pahlawan itu, telah diberitahukan bahwa di
dalam liang diatur panah beracun itu serta caranya untuk membongkar pekgiok
pay, supaya
orang luput dari ancaman anak
panah. Perihal anak kunci emas dan tempat yang benar di mana harta terpendam,
serta lain rahasia itu, bukan cuma si putera malah si pahlawan juga tidak
mengetahuinya suatu apa. Itu artinya selanjutnya si putera atau siapa pun,harus
berikhtiar dan mencarinya sendiri.
Sewajarnya saja, Thio Tan Hong
telah berlaku cerdik. Setelah dia dapatkan anak kunci emas itu, dia tutup dan
uruk pula liang itu sebagaimana adanya, kecuali tanah bekas bongkaran sebelah
atas, yang tak dapat dia tutup rapi sebagaimana asalnya. Habis itu,sebelumnya
rombongan Kwee Hong tiba, dia sudah angkat kaki dari Koaywa Lim.
Untuk dapat pergi ke Say
Tongteng San, Tan Hong menitipkan dahulu kuda putihnya kepada satu sahabatnya,
lalu dengan sebuah perahu kecil dan enteng, yang telah disiapkan sejak
siang-siang oleh sahabatnya, dia berangkat memasuki telaga Thayouw.
Tempat permulaan berangkat
adalah di jembatan Banlian Kio di kota Souwtjioe itu. Ia berangkat tengah
malam, maka dengan lekas ia telah keluar dari Siekauw, hingga ia sudah lantas
berada di permukaan telaga yang luas dan di lingkungi bukit.
Tentu saja, dalam keadaan
seperti itu, tidak ada kegembiraan Tan Hong akan menyaksikan keindahan alam di
telaga itu, hanya sambil mengayuh, ia keluarkan anak kunci emas itu dan
dibulak-balikkan untuk diperiksa.
"Huruf-huruf yang
terdapat pada anak kunci ini berbunyi: dengan punyakan anak kunci ini, harta
simpanan akan dapat dicari," demikian ia berpikir, "akan tetapi,
bagaimana aku harus mencarinya? Gunung Say Tongteng San besarnya seratus kali
lipat daripada Koaywa Lim, tidakkah aku bagaikan mencari sepotong jarum di laut
yang besar? Tentang hartanya sendiri, itu adalah satu soal lain, tidak demikian
dengan peta buminya — peta bumi itu berhubungan dengan nasib negara!"
Tan Hong memandang ke muka air
di sekitarnya. Air, melulu air! Pemandangan tenang tetapi indah, terbuka juga
hati Tan Hong. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. "Dengan perahu di
tengah gelombang, tenanglah hati," pikir dia. Di tempat permai ini,di saat
begini tenteram, perlu apakah aku berduka tidak keruan? Tidakkah aku
tolol?"
Ia lantas simpan anak kunci
itu, lalu mengayuh pula. Oleh karena perahu itu kecil dan enteng, dia dapat
bergerak dengan laju, seperti dibantu oleh layar.
Telaga Thayouw mempunyai tujuh
puluh dua puncak, di atas itu meganya indah, puas hati memandangnya. Sekarang
Tan Hong telah membuktikan benarnya perkataan bahwa Thayouw ini, dengan
keindahannya itu, dapat menangkan Tong Gouw.
Belum lama ia mengayun
perahunya, atau lantas tampak puncak Say Tongteng San.Memang gunung itu tidak
dapat menandingi Ngogak, ke lima gunung ternama dari Tionggoan, akan tetapi
karena letaknya di antara telaga, gunung ini mempunyai keistimewaan sendiri, tebingnya
curam, banyak batu yang aneh-aneh rupanya, yang menerbitkan berbagai kesan.
Begitu lekas ia tiba di kaki
bukit, Tan Hong segera mendarat. Ia tampak di kaki bukit,sawah berjejer, sedang
di atas gunung, banyak macam pohon-pohonan, yang rapat tumbuhnya, ada buahnya,
ada bunganya, yang menyiarkan bau harum.
"Sungguh tenang dan
nyaman jikalau di sini orang mendirikan gubuk untuk bertinggal," Tan Hong
melamun.
Setelah mencari jalan, Tan
Hong mulai mendaki bukit. Ia berjalan sambil berpikir, ke arah mana ia mesti
cari tempat rahasia harta itu, tiba-tiba ia lihat dua bocah tukang angon kerbau
tengah mendatangi ke arahnya bersama dua ekor binatang angonnya. Dua bocah itu
sudah lantas mengawasi anak muda ini, sinar mata mereka menunjukkan keheranan
atau bercuriga.
Tan Hong segera menghampiri
mereka untuk mengajak mereka bicara.
"Kedua engko kecil, aku
numpang tanya," dia kata. "Aku datang kemari untuk pesiar.Untuk naik
ke atas gunung, adakah di sini jalan yang baik?"
Kedua bocah itu saling
memandang.
"Aku tidak tahu!"
sahut satu di antaranya, suaranya keras.
"Heran," pikir Tan
Hong, "kenapa kedua bocah ini begini tidak tahu adat, mereka beda jauh
daripada penduduk Tamtay Tjoen?"
Selagi Tan Hong berpikir
demikian, ia heran mendapatkan kedua bocah angon itu tiba-tiba berselisih
mulut, sama-sama mereka mementang mulut lebar. Yang di belakang berkata bocah
yang di depan sengaja menginjak lumpur hingga lumpur sawah muncrat mengenai
pakaiannya, yang di depan bilang, kawannya itu sengaja membikin kerbaunya
menendangi batu hingga ada
batu yang terbang ke batok kepalanya.
"Lucu," pikir pemuda
ini, yang berniat memisahkan mereka itu.
Dari berselisih mulut, kedua
bocah itu sudah lantas saja berkelahi. Tidak cuma demikian, mereka juga
menganjurkan kerbau mereka masing-masing untuk turut berkelahi juga. Hingga
sebentar saja, keadaan menjadi kacau.
Celaka untuk Tan Hong, selagi
jalanan sempit, kedua kerbau itu saling seruduk dan saling uber, ke arahnya. Ia
sampai menjerit ketika ia hampir kena diterjang, terpaksa ia pentang kedua
tangannya, dengan gerakan "Yama hoentjong," atau "Kuda hutan
membuka suri," ia tolak kedua kerbau itu ke kiri dan kanan. Ia dapat
lindungi dirinya, kedua kerbau itu ngusruk dan rubuh.
Saking kaget, kedua bocah itu
menjerit keras.
Kalau mau, Tan Hong dapat
melukai kedua kerbau itu, tapi ia telah menggunakan hanya tiga bagian dari
tenaganya, maka itu, ia menjadi heran, ia menjadi kaget mendengar jeritan kedua
bocah itu.
"Adakah aku memakai
tenaga terlalu besar hingga kedua bocah itu turut terluka?" ia tanya
dirinya. Lantas ia awasi kedua ekor kerbau. Kembali ia menjadi terkejut. Kedua
kerbau itu tengah berlarian, kedua bocah angonnya tidak nampak.
"Ah, ke mana mereka
pergi?" pikir Tan Hong. Pada saat ia hendak mencari, dari sebuah tikungan
tampak dua orang tani baharu saja muncul, hanya, untuk herannya, ia dengar
mereka itu segera berseru: "Setan, hari terang benderang, dari mana
datangnya penjahat ini?....."
"Kedua engko, dengar
dulu," kata Tan Hong dengan cepat. Ia menyangka pasti bahwa orang telah
mencurigai padanya. "Aku bukannya orang jahat.....”
"Kau bukannya orang
jahat?" bentak salah satu petani itu sebelum orang berhenti bicara.
"Kenapa kau lukai kerbau kami dan menculik juga kedua anak kami?"
Tan Hong heran.
"Aku menculik anakmu?"
dia tegaskan. "Mereka..... mereka....."
Dua petani itu tertawa dingin.
"Mereka..... mereka
kenapakah?" katanya mengejek. "Kenapa mereka itu lenyap? Jikalau
bukannya kau yang menyembunyikan mereka, pasti kau telah menyerahkan mereka
kepada koncohmu, untuk segera dibawa pergi, buat dijual!" Mau atau tidak,
Tan Hong tertawa. "Mana bisa terjadi demikian?" ia kata. "Coba
periksa dahulu kerbaumu, binatang itu terluka atau tidak, habis itu baharu kamu
pergi cari kedua bocah itu!"
Kedua petani itu menjadi murka,
tanpa banyak omong lagi, mereka angkat pacul mereka masing-masing, dengan itu
mereka menyerang!
Tan Hong terkejut, apapula
ketika ia saksikan kesebatan orang. Walaupun dia bertenaga besar, orang tani
biasa tidak nanti demikian sebatnya.
Terpaksa Tan Hong berkelit
dengan gerakan "Poanliong djiauwpou," atau "Naga melilit."
Tapi ia tidak cuma berkelit. Berbareng dengan itu ia pun mengangkat kedua
tangannya, akan menyambuti pacul orang itu, untuk disamber dan dirampas.
"Tolong! Tolong!"
teriak kedua petani itu. "Tolong, ada rampok! Ada rampok bunuh
orang!"
Tan Hong mendongkol berbareng
geli dalam hatinya.
"Jikalau aku berniat
membunuh kamu, siang-siang jiwamu sudah akan melayang!" ia kata pada
mereka itu. "Tidak nanti aku biarkan kamu membuat keributan!"
Segera ia ayunkan kedua
tangannya, akan melemparkan kedua pacul orang.
Pada waktu itu pula, muncul
lagi delapan orang, yang datang dari mana kedua orang tani tadi keluar, mereka
juga membawa pacul, dan tanpa banyak omong lagi, mereka maju mengeroyok Tan
Hong, dari depan dan belakang, dari kiri dan kanan.
Mau atau tidak, Tan Hong jadi
mendongkol.
"Tidak keruan-keruan aku
mesti berkelahi, sungguh naas," pikirnya. Ia lompat berkelit,ia memikir
untuk meloloskan diri, meninggalkan mereka itu, atau mendadak ia jadi heran. Ia
telah dikurung ke delapan orang itu, ke mana saja ia noblos, di situ ada petani
yang menghalang dan pacul yang melayang ke mukanya.
"Inilah cara berkelahi
yang terlatih," pikirnya kemudian. Karena ini, ia jadi bersungguh-sungguh,
ia tunjukkan kehebatannya. Ia lantas peroleh hasil, tak lama berselang, ia
dapat membuat orang kewalahan, hingga mereka itu main mundur, hanya pada saat
itu, belum dapat ia mengalahkan mereka itu, kecuali apabila ia menggunakan
kekerasan. Latihan mereka itu sempurna, masih dapat mereka mengurung, tidak mau
mereka mengalah.
Akhir-akhirnya Tan Hong
bertindak juga, sambil berseru, ia desak mereka, hingga mereka mundur satu
tombak lebih.
"Jikalau kamu masih tidak
hendak berhenti, jangan salahkan aku, aku tidak akan berbuat sungkan-sungkan
lagi!" ia mengancam. Tapi ia tertawa.
"Apa artinya tidak
sungkan-sungkan?" tanya satu petani, yang rupanya menjadi pemimpin.
"Bangsat anjing, apakah kau kira kami takut?"
Tan Hong jadi mendelu juga.
"Baik aku gunakan pedangku, untuk membuat pacul kalian kutung, hendak aku
lihat, kamu jeri atau tidak.....” pikir dia. Lantas dia lindungi diri dengan
tangan kiri, tangan kanannya dipakai merabah pedangnya.
Justeru itu, dari atas gunung,
terdengar suara pertanyaan: "Hai, kenapa kamu berkelahi?"
Tan Hong mendongak, akan
melihat ke atas, hingga ia tampak satu orang dengan kumis jenggot panjang,
jidatnya lebar, hidungnya besar, dan dandannya seperti anak sekolah akan tetapi
romannya seperti seorang yang mengerti silat.
"Penjahat ini melukai
kerbau dan menculik anak kami!" sahut petani yang menjadi kepala itu.
"Kerbau kita tidak
terluka," kata orang itu, yang terus memanggil-manggil: "A Tjiauw! A
Seng!"
Tan Hong melirik kepada kedua
ekor kerbau. Sekarang ia lihat, kedua binatang itu tidak lagi saling kejar,
hanya berhenti berlari dan berdiri diam, dan dari bawah perutnya muncul kedua
bocah angon tadi, keduanya sambil tertawa berkakakan! Terhadap Tan Hong,mereka
pun mengejek secara Jenaka, hingga pemuda ini tersenyum.
"Aku juga heran kenapa
kedua kerbau itu berputaran tak hentinya, kiranya mereka ini yang main
gila," katanya di dalam hati. "Kepandaian mereka menungang kerbau
nyata terlebih liehay daripada orang Mongolia menunggang kuda. Mereka muncul
secara tiba-tiba, mereka berbuat itu dengan sengaja atau bukan? Baiklah aku
berlaku waspada."
Orang di atas gunung itu, yang
usianya telah lanjut, terdengar pula berkata: "Orang-orang tani desa
biadab dan tidak tahu aturan, ini pun salah pengertian, maka itu akuharap kau
tidak berkecil hati tuan. Eh, kenapa kamu tidak lekas-lekas menghaturkan maaf
kepada tuan itu? Lekas! Setelah itu kamu lekas pergi meluku!"
Ke delapan petani itu, berikut
kedua bocah, yang telah berkumpul menjadi satu, lantas menghadap Tan Hong,
untuk memberi hormat. Sesudah mana, mereka semua ngeloyor pergi, hingga di situ
Tan Hong berada seorang diri saja.
"Apakah siangkong datang
untuk pesiar?" tanya si orang tua kemudian.
"Benar," sahut Tan
Hong, singkat.
"Tujuh puluh dua puncak
tak mudah habis dipandang, sawah yang luas juga dapat menghilangkan duka, maka
kalau siangkong datang untuk pesiar, kau mesti berdiam di sini sedikitnya
beberapa hari," berkata pula si orang tua.
Tan Hong lihat orang berlaku
sopan, ia pun bersikap hormat.
"Aku ingin bertanya mengenai
she dan nama iootiang," ia mohon.
"Tak usah kau tanyakan
namaku, cukup kau memanggilnya aku iootiang," sahut orang tua itu.
"Aku juga, cukup memanggil kau siangkong. Tidakkah ini sederhana?"
Tan Hong setuju dengan
sifatnya orang tua itu. "Benar," ia jawab.
"Aku si orang tua tinggal
di atas gunung ini," kata pula orang tua itu. "Beberapa sahabatku
menamakan tempat kediamanku ini Tongteng San tjhoeng. Siangkong akan berpesiar
beberapa hari di sini, apabila siangkong tidak berkeberatan, baiklah siangkong
beri ketika bagiku untuk aku jadi si tuan rumah. Bagaimana siangkong
pikir?"
"Kau baik sekali,
iootiang, terima kasih," sahut Tan Hong. "Aku kuatir aku nanti
mengganggu padamu.....”
Orang tua itu tertawa lebar.
"Sama sekah tidak, siangkong1." ia kata. "Siangkong berpesiar,
setelah lelah,kau datang ke gubukku, untuk beristirahat, jikalau ada jodoh,
kita berkumpul, kalau tidak, sudah saja. Tidak ada gangguan bagiku.....”
Tan Hong girang, ia hampirkan
orang tua itu, untuk memberi hormat, yang mana dibalas si orang tua. Ia merasa
puas dengan perkenalan ini. Ia memang berniat mencari seseorang yang mungkin
bantuannya bisa diharapkan untuk mencari tempat menyimpan harta, sekarang ada
si orang tua, inilah kebetulan.
Si orang tua menunjuk kelereng
gunung, ia berkata: "Di sana tidak ada apa-apa, akan tetapi sedikit sayur
dan ikan tersedia juga. Kalau siangkong hendak pesiar, silahkan.
Sebentar malam siangkong
mampir padaku, akan aku sediakan ikan segar dan arak putih untuk teman kita
pasang omong."
"Terima kasih," Tan
Hong mengucap, tangannya dirangkapkan. Di dalam hatinya, ia berpikir pula:
"Kalau orang tua ini tidak menyembunyikan sesuatu maksud, ia mestinya
seorang kangouw yang luar biasa, maka berhubung dengan kedatanganku ini,
andaikata aku tidak berhasil mencari harta, senang aku dapat bersahabat dengan
dia. Rombongan petani itu juga bukan sembarang orang, ada baiknya juga untuk
berkenalan dengan mereka.....”
Sampai di situ, mereka
berpisahan, Tan Hong pun mendaki terus, untuk berpesiar katanya, sedang sebenarnya
ia memasang mata, mencari sesuatu.
Selama berdiam di atas gunung,
terus sampai lohor, dengan matanya yang awas, Tan Hong merasa bahwa
kadang-kadang ada seorang petani, atau penduduk gunung itu, yang sedang
mengambil kayu atau memetik buah hutan, memasang mata kepadanya. Ia heran,ia
jadi bercuriga. Tapi ia tidak jeri. Ia tetap perhatikan tempat yang ia
kunjungi, ia ingat baik-baik. Kemudian, ketika matahari sudah mulai turun, ia
menetapi janji terhadap si orang tua, ia bertindak ke lamping gunung, ia pergi
ke apa yang si orang tua sebutkan kampung Tongteng San tjhoeng.
Justeru waktu itu, pintu
pekarangan telah dibuka dengan perlahan-lahan, yang membukakannya adalah satu
nona, yang kedua matanya bersinar dan kulit mukanya halus seperti nona Kanglam atau
nona Utara yang manis.....
"Heran," pikir Tan
Hong. "Kecantikan In Loei ada bagaikan bunga tjielan, kecantikan nona ini
ada seumpama bunga mawar atau hoeyong. Kalau mereka berdua direndengkan,sungguh
sulit untuk memilihnya....."
Tan Hong baharu hendak membuka
mulut, atau si nona telah mendahului. Lebih dahulu nona itu tertawa manis.
"Siangkong, adakah kau
siangkong yang datang berpesiar di gunung ini?" demikian dia menanya.
"Ayah telah berbicara tentangmu kepadaku. Silahkan masuk!"
Tan Hong mengucap terima
kasih, terus ia ikuti nona itu masuk ke dalam pekarangan dimana tertanam pohon
rotan, rupa-rupa pohon bunga, paseban dan empang. Itu adalah sebuah taman yang
menarik yang tak kalah dengan Koaywa Lim, hanya kalah besar.
Taman ini pun nyaman.
Si orang tua, atau tuan
rurnah, tampak tengah berdiri di depan paseban di mana telah tersedia arak,
melihat tetamunya, ia menyambut dangan manis.
"Bagaimana keindahan
telaga dan gunung di sini?" ia menanya.
"Telaga Thayouw ini jauh
lebih indah daripada Tonggouw," jawab Tan Hong. "Airnya,gunungnya,
bagaikan lukisan saja. Hal ini pun telah dibenarkan oleh orang-orang jaman
dahulu. Boanseng kagum sekali."
Orang tua itu tertawa.
"Hanya sayang," katanya, "ada orang-orang yang memandang telaga
dan gunung ini hingga mereka melupakan nama besar dan kedudukan tinggi, sampai
di otak mereka hanya terdapat kuningan yang busuk saja. Tidakkah itu lucu dan
mereka harus dikasihani?"
Mendengar itu, berdenyut hati
Tan Hong.
"Mungkinkah dia ketahui
bahwa aku datang kemari untuk mencari harta terpendam itu!" ia tanya
dirinya sendiri. Tapi segera ia tertawakan dirinya, yang ia katakan banyak
kecurigaannya. Tapi ia masih berpikir lebih jauh: "Leluhurku menyimpan
harta, itulah satu rahasia. Aku juga ketahui harta disimpan di sini sesudah aku
dapatkan anak kunci emas. Maka, cara bagaimana orang tua ini mengetahuinya?
Perkataannya barusan mungkin kebetulan saja.....”
Tuan rumah silahkan tetamunya
duduk, ia mengundang minum, lantas mereka pasang omong terlebih jauh, mengenai
pemandangan alam dari telaga dan gunung, dari hal ilmu surat dan seni lukis.
Nyata mereka cocok satu dengan lain. Cuma sampai sebegitu jauh,mereka pantang
menanyakan asal-usul mereka masing-masing.
Setelah tenggak beberapa
cangkir arak, orang tua itu kelihatan sudah pusing.
"Siangkong, aku sudah
pusing, aku ingin tidur," berkata dia. "Pemandangan Thayouw di waktu
malam indah sekali, jikalau siangkong ingin menyaksikan, silahkanlah. Tempatku
ini ada pintunya yang senantiasa terbuka. Siangkong boleh minta ditemani anakku
atau dapat juga pergi seorang diri. Kalau pulang, tidak usah siangkong mengetok
pintu, asal
ditolak, pintu akan
terbuka."
"Baik sekali orang tua
ini," pikir Tan Hong. "Ia seolah-olah mengetahui isi hatiku.
Memang Thayouw mestinya indah
di bawah cahaya Puteri Malam."
Ia lantas menghaturkan terima
kasih. Orang tua itu pun lantas mengundurkan diri. Si nona tertawa manis, ia
menanya: "Adakah ini yang pertama kali siangkong pesiar kesini?"
"Ya," sahut Tan
Hong. "
"Siangkong kata,
siangkong datang dari Utara, aku lihat kau seperti orang Kanglam," kata
pula si nona, sambil tertawa. "Eh, ya, aku seperti pernah lihat siangkong,
entah di mana, aku seperti kenal kau.....” '
"Kau omong main-main,
nona!" Tan Hong pun tertawa. "Sebenarnya ingin aku lebih siang
mengenal kau,maka sayang, baharu sekarang ada ketika bagiku datang kemari untuk
menyaksikan keindahan telaga dan gunung di sini." Nona itu tertawa, ia
tidak bilang suatu apa.
"Silakan siangkong ambil
tempat di sini," kata dia. "Tempat kami buruk, harap siangkong tidak
mencelanya."
Tan Hong sebaliknya melihat
sebuah kamar yang bersih yang berada di tengah-tengah empang teratai, yang
bunganya sedang mekar, warnanya merah dadu, hingga indah dipandangnya, semerbak
harumnya.
Sambil tertawa, nona itu
mengundurkan diri, akan tetapi masih terdengar suaranya yang halus:
"Benar-benar, kalau melihat orang dari romannya, dia akan keliru mengenal
Tjoe Ie. Menghadapi pemandangan bukit dan telaga ini, orang bicara dari hal
manusia,sekalipun dibanding dengan kaisar, berapakah harga satu kati dari
kaisar itu?"
Tan Hong lantas berpikir:
"Benar-benar, ada ayahnya, ada puterinya! Nona ini sangat sederhana dan
polos.....”
Lantas ia ingat In Loei,
karena mana, bayangan si nona seperti tertindih. Ia mengawasi bunga teratai, ia
ingat akan pengalamannya hari ini. Ia merasa aneh, ia merasa melayang, hingga
tak ada keinginannya untuk tidur. Tanpa merasa, tak tahu ia berapa lama ia
berdiam di dalam kamar itu, Tan Hong tiba-tiba melihat sinar rembulan memasuki
jendela, ia pun dengar suara halus dari gelombang telaga itu. Ia lantas
kerebongi dirinya dengan baju luarnya, ia tolak daun pintu belakang,untuk pergi
keluar kamar, untuk mendaki bukit. Dari sebelah atas, sangat menarik memandang
telaga yang indah itu, yang disinari cahaya Puteri Malam. Gunung Tongteng San
Barat nyata berdiri agung di tengah-tengah telaga, yang luasnya delapan ratus
lie.
Tak dapat dilukiskan
kepermaian alam itu.
Selagi kesengsem dengan
pemandangan itu, tiba-tiba Tan Hong dengar nyanyian si nona:
"Mega abu-abu menggulung,
maka bersihlah langit keperak-perakan,Angin yang halus datang meniup gelombang
sang rembulan,Pasir diam, air berhenti, lenyap juga suara dan bayangan. Dengan
secawan aku menghaturkan, aku bernyanyi untuk tuan,Bagaikan air jernih cukup
untuk mencuci bersih kekotoran. Dalam hidupnya untuk apa manusia menyatakan
penyesalan.Emas, perak dan mutiara, semua merupakan benda penghalang, Semua itu
harus dihabiskan di antara gelombang! Aku nasihati tuan-tuan Ada arak,minumlah
hingga mabuk sendirian, Ada arak tak diminnm, sayanglah sang rembulan."
Merdu nyanyian itu, terbawa
angin menjelajah telaga Thayouw.....
Thio Tan Hong termenung lalu
ia berpikir. "Nona ini menyanyikan syair dari jaman Tong. Bukankah dengan
itu ia tengah menasehati aku untuk jangan bercapai hati dan tenaga mencari
harta simpanan itu? Ah, mana dia tahu cita-citaku! Aku tak berminat menguasai
harta besar itu! Mana sudi aku segala benda busuk itu?"
Lalu timbul keinginannya untuk
membalas si nona. Maka ia menyambutnya:"Tuan, berhentilah bernyanyi, dan
kau dengar nyanyianku Puncak ini mendadak menjulang, menunjang "langit
perak".
Di dalam dunia ini juga ada
laki-laki sejati,Berdiri dengan tegak dan gagah, dengan pedang dilintangkan!
Gelar kebangsawanan dan permata, semua itulah kotoran, Cita-citanya ialah satu
kali menggulung pemerintahan!"
Begitu lekas suara Tan Hong
lenyap maka di sana, di antara batu-batu berdiri bagaikan ujung rebung, si
nona, wajahnya tersungging senyuman. Dia memandang kepada si anak muda,
tangannya dilambai-lambaikan dengan perlahan.
Tanpa merasa, anak muda ini
bertindak menghampiri.
"Apakah benar kau hendak
kukuhi cita-citamu?" tanya si nona tiba-tiba.
"Tak tahu aku, cita-cita
apakah yang nona maksudkan," jawab Tan Hong. "Akan tetapi,
kalau satu laki-laki melakukan
sesuatu, mana dapat dia gampang-gampang merubahnya?"
Wajah si nona berubah.
"Kau datang kemari dengan
pikiran untuk mencuri harta!" dia kata sambil tertawa dingin. "Itulah
kau jangan harap!"
Dengan sekonyong-konyong nona
itu menghunus sebatang pedang pendek, yang sinarnya hijau berkelebat, dengan
apa ia menikam dada si anak muda di depannya.
Tan Hong kaget, akan tetapi ia
dapat berkelit.
"Nona, kau siapa?"
ia tanya.
Nona itu tidak menyahuti,
sebaliknya, dengan kegesitannya, ia menikam pula berulang kali.
Tan Hong tidak melakukan
perlawanan, ia hanya berkelit, karenanya ia jadi terdesak sampai di tempat di
mana terdapat banyak batu. "Nona, tunggu,....tunggu!" ia berkata,
berulang-ulang. "Dengarkan dahulu.....” Ia belum menutup mulutnya, juga si
nona belum menjawab dia, atau mendadak dari antara sela-sela batu yang banyak
itu, muncul beberapa orang, di antara siapa terdapat si tuan rumah, yang
usianya sudah lanjut dan tangannya menyekal sebatang tempuling,ketika dia
lompat ke atas sebuah batu, dia langsung menikam ke arah uluhati si pemuda.
Hebat sambaran tempuling itu,
maka tahulah Tan Hong bahwa orang tua itu liehay ilmu silatnya. Suara sambaran
itu membuktikan orang terlatih baik.
"Lootiang, kau
kenapa?" Tan Hong masih menanya. "Kenapakah sikap kau ini?"
"Hrn! Apakah benar kau
sendiri masih belum mengerti?" jawab tuan rumah itu.
"Mulanya aku sangka kau
seorang terhormat, kiranya kau ada satu manusia jahat yang dipengaruhi
harta!"
Sementara itu Tan Hong kenali
beberapa orang di antaranya adalah petani-petani yang tadi siang ia lihat.
"Memang telah kami lihat,
kau bukannya orang baik-baik!" berkata beberapa orang itu.
"Lihat! Lihat pedang!
Lihat tombak cagak!" Memang benar, senjata mereka itu banyak macamnya, ada
pacul juga.
Tan Hong gentar juga karena
orang segera mengepung dia, lebih-lebih tempuling si orang tua dan pedang
pendek si nona. Ia tidak diberi kesempatan untuk bicara. Tentu saja, tanpa perlawanan
yang berarti, ia bisa terkurung terus di tempat itu, yang banyak batunya. Maka
terpaksa ia hunus pedangnya dengan apa segera ia tabas kutung senjatanya dua
petani.
"Tahan!" ia
berteriak, begitu lekas kedua orang itu mundur, mereka kaget sebab senjata
mereka kena dibabat kutung.
Si orang tua tertawa
berkakakan.
"Dengan terkurungnya kau
di dalam barisan ini, percuma saja pedang mustikamu!" kata dia dengan
wajar tetapi jumawa. Lantas dia maju pula, menikam dengan tempulingnya.
Tan Hong masih pandang orang
tua ini, tidak mau ia mendesak, tidak ingin ia memapas senjata orang, ia hanya
melawan yang lainnya. Akan tetapi, kalau yang satu mundur yang lain maju, atau
mereka meluruk, atau mereka pun seperti menghilang di belakang batu.
Kali ini, mereka itu berlaku
sangat licik, tidak sudi mereka membuat senjata mereka bentrok.
Setelah berkelahi sekian lama,
Tan Hong lantas dapat perhatikan sikap orang. Berikut si orang tua dan si nona,
ayah dan anak dara, lawan berjumlah delapan orang, dan kedudukan mereka pun di
delapan penjuru, dan caranya mereka bertempur ialah tiap-tiap kali mereka
mundur, akan berkelit di belakang batu, akan kemudian muncul lagi untuk
melakukan serangan secara
tiba-tiba.
"Coba aku arah satu
orang," pikir anak muda itu."Ingin aku lihat, cara bagaimana kau
sembunyikan dirimu.....”
Pikiran itu diwujudkan, Tan
Hong desak satu petani, yang ia lihat kepandaiannya biasa saja. Petani itu
berlari-lari di batu, lantas dia lenyap, sebagai gantinya, si nona dengan
pedangnya dan satu petani lain dengan tumbaknya, menyerang dengan tiba-tiba
dari kiri dan kanan dari mana mereka itu muncul secara mendadak. Ketika ia
desak si nona, nona itu pun mundur menghilang, lalu si orang tua muncul sebagai
gantinya, dan orang tua itu menyerang dengan hebat.
"Bagaimana harus aku
layani mereka ?" pikir Tan Hong sambil terus melawan musuh-musuhnya.
Dari delapan lawan itu,
kecuali si nona dan ayahnya, yang enam berkepandaian cukup untuk masuk dalam
dunia kangouw, cuma di mata Tan Hong, mereka adalah orang-orang biasa saja,
hanya yang aneh adalah caranya mereka berkelahi, main mundur dan menghilang,
untuk dengan tiba-tiba muncul pula, menyerang separuh membokong.
Pertempuran luar biasa ini
berlangsung sekian lama, tetap Tan Hong tidak bisa desak terus satu musuh,
tidak mampu lagi ia menabas kutung senjata orang. Di lain pihak, tetap ia
terkurung, tiap-tiap kali ia diserang. Lama kelamaan ia jadi kewalahan juga.
Syukur untuknya, ia mempunyai pedang yang tajam luar biasa itu, yang ditakuti
musuh, hingga
musuh tak dapat mendesak ia
habis-habisan.
Lama juga Tan Hong berpikir,
sampai tiba-tiba ia seperti tersadar. Tidakkah kurungan itu mirip dengan
kurungan barisan istimewa Pat Tin Touw, atau "Delapan Barisan." dari
Khong Beng? Ingat ini, ia lantas perhatikan lebih sungguh-sungguh, ia
perhatikan letaknya berbagai batu. Ia lantas dapat lihat "delapan
pintu" ialah "hioe" = berhenti, "seng" =
hidup, "siang" =
luka, "touw" = tutup, "soe"=mati, "keng" =
pemandangan, dan "kheng" = kaget. Ia tidak sangka bahwa ia akan
menemui Pat Tin Touw di Say Tongteng San di Thayouw ini, sedang
panglima-panglima perang, dahulu dan sekarang, hanya beberapa orang yang
berhasil melihat itu.
Memperhatikan lagi sesaat, Tan
Hong tahu pintu "seng" =hidup dijaga oleh si nona yang bersenjatakan
pedang pendek itu. Ia lantas saja berpikir bagaimana caranya memukul pecah tin
itu, untuk membebaskan dirinya. Lalu, dengan tidak bersangsi sedikit juga, ia
lompat mencelat. Dari pintu soe ia lompat ke pintu kheng, dari sini ia melejit
ke
pintu siang, terus memutar ke
pintu touw, akan lebih jauh melesat ke pintu seng1.
Dengan cara penyerangan itu,
barisan Pat Tin Touw itu lantas menjadi gempar,keadaan menjadi kacau, hingga si
nona menjadi kaget sekali. Karena Tan Hong mendesak ia, berulangkah ia main
berkelit saja.
Sebenarnya tidak sampai hati
anak muda ini, akan tetapi ia ingin nerobos keluar, ia ingin, maka terpaksa ia
mendesak terus, ujung pedangnya senantiasa bergerak-gerak di bebokong si nona.
Dengan cara ini ia hendak paksa si nona keluar dari pintu "hidup"
(seng) itu, untuk memimpin atau mengantarkan ia keluar.
Segera orang sampai di pintu
keluar, si nona mendadak menjerit dengan tajam,agaknya ia sangat ketakutan.
Tan Hong melengak, ia
menyangka, karena kurang hati-hati, ia telah melukai si nona.
Karena ini, terhentilah
serangannya. Tapi justeru itu, bagaikan "bumi terbalik, langit berputar,
terdengarlah satu suara nyaring, di muka bumi itu terbukalah suatu lobang
besar, dan sebelum tahu apa-apa, tubuhnya sudah terjeblos ke dalam lobang itu!
Nyatalah, tempat di mana barusan Tan Hong berhenti, adalah lobang jebakan. Atas
tanah itu ada urukan pasir. Dalam keadaan biasa, karena liehaynya ilmu enteng
tubuhnya,sebenarnya dapat Tan Hong lompat untuk menyelamatkan diri, akan tetapi
jeritan si nona membuatnya ia tercengang, hingga ia merandak, dari itu, tak
keburulah ia mencelat lagi.
Walaupun ia telah terjeblos,
Tan Hong tidak lantas jatuh. Ia masih dapat kesempatan untuk lompat jumpalitan,
maka ketika kakinya menginjak dasar lobang, ia jalan dengan perlahan. Ia hanya
berada dalam gelap gulita, hingga sekalipun ke lima jari tangan di depan
matanya, tidak dapat ia lihat.
Dalam sekejap ia kaget, lantas
ia dapat kuasai pula dirinya. Yang paling dulu ia lakukan ialah merogo ke dalam
sakunya, untuk mengeluarkan serenceng mutiara yabeng tjoe-nya,yang ia cantelkan
diujung pedangnya, maka, cahaya mutiara itu, yang bentrok dengan cahaya pedang,
segera menerbitkan sinar terang, hingga sekarang ia dapat melihat dengan nyata.
Lobang itu dalam sekali,
kelihatannya sukar bagi orang merayap naik ke atas untuk keluar dari situ.
Dasarnya juga tidak rata, dan tanahnya demak, bau demak itu tidak sedap. Untung
bagi Tan Hong, lobang itu tidak buntu, ada lobang lainnya yang merupakan
terowongan atau lorong. Karena mempunyai api istimewa itu, ia lalu bertindak
mengikuti terowongan itu yang jalannya tidak rata, demak semua. Ketika ia tiba
pada akhir terowongan, ia berhadapan dengan tembok batu. Jadi sampai di situ
habislah terowongan itu.
Tanpa merasa, anak muda ini
menghela napas.
"Tidak kusangka bahwa di
sinilah tempat ajalku," katanya dengan perlahan. "Secara begini, aku
akan menemui kematianku secara kecewa.....”
Tapi ia bukan seorang yang
mudah putus asa. Selagi hilang harapan itu, timbul kemurkaannya.
Sekonyong-konyong ia ayunkan kepalannya ke arah tembok.
"Duk!" begitulah
terdengar suara keras. Tiba-tiba, tembok itu tampak bergerak sedikit.
"Hai!" berseru anak
muda ini, yang timbul pula harapannya. Ia lantas saja bekerja.
Tidak lagi ia gunakan
kepalannya, hanya ujung pedangnya untuk mengorek-ngorek dan menggurat-gurat.
Harapannya makin besar ketika ia dapat kenyataan tembok itu gempur
sedikit-sedikit, gempurannya meluruk jatuh.
Nyatalah batu itu ditambal,
dengan gempurnya tambalan itu, batunya pun nampak bergerak sedikit. Melihat
itu, Tan Hong menjadi dapat harapan. Segera ia pasang kuda-kudanya, menghadapi
batu itu, setelah mengerahkan tenaganya, ia menolak dengan keras kepada batu
itu. Dan..... terdengarlah satu suara keras dan nyaring batu itu rubuh ke lain
arah, yang meninggalkan sebuah liang yang hanya muat tubuh satu orang! Tanpa
bersangsi, Tan Hong memasuki liang itu, hingga sejenak saja ia telah berada di
lain sebelah. Yang hebat adalah kedua matanya lantas menjadi silau. Ia meramkan
matanya, ia buka lagi dengan perlahan, untuk meneliti cahaya yang membuat
matanya itu silau. Apabila ia sudah melihat tegas, ia menjadi girang bukan
kepalang.
Di sana terdapat sebuah
terowongan, cahaya itu datangnya dari terowongan itu.
Ia lantas bertindak ke dalam
terowongan itu, yang lebih pendek, dari yang semula tadi,maka itu, sebentar
kemudian, sampailah ia di tempat yang buntu. Di situ terdapat sebuah pintu
batu, bukan batu biasa, tetapi seluruhnya pekgiok, batu kumala warna putih.
Batunya sendiri tidak aneh, yang aneh adalah besarnya. Maka dapatlah dimengerti
jikalau
kumala putih itu berharga
besar bukan main.
Sekarang Tan Hong simpan
yabeng tjoe-nya, ia rabah pintu kumala itu, yang licin. Ia merabah-rabah ke
sekitarnya sampai jari tangannya menyentuh suatu liang kecil. Ketika ia awasi,
ia dapat kenyataan liang itu adalah liang kunci. Kembali ia dapat harapan.
Tan Hong keluarkan anak
kuncinya, ia masukkan itu ke dalam liang kunci itu, apabila ia memutarnya,
pintu kumala itu terbuka. Dengan girang ia masuk ke pintu itu, hingga ia berada
di lain ruangan. Sambil melewati pintu, tangannya mendorong ke belakang daun
pintu, atas mana, pintu itu tertutup pula.
Sambil menyimpan anak
kuncinya, Tan Hong pentang kedua matanya. Di hadapannya sekarang nampak sinar
terang, yang bercahaya berkilauan, itulah sinar dari emas dan perak serta
barang permata lainnya. Sekejap itu, ia dapatkan suatu perasaan. Bukankah ia
tengah menghadapi suatu harta besar? Tan Hong gunakan tangannya, akan
mengangkat berbagai permata itu, sampai di bawahnya ia dapatkan sebuah kotak
kumala. Kotak itu tidak dikunci, hingga mudah dapat dibuka. Isinya adalah
sehelai peta bumi yang lebar. Ia lantas beber peta itu, ia memandangnya dengan
menggunakan sinar pelbagai barang permata itu.
Peta itu melukiskan dengan
jelas setiap tempat, ada gunungnya, ada kalinya. Untuk tempat-tempat yang harus
dibelai, atau diserang, ada petunjuk-petunjuk yang berupa catatan. Melihat
jamannya, sangat lengkap peta itu.
Tan Hong tahu, itulah peta
yang dicari-cari. Itulah peta Pheng Hoosiang, yang dibuatnya tentu dengan susah
payah dan memakan waktu, untuk Thio Soe Seng memperebutkan negara dengan Tjoe
Goan Tjiang.
Mengawasi peta itu, dengan
sendirinya Tan Hong mengucurkan air mata.
Selagi mengawasi kotak kumala,
di atas itu Tan Hong lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
"Bila peta ini muncul,
maka bangkitlah pula Kerajaan Tjioe yang besar."
Tan Hong duga bahwa
leluhurnya, yaitu Thio Soe Seng, percaya turunannya akan dapat menemui harta
dan peta itu, maka ditinggalkannya pesan itu supaya turunan itu nanti
mengusahakan untuk mewujudkan cita-citanya merubuhkan kerajaan Beng, untuk
membangun pula kerajaan Tjioe.
Sambil menghadapi kotak kumala
itu, Tan Hong paykoei sampai delapan kali, sambil memberikan hormatnya itu, ia
angkat kepalanya, mendongak, seraya mengucap: "Thio Tan Hong, turunan yang
tidak berbakti, mohon maaf leluhurnya, bahwa mungkin sekali Tan Hong tak dapat
mewujudkan pesan memusnakan kerajaan Beng guna menghidupkan pula kerajaan
Tjioe.....”
Dengan mencari harta dan peta
itu, Thio Tan Hong sudah mempunyai suatu maksud tertentu, yaitu peta dan harta
itu hendak ia serahkan kepada Kokloo Ie Kiam, supaya Ie Kokloo menggunakannya
untuk menangkis penyerbu, petanya untuk pembelaan dan penyerangan, dan uangnya
guna membeayai angkatan perang dan membeli alat senjata dan rangsum.
Setelah meneliti peta itu, Tan
Hong menggulungnya pula.
"Sekarang aku mesti pergi
ke mulut gua, untuk perdengarkan suara nyaring,guna membeber cita-citaku, guna
memperlihatkan kecintaanku terhadap negara, mungkin Tongteng Tjhoengtjoe dapat
mendengarnya dan akan insaf pada cita-citaku itu. Semoga dia nanti menurunkan
dadung untuk aku naik ke atas.....”
Begitu ia berpikir, begitu Tan
Hong bertindak ke pintu kumala. Tadi ia telah menutup pula pintu itu, sekarang
ia mesti membukanya kembali. Ia terkejut, ketika ia dapatkan pintu terkunci,
hingga tak dapat ia membukanya. Ia mencoba dengan anak kuncinya,akan tetapi
terbukti, itu bukanlah anak kunci yang tepat. Nyata pintu itu mempunyai dua
macam kunci , satu untuk di luar, dan yang lain untuk yang di dalam.
"Celaka!.....” ia
mengeluh.
Kali ini benar-benar hebat.
Pintu itu tidak dapat digempur seperti pintu batu tadi. Di situ cuma ada emas
dan perak serta permata, tidak ada barang makanan, itu artinya bahaya lapar
mengancam padanya. Di situ pun tidak ada air, hingga tenggorokannya akan lekas
menjadi kering. Leher kering sama bahayanya dengan perut kosong.
"Kelihatannya pasti aku
akan mati kelaparan dan berdahaga di sini.....” pikirnya pula kemudian.
Menghadapi ancaman maut adalah
sangat hebat, maka itu, dalam putus asanya. Tan Hong berteriak-teriak di muka
pintu, ia harap suaranya itu terdengar sampai di luar. Tapi ia pentang suara
tanpa ada hasilnya, suara itu cuma terdengar oleh kupingnya sendiri,hingga ia
merasa tuli.....
"Orang kata, seseorang
dapat bertahan selama tujuh hari jikalau ia tidak dahar, tapi aku terlatih ilmu
silat, mungkin aku dapat bertahan selama sepuluh hari," pikir ia kemudian,
menghibur diri. "Selama sepuluh hari, aku mesti berpikir untuk mendayakan
sesuatu.....”
Pikiran Tan Hong lantas saja
melayang, ke-permusuhan antara kedua keluarga Thio dan Tjoe, yang berjalan
turun temurun, atau di lain saat ia ingat In Loei, wajah siapa segera terbayang
dihadapan matanya. Ia lihat tegas nona itu cantik dan manis tapi berbareng
dengan itu pun bengis, bagaikan tengah murka.....
"Oh, adik kecil, sukar
bagi kita bertemu pula.....”
Tan Hong mengeluh.
Tan Hong tahu, sudah beberapa
kali In Loei berniat membinasakan dia, tetapi ia tidak bersakit hati karenanya.
Ia malah sangat tertarik terhadap nona itu, yang, kecuali sedang murka, juga
manis dan menarik hati, karena gerak-geriknya yang halus.
"Memang dia berniat
membunuh aku, tapi ada kalanya dia sangat lemah lembut," pikirnya pula.
"Ya, halus budi pekertinya. Yang kurang padanya adalah kekerasan hati
berlainan dengan anak daranya Tongteng thjungtjoe, aku percaya dia berani
berbuat dan berani bertanggung jawab, hingga alangkah baiknya apabila sifat
mereka berdua dapat
digabung menjadi satu. Dengan
begitu jadilah dia satu manusia yang sempurna.....”
Terkurung dalam guha itu, Tan
Hong menjadi tidak keruan rasa. Untuk tungkuli diri, ia periksa semua harta
leluhurnya itu, ia angkat sana dan angkat sini, ia balik-balikkan. Tiba-tiba
tertindih oleh setumpuk mutiara, ia dapatkan satu kotak pualam lainnya. Ia
angkat itu. Di atas kotak itu ia baca ukiran berikut: "Surat-suratnya guru
marhum. Soe Seng
simpanlah dengan
perhatian."
Dengan lekas Tan Hong buka
kotak itu, untuk melihat isinya, ia dapatkan peta bumi yang masih terpisah satu
dengan lain dan sejumlah catatan. Ia mengerti, terang sudah,semua itu adalah
berbagai catatan dari Pheng Hoosiang ketika dia mulai dengan pembuatan peta
buminya itu, yang dicatat di setiap tempat ke mana dia telah pergi, ketika
semua itu telah dihimpunkan menjadi satu, terjadilah peta yang orang berebut
mencarinya.
Tentu saja sekarang ini, peta
kasar itu sudah tidak ada perlunya, kecuali itu pelbagai catatan lain, tentang
penduduk sesuatu tempat dan kebiasaannya masing-masing, perihal keletakan pelbagai
gunung dan sungai yang mengenai pergerakan tentera. Semua itu pun menyatakan
ketelitian Pheng Hoosiang, kesungguhan hatinya, yang sudah bercapai hati untuk
mengumpul dan membuat itu.
"Semua ini harus aku
simpan dan kumpulkan dengan rapih, inilah bagus bila dibuat menjadi satu jilid
buku istimewa," demikian Tan Hong pikir. Tapi, bukan bagian petanya,hanya
tulisannya. Kali ini ia lihat catatan tersusun, yang merupakan sejilid buku
tipis. Buku ini berkalimat "Hiankong Yauwkoat" atau "Rahasia
ilmu silat." Ia baca lembaran pertama,tentang ucapan Khong Tjoe perihal
"iie"= dasar, "khie"= hawa, dan "siang"=roman. Ia
heran. Dari mana Khong Tjoe mengerti tentang hiankong atau Iweekang, ilmu silat
bagian dalam? Maka ia membaca terus. Ia dapatkan
penjelasannya: "Roman itu
bersifat iimu siiat; hawa itu pengaruhnya iimu siiat; dan dasar adalah buahnya
iimu siiat. Kaiau ketiganya diperoleh dengan lengkap, gerakan tangan dan kaki
tak akan menyeleweng."
Lalu, lebih jauh, ada berbagai
penjelasan lainnya lagi. Maka, setelah membaca itu, Tan Hong menghela napas
saking kagum. Seorang diri ia kata: "Setelah membaca ini, baharu aku kenal
akan diriku. Dibanding dengan guru besar ini, aku tak lain daripada sinar
kunang-kunang."
Karena ini, ia menjadi sangat
tertarik, kemudian ia lanjutkan terus.
Harus diketahui, Pheng
Hoosiang itu bukan sembarang orang. Ia pun telah menjadi guru dari dua kaisar —
Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng — maka dapatlah dimengerti yang ia mempunyai
kepandaian istimewa, yang melebihi kebanyakan orang. Kebetulan sekali, Tan Hong
adalah orang yang mendapatkan kitab warisan itu, dengan kecerdasan nya ia dapat
menginsyafi isi kitab itu.
Kakek guru dari Tan Hong, Hian
Kee Itsoe, telah mendidik empat murid, kepada tiap muridnya ia telah mewariskan
masing-masing serupa kepandaian. Tan Hong ketahui, toasoepee Tang Gak
mendapatkan Taylek Kimkong Tjioe, dan djiesoepee Tiauw Im Hweeshio mendapatkan
Gwakang, ilmu silat bahagian luar, atau Ngekang — ilmu keras.
Sekarang, setelah ia membaca
kitab ini, tanpa petunjuk lisan dari guru lagi, mengertilah ia isi dari kedua
ilmu silat itu, hingga ia jadi girang tak kepalang.
"Dengan memiliki kitab
ini, apabila aku meyakinkannya dengan sungguh-sungguh,bukankah aku akan
mengerti maksud setiap ilmu silat dan mudah mempelajarinya sesuatu ilmu?"
demikian ia kata seorang diri. Tapi begitu lekas ia sadar bahwa ia tengah
terkurung, dengan tiba-tiba saja ia menjadi lesu pula.....”
Dengan cara bagaimana ia dapat
keluar dari gua ini ?
-ooo0dw0ooo-
Benar-benar hebat serangannya
Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng itu, pedang mereka menyambar-nyambar dengan sama
imbangannya, kedua pedang sebagai juga tergabung menjadi satu.
Tan Hong masih merasakan
matanya seperti kabur, tidaklah heran apabila Ouw Bong Hoe, apapula beberapa
pelayan itu, bagaikan tidak melihat tubuh orang, hanya bayangannya saja. Mereka
ini cuma bisa memandang dengan mata diam dan lidah diletletkan...
Begitu hebat serangannya Thian
Hoa berdua, akan tetapi Siangkoan Thian Ya pun telah memperlihat kan
kepandaiannya yang sempurna sekali. Dia melayani dengan sepasang tangan tanpa
senjata, dia mempertunjukkan kelincahan tubuhnya serta kesehatannya kedua belah
tangannya itu. Dia tidak hanya berkelit, diapun dapat membalas menyerang,yang
setiap kali mengarah bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya dari kedua lawannya
itu.
Nampaknya si hantu bagaikan
terkurung pedang-pedang lawan, akan tetapi Tan Hong dapat melihatnya dengan
nyata bahwa si hantu senantiasa dapat pecahkan seranganserangan berbahaya dari
siangkiam happek, nampaknya gampang saja dia mengelakkan diri, hingga terlihat
tegas dia ada jauh terlebih liehay apabila dibandingkan dengan si nyonya tua
dari rimba bambu tjietiok lim.
Menampak keadaan itu, Tan Hong
kuatiri gurunya serta kawan gurunya itu.
Di pihak lain, di dalam
hatinya Siangkoan Thian Ya juga menjadi heran sekali hingga sekarang ia
menginsafi benar-benar keterangan Tan Hong bukan omong kosong belaka perihal
liehaynya ilmu pedang siangkiam happek itu. Jadi benarlah, di dalam dunia ini,
ada semacam ilmu pedang yang liehay.
"Apabila aku belum
mencapai puncaknya kesempurnaan, pasti aku dengan lekas dapat dipecundangi,
" demikian dia berpikir di dalam hatinya. "Jikalau muridnya saja
sudah demikian hebat, dapatlah diduga bagaimana liehaynya guru mereka..."
Siangkoan Thian Ya mau tidak
mau, mengagumi juga Hian Kee Itsoe.
Sementara itu, karena herannya
mereka menampak Tan Hong muncul dengan tiba-tiba dan munculnya juga dari
rumahnya Siangkoan Thian Ya, dengan sendirinya gerakannya Thian Hoa dan Eng Eng
menjadi kendor, ketika baik ini segera digunakan oleh Thian Ya untuk mendesak,
hingga mereka kena dipukul mundur beberapa tindak. Tentu saja, dengan
sendirinya mereka menjadi bergelisah.
Setelah berhasil dengan
desakannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak mendesak terlebih jauh, hanya sambil
berpaling kepada Tan Hong, yang ia tampak muncul, ia berseru: "Thio Tan
Hong, kiranya kau juga termasuk muridnya Hian Kee Itsoe! Baiklah, kau pun boleh
maju bersama!"
Sampai itu waktu, Tan Hong
telah sadar dan ingat benar akan janji gurunya untuk ia datang ke gunung ini,
untuk bersama In Loei membantui guru mereka menandingi hantu itu, akan tetapi
ia toh merasakan bagaimana manis budinya Siangkoan Thian Ya terhadapnya hingga
ia beranggapan si hantu bukanlah hantu yang jahat. Malah ia menjadi berpikir:
"Berhubung dengan dongengnya Siangkoan Thian Ya ini, antara dia dan
soetjouw-ku, siapakah yang dapat disebut si kiamkek atau pendekar? Dia atau
soetjouwku itu?"
Dengan menyekal pedangnya, Tan
Hong diam mengawasi ketiga orang itu.
Menampak demikian, Ouw Bong
Hoe menghampirkan, ia tepuk pundak orang. "Eh, marilah kitapun bertempur
satu dua gebrakan!" dia berkata. "Ya, aku mengucap terima kasih
kepadamu yang telah pinjamkan aku kitabmu Hiankong Yauwkoat itu!"
Ouw Bong Hoe bukan menantang
benar-benar, ia hanya kuatirkan Tan Hong. Ia berkuatir anak muda ini masih
belum sempurna ilmu silatnya hingga tidak akan sanggup melayani gurunya yang
liehay itu, karena itulah, hendak ia menalangi gurunya.
"Kita berdua tidak
bermusuh, untuk apa kita bertempur?" Tan Hong tolak tantangan orang itu.
"Eh, ya, bagaimana asal usul gurumu itu? Dia sebenarnya satu kiamkek atau
satu penjahat?"
Ouw Bong Hoe melongo karena
mendengar kata-kata orang itu. Ia mau percaya,pada sejenak ini, si anak muda
telah kumat gangguan otaknya...
Tan Hong mengawasi, agaknya
hendak ia menegaskan Bong Hoe, tapi mendadak perhatiannya tertarik oleh suara
beradunya senjata, yang datang dari lain arah, ialah dari belakang bukit. Dari
mana tertampak dua pria dan seorang wanita tengah bertempur sambil mendatangi
ke arah mereka. Kedua pria itu terdesak oleh si wanita yang tangan kirinya
memegang gaetan kimkauw dan tangan kanannya menyekal pedang. Setelah mereka itu
mendatangi semakin dekat, Tan Hong segera kenali kedua pria itu adalah Tiauw Im
Hweeshio yang kepalanya gundul dan Tjinsamkay Pit To Hoan yang mukanya
hitam legam.
Itu hari selagi Tiauw Im
Hweeshio berada di luar kota Ganboenkwan dengan menyangsikan Tjia Thian Hoa
sudah berubah pikiran dengan menyerah kepada musuh,saudara mana tak dapat ia
susul, hingga ia mesti jalan mundar mandir di tengah tegalan datar rumput,
secara kebetulan ia ketemu Pit To Hoan, maka bersama-sama mereka lalu pergi ke
gedungnya Thaysoe Yasian untuk mengacau, sampai mereka dapat dicari Tang Gak,
siapa telah menjelaskan kepada adik seperguruan itu perihal sepak terjangnya
Thian Hoa. Pendeta ini percaya soeheng-nya, sang kakak seperguruan, dapat
dikasih mengerti,maka sejak itu, ia mempercayai Thian Hoa. Ia menjadi menyesal
atas keliru mengertinya
itu. Kemudian Tang Gak
pisahkan diri dari mereka, yang diminta pergi ke gunung Tangkula untuk menepati
janji akan menemui Siangkoan Thian Ya. Nyatalah mereka telah ketinggalan oleh
Thian Hoa. Selagi mendaki gunung, mereka bersomplokan dengan Kimkauw Siantjoe
Lim Sian In, muridnya si hantu, karena kedua pihak berselisih omong,mereka jadi
bertempur. Kimkauw Siantjoe adalah murid terpandai dari Siangkoan Thian Ya,
kegagahannya sebanding dengan Tjia Thian Hoa atau Yap Eng Eng, maka dalam
pertempuran itu, walaupun Tiauw Im dibantui Pit To Hoan, mereka tetap
terdesak,sehingga mereka main mundur dengan mendaki ke atas, ke arah rumahnya
Siangkoan
Thian Ya. Dengan demikian
mereka tiba di tempat pertempuran itu.
Siangkoan Thian Ya pun segera
lihat rombongan itu, lantas saja ia perdengarkan suaranya: "Apakah kamu
murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Bagus! Mari maju kamu semua sama mengepung aku!
Asal kamu bisa lawan seri padaku maka akan aku biarkan Hian Kee si tua bangka
itu menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan!"
Selagi gurunya menantang
demikian rupa, Lim Sian In telah desak pula kedua lawannya itu, tiga kali
beruntun ia menyambar dengan gaetannya, disusul dengan dua kali tikaman
pedangnya, karena mana ia membikin Tiauw Im dan To Hoan menjadi kewalahan
melindungi diri mereka, hampir saja mereka rubuh terguling sedang napas mereka
memburu keras sekali.
Menampak demikian, Lim Sian In
kata sambil tertawa: "Dua orang ini tak usahlah soehoe yang berikan
pengajaran! Sekarang biarkan dahulu mereka beristirahat, sebentar akan aku
suruh mereka melayani kembali padaku!"
Tiauw Im dan To Hoan adalah
bangsa berangasan, mereka jadi sangat gusar, maka keduanya lantas lompat kepada
Kimkauw Siantjoe, untuk menyerang pula. Akan tetapi belum lagi mereka sampai ke
pada nona itu, Thio Tan Hong telah tiba dihadapan mereka.
Anak muda ini mengawasi dengan
mendelong, romannya sangat beda daripada biasanya,seorang diri dia
berkata-kata: "Ini, ini toh Djiesoepee... Ini, ini..."
"Hai, Thio Tan
Hong!" Pit To Hoan memotong, "Kau kenapakah? Apakah kau sudah tidak
kenali kami? Aku toh Tjin..."
Sekonyong-konyong Tan Hong
tepuk kepalanya!. "Ya, tidak salah!" ia berseru keras sekali,
"kau benar Tjinsamkay Pit To Hoan!"
Tiauw Im pun segera berkata:
"Tan Hong, aku telah menginsafi maksudnya gurumu,dulu hari kau telah
berlaku tidak hormat kepadaku, tentang itu aku tidak tarik panjang pula. Kenapa
kau tidak membantui gurumu itu?"
Tan Hong awasi paman guru yang
kedua ini, ia tidak menyahuti. Otaknya tengah berkutat, keras sekali ia
berpikir, untuk mengingat-ingat.
"Apakah yang dikandung
guruku di dalam hatinya?..." demikian berulangkah ia tanya dirinya.
Samar-samar ia ingat yang gurunya itu berdiam di ibu kota negara Watzu di dalam
sebuah gedung besar di mana pun ada sebuah taman bunga yang besar juga, di situlah
gurunya ajarkan ia ilmu silat pedang. Ingat akan hal ini, lantas ia ingat
tentang peperangan di antara kedua kerajaan Beng dan negara Watzu itu. Ia
lantas mengingatingat terus, sampai tiba-tiba ia dibikin terperanjat oleh suara
bentrok yang keras dari alat senjata, hingga segera ia berpaling ke arah itu,
ternyata suara itu datangnya dari
beradunya pedangnya Thian Hoa
dengan pedang Eng Eng karena tersampok tangan bajunya Thian Ya, hingga ilmu
silat siangkiam happek yang liehay dari kedua saudara seperguruan itu menjadi
kalut karenanya.
Menampak itu, Tiauw Im pun
menjadi kaget sekali, hingga ia berteriak: "Tan Hong,masih kau tidak lekas
maju?" Dan, sambil angkat tinggi tongkatnya, ia pun lompat. Akan tetapi ia
segera dirintangi Kimkauw Siantjoe yang sambar ia dengan tangan kiri dan
menikam dengan tangan kanan.
Masih Tan Hong tak sadar akan
dirinya.
"Djiesoepee," dia
tanya, "soetjouw kita itu penjahat atau pendekar pedang?"
Tiauw Im menjadi sangat
mendongkol hingga ia lompat berjingkrak.
"Hai, Tan Hong, apakah
kau sudah gila?" dia berteriak.
Tan Hong pegangi gagang
pedangnya, yang ia usap-usap. Masih ia terbenam dalam
kesangsian.
Justeru itu dari sebuah
tikungan terlihat lagi munculnya dua orang. Menampak mereka itu, anak muda ini
berdenyut jantungnya, darahnya seperti bergolak.
Dua orang itu adalah satu nona
yang sedang pepayang seorang lelaki tua yang kakinya pincang, hingga sukar
jalannya mereka itu. Dan mereka itu adalah In Loei dan ayahnya!
Tan Hong merasakan ia seperti
tengah bermimpi.
"Adik kecil! Adik
kecil!" ia memanggil berulang-ulang, tanpa ia merasa.
Air mukanya si nona menjadi
berubah, air matanya lantas saja mengembeng. Dia mengawasi kepada si anak muda
akan tetapi mulutnya tetap rapat, tak sepatah kata jua keluar dari mulutnya.
Ayah In Loei itu berjalan
dengan bantuan tongkat dan gadisnya, tindakannya dingklukdingkluk.
Ia mendaki dengan susah payah,
akan tetapi kedua matanya bersinar tajam waktu mengawasi Tan Hong. Pada kedua
matanya itu nyata ada sinar dari kebencian yang sangat, hingga Tan Hong,
walaupun nyalinya besar, merasa bergidik sendirinya.
Justeru itu terdengarlah suara
nyaring dari Tiauw Im Hweeshio.
"Hai! Siapakah kau?"
teriaknya. "Eh, bukankah kau soetee In Teng? Eh, apakah kau belum
mati?" Sehabis berseru, pendeta ini lompat kepada orang pincang itu, ia
menubruk dan memeluknya, berbareng dengan mana, air mata mereka lantas saja
bercucuran deras.
In Loei berdiri mengawasi, ia
juga tak dapat mencegah keluarnya air matanya.
Tan Hong mengawasi nona itu,
ketika mata mereka bentrok, si nona lekas-lekas melengos.
Tiauw Im bertabiat keras akan
tetapi besar kesayangannya kepada adik seperguruannya. Sesudah berisak-isak
sekian lama, ia menghela napas.
"Baharu sepuluh tahun
kita tidak bertemu, mengapa kau jadi begini rupa?" katanya,suaranya
menyatakan terharunya hatinya.
Pendeta ini ada terlebih tua
beberapa tahun daripada In Teng akan tetapi sekarang rambutnya soetee ini telah
pada putih, tubuhnyapun sangat loyo, hingga ia nampaknya jadi terlebih tua
daripada soeheng-nya itu.
Lalu, dengan tak
putus-putusnya, Tiauw Im menanyakan soetee-nya itu.
In Teng ketahui dari gadisnya
bahwa di atas gunung Tangkula ini bakal dilakukan pertempuran, untuk mana
saudara-saudara seperguruannya telah menjanjikan suatu pertemuan, walaupun ia
menduga pasti Tan Hong akan turut hadir juga tetapi karena keras keinginannya
untuk menemui saudara-saudara seperguruannya itu, ia tidak hiraukan perjalanan
yang sukar, ia minta sang anak bantu padanya.
Demikian mereka melakukan
perjalanan selama belasan hari, selama itu mereka sama-sama bertahan hati untuk
tidak menimbulkan atau membicarakan hal yang mengenai keluarga Thio.
Sejak hari pertama itu, In
Teng sudah tahu yang gadisnya menaruh hati terhadap Tan Hong, akan tetapi sejak
hari itu, ia mencoba mengawasi dirinya sendiri, tidak ia timbulkan pula urusan
mereka, tidak ia tegur puterinya. Akan tetapi sang puteri, In Loei, dapat terka
hatinya ayahnya itu, sebagaimana ia lihat dari wajahnya, ia lantas merasa bahwa
ia tidakmempunyai harapan lagi akan dapat berkumpul bersama si anak muda
pujaannya itu. Ia merasa hatinya bagaikan disayat-sayat. Ia merasa sakit untuk
dua hal, yaitu kesatu karena nasib ayahnya dan kedua, karena nasibnya sendiri.
Diam-diam ia sering menepas air mata sendiri.
Selagi kedua pemuda-pemudi itu
bersusah hati masing-masing, keduanya dibikin terkejut oleh suara beradunya
senjata tajam, ketika mereka menoleh mereka tampak kedua pedangnya Thian Hoa
dan Eng Eng kena disampok ujung bajunya si hantu. Inilah untuk kedua kalinya
Tan Hong menyaksikan pedang gurunya itu dibikin tak berdaya oleh Siangkoan
Thian Ya, yang ilmu silat bertangan kosongnya benar-benar sangat liehay.
In Loei terkejut, karena
berbareng ia pun dengar jeritannya Tiauw Im Hweeshio,sedang gurunya, ia
dapatkan, nampaknya sangat gelisah. Ia menjadi nekat dengan tibatiba,ia lompat
maju, pedangnya dihunus — pedang Tjengbeng kiam.
"Lekas mundur!"
berteriak Yap Eng Eng kepada muridnya itu.
Siangkoan Thian Ya lihat
majunya si nona, ia hempaskan tangannya.
"Nona kecil, kau juga
hendak membantu meramaikan?" katanya.
Tidak keras hempasan itu, akan
tetapi itu pun sudah cukup membuat In Loei rasakan telapak tangannya sakit,
sampai hampir saja pedangnya terlepas dan terpental.
Justeru itu waktu, satu
bayangan putih berkelebat masuk dalam kalangan, lalu terlihat majunya Tan Hong.
Siangkoan Thian Ya lantas saja
tertawa gelak-gelak.
"Kau juga maju?" dia
menanya.
Tjia Thian Hoa membabat selagi
si hantu menegur Tan Hong, atas mana, hantu itu mengebut pula dengan ujung
bajunya. Kalau tadi Thian Ya menghempas In Loei dengantangan kanan, sekarang ia
menggunakan tangan kirinya. Serangan si nona disusul cepatoleh si pemuda,
karenanya, ujung baju kanannya Thian Ya belum sempat ditarik pulang anteronya,
ia dipaksa harus menangkis pemuda itu.
"Breeet!" demikian
terdengar, lantas ujung tangan baju si hantu kena terbabat kutung pedangnya Tan
Hong!
Maka terkejutlah hantu dari
gunung Tangkula itu. Tapi ia sangat tabah, segera iamengebut pula, hingga ia
membuatnya ke empat pedang dua pasang lawannya itubentrok pula satu pada lain.
"Sungguh sebuah pedang
yang tajam!" ia berseru.
Tan Hong tidak pedulikan
perkataan itu, seperti juga ia sudah berjanji, berbareng sama In Loei, ia terus
maju pula menyerang. Dari terpencar pedang mereka berdua lantas tergabung pula.
In Loei gunakan tipu silat "Lioeseng kangoat" atau "Bintang
mengejar rembulan", dan Tan Hong dengan "Pekhong koandjit"
"Bianglala putih menutupi matahari". Kedua pedang itu mengarah
masing-masing muka dan dada si hantu, kedua sinarnya, hijau dan putih,
berkelebat bersilang.
Siangkoan Thian Ya mundur tiga
tindak karena serangan berbareng itu, tangan bajunya yang panjang turut
digerakkan juga, kemudian secara tiba-tiba, ia balas menyerang. Luar biasa
sekali cara menyerangnya itu.
Tan Hong tidak berani
melayani, ia berkelit ke samping.
Thian Ya bergerak terus, kali
ini untuk hindarkan serangannya Thian Hoa dan Eng Eng,yang menggantikan murid
mereka untuk maju menyerang.
Pertempuran lantas berlangsung
dengan dahsyat sekali.
Siangkoan Thian Ya dikepung
empat lawan, yang masing-masing mainkan pedangpedang tergabung. Pedang ada
empat buah tetapi nampaknya seperti sepasang, atau setiap saat seperti berada
di depan, di belakang, di kiri dan di kanan. Atau di lain saat lagi,ke empat
pedang, seperti terpecah menjadi berlipat banyaknya, hingga si hantu jadi kena
dikurung.
Sekarang terlihat tegas
kepandaiannya orang she Siangkoan ini. Walau ia dikurung musuh-musuh tangguh,
dapat ia melawannya dengan baik, dapat ia gunai ketika untuk membalas
menyerang. Gesit luar biasa, ia berkelebatan di antara sambaran-sambaran
pedang.
Tiauw Im menjadi lupa
mementang mulutnya, dengan pegangi In Teng, ia berdiri diam mengawasi
pertempuran itu.
Juga Lim Sian In dan Ouw Bong
Hoe berdiri menonton dengan mata mereka dibuka lebar-lebar dan mulut menganga,
tanpa merasa keduanya telah saling senderkan tubuh mereka...
Dalam saat-saat sangat dahsyat
itu, Ouw Bong Hoe seperti tersadar ketika ia dengar satu suara, apabila ia
berpaling dengan segera, ia lihat satu orang tua berumur kira-kira lima puluh
tahun, berlari-lari mendatangi. Orang itu dandan sebagai petani, kedua
tangannya memegang serupa barang. Ketika ia sudah lihat tegas orang itu, ia
terkejut. Ia kenali Kimkong Tjioe Tang Gak, murid kepala dari Hian Kee Itsoe.
Ia belum dapat melihat tegas barang apa yang dibawa Tang Gak itu, ia hanya
menyangka orang tua itu hendak membantui saudara-saudara seperguruannya. Ia
menjadi berkuatir untuk gurunya, maka juga tanpa berpikir lagi, ia lompat untuk
menghalau, sambil gerakkan juga tangannya
dengan totokan Ittjie sian.
"Jangan kurang
ajar!" membentak Tang Gak sambil menangkis.
Lim Sian In bergerak juga,
untuk menarik saudara seperguruannya itu, akan tetapi ia terlambat, tangannya
Ouw Bong Hoe telah bentrok tangannya Tang Gak, dengan kesudahan Bong Hoe lantas
saja terpental jatuh jauhnya setombak lebih.
Tang Gak berlari-lari terus,
setibanya di tempat pertempuran, ia terus tekuk separuh dari kedua lututnya,
kedua tangannya diangkat naik bersama barang yang ia bawa itu. Ia pun segera berkata:
"Guruku menitahkan teetjoe menanyakan kesehatan loojianpwee."
Nyata Kimkong Tjioe ada
membawa karcis nama dari Hian Kee Itsoe. Ia telah bertindak menuruti aturan
kaum kangouw, ia membuat kunjungan kehormatan terhadap orang yang terlebih
tinggi tingkatnya. Menurut aturan, Ouw Bong Hoe tidak boleh merintangi, malah
Siangkoan Thian Ya harus menyambutnya sendiri. Akan tetapi waktu itu ia justeru
dikurung empat lawannya...
Sekonyong-konyong terdengar si
hantu tertawa gelak-gelak.
"Tak usah menggunakan
banyak adat peradatan!" katanya nyaring. Lalu dengan tibatiba ia
mengibaskan kedua tangan bajunya, menyusul mana, jari-jari tangannya menunjuk
ke arah lawan-lawannya.
Mendapatkan kibasan itu,
dengan sendirinya Thian Hoa berempat segera lompat mundur.
Siangkoan Thian Ya tidak
hentikan gerakannya, tetapi ia bukan maju terus akan serang ke empat lawannya
itu, ia hanya berlompat ke arah Tang Gak, untuk dengan kedua tangannya
menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe. Gerakannya itu sangat cepat,bagaikan
ular naga menyambar menyedot air!
Tang Gak terperanjat, tetapi
ia tidak bilang suatu apa, ia hanya berlompat bangun,untuk terus berdiri di
pinggiran.
Di waktu itulah Ouw Bong Hoe
dan Lim Sian In, dengan berbareng telah perdengarkan jeritan yang mengerikan.
Inilah disebahkan Tan Hong telah lompat maju dengan serangannya kepada
Siangkoan Thian Ya, ujung pedangnya mengarah pundaknya hantu itu.
Thio Tan Hong telah pahami
kitab Hiankong Yauwkoat, ia telah peroleh hasilnya. Kitab itu berisikan
penuntun atau pengajaran untuk si peyakin awas matanya, tajam otaknya,kuat
ingatannya, demikianlah Tan Hong, dengan menyaksikan saja latihan orang
lain,tanpa belajar pula dia telah dapat menyangkok kepandaian orang lain itu.
Sekian lama Tan Hong sudah
saksikan Siangkoan Thian Ya bertempur, ia lihat tegas gerak-gerakannya untuk
menghalau pelbagai serangan siangkiam happek dari Thian Hoa dan Eng Eng, dengan
sendirinya ia menginsafi ilmu silatnya si hantu itu, maka begitu ia turut maju
bersama In Loei, ia dapat membuktikan sendiri liehaynya lawan. Mula-mula ia
masih gunakan tipu-tipu dari siangkiam happek, untuk bersama si nona membantui
guru mereka mendesak jago tua itu. Sayang baginya, lebih-lebih lagi In Loei,
mereka masih kalah dalam hal latihan ilmu dalam, karena mana, ia tidak bisa
mendesak dengan sungguh-sungguh terhadap lawannya yang tangguh itu, jikalau
tidak, mungkin ia dapat membuatnya Siangkoan Thian Ya terperanjat.
Siangkoan Thian Ya seorang
yang besar nyalinya, dia pun biasa "suka menang sendiri," demikian di
waktu menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe, ia telah pertontonkan
ketangkasannya hingga ia membuatnya Tang Gak kagum. Walaupun demikian, di
matanya Tan Hong, ia telah tinggalkan sebuah lowongan, karena mana, begitu dia
mundur, Tan Hong terus lompat maju pula, untuk menyerang ke arah jalan darah
kintjeng hiat di pundak kiri. Pedangnya itu pun segera disusul secara wajar
oleh pedangnya In Loei, dan ujung pedang si nona menuju kepada jalan darah
serupa di pundak kanan.
Jalan darah kintjeng hiat itu
adalah suatu jalan darah yang sangat berbahaya, siapa terluka pada bahagian
itu, bisa rusak juga tulang piepee yang menyambung dengannya,dan itu artinya,
akan habislah tenaga dilengannya dan kepandaian ilmu silatnya.
Tjia Thian Hoa menjadi sangat
girang menampak serangan murid itu, berbareng bersama Yap Eng Eng, iapun maju,
untuk bantu menyerang juga. Begitu memang jalannya siangkiam happek, yang
bergerak saling susul atau sewaktu-waktu bergerak berbareng.
Di saat ujung pedangnya akan
mengenai sasarannya, dan Tan Hong hendak mengucapkan maaf, akan tetapi belum
sempat ia membuka mulutnya, ia sudah lantas dibikin terkejut oleh sambutannya
Siangkoan Thian Ya. Pundaknya jago tua ini turun dengan mendadak, pedang Tan
Hong seperti tertarik, lalu seperti terbetot dan menempel,hingga tidak dapat
lantas ditarik pulang. Juga ujung pedang di waktu mengenai pundak rasanya
seperti menikam kapas.
Kejadian serupa dialami juga
oleh In Loei. Thian Hoa dan Eng Eng tidak insyaf bahwa murid-muridnya tengah
terancam bahaya, mereka menyerang terus. Mereka memang ada terlebih liehay ilmu
dalamnya dibanding dengan murid-murid mereka itu.
Dengan tiba-tiba Siangkoan
Thian Ya berseru: "Bagus!" terus kedua tangannya mengibas, ujung
bajunya pun mengebut, dengan begitu kedua pedang Thian Hoa dan Eng Eng telah
kena tersambar seperti tergulung, terbawa ke kiri dan kanan, hingga gagallah
serangan mereka itu.
Saat-saat yang hebat berpeta
di depan mata. Kedua pihak telah menghadapi ancaman bencana masing-masing. Ke
empat pedang seperti berdiam, juga si hantu diam tak bergerak. Kedua pihak
sama-sama mengempos semangat masing-masing, yang satu mempertahankan
kekangannya atas ke empat pedang, yang lain berdaya untuk membetotnya, untuk
meneruskan menikam...
Siangkoan Thian Ya liehay
tetapi sekarang ia merasakan berat usahanya akan terus mempengaruhi
senjata-senjata lawan-lawannya itu, yang ia niat rampas, atau sedikitnya
membuat terlepas dan terlempar.
Di lain pihak, Ouw Bong Hoe
dan Lim Sian In berdiri tercengang, mereka bergelisah di dalam hati. Tentu
sekali mereka tidak berani maju, untuk memisahkan kedua pihak itu,untuk mana
kepandaian mereka belum cukup...
Dalam saat tegang itu,
tiba-tiba terlihat Siangkoan Thian Ya mundur satu tindak,pundak kanannya
diturunkan sedikit.
Tubuh In Loei bergemetar,
begitupun pedangnya.
Dalam keadaan seperti itu,
Thian Hoa dan Eng Eng mencoba akan mendesakkan pedang mereka, wajah mereka
sendiri nampak sangat tegang, menandakan mereka telah memusatkan tenaganya.
In Teng telah saksikan itu,
hatinya goncang. Ia sangat berkuatir untuk gadisnya. Ia telah lihat ancaman
bahaya yang hebat.
Syukur ketegangan itu tidak,
berjalan lama. Sekonyong-konyong terdengar satu suara tertawa yang wajar tetapi
nyaring, di antara mereka tahu-tahu telah muncul satu orang tua!
Orang tua ini beroman bersih,
alis dan kumisnya telah putih semua, kulit mukanya bersemu dadu dan segar,
mirip dengan kesegarannya satu bayi, sedang sikapnya alim tetapi berpengaruh.
Kedatangannya orang tua ini telah membikin Tiauw Im bersama In Teng menjadi
girang tak kepalang.
"Soehoe." teriak
mereka dalam kegirangannya yang meluap-luap.
Nyatalah orang tua itu Hian
Kee Itsoe adanya! Orang tua ini bertindak dengan sabar ke arah kalangan
pertempuran, sembari bertindak ia tertawa bergelak-gelak.
"Hai, sahabat tua
bangka!" serunya. "Kau bergusar terhadap bocah-bocah, apakah artinya
itu?"
Ia tidak hanya bergurau,
selagi datang mendekati iapun menggerak-gerakkan kebutan di tangannya,
menyambar kepada ke empat pedang dari murid-murid dan cucu-muridnya,atas mana
terdengarlah suara nyaring dari semua pedang itu, yang menjadi mental
sendirinya.
"Terhadap orang yang
terlebih tua tak dapat kamu berlaku kurang hormat! Lekas mundur!"
Semua ke lima orang itu
melepaskan napas lega, lebih-lebih In Loei. Nona ini paling rendah tenaga dalamnya,
ia sudah hampir tak dapat pertahankan diri, syukur baginya, Thian Hoa dan Eng
Eng turut maju, ia jadi masih bisa mencoba bertahan terus.
Di lihat keseluruhannya, pihak
Thian Hoa menang sedikit di atas angin, tetapi karena ketangguannya Siangkoan
Thian Ya, mereka tidak mampu berbuat lebih banyak daripada mempertahankan diri
saja.
Si hantu menghela napas, terus
ia berkata: "Ah! Setelah lewat tiga puluh tahun, kita bertemu pula, nyata
kau telah sempurnakan dirimu! Kau telah mempunyai murid-murid yang berbakat
ini. Kini aku insyaf, sahabatku, mulai saat ini aku tak ingin pula memperebuti
kedudukan ketua Rimba Persilatan denganmu!..."
Hian Kee Itsoe tertawa pula.
"Laohia, tak usah kau
terlalu merendahkan diri," ia berkata. "Bicara sebenarnya akulah yang
mesti mengalah!"
Hian Kee Itsoe telah berdaya
keras akan menciptakan ilmu silatnya ini, siangkiam happek, atau lebih benar
Goangoan Kiamhoat, ia percaya pasti bahwa ia bakal menjagoi di kolong langit
ini, akan tetapi di luar sangkaannya, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng berdua
masih belum sanggup tunduki jago tua itu, si hantu dari Tangkula, baharulah
setelah mereka dibantu Tan Hong dan In Loei, pertandingan menyampaikan tingkat
seimbang.
Karena itu, dengan sejujurnya,
ia mesti kagumi si hantu itu, sebagaimana si hantu pun mengagumi padanya.
Begitulah kedua pihak saling
menyayangi, saling menghormati, keduanya saling memuji, saling merendah, tetapi
selagi mereka berbicara, tiba-tiba mereka semua dengar satu seruan yang nyaring
tapi halus, yang seperti mendengung di tengah udara, menyusul mana, di antara
mereka segera tambah satu orang lain lagi! Tan Hong adalah orang yang melihat
paling dulu dan segera ia kenali si nyonya tua dari hutan bambu tjietiok lim!
Wajahnya Siangkoan Thian Ya
lantas saja menjadi berubah, dari mulutnya pun terdengar suara sangat perlahan:
"Sukar melupai budi dan
penasaran, sukar melupai kau — Kecuali sang cinta dan peri kebenaran..."
Sekonyong-konyong Tan Hong
majukan pertanyaan: Di antara kamu siapa sebenarnya yang disebut kiamkek dan si
penjahat?"
Mendengar itu, Thian Hoa
terkejut.
"Tan Hong ada satu anak
baik, kenapa dihadapan kedua iootjianpwee ini ia berlaku begini tidak tahu
aturan?" tanya ia dalam hatinya. Ia pun heran akan menyaksikan roman orang
beda daripada biasanya itu.
Siangkoan Thian Ya tertawa, ia
lantas berkata bagaikan menjawab Tan Hong. Ia kata:
"Tjhuang Tze di siang
hari bermimpikan kupu-kupu dan mimpi yang pendek paling gampang sadarnya, maka
itu untuk apa kau menanyakannya lagi siapa si kiamkek dan siapa si penjahat?
Hari ini si kiamkek dan si penjahat, apabila mereka tidak bertempur,tidak nanti
mereka kenal satu pada lain, maka di sini terimalah hormatku!"
Dengan tiba-tiba ia menjura
terhadap Hian Kee Itsoe, sebelah tangannya dimajukan dengan jari-jari tangannya
dikerahkan tenaganya, dalam ilmu silatnya Ittjie sian yang paling liehay!
Siangkoan Thian Ya telah
tersadar akan tetapi tetap ia masih mempunyai tabiat yang suka menang sendiri
itu, walaupun ia sudah menyerah kalah tapi sekarang, melihat datangnya secara
tiba-tiba nona kekasihnya dari tiga puluh tahun yang lampau, nona mana justeru
mengawasi Hian Kee Itsoe dengan wajahnya bersenyum bukannya bersenyum, kumatlah
cemburuannya, maka lagi satu kali hendak ia mencoba saingannya itu!
Hian Kee Itsoe bersenyum, ia
rangkap kedua tangannya untuk membalas hormat sambil menjura, kedua tangan itu
dimajukan ke depan. Atas itu terlihatlah ujung bajunya si hantu bergerak
bagaikan ditiup angin. Lantas saja tubuh gurunya Thian Hoa itu bergoyang dua
kali, segera ia memberi hormat pula dengan dua tangannya terangkap sambil
berkata: "Laohia, ilmu silatmu adalah yang nomor satu di kolong langit
ini, aku rela menyerah kalah!"
Lalu sehabisnya berkata itu,
ia putar tubuhnya, untuk bertindak turun gunung.
Semua orang tidak melihat
suatu apa kecuali si nyonya tua dan Siangkoan Thian Ya yang mengerti sendiri.
Perbuatannya Hian Kee Itsoe itu adalah perbuatan suka mengalah.
Si hantu sudah menyerang
terlebih dahulu akan tetapi dengan gampang serangannya itu telah dipunahkan Hian
Kee Itsoe, yang gunakan tenaganya berbareng dia rangkap kedua tangannya,
agaknya Hian Kee memberi hormat tapi sebetulnya dia menangkis, hingga ujung
bajunya Thian Ya bergoyang. Bahwa tubuh Hian Kee pun goyang sedikit, sebagai
juga dia kalah tenaga, itulah melainkan disengaja.
Hian Kee Itsoe hendak berlalu,
baharu ia bertindak, atau si nyonya tua telah berlompat kepadanya, dengan
tongkat bambunya nyonya itu gaet ujung bajunya untuk ditarik. Mau atau tidak,
kakek gurunya In Loei ini menoleh sambil menyeringai.
"Aku sudah menyerah
kalah, kau masih tahan aku, hendak apakah kau?" dia tanya.
Si nyonya tidak menyahuti,
yang menjawab adalah Siangkoan Thian Ya, yang berkata:
"Hian Kee si orang tua,
tidak dapat aku terima budi kebaikanmu ini! Yang seharusnya angkat kaki adalah
aku! Kaulah yang mesti berdiam di sini, semoga kau nanti dengan baik-baik
melayani dia!"
Dengan "dia," hantu
ini maksudkan si nyonya tua. Setelah itu, ia pun hendak berlalu.
Si nyonya tua sudah lantas
menggape, hingga Thian Ya merandek.
"Dua-dua kamu tidak usah
pergi!" berkata dia sambil tertawa. "Bicara tentang ilmu silat, kamu
keduanya adalah yang nomor satu di kolong langit ini, dari itu tak usah kamu
saling berebutan lagi, juga tak usah kamu saling mengalah!"
Nyonya tua ini mengatakan
secara tidak berat sebelah. Ia telah lihat tadi Thian Ya terjatuh di bawah
angin daripada Hian Kee, akan tetapi ia berkesimpulan karena sebelumnya si
hantu telah melayani Thian Hoa dan Eng Eng dan kemudian terkepung Tan Hong dan
In Loei, karena mana, mau atau tidak, tenaganya tentu berkurang banyak. Bila
tidak demikian, masih belum dapat dipastikan, dia dengan Ittjie sian-nya yang
menang atau Hian Kee Itsoe dengan Kimkong tjioe-nya.
Hian Kee Itsoe mengkerutkan
keningnya.
"Jikalau bukannya kau
yang menghendaki kami bertanding, siapakah yang kesudian membangkitkan
keruwetan ini?..." katanya di dalam hatinya.
Siangkoan Thian Ya pun
nampaknya masgul.
Si nyonya tua sudah lantas
berkata pula, tetapi lebih dahulu ia menghela napas.
"Sepejaman mata saja,
tiga puluh tahun telah berlalu..." demikian katanya, "dan kita
bertiga telah menjadi tua... Kerunyaman di masa kita masih muda, apabila itu
dipikirkan sekarang, sungguh sangat lucu agaknya! Berapa tinggikah usianya
manusia? Maka kalau kita merunyamkannya pula, pasti kita akan ditertawai
orang-orang jaman belakangan.
Maka segala kerunyaman kala
muda itu, yang tadinya tak dapat dibereskan, sesudah tua sekarang, harus
dibereskannya! Engko Hian Kee, adik Siangkoan, marilah sejak saat ini,kita
bertiga jangan berpisahan pula, mari kita sama-sama meyakini ilmu yang terlebih
tinggi, supaya dapat kita mewariskan sedikit kepada anak-anak muda! Tidakkah
itu bagus?"
Hian Kee tergerak hatinya
mendengar kata-kata itu, yang dikeluarkan dengan sesungguh hati, maka juga kesannya
yang buruk selama tiga puluh tahun terhadap nyonya itu, sekarang dapat ia
lenyapkan dalam tempo yang pendek sekali.
Juga hatinya, Siangkoan Thian
Ya menjadi lemah mendengar orang memanggil mereka engko dan adik, ia mendengar
itu sebagai juga suaranya Siauw Oen Lan pada tiga puluh tahun yang lampau, di
saat orang masih menjadi nona remaja yang cantik manis. Ia pun menjadi
berpikir: "Benarlah apa yang dikatakannya, dia nyata ada terlebih insyaf
daripada aku. Ganjalan semasa muda itu sudah selayaknya sekarang dibikin
habis..."
Sekarang, sesudah mereka semua
berusia tinggi, di antara mereka tidak ada lagi soal pernikahan, lebih pula
soal cinta, maka sungguh tepat jikalau mereka berkumpul bersama,akan hidup
tenang sambil memperdalam terus ilmu silat mereka, untuk menjadi sahabatsahabat
atau saudara angkat.
Kenapa si nyonya tua, Siauw
Oen Lan, dapat mengucap demikian? Itulah kesadarannya, hasilnya bersamedhi
selama tiga puluh tahun di dalam hutan bambu.
Selama itu, sangat sukar untuk
ia mengatasi dirinya. Terhadap Hian Kee Itsoe ia penasaran dan membenci,
terhadap Siangkoan Thian Ya ia putus harapan. Lama ia berpikir, hatinya panas
dan dingin bergantian. Ia mencoba berlaku tenang dan sabar, ia mencoba memikir
dengan kesadaran, menimbang-nimbang keruwetannya sendiri disebabkan cintanya
terhadap Hian Kee dan Thian Ya. Di akhirnya ia merasa, bukankah semua itu
kosong belaka? Ketika akan tiba saatnya perjanjian pertemuan tiga puluh
tahun, ia menjadi sangat
menyesal. Bukankah karena urusannya maka kedua jago jadi bentrok, dengan
menunggu tiga puluh tahun untuk mengambil keputusan? Maka itu,cepat-cepat ia
berangkat ke gunung Tangkula, untuk datang sama tengah, untuk mengakuri satu
pada lain. Demikian ia muncul di saat yang tepat.
Siangkoan Thian Ya masih diam
berpikir, ketika Lim Sian In, muridnya yang perempuan, menghampiri padanya.
"Soehoe, tolong tengok
Ouw Soeheng..." berkata murid ini.
Thian Ya segera berpaling
kepada muridnya itu. Ia dapatkan Ouw Bong Hoe sedang duduk numprah di tanah,
dari kepalanya menghembus uap putih, yang seperti mengepulngepul.
Ia lantas menjadi kaget.
"Ia terkena Kimkong tjioe!..." katanya terkejut.
Mendengar itu, Tang Gak lompat
kepada gurunya, romannya gelisah.
"Selagi teetjoe
menghaturkan karcis nama kepada iootjianpwee, dengan tidak disengaja teetjoe
kena lukai dia," ia akui. "Sekarang teetjoe bersedia untuk tolong
padanya dengan emposan semangatku."
Hian Kee pun telah awasi Ouw
Bong Hoe, mendengar perkataan muridnya, ia menggeleng-geleng kepala.
"Siangkoan Laohia,"
kemudian katanya kepada Thian Ya, "kali ini benar-benar aku takluk
kepadamu! Sungguh aku tidak sangka muridmu itu mempunyai ilmu dalam yang
demikian sempurna, kalau dibanding dengan aku, ternyata apa yang sebegitu jauh
telah aku yakini adalah ilmu sesat!"
Kata-kata ini membuat heran
murid-murid kedua pihak. Kenapa Hian Kee mengucap demikian?
Siangkoan Thian ya
menyeringai. "Jikalau kepandaianmu itu dikatakan ilmu sesat, lebihlebih
lagi kepandaianku!" ia berkata. Lantas ia bertindak kepada Ouw Bong Hoe,
untuk raba nadinya dan meneliti wajahnya. Ia segera perlihatkan roman keheranan
yang bertambah-tambah.
Pukulan Kimkong tjioe sangat
liehay, Ouw Bong Hoe telah terkena pukulan itu, dengan mengimbangi latihannya,
ia terluka sedikitnya mesti sampai tujuh hari baharulah ia dapat sembuh, akan
tetapi waktu gurunya periksa padanya, guru ini dapatkan nadinya jalan seperti
biasa, jalan darahnya pun tidak terganggu. Dengan begitu, dengan mengempos
semangatnya sendiri, segera juga Bong Hoe akan sembuh dan pulih kesehatannya
seperti biasa. Namun apa yang membikin guru ini menjadi lebih heran pula, ialah
ia dapat kenyataan caranya sang murid bernapas bukanlah menurut cara pengajaran
nya, sedang tenaga dalamnya sang murid tidaklah bertambah banyak. Maka adalah
aneh, setelah tergempur Kimkong tjioe, Ouw Bong Hoe dapat menolong dirinya
sendiri dengan masih
tetap numprah untuk memusatkan
tenaganya sendiri.
Bahna herannya untuk sesaat
Siangkoan Thian Ya berdiri bengong, kemudian dengan tiba-tiba ia tepuk punggung
muridnya sambil menyerukan: "Bangun!"
Menuruti seruan itu, Ouw Bong
Hoe lantas lompat bangun, ia telah sembuh dari lukanya, kesehatannya pun pulih
seperti biasa.
"Kau dapat petunjuk dari
orang berilmu siapa?" Siangkoan Thian ya tanya muridnya setelah murid itu
menghaturkan terima kasih kepadanya. "Jikalau kau benar telah dapatkan
satu guru lain, maka tak usahlah kau belajar terlebih jauh padaku!" Bong
Hoe menjadi ketakutan.
"Maaf, soehoe,
maaf..." berkata ia. "Dengan sebenarnya teetjoe tolong diri dengan
ilmu kepandaian nya lain kaum tetapi sama sekali bukannya teetjoe telah
menuntut pelajaran kepada lain guru..."
Guru itu tertawa dingin.
"Tanpa orang beri
petunjuk padamu, apa itu artinya kau dapatkan kepandaianmu sendiri?" dia
tanya, bengis.
Bong Hoe masih saja ketakutan,
akan tetapi belum lagi ia memberikan penyahutan,Tan Hong sudah majukan diri di
antara mereka, tapi pemuda ini terlebih dahulu memberi hormat sambil menjura
kepada kakek gurunya.
"Murid siapakah pemuda
ini?" bertanya orang tua itu.
"Dialah Thio Tan Hong,
murid teetjoe," Thian Hoa memberikan jawaban.
Hian Kee tertawa bergelak.
"Muridmu nyata ada jauh
terlebih liehay daripada muridku!" berkata dia. "Di belakang hari,
dalam kemajuannya, bukan saja dia bakal melampaui kamu semua, bahkan aku
sendiripun..."
Thian Hoa heran berbareng
girang."Ah, soehoe terlalu memuji padanya!" ia bilang.
Tan Hong tidak pedulikan
pembicaraan antara kakek guru dan gurunya itu, setelah memberi hormat pada sang
kakek guru, ia maju buat memberi hormat kepada Siangkoan Thian Ya.
"Aku tahu siapa yang
telah memberi petunjuk kepada dia," ia kata sambil tunjuk Bong Hoe.
Si hantu heran, ia mengawasi
muka orang. "Siapakah?" ia tanya.
"Pemberi petunjuk itu
adalah seorang yang telah hidup lebih daripada seratus tahun yang lalu,"
menyahut Tan Hong.
"Ngaco belo!" bentak
Thian Ya. Ia heran dan tak mempercayainya. Ia lantas berpaling kepada Hian Kee
Itsoe, untuk mengatakannya: "Cucu muridmu ini telah berdiam lamanya tujuh
hari di dalam kamar batuku, telah aku periksa padanya, aku dapat kenyataan dia
terganggu urat syarafnya disebabkan gangguan pada hatinya. Dia masih belum
sadar betul, dari itu perlulah kau rawat dia baik-baik."
Mendengar itu, Thio Tan Hong
tertawa berkakakan.
"Siapa bilang urat
syarafku terganggu dan aku tak sadar benar?" bertanya dia.
"Sebaliknya aku tahu
benar, justeru kaulah yang terganggu asmara! Dan pada tiga puluh tahun dulu,
kaulah satu penjahat! Kau repoti dirimu dengan asmara, kau sebaliknya tidak
pedulikan mati atau hidupnya murid-muridmu, malah kau terang-terangan hendak
pisahkan mereka itu hidup-hidup! Aku tidak puas terhadap sepak terjangmu itu
maka aku telah minta almarhum orang tua itu beri petunjuk ilmu kepada muridmu
ini!"
Kata-kata ini membuat heran
semua orang, lebih-lebih orang tidak mengerti kenapa Tan Hong berani bersikap
demikian kurang ajar terhadap Siangkoan Thian Ya.
Hian Kee heran akan tetapi ia
diam saja, otaknya tengah bekerja. Beda daripada yang lain-lain, kakek guru itu
tidak pandang perkataannya cucu muridnya itu sebagai ocehan belaka.
Siangkoan Thian ya pun heran
sekali, ia terkejut, tetapi ia tidak menjadi gusar, malah sebaliknya, ia ingat
suatu hal.
"Bong Hoe!" ia
segera tanya muridnya, "benarkah apa yang dia katakan ini?"
"Sedikit pun tidak
salah," menyahut murid itu. Sekarang tidak lagi ia takut seperti tadi.
Ia malah rogo sakunya, akan
keluarkan kitabnya Tan Hong yang dipinjamkan kepadanya,ia serahkan itu kepada
gurunya.
Si hantu menyambuti kitab yang
kecil itu, segera ia lihat judulnya ialah "Hiankong Yauwkoat". Di
bawah itu juga ada huruf-huruf yang menandakan nama penulisnya,bunyinya:
"Dikarang oleh Pheng Eng Giok". Tentu saja, menampak itu, ia menjadi
melengak.
Tan Hong tertawa
bergelak-gelak.
"Kau lihat, aku dustakan
kau atau tidak?" anak muda ini tanya. Ia bicara seperti terhadap
sesamanya. "Bukankah penulis itu seorang tua almarhum dari seratus tahun
yang lampau, yang pernah menjadi gurunya dua kaisar? Kau buka kitab itu dan
periksa sendiri! Apakah kau masih hendak berkukuh bahwa orang mesti bertubuh
perjaka tulen untuk dapat mempelajari ilmu silatmu yang kau namakan Ittjie sian
itu?"
Siangkoan Thian Ya sudah
lantas periksa kitab tersebut, walau ia melihatnya sepintas lalu, ia menjadi
terperanjat tak kepalang.
"Hai, kiranya kitab
warisannya Pheng Hoosiang berada di dalam tanganmu!" dia berseru.
"Jadi kaulah yang pinjamkan kitab kepadanya?" dia menegaskan, sambil
tunjuk muridnya.
Tan Hong tertawa pula. Ia
tidak jawab si hantu, hanya kemudian, ia mengoceh sendirian: "Semoga air
sorga, dapat menyiram pelbagai pasangan. Semua siapa saling menyinta, sudah
selayaknya dapat berumah tangga..."
Hatinya Siangkoan Thian Ya
tergerak dengan kata-kata itu, sehingga ia menjadi bimbang. Iapun menginsafi
artinya kitabnya Pheng Hoosiang itu. Ia juga tergerak hati untuk ketulusan dan
kedermawanan Tan Hong. Untuk kebahagiaannya Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In,
bukankah pemuda itu berani berkurban meminjamkan kitabnya itu, suatu kitab
istimewa?
Nyata si hantu pandai
berpikir, ia cerdas dan sadar. Sejenak itu ia lantas tertawa bergelak-gelak.
"Saudara kecil, sungguh
kau hebat!" serunya. Ia tertawa pula seraya pegangi tangannya si anak
muda.
"Kakak Siangkoan!"
berkata Hian Kee, yang pun tertawa, "kau nyata masih sama seperti tiga
puluh tahun yang lampau!"
Si hantu tidak jawab sahabat
atau saingan itu, sambil lepaskan tangannya Tan Hong ia berpaling kepada Ouw
Bong Hoe dan Lim Sian In.
"Kamu adalah muridku yang
baik, selama belasan tahun telah aku menghalangi jodohmu," katanya.
"Sekarang aku hapuskan peraturanku yang melarang pernikahan kamu berdua,
dan rumah batu ini juga aku hadiahkan kepada kamu." Kedua murid itu girang
bukan main, dengan lantas mereka berlutut di depan guru itu untuk haturkan
terima kasihnya.
"Sepantasnya kamu
menghaturkan terima kasih terhadapnya!" berkata si hantu sambil tertawa
dan menunjuk Tan Hong.
Dalam kegirangannya yang
berlimpah-limpah itu, Ouw Bong Hoe tidak pikir lagi tentang usia atau tingkat
tinggi atau rendah, segera ia memberi hormat pada si pemuda she Thio untuk
haturkan terima kasihnya. Iapun lantas kembalikan kitab "Hiankong
Yauwkoat."
Bong Hoe kalah cerdas dari Tan
Hong akan tetapi, selama beberapa hari ia membaca kitab itu, telah dapat ia
ambil sarinya, maka itu kitab sudah tak perlu lagi baginya.
Senang Siangkoan Thian Ya
menyaksikan segala apa dihadapannya itu, kembali ia tertawa sendirinya.
"Seumurku pernah aku
melakukan pertempuran besar dan kecil tak kurang daripada beberapa ratus
kali," katanya kemudian, "akan tetapi pertempuran hari ini adalah
yang paling memuaskan! Memang tidak berhasil aku merebut nama sebagai kepala
kaum Rimba Persilatan akan tetapi sekarang, budi dan permusuhan, telah dapat
dijelaskan dan dilenyapkan! Kakak Hian Kee, sekarang telah tiba waktunya untuk
kita pergi!" demikian ia mengajak. Akan tetapi, terus ia menoleh kepada
Bong Hoe, sambil mengatakannya: "Lihat, kakak seperguruanmu telah datang
dan datangnya di saat yang tepat ini!"
Memang itu waktu tertampak
Tantai Mie Ming tengah mendaki gunung, mendatangi ke arah mereka. Ia heran akan
menyaksikan Hian Kee Itsoe dan gurunya berdiri berdampingan selaku dua sahabat,
bukannya sebagai musuh satu pada lain. Memang ia datang membawa pesan dari Thio
Tjong Tjioe, yang telah minta bantuannya untuk menemui Siangkoan Thian Ya,
untuk mencegah si hantu nanti celakai Tan Hong. Sekarang ia menampak demikian,
hatinya lantas menjadi lega sekali. Ia pun telah saksikan soetee dan
soemoay-nya, Bong Hoe dan Sian In, berdiri rapat di samping guru mereka, hal
itu menambah kelegaan hatinya, tapi masih dalam keheranan...
Dengan Tantai Mie Ming Tan Hong
hidup bersama semenjak kecil, selagi sekarang kesadarannya telah pulih enam
atau tujuh bahagian, kapan melihat sahabatnya itu, Thio Tan Hong segera juga
ingat segala apa dengan baik sekali. Artinya, ia ingat perihal dirinya sendiri,
perihal permusuhan pribadi atau negara. Demikian, dalam kesadarannya, ia lari
memapaki Mie Ming.
"Tantai Tjiangkoen,
ayahku tak kurang suatu apa, bukan?" bertanya ia.
"Ayahmu justeru
mengharapkan pulangmu!" adalah jawaban yang singkat dari jenderal itu.
"Bukankah kamu telah kenal
lama satu dengan lain?" Siangkoan Thian Ya menyelak,
menanya kedua orang muda itu
ketika menyaksikan sikap erat rapat dari mereka itu.
"Harap soehoe ketahui,
dia adalah junjunganku yang muda," menjawab Tantai Mie
Ming, sang murid. Mendengar
itu, Siangkoan Thian ya tertawa besar.
"Saudara Hian Kee!"
ia berkata, lihatlah, bukankah murid-murid kita telah sejak siangsiang
menjadi orang sendiri,
karenanya, untuk apa kita saling berebut pengaruh pula?"
Hian Kee Itsoe tidak menjawab,
ia melainkan bersenyum.
Thian Ya lantas panggil Mie
Ming datang dekat kepadanya.
"Telah aku ambil putusan
untuk meninggalkan tempat ini," berkata dia kepada muridnya itu.
"Sian In telah lama ikuti aku, maka itu, rumah ini aku sudah serahkan
kepadanya sebagai hadiah pernikahannya, supaya dia dapat hidup tenteram bersama
Bong Hoe. Maka itu sejak hari ini, kaulah ahli waris dari partai kita, kau
menggantikan aku menjadi ketua. Harapanku adalah kau nanti tilik dan anjurkan
kedua saudara seperguruanmu ini agar mereka tetap rajin memperdalam
pelajarannya."
Kedua matanya Lim Sian In
menjadi merah.
"Bukankah terlebih baik
soehoe tetap berdiam di sini?" katanya dengan sangat berduka. "Kenapa
soehoe hendak pergi? Baiklah soehoe berikan ketika kepadaku untuk merawat
soehoe lagi beberapa tahun, untuk sedikitnya dapat membalas budi soehoe."
Siangkoan Thian Ya, sang guru,
tertawa. "Pada tiga puluh tahun dulu, karena aku tidak sanggup mengalahkan
Hian Kee si tua bangka, telah aku kabur kemari, untuk tinggal di sini sambil
meyakini lebih jauh ilmu silatku," ia berkata, "akan tetapi sekarang
segala apa telah dibikin habis, untuk apa jikalau aku tidak kembali ke
Tionggoan? Kau telah punyakan kawanmu, maka itu, aku juga hendak cari kawanku —
dua orang!"
Sementara itu, Tantai Mie Ming
telah berlutut kepada gurunya, untuk menghaturkan terima kasih.
Mukanya Sian In menjadi merah,
akan tetapi ia masih dapat berbicara, sambil tertawa ia bilang: "Asal
soehoe beruntung, akupun girang!"
Lantas, bersama-sama Bong Hoe,
ia memberi hormat sambil berlutut juga.
"Menampak ini, akupun
perlu menyelesaikan sesuatu," berkata Hian Kee. Lantas ia panggil
berkumpul murid-muridnya. Kemudian, baharu ia berkata pula."Tang Gak
berusia paling tua dan jujur, iapun paling lama mengikuti aku, maka itu,mulai
hari ini dan selanjutnya dialah yang akan mengepalai partai kita," ia
berkata. "Kamu,Thian Hoa dan Eng Eng, dasarmu berdua adalah yang paling
baik, kamu juga telah masing-masing mewarisi separuh dari ilmu silatku, yaitu
ilmu pedang Goangoan Kiamhoat, mulai hari ini aku ijinkan kamu untuk saling
menurunkan pelajaran kamu itu, supaya
siangkiam happek, sepasang
pedang terangkap menjadi satu, kamu berdua turut bergabung bersama. Aku
tugaskan toasoeheng-mu untuk mengurus pernikahanmu."
Setelah belasan tahun, baharu
pada saat ini terwujud pengharapannya, cita-citanya Thian Hoa dan Eng Eng,
mereka menjadi girang tak kepalang, akan tetapi di muka orang ramai itu, tidak
merdeka mereka lampiaskan itu, mereka hanya saling mengawasi sambil bersenyum.
Terhadap guru mereka itu, mereka menghaturkan terima kasih sambil berlutut.
Tang Gak menghampirkan kedua
adik seperguruan itu, untuk beri selamat kepada mereka. Memang ia tahu hatinya
soetee dan soemoay itu, sekian lama ia hanya bisa menyesal yang mereka itu tak
dapat menikah satu pada lain. Sebenarnya, ia sendiripun menaruh hati kepada Eng
Eng akan tetapi mengetahui mereka itu saling menyinta, ia suka mengalah, hingga
untuk banyak tahun, ia melainkan hiburkan diri saja. Ia ada demikian sadar
hingga ia tidak iri hati kepada Thian Hoa, tidak membenci kepada Eng
Eng,sebaliknya, ia menyesal yang mereka pun tak dapat menikah karena larangan
guru
mereka.
Lalu Hian Kee berkata pula:
"Di antara kamu, In Teng adalah yang paling pendek harinya mengikuti aku,
pelajarannya pun belum rampung, sudah begitu, sekarang ia pun menderita. Hal
ini membuat aku menyesal, tak puas hatiku. Maka itu aku ingin,seberlalunya aku,
supaya kamu beramai menilik ia baik-baik. Tang Gak, kau wakilkan aku mendidik
ilmu dalam kepadanya. Asal ia suka meyakininya, ia pun masih dapat memperoleh
hasil yang memuaskan."
In Teng jadi sangat terharu
hingga ia menangis menggerung-gerung.
Tan Hong menjadi sangat
terharu, ia menyesal bukan main, hingga tidak berani ia berpaling kepada In
Loei.
"Jangan terlalu berduka,
soetee," Tang Gak menghibur. "Kau telah ketolongan, kau telah bertemu
pula dengan puterimu, sekarang pun soehoe menaruh belas kasihan terhadapmu,
sudah selayaknya kau merasa girang."
Hian Kee usap-usap rambutnya
In Loei, ia kata kepada muridnya: "Kau telah punyakan puteri yang bagaikan
kumala dan bunga ini, yang pun berbakti kepadamu, kau justeru jauh lebih menang
daripada aku! Asal kau tidak melakukan sesuatu yang memalukan,sudah seharusnya
kau hidup senang. Kau pun telah punyakan putera yang berbakti dan berpangkat,
walaupun kau bercacat, kau tak usah berduka, maka janganlah kau menangis
terlebih jauh."
In Teng berhenti menangis, ia
seka air matanya. Ia sangat bersyukur untuk kebaikan hatinya guru itu, yang
telah melepas budi banyak terhadapnya. Memang benar nasihatnya guru itu. Akan
tetapi ia masih kandung kemurkaan, ia masih mendendam sakit hati,mengenai itu
ia menghadapi rintangan... Di luar sangkaannya, putera dari musuh besarnya
justeru adalah keponakan muridnya sendiri dan keponakan murid itu justeru
paling dipuji gurunya. Sudah pasti, tidak dapat ia membalas sakit hati terhadap
putera musuhnya itu, malah untuk memberitahukan saja halnya itu kepada gurunya
pun ia tidak dapat lakukan. Mana ia bisa buka mulutnya? Karena ini, ia menjadi
berduka.
Lalu terdengar suaranya Hian
Kee Itsoe, yang berbicara sambil tertawa.
"Apa yang membuatnya aku
paling gembira adalah kaum kita yang setingkat demi setingkat, telah menjadi
semakin maju!" demikian katanya. "Thio Tan Hong di belakang hari
pasti akan membuat semakin mentereng partai kita. Asal dia tidak keliru
menggunai kesadarannya, kemajuannya tak akan ada batasnya, dari itu, kamu semua
harus didik padanya dengan teliti dan seksama."
Si nyonya tua, yang menyekal
tongkat, yang sejak tadi diam saja, rupanya telah habis sabarnya menyaksikan
orang main mengangkat ahli waris dan omong seperti tak habisnya. Waktu itu
matahari sudah doyong jauh ke barat, sang magrib tengah mendatangi. Maka ia
lantas saja menyelak: "Hai, kenapa urusan kamu ada demikian banyak hingga
seperti tak habis-habisnya?" demikian katanya. "Orang seharusnya
menyingkirkan urusan dunia untuk lompat keluar dari penghidupan lahir!"
Mendengar itu, Siangkoan Thian
Ya bertepuk tangan.
"Bagus, bagus!"
serunya. "Sejak kini baiklah kita menjadi seperti bangau-bangau merdeka
yang senantiasa mengawani mega, yang tidak mengenal asmara! Saudara Hian Kee,
inilah saatnya untuk kita berlalu!"
Hian Kee segera pandang semua
muridnya, terhadap mereka ia mengibaskan tangan.
"Kamu semua baik-baik
membawa diri!" ia mengucap, lalu ia bertindak pergi dengan cepat, pergi
bersama-sama Siangkoan Thian Ya dan si nyonya tua yang bertongkat, selagi mulai
berangkat, ketiga-tiganya menepuk-nepuk tangan tandanya riang hati mereka.
Cepat sekali tindakan mereka,
sebentar saja mereka sudah terhilang di dalam cuaca yang remeng-remeng.
Murid-murid dari kedua pihak telah bertekuk lutut untuk memberi selamat jalan
kepada guru mereka masing-masing, walaupun sebenarnya mereka sangat berduka dan
menyesal. Sungguh lekas perpisahan itu, dengan tiba-tiba saja.
Tang Gak berdiam, begitupun
Tantai Mie Ming, masing-masing tenggelam dalam perasaannya sendiri-sendiri.
Mereka juga tidak sangka, kedua lawan yang demikian hebat,percederaannya dapat
disudahi secara demikian mudah.
Kemudian kedua orang ini, yang
masing-masing menjadi murid kepala, menjadi terperanjat apabila mereka
berpaling ke arah Tan Hong. Mereka dapatkan anak muda itu masih saja berlutut
di belakang mereka, kedua matanya mendelong ke arah gunung, air matanya
mengembeng, dia seperti hendak menangis tetapi tak keluar suara dari mulutnya.
Teranglah pemuda itu bagaikan hilang semangatnya.
Tantai Mie Ming datang
menghampirkan, ia segera membanguni Tan Hong.
"Kau kenapa?" ia
tanya.
Tan Hong tidak segera
menjawab. Di hadapannya ada Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.
Kedua pasangan itu telah
berhasil dengan cita-citanya, penderitaannya telah berakhir.
Malah gurunya, cita-citanya
pun telah terwujud! Akan tetapi dia, meski dekat kekasihnya itu tapi mereka
berdua seperti terpisah jauh bagaikan di antara kedua pangkal langit. Dia cuma
dapat melihat, tidak dapat dia memegangnya, bagaikan ada pintu yang memisahkan
mereka, sama-sama mereka tak dapat memasuki atau keluar...
Tantai Mie Ming mengulangi
pertanyaannya beberapa kali, akhirnya ia dapatkan penyahutan seperti
bersenanjung dari si anak muda, katanya: "Sukar melupai budi dan
penasaran, sukar melupai kau — kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Kecewa
kau menjadi muridnya si hantu tua, kata-kata ini kau tidak mengerti! Apa
perlunya kau menanyakannya padaku? — Haha-ha! Kau siapakah? Siapakah aku ini?
Siapakah dia itu? Jikalau langit berasmara, dia juga bakal menjadi tua, tak
dapat dia memperta hankan diri! Hendak aku menanyakannya kepada langit, langit
tidak memberikan penyahutan! Sekarang kau menanya aku, mana aku tahu?"
Kembali kesadarannya pemuda
ini seperti ketutupan kembali.
In Loei telah saksikan
keadaannya si anak muda, ia berduka tanpa daya. Selagi ia awasi pemuda itu,
orang telah menggeser kepalanya, berputar ke arahnya, matanya mengawasi,pada itu
terpeta sinar dari kemenyesalan, penasaran dan menyinta... Ia lantas
memalingkan muka, tapi justeru matanya bentrok kepada mata ayahnya. Ia dapat
kenyataan, ayah itu tengah mengawasi padanya, sinar matanya tajam mengandung
kemurkaan dan kedukaan...
Wajah ayah itu, yang perok dan
lesu, nampaknya menjadi besar dengan perlahanlahan,wajah itu menjadi lebar dan
akhirnya menutup mukanya Tan Hong, yang seperti turut berpeta di hadapan
matanya itu...
Hampir In Loei menjerit ketika
sinar matanya bentrok dengan sinar matanya Tan Hong,syukur ia dapat menguatkan
hati dan dapat membatalkannya. Ia tunduk dengan segera,akan menyingkir dari
pandangan mata si pemuda. Ia juga menyingkir dari sinar mata tajam dari ayahnya
itu. Itulah dua orang yang ia sangat cintai atau menyayanginya, tidak ingin ia
melukai hati mereka hingga mereka menjadi berduka. Ia hanya tidak
ketahui,bagaimana perasaannya mereka itu masing-masing...
Tang Gak, Tjia Thian Hoa dan
Yap Eng Eng menundukkan kepala, mereka menginsyafi urusannya Tan Hong dengan In
Teng itu, atau Tan Hong dengan In Loei. Mereka juga mengetahui sulitnya urusan.
Maka mereka berpikir masing-masing. Daya apa mereka punya untuk meredakan
ketegangan di antara kedua pihak itu?
Angin gunung meniup sepoi,
membuatnya sesuatu orang merasakan tubuhnya dingin.
Tengah Tan Hong dan In Loei
saling berhadap-hadapan tanpa mengatakan sesuatu,oleh karena hati mereka
masing-masing sedang pepat sekali, adalah Tantai Mie Ming menggeleng-geleng
kepala, ia menghela napas perlahan. Sejak tadi, iapun berdiam saja bahna masgul
dan bingungnya. Tapi kali ini ia berbisik di kupingnya si anak muda.
"Kau dapat melepaskan
negara kerajaan Beng yang luasnya sembilan laksa lie, yang indah pemanda ngan
alamnya, mustahil kau pun tidak dapat membiarkan satu wanita?" jenderal
Watzu ini berkata dengan perlahan, yang dekatkan mulutnya kepada kuping orang.
Tan Hong agaknya terperanjat.
"Apa?" ia
menegaskan.
"Ayahmu mengharapkan kau
untuk membangun pula kerajaan Tjioe," Tantai Mie Ming menerangkan,
"dan kau sendiri, untuk tak membiarkan daerah Tionggoan yang indah dan
luasnya sembilan laksa lie itu terjatuh ke dalam tangan bangsa asing, setelah
kau menempuh bahaya, untuk itu kau telah serah kan harta dan peta bumi kepada
pemerintah yang sekarang ini, hingga kau telah menolong kerajaan Beng yang
menjadi musuh keluargamu itu! Tidakkah dengan begitu, kau telah lepaskan
percobaanmu untuk merebut pulang negaramu? Usahamu membangun negara masih kau
dapat melepaskan nya , apapula budi dan penasaran ini?"
Tan Hong melengak.
"Aku pandang raja
bagaikan kotoran!" katanya.
Tantai Mie Ming mengawasi, ia
menyambungkan: "Negaramu tengah menantikanmu!"
Dengan tiba-tiba air mukanya
Tan Hong berubah, dari pucat menjadi merah. Suaranya Mie Ming pelahan akan
tetapi bagi pendengarannya Tan Hong seperti suara guntur.
Sejenak itu segera ia ingat
bahwa ia datang dari gurun pasir utara, bahwa setibanya di Kanglam, kembali ia
ke gurun, jauh perjalanannya, melintasi sungai dan gunung, banyak
penderitaannya. Untuk apakah itu? Bukankah itu untuk cita-citanya yang luhur?
Untuk melindungi negaranya nan indah permai? Bukankah itu untuk mencegah
berlangsungnya peperangan antara Tionggoan dan Watzu, supaya menjadi berhenti
seanteronya, agar di empat penjuru tetangga, semua hidup rukun dan damai? Sekarang,
justeru cita-citanya itu bakal berwujud, ia telah menjadi seperti runtuhiKenapa
begitu? Dasarnya cerdas dan ingatannya kuat, segera Tan Hong sadar. Ia kertek
giginya ketika ia buka suara.
"Tantai Tjiangkoen,
terima kasih untuk peringatanmu ini kepadaku!" demikian katanya.
"Mari kita
berangkat!"
Pemuda ini segera memberi
hormat kepada guru dan paman gurunya semua, dengan sekelebatan sinar matanya
menyapu In Loei, lalu dengan sebat ia membalik tubuhnya.
Tapi ia masih dengar elahan
napas dari gurunya, dari Eng Eng juga.
In Loei segera duduk numprah
di tanah, air matanya tak dapat mengucur keluar.
Syukur baginya Tan Hong tidak
berani berpaling kepadanya, jikalau tidak, asal sinar rata mereka bentrok,
mungkin ia segera menangis, atau mungkin keduanya saling tubruk,untuk menangis
sambil saling rangkul, tak ingin mereka angkat kaki, tak sudi mereka memisahkan
diri lagi...
Tan Hong dan Mie Ming turun
gunung dengan cepat. Itu waktu, sang malam telah tiba,bintang-bintang di langit
sudah mulai berkelak-kelik. Mereka lantas cari rumahnya satu pemburu, untuk
numpang bermalam. Esoknya pagi di kaki gunung itu, Tan Hong dapat cari Tjiauwya
saytjoe ma, kudanya yang jempol.
Tjiauwya saytjoe ma
benar-benar kuda luar biasa. Telah sekira sepuluh hari Tan Hong berdiam di atas
gunung, dia dilepas, diumbar mencari makan sendiri, tidak ada kandangnya, tidak
ada yang urus, dia dapat bawa dirinya sendiri, dia tak pergi jauh, terus dia
menantikan majikannya. Demikian pagi itu, begitu lekas melihat majikannya, dia
segera meringkik keras, sambil berjingkrakan dia lari menghampiri majikannya
itu.
Tan Hong usap-usap lehernya
kuda itu, ia lalu teringat di kala ia bersama In Loei berada di atas seekor
kuda itu, tanpa merasa, ia menjadi bersedih hingga tak dapat ia cegah
mengalirnya air matanya...
"Dengan ada punya kuda
jempolan ini," berkata Tantai Mie Ming kemudian, setelah berada dekat
kawannya itu, atau majikannya yang muda, "tak usah sampai sepuluh
hari,akan kita sudah tiba di kota raja."
"Bagaimana keadaan di ibu
kota Watzu sekarang ini?" Tan Hong tanya.
"Di luar nampaknya segala
apa tenang-tenang saja, tapi di dalam sang hujan akan segera turun," ada
jawabannya jenderal Watzu itu.
"Bagaimana
sebenarnya?" si anak muda menegaskan.
"Atzu Tiwan sudah
mengadakan perserikatan dengan pelbagai suku bangsa," Mie Ming memberi
kete rangan, "hendak dia mulai dengan pemberontakannya. Di pihak
lain,Perdana Menteri Yasian ingin se kali lekas-lekas mengadakan perdamaian
dengan Tionggoan. Pada hari aku meninggalkan kota raja, kabarnya pemerintah
Beng Tiauw sudah mengirim utusan untuk perdamaian itu. Mudah-mudahan utusan itu
tiba sebelum kedua pihak tentera mulai bentrok, kalau tidak, mungkin akan
terbit perubahan besar!"
"Bagaimana dengan
ayahku?" Tan Hong menanya pula.
"Ayahmu telah meletakkan
jabatannya sebagai Menteri Muda," menyahut Mie Ming. "Ia sekarang
tengah menantikan tibanya utusan Beng Tiauw itu."
"Apakah ayah masih belum
ambil putusan untuk pulang ke Tionggoan?" Tan Hong menanya lebih jauh.
Tantai Mie Ming
menggeleng-geleng kepalanya. "Sekarang ini siapa juga tidak berani memberi
nasihat kepadanya," ia menjawab. "Ayahmu masih tetap tinggal di ibu
kota,benar ia sudah tidak memangku jabatan akan tetapi Yasian masih tetap
berkuatir terhadapnya. Maka itu, kalau lama-lama ayahmu tetap masih tinggal di
ibu kota, aku kuatir di belakang hari ada bahaya mengancam padanya. Aku lihat
melainkan kau yang dapat membujuki ayahmu itu berangkat pergi..."
Tan Hong menjadi jengah
sendirinya dan menyesal. Ia insyaf benar-benar, karena beberapa hari berada
dalam keadaan tak sehat itu, hampir saja ia menyebabkan terbitnya peristiwa
yang hebat sekali. Maka itu, berlompatlah ia atas kudanya, yang segera ia kedut
lesnya, untuk dikaburkan...
Selama di perjalanan itu,
Tantai Mie Ming tidak berani sebut-sebut nama atau halnya In Loei kepada kawan
seperjalanannya ini, ia kuatir urusan itu akan menyebabkan bangkitnya pula atau
kumat angotnya si anak muda.
Kuda Tjiauwya saytjoe ma lari
pesat sekali, di waktu tengah hari dia telah melewati selat bahagian selatan
dari gunung Tangkula itu di mana berdiam suku bangsa Ngolo.
Pada belasan hari yang lalu,
bersama In Loei pernah Tan Hong menemui ketua dari suku itu, maka
pengembala-pengembala di dataran rumput itu banyak sudah yang kenali padanya,
ada di antara mereka yang dengan ramah tamah menegur padanya. Dengan kedut les
kudanya, Tan Hong lewatkan mereka itu. Karena ia biarkan kudanya lari pesat,ia
membikin Tantai Mie Ming hampir ketinggalan.
Mie Ming tidak tahu apa
sebabnya di tempat ini Tan Hong bedal kudanya itu.
"Tan Hong, bagus sekali
peruntunganmu!" berkata jenderal ini. Ia maksudkan bagaimana pemuda ini
disukai suku bangsa Ngolo itu, yang menyambutnya dengan manis.
Mendengar perkataannya sang
kawan, wajahnya si pemuda berubah secara tiba-tiba.
Ia membungkam.
Justeru itu, dari lain arah
terdengar meringkiknya kuda, atas mana dengan mendadak Tjiauwya saytjoe ma
perlahankan jalannya, dari mulutnya pun keluar suara sambutan ringkikan itu.
Tan Hong menjadi heran, dengan
lantas ia berpaling ke arah dari mana suara kuda tadi datang. Di tepi jalan ia
tampak sebuah rumah tua dan rusak dari tanah liat, di luar rumah itu, di
sampingnya, ada sebuah pohon kayu kering. Pada pohon itu tertambat seekor kuda
merah, ialah kudanya In Loei yang ia kenali dengan baik.
Tak tahu Tan Hong, mengapa
kuda merah itu berada di situ, akan tetapi dapat ia menduga-duga.
In Loei datang bersama
ayahnya, yang bercacat kakinya. Berdua mereka menaiki kuda merah itu. Lewat di
rumah tua itu In Loei singgah, ia tambat kudanya, lalu dengan pepayang ayahnya
mendaki gunung itu. Lama mereka berjalan, maka itu, mereka tiba selagi
pertempuran berlangsung.
Sekarang kedua kuda, putih dan
merah, meringkik saling sambut, mereka pun berlompatan, berjingkrakan.
Menyaksikan itu, Tantai Mie Ming menjadi heran.
"Ah, rumah siapa
ini?" berkata dia sambil tertawa. "Tidak kusangka, tuan rumah itu ada
punya seekor kuda jempol... Eh, Tan Hong, kenapa, kenapa kudamu..."
Sebenarnya jenderal ini hendak
menanyakan mengapa kedua kuda itu seperti telah kenal lama satu dengan lain,
tapi ia batalkan itu karena dengan sekonyong-konyong ia tampak wajah si anak
muda berubah pula, wajah itu menjadi pasi dan air matanya pun segera
mengembeng. Ia menjadi heran dan terkejut.
Tan Hong tidak jawab kawannya
itu, kemudian ia menghela napas, lalu seorang diri ia perdengarkan suaranya:
"Tak sanggup aku mengalami pula kedukaan semacam ini! Bukankah daun kuning
terbawa angin barat berarti usus putus? Ya, ya, kuda pun ada sedemikian rupa,
apapula manusia?"
Belum berhenti suara si anak
muda, dari dalam rumah telah terdengar suara orang,rupanya tuan rumah, yang
mendengar suara berisik, hendak keluar untuk menghentikan suara kuda yang
membikin berisik itu.
Tan Hong dengar kuda itu,
sekonyong-konyong ia cambuk kuda putihnya keras sekali,ia sendiri lompat naik
ke atas kudanya itu. Tadi ia telah lompat turun untuk membiarkan kedua kuda
saling bertemu.
Sudah lama Tjiauwya saytjoe ma
ikuti anak muda ini, sebegitu jauh belum pernah dia dicambuk begitu rupa, tidak
heran kalau saking sakit dan kaget, lantas saja dia berlompat dengan ke empat
kakinya dan terus kabur larat sekuat-kuatnya! .
Tantai Mie Ming pun heran,
tetapi karena ia ditinggal pergi, tanpa bisa bilang suatu apa, terpaksa ia
lantas menyusul. Kembali ia merasakan penderitaan, oleh karena ia ketinggalan
jauh sekali. Ia tidak menjadi gusar atau mendongkol terhadap si anak muda,ia
hanya menggeleng-geleng kepala...
"Tan Hong, pikiranmu
tidak sehat," katanya seorang diri. "Kenapa kau persakiti seekor
binatang?"
Tan Hong sendiri, di atas
kudanya, yang ia peluki, telah menangis menggerung-gerung.
Ia mencoba usap-usap lehernya
Tjiauwya saytjoe ma, akan tetapi karena kuda sudah kabur, baharu sekira sepuluh
lie lebih, dapat ia menguasainya pula.
Ketika kemudian Tantai Mie
Ming telah dapat menyusul, Tan Hong sudah berhenti menangis, air matanya telah
ditepas kering, ia sedang berhenti di tepi jalan di depan sebuah warung arak.
Mie Ming hentikan kudanya di
dekat kawan itu. Ia merasa sangat heran, ia ingin mengetahui sebabnya perubahan
adat dari pemuda ini. Sebelumnya belum pernah si anak muda perlihatkan sikap
yang aneh ini.
"Eh, Tan Hong, kau
kenapakah?" ia tanya. Tan Hong tidak awasi sahabatnya, ia pun tidak
menjawab nya, ia hanya bicara dengan caranya sendiri.
"Mari! Mari! Kita minum
puas-puasan di sini!" demikian katanya.
Itulah bukan jawaban, itulah
ajakan!
"Kita masih harus
melakukan perjalanan cepat," Tantai Mie Ming memperingatkan.
Tan Hong menjawab tetapi
sambil tertawa.
"Jikalau ada arak, mesti
kita minum itu sampai mabuk!" katanya. "Dengan keadaan mabuk itulah
paling tepat untuk membuat perjalanan! Eh, Tantai Tjiangkoen, mengapa hari ini
kau nampak tidak gembira?"
Sehabis mengucap demikian,
tanpa memberi ketika kepada kawannya itu, Tan Hong sambar tangan orang untuk
ditarik, buat diajak masuk ke dalam warung arak itu.
"Apakah ada koumiss di
sini?" dia berseru, menanya tuan rumah atau pelayan, untuk minta susu
kuda, arak termurah untuk di Mongolia.
Tuan rumah adalah seorang yang
sepasang matanya putih mencilak.
"Ada, kau menghendaki
berapa banyak?" berkata tuan rumah itu, suara dan sikapnya kaku. "Aku
minta kau membayar uang di muka!"
"Kau sajikan enam atau
tujuh kati!" sahut Tan Hong dengan suara keras, terus ia lemparkan
sepotong perak ke meja tuan rumah itu sepotong besar, yang lebih dahulu ia
tepuk-tepuk di atas meja. "Inilah uang arak, selebihnya untukmu! Jangan
kau ngoceh tidak keruan, tidak senang aku melihat biji matamu yang putih itu!
Tahukah kau?"
Tuan rumah itu kaget,
lekas-lekas ia ubah sikapnya. Sekarang ia berlaku telaten dan wajahnya pun
senantiasa tersungging senyuman. Tapi di dalam hatinya, ia kata: "Kiranya
orang ini sudah minum sinting di lain warung arak..."
Koumiss di warung arak ini
rasanya asam dan juga turunnya seret, maka itu, baharu ia tenggak dua cangkir,
Tantai Mie Ming sudah kerutkan keningnya. Tidak demikian dengan Tan Hong, yang
meminumnya sangat bernapsu! .
Begitulah, lekas sekali anak
muda itu sudah keringkan tujuh cawan.
"Arak yang wangi! Arak
yang wangi!" demikian pemuda ini berseru-seru dengan pujiannya. Hanya, di
dalam sintingnya itu, di depan matanya berpeta samar-samar bayangannya In Loei,
bayangan yang bergoyang-goyang...
Pada mula kalinya Tan Hong
ikat persahabatan dengan In Loei justeru ia telah minum koumiss dari sebuah
buli-buli yang besar, ia meminumnya secara sangat bernapsu dan gembira, akan
tetapi sekarang, ia minum seorang diri, ia telah kehilangan kekasihnya itu,maka
itu, bukan main sedih hatinya. Ia jadi sangat berduka, lebih-lebih lagi ketika
ia membayangkan si nona...
Tantai Mie Ming masih minum
beberapa cegukan kapan ia lihat arak susu kuda telah hampir habis ditenggak Tan
Hong.
"Cukup sudah!" ia
lalu berkata. "Mari kita berangkat!" Ia tidak mengatakan langsung
agar kawan ini hentikan minumnya.
Tan Hong menyeringai, ia
letakkan cawannya. Hampir di waktu itu, di luar terdengar riuh ringkiknya kuda.
"Tjoei Hong, lihat!"
demikian terdengar satu suara nyaring. "Itulah kuda Tjiauwya saytjoe ma
dari Tan Hong!"
Menyusuli suara itu, orang
tertampak bertindak masuk ke dalam warung arak itu, satu pria, dan lainnya
wanita, yang jalan di depan ialah Tjioe San Bin, dan yang belakangan,Tjio Tjoei
Hong.
Segeralah terdengar keluhannya
pemuda she Tjioe itu: "Oh, Tan Hong, bagaimana sengsara aku mencari kau!
Siapa sangka di sini kita bertemu!".
Tjoei Hong sendiri
perdengarkan seruan kaget.
"Tan Hong, mana entjie In
Loei?" dia bertanya. "Kenapa ia tidak ikut serta bersamamu?"
Tan Hong menggeleng kepalanya,
terus ia bersenanjung: "Manusia itu ada saatnya untuk berduka dan
bergembira, berpisah dan berkumpul, bagaikan rembulan ada waktunya bulat bundar
dan bercacat, suram gelap dan terang cemerlang. Demikian tetap berlanjut sejak
jaman purbakala. Kau tidak dapat menahan padanya, cara bagaimana aku pun dapat
menahannya? Ya, ya, semoga manusia hidup kekal abadi, beriang gembira
bersama-sama seribu lie..."
Tidak puas Nona Tjio mendengar
kata-kata dewi kz itu, ia menyangka Tan Hong menggodai dia mengingat kejadian
dahulu hari halnya ia keliru menganggap In Loei sebagai pemuda, maka wajahnya
menjadi merah.
"Foei!" katanya,
"orang omong benar-benar, kau ngaco belo!".
Tan Hong terperanjat, lantas
menjadi sadar sedikit dari sintingnya.
"Eh, mengapa kau mendapat
tahu dan dapat mencari aku di sini?" dia tanya.
Lenyap lantas
kemendongkolannya si nona, terus saja ia tertawa.
"Kami telah sampai di
rumahnya entjie In!" ia menjawab. "Kami telah bertemu dengan In
Peebo. Bukankah kau dan In Loei telah bertengkar? Peebo bilang bahwa kau datang
bersama In Loei kemudian kau pergi seorang diri. Peebo pun beritahukan kami
bahwa entjie Loei telah pergi bersama ayahnya beberapa hari yang lalu. Aku
menyangka mereka mencari kau..."
"Pantas tadi di jalan aku
dengar suara seperti beberapa orang bicara, kiranya itulah kamu!" berkata
Tan Hong.
"Kami baharu sampai,
lantas kami dengar suaranya Tjiauwya saytjoe ma," Tjoei Hong berkata pula,
"waktu kami keluar untuk melihat, kau nyata telah pergi jauh, lantas kami
menyusul, baharu sekarang kami dapat menyandak padamu! Ya, hendak aku tanya
kau," menambahkan si nona, "umpama benar kau bercedera dengan entjie
In Loei, tidak seharus nya kau berlaku begini tidak tahu aturan! Kenapa kau
lewat di rumahnya entjie Loei tapi tidak mampir? In Peebo harus dikasihani, kau
selayaknya pergi menjenguk padanya..."
Dengan tiba-tiba air mukanya
Tan Hong berubah, kedua biji matanya berdiam. Ia lantas tunduk mengawasi
dadanya saja.
Tjoei Hong menjadi heran.
"Entjie Loei sangat lemah lembut, tentulah kau yang berbuat salah
terhadapnya!" ia berkata pula. "Oleh karena itu, ia menjadi tidak mau
pedulikan pula padamu! Sebenarnya, urusan apakah itu? Coba kau tuturkan
kepadaku. Nanti aku wakilkan kau untuk menyampaikan maaf kepadanya..."
Nona Tjio ini lantas saja
tertawa geli.
Tantai Mie Ming lihat gelagat
kurang baik, ia lantas datang sama tengah.
"Mari kita bicarakan
urusan kita!" demikian ia menyelak. "Kau masih belum menjelaskan,
siapakah yang beri tahu kamu alamatnya In Loei itu?"
Masih si nona tertawa.
"Apakah aku bukan omong
tentang urusan kita?" ia balik menanya. Ia sebenarnya hendak bicara terus
tapi ia segera tampak wajah pucat pasi dari Tan Hong, yang terus membungkam dan
menjublak saja, dengan lantas ia berhenti tertawa.
"Pemerintah Beng sudah
kirim utusan," berkata San Bin, yang turut bicara. Ia bicara dari urusan
yang benar. "Utusan itu akan segera tiba di negeri Watzu untuk
merundingkan
perdamaian."
"Hal itu aku sudah
ketahui," berkata Tantai Mie Ming.
"Coba terka, siapakah
yang menjadi utusan itu?" San Bin tanya.
"Siapakah dia?"
tiba-tiba Tan Hong menanya. Ia sadar dari menjublaknya.
"Dialah kakaknya In
Loei," sahut San Bin.
Kembali Tan Hong menjublak.
Kali ini disebabkan ia ingat In Tiong bersikap bermusuh
terhadapnya.
Datangnya In Tiong itu bisa
menyebabkan semakin putus harapannya terhadap In Loei.
"Apa? Apakah kau tidak
gembira?" menanya San Bin, yang tak tahu hati orang.
"Kenapa aku tidak
bergirang," berkata si anak muda. "In Tiong menjadi utusan, tidak
ada yang terlebih baik
daripada itu!"
Tan Hong mengucapkan kata-kata
yang benar, yang keluar dari hatinya yang tulus.
Kakaknya In Tiong telah
menjadi utusan ke negeri Watzu, kakek itu mesti hidup mengembala kuda di tepi
telaga, sengsara sekali hidupnya, sekarang Tionggoan dari lemah menjadi kuat,
utusan yang di kirim adalah cucunya kakek yang bersangsara itu,sungguh itulah
tepat dan sangat menggirangkan, sangat memuaskan hati. In Tiong pun setia
kepada negara, gagah dan pandai bekerja, dia menang beberapa lipat dari
kakeknya yang lemah itu. Dengan diutusnya In Tiong inipun menjadi terbukti
kepandaiannya Ie Kiam, yang bisa memilih orang. Tan Hong tahu In Tiong keliru
mengerti terhadapnya, ia sangat menyesalinya, tetapi itu adalah urusan
perseorangan, tetapi sebagai utusan, In Tiong bekerja untuk negara, itulah
lain. Kalau ia menjadi menjublak, itulah disebabkan kekagumannya negara
memperoleh wakil yang tepat, dan berbareng, ia bakal menghadapi kesulitan lebih
jauh...
"Di waktu In Tiong lewat
di Ganboenkwan, dia telah bertemu dengan kami," San Bin
menerangkan lebih jauh,
"malah dia minta kami menyampaikan kata-kata untuk ibunya,
mewartakan perihal
kedudukannya sekarang, dan mohon si ibu nanti membuat pertemuan
di ibu kota Watzu. Siapakah
yang sangka bahwa ayahnya In Tiong itu masih hidup? In
Peebo telah beritahukan kami,
bahwa dia hendak menantikan In Loei dahulu, kelak
baharulah bersama In Loei dan
ayahnya ia akan bersama-sama pergi ke kota raja. Kami
diminta tak usah
menemaninya."
Tubuh Tan Hong menggigil
mendengar disebutnya nama In Loei. San Bin lihat itu, ia
heran.
"In Tiong berangkat
dengan membawa delapan belas pahlawan Gietjian Siewie sebagai
pengiringnya," San Bin
menerangkan pula. "Di samping itu ada turut beberapa wanita."
Tantai Mie Ming heran
mendengar keterangan yang belakangan ini.
"Apa? Orang-orang
perempuan?" tanyanya.
San Bin tertawa atas
pertanyaan itu.
"Tantai Tjiangkoen,"
berkata dia dengan penyahutannya, "aku dengar yang turut In
Tiong itu adalah adikmu yang
perempuan, Keng Beng namanya yang harum!"
Mie Ming menjadi girang.
"Ha, dia pun
datang?" serunya. "Pasti sekali paman tjintong-ku serta ayahnya yang
menitahkan dia menyambut
aku!"
"Sedikitpun tidak
salah!" berkata San Bin. "Aku menghaturkan selamat kepadamu, yang
sekarang akan dapat pulang ke
negeri sendiri!"
Cuma sebentar saja pemuda she
Tjioe ini berhenti, lalu ia menambahkan pula:
"Beberapa orang wanita
yang turut bersama itu adalah orang-orang dari kampungmu
yaitu Tamtay tjoen, mereka
dititahkan oleh adikmu untuk menemani padanya!"
Di dalam hati kecilnya, Tantai
Mie Ming berkata: "Keng Beng si bocah itu memikir
sempurna sekali! Terang tidak
ingin seorang diri dia menemani In Tiong, dia kuatir orang
nanti banyak mulut dan usil
terhadapnya. Hanya kasihan Tan Hong ini, andaikan Keng
Beng di perjodohkan dengannya,
mereka sembabat sekali..."
Selagi Mie Ming masih
berpikir, San Bin sudah berkata pula: "Mereka itu adalah
utusannya pemerintah,"
demikian katanya, "karena itu di sepanjang jalan ada orang-orang
yang menyambut mereka,
karenanya setiap hari mereka cuma bisa melakukan perjalanan
lima sampai enam puluh lie.
Mungkin masih perlu belasan hari lagi untuk mereka dapat
tiba di kota raja Watzu.
Sebenarnya akupun sedikit berkuatir juga terhadapnya..."
"Kenapa begitu?" Tan
Hong menyelak pula.
"Sesudahnya peperangan di
antara dua negara," berkata San Bin, "di mana-mana mesti
ada muncul orang-orang dari
kalangan Hitam dengan aksi mereka. Walaupun benar In
Tiong membawa delapan belas
pengiring pahlawan raja, ia toh tetap mesti berhati-hati
menjaga sesuatu yang tak
diduga-duga. Selama di dalam wilayah Ganboenkwan, dengan
disiarkannya panah Loklim
tjian kami, aku berani tanggung tidak akan terjadi apa-apa,
akan tetapi sekeluarnya batas
itu, di luar kota, tenaga kami tidak sampai..."
"Aku rasa kekuatiran itu
tidak pada tempatnya," menyatakan Mie Ming. "Yasian
menghendaki pembicaraan
perdamaian dengan kerajaan Beng, apabila utusan Beng
mengalami sesuatu di dalam
negaranya, sukar untuk dia berdiam saja."
"Walaupun demikian tetapi
Yasian itu sangat licik, kelicikannya itu diketahui orang di
dalam dan di luar negerinya.
Siapa yang dapat menduga apa yang dikandung di dalam
hatinya? Justeru sekarang ini
negara Watzu tengah terpecah-belah, tak mungkin orang
semua taat kepada Yasian itu,
apapula segala penjahat Rimba Hijau. Aku anggap berlaku
hati-hati adalah terlebih
baik. Aku ingin berdamai dengan kau, yaitu apakah perlu kita
kirim beberapa orang yang
dipercaya untuk memapak mereka itu?"
Tan Hong berdiam sekian lama,
tetapi sekarang, tiba-tiba ia nampaknya bersemangat.
"Tjioe Toako. Tjio
Hianmoay." serunya. "Aku haturkan selamat kepadamu dengan ini
satu cawan!"
Segera ia isikan satu cawan
yang besar, yang terus ia tenggak!.
San Bin dan Tjoei Hong
melengak.
Sehabis minum, Tan Hong
lemparkan cawannya itu, terus ia tertawa bergelak.
"Tjioe Toako."
katanya pula, nyaring, "kuda kami keras larinya, hendak kami berangkat
terlebih dahulu! Kau jangan
kuatir, aku tanggung In Toako bakal tiba dengan selamat di
kota raja Watzu!"
Setelah itu Tan Hong lari
keluar dan lompat ke bebokong kudanya, kuda mana terus
meringkik, sesudah gerakkan
kedua kakinya berlompat, dia lantas lari kabur!
Tantai Mie Ming tak dapat
susul anak muda itu walaupun kudanya juga ada kuda
Mongol pilihan, jangan dikata
lagi kudanya San Bin dan Tjoei Hong.
Tiga hari kemudian, Tan Hong
telah kembali ke kota raja Watzu. Ia tampak kota agak
kacau. Penduduk kota tertampak
seperti berebut membeli bahan makanan. Nyata mereka
itu sudah dengar kabar angin,
mereka kuatirkan nanti terbit bentrokan senjata antara
Yasian dan Atzu Tiwan. Maka
penduduk hendak menyimpan persediaan pangan.
Tan Hong menjadi berduka, hingga
ia menghela napas.
"Kalau dunia aman damai,
untuk selama-lamanya tidak ada bencana perang, alangkah
bagusnya!" dia berkata di
dalam hatinya. Lebih jauh dia pun berpikir: "Suasana ada begini
rupa, malapetaka peperangan
sudah mengancam, maka terang sudah Yasian semakin
menghendaki perdamaian dengan
Tionggoan. Nampaknya peruntungan In Tiong ada jauh
terlebih baik daripada
kakeknya, kali ini pastilah tugasnya tidak akan gagal dan tidak akan
mendapat malu karenanya,
dengan berhasilnya perdamaian, niscaya ia akan berangkat
pulang sambil mengajak juga
junjungannya yang sekian lama telah menjadi orang
tawanan..."
Lantas tanpa ayal lagi, Tan
Hong pulang ke rumahnya.
"Oh, tuan rumah baharu
pulang!" demikian ia disambut oleh bujangnya. "Setiap hari tuan besar
mengharap-harap kepadamu. Selama beberapa hari ini tuan besar telah rebah di
atas pembaringan nya, tak hentinya ia perintah orang pergi keluar untuk melihat
tuan sudah pulang atau belum..."
Mendengar ini, Tan Hong
terkejut. Dengan tindakan cepat, ia langsung menuju ke kamar tulis. Ia dapatkan
ayahnya seorang diri berduduk menghadapi meja, sedang menulis.
Orang tua itu dengar tindakan
kaki. "Siapa?" ia bertanya.
Lega juga hatinya si anak
mendengar suara orang tuanya itu."Aku, ayah," sahutnya lekas.
"Apakah ayah baik?"
Thio Tjong Tjioe lantas
berpaling. "Mana Tantai Tjiangkoen?" dia balik menanya.
"Kudanya larinya sangat
ayal, mungkin besok dia baharu sampai," sahut putera itu."Katanya
ayah kurang sehat, benarkah? Ayah sakit apa? Apakah ayah sudah undang tabib?"
"Syukur kau ingat aku,
anak," sahut si orang tua. "Aku tidak kurang suatu apa, cuma gangguan
biasa saja. Selama hari-hari belakangan ini hawa udara buruk, sudah belasan
hari hujan turun terus menerus, baharu kemarin dulu langit terang. Lututku,
terasakan ngilu."
"Mengapa ayah tidak
undang tabib?" sang anak tanya.
Tjong Tjioe tertawa.
"Aku justeru hendak
memberitahukannya satu hal kepadamu!" kata dia. "Itu beberapa jilid
catatannya Pheng Hoosiang yang kau bawa pulang dari dalam kamar batu sungguh berfaedah.
Ternyata di dalamnya ada termuat beberapa resep untuk penyakit di bukubuku
tulang. Walaupun orang sudah pincang, masih ada jalan untuk mengobatinya, baik
dengan menyambung kaki itu dengan kayu yanglioe atau dengan ditusuk dengan
jarum."
Pheng Hoosiang itu gemar
pesiar, di tempat di mana ia tiba, tentu ia membuat catatan tentang keadaan
penduduk setempat, tentang tempat-tempat yang penting untuk pergerakan tentera,
lengkap pelbagai catatannya itu. Apa yang Tan Hong dapatkan di dalam kamar batu
masih kalang kabutan, setelah ia pulang baharulah ia kumpulkan dan rapikan,
masing-masing ada bahagiannya. Ia tinggal catatan itu di rumah, untuk ayahnya
baca, sampai sekarang ayahnya peroleh faedah dari buku itu. Iapun baharu ingat
tentang resep obat itu sesudah ia dengar perkataan ayahnya itu.
"Apakah ayah pernah coba
resep itu?" dia lantas tanya.
Thio Tjong Tjioe segera
berbangkit, untuk jalan beberapa tindak, untuk menendang-nendang
beberapa kali.
"Baharu kemarin aku
mencobanya," ayah ini bilang. "Aku telah suruh orang tusuki telapak
kakiku dengan jarum, cuma beberapa kali saja, lantas hari ini aku dapat
berjalan seperti biasa."
"Sungguh mujarab!"
Tan Hong memuji. "Kalau begitu, buku itu perlu aku baca pula dengan teliti
untuk dapat menghafalkannya."
"Pheng Hoosiang itu
adalah guru negara dari kerajaan Tjioe kita yang terbesar," berkata pula
Thio Tjong Tjioe, "dia juga telah menjadi guru dari dua raja, bahwa dia
pintar dan pandai, itulah sudah selayaknya. Memang, anak, harus kau baca pula
bukunya itu dengan seksama."
Dari atas meja tulisnya, ayah
ini tarik buku yang dimaksudkan itu, untuk diserahkan kepada puteranya.
"Kau duduklah di
situ!" berkata dia sambil menunjuk kursi di sampingnya. Ia sendiri angkat
cangkir tehnya dan meminumnya.
"Aku dengar bahwa utusan
kerajaan Beng akan tiba, hatiku lega," ia berkata pula sambil bersenyum.
"Hanya belum tahu, siapakah utusan itu? Kalau dia ada seperti In Tjeng
dahulu hari, sungguh bagus!"
Baru saja orang tua ini
tertawa, atau setelah menyebut namanya In Tjeng, suaranya menjadi parau,
wajahnya menjadi suram berduka.
Tan Hong tahu sebabnya
perubahan dari ayahnya itu. Si ayah ingat kejadian dahulu hari dan hatinya
menjadi berduka. Itulah penyakit lama dari sang ayah, yang terus menjadi lesu.
Ia sendiri pun turut lenyap kegembiraannya. Ia jadi ingat sikap keras dari In
Tiong dan limbungnya hatinya In Loei.
"Ayah suka menyudahi
permusuhan itu, akan tetapi, dengan cara bagaimana itu dapat disudahinya?"
ia bertanya dalam hatinya sendiri.
"Eh, Tan Hong, apa yang kau
sedang pikirkan?" tiba-tiba Tjong Tjioe menanya, karena waktu berpaling
kepada puteranya, ia dapatkan anak itu duduk menjublak.
Tan Hong paksakan diri untuk
tertawa. "Tidak apa-apa, ayah," sahutnya cepat. "Aku juga tengah
menduga-duga siapa orangnya yang diutus kerajaan Beng itu..."
Dengan terpaksa anak ini
mendusta. Tidak berani ia memberitahukan halnya In Tiong walaupun semula ia
niat menuturkannya. Ia bersangsi karena sikap keras dari In Tiong itu, ia
kuatir In Tiong tak dapat memaafkan pihaknya. Pasti ayah ini berduka apabila
dia ketahui kekerasan hati dari puteranya In Teng itu. Oleh karena ini, ia
mencoba untuk bersabar.
Sekian lama ayah dan putera
itu membungkam.
"Ayah, adakah pikiran
ayah masih belum berubah?" tiba-tiba si anak menanya.
Thio Tjong Tjioe tahu apa yang
dimaksudkan puteranya itu. Ia menyeringai.
"Jikalau nanti utusan
kerajaan Beng itu tiba, pergilah kau turut dia pulang ke negeri," menyahut
orang tua ini. "Aku hanya melarang kau menjadi hambanya kerajaan
itu."
"Bagaimana dengan ayah
sendiri?" sang anak menegaskan.
"Dalam hidupku cuma dalam
impian saja akan aku pulang ke Kanglam," sang ayah berikan jawabannya.
"Penyair dari ahala Tong, Wie Tjhong, telah mengatakannya:'Sebelum tua,
jangan pulang ke kampung asal, kalau pulang tentu bakal putus harapan.Akan
tetapi aku, walaupun sudah tua, tidak ingin aku pulang ke kampung
halaman.Sebabnya ialah aku kuatir nanti putus harapan hingga aku jadi berduka
karenanya, Tan Hong jangan kau menyebut-nyebutnya pula hal ini."
Anak ini merasakan tubuhnya
menggigil. Nyatalah hatinya ayah ini telah menjadi seperti kayu kering, hingga
tak nanti kayu itu bersemi, tumbuh daun pula andaikata sang musim semi telah
kembali dan angin timur meniupnya menderai-derai. Ia lantas tunduk.
Di atas meja ada selembar
kertas yang ada tulisannya, yang air baknya masih belum kering semuanya.
Membaca itu, tahulah Tan Hong bahwa itu adalah syairnya Liok Voe yang ayahnya
tulis tetapi belum habis disebabkan datangnya dia. Itulah syair tentang burung
bangau terbang sendirian, bahwa orang lama bakal digantikan orang baru, bahwa
raja ada bagaikan semut, semua akan habis bagaikan debu...
"Begini rupalah
perasaannya ayah sekarang ini," anak ini berpikir. Teranglah, ayah itu
sudah putus harapan untuk hidupnya di dalam dunia ini. Karena ini, ia menjadi
berduka sekali.
Malam itu Thio Tjong Tjioe
tidur dengan diganggu pelbagai impian tak hentinya tetapi semua adalah impian
yang baik, umpamanya dalam mimpinya itu ia telah pesiar di Kanglam yang indah.
Maka ketika terang tanah ia
bangun dari tidurnya, pelbagai impian itu masih berkesan dalam mengenai kampung
halamannya, karena mana, ia menjadi berduka. Ia baharu sadar ketika pelayannya
mengetok pintu kamarnya.
"Tantai Tjiangkoen dan
tuan muda mengasi selamat pagi kepada thaydjin," demikian hamba itu.
Tjong Tjioe segera turun dari
pembaringannya, untuk pakai baju luarnya, lalu ia bertindak keluar dari
kamarnya, menuju ke kamar tulisnya. Di sana Tantai Mie Ming dan Tan Hong telah
menantikan ia, puteranya itu berdiri di pinggiran.
"Kau telah kembali,
Tantai Tjiangkoen?" menegur junjungan ini. "Tan Hong benarbenar tidak
tahu urusan, dia sangat kesusu hendak menemui aku, dengan andalkan kudanya yang
keras larinya, dia tinggalkan kau! Tidak selayaknya dia berbuat demikian..."
Tan Hong terharu mendengar
kata-kata ayahnya itu. Ia sangat berduka.
"Ayah, mana kau tahu apa
yang aku pikir dalam hatiku," ia kata dalam hati kecilnya.
"Ayah tidak tahu, aku
ingin lekas-lekas pulang karena aku harus segera pergi pula meninggalkan lagi
padamu..." Tetapi apa yang ia pikir ini ia tidak mengutarakannya.
"Tjoekong, ingin aku
memberitahukannya," berkata Tantai Mie Ming, yang memanggil
"tjoekong" kepada junjungannya itu, "sekarang ini kongtjoe dan
aku ingin lekas-lekas kembali ke Selatan, malah kami hendak berangkat segera.
Sekarang kami hendak minta diri!"
Tjong Tjioe terperanjat.
Inilah ia tidak sangka.
"Apa?" katanya.
"Baharu pulang sudah lantas hendak pergi pula?"
"Benar, tjoekong,"
sahut si jenderal. "Kami dengar kabar utusannya kerajaan Beng
sudah memasuki wilayah Watzu,
karena itu kami hendak pergi menjemputnya."
"Apakah kau kenal utusan
itu?" tanya Tjong Tjioe heran.
Tantai Mie Ming menggeleng
kepala. Ia menyangkal karena siang-siang Tan Hong telah kisiki padanya.
"Walaupun kami tidak kenal
dia, perlu kami sambut padanya," jenderal ini memberikan jawabannya.
"Ketika baharu ini kongtjoe pulang ke negeri dan aku turut Atzu Tiwan,
yang menjadi utusan, kami telah mendapatkan penyambutan baik dari Kokioo Ie
Kiam.Kabarnya utusan Beng itu adalah orang pilihannya Ie Kokioo sendiri, oleh
karenanya kita harus balas kehormatan dengan kehormatan, sudah selayaknya
apabila kita menyambut kepadanya dengan baik. Dengan demikian kita berbareng
jadi bisa mencegah andaikata ada bahaya di perjalanan bagi utusan itu."
Selagi bicara jenderal ini
diam-diam lirik Tan Hong, ia dapatkan mata pemuda itu mengembeng air, ia dapat
menduga akan perasaannya tuan mudanya itu. Justeru guna tuan muda ini, untuk
pertama kali ini, ia sudah mendusta terhadap junjungannya.
Karena lihat orang mengembeng
air mata, iapun menjadi terharu sekali.
Tjong Tjioe berbangkit dengan
pelahan-lahan dari kursinya, ia buat main kumis jenggotnya yang putih.
"Aku telah berusia
lanjut, tidak dapat aku berbuat sesuatu untuk Tiongkok," ia berkata sambil
menghela napas. "Kamu masih berusia muda, kamu bercita-cita luhur,
baiklah,kamu boleh pergi!"
Air matanya Tan Hong lantas
saja mengucur turun. Sering juga ia berpisah dari ayahnya tetapi belum pernah
terjadi perpisahan seperti ini, baharu bertemu setelah perpisahan lama lantas
sudah mesti berpisah pula. Sebenarnya ia merasa berat untuk berpisah melihat
orang tuanya sekarang tak begitu sehat pula seperti dulu-dulu. Tapi apa boleh
buat. Maka ia rangkul ayah itu.
"Ayah, harap ayah
baik-baik merawat diri," ia bilang. Terus ia membalik tubuh, untuk segera
keluar dari kamar tulis. Akan tetapi, masih sempat ia dengar ayahnya itu
bersenanjung:
"Berapa lama kekalnya
bunga dari musim semi dan rembulan dari musim rontok? Ada berapa banyakkah
peristiwa-peristiwa yang telah berlalu? Di loteng kecil tadi malam kembali
meniup angin timur... Negara sendiri tak dapat ditengok walaupun di dalam
terangnya sang rembulan..."
Tidak berani Tan Hong
berpaling, bersama-sama Tantai Mie Ming, yang mengikuti padanya, ia bertindak
dengan cepat keluar dari pintu depan, maka di lain saat mereka sudah lantas
berada di atas kuda masing-masing, yang segera dikasih lari kabur.
Keduanya sangat kesusu, mereka
sangat bernafsu untuk menyambut utusan kerajaan Beng. Di lain pihak, utusan
kerajaan Beng itupun, yaitu In Tiong, juga sama keras keinginannya untuk
lekas-lekas sampai di negeri atau kota raja Watzu, ke mana dia telah diutus.
In Tiong dan rombongannya
berangkat dari kota raja Tionggoan, Pakkhia, di hari kedua sehabis tahun baru,
hingga sekarang ini mereka sudah satu bulan lebih berada di dalam perjalanan.
Mereka sudah memasuki wilayah Watzu. Musim dingin telah berlalu, musim semi
datang sebagai gantinya, dengan lumernya salju, di tegalan, di pegunungan,
telah tertampak sinar hijau dari daun-daun pepohonan. Sekarang mereka berada di
semak belukar selewatnya sebuah gunung, di sekitar mereka, selama beberapa
puluh lie, mereka tak tampak sebuahpun rumah penduduk. Hanya di atas gunung
kelihatan beberapa ekor elang terbang melayang-layang mencari makanan, sedang
di jalan yang menanjak,beberapa pohon tengah bersemi.
"Tidak disangka wilayah
Mongolia ada demikian menyedihkan," berkata Tamtay Keng Beng yang temani
In Tiong. Ia bicara sambil menghela napas. "Waktu ini jangankan daerah
Kanglam, sekalipun di kota Pakkhia, kini bunga telah mekar!..."
Salah satu pengiring, yang
pernah pergi ke Mongolia, menyelak: "Tempat ini masih belum terlalu hebat.
Kalau kita telah tiba di bahagian utaranya, yang buminya bersalju dan langitnya
ber-es, baharulah kita akan merasakan kesengsaraan yang hebat sekali. Di bagian
utara itu di mana dahulu hari Souw Boe mengembala kambing, jangankan manusia,
walau burung pun tak nampak! Di sana jikalau orang berdahaga, dia cuma bisa
minum salju dan kalau lapar cuma bisa dahar daging kambing bakar..."
Mendengar orang menyebut
halnya Souw Boe mengembala kambing, In Tiong lantas teringat kakeknya, dengan
tiba-tiba saja ia menjadi berduka, hingga wajahnya muram dan lesu. Ia berdiam.
Tamtay Keng Beng yang manis
melirik kepada pemuda utusan Bengtiauw itu. Ia tertawa.
"Di sini masih terdapat
rumput dan selokan," ia berkata, "di sini kuda kita dapat singgah.
Aku berpendapat malam ini baik kita mendirikan kubu-kubu di sini saja."
"Akur!" menyatakan
In Tiong dengan cepat. Agaknya ia sadar dengan tiba-tiba. "Oleh karena
hari ini kita tidak akan sanggup meliwati tanah tegalan ini, baik besok saja
kita melanjutkan perjalanan kita. Bagimu, ini adalah yang pertama kali kau
datang ke Mongolia, kau tentunya tidak biasa, maka itu baiklah kau beristirahat
siang-siang."
"Itulah tidak
berarti," sahut Nona Keng Beng. "Seandainya kaki dan tangan
kedinginan hingga menjadi kaku, namun pelahan-lahan, kita akan menjadi
biasa."
Di mulut nona ini mengatakan
demikian, tapi di dalam hatinya ia berpikir lain. Memang ia asing terhadap hawa
udara di Mongolia ini, akan tetapi mengenai tabiatnya In Tiong,lambat laun ia
mulai mengenalnya. Pemuda ini keras hatinya, tidak selemah lembut Tan Hong,
tetapi terhadap ia, In Tiong berlaku baik hati dan halus, segala-galanya ia
sangat diperhatikan, untuk itu In Tiong tidak pernah menyelimuti diri. Maka
dari itu, terhadap pemuda ini ia berkesan baik.
In Tiong pilih sebuah tempat
untuk mendirikan tendanya. Tempat itu membelakangi angin, terlindung lamping
gunung. Sedang pengiring-pengiringnya sudah lantas mengumpulkan kayu-kayu
kering guna menyalakan unggun. Mereka mematangi makanan bekalan untuk bersantap
malam.
Sehabis bersantap, In Tiong
pergi ke tendanya Tamtay Keng Beng, untuk menemani sambil bercakap-cakap.
Dengan cara itu mereka biasa lewati waktu yang luang, hingga mereka tidak jadi
terlalu sunyi.
"Jikalau Thio Tan Hong
dan adikmu ketahui kita telah tiba di sini, betapa girangnya mereka,"
berkata Nona Keng Beng. "Kakak San Bin telah pergi untuk menyampaikan
kabar, mungkin dia telah bertemu dengan mereka itu. Kalau nanti kita sampai di
ibu kota Watzu, untuk menyampaikan surat negara, kita masih punyakan waktu
luang beberapa hari. Selama itu maukah kau pergi ke rumah keluarga Thio untuk
menemui mereka itu?"
"Hm!" In Tiong
perdengarkan suara tak tegas. Kemudian ia kata: "Kalau kau pergi ke rumah
keluarga Thio itu, siapakah yang kau hendak cari? Mungkin Thio Tan Hong ada di
rumahnya di mana ia menantikanmu, akan tetapi jikalau In Loei juga berada di
sana, dia bukan lagi adikku!"
Mendengar itu, Nona Keng Beng
tertawa geli. Dengan telunjuknya, ia dorong anak muda di depannya itu.
"Hai, sampai kapankah kau
dapat ubah tabiatmu yang bagaikan tabiat kerbau ini?" tanyanya sambil
tertawa. "Permusuhan apakah itu yang demikian besar hingga kau tak dapat
melupakannya? Kau seharusnya mengarti, kali ini jikalau tidak ada Thio Tan
Hong,Ie Kokioo sendiri pasti tidak bakal mengetahui jelas keadaan dalam dari
negara Watzu,dan di antara kedua negara, pasti tidak begitu mudah lantas dapat
kecocokan untuk membuat perdamaian. Syukur ada dia maka kau sekarang telah
menjadi utusan untuk perdamaian itu!".
In Tiong lantas saja tunduk.
Memang juga Tan Hong itu setia kepada negara. Bukankah pemuda she Thio itu
tengah bekerja guna Tionggoan? Maka ia terus membungkam, akan tetapi di dalam
hatinya, ia mengharap-harap In Loei, adiknya itu, tidak ada di rumahnya Tan
Hong...
"Maka setibanya di Watzu,
kau harus menemui Thio Tan Hong," Nona Tamtay berkata pula. Ia agaknya
menegur tetapi suaranya halus, sikapnya lembut. "Kau harus menghaturkan
terima kasih kepadanya."
"Ie Kokioo ada
mengirimkan surat untuknya, sudah semestinya aku pergi menemui dia",
menjawab In Tiong kemudian. "Hanya sayang sekali, permusuhan di antara
kedua keluarga ada sedemikian rupa bagaikan laut dalamnya. Sekarang ini dia
tengah bekerja untuk negara, dengan memandang dan menghargainya, aku suka tidak
menarik panjang urusan kami. Akan tetapi, untuk membikin lenyap permusuhan itu,
supaya kami menjadi sahabat-sahabat, itulah tak dapat!"
Nona Keng Beng tidak menjadi
kecil hati atau putus harapan, ia malah bersenyum.Kembali ia angkat tangannya,
akan dengan sebuah jarinya menekan pula jidatnya si anak muda.
"Sayang kau menjadi satu
taytianghoe, satu laki-laki, tak dinyana, pikiranmu sedemikian cupat!" ia
berkata. "Nyata kau masih kalah dengan kami kaum wanita! Pihak kami dengan
pihaknya Keluarga Tjioe itu, yang menguasai negara Tionggoan, ada musuh turun
temurun, untuk beberapa turunan kami sudah menyimpan barang-barang permata
mulia yang berharga sangat besar, akan tetapi di akhirnya kami toh telah
keluarkan itu,kami menyerahkannya kepada pemerintah Beng! Dan Thio Tan Hong
apabila dia masih ingat kepada permusuhannya, tidak nanti dia mau berdaya
sungguh-sungguh meminta Ie Kokioo urus penyambutan pulang raja yang tua."
Tamtay Keng Beng jujur dan
polos, dia omong seperti apa yang hatinya pikir. In Tiong merasakan itu,
hatinya tergerak. Maka sejenak itu, iapun berpikir: "Ya, mustahilkah aku
tidak seperti Thio Tan Hong itu?" Tapi sedetik itu juga, di depan matanya
berbayang surat wasiat kulit kambing yang berdarah itu, maka juga pikirannya
menjadi sangat kusut.
Untuk menyingkirkan pikirannya
yang kusut itu, ia jemput paha kambing panggang di depannya yang ia keset dan
dahar sambil terus tunduk.
Keng Beng awasi kelakuan orang
itu, ia juga berpikir, kemudian, selagi ia hendak membuka mulut pula, tiba-tiba
ia lihat In Tiong mendekam di tanah di mana dia pasang kupingnya. Ia menjadi
heran, apapula ketika ia tampak wajah tak wajar dari pemuda itu.
"Eh, kau bikin apa?"
dia tanya, heran.
Sebelumnya menyahuti, In Tiong
sudah berlompat bangun.
"Ada pasukan tentara yang
tengah mendatangi kemari," ia menjawab.
Belum utusan raja Beng ini
tutup mulutnya, mereka sudah dengar suara terompet tanduk, yang disusul dengan
mengaungnya anak panah yang dilepas melesat ke udara,suaranya nyaring melewati
atasan tenda.
"Peronda kita melaporkan
ada pasukan tentara tengah mendatangi!" begitu datang warta dari salah
satu siewie pengiring. "Mereka itu sudah lantas membagi diri dengan sikap
mengurung kita. Di dalam gelap gulita tidak bisa dilihat berapa besar jumlahnya
mereka, tidak tertampak juga benderanya. Mohon In Thaydjin memberikan titah apa
yang kita harus lakukan."
"Tempat ini adalah tanah
pegunungan belukar, mereka itu tentulah gerombolan penjahat yang niat merampok
kita," berkata In Tiong. "Sekarang kamu ke delapan belas orang lekas
keluar dan memecah diri menjadi dua rombongan. Kamu juga mesti sembunyi, bila
dapat lihat bayangan orang, segera kamu gunai panah!"
Siewie itu menurut, ia
undurkan diri untuk berkumpul sama kawan-kawannya, untuk lantas bersiap sedia.
"Bagaimana dengan
kau?" Keng Beng tanya si utusan setelah si siewie mundur.
"Kamu semua pergi ke
tendaku," jawab In Tiong, yang tidak menjawab pertanyaan orang.
"Apakah kau tidak hendak
keluar sendiri?" Keng Beng menanya pula.
"Aku memegang soetjiat,
pada tubuhku ada surat negara kerajaan," jawab In Tiong,"dan di dalam
tenda ini juga ada banyak barang berharga untuk raja Watzu, cara bagaimana aku
bisa menyingkir dari sini? Kau bersama beberapa serdadumu, yang semuanya
wanita, juga tak leluasa untuk keluar di waktu malam gelap petang seperti
ini,maka daripada pergi untuk mencegat penjahat, lebih baik kami berkumpul di
dalam tenda untuk menjaga bersama-sama aku. Aku percaya segala gerombolan
gunung itu tidak berarti banyak!"
Tamtay Keng Beng mengarti
maksud sebenarnya dari In Tiong ini, ia menjadi sangat bersyukur. In Tiong
bukan berati barang-barang untuk raja Watzu itu tetapi sebetulnya dia hendak
lindungi ia dan serdadu-serdadunya. Tentulah In Tiong berkuatir juga, karena
katanya ia dingin kaki tangannya hingga bisa jadi kurang leluasa menggunai
senjata,sedang serdadu-serdadu wanita itu, apabila mereka pergi keluar, mungkin
mereka ditawan penjahat dan diperkosa. Dengan berkumpul di dalam sebuah tenda,
mereka dapat bekerja sama.
Baharu selesai orang mengatur
diri, penyerangan sudah lantas dimulai. Anak-anak panah lantas tampak melayang
pergi datang tak putusnya, disusul dengan seruan-seruan serta bentrokan
senjata. Selain suara beradunya pelbagai senjata itu terdengar juga suara
banyak kaki berlari-lari.
"Kawanan penjahat itu
mendapat pukulan yang hebat!" berkata In Tiong kemudian sambil tertawa,
sehabisnya ia mendekam pula. Di dalam hal kepandaian memasang kuping sambil
mendekam, pemuda ini ada liehay sekali.
Selagi mereka bicara,
tiba-tiba terdengar satu sambaran "Sret!" lalu api berkobar di tenda
sebelah luar.
"Celaka!" berseru In
Tiong. Terpaksa ia lompat untuk pergi keluar tenda, dengan niat memadamkan api
itu. Untuk ini, ia mesti pentang pintu tenda. Justeru itu, berbareng dengan
sambaran angin, lima orang lompat menerjang masuk, yang semuanya memakai tutup
muka.
Nyatalah, dengan menggunakan
panah apinya itu, lima orang ini telah dapat perdayai In Tiong, untuk mereka
menyerbu masuk. Dari gerakan tubuh mereka yang gesit-gesit itu,dapat diduga
mereka mempunyai kepandaian enteng tubuh yang sempurna.
Segera juga lima orang
bertopeng itu menyerang In Tiong.
Utusan kaisar Beng itu berseru
sambil menyambut, ketika sebelah tangannya dipakai menyerang, satu penyerang
lantas saja terpukul hingga tubuhnya terpental keluar tenda.
Tanpa bersangsi lagi, In Tiong
terus pentang kedua tangannya, untuk bersilat dengan ilmu silat Taylek Kimkong
Tjioe. Ia menyerang ke kiri dan kanan. Ketika sedangnya ia menyerang ke kanan,
ia telah menyerang tempat kosong, menyusul mana, seorang bertopeng datang
menyerang ia dengan sepuluh jarinya.
Itulah pukulan Taylek
Engdjiauw Kang yang berbahaya. Menampak itu, In Tiong menyedot napas, untuk
membikin kempes dada dan perutnya, sedang tangan kirinya,yang segera ditarik
pulang, diteruskan dipakai membacok kedua lengan si penyerang itu.
"Ih!" berseru si
orang bertopeng itu, yang lekas-lekas turunkan kedua tangannya, untuk berkelit
dari bacokan.
Di dalam tenda ada api lilin,
di antara terangnya cahaya lilin itu, In Tiong lihat tangan orang yang merah
gelap, ia menjadi terkejut. Meski demikian sambil lompat mencelat, ia dapat
dupak rubuh satu musuh bertopeng di sampingnya selagi musuh itu hendak mendekat
padanya. Dengan demikian juga, ia telah dapat menyingkir dari tangan merah dari
musuhnya itu.
Itu waktu Tamtay Keng Beng pun
tidak diam saja, ia sudah hunus pedangnya akan terjang dua orang bertopeng
lainnya.
"Awas kuku mereka
itu!" In Tiong memperingatkan. "Kuku mereka ada racunnya!"
Satu musuh bertopeng yang
berada paling depan, yang rupanya ada seorang tua,perdengarkan tertawa
ejekannya yang dingin, sedang seorang kawannya yang bersenjatakan sebuah golok
bagaikan gergaji, sudah lompat maju guna desak si utusan raja.
Sambil berkelahi, In Tiong
memasang mata terhadap Tamtay Keng Beng, yang dikerubuti dua musuh. Untuk
keheranannya, ia seperti kenali potongan tubuhnya salah satu musuh. Musuh ini,
yang rupanya liehay, berkelahi dengan menggunai Tjeksee Tjiang atau Tangan
Pasir Merah dicampur dengan Engdjiauw Kang, Tangan Kuku Garuda,kelihatannya,
dia ada terlebih gagah daripada si orang tua.
Tamtay Keng Beng berkelahi
dengan menggunai ilmu pedang Lamgak Kiamhoat, ia dapat melayani kedua musuhnya,
tapi tubuhnya kurang lincah, di waktu dia lompat berkelit, nampaknya agak
lambat. Itulah mungkin disebabkan kakunya kaki tangannya,seperti tadi ia telah
beritahukan kepada In Tiong. Ia agaknya masih menderita dari gangguan hawa
udara yang dingin itu.
Kedua musuh itu seperti dapat
melihat kelemahan si nona, segera mereka ubah cara menyerangnya, yaitu sekarang
mereka lebih banyak merabu di bahagian bawah, agar si nona menjadi lekas lelah.
Tiba-tiba salah satu penyerang
yang bertopeng itu ulur kedua tangannya ke arah Nona Keng Beng, untuk merabu
kaki orang. Si nona lihat itu, sambil berjingkrak, ia mendahului menendang
dengan dua-dua kakinya. Musuh itu liehay, dengan sebat ia menangkap kedua
kakinya Keng Beng, terus ia menggentak, untuk lemparkan nona itu.
Keng Beng menjadi tidak
berdaya, tubuhnya lantas terlempar melayang dengan kedua kakinya di atas.
Ketika ini digunai oleh musuh
yang kedua, yang bersenjatakan sebatang golok tantoo.
Ia tidak pakai goloknya itu,
ia hanya menukar dengan tali bandringan, yang ia lemparkan untuk meringkus si
nona! .
In Tiong lihat si nona berada
dalam bahaya, ia kaget hingga ia lupa segala apa. Sambil berteriak, ia
menyambar dengan sebelah tangannya, ia lupa kepada bahaya apabila tangannya
bentrok dengan tangan liehay dari musuh itu, tentulah tangan In Tiong terkena
racun yang jahat, tapi di lain pihak, tangan si orang tua akan menjadi patah
juga.
Si orang tua ternyata kalah
hati, dia berkelit sambil tarik pulang tangannya. Tapi kawan disamping nya yang
memegang golok model gergaji majukan diri. Dengan tangan kirinya,dengan gagang
golok, In Tiong sampok golok musuh ini, berbareng dengan itu tangan kanannya
menyambar terus.
Dengan tak sempat berteriak
kesakitan lagi, pecahlah kepalanya musuh itu.
Sekarang In Tiong terlepas
dari gangguannya dua musuh, dapat ia wujudkan keinginannya untuk menolongi
Tamtay Keng Beng, justeru ia hendak lompat maju, tibatiba ia dengar jeritan
nona Keng Beng, hingga ia menjadi kaget tak kepalang!.
Keng Beng benar-benar kurang
kelincahannya karena hawa dingin itu, maka kedua kakinya telah kena disambar
musuh dewi kz bertopeng, yang terus melemparkan tubuhnya itu membentur lelangit
tenda hingga ia menjerit. Di waktu ia hendak jatuh turun, masih dapat ia
menjumpalitkan tubuhnya, hingga ia jadi jatuh berdiri, tepat didekatnya satu
musuh yang bersenjatakan sebatang golok, maka terus saja ia tikam musuh itu
hingga tenggorokannya tembus.
Berbareng dengan itu, tambang
bandringan telah menyambar nona ini.
Adalah di waktu itu In Tiong
datang dengan pertolongannya. Ia serang orang yang menggunai lasso itu, tetapi
orang itu, lekas-lekas undurkan diri karena takut.
Tidak demikian dengan si orang
bertopeng yang usianya lanjut, dia maju dengan niatan mengepung, dengan bengis
dia sambar pundaknya si anak muda selagi anak muda ini hendak serang terus
kepada musuh yang mundur itu.
Dengan cepat In Tiong turunkan
pundaknya, akan tetapi oleh karena ia sedang menyerang musuh, turunnya pundak
kurang rendah, hingga ia merasakan pundaknya sakit. Di lain pihak, saking
sehatnya gerakannya, ia berhasil menyerang lawan yang undurkan diri itu hingga
rubuh tanpa dapat berbangkit pula! .
Meskipun ia telah kena
diserang, In Tiong tidak berbalik untuk melayani musuh yang tua itu, sebaliknya
dia berlompat dua tindak, guna segera tengok Tamtay Keng Beng.
"Hm!" berseru si
orang tua, yang tidak susul In Tiong hanya dia lompat kepada kawannya yang
rubuh itu, tubuh siapa ia sambar dan angkat, untuk segera dibawa lari keluar
tenda. Bersama ia, mundur juga semua kawan lainnya.
Nona Keng Beng tidak kurang
suatu apa, malah ia bisa loloskan diri dari lasso yang melibat tubuhnya, sambil
tertawa ia berdiri memandang In Tiong, yang datang padanya.
"Sungguh berbahaya!"
demikian ucapannya. Ia menghadapi bahaya tetapi ia tetap tabah, besar nyalinya.
"Kau tidak
kenapa-napa?" In Tiong tanya.
"Tidak," sahut si
nona, gembira.
In Tiong kerutkan keningnya:
"Coba kau buka sepatumu." berkata anak muda ini.
"Buka sekalian kaos
kakimu, untuk aku periksa..."
Mukanya si nona menjadi merah.
"Dahulu di Thayouw
santjhun ketika aku terluka oleh tangan jahatnya Anghoat Yauwliong, kau yang
merawat aku," berkata In Tiong, "sekarang datang giliranku untuk
membalas merawat kau."
"Aku tersambar dia tetapi
aku memakai sepatu dan kaos kaki, apakah aku masih dapat terluka juga?" si
nona menanya. Ia benar-benar tidak percaya. Akan tetapi ia toh buka sepatunya,
kaos kakinya juga. Ia dapat lihat pada kakinya itu ada tanda merah sebesar uang
emas.
"Sungguh liehay!"
berkata In Tiong. "Syukur kau memakai sepatu dan kaos kaki."
Anak muda ini pinjam pedang si
nona, dengan ujung pedang itu, ia gurat tanda merah di kakinya nona itu hingga
terluka, setelah mana, lekas-lekas ia menguruti untuk keluarkan darahnya yang
sudah kental dan hampir hitam warnanya. Setelah itu, ia lantas borehkan obat.
"Sekarang kau boleh
beristirahat," berkata si pemuda kemudian. "Lihat besok,bagaimana
perubahannya, kalau perlu, kau mesti berobat lebih jauh."
Suaranya pemuda ini tenang
tetapi hatinya sebenarnya tegang sekali, inilah disebabkan obat yang ia pakai
adalah obat biasa saja, bukan obat istimewa untuk luka semacam itu.
Ia sebenarnya kuatir racun
masih belum lenyap, hingga bisa terjadi luka itu berubah menjadi berbahaya.
Bagaimana kalau kaki nona itu menjadi bercacat sebab pertolongan tidak tepat?
Keng Beng tidak menginsafi
kekuatiran itu, ia pandang enteng kepada lukanya, maka juga ia perlihatkan
wajah yang tersungging senyuman manis. Ia sangat girang dan puas untuk
perlakuannya In Tiong itu, yang demikian telaten merawat padanya, hingga tak
dapat ia umpetkan perasaan hatinya itu.
Di dalam hati kecilnya pun ia
berkata: "Dibandingkan dengan Tan Hong, dia agak kasar, tetapi
perhatiannya ini tak kalah daripada Tan Hong atau In Loei..."
"Eh, kau jangan
perhatikan aku saja," kata ia kemudian. "Kau sendiri pun telah kena
sambarannya si bangsat tua bertopeng itu..." Ia bicara sambil tertawa.
"Untukku tidak ada
halangannya, aku memakai lapisan emas," In Tiong berikan jawabannya. Tapi
ia buka pakaiannya, seragamnya, maka ia bisa lihat, lapis emasnya pun lecet,
tapi benar tubuhnya tidak terluka. Keng Beng leletkan lidahnya.
"Sungguh liehay si muka
bertopeng itu!" katanya. "Dia terlebih liehay daripada si penjahat
yang membokong aku!"
Sementara itu barisan wanita
dari Nona Keng Beng sudah berhasil memadamkan api yang membakar tenda, sedang
jauh di sebelah luar itu, suara pertempuran pun sudah lantas menjadi sirap,
tandanya pertempuran telah sampai di akhirnya. Cuma di tengah udara masih
terdengar suaranya anak-anak panah yang menyambar-nyambar.
Tidak lama kemudian satu
pahlawan datang melaporkan: "Dengan mengandal rejeki besar dari thaydjin,
penyerang telah dapat dipukul mundur!"
"Apakah mereka telah
mundur seanteronya?" In Tiong tegaskan.
"Nampaknya mereka masih
berjaga-jaga dari tempat yang tinggi," pahlawan itu berikan keterangan.
"Mereka kadang-kadang masih melepas anak panah tetapi mereka tidak berani
menyerbu pula."
"Jikalau begitu, rupanya
mereka hendak kurung kita," In Tiong bilang. "Sekarang
berhati-hatilah kamu membuat penjagaan, jangan sekali alpa. Apakah ada yang
terluka di pihak kita?"
"Ada," sahut
pahlawan itu. "Dua terkena panah, satu luka terbacok, tetapi luka mereka
tidak berbahaya."
"Bawa mereka itu ke dalam
tenda, supaya serdadu wanita rawat lukanya," In Tiong memerintahkan.
Delapan belas pahlawan itu
adalah pahlawan-pahlawan kelas satu dan kelas dua,semua gagah, hingga yang
terluka sedikit sekali.
Beberapa serdadu wanita lantas
saja menjadi repot, akan obati ketiga pahlawan itu.
Belum terlalu lama, satu
pahlawan datang pula dengar laporannya: "Musuh telah menyalakan api di
atas gunung, asapnya mengepul hebat. Entah apa maksudnya..."
Baharu saja pahlawan itu
berhenti bicara, mereka segera dengar suara terompet yang nyaring.
Hebat terompet itu akan tetapi
musuh tidak menyerang.
"Inilah berbahaya,"
mengatakan In Tiong. "Mereka menyalakan unggun, mereka pun perdengarkan
terompet, itu tandanya mereka meminta bala bantuan. Mungkin sebentar,sebelum
terang tanah, kita akan bertempur pula..."
Maka itu, ia lantas atur
penjagaan di empat penjuru tenda. Dua orang dijadikan satu rombongan.
Suara terompet terdengar pula,
lalu sirap. Asap unggun pun terbawa angin, lalu apinya padam. Dengan begitu,
sang malam menjadi sunyi seperti biasa pula.
"Apakah kau merasa baikan?"
In Tiong tanya Keng Beng, kaki siapa ia periksa.
"Aku merasa lebih
enak," sahut si nona, yang segera alisnya terbangun. Ia kata pula
dengan cepat: "Dugaanku
kawanan penyerbu ini bukannya penjahat biasa!"
"Kenapa kau beranggapan
demikian?" In Tiong tanya.
"Jikalau mereka ada
penjahat biasa dan maksudnya cuma untuk merampas barangbarang
kita, tidak ada perlunya
mereka memakai topeng."
"Apakah kau mencurigai
mereka sebagai tentara Mongol?" In Tiong tanya. "Aku percaya Yasian
tidak akan berani sembarangan berbuat demikian rupa. Tiga korban yang terbinasa
itu aku telah perika, semua adalah orang-orang Han."
"Tetapi apa perlunya
mereka bertopeng?" Keng Beng berkata pula. "Kenapa di wilayah
Mongolia ini ada banyak orang Han sebangsa mereka?"
In Tiong mengkerutkan
keningnya, ia berpikir keras.
"Mereka pakai topeng,
tentulah mereka kuatir akan dapat dikenali kita," ia berkata kemudian.
"Dan penjahat tua yang liehay itu, melihat potongan tubuhnya, aku rasanya
seperti mengenalinya, entah di mana aku pernah bertemu dengannya."
"Cobalah kau pikirkan
dengan pelahan-lahan," Keng Beng anjurkan.
In Tiong benar-benar asah
otaknya.
"Oh, aku ingat
sekarang," kemudian ia berkata pula. "Tempo hari ketika kami
bertempur di tanah lapang, selama diadakan perebutan kehormatan Tjonggoan, aku
telah lihat padanya. Ketika itu ada banyak sekali calon, aku juga tidak sampai
bertempur dengan dianya. Aku tidak ingat betul, siapa dia..."
Keduanya lantas
berdiam,"Sayang tadi tak dapat kita bekuk padanya," kata In Tiong
sambil menghela napas,menyatakan penyesalannya.
Keng Beng berdiam terus, maka
si anak muda pun bungkam pula.
Belum lama kesunyian itu
berlanjut, mendadak keduanya menjadi kaget sekali. Tenda mereka melesak dengan
perdengarkan suara keras. Itulah tandanya tenda telah tertimpa barang yang
berat. In Tiong segera lompat menyamping.
Segera terlihat tenda
terbelah, dari mana tertampak satu tubuh merosot masuk. Untuk herannya si
utusan kerajaan Beng, dia kenali orang itu adalah musuh yang melukai Keng Beng.
"Orang pandai siapakah
yang tengah bergurau?" In Tiong berseru menanya.
Menyusuli jatuhnya tubuh orang
bertopeng itu, dari lobang tenda itu lompat masuk satu orang, yang terus saja
tertawa berkakakan.
"Aku tolongi kau membekuk
jahanam ini, cara bagaimana kau mengatakan aku bergurau?" berkata dia.
Tamtay Keng Beng berlompat
dengan kegirangan, hingga ia perdengarkan seruannya.
Orang yang baharu datang ini
adalah Thio Tan Hong! .
In Tiong pentang matanya
lebar-lebar, ia melengak. Ia heran dan sangat kagum untuk liehaynya Tan Hong
itu, yang seperti juga pergi dan datang tanpa ketentuan.
"Coba kau bentet
topengnya!" Tan Hong berkata tanpa ia pedulikan utusan kaisar Beng itu
tercengang.
Orang yang bertopeng itu rebah
tanpa berkutik, rupanya dia telah kena ditotok Tan Hong. Mungkin juga dia
terluka karena terbanting keras barusan.
In Tiong sadar, ia bertindak
menghampirkan, ia ulur tangannya akan sambar topeng orang. Maka sekarang ia
kenali See Boe Kie siapa, selama adu kepandaian di kota raja,telah kena
dirubuhkan Liok Thian Peng muridnya Tiatpie Kimwan si Lutung Emas Bertangan
Besi. Itu waktu dia dianggap sebagai calon biasa saja seperti calon-calon
lainnya, tidak tahunya dia adalah penjahat besar di perbatasan kedua negara.
Sekarang In Tiong menjadi
gusar sekali.
"Saudara Thio, tolong kau
totok sadar padanya!" ia minta kepada Tan Hong. "Ingin aku
dengar keterangannya!"
Tan Hong tertawa.
"Sekarang ini sudah tidak ada tempo lagi untuk memeriksa padanya,"
jawabnya. "Bala bantuan mereka telah datang, di antaranya terdapat orang-orang
yang liehay. Mereka itupun bakal lantas menyerang pula..."
Selagi In Tiong berdiam, Keng
Beng buka mulutnya. Nona ini tahu Tan Hong gagah dan pintar, ia mempercayainya
benar-benar. Ia juga menduga, dengan Tan Hong yang bekuk See Boe Kie, mesti Tan
Hong ketahui banyak perihal musuh.
"Thio Toako,"
demikian ia berkata, "jumlah kami sedikit, pasti kami tak dapat bertahan
lama. Aku minta kau suka membantu mendayakannya."
"Saudara In, maafkan aku,
hendak aku menjadi seperti Mo Swie yang telah perkenalkan dirinya
sendiri," berkata Tan Hong, yang tak jawab lagi si nona. "Hendak aku
mewakilkan kau..."
In Tiong mengerti akan
kelemahan rombongannya, ia juga sangat kagumi anak muda itu, ia tidak
berkeberatan.
"Saudara Thio, silakan
kau berikan titah-titahmu!" ia berikan perkenannya.
"Segera kita harus
menyingkir dari sini!" Tan Hong bilang tanpa berayal lagi.
"Sekarang malam gelap
gulita, kami juga tidak ketahui keadaan musuh," berkata In Tiong, "di
sini pun ada banyak wanita, apakah mundur tidak berarti kita menghadapi
bencana?"
Sebaliknya dari utusan kaisar
itu, Tamtay Keng Beng tertawa.
"Mestinya Thio Toako ada
punya rencana sendiri!" ia bilang. Nyata ia sangat mempercayai tjoekong
yang muda itu.
In Tiong menjadi bungkam.
"Semua barang yang hendak
dihadiahkan kepada raja Watzu, kau muatkanlah di atas bebokong seekor
kuda," Tan Hong beri petunjuk, "lalu kau perintahkan semua orang
lainnya meninggalkan kuda mereka. Mereka mesti turut aku menerobos keluar! Aku
tanggung keselamatan kamu, malah kau akan berbalik menjadi mendirikan jasa
besar!"
In Tiong bersangsi, ia
setengah percaya dan setengah tidak, maka itu, ia mengawasi Keng Beng.
"Kau jangan kuatir,"
si nona berkata. "Aku dapat berjalan."
Utusan kaisar itu kuatirkan
kakinya si nona.
Tetapi Keng Beng sudah lantas
berlompat, untuk membuktikan bahwa ia dapat bergerak dengan leluasa.
"Oh, kiranya kau terluka,
adik Tamtay?" bertanya Tan Hong. Ia awasi nona itu, yang ia tidak tahu
telah mendapat halangan. "Sekarang kau dapat bergerak dari
berjalan,sebentar selang satu jam, nanti aku obati padamu."
Pemuda ini lantas titahkan
serdadu perempuan siapkan seekor kuda, yang ke empat kakinya dibungkus wol
tebal hingga di waktu berjalan, binatang itu tidak akan menerbitkan suara
tindakannya. Semua barang yang hendak dibawa, digemblokkan kuatkuat di bebokong
kuda itu.
Berbareng dengan itu, In Tiong
perintahkan seorang pahlawannya, untuk berikan kisikan kepada yang
lain-lainnya, supaya semua undurkan diri dan berkumpul, untuk bersama-sama
menyingkir dari tenda yang terkurung musuh itu. Maka sebentar kemudian, mereka
sudah siap sedia. Tenda telah digulung rapi, tiga pahlawan yang terluka sudah
lantas digendong.
Tan Hong jalan di muka sebagai
penunjuk jalan. Semua tutup mulut, hingga mereka tidak perdengarkan suara apa
juga. Tetapi di waktu mereka mau berangkat, Tan Hong perintahkan semua kuda
dikumpulkan, mukanya dihadapkan ke arah musuh, lalu kempolannya semua kuda itu
ditikam dengan golok, hingga semuanya kaget dan kesakitan, sambil meringkik
keras, mereka kabur ke depan, ke arah musuh.
Tentu saja, di waktu gelap
petang itu, ringkikan dan tindakan kakinya semua kuda itu menerbitkan suara
sangat berisik, hingga musuh menyangka bahwa pihak lawan, yang tengah mereka
kurung, sudah lakukan penyerangan balasan, hingga mereka menjadi repot bersiap
untuk menangkis. Dan justeru itu, Tan Hong ajak rombongannya kabur ke arah
barat di mana ada suatu jalanan kecil.
Baik orang maupun kuda, tidak
ada satu juga yang menerbitkan suara. Di tengah jalan,mereka pun tidak menemui
rintangan. In Tiong menjadi heran.
"Kenapa di sini tidak ada
musuh yang menjaga?" menanya utusan kaisar Beng ini sesudah mereka melalui
perjalanan sekian lama.
Thio Tan Hong tertawa.
"Jalanan ini tidak ada
mulut jalan untuk keluar, inilah jalan mati," ia menjawab. "Di sini
ada ditaruh belasan serdadu penjaga tetapi mereka itu telah aku bikin habis.
Berhatihatilah semua, semakin ke depan jalan semakin buruk dan berbahaya."
Memang di kedua tepi ada
batu-batu gunung yang besar dan tidak rata bagaikan batang rebung, yang pun
ketutupan pohon-pohon oyot dan duri. Untuk menyingkirkan rintangan itu, Tan
Hong kerjakan pedangnya, sedang sebelah tangannya yang lain dipakai menuntun
kuda. Ia jalan di muka sebagai pembuka jalan.
Oleh karena semua orang
mengerti silat dengan baik, tidak terlalu sulit untuk mereka ikuti si anak
muda. Di mana perlu, mereka juga gunai senjatanya, untuk singkirkan pelbagai
rintangan oyot itu.
Belum terlalu lama, tibalah
mereka di luar jalan kecil dan berbahaya itu, hingga sekarang mereka tampak langit
yang gelap, yang bintang-bintangnya berkelak kelik. Angin meniup dengan keras.
Mereka sukar melihat ke sekitarnya tetapi mereka tahu bahwa mereka berada di
sebuah tempat terbuka, tegalan rumput yang lebar. Mungkin mereka berada di
tengah lembah...
Sampai di situ baharulah In
Tiong dapat bernapas lega. Tetapi meski demikian, hatinya belum aman betul. Ia
kata: "Benar kita sekarang sudah lolos tetapi tipu kita tadi bukanlah akal
yang dapat bertahan lama, itu hanya untuk sementara saja...
Lihat, di depan kita ada
gunung besar yang mencegat jalan, malam pun demikian gelap, cara bagaimana kita
bisa melewatinya? Di akhirnya, musuh toh akan ketahui tipu kita itu...
Sebaliknya dari utusan itu,
yang hatinya ber-kuatir, Tan Hong tertawa."Aku justeru hendak pancing
mereka itu datang kemari!" katanya. Tanpa berayal lagi,ia atur delapan
belas pahlawan dan serdadu-serdadu wanita itu, berikut In Tiong dan Keng Beng,
untuk menyembunyikan diri di tempat yang tinggi, untuk menyambut musuh.
Ia sendiri pun segera menempatkan
diri.
Belum lama mereka bersiap,
lalu terlihat datangnya musuh, yang mendatangi dengan
berlerot-lerot. Yang paling
dahulu tertampak adalah obor mereka yang dinyalakan besarbesar.
Dari kejauhan, mereka
nampaknya bagaikan seekor naga.
Tan Hong sudah mengatur
persiapannya, begitu musuh sudah datang cukup dekat, ia
segera perdengarkan suara
tertawanya yang nyaring dan panjang. Di malam gelap seperti
itu. di dalam lembah, suara
tertawa itu berkumandang keras dan riuh, apapula suara itu
dapat sambutan dari yang
lain-lainnya.
Musuh terkejut, mereka tidak
tahu di mana adanya lawan, tetapi mereka maju menerjang ke arah dari mana
mereka dengar suara tertawa itu.
Menyusuli majunya musuh, lalu
terdengar jeritan-jeritan, datangnya dari empat penjuru.
"Gulingkan batu!"
Tan Hong berteriak-teriak.
"Gulingkan batu! Hajar
mampus semua kurcaci itu!"
Di atas gunung itu ada banyak
batu besar, sebenarnya tidak sembarang orang dapat menolak batu-batu besar itu,
akan tetapi semua pahlawan-pahlawan itu kuat-kuat,mereka dapat menjalankan
titahnya Tan Hong sebagaimana si anak muda telah merencanakannya.
Maka itu, hebat kesudahannya
ketika banyak batu besar menggelinding turun dari sana sini dari lamping gunung
itu, yang menggelinding saling susul. Banyak musuh yang kena terbentur batu,
tubuhnya rubuh, obornya terlempar terlepas, tubuh mereka ketindihan batu-batu
besar itu. Ada yang berkaok-kaok, ada yang menjeritnya tertahan.
Di antara terangnya obor, In
Tiong mengawasi kepada musuh itu. Ternyata tempat dimana musuh jatuh adalah
sebuah rawa atau pengempang, yang di atasnya ketutupan pohon-pohon kaput atau
lainnya, hingga di dalam gelap itu, tidak dapat orang melihat tempat air itu.
Ke situ musuh terjatuh, ketindihan batu atau tenggelam, tak dapat mereka
membela diri. Tentu saja mereka itu mendapat luka-luka patah kaki dan tangan
atau tubuh remuk...
Menampak itu, In Tiong kaget
sendirinya. Apabila tidak Tan Hong yang menunjukkan jalan, mereka sendiripun
bisa tercebur ke dalam rawa itu.
"Kasihlah ampun kepada
mereka!" Tamtay Keng Beng meminta, sebab tak tega ia menyaksikan orang
menjadi kurban secara demikian hebat.
"Tahan!" Tan Hong
pun segera berikan titahnya.
Maka berhentilah turunnya
batu-batu besar itu.
"Kawanan serdadu musuh
boleh dikasih ampun tetapi pemimpinnya tidak," kemudian Tan Hong kata
sambil tertawa kepada In Tiong. "Mari kita berdua bekuk satu atau dua
orang! Adik Tamtay, kau tunggulah sebentar di sini!"
In Tiong akur, maka Tan Hong
ajak dia pergi.
Anak muda itu ambil jalan
mutar.
Di dalam rawa, semua tentera
musuh yang masih dapat bergerak, atau yang tidak terluka, telah berebut
mendarat, untuk menyingkirkan diri. Mereka tidak lihat ada serangan lagi,
tetapi mereka berlalu dengan terburu-buru.
Tan Hong dan In Tiong berlaku
hati-hati. Karena mereka jalan mutar, mereka sampai dengan lekas di bahagian
belakang dari barisan musuh. Di sana mereka dapatkan dua pemimpin musuh yang
bertopeng, satu di antaranya dikenali sebagai si orang tua yang liehay. Kedua
pemimpin ini sedang beraksi untuk mencegah tenteranya menjadi kalut
terus-terusan.
Tan Hong kisiki In Tiong, lalu
ia mendekati kedua pemimpin musuh itu, begitu datang dekat, ia lompat menerjang
si orang tua, yang ia tikam.
Orang tua itu kaget, tetapi ia
liehay, walaupun ia diserang secara membokong, masih dapat ia berkelit sambil
terus balas menyerang dari samping.
Tan Hong sudah duga ke mana
musuh akan buang dirinya, sebat luar biasa ia tarik pedangnya, untuk dipakai
menyerang pula, sasarannya kali ini adalah pundak musuh.
Orang tua itu kalah gesit, juga
karena ia membalas menyerang sambil berkelit, maka ia menjadi tidak berdaya
ketika datang serangan yang kedua. Ia kena tertikam, tubuhnya lantas saja
rubuh.
Kembali Tan Hong tunjukkan
kesebatannya, ketika musuh jatuh, ia berlompat maju untuk menjambret, pedangnya
dipakai menjaga pedang musuh kalau-kalau musuh masih dapat membela diri.
Bagaikan garuda menyambar kelinci, demikian ia cekuk musuh tua itu, yang
tubuhnya terus diangkat.
In Tiong juga berhasil. Ia
telah membarengi Tan Hong menyerang pemimpin musuh yang kedua, musuh ini
lengah, dia kena terpukul, akan tetapi dia mengenakan baju lapis kulit, maka
itu, waktu terhajar, dia cuma limbung, tidak sampai dia jatuh. Tapi pukulan In
Tiong hebat sekali, baju lapis kulit itu robek. Sudah begitu, utusan kaisar
yang gagah itu tidak memberi ketika, ia menyusuli dengan serangannya yang
kedua.
"Hm!" berseru musuh
itu, yang nyata liehay. Dia tidak cuma dapat berkelit, malah dia dapat membalas
juga, akan menotok ke arah pinggang si orang she In, sedang kakinya dikasi
melayang, untuk mendupak lengannya In Tiong itu.
Itulah serangan menurut ilmu
silat partai Thianliong Pay atau Naga Langit dari Seetjhong (Thibet).
Tendangannya biasa saja tetapi yang hebat adalah susulannya, atau runtunannya,
yang membuatnya orang sukar berkelit. Maka syukur In Tiong tabah dan sebat
gerakannya. Hanya setelah mendesak, musuh itu, yang ternyata licik, sudah
memutar tubuh, untuk ambil langkah panjang! .
Tan Hong sudah berhasil
membekuk si orang bertopeng tua, ia lihat kelicikannya lawan dari In Tiong itu,
sambil bawa tubuhnya si orang tua ia maju untuk mencegat. Musuh itu ganas, ia
lantas serang pemuda she Thio itu. Melihat ini, Tan Hong pun berlaku
cerdik,yaitu ia bukan berkelit atau menangkis dengan tangannya, ia justeru
majukan tubuhnya si orang tua, untuk dijadikan sasaran musuh itu. Di lain
pihak, tangan kirinya dikasih bekerja juga.
"Aduh!" menjerit si
orang tua, yang suaranya bagaikan babi mengguwik. Tetapi jeritan itu juga
disusul oleh jeritan lain, ialah dari si orang bertopeng yang licik itu!.
Tan Hong tertawa
bergelak-gelak, ia lantas lepaskan cekalannya kepada si orang tua, yang sudah
tidak bersuara lagi, yang sudah tidak berkutik pula, karena serangan kawannya
sangat liehay, hingga dia pingsan seketika.
"Dia liehay," berkata
In Tiong sambil tunjuk musuhnya yang kabur itu. "Dia cuma lebih rendah
sedikit saja dari kita. Di antara penyerang-penyerang kita malam ini, dialah
yang paling liehay, maka itu, saudara Thio, mengapa kau biarkan dia meloloskan
diri?"
Tan Hong tertawa memandang
utusan kaisar Beng ini.
"Jikalau dapat kita
menawan, kita menawannya, jikalau dapat kita melepaskan,biarlah kita
melepaskannya," jawabnya. "Dia itu... biarlah dia terlepas dan
kabur..."
In Tiong tidak puas. Ia
beranggapan Tan Hong seperti sedang mempermainkan padanya. Akan tetapi di
samping itu ia mau menyangka orang masih mempunyai akal lain,karenanya ia
lantas tutup mulut, ia tidak menanya lebih jauh.
Keduanya segera kembali ke
tempat mereka bersembunyi tadi.
"Bagus!" berseru
Tamtay Keng Beng, yang menyambutnya. "Sekalipun sewaktu Kwan Kong membunuh
Hoa Hiong tiada secepat demikian!"
"Beruntung!" Tan
Hong pun berkata. "Malam ini ancaman bencana sudah lewat, orang kita semua
boleh tidur dengan tenang, kecuali kau dan aku, masih ada sedikit urusan lagi
yang harus diselesaikan. Saudara In, sekarang silakan kau duduk di tempatmu
untuk mulai dengan pemeriksaan!"
Sehabis mengucap demikian, Tan
Hong titahkan orang membangunkan tenda, untuk mereka beristirahat, sedang ia
bersama Keng Beng dan In Tiong, segera hadapkan si orang tua bertopeng. Untuk
menyadarkan tawanan itu, mereka mengguyurnya dengan air dingin, lalu orang
digusur ke dalam tenda.
Thio Tan Hong sudah menduga
siapa adanya si orang tua, ternyata ketika ia telah sambar topeng orang untuk dibukanya,
dugaannya tidak meleset. Orang tua itu adalah ayahnya See Boe Kie, yaitu See
Too. Maka ia tertawa dengan dingin.
"Manusia yang mencari
pangkat dengan hianati sahabat, dengan tak segan menjual negara berkongkol
dengan musuh, sungguh dosamu tak dapat ditebus hanya dengan jiwamu!" anak
muda kita mencaci. "Syukur mengenai aksimu malam ini telah aku menduganya
sejak siang-siang, jikalau tidak, tidakkah kamu akan membikin kedua negara
menjadi bentrok dan berperang?"
In Tiong juga mendongkol dan gusar,
ia turut menegur. "Ada permusuhan apakah di antara kamu dan si utusan
kaisar Beng?" demikian tegurnya. "Apakah sebabnya maka kamu serbu
kami dan hendak membinasakan kami semua? Hayo lekas berikan pengakuanmu, supaya
kau tak usah merasakan kompesan!".
"Sama sekali aku tidak
berniat membinasakan kamu," See Too menjawab. "Lebih-lebih aku tidak
memikir untuk menimbulkan peperangan di antara kedua negara."
"Habis, kenapa kau bawa
pasukan dan menyerang kami?" In Tiong tanya.
"Itu... itu..." lalu
See Too berdiam, tak dapat ia buka terus mulutnya.
Tan Hong tertawa dingin pula.
"Kau hendak bicara atau tidak?" tanyanya. Dengan dua jari tangannya,
ia lantas menotok.
See Too mengeluh kesakitan. Ia
merasakan totokan itu bagaikan ratusan batang jarum yang menusuk-nusuk
tubuhnya, sakitnya bukan buatan.
"Ampunilah aku, nanti aku
bicara, aku bicara..." sahutnya kemudian sambil meringisringis menahan
sakit.
Tan Hong menepuk jalan darah
enghiat too orang. Sejenak saja, lenyap rasa sakitnya si orang tua.
"Jikalau kau mendusta
setengah patah kata saja, akan aku beri rasa pula padamu!" si anak muda
mengancam. Ia berwajah lemah lembut akan tetapi suaranya, sikapnya, keren
sekali.
"Semua ini adalah Yasian
yang perintahkan aku melakukannya," benar-benar See Too berikan pengakuannya.
In Tiong menjadi kaget sekali,
hingga ia tercengang.
"Jangan ngaco!" ia
membentak.
"Aku bicara dari hal yang
benar," menjawab See To. "Yasian tugaskan aku menyerang kamu untuk
diculik, setelah itu nanti dia kirim pasukan perangnya untuk menolongi kamu.
Dengan begitu hendak dia
membikin seperti juga tentera negeri melabrak penjahat.
Dengan itu jalan hendak Yasian
pengaruhi kamu, supaya kamu terjatuh ke dalam genggamannya hingga kamu jadi
bersyukur terhadapnya."
In Tiong heran hingga ia berdiam
saja. Tak dapat ia menerka siasat Yasian itu.
"Sungguh tipu daya yang
sangat busuk!" berkata Tan Hong sambil tertawa tawar."Ini dia tipu
daya yang dinamakan dengan sebutir batu menimpuk tiga ekor burung. Yang pertama
ialah Yasian hendak membikin runtuh pamormu sebagai utusan kerajaan Beng,supaya
kau mendapat malu besar."
"Jikalau Yasian berhasil
menawan kau dan dia dapat berpura-pura menolongmu," berkata Nona Keng
Beng, "itu artinya kau telah terjatuh ke dalam genggamannya! Atau lebih
benar, kau menjadi orang tawanannya hingga tak dapat kau berbicara."
"Dengan begitu," Tan
Hong menyambungkan, "kalau nanti telah di mulai dengan perundingan
perdamaian, Yasian menjadi menang di atas angin, dia dapat mengajukan
syarat-syarat yang menghina Tionggoan. Kau berada dalam tangannya, tidak dapat
kau bersikap keras."
In Tiong mengerti sekarang,
dan iapun insyaf bahwa ia nyata kalah cerdas dari Tan Hong dan Tamtay Keng
Beng.
"Pasukan tentara yang
Yasian akan kirim itu, di mana nantinya mereka bertemu dengan kau?" Tan
Hong tanya pula See Too.
"Di depan, di mulut
gunung ini," See To jawab. "Bagus, kau benar tidak mendusta!"
berkata Tan Hong sambil tertawa. "Baiklah, aku kasih ampun padamu, kau
boleh tak usah mati!"
Di mulut pemuda ini
mengucapkan demikian tetapi tangannya dengan sebat sekali menepuk dewi kz dua
kali beruntun tubuhnya orang she See itu, dengan begitu ia pukul remuk tulang
piepee orang itu, hingga habis sudah tenaga dan kepandaian silatnya, untuk
selanjutnya, meskipun See Too mengarti Toksee Tjiang, ilmu tangan jahat, ilmu
itu tak dapat digunai lagi terhadap lain orang. See Boe Kie pun tidak luput
dari tepukan Tan Hong, kemudian anak dan ayah oleh Tan Hong dibawa keluar
tenda.
"Sekarang pergilah
kamu!" Tan Hong memberi ijinnya. Atau lebih benar ia usir kedua orang she
See itu.
"Bagaimana besok kita
hadapi tenteranya Yasian itu?" tanya In Tiong sesudah Tan Hong kembali ke
dalam tenda. Tan Hong tertawa.
"Sekarang baiklah kau
tidur dulu, untuk beristirahat," jawabnya. "Kau percaya aku,dapat aku
layani mereka, akan aku bikin kau tidak usah hilang muka..."
Selagi In Tiong belum sempat
mengatakan sesuatu, Keng Beng mendahului ia.
"Thio Toako,"
katanya sambil bersenyum, "kau pandai sekali menghitung, segala apa
seperti telah masuk dalam terkaanmu, apakah kau mengerti ilmu meramal hingga
kau ketahui segala apa di muka?"
In Tiong cocok dengan
pertanyaannya si nona. Ia memang heran kenapa Tan Hong tahu segala niat musuh,
hingga dapat dihindarkan ancaman bahaya hebat itu. Sebenarnya ia ingin menanya,
tetapi si nona telah mendahuluinya, ia jadi turut menantikan penjelasan.
Tan Hong tidak menjawab, hanya
sambil kibaskan tangannya, dia tertawa pula.
"Rahasia alam tak dapat
dibocorkan!" katanya Jenaka. "Besok pagi kamu akan ketahui sendiri!
Saudara In, sekarang kau tidurlah!"
In Tiong menjadi masgul,
tetapi karena ia tidak dapat memaksa, terpaksa ia menurut saja untuk tidur.
"Eh, hampir aku lupa akan
satu hal!" berkata Tan Hong tiba-tiba, selagi orang hendak rebahkan diri.
"Tunggu sebentar! — Adik Tamtay, bagaimana dengan kakimu?"
In Tiong awasi anak muda itu,
Keng Beng sebaliknya mencoba-coba menggerakgerakkan kakinya.
"Rasanya sedikit kaku,
tak leluasa untuk dipakai bergerak," sahut nona ini. Ia pun lantas gulung
kedua ujung celananya.
In Tiong lihat kaki orang itu,
dia terperanjat.
"Hai, betismu merah dan
bengkak!" dia berseru. Ini memang hal yang ia kuatirkan.
"Tan Hong, bukankah tadi
kau mengatakan bahwa kau ada punya daya untuk mengobatinya?"
Sekarang pemuda ini ingat
perkataan si orang she Thio tadi.
"Benar," Tan Hong
menjawab, cepat, "hanya aku hendak minta kaulah yang tolong
mengobatinya."
In Tiong heran, ia mengawasi
pula. Si nona pun kurang mengerti.
Tan Hong merogo ke dalam
sakunya, dari situ ia keluarkan sebatang jarum.
"Kau pegang ini," ia
berkata kepada si utusan kaisar Beng. "Kau tahu jalan darah yongtjoan hiat
di kaki itu, kau tusuk jalan darah itu dua kali, lalu kau tusuk dua kali juga
jalan darah hongbwee hiat. Besok pagi, bengkak dan tanda merah ini akan hilang
lenyap. Jangan kamu berkuatir. Besok aku ajarkan pula caranya untuk menusuk
dengan jarum ini."
Anak muda ini ajarkan
bagaimana In Tiong mesti menusuknya, yang lalu diturut oleh orang she In ini.
Nona Keng Beng cuma merasakan sakit sedikit waktu ditusuk. Ia memang gagah dan
berani, tusukan itu tidak berarti baginya.
"Hawa udara di Watzu ini
buruk," berkata Tan Hong kemudian, "ada orang-orang yang tidak
keruan-ruan bisa sakit tulang-tulang kakinya seperti kau ini, adik Tamtay. Ilmu
mengobati menusuk dengan jarum ini, tidak hanya dapat menyembuhkan segala
penyakit sakit di buku tulang seperti ini, bahkan dapat menolong orang yang
telah menjadi pincang. Saudara In, tidak dapat kau tidak mempelajarinya ilmu
menusuk jarum ini!"
In Tiong tidak menyahuti,
tetapi di dalam hatinya ia kata: "Keng Beng tidak pengkor,untuk apa kau
ngoce banyak seperti ini?" Tapi masih Tan Hong bicara lebih jauh, maka ia
memotongnya: "Baiklah, masih ada tempo untuk aku belajar besok..."
"Memang, tak dapat kau
tidak mempelajarinya!" Tan Hong berkata pula. Apakah kau merasa sebal?
Baiklah, kitab ini juga aku berikan padamu! — Eh, adik Tamtay, kau harus
anjurkan dia mempelajarinya!"
Dan ia robek beberapa lembar
dari kitabnya, lembaran robekan itu ia belesakkan ke dalam tangannya In Tiong!
.
Bukan main herannya utusan
raja Beng ini, hingga ia lupa untuk menghaturkan terima kasihnya.
Nona Tamtay cerdas, ia heran
kenapa Tan Hong begitu mendesak hendak mengajarkan In Tiong ilmu pengobatan
menusuk jarum itu, tapi beda daripada In Tiong, ia mengerti mesti ada
sebab-sebabnya. Maka itu, ia lantas tertawa.
"Karena Thio Toako
bermaksud baik, kau terimalah!" ia desak si utusan.
In Tiong terpaksa terima resep
pengobatan jarum itu, karena Keng Beng telah mengatakan demikian, ia hanya
tetap masih tidak mengerti, ia tetap merasa heran.
"Bagus!" berkata Tan
Hong tanpa pedulikan keheranan orang. "Sekarang dapat kau mengobati
sendiri pada adik Tamtay! Aku tak usah mengganggu pula padamu..."
Lantas ia undurkan diri.
Keesokannya pagi, Tan Hong adalah yang paling dulu bangun dari tidurnya. Malah
dia terus pergi ke tenda In Tiong, akan banguni utusan kaisar Beng itu.
"Bagaimana lukanya adik
Tamtay?" Inilah pertanyaannya yang pertama-tama. In Tiong tertawa.
"Ilmu pengobatanmu dengan
jarum itu benar-benar liehay sekali!" ia menjawab, "Tadi malam, belum
lewat setengah jam sehabis dia ditusuki dengan jarum, dia sudah lantas bisa
bergerak dengan merdeka seperti biasa!"
"Kalau begitu, sekarang
kita dapat berangkat dari sini," Tan Hong bilang. "Kau perlu ketahui,
di belakang kita masih harus terjadi suatu pertunjukan sandiwara yang menarik
hati!"
In Tiong tidak mengerti, ia
heran. Peristiwa apa lagi yang dimaksudkan pemuda ini? Dia bicara begitu tenang
dan gembira. Bukankah mereka akan menghadapi pula pasukannya Yasian? Bagaimana
pasukan itu hendak dihadapinya? Ia juga tetap heran kenapa Tan Hong ketahui
mereka terancam bahaya dan datang malam-malam untuk menolongnya...
Oleh karena ia tidak tahu apa
yang si anak muda bakal lakukan, terpaksa In Tiong serahkan pimpinan kepada si
anak muda itu.
Seperti sudah diketahui, di
dalam pertempuran semalam, dari delapan belas pahlawannya In Tiong, tiga telah
terluka, tetapi semua mereka pandai menunggang kuda,maka itu, utusan ini
titahkan mereka pergi ambil kudanya barisan penyerbu di bawah pimpinan See Too
itu. Di tempat pertempu ran masih ada kudanya pasukan itu, binatangbinatang itu
tidak kabur semuanya, dua puluh di antaranya dipilih dan diambil.
Setelah semua sudah siap,
orang mulai keluar dari lembah itu.
Baharu rombongan ini tiba di
muka gunung, dari sebelah depan mereka sudah dengar suara dari banyak kuda
berlari-lari, pada itu tercampur seruan-seruan dari pasukan yang buyar.
"Itulah mirip pasukan
yang kabur tunggang langgang," In Tiong utarakan dugaannya.
Tan Hong tertawa mendengar
pengutaraan itu.
"Pertunjukan sandiwara
akan segera di mulai!" ia berkata dengan penyambutannya.
"Kamu tunggu dan lihat
saja!"
Mereka berjalan terus, hingga
mereka melewati jalan yang menikung. Dari sini mereka lantas lihat debu
mengepul di sebelah depan mereka, lalu tertampak mendatanginya satu pasukan
tentera Mongol terdiri dari kira-kira tiga puluh jiwa yang tidak keruan
seragamnya, kudanya meringkik kecapean. Itulah pasukan yang kalut kalah perang!
.
Rombongannya Tan Hong berdiam
mengawasi pasukan itu, yang datang menghampirkan mereka, di antara orang yang
menjadi pemimpin maju kemuka sekali sampai di depan In Tiong, terus ia angkat
kedua tangannya, untuk memberi hormat seperti cara tentera Tionggoan.
"In Soesin telah tiba di
negara kami, maaf kami telah terlambat menyambutnya."berkata dia. Dengan
"soesin" dia maksudkan "utusan kaisar Tiongkok".
"Kami adalah wakilnya
Thaysoe Yasian," sahut perwira itu. "Kami ditugaskan menyambut In
Soesin yang telah tiba di negara kami. Ah, Thio Kongtjoe juga ada di
sini.Bagus!".
Perwira itu lihat Tan Hong,
yang ia kenali. Ia adalah Ngochito, pahlawan nomor satu dari Perdana Menteri
Yasian. Menghadapi pemuda she Thio itu, agaknya ia likat, walaupun udara
lembab, ia mengeluarkan peluh di keningnya.
Tan Hong bersenyum.
"Sungguh sempurna perlayanan thaysoe kamu!" ia berkata.
Sambil mengucap demikian,
dengan tiba-tiba pemuda ini majukan kudanya, sampai di dekatnya Ngochito,
menyusul mana sebelah tangannya menyambar kepada satu perwira di sisi pahlawan
nomor satu dari Yasian itu, lalu dengan paksa ia tarik tubuh orang.
Perwira itu bukan sembarang
perwira, walaupun ia telah kena dicekal, ia masih dapat membuat perlawanan.
Begitulah, setelah tangannya tak berdaya, ia ayun kedua kakinya, untuk
menendang orang yang mencekuk padanya. Akan tetapi Tan Hong sudah bersedia
untuk segala apa, ia mendahului menotok, maka perwira itu lantas diam bagaikan
mayat hidup! .
Kejadian ini ada di luar
dugaan siapa juga, terjadinya sangat cepat, semua orang menjadi terkejut dan
heran.
Ngochito tak dapat menahan
sabar.
"Thio Kongtjoe, mengapa
kau berlaku begini tidak tahu aturan?" dia menegor.
Tan Hong tidak gubris tegoran
itu, ia terus kerjakan kedua tangannya. Lebih dahulu ia robek seragamnya si
perwira, terus ia buka baju lapis kulitnya, hingga tertampak bebokong orang di
mana terlihat satu tanda yang luar biasa sekali, ialah cacahan huruf
"tjat" (= "bangsat"). Huruf itu adalah huruf
"tjodjie" — tulisan ringkas.
"Siapakah yang tidak tahu
aturan?" Tan Hong tanya sambil tertawa. "Kau pernah pelajari huruf
Tionghoa, kau kenal huruf ini, bukan? Ha, syukur aku sempat membuat
tanda!".
Sambil berkata demikian,
pemuda ini lemparkan tubuhnya perwira itu ke arah In Tiong,maka satu pahlawan
segera menyambutnya untuk diringkus.
"In Soesin." berkata
Tan Hong, sekarang kepada In Tiong, si utusan kaisar Beng.
"Perwira ini adalah si
bangsat yang tadi malam dapat meloloskan dirinya! Dialah yang bernama Ma I
Tjan, salah satu pahlawan di bawahnya Thaysoe Yasian! Silakan kau bawa dia
untuk dikembalikan kepada thaysoe Yasian itu!".
Ngochito jadi sangat gusar,
hingga ia seperti lupa segala apa. Ia angkat goloknya,dengan itu ia serang Tan
Hong! .
Si anak muda tidak tinggal
diam saja, segera dengan pedangnya ia menangkis, untuk melayani bertempur.
Setelah beberapa jurus, dengan tiba-tiba ia tertawa berkakakan.
"Apakah belum cukup kau
rasakan kesengsaraan yang tadi malam kau derita?" ia menanya. "Kau
ingin terjatuh ke dalam tanganku atau ke dalam tangannya musuh dari Thaysoe
Yasian?".
Ngochito tercengang tetapi
segera dia mencaci: "Jadinya tadi malam adalah kau yang mengacau,
binatang!" Lalu dengan bacokan "Toapek Hoasan" =
"Menggempur gunung Hoasan," dia menghajar dengan bengis.
Tan Hong seorang pemberani, ia
kerahkan tenaganya, ia menangkis sambil membabat,maka itu pedangnya, pedang
Pekin kiam si Mega Putih lantas bentrok keras dengan golok pahlawannya Yasian
itu. Sebagai akibatnya bentrokan itu, ujung golok Ngochito telah terpapas
buntung, atas mana dia segera larikan kudanya untuk menyingkirkan diri.
"Sekalipun kau hendak
lari, tak dapat kau wujudkan itu!" berkata Tan Hong sambil tertawa.
"Kau lihat di sana — siapa itu yang sedang mendatangi?" .
Tan Hong menunjuk ke depan,
dari mana seekor kuda kelihatan lari mendatangi cepatnya bagaikan terbang, hingga
seperti tertampak hanya sebuah bayangan putih.
Ketika Tamtay Keng Beng sudah
lihat tegas siapa si penunggang kuda itu, dia berteriak bagaikan bersorak:
"Kakak!"
Orang yang tengah mendatangi
itu memang Tantai Mie Ming dan binatang tunggangannya adalah kuda putih
Tjiauwya saytjoe ma kepunyaannya Tan Hong!
Ngochito kenali jenderal itu,
ia kaget hingga semangatnya seperti terbang meninggalkan raganya, meski begitu
masih sempat ia memanggil: "Tantai Tjiangkoen..."
Tantai Mie Ming menyambut
dengan tertawanya yang nyaring.
"Bangsat, sekarang akan
aku bikin kau kenal kepada Tantai Mie Ming!" ia berkata.
Oleh karena mereka telah
datang dekat satu pada lain, Mie Ming segera serang pahlawannya Yasian itu,
yang hatinya sudah kuncup, hingga dia tidak dapat menangkis atau berkelit lagi,
maka sekali hajar saja, dia telah dibikin rubuh terjungkal dari atas kudanya.
Mie Ming benci pahlawan itu.
Ketika baharu ini Yasian titahkan Ngochito kurung Thio Tjong Tjioe, ia telah
diperhina, sekarang setelah ia letakkan jabatannya, ia dapat tidak
memandang-mandang lagi. Begitulah ia umbar penasarannya itu.
Ngochito ada punya sisa
kira-kira tiga puluh serdadu, mereka itu semua kenal Tantai Mie Ming sebagai
satu pahlawan perang Watztu yang kesohor gagah, maka itu menampak jenderal itu,
bahna takut dan kagetnya, beberapa serdadu telah rubuh sendirinya dari kudanya.
Yang lainnya, semua lari kabur! .
Tanpa menghiraukan tentara
yang kabur sera-butan itu, Tantai Mie Ming lompat turun dari kudanya, untuk
belenggu Ngochito. Sebenarnya ia hendak lantas bicara kepada In Tiong dan Tan
Hong tatkala utusan kerajaan Beng itu perlihatkan roman kaget.
"Lihat, Yasian sungguh
berani! Dia kirim pasukan perang besar!" dia berseru sambil memandang ke
depan, tangannya menunjuk.
Tantai Mie Ming berpaling,
lantas dia tertawa.
"Itulah bukan pasukan
perang Yasian," katanya.
Sebentar saja, pasukan tentara
itu telah tiba, lalu yang menjadi kepala perang menghampirkan Tantai Mie Ming
dan bicara, setelah mana, jenderal ini ajar kenal orang itu kepada utusan Beng
ini.
Nyata pasukan perang itu
adalah pasukannya suatu suku bangsa. Ketuanya yang telah marhum telah binasa di
tangannya Yasian, lalu ketuanya yang sekarang, dipaksa Yasian tunduk kepadanya.
Tapi ketua ini membangkang,
justeru dia dapat tahu ada bentrokan di antara Yasian dengan Atzu Tiwan, dia
lari ke pihaknya Tiwan. Diapun bergabung dengan Tantai Mie Ming.
Tadi malam Ngochito memimpin
tentara yang berjumlah lima ratus jiwa, dia hendak menyambut rombongannya See
To dan See Boe Kie untuk menyergap In Tiong, tetapi Tan Hong keburu datang dan
mengatur siasat, Tan Hong sendiri pergi langsung menolongi In Tiong, Mie Ming
bersama barisan suku bangsa itu mencegat barisannya Ngochito, yang mereka
serbu, dalam pertempuran malam buta rata itu, pasukan Ngochito kena dipukul
rusak hingga dia kabur bersama sisa serdadunya kira-kira tiga puluh jiwa
itu,sampai dia ketemu Tan Hong dan rombongannya In Tiong itu. Lacur baginya,
sisa serdadu-serdadunya, yang barusan lari serabutan, semuanya kena ditawan
barisan suku bangsa itu.
Maka ludaslah pasukannya
Yasian itu.
Setelah mendengar pembicaraan
antara Tantai Mie Ming dan ketua suku bangsa itu,serta Tan Hong juga, baharulah
In Tiong seperti sadar dari mimpinya. Jelas semua itu adalah Tan Hong dan Mie
Ming yang mengaturnya, dengan dapat bantuan barisan suku bangsa itu, maka
usahanya Ngochito — atau lebih benar usahanya Thaysoe Yasian dapat digagalkan.
Lebih kebetulan lagi Tan Hong menyelusup ke tangsi musuh, ia jadi ketahui
rencananya Ngochito dan See Too, yang bekerja menurut titahnya Yasian. Tan Hong
dan Mie Ming pun sama-sama bekerja dengan baik dan berhasil, yaitu memperoleh
kemenangan.
Pahlawan Yasian yang bernama
Ma I Tjan itu mula-mula menggabungkan diri pada Ngochito, dia melihat tanda
unggun dari See Too, maka dia lantas berangkat untuk memberikan bantuannya. Apa
lacur, dia tidak sanggup lawan In Tiong, dia kena dihajar utusan Beng itu,
sesudah mana, Tan Hong dapat kesempatan untuk mencorat-coret huruf
"tjat" = "bangsat" di bebokongnya tanpa dia merasa. Tentu
saja, karena kena tertawan,dia tidak dapat buka mulutnya lagi.
Ketika In Tiong dan si ketua
suku membuat pertemuan, mereka saling menghadiahkan "hata," Itulah
adat kebiasaan dari suku bangsa Mongol ini. Hata itu adalah semacam sapu tangan
sutera, tanda dari penghormatan. Kemudian mereka berembuk akan mengambil
putusan, ialah:
Ngochito dan Ma I Tjan
diserahkan kepada In Tiong sebagai orang-orang tawanan.
Ketua suku bangsa itu peroleh
semua orang tawanan serta alat senjatanya dan lainnya kepunyaan pasukannya Ngochito
itu.
In Tiong tidak dapatkan
kerugian suatu apa, malah kudanya semua telah didapat pulang.
Ketua suku bangsa itu girang
bukan main, sebab ia peroleh banyak kuda, ransum dan alat senjata, maka di
waktu ia hendak berpisahan dari Tan Hong beramai, berulangkah ia menghaturkan
terima kasihnya, seperti Tan Hong pun mengucap banyak terima kasih terhadapnya.
Mereka berpisahan sesudah barisan suku bangsa itu mengantar sampai di luar
mulut lembah.
In Tiong melanjutkan
perjalanannya sesudah tengah hari, matahari memancarkan cahayanya hingga
buyarlah hawa dingin. Ia merasa gembira sekali. Bukankah ia telah lolos dari
ancaman bencana dan berbalik menjadi peroleh kemenangan? "Beruntung tadi
malam ada kau!" ia berkata kepada Tan Hong. "Yasian hendak membikin
runtuh kepadaku, siapa tahu, sebaliknya dialah yang berbalik terjatuh ke dalam
tangan kita!".
Tan Hong bersenyum, ia tidak
menjawab. "In Toako," Tamtay Keng Beng turut bicara,"kau juga
turut berjasa, karena kaupun tidak menjadi gentar atas serbuan musuh!"
Nona ini jalankan kudanya
berendeng dengan kudanya si utusan kaisar, ia pun gembira sekali, wajahnya
berseri-seri.
Tantai Mie Ming awasi adiknya
itu, lalu di dalam hatinya ia tertawa dan kata: "Kiranya bocah ini sudah
punyakan orang yang dia penujui..." Ia senang mengawasi pasangan
itu,tetapi ketika ia ingat Tan Hong, ia menjadi berduka untuk tjoekong-nya ini.
Bukankah Tan Hong dan In Loei menemui rintangan? Tan Hong juga nampaknya
menjadi lesu, hilang kegembiraannya. Sebelum itu ia ada
bersemangat.
Di dalam kegembiraannya itu,
In Tiong seperti lupa segala apa.
"Eh, mana In Loei?"
tiba-tiba ia tanya si pemuda she Thio. "Kenapa ia tidak bersama kau?
Apakah ia seorang diri berdiam di ibu kota Watzu?"
Pertanyaan ini sudah hendak
dimajukan sejak kemarin tetapi tadi malam telah terjadi penyerbuan dahsyat itu,
yang membikin ia lupa akan hal itu.
Tan Hong terdiam, ia mesti
kuatkan hatinya. Tapi ia harus menjawab.
"Ia tidak
bersamaku," sahutnya dengan tawar. "Ia telah pulang ke rumahnya untuk
menjenguk ibunya."
Girang sekali In Tiong
mendengar jawaban itu.
"Apakah ibuku masih
ada?" dia tanya.
"Malah aku dengar ayahmu
juga telah pulang!" Tantai Mie Ming menyelak sebelum Tan Hong menjawab.
Sengaja ia wakilkan pemuda itu, sang tjoekong. "In Thaydjin, kamu
sekeluarga dapat berkumpul, sungguh itu ada hal yang sangat
menggirangkan!"
"Benarkah itu?"
berseru In Tiong. Ia girang bukan main.
"Mustahil kabar itu
bohong?" Mie Ming membaliki. "Cuma..."
"Cuma apakah?" In
Tiong tanya, cepat.
Tadi Mie Ming berhenti bicara
karena tempo ia menoleh kepada Tan Hong, anak muda itu telah mengkedipkan mata
kepadanya. Maka sekarang ia menjawabnya tak seperti apa yang ia hendak
mengatakannya tadi.
"Cuma karena jalanan ada
jauh, entah mereka dapat susul kau atau tidak..." demikian katanya. In
Tiong tertawa.
"Aku akan berdiam lebih
lama beberapa hari di ibu kota Watzu untuk menantikan mereka," katanya.
"Tapi, ketika ia tampak sikap adem dari Tan Hong, ia menjadi kurang puas.
Di dalam hatinya, ia berkata: "Ya, memang kami kaum keluarga In bermusuhan
dengan kaum keluarga Thio, dia mendengar ayahku masih hidup, tentulah dia
menjadi tak bergembira. Sebenarnya dia heran juga, dia berpemandangan luas
tetapi sekarang dia menjadi cupat pikiran... Tapi ini ada baiknya juga,
kesulitanku pun menjadi berkurang.Dengan In Loei dia tidak dapat berpisah,
tetapi sekarang mau atau tidak, dia mesti berpisah juga..."
Setelah peristiwa yang hebat
itu, berubahlah sudah kesan In Tiong terhadap Tan Hong,bukan melainkan
kebenciannya telah menjadi berkurang, malah permusuhannya telah seperti hilang
sendirinya. Ia hanya masih beranggapan bahwa di antara kedua keluarga itu tidak
seharusnya ada pergabungan pernikahan...
Perjalanan telah dilanjutkan
dengan tenteram, tidak ada rintangan apapun, maka berselang belasan hari,
tibalah mereka dengan selamat di ibu kota Watzu. Segera In Tiong menunda dahulu
di luar tembok kota, dari mana ia memandang ibu kota itu. Ia lantas saja ingat
banyak hal di masa mudanya, ketika ia turut alami banyak penderitaan. Tapi
sekarang, sebagai utusan kaisar, bolehlah ia angkat kepala. Dalam pikiran ruwet
tak keruan itu, air matanya turun berketel. Ia tak tahu, ia mesti berduka atau
bergirang...
Belum lama, mendadak ada
terdengar dentuman meriam tiga kali. Menyusul itu, pintu kota telah dipentang lebar-lebar.
Nyata raja Watzu telah dengar berita dari tibanya utusan kaisar Tionggoan dan
karenanya dia mengirim wakil untuk menyambutnya.
Malah Yasian juga turut
mengirimkan wakilnya, guna menyambut utusan itu. Hanya wakil ini menjadi heran
apabila ia tampak di antara perutusan Tionggoan itu tidak beserta Ngochito dan
barisannya, sedang seharusnya Ngochito yang mesti mengiringi perutusan itu. Ia
tentu saja tidak ketahui, Ngochito dan Ma I Tjan sedang terkurung rapat dalam
sebuah kereta keledai yang dibawa utusan kaisar Beng itu, sementara Thio Tan
Hong dan Tantai Mie Ming sudah sejak siang-siang pisahkan diri dari In Tiong,
mereka pergi menuju ke pintu kota yang kedua, untuk pulang ke rumah mereka.
Perdana Menteri Yasian di
dalam gedungnya juga menantikan kabar hal tibanya utusan Tionggoan itu. Ia
tidak usah menanti terlalu lama akan terima kabar dari wakilnya. Ia memang tak
tenteram hatinya, duduk salah berdiri salah, maka kabar yang diterimanya ini
membuat kagetnya bukan kepalang. Ia terima keterangan bahwa utusan Tionggoan
datang cuma bersama delapan belas pengiring serta beberapa pelayan wanita,
bahwa semua pengiring itu nampaknya gagah, pakaian mereka mentereng, tidak ada
tandatanda bekas mengalami penyerangan yang membuat pakaian mereka tidak keruan
atau kuda lelah dan manusia letih. Dari halnya Ngochito dan lima ratus
serdadunya, jangankan orangnya, walau bayangannya pun tak tertampak.
Yasian kaget berbareng sangat
heran.
"Ngochito dan Ma I Tjan
kosen dan pintar, mereka ada bersama lima ratus serdadu pilihan, malah dibantu
pula oleh See Too serta orang-orangnya, tidak seharusnya mereka gagal, umpama
gagalpun, mesti ada orangnya yang lari pulang untuk mengabarkan.
Kenapa sekarang tidak seorang
juga yang kembali? Mustahilkah utusan Tionggoan itu ada bangsa malaikat?"
Demikian Yasian tanya dirinya
sendiri, hingga ia jadi berpikir keras. Malam itu, karena ia terus menunggui
warta dari Ngochito, sama sekali ia tidak tidur sekejap pun juga.
Keesokannya, dari pagi hingga
tengah hari, ia masih menanti-nanti, sehingga datanglah kabar tibanya utusan
Tionggoan itu, yang membikin keheranannya sampai di puncaknya.
Di hari kedua, pagi-pagi
Yasian kirim wakil kepada In Tiong, untuk undang utusan itu.
In Tiong terima undangan itu.
Sudah selayaknya ia berkunjung kepada perdana menteri Watzu. Ia datang dengan
ajak empat pengiring berikut sebuah kereta keledai. Tapi ia datang sesudah jauh
siang, hingga selama itu, Yasian mesti menahan napas untuk menantikan padanya.
Heran Yasian waktu jauh siang
itu ia diberitahukan tentang kunjungannya utusan Tionggoan sambil membawa
sebuah kereta keledai.
"Apakah mereka bawa
banyak barang antaran untukku?" Yasian menduga-duga.
"Mestinya hadiah itu
barang-barang yang berat sekali..."
Ia lantas berikan titah,
pengiring mesti menunggu di tangga di muka pintu besar,supaya si utusan seorang
diri yang dipimpin masuk ke dalam ruangan besar di mana ia menantikan.
In Tiong bawa sikap
agung-agungan. Ia berjalan di lorong di antara dua baris pengawal yang
seragamnya mentereng dan romannya gagah, semuanya menyekal golok, tombak dan
pedang terhunus.
Yasian telah pasang matanya.
Ia tercengang ketika ia lihat romannya utusan ini. Ia merasa bahwa ia seperti
pernah bertemu dengan utusan itu. Berbareng di otaknya segera berbayang satu utusan
lain dari kerajaan Beng. Itulah In Tjeng, utusan dari tiga puluh tahun yang
lampau.
Itulah utusan yang di negara
Watzu hidup sebagai pengembala kuda selama dua puluh tahun, tapi hatinya tak
pernah dapat dibikin ciut, yang semangatnya terus berkobar-kobar.
Sekarang utusan yang muda ini
mirip benar dengan utusan yang tua dahulu itu...
In Tiong unjuk hormatnya
kepada perdana menteri Watzu itu yang membalasnya. Ia lantas persembahkan
barang-barang hadiah,seperti kumala putih dan lain-lainnya.Inilah keharusan di
antara kedua negara, sebagai tanda menghormat kepada menteri dari negara yang
dikunjunginya itu. Hadiah itu bukan barang sangat berharga tetapi toh tepat
untuk suatu menteri. Selama itu tetap dia bawa sikapnya yang agung, bukannya
jumawa,bukannya merendah.
Setelah penyerahan hadiah itu,
Yasian minta belajar kenal. Di dalam hatinya ia kaget akan dengar utusan ini
seorang she In.
"Sungguh kebetulan!"
katanya sambil tertawa. "Pada tiga puluh tahun sang lampau,utusan yang
datang juga she In!"
"Malah sekarang ada
terlebih kebetulan pula!" berkata In Tiong sambil tertawa. "Pada tiga
puluh tahun yang lampau itu adalah sang kakek yang menjadi utusan, dan pada
tiga puluh tahun kemudian, ialah sekarang ini, aku adalah cucunya si kakek itu!
Thaysoe,bukankah ini ada suatu hal yang bagus sekali?"
Air mukanya Yasian berubah,
akan tetapi ia mencoba akan mengatasi diri. Begitulah ia paksa tertawa.
"Benar bagus, benar
bagus!" begitu katanya.
Walau bagaimana, perdana
menteri ini tak dapat sembunyikan keheranan dan kagetnya, hingga sikapnya
menjadi tidak wajar pula.
In Tiong merasa sangat puas,
ia tertawa bergelak-gelak. Ia lalu mendesak.
"Kali ini aku menjadi
utusan, sebelumnya aku telah pelajari juga ilmu mengembala kuda," demikian
katanya, disengaja. "Jikalau sudah datang waktu keperluannya, aku bersedia
berdiam lama di dalam negeri thaysoe ini!"
Yasian menjadi sangat likat.
Ia tertawa menyeringai. "Ah, In Thaydjin, kau bergurau!" katanya,
untuk menutupi kelikatannya. "Haha,haha, sungguh thaydjin suka
bergurau!" Ia lalu berdehem, ia urut-urut kumis jenggotnya.
"Thaydjin, aku justeru
hendak mohon maaf padamu, karena kami telah lalai dalam penyambutan kami.
Thaydjin sudah melakukan perjalanan jauh dan harus melintasi kotakota dan
gunung-gunung, tentu kau letih sekali."
Dengan kata-katanya ini,
Yasian ingin simpang-kan pembicaraan sambil berbareng memancing keterangan
kalau-kalau tetamunya mengalami sesuatu di dalam perjalanannya itu.
Ditanya begitu, In Tiong
tertawa dingin.
"Aku tidak merasa
letih." demikian penyahutan-nya. "Hanya ketika aku memasuki wilayah
negara thaysoe, di tengah jalan kami telah hadapi beberapa begal kecil..."
Yasian kaget di dalam hatinya.
"Kalau cuma begal kecil,
itulah pasti bukannya Ngochito," pikirnya. Ia lantas menanya:
"Di tempat manakah
thaydjin ketemu orang jahat itu? Pembesar-setempat di sana telah melalaikan
tugasnya, nanti aku periksa dan hukum padanya!"
Ia nampak kaget tetapi kali
ini, kagetnya itu kentara.
In Tiong tertawa pula.
"Itulah tak usah,"
katanya. "Berhubung dengan pembegalan itu kami tidak mendapat rugi
apa-apa. Di sebelah tugasku, thaysoe secara perseorangan aku hendak
menghadiahkan sesuatu kepada thaysoe, hanya yang tidak berarti..."
Yasian bersenyum, ia nampaknya
gembira. "Janganlah berlaku sungkan, In Thaydjin." katanya, merendah.
"Oh, tidak, tidak,
thaysoe," In Tiong bilang. "Aku mohon thaysoe perkenakan
pengiringpengiringku
supaya barang hadiah itu yang
berada di dalam kereta boleh dibawa kemari..."
"Oh, tentu saja
boleh!" Yasian berikan perkenannya dengan cepat. Di dalam hatinya, ia
kata: "Nyata dugaanku tidak meleset, barang-barang di dalam kereta itu ada
bingkisan untukku! Akan tetapi barang ada demikian berat, mestinya barang yang
tidak seberapa berarti..."
Senang hatinya perdana menteri
ini, sedang tadinya ia tidak puas terhadap sikap agung-agungan dari utusan itu.
Hadiah itu berarti suatu muka terang baginya. Ia jadi tidak terlalu pikirkan,
hadiah itu barang berharga atau bukan. Ia lantas perintahkan supaya
pengiringnya si utusan diberi ijin untuk membawa masuk bingkisan itu. In Tiong
menghaturkan terima kasih. Ia perlihatkan wajah berseri-seri.
Empat pengiring utusan
Tionggoan itu bertindak masuk dengan menggotong dua bungkusan karung goni yang
besar. Yasian mengawasi, ia menduga kepada suatu barang keluaran Tiongkok,
semacam hasil buminya. Ia tertawa di dalam hati. Ketika ia menduga utusan ini
tentulah seorang melarat...
Sampai di depan Yasian dan
sepnya, ke empat pengiring lalu turunkan bungkusannya dengan dibanting keras.
Berbareng dengan itu terdengar teriakan "Aduh!" yang tertahan.
Kemudian, tanpa tunggu titah
lagi, mereka buka tambang yang mengikat mulut karung itu, untuk keluarkan
isinya karung, ialah dua tubuh yang teringkus, malah tubuh yang satu tanpa
baju, hingga kelihatan dada dan bebokongnya, dan di bebokongnya tampak nyata
cacahan huruf "tjat" = "bangsat" "Inilah hadiahku yang
tidak berarti, yang aku harap thaysoe suka terima tanpa celaan..." berkata
In Tiong sambil tertawa.
Tidak usah dijelaskan lagi
bahwa dua orang yang teringkus itu adalah Ngochito serta Ma I Tjan. Karena
mereka sudah teringkus lama, tidak heran kalau mereka jadi pusing kepala dan
pegal kaku. Kalau tadinya mereka tetap tak sadar akibat totokan, seberlalunya
Tan Hong, mereka telah dibikin ingat akan diri mereka. Sekarang mereka lihat
Yasian, mereka menyangka bahwa mereka telah ditolongi orang sendiri, saking
kegirangan mereka sudah lantas berseru: "Thaysoe."
Yasian kaget. Akan tetapi dia
adalah satu orang besar dan cerdas, dalam sejenak saja dia bisa menduga kepada
kejadian yang benar, maka lantas dia perlihatkan wajah bengis.
"Hai, dua begal
cilik!" dia membentak, "cara bagaimana kamu berani ganggu utusan dari
negara besar? Mana orang? Hukum rangket tiga ratus rotan kepada mereka, lantas
masukkan ke penjara negara, kemudian akan aku periksa dan hukum mereka!"
Ngochito dan Ma I Tjan menjadi
sangat kaget, mereka lantas buka suara, untuk memberi keterangan, tetapi
bentakannya pengiring Yasian telah mencampur baurkan suara mereka, yang pun
segera digusur ke ruang belakang! .
In Tiong menyaksikan semua itu
dengan tenang. "Thaysoe repot, tidak seharusnya thaysoe diganggu segala
begal kecil," ia berkata sambil bersenyum.
Mau tidak mau, mukanya Yasian
menjadi ber-semu merah."Sungguh kedua begal itu telah membikin aku
malu..." ia berkata dengan lagaknya dibikin-bikin. "Ah!..." ia
menghela napas. "Pasti, pasti akan aku hukum berat kepada mereka!"
In Tiong berdiam, dengan
dingin ia awasi perdana menteri itu.
Dalam hatinya Yasian heran
sekali. Dua pahlawannya itu sangat tangguh, mereka memimpin lima ratus serdadu,
juga dibantu See To dan rombongannya, tetapi mereka kena ditawan, tentera
mereka lenyap tidak keruan paran, tidakkah itu luar biasa mengherankan? Iapun
merasa sangat tidak enak menampak sikapnya In Tiong itu, si utusan dari
Tionggoan, maka dengan sendirinya, paras mukanya menjadi pucat dan merah padam
bergantian.
"Hari ini telah cukup aku
permainkan padanya!" berpikir In Tiong setelah melihat lagak orang itu.
"Baiklah, aku tidak mendesak dia terlebih jauh, supaya dia tidak menjadi
gusar, agar perundingan tidak terganggu karenanya."
Maka ia tertawa dengan pelahan
dan berkata dengan sabar: "Thaysoe, apa yang telah terjadi itu tidaklah
aneh. Di dalam sebuah negara, rakyatnya memang tidak rata, tidak semuanya baik,
mesti di antaranya ada beberapa yang jahat. Harap thaysoe tidak pikir pula
tentang mereka itu. Marilah kita bicara tentang maksud tujuan kita."
Mendengar itu, lega juga
hatinya Yasian.
"Benar apa yang kau
katakan itu, In Thaydjin," ia menyahut.
In Tiong keluarkan segumpal
kertas. "Inilah rencana perdamaian kita," ia beritahu sambil serahkan
kertas itu. "Coba thaysoe periksa." Itulah rencana perdamaian
karangannya Kokioo Ie Kiam, bunyinya sangat sederhana. Ie Kokioo meminta supaya
kedua negara menjaga saja masing-masing wilayahnya, keduanya saling
memperlakukan sama rata, jangan sekali ada yang melakukan penyerangan, supaya
untuk selamanya tak lagi terbit perang. Pada itu Ie Kokioo berikutkan syarat
supaya "thaysianghong" yaitu raja yang tua, Kaisar Beng Eng atau Kie
Tin, yang tertawan di negeri Watzu, lantas di merdekakan dan diantarkan pulang.
Setelah membaca rencana itu,
Yasian berdiam. Ia berpikir. Sederhana rencana Tionggoan itu tetapi
bertentangan dengan rencananya sendiri. Ia hendak kemukakan perdamaian menurut
cara dahulu, yang telah dibikin antara kerajaan Song dan Liauw (Kim), ialah
kerajaan Beng mesti menempati kedudukan yang terlebih rendah, dengan negara
Watzu harus ada perhubungan bagaikan paman dengan keponakan. Negeri Watzu
sebagai paman, Tionggoan sebagai keponakan. Serta setiap tahun kerajaan Beng
mesti membayar upeti sebanyak tiga ratus laksa tail perak serta sutera lima
laksa kayu.
Tegasnya, dia hendak berdamai
sebagai dia yang menang perang. Maka sekarang tidaklah ia sangka, Tionggoan
mengajukan syarat lain. Dia telah berdaya, dia telah bekerja supaya utusan Beng
itu terjatuh ke dalam tangannya supaya dapat dipengaruhi, tidak tahunya,keadaan
menjadi kebalikannya. Dia sekarang menjadi mirip ayam jago yang kalah
berkelahi, hingga rencananya sendiri yang dia bekal di dalam sakunya tidak
berani dikeluarkan.
"Tionggoan adalah satu
negara yang mengenal tata sopan santun," berkata In Tiong apabila ia
melihat orang berdiam saja, ia bicara dengan sabar tetapi berpengaruh,
"maka itu Tionggoan hendak berdamai dan bersahabat dengan negaramu sebagai
kedua negara sederajat, sebagai saudara-saudara, semua peristiwa yang sudah
lewat, tidak hendak ditarik panjang pula. Dengan perjanjian ini, kedua negara
sama-sama tidak mendapat
kerugian. Apabila Thaysoe
memikir lain dan thaysoe anggap Tionggoan boleh diperhina,
tidak ada jalan lain, di tapal
batas negara kami sudah sedia sepuluh laksa serdadu pilihan,
kami bersedia untuk main
melayani thaysoe!"
Suaranya utusan ini lemah
berbareng keras. Ia meminta tetapi pun ia mengancam,
namun ia tidak meninggalkan
adat sopan santun.
Pada mulanya benar Yasian
telah berhasil menyerang Tionggoan dan memperoleh kemenangan, hingga ia
berhasil menawan kaisar Kie Tin, akan tetapi dalam peperangan lebih jauh, di
Pakkhia, ia telah kena dikalahkan hingga terusir keluar dari kota Ganboenkwan,
maka dalam hal ini di antara kedua pihak tidak dapat dikatakan ada yang menang
dan kalah perang. Oleh karena itu, jikalau kedua negara mengadakan perdamaian,
itu adalah hal yang pantas sekali. Bicara hal kedudukan, Tionggoan lebih
menang, sebab di bawah pimpinan Ie Kokioo, Tionggoan bersatu, di lain pihak,
negeri Watzu terancam bentrokan di dalam, dia ada di pihak lebih lemah. Hal ini
diinsafi Yasian,maka ia suka membuat perdamaian, tetapi dasar ia seorang licik,
ia masih hendak mencari kemenangan di atas angin. Tapi ia menghadapi In Tiong
yang berani, ia jadi menghadapi kesulitan.
"Utusan ini sukar
dilayani," demikian pikirnya. "Nyata dia jauh lebih liehay daripada
kakeknya dahulu hari. Jikalau aku main ayal-ayalan, bisa-bisa kedudukanku
menjadi berbahaya..."
Ia ingat ancaman bahaya dari
pihaknya Atzu Tiwan.
"Baiklah," katanya
kemudian, "rencanamu ini dapat aku terima. Sekarang tunggu saja sampai
junjunganku telah memeriksanya baharu kemudian kita bicara pula untuk mengambil
keputusan."
Pembicaraan berjalan lancar,
belum lewat sepuluh hari kedua pihak telah peroleh persetujuan. Rencana
Tiongoan diterima baik, cuma beberapa kata-katanya saja yang diubah sedikit.
Telah ditetapkan, di hari kedua sehabisnya, pembubuhan tanda tangan, kaisar
Tiongkok yang ditawan itu akan dimerdekakan, dia boleh disambut utusannya untuk
diajak pulang.
Sementara itu kaisar Kie Tin
dipindahkan dari kamar tahanan ke dalam istana raja Watzu, diberikan sebuah ruangan
di mana ia diperlakukan sebagai raja yang terhormat.
Selagi perundingan perdamaian
dilakukan, Tan Hong telah menulis surat kepada In Tiong, dia undang utusan
Tionggoan itu datang ke rumahnya. In Tiong tampik undangan itu, ia masih ingat
permusuhan di antara mereka walaupun terhadap Tan Hong ia telah berkesan baik.
Karena itu, Tan Hong juga tidak datang berkunjung kepada utusan itu.
Dengan lewatnya sang waktu,
datanglah malaman yang besoknya utusan Tionggoan bakal ajak junjungannya yang
tua berangkat pulang. Malam itu In Tiong merasa tegang sendirinya, hingga di
tempat kediamannya, ia jalan mondar-mandir tak hentinya. Ia memikir untuk tidur
tetapi tak dapat ia lakukan itu.
Di pihak lain, juga ada dua
orang yang merasakan ketegangan sebagai In Tiong itu.
Mereka adalah Tan Hong dan
ayahnya. Hanya ada perbedaan pikiran di antara anak dan ayah itu.
Ketegangan Tjong Tjioe karena
ia gembira berbareng masgul dan berduka. Begitulah di dalam taman, sambil
meloneng pada lankan, ia mengadakan pembicaraan dengan puteranya.
Selama beberapa hari itu, Thio
Tjong Tjioe dapat diumpamakan sebagai pohon tua yang sudah kering, angin musim
semi telah meniup sepoi-sepoi akan tetapi pohon tua itu tak bersemi pula, tak
ada daunnya yang hijau. Dia telah keram diri di dalam kamar tulisnya, sampaipun
dengan puteranya sendiri sedikit sekali ia bicara. Sedang mengenai urusan
tibanya utusan Tionggoan, sama sekali tak sudi ia menyebut-nyebutnya. Sikapnya
yang luar biasa itu menimbulkan kekuatiran di antara orang-orang sedalam gedungnya.
Tan Hong ingin sekali
mengunjungi In Tiong, tetapi menampak keadaan ayahnya ini,tidak berani ia
meninggalkan rumahnya.
Hanya pada malam itu, dengan
sekonyong-konyong Thio Tjong Tjioe panggil puteranya diajak jalan mondar-mandir
di dalam taman, akan akhirnya si orang tua berdiri meloneng.
Lama dia membungkam, matanya
mengawasi sang rembulan yang naik semakin tinggi dan semakin tinggi. Di
akhirnya dia menghela napas, lalu dia bersenanjung:
"Malam ini memandangi
rembulan di dalam taman, lain tahun akan memandanginya seorang diri..."
Benar-benar orang tua ini
menggadangi sang rembulan, yang ia terus awasi saja,hingga ia pun dapat
memandang sang mega yang bagaikan lautan. Melihat sang mega itu ia seperti
bermimpi pesiar di Kanglam...
"Ayah..." memanggil
Tan Hong dengan air matanya mengembeng. Ia sangat berduka melihat sikapnya ayah
itu.
Tjong Tjioe tertawa, sedih
suaranya.
"Kabarnya perdamaian
telah ditanda tangani," berkata ayah ini. "Besok utusan Kerajaan Beng
bakal berangkat pulang, benarkah itu?"
Inilah yang pertama kali Tjong
Tjioe menyebut tentang utusan Beng itu.
"Benar," Tan Hong
jawab ayahnya itu. "Utusan itu she In, benarkah?" sang ayah menanya
pula.
"Benar," sang anak
menjawab pula. Ia selalu menjawab dengan singkat. Sudah berulang-ulang ia
pikirkan, oleh karena In Tiong tidak ingin menemui ayahnya, ia juga tidak
hendak menyebut-nyebut tentang utusan itu terhadap ayahnya.
"Utusan itu tidak
mensia-siakan tugasnya," berkata sang ayah, "dia melebihi In Tjeng
dahulu hari!"
Tjong Tjioe masih belum tahu
bahwa utusan itu adalah anaknya In Teng atau cucunya In Tjeng si utusan yang
dahulu itu.
Tan Hong manggut, ia
bersenyum.
"Kalau begitu anak Hong,
kau juga harus berangkat besok!" sekonyong-konyong ayah itu bilang.
Hatinya Tan Hong memukul.
Itulah soal yang ia telah pikirkan selama banyak tahun. Ia tidak menyangka
bahwa hari ini ayahnya itulah yang menimbulkannya. Ia menjadi tidak keruan
rasa. Ia tahu dengan pasti. Kalau besok ia berangkat maka untuk selama-lamanya
ia tidak akan bertemu pula dengan ayahnya itu. Berpisah hidup, berpisah mati,
itulah hal yang sejak jaman dahulu dibuat duka orang. Apapula sekarang ia akan
berpisah kepada ayah kandungnya...
Sebisa-bisanya Tan Hong
kuatkan hatinya. Ia tahu, tidak nanti ayahnya ijinkan ia pergi.
"Dan bagaimana dengan
kau, ayah?" ia balik menanya.
Tiba-tiba wajahnya Tjong Tjioe
menjadi gelap, lalu ia tertawa.
"Semua barangmu telah aku
siapkan!" katanya. "Ini adalah yang terakhir aku mengurus
keperluanmu!"
Tan Hong terkejut, tetapi ia
masih dapat kendalikan diri.
"Ayah," katanya,
"jikalau ayah tidak pergi, akupun akan tetap tinggal di sini menemani
kau..."
"Tidak, kau harus
pergi," berkata ayah itu. "Kau masih muda! Tantai Tjiangkoen akan
berangkat bersama kau! Telah aku beritahukan kepadanya!"
"Tantai Tjiangkoen juga
turut pergi?" berkata ini, yang menjadi heran sekali. Hendak ia
melanjutkan. "Dengan begitu, bukankah ayah menjadi bersendirian saja dan
kesepian?" akan tetapi ia batal mengatakannya. Tidak dapat ia keluarkan
itu.
Thio Tjong Tjioe, bersenyum.
"Benar," sahutnya,
"Tantai Tjiangkoen..."
Tiba-tiba satu bayangan
berkelebat datang, atau Tantai Mie Ming sudah berada di hadapan mereka.
Senyumannya Tjong Tjioe masih
belum lenyap, hendak dia mengatakan, "Baharu aku menyebutkan Tjo Tjoh,
atau Tjo Tjoh telah tiba!" akan tetapi Mie Ming, dengan napasnya memburu,
berkata: "Tjoekong, celaka!..."
Ayah dan anaknya itu
terperanjat. Tjong Tjioe belum pernah nampak jenderal itu demikian kesusu atau
gelisah.
"Ada apakah?" Tjong
Tjioe tanya.
"Gedung kita telah
dikurung!" sahutnya Mie Ming.
Tan Hong kaget. Tetapi segera
ia pasang kupingnya. Benar ia dengar suara dari banyak orang di luar gedung.
Thio Tjong Tjioe bersikap
tenang seperti biasa.
"Mari kita keluar
melihatnya!" katanya, sabar.
Tan Hong dengan disusul Tantai
Mie Ming lompat ke tembok, dari situ mereka dapat lihat gedung telah dikurung
beberapa lapis tentera, sedang di pekarangan depan,menghadapi pintu besar, ada
bercokol sebuah meriam besar yang dinamakan Angie toapauw.
Bangsa Mongol adalah bangsa
yang paling pertama membawa mesiu ke medan perang,ketika dahulu dia malang
melintang di Eropa, bukan sedikit dia mengandal atas meriamnya itu. Tan Hong
tidak sangka hari ini, meriam itu dipakai untuk menghadapi keluarga Thio.
Di belakang meriam besar itu
tampak berdiri berbaris tiga penunggang kuda ialah Ngochito, Ma I Tjan dan Pek
San Hoatsoe, soeheng atau kakak seperguruannya Tjeng Kok Hoatsoe. Dibarisan
depan itu adalah tentera Mongol yang memegangi obor cabang pohon cemara.
Ketika Tan Hong terlihat
muncul di belakang tembok, tentera Mongol berteriak-teriak dengan seruannya
yang gemuruh. Anak muda ini berlaku tenang, ia mengawasi mereka itu.
"Untuk apa kamu datang
kemari?" bentaknya dengan sabar. Akan tetapi suaranya ini terdengar terang
sekali, suara itu berpengaruh, maka suara riuh berhenti dengan tibatiba.
Ngochito tepuk kudanya untuk
di majukan, lalu mengawasi ke atas tembok, ia tertawa besar.
"Thio Tan Hong, hendak
aku lihat, hari ini kau ada punya kepandaian apa!" dia berkata dengan
jumawa. "Kau bilanglah, kau ingin hidup atau mampus?"
"Apa yang kau
artikan?" Tan Hong menegaskan.
"Jikalau kau ingin
hidup," menjawab Ngochito, "maka kau mesti rela dengan tanganmu
sendiri kau belenggu semua orang yang berada di dalam gedungmu ini, kecuali
ayahmu,yang boleh tidak usah diikat! Lalu kau pentang pintu besar untuk
membiarkan kami bawa kamu ayah dan anak menghadap Thaysoe, supaya Thaysoe
sendiri yang nanti memberikan putusannya!"
"Hm!" Tan Hong
perdengarkan ejekannya. "Jikalau aku menolak?" dia tanya.
"Akan aku berikan kau
ketika untuk memikirnya masak-masak," menyahut pula Ngochito, si pahlawan
nomor satu itu. "Kau harus ketahui, bukankah kau telah lihat tegas meriam
besar ini? Walaupun kau bagaimana gagahpun tidak akan kau sanggup lawan meriam
ini! Akan aku beri kau tempo sampai jam lima untuk memberikan jawabanmu,jikalau
kau berani menampik, atau jikalau kau berani membuat perlawanan, jangan
salahkan aku, begitu terang tanah begitu aku lantas menembak ke arah
kamu!"
"Anak Hong, kau
turunlah!" demikian suaranya Thio Tjong Tjioe selagi anaknya belum
menjawab Ngochito.
Tan Hong dan Mie Ming lompat
turun, akan hampirkan orang tua itu.
"Nampaknya jahanam Yasian
itu tidak puas sebelum dia mendapatkan aku," berkata Tjong Tjioe kepada
anak dan jenderalnya itu, "maka itu akan aku pergi kepadanya. Kau bersama
Tantai Tjiangkoen ada punya kepandaian, dengan melihat gelagat, pergi kamu
menyingkirkan diri!"
"Tidak, ayah!" kata
Tan Hong. "Pasti sekali tidak nanti anakmu membiarkan ayah terhina
Yasian!"
Tjong Tjioe berpikir sejenak,
lalu ia tertawa nyaring.
"Sungguh bersemangat,
sungguh bersemangat!" ia berkata. "Kita tiga turunan berdiam di
negara Watzu ini, kita menumpang hidup dengan menahan malu, semua itu telah
cukup batasnya! Sekarang Tiongkok telah menjadi kuat, tidak dapat kita menerima
malu terlebih jauh! Baiklah, kau biarkan aku bersama semua orang di dalam rumah
ini terbinasa di sini,tetapi kamu berdua pergi kamu menyingkir dari pintu
belakang!"
"Tidak, ayah!"
berkata Tan Hong dengan segala kepastian.
"Jikalau kita mesti
terbinasa, mari kita binasa sama-sama tjoekong1." Tantai Mie Ming pun kata
dengan gagah.
Thio Tjong Tjioe mengalirkan
air mata, akan tetapi ia tertawa.
"Sungguh kamu ada anak
dan sebawahanku yang baik sekali," berkata dia. "Ah,semuanya akulah
yang rembet-rembet kepada kamu..."
Tjong Tjioe lantas ingat
kekeliruan ayahnya dan ia sendiri. Mereka telah ambil siasat bekerja kepada
bangsa Watzu, yang tenteranya mereka bikin kuat, niatnya adalah untuk pinjam
tentera itu guna menggempur kerajaan Beng, untuk membangun pula kerajaan
keluarga Thio, siapa sangka sekarang ia mesti makan buahnya yang pahit getir
ini, bukan saja Tionggoan hampir dimusnahkan Watzu, sekarang mereka sendiri
sekeluarga bakal menjadi musnah tertembak meriam...
Dari luar segera juga
terdengar lagi suaranya Ngochito: "Hai, kamu sudah ambil keputusan atau
belum? Ingat, paling lambat sampai hari sudah terang tanah, akan aku mulai
menembak!"
Tan Hong menjadi sangat masgul
dan mendongkol. Dia yang sedemikian cerdas,sekarang telah habis daya, tidak
dapat ia memikir. Mengawasi ayahnya, pikirannya menjadi kalut, dia cuma bisa
berduka dan bergelisah...
Tjong Tjioe nampaknya sangat
berduka dan bergelisah juga.
Sementara itu, di lain tempat,
juga ada seorang lain yang tak kurang gelisahnya daripada keluarga Thio ini.
Dia adalah Topuhua, puterinya Perdana Menteri Yasian.
Topuhua telah mendapat tahu
yang perdamaian telah didapat, malah kedua pihak telah menanda-tanganinya,
karena mana besok pagi, utusan kerajaan Beng bakal berangkat pulang. Ia tahu,
dengan begitu, tentulah Thio Tan Hong akan turut perutusan Beng itu pulang ke
Tionggoan. Hal ini membuat ia berduka dan gelisah, pikirannya menjadi bingung
dan pepat, alisnya senantiasa berkerut.
Yasian telah dapat lihat
kedukaannya puterinya itu. Malam itu ia menenggak banyak susu macan, ia sangat
bergembira. Sambil tertawa, ia kata kepada puterinya itu: "Jangan kau
bersusah hati, tidak nanti Tan Hong turut berangkat. Aku ada punya daya upaya
untuk besok membawa dia kembali! Kau adalah puteriku satu-satunya, umpama kau
menginginkan rembulan di atas langit, sanggup aku mengambilnya turun untukmu!
Anak Hua, kau lihat, bagaimana ayahmu menyayangimu!..."
Topuhua girang dan bersangsi.
Benarkah perkataan ayahnya itu? Ia tidak lihat ayahnya itu hendak mendustai
padanya. Tadinya ia hendak tanya untuk menegaskan, akan tetapi sang ayah terus
sibuk dengan araknya, terpaksa ia tutup mulutnya.
Terus-terusan Topuhua berada
dalam kesangsian, ia tidak tahu, ayahnya akan bertindak bagaimana. Sampai
tengah malam ia masih belum tidur pules. Tiba-tiba ia dengar suara orang bicara
di ruang tetamu. Ia ingin sekali dengar apa yang dibicarakan,diam-diam ia
keluar dari kamarnya, ia pergi ke kamar tetamu itu. Ia umpetkan diri di
belakang pinhong, pintu angin.
Ada dua orang yang tengah
berbicara di ruang tetamu itu. Yang satu Topuhua kenali sebagai ayahnya. Yang
lain adalah kepala rumah tangga gedung perdana menteri yaitu Tjongkoan Wotjaha.
"Utusan kerajaan Beng
akan berangkat begitu terang tanah, apakah barang-barang hadiah kita sudah
sedia semua?" demikian suaranya Yasian.
"Semua sudah disediakan
lengkap," jawab Wotjaha.
"Bocah she In itu
benar-benar sukar dilayaninya," Yasian berkata pula. "Aku bersyukur
kepada langit dan bumi, seperginya dia, kita bakal merasa aman dan
senang..."
"Bukankah Thaysoe hendak
mengantar padanya?" sang kepala rumah tangga tanya.
"Kau saja yang wakilkan
aku," perdana menteri itu jawab. "Kau berikan alasan bahwa aku sedang
sakit. Sri Baginda sendiri turut mengantar untuk memberi selamat jalan.Itupun
sudah suatu kehormatan besar baginya."
Tidak tertarik hatinya Topuhua
akan mendengarkan pembicaraan itu, maka ia ingin kembali ke kamarnya untuk
tidur. Tapi belum sampai ia angkat kakinya, ia lantas mendengar hal lainnya.
"Meriam besar itu hebat,
bagaimana kau rasa, suaranya akan dapat terdengar sampai di luar kota atau
tidak?" demikian pertanyaannya Yasian kepada hambanya itu.
"Mungkin terdengar tetapi
hanya sebagai suara petasan saja," sahut orang yang ditanya.
"Gedungnya Thio Tjong Tjioe itu terpisah dari pintu kota kira-kira sepuluh
lie lebih, suara meriam juga jauhnya sepuluh lie, tetapi di waktu terang tanah,
mereka tentunya sudah meninggalkan kota, sedang tembok kota pun sangat tebal,
maka suara meriam itu tidak nanti terdengar nyata. Hamba percaya suara meriam
itu tidak akan menimbulkan kecurigaan orang."
Topuhua terperanjat. Suara
meriam? Gedungnya Thio Tjong Tjioe? Itu toh rumahnya Thio Tan Hong!
"Lain daripada itu, belum
tentu meriam akan ditembak," terdengar pula suaranya
Wotjaha. "Di bawah
ancamannya meriam, mustahil mereka tidak akan menjadi jinak dan akan ikat diri
sendiri untuk menyerah terhadap keputusan Thaysoe?"
"Thio Tjong Tjioe dan
puteranya adalah bangsa yang keras adat," berkata Yasian.
"Lebih-lebih Thio Tan Hong,
dia lebih suka menyerah kepada ke lemah lembutan daripada kekerasan. Aku lebih
percaya mereka itu lebih suka mengorbankan diri daripada menyerah secara
terhina..."
Perdana menteri itu berhenti
sebentar, terdengar dia menghela napas.
"Thio Tan Hong itu pandai
ilmu surat dan silat, dialah satu anak pandai," dia berkata pula.
"Maka sayang sekali dia tidak sudi bekerja di pihakku, sebaliknya di
mana-mana dia justeru mengganggu aku. Orang semacam dia itu jikalau diijinkan
pulang ke negerinya,dia mesti akan menjadi ancaman bencana bagiku. Ah, harap
saja seperti katamu dia suka menyerah kepadaku, jikalau tidak, dengan tidak
pedulikan kesusahan hatinya Topuhua,harus aku singkirkan padanya!"
Yasian ini sudah dengar
keterangannya Ngochito dan Ma I Tjan, maka tahulah dia,orang yang menolongi In
Tiong yang membekuk See Too, yang memusnahkan lima ratus serdadu pilihannya,
semuanya itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, maka itu ia kaget berbareng
gusar sekali. Tentu saja, karena perbuatan Tan Hong itu, hendak ia membalas
sakit hati. Demikian ia kirim Ngochito ke rumahnya Tjong Tjioe, untuk ancam
Tjong Tjioe dan Tan Hong menyerah terhadapnya. Kalau Tjong Tjioe dan puteranya
terpaksa ditembak mati dengan meriam, itu harus dilakukan sesudah berangkatnya
utusan kerajaan Beng.
Terbangun bulu ramanya Topuhua
mendengar tindakannya ayahnya itu, ia kaget dan sangat berkuatir untuk Tan
Hong. Nyata sekali bahwa Tan Hong terancam bahaya maut.
Ia menjadi bergelisah di waktu
ia mendengar suara kentongan sudah tiga kali. Itulah tanda bahwa segera juga
sang fajar akan menyingsing.
Syukur juga, setelah bicara
sampai di situ, Yasian dan hambanya pada undurkan diri.
Topuhua sudah lantas undurkan
diri ke dalam kamarnya. Ia hanya bingung juga disebabkan kamarnya berada di
depan kamar ayahnya itu, selagi ia rebahkan diri untuk berpura-pura tidur,
kamar ayahnya itu masih terang dengan cahaya apinya, malah di antara kain
jendela terlihat satu tubuh jalan mundar-mandir menandakan sang ayah masih
belum naik tidur. Mestinya ayah itu pun tengah bergelisah...
"Aku mesti tolong Tan
Hong!" demikian nona ini ambil putusan. Akan tetapi ia bingung juga
bagaimana ia dapat keluar dari kamarnya selama ayahnya itu belum tidur pules.
Hatinya nona ini terus memukul
keras, matanya senantiasa mengawasi ke kamar ayahnya. Ia mengharap-harap supaya
ayahnya lekas naik tidur. Lama rasanya ia menantikan, di akhirnya, dapat ia
bernapas lega. Ia lihat api di kamar ayahnya telah padam! Ia lantas lompat
bangun dari pembaringannya. Tapi mendadak ia ingat bahwa di luar kamar ada
orang yang menjaga. Mungkin orang itu tidak berani merintangi padanya tetapi
dia bisa membanguni ayahnya. Maka ia mesti berpikir pula. Dengan hati-hati nona
ini membanguni budaknya, yang tidur dalam satu kamar dengannya.
"Lekas ambil dua poci arak,"
ia perintahkan. "Kau bawa dan kasihkan kepada dua pahlawan yang menjaga di
taman. Katakan kepada mereka bahwa karena hawa udara dingin, Thaysoe sengaja
hadiahkan mereka arak."
Sementara itu nona ini telah
masuki obat pules, ke dalam arak itu.
Selama menantikan lebih jauh,
hatinya Topuhua terus memukul. Sekarang ia pun kuatirkan kedua pahlawan tidak
kena dipedayai. Ia memasang kuping terus. Bahna tegangnya hatinya, ia ingin
dapat menahan jalannya sang waktu.
Akhirnya...
Budak perempuan tadi muncul dengan
warta yang melegakan hati.
"Mereka minum tanpa
curiga, keduanya telah tertidur," demikian berkata budak itu,yang telah
sekalian layani kedua pahlawan, supaya ia bisa mendapat kepastian dari hasilnya
obat pules.
Topuhua sudah salin pakaian,
ia telah mengenakan pakaian untuk jalan malam, maka setelah perintahkan
budaknya berdiam di dalam kamarnya, ia segera lari keluar. Dengan hati-hati ia
menyelusup di taman bunga, akan akhirnya lompat naik ke atas tembok, akan
keluar dari gedungnya.
Ketika itu tepat kentongan
berbunyi empat kali. Pada malam itu, juga In Tiong tak dapat tidur tenang.
Karena ia sangat bergembira dengan hasil tugasnya itu. Bukankah raja Watzu
telah terima baik perdamaian? Maka besok hendak ia berangkat pulang ke
negerinya. Ia akan pulang bersama Thaysianghong Kie Tin, kaisar tua yang
ditawan musuh itu. Di pintu kota menteri dan raja akan bertemu, untuk berangkat
bersama-sama.
Itulah suatu kehormatan besar
untuk pihak kerajaan Beng, karena In Tiong sebagai utusan tidak usah pergi pula
ke istana raja untuk pamitan. Dia akan pamitan sekalian di luar kota saja.
Malam itu rembulan dan
bintang-bintang ada terang sekali, cahayanya permai. Sambil meloneng, In Tiong
gadangi si Puteri Malam.
"Melihat indahnya malam
ini, besok tentulah udara terang", berpikir cucunya In Tjeng itu.
"Musim dingin telah lalu, diganti dengan datangnya musim semi, di waktu
begini pulang ke negeri sendiri, bagaimana menyenangkan! Sri Baginda juga tentu
sangat gembira!"
In Tiong pun bersyukur dan
bergirang karena ia telah tidak membikin gagal tugasnya hingga ia tidak
mendatangkan kehinaan untuk negaranya. Perdamaian telah didapat, raja yang tua
juga bakal diajak pulang. Di dalam sejarah, hal ini adalah peristiwa yang
jarang terjadi.
Akan tetapi dalam
kegembiraannya itu, ada satu hal yang membikin In Tiong merasa sedikit
tertekan. Itulah yang mengenai ayah dan ibu serta adiknya. Ia berbareng
menantikan mereka tetapi mereka masih tidak kunjung datang. Mustahil mereka
belum katahui tentang beradanya ia di negeri Watzu ini? Apakah mungkin San Bin
tidak dapat ketemui mereka untuk memberitakannya? Karenanya, ia jadi berpikir.
In Tiong telah memikir untuk
menanti lebih lama beberapa hari, akan tetapi di luar dugaannya bahwa
perundingan perdamaian telah berjalan demikian lancar dengan dilakukannya
penandatanganan. Kie Tin pun mendesak untuk lekas-lekas berangkat pulang. Maka
itu, cara bagaimana ia dapat menunda keberangkatannya itu?
Kie Tin ingin lekas pulang,
karena ia ingin lekas-lekas naik pula atas tahtanya. Ia seperti tidak
mempedulikan hal di negerinya sudah ada raja yang baharu, bahwa soal itu
mungkin akan menimbulkan kesulitan. Tentu saja karena keinginannya ini, ia
tidak mau pikirkan In Tiong ada punya lain urusan atau tidak.
Sambil menggadangi si Puteri
Malam, In Tiong juga ingat kepada Thio Tan Hong. Dia ingat budi orang.
Berhasilnya tugasnya ini juga sebagian besar disebabkan bantuan sangat berharga
dari Tan Hong itu. Maka ia merasa sangat menyesal yang di antara kedua keluarga
ada permusuhan besar. Ia tidak dapat pergi ke rumah Tan Hong, ke rumah musuh
kakeknya. Tan Hong sendiri pun tidak dapat mengunjungi padanya. Maka hal ini
membuat ia masgul.
Mengenai permusuhan kedua
keluarga, Tantai Mie Ming telah berikan jasa baiknya,Jenderal ini telah
jelaskan kepada In Tiong perihal cita-citanya Tjong Tjioe, bahwa Tan Hong tidak
mengandung sesuatu prasangka. Maka ia dianjurkan suka bersahabat dengan Tan
Hong, supaya permusuhan dapat dihabiskan. Tapi di depan matanya berbayang surat
wasiat kakeknya itu, ia jadi bersangsi. Tidak dapat ia pergi ke rumah musuhnya.
Toh ia merasa berat akan berpisah dari anak muda she Thio itu, tetap ia ingat
budi orang...
"Mungkinkah besok Tan
Hong datang untuk berangkat bersama-sama aku?" demikian In Tiong pikir.
Karena pikirannya ini, hati In
Tiong menjadi bertentangan sendirinya. Di satu pihak ia ingin Tan Hong datang
untuk berangkat bersama, di lain pihak ia harap-harap si anak muda tidak
muncul...
"Jikalau dia datang dan
berangkat bersama aku, bagaimana nanti aku dengan ayahku?" demikian
kesangsiannya. "Bagaimana dengan In Loei? Dapatkah In Loei mengurbankan
perasaan hatinya? Bukankah nanti, ayah akan caci aku dan In Loei sebagai
anak-anak poethauw?"
In Tiong kuatir dikatakan
sebagai anak poethauw —tidak berbakti. Maka itu, ia lantas menjadi menyesal dan
berduka. Kusut pikirannya memikirkan permusuhan turun temurun itu.
In Tiong meloneng terus,
sampai jam empat. Di saat ia memikir untuk masuk tidur,untuk dapat melupakan
segala apa, satu pengiringnya datang dengan tindakan cepat.
Iapun dengar suara berisik di
sebelah luar.
"Ada apa?" ia tanya.
"Seorang yang bertopeng,
yang mengenakan pakaian untuk jalan malam, telah nerobos masuk kemari, dia
ingin sangat menghadap thaydjin," demikian ia diberitahukan. "Dia
masuk dengan jalan melompati tembok. Kelihatannya dia sebagai orang jahat
tetapi mungkin bukan..."
In Tiong menjadi heran.
"Baik, bawa dia
menghadap!" ia berkata akhirnya. Ia berpikir dengan cepat.
Dengan lekas satu anak muda
dengan pakaian serba hitam dibawa masuk, mukanya bertutupkan topeng,
dandanannya sebagai orang Mongol, tetapi tubuhnya kecil dan langsing, sangat
berbeda dengan kebanyakan pahlawan Mongolia.
"Kau ada punya urusan
apa, waktu tengah malam begini datang untuk mohon bertemu dengan aku?" In
Tiong segera menanya. "Siapakah yang menitahkan kau datang
kemari?"Anak muda itu, yang nampak cuma sepasang matanya yang celi sekali,
mata itu memain dengan tajam.
"Mohon thaydjin suruh
mundur dahulu orang di kiri kanan," katanya pelahan.
Tentu saja permintaan ini
sangat mencurigakan, maka orang-orangnya si utusan justeru maju semakin dekat.
"Hati-hati thaydjin
memperingatkan yang satu, sedang kawannya maju untuk menggeledah.
Si anak muda mundur, sinar
matanya menyatakan ia berdongkol dan gusar.
In Tiong lihat sikap orang itu.
"Pergi kamu mundur!"
ia titahkan orang-orangnya sambil memberi tanda dengan tangannya. "Kami
perutusan dari negara besar, kami biasa bersikap baik terhadap siapa juga,
jangan kamu kuatir."
Dengan terpaksa
pengiring-pengiring itu undurkan diri.
In Tiong sendiri yang tutup
pintu.
"Sekarang kau dapat
berbicara, bukan?" ia bertanya sambil tertawa.
Tetamu tidak diundang itu
singkap topengnya begitupun mantelnya, maka terlihatlah ia sebagai satu nona
bangsa Mongol yang cantik.
"Aku ialah puterinya
Yasian!" demikian kata-katanya yang pertama.
In Tiong terkejut. Ia sudah
menduga pasti bahwa orang satu nona, tetapi yang ia tidak sangka bahwa nona ini
ada puterinya perdana menteri Watzu itu.
"Silakan duduk!" ia
segera mengundang. Ia agak heran atas maksud kedatangan nona ini. "Ada
urusan apakah ayahmu dengan aku? Kenapa ayahmu kirim kau kemari nona?"
Ia menerka Yasian ada punya
urusan penting.
Nona itu, ialah Topuhua,
menggeleng kepala. Itu adalah tanda bahwa ia bukan utusan ayahnya.
Tentu saja, utusan Beng itu
menjadi semakin heran. Ia mengawasi, ia tampak roman yang gelisah dari nona
itu.
"In Thaydjin, bukankah
kau sahabat baiknya Thio Tan Hong?" nona itu lalu menanya.
"Aku maksudkan, bukankah
Tan Hong sahabat baikmu?"
"Habis kenapa?" In
Tiong balik menanya.
"Sekarang ini sudah jam
empat," berkata si nona, yang tidak menjawab pertanyaan
orang, "sebentar lagi
asal sudah terang tanah, Thio Tan Hong serumah tangga, tua dan muda, akan
musnah menjadi abu yang beterbangan! Maka sekarang ini, jiwanya Tan Hong itu tergantung
di ujung tanganmu! Kau hendak menolong dia atau tidak?"
Kembali In Tiong menjadi
kaget. Tentu saja, keheranannya pun bertambah.
"Sebenarnya, urusan
apakah itu?" ia bertanya.
Masih Topuhua tidak menjawab
langsung.
"Ayahku sangat benci
padanya sebab dia telah bantu padamu, In Thaydjin," ia menjawab,
"ayah pun lebih takut lagi kalau Tan Hong pulang ke negerinya, di sana
dikuatirkan dia lebih membahayakan negeri Watzu, maka itu ayah telah kirim
pasukannya mengurung gedungnya Thio Tjong Tjioe. Sebegitu langit terang,
sebentar, gedungnya itu mau ditembak dengan meriam!"
Walaupun dia kaget dan
berkuatir, In Tiong masih dapat berlaku tenang.
"Bagaimana caranya aku
dapat menolong padanya?" ia tanya.
"Segera sekarang juga kau
pergi kepadanya!" sahut si nona.
Oleh karena kecerdasannya,
segera In Tiong mengerti. Bukankah ia utusannya Tionggoan? Bukankah dengan ia
pergi ke rumah Tan Hong itu, Yasian tidak akan berani tembak gedungnya Thio
Tjong Tjioe itu? Bukankah Tan Hong perlu dengan pertolongannya? Terang sudah,
Yasian hendak menembak Tan Hong sesudah ia berlalu,supaya ia tidak ketahui
kejadian itu.
Biar bagaimana, sekarang hati
In Tiong menjadi sangat gelisah, bagaikan gelombang diserang badai. Kalau ia
pergi kepada Tan Hong, itu artinya ia injak rumah musuhnya! Itulah hal yang ia
sebegitu jauh tak sudi melakukannya! Dengan pergi ke sana, ia pun mungkin akan
membikin gagal Keberangkata nnya ! Sekarang adalah saatnya ia bersiapsiap untuk
berangkat keluar kota, guna berangkat pulang. Di sana ia harus menemui raja
Watzu serta rajanya sendiri yang tua...
Dengan kedua matanya yang
tajam, Topuhua mengawasi utusan Tionggoan itu.
Kesangsian orang membuat ia
gelisah, hatinya berdenyut keras, hingga air matanya hendak mengucur keluar.
"Kau hendak menolongi
atau tidak?" akhirnya ia tanya sebab orang masih berdiam saja.
Pikirannya In Tiong pun
menjadi sangat kusut, di depan kelopak matanya berbayang roman Tan Hong yang
demikian halus dan sopan tetapi gagah dan keren, orang yang telah menolong
padanya di saat ia terancam bahaya. Lalu berbayang pula roman Tan Hong tengah
bersenyum berseri-seri...
Dapatkah orang dengan roman
demikian tidak ditolongnya? Bisakah dia itu dibiarkan menerima kematiannya?
Tegakah hatinya?.
Tidak menanti sampai Topuhua
mengulangkan pertanyaannya, In Tiong sudah berlompat ke pintu, untuk pentang
itu sekeras-kerasnya.
"Lekas kirim dua orang ke
istana raja Watzu!" demikian serunya. "Sekarang juga! Beritahukan
pada pembesar pengawal pintu raja itu supaya disampaikan kepada rajanya bahwa
besok aku batal berangkat!"
Mendengar suara sep itu, semua
pengiring datang berkumpul.
"Kamu lekas dandan, mari
kamu turut aku!" In Tiong menitah pula. "Aku hendak
mengunjungi Thio Tjong
Tjioe!"
Pada detik ini lupalah In
Tiong kepada sumpahnya bahwa sekalipun sampai mati tak
nanti ia injak rumah musuhnya.
Suara berisik itu membikin
bangun Tamtay Keng Beng dari tidurnya. Nona ini segera muncul di ambang pintu.
Kamarnya memang tidak terpisah jauh dari kamar utusan Tionggoan itu. Maka ia
heran akan menampak di depan kamar tidurnya In Tiong ada satu nona Mongol yang
cantik — nona itu penuh air mata pada mukanya tetapi dia bersenyum berseri,
sedang tangannya menyekal keras tangannya In Tiong! .
Adalah selagi Nona Keng Beng
ini berdiri tercengang, ia dengar In Tiong mengatakan hendak pergi mengunjungi
Thio Tjong Tjioe. Tentu saja ia menjadi bertambah-tambah heran.
"Bagus, adik
Tamtay!" In Tiong berseru ketika ia tampak nona itu. "Mari, kau pun
turut!" Keng Beng heran dan kaget, ia pun menjadi sangat kegirangan. Sesaat
itu, saking girang nya , ia sampai lupa segala apa.
"Sebenarnya kita sudah
mesti pergi sejak siang-siang!" serunya dengan nyaring. Ia tertawa tetapi
air matanya mengucur keluar. Telah meluap kegirangannya itu.
Baharu setelah itu, ia tegur
Topuhua, untuk saling belajar kenal.
Gedung tetamu itu, yang
menjadi gedung perutusan Tionggoan, tidak terpisah jauh dari
istana raja Watzu, juga
terpisahnya dari rumahnya keluarga Thio cuma kira-kira tujuh lie,
maka untuk sampai di sana,
apapula dengan menunggang kuda yang dikaburkan keras,
tidak makan banyak tempo.
Di waktu jauh malam seperti
itu, dalam kesunyian, berlari-larinya kuda telah menyebabkan beberapa penduduk
terbangun dengan kaget dari tidurnya, akan tetapi In Tiong membawa lentera
pertandaannya sebagai perutusan Tionggoan, tidak ada orang yang berani
merintanginya. Ia pun sengaja ambil jalan kecil, supaya ia tidak usah lewat di
dekat istana raja. Akau tetapi tepat di waktu ia baharu muncul dari Jalan
Anggur jalan terbesar di kota raja Watzu itu, diujung jalan yang menikung ke
barat, di mana akan tampak gedung keluarga Thio, mendadak ada satu penunggang
kuda yang menghalang di hadapannya. "Aku adalah utusan Kaisar Beng! Siapa
berani halangi aku?" In Tiong membentak. Ia kaget dan heran tetapi ia
tidak takut. Ia majukan kudanya.
Penunggang kuda itu adalah
seorang yang gesit gerakannya, kudanya terbentur keras dan ia terjungkal dari
kudanya, akan tetapi ia dapat jumpalitkan diri, hingga ketika ia sampai di
tanah, bisa terus berlutut di depan utusan itu, dengan kedua tangannya ia
angsurkan kimpay tinggi-tinggi.
"Inilah firman dari
Kaisar Beng! In Thaydjin di minta menerimanya!" demikian ia perdengarkan
suaranya yang nyaring.
In Tiong terkejut, ia segera
mengawasi, sedang pengikutnya maju ke depan, akan angkat tinggi lenteranya,
untuk menyuluhi. Maka segera utusan itu kenali siapa pembawa firman itu, ialah
salah satu siewie dari Kaisar Kie Tin yang kena di tawan bersama junjungannya
dalam peperangan di Touwbokpo.
Memang, waktu Kaisar Kie Tin
ditawan, bersama ia telah ditawan lima pahlawannya,yang menjadi sisa-sisa
hidup. Mulanya ke lima pahlawan itu di penjarakan terpisah dari rajanya, tetapi
sejak datangnya In Tiong dan didapatnya perdamaian, mereka diserahkan kepada
junjungannya, hingga mereka menjadi kumpul bersama, dapat mereka temani pula
raja mereka.
Kimpay, atau sehelai emas
berukiran, yang menjadi barang pertandaan titah dari kaisar, biasa dikeluarkan
terhadap suatu panglima perang. Di jaman Ahala Song, ketika Gak Hoei difitnah,
dua belas kali dia telah di kirimkan kimpay untuk memanggil dia pulang dari
medan perang. Sekarang Kie Tin gunai itu untuk memanggil In Tiong. Ia tahu ia
masih termasuk "raja tawanan, supaya In Tiong mempercayainya, ia sengaja
berikuti suratnya untuk memanggil utusan itu datang menghadap padanya. Kimpay
diberikuti surat kaisar sendiri, titah pun dilakukan di waktu malam buta rata,
bisalah dimengerti bahwa urusannya mesti sungguh penting. Maka itu In Tiong
menjadi terkejut dan bingung. Ia telah lihat, kimpay dan surat tidaklah palsu.
Tempo tinggal hanya kira-kira
satu jam! Lagi satu jam langit akan menjadi terang!.
Dapatkah ia pergi menghadap
dahulu kepada rajanya itu? Itu berarti Tan Hong serumah
tangga akan habis dihajar
meriam! Jikalau dia tidak taati firman, itu pun suatu kesalahan
besar!.
Bagaimana sekarang?
"Kita pergi dulu ke rumah
keluarga Thio, setelah itu baharu kita pergi pada raja!" berkata Keng Beng
ketika menyaksikan utusan itu masih saja terbenam dalam kesangsian.
"Baiklah!" kata In
Tiong akhirnya. Siewie pembawa kimpay dan firman masih bertekuk lutut di depan
kuda In Tiong. Tidak berani ia berbangkit bangun.
"Pergilah kau
kembali!" In Tiong lantas berkata, "kau beritahukan Sri Baginda,
besok pagi kita tunda keberangkatan kita. Paling lambat sampai tengah hari,
akan aku menghadap Sri Baginda!"
Masih saja siewie itu
berlutut, tidak mau dia kembali tanpa bersama utusan itu.
Justeru itu, dari arah
belakang mereka, terdengar suara kelenengan kuda yang riuh.
Segera tertampak satu
penunggang kuda tengah kabur mendatangi. Setibanya segera penunggang kuda itu
lompat turun dari kudanya dan berlutut di depan sang utusan! .
Dia juga siewie, salah satu
pahlawannya Kaisar Kie Tin. Seperti siewie yang pertama,dia pun membawa kimpay
berikut sehelai firman, kedua-duanya itu ia angkat tinggi di atasan kepalanya,
untuk dihaturkan kepada sang utusan.
Firman itu berbunyi:
"Utusan In Tiong segera menghadap Kaisar di istana!" Kali ini ada
tambahan satu huruf
"segera."
Gemetar tangannya In Tiong
selagi ia sambuti firman itu. Ia benar-benar bingung. Ia mejadi gelisah
sendirinya, hatinya sangat tegang.
"Peduli apa firman
itu!" berteriak Topuhua. "Mari kita pergi lakukan tugas
kita!..."
Belum berhenti suaranya
puterinya Yasian ini, kembali terlihat satu kuda dilarikan sangat keras ke arah
mereka.
"In Thaydjin, sambut
firman!" demikian teriaknya penunggang kuda itu.
Kali ini yang datang adalah
bekas rekannya In Tiong, yaitu Hoan Tjoen adiknya Hoan Tiong, yang menjadi
pahlawan paling dipercaya Kaisar Kie Tin. Dia angkat kimpay dengan sebelah
tangan, tangannya yang lain dipakai menghaturkan firman. Bunyinya firman sama
saja dengan firman yang kedua, hanya kali ini, pada huruf "segera"
ditambahkan dua bundaran yang menandakan urusan ada lebih daripada penting.
"Hoan Siewie, sebenarnya
apakah telah terjadi?" In Tiong tanya dalam bingungnya.
"Aku juga tidak tahu
urusan apa itu," sahut Hoan Tjoen. "Aku cuma terima titah
langsung dari Sri Baginda yang
menitahkan Thaydjin harus segera datang menghadap di
istana, tak dapat berlambat
lagi." "
In Tiong menghela napas. Ia
mengerti pentingnya kimpay dan firman panggilan itu, iapun sekarang berkuatir
di istana ada terjadi sesuatu. Tidakkah tiga kali datang kimpay dan
firman saling susul? Maka di
akhirnya, ia putar arah kudanya.
"Baiklah kamu pergi
terlebih dahulu." ia kata kepada Keng Beng. Terus ia larikan balik
kudanya, yang lantas diikuti ketiga siewie pembawa kimpay dan firman itu.
Tamtay Keng Beng menjadi
sangat mendongkol dan penasaran. Sekarang ia telah ketahui dari Topuhua tentang
bahaya yang mengancam keluarga Thio. Di dalam hatinya,ia kata: "Thio Tan
Hong telah tolong pemerintah dan negara kerajaan Beng, sekarang kaisar yang
tercelaka ini hendak permainkan jiwanya Tan Hong!" Akan tetapi In Tiong
telah ambil putusannya, utusan itu sudah kembali, ia tidak dapat mencegahnya.
Maka dengan terpaksa, dengan ajak delapan belas pengiringnya serta Topuhua ia
lari terus ke rumah Tan Hong.
Ketika rombongan ini tiba di
sebelah barat jalan besar utama, di situ telah bersiap sedia
pasukan dari thaywie dari ibu
kota Watzu. Thaywie itu sama dengan pangkat Kioeboen
teetok dari pemerintah Beng.
Pemimpin dari barisan
pengiring In Tiong segera maju ke depan.
"Kami datang atas
titahnya In Thaydjin untuk mengunjungi Yoesinsiang kamu!" ia berkata.
Dengan "Yoesinsiang," perdana menteri muda, ia maksudkan Thio Tjong
Tjioe.
"Mana dia In Soesin
kamu?" bertanya si thaywie Mongol.
"In Thaydjin baharu saja
menerima panggilan untuk menghadap Sri Baginda di istana,segera ia akan
datang." sahut kepala pengiring itu.
"Jikalau begitu, baik
kita tunggu sampai In Soesin baharu kita bicara pula," bilang si thaywie.
"Kami mendapat titah untuk melindungi utusan kerajaan Beng, dengan tidak
adanya utusan kamu itu, kami tidak dapat bertanggung jawab."
Kepala pengiring itu menjadi
berdiam.
"Mari kita terobos
saja!" menganjurkan Topuhua. Baharu si nona berkata begitu, di depan
mereka si thaywie sudah siap sedia dengan barisannya yang menantikan
serbuan,selain anak panah, juga mereka itu mempunyai dadung-dadung kalakan kaki
kuda.
Tamtay Keng Beng dan semua
pengiringnya In Tiong menginsafinya, jikalau mereka memaksa nerobos masuk,
urusan akan jadi hebat sekali, mungkin perhubungan di antara
kedua negara turut terganggu
pula karenanya. Lagi pula dengan jumlah yang demikian
kecil, belum tentu mereka akan
berhasil dengan serbuannya itu. Maka itu, mereka cegah
Topuhua.
"Mari kita bicara
kepadanya," Nona Tamtay kata. Ketika itu si thaywie sudah masuk kedalam
barisannya, pengiringnya In Tiong teriaki dia untuk diajak bicara, dia diam
saja tidak menjawabnya.
Bukan main gelisahnya
rombongan Nona Keng Beng ini, mereka bagaikan semut-semut di atas kwali panas.
Bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali menantikan kembalinya In Tiong.
Mereka mungkin dapat bersabar
untuk menanti tapi bagaimana dengan Tan Hong?
Dengan sendirinya, sang waktu
berlewat terus. Tahu-tahu telah terdengar suara genta
di atas pintu kota, yang
berbunyi lima kali. Menandakan cuaca akan menjadi terang.
Topuhua terpengaruh oleh
kegelisahannya, tiba-tiba ia berseru, terus ia larikan kudanya
maju ke arah barisan, untuk
pergi ke gedung perdana menteri muda. Keng Beng kaget, ia
mencoba mencegah tapi gagal.
Serdadu Mongol lihat
mendatangi satu nona bangsanya, mereka heran, hingga walaupun panah telah siap
sedia, mereka tidak berani menarik gendewanya untuk memanah si nona. Juga
tukang mengalak kuda tidak berani gunakan dadungnya untuk bikin kuda si nona
terjungkal.
Dalam cuaca masih
remeng-remeng itu, tentera Mongol itu cuma lihat tubuh si nona dan kudanya yang
lari mendatangi, mereka tidak bisa melihat tegas roman muka orang,adalah
sesudah nona itu datang semakin dekat, di antara terangnya banyak obor,
diantara mereka ada yang kenali puterinya perdana menteri mereka.
Di antara bangsa Mongol,
pergaulan antara pria dan wanita tak ada pantangan seperti bang sa Han. Topuhua
sendiri gemar sekali menunggang kuda dan main panah, maka itu ia banyak dikenal
oleh perwira-perwira dan tentera-tentera bangsanya. Demikianlah kali ini, ia
lantas dapat dikenali.
Si thaywie sudah lantas maju
mencegat nona itu.
"Kami telah terima
perintahnya Thaysoe untuk melarang orang luar datang kemari!" dia
memberitahukan.
Sepasang alisnya Topuhua
bangun berdiri.
"Apakah aku orang
luar?" dia menanya dengan bengis. "Aku juga sedang menjalankan
perintah ayahku! Aku mesti
lewat!"
Dan ia keprak kudanya, untuk
nerobos terus.
Thaywie itu heran menyaksikan
puteri perdana menterinya itu muncul dari dalam rombongan
pengiring-pengiringnya utusan Tionggoan, akan tetapi karena ia tahu betul si
nona adalah puteri tersayang dari perdana menterinya itu, ia tidak berani
bersikap keras,apa pula si nona sudah tunjukkan kemurkaannya. Terpaksa ia
perintahkan pasukannya membagi jalan.
Setelah tembusi penjagaan,
Topuhua menoleh ke arah timur sambil angkat kepalanya,dari itu ia telah melihat
di pangkal langit sudah mulai memancar sedikit cahaya terang...
Di dalam gedung menteri muda
orang pun bergelisah sekali, mereka juga bagaikan semut-semut di atas kwali
panas, kecuali Thio Tjong Tjioe seorang. Ia tidak bergelisah sama sekali, ia
tidak pikirkan soal kematian.
Juga Tan Hong tertampak
tenang, hanya di dalam hatinya ia sangat masgul. Ia telah mesti menghadapi
nasib hebat dengan di saat-saat terakhir itu ia tidak dapat melihat In Loei...
Semua hambanya menteri muda duduk
berkumpul di kaki tembok pekarangan, dari luar tembok mereka sering-sering
dengar suara dari pihak tentera Mongol yang tengah mengurung mereka. Itulah
suara yang merupakan ancaman-ancaman maut.
Semua orang dengar bunyinya
kentongan tiga kali, lalu empat kali. Di daerah Utara ini,sang malam agak lebih
panjang, akan tetapi di saat genting sebagai ini, orang merasakan sang malam
itu pendek...
Dengan tentu sang waktu
berlalu, dan bayangan-bayangan dari kematian datang saling susul. Suara tentera
di sebelah luar terdengar semakin tegas. Rasanya belum lama kentongan berbunyi
empat kali, lalu datang menyusul yang ke lima kalinya.
Tan Hong menghela napas. Ia
berlutut di depan ayahnya.
"Ayah hendak memesan
apa?" ia bertanya.
Thio Tjong Tjioe usap-usap
rambut puteranya itu. Ia tertawa.
"Jikalau aku mati pada
satu tahun yang lalu, aku mati dengan mata tak meram," kata ayah ini,
suaranya sabar.
"Tapi sekarang? Akhirnya
kau telah melakukan sesuatu untuk Tiongkok! Dan aku? Aku juga telah dapat
keluarkan sedikit dari tenagaku. Meskipun itu tak dapat menebus dosaku,aku toh
merasa lega juga..."
Menteri muda ini tertawa, cuma
suaranya tawar, bernada sedih.
Tan Hong angkat kepalanya
mengawasi ayahnya. Hatinya bercekat akan tampak wajah ayah itu sedikit berubah.
Ia berdiam. Di saat seperti itu, apa yang ia hendak tanyakan pula? Ia dapat
merasa, di saat dari kematian itu, ia seperti berada semakin dekat dengan
ayahnya itu. Sebelumnya ini, ia tak pernah merasakan berada demikian
dekatnya....
Menyaksikan ayah dan anak itu,
Tantai Mie Ming tertawa.
"Tjoekong, hari ini kita
saling pamitan!" ia berkata. Lalu ia menjura tiga kali kepada junjungan
itu.
Hamba yang setia ini sudah
ambil putusan, sebelum peluru meriam musuh datang,hendak ia menghabiskan
jiwanya dengan jalan membunuh diri! .
Ketika itu sudah jam lima,
maka segera juga langit akan menjadi terang!
Sekonyong-konyong terdengar
suara berisik dari sebelah luar tembok.
Cuaca belum lagi terang,
apakah mereka hendak mulai menembak?" tanya Mie Ming. Ia seperti berkata seorang
diri. Segera ia bersiap dengan sepasang gaetannya.
"Bukan! Tidak
mungkin!" berkata Tan Hong.
"Kenapa bukan?" Mie
Ming tanya.
"Rupanya ada orang yang
datang..." menyahut Tan Hong. "Ah, orang tengah bertempur! Rupanya
orang yang baharu datang itu telah bertempur dengan tentera Mongol itu...
Lantas saja anak muda ini
lompat naik ke atas tembok, hingga ia tampak di tempat kira-kira setengah lie,
ada tiga penunggang kuda yang datang menerjang bahagian belakang dari tentera
Mongol itu, sedang tentera yang di sebelah depan juga agak kacau.
Di lain pihak, meriam besar
masih tetap dihadapkan ke arah gedungnya! .
Tenteranya Ngochito adalah
tentera pilihan, atas titahnya, tentera itu menyerang tiga penunggang kuda
dengan anak panah mereka, serentak serangan itu, maka di sebelah depan mereka
terlihat tiga ekor kuda lompat berjingkrak tinggi sekali dan rubuh, karena
perut dan kempolannya semua tertancap anak-anak panah!
Liehay adalah ketiga
panunggang kuda itu, selagi kuda mereka menjadi kurban, mereka sendiri bebas
dari bahaya. Bertiga mereka membuang diri ketika hujan anak panah tiba.
Setelah itu mereka berlompatan
maju dengan sangat cepatnya, senjata-senjata mereka perlihatkan berkelebatannya
cahaya-cahaya putih dan hijau. Ketika mereka di panah pula,mereka semua
menjatuhkan diri, hingga anak-anak panah melayang di atasan mereka.
Secara demikian mereka
merangsak terus.
Tan Hong terus memasang mata,
hingga akhirnya ia dapat melihat tegas tiga penyerbu itu, ialah Hongthianloei
Tjio Eng si Geledek Menggetarkan Langit bersama dua saudara Hek Pek Moko, si
Hantu Hitam dan Putih!
Hek Moko putar tongkat Leggiok
thung-nya dan Pek Moko tongkat Pekgiok thung-nya,sedang Tjio Eng putar
pedangnya, pedang Tjengkong Kiam. Itulah ketiga senjata yang memperlihatkan sinar-sinar
hijau dan putih.
Setelah ketiga penyerbu itu
datang dekat, tentera musuh tidak dapat menggunakan pula panah mereka. Mereka
terpaksa maju mencegat sambil berkelahi dengan rapat.
Hek Moko dan Pek Moko mengamuk
dengan masing-masing tongkatnya, mereka membuat kuda rubuh atau kabur dan musuh
binasa, cuma musuh yang kosen yang bisa bangkit lagi untuk melakukan perlawanan
lebih jauh.
Juga Tjio Eng telah menyerang
dengan hebat sekali.
Di saat ketiga penyerbu itu
mendatangi ke tengah tanpa ada orang yang bisa merintangi mereka, baharulah Pek
San Hoatsoe yang menjadi sangat murka maju menghalau. Segera ia berhadapan
dengan Hongthianloei yang dia lantas serang dengan pukulan "Tokpek
Hoasan"="Menyerang gunung Hoasan" dengan tongkat sianthung-nya
yang besar seperti cawan.
Imam ini adalah soeheng atau
kakak seperguruan dari Tjeng Kok Hoatsoe. Ilmu silatnya ada terlebih liehay
daripada Ngochito, maka itu bisalah dimengerti hebatnya serangannya ini.
Hongthianloei tidak jeri
terhadap penyerangnya ini, ia malah gusar yang ia dirintangi,maka itu dengan
berani ia angkat pedangnya dengan apa ia tangkis serangan dahsyat itu.
Di antara suara nyaring dari
beradunya kedua senjata, lelatu api pun mencrat seperti kembang api.
"Rubuh!" Pek San
Hoatsoe berseru.
Tubuh Tjio Eng nampak sedikit
terhuyung, akan tetapi dia tersenyum.
"Tidak mungkin!"
sahutnya sambil tertawa. Dan selagi tertawa, dengan sekonyongkonyong,dengan
kesehatan bagaikan kilat, dia membalas menyerang.
Pek San Hoatsoe andalkan
tenaganya yang besar, ia tidak sangka sekali yang ia telah menghadapi seorang
lawan demikian tangguh, sedang ketika kedua senjata bentrok, ia sakit.
Tentu saja ia terkejut rasakan
telapak tangannya, akan dapatkan musuh sudah menyerang pula, pedang
menyambar-nyambar seperti tanpa manusianya, karena berbareng dengan itu, Tjio
Eng berlompat ke arah belakangnya! .
Hongthianloei kesohor untuk
tiga macam kepandaiannya. Ialah ilmu menimpuk dengan batu hoeihong tjio,
pukulan tangan geledek Kengloei tjiang, dan pedang Liapin kiam,terutama dengan
pedangnya itu ia telah menjagoi di kalangan Rimba Persilatan, dan sekarang ia
menggunakan pedangnya yang liehay itu, hingga musuhnya lantas menjadi
kewalahan.
Sekali diserang, Pek San
Hoatsoe dapat berkelit, kedua kalinya ia berhasil juga mengelakan tubuhnya,
tapi serangan kilat datangnya bertubi-tubi, maka untuk yang ketiga kalinya, ia
mesti menangkis. Tak sempat ia berkelit terus-terusan.
"Kena!" berseru Tjio
Eng selagi ia menyerang untuk ketiga kalinya itu.
Pukulan Liapin kiam tertangkis
sianthung dari si imam, pedang itu tidak terpental seperti diharapkan imam itu.
Sebab Tjio Eng telah gunai kepandaiannya. Pedang hanya tertangkis membal, untuk
terus digoreskan ke pundak musuh! .
Syukur bagi Pek San Hoatsoe,
dia telah pelajari ilmu kebal "Tiatpou san" = "Baju
besi,"maka dia tidak terluka hebat, dia tidak sampai rubuh karenanya.
Karena itu, ketika ia dapat menotok tanah, untuk membikin tubuhnya dapat
berdiri terus, ia segera berlompat menyingkir jauh kira-kira setombak, agar
musuh tidak dapat susul padanya. Adalah niatnya, setelah menaruh kaki, dia
hendak balas menyerang musuh itu. tetapi ketika dia memutar tubuh, dia dapat
kenyataan musuhnya itu sudah menyerbu ke dalam barisan! Bukan kepalang
mendongkolnya imam ini. Dia telah ditinggalkan mentah-mentah oleh
lawannya itu! Maka dia berniat
mengejarnya, untuk mana dia sampai berseru dengan keras.
Tiba-tiba, tengah dia umbar
kemurkaannya, dia dengar dampratan dari arah depannya:
"Bangsat setan yang
menyebalkan, mari rasai tongkatku!" Dia segera lihat musuh itu adalah
seorang hitam, yang tengah berlari-lari ke arahnya. Untuk melampiaskan
kemendongkolannya, dia lantas menyambut dengan sapuan tongkatnya! .
Lawan itu yang ternyata adalah
Hek Moko, telah sampai dengan cepat, ketika ia disapu,ia menyambut dengan
tangkisan tongkatnya, Lekgiok thung. Maka bentroklah kedua tongkat yang panjang
bagaikan toya itu, suaranya nyaring dan hebat.
Kesudahan dari bentrokan itu
membuat Pek San Hoatsoe, yang andalkan tenaganya yang besar, semangatnya
seperti terbang bahna kagetnya. Tongkatnya telah terlepas dari cekalannya dan
terpental terbang tinggi. Ia sungguh tidak sangka yang lawannya ada jauh lebih
tangguh daripadanya.
Sementara itu, Hek Moko sudah
menyerang, untuk membalasnya. Imam itu kecil hatinya, ia lompat ke samping
jauhnya beberapa tindak untuk tolong dirinya. Akan tetapi apa lacur, justeru
itu di sampingnya telah tiba Pek Moko, si Hantu Putih! "Hai,
bangsat!" mendamprat si Hantu Putih ini, "di dunia ini ada jalan kau
tidak mengambilnya, di akherat tidak ada pintu kau justeru memasukinya! Kau
telah datang ke hadapanku, mari rasai tongkatku!"
Dan "Ser!"
melayanglah tongkat Pekgiok thung menyapu ke arah imam itu, hingga orang tak
sempat lagi berkelit, maka sambil perdengarkan suara berisik, di antara jeritannya
juga, Pek San Hoatsoe rubuh terbanting, patah kedua kakinya! Selagi kedua Hantu
merangsak seru, Tjio Eng telah dapat menoblos barisan musuh, terus saja ia
perdengarkan suaranya yang nyaring: "Liong Kie Touwoet Tjio Eng dari
Heksee tjhoeng mohon menghadap kepada Tjoekong."
Nyatalah Hongthianloei, ketua
dari dusun Hekse tjhoeng itu, ada turunan pahlawan kesayangannya Thio Soe Seng,
yang telah diberikan pangkat Liong Kin Touwoet, pangkat yang turun temurun,
maka sekarang Tjio Eng telah tetap memakainya, dengan perkenalkan dirinya
menyebut pangkat turunan itu. Secara begini juga ia masih tetap mengakui dan
setia kepada junjungannya itu.
Thio Tjong Tjioe di dalam
gedung dengar suaranya hamba itu, ia lantas saja mengucurkan air mata. Dengan
pegangi pundak puteranya, ia menyuruh mendaki tembok pekarangan.
"Anak Hong, kau suruhlah
dia lekas angkat kaki!" dia kata kepada anaknya itu.
Itu waktu juga telah terdengar
teriakannya Hek Pek Moko: "Hai, Tan Hong, mengapa kau tidak menyerbu
keluar? Sahabat-sahabat kekal telah datang, kau juga tidak menyambut?"
Nyatalah kedua hantu itu pun
dapat menerobos pasukan musuh.
Tan Hong tertawa sedih. Ia
baharu hendak buka mulutnya ketika matanya menampak pasukan yang mengurung
gedungnya itu mendadak berpencar ke kedua jurusan, hingga terbukalah suatu
lowongan bagaikan jalanan atau lorong, berbareng tertampak juga meriam besar,
meriam yang dinamakan "Ang ie toapauw" = "meriam berbaju
merah," yang telah ditujukan ke arah gedungnya. Tadinya meriam itu teraling
oleh berlapislapisnya barisan, sekarang terlihat tegas nyata.
Menampak itu, Tjio Eng kaget
bukan main.
Ngochito pun segera berseru:
"Siapa bergerak lagi satu tindak, akan aku menembaknya!".
Ancaman ini dikeluarkan oleh
karena Ngochito percaya betul, tiga penyerbu ini mesti ada punya hubungan yang
erat dengan Tan Hong dan ayahnya. Tapi ia cuma mengancam belaka. Sebenarnya
tidak dapat ia menembak Tjio Eng bertiga, oleh karena meriamnya itu tidak dapat
digeser lekas-lekas sekehendaknya hati, sedang waktu itu bunyi genta lima kali
baharu lewat belum lama. Sebelum terang tanah, dia tidak akan berani lancang
menembak.
Apabila Tjio Eng bertiga
lantas menyerbu, kurungan itu mungkin pecah, tetapi Hongthianloei jeri. Hek Pek
Moko gusar bukan kepalang, keduanya lantas berkaok-kaok dalam bahasanya, bahasa
India, yang lain orang tidak mengerti. Mereka juga tidak berani bergerak.
Ngochito saksikan gertakannya
berhasil, ia tertawa besar. Ia lantas menuding dengan goloknya, ia perdengarkan
pula suaranya yang nyaring: "Semua mundur sampai seratus tindak! Atau aku
akan menembak!" .
Tjio Eng bertiga terpaksa
menurut perintah itu, mereka mundur seratus tindak.
Ngochito lantas saja
perintahkan sejumlah serdadunya mengampar besi cagak tiga yang tajam di antara
tiga penyerbu itu dan batas gedung menteri muda. Di sebelah itu, ia siapkan
seratus serdadu panah, untuk siap sedia dengan panah dan busurnya untuk memanah
ketiga penyerbu kalau-kalau mereka itu turun tangan.
Tjio Eng bertiga jadi sangat
berduka dan bingung. Sekarang tidak dapat mereka bergerak. Rintangan besi cagak
tiga dan ancaman tukang-tukang panah itu ada sangat berbahaya.
Ketika itu sang rembulan sudah
turun ke arah barat dan bintang-bintang telah banyak berkurang, di timur telah
mulai terlihat cahaya sedikit terang, maka tidak lama lagi, jagat pasti akan
menjadi terang benderang. Dengan pelahan-lahan cahaya gelap mulai berubah
menjadi remeng-remeng, lalu dengan tentu, sinar putih mulai tertampak. Itulah
pertanda sang pagi telah datang.
Menampak perubahan alam itu,
Ngochito pentang lebar kedua matanya, ia angkat kepalanya, akan memandang ke
arah tembok.
"Bagaimana?" dia
menanya dengan bengis.
Thio Tan Hong bersikap tenang,
dia tertawa dingin.
"Bagaimana apa?" dia
balas menanya. "Bagiku, meskipun terbinasa, aku ada bagaikan hidup! Tapi
bagimu, walaupun kau hidup, kau bagaikan mampus!"
"Thio Tan Hong!"
Ngochito membentak pula. "Jikalau kau tetap membangkang, tak sudi
menginsafi nya , aku cuma bisa menembak!"
"Kau tembaklah!" Tan
Hong menantang. "Tak usah kau banyak bicara!"
"Akan aku menghitung dari
satu hingga sepuluh!" Ngochito masih berkata. "Jikalau aku telah
menghitung sepuluh tetapi kau masih diam saja, akan aku menembak! Bukankah
semut juga masih menyayangi jiwanya? Maka kau pikirlah masak-masak..."
Tan Hong tertawa dingin, ia
lompat turun dari tembok, sama sekali ia tidak menghiraukannya.
Sejenak itu, sunyilah di luar
dan di dalam tembok pekarangan, di dalam kesunyian itu lalu terdengar suaranya
Ngochito: "Satu!... Dua!... Tiga!... Empat!..." Ia telah mulai
menghitung.
Tan Hong dengar hitungan itu,
ia cekal keras tangan ayahnya. Tantai Mie Ming sebaliknya menyiapkan gaetannya,
yang ia telah putar balik tajamnya ke arah dadanya.
Suasana ada sangat sunyi tapi
tegang.
"Lima!...” terdengar pula
suara Ngochito. "Enam!... Tujuh!... Delapan!... Sembilan!..."
Tantai Mie Ming sudah mulai
gerakkan tangannya. Dia adalah seorang jenderal, dia cuma dapat membunuh diri
tetapi tidak dapat dibunuh lain orang. Ujung gaetannya sudah menempel dengan
dadanya, hingga tinggal sekali tolak dan tarik saja, dadanya itu bakal terluka
sobek, perutnya akan pecah belarakan...
Sehabis hitungan
"sembilan" itu, lama tak terdengar suara sambungannya. Adalah
kemudian terdengar teriakan halus tapi nyaring dan tajam: "Dilarang
menembak!"
"Ah, itulah suaranya
seorang wanita!" seru Tantai Mie Ming, yang saking terperanjat dan
herannya sudah lantas lompat naik ke atas tembok, perbuatan mana dibarengi Tan
Hong, yang tak kurang terkejutnya.
Sekarang tertampak bahwa di
sampingnya meriam besar ada satu orang nona Mongol sedang mengancam tukang
tembak dengan goloknya.
"Topuhua!..." kata
Tan Hong yang tapinya kaget juga. Ia heran.
Puterinya Yasian angkat
kepalanya akan memandang ke arah tembok, terus ia tertawa.
Sekarang ini ia tidak berhias,
rambutnya yang bagus pun kusut, tusuk kondenya cuma nyantel di rambutnya,
hampir jatuh. Terang sudah bahwa ia telah datang dengan kesusu.
Ngochito memandang si nona
dengan matanya terbuka lebar.
"Dilarang menembak?"
dia tanya. "Siapakah yang perintahkan melarangnya?"
"Apakah kupingmu
pekak?" si nona balik tanya. "Apakah kau tidak dengar nyata? Akulah
yang melarangnya!"
Ngochito adalah pahlawannya
Yasian, biasanya terhadap Topuhua ia sangat menurut malah bermuka-muka, maka
itu si nona percaya ia akan dapat pengaruhi pahlawan ayahnya itu. Akan tetapi
sekarang ini Ngochito telah dipesan si perdana menteri bahwa siapa pun tak
dapat merintangi sepak terjangnya itu.
Maka itu dengan hormat sekali,
Ngochito memberi hormatnya kepada puteri majikannya itu.
"Aku telah mendengar
nyata sekali," ia menyahut. "Aku mohon tuan puteri suka
menyingkir!" Lalu dengan mendadak ia berseru dengan titahnya:
"Tembak!".
Kedua alisnya Topuhua menjadi
bangun berdiri, bahna murkanya.
"Siapa menembak akan aku
bunuh padanya!" ia mengancam, suaranya bengis.
"Ngochito, kau berani
menentangi aku?".
Tukang tembak menjadi
bersangsi, tangannya menyekali sumbu yang menyala. Tangan dan tubuhnya
bergemetar. Tentu saja dia tidak berani menyulut meriamnya.
Ngochito pandang si nona, ia
tertawa tawar.
"Aku cuma dengar titahnya
Thaysoe." dia berkata.
"Ayahku menitahkan aku
datang kemari justeru untuk sampaikan titahnya!" berkata si nona.
"Ialah, jangan tembak!".
Sudah tentu Topuhua mengatakan
demikian dengan terpaksa, dengan mendusta. Ia mengharap Ngochito nanti suka
percaya kepadanya.
Akan tetapi pahlawan itu
dengar suara orang agak menggetar, ia telah tampak roman tak wajar dari si
nona, tidak dapat ia mempercayainya. Lagi-lagi ia memberi hormat sambil
berkata: "Manakah titah surat tulisan tangannya Thaysoe pribadi?"
Topuhua masih tak sudi
mengalah.
"Aku adalah puterinya,
apakah aku mesti pakai juga surat titahnya?" dia membentak.
Ngochito menjura hingga
tubuhnya melengkung.
"Tanpa ada bukti surat
titah, maaf, aku tak dapat menerima baik titah ini," ia berkata pula,
suaranya tetap hormat tetapi sikapnya keras. "Aku minta dengan hormat
supaya tuan puteri suka mundur!" Terus saja ia berteriak pula dengan
titahnya: "Tembak! Tembak! Atau aku akan bunuh padamu!"
Inilah titah bengis untuk
serdadu tukang tembaknya.
Serdadu itu bergemetar kaki
dan tangan, akan tetapi ia mentaati titah. Maka ia lantas sulut sumbunya.
Sekonyong-konyong satu tubuh
berkelebat menyambar.
"Apakah kau sangka aku
tidak berani bunuh padamu?" demikian satu pertanyaan yang mengancam.
Dan sebatang golok melayang! .
Serdadu tukang tembak itu
belum sempat buka mulutnya, atau ia telah kena dibacok,menyusul mana, Topuhua
menyambar dengan tangannya untuk memadamkan sumbu,sesudah mana, ia desakkan
tubuhnya ke mulut meriam! .
"Siapa berani maju? Akan
aku bunuh dia!" dia mengancam pula, suaranya sangat mendesak, suatu tanda
bahwa dia sangat menahan napas.
Ngochito tidak sangka tuan
puterinya itu demikian nekat, ia menjadi bingung. Ia boleh gagah melebihi
Topuhua akan tetapi terhadap puterinya Yasian, majikannya, ia tak dapat langgar
tubuh tuan puteri itu.
Di saat sangat tegang itu,
satu penunggang kuda lari mendatangi. Begitu tiba, dia lompat turun dari
kudanya.
"Kenapa masih belum
menembak?" dia berteriak dengan pertanyaannya.
Dialah tjongkoan dari gedung
perdana menteri, namanya Wotjaha.
"Tuan puteri
melarang!" Ngochito beritahu.
Mukanya Wotjaha merah padam.
"Thaysoe menitahkan
dengan lisan," dia berteriak, "siapapun dia larang mencegah titahnya!
Siapa berani merintangi, dia mesti dibunuh mati! Inilah surat titahnya!"
Dan dia tunjukkan surat titah
itu dalam mana ada dijelaskan, walaupun puterinya terbinasa, petugas yang
menjalankan titah itu tetap ada berjasa! .
Hatinya Ngochito menjadi
besar.
"Ma I Tjan, kau
majulah!" ia beri titah kepada rekannya. "Kau minta tuan puteri suka
menyingkir!"
Tentu saja itu bukannya
"minta" hanya paksaan.
Topuhua menjadi kalap.
"Siapa berani maju?" dia berteriak.
Sekarang rambutnya
riap-riapan, tusuk kondenya telah terlepas jatuh. Dia nampaknya sangat beringas.
Wotjaha bertindak maju.
"Tuan puteri telah
mendengar nyata!" dia berkata, suaranya dingin. "Lekas tuan puteri
mundur, jangan membelar! Thaysoe menitahkan tuan puteri turut aku pulang!"
.
Dengan sekonyong-konyong
Topuhua menjerit dengan tangisannya. Bukan main berdukanya ia. Inilah untuk
pertama kali ia mengenal tabiat ayahnya itu. Ia adalah puteri tunggal, biasanya
ayahnya sangat menyayanginya, segala macam keinginannya tentu diiringi. Siapa
nyana di saat ini, ayahnya telah keluarkan titah yang di luar
dugaannya,sampaipun ia sendiri boleh turut dibunuhnya! Sungguh ia tidak dapat
menerka bahwa ayahnya ada demikian kejam. Nyatalah kesayangan ayah itu adalah
kesayangan palsu belaka! .
Di dalam dunia ini di mana ada
lain urusan yang dapat membikin seorang anak perempuan menjadi berduka melebihi
ini, apapula seorang anak perempuan sebagai Topuhua yang biasa dimanjakan?
"Percuma kau
menangis," berkata Wotjaha selagi si nona umbar kedukaannya. "Jikalau
kau tetap tidak hendak undurkan diri, aku akan berlaku tak sungkan-sungkan
lagi! Mari lekas ikut aku pulang!"
Hebat kedukaannya Topuhua,
lantas ia tak dapat menangis pula. Dengan tangan bajunya ia seka air matanya,
tapi ia tak geser tubuhnya dari mulut meriam itu. Mukanya telah menjadi pucat,
lenyap wajahnya yang cantik manis, sekarang romannya menjadi seram menakuti...
"Ma I Tjan, kau tarik
dia, singkirkan padanya!" menitah Ngochito, yang cuma taat kepada titah,
hingga hilang rasa peri kemanusiaannya. Ia tak ingat lagi kepada puteri
majikannya itu.
Ma I Tjan ini adalah pahlawan
yang tubuhnya telah dicacahkan huruf "bangsat" oleh Tan Hong, ia
memang tak dapat jalan untuk melampiaskan penasarannya itu, sekarang ia
saksikan kelakuannya si puteri, ia menjadi sengit. Ia memang ingin sangat memusnahkan
.
Tan Hong serumah tangga. Tentu
saja ia menjadi tidak senang dan gusar ada orang menghalangi kebinasaannya
musuhnya itu! Maka itu, justeru ada titahnya Thaysoe Yasian,ia menjadi besar
nyalinya. Ia terus maju menghampirkan Topuhua, untuk sambar tangan bajunya guna
ditarik! .
"Foei!" si nona
berludah. Maka tubuhnya Ma I Tjan menjadi kotor.
Pahlawan itu melengak
sebentar, lalu ia gerakkan tangannya untuk mencekuk bahu nona itu. Ia berhasil,
hingga kedua tangan Topuhua kena di telikung ke belakang sebelum nona itu
sempat berdaya.
Ma I Tjan gagah melebihi nona
itu, gerakannya pun sangat liehay, tidak heran kalau dia berhasil dengan
aksinya itu.
Topuhua juga tidak sangka
orang ada demikian berani, ia menjadi tidak berdaya. Akan tetapi kemurkaannya
telah meluap-luap, ia menjadi nekat. Justeru tubuhnya dibetot, ia sekalian
tubrukkan diri kepada tubuh Ma I Tjan. Ketika ini ia gunai untuk menggigit
pundaknya pahlawan itu! .
Ma I Tjan kaget bukan
kepalang, sakitnya pun bukan buatan! Inilah hal yang tidak pernah disangka
pahlawan ini. Memang orang bangsa Mongol tidak keras adat istiadatnya sebagai
bangsa Han yang melarang wanita dan pria sembarang "berjabat tangan"
atau menempelkan anggauta tubuh satu dengan lain, tetapi biar bagaimana, Ma I
Tjan tahu, ia tetap ada di antara majikan dan hamba dengan tuan puteri ini.
Saking kaget dan sakit, ia terpaksa lepaskan cekalannya.
"Jangan pantang-pantang
lagi! Hajar dia sampai pingsan!" Wotjaha memerintahkan sambil berseru.
Ma I Tjan lantas sadar, ia
turut titah. Ia lantas lompat maju kepada si nona.
Tiba-tiba! , "Ser!
Ser!" demikian suatu suara menyambar.
Topuhua membekal panah tangan,
barusan kedua tangannya tertelikung, dia tidak berdaya, sekarang setelah
merdeka, justeru Ma I Tjan maju, dia lantas saja menyerang.
Panah itu adalah panah
beracun, yang biasa dipakai di waktu berburu binatang alas.
Sekarang panah itu digunakan
dari jarak yang dekat sekali. Maka tanpa ampun lagi Ma I Tjan kena terpanah,
masing-masing di bahagian kedua hatinya.
Akan tetapi Topuhua juga telah
kena terpukul sampai rubuh.
Wotjaha kaget, dia lompat
maju.
Topuhua berlompat bangun
sebelum wakilnya Yasian itu sampai kepadanya, dia berteriak: "Thio Toako,
bukannya aku tidak hendak menolongi kau tetapi aku tidak berdaya dengan setakar
tenagaku!" Lalu dengan goloknya ia tikam dadanya sendiri, di waktu
tubuhnya terhuyung-huyung hendak jatuh, ia jambret meriam dengan kedua
tangannya, hingga ia dapat peluki mulut meriam itu! .
Tan Hong berada di atas tembok
pekarangannya, dia menyaksikan kejadian itu dengan tegas sekali, ia menjadi
tercengang. Sungguh ia tidak sangka si nona menyintai dia demikian rupa, hingga
sekarang nona itu berkurban untuknya. Tentu saja, ia menjadi sangat berduka,
lenyap kesannya yang tak manis terhadap puteri Yasian itu. Tadinya ia menyangka
si nona centil. Mendadak ia menangis.
"Oh, adik
Topuhua..." ia mengeluh. "Aku terima cintamu!..."
Akan tetapi Topuhua telah
binasa, dia tidak dapat mendengar suara kekasihnya itu yang memanggil dia
adik...
Topuhua tidak terbinasa
sendirian, Ma I Tjan pun melayang jiwanya bersama ia. Parah lukanya pahlawan
itu disebabkan sepasang panah beracun, jiwanya putus seketika itu juga, hingga
tubuhnya tidak berkutik lagi.
Ma I Tjan terbinasa, Topuhua
juga bunuh diri, inilah di luar dugaannya Wotjaha beramai. Mereka itu semua
tergugu, tidak ada yang membuka suara. Baharu kemudian,Wotjaha yang pecahkan
kesunyian.
"Singkirkan tubuhnya itu!
Tembak!" demikian titahnya pula.
Ngochito maju, dia kerahkan
tenaganya akan tarik kedua tangannya si nona, supaya pelukannya nona itu kepada
meriam terlepas.
Nona itu mengucurkan banyak
darah yang membasahi meriam.
Menampak demikian, Ngochito
memalingkan mukanya, tidak berani ia mengawasi wajah bengis dari puteri itu,
yang mati tak puas. Dengan hanya satu gerakan tangan, ia bikin tubuh si nona
jatuh di sisi meriam. Setelah itu, ia gantikan si serdadu tukang tembak, ia
nyalakan sumbu, ia sulut meriamnya, lantas ia lompat jauh ke samping! .
Tan Hong juga tidak dapat
menonton lagi. Dia lompat turun untuk dengan tangannya yang kiri menarik
ayahnya dan dengan tangan kanan membetot Tantai Mie Ming. Sembari tertawa,
tertawa sedih, ia kata: "Ayah! Tantai Tjiangkoen1. Hari ini mari kita
pergi bersama!..."
Tantai Mie Ming tidak lihat
apa yang terjadi di luar tembok itu akan tetapi ia telah dengar titahnya
Ngochito, ia tidak memikir
hidup lebih lama pula, lantas saja ia angkat gaetannya...
Sementara itu In Tiong, dengan
hati tidak keruan, telah pergi kepada Kie Tin, untuk menghadap junjungannya.
Kie Tin di tempatkan di sebuah
gedung di samping kanan istana raja Watzu, ke sana In Tiong menuju dengan
ditemani tiga pahlawan. Kapan pintu istana telah dibuka, orang melalui sebuah
lorong yang berliku-liku. Di akhirnya, sampai juga orang di istana samping itu.
Pengawal pintu segera masuk ke dalam untuk memberi laporan kepada Kie Tin
perihal tibanya sang utusan.
Tidak lama, pengawal itu
muncul kembali. "In Thaydjin diminta suka menanti di sini sampai ada
panggilan," demikian katanya.
In Tiong heran. Ia memang
tegang terus perasaannya, ia bergelisah.
"Sri Baginda memanggil
aku untuk segera menghadap, mengapa sekarang aku mesti
menunggu?" dia tanya.
"Sri Baginda sedang dahar
yan-o, dia belum dahar cukup," sahut pengawal itu, satu pahlawan.
In Tiong bergelisah terus, ia
pun mendongkol sekali. Bukankah ia telah dipanggil berulangkah, dengan kimpay
dan firman? Kenapa sekarang raja ada tenang-tenang saja? Apa artinya panggilan
kilat itu?
Setelah berselang sekian lama
baharu muncul seorang kebiri bangsa Mongol, yang dipinjamkan kepada Kaisar Kie
Tin itu. Hamba ini mengucapkan kata-kata "mempersilakan."
In Tiong segera masuk ke
dalam, bukannya dengan bertindak hanya dengan berlompat, dua tiga tindak
menjadi satu. Setibanya di dalam ia tampak raja sedang duduk dengan tenang di
kursi malas, empat orang kebiri tanggung yang raja Watzu kirim kepadanya tengah
menumbuki bebokongnya dengan pelahan-lahan! .
Juga wajah raja ini sangat
tenang, tidak menunjukkan ketegangan hati.
Dengan merasakan perutnya
hampir meledak, In Tiong memberi hormat sambil berlutut. Tiga kali ia
mengucapkan "BansweeV (Sri baginda panjang umur) "Menteriku, kau
bangun dan duduklah!" berkata raja itu, juga dengan sangat tenang.
In Tiong merayap bangun tetapi
ia tidak berduduk.
"Ada urusan penting apa
maka Sri Baginda memanggil hambamu?" dia bertanya. Kie Tin batuk-batuk.
"Ya, ya, ada urusan
penting sekali," dia menyahut kemudian. "Dengan mendadak saja aku
ingat suatu hal. Besok kita akan berangkat pulang, tetapi sementara itu selama
aku berada di negeri ini, aku toh telah menerima perlayanannya Raja Watzu. Dia
adalah tuan rumah, aku adalah tetamu, dia menghormati aku, maka itu tak dapat
aku tidak membalas hormatnya itu. Raja Watzu sendiri hendak mengantar aku
berangkat, dia hendak mengantarnya sampai di luar kota. Kalau aku terima
penghormatannya tanpa membalasnya, aku merasa itulah kurang tepat. Maka itu aku
telah memikirnya, baiklah kau yang menyambut aku keluar dari istana ini, untuk
terus keluar kota. Untuk pamitan dari raja Watzu, aku akan kirimkan surat
kehormatan. Umpama kata raja Watzu tetap
hendak mengantarnya, maka kita
boleh tunggui ia di luar kota di mana aku sambut dia.Ini baharu namanya
kehormatan saling membalas..."
Demikianlah adanya
"urusan penting sekali" yang dinamakan raja itu. Hampir saja perutnya
In Tiong meledak bahna mendelunya. Sekarang sebaliknya dia menjadi bungkam,
cuma wajahnya yang menjadi pucat pasi.
Kie Tin telah dibawa ke negeri
Watzu di mana ia ditawan. Perlakuan bagaimana macam ia dapat sebagai raja
tawanan? Mana kemerdekaannya? Tentang ini In Tiong telah mendengarnya dari Tan
Hong. Tapi sekarang, raja ini melupakan derajatnya sebagai raja,raja dari
Kerajaan Beng yang terbesar! Dia hendak mengirim surat mohon pamitan! .
Katanya dia hendak membalas
penghormatan dengan penghormatan! .
Selagi bungkam, In Tiong
melirik kepada ke empat orang kebiri, ia dapat kenyataan mereka itu pada
bersenyum. Lantas saja hatinya bercekat.
"Adakah ini pikiran Sri
Baginda sendiri?" tiba-tiba ia tanya.
Ditanya begitu, raja nampaknya
terkejut. Segera wajahnya berubah.
"In Tiong, insyafkah kau
akan kesalahan bicaramu?" dia menegur. "Tentu saja ini adalah
pikiranku sendiri!"
Raja ini telah mendusta.
Sebenarnya dia telah dijadikan perkakasnya Yasian.
Perdana Menteri Watzu itu
menduga pasti, setelah minggatnya Topuhua, mungkin puterinya itu akan minta
bantuannya In Tiong, maka itu di satu pihak ia mencoba untuk
menghalang-halanginya, ialah dengan kirim Wotjaha kepada Ngochito, supaya
ancaman kepada Thio Tjong Tjioe tetap diwujudkan, di lain pihak ia kirim utusan
ke istana, untuk menemui Kie Tin, guna pedayai kaisar Beng itu sambil diancam
dengan gertakan. Ia ajarkan Kie Tin bagaimana harus memanggil In Tiong datang
menghadap. Inipun suatu akal bagus untuk cegah si utusan dapat pergi menolongi
Tjong Tjioe.
Bahagian istana di mana Kie
Tin ditahan berada di bawah pengaruhnya Yasian, tidak heran kalau di sini
orangnya Perdana Menteri itu bisa keluar masuk dengan merdeka.
Untung bagi Perdana Menteri
ini, Kie Tin kecil hatinya — raja ini takut dia tak diijinkan Perdana Menteri
itu pulang ke negerinya, maka dia telah kena dibujuk dan digertak.
Begitulah dia pikir:
"Janganlah karena urusan kecil ini nanti terjadi sesuatu
perubahan..."
Demikian dia paksa In Tiong
datang menghadap, sesudah mana, dia mencoba pakai
pengaruhnya sebagai raja untuk
tindih utusan itu.
Sehabis menegur, Kie Tin ubah
pula sikapnya.
"Mengingat dengan tugasmu
ini kau telah peroleh jasa, aku tidak akan menghukum padamu," dia berkata
pula. "Sekarang aku hendak mengirim surat pamitan kepada raja Watzu dan
kau menantikan di sini, setelah sebentar aku sudah menghadiahkan semua pegawai
istana di sini, setelah terang tanah, kita akan berangkat bersama."
In Tiong tidak berdiam saja
atas sikap rajanya itu.
"Sri Baginda,"
katanya, "tak usah Sri Baginda mengirim surat pula, aku sendiri sudah
memberitahu kannya kepada raja Watzu! Besok kita batal berangkat!"
Kaisar itu terkejut, hingga
air mukanya berubah pula.
"Kau, kau bagaimana
berani melancangi aku?" dia membentak.
"Oleh karena hambamu
hendak melakukan kunjungan kepada Thio Tan Hong." In Tiong beritahu terus
terang.
Kie Tin menjadi heran. Dia
lantas tepuk meja.
"Kenapa kau hendak
kunjungi Thio Tan Hong?" dia menegur. "Apakah kau tidak tahu bahwa
dia ada turunannya pemberontak Thio Soe Seng? Bahwa aku telah tidak ringkus dia
untuk dibawa pulang bersama dan dihukumnya, itu telah menandakan kemurahan
hatiku! Bagaimana kau justeru hendak mengunjungi mereka? Hm, hm! Mana ada itu
aturan?"
In Tiong tidak jadi gentar
hatinya karena teguran itu.
"Sri Baginda, tahukah Sri
Baginda akan duduknya perkara?" dia menanya. "Tahukah Sri Baginda
sebab-sebabnya telah terdapat perdamaian di antara kedua negara dan Sri Baginda
hendak disambut pulang? Ini memang benar ada kehendaknya Ie Kokioo, tetapi
lebih benar bahwa semua ini adalah hasil usahanya Thio Tan Hong! Apabila tidak
Thio Tan Hong yang ketahui betul keadaan di dalam negara Watzu dan ia
memberitahukannya kepada Ie Kokioo, pihak kita belum tentu berani bersikap
keras seperti sekarang terhadap negara Watzu ini!"
Mukanya Kie Tin menjadi pucat.
"Hm!" terdengar
suaranya. Lalu dia bilang: "Jadinya, menurut kau ini, Thio Tan Hong itu
adalah satu menteri yang setia dan berjasa?"
"Benar!" jawab In
Tiong. "Dia bersetia untuk negara!"
"Kau berbicara untuk
pemberontak, kebaikan apa kau dapat?" raja tanya.
In Tiong sangat mendongkol
atas pertanyaan ini hingga hampir tak dapat ia bicara,tetapi ia menjadi kaget
sekali ketika ia dengar lonceng istana berbunyi lima kali. Selama menghadapi
junjungannya ini, ia sampai melupakan sang waktu.
Segera ia berkata:
"Sekarang ini Yasian justeru hendak menembak keluarga Thio itu! Hambamu
benar bermusuh sangat hebat dengan keluarga Thio itu, akan tetapi dengan
hambamu bersedia menerima hukuman dari Sri Baginda, hendak hamba menolongi
keluarga itu! Tentang kebaikan yang diterima, itulah tidak mengenai hambamu!
Justeru Sri Bagindalah yang terima kebaikan dari Thio Tan Hong itu! Hanya
sayang Sri Baginda masih belum mengetahuinya! Ie Kokioo telah mengumpulkan
tentera suka rela dari seluruh negeri, dia dapat mengalahkan Yasian! Tahukah
Sri Baginda dari mana datangnya
belanja atau rangsum untuk
angkatan perang suka rela itu? Sebagian besar dari itu adalah Thio Tan Hong
yang membelanjainya!"
Kedua matanya Kie Tin bagaikan
terbalik, matanya itu mendelik.
"Apa? Apa kau
bilang?" serunya berulang-ulang. "Apa... apakah kau menteri yang
telah makan gaji dari kerajaan Beng yang besar berani bicara demikian? Kau
berani belai padanya? Apakah benar kau berani lawan rajamu?"
Matanya In Tiong mengembeng
air. Ketika ia melihat ke atas, ia dapatkan cuaca sudah mulai terang. Sedetik
itu ia lantas ambil putusannya.
"Hambamu tahu, melawan
raja berarti hukuman mati!" ia berkata. "Tapi sekarang juga hambamu
hendak pergi ke rumah keluarga Thio itu! Nanti setelah itu, untuk balas budi
Sri Baginda, hambamu bersedia untuk kurbankan dirinya! Sesudah hambamu mati
baiklah Sri Baginda minta Ie Kokioo nanti mengirim utusan yang kedua untuk
menyambut Sri Baginda pulang!..."
Mendengar perkataannya menteri
itu, Kie Tin kaget tidak terkira. Apa yang dia harapkan siang dan malam adalah
supaya dia dapat pulang ke negerinya, sekarang pengharapannya itu sudah
tercapai, dia akan pulang besok untuk menjadi raja pula, maka bagaimana itu
dapat dihalangi karena urusan In Tiong ini? — ya, urusan keluarga Thio itu?
Kalau benar In Tiong buktikan perkataannya itu, yaitu dia ditinggal pergi, mana
dapat dia pulang seorang diri? Sampai kapankah datangnya utusan yang kedua? Dan
utusan yang kedua itu tentu tidak secakap In Tiong ini... Apakah karena itu
mesti hancur lebur
impiannya setiap malam untuk
berkuasa pula sebagai raja? .
Baharu sekarang ia merasa
jeri. "Menteriku, marilah bicara secara baik-baik,"akhirnya ia minta.
"Yasian itu jahat,
terhadap Sri Baginda dia tidak mengandung maksud baik," In Tiong jawab
junjungannya itu. "Bahwa dia telah sudi membuat perdamaian dengan negara
kita,itulah karena terpaksa, tak dapat dia tidak membuat demikian. Sri Baginda,
daripada mempercayai Yasian, lebih baik menaruh kepercayaan kepada Thio Tan
Hong! Sekarang hendak hambamu pergi!"
Kie Tin menjadi bergelisah
sekali.
"Menteriku, tunggu
dulu!..." ia menahan.
In Tiong sangat bergelisah
tetapi karena rajanya memanggil, tidak dapat ia tidak menoleh.
"Sri Baginda hendak
menitah apa?" dia tanya.
"Aku hendak pergi bersama
kau..." kata raja, suaranya menggetar.
Raja ini mengucap demikian
karena ia telah lihat, tidak dapat ia menahan lagi utusan itu. Sebenarnya ia
jeri untuk berdiam lebih lama pula di dalam istana itu, ia kuatir Yasian nanti
mencelakai padanya. Sama sekali ia tidak tahu hatinya perdana menteri Watzu
itu.
Yasian tidak nanti berani
mencelakai ia, ia cuma digertak. Tapi ia sangat takut, ia tidak dapat memikir,
maka ia anggap ikut In Tiong adalah paling selamat...
Permintaan itu adalah di luar
dugaan utusan she In itu. Ia memandang kaisar itu, ia tampak muka yang pucat
dan sikap kuncup, bagaikan kelinci yang jeri terhadap seorang pemburu. Jauh
sangat bedanya si junjungan dengan sikapnya yang sangat galak tadi.
Maka kepadanya datang dua rupa
kesan: jemu berbareng kasihan. Nyatalah raja yang derajatnya berada di atas
"laksaan rakyat," sekarang menjadi demikian hina kelakuannya.
Tapi walaupun begitu, ia
memberi hormat sambil menekuk separuh dengkulnya, untuk terima baik
"perintah" raja itu...
Ketika itu cuaca telah menjadi
semakin terang sebagai tanda sang pagi telah datang secara mendesak.
"Tunggu sebentar, aku
hendak ambil bajuku," kata Kie Tin pula. Terus ia masuk ke dalam di mana
dengan cepat ia buka lemari pakaian. Segera matanya bentrok dengan sepotong
baju mantel dari kulit rase warna putih, yang bercampuran dengan lain-lain
jubanya. Itulah baju ketika Kie Tin masih dalam tawanan di dalam menara batu
yang Tan Hong telah berikan padanya, baju yang Tan Hong loloskan dari tubuhnya.
Maka,menampak itu, ingatlah kaisar ini kepada hari yang tak terlupakan itu.
Hatinya goncang dengan tiba-tiba. Tak tahu ia, ia mesti menyesal atau
mendongkol...
Dalam kesangsian, Kie Tin
tidak samber mantel itu. Ia memilih yang lain-lainnya akan tetapi pilihannya
tak tepat. Ia tidak dapatkan juba yang ia anggap cocok dengan hatinya...
Akan tetapi sang waktu
berjalan terus, tak bersangsi seperti raja ini. Sinar matahari mulai menembusi
jendela. In Tiong di luar habis kesabarannya.
"Sri Baginda, harap
maafkan hambamu, hamba tak dapat menunggu lebih lama pula!" demikian
utusan itu perdengarkan suaranya, suara nyaring tetapi tak tenang lagi.
Suara menteri itu membikin Kie
Tin tersadar dengan kaget, dengan tangan tidak tetap,dengan pikiran kusut, ia
sambar sembarangan saja sepotong juba, terus ia keredongi tubuhnya. Ia pun
menyahuti:
"Aku akan segera
keluar!"
Dan ia lari keluar, akan susul
In Tiong. Maka itu, dengan bersama-sama mereka keluar dari istana tempat
tahanan.
Setibanya di luar istana,
baharulah Kie Tin terkejut. Ia dapat kenyataan, tubuhnya telah berkerodongkan
justeru mantelnya Tan Hong! Tapi sekarang ia tidak dapat menghiraukannya pula,
ia mesti ikuti utusannya dengan hati gelisah! .
Pengiring-pengiring In Tiong
masih terus dirintangi di tengah jalan, baharu setibanya utusan ini sendiri
bersama Kaisar Kie Tin, mereka diberi ijin oleh si thaywie bangsa Mongol untuk
lewati tempat jagaan. Ketika itu, langit sudah jadi terang.
In Tiong menunggang kuda, ia
kaburkan binatang tunggangannya itu. Ia seperti dengar suara tertawanya Tan
Hong yang manis, anak muda itu sebagai terbayang tengah menggape-gape
terhadapnya. Di saat itu, apa yang dinamakan surat wasiat kulit kambing yang
berlumuran darah, segala permusuhan hebat, semua itu bagaikan diusir lenyap
oleh bayangannya pemuda she Thio itu! Cuma satu pikiran yang berpeta diotaknya
utusan ini: Ia mesti lekas sampai di rumah keluarga Thio untuk menolongi Tan
Hong dari tangannya malaikat!
"Bukankan aku telah
terlambat? Cuaca sudah terang, matahari sudah naik!" demikian pikirannya
bekerja selagi ia kaburkan terus kudanya. Ia sangat menyesal yang ia tidak bisa
jambret sang waktu, untuk menahannya...
Syukur sampai itu waktu, masih
belum terdengar suara meriam...
Tapi In Tiong menjadi semakin
tegang hatinya, ia menjadi semakin gelisah, jantungnya memukul keras sekali. Ia
merasakan dirinya seperti seorang hukuman mati, yang saat kematiannya telah
tiba akan tetapi kampaknya si algojo belum juga dikampakkan turun! Menanti
waktu satu detik bagaikan menanti waktu satu jam...
Kapankah sang peluru meriam
bakal melesat keluar? Mungkinkah kelambatan setengah tindak akan mendatangkan
kemenyesalan seumur hidup?
Bagaikan kalap, In Tiong
cambuki kudanya.
Hingga ia membuat raja
ketinggalan jauh di belakangnya, ia menahan napas ketika kudanya kabur! .
Akhirnya, tibalah juga ia di
depan gedungnya keluarga Thio. Ia tampak satu serdadu Mongol sedang rebah
tengkurap di samping meriam yang mulutnya menghadapi gedung dan tengah
mengeluarkan asap. Ia lantas saja berteriak sekuat-kuatnya, iapun mencambuki
kudanya hebat sekali, hingga binatang itu berjingkrak lompat, kabur ke arah
meriam besar itu! .
Di belakang utusan kerajaan
Beng ini, delapan belas pengiringnya pun berteriak-teriak:
"Utusannya Kerajaan Beng
tiba!" .
Tan Hong tengah menantikan
kematiannya tatkala kupingnya dengar suara sangat berisik itu di luar gedung.
Mendadak saja, timbullah harapannya, hingga ia menjadi sangat girang. Ia
berlompat, terus ia rampas gaetannya Tantai Mie Ming di saat jenderal ini
hendak habiskan jiwanya sendiri.
"Kau dengarlah!"
serunya. "In Tiong telah tiba!" Lalu dengan pesat ia lompat naik ke
atas tembok. Thio Tjong Tjioe telah tutup rapat kedua matanya tetapi sekarang
dengan pelahan-lahan ia buka matanya itu.
"Siapakah yang
datang?" ia tanya. Tak tegas ia dengar suara puteranya.
"Dasar kita tidak bakal
hilang jiwa!" sahut Tantai Mie Ming. "Itulah utusan Kerajaan Beng
yang datang mengunjungi tjoekong."
Di saat itu, Tjong Tjioe
sendiri pun sudah lantas mendengarnya dengan nyata. Hal ini
membuat ia heran. Inilah di
luar dugaannya. Ia bersenyum tetapi sebentar saja, atau
lantas ia tunduk, untuk
mengeluarkan napas panjang.
Tan Hong di atas tembok
melihat kudanya In Tiong lari mendatangi keras sekali. Tapi pun ia saksikan
meriam besar, yang mulutnya diarahkan ke gedungnya, tengah mengepulkan asap
putih. Mendadak saja matanya menjadi gelap, harapannya yang baharu timbul tadi
telah lenyap seketika! Hampir ia tak sanggup pertahankan tubuhnya...
Tantai Mie Ming lihat tubuh
orang bergoyang seperti hendak jatuh.
"Hai, kau kenapa?"
ia berseru dengan tegurannya.
Tan Hong dengar teguran itu
tapi ia tidak menjawabnya. Ia segera dapat atasi dirinya sendiri. Ia lantas
berteriak ke arah luar tembok: "Saudara In, lekas menyingkir! Jangan kau
antarkan jiwa!"
Di saat terakhir dari kematiannya
ini, Tan Hong masih tunjukkan persahabatannya.
Riuhlah suara di waktu itu.
Suara yang satu dari kaburnya kuda, suara yang lain dari teriakan cegahannya
Tan Hong.
Adalah di saat itu, dengan
tiba-tiba terdengar satu suara keras. Asap putih mengepul buyar, peluru pun
melesat menyambar! .
In Tiong menjerit hebat,
hatinya bagaikan tertindih gunung gempa, hingga putuslah harapannya yang
terakhir. Tetapi ia dengar nyata bahwa suara meriam bukan seperti meledaknya
merian di medan perang. Segera ia pentang lebar kedua matanya, mengawasi ke
arah meriam itu, ke arah peluru yang melesat keluar mengikuti hembusannya asap
putih.
Peluru itu tidak menggempur
gedung menteri muda hanya jatuh di tanah sesudah menyembur jauhnya kira-kira
tiga tombak! Peluru itu jatuh ke tanah untuk terus bergelindingan beberapa
kali, lain tercebur ke dalam selokan, hingga dia tidak menyebabkan perledakan
dahsyat! .
Meriam besar itu sudah gagal
dengan tugasnya. Sumbu telah disulut tepat akan tetapi perledakannya tidak
sebagaimana yang diharapkan. Sebab dari itu adalah karena darahnya Topuhua,
puterinya Yasian, perdana menteri Watzu itu.
Nona itu telah peluki meriam
dengan darahnya masih mengucur, tanpa diketahui darah telah meresap ke sumbu,
membasahi obat pasangnya. Demikianlah, sisa obat pasang yang tersulut itu tidak
cukup kekuatannya, suara ledakannya berkurang, tenaga melesatnya pun hampir
lenyap, demikian terjadilah seperti di atas tadi.
In Tiong girang tak kepalang.
Dari atas kudanya dia lompat turun untuk lari ke pintu gedung, untuk
menggedornya dengan kuat, sekuat-kuatnya! Ketika itu, utusan itu pun diikuti
terus oleh delapan belas pengiringnya.
Di dalam keadaan seperti itu,
walau Ngochito bernyali sangat besar, tidak berani ia mengisi pula meriamnya,
untuk menembak buat kedua kalinya.
Tan Hong lompat turun dari
tembok pekarangan, ia lari ke pintu yang segera ia buka.
Begitu daun pintu terpentang,
ia papaki In Tiong, hingga keduanya saling tubruk, saling rangkul! Dan
kedua-duanya, air matanya mengembeng. Sekian lama mereka saling mengawasi,
tidak ada satu yang dapat membuka mulutnya.
Sekonyong-konyong Tan Hong
memanggil: "Ayah!...”
In Tiong menoleh dengan
segera.
Thio Tjong Tjioe dengan
tindakan agak limbung, tengah mendatangi ke arah mereka.
Dengan tiba-tiba saja, hatinya
sang utusan seperti berhenti berdenyut...
Dia ayahnya Thio Tan Hong.
Inilah orang, yang sejak ia dilahirkan, mulai saat ia mengerti urusan, yang tak
ada satu hari ia tidak membencinya! Inilah musuh besarnya turun temurun! Dan
sekarang, orang ini sedang mendatangi ke arahnya... Ia lihat mulut orang yang
bergerak, yang dibuka sedikit... Orang seperti ada punya ribuan kata-kata yang
hendak diucapkan, akan tetapi kata-kata yang tak dapat dikeluarkannya. Ia
tampak juga kulit muka orang yang kisut berkerut-kerut, wajah yang mendatangkan
kesan baik.
Wajah yang bagaikan berdahaga
untuk sesuatu yang telah berlarut lama... Itulah seperti wajahnya satu ayah
yang telah menanti-nanti puteranya yang telah lama tak pernah pulang-pulang.
Itu juga roman, yang In Tiong untuk selamanya akan tak dapat melupakannya...
"Ah..." akhirnya ia
mengeluh seorang diri.
Orang tua yang telah
"kering" ini, yang rambutnya telah putih semua, sedikitpun tiada
beroman seorang jahanam yang licin dan kejam. Apakah In Tiong cukup kuat hati
untuk membunuh orang tua yang tinggal menantikan saat dari hari tuanya itu? .
Thio Tjong Tjioe mendekati
terus, satu tindak demi satu tindak.
Mendadak ingat pula In Tiong
kepada surat wasiat kulit kambing yang berlumur darah,ia awasi orang tua itu dengan
sorot matanya yang bengis! .
Tetapi cuma sekejap, segera ia
melengos, berbareng dengar mana, ia pun gerakkan kedua tangannya, untuk
melepaskan diri dari rangkulannya Tan Hong.
Tjong Tjioe merasakan hatinya
sakit seperti disayat-sayat. Ia telah menatap mata orang — mata yang mengandung
kebencian hebat. Itulah mata yang sorotnya sama dengan matanya In Tjeng pada
tiga puluh tahun yang lampau...
Orang tua ini sadar, ia
menginsafi benar-benar. Tiba-tiba ia jatuhkan dirinya hingga berduduk di tanah,
romannya sangat lesu.
In Tiong telah lantas membalik
tubuhnya.
"Urusan telah, selesai,
kita pergi!" ia berkata.
Tan Hong berdiri menjublak,
matanya mengawasi ayahnya, lalu berpaling mengawasi orang she In itu. Tak dapat
ia mengatakan sesuatu...
Tamtay Keng Beng berbicara
dengan kakaknya ketika ia dengar suaranya In Tiong itu,maka ia segera
tinggalkan kakaknya untuk menghampirkan si utusan.
"Apa? Baharu sampai sudah
hendak pergi pula?" katanya.
Biasanya, kalau Nona Keng Beng
mengucapkan sesuatu, In Tiong tak pernah tak mengiringinya, akan tetapi kali
ini ia bagaikan kehilangan semangat, ia seperti tidak mendengarnya, ia berjalan
terus, lempang ke arah pintu pekarangan.
Berbareng dengan itu, dari
luar terdengar suara berisik dari kaki-kaki kuda, yang baharu saja tiba di muka
pintu, menyusul itu terdengar suara nyaring dari beberapa orang, yang
menyerukan kata-kata yang sama: "Kaisar dari Ahala Beng datang mengunjungi
keluarga Thio!"
Itulah Kaisar Kie Tin, yang
baharu saja sampai, sehab ia telah ketinggalan jauh oleh In Tiong. Ia adalah
kaisar yang berada di dalam tawanan, baharu saja ia merdeka, ia lantas tak ubah
kebiasaannya, ia tak hendak melupakan bahwa dirinya seorang raja. Maka
itu,pengiring-pengiring perdengarkan seruan itu.
Di dalam pekarangan gedung
menteri muda, tidak ada orang yang usil kaisar ini.
Thio Tjong Tjioe masih duduk
numprah, tubuhnya tidak bergeming.
Tantai Mie Ming mengawasi raja
itu, dengan roman yang bengis, dengan sinar matanya yang tajam, tetapi sebentar
saja, ia lantas pelengoskan mukanya untuk melanjutkan bicara dengan adiknya.
Cuma In Tiong beserta
pengiring-pengiringnya, yang mesti menunda tindakan kakinya... Kie Tin menjadi
kecele, tak enak hatinya. Bukankah ia seorang kaisar? Kenapa tidak ada orang
yang ambil perhatian kepadanya?
"Siapa Thio Tjong
Tjioe?" ia tanya sambil membentak. "Kenapa dia tidak menyambut
raja?"
Tjong Tjioe angkat kepalanya,
untuk dongak melihat langit! Ia seperti juga tak melihat adanya satu Kie Tin di
hadapannya itu! .
Kaisar tidak kenal Thio Tjong Tjioe
tetapi dia kenali Thio Tan Hong. Maka itu ia segera menoleh kepada si anak
muda.
"Mana ayahmu?" dia
tanya, suaranya membentak. "Kamu ayah dan anak adalah turunan pemberontak
tetapi sekarang dengan kemurahan hati aku tidak hendak tarik panjang perkaramu
itu! Apakah kamu masih tidak hendak sambut junjunganmu?"
Selama raja ini bicara, Tan
Hong tidak menjawab, dia cuma tertawa dingin.
Kie Tin yang menampak sikap
orang itu,seperti merasa bahwa matanya si anak muda menatap dengan tajam kepada
mantel di tubuhnya! Dengan sendirinya mukanya menjadi berubah merah, dengan
sendirinya ia likat dan merasa tak enak hati. Maka itu, kalau pada mulanya
suaranya keras, lambat laun suara itu menjadi pelahan, lalu beberapa kata-kata
yang terakhir cuma ia sendiri yang mendengarnya...
Sehabis tertawa dingin, Thio
Tan Hong merogo ke dalam sakunya. Dengan satu gentakan ia tarik keluar
tangannya itu yang menggenggam satu bungkusan. Ia lantas lemparkan itu ke
tanah! .
"Dua rupa barang ini kau
harus simpan baik-baik, jangan kau membuatnya hilang kembali!" dia kata,
suaranya dingin tetapi keren.
Satu pahlawan segera jemput
bungkusan itu, untuk dibawa ke hadapan rajanya. Dia pun segera membukanya.
Di dalam bungkusan itu
terdapat dua rupa barang, melihat mana Kie Tin jadi tercengang.
Barang yang satu adalah yang
berukiran huruf-huruf "Tjeng Tong Hongtee Tjie In" yang berarti
"Cap dari Kaisar Tjeng Tong." Itu adalah capnya raja ini! .Barang
yang kedua adalah tusuk konde kumala yang Honghouw atau permaisuri persembahkan
kepada Kie Tin sendiri! .
Itulah dua rupa barang
berharga yang selama pertempuran kalut di Touwbokpo sudah dicuri dan dibawa
lari oleh Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yang Tan Hong dapatkan dari
tangannya tjongkoan itu ketika si tjongkoan dipermainkan Hek Pek Moko. Baharu
sekarang ada ketikanya untuk Tan Hong bayar pulang cap dan tusuk konde itu
kepada kaisar Beng ini.
Sehabis tercengang, Kie Tin
kemudian menjadi sangat murka. Kemana keagungannya seorang kaisar? Di mana ia
mesti taruh mukanya? Akan tetapi ia boleh bergusar, hatinya justeru ciut. Ia
hendak umbar kemurkaannya, ia tak dapat lakukan itu. Kekuasaan apa ia ada punya
untuk pengaruhi Tan Hong itu. Maka di akhirnya, ia memikir untuk melampiaskan
segala-galanya kepada In Tiong...
Hampir di itu waktu, tiga
orang datang berlari-lari bagaikan terbang ke arah mereka.
Dua orang yang lari di muka
sama potongan tubuhnya, hanya yang satu mukanya putih,yang lain hitam. Kedua
orang ini berlari-lari berjingkrakan, tangannya pun dibulangbalingkan serta
mulutnya perdengarkan seruan-seruan. Di mata mereka itu, di situ seperti juga
tidak ada orang lainnya lagi...
Ketiga orang itu adalah
Hongthianloei Tjio Eng bersama Hek Pek Moko, kedua Hantu Putih dan Hitam.
Mereka menyerang tentera Mongol sampai tentera itu buyar sendirinya,maka untuk
maju terus mereka repot menyingkirkan besi-besi cagak tiga yang diampar di
tanah, yang menjadi perintang baginya. Setelah itu dengan tidak berlambat lagi
mereka lari terus menuju ke gedungnya Keluarga Thio. Mereka tiba di saat Kie Tin
tak tahu ke mana ia mesti buang mukanya...
"Hai, orang-orang gila
dari mana berani datang kemari membuat Sri Baginda kaget?" membentak
pengiringnya kaisar itu. Mereka ini tidak kenal tiga orang itu, mereka lantas
maju untuk mencegat.
Tjio Eng melirik kepada Kie
Tin, lalu ia gerakkan kedua tangannya untuk menyambut dua pengiring yang maju
paling depan. Dengan tepat ia cekuk batang lehernya mereka itu, maka satu kali
ia himpaskan kedua tangannya, kedua pengiring itu terlempar terpelanting! .
Hek Pek Moko tertawa melihat
perbuatannya kawannya itu, mereka juga lantas meneladnya, tetapi mereka
menggunakan masing-masing tongkatnya, hingga dua pengiring lain rubuh
terjungkal, kepala di bawah, kaki di atas! .
Kie Tin kaget hingga ia mundur
sendirinya.
Setelah itu, tidak ada lagi
lain perintang bagi tiga orang itu, maka Hek Pek Moko lompat kepada Tan Hong,
yang tangannya disambar dan ditarik, mulut mereka berkaok-kaok kegirangan!
Tjio Eng sebaliknya lari
kepada Thio Tjong Tjioe, akan bertekuk lutut di hadapan tjoekong atau junjungan
yang tidak bermahkota itu.
Cepat-cepat Tjong Tjioe pimpin
bangun hamba yang setia itu, ketika ia berbangkit,tubuhnya limbung terhuyung,
seperti juga tidak kuat berdiri, dari itu, ia lantas saja berduduk pula.
Sakit hatinya Tjio Eng
menyaksikan junjungannya itu, air matanya lantas melele keluar.
"Tjoekong...." ia
memanggil dengan pelahan.
"Tjio Tjiangkoen, untuk
beberapa puluh tahun telah aku membikin kau kecele..."
berkata tjoekong itu.
Leluhurnya Tjio Eng adalah
Liong Kie Thayoet dari Thio Soe Seng, maka itu, Tjong Tjioe memanggil dia
tjiangkoen (jenderal ).
"Pusaka negara telah
kembali di tangan siauw-tjoe, sayang negara tetap bukan negara dari Kerajaan
Tjioe yang besar..." berkata Tjio Eng dengan masgul. Dengan "pusaka
negara" ia maksudkan peta bumi.
Tjong Tjioe menggoyangkan
tangan, ia tertawa sedih.
"Aku telah ketahui
semua," katanya, "tak usah kau menyebut lagi. Manusia itu cukup asal
dia tidak membuat malu terhadap dirinya, tentang usaha merebut kerajaan, itulah
terserah kepada Yang Berkuasa..." .
Kie Tin dengar itu, tak enak
hatinya. Ia segera tunjuk In Tiong.
"Dengan orang-orang kasar
tak dapat kita berdiam bersama," ia berkata, "maka In Tjonggoan,
lekas kau iringi junjunganmu untuk berangkat pulang!" .
Kaisar ini kembali hendak
tunjukkan pengaruhnya, akan tetapi In Tiong tidak pedulikan padanya, Tjonggoan
ini masih berdiri diam seperti semangatnya telah hilang lenyap.
Kaisar menjadi sangat gusar.
"Hai, apakah kamu telah
gila semua?" dia berseru.
In Tiong seperti tersadar
mendengar suara keras itu, ia lantas bertindak ke samping memimpin rombongan
pengiring, untuk berdiri di kedua tepi, guna iringi raja. Selama itu,ia tidak
perdengarkan suara apa-apa.
Baharu raja dan hamba-hambanya
keluar di pintu pekarangan, tiba-tiba In Tiong merandak, mukanya pun berubah
menjadi sangat pucat.
Dari luar bertindak masuk dua
orang, yang satu adalah satu nona yang cantik bagaikan bunga indah. Nona itu
memajang seorang tua yang rambutnya telah ubanan, yang romannya layu serta
mukanya ada tanda-tanda luka. Dan ia berjalan dengan dingklukdingkluk.
Kapan Kie Tin lihat orang tua
itu, ia terkejut, ia bergidik.
Segera juga terdengar suara
seruannya In Tiong. "Ayah!"
Dan ia lari kepada orang tua
itu, untuk ditubruk dan dirangkul! .
In Teng seperti tidak
pedulikan puteranya itu, malah dengan sebelah tangannya ia tolak sang putera ke
samping. Dengan kedua matanya yang tajam, ia tatap Thio Tjong Tjioe,dengan
tindakan tidak tetap ia maju kepada turunan kaisar Tjioe itu. Ia telah
perlihatkan roman yang bengis.
Mau atau tidak, Tjioe Eng
geser tubuhnya ke samping. Sekarang ia bisa lihat di belakangnya In Teng itu
ada anaknya perempuan serta baba mantunya, ialah Tjoei Hong dan San Bin. Maka
ia lantas bertindak ke arah puterinya itu.
Tjoei Hong dan San Bin tidak
berani buka suara, roman mereka tegang.
Karena kakinya yang telah
pincang itu, sukar In Teng dapat berjalan dengan leluasa.
Itulah sebabnya maka baharu
hari ini ia tiba di kota raja Watzu. Segera ia dapat keterangan yang In Tiong
telah pergi ke rumah Keluarga Thio. Ia menjadi kaget dan gusar sekali, tidak
buang tempo lagi ia segera ajak gadisnya menyusul. Ia girang dapat bertemu
puteranya, tetapi kegirangan itu tertutup kebencian terhadap musuhnya...
Di saat itu, Tan Hong kaget
bagaikan orang disambar petir, mukanya jadi sangat pucat pasi. Ia telah lihat
adik kecilnya tetapi In Loei, berpaling pun tidak terhadapnya. Cuma sorot
matanya In Teng yang bengis mengawasi kepadanya...
"Ah!...” ia berseru
tertahan. Ia yang gagah perkasa, sekarang ia tidak dapat berbuat suatu apa.
Sikapnya In Teng sekarang lebih hebat daripada ketika dia memaksa puterinya
pisahkan diri daripadanya.
Masih In Teng bertindak
menghampiri Tjong Tjioe.
Ketika Tjong Tjioe angkat
kepalanya, ia tampak In Teng berdiri dihadapannya. Ia lihat mata orang yang
tajam, muka yang dingin. Ia dapatkan In Teng seperti hantu pembalasan yang
terbuat daripada batu marmer...
Hampir berbareng, Tan Hong dan
In Loei berseru, mereka segera lari menghampirkan ayah mereka masing-masing.
In Teng tidak menoleh tetapi
sebelah tangannya menyambar ke belakang, menggaplok puteranya!
In Tiong jatuhkan diri di
tanah, ia berlutut.
"Ayah, mari kita berlalu
dari sini!" ia memohon, suaranya sedih. "Mari kita pergi dari
sini!..."
Tan Hong di lain pihak
hampirkan ayahnya, yang ia pegang pundaknya.
"Ayah, baiklah ayah pergi
beristirahat..." ia berkata.
Tjong Tjioe tidak menoleh,
dengan tangannya ia menolak tangan anaknya itu.
In Teng dan Tjong Tjioe tetap
berdiri berhadapan, keduanya sama bungkam.
Pada akhirnya, In Loei tidak
kuat lagi menahan hatinya. Ia lantas menangis, ia tutupi mukanya.
"Ayah..." katanya
dengan pelahan.
In Teng seperti tidak dengar
suara anaknya itu, yang bagaikan meratap. Di matanya, di dalam dunia ini, cuma
ada satu Thio Tjong Tjioe. Dengan bengis ia terus mengawasi orang she Thio itu.
Pada sinar matanya itu terbenam sorot kebencian yang sebegitu jauh manusia
mempunyainya.
Berselang sekian lama Tjong
Tjioe tertawa dengan tiba-tiba.
"Memang telah aku duga
pada suatu waktu akan datang hari sebagai ini," ia berkata.
"Sekarang aku akan pergi
cari ayahmu, Thaydjin In Tjeng, untuk menghaturkan maaf sendiri kepadanya.
Secara begini permusuhan di antara kita kedua keluarga baharulah dapat dibikin
habis!"
Suaranya orang tua ini makin
lama makin lemah, ketika ia ucapkan perkataannya yang terakhir, tiba-tiba
tubuhnya rubuh, dari kuping dan hidungnya mengalir keluar darah,terus saja
tubuhnya tidak berkutik lagi. Karena ia telah berpulang ke lain dunia...
Di luar tahunya siapa juga,
Tjong Tjioe sudah ambil keputusan pendek, maka itu,setelah melihat In Teng,
diam-diam ia telah telan racun yang ia telah bekal. Itulah racun bubuk yang
paling liehay, ialah semacam racun yang dahulu hari dipakai oleh dorna Ong Tjin
untuk meracuni In Tjeng, yang dipanggil pulang dengan firman palsu. Maka racun
itu tak dapat ditolong walaupun dengan obat dewa...
Kematiannya Thio Tjong Tjioe
itu tak diduga siapapun yang hadir di situ. Mukanya Tan Hong menjadi pucat
bagaikan mayat, biji matanya seperti menonjol keluar. Tak dapat ia menangis...
In Loei menjerit dan terus
saja ia rubuh!
In Teng sendiri, bagaikan bola
kempes mendadak, telah terjatuh duduk...
"Tjoekong."
berteriak Tantai Mie Ming dan Tjio Eng berbareng, sedang In Tiong berlompat
dengan niat pegangi Tan Hong yang tubuhnya limbung.
Sekonyong-konyong Tan Hong
lompat, untuk pergi lari. Dia tutupi mukanya, dia lari bagaikan kalap. Dengan
satu kali lompat saja, tubuhnya telah berada di bebokongnya kuda Tjiauwya
saytjoe ma yang sejak tadi berdiam memakani rumput di pekarangan gedung itu.
Begitu majikannya naik, begitu
juga kuda itu meringkik keras, lalu dia kabur membawa sang majikan, kabur
keluar gedung, hingga sesaat kemudian mereka — kuda dan manusia — tak tertampak
pula dari pandangan mata!
Maka sunyi senyaplah gedung
itu, kecuali tangisan sedih dari In Loei...
-000dw000-
Dua bulan telah berselang...
Itulah dipermulaan musim panas
di Kanglam, selagi pemandangan alam di tengah-tengah
keindahannya.
Ketika itu di luar kota
Souwtjioe ada satu anak muda yang sedang menunggang seekor kuda putih —
penunggang kuda tunggal. Dialah Thio Tan Hong...
Tempo dua bulan bukanlah waktu
yang lama, akan tetapi selama itu, suasana telah berubah.
In Tiong telah pulang ke kota
raja, ia bawa Kie Tin bersamanya.
Di kota raja telah ada kaisar
yang baharu, ialah Kie Giok atau Beng Tay Tjong. Inilah kaisar angkatan nya
Kokioo Ie Kiam. Kie Giok adalah adik Kie Tin. Ia telah menjadi raja, ia tidak
suka mengalah terhadap kakaknya. Maka itu Kie Tin pulang dengan ludas
pengharapannya untuk duduk pula di singgasana kerajaan. Ia telah di tempatkan
di Lamkiong, Istana Selatan. Ia diperlakukan sebagai raja kurungan. Cuma
namanya saja ia menjadi Thaysianghong, kaisar tua yang dihormati, sebenarnya ia
adalah kaisar tahanan.
Oleh karena sepak terjangnya
Kie Giok, impiannya Ie Kiam untuk memperbaiki negara turut buyar juga.
Lenyaplah pengharapannya, Kie Giok tidak lagi membutuhkan bantuannya Kokioo
itu, menteri tua yang berjasa ini. Malah setelah merampas kekuasaan atas
angkatan perang, Ie Kokioo diangkat menjadi Pengpouw Siangsie — Menteri
Perang,namanya saja, karena selanjutnya ia dilarang mencampuri urusan
pemerintahan.
Rombongan dorna Ong Tjin sudah
runtuh, akan tetapi dengan lekas merayap muncul satu rombongan yang baharu.
Maka raja dan menteri lantas mengicipi suasana perdamaian, untuk
bersenang-senang hingga lupa kepada Peristiwa Touwbokpo, bahwa negara pernah
satu kali diilas-ilas musuh! .
Tan Hong gagal dalam
percintaan, ia gagal juga dalam urusan keluarganya, ditambah pula ia berduka
juga untuk urusan negara. Maka sesudah ia pergi dan berdiam dengan diam-diam
beberapa hari di kota raja, Pakkhia, di mana ia perhatikan suasana, tanpa
menemui Ie Kiam lagi, ia berangkat ke Selatan Kanglam.
Wilayah Kanglam sangat indah
permai tetapi itu tak dapat melenyapkan kedukaannya anak muda ini.
Demikianlah itu hari seorang
diri, dengan menunggang kuda kesayangannya, ia pergi ke luar kota Souwtjioe
yang kesohor itu.
Ia melihat ke sekitarnya, ia
memandangnya. Benar-benar permai wilayah Kanglam ini.
Akan tetapi kedukaannya tetap
tak dapat dilenyapkan. Ia kasih kudanya jalan pelahanlahan,sampai tiba-tiba ia
bersenanjung: "Alam tak kekal abadi, urusan manusia berubah-ubah... Negara
telah mengalami perkosaan, dia meninggalkan kedukaan baru..."
Dari sakunya Tan Hong tarik
keluar sepucuk surat yang telah bertanda bekas-bekas air mata. Bunyinya surat
itu ia telah baca untuk beberapa ratus kali, maka dengan tak usah melihatnya
lagi, dapat ia membacanya di luar kepala. Itulah surat peninggalan dari ayahnya,
yang pada malam sebelumnya ayah itu menutup mata, dengan diam-diam si ayah
telah masukkan ke dalam saku bajunya. Jadi sebelumnya peristiwa, tak tahu ia
atas adanya surat itu.
Surat itu, atau lebih benar
ayahnya, menulis sbb:
"Dahulu hari aku telah berbuat
suatu kekeliruan, ialah aku keliru sudah pergi kepada negeri Watzu. Dengan
demikian terjadilah aku membuat permusuhan dengan Keluarga In.Demikianpun telah
terjadi: Walaupun aku tidak membunuh Pek Djin akan tetapi dia binasa disebabkan
olehku. Maka itu jikalau In Tjeng serta anak dan cucunya sangat membenci aku,
itulah wajar. Oleh karena itu sekarang aku telah mengambil putusan untuk
menebus dosa dengan kematianku. Inilah bukan melulu disebabkan urusan dengan
Keluarga In itu saja juga bukan karena aku tiada punya muka untuk pulang ke
negeri sendiri. Di hari-hari lanjut dari usiaku, aku dapat melihat utusan
bangsa Han yang agung yang telah unjuk pengaruhnya di negara asing, aku mati
dengan tak penyesalan. Kau, anakku, kau menang seratus lipat daripada aku,
dengan aku punyakan anak sebagai kau, puas aku meninggalkan dunia yang fana
ini! .
Anak, jikalau nanti aku telah
"pergi", kau harus segera pulang ke negeri, dengan Keluarga In kau
mesti mencari keakuran, untuk menanam persahahatan, untuk dengan jalan itu kau
turut menebus dosaku. Kau dengan cucu perempuannya In Tjeng ada saling
menyinta, hal itu telah aku ketahui jelas dari Tantai Tjiangkoen. Jikalau
perjodohan itu dapat diwujudkan, aku senang sekali."
Bayangannya ayah itu berpeta
di hatinya Tan Hong. Ayah itu telah pernah berbuat keliru, tapi juga pernah
melakukan kebaikan. Benar ayah itu telah membantu membangun negara Watzu
menjadi kuat, tetapi iapun secara diam-diam telah membantu memberikan hajaran
kepada Yasian.
Tadinya Tan Hong tidak dapat
mengerti ayahnya itu, sekarang ia mengerti jelas semuanya, ia menginsafinya.
Tidak heran kalau ayah itu angkuh — angkuh yang membuatnya mengambil jalan
keliru. Ia sendiri juga beradat angkuh sebagai ayahnya itu,tetapi keangkuhannya
itu karena di dalam dirinya mengalir darah Han.
Demikian di dalam hatinya, Tan
Hong mengulangi membaca surat ayahnya itu. Lalu di lain saat segera berbayang
lain bayangan. Kali ini adalah bayangannya In Loei, dengan siapa ayahnya
mengharapkan ia dapat menggabungkan diri sebagai suami isteri.
Akan tetapi peristiwa yang
menyedihkan sudah terjadi. Karenanya ia beranggapan selama hidupnya ini, tidak
nanti ada lagi pengharapan yang mereka berdua bakal dapat bertemu pula satu
dengan lain... Dengan demikian tak mungkin dibicarakan tentang urusan
pernikahan itu.
Selama dua bulan ini, ususnya
Tan Hong bagaikan telah terputus. Ia terus terbenam dalam kedukaan, hingga ia
hampir saja tak sadar pula akan dirinya. Hampir saja ia menjadi terganggu urat
sarafnya.
Kali ini Tan Hong pulang ke
Kanglam, maksudnya untuk mencari hiburan di antara keindahan wilayah Selatan
ini, guna singkirkan kedukaannya itu, siapa tahu, begitu ia tiba di Kanglam,
begitu ia ingat pula In Loei...
Dahulu hari itu ia ada bersama
si nona, kuda mereka dikasih jalan berendeng. Di kala itupun sama musim seperti
sekarang ini di kala buah bwee mulai menguning, di saat bunga delima mulai
mekar. Di sepanjang jalan, mereka telah tinggalkan suara tertawa mereka, juga
air mata mereka, tetapi sekarang, dia menjadi terlebih bersusah hati lagi.
Benar seperti katanya Lie
Tjeng Tjiauw: "benda menjadi yang tidak-tidak, segala peristiwa habis
sudah, tak dapat bicara, akan tetapi air mata mengucur keluar terlebih
dahulu..."
Memang: "Satu kali usus
telah putus, tak dapat putus lagi... Air mata sudah kering,tak dapat mengucur
pula..."
Kota indah yang bagaikan
gambar lukisan, pemandangannya tetap sebagaimana tahuntahun dahulu itu,
demikian juga bayangannya In Loei, pada bayangan itu seperti berbekas
tertawanya yang halus merdu. Semua itu bagaikan berpeta, bergerak-gerak di
depan mata si anak muda.
Akhirnya, tak dapat Tan Hong
menahan hati. Ia menghela napas. "Adik kecil, segala apa sudah
terlambat..." keluhnya, pelahan.
Menyusuli keluhannya ini,
tiba-tiba Tan Hong dengar suara tertawa yang nyaring tetapi empuk, yang sedap
bagi telinganya. Lalu menyusul suara tertawa itu, ia seperti dengar suaranya In
Loei yang bagikan di samping kupingnya: "Siapa yang bilang sudah
terlambat? Eh, kenapa kau tidak tunggui aku?..."
Tan Hong menoleh dengan
segera. Segera ia tampak seekor kuda bulu merah, di atas mana bercokol In Loei,
yang wajahnya bersenyum berseri-seri, tetap manis seperti tahun dulu itu...
Adakah ini impian? Adakah ini
kejadian yang sebenarnya? Tan Hong terbenam dalam keragu-raguan. Tentu saja ia kaget
berbareng sangat girang. Maka ia terus mengawasi kepada penunggang kuda itu,
yang telah datang dekat kepadanya.
In Loei terus bersenyum
berseri-seri, lalu ia tertawa dan berkata: "Ah, kakak yang tolol!"
serunya, masih sambil tertawa. "Apakah kau telah tidak kenali aku?"
Ah, inilah bukannya impian
belaka. Maka kalaplah Tan Hong bahna kegirangannya yang meluap-luap!
"Hai, adik kecil!"
serunya. "Benarkah kau yang datang? Benar-benarkah masih belum
terlambat?"
"Ah, apa katamu? Apakah
itu terlambat atau tidak terlambat?" si nona menyahuti.
"Bukankah kau sendiri
yang pernah mengatakan bahwa, walaupun perjalanan ada sangat jauh orang toh
akhirnya akan dapat menyusul? Kau lihat! Bukan melainkan aku yang dapat
menyusul kau, juga mereka itu! Lihat!" .
In Loei berpaling ke belakang,
tangannya menunjuk.
Tan Hong mengawasi ke arah
yang ditunjuk di mana ia tampak In Teng, ayahnya In Loei, yang bercokol di atas
kuda tengah berseri-seri mengawasi mereka, selagi kudanya lari mendatangi ke
arah mereka berdua. Pada mukanya In Teng tetap ada tanda-tanda bekas luka, akan
tetapi sekarang romannya tidak lagi bengis tetapi sangat manis budi,tidak lagi
ada sinar kebenciannya yang sangat. Dan begitu lekas dia sudah datang
dekat,segera dia lompat turun dari kudanya itu, gerakannya sangat gesit. Dia
sudah tidak pincang dingkluk-dingkluk lagi. Sebab dia telah diobati In Tiong,
putera mana
mengobatinya menurut cara
pengajarannya Tan Hong.
Sejak peristiwa yang hebat itu
selagi di pihak yang satu Tantai Mie Ming bersama Tjio Eng beramai repot
mengurus jenazah Tjong Tjioe, di pihak lain, In Teng, telah buyar semua
kebenciannya. Karena ia telah dengar penuturan jelas dari In Loei, puterinya,tentang
kejadian yang sebenarnya, bagaimana dalam kesengsaraan Tjong Tjioe, yang
sebenarnya ada turunan sah dari Kerajaan Tjioe, telah sia-sia berdaya untuk
membangun pula kerajaannya itu, karena tindakannya yang keliru sudah Mengandal
kan bantuannya negeri Watzu, bahwa Tan Hong tak tahu menahu mengenai sepak
terjang ayahnya itu,sebaliknya Tan Hong telah berjasa menolong negara dari
bahaya keambrukan, bahwa In Teng telah peroleh bantuan sangat berharga dari Tan
Hong itu, dan sehingga yang paling belakang ini ia pun sembuh dari pincangnya
berkat pertolongan tidak langsung dari pemuda she Thio itu.
Urusan leluhur telah
diselesaikan, maka itu, tak ada alasan bahwa permusuhan itu diwariskan kepada
anak cucu. Sebaliknya dengan duduknya hal telah menjadi jelas dan Tan Hong pun
sudah melepas budi, sudah selayaknya apabila persahabatan dan perhubungan
dipererat! .
Di belakang In Teng ini masih
menyusul satu rombongan penunggang kuda lainnya.
Yang pertama tertampak nyata
adalah In Tiong bersama ibunya. Lalu Tantai Mie Ming bersama adiknya — Tantai
Keng Beng. Mereka itu mengawasi ke arah mereka bertiga,wajah mereka tersungging
senyuman. Semua beriang gembira.
Nona Keng Beng majukan
kudanya, hingga dia jadi jalan berendeng bersama In Tiong.
Dengan gembira ia ayun cambuk
kudanya. Ia tertawa: "Tan Hong, Koaywa Lim telah diperbaharui!" ia
berseru. "Taman itu telah menjadi semakin indah! Apakah kau masih tak
hendak kembali ke dalam kota?"
Sejak tadi Tan Hong mengawasi
saja kepada mereka itu. Ia masih seperti orang yang baharu sadar dari mimpinya.
"Adik kecil, apakah kau
pun akan turut kembali ke dalam kota?" ia berbisik kepada In Loei.
Si Nona In cuma menyahuti
dengan tertawanya yang manis! .
Dengan tertawa ini, habis
sudah permusuhan dan kebencian, semua itu terlebur ke dalam asmara yang manis
bagaikan madu...
T A M A T