Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 7
Dengan membelakangi kereta
persakitan, Hong Hoe menuding To Hoan dengan golok Biantoo-nya, sambil tertawa,
ia kata: "Tjinsamkay mari kita bertempur pula tiga ratus jurus!"
Kemudian ia melirik pada In Loei sambil menambahkan: "Bagus, bagus, kau
pun datang bersama. Baiklah kamu boleh maju berbareng! Aku sendiri, aku tidak
membutuhkan lain pembantu!"
To Hoan rasakan mukanya
menjadi panas sekali, ia gusar tak kepalang.
"Hari ini kita bertempur
untuk kawan masing-masing!" ia kata dengan sengit. "Tidak peduli jumlah
kamu jauh terlebih besar, hendak aku adu jiwaku!"
Lalu dengan jurus
"Honghouw inliong’ "Harimau di antara angin dan naga di dalam
mega," ia menyerang hebat sekali dengan toya-nya, anginnya pun menyambar
keras.
Dengan tubuh tidak bergerak
dari tempatnya berdiri, Thio Hong Hoe tangkis serangan toya Tjinsamkay, begitu
pula ketika In Loei menikam, ia halau ujung pedang Tjengbeng kiam itu, sesudah
mana dengan kegesitannya, ia balas menyerang, beruntun tiga kali.
Diam-diam Tjinsamkay mengeluh
dalam hatinya. Serangan dahsyatnya telah gagal.Siapa tahu, musuh ada terlebih
hebat daripadanya, tak peduli ia berdua. Terpaksa ia ubah caranya bersilat,
satu kali ia menyampok sambil memutar tubuhnya.
In Loei di lain pihak
memperlihatkan kepesatan-nya bergerak, ia menyerang seperti kawannya, sama
sekali tak sudi ia kalah desak.
Hong Hoe tangguh, dibanding
dengan To Hoan, ia menang satu tingkat, maka itu dengan tambah lawan dalam
dirinya nona In, berselang tiga puluh jurus, repot juga ia,hingga ia terdesak
mundur. In Loei cerdik sekali, menggunakan ketikanya yang baik,dengan
kegesitannya, ia tinggalkan lawannya, yang ia biarkan dilayani To Hoan, ia
sendiri lompat melesat ke kereta persakitan.
Tegang hati si nona. Tidak ia
sangka, Hong Hoe dapat dilewatkan secara demikian mudah. Ia merasa curiga juga.
Apakah benar Hong Hoe demikian alpa? Akan tetapi,dalam keadaan itu, tak sempat
In Loei berpikir lama. Maka juga, dengan cepat ia singkap penutup kereta
persakitan itu!.
Di dalam kereta terdapat satu
tubuh orang yang merengket, karena kereta ditutupi kain penutup, maka orang tak
dapat melihat dengan jelas. Walaupun begitu, In Loei menjadi sangat girang.
"Tjioe Toako." ia
berseru. Dan ia pindahkan pedangnya dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu
dengan tangan itu ia menyambar tubuhnya San Bin.
Tiba-tiba tubuh yang merengket
itu perdengarkan tertawa iblis "Hm! Hm!" Tubuh itu pun berbangkit,
sebelah tangannya menyambar, menyekal keras lengannya In Loei di bahagian nadi.
Tidak terkira kagetnya si
nona. Sungguh ia tidak menyangka.
"Silakan masuk!"
terdengar tubuh merengket itu bersuara sambil terus menarik dengan keras.
Tanpa ia berkuasa, tubuh In
Loei tertarik masuk ke dalam kerangkeng. Ketika ia terbetot pedangnya di tangan
kiri itu menyambar tenda hingga tenda itu robek dan mendatangkan cahaya terang.
"Ah, kiranya kau?"
seru orang yang merengket itu, agaknya ia terkejut.In Loei cerdik, ia tidak
menjadi gugup, selagi orang tercengang, pedangnya digerakkan,menikam tangan
orang. Orang itu kaget, ia lepaskan cekalannya, terus ia lompat keluar dari
kerangkeng. Atas itu, In Loei lompat keluar juga.
Sekarang, di udara terbuka In
Loei dapat melihat dengan tegas orang yang tubuhnya merengket itu yang memakai
kopiah menutupi mukanya, hingga tampak hanya sepasang matanya yang jelilatan
tajam. Nyata dia adalah si gembala bangsa Mongolia yang kemarin ini — ialah
orang yang menyerang si pangeran asing.
Tak berjauhan jaraknya ia
berdiri berhadapan dengan orang itu, masih nona In mengawasi dengan tajam. Ia
melihat tegas sekali. Maka tidak salah, orang ini, yang tubuhnya kurus, adalah
si orang bertopeng juga! Ia menjadi girang berbareng heran.
"Tahukah kau dikereta
mana adanya Tjioe Toako?" ia tanya. Ia pikir, orang ini mesti ada kawannya
sendiri. Dia toh yang mengusulkan tipu kepada To Hoan untuk mencegat si
pangeran, untuk membekuk pangeran itu. Dia pun secara diam-diam sudah membantu
padanya. Tapi, jawaban yang ia peroleh ada di luar sangkaannya.
"Siapa tahu tentang Tjioe
Toako kamu itu?" demikian jawaban itu, tawar, ditambah dengan tertawa
dingin. Lalu, dengan sebat luar biasa, dengan gerakan Taylek Kimkong Tjioe —
"Tangan Arhat yang kuat", ia sambar pedangnya si nona, untuk
dirampas.
In Loei terkejut, inilah tidak
disangka, hingga ia tak berjaga-jaga. Di saat tangan orang itu hampir menyambar
pedang, mendadak matanya bersorot tajam, tangannya seperti ditunda. Justeru
itu, In Loei sadar, untuk mengirim bacokannya. Orang itu pun terkejut,ketika
pedang datang, ia putar tangannya, sambil menyambuti, ia sentil belakang
pedang,hingga terbit suara nyaring.
Nona In menjadi sangat kaget,
sentilan itu membuatnya tangannya sakit, hampir saja pedangnya terlepas dari
cekalan. Insaflah ia bahwa latihan Taylek Kimkong Tjioe orang ini mahir sekali.
Pada saat itu, di pihak sana
terdengar pula tertawanya Thio Hong Hoe, tertawa bergelak-gelak, disusul dengan
kata-katanya yang mengandung ejekan: "Orang tua she Pit, kau lihat!
Siapakah yang mengantarkan diri ke dalam jebakan?"
"Trang!" demikian
suara yang menyusuli ejekan itu. In Loei menduga, saking mendongkol, To Hoan
menghajar dengan keras, dan tak kurang kerasnya Hong Hoe menangkis, hingga
kedua senjata bentrok hebat, sampai telinga bagaikan tuli.
Sementara itu, lolos
serangannya yang pertama, In Loei telah mengulangi untuk kedua kalinya. Kembali
ia gagal. Sangat gesit gerakan si kurus itu, keras sekali sampokannya setiap
kali ia menangkis, sampai pedang si nona setiap kali mental.
In Loei jadi sangat penasaran,
ia menyerang terus. Ia perlihatkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee
Kiamhoat" yang beraneka warna gerakan dan perubahannya. Pedang itu
membacok ke atas delapan kali, kebawah delapan kali, juga masing-masing delapan
kali menikam ke kiri dan kanan, semuanya silih ganti.
Orang bertopeng itu liehay,
akan tetapi atas desakan itu, ia repot juga. Untung baginya, walaupun ia
didesak hebat, pada saat yang berbahaya, In Loei meneruskannya setengah hati,
sebab si nona masih ingat, ia seperti kenal orang ini. Entah kapan, entah di
mana, pernah rasanya ia menemui si kurus. Ia berkesan baik terhadap orang asing
ini,karenanya iapun ragu-ragu.....
Setelah serangannya tak
hentinya selama tiga puluh dua jurus, baharulah gerakan In Loei menjadi kendor.
Dan lawannya yang sejak tadi melawan dengan tangan kosong,telah menghunus
goloknya yang tersoreng di pinggangnya, untuk melakukan penyerangan membalas,
ia berbalik mendesak, makin lama makin sebat, sinar goloknya bergemerlapan.
Kalau tadi ia menyerang, kini
In Loei membela diri saja, pedangnya dibuat tidak berdaya, beberapa kali pedang
itu kena dibikin terpental, syukur tak sampai lepas dari cekalannya. Nyata
sekali golok si penyerang tidak dapat berbuat banyak, adalah tangan kirinya,
yang tiap-tiap kali menyampok dengan hebat.
In Loei telah terdesak,
beberapa kali ia mengalami saat-saat yang berbahaya, akan tetapi sampai pada
saat itu, ia bebas sendirinya, golok dan tangan kosong dari lawannya tidak
mengenai sasarannya. Entah itu disengaja atu tidak, kejadiannya sama seperti In
Loei tadi — tadi In Loei seperti tidak hendak melukai lawannya itu.....
Dalam keadaan terdesak sebagai
itu, In Loei empos semangatnya, untuk membuat perlawanan dengan gigih, kalau
tidak, segera ia akan dirubuhkan. Sementara itu, ia lihat mata orang yang
bersinar tajam, yang terus dipakai menatap mukanya, seolah-olah orang itu sangat
memperhatikan padanya.
Sikap lawan itu membuatnya ia
tertarik. Tiba-tiba saja ia menangkis, untuk menahan golok yang dipakai
membacok padanya.
"Kau siapa?" ia
tanya.
Orang itu membalas menangkis.
"Kau siapa?" diapun
tanya.
Dibaliki secara begitu, si nona
melengak.
"Kau sebutkan lebih
dulu!" ia bentak.
"Kau dulu!" orang
itu mengulangi, sementara air mukanya sedikit berubah.
In Loei bersangsi.
"Mana dapat aku
perkenalkan diri padamu?" ia berpikir. Tapi keras niatnya untuk
mengetahui orang itu.
Lagi-lagi ia menangkis, sampai tiga kali.
"Kau bicara lebih
dulu!" katanya pula. "Tidak, kau dulu!" orang itu membandel.
Dia mirip dengan satu bocah
kepala batu, kedua matanya berputar, wajahnya berubah pula.
Menyaksikan sikap orang itu,
In Loei membayangkan satu sahabatnya semasa mereka masih kecil. Ia mencoba
mengingat-ingat dengan terus tak henti-hentinya bersilat. Lawan itu juga
melakukan perlawanan, hanya sekarang ia berlaku tak sesehat tadi.Masih ia
senantiasa tatap wajah lawannya.
Dalam penasarannya, In Loei mendesak,
dua kali ia menikam. Kedua-duanya ditangkis
oleh lawannya.
"Kau bicara lebih
dulu!" katanya pula.
Selagi kedua orang itu
berkutat, membentak satu pada lain, supaya pihak sana yang membuka mulut lebih
dahulu, tiba-tiba terdengar seruannya Pit To Hoan, yang memberi peringatan
kepada kawan-kawannya bahwa keadaan bahaya mengancam pihaknya.
Mendengar suara itu, In Loei
melirik kepada jago tua itu. Ia dapat kenyataan, kawan itu telah terdesak,
golok Thio Hong Hoe seperti mengurung dia, hingga keadaannya jadi sangat
berbahaya, sedang kawan-kawan yang menjadi bala bantuan, kena dirintangi
tentera negeri, tak dapat mereka menerjang masuk.
Menampak demikian, In Loei
menjadi tegang sendirinya. Ia berkuatir untuk pihaknya itu. Maka ia mencoba
melakukan perlawanan pula dengan keras sekali, ingin ia menoblos musuhnya.
Pihak lawan itu, yang tidak
sudi perkenalkan diri, tetapi menghendaki lain orang berbicara terlebih dahulu,
juga segera perkeras perlawanannya, bagaikan tembok tanggu,dia menghalang di
depan si "anak muda." Hingga tak berhasil In Loei dengan dayanya itu.
"Maukah kau bicara atau
tidak?" lawan itu masih menanya.
In Loei mendongkol, tidak sudi
ia menyahuti, dalam sengitnya, ia menyerang dengan terlebih hebat pula.
Lima puluh jurus telah lewat, keduanya
tetap dalam keadaan seri. In Loei kalah tenaga,ia cuma menang gesit, tapi
sekarang ia berkuatir untuk Pit To Hoan, pemusatan pikirannya jadi terganggu,
maka itu, lagi beberapa jurus, ia kena didesak hingga ia mesti main mundur.
Dalam keadaan yang segenting
itu, sekonyong-konyong terlihat debu mengepul di luar selat. Thio Hong Hoe
lihat itu.
"Siapa berani menyerbu
masuk?" katanya nyaring.
Pertanyaan itu dijawab dengan
suara tertawa aneh yang seperti menggetarkan lembah,lalu tampaklah orang-orang yang
menerbitkan debu itu, ialah delapan penunggang kuda yang tengah mendatangi
dengan pesat sekali, sedang dua penunggang yang jalan paling depan, — agaknya
mereka itu menjadi pemimpin, — berpakaian secara aneh. Mereka itu yang satu
putih mulus, yang lain hitam legam.
Ketika In Loei melihat tegas
kedua orang itu, tanpa merasa ia perdengarkan seruan. Ia agaknya kaget dan
heran. Karena ia kenali, kedua orang itu adalah Hek Pek Moko. Empat orang
lainnya adalah si empat saudagar permata, yang pernah datang ke Tjio
keetjhoeng.
Sedang kedua penunggang kuda
lainnya, yang berada di belakang, adalah isteri-isteri bangsa Persia dari Hek
Moko dan Pek Moko itu.Berdelapan mereka itu maju pesat, tanpa menghiraukan
pertempuran yang kalut dan dahsyat itu.Hek Moko adalah yang datang paling
dekat.
"Kau menggelinding dari,
kudamu!" bentak Thio Hong Hoe yang menjadi sangat murka.
Dan dengan satu lompatan, ia
segera mendahului membacok.
Hek Moko perdengarkan
tertawanya yang aneh, ia angkat tongkat Lekgiok thung-nya,untuk menangkis
bacokan, berbareng dengan itu, ujung tongkatnya meluncur terus ke arah uluhati
si penyerang yang bersenjatakan golok itu.
Hong Hoe kaget dan heran.
Tidak ia sangka orang ada demikian liehay. Ia halau tusukan tongkat itu, habis
mana, ia membalas, dengan tak kurang hebatnya. Untuk dua jurus, ia mendesak
hebat.
Hek Moko juga terkejut melihat
ketangguan lawan, ia tidak sangka di antara hamba negeri terdapat pahlawan
demikian kosen. Ia penasaran, kembali ia menusuk dada orang. Hong Hoe kembali
menangkis, ia tidak mau menyerah kalah.
Dalam penasarannya, Hek Moko
menerjang berulang-ulang, yang sama dahsyatnya.Thio Hong Hoe tangkis serangan
berbahaya itu, sambil menangkis, ia angkat tubuhnya dari bebokong kuda, dengan
sebelah kaki, ia injak injakan kakinya, berbareng dengan mana, dengan sebelah
tangannya, ia sambar lawannya itu. Dengan jurus Kimna tjioe ia gunakan tangan
kirinya untuk mencekuk tangan musuh. Ia berhasil, hingga ia menjadi sangat
girang. Sekarang tinggal mengerahkan tenaganya, untuk membetot lawannya itu.
Tapi tiba-tiba ia menjadi kaget, karena tangan yang dicekal itu licin bagaikan
lindung,
yang terus dibalikkan untuk
dipakai menampar mukanya!
Dalam kagetnya, Thio Hong Hoe
masih sempat berkelit, ialah sambil berseru, sebelah kakinya menjejak, hingga
tubuhnya mencelat meninggalkan kudanya dan jatuh ke tanah sejauh satu tombak
lebih.
Hek Moko menjadi heran dan
kagum, ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menghajar lawannya itu, siapa
sangka, lawan itu pun ada licin sekali.
Pit To Hoan saksikan
pertempuran itu, ia heran, terutama karena ia tidak kenal siapa si hitam ini
yang seperti membantu padanya.
"Sahabat siapa di
sana?" ia tanya. "Di sini Pit To Hoan menghaturkan hormatnya."
Ia kesohor dengan gelarannya, Tjinsamkay, ia percaya, dengan menyebut namanya,
setiap orang kangouw pasti akan mengenal padanya. Tapi kali ini dugaannya
meleset. Hek Moko tertawa pula, dengan suaranya yang aneh itu.
"Buka jalan! Buka
jalan!" dia berseru-seru. "Menggelinding pergi!" To Hoan tidak
mundur, dia malah menghalang di tengah jalan, dengan lonjorkan toyanya, ia
mencegat.
Hek Moko biarkan kudanya
lompat kabur, dengan tongkatnya ia halau toya Tjinsamkay. Kedua senjata bentrok
keras, suaranya nyaring. Pit To Hoan miring tubuhnya karena bentrokan itu,
sedang si hitam hampir terguling dari kudanya.
"Bagus!" berseru si
hitam ini. "Kau pun ada satu hoohanl Kau minggir!" Sekarang tidak
lagi ia mengusir dengan kata-kata, "Menggelinding pergi" hanya
"minggir!" Ini menyatakan bahwa ia telah menghargai lawannya.
Tapi Pit To Hoan tidak
minggir, dalam keadaan seperti itu, tak dapat ia menahan toyanya,serangannya
yang kedua telah menyusul, kali ini ia mengarah kudanya. Hek Moko menjadi gusar
sekali, ia segera tekan keras toya lawannya itu.Pit To Hoan terperanjat, apapula
ketika ia dilepaskan dari tekanan, tubuhnya terjerunuk, hampir ia kena terinjak
kudanya si orang hitam itu. Dengan kegesitannya, ia
lompat nyamping. Dan kuda
lawan dengan pesat luar biasa, sudah lompat di atasan kepalanya!
Selagi Hek Moko dilayani Thio Hong
Hoe dan Pit To Hoan bergantian, Pek Moko pun telah tiba, ia hanya menyerbu
kepada In Loei dan si orang aneh. In Loei segera lihat si putih ini, ia
terperanjat, ia heran atas kedatangan orang secara tiba-tiba. Ia ingat
bagaimana ia bersama-sama Thio Tan Hong telah menundukkan kedua Moko itu. Maka
kalau sekarang Pek Moko ingat sakit hatinya dan dia mencari balas,celakalah ia.
Untuk melayani si orang aneh saja, ia sudah repot.....
Ketika Pek Moko melihat In
Loei, tiba-tiba ia tertawa — tertawa aneh seperti Hek Moko.Kembali ia keprak
kudanya, untuk menerjang si orang aneh.
Gusar orang aneh itu, ia
menyambut dengan kepalannya ke paha kuda. Tepat sambutan itu, hingga kuda itu
menekukkan kaki depannya. Menyusul ini, si orang aneh membacok dengan goloknya.
Pek Moko menangkis dengan
tongkat Pekgiok thung-nya. Itulah tongkat terbuat dari baja tulen. Orang aneh
itu tidak ketahui ini, ia baharu terkejut apabila dua senjata telah beradu
keras. Terpental golok itu karena bentrokan keras itu, tetapi si orang aneh tangguh,
dengan belakang golok yang terayun, ia menyerang pula. Tapi juga Pek Moko tidak
kurang liehaynya, masih sempat ia menangkis pula, hingga untuk kedua
kalinya,tongkat dan golok bentrok, terus golok terlempar ke udara!
"Jika kau sanggup
melayani tongkatku, aku suka memberi ampun padamu!" berseru Pek Moko.
"Minggir!" Setelah berkata begitu, ia menuding kepada In Loei.
"Kau bukannya tandingan orang ini! Kenapa kau tidak hendak lekas
menyingkir?" Meskipun ia mengucap demikian, ia jepit perut kudanya, hingga
kuda itu lompat kabur.
Sebenarnya Hek Pek Moko telah
tawar hatinya setelah mereka dikalahkan In Loei berdua Tan Hong, karena kalah
bertaruh, harta di dalam kuburan bukan lagi miliknya,maka juga ia titahkan ke
empat saudagar menutup buku dan berlalu. Adalah niat mereka untuk pulang ke
kampung halaman mereka di Barat. Di luar dugaan mereka, Tan Hong telah berlaku
baik budi, harta mereka telah dikembalikan.
Kejadian ini membuat mereka
sangat bersyukur. Dengan modal itu, mereka lantas berdagang pula. Kali ini
mereka dalam perjalanan dari selatan ke utara, ke delapan kuda mereka
menggendol banyak barang permata mulia, niat mereka adalah melintasi gunung
Himalaya, untuk memasuki India,guna menjual permata itu kepada
pangeran-pangeran bangsa India. Adalah di luar dugaan mereka, di situ mereka
menghadapi kedua pihak tengah bertempur, malah pihak yang satu adalah In Loei,
yang mereka kenal baik.
Hek Pek Moko tidak gubris
orang dari Jalan Putih atau Jalan Hitam, mereka bekerja dengan ambil jalan
sendiri, karena ini, bertemu dengan tentera negeri, mereka kuatir nanti dicegat
dan dirampas hartanya, maka ingin mereka nerobos pergi. Ketika, mereka kenali
In Loei, ingin mereka membalas budi kebaikannya Tan Hong, dari itu mereka
segera berikan bantuan mereka itu.
Tidak hanya Hek Moko dan Pek
Moko yang liehay, juga isteri-isteri mereka dan ke empat saudagar itu bukannya
orang-orang sembarangan, maka itu ketika mereka berdelapan menyerbu dengan kuda
mereka, tentera negeri menjadi kalut, lekas-lekas mereka menyingkir. Pihak Pit
To Hoan juga tidak terkecuali, hanya To Hoan tidak mau mensia-siakan ketikanya
yang baik, dengan memberikan satu tanda, ia ajak rombongannya lari mendaki
bukit.
Hek Moko tertawa berkakakan
melihat "musuh" buyar dan lari kalang kabutan, meski demikian, mereka
tidak lantas angkat kaki, masih mereka mondar-mandir di dalam lembah itu, untuk
mencegah In Loei beramai dikepung pula tentera negeri itu, adalah setelah In
Loei semua sudah tiba di tengah bukit, baharu mereka kabur, untuk melanjutkan
perjalanan mereka.....
Thio Hong Hoe mendongkol bukan
main, ia lantas kumpulkan tenteranya, ia ingin kejar musuh, akan tetapi ia
tidak mempunyai ketika lagi.
Dari kejauhan, Hek Pek Moko
berpaling ke arah bukit.
"Hai, babah kecil!"
teriak mereka berbareng terhadap In Loei, "babah besar yang menjadi
sahabatmu itu tengah menantikan kau di sebelah depan sana! Kenapa kau tidak
berada bersama dia?"
Tahulah In Loei, dengan
"babah kecil" dimaksudkan ia, dan dengan "babah besar"
dimaksudkan Thio Tan Hong, karenanya, hatinya bercekat. Jadi Tan Hong berada di
sebelah depan. Sebenarnya ingin ia menanyakan Hek Pek Moko, atau: "Siapa
kedua orang itu?" Pit To Hoan tanya dia. "Mereka adalah Hek Moko dan
Pek Moko dari Tanah Barat," In Loei jawab. To Hoan terperanjat."Jadi
mereka adalah kedua iblis itu!" serunya. "Memang, sudah lama aku
dengar nama mereka, baharu kali ini aku melihat mereka itu. Tidak aku sangka,
kita dapat lolos dari bahaya karena bantuan mereka. Bagaimana sekarang? San Bin
masih belum dapat ditolong.....”
"Orang she Pit ini jadi
sangat masgul. Tapi, dalam keadaan seperti itu, ia tidak boleh membuang-buang
waktu, lantas ia bantu Tjek Poo Tjiang memukul mundur pasukan tersembunyi dari
musuh, habis mana mereka mundur dari belakang bukit, untuk pulang ke Na keetjhoeng.
Hari sudah magrib ketika
mereka tiba di rumah, semuanya lesu, lelah dan masgul,karena sia-sia saja usaha
mereka. Waktu mereka asyik berbicara, mereka membicarakan halnya si orang tak
dikenal itu, yang menyamar sebagai pengembala bangsa Mongolia, yang kali ini
bersembunyi di dalam kereta persakitan tanpa diketahui apa maksudnya.
Mereka menduga-duga tanpa ada
pemecahannya.
"Malam ini pasti Thio
Hong Hoe bermalam di dalam kota." kata Pit To Hoan seraya mendongak untuk
melihat cuaca. "Aku pikir, lebih baik kita pergi ke kota, untuk mengadakan
penyelidikan. Mesti kita ketahui bagaimana nasibnya keponakan San Bin, supaya
kita berdaya upaya menolongnya pula. Thio Hong Hoe sangat licin, dia telah
memperdayakan kita, maka itu, sulit bagi kita untuk mengetahui, San Bin berada
di dalam kerangkeng atau tidak.....”
Semua orang berdiam ketika
mereka ingat akan keliehayannya Thio Hong Hoe, yang
gagah dan cerdik sekali.
"Di antara kita, In
Siangkong, kaulah yang paling sempurna ilmu entengkan tubuh,"
berkata pula To Hoan. "Di
samping itu, di dalam kota, adalah rumah penginapan kita yang
paling besar.....”
Mendengar ini, In Loei yang
cerdik, segera mengerti maksud orang.
"Memang!" katanya.
"Pada siang hari kita gagal menggunakan golok dan tombak, tapi pada malam
hari kita pasti dapat membuatnya mereka kalut dan repot! Atau sedikitnya, kita
mungkin dapat mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya.....
Thio Hong Hoe gagah perkasa,
aku sangsi dia pandai ilmu enteng tubuh, maka andai kata aku gagal, dapat aku
menyingkir daripadanya, belum pasti dia dapat mengejar aku dan
menyandaknya....."
Maka diambillah keputusan,
malam itu In Loei akan pergi membuat penyelidikan dan Pit To Hoan turut sebagai
kawan yang mengintai di luar hotel.
Demikian sekira jam dua, kedua
orang itu telah masuk secara diam-diam ke dalam kota di mana mereka segera
disambut oleh pihaknya.
Benar saja, Thio Hong Hoe
beramai telah mengambil tempat di hotel kaumnya Tjinsamkay, dari itu In Loei,
dengan mengandal jongos hotel, dapat masuk ke dalam hotel dengan mengambil
jalan dari pintu belakang. Ia minta keterangan, kamar mana yang Hong Hoe pakai,
habis itu, ia beristirahat sebentar.
Kira-kira jam tiga, nona In
sudah lantas salin pakaian, untuk memakai yaheng ie,pakaian untuk bekerja
malam, tetapi ketika hendak lompat naik ke atas genteng,kupingnya mendengar
tindakan kaki kuda, yang dengan cepat sekali telah tiba di muka hotel.
Dari dalam rumah penginapan
pun sudah lantas keluar serdadu Gielim koen, yang menyambut orang yang baharu
tiba itu.
"In Siangkong, harap
tunggu sebentar," pesan jongos yang melayaninya.
Dengan bawa tahang air dan
makanan kuda, jongos ini terus pergi keluar. Sampai sekian lama, setelah suara
di luar sunyi, baharu ia kembali.
"Rupanya itu adalah kabar
kilat," ia beritahu In Loei. "Entah urusan apa yang demikian
penting."
Di jaman itu, surat-surat di
kirim dan dibawa bergantian oleh pelbagai pesuruh, yang mempunyai pos-pos
sendiri, untuk saling menolong, secara demikian surat-surat dapat disampaikan
kepada alamatnya secara cepat sekali. Itulah cara yang dinamakan "Pat pek
lie koay ma kee kin" atau "Larinya kuda cepat delapan ratus
lie." Dalam satu hari orang dapat mencapai sepuluh pos dan menukar sepuluh
ekor kuda, kudanya adalah kuda pilihan, penunggang kudanya jempolan. Maka dalam
tempo dua belas jam, kuda itu dapat menempuh jarak sejauh tujuh atau delapan
ratus lie. In Loei heran.
"Cara bagaimana kau
ketahui itu?" ia tanya.
"Sebab, kuda pembawa
surat itu telah lelah hingga rubuh," sahut si jongos, "dengan
pertolongan dua orang, baharu kepala kuda itu dapat diangkat untuk diberi air
minum.....” In Loei berpikir.
"Baiklah," katanya.
"Sekarang ingin aku ketahui, kabar penting apakah yang dibawa itu."
Kamar Thio Hong Hoe berada di
sebelah selatan, kamar itu besar. Ke sana In Loei nelusup, terus saja ia
gelantungkan diri di payon kamar, untuk mengintai ke dalam.Di dalam kamar itu
tampak duduk eorang pesuruh, Hong Hoe sendiri tengah menyekal sepucuk surat.
"Penjahat yang hari ini
kami dapat tawan, satu pun belum sempat kami periksa," berkata Hong Hoe,
"karena itu, belum diketahui apa di antaranya ada orang yang dimaksudkan,
tetapi umpama kata benar ada, pasti sekali akan aku turuti kehendak Kong
Tjongkoan. Kau tentunya letih sekali, pergi kau beristirahat, supaya besok kau
dapat segera kembali ke kota raja. Salinan surat dinas ini nanti aku titahkan
orang menyampaikannya kepada Khoan Tiong."
"Terima kasih,
thaydjin1." mengucap pesuruh itu, yang terus meminta diri untuk pergi.
Hong Hoe sudah lantas jalan
mondar-mandir, kedua alisnya dikerutkan. Terang ia tengah menghadapi urusan
sangat penting. "Mana orang!" tiba-tiba ia memanggil.
Segera setelah itu, satu
serdadu yang menjaga di pintu luar bertindak masuk. Dia ini diberi titah dengan
suara hampir berbisik, atas mana, dia keluar pula.
Masih Hong Hoe nampak tak
tenang, ia garuk-garuk belakang kupingnya. Ia beber kertas di tangannya itu,
untuk diawasi. Dari tempatnya mengintai, In Loei dapat lihat kertas itu. Itulah
bukan surat dinas, itu
adalah lukisan satu orang.
Melihat gambar itu, hampir In Loei tak tahan untuk tidak perdengarkan jeritan.
Itu adalah gambarnya Tjioe San Bin, yang ia hendak tolongi. Hong Hoe berkata
seorang diri, suaranya tak tegas: "Lebih dulu tusuk tulang piepeenya,lalu
kedua matanya dikorek keluar, setelah itu dia masih hendak dipakai sebagai
umpan untuk menagih kepada Kim Too Tjeetjoe..... Ah, inilah sungguh
kejam!"
In Loei terkejut.
"Jikalau benar mereka berbuat demikian macam terhadap saudara San Bin,
malam ini aku mesti adu jiwaku!" dia berpikir. "Biarlah kita semua
bersama binasa!.....”
Dan ia genggam Bweehoa
Ouwtiap-nya. Hatinya tegang, tubuhnya sampai bermandikan keringat dingin. Tidak
lama kemudian terdengar tindakan dari beberapa kaki.
"Inilah tentu saudara San
Bin yang diiring," In Loei menduga-duga. Ia lantas memasang mata, hatinya
jadi bertambah tegang. Tapi, ketika ia lihat dengan nyata, ia jadi melengak,
hampir saja ia keluarkan seruan tertahan.
Yang datang itu adalah satu
perwira muda, dialah orang dengan siapa tadi In Loei bertempur, dia juga si
orang aneh yang malam itu membokong si pangeran asing!
"Saudara Tjian-lie,
urusan ini sangat sulit untuk diputuskan," berkata Thio Hong Hoe kepada
anak muda itu.
"Apakah itu, Thio
Thaydjin?" tanya si anak muda. Hong Hoe tidak segera menjawab, ia hanya
maju dua tindak, hingga ia berdiri berhadapan dengan si anak muda. Ia
bersenyum.
"Kau meninggalkan kota
raja pada tanggal tujuh belas, kenapa baru kemarin malam
kau tiba di sini?" dia
tanya.
Anak muda itu nampak
kemalu-maluan, ia alihkan pandangan matanya. Habis itu ia paksakan bersenyum.
"Di tengah jalan aku
diganggu hujan, kudaku tak dapat jalan," ia kata. "Karenanya aku
terlambat."
Thio Hong Hoe tertawa.
"Benarkah itu?" dia tanya pula.
Wajah pemuda itu berubah, ia
mundur satu tindak, tangannya menekan meja."Apakah Thaydjin curigai
aku?" dia tanya. Thio Hong Hoe tertawa pula, bergelak. "Mustahil aku
curigai kau.....” sahutnya. Lalu,
dengan suara dalam, dia
tambahkan: "Walaupun kau memakai seragam Kimie wie belum cukup satu bulan,
tapi aku rasa kita dapat bicara dari hati ke hati bukan?"
Dengan bajunya, perwira muda
itu menyeka keringat di jidatnya. "Thaydjin setia dan jujur, aku kagum
terhadapmu, " ia kata. Thio Hong Hoe maju satu tindak.
"Jikalau kau tidak ingin
dicurigai, hendaknya kau bicara terus terang," ia kata. "Ketika
kemarin ini di Tjengliong kiap terjadi penyerangan kepada utusan bangsa
Mongolia,bukankah kau telah mengambil bagianmu?"
Perwira itu berdiri tegak.
"Baiklah thaydjin ketahui aku bukan cuma turut dalam sebagian, aku malah
orang yang memegang peranan!" sahutnya.
"Tahukah kau bahwa dia
adalah utusan terhormat dari pemerintah kita?" Hong Hoe tanya.
"Tahukah kau, apabila terjadi sesuatu atas diri utusan itu, di antara
kedua negeri dapat terjadi peperangan?"
Anak muda itu tidak terdesak.
"Thio Thaydjin, tahukah
kau, apa maksud kedatangan utusan itu?" ia balik menanya.
"Tahukah thaydjin bahwa
utusan itu hendak meminta supaya pemerintah kita menyerahkan tanah daerah untuk
mengganti kerugian? Daripada bertekuk lutut terhina,lebih baik kita berperang
mati-matian!" "Walaupun demikian," kata Hong Hoe, "kau
adalah satu hamba negeri, sebagai hamba
negeri, kau serang utusan
negara asing, dosamu bukannya kecil!"
"Sehebat-hebatnya tidak
melebihi hukum picis!" kata si anak muda. "Thio Thaydjin,adakah ini
urusan yang membuatnya kau sulit? Siapa berani berbuat, dia mesti berani
bertanggung jawab, maka itu, tidak nanti aku bikin kau susah. Thio Thaydjin
sekarang juga aku bersedia ditawan, kau boleh legakan hatimu!"
Sekonyong-konyong Thio Hong
Hoe tertawa bergelak-gelak. "Saudara Tjian-lie, tak usah kau pancing
ke-murkaanku!" katanya. "Kesulitanku itu tidak ada sangkutannya
dengan kau!"
Mendengar ini, tercengang si
anak muda. Inilah di luar dugaannya. "Habis, urusan apakah itu?"
tanyanya. Dengan sabar Hong Hoe beber kertasnya tadi, dia tunjukkan gambar yang
terlukis di
atas itu. "Tahukah kau,
siapa orang yang tertera di sini?" ia tanya.
Wajah si anak muda kembali
berubah. "Bukankah ia salah satu penjahat yang thaydjin telah tawan?"
tanyanya. "Aku hanya ingin bertanya, kenalkah kau padanya atau
tidak?" kata komandan Kimie wie itu. "Tahukah kau tentang diri dia
ini?"
Si anak muda bersangsi
sebentar, lalu ia menghela napas."Dia adalah putera Kimtoo Tjeetjoe yang
sangat disayang dari Ganboenkwan," ia berikan penyahutan. "Aku dengar
pada sepuluh tahun yang
lampau, Tjioe Kian telah
berontak dan kabur keluar perbatasan, dia ditangkap serumah tangganya dan
dihukum mati semua, kecuali puteranya ini yang berhasil meloloskan diri.....”
Thio Hong Hoe melirik.
"Kau masih berusia sangat muda, tapi bukan sedikit hal yang kau
ketahui!" dia kata. Tiba-tiba si anak muda berlinangkan air mata.
"Thio Thaydjin....." katanya perlahan,tertahan.
Hong Hoe memotong: "Sejak
saat ini, kita ada seperti kakak dan adik. Mulai sekarang aku minta kau panggil
saja namaku!"
"Thio Toako," segera
si anak muda berkata terus terang, "Kimtoo Tjioe Kian itu adalah tuan
penolongku yang besar. Hanya, bagaimana duduknya hingga aku berhutang budi
daripadanya, maaf, tak dapat aku menjelaskannya." "Aku pun dapat
melihat kesukaranmu hingga kau tak dapat bicara," kata Hong Hoe.
"Baiklah, jangan kita
bicarakan pula soal itu. Puteranya Tjioe Kian telah kita tawan. Coba katakan,
dengan cara bagaimana dapat kita merdekakan dia?"
"Urusan ini sangat besar,
tidak berani aku campur bicara," jawab si anak muda. "Memang benar
Kimtoo Tjeetjoe telah berontak terhadap pemerintah, akan tetapi selama berdiam
di Ganboenkwan, berulangkah dia melabrak bangsa Ouw yang datang menerjang
daerah kita, jadi dengan sendirinya dia telah berjasa kepada negara! Dia
mempunyai hanya satu putera, jikalau putera itu dibawa ke kota raja dan
diperiksa, aku kuatir ia tak akan dapat lolos dari hukuman mati. Apabila itu
sampai terjadi, sungguh hebat!.....”
Pemuda ini berkata, ia tidak
berani campur bicara tetapi ia telah mengutarakan rasa hatinya itu! Dengan itu,
ia hendak menggerakkan hatinya Hong Hoe, supaya komandan itu suka membebaskan
San Bin.....
Thio Hong Hoe mengerti maksud
orang, ia bersenyum.
"Tidak usah dia dibawa ke
kota raja, tidak usah dia diperiksa lagi," katanya. "Kong Tjongkoan
telah ketahui hal ihwalnya putera Tjioe Kian itu tetapi dia mungkin tak usah
menemui ajalnya.....”
"Jadi warta kilat tadi
ada mengenai urusan ini?" tanya si perwira muda. "Benar!" jawab
Hong Hoe. "Itulah hal yang aku katakan sulit. Sungguh lihay mata dan
kuping Kong Tjongkoan, dia telah ketahui puteranya Tjioe Kian sudah nelusup
masuk ke Tionggoan, dia pun ketahui bahwa kita telah membekuk banyak orang
Rimba Hijau kenamaan. Untungnya dia masih belum ketahui, apakah putera Tjioe
Kian itu ada di antara orang-orang tawanan kita atau tidak. Maka itu dia telah
mengirim warta kilatnya,untuk kita perdatakan putera Tjioe Kian itu. Dia
menitahkan, apabila kita berhasil menawan putera pemberontak itu, supaya kita lantas
mengalungi tulang piepee-nya, mengorek matanya, untuk melenyapkan kegagahannya,
hingga orang tak dapat membawa dia minggat. Setelah itu Kong Tjongkoan hendak
menggunakan putera orang itu sebagai barang berharga, sebagai tanggungan, guna
memaksa Kimtoo Tjeetjoe, supaya dia tidak menentangi lagi tentara negeri.....”
"Sungguh daya yang kejam
sekali!" seru si anak muda tanpa merasa. "Kita sama-sama makan gaji
negara," kata Hong Hoe, "terhadap penjahat biasa, bila dia kena
ditawan, itu berarti pahala untuk kita, dapat kita bertindak dengan hati adem.
Akan tetapi Tjioe Kian dan puteranya bukan penjahat biasa, tanpa mereka itu,
sudah sejak siang-siang pasukan perang Watzu menyerbu ke tanah daerah
kita.....”
Pemuda itu membuka dengan
lebar kedua matanya, yang bersinar terang. "Thio Thaydjin," katanya,
"eh, bukan, Thio Toako, baik kau merdekakan saja dia! Coba siang-siang aku
ketahui kau mempunyai maksud begini.....”
Thio Hong Hoe tertawa, dia
memotong: ".....kau sekarang tidak usah menempuh bahaya dengan menyerang
si pangeran asing, bukan? Saudara Tjian-lie, siang-siang aku telah menduga,
untuk menyerang si pangeran, kau menggunakan akal dengan sebuah batu
mendapatkan dua ekor burung. Kau tidak ingin secara terang-terangan menentang
aku, tak ingin kau memerdekakan orang di bawah perlindunganku, maka kau pinjam
tangannya rombongan Pit To Hoan. Kau ingin bekuk si pangeran asing, untuk
dipakai menukar orang. Bukankah begitu?"
"Toako, apa yang kau
katakan itu semua benar," jawab si perwira muda. Ia berlaku terus terang.
Dengan tiba-tiba saja, Hong
Hoe berhenti bersenyum. "Bagaimana gampang untuk memerdekakan orang
itu!" katanya. "Apakah kau tidak menginsyafi berbahayanya Kong
Tjongkoan? Sudah pasti jabatan komandan Kimie wie ini tak akan aku pangku
terlebih lama pula, juga kau sendiri, jangan kau mengharap untuk menjadi boe
tjonggoan tahun ini.....”
Si anak muda bungkam. Sampai
sekian lama, baharu ia buka mulutnya. Ia mendongkol sekali.
"Biarlah, tak apa aku tak
turut ujian boe tjonggoan1." katanya, sengit. "Tapi aku tak ingin kau
mengorbankan pangkatmu!" "Dengan perbuatanku itu," kata Thio
Hong Hoe, "tidak saja pangkatku yang akan hilang, juga jiwaku terancam
keselamatannya.....”
Perwira muda itu nampaknya
menjadi sangat lesu.
"Sekarang ada titah
apalagi dari Thaydjin?" dia tanya dengan tawar. "Kau pergi meronda di
luar," kata Hong Hoe. "Kecuali Hoan Tiong, yang lainnya siapa pun tak
boleh keluar masuk di sini. Juga kau, aku larang kau bertindak secara
sembrono!" "Di bawah perintah kau, toako, — oh, thaydjin," kata
si anak muda, "umpama kata aku berani bertindak sembrono, aku toh tidak
akan lolos dari golok Biantoo-mu. Thaydjin,legakanlah hatimu, jangan
kuatir!" Thio Hong Hoe tertawa, ia kibaskan tangannya.
In Loei lihat tegas, anak muda
itu mengundurkan diri dengan lesu dan uring-uringan.
Seberlalunya si anak muda,
Hong Hoe panggil pengawal kepercayaannya yang ia bisiki pesannya, setelah mana,
orang itu mengundurkan diri, tetapi tidak lama kemudian ia sudah kembali
bersama satu orang. Itulah Hoan Tiong, Gietjian siewie.
Kepada pahlawan istana ini,
Hong Hoe perlihatkan surat dinas, melihat mana, kedua matanya si orang she Hoan
terbelalak, sepasang alisnya berdiri.
"Toako." katanya
dengan nyaring, "apakah kau masih ingat sumpah kita baru-baru ini?"
"Sang waktu telah lewat lama sekali, aku sudah lupa.....” jawab Hong Hoe.
Hoan Tiong nampak sangat
gusar, ia gebrak meja."Apakah benar toako telah melupakannya?" dia
tegaskan."Hiantee, cobalah kau katakan....." Hong Hoe minta, sikapnya
sabar.
"Dengan darah kita yang panas,
hendak kita membela negara!" kata Hoan Tiong, keras."Kita juga tak
sudi terima penghinaan dari musuh! Itulah sebabnya kenapa kita masuk tentera!
Sama sekali kita tidak mengharapkan anak isteri berbahagia karena kemaruk akan
jasa atau pangkat!" ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan.
"Adalah maksud hatiku untuk pergi keperbatasan guna dengan golok dan
tombakku, mengadu jiwa dengan bangsa Ouw, tetapi Sri Baginda justeru
menghendaki aku menjadi pahlawan di dalam istana! Maka dalam beberapa tahun
ini, aku merasa seperti tak dapat bernafas.....”
Masih ia menambahkan setelah
berhenti sebentar: "Sudah tak dapat kita pergi keperbatasan untuk
bertempur dengan bangsa asing, guna membela negara, kita sebaliknya telah
mencelakai Kimtoo Tjeetjoe serta puteranya yang justeru telah mengeluarkan
tenaganya menentang bangsa Ouw itu! Apakah artinya ini? Tidakkah ini
memalukan?"
"Apa lagi sumpah kita
itu?" Hong Hoe tanya pula. "Kita mesti beruntung hidup bersama,celaka
sama binasa" sahut Hoan Tiong. "Bagus!" seru tjiehoei itu.
"Sekarang ada satu bencana besar yang mengancam kita,yang aku ingin kita
menentangnya bersama! Mari dekatkan kupingmu!"
Hoan Tiong mendekati, ia
pasang kupingnya.
Hong Hoe segera berbisik,
habis mana, orang she Hoan itu menjura dalam.
"Toako, maafkan aku untuk
kesembronoanku tadi!" ia mohon. "Tindakanmu ini tidak keliru!"
Setelah itu, ia putar tubuhnya
untuk berlalu.
Thio Hong Hoe mengawasi, ia
menghela napas.
"Aku hanya kuatirkan
djieko-mu tak sama pikirannya.....” ia kata.
"Tak usah kita memikir
sampai begitu jauh!" Hoan Tiong masih berkata. Tanpa menoleh lagi, ia
berjalan terus, ia buka tindakan lebar. Menyaksikan semua itu, In Loei
berpikir.
"Tidak kusangka mereka
ini ada orang-orang gagah sejati," katanya dalam hati. Lantas ia dapat
pikiran untuk menyusul Hoan Tiong, guna melihat apa yang dia hendak lakukan.
Atau tiba-tiba Hong Hoe yang
berpaling ke arahnya, sambil bersenyum lantas melambaikan tangannya dan
berkata: "Silakan turun kemari! Sekian lama kau bergelantungan di payon,
apakah kau tidak letih?"
In Loei berani, ia pun
bersenyum. Ia lompat melayang turun, akan hampirkan komandan Kimie wie itu.
Segera ia angkat kedua tangannya, memberi hormat.
"Thio Thaydjin, kita
adalah sahabat-sahabat satu dengan lain!" katanya tenang.
"Kau datang untuk
menolongi San Bin, bukan?" tanya Hong Hoe.
"Tidak salah," In
Loei akui terus terang. "Semua pembicaraanmu telah aku dengar tegas.
Sekarang ini aku minta sukalah kau serahkan San Bin padaku." Dengan
langsung nona ini mengajukan ermintaannya itu.
Hong Hoe tertawa.
"Dengan serahkan ia untuk
dibawa pergi, tidakkah itu akan menerbitkan kegemparan?" tanya komandan
ini. "Bagaimana kalau kau gagal? Apakah kau tidak memikir kepentingan di
pihak kami?"
In Loei melengak. Ia lantas
berpikir. Memang itu bukanlah cara yang tepat. Tak seharusnya Hong Hoe dibikin
repot atau pusing. Ia jadi malu sendirinya. Hong Hoe pandang muka orang, ia
bersenyum.
"Kini Hoan Tiong telah
bawa pergi Tjioe Toako-mu itu dengan diam-diam," ia beritahu. "Aku
titahkan mereka untuk tunggui kau di luar pintu kota utara." In Loei ada
demikian girang, hingga — sret! — lantas saja ia lompat naik ke atas payon.
"Tunggu!" tiba-tiba
Hong Hoe mencegah."Ada apa lagi?" tanya si nona sambil berpaling.
"Mana sahabatmu yang
menunggang kuda putih itu?" Hong Hoe tanya.
Goncang hatinya si nona.
"Dia ambil jalannya
sendiri, aku juga ambil jalanku sendiri," ia jawab. "Aku tak tahu dia
di mana."
Hong Hoe menjadi heran sekali.
"Kamu berdua merangkap
sepasang pedang, kamu menjagoi, mana dapat kamu hidup berpencaran?" dia
bilang. "Sahabatmu itu agung sekali, sekali saja orang lihat padanya,orang
akan jatuh hati. Kalau nanti kau bertemu pula dengan dia, tolong sampaikan
hormatku kepadanya."
"Belum tentu aku dapat
bertemu pula dengannya," sahut In Loei. "Baiklah, akan aku ingat
pesanmu ini. Aku pergi!" Ia hendak ambil langkahnya, atau:"Tunggu
dulu!" kembali Hong Hoe mencegah.
In Loei menoleh, ia menjadi
tidak sabaran. "Ada apa lagi?" tanyanya.
"Sekarang ini Tjinsamkay
Pit To Hoan ada di mana?" Hong Hoe tanya.
Kaget In Loei.
"Apakah ia telah ketahui
sepak terjangnya Pit Looenghiong?" ia menduga-duga.Karena kesangsiannya,
ia tidak segera memberi penyahutan.
Hong Hoe awasi kelakuan orang,
ia tertawa.
"Kau tidak hendak
menerangkannya, tidak apa," katanya. "Sekarang aku hendak mohon
perantaraanmu untuk menyampaikan kepadanya, bahwa dia adalah beda daripada
Kimtoo Tjeetjoe, karena itu, sebab aku telah terima titah untuk membekuk dia,
andaikata dia kena tertawan, tidak dapat aku ambil sikap perseorangan dan merdekakan
dia. Dia ada seorang gagah, aku hargai padanya, aku minta sukalah dia pergi
jauh, supaya tak usah dia bertemu muka dengan aku. Cukup sudah, untuk sahabat
baik, cuma sampai di sini saja dapat aku bertindak. Kau pergilah!"
In Loei lantas berlalu. Tak
habisnya ia memikirkan sikap luar biasa dari Thio Hong Hoe.Itulah sikap di luar
dugaannya. Memikir terlebih jauh, ia sayangi orang she Thio itu, yang demikian
kosen dan cerdik tapi telah sediakan tenaganya untuk satu kaisar Beng. Itulah
tujuan hidup yang tidak ada harganya di matanya. Karena ini juga, ia menjadi
ingat engkong-nya, yang disebabkan kesetiaannya sebagai utusan kerajaan Beng,
sudah mesti bersengsara puluhan tahun di negara asing, akan akhirnya menghembus
napas secara kecewa.
"Itulah kesetiaan
tolol!" kata si nona perlahan. "Entah berapa banyak penyinta negara
yang dikurbankan kesetiaan keliru ini.....”
Masih muda nona ini, tak
memikir ia soal yang demikian berat yang telah berabad-abad usianya. Ada sangat
sulit untuk membedakan kesetiaan terhadap negara dengan kesetiaan terhadap
raja. Di jaman feodal siapa tidak sangat cerdas dan tabah, tak dapat dia
membedakannya. Tapi ia telah kenal Tan Hong sekian lama, tanpa merasa, ia kena
juga terpengaruh anak muda itu, ia dapat juga menganggap rendah sikap
engkong-nya yang bersetia secara membuta kepada kaisar Beng.
Walaupun hatinya tidak
tenteram, In Loei tidak pernah hentikan tindakannya, tidak ia berlambat sejenak
jua. Sebentar saja sudah ia berlalu dari hotel. Sampai di seberang, ia lompat
naik ke atas genteng dari rumah di sebelah depan. Ia awasi bintang-bintang, ia
menerka sudah jam empat. Ia tidak lihat Pit To Hoan, sekalipun ia ketahui, jago
tua itu bertugas memasang mata terhadapnya. Ia lantas menepuk tangan tiga kali,
perlahan tetapi terang. Ia percaya To Hoan akan mendengarnya kalau kawan itu
masih menantikan padanya, karena sangat terang pendengarannya. Akan tetapi, ia
tidak peroleh jawaban
tidak ada orang yang muncul.
Sia-sia ia menantikan sekian lama. Akhirnya, ia menyedot napas dingin.
"Ah ke mana perginya. Pit
Looenghiong?" ia kata dalam hatinya. "Dia seorang kangouw yang ulung,
tidak nanti orang tipu padanya. Apakah dia telah lihat San Bin? Kalau
begitu,mestinya dia tunggu atau cari aku, untuk bekerja sama..... Tak
seharusnya dia pergi seorang diri dengan diam-diam..... Ke mana dia
pergi?"
Si nona mengawasi pula ke
sekelilingnya, kembali ia menyedot napas dingin. Karena penasaran, ia lantas
mencari di sekitar tempat itu sejauh satu lie persegi. Dua kali ia ulangi untuk
mencari, matanya dibuka lebar-lebar, kupingnya dipasang. Sia-sia saja, tetap ia
tak tampak bayangan si orang tua.
"Ah, apakah Hong Hoe
telah lihat dia dan telah menjebaknya sehingga kena ditawan?" nona ini mau
menduga. "Tidak, itulah tak mungkin! Sebegitu jauh Hong Hoe tetap berada
di dalam kamarnya! Kecuali Hong Hoe, tidak ada satu pahlawan lainnya yang
sanggup layani Pit Looenghiong1. Sekalipun Hong Hoe sendiri, sebelum lewat lima
ratus jurus,tidak nanti ia dapat peroleh kemenangan atasnya! Kenapa dia tak
nampak bayangannya?
Mustahil dia benar-benar kena
tertawan musuh? Apakah ada lain orang gagah, yang telah rubuhkan padanya —
merubuhkannya secara curang? Tak bisa jadi Pit Looenghiong dapat dirubuhkan
tanpa suara apa-apa.....”
Tegang hatinya nona ini, ia
berkuatir. Terpaksa ia lari ke pintu kota utara. Dengan cepat ia telah sampai
di luar kota, di tempat yang Hong Hoe sebutkan. Di sana katanya Hoan Tiong dan
San Bin menantikan ia. Ia lantas pergi ke tempat yang tinggi, ia tepuk kedua
tangannya selaku tanda. Dengan mata dibuka lebar, ia tampak jagat yang
tertaburkan bintang-bintang dan cahayanya si Puteri Malam. Malam yang tenang,
kecuali suara kutu-kutu. Suasana sunyi senyap. Di sana tak ada Hoan Tiong dan
San Bin.....
Sekian lama In Loei menanti,
akhirnya ia jadi kuatir berbareng mendongkol. "Apakah Thio Hong Hoe sedang
mainkan akal muslihatnya?" ia jadi curigai pahlawan Kimie wie itu. Kenapa
aku gampang mempercayai dia? Mungkinkah dia tidak memerdekakan Tjioe Toako?
Tapi, untuk apa dia dustai dan memperdayai aku?"
Dalam keragu-raguannya yang
sangat, akhirnya In Loei lari kembali ke dalam kota. Dengan cepat ia tiba di
muka hotel. Ia lihat pintu besar cuma dirapatkan. Ia heran. Dengan berani ia
menolak pintu dan bertindak masuk. Di dalam pekarangan ada belasan ekor kuda, tapi
kuda-kuda itu berdiri diam bagaikan manusia, kedua kaki depannya masing-masing
terangkat naik. Kuda itu tidak bergerak, tidak berbunyi, sekalipun mereka
didupaki.
Maka itu, di bawah sinar
rembulan, mereka tampaknya menyeramkan. Sejenak In Loei berdiam, segera ia
ingat kepandaiannya Hek Pek Moko untuk menakluki kuda. Ia menjadi terperanjat.
Ingat ia kepada dua iblis istimewa itu. Kedua mereka itu, jikalau orang tidak
ganggu padanya, tidak akan mereka ganggu orang lain. Benar di Tjengliong kiap
mereka telah bantui ia secara diam-diam, tetapi itu adalah bantuan sambil lalu,
mereka itu tidak tempur terang-terangan tentara negeri. Sekarang, kenapa malam
malam mereka datang kemari dan mempermainkan belasan kuda itu? Itu tandanya
merekapun mempermainkan tentara negeri!.....
"Jikalau benar Hek Pek
Moko yang datang kemari, urusan pasti mesti ada ekornya," In Loei menduga
kemudian. Karena ini ia lompat naik ke atas rumah, ia pasang kupingnya.
Dalam hotel itu, berikut
tentara negeri, penumpangnya berjumlah kira-kira tujuh puluh orang, tetapi
waktu itu, tak terdengar satupun juga suara dari mereka, suasana sangat sunyi,
sampaipun suara dekur tidak terdengar, hingga kesunyian mirip seperti
pekuburan.....
Dengan hati-hati, In Loei
lompat masuk ke tjimtjhe dalam. Adalah niatnya untuk cari si jongos. Ia tampak
pintu besar terbuka terpentang. Dan ia dapatkan, jongos yang pernah jadi
penunjuk jalannya, pengantarnya, sedang tidur nyenyak bagaikan mayat. Ia tolak
tubuh jongos itu, masih dia itu tak sadar dari tidurnya. Ia taruh tangannya di
depan hidung orang, ia merasai hembusan napas. Ia mencoba menguruti jalan
darahnya, akan tetapi nampaknya jongos itu bukan bekas kena totokan tiamhiat
hoat.
Heran dan penasaran, In Loei
memeriksa terlebih jauh. ia jadi semakin heran. Beberapa jongos lainnya, jongos
dari lain-lain kamar, rebah diam seperti jongos itu. Malah kuasa hotel, yang ia
tahu mengerti ilmu silat, tidak menjadi kecuali, rebah seperti semua jongos
itu.....
"Aku dengar dalam dunia
kangouw ada satu penjahat tukang petik bunga yang ada punya asap lupa
istimewa," pikir si nona, "siapa terkena asap itu, dia akan tak
sadarkan diri sebagai orang telah mati. Mungkinkah mereka ini telah terkena
macam obat tidur itu?"
Segera In Loei cari air,
dengan itu ia sembur mukanya si kuasa hotel. Cuma kedua lengannya si kuasa
bergerak sedikit tapi dia tetap tak sadar. Dia nampaknya bukan terkena obat
tidur.
Walaupun ia bernyali besar
menghadapi kejadian itu, si nona bingung juga. Di akhirnya,ia lari keluar, akan
periksa lain-lain kamar. Semua pintu kamar terpentang lebar, semua penghuninya,
rombongan serdadu, pada tidur nyenyak sekali. Begitu juga serdadu yang rebah
menggelar di ruangan tengah. Malah ada yang tidur dengan kaki tangan terpentang
merupakan huruf "tay" — "besar." Ada juga mereka yang
nyender ngelehek di tembok, kepalanya tunduk, pundaknya turun.
Yang paling lucu ialah mereka
yang mulutnya mengangah.....
Seorang diri, In Loei
bermandikan keringat dingin. Ia coba berteriak. Tidak ada jawaban manusia hanya
suara kumandang. Ia merasa sangat tegang. Di situ, ia jadi seperti berada
seorang diri saja, ia bagaikan hidup sendirian.....
Dengan perlahan-lahan In Loei
tenangkan dirinya. Ia mengingat-ingatkan akan Thio Hong Hoe yang liehay, juga
si perwira muda yang tidak dapat dipandang enteng. Dua orang itu kosen,
melayani mereka, belum tentu Hek Moko dapat dengan mudah menang di atas angin.
Maka aneh sekali kenapa terjadi demikian rupa terhadap seluruh hotel?
Dengan penasaran In Loei lari
ke belakang. Di sana ia lihat enam buah kereta kerangkeng. Sekarang semua
kerangkeng itu telah terbongkar, jeruji besinya memberi tanda bekas dikutungi
senjata tajam. Kosong semua kereta itu, tak ada perantaiannya. In Loei jadi
semakin heran. Senjatanya Hek Moko bukan senjata mustika. Siapakah yang telah
melakukan semua ini?
Benarkah Hong Hoe ramai kena
dikelecei secara demikian gampang? Dengan perasaan heran In Loei lari ke
kamarnya Hong Hoe. Kalau semua kamar lainnya pintunya terpentang lebar, adalah
kamarnya komandan Kimie wie ini, tertutup rapat. Untuk membuka kamar itu, In
Loei mendupak dengan kakinya. Begitu lekas daun pintu menjeblak, kamar itu
terlihat kosong — Thio Hong Hoe tak nampak dalam kamarnya itu!
Memandang ke sekitar kamar,
tembok tertampak lukisan dari dua buah tengkorak manusia, yang dilukis dengan
arang. Itulah tandanya Hek Pek Moko! .Adakah Thio Hong Hoe tercelaka oleh kedua
iblis dari Barat itu?
Tetapi tidak ada tanda darah
di lantai kamar. Hong Hoe liehay, umpama ia kalah terkepung Hek Pek Moko, itu
baharu akan terjadi sesudah satu pertempuran yang seru.Sekarang ini keadaan
kamar tak berubah sedikit jua, kursi tidak terbalik, meja tak terjungkal.
Tidakkah itu aneh?
Masih In Loei memandang
seluruh kamar, hingga ia tampak, di tembok berhadapan dengan gambar kedua buah
tengkorak itu, ada bertuliskan sesuatu yang lain. Yaitu yang satu adalah
sebaris huruf, dan yang lain, yang di tengah, ada lukisan seekor kera bertangan
panjang, mukanya bengis sekali.
Di kiri ini ada lukisan
sebatang pedang panjang,yang ujungnya tertusukkan sekuntum bunga merah,
didampingi dikedua sampingnya dengan bunga putih. Sebaris huruf itu yang
besar-besar, berbunyi:
"Tiatpie Kimwan Hoasam
Kiam hendak memapas kepalanya Hek Pek Moko! Siapa yang berlaku curang, dia
bukannya satu enghiong! Siapa bernyali besar, silahkan datang keselat Tjeng
Liong Kiap."
In Loei ulangi itu tujuh huruf
"Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam," atau Hoa Sam Kiam si Kera Berlengan
Besi. Ia lantas ingat penuturan gurunya tentang orang-orang liehay dari Rimba
Persilatan jamannya itu. Ketua partai Thiamtjhong Pay, yang bernama Leng Siauw
Tjoe mempunyai dua murid terpandai, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong dan
Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe. Kedua murid ini mempunyai masing-masing
kepandaiannya yang istimewa, tadinya hidup mereka ada di antara kalangan benar
dan sesat, akan tetapi sudah belasan tahun lamanya mereka berdiam
"bertapa" di atas gunung Thiamtjong San,untuk melatih lebih jauh
kepandaian mereka, hingga mereka tak tampak pula dalam dunia
kangouw. Maka adalah aneh,
kenapa mereka berdua menantang Hek Pek Moko? Ada perselisihan apakah di antara
kedua pihak itu? Memikirkan terlebih jauh, In Loei mau menduga,
Hek Pek Moko adalah yang
sampai terlebih dahulu di rumah penginapan itu, kemudian baharulah muncul
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam.....
In Loei menjadi terlebih
bingung lagi. Kejadian yang satu disusul kejadian yang lain. Yang satu aneh,
yang lain terlebih aneh pula. Tak tahu ia apa yang harus dilakukan. Maka ia
tinggalkan kamar dan pergi keluar, akan melihat-lihat. Ia seperti merondai
hotel itu,sampai setibanya ia di belakang, di pintu samping, ia tampak pula
satu hal aneh lainnya.
Di situ terlihat si perwira
muda, goloknya melintang di depan dada, kaki depannya terangkat naik, seperti
tengah membuka tindakan lebar. Dia seperti terkena Tengsin hoat,ilmu
"Mendiamkan tubuh", kedua matanya dipentang lebar. Dari
tenggorokannya terdengar suara gerogokan. Inilah pemandangan mirip dengan yang
In Loei tampak di rumah Tjio Eng, ketika Thio Tan Hong totok ke empat saudagar
barang permata.
"Apakah dia pun datang
kemari?" In Loei tanya dirinya sendiri. Ia ingat pada Tan Hong,si
mahasiswa berkuda putih. Hatinya jadi berdenyut. Ia berdiri menjublak.
Perwira itu tak dapat
berkutik, kaki tangan dan tubuhnya juga, akan tetapi kedua matanya bisa
ditujukan kepada si nona.
Oleh karena ia ingat ilmu
totoknya Tan Hong, yang ia mengerti cara membebaskannya,dengan berani In Loei
hampiri si anak muda, dengan lantas ia tekan kedua jalan darahnya , ialah
"thiansoan" — "teeekie." Sekejap saja perwira itu berseru,
menyusul mana, kaki dan tangannya dapat bergerak juga. Tapi, yang hebat, adalah
ketika dengan mendadak goloknya menyambar membacok kepada In Loei!
Tidak terkira kagetnya si
nona, syukur ia tidak gugup, di saat bahaya maut mengancam dirinya itu, dengan
kesebetannya ia dapat berkelit. Iapun segera hunus pedangnya, untuk menjaga
diri.
Perwira muda itu menjadi
gusar. "Hai, binatang! Kiranya kau berkomplot dengan si penghianat!"
demikian dampratnya.
In Loei menjadi
mendongkol."Kenapa kau balas kebaikan dengan kejahatan?" ia tegur.
"Sebab tangan jahat dari
si penghianat adalah justeru kau yang mengerti ilmu membebaskannya!"
bentak pula si anak muda. "Jikalau kau dan dia bukannya asal satu guru,
kamu tentulah bersahabat kekal satu pada lain, karenanya kau diajari ilmu membebaskan
totokan itu! Apakah kau masih hendak berlaku licik dan menyangkalnya?" In
Loei menjadi gusar, hingga ia maju menyerang, beruntun tiga kali. "Kau
kurang ajar!" ia membentak. "Jikalau aku kandung maksud jahat,
mustahil aku membebaskan kau?" "Kalau bukan sahahat, ada hubungan apa
di antara kau dan dia?" membandel perwira muda itu. "Lekas kau
bicara!"
In Loei tetap murka. "Kau
siapa? Pernah apa aku terhadapmu hingga aku mesti turut kata-katamu?" ia
bentak pula. Anak muda itu tetap gusar, malah ia balas membacok, dua
kali."Kau tahu siapa yang telah membokong aku?" katanya sengit.
"Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si perdana menteri muda dari negara
Watzu! Aku lihat kau seorang gagah perkasa, maka itu, setelah kau ketahui siapa
dia itu, kau mesti bantu aku menuntut balas!"
Mendengar itu, di dalam
hatinya, In Loei kata: "Sejak siang-siang telah aku ketahui puteranya Thio
Tjong Tjioe itu. Untuk apa aku tunggu sampai kau memberitahukannya?.....” Akan
tetapi ia merasa aneh, ingin ia mendapat tahu.
"Ada permusuhan apa di
antara kau dan dia?" ia tanya.
"Panjang untuk menuturkan
soal itu," jawab si anak muda. "Aku dan dia bukan cuma bermusuh, aku
malah hendak basmi semua anggauta keluarganya, tak peduli tua dan muda! Dia
adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si penghianat benar! Dia menyelusup masuk ke
Tionggoan, pastilah dia kandung maksud tidak baik! Karena itu, sebab kau ada
satu orang gagah perkasa, kau juga mesti bermusuh dengannya!"
Diam-diam In Loei bergidik.
Dari omongan orang ia dapat membayangkan bunyi surat wasiat kulit kambing yang
berbau bacin. Dan, mengawasi si anak muda, rasanya ia makin kenal, makin
kenal.....
Dan di akhirnya, ia rasakan
hatinya dingin, tubuhnya menggigil, giginya bercatrukan.
"He, kau kenapa?"
tanya si perwira, heran. Ia mengawasi dengan tajam.
In Loei kuatkan hatinya untuk
mencoba berlaku tenang.
"Tidak apa-apa,"
sahutnya perlahan.
"Syukur!" si anak
muda kata. Lalu ia menambahkan: "Kita bertempur, sekarang baiklah kita
berdamai. Kau beritahukanlah asal-usulmu, nanti aku beritahukan riwayatku
kepadamu.....”
"Tentang dirimu, tak usah
kau tuturkan padaku," In Loei kata. "Aku tahu, kau datang dari
Mongolia.....”
"Bagaimana kau ketahui
itu?" tanya si anak muda.
"Kemarin kau serang si
pangeran asing, kau menyamar sebagai pengembala bangsa
Mongolia," sahut In Loei.
"Dalam segala-galanya, kau mirip sekali."
"Oh begitu?" si anak
muda tertawa tawar. "Leluhurku, selama dua turunan memang sebagai
pengembala dari Mongolia.....”
Tiba saja In Loei rubuh
sendirinya, ia bagaikan pingsan.
Kakeknya In Loei hidup
mengembala kuda dua puluh tahun di Mongolia, dan ayahnya, untuk menolongi kakek
itu, tinggal di Mongolia juga dengan sembunyikan she dan namanya, selama itu
hidupnya sebagai pengembala kambing. Memang, mereka itu adalah pengembala-pengembala
di Mongolia, namun mereka adalah pengembala-pengembala yang terpaksa.....
Sejenak In Loei merasa
bagaikan kontak seluruh tubuhnya, hingga ia menggetar,menjadi seperti beku,
habis tenaganya.
"Dia inilah
kakakku," demikian pikirnya sesaat itu, begitu lekas ia dengar jawaban si
anak muda itu. "Tidak salah lagi, pasti dia kakakku! Ah, apakah benar dia
kakakku?.....”
In Loei datang ke kota raja
untuk dengar-dengar perihal kakaknya. Sekarang, setelah bertemu, tiba-tiba saja
ia dapat perasaan, ia mengharap, pemuda itu bukan kakaknya itu..... Ia terbenam
dalam keragu-raguan. Di waktu menyebut Thio Tjong Tjioe ayah dan anak, nyata
sekali kebencian pemuda itu terhadap ayah dan anak itu. Bagaimana kalau pemuda
ini benar kakaknya? Bagaimana anggapan kakak ini apabila dia ketahui
pergaulannya dengan Thio Tan Hong? Apa akan terjadi kelak? Apakah memang In
Loei tidak berniat mencari balas? Bukan! Tak lenyap dari pandangan matanya itu
surat wasiat
kulit kambing yang berdarah
dan berbau bacin. Tapi, ia benci Thio Tan Hong berbareng menyintainya juga.....
akan tetapi ia tak menginginkan lain orang membenci Tan Hong itu.....
Inilah pertentangan hebat
dalam hatinya itu. Inilah yang membuatnya ia, tanpa merasa, rubuh sendirinya.
"Kau siapa?" tanya
anak muda itu, keras.
Masih kalut pikirannya nona
ini.
"Untuk sementara baiklah
aku tidak segera perkenalkan diriku?" ia bersangsi. "Jikalau dia
bukan kakakku, tidakkah aku jadi buka rahasiaku sendiri? Bukankah dia seorang
perwira.....”
In Loei sambar sebatang
rumput, lantas ia lompat bangun. "Aku datang mencari Tjioe San Bin!"
akhirnya ia jawab.Agaknya pemuda itu heran.
"Aku tahu kau datang
untuk menolongi Tjioe San Bin," ia bilang. "Pada waktu pertama kali
kau datang, kau mendekam di atas gentengnya Thio Thaydjin. Ketika itu sekira
jam tiga. Aku telah lihat kau, tetapi aku membiarkannya, tak ingin aku pergoki
kau. Yang aku tanyakan bukannya urusan itu....."
"Jikalau kau tanya
lainnya hal, tak sudi aku bicara," In Loei bilang. "Apakah kau tidak
ketahui, urusan ada yang penting dan tidak penting? Kau lihat, cara bagaimana
kau sudah mengacau! Bagaimana kau masih hendak menanyakan sesuatu kepadaku? Aku
justeru hendak tanya kau, di mana Tjioe Toako itu? Kecuali kau, siapa pernah
datang kesini? Apa yang kau bicarakan dengan Thio Hong Hoe, telah aku dengar
semua, dari itu aku ketahui,kau juga datang untuk menolongi Toako San Bin
itu."
Nampaknya pemuda ini bagaikan
ingat sesuatu, ia seperti sadar.
"Kau benar," ia akui
kemudian. "Sekarang mari kita masuk ke dalam untuk melihat-lihat.
Mengapa Thio Thaydjin tidak
muncul?" Tiba-tiba ia berhenti, akan kemudian menambahkan:
"Sebenarnya apa yang kita bicarakan ini bukannya urusan tidak berarti.....
Kau mirip dengan itu orang yang aku sedang cari. Sayang kau adalah seorang
pria.....
Ah, panjang untuk menutur, tak
dapat itu dijelaskan dalam tempo satu hari satu malam. Baiklah lain waktu saja
kita membicarakannya pula.....”
In Loei telah menindakkan
kakinya, ia jalan di sebelah depan. Ia tak ingin pemuda itu melihat air
mukanya.
"Apakah kau masih belum
ketahui di dalam telah terjadi kekacauan?" ia tanya, tawar.
"Semua serdadumu telah
orang buatnya hingga bagaikan mayat-mayat hidup! Thio Thaydjin-mu juga tak
nampak.....”
Terkejut anak muda itu, hingga
ia berseru, lantas ia lari mendahului, hingga ia tampak kejadian di dalam, yang
membuatnya ia bergidik. Benar katanya anak muda ini yang ia tidak kenal.....
Dan ketika ia masuk ke dalam kamar Thio Hong Hoe, di situ ia dapatkan lukisan
tengkorak, kera dan pedang.
"Benar-benar mereka yang
datang!" katanya seorang diri.
"Mereka? Mereka
siapakah?" In Loei menegasi.
"Itulah Hek Pek Moko
bersama kedua paman guru dari Kong Tjongkoan dari keraton," sahut si anak
muda.
"Oh, kiranya Tiatpie
Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe adalah paman guru dari
Tjongkoan1." In Loei bilang. "Aku harus beri selamat kepadamu yang
telah dapatkan lagi dua orang kosen yang liehay!.....”
Tidak senang si anak muda
mendengar perkataan itu.
"Kau tidak tahu keadaan
di sebelah dalamnya" ia bilang. "Apabila Tiatpie Kimwan dan Hoasam
Kiam ketahui kita yang merdekakan Tjioe San Bin, sudah pasti jiwanya Thio
Thaydjin tidak akan dapat dilindungi.....”
In Loei heran.
"Apakah benar-benar Tjioe
San Bin telah dimerdekakan?" tanyanya, menegaskan.
"Semula memang aku menyangka
Thio Thaydjin tidak niat melepaskannya," jawab si anak muda. "Tak
disangkanya, dia telah atur segala apa. Dia telah suruh membawa San Bin keluar
dengan diam-diam....."
"Tapi sekarang San Bin
dan Hoan Tiong tak tahu ada di mana dan entah bagaimana keselamatan
mereka," In Loei mengutarakannya. Ia unjuk apa yang ia telah alami.
Perwira muda itu menghela
napas.
"Siapa juga tak dapat
menyangka kejadian tak diduga-duga ini.....” bilangnya.
Hendak In Loei menanya jelas,
atau si anak muda telah menambahkannya: "Hoan Tiong dan Tjioe San Bin
keluar secara diam-diam dari pintu belakang," demikian katanya.
"Selama mereka berlalu, akulah yang memasang mata untuk berjaga-jaga.
Tibatiba sang angin berkesiur masuk dengan membawa suatu bau harum. Aku segera
menahan napas tetapi bau wangi itu sudah masuk juga sedikit ke dalam hidungku,
telah kena aku sedot. Hebat bau harum itu, meskipun aku menyedotnya sedikit,
segera aku
merasakan tubuhku menjadi
lemas. Di saat itu aku tampak satu tubuh melayang turun dari atas tembok.
Aku kenali dialah si
penghianat Thio Tan Hong yang selama di Mongoli aku telah mengenalinya. Begitu
dia turun tangan, dia totok aku dengan ilmu totoknya yang liehay. Aku menahan
napas, untuk melawan, percuma saja, aku tak sanggup bertahan, aku malah tak
dapat berteriak. Dengan paksa aku lawan padanya, tapi baharu enam jurus, segera
aku terpengaruh bau harum itu. Begitulah aku kena ditotok
olehnya.....”
"Kiranya demikian
duduknya hal, pantas dia dapat lekas dirubuhkan Tan Hong," In Loei pikir.
"Anehnya, apa perlunya Tan Hong berlaku demikian rupa terhadap dia? Apakah
maksudnya?.....”
"Setelah aku kena
ditotok," si anak muda melanjutkan, "aku lantas tidak ketahui apa
juga yang terjadi di dalam hotel ini. Aku juga tidak tahu berapa lama sudah
berselang,tiba-tiba dari luar datang masuk dua orang, datangnya pesat bagaikan
terbang. Yang satu adalah seorang tua dengan "pinggang biruang dan bermuka
kera" yang lainnya satu imam yang menyoreng pedang panjang di pinggangnya.
Mereka ini mencoba menotok aku,untuk bebaskan aku dari totokannya Thio Tan
Hong, mereka tidak berhasil. Mereka jadi mendongkol, mereka tinggalkan aku
masuk ke dalam sambil mereka mengutuk. Sebenarnya kecewa mereka menjadi
ketua-ketua dari Thiamtjhong Pay, tak mampu mereka membebaskan totokannya lain
kaum, seharusnya mereka mengutuk diri sendiri..... Tidak lama semasuknya
mereka, keduanya segera keluar pula, dengan sengit sekali mereka itu mencaci
Hek Pek Moko, lalu bagaikan terbang mereka melesat ke atas tembok dan pergi.
Ah, kalau saja mereka ketemu dua iblis itu, pasti akan terjadi satu pertempuran
dahsyat.....”
"Sekarang mari kita pergi
ke Tjengliong Kiap untuk lihat mereka," In Loei mengajak.
"Baik!" jawab si
perwira muda seraya ia terus bertindak keluar.
Ketika ia telah saksikan
keadaan semua kuda-kuda itu, ia tertawa sendirinya, ia menjadi mendelu.
"Lihat dua iblis
itu!" katanya, sengit. "Mereka juga turunkan tangan jahat mereka
sebagai pencuri-pencuri kuda yang liehay! Syukur aku telah tinggal buat banyak
tahun di Mongolia, tahu aku caranya menyembuhkan kuda-kuda yang diperlakukan
demikian.....”
Sambil mengucap, anak muda ini
hampirkan dua ekor kuda, yang ia uruti bergantian,ditepuk-tepuk pulang pergi,
hingga darahnya kedua binatang itu berjalan pula seperti biasa, hingga di lain
saat, kedua kuda itu dapat pulih kebebasan mereka.
Maka berdua mereka naiki kuda
itu, untuk kabur keluar kota.
Waktu itu sudah jam empat,
sang fajar tengah mendatangi. Kedua kuda dilarikan keras,tidak lama kemudian,
mereka sudah dapat memandang selat Tjengliong Kiap. Begitu tiba di sebuah
tikungan, dari kiri mereka dengar suara bentroknya alat senjata, sedang di
sebelah kanan, mereka tampak satu penunggang kuda asik kabur.
"Mari kita melihat
berpisahan," si anak muda usulkan. "Aku ke kiri, kau ke kanan."
In Loei menurut tanpa banyak
bicara, ia lari ke kanan. Tidak lama, ia sudah mulai candak penunggang kuda
yang satu itu. Ia lantas perdengarkan suitan yang nyaring.Penunggang kuda itu
hentikan kudanya dengan tiba-tiba, dengan cepat dia membalik diri.
In Loei segera kenali
penunggang kuda itu ialah komandan dari Gielim koen atau ahli silat nomor satu
dari kota raja yaitu Thio Hong Hoe!
Segera In Loei menggape,
kudanya dikasi dari terus untuk menghampirkan. Karena Hong Hoe terus tahan
kudanya, sebentar saja mereka sudah datang dekat satu pada lain.
"Mana sahabatmu?"
Hong Hoe mendahului menanya.
Si nona terkejut.
"Apakah kau telah ketemu
dengan dia?" tanyanya, heran. "Aku baharu saja pergi dari tempatmu di
sana.....”
Hong Hoe berdiam, agaknya ia
berpikir keras.
"Kalau begitu, kejadian
sungguh aneh!" ia bilang kemudian. "Kenapa dia pancing aku keluar?
Kenapa kita mesti main petak di tegalan ini, main putar-putaran?"
Heran In Loei.
"Apa?" ia tanya.
"Diakah yang pancing kau datang kemari? Bagaimana dengan Hek Pek Moko?"
"Apakah kau maksudkan itu
dua mahluk aneh yang kemarin kita ketemukan di dalam lembah?" Hong Hoe
menegaskan. "Aku tidak bertemu dengan mereka. Sehabis aku antar kau, aku
duduk diam di dalam kamarku, selagi aku pikirkan daya untuk menghadapi segala kemungkinan
dari akibatnya tindakanku ini, aku dengar tiga kali ketokan perlahan pada
jendela kamarku. "Saudara, kau sudah datang!" demikian aku dengar.
Terang dia sangat enteng tubuhnya, karena kedatangannya itu tak aku ketahui
sama sekali. Aku
lantas lompat keluar. Dia
telah lantas berada di atas genteng dari mana dia gapekan aku. Diapun bersenyum
berseri-seri....."
Ingin In Loei tanya, siapa
orang itu, atau Hong Hoe potong padanya: "Apa? Kau masih hendak
menanyakannya? Pasti sekali dia sahabatmu yang menunggang kuda putih itu!
Apakah namanya dia? Ya, Thio Tan Hong! Sungguh aneh gerak-geriknya itu, tak
dapat aku menerkanya. Sebenarnya aku sangat ingin berkenalan dengannya, dari
itu, aku segera hampirkan dia. Dalam sekelebatan saja, dia telah melintasi dua wuwungan
rumah. Tak dapat aku lukiskan kegesitannya, aku hanya bisa memuji dia. Aku
menduga-duga,mungkin dia panggil aku keluar sebab tidak leluasa untuknya akan
bicara di dalam kamar. Aku susul dia sampai melewati dua jalan besar, di pojok
jalanan aku lihat dua ekor kuda.
"Naik kuda!" dia itu
kata padaku. Lantas dia mendahului lompat naik atas kudanya yang putih itu. Aku
lompat atas kuda yang kedua. Sama-sama kita kabur keluar kota. Semula aku
menyangka dia akan hentikan kudanya untuk bicara dengan aku, tetapi dia kabur
terus. Aku teriaki dia berulang-ulang, dia seperti tidak mendengarnya. Aku coba
menyusulnya, tapi tak berhasil aku menyandaknya. Ketika aku tidak menyusul
terlebih jauh, dia justeru perlahankan larinya kudanya, hingga dia membikin aku
sangat heran.Demikian di tempat ini, dia pancing aku berlari-lari tidak keruan
juntrungan. Sungguh aku
tidak mengerti.....”
"Sekarang?" In Loei
tanya. Ia pun heran.
"Sekarang ini dia telah
melintasi tepi bukit sana," sahut Hong Hoe sambil menunjuk ke arah depan.
"Karena aku dengar panggilan kau, aku tidak susul dia lebih jauh. Ya, kau
sendiri, dari mana kau datang? Apakah ada orang yang ketahui perbuatan
kita?"
In Loei tertawa.
"Orang yang
mengetahuinya?" katanya. "Sebaliknya daripada sadar, semua orangmu
telah dibikin mampus oleh Hek Pek Moko!"
Hong Hoe berjingkrak.
"Apakah benar Hek Pek
Moko ada punya nyali demikian besar?" dia tanya.
In Loei bersenyum pula. Tapi
ia bersungguh-sungguh.
"Bukan mampus
benar-benar, tapi tak bedanya dengan mampus," ia bilang.Si nona tuturkan
apa yang ia lihat di hotel.
Hong Hoe heran. Kenapa orang
yang tak sadar tak dapat disadarkan dengan semburan air? Sungguh hebat bau
harum itu! Tapi ia tidak berpikir lama, untuk perbuatannya Hek Pek Moko! Di
Barat ada semacam obat pingsan itu, yang sangat liehay, biasanya disebut
"asap mengembalikan semangat waktu jam lima ayam berkokok."
Rupa-rupanya Thio Tan Hong bekerja sama Hek Pek Moko, yaitu Thio Tan Hong yang
pancing aku keluar, Hek Pek Moko yang melepaskan bau harum itu. Aku tidak mengerti!
Dengan Hek Pek Moko aku tidak bermusuhan, dengan Thio Tan Hong pun aku hanya
bentrok kecil sekali, mengapa sekarang mereka berlelucon demikian hebat
denganku?"
"Akupun sangat tidak
mengerti," In Loei turut mengutarakan perasaan hatinya.
Ia lantas jelaskan lebih jauh
apa yang ia tampak di hotel.
Thio Hong Hoe terkejut
mendengar Tiatpie Kimwan datang bersama Hoasam Kiam.
"Apakah mereka bukan
kawanmu?" In Loei tanya. "Kenapa kau takut?"
Thio Hong Hoe menggeleng
kepala, ia menyeringai.
"Jangan tanya dulu. Kau
bicara terus," ia bilang. Nona In lanjutkan keterangannya, ia menutur
dengan jelas.
Mengetahui si anak muda juga
rubuh di tangan "lawan", Hong Hoe meringis.
"Aku tak mengerti kenapa
perwira muda itu sangat benci dia?" tanya In Loei. Dengan "dia"
ia maksudkan Tan Hong, tetapi tidak mau ia omong jelas, tentang puteranya Tjong
Tjioe itu.
Hong Hoe berdiam, agaknya ia
berpikir.
"Dilihat dari romannya,
Thio Tan Hong itu mesti bukan seorang busuk," kata ia kemudian.
"Sebetulnya kenapa In Tongnia sangat benci padanya, aku tidak tahu,
mengenai ini, nanti aku tanyakan keterangannya."
Baharu sekarang In Loei dengar
si perwira muda dipanggil she In. Karena mendengar ini, segera mukanya menjadi
pucat, tubuhnya limbung hampir rubuh. Inipun suatu keterangan tambahan, yang
menguatkan dugaannya mengenai perwira muda itu.
Hong Hoe tidak mengerti kenapa
orang jadi terhuyung, lekas-lekas ia ulur tangannya,untuk menyambar.
"Kau kenapa?" ia
tanya.
In Loei singkirkan dirinya.
"Tidak apa-apa," ia
menjawab. "Apakah namanya perwira itu?"
"Ia she In, namanya Tjian
Lie," Hong Hoe menerangkan. "Kenapakah?"
Kembali wajahnya In Loei
menjadi tambah pucat.
Sekarang ia peroleh kepastian.
Nama Tjian Lie itu pasti bukan
nama benar, itulah nama bikinan, pecahan dari huruf "Tiong"="berat"
atau penghargaan atas diri sendiri. Huruf "Tiong" ini, apabila
dipecah,menjadi "tjian lie"="seribu lie".
In Tiong itu adalah kakaknya
In Loei akan tetapi dua saudara ini, engko dan adik, telah terpisah sejak
mereka masih kecil, namun In Loei masih ingat kakaknya itu, malah ia
mencarinya. Sekarang ia merasa pasti atas kakak ini, hatinya goncang, saking
girang dan kuatir. Ia girang sebab akhirnya ia ketemu juga kakaknya itu. Yang
membikin ia kuatir adalah persahabatannya dengan Thio Tan Hong, yang nampaknya
dibenci sangat kakaknya itu. Soal ini bisa sangat menyulitkan dia.....
"Apakah kau kenal In
Tjian Lie?" Hong Hoe tanya.
"Dia mirip dengan
sahabatku ketika kami masih sama kecil, " In Loei jawab. "Eh,
ya,kapankah dia kembali?"
"Kembali?"
mengulangi Hong Hoe. "Ah, apakah kau juga ketahui dia telah kembali dari
Mongolia? Dia memasuki pasukan Gielim koen belum ada satu bulan. Aku menjabat
Tjiehoei dari Kimie wie merangkap Tongnia dari Gielim koen, karenanya dengan
sendirinya aku menjadi pemimpinnya. Perkenalan kami berjalan belum lama akan
tetapi cita-cita kami sama, cocok satu pada lain. Turut saudara In itu,
leluhurnya selama dua turunan adalah orang-orang Han yang tinggal di negeri
Watzu di mana mereka sangat menderita penghinaan dan kesengsaraan, karenanya
dia buron ke Tionggoan, niatnya untuk mencari kedudukan, umpama sebagai kepala
perang, menanti kelak tiba harinya memimpin suatu
pasukan besar untuk menyerbu
dan memusnakan negeri Watzu itu. Demikian karenanya,lebih dahulu ia ceburkan
diri dalam pasukan Gielim koen. Sekarang ia tengah bersiap-siap untuk turut
dalam ujian umum militer tahun ini, agar ia dapat lulus dan keluar sebagai Boe
tjonggoan. Kalau ia berhasil, pasti sekali ia akan dapat capai cita-citanya
itu."
Mendengar ini, In Loei
menghelah napas.
"Dia bercita-cita mencari
balas dengan jalan memangku pangkat, aku kuatir dia tidak akan berhasil dengan
pengharapannya itu," ia bilang. "Thio Thaydjin, harap kau tidak
berkecil hati jikalau aku omong terus terang. Untuk melawan bangsa Ouw itu, pemerintah
Beng tak dapat dibuat harapan!"
Hong Hoe tidak mengerti maksud
orang, dia bungkam.
"Mungkin sekali
kata-katamu ini tak tepat," dia bilang kemudian. "Di dalam
pemerintahan kita ada menteri-menteri besar yang jujur dan setia yang
berangan-angan menentang bangsa Ouw itu, umpamanya Kokioo Ie Kiam, dialah satu
menteri setia yang pantas dihormati."
In Loei tidak kenal keadaan
pemerintah, tidak ingin ia berdebat.
Hong Hoe sementara itu heran
juga yang In Loei sangat perhatikan In Tjian Lie,tadinya hendak ia
menanyakannya, ketika tiba-tiba ia dengar ringkiknya kuda, menyusul mana ia
tampak kuda putih dari Thio Tan Hong telah lari balik, penunggangnya ada
bersama, ialah si mahasiswa.
"Hai, kau sedang
bersandiwara apa?" tegur Hong Hoe. "Sahabatmu ada di sini! Jangan kau
main teka-teki pula!.....”
Kuda putih itu lari bagaikan
terbang, sekejap saja dia telah tiba.
"Maaf!" kata
penunggangnya kepada komandan Kimie wie itu, lalu terus ia pandang In Loei,
akan tanya: "Kau baik?"
In Loei pegangi pelana.
"Terima kasih untuk
perhatianmu....." katanya, tawar.
Heran Hong Hoe akan saksikan
kedua orang itu bersikap bagaikan bukan sahabat-sahabat kekal, akan tetapi
karena ia ingin peroleh keterangan dari Tan Hong, tidak sempat ia untuk
menanyakan In Loei akan sikapnya itu.
"Saudara Thio,"
katanya pada mahasiswa itu, "kau dengan aku dapat dikatakan bersahabat
erat, kenapa kau sebaliknya telah ajak Hek Pek Moko datang kepadaku untuk
mengacau?"
Tan Hong melengak, ia tertawa
nyaring.
"Inilah yang dikatakan,
kesulitan orang, tuan tak mengetahuinya dan sia-sia belaka di depan orang yang
tersangkut sendiri untuk bicara tentang hutang budi!"
katanya."Sekarang ingin aku tanya kau, tahukah kau siapa yang telah datang
menyelidiki kau?"
Wajah Hong Hoe menjadi pucat
dengan tiba-tiba.
"Oh, kau juga ketahui
halku itu?" tanyanya. "Memang Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta
Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe telah datang kesini." "Memang!" sahut
Tan Hong. "Tahukah kau apa maksud sebenarnya mereka datang kesini?"
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam
adalah soesiok atau paman guru dari Kong Tiauw Hay, tjongkoan atau kuasa besar
dari keraton kaisar dan Kong Tiauw Hay itu adalah murid kepala dari Leng Siauw
Tjoe ketua dari partai persilatan Thiamtjhong Pay, dia bertenaga sangat besar,
liehay ilmu silatnya bahagian luar, gwakang, tetapi karena dia selalu berdiam
di dalam keraton di mana dia in merawati dan melindungi kaisar, dalam dunia
kangouw namanya tak terkenal. Dia tidak puas terhadap Thio Hong Hoe yang
kesohor sebagai jago silat nomor satu untuk kota raja, pernah tiga kali dia
tantang Hong Hoe adu
silat, kesemuanya itu dia kena
dirubuhkan, karenanya dia menjadi jelus, di mulut dia mengatakan takluk
terhadap Hong Hoe, tapi di dalam hatinya dia berdendam, maka itu, dengan
diam-diam dia cari jalan untuk singkirkan tjiehoei dari Kimie wie dan Gielim
koen itu.
Hong Hoe bukannya tidak tahu
Tiauw Hay mendendam terhadapnya, akan tetapi karena kedudukan tjongkoan itu ada
terlebih kuat daripada kedudukannya, ia hanya bisa berlaku hati-hati saja untuk
menjaga diri. Sekarang ia dengar keterangannya Tan Hong itu, tidak heran ia
jadi terkejut, hingga mukanya menjadi pucat.
"Bukankah Kong Tiauw Hay
yang secara diam-diam undang kedua paman gurunya itu datang kemari untuk
mencelakai aku?" dia kata.
Thio Tan Hong tertawa.
"Untuk apa dia berlaku
secara diam-diam?" katanya. "Sekarang ini saja dia telah pegangi
kakimu yang sakit.....”
Hong Hoe jadi semakin heran.
"Apa?" katanya.
"Kau maksudkan apa?" Tan Hong bersenyum.
"Sebenarnya Tiatpie
Kimwan dan Hoasam Kiam keluar dari kota raja bukan untuk
urusanmu," ia bilang,
"hanya kebetulan saja mereka ketahui tentang halmu itu. Apakah kau ingin
ketahui hal ihwalnya?"
"Aku minta kau sudi
menceriterakannya," Hong Hoe mohon.
"Hek Pek Moko telah
menadah serupa barang curian yang berharga besar," Tan Hong berikan
keterangannya. "Itu adalah pusakanya satu pangeran di kota raja, ialah
sepasang singa-singaan dari batu kumala. Cukup untuk menyebutkannya saja
sepasang matanya singa-singaan kumala itu. Sepasang mata singa-singaan itu
terbuat dari mutiara sejati,yang harganya ada seumpama harganya sebuah kota.
Pencurian itu sangat menghebohkan. Kong Tiauw Hay insyaf dia bukanlah
tandingannya dari Hep Pek Moko,karenanya dia undang kedua paman gurunya itu,
yang diminta bantuannya untuk selidiki kedua Moko. Mereka menduga Hek Pek Moko
menyingkir pulang ke Barat, karenanya mereka menyusul. Kebetulan bagi mereka,
mereka lihat kau berada di sini, maka sekalian mereka awasi kau juga. Lebih
kebetulan lagi, kau justeru dapat menawan puteranya Kimtoo Tjeetjoe, hal mana
mereka dapat mengetahuinya. Yang hebat adalah, selagi kau belum tahu jelas
tentang siapa adanya tawananmu itu, Kong Tiauw Hay sendiri sudah lebih dahulu
menerima laporan yang jelas. Harganya Tjioe San Bin itu ada di atas harganya sepasang
singa-singaan kumala itu, jikalau dia dapat dibawa ke kota raja, itu artinya
satu jasa sangat besar, maka itu Kong Tjongkoan segera bertindak. Ia telah ke
sampingkan dahulu tentang barang curian itu. Begitulah disatu pihak dia kirim
kabar kilat,di lain pihak, dengan berbareng dia undang datang kedua paman
gurunya itu untuk menyusul kemari, untuk ambil alih orang tawananmu itu.
Kesudahannya, baharu saja kaki depan San Bin menindak keluar dari pintu, atau
kaki belakang dari mereka telah tiba.....”
Thio Hong Hoe terkejut hingga
ia berseru. "Jikalau mereka dapat tahu aku sudah merdekakan Tjioe San Bin,
itu artinya bagiku hukuman mati seluruh keluargaku!" katanya.
Tan Hong kembali tertawa.
"Jangan kau takut!"
katanya, tenang. "Aku telah gunai akal memancing mereka ke lain jurusan.
Tentang tindakanmu ini, mereka tidak nanti ketahui untuk selama-lamanya!"
Hong Hoe bagaikan sadar.
"Jadinya kau sudah gunai
Hek Pek Moko sebagai umpan untuk pancing mereka itu menyingkir dari
arahku?" katanya. "Kau bisa pengaruhi kedua iblis itu, sungguh aku
kagum! Tapi, apakah artinya kau mengacau di rumah penginapan itu?"
"Sabar, sahabatku,"
sahut Tan Hong. "Walaupun benar mereka tidak tahu kau telah merdekakan
Tjioe San Bin, akan tetapi karena kau telah loloskan seorang tawanan yang
penting, dosamu tetap bukannya kecil. Saudara Thio sahabatku, kau pernah baca
masak-masak kitab ilmu perang, kau tentunya ketahui kouw djiok kee dari Oey
Khay, itu akal mempersakiti diri sendiri.....”
Hong Hoe benar-benar sadar,
segera ia rangkap kedua tangannya, ia angkat, untuk memberi hormat kepada si
mahasiswa berkuda putih itu. "Terima kasih untuk budimu yang besar ini,
tak nanti aku melupakannya." ia mengutarakan isi hatinya.
In Loei mendengari saja
pembicaraan orang, ia tak mengerti.
"Hai, sebenarnya kamu
tengah bersandiwara apa?" tanya dia, tak sabaran.
"Mereka telah bongkar
kerangkeng, mereka telah merdekakan perantaian," jawah Hong Hoe.
"Karena itu, tak dapat aku lolos dari tanggung jawabku. Yang datang itu
adalah musuh-musuh yang liehay sekali, orang-orang kami telah dipengaruhinya,
telah kami keluarkan antero tenaga, masih kami tidak berdaya. Sama sekali kami
tidak berpura-pura kalah dan membiarkannya perantaian kabur. Karena kami telah
melakukan perlawanan,dosa kami bisa menjadi entengan....."
"Tetapi itu belum
semuanya," Tan Hong bilang. "Melihat nama kamu, dengan nampak
kekalahan saja, kamu sudah bersalah. Andaikata musuh dapat mengalahkan orang
yang terlebih liehay daripada kamu, mungkin Kong Tjongkoan tak enak hatinya
untuk menghukum kau.....”
"Adakah ini sebabnya
kata-katamu bahwa kau hendak mengasi rasa kepada Tiatpie Kimwan dan Hoasam
Kiam?" Hong Hoe tanya. "Sudah pastikah kau dapat mengalahkan
orang-orang Thiamtjhong Pay itu?"
Thio Tan Hong tertawa.
"Kau dengarlah dengan saksama!" ia kata.
Waktu itu juga dari kejauhan,
dari tepi bukit, ada terdengar suara riuh rendah dari pertempuran, agaknya
orang tengah mendatangi ke arah mereka.
"Masih ada seperjalanan
tiga lie!" kata Tan Hong pula. "Thio Thaydjin, hendak aku membingkiskan
sesuatu yang tidak berharga kepadamu.....”
Tangannya Tan Hong menyekal
satu bungkusan merah yang bundar, seperti bungkusannya sebuah semangka,
bungkusan itu diangsurkan kepada Hong Hoe yang segera menerimanya dan
dibukanya. Ia terkejut hingga wajahnya pucat apabila ia telah saksikan isinya
bungkusan itu, ialah sebuah kepala orang. Bahna murkanya, dengan goloknya Hong
Hoe segera tabas si mahasiswa berkuda putih itu.
"Kenapakah kau bunuh
adikku yang kedua?" teriaknya. "Adakah ini yang kau namakan kouw
djiok kee, tipu muslihat mempersakiti diri itu?"
In Loei di samping mereka pun
sudah lantas kenali kepala orang itu, ialah kepalanya Khoan Tiong, Lweeteng
Wiesoe yang menjadi salah satu dari tiga jago silat nomor satu dari kota raja!
Serangannya Hong Hoe itu ada
sangat tiba-tiba, hebat serangan itu, atas itu Thio Tan Hong perdengarkan
jeritan "Ayo!" dan tubuhnya pun terhuyung!
-ooo0dw0ooo
Tapinya pemuda she Thio itu
tidak menjadi kurban, dia pun sangat gesit, dengan mendahului sambaran golok, tubuhnya
terhuyung ke arah tujuan serangan, berbareng dengan itu kaki dan tangannya
digerakkan bagaikan orang ketakutan sangat. Terang sudah bahwa ia berpura-pura
belaka, hingga Hong Hoe menjadi bertambah-tambah murka.
"Sengaja kau permainkan
aku, apakah maksudmu?" dia membentak pula.
Tan Hong tertawa
terbahak-bahak.
"Sudah bagus kau tidak
menghaturkan terima kasih padaku, kenapa kau sebaliknya menjadi demikian
gusar" katanya. "Kau lihat, apakah ini?"
Dan ia lemparkan sehelai
kertas yang bersampul merah.
Surat itu adalah sepucuk surat
dinas, karena hanya selembar, enteng sekali sampul itu,akan tetapi ketika
dilemparkan, timpukannya sangat berat dan keras. Jarak di antara kedua orang
hanya setombak lebih, di waktu Hong Hoe menyambutinya, walaupun ia salah satu
jago nomor satu dari kota raja, ia pun terperanjat. Lemparan itu bagaikan
timpukan senjata rahasia.
Dengan sangat bernapsu Thio
Hong Hoe beber surat dinas itu untuk dibaca isinya, atas mana, kagetnya bukan
kepalang.
Itu adalah sebuah surat
rahasia Khoan Tiong untuk Tjongkoan Kong Tiauw Hay, terang di situ Khoan Tiong
mencatat segala apa sejak dia ikut Hong Hoe keluar dari kota raja, jelas dia
menulis sesuatu sepak terjangnya Hong Hoe, sang sep atau toako itu, sampai
halnya Hong Hoe dikalahkan Tan Hong dan In
Loei dalam lima jurus, dalam
mana Hong Hoe melarang orang membantuinya, yang lebih hebat adalah catatan
halnya San Bin tertawan, bagaimana San Bin diiring, dicampur di antara
orang-orang tawanan lainnya.
Setelah Hong Hoe habis
membaca, Tan Hong berkata: "Soalnya sudah jelas, Khoan Tiong telah kenali
San Bin akan tetapi dia tidak memberitahukannya kepadamu. Waktu itu dia tidak
keburu tulis laporan rahasianya, sebaliknya, dia kirim orang kepercayaannya
untuk menyampaikan berita ke kota raja. Laporan orang itu tidak lengkap, itulah
tidak terlalu membahayakan, akan tetapi surat rahasia ini, apabila ini sampai
di tangan Kong Tjongkoan, celakalah kau!"
Hong Hoe menjadi lesu sekali
dia sampai lemparkan goloknya. "Memang aku tahu saudaraku yang kedua ini
sangat rakus dan temaha akan pangkat besar, aku hanya tidak sangka bahwa dia
ada demikian hina dina.....!" Bahwa dia ada sangat menyesal, itu terbukti
dari air matanya yang segera keluar bercucuran, sedangkan dia sangat percaya
saudara angkat yang kedua itu.
"Orang semacam dia, untuk
apakah kau tangisi?" kata In Loei apabila ia telah ketahui duduknya hal.
"Walau bagaimana, kami
pernah menjadi saudara angkat," sahut Hong Hoe lemah.
"Sekarang tidak aku
sesalkan kau bahwa kau telah bunuh dia," ia tambahkan pada Tan Hong
"Nah, kau pergilah!"
Suara riuh rendah terdengar
semakin mendekati. Dengan sebat Hong Hoe bungkus pula kepalanya Khoan Tiong,
yang terus ia gantung dipelananya. Selagi berbuat demikian, dia membalik
belakang terhadap Tan Hong dan In Loei.
Sekonyong-konyong Tan Hong
hunus pedangnya yang terus ditikamkan kepada komandan Kimie wie itu.
In Loei kaget bukan main
"Hai kau, bikin apa?" dia menegur.
Hong Hoe sementara itu telah
perdengarkan jeritan keras, di waktu In Loei lihat padanya, ia menjadi kaget.
Hong Hoe berpaling dengan mata dibuka lebar, romannya ketakutan.
Tapi In Loei menjadi lega juga
hatinya apabila ia dapat kenyataan orang cuma terluka sedikit bahu kirinya,
luka itu tidak berbahaya.
"Bagus!" teriak Hong
Hoe, murka dan masih kaget.
Tapi Tan Hong, dengan suara
perlahan, kata padanya:
"Lekas kau jumput
golokmu, mari kau tempur aku!.....”
Kata-kata ini menyadarkan
komandan itu, dia lompat kepada goloknya, golok Bianto untuk dipungut, lalu
dengan golok itu dia terjang Thio Tan Hong, siapa berikan perlawanan, maka
mereka jadi bergumal hebat. Luka di bahu kiri Hong Hoe itu tidak sempat
dibalut, luka itu masih mengucurkan darah hidup.....
In Loei telah saksikan itu
semua, akhirnya iapun insaf, maka seorang diri ia tertawa geli.
"Thio Tan Hong ini
benar-benar licin!" katanya di dalam hati. "Tipu kouw djiok kee-nya
membikin aku kaget sekali..... Kalau Hong Hoe tidak "terlukakan"
musuh, dan apabila dia tidak telah dibokong, dosanya memang bukan kecil.....”
Tan Hong masih melakukan
perlawanan karena Hong Hoe masih terus serang ia secara hebat, walaupun
demikian, sambil tertawa, dengan perlahan, ia kata kepada lawannya itu:
"Tadi kau bacok aku tapi gagal, sekarang aku menikam kau, dapat aku
melukai padamu, maka sekarang baiklah kau menyerah kalah.....”
Hong Hoe mendongkol bukan
main. Itulah godaan hebat untuknya sekalipun ia tahu mereka sedang main
sandiwara, karena itu, permainan goloknya menjadi kalut. Tidak demikian dengan
Tan Hong, yang bersilat separuh main-main, separuh benar-benar, hingga perlawanannya
atau penyerangannya jadi berbahaya, hampir saja muka si komandan kena tertikam
pula. Sesudah ini baharu Hong Hoe takluk benar-benar.....
Suara riuh yang mendatangi
telah datang semakin dekat, di tikungan sudah lantas tertampak terangnya api obor
dan serombongan orang telah memburu, dan di antara terangnya api itu kelihatan
yang terdepan adalah Hek Pek Moko, di belakang mereka satu toodjin atau imam
berserta seorang tua, ialah kedua paman-paman guru dari Tjongkoan Kong Tiauw
Hay.
Hek Moko dan Pek Moko
berkelahi sambil lari, mereka kelihatannya kalah, mereka terdesak sangat, akan
tetapi sekalipun demikian, permainan silat mereka tidak menjadi kalut.
Begitu sudah datang lebih
dekat, Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe telah dapat lihat Thio Hong Hoe repot
melayani satu anak muda dengan pakaian serba putih, ia jadi lebih kaget karena
tampak komandan Kimie wie itu sudah terluka, lengannya mandi darah.
"Ah, siapakah anak muda
itu?" pikirnya. "Dia masih muda sekali tetapi sangat gagah,hingga
Thio Hong Hoe dapat dia buatnya menjadi kacau balau? Mungkinkah Kong Tiauw Hay
telah omong dilebih-lebihkan tentang kegagahannya Thio Hong Hoe ini?....."
Walaupun dia berpikir
demikian, Samhoa Kiam toh tinggalkan Pek Moko yang "terdesak" itu
untuk memburu kepada si orang she Thio, malah sambil berseru dia berkata:
"Thio Thaydjin, kau mundurlah, nanti aku yang hajar padanya!"
Tidak kecewa Wan Leng Tjoe
menjadi salah seorang kenamaan dari Thiamtjhong Pay,permainan silatnya hebat
sekali, begitu ia dekati Thio Tan Hong, sinar pedangnya segera berkilau-kilau,
ujung pedangnya lantas menusuk ke kiri dan kanan dengan cahayanya
bergemerlapan. Rupanya itulah yang membuatnya ia peroleh gelarannya, Samhoa
Kiam — Pedang Berbunga Tiga.
Begitu lekas ia dikepung Hian
Leng Tjoe, begitu lekas juga Thio Tan Hong menjeritjerit:
"Celaka, celaka!"
"Kau tahu celaka, itulah
bagus!" teriak Hian Leng Tjoe dengan hinaannya. Dia tertawa dingin. Dan
diapun perhebat serangannya.
Thio Tan Hong bagaikan
terputar-putar, tubuhnya lincah mendahului tikaman,walaupun ia terdesak tetapi
ia tidak dapat dilukai. Kejadian ini terulang sekian lama,hingga akhirnya Hian
Leng Tjoe menjadi heran.
"Hebat keentengan
tubuhnya orang ini....." demikian dia berpikir. Karena ini, ia jadi tidak
berani lagi memandang enteng seperti bermula tadi. Sebaliknya, ia gerakkan
pedangnya lebih gencar, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, karenanya,
ia membuat enam gerakan saling susul, sinar pedangnya berkilauan.
Di antara serbuan itu,
tiba-tiba terdengar Thio Tan Hong tertawa terbahak-bahak,menyusul mana,
pedangnya juga bercahaya putih mulus, memain di antara sinar pedang lawan yang
liehay itu, tak kalah gesitnya.
Baharu saja Hian Leng Tjoe
terkejut, karena ia dapat lihat tegas permainan pedang lawan, atau ia telah
terlambat, cuma terdengar saja jeritannya.
"Bagus!" teriak In
Loei, yang masih saja menonton.....
Hian Leng Tjoe tidak berani
tangkis bacokan Tan Hong, tahu bahwa satu bentrokan antara kedua pedang,
pedangnya sendiri akan terpapas kutung, karenanya, ia unjuk kesebetannya,
dengan satu gerakan, ia tempel pedang lawan. Inilah yang menyebabkan pujian
dari si Nona In itu.
Tan Hong juga terperanjat
dapatkan lawan sanggup elakkan bahaya dan sebaliknya dapat menempel pedangnya
itu, oleh karena ini insaflah ia bahwa lawan ini berkepandaian terlebih tinggi
daripada Thio Hong Hoe. Karena ini, tidak sudi ia berlaku sembarangan.
Bertempur terlebih jauh, Tan
Hong unjuk kelonggaran, artinya, ia mengalah terhadap desakan Sam Hoa Kiam,
menggunai saatnya, sekonyong-konyong ia membungkuk sedikit,ujung pedangnya
menyambar ke arah pinggang lawan.
Hian Leng Tjoe tengah membabat
kepala musuhnya ketika ia diserang di bahagian bawah itu, tapi masih ia dapat
ketika untuk berkelit dengan mundur satu tindak, namun masih ia kurang sebat
sedikit, walau pinggangnya terhindar sambaran pedang, ujung bajunya kena
terpapas kutung!
Bahaya pun sebenarnya
mengancam Tan Hong, tapi karena ia keburu membungkuk, ia lolos dari bencana,
lalu sebaliknya, ia ancam lawannya itu. Hian Leng Tjoe kaget berbareng gusar.
Beberara kali ia gagal, ia menjadi mendongkol sekali. Maka itu ia menyerang
pula, ia jadi semakin sengit dan penasaran sekali. Dalam menghadapi lawan
biasa, cahaya pedangnya dapat membuat mata lawan silau dan kabur.
"Dalam seratus jurus,
masih aku bisa lawan seri padanya," Tan Hong berpikir,"selewatnya
itu, rahasiaku bisa bocor dihadapannya..... Karena ini segera ia berseru
nyaring: "Kita lawan satu sama satu sampai kapan kita bisa selesaikan
pertempuran ini? Kau masih ada punya kawan, suruhlah dia maju berbareng untuk
kepung aku! — Eh, Hek Pek Moko, kamu biarkan tua bangka itu, kamu tinggalkan
dia pergi!"
Soeheng, atau kakak
seperguruannya Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong
tengah dikepung Hek Pek Moko, satu melawan dua, dia telah jadi sangat repot,
napasnya sampai sengal-sengal, tubuhnya pun bermandikan keringat dingin, maka
bagaimana lega hatinya ketika dia lolos dari kepungan hebat.
Hek Moko dan Pek Moko tertawa
dengan berbareng.
"Orang tua, kau berumur
panjang!" kata dua hantu ini dengan riang gembira. "Kau dengarlah, di
sana sahabatku yang muda telah pertanggungkan jiwamu supaya jiwamu ini tak
mampus di tangan kami! Nah, kau pergilah, kami ijinkan padamu!"
Liong Tin Hong mendongkol
bukan main, walaupun dia sudah lelah, masih hendak dia maju menyerang. Akan
tetapi dia didahului Hek Moko, yang rabu dia dengan layangkan tongkatnya,
hingga mau atau tidak, mesti dia mundur dua tindak! Tetapi dia tak dapat lolos
dengan selamat!
Hek Pe Moko biasa bertempur
berdua dengan teratur, sempurna kerja sama mereka, demikian juga kali ini.
Ketika Hek Moko layangkan tongkatnya, Pek Moko tidak berdiam diri, bagaikan
sudah dijanji, dia membarengi merangsak, percuma Tiatpie Kimwan si Kera Emas
Berlengan Besi, selagi dia dapat berkelit ke kiri, tongkat Pekgiok thung dari
si Hantu Putih sudah mampir dibebokongnya!
"Hai, kera tak tahu diri,
aku ajar adat padamu!" tertawa si iblis putih itu. Hajaran itu tidak
parah, tapi setelah itu, keduanya lantas saja memutar tubuh, untuk berlalu
sambil tertawa panjang.....
Tidak terhingga mendongkolnya
Tiatpie Kimwan, hampir dia rubuh pingsan, masih bagus, melainkan tubuhnya
sedikit terhuyung. Dia punyakan Iweekang yang terlatih baik, tidak urung dia
merasakan sakit bekas hajaran tongkat lawan itu, terpaksa dia empos
semangatnya, untuk bertahan diri.
Thio Tan Hong lihat orang
terhajar, sambil berkelahi, masih sempat ia memasang mata. Maka juga ia tertawa
besar.
"Hai, kera bangkotan,
apakah tulang punggungmu terhajar patah?" demikian godaannya.
Tiatpie Kimwan adalah seorang
kenamaan sejak puluhan tahun, belum pernah dia terhina, sekarang dia dapat
hinaan ini, sudah tentu dia tidak mau mengerti. Maka juga dia berseru nyaring
sekali.
"Bangsat kecil, kau
sangat menghina?" teriaknya lalu dia berlompat maju menghampirkan
kawannya, untuk hajar anak muda itu. Dan begitu dia sudah datang dekat, begitu
juga dia menyerang, dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu tongkat panjang
berkepala naga, sedang ujungnya lancip mirip telapak tangan yang berjari lima,
yang semuanya tajam bagaikan gaetan, sedang batang tongkat penuh dengan cagak
tajam seperti duri. Maka, kecuali kepala naganya serta tempat pegangannya,
bahagianbahagian
lainnya tak kena tercekal atau
terlanggar tangan kosong. Karena ini juga, selagi digunakan, tongkat itu mirip
dengan tangan-tangan kera yang berbulu.
Melayani satu Samhoa Kiam, Tan
Hong sudah kewalahan, sekarang ditambah lagi satu musuh yang tidak kurang
tanggunya, segera dia menjadi repot. Tetapi dia tidak jeri,karena musuh ini
sengaja dia undang, hanya pada mulanya, hampir saja batok kepalanya hancur
luluh terkena kemplangan tongkat istimewa dari si Kera Emas Bertangan Besi itu.
Dalam kagetnya, dia lantas
berkelit, terus dia bersilat dengan jurus "Hoenhoa hoetlioe" —
"Memecah bunga mengebut yanglioe," untuk perlihatkan kegesitannya.
Dia melawan kedua musuh seperti tidak keruan juntrungannya tak tentu arahnya.
Tiatpie Kimwan, yang sedang
mendongkol jadi semakin mendongkol, ia bersuit dengan pelahan ketika ia mulai
pula dengan serangannya. Dengan saling susul ia mendesak tiga kali dengan
gegamannya yang luar biasa itu.
"Tidak kecewa Tiatpie
Kimwan peroleh nama besarnya." pikir Tan Hong, yang harus memuji lawannya
itu. "Dia telah berkutat dengan Hek Pek Moko dan telah rasai juga senjata
si iblis, sekarang dia masih begini tanggu.....”
Pedang Samhoa Kiam dari Hian
Leng Tjoe juga telah diperhebat, ujung pedang itu selalu mencari tempat-tempat
yang berbahaya, hingga Tan Hong jadi repot. Tapi si mahasiswa ini tidak takut,
bahkan sebaliknya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!"
serunya. "Dua tua bangka maju berbareng, mereka boleh di kirim pulang
sekalian saja! Eh, adik kecil, mari maju!"
In Loei tahu bahwa ia
dipanggil, akan tetapi ia masih diam menonton.
Tiba-tiba Thio Tan Hong
limbung hampir saja ujung pedang Hian Leng Tjoe mengenai tubuhnya, sesudah mana
dalam keadaan berbahaya itu, iapun hampir saja tertotok toyanya Tiatpie Kimwan,
syukur ia masih bisa berkelit, hingga tenggorokannya jadi bebas dari totokan
itu.
Hebat pemandangan itu.
Hong Hoe juga menonton, ia
mundur kepinggiran.
In Loei tetap masih bersangsi,
agaknya ia hendak membuka mulut akan tetapi saban-saban
urung. Tapi sekarang, mendadak
pedangnya yang bersinar hijau telah berkelebat,tubuhnya sudah lompat maju.
"Bagus!" seru Tan
Hong kegirangan, sesudah mana, pedangnya yang bercahaya putih mengkilap turut
bersinar pula. Maka sejenak kemudian, kedua sinar hijau dan putih itu bergabung
menjadi satu, bergeraknya cepat, pengaruhnya tersebar.
Segera juga Tiatpie Kimwan dan
Samhoa Kiam merasai pengaruhnya kedua pedang lawan itu, hingga tidak lama
mereka dapat desak Tan Hong, malah sebentar kemudian mereka mesti terpaksa main
mundur. Percuma Hian Leng Tjoe mencoba mengintai lowongan, baginya kedua pedang
hijau dan putih itu ada terlalu kerap, tiada tempat lowong yang dapat ditoblos.
Celakanya, asal ia mencoba maju, kontan pedangnya kena terjepit.
Demikian satu kali, ketika ia
terlambat, pedangnya kena tertabas pedang lawan hingga kutung menjadi empat
potong, hampir saja jari tangannya turut terbabat juga!
Tiatpie Kimwan terkejut
menyaksikan bahaya yang mengancam kawannya itu, karena itu ia juga lengah, maka
begitu terdengar suara senjata-senjata beradu, ujung tongkatnya kena ditabas
kutung kedua pedang lawannya itu.
Syukur bagi Liong Tin Hong,
walaupun ia terhuyung ke depan, ia tidak disusuli tikaman oleh Thio Tan Hong,
pemuda ini melainkan mentertawai ia sambil mengejek: "Sungguh seekor
kunyuk bangkotan yang tidak tahu diri!"
Akan tetapi, sebaliknya
daripada menikam atau menahas, Tan Hong ulur sebelah kakinya, dupakannya itu
tepat mengenai lutut orang, karena mana tidak ampun lagi,tubuh si Kera Emas
Berlengan Besi lantas terpelanting jatuh jauhnya lima enam tindak! Dengan
mengeluarkan suara "Bruk!" ia jatuh terlentang, tubuh di bawah, kaki di
atas! Dan apes untuk dirinya, sudah bebas dari senjata musuh, ia tidak lolos
dari senjatanya sendiri,karena tergulingnya itu, pahanya membentur tongkatnya
hingga ia tertusuk duri cagak
beberapa lobang!
Keduanya Hoasam Kiam dan
Tiatpie Kimwan telah tersohor kosen untuk banyak waktu, sekarang mereka
dipecundangi dalam tempo belum ada sepuluh jurus, malah mereka rubuh di tangan
dua anak muda yang mereka anggap tidak ternama, bukan main mendongkol dan
malunya, karena ini, tidak tunggu sampai Tan Hong dan In Loei terjang mereka
lebih jauh, mereka segera ambil langkah panjang!
Thio Tan Hong tertawa hingga
terlenggak. "Adik kecil, lekas kejar!" dia serukan kawannya,
tangannya pun dikibaskan. "Kau bekuklah kedua kunyuk tua itu!.....”
Bukan kepalang takutnya Hoasam
Kiam dan Tiatpie Kimwan, mereka lari ngacir tanpa berani menoleh pula.
Sebenarnya Thio Tan Hong hanya menggertak mereka belaka, kalau mereka dikejar
betul-betul, dengan gampang mereka dapat dicandak, karena mereka sedang
terluka.
Hong Hoe tunggu sampai orang
sudah kabur jauh, lalu ia tertawa terpingkal-pingkal,begitu juga In Loei yang
saksikan pemandangan yang lucu itu.
"Aku harus haturkan
terima kasih kepadamu," kata komandan Kimie wie itu kemudian pada si
pemuda she Thio. "Telah aku rasai pedangmu tapi itu ada harganya. Kalau
nanti kau datang ke kota raja, aku undang kau untuk berkunjung ke
gubukku." Dan ia sebutkan alamatnya. Lalu ia menambahkan: "Saudara
Thio! Saudara In! Sungguh hebat ilmu pedangmu yang tergabung itu, di kolong
langit ini tidak ada tandingannya. Pedang kamu dapat berkumpul tak dapat
berpisah, maka di antara kamu, kedua sahabat, apabila ada sesuatu pertentangan,
haruslah dilenyapkan!"
Hong Hoe mengucap demikian
tanpa ia ketahui di antara kedua anak muda itu justeru ada "urusan
hebat" yang mengganjali ia cuma menyangka hanya bentrok kecil saja.....
Iapun mengucap kata-katanya yang belakangan ini hanya sambil mengawasi In Loei
seorang.
Merah mukanya In Loei, ia
tunduk, ia bungkam.
"Aneh In Siangkong
ini," pikir Hong Hoe menampak orang likat. "Dia gagah, kenapa dia
jengah tidak keruan? Dia mirip dengan satu nona remaja....." Sebenarnya
komandan ini berniat memberi nasihat, atau "Lihat, mereka tengah
mendatangi!" seru Tan Hong, tangannya menunjuk. Hong Hoe menoleh dengan segera,
hingga ia tampak In Tiong bersama Hoan Tiong,yang muncul dari tikungan bukit.
Tadi malam Hoan Tiong bawa San
Bin pergi, baharu ia keluar dari pintu belakang, di luar dugaannya, ia telah
dibikin tak berdaya oleh Thio Tan Hong dan Hek Pek Moko.
Ketika Tan Hong pancing Hong
Hoe, kedua iblis Putih dan Hitam itu lantas gunakan obat pules mereka yang
mustajab membikin tentara Gielim koen mati kutunya, kemudian, mereka umpetkan
diri, untuk bekerja terlebih jauh. Kebetulan bagi mereka berdua,mereka ketemu
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, yang keluar dari hotel, maka mereka pancing dua
orang ini ke Tjeng Liong Kiap di mana mereka bertempur.
Ketika itu Hoan Tiong, yang
kena mereka tawan, telah dibawa juga ke selat itu di mana dia ditambat di
atas sebuah pohon besar.
Pertempuran itu sangat seru, sehingga berlangsung sampai tengah malam, kekuatan
mereka berimbang.
In Loei bersama In Tiong
berada dipersimpangan tiga di mana mereka dengar suara pertempuran berisik di
sebelah kiri, ketika In Tiong menyusul kesana, hari sudah terang tanah, di sana
segera ia ketemukan Hoan Tiong yang masih, terikat tergantung, sedang Hek Pek
Moko bersama Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam tengah bertanding hebat. Ia tidak
mau sembarang nyebur dalam pertempuran itu, ia hanya perlukan menolongi Hoan
Tiong. Orang she Hoan ini tidak terluka, dia cuma kaku kaki tangannya bekas
lama terikat dan tergantung, hingga In Tiong perlu menguruti dia untuk membikin
darahnya jalan kembali seperti biasa.
Selama In Tiong tolongi
Gietjian siewie itu. Hek Pek Moko telah pancing Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam
ke lain arah. Maka, ketika dua orang ini muncul, Hian Leng Tjoe dan Liong Tin
Hong telah dikalahkan Tan Hong dan In Loei,mereka sudah lari kabur.
Atas datangnya kedua orang
itu, Hong Hoe lantas menyambut. Sebenarnya ia niat memberi keterangan, tetapi
In Tiong sudah lantas unjuk kemurkaannya yang sangat, dia berseru keras kedua
matanya bersinar bagaikan api marong itulah tanda kebencian terhadap Tan Hong.
"Kau kenapa, In
Tongnia?" Hong Hoe tanya "Kenapa kau sangat benci dia?"
In Tiong tidak menjawab, ia
hanya hunus goloknya dengan apa ia terjang orang she Thio itu, yang lantas
dihantui juga oleh Hoan Tiong yang mainkan sepasang gembolannya.Tan Hong
melayani dengan kelincahan tubuhnya.
In Loei jadi sangat bersusah
hati, hingga ia berdiri menyender saja di lamping bukit,matanya mendelong
mengawasi pertempuran. Ia sangat berkuatir.
"Tahan!" teriak Hong
Hoe akhirnya sesudah ia tak berdaya menyabarkan In Tiong dan Hoan Tiong.
Hoan Tiong menurut, ia
berhenti menyerang, tidak demikian dengan In Tiong, masih dia menyerang dengan
seru dengan golok di tangan kiri dan tangan kanan yang tanpa senjata. Malah dia
mendesak hebat.
"Toako1." serunya
sambil berkelahi. "Dia ini adalah puteranya penghianat Thio Tjong Tjioe!
Tak dapat dia dikasih lolos" Mendengar itu, Hoan Tiong maju pula, untuk
mulai lagi dengan serangannya.
Thio Hong Hoe sudah lantas
berlompat maju. "Shatee, jangan sembrono!" dia berteriak. "Dalam
kejadian tadi malam, dialah penolong kita! Tunggu dulu, hendak aku tanyakan
keterangannya!" Dia lantas ulapkan goloknya.
"Thio Tan Hong, benar
atau tidak apa yang dikatakan In Tongnia?" dia tanya.
Thio Tan Hong melenggak, dia
tertawa.
"Harus ditertawai yang
manusia di dalam dunia banyak yang matanya putih, sedang bunga teratai
keluarnya dari dalam lumpur!.....” dia bersenanjung.
"Kau telah saksikan sepak
terjangku, apakah benar kau masih belum bisa menginsafinya aku orang macam apa?
Kenapa kau mesti ngoce tak sudahnya? Perlu apa kau tanya lagi
asal-usulku?"
Hong Hoe melengak.
"Inilah benar,"
pikirnya. "Meski benar dia puteranya Thio Tjong Tjioe dengan dia pribadi
ada apakah sangkut pautnya?" Maka segera ia berseru pula: "In Tongnia
tahan! Dia benar kandung maksud baik terhadap kita! Jangan kita balas kebaikan
dengan kejahatan!"
Masih In Tiong menyerang dua
kali.
"Toako, kau tidak
tahu!" dia berseru. "Dia adalah musuh besar dari keluargaku! Sakit
hati tidak dibalas, adakah itu perbuatannya satu taytianghoe?"
Dengan ilmu Taylek Kimkong
Tjioe, In Tiong perhebat serangannya.
Thio Hong Hoe menjadi tidak
senang. "Baik" serunya. "Kau balas sakit hatimu, aku tidak
peduli!"
Mendadak terdengar satu suara
nyaring, lalu tertampak goloknya In Tiong kena dibabat kutung pedangnya Tan
Hong!
In Loei kaget, dia lompat maju
dengan pedangnya ia menghalau di tengah-tengah kedua jago, ia halangi pedangnya
si orang she Thio.
Tan Hong tidak niat melukai In
Tiong, ia berhenti menyerang, malah lantas ia lompat mundur keluar kalangan.
Hong Hoe terperanjat ketika ia
tampak In Loei lompat maju dengan pedangnya, ia menyangka orang hendak gunakan
ilmu pedang gabungannya untuk kepung In Tiong, ia juga lompat maju pula. Ia
baharulah melengak tatkala ia dapati pemuda itu justeru maju untuk memisahkan.
Di akhirnya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!"
katanya. "Memang, permusuhan harus dibikin habis, tak mestinya diperhebat!
Bagus kau maju disama tengah!" Ia lantas tarik tangan In Tiong sambil
berkata: "Kau telah menyaksikannya, bukan? Apa masih kau tidak niat
undurkan diri?"
In Tiong awasi Tan Hong dengan
mata mendelik, nyata sekali kebenciannya. Ia merasa sangat menyesal, sesudah
belajar silat sepuluh tahun, masih ia tidak mampu kalahkan anak musuhnya.
Karena Hong Hoe menariknya, terpaksa ia menurut diajak pergi.
Menampak kakaknya berlalu,
mendadak In Loei menangis, iapun jatuh di tanah.
In Tiong dengar suara itu, ia
menoleh, ia menjadi heran.
Hong Hoe kuatir rekan ini
kembali, ia mengajak terus.
"Untuk apa kau pedulikan
urusan lain orang?" katanya, tertawa. Dan ia menarik terus,membawa orang
berlalu dari lembah.
Ketika kemudian In Loei angkat
kepalanya, ia tak tampak kakaknya, tapi ini membuatnya ia menangis terlebih
sedih.
"Koko....." ia
memanggil.
Tiba-tiba ia rasakan tangan
yang halus mengusap-usap rambutnya, lalu suara yang lemah lembut terdengar di
kupingnya.
"Adik kecil, kau
menangis, kau menangislah! Setelah menangis, hatimu baharu lega.....”
Itulah suaranya Thio Tan Hong,
yang telah menghampirinya.
In Loei berhenti menangis dan
bangun berduduk. Ia tolak tangan si anak muda dari
rambutnya.
"Aku menangis sendiri,
siapa ingin kau campur tahu?....." katanya.
Tan Hong tertawa.
"Adik kecil, kenapa kau
bersikap begini?" katanya, manis. "Bukankah di kolong langit ini ada
sangat banyak urusan yang dapat membuat orang bersedih hati? Dan kau..... kau
punyakan berapa banyak air mata?"
In Loei menjadi terlebih
sedih, air matanya bercucuran terlebih deras.
"Sebenarnya manusia hidup
tak sampai seratus tahun," Tan Hong kata pula. "Urusan besar
bagaimanapun yang tak dapat dihabiskan? Apakah artinya budi dan permusuhan itu?
Kenapa kau memandangnya demikian hebat?"
Tiba-tiba In Loei mencelat
bangun. Ia menjadi gusar.
"Enak benar kau
bicara!" tegurnya, nyaring. Mendengar orang bicara, hatinya Tan Hong
sebaliknya menjadi lega.
"Ayahku memaksa
engkong-mu mengembala kuda dua puluh tahun, kejadian itu membuatnya aku
menyesal," ia kata pula. "Akan tetapi kejadian sudah terjadi,
kejadian itu tak dapat ditarik pulang..... Tentang meninggalnya engkong-mu itu,
tiada sangkut pautnya dengan keluargaku..... Berulangkah aku telah menjelaskannya,
apakah kau tetap tidak percaya aku?"
In Loei ingat surat wasiat
engkong-nya, itu surat kulit kambing yang bertuliskan darah dan berbau bacin.
Ingat itu ia berpendapat, meski engkong-nya bukan terbinasa di tangan musuh,
untuk itu iapun harus menuntut balas..... Hal ini membuatnya ia bertambah
sedih.
Tan Hong menghela napas.
"Ilmu silat Taylek
Kimkong Tjioe kakakmu itu lihay," ia bilang, untuk simpangi pembicaraan.
"Pernah aku dengar guruku mengatakan, di jaman ini, yang mengerti ilmu
silat itu cuma ada beberapa orang saja, di antaranya adalah Tang Soepee yang
paling lihay. Turut penglihatanku, kakakmu itu tentulah muridnya Tang Soepee
itu....."
Setelah mengucapkan kata-kata
itu, kembali Tan Hong menghela napas.
"Memang ilmu silat
kakakku itu ada ajarannya Tang Soepee," sahut In Loei, yang ketarik dengan
pembicaraan itu. "Apakah itu ada hubungannya dengan kau? Kenapa kau
menghela napas?"
"Aku menyesal atas apa
yang telah terjadi.....” sahut Tan Hong. "Kita bertiga adalah saudara
seperguruan, kita bagaikan satu keluarga, tak disangka-sangkanya, orang yang
telah meninggal dunia telah membuatnya urusan bersangkut paut dengan mereka
yang masih hidup, hingga sekarang kita jadi berkedudukan sebagai musuh satu
dengan lain.Kita sekarang jadi tak dapat hidup damai, apakah itu tidak
menyedihkan?"
In Loei merasakan seperti
terpukul, ia lekas-lekas menyingkir dari pandangan matanya si anak muda, yang
mengawasinya dengan tajam. Pikirannya pun kusut, tidak dapat ia mengucap
sesuatu.
Sekian lama si anak muda
mengawasi, lalu ia menghela napas pula.
"Oleh karena kau tidak
dapat memaafkannya, baiklah kita berpisahan saja.....” ia kata pula, suaranya
perlahan. "Secara begini maka tak usahlah kita saling berduka.....”
"Eh, tunggu
dulu....." mendadak In Loei mencegah.
Tan Hong sudah membalik tubuh,
mendengar mana ia berpaling pula.
"Ah," katanya,
"kau memangnya cerdas, otakmu bening bagaikan es dan salju. Adakah kau
telah dapat menginsyafinya?"
Kembali In Loei menyingkir
dari mata orang yang tajam itu.
"Di antara kita sudah tak
ada apa-apa lagi yang dapat diperkatakannya," kata si pemuda tetiron
kemudian. "Bagaimana dengan Tjioe Toako? Ke mana kau buang dia? Bagaimana
dengan Pit Lootjianpwee? Apakah kau telah ketemu dia?"
Di dalam hatinya, Tan Hong
tertawa. Adakah itu yang dimaksudkan sudah "tidak ada apa-apa lagi yang
dapat diperkatakan"? Toh yang ditanyakan ada demikian banyak..... Ia
tertawa.
"Tjioe Toako itu sangat
memusuhi aku, telah aku hajar rubuh padanya," jawab Tan Hong.
"Apa katamu?" In
Loei terkejut.
"Ketika dia dibawa keluar
oleh Hoan Tiong, Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam juga hampir sampai
kepadanya," si anak muda terangkan. "Aku kuatir dia kepergok, itulah
berbahaya, maka itu aku telah beri nasehat pada Pit Lootjianpwee supaya dia ajak
Tjioe Toako lekas-lekas menyingkirkan diri. Untuk itu aku telah berikan kuda
putihku. Tjioe Toako tidak sudi turut nasehatku. Dalam keadaan seperti itu,
terpaksa aku totok padanya hingga dia tidak berdaya. Selagi aku titahkan Hek
Pek Moko rintangi Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, aku ajak Pit Lootjianpwee
membawa dia menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Bertiga kami naik atas
kuda putihku. Sebentar saja, kami telah antar dia ke rumah keluarga Na. Ilmu
totokku ada yang berat, dan ada yang enteng, yang enteng itu membutuhkan tempo
hanya satu jam, orang akan sadar sendirinya, karena itu sekarang ini mungkin
Tjioe Toako sedang menghadapi perjamuan arak untuk bikin lenyap kagetnya.....”
In Loei berdiam. Ia kagum
berbareng heran.
"Sungguh hebat dalam satu
malam saja kau telah lakukan demikian banyak," ia kata,tawar.
"Kuda putihku bisa lari
seribu lie dalam satu hari, apakah artinya semua itu?" sahut si anak muda,
sikapnya tetap tenang.
Kembali In Loei tutup mulut.
Kembali ia menyingkir dari pandangan matanya si anak muda.
Ketika itu sang matahari sudah
berada di atas Tjengliong Kiap, memberikan pemandangan pagi yang indah dari
akhir musim ketiga, pelbagai bunga hutan sedang mekar, segar dan indah, dan
bunga lay putih bagaikan salju. Suasana pun tenteram sekali.
Dalam keadaan sebagai itu,
tiba-tiba Tan Hong keluarkan sepucuk surat.
"Tolong kau sampaikan
surat ini kepada Nona Tjoei Hong," ia minta.
In Loei menyambutinya tanpa
berpaling. Ia insyaf tak dapat tidak, mesti ia berpisah dari si anak muda, akan
tetapi ia coba atasi diri, supaya tak usah ia tengok pula wajah orang, hal mana
cuma-cuma akan menambah kedukaannya.
Tan Hong menghela napas,
suaranya terdengar si nona, terus ia naik atas kudanya — sikuda putih — yang ia
kasi jalan dengan ayal-ayalan keluar dari selat, kaki kuda menginjak pelbagai
lembaran bunga yang rontok.....
Dengan perlahan Tan Hong
bernyanyi, menyanyikan syairnya Ong Pong Hoay di jaman Song ketika dia ini
mengenangkan isterinya yang telah menikah pula.
Berduka In Loei kapan ia
dengar nyanyian itu, hingga ia kata di dalam hatinya:
"Walaupun aku jemu
terhadapmu tetapi di jaman ini, tidak nanti aku nikah lain orang!.....
Oh, mengapakah Thian berlaku
begini kejam terhadap aku?.....”
Ketika kemudian suara nyanyian
berhenti, maka lenyap juga Tan Hong serta bayanganya, tinggal si nona seorang
diri, matanya mengembeng air — air matanya itu bersinar di antara sorotnya
matahari. Setelah ini, iapun berlalu dari lembah yang sunyi itu.
Tepat di waktu tengah hari In
Loei sampai di Imma tjoan di rumahnya Na Thian Sek, di mana ia dapatkan San Bin
benar seperti katanya Tan Hong, yaitu pemuda she Tjioe itu baharu saja dijamu,
diberi selamat yang dia telah lolos dari ancaman bahaya, dan waktu itu dia
tengah pasang omong bersama kawan-kawannya.
Melihat In Loei, Pit To Hoan
tertawa besar. "Sebenarnya aku kuatir ketika tadi malam aku tinggal pergi
padamu seorang diri," berkata orang tua itu, "tetapi begitu aku ingat
ada Thio Tan Hong yang melindungi kau secara diam-diam, hatiku lantas menjadi
lega, aku tak berkuatir lagi."
Kata-kata itu membuktikan,
jago tua ini percaya penuh pada Tan Hong.
"Kami telah berpikir
keras, kami telah bekerja hebat, namun kami tak dapat tolong orang," Thian
Sek turut bicara, "akan tetapi Thio Tan Hong, begitu dia
datang,pertolongan telah dapat dilakukan secara sangat gampang. Sepak
terjangnya dia itu sungguh hebat, luar biasa, mengagumkan!"
"Teranglah dia satu
laki-laki sejati," kata Tjek Po Tjiang, yang tadinya berkesan jelek
terhadap Tan Hong, malah memusuhinya. "Nyatalah bahwa kita telah bersikap
keliru terhadapnya."
San Bin dengar itu semua, ia
lirik In Loei.
"Maka sayang sekali, dia
adalah musuhnya In Siangkong," ia bilang. "Kalau tidak demikian,
sungguh harus sekali kita bersahabat erat dengannya.....”
Bersemu dadu wajahnya In Loei,
ia bungkam. "In Siangkong," kata Tjoei Hong, "dalam hal menolong
toako San Bin, kau juga berjasa, mengapa kau diam saja?"
"Apa jasaku?" In
Loei sahuti. "Umpama permainan catur, aku adalah satu serdadu yang
menyerah untuk orang kendalikan sesuka-sukanya saja.....”
Tjoei Hong nampaknya tidak
senang.
"Siapakah yang berbuat
sesukanya terhadap dirimu?" dia tanya.
Penyahutannya In Loei tadi
hanya sekena-kenanya saja. Ditanya begitu, ia insyaf, tapi lantas ia tertawa.
"Aku maksudkan aku
dipermainkan nasib, tak lagi aku berkuasa atas diriku," ia menambahkan
kemudian.
Orang semua heran. Kenapa
"pemuda" ini mengatakannya demikian putar balik.
"Kau benar!" berkata
San Bin, yang tak heran seperti yang lain. "Mengenai permusuhanmu dengan
Thio Tan Hong, itu memang ada permainannya sang takdir!"
San Bin berduka kapan ia ingat
permusuhan di antara dua orang itu, karena terhadap Thio Tan Hong, ia berkesan
baik.
"Eh, mengapa kamu
bicarakan urusan nasib saja?" Tjoei Hong campur bicara. "In
Siangkong, bukankah kau berniat pergi ke kota raja?"
Sebenarnya nona ini hendak
mengutarakan maksudnya untuk turut serta tapi In Loei segera memotong
pembicaraannya.
"Ah, hampir aku
lupa!" kata "pemuda" ini. "Ada sepucuk surat yang mesti
disampaikan kepadamu! Surat dari Tan Hong....."
"Untuk apa ia
menyampaikan surat padaku?" tanya Tjoei Hong, heran. Terus ia menambahkan:
"Kau dengan dia bermusuhan, kenapa kamu nampaknya seperti sahabat-sahabat
kekal? Tidakkah ini aneh sekali?"
Sambil berkata begitu, Nona
Tjio toh buka suratnya Tan Hong itu.
"Kiranya surat dari
ayahku!" katanya kemudian. "Ah, ada urusan apakah maka ayah minta aku
lekas-lekas pulang? Eh, In Siangkong, dalam surat ini ada terlampirkan sepucuk
surat lain untuk disampaikan kepadamu..... bukan untuk kau sendiri..... hanya ini
diminta kau tolong sampaikan kepada Kokioo Ie Kiam. Ah, inilah bukan tulisannya
ayah!" Dan ia melihatnya dengan teliti. Lalu ia menambahkan: "Nyata
surat ini ditulis oleh lain
orang..... Kenapa orang main minta surat-surat saling disampaikan?.....”
In Loei menyambuti surat yang
dikatakan untuknya. Ia tampak tulisan yang sifatnya bagaikan "naga terbang
atau burung hong menari." Memang surat itu diminta disampaikan kepada Ie
Kiam. Berdenyut berulang kali hatinya In Loei apabila ia telah kenali siapa
yang membuat buah kalam itu. Itulah tulisan yang bagus dari Thio Tan Hong.
Mungkin Tan Hong kuatir orang
menampik permintaan tolongnya, atau dia ada kandung maksud lain.....
Tjoei Hong sendiri menjadi
kecele apabila ia sudah baca habis surat dari ayahnya itu.
"Dalam surat ayahku
menyatakan ada urusan penting sekali karena mana ia minta aku lekas
pulang," ia bilang, "dan kau hendak pergi ke kota raja. Entah kapan
kita bisa bertemu pula.....”
In Loei sebaliknya girang bisa
"lolos" dari Nona Tjio ini.
"Asal ada jodoh, dapat
kita bertemu pula!" katanya sambil tertawa.
San Bin semua tertawa, mereka
menyangka itulah sepasang suami isteri tengah bergurau, karenanya, merah
mukanya Tjoei Hong, yang menjadi likat sekali.
Pada keesokan harinya, orang
semua ber-pisahan, masing-masing menuju kepada arah tujuannya sendiri-sendiri.
Pit To Hoan pergi menyingkirkan diri ke Hoasan. San Bin tidak berani berdiam
lama di Kwanlwee, siap ia untuk kembali ke sarangnya. Dan In Loei,dengan
menunggang kuda, menuju ke kota raja. Tjoei Hong bersama San Bin mengantar
orang she In ini. Nampaknya berat sekali "isteri" ini mesti
berpisahan dari "suaminya" itu.....
Sekonyong-konyong, In Loei
berkata: "Entjie Hong, pergi kau pulang lebih dahulu, hendak aku bicara
kepada Tjioe Toako....."
Merah matanya Nona Tjioe itu.
Seandainya In Loei berkata demikian sebelum pengalaman mereka yang paling
belakang ini, tentu ia jadi tidak senang dan akan beranggapan bahwa di mata In
Loei cuma ada San Bin, tapi sekarang San Bin pernah berkorban untuk menolong
padanya, dapat ia bersabar, dengan terpaksa ia pulang seorang diri.
"Tadinya aku pandang Tan
Hong sebagai penghianat," kata San Bin sesudah mereka berada berduaan,
"sekarang aku anggap dia sebagai satu pemuda gagah dan luar biasa. Maka
kalau nanti kau sampai di kota raja, kau selidikilah dengan seksama, apabila
benar engkong-mu bukan keluarga Thio yang menganiaya dan menyiksanya hingga
menderita selama dua puluh tahun, aku anggap tak usah kau bunuh dia untuk
menuntut balas."
Satu malam sudah San Bin telah
berpikir keras, tentang takdir, ia menjadi tawar hatinya. Setelah pengalamannya
ini, ia menjadi lebih terbuka pandangannya perihal penghidupan. Begitulah, maka
bisa ia mengucap demikian.
Tertarik hati In Loei
mendengar perkataan orang itu.
"Baiklah hal ini kita
bicarakan pula lain kali," ia bilang, "Aku punyakan serupa barang
untuk haturkan kepadamu..... bukan! Barang ini sebenarnya memang
kepunyaanmu!"
Ia lantas keluarkan permata
sanhoe, sambil menyerahkan itu, ia kata pula: "Sekarang sanhoe ini harus
dipulangkan kepada pemiliknya!"
Melihat batu itu, berubah
parasnya San Bin.
"Kau..... kau maksudkan
apakah?" dia tanya gugup.
-ooo00dw00ooo
Sanhoe itu adalah barang tanda
mata, atau pesalin, dari In Loei untuk Tjoei Hong, San Bin ketahui itu, maka
cara bagaimana dapat ia menerimanya. Tapi In Loei tertawa.
"Memang benar sanhoe ini
berasal kepunyaanmu, yang aku cuma pinjam," si "pemuda"
terangkan lebih jauh. "Apakah bukan selayaknya kalau barang kembali kepada
pemiliknya?"
"Adik In," katanya
dengan perlahan, "kita sekarang akan berpisah, mengapa kau bergurau begini
rupa terhadapku?" Dengan "adik" ia menyebutnya adik perempuan.
Iapun nampaknya sedikit tak puas.
In Loei mengawasi, ia unjuk
roman sungguh-sungguh.
"Toako, hendak aku mohon
sesuatu kepadamu, kau sudi meluluskannya atau tidak?" ia tanya.
"Kita adalah bagaikan
kakak dan adik sejati," jawab San Bin, "segala apa yang aku bisa
pasti suka aku berbuat untukmu, tak peduli mesti aku serbu api!"
In Loei tertawa."Tetapi
permintaanku ini tidak meminta tenaga sedikitpun jua!" ia bilang.
San Bin bukannya seorang
tolol, dalam sejenak itu sudah ia dapat menerka. Ia jadi agak mendongkol
berbareng berduka. Maka, di dalam hatinya ia kata: "Di dalam hatimu sudah
ada lain orang yang menempatinya, itulah tidak apa, kenapa sekarang kau hendak
menggunai akal memindahkan bunga ke lain pohon?.....”
Tadinya hendak ia unjuk tak
puasnya itu, atau In Loei telah dului ia.
"Nona Tjio menyintai aku
secara membuta, ia harus dikasihani," demikian si nona. "Tak dapat
aku dustakan ia untuk selama-lamanya yang akan mensia-siakan usia
mudanya."
"Itu ada sangkut paut apa
dengan aku?" tanya San Bin, mendongkol.
Matanya In Loei menjadi merah.
"Aku sudah tidak punya
ayah dan ibu, di waktu aku nampak kesulitan, jikalau aku bukan minta pertolonganmu,
kepada siapa lagi dapat aku memintanya?" dia tanya.
"Begitulah kesulitanku
ini, melainkan kau yang dapat memecahkannya. Sioktjouw dengan Hongthianloei
Tjio Eng kenal baik satu pada lain, maka itu kaulah orang yang paling
tepat....."
"Apa? Bukankah dengan
begini kau jadi memaksa aku?" San Bin tanya. "Kau desakkan soal apa
yang orang tak inginkan.....”
"Kau ketahui apa yang
hendak aku minta dari-mu?" balik tanya In Loei. "Aku juga tidak minta
kau segera menikah! Kenapa kau bimbang tidak keruan? Aku hanya minta kau terima
sanhoe ini untuk disimpan. Kau tunggu sampai nanti telah tiba ketikanya, akan
aku bicara kepada Nona Tjio untuk menjelaskan segala-galanya. Apakah untuk ini
kau tetap masih tak dapat menerimanya?"
San Bin berdiam, ia mengawasi.
Ia merasa kasihan terhadap nona ini. Bukankah permintaan itu tidak berat? Maka
itu, dengan terpaksa, akhirnya ia terima juga.
Sepasang alis In Loei segera
terbuka, dari masgul, hatinya menjadi rawan. Ia lantas bersenyum. Segera ia
lompat naik atas kudanya yang dilarikan pergi.....
Dengan mendelong San Bin awasi
orang berlalu, pikirannya tidak keruan rasa. Tak tahu ia mesti bersedih atau
bagaimana.....
Tidak ada halangan bagi In
Loei selama dalam perjalanannya itu, lewat beberapa hari tibalah ia di kota raja,
kota mana menjadi tempat kedudukan kaisar sejak pertengahan kerajaan Kim. Dulu
memang kota itu sudah indah, setelah pindahnya Kaisar Beng Sengtjouw dari
Lamkhia, segala apa telah diperbaiki dan ditambah, hingga sekarang Pakkhia
menjadi kota besar dan indah tanpa bandingan.
In Loei saksikan Tjiekim shia,
Kota Terlarang, ia tampak jalan-jalan besar yang lebar, ia lihat pelbagai toko
yang besar-besar dan beraneka warna. Tapi tak sempat ia menikmati keindahan
kota, yang paling dulu ia lakukan ialah mencari rumah penginapan.
"Di kota raja ini aku
tidak kenal seorangpun jua," ia berpikir, "Ie Kiam sebaliknya adalah
seorang menteri besar. Sudikah dia menemui aku? Aku juga belum tahu
alamatnya.....”
Karena ini, ia jadi berpikir.
"Terang sudah si perwira
muda adalah kakakku," pikir ia kemudian, "ia sekarang berada di kota
raja ini, mengapa aku tidak hendak cari ia saja?.....” Tiba-tiba berkelebat
diotak In Loei halnya kakaknya itu bermusuh dengan Thio Tan Hong. Ia jadi
sangat mangui. Tanpa ia kehendaki ia menghela napas.
"Sayang itu hari, saking
kesusu, tak bisa aku memberi keterangan kepada kakakku itu," ia sesalkan
diri. "Di dalam dunia ini, melainkan dia orang satu-satunya yang terdekat
denganku. Harus aku ketemui dia. Untuk ini aku tak hiraukan bahwa aku bakal
ditegur dan didamprat. Akan tetapi apabila kakakku itu mendesak aku bantui ia
mencari balas,bagaimana? Beberapa kali Thio Tan Hong sudah tolongi aku dari
marah bencana,
cara bagaimana aku bisa
binasakan dia?..... Tidak bisa lain, aku mesti bisa melihat gelagat.....”
Berupa-rupa perasaan memenuhi
otak In Loei. Ia girang mengetahui tentang kakaknya,ia berduka mengenai
permusuhannya dengan Tan Hong. Ia terbenam dalam keraguraguan.
Sampai sekian lama ia
berpikir, tidak juga ia dapatkan pemecahannya.
"Di mana berdiamnya
kakakku sekarang?" kemudian ia tanya dirinya sendiri. "Tidak sukar!
Lebih dahulu aku mesti cari Thio Hong Hoe!"
Ia ingat perkataannya Hong Hoe
baru-baru ini, yaitu kalau ia dan Tan Hong datang ke kota raja, dia hendak
undang mereka berdua datang ke rumahnya sebagai tetamu. Ia ingat juga alamatnya
Hong Hoe, yang pernah memberitahukannya.
Tiga hari lamanya In Loei
tinggal di hotel, selama itu ia sering keluar seorang diri,hingga ia jadi kenal
baik kota raja, di hari ke empat, ia langsung menuju ke rumahnya Thio Hong Hoe.
Komandan Kimie wie itu
bukannya seorang hartawan akan tetapi karena kedudukannya baik, ia ada punya
sebuah rumah yang besar pekarangannya dan terkurung tembok, di dalamnya
ditanami banyak rupa pohon-pohonan. Hanya aneh, di samping pekarangan lebar
itu, rumahnya adalah rumah biasa saja yang terdiri dari empat lima ruang.
Apakah perlunya pekarangan lebar dan kosong itu?
"Ah, dia sebagai komandan
Kimie wie, sudah tentu dia membutuhkan lapangan luas untuk melatih
barisannya.....” pikir si nona kemudian. Lantas ia hampirkan pintu dan
mengetoknya.
Satu hamba, yang membukakan
pintu, mengawasi sekian lama.
"Maaf, engko kecil,"
dia kata kemudian, "hari ini thaydjin kami tidak menerima
tetamu....." Bicaranya tidak lancar.
In Loei lantas jadi
mendongkol.
"Cara bagaimana kau bisa
ketahui dia tidak akan menemui aku?" dia tanya.
"Thio Thaydjin telah
memerintahkannya, selama beberapa hari ini kecuali rekannya dari Kimie wie,
lain orang tak dapat ia menerimanya," sahut hamba itu.
"Tetapi aku adalah orang
undangan thaydjin-mu, bagaimana dia tak terima aku?" In Loei membandel.
Hamba itu mengawasi pula
tetamunya ini, ia menggelengkan kepala.
"Aku tidak percaya!"
ia kata. Ia nampaknya memandang enteng. Di dalam hatinya seperti hendak ia
mengatakan "Kau orang macam apa sampai thaydjin-ku undang padamu?"
In Loei habis sabar.
"Jikalau kau tidak wartakan kedatanganku, nanti aku masuk sendiri!"
dia bilang,
suaranya keras. Dia cekal
loneng besi dan menariknya, hingga jeruji sebesar jari tangan lantas jadi
melengkung. Kaget juga si hamba.
"Harap jangan gusar,
engko kecil," katanya kemudian. "Kau tunggu, nanti aku laporkan
kedatanganmu ini. Bahwa thaydjin sudi terima kau atau tidak, itu terserah
kepada thaydjin.....”
Ia lantas bertindak masuk. Ia
keluar pula tak berselang lama.
"In Siangkong, thaydjin
undang kau masuk," katanya sekarang sikapnya berbeda.
"Silakan kau ambil jalan
sebelah kanan itu, lalu memutar ke kiri, setelah kau tampak pintu batu yang
hanya dirapatkan, kau tolak saja. Thaydjin kami ada di lapangan di sana. Aku
sendiri mesti terus menjaga pintu ini, maafkan aku, tidak dapat aku antar
kau."
Sambil berkata demikian, ia
membukakan pintu loneng.
In Loei bertindak masuk tanpa
bilang suatu apa, masih ia mendongkol.
"Banyak juga tingkahnya
Hong Hoe!" ia pikir. "Selama di Tjengliong Kiap, ia bersikap manis
budi, kenapa sekarang, selagi aku mengunjungi padanya, dia tidak sambut aku?
Hm, dasar satu orang berpangkat!"
Sebentar kemudian sampailah In
Loei di sebelah luar apa yang si hamba tadi sebutkan sebagai lapangan, segera
ia memikirkan kata-kata untuk diucapkan kepada tuan rumah yang ia anggap besar
kepala itu. Tiba-tiba ia dengan suara tertawa:
"Hihi! Haha! Hm!
Awas!....."
Ia terkejut. Ia kenali, itulah
suaranya Tantai Mie Ming! Tapi ingin ia lekas mengetahuinya, maka tanpa
berpikir lagi, ia tolak daun pintu. Maka untuk herannya, ia tampak banyak
anggota-anggota Gielim koen dan Kimie wie, di depan mereka itu berdiri Thio
Hong Hoe, sang komandan. Begitu ia lihat In Loei, Hong Hoe lantas manggut.
Di tengah lapangan tampak
Tantai Mie Ming yang menghadapi satu pahlawan, mereka saling lonjorkan tangan,
yang menempel satu dengan lain, tiba-tiba si pahlawan Mongolia itu tertawa,
kaki kirinya menyambar. Dan..... "Bruk!" tergulinglah si pahlawan.
Tantai Mie Ming tertawa pula.
"Mari, mari, lagi satu
kali!" katanya.
Satu pahlawan lain lompat
maju.
"Ingin aku mencoba-coba
Tantai TjiangkoenV pahlawan itu bilang. Ia membahasakan
"Tjiangkoen" —
"jenderal."
"Bagus, bagus!" ada
jawabannya Mie Ming.
Pahlawan itu sudah lantas
pasang kuda-kudanya, lalu ia kirim serangannya yang berupa kepalannya. Itulah
suatu pukulan dari "Sippatlouw Tiangkoen," atau "Kepalan Panjang
Jurus Delapan belas." Dengan kuda-kuda yang kokoh kuat, nampaknya hebat
jurus ini.
Tantai Mie Ming menangkis
dengan dua kali dorongan, ia cuma bikin tubuh si pahlawan bergeming tetapi
tidak rubuh. In Loei jadi sangat heran. Bukankah Tantai Mie Ming pengantarnya
pangeran Watzu itu? Kenapa dia berada di rumahnya Thio Hong Hoe? Kenapa dia uji
diri dengan pahlawanpahlawan kaisar?
Heran juga sikapnya Hong Hoe,
yang agaknya sangat ketarik hati.
Karena ini In Loei tidak
segera menghampirkan komandan itu, ia hanya campurkan diri antara orang banyak,
untuk menonton terus.....
Pelbagai pahlawan Gielim koen
dan Kimie wie itu bicara satu dengan lain, tentang Tantai Mie Ming, perihal
latihan itu, maka kemudian, In Loei tahu juga duduknya hal. Ialah Mie Ming
sudah datang sekian lama di kota raja, dia sudah lantas bergaul rapat dengan
rombongan pahlawan, tidak heran apabila kedua pihak suka bicara tentang ilmu
silat.
Karena Mie Ming adalah
pahlawan nomor satu dari Watzu, orang suka mencoba-coba dengannya. Mie Ming
sendiri, yang gemar bergaul dan manis budi, ingin juga ketahui kegagahan pihak
pahlawan, maka ia telah minta perantaraannya Hong Hoe untuk cari kenalan,
katanya untuk "melatih diri sambil main-main," hanya ia tidak sangka,
di antara pahlawan ada orang-orang yang benar-benar berniat merubuhkan
padanya.....
Selama itu, latihan
persahabatan sudah berjalan tiga hari, hari ini adalah hari terakhir. Selama
tiga hari, Tantai Mie Ming telah merubuhkan delapan pahlawan, dan pada hari
penghabisan ini, tetap ia menang terus. Karena pihak pahlawan nampak
kekalahan,akhirnya sikap mereka semua menjadi tegang sendirinya.
Lawan terakhir dari Tantai Mie
Ming adalah Yo Wie, hoetongnia atau komandan pembantu dari Gielim koen, dia
kesohor dalam kepandaian Tiatpou san-nya, yaitu ilmu "Baju Besi,"
yang termasuk kalangan luar, Gwak.ee. Yo Wie percaya betul dia bakal sanggup
bertahan, maka itu, dia telah melayani dari sepuluh jurus hingga jurus kedua
puluh. Benar-benar pukulan-pukulan dari Sippatlouw Tiangkoen ada hebat.
Untuk melayani musuh yang
tanggu ini, Tantai Mie Ming gunakan jurus-jurus dari "Tiat Piepee"
atau "Piepee Besi" yang biasa saja, meski begitu dengan leluasa ia
dapat "temani" pahlawan dari kota raja itu.
Adalah sesudah sampai pada
jurus ke tiga puluh, Yo Wie mandi keringat sendirinya.
"Yo Tongnia, silakan
beristirahat!" kata Mie Ming sambil tertawa. Walaupun ia mengucap
demikian, ia bukannya mundur, sebaliknya, ia lompat maju, ia menyerang beruntun
tiga kali, ketika ia menangkis kedua tangan lawannya, ia merangsak maju dan
membentur tubuh orang.
Dengan satu gebrakan saja, Yo
Wie rubuh terguling.
"Maaf!" kata
panglima Mongolia itu. Ia maju menghampiri, untuk membangunkan, lalu sambil
tertawa, ia menambahkan: "Ini adalah giliran yang ke sepuluh! Apakah masih
ada saudara lainnya yang sudi beri pengajaran padaku?"
Sampai di situ, Hong Hoe habis
sabar. Ia maju.
"Suka aku menerima
pelajaran dari Tantai Tjiangkoen1." ia kata sambil memberi hormat,
suaranya manis.
Tantai Mie Ming tertawa lebar.
"Sudah lama aku dengar Thio Thaydjin adalah ahli nomor satu dari kota raja
ini," dia berkata, "sekarang thaydjin sudi majukan diri, sungguh aku
merasa sangat beruntung!"
Suara itu manis dan hormat
tetapi nadanya agak tinggi, tanda dari kejumawaan yang tak dapat dile nyap kan.
Kali ini benar-benar
pertandingan adalah yang terakhir, umpama kata Hong Hoe kalah,pahlawan lainnya
tidak nanti ada yang berani maju lagi.
"Suka aku menerima
pengajaranmu," Hong Hoe ulangi, yang terus berdiri berhadapan dengan
panglima Mongolia itu, setelah mana ia memberi hormat dengan tiatjoe, dengan
tangan kiri dikepal, tangan kanan dibuka, ditaruh di depan dadanya. Sebenarnya
itu bukan cuma tanda memberi hormat, berbareng itu ada persiapan untuk mulai
pertempuran.
Tantai Mie Ming tahu diri,
dengan bersenyum ia membalas hormat sambil merangkap kedua tangannya, tapi
setelah itu, sebat sekali, ia mulai dengan serangannya tanpa membuka lagi kedua
tangannya itu, karena ia menyerang dengan "Pekwan tamlouw" atau
"Lutung putih tanya jalan." Serangan dengan kedua tangan dirangkapkan
itu diarahkan ke atas, ke umbun-umbun, dari atas turun ke bawah.
Thio Hong Hoe buka kedua
tangannya, tubuhnya digeser nyamping sedikit, tangan kanan dipakai menangkis,
tangan kiri membarengi menyabet, maka, sejenak saja,keduanya sudah saling
serang.
Tantai Mie Ming berlaku
tenang. Ia tarik kembali kedua tangannya, untuk menyingkir dari tangkisan, guna
menangkis juga. Tapi ia tidak cuma menangkis, dengan sebelah tangannya yang
lain, dengan dua jari, ia menotok ke tulang lemas di pinggang lawannya itu!
Kalau totokan ini mengenai
tepat, mestinya Hong Hoe rubuh dengan segera,disebabkan tenaganya habis dengan
tiba-tiba. Tapi ia ada jago kenamaan, ia juga telah banyak pengalamannya, tak
dapat ia diperdayakan secara demikian gampang. Kelihatannya ia majukan diri,
tak tahunya, menyusuli serangan lawan yang berbahaya itu,ia juga menyerang,
sebelah kepalannya menuju ke uluhati! Itu artinya, apabila kedua pihak
sama-sama mengenai sasarannya, mereka bakal terluka dan celaka, sebab Mie Ming
akan muntahkan darah!
"Sungguh liehay!"
berseru Tantai Mie Ming. "Inilah Toota Kimtjiong!"
"Toota Kimtjiong"
berarti "Menggempur rubuh genta emas"
Sama sekali Mie Ming tidak
lompat mundur, hanya berbareng dengan seruannya itu,tubuhnya menggeser sedikit,
sebelah kakinya menginjak "tiongkiong" (garis tengah),sebelah
tangannya "membacok" lengan Hong Hoe.
Semua pahlawan berseru bahkan
kaget. Nyaring suaranya ketika kedua tangan bentrok satu dengan lain, habis
mana baharulah keduanya lompat mundur dengan berbareng,sama-sama memasang
kuda-kuda, untuk bersiap sedia kembali.
Menampak demikian, semua,
penonton bernapas lega. Tapi mereka berlega hati tak lama, atau mendadak mereka
lihat tubuh besar dari Tantai Mie Ming merangsak ke depan,seperti rubuh
terpelanting, bagaikan runtuhnya sebuah balok besar, kedua tangannya maju
sambil menerbitkan angin. Sebab dengan cara luar biasa itu, panglima Mongolia
ini sudah mulai pula dengan serangannya! .
Beda daripada serangan yang
datangnya ganas, Hong Hoe sebaliknya berlaku ayalayalan,ia menangkis kedua
tangan itu bagaikan ia telah kehabisan tenaga.
Semua orang heran, tak
terkecuali In Loei.
Tapi Mie Ming segera berseru:
"Inilah Biantjiang Kanghoe yang lihay!"
"Biantjiang Kanghoe"
ialah ilmu silat "Tangan Kapas," yang lemas.
Lalu, sambil tertawa, Mie Ming
elakkan dirinya, hingga ia bebas dari serangan membalas dari komandan Gielim
koen itu. Hingga kembali mereka lewatkan tiga jurus dengan keduanya tak kurang
suatu apa.
Hong Hoe tahu ia kalah tenaga
akan tetapi ia adalah Lweek.ee, ahli dalam, ia pandai "Biankoen,"
ilmu silat "Tangan Kapas", ia lawan kekerasan dengan kelembekan.
Namanya saja lembek, sebenarnya bukan tangan yang lembek atau tenaga yang
lemah, melainkan macamnya, sedang sebenarnya, siapa terkena Biankoen, tangannya
bisa remuk seperti batu terpukul hancur. Mie Ming insyaf akan ancaman bahaya
itu, tak mau ia menerjangnya.
Semua pihak Gielim koen
gembira menyaksikan kesudahan itu, akan tetapi, setelah pertempuran
dilanjutkan, In Loei tak tenang hatinya. Ia telah tampak, makin lama
pertandingan berjalan, Hong Hoe makin tegang wajahnya, tidak demikian dengan
jago Mongolia, yang tenang sekali. Dia ini seolah-olah tidak menggunakan
tenaga, serangannya enteng, tapi cepat.
Pertandingan tidak segera
memberikan kesudahan yang memutuskan, cuma Hong Hoe mulai mandi keringat, suatu
tanda bahwa ia telah bekerja sungguh-sungguh untuk membela namanya. Kalau
lain-lain orang tidak melihatnya, In Loei ketahui itu dengan baik, maka itu,
nona ini menjadi berkuatir.
"Kepandaian Hong Hoe
dibanding dengan kepandaian Tan Hong, ada berimbang," nona ini berpikir.
"Selama pertandingan di dalam kuburan, Tan Hong cuma bisa melayani Mie
Ming sampai lima puluh jurus, maka itu, Hong Hoe pasti tidak dapat bertahan
sampai tujuh puluh jurus. Sekarang sudah lewat lima puluh jurus, mestinya tak
lama lagi, Hong Hoe bakal kena dikalahkan.....”
Benar, baharu lewat lagi tujuh
atau delapan jurus, tampak Hong Hoe sudah sulit bernapas.
"Jikalau aku kalah, tak
apa untuk nama pribadiku," ia berpikir, "yang celaka adalah nama
Tionggoan runtuh karenanya....." Karena ini, di saat terakhir itu, ia
mencoba menggunakan ketikanya. Ia empos semangatnya, ia kumpulkan tenaganya ke
tangan, waktu Tantai Mie Ming dengan dahsyat menyerang padanya, mendadak ia
berseru, ia menyambuti dengan sekuat tenaganya. Serangan membalas ini sangat
berbahaya andaikata mengenai sasaran kosong. Mie Ming adalah seorang yang
cerdik, tak sudi ia membiarkan dirinya dipedayakan. Maka walaupun ia sedang
terancam, dapat ia menghindarkan diri. Ia membalas dengan satu tangan yang
berat.
Hong Hoe tidak menduga sama
sekali lawannya ada demikian licin dan tanggu, ia kaget sekali merasakan
dadanya seperti tertindih keras, sampai napasnya sesak dan tubuhnya berhawa
panas. Syukur untuknya, ia masih dapat ketika akan mundur teratur, dengan
elakkan diri, ia membuatnya tenaga lawan tinggal separuh, hingga ia tak terserang
hebat.
Dalam keadaan seperti itu,
kedua lawan seolah-olah tengah menunggang harimau,duduk terus salah, turun
berbahaya. Mie Ming menang di atas angin, tapi ia kagum akan Tangan Kapas yang
liehay itu. Ia kaget ketika ia dapat kenyataan, tangannya seperti dilihat, tak
dapat segera ia loloskan tangannya itu.
"Inilah hebat.....” ia
mengeluh. Ia tidak berniat melukai lawannya itu, satu jago, akan tetapi ia
terancam bahaya. Daripada bercelaka sendiri, lebih baik ia cari
keselamatan.Karena ini, ia mencoba kerahkan tenaganya.
Semua penonton kembali menjadi
tegang, semua berdiam dengan menahan napas. Kedua lawan memasang kuda-kudanya
masing-masing, kedua tangan mereka nempel satu pada lain.
Hong Hoe bertahan diri,
walaupun napasnya terdengar nyata, keringatnya ngucur dijidatnya.
Sedapat-dapatnya ia terus melindungi dirinya.
Dalam sibuknya, In Loei
berpikir keras.
"Bagaimana aku bisa
memisahkan mereka?" demikian otaknya bekerja. Hong Hoe akan terbinasa atau
terluka parah. Hong Hoe adalah hamba negara tapi dia ada satu laki-laki,jiwanya
harus disayangi.
Sunyi sekali suasana waktu
itu, hingga bila ada jarum jatuh, dapat orang mendengarnya. Semua penonton
mengawasi dengan mendelong, hati mereka tegang sekali.
Dalam keadaan yang sunyi
senyap itu, tiba-tiba terdengar satu suara batuk yang perlahan sekali. Itulah
tanda bahwa di situ telah tambah satu orang lain. Kemudian ternyata, tambahan
satu orang itu adalah seorang yang mukanya kuning, kumis jenggotnya panjang dan
terpecah tiga, usianya lebih kurang lima puluh tahun, bajunya panjang,
tangannya menyekal sebuah kipas rusak.
Dari romannya dan dandanannya,
teranglah ia adalah satu petani, atau seorang yang baharu pulang dari ladang
habis meluku.....
Semua orang memusatkan
perhatiannya pada pertandingan, tidak ada yang lihat datangnya orang baru ini
sampai orang mendengar suara batuknya itu. Menyusul itu terjadilah satu
kejadian aneh, yang dilakukan orang asing ini. Dia sudah lantas datang kepada
kedua orang yang bertempur itu, untuk menyelak disama tengah.
"Tuan-tuan, kamu telah
lelah, pergilah beristirahat!" demikian suaranya perlahan tetapi nyata.
Itulah lagu suaranya Tantai Mie Ming ketika tadi Mie Ming merubuhkan lawanlawan
yang terdahulu.
Heran Mie Ming, apa pula
ketika orang itu ketengahkan kipas rusaknya di antara mereka berdua, hingga
kipas itu hancur dan merosot turun bagaikan terikat sutera.....
Hong Hoe terperanjat, sambil
berseru, dia lompat mundur.
Mie Ming pun terhuyung,
lekas-lekas ia tarik kembali kedua tangannya, ia heran sekali. Hebat orang tua
itu, yang mengerahkan tenaganya dengan pinjam perantaraan kipas rusak itu,
hingga kedua orang yang tengah bertempur itu terpaksa memisahkan diri.
Begitu lekas ia telah sadar
akan dirinya, Tantai Mie Ming tertawa tergelak-gelak.
"Sungguh beruntung hari
ini aku bertemu dengan orang pandai!" kata orang Mongolia ini. "Aku
Tantai Mie Ming, ingin menerima pengajaranmu!"
Sambil pegangi kipas rusak
itu, si orang tua perlihatkan roman sibuk."Haraplah Tantai Tjiangkoen
tidak berkelakar denganku," katanya, suaranya kurang nyata. "Aku
adalah seorang desa yang telah lanjut usianya, apakah yang aku mengerti tentang
ilmu silat?"
Mie Ming sebaliknya
perlihatkan roman sungguh-sungguh, roman tak senang.
"Apakah benar-benar
ioosianseng tidak suka memberi pengajaran padaku?" dia tegaskan.
Lalu dengan satu gerakan
tangannya, dia membuat kutung tulang-tulang kipas rusak dari si orang tua itu,
seperti terpapas pisau tajam.
Semua orang menjadi kagum dan
heran. Itu adalah kekuatan jari-jari tangan yang istimewa. Orangpun heran,
kenapa si orang tua membiarkannya, sedang tadi ia yang memisahkan kedua lawan
itu.
Ketika tadi ia memisahkan,
orang tua itu menggunakan akal, yaitu waktu Mie Ming dan Hong Hoe tidak bersiap
sedia, dan barusan, Mie Ming juga bergerak secara tiba-tiba, tak sempat si
orang tua menolong kipasnya itu, ia cuma dapat melindungi dirinya sendiri.
Hong Hoe ketahui semua itu, ia
menjadi kagum, di dalam hatinya, ia berkata: "Benar-benar kepandaian
manusia tak ada batasnya. Sampai sebegitu jauh, aku merasa puas dengan kepandaianku,
sekarang terbukti, Mie Ming adalah terlebih liehay daripadaku,siapa tahu, orang
tua ini ada jauh terlebih liehay lagi..... Mereka ini sama liehaynya, entah
siapa yang terlebih liehay.....”
Karena memikir demikian, hati
komandan Kimie wie ini menjadi tidak tenteram. Ia pun berkuatir dalam
pertempuran selanjutnya akan meminta korban jiwa. Tidak apa untuk si orang tua,
ia tak dikenal, ia adalah rakyat jelata, tidak demikian dengan Tantai Mie Ming.
Umpama terbinasa, akibatnya
bisa hebat, sebab dia adalah utusan Watzu. Kalau si orang tua terbinasa, cuma
Hong Hoe sendiri yang merasa tidak enak, karena barusan ia berhutang budi, ia
merasa kasihan terhadap orang tua itu. Jikalau mereka bertempur,siapa sanggup
memisahkan mereka?"
Semua pahlawan juga merasa
heran dan bingungnya seperti Hong Hoe. Di satu pihak,mereka ingin menyaksikan
pertempuran, di lain pihak mereka kuatirkan akibatnya, hingga mereka berbareng
ingin pertempuran dibatalkan.....
Semua mata lantas diarahkan
kepada Mie Ming dan si orang tua itu.
"Jangan, jangan
bertempur....." achirnya Hong Hoe berkata dalam hati.
Tiba-tiba si orang tua
mengangkat kipasnya.
"Kau telah rusakkan
kipasku, tak ingin lagi aku akan kipasku ini!" kata ia sambil mengangkat
tangannya.
Kipas itu tinggal batangnya saja,
ketika diangkat, gagangnya menuju kepada jidat Tantai Mie Ming, pada jalan
darah "thianleng niat" Tantai Mie Ming terkejut.
"Sentilan yang
liehay!" dia berseru, saking cepatnya tangan si orang tua. Selagi sekalian
pahlawan kaget, Tantai Mie Ming mengangkat tangannya, mengibaskan tangan
bajanya, atas mana, tangan baju itu berlubang terkena gagang kipas, dan
gagangnya sendiri, yang dilepaskan dari tangan si orang tua, melesat terus,
mengenai sebuah pohon hingga menerbitkan suara!
"Telah aku saksikan kepandaian
jari tanganmu," kata Mie Ming. "Sekarang ingin aku saksikan lebih
jauh tanganmu!.....” Menyusul itu, orang Mongolia ini lompat maju, beruntun ia
menyerang dengan kedua tangannya saling susul.
Orang tua itu menangkis,
sambil berseru: "Oh, oh, kenapa kau benar-benar hendak serang aku si orang
dusun yang tua?" Kedua tangannya dirapatkan, bagaikan ngempo bayi, sambil
menangkis, ia tambahkan: "Boleh, boleh kau patahkan tulang-tulangku yang
tua ini!.....”
Hong Hoe terkejut melihat
bergeraknya tangan dari kedua orang itu. Mie Ming ada bagaikan singa murka, si
orang tua sebaliknya seperti ular air yang lincah, tubuhnya setiap saat
menyingkir dari serangan si panglima Mongolia. Setelah beberapa kali gagal, Mie
Ming berseru, ia menyerang pula berbareng dengan
kedua tangannya.
"Ah!....." seru si
orang tua, tubuhnya terhuyung tiga tindak.
Setelah itu, Tantai Mie Ming
berseru: "Looenghiong, Taylek Kimkong Tjioe-mu tak ada tandingannya di
kolong langit ini, suka aku bersahabat denganmu! Looenghiong, sudikah kau memberitahukan
she dan namamu?"
"Ehrn!" si orang tua
bersuara pula, suaranya dingin. "Tidak berani aku si orang dusun
bersahabat dengan seorang besar.....” Sambil mengucap demikian, tangan kirinya
menangkis, kaki kanannya menendang, ke arah jalan darah pekhay hiat di betis
lawannya.
Tiba-tiba Tantai Mie Ming
menjadi gusar, hingga ia berseru: "Apakah kau sangka aku benar-benar takut
terhadapmu?" demikian suaranya yang nyaring, lalu tangan kirinya
dilonjorkan, tangan kanannya menyambar.Si orang tua loloskan diri, ia tertawa
dingin."Telah aku saksikan dua macam kepandaian Thian Ya Lookoay si orang
tua aneh!" katanya. "Sungguh ilmu Tiat Piepie Tjioe dan Loohan koen
yang liehay!"
Mendengar itu, Tantai Mie Ming
terkejut berbareng mendongkol. Memang, gurunya adalah Siangkoan Thian Ya, dan
guru itu liehay dalam lima macam ilmu kepandaian, yaitu "tangan besi"
Tiat Piepie Tjioe, jurus Loohan koen, pedang Gouwkauw kiam, sentilan satu jari
Ittjie sian, dan lima batang jarum Hoeihong tjiam, yang di kalangan Boeiim,
Rimba Persilatan, kesohor sebagai Boeiim Ngotjiat — lima macam ilmu kepandaian
silat yang istimewa. Ia mendongkol karena lagu suara orang, yang seperti
memandang enteng
kepada gurunya. Maka juga, ia
perhebat serangannya.
Nampaknya si orang tua jumawa
akan tetapi selama berkelahi, ia berlaku sangat hatihati,tidak mau ia memandang
enteng, semua gerakannya adalah penting untuk pembelaan diri, dan dengan Taylek
Kimkong tjioe ia layani Loohan koen dan Tiat Piepee tjioe.
Makin lama makin seru jalannya
pertempuran kedua orang itu. sampai debu mengepul,sambaran-sambaran angin
membuat penonton terpaksa mundur sendirinya.Loohan koen adalah ilmu silat
biasa, Tiat Piepee tjioe juga tak susah untuk dipelajarinya, hanya, di
tangannya Tantai Mie Ming, kedua ilmu silat itu jadi liehay luar biasa, dapat
digabung jadi satu, hebat serangannya, sempurna penjagaannya.
Demikian juga liehaynya si
orang tua, tubuh siapa sangat lincah, hingga Tantai Mie Ming tidak pernah
mengenai tubuh orang itu, hingga keduanya bagaikan air banjir menerjang
gili-gili panjang, yang tak berhasil merubuhkannya. Di pihak lain, si orang tua
juga tidak sanggup merubuhkan panglima Watzu itu.
Kalau tadi pertandingan antara
Hong Hoe dan Tantai Mie Ming membuatnya semua penonton kagum, sekarang mereka
ini menyaksikan sambil menjublak, saking kagum dan heran. Dua lawan ini hebat
tapi mereka nampaknya lucu, bagaikan dua bocah tengah bermain-main.....
Sudah beberapa puluh jurus
mereka itu mengadu kepandaian, kelihatannya Tantai akan mengenai tubuh si orang
tua, tahu-tahu orang tua itu dapat membebaskan diri, atau nampaknya si orang
tua menang di atas angin, atau si panglima Mongolia mendadak bebas dari ancaman
bahaya. Maka semua penonton seperti menahan napas.....
In Loei kagum seperti semua
pahlawan lainnya.
"Hebat Taylek Kimkong
tjioe si orang tua ini," demikian pikirnya. "Katanya toasoepee liehay
dalam ilmu silat itu, apakah orang tua ini toasoepee adanya!.....”
Hian Kee Itsoe mempunyai lima
murid, kecuali ayahnya In Loei, yang telah menutup mata, ia masih punya empat
murid yang masing-masing dapat mewariskan satu kepandaian tersendiri. Dalam
ilmu pedang, yang terliehay adalah muridnya yang ketiga,Tjia Thian Hoa.
Mengenai tenaga dalam, yang paling tanggu adalah murid kepalanya yaitu Tang Gak
dengan Taylek Kimkong Tjioe.
Pikir In Loei terlebih jauh:
"Aku dengar toasoepee dan samsoepee pandai ilmu silat dan pintar ilmu
suratnya, wajah mereka luar biasa, kalau dia ini benar toasoepee, mengapa dia
hanya seorang desa yang tua? Pun katanya, untuk belasan tahun dia pesiar di
Mongolia dan Thibet, kenapa sekarang dia mendadak muncul di kota raja
ini?.....”
Tengah In Loei berpikir keras,
pertandingan pun sudah berganti rupa. Kalau tadi mereka itu saling serang
dengan hebat, sekarang gerakan kaki tangan mereka jadi lambat, malah ada
kalanya mereka seperti saling mengawasi saja, kaki tak bergerak,tangan diam,
cuma mata mereka memandang tajam. Mereka pun berhadapan dekat.Tak lama keadaan
ini, atau mendadak mereka berubah pula, keduanya lompat maju,
lantas mereka memisah diri.
Nampaknya tak hebat serangan mereka, tetapi sebenarnya,mereka mencoba mencari
kemenangannya masing-masing.
Semua penonton tak tahu
gerakan mereka itu, karena hebatnya dan anehnya.Tidak lama, juga Tantai Mie
Ming telah mandi keringat.Menampak itu, Hong Hoe terperanjat, ia berkuatir.
Kelihatannya mereka itu mesti kalah kedua-duanya, sama-sama terluka..... Ia
bingung sebab tak tahu ia,bagaimana harus memisahkannya.
Seumurnya, Tantai Mie Ming
belum pernah menghadapi lawan setanggu ini, ia pun menjadi berkuatir sendirinya.
Karena ini, ia nampaknya menjadi nekat. Maka ia menyerang pula dengan sengit,
dengan cepat. Ia berseru.Si orang tua melayani sambil mundur, dengan teratur.
Ia bertindak dengan gerakan
"kioekiong patkwa,"
sebelah tangannya menangkis, yang lain melindungi dadanya.Tampaknya ia seperti
tidak membalas menyerang, sedang sebenarnya, sambil menangkis,ia pun membalas.
Dilihat dengan mata biasa,
Tantai Mie Ming menyerang hebat sekali, akan tetapi sebenarnya, setiap kali ia
tertolak oleh tenaga dorongan Kimkong tjioe dari lawannya itu.
"Sudah dua puluh tahun
lebih aku malang melintang, kecuali Tjia Thian Hoa, inilah tandinganku yang
terkuat," pikir Mie Ming. "Tjia Thian Hoa liehay ilmu pedangnya, tak
ada tandingannya di kolong langit ini tetapi bicara hal tenaga dalam, orang tua
ini menang daripadanya. Mungkinkah dia sama dengan Tjia Thian Hoa, ialah salah
satu murid lawannya guruku?"
Memang pada tiga puluh tahun
yang lampau, gurunya Mie Ming ini, yaitu Siangkoan Thian Ya, telah bentrok
keras dengan Hian Kee Itsoe, bentrok dalam perebutan kedudukan sebagai pemimpin
kaum Rimba Persilatan, selama tiga hari dan tiga malam,keduanya sudah bertempur
hebat di atas gunung Ngobie San, tanpa ada yang kalah atau menang, hingga
kesudahannya Siangkoan Thian Ya pergi menyembunyikan diri di Mongolia, di mana
dengan menerima murid, ia mencoba mendirikan satu kaum persilatan tersendiri.
Walaupun ia bercuriga demikian
rupa, dalam keadaan seperti itu, di saat mati atau hidup, Tantai Mie Ming tidak
sempat berpikir lama-lama, ia harus terus melayani si orang tua, siapa meski
usianya lebih tua belasan tahun, nyata, tenaga dalamnya ada terlebih tanggu.
Orang tua ini tetap membela diri sambil balas menyerang, menyabet atau
mencengkram.
"Ah, hebat
sekali....." Mie Ming menghela napas. Ia menyedot hawa dingin. Diam-diam
ia bergidik. Sia-sia belaka ia menyerang, tangan kiri dengan Lohan koen, tangan
kanan dengan Piepee tjioe. Terpaksa ia mesti jaga diri baik-baik, ia mesti
keluarkan seluruh kepandaiannya yang ia peroleh dari Siangkoan Thian Ya, yang
telah mendidik ia dengan sungguh-sungguh hati, dengan susah payah. Sekian lama
ia percaya, tidak nanti ada lain orang yang sanggup memecahkan Loohan koen dan
Piepee tjioe-nya, tidak tahunya kali ini ia menemui lawannya.
"Biarlah, aku tidak akan
serang hebat padamu, hendak aku lihat, apa yang kau dapat berbuat terhadap
diriku," pikir panglima Mongolia ini kemudian. Dengan begitu ia telah
mengambil keputusannya.
Jurus-jurus telah lewat, masih
mereka sama tanggunya, cuma keringat yang membasahi jidat, mereka
masing-masing.
Para penonton tetap dalam
ketegangan. Biar bagaimana, mereka, mengharapkan si orang tua yang keluar
sebagai pemenang, untuk nama baik persilatan Tionggoan. Tentu sekali, mereka
tidak tahu, Mie Ming pun asal orang Han sejati.
Tantai Mie Ming juga berkuatir
akan akibatnya pertandingan ini. Pihak luar niscaya tidak ketahui yang mereka
bertanding hanya untuk mencoba kepandaian. Akibat itu bisa mengenai urusan
negara dengan negara, sebab ia adalah pahlawan dari utusan Watzu,sedang pihak
lainnya adalah pahlawan-pahlawan Beng.
Selagi para penonton
meragu-ragukan akhirnya pertandingan itu, tiba-tiba si orang tua membuat lagi
satu gerakan baru. Tubuhnya tidak bergerak, adalah tangan kirinya dibikin
melengkung bundar, lalu tangan kanannya dikepal, dimajukan ke depan. Menyusul
tangan kanan itu baharulah tubuhnya turut maju sedikit, diturut dengan tindakan
kaki. Dengan satu gerakan, Tantai Mie Ming tangkis serangan itu.
Tiba-tiba si orang tua menarik
kembali tangan kanannya, untuk dipakai melindungi dadanya, sebaliknya, kepalan
kirinya berbalik menyerang. "Kena!" dia berteriak. Lalu tangan
kanannya menyusul.Itu adalah tiga serangan kepalan saling susul.
Tantai Mie Ming rasakan
dorongan keras ketika ia tangkis pukulan yang pertama, selagi ia hendak lawan
dorongan itu, mendadak dorongan pihak lawan itu menjadi kendor sendirinya,
selagi tubuhnya hampir terjerunuk, mendadak datang dorongan yang lain. Ia
segera menangkis pula. Lalu ia tangkis serangan yang ketiga kali.
"Kecuali toasoepee, siapa
lagi yang tenaga dalamnya begini hebat?" pikir In Loei, yang menyaksikan
sambil mendelong. Tanpa merasa, ia berseru dengan kagumnya: "Bagus!"
Sekonyong-konyong terdengar satu suara "Duk!" yang keras. Nyata
pundak Mie Ming terkena jotosan yang ketiga kali itu.
"Celaka!" Thio Hong
Hoe menjerit. Ia lantas lompat maju, maksudnya untuk datang sama tengah.
Bersama ia maju pula beberapa pahlawan lain.
Serangan si orang tua itu
membuatnya pundak Mie Ming turun rendah, berbareng itu,kepalan si orang tua
seperti terbetot tenaga rahasia. Belum sempat orang tua itu menarik kembali
kepalannya, atau Mie Ming sudah membalas menyerang ke arah pinggang siorang tua
itu.
"Hm! Ha!" demikian
terdengar si orang tua, yang tubuhnya mencelat mundur, tinggi,sampai melewati
kepalanya beberapa pahlawan, hingga di lain saat ia telah lewati juga tembok
pekarangan!.
In Loei tidak sempat berbuat apa-apa,
ia cuma melihat, sinar matanya si orang tua menatap dengan tajam ke arahnya.
Tubuh Hong Hoe masih lemah,
walaupun ia lompat, ia dapat disusul oleh dua pahlawan yang lompat berbareng
dengannya. Kedua pahlawan ini sudah lantas sampai kepada Mie Ming, siapa hendak
mereka tolongi. Karena serangannya itu, Mie Ming jatuh duduk,tubuhnya tak lagi
bergerak. Mereka ini cekal kedua pundaknya, maksudnya untuk memimpin bangun,
atau tiba-tiba di antara jeritan "Ayo!" dua pahlawan itu mundur terhuyung,
iga mereka dirasakan sakit.
"Ha!" mereka itu
berseru.
Hong Hoe segera mengerti
duduknya hal. Ia halangi kedua pahlawan itu, hingga mereka tak terhuyung
terlebih jauh."Biarkan Tantai Tjiangkoen1." Hong Hoe teriaki kedua
pahlawan itu. "Dia tengah empos
tenaga dalamnya!.....”
Hampir berbareng dengan itu,
kelihatan Mie Ming bersenyum, terus ia manggut-manggut kepada si komandan,
seperti ia hendak puji komandan itu.
Si orang tua turunkan
tangannya yang terakhir, dia gunakan Taylek Kimkong tjioe,untung tenaga dalam
si panglima Watzu pun liehay, ia pun luas pengalamannya, dari itu,dapat ia
mengelakkan diri. Ia turunkan pundaknya untuk menyambut serangan, kecuali
mendak, tidak ada lain jalan lagi baginya. Berbareng dengan itu, ia juga coba
menyerang,guna meringankan pukulan si orang tua. Walaupun itu semua, pakaian
perangnya — lapis baja — telah menjadi korban, jikalau tidak, tentu rusaklah
anggota-anggota dalam
tubuhnya.
Juga si orang tua tidak
menyangka, dalam keadaan terancam seperti itu, Mie Ming masih bisa mengelakkan
diri, masih bisa membalas menyerang, ia terkejut ketika ia merasa tubuhnya
seperti terbetot lawan itu. Ia mencoba pula mengelakkan diri. Syukur untuknya,
serangan Mie Ming tak sekuat tenaganya — tenaga Mie Ming tengah terbagi —jadi
serangan itu, dalam sepuluh cuma dua tiga bagian saja. Jikalau tidak, juga si
orang tua mesti rubuh seperti lawannya ini, yang jatuh duduk numprah. Tapi
tidak urung,
sekeluarnya dari rumah Hong
Hoe, ia mesti juga muntahkan diri, dan tempo ia kembali di pondoknya, ia mesti
duduk bersemedhi guna memulihkan kesehatannya.
Mie Ming tetap bercokol sekian
lama. Ia lolos dari bahaya di dalam, ia tidak bebas dari luka di luar. Tidak
berani ia bicara. Ia juga empos semangatnya, untuk mengalirkan jalan darahnya.
Hong Hoe mengawasi orang,
terus ia berkata pada rekan-rekannya: "Pertandingan sudah berakhir,
sekarang silakan saudara-saudara pulang saja!"
Semua pahlawan itu juga kuatir
nanti terlibat, maka itu, dengan segala senang hati mereka lantas pamitan dan
pergi, kecuali dua pahlawan, yang terus berdiri diam, wajah mereka beda dari
biasanya.
In Loei tak dapat berdiam
lebih lama, hendak ia bicara kepada tuan rumahnya, atau mendadak, dua pahlawan
itu membuka mulutnya.
"Sekarang ini masih pagi,
Tantai Tjiangkoen pun belum pulih kesehatannya, kami berdua hendak berdiam dulu
di sini," demikian kata mereka.
"Tidak berani aku
mengganggu djiewie," kata Hong Hoe dengan cepat.
"Kami dua saudara
pertama-tama ingin menemani Tantai Tjiangkoen, kedua kami hendak gunakan ketika
ini untuk melanjutkan pertandingan ini," kata pula mereka itu,yang
bicaranya mendesak, "ialah kami ingin belajar kenal sama ilmu golok dari
Thio Thaydjin. Karena ini ada latihan belaka, untuk kemajuan kedua pihak, kami
percaya Thio Thaydjin tentulah tak nanti sudi tak memberi petunjuk kepada
kami."
Hong Hoe jadi berpikir keras.
Kedua pahlawan itu adalah orang-orang kepercayaannya Soeiee Thaykam Ong Tjin,
si orang kebiri yang besar pengaruhnya. Semasa kaisar masih menjadi putera
mahkota, Ong Thaykam ini pernah mengajarkan ilmu silat padanya,sekarang,
sebagai Soeiee Thaykam, dia jadi sangat berkuasa, dengan gampang dia dapat
memfitnah menteri-menteri setia. Dua pahlawan ini, yang bersaudara kandung,
adalah Lou Beng dan Lou Liang, kepandaian mereka yang utama adalah genggaman tameng
yang bernama ilmu silat Lakcapshalou Koengoanpay hoat, yang terdiri dari enam
puluh tiga jurus. Tameng itu istimewanya ialah bukan dikawani dengan golok,
hanya dengan pedang, dan kedua saudara ini, yang satu menyekal pedang, yang
lain memegang tameng, biasa mereka bertempur bersama. Sebenarnya Hong Hoe tidak
mengundang mereka ini, adalah mereka yang datang sendiri.
Bingung juga Hong Hoe. Terang
sudah, kedua saudara she Lou ini tidak mempunyai maksud baik. Yang hebat
baginya ialah selagi ia masih lelah habis melayani Mie Ming, tak dapat ia
menampik dengan alasan masih letih itu. Akhirnya, terpaksa ia ambil putusannya.
"Oleh karena djiwie
mempunyai kegembiraan itu, baiklah, suka aku yang rendah menemaninya,"
demikianlah penyahutannya. "Tapi karena kita cuma melatih diri, aku harap
kita hanya saling menyentuh saja, jangan kita bicarakan urusan kalah atau
menang....."
"Itulah pasti!"
tertawa kedua saudara Lou itu. "Siapa kalah siapa menang, kita sambut
dengan tertawa saja!"
Lalu, dengan mengambil tempat
di kiri dan kanan, kedua pahlawan itu segera siap sedia dengan pedang dan
tameng mereka.
In Loei menjadi tidak puas
sekali.
"Tidak keruan-keruan,
kembali orang hendak bertanding," pikirnya. Tapi ia ada orang luar, tidak
dapat ia menyelak di tengah untuk mencegah pertandingan itu, terpaksa ia
berdiri tetap di pinggiran.
Thio Hong Hoe hunus goloknya,
golok Biantoo. "Silakan!" ia undang.
"Thio Thaydjin saja yang
mulai!" Lou Beng jawab.
Hong Hoe mengerti persiapan
kedua saudara itu, tak sudi ia hunjuk kelemahan dirinya.
"Baiklah!" ia jawab
sambil tertawa. "Maaf!"
Dengan satu gerakan menyabet
dari ilmu golok Ngohouw Toanboen too, komandan Kimie wie sudah lantas menyerang
lengannya Lou Beng.
"Trang!" demikian
satu suara, ketika pahlawan Ong Tjin menangkis dengan tamengnya.
Itulah Lou Liang, yang
mendalangi saudaranya.
Hong Hoe sudah menduga akan
tangkisan itu, maka juga dengan menggunakan ketika itu, ia luncurkan goloknya
di antara tameng itu, dengan menerbitkan sinar hijau yang menyilaukan mata,
dengan jurus "Anghee toatbak," "Sinar layung menyilaukan
mata," ia menikam terus dengan ujung goloknya ke arah tenggorokan. Justeru
itu Lou Beng, dengan pedangnya yang tajam, majukan diri sambil memapas,akan
tabas kutung lengan si orang she Thio. Dengan cara ini ia berbareng menolongi
saudaranya.
Dengan cepat Hong Hoe tarik
pulang goloknya, untuk menangkis pedangnya. Dalam tempo yang pendek itu Lou
Liang dapat kenyataan, tamengnya pada bagian yang terbacok lawan telah melesak,
memberi bekas bacokan golok, karena mana, ia terkejut.
"Kusangka dia sudah
lelah, tidak tahunya dia masih tetap tangguh," ia berpikir. Karena ini,
segera ia maju pula, guna membantu saudaranya. Ia mencoba mendesak. Dengan
lantas ia perlihatkan liehaynya ilmu silat tamengnya. Desakan ini ada baiknya
untuk Lou Beng, yang jadi leluasa dengan pedangnya, sebab dia senantiasa
terlindung tameng saudaranya itu.
Dalam keadaan biasa, dua
saudara Lou itu bukan tandingannya Thio Hong Hoe,sekarang ini komandan itu
masih lelah hingga golok yang tajam itu kurang lincah gerakkannya, dengan
begitu, bertiga mereka jadi berimbang. Lou Beng dan Lou Liang mencoba mendesak,
sebentar saja mereka sudah bertempur kira-kira lima puluh jurus, bagus kerja
sama mereka berdua, sempurna serangan dan pembelaan diri mereka, maka sulit
bagi Hong Hoe untuk merubuhkan mereka, tidak peduli goloknya itu istimewa
tajamnya.
Dalam percobaannya mendesak
itu Lou Liang kembali menyerang dengan tamengnya,dengan jurus "Soenloei
koanteng" atau "Geledek menyambar." Ia arah batok kepalanya Thio
Hong Hoe.
Komandan Kimie wie itu
menginsyafi bahaya tameng itu, yang beratnya sedikitnya seratus kati. Coba ia
masih segar, tidak usah ia pikirkan itu. Sekarang adalah lain, tidak mau ia
melayani keras dengan keras. Maka itu dengan cepat ia berkelit. Karena ia
mengalah, ia jadi terdesak, hingga segera ia berada di bawah
angin. Dilindungi tameng
saudaranya, pedang Lou Beng mendesak berulang-ulang, bagaikan ular berbisa yang
tak hentinya menyemburkan bisanya.
In Loei lantas menginsyafi
bahaya yang mengancam Thio Hong Hoe itu, ia menjadi heran. "Ini bukan
caranya orang berlatih," pikirnya.
Tiba-tiba tampak Lou Liang
mendekam, tamengnya menutupi seluruh tubuhnya, habis itu dengan cepat, ia
lompat bangun, tamengnya itu menyambar, dalam gerakan "Hengsaw
tjiankoen" — "melintang menyapu ribuan serdadu." Tameng itu
mengarah kepinggang. Hong Hoe berkelit dengan gerakan "Liongheng
hoeipou" atau "Naga terbang," ia lolos di bawah tameng, sambil
berkelit, ia membalas menyerang dengan bacokan. "Tongleng tianpie"
atau "Cengcorang pentang sayap." Kalau ia barusan diarah pinggangnya,
ia
mengarah sepasang kaki orang.
Inilah yang dikatakan
"Tong long pok sian, oey tjiak tjay houw," yaitu, sang cengcorang
menubruk sang tonggeret, sang burung gereja mengintai di belakangnya. Selagi Hong
Hoe membabat kaki Lou Liang, Lou Beng di sampingnya pun menikam dengan
pedangnya. Sebab Lou Beng hendak menolongi Lou Liang, sang saudara.
In Loei saksikan kejadian itu,
ia kaget hingga ia menjerit. Tapi ia tidak hanya menjerit,berbareng dengan itu,
jari-jari tangannya menyentilkan Bweehoa Ouwtiap piauw.
Lou Beng percaya betul,
pedangnya akan mengenai sasarannya. Ia tidak sangka,berbareng dengan satu suara
"trang!" ujung pedangnya telah meleset, karena piauw menyampoknya
hingga ujung pedang itu menggeser dari arahnya. Coba tidak demikian,sudah tentu
tubuh Hong Hoe bakal tertusuk bagaikan sate dipanggang. Tak sempat berpaling
lagi, untuk mencari tahu, siapa si pelepas piauw itu, Lou Beng berlompat
mundur, sesudah itu, baharu ia
pikir hendak menanya.
Berbareng dengan itu, juga In
Loei hendak lompat maju, untuk majukan diri, atau ia telah didahului Tantai Mie
Ming. Panglima Mongolia ini mencelat maju seraya perdengarkan suaranya:
"Aku hendak bertempur pula satu gebrakan! Djiewie, kamu suka berdiam di
sini, untuk temani aku, maka untuk membalas kebaikanmu ini, suka aku
mengorbankan diri untuk menemani kau! — Thio Thaydjin, silakan kau undurkan
diri!"
Mie Ming bergerak terus
menyusuli kata-katanya itu, ia tak tunggu lagi jawabannya kedua saudara Lou itu
atau Hong Hoe, tangan kirinya bekerja dibarengi dengan tangan kanan. Kalau
tangan kiri menyambar menangkap, tangan kanan menggempur menyampok. Karena
kagetnya, tameng Lou Liang sampai terlepas dari cekalannya,terpental tinggi,
dan pedangnya Lou Beng kena dirampas, terus dibikin patah menjadi dua potong! .
Maka melengaklah kedua saudara
itu! .
Tantai Mie Ming tidak berhenti
sampai di situ. Dia bekerja terus, kedua tangannya menyambar tubuh Lou Beng dan
Lou Liang, yang terus dia angkat sambil berseru "Pergi!" Maka kedua
tubuh itu yang bagaikan ditiup angin puyuh, terapung kurang lebih satu tombak
jauhnya, perdengarkan jeritan dari kesakitan, mata mereka
berkunang-kunang,sebab mereka terbanting keras, sejenak itu juga mereka
pingsan!
Tantai Mie Ming melenggak, ia
tertawa ber-kakakan.
"Selama hidupku, inilah
hari pertandinganku yang paling memuaskan!" kata dia dengan nyaring. Terus
dia manggut terhadap Thio Hong Hoe, sedang terhadap In Loei, dia usapkan
tangannya dan berkata: "Aku hendak cari si orang tua tadi, maaf, tak dapat
aku temani kamu terlebih lama pula!.....”
Dan dia buka tindakan lebar
untuk berlalu dari rumah Hong Hoe.
Tuan rumah she Thio itu segera
lari menghampiri Lou Beng dan Lou Liang, untuk memeriksa keadaannya. Ia dapat
kenyataan, tulang iga Lou Beng patah dua buah dan gigi Lou Liang copot dua
biji. Sama sekali mereka tidak peroleh luka di dalam tubuh, hingga jiwa mereka
tidak terancam bahaya. Maka dengan hati lega, Hong Hoe lantas ambil obat dan
obati mereka itu. Habis itu, dengan keluarkan kata-kata tak tegas, dengan
tindakan tidak tetap, kedua pahlawan itu juga ngeloyor pergi.....
Akhir-akhirnya, Hong Hoe
menghela napas.
"Sungguh aku tidak
duga....." keluhnya.
"Apakah yang kau tidak
duga?" In Loei tanya.
"Biasanya aku tidak
pernah berhubungan dengan Ong Tjin," sahut komandan Kimie wie itu.
"Dua orang ini adalah pahlawan-pahlawan Ong Tjin, mereka rupanya mendapat
titah dari Ong Tjin untuk mencelakai aku. Mungkin ini disebabkan aku tak sudi
pernahkan diri di bawah pengaruh orang kebiri itu.....”
In Loei berdiam. Baharu
sekarang ia tahu, di kota raja ini, juga kaum pahlawan terdiri dari berbagai
golongan, bahwa mereka saling berdengki. Tentang ini, tidak sudi ia mencari
tahu, ia tidak menanyakannya lebih jauh. "Eh, mana sahabatmu itu, Siangkong
Thio Tan Hong?" tanya Hong Hoe kemudian.
Wajah In Loei menjadi bersemu
merah.
"Sejak di Tjengliong
Kiap, kita telah berpisah," ia menyahut, terpaksa.
"Sayang, sayang,"
mengeluh Hong Hoe. "Coba kamu berdua ada di sini, dengan pedangmu
bergabung menjadi satu, pasti sekali kamu dapat mengalahkan Tantai Mie Ming
itu! Selama tiga hari beruntun, terus menerus Mie Ming menangkan belasan
pertandingan, beruntung datang orang tua tidak dikenal itu yang membuatnya ia
tahu rasa, sayang mereka bertanding seri, sama-sama mereka memperoleh luka.....
Ah,
sungguh, kali ini runtuhlah
kaum pahlawan dari kota raja!.....”
In Loei mengerti orang sangat
berduka dan menyesal. Tapi ia tertawa.
"Sebenarnya kau belum
terkalahkan Tantai Mie Ming!" ia kata.
"Syukur datang si orang
tua, kalau tidak, tetap aku bakal kalah," Hong Hoe akui. "Malah
mungkin jiwaku akan lenyap bersama! Tidak tahu aku bagaimana cara datangnya
orang tua itu, di sini banyak pahlawan, tidak seorang jua yang
mengetahuinya....." Ia berhenti sebentar, untuk menambahkan: "Tantai
Mie Ming juga ada seorang aneh. Kalau tadi dia tidak turun tangan, mungkin aku
bercelaka juga. Biar bagaimana, aku mesti haturkan terima kasihku untuk Bweehoa
Ouwtiap piauw-mu!"
In Loei tak gubris pujian itu.
Ia mempunyai urusan lain.
"Thio Thaydjin,"
katanya, "aku datang ke kota raja ini untuk satu urusan penting.Hendak aku
mohon bantuan kau!"
"Katakanlah," jawab
Hong Hoe.
"Mana dia sebawahanmu, si
perwira muda she In?" In Loei tanya. "Aku minta supaya kau ajak dia
menemui aku." Hong Hoe mengawasi, nampaknya ia merasa heran.
"Adalah untuk ini saja
kau datang ke kota raja ini?" dia tegaskan.
"Ya, untuk ini
saja," In Loei pastikan. "Sebenarnya kau menpunyai hubungan apa
dengan In Tongnia itu?" Hong Hoe tanya pula.
"Belum pernah aku dengar
ia menyebut-nyebut kau.....”
"Kita adalah dari satu
she, aku ingin berkenalan dengannya," sahut In Loei, yang masih belum
ingin menerangkan jelas.
"Di kolong langit ini
banyak orang yang sama she-nya," pikir Hong Hoe, "maka itu alasanmu
tidak masuk diakal.....”
In Loei tidak membiarkan orang
bungkam.
"Jikalau Thaydjin ada
punya urusan lain, tolong beritahukan saja alamatnya In Tongnia itu," ia
mendesak. "Aku sendiri dapat mencari dia."
Tiba-tiba saja komandan itu
bersenyum.
"Inilah urusan
gampang," katanya. "Sekarang silakan kau masuk dulu."
In Loei heran, di dalam
hatinya, ia kata: "Kalau urusan ada gampang, untuk apa kau undang aku
masuk dulu? Tidakkah cukup bila kau beri tahu aku alamatnya perwira muda
itu?.....”
Tapi ia adalah tetamu, tidak
berani ia terlalu mendesak.
Hong Hoe pimpin tetamunya
berlalu dari tanah lapang, untuk memasuki sebuah ruang tetamu di mana paling
dulu ia titahkan pelayannya menyiapkan dua cangkir terisi teh wangi.
"Maaf, ingin aku salin
pakaian dulu," kata tuan rumah ini kemudian, lalu ia terus masuk.
Memang, setelah pertempuran
hebat melawan Tantai Mie Ming, pakaian komandan Kimie wie itu telah robek dan
kotor, begitupun rambutnya. Mulanya In Loei, karena urusannya, tidak
memperhatikan, sesudah orang menyebutkannya, baharu ia melihat terang.
Benar-benar tidak pantas tuan rumah menemani tetamu dengan pakaian tidak keruan
macam itu. Maka ia jadi tertawa.
"Sungguh liehay Tantai
Mie Ming itu!" ia kata. "Syukur kau yang melayani dia, coba orang
lain, sudah tentu dia tidak sanggup.....”
Hong Hoe bersenyum, ia jalan
terus.
Sebenarnya tidak lama, tapi In
Loei menantikan dengan tidak sabaran, baharu hatinya lega apabila ia tampak
tuan rumah itu muncul pula.
"Thio Thaydjin, di mana
tinggalnya In Tongnia itu?" ia tanya tanpa menanti lagi. Ia seperti tak
sanggup kuasai pula dirinya.
Hong Hoe berlaku ayal-ayalan,
ia singkap bajunya untuk duduk dengan tenang. Ia pun angkat dulu cawan tehnya,
untuk menghirup teh yang wangi itu.
"Sukar untuk menemui In
Tongnia itu!" sahutnya kemudian, tapi sambil bersenyum.
In Loei heran, hingga tak
dapat ia tidak memperlihatkan roman kaget.
"Apa katamu?"
tanyanya cepat. "Dia kena-pakah?"
Hong Hoe lihat tegas kelakuan
orang yang luar biasa itu. Itu menyatakan bahwa di antara kedua anak muda itu
terdapat suatu hubungan yang erat, kembali ia bersenyum.
"Dia tengah menghadapi
suatu kejadian di luar dugaan, hanya itu adalah kejadian yang
baik," jawabnya kemudian.
"Dia telah disetujui oleh Sri Baginda, dia telah diangkat menjadi siewie
di dalam keraton. Karena ini dia tidak dapat sembarang keluar, jadi sulit untuk
menemui dia." In Loei jadi bingung.
"Apakah kau juga tak
dapat memanggil dia keluar?" ia tanya.
"Sekarang ini dia bukan
lagi sebawahanku, pasti tak dapat aku memanggil dia keluar," sahut Hong
Hoe.
In Loei jadi seperti putus
asa.
"Habis bagaimana?"
tanyanya, lenyap kegembiraannya.
"Jikalau kau berniat
menemui dia, mungkin setengah bulan lagi baharu ada ketikanya," Hong Hoe
beritahu.
"Kenapa begitu?" In
Loei tanya. "Apakah sebabnya?"
"Setengah bulan lagi
tibalah waktunya Sri Baginda mengadakan ujian militer tahun ini,"
komandan Kimie wie itu
menerangkan. "Dengan ujian militer" dia maksudkan ujian boe kiedjin.
"Saudara Tjian Lie sudah mendaftarkan namanya. Dia pandai ilmu silat, dia
paham membaca kitab perang, ada harapan baginya lulus sebagai Boe tjonggoan.
Umpama kata dia menjadi Boe tjonggoan, sudah pasti Sri Baginda akan berikan dia
pangkat besar dan mendapat kedudukan lain hingga tak usah dia tinggal lebih
lama di dalam keraton sebagai pahlawan."
Benar-benar lenyap harapan In
Loei. Ia jadi memikir untuk pamitan saja. Akan tetapi Hong Hoe tanya ia ini dan
itu, ia tetap diajak bicara. Dan bicara tentang kejadian di Tjengliong Kiap,
tuan rumah ini kembali puji Thio Tan Hong, ia kata, karena tipu dayanya Tan
Hong itu, puteranya Tjioe Kian dan ia sendiri jadi dapat kebaikan.
Hati In Loei berdenyut setiap
kali ia dengar disebutnya nama Tan Hong.
Hong Hoe lihat keadaan orang
itu, ia menjadi heran sekali.
"Apakah benar Thio Tan
Hong itu puteranya Thio Tjong Tjioe?" tanyanya kemudian.
"Benar," jawab In
Loei, terpaksa.
"Kalau benar begitu,
benarlah, teratai keluar dari lumpur tetapi tidak kotor!" kata Hong Hoe.
"Melihat segala sepak terjangnya, terang dia adalah satu pemuda penyinta
negara,maka harus ditertawai saudara Tjian Lie, dia baik dalam semua hal
kecuali terhadap Tan Hong, dia sangat berkukuh, dia sangat benci Tan Hong
itu." In Loei berdiam, ia rasakan hatinya sakit.
"Apakah kau juga datang
dari Mongolia?" kembali Hong Hoe menanya secara di luar dugaan.
"Di masa kecilku, pernah
aku tinggal di Mongolia," In Loei akui.
"Kalau benar begitu, kau
mirip dengan saudara Tjian Lie itu," kata Hong Hoe. "Tahukah kau
orang macam apa pangeran asing serta Tantai Mie Ming yang datang ke Tionggoan
ini?"
"Aku meninggalkan
Mongolia sebelum berumur tujuh tahun," sahut In Loei, "maka itu
mengenai Mongolia, sedikit sekali pengetahuanku. Kenapa Thaydjin tanya tentang
kedua orang asing itu?"
"Sekarang pemerintah kita
menghadapi suatu urusan penting," jawab komandan itu.
"Itu adalah satu urusan
aneh."
In Loei tidak menegaskan. Ia
anggap ia adalah seorang rakyat jelata, tak ada pentingnya baginya untuk
mengetahui urusan negara itu.
Hong Hoe sebaliknya pandang
"pemuda" ini sebagai sahabat karib, bagaikan saudara kandung, tanpa
kekuatiran, ia membicarakannya terlebih jauh. "Pangeran asing itu bernama
Atzu," ia berikan keterangan, "di negerinya dia menjabat pangkat
tiwan, yang berarti pejabat pemerintah, maka kekuasaannya berada di atasnya
lain-lain pangeran, dia cuma berada di bawahan thaysoe. Kali ini dia datang ke
negeri kita sebagai utusan, untuk membuat perundingan. Ada tiga syarat yang
telah dikemukakan. Pertama-tama dia minta supaya daerah seratus lie di luar
Ganboenkwan diserahkan pada negara Watzu, dan kota Ganboenkwan menjadi tapal batas
kedua negara itu. Yang kedua dia minta diadakan penukaran antara barang-barang
besi kita dengan kuda Mongolia. Dan yang ketiga dia minta supaya puteri raja
kita dinikahkan dengan Toto Puhwa, putera raja Watzu itu. Ketiga permintaan itu
ditentang keras oleh Ie Kokioo, yang tak dapat
menerimanya. Ie Kokioo bilang,
tanah daerah Tionggoan, satu dim juga panjangnya tak dapat diserahkan pada lain
negara. Kalau besi kita diserahkan pada negara Watzu, itu ada seumpama kita
pelihara harimau untuk mendatangkan ancaman bencana di belakang hari, sebab
sekarang saja negeri Watzu sudah kuat sekali.Tentang pernikahan, meskipun itu
ada urusan keraton, tetapi itu juga mengenai kehormatan kebangsaan, maka itu
pun tak dapat diterima."
"Ie Kiam adalah satu
menteri besar yang jujur, dia sangat setia kepada negara,sikapnya itu pasti
tidak aneh," kata In Loei, yang turut juga bicara.
"Ie Kiam menentang keras,
ia memang tidak aneh," Hong Hoe jawab, "yang aneh adalah sikapnya Ong
Tjin. Dia juga menentang, sedang dia secara diam-diam, telah sekongkol dengan
negeri Watzu itu, hal mana sudah dapat kita dengar semua. Pada sikap Ong Tjin
itu ada satu sebabnya. Daerah seratus lie di luar Ganboenkwan berada dalam
pengaruhnya Kimtoo Tjioe Kian, daerah itu tak lagi dapat dikendalikan oleh pemerintah
kita. Inilah sebabnya Ong Tjin sangat benci pada Tjioe Kian, selama sepuluh
tahun sudah
sering dia kirim surat-surat
rahasia pada panglima kota Ganboenkwan, mengijinkan panglima itu berserikat
dengan tentara Watzu, untuk bersama menghajar dan memusnahkan Tjioe Kian.
Karena sebab itu, kita percaya, Ong Tjin tentunya setuju untuk menyerahkan
daerah itu kepada bangsa Watzu. Di luar dugaan, dia justeru menentangi! .
Tentang pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia, hal itu sudah berjalan
selama sepuluh tahun, yang melakukan itu, tentu saja secara diam-diam juga,
adalah Ong Tjin sendiri."
"Mungkin Ong Tjin mainkan
siasat, supaya orang tidak tahu jelas akal muslihatnya itu," kata In Loei.
"Rupanya dia tidak mau main terang-terangan." Thio Hong Hoe tertawa.
"Kenapa Ong Tjin tidak
melakukan itu terang-terangan?" katanya. "Ong Tjin itu sudah
mempengaruhi Sri Baginda untuk membikin tunduk semua menteri. Di dalam istana,
dia telah berkoncoh, mengumpulkan kawan sekongkol, karena itu, ada alasan apa
maka ia tidak berani berterus terang? Kau tahu, sekalipun Sri Baginda selalu
pandang mata padanya. Sri Baginda sendiri ada seorang yang berhati kecil, bila
Ong Tjin menganjurkan perdamaian, tentu semua permintaan Watzu itu akan sudah
diterima baik.....”
"Tentang keadaan
pemerintah aku tidak tahu suatu apa," kata In Loei.
"Masih ada yang lebih
aneh lagi daripada sikap Ong Tjin itu," Hong Hoe tambahkan. "Sudah
dia tentangi perdamaian, dia juga menganjurkan supaya utusan Watzu itu
ditahan.Mengenai ini, Ie Kiam tidak mupakat. Ong Tjin biasa membantu Watzu,
sekarang dia menganjurkan untuk menahan utusan negara itu, semua menteri tak
ada yang tidak merasa heran....."
Mendengar ini, panas hati In
Loei. Kembali ia teringat pada urusan engkong-nya, yang diutus ke negeri Watzu,
lalu ditahan, disiksa sebagai pengembala kuda selama dua puluh tahun, hidup
menderita di tempat dingin, es dan salju.
"Walaupun kedua negara
sedang berperang, tidak seharusnya utusan salah satu negara dibunuh mati!"
kata dia dengan sengit. "Karena itu, tidak selayaknya utusan Watzu mesti
ditahan!"
"Mengerti aku tentang
kebiasaan antara negara itu, kata Hong Hoe. "Tapi usul penahanan utusan
Watzu itu keluar dari Ong Tjin sendiri, itulah yang membuatnya semua orang
tidak mengerti.....”
Tanpa merasa, mereka telah
bicara banyak, tahu-tahu sang magrib telah tiba, maka Thio Hong Hoe titahkan
orangnya menyiapkan barang santapan untuk menjamu tetamunya.
"Di manakah In Siangkong
ambil kamar?" tanya tuan rumah. "Jikalau kau tidak cela rumahku yang
kecil dan buruk ini, aku minta sukalah kau pindah saja pada aku di sini."
In Loei menampik dengan segera. Ia mengerti bahwa ia adalah satu gadis dan ia
tidak merdeka untuk menumpang di rumah komandan ini. Untuk itu ia menghaturkan
terima kasih.
"Kenapa ia pemaluan sekali,
tingka polanya mirip dengan satu nona remaja?" Hong Hoe berpikir.
"Dia beda jauh sekali daripada Thio Tan Hong."
Di waktu bersantap, In Loei
tanyakan alamatnya Ie Kiam si menteri besar.
"Apakah kau berniat
menemui Ie Thaydjin?" Hong Hoe tegaskan. "Dalam beberapa hari ini ia
ada sangat repot dengan urusan pemerintahan, umpama kata dia sendiri sudi
menemui kau, pengawal pintunya pasti akan tak mengijinkannya." Walaupun ia
menjawab demikian, Hong Hoe beritahukan juga alamat menteri yang setia itu.
Habis bersantap malam, In Loei
pamitan tanpa tuan rumah mampu mencegah dia,maka itu Hong Hoe antar tetamunya
sampai di luar. Waktu hendak berpisah, sambil tertawa komandan Kimie wie ini
berkata: "Kalau nanti sahabatmu juga datang ke kota raja" — ia
maksudkan Thio Tan Hong — "dan bila saudara Tjian Lie, telah lulus sebagai
Boe tjonggoan, pasti aku akan jadi Lou Tiong Lian si juru perantara, untuk
menjamu saudara Tjian Lie itu pada waktu mana kau harus menjadi tetamu yang
mengawaninya....."
In Loei tertawa menyeringai,
ia lihat sendirinya. "Kau baik sekali, Thio Thaydjin," katanya.
"Lebih dahulu aku haturkan terima kasih untuk perjamuan itu."
Lalu pemudi ini pamitan, akan
pulang ke hotelnya.
Malam itu In Loei tidur
gelisah, tak dapat ia lantas pulas. Sebentar ia ingat akan kakaknya, di lain
detik ia ingat Thio Tan Hong. Ia menyesal, begitu jauh ia telah susul kakaknya
itu, yang satu-satunya, siapa tahu, sesampainya di kota raja ini, masih ia tak
dapat segera menemuinya. Siapa nyana kakak itu telah berada di dalam istana.
Memang dapat ia menunggu kakaknya itu, sampai selesai ujian militer, di waktu
mana mungkin si kakak akan ke luar sebagai pemenang, akan tetapi, sampai
kapankah ia mesti menanti? Pastikah si kakak bakal menang? Siapa tahu, sesudah
itu, tidak bakal menyusul lain urusan, yang dapat menghalangi pertemuan mereka?
Maka pada akhirnya, ia menghela napas seorang diri.
"Dasar nasibku
buruk....." katanya dalam hatinya: "Sampai saudara sendiri, sulit aku
menemuinya....."
Ingat saudara sendiri, In Loei
kembali teringat pada Tan Hong. Ada sesuatu yang membikin ia selalu ingat
pemuda itu. Teringat pula ia akan kata-katanya Thio Hong Hoe tentang si anak
muda. Dengan sendirinya, ia tertawa meringis.
"Mana kau ketahui
keluargaku dengan keluarganya bermusuhan hebat, laksana dalamnya
lautan..." katanya di dalam hati. "Kau berniat memberi nasehat kepada
kakakku supaya dia akur dengan Tan Hong, pastilah percobaanmu itu, akan sia-sia
belaka akhirnya.....”
Ingat Tan Hong, segera In Loei
ingat Ie Kiam. Ia lantas rabah sakunya. Ia keluarkan surat Tan Hong yang
dititipkan padanya, untuk disampaikan kepada Ie Kiam, menteri setia itu. Ia
baca alamat surat itu. Itulah tulisan tangan yang bagus, bagaikan "naga
terbang atau burung hong menari." Itulah tulisan si mahasiswa berkuda
putih.....
Mengawasi tulisan itu, ia
bagaikan melihat wajahnya si penulis surat sendiri.
"Inilah untuk pertama
Thio Tan Hong memasuki Tionggoan, cara bagaimana ia kenal Ie Kiam?" ia
tanya dirinya sendiri. "Kenapa ia menulis surat kepada Ie Kiam untuk memperkenalkan
aku?" In Loei berpikir Tan Hong itu agak jumawa tetapi orangnya sangat
berhati-hati, hingga sebegitu jauh ia tahu, belum pernah Tan Hong melakukan
kekeliruan, dan diapun belum pernah mendusta.
"Dia menulis surat kepada
Ie Kiam, mesti ada sebab yang kuat alasannya," ia pikir lebih jauh.
"Tidak ada jalan untukku akan menghadap Ie Kiam, baiklah aku pakai surat
Tan Hong ini selaku pembuka jalan. Aku akan mencoba-coba saja! Ah, bagaimana
jikalau pengawal pintu tak sudi mengijinkan aku menghadap Ie Kokioo? Apa aku
mesti bertindak seperti di rumah keluarga Thio, untuk menyerbu saja? Ie Kiam
adalah menteri kelas satu,dialah menteri tertua dan agung, yang dihormati di
luar dan di dalam negara,bagaimana
dapat aku berlaku lancang? Aku
mempunyai kepandaian enteng tubuh, ah, baiklah aku datang saja pada waktu
malam, aku datang secara diam-diam....."
Setelah malamnya ia mengambil
keputusan, besok paginya In Loei sadar dengan segar,akan tetapi hari itu ia
keram diri di dalam kamar, untuk pelihara diri, guna sebentar malam bekerja.
Begitulah, kira-kira jam tiga, ia sudah lantas salin pakaian, dengan yaheng
ie,pakaian untuk keluar malam. Secara hati-hati ia keluar dari hotelnya, lalu
langsung mencari gedung Ie Kokioo.
Oleh karena Ie Kiam ada satu
menteri, di mata In Loei, gedungnya mesti merupakan sebuah istana, besar dan
tinggi lotengnya, indah dan agung pemandangannya, akan tetapi setelah ia dapat
mencarinya, ia tercengang. Ia dapatkan bukan istana yang bagaikan ia impikan,
hanya sebuah rumah besar yang biasa saja, yang di belakangnya terdapat taman
kecil. Itulah rumah mirip dengan satu keluarga yang cukup saja.....
"Sungguh satu menteri
setia," akhirnya si nona menghela napas. "Dengan melihat tempat
kediamannya ini dapatlah diduga dia orang macam apa.....”
Dengan pesat In Loei lompat
naik ke atas genteng, mulai dari payon, ia naik ke atas.
Benar-benar ia tampak sebuah
rumah yang biasa saja. Ia dapatkan sebuah kamar dengan taman, tiga penjuru
jendelanya ditutupi gorden yang berkembang, kembangnya kecil dan besar, tak
rata.
Setiap jendela ada kacanya.
Manis hiasan jendela itu, dari mana muncul sinar api yang terang, hingga di
atas meja kelihatan pohon bunga bwee, yang berbayang di jendela.
"Melihat cara
menghiasnya, rumah ini tidak mirip dengan rumah seorang hartawan," In Loei
berpikir terlebih jauh. "Kamar ini pasti kamar tulisnya Ie Kokioo. Karena
api belum padam, mungkin Kokioo belum tidur.....”
Dengan tindakan perlahan
sekali, In Loei menuju ke kamar itu. Begitu ia datang dekat,segera ia dengar
suara orang bicara. Ia lantas pasang kuping. Ia dapat mendengar dengan nyata,
hatinya lantas saja goncang. Ia kenali, itulah suaranya Thio Tan Hong.
"Bukankah aku tengah
bermimpi?" ia tanya dirinya sendiri. Hatinya menjadi bimbang.
"Kenapa dia berada di
sini? Kenapa dia datang secara begini tiba-tiba?"
Baharu malam kemarin In Loei
mimpikan si anak muda atau sekarang ia dengar suaranya. Ia memikir untuk tidak
menemui pemuda itu..... Ia bersangsi.
Apakah benar ia tak hendak
menemuinya? Tapi ia berdahaga sekali untuk menemui si mahasiswa. Ah!.....
"Biarlah aku intip
dia.....”
Dan In Loei bertindak lebih
jauh, dengan tindakan sangat enteng ia mendekati kamar tulisnya Ie Kokioo,
untuk memasang mata. Dari kain gorden, ia segera dapat melihat sepasang
bayangan manusia. Benar saja, satu di antaranya, adalah bayangannya Thio Tan
Hong!.
-ooo0dw00ooo
Untuk sekian lama, In Loei
berdiri tegak, tak bergeming. Ia bagaikan terpaku. Syukur
untuknya, berselang sesaat, ia
sadar kembali. Segera ia menghela napas, untuk melegakan hati. Ia hirup hawa
yang berbau harumnya bunga di dalam taman itu. Habis itu, dengan bersemangat,
ia mendekam di jendela, untuk memasang kuping.
"Walaupun Toto Puhwa
adalah raja Watzu, kekuasaan pemerintah berada ditangan Yasian," demikian
terdengar suaranya Tan Hong. "Di samping Yasian ini, pangeran Atzu juga
mempunyai sebagian kekuasaan atas tentara. Maka itu kenyataannya, Watzu adalah
negara yang diperintah tiga orang. Ong Tjin menyarankan untuk menahan Pangeran
Atzu,turut penglihatanku, inilah ada atas usulnya Yasian."
"Habis, bagaimana
sekarang?" terdengar Ie Kiam menanya.
"Meminjam golok untuk
membunuh orang, itulah suatu siasat untuk menyingkirkan lawan yang
tanggu," Tan Hong berkata pula. "Aku kenal baik, Yasian itu ada orang
macam apa. Dia bercita-cita sangat besar. Dia pandang dirinya sebagai pengganti
dari Djenghiz Khan. Maka itu, lambat laun, dia pasti akan merampas tachta
kerajaan. Dia dapat membedakan antara Toto Puhwa dan Atzu, di antara raja Watzu
dan pangerannya itu. Teranglah dia percaya, kalau dia sudah dapat menyingkirkan
Atzu, dengan gampang nanti dia dapat me- rampas tachta kerajaan."
"Mendengar kau,
terbukalah hatiku yang cupat," kata Ie Kiam sambil menghela napas.
"Harus disayangi bahwa
pihak kita sama sekali tak mengetahui keadaan dalam dari musuh
sebagaimana yang kau
mengetahuinya.....”
"Walaupun demikian,
apabila benar terjadi perang saudara di dalam negara Watzu, itu
pun berarti rejekinya kerajaan
Beng," kata Tan Hong.
Tiba-tiba anak muda ini
tertawa menyeringai, matanya dialihkan ke arah jendela.
In Loei terkejut, dengan cepat
ia umpetkan diri di antara pohon bunga. Ia berpikir keras, saking tak
mengertinya.
"Thio Tan Hong anggap
kaisar Beng sebagai musuh turunan, kenapa sekarang dia agaknya tengah bekerja
untuk kerajaan Beng itu?" ia berpikir, heran.
Tidak sempat si nona berpikir
lama, atau ia sudah dengar pula suaranya pemuda she Thio itu, mengingat siapa
senantiasa hatinya goncang.
"Ingin aku menjelaskan
tentang Tantai Mie Ming." demikian si mahasiswa berkuda putih. "Dia
sebenarnya ada orang bangsa Han kelahiran negara Watzu. Dan dia bersahabat
sangat erat dengan tiwan Atzu. Baharu kemarin aku bertemu dengan Tantai Mie
Ming dan pasang omong dengannya, aku telah minta dia suka beri nasihat dan
anjurkan ayahku agar ayah membantu memperbesar gelombang, untuk menyulut api
dari sebelah dalam, supaya dengan begitu bisalah terjadi perang saudara di
dalam negeri Watzu."
"Maukah ayahmu berbuat
demikian?" Ie Kiam tanya.
"Untuk tidak
mendusta." kata Tan Hong, "ayahku itu mempunyai cita-cita untuk
merampas kerajaan Beng, akan tetapi di samping itu, ia tak lupa bahwa ia
sendiri adalah putera Han, maka itu, di dalam hal ini, sulit bagiku untuk
mengatakan dari sekarang bagaimana perkara ini nanti akan berakhir. Gagalkah
atau berhasil?.....”
"Jikalau begitu,
sieheng," tiba-tiba Ie Kiam berkata kepada Tan Hong. "kenapa tidak
kau sendiri saja yang menganjurkan ayahmu itu?"
"Sekarang ini belum dapat
aku lekas-lekas pulang ke Watzu," Tan Hong akui terus terang.
"Kedatanganku ke Tionggoan ini adalah untuk satu tugas yang sangat
penting.
Hendak aku mencari satu benda
berharga yang mengenai nasibnya negara." Ie Kiam sibuk juga.
"Kekacauan di dalam
negeri Watzu itu jadi boleh diharap dan boleh tidak," ia
kata,"sebaliknya tindakan Watzu untuk menerjang Tionggoan ada seumpama,
alis akan segera terbakar..... agaimana sekarang?"
"Sebenarnya tak usah kita
berkuatir," Tan Hong jawab. "Tionggoan besarnya berlipat puluh kali
dibanding dengan negeri Watzu itu, bila semua rakyat dapat bersatu hati, tak usah
kita kuatirkan musuh yang tanggu itu!"
"Yang dikuatirkan justeru
tak adanya persatuan..." Ie Kiam utarakan.
"Piauwkie Tjiangkoen Kwee
Teng, Pengpou Tjoesoe Yo Hong, begitu juga Gielim koen Toatongnia Thio Hong Hoe
adalah penyinta negara yang dapat diandalkan," kata Tan Hong, "maka
berhubung dengan ini, baiklah thaydjin lekas membuat persiapan. Ong Tjin itu
besar pengaruhnya, akan tetapi di antara menteri setia dan pengkhianat ada
perbedaannya yang nyata, maka bila tiba saatnya negara terancam bahaya kemusnahan,asal
thaydjin bergerak secara tepat, mesti thaydjin dapat sambutan hangat dari empat
penjuru! Ong Tjin adalah satu hamba kebiri, dia dapat diumpamakan dengan seekor
cengcorang yang menerjang kereta, mana dia dapat memusnahkan negara?"
Akan tetapi Ie Kiam menghela
napas pula.
"Sungguh sukar untuk
mengatakan, siapa yang akan berhasil dan siapa yang akan runtuh," kata
menteri setia ini, "tetapi aku, akan aku habiskan semua tenagaku untuk
mencoba melindungi negara!"
"Kesesatan tak dapat
melawan kebenaran, hal ini harap thaydjin jangan sangsikan!" Tan Hong
menganjurkan.
"Siesieng, kau dapat
melihat segala apa dengan tegas sekali, kau juga berpemandangan luas dan jauh,
kau adalah satu orang cerdik pandai luar biasa untuk jaman ini," berkata
Ie Kiam, karenanya, sieheng, kenapa kau tidak sudi bekerja untuk
pemerintah?"
Thio Tan Hong tertawa.
"Seseorang mempunyai
pendiriannya sendiri-sendiri!" ia kata. "Lagi pula, untuk satu
laki-laki membela negara, apakah dia mesti selalu berdiri dipihak
pemerintah?"
Ie Kiam diam, dia bungkam.
Tan Hong insyaf bahwa ia telah
bicara terlalu tandas, maka ia tertawa pula.
"Thaydjin adalah tiang
negara, tentang thaydjin adalah lain," ia tambahkan.
Bukan main tergeraknya hati In
Loei mendengar pembicaraan antara Tan Hong dan menteri setia itu, teranglah
sudah, mereka itu adalah penyinta-penyinta negara, hanya paham mereka itu yang
berlainan. Ia girang dan kagum untuk Tan Hong. Ia kagum karena sepak terjang
yang tak dapat diterka-terka dari anak muda itu. Ia girang karena terbukti ia
tak keliru mengenali orang — Tan Hong benar-benar satu pemuda gagah dan jujur.
Karena ini juga, dalam sekejap itu ia anggap benar-benar "tidak ada
faedahnya permusuhan antara kedua keluarga mereka".....
Segera terdengar pula suaranya
Tan Hong.
"Thaydjin, harap kau
maafkan aku, sukalah kau percaya akan janjiku," demikian pengutaraan si
anak muda. "Aku telah nelusup masuk ke kota raja ini, aku pun telah
lancang menemui thaydjin, tindakanku ini penuh dengan ancaman bahaya, akan tetapi,lega
hatiku, karena thaydjin telah mempercayai aku. Thaydjin, apabila di belakang
hari kau membutuhkan aku, walaupun tubuhku mesti hancur lebur, masih itu tak
cukup untuk aku membalas budi kebaikanmu ini."
"Jangan kau mengucap
demikian, sieheng," kata Ie Kiam "Untukku adalah sama, kau membalas
untuk negara, sama dengan kau membalas untukku!"
"Satu laki-laki mesti
membalas budi negara, tentang itu tak usah orang sampai dipesan lagi," Tan
Hong kata. "Sekarang sudah jauh malam, thaydjin harus beristirahat,maka
itu harap thaydjin mengijinkan boanseng mengundurkan diri....."
Ie Kiam berdiam, ia bagaikan
berbicara seorang diri.
"Bila kau akan datang
pula padaku?" tanyanya kemudian.
"Kalau telah datang
saatnya untuk bertemu pula, akan aku datang sendiri," jawab Tan
Hong.
"Pribahasa kuno
mengatakan, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan
biasa," pribahasa itu cocok dengan kita," kata Ie Kiam. "Dalam
usiaku yang lanjut ini, aku masih dapatkan satu sahabat sebagai kau, sieheng,
sungguh aku puas sekali. Sieheng pandai main tabuhan, main catur, melukis
gambar juga, kebetulan baru-baru ini aku telah mendapatkan gambar lukisannya
Tio Yoe, 'Liang Hoe Gim Touw,1 aku harap sieheng sudi menuliskan sebaris syair
untuk gambar itu, untuk dijadikan peringatan di kemudian hari. Sudikah kau
menulisnya, sieheng?"
Dengan pribahasanya itu,
"Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa," Ie Kiam
maksudkan: Ada beberapa orang yang telah bersahabat satu dengan lain, sampai
rambut mereka telah ubanan, persahabatan itu masih sama seperti sahabat-sahabat
baru, masing-masing tetap tak mengerti satu pada lain. Atau, ada beberapa orang
yang telah bertemu di tengah jalan, mereka hentikan kereta mereka,mereka
membuka tenda kereta mereka, untuk pasang omong, asyik pembicaraan mereka,hingga
mereka jadi mirip dengan sahabat-sahabat lama. Dengan itu
diartikan,persahabatan itu, kekal atau tidak, tidak disebabkan melulu dari
waktunya bersahabat
sudah lama atau masih baharu,
hanya dari mereka saling mengerti atau tidak.
Atas permintaan menteri itu,
Tan Hong jawab: "yang terlebih tua telah memintanya,mana berani aku
menampik? Baiklah, akan aku menuliskannya dengan syair The Soe Siauw,"
In Loei di luar jendela dengar
semua pembicaraan itu, lalu ia dengar juga suara goresan, dari jalannya pit di
atas kertas, cepat dan tetap, maka tahulah ia, Tan Hong tengah menulis syairnya
itu di atas gambar lukisan "Liang Hoe Gim Touw" — "Liang Hoe
tengah bersenanjung."
Lalu habis itu, terdengarlah
Ie Kiam membacakan syair itu, membacanya sambil bersenanjung.
"Sungguh indah! kata si
menteri kemudian. "Entah bagaimana sieheng telah terpengaruh syair
ini.....”
Tiba-tiba saja Thio Tan Hong
tertawa bergelak, menyusul mana, ia pun bersenanjung:
"Di dalam dadaku ada
sumpah laksana dalamnya lautan, yang dapat membuat negara bagaikan karam
terendam..... Boanseng tidak minum arak tetapi boanseng bagaikan telah mabuk,
maka haraplah, thaydjin sudi memaafkan kelakuanku ini yang lancang! Di belakang
hari masih ada waktu untuk kita bertemu muka pula, dari itu tidak usahlah
thaydjin mengantar aku!"
Kata-kata itu disusul oleh Ie
Kiam, yang membukakan pintu, atas mana lalu terdengar tindakan kaki Tan Hong,
yang pergi berlalu.
Sejenak itu, kusut pikirannya
In Loei. Ia bimbang, baik ketemui Tan Hong atau jangan.Tak dapat ia ambil
putusan dalam sekejap. Sementara itu, Tan Hong sendiri sudah keluar dari kamar
tulis, dia tengah memohon Ie Kiam tidak mengantar dia keluar.
Di saat tegang itu, mendadak
In Loei ingat kata-katanya Tan Hong: "Kalau mesti tertawa, tertawalah!
Kalau mesti menangis, menangislah! Kenapa segala apa mesti
dipaksakan?....." Karena ini, ia pikir: "Kalau begitu aku pun mesti,
kalau mesti bertemu, mesti aku menemuinya, kenapa aku mesti kuatirkan ocehan
orang luar?"
In Loei segera merasa darahnya
berjalan cepat sekali, hatinya menjadi goncang, tapi ia sudah lantas ambil
putusannya. Hanya, pada saat ia hendak lompat, untuk menyusul,sekonyong-konyong
ia merasa ada angin halus yang menyambar pada bebokongnya, lalu ia merasa ada
benturan perlahan pada pinggangnya. Ia kaget, segera ia rabah pinggangnya.
Akhirnya ia menjadi kaget
sekali. Pedang Tjengbeng kiam, pemberian gurunya, telah dicabut orang, hingga
di pinggangnya tinggal sarungnya saja, yang kosong! Walaupun ia sangat kaget,
tidak berani ia menjerit, tapi ia teruskan berlompat, kedua tangannya dibuka ke
kiri dan kanan. Itulah sampokan untuk menyusul tangan yang membuatnya pedang
itu terbang. Tiba-tiba saja, ia rasakan sebelah lengannya lemas bergemetar,
lalu ia tampak, di depan matanya, satu tubuh berkelebat bagaikan bayangan.
Kecewa dia,yang pandai ilmu silat, telah ditotok orang tanpa dapat bersiap.
Dalam keadaan lemah itu,ia merasa orang telah menyambar tubuhnya, dikempit,
terus dibawa pergi cepat sekali bagaikan terbang, sampai tak dapat ia berteriak.
Tapi selagi dibawa kabur itu, di kupingnya, ia dengar suara Thio Tan Hong:
"Turunkan dia! Turunkan dia! — Eh, adik
kecil, adik kecil! Benarkah
kau?"
In Loei merasa bahwa Tan Hong,
yang berkata-kata itu, tengah menyusul ia.
Larinya cepat luar biasa orang
yang mengempit itu, In Loei merasa seperti dibawa terbang di tengah udara. Ilmu
enteng tubuh Thio Tan Hong sudah liehay sekali, dalam dunia kangouw jarang ada
tandingannya, tetapi kali ini, orang itu seperti melebihinya sebab di lain
saat, dia telah membuatnya si mahasiswa berkuda putih jauh tertinggal, di
sebelah belakang.....
In Loei kaget dan gusar, ia
mendongkol tanpa ada gunanya. Sama sekali ia tidak mampu berontak, untuk
membebaskan diri dari kempitan.
Adalah tidak lama kemudian, si
nona merasa ada orang menepuk bebokongnya,menyusul mana dengan perlahan ia
dilepaskan, diturunkan ke tanah. Itu waktu, orang telah berhenti berlari-lari
yang pesatnya bagaikan terbang. Ia pun segera merasa,darahnya telah mengalir
seperti biasa.
Sebenarnya, ketika ia menoleh,
akan pandang orang yang membawa ia kabur, ia kenali dia adalah si orang tua
yang lihay ilmu Taylek Kimkong Tjioe-nya dengan apa dia dapat melukai Tantai
Mie Ming! Sedetik saja, kata-kata ketus yang sudah siap untuk dikeluarkan, ia
batalkan mengucapkannya, ia tarik kembali ke dalam perutnya.....
Si orang tua buat main pedang
Tjengbeng kiam-nya, dibulak-balik di tangannya, lalu dengan sepasang matanya
yang bersinar tajam, ia tatap si nona. Dengan tiba-tiba dia menanya:
"Bukankah gurumu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dari Siauwhan San di
Soetjoan Utara?"
Tanpa bersangsi, In Loei
menjawab: "Ya." Orang tua itu lantas menghela napas.
"Sudah belasan tahun aku
tak pernah bertemu pula dengan dia," ia kata suaranya tak sekeras tadi,
"walaupun demikian, dengan melihat pedangnya, aku bagaikan melihat dia
sendiri. Dia telah serahkan Tjengbeng kiam kepadamu, rupa-rupanya dia sudah
berhasil mewujudkan dua tugas yang menjadi pesan kakek gurunya"
Cepat-cepat In Loei manggut
kepada orang tua itu. Ia tahu tentang gurunya. Itulah kejadian pada dua belas
tahun yang lampau. Ketika itu Hoeithian Lionglie, si Puteri Naga Terbang, yaitu
Yap Eng Eng, telah melanggar pesan gurunya, ialah Hian Kee It Soe.
Kesalahan itu ialah: dia
bersama Tjia Thian Hoa, secara diam-diam telah saling menukar pelajaran ilmu
silat pedang. Karena kesalahan itu, Yap Eng Eng dihukum duduk bersemedhi
menghadapi tembok di gunung Siauwhan San selama lima belas tahun, dan selama
lima belas tahun itu, dia dimestikan menjelesaikan dua rupa urusan, dua tugas.
Yang kesatu dia mesti melatih
sempurna dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk dipelajarinya, dan yang
kedua, dia mesti berhasil mendidik satu murid yang pandai "Pekpian Hian
Kee iamhoat" yaitu ilmu silat pedang yang mempunyai seratus jurus perubahannya.
"Loodjinkee, bukankah kau
Kimkong Tjioe Tang Toasoepee?" dia lantas tanya. Ia percaya betul, tidak
ada lain orang lagi yang mengetahui hal ikhwal gurunya itu.
Orang tua itu, yang benar ada
Kimkong Tjioe Tang Gak, tertawa bergelak.
"Hai, bocah, kau cerdik
sekali!" katanya. "Kemarin malam di rumah Thio Hong Hoe kau
menggondol pedang ini dibebokongmu, aku sudah lantas perhatikan padamu, cuma
disebabkan kau menyamar sebagai satu pemuda, aku tidak berani berlaku
lancang.Nyatalah kau benar ada keponakan muridku! Tahukah kau kenapa aku
melarang kau turun tangan?"
Heran In Loei
"Apa?" dia tanya. Di
dalam hatinya sendiri, dia kata: "Aku toh tidak memikir untuk turun tangan
terhadap siapa juga.....?"
"Bukankah tadi kau
berniat munculkan diri untuk membunuh Thio Tan Hong?" Tang Gak tegaskan.
"Jikalau kau bunuh dia kau lakukan satu kekeliruan."
In Loei meringis. Nyata sudah
paman guru itu telah keliru. Tapi ia cerdik. Ingin ia ketahui, apa yang
menyebabkan kekeliruan paman guru itu.
"Kenapa keliru?" demikian
ia tanya.
"Thio Tan Hong itu,"
sahut Tang Gak, menerangkan, "sekalipun benar dia ada puteranya Thio Tjong
Tjioe, akan tetapi mendengar kata-katanya dan melihat sepak terjangnya, dia
adalah satu penyinta negara. Kemarin ini setelah aku tempur Tantai Mie Ming,
malamnya aku datangi tempat kediamannya si pangeran Mongolia, untuk mendengar
kabar. Di sana dapat aku dengar pembicaraan antara Thio Tan Hong dengan Tantai
Mie Ming itu. Mereka tengah merundingkan suatu urusan rahasia yang maha
penting. Tentang itu, tak usah kau mengetahuinya jelas, tetapi itu ada sangat
besar faedahnya untuk Tionggoan. Oleh karena itu, meski aku berniat memberi
juga satu gaplokan lagi kepada Tantai Mie Ming, kesudahannya aku beri ampun
juga padanya."
Mendengar ini, In Loei tertawa
di dalam hatinya."Halmu ini telah aku ketahui.....” demikian pikirnya.
Tang Gak tidak ketahui apa
yang si nona pikir, ia bicara lebih jauh.
"Coba kau pikir, jikalau
sampai terjadi kau binasakan Thio Tan Hong, tidakkah karenanya kau jadi
melakukan satu kekeliruan besar?" katanya. "Lagi pula, dalam hal ilmu
silat, kau bukan tandingannya Tan Hong..... Ah, apakah kau belum pernah
menyaksikan kepandaiannya yang asli?"
"Baharu sebagian
saja," In Loei jawab paman guru itu.
Orang tua itu kerutkan
alisnya.
"Nah, itulah tak tepat,"
katanya. "Satu anggota dari Rimba Persilatan tidak seharusnya menuruti
saja ambekannya tanpa mengukur tenaga sendiri. Eh, ya, apakah namamu?"
"Aku bernama In
Loei," si nona jawab.
"Ah!" seru si orang
tua, agaknya ia terkejut sekali. "Inilah yang pribahasa bilang, orang
mencari sesuatu dengan memakai sepatu besi, sampai sepatu itu rusak, yang
dicarinya tetap tak dapat diketemukan, sebaliknya, bila ada jodohnya, yang
dicari itu dapat diketemukan dalam tempo sedetik, tanpa susah payah. Kiranya
kau adalah adiknya In Tiong! Sungguh beruntung! Sekarang aku tak merasa aneh
lagi kenapa kau, sekalipun kau ketahui kau bukan tandingan Tan Hong, tetap kau
hendak mencoba membunuh dia!.....”
In Loei meringis pula. Tak
dapat ia menangis, tak dapat ia tertawa.
"Kemarin malam aku dengar
Thio Tan Hong bilang, malam ini hendak dia menghadap Ie Kiam," Tang Gak
bicara pula, "karena itu, aku pun telah datang kemari. Di tengah jalan
tadi, satu urusan telah memhuatnya aku datang terlambat, maka itu, ketika aku tiba,
Tan Hong sudah pergi, hingga tak tahu aku apa yang telah mereka bicarakan.
Apakah kau dengar pembicaraan mereka itu?"
"Aku tak dapat mendengar
nyata," sahut In Loei, yang tidak gembira untuk omong banyak. "Aku
cuma dengar mereka menyebut-nyebut Watzu dan Tionggoan, mereka hendak
menerbitkan perang saudara di Watzu. Ya, tak ingat aku semua apa yang mereka
itu katakan."
"Itulah soalnya!"
kata Tang Gak. "Aku dengar In Tiong juga berada di sini. Pernahkah kamu
bertemu satu dengan lain?"
In Loei menjawab dengan suara
dalam, tanda ia berduka. "Kakakku itu telah diangkat menjadi pahlawan
dalam keraton," ia beri tahu.
Mendengar itu, Kimkong Tjioe
menghela napas.
"Bagus cita-cita bocah
itu," ia kata, "hanya kali ini, tak tepat tindakannya. Dia
berpendapat, untuk dapat membalas sakit hati kakeknya, guna menyuci malu
negara,mesti dia menghamba dahulu kepada pemerintah, untuk mendapat pangkat dan
pengaruh besar."
"Toasoepee benar,"
kata In Loei, "Di mana ada dorna yang berkuasa dalam pemerintahan,
sekalipun Lie Kong yang gagah tak ada jasanya!" Itulah kata-katanya Tang
Gak dalam suratnya kepada Kimtoo Tjioe Kian.
Heran Tang Gak hingga ia
mengawasi si nona. "Eh, apakah kau pun melihat surat itu?" dia tanya.
"Sayang si Tiong tak menginsyafi dalil itu. Aku kuatir, karena sikapnya si
Tiong itu, akan sukar untuk kita menemui dia.....”
"Mungkin, lagi setengah
bulan akan ada ketika-nya," In Loei beritahu. Ia utarakan dugaannya Thio
Hong Hoe mengenai In Tiong.
"Sekarang begini
saja," kata Tang Gak kemudian. "Aku pulang secara mendadak, untuk
satu urusan sangat penting. Perlu aku segera menemui kakek gurumu. Ini pun
sebabnya,sampai aku tak sempat mengunjungi pula Kimtoo Tjioe Kian yang namanya
telah lama aku kenangkan. Bahwa aku telah mampir di kota raja ini, itulah untuk
sekalian menengok si Tiong. Tidak dapat aku berdiam lama di sini, maka itu,
kalau kau bertemu dengan kakakmu, kau sampaikan pesanku ini."
In Loei menyanggupi, ia
manggut.
"Kamu berniat mencari
balas untuk keluargamu terhadap keluarga Thio," berkata pula Tang Gak.
"Mengenai ini, jikalau kita pakai aturan kaum Rimba Persilatan, tidak
dapat aku mencampurinya. Tapi satu hal hendak aku terangkan: Thio Tan Hong itu
adalah orang kaum kita dan dia tidak ada hubungannya dengan perbuatan
leluhurnya, yang bermusuhan dengan keluargamu, maka itu aku harap, kalau bisa,
bereskanlah permusuhan itu. Kakakmu menjadi putera sulung, dalam hal menuntut
balas, kau mesti turut pendapat dia. Kau sampaikan kata-kataku ini kepadanya,
untuk dia pikirkan dan fahamkan." Turut kebiasaan Rimba Persilatan,
mengenai permusuhan ayah, ibu dan leluhur,meskipun satu guru, dia cuma dapat
menganjurkan perdamaian, tak bisa dia memerintah atau melarang pembalasannya.
Demikian, Tang Gak berikan pesannya itu.
"Tentang Thio Tjong Tjioe
itu, dia ada seorang baik atau seorang busuk, aku masih belum tahu suatu
apa," Tang Gak lanjutkan. "Shatee Thian Hoa terkurung di dalam
keraton bangsa Ouw, tentang dia, tentang kejadian yang sebenarnya, aku pun tak
mengetahuinya. Karena itu, hendak aku menemui kakek gurumu, ingin aku minta
supaya kakek gurumu itu mengijinkan gurumu turun gunung.....”
"Mungkin sekarang ini
djiesoepee sudah sampai di Siauwhan San," In Loei utarakan dugaannya. Ia
beritahukan warta perihal Tiauw Im Hweeshio, djiesoepee-nya itu, paman guru
yang kedua.
"Bagus, bagus!"
tertawa Tang Gak. "Rupa-rupanya kita ke empat saudara seperguruan akan
melakukan suatu apa yang menggemparkan di tapal batas bangsa Ouw, malah mungkin
kakek gurumu juga akan turut terlibat, hingga dia turut turun gunung!.....”
Hian Kee Itsoe telah sekap
diri selama tiga puluh tahun lebih, In Loei belum pernah bertemu dengan kakek
gurunya itu, maka itu, di dalam hatinya, ia kata: "Untuk melibat kakek
gurumu turun gunung, itulah pekerjaan sangat sulit.....”
Tentu saja, mengenai orang-orang
pihak tertua, In Loei tidak berani campur tahu,karenanya, ia tidak menanyakan
terlebih jauh.
Tang Gak pun berdiam, ia cuma
memandang langit.
"Jam sudah hampir pukul
empat," ia kata, "karena sebentar pagi aku mesti lantas meninggalkan
kota raja ini, tak dapat aku antar kau pulang. Di mana kau tinggal?"
"Aku tinggal di rumah
penginapan," sahut In Loei. "Toasoepee, silakan berangkat! Akupun tak
dapat mengantar kau."
Waktu itu mereka berdua berada
di luar kota, di tempat di mana mereka berdiri,terdapat sebuah empang kecil,
maka itu, selagi rembulan bersinar terang, tegas sekali bayangan mereka berpeta
di muka air itu.
Ketika Tang Gak berpaling ke
muka air, tiba-tiba ia menghela napas.
"Buat belasan tahun aku
lewatkan waktuku di tanah yang ber-es dan bersalju, tanpa merasa, rambut
kepalaku pun telah berubah menjadi putih," dia kata,
menyesal."Sungguh, sang waktu lewat pesat sekali! Ketika dulu aku berpisah
dari gurumu, gurumu itu mirip dengan kau sekarang ini.....”
Diam-diam tergerak hatinya In
Loei. Ia ingat lelakon asmara antara gurunya itu dengan samsoepee-nya, paman
guru yang ketiga. Mengenai kata-katanya toasoepee ini, ia separuh mengerti dan
separuh tidak, ia diam saja, tunduk. Maka itu, ketika kemudian ia angkat
kepalanya, ia dapatkan paman guru itu sudah tidak ada dihadapannya.....
Sampai di situ, In Loei segera
putar tubuhnya. Ia tidak balik ke hotelnya, ia hanya menuju kembali ke rumah Ie
Kiam. Tepat ketika ia sampai, ia dengar suara kentongan empat kali. Pada waktu
itu, ia dapat lihat kamar si menteri masih terang benderang seperti tadi. Heran
ia.
"Ah, apakah dia masih
belum tidur?" dia tanya dirinya sendiri. Dengan perlahan, ia menghampiri
pintu. Tanpa sangsi-sangsi, ia mengetok dengan perlahan, beberapa kali.
Ie Kiam belum tidur, lantas ia
membukakan pintu. "Nona In, silakan masuk!" menteri itu mengundang,
sambil tertawa manis, "sudah lama aku tunggui kau!" In Loei
tercengang. Ia dandan sebagai satu pemuda, ia anggap tidak ada orang yang
ketahui atau kenali padanya, siapa tahu, Ie Kiam sekarang buka rahasianya itu!
"Thio Tan Hong telah
menuturkan halmu kepadaku," Ie Kokioo kata pula,menambahkan. "Dia
juga telah melukiskan potongan tubuhmu dan wajahmu kepadaku.Apakah kau baharu
sampai?"
Melihat sikap orang demikian
ramah tamah, tanpa merasa In Loei jadi sangat terharu, hingga air matanya
mengucur. Ia lantas saja berlutut, untuk memberi hormat.
Ie Kiam membungkuk, untuk
memimpin bangun nona itu.
"Ketika dahulu aku
diangkat menjadi Hanlim, adalah kakekmu yang menjadi ketua ujian," Ie Kiam
kata pula. "Maka itu, andaikata aku tidak dipandang lancang, ingin aku
panggil kau titlie saja."
Titlie ialah keponakan
perempuan.
Mendengar disebutnya
engkong-nya, In Loei menjadi terlebih berduka.
"Bagaimana meninggalnya
kakekku itu?" dia tanya sambil menangis tersedu-sedu.
"Benarkah dia diberikan
kematian oleh raja? Peehoe, tahukah kau keadaan yang sebenarnya?"
In Loei sudah lantas memanggil
peehoe, paman, kepada menteri itu.
"Kau duduk dulu,"
berkata Ie Kiam serta menuangkan orang secangkir teh, yang masih panas.
"Kau seka air matamu, nanti aku jelaskan padamu."
In Loei mengucap terima kasih,
ia seka air matanya. Ie Kiam mengawasi, ia menghela napas pula.
"Ketika hari itu kakekmu
menemui kecelakaannya, aku telah menjadi Pengpou Sielong,"menteri ini menutur.
"Begitu kita dapat kabar buruk dari kota Ganboenkwan, semua menteri, sipil
dan militer, menjadi kaget sekali, mereka berduka berbareng gusar. Semua orang
anggap kakekmu itu sudah meninggalkan nama baik di negara asing. Selama dua
puluh tahun kakekmu mengembala kuda di daerah ber-es dan bersalju, tak sudi ia
menyerah di bawah tekanan musuh, sungguh dia mirip dengan Souw Boe yang setia
dan keras hati, dialah satu manusia yang langka! Kakekmu menemui ajalnya secara
demikian mengenaskan, manusia dan langit bergusar bersama. Demikian satu giesoe
yang tak takut mati sudah memajukan surat kepada raja, untuk membalas kakekmu
itu, ia minta supaya raja mencuci penasaran itu, agar nama kakekmu diperbaiki,
untuk selanjutnya
diberi pangkat mulia.
"Apa benar In Tjeng telah
meninggal dunia?" tanya raja setelah ia baca surat giesoe itu. "Aku
masih belum tahu. Baiklah, nanti aku cari keterangan. Suratmu ini akan
ditangguhkan dulu."
"Lantas raja menitahkan
membubarkan persidangan di singgasana.
"Menteri besar yang bernama
Lauw Tek Sin tidak puas dengan sikap raja. Ia berbangkit, ia susul raja sampai
di kamar tulis.
"Bukankah Sri Baginda
yang membubuhi tanda tangan atas surat titah yang menghadiahkan kematian kepada
In Tjeng itu?" dia tanya.
"Raja mencoba menyangkal
tapi bicaranya tidak jelas.
"Mengetahui rajanya
disusul Lauw Tek Sin, Soeiee Thaykam Ong Tjin datang menyusul.
"Sri Baginda, apakah
Baginda telah lupa menulis firman itu?" ia tanya.
"Oh, ya, ya," kata
raja itu gugup. "Memang benar, akulah yang menulis firman itu.
Ya,kenapakah dia diberi hadiah kematian? Baiklah, nanti aku
pikir-pikir....."
"Ong Tjin, yang
mendampingi raja, lantas membantu mengingat. Dia kata, In Tjeng menjadi utusan,
dengan tidak tahu malu, dia bekerja kepada musuh. Begitulah maka dia dihadiahkan
kematiannya.....”
"Benar, benar!" kata
raja. "Karena itu dia dihukum mati"
Lauw Tek Sin menjadi sangat
murka.
"Teranglah kau yang
membuat firman palsu, jahanam!" dia damprat orang kebiri itu."Kau
telah memfitnah satu menteri setia dan membinasakannya, kau pakai nama Sri
Baginda, dengan begitu kau membuatnya Sri Baginda tak disukai
menteri-menterinya!"
"Akan tetapi Ong Tjin
menjadi gusar sekali. Dia perintahkan menawan Lauw Tek Sin,untuk dijebluskan ke
dalam penjara istana, habis mana, dengan mencari akal, menunjuk orang berdosa,
dia hendak hukum mati pada menteri itu. Hal ini membangkitkan kegusarannya
menteri-menteri sipil dan militer dalam istana, mereka ini memprotes,mereka
menuduh Ong Tjin. Karena protes ini, Lauw Tek Sin bebas dari kematian, tetapi
dia dipecat, dijadikan rakyat jelata. Sedang giesoe yang setia itu, yang
membelai kakekmu, juga dihukum, yaitu dihukum buang ke Haylam. Tidak lama
kemudian, giesoe itu terbinasa di bawah tangan jahat dari Ong Tjin. Kemudian
lagi, satu demi satu, menterimenteri yang protes dorna kebiri itu, telah
menerima bagiannya,pembalasannya Ong Tjin itu. Aku sendiri tidak terkecuali,
aku telah diturunkan pangkat, dipindah ke Kangsee
menjadi soenan."
Mendengar keterangan itu,
bukan kepalang mendongkolnya In Loei.
"Sungguh satu dorna
kebiri yang sangat menjemukan!" dia berseru. "Jadi dialah yang
membinasakan kakekku itu? Kenapa dia membinasakan kakekku?"
"Hal itu baharulah kita
ketahui kemudian," sahut Ie Kiam. "Sejak siang-siang Ong Tjin itu
telah membuat perhubungan rahasia dengan Yasian ayah dan anak, secara diam-diam
mereka itu menukar besi kita dengan kuda Mongolia. Perdagangan tukar-menukar
secara gelap ini dilakukan secara besar-besaran, dengan begitu Yasian telah
mengeruk uang dalam jumlah yang besar sekali. Turut kabar,untuk Mongolia,
perdagangan semacam itu dilakukan secara terang-terangan. Kakekmu adalah satu
menteri besar, dia ternama baik, sudah begitu, untuk dua puluh tahun dia
telah melindungi kesetiaannya,
kesetiaan itu tak kalah dengan kesetiaan Souw Boe yang
mengembala kambing, umpama
kata dia dapat kemerdekaannya, pulang ke negeri, pasti sekali dia akan perbaiki
tata tertib di dalam istana, untuk mana tentulah dia akan singkirkan segala
dorna. Karena ini semua, pasti Ong Tjin jeri terhadap kakekmu itu, Ong Tjin
mestinya telah menerka yang kakekmu telah ketahui rahasianya. Untuk menjaga
bahaya di belakang hari, Ong Tjin telah menggunakan firman palsu, untuk
mendahului turun tangan terhadap kakekmu itu. Dia berpangkat Soeiee Thaykam,
cap kerajaan berada di tangannya, karena semua surat-surat, dari luar dan dari
dalam, mesti terlebih dahulu lewat ditangannya, kecuali jikalau yang dihaturkan
pribadi oleh suatu menteri.Karena kekuasaannya itu, gampang sekali baginya
untuk memalsukan firman."
Sampai di situ, In Loei
teringat halnya Thio Tjong Tjioe telah memesan Tantai Mie Ming untuk
menyampaikan tiga buah kimlong kepada kakeknya.
Memang kimlong itu surat
tertutup, yang untuk sementara dirahasiakan dulu ada luar biasa. Dulu, dimasa
ia kecil, In Loei tidak ketahui suatu apa tentang kimlong itu,adalah kemudian,
sesudah ia dewasa, ia dengar hal itu dari Tiauw Im Hweeshio, dari Kimtoo Tjioe
Kian juga, dan belakangan lagi, dari Thio Tan Hong. Dari ketiga kimlong,yang
ketiga memuat sebutir pil lahwan, dan di dalam lahwan ini — lilin bundar —
terdapat lagi sehelai surat. Itulah suratnya Ong Tjin yang di alamatkan kepada
To Huan (ayahnya Yasian) serta Thio Tjong Tjioe, maksud yang tak adalah surat
urusan pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia. Surat rahasia itulah
yang menyebabkan In Tjeng ditawan. Sebenarnya Tjia Thian Hoa telah dititahkan
pergi ke kota raja, untuk menyerahkan lahwan kepada Ie Kiam, supaya Ong Tjin
didakwa. Sayang telah terjadi
kegagalan. In Tjeng bukan
melainkan kena ditawan, dia malah segera dibinasakan. Meski begitu, terang
sudah, itulah maksud baik dari Thio Tjong Tjioe berdua. Surat itu
kesampaian.Ingat kebinasaan kakeknya "Apabila lahwan dapat diserahkan
kepada Ie Kiam, pasti sudah Ong Tjin dan kawan-kawannya serta pengaruhnya tak
jadi sehebat sekarang ini.Dengan bukti itu belum tentu Ong Tjin tak dapat
dirubuhkan....."
Setelah menutur, Ie Kiam
menghela napas.
"Memang sakit hati In
Thaydjin belum dapat dicuci bersih," kata dia, "akan tetapi ia
mempunyai satu cucu perempuan sebagai kau, di alam baka, dia tentunya dapat
meramkan mata."
Ingat itu, In Loei berpikir
itu, hati In Loei panas dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja ia tepuk kedua
tangannya satu dengan lain, seraya berseru: "Jikalau aku tidak berhasil
mencingcang hancur tubuh dorna kebiri itu, aku bersumpah tak sudi menjadi
manusia!"
Tapi Ie Kiam
menggeleng-gelengkan kepala.
"Nona In, sekarang ini,
aku tidak setuju kau pergi menuntut balas!" dia kata.
In Loei heran. Ia memang
sedang murka.
"Loopee, apakah artinya
perkataanmu ini?" ia tanya.
"Sekarang Ong Tjin sedang
besar pengaruhnya dan orang-orangnya pun banyak sekali," menteri itu
berikan keterangan, "di samping itu, di dalam angkatan perang,banyak
panglima yang menjadi anak pungutnya. Maka sekarang lebih baik kita pusatkan
seluruh tenaga kita untuk menghadapi penyerbuan bangsa Watzu. Jikalau kita
turuti hati saja, bisa-bisa kita mencelakai diri sendiri, bisa kita merusak
urusan besar. Tidakkah pepatah mengatakan, 'Kalau seribu orang menuding, tak
sakit pun orang dapat mati?' Jikalau orang telah penuh dengan kedosaan dan
kejahatan, mana dapat dia hidup senang untuk selama-lamanya? Pendeknya kalau
nanti telah tiba saatnya dari terbukanya kebusukan itu, taruh kata kau tidak
pergi membalasnya sendiri, mungkin ada lain orang yang akan menyingkirkan dia!
Kau pandai silat dan gagah, tapi kau harus ingat, tangan
sebelah tak dapat perdengarkan
suara. Maka sedikitnya kau mesti tunggu sampai kau bertemu dengan kakakmu,
baharu dapat kau berichtiar."
In Loei berdiam. Ia anggap
pikiran menteri itu benar sekali. Tapi ia jadi sangat bersedih, hingga air
matanya membasahi ujung bajunya.
Dengan perlahan-lahan, Ie Kiam
berbangkit, akan bertindak ke jendela, yang daunnya
ia tolak.
"Ah, sudah hampir terang
tanah!" katanya. "Keponakan Loei, kau tinggal di mana?"
Nada suara itu seperti
mengandung maksud.
"Aku tinggal di rumah
penginapan," sahut In Loei.
"Di rumah penginapan
terdapat orang dari segala macam, kau bersendirian saja, kaupun menyamar,
pastilah kau kurang merdeka," berkata menteri itu."Bukankah ada
terlebih baik untuk pindah saja kemari, untuk tinggal bersama aku? Disini juga
kabar-kabar datangnya terlebih cepat."
"Jikalau peehoe kehendaki
itu, aku menurut saja" sahut si nona. "Baik, akan aku pulang dulu ke
pondokku, untuk mengambil barang-barangku."
Justeru itu waktu, dari kamar
sebelah, terdengar satu suara bocah perempuan yang terang sekali: "Ayah,
kembali untuk satu malam kau tidak tidur....."
Bangun alisnya Ie Kiam, ia
tertawa.
"Segera akan aku
tidur," ia menyahuti. Ia terus berpaling pada In Loei, untuk meneruskan:
"Anakku meminta aku masuk tidur, maka lekaslah kau pergi untuk lekas
kembali. Seringkah, karena repot, aku tidak tidur satu malaman, untukku tidak
berarti apa-apa, cuma kasihan bagi anak itu, dia jadi kesepian.....”
Itulah kecintaan antara ayah
dan anaknya, mengetahui itu, In Loei teringat pada kakek dan ayahnya. Ie Kiam
ini, dalam hal usianya, tak berbeda daripada kakeknya pada sepuluh tahun yang
lampau. Bedanya ialah, kakeknya tidak semanis budi seperti menteri ini.
Segera nona ini memberi
hormat, untuk berlalu, dan di lain saat, ia telah kembali. Ia pun segera
menjadi kawannya si nona tadi, puterinya Ie Kiam.
Puterinya Ie Kiam bernama Sin
Tjoe,4j usianya baharu sembilan tahun, akan tetapi ia cerdik sekali dan gesit.
Ia panggil entjie kepada In Loei, yang sudah lantas dandan sebagai satu nona.
In Loei pun senang mendapat kawan yang manis ini.
Selama menumpang pada keluarga
Ie, In Loei ada kandung suatu maksud. Ialah, ia harap-harap datangnya Tan Hong
kembali untuk menemui Ie Kokioo. Akan tetapi,setengah bulan sudah lewat, pemuda
itu masih belum kelihatan juga.
Sementara itu si pangeran
asing beserta Tantai Mie Ming, enam hari sesudahnya In Loei pindah ke rumah
Menteri Ie, telah berangkat pulang ke negeri mereka, sebabnya ialah karena
pembicaraan mereka gagal.
Setelah lewat setengah bulan,
tiba-tiba ingatlah In Loei akan omongannya Thio Hong Hoe tentang ujian militer
Boe kiedjin istimewa untuk tahun yang sedang berjalan. Hal itu sangat menarik
perhatiannya, maka sering sekali ia tanyakan Ie Kokioo, bilamana ujian itu akan
diadakan.
"Keponakanku yang baik,
kau sabarlah," kata Ie Kokioo sambil tertawa ketika ia ditanyakan yang
terakhir. "Kalau nanti kakakmu turut ambil bagian, pasti sekali akan aku
pertemukan kau dengannya!"
"Apakah ujian sudah
dimulai?" si nona tanya.
"Sekarang baharu
permulaan saja. Banyak sekali jumlah mereka yang mengambil bagian. Nanti aku
pergi ke Kementerian Perang untuk mencari tahu angka ujiannya kakakmu
itu."
Lima hari telah lewat sejak
pembicaraan itu, atau pada hari ke enam, pagi-pagi sekali,Ie Kiam telah
memanggil In Loei, dan semunculnya si nona, ia tertawa dengan manis.
"Bukankah kau ingin
menemui kakakmu?" ia tanya.
In Loei berjingkrak.
"Peehoe, apakah sekarang
juga kau hendak ajak aku menemuinya?" tanya ia, yang girangnya tak
kepalang.
"Benar," jawab paman
itu. "Hanya kau harus merendahkan sedikit dirimu. Kau menyamar sebagai
pengiringku, nanti aku ajak kau ke lapangan pieboe untuk menyaksikan
pertandingan."
In Loei girang bukan main,
dengan lantas ia salin pakaian. Ia sudah biasa menyamar sebagai priya, untuk
jadi pengiring atau kacung, iapun tak berkeberatan. Ia seperti tak pedulikan
segala apa, asal ia dapat bertemu dengan kakaknya.
Kiranya hari itu adalah hari
terakhir, untuk memilih Boe tjonggoan. Sudah dikatakan,ujian ada istimewa, maka
itu, setelah ujian main panah sambil menunggang kuda, ujian lisan ilmu perang,
datanglah ujian untuk pieboe, guna mengadu kepandaian silat.
Usul atau saran keluar dari
otaknya Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay. Dia ambil alasan, ilmu silat ada
banyak macamnya, tak berbatas cuma dengan ilmu panah di atas kuda, ada ilmu
tombak atau golok, juga dengan bertangan kosong, tanpa ini, ilmu silat itu
tidak lengkap.
Senantiasa berdiam di dalam
keraton, atau istana, kaisar merasa kesepian, maka itu satu kali ia dengar akan
diadakan keramaian — di antaranya termasuk pieboe — dengan segera dia terima
baik usul Kong Tjongkoan itu.
Demikian di tengah-tengah
lapangan segera dibangun satu ioeitay — panggung untuk adu silat itu — dengan
di empat penjurunya diberdirikan pula panggung-panggung untuk penonton. Kaisar
pun tidak datang menonton sendiri, ia diiring para pahlawan dan thaykam, pun
Menteri Perang dan semua menteri lainnya turut mendampingi padanya.
Sebenarnya usul Kong Tiauw Hay
ini disebabkan dia mempunyai maksud sendiri urusan pribadi. Dia mempunyai dua
soehengtee, saudara-saudara seperguruan yang liehay ilmu silatnya, dia ingin
kedua saudara itu memamerkan kepandaiannya, supaya mereka peroleh nama dan
kedudukan baik. Tapi kedua saudara itu terlalu rendah pengetahuannya mengenai
kitab ilmu perang, maka itu diciptakan akal ini, ialah adu kepandaian silat.
Sekitar lapangan dijaga
tentara Gielim koen, pasukan pribadi kaisar. Kaisar sendiri,diiring oleh para
pangeran dan orang kebiri, mengambil tempat di panggung tengah, yang menghadapi
langsung panggung ioeitay. Ie Kiam beserta In Loei, bersama Menteri Perang dan
menteri lainnya, mengambil panggung timur, dari mana orang pun dapat melihat
tegas ke panggung raja.
"Kau lihat," kata Ie
Kokioo pada pengiringnya sambil berbisik, "itu orang dengan juba naga di
belakang siapa berbaris pahlawan-pahlawan adalah Sri Baginda raja. Di kiri
raja,orang yang berdiri mendampinginya adalah Thaykam Ong Tjin."
Dengan mata tajam, In Loei
awasi orang kebiri itu, untuk mengenali dengan baik roman orang dan potongan
tubuhnya.
Semua boe kiedjin, yang berhak
turut ujian, berkumpul di bawah panggung di mana ada sebuah gubuk istimewa
untuk mereka menanti atau beristirahat, sebab sebelum tiba gilirannya, tak
dapat mereka sembarang menaiki panggung ioeitay.
"Ujian istimewa kali ini
namanya saja boleh diikuti oleh siapa saja asal berkepandaian silat dan telah
terpilih," Ie Kiam terangkan pada In Loei, "akan tetapi
kenyataannya,kecuali mereka yang memang sudah memangku pangkat dalam tentara,
dia mesti diberi pertanggungan oleh suatu orang berpangkat, yang pangkatnya
mesti sedikitnya sudah tingkat ketiga. Inilah sebabnya kenapa Sri Baginda
berani turut datang menonton."
Mendengar ini, di dalam
hatinya, In Loei kata:
"Kalau begitu orang
kangouw, yang benar-benar gagah, tak dapat kesempatan untuk turut serta.....”
Tiba-tiba terdengarlah suara
tambur nyaring, tiga kali. Itulah tanda bahwa pieboe sudah akan dimulai.
Mendengar suara tambur itu, In Loei merasa tegang sendirinya,segera ia
mengawasi ke arah ioeitay.
Yang pertama kali maju adalah
dua orang yang romannya kasar, mereka masing-masing bersenjatakan golok tantoo
dan sebuah tombak. Sebentar saja, si pemegang golok peroleh kemenangan.
Menyusul itu adalah tiga
pertandingan lagi. Siapa yang menang, dia mesti bertanding terus. Siapa menang
dua kali beruntun, dia dapat hak untuk beristirahat, untuk nanti diadu pula
dengan pemenang lainnya. Begitu seterusnya.
Selama itu, In Loei belum
lihat kakaknya.
Pertandingan, ke empat telah
selesai, dan pemenangnya adalah seorang yang tubuhnya tinggi tujuh kaki, besar
dan tegap, gegamannya adalah sepasang gembolan.
Selama itu, kuranglah
perhatian In Loei. Sampai ia dengar bicaranya Pengpou Siangsie,menteri perang,
kepada Ie Kokioo. Kata menteri itu: "Pemenang ini adalah Tjiangkoen Ouw
Tay Keng, panglima yang baru diangkat oleh Kementerian Perang, kedua tangannya
bertenaga seribu kati. Sebenarnya jumlah peserta ada banyak sekali, semuanya sembilan
puluh enam orang, tetapi Sri Baginda hendak menyaksikan yang paling kosen saja,
maka kemarin diadakan ujian istimewa oleh Kementerian, hingga kesudahannya,
dari sembilan puluh enam peserta itu sekarang tinggal dua puluh empat orang.
Sri Baginda pun ingin supaya ujian selesai dalam hari ini. Dalam ujian kemarin,
Ouw Tjiangkoen ini dapat angka baik sekali."
Ie Kiam sambut keterangan itu
dengan senyuman. Ia tahu, Ouw Tay Keng adalah sanaknya Pengpou Siangsie, sudah
tentu Siangsie itu, menteri, mengharap-harap si sanak keluar sebagai pemenang.
Segera juga terdengar suaranya
kiepaykhoa di muka panggung: "Lim Too An, kiedjin nomor sembilan, naiklah
ke atas panggung! Penanggung jawabnya adalah Leepou Tjoesoe Lie Soen."
Pemberitahuan itu menunjukkan
bahwa peserta Lim Too An bukan perwira, maka ia memerlukan orang yang
menanggung dirinya.
Heran juga In Loei, maka
perhatiannya jadi tertarik sekali. Ia lantas lihat, Lim Too An lompat naik ke
atas ioeitay dengan sebelah tangannya menggoyangkan kipas, dandannya pun tidak
keruan, ialah sembarangan saja. Dia adalah puteranya Lim Tjhoengtjoe,sahabatnya
Hongthianloei Tjio Eng. Dia juga yang beberapa bulan yang lalu telah melamar
Nona Tjio Tjoei Hong akan tetapi dia kena dikalahkan Nona Tjio.
Too An beri hormat pada Ouw Tjiangkoen
sambil menjura seraya pegangi terus kipasnya itu. Ia kata dengan lagu suaranya
yang agak seram: "Ouw Tjiangkoen, aku mengharap belas kasihanmu....."
"Sial!" keluh Ouw
Tay Keng di dalam hatinya. "Dari mana datangnya makhluk aneh ini,priya
bukan wanita bukan?....." Tapi waktu menjawab, sambil mengayunkan
gembolannya, dia membentak: "Belas kasihan apa! Ini ada tempat resmi!
Apakah kau anggap ini bagaikan sandiwara? Lekas kau keluarkan senjatamu!"
Jumawa panglima ini, tetapi
Lim Too An tidak menghiraukannya.
"Boanseng empunya senjata
ialah kipas ini," dia menyahut, suaranya halus bagaikan suara wanita. Ia
pun membahasakan diri boanseng, artinya yang mudaan.
Ouw Tay Keng menjadi gusar
sekali, segera ia menghajar dengan sebelah gembolannya.
Lim Too An berkelit sambil
mendak, berbareng dengan itu kipasnya yang ia buat kuncup, diulurkan ke arah
iga dari panglima itu, untuk menotok jalan darah djoanmoa hiat. Lincah
gerakannya, tapi tidak segarang lawannya itu.
Ouw Tay Keng bertubuh besar,
ia kurang gesit, tidak ampun lagi, begitu kena ditotok,tubuhnya itu
bergelimpang rubah jatuh di lantai panggung dengan menerbitkan suara keras! Lim
Too An tidak berhenti sampai di situ, dengan sebat ia angkat sebelah
kakinya,untuk dipakai mendupak, maka tersapulah tubuh besar dari panglima itu,
jatuh terbanting ke bawah panggung.
"Maaf, boanseng terima
kalah!" kata dia sambil tertawa. Masih dia mengejek.
Gembira kaisar menampak
pertempuran itu.
"Bagus!" serunya
dengan pujiannya.
"Pertandingan yang
menyusul akan lebih bagus lagi!" kata Ong Tjin. "Lekas Baginda
lihat!"
Kiepaykhoa segera perdengarkan
pula suaranya: "Nomor 10!"
Kali ini yang lompat naik
adalah seorang dengan sebelah tangannya mengangkat tinggi sehelai tameng. Dia
adalah Lou Liang, adiknya Lou Beng. Lou Beng sendiri kemarin telah dijatuhkan
oleh satu anak muda, hingga Lou Liang mesti maju seorang diri. Dua saudara Lou
ini adalah orang-orang kepercayaannya Ong Tjin.
Lim Too An layani ilmu tameng
Koengoan pay dari keluarga Lou dengan tameng besinya, Lou Liang lindungi diri
dari totokan ujung kipas. Untuk sementara, Too An tidak bisa berbuat suatu apa,
maka itu dengan cepat pertandingan telah melalui kira-kira lima puluh jurus.
Lou Liang tahu orang pandai
tiamhiat hoat, ilmu totok jalan darah, setelah bertanding sekian lama, ia
menggunakan akal. Ialah mengangkat tamengnya demikian rupa hingga ia membuatnya
satu lowongan.
Too An girang melihat ketika
yang baik ini, ia tidak sia-siakan itu, dengan memutar kipasnya, segera ia
menotok jalan darah soankee hiat pada dada lawan. Ia percaya,setelah lawan
nampaknya lelah, ia akan berhasil.
Tiba-tiba saja tameng bergerak
sangat cepat. "Prak!" demikian terdengar satu suara.
Too An kaget bukan main,
karena kipasnya kena dihajar hingga patah seketika. Ia tahu selatan, segera
saja ia lompat turun dari panggung.
Ong Tjin lantas saja tertawa,
wajahnya berseri-seri.
"Kongkong, pahlawanmu
benar kosen!" kaisar memuji. Ia membuatnya orang kebiri itu bergirang dan
bersyukur.
"Kiedjin No. “, See Boe
Kie, naik ke panggung! Penanggung jawabnya Hoetongnia Yo Wie dari Gielim
koen!" demikian suara kiepaykhoa.
In Loei terkejut pula. Ia
tidak sangka, juga penjahat besar ini, yang telengas, turut serta dalam ujian,
malah dengan ditunggui oleh komandan muda dari tentara raja. Ia ingat benar,
See Boe Kie adalah orang yang lamarannya telah ditolak Tjoei Hong.
Begitu ia mencelat naik ke
atas panggung, See Boe Kie tidak berlaku sungkan lagi.
"Dengan kepalanku ini
akan aku sambut tamengmu!" katanya dengan jumawa.
Lou Liang gusar terhadap sikap
kasar itu.
"Baik, kau
sambutlah!" dia jawab, dan tamengnya segera menyambar dari atas kebawah
Hebat serangan itu, sampai
tameng itu mendatangkan siliran angin. See Boe Kie berkelit ke samping, dari
situ ia membalas menyerang dengan kepalannya dibuka, hingga lima jarinya jadi
berbaris rapat.
Lou Liang terkejut apabila ia
tampak telapak tangan hitam dari lawannya ini. Itulah Toksee tjiang — Tangan
Pasir Beracun. Lekas-lekas ia menangkis.
See Boe Kie sebat sekali,
ketika serangan pembalasannya itu gagal, ia menyusul dengan tangan yang lain,
ia barengi selagi orang menangkis. Kali ini ia berhasil menimpa pundak orang.
"Aduh!" teriak Lou
Liang yang dibarengi dengan menggelindingnya tubuhnya ke bawah panggung. Ia
sebenarnya kosen tetapi ia kalah sebat.
Wajah Ong Tjin menjadi matang
biru, karena mendongkolnya, sebab pahlawan yang ia banggakan itu, rubuh sebelum
mencapai tiga jurus.
Jangan gusar, kongkong1."
tertawa Kong Tiauw Hay. "Pada babak selanjutnya,binatang itu tak akan
bertahan lama!.....”
Lalu terdengar suara
kiepaykhoa'. "No. 12, Liok Thian Peng! Penanggungnya, Tayiwee Tjongkoan
Kong Tiauw Hay!"
Segeralah lompat naik seorang
yang tubuhnya tegap, di pinggangnya terlibat cambuk lemas Kimsie Djoanpian. Dia
tidak loloskan senjata itu, hanya sambil tertawa ia kata pada See Boe Kie:
"Toksee tjiang-mu liehay sekali, tapi biarlah aku mengalah, kau menyerang
dulu dua kali! Bila aku berkelit, anggaplah, aku kalah!"
See Boe Kie melengak. Orang
ada lebih terkebur daripadanya.
"Hayo mulai!" kata
Liok Thian Peng. "Kenapa kau belum menyerang juga? Di sini ada ioeitay
tempat pieboe, jikalau kau tetap tidak hendak menyerang, hendak kau
menggelinding turun saja dari atas panggung ini!.....”
See Boe Kie mendongkol, ia
penasaran.
"Mungkinkah tubuhnya
kebal hingga ia tidak mempan racun tanganku yang liehay?" dia berpikir.
"Belum pernah aku dengar ilmu kebal semacam itu.....” Lantas ia kata
dengan tawar: "Tanganku beracun, Tuan Liok, harap kau
berhati-hati!....."
Belum berhenti si jago tangan
beracun ini berbicara, atau sebelah tangannya sudah menyambar ke arah muka
lawan. Sambil menyerang, ia berpikir: "Pada tubuhnya ada bajunya, yang
mungkin menjadi alingan, maka akan aku hajar mukanya, yang kulitnya tipis!
Mungkinkah mukanya pun kebal?....."
Pada saat tangan lawan hampir
sampai pada mukanya, mendadak Liok Thian Peng mendak berkelit, menyusul mana,
tangannya diangkat, dipakai membentur sikut orang.
Hebat benturan ini, See Boe
Kie merasakan sakitnya sampai di jantungnya, lengannya yang dibentur pun lantas
saja turun tergantung, tetapi ia kuat, masih dapat ia bertahan,maka dengan
menuruti amarahnya, ia tidak mau menyerah kalah, lantas dengan menggunakan
tangannya yang lain, ia menyambar ke iga Liok Thian Peng, mengarah jalan darah
kematian.
In Loei saksikan pertempuran
itu, ia tahu, kalau sambaran itu tidak gagal, mesti celaka Liok Thian Peng.
Tapi yang menjerit hebat adalah See Boe Kie, tangannya semper,tubuhnya rubuh ke
bawah panggung.
"Hebat!" kata In
Loei di dalam hatinya. Ia insyaf atas orang punya ilmu "Tjiamie
sippattiat" — "Membentur baju, delapan belas kali terguling."
Itulah ilmu tenaga dalam yang paling sempurna. Sedikit benturan saja sudah
cukup membuatnya orang kesakitan dan rubuh. Maka berpikirlah ia lebih jauh:
"Dalam ujian ini turut ambil bagian orang kosen semacam ini, aku kuatir
kakakku tidak akan dapat merebut gelar Boe tjonggoan....."
Liok Thian Peng adalah soetee,
adik seperguruan, dari Kong Tiauw Hay, kepandaiannya berimbang dengan Tiauw Hay
sendiri. Tentu saja dia jadi sangat puas dengan kemenangannya itu, hingga dia
jadi bangga sekali. Kemudian terdengar pula seruannya kiepaykhoa: "Kiedjin
No. 14 naik ke panggung!"
Bukan kepalang girangnya In
Loei apabila ia tampak, siapa calon yang ke empat belas itu, dialah In Tiong,
kakaknya.
"Ha, In Tongnia juga
naik!" tertawa Liok Thin Peng. "Silakan tongnia keluarkan
senjatamu!"
Belum lama In Tiong masuk
dalam kalangan Gielim koen akan tetapi namanya menaik dengan cepat sekali,
hingga hampir menyamai kesohornya ketiga jago utama dari kota raja. Tentu saja,
terhadap tongnia ini, Liok Thian Peng tidak berani memandang enteng,maka itu,
ia sudah lantas loloskan cambuk lemasnya. Ia malah segera rebut tempat di
kepala di mana ia berdiri dengan siap sedia.
Cambuk lemas itu terbuat dari
rotan tua terlibat dengan urat harimau, keuletannya istimewa, dapat melibat
juga golok atau pedang. Karena In Tiong bersenjatakan golok Angmo Pootoo, dalam
tandingan, ia kalah imbangan. Baharu ia hunus goloknya, atau Liok Thian Peng
sudah mulai menyerang padanya.
Dahsyat serangan cambuk itu,
akan tetapi mengimbangi kegesitan lawan, In Tiong kelitkan diri. Nampaknya ia
akan tercambuk, tapi kesudahannya, bajunya pun tidak tersentuh. Sebaliknya ia,
dari samping, segera membalas membacok.
Liok Thian Peng benar-benar
liehay. Ia terancam bahaya tapi, dengan mudah ia egoskan tubuhnya, untuk
selanjutnya, menyambuk pula berulang-ulang tiga kali, guna mendesak lawannya,
yang pun gesit sekali, hingga tiga cambukan itu tidak memperoleh hasil. In
Tiong tidak cuma berkelit, dia pun berlompatan pesat, dan di bawah bayangan
cambuk itu, ia melakukan serangan pembalasannya.
Serangan tiga kali saling
susul dari Liok Thian Peng itu adalah serangan jurus-jurus "Kenghong
sauwlioe" atau "Angin besar menyapu pohon yanglioe," biasanya
sulit untuk orang menghindarkan diri dari bahaya itu, maka itu kagum Thian
Peng, terhadap lawannya. Ia pun mengelakkan diri dari pelbagai bacokan, sesudah
mana, lagi satu kali ia menyerang hebat, untuk melibat lengan orang. Apabila ia
berhasil, yang paling dulu akan terjadi adalah golok In Tiong mesti terlepas
dari cekalan dan terlempar.
In Tiong perdengarkan suara,
bagaikan kaget, berbareng dengan itu, tangan kirinya,yang hendak dilihat itu,
dilonjorkan lempang dan kaku, atas mana, dengan sendirinya,libatan cambuk lolos
dan cambuk lemas itu mental, tidak mendapatkan korbannya. Tapi itu belum semua,
selagi dilonjorkan, tangan In Tiong dan kepalannya, berbareng dipakai menjotos
dada lawannya!
"Bagus" teriak Liok
Thian Peng, yang kaget dan kagum. Kakinya tidak digerakkan,hanya tubuhnya
digeser sedikit, untuk melewatkan kepalan itu, menyusul mana tangan kirinya,
dengan lima jarinya, dipakai menunjuk, akan menyambuti kepalan lawan itu.
Kelihatannya kepalan dan
jari-jari tangan akan bentrok satu dengan lain, akan tetapi di saat yang
berbahaya, keduanya mundur sendirinya, diganti dengan gerakan cambuk dan golok
— cambuk bagaikan terbang, golok bagaikan menari.....
Kedua pihak nampak
merenggangkan diri tetapi sebenarnya, mereka asyik mengadu kepandaian mereka,
hingga penonton rata-rata menjadi kagum, ada yang menyaksikannya seperti
matanya kabur.
Ilmu silat "Tjiamie
Sippattiat" dari Liok Thian Peng liehay, akan tetapi, kali ini,menghadapi
ilmu silat "Taylek Kimkong Tjioe" dari In Tiong, dia repot juga.
Kelihatannya dia cuma dapat bertahan. Maka itu, dia lantas berlaku sangat
hati-hati, dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat melayani terus.
"Bagus, bagus!"
kaisar memuji berulang-ulang. Ia kagum dan girang.
In Loei sebaliknya,
berdebar-debar hatinya.
Pertempuran seru berjalan
terus, sampai kemudian In Loei lihat, gerakan kaki kedua
pihak mulai ayal.
"Kali ini umpama kata
kakak menang," pikir In Loei kemudian, "ia pasti akan jadi sangat
lelah, sedang menurut aturan pertandingan, dia mesti melayani terus lawan-lawan
baru hingga dua pertandingan, baharu ia boleh beristirahat. Jikalau tandingan
kakak yang kedua ada sebangsa Liok Thian Peng kosennya, pasti lenyaplah gelaran
Boe tjonggoan1.Sekarang masih belum ada kepastiannya.....”
Pertempuran berjalan untuk
banyak jurus, kedua pihak masih sama imbangannya,kejadian itu membuatnya kedua
pihak tegang sendirinya.
In Tiong berkemauan keras
untuk menang, ia berani melakukan penyeranganpenyerangan yang berbahaya
sekalipun untuk dirinya sendiri, setiap kalinya, pukulannya bertambah berat.
Untuk ini ia berlaku lambat dan sebat dengan tiba-tiba. Ia mainkan siasat, ia
mencari lowongan, sekalipun dengan memancing.
Liok Thian Peng lebih
berpengalaman, dia tidak membiarkan dirinya dipancing, dia berlaku tenang,
matanya pun dipasang dengan tajam.
Selagi pertandingan berjalan,
tiba-tiba tubuh In Tiong terhuyung, lalu lolos di antara cambuk, ia menyerang
dengan kedua tangannya, golok di tangan kanan, kepalan di sebelah kiri.
"Bagus!" seru Liok
Thian Peng atas serangan tiba-tiba itu. Ia berkelit dari kepalan dan menangkis
golok, sesudah mana, ia pun membalas, yaitu ia membarengi, meneruskan gerakan
cambuknya, yang ia pakai menyerang membalas.
Hampir In Loei keluarkan
seruan karena menyaksikan saat yang sangat berbahaya itu,atau segera ia dengar
jeritan "aduh!" dari Liok Thian Peng. Ia pun belum melihat nyata atau
ia saksikan Thian Peng rubuh, cambuknya terlempar, tubuhnya terguling di atas
panggung.
Dengan tibanya serangan
membalas itu, tiba-tiba Thian Peng merasakan lengannya tertusuk jarum yang
sakit rasanya. Tentu saja ia menjadi sangat kaget, apapula pada saat itu,
serangan In Tiong datang menyusul. Tak ada jalan lain, sambil melepaskan
cambuknya, ia buang dirinya ke panggung, guna berkelit dari serangan Kimkong
tjioe yang dahsyat. Selagi bergulingan, di dalam hatinya, ia kata: "Hm!
Kiranya di tangan bocah ini masih ada senjata rahasianya! Kecewa aku
terpedaya!" Tapi ia bungkam.
Di dalam pieboe itu tidak
disebutkan larangan menggunakan senjata rahasia. Tentu saja, ia pun
tidak ketahui, penyerang
dengan jarum rahasia itu bukannya In Tiong.
Di bawah panggung, In Loei
heran. Di atas panggung, In Tiong tidak kurang herannya kenapa lawannya itu
rubuh sedang serangannya belum lagi mengenal sasarannya.
Dengan begitu, selesailah
sudah pertempuran itu, maka kembalilah kiepaykhoa dengan tugasnya,
memperdengarkan suaranya seperti biasa: "Kiedjin ke lima belas, Thio Tan
Hong, naik ke panggung! Penanggungnya Thio Hong Hoe, Tjongkauwtauw dari Gielim
koen merangkap Tjiehoei
dari Kimie wie!"
In Loei mendengar nyata, ia
menjadi kaget hingga semangatnya bagaikan terbang pergi. Ia berdiri menjublak.
Ia heran bukan main. Kenapa Thio Tan Hong juga turut dalam ujian? Kenapa Thio
Tan Hong hendak perebutkan gelar Boe tjonggoan dengan kakaknya itu?
-ooo00dw00ooo
Thio Tan Hong lompat naik ke
atas panggung dengan sikap yang tenang dan wajah berseri-seri. Seperti
biasanya, dia dandan dengan pakaian putih, pun ikat kepalanya putih juga.
Sepatunya adalah sepatu yang enteng. Indah gerakannya ketika tubuhnya mencelat
ke atas panggung Ioeitay, bagaikan "pohon kemala ditiup angin" atau
"bunga lay beterbangan antara salju." Dia pun muda dan cakap
romannya, halus gerak-geriknya.
Para kiedjin bersorak, waktu
mereka menyaksikan munculnya saingan ini.
"Sungguh satu pemuda yang
cakap!" raja memuji setelah menyaksikan kiedjin No. 15 ini. Hingga ia
berkata kepada Kong Tiauw Hay: "Orang ini sepantasnya turut dalam ujian
Boen tjonggoan....."
"Ya," sahut Kong
Tiauw Hay, acuh tak acuh, sebab kedua matanya sedang menatap Thio Tan Hong.
Terang nampaknya, dia heran atau curiga.....”
Sesampainya di atas panggung,
Tan Hong tidak segera tantang In Tiong, dia hanya memandang sekelebatan,
menyapu dari kaisar sampai kepada yang lainnya.
Terkejut Kaisar Kie Tin ketika
sinar matanya bentrok dengan sinar mata Tan Hong,tanpa merasa, ia bergidik
sendirinya. Kaisar ini heran sekali, orang ada demikian lemah lembut, kenapa
matanya tajam sekali, pada sinarnya seperti berbayang "hawa
pembunuhan." Tentu sekali raja ini tidak tahu, leluhur Thio Tan Hong
adalah musuh besar dari leluhurnya sendiri — musuh dalam perebutan negara.
Munculnya Tan Hong tidak hanya
mengejutkan In Loei seorang. Ie Kiam dan In Tiong juga tak Menyangkanya sama
sekali. Ie Kokioo berpikir: "Tan Hong adalah seorang luar biasa, telah
berulang kali aku menganjurkan dia bekerja untuk pemerintah, untuk itu bersedia
aku menanggung dia dengan rumah tanggaku, dengan jiwaku, dia senantiasa
menampiknya, kenapa sekarang dia muncul di sini hendak memperebutkan segala
gelar Boe tjonggoan?"
In Tiong sebaliknya berpikir:
"Binatang ini adalah pengchianat yang bekerja untuk bangsa Watzu, kenapa
dia datang untuk perebutkan gelaran Boe tjonggoan denganku? Apa tidak baik
jikalau aku beber saja rahasianya? Tapi dia ditanggung oleh Thio Hong Hoe,
pemimpinku, bagaimana?" Karena ini, terpaksa ia bungkam, ia cuma telan
sendiri kemendeluannya.
Tak berayal lagi, Thio Tan
Hong menghadap In Tiong. Ia bersenyum lebar dengan tangannya di gagang pedang.
Dengan dalam ia menjura, terus ia berkata dengan hormat:
"Saudara In, aku mohon
belas kasihanmu.....”
In Tiong gusar bukan kepalang,
kedua matanya sampai bersinar bagaikan api menyala, akan tetapi dia berada di
atas panggung, dia mesti kendalikan dirinya, dia harus mengindahkan adat
istiadat, maka itu, dia pun membalas menghormat sambil menjura, cuma waktu dia
buka suara, walaupun perlahan, dia kata: "Hari ini jikalau bukannya kau
yang mati, aku yang mampus!"
Akan tetapi Tan Hong tertawa.
"Itulah tak usah!.....”
katanya, sabar.
Belum orang menutup mulutnya,
In Tiong sudah mulai menyerang. Setelah mereka satu pada lain memberi hormat,
tak perlu lagi mereka main hormat-hormatan terlebih jauh. Gerakkannya adalah
"Kwahouw tengsan," atau "Menunggang harimau mendak gunung."
In Loei telah menyaksikan itu,
tanpa merasa, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
Ia berkuatir tak terkira.
Di atas panggung, Tan Hong
telah perdengarkan seruannya, "Bagus!" lalu tubuhnya bergerak,
mengegos dari bacokan In Tiong, atas mana, In Tiong, menyusul dengan bacokan lagi
dari samping. Ia jadi penasaran karena bacokannya yang pertama itu dengan mudah
dapat dielakkan lawan.
Kali ini Tan Hong mencoba
tenaga orang, ketika ia melewatkan bacokan itu, ia bentur lengan pemuda she In
itu, hingga terjadilah satu peraduan tangan yang keras. Ia pakai tangan kanan,
In Tiong tangan kiri.
"Nyata Taylek Kimkong
Tjioe dari Toasoepee bukan nama belaka!" kata Tan Hong dalam hatinya
setelah benturan itu, terus saja ia balas menikam.
"Bagus!" seru In
Tiong tanpa disengaja ketika ia berhasil mengelakan diri dari tikaman yang
berbahaya itu. Ia juga kagumi liehaynya lawan ini.
Kedua pihak bertempur dengan
hati-hati, apa-pula In Tiong, yang tahu pedang lawan adalah pedang mustika dan
goloknya, walaupun tajam, tak akan sanggup melawan pedang itu. Ia tidak
membiarkan goloknya dipapas, sedang ia sendiri, ia selalu menahas pedang lawan
dari samping.
Kedua pihak, berlaku
hati-hati, tapi kedua pihak pun saling menyerang secara hebat.
Sesudah pertempuran berjalan
sekian lama, tiba-tiba Tan Hong merubah gerak-geriknya. Satu kali ia berseru
panjang, lalu tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan, kekiri dan kanan, hingga
In Tiong seperti dikurung musuh-musuh diempat penjuru.
Menghadapi musuh demikian
gesit, In Tiong pernahkan diri di tengah-tengah. Ia berputar ke mana lawan
berkelebat, ia menangkis sambil membalas membacok. Ia telah mencoba, akan
menahas kutung pedang lawan, tapi belum pernah ia berhasil. Ia berlaku sangat
cepat, tapi lawan lebih cepat pula. Bagaikan capung menyambar air, demikian
samberan Tan Hong dan lewatlah tubuhnya pesat sekali.
Sepasang alis kaisar bangun
ketika menyaksikan pertempuran setelah tujuh puluh jurus.
"Bagus! Bagus!"
pujinya berulang-ulang.
In Loei kagum, tetapi
kekuatirannya menjadi lebih besar. Ia takut kalau-kalau Tan Hong melukai In
Tiong, ia kuatir saudaranya nanti melukai mahasiswa itu.....
Di mata banyak penonton, kedua
pemuda itu setanding, tetapi di mata In Loei,keadaan ada sebaliknya. In Tiong
gagah tetapi ia tetap kalah gesit, kalah mantap daripada Tan Hong. Tubuh si
mahasiswa, juga pedangnya, bergerak dengan terlebih bebas. In Loei sering
bertempur melawan musuh bersama Tan Hong, ia tahu baik tentang liehaynya pemuda
ini. Adalah kemudian, lega juga hati si nona. Ia merasa bahwa Tan Hong
mempunyai belas kasihan
terhadap kakaknya itu.....
Ie Kiam pun berkuatir, hingga
membuka mulutnya. Ia seperti berbicara sendiri, seperti mengatakan pada In
Loei. Katanya: "Kalau dua ekor harimau berkelahi salah satu mesti
terluka..... Apakah perlunya itu? Apakah perlunya itu?.....”
Tapi pertandingan ini resmi,
siapa juga tidak berhak untuk menghentikannya.
In Tiong telah mengerahkan
seluruh kepandaiannya, tapi ia hanya dapat bertanding seri terhadap lawan itu,
dengan sendirinya, hatinya menjadi tegang. Ia pun baru saja berkutat
mati-matian dengan Liok Thian Peng, hingga ia merasa letih bukan main. Maka
pada akhirnya, ia menjadi lelah sendirinya.
Aneh sikap Tan Hong terlebih
jauh. Satu kali agaknya ia peroleh lowongan, lalu ia lepaskan itu, ia
sebaliknya bagaikan terancam golok In Tiong. Beberapa kali hal ini terjadi,In
Tiong lantas menduga, bahwa Tan Hong tidak berniat mengalahkannya. Tapi hal ini
membuatnya ia menjadi panas hati, ia tidak puas.....
Bertempur lebih jauh, In Tiong
berlaku telengas.
Goloknya, di tangan kanan, dan
kepalan kirinya mendesak terus hingga tiga kali beruntun. Ia mendesak begitu
rupa , hingga Tan Hong mesti mundur. Kemudian, sambil lompat mutar, ia mundur
teratur, agaknya desakan itu tidak memberi hasil.
Tan Hong tertawa di dalam
hatinya.
"Kau hendak gunakan akal,
siapa sudi terkena tipumu?" kata mahasiswa ini. Ia segera gunakan akal
untuk melawan akal. Ialah ia maju, untuk menyusul.
Justeru itu, mendadak In Tiong
lompat mutar pula, tangan kirinya turut bergerak,melemparkan tujuh butir
senjata rahasia Thielian tjie, semacam biji teratai besi, yang semuanya menuju
keberbagai anggota berbahaya dari si pemuda she Thio. Itulah senjata rahasia
Hian Kee Itsoe.
Itulah serangan sangat
berbahaya, para penonton menjadi terkejut.
Menyusul serangan teratai besi
itu, terdengar suara bentrokan nyaring, lalu sirap,hingga orang menjadi heran,
cuma In Tiong yang hatinya gentar, sebab ia tahu, serangan itu telah digagalkan
lawan. Malah ia menduga juga, senjata rahasia yang dipakai menentanginya adalah
sebangsa jarum, yang kecil sekali, hingga heranlah ia, kenapa senjata halus itu
dapat melemahkan bijih-bijih besi yang jauh terlebih berat. Lain dari
itu,senjata Tan Hong ini membuatnya In Tiong ingat kejadian tadi sewaktu ia
bertanding dengan Liok Thian Peng.
Tadi ketika berhadapan dengan
Thian Peng, In Tiong tahu benar mereka berdua sudah menghadapi jalan buntu, ia
mesti celaka, demikian juga Thian Peng, akan tetapi pada saat terakhir, Thian
Peng rubuh tanpa sesuatu sebab. Tidak mengerti In Tiong, kenapa lawannya itu
kalah tanpa alasan apa-apa. Tapi sekarang, melihat senjata rahasia Tan Hong,
segera ia mengerti, ia sadar. Teranglah sudah, tadi Tan Hong telah menyerang
Thian Peng secara diam-diam. Maka bingunglah ia kenapa "musuhnya" —
"musuh besar" — telah membantu ia secara diam-diam itu.
Pada saat itu, In Tiong jadi
merasa malu berbareng bersyukur. Malu karena serangannya itu gagal, bersyukur
sebab "musuh" telah membantu padanya, telah menolong ia dari ancaman
bahaya besar. Sebaliknya, ia juga mendongkol, karena musuh itu sangat tanggu
dan tak dapat dirubuhkan.
Selagi In Tiong diliputi
pelbagai perasaan itu, tiba-tiba terdengar suara Tan Hong.
"Lihat pedang!" seru
pemuda she Thio itu sambil tertawa, lalu pedangnya berkelebat,bersinar di muka
orang she In itu.
In Tiong masih sadar akan
dirinya, maka dengan sebat ia tangkis tikaman itu, setelah mana, ia melakukan
pembalasan. Ia terpaksa membalas, sebab setelah tikaman itu, Tan Hong
mengulanginya, hingga dia mesti dilayani terus.
In Tiong berpikir, baik atau
tidak ia serahkan saja gelar Boe tjonggoan kepada Tan Hong, karena pertempuran
mereka ini luar biasa dahsyatnya. Kalau ia mengalah, bahaya sudah tidak ada.
Tapi ia didesak, ia jadi berpikir lain. Semuanya terjadi dalam sekejap itu.
Tidak banyak waktu untuk berpikir
lama-lama. Maka, setelah satu tangkisan tangan kiri disusul dengan bacokan
tangan kanan, dengan goloknya, ia memikir untuk menggunakan serangan
"Pengin liatsek" atau "Awan buyar, batu gempur."
"Jangan!" tiba-tiba
terdengar suaranya Tan Hong, perlahan. "Lekas gunakan Samyang
kaytay....."
Tanpa merasa, In Tiong ubah
serangannya, lalu tiga kali beruntun ia memberikan bacokan. Benar saja, ia
telah menggunakan tipu silat yang disebutkan pemuda she Thio itu.
Tan Hong menutup dirinya
dengan tipu silat "Pathong hongie" — "Hujan angin di delapan
penjuru," tetapi percuma saja, pembelaannya dapat dipecahkan, hingga ia
jadi terdesak, kalau tadi ia menjadi penyerang, sekarang ia berbalik menjadi
orang yang diserang, karenanya, ia perdengarkan jeritan terancam bahaya.
In Tiong lanjutkan desakannya,
ia membuat Tan Hong mundur terus, sampai di pinggir panggung di mana sudah tak
terdapat tempat lagi untuk mundur lebih jauh, di saat itu tiba-tiba pemuda she
Thio itu mencelat tinggi, ia apungkan dirinya, berjumpalitan, hingga di lain
saat, ia telah berada di bawah panggung! Tubuhnya itu telah melayang bagaikan
layangan putus.....
Bergemuruhlah suara di bawah
panggung, sebab pieboe telah berakhir untuk kekalahannya Thio Tan Hong dan
kemenangannya In Tiong. Semua orang puji In Tiong dengan jurusnya yang terakhir
itu,"Samyang kaytay," — "Selamat tahun baru"
Di antara semua penonton, cuma
In Loei yang bernapas lega, yang ketahui kemenangan In Tiong itu, sebab Thio
Tan Hong bukannya kalah, hanya mengalah.
Adalah maksud Tan Hong turut
dalam pieboe, bukan untuk merebut kemenangan,bukan untuk menjadi Boe tjonggoan,
hanya guna membantu In Tiong, supaya In Tiong dapat menjadi tjonggoan militer,
supaya In Tiong berhasil dengan angan-angannya mencari kedudukan tinggi guna
nanti mencapai cita-citanya.
Tan Hong mengetahui, dua
saudara seperguruan dari Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay turut dalam ujian
militer itu. Inilah berbahaya untuk In Tiong sekalipun ia ketahui kepandaian In
Tiong dibanding dengan dua saudara seperguruan dari Tiauw Hay itu berimbang.
Bahayanya ialah kalau In Tiong mesti bergantian melayani dua musuh tanggu itu,
sedang di lain pihak, masih ada beberapa calon lainnya yang tak kurang
berbahayanya. Maka ia paksa pernahkan dirinya dalam keadaan berbahaya itu, guna
secara diam-diam membantui In Tiong, agar orang she In ini dapat memastikan
kemenangannya. Untuk ini, Tan Hong dapat bantuannya Thio Hong Hoe, yang menjadi
orang penanggungnya.
Bahwa In Tiong sampai sebegitu
jauh tidak ketahui Tan Hong turut dalam ujian itulah karena, dalam ujian-ujian
pertama, mereka dipisahkan rombongannya, hingga baharulah di babak ini mereka
diberikan ketika untuk berhadapan satu pada lain.
Kemarinnya, dalam ujian
pertama, Tan Hong telah merubuhkan tiga calon yang liehay,yaitu pertama satu
soeheng lainnya dari Kong Tiauw Hay, kedua ahli silat Kimkauw Gouwhong, dan
ketiga pahlawan istana Lou Liang. Ini pun membantu meringankan In Tiong untuk
memasuki babak terakhir. Pada akhirnya, Tan Hong membantu ia merubuhkan Liok
Thian Peng, sesudah mana, ia maju sendiri, ia berpura-pura kalah
sesudah mengajari In Tiong
bagaimana ia harus mendesak padanya.....
Begitu rupa Tan Hong telah
bertindak, sehingga Thio Hong Hoe dan Ie Kiam tidak mengetahui maksud yang
disembunyikan itu.
Tetapi ini tidak berarti Tan
Hong tidak menghadapi ancaman malapetaka.
In Tiong melengak atas
kemenangannya itu. Ia berpikir keras karena kemenangan yang tidak wajar itu,
walaupun tidak ada satu orang jua yang mengetahuinya. Tengah ia berdiri diam,
gemuruhlah seluruh tanah lapang itu. Lalu, di saat ia masih belum ingat untuk
mengundurkan diri, guna beristirahat, ia dengar satu teriakan dari panggung
muka: "Lekas tangkap pemberontak! Lekas tangkap pemberontak!"
In Loei kaget mendengar suara
itu, In Tiong pun tak terkecuali, hingga ia jadi sadar.
Di panggung muka itu, ialah
panggung untuk kaisar menyaksikan pieboe, Kong Tiauw Hay perdengarkan suara
nyaring berulang-ulang. Dia berteriak-teriak menitahkan pasukan raja menangkap
Thio Tan Hong.
Ketika dua soesiok, atau paman
guru, dari Kong Tiauw Hay dikalahkan Tan Hong dan In Loei di selat Tjengliong
Kiap, maka kedua orang itu — ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan Samhoa
Kiam Hian Leng Tjoe — sudah lari pulang ke kota raja. Mereka ini telah bertemu
dengan Kong Tiauw Hay, lalu mereka tuturkan tentang Tan Hong dan In
Loei,terutama mereka lukiskan tegas roman Tan Hong. Tiauw Hay sangat perhatikan
keterangan kedua guru itu,
maka sekarang melihat Tan Hong, ia segera dapat mengetahui tidak peduli kedua
paman gurunya tak turut menyaksikan pieboe itu. Sekian lama ia telah mengawasi
Tan Hong, selama itu ia telah mengambil keputusannya, "lebih baik keliru
menangkap orang daripada meloloskannya," maka juga, habis pieboe, ia maju
kemuka panggung dan berikan titahnya itu.
Semua orang menjadi heran,
gemuruh pun lenyaplah. Barisan Gielim koen tidak kurang herannya. Dalam
kesunyian setelah teriakan-teriakan Kong Tiauw Hay itu, menyusullan suara
tertawa yang tajam dar nyaring, lalu tampaklah Thin Tan Hong lari ke muka — ke
panggung muka — panggung kaisar, di atas mana Tiauw Hay tengah menuding kepada
pemberontak yang ia titahkan menawannya.
Tayiwee Tjongkoan itu tak
dapat berteriak lebih jauh, begitu lekas Thio Tan Hong lari sampai di muka
panggung, dia pun menjerit keras, tubuhnya terus terguling, jatuh ke bawah
panggung. Karena Tan Hong tidak mau membiarkan orang pentang terus bacotnya,
dia telah menghadiahkan hoeitjiam, senjata rahasia jarum yang liehay.
Kembali orang kaget, mereka
menjadi gempar. Semua pahlawan lantas lari maju, untuk memburu. Sekarang mereka
tahu pasti, siapa yang dimaksudkan sebagai si pemberontak yang mesti ditawan
itu.
Tengah orang berlari-lari, di
antara suasana kacau itu, Thio Tan Hong segera perdengarkan suitan mulut yang
panjang, menyusul mana, dari satu jurusan datanglah kuda Tjiauwya saytjoe ma
yang larinya sangat pesat, menuju ke arah majikannya.
Thio Tan Hong lantas
perdengarkan tertawa berkakakan. Dengan satu enjotan,tubuhnya sudah mencelat
naik di bebokong kudanya, sesudah mana, ia mainkan pedangnya secara liehay.
Sebab waktu itu, kecuali serdadu-serdadu yang memburu, anak-anak panah juga
sudah datang saling sambar, maka anak panah itu mesti ditangkis,disampok jatuh,
supaya tidak mengenai sasarannya.
Tjiauwya saytjoe ma lari pesat
sekali keluar lapangan tanpa ada yang bisa mencegah!
Ong Tjin jadi sangat
mendongkol, hingga tubuhnya gemetar.
"Celaka betul!"
teriaknya. "Lekas tawan si penanggung jawab, Thio Hong Hoe!" demikian
ia berikan titahnya.
"Tunggu dulu!"
tiba-tiba terdengar raja mencegah. "Coba tanya dulu Kong Tiauw
Hay,bagaimana duduknya perkara!"
Raja memang tidak mengetahui
duduknya perkara itu.
Kong Tiauw Hay adalah seorang
gagah, akan tetapi sekarang dia seperti tak berdaya.
Saking sakitnya, dia rubuh
dari atas panggung. Hoeitjiam tidak meminta jiwanya, akan tetapi jarum itu yang
membuat jalan darahnya terganggu dan beberapa uratnya terluka.
Untuk menolong dirinya,
terlebih dahulu harus dicabut jarum rahasianya dengan kekuatan besi berani.
Tapi ia tanggu, dan jatuhnya pun tidak membikin ia terluka parah, maka ia
berbangkit, lalu dengan timpang ia bertindak mendaki panggung, untuk
menghampiri raja.
"Kau kenapa?" tanya
kaisar.
Tidak berani Kong Tiauw Hay
bicara terus terang, ia malu, ia mesti lindungi namabaiknya.
"Oleh karena kesusu
hendak menawan pemberontak, budakmu telah terjeblos jatuh di pinggir
panggung.....” demikian ia menjawab junjungannya itu.
Kong Tiauw Hay adalah Tayiwee
Tjongkoan, dengan diam-diam ia bersaingan dengan Thio Hong Hoe, kepala Gielim
koen, komandan Kimie wie. Ia ingin rebut nama sebagai orang kosen nomor satu
untuk kota raja. Tentu saja ia akan merasa malu kalau orang mengetahui ia rubuh
di tangan orang sebawahannya Thio Hong Hoe itu. Bukankah Tan Hong pun tak
dikenal ?
Mendengar jawaban tjongkoan
itu, kaisar tertawa.
"Apakah Thio Tan Hong itu
benar-benar pemberontak?" tanya pula junjungan ini.
"Benar," sahut
tjongkoan itu. "Dia pernah melukai Taytongnia Thio Hong Hoe dari Gielim
koen, dia pernah merampas persakitan utama dari tangan Thio Hong Hoe, yaitu
putera pengkhianat pemberontak Tjioe Kian! Bukankah Thio Hong Hoe pernah
melaporkannya semua kejadian itu? Si perampas persakitan utama itu adalah Thio
Tan Hong!"
Tanpa pikir panjang lagi,
mengikuti kemendongkolannya, Kong Tiauw Hay telah mengucapkan kata-katanya itu.
Dengan begitu juga hendak ia lindungi nama baik kedua paman gurunya yang telah
dipecundangkan Tan Hong. Dengan begitu ia tumpahkan kesalahan atas diri Hong
Hoe.
Mendengar jawaban itu, raja
tertawa berkakakan.
"Aykeng, kau telah
membuat kekeliruan!" kata raja ini. Ia memanggil "aykeng"
"hambaku yang disayang" kepada tjongkoan-nya itu.
"Jikalau Thio Tan Hong
itu pernah melukai Thio Hong Hoe, cara bagaimana sekarang Thio Hong Hoe
kesudian menjadi penanggung atas dirinya? Aku lihat Thio Tan Hong itu meski
benar dia kena dikalahkan In Tongnia, tidak lemah ilmu silatnya. Dia mempunyai
roman yang baik, tenaganya juga dapat dipakai. Sayang kau menyebabkan dia
menyingkirkan diri. Sekarang pergilah kau cari dia, untuk mengajak dia pulang,
jangan
kau membuat dia ketakutan
terus menerus!"
Kaisar Kie Tin ini, walaupun
setiap hari dia dipengaruhi Ong Tjin, belum dapat dikatakan dia kaisar dungu,
malah dia sebenarnya gemar juga memperlihatkan kecerdasannya. Demikian kali
ini, dia anggap pandangannya jauh terlebih sadar daripada Kong Tiauw Hay, maka
dia bergurau dengan hambanya itu, habis mana, dia menjadi puas sekali, dia
anggap Kong Tiauw Hay tolol, telah mencari kepusingan sendiri.
Thio Hong Hoe telah mendengar
semua, dia keluarkan keringat dingin. Dia girang sekali yang raja tidak
memperpanjang kejadian itu, kalau tidak, bisa sulit kedudukannya.
Habis kekacauan itu, pieboe
dilanjutkan pula. In Tiong telah menangkan dua kali, dia dapat hak untuk masuk
dalam babak terakhir, karenanya, dia boleh beristirahat.
Dengan majunya Tan Hong
sebagai calon ke lima belas, masih ada sembilan calon lagi.
Sudah diterangkan, cuma ada
dua puluh empat calon yang berhak pieboe di atas ioeitay.
Pertandingan dilanjutkan
antara sembilan calon itu, kesudahannya ada satu orang, yang beruntung menang
dua kali beruntun. Dia adalah Hoan Tjoen, salah satu dari tiga jago dikota raja
Kengsoe samtoa kotjioe. Dialah adik kandung dari Hoan Tiong, itu Gietjian
siewie, kepandaiannya Hoan Tiong yang mengajarkan. Dibanding dengan In Tiong,
dia masih beda jauh, maka itu, sebelum pertandingan berakhir, belum sampai tiga
puluh
jurus, dia telah dirubuhkan In
Tiong.
Kembali terdengar suara
gemuruh diseluruh lapangan. Sebagai penghormatan, In Tiong dikerebongi mantel
sendiri oleh kaisar, yang mengumumkan dia adalah Boe tjonggoan.
In Loei girang tak terhingga.
Begitu pulang ke gedung Ie Kiam, dia nanti-nantikan In Tiong peroleh sesuatu
jabatan, untuk In Tiong pindah keluar dari istana. Waktu itu dia berpikir akan
minta bantuannya Thio Hong Hoe, supaya mereka dua saudara, kakak dan adik,
diperkenalkan, dipertemukan satu dengan lain. Tapi, beberapa hari telah
berselang,kabar yang ditunggu-tunggu itu tidak juga kunjung tiba, hingga,
selainnya In Loei, Ie Kiam juga turut merasa heran.
Menurut kebiasaan, siapa sudah
diangkat jadi boe tjonggoan, sedikitnya dia akan diangkat menjadi tjiangkoen,
jenderal, dia akan diberikan satu gedung tersendiri untuknya, jadi tidak usah
dia berasrama lagi di dalam istana. Maka kali ini, sia-sia saja orang
menantikan pengumuman dari kaisar tentang pengangkatan boe tjonggoan itu.
Inilah kejadian yang langka.
Ie Kiam menjadi bingung juga
meski benar ia ada satu menteri, di dalam hal pemberian pangkat atau gelar atau
hadiah, dia tidak punya hak untuk mencampurinya.
In Tiong sendiri, setelah
kemenangannya itu, terus terbenam dalam keragu-raguan,hingga ketika ramai orang
memberi selamat, sama sekali ia tidak pernah tertawa. Ia kembali ke asrama,
tetap ia menjadi pahlawan, kalau malam, masih ia bertugas meronda keraton.
Di dalam istana terdapat batas
di antara istana dan keraton. Keraton adalah istana bahagian dalam. Dan
bahagian In Tiong adalah keraton, yang disebut iweeteng,perdalaman.
Ketika ia kembali ke
asramanya, dia lantas keram diri di dalam kamarnya, beberapa rekannya telah datang
untuk memberi selamat, tetapi ia tidak mau menemuinya. Karena sikapnya ini, ada
rekannya yang menganggap dia jadi angkuh dan kepala besar, tapi ada juga yang
mengerti dan percaya bahwa dia sangat letih hingga dia perlu beristirahat.
Hanya anehnya, sejak hari
kemenangan itu, In Tiong lantas saja menjadi seorang yang pendiam, tidak lagi
dia bergembira seperti biasa, malah dia nampaknya tak tenang. Ini pun sebabnya
kenapa dia keram diri di dalam kamar.
Cuma In Tiong sendiri yang
ketahui kenapa ia bawa sikap yang luar biasa ini. Ia tahu,Boe tjonggoan itu ia
dapatkan bukan karena kepandaiannya, ia hanya seperti dihadiahkan Thio Tan
Hong, yang telah mengalah terhadapnya, hal ini membuatnya ia merasa malu
sendiri. Tidakkah ia diberi hadiah oleh "musuh?" Tapi, gelar itu
telah ia dapatkan, mustahil kalau ia kembalikan kepada Kaisar. Karena ini, ia
jadi berpikir keras, makin ia berpikir,makin ruwet pikirannya. Demikian dalam
keadaan bimbang dan berduka itu, tiba-tiba satu thaykam kecil datang padanya,
mengetok pintu kamarnya, sambil berkata bahwa kaisar memanggil ia.
In Tiong terkejut berbareng
girang. Dengan lekas ia salin pakaian, terus ia ikut thaykam itu, melintasi
lorong yang panjang, sampai di pendopo Boenhoa thian di mana terdapat giesie
pong, kantor kaisar.
Dalam kantor itu, yang apinya
dipasang terang-terang tampak raja duduk seorang diri.
Melihat datangnya Boe
tjonggoan, raja memberi tanda kepada thaykam untuk mengundurkan diri sambil
menutup pintu kamar.
"Liehay keng punya ilmu
silat, keng telah menjagoi di kolong langit ini, maka keng harus bergembira,
seharusnya keng diberi selamat!" kata raja sambil tertawa. Dan ia beri
selamatnya.
Muka In Tiong menjadi merah.
"Terima kasih untuk
pujian Sri Baginda," kata ia, dengan likat. "Untuk budi Sri Baginda
ini, walaupun hancur lebur tubuh sin, tidak dapat sin membalasnya."Dengan
kata "sin," In Tiong membahasakan dirinya "hambamu."
Kaisar awasi tjonggoan baru
ini. "Sebenarnya keng asai mana?" ia tanya. ("Keng" adalah
kata hormat seperti "kau" atau "kamu" untuk menteri.)
In Tiong bersangsi ketika ia
menyahuti: "Leluhur sin berasal dari Kayhong dipropinsi Hoolam." Mata
kaisar bagaikan terbalik, ia menatap pula. "Kalau begitu," kata raja
dengan sekonyong-konyong, "keng berasal dari satu kampung dan satu she dengan
menteri In Tjeng dari pemerintah yang terdahulu. Pernah apakah keng dengan In
Tjeng itu?"
Terharu In Tiong, hingga
lantas saja ia bertekuk lutut.
'In Kimsoe adalah sin empunya
kakek," sahut ia. Ia menyebutnya "kimsoe" — "utusan
kaisar" — terhadap engkong-nya itu.
Sekian lama In Tiong
sembunyikan diri sebagai turunan dari In Tjeng, yang dipandang sebagai
"menteri yang berdosa," tidak berani ia memberitahukan itu kepada
siapa juga,tetapi sekarang, ditanya raja, tidak berani ia mendusta.
Raja pun terkejut, wajahnya
sampai berubah. "In Tjonggoan, adakah keng mengandung rasa benci terhadap
tim?" dia tanya. ("Tim" adalah istilah raja membahasakan dirinya
sendiri selagi bicara dengan menterinya.)
In Tiong merasa hatinya sakit
bagaikan disayat-sayat.
"Kakek sin itu sangat
setia terhadap negaranya, maka itu sin mohon semoga Baginda suka mencuci bersih
noda atas namanya itu," ia mohon. Setelah mengucap demikian, air matanya
segera bercucuran.
Raja tidak mengeluarkan air
mata akan tetapi ia berpura-pura menyusut matanya."Kakekmu itu setia,
inilah tim ketahui," ia kata. "Dalam hal tim menghadiahkan ia
kematian, itulah sebenarnya bukan kehendak tim sendiri....."
In Tiong heran, ia angkat
kepalanya akan mengawasi kaisar.
"Hanya," kaisar
lantas menambahkan, "untuk tim mencuci noda kakekmu itu, guna memulihkan
kehormatannya, haruslah ditunggu lain hari.....”
Benar-benar, kaisar ini bukan
kaisar tolol, dia tidak berdaya karena sejak kecil dia selalu dikekang Ong
Tjin, hingga dia tak dapat berdiri sendiri. Pernah dia memikirnya,berulangkah,
untuk merampas kembali kekuasaan, haknya sebagai kepala pemerintahan,tetapi
pengaruh Ong Tjin besar sekali, hingga dia merasa sulit. Maka tidak ada lain
jalan daripada bertindak dengan perlahan-lahan, untuk ini, dia juga perlu
mengumpulkan tenaga-tenaga pembantu, akan mengimbangi kekuatan kawannya si
dorna kebiri.
Sekarang dia lihat In Tiong
setia, dan In Tiong kebetulan bermusuh dengan Ong Tjin,orang semacam In Tiong
inilah yang sedang dicari.
In Tiong sementara itu sedang
menangis tersedu-sedu mengetahui kakeknya telah menjadi korbannya Ong Tjin,
tidak peduli dihadapan raja tidak dapat ia kuatkan hati lagi.
Sekarang telah berubah
pandangannya, maka ia mengambil keputusan akan bekerja untuk raja ini, supaya
ia dapat membantu menyingkirkan dorna .
Raja mengawasi Boe tjonggoan
itu, ia tunggu sampai orang menyeka kering air matanya, lalu ia bersenyum dan
berkata: "Keng, janganlah kau terburu napsu, kau mesti bersabar, sekarang
ini belum sampai ketikanya hingga tak dapat kita menggeprak rumput membikin
ular kaget.....”
"Jikalau diperkenankan
Sri Baginda," In Tiong lantas minta, "sin mohon diberikan tugas di
tapal batas, untuk sin memimpin suatu pasukan, supaya bila dikemudian hari tiba
saatnya untuk berperang, sin nanti bisa Mengumpulkan pasukan-pasukan yang
bersetia kepada Sri Baginda. Bila sin mempunyai kekuasaan ketentaraan,
sesudahnya memukul mundur angkatan perang Watzu, sin akan segera pulang ke
dalam negeri untuk menyapu bersih kawanan dorna!"
Raja bersenyum pula.
"Tindakan itu pun harus
dilakukan dengan sabar," kata dia.
Mendengar ini, In Tiong
menjadi lesu. Ketika ia pandang kaisar, raja itu sedang mengawasi dia. Kaisar
sudah lantas tertawa.
"Bukankah boe kiedjin
yang tadi bertanding dengan kau bernama Thio Tan Hong?" raja ini tanya.
"Tim lihat ilmu silatnya tak dapat dicela!"
In Tiong merasakan mukanya
panas, hatinya pun berdebar. Ia kertek giginya, untuk dapat menguasai diri.
"Harap Sri Baginda
mengetahui," dia berkata, "ilmu silat Thio Tan Hong itu sebenarnya
berada di atasan sin. Gelar Soe tjonggoan ini pun aku peroleh karena dia
mengalah dan memberikannya kepada sin."
Kalau tadinya ia merasa tidak
tenang, setelah mengucapkan kata-katanya yang terachir ini, hati In Tiong
menjadi lega.
Wajah raja sedikit berubah
setelah mendengarkan perkataan tjonggoan itu. Tiba-tiba dia tertawa pula sambil
terus mengatakan: "Keng benar jujur! Sebenarnya, tanpa kau mengatakannya,
itu sudah dapat dilihat.....”
In Tiong terperanjat, ia
heran.
"Raja tinggal di dalam
istana, dia tentunya tidak mengerti ilmu silat, ia sekarang ketahui Tan Hong
mengalah, inilah aneh," pikirnya. "Sekalipun ahli-ahli silat di
sekitar Ioeitay tidak ada yang sadar akan peranan Tan Hong itu....."
Benar-benar boe tjonggoan itu
tak mengerti.
"Tahukan kau, orang macam
apa Thio Tan Hong itu?" tanya pula raja kemudian.
"Tentang ini justeru sin
hendak menuturkan kepada Sri Baginda," jawab In Tiong. "Thio Tan Hong
adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, menteri muda dari negara Watzu. Dia sekarang
melusup masuk ke dalam negeri kita, sin kuatir dia mengandung maksud yang tidak
baik.....”
Raja agaknya heran.
"Apa, dia puteranya Thio
Tjong Tjioe?" dia ulangi.
"Ya," In Tiong
pastikan. "Mengenai dia, mungkin Thio Hong Hoe belum tahu jelas,cuma
karena melihat dia pandai silat, maka Hong Hoe berikan pertanggungannya. Thio
Tongnia setia, sin mohon dia tidak dicurigai."
"Siapa tidak bersalah,
dia tidak dapat dipersalahkan," kata raja. "Tentang kecurigaan,ah,
sebenarnya tim tidak mencurigai Thio Hong Hoe....."
In Tiong terperanjat, wajahnya
sampai pucat.
"Thio Tan Hong mengalah,
dia serahkan gelar Boe tjonggoan kepada sin, tidaklah mengherankan jikalau
Baginda merasa curiga ia lekas berkata. "Harap Baginda ketahui,Thio Tan
Hong itu adalah musuh keluarga sin\"
Untuk membuktikan perkataan
ini, In Tiong terus tuturkan duduknya permusuhan itu dan akhirnya ia
perlihatkan surat wasiat dari kakeknya.
Setelah mendengar dan
menyaksikan itu, raja tertawa.
"Aku pun tidak curigai
kau," katanya kemudian. "Sepak terjang Thio Tan Hong itu,menurut
penglihatan tim, adalah untuk melepas budi atas dirimu, supaya kau melupakan
permusuhan kekeluargaan itu, dan juga tentang sakit hati negara. Tim lihat, kau
tentunya tidak akan terpedayakan dia.....”
In Tiong setujui pendapat raja
itu. "Sekarang kemari kau," kata pula raja, kemudian.Tim hendak
perlihatkan keng sehelai gambar lukisan." Raja menghampiri lemari bukunya,
lalu membuka pintunya, akan mengambil gambar yang ia maksudkan itu. Di situ
terlukis satu orang yang memakai mahkota, jubanya bersulamkan naga-nagaan,
romannya keren.
"Coba keng lihat,
miripkah Thio Tan Hong dengan orang dalam gambar ini?" tanya raja setelah
ia menunjukkan gambar itu.
In Tiong awasi gambar itu, ia
terperanjat. Ia tampak potongan muka dan tubuh yang sama, kecuali orang dalam
gambar ini ada terlebih kasar, kalah halus dan tenang dengan Thio Tan Hong.
"Mungkinkah Thio Tan Hong
seorang anggauta keluarga raja?" ia menduga-duga dalam hatinya.
"Tidakkah mereka agak
mirip?" raja menegaskan.
"Ya, mirip," sahut
In Tiong, suaranya tak tegas.
Sekonyong-konyong wajah raja
berubah, secara tiba-tiba dia tuding gambar itu sambil mengatakan dengan keras:
"Kau telah mati tetapi kau tidak meramkan mata, kau masih menugaskan anak
cucumu untuk merampas negaraku?"
In Tiong kaget, ia heran bukan
main.
"Dia..... dia
siapakah?" ia tanya.
Raja menyahut sambil tertawa
tawar: "Raja bangsat di dalam gambar ini adalah Thio Soe Seng, kaisar dari
kerajaan Tjioe yang palsu!" dia jawab. "Thio Tjong Tjioe dan Thio Tan
Hong adalah anak cucunya! Hm! Dia pakai nama Tjong Tjioe, bukankah dengan itu
dia bermaksud meminjam tenaga bangsa asing untuk membangunkan pula kerajaan
Tjioe itu, untuk memusnakan kerajaanku?"
Inilah untuk pertama kali yang
In Tiong ketahui Thio Tan Hong adalah turunan Thio Soe Seng. Inilah di luar
dugaannya. Maka itu, ia jadi menjublek saja, tak dapat ia mengatakan suatu apa.
Tapi, dalam hatinya, ia berpikir: "Pantas mereka ayah dan anak sangat
membenci kerajaan Beng. Hanya heran, cara bagaimana Sri Baginda ketahui ini?
Raja sudah ketahui Tan Hong siapa, kenapa ia tidak titahkan menawan Tan Hong
selagi pieboe berlangsung?"
Raja seperti tidak
mempedulikan orang terheran, ia berikan keterangannya terlebih jauh. Ia kata:
"Ketika dahulu Thio Soe Seng perebutkan negara dengan leluhurku, mereka
telah melakukan pertempuran yang memutuskan disungai Tiangkang. Dia kalah, dia
pun terbinasa. Menurut ceritera, pada saat menghadapi ajalnya yang terakhir,
Thio Soe Seng sudah pendam kekayaannya, yang berupa emas dan, perak dan permata
mulia, di suatu tempat di daerah Souwtjioe. Di situ terpendam tidak hanya harta
besar itu, juga sehelai peta bumi negara, di mana terlukis jelas tempat-tempat
yang penting untuk pergerakan tentara. Kalau peta itu tetap masih ada, itulah
berbahaya sekali untuk keamanan negara,karena itu, leluhurku telah meninggalkan
pesan agar turunan keluarga Thio itu dibasmi habis, supaya harta dan peta itu
dicari, agar dengan secara demikian, amanlah kerajaan Beng. Thio Tan Hong sudah
lolos, mestinya dia terus meninggalkan kota raja, tim duga dia pasti menuju
langsung ke Souwtjioe, untuk mencari tempat menyimpan harta dan peta itu.
Sekarang tim berikan keng seekor kuda, dengan itu keng mesti segera pergi ke
Souwtjioe, untuk menyusul Thio Tan Hong. Tugas keng adalah, selama Thio Tan Hong
belum berhasil membongkar harta dan peta itu jangan keng turun tangan atas
dirinya,adalah setelah ia berhasil mendapatkan harta dan peta itu, baharu keng
bunuh padanya,keng rampas harta dan peta itu, untuk dibawa pulang, untuk
diperlihat kan kepada tim."
In Tiong bergidik seorang
diri, ia sampai tidak menyahuti raja.
Raja pun melanjutkan
perkataannya. Ia bicara sambil tertawa.
"Akan tim titahkan tujuh
pahlawan untuk turut kau, guna membantu padamu," katanya."Kamu nanti
bertemu di Souwtjioe saja. Jangan kau kuatir."
In Tiong terima tugas ini. Ia
pikir, meskipun Tan Hong lebih gagah daripadanya tapi dengan mendapat bantuan
dari tujuh pahlawan pilihan, pasti dia akan dapat kemenangan.Ia hanya tidak
tahu, kenapa raja ketahui asal-usul Thio Tan Hong.
Sebenarnya, duduknya hal, ada
sederhana saja: Thio Tan Hong turut dalam ujian setelah ia memikir masak-masak,
ia sudah mengatur rencana. Ia telah siap sedia bila ada orang hendak turun
tangan terhadap dirinya. Karena ini, sesudah bertanding dengan In Tiong, dan
Kong Tiauw Hay memberi titah untuk membekuk padanya, dia mendahului turun
tangan. Begitu lekas dia telah menghadiahkan jarum rahasia kepada Kong Tiauw
Hay, begitu juga ia lemparkan segumpal kertas ke arah raja. Itulah kertas yang
ia tulis dan sediakan siang-siang. Ia memang mempunyai kepandaian luar biasa
dalam hal melepaskan senjata rahasia. Bukan saja oran lain, raja sendiri tidak
merasa yang orang telah menimpuki dengan segumpal kertas kecil itu, yang tepat
masuk ke dalam sakunya.
Adalah sekembalinya ke
keraton, selagi hendak beristirahat, raja dapatkan gumpalan kertas itu. Di
dalamnya lebih dahulu Tan Hong membeber rahasia bangsa Watzu akan menyerbu
Tionggoan, lantas ia beri nasihat supaya raja membedakan menteri-menteri setia
dari dorna supaya raja bersiap sedia menghalau serbuan dari luar. Tan Hong juga
memberi bukti dari hal persekongkolan antara Ong Tjin dan raja Watzu dan
dimintanya
raja bersiap-siap juga. Habis
itu baharu Tan Hong tuturkan yang ia, ialah keluarganya,bermusuhan dengan
keluarga raja.
Meski begitu, ia jelaskan
dalam suratnya itu, jikalau raja bersungguh-sungguh hendak melawan musuh, ia
bersedia untuk membasmi permusuhan di antara mereka. Akhirnya,Tan Hong beri
nasihat supaya raja jangan lagi mencelakai menteri-menteri setia, kalau tidak,
hendak ia ambil kepala raja itu. Ia kata, untuk mengambil kepala raja,
kerjaannya sama gampangnya seperti orang membalikkan telapak tangan.
Terang dan jelas bunyi surat
itu, halus dan keras sifatnya. Tan Hong ambil sikap demikian karena ia masih
menyintai negaranya, tidak peduli negara itu sedang diperintah oleh musuhnya.
Ia hanya tidak sangka, bagaimana nanti kesan raja setelah raja membaca suratnya
itu.
Mulanya raja terperanjat,
kemudian ia berpikir.
"Kenapa di dalam dunia
ada manusia tolol semacam dia?" demikian pikir raja ini mengenai Tan Hong.
"Jikalau dia tidak siang-siang disingkirkan, bukankah jiwaku terancam di
dalam tangannya?"
Lantas raja menduga, mestinya
Tan Hong ada turunan Thio Soe Seng. Bukankah Tan Hong menyebut-nyebut permusuhan
keluarga? Untuk dapat kepastian, ia keluarkan gambar Thio Soe Seng, yang
disimpan di dalam
keraton. Melihat tampang Thio
Soe Seng, raja kaget. Tampang itu mirip dengan tampang Tan Hong. Maka ia
percaya, tak salah lagi dugaannya itu. Karena ini, ia tak mengambil mumat lagi
atas kebaikan Tan Hong, yang sudah membeber rahasia dorna dan memberikan ia
nasihat, sebaliknya, ingin ia membinasakan Tan Hong.
Begitulah ia berikan tugasnya
kepada In Tiong.
Thio Tan Hong, dalam
tindakannya menulis surat kepada kaisar, untuk membuka rahasia dorna dan
memberi nasehat, ada seumpama orang memainkan tabuhan kim terhadap seekor
kerbau, hasilnya tak usah diharap. Hanya, ada juga sedikit kebaikannya,yaitu
yang mengenai Thio Hong Hoe. Yaitu, sebelum Tan Hong tertawan, raja tidak
berani mengambil tindakan apa-apa terhadap pemimpin Gielim koen dan Kimie wie
itu.
Demikian, karena tugasnya ini,
In Tiong seperti telah menghilang dari kota raja. Pada hari kedua, dia sudah
lantas berangkat secara diam-diam. Dia mendapat kuda istana,kuda itu tidak
dapat menandingi Tjiauwya saytjoe ma, kuda Tan Hong, akan tetapi perbedaannya
tidak seberapa, cuma enam atau tujuh hari. Setelah melewati dua propinsi Hoopak
dan Shoatang, dia menuju ke propinsi Kangsouw, pada suatu hari tibalah ia di
kecamatan Gouwkoan, yang
bertetangga dengan kota Souwtjioe, maka itu, dia mulai memperlambat kudanya.
Jarak kedua kota itu cuma setengah hari perjalanan.
Kanglam adalah satu daerah
yang indah, yang kesohor, In Tiong dapat kesempatan untuk melihat-lihat. Pernah
ia menyaksikan gurun pasir, yang gundul, yang berhawa panas, sekarang ia
menyaksikan Kanglam, sungguh suatu perbedaan besar. Ia merasa seolah-olah
hatinya terbuka. Malah ia insaf juga, sebenarnya hidup bergulat, untuk
memperebutkan nama, tidak ada artinya.....”
Setelah berjalan sekian lama,
In Tiong singgah di depan sebuah telaga. Ia turun dari kudanya, ia rebahkan
diri di tepi telaga itu, yang airnya jernih dan indah. Langit waktu itu
bersinar kebiru-biruan.
Dekat tempat In Tiong
berbaring terdapat sebuah kuburan tua, selagi berpaling ke arah kuburan itu,
matanya terpaku pada batu bongpay atau nisan, yang ada huruf-hurufnya. Ia
lantas mengawasi, hingga dapat ia baca huruf-huruf ukiran itu. Ia menjadi heran
sekali.
Bongpay itu berbunyi:
"Kuburan Tantai Mie Ming."
"Tantai Mie Ming menjadi
jenderal bangsa Watzu," ia berpikir, "bulan yang lalu dia masih ada
di Pakkhia, kenapa sekarang di sini terdapat kuburannya. Kenapa kuburan ini
beda daripada yang lainnya? Teranglah ini bukan kuburan baru.....”
Keras In Tiong berpikir,
ketika tiba-tiba datang satu bocah angon, di tanduk kerbaunya tergantung
sejilit buku. Dengan perlahan bocah itu berjalan di tepi telaga.
"Engko kecil, numpang
tanya, tempat ini tempat apa?" In Tiong tegur bocah itu. "Dan kuburan
ini kuburan siapa?"
Bocah itu memandang orang yang
menanya dia, dia tertawa.
"Tuan tentu orang yang
datang dari tempat jauh," ia menyahut. "Desa ini dipanggil Tamtay
Tjoen, dan telaga ini dinamakan Tamtay Ouw. Dan kuburan ini, inilah kuburan
leluhur keluarga kami."
In Tiong menjadi tambah heran.
"Apa?" dia tanya
pula. "Kuburan kaum keluargamu?"
Bocah itu tertawa pula.
"Tuan, aku lihat kau
tidak mirip dengan orang yang tidak bersekolah," dia kata.
"Mustahil sampaipun
Tamtay Biat Beng macam apa kau tidak tahu?"
In Tiong melengak.
"Tahukah kau akan pepatah
yang berbunyi, "Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru
mengenali Tjoe Ie?" bocah itu kembali menanya.
Ditanya begitu, In Tiong
menjadi kurang senang.
"Ah, engko kecil, kau
menguji aku!" dia kata. "Pepatah itu adalah kata-katanya Khong Hoe
Tjoe. Tjoe Ie adalah muridnya Khong Hoe Tjoe, dia pandai, cuma dia beroman
jelek.
Maka itu Khong Hoe Tjoe
mengatakannya demikian. Artinya ialah supaya melihat orang tidak dari romannya
saja."
"Ya, benarlah
begitu," kata bocah itu. "Leluhur kami, Tamtay Biat Beng, adalah
salah satu dari ke tujuh puluh dua murid Khong Hoe Tjoe, alias Tjoe Ie. Siapa
saja, yang telah membaca kitab Soe Sie, pasti mengetahui tentang ini. Telaga
ini mulanya adalah tempat kedudukannya rumah keluarga kami, kemudian karena
suatu perubahan alam, tanah ini melesak ke dalam, lalu berubah menjadi telaga,
maka itu, namanya dipanggil Tamtay Ouw. Tentang ini, dalam buku riwayat
kecamatan kami, ada catatannya."
Penyahutan bocah itu membuatnya
In Tiong melengak.
Guru In Tiong, yaitu Tang Gak,
adalah seorang boenboe tjoantjay, yang paham ilmu surat dan ilmu silat
berbareng, maka itu selama In Tiong ikuti gurunya, ia juga sekalian belajar
surat, hingga pernah ia membaca buku klassik. Memang, di antara murid-murid
Khong Hoe Tjoe, ada yang bernama Tamtay Biat Beng itu. Ia ingat sekarang
bagaimana pada waktu bermula ia dengari nama Tantai Mie Ming, panglima bangsa
Watzu itu, ia merasa lucu, hingga ia tertawa dalam hatinya, sebab seorang
militer, malah seorang asing, memakai nama seorang yang terpelajar dalam ilmu
surat pada jaman dahulu. Ia mengira, "Tantai" itu she bangsa
Mongolia, begitupun nama "Mie Ming" itu. Tapi sekarang ia dapat
kenyataan, Tamtay Biat Beng itu benar-benar ada, malah kuburannya masih ada
dikecamatan Gouwkouw ini, Kangsouw. Tapi ia percaya, kuburan ini mungkin pernah
diperbaiki oleh turunannya, meskipun bentuk kuburan, bentuk bongpay dan
huruf-hurufnya sedikit mirip dengan jaman setelah kerajaan Tjin atau Han, jadi
bukan kuburan buatan jaman Tjoen Tjioe. Perbedaannya ialah dalam cara
membacanya, antara Tantai Mie Ming dan Tamtay Biat Beng.
Bocah itu tertawa, ia kata:
"Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru mengenali Tjoe Ie,
maka sekarang terbuktilah kata-katanya nabi!"
Lalu, habis mengucap demikian,
ia bawa serulingnya ke mulutnya, untuk meniup lagu,sedang kerbaunya ia jalankan
perlahan-lahan.....”
In Tiong awasi orang berlalu,
sambil memikirkan pepatah itu, yang benar-benar tepat.
Ia jadi berpikir keras:
"Kalau begitu, aneh Tantai Mie Ming itu. Itulah nama orang Han. Kenapa dia
memakainya sebagai she dan namanya sendiri? Sengajakah dia memakai nama
sasterawan jaman dahulu itu? Tantai Mie Ming beroman keren dan jelek, ia dapat
disamakan dengan Tamtay Biat Beng, tetapi tentang kepintaran dan penghidupannya
tidak. Dia telah pergi dan tinggal di negara asing dengan memakai nama asing
juga! Adakah ia mengandung sesuatu maksud? Yaitu ia ingin orang jangan hanya
memandang ia dari romannya saja? Atau mungkinkah nama Mie Ming itu ia pakai
justeru untuk diartikan sebagai kenyataannya, yaitu untuk membikin musnah
kerajaan Beng? Mungkinkah Tantai Mie Ming bercita-cita demikian besar?"
Setelah beristirahat cukup, In
Tiong berbangkit, untuk melanjutkan perjalanannya. Ia memasuki dusun Tamtay
Tjoen itu. Karena ia telah peroleh kesan, masih ia pikirkan halnya Tantai Mie
Ming. Ia ingat ketika malam itu ia serang si pangeran asing di Tjengteng.
Tantai Mie Ming benar-benar kosen, tapi Mie Ming tidak menurunkan tangan jahat
terhadap dirinya. Ia ingat juga kepada pieboe di dalam rumah Thio Hong Hoe,
waktu itu secara diam-diam Tantai Mie Ming telah menghalau musuh. Ia jadi
seperti dibikin pusing.
"Ah, sudahlah!"
katanya kemudian seorang diri. "Kenapa aku mesti pusingkan kepala bahwa
dia Tantai Mie Ming atau Tamtay Biat Beng?" Ia tertawa seorang diri, ia
jalan terus.
Hari waktu itu sangat panas,
In Tiong merasa sangat berdahaga, tenggorokannya kering. Ia hanya merasa aneh,
kenapa tempat itu tidak seperti kebanyakan tempat di Kanglam — umpamanya
Souwtjioe dan Hangtjioe — di mana banyak kedapatan warung teh atau arak.
Sekarang, dia telah melintasi dua petak sawah di kiri dan kanannya, tapi tak
tampak olehnya orang membajak sawah, di situ tidak ada warung teh atau arak.
"Mungkinkah Tamtay Tjoen
ini tidak ada penduduknya?" akhirnya In Tiong tanya dirinya sendiri.
Ia menengok kesana kesini, ia
jalankan kudanya terus. Ia rasakan lehernya semakin kering. Syukur baginya,
akhirnya ia tampak juga sebuah warung teh model paseban dan penjualnya adalah
seorang wanita tua. Baharu sekarang ia bisa tertawa.
"Begitu jauh aku
berjalan, baharu sekarang aku dapatkan tempat untuk minum teh," kata dia
seorang diri. "Syukur tidak semua tempat di daerah ini ada semacam dusun
ini,kalau tidak, boleh aku anggap bahwa aku tengah membuat perjalanan di padang
pasir.....”
In Tiong tambat kudannya, ia
memasuki paseban.
"Ada tamu! Anak Beng,
tuangkan teh!" kata si nyonya tua, yang dengan manis menyambut tetamunya.
Dari ruang dalam lantas muncul
satu bocah wanita umur kira-kira empat atau lima belas tahun, ia membawa
tehkoan serta cangkirnya, terus ia tuangkan teh hijau ke dalam cangkir itu,
yang disuguhkan kepada tetamu nya itu.
Anak dara itu berpakaian kain
kasar akan tetapi dia mempunyai kulit halus.
"Memang Kanglam indah
tanahnya, sekalipun penduduk desanya tak sembarang," pikir In Tiong.
Oleh karena iseng, In Tiong
ajak si nyonya tua bicara, ia tanyakan she-nya.
"Kami di sini satu desa,
semua penduduknya she Tamtay," sahut orang tua itu. "Untuk aku, cukup
kau memanggilnya Tamtay Toanio."
Selagi dua orang ini bicara,
satu penunggang kuda lewat di depan paseban itu. Orang ini beroman kasar. Tanpa
turun dari kudanya, dia bertanya dengan suaranya yang kaku:
"Eh, orang tua, ingin aku
bertanya, adakah kemarin seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih lewat di
sini atau tidak?"
"Mahasiswa berkuda
putih!" pikir In Tiong, yang menjadi kaget sendirinya. Tidak salah,orang
mesti maksudkan Thio Tan Hong.
Nyonya tua itu membuka kedua
matanya lebar-lebar.
"Aku tidak dengar
nyata!" dia sahuti. Penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya.
"Aku tanya kau, adakah
kau lihat seorang anak sekolah yang naik seekor kuda putih?"dia ulangi
pertanyaannya, suaranya keras, seolah-olah menggetarkan genteng.
Nyonya itu membuka matanya dan
mulutnya ternganga, tetapi ia bungkam.
Gusar penunggang kuda itu.
"Taruh kata kau tuli,
tapi seharusnya kau dapat melihat!" dia berteriak. Dia bertindak masuk ke
dalam paseban, agaknya dia hendak menjambret si nyonya tua.
In Tiong heran. Tidak dapat ia
biarkan kejadian kurang ajar itu di hadapannya, maka itu, sebelum tangan kasar
si penunggang kuda mengenai si nyonya tua, ia mendahului melonjorkan tangannya
sendiri, untuk mencegah. Ia kerahkan tenaga dalam Taylek Kimkong Tjioe, karena
mana, hampir saja penunggang kuda itu terpelanting. Dia jadi kaget, dia
mengawasi dengan tidak berani bertindak kasar terlebih jauh.
In Tiong pandang orang itu, ia
tertawa. "Kalau mau bicara, bicaralah dengan baikbaik,untuk apa kau
bergusar?" katanya. "Nyonya tua ini kupingnya kurang sempurna.....”
Sebenarnya nyonya itu tidak
tuli, tadi pun ia dapat bicara seperti biasa dengan In Tiong. Si anak muda
mengatakan demikian hanya untuk meredakan suasana.
Si nyonya tua tertawa
mendengar perkataan orang itu.
"Kupingku ini aneh,"
kata dia. "Kalau suara terlalu keras, aku tidak dapat dengar,begitupun
suara terlalu perlahan, aku tidak dapat dengar juga, hanya suara yang tidak
keras dan tidak perlahan, baharu aku dapat dengar nyata. Tadi kau menanyakan
apa?Coba kau ulangi." Penunggang kuda itu kendalikan hawa amarahnya.
"Aku ingin menanya
tentang seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih,"demikian ia ulangi
pertanyaannya, "apakah dia telah lewat di sini?"
"Oh, mahasiswa penunggang
kuda putih?" kata si orang tua. "Ya, benar! Kemarin ada seorang
mahasiswa menunggang kuda putih, tepat pada waktu seperti ini telah lewat di
sini. Dia malah telah meninggalkan pesan kepadaku, yaitu kalau ada orang yang
menanyakan tentang dia, dia minta disampaikan undangannya pada orang itu untuk
besok tengah hari pergi ke Souwtjioe guna membuat pertemuan di Koaywa Lim, dia
akan
mengundang minum arak."
Begitu dengar jawaban itu,
tanpa berkata suatu apa lagi, si penunggang kuda lari kepada kudanya, lalu
lompat naik ke bebokongnya, untuk segera dikaburkan.
Si nyonya tua mengawasi sambil
tertawa dingin. "Anak Beng, kau catat!" dia berkata. Nona muda tadi,
yang duduk di satu pojok sambil menyulam, menyahuti: "Sudah dicatat!"
Terus dia balik sulamannya,
maka di situ terlihat sulaman dari tujuh tangkai bunga merah,ada yang benar,
ada yang kecil. Ia pun menambahkan: "Inilah yang ke tujuh!"
In Tiong berdiam, ia merasa
heran. Ia duga nyonya tua dan si nona muda itu bukan sembarang orang. Tapi ia
tidak takut, ia percaya akan kepandaiannya sendiri. Maka itu, ia pun tidak
ambil mumat pantangan kaum kangouw untuk jangan lancang mencampuri utusan lain
orang.
"Siapakah mahasiswa
penunggang kuda putih itu?" demikian ia tanya. "Dan di manakah letak
Koaywa Lim?"
Nyonya tua itu pandang
tetamunya, ia tertawa.
"Tuan, kau seorang baik,
aku suka memberi keterangan padamu," ia jawab. Koaywa Lim letaknya di
dalam kota Souwtjioe, itu adalah tempat untuk menghamburkan uang.Katanya
dahulu, pada masa Thio Soe Seng menjadi kaisar di Souwtjioe, di sana ia telah
membangun satu istana peristirahatan. Kemudian, ketika Thio Soe Seng terbinasa
dalam peperangan, Koaywa Lim disita pembesar negeri, sebab dipandang sebagai
milik
pemberontak, lalu dijual.
Sekarang ini pemilik dari Koaywa Lim itu adalah Kioetauw Saytjoe In Thian Sek si
Singa Berkepala Sembilan, dia membuatnya menjadi taman yang besar, menjadi
tempat pelesir dan judi, hingga dia mendapat untung besar terdiri dari uang tak
halal, uang itu terus dipakai membeli sawah dan tanah, sampai dia membelinya
ke-kecamatan Gouwkoan ini. Begitulah, tanah di dusun Tamtay Tjoen ini, dalam
sepuluh bahagian, tujuh atau delapan bahagian telah menjadi kepunyaannya."
"Jikalau begitu, Kioetauw
Saytjoe itu adalah okpa besar!" kata In Tiong. Dia menyebutnya
"okpa," — "hartawan jagoan." "Bagaimana mengenai si
mahasiswa berkuda putih? Apakah hubungannya dengan dia itu?"
"Nanti aku
jelaskan," sahut si nyonya tua, yang suka berbicara dengan anak muda ini.
"Tempat di mana pasebanku
ini berdiri adalah tanah miliknya Kioetauw Saytjoe, setiap bulannya dia pungut
sewa sebanyak tiga tail enam tjhie. Mengenai sewa tanah itu, kami sudah
berhutang tiga bulan. Kemarin Kioetauw Saytjoe mengirimkan dua guru
silatnya,mereka ini memaksa hendak membawa anak Beng untuk dijadikan budak,
katanya sebagai tanggungan dari hutang kami itu. Kebetulan tengah kita
berbicara, si mahasiswa penunggang kuda putih itu lewat di sini, dia singgah,
begitu dia ketahui duduknya perkara,dia lantas tolongi kami membayar hutang
itu. Itu belum semua, dia juga telah menghajar kedua guru silat itu hingga
mereka sungsang sumbel."
Si nona muda tiba-tiba campur
bicara: "Tetapi, ibu, si mahasiswa itu tidak memukul orang itu! Sebaliknya
kedua guru silat itu yang memukul padanya! Ah, sungguh menarik hati! Baharu
saja kepalannya kedua guru silat itu mengenai tubuh si mahasiswa, lantas mereka
menjerit kesakitan, sama sekali tidak terlihat si mahasiswa membalas menyerang,
tahu-tahu kedua guru silat itu rubuh terguling-guling. Ketika kemudian mereka
dapat merayap bangun, aku lihat kepalan mereka menjadi bengkak matang
biru,sebesar mangkok! Tuan, kau tentu banyak pengalaman, luas pengetahuanmu,
tahukah kau ilmu silat apa yang digunakan si mahasiswa itu?"
"Aku tidak tahu,"
jawab In Tiong, sekalipun ia tahu betul, si anak muda pasti telah menggunakan tipu
silat Tjiamie sippattiat atau sebangsanya yang liehay.
"Kedua guru silat itu
tidak berdaya, cuma mulutnya yang besar," kata si nyonya tua.
"Begitulah terhadap si
mahasiswa berkuda putih itu, mereka menantang, katanya: Jikalau kau benar
laki-laki, pergilah ke Koaywa Lim untuk menemui Kioetauw Saytjoe kami. Atas
itu, si mahasiswa tertawa besar, sambil tertawa melenggak, dia jawab: Lagi dua
hari, akan aku pergi menemui dia! Hendak aku lihat, bagaimana galaknya Kioetauw
Saytjoe itu!"
In Tiong heran. Ia jadi
berpikir: "Thio Tan Hong pergi ke Souwtjioe terang-terang untuk mencari
harta benda leluhurnya, kenapa sekarang dia mencampuri urusan ini? Dia telah
bertentangan dengan satu okpa besar, apa dia tidak kuatir rahasianya nanti
terbuka? Jikalau dia hendak berbuat baik, sudah cukup bila dia menghajar kedua
guru silat itu dan menolong melunaskan hutang sewa tanah nyonya tua ini dan
anaknya. Di kolong langit
ini, bangsa okpa sangat banyak
dan tak akan habis dengan dihajar saja..... Bukankah dia mempunyai urusan sangat
penting, cara bagaimana dia dapat dengan gampang berlaku usilan?"
Berpikir sampai di situ, In
Tiong tetap tidak mengerti. Ia ingat, Thio Tan Hong itu cerdik sekali, tindak
tanduknya senantiasa secara rahasia, yang mengandung maksud dalam dan sukar diduga-duga.
Si nyonya tua belum bercerita
habis, maka itu dia menambahkan: "Mahasiswa penunggang kuda putih itu,
setelah menghajar kedua guru silat hingga mereka itu kabur pergi, sudah lantas
berkata kepadaku: pergi kau beritahukan semua orang lelaki di desamu ini,
titahkan mereka untuk pergi ke Koaywa Lim guna menyaksikan keramaian, di sana
aku mempunyai uang untuk dibagi-bagikan kepada mereka. Tuan, kau tentu tidak
menghendaki uangnya itu, sebaliknya, kau tentu sudi menonton keramaian,
bukan?"
In Tiong manggut.
"Sudah lama aku dengar
perihal keindahan taman-taman di Souwtjioe," ia menyahut,"kebetulan
akan ada keramaian, sudah pasti aku suka pergi ke sana!"
Habis berkata, ia membayar
tehnya sambil melirik kepada si nona muda, maka terlihatlah olehnya, nona itu
sudah menyulam bunga merah yang ke delapan!.
In Tiong kaburkan kudanya,
yang dapat lari keras, sebelum matahari terbenam, dia sudah sampai di
Souwtjioe. Yang pertama ia lihat adalah jalan besar yang lantainya berbatu
besar kecil dan berwarna belang, yang teratur rata dan rapih, sedang
rumah-rumah nampaknya indah, umumnya berbeda daripada yang biasa terlihat di
lain-lain kota.Juga terdapat banyak pohon-pohonan, umpamanya pohon-pohon
gouwtong dan yanglioe,yang muncul keluar dari tembok-tembok pekarangan.
Rumahnya di mana-mana terdapat taman. Jadi Souwtjioe beda jauh sekali daripada
gurun pasir. Diam-diam ia menghela napas dan berkata dalam hatinya:
"Benarlah perkataan, Sang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang!....."
"Siang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang" berarti: "Di atas
langit ada sorga, di muka bumi ada kota-kota Souwtjioe dan Hangtjioe."
Berhubung dengan tugasnya, In
Tiong lantas pergi ke kantor soenboe. Ia minta keterangan tentang tujuh
pahlawan dari kota raja, yang diperbantukan kepadanya. Ia dapat kenyataan,
belum satu dari ke tujuh orang itu yang tiba. Tapi ia mesti menjalankan tugas,
tanpa pembantu, ia suka lantas bekerja. Bukankah ia telah mendengar halnya Thio
Tan Hong, ke mana tujuan si mahasiswa berkuda putih itu? Begitulah, malam itu ia
beristirahat, lalu besok
paginya, dengan dandan sebagai rakyat jelata, ia menuju ke Koaywa Lim, taman
penglipur.
Koaywa Lim terletak di luar
kota Souwtjioe sebelah utara. Itu adalah satu taman yang luas. Begitu sampai di
pintu, orang dapatkan lorong yang panjang, yang banyak tikungannya, sedang di
kedua belah temboknya, terdapat banyak sekali tulisan-tulisan jaman dulu.
Rupanya pemilik taman tak tahu cara melindungi huruf-huruf itu, waktu itu
banyak huruf yang telah gugur dan tampaknya tak tegas lagi. In Tiong tidak
mengenal
tulisan-tulisan bagus itu
tetapi ia menyayangi, ia menghela napas. Setelah melewati lorong, di kiri dan
kanan lantas tampak pelbagai macam pohon, pohon kayu dan bunga,bambu dan
tumpukan-tumpukan batu, yang merupakan gunung buatan, ada selatnya,empang
teratai dan pasebannya, yang semuanya indah. Yang disayangi ialah di manamana
dalam taman itu terdapat tempat-tempat perjudian, ada banyak pelancongnya,
hingga di situ berisik dengan
teriakan-teriakan mereka itu. Tentu saja, suasana itu tak tepat dengan
keindahan taman.
Diam-diam In Tiong memasang
mata. Dengan lantas ia dapat kenyataan, di mana-mana terdapat orang-orang
sebagai si tukang pukul, yaitu gundal-gundal. Rupa-rupanya Kioetauw Saytjoe
sudah bersedia-sedia untuk menyambut tantangan si mahasiswa berkuda putih,
karenanya dia telah menyiapkan orang-orangnya itu. Dengan sikapnya sebagai
pelancong biasa, In Tiong cari satu tempat di mana ia dapat memperhatikan
sesuatu sambil duduk beristirahat, akan tetapi, sampai lewat tengah hari,ia masih
belum tampak Thio Tan Hong muncul.
Mungkinkah, karena sesuatu
hal, Tan Hong mengadakan perubahan dengan mendadak,hingga ia tak datang hari
ini?" ia menerka-nerka. Justeru ia tengah menduga-duga, apa yang menjadi
sebab hingga Tan Hong gagal
menetapi janji, tiba-tiba
kelihatan serombongan orang mendatangi dengan suara yang berisik. Yang menjadi
kepala adalah seorang berumur lima puluh tahun, yang mukanya berewokan.
"Kioetauw Saytjoe, hari
ini aku datang untuk bertaruh denganmu, untuk main, guna melewatkan waktu yang
terluang!" begitu terdengar suaranya yang besar dan nyaring.
Sejenak saja, taman menjadi
sunyi, semua orang berhenti berjudi. In Tiong lantas dengar beberapa orang
bicara berbisik. Antaranya ia dengar nyata: "Liong pangtjoe dari Hay liong
Pay telah tiba. Teranglah dia mempunyai maksud untuk merubuhkan panggung
Kioetauw Saytjoe. Maka lantas juga kita akan menyaksikan keramaian!.....”
In Tiong menjadi heran. Inilah
di luar dugaannya. Dia muncul di situ untuk menantikan Thio Tan Hong, siapa tahu
sekarang telah datang Liong Pangtjoe, Ketua Liong atau Naga,dari Hayliong Pang
atau Kawanan Naga Laut. Dari pendengaran terlebih jauh, ia percaya Hayliong
Pang Pangtjoe itu mesti ada salah satu okpa dari kota Souwtjioe.
Dari sebelah depan, menghadapi
rombongan Hayliong Pang itu, dari antara rombongan orang banyak, yang lantas
membuka jalan, kelihatan muncul satu orang yang tubuhnya kasar, alisnya tebal,
matanya besar. Dia mengenakan thungsha, baju panjang, yang dilapis dengan
makwa, semacam rompi, atau baju pendek tanpa tangan. Dia unjuk sikap sebagai
satu anak sekolah, yang lemah lembut, tetapi dandanannya tak tepat dengan
romannya dan lagaknya. Ia pun
diiringi tujuh atau delapan boesoe, guru silat. Ia maju nmnghampiri Liong
Pangtjoe, terus dia angkat kedua tangannya, lalu dirangkapkan, untuk memberi
hormat.
"Liong Pangtjoe, hari ini
angin apa telah meniup kau sampai di sini?" dia tanya. Dia mencoba
bersikap ramah tamah. "Silakan duduk, silakan duduk! Mari kita minum teh!
—Eh, anak-anak, lekas kamu perintahkan supaya lekas disajikan beberapa rupa
kuwe!"
Orang telah bersikap manis
tetapi si Liong Pangtjoe, dengan roman keren, membawa sikap dingin.
"Kioetauw Saytjoe, hari
ini aku ketagihan," demikian jawabnya, "maka itu sengaja aku datang
kemari, untuk bertaruh denganmu! Untuk minum teh, jangan kau kesusu, marilah
kita bertaruh dahulu!" '
Nampaknya Kioetauw Saytjoe In
Thian Sek agak jeri terhadap Ketua dari Hayliong Pang itu, dia diperlakukan
demikian kasar dan dingin, masih dia bisa tertawa manis.
"Kita berdua bersahabat,
untuk apa kita membuat renggang persahabatan itu?" berkata ia, dengan
sabar. "Kau hendak menitahkan apa? Titahkanlah asal saja yang adikmu
sanggup kerjakan!"
Ketua Hayliong Pang itu
kembali tertawa dingin.
"Lao In, siapa yang
membuka rumah makan, mustahil dia jeri terhadap perut besar dari
tetamu-tetamunya?" begitu dia menjawab. "Kau telah membuka rumah
judi, mana dapat kau tolak aku yang telah datang untuk turut adu peruntungan?
Apakah kau kuatirkan aku tidak punya uang? Kau tanyakan padaku, apa yang aku
hendak titahkan padamu! Nah,aku menghendaki kau berjudi dengan aku! Kau sanggup
melakukan ini, bukan?"
Habislah kesabaran dari In
Thian Sek, mukanya menjadi pucat. Maka berkatalah ia: "Setiap orang ada
mukanya, setiap pohon ada kulitnya, karena kau telah mendesak aku di muka orang
ramai ini, tidak ada jalan lain, terpaksa aku temani kau! Baiklah! Kau hendak
bertaruh apa?"
"Main dadu paling
menyenangkan!" sahut Liong Pangtjoe. "Kita lempar dadu! — Eh,Lao
Kwee, tanganmu dingin, mari kau wakilkan aku melemparnya! — Dan kau, Lao
In,apakah kau hendak melemparkan sendiri atau diwakilkan oleh guru
besarmu?"
Setelah mengucap demikian,
dari rombongan Hayliong Pang muncul satu orang tua kurus kering yang romannya
tak luar biasa, sambil membuka kopiah kulitnya, dia berkata kepada In Thian
Sek: "Aku Kwee Hong, toako, terimalah hormatku!"
Selama dia belum membuka
kopiahnya, orang tua itu memang beroman biasa, akan tetapi setelah kepalanya
tak bertutup lagi, dia membuatnya semua orang heran. Nyata dia mempunyai rambut
yang semuanya berwarna merah, rambut itu kusut seperti awan,numpuk di batok
kepalanya.
In Tiong malah terkejut,
karena ia kenali orang tua itu.
"Ah, kiranya dia adalah
Anghoat Vauwliong Kwee Hong!" kata dia dalam hatinya. Dia pun heran.
"Kenapa dia datang kemari?"
Kwee Hong adalah pahlawan
dorna kebiri Ong Tjin, dalam seluruh tahun, dia keram diri di dalam gedung
Soelee Thaykam she Ong itu, karena tugasnya adalah melindungi diri si thaykam.
Jarang sekali dia pergi ke mana-mana, maka itu jangan kata orang kangouw jarang
mengetahui dia, malah pahlawan atau guru-guru silat di kota raja sendiri, tak
banyak yang pernah melihat dia. Keistimewaannya adalah rambutnya yang merah
itu. In
Tiong juga belum pernah
melihat Kwee Hong, ia hanya pernah mendengar dari Thio Hong Hoe, baharu
sekarang, ia melihat untuk pertama kalinya, sesudah orang perkenalkan diri
sambil membuka kopiahnya. Oleh karena rambutnya juga, Kwee Hong telah memakai
julukan itu, Anghoat Yauwliong, si Naga Siluman Rambut Merah.
"Inilah aneh," In
Tiong berpikir pula. "Ong Tjin telah menjadi hartawan, kenapa dia utus
pahlawannya datang kemari untuk dengan satu okpa merebut sebuah taman? Dan Kwee
Hong sendiri, karena kedudukannya sebagai pahlawan dorna, tidak sepantasnya dia
menjadi kawan atau pembantu seorang pangtjoe. Benar-benar aneh!" Sementara
itu,Kioetauw Saytjoe In Thian Sek telah menjawab Liong Pangtjoe.
"Oh, Kwee Soehoe yang
mewakilkan kau?" katanya. "Baiklah, aku tidak akan memakai wakil, aku
akan turun tangan sendiri."
Liong Pangtjoe itu lantas saja
tertawa terbahak-bahak.
"Bagus!" serunya. Di
sini ada cek seharga sepuluh laksa tail, inilah cek dari bank besar.Kau lihat
biar tegas! Dengan satu dadu, aku bertaruh sepuluh laksa tail perak!"
"Ditanganku tidak ada
uang demikian banyak," berkata In Thian Sek.
Liong Pangtjoe tertawa pula,
sampai dia melenggakkan kepalanya.
"Apakah kau sangka aku
tidak tahu tentang kekayaanmu?" dia kata. "Sawah, kebun dan
toko-tokomu berharga empat puluh laksa tail, dan taman Koaywa Lim ini juga
berharga empat puluh laksa tail, jadi dengan begitu, kau mempunyai pokok
berjudi delapan puluh laksa tail! Maka itu, janganlah kau kuatirkan suatu
apa.....”
In Thian Sek menjadi
mendongkol. Tapi ia tertawa bergelak.
"Oh, kiranya kau memikir
untuk memiliki Koaywa Lim ini?" dia kata.
"Ah, jangan kau
mengatakan demikian. Apa benar, sebelumnya kalah, kau sudah jeri?"tanya
Liong Pangtjoe.
"Aku kuatir kau tak akan
berhasil dengan maksudmu," In Thian Sek baliki. "Baiklah! Silakan
periksa dulu dadunya."
Kwee Hong lantas periksa dadu
itu.
"Kwee Toako, dadu itu
tidak palsu bukan?" Liong Pangtjoe tanya kawannya.
Kwee Hong tidak menyahuti, dia
hanya angsurkan dadu kepada In Thian Sek.
"Kioetauw Saytjoe, kau
adalah tuan rumah, silakan kau yang mulai!" kata ia.
In Thian Sek sambuti biji-biji
dadu itu, segera saja ia lemparkan sambil berseru: "Satu" Lantas enam
biji dadu itu berputaran di dalam mangkok yang besar dan cekung. Dan menyusul
itu, seorang membuka suaranya: "Dua, enam! satu, empat! Enam belas!
Toa"
Dalam perjudian dadu itu,
angka terbesar adalah delapan belas, maka itu, untuk mendapatkan biji enam
belas pun sukar, meski demikian, In Thian Sek telah menyeka keringat dingin
ketika ia kata kepada lawannya:
"Nah, orang she Kwee, kau
susullah aku!"
Orang tua berambut merah itu
bersenyum, dengan sikap sangat tenang, dia raup semua biji dadu itu, kemudian
dengan lekas dia gerakkan jeriji-jeriji tangannya, lalu dilemparkan.
Segera tukang tunggu biji pun
berseru: "Dua, enam! satu, lima! Tujuh belas! Toa\"
Dengan mengatakan
"Toa," bandar maksudkan angka besar.
Paras Kioetauw Saytjoe menjadi
pucat.
"Ha, ada saitannya!"
dia berseru. "Mari, lagi satu kali!"
"Baik!" sambut si
orang tua rambut merah. "Kali ini kita bertaruh dua puluh laksa
tail!"
Tangan Thian Sek berkeringatan,
suaranyapun agak gemetar ketika ia berteriak:
"It sek" Berbareng
dengan itu, biji-biji dadu pun telah dilemparkan.
Bandar lantas perdengarkan
suaranya seperti biasa: "Dua, enam, satu lima! Bagus! Kembali tujuh
belas!"
Mendapat angka tujuh belas berarti
kemenangan hampir pasti, maka itu kali ini In Thian Sek tampak bersenyum.
Seperti lagaknya tadi, si
orang tua tidak mengatakan sesuatu, dengan tenang ia raup gambar biji-biji dadu
itu, untuk segera dilemparkan, nampaknya ia seperti acuh tak acuh.
Para hadirin segera berubah
parasnya. Bandar pun berteriak: "Tiga merah, empat! Itsek"
Itsek itu, satu warna, apapula
warna merah, adalah angka paling besar.
Si orang tua berambut merah
tertawa, dia kata dengan sabar: "Kau memanggilnya, dia tidak datang! Aku
tidak memanggil, dia justeru datang! Nah, mari kita main terus! Kali ini
tarohannya empat puluh laksa tail!"
In Thian Sek menyeringai, tapi
ia terima tantangan itu. Merah urat-urat di dahinya.
"Sekarang, kau yang
melempar lebih dulu!" dia kata.
"Baik!" sahut si
orang tua muka merah itu. "Akan aku melempar lebih dahulu!"
Kali ini Kwee Hong raup
biji-biji itu untuk digenggam dengan kedua tangannya, ketika hendak
dilemparkan, tangannya digoyang-goyangkan dulu.
Begitu lekas biji-biji itu
berhenti berputaran di dalam mangkok, suasana di sekitarnya menjadi sunyi
senyap. Parasnya In Thian Sek pun menjadi pucat.
Hanya berselang sejenak,
bandar perdengarkan suaranya: "Tiga kali enam! Delapan belas, merangkap
itsek!. Thongsat!."
Kalau itsek hanya serupa warna
saja, untuk berbagai macam angka, adalah itsek dengan angka delapan belas,
merupakan batas tertinggi, dengan begitu permainan tak dapat dilanjutkan,
karena angka itu tidak dapat disusul lagi. "Toa" adalah besar, tetapi
"thongsat" adalah terbesar, habis semua.
Setelah kesunyian, lalu timbul
kegemparan, suara orang ramai menjadi berisik. Semua orang menjadi heran dan
kagum terhadap si orang tua rambut merah itu. Kenapa tangannya orang tua ini
demikian "soen," begitu mujur!
Adalah In Tiong seorang, yang melihat
gerakan tangannya Kwee Hong yang mengetahui sebab-sebabnya kemenangan Anghoat
Yauwliong. Kalau dalam melepaskan senjata rahasia seorang ahli dapat merdeka
mengarah ke mana dia suka, begitu juga dalam hal melemparkan biji-biji dadu.
Kwee Hong rupanya seorang ahli, maka ia dapat menguasai biji-biji itu.
In Thian Sok tak dapat melihat
rahasia kepandaian Kwee Hong itu, karena ia adalah seorang kangouw kenamaan, ia
terima kekalahan itu, maka, dengan hati seperti disayat-sayat, dengan meringis,
dia kata kepada lawannya: "Baiklah, orang she Liong,Koaywa Lim ini menjadi
milikmu!.....”
"Pokokmu sama sekali
delapan puluh laksa tail," berkata Liong Pangtjoe, "sekarang kau
kalah tujuh puluh, masih ada kelebihannya sepuluh laksa, dengan begitu kau
masih dapat kembali sepuluh laksa tail itu, katakanlah, kau kehendaki sawah,
kebun atau uang kontan? Orang she In, dengan punyakan sepuluh laksa tail, kau
masih terhitung orang hartawan juga. Kau lihat, aku tidak berlaku kejam, masih
aku pandang padamu!"
"Sudahlah, jangan bicara
terlalu banyak!" si orang tua berambut merah menyelak.
"Sekarang aku berikan
ketika, yaitu sebelumnya matahari terbenam, kamu sudah mesti pindah dari Koaywa
Lim ini!"
Kembali muka Thian Sek menjadi
pucat. Nyata sudah bahwa ia telah diusir. Akan tetapi,sebelum ia sempat
mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar satu suara tertawa tegas,disusul
dengan kata-katanya orang yang barusan tertawa itu: "Tunggu dulu. Aku juga
hendak turut bertaruh!"
In Tiong segera menoleh, lalu
di depan matanya berkelebat Thio Tan Hong dengan pakaian serba putih. Tan Hong
itu segera muncul dari antara rombongan orang banyak.
Dengan sendirinya In Tiong
menyesal karena ia lupa, saking tertarik pada permainan dadu, ia sampai lengah
memperhatikan pemuda yang ia mesti cari itu. Entah sejak kapan pemuda itu telah
berada di antara mereka.
Kioetauw Saytjoe In Thian Sek
membuka dengan lebar kedua matanya ketika ia menoleh kepada anak muda itu,
karena dari orang-orangnya ia dapat melukiskan roman orang dan potongannya,
maka tahulah ia, dia ini adalah si mahasiswa berkuda putih yang telah perhina
kedua guru silatnya. Tapi ia baharu saja kalah berjudi, sekarang pemuda ini
hendak menggantikan tempatnya, ia mencoba menguasai dirinya. Ingin ia ketahui,
apa
yang orang akan perbuat. Maka
itu ia berdiri diam di tempatnya, untuk jadi penonton saja.
Thio Tan Hong dandan dengan
perlente, lagaknya sebagai satu pemuda hartawan atau anak orang agung, begitu
ia sampai di Souwtjioe, segera ia menjadi perhatiannya kawanan Hayliong Pang,
segera juga beberapa orang Hayliong Pang itu menguntit ia hingga di hotel.
Karena liehaynya, Tan Hong tahu bahwa ia telah dikuntit orang, ia lalu sengaja
bersikap berpura-pura tak mengetahuinya, sengaja ia keluarkan barang-barang
permata yang ia bekal, ia seperti pertontonkan itu.
Beberapa orang Hayliong Pang
itu terdiri dari orang-orang berpengalaman, mereka jadi curiga, karenanya,
tidak berani mereka lancang turun tangan, mereka lantas kembali untuk memberi
laporan kepada ketua mereka.
Pada waktu itu, Liong Pangtjoe
telah ber-keputusan akan memiliki Koaaywa Lim, untuk bertindak, ia tunda dulu
hal si anak muda asing ini, yang ia ingin ketahui jelas asalusulnya,maka tidak
ia sangka, baharu ia selesai berurusan dengan In Thian Sek, si anak muda
justeru muncul di antara mereka, malah dia ditantang bertaruh.
Anghoat Yauwliong lirik anak
muda ini.
"Kau hendak bertaruh
berapa banyak?" dia tanya. Dia tidak tunggu lagi putusan ketuanya.
"Kau sendiri, mempunyai
pokok berapa?" Tan Hong balik tanya. Ia menanya sambil tertawa, sikapnya
wajar, tenang.
Liong Pangtjoe mendahului
orang memberikan jawaban.
"Pokokku adalah benda
miliknya Tuan In ini!" ia jawab sambil tertawa dingin.
"Oh, kalau begitu!"
kata Tan Hong sabar, "berikut uang kontanmu sepuluh laksa tail,semua cuma
terdiri dari sembilan puluh laksa! Baiklah, untuk iseng-iseng, guna melewatkan
waktu senggang, suka aku bertaruh dengan kau!"
"Untuk permulaan, berapa
kau hendak bertaruh?" tanya si orang tua rambut merah.
Tampaknya si Naga Siluman
Rambut Merah tidak sabaran.
Tan Hong bersenyum, dari
sakunya ia keluarkan serenceng mutiara, bentuk mutiara itu bundar-bundar dan
besar-besar, semuanya bercahaya, maka teranglah sudah, semua mutiara itu tulen
dan indah, mahal harganya. Pada renceng itu pun dibandulkan sebuah permata lain,
yang sinarnya hijau mengkilap dan membuatnya silau siapa yang memandangnya.
"Uang tarohanku adalah
mutiara dan permata ini," kata Tan Hong sambil tunjukkan barang berharga
itu. "Coba kamu taksir sendiri harganya ini!" Liong Pangtjoe sambuti
rencengan mutiara berikut batu permata itu, ia memeriksanya dengan teliti.
"Kita di sini biasa
bertaruh secara pantas," ia berkata kemudian. "Mutiaramu ini ada
seratus biji, setiap bijinya sama besarnya, tidak ada cacatnya, inilah mutiara
yang sukar dicari timpalannya. Menurut taksiran, setiap biji mutiara ini
berharga seribu lima ratus tail perak, tetapi karena ada seratus biji, harganya
mesti dinaikkan sedikit. Aku hitung untuk dua puluh laksa tail!"
"Ah, kau tahu juga harga
barang!" kata Tan Hong. "Bagaimana dengan batu permatanya?"
"Batu hijau ini jarang
didapatkan," sahut Liong Pangtjoe, "tentang permata ini, tidak dapat
aku menaksirnya. Bagaimana kalau sepuluh laksa tail?"
"Sebenarnya buat sepuluh
laksa tail masih kurang sedikit," kata Tan Hong. "Akan tetapi kita
hendak bertaruh, baiklah, aku tidak hendak memberi harga terlalu tinggi. Kau
hitung semua tiga puluh laksa tail, akur! Mari dengan tiga puluh laksa tail
kita bertaruh untuk satu kali lempar!"
Kecocokan telah didapat, maka
orang hendak lantas mulai. Bandar sudah lantas keluarkan dadu yang baru. Tan
Hong menangkan undian.
"Kalau aku yang melempar
terlebih dahulu, lantas aku dapat itsek atau angka delapan belas, kau lantas
tidak punya ketika untuk melempar lagi," berkata Tan Hong. "Tidak
ingin aku menang secara begitu rupa, sebab kalau kau kalah, kau jadi tidak
puas, kau penasaran. Nah, kau boleh melempar lebih dahulu!"
In Tiong telah memasang
kupingnya, ia menjadi heran.
"Ilmu melepas senjata
rahasia dari Tan Hong sukar tandingannya di dalam dunia ini," ia berpikir,
"kalau dia yang melempar lebih dulu, sudah pasti dia yang bakal menang.
Sekarang dia suka mengalah dari Anghoat Yauwliong, ada kemungkinan dia nanti
kalah.....”
Si orang tua rambut merah
tidak berlaku sungkan, dia terima baik usul itu. Dia pun lantas raup biji-biji
dadu itu. Dia rasakan biji-biji itu terlebih enteng, tetapi dia tidak pedulikan
itu. Dia raup dengan kedua tangannya, terus saja dia lemparkan.
Cepat sekali dalam mangkok
terlihat tiga biji berhenti bergerak, ketiga-tiganya menunjukkan angka enam dan
tiga biji lainnya masih berputaran. Dengan kedua matanya si orang tua rambut
merah mengawasi tajam kepada ketiga biji itu. Sebentar kemudian,dua biji pun
tak berputaran lagi. Juga kedua biji ini menunjukkan, angka enam!
Pada paras si orang tua lantas
tersungging senyuman.
Hebat biji yang ke enam itu,
yang membuat hati semua orang tegang. Dialah yang berputar paling lama. Pada
saat dia hendak berhenti, dia perlihatkan angka enam, tetapi tiba-tiba, dia
berputar satu kali lagi dan berhenti menjadi angka lima! "Dua enam, satu
lima !" teriak bandar. "Tujuh belas. Toal"
Adalah keinginan si orang tua
rambut merah akan mendapatkan semua biji angka enam, supaya itsek, serupa
warnanya, tetapi angka tujuh belas pun sukar didapat, ia terpaksa mesti merasa
puas.
"Tujuh belas ya tujuh
belas, tidak apa," kata dia, menghibur diri. "Sekarang kau
susullah!" ia tambahkan kepada lawannya.
Thio Tan Hong raup biji dadu
itu.
"Tujuh belas sukar untuk
disusul!" kata dia. Ia angkat kepalanya, akan memandang ke langit. Ia
tidak lantas mulai. Suasana menjadi sunyi, sebab semua perhatian tertarik
padanya.
"Sekarang aku
mulai!" kata dia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa perhatian, dia lempar biji
ke dalam mangkok.
Semua orang menjadi tegang,
tak terkecuali si orang tua berambut merah. Dia malah pentang lebar kedua
matanya!
Begitu lekas biji-biji dadu
itu berhenti berputaran dan terletak diam, segera terdengar suara si bandar:
"Sepasang empat! Dua lima! Lagi sepasang enam! Sie Gouw Lak
Tjoansat."
Sie gouw lak — dua empat, dua
lima dan dua enam — itu artinya "tjoansat" —"kemenangan
penuh." Semua orang heran, kecuali In Tiong. Orang heran, sudah si orang
tua rambut merah demikian mujur, sekarang ada Tan Hong yang sangat beruntung.
Kwee Hong mendelong, ia heran
bukan main. Ia mempunyai ilmu Tokliong tjiang, yaitu "Tangan Naga
Beracun," dirangkap dengan kepandaian Tokliong teng, ilmu melepaskan
senjata rahasia "Paku Naga Beracun." Itulah kepandaian yang
membuatnya ia peroleh julukan Anghoat Yauwliong si Naga Siluman Rambut Merah.
Itu juga kepandaian yang membikin ia dapat permainkan biji-biji dadu sesukanya,
hingga ia peroleh kemenangan atas In Thian Sek, hingga Hayliong Pang dapat
menduduki Koaywa Lim.
Tapi kali ini, ia rubuh
ditangannya Thio Tan Hong, orang yang ia tidak kenal. Tentu saja ia tidak
ketahui,selagi Tan Hong raup semua biji, biji-biji itu sudah lantas digenggam
begitu rupa.
Atas kemenangan itu, Tan Hong
perlihatkan roman biasa saja. Dengan tenang, dia kata: "Berikut kemenangan
ini, pokokku sekarang berjumlah enam puluh laksa tail. Nah,semua itu aku pakai
untuk bertaruh pula!"
Si orang tua berambut merah
cuma bersangsi sebentar, atau lantas ia berikan penyahutannya: "Baik, akan
aku lawan kau satu kali lagi! Sekarang kaulah yang melempar terlebih dahulu!"
Mendengar sambutan itu, In
Tong menjadi heran. Ia herankan si orang tua. Ia pikir,setelah kekalahannya
itu, apa benar orang tua ini tak menginsiafi sebabnya? Kalau dia insiaf artinya
dia tahu, kenapa sekarang dia berani melawan pula dengan suruh Tan Hong yang
melemparkannya lebih dulu ?.
Tan Hong tertawa yang dia
disuruh melempar lebih dahulu.
"Kau suruh aku yang
melemparkan lebih dahulu, baik!" ia kata. "Aku harap kau tidak
menyesal di belakang!"
Ia lantas raup ke enam biji
dadu itu, lalu dilemparkan pula seperti tadi, tanpa aksi,tanpa memperhatikan
pula. Lantas ke enam biji itu berputaran.
Si orang tua rambut merah
mengawasi semua biji itu, tiba-tiba ia berseru: "Satu" Hampir pada
waktu yang sama, ke enam biji itu berhenti berputar.Bandar pun segera berseru:
"Sepasang dua, satu satu! lima!"
Si orang tua lantas tertawa.
"Kiranya lima yang
bau!" kata dia.
Untuk permainan dadu itu,
angka terbesar adalah delapan belas, yang terkecil ialah empat, sekarang Tan
Hong dapat angka lima, itu sudah berarti kekalahan pasti. Tetapi In Tiong
ketahui sebab-musababnya angka itu. Kwee Hong telah menggunakan ilmu hembusan
napasnya "Toanseng tjinboet," yaitu "Dengan suara menggempur
barang."
"Ah, kali ini Tan Hong
mesti kalah," kata ia dalam hatinya. Ia tidak bisa campur mulut kendati ia
tahu orang main curang. Di tempat main dadu, orang tidak dilarang untuk
berseru-seru.
Sekarang datang giliran si
orang tua rambut merah. Tampaknya ia sangat gembira.
Dengan sebat ia raup biji dadu
itu, terus ia lemparkan, hingga mangkok itu perdengarkan suara nyaring.
Selagi biji berputaran, Tan
Hong mengawasi sambil tertawa berkakakan.
Bandar pun segera menyebutkan
angka-angkanya: "Sepasang satu, satu dua! Empat! Empat!" Ketika ia
ulangi "Empat" itu, suaranya gemetar, suatu tanda ia kaget sekali.
Tan Hong kembali tertawa
besar.
"Ha, kiranya empat
busuk!" dia berkata. Muka si orang tua menjadi putih bagaikan
lilin,kekalahannya ini berarti ia pun kalah dalam hal ilmu melepaskan senjata
rahasia.
Tan Hong jetrikan dua jari
tangannya, dia tertawa.
"Seluruh kekalahanmu
berjumlah sembilan puluh laksa tail!" dia kata. "Kau telah
menghabiskan pokokmu, cek, tanah milik, berikut Koaywa Lim ini, sekarang
menjadi kepunyaanku si orang she Thio!"
Dengan sekonyong-konyong saja
Kioetauw Saytjoe In Thian Sek lompat bangun,sebelah tangannya menyambar,
menjambak ke arah pundak Tan Hong.
"Hrn! Kau penipu! Kau
berani merampas aku punya Koaywa Lim?" dia berteriak.
Tapi dia baharu berteriak atau
segera dia menjerit "Aduh!" disusul dengan rubuhnya tubuh,
menggeletak di tanah.
Thio Tan Hong tertawa sambil
berseru: "Hai, kuku singa patah!"
Orang semua mengawasi In Thian
Sek, mereka lihat ke lima jarinya si Singa Kepala Sembilan telah patah dan
berdarah-darah, orangnya pun pingsan.
Menampak demikian, semua
gundalnya Thian Sek lantas maju menyerang.
"Foei! Tidak tahu
malu!" teriak Tan Hong. "Siapa suka berjudi, dia mesti terima
kekalahan! Aku pun menangkan Koaywa Lim ini bukan dari tangannya si orang she
In ini!"
Mulut Tan Hong bersuara,
tubuhnya pun bergerak, diturut dengan gerakan kaki dan tangannya, yang lincah
dan sebat, hingga di lain saat, semua gundal Kioetauw Saytjoe telah rubuh
terguling.
Si orang tua berambut merah
keluarkan sebelah tangannya secara tiba-tiba.
"Kioetauw Saytjoe, jangan
kau bikin malu kaum kangouw1." dia berseru.
Teriakan itu terang ada
bantuan untuk Tan Hong menegur Thian Sek, tapi di mulut lain,ditangan lain,
tangan jahat Anghoat Yauwliong justeru bergerak ke arah si pemuda berpakaian
putih.
Tan Hong sangat celi matanya,
sangat cepat gerakannya, melihat tangan orang bergerak ke arahnya, ia mengibas
dengan tangan bajunya, hingga tangan jahat itu,tangan Naga Beracun, nyasar dari
sasarannya.
"Nah, itulah baharu
kata-katanya satu laki-laki!" kata Tan Hong sambil tertawa. Ia tetap bawa
sikap seperti tak tahu bahwa orang telah menyerang ia secara curang. Kemudian
ia ambil air teh dingin, yang terus diirup, untuk disemburkan ke mukanya In
Thian Sek,hingga di lain saat, orang she In itu telah sadar dari pingsannya.
Liong Pangtjoe lantas saja
berkata: "Kioetauw Saytjoe, kali ini kita harus mengaku kalah! Baiklah kau
pergi ke Hayliong Pang, untuk menjadi hiotjoe1. Kita lihat saja nanti,berapa
lama dia dapat kuasai Koaywa Lim ini!"
Ketua dari Hayliong Pang ini
juga satu ahli silat, mendapatkan Kwee Hong bukan tandingan orang, ia sengaja
bawa sikap sebagai seorang kangouw sejati, yang akui kekalahan setelah kena
dipecundangkan orang.
Tan Hong tidak pedulikan lagak
orang, dia hanya kata kepada In Thian Sek: "Kioetauw Saytjoe sekarang kau keluarkan
surat-surat tanah serta uang kontanmu!"
In Thian Sek tengah mengobati
jari-jari tangannya, dia sedang nunduk.
"Akan aku turut
perintahmu," ia menjawab.
"Kau harus bersikap
hormat," Thio Tan Hong peringatkan. "Aku tahu berapa banyak tanahmu
dan bandamu, maka jikalau kau main gila, meskipun kau mempunyai sepuluh kepala,
semua kepala itu akan aku tebas kutung! Eh, siapakah di antara kamu yang suka
mengangkut barang-barang?"
Dalam sekejap saja serombongan
orang telah memajukan diri sambil bersurak.
Mereka nyata sebagian adalah
penduduk Tamtay Tjoen, sebagian penduduk melarat dari kota Souwtjioe. Memang
sejak siang-siang Tan Hong telah pesan mereka berkumpul di taman Koaywa Lim
itu.
Tan Hong bertindak tegas. Ia
bakar hangus semua surat-surat tanah Kioetauw Saytjoe,untuk menghabiskan semua
hak si okpa, sedang uang kontan okpa itu, ia bagi-bagikan di antara semua
penduduk itu. Sampai lohor baharulah ia selesai dengan pembagiannya itu.
Selama itu Kioetauw Saytjoe,
Liong Pangtjoe dan Anghoat Yauwliong, berikut orangorangnya,karena malu, sudah
ngeloyor pergi dengan diam-diam.
Habis mempesta pora harta
orang, Thio Tan Hong tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia membungkuk, akan petik
setangkai bunga teratai dari dalam empang, terus ia bersenanjung: "Telah
dikembalikan asal tanahku, maka hari ini bunga teratai muncul dari dalam
lumpur!..... Lalu, kalau tadi ia tertawa terbahak-bahak, sekarang mendadak ia
mengucurkan air mata.
In Tiong mengawasi terus
kelakuan orang, di dalam hatinya, ia kata: "Dia tentu telah menyaksikan
yang usaha leluhurnya telah diilas-ilas orang, maka sekarang ia menjadi sangat
terharu....."
Ketika itu oran g telah mulai
bubar, maka In Tiong, yang kuatir dikenali Tan Hong,lekas-lekas juga angkat
kaki. Ia kembali ke kantor soenboe. Kali ini ia dapatkan, dari tujuh pahlawan
istana, dua baharu saja sampai. Mereka ternyata adalah kedua paman guru dari
Taywee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan
Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe.
Selama pieboe, In Tiong telah
merubuhkan Liok Thian Peng, keponakan murid dari dua pahlawan ini, karenanya,
di antara kedua pihak terdapat ganjalan, akan tetapi sekarang mereka sama-sama
ditugaskan kaisar, terpaksa mereka tidak berani timbulkan ganjalan itu. In
Tiong tuturkan apa yang barusan ia saksikan di Koaywa Lim.
Liong Tjin Hong dan Hian Leng
Tjoe adalah orang-orang kangouw berpengalaman,setelah mendengar penuturan In
Tiong, keduanya saling memandang, lantas mereka kerutkan alis.
"Urusan nampaknya
aneh," kata Liong Tjin Hong kemudian. Anghoat Yauwliong adalah tangan
kanan Ong Tjin, kenapa dia bantui Hayliong Pang memperebutkan Koaywa Lim? .
Thio Tan Hong pandang emas
bagaikan tanah, dia juga tak ketentuan tempat kediamannya, kenapa sekarang dia
justeru menghendaki taman Koaywa Lim itu? Menurut keterangan kau, Koaywa Lim
adalah bekas istana peristirahatan dari Thio Soe Seng, siapa tahu kalau harta
dan peta Thio Soe Seng itu berada di dalam Koaywa Lim?"
In Tiong anggap dugaan itu
masuk di akal. Pembicaraan mereka ini ditunda setelah diambil persetujuan untuk
sebentar malam mencoba pergi ke Koaywa Lim, lantas mereka bersantap malam,
habis bersantap, mereka beristirahat.
Di saat genta di loteng kota
berbunyi tiga kali, mereka bertiga berdandan, mengenakan yaheng ie, pakaian
untuk keluar malam, setelah mana, tanpa ayal lagi, mereka keluar dari kamar
mereka, untuk segera menuju ke Koaywa Lim.
Setelah berpindah tangan,
taman penglipur lara itu telah berubah rupa. Lenyaplah segala keramaian,
gantinya adalah kesunyian. Memandang gunung-gunung dan lainlainnya,perasaan
orang seolah-olah dibawa kepada ketenteraman, keindahan alam.
In Tiong, Liong Tjin Hong dan
Hian Leng Tjoe sempurna ilmu enteng tubuhnya, dengan merdeka mereka dapat
melompati tembok pekarangan, untuk masuk ke dalam taman secara diam-diam. Di
saat mereka hendak memecah diri, untuk membuat penyelidikan,tiba-tiba mereka
dengar suara orang yang datangnya dari arah timur. Mereka memberi tanda satu
dengan lain, lantas dengan berindap-indap, mereka menuju ke timur.
Setelah datang dekat kepada
suara itu, mereka lantas sembunyikan diri di belakang batu gunung-gunungan.
Masih suara itu terdengar.
"Mungkin Thio Tan Hong,
si bocah, jeri terhadap kita," kata seorang di antaranya. "Dia baharu
dengar kabar, lantas dia singkirkan diri!"
"Apakah mungkin dia telah
peroleh hasil?" tanya yang lain.
Lalu terdengar suara yang
ketiga: "Tepat dugaan Ong kongkong, maka syukur kita telah datang tidak
terlambat." Yang belakangan ini adalah suara Anghoat Yauwliong Kwee Hong.
In Tiong terkejut.
"Benar saja mereka adalah
orang-orangnya si dorna kebiri Ong Tjin," kata ia di dalam hati.
"Thio Tan Hong datang ke Souwtjioe untuk mencari harta dan peta
pendaman,kenapa wartanya telah tersiar di mana-mana?"
Sebentar saja In Tiong menduga
demikian, lantas ia ingat sesuatu."Ong Tjin banyak kaki tangannya, dia
bermata awas dan berkuping tajam, tentunya dia dapat ketahui yang aku telah di
kirim raja kesini," demikian pikirnya pula.
"Menurut petunjuk gambar,
tempat itu mesti di sini," terdengar pula suara Kwee Hong.Coba lihat, di
sini ada bekas-bekas bongkaran, cuma batunya belum terbongkar. Mungkin karena
bocah itu bersendirian saja, dia belum keburu membongkar hartanya, begitu dia
dengar suara kita, lekas-lekas dia angkat kaki.....”
Menyusul kata-kata itu
terdengarlah suara pacul dipakai menggali tanah dan suara besi membentur batu.
In Tiong gerakkan tubuhnya.
Baharu pundaknya bergerak, atau ia telah ditekan Samhoa Kiam.
"Jangan kesusu,"
Samhoa Kiam berbisik. "Kita tunggu sampai mereka sudah selesai menggali,
nanti kita datang tinggal mendahar saja!"
In Tiong masih mencoba
mengintai di antara sela-sela batu. Di depan sebuah batu Thayouw tjio yang
besar bagaikan harimau nongkrong, ia lihat kira-kira sepuluh orang tengah
berdegingan membongkar batu. Tidak lama, lantas terdengar satu di antara
orangorang itu berseru: "Ini dia, ini dia! Lihat lobang ini! Ah, masih ada
menghalang sepotong batu pekgiok pay!"
Seorang yang lain mengangkat
linggisnya, dia membongkar. Menyusul itu terdengar satu suara nyaring, banyak
lelatu api meletik.
"Lekas minggir!"
Kwee Hong berteriak.
Dari dalam liang menyambar
keluar sejumlah panah api, lantas enam atau tujuh orang rubuh, muka mereka
bermandikan darah hitam.
"Panah beracun yang
liehay sekali!" Kwee Hong berseru pula. Ia berdiam. Ia tunggu sampai
anak-anak panah melesat habis. Masih ia kuatir, maka ia ambil tameng, sambil
menggunakan itu, untuk melindungi diri, ia maju kemuka liang. Ia melakukan
pemeriksaan. Tiba-tiba ia berseru: "Kita ditipu si bocah!" demikian
seruannya. "Hm!" Ia mundur beberapa tindak, melepaskan tamengnya, ia
ganti itu dengan pacul. Keras ia memacul ke arah pekgiok pay, hingga batu
penghalang itu dapat disingkirkan. Tapi ia kecele. Liang itu kosong.
Rombongan orang itu lantas
mengutuk, dengan menggendol kawan-kawannya yang terluka, mereka lantas berlalu
dari situ. Maka sebentar saja, tempat itu bersih dari mereka.
"Mari kita lihat!"
Tiatpie Kimwan mengajak.
In Tiong dan Hian Leng Tjoe
akur, mereka keluar dari tempat sembunyi, akan menghampiri liang bekas galian
itu. In Tiong berlaku sangat hati-hati. Mendekati batu bekas bongkaran Kwee
Hong itu, yang telah terbelah, mereka lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
"Manusia mati karena
harta, burung mampus karena barang makanan! Tuan-tuan datang kemari, silakan
tuan-tuan rasakan lezadnya panah beracun!" Di bawahnya ditambah lagi,
bunyinya: "Pay batu ini didirikan oieh Kaisar kerajaan Tjioe,Thio Soe
Seng."
In Tiong terkejut.
"Sungguh hebat!"
pikirnya. "Thio Soe Seng telah menduga dari siang-siang bahwa ada orang
yang akan membongkar harta simpanannya, maka itu ia telah memasang jebakan
panah beracun ini."
Anehnya, liang itu dangkal,
sedang menurut kabar yang tersiar, jumlah simpanan harta Thio Soe Seng itu
banyak sekali, bertumpuk bagaikan bukit. Kalau benar, mana bisa harta itu
disimpan dalam lobang seperti ini ?
Ketiga orang itu saling
memandang. "Aku percaya Thio Tan Hong masih belum berhasil mendapatkan
harta pendaman itu," Samhoa Kiam utarakan dugaannya.
"Bagaimana kau dapat
menduga demikian?" tanya In Tiong.
"Pertama-tama lobang itu
tidak mirip tempat menyimpan harta," Samhoa Kiam terangkan. "Thio Tan
Hong pun berada di bawah pengawasan Kwee Hong dan Hayliong Pang, meski dia luar
biasa, tidak nanti dia sanggup angkut harta itu. “
"Kata-katamu beralasan,
soetee," kata Liong Tjin Hong, "hanya, kalau benar dia belum berhasil
membongkar harta itu, kenapa dia tinggalkan Koaywa Lim ini? Mungkinkah harta
sebenarnya tidak dipendam di sini?"
Selagi kedua orang itu bilang
In Tiong mengawasi ke arah pay. Mendadak ia lihat sehelai kertas kecil melekat
di samping batu itu, suratnya pun halus. Ia baca dengan cepat:
"Seperti yang satu
cegluk, yang satu lagi patok, demikian kerajaan keluarga Tjioe,bukan
ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk apa bercape hati diperebutkan? Saudara
In Tiong, angkat kaki adalah yang paling sempurna. — Dari adikmu, Thio Tan
Hong."
"Celaka!" berseru In
Tiong dengan gusar.
Liong Tjin Hong dan Hian Leng
Tjoe heran.
"Ada apakah?" mereka
tanya.
"Lihat ini!" sahut
kawan itu. Membaca surat itu, kedua saudara seperguruan itu melongo, mereka
bungkam. Sementara itu sang ayam sudah mulai berkokok.....
-ooo0dw0ooo