Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 10 (Tamat)

Liang Ie Shen, Seri Thian San-02: Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 10 (Tamat) Peklo San adalah bukit kenamaan, letaknya dekat dengan kota raja. Di atas bukit, yang indah pemandangannya,
 
Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 10 (Tamat)
Peklo San adalah bukit kenamaan, letaknya dekat dengan kota raja. Di atas bukit, yang indah pemandangannya, ada berdiri beberapa rumah penduduk. Tan Hong ketahui itu,makanya ia menjadi heran akan bunyinya surat kawannya itu.

"In Loei belum pernah datang ke kota raja bangsa Watzu ini, dia masih asing di kota ini, kenapa dia dapat mendaki bukit Peklo San?" demikian ia berpikir. Ia juga merasa pusing sedikit. Ia dipesan mencari ke atas bukit tetapi di dalam surat tidak dituliskan alamat yang terang. Ke mana ia harus mencari? Tidakkah itu sulit? Berbareng iapun menjadi berkuatir juga. In Loei pindah, agaknya dengan cara kesusuh, apakah itu bukan disebabkan si nona hendak menyingkir dari matanya Yasian? .

Oleh karena ia tidak dapat menemui si nona, terpaksa Tan Hong pulang dulu ke rumahnya. Kali ini ia dapat kenyataan pahlawan-pahlawannya Yasian, yang ditugaskan mengawasi rumahnya itu, sudah ditarik pulang. Adalah Tantai Mie Ming, yang muncul membukakan pintu. Maka itu, girang keduanya akan pertemuan ini.

Mie Ming berkata: "Beberapa hari yang lalu kami telah dikurung di dalam gedung, aku sebal sekali. Kalau menuruti adatku, pasti aku sudah menerjang keluar! Tjoekong telah membujuki aku untuk jangan gunai kekerasan."
"Memang ada terlebih baik jangan menerjang keluar," kata Tan Hong sambil tertawa."Mana ayahku?"
"Tjoekong ada di kamar tulis," sahut Tantai Mie Ming. "Selama ini, hati tjoekong pepat,bagus kau telah pulang."

Tan Hong lantas pergi ke kamar tulis. Perlahan tindakan kakinya. Ia tampak ayahnya tengah berduduk diam seorang diri sambil bertopang dagu. Ayah itu seperti sedang memikiri sesuatu.

"Ayah!" ia memanggil, dengan perlahan.
"Oh, kau telah kembali!" menyahut ayah itu. Ia menoleh. "Aku tadinya menyangka bahwa kita sukar untuk dapat bertemu pula satu dengan lain..."

Air matanya orang tua itu lantas saja menetes turun.

"Anakmu yang poethauw pulang untuk memohon ampun," kata Tan Hong.

Ayah itu tidak pedulikan akan kebaktian anaknya itu.
"Aku dengar dari Tantai Tjiangkoen, benarkah kau telah tiba di Souwtjioe?" tanyanya.

"Justeru untuk itulah anakmu memohon ampun," jawab Tan Hong. "Harta pendaman dan peta bumi simpanan leluhur kita sudah aku gali, semua itu aku telah berikan kepada Ie Kiam dari kerajaan Beng, untuk digunakan membantu kaisar dari Keluarga Tjoe memukul mundur angkatan perang Watzu..."

"Tentang sepak terjangmu itu, dari mulut Tantai Tjiangkoen telah aku dengar sedikit," berkata sang ayah. "Dengan tindakanmu ini, terhadap Tionggoan kau telah unjukkan jasamu, tetapi karena itu, kita kaum keluarga Thio, untuk selama-lamanya akan tidak punya lagi ketika yang baik untuk memperebutkan dunia..."

Tan Hong bungkam. Ia dapat merasai kedukaannya ayah itu. Ketika ia memikir, untuk menghibur ayahnya, ia dengar ayah itu menghela napas seraya terus berkata: "Hidup tak ingin menjadi tihang negara, mati tak sudi menjadi Raja Akherat. Sekalipun Raja Akherat, selagi ia memutuskan orang menjadi setan, hatinya sering tak tega, sedang menjadi tihang negara, yang mencintai rakyatnya, kewajibannya menjadi bertambah-tambah banyak... Setelah perubahan besar ini, dengan perlahan-lahan habis sudah tergosok semangatku yang besar. Menjadi perdana menteri aku tidak menghendaki lagi, apapula untuk menjadi raja yang pasti memusingkan kepala. Oleh karena kau sendiri sudah tak
ingin menjadi raja yang memulai membangun negara, aku juga ingin mengakhiri hidupku di negara asing ini. Semua yang kau telah lakukan, tidak aku buat menyesal, tidak aku persalahkan kau!"

"Ayah," berkata putera itu. "Daun itu rontok jatuh ke akarnya, dari itu, aku masih mengharap kau nanti pulang ke negeri kita..."

Thio Tjong Tjioe menghela napas, ia hempaskan tangannya.

"Selama ini kau banyak letih, pergilah kau beristirahat dulu," katanya. "Sebentar malam nanti kita bicara pula."

Tan Hong tidak berani mendesak, ia lantas undurkan diri.

Sorenya, sehabis bersantap malam, anak ini bersama ayahnya jalan-jalan di dalam taman. Di bawah sinarnya si Puteri Malam, pohon-pohon bunga menciptakan bayanganbayangan.

Menarik hati memandang loneng-loneng yang terukir. Di dalam keindahan sang malam itu, ayah dan anak berhadapan berdiri sambil mereka menyenderkan tubuh di loneng. Sampai lama, mereka tak bicara satu pada lain.

Akhirnya, Tan Hong petik setangkai bunga bwee.
"Kali ini bunga bwee mekar terlebih indah daripada tahun yang lalu," kata dia. Ia mulai pecahkan kesunyian.
"Benarkah itu?" tanya ayahnya. "Kau telah sampai di istana lama di Souwtjioe,bagaimana kau lihat keadaan di sana?"
"Istana itu telah dijual oleh negara, telah dijadikan tamannya satu okpa," sahut si anak.
"Ukiran huruf-huruf di tembok pun sudah pada runtuh..."

Tjong Tjioe tidak bilang suata apa, ia cuma menghela napas.
"Tetapi ayah jangan berduka," Tan Hong menghibur. "Tempat kita itu telah anakmu menangkan kembali."

Tjong Tjioe heran."Apa katamu?" ia tanya.

Tan Hong segera beri keterangan halnya itu hari ia menangkan pertaruhan dengan Kioetauw Saytjoe hingga ia dapat pulang Koaywa Lim, tamannya itu, dan hal apa yang ia telah lakukan terlebih jauh mengenai taman itu.

Ayah itu tengah berduka tetapi mendengar penuturan puteranya, ia tertawa berkakakan. Itulah tanda ia setujui sikap anaknya itu.

"Anakmu poethauw, ayah," Tan Hong berkata pula. "Sekarang ini anakmu mengharap ayah suka pulang, supaya di taman sendiri ayah bisa tinggal dengan damai dan tenang..."

Tjong Tjioe kembali tidak menyahuti, ia cuma menghela napas. Kelihatannya ia sangat lesu.

"Ayah, justeru adalah paling baik kau gunai ketika ini untuk keluar dari segala keruwetan," Tan Hong membujuk pula. Lalu ia tuturkan apa yang ia bicarakan tadi pagi dengan Yasian. Ia tambahkan: "Telah aku melancangi ayah menerima baik sarannya Yasian itu, maka itu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu untuk meletakkan jabatan,supaya ayah tak usah lagi menjadi menterinya Watzu yang memusingkan diri ini."

"Untuk undurkan diri, itulah memang cocok sama cita-citaku," berkata ayah itu. "Sudah dua puluh tahun lebih aku menjadi menteri, aku telah merasa letih sekali. Dahulu juga aku tidak punya niatan untuk menjadi menteri."

"Memang, ayah, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak,dan burung, setelah letih beterbangan, tahu akan pulang ke sarangnya," kata Tan Hong."Maka, ayah, untuk kita adalah terlebih baik jikalau kita pulang ke kampung halaman kita."

Tjong Tjioe menghela napas. "Memang, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak, dan burung setelah letih beterbangan tahu akan pulang ke sarangnya," ia ulangi kata-kata puteranya. "Itulah dua runtunan kata-kata yang tepat sekali dari To Van Beng. Pulang, pergi, kembali! Ya, sekarang adalah waktunya untuk pergi pulang..."

Tan Hong menjadi sangat girang.
"Kalau begitu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu meletakkan jabatan," ia kata."Sesudah itu kita menanti saja tibanya utusan kerajaan Beng, setelah perdamaian beres selesai, kita lantas pulang ke negeri kita."

Tapi Tjong Tjioe menggeleng-geleng kepalanya.

"Apa yang aku katakan dengan pergi pulang itu bukanlah seperti yang kau maksudkan pulang ke negeri kita sendiri!" katanya, dengan suaranya yang dalam.

Tan Hong heran, hingga ia tercengang.

"Bagaimana, ayah ?" ia tanya.
"Arak habis, perjamuan bubar, orang pergi pulang," sahut ayah itu. "Demikian kemuliaan, kementerengan, itulah impian kosong belaka. Di dalam dunia ini aku telah hidup enam puluh tahun, dari itu sudah seharusnya aku pergi pulang..."

Kali ini suaranya itu lain daripada biasanya. Nyata dengan "pergi pulang" itu ia maksudkan pergi pulang ke alam baka. Karena ini, ketika sang anak berkata pula,suaranya rada-rada menggetar.

"Ayah semakin sehat, masih jauh ayah ke usia seratus tahun, kenapa ayah mengucapkan kata-kata yang tak beralamat baik ini?" ia tanya.

Tjong Tjioe tertawa meringis. "Bukankah di dalam dunia ini tidak ada pesta yang tidak bubar?" ia balik tanya.

"Kanglam itu indah, itulah justeru tempat untuk ayah beristirahat!" kata Tan Hong,gugup.

Tapi sang ayah jawab: "Apakah aku masih ada muka untuk kembali ke Kanglam? Dahulu hari Tjouw Pa Ong sungkan melintasi sungai Ouw Kang, itu artinya dia tak ingin menjumpai pula penduduk Kangtong!"

Tan Hong menjadi sangat berduka, ia berkuatir. "Ah, mengapakah ayah membuat bandingan ini?" ia kata. Ia masih berniat membujuk,tetapi ayahnya telah menggoyangkan tangannya.

"Putusanku sudah tetap, tak usah kau banyak omong lagi!" kata orang tua itu. "Boleh aku letakkan jabatanku sebagai menteri akan tetapi tanah daerah leluhurku tak sudi aku menginjaknya pula!"

"Kalau begitu, ayah," tanya Tan Hong, "apakah ayah anggap keliru tentang perjalananku ke Tionggoan ini?"

Tjong Tjioe berdongak memandang langit. Dari kejauhan, dengan lapat-lapat,terdengar suaranya terompet huchia. Sekian lama ia membisu, baharu ia bersuara pula."Jikalau usiaku muda empat puluh tahun, aku juga dapat melakukan seperti apa yang kau telah perbuat," ia berkata. "Mengandalkan orang untuk melakukan sesuatu adalah sangat tak boleh diharap, sekarang insaflah aku bahwa pikiran akan pinjam tenaga bangsa Watzu untuk membangunkan pula Kerajaan Tjioe kita yang besar adalah suatu pikiran yang keliru."

Mendengar ini, Tan Hong girang berbareng berduka.

"Ayah..." katanya pula.
"Tak usah kau omong banyak lagi!" sang ayah memotong. "Hanya ingin aku menyadarkan kau. Yasian itu adalah seorang yang sangat licik, terhadapnya kau mesti waspada kalau-kalau dia berbalik berpikir. Dengan sesungguhnya aku mengharap-harap lekas tibanya utusan dari pemerintah Beng! Bilamana aku menutup mata di negara Watzu ini, tidak nanti aku melupakan Tionggoan... Turut katamu itu, Ie Kiam adalah seorang menteri bijaksana yang sukar dicari keduanya selama seratus tahun ini. Mudah-mudahan,sejak saat ini, Tionggoan kelak akan menjadi makmur dan kuat. Aku merasa senang juga
apabila aku dapat melihat utusannya."

Luar biasa perasaannya Tan Hong sesaat itu. Mereka berada dekat tapi mereka seperti terpisah jauh satu dari lain... Tan Hong seperti merasakan bahwa jantung ayahnya berdenyut keras, berdenyut dengan tak dapat diartikan maksudnya... Karena ini,pikirannyapun menjadi kacau.

Sekonyong-konyong di antara kelompok pohon di depan mereka, satu bayangan orang tampak berkelebat, berbareng dengan itu terdengar bentakannya Tantai Mie Ming: "Siapa bernyali begini besar berani menyusup masuk ke dalam sianghoe?" Bentakan itu disusul dengan serangan sebelah tangan, lalu menyusul satu suara berisik dari rubuhnya sebuah pohon kembang, disusul pula dengan lompat keluarnya satu orang mengenakan pakaian warna abu-abu. Tantai Mie Ming sendiri terlihat terhuyung beberapa tindak, baharu dapat ia pertahankan tubuhnya.

Tan Hong kaget sekali. Siapa orang itu, yang demikian kosen sanggup membuat Tantai Mie Ming terhuyung? Mendadak ia dengar tertawa yang nyaring diiringi pertanyaan: "Ah,Tan Hong, kau telah kembali?"

Baharu sekarang Tan Hong melihat tegas, orang itu adalah toasoepee-nya, Tang Gak.

Maka itu, ia jadi girang luar biasa. Ia lantas memberi hormat pada paman gurunya yang paling tua itu, siapa ia segera ajar kenal dengan ayahnya.

"Mari kita duduk di dalam," kemudian ia mengajak.

Demikianlah mereka pergi ke ruang tamu. Tang Gak irup air teh yang disuguhkan, terus ia tertawa.
"Tantai Tjiangkoen, kepandaian Tiat Piepee-mu telah menjadi terlebih liehay daripada dulu-dulu!" ia memuji.

Tantai Mie Ming pun tertawa.

"Dan Taylek Kimkong Tjioe darimu pun sukar sekali untuk dilayani!" ia balik memuji.
Tjong Tjioe menghaturkan terima kasih pada tetamunya yang tidak diundang itu.

"Anakku telah dapat perlindunganmu, aku sangat berterima kasih," kata ia pada paman guru puteranya itu.
"Dan akupun bersyukur kepada kau yang selama sepuluh tahun sudah melindungi soetee-ku," Tang Gak pun berkata, ia maksudkan Thian Hoa. Kemudian, sambil tertawa pula, ia menambahkan. "Sinsiang, baharu sekarang aku tahu hatimu! Nyata tidaklah salah apa yang dikatakan soetee-ku itu! Aku merasa bersyukur yang aku tidak sampai berlaku sembrono..."

Tan Hong pun dengan diam-diam bersyukur juga.

"Baiknya ia dapat dengar pembicaraan ayahku barusan," katanya di dalam hati. "Kalau dia sebagai djiesoepee, entah apa yang akan terjadi... Apakah soepee telah ketemu guruku?" ia terus tanya toasoepee itu.

"Ya, telah aku ketemu padanya," sahut Tang Gak.
"Tjia Sianseng sudah pergi untuk banyak hari," Tjong Tjioe turut bicara. "Mulanya aku tidak tahu apa yang dia niat lakukan, aku berkuatir. Dia telah kembali, mengapa dia tidak turut bersama datang kemari?"

Tang Gak irup pula tehnya, ia tidak lantas menjawab.

"Pahlawan-pahlawannya Yasian sudah dibubarkan, meski demikian sukar dijamin bahwa ia tidak akan mengirim orang lagi untuk memata-matai kita," berkata Tantai Mie Ming. "Nanti aku pergi ke depan untuk melihat-lihat."

Tan Hong tertawa atas kepergiannya jenderal itu.

"Tantai Tjiangkoen telah memikir terlalu banyak," katanya. "Dia kuatir di antara kita mungkin hendak membicarakan sesuatu yang tak dapat dilakukan di depannya, maka itu ia berlalu..."

"Ia benar," Tang Gak bilang. "Apa yang hendak aku bicarakan justeru adalah urusan gurunya."

Gurunya Tantai Mie Ming ialah Siangkoan Thian Ya, justeru adalah lawan dari Hian Kee Itsoe. Maka mendengar soepee ini, Tan Hong menjadi heran.

"Apa?" tanyanya "Bukankah Siangkoan Thian Ya Si kepala iblis tua itu sudah lama mengumpetkan diri? Mungkinkah sekarang dia muncul pula?"

"Dia tidak keluar dari gunungnya akan tetapi kita hendak pergi mengunjungi padanya!" kata Tang Gak.

"Bagaimana sebenarnya soepee?" tanya pula Tan Hong, heran.
"Tak tahu bagaimana jalannya, iblis kepala yang tua itu telah mendengar yang kami beberapa saudara telah datangi negara Watzu ini," Tang Gak beri keterangan, "dan ia segera kirim orang untuk memberitahukan kami supaya kami pergi ke gunungnya untuk menghadap padanya."

"Apakah maksudnya?" Tan Hong tanya pula.
"Aku juga tidak tahu. Mungkin dia hendak uji kepandaian kami. Dia adalah satu lootjianpwee, dia telah berikan titahnya, tidak dapat kami tidak turut titahnya itu."
"Apakah Tantai Tjiangkoen tidak ketahui urusan ini?" Tan Hong tanya. Ia jadi berpikir keras.
"Jikalau dia tidak mengatakan apa-apa, jangan kau timbulkan urusan ini kepadanya,"
Tang Gak pesan. Ia tidak jawab keponakan murid itu, ia bicara secara sungguh-sungguh.

Di dalam kalangan kaum Rimba Persilatan ada aturan yang harus dihormati, yaitu jikalau pada kedua pihak kaum tertua ada perselisihan, maka murid-murid mereka itu meskipun mereka bersahabat satu pada lain, harus si murid saling menjauhkan diri. Tan Hong tahu aturan itu, ia sebenarnya kurang memperhatikannya, tetapi sebab ia lihat soepee ini bicara demikian rupa terpaksa ia tidak berani banyak omong.

Tang Gak melanjutkan kata-katanya: "Begitulah pada kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, guru kami bersama Siangkoan Thian Va itu telah melakukan pertempuran di atas gunung Ngobie San, sampai tiga hari tiga malam lamanya, mereka tidak menang dan tidak kalah. Pertempuran itu telah disudahi dengan mereka saling berjanji, bahwa lagi tiga puluh tahun kemudian mereka bertemu pula. Tidak lama sehabisnya itu, keduanya menjauhkan diri dari muka umum, mereka menyembunyikan diri, yang satu di Tionggoan, yang lain di tapal batas Mongolia. Sejak itu, keduanya tidak pernah berhubungan lagi satu sama lain. Aku telah anggap urusan akan sudah habis sampai di situ. Tak disangkanya pada tahun ini di permulaan musin semi, aku dengar omongannya seorang sahabat kaum Rimba Persilatan, bahwa katanya Siangkoan Thian Ya hendak mewujudkan janji dahulu hari itu. Oleh karena ini, lekas-lekas aku berangkat untuk menyampaikan kabar kepada soetjouw-mu. Soetjouw-mu itu tidak mengatakan, suka atau tidak ia menyambut Siangkoan Thian Va itu, ia hanya titahkan kami pergi terlebih dahulu ke Watzu. Sampai sekarang ini aku tetap belum tahu soetjouw-mu itu hendak datang atau tidak..."

"Turut apa yang aku dengar dari soehoe," berkata Tan Hong, "jurus silat pedang siangkiam happek ciptaan soehoe adalah diperuntukkan melawan iblis tua itu.Mungkin, karena itulah soetjouw tidak niat turun tangan sendiri."

"Tentang liehaynya siangkiam happek itu belum pernah aku saksikan," kata Tang Gak."Samsoetee dan soemoay memang cerdas sekali, mereka jauh lebih menang daripada aku, akan tetapi jikalau mereka hendak diajukan untuk melayani iblis tua itu, rasanya bedanya masih terlalu jauh..."

Tan Hong tahu liehaynya siangkiam happek, tak percaya ia akan kata-katanya paman guru yang tertua itu, akan tetapi terhadap toasoepee ini ia tidak berani sembarang omong, ia juga tidak hendak pertontonkan ilmu silat pedang gabungan itu, maka ia membungkam.

"Eh, Tan Hong, mana sahabatmu yang muda?" tiba-tiba Tang Gak tanya. Baharu sekarang ia ingat In Loei.

Hatinya Tan Hong bercekat. Tentang In Loei, ia belum omong kepada ayahnya, ia anggap belum tiba saatnya, tapi sekarang toasoepee itu menimbulkannya, hatinya menjadi kebat-kebit. Lekas-lekas ia mengedipkan mata kepada paman guru itu.

"Apakah kau tidak memikiri dia?" tanya pula toasoepee itu, dia agaknya tak mengerti tanda kedipan mata dari keponakan murid itu.

"Anak Hong," berkata Tjong Tjioe, setelah ia dengar perkataannya Tang Gak itu, "kau datang bersama sahabatmu itu, ajaklah dia menemui aku."
"Ia ada urusan, ayah, dia telah pergi terlebih dahulu," Tan Hong terpaksa mendusta.
"Bukankah dia hendak pergi ke lembah selatan dari gunung Tangkula untuk cari ibunya?" tanya lagi Tang Gak. Dengan "dia", paman guru ini maksudkan "dia" wanita.

Kembali Tan Hong bercekat. "Ha, toasoepee ini!" katanya dalam hati kecilnya. "Rupanya toasoepee telah ketemu In Loei, jikalau tidak, tidak nanti ia ketahui In Loei hendak cari ibunya itu..."

Di samping itu, girang juga Tan Hong, hingga sinar matanya menjadi bercahaya. Ia ada seorang cerdas, tahulah ia bahwa Tang Gak tentunya campur dalam halnya In Loei pergi mencari ibunya itu.

Tjong Tjioe sementara itu nampaknya heran. "Sahabat macam apa dia itu?" ia tanya.
"Satu sahabat yang jujur." sahut Tan Hong.
"Kalau begitu, lain hari mesti kau ajak dia ke rumah kita," kata ayah itu.
"Baik, ayah," sahut si anak. Di dalam hatinya, ia ada sangat berduka. Bukankah In Loei telah menyatakan tak ingin menemui ayahnya itu?

Sampai di situ, Tang Gak berbicara pula.
"Si iblis Siangkoan itu berdiamnya di puncak tertinggi dari gunung Tangkula sebelah utara," demikian katanya. "Jikalau dari lembah sebelah selatan, di mana ada bertinggal suku bangsa Ngolo, kita pergi kesebelah utara, lalu mendaki puncak utara yang tinggi itu, perjalanan ada sekira lamanya tiga hari. Tadi Thio Thaydjin menanyakan halnya Thian Hoa, dia sebenarnya sudah pergi terlebih dahulu kesana."

"Kapan Siangkoan Thian Ya menyuruh soepee beramai pergi mengunjungi padanya?"Tan Hong tanya.
"Harinya masih belum ditetapkan," sahut Tang Gak. "Sebelumnya Tjengbeng, Thian Hoa sudah berangkat. Akulah yang menyuruh dia pergi, sebab ia mesti sambangi dulu satu sahabat Rimba Persilatan. Adalah kehendakku dewi kz, di saat yang perlu, sahabat itu harus muncul untuk menjadi si juru pemisah. Di mana djiesoepee-mu? Aku dengar dia telah tiba juga. Bersama Thian Hoa, aku belum menemui dia."

"Djiesoepee ada bersama Tjinsamkay Pit To Hoan", Tan Hong beritahukan. Dan ia tuturkan kejadian tadi malam.

Mendengar itu, Tang Gak tertawa.

"Tabeatnya Tiauw Im masih tetap saja aseran seperti dulu-dulu," kata dia. "Baiklah,akan aku berdiam di sini beberapa hari, untuk mencari dia, setelah bertemu dengannya,baharu kita bicara pula."

"Kalau begitu, besok aku mesti berangkat?" berkata Tan Hong kemudian. Tjong Tjioe terperanjat.

"Eh, anak Hong!" katanya. "Kau baharu pulang, bagaimana kau sudah hendak berangkat pula?"
"Inilah perlu, ayah," anak itu jawab. "Di sini ada mengenai urusan penting dari guruku, sebagai murid, layak aku berbuat sesuatu untuk soehoe. Kalau soehoe pergi menghadapi bencana, layakkah aku tidak menyusulnya?"

Tjong Tjioe berdiam. Ia dapat membenarkan perkataan anaknya ini. Bukankah Tan Hong telah dididik sempurna oleh Thian Hoa, gurunya itu? Maka tak dapat ia mencegahnya.

"Mana kudamu, Tjiauwya saytjoe ma?" kemudian ia tanya.
"Kuda itu dibawa oleh sahabatku yang disebutkan tadi," sahut Tan Hong.
"Ah!..." Tjong Tjioe berseru perlahan. Di dalam hatinya, ia kata: "Pasti persahabatannya anak ini dengan sahabatnya itu bukan persahabatan biasa saja..." Oleh karena ini semakin keraslah niatnya untuk bertemu dengan orang yang dimaksud itu.

Keesokan paginya, Tan Hong pamitan dari ayahnya, juga kepada Tang Gak,toasoepee itu. "Mari aku antar kau keluar," berkata Tjong Tjioe, yang terus pegang tangan anaknya. Mereka berjalan dengan perlahan-lahan.

Tantai Mie Ming ada bersama, ia menemani Tang Gak. Berdua mereka telah mendahului tiba di pintu depan.

"Ayah, kau masuklah," Tan Hong minta. "Ayah masih harus pergi ke istana."
"Surat perletakan jabatan telah aku tulis selesai tadi malam, karenanya tak usah aku kesusuh," sahut sang ayah. "Sejak sekarang ini, dengan tidak memangku pangkat, aku jadi merdeka. Aku hanya harapkan kau lekas kembali."
"Jangan ayah pikirkan aku. Bersama-sama soehoe pasti aku akan kembali."
"Hanya aku kuatir, setelah kembali, kamu nanti pergi pula," menyatakan pula ayah itu akan kesangsiannya. "Kalau nanti kau pulang, mungkin utusan kerajaan Beng pun telah tiba."
"Kenapa ayah tidak hendak bersama-sama pulang ke Tionggoan?" Tan Hong tanya pula. Ia mengulangi.
"Semalam telah kita bicarakan urusan itu, maka sekarang tak usah banyak dibicarakan pula!" kata ayah itu, ringkas.

Tan Hong menurut, tetapi tiba-tiba ia tanyakan lainnya hal. "Ayah," demikian katanya, "apakah ayah masih ingat In Tjeng, itu utusan kerajaan Beng yang dahulu hari?"

Tjong Tjioe melengak. Tan Hong rasakan telapak tangan ayahnya basah tiba-tiba dengan keringat, tangan itu gemetar.

Selang sesaat baharulah Tjong Tjioe seperti sadar, terus ia menghela napas. "Ya, sudah tiga puluh tahun..." katanya, seperti kepada dirinya sendiri. "Urusan dari tiga puluh tahun seperti terbayang di depan mata... Utusan In itu adalah satu laki-laki yang seumurku baharu pernah menemuinya! Bagaimana aku tidak ingat kepadanya? Kalau tidak salah, sejak dia pulang ke negerinya, sepuluh tahun sudah berselang..."

"Hanya nasibnya harus disayangkan," Tan Hong tambahkan. "Dia pulang ke negerinya,baharu saja dia tiba di pintu negeri, dia sudah dianiaya hingga binasa oleh Ong Tjin yang telah menggunakan firman palsu!"

Tjong Tjioe agaknya terkejut.

"Kejadian itu pernah aku mendengarnya," ia bilang. "Ah, itulah disebabkan kesalahanku. Ketika itu aku masih bersemangat muda, aku sangat benci raja Beng,karenanya, aku benci juga semua orang yang bersetia kepada kerajaan Beng itu. Karena itu juga maka In Tjeng telah aku kirim ke tepi telaga yang seperti berlangitkan es dan berbumikan salju, hingga lamanya dua puluh tahun dia mesti mengembala kuda. Selama dua puluh tahun dia minum es dan mengemu salju, toh selama itu tetap dia bersetia
kepada kaisar dari Keluarga Tjoe itu. Dia adalah musuhku tetapi aku sangat kagum terhadapnya. Selama tahun-tahun yang belakangan ini, apabila aku ingat padanya, aku jadi bersusah hati. Inilah kesalahanku, ya kedosaanku yang pertama-tama selama hidupku... Aku harap utusan kerajaan Beng yang akan datang itu nanti ada sebagai In Tjeng jantannya!"

"Ayah tahu tidak," kata Tan Hong pula, "kabarnya In Tjeng itu ada punya dua cucu,yang satu pria, yang lain wanita, keduanya usianya tak berjauhan dengan usiaku."

"Benarkah itu?" tanya Tjong Tjioe. "Aku harap yang aku bisa dapat bertemu dengan mereka itu."
"Ayah, umpama ada sesuatu yang mereka hendak mohon darimu, sudikah kau menerimanya?" Tan Hong berkata pula.
"Kau adalah mustikaku," sahut orang tua itu, "kalau untuk mereka itu, meski aku kehilangan kau, aku ikhlas sekali!" Tiba-tiba ia menghela napas. Ia menambahkan: "Jikalau mereka itu masih hidup dan telah menjadi dewasa, pasti sekali mereka ketahui peristiwa engkong-nya itu, pasti sekali mereka akan pandang aku sebagai musuhnya. Oleh karena itu, cara bagaimana mereka hendak meminta sesuatu dari aku?"
Lega hatinya Tan Hong akan dengar kata-kata ayahnya ini. Ia tahu, itulah kata-kata yang keluar dari hati yang putih murni.

"Bagaimana caranya maka kau ketahui tentang dua anak itu?" kemudian Tjong Tjioe tanya pula.

Sebenarnya ingin Tan Hong tuturkan pergaulannya dengan In Loei, atau mendadak ia pikir baiklah ia bersabar dulu.

"Aku dapat mendengar pembicaraan di antara sahabat-sahabat kaum kangouw," demikian ia jawab. "Kabarnya mereka itu sudah ikuti satu guru silat yang terkenal dari siapa mereka telah pelajari kepandaian. Cucu lelaki dari In Tjeng itu mungkin bekerja pada pemerintah."

"Kalau benar begitu, senang hatiku," berkata Tjong Tjioe. "Aku harap saja, utusan Beng yang akan di kirim kemari itu adalah cucunya In Tjeng itu."

Tan Hong lihat ayahnya benar-benar bergembira.

Sementara itu, mereka sudah sampai di samping pintu.
"Ayah baik-baiklah di rumah," Tan Hong bilang. Lalu, bersama Tang Gak ia keluar dari pintu belakang.

Tjong Tjioe senderkan tubuh di pintu, ia masih mengawasi, sinar matanya suram.

"Sungguh soetee Thian Hoa sabar dan jauh pandangannya," berkata Tang Gak."Sekarang mengertilah aku kenapa dia sudi tinggal di rumahmu sampai sepuluh tahun.Oleh karena ayahmu suka membantu Tionggoan, nampaknya Yasian tidak akan mampu terbitkan sesuatu gelombang."

Atas ucapannya soepee itu, Tan Hong hanya angguk-anggukkan kepala. "Sekarang kita menuju ke mana?" ia tanya.
"Tentu saja ke Peklo San!" sahut paman guru itu. "Adik kecilmu tengah memikirkanmu..."
"Oh, jadinya soepee adalah yang menitahkan dia pergi ke Peklo San?"
"Di atas Peklo San itu ada satu sahabatku," jawab Tang Gak. "In Loei tinggal di rumah penginapan, itulah tidak sempurna, maka itu aku suruh dia pergi menumpang di rumah sahabatku itu."

Keduanya berjalan dengan cepat, maka tidak lama sampailah mereka di kaki gunung Peklo San itu. Hawa ada sangat dingin, daun-daun kuning seperti mengampari bukit itu.

Tan Hong sangat bergembira, pemandangan itu baginya adalah seperti pemandangan di musim semi...

Di tengah gunung ada sebuah rumah, temboknya dari tanah liat. Kelihatan rumah itu terawat baik. Di pintu depan, sambil menyender, ada satu nona. Dialah In Loei.

"Adik kecil! Adik kecil!" Tan Hong segera memanggil. "Adik kecil, aku sudah kembali!"
In Loei menyahuti dengan tawar, ia nampaknya lesu.

Tang Gak lihat sikap orang itu, ia menggeleng kepala, ia kata dengan perlahan: "Kamu berdua adalah sepasang musuh..."
"Telah aku bicara dengan ayah perihal peristiwa dulu-dulu, ia sangat menyesal," kata Tan Hong. Ia ingin beritahukan In Loei perihal ayahnya mengharap sangat bertemu dengan dia dan kakaknya, tapi In Loei dengan dingin mengatakannya lebih dahulu, "Aku pun menyesal..."
"Menyesal? Apa yang kau sesahnya?"
"Kakekku dahulu mengembala kambing," jawab si nona. "Kalau nanti aku bersama kau pergi melihat ibuku, tidak tahu apa yang harus aku katakan..."

Tan Hong menghela napas. Pantas kalau In Loei menyesal untuk ibunya itu — ibu yang telah terlunta, sangat menderita.

Mengawasi sepasang anak muda itu, Tang Gak tertawa. "Kamu anak-anak muda, kamu bertemu untuk saling menghela napas, kamu membuatnya aku si tua bangka jadi sangat tidak mengerti!" katanya, Jenaka. "Kalau ada omongan, mari masuk ke dalam, di sana kita membicarakannya."

Masih Tan Hong menghela napas. "Untukku, walaupun harus menginjak api, akan aku turut kau mencari ibumu itu," ia kata pada In Loei. "Kalau nanti kita sudah bertemu, apa juga kata ibumu, bagaimanapun ia tegur aku, akan aku terima saja..."

Tiba-tiba saja In Loei tertawa geli.

"Untuk apa ibuku tegur kau?" tanya dia. "Ibuku itu, seumurnya belum pernah menegur orang!"

Satu kali si nona tertawa, maka sang awan gelap seperti juga lantas tersapu sinarnya Batara Surya!

Maka dengan hati lega, mereka masuk ke dalam rumah.

Sahabatnya Tang Gak itu adalah seorang ahli silat suku bangsa Hui yang tinggal di Mongolia ini, seorang yang ramah tamah sekali. Begitu ia sambut tetamunya, lantas ia pergi ke belakang, untuk mencuci dan mensesel dagingnya seekor kambing hutan yang kemarinnya ia dapat dari memburu, untuk di matangi, dengan apa ia jamu tetamunya itu.

Tak lupa ia menyediakan araknya.

"Samsoepee dan soehoe telah lewat di sini kemarin," kata In Loei selagi mereka duduk bersama.

"Tentang itu telah aku beritahukan Tan Hong," kata Tang Gak. "Sekarang aku masih hendak berdiam beberapa hari di sini, untuk cari djiesoepee-mu serta Pit To Hoan,setelah, menemukan mereka baharu aku akan langsung kepuncak selatan dari gunung Tangkula, untuk menghadiri pertemuan. Kau, In Loei, setelah kau dapat cari ibumu, harus kau lekas bersama Tan Hong menyusul ke sana. Mungkin sekali kita, orang-orang tua dan muda dari dua tingkat turunan, akan bersama-sama menempur iblis tua bangka itu!"

"Apakah benar si tua bangka iblis itu ada demikian liehay?" In Loei tanya.
"Sekalipun kita kepung padanya, aku sangsikan kemenangan ada di pihak kita!" sahut Tang Gak.
"Kalau begitu, bukankah dia jadi ada terlebih liehay daripada si wanita tua dari hutan
bambu?" tanya pula si nona.

Tang Gak heran, ia melengak.

"Wanita tua siapakah yang kau maksudkan itu?" ia menegaskan.

In Loei pun segera ingat perkataannya Thian Hoa bahwa kecuali cuma toasoepee ini yang ketahui hal ihwalnya si wanita tua, maka itu ia lantas menjelaskannya.
"Dia adalah seorang tua yang tak sudi memberitahukan she dan namanya," demikian penyahutannya. Dia pandai menggunai senjata rahasia yang berupa daun bambu.Toasoepee, tahukah siapa dia itu?"

Nona ini lalu menjelaskan pertemuan di hutan bambu itu.

"Ah, aku tidak sangka lootjianpwee itu masih ada di dalam dunia ini" berkata si paman guru setelah ia dengar semua. "Nyata dia masih tak melupai segala kejadian dahulu hari itu. Oleh karena dia muncul, di belakang hari mungkin dia campur tangan, dan itu artinya urusan bisa menjadi bertambah sulit..."

"Sebenarnya siapakah dia?" In Loei tanya pula.
"Dia itu bersama soetjouw-mu serta si tua bangka iblis ada punya suatu urusan, hanya kita yang menjadi anak muda, tak tepat untuk kita membicarakan urusan mereka itu. Di belakang hari kau akan ketahui sendiri."

Demikian jawaban Tang Gak. In Loei tidak berani mendesak untuk menanyakannya terlebih jauh. Tentu saja, sendirinya ia jadi masgul. Sehabis bersantap, sang waktu sudah tengah hari. Keras sekali niatnya In Loei untuk mencari ibunya, maka ia desak Tan Hong untuk segera berangkat. Karena itu, sebentar kemudian keduanya sudah pamitan dari tuan rumah serta toasoepee mereka, untuk berangkat terlebih dahulu.

Sudah sekian lama Tjiauwya saytjoe ma dibawa In Loei ke gunung Tangkula ini, dan sekarang kuda itu melihat Tan Hong, lantas saja ia angkat kepalanya dan meringkik keras dan panjang.

Tan Hong usap-usap lehernya binatang tunggangannya itu.

"Sekarang aku membutuhkan kau pula!" katanya sambil tertawa.

Kedua pemuda pemudi naik atas masing-masing kudanya. Lantas mereka mulai dengan perjalanannya.

Orang berada di dalam musim dingin yang dekat berakhir, merekapun membuat perjalanan ke Utara, maka itu, mereka menghadapi angin Utara yang hebat. Jalan penuh dengan salju, hingga jagat menjadi putih anteronya. Di tengah jalan juga sedikit sekali orang yang berlalu lintas.

Namun dalam keadaan seperti itu, Tan Hong melakukan perjalanannya dengan hati terbuka, di atas kudanya ia mainkan cambuknya, dengan nada tinggi ia perdengarkan suaranya: "Cuma terdengar denyutan dua hati, yang putih bagaikan salju, yang tak sedikit jua dibiarkan dikotori debu!..."

"Hai, sioetjay tolol!" berkata In Loei sambil bersenyum. "Kau menyebut-nyebut salju,kalau sebentar sang angin membawa datang salju itu, baharulah kau tahu rasanya hawa dingin! Nanti kau sukar berjalan..."

Tan Hong bersenyum, ia tidak sahuti nona itu.

Manjur mulutnya In Loei, belum lama atau sang angin mulai meniup-niup, membawa benda halus yang dingin rasanya itu. Beterbanganlah bunga salju, yang terbawa angin yang meniupnya lantas menjadi menderu-deru.

Tan Hong tidak hiraukan gangguan salju itu, ia larikan kudanya yang diikuti In Loei.

Maka itu, basah kuyup tangan baju mereka, penuh saljulah pelana mereka.

Benar-benar Tan Hong tidak takut hawa dingin, ia pentang bajunya menyambut hawa yang dingin itu dengan dadanya. Ia buat main cambuknya, berulang kali ia berseru kegembiraan! Ia baharu berhenti ketika ia dengar suara nona kawannya: "Eh, kau dengar!" demikian In Loei, yang rendengkan kuda mereka. "Kau dengar! Itu suara angin atau suara siulan?..."

Tan Hong segera pasang kupingnya. Segera ia menjadi keheranan.

"Itulah suara siulan yang bercampuran suara angin...." katanya kemudian. "Eh, ada juga suara kaki kuda yang berlari-lari seperti saling kejar... Orang yang bersiul itu mestinya orang yang liehay ilmu dalamnya.. Mari kita lihat!"

Dan ia segera kaburkan kudanya. In Loei mengikuti dibelakangnya.

Lari belum lama, jauh di depan mereka, di antara tanah datar bersalju, mereka tampak dua orang tengah bertarung seru, keduanya bertubuh besar. Di samping mereka, di pinggiran, ada tiga ekor kuda yang bagus, penungganganya adalah dua wanita serta seorang pria yang tubuhnya besar dan kekar juga.

"Rasanya mereka adalah orang-orang yang kukenal..." kata Tan Hong, yang terus bedal kudanya, maka di lain saat, tibalah mereka di tempat pertempuran itu, hingga ia melihat dengan tegas, benarlah terkaannya, mereka adalah orang-orang yang dikenal olehnya, ialah Hek Pek Moko dengan isteri-isterinya bangsa Iran. Dan yang sedang berkelahi itu adalah Hek Moko. Hanya, untuk keheranannya, ia kenali juga lawannya Hek Moko itu,yang bukan lain daripada Kong Tiauw Hay, bekas tjongkoan dari istana kaisar Beng, dari Kaisar Kie Tin! .

Kong Tiauw Hay itu dandan sebagai seorang Mongolia, akan tetapi sekarang bajunya telah compang-camping, romannyapun sudah tidak keruan macam, dia nampak lebih perok. Dia memang kalah tenaga dari Hek Moko, maka itu setibanya Tan Hong belum lama, ia telah kena dibikin terjungkal oleh lawannya!.

Tan Hong pun heran, kenapa mereka itu berkelahi. Tengah keheranannya itu ia lihat Kong Tiauw Hay, setelah berbangkit bangun telah menghunus sebatang golok, yang dinamakan golok kuda — matoo, dengan bengisnya ia membacok musuhnya.

"Hai, begal jahat, kau berani turun tangan terhadap datomu !" demikian bekas tjongkoan itu perdengar kan suaranya yang keras. "Bagaimana kau berani curi barangku? Lekas kau kembalikan barangku, perkara ini aku akan bikin habis!" .

Hek Moko tapinya tidak takut, dia malah tertawa gelak-gelak. Dengan sebat dia keluarkan senjatanya, ruyung Lekgiok thung, dengan itu ia menangkis.
"Traang!" demikian satu suara nyaring, lelatu api pun berhamburan. Dan goloknya Tiauw Hay kentop! "Belum pernah aku ketemu dato!" Hek Moko kata sambil tertawa pula."Kau bicaralah dengan aku secara baik-baik, kita mungkin masih dapat berdamai. Jikalau kau tetap hendak berlagak kosen — hm! hm! — kau lihatlah, kau dapat bacok aku mampus atau ruyungku akan mengemplang remuk paha anjingmu!"

Hek Moko bergurau tetapi ia pun berkelahi dengan hebat, sebab Tiauw Hay serang ia bertubi-tubi, halmana menandakan bekas tjongkoan ini gusar bukan main.

Tan Hong kembali menjadi heran. Hek Pek Moko adalah "saudagar-saudagar besar," tak sudi mereka bekerja kecil, maka anehlah kenapa mereka mau curi barangnya Kong Tiauw Hay. Masih ada lagi satu keanehan, yaitu meski Hek Moko bertempur hebat,nampak nyata dia tidak niat menurunkan tangan jahat terhadap lawannya itu...

Ini disebabkan Tiauw Hay bukanlah satu tandingan yang tepat.
Tan Hong lantas berpikir: "Kong Tiauw Hay ini memang satu manusia rendah, meski demikian ia pernah aku kenal. Entah apa sebabnya yang utama maka kedua orang ini jadi berkelahi... Baik aku memisahkannya."

Pikiran ini segera diwujudkan. Tan Hong majukan kudanya, untuk menyelak di antara mereka. Justeru itu, Kong Tiauw Hay berteriak keras, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak. Sementara itu Pek Moko, yang sejak tadi menonton saja, telah lihat Tan Hong yang ia kenali, ia menjadi girang luar biasa.

"Toako. Thio Kongtjoe datang!" ia serukan kakaknya.
"Bagus Thio Kongtjoe datang!" Hek Moko pun berseru. Lalu ia teruskan pada Tiauw Hay: "Coba kau kasih lihat beberapa mustikamu itu padanya, dia dapat mengenali atau tidak!"
"Mustika apakah itu?" tanya Tan Hong, yang menjadi tertarik hati.

Menampak kedatangannya Tan Hong, Kong Tiauw Hay menjadi terkejut, tapi,berbareng iapun mengharap anak muda itu nanti suka bantu ia. Ia lantas berseru: "Dua penjahat ini telah curi mustikaku! Tan Hong, tolong kau berikan pertimbanganmu yang adil!"
"Kau ada punya mustika apa?" tanya Tan Hong, sambil ia lompat turun dari kudanya. Ia jadi semakin tertarik hati, hingga ia ingin sekali ketahui duduknya hal.

Sekonyong-konyong, Hek Moko tertawa.

"Benar, kau ada punya mustika apa?" katanya dengan keras. Pertanyaannya Tan Hong membuat ia dapat pikiran. "Kemarin kau berkeras mengatakan bahwa kau tidak punya mustika apa-apa, kenapa sekarang kau akui mempunyainya?".

Tiauw Hay melengak, tapi ia sadar lekas.

"Tan Hong, itu memang mustikaku!" ia berseru.
"Dari mana kau dapatkan mustika itu?" Tan Hong tanya pula.

Belum sempat bekas tjongkoan itu memberikan penyahutannya, Pek Moko telah keluarkan satu bungkusan kuning, yang disodorkan kepada si anak muda.

"Kau lihat, semuanya ada di dalam bungkusan ini!" dia bilang. "Aku sangsikan asal usulnya beberapa mustika ini! Mungkin jahanam ini dapat dari curian! Coba kau periksa,kongtjoe, mungkin kau bisa memberikan keterangan kepada kami."

Hatinya Tan Hong tergerak. Pernah ia lihat bungkusan kuning itu. Ia lantas saja ingat.

Selama peperangan di Touwbokpo, selagi tentera Beng dikurung musuh, Kong Tiauw Hay melarikan diri, Tiauw Hay menumpang bermalam di rumah seorang tani, di situ dia ketemu Tan Hong dan In Loei. Ketika itu Tiauw Hay menggendol bungkusan kuning itu di bebokong nya, bungkusan itu berisi uang goanpo emas. Pernah Tan Hong lemparkan bungkusan itu, tapi Tiauw Hay memungutnya, terus dibawa kabur. Maka berpikirlah Tan Hong: "Mustahil Hek Pek Moko kepincuk beberapa potong goanpo itu?"

Karena ini, ia lantas buka bungkusan itu, atau segera matanya menjadi silau. Di dalam bungkusan itu, kecuali belasan potong goanpo emas, ada lagi beberapa barang berharga lainnya! Ialah pekgiok sanhoe, yang sangat bercahaya, yang tak ada cacatnya. Batu itu jauh terlebih bagus daripada sanhoe yang In Loei berikan kepada Tjio Tjoei Hong sebagai pesalin. Yang satu lagi adalah sebatang tusuk konde dengan dua batu permata yang dinamakan "mata kucing" yang emasnya berukirkan empat huruf "Hauw Kim Honghouw," artinya "Permaisuri Hauw Kim." Yang lainnya lagi adalah sebuah permata singa-singaan,yang terbungkus kertas. Tapi yang paling berharga adalah sebuah cap terbuat dari batu kumala, yang berukirkan enam huruf "Tjeng Tong Hong Tee Tjie In," atau artinya "Cap Kaisar Tjeng Tong." Itulah cap yang hanya sebawahan sedikit dari gioksie, cap kerajaan.Lagi beberapa yang lainnya adalah barang kuno dari jaman Siang serta serenceng rantai mutiara, yang harganya tak ternilai, sebab semua itu adalah permata-permata dari dalam istana.

Mau atau tidak, Tan Hong menjadi tertawa tawar. "Dari mana kau dapatkan semua ini?" akhirnya ia tanya bekas tjongkoan itu.

"Semua itu adalah hadiah bertahun-tahun dari Sri Baginda terhadapku," sahut Tiauw Hay.

"Ya, sampaipun cap pribadi kaisar dan tusuk konde permaisuri juga dihadiahkan padamu!" katanya si anak muda, yang tertawa mengejek. Sekarang telah ia dapat menduga, ketika Kong Tiauw Hay kabur dari Touwbokpo, dia tentunya kabur sambil curi barang-barang berharga dari kaisar, berikut cap pribadi raja itu serta tusuk konde permaisuri yang dikasihkan kepada kaisar selaku tanda mata. Rupanya, di waktu dia ketemu si anak muda di rumah si orang tani, cap dan tusuk konde itu belum berani ia bungkus jadi satu dalam bungkusan uang, karenanya Tan Hong tidak lihat itu.

Terkaan Tan Hong ini tidak keliru. Tapi Tiauw Hay bukan mencuri untuk mendapatkan uang saja, iapun ada kandung satu maksud lain. Tiauw Hay duga Tionggoan pasti bakal dirampas bangsa Watzu, bahwa negara tentu akan jadi kalut, maka dia memikir untuk mencuri semua permata itu, supaya dia bisa lari dan umpetkan diri, untuk hidup sebagai hartawan. Nyata sangkaannya negara akan musnah itu meleset adanya. Yasian kalah dan mundur dan raja baharu telah dinobatkan. Karena ini, hatinya jadi ciut. Justeru itu, kedua paman gurunya, yaitu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam dapat ditakluki Thio Tan Hong,mereka bekerja kepada Ie Kiam, dia menjadi terlebih kuatir pula. Dia takut nanti kedua paman guru cari padanya, dia bisa dipersalahkan merat dari medan perang. Kekuatiran yang lain adalah kalau-kalau raja yang baru nanti tarik panjang mustika-mustika kaisar Tjeng Tong yang dia curi itu. Maka, nekatlah dia. Dia kabur ke Mongolia. Dia bercita-cita membeli tanah di Mongolia , untuk membangun suatu usaha peternakan, untuk hidup mewah dan aman. Tentu saja sulit untuk dia mengeluarkan cap pribadi raja dan tusuk konde permaisuri, maka dia memikir hendak menghadiahkannya kepada Yasian, supaya Yasian suka berikan dia suatu pangkat. Banyak macam cita-citanya itu yang belum dapat dia wujudkan, maka dia berada dalam keragu-raguan. Malang baginya, di tengah jalan dia berpapasan dengan Hek Pek Moko, dua saudara saudagar yang matanya sangat liehay, yang telah berpengalaman selama beberapa puluh tahun. Dua saudara Moko itu menjadi curiga. Mulanya mereka niat membeli permata itu tetapi Tiauw Hay menyangkal keras bahwa dia mempunyai barang permata, Hek Pek Moko penasaran dan mendongkol, maka malamnya mereka satroni bekas tjongkoan itu dan curi bungkusannya. Tiauw Hay kelabakan, tapi dia pun liehay, dia menduga jelek pada Hek Pek Moko, yang dia terus cari,hingga kesudahannya kedua pihak ketemu di tengah jalan itu dan jadi bertempur.

Bungkam Tiauw Hay ditegur Tan Hong.
"Kecewa kau menjadi taylwee tjongkoan1." Tan Hong tegur. "Raja perlakukan baik padamu, di saat raja dalam bahaya terkurung musuh, bukannya kau membela matimatian,kau justeru meninggalkannya lari sambil curi juga barang-barang berharganya.Kedosaanmu karena kabur saja, bahagianmu adalah bahagian mati, itu ditambah pula dengan pencurian!"
Hek Moko menjadi tertawa bergelak-gelak. "Benar-benar kau perolehnya dari mencuri!" dia berkata, dia mengejek. "Oh, kau kiranya juga satu taylwee tjongkoan1. Baik, mari rasai ruyungku ini!"

Kata-kata itu ditutup dengan satu serangan.

Dengan terpaksa Kong Tiauw Hay melakukan perlawanan pula.

Thianmo Thunghoat dari Hek Moko liehay sekali, dan sekarang ia menyerang dengan sungguh-sungguh, tidak separuh memain seperti tadi, maka itu, baharu lima jurus, Tiauw Hay sudah kewalahan, walaupun dia telah keluarkan antero kepandaiannya. Tepat pada jurus ke enam, goloknya bekas tjongkoan itu kena disampok terlepas dan terpental, menyusul mana , Lekgiok thung turun terus untuk meminta jiwa! Tan Hong terkejut, hatinya tak tega. "Ampuni dia!" ia berseru. "Rusakkan saja ilmu silatnya!"

Ruyungnya Hek Moko turun terus, tepat mengenai pundaknya Tiauw Hay meskipun dia telah mencoba mengegos tubuhnya. Dia menjerit keras dan rubuh, tulang piepee-nya telah patah remuk, habis musnalah kepandaiannya Kimtjiong tiauw, ilmu kebal itu, turut musnah juga semua kepandaian silatnya, hingga selanjutnya dia jadi seorang biasa yang bercacat.

"Djin wie tjay soe, niauw wie sit bong, itulah bagianmu!" Tan Hong berkata. "Hari ini kau tidak sampai binasa, inilah untungmu! Maka selanjutnya baiklah kau mencoba untuk menjadi orang baik-baik!..."

Tiauw Hay merasakan tepatnya teguran Tan Hong itu. Memang — djin wie tjay soe,niauw wie sit bong = manusia mati karena harta, burung mampus sebab makan. Maka dengan paksakan melawan rasa sakitnya, ia bangun berdiri untuk terus lari terbirit-birit.

Dari seorang "berharta besar," ia menjadi seorang rudin dan bercacat juga, untuk hidupnya selanjutnya ia manda menjadi kuli di sebuah perusahaan pengembalaan, di mana pun, saking berduka, ia kemudian mati mereras...

Sekaburnya Kong Tiauw Hay, Hek Pek Moko membuat pertemuan dengan Tan Hong.

Mereka saling unjuk hormat, lalu kedua pihak sama-sama tertawa riuh.

"Kamu datang dari mana?" kemudian Tan Hong tanya.
"Kami baharu pulang dari India di mana kami berusaha, baharu kemarin dulu kami tiba di gunung Tangkula," sahut Hek Moko.
"Bukankah itu wilayahnya suku bangsa Ngolo?" kata Tan Hong, yang tiba-tiba ingat sesuatu. "Apakah kau bertemu kepala suku Ngolo itu?" Pek Moko tertawa.

"Kami adalah kaum saudagar, tak sempat kami menghadap kepala suku itu." dia menyahuti. "Ada juga lain rombongan orang besar yang pergi berkunjung kepada kepala suku bangsa itu! Selama beberapa hari ini, dia sedang sangat repot..."
"Siapakah yang mengunjungi kepala suku itu?" Tan Hong tanya.
"Kabarnya utusannya Yasian."
"Oh!" seru anak muda itu, tertahan. "Utusannya Yasian?"
"Kabarnya Yasian hendak beli suku itu, untuk diajak sama-sama menentang Pangeran Atzu," kata Pek Moko. "Aku dengar hal ini di tengah jalan, dari satu sahabat. Nampaknya di dalam negeri Watzu bakal terbit kekalutan. Kawanku kuatir terhalang perjalanannya,mereka siap sedia untuk pergi ke Selatan. Eh, ya, ayahmu adalah menteri muda dari Watzu, apakah kau tidak dengar kabar halnya Yasian itu?"

"Aku dapat dengar, hanya sedikit," Tan Hong jawab. Lalu mendadak ia ingat sesuatu.

Maka terus ia berkata kepada dua saudara itu: "Maukah kau kasihkan dua rupa barang itu padaku, yaitu cap pribadi kaisar dan tusuk kondenya permaisuri? Ayahku ada punya milik di ibu kota Watzu, biarlah aku tukar itu dengan dua rupa barang ini." Hek Moko tertawa.
"Oh, tidak, tidak hendak aku jual!" ia kata.

Dua barang itu, yang satu adalah mustika negara, yang lain perhiasannya permaisuri,Tan Hong hendak beli itu, untuk nanti dikembalikan kepada Kaisar Tjeng Tong, tetapi Hek Moko menolak, ia menjadi tidak gembira. Kembali Hek Moko tertawa.

"Barang itu memang tidak hendak aku jual, tetapi suka aku menghadiahkannya kepadamu!" ia berkata pula. "Bukankah benda ini kami dapat pungut di tengah jalan? Tidak hanya itu dua barang, juga semua bungkusan ini, semua hendak aku hadiahkan kepadamu!"

Tan Hong heran. "Apa katamu?" dia tanya.

Lagi-lagi Hek Moko tertawa. "Apakah di kolong langit ini hanya kau seorang yang diperkenankan untuk berlaku murah hati?" dia tanya. "Apakah hanya kau yang boleh mengamal? Dahulu hari kau telah
pulangkan barang-barang pendaman yang aku kalah bertaruh denganmu, dari itu, apa artinya beberapa rupa barang ini? Karena barang ini dapat kau pergunakan, kau ambillah semua!"

Matanya Tan Hong memain, ia tertawa. "Baiklah," katanya. "Kamu baik hati sekali,djiewie, aku tidak sungkan-sungkan lagi. Sekarang aku hendak minta djiewie tolong aku dalam satu urusan..."

Hek Pek Moko biasanya tidak sungkan terhadap siapa juga, tetapi terhadap Tan Hong mereka kagum dan takluk, maka itu, dengan lekas mereka berikan jawabannya.

"Katakanlah, apakah itu?" berkata Hek Moko. "Walau urusan itu ada sebesar langit,kami berdua saudara sanggup melakukannya!"

Tan Hong bersenyum."Itulah bukan urusan sebesar langit!" katanya. "Aku cuma hendak minta kamu antarkan sepucuk suratku. Surat itu harus disampaikan sambil lalu."

"Kepada siapakah surat itu mesti diterimakan-nya?" Hek Moko tanya.
"Bukankah dalam perjalananmu ini kamu akan melalui wilayah barat dari Atzu Tiewan?" Tan Hong menegaskan.
"Memang. Jadi kau hendak kirim surat pada Pangeran Atzu?" Pek Moko pun menegaskan.
"Benar."
"Baiklah! Mana suratmu itu?"

Di tengah jalan itu tidak ada kertas dan alat tulisnya, maka tidak ada lain jalan, Tan Hong ambil sepotong kulit kambing di atas mana ia "menulis" dengan ujung pedangnya.
Setelah selesai, surat istimewa itu ia serahkan pada Hek Moko berikut dua rupa batu permata.
"Aku minta surat ini berikut dua rupa mustika ini kau serahkan pada Atzu," ia bilang.
Hek Moko menyambuti, ia simpan surat dan permata itu.
"Nah, sampai kita ketemu pula!" kata dia kemudian, yang bersama adiknya terus pamitan dari si anak muda.
"Sampai ketemu pula!" balas Tan Hong.

Maka di situ mereka berpisahan.

"Toako, kau tulis surat apa itu?" tanya In Loei sesudah mereka berada berdua saja.
Sejak tadi ia cuma jadi penonton.
"Aku mewakilkan bangsa Ngolo membuat perserikatan kepada Pangeran Atzu," sahut Tan Hong.
In Loei heran.
"Kenapa kau ketahui suku Ngolo itu hendak berserikat kepada Pangeran Atzu?" ia tegaskan.

Tan Hong tertawa. "Hal itu aku tahu pasti," ia jawab. "Memang hal itu telah aku rencanakan. Lagi tiga hari,kau akan ketahui semua!".

In Loei masih tidak mengerti tetapi ia tidak menanyakan lebih jauh. Ia hanya kasih lari kudanya, berendeng dengan kudanya si anak muda.

Kuda mereka bisa lari tiga sampai empat ratus lie setiap hari meskipun jalanan bersalju dan licin, angin meniup-niup, maka itu, tiga hari kemudian, tibalah mereka di selatannya gunung Tangkula. Di sini, selagi memasuki lembah, baharulah mereka jalankan kudanya perlahan-lahan.

In Loei umbar matanya. Inilah tempatnya semasa ia kecil. Samar-samar ia masih ingat segala apa. Demikian ia tunjukkan ini dan itu kepada Tan Hong.

"Di sana di bawah pohon besar itu, aku biasa main petak bersama anak-anak tetanggaku," demikian katanya. "Dan di tepinya batu besar itu, suka aku berebahan diri."

Akan tetapi sehabisnya kata-kata itu, mata nona ini mengembeng air mata. Ingat masa kecilnya, ia jadi gembira berbareng duka.
"Segera bakal kau menemui ibumu, untuk apa kau menangis?" kata Tan Hong.

In Loei susuti air matanya.

"Aku terlalu gembira!" ia jawab. "Bagaimana pendapatmu, baik atau tidak kalau aku ajak kau bersama menemui ibuku?"
"Kenapa tidak baik?" sahut Tan Hong. "Apakah kau kuatir ditertawakan ibumu?"
"Bukan! Aku hanya kuatir ibu ketahui kau adalah musuh keluarga kami!"

Likat In Loei ketika ia mengatakan itu. Iapun berduka.
"Asal kau tidak pandang aku sebagai musuh, ibumu tentu akan anggap aku sebagai keponakannya."
In Loei ingat ibunya adalah seorang halus budi pekertinya, jikalau ia tuturkan jelas tentang Tan Hong, mungkin ibu itu tidak gusar, bila ibu itu menerima baik, maka tak kuatir ia akan tentangan dari kakaknya. Mengingat ini, ia jadi bersenyum.

"Kau tertawakan apakah?" si anak muda tanya. "Segera aku akan bertemu ibuku,bagaimana aku tidak bergirang?" si nona kata. Tapi sejenak saja, lenyap wajah gembiranya. Di detik itu ia ingat ibunya ada di rumah kepala suku, bekerja sebagai bujang, sebagai perawat kuda... Bukankah pekerjaan itu rendah dan hidup ibunya bersengsara? Maka ia jadi berduka dengan tiba-tiba, kedua alisnya mengkerut...

Tan Hong mengawasi, ia perlihatkan roman Jenaka. "Apa artinya sebentar ketawa, sebentar menangis?" ia menggoda. "Dari mana datangnya kesusahan hati?"

In Loei terpaksa bersenyum.

"Kau juga pernah bertingkah laku demikian!" katanya.
"Nyatalah makin lama kita jadi makin mirip satu pada lain!" kata si anak muda.
Mukanya In Loei jadi bersemu dadu.
"Bisa jadi!" kata dia. "Sudahlah, aku tidak hendak tertawa lagi kepadamu! Mari kita lekas pergi menemui kepala suku!"

Tan Hong tertawa, ia larikan kudanya.

Belum sepasang pemuda pemudi ini tiba di rumah kepala suku, kepala suku itu telah lebih dahulu terima warta perihal mereka. Inilah disebabkan mereka asing dan kuda merekapun luar biasa, hingga dengan sendirinya mereka menarik perhatian penduduk di situ. Demikian setibanya mereka, sebelum mereka minta pengawal pintu mewartakan kedatangan mereka, tuan rumah, ialah kepala suku, sudah memberi titah untuk pimpin mereka masuk, untuk mengadakan pertemuan. Dengan demikian, mereka jadi tidak usah menunggu lama.

Pintu depan dari kepala suku itu telah dipajang, rupanya ia sedang melayani tetamu agung.

Setelah serahkan kuda mereka, yang mereka minta tolong dijagai, Tan Hong dan In Loei bertindak ke dalam mengikuti pengantarnya, ialah satu nana, bujangnya tuan rumah.

Mereka dibawa ke dalam sebuah kamar di mana terdapat dua perapian untuk menghangati kamar itu, di atas itu mereka dipersilakan duduk.

Adalah kebiasaan penduduk Utara, saban musim dingin, mereka nyalakan api di kolong kang, semacam dipan atau pembaringan tanah, umpan apinya tak tentu, ada dari kayu, arang, atau kotoran kuda yang sudah dikeringkan.

"Sekarang ini ketua kami sedang menyambut tetamu di ruang depan," berkata nana kemudian. "Kamu diminta sukalah duduk menanti dahulu di sini, dia akan menyuruh tjuitjung melayani kamu. Segala apa kamu boleh sampaikan kepada tjuitjung itu."

"Tjuitjung" adalah semacam hoatsoe atau pendeta, yang di kalangan suku Ngolo ini berkedudukan hanya di bawahan "yutjang," kepala suku. Maka itu, penyambutan ini adalah penyambutan yang terhormat.

Tapi In Loei kecele akan dengar tuan rumah tidak dapat segera menemui mereka.
Keras sekali keinginannya untuk cepat-cepat dapat menemui ibunya. Sementara itu ia dengar suara kuda, ialah suara kudanya sendiri dan kuda Tan Hong, ia jadi seperti ngelamun.

"Apakah kedua kuda itu bukan tengah dipelihara ibuku? Ah!... Aku ada di dalam kamar hangat dari kepala suku, menjadi tetamu yang dihormati, tetapi ibu tengah menderita, ia justeru mesti rawati kuda-kudaku dan Tan Hong..."

Ia jadi sangat masgul, hingga ia duduk diam saja.
Tan Hong sebaliknya mengajak si hana bercakap-cakap.

"Tetamu macam apa itu yang tengah ketuamu layani?" dia tanya.
"Katanya utusan Yasian," sahut si nana.
"Bukankah utusan itu sudah datang lama?"
"Ya, sudah sejak tujuh hari yang lalu."
"Kenapa baharu sekarang di jamu?"

Hana itu tidak menjawab, agaknya ia bersangsi.

Tan Hong bersenyum, ia rogo keluar sepotong emas.
"Kau kerja cape di sini, ambillah emas ini untuk kau beli arak," ia kata.

Sudah lama hana itu bekerja pada ketuanya, kalau ia dikasih presen, cuma satu atau dua potong perak kecil, hampir belum pernah ia lihat emas potongan, sekarang ia diberi hadiah ini, air mukanya lantas menjadi terang. Ia terima uang itu sambil berulang-ulang menghatur kan terima kasih, kemudian, tanpa ditanya lagi tetamunya, ia beritahu:
"Kabarnya hari ini ketua kami dan utusan Yasian itu hendak memastikan persekutuan , sekarang dibikin pesta, mungkin persekutuan hendak disyahkan dalam sebuah upacara."

Tan Hong terkejut. "Ah, syukur aku keburu datang!" katanya dalam hatinya.

Justeru waktu itu tjuitjung, wakilnya tuan rumah, belum muncul, anak muda kita ini segera berbangkit.

"Ha, sungguh kebetulan!" katanya, tingkah lakunya wajar "Kamipun adalah pesuruhnya Thaysoe Yasian, syukur kami dapat susul utusan itu. Thaysoe kami lihat rombongan utusannya lama belum kembali, dia titahkan kami menyusul untuk menanyakan hasilnya."

Ia rogo lagi sakunya, untuk keluarkan dua potong emas. "Tolong kau serahkan ini kepada tjuitjung, sebagai tanda hormat kami. Kau katakan padanya, tidak usah lagi dia layani kami, besok kami sendiri akan mengunjungi padanya."

Hana itu berpikir melihat orang ada demikian royal. "Mungkin benar mereka ini pesuruhnya Yasian," demikian katanya di dalam hati kecilnya. "Kalau tidak, mana bisa mereka begini pemurah hati?" Maka ia lantas berkata: "Kalau begitu akan aku kabarkan ketuaku, untuk minta dia kirim wakilnya untuk ajak
kamu masuk ke dalam."

"Ah, tidak usah, membikin berabeh saja," Tan Hong mencegah. "Kami dapat masuk sendiri. Kau baik berdiam di sini untuk tunggui tjuitjung."

Lantas pemuda kita tanya di mana letaknya ruang depan tempat pesta itu, ia minta ditunjukkan jalannya, setelah itu bersama In Loei, yang ia beri tanda, ia keluar dari kamar itu, untuk pergi ke ruang depan.
Hana itu tidak berani mencegah, ia terpengaruh oleh emas presenannya...

Tan Hong bertindak dengan cepat, In Loei mengikuti. Tidak ada orangnya tuan rumah yang mencegah, karena orang tidak tahu hal mereka yang disangkanya datang atas undangan sang majikan. Sebentar kemudian mereka telah sampai di ruang depan di mana lilin dipasang terang-terang. Tuan rumah tengah melayani dua tetamunya minum.

Begitu tidak diduga munculnya dua orang itu, ruang lantas menjadi sunyi, semua orang tercengang. Kemudian adalah kedua tetamu, ialah utusannya Yasian, yang berbangkit paling dulu, untuk memberi hormat kepada dua orang ini, yang mereka sangka tetamutetamunya tuan rumah. Tan Hong dan In Loei memang dandan dengan rapi dan pakaian mereka bukan pakaian sembarang.

Tan Hong bersenyum, ia bertindak menghampiri tuan rumah. Ia menyerahkan sepucuk surat. Ia tidak tunggu sampai tuan rumah menanyakan apa-apa, ia terus keluarkan juga pekgiok sanhoe serta singa-singaan kumala, yang ia letakkan di atas meja.

Semua barang itu adalah barang permata dari istana, sinarnya lantas mencorong di antara cahaya lilin, hingga perhatian semua hadirin sangat tertarik kepada benda itu. Tuan rumah pun mengawasi dengan diam saja.

"Barang-barang tidak berharga ini," berkata Tan Hong sambil bersenyum, "majikanku mohon supaya, biar bagaimana, yutjang sukalah menerimanya."

"Tak berani aku terima hadiah demikian besar dari Thaysoe," berkata si tuan rumah dengan jawabannya. Ia sudah lantas menduga Yasian. Akan tetapi, setelah ia lihat surat di tangannya, ia terperanjat. Di situ ada tertulis namanya Tiewan Atzu. Ia lantas menjadi bingung. Tan Hong lihat kesangsian orang, ia mendesak.

"Majikanku minta ongya membubuhi persekutuan untuk sama-sama menyerang Yasian"demikian ia kata pula, dengan nyaring.

Mendengar ini, kagetlah utusannya Yasian itu, mereka menjadi gusar, dengan berbareng keduanya lompat bangun.
"Kau siapa?" mereka membentak.
"Kita adalah rekan!" sahut Tan Hong sambil tertawa. "Kamu adalah utusannya Yasian dan aku utusannya Atzu."
"Kau berani rusakkan perserikatan kami?" bentak utusan yang satu dengan sangat mendongkol. Terus ia memandang kepada tuan rumah sambil terus berkata: "Kami mohon ongya perintah membekuk dua orang ini, untuk mereka diserahkan kepada Thaysoe."

Tentu saja kepala suku itu menjadi bersangsi, hingga masih ia berdiam saja.

"Aku minta ongya bertindak dengan sudah dipikir terlebih dahulu masak-masak," berkata pula Tan Hong. Di pihak utusannya Yasian itu berlaku bengis, Tan Hong sebaliknya berlaku manis sambil tertawa-tawa. "Yasian itu mempunyai sifat harimau atau srigala, maka bila terjadi dia sudah telan Atzu, tak mungkinlah ongya dapat hidup seorang diri!"
"Hai, jahanam, kau sangat besar nyalimu!" bentak pula si utusannya Yasian itu.
"Nyatalah kau sedang memecah, kau menghina Thaysoe1. Ongya, aku minta lekas kau keluarkan titah menawan mereka ini!"
Yutjang itu menjadi tidak senang menghadapi kelakuan garang dan kasar dari dua utusannya Yasian itu.
"Aku tahu bagaimana harus bertindak, tidak usah tuan-tuan capekan hati!" ia menyahut dengan dingin.

Tan Hong tidak pedulikan kegarangan kedua utusan itu, terus ia bawa sikapnya yang sabar. Ia bersenyum pula ketika ia pandang tuan rumah dan berkata lebih jauh: "Kini memang Yasian kuat dan Atzu lemah, maka itu untuk bantu si kuat untuk menindih si lemah adalah pekerjaan sangat gampang, akan tetapi apakah pernah ongya memikirnya: Yang keras itu sukar melawan yang keras, yang lemah itu gampang untuk menyesuaikan diri?"

Hatinya yutjang itu tergerak. Kata-katanya Tan Hong ini adalah soal yang membuatnya ia ragu-ragu selama tujuh hari, hingga selama itu belum juga ia ambil keputusannya akan menandatangani surat perjanjian persekutuan. Sekarang setelah mendengar perkataannya utusannya Atzu itu, ia insyaf dengan mendadakan, ia merasa seperti ditusuk-tusuk jarum,peluh dinginnya mengucur.

"Benarlah akan kata-katanya dia ini," dia berpikir. "Yasian memang lebih kuat berlipat kali dari aku, jikalau tercapai cita-citanya, asal satu hari saja ia membalik muka, celakalah aku. Mana bisa aku lawan dia? Kekuatannya Atzu berimbang dengan kekuatanku, kalau ia bergabung dengan pelbagai yutjang, untuk menghadapi Yasian, ia mesti berhasil. Setelah itu, bisalah kita semua hidup damai, dengan masing-masing mengurus tanah daerahnya sendiri..."

Kedua utusan Yasian menjadi tegang hatinya, mereka menjadi bingung. Mereka lihat kedua matanya tuan rumah bersinar, memain pergi datang. Mereka tahu tuan rumah tengah bersangsi. Inilah berbahaya bagi tugas mereka. Mereka bingung, mereka pun mendongkol. Kalau mereka gagal? Karena itu, mereka lantas saja ambil keputusan.

Mereka adalah perwira-perwira sebawahan Yasian, mereka kosen, maka itu, mereka lantas memikir untuk menggunakan kekerasan. Demikian, tak bersangsi lebih lama pula,mereka menghunus golok, mereka terus terjang Tan Hong.

Anak muda kita cerdik, ia tabah hatinya. Ia tidak tangkis serangan itu, ia hanya berkelit dan lompat ke belakangnya tuan rumah. Ia tidak diam saja, sebelumnya berkelit, ia telah ejek kedua utusan itu, hingga mereka itu bertambah mendeluh.

Kedua utusan itu menyerang dengan sengit, hampir saja mereka kena bacok tuan rumah. Karena ini yutjang itu menjadi gusar.

"Ringkus dua orang jahat ini!" ia berikan titahnya.
"Siapa berani tangkap kami?" berseru dua utusannya Yasian itu, yang jadi semakin gusar. Oleh karena mereka tidak mau menyerah, mereka jadi bertempur dengan orangorangnya tuan rumah. Sesudah bertempur sekian lama, baharu hati mereka menjadi ciut.

Nyata mereka tidak bisa rebut kemenangan. Karena ini mereka jadi memikir untuk menoblos keluar. Tapi sekarang sudah terlambat. Baharu mereka memikir begitu,mendadak mereka rasakan kakinya kaku, hingga di luar kehendaknya, mereka terlutut di depannya Tan Hong. Itu waktu mereka justeru sedang merangsak sampai di depan anak muda kita.

"Hai, tadinya galak lalu belakangan menjadi demikian hormat?" berkata Tan Hong sambil tertawa.
/
Orang-orangnya yutjang mendupak dua utusan itu, setelah mereka rubuh terguling,mereka lantas diringkus. Sampai waktu itu, mereka masih tidak ketahui bahwa mereka telah dipermainkan Tan Hong. "Kurung mereka!" yutjang berikan titahnya pula. Titah itu sudah ditaati dengan segera.
"Baiklah, akan aku berserikat dengan Tiewan1." kemudian tuan rumah kata pada Tan Hong.

Ia sebenarnya jeri terhadap Yasian, tetapi sampai sebegitu jauh, seperti orang yang menunggang harimau, ia tidak bisa memilih lain. Ia harus lindungkan dirinya.

In Loei tertawa di dalam hatinya menyaksikan yutjang itu membubuhi surat perjanjian bersama Tan Hong. Sejak tadi, meski ia diam saja, ia sudah bertambah mengagumi anak muda itu, teman seperjalanannya.

"Tan Hong sangat pintar dan aneh juga!" ia berpikir. "Dia palsukan diri sebagai utusan Pangeran Atzu dan dia berhasil mengelabui yutjang ini."

Sebenarnya Tan Hong memang telah mengatur rencana. Di dalam suratnya untuk Pangeran Atzu, yang ia telah minta Hek Pek Moko yang menyampaikannya, ia telah menjelaskan rencananya itu. Dengan singkat ia minta Atzu terima baik perserikatan yang dia atur dengan yutjang itu. Karena ini, meskipun secara luar biasa, ia sebenarnya adalah utusannya Atzu Tiewan itu.

Setelah membubuhi tanda tangan, sekarang yutjang teruskan perjamuan dengan tetap ia sendiri yang melayani kedua utusan yang baru ini.

Walaupun sepak terjangnya Tan Hong telah memberikan hasil yang memuaskan, yang mestinya menyenangkan hati mereka, namun In Loei tidak sedemikian anteronya. Ia tetap memikiri ibunya, malah sekarang makin keras, hingga sukar arak turun dikerongkongannya.

Demikian, sesudah mencoba menyabarkan diri sekian lama, akhirnya ia tidak dapat menguasai dirinya lebih jauh.

"Ongya, aku mohon tanya," begitu katanya, "adakah atau tidak di sini seorang wanita yang bekerja sebagai pengurus kuda?" Ia pun lukiskan roman dan potongan tubuh ibunya sebegitu jauh yang ia masih ingat.

Heran tuan rumah yang tetamunya menanyakan hal demikian, hingga ia mesti berpikir sekian lama.
"Rasanya benar ada wanita itu," sahutnya kemudian, "tetapi aku sudah tidak ingat betul. Baiklah aku nanti tanyakan dahulu kepada hana yang urus istal." Lantas ia titahkan orangnya.

Tidak selang lama, muncul hana yang dimaksudkan itu. Yutjang tanya hambanya itu,lalu In Loei menegaskannya.

Hana itu tidak lantas menyahuti, iapun berpikir dahulu.
"Benar, memang ada wanita itu," sahutnya akhirnya, perlahan.

Tiba-tiba saja, In Loei menjadi sangat girang.

"Tolong minta nyonya tua itu datang kemari!" katanya, lekas. "Kami ingin sangat bertemu dengannya!"

Hampir nona ini beritahukan bahwa si nyonya tua adalah ibunya, syukur baharu ia berniat membuka mulutnya, segera ia dapat pikiran lain, maka ia menahan sabar. Hendak ia menanti sampai telah ada kepastian. Ia juga hendak cegah kalau-kalau tuan rumahnya menjadi tidak enak hati karenanya.

Masih si hana berlaku ayal-ayalan, agaknya ia tengah berpikir keras. "Itulah tujuh tahun yang telah lampau ketika nyonya tua itu merawat kuda di sini," menerangkan dia kemudian. "Sekarang dia..."

Hatinya In Loei seperti melompat. "Sekarang dia ada di mana?" tanyanya. Ia memotong tanpa merasa. Tegang sekali hatinya sehingga ia tak berkuasa lagi atas dirinya.

Hana itu heran, hingga ia mendelong mengawasi orang.

"Dia sekarang sudah tidak bekerja di sini," sahutnya kemudian. "Pada tiga tahun yang lalu, dia telah berangkat dari sini, kabarnya dia kembali ke tempatnya yang dulu. Sukar penghidupannya dia itu, tapi kabarnya kini dia ada jauh lebih mendingan..."

Sekarang dapat si hana bicara dengan lancar, tetapi sebaliknya, habis kesabarannya In Loei, yang sudah lantas berbangkit berdiri.

"Baiklah," kata dia. "Sekarang kami berniat pergi menemui nyonya tua itu. Ongya, kami mohon diri!"
Tuan rumah dan hambanya menjadi heran sekali, tetapi adat sopan santun melarang mereka banyak tanya.
"Perlukah aku kirim orang untuk mengantarkannya?" yutjang tanya.
"Aku sudah ketahui. Terima kasih!" sahut In Loei. Ia terus memberi hormat untuk pamitan, perbuatan mana diturut Tan Hong, maka sejenak kemudian, keduanya sudah keluar dari gedung.

Sesudah orang pergi baharulah si hana ingat bahwa romannya In Loei sama mirip dengan roman si nyonya tua tukang merawat kuda itu, tetapi tentang ini ia tidak bilang suatu apa.

In Loei dan Tan Hong berangkat dengan menunggang kuda mereka. Si nona bungkam akan tetapi wajahnya menandakan hatinya tegang, pikirannya terbuka, penuh harapan,sehingga bahna tegangnya, ia jadi mengucurkan air mata, yang berulang-ulang ia mesti menepasnya.

Tan Hong bisa duga ketegangan dan kegirangannya si nona yang luar biasa, ia tidak hendak menegur.
Setelah larikan kuda mereka sekian lama, tiba-tiba In Loei merandek dan turun dari kudanya.

"Selewatnya kali kecil ini, di depan sana, rumah dari tanah liat yang kuning itu adalah rumahku!" berkata si nona tanpa kawannya menanya. "Ah, itu pohon bwee di muka pintu masih seperti dulu! Pohon cemara di belakang pun masih kecil, di dalam semak-semak pohon cemara itu ibu suka menyanyi untukku!..."

Lantas ia jalankan pula kudanya, sampai Tan Hong lompat turun dari kudanya juga.

"Habis pahit, manis datang!" ia berkata, sambil tertawa. "Hari ini peebo melihat kau,betapa girangnya dia!"

Dengan lantas pemuda ini memanggil peebo — bibi — kepada ibunya si nona.
In Loei tidak bilang suatu apa, matanya tengah mengawasi ke pintu rumahnya. Ia lantas saja dihinggapi rupa-rupa kenangan semasa kecilnya, semasa ia tinggal di gubuknya itu. Ia berduka, tetapipun ia bergembira. Tanpa merasa, dengan perlahan, ia menyanyikan nyanyian si cilik tukang gembala kambing yang ibunya ajarkan padanya:

Aku ikuti ibu pergi mengembala kambing —
Anak kambing makan rumput, sangat girang dia.
Bunga di tanjakan sedang mekar, harum baunya,
Ibu Bernyanyi, nyaring suaranya,
Dan hatiku, bukan main girangnya! Aduh!
Di udara terbang berputar seekor garuda besar,
Hendak dia menyambar anak kambing kami! Kasihan,
Anak kambing berlari-lari berkelitan!
"Hai, jangan takut, jantung hatiku!"
Anak kambing itu berlindung di sisi ibunya.
"Ya, kau berlindunglah disisi ibumu,
"Di mana pun tak ada tempat seaman sisi ibu!"
Garuda itu tak dapat sambar anak kambing,
Tak dapat dia merampas jantung hatiku! .

Sambil bernyanyi In Loei bertindak ke arah pintu. Tan Hong awasi si nona, tanpa merasa, air matanya mengembeng. Terharu ia untuk saksikan kelakuannya kawan ini.

Tiba-tiba terdengar satu suara nyaring,lalu sepasang daun pintu bobrok terpentang rerbu ka , dari mana muncul seorang wanita Mongolia yang kepalanya terbungkus ikat kepala, romannya kucel, sepasang matanya celong, dan bajunya walaupun bersih, telah banyak tambalannya.

Air matanya In Loei bercucuran begitu lekas ia tampak nyonya itu, lantas saja ia berlarilari,untuk akhirnya menubruk, merangkul.

Nyonya tua itupun bermandikan air mata, ia tatap muka orang.

"Sepuluh tahun telah aku nantikan kau!" serunya. "Benarkah kau, jantung hatiku?..."

In Loei menangis sesegukan."Benar, ibu, inilah aku..." In Loei menjawab. "Apa ibu tidak dapat lihat aku?"

"Mari dekatan, kasih aku pandang kau!" berkata si nyonya, walaupun orang telah berada dihadapannya. "Benar-benar kau mustikaku, jantung hatiku!..."

Kasihan ibunya In Loei ini. Dahulu hari, karena secara mendadak ia kehilangan suaminya serta anak perempuannya, saking berduka, ia menangis terus menerus sampai air matanya seperti mau kering, karenanya penglihatan matanya itu menjadi kabur, benar ia tidak menja di buta akan tetapi di antara jarak tiga kaki lebih, tidak sanggup ia mengenali orang lagi, ia cuma seperti lihat segumpal bayangan hitam. Demikian sebabnya, walaupun gadisnya bera da di depannya, ia tidak lantas dapat melihat tegas, ia melainkan dapat merasakan saja.

Tan Hong telah saksikan itu, ia bersusah hati bukan main. "Begini hebat penderitaannya nyonya yang baik ini," katanya di dalam hatinya. "Ya, semua ini disebabkan kedosaan keluargaku..."
Selama di tengah jalan, banyak yang anak muda ini pikir. Ia telah siapkan kata-kata yang akan diucapkan nanti dalam pembicaraan dengan ibunya In Loei, untuk menghibur nyonya tua itu, akan tetapi sekarang, menyaksikan kesengsaraan orang, ia menjadi bungkam, tidak sepatah kata juga yang dapat ia ucapkan. Maka ia cuma bertindak menghampiri seperti seorang yang tanpa perasaan.

In Loei dan ibunya berpelukan, mereka sedang menangis amat sedihnya. Sang nyonya tidak tahu ada lain orang di situ, dan In Loei lupa kepada kawan seperjalanannya itu.

Selang sekian lama, baharu terdengar suaranya si nyonya: "Ayahnya In Loei, kau dengar tidak?" demikian katanya.

Hampir berbareng dengan itu, di muka pintu muncul seorang, melihat siapa, In Loei tercengang.

Orang itu adalah seorang laki-laki, mukanya bercacat dengan bekas-bekas luka,tindakan kakinya dingkluk-dingkluk, pincang. Rambutnya yang tipis, sudah separuhnya berubah menjadi putih. Juga pakaiannya sudah tidak keruan macam, seperti pakaian si nyonya. In Loei hampir tidak dapat mengenali laki-laki itu jikalau ia tidak dengar ibunya mengatakan "ayahnya A Loei." Menampak keadaan ayahnya itu, jantungnya In Loei memukul keras! .

Dengan duduk di atas sebuah perahu kecil yang enteng, seorang diri Thio Tan Hong tengah mengayuh dipermukaan telaga Thayouw, tangan kanannya menyekal dayung,tangan kirinya menggenggam sebuah anak kunci dari emas yang bercahaya berkilau-kilauan. Dia pentang kedua matanya, memandang telaga yang luas itu. Dengan riang gembira, dia buka mulutnya dan bersenanjung dengan nada tinggi: "Telaga Thayouw yang luasnya tiga puluh enam ribu bahu, airnya masih tak dapat mencuci kedukaan orang-orang gagah dari jaman dahulu hingga sekarang!"

Keras dan nyaring suara itu hingga burung-burung di telaga itu beterbangan karena kagetnya.

Itulah anak kunci emas yang Thio Tan Hong dapatkan dari liang di dalam Koaywa Lim.

Dengan mengikuti petunjuk gambar itu, tahulah Tan Hong, bahwa harta besar simpanan leluhurnya itu dipendam di dalam taman penglipur itu. Itulah sebabnya ia telah pergi ke Koaywa Lim, untuk turut dalam perjudian dadu yang menggemparkan itu. Sementara itu ia telah ketahui, dari pesan leluhurnya, tempat menyimpan harta itu dipersiapkan dengan panah-panah beracun, maka itu, sebelum menggali, ia sudah membuat penjagaan diri, ini juga sebabnya kenapa ia berhasil membongkar tanpa menemui halangan. Hanya, setelah ia berhasil membongkar pekgiok pay, di situ ia tidak dapatkan barang lainnya kecuali anak kunci emas itu. Cuma, di atas anak kunci itu, ia lipat dua baris ukiran huruf-huruf halus yang berbunyi:

"Di telaga Thayouw, dibukit Tongteng San Barat, Dengan anak kunci ini, harta simpanan dapat dicari."

Pada waktu ia hendak pendam harta besarnya itu, Thio Soe Seng berpikir keras, ia memikirkan tempat di mana ia dapat menyimpan dengan aman. Ia berkedudukan di Souwtjioe, kalau ia simpan di kota itu juga, pasti Tjoe Goan Tjiang dapat menerkanya.

Sebaliknya, jikalau ia menyembunyikan di tempat jauh, sulit pengangkutannya dan itu pun mudah membuat rahasia bocor. Maka akhirnya ia mengambil keputusan untuk menyimpan harta itu di Say Tongteng San, yaitu gunung Tongteng San Barat, di telaga Thayouw. Dari kota Souwtjioe ke gunung itu, perjalanan hanya sehari satu malam. Demikian ia membuat persiapannya dan bekerja.

Tentang lukisan yang menunjukkan Koaywa Lim adalah tempat harta, itulah sebagian hanya akal belaka. Di sini cuma dititipkan anak kunci emas itu, yang dilindungi panah api beracun.

Setelah selesai segala apa, gambar lukisan itu diserahkan kepada "raja yang muda," yaitu putera Thio Soe Seng serta boesoe-nya, pahlawan kepercayaan, yang setia, ialah leluhurnya Tjio Eng. Pada putera dan pahlawan itu, telah diberitahukan bahwa di dalam liang diatur panah beracun itu serta caranya untuk membongkar pekgiok pay, supaya
orang luput dari ancaman anak panah. Perihal anak kunci emas dan tempat yang benar di mana harta terpendam, serta lain rahasia itu, bukan cuma si putera malah si pahlawan juga tidak mengetahuinya suatu apa. Itu artinya selanjutnya si putera atau siapa pun,harus berikhtiar dan mencarinya sendiri.

Sewajarnya saja, Thio Tan Hong telah berlaku cerdik. Setelah dia dapatkan anak kunci emas itu, dia tutup dan uruk pula liang itu sebagaimana adanya, kecuali tanah bekas bongkaran sebelah atas, yang tak dapat dia tutup rapi sebagaimana asalnya. Habis itu,sebelumnya rombongan Kwee Hong tiba, dia sudah angkat kaki dari Koaywa Lim.

Untuk dapat pergi ke Say Tongteng San, Tan Hong menitipkan dahulu kuda putihnya kepada satu sahabatnya, lalu dengan sebuah perahu kecil dan enteng, yang telah disiapkan sejak siang-siang oleh sahabatnya, dia berangkat memasuki telaga Thayouw.

Tempat permulaan berangkat adalah di jembatan Banlian Kio di kota Souwtjioe itu. Ia berangkat tengah malam, maka dengan lekas ia telah keluar dari Siekauw, hingga ia sudah lantas berada di permukaan telaga yang luas dan di lingkungi bukit.

Tentu saja, dalam keadaan seperti itu, tidak ada kegembiraan Tan Hong akan menyaksikan keindahan alam di telaga itu, hanya sambil mengayuh, ia keluarkan anak kunci emas itu dan dibulak-balikkan untuk diperiksa.

"Huruf-huruf yang terdapat pada anak kunci ini berbunyi: dengan punyakan anak kunci ini, harta simpanan akan dapat dicari," demikian ia berpikir, "akan tetapi, bagaimana aku harus mencarinya? Gunung Say Tongteng San besarnya seratus kali lipat daripada Koaywa Lim, tidakkah aku bagaikan mencari sepotong jarum di laut yang besar? Tentang hartanya sendiri, itu adalah satu soal lain, tidak demikian dengan peta buminya — peta bumi itu berhubungan dengan nasib negara!"

Tan Hong memandang ke muka air di sekitarnya. Air, melulu air! Pemandangan tenang tetapi indah, terbuka juga hati Tan Hong. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. "Dengan perahu di tengah gelombang, tenanglah hati," pikir dia. Di tempat permai ini,di saat begini tenteram, perlu apakah aku berduka tidak keruan? Tidakkah aku tolol?"
Ia lantas simpan anak kunci itu, lalu mengayuh pula. Oleh karena perahu itu kecil dan enteng, dia dapat bergerak dengan laju, seperti dibantu oleh layar.

Telaga Thayouw mempunyai tujuh puluh dua puncak, di atas itu meganya indah, puas hati memandangnya. Sekarang Tan Hong telah membuktikan benarnya perkataan bahwa Thayouw ini, dengan keindahannya itu, dapat menangkan Tong Gouw.

Belum lama ia mengayun perahunya, atau lantas tampak puncak Say Tongteng San.Memang gunung itu tidak dapat menandingi Ngogak, ke lima gunung ternama dari Tionggoan, akan tetapi karena letaknya di antara telaga, gunung ini mempunyai keistimewaan sendiri, tebingnya curam, banyak batu yang aneh-aneh rupanya, yang menerbitkan berbagai kesan.

Begitu lekas ia tiba di kaki bukit, Tan Hong segera mendarat. Ia tampak di kaki bukit,sawah berjejer, sedang di atas gunung, banyak macam pohon-pohonan, yang rapat tumbuhnya, ada buahnya, ada bunganya, yang menyiarkan bau harum.

"Sungguh tenang dan nyaman jikalau di sini orang mendirikan gubuk untuk bertinggal," Tan Hong melamun.

Setelah mencari jalan, Tan Hong mulai mendaki bukit. Ia berjalan sambil berpikir, ke arah mana ia mesti cari tempat rahasia harta itu, tiba-tiba ia lihat dua bocah tukang angon kerbau tengah mendatangi ke arahnya bersama dua ekor binatang angonnya. Dua bocah itu sudah lantas mengawasi anak muda ini, sinar mata mereka menunjukkan keheranan atau bercuriga.

Tan Hong segera menghampiri mereka untuk mengajak mereka bicara.

"Kedua engko kecil, aku numpang tanya," dia kata. "Aku datang kemari untuk pesiar.Untuk naik ke atas gunung, adakah di sini jalan yang baik?"

Kedua bocah itu saling memandang.

"Aku tidak tahu!" sahut satu di antaranya, suaranya keras.

"Heran," pikir Tan Hong, "kenapa kedua bocah ini begini tidak tahu adat, mereka beda jauh daripada penduduk Tamtay Tjoen?"

Selagi Tan Hong berpikir demikian, ia heran mendapatkan kedua bocah angon itu tiba-tiba berselisih mulut, sama-sama mereka mementang mulut lebar. Yang di belakang berkata bocah yang di depan sengaja menginjak lumpur hingga lumpur sawah muncrat mengenai pakaiannya, yang di depan bilang, kawannya itu sengaja membikin kerbaunya
menendangi batu hingga ada batu yang terbang ke batok kepalanya.

"Lucu," pikir pemuda ini, yang berniat memisahkan mereka itu.

Dari berselisih mulut, kedua bocah itu sudah lantas saja berkelahi. Tidak cuma demikian, mereka juga menganjurkan kerbau mereka masing-masing untuk turut berkelahi juga. Hingga sebentar saja, keadaan menjadi kacau.

Celaka untuk Tan Hong, selagi jalanan sempit, kedua kerbau itu saling seruduk dan saling uber, ke arahnya. Ia sampai menjerit ketika ia hampir kena diterjang, terpaksa ia pentang kedua tangannya, dengan gerakan "Yama hoentjong," atau "Kuda hutan membuka suri," ia tolak kedua kerbau itu ke kiri dan kanan. Ia dapat lindungi dirinya, kedua kerbau itu ngusruk dan rubuh.

Saking kaget, kedua bocah itu menjerit keras.
Kalau mau, Tan Hong dapat melukai kedua kerbau itu, tapi ia telah menggunakan hanya tiga bagian dari tenaganya, maka itu, ia menjadi heran, ia menjadi kaget mendengar jeritan kedua bocah itu.

"Adakah aku memakai tenaga terlalu besar hingga kedua bocah itu turut terluka?" ia tanya dirinya. Lantas ia awasi kedua ekor kerbau. Kembali ia menjadi terkejut. Kedua kerbau itu tengah berlarian, kedua bocah angonnya tidak nampak.

"Ah, ke mana mereka pergi?" pikir Tan Hong. Pada saat ia hendak mencari, dari sebuah tikungan tampak dua orang tani baharu saja muncul, hanya, untuk herannya, ia dengar mereka itu segera berseru: "Setan, hari terang benderang, dari mana datangnya penjahat ini?....."

"Kedua engko, dengar dulu," kata Tan Hong dengan cepat. Ia menyangka pasti bahwa orang telah mencurigai padanya. "Aku bukannya orang jahat.....”

"Kau bukannya orang jahat?" bentak salah satu petani itu sebelum orang berhenti bicara. "Kenapa kau lukai kerbau kami dan menculik juga kedua anak kami?"

Tan Hong heran.

"Aku menculik anakmu?" dia tegaskan. "Mereka..... mereka....."

Dua petani itu tertawa dingin.

"Mereka..... mereka kenapakah?" katanya mengejek. "Kenapa mereka itu lenyap? Jikalau bukannya kau yang menyembunyikan mereka, pasti kau telah menyerahkan mereka kepada koncohmu, untuk segera dibawa pergi, buat dijual!" Mau atau tidak, Tan Hong tertawa. "Mana bisa terjadi demikian?" ia kata. "Coba periksa dahulu kerbaumu, binatang itu terluka atau tidak, habis itu baharu kamu pergi cari kedua bocah itu!"

Kedua petani itu menjadi murka, tanpa banyak omong lagi, mereka angkat pacul mereka masing-masing, dengan itu mereka menyerang!

Tan Hong terkejut, apapula ketika ia saksikan kesebatan orang. Walaupun dia bertenaga besar, orang tani biasa tidak nanti demikian sebatnya.

Terpaksa Tan Hong berkelit dengan gerakan "Poanliong djiauwpou," atau "Naga melilit." Tapi ia tidak cuma berkelit. Berbareng dengan itu ia pun mengangkat kedua tangannya, akan menyambuti pacul orang itu, untuk disamber dan dirampas.

"Tolong! Tolong!" teriak kedua petani itu. "Tolong, ada rampok! Ada rampok bunuh orang!"

Tan Hong mendongkol berbareng geli dalam hatinya.

"Jikalau aku berniat membunuh kamu, siang-siang jiwamu sudah akan melayang!" ia kata pada mereka itu. "Tidak nanti aku biarkan kamu membuat keributan!"

Segera ia ayunkan kedua tangannya, akan melemparkan kedua pacul orang.

Pada waktu itu pula, muncul lagi delapan orang, yang datang dari mana kedua orang tani tadi keluar, mereka juga membawa pacul, dan tanpa banyak omong lagi, mereka maju mengeroyok Tan Hong, dari depan dan belakang, dari kiri dan kanan.

Mau atau tidak, Tan Hong jadi mendongkol.

"Tidak keruan-keruan aku mesti berkelahi, sungguh naas," pikirnya. Ia lompat berkelit,ia memikir untuk meloloskan diri, meninggalkan mereka itu, atau mendadak ia jadi heran. Ia telah dikurung ke delapan orang itu, ke mana saja ia noblos, di situ ada petani yang menghalang dan pacul yang melayang ke mukanya.

"Inilah cara berkelahi yang terlatih," pikirnya kemudian. Karena ini, ia jadi bersungguh-sungguh, ia tunjukkan kehebatannya. Ia lantas peroleh hasil, tak lama berselang, ia dapat membuat orang kewalahan, hingga mereka itu main mundur, hanya pada saat itu, belum dapat ia mengalahkan mereka itu, kecuali apabila ia menggunakan kekerasan. Latihan mereka itu sempurna, masih dapat mereka mengurung, tidak mau mereka mengalah.

Akhir-akhirnya Tan Hong bertindak juga, sambil berseru, ia desak mereka, hingga mereka mundur satu tombak lebih.

"Jikalau kamu masih tidak hendak berhenti, jangan salahkan aku, aku tidak akan berbuat sungkan-sungkan lagi!" ia mengancam. Tapi ia tertawa.

"Apa artinya tidak sungkan-sungkan?" tanya satu petani, yang rupanya menjadi pemimpin. "Bangsat anjing, apakah kau kira kami takut?"

Tan Hong jadi mendelu juga. "Baik aku gunakan pedangku, untuk membuat pacul kalian kutung, hendak aku lihat, kamu jeri atau tidak.....” pikir dia. Lantas dia lindungi diri dengan tangan kiri, tangan kanannya dipakai merabah pedangnya.

Justeru itu, dari atas gunung, terdengar suara pertanyaan: "Hai, kenapa kamu berkelahi?"

Tan Hong mendongak, akan melihat ke atas, hingga ia tampak satu orang dengan kumis jenggot panjang, jidatnya lebar, hidungnya besar, dan dandannya seperti anak sekolah akan tetapi romannya seperti seorang yang mengerti silat.

"Penjahat ini melukai kerbau dan menculik anak kami!" sahut petani yang menjadi kepala itu.
"Kerbau kita tidak terluka," kata orang itu, yang terus memanggil-manggil: "A Tjiauw! A Seng!"

Tan Hong melirik kepada kedua ekor kerbau. Sekarang ia lihat, kedua binatang itu tidak lagi saling kejar, hanya berhenti berlari dan berdiri diam, dan dari bawah perutnya muncul kedua bocah angon tadi, keduanya sambil tertawa berkakakan! Terhadap Tan Hong,mereka pun mengejek secara Jenaka, hingga pemuda ini tersenyum.

"Aku juga heran kenapa kedua kerbau itu berputaran tak hentinya, kiranya mereka ini yang main gila," katanya di dalam hati. "Kepandaian mereka menungang kerbau nyata terlebih liehay daripada orang Mongolia menunggang kuda. Mereka muncul secara tiba-tiba, mereka berbuat itu dengan sengaja atau bukan? Baiklah aku berlaku waspada."

Orang di atas gunung itu, yang usianya telah lanjut, terdengar pula berkata: "Orang-orang tani desa biadab dan tidak tahu aturan, ini pun salah pengertian, maka itu akuharap kau tidak berkecil hati tuan. Eh, kenapa kamu tidak lekas-lekas menghaturkan maaf kepada tuan itu? Lekas! Setelah itu kamu lekas pergi meluku!"

Ke delapan petani itu, berikut kedua bocah, yang telah berkumpul menjadi satu, lantas menghadap Tan Hong, untuk memberi hormat. Sesudah mana, mereka semua ngeloyor pergi, hingga di situ Tan Hong berada seorang diri saja.

"Apakah siangkong datang untuk pesiar?" tanya si orang tua kemudian.
"Benar," sahut Tan Hong, singkat.
"Tujuh puluh dua puncak tak mudah habis dipandang, sawah yang luas juga dapat menghilangkan duka, maka kalau siangkong datang untuk pesiar, kau mesti berdiam di sini sedikitnya beberapa hari," berkata pula si orang tua.

Tan Hong lihat orang berlaku sopan, ia pun bersikap hormat.

"Aku ingin bertanya mengenai she dan nama iootiang," ia mohon.
"Tak usah kau tanyakan namaku, cukup kau memanggilnya aku iootiang," sahut orang tua itu. "Aku juga, cukup memanggil kau siangkong. Tidakkah ini sederhana?"

Tan Hong setuju dengan sifatnya orang tua itu. "Benar," ia jawab.

"Aku si orang tua tinggal di atas gunung ini," kata pula orang tua itu. "Beberapa sahabatku menamakan tempat kediamanku ini Tongteng San tjhoeng. Siangkong akan berpesiar beberapa hari di sini, apabila siangkong tidak berkeberatan, baiklah siangkong beri ketika bagiku untuk aku jadi si tuan rumah. Bagaimana siangkong pikir?"

"Kau baik sekali, iootiang, terima kasih," sahut Tan Hong. "Aku kuatir aku nanti mengganggu padamu.....”

Orang tua itu tertawa lebar. "Sama sekah tidak, siangkong1." ia kata. "Siangkong berpesiar, setelah lelah,kau datang ke gubukku, untuk beristirahat, jikalau ada jodoh, kita berkumpul, kalau tidak, sudah saja. Tidak ada gangguan bagiku.....”

Tan Hong girang, ia hampirkan orang tua itu, untuk memberi hormat, yang mana dibalas si orang tua. Ia merasa puas dengan perkenalan ini. Ia memang berniat mencari seseorang yang mungkin bantuannya bisa diharapkan untuk mencari tempat menyimpan harta, sekarang ada si orang tua, inilah kebetulan.

Si orang tua menunjuk kelereng gunung, ia berkata: "Di sana tidak ada apa-apa, akan tetapi sedikit sayur dan ikan tersedia juga. Kalau siangkong hendak pesiar, silahkan.

Sebentar malam siangkong mampir padaku, akan aku sediakan ikan segar dan arak putih untuk teman kita pasang omong."

"Terima kasih," Tan Hong mengucap, tangannya dirangkapkan. Di dalam hatinya, ia berpikir pula: "Kalau orang tua ini tidak menyembunyikan sesuatu maksud, ia mestinya seorang kangouw yang luar biasa, maka berhubung dengan kedatanganku ini, andaikata aku tidak berhasil mencari harta, senang aku dapat bersahabat dengan dia. Rombongan petani itu juga bukan sembarang orang, ada baiknya juga untuk berkenalan dengan mereka.....”

Sampai di situ, mereka berpisahan, Tan Hong pun mendaki terus, untuk berpesiar katanya, sedang sebenarnya ia memasang mata, mencari sesuatu.

Selama berdiam di atas gunung, terus sampai lohor, dengan matanya yang awas, Tan Hong merasa bahwa kadang-kadang ada seorang petani, atau penduduk gunung itu, yang sedang mengambil kayu atau memetik buah hutan, memasang mata kepadanya. Ia heran,ia jadi bercuriga. Tapi ia tidak jeri. Ia tetap perhatikan tempat yang ia kunjungi, ia ingat baik-baik. Kemudian, ketika matahari sudah mulai turun, ia menetapi janji terhadap si orang tua, ia bertindak ke lamping gunung, ia pergi ke apa yang si orang tua sebutkan kampung Tongteng San tjhoeng.
Justeru waktu itu, pintu pekarangan telah dibuka dengan perlahan-lahan, yang membukakannya adalah satu nona, yang kedua matanya bersinar dan kulit mukanya halus seperti nona Kanglam atau nona Utara yang manis.....

"Heran," pikir Tan Hong. "Kecantikan In Loei ada bagaikan bunga tjielan, kecantikan nona ini ada seumpama bunga mawar atau hoeyong. Kalau mereka berdua direndengkan,sungguh sulit untuk memilihnya....."

Tan Hong baharu hendak membuka mulut, atau si nona telah mendahului. Lebih dahulu nona itu tertawa manis.

"Siangkong, adakah kau siangkong yang datang berpesiar di gunung ini?" demikian dia menanya. "Ayah telah berbicara tentangmu kepadaku. Silahkan masuk!"

Tan Hong mengucap terima kasih, terus ia ikuti nona itu masuk ke dalam pekarangan dimana tertanam pohon rotan, rupa-rupa pohon bunga, paseban dan empang. Itu adalah sebuah taman yang menarik yang tak kalah dengan Koaywa Lim, hanya kalah besar.

Taman ini pun nyaman.

Si orang tua, atau tuan rurnah, tampak tengah berdiri di depan paseban di mana telah tersedia arak, melihat tetamunya, ia menyambut dangan manis.

"Bagaimana keindahan telaga dan gunung di sini?" ia menanya.
"Telaga Thayouw ini jauh lebih indah daripada Tonggouw," jawab Tan Hong. "Airnya,gunungnya, bagaikan lukisan saja. Hal ini pun telah dibenarkan oleh orang-orang jaman dahulu. Boanseng kagum sekali."

Orang tua itu tertawa. "Hanya sayang," katanya, "ada orang-orang yang memandang telaga dan gunung ini hingga mereka melupakan nama besar dan kedudukan tinggi, sampai di otak mereka hanya terdapat kuningan yang busuk saja. Tidakkah itu lucu dan mereka harus dikasihani?"

Mendengar itu, berdenyut hati Tan Hong.

"Mungkinkah dia ketahui bahwa aku datang kemari untuk mencari harta terpendam itu!" ia tanya dirinya sendiri. Tapi segera ia tertawakan dirinya, yang ia katakan banyak kecurigaannya. Tapi ia masih berpikir lebih jauh: "Leluhurku menyimpan harta, itulah satu rahasia. Aku juga ketahui harta disimpan di sini sesudah aku dapatkan anak kunci emas. Maka, cara bagaimana orang tua ini mengetahuinya? Perkataannya barusan mungkin kebetulan saja.....”

Tuan rumah silahkan tetamunya duduk, ia mengundang minum, lantas mereka pasang omong terlebih jauh, mengenai pemandangan alam dari telaga dan gunung, dari hal ilmu surat dan seni lukis. Nyata mereka cocok satu dengan lain. Cuma sampai sebegitu jauh,mereka pantang menanyakan asal-usul mereka masing-masing.

Setelah tenggak beberapa cangkir arak, orang tua itu kelihatan sudah pusing.

"Siangkong, aku sudah pusing, aku ingin tidur," berkata dia. "Pemandangan Thayouw di waktu malam indah sekali, jikalau siangkong ingin menyaksikan, silahkanlah. Tempatku ini ada pintunya yang senantiasa terbuka. Siangkong boleh minta ditemani anakku atau dapat juga pergi seorang diri. Kalau pulang, tidak usah siangkong mengetok pintu, asal
ditolak, pintu akan terbuka."

"Baik sekali orang tua ini," pikir Tan Hong. "Ia seolah-olah mengetahui isi hatiku.

Memang Thayouw mestinya indah di bawah cahaya Puteri Malam."
Ia lantas menghaturkan terima kasih. Orang tua itu pun lantas mengundurkan diri. Si nona tertawa manis, ia menanya: "Adakah ini yang pertama kali siangkong pesiar kesini?"
"Ya," sahut Tan Hong. "

"Siangkong kata, siangkong datang dari Utara, aku lihat kau seperti orang Kanglam," kata pula si nona, sambil tertawa. "Eh, ya, aku seperti pernah lihat siangkong, entah di mana, aku seperti kenal kau.....” '

"Kau omong main-main, nona!" Tan Hong pun tertawa. "Sebenarnya ingin aku lebih siang mengenal kau,maka sayang, baharu sekarang ada ketika bagiku datang kemari untuk menyaksikan keindahan telaga dan gunung di sini." Nona itu tertawa, ia tidak bilang suatu apa.

"Silakan siangkong ambil tempat di sini," kata dia. "Tempat kami buruk, harap siangkong tidak mencelanya."

Tan Hong sebaliknya melihat sebuah kamar yang bersih yang berada di tengah-tengah empang teratai, yang bunganya sedang mekar, warnanya merah dadu, hingga indah dipandangnya, semerbak harumnya.

Sambil tertawa, nona itu mengundurkan diri, akan tetapi masih terdengar suaranya yang halus: "Benar-benar, kalau melihat orang dari romannya, dia akan keliru mengenal Tjoe Ie. Menghadapi pemandangan bukit dan telaga ini, orang bicara dari hal manusia,sekalipun dibanding dengan kaisar, berapakah harga satu kati dari kaisar itu?"

Tan Hong lantas berpikir: "Benar-benar, ada ayahnya, ada puterinya! Nona ini sangat sederhana dan polos.....”

Lantas ia ingat In Loei, karena mana, bayangan si nona seperti tertindih. Ia mengawasi bunga teratai, ia ingat akan pengalamannya hari ini. Ia merasa aneh, ia merasa melayang, hingga tak ada keinginannya untuk tidur. Tanpa merasa, tak tahu ia berapa lama ia berdiam di dalam kamar itu, Tan Hong tiba-tiba melihat sinar rembulan memasuki jendela, ia pun dengar suara halus dari gelombang telaga itu. Ia lantas kerebongi dirinya dengan baju luarnya, ia tolak daun pintu belakang,untuk pergi keluar kamar, untuk mendaki bukit. Dari sebelah atas, sangat menarik memandang telaga yang indah itu, yang disinari cahaya Puteri Malam. Gunung Tongteng San Barat nyata berdiri agung di tengah-tengah telaga, yang luasnya delapan ratus lie.

Tak dapat dilukiskan kepermaian alam itu.

Selagi kesengsem dengan pemandangan itu, tiba-tiba Tan Hong dengar nyanyian si nona:
"Mega abu-abu menggulung, maka bersihlah langit keperak-perakan,Angin yang halus datang meniup gelombang sang rembulan,Pasir diam, air berhenti, lenyap juga suara dan bayangan. Dengan secawan aku menghaturkan, aku bernyanyi untuk tuan,Bagaikan air jernih cukup untuk mencuci bersih kekotoran. Dalam hidupnya untuk apa manusia menyatakan penyesalan.Emas, perak dan mutiara, semua merupakan benda penghalang, Semua itu harus dihabiskan di antara gelombang! Aku nasihati tuan-tuan Ada arak,minumlah hingga mabuk sendirian, Ada arak tak diminnm, sayanglah sang rembulan."
Merdu nyanyian itu, terbawa angin menjelajah telaga Thayouw.....

Thio Tan Hong termenung lalu ia berpikir. "Nona ini menyanyikan syair dari jaman Tong. Bukankah dengan itu ia tengah menasehati aku untuk jangan bercapai hati dan tenaga mencari harta simpanan itu? Ah, mana dia tahu cita-citaku! Aku tak berminat menguasai harta besar itu! Mana sudi aku segala benda busuk itu?"

Lalu timbul keinginannya untuk membalas si nona. Maka ia menyambutnya:"Tuan, berhentilah bernyanyi, dan kau dengar nyanyianku Puncak ini mendadak menjulang, menunjang "langit perak".

Di dalam dunia ini juga ada laki-laki sejati,Berdiri dengan tegak dan gagah, dengan pedang dilintangkan! Gelar kebangsawanan dan permata, semua itulah kotoran, Cita-citanya ialah satu kali menggulung pemerintahan!"

Begitu lekas suara Tan Hong lenyap maka di sana, di antara batu-batu berdiri bagaikan ujung rebung, si nona, wajahnya tersungging senyuman. Dia memandang kepada si anak muda, tangannya dilambai-lambaikan dengan perlahan.

Tanpa merasa, anak muda ini bertindak menghampiri.

"Apakah benar kau hendak kukuhi cita-citamu?" tanya si nona tiba-tiba.
"Tak tahu aku, cita-cita apakah yang nona maksudkan," jawab Tan Hong. "Akan tetapi,
kalau satu laki-laki melakukan sesuatu, mana dapat dia gampang-gampang merubahnya?"
Wajah si nona berubah.
"Kau datang kemari dengan pikiran untuk mencuri harta!" dia kata sambil tertawa dingin. "Itulah kau jangan harap!"

Dengan sekonyong-konyong nona itu menghunus sebatang pedang pendek, yang sinarnya hijau berkelebat, dengan apa ia menikam dada si anak muda di depannya.

Tan Hong kaget, akan tetapi ia dapat berkelit.

"Nona, kau siapa?" ia tanya.
Nona itu tidak menyahuti, sebaliknya, dengan kegesitannya, ia menikam pula berulang kali.

Tan Hong tidak melakukan perlawanan, ia hanya berkelit, karenanya ia jadi terdesak sampai di tempat di mana terdapat banyak batu. "Nona, tunggu,....tunggu!" ia berkata, berulang-ulang. "Dengarkan dahulu.....” Ia belum menutup mulutnya, juga si nona belum menjawab dia, atau mendadak dari antara sela-sela batu yang banyak itu, muncul beberapa orang, di antara siapa terdapat si tuan rumah, yang usianya sudah lanjut dan tangannya menyekal sebatang tempuling,ketika dia lompat ke atas sebuah batu, dia langsung menikam ke arah uluhati si pemuda.

Hebat sambaran tempuling itu, maka tahulah Tan Hong bahwa orang tua itu liehay ilmu silatnya. Suara sambaran itu membuktikan orang terlatih baik.

"Lootiang, kau kenapa?" Tan Hong masih menanya. "Kenapakah sikap kau ini?"
"Hrn! Apakah benar kau sendiri masih belum mengerti?" jawab tuan rumah itu.
"Mulanya aku sangka kau seorang terhormat, kiranya kau ada satu manusia jahat yang dipengaruhi harta!"

Sementara itu Tan Hong kenali beberapa orang di antaranya adalah petani-petani yang tadi siang ia lihat.

"Memang telah kami lihat, kau bukannya orang baik-baik!" berkata beberapa orang itu.
"Lihat! Lihat pedang! Lihat tombak cagak!" Memang benar, senjata mereka itu banyak macamnya, ada pacul juga.

Tan Hong gentar juga karena orang segera mengepung dia, lebih-lebih tempuling si orang tua dan pedang pendek si nona. Ia tidak diberi kesempatan untuk bicara. Tentu saja, tanpa perlawanan yang berarti, ia bisa terkurung terus di tempat itu, yang banyak batunya. Maka terpaksa ia hunus pedangnya dengan apa segera ia tabas kutung senjatanya dua petani.

"Tahan!" ia berteriak, begitu lekas kedua orang itu mundur, mereka kaget sebab senjata mereka kena dibabat kutung.

Si orang tua tertawa berkakakan.

"Dengan terkurungnya kau di dalam barisan ini, percuma saja pedang mustikamu!" kata dia dengan wajar tetapi jumawa. Lantas dia maju pula, menikam dengan tempulingnya.

Tan Hong masih pandang orang tua ini, tidak mau ia mendesak, tidak ingin ia memapas senjata orang, ia hanya melawan yang lainnya. Akan tetapi, kalau yang satu mundur yang lain maju, atau mereka meluruk, atau mereka pun seperti menghilang di belakang batu.

Kali ini, mereka itu berlaku sangat licik, tidak sudi mereka membuat senjata mereka bentrok.

Setelah berkelahi sekian lama, Tan Hong lantas dapat perhatikan sikap orang. Berikut si orang tua dan si nona, ayah dan anak dara, lawan berjumlah delapan orang, dan kedudukan mereka pun di delapan penjuru, dan caranya mereka bertempur ialah tiap-tiap kali mereka mundur, akan berkelit di belakang batu, akan kemudian muncul lagi untuk
melakukan serangan secara tiba-tiba.

"Coba aku arah satu orang," pikir anak muda itu."Ingin aku lihat, cara bagaimana kau sembunyikan dirimu.....”

Pikiran itu diwujudkan, Tan Hong desak satu petani, yang ia lihat kepandaiannya biasa saja. Petani itu berlari-lari di batu, lantas dia lenyap, sebagai gantinya, si nona dengan pedangnya dan satu petani lain dengan tumbaknya, menyerang dengan tiba-tiba dari kiri dan kanan dari mana mereka itu muncul secara mendadak. Ketika ia desak si nona, nona itu pun mundur menghilang, lalu si orang tua muncul sebagai gantinya, dan orang tua itu menyerang dengan hebat.

"Bagaimana harus aku layani mereka ?" pikir Tan Hong sambil terus melawan musuh-musuhnya.

Dari delapan lawan itu, kecuali si nona dan ayahnya, yang enam berkepandaian cukup untuk masuk dalam dunia kangouw, cuma di mata Tan Hong, mereka adalah orang-orang biasa saja, hanya yang aneh adalah caranya mereka berkelahi, main mundur dan menghilang, untuk dengan tiba-tiba muncul pula, menyerang separuh membokong.

Pertempuran luar biasa ini berlangsung sekian lama, tetap Tan Hong tidak bisa desak terus satu musuh, tidak mampu lagi ia menabas kutung senjata orang. Di lain pihak, tetap ia terkurung, tiap-tiap kali ia diserang. Lama kelamaan ia jadi kewalahan juga. Syukur untuknya, ia mempunyai pedang yang tajam luar biasa itu, yang ditakuti musuh, hingga
musuh tak dapat mendesak ia habis-habisan.

Lama juga Tan Hong berpikir, sampai tiba-tiba ia seperti tersadar. Tidakkah kurungan itu mirip dengan kurungan barisan istimewa Pat Tin Touw, atau "Delapan Barisan." dari Khong Beng? Ingat ini, ia lantas perhatikan lebih sungguh-sungguh, ia perhatikan letaknya berbagai batu. Ia lantas dapat lihat "delapan pintu" ialah "hioe" = berhenti, "seng" =
hidup, "siang" = luka, "touw" = tutup, "soe"=mati, "keng" = pemandangan, dan "kheng" = kaget. Ia tidak sangka bahwa ia akan menemui Pat Tin Touw di Say Tongteng San di Thayouw ini, sedang panglima-panglima perang, dahulu dan sekarang, hanya beberapa orang yang berhasil melihat itu.

Memperhatikan lagi sesaat, Tan Hong tahu pintu "seng" =hidup dijaga oleh si nona yang bersenjatakan pedang pendek itu. Ia lantas saja berpikir bagaimana caranya memukul pecah tin itu, untuk membebaskan dirinya. Lalu, dengan tidak bersangsi sedikit juga, ia lompat mencelat. Dari pintu soe ia lompat ke pintu kheng, dari sini ia melejit ke
pintu siang, terus memutar ke pintu touw, akan lebih jauh melesat ke pintu seng1.

Dengan cara penyerangan itu, barisan Pat Tin Touw itu lantas menjadi gempar,keadaan menjadi kacau, hingga si nona menjadi kaget sekali. Karena Tan Hong mendesak ia, berulangkah ia main berkelit saja.

Sebenarnya tidak sampai hati anak muda ini, akan tetapi ia ingin nerobos keluar, ia ingin, maka terpaksa ia mendesak terus, ujung pedangnya senantiasa bergerak-gerak di bebokong si nona. Dengan cara ini ia hendak paksa si nona keluar dari pintu "hidup" (seng) itu, untuk memimpin atau mengantarkan ia keluar.

Segera orang sampai di pintu keluar, si nona mendadak menjerit dengan tajam,agaknya ia sangat ketakutan.

Tan Hong melengak, ia menyangka, karena kurang hati-hati, ia telah melukai si nona.

Karena ini, terhentilah serangannya. Tapi justeru itu, bagaikan "bumi terbalik, langit berputar, terdengarlah satu suara nyaring, di muka bumi itu terbukalah suatu lobang besar, dan sebelum tahu apa-apa, tubuhnya sudah terjeblos ke dalam lobang itu! Nyatalah, tempat di mana barusan Tan Hong berhenti, adalah lobang jebakan. Atas tanah itu ada urukan pasir. Dalam keadaan biasa, karena liehaynya ilmu enteng tubuhnya,sebenarnya dapat Tan Hong lompat untuk menyelamatkan diri, akan tetapi jeritan si nona membuatnya ia tercengang, hingga ia merandak, dari itu, tak keburulah ia mencelat lagi.

Walaupun ia telah terjeblos, Tan Hong tidak lantas jatuh. Ia masih dapat kesempatan untuk lompat jumpalitan, maka ketika kakinya menginjak dasar lobang, ia jalan dengan perlahan. Ia hanya berada dalam gelap gulita, hingga sekalipun ke lima jari tangan di depan matanya, tidak dapat ia lihat.

Dalam sekejap ia kaget, lantas ia dapat kuasai pula dirinya. Yang paling dulu ia lakukan ialah merogo ke dalam sakunya, untuk mengeluarkan serenceng mutiara yabeng tjoe-nya,yang ia cantelkan diujung pedangnya, maka, cahaya mutiara itu, yang bentrok dengan cahaya pedang, segera menerbitkan sinar terang, hingga sekarang ia dapat melihat dengan nyata.

Lobang itu dalam sekali, kelihatannya sukar bagi orang merayap naik ke atas untuk keluar dari situ. Dasarnya juga tidak rata, dan tanahnya demak, bau demak itu tidak sedap. Untung bagi Tan Hong, lobang itu tidak buntu, ada lobang lainnya yang merupakan terowongan atau lorong. Karena mempunyai api istimewa itu, ia lalu bertindak mengikuti terowongan itu yang jalannya tidak rata, demak semua. Ketika ia tiba pada akhir terowongan, ia berhadapan dengan tembok batu. Jadi sampai di situ habislah terowongan itu.

Tanpa merasa, anak muda ini menghela napas.

"Tidak kusangka bahwa di sinilah tempat ajalku," katanya dengan perlahan. "Secara begini, aku akan menemui kematianku secara kecewa.....”

Tapi ia bukan seorang yang mudah putus asa. Selagi hilang harapan itu, timbul kemurkaannya. Sekonyong-konyong ia ayunkan kepalannya ke arah tembok.

"Duk!" begitulah terdengar suara keras. Tiba-tiba, tembok itu tampak bergerak sedikit.
"Hai!" berseru anak muda ini, yang timbul pula harapannya. Ia lantas saja bekerja.

Tidak lagi ia gunakan kepalannya, hanya ujung pedangnya untuk mengorek-ngorek dan menggurat-gurat. Harapannya makin besar ketika ia dapat kenyataan tembok itu gempur sedikit-sedikit, gempurannya meluruk jatuh.

Nyatalah batu itu ditambal, dengan gempurnya tambalan itu, batunya pun nampak bergerak sedikit. Melihat itu, Tan Hong menjadi dapat harapan. Segera ia pasang kuda-kudanya, menghadapi batu itu, setelah mengerahkan tenaganya, ia menolak dengan keras kepada batu itu. Dan..... terdengarlah satu suara keras dan nyaring batu itu rubuh ke lain arah, yang meninggalkan sebuah liang yang hanya muat tubuh satu orang! Tanpa bersangsi, Tan Hong memasuki liang itu, hingga sejenak saja ia telah berada di lain sebelah. Yang hebat adalah kedua matanya lantas menjadi silau. Ia meramkan matanya, ia buka lagi dengan perlahan, untuk meneliti cahaya yang membuat matanya itu silau. Apabila ia sudah melihat tegas, ia menjadi girang bukan kepalang.

Di sana terdapat sebuah terowongan, cahaya itu datangnya dari terowongan itu.

Ia lantas bertindak ke dalam terowongan itu, yang lebih pendek, dari yang semula tadi,maka itu, sebentar kemudian, sampailah ia di tempat yang buntu. Di situ terdapat sebuah pintu batu, bukan batu biasa, tetapi seluruhnya pekgiok, batu kumala warna putih. Batunya sendiri tidak aneh, yang aneh adalah besarnya. Maka dapatlah dimengerti jikalau
kumala putih itu berharga besar bukan main.

Sekarang Tan Hong simpan yabeng tjoe-nya, ia rabah pintu kumala itu, yang licin. Ia merabah-rabah ke sekitarnya sampai jari tangannya menyentuh suatu liang kecil. Ketika ia awasi, ia dapat kenyataan liang itu adalah liang kunci. Kembali ia dapat harapan.

Tan Hong keluarkan anak kuncinya, ia masukkan itu ke dalam liang kunci itu, apabila ia memutarnya, pintu kumala itu terbuka. Dengan girang ia masuk ke pintu itu, hingga ia berada di lain ruangan. Sambil melewati pintu, tangannya mendorong ke belakang daun pintu, atas mana, pintu itu tertutup pula.

Sambil menyimpan anak kuncinya, Tan Hong pentang kedua matanya. Di hadapannya sekarang nampak sinar terang, yang bercahaya berkilauan, itulah sinar dari emas dan perak serta barang permata lainnya. Sekejap itu, ia dapatkan suatu perasaan. Bukankah ia tengah menghadapi suatu harta besar? Tan Hong gunakan tangannya, akan mengangkat berbagai permata itu, sampai di bawahnya ia dapatkan sebuah kotak kumala. Kotak itu tidak dikunci, hingga mudah dapat dibuka. Isinya adalah sehelai peta bumi yang lebar. Ia lantas beber peta itu, ia memandangnya dengan menggunakan sinar pelbagai barang permata itu.
Peta itu melukiskan dengan jelas setiap tempat, ada gunungnya, ada kalinya. Untuk tempat-tempat yang harus dibelai, atau diserang, ada petunjuk-petunjuk yang berupa catatan. Melihat jamannya, sangat lengkap peta itu.

Tan Hong tahu, itulah peta yang dicari-cari. Itulah peta Pheng Hoosiang, yang dibuatnya tentu dengan susah payah dan memakan waktu, untuk Thio Soe Seng memperebutkan negara dengan Tjoe Goan Tjiang.

Mengawasi peta itu, dengan sendirinya Tan Hong mengucurkan air mata.

Selagi mengawasi kotak kumala, di atas itu Tan Hong lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
"Bila peta ini muncul, maka bangkitlah pula Kerajaan Tjioe yang besar."

Tan Hong duga bahwa leluhurnya, yaitu Thio Soe Seng, percaya turunannya akan dapat menemui harta dan peta itu, maka ditinggalkannya pesan itu supaya turunan itu nanti mengusahakan untuk mewujudkan cita-citanya merubuhkan kerajaan Beng, untuk membangun pula kerajaan Tjioe.

Sambil menghadapi kotak kumala itu, Tan Hong paykoei sampai delapan kali, sambil memberikan hormatnya itu, ia angkat kepalanya, mendongak, seraya mengucap: "Thio Tan Hong, turunan yang tidak berbakti, mohon maaf leluhurnya, bahwa mungkin sekali Tan Hong tak dapat mewujudkan pesan memusnakan kerajaan Beng guna menghidupkan pula kerajaan Tjioe.....”

Dengan mencari harta dan peta itu, Thio Tan Hong sudah mempunyai suatu maksud tertentu, yaitu peta dan harta itu hendak ia serahkan kepada Kokloo Ie Kiam, supaya Ie Kokloo menggunakannya untuk menangkis penyerbu, petanya untuk pembelaan dan penyerangan, dan uangnya guna membeayai angkatan perang dan membeli alat senjata dan rangsum.

Setelah meneliti peta itu, Tan Hong menggulungnya pula.

"Sekarang aku mesti pergi ke mulut gua, untuk perdengarkan suara nyaring,guna membeber cita-citaku, guna memperlihatkan kecintaanku terhadap negara, mungkin Tongteng Tjhoengtjoe dapat mendengarnya dan akan insaf pada cita-citaku itu. Semoga dia nanti menurunkan dadung untuk aku naik ke atas.....”

Begitu ia berpikir, begitu Tan Hong bertindak ke pintu kumala. Tadi ia telah menutup pula pintu itu, sekarang ia mesti membukanya kembali. Ia terkejut, ketika ia dapatkan pintu terkunci, hingga tak dapat ia membukanya. Ia mencoba dengan anak kuncinya,akan tetapi terbukti, itu bukanlah anak kunci yang tepat. Nyata pintu itu mempunyai dua macam kunci , satu untuk di luar, dan yang lain untuk yang di dalam.

"Celaka!.....” ia mengeluh.

Kali ini benar-benar hebat. Pintu itu tidak dapat digempur seperti pintu batu tadi. Di situ cuma ada emas dan perak serta permata, tidak ada barang makanan, itu artinya bahaya lapar mengancam padanya. Di situ pun tidak ada air, hingga tenggorokannya akan lekas menjadi kering. Leher kering sama bahayanya dengan perut kosong.

"Kelihatannya pasti aku akan mati kelaparan dan berdahaga di sini.....” pikirnya pula kemudian.

Menghadapi ancaman maut adalah sangat hebat, maka itu, dalam putus asanya. Tan Hong berteriak-teriak di muka pintu, ia harap suaranya itu terdengar sampai di luar. Tapi ia pentang suara tanpa ada hasilnya, suara itu cuma terdengar oleh kupingnya sendiri,hingga ia merasa tuli.....

"Orang kata, seseorang dapat bertahan selama tujuh hari jikalau ia tidak dahar, tapi aku terlatih ilmu silat, mungkin aku dapat bertahan selama sepuluh hari," pikir ia kemudian, menghibur diri. "Selama sepuluh hari, aku mesti berpikir untuk mendayakan sesuatu.....”

Pikiran Tan Hong lantas saja melayang, ke-permusuhan antara kedua keluarga Thio dan Tjoe, yang berjalan turun temurun, atau di lain saat ia ingat In Loei, wajah siapa segera terbayang dihadapan matanya. Ia lihat tegas nona itu cantik dan manis tapi berbareng dengan itu pun bengis, bagaikan tengah murka.....

"Oh, adik kecil, sukar bagi kita bertemu pula.....”

Tan Hong mengeluh.

Tan Hong tahu, sudah beberapa kali In Loei berniat membinasakan dia, tetapi ia tidak bersakit hati karenanya. Ia malah sangat tertarik terhadap nona itu, yang, kecuali sedang murka, juga manis dan menarik hati, karena gerak-geriknya yang halus.

"Memang dia berniat membunuh aku, tapi ada kalanya dia sangat lemah lembut," pikirnya pula. "Ya, halus budi pekertinya. Yang kurang padanya adalah kekerasan hati berlainan dengan anak daranya Tongteng thjungtjoe, aku percaya dia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, hingga alangkah baiknya apabila sifat mereka berdua dapat
digabung menjadi satu. Dengan begitu jadilah dia satu manusia yang sempurna.....”

Terkurung dalam guha itu, Tan Hong menjadi tidak keruan rasa. Untuk tungkuli diri, ia periksa semua harta leluhurnya itu, ia angkat sana dan angkat sini, ia balik-balikkan. Tiba-tiba tertindih oleh setumpuk mutiara, ia dapatkan satu kotak pualam lainnya. Ia angkat itu. Di atas kotak itu ia baca ukiran berikut: "Surat-suratnya guru marhum. Soe Seng
simpanlah dengan perhatian."

Dengan lekas Tan Hong buka kotak itu, untuk melihat isinya, ia dapatkan peta bumi yang masih terpisah satu dengan lain dan sejumlah catatan. Ia mengerti, terang sudah,semua itu adalah berbagai catatan dari Pheng Hoosiang ketika dia mulai dengan pembuatan peta buminya itu, yang dicatat di setiap tempat ke mana dia telah pergi, ketika semua itu telah dihimpunkan menjadi satu, terjadilah peta yang orang berebut mencarinya.

Tentu saja sekarang ini, peta kasar itu sudah tidak ada perlunya, kecuali itu pelbagai catatan lain, tentang penduduk sesuatu tempat dan kebiasaannya masing-masing, perihal keletakan pelbagai gunung dan sungai yang mengenai pergerakan tentera. Semua itu pun menyatakan ketelitian Pheng Hoosiang, kesungguhan hatinya, yang sudah bercapai hati untuk mengumpul dan membuat itu.

"Semua ini harus aku simpan dan kumpulkan dengan rapih, inilah bagus bila dibuat menjadi satu jilid buku istimewa," demikian Tan Hong pikir. Tapi, bukan bagian petanya,hanya tulisannya. Kali ini ia lihat catatan tersusun, yang merupakan sejilid buku tipis. Buku ini berkalimat "Hiankong Yauwkoat" atau "Rahasia ilmu silat." Ia baca lembaran pertama,tentang ucapan Khong Tjoe perihal "iie"= dasar, "khie"= hawa, dan "siang"=roman. Ia heran. Dari mana Khong Tjoe mengerti tentang hiankong atau Iweekang, ilmu silat bagian dalam? Maka ia membaca terus. Ia dapatkan
penjelasannya: "Roman itu bersifat iimu siiat; hawa itu pengaruhnya iimu siiat; dan dasar adalah buahnya iimu siiat. Kaiau ketiganya diperoleh dengan lengkap, gerakan tangan dan kaki tak akan menyeleweng."

Lalu, lebih jauh, ada berbagai penjelasan lainnya lagi. Maka, setelah membaca itu, Tan Hong menghela napas saking kagum. Seorang diri ia kata: "Setelah membaca ini, baharu aku kenal akan diriku. Dibanding dengan guru besar ini, aku tak lain daripada sinar kunang-kunang."

Karena ini, ia menjadi sangat tertarik, kemudian ia lanjutkan terus.

Harus diketahui, Pheng Hoosiang itu bukan sembarang orang. Ia pun telah menjadi guru dari dua kaisar — Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng — maka dapatlah dimengerti yang ia mempunyai kepandaian istimewa, yang melebihi kebanyakan orang. Kebetulan sekali, Tan Hong adalah orang yang mendapatkan kitab warisan itu, dengan kecerdasan nya ia dapat menginsyafi isi kitab itu.

Kakek guru dari Tan Hong, Hian Kee Itsoe, telah mendidik empat murid, kepada tiap muridnya ia telah mewariskan masing-masing serupa kepandaian. Tan Hong ketahui, toasoepee Tang Gak mendapatkan Taylek Kimkong Tjioe, dan djiesoepee Tiauw Im Hweeshio mendapatkan Gwakang, ilmu silat bahagian luar, atau Ngekang — ilmu keras.

Sekarang, setelah ia membaca kitab ini, tanpa petunjuk lisan dari guru lagi, mengertilah ia isi dari kedua ilmu silat itu, hingga ia jadi girang tak kepalang.

"Dengan memiliki kitab ini, apabila aku meyakinkannya dengan sungguh-sungguh,bukankah aku akan mengerti maksud setiap ilmu silat dan mudah mempelajarinya sesuatu ilmu?" demikian ia kata seorang diri. Tapi begitu lekas ia sadar bahwa ia tengah terkurung, dengan tiba-tiba saja ia menjadi lesu pula.....”

Dengan cara bagaimana ia dapat keluar dari gua ini ?

-ooo0dw0ooo-

Benar-benar hebat serangannya Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng itu, pedang mereka menyambar-nyambar dengan sama imbangannya, kedua pedang sebagai juga tergabung menjadi satu.

Tan Hong masih merasakan matanya seperti kabur, tidaklah heran apabila Ouw Bong Hoe, apapula beberapa pelayan itu, bagaikan tidak melihat tubuh orang, hanya bayangannya saja. Mereka ini cuma bisa memandang dengan mata diam dan lidah diletletkan...

Begitu hebat serangannya Thian Hoa berdua, akan tetapi Siangkoan Thian Ya pun telah memperlihat kan kepandaiannya yang sempurna sekali. Dia melayani dengan sepasang tangan tanpa senjata, dia mempertunjukkan kelincahan tubuhnya serta kesehatannya kedua belah tangannya itu. Dia tidak hanya berkelit, diapun dapat membalas menyerang,yang setiap kali mengarah bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya dari kedua lawannya itu.

Nampaknya si hantu bagaikan terkurung pedang-pedang lawan, akan tetapi Tan Hong dapat melihatnya dengan nyata bahwa si hantu senantiasa dapat pecahkan seranganserangan berbahaya dari siangkiam happek, nampaknya gampang saja dia mengelakkan diri, hingga terlihat tegas dia ada jauh terlebih liehay apabila dibandingkan dengan si nyonya tua dari rimba bambu tjietiok lim.

Menampak keadaan itu, Tan Hong kuatiri gurunya serta kawan gurunya itu.

Di pihak lain, di dalam hatinya Siangkoan Thian Ya juga menjadi heran sekali hingga sekarang ia menginsafi benar-benar keterangan Tan Hong bukan omong kosong belaka perihal liehaynya ilmu pedang siangkiam happek itu. Jadi benarlah, di dalam dunia ini, ada semacam ilmu pedang yang liehay.

"Apabila aku belum mencapai puncaknya kesempurnaan, pasti aku dengan lekas dapat dipecundangi, " demikian dia berpikir di dalam hatinya. "Jikalau muridnya saja sudah demikian hebat, dapatlah diduga bagaimana liehaynya guru mereka..."

Siangkoan Thian Ya mau tidak mau, mengagumi juga Hian Kee Itsoe.

Sementara itu, karena herannya mereka menampak Tan Hong muncul dengan tiba-tiba dan munculnya juga dari rumahnya Siangkoan Thian Ya, dengan sendirinya gerakannya Thian Hoa dan Eng Eng menjadi kendor, ketika baik ini segera digunakan oleh Thian Ya untuk mendesak, hingga mereka kena dipukul mundur beberapa tindak. Tentu saja, dengan sendirinya mereka menjadi bergelisah.

Setelah berhasil dengan desakannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak mendesak terlebih jauh, hanya sambil berpaling kepada Tan Hong, yang ia tampak muncul, ia berseru: "Thio Tan Hong, kiranya kau juga termasuk muridnya Hian Kee Itsoe! Baiklah, kau pun boleh maju bersama!"

Sampai itu waktu, Tan Hong telah sadar dan ingat benar akan janji gurunya untuk ia datang ke gunung ini, untuk bersama In Loei membantui guru mereka menandingi hantu itu, akan tetapi ia toh merasakan bagaimana manis budinya Siangkoan Thian Ya terhadapnya hingga ia beranggapan si hantu bukanlah hantu yang jahat. Malah ia menjadi berpikir: "Berhubung dengan dongengnya Siangkoan Thian Ya ini, antara dia dan soetjouw-ku, siapakah yang dapat disebut si kiamkek atau pendekar? Dia atau soetjouwku itu?"

Dengan menyekal pedangnya, Tan Hong diam mengawasi ketiga orang itu.

Menampak demikian, Ouw Bong Hoe menghampirkan, ia tepuk pundak orang. "Eh, marilah kitapun bertempur satu dua gebrakan!" dia berkata. "Ya, aku mengucap terima kasih kepadamu yang telah pinjamkan aku kitabmu Hiankong Yauwkoat itu!"

Ouw Bong Hoe bukan menantang benar-benar, ia hanya kuatirkan Tan Hong. Ia berkuatir anak muda ini masih belum sempurna ilmu silatnya hingga tidak akan sanggup melayani gurunya yang liehay itu, karena itulah, hendak ia menalangi gurunya.

"Kita berdua tidak bermusuh, untuk apa kita bertempur?" Tan Hong tolak tantangan orang itu. "Eh, ya, bagaimana asal usul gurumu itu? Dia sebenarnya satu kiamkek atau satu penjahat?"

Ouw Bong Hoe melongo karena mendengar kata-kata orang itu. Ia mau percaya,pada sejenak ini, si anak muda telah kumat gangguan otaknya...

Tan Hong mengawasi, agaknya hendak ia menegaskan Bong Hoe, tapi mendadak perhatiannya tertarik oleh suara beradunya senjata, yang datang dari lain arah, ialah dari belakang bukit. Dari mana tertampak dua pria dan seorang wanita tengah bertempur sambil mendatangi ke arah mereka. Kedua pria itu terdesak oleh si wanita yang tangan kirinya memegang gaetan kimkauw dan tangan kanannya menyekal pedang. Setelah mereka itu mendatangi semakin dekat, Tan Hong segera kenali kedua pria itu adalah Tiauw Im Hweeshio yang kepalanya gundul dan Tjinsamkay Pit To Hoan yang mukanya
hitam legam.

Itu hari selagi Tiauw Im Hweeshio berada di luar kota Ganboenkwan dengan menyangsikan Tjia Thian Hoa sudah berubah pikiran dengan menyerah kepada musuh,saudara mana tak dapat ia susul, hingga ia mesti jalan mundar mandir di tengah tegalan datar rumput, secara kebetulan ia ketemu Pit To Hoan, maka bersama-sama mereka lalu pergi ke gedungnya Thaysoe Yasian untuk mengacau, sampai mereka dapat dicari Tang Gak, siapa telah menjelaskan kepada adik seperguruan itu perihal sepak terjangnya Thian Hoa. Pendeta ini percaya soeheng-nya, sang kakak seperguruan, dapat dikasih mengerti,maka sejak itu, ia mempercayai Thian Hoa. Ia menjadi menyesal atas keliru mengertinya
itu. Kemudian Tang Gak pisahkan diri dari mereka, yang diminta pergi ke gunung Tangkula untuk menepati janji akan menemui Siangkoan Thian Ya. Nyatalah mereka telah ketinggalan oleh Thian Hoa. Selagi mendaki gunung, mereka bersomplokan dengan Kimkauw Siantjoe Lim Sian In, muridnya si hantu, karena kedua pihak berselisih omong,mereka jadi bertempur. Kimkauw Siantjoe adalah murid terpandai dari Siangkoan Thian Ya, kegagahannya sebanding dengan Tjia Thian Hoa atau Yap Eng Eng, maka dalam pertempuran itu, walaupun Tiauw Im dibantui Pit To Hoan, mereka tetap terdesak,sehingga mereka main mundur dengan mendaki ke atas, ke arah rumahnya Siangkoan
Thian Ya. Dengan demikian mereka tiba di tempat pertempuran itu.

Siangkoan Thian Ya pun segera lihat rombongan itu, lantas saja ia perdengarkan suaranya: "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Bagus! Mari maju kamu semua sama mengepung aku! Asal kamu bisa lawan seri padaku maka akan aku biarkan Hian Kee si tua bangka itu menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan!"

Selagi gurunya menantang demikian rupa, Lim Sian In telah desak pula kedua lawannya itu, tiga kali beruntun ia menyambar dengan gaetannya, disusul dengan dua kali tikaman pedangnya, karena mana ia membikin Tiauw Im dan To Hoan menjadi kewalahan melindungi diri mereka, hampir saja mereka rubuh terguling sedang napas mereka memburu keras sekali.

Menampak demikian, Lim Sian In kata sambil tertawa: "Dua orang ini tak usahlah soehoe yang berikan pengajaran! Sekarang biarkan dahulu mereka beristirahat, sebentar akan aku suruh mereka melayani kembali padaku!"

Tiauw Im dan To Hoan adalah bangsa berangasan, mereka jadi sangat gusar, maka keduanya lantas lompat kepada Kimkauw Siantjoe, untuk menyerang pula. Akan tetapi belum lagi mereka sampai ke pada nona itu, Thio Tan Hong telah tiba dihadapan mereka.

Anak muda ini mengawasi dengan mendelong, romannya sangat beda daripada biasanya,seorang diri dia berkata-kata: "Ini, ini toh Djiesoepee... Ini, ini..."

"Hai, Thio Tan Hong!" Pit To Hoan memotong, "Kau kenapakah? Apakah kau sudah tidak kenali kami? Aku toh Tjin..."

Sekonyong-konyong Tan Hong tepuk kepalanya!. "Ya, tidak salah!" ia berseru keras sekali, "kau benar Tjinsamkay Pit To Hoan!"

Tiauw Im pun segera berkata: "Tan Hong, aku telah menginsafi maksudnya gurumu,dulu hari kau telah berlaku tidak hormat kepadaku, tentang itu aku tidak tarik panjang pula. Kenapa kau tidak membantui gurumu itu?"

Tan Hong awasi paman guru yang kedua ini, ia tidak menyahuti. Otaknya tengah berkutat, keras sekali ia berpikir, untuk mengingat-ingat.
"Apakah yang dikandung guruku di dalam hatinya?..." demikian berulangkah ia tanya dirinya. Samar-samar ia ingat yang gurunya itu berdiam di ibu kota negara Watzu di dalam sebuah gedung besar di mana pun ada sebuah taman bunga yang besar juga, di situlah gurunya ajarkan ia ilmu silat pedang. Ingat akan hal ini, lantas ia ingat tentang peperangan di antara kedua kerajaan Beng dan negara Watzu itu. Ia lantas mengingatingat terus, sampai tiba-tiba ia dibikin terperanjat oleh suara bentrok yang keras dari alat senjata, hingga segera ia berpaling ke arah itu, ternyata suara itu datangnya dari
beradunya pedangnya Thian Hoa dengan pedang Eng Eng karena tersampok tangan bajunya Thian Ya, hingga ilmu silat siangkiam happek yang liehay dari kedua saudara seperguruan itu menjadi kalut karenanya.

Menampak itu, Tiauw Im pun menjadi kaget sekali, hingga ia berteriak: "Tan Hong,masih kau tidak lekas maju?" Dan, sambil angkat tinggi tongkatnya, ia pun lompat. Akan tetapi ia segera dirintangi Kimkauw Siantjoe yang sambar ia dengan tangan kiri dan menikam dengan tangan kanan.

Masih Tan Hong tak sadar akan dirinya.

"Djiesoepee," dia tanya, "soetjouw kita itu penjahat atau pendekar pedang?"
Tiauw Im menjadi sangat mendongkol hingga ia lompat berjingkrak.
"Hai, Tan Hong, apakah kau sudah gila?" dia berteriak.
Tan Hong pegangi gagang pedangnya, yang ia usap-usap. Masih ia terbenam dalam
kesangsian.

Justeru itu dari sebuah tikungan terlihat lagi munculnya dua orang. Menampak mereka itu, anak muda ini berdenyut jantungnya, darahnya seperti bergolak.

Dua orang itu adalah satu nona yang sedang pepayang seorang lelaki tua yang kakinya pincang, hingga sukar jalannya mereka itu. Dan mereka itu adalah In Loei dan ayahnya!

Tan Hong merasakan ia seperti tengah bermimpi.

"Adik kecil! Adik kecil!" ia memanggil berulang-ulang, tanpa ia merasa.

Air mukanya si nona menjadi berubah, air matanya lantas saja mengembeng. Dia mengawasi kepada si anak muda akan tetapi mulutnya tetap rapat, tak sepatah kata jua keluar dari mulutnya.

Ayah In Loei itu berjalan dengan bantuan tongkat dan gadisnya, tindakannya dingklukdingkluk.
Ia mendaki dengan susah payah, akan tetapi kedua matanya bersinar tajam waktu mengawasi Tan Hong. Pada kedua matanya itu nyata ada sinar dari kebencian yang sangat, hingga Tan Hong, walaupun nyalinya besar, merasa bergidik sendirinya.

Justeru itu terdengarlah suara nyaring dari Tiauw Im Hweeshio.

"Hai! Siapakah kau?" teriaknya. "Eh, bukankah kau soetee In Teng? Eh, apakah kau belum mati?" Sehabis berseru, pendeta ini lompat kepada orang pincang itu, ia menubruk dan memeluknya, berbareng dengan mana, air mata mereka lantas saja bercucuran deras.

In Loei berdiri mengawasi, ia juga tak dapat mencegah keluarnya air matanya.

Tan Hong mengawasi nona itu, ketika mata mereka bentrok, si nona lekas-lekas melengos.

Tiauw Im bertabiat keras akan tetapi besar kesayangannya kepada adik seperguruannya. Sesudah berisak-isak sekian lama, ia menghela napas.
"Baharu sepuluh tahun kita tidak bertemu, mengapa kau jadi begini rupa?" katanya,suaranya menyatakan terharunya hatinya.

Pendeta ini ada terlebih tua beberapa tahun daripada In Teng akan tetapi sekarang rambutnya soetee ini telah pada putih, tubuhnyapun sangat loyo, hingga ia nampaknya jadi terlebih tua daripada soeheng-nya itu.

Lalu, dengan tak putus-putusnya, Tiauw Im menanyakan soetee-nya itu.

In Teng ketahui dari gadisnya bahwa di atas gunung Tangkula ini bakal dilakukan pertempuran, untuk mana saudara-saudara seperguruannya telah menjanjikan suatu pertemuan, walaupun ia menduga pasti Tan Hong akan turut hadir juga tetapi karena keras keinginannya untuk menemui saudara-saudara seperguruannya itu, ia tidak hiraukan perjalanan yang sukar, ia minta sang anak bantu padanya.

Demikian mereka melakukan perjalanan selama belasan hari, selama itu mereka sama-sama bertahan hati untuk tidak menimbulkan atau membicarakan hal yang mengenai keluarga Thio.

Sejak hari pertama itu, In Teng sudah tahu yang gadisnya menaruh hati terhadap Tan Hong, akan tetapi sejak hari itu, ia mencoba mengawasi dirinya sendiri, tidak ia timbulkan pula urusan mereka, tidak ia tegur puterinya. Akan tetapi sang puteri, In Loei, dapat terka hatinya ayahnya itu, sebagaimana ia lihat dari wajahnya, ia lantas merasa bahwa ia tidakmempunyai harapan lagi akan dapat berkumpul bersama si anak muda pujaannya itu. Ia merasa hatinya bagaikan disayat-sayat. Ia merasa sakit untuk dua hal, yaitu kesatu karena nasib ayahnya dan kedua, karena nasibnya sendiri. Diam-diam ia sering menepas air mata sendiri.

Selagi kedua pemuda-pemudi itu bersusah hati masing-masing, keduanya dibikin terkejut oleh suara beradunya senjata tajam, ketika mereka menoleh mereka tampak kedua pedangnya Thian Hoa dan Eng Eng kena disampok ujung bajunya si hantu. Inilah untuk kedua kalinya Tan Hong menyaksikan pedang gurunya itu dibikin tak berdaya oleh Siangkoan Thian Ya, yang ilmu silat bertangan kosongnya benar-benar sangat liehay.

In Loei terkejut, karena berbareng ia pun dengar jeritannya Tiauw Im Hweeshio,sedang gurunya, ia dapatkan, nampaknya sangat gelisah. Ia menjadi nekat dengan tibatiba,ia lompat maju, pedangnya dihunus — pedang Tjengbeng kiam.

"Lekas mundur!" berteriak Yap Eng Eng kepada muridnya itu.

Siangkoan Thian Ya lihat majunya si nona, ia hempaskan tangannya.

"Nona kecil, kau juga hendak membantu meramaikan?" katanya.

Tidak keras hempasan itu, akan tetapi itu pun sudah cukup membuat In Loei rasakan telapak tangannya sakit, sampai hampir saja pedangnya terlepas dan terpental.

Justeru itu waktu, satu bayangan putih berkelebat masuk dalam kalangan, lalu terlihat majunya Tan Hong.

Siangkoan Thian Ya lantas saja tertawa gelak-gelak.

"Kau juga maju?" dia menanya.

Tjia Thian Hoa membabat selagi si hantu menegur Tan Hong, atas mana, hantu itu mengebut pula dengan ujung bajunya. Kalau tadi Thian Ya menghempas In Loei dengantangan kanan, sekarang ia menggunakan tangan kirinya. Serangan si nona disusul cepatoleh si pemuda, karenanya, ujung baju kanannya Thian Ya belum sempat ditarik pulang anteronya, ia dipaksa harus menangkis pemuda itu.
"Breeet!" demikian terdengar, lantas ujung tangan baju si hantu kena terbabat kutung pedangnya Tan Hong!

Maka terkejutlah hantu dari gunung Tangkula itu. Tapi ia sangat tabah, segera iamengebut pula, hingga ia membuatnya ke empat pedang dua pasang lawannya itubentrok pula satu pada lain.

"Sungguh sebuah pedang yang tajam!" ia berseru.

Tan Hong tidak pedulikan perkataan itu, seperti juga ia sudah berjanji, berbareng sama In Loei, ia terus maju pula menyerang. Dari terpencar pedang mereka berdua lantas tergabung pula. In Loei gunakan tipu silat "Lioeseng kangoat" atau "Bintang mengejar rembulan", dan Tan Hong dengan "Pekhong koandjit" "Bianglala putih menutupi matahari". Kedua pedang itu mengarah masing-masing muka dan dada si hantu, kedua sinarnya, hijau dan putih, berkelebat bersilang.

Siangkoan Thian Ya mundur tiga tindak karena serangan berbareng itu, tangan bajunya yang panjang turut digerakkan juga, kemudian secara tiba-tiba, ia balas menyerang. Luar biasa sekali cara menyerangnya itu.

Tan Hong tidak berani melayani, ia berkelit ke samping.

Thian Ya bergerak terus, kali ini untuk hindarkan serangannya Thian Hoa dan Eng Eng,yang menggantikan murid mereka untuk maju menyerang.

Pertempuran lantas berlangsung dengan dahsyat sekali.

Siangkoan Thian Ya dikepung empat lawan, yang masing-masing mainkan pedangpedang tergabung. Pedang ada empat buah tetapi nampaknya seperti sepasang, atau setiap saat seperti berada di depan, di belakang, di kiri dan di kanan. Atau di lain saat lagi,ke empat pedang, seperti terpecah menjadi berlipat banyaknya, hingga si hantu jadi kena dikurung.

Sekarang terlihat tegas kepandaiannya orang she Siangkoan ini. Walau ia dikurung musuh-musuh tangguh, dapat ia melawannya dengan baik, dapat ia gunai ketika untuk membalas menyerang. Gesit luar biasa, ia berkelebatan di antara sambaran-sambaran pedang.

Tiauw Im menjadi lupa mementang mulutnya, dengan pegangi In Teng, ia berdiri diam mengawasi pertempuran itu.

Juga Lim Sian In dan Ouw Bong Hoe berdiri menonton dengan mata mereka dibuka lebar-lebar dan mulut menganga, tanpa merasa keduanya telah saling senderkan tubuh mereka...

Dalam saat-saat sangat dahsyat itu, Ouw Bong Hoe seperti tersadar ketika ia dengar satu suara, apabila ia berpaling dengan segera, ia lihat satu orang tua berumur kira-kira lima puluh tahun, berlari-lari mendatangi. Orang itu dandan sebagai petani, kedua tangannya memegang serupa barang. Ketika ia sudah lihat tegas orang itu, ia terkejut. Ia kenali Kimkong Tjioe Tang Gak, murid kepala dari Hian Kee Itsoe. Ia belum dapat melihat tegas barang apa yang dibawa Tang Gak itu, ia hanya menyangka orang tua itu hendak membantui saudara-saudara seperguruannya. Ia menjadi berkuatir untuk gurunya, maka juga tanpa berpikir lagi, ia lompat untuk menghalau, sambil gerakkan juga tangannya
dengan totokan Ittjie sian.

"Jangan kurang ajar!" membentak Tang Gak sambil menangkis.
Lim Sian In bergerak juga, untuk menarik saudara seperguruannya itu, akan tetapi ia terlambat, tangannya Ouw Bong Hoe telah bentrok tangannya Tang Gak, dengan kesudahan Bong Hoe lantas saja terpental jatuh jauhnya setombak lebih.

Tang Gak berlari-lari terus, setibanya di tempat pertempuran, ia terus tekuk separuh dari kedua lututnya, kedua tangannya diangkat naik bersama barang yang ia bawa itu. Ia pun segera berkata: "Guruku menitahkan teetjoe menanyakan kesehatan loojianpwee."

Nyata Kimkong Tjioe ada membawa karcis nama dari Hian Kee Itsoe. Ia telah bertindak menuruti aturan kaum kangouw, ia membuat kunjungan kehormatan terhadap orang yang terlebih tinggi tingkatnya. Menurut aturan, Ouw Bong Hoe tidak boleh merintangi, malah Siangkoan Thian Ya harus menyambutnya sendiri. Akan tetapi waktu itu ia justeru dikurung empat lawannya...

Sekonyong-konyong terdengar si hantu tertawa gelak-gelak.

"Tak usah menggunakan banyak adat peradatan!" katanya nyaring. Lalu dengan tibatiba ia mengibaskan kedua tangan bajunya, menyusul mana, jari-jari tangannya menunjuk ke arah lawan-lawannya.

Mendapatkan kibasan itu, dengan sendirinya Thian Hoa berempat segera lompat mundur.

Siangkoan Thian Ya tidak hentikan gerakannya, tetapi ia bukan maju terus akan serang ke empat lawannya itu, ia hanya berlompat ke arah Tang Gak, untuk dengan kedua tangannya menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe. Gerakannya itu sangat cepat,bagaikan ular naga menyambar menyedot air!

Tang Gak terperanjat, tetapi ia tidak bilang suatu apa, ia hanya berlompat bangun,untuk terus berdiri di pinggiran.

Di waktu itulah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, dengan berbareng telah perdengarkan jeritan yang mengerikan. Inilah disebahkan Tan Hong telah lompat maju dengan serangannya kepada Siangkoan Thian Ya, ujung pedangnya mengarah pundaknya hantu itu.

Thio Tan Hong telah pahami kitab Hiankong Yauwkoat, ia telah peroleh hasilnya. Kitab itu berisikan penuntun atau pengajaran untuk si peyakin awas matanya, tajam otaknya,kuat ingatannya, demikianlah Tan Hong, dengan menyaksikan saja latihan orang lain,tanpa belajar pula dia telah dapat menyangkok kepandaian orang lain itu.

Sekian lama Tan Hong sudah saksikan Siangkoan Thian Ya bertempur, ia lihat tegas gerak-gerakannya untuk menghalau pelbagai serangan siangkiam happek dari Thian Hoa dan Eng Eng, dengan sendirinya ia menginsafi ilmu silatnya si hantu itu, maka begitu ia turut maju bersama In Loei, ia dapat membuktikan sendiri liehaynya lawan. Mula-mula ia masih gunakan tipu-tipu dari siangkiam happek, untuk bersama si nona membantui guru mereka mendesak jago tua itu. Sayang baginya, lebih-lebih lagi In Loei, mereka masih kalah dalam hal latihan ilmu dalam, karena mana, ia tidak bisa mendesak dengan sungguh-sungguh terhadap lawannya yang tangguh itu, jikalau tidak, mungkin ia dapat membuatnya Siangkoan Thian Ya terperanjat.

Siangkoan Thian Ya seorang yang besar nyalinya, dia pun biasa "suka menang sendiri," demikian di waktu menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe, ia telah pertontonkan ketangkasannya hingga ia membuatnya Tang Gak kagum. Walaupun demikian, di matanya Tan Hong, ia telah tinggalkan sebuah lowongan, karena mana, begitu dia mundur, Tan Hong terus lompat maju pula, untuk menyerang ke arah jalan darah kintjeng hiat di pundak kiri. Pedangnya itu pun segera disusul secara wajar oleh pedangnya In Loei, dan ujung pedang si nona menuju kepada jalan darah serupa di pundak kanan.
Jalan darah kintjeng hiat itu adalah suatu jalan darah yang sangat berbahaya, siapa terluka pada bahagian itu, bisa rusak juga tulang piepee yang menyambung dengannya,dan itu artinya, akan habislah tenaga dilengannya dan kepandaian ilmu silatnya.

Tjia Thian Hoa menjadi sangat girang menampak serangan murid itu, berbareng bersama Yap Eng Eng, iapun maju, untuk bantu menyerang juga. Begitu memang jalannya siangkiam happek, yang bergerak saling susul atau sewaktu-waktu bergerak berbareng.

Di saat ujung pedangnya akan mengenai sasarannya, dan Tan Hong hendak mengucapkan maaf, akan tetapi belum sempat ia membuka mulutnya, ia sudah lantas dibikin terkejut oleh sambutannya Siangkoan Thian Ya. Pundaknya jago tua ini turun dengan mendadak, pedang Tan Hong seperti tertarik, lalu seperti terbetot dan menempel,hingga tidak dapat lantas ditarik pulang. Juga ujung pedang di waktu mengenai pundak rasanya seperti menikam kapas.

Kejadian serupa dialami juga oleh In Loei. Thian Hoa dan Eng Eng tidak insyaf bahwa murid-muridnya tengah terancam bahaya, mereka menyerang terus. Mereka memang ada terlebih liehay ilmu dalamnya dibanding dengan murid-murid mereka itu.

Dengan tiba-tiba Siangkoan Thian Ya berseru: "Bagus!" terus kedua tangannya mengibas, ujung bajunya pun mengebut, dengan begitu kedua pedang Thian Hoa dan Eng Eng telah kena tersambar seperti tergulung, terbawa ke kiri dan kanan, hingga gagallah serangan mereka itu.

Saat-saat yang hebat berpeta di depan mata. Kedua pihak telah menghadapi ancaman bencana masing-masing. Ke empat pedang seperti berdiam, juga si hantu diam tak bergerak. Kedua pihak sama-sama mengempos semangat masing-masing, yang satu mempertahankan kekangannya atas ke empat pedang, yang lain berdaya untuk membetotnya, untuk meneruskan menikam...

Siangkoan Thian Ya liehay tetapi sekarang ia merasakan berat usahanya akan terus mempengaruhi senjata-senjata lawan-lawannya itu, yang ia niat rampas, atau sedikitnya membuat terlepas dan terlempar.

Di lain pihak, Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In berdiri tercengang, mereka bergelisah di dalam hati. Tentu sekali mereka tidak berani maju, untuk memisahkan kedua pihak itu,untuk mana kepandaian mereka belum cukup...

Dalam saat tegang itu, tiba-tiba terlihat Siangkoan Thian Ya mundur satu tindak,pundak kanannya diturunkan sedikit.

Tubuh In Loei bergemetar, begitupun pedangnya.

Dalam keadaan seperti itu, Thian Hoa dan Eng Eng mencoba akan mendesakkan pedang mereka, wajah mereka sendiri nampak sangat tegang, menandakan mereka telah memusatkan tenaganya.

In Teng telah saksikan itu, hatinya goncang. Ia sangat berkuatir untuk gadisnya. Ia telah lihat ancaman bahaya yang hebat.

Syukur ketegangan itu tidak, berjalan lama. Sekonyong-konyong terdengar satu suara tertawa yang wajar tetapi nyaring, di antara mereka tahu-tahu telah muncul satu orang tua!
Orang tua ini beroman bersih, alis dan kumisnya telah putih semua, kulit mukanya bersemu dadu dan segar, mirip dengan kesegarannya satu bayi, sedang sikapnya alim tetapi berpengaruh. Kedatangannya orang tua ini telah membikin Tiauw Im bersama In Teng menjadi girang tak kepalang.

"Soehoe." teriak mereka dalam kegirangannya yang meluap-luap.

Nyatalah orang tua itu Hian Kee Itsoe adanya! Orang tua ini bertindak dengan sabar ke arah kalangan pertempuran, sembari bertindak ia tertawa bergelak-gelak.

"Hai, sahabat tua bangka!" serunya. "Kau bergusar terhadap bocah-bocah, apakah artinya itu?"

Ia tidak hanya bergurau, selagi datang mendekati iapun menggerak-gerakkan kebutan di tangannya, menyambar kepada ke empat pedang dari murid-murid dan cucu-muridnya,atas mana terdengarlah suara nyaring dari semua pedang itu, yang menjadi mental sendirinya.

"Terhadap orang yang terlebih tua tak dapat kamu berlaku kurang hormat! Lekas mundur!"

Semua ke lima orang itu melepaskan napas lega, lebih-lebih In Loei. Nona ini paling rendah tenaga dalamnya, ia sudah hampir tak dapat pertahankan diri, syukur baginya, Thian Hoa dan Eng Eng turut maju, ia jadi masih bisa mencoba bertahan terus.

Di lihat keseluruhannya, pihak Thian Hoa menang sedikit di atas angin, tetapi karena ketangguannya Siangkoan Thian Ya, mereka tidak mampu berbuat lebih banyak daripada mempertahankan diri saja.

Si hantu menghela napas, terus ia berkata: "Ah! Setelah lewat tiga puluh tahun, kita bertemu pula, nyata kau telah sempurnakan dirimu! Kau telah mempunyai murid-murid yang berbakat ini. Kini aku insyaf, sahabatku, mulai saat ini aku tak ingin pula memperebuti kedudukan ketua Rimba Persilatan denganmu!..."

Hian Kee Itsoe tertawa pula.
"Laohia, tak usah kau terlalu merendahkan diri," ia berkata. "Bicara sebenarnya akulah yang mesti mengalah!"

Hian Kee Itsoe telah berdaya keras akan menciptakan ilmu silatnya ini, siangkiam happek, atau lebih benar Goangoan Kiamhoat, ia percaya pasti bahwa ia bakal menjagoi di kolong langit ini, akan tetapi di luar sangkaannya, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng berdua masih belum sanggup tunduki jago tua itu, si hantu dari Tangkula, baharulah setelah mereka dibantu Tan Hong dan In Loei, pertandingan menyampaikan tingkat seimbang.

Karena itu, dengan sejujurnya, ia mesti kagumi si hantu itu, sebagaimana si hantu pun mengagumi padanya.

Begitulah kedua pihak saling menyayangi, saling menghormati, keduanya saling memuji, saling merendah, tetapi selagi mereka berbicara, tiba-tiba mereka semua dengar satu seruan yang nyaring tapi halus, yang seperti mendengung di tengah udara, menyusul mana, di antara mereka segera tambah satu orang lain lagi! Tan Hong adalah orang yang melihat paling dulu dan segera ia kenali si nyonya tua dari hutan bambu tjietiok lim!

Wajahnya Siangkoan Thian Ya lantas saja menjadi berubah, dari mulutnya pun terdengar suara sangat perlahan:
"Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — Kecuali sang cinta dan peri kebenaran..."
Sekonyong-konyong Tan Hong majukan pertanyaan: Di antara kamu siapa sebenarnya yang disebut kiamkek dan si penjahat?"

Mendengar itu, Thian Hoa terkejut.

"Tan Hong ada satu anak baik, kenapa dihadapan kedua iootjianpwee ini ia berlaku begini tidak tahu aturan?" tanya ia dalam hatinya. Ia pun heran akan menyaksikan roman orang beda daripada biasanya itu.

Siangkoan Thian Ya tertawa, ia lantas berkata bagaikan menjawab Tan Hong. Ia kata:
"Tjhuang Tze di siang hari bermimpikan kupu-kupu dan mimpi yang pendek paling gampang sadarnya, maka itu untuk apa kau menanyakannya lagi siapa si kiamkek dan siapa si penjahat? Hari ini si kiamkek dan si penjahat, apabila mereka tidak bertempur,tidak nanti mereka kenal satu pada lain, maka di sini terimalah hormatku!"

Dengan tiba-tiba ia menjura terhadap Hian Kee Itsoe, sebelah tangannya dimajukan dengan jari-jari tangannya dikerahkan tenaganya, dalam ilmu silatnya Ittjie sian yang paling liehay!

Siangkoan Thian Ya telah tersadar akan tetapi tetap ia masih mempunyai tabiat yang suka menang sendiri itu, walaupun ia sudah menyerah kalah tapi sekarang, melihat datangnya secara tiba-tiba nona kekasihnya dari tiga puluh tahun yang lampau, nona mana justeru mengawasi Hian Kee Itsoe dengan wajahnya bersenyum bukannya bersenyum, kumatlah cemburuannya, maka lagi satu kali hendak ia mencoba saingannya itu!

Hian Kee Itsoe bersenyum, ia rangkap kedua tangannya untuk membalas hormat sambil menjura, kedua tangan itu dimajukan ke depan. Atas itu terlihatlah ujung bajunya si hantu bergerak bagaikan ditiup angin. Lantas saja tubuh gurunya Thian Hoa itu bergoyang dua kali, segera ia memberi hormat pula dengan dua tangannya terangkap sambil berkata: "Laohia, ilmu silatmu adalah yang nomor satu di kolong langit ini, aku rela menyerah kalah!"

Lalu sehabisnya berkata itu, ia putar tubuhnya, untuk bertindak turun gunung.

Semua orang tidak melihat suatu apa kecuali si nyonya tua dan Siangkoan Thian Ya yang mengerti sendiri. Perbuatannya Hian Kee Itsoe itu adalah perbuatan suka mengalah.

Si hantu sudah menyerang terlebih dahulu akan tetapi dengan gampang serangannya itu telah dipunahkan Hian Kee Itsoe, yang gunakan tenaganya berbareng dia rangkap kedua tangannya, agaknya Hian Kee memberi hormat tapi sebetulnya dia menangkis, hingga ujung bajunya Thian Ya bergoyang. Bahwa tubuh Hian Kee pun goyang sedikit, sebagai juga dia kalah tenaga, itulah melainkan disengaja.

Hian Kee Itsoe hendak berlalu, baharu ia bertindak, atau si nyonya tua telah berlompat kepadanya, dengan tongkat bambunya nyonya itu gaet ujung bajunya untuk ditarik. Mau atau tidak, kakek gurunya In Loei ini menoleh sambil menyeringai.

"Aku sudah menyerah kalah, kau masih tahan aku, hendak apakah kau?" dia tanya.

Si nyonya tidak menyahuti, yang menjawab adalah Siangkoan Thian Ya, yang berkata:
"Hian Kee si orang tua, tidak dapat aku terima budi kebaikanmu ini! Yang seharusnya angkat kaki adalah aku! Kaulah yang mesti berdiam di sini, semoga kau nanti dengan baik-baik melayani dia!"
Dengan "dia," hantu ini maksudkan si nyonya tua. Setelah itu, ia pun hendak berlalu.

Si nyonya tua sudah lantas menggape, hingga Thian Ya merandek.

"Dua-dua kamu tidak usah pergi!" berkata dia sambil tertawa. "Bicara tentang ilmu silat, kamu keduanya adalah yang nomor satu di kolong langit ini, dari itu tak usah kamu saling berebutan lagi, juga tak usah kamu saling mengalah!"

Nyonya tua ini mengatakan secara tidak berat sebelah. Ia telah lihat tadi Thian Ya terjatuh di bawah angin daripada Hian Kee, akan tetapi ia berkesimpulan karena sebelumnya si hantu telah melayani Thian Hoa dan Eng Eng dan kemudian terkepung Tan Hong dan In Loei, karena mana, mau atau tidak, tenaganya tentu berkurang banyak. Bila tidak demikian, masih belum dapat dipastikan, dia dengan Ittjie sian-nya yang menang atau Hian Kee Itsoe dengan Kimkong tjioe-nya.

Hian Kee Itsoe mengkerutkan keningnya.

"Jikalau bukannya kau yang menghendaki kami bertanding, siapakah yang kesudian membangkitkan keruwetan ini?..." katanya di dalam hatinya.

Siangkoan Thian Ya pun nampaknya masgul.

Si nyonya tua sudah lantas berkata pula, tetapi lebih dahulu ia menghela napas.

"Sepejaman mata saja, tiga puluh tahun telah berlalu..." demikian katanya, "dan kita bertiga telah menjadi tua... Kerunyaman di masa kita masih muda, apabila itu dipikirkan sekarang, sungguh sangat lucu agaknya! Berapa tinggikah usianya manusia? Maka kalau kita merunyamkannya pula, pasti kita akan ditertawai orang-orang jaman belakangan.

Maka segala kerunyaman kala muda itu, yang tadinya tak dapat dibereskan, sesudah tua sekarang, harus dibereskannya! Engko Hian Kee, adik Siangkoan, marilah sejak saat ini,kita bertiga jangan berpisahan pula, mari kita sama-sama meyakini ilmu yang terlebih tinggi, supaya dapat kita mewariskan sedikit kepada anak-anak muda! Tidakkah itu bagus?"

Hian Kee tergerak hatinya mendengar kata-kata itu, yang dikeluarkan dengan sesungguh hati, maka juga kesannya yang buruk selama tiga puluh tahun terhadap nyonya itu, sekarang dapat ia lenyapkan dalam tempo yang pendek sekali.

Juga hatinya, Siangkoan Thian Ya menjadi lemah mendengar orang memanggil mereka engko dan adik, ia mendengar itu sebagai juga suaranya Siauw Oen Lan pada tiga puluh tahun yang lampau, di saat orang masih menjadi nona remaja yang cantik manis. Ia pun menjadi berpikir: "Benarlah apa yang dikatakannya, dia nyata ada terlebih insyaf daripada aku. Ganjalan semasa muda itu sudah selayaknya sekarang dibikin habis..."

Sekarang, sesudah mereka semua berusia tinggi, di antara mereka tidak ada lagi soal pernikahan, lebih pula soal cinta, maka sungguh tepat jikalau mereka berkumpul bersama,akan hidup tenang sambil memperdalam terus ilmu silat mereka, untuk menjadi sahabatsahabat atau saudara angkat.

Kenapa si nyonya tua, Siauw Oen Lan, dapat mengucap demikian? Itulah kesadarannya, hasilnya bersamedhi selama tiga puluh tahun di dalam hutan bambu.

Selama itu, sangat sukar untuk ia mengatasi dirinya. Terhadap Hian Kee Itsoe ia penasaran dan membenci, terhadap Siangkoan Thian Ya ia putus harapan. Lama ia berpikir, hatinya panas dan dingin bergantian. Ia mencoba berlaku tenang dan sabar, ia mencoba memikir dengan kesadaran, menimbang-nimbang keruwetannya sendiri disebabkan cintanya terhadap Hian Kee dan Thian Ya. Di akhirnya ia merasa, bukankah semua itu kosong belaka? Ketika akan tiba saatnya perjanjian pertemuan tiga puluh
tahun, ia menjadi sangat menyesal. Bukankah karena urusannya maka kedua jago jadi bentrok, dengan menunggu tiga puluh tahun untuk mengambil keputusan? Maka itu,cepat-cepat ia berangkat ke gunung Tangkula, untuk datang sama tengah, untuk mengakuri satu pada lain. Demikian ia muncul di saat yang tepat.

Siangkoan Thian Ya masih diam berpikir, ketika Lim Sian In, muridnya yang perempuan, menghampiri padanya.

"Soehoe, tolong tengok Ouw Soeheng..." berkata murid ini.

Thian Ya segera berpaling kepada muridnya itu. Ia dapatkan Ouw Bong Hoe sedang duduk numprah di tanah, dari kepalanya menghembus uap putih, yang seperti mengepulngepul.

Ia lantas menjadi kaget. "Ia terkena Kimkong tjioe!..." katanya terkejut.

Mendengar itu, Tang Gak lompat kepada gurunya, romannya gelisah.

"Selagi teetjoe menghaturkan karcis nama kepada iootjianpwee, dengan tidak disengaja teetjoe kena lukai dia," ia akui. "Sekarang teetjoe bersedia untuk tolong padanya dengan emposan semangatku."

Hian Kee pun telah awasi Ouw Bong Hoe, mendengar perkataan muridnya, ia menggeleng-geleng kepala.
"Siangkoan Laohia," kemudian katanya kepada Thian Ya, "kali ini benar-benar aku takluk kepadamu! Sungguh aku tidak sangka muridmu itu mempunyai ilmu dalam yang demikian sempurna, kalau dibanding dengan aku, ternyata apa yang sebegitu jauh telah aku yakini adalah ilmu sesat!"

Kata-kata ini membuat heran murid-murid kedua pihak. Kenapa Hian Kee mengucap demikian?
Siangkoan Thian ya menyeringai. "Jikalau kepandaianmu itu dikatakan ilmu sesat, lebihlebih lagi kepandaianku!" ia berkata. Lantas ia bertindak kepada Ouw Bong Hoe, untuk raba nadinya dan meneliti wajahnya. Ia segera perlihatkan roman keheranan yang bertambah-tambah.

Pukulan Kimkong tjioe sangat liehay, Ouw Bong Hoe telah terkena pukulan itu, dengan mengimbangi latihannya, ia terluka sedikitnya mesti sampai tujuh hari baharulah ia dapat sembuh, akan tetapi waktu gurunya periksa padanya, guru ini dapatkan nadinya jalan seperti biasa, jalan darahnya pun tidak terganggu. Dengan begitu, dengan mengempos semangatnya sendiri, segera juga Bong Hoe akan sembuh dan pulih kesehatannya seperti biasa. Namun apa yang membikin guru ini menjadi lebih heran pula, ialah ia dapat kenyataan caranya sang murid bernapas bukanlah menurut cara pengajaran nya, sedang tenaga dalamnya sang murid tidaklah bertambah banyak. Maka adalah aneh, setelah tergempur Kimkong tjioe, Ouw Bong Hoe dapat menolong dirinya sendiri dengan masih
tetap numprah untuk memusatkan tenaganya sendiri.

Bahna herannya untuk sesaat Siangkoan Thian Ya berdiri bengong, kemudian dengan tiba-tiba ia tepuk punggung muridnya sambil menyerukan: "Bangun!"

Menuruti seruan itu, Ouw Bong Hoe lantas lompat bangun, ia telah sembuh dari lukanya, kesehatannya pun pulih seperti biasa.

"Kau dapat petunjuk dari orang berilmu siapa?" Siangkoan Thian ya tanya muridnya setelah murid itu menghaturkan terima kasih kepadanya. "Jikalau kau benar telah dapatkan satu guru lain, maka tak usahlah kau belajar terlebih jauh padaku!" Bong Hoe menjadi ketakutan.

"Maaf, soehoe, maaf..." berkata ia. "Dengan sebenarnya teetjoe tolong diri dengan ilmu kepandaian nya lain kaum tetapi sama sekali bukannya teetjoe telah menuntut pelajaran kepada lain guru..."

Guru itu tertawa dingin.

"Tanpa orang beri petunjuk padamu, apa itu artinya kau dapatkan kepandaianmu sendiri?" dia tanya, bengis.

Bong Hoe masih saja ketakutan, akan tetapi belum lagi ia memberikan penyahutan,Tan Hong sudah majukan diri di antara mereka, tapi pemuda ini terlebih dahulu memberi hormat sambil menjura kepada kakek gurunya.

"Murid siapakah pemuda ini?" bertanya orang tua itu.
"Dialah Thio Tan Hong, murid teetjoe," Thian Hoa memberikan jawaban.

Hian Kee tertawa bergelak.

"Muridmu nyata ada jauh terlebih liehay daripada muridku!" berkata dia. "Di belakang hari, dalam kemajuannya, bukan saja dia bakal melampaui kamu semua, bahkan aku sendiripun..."

Thian Hoa heran berbareng girang."Ah, soehoe terlalu memuji padanya!" ia bilang.

Tan Hong tidak pedulikan pembicaraan antara kakek guru dan gurunya itu, setelah memberi hormat pada sang kakek guru, ia maju buat memberi hormat kepada Siangkoan Thian Ya.

"Aku tahu siapa yang telah memberi petunjuk kepada dia," ia kata sambil tunjuk Bong Hoe.

Si hantu heran, ia mengawasi muka orang. "Siapakah?" ia tanya.

"Pemberi petunjuk itu adalah seorang yang telah hidup lebih daripada seratus tahun yang lalu," menyahut Tan Hong.
"Ngaco belo!" bentak Thian Ya. Ia heran dan tak mempercayainya. Ia lantas berpaling kepada Hian Kee Itsoe, untuk mengatakannya: "Cucu muridmu ini telah berdiam lamanya tujuh hari di dalam kamar batuku, telah aku periksa padanya, aku dapat kenyataan dia terganggu urat syarafnya disebabkan gangguan pada hatinya. Dia masih belum sadar betul, dari itu perlulah kau rawat dia baik-baik."

Mendengar itu, Thio Tan Hong tertawa berkakakan.

"Siapa bilang urat syarafku terganggu dan aku tak sadar benar?" bertanya dia.

"Sebaliknya aku tahu benar, justeru kaulah yang terganggu asmara! Dan pada tiga puluh tahun dulu, kaulah satu penjahat! Kau repoti dirimu dengan asmara, kau sebaliknya tidak pedulikan mati atau hidupnya murid-muridmu, malah kau terang-terangan hendak pisahkan mereka itu hidup-hidup! Aku tidak puas terhadap sepak terjangmu itu maka aku telah minta almarhum orang tua itu beri petunjuk ilmu kepada muridmu ini!"

Kata-kata ini membuat heran semua orang, lebih-lebih orang tidak mengerti kenapa Tan Hong berani bersikap demikian kurang ajar terhadap Siangkoan Thian Ya.
Hian Kee heran akan tetapi ia diam saja, otaknya tengah bekerja. Beda daripada yang lain-lain, kakek guru itu tidak pandang perkataannya cucu muridnya itu sebagai ocehan belaka.

Siangkoan Thian ya pun heran sekali, ia terkejut, tetapi ia tidak menjadi gusar, malah sebaliknya, ia ingat suatu hal.
"Bong Hoe!" ia segera tanya muridnya, "benarkah apa yang dia katakan ini?"
"Sedikit pun tidak salah," menyahut murid itu. Sekarang tidak lagi ia takut seperti tadi.

Ia malah rogo sakunya, akan keluarkan kitabnya Tan Hong yang dipinjamkan kepadanya,ia serahkan itu kepada gurunya.

Si hantu menyambuti kitab yang kecil itu, segera ia lihat judulnya ialah "Hiankong Yauwkoat". Di bawah itu juga ada huruf-huruf yang menandakan nama penulisnya,bunyinya: "Dikarang oleh Pheng Eng Giok". Tentu saja, menampak itu, ia menjadi melengak.

Tan Hong tertawa bergelak-gelak.

"Kau lihat, aku dustakan kau atau tidak?" anak muda ini tanya. Ia bicara seperti terhadap sesamanya. "Bukankah penulis itu seorang tua almarhum dari seratus tahun yang lampau, yang pernah menjadi gurunya dua kaisar? Kau buka kitab itu dan periksa sendiri! Apakah kau masih hendak berkukuh bahwa orang mesti bertubuh perjaka tulen untuk dapat mempelajari ilmu silatmu yang kau namakan Ittjie sian itu?"

Siangkoan Thian Ya sudah lantas periksa kitab tersebut, walau ia melihatnya sepintas lalu, ia menjadi terperanjat tak kepalang.

"Hai, kiranya kitab warisannya Pheng Hoosiang berada di dalam tanganmu!" dia berseru. "Jadi kaulah yang pinjamkan kitab kepadanya?" dia menegaskan, sambil tunjuk muridnya.

Tan Hong tertawa pula. Ia tidak jawab si hantu, hanya kemudian, ia mengoceh sendirian: "Semoga air sorga, dapat menyiram pelbagai pasangan. Semua siapa saling menyinta, sudah selayaknya dapat berumah tangga..."

Hatinya Siangkoan Thian Ya tergerak dengan kata-kata itu, sehingga ia menjadi bimbang. Iapun menginsafi artinya kitabnya Pheng Hoosiang itu. Ia juga tergerak hati untuk ketulusan dan kedermawanan Tan Hong. Untuk kebahagiaannya Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, bukankah pemuda itu berani berkurban meminjamkan kitabnya itu, suatu kitab istimewa?

Nyata si hantu pandai berpikir, ia cerdas dan sadar. Sejenak itu ia lantas tertawa bergelak-gelak.

"Saudara kecil, sungguh kau hebat!" serunya. Ia tertawa pula seraya pegangi tangannya si anak muda.
"Kakak Siangkoan!" berkata Hian Kee, yang pun tertawa, "kau nyata masih sama seperti tiga puluh tahun yang lampau!"

Si hantu tidak jawab sahabat atau saingan itu, sambil lepaskan tangannya Tan Hong ia berpaling kepada Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.

"Kamu adalah muridku yang baik, selama belasan tahun telah aku menghalangi jodohmu," katanya. "Sekarang aku hapuskan peraturanku yang melarang pernikahan kamu berdua, dan rumah batu ini juga aku hadiahkan kepada kamu." Kedua murid itu girang bukan main, dengan lantas mereka berlutut di depan guru itu untuk haturkan terima kasihnya.

"Sepantasnya kamu menghaturkan terima kasih terhadapnya!" berkata si hantu sambil tertawa dan menunjuk Tan Hong.

Dalam kegirangannya yang berlimpah-limpah itu, Ouw Bong Hoe tidak pikir lagi tentang usia atau tingkat tinggi atau rendah, segera ia memberi hormat pada si pemuda she Thio untuk haturkan terima kasihnya. Iapun lantas kembalikan kitab "Hiankong Yauwkoat."

Bong Hoe kalah cerdas dari Tan Hong akan tetapi, selama beberapa hari ia membaca kitab itu, telah dapat ia ambil sarinya, maka itu kitab sudah tak perlu lagi baginya.

Senang Siangkoan Thian Ya menyaksikan segala apa dihadapannya itu, kembali ia tertawa sendirinya.

"Seumurku pernah aku melakukan pertempuran besar dan kecil tak kurang daripada beberapa ratus kali," katanya kemudian, "akan tetapi pertempuran hari ini adalah yang paling memuaskan! Memang tidak berhasil aku merebut nama sebagai kepala kaum Rimba Persilatan akan tetapi sekarang, budi dan permusuhan, telah dapat dijelaskan dan dilenyapkan! Kakak Hian Kee, sekarang telah tiba waktunya untuk kita pergi!" demikian ia mengajak. Akan tetapi, terus ia menoleh kepada Bong Hoe, sambil mengatakannya: "Lihat, kakak seperguruanmu telah datang dan datangnya di saat yang tepat ini!"

Memang itu waktu tertampak Tantai Mie Ming tengah mendaki gunung, mendatangi ke arah mereka. Ia heran akan menyaksikan Hian Kee Itsoe dan gurunya berdiri berdampingan selaku dua sahabat, bukannya sebagai musuh satu pada lain. Memang ia datang membawa pesan dari Thio Tjong Tjioe, yang telah minta bantuannya untuk menemui Siangkoan Thian Ya, untuk mencegah si hantu nanti celakai Tan Hong. Sekarang ia menampak demikian, hatinya lantas menjadi lega sekali. Ia pun telah saksikan soetee dan soemoay-nya, Bong Hoe dan Sian In, berdiri rapat di samping guru mereka, hal itu menambah kelegaan hatinya, tapi masih dalam keheranan...

Dengan Tantai Mie Ming Tan Hong hidup bersama semenjak kecil, selagi sekarang kesadarannya telah pulih enam atau tujuh bahagian, kapan melihat sahabatnya itu, Thio Tan Hong segera juga ingat segala apa dengan baik sekali. Artinya, ia ingat perihal dirinya sendiri, perihal permusuhan pribadi atau negara. Demikian, dalam kesadarannya, ia lari memapaki Mie Ming.

"Tantai Tjiangkoen, ayahku tak kurang suatu apa, bukan?" bertanya ia.
"Ayahmu justeru mengharapkan pulangmu!" adalah jawaban yang singkat dari jenderal itu.
"Bukankah kamu telah kenal lama satu dengan lain?" Siangkoan Thian Ya menyelak,
menanya kedua orang muda itu ketika menyaksikan sikap erat rapat dari mereka itu.
"Harap soehoe ketahui, dia adalah junjunganku yang muda," menjawab Tantai Mie
Ming, sang murid. Mendengar itu, Siangkoan Thian ya tertawa besar.
"Saudara Hian Kee!" ia berkata, lihatlah, bukankah murid-murid kita telah sejak siangsiang
menjadi orang sendiri, karenanya, untuk apa kita saling berebut pengaruh pula?"

Hian Kee Itsoe tidak menjawab, ia melainkan bersenyum.

Thian Ya lantas panggil Mie Ming datang dekat kepadanya.
"Telah aku ambil putusan untuk meninggalkan tempat ini," berkata dia kepada muridnya itu. "Sian In telah lama ikuti aku, maka itu, rumah ini aku sudah serahkan kepadanya sebagai hadiah pernikahannya, supaya dia dapat hidup tenteram bersama Bong Hoe. Maka itu sejak hari ini, kaulah ahli waris dari partai kita, kau menggantikan aku menjadi ketua. Harapanku adalah kau nanti tilik dan anjurkan kedua saudara seperguruanmu ini agar mereka tetap rajin memperdalam pelajarannya."

Kedua matanya Lim Sian In menjadi merah.

"Bukankah terlebih baik soehoe tetap berdiam di sini?" katanya dengan sangat berduka. "Kenapa soehoe hendak pergi? Baiklah soehoe berikan ketika kepadaku untuk merawat soehoe lagi beberapa tahun, untuk sedikitnya dapat membalas budi soehoe."

Siangkoan Thian Ya, sang guru, tertawa. "Pada tiga puluh tahun dulu, karena aku tidak sanggup mengalahkan Hian Kee si tua bangka, telah aku kabur kemari, untuk tinggal di sini sambil meyakini lebih jauh ilmu silatku," ia berkata, "akan tetapi sekarang segala apa telah dibikin habis, untuk apa jikalau aku tidak kembali ke Tionggoan? Kau telah punyakan kawanmu, maka itu, aku juga hendak cari kawanku — dua orang!"

Sementara itu, Tantai Mie Ming telah berlutut kepada gurunya, untuk menghaturkan terima kasih.

Mukanya Sian In menjadi merah, akan tetapi ia masih dapat berbicara, sambil tertawa ia bilang: "Asal soehoe beruntung, akupun girang!"

Lantas, bersama-sama Bong Hoe, ia memberi hormat sambil berlutut juga.

"Menampak ini, akupun perlu menyelesaikan sesuatu," berkata Hian Kee. Lantas ia panggil berkumpul murid-muridnya. Kemudian, baharu ia berkata pula."Tang Gak berusia paling tua dan jujur, iapun paling lama mengikuti aku, maka itu,mulai hari ini dan selanjutnya dialah yang akan mengepalai partai kita," ia berkata. "Kamu,Thian Hoa dan Eng Eng, dasarmu berdua adalah yang paling baik, kamu juga telah masing-masing mewarisi separuh dari ilmu silatku, yaitu ilmu pedang Goangoan Kiamhoat, mulai hari ini aku ijinkan kamu untuk saling menurunkan pelajaran kamu itu, supaya
siangkiam happek, sepasang pedang terangkap menjadi satu, kamu berdua turut bergabung bersama. Aku tugaskan toasoeheng-mu untuk mengurus pernikahanmu."

Setelah belasan tahun, baharu pada saat ini terwujud pengharapannya, cita-citanya Thian Hoa dan Eng Eng, mereka menjadi girang tak kepalang, akan tetapi di muka orang ramai itu, tidak merdeka mereka lampiaskan itu, mereka hanya saling mengawasi sambil bersenyum. Terhadap guru mereka itu, mereka menghaturkan terima kasih sambil berlutut.

Tang Gak menghampirkan kedua adik seperguruan itu, untuk beri selamat kepada mereka. Memang ia tahu hatinya soetee dan soemoay itu, sekian lama ia hanya bisa menyesal yang mereka itu tak dapat menikah satu pada lain. Sebenarnya, ia sendiripun menaruh hati kepada Eng Eng akan tetapi mengetahui mereka itu saling menyinta, ia suka mengalah, hingga untuk banyak tahun, ia melainkan hiburkan diri saja. Ia ada demikian sadar hingga ia tidak iri hati kepada Thian Hoa, tidak membenci kepada Eng Eng,sebaliknya, ia menyesal yang mereka pun tak dapat menikah karena larangan guru
mereka.

Lalu Hian Kee berkata pula: "Di antara kamu, In Teng adalah yang paling pendek harinya mengikuti aku, pelajarannya pun belum rampung, sudah begitu, sekarang ia pun menderita. Hal ini membuat aku menyesal, tak puas hatiku. Maka itu aku ingin,seberlalunya aku, supaya kamu beramai menilik ia baik-baik. Tang Gak, kau wakilkan aku mendidik ilmu dalam kepadanya. Asal ia suka meyakininya, ia pun masih dapat memperoleh hasil yang memuaskan."

In Teng jadi sangat terharu hingga ia menangis menggerung-gerung.

Tan Hong menjadi sangat terharu, ia menyesal bukan main, hingga tidak berani ia berpaling kepada In Loei.

"Jangan terlalu berduka, soetee," Tang Gak menghibur. "Kau telah ketolongan, kau telah bertemu pula dengan puterimu, sekarang pun soehoe menaruh belas kasihan terhadapmu, sudah selayaknya kau merasa girang."

Hian Kee usap-usap rambutnya In Loei, ia kata kepada muridnya: "Kau telah punyakan puteri yang bagaikan kumala dan bunga ini, yang pun berbakti kepadamu, kau justeru jauh lebih menang daripada aku! Asal kau tidak melakukan sesuatu yang memalukan,sudah seharusnya kau hidup senang. Kau pun telah punyakan putera yang berbakti dan berpangkat, walaupun kau bercacat, kau tak usah berduka, maka janganlah kau menangis terlebih jauh."

In Teng berhenti menangis, ia seka air matanya. Ia sangat bersyukur untuk kebaikan hatinya guru itu, yang telah melepas budi banyak terhadapnya. Memang benar nasihatnya guru itu. Akan tetapi ia masih kandung kemurkaan, ia masih mendendam sakit hati,mengenai itu ia menghadapi rintangan... Di luar sangkaannya, putera dari musuh besarnya justeru adalah keponakan muridnya sendiri dan keponakan murid itu justeru paling dipuji gurunya. Sudah pasti, tidak dapat ia membalas sakit hati terhadap putera musuhnya itu, malah untuk memberitahukan saja halnya itu kepada gurunya pun ia tidak dapat lakukan. Mana ia bisa buka mulutnya? Karena ini, ia menjadi berduka.

Lalu terdengar suaranya Hian Kee Itsoe, yang berbicara sambil tertawa.

"Apa yang membuatnya aku paling gembira adalah kaum kita yang setingkat demi setingkat, telah menjadi semakin maju!" demikian katanya. "Thio Tan Hong di belakang hari pasti akan membuat semakin mentereng partai kita. Asal dia tidak keliru menggunai kesadarannya, kemajuannya tak akan ada batasnya, dari itu, kamu semua harus didik padanya dengan teliti dan seksama."

Si nyonya tua, yang menyekal tongkat, yang sejak tadi diam saja, rupanya telah habis sabarnya menyaksikan orang main mengangkat ahli waris dan omong seperti tak habisnya. Waktu itu matahari sudah doyong jauh ke barat, sang magrib tengah mendatangi. Maka ia lantas saja menyelak: "Hai, kenapa urusan kamu ada demikian banyak hingga seperti tak habis-habisnya?" demikian katanya. "Orang seharusnya menyingkirkan urusan dunia untuk lompat keluar dari penghidupan lahir!"

Mendengar itu, Siangkoan Thian Ya bertepuk tangan.

"Bagus, bagus!" serunya. "Sejak kini baiklah kita menjadi seperti bangau-bangau merdeka yang senantiasa mengawani mega, yang tidak mengenal asmara! Saudara Hian Kee, inilah saatnya untuk kita berlalu!"

Hian Kee segera pandang semua muridnya, terhadap mereka ia mengibaskan tangan.

"Kamu semua baik-baik membawa diri!" ia mengucap, lalu ia bertindak pergi dengan cepat, pergi bersama-sama Siangkoan Thian Ya dan si nyonya tua yang bertongkat, selagi mulai berangkat, ketiga-tiganya menepuk-nepuk tangan tandanya riang hati mereka.

Cepat sekali tindakan mereka, sebentar saja mereka sudah terhilang di dalam cuaca yang remeng-remeng. Murid-murid dari kedua pihak telah bertekuk lutut untuk memberi selamat jalan kepada guru mereka masing-masing, walaupun sebenarnya mereka sangat berduka dan menyesal. Sungguh lekas perpisahan itu, dengan tiba-tiba saja.

Tang Gak berdiam, begitupun Tantai Mie Ming, masing-masing tenggelam dalam perasaannya sendiri-sendiri. Mereka juga tidak sangka, kedua lawan yang demikian hebat,percederaannya dapat disudahi secara demikian mudah.

Kemudian kedua orang ini, yang masing-masing menjadi murid kepala, menjadi terperanjat apabila mereka berpaling ke arah Tan Hong. Mereka dapatkan anak muda itu masih saja berlutut di belakang mereka, kedua matanya mendelong ke arah gunung, air matanya mengembeng, dia seperti hendak menangis tetapi tak keluar suara dari mulutnya. Teranglah pemuda itu bagaikan hilang semangatnya.
Tantai Mie Ming datang menghampirkan, ia segera membanguni Tan Hong.

"Kau kenapa?" ia tanya.

Tan Hong tidak segera menjawab. Di hadapannya ada Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.

Kedua pasangan itu telah berhasil dengan cita-citanya, penderitaannya telah berakhir.

Malah gurunya, cita-citanya pun telah terwujud! Akan tetapi dia, meski dekat kekasihnya itu tapi mereka berdua seperti terpisah jauh bagaikan di antara kedua pangkal langit. Dia cuma dapat melihat, tidak dapat dia memegangnya, bagaikan ada pintu yang memisahkan mereka, sama-sama mereka tak dapat memasuki atau keluar...

Tantai Mie Ming mengulangi pertanyaannya beberapa kali, akhirnya ia dapatkan penyahutan seperti bersenanjung dari si anak muda, katanya: "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Kecewa kau menjadi muridnya si hantu tua, kata-kata ini kau tidak mengerti! Apa perlunya kau menanyakannya padaku? — Haha-ha! Kau siapakah? Siapakah aku ini? Siapakah dia itu? Jikalau langit berasmara, dia juga bakal menjadi tua, tak dapat dia memperta hankan diri! Hendak aku menanyakannya kepada langit, langit tidak memberikan penyahutan! Sekarang kau menanya aku, mana aku tahu?"

Kembali kesadarannya pemuda ini seperti ketutupan kembali.

In Loei telah saksikan keadaannya si anak muda, ia berduka tanpa daya. Selagi ia awasi pemuda itu, orang telah menggeser kepalanya, berputar ke arahnya, matanya mengawasi,pada itu terpeta sinar dari kemenyesalan, penasaran dan menyinta... Ia lantas memalingkan muka, tapi justeru matanya bentrok kepada mata ayahnya. Ia dapat kenyataan, ayah itu tengah mengawasi padanya, sinar matanya tajam mengandung kemurkaan dan kedukaan...

Wajah ayah itu, yang perok dan lesu, nampaknya menjadi besar dengan perlahanlahan,wajah itu menjadi lebar dan akhirnya menutup mukanya Tan Hong, yang seperti turut berpeta di hadapan matanya itu...

Hampir In Loei menjerit ketika sinar matanya bentrok dengan sinar matanya Tan Hong,syukur ia dapat menguatkan hati dan dapat membatalkannya. Ia tunduk dengan segera,akan menyingkir dari pandangan mata si pemuda. Ia juga menyingkir dari sinar mata tajam dari ayahnya itu. Itulah dua orang yang ia sangat cintai atau menyayanginya, tidak ingin ia melukai hati mereka hingga mereka menjadi berduka. Ia hanya tidak ketahui,bagaimana perasaannya mereka itu masing-masing...

Tang Gak, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng menundukkan kepala, mereka menginsyafi urusannya Tan Hong dengan In Teng itu, atau Tan Hong dengan In Loei. Mereka juga mengetahui sulitnya urusan. Maka mereka berpikir masing-masing. Daya apa mereka punya untuk meredakan ketegangan di antara kedua pihak itu?

Angin gunung meniup sepoi, membuatnya sesuatu orang merasakan tubuhnya dingin.

Tengah Tan Hong dan In Loei saling berhadap-hadapan tanpa mengatakan sesuatu,oleh karena hati mereka masing-masing sedang pepat sekali, adalah Tantai Mie Ming menggeleng-geleng kepala, ia menghela napas perlahan. Sejak tadi, iapun berdiam saja bahna masgul dan bingungnya. Tapi kali ini ia berbisik di kupingnya si anak muda.

"Kau dapat melepaskan negara kerajaan Beng yang luasnya sembilan laksa lie, yang indah pemanda ngan alamnya, mustahil kau pun tidak dapat membiarkan satu wanita?" jenderal Watzu ini berkata dengan perlahan, yang dekatkan mulutnya kepada kuping orang. Tan Hong agaknya terperanjat.

"Apa?" ia menegaskan.

"Ayahmu mengharapkan kau untuk membangun pula kerajaan Tjioe," Tantai Mie Ming menerangkan, "dan kau sendiri, untuk tak membiarkan daerah Tionggoan yang indah dan luasnya sembilan laksa lie itu terjatuh ke dalam tangan bangsa asing, setelah kau menempuh bahaya, untuk itu kau telah serah kan harta dan peta bumi kepada pemerintah yang sekarang ini, hingga kau telah menolong kerajaan Beng yang menjadi musuh keluargamu itu! Tidakkah dengan begitu, kau telah lepaskan percobaanmu untuk merebut pulang negaramu? Usahamu membangun negara masih kau dapat melepaskan nya , apapula budi dan penasaran ini?"

Tan Hong melengak.

"Aku pandang raja bagaikan kotoran!" katanya.

Tantai Mie Ming mengawasi, ia menyambungkan: "Negaramu tengah menantikanmu!"

Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, dari pucat menjadi merah. Suaranya Mie Ming pelahan akan tetapi bagi pendengarannya Tan Hong seperti suara guntur.

Sejenak itu segera ia ingat bahwa ia datang dari gurun pasir utara, bahwa setibanya di Kanglam, kembali ia ke gurun, jauh perjalanannya, melintasi sungai dan gunung, banyak penderitaannya. Untuk apakah itu? Bukankah itu untuk cita-citanya yang luhur? Untuk melindungi negaranya nan indah permai? Bukankah itu untuk mencegah berlangsungnya peperangan antara Tionggoan dan Watzu, supaya menjadi berhenti seanteronya, agar di empat penjuru tetangga, semua hidup rukun dan damai? Sekarang, justeru cita-citanya itu bakal berwujud, ia telah menjadi seperti runtuhiKenapa begitu? Dasarnya cerdas dan ingatannya kuat, segera Tan Hong sadar. Ia kertek giginya ketika ia buka suara.

"Tantai Tjiangkoen, terima kasih untuk peringatanmu ini kepadaku!" demikian katanya.
"Mari kita berangkat!"

Pemuda ini segera memberi hormat kepada guru dan paman gurunya semua, dengan sekelebatan sinar matanya menyapu In Loei, lalu dengan sebat ia membalik tubuhnya.

Tapi ia masih dengar elahan napas dari gurunya, dari Eng Eng juga.

In Loei segera duduk numprah di tanah, air matanya tak dapat mengucur keluar.

Syukur baginya Tan Hong tidak berani berpaling kepadanya, jikalau tidak, asal sinar rata mereka bentrok, mungkin ia segera menangis, atau mungkin keduanya saling tubruk,untuk menangis sambil saling rangkul, tak ingin mereka angkat kaki, tak sudi mereka memisahkan diri lagi...

Tan Hong dan Mie Ming turun gunung dengan cepat. Itu waktu, sang malam telah tiba,bintang-bintang di langit sudah mulai berkelak-kelik. Mereka lantas cari rumahnya satu pemburu, untuk numpang bermalam. Esoknya pagi di kaki gunung itu, Tan Hong dapat cari Tjiauwya saytjoe ma, kudanya yang jempol.

Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda luar biasa. Telah sekira sepuluh hari Tan Hong berdiam di atas gunung, dia dilepas, diumbar mencari makan sendiri, tidak ada kandangnya, tidak ada yang urus, dia dapat bawa dirinya sendiri, dia tak pergi jauh, terus dia menantikan majikannya. Demikian pagi itu, begitu lekas melihat majikannya, dia segera meringkik keras, sambil berjingkrakan dia lari menghampiri majikannya itu.

Tan Hong usap-usap lehernya kuda itu, ia lalu teringat di kala ia bersama In Loei berada di atas seekor kuda itu, tanpa merasa, ia menjadi bersedih hingga tak dapat ia cegah mengalirnya air matanya...

"Dengan ada punya kuda jempolan ini," berkata Tantai Mie Ming kemudian, setelah berada dekat kawannya itu, atau majikannya yang muda, "tak usah sampai sepuluh hari,akan kita sudah tiba di kota raja."

"Bagaimana keadaan di ibu kota Watzu sekarang ini?" Tan Hong tanya.

"Di luar nampaknya segala apa tenang-tenang saja, tapi di dalam sang hujan akan segera turun," ada jawabannya jenderal Watzu itu.

"Bagaimana sebenarnya?" si anak muda menegaskan.

"Atzu Tiwan sudah mengadakan perserikatan dengan pelbagai suku bangsa," Mie Ming memberi kete rangan, "hendak dia mulai dengan pemberontakannya. Di pihak lain,Perdana Menteri Yasian ingin se kali lekas-lekas mengadakan perdamaian dengan Tionggoan. Pada hari aku meninggalkan kota raja, kabarnya pemerintah Beng Tiauw sudah mengirim utusan untuk perdamaian itu. Mudah-mudahan utusan itu tiba sebelum kedua pihak tentera mulai bentrok, kalau tidak, mungkin akan terbit perubahan besar!"

"Bagaimana dengan ayahku?" Tan Hong menanya pula.
"Ayahmu telah meletakkan jabatannya sebagai Menteri Muda," menyahut Mie Ming. "Ia sekarang tengah menantikan tibanya utusan Beng Tiauw itu."
"Apakah ayah masih belum ambil putusan untuk pulang ke Tionggoan?" Tan Hong menanya lebih jauh.

Tantai Mie Ming menggeleng-geleng kepalanya. "Sekarang ini siapa juga tidak berani memberi nasihat kepadanya," ia menjawab. "Ayahmu masih tetap tinggal di ibu kota,benar ia sudah tidak memangku jabatan akan tetapi Yasian masih tetap berkuatir terhadapnya. Maka itu, kalau lama-lama ayahmu tetap masih tinggal di ibu kota, aku kuatir di belakang hari ada bahaya mengancam padanya. Aku lihat melainkan kau yang dapat membujuki ayahmu itu berangkat pergi..."

Tan Hong menjadi jengah sendirinya dan menyesal. Ia insyaf benar-benar, karena beberapa hari berada dalam keadaan tak sehat itu, hampir saja ia menyebabkan terbitnya peristiwa yang hebat sekali. Maka itu, berlompatlah ia atas kudanya, yang segera ia kedut lesnya, untuk dikaburkan...

Selama di perjalanan itu, Tantai Mie Ming tidak berani sebut-sebut nama atau halnya In Loei kepada kawan seperjalanannya ini, ia kuatir urusan itu akan menyebabkan bangkitnya pula atau kumat angotnya si anak muda.

Kuda Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali, di waktu tengah hari dia telah melewati selat bahagian selatan dari gunung Tangkula itu di mana berdiam suku bangsa Ngolo.

Pada belasan hari yang lalu, bersama In Loei pernah Tan Hong menemui ketua dari suku itu, maka pengembala-pengembala di dataran rumput itu banyak sudah yang kenali padanya, ada di antara mereka yang dengan ramah tamah menegur padanya. Dengan kedut les kudanya, Tan Hong lewatkan mereka itu. Karena ia biarkan kudanya lari pesat,ia membikin Tantai Mie Ming hampir ketinggalan.

Mie Ming tidak tahu apa sebabnya di tempat ini Tan Hong bedal kudanya itu.

"Tan Hong, bagus sekali peruntunganmu!" berkata jenderal ini. Ia maksudkan bagaimana pemuda ini disukai suku bangsa Ngolo itu, yang menyambutnya dengan manis.

Mendengar perkataannya sang kawan, wajahnya si pemuda berubah secara tiba-tiba.

Ia membungkam.

Justeru itu, dari lain arah terdengar meringkiknya kuda, atas mana dengan mendadak Tjiauwya saytjoe ma perlahankan jalannya, dari mulutnya pun keluar suara sambutan ringkikan itu.

Tan Hong menjadi heran, dengan lantas ia berpaling ke arah dari mana suara kuda tadi datang. Di tepi jalan ia tampak sebuah rumah tua dan rusak dari tanah liat, di luar rumah itu, di sampingnya, ada sebuah pohon kayu kering. Pada pohon itu tertambat seekor kuda merah, ialah kudanya In Loei yang ia kenali dengan baik.
Tak tahu Tan Hong, mengapa kuda merah itu berada di situ, akan tetapi dapat ia menduga-duga.

In Loei datang bersama ayahnya, yang bercacat kakinya. Berdua mereka menaiki kuda merah itu. Lewat di rumah tua itu In Loei singgah, ia tambat kudanya, lalu dengan pepayang ayahnya mendaki gunung itu. Lama mereka berjalan, maka itu, mereka tiba selagi pertempuran berlangsung.

Sekarang kedua kuda, putih dan merah, meringkik saling sambut, mereka pun berlompatan, berjingkrakan. Menyaksikan itu, Tantai Mie Ming menjadi heran.

"Ah, rumah siapa ini?" berkata dia sambil tertawa. "Tidak kusangka, tuan rumah itu ada punya seekor kuda jempol... Eh, Tan Hong, kenapa, kenapa kudamu..."

Sebenarnya jenderal ini hendak menanyakan mengapa kedua kuda itu seperti telah kenal lama satu dengan lain, tapi ia batalkan itu karena dengan sekonyong-konyong ia tampak wajah si anak muda berubah pula, wajah itu menjadi pasi dan air matanya pun segera mengembeng. Ia menjadi heran dan terkejut.

Tan Hong tidak jawab kawannya itu, kemudian ia menghela napas, lalu seorang diri ia perdengarkan suaranya: "Tak sanggup aku mengalami pula kedukaan semacam ini! Bukankah daun kuning terbawa angin barat berarti usus putus? Ya, ya, kuda pun ada sedemikian rupa, apapula manusia?"

Belum berhenti suara si anak muda, dari dalam rumah telah terdengar suara orang,rupanya tuan rumah, yang mendengar suara berisik, hendak keluar untuk menghentikan suara kuda yang membikin berisik itu.

Tan Hong dengar kuda itu, sekonyong-konyong ia cambuk kuda putihnya keras sekali,ia sendiri lompat naik ke atas kudanya itu. Tadi ia telah lompat turun untuk membiarkan kedua kuda saling bertemu.

Sudah lama Tjiauwya saytjoe ma ikuti anak muda ini, sebegitu jauh belum pernah dia dicambuk begitu rupa, tidak heran kalau saking sakit dan kaget, lantas saja dia berlompat dengan ke empat kakinya dan terus kabur larat sekuat-kuatnya! .

Tantai Mie Ming pun heran, tetapi karena ia ditinggal pergi, tanpa bisa bilang suatu apa, terpaksa ia lantas menyusul. Kembali ia merasakan penderitaan, oleh karena ia ketinggalan jauh sekali. Ia tidak menjadi gusar atau mendongkol terhadap si anak muda,ia hanya menggeleng-geleng kepala...

"Tan Hong, pikiranmu tidak sehat," katanya seorang diri. "Kenapa kau persakiti seekor binatang?"

Tan Hong sendiri, di atas kudanya, yang ia peluki, telah menangis menggerung-gerung.

Ia mencoba usap-usap lehernya Tjiauwya saytjoe ma, akan tetapi karena kuda sudah kabur, baharu sekira sepuluh lie lebih, dapat ia menguasainya pula.

Ketika kemudian Tantai Mie Ming telah dapat menyusul, Tan Hong sudah berhenti menangis, air matanya telah ditepas kering, ia sedang berhenti di tepi jalan di depan sebuah warung arak.

Mie Ming hentikan kudanya di dekat kawan itu. Ia merasa sangat heran, ia ingin mengetahui sebabnya perubahan adat dari pemuda ini. Sebelumnya belum pernah si anak muda perlihatkan sikap yang aneh ini.

"Eh, Tan Hong, kau kenapakah?" ia tanya. Tan Hong tidak awasi sahabatnya, ia pun tidak menjawab nya, ia hanya bicara dengan caranya sendiri.
"Mari! Mari! Kita minum puas-puasan di sini!" demikian katanya.

Itulah bukan jawaban, itulah ajakan!

"Kita masih harus melakukan perjalanan cepat," Tantai Mie Ming memperingatkan.

Tan Hong menjawab tetapi sambil tertawa.

"Jikalau ada arak, mesti kita minum itu sampai mabuk!" katanya. "Dengan keadaan mabuk itulah paling tepat untuk membuat perjalanan! Eh, Tantai Tjiangkoen, mengapa hari ini kau nampak tidak gembira?"

Sehabis mengucap demikian, tanpa memberi ketika kepada kawannya itu, Tan Hong sambar tangan orang untuk ditarik, buat diajak masuk ke dalam warung arak itu.

"Apakah ada koumiss di sini?" dia berseru, menanya tuan rumah atau pelayan, untuk minta susu kuda, arak termurah untuk di Mongolia.

Tuan rumah adalah seorang yang sepasang matanya putih mencilak.

"Ada, kau menghendaki berapa banyak?" berkata tuan rumah itu, suara dan sikapnya kaku. "Aku minta kau membayar uang di muka!"

"Kau sajikan enam atau tujuh kati!" sahut Tan Hong dengan suara keras, terus ia lemparkan sepotong perak ke meja tuan rumah itu sepotong besar, yang lebih dahulu ia tepuk-tepuk di atas meja. "Inilah uang arak, selebihnya untukmu! Jangan kau ngoceh tidak keruan, tidak senang aku melihat biji matamu yang putih itu! Tahukah kau?"

Tuan rumah itu kaget, lekas-lekas ia ubah sikapnya. Sekarang ia berlaku telaten dan wajahnya pun senantiasa tersungging senyuman. Tapi di dalam hatinya, ia kata: "Kiranya orang ini sudah minum sinting di lain warung arak..."

Koumiss di warung arak ini rasanya asam dan juga turunnya seret, maka itu, baharu ia tenggak dua cangkir, Tantai Mie Ming sudah kerutkan keningnya. Tidak demikian dengan Tan Hong, yang meminumnya sangat bernapsu! .

Begitulah, lekas sekali anak muda itu sudah keringkan tujuh cawan.

"Arak yang wangi! Arak yang wangi!" demikian pemuda ini berseru-seru dengan pujiannya. Hanya, di dalam sintingnya itu, di depan matanya berpeta samar-samar bayangannya In Loei, bayangan yang bergoyang-goyang...

Pada mula kalinya Tan Hong ikat persahabatan dengan In Loei justeru ia telah minum koumiss dari sebuah buli-buli yang besar, ia meminumnya secara sangat bernapsu dan gembira, akan tetapi sekarang, ia minum seorang diri, ia telah kehilangan kekasihnya itu,maka itu, bukan main sedih hatinya. Ia jadi sangat berduka, lebih-lebih lagi ketika ia membayangkan si nona...

Tantai Mie Ming masih minum beberapa cegukan kapan ia lihat arak susu kuda telah hampir habis ditenggak Tan Hong.

"Cukup sudah!" ia lalu berkata. "Mari kita berangkat!" Ia tidak mengatakan langsung agar kawan ini hentikan minumnya.

Tan Hong menyeringai, ia letakkan cawannya. Hampir di waktu itu, di luar terdengar riuh ringkiknya kuda.

"Tjoei Hong, lihat!" demikian terdengar satu suara nyaring. "Itulah kuda Tjiauwya saytjoe ma dari Tan Hong!"
Menyusuli suara itu, orang tertampak bertindak masuk ke dalam warung arak itu, satu pria, dan lainnya wanita, yang jalan di depan ialah Tjioe San Bin, dan yang belakangan,Tjio Tjoei Hong.

Segeralah terdengar keluhannya pemuda she Tjioe itu: "Oh, Tan Hong, bagaimana sengsara aku mencari kau! Siapa sangka di sini kita bertemu!".

Tjoei Hong sendiri perdengarkan seruan kaget.

"Tan Hong, mana entjie In Loei?" dia bertanya. "Kenapa ia tidak ikut serta bersamamu?"

Tan Hong menggeleng kepalanya, terus ia bersenanjung: "Manusia itu ada saatnya untuk berduka dan bergembira, berpisah dan berkumpul, bagaikan rembulan ada waktunya bulat bundar dan bercacat, suram gelap dan terang cemerlang. Demikian tetap berlanjut sejak jaman purbakala. Kau tidak dapat menahan padanya, cara bagaimana aku pun dapat menahannya? Ya, ya, semoga manusia hidup kekal abadi, beriang gembira bersama-sama seribu lie..."

Tidak puas Nona Tjio mendengar kata-kata dewi kz itu, ia menyangka Tan Hong menggodai dia mengingat kejadian dahulu hari halnya ia keliru menganggap In Loei sebagai pemuda, maka wajahnya menjadi merah.

"Foei!" katanya, "orang omong benar-benar, kau ngaco belo!".

Tan Hong terperanjat, lantas menjadi sadar sedikit dari sintingnya.

"Eh, mengapa kau mendapat tahu dan dapat mencari aku di sini?" dia tanya.

Lenyap lantas kemendongkolannya si nona, terus saja ia tertawa.

"Kami telah sampai di rumahnya entjie In!" ia menjawab. "Kami telah bertemu dengan In Peebo. Bukankah kau dan In Loei telah bertengkar? Peebo bilang bahwa kau datang bersama In Loei kemudian kau pergi seorang diri. Peebo pun beritahukan kami bahwa entjie Loei telah pergi bersama ayahnya beberapa hari yang lalu. Aku menyangka mereka mencari kau..."

"Pantas tadi di jalan aku dengar suara seperti beberapa orang bicara, kiranya itulah kamu!" berkata Tan Hong.

"Kami baharu sampai, lantas kami dengar suaranya Tjiauwya saytjoe ma," Tjoei Hong berkata pula, "waktu kami keluar untuk melihat, kau nyata telah pergi jauh, lantas kami menyusul, baharu sekarang kami dapat menyandak padamu! Ya, hendak aku tanya kau," menambahkan si nona, "umpama benar kau bercedera dengan entjie In Loei, tidak seharus nya kau berlaku begini tidak tahu aturan! Kenapa kau lewat di rumahnya entjie Loei tapi tidak mampir? In Peebo harus dikasihani, kau selayaknya pergi menjenguk padanya..."

Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, kedua biji matanya berdiam. Ia lantas tunduk mengawasi dadanya saja.

Tjoei Hong menjadi heran. "Entjie Loei sangat lemah lembut, tentulah kau yang berbuat salah terhadapnya!" ia berkata pula. "Oleh karena itu, ia menjadi tidak mau pedulikan pula padamu! Sebenarnya, urusan apakah itu? Coba kau tuturkan kepadaku. Nanti aku wakilkan kau untuk menyampaikan maaf kepadanya..."

Nona Tjio ini lantas saja tertawa geli.
Tantai Mie Ming lihat gelagat kurang baik, ia lantas datang sama tengah.

"Mari kita bicarakan urusan kita!" demikian ia menyelak. "Kau masih belum menjelaskan, siapakah yang beri tahu kamu alamatnya In Loei itu?"

Masih si nona tertawa.

"Apakah aku bukan omong tentang urusan kita?" ia balik menanya. Ia sebenarnya hendak bicara terus tapi ia segera tampak wajah pucat pasi dari Tan Hong, yang terus membungkam dan menjublak saja, dengan lantas ia berhenti tertawa.

"Pemerintah Beng sudah kirim utusan," berkata San Bin, yang turut bicara. Ia bicara dari urusan yang benar. "Utusan itu akan segera tiba di negeri Watzu untuk merundingkan
perdamaian."

"Hal itu aku sudah ketahui," berkata Tantai Mie Ming.
"Coba terka, siapakah yang menjadi utusan itu?" San Bin tanya.
"Siapakah dia?" tiba-tiba Tan Hong menanya. Ia sadar dari menjublaknya.
"Dialah kakaknya In Loei," sahut San Bin.
Kembali Tan Hong menjublak. Kali ini disebabkan ia ingat In Tiong bersikap bermusuh
terhadapnya.

Datangnya In Tiong itu bisa menyebabkan semakin putus harapannya terhadap In Loei.
"Apa? Apakah kau tidak gembira?" menanya San Bin, yang tak tahu hati orang.
"Kenapa aku tidak bergirang," berkata si anak muda. "In Tiong menjadi utusan, tidak
ada yang terlebih baik daripada itu!"

Tan Hong mengucapkan kata-kata yang benar, yang keluar dari hatinya yang tulus.
Kakaknya In Tiong telah menjadi utusan ke negeri Watzu, kakek itu mesti hidup mengembala kuda di tepi telaga, sengsara sekali hidupnya, sekarang Tionggoan dari lemah menjadi kuat, utusan yang di kirim adalah cucunya kakek yang bersangsara itu,sungguh itulah tepat dan sangat menggirangkan, sangat memuaskan hati. In Tiong pun setia kepada negara, gagah dan pandai bekerja, dia menang beberapa lipat dari kakeknya yang lemah itu. Dengan diutusnya In Tiong inipun menjadi terbukti kepandaiannya Ie Kiam, yang bisa memilih orang. Tan Hong tahu In Tiong keliru mengerti terhadapnya, ia sangat menyesalinya, tetapi itu adalah urusan perseorangan, tetapi sebagai utusan, In Tiong bekerja untuk negara, itulah lain. Kalau ia menjadi menjublak, itulah disebabkan kekagumannya negara memperoleh wakil yang tepat, dan berbareng, ia bakal menghadapi kesulitan lebih jauh...

"Di waktu In Tiong lewat di Ganboenkwan, dia telah bertemu dengan kami," San Bin
menerangkan lebih jauh, "malah dia minta kami menyampaikan kata-kata untuk ibunya,
mewartakan perihal kedudukannya sekarang, dan mohon si ibu nanti membuat pertemuan
di ibu kota Watzu. Siapakah yang sangka bahwa ayahnya In Tiong itu masih hidup? In
Peebo telah beritahukan kami, bahwa dia hendak menantikan In Loei dahulu, kelak
baharulah bersama In Loei dan ayahnya ia akan bersama-sama pergi ke kota raja. Kami
diminta tak usah menemaninya."

Tubuh Tan Hong menggigil mendengar disebutnya nama In Loei. San Bin lihat itu, ia
heran.
"In Tiong berangkat dengan membawa delapan belas pahlawan Gietjian Siewie sebagai
pengiringnya," San Bin menerangkan pula. "Di samping itu ada turut beberapa wanita."
Tantai Mie Ming heran mendengar keterangan yang belakangan ini.
"Apa? Orang-orang perempuan?" tanyanya.

San Bin tertawa atas pertanyaan itu.
"Tantai Tjiangkoen," berkata dia dengan penyahutannya, "aku dengar yang turut In
Tiong itu adalah adikmu yang perempuan, Keng Beng namanya yang harum!"

Mie Ming menjadi girang.

"Ha, dia pun datang?" serunya. "Pasti sekali paman tjintong-ku serta ayahnya yang
menitahkan dia menyambut aku!"
"Sedikitpun tidak salah!" berkata San Bin. "Aku menghaturkan selamat kepadamu, yang
sekarang akan dapat pulang ke negeri sendiri!"

Cuma sebentar saja pemuda she Tjioe ini berhenti, lalu ia menambahkan pula:
"Beberapa orang wanita yang turut bersama itu adalah orang-orang dari kampungmu
yaitu Tamtay tjoen, mereka dititahkan oleh adikmu untuk menemani padanya!"
Di dalam hati kecilnya, Tantai Mie Ming berkata: "Keng Beng si bocah itu memikir
sempurna sekali! Terang tidak ingin seorang diri dia menemani In Tiong, dia kuatir orang
nanti banyak mulut dan usil terhadapnya. Hanya kasihan Tan Hong ini, andaikan Keng
Beng di perjodohkan dengannya, mereka sembabat sekali..."
Selagi Mie Ming masih berpikir, San Bin sudah berkata pula: "Mereka itu adalah
utusannya pemerintah," demikian katanya, "karena itu di sepanjang jalan ada orang-orang
yang menyambut mereka, karenanya setiap hari mereka cuma bisa melakukan perjalanan
lima sampai enam puluh lie. Mungkin masih perlu belasan hari lagi untuk mereka dapat
tiba di kota raja Watzu. Sebenarnya akupun sedikit berkuatir juga terhadapnya..."
"Kenapa begitu?" Tan Hong menyelak pula.
"Sesudahnya peperangan di antara dua negara," berkata San Bin, "di mana-mana mesti
ada muncul orang-orang dari kalangan Hitam dengan aksi mereka. Walaupun benar In
Tiong membawa delapan belas pengiring pahlawan raja, ia toh tetap mesti berhati-hati
menjaga sesuatu yang tak diduga-duga. Selama di dalam wilayah Ganboenkwan, dengan
disiarkannya panah Loklim tjian kami, aku berani tanggung tidak akan terjadi apa-apa,
akan tetapi sekeluarnya batas itu, di luar kota, tenaga kami tidak sampai..."
"Aku rasa kekuatiran itu tidak pada tempatnya," menyatakan Mie Ming. "Yasian
menghendaki pembicaraan perdamaian dengan kerajaan Beng, apabila utusan Beng
mengalami sesuatu di dalam negaranya, sukar untuk dia berdiam saja."
"Walaupun demikian tetapi Yasian itu sangat licik, kelicikannya itu diketahui orang di
dalam dan di luar negerinya. Siapa yang dapat menduga apa yang dikandung di dalam
hatinya? Justeru sekarang ini negara Watzu tengah terpecah-belah, tak mungkin orang
semua taat kepada Yasian itu, apapula segala penjahat Rimba Hijau. Aku anggap berlaku
hati-hati adalah terlebih baik. Aku ingin berdamai dengan kau, yaitu apakah perlu kita
kirim beberapa orang yang dipercaya untuk memapak mereka itu?"

Tan Hong berdiam sekian lama, tetapi sekarang, tiba-tiba ia nampaknya bersemangat.
"Tjioe Toako. Tjio Hianmoay." serunya. "Aku haturkan selamat kepadamu dengan ini
satu cawan!"

Segera ia isikan satu cawan yang besar, yang terus ia tenggak!.

San Bin dan Tjoei Hong melengak.
Sehabis minum, Tan Hong lemparkan cawannya itu, terus ia tertawa bergelak.
"Tjioe Toako." katanya pula, nyaring, "kuda kami keras larinya, hendak kami berangkat
terlebih dahulu! Kau jangan kuatir, aku tanggung In Toako bakal tiba dengan selamat di
kota raja Watzu!"

Setelah itu Tan Hong lari keluar dan lompat ke bebokong kudanya, kuda mana terus
meringkik, sesudah gerakkan kedua kakinya berlompat, dia lantas lari kabur!
Tantai Mie Ming tak dapat susul anak muda itu walaupun kudanya juga ada kuda
Mongol pilihan, jangan dikata lagi kudanya San Bin dan Tjoei Hong.

Tiga hari kemudian, Tan Hong telah kembali ke kota raja Watzu. Ia tampak kota agak
kacau. Penduduk kota tertampak seperti berebut membeli bahan makanan. Nyata mereka
itu sudah dengar kabar angin, mereka kuatirkan nanti terbit bentrokan senjata antara
Yasian dan Atzu Tiwan. Maka penduduk hendak menyimpan persediaan pangan.

Tan Hong menjadi berduka, hingga ia menghela napas.

"Kalau dunia aman damai, untuk selama-lamanya tidak ada bencana perang, alangkah
bagusnya!" dia berkata di dalam hatinya. Lebih jauh dia pun berpikir: "Suasana ada begini
rupa, malapetaka peperangan sudah mengancam, maka terang sudah Yasian semakin
menghendaki perdamaian dengan Tionggoan. Nampaknya peruntungan In Tiong ada jauh
terlebih baik daripada kakeknya, kali ini pastilah tugasnya tidak akan gagal dan tidak akan
mendapat malu karenanya, dengan berhasilnya perdamaian, niscaya ia akan berangkat
pulang sambil mengajak juga junjungannya yang sekian lama telah menjadi orang
tawanan..."

Lantas tanpa ayal lagi, Tan Hong pulang ke rumahnya.

"Oh, tuan rumah baharu pulang!" demikian ia disambut oleh bujangnya. "Setiap hari tuan besar mengharap-harap kepadamu. Selama beberapa hari ini tuan besar telah rebah di atas pembaringan nya, tak hentinya ia perintah orang pergi keluar untuk melihat tuan sudah pulang atau belum..."

Mendengar ini, Tan Hong terkejut. Dengan tindakan cepat, ia langsung menuju ke kamar tulis. Ia dapatkan ayahnya seorang diri berduduk menghadapi meja, sedang menulis.

Orang tua itu dengar tindakan kaki. "Siapa?" ia bertanya.

Lega juga hatinya si anak mendengar suara orang tuanya itu."Aku, ayah," sahutnya lekas. "Apakah ayah baik?"

Thio Tjong Tjioe lantas berpaling. "Mana Tantai Tjiangkoen?" dia balik menanya.

"Kudanya larinya sangat ayal, mungkin besok dia baharu sampai," sahut putera itu."Katanya ayah kurang sehat, benarkah? Ayah sakit apa? Apakah ayah sudah undang tabib?"

"Syukur kau ingat aku, anak," sahut si orang tua. "Aku tidak kurang suatu apa, cuma gangguan biasa saja. Selama hari-hari belakangan ini hawa udara buruk, sudah belasan hari hujan turun terus menerus, baharu kemarin dulu langit terang. Lututku, terasakan ngilu."
"Mengapa ayah tidak undang tabib?" sang anak tanya.

Tjong Tjioe tertawa.

"Aku justeru hendak memberitahukannya satu hal kepadamu!" kata dia. "Itu beberapa jilid catatannya Pheng Hoosiang yang kau bawa pulang dari dalam kamar batu sungguh berfaedah. Ternyata di dalamnya ada termuat beberapa resep untuk penyakit di bukubuku tulang. Walaupun orang sudah pincang, masih ada jalan untuk mengobatinya, baik dengan menyambung kaki itu dengan kayu yanglioe atau dengan ditusuk dengan jarum."

Pheng Hoosiang itu gemar pesiar, di tempat di mana ia tiba, tentu ia membuat catatan tentang keadaan penduduk setempat, tentang tempat-tempat yang penting untuk pergerakan tentera, lengkap pelbagai catatannya itu. Apa yang Tan Hong dapatkan di dalam kamar batu masih kalang kabutan, setelah ia pulang baharulah ia kumpulkan dan rapikan, masing-masing ada bahagiannya. Ia tinggal catatan itu di rumah, untuk ayahnya baca, sampai sekarang ayahnya peroleh faedah dari buku itu. Iapun baharu ingat tentang resep obat itu sesudah ia dengar perkataan ayahnya itu.

"Apakah ayah pernah coba resep itu?" dia lantas tanya.

Thio Tjong Tjioe segera berbangkit, untuk jalan beberapa tindak, untuk menendang-nendang
beberapa kali.

"Baharu kemarin aku mencobanya," ayah ini bilang. "Aku telah suruh orang tusuki telapak kakiku dengan jarum, cuma beberapa kali saja, lantas hari ini aku dapat berjalan seperti biasa."
"Sungguh mujarab!" Tan Hong memuji. "Kalau begitu, buku itu perlu aku baca pula dengan teliti untuk dapat menghafalkannya."

"Pheng Hoosiang itu adalah guru negara dari kerajaan Tjioe kita yang terbesar," berkata pula Thio Tjong Tjioe, "dia juga telah menjadi guru dari dua raja, bahwa dia pintar dan pandai, itulah sudah selayaknya. Memang, anak, harus kau baca pula bukunya itu dengan seksama."

Dari atas meja tulisnya, ayah ini tarik buku yang dimaksudkan itu, untuk diserahkan kepada puteranya.

"Kau duduklah di situ!" berkata dia sambil menunjuk kursi di sampingnya. Ia sendiri angkat cangkir tehnya dan meminumnya.

"Aku dengar bahwa utusan kerajaan Beng akan tiba, hatiku lega," ia berkata pula sambil bersenyum. "Hanya belum tahu, siapakah utusan itu? Kalau dia ada seperti In Tjeng dahulu hari, sungguh bagus!"

Baru saja orang tua ini tertawa, atau setelah menyebut namanya In Tjeng, suaranya menjadi parau, wajahnya menjadi suram berduka.

Tan Hong tahu sebabnya perubahan dari ayahnya itu. Si ayah ingat kejadian dahulu hari dan hatinya menjadi berduka. Itulah penyakit lama dari sang ayah, yang terus menjadi lesu. Ia sendiri pun turut lenyap kegembiraannya. Ia jadi ingat sikap keras dari In Tiong dan limbungnya hatinya In Loei.

"Ayah suka menyudahi permusuhan itu, akan tetapi, dengan cara bagaimana itu dapat disudahinya?" ia bertanya dalam hatinya sendiri.

"Eh, Tan Hong, apa yang kau sedang pikirkan?" tiba-tiba Tjong Tjioe menanya, karena waktu berpaling kepada puteranya, ia dapatkan anak itu duduk menjublak.
Tan Hong paksakan diri untuk tertawa. "Tidak apa-apa, ayah," sahutnya cepat. "Aku juga tengah menduga-duga siapa orangnya yang diutus kerajaan Beng itu..."

Dengan terpaksa anak ini mendusta. Tidak berani ia memberitahukan halnya In Tiong walaupun semula ia niat menuturkannya. Ia bersangsi karena sikap keras dari In Tiong itu, ia kuatir In Tiong tak dapat memaafkan pihaknya. Pasti ayah ini berduka apabila dia ketahui kekerasan hati dari puteranya In Teng itu. Oleh karena ini, ia mencoba untuk bersabar.

Sekian lama ayah dan putera itu membungkam.

"Ayah, adakah pikiran ayah masih belum berubah?" tiba-tiba si anak menanya.

Thio Tjong Tjioe tahu apa yang dimaksudkan puteranya itu. Ia menyeringai.

"Jikalau nanti utusan kerajaan Beng itu tiba, pergilah kau turut dia pulang ke negeri," menyahut orang tua ini. "Aku hanya melarang kau menjadi hambanya kerajaan itu."
"Bagaimana dengan ayah sendiri?" sang anak menegaskan.

"Dalam hidupku cuma dalam impian saja akan aku pulang ke Kanglam," sang ayah berikan jawabannya. "Penyair dari ahala Tong, Wie Tjhong, telah mengatakannya:'Sebelum tua, jangan pulang ke kampung asal, kalau pulang tentu bakal putus harapan.Akan tetapi aku, walaupun sudah tua, tidak ingin aku pulang ke kampung halaman.Sebabnya ialah aku kuatir nanti putus harapan hingga aku jadi berduka karenanya, Tan Hong jangan kau menyebut-nyebutnya pula hal ini."

Anak ini merasakan tubuhnya menggigil. Nyatalah hatinya ayah ini telah menjadi seperti kayu kering, hingga tak nanti kayu itu bersemi, tumbuh daun pula andaikata sang musim semi telah kembali dan angin timur meniupnya menderai-derai. Ia lantas tunduk.

Di atas meja ada selembar kertas yang ada tulisannya, yang air baknya masih belum kering semuanya. Membaca itu, tahulah Tan Hong bahwa itu adalah syairnya Liok Voe yang ayahnya tulis tetapi belum habis disebabkan datangnya dia. Itulah syair tentang burung bangau terbang sendirian, bahwa orang lama bakal digantikan orang baru, bahwa raja ada bagaikan semut, semua akan habis bagaikan debu...

"Begini rupalah perasaannya ayah sekarang ini," anak ini berpikir. Teranglah, ayah itu sudah putus harapan untuk hidupnya di dalam dunia ini. Karena ini, ia menjadi berduka sekali.

Malam itu Thio Tjong Tjioe tidur dengan diganggu pelbagai impian tak hentinya tetapi semua adalah impian yang baik, umpamanya dalam mimpinya itu ia telah pesiar di Kanglam yang indah.

Maka ketika terang tanah ia bangun dari tidurnya, pelbagai impian itu masih berkesan dalam mengenai kampung halamannya, karena mana, ia menjadi berduka. Ia baharu sadar ketika pelayannya mengetok pintu kamarnya.

"Tantai Tjiangkoen dan tuan muda mengasi selamat pagi kepada thaydjin," demikian hamba itu.

Tjong Tjioe segera turun dari pembaringannya, untuk pakai baju luarnya, lalu ia bertindak keluar dari kamarnya, menuju ke kamar tulisnya. Di sana Tantai Mie Ming dan Tan Hong telah menantikan ia, puteranya itu berdiri di pinggiran.
"Kau telah kembali, Tantai Tjiangkoen?" menegur junjungan ini. "Tan Hong benarbenar tidak tahu urusan, dia sangat kesusu hendak menemui aku, dengan andalkan kudanya yang keras larinya, dia tinggalkan kau! Tidak selayaknya dia berbuat demikian..."

Tan Hong terharu mendengar kata-kata ayahnya itu. Ia sangat berduka.

"Ayah, mana kau tahu apa yang aku pikir dalam hatiku," ia kata dalam hati kecilnya.
"Ayah tidak tahu, aku ingin lekas-lekas pulang karena aku harus segera pergi pula meninggalkan lagi padamu..." Tetapi apa yang ia pikir ini ia tidak mengutarakannya.

"Tjoekong, ingin aku memberitahukannya," berkata Tantai Mie Ming, yang memanggil "tjoekong" kepada junjungannya itu, "sekarang ini kongtjoe dan aku ingin lekas-lekas kembali ke Selatan, malah kami hendak berangkat segera. Sekarang kami hendak minta diri!"

Tjong Tjioe terperanjat. Inilah ia tidak sangka.

"Apa?" katanya. "Baharu pulang sudah lantas hendak pergi pula?"
"Benar, tjoekong," sahut si jenderal. "Kami dengar kabar utusannya kerajaan Beng
sudah memasuki wilayah Watzu, karena itu kami hendak pergi menjemputnya."
"Apakah kau kenal utusan itu?" tanya Tjong Tjioe heran.

Tantai Mie Ming menggeleng kepala. Ia menyangkal karena siang-siang Tan Hong telah kisiki padanya.

"Walaupun kami tidak kenal dia, perlu kami sambut padanya," jenderal ini memberikan jawabannya. "Ketika baharu ini kongtjoe pulang ke negeri dan aku turut Atzu Tiwan, yang menjadi utusan, kami telah mendapatkan penyambutan baik dari Kokioo Ie Kiam.Kabarnya utusan Beng itu adalah orang pilihannya Ie Kokioo sendiri, oleh karenanya kita harus balas kehormatan dengan kehormatan, sudah selayaknya apabila kita menyambut kepadanya dengan baik. Dengan demikian kita berbareng jadi bisa mencegah andaikata ada bahaya di perjalanan bagi utusan itu."

Selagi bicara jenderal ini diam-diam lirik Tan Hong, ia dapatkan mata pemuda itu mengembeng air, ia dapat menduga akan perasaannya tuan mudanya itu. Justeru guna tuan muda ini, untuk pertama kali ini, ia sudah mendusta terhadap junjungannya.

Karena lihat orang mengembeng air mata, iapun menjadi terharu sekali.

Tjong Tjioe berbangkit dengan pelahan-lahan dari kursinya, ia buat main kumis jenggotnya yang putih.

"Aku telah berusia lanjut, tidak dapat aku berbuat sesuatu untuk Tiongkok," ia berkata sambil menghela napas. "Kamu masih berusia muda, kamu bercita-cita luhur, baiklah,kamu boleh pergi!"

Air matanya Tan Hong lantas saja mengucur turun. Sering juga ia berpisah dari ayahnya tetapi belum pernah terjadi perpisahan seperti ini, baharu bertemu setelah perpisahan lama lantas sudah mesti berpisah pula. Sebenarnya ia merasa berat untuk berpisah melihat orang tuanya sekarang tak begitu sehat pula seperti dulu-dulu. Tapi apa boleh buat. Maka ia rangkul ayah itu.

"Ayah, harap ayah baik-baik merawat diri," ia bilang. Terus ia membalik tubuh, untuk segera keluar dari kamar tulis. Akan tetapi, masih sempat ia dengar ayahnya itu bersenanjung:
"Berapa lama kekalnya bunga dari musim semi dan rembulan dari musim rontok? Ada berapa banyakkah peristiwa-peristiwa yang telah berlalu? Di loteng kecil tadi malam kembali meniup angin timur... Negara sendiri tak dapat ditengok walaupun di dalam terangnya sang rembulan..."

Tidak berani Tan Hong berpaling, bersama-sama Tantai Mie Ming, yang mengikuti padanya, ia bertindak dengan cepat keluar dari pintu depan, maka di lain saat mereka sudah lantas berada di atas kuda masing-masing, yang segera dikasih lari kabur.

Keduanya sangat kesusu, mereka sangat bernafsu untuk menyambut utusan kerajaan Beng. Di lain pihak, utusan kerajaan Beng itupun, yaitu In Tiong, juga sama keras keinginannya untuk lekas-lekas sampai di negeri atau kota raja Watzu, ke mana dia telah diutus.

In Tiong dan rombongannya berangkat dari kota raja Tionggoan, Pakkhia, di hari kedua sehabis tahun baru, hingga sekarang ini mereka sudah satu bulan lebih berada di dalam perjalanan. Mereka sudah memasuki wilayah Watzu. Musim dingin telah berlalu, musim semi datang sebagai gantinya, dengan lumernya salju, di tegalan, di pegunungan, telah tertampak sinar hijau dari daun-daun pepohonan. Sekarang mereka berada di semak belukar selewatnya sebuah gunung, di sekitar mereka, selama beberapa puluh lie, mereka tak tampak sebuahpun rumah penduduk. Hanya di atas gunung kelihatan beberapa ekor elang terbang melayang-layang mencari makanan, sedang di jalan yang menanjak,beberapa pohon tengah bersemi.

"Tidak disangka wilayah Mongolia ada demikian menyedihkan," berkata Tamtay Keng Beng yang temani In Tiong. Ia bicara sambil menghela napas. "Waktu ini jangankan daerah Kanglam, sekalipun di kota Pakkhia, kini bunga telah mekar!..."

Salah satu pengiring, yang pernah pergi ke Mongolia, menyelak: "Tempat ini masih belum terlalu hebat. Kalau kita telah tiba di bahagian utaranya, yang buminya bersalju dan langitnya ber-es, baharulah kita akan merasakan kesengsaraan yang hebat sekali. Di bagian utara itu di mana dahulu hari Souw Boe mengembala kambing, jangankan manusia, walau burung pun tak nampak! Di sana jikalau orang berdahaga, dia cuma bisa minum salju dan kalau lapar cuma bisa dahar daging kambing bakar..."

Mendengar orang menyebut halnya Souw Boe mengembala kambing, In Tiong lantas teringat kakeknya, dengan tiba-tiba saja ia menjadi berduka, hingga wajahnya muram dan lesu. Ia berdiam.

Tamtay Keng Beng yang manis melirik kepada pemuda utusan Bengtiauw itu. Ia tertawa.

"Di sini masih terdapat rumput dan selokan," ia berkata, "di sini kuda kita dapat singgah. Aku berpendapat malam ini baik kita mendirikan kubu-kubu di sini saja."

"Akur!" menyatakan In Tiong dengan cepat. Agaknya ia sadar dengan tiba-tiba. "Oleh karena hari ini kita tidak akan sanggup meliwati tanah tegalan ini, baik besok saja kita melanjutkan perjalanan kita. Bagimu, ini adalah yang pertama kali kau datang ke Mongolia, kau tentunya tidak biasa, maka itu baiklah kau beristirahat siang-siang."

"Itulah tidak berarti," sahut Nona Keng Beng. "Seandainya kaki dan tangan kedinginan hingga menjadi kaku, namun pelahan-lahan, kita akan menjadi biasa."

Di mulut nona ini mengatakan demikian, tapi di dalam hatinya ia berpikir lain. Memang ia asing terhadap hawa udara di Mongolia ini, akan tetapi mengenai tabiatnya In Tiong,lambat laun ia mulai mengenalnya. Pemuda ini keras hatinya, tidak selemah lembut Tan Hong, tetapi terhadap ia, In Tiong berlaku baik hati dan halus, segala-galanya ia sangat diperhatikan, untuk itu In Tiong tidak pernah menyelimuti diri. Maka dari itu, terhadap pemuda ini ia berkesan baik.

In Tiong pilih sebuah tempat untuk mendirikan tendanya. Tempat itu membelakangi angin, terlindung lamping gunung. Sedang pengiring-pengiringnya sudah lantas mengumpulkan kayu-kayu kering guna menyalakan unggun. Mereka mematangi makanan bekalan untuk bersantap malam.

Sehabis bersantap, In Tiong pergi ke tendanya Tamtay Keng Beng, untuk menemani sambil bercakap-cakap. Dengan cara itu mereka biasa lewati waktu yang luang, hingga mereka tidak jadi terlalu sunyi.

"Jikalau Thio Tan Hong dan adikmu ketahui kita telah tiba di sini, betapa girangnya mereka," berkata Nona Keng Beng. "Kakak San Bin telah pergi untuk menyampaikan kabar, mungkin dia telah bertemu dengan mereka itu. Kalau nanti kita sampai di ibu kota Watzu, untuk menyampaikan surat negara, kita masih punyakan waktu luang beberapa hari. Selama itu maukah kau pergi ke rumah keluarga Thio untuk menemui mereka itu?"

"Hm!" In Tiong perdengarkan suara tak tegas. Kemudian ia kata: "Kalau kau pergi ke rumah keluarga Thio itu, siapakah yang kau hendak cari? Mungkin Thio Tan Hong ada di rumahnya di mana ia menantikanmu, akan tetapi jikalau In Loei juga berada di sana, dia bukan lagi adikku!"

Mendengar itu, Nona Keng Beng tertawa geli. Dengan telunjuknya, ia dorong anak muda di depannya itu.

"Hai, sampai kapankah kau dapat ubah tabiatmu yang bagaikan tabiat kerbau ini?" tanyanya sambil tertawa. "Permusuhan apakah itu yang demikian besar hingga kau tak dapat melupakannya? Kau seharusnya mengarti, kali ini jikalau tidak ada Thio Tan Hong,Ie Kokioo sendiri pasti tidak bakal mengetahui jelas keadaan dalam dari negara Watzu,dan di antara kedua negara, pasti tidak begitu mudah lantas dapat kecocokan untuk membuat perdamaian. Syukur ada dia maka kau sekarang telah menjadi utusan untuk perdamaian itu!".

In Tiong lantas saja tunduk. Memang juga Tan Hong itu setia kepada negara. Bukankah pemuda she Thio itu tengah bekerja guna Tionggoan? Maka ia terus membungkam, akan tetapi di dalam hatinya, ia mengharap-harap In Loei, adiknya itu, tidak ada di rumahnya Tan Hong...

"Maka setibanya di Watzu, kau harus menemui Thio Tan Hong," Nona Tamtay berkata pula. Ia agaknya menegur tetapi suaranya halus, sikapnya lembut. "Kau harus menghaturkan terima kasih kepadanya."

"Ie Kokioo ada mengirimkan surat untuknya, sudah semestinya aku pergi menemui dia", menjawab In Tiong kemudian. "Hanya sayang sekali, permusuhan di antara kedua keluarga ada sedemikian rupa bagaikan laut dalamnya. Sekarang ini dia tengah bekerja untuk negara, dengan memandang dan menghargainya, aku suka tidak menarik panjang urusan kami. Akan tetapi, untuk membikin lenyap permusuhan itu, supaya kami menjadi sahabat-sahabat, itulah tak dapat!"

Nona Keng Beng tidak menjadi kecil hati atau putus harapan, ia malah bersenyum.Kembali ia angkat tangannya, akan dengan sebuah jarinya menekan pula jidatnya si anak muda.

"Sayang kau menjadi satu taytianghoe, satu laki-laki, tak dinyana, pikiranmu sedemikian cupat!" ia berkata. "Nyata kau masih kalah dengan kami kaum wanita! Pihak kami dengan pihaknya Keluarga Tjioe itu, yang menguasai negara Tionggoan, ada musuh turun temurun, untuk beberapa turunan kami sudah menyimpan barang-barang permata mulia yang berharga sangat besar, akan tetapi di akhirnya kami toh telah keluarkan itu,kami menyerahkannya kepada pemerintah Beng! Dan Thio Tan Hong apabila dia masih ingat kepada permusuhannya, tidak nanti dia mau berdaya sungguh-sungguh meminta Ie Kokioo urus penyambutan pulang raja yang tua."

Tamtay Keng Beng jujur dan polos, dia omong seperti apa yang hatinya pikir. In Tiong merasakan itu, hatinya tergerak. Maka sejenak itu, iapun berpikir: "Ya, mustahilkah aku tidak seperti Thio Tan Hong itu?" Tapi sedetik itu juga, di depan matanya berbayang surat wasiat kulit kambing yang berdarah itu, maka juga pikirannya menjadi sangat kusut.

Untuk menyingkirkan pikirannya yang kusut itu, ia jemput paha kambing panggang di depannya yang ia keset dan dahar sambil terus tunduk.

Keng Beng awasi kelakuan orang itu, ia juga berpikir, kemudian, selagi ia hendak membuka mulut pula, tiba-tiba ia lihat In Tiong mendekam di tanah di mana dia pasang kupingnya. Ia menjadi heran, apapula ketika ia tampak wajah tak wajar dari pemuda itu.

"Eh, kau bikin apa?" dia tanya, heran.

Sebelumnya menyahuti, In Tiong sudah berlompat bangun.

"Ada pasukan tentara yang tengah mendatangi kemari," ia menjawab.

Belum utusan raja Beng ini tutup mulutnya, mereka sudah dengar suara terompet tanduk, yang disusul dengan mengaungnya anak panah yang dilepas melesat ke udara,suaranya nyaring melewati atasan tenda.

"Peronda kita melaporkan ada pasukan tentara tengah mendatangi!" begitu datang warta dari salah satu siewie pengiring. "Mereka itu sudah lantas membagi diri dengan sikap mengurung kita. Di dalam gelap gulita tidak bisa dilihat berapa besar jumlahnya mereka, tidak tertampak juga benderanya. Mohon In Thaydjin memberikan titah apa yang kita harus lakukan."

"Tempat ini adalah tanah pegunungan belukar, mereka itu tentulah gerombolan penjahat yang niat merampok kita," berkata In Tiong. "Sekarang kamu ke delapan belas orang lekas keluar dan memecah diri menjadi dua rombongan. Kamu juga mesti sembunyi, bila dapat lihat bayangan orang, segera kamu gunai panah!"

Siewie itu menurut, ia undurkan diri untuk berkumpul sama kawan-kawannya, untuk lantas bersiap sedia.

"Bagaimana dengan kau?" Keng Beng tanya si utusan setelah si siewie mundur.

"Kamu semua pergi ke tendaku," jawab In Tiong, yang tidak menjawab pertanyaan orang.
"Apakah kau tidak hendak keluar sendiri?" Keng Beng menanya pula.
"Aku memegang soetjiat, pada tubuhku ada surat negara kerajaan," jawab In Tiong,"dan di dalam tenda ini juga ada banyak barang berharga untuk raja Watzu, cara bagaimana aku bisa menyingkir dari sini? Kau bersama beberapa serdadumu, yang semuanya wanita, juga tak leluasa untuk keluar di waktu malam gelap petang seperti ini,maka daripada pergi untuk mencegat penjahat, lebih baik kami berkumpul di dalam tenda untuk menjaga bersama-sama aku. Aku percaya segala gerombolan gunung itu tidak berarti banyak!"
Tamtay Keng Beng mengarti maksud sebenarnya dari In Tiong ini, ia menjadi sangat bersyukur. In Tiong bukan berati barang-barang untuk raja Watzu itu tetapi sebetulnya dia hendak lindungi ia dan serdadu-serdadunya. Tentulah In Tiong berkuatir juga, karena katanya ia dingin kaki tangannya hingga bisa jadi kurang leluasa menggunai senjata,sedang serdadu-serdadu wanita itu, apabila mereka pergi keluar, mungkin mereka ditawan penjahat dan diperkosa. Dengan berkumpul di dalam sebuah tenda, mereka dapat bekerja sama.

Baharu selesai orang mengatur diri, penyerangan sudah lantas dimulai. Anak-anak panah lantas tampak melayang pergi datang tak putusnya, disusul dengan seruan-seruan serta bentrokan senjata. Selain suara beradunya pelbagai senjata itu terdengar juga suara banyak kaki berlari-lari.

"Kawanan penjahat itu mendapat pukulan yang hebat!" berkata In Tiong kemudian sambil tertawa, sehabisnya ia mendekam pula. Di dalam hal kepandaian memasang kuping sambil mendekam, pemuda ini ada liehay sekali.

Selagi mereka bicara, tiba-tiba terdengar satu sambaran "Sret!" lalu api berkobar di tenda sebelah luar.

"Celaka!" berseru In Tiong. Terpaksa ia lompat untuk pergi keluar tenda, dengan niat memadamkan api itu. Untuk ini, ia mesti pentang pintu tenda. Justeru itu, berbareng dengan sambaran angin, lima orang lompat menerjang masuk, yang semuanya memakai tutup muka.

Nyatalah, dengan menggunakan panah apinya itu, lima orang ini telah dapat perdayai In Tiong, untuk mereka menyerbu masuk. Dari gerakan tubuh mereka yang gesit-gesit itu,dapat diduga mereka mempunyai kepandaian enteng tubuh yang sempurna.

Segera juga lima orang bertopeng itu menyerang In Tiong.

Utusan kaisar Beng itu berseru sambil menyambut, ketika sebelah tangannya dipakai menyerang, satu penyerang lantas saja terpukul hingga tubuhnya terpental keluar tenda.

Tanpa bersangsi lagi, In Tiong terus pentang kedua tangannya, untuk bersilat dengan ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe. Ia menyerang ke kiri dan kanan. Ketika sedangnya ia menyerang ke kanan, ia telah menyerang tempat kosong, menyusul mana, seorang bertopeng datang menyerang ia dengan sepuluh jarinya.

Itulah pukulan Taylek Engdjiauw Kang yang berbahaya. Menampak itu, In Tiong menyedot napas, untuk membikin kempes dada dan perutnya, sedang tangan kirinya,yang segera ditarik pulang, diteruskan dipakai membacok kedua lengan si penyerang itu.

"Ih!" berseru si orang bertopeng itu, yang lekas-lekas turunkan kedua tangannya, untuk berkelit dari bacokan.

Di dalam tenda ada api lilin, di antara terangnya cahaya lilin itu, In Tiong lihat tangan orang yang merah gelap, ia menjadi terkejut. Meski demikian sambil lompat mencelat, ia dapat dupak rubuh satu musuh bertopeng di sampingnya selagi musuh itu hendak mendekat padanya. Dengan demikian juga, ia telah dapat menyingkir dari tangan merah dari musuhnya itu.

Itu waktu Tamtay Keng Beng pun tidak diam saja, ia sudah hunus pedangnya akan terjang dua orang bertopeng lainnya.

"Awas kuku mereka itu!" In Tiong memperingatkan. "Kuku mereka ada racunnya!"
Satu musuh bertopeng yang berada paling depan, yang rupanya ada seorang tua,perdengarkan tertawa ejekannya yang dingin, sedang seorang kawannya yang bersenjatakan sebuah golok bagaikan gergaji, sudah lompat maju guna desak si utusan raja.

Sambil berkelahi, In Tiong memasang mata terhadap Tamtay Keng Beng, yang dikerubuti dua musuh. Untuk keheranannya, ia seperti kenali potongan tubuhnya salah satu musuh. Musuh ini, yang rupanya liehay, berkelahi dengan menggunai Tjeksee Tjiang atau Tangan Pasir Merah dicampur dengan Engdjiauw Kang, Tangan Kuku Garuda,kelihatannya, dia ada terlebih gagah daripada si orang tua.

Tamtay Keng Beng berkelahi dengan menggunai ilmu pedang Lamgak Kiamhoat, ia dapat melayani kedua musuhnya, tapi tubuhnya kurang lincah, di waktu dia lompat berkelit, nampaknya agak lambat. Itulah mungkin disebabkan kakunya kaki tangannya,seperti tadi ia telah beritahukan kepada In Tiong. Ia agaknya masih menderita dari gangguan hawa udara yang dingin itu.

Kedua musuh itu seperti dapat melihat kelemahan si nona, segera mereka ubah cara menyerangnya, yaitu sekarang mereka lebih banyak merabu di bahagian bawah, agar si nona menjadi lekas lelah.

Tiba-tiba salah satu penyerang yang bertopeng itu ulur kedua tangannya ke arah Nona Keng Beng, untuk merabu kaki orang. Si nona lihat itu, sambil berjingkrak, ia mendahului menendang dengan dua-dua kakinya. Musuh itu liehay, dengan sebat ia menangkap kedua kakinya Keng Beng, terus ia menggentak, untuk lemparkan nona itu.

Keng Beng menjadi tidak berdaya, tubuhnya lantas terlempar melayang dengan kedua kakinya di atas.

Ketika ini digunai oleh musuh yang kedua, yang bersenjatakan sebatang golok tantoo.

Ia tidak pakai goloknya itu, ia hanya menukar dengan tali bandringan, yang ia lemparkan untuk meringkus si nona! .

In Tiong lihat si nona berada dalam bahaya, ia kaget hingga ia lupa segala apa. Sambil berteriak, ia menyambar dengan sebelah tangannya, ia lupa kepada bahaya apabila tangannya bentrok dengan tangan liehay dari musuh itu, tentulah tangan In Tiong terkena racun yang jahat, tapi di lain pihak, tangan si orang tua akan menjadi patah juga.

Si orang tua ternyata kalah hati, dia berkelit sambil tarik pulang tangannya. Tapi kawan disamping nya yang memegang golok model gergaji majukan diri. Dengan tangan kirinya,dengan gagang golok, In Tiong sampok golok musuh ini, berbareng dengan itu tangan kanannya menyambar terus.

Dengan tak sempat berteriak kesakitan lagi, pecahlah kepalanya musuh itu.

Sekarang In Tiong terlepas dari gangguannya dua musuh, dapat ia wujudkan keinginannya untuk menolongi Tamtay Keng Beng, justeru ia hendak lompat maju, tibatiba ia dengar jeritan nona Keng Beng, hingga ia menjadi kaget tak kepalang!.

Keng Beng benar-benar kurang kelincahannya karena hawa dingin itu, maka kedua kakinya telah kena disambar musuh dewi kz bertopeng, yang terus melemparkan tubuhnya itu membentur lelangit tenda hingga ia menjerit. Di waktu ia hendak jatuh turun, masih dapat ia menjumpalitkan tubuhnya, hingga ia jadi jatuh berdiri, tepat didekatnya satu musuh yang bersenjatakan sebatang golok, maka terus saja ia tikam musuh itu hingga tenggorokannya tembus.

Berbareng dengan itu, tambang bandringan telah menyambar nona ini.
Adalah di waktu itu In Tiong datang dengan pertolongannya. Ia serang orang yang menggunai lasso itu, tetapi orang itu, lekas-lekas undurkan diri karena takut.

Tidak demikian dengan si orang bertopeng yang usianya lanjut, dia maju dengan niatan mengepung, dengan bengis dia sambar pundaknya si anak muda selagi anak muda ini hendak serang terus kepada musuh yang mundur itu.

Dengan cepat In Tiong turunkan pundaknya, akan tetapi oleh karena ia sedang menyerang musuh, turunnya pundak kurang rendah, hingga ia merasakan pundaknya sakit. Di lain pihak, saking sehatnya gerakannya, ia berhasil menyerang lawan yang undurkan diri itu hingga rubuh tanpa dapat berbangkit pula! .

Meskipun ia telah kena diserang, In Tiong tidak berbalik untuk melayani musuh yang tua itu, sebaliknya dia berlompat dua tindak, guna segera tengok Tamtay Keng Beng.

"Hm!" berseru si orang tua, yang tidak susul In Tiong hanya dia lompat kepada kawannya yang rubuh itu, tubuh siapa ia sambar dan angkat, untuk segera dibawa lari keluar tenda. Bersama ia, mundur juga semua kawan lainnya.

Nona Keng Beng tidak kurang suatu apa, malah ia bisa loloskan diri dari lasso yang melibat tubuhnya, sambil tertawa ia berdiri memandang In Tiong, yang datang padanya.

"Sungguh berbahaya!" demikian ucapannya. Ia menghadapi bahaya tetapi ia tetap tabah, besar nyalinya.

"Kau tidak kenapa-napa?" In Tiong tanya.
"Tidak," sahut si nona, gembira.
In Tiong kerutkan keningnya: "Coba kau buka sepatumu." berkata anak muda ini.

"Buka sekalian kaos kakimu, untuk aku periksa..."

Mukanya si nona menjadi merah.

"Dahulu di Thayouw santjhun ketika aku terluka oleh tangan jahatnya Anghoat Yauwliong, kau yang merawat aku," berkata In Tiong, "sekarang datang giliranku untuk membalas merawat kau."

"Aku tersambar dia tetapi aku memakai sepatu dan kaos kaki, apakah aku masih dapat terluka juga?" si nona menanya. Ia benar-benar tidak percaya. Akan tetapi ia toh buka sepatunya, kaos kakinya juga. Ia dapat lihat pada kakinya itu ada tanda merah sebesar uang emas.

"Sungguh liehay!" berkata In Tiong. "Syukur kau memakai sepatu dan kaos kaki."

Anak muda ini pinjam pedang si nona, dengan ujung pedang itu, ia gurat tanda merah di kakinya nona itu hingga terluka, setelah mana, lekas-lekas ia menguruti untuk keluarkan darahnya yang sudah kental dan hampir hitam warnanya. Setelah itu, ia lantas borehkan obat.

"Sekarang kau boleh beristirahat," berkata si pemuda kemudian. "Lihat besok,bagaimana perubahannya, kalau perlu, kau mesti berobat lebih jauh."

Suaranya pemuda ini tenang tetapi hatinya sebenarnya tegang sekali, inilah disebabkan obat yang ia pakai adalah obat biasa saja, bukan obat istimewa untuk luka semacam itu.

Ia sebenarnya kuatir racun masih belum lenyap, hingga bisa terjadi luka itu berubah menjadi berbahaya. Bagaimana kalau kaki nona itu menjadi bercacat sebab pertolongan tidak tepat?
Keng Beng tidak menginsafi kekuatiran itu, ia pandang enteng kepada lukanya, maka juga ia perlihatkan wajah yang tersungging senyuman manis. Ia sangat girang dan puas untuk perlakuannya In Tiong itu, yang demikian telaten merawat padanya, hingga tak dapat ia umpetkan perasaan hatinya itu.

Di dalam hati kecilnya pun ia berkata: "Dibandingkan dengan Tan Hong, dia agak kasar, tetapi perhatiannya ini tak kalah daripada Tan Hong atau In Loei..."

"Eh, kau jangan perhatikan aku saja," kata ia kemudian. "Kau sendiri pun telah kena sambarannya si bangsat tua bertopeng itu..." Ia bicara sambil tertawa.

"Untukku tidak ada halangannya, aku memakai lapisan emas," In Tiong berikan jawabannya. Tapi ia buka pakaiannya, seragamnya, maka ia bisa lihat, lapis emasnya pun lecet, tapi benar tubuhnya tidak terluka. Keng Beng leletkan lidahnya.

"Sungguh liehay si muka bertopeng itu!" katanya. "Dia terlebih liehay daripada si penjahat yang membokong aku!"

Sementara itu barisan wanita dari Nona Keng Beng sudah berhasil memadamkan api yang membakar tenda, sedang jauh di sebelah luar itu, suara pertempuran pun sudah lantas menjadi sirap, tandanya pertempuran telah sampai di akhirnya. Cuma di tengah udara masih terdengar suaranya anak-anak panah yang menyambar-nyambar.

Tidak lama kemudian satu pahlawan datang melaporkan: "Dengan mengandal rejeki besar dari thaydjin, penyerang telah dapat dipukul mundur!"
"Apakah mereka telah mundur seanteronya?" In Tiong tegaskan.
"Nampaknya mereka masih berjaga-jaga dari tempat yang tinggi," pahlawan itu berikan keterangan. "Mereka kadang-kadang masih melepas anak panah tetapi mereka tidak berani menyerbu pula."
"Jikalau begitu, rupanya mereka hendak kurung kita," In Tiong bilang. "Sekarang berhati-hatilah kamu membuat penjagaan, jangan sekali alpa. Apakah ada yang terluka di pihak kita?"
"Ada," sahut pahlawan itu. "Dua terkena panah, satu luka terbacok, tetapi luka mereka tidak berbahaya."
"Bawa mereka itu ke dalam tenda, supaya serdadu wanita rawat lukanya," In Tiong memerintahkan.

Delapan belas pahlawan itu adalah pahlawan-pahlawan kelas satu dan kelas dua,semua gagah, hingga yang terluka sedikit sekali.

Beberapa serdadu wanita lantas saja menjadi repot, akan obati ketiga pahlawan itu.
Belum terlalu lama, satu pahlawan datang pula dengar laporannya: "Musuh telah menyalakan api di atas gunung, asapnya mengepul hebat. Entah apa maksudnya..."

Baharu saja pahlawan itu berhenti bicara, mereka segera dengar suara terompet yang nyaring.

Hebat terompet itu akan tetapi musuh tidak menyerang.

"Inilah berbahaya," mengatakan In Tiong. "Mereka menyalakan unggun, mereka pun perdengarkan terompet, itu tandanya mereka meminta bala bantuan. Mungkin sebentar,sebelum terang tanah, kita akan bertempur pula..."

Maka itu, ia lantas atur penjagaan di empat penjuru tenda. Dua orang dijadikan satu rombongan.
Suara terompet terdengar pula, lalu sirap. Asap unggun pun terbawa angin, lalu apinya padam. Dengan begitu, sang malam menjadi sunyi seperti biasa pula.

"Apakah kau merasa baikan?" In Tiong tanya Keng Beng, kaki siapa ia periksa.
"Aku merasa lebih enak," sahut si nona, yang segera alisnya terbangun. Ia kata pula
dengan cepat: "Dugaanku kawanan penyerbu ini bukannya penjahat biasa!"
"Kenapa kau beranggapan demikian?" In Tiong tanya.
"Jikalau mereka ada penjahat biasa dan maksudnya cuma untuk merampas barangbarang
kita, tidak ada perlunya mereka memakai topeng."
"Apakah kau mencurigai mereka sebagai tentara Mongol?" In Tiong tanya. "Aku percaya Yasian tidak akan berani sembarangan berbuat demikian rupa. Tiga korban yang terbinasa itu aku telah perika, semua adalah orang-orang Han."

"Tetapi apa perlunya mereka bertopeng?" Keng Beng berkata pula. "Kenapa di wilayah Mongolia ini ada banyak orang Han sebangsa mereka?"

In Tiong mengkerutkan keningnya, ia berpikir keras.

"Mereka pakai topeng, tentulah mereka kuatir akan dapat dikenali kita," ia berkata kemudian. "Dan penjahat tua yang liehay itu, melihat potongan tubuhnya, aku rasanya seperti mengenalinya, entah di mana aku pernah bertemu dengannya."
"Cobalah kau pikirkan dengan pelahan-lahan," Keng Beng anjurkan.

In Tiong benar-benar asah otaknya.

"Oh, aku ingat sekarang," kemudian ia berkata pula. "Tempo hari ketika kami bertempur di tanah lapang, selama diadakan perebutan kehormatan Tjonggoan, aku telah lihat padanya. Ketika itu ada banyak sekali calon, aku juga tidak sampai bertempur dengan dianya. Aku tidak ingat betul, siapa dia..."

Keduanya lantas berdiam,"Sayang tadi tak dapat kita bekuk padanya," kata In Tiong sambil menghela napas,menyatakan penyesalannya.

Keng Beng berdiam terus, maka si anak muda pun bungkam pula.

Belum lama kesunyian itu berlanjut, mendadak keduanya menjadi kaget sekali. Tenda mereka melesak dengan perdengarkan suara keras. Itulah tandanya tenda telah tertimpa barang yang berat. In Tiong segera lompat menyamping.

Segera terlihat tenda terbelah, dari mana tertampak satu tubuh merosot masuk. Untuk herannya si utusan kerajaan Beng, dia kenali orang itu adalah musuh yang melukai Keng Beng.

"Orang pandai siapakah yang tengah bergurau?" In Tiong berseru menanya.

Menyusuli jatuhnya tubuh orang bertopeng itu, dari lobang tenda itu lompat masuk satu orang, yang terus saja tertawa berkakakan.

"Aku tolongi kau membekuk jahanam ini, cara bagaimana kau mengatakan aku bergurau?" berkata dia.
Tamtay Keng Beng berlompat dengan kegirangan, hingga ia perdengarkan seruannya.
Orang yang baharu datang ini adalah Thio Tan Hong! .

In Tiong pentang matanya lebar-lebar, ia melengak. Ia heran dan sangat kagum untuk liehaynya Tan Hong itu, yang seperti juga pergi dan datang tanpa ketentuan.

"Coba kau bentet topengnya!" Tan Hong berkata tanpa ia pedulikan utusan kaisar Beng itu tercengang.

Orang yang bertopeng itu rebah tanpa berkutik, rupanya dia telah kena ditotok Tan Hong. Mungkin juga dia terluka karena terbanting keras barusan.

In Tiong sadar, ia bertindak menghampirkan, ia ulur tangannya akan sambar topeng orang. Maka sekarang ia kenali See Boe Kie siapa, selama adu kepandaian di kota raja,telah kena dirubuhkan Liok Thian Peng muridnya Tiatpie Kimwan si Lutung Emas Bertangan Besi. Itu waktu dia dianggap sebagai calon biasa saja seperti calon-calon lainnya, tidak tahunya dia adalah penjahat besar di perbatasan kedua negara.

Sekarang In Tiong menjadi gusar sekali.
"Saudara Thio, tolong kau totok sadar padanya!" ia minta kepada Tan Hong. "Ingin aku
dengar keterangannya!"

Tan Hong tertawa. "Sekarang ini sudah tidak ada tempo lagi untuk memeriksa padanya," jawabnya. "Bala bantuan mereka telah datang, di antaranya terdapat orang-orang yang liehay. Mereka itupun bakal lantas menyerang pula..."

Selagi In Tiong berdiam, Keng Beng buka mulutnya. Nona ini tahu Tan Hong gagah dan pintar, ia mempercayainya benar-benar. Ia juga menduga, dengan Tan Hong yang bekuk See Boe Kie, mesti Tan Hong ketahui banyak perihal musuh.

"Thio Toako," demikian ia berkata, "jumlah kami sedikit, pasti kami tak dapat bertahan lama. Aku minta kau suka membantu mendayakannya."
"Saudara In, maafkan aku, hendak aku menjadi seperti Mo Swie yang telah perkenalkan dirinya sendiri," berkata Tan Hong, yang tak jawab lagi si nona. "Hendak aku mewakilkan kau..."

In Tiong mengerti akan kelemahan rombongannya, ia juga sangat kagumi anak muda itu, ia tidak berkeberatan.

"Saudara Thio, silakan kau berikan titah-titahmu!" ia berikan perkenannya.
"Segera kita harus menyingkir dari sini!" Tan Hong bilang tanpa berayal lagi.
"Sekarang malam gelap gulita, kami juga tidak ketahui keadaan musuh," berkata In Tiong, "di sini pun ada banyak wanita, apakah mundur tidak berarti kita menghadapi bencana?"

Sebaliknya dari utusan kaisar itu, Tamtay Keng Beng tertawa.

"Mestinya Thio Toako ada punya rencana sendiri!" ia bilang. Nyata ia sangat mempercayai tjoekong yang muda itu.

In Tiong menjadi bungkam.

"Semua barang yang hendak dihadiahkan kepada raja Watzu, kau muatkanlah di atas bebokong seekor kuda," Tan Hong beri petunjuk, "lalu kau perintahkan semua orang lainnya meninggalkan kuda mereka. Mereka mesti turut aku menerobos keluar! Aku tanggung keselamatan kamu, malah kau akan berbalik menjadi mendirikan jasa besar!"
In Tiong bersangsi, ia setengah percaya dan setengah tidak, maka itu, ia mengawasi Keng Beng.
"Kau jangan kuatir," si nona berkata. "Aku dapat berjalan."

Utusan kaisar itu kuatirkan kakinya si nona.

Tetapi Keng Beng sudah lantas berlompat, untuk membuktikan bahwa ia dapat bergerak dengan leluasa.

"Oh, kiranya kau terluka, adik Tamtay?" bertanya Tan Hong. Ia awasi nona itu, yang ia tidak tahu telah mendapat halangan. "Sekarang kau dapat bergerak dari berjalan,sebentar selang satu jam, nanti aku obati padamu."

Pemuda ini lantas titahkan serdadu perempuan siapkan seekor kuda, yang ke empat kakinya dibungkus wol tebal hingga di waktu berjalan, binatang itu tidak akan menerbitkan suara tindakannya. Semua barang yang hendak dibawa, digemblokkan kuatkuat di bebokong kuda itu.

Berbareng dengan itu, In Tiong perintahkan seorang pahlawannya, untuk berikan kisikan kepada yang lain-lainnya, supaya semua undurkan diri dan berkumpul, untuk bersama-sama menyingkir dari tenda yang terkurung musuh itu. Maka sebentar kemudian, mereka sudah siap sedia. Tenda telah digulung rapi, tiga pahlawan yang terluka sudah lantas digendong.

Tan Hong jalan di muka sebagai penunjuk jalan. Semua tutup mulut, hingga mereka tidak perdengarkan suara apa juga. Tetapi di waktu mereka mau berangkat, Tan Hong perintahkan semua kuda dikumpulkan, mukanya dihadapkan ke arah musuh, lalu kempolannya semua kuda itu ditikam dengan golok, hingga semuanya kaget dan kesakitan, sambil meringkik keras, mereka kabur ke depan, ke arah musuh.

Tentu saja, di waktu gelap petang itu, ringkikan dan tindakan kakinya semua kuda itu menerbitkan suara sangat berisik, hingga musuh menyangka bahwa pihak lawan, yang tengah mereka kurung, sudah lakukan penyerangan balasan, hingga mereka menjadi repot bersiap untuk menangkis. Dan justeru itu, Tan Hong ajak rombongannya kabur ke arah barat di mana ada suatu jalanan kecil.

Baik orang maupun kuda, tidak ada satu juga yang menerbitkan suara. Di tengah jalan,mereka pun tidak menemui rintangan. In Tiong menjadi heran.

"Kenapa di sini tidak ada musuh yang menjaga?" menanya utusan kaisar Beng ini sesudah mereka melalui perjalanan sekian lama.

Thio Tan Hong tertawa.

"Jalanan ini tidak ada mulut jalan untuk keluar, inilah jalan mati," ia menjawab. "Di sini ada ditaruh belasan serdadu penjaga tetapi mereka itu telah aku bikin habis. Berhatihatilah semua, semakin ke depan jalan semakin buruk dan berbahaya."

Memang di kedua tepi ada batu-batu gunung yang besar dan tidak rata bagaikan batang rebung, yang pun ketutupan pohon-pohon oyot dan duri. Untuk menyingkirkan rintangan itu, Tan Hong kerjakan pedangnya, sedang sebelah tangannya yang lain dipakai menuntun kuda. Ia jalan di muka sebagai pembuka jalan.

Oleh karena semua orang mengerti silat dengan baik, tidak terlalu sulit untuk mereka ikuti si anak muda. Di mana perlu, mereka juga gunai senjatanya, untuk singkirkan pelbagai rintangan oyot itu.
Belum terlalu lama, tibalah mereka di luar jalan kecil dan berbahaya itu, hingga sekarang mereka tampak langit yang gelap, yang bintang-bintangnya berkelak kelik. Angin meniup dengan keras. Mereka sukar melihat ke sekitarnya tetapi mereka tahu bahwa mereka berada di sebuah tempat terbuka, tegalan rumput yang lebar. Mungkin mereka berada di tengah lembah...

Sampai di situ baharulah In Tiong dapat bernapas lega. Tetapi meski demikian, hatinya belum aman betul. Ia kata: "Benar kita sekarang sudah lolos tetapi tipu kita tadi bukanlah akal yang dapat bertahan lama, itu hanya untuk sementara saja...

Lihat, di depan kita ada gunung besar yang mencegat jalan, malam pun demikian gelap, cara bagaimana kita bisa melewatinya? Di akhirnya, musuh toh akan ketahui tipu kita itu...

Sebaliknya dari utusan itu, yang hatinya ber-kuatir, Tan Hong tertawa."Aku justeru hendak pancing mereka itu datang kemari!" katanya. Tanpa berayal lagi,ia atur delapan belas pahlawan dan serdadu-serdadu wanita itu, berikut In Tiong dan Keng Beng, untuk menyembunyikan diri di tempat yang tinggi, untuk menyambut musuh.

Ia sendiri pun segera menempatkan diri.

Belum lama mereka bersiap, lalu terlihat datangnya musuh, yang mendatangi dengan
berlerot-lerot. Yang paling dahulu tertampak adalah obor mereka yang dinyalakan besarbesar.
Dari kejauhan, mereka nampaknya bagaikan seekor naga.

Tan Hong sudah mengatur persiapannya, begitu musuh sudah datang cukup dekat, ia
segera perdengarkan suara tertawanya yang nyaring dan panjang. Di malam gelap seperti
itu. di dalam lembah, suara tertawa itu berkumandang keras dan riuh, apapula suara itu
dapat sambutan dari yang lain-lainnya.

Musuh terkejut, mereka tidak tahu di mana adanya lawan, tetapi mereka maju menerjang ke arah dari mana mereka dengar suara tertawa itu.

Menyusuli majunya musuh, lalu terdengar jeritan-jeritan, datangnya dari empat penjuru.
"Gulingkan batu!" Tan Hong berteriak-teriak.
"Gulingkan batu! Hajar mampus semua kurcaci itu!"

Di atas gunung itu ada banyak batu besar, sebenarnya tidak sembarang orang dapat menolak batu-batu besar itu, akan tetapi semua pahlawan-pahlawan itu kuat-kuat,mereka dapat menjalankan titahnya Tan Hong sebagaimana si anak muda telah merencanakannya.

Maka itu, hebat kesudahannya ketika banyak batu besar menggelinding turun dari sana sini dari lamping gunung itu, yang menggelinding saling susul. Banyak musuh yang kena terbentur batu, tubuhnya rubuh, obornya terlempar terlepas, tubuh mereka ketindihan batu-batu besar itu. Ada yang berkaok-kaok, ada yang menjeritnya tertahan.

Di antara terangnya obor, In Tiong mengawasi kepada musuh itu. Ternyata tempat dimana musuh jatuh adalah sebuah rawa atau pengempang, yang di atasnya ketutupan pohon-pohon kaput atau lainnya, hingga di dalam gelap itu, tidak dapat orang melihat tempat air itu. Ke situ musuh terjatuh, ketindihan batu atau tenggelam, tak dapat mereka membela diri. Tentu saja mereka itu mendapat luka-luka patah kaki dan tangan atau tubuh remuk...
Menampak itu, In Tiong kaget sendirinya. Apabila tidak Tan Hong yang menunjukkan jalan, mereka sendiripun bisa tercebur ke dalam rawa itu.

"Kasihlah ampun kepada mereka!" Tamtay Keng Beng meminta, sebab tak tega ia menyaksikan orang menjadi kurban secara demikian hebat.

"Tahan!" Tan Hong pun segera berikan titahnya.

Maka berhentilah turunnya batu-batu besar itu.

"Kawanan serdadu musuh boleh dikasih ampun tetapi pemimpinnya tidak," kemudian Tan Hong kata sambil tertawa kepada In Tiong. "Mari kita berdua bekuk satu atau dua orang! Adik Tamtay, kau tunggulah sebentar di sini!"

In Tiong akur, maka Tan Hong ajak dia pergi.

Anak muda itu ambil jalan mutar.

Di dalam rawa, semua tentera musuh yang masih dapat bergerak, atau yang tidak terluka, telah berebut mendarat, untuk menyingkirkan diri. Mereka tidak lihat ada serangan lagi, tetapi mereka berlalu dengan terburu-buru.

Tan Hong dan In Tiong berlaku hati-hati. Karena mereka jalan mutar, mereka sampai dengan lekas di bahagian belakang dari barisan musuh. Di sana mereka dapatkan dua pemimpin musuh yang bertopeng, satu di antaranya dikenali sebagai si orang tua yang liehay. Kedua pemimpin ini sedang beraksi untuk mencegah tenteranya menjadi kalut terus-terusan.

Tan Hong kisiki In Tiong, lalu ia mendekati kedua pemimpin musuh itu, begitu datang dekat, ia lompat menerjang si orang tua, yang ia tikam.

Orang tua itu kaget, tetapi ia liehay, walaupun ia diserang secara membokong, masih dapat ia berkelit sambil terus balas menyerang dari samping.

Tan Hong sudah duga ke mana musuh akan buang dirinya, sebat luar biasa ia tarik pedangnya, untuk dipakai menyerang pula, sasarannya kali ini adalah pundak musuh.

Orang tua itu kalah gesit, juga karena ia membalas menyerang sambil berkelit, maka ia menjadi tidak berdaya ketika datang serangan yang kedua. Ia kena tertikam, tubuhnya lantas saja rubuh.

Kembali Tan Hong tunjukkan kesebatannya, ketika musuh jatuh, ia berlompat maju untuk menjambret, pedangnya dipakai menjaga pedang musuh kalau-kalau musuh masih dapat membela diri. Bagaikan garuda menyambar kelinci, demikian ia cekuk musuh tua itu, yang tubuhnya terus diangkat.

In Tiong juga berhasil. Ia telah membarengi Tan Hong menyerang pemimpin musuh yang kedua, musuh ini lengah, dia kena terpukul, akan tetapi dia mengenakan baju lapis kulit, maka itu, waktu terhajar, dia cuma limbung, tidak sampai dia jatuh. Tapi pukulan In Tiong hebat sekali, baju lapis kulit itu robek. Sudah begitu, utusan kaisar yang gagah itu tidak memberi ketika, ia menyusuli dengan serangannya yang kedua.

"Hm!" berseru musuh itu, yang nyata liehay. Dia tidak cuma dapat berkelit, malah dia dapat membalas juga, akan menotok ke arah pinggang si orang she In, sedang kakinya dikasi melayang, untuk mendupak lengannya In Tiong itu.

Itulah serangan menurut ilmu silat partai Thianliong Pay atau Naga Langit dari Seetjhong (Thibet). Tendangannya biasa saja tetapi yang hebat adalah susulannya, atau runtunannya, yang membuatnya orang sukar berkelit. Maka syukur In Tiong tabah dan sebat gerakannya. Hanya setelah mendesak, musuh itu, yang ternyata licik, sudah memutar tubuh, untuk ambil langkah panjang! .

Tan Hong sudah berhasil membekuk si orang bertopeng tua, ia lihat kelicikannya lawan dari In Tiong itu, sambil bawa tubuhnya si orang tua ia maju untuk mencegat. Musuh itu ganas, ia lantas serang pemuda she Thio itu. Melihat ini, Tan Hong pun berlaku cerdik,yaitu ia bukan berkelit atau menangkis dengan tangannya, ia justeru majukan tubuhnya si orang tua, untuk dijadikan sasaran musuh itu. Di lain pihak, tangan kirinya dikasih bekerja juga.

"Aduh!" menjerit si orang tua, yang suaranya bagaikan babi mengguwik. Tetapi jeritan itu juga disusul oleh jeritan lain, ialah dari si orang bertopeng yang licik itu!.

Tan Hong tertawa bergelak-gelak, ia lantas lepaskan cekalannya kepada si orang tua, yang sudah tidak bersuara lagi, yang sudah tidak berkutik pula, karena serangan kawannya sangat liehay, hingga dia pingsan seketika.

"Dia liehay," berkata In Tiong sambil tunjuk musuhnya yang kabur itu. "Dia cuma lebih rendah sedikit saja dari kita. Di antara penyerang-penyerang kita malam ini, dialah yang paling liehay, maka itu, saudara Thio, mengapa kau biarkan dia meloloskan diri?"

Tan Hong tertawa memandang utusan kaisar Beng ini.

"Jikalau dapat kita menawan, kita menawannya, jikalau dapat kita melepaskan,biarlah kita melepaskannya," jawabnya. "Dia itu... biarlah dia terlepas dan kabur..."

In Tiong tidak puas. Ia beranggapan Tan Hong seperti sedang mempermainkan padanya. Akan tetapi di samping itu ia mau menyangka orang masih mempunyai akal lain,karenanya ia lantas tutup mulut, ia tidak menanya lebih jauh.

Keduanya segera kembali ke tempat mereka bersembunyi tadi.

"Bagus!" berseru Tamtay Keng Beng, yang menyambutnya. "Sekalipun sewaktu Kwan Kong membunuh Hoa Hiong tiada secepat demikian!"
"Beruntung!" Tan Hong pun berkata. "Malam ini ancaman bencana sudah lewat, orang kita semua boleh tidur dengan tenang, kecuali kau dan aku, masih ada sedikit urusan lagi yang harus diselesaikan. Saudara In, sekarang silakan kau duduk di tempatmu untuk mulai dengan pemeriksaan!"

Sehabis mengucap demikian, Tan Hong titahkan orang membangunkan tenda, untuk mereka beristirahat, sedang ia bersama Keng Beng dan In Tiong, segera hadapkan si orang tua bertopeng. Untuk menyadarkan tawanan itu, mereka mengguyurnya dengan air dingin, lalu orang digusur ke dalam tenda.

Thio Tan Hong sudah menduga siapa adanya si orang tua, ternyata ketika ia telah sambar topeng orang untuk dibukanya, dugaannya tidak meleset. Orang tua itu adalah ayahnya See Boe Kie, yaitu See Too. Maka ia tertawa dengan dingin.

"Manusia yang mencari pangkat dengan hianati sahabat, dengan tak segan menjual negara berkongkol dengan musuh, sungguh dosamu tak dapat ditebus hanya dengan jiwamu!" anak muda kita mencaci. "Syukur mengenai aksimu malam ini telah aku menduganya sejak siang-siang, jikalau tidak, tidakkah kamu akan membikin kedua negara menjadi bentrok dan berperang?"

In Tiong juga mendongkol dan gusar, ia turut menegur. "Ada permusuhan apakah di antara kamu dan si utusan kaisar Beng?" demikian tegurnya. "Apakah sebabnya maka kamu serbu kami dan hendak membinasakan kami semua? Hayo lekas berikan pengakuanmu, supaya kau tak usah merasakan kompesan!".

"Sama sekali aku tidak berniat membinasakan kamu," See Too menjawab. "Lebih-lebih aku tidak memikir untuk menimbulkan peperangan di antara kedua negara."
"Habis, kenapa kau bawa pasukan dan menyerang kami?" In Tiong tanya.
"Itu... itu..." lalu See Too berdiam, tak dapat ia buka terus mulutnya.

Tan Hong tertawa dingin pula. "Kau hendak bicara atau tidak?" tanyanya. Dengan dua jari tangannya, ia lantas menotok.

See Too mengeluh kesakitan. Ia merasakan totokan itu bagaikan ratusan batang jarum yang menusuk-nusuk tubuhnya, sakitnya bukan buatan.

"Ampunilah aku, nanti aku bicara, aku bicara..." sahutnya kemudian sambil meringisringis menahan sakit.

Tan Hong menepuk jalan darah enghiat too orang. Sejenak saja, lenyap rasa sakitnya si orang tua.

"Jikalau kau mendusta setengah patah kata saja, akan aku beri rasa pula padamu!" si anak muda mengancam. Ia berwajah lemah lembut akan tetapi suaranya, sikapnya, keren sekali.

"Semua ini adalah Yasian yang perintahkan aku melakukannya," benar-benar See Too berikan pengakuannya.

In Tiong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang.

"Jangan ngaco!" ia membentak.
"Aku bicara dari hal yang benar," menjawab See To. "Yasian tugaskan aku menyerang kamu untuk diculik, setelah itu nanti dia kirim pasukan perangnya untuk menolongi kamu.

Dengan begitu hendak dia membikin seperti juga tentera negeri melabrak penjahat.

Dengan itu jalan hendak Yasian pengaruhi kamu, supaya kamu terjatuh ke dalam genggamannya hingga kamu jadi bersyukur terhadapnya."

In Tiong heran hingga ia berdiam saja. Tak dapat ia menerka siasat Yasian itu.

"Sungguh tipu daya yang sangat busuk!" berkata Tan Hong sambil tertawa tawar."Ini dia tipu daya yang dinamakan dengan sebutir batu menimpuk tiga ekor burung. Yang pertama ialah Yasian hendak membikin runtuh pamormu sebagai utusan kerajaan Beng,supaya kau mendapat malu besar."

"Jikalau Yasian berhasil menawan kau dan dia dapat berpura-pura menolongmu," berkata Nona Keng Beng, "itu artinya kau telah terjatuh ke dalam genggamannya! Atau lebih benar, kau menjadi orang tawanannya hingga tak dapat kau berbicara."

"Dengan begitu," Tan Hong menyambungkan, "kalau nanti telah di mulai dengan perundingan perdamaian, Yasian menjadi menang di atas angin, dia dapat mengajukan syarat-syarat yang menghina Tionggoan. Kau berada dalam tangannya, tidak dapat kau bersikap keras."

In Tiong mengerti sekarang, dan iapun insyaf bahwa ia nyata kalah cerdas dari Tan Hong dan Tamtay Keng Beng.
"Pasukan tentara yang Yasian akan kirim itu, di mana nantinya mereka bertemu dengan kau?" Tan Hong tanya pula See Too.

"Di depan, di mulut gunung ini," See To jawab. "Bagus, kau benar tidak mendusta!" berkata Tan Hong sambil tertawa. "Baiklah, aku kasih ampun padamu, kau boleh tak usah mati!"

Di mulut pemuda ini mengucapkan demikian tetapi tangannya dengan sebat sekali menepuk dewi kz dua kali beruntun tubuhnya orang she See itu, dengan begitu ia pukul remuk tulang piepee orang itu, hingga habis sudah tenaga dan kepandaian silatnya, untuk selanjutnya, meskipun See Too mengarti Toksee Tjiang, ilmu tangan jahat, ilmu itu tak dapat digunai lagi terhadap lain orang. See Boe Kie pun tidak luput dari tepukan Tan Hong, kemudian anak dan ayah oleh Tan Hong dibawa keluar tenda.

"Sekarang pergilah kamu!" Tan Hong memberi ijinnya. Atau lebih benar ia usir kedua orang she See itu.

"Bagaimana besok kita hadapi tenteranya Yasian itu?" tanya In Tiong sesudah Tan Hong kembali ke dalam tenda. Tan Hong tertawa.

"Sekarang baiklah kau tidur dulu, untuk beristirahat," jawabnya. "Kau percaya aku,dapat aku layani mereka, akan aku bikin kau tidak usah hilang muka..."

Selagi In Tiong belum sempat mengatakan sesuatu, Keng Beng mendahului ia.

"Thio Toako," katanya sambil bersenyum, "kau pandai sekali menghitung, segala apa seperti telah masuk dalam terkaanmu, apakah kau mengerti ilmu meramal hingga kau ketahui segala apa di muka?"

In Tiong cocok dengan pertanyaannya si nona. Ia memang heran kenapa Tan Hong tahu segala niat musuh, hingga dapat dihindarkan ancaman bahaya hebat itu. Sebenarnya ia ingin menanya, tetapi si nona telah mendahuluinya, ia jadi turut menantikan penjelasan.

Tan Hong tidak menjawab, hanya sambil kibaskan tangannya, dia tertawa pula.

"Rahasia alam tak dapat dibocorkan!" katanya Jenaka. "Besok pagi kamu akan ketahui sendiri! Saudara In, sekarang kau tidurlah!"

In Tiong menjadi masgul, tetapi karena ia tidak dapat memaksa, terpaksa ia menurut saja untuk tidur.

"Eh, hampir aku lupa akan satu hal!" berkata Tan Hong tiba-tiba, selagi orang hendak rebahkan diri. "Tunggu sebentar! — Adik Tamtay, bagaimana dengan kakimu?"

In Tiong awasi anak muda itu, Keng Beng sebaliknya mencoba-coba menggerakgerakkan kakinya.

"Rasanya sedikit kaku, tak leluasa untuk dipakai bergerak," sahut nona ini. Ia pun lantas gulung kedua ujung celananya.

In Tiong lihat kaki orang itu, dia terperanjat.

"Hai, betismu merah dan bengkak!" dia berseru. Ini memang hal yang ia kuatirkan.

"Tan Hong, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau ada punya daya untuk mengobatinya?"

Sekarang pemuda ini ingat perkataan si orang she Thio tadi.
"Benar," Tan Hong menjawab, cepat, "hanya aku hendak minta kaulah yang tolong mengobatinya."

In Tiong heran, ia mengawasi pula. Si nona pun kurang mengerti.

Tan Hong merogo ke dalam sakunya, dari situ ia keluarkan sebatang jarum.

"Kau pegang ini," ia berkata kepada si utusan kaisar Beng. "Kau tahu jalan darah yongtjoan hiat di kaki itu, kau tusuk jalan darah itu dua kali, lalu kau tusuk dua kali juga jalan darah hongbwee hiat. Besok pagi, bengkak dan tanda merah ini akan hilang lenyap. Jangan kamu berkuatir. Besok aku ajarkan pula caranya untuk menusuk dengan jarum ini."

Anak muda ini ajarkan bagaimana In Tiong mesti menusuknya, yang lalu diturut oleh orang she In ini. Nona Keng Beng cuma merasakan sakit sedikit waktu ditusuk. Ia memang gagah dan berani, tusukan itu tidak berarti baginya.

"Hawa udara di Watzu ini buruk," berkata Tan Hong kemudian, "ada orang-orang yang tidak keruan-ruan bisa sakit tulang-tulang kakinya seperti kau ini, adik Tamtay. Ilmu mengobati menusuk dengan jarum ini, tidak hanya dapat menyembuhkan segala penyakit sakit di buku tulang seperti ini, bahkan dapat menolong orang yang telah menjadi pincang. Saudara In, tidak dapat kau tidak mempelajarinya ilmu menusuk jarum ini!"

In Tiong tidak menyahuti, tetapi di dalam hatinya ia kata: "Keng Beng tidak pengkor,untuk apa kau ngoce banyak seperti ini?" Tapi masih Tan Hong bicara lebih jauh, maka ia memotongnya: "Baiklah, masih ada tempo untuk aku belajar besok..."

"Memang, tak dapat kau tidak mempelajarinya!" Tan Hong berkata pula. Apakah kau merasa sebal? Baiklah, kitab ini juga aku berikan padamu! — Eh, adik Tamtay, kau harus anjurkan dia mempelajarinya!"

Dan ia robek beberapa lembar dari kitabnya, lembaran robekan itu ia belesakkan ke dalam tangannya In Tiong! .

Bukan main herannya utusan raja Beng ini, hingga ia lupa untuk menghaturkan terima kasihnya.

Nona Tamtay cerdas, ia heran kenapa Tan Hong begitu mendesak hendak mengajarkan In Tiong ilmu pengobatan menusuk jarum itu, tapi beda daripada In Tiong, ia mengerti mesti ada sebab-sebabnya. Maka itu, ia lantas tertawa.

"Karena Thio Toako bermaksud baik, kau terimalah!" ia desak si utusan.

In Tiong terpaksa terima resep pengobatan jarum itu, karena Keng Beng telah mengatakan demikian, ia hanya tetap masih tidak mengerti, ia tetap merasa heran.

"Bagus!" berkata Tan Hong tanpa pedulikan keheranan orang. "Sekarang dapat kau mengobati sendiri pada adik Tamtay! Aku tak usah mengganggu pula padamu..."

Lantas ia undurkan diri. Keesokannya pagi, Tan Hong adalah yang paling dulu bangun dari tidurnya. Malah dia terus pergi ke tenda In Tiong, akan banguni utusan kaisar Beng itu.

"Bagaimana lukanya adik Tamtay?" Inilah pertanyaannya yang pertama-tama. In Tiong tertawa.

"Ilmu pengobatanmu dengan jarum itu benar-benar liehay sekali!" ia menjawab, "Tadi malam, belum lewat setengah jam sehabis dia ditusuki dengan jarum, dia sudah lantas bisa bergerak dengan merdeka seperti biasa!"

"Kalau begitu, sekarang kita dapat berangkat dari sini," Tan Hong bilang. "Kau perlu ketahui, di belakang kita masih harus terjadi suatu pertunjukan sandiwara yang menarik hati!"

In Tiong tidak mengerti, ia heran. Peristiwa apa lagi yang dimaksudkan pemuda ini? Dia bicara begitu tenang dan gembira. Bukankah mereka akan menghadapi pula pasukannya Yasian? Bagaimana pasukan itu hendak dihadapinya? Ia juga tetap heran kenapa Tan Hong ketahui mereka terancam bahaya dan datang malam-malam untuk menolongnya...

Oleh karena ia tidak tahu apa yang si anak muda bakal lakukan, terpaksa In Tiong serahkan pimpinan kepada si anak muda itu.

Seperti sudah diketahui, di dalam pertempuran semalam, dari delapan belas pahlawannya In Tiong, tiga telah terluka, tetapi semua mereka pandai menunggang kuda,maka itu, utusan ini titahkan mereka pergi ambil kudanya barisan penyerbu di bawah pimpinan See Too itu. Di tempat pertempu ran masih ada kudanya pasukan itu, binatangbinatang itu tidak kabur semuanya, dua puluh di antaranya dipilih dan diambil.

Setelah semua sudah siap, orang mulai keluar dari lembah itu.

Baharu rombongan ini tiba di muka gunung, dari sebelah depan mereka sudah dengar suara dari banyak kuda berlari-lari, pada itu tercampur seruan-seruan dari pasukan yang buyar.
"Itulah mirip pasukan yang kabur tunggang langgang," In Tiong utarakan dugaannya.

Tan Hong tertawa mendengar pengutaraan itu.

"Pertunjukan sandiwara akan segera di mulai!" ia berkata dengan penyambutannya.
"Kamu tunggu dan lihat saja!"

Mereka berjalan terus, hingga mereka melewati jalan yang menikung. Dari sini mereka lantas lihat debu mengepul di sebelah depan mereka, lalu tertampak mendatanginya satu pasukan tentera Mongol terdiri dari kira-kira tiga puluh jiwa yang tidak keruan seragamnya, kudanya meringkik kecapean. Itulah pasukan yang kalut kalah perang! .

Rombongannya Tan Hong berdiam mengawasi pasukan itu, yang datang menghampirkan mereka, di antara orang yang menjadi pemimpin maju kemuka sekali sampai di depan In Tiong, terus ia angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat seperti cara tentera Tionggoan.

"In Soesin telah tiba di negara kami, maaf kami telah terlambat menyambutnya."berkata dia. Dengan "soesin" dia maksudkan "utusan kaisar Tiongkok".
"Kami adalah wakilnya Thaysoe Yasian," sahut perwira itu. "Kami ditugaskan menyambut In Soesin yang telah tiba di negara kami. Ah, Thio Kongtjoe juga ada di sini.Bagus!".

Perwira itu lihat Tan Hong, yang ia kenali. Ia adalah Ngochito, pahlawan nomor satu dari Perdana Menteri Yasian. Menghadapi pemuda she Thio itu, agaknya ia likat, walaupun udara lembab, ia mengeluarkan peluh di keningnya.

Tan Hong bersenyum. "Sungguh sempurna perlayanan thaysoe kamu!" ia berkata.

Sambil mengucap demikian, dengan tiba-tiba pemuda ini majukan kudanya, sampai di dekatnya Ngochito, menyusul mana sebelah tangannya menyambar kepada satu perwira di sisi pahlawan nomor satu dari Yasian itu, lalu dengan paksa ia tarik tubuh orang.
Perwira itu bukan sembarang perwira, walaupun ia telah kena dicekal, ia masih dapat membuat perlawanan. Begitulah, setelah tangannya tak berdaya, ia ayun kedua kakinya, untuk menendang orang yang mencekuk padanya. Akan tetapi Tan Hong sudah bersedia untuk segala apa, ia mendahului menotok, maka perwira itu lantas diam bagaikan mayat hidup! .

Kejadian ini ada di luar dugaan siapa juga, terjadinya sangat cepat, semua orang menjadi terkejut dan heran.

Ngochito tak dapat menahan sabar.

"Thio Kongtjoe, mengapa kau berlaku begini tidak tahu aturan?" dia menegor.

Tan Hong tidak gubris tegoran itu, ia terus kerjakan kedua tangannya. Lebih dahulu ia robek seragamnya si perwira, terus ia buka baju lapis kulitnya, hingga tertampak bebokong orang di mana terlihat satu tanda yang luar biasa sekali, ialah cacahan huruf "tjat" (= "bangsat"). Huruf itu adalah huruf "tjodjie" — tulisan ringkas.

"Siapakah yang tidak tahu aturan?" Tan Hong tanya sambil tertawa. "Kau pernah pelajari huruf Tionghoa, kau kenal huruf ini, bukan? Ha, syukur aku sempat membuat tanda!".

Sambil berkata demikian, pemuda ini lemparkan tubuhnya perwira itu ke arah In Tiong,maka satu pahlawan segera menyambutnya untuk diringkus.

"In Soesin." berkata Tan Hong, sekarang kepada In Tiong, si utusan kaisar Beng.
"Perwira ini adalah si bangsat yang tadi malam dapat meloloskan dirinya! Dialah yang bernama Ma I Tjan, salah satu pahlawan di bawahnya Thaysoe Yasian! Silakan kau bawa dia untuk dikembalikan kepada thaysoe Yasian itu!".

Ngochito jadi sangat gusar, hingga ia seperti lupa segala apa. Ia angkat goloknya,dengan itu ia serang Tan Hong! .

Si anak muda tidak tinggal diam saja, segera dengan pedangnya ia menangkis, untuk melayani bertempur. Setelah beberapa jurus, dengan tiba-tiba ia tertawa berkakakan.

"Apakah belum cukup kau rasakan kesengsaraan yang tadi malam kau derita?" ia menanya. "Kau ingin terjatuh ke dalam tanganku atau ke dalam tangannya musuh dari Thaysoe Yasian?".

Ngochito tercengang tetapi segera dia mencaci: "Jadinya tadi malam adalah kau yang mengacau, binatang!" Lalu dengan bacokan "Toapek Hoasan" = "Menggempur gunung Hoasan," dia menghajar dengan bengis.

Tan Hong seorang pemberani, ia kerahkan tenaganya, ia menangkis sambil membabat,maka itu pedangnya, pedang Pekin kiam si Mega Putih lantas bentrok keras dengan golok pahlawannya Yasian itu. Sebagai akibatnya bentrokan itu, ujung golok Ngochito telah terpapas buntung, atas mana dia segera larikan kudanya untuk menyingkirkan diri.

"Sekalipun kau hendak lari, tak dapat kau wujudkan itu!" berkata Tan Hong sambil tertawa. "Kau lihat di sana — siapa itu yang sedang mendatangi?" .

Tan Hong menunjuk ke depan, dari mana seekor kuda kelihatan lari mendatangi cepatnya bagaikan terbang, hingga seperti tertampak hanya sebuah bayangan putih.

Ketika Tamtay Keng Beng sudah lihat tegas siapa si penunggang kuda itu, dia berteriak bagaikan bersorak: "Kakak!"

Orang yang tengah mendatangi itu memang Tantai Mie Ming dan binatang tunggangannya adalah kuda putih Tjiauwya saytjoe ma kepunyaannya Tan Hong!
Ngochito kenali jenderal itu, ia kaget hingga semangatnya seperti terbang meninggalkan raganya, meski begitu masih sempat ia memanggil: "Tantai Tjiangkoen..."

Tantai Mie Ming menyambut dengan tertawanya yang nyaring.

"Bangsat, sekarang akan aku bikin kau kenal kepada Tantai Mie Ming!" ia berkata.

Oleh karena mereka telah datang dekat satu pada lain, Mie Ming segera serang pahlawannya Yasian itu, yang hatinya sudah kuncup, hingga dia tidak dapat menangkis atau berkelit lagi, maka sekali hajar saja, dia telah dibikin rubuh terjungkal dari atas kudanya.

Mie Ming benci pahlawan itu. Ketika baharu ini Yasian titahkan Ngochito kurung Thio Tjong Tjioe, ia telah diperhina, sekarang setelah ia letakkan jabatannya, ia dapat tidak memandang-mandang lagi. Begitulah ia umbar penasarannya itu.

Ngochito ada punya sisa kira-kira tiga puluh serdadu, mereka itu semua kenal Tantai Mie Ming sebagai satu pahlawan perang Watztu yang kesohor gagah, maka itu menampak jenderal itu, bahna takut dan kagetnya, beberapa serdadu telah rubuh sendirinya dari kudanya. Yang lainnya, semua lari kabur! .

Tanpa menghiraukan tentara yang kabur sera-butan itu, Tantai Mie Ming lompat turun dari kudanya, untuk belenggu Ngochito. Sebenarnya ia hendak lantas bicara kepada In Tiong dan Tan Hong tatkala utusan kerajaan Beng itu perlihatkan roman kaget.

"Lihat, Yasian sungguh berani! Dia kirim pasukan perang besar!" dia berseru sambil memandang ke depan, tangannya menunjuk.

Tantai Mie Ming berpaling, lantas dia tertawa.

"Itulah bukan pasukan perang Yasian," katanya.

Sebentar saja, pasukan tentara itu telah tiba, lalu yang menjadi kepala perang menghampirkan Tantai Mie Ming dan bicara, setelah mana, jenderal ini ajar kenal orang itu kepada utusan Beng ini.

Nyata pasukan perang itu adalah pasukannya suatu suku bangsa. Ketuanya yang telah marhum telah binasa di tangannya Yasian, lalu ketuanya yang sekarang, dipaksa Yasian tunduk kepadanya.

Tapi ketua ini membangkang, justeru dia dapat tahu ada bentrokan di antara Yasian dengan Atzu Tiwan, dia lari ke pihaknya Tiwan. Diapun bergabung dengan Tantai Mie Ming.

Tadi malam Ngochito memimpin tentara yang berjumlah lima ratus jiwa, dia hendak menyambut rombongannya See To dan See Boe Kie untuk menyergap In Tiong, tetapi Tan Hong keburu datang dan mengatur siasat, Tan Hong sendiri pergi langsung menolongi In Tiong, Mie Ming bersama barisan suku bangsa itu mencegat barisannya Ngochito, yang mereka serbu, dalam pertempuran malam buta rata itu, pasukan Ngochito kena dipukul rusak hingga dia kabur bersama sisa serdadunya kira-kira tiga puluh jiwa itu,sampai dia ketemu Tan Hong dan rombongannya In Tiong itu. Lacur baginya, sisa serdadu-serdadunya, yang barusan lari serabutan, semuanya kena ditawan barisan suku bangsa itu.

Maka ludaslah pasukannya Yasian itu.

Setelah mendengar pembicaraan antara Tantai Mie Ming dan ketua suku bangsa itu,serta Tan Hong juga, baharulah In Tiong seperti sadar dari mimpinya. Jelas semua itu adalah Tan Hong dan Mie Ming yang mengaturnya, dengan dapat bantuan barisan suku bangsa itu, maka usahanya Ngochito — atau lebih benar usahanya Thaysoe Yasian dapat digagalkan. Lebih kebetulan lagi Tan Hong menyelusup ke tangsi musuh, ia jadi ketahui rencananya Ngochito dan See Too, yang bekerja menurut titahnya Yasian. Tan Hong dan Mie Ming pun sama-sama bekerja dengan baik dan berhasil, yaitu memperoleh
kemenangan.

Pahlawan Yasian yang bernama Ma I Tjan itu mula-mula menggabungkan diri pada Ngochito, dia melihat tanda unggun dari See Too, maka dia lantas berangkat untuk memberikan bantuannya. Apa lacur, dia tidak sanggup lawan In Tiong, dia kena dihajar utusan Beng itu, sesudah mana, Tan Hong dapat kesempatan untuk mencorat-coret huruf "tjat" = "bangsat" di bebokongnya tanpa dia merasa. Tentu saja, karena kena tertawan,dia tidak dapat buka mulutnya lagi.

Ketika In Tiong dan si ketua suku membuat pertemuan, mereka saling menghadiahkan "hata," Itulah adat kebiasaan dari suku bangsa Mongol ini. Hata itu adalah semacam sapu tangan sutera, tanda dari penghormatan. Kemudian mereka berembuk akan mengambil putusan, ialah:

Ngochito dan Ma I Tjan diserahkan kepada In Tiong sebagai orang-orang tawanan.
Ketua suku bangsa itu peroleh semua orang tawanan serta alat senjatanya dan lainnya kepunyaan pasukannya Ngochito itu.

In Tiong tidak dapatkan kerugian suatu apa, malah kudanya semua telah didapat pulang.
Ketua suku bangsa itu girang bukan main, sebab ia peroleh banyak kuda, ransum dan alat senjata, maka di waktu ia hendak berpisahan dari Tan Hong beramai, berulangkah ia menghaturkan terima kasihnya, seperti Tan Hong pun mengucap banyak terima kasih terhadapnya. Mereka berpisahan sesudah barisan suku bangsa itu mengantar sampai di luar mulut lembah.

In Tiong melanjutkan perjalanannya sesudah tengah hari, matahari memancarkan cahayanya hingga buyarlah hawa dingin. Ia merasa gembira sekali. Bukankah ia telah lolos dari ancaman bencana dan berbalik menjadi peroleh kemenangan? "Beruntung tadi malam ada kau!" ia berkata kepada Tan Hong. "Yasian hendak membikin runtuh kepadaku, siapa tahu, sebaliknya dialah yang berbalik terjatuh ke dalam tangan kita!".

Tan Hong bersenyum, ia tidak menjawab. "In Toako," Tamtay Keng Beng turut bicara,"kau juga turut berjasa, karena kaupun tidak menjadi gentar atas serbuan musuh!"

Nona ini jalankan kudanya berendeng dengan kudanya si utusan kaisar, ia pun gembira sekali, wajahnya berseri-seri.

Tantai Mie Ming awasi adiknya itu, lalu di dalam hatinya ia tertawa dan kata: "Kiranya bocah ini sudah punyakan orang yang dia penujui..." Ia senang mengawasi pasangan itu,tetapi ketika ia ingat Tan Hong, ia menjadi berduka untuk tjoekong-nya ini. Bukankah Tan Hong dan In Loei menemui rintangan? Tan Hong juga nampaknya menjadi lesu, hilang kegembiraannya. Sebelum itu ia ada
bersemangat.

Di dalam kegembiraannya itu, In Tiong seperti lupa segala apa.

"Eh, mana In Loei?" tiba-tiba ia tanya si pemuda she Thio. "Kenapa ia tidak bersama kau? Apakah ia seorang diri berdiam di ibu kota Watzu?"
Pertanyaan ini sudah hendak dimajukan sejak kemarin tetapi tadi malam telah terjadi penyerbuan dahsyat itu, yang membikin ia lupa akan hal itu.

Tan Hong terdiam, ia mesti kuatkan hatinya. Tapi ia harus menjawab.
"Ia tidak bersamaku," sahutnya dengan tawar. "Ia telah pulang ke rumahnya untuk menjenguk ibunya."

Girang sekali In Tiong mendengar jawaban itu.

"Apakah ibuku masih ada?" dia tanya.
"Malah aku dengar ayahmu juga telah pulang!" Tantai Mie Ming menyelak sebelum Tan Hong menjawab. Sengaja ia wakilkan pemuda itu, sang tjoekong. "In Thaydjin, kamu sekeluarga dapat berkumpul, sungguh itu ada hal yang sangat menggirangkan!"
"Benarkah itu?" berseru In Tiong. Ia girang bukan main.
"Mustahil kabar itu bohong?" Mie Ming membaliki. "Cuma..."
"Cuma apakah?" In Tiong tanya, cepat.

Tadi Mie Ming berhenti bicara karena tempo ia menoleh kepada Tan Hong, anak muda itu telah mengkedipkan mata kepadanya. Maka sekarang ia menjawabnya tak seperti apa yang ia hendak mengatakannya tadi.

"Cuma karena jalanan ada jauh, entah mereka dapat susul kau atau tidak..." demikian katanya. In Tiong tertawa.

"Aku akan berdiam lebih lama beberapa hari di ibu kota Watzu untuk menantikan mereka," katanya. "Tapi, ketika ia tampak sikap adem dari Tan Hong, ia menjadi kurang puas. Di dalam hatinya, ia berkata: "Ya, memang kami kaum keluarga In bermusuhan dengan kaum keluarga Thio, dia mendengar ayahku masih hidup, tentulah dia menjadi tak bergembira. Sebenarnya dia heran juga, dia berpemandangan luas tetapi sekarang dia menjadi cupat pikiran... Tapi ini ada baiknya juga, kesulitanku pun menjadi berkurang.Dengan In Loei dia tidak dapat berpisah, tetapi sekarang mau atau tidak, dia mesti berpisah juga..."

Setelah peristiwa yang hebat itu, berubahlah sudah kesan In Tiong terhadap Tan Hong,bukan melainkan kebenciannya telah menjadi berkurang, malah permusuhannya telah seperti hilang sendirinya. Ia hanya masih beranggapan bahwa di antara kedua keluarga itu tidak seharusnya ada pergabungan pernikahan...

Perjalanan telah dilanjutkan dengan tenteram, tidak ada rintangan apapun, maka berselang belasan hari, tibalah mereka dengan selamat di ibu kota Watzu. Segera In Tiong menunda dahulu di luar tembok kota, dari mana ia memandang ibu kota itu. Ia lantas saja ingat banyak hal di masa mudanya, ketika ia turut alami banyak penderitaan. Tapi sekarang, sebagai utusan kaisar, bolehlah ia angkat kepala. Dalam pikiran ruwet tak keruan itu, air matanya turun berketel. Ia tak tahu, ia mesti berduka atau bergirang...

Belum lama, mendadak ada terdengar dentuman meriam tiga kali. Menyusul itu, pintu kota telah dipentang lebar-lebar. Nyata raja Watzu telah dengar berita dari tibanya utusan kaisar Tionggoan dan karenanya dia mengirim wakil untuk menyambutnya.

Malah Yasian juga turut mengirimkan wakilnya, guna menyambut utusan itu. Hanya wakil ini menjadi heran apabila ia tampak di antara perutusan Tionggoan itu tidak beserta Ngochito dan barisannya, sedang seharusnya Ngochito yang mesti mengiringi perutusan itu. Ia tentu saja tidak ketahui, Ngochito dan Ma I Tjan sedang terkurung rapat dalam sebuah kereta keledai yang dibawa utusan kaisar Beng itu, sementara Thio Tan Hong dan Tantai Mie Ming sudah sejak siang-siang pisahkan diri dari In Tiong, mereka pergi menuju ke pintu kota yang kedua, untuk pulang ke rumah mereka.

Perdana Menteri Yasian di dalam gedungnya juga menantikan kabar hal tibanya utusan Tionggoan itu. Ia tidak usah menanti terlalu lama akan terima kabar dari wakilnya. Ia memang tak tenteram hatinya, duduk salah berdiri salah, maka kabar yang diterimanya ini membuat kagetnya bukan kepalang. Ia terima keterangan bahwa utusan Tionggoan datang cuma bersama delapan belas pengiring serta beberapa pelayan wanita, bahwa semua pengiring itu nampaknya gagah, pakaian mereka mentereng, tidak ada tandatanda bekas mengalami penyerangan yang membuat pakaian mereka tidak keruan atau kuda lelah dan manusia letih. Dari halnya Ngochito dan lima ratus serdadunya, jangankan orangnya, walau bayangannya pun tak tertampak.

Yasian kaget berbareng sangat heran.

"Ngochito dan Ma I Tjan kosen dan pintar, mereka ada bersama lima ratus serdadu pilihan, malah dibantu pula oleh See Too serta orang-orangnya, tidak seharusnya mereka gagal, umpama gagalpun, mesti ada orangnya yang lari pulang untuk mengabarkan.

Kenapa sekarang tidak seorang juga yang kembali? Mustahilkah utusan Tionggoan itu ada bangsa malaikat?"

Demikian Yasian tanya dirinya sendiri, hingga ia jadi berpikir keras. Malam itu, karena ia terus menunggui warta dari Ngochito, sama sekali ia tidak tidur sekejap pun juga.

Keesokannya, dari pagi hingga tengah hari, ia masih menanti-nanti, sehingga datanglah kabar tibanya utusan Tionggoan itu, yang membikin keheranannya sampai di puncaknya.

Di hari kedua, pagi-pagi Yasian kirim wakil kepada In Tiong, untuk undang utusan itu.

In Tiong terima undangan itu. Sudah selayaknya ia berkunjung kepada perdana menteri Watzu. Ia datang dengan ajak empat pengiring berikut sebuah kereta keledai. Tapi ia datang sesudah jauh siang, hingga selama itu, Yasian mesti menahan napas untuk menantikan padanya.

Heran Yasian waktu jauh siang itu ia diberitahukan tentang kunjungannya utusan Tionggoan sambil membawa sebuah kereta keledai.

"Apakah mereka bawa banyak barang antaran untukku?" Yasian menduga-duga.
"Mestinya hadiah itu barang-barang yang berat sekali..."

Ia lantas berikan titah, pengiring mesti menunggu di tangga di muka pintu besar,supaya si utusan seorang diri yang dipimpin masuk ke dalam ruangan besar di mana ia menantikan.

In Tiong bawa sikap agung-agungan. Ia berjalan di lorong di antara dua baris pengawal yang seragamnya mentereng dan romannya gagah, semuanya menyekal golok, tombak dan pedang terhunus.

Yasian telah pasang matanya. Ia tercengang ketika ia lihat romannya utusan ini. Ia merasa bahwa ia seperti pernah bertemu dengan utusan itu. Berbareng di otaknya segera berbayang satu utusan lain dari kerajaan Beng. Itulah In Tjeng, utusan dari tiga puluh tahun yang lampau.

Itulah utusan yang di negara Watzu hidup sebagai pengembala kuda selama dua puluh tahun, tapi hatinya tak pernah dapat dibikin ciut, yang semangatnya terus berkobar-kobar.

Sekarang utusan yang muda ini mirip benar dengan utusan yang tua dahulu itu...

In Tiong unjuk hormatnya kepada perdana menteri Watzu itu yang membalasnya. Ia lantas persembahkan barang-barang hadiah,seperti kumala putih dan lain-lainnya.Inilah keharusan di antara kedua negara, sebagai tanda menghormat kepada menteri dari negara yang dikunjunginya itu. Hadiah itu bukan barang sangat berharga tetapi toh tepat untuk suatu menteri. Selama itu tetap dia bawa sikapnya yang agung, bukannya jumawa,bukannya merendah.

Setelah penyerahan hadiah itu, Yasian minta belajar kenal. Di dalam hatinya ia kaget akan dengar utusan ini seorang she In.

"Sungguh kebetulan!" katanya sambil tertawa. "Pada tiga puluh tahun sang lampau,utusan yang datang juga she In!"

"Malah sekarang ada terlebih kebetulan pula!" berkata In Tiong sambil tertawa. "Pada tiga puluh tahun yang lampau itu adalah sang kakek yang menjadi utusan, dan pada tiga puluh tahun kemudian, ialah sekarang ini, aku adalah cucunya si kakek itu! Thaysoe,bukankah ini ada suatu hal yang bagus sekali?"

Air mukanya Yasian berubah, akan tetapi ia mencoba akan mengatasi diri. Begitulah ia paksa tertawa.
"Benar bagus, benar bagus!" begitu katanya.

Walau bagaimana, perdana menteri ini tak dapat sembunyikan keheranan dan kagetnya, hingga sikapnya menjadi tidak wajar pula.

In Tiong merasa sangat puas, ia tertawa bergelak-gelak. Ia lalu mendesak.

"Kali ini aku menjadi utusan, sebelumnya aku telah pelajari juga ilmu mengembala kuda," demikian katanya, disengaja. "Jikalau sudah datang waktu keperluannya, aku bersedia berdiam lama di dalam negeri thaysoe ini!"

Yasian menjadi sangat likat. Ia tertawa menyeringai. "Ah, In Thaydjin, kau bergurau!" katanya, untuk menutupi kelikatannya. "Haha,haha, sungguh thaydjin suka bergurau!" Ia lalu berdehem, ia urut-urut kumis jenggotnya.

"Thaydjin, aku justeru hendak mohon maaf padamu, karena kami telah lalai dalam penyambutan kami. Thaydjin sudah melakukan perjalanan jauh dan harus melintasi kotakota dan gunung-gunung, tentu kau letih sekali."

Dengan kata-katanya ini, Yasian ingin simpang-kan pembicaraan sambil berbareng memancing keterangan kalau-kalau tetamunya mengalami sesuatu di dalam perjalanannya itu.

Ditanya begitu, In Tiong tertawa dingin.

"Aku tidak merasa letih." demikian penyahutan-nya. "Hanya ketika aku memasuki wilayah negara thaysoe, di tengah jalan kami telah hadapi beberapa begal kecil..." Yasian kaget di dalam hatinya.

"Kalau cuma begal kecil, itulah pasti bukannya Ngochito," pikirnya. Ia lantas menanya:
"Di tempat manakah thaydjin ketemu orang jahat itu? Pembesar-setempat di sana telah melalaikan tugasnya, nanti aku periksa dan hukum padanya!"

Ia nampak kaget tetapi kali ini, kagetnya itu kentara.

In Tiong tertawa pula.
"Itulah tak usah," katanya. "Berhubung dengan pembegalan itu kami tidak mendapat rugi apa-apa. Di sebelah tugasku, thaysoe secara perseorangan aku hendak menghadiahkan sesuatu kepada thaysoe, hanya yang tidak berarti..."

Yasian bersenyum, ia nampaknya gembira. "Janganlah berlaku sungkan, In Thaydjin." katanya, merendah.

"Oh, tidak, tidak, thaysoe," In Tiong bilang. "Aku mohon thaysoe perkenakan pengiringpengiringku
supaya barang hadiah itu yang berada di dalam kereta boleh dibawa kemari..."

"Oh, tentu saja boleh!" Yasian berikan perkenannya dengan cepat. Di dalam hatinya, ia kata: "Nyata dugaanku tidak meleset, barang-barang di dalam kereta itu ada bingkisan untukku! Akan tetapi barang ada demikian berat, mestinya barang yang tidak seberapa berarti..."

Senang hatinya perdana menteri ini, sedang tadinya ia tidak puas terhadap sikap agung-agungan dari utusan itu. Hadiah itu berarti suatu muka terang baginya. Ia jadi tidak terlalu pikirkan, hadiah itu barang berharga atau bukan. Ia lantas perintahkan supaya pengiringnya si utusan diberi ijin untuk membawa masuk bingkisan itu. In Tiong menghaturkan terima kasih. Ia perlihatkan wajah berseri-seri.

Empat pengiring utusan Tionggoan itu bertindak masuk dengan menggotong dua bungkusan karung goni yang besar. Yasian mengawasi, ia menduga kepada suatu barang keluaran Tiongkok, semacam hasil buminya. Ia tertawa di dalam hati. Ketika ia menduga utusan ini tentulah seorang melarat...

Sampai di depan Yasian dan sepnya, ke empat pengiring lalu turunkan bungkusannya dengan dibanting keras. Berbareng dengan itu terdengar teriakan "Aduh!" yang tertahan.

Kemudian, tanpa tunggu titah lagi, mereka buka tambang yang mengikat mulut karung itu, untuk keluarkan isinya karung, ialah dua tubuh yang teringkus, malah tubuh yang satu tanpa baju, hingga kelihatan dada dan bebokongnya, dan di bebokongnya tampak nyata cacahan huruf "tjat" = "bangsat" "Inilah hadiahku yang tidak berarti, yang aku harap thaysoe suka terima tanpa celaan..." berkata In Tiong sambil tertawa.

Tidak usah dijelaskan lagi bahwa dua orang yang teringkus itu adalah Ngochito serta Ma I Tjan. Karena mereka sudah teringkus lama, tidak heran kalau mereka jadi pusing kepala dan pegal kaku. Kalau tadinya mereka tetap tak sadar akibat totokan, seberlalunya Tan Hong, mereka telah dibikin ingat akan diri mereka. Sekarang mereka lihat Yasian, mereka menyangka bahwa mereka telah ditolongi orang sendiri, saking kegirangan mereka sudah lantas berseru: "Thaysoe."

Yasian kaget. Akan tetapi dia adalah satu orang besar dan cerdas, dalam sejenak saja dia bisa menduga kepada kejadian yang benar, maka lantas dia perlihatkan wajah bengis.

"Hai, dua begal cilik!" dia membentak, "cara bagaimana kamu berani ganggu utusan dari negara besar? Mana orang? Hukum rangket tiga ratus rotan kepada mereka, lantas masukkan ke penjara negara, kemudian akan aku periksa dan hukum mereka!"

Ngochito dan Ma I Tjan menjadi sangat kaget, mereka lantas buka suara, untuk memberi keterangan, tetapi bentakannya pengiring Yasian telah mencampur baurkan suara mereka, yang pun segera digusur ke ruang belakang! .

In Tiong menyaksikan semua itu dengan tenang. "Thaysoe repot, tidak seharusnya thaysoe diganggu segala begal kecil," ia berkata sambil bersenyum.
Mau tidak mau, mukanya Yasian menjadi ber-semu merah."Sungguh kedua begal itu telah membikin aku malu..." ia berkata dengan lagaknya dibikin-bikin. "Ah!..." ia menghela napas. "Pasti, pasti akan aku hukum berat kepada mereka!"

In Tiong berdiam, dengan dingin ia awasi perdana menteri itu.

Dalam hatinya Yasian heran sekali. Dua pahlawannya itu sangat tangguh, mereka memimpin lima ratus serdadu, juga dibantu See To dan rombongannya, tetapi mereka kena ditawan, tentera mereka lenyap tidak keruan paran, tidakkah itu luar biasa mengherankan? Iapun merasa sangat tidak enak menampak sikapnya In Tiong itu, si utusan dari Tionggoan, maka dengan sendirinya, paras mukanya menjadi pucat dan merah padam bergantian.

"Hari ini telah cukup aku permainkan padanya!" berpikir In Tiong setelah melihat lagak orang itu. "Baiklah, aku tidak mendesak dia terlebih jauh, supaya dia tidak menjadi gusar, agar perundingan tidak terganggu karenanya."

Maka ia tertawa dengan pelahan dan berkata dengan sabar: "Thaysoe, apa yang telah terjadi itu tidaklah aneh. Di dalam sebuah negara, rakyatnya memang tidak rata, tidak semuanya baik, mesti di antaranya ada beberapa yang jahat. Harap thaysoe tidak pikir pula tentang mereka itu. Marilah kita bicara tentang maksud tujuan kita."

Mendengar itu, lega juga hatinya Yasian.

"Benar apa yang kau katakan itu, In Thaydjin," ia menyahut.

In Tiong keluarkan segumpal kertas. "Inilah rencana perdamaian kita," ia beritahu sambil serahkan kertas itu. "Coba thaysoe periksa." Itulah rencana perdamaian karangannya Kokioo Ie Kiam, bunyinya sangat sederhana. Ie Kokioo meminta supaya kedua negara menjaga saja masing-masing wilayahnya, keduanya saling memperlakukan sama rata, jangan sekali ada yang melakukan penyerangan, supaya untuk selamanya tak lagi terbit perang. Pada itu Ie Kokioo berikutkan syarat supaya "thaysianghong" yaitu raja yang tua, Kaisar Beng Eng atau Kie Tin, yang tertawan di negeri Watzu, lantas di merdekakan dan diantarkan pulang.

Setelah membaca rencana itu, Yasian berdiam. Ia berpikir. Sederhana rencana Tionggoan itu tetapi bertentangan dengan rencananya sendiri. Ia hendak kemukakan perdamaian menurut cara dahulu, yang telah dibikin antara kerajaan Song dan Liauw (Kim), ialah kerajaan Beng mesti menempati kedudukan yang terlebih rendah, dengan negara Watzu harus ada perhubungan bagaikan paman dengan keponakan. Negeri Watzu sebagai paman, Tionggoan sebagai keponakan. Serta setiap tahun kerajaan Beng mesti membayar upeti sebanyak tiga ratus laksa tail perak serta sutera lima laksa kayu.

Tegasnya, dia hendak berdamai sebagai dia yang menang perang. Maka sekarang tidaklah ia sangka, Tionggoan mengajukan syarat lain. Dia telah berdaya, dia telah bekerja supaya utusan Beng itu terjatuh ke dalam tangannya supaya dapat dipengaruhi, tidak tahunya,keadaan menjadi kebalikannya. Dia sekarang menjadi mirip ayam jago yang kalah berkelahi, hingga rencananya sendiri yang dia bekal di dalam sakunya tidak berani dikeluarkan.

"Tionggoan adalah satu negara yang mengenal tata sopan santun," berkata In Tiong apabila ia melihat orang berdiam saja, ia bicara dengan sabar tetapi berpengaruh, "maka itu Tionggoan hendak berdamai dan bersahabat dengan negaramu sebagai kedua negara sederajat, sebagai saudara-saudara, semua peristiwa yang sudah lewat, tidak hendak ditarik panjang pula. Dengan perjanjian ini, kedua negara sama-sama tidak mendapat
kerugian. Apabila Thaysoe memikir lain dan thaysoe anggap Tionggoan boleh diperhina,
tidak ada jalan lain, di tapal batas negara kami sudah sedia sepuluh laksa serdadu pilihan,
kami bersedia untuk main melayani thaysoe!"

Suaranya utusan ini lemah berbareng keras. Ia meminta tetapi pun ia mengancam,
namun ia tidak meninggalkan adat sopan santun.

Pada mulanya benar Yasian telah berhasil menyerang Tionggoan dan memperoleh kemenangan, hingga ia berhasil menawan kaisar Kie Tin, akan tetapi dalam peperangan lebih jauh, di Pakkhia, ia telah kena dikalahkan hingga terusir keluar dari kota Ganboenkwan, maka dalam hal ini di antara kedua pihak tidak dapat dikatakan ada yang menang dan kalah perang. Oleh karena itu, jikalau kedua negara mengadakan perdamaian, itu adalah hal yang pantas sekali. Bicara hal kedudukan, Tionggoan lebih menang, sebab di bawah pimpinan Ie Kokioo, Tionggoan bersatu, di lain pihak, negeri Watzu terancam bentrokan di dalam, dia ada di pihak lebih lemah. Hal ini diinsafi Yasian,maka ia suka membuat perdamaian, tetapi dasar ia seorang licik, ia masih hendak mencari kemenangan di atas angin. Tapi ia menghadapi In Tiong yang berani, ia jadi menghadapi kesulitan.

"Utusan ini sukar dilayani," demikian pikirnya. "Nyata dia jauh lebih liehay daripada kakeknya dahulu hari. Jikalau aku main ayal-ayalan, bisa-bisa kedudukanku menjadi berbahaya..."

Ia ingat ancaman bahaya dari pihaknya Atzu Tiwan.

"Baiklah," katanya kemudian, "rencanamu ini dapat aku terima. Sekarang tunggu saja sampai junjunganku telah memeriksanya baharu kemudian kita bicara pula untuk mengambil keputusan."

Pembicaraan berjalan lancar, belum lewat sepuluh hari kedua pihak telah peroleh persetujuan. Rencana Tiongoan diterima baik, cuma beberapa kata-katanya saja yang diubah sedikit. Telah ditetapkan, di hari kedua sehabisnya, pembubuhan tanda tangan, kaisar Tiongkok yang ditawan itu akan dimerdekakan, dia boleh disambut utusannya untuk diajak pulang.

Sementara itu kaisar Kie Tin dipindahkan dari kamar tahanan ke dalam istana raja Watzu, diberikan sebuah ruangan di mana ia diperlakukan sebagai raja yang terhormat.

Selagi perundingan perdamaian dilakukan, Tan Hong telah menulis surat kepada In Tiong, dia undang utusan Tionggoan itu datang ke rumahnya. In Tiong tampik undangan itu, ia masih ingat permusuhan di antara mereka walaupun terhadap Tan Hong ia telah berkesan baik. Karena itu, Tan Hong juga tidak datang berkunjung kepada utusan itu.

Dengan lewatnya sang waktu, datanglah malaman yang besoknya utusan Tionggoan bakal ajak junjungannya yang tua berangkat pulang. Malam itu In Tiong merasa tegang sendirinya, hingga di tempat kediamannya, ia jalan mondar-mandir tak hentinya. Ia memikir untuk tidur tetapi tak dapat ia lakukan itu.

Di pihak lain, juga ada dua orang yang merasakan ketegangan sebagai In Tiong itu.

Mereka adalah Tan Hong dan ayahnya. Hanya ada perbedaan pikiran di antara anak dan ayah itu.
Ketegangan Tjong Tjioe karena ia gembira berbareng masgul dan berduka. Begitulah di dalam taman, sambil meloneng pada lankan, ia mengadakan pembicaraan dengan puteranya.
Selama beberapa hari itu, Thio Tjong Tjioe dapat diumpamakan sebagai pohon tua yang sudah kering, angin musim semi telah meniup sepoi-sepoi akan tetapi pohon tua itu tak bersemi pula, tak ada daunnya yang hijau. Dia telah keram diri di dalam kamar tulisnya, sampaipun dengan puteranya sendiri sedikit sekali ia bicara. Sedang mengenai urusan tibanya utusan Tionggoan, sama sekali tak sudi ia menyebut-nyebutnya. Sikapnya yang luar biasa itu menimbulkan kekuatiran di antara orang-orang sedalam gedungnya.

Tan Hong ingin sekali mengunjungi In Tiong, tetapi menampak keadaan ayahnya ini,tidak berani ia meninggalkan rumahnya.

Hanya pada malam itu, dengan sekonyong-konyong Thio Tjong Tjioe panggil puteranya diajak jalan mondar-mandir di dalam taman, akan akhirnya si orang tua berdiri meloneng.

Lama dia membungkam, matanya mengawasi sang rembulan yang naik semakin tinggi dan semakin tinggi. Di akhirnya dia menghela napas, lalu dia bersenanjung:
"Malam ini memandangi rembulan di dalam taman, lain tahun akan memandanginya seorang diri..."

Benar-benar orang tua ini menggadangi sang rembulan, yang ia terus awasi saja,hingga ia pun dapat memandang sang mega yang bagaikan lautan. Melihat sang mega itu ia seperti bermimpi pesiar di Kanglam...
"Ayah..." memanggil Tan Hong dengan air matanya mengembeng. Ia sangat berduka melihat sikapnya ayah itu.

Tjong Tjioe tertawa, sedih suaranya.

"Kabarnya perdamaian telah ditanda tangani," berkata ayah ini. "Besok utusan Kerajaan Beng bakal berangkat pulang, benarkah itu?"

Inilah yang pertama kali Tjong Tjioe menyebut tentang utusan Beng itu.

"Benar," Tan Hong jawab ayahnya itu. "Utusan itu she In, benarkah?" sang ayah menanya pula.
"Benar," sang anak menjawab pula. Ia selalu menjawab dengan singkat. Sudah berulang-ulang ia pikirkan, oleh karena In Tiong tidak ingin menemui ayahnya, ia juga tidak hendak menyebut-nyebut tentang utusan itu terhadap ayahnya.
"Utusan itu tidak mensia-siakan tugasnya," berkata sang ayah, "dia melebihi In Tjeng dahulu hari!"
Tjong Tjioe masih belum tahu bahwa utusan itu adalah anaknya In Teng atau cucunya In Tjeng si utusan yang dahulu itu.

Tan Hong manggut, ia bersenyum.

"Kalau begitu anak Hong, kau juga harus berangkat besok!" sekonyong-konyong ayah itu bilang.

Hatinya Tan Hong memukul. Itulah soal yang ia telah pikirkan selama banyak tahun. Ia tidak menyangka bahwa hari ini ayahnya itulah yang menimbulkannya. Ia menjadi tidak keruan rasa. Ia tahu dengan pasti. Kalau besok ia berangkat maka untuk selama-lamanya ia tidak akan bertemu pula dengan ayahnya itu. Berpisah hidup, berpisah mati, itulah hal yang sejak jaman dahulu dibuat duka orang. Apapula sekarang ia akan berpisah kepada ayah kandungnya...

Sebisa-bisanya Tan Hong kuatkan hatinya. Ia tahu, tidak nanti ayahnya ijinkan ia pergi.

"Dan bagaimana dengan kau, ayah?" ia balik menanya.
Tiba-tiba wajahnya Tjong Tjioe menjadi gelap, lalu ia tertawa.
"Semua barangmu telah aku siapkan!" katanya. "Ini adalah yang terakhir aku mengurus
keperluanmu!"

Tan Hong terkejut, tetapi ia masih dapat kendalikan diri.

"Ayah," katanya, "jikalau ayah tidak pergi, akupun akan tetap tinggal di sini menemani kau..."
"Tidak, kau harus pergi," berkata ayah itu. "Kau masih muda! Tantai Tjiangkoen akan berangkat bersama kau! Telah aku beritahukan kepadanya!"

"Tantai Tjiangkoen juga turut pergi?" berkata ini, yang menjadi heran sekali. Hendak ia melanjutkan. "Dengan begitu, bukankah ayah menjadi bersendirian saja dan kesepian?" akan tetapi ia batal mengatakannya. Tidak dapat ia keluarkan itu.

Thio Tjong Tjioe, bersenyum.

"Benar," sahutnya, "Tantai Tjiangkoen..."
Tiba-tiba satu bayangan berkelebat datang, atau Tantai Mie Ming sudah berada di hadapan mereka.

Senyumannya Tjong Tjioe masih belum lenyap, hendak dia mengatakan, "Baharu aku menyebutkan Tjo Tjoh, atau Tjo Tjoh telah tiba!" akan tetapi Mie Ming, dengan napasnya memburu, berkata: "Tjoekong, celaka!..."
Ayah dan anaknya itu terperanjat. Tjong Tjioe belum pernah nampak jenderal itu demikian kesusu atau gelisah.
"Ada apakah?" Tjong Tjioe tanya.
"Gedung kita telah dikurung!" sahutnya Mie Ming.
Tan Hong kaget. Tetapi segera ia pasang kupingnya. Benar ia dengar suara dari banyak orang di luar gedung.

Thio Tjong Tjioe bersikap tenang seperti biasa.

"Mari kita keluar melihatnya!" katanya, sabar.

Tan Hong dengan disusul Tantai Mie Ming lompat ke tembok, dari situ mereka dapat lihat gedung telah dikurung beberapa lapis tentera, sedang di pekarangan depan,menghadapi pintu besar, ada bercokol sebuah meriam besar yang dinamakan Angie toapauw.

Bangsa Mongol adalah bangsa yang paling pertama membawa mesiu ke medan perang,ketika dahulu dia malang melintang di Eropa, bukan sedikit dia mengandal atas meriamnya itu. Tan Hong tidak sangka hari ini, meriam itu dipakai untuk menghadapi keluarga Thio.

Di belakang meriam besar itu tampak berdiri berbaris tiga penunggang kuda ialah Ngochito, Ma I Tjan dan Pek San Hoatsoe, soeheng atau kakak seperguruannya Tjeng Kok Hoatsoe. Dibarisan depan itu adalah tentera Mongol yang memegangi obor cabang pohon cemara.

Ketika Tan Hong terlihat muncul di belakang tembok, tentera Mongol berteriak-teriak dengan seruannya yang gemuruh. Anak muda ini berlaku tenang, ia mengawasi mereka itu.
"Untuk apa kamu datang kemari?" bentaknya dengan sabar. Akan tetapi suaranya ini terdengar terang sekali, suara itu berpengaruh, maka suara riuh berhenti dengan tibatiba.

Ngochito tepuk kudanya untuk di majukan, lalu mengawasi ke atas tembok, ia tertawa besar.
"Thio Tan Hong, hendak aku lihat, hari ini kau ada punya kepandaian apa!" dia berkata dengan jumawa. "Kau bilanglah, kau ingin hidup atau mampus?"
"Apa yang kau artikan?" Tan Hong menegaskan.

"Jikalau kau ingin hidup," menjawab Ngochito, "maka kau mesti rela dengan tanganmu sendiri kau belenggu semua orang yang berada di dalam gedungmu ini, kecuali ayahmu,yang boleh tidak usah diikat! Lalu kau pentang pintu besar untuk membiarkan kami bawa kamu ayah dan anak menghadap Thaysoe, supaya Thaysoe sendiri yang nanti memberikan putusannya!"

"Hm!" Tan Hong perdengarkan ejekannya. "Jikalau aku menolak?" dia tanya.
"Akan aku berikan kau ketika untuk memikirnya masak-masak," menyahut pula Ngochito, si pahlawan nomor satu itu. "Kau harus ketahui, bukankah kau telah lihat tegas meriam besar ini? Walaupun kau bagaimana gagahpun tidak akan kau sanggup lawan meriam ini! Akan aku beri kau tempo sampai jam lima untuk memberikan jawabanmu,jikalau kau berani menampik, atau jikalau kau berani membuat perlawanan, jangan salahkan aku, begitu terang tanah begitu aku lantas menembak ke arah kamu!"

"Anak Hong, kau turunlah!" demikian suaranya Thio Tjong Tjioe selagi anaknya belum menjawab Ngochito.

Tan Hong dan Mie Ming lompat turun, akan hampirkan orang tua itu.

"Nampaknya jahanam Yasian itu tidak puas sebelum dia mendapatkan aku," berkata Tjong Tjioe kepada anak dan jenderalnya itu, "maka itu akan aku pergi kepadanya. Kau bersama Tantai Tjiangkoen ada punya kepandaian, dengan melihat gelagat, pergi kamu menyingkirkan diri!"
"Tidak, ayah!" kata Tan Hong. "Pasti sekali tidak nanti anakmu membiarkan ayah terhina Yasian!"

Tjong Tjioe berpikir sejenak, lalu ia tertawa nyaring.

"Sungguh bersemangat, sungguh bersemangat!" ia berkata. "Kita tiga turunan berdiam di negara Watzu ini, kita menumpang hidup dengan menahan malu, semua itu telah cukup batasnya! Sekarang Tiongkok telah menjadi kuat, tidak dapat kita menerima malu terlebih jauh! Baiklah, kau biarkan aku bersama semua orang di dalam rumah ini terbinasa di sini,tetapi kamu berdua pergi kamu menyingkir dari pintu belakang!"

"Tidak, ayah!" berkata Tan Hong dengan segala kepastian.
"Jikalau kita mesti terbinasa, mari kita binasa sama-sama tjoekong1." Tantai Mie Ming pun kata dengan gagah.

Thio Tjong Tjioe mengalirkan air mata, akan tetapi ia tertawa.

"Sungguh kamu ada anak dan sebawahanku yang baik sekali," berkata dia. "Ah,semuanya akulah yang rembet-rembet kepada kamu..."

Tjong Tjioe lantas ingat kekeliruan ayahnya dan ia sendiri. Mereka telah ambil siasat bekerja kepada bangsa Watzu, yang tenteranya mereka bikin kuat, niatnya adalah untuk pinjam tentera itu guna menggempur kerajaan Beng, untuk membangun pula kerajaan keluarga Thio, siapa sangka sekarang ia mesti makan buahnya yang pahit getir ini, bukan saja Tionggoan hampir dimusnahkan Watzu, sekarang mereka sendiri sekeluarga bakal menjadi musnah tertembak meriam...

Dari luar segera juga terdengar lagi suaranya Ngochito: "Hai, kamu sudah ambil keputusan atau belum? Ingat, paling lambat sampai hari sudah terang tanah, akan aku mulai menembak!"

Tan Hong menjadi sangat masgul dan mendongkol. Dia yang sedemikian cerdas,sekarang telah habis daya, tidak dapat ia memikir. Mengawasi ayahnya, pikirannya menjadi kalut, dia cuma bisa berduka dan bergelisah...

Tjong Tjioe nampaknya sangat berduka dan bergelisah juga.

Sementara itu, di lain tempat, juga ada seorang lain yang tak kurang gelisahnya daripada keluarga Thio ini. Dia adalah Topuhua, puterinya Perdana Menteri Yasian.

Topuhua telah mendapat tahu yang perdamaian telah didapat, malah kedua pihak telah menanda-tanganinya, karena mana besok pagi, utusan kerajaan Beng bakal berangkat pulang. Ia tahu, dengan begitu, tentulah Thio Tan Hong akan turut perutusan Beng itu pulang ke Tionggoan. Hal ini membuat ia berduka dan gelisah, pikirannya menjadi bingung dan pepat, alisnya senantiasa berkerut.

Yasian telah dapat lihat kedukaannya puterinya itu. Malam itu ia menenggak banyak susu macan, ia sangat bergembira. Sambil tertawa, ia kata kepada puterinya itu: "Jangan kau bersusah hati, tidak nanti Tan Hong turut berangkat. Aku ada punya daya upaya untuk besok membawa dia kembali! Kau adalah puteriku satu-satunya, umpama kau menginginkan rembulan di atas langit, sanggup aku mengambilnya turun untukmu! Anak Hua, kau lihat, bagaimana ayahmu menyayangimu!..."

Topuhua girang dan bersangsi. Benarkah perkataan ayahnya itu? Ia tidak lihat ayahnya itu hendak mendustai padanya. Tadinya ia hendak tanya untuk menegaskan, akan tetapi sang ayah terus sibuk dengan araknya, terpaksa ia tutup mulutnya.

Terus-terusan Topuhua berada dalam kesangsian, ia tidak tahu, ayahnya akan bertindak bagaimana. Sampai tengah malam ia masih belum tidur pules. Tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di ruang tetamu. Ia ingin sekali dengar apa yang dibicarakan,diam-diam ia keluar dari kamarnya, ia pergi ke kamar tetamu itu. Ia umpetkan diri di belakang pinhong, pintu angin.

Ada dua orang yang tengah berbicara di ruang tetamu itu. Yang satu Topuhua kenali sebagai ayahnya. Yang lain adalah kepala rumah tangga gedung perdana menteri yaitu Tjongkoan Wotjaha.

"Utusan kerajaan Beng akan berangkat begitu terang tanah, apakah barang-barang hadiah kita sudah sedia semua?" demikian suaranya Yasian.
"Semua sudah disediakan lengkap," jawab Wotjaha.
"Bocah she In itu benar-benar sukar dilayaninya," Yasian berkata pula. "Aku bersyukur kepada langit dan bumi, seperginya dia, kita bakal merasa aman dan senang..."
"Bukankah Thaysoe hendak mengantar padanya?" sang kepala rumah tangga tanya.

"Kau saja yang wakilkan aku," perdana menteri itu jawab. "Kau berikan alasan bahwa aku sedang sakit. Sri Baginda sendiri turut mengantar untuk memberi selamat jalan.Itupun sudah suatu kehormatan besar baginya."

Tidak tertarik hatinya Topuhua akan mendengarkan pembicaraan itu, maka ia ingin kembali ke kamarnya untuk tidur. Tapi belum sampai ia angkat kakinya, ia lantas mendengar hal lainnya.
"Meriam besar itu hebat, bagaimana kau rasa, suaranya akan dapat terdengar sampai di luar kota atau tidak?" demikian pertanyaannya Yasian kepada hambanya itu.

"Mungkin terdengar tetapi hanya sebagai suara petasan saja," sahut orang yang ditanya. "Gedungnya Thio Tjong Tjioe itu terpisah dari pintu kota kira-kira sepuluh lie lebih, suara meriam juga jauhnya sepuluh lie, tetapi di waktu terang tanah, mereka tentunya sudah meninggalkan kota, sedang tembok kota pun sangat tebal, maka suara meriam itu tidak nanti terdengar nyata. Hamba percaya suara meriam itu tidak akan menimbulkan kecurigaan orang."

Topuhua terperanjat. Suara meriam? Gedungnya Thio Tjong Tjioe? Itu toh rumahnya Thio Tan Hong!
"Lain daripada itu, belum tentu meriam akan ditembak," terdengar pula suaranya
Wotjaha. "Di bawah ancamannya meriam, mustahil mereka tidak akan menjadi jinak dan akan ikat diri sendiri untuk menyerah terhadap keputusan Thaysoe?"
"Thio Tjong Tjioe dan puteranya adalah bangsa yang keras adat," berkata Yasian.
"Lebih-lebih Thio Tan Hong, dia lebih suka menyerah kepada ke lemah lembutan daripada kekerasan. Aku lebih percaya mereka itu lebih suka mengorbankan diri daripada menyerah secara terhina..."

Perdana menteri itu berhenti sebentar, terdengar dia menghela napas.

"Thio Tan Hong itu pandai ilmu surat dan silat, dialah satu anak pandai," dia berkata pula. "Maka sayang sekali dia tidak sudi bekerja di pihakku, sebaliknya di mana-mana dia justeru mengganggu aku. Orang semacam dia itu jikalau diijinkan pulang ke negerinya,dia mesti akan menjadi ancaman bencana bagiku. Ah, harap saja seperti katamu dia suka menyerah kepadaku, jikalau tidak, dengan tidak pedulikan kesusahan hatinya Topuhua,harus aku singkirkan padanya!"

Yasian ini sudah dengar keterangannya Ngochito dan Ma I Tjan, maka tahulah dia,orang yang menolongi In Tiong yang membekuk See Too, yang memusnahkan lima ratus serdadu pilihannya, semuanya itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, maka itu ia kaget berbareng gusar sekali. Tentu saja, karena perbuatan Tan Hong itu, hendak ia membalas sakit hati. Demikian ia kirim Ngochito ke rumahnya Tjong Tjioe, untuk ancam Tjong Tjioe dan Tan Hong menyerah terhadapnya. Kalau Tjong Tjioe dan puteranya terpaksa ditembak mati dengan meriam, itu harus dilakukan sesudah berangkatnya utusan kerajaan Beng.

Terbangun bulu ramanya Topuhua mendengar tindakannya ayahnya itu, ia kaget dan sangat berkuatir untuk Tan Hong. Nyata sekali bahwa Tan Hong terancam bahaya maut.

Ia menjadi bergelisah di waktu ia mendengar suara kentongan sudah tiga kali. Itulah tanda bahwa segera juga sang fajar akan menyingsing.

Syukur juga, setelah bicara sampai di situ, Yasian dan hambanya pada undurkan diri.

Topuhua sudah lantas undurkan diri ke dalam kamarnya. Ia hanya bingung juga disebabkan kamarnya berada di depan kamar ayahnya itu, selagi ia rebahkan diri untuk berpura-pura tidur, kamar ayahnya itu masih terang dengan cahaya apinya, malah di antara kain jendela terlihat satu tubuh jalan mundar-mandir menandakan sang ayah masih belum naik tidur. Mestinya ayah itu pun tengah bergelisah...

"Aku mesti tolong Tan Hong!" demikian nona ini ambil putusan. Akan tetapi ia bingung juga bagaimana ia dapat keluar dari kamarnya selama ayahnya itu belum tidur pules.
Hatinya nona ini terus memukul keras, matanya senantiasa mengawasi ke kamar ayahnya. Ia mengharap-harap supaya ayahnya lekas naik tidur. Lama rasanya ia menantikan, di akhirnya, dapat ia bernapas lega. Ia lihat api di kamar ayahnya telah padam! Ia lantas lompat bangun dari pembaringannya. Tapi mendadak ia ingat bahwa di luar kamar ada orang yang menjaga. Mungkin orang itu tidak berani merintangi padanya tetapi dia bisa membanguni ayahnya. Maka ia mesti berpikir pula. Dengan hati-hati nona ini membanguni budaknya, yang tidur dalam satu kamar dengannya.

"Lekas ambil dua poci arak," ia perintahkan. "Kau bawa dan kasihkan kepada dua pahlawan yang menjaga di taman. Katakan kepada mereka bahwa karena hawa udara dingin, Thaysoe sengaja hadiahkan mereka arak."

Sementara itu nona ini telah masuki obat pules, ke dalam arak itu.

Selama menantikan lebih jauh, hatinya Topuhua terus memukul. Sekarang ia pun kuatirkan kedua pahlawan tidak kena dipedayai. Ia memasang kuping terus. Bahna tegangnya hatinya, ia ingin dapat menahan jalannya sang waktu.

Akhirnya...

Budak perempuan tadi muncul dengan warta yang melegakan hati.

"Mereka minum tanpa curiga, keduanya telah tertidur," demikian berkata budak itu,yang telah sekalian layani kedua pahlawan, supaya ia bisa mendapat kepastian dari hasilnya obat pules.

Topuhua sudah salin pakaian, ia telah mengenakan pakaian untuk jalan malam, maka setelah perintahkan budaknya berdiam di dalam kamarnya, ia segera lari keluar. Dengan hati-hati ia menyelusup di taman bunga, akan akhirnya lompat naik ke atas tembok, akan keluar dari gedungnya.

Ketika itu tepat kentongan berbunyi empat kali. Pada malam itu, juga In Tiong tak dapat tidur tenang. Karena ia sangat bergembira dengan hasil tugasnya itu. Bukankah raja Watzu telah terima baik perdamaian? Maka besok hendak ia berangkat pulang ke negerinya. Ia akan pulang bersama Thaysianghong Kie Tin, kaisar tua yang ditawan musuh itu. Di pintu kota menteri dan raja akan bertemu, untuk berangkat bersama-sama.

Itulah suatu kehormatan besar untuk pihak kerajaan Beng, karena In Tiong sebagai utusan tidak usah pergi pula ke istana raja untuk pamitan. Dia akan pamitan sekalian di luar kota saja.

Malam itu rembulan dan bintang-bintang ada terang sekali, cahayanya permai. Sambil meloneng, In Tiong gadangi si Puteri Malam.

"Melihat indahnya malam ini, besok tentulah udara terang", berpikir cucunya In Tjeng itu. "Musim dingin telah lalu, diganti dengan datangnya musim semi, di waktu begini pulang ke negeri sendiri, bagaimana menyenangkan! Sri Baginda juga tentu sangat gembira!"

In Tiong pun bersyukur dan bergirang karena ia telah tidak membikin gagal tugasnya hingga ia tidak mendatangkan kehinaan untuk negaranya. Perdamaian telah didapat, raja yang tua juga bakal diajak pulang. Di dalam sejarah, hal ini adalah peristiwa yang jarang terjadi.

Akan tetapi dalam kegembiraannya itu, ada satu hal yang membikin In Tiong merasa sedikit tertekan. Itulah yang mengenai ayah dan ibu serta adiknya. Ia berbareng menantikan mereka tetapi mereka masih tidak kunjung datang. Mustahil mereka belum katahui tentang beradanya ia di negeri Watzu ini? Apakah mungkin San Bin tidak dapat ketemui mereka untuk memberitakannya? Karenanya, ia jadi berpikir.

In Tiong telah memikir untuk menanti lebih lama beberapa hari, akan tetapi di luar dugaannya bahwa perundingan perdamaian telah berjalan demikian lancar dengan dilakukannya penandatanganan. Kie Tin pun mendesak untuk lekas-lekas berangkat pulang. Maka itu, cara bagaimana ia dapat menunda keberangkatannya itu?

Kie Tin ingin lekas pulang, karena ia ingin lekas-lekas naik pula atas tahtanya. Ia seperti tidak mempedulikan hal di negerinya sudah ada raja yang baharu, bahwa soal itu mungkin akan menimbulkan kesulitan. Tentu saja karena keinginannya ini, ia tidak mau pikirkan In Tiong ada punya lain urusan atau tidak.

Sambil menggadangi si Puteri Malam, In Tiong juga ingat kepada Thio Tan Hong. Dia ingat budi orang. Berhasilnya tugasnya ini juga sebagian besar disebabkan bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu. Maka ia merasa sangat menyesal yang di antara kedua keluarga ada permusuhan besar. Ia tidak dapat pergi ke rumah Tan Hong, ke rumah musuh kakeknya. Tan Hong sendiri pun tidak dapat mengunjungi padanya. Maka hal ini membuat ia masgul.

Mengenai permusuhan kedua keluarga, Tantai Mie Ming telah berikan jasa baiknya,Jenderal ini telah jelaskan kepada In Tiong perihal cita-citanya Tjong Tjioe, bahwa Tan Hong tidak mengandung sesuatu prasangka. Maka ia dianjurkan suka bersahabat dengan Tan Hong, supaya permusuhan dapat dihabiskan. Tapi di depan matanya berbayang surat wasiat kakeknya itu, ia jadi bersangsi. Tidak dapat ia pergi ke rumah musuhnya. Toh ia merasa berat akan berpisah dari anak muda she Thio itu, tetap ia ingat budi orang...

"Mungkinkah besok Tan Hong datang untuk berangkat bersama-sama aku?" demikian In Tiong pikir.

Karena pikirannya ini, hati In Tiong menjadi bertentangan sendirinya. Di satu pihak ia ingin Tan Hong datang untuk berangkat bersama, di lain pihak ia harap-harap si anak muda tidak muncul...

"Jikalau dia datang dan berangkat bersama aku, bagaimana nanti aku dengan ayahku?" demikian kesangsiannya. "Bagaimana dengan In Loei? Dapatkah In Loei mengurbankan perasaan hatinya? Bukankah nanti, ayah akan caci aku dan In Loei sebagai anak-anak poethauw?"

In Tiong kuatir dikatakan sebagai anak poethauw —tidak berbakti. Maka itu, ia lantas menjadi menyesal dan berduka. Kusut pikirannya memikirkan permusuhan turun temurun itu.

In Tiong meloneng terus, sampai jam empat. Di saat ia memikir untuk masuk tidur,untuk dapat melupakan segala apa, satu pengiringnya datang dengan tindakan cepat.

Iapun dengar suara berisik di sebelah luar.

"Ada apa?" ia tanya.
"Seorang yang bertopeng, yang mengenakan pakaian untuk jalan malam, telah nerobos masuk kemari, dia ingin sangat menghadap thaydjin," demikian ia diberitahukan. "Dia masuk dengan jalan melompati tembok. Kelihatannya dia sebagai orang jahat tetapi mungkin bukan..."

In Tiong menjadi heran.

"Baik, bawa dia menghadap!" ia berkata akhirnya. Ia berpikir dengan cepat.
Dengan lekas satu anak muda dengan pakaian serba hitam dibawa masuk, mukanya bertutupkan topeng, dandanannya sebagai orang Mongol, tetapi tubuhnya kecil dan langsing, sangat berbeda dengan kebanyakan pahlawan Mongolia.

"Kau ada punya urusan apa, waktu tengah malam begini datang untuk mohon bertemu dengan aku?" In Tiong segera menanya. "Siapakah yang menitahkan kau datang kemari?"Anak muda itu, yang nampak cuma sepasang matanya yang celi sekali, mata itu memain dengan tajam.
"Mohon thaydjin suruh mundur dahulu orang di kiri kanan," katanya pelahan.
Tentu saja permintaan ini sangat mencurigakan, maka orang-orangnya si utusan justeru maju semakin dekat.
"Hati-hati thaydjin memperingatkan yang satu, sedang kawannya maju untuk menggeledah.
Si anak muda mundur, sinar matanya menyatakan ia berdongkol dan gusar.

In Tiong lihat sikap orang itu.
"Pergi kamu mundur!" ia titahkan orang-orangnya sambil memberi tanda dengan tangannya. "Kami perutusan dari negara besar, kami biasa bersikap baik terhadap siapa juga, jangan kamu kuatir."

Dengan terpaksa pengiring-pengiring itu undurkan diri.
In Tiong sendiri yang tutup pintu.
"Sekarang kau dapat berbicara, bukan?" ia bertanya sambil tertawa.
Tetamu tidak diundang itu singkap topengnya begitupun mantelnya, maka terlihatlah ia sebagai satu nona bangsa Mongol yang cantik.
"Aku ialah puterinya Yasian!" demikian kata-katanya yang pertama.

In Tiong terkejut. Ia sudah menduga pasti bahwa orang satu nona, tetapi yang ia tidak sangka bahwa nona ini ada puterinya perdana menteri Watzu itu.

"Silakan duduk!" ia segera mengundang. Ia agak heran atas maksud kedatangan nona ini. "Ada urusan apakah ayahmu dengan aku? Kenapa ayahmu kirim kau kemari nona?"

Ia menerka Yasian ada punya urusan penting.

Nona itu, ialah Topuhua, menggeleng kepala. Itu adalah tanda bahwa ia bukan utusan ayahnya.
Tentu saja, utusan Beng itu menjadi semakin heran. Ia mengawasi, ia tampak roman yang gelisah dari nona itu.

"In Thaydjin, bukankah kau sahabat baiknya Thio Tan Hong?" nona itu lalu menanya.
"Aku maksudkan, bukankah Tan Hong sahabat baikmu?"
"Habis kenapa?" In Tiong balik menanya.
"Sekarang ini sudah jam empat," berkata si nona, yang tidak menjawab pertanyaan
orang, "sebentar lagi asal sudah terang tanah, Thio Tan Hong serumah tangga, tua dan muda, akan musnah menjadi abu yang beterbangan! Maka sekarang ini, jiwanya Tan Hong itu tergantung di ujung tanganmu! Kau hendak menolong dia atau tidak?"

Kembali In Tiong menjadi kaget. Tentu saja, keheranannya pun bertambah.
"Sebenarnya, urusan apakah itu?" ia bertanya.

Masih Topuhua tidak menjawab langsung.

"Ayahku sangat benci padanya sebab dia telah bantu padamu, In Thaydjin," ia menjawab, "ayah pun lebih takut lagi kalau Tan Hong pulang ke negerinya, di sana dikuatirkan dia lebih membahayakan negeri Watzu, maka itu ayah telah kirim pasukannya mengurung gedungnya Thio Tjong Tjioe. Sebegitu langit terang, sebentar, gedungnya itu mau ditembak dengan meriam!"

Walaupun dia kaget dan berkuatir, In Tiong masih dapat berlaku tenang.

"Bagaimana caranya aku dapat menolong padanya?" ia tanya.
"Segera sekarang juga kau pergi kepadanya!" sahut si nona.

Oleh karena kecerdasannya, segera In Tiong mengerti. Bukankah ia utusannya Tionggoan? Bukankah dengan ia pergi ke rumah Tan Hong itu, Yasian tidak akan berani tembak gedungnya Thio Tjong Tjioe itu? Bukankah Tan Hong perlu dengan pertolongannya? Terang sudah, Yasian hendak menembak Tan Hong sesudah ia berlalu,supaya ia tidak ketahui kejadian itu.

Biar bagaimana, sekarang hati In Tiong menjadi sangat gelisah, bagaikan gelombang diserang badai. Kalau ia pergi kepada Tan Hong, itu artinya ia injak rumah musuhnya! Itulah hal yang ia sebegitu jauh tak sudi melakukannya! Dengan pergi ke sana, ia pun mungkin akan membikin gagal Keberangkata nnya ! Sekarang adalah saatnya ia bersiapsiap untuk berangkat keluar kota, guna berangkat pulang. Di sana ia harus menemui raja Watzu serta rajanya sendiri yang tua...

Dengan kedua matanya yang tajam, Topuhua mengawasi utusan Tionggoan itu.
Kesangsian orang membuat ia gelisah, hatinya berdenyut keras, hingga air matanya hendak mengucur keluar.

"Kau hendak menolongi atau tidak?" akhirnya ia tanya sebab orang masih berdiam saja.

Pikirannya In Tiong pun menjadi sangat kusut, di depan kelopak matanya berbayang roman Tan Hong yang demikian halus dan sopan tetapi gagah dan keren, orang yang telah menolong padanya di saat ia terancam bahaya. Lalu berbayang pula roman Tan Hong tengah bersenyum berseri-seri...

Dapatkah orang dengan roman demikian tidak ditolongnya? Bisakah dia itu dibiarkan menerima kematiannya? Tegakah hatinya?.

Tidak menanti sampai Topuhua mengulangkan pertanyaannya, In Tiong sudah berlompat ke pintu, untuk pentang itu sekeras-kerasnya.

"Lekas kirim dua orang ke istana raja Watzu!" demikian serunya. "Sekarang juga! Beritahukan pada pembesar pengawal pintu raja itu supaya disampaikan kepada rajanya bahwa besok aku batal berangkat!"

Mendengar suara sep itu, semua pengiring datang berkumpul.

"Kamu lekas dandan, mari kamu turut aku!" In Tiong menitah pula. "Aku hendak
mengunjungi Thio Tjong Tjioe!"

Pada detik ini lupalah In Tiong kepada sumpahnya bahwa sekalipun sampai mati tak
nanti ia injak rumah musuhnya.

Suara berisik itu membikin bangun Tamtay Keng Beng dari tidurnya. Nona ini segera muncul di ambang pintu. Kamarnya memang tidak terpisah jauh dari kamar utusan Tionggoan itu. Maka ia heran akan menampak di depan kamar tidurnya In Tiong ada satu nona Mongol yang cantik — nona itu penuh air mata pada mukanya tetapi dia bersenyum berseri, sedang tangannya menyekal keras tangannya In Tiong! .

Adalah selagi Nona Keng Beng ini berdiri tercengang, ia dengar In Tiong mengatakan hendak pergi mengunjungi Thio Tjong Tjioe. Tentu saja ia menjadi bertambah-tambah heran.

"Bagus, adik Tamtay!" In Tiong berseru ketika ia tampak nona itu. "Mari, kau pun turut!" Keng Beng heran dan kaget, ia pun menjadi sangat kegirangan. Sesaat itu, saking girang nya , ia sampai lupa segala apa.

"Sebenarnya kita sudah mesti pergi sejak siang-siang!" serunya dengan nyaring. Ia tertawa tetapi air matanya mengucur keluar. Telah meluap kegirangannya itu.

Baharu setelah itu, ia tegur Topuhua, untuk saling belajar kenal.

Gedung tetamu itu, yang menjadi gedung perutusan Tionggoan, tidak terpisah jauh dari
istana raja Watzu, juga terpisahnya dari rumahnya keluarga Thio cuma kira-kira tujuh lie,
maka untuk sampai di sana, apapula dengan menunggang kuda yang dikaburkan keras,
tidak makan banyak tempo.

Di waktu jauh malam seperti itu, dalam kesunyian, berlari-larinya kuda telah menyebabkan beberapa penduduk terbangun dengan kaget dari tidurnya, akan tetapi In Tiong membawa lentera pertandaannya sebagai perutusan Tionggoan, tidak ada orang yang berani merintanginya. Ia pun sengaja ambil jalan kecil, supaya ia tidak usah lewat di dekat istana raja. Akau tetapi tepat di waktu ia baharu muncul dari Jalan Anggur jalan terbesar di kota raja Watzu itu, diujung jalan yang menikung ke barat, di mana akan tampak gedung keluarga Thio, mendadak ada satu penunggang kuda yang menghalang di hadapannya. "Aku adalah utusan Kaisar Beng! Siapa berani halangi aku?" In Tiong membentak. Ia kaget dan heran tetapi ia tidak takut. Ia majukan kudanya.

Penunggang kuda itu adalah seorang yang gesit gerakannya, kudanya terbentur keras dan ia terjungkal dari kudanya, akan tetapi ia dapat jumpalitkan diri, hingga ketika ia sampai di tanah, bisa terus berlutut di depan utusan itu, dengan kedua tangannya ia angsurkan kimpay tinggi-tinggi.

"Inilah firman dari Kaisar Beng! In Thaydjin di minta menerimanya!" demikian ia perdengarkan suaranya yang nyaring.

In Tiong terkejut, ia segera mengawasi, sedang pengikutnya maju ke depan, akan angkat tinggi lenteranya, untuk menyuluhi. Maka segera utusan itu kenali siapa pembawa firman itu, ialah salah satu siewie dari Kaisar Kie Tin yang kena di tawan bersama junjungannya dalam peperangan di Touwbokpo.

Memang, waktu Kaisar Kie Tin ditawan, bersama ia telah ditawan lima pahlawannya,yang menjadi sisa-sisa hidup. Mulanya ke lima pahlawan itu di penjarakan terpisah dari rajanya, tetapi sejak datangnya In Tiong dan didapatnya perdamaian, mereka diserahkan kepada junjungannya, hingga mereka menjadi kumpul bersama, dapat mereka temani pula raja mereka.

Kimpay, atau sehelai emas berukiran, yang menjadi barang pertandaan titah dari kaisar, biasa dikeluarkan terhadap suatu panglima perang. Di jaman Ahala Song, ketika Gak Hoei difitnah, dua belas kali dia telah di kirimkan kimpay untuk memanggil dia pulang dari medan perang. Sekarang Kie Tin gunai itu untuk memanggil In Tiong. Ia tahu ia masih termasuk "raja tawanan, supaya In Tiong mempercayainya, ia sengaja berikuti suratnya untuk memanggil utusan itu datang menghadap padanya. Kimpay diberikuti surat kaisar sendiri, titah pun dilakukan di waktu malam buta rata, bisalah dimengerti bahwa urusannya mesti sungguh penting. Maka itu In Tiong menjadi terkejut dan bingung. Ia telah lihat, kimpay dan surat tidaklah palsu.

Tempo tinggal hanya kira-kira satu jam! Lagi satu jam langit akan menjadi terang!.

Dapatkah ia pergi menghadap dahulu kepada rajanya itu? Itu berarti Tan Hong serumah
tangga akan habis dihajar meriam! Jikalau dia tidak taati firman, itu pun suatu kesalahan
besar!.

Bagaimana sekarang?

"Kita pergi dulu ke rumah keluarga Thio, setelah itu baharu kita pergi pada raja!" berkata Keng Beng ketika menyaksikan utusan itu masih saja terbenam dalam kesangsian.

"Baiklah!" kata In Tiong akhirnya. Siewie pembawa kimpay dan firman masih bertekuk lutut di depan kuda In Tiong. Tidak berani ia berbangkit bangun.

"Pergilah kau kembali!" In Tiong lantas berkata, "kau beritahukan Sri Baginda, besok pagi kita tunda keberangkatan kita. Paling lambat sampai tengah hari, akan aku menghadap Sri Baginda!"

Masih saja siewie itu berlutut, tidak mau dia kembali tanpa bersama utusan itu.

Justeru itu, dari arah belakang mereka, terdengar suara kelenengan kuda yang riuh.

Segera tertampak satu penunggang kuda tengah kabur mendatangi. Setibanya segera penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya dan berlutut di depan sang utusan! .

Dia juga siewie, salah satu pahlawannya Kaisar Kie Tin. Seperti siewie yang pertama,dia pun membawa kimpay berikut sehelai firman, kedua-duanya itu ia angkat tinggi di atasan kepalanya, untuk dihaturkan kepada sang utusan.

Firman itu berbunyi: "Utusan In Tiong segera menghadap Kaisar di istana!" Kali ini ada
tambahan satu huruf "segera."

Gemetar tangannya In Tiong selagi ia sambuti firman itu. Ia benar-benar bingung. Ia mejadi gelisah sendirinya, hatinya sangat tegang.

"Peduli apa firman itu!" berteriak Topuhua. "Mari kita pergi lakukan tugas kita!..."

Belum berhenti suaranya puterinya Yasian ini, kembali terlihat satu kuda dilarikan sangat keras ke arah mereka.

"In Thaydjin, sambut firman!" demikian teriaknya penunggang kuda itu.

Kali ini yang datang adalah bekas rekannya In Tiong, yaitu Hoan Tjoen adiknya Hoan Tiong, yang menjadi pahlawan paling dipercaya Kaisar Kie Tin. Dia angkat kimpay dengan sebelah tangan, tangannya yang lain dipakai menghaturkan firman. Bunyinya firman sama saja dengan firman yang kedua, hanya kali ini, pada huruf "segera" ditambahkan dua bundaran yang menandakan urusan ada lebih daripada penting.

"Hoan Siewie, sebenarnya apakah telah terjadi?" In Tiong tanya dalam bingungnya.
"Aku juga tidak tahu urusan apa itu," sahut Hoan Tjoen. "Aku cuma terima titah
langsung dari Sri Baginda yang menitahkan Thaydjin harus segera datang menghadap di
istana, tak dapat berlambat lagi." "

In Tiong menghela napas. Ia mengerti pentingnya kimpay dan firman panggilan itu, iapun sekarang berkuatir di istana ada terjadi sesuatu. Tidakkah tiga kali datang kimpay dan
firman saling susul? Maka di akhirnya, ia putar arah kudanya.
"Baiklah kamu pergi terlebih dahulu." ia kata kepada Keng Beng. Terus ia larikan balik kudanya, yang lantas diikuti ketiga siewie pembawa kimpay dan firman itu.

Tamtay Keng Beng menjadi sangat mendongkol dan penasaran. Sekarang ia telah ketahui dari Topuhua tentang bahaya yang mengancam keluarga Thio. Di dalam hatinya,ia kata: "Thio Tan Hong telah tolong pemerintah dan negara kerajaan Beng, sekarang kaisar yang tercelaka ini hendak permainkan jiwanya Tan Hong!" Akan tetapi In Tiong telah ambil putusannya, utusan itu sudah kembali, ia tidak dapat mencegahnya. Maka dengan terpaksa, dengan ajak delapan belas pengiringnya serta Topuhua ia lari terus ke rumah Tan Hong.

Ketika rombongan ini tiba di sebelah barat jalan besar utama, di situ telah bersiap sedia
pasukan dari thaywie dari ibu kota Watzu. Thaywie itu sama dengan pangkat Kioeboen
teetok dari pemerintah Beng.

Pemimpin dari barisan pengiring In Tiong segera maju ke depan.

"Kami datang atas titahnya In Thaydjin untuk mengunjungi Yoesinsiang kamu!" ia berkata. Dengan "Yoesinsiang," perdana menteri muda, ia maksudkan Thio Tjong Tjioe.

"Mana dia In Soesin kamu?" bertanya si thaywie Mongol.

"In Thaydjin baharu saja menerima panggilan untuk menghadap Sri Baginda di istana,segera ia akan datang." sahut kepala pengiring itu.

"Jikalau begitu, baik kita tunggu sampai In Soesin baharu kita bicara pula," bilang si thaywie. "Kami mendapat titah untuk melindungi utusan kerajaan Beng, dengan tidak adanya utusan kamu itu, kami tidak dapat bertanggung jawab."

Kepala pengiring itu menjadi berdiam.

"Mari kita terobos saja!" menganjurkan Topuhua. Baharu si nona berkata begitu, di depan mereka si thaywie sudah siap sedia dengan barisannya yang menantikan serbuan,selain anak panah, juga mereka itu mempunyai dadung-dadung kalakan kaki kuda.

Tamtay Keng Beng dan semua pengiringnya In Tiong menginsafinya, jikalau mereka memaksa nerobos masuk, urusan akan jadi hebat sekali, mungkin perhubungan di antara
kedua negara turut terganggu pula karenanya. Lagi pula dengan jumlah yang demikian
kecil, belum tentu mereka akan berhasil dengan serbuannya itu. Maka itu, mereka cegah
Topuhua.

"Mari kita bicara kepadanya," Nona Tamtay kata. Ketika itu si thaywie sudah masuk kedalam barisannya, pengiringnya In Tiong teriaki dia untuk diajak bicara, dia diam saja tidak menjawabnya.

Bukan main gelisahnya rombongan Nona Keng Beng ini, mereka bagaikan semut-semut di atas kwali panas. Bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali menantikan kembalinya In Tiong.

Mereka mungkin dapat bersabar untuk menanti tapi bagaimana dengan Tan Hong?
Dengan sendirinya, sang waktu berlewat terus. Tahu-tahu telah terdengar suara genta
di atas pintu kota, yang berbunyi lima kali. Menandakan cuaca akan menjadi terang.

Topuhua terpengaruh oleh kegelisahannya, tiba-tiba ia berseru, terus ia larikan kudanya
maju ke arah barisan, untuk pergi ke gedung perdana menteri muda. Keng Beng kaget, ia
mencoba mencegah tapi gagal.

Serdadu Mongol lihat mendatangi satu nona bangsanya, mereka heran, hingga walaupun panah telah siap sedia, mereka tidak berani menarik gendewanya untuk memanah si nona. Juga tukang mengalak kuda tidak berani gunakan dadungnya untuk bikin kuda si nona terjungkal.

Dalam cuaca masih remeng-remeng itu, tentera Mongol itu cuma lihat tubuh si nona dan kudanya yang lari mendatangi, mereka tidak bisa melihat tegas roman muka orang,adalah sesudah nona itu datang semakin dekat, di antara terangnya banyak obor, diantara mereka ada yang kenali puterinya perdana menteri mereka.

Di antara bangsa Mongol, pergaulan antara pria dan wanita tak ada pantangan seperti bang sa Han. Topuhua sendiri gemar sekali menunggang kuda dan main panah, maka itu ia banyak dikenal oleh perwira-perwira dan tentera-tentera bangsanya. Demikianlah kali ini, ia lantas dapat dikenali.

Si thaywie sudah lantas maju mencegat nona itu.

"Kami telah terima perintahnya Thaysoe untuk melarang orang luar datang kemari!" dia
memberitahukan.

Sepasang alisnya Topuhua bangun berdiri.

"Apakah aku orang luar?" dia menanya dengan bengis. "Aku juga sedang menjalankan
perintah ayahku! Aku mesti lewat!"

Dan ia keprak kudanya, untuk nerobos terus.

Thaywie itu heran menyaksikan puteri perdana menterinya itu muncul dari dalam rombongan pengiring-pengiringnya utusan Tionggoan, akan tetapi karena ia tahu betul si nona adalah puteri tersayang dari perdana menterinya itu, ia tidak berani bersikap keras,apa pula si nona sudah tunjukkan kemurkaannya. Terpaksa ia perintahkan pasukannya membagi jalan.

Setelah tembusi penjagaan, Topuhua menoleh ke arah timur sambil angkat kepalanya,dari itu ia telah melihat di pangkal langit sudah mulai memancar sedikit cahaya terang...

Di dalam gedung menteri muda orang pun bergelisah sekali, mereka juga bagaikan semut-semut di atas kwali panas, kecuali Thio Tjong Tjioe seorang. Ia tidak bergelisah sama sekali, ia tidak pikirkan soal kematian.

Juga Tan Hong tertampak tenang, hanya di dalam hatinya ia sangat masgul. Ia telah mesti menghadapi nasib hebat dengan di saat-saat terakhir itu ia tidak dapat melihat In Loei...

Semua hambanya menteri muda duduk berkumpul di kaki tembok pekarangan, dari luar tembok mereka sering-sering dengar suara dari pihak tentera Mongol yang tengah mengurung mereka. Itulah suara yang merupakan ancaman-ancaman maut.

Semua orang dengar bunyinya kentongan tiga kali, lalu empat kali. Di daerah Utara ini,sang malam agak lebih panjang, akan tetapi di saat genting sebagai ini, orang merasakan sang malam itu pendek...

Dengan tentu sang waktu berlalu, dan bayangan-bayangan dari kematian datang saling susul. Suara tentera di sebelah luar terdengar semakin tegas. Rasanya belum lama kentongan berbunyi empat kali, lalu datang menyusul yang ke lima kalinya.

Tan Hong menghela napas. Ia berlutut di depan ayahnya.

"Ayah hendak memesan apa?" ia bertanya.
Thio Tjong Tjioe usap-usap rambut puteranya itu. Ia tertawa.
"Jikalau aku mati pada satu tahun yang lalu, aku mati dengan mata tak meram," kata ayah ini, suaranya sabar.

"Tapi sekarang? Akhirnya kau telah melakukan sesuatu untuk Tiongkok! Dan aku? Aku juga telah dapat keluarkan sedikit dari tenagaku. Meskipun itu tak dapat menebus dosaku,aku toh merasa lega juga..."

Menteri muda ini tertawa, cuma suaranya tawar, bernada sedih.

Tan Hong angkat kepalanya mengawasi ayahnya. Hatinya bercekat akan tampak wajah ayah itu sedikit berubah. Ia berdiam. Di saat seperti itu, apa yang ia hendak tanyakan pula? Ia dapat merasa, di saat dari kematian itu, ia seperti berada semakin dekat dengan ayahnya itu. Sebelumnya ini, ia tak pernah merasakan berada demikian dekatnya....

Menyaksikan ayah dan anak itu, Tantai Mie Ming tertawa.

"Tjoekong, hari ini kita saling pamitan!" ia berkata. Lalu ia menjura tiga kali kepada junjungan itu.

Hamba yang setia ini sudah ambil putusan, sebelum peluru meriam musuh datang,hendak ia menghabiskan jiwanya dengan jalan membunuh diri! .

Ketika itu sudah jam lima, maka segera juga langit akan menjadi terang!
Sekonyong-konyong terdengar suara berisik dari sebelah luar tembok.

Cuaca belum lagi terang, apakah mereka hendak mulai menembak?" tanya Mie Ming. Ia seperti berkata seorang diri. Segera ia bersiap dengan sepasang gaetannya.
"Bukan! Tidak mungkin!" berkata Tan Hong.
"Kenapa bukan?" Mie Ming tanya.
"Rupanya ada orang yang datang..." menyahut Tan Hong. "Ah, orang tengah bertempur! Rupanya orang yang baharu datang itu telah bertempur dengan tentera Mongol itu...

Lantas saja anak muda ini lompat naik ke atas tembok, hingga ia tampak di tempat kira-kira setengah lie, ada tiga penunggang kuda yang datang menerjang bahagian belakang dari tentera Mongol itu, sedang tentera yang di sebelah depan juga agak kacau.

Di lain pihak, meriam besar masih tetap dihadapkan ke arah gedungnya! .

Tenteranya Ngochito adalah tentera pilihan, atas titahnya, tentera itu menyerang tiga penunggang kuda dengan anak panah mereka, serentak serangan itu, maka di sebelah depan mereka terlihat tiga ekor kuda lompat berjingkrak tinggi sekali dan rubuh, karena perut dan kempolannya semua tertancap anak-anak panah!

Liehay adalah ketiga panunggang kuda itu, selagi kuda mereka menjadi kurban, mereka sendiri bebas dari bahaya. Bertiga mereka membuang diri ketika hujan anak panah tiba.

Setelah itu mereka berlompatan maju dengan sangat cepatnya, senjata-senjata mereka perlihatkan berkelebatannya cahaya-cahaya putih dan hijau. Ketika mereka di panah pula,mereka semua menjatuhkan diri, hingga anak-anak panah melayang di atasan mereka.

Secara demikian mereka merangsak terus.

Tan Hong terus memasang mata, hingga akhirnya ia dapat melihat tegas tiga penyerbu itu, ialah Hongthianloei Tjio Eng si Geledek Menggetarkan Langit bersama dua saudara Hek Pek Moko, si Hantu Hitam dan Putih!
Hek Moko putar tongkat Leggiok thung-nya dan Pek Moko tongkat Pekgiok thung-nya,sedang Tjio Eng putar pedangnya, pedang Tjengkong Kiam. Itulah ketiga senjata yang memperlihatkan sinar-sinar hijau dan putih.

Setelah ketiga penyerbu itu datang dekat, tentera musuh tidak dapat menggunakan pula panah mereka. Mereka terpaksa maju mencegat sambil berkelahi dengan rapat.

Hek Moko dan Pek Moko mengamuk dengan masing-masing tongkatnya, mereka membuat kuda rubuh atau kabur dan musuh binasa, cuma musuh yang kosen yang bisa bangkit lagi untuk melakukan perlawanan lebih jauh.

Juga Tjio Eng telah menyerang dengan hebat sekali.

Di saat ketiga penyerbu itu mendatangi ke tengah tanpa ada orang yang bisa merintangi mereka, baharulah Pek San Hoatsoe yang menjadi sangat murka maju menghalau. Segera ia berhadapan dengan Hongthianloei yang dia lantas serang dengan pukulan "Tokpek Hoasan"="Menyerang gunung Hoasan" dengan tongkat sianthung-nya yang besar seperti cawan.

Imam ini adalah soeheng atau kakak seperguruan dari Tjeng Kok Hoatsoe. Ilmu silatnya ada terlebih liehay daripada Ngochito, maka itu bisalah dimengerti hebatnya serangannya ini.

Hongthianloei tidak jeri terhadap penyerangnya ini, ia malah gusar yang ia dirintangi,maka itu dengan berani ia angkat pedangnya dengan apa ia tangkis serangan dahsyat itu.

Di antara suara nyaring dari beradunya kedua senjata, lelatu api pun mencrat seperti kembang api.

"Rubuh!" Pek San Hoatsoe berseru.
Tubuh Tjio Eng nampak sedikit terhuyung, akan tetapi dia tersenyum.
"Tidak mungkin!" sahutnya sambil tertawa. Dan selagi tertawa, dengan sekonyongkonyong,dengan kesehatan bagaikan kilat, dia membalas menyerang.

Pek San Hoatsoe andalkan tenaganya yang besar, ia tidak sangka sekali yang ia telah menghadapi seorang lawan demikian tangguh, sedang ketika kedua senjata bentrok, ia sakit.

Tentu saja ia terkejut rasakan telapak tangannya, akan dapatkan musuh sudah menyerang pula, pedang menyambar-nyambar seperti tanpa manusianya, karena berbareng dengan itu, Tjio Eng berlompat ke arah belakangnya! .

Hongthianloei kesohor untuk tiga macam kepandaiannya. Ialah ilmu menimpuk dengan batu hoeihong tjio, pukulan tangan geledek Kengloei tjiang, dan pedang Liapin kiam,terutama dengan pedangnya itu ia telah menjagoi di kalangan Rimba Persilatan, dan sekarang ia menggunakan pedangnya yang liehay itu, hingga musuhnya lantas menjadi kewalahan.

Sekali diserang, Pek San Hoatsoe dapat berkelit, kedua kalinya ia berhasil juga mengelakan tubuhnya, tapi serangan kilat datangnya bertubi-tubi, maka untuk yang ketiga kalinya, ia mesti menangkis. Tak sempat ia berkelit terus-terusan.

"Kena!" berseru Tjio Eng selagi ia menyerang untuk ketiga kalinya itu.

Pukulan Liapin kiam tertangkis sianthung dari si imam, pedang itu tidak terpental seperti diharapkan imam itu. Sebab Tjio Eng telah gunai kepandaiannya. Pedang hanya tertangkis membal, untuk terus digoreskan ke pundak musuh! .
Syukur bagi Pek San Hoatsoe, dia telah pelajari ilmu kebal "Tiatpou san" = "Baju besi,"maka dia tidak terluka hebat, dia tidak sampai rubuh karenanya. Karena itu, ketika ia dapat menotok tanah, untuk membikin tubuhnya dapat berdiri terus, ia segera berlompat menyingkir jauh kira-kira setombak, agar musuh tidak dapat susul padanya. Adalah niatnya, setelah menaruh kaki, dia hendak balas menyerang musuh itu. tetapi ketika dia memutar tubuh, dia dapat kenyataan musuhnya itu sudah menyerbu ke dalam barisan! Bukan kepalang mendongkolnya imam ini. Dia telah ditinggalkan mentah-mentah oleh
lawannya itu! Maka dia berniat mengejarnya, untuk mana dia sampai berseru dengan keras.

Tiba-tiba, tengah dia umbar kemurkaannya, dia dengar dampratan dari arah depannya:
"Bangsat setan yang menyebalkan, mari rasai tongkatku!" Dia segera lihat musuh itu adalah seorang hitam, yang tengah berlari-lari ke arahnya. Untuk melampiaskan kemendongkolannya, dia lantas menyambut dengan sapuan tongkatnya! .

Lawan itu yang ternyata adalah Hek Moko, telah sampai dengan cepat, ketika ia disapu,ia menyambut dengan tangkisan tongkatnya, Lekgiok thung. Maka bentroklah kedua tongkat yang panjang bagaikan toya itu, suaranya nyaring dan hebat.

Kesudahan dari bentrokan itu membuat Pek San Hoatsoe, yang andalkan tenaganya yang besar, semangatnya seperti terbang bahna kagetnya. Tongkatnya telah terlepas dari cekalannya dan terpental terbang tinggi. Ia sungguh tidak sangka yang lawannya ada jauh lebih tangguh daripadanya.

Sementara itu, Hek Moko sudah menyerang, untuk membalasnya. Imam itu kecil hatinya, ia lompat ke samping jauhnya beberapa tindak untuk tolong dirinya. Akan tetapi apa lacur, justeru itu di sampingnya telah tiba Pek Moko, si Hantu Putih! "Hai, bangsat!" mendamprat si Hantu Putih ini, "di dunia ini ada jalan kau tidak mengambilnya, di akherat tidak ada pintu kau justeru memasukinya! Kau telah datang ke hadapanku, mari rasai tongkatku!"

Dan "Ser!" melayanglah tongkat Pekgiok thung menyapu ke arah imam itu, hingga orang tak sempat lagi berkelit, maka sambil perdengarkan suara berisik, di antara jeritannya juga, Pek San Hoatsoe rubuh terbanting, patah kedua kakinya! Selagi kedua Hantu merangsak seru, Tjio Eng telah dapat menoblos barisan musuh, terus saja ia perdengarkan suaranya yang nyaring: "Liong Kie Touwoet Tjio Eng dari Heksee tjhoeng mohon menghadap kepada Tjoekong."

Nyatalah Hongthianloei, ketua dari dusun Hekse tjhoeng itu, ada turunan pahlawan kesayangannya Thio Soe Seng, yang telah diberikan pangkat Liong Kin Touwoet, pangkat yang turun temurun, maka sekarang Tjio Eng telah tetap memakainya, dengan perkenalkan dirinya menyebut pangkat turunan itu. Secara begini juga ia masih tetap mengakui dan setia kepada junjungannya itu.

Thio Tjong Tjioe di dalam gedung dengar suaranya hamba itu, ia lantas saja mengucurkan air mata. Dengan pegangi pundak puteranya, ia menyuruh mendaki tembok pekarangan.

"Anak Hong, kau suruhlah dia lekas angkat kaki!" dia kata kepada anaknya itu.

Itu waktu juga telah terdengar teriakannya Hek Pek Moko: "Hai, Tan Hong, mengapa kau tidak menyerbu keluar? Sahabat-sahabat kekal telah datang, kau juga tidak menyambut?"
Nyatalah kedua hantu itu pun dapat menerobos pasukan musuh.

Tan Hong tertawa sedih. Ia baharu hendak buka mulutnya ketika matanya menampak pasukan yang mengurung gedungnya itu mendadak berpencar ke kedua jurusan, hingga terbukalah suatu lowongan bagaikan jalanan atau lorong, berbareng tertampak juga meriam besar, meriam yang dinamakan "Ang ie toapauw" = "meriam berbaju merah," yang telah ditujukan ke arah gedungnya. Tadinya meriam itu teraling oleh berlapislapisnya barisan, sekarang terlihat tegas nyata.

Menampak itu, Tjio Eng kaget bukan main.

Ngochito pun segera berseru: "Siapa bergerak lagi satu tindak, akan aku menembaknya!".

Ancaman ini dikeluarkan oleh karena Ngochito percaya betul, tiga penyerbu ini mesti ada punya hubungan yang erat dengan Tan Hong dan ayahnya. Tapi ia cuma mengancam belaka. Sebenarnya tidak dapat ia menembak Tjio Eng bertiga, oleh karena meriamnya itu tidak dapat digeser lekas-lekas sekehendaknya hati, sedang waktu itu bunyi genta lima kali baharu lewat belum lama. Sebelum terang tanah, dia tidak akan berani lancang menembak.

Apabila Tjio Eng bertiga lantas menyerbu, kurungan itu mungkin pecah, tetapi Hongthianloei jeri. Hek Pek Moko gusar bukan kepalang, keduanya lantas berkaok-kaok dalam bahasanya, bahasa India, yang lain orang tidak mengerti. Mereka juga tidak berani bergerak.

Ngochito saksikan gertakannya berhasil, ia tertawa besar. Ia lantas menuding dengan goloknya, ia perdengarkan pula suaranya yang nyaring: "Semua mundur sampai seratus tindak! Atau aku akan menembak!" .

Tjio Eng bertiga terpaksa menurut perintah itu, mereka mundur seratus tindak.

Ngochito lantas saja perintahkan sejumlah serdadunya mengampar besi cagak tiga yang tajam di antara tiga penyerbu itu dan batas gedung menteri muda. Di sebelah itu, ia siapkan seratus serdadu panah, untuk siap sedia dengan panah dan busurnya untuk memanah ketiga penyerbu kalau-kalau mereka itu turun tangan.

Tjio Eng bertiga jadi sangat berduka dan bingung. Sekarang tidak dapat mereka bergerak. Rintangan besi cagak tiga dan ancaman tukang-tukang panah itu ada sangat berbahaya.

Ketika itu sang rembulan sudah turun ke arah barat dan bintang-bintang telah banyak berkurang, di timur telah mulai terlihat cahaya sedikit terang, maka tidak lama lagi, jagat pasti akan menjadi terang benderang. Dengan pelahan-lahan cahaya gelap mulai berubah menjadi remeng-remeng, lalu dengan tentu, sinar putih mulai tertampak. Itulah pertanda sang pagi telah datang.

Menampak perubahan alam itu, Ngochito pentang lebar kedua matanya, ia angkat kepalanya, akan memandang ke arah tembok.

"Bagaimana?" dia menanya dengan bengis.

Thio Tan Hong bersikap tenang, dia tertawa dingin.

"Bagaimana apa?" dia balas menanya. "Bagiku, meskipun terbinasa, aku ada bagaikan hidup! Tapi bagimu, walaupun kau hidup, kau bagaikan mampus!"

"Thio Tan Hong!" Ngochito membentak pula. "Jikalau kau tetap membangkang, tak sudi menginsafi nya , aku cuma bisa menembak!"
"Kau tembaklah!" Tan Hong menantang. "Tak usah kau banyak bicara!"
"Akan aku menghitung dari satu hingga sepuluh!" Ngochito masih berkata. "Jikalau aku telah menghitung sepuluh tetapi kau masih diam saja, akan aku menembak! Bukankah semut juga masih menyayangi jiwanya? Maka kau pikirlah masak-masak..."

Tan Hong tertawa dingin, ia lompat turun dari tembok, sama sekali ia tidak menghiraukannya.

Sejenak itu, sunyilah di luar dan di dalam tembok pekarangan, di dalam kesunyian itu lalu terdengar suaranya Ngochito: "Satu!... Dua!... Tiga!... Empat!..." Ia telah mulai menghitung.

Tan Hong dengar hitungan itu, ia cekal keras tangan ayahnya. Tantai Mie Ming sebaliknya menyiapkan gaetannya, yang ia telah putar balik tajamnya ke arah dadanya.

Suasana ada sangat sunyi tapi tegang.

"Lima!...” terdengar pula suara Ngochito. "Enam!... Tujuh!... Delapan!... Sembilan!..."

Tantai Mie Ming sudah mulai gerakkan tangannya. Dia adalah seorang jenderal, dia cuma dapat membunuh diri tetapi tidak dapat dibunuh lain orang. Ujung gaetannya sudah menempel dengan dadanya, hingga tinggal sekali tolak dan tarik saja, dadanya itu bakal terluka sobek, perutnya akan pecah belarakan...

Sehabis hitungan "sembilan" itu, lama tak terdengar suara sambungannya. Adalah kemudian terdengar teriakan halus tapi nyaring dan tajam: "Dilarang menembak!"

"Ah, itulah suaranya seorang wanita!" seru Tantai Mie Ming, yang saking terperanjat dan herannya sudah lantas lompat naik ke atas tembok, perbuatan mana dibarengi Tan Hong, yang tak kurang terkejutnya.

Sekarang tertampak bahwa di sampingnya meriam besar ada satu orang nona Mongol sedang mengancam tukang tembak dengan goloknya.

"Topuhua!..." kata Tan Hong yang tapinya kaget juga. Ia heran.

Puterinya Yasian angkat kepalanya akan memandang ke arah tembok, terus ia tertawa.

Sekarang ini ia tidak berhias, rambutnya yang bagus pun kusut, tusuk kondenya cuma nyantel di rambutnya, hampir jatuh. Terang sudah bahwa ia telah datang dengan kesusu.

Ngochito memandang si nona dengan matanya terbuka lebar.

"Dilarang menembak?" dia tanya. "Siapakah yang perintahkan melarangnya?"
"Apakah kupingmu pekak?" si nona balik tanya. "Apakah kau tidak dengar nyata? Akulah yang melarangnya!"

Ngochito adalah pahlawannya Yasian, biasanya terhadap Topuhua ia sangat menurut malah bermuka-muka, maka itu si nona percaya ia akan dapat pengaruhi pahlawan ayahnya itu. Akan tetapi sekarang ini Ngochito telah dipesan si perdana menteri bahwa siapa pun tak dapat merintangi sepak terjangnya itu.

Maka itu dengan hormat sekali, Ngochito memberi hormatnya kepada puteri majikannya itu.
"Aku telah mendengar nyata sekali," ia menyahut. "Aku mohon tuan puteri suka menyingkir!" Lalu dengan mendadak ia berseru dengan titahnya: "Tembak!".

Kedua alisnya Topuhua menjadi bangun berdiri, bahna murkanya.
"Siapa menembak akan aku bunuh padanya!" ia mengancam, suaranya bengis.
"Ngochito, kau berani menentangi aku?".

Tukang tembak menjadi bersangsi, tangannya menyekali sumbu yang menyala. Tangan dan tubuhnya bergemetar. Tentu saja dia tidak berani menyulut meriamnya.

Ngochito pandang si nona, ia tertawa tawar.

"Aku cuma dengar titahnya Thaysoe." dia berkata.
"Ayahku menitahkan aku datang kemari justeru untuk sampaikan titahnya!" berkata si nona. "Ialah, jangan tembak!".

Sudah tentu Topuhua mengatakan demikian dengan terpaksa, dengan mendusta. Ia mengharap Ngochito nanti suka percaya kepadanya.

Akan tetapi pahlawan itu dengar suara orang agak menggetar, ia telah tampak roman tak wajar dari si nona, tidak dapat ia mempercayainya. Lagi-lagi ia memberi hormat sambil berkata: "Manakah titah surat tulisan tangannya Thaysoe pribadi?"

Topuhua masih tak sudi mengalah.

"Aku adalah puterinya, apakah aku mesti pakai juga surat titahnya?" dia membentak.

Ngochito menjura hingga tubuhnya melengkung.

"Tanpa ada bukti surat titah, maaf, aku tak dapat menerima baik titah ini," ia berkata pula, suaranya tetap hormat tetapi sikapnya keras. "Aku minta dengan hormat supaya tuan puteri suka mundur!" Terus saja ia berteriak pula dengan titahnya: "Tembak! Tembak! Atau aku akan bunuh padamu!"
Inilah titah bengis untuk serdadu tukang tembaknya.

Serdadu itu bergemetar kaki dan tangan, akan tetapi ia mentaati titah. Maka ia lantas sulut sumbunya.

Sekonyong-konyong satu tubuh berkelebat menyambar.

"Apakah kau sangka aku tidak berani bunuh padamu?" demikian satu pertanyaan yang mengancam.

Dan sebatang golok melayang! .

Serdadu tukang tembak itu belum sempat buka mulutnya, atau ia telah kena dibacok,menyusul mana, Topuhua menyambar dengan tangannya untuk memadamkan sumbu,sesudah mana, ia desakkan tubuhnya ke mulut meriam! .

"Siapa berani maju? Akan aku bunuh dia!" dia mengancam pula, suaranya sangat mendesak, suatu tanda bahwa dia sangat menahan napas.

Ngochito tidak sangka tuan puterinya itu demikian nekat, ia menjadi bingung. Ia boleh gagah melebihi Topuhua akan tetapi terhadap puterinya Yasian, majikannya, ia tak dapat langgar tubuh tuan puteri itu.

Di saat sangat tegang itu, satu penunggang kuda lari mendatangi. Begitu tiba, dia lompat turun dari kudanya.

"Kenapa masih belum menembak?" dia berteriak dengan pertanyaannya.

Dialah tjongkoan dari gedung perdana menteri, namanya Wotjaha.

"Tuan puteri melarang!" Ngochito beritahu.
Mukanya Wotjaha merah padam.

"Thaysoe menitahkan dengan lisan," dia berteriak, "siapapun dia larang mencegah titahnya! Siapa berani merintangi, dia mesti dibunuh mati! Inilah surat titahnya!"

Dan dia tunjukkan surat titah itu dalam mana ada dijelaskan, walaupun puterinya terbinasa, petugas yang menjalankan titah itu tetap ada berjasa! .

Hatinya Ngochito menjadi besar.

"Ma I Tjan, kau majulah!" ia beri titah kepada rekannya. "Kau minta tuan puteri suka menyingkir!"
Tentu saja itu bukannya "minta" hanya paksaan.

Topuhua menjadi kalap. "Siapa berani maju?" dia berteriak.

Sekarang rambutnya riap-riapan, tusuk kondenya telah terlepas jatuh. Dia nampaknya sangat beringas.

Wotjaha bertindak maju.

"Tuan puteri telah mendengar nyata!" dia berkata, suaranya dingin. "Lekas tuan puteri mundur, jangan membelar! Thaysoe menitahkan tuan puteri turut aku pulang!" .

Dengan sekonyong-konyong Topuhua menjerit dengan tangisannya. Bukan main berdukanya ia. Inilah untuk pertama kali ia mengenal tabiat ayahnya itu. Ia adalah puteri tunggal, biasanya ayahnya sangat menyayanginya, segala macam keinginannya tentu diiringi. Siapa nyana di saat ini, ayahnya telah keluarkan titah yang di luar dugaannya,sampaipun ia sendiri boleh turut dibunuhnya! Sungguh ia tidak dapat menerka bahwa ayahnya ada demikian kejam. Nyatalah kesayangan ayah itu adalah kesayangan palsu belaka! .

Di dalam dunia ini di mana ada lain urusan yang dapat membikin seorang anak perempuan menjadi berduka melebihi ini, apapula seorang anak perempuan sebagai Topuhua yang biasa dimanjakan?

"Percuma kau menangis," berkata Wotjaha selagi si nona umbar kedukaannya. "Jikalau kau tetap tidak hendak undurkan diri, aku akan berlaku tak sungkan-sungkan lagi! Mari lekas ikut aku pulang!"

Hebat kedukaannya Topuhua, lantas ia tak dapat menangis pula. Dengan tangan bajunya ia seka air matanya, tapi ia tak geser tubuhnya dari mulut meriam itu. Mukanya telah menjadi pucat, lenyap wajahnya yang cantik manis, sekarang romannya menjadi seram menakuti...

"Ma I Tjan, kau tarik dia, singkirkan padanya!" menitah Ngochito, yang cuma taat kepada titah, hingga hilang rasa peri kemanusiaannya. Ia tak ingat lagi kepada puteri majikannya itu.

Ma I Tjan ini adalah pahlawan yang tubuhnya telah dicacahkan huruf "bangsat" oleh Tan Hong, ia memang tak dapat jalan untuk melampiaskan penasarannya itu, sekarang ia saksikan kelakuannya si puteri, ia menjadi sengit. Ia memang ingin sangat memusnahkan .

Tan Hong serumah tangga. Tentu saja ia menjadi tidak senang dan gusar ada orang menghalangi kebinasaannya musuhnya itu! Maka itu, justeru ada titahnya Thaysoe Yasian,ia menjadi besar nyalinya. Ia terus maju menghampirkan Topuhua, untuk sambar tangan bajunya guna ditarik! .

"Foei!" si nona berludah. Maka tubuhnya Ma I Tjan menjadi kotor.
Pahlawan itu melengak sebentar, lalu ia gerakkan tangannya untuk mencekuk bahu nona itu. Ia berhasil, hingga kedua tangan Topuhua kena di telikung ke belakang sebelum nona itu sempat berdaya.

Ma I Tjan gagah melebihi nona itu, gerakannya pun sangat liehay, tidak heran kalau dia berhasil dengan aksinya itu.

Topuhua juga tidak sangka orang ada demikian berani, ia menjadi tidak berdaya. Akan tetapi kemurkaannya telah meluap-luap, ia menjadi nekat. Justeru tubuhnya dibetot, ia sekalian tubrukkan diri kepada tubuh Ma I Tjan. Ketika ini ia gunai untuk menggigit pundaknya pahlawan itu! .

Ma I Tjan kaget bukan kepalang, sakitnya pun bukan buatan! Inilah hal yang tidak pernah disangka pahlawan ini. Memang orang bangsa Mongol tidak keras adat istiadatnya sebagai bangsa Han yang melarang wanita dan pria sembarang "berjabat tangan" atau menempelkan anggauta tubuh satu dengan lain, tetapi biar bagaimana, Ma I Tjan tahu, ia tetap ada di antara majikan dan hamba dengan tuan puteri ini. Saking kaget dan sakit, ia terpaksa lepaskan cekalannya.

"Jangan pantang-pantang lagi! Hajar dia sampai pingsan!" Wotjaha memerintahkan sambil berseru.
Ma I Tjan lantas sadar, ia turut titah. Ia lantas lompat maju kepada si nona.

Tiba-tiba! , "Ser! Ser!" demikian suatu suara menyambar.

Topuhua membekal panah tangan, barusan kedua tangannya tertelikung, dia tidak berdaya, sekarang setelah merdeka, justeru Ma I Tjan maju, dia lantas saja menyerang.

Panah itu adalah panah beracun, yang biasa dipakai di waktu berburu binatang alas.
Sekarang panah itu digunakan dari jarak yang dekat sekali. Maka tanpa ampun lagi Ma I Tjan kena terpanah, masing-masing di bahagian kedua hatinya.

Akan tetapi Topuhua juga telah kena terpukul sampai rubuh.

Wotjaha kaget, dia lompat maju.

Topuhua berlompat bangun sebelum wakilnya Yasian itu sampai kepadanya, dia berteriak: "Thio Toako, bukannya aku tidak hendak menolongi kau tetapi aku tidak berdaya dengan setakar tenagaku!" Lalu dengan goloknya ia tikam dadanya sendiri, di waktu tubuhnya terhuyung-huyung hendak jatuh, ia jambret meriam dengan kedua tangannya, hingga ia dapat peluki mulut meriam itu! .

Tan Hong berada di atas tembok pekarangannya, dia menyaksikan kejadian itu dengan tegas sekali, ia menjadi tercengang. Sungguh ia tidak sangka si nona menyintai dia demikian rupa, hingga sekarang nona itu berkurban untuknya. Tentu saja, ia menjadi sangat berduka, lenyap kesannya yang tak manis terhadap puteri Yasian itu. Tadinya ia menyangka si nona centil. Mendadak ia menangis.

"Oh, adik Topuhua..." ia mengeluh. "Aku terima cintamu!..."
Akan tetapi Topuhua telah binasa, dia tidak dapat mendengar suara kekasihnya itu yang memanggil dia adik...

Topuhua tidak terbinasa sendirian, Ma I Tjan pun melayang jiwanya bersama ia. Parah lukanya pahlawan itu disebabkan sepasang panah beracun, jiwanya putus seketika itu juga, hingga tubuhnya tidak berkutik lagi.
Ma I Tjan terbinasa, Topuhua juga bunuh diri, inilah di luar dugaannya Wotjaha beramai. Mereka itu semua tergugu, tidak ada yang membuka suara. Baharu kemudian,Wotjaha yang pecahkan kesunyian.

"Singkirkan tubuhnya itu! Tembak!" demikian titahnya pula.

Ngochito maju, dia kerahkan tenaganya akan tarik kedua tangannya si nona, supaya pelukannya nona itu kepada meriam terlepas.

Nona itu mengucurkan banyak darah yang membasahi meriam.

Menampak demikian, Ngochito memalingkan mukanya, tidak berani ia mengawasi wajah bengis dari puteri itu, yang mati tak puas. Dengan hanya satu gerakan tangan, ia bikin tubuh si nona jatuh di sisi meriam. Setelah itu, ia gantikan si serdadu tukang tembak, ia nyalakan sumbu, ia sulut meriamnya, lantas ia lompat jauh ke samping! .

Tan Hong juga tidak dapat menonton lagi. Dia lompat turun untuk dengan tangannya yang kiri menarik ayahnya dan dengan tangan kanan membetot Tantai Mie Ming. Sembari tertawa, tertawa sedih, ia kata: "Ayah! Tantai Tjiangkoen1. Hari ini mari kita pergi bersama!..."

Tantai Mie Ming tidak lihat apa yang terjadi di luar tembok itu akan tetapi ia telah dengar titahnya
Ngochito, ia tidak memikir hidup lebih lama pula, lantas saja ia angkat gaetannya...

Sementara itu In Tiong, dengan hati tidak keruan, telah pergi kepada Kie Tin, untuk menghadap junjungannya.

Kie Tin di tempatkan di sebuah gedung di samping kanan istana raja Watzu, ke sana In Tiong menuju dengan ditemani tiga pahlawan. Kapan pintu istana telah dibuka, orang melalui sebuah lorong yang berliku-liku. Di akhirnya, sampai juga orang di istana samping itu. Pengawal pintu segera masuk ke dalam untuk memberi laporan kepada Kie Tin perihal tibanya sang utusan.

Tidak lama, pengawal itu muncul kembali. "In Thaydjin diminta suka menanti di sini sampai ada panggilan," demikian katanya.

In Tiong heran. Ia memang tegang terus perasaannya, ia bergelisah.

"Sri Baginda memanggil aku untuk segera menghadap, mengapa sekarang aku mesti
menunggu?" dia tanya.

"Sri Baginda sedang dahar yan-o, dia belum dahar cukup," sahut pengawal itu, satu pahlawan.

In Tiong bergelisah terus, ia pun mendongkol sekali. Bukankah ia telah dipanggil berulangkah, dengan kimpay dan firman? Kenapa sekarang raja ada tenang-tenang saja? Apa artinya panggilan kilat itu?

Setelah berselang sekian lama baharu muncul seorang kebiri bangsa Mongol, yang dipinjamkan kepada Kaisar Kie Tin itu. Hamba ini mengucapkan kata-kata "mempersilakan."

In Tiong segera masuk ke dalam, bukannya dengan bertindak hanya dengan berlompat, dua tiga tindak menjadi satu. Setibanya di dalam ia tampak raja sedang duduk dengan tenang di kursi malas, empat orang kebiri tanggung yang raja Watzu kirim kepadanya tengah menumbuki bebokongnya dengan pelahan-lahan! .

Juga wajah raja ini sangat tenang, tidak menunjukkan ketegangan hati.
Dengan merasakan perutnya hampir meledak, In Tiong memberi hormat sambil berlutut. Tiga kali ia mengucapkan "BansweeV (Sri baginda panjang umur) "Menteriku, kau bangun dan duduklah!" berkata raja itu, juga dengan sangat tenang.

In Tiong merayap bangun tetapi ia tidak berduduk.

"Ada urusan penting apa maka Sri Baginda memanggil hambamu?" dia bertanya. Kie Tin batuk-batuk.

"Ya, ya, ada urusan penting sekali," dia menyahut kemudian. "Dengan mendadak saja aku ingat suatu hal. Besok kita akan berangkat pulang, tetapi sementara itu selama aku berada di negeri ini, aku toh telah menerima perlayanannya Raja Watzu. Dia adalah tuan rumah, aku adalah tetamu, dia menghormati aku, maka itu tak dapat aku tidak membalas hormatnya itu. Raja Watzu sendiri hendak mengantar aku berangkat, dia hendak mengantarnya sampai di luar kota. Kalau aku terima penghormatannya tanpa membalasnya, aku merasa itulah kurang tepat. Maka itu aku telah memikirnya, baiklah kau yang menyambut aku keluar dari istana ini, untuk terus keluar kota. Untuk pamitan dari raja Watzu, aku akan kirimkan surat kehormatan. Umpama kata raja Watzu tetap
hendak mengantarnya, maka kita boleh tunggui ia di luar kota di mana aku sambut dia.Ini baharu namanya kehormatan saling membalas..."

Demikianlah adanya "urusan penting sekali" yang dinamakan raja itu. Hampir saja perutnya In Tiong meledak bahna mendelunya. Sekarang sebaliknya dia menjadi bungkam, cuma wajahnya yang menjadi pucat pasi.

Kie Tin telah dibawa ke negeri Watzu di mana ia ditawan. Perlakuan bagaimana macam ia dapat sebagai raja tawanan? Mana kemerdekaannya? Tentang ini In Tiong telah mendengarnya dari Tan Hong. Tapi sekarang, raja ini melupakan derajatnya sebagai raja,raja dari Kerajaan Beng yang terbesar! Dia hendak mengirim surat mohon pamitan! .

Katanya dia hendak membalas penghormatan dengan penghormatan! .

Selagi bungkam, In Tiong melirik kepada ke empat orang kebiri, ia dapat kenyataan mereka itu pada bersenyum. Lantas saja hatinya bercekat.

"Adakah ini pikiran Sri Baginda sendiri?" tiba-tiba ia tanya.

Ditanya begitu, raja nampaknya terkejut. Segera wajahnya berubah.

"In Tiong, insyafkah kau akan kesalahan bicaramu?" dia menegur. "Tentu saja ini adalah pikiranku sendiri!"

Raja ini telah mendusta. Sebenarnya dia telah dijadikan perkakasnya Yasian.

Perdana Menteri Watzu itu menduga pasti, setelah minggatnya Topuhua, mungkin puterinya itu akan minta bantuannya In Tiong, maka itu di satu pihak ia mencoba untuk menghalang-halanginya, ialah dengan kirim Wotjaha kepada Ngochito, supaya ancaman kepada Thio Tjong Tjioe tetap diwujudkan, di lain pihak ia kirim utusan ke istana, untuk menemui Kie Tin, guna pedayai kaisar Beng itu sambil diancam dengan gertakan. Ia ajarkan Kie Tin bagaimana harus memanggil In Tiong datang menghadap. Inipun suatu akal bagus untuk cegah si utusan dapat pergi menolongi Tjong Tjioe.

Bahagian istana di mana Kie Tin ditahan berada di bawah pengaruhnya Yasian, tidak heran kalau di sini orangnya Perdana Menteri itu bisa keluar masuk dengan merdeka.

Untung bagi Perdana Menteri ini, Kie Tin kecil hatinya — raja ini takut dia tak diijinkan Perdana Menteri itu pulang ke negerinya, maka dia telah kena dibujuk dan digertak.

Begitulah dia pikir: "Janganlah karena urusan kecil ini nanti terjadi sesuatu perubahan..."
Demikian dia paksa In Tiong datang menghadap, sesudah mana, dia mencoba pakai
pengaruhnya sebagai raja untuk tindih utusan itu.

Sehabis menegur, Kie Tin ubah pula sikapnya.

"Mengingat dengan tugasmu ini kau telah peroleh jasa, aku tidak akan menghukum padamu," dia berkata pula. "Sekarang aku hendak mengirim surat pamitan kepada raja Watzu dan kau menantikan di sini, setelah sebentar aku sudah menghadiahkan semua pegawai istana di sini, setelah terang tanah, kita akan berangkat bersama."

In Tiong tidak berdiam saja atas sikap rajanya itu.

"Sri Baginda," katanya, "tak usah Sri Baginda mengirim surat pula, aku sendiri sudah memberitahu kannya kepada raja Watzu! Besok kita batal berangkat!"

Kaisar itu terkejut, hingga air mukanya berubah pula.

"Kau, kau bagaimana berani melancangi aku?" dia membentak.
"Oleh karena hambamu hendak melakukan kunjungan kepada Thio Tan Hong." In Tiong beritahu terus terang.

Kie Tin menjadi heran. Dia lantas tepuk meja.

"Kenapa kau hendak kunjungi Thio Tan Hong?" dia menegur. "Apakah kau tidak tahu bahwa dia ada turunannya pemberontak Thio Soe Seng? Bahwa aku telah tidak ringkus dia untuk dibawa pulang bersama dan dihukumnya, itu telah menandakan kemurahan hatiku! Bagaimana kau justeru hendak mengunjungi mereka? Hm, hm! Mana ada itu aturan?"

In Tiong tidak jadi gentar hatinya karena teguran itu.

"Sri Baginda, tahukah Sri Baginda akan duduknya perkara?" dia menanya. "Tahukah Sri Baginda sebab-sebabnya telah terdapat perdamaian di antara kedua negara dan Sri Baginda hendak disambut pulang? Ini memang benar ada kehendaknya Ie Kokioo, tetapi lebih benar bahwa semua ini adalah hasil usahanya Thio Tan Hong! Apabila tidak Thio Tan Hong yang ketahui betul keadaan di dalam negara Watzu dan ia memberitahukannya kepada Ie Kokioo, pihak kita belum tentu berani bersikap keras seperti sekarang terhadap negara Watzu ini!"

Mukanya Kie Tin menjadi pucat.

"Hm!" terdengar suaranya. Lalu dia bilang: "Jadinya, menurut kau ini, Thio Tan Hong itu adalah satu menteri yang setia dan berjasa?"
"Benar!" jawab In Tiong. "Dia bersetia untuk negara!"
"Kau berbicara untuk pemberontak, kebaikan apa kau dapat?" raja tanya.

In Tiong sangat mendongkol atas pertanyaan ini hingga hampir tak dapat ia bicara,tetapi ia menjadi kaget sekali ketika ia dengar lonceng istana berbunyi lima kali. Selama menghadapi junjungannya ini, ia sampai melupakan sang waktu.

Segera ia berkata: "Sekarang ini Yasian justeru hendak menembak keluarga Thio itu! Hambamu benar bermusuh sangat hebat dengan keluarga Thio itu, akan tetapi dengan hambamu bersedia menerima hukuman dari Sri Baginda, hendak hamba menolongi keluarga itu! Tentang kebaikan yang diterima, itulah tidak mengenai hambamu! Justeru Sri Bagindalah yang terima kebaikan dari Thio Tan Hong itu! Hanya sayang Sri Baginda masih belum mengetahuinya! Ie Kokioo telah mengumpulkan tentera suka rela dari seluruh negeri, dia dapat mengalahkan Yasian! Tahukah Sri Baginda dari mana datangnya
belanja atau rangsum untuk angkatan perang suka rela itu? Sebagian besar dari itu adalah Thio Tan Hong yang membelanjainya!"

Kedua matanya Kie Tin bagaikan terbalik, matanya itu mendelik.

"Apa? Apa kau bilang?" serunya berulang-ulang. "Apa... apakah kau menteri yang telah makan gaji dari kerajaan Beng yang besar berani bicara demikian? Kau berani belai padanya? Apakah benar kau berani lawan rajamu?"

Matanya In Tiong mengembeng air. Ketika ia melihat ke atas, ia dapatkan cuaca sudah mulai terang. Sedetik itu ia lantas ambil putusannya.

"Hambamu tahu, melawan raja berarti hukuman mati!" ia berkata. "Tapi sekarang juga hambamu hendak pergi ke rumah keluarga Thio itu! Nanti setelah itu, untuk balas budi Sri Baginda, hambamu bersedia untuk kurbankan dirinya! Sesudah hambamu mati baiklah Sri Baginda minta Ie Kokioo nanti mengirim utusan yang kedua untuk menyambut Sri Baginda pulang!..."

Mendengar perkataannya menteri itu, Kie Tin kaget tidak terkira. Apa yang dia harapkan siang dan malam adalah supaya dia dapat pulang ke negerinya, sekarang pengharapannya itu sudah tercapai, dia akan pulang besok untuk menjadi raja pula, maka bagaimana itu dapat dihalangi karena urusan In Tiong ini? — ya, urusan keluarga Thio itu? Kalau benar In Tiong buktikan perkataannya itu, yaitu dia ditinggal pergi, mana dapat dia pulang seorang diri? Sampai kapankah datangnya utusan yang kedua? Dan utusan yang kedua itu tentu tidak secakap In Tiong ini... Apakah karena itu mesti hancur lebur
impiannya setiap malam untuk berkuasa pula sebagai raja? .

Baharu sekarang ia merasa jeri. "Menteriku, marilah bicara secara baik-baik,"akhirnya ia minta.

"Yasian itu jahat, terhadap Sri Baginda dia tidak mengandung maksud baik," In Tiong jawab junjungannya itu. "Bahwa dia telah sudi membuat perdamaian dengan negara kita,itulah karena terpaksa, tak dapat dia tidak membuat demikian. Sri Baginda, daripada mempercayai Yasian, lebih baik menaruh kepercayaan kepada Thio Tan Hong! Sekarang hendak hambamu pergi!"

Kie Tin menjadi bergelisah sekali.

"Menteriku, tunggu dulu!..." ia menahan.

In Tiong sangat bergelisah tetapi karena rajanya memanggil, tidak dapat ia tidak menoleh.

"Sri Baginda hendak menitah apa?" dia tanya.
"Aku hendak pergi bersama kau..." kata raja, suaranya menggetar.

Raja ini mengucap demikian karena ia telah lihat, tidak dapat ia menahan lagi utusan itu. Sebenarnya ia jeri untuk berdiam lebih lama pula di dalam istana itu, ia kuatir Yasian nanti mencelakai padanya. Sama sekali ia tidak tahu hatinya perdana menteri Watzu itu.

Yasian tidak nanti berani mencelakai ia, ia cuma digertak. Tapi ia sangat takut, ia tidak dapat memikir, maka ia anggap ikut In Tiong adalah paling selamat...

Permintaan itu adalah di luar dugaan utusan she In itu. Ia memandang kaisar itu, ia tampak muka yang pucat dan sikap kuncup, bagaikan kelinci yang jeri terhadap seorang pemburu. Jauh sangat bedanya si junjungan dengan sikapnya yang sangat galak tadi.

Maka kepadanya datang dua rupa kesan: jemu berbareng kasihan. Nyatalah raja yang derajatnya berada di atas "laksaan rakyat," sekarang menjadi demikian hina kelakuannya.
Tapi walaupun begitu, ia memberi hormat sambil menekuk separuh dengkulnya, untuk terima baik "perintah" raja itu...

Ketika itu cuaca telah menjadi semakin terang sebagai tanda sang pagi telah datang secara mendesak.

"Tunggu sebentar, aku hendak ambil bajuku," kata Kie Tin pula. Terus ia masuk ke dalam di mana dengan cepat ia buka lemari pakaian. Segera matanya bentrok dengan sepotong baju mantel dari kulit rase warna putih, yang bercampuran dengan lain-lain jubanya. Itulah baju ketika Kie Tin masih dalam tawanan di dalam menara batu yang Tan Hong telah berikan padanya, baju yang Tan Hong loloskan dari tubuhnya. Maka,menampak itu, ingatlah kaisar ini kepada hari yang tak terlupakan itu. Hatinya goncang dengan tiba-tiba. Tak tahu ia, ia mesti menyesal atau mendongkol...

Dalam kesangsian, Kie Tin tidak samber mantel itu. Ia memilih yang lain-lainnya akan tetapi pilihannya tak tepat. Ia tidak dapatkan juba yang ia anggap cocok dengan hatinya...

Akan tetapi sang waktu berjalan terus, tak bersangsi seperti raja ini. Sinar matahari mulai menembusi jendela. In Tiong di luar habis kesabarannya.

"Sri Baginda, harap maafkan hambamu, hamba tak dapat menunggu lebih lama pula!" demikian utusan itu perdengarkan suaranya, suara nyaring tetapi tak tenang lagi.

Suara menteri itu membikin Kie Tin tersadar dengan kaget, dengan tangan tidak tetap,dengan pikiran kusut, ia sambar sembarangan saja sepotong juba, terus ia keredongi tubuhnya. Ia pun menyahuti:
"Aku akan segera keluar!"

Dan ia lari keluar, akan susul In Tiong. Maka itu, dengan bersama-sama mereka keluar dari istana tempat tahanan.

Setibanya di luar istana, baharulah Kie Tin terkejut. Ia dapat kenyataan, tubuhnya telah berkerodongkan justeru mantelnya Tan Hong! Tapi sekarang ia tidak dapat menghiraukannya pula, ia mesti ikuti utusannya dengan hati gelisah! .

Pengiring-pengiring In Tiong masih terus dirintangi di tengah jalan, baharu setibanya utusan ini sendiri bersama Kaisar Kie Tin, mereka diberi ijin oleh si thaywie bangsa Mongol untuk lewati tempat jagaan. Ketika itu, langit sudah jadi terang.

In Tiong menunggang kuda, ia kaburkan binatang tunggangannya itu. Ia seperti dengar suara tertawanya Tan Hong yang manis, anak muda itu sebagai terbayang tengah menggape-gape terhadapnya. Di saat itu, apa yang dinamakan surat wasiat kulit kambing yang berlumuran darah, segala permusuhan hebat, semua itu bagaikan diusir lenyap oleh bayangannya pemuda she Thio itu! Cuma satu pikiran yang berpeta diotaknya utusan ini: Ia mesti lekas sampai di rumah keluarga Thio untuk menolongi Tan Hong dari tangannya malaikat!

"Bukankan aku telah terlambat? Cuaca sudah terang, matahari sudah naik!" demikian pikirannya bekerja selagi ia kaburkan terus kudanya. Ia sangat menyesal yang ia tidak bisa jambret sang waktu, untuk menahannya...

Syukur sampai itu waktu, masih belum terdengar suara meriam...

Tapi In Tiong menjadi semakin tegang hatinya, ia menjadi semakin gelisah, jantungnya memukul keras sekali. Ia merasakan dirinya seperti seorang hukuman mati, yang saat kematiannya telah tiba akan tetapi kampaknya si algojo belum juga dikampakkan turun! Menanti waktu satu detik bagaikan menanti waktu satu jam...
Kapankah sang peluru meriam bakal melesat keluar? Mungkinkah kelambatan setengah tindak akan mendatangkan kemenyesalan seumur hidup?

Bagaikan kalap, In Tiong cambuki kudanya.

Hingga ia membuat raja ketinggalan jauh di belakangnya, ia menahan napas ketika kudanya kabur! .

Akhirnya, tibalah juga ia di depan gedungnya keluarga Thio. Ia tampak satu serdadu Mongol sedang rebah tengkurap di samping meriam yang mulutnya menghadapi gedung dan tengah mengeluarkan asap. Ia lantas saja berteriak sekuat-kuatnya, iapun mencambuki kudanya hebat sekali, hingga binatang itu berjingkrak lompat, kabur ke arah meriam besar itu! .

Di belakang utusan kerajaan Beng ini, delapan belas pengiringnya pun berteriak-teriak:
"Utusannya Kerajaan Beng tiba!" .

Tan Hong tengah menantikan kematiannya tatkala kupingnya dengar suara sangat berisik itu di luar gedung. Mendadak saja, timbullah harapannya, hingga ia menjadi sangat girang. Ia berlompat, terus ia rampas gaetannya Tantai Mie Ming di saat jenderal ini hendak habiskan jiwanya sendiri.

"Kau dengarlah!" serunya. "In Tiong telah tiba!" Lalu dengan pesat ia lompat naik ke atas tembok. Thio Tjong Tjioe telah tutup rapat kedua matanya tetapi sekarang dengan pelahan-lahan ia buka matanya itu.

"Siapakah yang datang?" ia tanya. Tak tegas ia dengar suara puteranya.
"Dasar kita tidak bakal hilang jiwa!" sahut Tantai Mie Ming. "Itulah utusan Kerajaan Beng yang datang mengunjungi tjoekong."

Di saat itu, Tjong Tjioe sendiri pun sudah lantas mendengarnya dengan nyata. Hal ini
membuat ia heran. Inilah di luar dugaannya. Ia bersenyum tetapi sebentar saja, atau
lantas ia tunduk, untuk mengeluarkan napas panjang.

Tan Hong di atas tembok melihat kudanya In Tiong lari mendatangi keras sekali. Tapi pun ia saksikan meriam besar, yang mulutnya diarahkan ke gedungnya, tengah mengepulkan asap putih. Mendadak saja matanya menjadi gelap, harapannya yang baharu timbul tadi telah lenyap seketika! Hampir ia tak sanggup pertahankan tubuhnya...

Tantai Mie Ming lihat tubuh orang bergoyang seperti hendak jatuh.
"Hai, kau kenapa?" ia berseru dengan tegurannya.

Tan Hong dengar teguran itu tapi ia tidak menjawabnya. Ia segera dapat atasi dirinya sendiri. Ia lantas berteriak ke arah luar tembok: "Saudara In, lekas menyingkir! Jangan kau antarkan jiwa!"

Di saat terakhir dari kematiannya ini, Tan Hong masih tunjukkan persahabatannya.

Riuhlah suara di waktu itu. Suara yang satu dari kaburnya kuda, suara yang lain dari teriakan cegahannya Tan Hong.

Adalah di saat itu, dengan tiba-tiba terdengar satu suara keras. Asap putih mengepul buyar, peluru pun melesat menyambar! .

In Tiong menjerit hebat, hatinya bagaikan tertindih gunung gempa, hingga putuslah harapannya yang terakhir. Tetapi ia dengar nyata bahwa suara meriam bukan seperti meledaknya merian di medan perang. Segera ia pentang lebar kedua matanya, mengawasi ke arah meriam itu, ke arah peluru yang melesat keluar mengikuti hembusannya asap putih.

Peluru itu tidak menggempur gedung menteri muda hanya jatuh di tanah sesudah menyembur jauhnya kira-kira tiga tombak! Peluru itu jatuh ke tanah untuk terus bergelindingan beberapa kali, lain tercebur ke dalam selokan, hingga dia tidak menyebabkan perledakan dahsyat! .

Meriam besar itu sudah gagal dengan tugasnya. Sumbu telah disulut tepat akan tetapi perledakannya tidak sebagaimana yang diharapkan. Sebab dari itu adalah karena darahnya Topuhua, puterinya Yasian, perdana menteri Watzu itu.

Nona itu telah peluki meriam dengan darahnya masih mengucur, tanpa diketahui darah telah meresap ke sumbu, membasahi obat pasangnya. Demikianlah, sisa obat pasang yang tersulut itu tidak cukup kekuatannya, suara ledakannya berkurang, tenaga melesatnya pun hampir lenyap, demikian terjadilah seperti di atas tadi.

In Tiong girang tak kepalang. Dari atas kudanya dia lompat turun untuk lari ke pintu gedung, untuk menggedornya dengan kuat, sekuat-kuatnya! Ketika itu, utusan itu pun diikuti terus oleh delapan belas pengiringnya.

Di dalam keadaan seperti itu, walau Ngochito bernyali sangat besar, tidak berani ia mengisi pula meriamnya, untuk menembak buat kedua kalinya.

Tan Hong lompat turun dari tembok pekarangan, ia lari ke pintu yang segera ia buka.
Begitu daun pintu terpentang, ia papaki In Tiong, hingga keduanya saling tubruk, saling rangkul! Dan kedua-duanya, air matanya mengembeng. Sekian lama mereka saling mengawasi, tidak ada satu yang dapat membuka mulutnya.

Sekonyong-konyong Tan Hong memanggil: "Ayah!...”

In Tiong menoleh dengan segera.

Thio Tjong Tjioe dengan tindakan agak limbung, tengah mendatangi ke arah mereka.
Dengan tiba-tiba saja, hatinya sang utusan seperti berhenti berdenyut...

Dia ayahnya Thio Tan Hong. Inilah orang, yang sejak ia dilahirkan, mulai saat ia mengerti urusan, yang tak ada satu hari ia tidak membencinya! Inilah musuh besarnya turun temurun! Dan sekarang, orang ini sedang mendatangi ke arahnya... Ia lihat mulut orang yang bergerak, yang dibuka sedikit... Orang seperti ada punya ribuan kata-kata yang hendak diucapkan, akan tetapi kata-kata yang tak dapat dikeluarkannya. Ia tampak juga kulit muka orang yang kisut berkerut-kerut, wajah yang mendatangkan kesan baik.

Wajah yang bagaikan berdahaga untuk sesuatu yang telah berlarut lama... Itulah seperti wajahnya satu ayah yang telah menanti-nanti puteranya yang telah lama tak pernah pulang-pulang. Itu juga roman, yang In Tiong untuk selamanya akan tak dapat melupakannya...

"Ah..." akhirnya ia mengeluh seorang diri.

Orang tua yang telah "kering" ini, yang rambutnya telah putih semua, sedikitpun tiada beroman seorang jahanam yang licin dan kejam. Apakah In Tiong cukup kuat hati untuk membunuh orang tua yang tinggal menantikan saat dari hari tuanya itu? .

Thio Tjong Tjioe mendekati terus, satu tindak demi satu tindak.

Mendadak ingat pula In Tiong kepada surat wasiat kulit kambing yang berlumur darah,ia awasi orang tua itu dengan sorot matanya yang bengis! .
Tetapi cuma sekejap, segera ia melengos, berbareng dengar mana, ia pun gerakkan kedua tangannya, untuk melepaskan diri dari rangkulannya Tan Hong.

Tjong Tjioe merasakan hatinya sakit seperti disayat-sayat. Ia telah menatap mata orang — mata yang mengandung kebencian hebat. Itulah mata yang sorotnya sama dengan matanya In Tjeng pada tiga puluh tahun yang lampau...

Orang tua ini sadar, ia menginsafi benar-benar. Tiba-tiba ia jatuhkan dirinya hingga berduduk di tanah, romannya sangat lesu.

In Tiong telah lantas membalik tubuhnya.

"Urusan telah, selesai, kita pergi!" ia berkata.

Tan Hong berdiri menjublak, matanya mengawasi ayahnya, lalu berpaling mengawasi orang she In itu. Tak dapat ia mengatakan sesuatu...

Tamtay Keng Beng berbicara dengan kakaknya ketika ia dengar suaranya In Tiong itu,maka ia segera tinggalkan kakaknya untuk menghampirkan si utusan.

"Apa? Baharu sampai sudah hendak pergi pula?" katanya.

Biasanya, kalau Nona Keng Beng mengucapkan sesuatu, In Tiong tak pernah tak mengiringinya, akan tetapi kali ini ia bagaikan kehilangan semangat, ia seperti tidak mendengarnya, ia berjalan terus, lempang ke arah pintu pekarangan.

Berbareng dengan itu, dari luar terdengar suara berisik dari kaki-kaki kuda, yang baharu saja tiba di muka pintu, menyusul itu terdengar suara nyaring dari beberapa orang, yang menyerukan kata-kata yang sama: "Kaisar dari Ahala Beng datang mengunjungi keluarga Thio!"

Itulah Kaisar Kie Tin, yang baharu saja sampai, sehab ia telah ketinggalan jauh oleh In Tiong. Ia adalah kaisar yang berada di dalam tawanan, baharu saja ia merdeka, ia lantas tak ubah kebiasaannya, ia tak hendak melupakan bahwa dirinya seorang raja. Maka itu,pengiring-pengiring perdengarkan seruan itu.

Di dalam pekarangan gedung menteri muda, tidak ada orang yang usil kaisar ini.

Thio Tjong Tjioe masih duduk numprah, tubuhnya tidak bergeming.

Tantai Mie Ming mengawasi raja itu, dengan roman yang bengis, dengan sinar matanya yang tajam, tetapi sebentar saja, ia lantas pelengoskan mukanya untuk melanjutkan bicara dengan adiknya.

Cuma In Tiong beserta pengiring-pengiringnya, yang mesti menunda tindakan kakinya... Kie Tin menjadi kecele, tak enak hatinya. Bukankah ia seorang kaisar? Kenapa tidak ada orang yang ambil perhatian kepadanya?

"Siapa Thio Tjong Tjioe?" ia tanya sambil membentak. "Kenapa dia tidak menyambut raja?"

Tjong Tjioe angkat kepalanya, untuk dongak melihat langit! Ia seperti juga tak melihat adanya satu Kie Tin di hadapannya itu! .

Kaisar tidak kenal Thio Tjong Tjioe tetapi dia kenali Thio Tan Hong. Maka itu ia segera menoleh kepada si anak muda.

"Mana ayahmu?" dia tanya, suaranya membentak. "Kamu ayah dan anak adalah turunan pemberontak tetapi sekarang dengan kemurahan hati aku tidak hendak tarik panjang perkaramu itu! Apakah kamu masih tidak hendak sambut junjunganmu?"
Selama raja ini bicara, Tan Hong tidak menjawab, dia cuma tertawa dingin.

Kie Tin yang menampak sikap orang itu,seperti merasa bahwa matanya si anak muda menatap dengan tajam kepada mantel di tubuhnya! Dengan sendirinya mukanya menjadi berubah merah, dengan sendirinya ia likat dan merasa tak enak hati. Maka itu, kalau pada mulanya suaranya keras, lambat laun suara itu menjadi pelahan, lalu beberapa kata-kata yang terakhir cuma ia sendiri yang mendengarnya...

Sehabis tertawa dingin, Thio Tan Hong merogo ke dalam sakunya. Dengan satu gentakan ia tarik keluar tangannya itu yang menggenggam satu bungkusan. Ia lantas lemparkan itu ke tanah! .

"Dua rupa barang ini kau harus simpan baik-baik, jangan kau membuatnya hilang kembali!" dia kata, suaranya dingin tetapi keren.

Satu pahlawan segera jemput bungkusan itu, untuk dibawa ke hadapan rajanya. Dia pun segera membukanya.

Di dalam bungkusan itu terdapat dua rupa barang, melihat mana Kie Tin jadi tercengang.

Barang yang satu adalah yang berukiran huruf-huruf "Tjeng Tong Hongtee Tjie In" yang berarti "Cap dari Kaisar Tjeng Tong." Itu adalah capnya raja ini! .Barang yang kedua adalah tusuk konde kumala yang Honghouw atau permaisuri persembahkan kepada Kie Tin sendiri! .

Itulah dua rupa barang berharga yang selama pertempuran kalut di Touwbokpo sudah dicuri dan dibawa lari oleh Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yang Tan Hong dapatkan dari tangannya tjongkoan itu ketika si tjongkoan dipermainkan Hek Pek Moko. Baharu sekarang ada ketikanya untuk Tan Hong bayar pulang cap dan tusuk konde itu kepada kaisar Beng ini.

Sehabis tercengang, Kie Tin kemudian menjadi sangat murka. Kemana keagungannya seorang kaisar? Di mana ia mesti taruh mukanya? Akan tetapi ia boleh bergusar, hatinya justeru ciut. Ia hendak umbar kemurkaannya, ia tak dapat lakukan itu. Kekuasaan apa ia ada punya untuk pengaruhi Tan Hong itu. Maka di akhirnya, ia memikir untuk melampiaskan segala-galanya kepada In Tiong...

Hampir di itu waktu, tiga orang datang berlari-lari bagaikan terbang ke arah mereka.

Dua orang yang lari di muka sama potongan tubuhnya, hanya yang satu mukanya putih,yang lain hitam. Kedua orang ini berlari-lari berjingkrakan, tangannya pun dibulangbalingkan serta mulutnya perdengarkan seruan-seruan. Di mata mereka itu, di situ seperti juga tidak ada orang lainnya lagi...

Ketiga orang itu adalah Hongthianloei Tjio Eng bersama Hek Pek Moko, kedua Hantu Putih dan Hitam. Mereka menyerang tentera Mongol sampai tentera itu buyar sendirinya,maka untuk maju terus mereka repot menyingkirkan besi-besi cagak tiga yang diampar di tanah, yang menjadi perintang baginya. Setelah itu dengan tidak berlambat lagi mereka lari terus menuju ke gedungnya Keluarga Thio. Mereka tiba di saat Kie Tin tak tahu ke mana ia mesti buang mukanya...

"Hai, orang-orang gila dari mana berani datang kemari membuat Sri Baginda kaget?" membentak pengiringnya kaisar itu. Mereka ini tidak kenal tiga orang itu, mereka lantas maju untuk mencegat.
Tjio Eng melirik kepada Kie Tin, lalu ia gerakkan kedua tangannya untuk menyambut dua pengiring yang maju paling depan. Dengan tepat ia cekuk batang lehernya mereka itu, maka satu kali ia himpaskan kedua tangannya, kedua pengiring itu terlempar terpelanting! .

Hek Pek Moko tertawa melihat perbuatannya kawannya itu, mereka juga lantas meneladnya, tetapi mereka menggunakan masing-masing tongkatnya, hingga dua pengiring lain rubuh terjungkal, kepala di bawah, kaki di atas! .

Kie Tin kaget hingga ia mundur sendirinya.

Setelah itu, tidak ada lagi lain perintang bagi tiga orang itu, maka Hek Pek Moko lompat kepada Tan Hong, yang tangannya disambar dan ditarik, mulut mereka berkaok-kaok kegirangan!

Tjio Eng sebaliknya lari kepada Thio Tjong Tjioe, akan bertekuk lutut di hadapan tjoekong atau junjungan yang tidak bermahkota itu.

Cepat-cepat Tjong Tjioe pimpin bangun hamba yang setia itu, ketika ia berbangkit,tubuhnya limbung terhuyung, seperti juga tidak kuat berdiri, dari itu, ia lantas saja berduduk pula.

Sakit hatinya Tjio Eng menyaksikan junjungannya itu, air matanya lantas melele keluar.

"Tjoekong...." ia memanggil dengan pelahan.

"Tjio Tjiangkoen, untuk beberapa puluh tahun telah aku membikin kau kecele..."
berkata tjoekong itu.

Leluhurnya Tjio Eng adalah Liong Kie Thayoet dari Thio Soe Seng, maka itu, Tjong Tjioe memanggil dia tjiangkoen (jenderal ).

"Pusaka negara telah kembali di tangan siauw-tjoe, sayang negara tetap bukan negara dari Kerajaan Tjioe yang besar..." berkata Tjio Eng dengan masgul. Dengan "pusaka negara" ia maksudkan peta bumi.

Tjong Tjioe menggoyangkan tangan, ia tertawa sedih.

"Aku telah ketahui semua," katanya, "tak usah kau menyebut lagi. Manusia itu cukup asal dia tidak membuat malu terhadap dirinya, tentang usaha merebut kerajaan, itulah terserah kepada Yang Berkuasa..." .

Kie Tin dengar itu, tak enak hatinya. Ia segera tunjuk In Tiong.

"Dengan orang-orang kasar tak dapat kita berdiam bersama," ia berkata, "maka In Tjonggoan, lekas kau iringi junjunganmu untuk berangkat pulang!" .

Kaisar ini kembali hendak tunjukkan pengaruhnya, akan tetapi In Tiong tidak pedulikan padanya, Tjonggoan ini masih berdiri diam seperti semangatnya telah hilang lenyap.

Kaisar menjadi sangat gusar.

"Hai, apakah kamu telah gila semua?" dia berseru.

In Tiong seperti tersadar mendengar suara keras itu, ia lantas bertindak ke samping memimpin rombongan pengiring, untuk berdiri di kedua tepi, guna iringi raja. Selama itu,ia tidak perdengarkan suara apa-apa.

Baharu raja dan hamba-hambanya keluar di pintu pekarangan, tiba-tiba In Tiong merandak, mukanya pun berubah menjadi sangat pucat.
Dari luar bertindak masuk dua orang, yang satu adalah satu nona yang cantik bagaikan bunga indah. Nona itu memajang seorang tua yang rambutnya telah ubanan, yang romannya layu serta mukanya ada tanda-tanda luka. Dan ia berjalan dengan dingklukdingkluk.

Kapan Kie Tin lihat orang tua itu, ia terkejut, ia bergidik.

Segera juga terdengar suara seruannya In Tiong. "Ayah!"

Dan ia lari kepada orang tua itu, untuk ditubruk dan dirangkul! .

In Teng seperti tidak pedulikan puteranya itu, malah dengan sebelah tangannya ia tolak sang putera ke samping. Dengan kedua matanya yang tajam, ia tatap Thio Tjong Tjioe,dengan tindakan tidak tetap ia maju kepada turunan kaisar Tjioe itu. Ia telah perlihatkan roman yang bengis.

Mau atau tidak, Tjioe Eng geser tubuhnya ke samping. Sekarang ia bisa lihat di belakangnya In Teng itu ada anaknya perempuan serta baba mantunya, ialah Tjoei Hong dan San Bin. Maka ia lantas bertindak ke arah puterinya itu.

Tjoei Hong dan San Bin tidak berani buka suara, roman mereka tegang.

Karena kakinya yang telah pincang itu, sukar In Teng dapat berjalan dengan leluasa.

Itulah sebabnya maka baharu hari ini ia tiba di kota raja Watzu. Segera ia dapat keterangan yang In Tiong telah pergi ke rumah Keluarga Thio. Ia menjadi kaget dan gusar sekali, tidak buang tempo lagi ia segera ajak gadisnya menyusul. Ia girang dapat bertemu puteranya, tetapi kegirangan itu tertutup kebencian terhadap musuhnya...

Di saat itu, Tan Hong kaget bagaikan orang disambar petir, mukanya jadi sangat pucat pasi. Ia telah lihat adik kecilnya tetapi In Loei, berpaling pun tidak terhadapnya. Cuma sorot matanya In Teng yang bengis mengawasi kepadanya...

"Ah!...” ia berseru tertahan. Ia yang gagah perkasa, sekarang ia tidak dapat berbuat suatu apa. Sikapnya In Teng sekarang lebih hebat daripada ketika dia memaksa puterinya pisahkan diri daripadanya.

Masih In Teng bertindak menghampiri Tjong Tjioe.

Ketika Tjong Tjioe angkat kepalanya, ia tampak In Teng berdiri dihadapannya. Ia lihat mata orang yang tajam, muka yang dingin. Ia dapatkan In Teng seperti hantu pembalasan yang terbuat daripada batu marmer...

Hampir berbareng, Tan Hong dan In Loei berseru, mereka segera lari menghampirkan ayah mereka masing-masing.

In Teng tidak menoleh tetapi sebelah tangannya menyambar ke belakang, menggaplok puteranya!
In Tiong jatuhkan diri di tanah, ia berlutut.

"Ayah, mari kita berlalu dari sini!" ia memohon, suaranya sedih. "Mari kita pergi dari sini!..."

Tan Hong di lain pihak hampirkan ayahnya, yang ia pegang pundaknya.

"Ayah, baiklah ayah pergi beristirahat..." ia berkata.

Tjong Tjioe tidak menoleh, dengan tangannya ia menolak tangan anaknya itu.

In Teng dan Tjong Tjioe tetap berdiri berhadapan, keduanya sama bungkam.
Pada akhirnya, In Loei tidak kuat lagi menahan hatinya. Ia lantas menangis, ia tutupi mukanya.

"Ayah..." katanya dengan pelahan.

In Teng seperti tidak dengar suara anaknya itu, yang bagaikan meratap. Di matanya, di dalam dunia ini, cuma ada satu Thio Tjong Tjioe. Dengan bengis ia terus mengawasi orang she Thio itu. Pada sinar matanya itu terbenam sorot kebencian yang sebegitu jauh manusia mempunyainya.

Berselang sekian lama Tjong Tjioe tertawa dengan tiba-tiba.

"Memang telah aku duga pada suatu waktu akan datang hari sebagai ini," ia berkata.
"Sekarang aku akan pergi cari ayahmu, Thaydjin In Tjeng, untuk menghaturkan maaf sendiri kepadanya. Secara begini permusuhan di antara kita kedua keluarga baharulah dapat dibikin habis!"

Suaranya orang tua ini makin lama makin lemah, ketika ia ucapkan perkataannya yang terakhir, tiba-tiba tubuhnya rubuh, dari kuping dan hidungnya mengalir keluar darah,terus saja tubuhnya tidak berkutik lagi. Karena ia telah berpulang ke lain dunia...

Di luar tahunya siapa juga, Tjong Tjioe sudah ambil keputusan pendek, maka itu,setelah melihat In Teng, diam-diam ia telah telan racun yang ia telah bekal. Itulah racun bubuk yang paling liehay, ialah semacam racun yang dahulu hari dipakai oleh dorna Ong Tjin untuk meracuni In Tjeng, yang dipanggil pulang dengan firman palsu. Maka racun itu tak dapat ditolong walaupun dengan obat dewa...

Kematiannya Thio Tjong Tjioe itu tak diduga siapapun yang hadir di situ. Mukanya Tan Hong menjadi pucat bagaikan mayat, biji matanya seperti menonjol keluar. Tak dapat ia menangis...

In Loei menjerit dan terus saja ia rubuh!

In Teng sendiri, bagaikan bola kempes mendadak, telah terjatuh duduk...

"Tjoekong." berteriak Tantai Mie Ming dan Tjio Eng berbareng, sedang In Tiong berlompat dengan niat pegangi Tan Hong yang tubuhnya limbung.

Sekonyong-konyong Tan Hong lompat, untuk pergi lari. Dia tutupi mukanya, dia lari bagaikan kalap. Dengan satu kali lompat saja, tubuhnya telah berada di bebokongnya kuda Tjiauwya saytjoe ma yang sejak tadi berdiam memakani rumput di pekarangan gedung itu.

Begitu majikannya naik, begitu juga kuda itu meringkik keras, lalu dia kabur membawa sang majikan, kabur keluar gedung, hingga sesaat kemudian mereka — kuda dan manusia — tak tertampak pula dari pandangan mata!

Maka sunyi senyaplah gedung itu, kecuali tangisan sedih dari In Loei...

-000dw000-

Dua bulan telah berselang...

Itulah dipermulaan musim panas di Kanglam, selagi pemandangan alam di tengah-tengah
keindahannya.

Ketika itu di luar kota Souwtjioe ada satu anak muda yang sedang menunggang seekor kuda putih — penunggang kuda tunggal. Dialah Thio Tan Hong...
Tempo dua bulan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi selama itu, suasana telah berubah.

In Tiong telah pulang ke kota raja, ia bawa Kie Tin bersamanya.

Di kota raja telah ada kaisar yang baharu, ialah Kie Giok atau Beng Tay Tjong. Inilah kaisar angkatan nya Kokioo Ie Kiam. Kie Giok adalah adik Kie Tin. Ia telah menjadi raja, ia tidak suka mengalah terhadap kakaknya. Maka itu Kie Tin pulang dengan ludas pengharapannya untuk duduk pula di singgasana kerajaan. Ia telah di tempatkan di Lamkiong, Istana Selatan. Ia diperlakukan sebagai raja kurungan. Cuma namanya saja ia menjadi Thaysianghong, kaisar tua yang dihormati, sebenarnya ia adalah kaisar tahanan.

Oleh karena sepak terjangnya Kie Giok, impiannya Ie Kiam untuk memperbaiki negara turut buyar juga. Lenyaplah pengharapannya, Kie Giok tidak lagi membutuhkan bantuannya Kokioo itu, menteri tua yang berjasa ini. Malah setelah merampas kekuasaan atas angkatan perang, Ie Kokioo diangkat menjadi Pengpouw Siangsie — Menteri Perang,namanya saja, karena selanjutnya ia dilarang mencampuri urusan pemerintahan.

Rombongan dorna Ong Tjin sudah runtuh, akan tetapi dengan lekas merayap muncul satu rombongan yang baharu. Maka raja dan menteri lantas mengicipi suasana perdamaian, untuk bersenang-senang hingga lupa kepada Peristiwa Touwbokpo, bahwa negara pernah satu kali diilas-ilas musuh! .

Tan Hong gagal dalam percintaan, ia gagal juga dalam urusan keluarganya, ditambah pula ia berduka juga untuk urusan negara. Maka sesudah ia pergi dan berdiam dengan diam-diam beberapa hari di kota raja, Pakkhia, di mana ia perhatikan suasana, tanpa menemui Ie Kiam lagi, ia berangkat ke Selatan Kanglam.

Wilayah Kanglam sangat indah permai tetapi itu tak dapat melenyapkan kedukaannya anak muda ini.

Demikianlah itu hari seorang diri, dengan menunggang kuda kesayangannya, ia pergi ke luar kota Souwtjioe yang kesohor itu.

Ia melihat ke sekitarnya, ia memandangnya. Benar-benar permai wilayah Kanglam ini.

Akan tetapi kedukaannya tetap tak dapat dilenyapkan. Ia kasih kudanya jalan pelahanlahan,sampai tiba-tiba ia bersenanjung: "Alam tak kekal abadi, urusan manusia berubah-ubah... Negara telah mengalami perkosaan, dia meninggalkan kedukaan baru..."

Dari sakunya Tan Hong tarik keluar sepucuk surat yang telah bertanda bekas-bekas air mata. Bunyinya surat itu ia telah baca untuk beberapa ratus kali, maka dengan tak usah melihatnya lagi, dapat ia membacanya di luar kepala. Itulah surat peninggalan dari ayahnya, yang pada malam sebelumnya ayah itu menutup mata, dengan diam-diam si ayah telah masukkan ke dalam saku bajunya. Jadi sebelumnya peristiwa, tak tahu ia atas adanya surat itu.

Surat itu, atau lebih benar ayahnya, menulis sbb:
"Dahulu hari aku telah berbuat suatu kekeliruan, ialah aku keliru sudah pergi kepada negeri Watzu. Dengan demikian terjadilah aku membuat permusuhan dengan Keluarga In.Demikianpun telah terjadi: Walaupun aku tidak membunuh Pek Djin akan tetapi dia binasa disebabkan olehku. Maka itu jikalau In Tjeng serta anak dan cucunya sangat membenci aku, itulah wajar. Oleh karena itu sekarang aku telah mengambil putusan untuk menebus dosa dengan kematianku. Inilah bukan melulu disebabkan urusan dengan Keluarga In itu saja juga bukan karena aku tiada punya muka untuk pulang ke negeri sendiri. Di hari-hari lanjut dari usiaku, aku dapat melihat utusan bangsa Han yang agung yang telah unjuk pengaruhnya di negara asing, aku mati dengan tak penyesalan. Kau, anakku, kau menang seratus lipat daripada aku, dengan aku punyakan anak sebagai kau, puas aku meninggalkan dunia yang fana ini! .
Anak, jikalau nanti aku telah "pergi", kau harus segera pulang ke negeri, dengan Keluarga In kau mesti mencari keakuran, untuk menanam persahahatan, untuk dengan jalan itu kau turut menebus dosaku. Kau dengan cucu perempuannya In Tjeng ada saling menyinta, hal itu telah aku ketahui jelas dari Tantai Tjiangkoen. Jikalau perjodohan itu dapat diwujudkan, aku senang sekali."

Bayangannya ayah itu berpeta di hatinya Tan Hong. Ayah itu telah pernah berbuat keliru, tapi juga pernah melakukan kebaikan. Benar ayah itu telah membantu membangun negara Watzu menjadi kuat, tetapi iapun secara diam-diam telah membantu memberikan hajaran kepada Yasian.

Tadinya Tan Hong tidak dapat mengerti ayahnya itu, sekarang ia mengerti jelas semuanya, ia menginsafinya. Tidak heran kalau ayah itu angkuh — angkuh yang membuatnya mengambil jalan keliru. Ia sendiri juga beradat angkuh sebagai ayahnya itu,tetapi keangkuhannya itu karena di dalam dirinya mengalir darah Han.

Demikian di dalam hatinya, Tan Hong mengulangi membaca surat ayahnya itu. Lalu di lain saat segera berbayang lain bayangan. Kali ini adalah bayangannya In Loei, dengan siapa ayahnya mengharapkan ia dapat menggabungkan diri sebagai suami isteri.

Akan tetapi peristiwa yang menyedihkan sudah terjadi. Karenanya ia beranggapan selama hidupnya ini, tidak nanti ada lagi pengharapan yang mereka berdua bakal dapat bertemu pula satu dengan lain... Dengan demikian tak mungkin dibicarakan tentang urusan pernikahan itu.

Selama dua bulan ini, ususnya Tan Hong bagaikan telah terputus. Ia terus terbenam dalam kedukaan, hingga ia hampir saja tak sadar pula akan dirinya. Hampir saja ia menjadi terganggu urat sarafnya.

Kali ini Tan Hong pulang ke Kanglam, maksudnya untuk mencari hiburan di antara keindahan wilayah Selatan ini, guna singkirkan kedukaannya itu, siapa tahu, begitu ia tiba di Kanglam, begitu ia ingat pula In Loei...

Dahulu hari itu ia ada bersama si nona, kuda mereka dikasih jalan berendeng. Di kala itupun sama musim seperti sekarang ini di kala buah bwee mulai menguning, di saat bunga delima mulai mekar. Di sepanjang jalan, mereka telah tinggalkan suara tertawa mereka, juga air mata mereka, tetapi sekarang, dia menjadi terlebih bersusah hati lagi.

Benar seperti katanya Lie Tjeng Tjiauw: "benda menjadi yang tidak-tidak, segala peristiwa habis sudah, tak dapat bicara, akan tetapi air mata mengucur keluar terlebih dahulu..."

Memang: "Satu kali usus telah putus, tak dapat putus lagi... Air mata sudah kering,tak dapat mengucur pula..."

Kota indah yang bagaikan gambar lukisan, pemandangannya tetap sebagaimana tahuntahun dahulu itu, demikian juga bayangannya In Loei, pada bayangan itu seperti berbekas tertawanya yang halus merdu. Semua itu bagaikan berpeta, bergerak-gerak di depan mata si anak muda.
Akhirnya, tak dapat Tan Hong menahan hati. Ia menghela napas. "Adik kecil, segala apa sudah terlambat..." keluhnya, pelahan.

Menyusuli keluhannya ini, tiba-tiba Tan Hong dengar suara tertawa yang nyaring tetapi empuk, yang sedap bagi telinganya. Lalu menyusul suara tertawa itu, ia seperti dengar suaranya In Loei yang bagikan di samping kupingnya: "Siapa yang bilang sudah terlambat? Eh, kenapa kau tidak tunggui aku?..."

Tan Hong menoleh dengan segera. Segera ia tampak seekor kuda bulu merah, di atas mana bercokol In Loei, yang wajahnya bersenyum berseri-seri, tetap manis seperti tahun dulu itu...

Adakah ini impian? Adakah ini kejadian yang sebenarnya? Tan Hong terbenam dalam keragu-raguan. Tentu saja ia kaget berbareng sangat girang. Maka ia terus mengawasi kepada penunggang kuda itu, yang telah datang dekat kepadanya.

In Loei terus bersenyum berseri-seri, lalu ia tertawa dan berkata: "Ah, kakak yang tolol!" serunya, masih sambil tertawa. "Apakah kau telah tidak kenali aku?"

Ah, inilah bukannya impian belaka. Maka kalaplah Tan Hong bahna kegirangannya yang meluap-luap!
"Hai, adik kecil!" serunya. "Benarkah kau yang datang? Benar-benarkah masih belum terlambat?"
"Ah, apa katamu? Apakah itu terlambat atau tidak terlambat?" si nona menyahuti.
"Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan bahwa, walaupun perjalanan ada sangat jauh orang toh akhirnya akan dapat menyusul? Kau lihat! Bukan melainkan aku yang dapat menyusul kau, juga mereka itu! Lihat!" .

In Loei berpaling ke belakang, tangannya menunjuk.

Tan Hong mengawasi ke arah yang ditunjuk di mana ia tampak In Teng, ayahnya In Loei, yang bercokol di atas kuda tengah berseri-seri mengawasi mereka, selagi kudanya lari mendatangi ke arah mereka berdua. Pada mukanya In Teng tetap ada tanda-tanda bekas luka, akan tetapi sekarang romannya tidak lagi bengis tetapi sangat manis budi,tidak lagi ada sinar kebenciannya yang sangat. Dan begitu lekas dia sudah datang dekat,segera dia lompat turun dari kudanya itu, gerakannya sangat gesit. Dia sudah tidak pincang dingkluk-dingkluk lagi. Sebab dia telah diobati In Tiong, putera mana
mengobatinya menurut cara pengajarannya Tan Hong.

Sejak peristiwa yang hebat itu selagi di pihak yang satu Tantai Mie Ming bersama Tjio Eng beramai repot mengurus jenazah Tjong Tjioe, di pihak lain, In Teng, telah buyar semua kebenciannya. Karena ia telah dengar penuturan jelas dari In Loei, puterinya,tentang kejadian yang sebenarnya, bagaimana dalam kesengsaraan Tjong Tjioe, yang sebenarnya ada turunan sah dari Kerajaan Tjioe, telah sia-sia berdaya untuk membangun pula kerajaannya itu, karena tindakannya yang keliru sudah Mengandal kan bantuannya negeri Watzu, bahwa Tan Hong tak tahu menahu mengenai sepak terjang ayahnya itu,sebaliknya Tan Hong telah berjasa menolong negara dari bahaya keambrukan, bahwa In Teng telah peroleh bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu, dan sehingga yang paling belakang ini ia pun sembuh dari pincangnya berkat pertolongan tidak langsung dari pemuda she Thio itu.
Urusan leluhur telah diselesaikan, maka itu, tak ada alasan bahwa permusuhan itu diwariskan kepada anak cucu. Sebaliknya dengan duduknya hal telah menjadi jelas dan Tan Hong pun sudah melepas budi, sudah selayaknya apabila persahabatan dan perhubungan dipererat! .

Di belakang In Teng ini masih menyusul satu rombongan penunggang kuda lainnya.

Yang pertama tertampak nyata adalah In Tiong bersama ibunya. Lalu Tantai Mie Ming bersama adiknya — Tantai Keng Beng. Mereka itu mengawasi ke arah mereka bertiga,wajah mereka tersungging senyuman. Semua beriang gembira.

Nona Keng Beng majukan kudanya, hingga dia jadi jalan berendeng bersama In Tiong.

Dengan gembira ia ayun cambuk kudanya. Ia tertawa: "Tan Hong, Koaywa Lim telah diperbaharui!" ia berseru. "Taman itu telah menjadi semakin indah! Apakah kau masih tak hendak kembali ke dalam kota?"

Sejak tadi Tan Hong mengawasi saja kepada mereka itu. Ia masih seperti orang yang baharu sadar dari mimpinya.

"Adik kecil, apakah kau pun akan turut kembali ke dalam kota?" ia berbisik kepada In Loei.

Si Nona In cuma menyahuti dengan tertawanya yang manis! .

Dengan tertawa ini, habis sudah permusuhan dan kebencian, semua itu terlebur ke dalam asmara yang manis bagaikan madu...

T A M A T

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar