Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 7

Liang Ie Shen, Seri Thian San-02: Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 7 Dengan membelakangi kereta persakitan, Hong Hoe menuding To Hoan dengan golok Biantoo-nya, sambil tertawa,
 
Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 7
Dengan membelakangi kereta persakitan, Hong Hoe menuding To Hoan dengan golok Biantoo-nya, sambil tertawa, ia kata: "Tjinsamkay mari kita bertempur pula tiga ratus jurus!" Kemudian ia melirik pada In Loei sambil menambahkan: "Bagus, bagus, kau pun datang bersama. Baiklah kamu boleh maju berbareng! Aku sendiri, aku tidak membutuhkan lain pembantu!"

To Hoan rasakan mukanya menjadi panas sekali, ia gusar tak kepalang.
"Hari ini kita bertempur untuk kawan masing-masing!" ia kata dengan sengit. "Tidak peduli jumlah kamu jauh terlebih besar, hendak aku adu jiwaku!"

Lalu dengan jurus "Honghouw inliong’ "Harimau di antara angin dan naga di dalam mega," ia menyerang hebat sekali dengan toya-nya, anginnya pun menyambar keras.

Dengan tubuh tidak bergerak dari tempatnya berdiri, Thio Hong Hoe tangkis serangan toya Tjinsamkay, begitu pula ketika In Loei menikam, ia halau ujung pedang Tjengbeng kiam itu, sesudah mana dengan kegesitannya, ia balas menyerang, beruntun tiga kali.

Diam-diam Tjinsamkay mengeluh dalam hatinya. Serangan dahsyatnya telah gagal.Siapa tahu, musuh ada terlebih hebat daripadanya, tak peduli ia berdua. Terpaksa ia ubah caranya bersilat, satu kali ia menyampok sambil memutar tubuhnya.

In Loei di lain pihak memperlihatkan kepesatan-nya bergerak, ia menyerang seperti kawannya, sama sekali tak sudi ia kalah desak.

Hong Hoe tangguh, dibanding dengan To Hoan, ia menang satu tingkat, maka itu dengan tambah lawan dalam dirinya nona In, berselang tiga puluh jurus, repot juga ia,hingga ia terdesak mundur. In Loei cerdik sekali, menggunakan ketikanya yang baik,dengan kegesitannya, ia tinggalkan lawannya, yang ia biarkan dilayani To Hoan, ia sendiri lompat melesat ke kereta persakitan.

Tegang hati si nona. Tidak ia sangka, Hong Hoe dapat dilewatkan secara demikian mudah. Ia merasa curiga juga. Apakah benar Hong Hoe demikian alpa? Akan tetapi,dalam keadaan itu, tak sempat In Loei berpikir lama. Maka juga, dengan cepat ia singkap penutup kereta persakitan itu!.

Di dalam kereta terdapat satu tubuh orang yang merengket, karena kereta ditutupi kain penutup, maka orang tak dapat melihat dengan jelas. Walaupun begitu, In Loei menjadi sangat girang.

"Tjioe Toako." ia berseru. Dan ia pindahkan pedangnya dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu dengan tangan itu ia menyambar tubuhnya San Bin.

Tiba-tiba tubuh yang merengket itu perdengarkan tertawa iblis "Hm! Hm!" Tubuh itu pun berbangkit, sebelah tangannya menyambar, menyekal keras lengannya In Loei di bahagian nadi.
Tidak terkira kagetnya si nona. Sungguh ia tidak menyangka.

"Silakan masuk!" terdengar tubuh merengket itu bersuara sambil terus menarik dengan keras.
Tanpa ia berkuasa, tubuh In Loei tertarik masuk ke dalam kerangkeng. Ketika ia terbetot pedangnya di tangan kiri itu menyambar tenda hingga tenda itu robek dan mendatangkan cahaya terang.

"Ah, kiranya kau?" seru orang yang merengket itu, agaknya ia terkejut.In Loei cerdik, ia tidak menjadi gugup, selagi orang tercengang, pedangnya digerakkan,menikam tangan orang. Orang itu kaget, ia lepaskan cekalannya, terus ia lompat keluar dari kerangkeng. Atas itu, In Loei lompat keluar juga.

Sekarang, di udara terbuka In Loei dapat melihat dengan tegas orang yang tubuhnya merengket itu yang memakai kopiah menutupi mukanya, hingga tampak hanya sepasang matanya yang jelilatan tajam. Nyata dia adalah si gembala bangsa Mongolia yang kemarin ini — ialah orang yang menyerang si pangeran asing.

Tak berjauhan jaraknya ia berdiri berhadapan dengan orang itu, masih nona In mengawasi dengan tajam. Ia melihat tegas sekali. Maka tidak salah, orang ini, yang tubuhnya kurus, adalah si orang bertopeng juga! Ia menjadi girang berbareng heran.

"Tahukah kau dikereta mana adanya Tjioe Toako?" ia tanya. Ia pikir, orang ini mesti ada kawannya sendiri. Dia toh yang mengusulkan tipu kepada To Hoan untuk mencegat si pangeran, untuk membekuk pangeran itu. Dia pun secara diam-diam sudah membantu padanya. Tapi, jawaban yang ia peroleh ada di luar sangkaannya.

"Siapa tahu tentang Tjioe Toako kamu itu?" demikian jawaban itu, tawar, ditambah dengan tertawa dingin. Lalu, dengan sebat luar biasa, dengan gerakan Taylek Kimkong Tjioe — "Tangan Arhat yang kuat", ia sambar pedangnya si nona, untuk dirampas.

In Loei terkejut, inilah tidak disangka, hingga ia tak berjaga-jaga. Di saat tangan orang itu hampir menyambar pedang, mendadak matanya bersorot tajam, tangannya seperti ditunda. Justeru itu, In Loei sadar, untuk mengirim bacokannya. Orang itu pun terkejut,ketika pedang datang, ia putar tangannya, sambil menyambuti, ia sentil belakang pedang,hingga terbit suara nyaring.

Nona In menjadi sangat kaget, sentilan itu membuatnya tangannya sakit, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalan. Insaflah ia bahwa latihan Taylek Kimkong Tjioe orang ini mahir sekali.

Pada saat itu, di pihak sana terdengar pula tertawanya Thio Hong Hoe, tertawa bergelak-gelak, disusul dengan kata-katanya yang mengandung ejekan: "Orang tua she Pit, kau lihat! Siapakah yang mengantarkan diri ke dalam jebakan?"

"Trang!" demikian suara yang menyusuli ejekan itu. In Loei menduga, saking mendongkol, To Hoan menghajar dengan keras, dan tak kurang kerasnya Hong Hoe menangkis, hingga kedua senjata bentrok hebat, sampai telinga bagaikan tuli.

Sementara itu, lolos serangannya yang pertama, In Loei telah mengulangi untuk kedua kalinya. Kembali ia gagal. Sangat gesit gerakan si kurus itu, keras sekali sampokannya setiap kali ia menangkis, sampai pedang si nona setiap kali mental.

In Loei jadi sangat penasaran, ia menyerang terus. Ia perlihatkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee Kiamhoat" yang beraneka warna gerakan dan perubahannya. Pedang itu membacok ke atas delapan kali, kebawah delapan kali, juga masing-masing delapan kali menikam ke kiri dan kanan, semuanya silih ganti.

Orang bertopeng itu liehay, akan tetapi atas desakan itu, ia repot juga. Untung baginya, walaupun ia didesak hebat, pada saat yang berbahaya, In Loei meneruskannya setengah hati, sebab si nona masih ingat, ia seperti kenal orang ini. Entah kapan, entah di mana, pernah rasanya ia menemui si kurus. Ia berkesan baik terhadap orang asing ini,karenanya iapun ragu-ragu.....

Setelah serangannya tak hentinya selama tiga puluh dua jurus, baharulah gerakan In Loei menjadi kendor. Dan lawannya yang sejak tadi melawan dengan tangan kosong,telah menghunus goloknya yang tersoreng di pinggangnya, untuk melakukan penyerangan membalas, ia berbalik mendesak, makin lama makin sebat, sinar goloknya bergemerlapan.

Kalau tadi ia menyerang, kini In Loei membela diri saja, pedangnya dibuat tidak berdaya, beberapa kali pedang itu kena dibikin terpental, syukur tak sampai lepas dari cekalannya. Nyata sekali golok si penyerang tidak dapat berbuat banyak, adalah tangan kirinya, yang tiap-tiap kali menyampok dengan hebat.

In Loei telah terdesak, beberapa kali ia mengalami saat-saat yang berbahaya, akan tetapi sampai pada saat itu, ia bebas sendirinya, golok dan tangan kosong dari lawannya tidak mengenai sasarannya. Entah itu disengaja atu tidak, kejadiannya sama seperti In Loei tadi — tadi In Loei seperti tidak hendak melukai lawannya itu.....

Dalam keadaan terdesak sebagai itu, In Loei empos semangatnya, untuk membuat perlawanan dengan gigih, kalau tidak, segera ia akan dirubuhkan. Sementara itu, ia lihat mata orang yang bersinar tajam, yang terus dipakai menatap mukanya, seolah-olah orang itu sangat memperhatikan padanya.

Sikap lawan itu membuatnya ia tertarik. Tiba-tiba saja ia menangkis, untuk menahan golok yang dipakai membacok padanya.

"Kau siapa?" ia tanya.
Orang itu membalas menangkis.
"Kau siapa?" diapun tanya.
Dibaliki secara begitu, si nona melengak.
"Kau sebutkan lebih dulu!" ia bentak.
"Kau dulu!" orang itu mengulangi, sementara air mukanya sedikit berubah.
In Loei bersangsi.
"Mana dapat aku perkenalkan diri padamu?" ia berpikir. Tapi keras niatnya untuk
mengetahui orang itu. Lagi-lagi ia menangkis, sampai tiga kali.
"Kau bicara lebih dulu!" katanya pula. "Tidak, kau dulu!" orang itu membandel.

Dia mirip dengan satu bocah kepala batu, kedua matanya berputar, wajahnya berubah pula.

Menyaksikan sikap orang itu, In Loei membayangkan satu sahabatnya semasa mereka masih kecil. Ia mencoba mengingat-ingat dengan terus tak henti-hentinya bersilat. Lawan itu juga melakukan perlawanan, hanya sekarang ia berlaku tak sesehat tadi.Masih ia senantiasa tatap wajah lawannya.

Dalam penasarannya, In Loei mendesak, dua kali ia menikam. Kedua-duanya ditangkis
oleh lawannya.

"Kau bicara lebih dulu!" katanya pula.

Selagi kedua orang itu berkutat, membentak satu pada lain, supaya pihak sana yang membuka mulut lebih dahulu, tiba-tiba terdengar seruannya Pit To Hoan, yang memberi peringatan kepada kawan-kawannya bahwa keadaan bahaya mengancam pihaknya.

Mendengar suara itu, In Loei melirik kepada jago tua itu. Ia dapat kenyataan, kawan itu telah terdesak, golok Thio Hong Hoe seperti mengurung dia, hingga keadaannya jadi sangat berbahaya, sedang kawan-kawan yang menjadi bala bantuan, kena dirintangi tentera negeri, tak dapat mereka menerjang masuk.

Menampak demikian, In Loei menjadi tegang sendirinya. Ia berkuatir untuk pihaknya itu. Maka ia mencoba melakukan perlawanan pula dengan keras sekali, ingin ia menoblos musuhnya.

Pihak lawan itu, yang tidak sudi perkenalkan diri, tetapi menghendaki lain orang berbicara terlebih dahulu, juga segera perkeras perlawanannya, bagaikan tembok tanggu,dia menghalang di depan si "anak muda." Hingga tak berhasil In Loei dengan dayanya itu.
"Maukah kau bicara atau tidak?" lawan itu masih menanya.
In Loei mendongkol, tidak sudi ia menyahuti, dalam sengitnya, ia menyerang dengan terlebih hebat pula.

Lima puluh jurus telah lewat, keduanya tetap dalam keadaan seri. In Loei kalah tenaga,ia cuma menang gesit, tapi sekarang ia berkuatir untuk Pit To Hoan, pemusatan pikirannya jadi terganggu, maka itu, lagi beberapa jurus, ia kena didesak hingga ia mesti main mundur.

Dalam keadaan yang segenting itu, sekonyong-konyong terlihat debu mengepul di luar selat. Thio Hong Hoe lihat itu.

"Siapa berani menyerbu masuk?" katanya nyaring.

Pertanyaan itu dijawab dengan suara tertawa aneh yang seperti menggetarkan lembah,lalu tampaklah orang-orang yang menerbitkan debu itu, ialah delapan penunggang kuda yang tengah mendatangi dengan pesat sekali, sedang dua penunggang yang jalan paling depan, — agaknya mereka itu menjadi pemimpin, — berpakaian secara aneh. Mereka itu yang satu putih mulus, yang lain hitam legam.

Ketika In Loei melihat tegas kedua orang itu, tanpa merasa ia perdengarkan seruan. Ia agaknya kaget dan heran. Karena ia kenali, kedua orang itu adalah Hek Pek Moko. Empat orang lainnya adalah si empat saudagar permata, yang pernah datang ke Tjio keetjhoeng.

Sedang kedua penunggang kuda lainnya, yang berada di belakang, adalah isteri-isteri bangsa Persia dari Hek Moko dan Pek Moko itu.Berdelapan mereka itu maju pesat, tanpa menghiraukan pertempuran yang kalut dan dahsyat itu.Hek Moko adalah yang datang paling dekat.

"Kau menggelinding dari, kudamu!" bentak Thio Hong Hoe yang menjadi sangat murka.

Dan dengan satu lompatan, ia segera mendahului membacok.

Hek Moko perdengarkan tertawanya yang aneh, ia angkat tongkat Lekgiok thung-nya,untuk menangkis bacokan, berbareng dengan itu, ujung tongkatnya meluncur terus ke arah uluhati si penyerang yang bersenjatakan golok itu.

Hong Hoe kaget dan heran. Tidak ia sangka orang ada demikian liehay. Ia halau tusukan tongkat itu, habis mana, ia membalas, dengan tak kurang hebatnya. Untuk dua jurus, ia mendesak hebat.

Hek Moko juga terkejut melihat ketangguan lawan, ia tidak sangka di antara hamba negeri terdapat pahlawan demikian kosen. Ia penasaran, kembali ia menusuk dada orang. Hong Hoe kembali menangkis, ia tidak mau menyerah kalah.

Dalam penasarannya, Hek Moko menerjang berulang-ulang, yang sama dahsyatnya.Thio Hong Hoe tangkis serangan berbahaya itu, sambil menangkis, ia angkat tubuhnya dari bebokong kuda, dengan sebelah kaki, ia injak injakan kakinya, berbareng dengan mana, dengan sebelah tangannya, ia sambar lawannya itu. Dengan jurus Kimna tjioe ia gunakan tangan kirinya untuk mencekuk tangan musuh. Ia berhasil, hingga ia menjadi sangat girang. Sekarang tinggal mengerahkan tenaganya, untuk membetot lawannya itu. Tapi tiba-tiba ia menjadi kaget, karena tangan yang dicekal itu licin bagaikan lindung,
yang terus dibalikkan untuk dipakai menampar mukanya!

Dalam kagetnya, Thio Hong Hoe masih sempat berkelit, ialah sambil berseru, sebelah kakinya menjejak, hingga tubuhnya mencelat meninggalkan kudanya dan jatuh ke tanah sejauh satu tombak lebih.

Hek Moko menjadi heran dan kagum, ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menghajar lawannya itu, siapa sangka, lawan itu pun ada licin sekali.

Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia heran, terutama karena ia tidak kenal siapa si hitam ini yang seperti membantu padanya.

"Sahabat siapa di sana?" ia tanya. "Di sini Pit To Hoan menghaturkan hormatnya." Ia kesohor dengan gelarannya, Tjinsamkay, ia percaya, dengan menyebut namanya, setiap orang kangouw pasti akan mengenal padanya. Tapi kali ini dugaannya meleset. Hek Moko tertawa pula, dengan suaranya yang aneh itu.

"Buka jalan! Buka jalan!" dia berseru-seru. "Menggelinding pergi!" To Hoan tidak mundur, dia malah menghalang di tengah jalan, dengan lonjorkan toyanya, ia mencegat.

Hek Moko biarkan kudanya lompat kabur, dengan tongkatnya ia halau toya Tjinsamkay. Kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring. Pit To Hoan miring tubuhnya karena bentrokan itu, sedang si hitam hampir terguling dari kudanya.

"Bagus!" berseru si hitam ini. "Kau pun ada satu hoohanl Kau minggir!" Sekarang tidak lagi ia mengusir dengan kata-kata, "Menggelinding pergi" hanya "minggir!" Ini menyatakan bahwa ia telah menghargai lawannya.

Tapi Pit To Hoan tidak minggir, dalam keadaan seperti itu, tak dapat ia menahan toyanya,serangannya yang kedua telah menyusul, kali ini ia mengarah kudanya. Hek Moko menjadi gusar sekali, ia segera tekan keras toya lawannya itu.Pit To Hoan terperanjat, apapula ketika ia dilepaskan dari tekanan, tubuhnya terjerunuk, hampir ia kena terinjak kudanya si orang hitam itu. Dengan kegesitannya, ia
lompat nyamping. Dan kuda lawan dengan pesat luar biasa, sudah lompat di atasan kepalanya!

Selagi Hek Moko dilayani Thio Hong Hoe dan Pit To Hoan bergantian, Pek Moko pun telah tiba, ia hanya menyerbu kepada In Loei dan si orang aneh. In Loei segera lihat si putih ini, ia terperanjat, ia heran atas kedatangan orang secara tiba-tiba. Ia ingat bagaimana ia bersama-sama Thio Tan Hong telah menundukkan kedua Moko itu. Maka kalau sekarang Pek Moko ingat sakit hatinya dan dia mencari balas,celakalah ia. Untuk melayani si orang aneh saja, ia sudah repot.....

Ketika Pek Moko melihat In Loei, tiba-tiba ia tertawa — tertawa aneh seperti Hek Moko.Kembali ia keprak kudanya, untuk menerjang si orang aneh.

Gusar orang aneh itu, ia menyambut dengan kepalannya ke paha kuda. Tepat sambutan itu, hingga kuda itu menekukkan kaki depannya. Menyusul ini, si orang aneh membacok dengan goloknya.

Pek Moko menangkis dengan tongkat Pekgiok thung-nya. Itulah tongkat terbuat dari baja tulen. Orang aneh itu tidak ketahui ini, ia baharu terkejut apabila dua senjata telah beradu keras. Terpental golok itu karena bentrokan keras itu, tetapi si orang aneh tangguh, dengan belakang golok yang terayun, ia menyerang pula. Tapi juga Pek Moko tidak kurang liehaynya, masih sempat ia menangkis pula, hingga untuk kedua kalinya,tongkat dan golok bentrok, terus golok terlempar ke udara!

"Jika kau sanggup melayani tongkatku, aku suka memberi ampun padamu!" berseru Pek Moko. "Minggir!" Setelah berkata begitu, ia menuding kepada In Loei. "Kau bukannya tandingan orang ini! Kenapa kau tidak hendak lekas menyingkir?" Meskipun ia mengucap demikian, ia jepit perut kudanya, hingga kuda itu lompat kabur.

Sebenarnya Hek Pek Moko telah tawar hatinya setelah mereka dikalahkan In Loei berdua Tan Hong, karena kalah bertaruh, harta di dalam kuburan bukan lagi miliknya,maka juga ia titahkan ke empat saudagar menutup buku dan berlalu. Adalah niat mereka untuk pulang ke kampung halaman mereka di Barat. Di luar dugaan mereka, Tan Hong telah berlaku baik budi, harta mereka telah dikembalikan.

Kejadian ini membuat mereka sangat bersyukur. Dengan modal itu, mereka lantas berdagang pula. Kali ini mereka dalam perjalanan dari selatan ke utara, ke delapan kuda mereka menggendol banyak barang permata mulia, niat mereka adalah melintasi gunung Himalaya, untuk memasuki India,guna menjual permata itu kepada pangeran-pangeran bangsa India. Adalah di luar dugaan mereka, di situ mereka menghadapi kedua pihak tengah bertempur, malah pihak yang satu adalah In Loei, yang mereka kenal baik.

Hek Pek Moko tidak gubris orang dari Jalan Putih atau Jalan Hitam, mereka bekerja dengan ambil jalan sendiri, karena ini, bertemu dengan tentera negeri, mereka kuatir nanti dicegat dan dirampas hartanya, maka ingin mereka nerobos pergi. Ketika, mereka kenali In Loei, ingin mereka membalas budi kebaikannya Tan Hong, dari itu mereka segera berikan bantuan mereka itu.

Tidak hanya Hek Moko dan Pek Moko yang liehay, juga isteri-isteri mereka dan ke empat saudagar itu bukannya orang-orang sembarangan, maka itu ketika mereka berdelapan menyerbu dengan kuda mereka, tentera negeri menjadi kalut, lekas-lekas mereka menyingkir. Pihak Pit To Hoan juga tidak terkecuali, hanya To Hoan tidak mau mensia-siakan ketikanya yang baik, dengan memberikan satu tanda, ia ajak rombongannya lari mendaki bukit.

Hek Moko tertawa berkakakan melihat "musuh" buyar dan lari kalang kabutan, meski demikian, mereka tidak lantas angkat kaki, masih mereka mondar-mandir di dalam lembah itu, untuk mencegah In Loei beramai dikepung pula tentera negeri itu, adalah setelah In Loei semua sudah tiba di tengah bukit, baharu mereka kabur, untuk melanjutkan perjalanan mereka.....

Thio Hong Hoe mendongkol bukan main, ia lantas kumpulkan tenteranya, ia ingin kejar musuh, akan tetapi ia tidak mempunyai ketika lagi.

Dari kejauhan, Hek Pek Moko berpaling ke arah bukit.
"Hai, babah kecil!" teriak mereka berbareng terhadap In Loei, "babah besar yang menjadi sahabatmu itu tengah menantikan kau di sebelah depan sana! Kenapa kau tidak berada bersama dia?"

Tahulah In Loei, dengan "babah kecil" dimaksudkan ia, dan dengan "babah besar" dimaksudkan Thio Tan Hong, karenanya, hatinya bercekat. Jadi Tan Hong berada di sebelah depan. Sebenarnya ingin ia menanyakan Hek Pek Moko, atau: "Siapa kedua orang itu?" Pit To Hoan tanya dia. "Mereka adalah Hek Moko dan Pek Moko dari Tanah Barat," In Loei jawab. To Hoan terperanjat."Jadi mereka adalah kedua iblis itu!" serunya. "Memang, sudah lama aku dengar nama mereka, baharu kali ini aku melihat mereka itu. Tidak aku sangka, kita dapat lolos dari bahaya karena bantuan mereka. Bagaimana sekarang? San Bin masih belum dapat ditolong.....”

"Orang she Pit ini jadi sangat masgul. Tapi, dalam keadaan seperti itu, ia tidak boleh membuang-buang waktu, lantas ia bantu Tjek Poo Tjiang memukul mundur pasukan tersembunyi dari musuh, habis mana mereka mundur dari belakang bukit, untuk pulang ke Na keetjhoeng.

Hari sudah magrib ketika mereka tiba di rumah, semuanya lesu, lelah dan masgul,karena sia-sia saja usaha mereka. Waktu mereka asyik berbicara, mereka membicarakan halnya si orang tak dikenal itu, yang menyamar sebagai pengembala bangsa Mongolia, yang kali ini bersembunyi di dalam kereta persakitan tanpa diketahui apa maksudnya.

Mereka menduga-duga tanpa ada pemecahannya.

"Malam ini pasti Thio Hong Hoe bermalam di dalam kota." kata Pit To Hoan seraya mendongak untuk melihat cuaca. "Aku pikir, lebih baik kita pergi ke kota, untuk mengadakan penyelidikan. Mesti kita ketahui bagaimana nasibnya keponakan San Bin, supaya kita berdaya upaya menolongnya pula. Thio Hong Hoe sangat licin, dia telah memperdayakan kita, maka itu, sulit bagi kita untuk mengetahui, San Bin berada di dalam kerangkeng atau tidak.....”

Semua orang berdiam ketika mereka ingat akan keliehayannya Thio Hong Hoe, yang
gagah dan cerdik sekali.

"Di antara kita, In Siangkong, kaulah yang paling sempurna ilmu entengkan tubuh,"
berkata pula To Hoan. "Di samping itu, di dalam kota, adalah rumah penginapan kita yang
paling besar.....”

Mendengar ini, In Loei yang cerdik, segera mengerti maksud orang.
"Memang!" katanya. "Pada siang hari kita gagal menggunakan golok dan tombak, tapi pada malam hari kita pasti dapat membuatnya mereka kalut dan repot! Atau sedikitnya, kita mungkin dapat mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya.....

Thio Hong Hoe gagah perkasa, aku sangsi dia pandai ilmu enteng tubuh, maka andai kata aku gagal, dapat aku menyingkir daripadanya, belum pasti dia dapat mengejar aku dan menyandaknya....."

Maka diambillah keputusan, malam itu In Loei akan pergi membuat penyelidikan dan Pit To Hoan turut sebagai kawan yang mengintai di luar hotel.

Demikian sekira jam dua, kedua orang itu telah masuk secara diam-diam ke dalam kota di mana mereka segera disambut oleh pihaknya.

Benar saja, Thio Hong Hoe beramai telah mengambil tempat di hotel kaumnya Tjinsamkay, dari itu In Loei, dengan mengandal jongos hotel, dapat masuk ke dalam hotel dengan mengambil jalan dari pintu belakang. Ia minta keterangan, kamar mana yang Hong Hoe pakai, habis itu, ia beristirahat sebentar.

Kira-kira jam tiga, nona In sudah lantas salin pakaian, untuk memakai yaheng ie,pakaian untuk bekerja malam, tetapi ketika hendak lompat naik ke atas genteng,kupingnya mendengar tindakan kaki kuda, yang dengan cepat sekali telah tiba di muka hotel.

Dari dalam rumah penginapan pun sudah lantas keluar serdadu Gielim koen, yang menyambut orang yang baharu tiba itu.

"In Siangkong, harap tunggu sebentar," pesan jongos yang melayaninya.
Dengan bawa tahang air dan makanan kuda, jongos ini terus pergi keluar. Sampai sekian lama, setelah suara di luar sunyi, baharu ia kembali.
"Rupanya itu adalah kabar kilat," ia beritahu In Loei. "Entah urusan apa yang demikian
penting."

Di jaman itu, surat-surat di kirim dan dibawa bergantian oleh pelbagai pesuruh, yang mempunyai pos-pos sendiri, untuk saling menolong, secara demikian surat-surat dapat disampaikan kepada alamatnya secara cepat sekali. Itulah cara yang dinamakan "Pat pek lie koay ma kee kin" atau "Larinya kuda cepat delapan ratus lie." Dalam satu hari orang dapat mencapai sepuluh pos dan menukar sepuluh ekor kuda, kudanya adalah kuda pilihan, penunggang kudanya jempolan. Maka dalam tempo dua belas jam, kuda itu dapat menempuh jarak sejauh tujuh atau delapan ratus lie. In Loei heran.

"Cara bagaimana kau ketahui itu?" ia tanya.
"Sebab, kuda pembawa surat itu telah lelah hingga rubuh," sahut si jongos, "dengan pertolongan dua orang, baharu kepala kuda itu dapat diangkat untuk diberi air minum.....” In Loei berpikir.
"Baiklah," katanya. "Sekarang ingin aku ketahui, kabar penting apakah yang dibawa itu."

Kamar Thio Hong Hoe berada di sebelah selatan, kamar itu besar. Ke sana In Loei nelusup, terus saja ia gelantungkan diri di payon kamar, untuk mengintai ke dalam.Di dalam kamar itu tampak duduk eorang pesuruh, Hong Hoe sendiri tengah menyekal sepucuk surat.

"Penjahat yang hari ini kami dapat tawan, satu pun belum sempat kami periksa," berkata Hong Hoe, "karena itu, belum diketahui apa di antaranya ada orang yang dimaksudkan, tetapi umpama kata benar ada, pasti sekali akan aku turuti kehendak Kong Tjongkoan. Kau tentunya letih sekali, pergi kau beristirahat, supaya besok kau dapat segera kembali ke kota raja. Salinan surat dinas ini nanti aku titahkan orang menyampaikannya kepada Khoan Tiong."

"Terima kasih, thaydjin1." mengucap pesuruh itu, yang terus meminta diri untuk pergi.
Hong Hoe sudah lantas jalan mondar-mandir, kedua alisnya dikerutkan. Terang ia tengah menghadapi urusan sangat penting. "Mana orang!" tiba-tiba ia memanggil.

Segera setelah itu, satu serdadu yang menjaga di pintu luar bertindak masuk. Dia ini diberi titah dengan suara hampir berbisik, atas mana, dia keluar pula.

Masih Hong Hoe nampak tak tenang, ia garuk-garuk belakang kupingnya. Ia beber kertas di tangannya itu, untuk diawasi. Dari tempatnya mengintai, In Loei dapat lihat kertas itu. Itulah bukan surat dinas, itu
adalah lukisan satu orang. Melihat gambar itu, hampir In Loei tak tahan untuk tidak perdengarkan jeritan. Itu adalah gambarnya Tjioe San Bin, yang ia hendak tolongi. Hong Hoe berkata seorang diri, suaranya tak tegas: "Lebih dulu tusuk tulang piepeenya,lalu kedua matanya dikorek keluar, setelah itu dia masih hendak dipakai sebagai umpan untuk menagih kepada Kim Too Tjeetjoe..... Ah, inilah sungguh kejam!"

In Loei terkejut. "Jikalau benar mereka berbuat demikian macam terhadap saudara San Bin, malam ini aku mesti adu jiwaku!" dia berpikir. "Biarlah kita semua bersama binasa!.....”
Dan ia genggam Bweehoa Ouwtiap-nya. Hatinya tegang, tubuhnya sampai bermandikan keringat dingin. Tidak lama kemudian terdengar tindakan dari beberapa kaki.

"Inilah tentu saudara San Bin yang diiring," In Loei menduga-duga. Ia lantas memasang mata, hatinya jadi bertambah tegang. Tapi, ketika ia lihat dengan nyata, ia jadi melengak, hampir saja ia keluarkan seruan tertahan.

Yang datang itu adalah satu perwira muda, dialah orang dengan siapa tadi In Loei bertempur, dia juga si orang aneh yang malam itu membokong si pangeran asing!

"Saudara Tjian-lie, urusan ini sangat sulit untuk diputuskan," berkata Thio Hong Hoe kepada anak muda itu.
"Apakah itu, Thio Thaydjin?" tanya si anak muda. Hong Hoe tidak segera menjawab, ia hanya maju dua tindak, hingga ia berdiri berhadapan dengan si anak muda. Ia bersenyum.
"Kau meninggalkan kota raja pada tanggal tujuh belas, kenapa baru kemarin malam
kau tiba di sini?" dia tanya.

Anak muda itu nampak kemalu-maluan, ia alihkan pandangan matanya. Habis itu ia paksakan bersenyum.
"Di tengah jalan aku diganggu hujan, kudaku tak dapat jalan," ia kata. "Karenanya aku terlambat."
Thio Hong Hoe tertawa. "Benarkah itu?" dia tanya pula.

Wajah pemuda itu berubah, ia mundur satu tindak, tangannya menekan meja."Apakah Thaydjin curigai aku?" dia tanya. Thio Hong Hoe tertawa pula, bergelak. "Mustahil aku curigai kau.....” sahutnya. Lalu,
dengan suara dalam, dia tambahkan: "Walaupun kau memakai seragam Kimie wie belum cukup satu bulan, tapi aku rasa kita dapat bicara dari hati ke hati bukan?"

Dengan bajunya, perwira muda itu menyeka keringat di jidatnya. "Thaydjin setia dan jujur, aku kagum terhadapmu, " ia kata. Thio Hong Hoe maju satu tindak.

"Jikalau kau tidak ingin dicurigai, hendaknya kau bicara terus terang," ia kata. "Ketika kemarin ini di Tjengliong kiap terjadi penyerangan kepada utusan bangsa Mongolia,bukankah kau telah mengambil bagianmu?"

Perwira itu berdiri tegak. "Baiklah thaydjin ketahui aku bukan cuma turut dalam sebagian, aku malah orang yang memegang peranan!" sahutnya.

"Tahukah kau bahwa dia adalah utusan terhormat dari pemerintah kita?" Hong Hoe tanya. "Tahukah kau, apabila terjadi sesuatu atas diri utusan itu, di antara kedua negeri dapat terjadi peperangan?"
Anak muda itu tidak terdesak.

"Thio Thaydjin, tahukah kau, apa maksud kedatangan utusan itu?" ia balik menanya.
"Tahukah thaydjin bahwa utusan itu hendak meminta supaya pemerintah kita menyerahkan tanah daerah untuk mengganti kerugian? Daripada bertekuk lutut terhina,lebih baik kita berperang mati-matian!" "Walaupun demikian," kata Hong Hoe, "kau adalah satu hamba negeri, sebagai hamba
negeri, kau serang utusan negara asing, dosamu bukannya kecil!"

"Sehebat-hebatnya tidak melebihi hukum picis!" kata si anak muda. "Thio Thaydjin,adakah ini urusan yang membuatnya kau sulit? Siapa berani berbuat, dia mesti berani bertanggung jawab, maka itu, tidak nanti aku bikin kau susah. Thio Thaydjin sekarang juga aku bersedia ditawan, kau boleh legakan hatimu!"

Sekonyong-konyong Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak. "Saudara Tjian-lie, tak usah kau pancing ke-murkaanku!" katanya. "Kesulitanku itu tidak ada sangkutannya dengan kau!"

Mendengar ini, tercengang si anak muda. Inilah di luar dugaannya. "Habis, urusan apakah itu?" tanyanya. Dengan sabar Hong Hoe beber kertasnya tadi, dia tunjukkan gambar yang terlukis di
atas itu. "Tahukah kau, siapa orang yang tertera di sini?" ia tanya.

Wajah si anak muda kembali berubah. "Bukankah ia salah satu penjahat yang thaydjin telah tawan?" tanyanya. "Aku hanya ingin bertanya, kenalkah kau padanya atau tidak?" kata komandan Kimie wie itu. "Tahukah kau tentang diri dia ini?"

Si anak muda bersangsi sebentar, lalu ia menghela napas."Dia adalah putera Kimtoo Tjeetjoe yang sangat disayang dari Ganboenkwan," ia berikan penyahutan. "Aku dengar pada sepuluh tahun yang
lampau, Tjioe Kian telah berontak dan kabur keluar perbatasan, dia ditangkap serumah tangganya dan dihukum mati semua, kecuali puteranya ini yang berhasil meloloskan diri.....”

Thio Hong Hoe melirik. "Kau masih berusia sangat muda, tapi bukan sedikit hal yang kau ketahui!" dia kata. Tiba-tiba si anak muda berlinangkan air mata. "Thio Thaydjin....." katanya perlahan,tertahan.

Hong Hoe memotong: "Sejak saat ini, kita ada seperti kakak dan adik. Mulai sekarang aku minta kau panggil saja namaku!"

"Thio Toako," segera si anak muda berkata terus terang, "Kimtoo Tjioe Kian itu adalah tuan penolongku yang besar. Hanya, bagaimana duduknya hingga aku berhutang budi daripadanya, maaf, tak dapat aku menjelaskannya." "Aku pun dapat melihat kesukaranmu hingga kau tak dapat bicara," kata Hong Hoe.
"Baiklah, jangan kita bicarakan pula soal itu. Puteranya Tjioe Kian telah kita tawan. Coba katakan, dengan cara bagaimana dapat kita merdekakan dia?"

"Urusan ini sangat besar, tidak berani aku campur bicara," jawab si anak muda. "Memang benar Kimtoo Tjeetjoe telah berontak terhadap pemerintah, akan tetapi selama berdiam di Ganboenkwan, berulangkah dia melabrak bangsa Ouw yang datang menerjang daerah kita, jadi dengan sendirinya dia telah berjasa kepada negara! Dia mempunyai hanya satu putera, jikalau putera itu dibawa ke kota raja dan diperiksa, aku kuatir ia tak akan dapat lolos dari hukuman mati. Apabila itu sampai terjadi, sungguh hebat!.....”
Pemuda ini berkata, ia tidak berani campur bicara tetapi ia telah mengutarakan rasa hatinya itu! Dengan itu, ia hendak menggerakkan hatinya Hong Hoe, supaya komandan itu suka membebaskan San Bin.....
Thio Hong Hoe mengerti maksud orang, ia bersenyum.

"Tidak usah dia dibawa ke kota raja, tidak usah dia diperiksa lagi," katanya. "Kong Tjongkoan telah ketahui hal ihwalnya putera Tjioe Kian itu tetapi dia mungkin tak usah menemui ajalnya.....”

"Jadi warta kilat tadi ada mengenai urusan ini?" tanya si perwira muda. "Benar!" jawab Hong Hoe. "Itulah hal yang aku katakan sulit. Sungguh lihay mata dan kuping Kong Tjongkoan, dia telah ketahui puteranya Tjioe Kian sudah nelusup masuk ke Tionggoan, dia pun ketahui bahwa kita telah membekuk banyak orang Rimba Hijau kenamaan. Untungnya dia masih belum ketahui, apakah putera Tjioe Kian itu ada di antara orang-orang tawanan kita atau tidak. Maka itu dia telah mengirim warta kilatnya,untuk kita perdatakan putera Tjioe Kian itu. Dia menitahkan, apabila kita berhasil menawan putera pemberontak itu, supaya kita lantas mengalungi tulang piepee-nya, mengorek matanya, untuk melenyapkan kegagahannya, hingga orang tak dapat membawa dia minggat. Setelah itu Kong Tjongkoan hendak menggunakan putera orang itu sebagai barang berharga, sebagai tanggungan, guna memaksa Kimtoo Tjeetjoe, supaya dia tidak menentangi lagi tentara negeri.....”

"Sungguh daya yang kejam sekali!" seru si anak muda tanpa merasa. "Kita sama-sama makan gaji negara," kata Hong Hoe, "terhadap penjahat biasa, bila dia kena ditawan, itu berarti pahala untuk kita, dapat kita bertindak dengan hati adem. Akan tetapi Tjioe Kian dan puteranya bukan penjahat biasa, tanpa mereka itu, sudah sejak siang-siang pasukan perang Watzu menyerbu ke tanah daerah kita.....”

Pemuda itu membuka dengan lebar kedua matanya, yang bersinar terang. "Thio Thaydjin," katanya, "eh, bukan, Thio Toako, baik kau merdekakan saja dia! Coba siang-siang aku ketahui kau mempunyai maksud begini.....”

Thio Hong Hoe tertawa, dia memotong: ".....kau sekarang tidak usah menempuh bahaya dengan menyerang si pangeran asing, bukan? Saudara Tjian-lie, siang-siang aku telah menduga, untuk menyerang si pangeran, kau menggunakan akal dengan sebuah batu mendapatkan dua ekor burung. Kau tidak ingin secara terang-terangan menentang aku, tak ingin kau memerdekakan orang di bawah perlindunganku, maka kau pinjam tangannya rombongan Pit To Hoan. Kau ingin bekuk si pangeran asing, untuk dipakai menukar orang. Bukankah begitu?"

"Toako, apa yang kau katakan itu semua benar," jawab si perwira muda. Ia berlaku terus terang.

Dengan tiba-tiba saja, Hong Hoe berhenti bersenyum. "Bagaimana gampang untuk memerdekakan orang itu!" katanya. "Apakah kau tidak menginsyafi berbahayanya Kong Tjongkoan? Sudah pasti jabatan komandan Kimie wie ini tak akan aku pangku terlebih lama pula, juga kau sendiri, jangan kau mengharap untuk menjadi boe tjonggoan tahun ini.....”

Si anak muda bungkam. Sampai sekian lama, baharu ia buka mulutnya. Ia mendongkol sekali.
"Biarlah, tak apa aku tak turut ujian boe tjonggoan1." katanya, sengit. "Tapi aku tak ingin kau mengorbankan pangkatmu!" "Dengan perbuatanku itu," kata Thio Hong Hoe, "tidak saja pangkatku yang akan hilang, juga jiwaku terancam keselamatannya.....”

Perwira muda itu nampaknya menjadi sangat lesu.

"Sekarang ada titah apalagi dari Thaydjin?" dia tanya dengan tawar. "Kau pergi meronda di luar," kata Hong Hoe. "Kecuali Hoan Tiong, yang lainnya siapa pun tak boleh keluar masuk di sini. Juga kau, aku larang kau bertindak secara sembrono!" "Di bawah perintah kau, toako, — oh, thaydjin," kata si anak muda, "umpama kata aku berani bertindak sembrono, aku toh tidak akan lolos dari golok Biantoo-mu. Thaydjin,legakanlah hatimu, jangan kuatir!" Thio Hong Hoe tertawa, ia kibaskan tangannya.

In Loei lihat tegas, anak muda itu mengundurkan diri dengan lesu dan uring-uringan.

Seberlalunya si anak muda, Hong Hoe panggil pengawal kepercayaannya yang ia bisiki pesannya, setelah mana, orang itu mengundurkan diri, tetapi tidak lama kemudian ia sudah kembali bersama satu orang. Itulah Hoan Tiong, Gietjian siewie.

Kepada pahlawan istana ini, Hong Hoe perlihatkan surat dinas, melihat mana, kedua matanya si orang she Hoan terbelalak, sepasang alisnya berdiri.

"Toako." katanya dengan nyaring, "apakah kau masih ingat sumpah kita baru-baru ini?" "Sang waktu telah lewat lama sekali, aku sudah lupa.....” jawab Hong Hoe.

Hoan Tiong nampak sangat gusar, ia gebrak meja."Apakah benar toako telah melupakannya?" dia tegaskan."Hiantee, cobalah kau katakan....." Hong Hoe minta, sikapnya sabar.

"Dengan darah kita yang panas, hendak kita membela negara!" kata Hoan Tiong, keras."Kita juga tak sudi terima penghinaan dari musuh! Itulah sebabnya kenapa kita masuk tentera! Sama sekali kita tidak mengharapkan anak isteri berbahagia karena kemaruk akan jasa atau pangkat!" ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan. "Adalah maksud hatiku untuk pergi keperbatasan guna dengan golok dan tombakku, mengadu jiwa dengan bangsa Ouw, tetapi Sri Baginda justeru menghendaki aku menjadi pahlawan di dalam istana! Maka dalam beberapa tahun ini, aku merasa seperti tak dapat bernafas.....”

Masih ia menambahkan setelah berhenti sebentar: "Sudah tak dapat kita pergi keperbatasan untuk bertempur dengan bangsa asing, guna membela negara, kita sebaliknya telah mencelakai Kimtoo Tjeetjoe serta puteranya yang justeru telah mengeluarkan tenaganya menentang bangsa Ouw itu! Apakah artinya ini? Tidakkah ini memalukan?"

"Apa lagi sumpah kita itu?" Hong Hoe tanya pula. "Kita mesti beruntung hidup bersama,celaka sama binasa" sahut Hoan Tiong. "Bagus!" seru tjiehoei itu. "Sekarang ada satu bencana besar yang mengancam kita,yang aku ingin kita menentangnya bersama! Mari dekatkan kupingmu!"

Hoan Tiong mendekati, ia pasang kupingnya.

Hong Hoe segera berbisik, habis mana, orang she Hoan itu menjura dalam.
"Toako, maafkan aku untuk kesembronoanku tadi!" ia mohon. "Tindakanmu ini tidak keliru!"
Setelah itu, ia putar tubuhnya untuk berlalu.

Thio Hong Hoe mengawasi, ia menghela napas.

"Aku hanya kuatirkan djieko-mu tak sama pikirannya.....” ia kata.
"Tak usah kita memikir sampai begitu jauh!" Hoan Tiong masih berkata. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan terus, ia buka tindakan lebar. Menyaksikan semua itu, In Loei berpikir.

"Tidak kusangka mereka ini ada orang-orang gagah sejati," katanya dalam hati. Lantas ia dapat pikiran untuk menyusul Hoan Tiong, guna melihat apa yang dia hendak lakukan.

Atau tiba-tiba Hong Hoe yang berpaling ke arahnya, sambil bersenyum lantas melambaikan tangannya dan berkata: "Silakan turun kemari! Sekian lama kau bergelantungan di payon, apakah kau tidak letih?"

In Loei berani, ia pun bersenyum. Ia lompat melayang turun, akan hampirkan komandan Kimie wie itu. Segera ia angkat kedua tangannya, memberi hormat.
"Thio Thaydjin, kita adalah sahabat-sahabat satu dengan lain!" katanya tenang.
"Kau datang untuk menolongi San Bin, bukan?" tanya Hong Hoe.
"Tidak salah," In Loei akui terus terang. "Semua pembicaraanmu telah aku dengar tegas. Sekarang ini aku minta sukalah kau serahkan San Bin padaku." Dengan langsung nona ini mengajukan ermintaannya itu.

Hong Hoe tertawa.

"Dengan serahkan ia untuk dibawa pergi, tidakkah itu akan menerbitkan kegemparan?" tanya komandan ini. "Bagaimana kalau kau gagal? Apakah kau tidak memikir kepentingan di pihak kami?"

In Loei melengak. Ia lantas berpikir. Memang itu bukanlah cara yang tepat. Tak seharusnya Hong Hoe dibikin repot atau pusing. Ia jadi malu sendirinya. Hong Hoe pandang muka orang, ia bersenyum.

"Kini Hoan Tiong telah bawa pergi Tjioe Toako-mu itu dengan diam-diam," ia beritahu. "Aku titahkan mereka untuk tunggui kau di luar pintu kota utara." In Loei ada demikian girang, hingga — sret! — lantas saja ia lompat naik ke atas payon.

"Tunggu!" tiba-tiba Hong Hoe mencegah."Ada apa lagi?" tanya si nona sambil berpaling.
"Mana sahabatmu yang menunggang kuda putih itu?" Hong Hoe tanya.

Goncang hatinya si nona.

"Dia ambil jalannya sendiri, aku juga ambil jalanku sendiri," ia jawab. "Aku tak tahu dia di mana."
Hong Hoe menjadi heran sekali.

"Kamu berdua merangkap sepasang pedang, kamu menjagoi, mana dapat kamu hidup berpencaran?" dia bilang. "Sahabatmu itu agung sekali, sekali saja orang lihat padanya,orang akan jatuh hati. Kalau nanti kau bertemu pula dengan dia, tolong sampaikan hormatku kepadanya."

"Belum tentu aku dapat bertemu pula dengannya," sahut In Loei. "Baiklah, akan aku ingat pesanmu ini. Aku pergi!" Ia hendak ambil langkahnya, atau:"Tunggu dulu!" kembali Hong Hoe mencegah.

In Loei menoleh, ia menjadi tidak sabaran. "Ada apa lagi?" tanyanya.
"Sekarang ini Tjinsamkay Pit To Hoan ada di mana?" Hong Hoe tanya.

Kaget In Loei.

"Apakah ia telah ketahui sepak terjangnya Pit Looenghiong?" ia menduga-duga.Karena kesangsiannya, ia tidak segera memberi penyahutan.

Hong Hoe awasi kelakuan orang, ia tertawa.

"Kau tidak hendak menerangkannya, tidak apa," katanya. "Sekarang aku hendak mohon perantaraanmu untuk menyampaikan kepadanya, bahwa dia adalah beda daripada Kimtoo Tjeetjoe, karena itu, sebab aku telah terima titah untuk membekuk dia, andaikata dia kena tertawan, tidak dapat aku ambil sikap perseorangan dan merdekakan dia. Dia ada seorang gagah, aku hargai padanya, aku minta sukalah dia pergi jauh, supaya tak usah dia bertemu muka dengan aku. Cukup sudah, untuk sahabat baik, cuma sampai di sini saja dapat aku bertindak. Kau pergilah!"

In Loei lantas berlalu. Tak habisnya ia memikirkan sikap luar biasa dari Thio Hong Hoe.Itulah sikap di luar dugaannya. Memikir terlebih jauh, ia sayangi orang she Thio itu, yang demikian kosen dan cerdik tapi telah sediakan tenaganya untuk satu kaisar Beng. Itulah tujuan hidup yang tidak ada harganya di matanya. Karena ini juga, ia menjadi ingat engkong-nya, yang disebabkan kesetiaannya sebagai utusan kerajaan Beng, sudah mesti bersengsara puluhan tahun di negara asing, akan akhirnya menghembus napas secara kecewa.

"Itulah kesetiaan tolol!" kata si nona perlahan. "Entah berapa banyak penyinta negara yang dikurbankan kesetiaan keliru ini.....”

Masih muda nona ini, tak memikir ia soal yang demikian berat yang telah berabad-abad usianya. Ada sangat sulit untuk membedakan kesetiaan terhadap negara dengan kesetiaan terhadap raja. Di jaman feodal siapa tidak sangat cerdas dan tabah, tak dapat dia membedakannya. Tapi ia telah kenal Tan Hong sekian lama, tanpa merasa, ia kena juga terpengaruh anak muda itu, ia dapat juga menganggap rendah sikap engkong-nya yang bersetia secara membuta kepada kaisar Beng.

Walaupun hatinya tidak tenteram, In Loei tidak pernah hentikan tindakannya, tidak ia berlambat sejenak jua. Sebentar saja sudah ia berlalu dari hotel. Sampai di seberang, ia lompat naik ke atas genteng dari rumah di sebelah depan. Ia awasi bintang-bintang, ia menerka sudah jam empat. Ia tidak lihat Pit To Hoan, sekalipun ia ketahui, jago tua itu bertugas memasang mata terhadapnya. Ia lantas menepuk tangan tiga kali, perlahan tetapi terang. Ia percaya To Hoan akan mendengarnya kalau kawan itu masih menantikan padanya, karena sangat terang pendengarannya. Akan tetapi, ia tidak peroleh jawaban
tidak ada orang yang muncul. Sia-sia ia menantikan sekian lama. Akhirnya, ia menyedot napas dingin.
"Ah ke mana perginya. Pit Looenghiong?" ia kata dalam hatinya. "Dia seorang kangouw yang ulung, tidak nanti orang tipu padanya. Apakah dia telah lihat San Bin? Kalau begitu,mestinya dia tunggu atau cari aku, untuk bekerja sama..... Tak seharusnya dia pergi seorang diri dengan diam-diam..... Ke mana dia pergi?"

Si nona mengawasi pula ke sekelilingnya, kembali ia menyedot napas dingin. Karena penasaran, ia lantas mencari di sekitar tempat itu sejauh satu lie persegi. Dua kali ia ulangi untuk mencari, matanya dibuka lebar-lebar, kupingnya dipasang. Sia-sia saja, tetap ia tak tampak bayangan si orang tua.

"Ah, apakah Hong Hoe telah lihat dia dan telah menjebaknya sehingga kena ditawan?" nona ini mau menduga. "Tidak, itulah tak mungkin! Sebegitu jauh Hong Hoe tetap berada di dalam kamarnya! Kecuali Hong Hoe, tidak ada satu pahlawan lainnya yang sanggup layani Pit Looenghiong1. Sekalipun Hong Hoe sendiri, sebelum lewat lima ratus jurus,tidak nanti ia dapat peroleh kemenangan atasnya! Kenapa dia tak nampak bayangannya?

Mustahil dia benar-benar kena tertawan musuh? Apakah ada lain orang gagah, yang telah rubuhkan padanya — merubuhkannya secara curang? Tak bisa jadi Pit Looenghiong dapat dirubuhkan tanpa suara apa-apa.....”

Tegang hatinya nona ini, ia berkuatir. Terpaksa ia lari ke pintu kota utara. Dengan cepat ia telah sampai di luar kota, di tempat yang Hong Hoe sebutkan. Di sana katanya Hoan Tiong dan San Bin menantikan ia. Ia lantas pergi ke tempat yang tinggi, ia tepuk kedua tangannya selaku tanda. Dengan mata dibuka lebar, ia tampak jagat yang tertaburkan bintang-bintang dan cahayanya si Puteri Malam. Malam yang tenang, kecuali suara kutu-kutu. Suasana sunyi senyap. Di sana tak ada Hoan Tiong dan San Bin.....

Sekian lama In Loei menanti, akhirnya ia jadi kuatir berbareng mendongkol. "Apakah Thio Hong Hoe sedang mainkan akal muslihatnya?" ia jadi curigai pahlawan Kimie wie itu. Kenapa aku gampang mempercayai dia? Mungkinkah dia tidak memerdekakan Tjioe Toako? Tapi, untuk apa dia dustai dan memperdayai aku?"

Dalam keragu-raguannya yang sangat, akhirnya In Loei lari kembali ke dalam kota. Dengan cepat ia tiba di muka hotel. Ia lihat pintu besar cuma dirapatkan. Ia heran. Dengan berani ia menolak pintu dan bertindak masuk. Di dalam pekarangan ada belasan ekor kuda, tapi kuda-kuda itu berdiri diam bagaikan manusia, kedua kaki depannya masing-masing terangkat naik. Kuda itu tidak bergerak, tidak berbunyi, sekalipun mereka didupaki.

Maka itu, di bawah sinar rembulan, mereka tampaknya menyeramkan. Sejenak In Loei berdiam, segera ia ingat kepandaiannya Hek Pek Moko untuk menakluki kuda. Ia menjadi terperanjat. Ingat ia kepada dua iblis istimewa itu. Kedua mereka itu, jikalau orang tidak ganggu padanya, tidak akan mereka ganggu orang lain. Benar di Tjengliong kiap mereka telah bantui ia secara diam-diam, tetapi itu adalah bantuan sambil lalu, mereka itu tidak tempur terang-terangan tentara negeri. Sekarang, kenapa malam malam mereka datang kemari dan mempermainkan belasan kuda itu? Itu tandanya merekapun mempermainkan tentara negeri!.....

"Jikalau benar Hek Pek Moko yang datang kemari, urusan pasti mesti ada ekornya," In Loei menduga kemudian. Karena ini ia lompat naik ke atas rumah, ia pasang kupingnya.

Dalam hotel itu, berikut tentara negeri, penumpangnya berjumlah kira-kira tujuh puluh orang, tetapi waktu itu, tak terdengar satupun juga suara dari mereka, suasana sangat sunyi, sampaipun suara dekur tidak terdengar, hingga kesunyian mirip seperti pekuburan.....
Dengan hati-hati, In Loei lompat masuk ke tjimtjhe dalam. Adalah niatnya untuk cari si jongos. Ia tampak pintu besar terbuka terpentang. Dan ia dapatkan, jongos yang pernah jadi penunjuk jalannya, pengantarnya, sedang tidur nyenyak bagaikan mayat. Ia tolak tubuh jongos itu, masih dia itu tak sadar dari tidurnya. Ia taruh tangannya di depan hidung orang, ia merasai hembusan napas. Ia mencoba menguruti jalan darahnya, akan tetapi nampaknya jongos itu bukan bekas kena totokan tiamhiat hoat.

Heran dan penasaran, In Loei memeriksa terlebih jauh. ia jadi semakin heran. Beberapa jongos lainnya, jongos dari lain-lain kamar, rebah diam seperti jongos itu. Malah kuasa hotel, yang ia tahu mengerti ilmu silat, tidak menjadi kecuali, rebah seperti semua jongos itu.....

"Aku dengar dalam dunia kangouw ada satu penjahat tukang petik bunga yang ada punya asap lupa istimewa," pikir si nona, "siapa terkena asap itu, dia akan tak sadarkan diri sebagai orang telah mati. Mungkinkah mereka ini telah terkena macam obat tidur itu?"

Segera In Loei cari air, dengan itu ia sembur mukanya si kuasa hotel. Cuma kedua lengannya si kuasa bergerak sedikit tapi dia tetap tak sadar. Dia nampaknya bukan terkena obat tidur.

Walaupun ia bernyali besar menghadapi kejadian itu, si nona bingung juga. Di akhirnya,ia lari keluar, akan periksa lain-lain kamar. Semua pintu kamar terpentang lebar, semua penghuninya, rombongan serdadu, pada tidur nyenyak sekali. Begitu juga serdadu yang rebah menggelar di ruangan tengah. Malah ada yang tidur dengan kaki tangan terpentang merupakan huruf "tay" — "besar." Ada juga mereka yang nyender ngelehek di tembok, kepalanya tunduk, pundaknya turun.

Yang paling lucu ialah mereka yang mulutnya mengangah.....
Seorang diri, In Loei bermandikan keringat dingin. Ia coba berteriak. Tidak ada jawaban manusia hanya suara kumandang. Ia merasa sangat tegang. Di situ, ia jadi seperti berada seorang diri saja, ia bagaikan hidup sendirian.....

Dengan perlahan-lahan In Loei tenangkan dirinya. Ia mengingat-ingatkan akan Thio Hong Hoe yang liehay, juga si perwira muda yang tidak dapat dipandang enteng. Dua orang itu kosen, melayani mereka, belum tentu Hek Moko dapat dengan mudah menang di atas angin. Maka aneh sekali kenapa terjadi demikian rupa terhadap seluruh hotel?

Dengan penasaran In Loei lari ke belakang. Di sana ia lihat enam buah kereta kerangkeng. Sekarang semua kerangkeng itu telah terbongkar, jeruji besinya memberi tanda bekas dikutungi senjata tajam. Kosong semua kereta itu, tak ada perantaiannya. In Loei jadi semakin heran. Senjatanya Hek Moko bukan senjata mustika. Siapakah yang telah melakukan semua ini?

Benarkah Hong Hoe ramai kena dikelecei secara demikian gampang? Dengan perasaan heran In Loei lari ke kamarnya Hong Hoe. Kalau semua kamar lainnya pintunya terpentang lebar, adalah kamarnya komandan Kimie wie ini, tertutup rapat. Untuk membuka kamar itu, In Loei mendupak dengan kakinya. Begitu lekas daun pintu menjeblak, kamar itu terlihat kosong — Thio Hong Hoe tak nampak dalam kamarnya itu!

Memandang ke sekitar kamar, tembok tertampak lukisan dari dua buah tengkorak manusia, yang dilukis dengan arang. Itulah tandanya Hek Pek Moko! .Adakah Thio Hong Hoe tercelaka oleh kedua iblis dari Barat itu?
Tetapi tidak ada tanda darah di lantai kamar. Hong Hoe liehay, umpama ia kalah terkepung Hek Pek Moko, itu baharu akan terjadi sesudah satu pertempuran yang seru.Sekarang ini keadaan kamar tak berubah sedikit jua, kursi tidak terbalik, meja tak terjungkal. Tidakkah itu aneh?

Masih In Loei memandang seluruh kamar, hingga ia tampak, di tembok berhadapan dengan gambar kedua buah tengkorak itu, ada bertuliskan sesuatu yang lain. Yaitu yang satu adalah sebaris huruf, dan yang lain, yang di tengah, ada lukisan seekor kera bertangan panjang, mukanya bengis sekali.

Di kiri ini ada lukisan sebatang pedang panjang,yang ujungnya tertusukkan sekuntum bunga merah, didampingi dikedua sampingnya dengan bunga putih. Sebaris huruf itu yang besar-besar, berbunyi:
"Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam hendak memapas kepalanya Hek Pek Moko! Siapa yang berlaku curang, dia bukannya satu enghiong! Siapa bernyali besar, silahkan datang keselat Tjeng Liong Kiap."

In Loei ulangi itu tujuh huruf "Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam," atau Hoa Sam Kiam si Kera Berlengan Besi. Ia lantas ingat penuturan gurunya tentang orang-orang liehay dari Rimba Persilatan jamannya itu. Ketua partai Thiamtjhong Pay, yang bernama Leng Siauw Tjoe mempunyai dua murid terpandai, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong dan Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe. Kedua murid ini mempunyai masing-masing kepandaiannya yang istimewa, tadinya hidup mereka ada di antara kalangan benar dan sesat, akan tetapi sudah belasan tahun lamanya mereka berdiam "bertapa" di atas gunung Thiamtjong San,untuk melatih lebih jauh kepandaian mereka, hingga mereka tak tampak pula dalam dunia
kangouw. Maka adalah aneh, kenapa mereka berdua menantang Hek Pek Moko? Ada perselisihan apakah di antara kedua pihak itu? Memikirkan terlebih jauh, In Loei mau menduga,

Hek Pek Moko adalah yang sampai terlebih dahulu di rumah penginapan itu, kemudian baharulah muncul Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam.....

In Loei menjadi terlebih bingung lagi. Kejadian yang satu disusul kejadian yang lain. Yang satu aneh, yang lain terlebih aneh pula. Tak tahu ia apa yang harus dilakukan. Maka ia tinggalkan kamar dan pergi keluar, akan melihat-lihat. Ia seperti merondai hotel itu,sampai setibanya ia di belakang, di pintu samping, ia tampak pula satu hal aneh lainnya.

Di situ terlihat si perwira muda, goloknya melintang di depan dada, kaki depannya terangkat naik, seperti tengah membuka tindakan lebar. Dia seperti terkena Tengsin hoat,ilmu "Mendiamkan tubuh", kedua matanya dipentang lebar. Dari tenggorokannya terdengar suara gerogokan. Inilah pemandangan mirip dengan yang In Loei tampak di rumah Tjio Eng, ketika Thio Tan Hong totok ke empat saudagar barang permata.

"Apakah dia pun datang kemari?" In Loei tanya dirinya sendiri. Ia ingat pada Tan Hong,si mahasiswa berkuda putih. Hatinya jadi berdenyut. Ia berdiri menjublak.

Perwira itu tak dapat berkutik, kaki tangan dan tubuhnya juga, akan tetapi kedua matanya bisa ditujukan kepada si nona.

Oleh karena ia ingat ilmu totoknya Tan Hong, yang ia mengerti cara membebaskannya,dengan berani In Loei hampiri si anak muda, dengan lantas ia tekan kedua jalan darahnya , ialah "thiansoan" — "teeekie." Sekejap saja perwira itu berseru, menyusul mana, kaki dan tangannya dapat bergerak juga. Tapi, yang hebat, adalah ketika dengan mendadak goloknya menyambar membacok kepada In Loei!
Tidak terkira kagetnya si nona, syukur ia tidak gugup, di saat bahaya maut mengancam dirinya itu, dengan kesebetannya ia dapat berkelit. Iapun segera hunus pedangnya, untuk menjaga diri.

Perwira muda itu menjadi gusar. "Hai, binatang! Kiranya kau berkomplot dengan si penghianat!" demikian dampratnya.

In Loei menjadi mendongkol."Kenapa kau balas kebaikan dengan kejahatan?" ia tegur.
"Sebab tangan jahat dari si penghianat adalah justeru kau yang mengerti ilmu membebaskannya!" bentak pula si anak muda. "Jikalau kau dan dia bukannya asal satu guru, kamu tentulah bersahabat kekal satu pada lain, karenanya kau diajari ilmu membebaskan totokan itu! Apakah kau masih hendak berlaku licik dan menyangkalnya?" In Loei menjadi gusar, hingga ia maju menyerang, beruntun tiga kali. "Kau kurang ajar!" ia membentak. "Jikalau aku kandung maksud jahat, mustahil aku membebaskan kau?" "Kalau bukan sahahat, ada hubungan apa di antara kau dan dia?" membandel perwira muda itu. "Lekas kau bicara!"

In Loei tetap murka. "Kau siapa? Pernah apa aku terhadapmu hingga aku mesti turut kata-katamu?" ia bentak pula. Anak muda itu tetap gusar, malah ia balas membacok, dua kali."Kau tahu siapa yang telah membokong aku?" katanya sengit. "Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si perdana menteri muda dari negara Watzu! Aku lihat kau seorang gagah perkasa, maka itu, setelah kau ketahui siapa dia itu, kau mesti bantu aku menuntut balas!"

Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata: "Sejak siang-siang telah aku ketahui puteranya Thio Tjong Tjioe itu. Untuk apa aku tunggu sampai kau memberitahukannya?.....” Akan tetapi ia merasa aneh, ingin ia mendapat tahu.

"Ada permusuhan apa di antara kau dan dia?" ia tanya.
"Panjang untuk menuturkan soal itu," jawab si anak muda. "Aku dan dia bukan cuma bermusuh, aku malah hendak basmi semua anggauta keluarganya, tak peduli tua dan muda! Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si penghianat benar! Dia menyelusup masuk ke Tionggoan, pastilah dia kandung maksud tidak baik! Karena itu, sebab kau ada satu orang gagah perkasa, kau juga mesti bermusuh dengannya!"
Diam-diam In Loei bergidik. Dari omongan orang ia dapat membayangkan bunyi surat wasiat kulit kambing yang berbau bacin. Dan, mengawasi si anak muda, rasanya ia makin kenal, makin kenal.....

Dan di akhirnya, ia rasakan hatinya dingin, tubuhnya menggigil, giginya bercatrukan.
"He, kau kenapa?" tanya si perwira, heran. Ia mengawasi dengan tajam.
In Loei kuatkan hatinya untuk mencoba berlaku tenang.
"Tidak apa-apa," sahutnya perlahan.
"Syukur!" si anak muda kata. Lalu ia menambahkan: "Kita bertempur, sekarang baiklah kita berdamai. Kau beritahukanlah asal-usulmu, nanti aku beritahukan riwayatku kepadamu.....”
"Tentang dirimu, tak usah kau tuturkan padaku," In Loei kata. "Aku tahu, kau datang dari Mongolia.....”
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanya si anak muda.
"Kemarin kau serang si pangeran asing, kau menyamar sebagai pengembala bangsa
Mongolia," sahut In Loei. "Dalam segala-galanya, kau mirip sekali."
"Oh begitu?" si anak muda tertawa tawar. "Leluhurku, selama dua turunan memang sebagai pengembala dari Mongolia.....”

Tiba saja In Loei rubuh sendirinya, ia bagaikan pingsan.
Kakeknya In Loei hidup mengembala kuda dua puluh tahun di Mongolia, dan ayahnya, untuk menolongi kakek itu, tinggal di Mongolia juga dengan sembunyikan she dan namanya, selama itu hidupnya sebagai pengembala kambing. Memang, mereka itu adalah pengembala-pengembala di Mongolia, namun mereka adalah pengembala-pengembala yang terpaksa.....

Sejenak In Loei merasa bagaikan kontak seluruh tubuhnya, hingga ia menggetar,menjadi seperti beku, habis tenaganya.

"Dia inilah kakakku," demikian pikirnya sesaat itu, begitu lekas ia dengar jawaban si anak muda itu. "Tidak salah lagi, pasti dia kakakku! Ah, apakah benar dia kakakku?.....”

In Loei datang ke kota raja untuk dengar-dengar perihal kakaknya. Sekarang, setelah bertemu, tiba-tiba saja ia dapat perasaan, ia mengharap, pemuda itu bukan kakaknya itu..... Ia terbenam dalam keragu-raguan. Di waktu menyebut Thio Tjong Tjioe ayah dan anak, nyata sekali kebencian pemuda itu terhadap ayah dan anak itu. Bagaimana kalau pemuda ini benar kakaknya? Bagaimana anggapan kakak ini apabila dia ketahui pergaulannya dengan Thio Tan Hong? Apa akan terjadi kelak? Apakah memang In Loei tidak berniat mencari balas? Bukan! Tak lenyap dari pandangan matanya itu surat wasiat
kulit kambing yang berdarah dan berbau bacin. Tapi, ia benci Thio Tan Hong berbareng menyintainya juga..... akan tetapi ia tak menginginkan lain orang membenci Tan Hong itu.....

Inilah pertentangan hebat dalam hatinya itu. Inilah yang membuatnya ia, tanpa merasa, rubuh sendirinya.
"Kau siapa?" tanya anak muda itu, keras.
Masih kalut pikirannya nona ini.
"Untuk sementara baiklah aku tidak segera perkenalkan diriku?" ia bersangsi. "Jikalau dia bukan kakakku, tidakkah aku jadi buka rahasiaku sendiri? Bukankah dia seorang perwira.....”

In Loei sambar sebatang rumput, lantas ia lompat bangun. "Aku datang mencari Tjioe San Bin!" akhirnya ia jawab.Agaknya pemuda itu heran.

"Aku tahu kau datang untuk menolongi Tjioe San Bin," ia bilang. "Pada waktu pertama kali kau datang, kau mendekam di atas gentengnya Thio Thaydjin. Ketika itu sekira jam tiga. Aku telah lihat kau, tetapi aku membiarkannya, tak ingin aku pergoki kau. Yang aku tanyakan bukannya urusan itu....."
"Jikalau kau tanya lainnya hal, tak sudi aku bicara," In Loei bilang. "Apakah kau tidak ketahui, urusan ada yang penting dan tidak penting? Kau lihat, cara bagaimana kau sudah mengacau! Bagaimana kau masih hendak menanyakan sesuatu kepadaku? Aku justeru hendak tanya kau, di mana Tjioe Toako itu? Kecuali kau, siapa pernah datang kesini? Apa yang kau bicarakan dengan Thio Hong Hoe, telah aku dengar semua, dari itu aku ketahui,kau juga datang untuk menolongi Toako San Bin itu."

Nampaknya pemuda ini bagaikan ingat sesuatu, ia seperti sadar.

"Kau benar," ia akui kemudian. "Sekarang mari kita masuk ke dalam untuk melihat-lihat.
Mengapa Thio Thaydjin tidak muncul?" Tiba-tiba ia berhenti, akan kemudian menambahkan: "Sebenarnya apa yang kita bicarakan ini bukannya urusan tidak berarti..... Kau mirip dengan itu orang yang aku sedang cari. Sayang kau adalah seorang pria.....

Ah, panjang untuk menutur, tak dapat itu dijelaskan dalam tempo satu hari satu malam. Baiklah lain waktu saja kita membicarakannya pula.....”

In Loei telah menindakkan kakinya, ia jalan di sebelah depan. Ia tak ingin pemuda itu melihat air mukanya.

"Apakah kau masih belum ketahui di dalam telah terjadi kekacauan?" ia tanya, tawar.
"Semua serdadumu telah orang buatnya hingga bagaikan mayat-mayat hidup! Thio Thaydjin-mu juga tak nampak.....”

Terkejut anak muda itu, hingga ia berseru, lantas ia lari mendahului, hingga ia tampak kejadian di dalam, yang membuatnya ia bergidik. Benar katanya anak muda ini yang ia tidak kenal..... Dan ketika ia masuk ke dalam kamar Thio Hong Hoe, di situ ia dapatkan lukisan tengkorak, kera dan pedang.

"Benar-benar mereka yang datang!" katanya seorang diri.
"Mereka? Mereka siapakah?" In Loei menegasi.
"Itulah Hek Pek Moko bersama kedua paman guru dari Kong Tjongkoan dari keraton," sahut si anak muda.
"Oh, kiranya Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe adalah paman guru dari Tjongkoan1." In Loei bilang. "Aku harus beri selamat kepadamu yang telah dapatkan lagi dua orang kosen yang liehay!.....”

Tidak senang si anak muda mendengar perkataan itu.

"Kau tidak tahu keadaan di sebelah dalamnya" ia bilang. "Apabila Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam ketahui kita yang merdekakan Tjioe San Bin, sudah pasti jiwanya Thio Thaydjin tidak akan dapat dilindungi.....”

In Loei heran.

"Apakah benar-benar Tjioe San Bin telah dimerdekakan?" tanyanya, menegaskan.
"Semula memang aku menyangka Thio Thaydjin tidak niat melepaskannya," jawab si anak muda. "Tak disangkanya, dia telah atur segala apa. Dia telah suruh membawa San Bin keluar dengan diam-diam....."
"Tapi sekarang San Bin dan Hoan Tiong tak tahu ada di mana dan entah bagaimana keselamatan mereka," In Loei mengutarakannya. Ia unjuk apa yang ia telah alami.

Perwira muda itu menghela napas.

"Siapa juga tak dapat menyangka kejadian tak diduga-duga ini.....” bilangnya.

Hendak In Loei menanya jelas, atau si anak muda telah menambahkannya: "Hoan Tiong dan Tjioe San Bin keluar secara diam-diam dari pintu belakang," demikian katanya. "Selama mereka berlalu, akulah yang memasang mata untuk berjaga-jaga. Tibatiba sang angin berkesiur masuk dengan membawa suatu bau harum. Aku segera menahan napas tetapi bau wangi itu sudah masuk juga sedikit ke dalam hidungku, telah kena aku sedot. Hebat bau harum itu, meskipun aku menyedotnya sedikit, segera aku
merasakan tubuhku menjadi lemas. Di saat itu aku tampak satu tubuh melayang turun dari atas tembok.
Aku kenali dialah si penghianat Thio Tan Hong yang selama di Mongoli aku telah mengenalinya. Begitu dia turun tangan, dia totok aku dengan ilmu totoknya yang liehay. Aku menahan napas, untuk melawan, percuma saja, aku tak sanggup bertahan, aku malah tak dapat berteriak. Dengan paksa aku lawan padanya, tapi baharu enam jurus, segera aku terpengaruh bau harum itu. Begitulah aku kena ditotok
olehnya.....”

"Kiranya demikian duduknya hal, pantas dia dapat lekas dirubuhkan Tan Hong," In Loei pikir. "Anehnya, apa perlunya Tan Hong berlaku demikian rupa terhadap dia? Apakah maksudnya?.....”

"Setelah aku kena ditotok," si anak muda melanjutkan, "aku lantas tidak ketahui apa juga yang terjadi di dalam hotel ini. Aku juga tidak tahu berapa lama sudah berselang,tiba-tiba dari luar datang masuk dua orang, datangnya pesat bagaikan terbang. Yang satu adalah seorang tua dengan "pinggang biruang dan bermuka kera" yang lainnya satu imam yang menyoreng pedang panjang di pinggangnya. Mereka ini mencoba menotok aku,untuk bebaskan aku dari totokannya Thio Tan Hong, mereka tidak berhasil. Mereka jadi mendongkol, mereka tinggalkan aku masuk ke dalam sambil mereka mengutuk. Sebenarnya kecewa mereka menjadi ketua-ketua dari Thiamtjhong Pay, tak mampu mereka membebaskan totokannya lain kaum, seharusnya mereka mengutuk diri sendiri..... Tidak lama semasuknya mereka, keduanya segera keluar pula, dengan sengit sekali mereka itu mencaci Hek Pek Moko, lalu bagaikan terbang mereka melesat ke atas tembok dan pergi. Ah, kalau saja mereka ketemu dua iblis itu, pasti akan terjadi satu pertempuran dahsyat.....”

"Sekarang mari kita pergi ke Tjengliong Kiap untuk lihat mereka," In Loei mengajak.
"Baik!" jawab si perwira muda seraya ia terus bertindak keluar.

Ketika ia telah saksikan keadaan semua kuda-kuda itu, ia tertawa sendirinya, ia menjadi mendelu.
"Lihat dua iblis itu!" katanya, sengit. "Mereka juga turunkan tangan jahat mereka sebagai pencuri-pencuri kuda yang liehay! Syukur aku telah tinggal buat banyak tahun di Mongolia, tahu aku caranya menyembuhkan kuda-kuda yang diperlakukan demikian.....”

Sambil mengucap, anak muda ini hampirkan dua ekor kuda, yang ia uruti bergantian,ditepuk-tepuk pulang pergi, hingga darahnya kedua binatang itu berjalan pula seperti biasa, hingga di lain saat, kedua kuda itu dapat pulih kebebasan mereka.

Maka berdua mereka naiki kuda itu, untuk kabur keluar kota.

Waktu itu sudah jam empat, sang fajar tengah mendatangi. Kedua kuda dilarikan keras,tidak lama kemudian, mereka sudah dapat memandang selat Tjengliong Kiap. Begitu tiba di sebuah tikungan, dari kiri mereka dengar suara bentroknya alat senjata, sedang di sebelah kanan, mereka tampak satu penunggang kuda asik kabur.

"Mari kita melihat berpisahan," si anak muda usulkan. "Aku ke kiri, kau ke kanan."
In Loei menurut tanpa banyak bicara, ia lari ke kanan. Tidak lama, ia sudah mulai candak penunggang kuda yang satu itu. Ia lantas perdengarkan suitan yang nyaring.Penunggang kuda itu hentikan kudanya dengan tiba-tiba, dengan cepat dia membalik diri.
In Loei segera kenali penunggang kuda itu ialah komandan dari Gielim koen atau ahli silat nomor satu dari kota raja yaitu Thio Hong Hoe!

Segera In Loei menggape, kudanya dikasi dari terus untuk menghampirkan. Karena Hong Hoe terus tahan kudanya, sebentar saja mereka sudah datang dekat satu pada lain.

"Mana sahabatmu?" Hong Hoe mendahului menanya.
Si nona terkejut.
"Apakah kau telah ketemu dengan dia?" tanyanya, heran. "Aku baharu saja pergi dari tempatmu di sana.....”
Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir keras.
"Kalau begitu, kejadian sungguh aneh!" ia bilang kemudian. "Kenapa dia pancing aku keluar? Kenapa kita mesti main petak di tegalan ini, main putar-putaran?"

Heran In Loei.

"Apa?" ia tanya. "Diakah yang pancing kau datang kemari? Bagaimana dengan Hek Pek Moko?"
"Apakah kau maksudkan itu dua mahluk aneh yang kemarin kita ketemukan di dalam lembah?" Hong Hoe menegaskan. "Aku tidak bertemu dengan mereka. Sehabis aku antar kau, aku duduk diam di dalam kamarku, selagi aku pikirkan daya untuk menghadapi segala kemungkinan dari akibatnya tindakanku ini, aku dengar tiga kali ketokan perlahan pada jendela kamarku. "Saudara, kau sudah datang!" demikian aku dengar. Terang dia sangat enteng tubuhnya, karena kedatangannya itu tak aku ketahui sama sekali. Aku
lantas lompat keluar. Dia telah lantas berada di atas genteng dari mana dia gapekan aku. Diapun bersenyum berseri-seri....."

Ingin In Loei tanya, siapa orang itu, atau Hong Hoe potong padanya: "Apa? Kau masih hendak menanyakannya? Pasti sekali dia sahabatmu yang menunggang kuda putih itu! Apakah namanya dia? Ya, Thio Tan Hong! Sungguh aneh gerak-geriknya itu, tak dapat aku menerkanya. Sebenarnya aku sangat ingin berkenalan dengannya, dari itu, aku segera hampirkan dia. Dalam sekelebatan saja, dia telah melintasi dua wuwungan rumah. Tak dapat aku lukiskan kegesitannya, aku hanya bisa memuji dia. Aku menduga-duga,mungkin dia panggil aku keluar sebab tidak leluasa untuknya akan bicara di dalam kamar. Aku susul dia sampai melewati dua jalan besar, di pojok jalanan aku lihat dua ekor kuda.

"Naik kuda!" dia itu kata padaku. Lantas dia mendahului lompat naik atas kudanya yang putih itu. Aku lompat atas kuda yang kedua. Sama-sama kita kabur keluar kota. Semula aku menyangka dia akan hentikan kudanya untuk bicara dengan aku, tetapi dia kabur terus. Aku teriaki dia berulang-ulang, dia seperti tidak mendengarnya. Aku coba menyusulnya, tapi tak berhasil aku menyandaknya. Ketika aku tidak menyusul terlebih jauh, dia justeru perlahankan larinya kudanya, hingga dia membikin aku sangat heran.Demikian di tempat ini, dia pancing aku berlari-lari tidak keruan juntrungan. Sungguh aku
tidak mengerti.....”

"Sekarang?" In Loei tanya. Ia pun heran.
"Sekarang ini dia telah melintasi tepi bukit sana," sahut Hong Hoe sambil menunjuk ke arah depan. "Karena aku dengar panggilan kau, aku tidak susul dia lebih jauh. Ya, kau sendiri, dari mana kau datang? Apakah ada orang yang ketahui perbuatan kita?"

In Loei tertawa.
"Orang yang mengetahuinya?" katanya. "Sebaliknya daripada sadar, semua orangmu telah dibikin mampus oleh Hek Pek Moko!"

Hong Hoe berjingkrak.

"Apakah benar Hek Pek Moko ada punya nyali demikian besar?" dia tanya.
In Loei bersenyum pula. Tapi ia bersungguh-sungguh.
"Bukan mampus benar-benar, tapi tak bedanya dengan mampus," ia bilang.Si nona tuturkan apa yang ia lihat di hotel.

Hong Hoe heran. Kenapa orang yang tak sadar tak dapat disadarkan dengan semburan air? Sungguh hebat bau harum itu! Tapi ia tidak berpikir lama, untuk perbuatannya Hek Pek Moko! Di Barat ada semacam obat pingsan itu, yang sangat liehay, biasanya disebut "asap mengembalikan semangat waktu jam lima ayam berkokok." Rupa-rupanya Thio Tan Hong bekerja sama Hek Pek Moko, yaitu Thio Tan Hong yang pancing aku keluar, Hek Pek Moko yang melepaskan bau harum itu. Aku tidak mengerti! Dengan Hek Pek Moko aku tidak bermusuhan, dengan Thio Tan Hong pun aku hanya bentrok kecil sekali, mengapa sekarang mereka berlelucon demikian hebat denganku?"

"Akupun sangat tidak mengerti," In Loei turut mengutarakan perasaan hatinya.
Ia lantas jelaskan lebih jauh apa yang ia tampak di hotel.
Thio Hong Hoe terkejut mendengar Tiatpie Kimwan datang bersama Hoasam Kiam.
"Apakah mereka bukan kawanmu?" In Loei tanya. "Kenapa kau takut?"
Thio Hong Hoe menggeleng kepala, ia menyeringai.
"Jangan tanya dulu. Kau bicara terus," ia bilang. Nona In lanjutkan keterangannya, ia menutur dengan jelas.

Mengetahui si anak muda juga rubuh di tangan "lawan", Hong Hoe meringis.
"Aku tak mengerti kenapa perwira muda itu sangat benci dia?" tanya In Loei. Dengan "dia" ia maksudkan Tan Hong, tetapi tidak mau ia omong jelas, tentang puteranya Tjong Tjioe itu.

Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir.
"Dilihat dari romannya, Thio Tan Hong itu mesti bukan seorang busuk," kata ia kemudian. "Sebetulnya kenapa In Tongnia sangat benci padanya, aku tidak tahu, mengenai ini, nanti aku tanyakan keterangannya."

Baharu sekarang In Loei dengar si perwira muda dipanggil she In. Karena mendengar ini, segera mukanya menjadi pucat, tubuhnya limbung hampir rubuh. Inipun suatu keterangan tambahan, yang menguatkan dugaannya mengenai perwira muda itu.

Hong Hoe tidak mengerti kenapa orang jadi terhuyung, lekas-lekas ia ulur tangannya,untuk menyambar.
"Kau kenapa?" ia tanya.
In Loei singkirkan dirinya.
"Tidak apa-apa," ia menjawab. "Apakah namanya perwira itu?"
"Ia she In, namanya Tjian Lie," Hong Hoe menerangkan. "Kenapakah?"
Kembali wajahnya In Loei menjadi tambah pucat.
Sekarang ia peroleh kepastian.
Nama Tjian Lie itu pasti bukan nama benar, itulah nama bikinan, pecahan dari huruf "Tiong"="berat" atau penghargaan atas diri sendiri. Huruf "Tiong" ini, apabila dipecah,menjadi "tjian lie"="seribu lie".

In Tiong itu adalah kakaknya In Loei akan tetapi dua saudara ini, engko dan adik, telah terpisah sejak mereka masih kecil, namun In Loei masih ingat kakaknya itu, malah ia mencarinya. Sekarang ia merasa pasti atas kakak ini, hatinya goncang, saking girang dan kuatir. Ia girang sebab akhirnya ia ketemu juga kakaknya itu. Yang membikin ia kuatir adalah persahabatannya dengan Thio Tan Hong, yang nampaknya dibenci sangat kakaknya itu. Soal ini bisa sangat menyulitkan dia.....

"Apakah kau kenal In Tjian Lie?" Hong Hoe tanya.
"Dia mirip dengan sahabatku ketika kami masih sama kecil, " In Loei jawab. "Eh, ya,kapankah dia kembali?"

"Kembali?" mengulangi Hong Hoe. "Ah, apakah kau juga ketahui dia telah kembali dari Mongolia? Dia memasuki pasukan Gielim koen belum ada satu bulan. Aku menjabat Tjiehoei dari Kimie wie merangkap Tongnia dari Gielim koen, karenanya dengan sendirinya aku menjadi pemimpinnya. Perkenalan kami berjalan belum lama akan tetapi cita-cita kami sama, cocok satu pada lain. Turut saudara In itu, leluhurnya selama dua turunan adalah orang-orang Han yang tinggal di negeri Watzu di mana mereka sangat menderita penghinaan dan kesengsaraan, karenanya dia buron ke Tionggoan, niatnya untuk mencari kedudukan, umpama sebagai kepala perang, menanti kelak tiba harinya memimpin suatu
pasukan besar untuk menyerbu dan memusnakan negeri Watzu itu. Demikian karenanya,lebih dahulu ia ceburkan diri dalam pasukan Gielim koen. Sekarang ia tengah bersiap-siap untuk turut dalam ujian umum militer tahun ini, agar ia dapat lulus dan keluar sebagai Boe tjonggoan. Kalau ia berhasil, pasti sekali ia akan dapat capai cita-citanya itu."

Mendengar ini, In Loei menghelah napas.

"Dia bercita-cita mencari balas dengan jalan memangku pangkat, aku kuatir dia tidak akan berhasil dengan pengharapannya itu," ia bilang. "Thio Thaydjin, harap kau tidak berkecil hati jikalau aku omong terus terang. Untuk melawan bangsa Ouw itu, pemerintah Beng tak dapat dibuat harapan!"

Hong Hoe tidak mengerti maksud orang, dia bungkam.

"Mungkin sekali kata-katamu ini tak tepat," dia bilang kemudian. "Di dalam pemerintahan kita ada menteri-menteri besar yang jujur dan setia yang berangan-angan menentang bangsa Ouw itu, umpamanya Kokioo Ie Kiam, dialah satu menteri setia yang pantas dihormati."

In Loei tidak kenal keadaan pemerintah, tidak ingin ia berdebat.

Hong Hoe sementara itu heran juga yang In Loei sangat perhatikan In Tjian Lie,tadinya hendak ia menanyakannya, ketika tiba-tiba ia dengar ringkiknya kuda, menyusul mana ia tampak kuda putih dari Thio Tan Hong telah lari balik, penunggangnya ada bersama, ialah si mahasiswa.

"Hai, kau sedang bersandiwara apa?" tegur Hong Hoe. "Sahabatmu ada di sini! Jangan kau main teka-teki pula!.....”

Kuda putih itu lari bagaikan terbang, sekejap saja dia telah tiba.
"Maaf!" kata penunggangnya kepada komandan Kimie wie itu, lalu terus ia pandang In Loei, akan tanya: "Kau baik?"
In Loei pegangi pelana.
"Terima kasih untuk perhatianmu....." katanya, tawar.

Heran Hong Hoe akan saksikan kedua orang itu bersikap bagaikan bukan sahabat-sahabat kekal, akan tetapi karena ia ingin peroleh keterangan dari Tan Hong, tidak sempat ia untuk menanyakan In Loei akan sikapnya itu.

"Saudara Thio," katanya pada mahasiswa itu, "kau dengan aku dapat dikatakan bersahabat erat, kenapa kau sebaliknya telah ajak Hek Pek Moko datang kepadaku untuk mengacau?"

Tan Hong melengak, ia tertawa nyaring.

"Inilah yang dikatakan, kesulitan orang, tuan tak mengetahuinya dan sia-sia belaka di depan orang yang tersangkut sendiri untuk bicara tentang hutang budi!" katanya."Sekarang ingin aku tanya kau, tahukah kau siapa yang telah datang menyelidiki kau?"

Wajah Hong Hoe menjadi pucat dengan tiba-tiba.

"Oh, kau juga ketahui halku itu?" tanyanya. "Memang Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe telah datang kesini." "Memang!" sahut Tan Hong. "Tahukah kau apa maksud sebenarnya mereka datang kesini?"

Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam adalah soesiok atau paman guru dari Kong Tiauw Hay, tjongkoan atau kuasa besar dari keraton kaisar dan Kong Tiauw Hay itu adalah murid kepala dari Leng Siauw Tjoe ketua dari partai persilatan Thiamtjhong Pay, dia bertenaga sangat besar, liehay ilmu silatnya bahagian luar, gwakang, tetapi karena dia selalu berdiam di dalam keraton di mana dia in merawati dan melindungi kaisar, dalam dunia kangouw namanya tak terkenal. Dia tidak puas terhadap Thio Hong Hoe yang kesohor sebagai jago silat nomor satu untuk kota raja, pernah tiga kali dia tantang Hong Hoe adu
silat, kesemuanya itu dia kena dirubuhkan, karenanya dia menjadi jelus, di mulut dia mengatakan takluk terhadap Hong Hoe, tapi di dalam hatinya dia berdendam, maka itu, dengan diam-diam dia cari jalan untuk singkirkan tjiehoei dari Kimie wie dan Gielim koen itu.

Hong Hoe bukannya tidak tahu Tiauw Hay mendendam terhadapnya, akan tetapi karena kedudukan tjongkoan itu ada terlebih kuat daripada kedudukannya, ia hanya bisa berlaku hati-hati saja untuk menjaga diri. Sekarang ia dengar keterangannya Tan Hong itu, tidak heran ia jadi terkejut, hingga mukanya menjadi pucat.

"Bukankah Kong Tiauw Hay yang secara diam-diam undang kedua paman gurunya itu datang kemari untuk mencelakai aku?" dia kata.

Thio Tan Hong tertawa.

"Untuk apa dia berlaku secara diam-diam?" katanya. "Sekarang ini saja dia telah pegangi kakimu yang sakit.....”
Hong Hoe jadi semakin heran.
"Apa?" katanya. "Kau maksudkan apa?" Tan Hong bersenyum.
"Sebenarnya Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam keluar dari kota raja bukan untuk
urusanmu," ia bilang, "hanya kebetulan saja mereka ketahui tentang halmu itu. Apakah kau ingin ketahui hal ihwalnya?"
"Aku minta kau sudi menceriterakannya," Hong Hoe mohon.

"Hek Pek Moko telah menadah serupa barang curian yang berharga besar," Tan Hong berikan keterangannya. "Itu adalah pusakanya satu pangeran di kota raja, ialah sepasang singa-singaan dari batu kumala. Cukup untuk menyebutkannya saja sepasang matanya singa-singaan kumala itu. Sepasang mata singa-singaan itu terbuat dari mutiara sejati,yang harganya ada seumpama harganya sebuah kota. Pencurian itu sangat menghebohkan. Kong Tiauw Hay insyaf dia bukanlah tandingannya dari Hep Pek Moko,karenanya dia undang kedua paman gurunya itu, yang diminta bantuannya untuk selidiki kedua Moko. Mereka menduga Hek Pek Moko menyingkir pulang ke Barat, karenanya mereka menyusul. Kebetulan bagi mereka, mereka lihat kau berada di sini, maka sekalian mereka awasi kau juga. Lebih kebetulan lagi, kau justeru dapat menawan puteranya Kimtoo Tjeetjoe, hal mana mereka dapat mengetahuinya. Yang hebat adalah, selagi kau belum tahu jelas tentang siapa adanya tawananmu itu, Kong Tiauw Hay sendiri sudah lebih dahulu menerima laporan yang jelas. Harganya Tjioe San Bin itu ada di atas harganya sepasang singa-singaan kumala itu, jikalau dia dapat dibawa ke kota raja, itu artinya satu jasa sangat besar, maka itu Kong Tjongkoan segera bertindak. Ia telah ke sampingkan dahulu tentang barang curian itu. Begitulah disatu pihak dia kirim kabar kilat,di lain pihak, dengan berbareng dia undang datang kedua paman gurunya itu untuk menyusul kemari, untuk ambil alih orang tawananmu itu. Kesudahannya, baharu saja kaki depan San Bin menindak keluar dari pintu, atau kaki belakang dari mereka telah tiba.....”

Thio Hong Hoe terkejut hingga ia berseru. "Jikalau mereka dapat tahu aku sudah merdekakan Tjioe San Bin, itu artinya bagiku hukuman mati seluruh keluargaku!" katanya.

Tan Hong kembali tertawa.

"Jangan kau takut!" katanya, tenang. "Aku telah gunai akal memancing mereka ke lain jurusan. Tentang tindakanmu ini, mereka tidak nanti ketahui untuk selama-lamanya!"

Hong Hoe bagaikan sadar.

"Jadinya kau sudah gunai Hek Pek Moko sebagai umpan untuk pancing mereka itu menyingkir dari arahku?" katanya. "Kau bisa pengaruhi kedua iblis itu, sungguh aku kagum! Tapi, apakah artinya kau mengacau di rumah penginapan itu?"

"Sabar, sahabatku," sahut Tan Hong. "Walaupun benar mereka tidak tahu kau telah merdekakan Tjioe San Bin, akan tetapi karena kau telah loloskan seorang tawanan yang penting, dosamu tetap bukannya kecil. Saudara Thio sahabatku, kau pernah baca masak-masak kitab ilmu perang, kau tentunya ketahui kouw djiok kee dari Oey Khay, itu akal mempersakiti diri sendiri.....”

Hong Hoe benar-benar sadar, segera ia rangkap kedua tangannya, ia angkat, untuk memberi hormat kepada si mahasiswa berkuda putih itu. "Terima kasih untuk budimu yang besar ini, tak nanti aku melupakannya." ia mengutarakan isi hatinya.

In Loei mendengari saja pembicaraan orang, ia tak mengerti.

"Hai, sebenarnya kamu tengah bersandiwara apa?" tanya dia, tak sabaran.
"Mereka telah bongkar kerangkeng, mereka telah merdekakan perantaian," jawah Hong Hoe. "Karena itu, tak dapat aku lolos dari tanggung jawabku. Yang datang itu adalah musuh-musuh yang liehay sekali, orang-orang kami telah dipengaruhinya, telah kami keluarkan antero tenaga, masih kami tidak berdaya. Sama sekali kami tidak berpura-pura kalah dan membiarkannya perantaian kabur. Karena kami telah melakukan perlawanan,dosa kami bisa menjadi entengan....."

"Tetapi itu belum semuanya," Tan Hong bilang. "Melihat nama kamu, dengan nampak kekalahan saja, kamu sudah bersalah. Andaikata musuh dapat mengalahkan orang yang terlebih liehay daripada kamu, mungkin Kong Tjongkoan tak enak hatinya untuk menghukum kau.....”

"Adakah ini sebabnya kata-katamu bahwa kau hendak mengasi rasa kepada Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam?" Hong Hoe tanya. "Sudah pastikah kau dapat mengalahkan orang-orang Thiamtjhong Pay itu?"

Thio Tan Hong tertawa. "Kau dengarlah dengan saksama!" ia kata.

Waktu itu juga dari kejauhan, dari tepi bukit, ada terdengar suara riuh rendah dari pertempuran, agaknya orang tengah mendatangi ke arah mereka.

"Masih ada seperjalanan tiga lie!" kata Tan Hong pula. "Thio Thaydjin, hendak aku membingkiskan sesuatu yang tidak berharga kepadamu.....”

Tangannya Tan Hong menyekal satu bungkusan merah yang bundar, seperti bungkusannya sebuah semangka, bungkusan itu diangsurkan kepada Hong Hoe yang segera menerimanya dan dibukanya. Ia terkejut hingga wajahnya pucat apabila ia telah saksikan isinya bungkusan itu, ialah sebuah kepala orang. Bahna murkanya, dengan goloknya Hong Hoe segera tabas si mahasiswa berkuda putih itu.
"Kenapakah kau bunuh adikku yang kedua?" teriaknya. "Adakah ini yang kau namakan kouw djiok kee, tipu muslihat mempersakiti diri itu?"

In Loei di samping mereka pun sudah lantas kenali kepala orang itu, ialah kepalanya Khoan Tiong, Lweeteng Wiesoe yang menjadi salah satu dari tiga jago silat nomor satu dari kota raja!

Serangannya Hong Hoe itu ada sangat tiba-tiba, hebat serangan itu, atas itu Thio Tan Hong perdengarkan jeritan "Ayo!" dan tubuhnya pun terhuyung!

-ooo0dw0ooo

Tapinya pemuda she Thio itu tidak menjadi kurban, dia pun sangat gesit, dengan mendahului sambaran golok, tubuhnya terhuyung ke arah tujuan serangan, berbareng dengan itu kaki dan tangannya digerakkan bagaikan orang ketakutan sangat. Terang sudah bahwa ia berpura-pura belaka, hingga Hong Hoe menjadi bertambah-tambah murka.

"Sengaja kau permainkan aku, apakah maksudmu?" dia membentak pula.

Tan Hong tertawa terbahak-bahak.

"Sudah bagus kau tidak menghaturkan terima kasih padaku, kenapa kau sebaliknya menjadi demikian gusar" katanya. "Kau lihat, apakah ini?"

Dan ia lemparkan sehelai kertas yang bersampul merah.

Surat itu adalah sepucuk surat dinas, karena hanya selembar, enteng sekali sampul itu,akan tetapi ketika dilemparkan, timpukannya sangat berat dan keras. Jarak di antara kedua orang hanya setombak lebih, di waktu Hong Hoe menyambutinya, walaupun ia salah satu jago nomor satu dari kota raja, ia pun terperanjat. Lemparan itu bagaikan timpukan senjata rahasia.
Dengan sangat bernapsu Thio Hong Hoe beber surat dinas itu untuk dibaca isinya, atas mana, kagetnya bukan kepalang.

Itu adalah sebuah surat rahasia Khoan Tiong untuk Tjongkoan Kong Tiauw Hay, terang di situ Khoan Tiong mencatat segala apa sejak dia ikut Hong Hoe keluar dari kota raja, jelas dia menulis sesuatu sepak terjangnya Hong Hoe, sang sep atau toako itu, sampai halnya Hong Hoe dikalahkan Tan Hong dan In
Loei dalam lima jurus, dalam mana Hong Hoe melarang orang membantuinya, yang lebih hebat adalah catatan halnya San Bin tertawan, bagaimana San Bin diiring, dicampur di antara orang-orang tawanan lainnya.

Setelah Hong Hoe habis membaca, Tan Hong berkata: "Soalnya sudah jelas, Khoan Tiong telah kenali San Bin akan tetapi dia tidak memberitahukannya kepadamu. Waktu itu dia tidak keburu tulis laporan rahasianya, sebaliknya, dia kirim orang kepercayaannya untuk menyampaikan berita ke kota raja. Laporan orang itu tidak lengkap, itulah tidak terlalu membahayakan, akan tetapi surat rahasia ini, apabila ini sampai di tangan Kong Tjongkoan, celakalah kau!"

Hong Hoe menjadi lesu sekali dia sampai lemparkan goloknya. "Memang aku tahu saudaraku yang kedua ini sangat rakus dan temaha akan pangkat besar, aku hanya tidak sangka bahwa dia ada demikian hina dina.....!" Bahwa dia ada sangat menyesal, itu terbukti dari air matanya yang segera keluar bercucuran, sedangkan dia sangat percaya saudara angkat yang kedua itu.

"Orang semacam dia, untuk apakah kau tangisi?" kata In Loei apabila ia telah ketahui duduknya hal.
"Walau bagaimana, kami pernah menjadi saudara angkat," sahut Hong Hoe lemah.
"Sekarang tidak aku sesalkan kau bahwa kau telah bunuh dia," ia tambahkan pada Tan Hong "Nah, kau pergilah!"

Suara riuh rendah terdengar semakin mendekati. Dengan sebat Hong Hoe bungkus pula kepalanya Khoan Tiong, yang terus ia gantung dipelananya. Selagi berbuat demikian, dia membalik belakang terhadap Tan Hong dan In Loei.

Sekonyong-konyong Tan Hong hunus pedangnya yang terus ditikamkan kepada komandan Kimie wie itu.
In Loei kaget bukan main "Hai kau, bikin apa?" dia menegur.
Hong Hoe sementara itu telah perdengarkan jeritan keras, di waktu In Loei lihat padanya, ia menjadi kaget. Hong Hoe berpaling dengan mata dibuka lebar, romannya ketakutan.
Tapi In Loei menjadi lega juga hatinya apabila ia dapat kenyataan orang cuma terluka sedikit bahu kirinya, luka itu tidak berbahaya.
"Bagus!" teriak Hong Hoe, murka dan masih kaget.
Tapi Tan Hong, dengan suara perlahan, kata padanya:
"Lekas kau jumput golokmu, mari kau tempur aku!.....”

Kata-kata ini menyadarkan komandan itu, dia lompat kepada goloknya, golok Bianto untuk dipungut, lalu dengan golok itu dia terjang Thio Tan Hong, siapa berikan perlawanan, maka mereka jadi bergumal hebat. Luka di bahu kiri Hong Hoe itu tidak sempat dibalut, luka itu masih mengucurkan darah hidup.....

In Loei telah saksikan itu semua, akhirnya iapun insaf, maka seorang diri ia tertawa geli.
"Thio Tan Hong ini benar-benar licin!" katanya di dalam hati. "Tipu kouw djiok kee-nya membikin aku kaget sekali..... Kalau Hong Hoe tidak "terlukakan" musuh, dan apabila dia tidak telah dibokong, dosanya memang bukan kecil.....”

Tan Hong masih melakukan perlawanan karena Hong Hoe masih terus serang ia secara hebat, walaupun demikian, sambil tertawa, dengan perlahan, ia kata kepada lawannya itu: "Tadi kau bacok aku tapi gagal, sekarang aku menikam kau, dapat aku melukai padamu, maka sekarang baiklah kau menyerah kalah.....”

Hong Hoe mendongkol bukan main. Itulah godaan hebat untuknya sekalipun ia tahu mereka sedang main sandiwara, karena itu, permainan goloknya menjadi kalut. Tidak demikian dengan Tan Hong, yang bersilat separuh main-main, separuh benar-benar, hingga perlawanannya atau penyerangannya jadi berbahaya, hampir saja muka si komandan kena tertikam pula. Sesudah ini baharu Hong Hoe takluk benar-benar.....

Suara riuh yang mendatangi telah datang semakin dekat, di tikungan sudah lantas tertampak terangnya api obor dan serombongan orang telah memburu, dan di antara terangnya api itu kelihatan yang terdepan adalah Hek Pek Moko, di belakang mereka satu toodjin atau imam berserta seorang tua, ialah kedua paman-paman guru dari Tjongkoan Kong Tiauw Hay.

Hek Moko dan Pek Moko berkelahi sambil lari, mereka kelihatannya kalah, mereka terdesak sangat, akan tetapi sekalipun demikian, permainan silat mereka tidak menjadi kalut.

Begitu sudah datang lebih dekat, Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe telah dapat lihat Thio Hong Hoe repot melayani satu anak muda dengan pakaian serba putih, ia jadi lebih kaget karena tampak komandan Kimie wie itu sudah terluka, lengannya mandi darah.

"Ah, siapakah anak muda itu?" pikirnya. "Dia masih muda sekali tetapi sangat gagah,hingga Thio Hong Hoe dapat dia buatnya menjadi kacau balau? Mungkinkah Kong Tiauw Hay telah omong dilebih-lebihkan tentang kegagahannya Thio Hong Hoe ini?....."

Walaupun dia berpikir demikian, Samhoa Kiam toh tinggalkan Pek Moko yang "terdesak" itu untuk memburu kepada si orang she Thio, malah sambil berseru dia berkata: "Thio Thaydjin, kau mundurlah, nanti aku yang hajar padanya!"

Tidak kecewa Wan Leng Tjoe menjadi salah seorang kenamaan dari Thiamtjhong Pay,permainan silatnya hebat sekali, begitu ia dekati Thio Tan Hong, sinar pedangnya segera berkilau-kilau, ujung pedangnya lantas menusuk ke kiri dan kanan dengan cahayanya bergemerlapan. Rupanya itulah yang membuatnya ia peroleh gelarannya, Samhoa Kiam — Pedang Berbunga Tiga.

Begitu lekas ia dikepung Hian Leng Tjoe, begitu lekas juga Thio Tan Hong menjeritjerit:
"Celaka, celaka!"
"Kau tahu celaka, itulah bagus!" teriak Hian Leng Tjoe dengan hinaannya. Dia tertawa dingin. Dan diapun perhebat serangannya.
Thio Tan Hong bagaikan terputar-putar, tubuhnya lincah mendahului tikaman,walaupun ia terdesak tetapi ia tidak dapat dilukai. Kejadian ini terulang sekian lama,hingga akhirnya Hian Leng Tjoe menjadi heran.

"Hebat keentengan tubuhnya orang ini....." demikian dia berpikir. Karena ini, ia jadi tidak berani lagi memandang enteng seperti bermula tadi. Sebaliknya, ia gerakkan pedangnya lebih gencar, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, karenanya, ia membuat enam gerakan saling susul, sinar pedangnya berkilauan.

Di antara serbuan itu, tiba-tiba terdengar Thio Tan Hong tertawa terbahak-bahak,menyusul mana, pedangnya juga bercahaya putih mulus, memain di antara sinar pedang lawan yang liehay itu, tak kalah gesitnya.

Baharu saja Hian Leng Tjoe terkejut, karena ia dapat lihat tegas permainan pedang lawan, atau ia telah terlambat, cuma terdengar saja jeritannya.

"Bagus!" teriak In Loei, yang masih saja menonton.....
Hian Leng Tjoe tidak berani tangkis bacokan Tan Hong, tahu bahwa satu bentrokan antara kedua pedang, pedangnya sendiri akan terpapas kutung, karenanya, ia unjuk kesebetannya, dengan satu gerakan, ia tempel pedang lawan. Inilah yang menyebabkan pujian dari si Nona In itu.

Tan Hong juga terperanjat dapatkan lawan sanggup elakkan bahaya dan sebaliknya dapat menempel pedangnya itu, oleh karena ini insaflah ia bahwa lawan ini berkepandaian terlebih tinggi daripada Thio Hong Hoe. Karena ini, tidak sudi ia berlaku sembarangan.

Bertempur terlebih jauh, Tan Hong unjuk kelonggaran, artinya, ia mengalah terhadap desakan Sam Hoa Kiam, menggunai saatnya, sekonyong-konyong ia membungkuk sedikit,ujung pedangnya menyambar ke arah pinggang lawan.

Hian Leng Tjoe tengah membabat kepala musuhnya ketika ia diserang di bahagian bawah itu, tapi masih ia dapat ketika untuk berkelit dengan mundur satu tindak, namun masih ia kurang sebat sedikit, walau pinggangnya terhindar sambaran pedang, ujung bajunya kena terpapas kutung!

Bahaya pun sebenarnya mengancam Tan Hong, tapi karena ia keburu membungkuk, ia lolos dari bencana, lalu sebaliknya, ia ancam lawannya itu. Hian Leng Tjoe kaget berbareng gusar. Beberara kali ia gagal, ia menjadi mendongkol sekali. Maka itu ia menyerang pula, ia jadi semakin sengit dan penasaran sekali. Dalam menghadapi lawan biasa, cahaya pedangnya dapat membuat mata lawan silau dan kabur.

"Dalam seratus jurus, masih aku bisa lawan seri padanya," Tan Hong berpikir,"selewatnya itu, rahasiaku bisa bocor dihadapannya..... Karena ini segera ia berseru nyaring: "Kita lawan satu sama satu sampai kapan kita bisa selesaikan pertempuran ini? Kau masih ada punya kawan, suruhlah dia maju berbareng untuk kepung aku! — Eh, Hek Pek Moko, kamu biarkan tua bangka itu, kamu tinggalkan dia pergi!"

Soeheng, atau kakak seperguruannya Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong tengah dikepung Hek Pek Moko, satu melawan dua, dia telah jadi sangat repot, napasnya sampai sengal-sengal, tubuhnya pun bermandikan keringat dingin, maka bagaimana lega hatinya ketika dia lolos dari kepungan hebat.

Hek Moko dan Pek Moko tertawa dengan berbareng.
"Orang tua, kau berumur panjang!" kata dua hantu ini dengan riang gembira. "Kau dengarlah, di sana sahabatku yang muda telah pertanggungkan jiwamu supaya jiwamu ini tak mampus di tangan kami! Nah, kau pergilah, kami ijinkan padamu!"

Liong Tin Hong mendongkol bukan main, walaupun dia sudah lelah, masih hendak dia maju menyerang. Akan tetapi dia didahului Hek Moko, yang rabu dia dengan layangkan tongkatnya, hingga mau atau tidak, mesti dia mundur dua tindak! Tetapi dia tak dapat lolos dengan selamat!

Hek Pe Moko biasa bertempur berdua dengan teratur, sempurna kerja sama mereka, demikian juga kali ini. Ketika Hek Moko layangkan tongkatnya, Pek Moko tidak berdiam diri, bagaikan sudah dijanji, dia membarengi merangsak, percuma Tiatpie Kimwan si Kera Emas Berlengan Besi, selagi dia dapat berkelit ke kiri, tongkat Pekgiok thung dari si Hantu Putih sudah mampir dibebokongnya!

"Hai, kera tak tahu diri, aku ajar adat padamu!" tertawa si iblis putih itu. Hajaran itu tidak parah, tapi setelah itu, keduanya lantas saja memutar tubuh, untuk berlalu sambil tertawa panjang.....

Tidak terhingga mendongkolnya Tiatpie Kimwan, hampir dia rubuh pingsan, masih bagus, melainkan tubuhnya sedikit terhuyung. Dia punyakan Iweekang yang terlatih baik, tidak urung dia merasakan sakit bekas hajaran tongkat lawan itu, terpaksa dia empos semangatnya, untuk bertahan diri.

Thio Tan Hong lihat orang terhajar, sambil berkelahi, masih sempat ia memasang mata. Maka juga ia tertawa besar.
"Hai, kera bangkotan, apakah tulang punggungmu terhajar patah?" demikian godaannya.

Tiatpie Kimwan adalah seorang kenamaan sejak puluhan tahun, belum pernah dia terhina, sekarang dia dapat hinaan ini, sudah tentu dia tidak mau mengerti. Maka juga dia berseru nyaring sekali.
"Bangsat kecil, kau sangat menghina?" teriaknya lalu dia berlompat maju menghampirkan kawannya, untuk hajar anak muda itu. Dan begitu dia sudah datang dekat, begitu juga dia menyerang, dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu tongkat panjang berkepala naga, sedang ujungnya lancip mirip telapak tangan yang berjari lima, yang semuanya tajam bagaikan gaetan, sedang batang tongkat penuh dengan cagak tajam seperti duri. Maka, kecuali kepala naganya serta tempat pegangannya, bahagianbahagian
lainnya tak kena tercekal atau terlanggar tangan kosong. Karena ini juga, selagi digunakan, tongkat itu mirip dengan tangan-tangan kera yang berbulu.

Melayani satu Samhoa Kiam, Tan Hong sudah kewalahan, sekarang ditambah lagi satu musuh yang tidak kurang tanggunya, segera dia menjadi repot. Tetapi dia tidak jeri,karena musuh ini sengaja dia undang, hanya pada mulanya, hampir saja batok kepalanya hancur luluh terkena kemplangan tongkat istimewa dari si Kera Emas Bertangan Besi itu.

Dalam kagetnya, dia lantas berkelit, terus dia bersilat dengan jurus "Hoenhoa hoetlioe" — "Memecah bunga mengebut yanglioe," untuk perlihatkan kegesitannya. Dia melawan kedua musuh seperti tidak keruan juntrungannya tak tentu arahnya.

Tiatpie Kimwan, yang sedang mendongkol jadi semakin mendongkol, ia bersuit dengan pelahan ketika ia mulai pula dengan serangannya. Dengan saling susul ia mendesak tiga kali dengan gegamannya yang luar biasa itu.
"Tidak kecewa Tiatpie Kimwan peroleh nama besarnya." pikir Tan Hong, yang harus memuji lawannya itu. "Dia telah berkutat dengan Hek Pek Moko dan telah rasai juga senjata si iblis, sekarang dia masih begini tanggu.....”

Pedang Samhoa Kiam dari Hian Leng Tjoe juga telah diperhebat, ujung pedang itu selalu mencari tempat-tempat yang berbahaya, hingga Tan Hong jadi repot. Tapi si mahasiswa ini tidak takut, bahkan sebaliknya, ia tertawa.

"Bagus, bagus!" serunya. "Dua tua bangka maju berbareng, mereka boleh di kirim pulang sekalian saja! Eh, adik kecil, mari maju!"

In Loei tahu bahwa ia dipanggil, akan tetapi ia masih diam menonton.

Tiba-tiba Thio Tan Hong limbung hampir saja ujung pedang Hian Leng Tjoe mengenai tubuhnya, sesudah mana dalam keadaan berbahaya itu, iapun hampir saja tertotok toyanya Tiatpie Kimwan, syukur ia masih bisa berkelit, hingga tenggorokannya jadi bebas dari totokan itu.

Hebat pemandangan itu.
Hong Hoe juga menonton, ia mundur kepinggiran.
In Loei tetap masih bersangsi, agaknya ia hendak membuka mulut akan tetapi saban-saban
urung. Tapi sekarang, mendadak pedangnya yang bersinar hijau telah berkelebat,tubuhnya sudah lompat maju.

"Bagus!" seru Tan Hong kegirangan, sesudah mana, pedangnya yang bercahaya putih mengkilap turut bersinar pula. Maka sejenak kemudian, kedua sinar hijau dan putih itu bergabung menjadi satu, bergeraknya cepat, pengaruhnya tersebar.

Segera juga Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam merasai pengaruhnya kedua pedang lawan itu, hingga tidak lama mereka dapat desak Tan Hong, malah sebentar kemudian mereka mesti terpaksa main mundur. Percuma Hian Leng Tjoe mencoba mengintai lowongan, baginya kedua pedang hijau dan putih itu ada terlalu kerap, tiada tempat lowong yang dapat ditoblos. Celakanya, asal ia mencoba maju, kontan pedangnya kena terjepit.

Demikian satu kali, ketika ia terlambat, pedangnya kena tertabas pedang lawan hingga kutung menjadi empat potong, hampir saja jari tangannya turut terbabat juga!

Tiatpie Kimwan terkejut menyaksikan bahaya yang mengancam kawannya itu, karena itu ia juga lengah, maka begitu terdengar suara senjata-senjata beradu, ujung tongkatnya kena ditabas kutung kedua pedang lawannya itu.

Syukur bagi Liong Tin Hong, walaupun ia terhuyung ke depan, ia tidak disusuli tikaman oleh Thio Tan Hong, pemuda ini melainkan mentertawai ia sambil mengejek: "Sungguh seekor kunyuk bangkotan yang tidak tahu diri!"

Akan tetapi, sebaliknya daripada menikam atau menahas, Tan Hong ulur sebelah kakinya, dupakannya itu tepat mengenai lutut orang, karena mana tidak ampun lagi,tubuh si Kera Emas Berlengan Besi lantas terpelanting jatuh jauhnya lima enam tindak! Dengan mengeluarkan suara "Bruk!" ia jatuh terlentang, tubuh di bawah, kaki di atas! Dan apes untuk dirinya, sudah bebas dari senjata musuh, ia tidak lolos dari senjatanya sendiri,karena tergulingnya itu, pahanya membentur tongkatnya hingga ia tertusuk duri cagak
beberapa lobang!

Keduanya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan telah tersohor kosen untuk banyak waktu, sekarang mereka dipecundangi dalam tempo belum ada sepuluh jurus, malah mereka rubuh di tangan dua anak muda yang mereka anggap tidak ternama, bukan main mendongkol dan malunya, karena ini, tidak tunggu sampai Tan Hong dan In Loei terjang mereka lebih jauh, mereka segera ambil langkah panjang!

Thio Tan Hong tertawa hingga terlenggak. "Adik kecil, lekas kejar!" dia serukan kawannya, tangannya pun dikibaskan. "Kau bekuklah kedua kunyuk tua itu!.....”

Bukan kepalang takutnya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan, mereka lari ngacir tanpa berani menoleh pula. Sebenarnya Thio Tan Hong hanya menggertak mereka belaka, kalau mereka dikejar betul-betul, dengan gampang mereka dapat dicandak, karena mereka sedang terluka.

Hong Hoe tunggu sampai orang sudah kabur jauh, lalu ia tertawa terpingkal-pingkal,begitu juga In Loei yang saksikan pemandangan yang lucu itu.

"Aku harus haturkan terima kasih kepadamu," kata komandan Kimie wie itu kemudian pada si pemuda she Thio. "Telah aku rasai pedangmu tapi itu ada harganya. Kalau nanti kau datang ke kota raja, aku undang kau untuk berkunjung ke gubukku." Dan ia sebutkan alamatnya. Lalu ia menambahkan: "Saudara Thio! Saudara In! Sungguh hebat ilmu pedangmu yang tergabung itu, di kolong langit ini tidak ada tandingannya. Pedang kamu dapat berkumpul tak dapat berpisah, maka di antara kamu, kedua sahabat, apabila ada sesuatu pertentangan, haruslah dilenyapkan!"

Hong Hoe mengucap demikian tanpa ia ketahui di antara kedua anak muda itu justeru ada "urusan hebat" yang mengganjali ia cuma menyangka hanya bentrok kecil saja..... Iapun mengucap kata-katanya yang belakangan ini hanya sambil mengawasi In Loei seorang.

Merah mukanya In Loei, ia tunduk, ia bungkam.

"Aneh In Siangkong ini," pikir Hong Hoe menampak orang likat. "Dia gagah, kenapa dia jengah tidak keruan? Dia mirip dengan satu nona remaja....." Sebenarnya komandan ini berniat memberi nasihat, atau "Lihat, mereka tengah mendatangi!" seru Tan Hong, tangannya menunjuk. Hong Hoe menoleh dengan segera, hingga ia tampak In Tiong bersama Hoan Tiong,yang muncul dari tikungan bukit.

Tadi malam Hoan Tiong bawa San Bin pergi, baharu ia keluar dari pintu belakang, di luar dugaannya, ia telah dibikin tak berdaya oleh Thio Tan Hong dan Hek Pek Moko.

Ketika Tan Hong pancing Hong Hoe, kedua iblis Putih dan Hitam itu lantas gunakan obat pules mereka yang mustajab membikin tentara Gielim koen mati kutunya, kemudian, mereka umpetkan diri, untuk bekerja terlebih jauh. Kebetulan bagi mereka berdua,mereka ketemu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, yang keluar dari hotel, maka mereka pancing dua orang ini ke Tjeng Liong Kiap di mana mereka bertempur.

Ketika itu Hoan Tiong, yang kena mereka tawan, telah dibawa juga ke selat itu di mana dia ditambat di
atas sebuah pohon besar. Pertempuran itu sangat seru, sehingga berlangsung sampai tengah malam, kekuatan mereka berimbang.

In Loei bersama In Tiong berada dipersimpangan tiga di mana mereka dengar suara pertempuran berisik di sebelah kiri, ketika In Tiong menyusul kesana, hari sudah terang tanah, di sana segera ia ketemukan Hoan Tiong yang masih, terikat tergantung, sedang Hek Pek Moko bersama Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam tengah bertanding hebat. Ia tidak mau sembarang nyebur dalam pertempuran itu, ia hanya perlukan menolongi Hoan Tiong. Orang she Hoan ini tidak terluka, dia cuma kaku kaki tangannya bekas lama terikat dan tergantung, hingga In Tiong perlu menguruti dia untuk membikin darahnya jalan kembali seperti biasa.

Selama In Tiong tolongi Gietjian siewie itu. Hek Pek Moko telah pancing Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam ke lain arah. Maka, ketika dua orang ini muncul, Hian Leng Tjoe dan Liong Tin Hong telah dikalahkan Tan Hong dan In Loei,mereka sudah lari kabur.

Atas datangnya kedua orang itu, Hong Hoe lantas menyambut. Sebenarnya ia niat memberi keterangan, tetapi In Tiong sudah lantas unjuk kemurkaannya yang sangat, dia berseru keras kedua matanya bersinar bagaikan api marong itulah tanda kebencian terhadap Tan Hong.

"Kau kenapa, In Tongnia?" Hong Hoe tanya "Kenapa kau sangat benci dia?"
In Tiong tidak menjawab, ia hanya hunus goloknya dengan apa ia terjang orang she Thio itu, yang lantas dihantui juga oleh Hoan Tiong yang mainkan sepasang gembolannya.Tan Hong melayani dengan kelincahan tubuhnya.

In Loei jadi sangat bersusah hati, hingga ia berdiri menyender saja di lamping bukit,matanya mendelong mengawasi pertempuran. Ia sangat berkuatir.
"Tahan!" teriak Hong Hoe akhirnya sesudah ia tak berdaya menyabarkan In Tiong dan Hoan Tiong.
Hoan Tiong menurut, ia berhenti menyerang, tidak demikian dengan In Tiong, masih dia menyerang dengan seru dengan golok di tangan kiri dan tangan kanan yang tanpa senjata. Malah dia mendesak hebat.

"Toako1." serunya sambil berkelahi. "Dia ini adalah puteranya penghianat Thio Tjong Tjioe! Tak dapat dia dikasih lolos" Mendengar itu, Hoan Tiong maju pula, untuk mulai lagi dengan serangannya.
Thio Hong Hoe sudah lantas berlompat maju. "Shatee, jangan sembrono!" dia berteriak. "Dalam kejadian tadi malam, dialah penolong kita! Tunggu dulu, hendak aku tanyakan keterangannya!" Dia lantas ulapkan goloknya.

"Thio Tan Hong, benar atau tidak apa yang dikatakan In Tongnia?" dia tanya.
Thio Tan Hong melenggak, dia tertawa.
"Harus ditertawai yang manusia di dalam dunia banyak yang matanya putih, sedang bunga teratai keluarnya dari dalam lumpur!.....” dia bersenanjung.
"Kau telah saksikan sepak terjangku, apakah benar kau masih belum bisa menginsafinya aku orang macam apa? Kenapa kau mesti ngoce tak sudahnya? Perlu apa kau tanya lagi asal-usulku?"

Hong Hoe melengak.

"Inilah benar," pikirnya. "Meski benar dia puteranya Thio Tjong Tjioe dengan dia pribadi ada apakah sangkut pautnya?" Maka segera ia berseru pula: "In Tongnia tahan! Dia benar kandung maksud baik terhadap kita! Jangan kita balas kebaikan dengan kejahatan!"

Masih In Tiong menyerang dua kali.

"Toako, kau tidak tahu!" dia berseru. "Dia adalah musuh besar dari keluargaku! Sakit hati tidak dibalas, adakah itu perbuatannya satu taytianghoe?"

Dengan ilmu Taylek Kimkong Tjioe, In Tiong perhebat serangannya.
Thio Hong Hoe menjadi tidak senang. "Baik" serunya. "Kau balas sakit hatimu, aku tidak peduli!"
Mendadak terdengar satu suara nyaring, lalu tertampak goloknya In Tiong kena dibabat kutung pedangnya Tan Hong!

In Loei kaget, dia lompat maju dengan pedangnya ia menghalau di tengah-tengah kedua jago, ia halangi pedangnya si orang she Thio.

Tan Hong tidak niat melukai In Tiong, ia berhenti menyerang, malah lantas ia lompat mundur keluar kalangan.

Hong Hoe terperanjat ketika ia tampak In Loei lompat maju dengan pedangnya, ia menyangka orang hendak gunakan ilmu pedang gabungannya untuk kepung In Tiong, ia juga lompat maju pula. Ia baharulah melengak tatkala ia dapati pemuda itu justeru maju untuk memisahkan. Di akhirnya, ia tertawa.

"Bagus, bagus!" katanya. "Memang, permusuhan harus dibikin habis, tak mestinya diperhebat! Bagus kau maju disama tengah!" Ia lantas tarik tangan In Tiong sambil berkata: "Kau telah menyaksikannya, bukan? Apa masih kau tidak niat undurkan diri?"

In Tiong awasi Tan Hong dengan mata mendelik, nyata sekali kebenciannya. Ia merasa sangat menyesal, sesudah belajar silat sepuluh tahun, masih ia tidak mampu kalahkan anak musuhnya. Karena Hong Hoe menariknya, terpaksa ia menurut diajak pergi.

Menampak kakaknya berlalu, mendadak In Loei menangis, iapun jatuh di tanah.
In Tiong dengar suara itu, ia menoleh, ia menjadi heran.
Hong Hoe kuatir rekan ini kembali, ia mengajak terus.
"Untuk apa kau pedulikan urusan lain orang?" katanya, tertawa. Dan ia menarik terus,membawa orang berlalu dari lembah.

Ketika kemudian In Loei angkat kepalanya, ia tak tampak kakaknya, tapi ini membuatnya ia menangis terlebih sedih.
"Koko....." ia memanggil.
Tiba-tiba ia rasakan tangan yang halus mengusap-usap rambutnya, lalu suara yang lemah lembut terdengar di kupingnya.
"Adik kecil, kau menangis, kau menangislah! Setelah menangis, hatimu baharu lega.....”
Itulah suaranya Thio Tan Hong, yang telah menghampirinya.
In Loei berhenti menangis dan bangun berduduk. Ia tolak tangan si anak muda dari
rambutnya.
"Aku menangis sendiri, siapa ingin kau campur tahu?....." katanya.

Tan Hong tertawa.

"Adik kecil, kenapa kau bersikap begini?" katanya, manis. "Bukankah di kolong langit ini ada sangat banyak urusan yang dapat membuat orang bersedih hati? Dan kau..... kau punyakan berapa banyak air mata?"

In Loei menjadi terlebih sedih, air matanya bercucuran terlebih deras.

"Sebenarnya manusia hidup tak sampai seratus tahun," Tan Hong kata pula. "Urusan besar bagaimanapun yang tak dapat dihabiskan? Apakah artinya budi dan permusuhan itu? Kenapa kau memandangnya demikian hebat?"
Tiba-tiba In Loei mencelat bangun. Ia menjadi gusar.
"Enak benar kau bicara!" tegurnya, nyaring. Mendengar orang bicara, hatinya Tan Hong sebaliknya menjadi lega.
"Ayahku memaksa engkong-mu mengembala kuda dua puluh tahun, kejadian itu membuatnya aku menyesal," ia kata pula. "Akan tetapi kejadian sudah terjadi, kejadian itu tak dapat ditarik pulang..... Tentang meninggalnya engkong-mu itu, tiada sangkut pautnya dengan keluargaku..... Berulangkah aku telah menjelaskannya, apakah kau tetap tidak percaya aku?"

In Loei ingat surat wasiat engkong-nya, itu surat kulit kambing yang bertuliskan darah dan berbau bacin. Ingat itu ia berpendapat, meski engkong-nya bukan terbinasa di tangan musuh, untuk itu iapun harus menuntut balas..... Hal ini membuatnya ia bertambah sedih.
Tan Hong menghela napas.
"Ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe kakakmu itu lihay," ia bilang, untuk simpangi pembicaraan. "Pernah aku dengar guruku mengatakan, di jaman ini, yang mengerti ilmu silat itu cuma ada beberapa orang saja, di antaranya adalah Tang Soepee yang paling lihay. Turut penglihatanku, kakakmu itu tentulah muridnya Tang Soepee itu....."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, kembali Tan Hong menghela napas.

"Memang ilmu silat kakakku itu ada ajarannya Tang Soepee," sahut In Loei, yang ketarik dengan pembicaraan itu. "Apakah itu ada hubungannya dengan kau? Kenapa kau menghela napas?"
"Aku menyesal atas apa yang telah terjadi.....” sahut Tan Hong. "Kita bertiga adalah saudara seperguruan, kita bagaikan satu keluarga, tak disangka-sangkanya, orang yang telah meninggal dunia telah membuatnya urusan bersangkut paut dengan mereka yang masih hidup, hingga sekarang kita jadi berkedudukan sebagai musuh satu dengan lain.Kita sekarang jadi tak dapat hidup damai, apakah itu tidak menyedihkan?"

In Loei merasakan seperti terpukul, ia lekas-lekas menyingkir dari pandangan matanya si anak muda, yang mengawasinya dengan tajam. Pikirannya pun kusut, tidak dapat ia mengucap sesuatu.

Sekian lama si anak muda mengawasi, lalu ia menghela napas pula.
"Oleh karena kau tidak dapat memaafkannya, baiklah kita berpisahan saja.....” ia kata pula, suaranya perlahan. "Secara begini maka tak usahlah kita saling berduka.....”
"Eh, tunggu dulu....." mendadak In Loei mencegah.
Tan Hong sudah membalik tubuh, mendengar mana ia berpaling pula.
"Ah," katanya, "kau memangnya cerdas, otakmu bening bagaikan es dan salju. Adakah kau telah dapat menginsyafinya?"
Kembali In Loei menyingkir dari mata orang yang tajam itu.
"Di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi yang dapat diperkatakannya," kata si pemuda tetiron kemudian. "Bagaimana dengan Tjioe Toako? Ke mana kau buang dia? Bagaimana dengan Pit Lootjianpwee? Apakah kau telah ketemu dia?"
Di dalam hatinya, Tan Hong tertawa. Adakah itu yang dimaksudkan sudah "tidak ada apa-apa lagi yang dapat diperkatakan"? Toh yang ditanyakan ada demikian banyak..... Ia tertawa.

"Tjioe Toako itu sangat memusuhi aku, telah aku hajar rubuh padanya," jawab Tan Hong.
"Apa katamu?" In Loei terkejut.
"Ketika dia dibawa keluar oleh Hoan Tiong, Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam juga hampir sampai kepadanya," si anak muda terangkan. "Aku kuatir dia kepergok, itulah berbahaya, maka itu aku telah beri nasehat pada Pit Lootjianpwee supaya dia ajak Tjioe Toako lekas-lekas menyingkirkan diri. Untuk itu aku telah berikan kuda putihku. Tjioe Toako tidak sudi turut nasehatku. Dalam keadaan seperti itu, terpaksa aku totok padanya hingga dia tidak berdaya. Selagi aku titahkan Hek Pek Moko rintangi Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, aku ajak Pit Lootjianpwee membawa dia menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Bertiga kami naik atas kuda putihku. Sebentar saja, kami telah antar dia ke rumah keluarga Na. Ilmu totokku ada yang berat, dan ada yang enteng, yang enteng itu membutuhkan tempo hanya satu jam, orang akan sadar sendirinya, karena itu sekarang ini mungkin Tjioe Toako sedang menghadapi perjamuan arak untuk bikin lenyap kagetnya.....”

In Loei berdiam. Ia kagum berbareng heran.

"Sungguh hebat dalam satu malam saja kau telah lakukan demikian banyak," ia kata,tawar.
"Kuda putihku bisa lari seribu lie dalam satu hari, apakah artinya semua itu?" sahut si anak muda, sikapnya tetap tenang.
Kembali In Loei tutup mulut. Kembali ia menyingkir dari pandangan matanya si anak muda.

Ketika itu sang matahari sudah berada di atas Tjengliong Kiap, memberikan pemandangan pagi yang indah dari akhir musim ketiga, pelbagai bunga hutan sedang mekar, segar dan indah, dan bunga lay putih bagaikan salju. Suasana pun tenteram sekali.

Dalam keadaan sebagai itu, tiba-tiba Tan Hong keluarkan sepucuk surat.
"Tolong kau sampaikan surat ini kepada Nona Tjoei Hong," ia minta.
In Loei menyambutinya tanpa berpaling. Ia insyaf tak dapat tidak, mesti ia berpisah dari si anak muda, akan tetapi ia coba atasi diri, supaya tak usah ia tengok pula wajah orang, hal mana cuma-cuma akan menambah kedukaannya.

Tan Hong menghela napas, suaranya terdengar si nona, terus ia naik atas kudanya — sikuda putih — yang ia kasi jalan dengan ayal-ayalan keluar dari selat, kaki kuda menginjak pelbagai lembaran bunga yang rontok.....

Dengan perlahan Tan Hong bernyanyi, menyanyikan syairnya Ong Pong Hoay di jaman Song ketika dia ini mengenangkan isterinya yang telah menikah pula.

Berduka In Loei kapan ia dengar nyanyian itu, hingga ia kata di dalam hatinya:
"Walaupun aku jemu terhadapmu tetapi di jaman ini, tidak nanti aku nikah lain orang!.....
Oh, mengapakah Thian berlaku begini kejam terhadap aku?.....”
Ketika kemudian suara nyanyian berhenti, maka lenyap juga Tan Hong serta bayanganya, tinggal si nona seorang diri, matanya mengembeng air — air matanya itu bersinar di antara sorotnya matahari. Setelah ini, iapun berlalu dari lembah yang sunyi itu.

Tepat di waktu tengah hari In Loei sampai di Imma tjoan di rumahnya Na Thian Sek, di mana ia dapatkan San Bin benar seperti katanya Tan Hong, yaitu pemuda she Tjioe itu baharu saja dijamu, diberi selamat yang dia telah lolos dari ancaman bahaya, dan waktu itu dia tengah pasang omong bersama kawan-kawannya.

Melihat In Loei, Pit To Hoan tertawa besar. "Sebenarnya aku kuatir ketika tadi malam aku tinggal pergi padamu seorang diri," berkata orang tua itu, "tetapi begitu aku ingat ada Thio Tan Hong yang melindungi kau secara diam-diam, hatiku lantas menjadi lega, aku tak berkuatir lagi."
Kata-kata itu membuktikan, jago tua ini percaya penuh pada Tan Hong.
"Kami telah berpikir keras, kami telah bekerja hebat, namun kami tak dapat tolong orang," Thian Sek turut bicara, "akan tetapi Thio Tan Hong, begitu dia datang,pertolongan telah dapat dilakukan secara sangat gampang. Sepak terjangnya dia itu sungguh hebat, luar biasa, mengagumkan!"

"Teranglah dia satu laki-laki sejati," kata Tjek Po Tjiang, yang tadinya berkesan jelek terhadap Tan Hong, malah memusuhinya. "Nyatalah bahwa kita telah bersikap keliru terhadapnya."

San Bin dengar itu semua, ia lirik In Loei.

"Maka sayang sekali, dia adalah musuhnya In Siangkong," ia bilang. "Kalau tidak demikian, sungguh harus sekali kita bersahabat erat dengannya.....”
Bersemu dadu wajahnya In Loei, ia bungkam. "In Siangkong," kata Tjoei Hong, "dalam hal menolong toako San Bin, kau juga berjasa, mengapa kau diam saja?"
"Apa jasaku?" In Loei sahuti. "Umpama permainan catur, aku adalah satu serdadu yang menyerah untuk orang kendalikan sesuka-sukanya saja.....”

Tjoei Hong nampaknya tidak senang.

"Siapakah yang berbuat sesukanya terhadap dirimu?" dia tanya.
Penyahutannya In Loei tadi hanya sekena-kenanya saja. Ditanya begitu, ia insyaf, tapi lantas ia tertawa.
"Aku maksudkan aku dipermainkan nasib, tak lagi aku berkuasa atas diriku," ia menambahkan kemudian.
Orang semua heran. Kenapa "pemuda" ini mengatakannya demikian putar balik.
"Kau benar!" berkata San Bin, yang tak heran seperti yang lain. "Mengenai permusuhanmu dengan Thio Tan Hong, itu memang ada permainannya sang takdir!"
San Bin berduka kapan ia ingat permusuhan di antara dua orang itu, karena terhadap Thio Tan Hong, ia berkesan baik.
"Eh, mengapa kamu bicarakan urusan nasib saja?" Tjoei Hong campur bicara. "In Siangkong, bukankah kau berniat pergi ke kota raja?"

Sebenarnya nona ini hendak mengutarakan maksudnya untuk turut serta tapi In Loei segera memotong pembicaraannya.
"Ah, hampir aku lupa!" kata "pemuda" ini. "Ada sepucuk surat yang mesti disampaikan kepadamu! Surat dari Tan Hong....."
"Untuk apa ia menyampaikan surat padaku?" tanya Tjoei Hong, heran. Terus ia menambahkan: "Kau dengan dia bermusuhan, kenapa kamu nampaknya seperti sahabat-sahabat kekal? Tidakkah ini aneh sekali?"
Sambil berkata begitu, Nona Tjio toh buka suratnya Tan Hong itu.
"Kiranya surat dari ayahku!" katanya kemudian. "Ah, ada urusan apakah maka ayah minta aku lekas-lekas pulang? Eh, In Siangkong, dalam surat ini ada terlampirkan sepucuk surat lain untuk disampaikan kepadamu..... bukan untuk kau sendiri..... hanya ini diminta kau tolong sampaikan kepada Kokioo Ie Kiam. Ah, inilah bukan tulisannya ayah!" Dan ia melihatnya dengan teliti. Lalu ia menambahkan: "Nyata
surat ini ditulis oleh lain orang..... Kenapa orang main minta surat-surat saling disampaikan?.....”

In Loei menyambuti surat yang dikatakan untuknya. Ia tampak tulisan yang sifatnya bagaikan "naga terbang atau burung hong menari." Memang surat itu diminta disampaikan kepada Ie Kiam. Berdenyut berulang kali hatinya In Loei apabila ia telah kenali siapa yang membuat buah kalam itu. Itulah tulisan yang bagus dari Thio Tan Hong.

Mungkin Tan Hong kuatir orang menampik permintaan tolongnya, atau dia ada kandung maksud lain.....
Tjoei Hong sendiri menjadi kecele apabila ia sudah baca habis surat dari ayahnya itu.
"Dalam surat ayahku menyatakan ada urusan penting sekali karena mana ia minta aku lekas pulang," ia bilang, "dan kau hendak pergi ke kota raja. Entah kapan kita bisa bertemu pula.....”

In Loei sebaliknya girang bisa "lolos" dari Nona Tjio ini.

"Asal ada jodoh, dapat kita bertemu pula!" katanya sambil tertawa.
San Bin semua tertawa, mereka menyangka itulah sepasang suami isteri tengah bergurau, karenanya, merah mukanya Tjoei Hong, yang menjadi likat sekali.

Pada keesokan harinya, orang semua ber-pisahan, masing-masing menuju kepada arah tujuannya sendiri-sendiri. Pit To Hoan pergi menyingkirkan diri ke Hoasan. San Bin tidak berani berdiam lama di Kwanlwee, siap ia untuk kembali ke sarangnya. Dan In Loei,dengan menunggang kuda, menuju ke kota raja. Tjoei Hong bersama San Bin mengantar orang she In ini. Nampaknya berat sekali "isteri" ini mesti berpisahan dari "suaminya" itu.....

Sekonyong-konyong, In Loei berkata: "Entjie Hong, pergi kau pulang lebih dahulu, hendak aku bicara kepada Tjioe Toako....."

Merah matanya Nona Tjioe itu. Seandainya In Loei berkata demikian sebelum pengalaman mereka yang paling belakang ini, tentu ia jadi tidak senang dan akan beranggapan bahwa di mata In Loei cuma ada San Bin, tapi sekarang San Bin pernah berkorban untuk menolong padanya, dapat ia bersabar, dengan terpaksa ia pulang seorang diri.

"Tadinya aku pandang Tan Hong sebagai penghianat," kata San Bin sesudah mereka berada berduaan, "sekarang aku anggap dia sebagai satu pemuda gagah dan luar biasa. Maka kalau nanti kau sampai di kota raja, kau selidikilah dengan seksama, apabila benar engkong-mu bukan keluarga Thio yang menganiaya dan menyiksanya hingga menderita selama dua puluh tahun, aku anggap tak usah kau bunuh dia untuk menuntut balas."

Satu malam sudah San Bin telah berpikir keras, tentang takdir, ia menjadi tawar hatinya. Setelah pengalamannya ini, ia menjadi lebih terbuka pandangannya perihal penghidupan. Begitulah, maka bisa ia mengucap demikian.

Tertarik hati In Loei mendengar perkataan orang itu.

"Baiklah hal ini kita bicarakan pula lain kali," ia bilang, "Aku punyakan serupa barang untuk haturkan kepadamu..... bukan! Barang ini sebenarnya memang kepunyaanmu!"

Ia lantas keluarkan permata sanhoe, sambil menyerahkan itu, ia kata pula: "Sekarang sanhoe ini harus dipulangkan kepada pemiliknya!"

Melihat batu itu, berubah parasnya San Bin.

"Kau..... kau maksudkan apakah?" dia tanya gugup.

-ooo00dw00ooo

Sanhoe itu adalah barang tanda mata, atau pesalin, dari In Loei untuk Tjoei Hong, San Bin ketahui itu, maka cara bagaimana dapat ia menerimanya. Tapi In Loei tertawa.

"Memang benar sanhoe ini berasal kepunyaanmu, yang aku cuma pinjam," si "pemuda" terangkan lebih jauh. "Apakah bukan selayaknya kalau barang kembali kepada pemiliknya?"
"Adik In," katanya dengan perlahan, "kita sekarang akan berpisah, mengapa kau bergurau begini rupa terhadapku?" Dengan "adik" ia menyebutnya adik perempuan. Iapun nampaknya sedikit tak puas.

In Loei mengawasi, ia unjuk roman sungguh-sungguh.

"Toako, hendak aku mohon sesuatu kepadamu, kau sudi meluluskannya atau tidak?" ia tanya.
"Kita adalah bagaikan kakak dan adik sejati," jawab San Bin, "segala apa yang aku bisa pasti suka aku berbuat untukmu, tak peduli mesti aku serbu api!"

In Loei tertawa."Tetapi permintaanku ini tidak meminta tenaga sedikitpun jua!" ia bilang.
San Bin bukannya seorang tolol, dalam sejenak itu sudah ia dapat menerka. Ia jadi agak mendongkol berbareng berduka. Maka, di dalam hatinya ia kata: "Di dalam hatimu sudah ada lain orang yang menempatinya, itulah tidak apa, kenapa sekarang kau hendak menggunai akal memindahkan bunga ke lain pohon?.....”

Tadinya hendak ia unjuk tak puasnya itu, atau In Loei telah dului ia.
"Nona Tjio menyintai aku secara membuta, ia harus dikasihani," demikian si nona. "Tak dapat aku dustakan ia untuk selama-lamanya yang akan mensia-siakan usia mudanya."
"Itu ada sangkut paut apa dengan aku?" tanya San Bin, mendongkol.

Matanya In Loei menjadi merah.

"Aku sudah tidak punya ayah dan ibu, di waktu aku nampak kesulitan, jikalau aku bukan minta pertolonganmu, kepada siapa lagi dapat aku memintanya?" dia tanya.
"Begitulah kesulitanku ini, melainkan kau yang dapat memecahkannya. Sioktjouw dengan Hongthianloei Tjio Eng kenal baik satu pada lain, maka itu kaulah orang yang paling tepat....."
"Apa? Bukankah dengan begini kau jadi memaksa aku?" San Bin tanya. "Kau desakkan soal apa yang orang tak inginkan.....”
"Kau ketahui apa yang hendak aku minta dari-mu?" balik tanya In Loei. "Aku juga tidak minta kau segera menikah! Kenapa kau bimbang tidak keruan? Aku hanya minta kau terima sanhoe ini untuk disimpan. Kau tunggu sampai nanti telah tiba ketikanya, akan aku bicara kepada Nona Tjio untuk menjelaskan segala-galanya. Apakah untuk ini kau tetap masih tak dapat menerimanya?"

San Bin berdiam, ia mengawasi. Ia merasa kasihan terhadap nona ini. Bukankah permintaan itu tidak berat? Maka itu, dengan terpaksa, akhirnya ia terima juga.
Sepasang alis In Loei segera terbuka, dari masgul, hatinya menjadi rawan. Ia lantas bersenyum. Segera ia lompat naik atas kudanya yang dilarikan pergi.....

Dengan mendelong San Bin awasi orang berlalu, pikirannya tidak keruan rasa. Tak tahu ia mesti bersedih atau bagaimana.....

Tidak ada halangan bagi In Loei selama dalam perjalanannya itu, lewat beberapa hari tibalah ia di kota raja, kota mana menjadi tempat kedudukan kaisar sejak pertengahan kerajaan Kim. Dulu memang kota itu sudah indah, setelah pindahnya Kaisar Beng Sengtjouw dari Lamkhia, segala apa telah diperbaiki dan ditambah, hingga sekarang Pakkhia menjadi kota besar dan indah tanpa bandingan.

In Loei saksikan Tjiekim shia, Kota Terlarang, ia tampak jalan-jalan besar yang lebar, ia lihat pelbagai toko yang besar-besar dan beraneka warna. Tapi tak sempat ia menikmati keindahan kota, yang paling dulu ia lakukan ialah mencari rumah penginapan.

"Di kota raja ini aku tidak kenal seorangpun jua," ia berpikir, "Ie Kiam sebaliknya adalah seorang menteri besar. Sudikah dia menemui aku? Aku juga belum tahu alamatnya.....”

Karena ini, ia jadi berpikir.

"Terang sudah si perwira muda adalah kakakku," pikir ia kemudian, "ia sekarang berada di kota raja ini, mengapa aku tidak hendak cari ia saja?.....” Tiba-tiba berkelebat diotak In Loei halnya kakaknya itu bermusuh dengan Thio Tan Hong. Ia jadi sangat mangui. Tanpa ia kehendaki ia menghela napas.
"Sayang itu hari, saking kesusu, tak bisa aku memberi keterangan kepada kakakku itu," ia sesalkan diri. "Di dalam dunia ini, melainkan dia orang satu-satunya yang terdekat denganku. Harus aku ketemui dia. Untuk ini aku tak hiraukan bahwa aku bakal ditegur dan didamprat. Akan tetapi apabila kakakku itu mendesak aku bantui ia mencari balas,bagaimana? Beberapa kali Thio Tan Hong sudah tolongi aku dari marah bencana,
cara bagaimana aku bisa binasakan dia?..... Tidak bisa lain, aku mesti bisa melihat gelagat.....”

Berupa-rupa perasaan memenuhi otak In Loei. Ia girang mengetahui tentang kakaknya,ia berduka mengenai permusuhannya dengan Tan Hong. Ia terbenam dalam keraguraguan.

Sampai sekian lama ia berpikir, tidak juga ia dapatkan pemecahannya.
"Di mana berdiamnya kakakku sekarang?" kemudian ia tanya dirinya sendiri. "Tidak sukar! Lebih dahulu aku mesti cari Thio Hong Hoe!"
Ia ingat perkataannya Hong Hoe baru-baru ini, yaitu kalau ia dan Tan Hong datang ke kota raja, dia hendak undang mereka berdua datang ke rumahnya sebagai tetamu. Ia ingat juga alamatnya Hong Hoe, yang pernah memberitahukannya.

Tiga hari lamanya In Loei tinggal di hotel, selama itu ia sering keluar seorang diri,hingga ia jadi kenal baik kota raja, di hari ke empat, ia langsung menuju ke rumahnya Thio Hong Hoe.

Komandan Kimie wie itu bukannya seorang hartawan akan tetapi karena kedudukannya baik, ia ada punya sebuah rumah yang besar pekarangannya dan terkurung tembok, di dalamnya ditanami banyak rupa pohon-pohonan. Hanya aneh, di samping pekarangan lebar itu, rumahnya adalah rumah biasa saja yang terdiri dari empat lima ruang. Apakah perlunya pekarangan lebar dan kosong itu?

"Ah, dia sebagai komandan Kimie wie, sudah tentu dia membutuhkan lapangan luas untuk melatih barisannya.....” pikir si nona kemudian. Lantas ia hampirkan pintu dan mengetoknya.

Satu hamba, yang membukakan pintu, mengawasi sekian lama.
"Maaf, engko kecil," dia kata kemudian, "hari ini thaydjin kami tidak menerima tetamu....." Bicaranya tidak lancar.
In Loei lantas jadi mendongkol.
"Cara bagaimana kau bisa ketahui dia tidak akan menemui aku?" dia tanya.
"Thio Thaydjin telah memerintahkannya, selama beberapa hari ini kecuali rekannya dari Kimie wie, lain orang tak dapat ia menerimanya," sahut hamba itu.
"Tetapi aku adalah orang undangan thaydjin-mu, bagaimana dia tak terima aku?" In Loei membandel.

Hamba itu mengawasi pula tetamunya ini, ia menggelengkan kepala.
"Aku tidak percaya!" ia kata. Ia nampaknya memandang enteng. Di dalam hatinya seperti hendak ia mengatakan "Kau orang macam apa sampai thaydjin-ku undang padamu?"

In Loei habis sabar. "Jikalau kau tidak wartakan kedatanganku, nanti aku masuk sendiri!" dia bilang,
suaranya keras. Dia cekal loneng besi dan menariknya, hingga jeruji sebesar jari tangan lantas jadi melengkung. Kaget juga si hamba.

"Harap jangan gusar, engko kecil," katanya kemudian. "Kau tunggu, nanti aku laporkan kedatanganmu ini. Bahwa thaydjin sudi terima kau atau tidak, itu terserah kepada thaydjin.....”

Ia lantas bertindak masuk. Ia keluar pula tak berselang lama.

"In Siangkong, thaydjin undang kau masuk," katanya sekarang sikapnya berbeda.
"Silakan kau ambil jalan sebelah kanan itu, lalu memutar ke kiri, setelah kau tampak pintu batu yang hanya dirapatkan, kau tolak saja. Thaydjin kami ada di lapangan di sana. Aku sendiri mesti terus menjaga pintu ini, maafkan aku, tidak dapat aku antar kau."
Sambil berkata demikian, ia membukakan pintu loneng.
In Loei bertindak masuk tanpa bilang suatu apa, masih ia mendongkol.
"Banyak juga tingkahnya Hong Hoe!" ia pikir. "Selama di Tjengliong Kiap, ia bersikap manis budi, kenapa sekarang, selagi aku mengunjungi padanya, dia tidak sambut aku? Hm, dasar satu orang berpangkat!"

Sebentar kemudian sampailah In Loei di sebelah luar apa yang si hamba tadi sebutkan sebagai lapangan, segera ia memikirkan kata-kata untuk diucapkan kepada tuan rumah yang ia anggap besar kepala itu. Tiba-tiba ia dengan suara tertawa:
"Hihi! Haha! Hm! Awas!....."
Ia terkejut. Ia kenali, itulah suaranya Tantai Mie Ming! Tapi ingin ia lekas mengetahuinya, maka tanpa berpikir lagi, ia tolak daun pintu. Maka untuk herannya, ia tampak banyak anggota-anggota Gielim koen dan Kimie wie, di depan mereka itu berdiri Thio Hong Hoe, sang komandan. Begitu ia lihat In Loei, Hong Hoe lantas manggut.

Di tengah lapangan tampak Tantai Mie Ming yang menghadapi satu pahlawan, mereka saling lonjorkan tangan, yang menempel satu dengan lain, tiba-tiba si pahlawan Mongolia itu tertawa, kaki kirinya menyambar. Dan..... "Bruk!" tergulinglah si pahlawan.

Tantai Mie Ming tertawa pula.
"Mari, mari, lagi satu kali!" katanya.
Satu pahlawan lain lompat maju.
"Ingin aku mencoba-coba Tantai TjiangkoenV pahlawan itu bilang. Ia membahasakan
"Tjiangkoen" — "jenderal."
"Bagus, bagus!" ada jawabannya Mie Ming.
Pahlawan itu sudah lantas pasang kuda-kudanya, lalu ia kirim serangannya yang berupa kepalannya. Itulah suatu pukulan dari "Sippatlouw Tiangkoen," atau "Kepalan Panjang Jurus Delapan belas." Dengan kuda-kuda yang kokoh kuat, nampaknya hebat jurus ini.

Tantai Mie Ming menangkis dengan dua kali dorongan, ia cuma bikin tubuh si pahlawan bergeming tetapi tidak rubuh. In Loei jadi sangat heran. Bukankah Tantai Mie Ming pengantarnya pangeran Watzu itu? Kenapa dia berada di rumahnya Thio Hong Hoe? Kenapa dia uji diri dengan pahlawanpahlawan kaisar?

Heran juga sikapnya Hong Hoe, yang agaknya sangat ketarik hati.
Karena ini In Loei tidak segera menghampirkan komandan itu, ia hanya campurkan diri antara orang banyak, untuk menonton terus.....

Pelbagai pahlawan Gielim koen dan Kimie wie itu bicara satu dengan lain, tentang Tantai Mie Ming, perihal latihan itu, maka kemudian, In Loei tahu juga duduknya hal. Ialah Mie Ming sudah datang sekian lama di kota raja, dia sudah lantas bergaul rapat dengan rombongan pahlawan, tidak heran apabila kedua pihak suka bicara tentang ilmu silat.

Karena Mie Ming adalah pahlawan nomor satu dari Watzu, orang suka mencoba-coba dengannya. Mie Ming sendiri, yang gemar bergaul dan manis budi, ingin juga ketahui kegagahan pihak pahlawan, maka ia telah minta perantaraannya Hong Hoe untuk cari kenalan, katanya untuk "melatih diri sambil main-main," hanya ia tidak sangka, di antara pahlawan ada orang-orang yang benar-benar berniat merubuhkan padanya.....

Selama itu, latihan persahabatan sudah berjalan tiga hari, hari ini adalah hari terakhir. Selama tiga hari, Tantai Mie Ming telah merubuhkan delapan pahlawan, dan pada hari penghabisan ini, tetap ia menang terus. Karena pihak pahlawan nampak kekalahan,akhirnya sikap mereka semua menjadi tegang sendirinya.

Lawan terakhir dari Tantai Mie Ming adalah Yo Wie, hoetongnia atau komandan pembantu dari Gielim koen, dia kesohor dalam kepandaian Tiatpou san-nya, yaitu ilmu "Baju Besi," yang termasuk kalangan luar, Gwak.ee. Yo Wie percaya betul dia bakal sanggup bertahan, maka itu, dia telah melayani dari sepuluh jurus hingga jurus kedua puluh. Benar-benar pukulan-pukulan dari Sippatlouw Tiangkoen ada hebat.
Untuk melayani musuh yang tanggu ini, Tantai Mie Ming gunakan jurus-jurus dari "Tiat Piepee" atau "Piepee Besi" yang biasa saja, meski begitu dengan leluasa ia dapat "temani" pahlawan dari kota raja itu.
Adalah sesudah sampai pada jurus ke tiga puluh, Yo Wie mandi keringat sendirinya.

"Yo Tongnia, silakan beristirahat!" kata Mie Ming sambil tertawa. Walaupun ia mengucap demikian, ia bukannya mundur, sebaliknya, ia lompat maju, ia menyerang beruntun tiga kali, ketika ia menangkis kedua tangan lawannya, ia merangsak maju dan membentur tubuh orang.

Dengan satu gebrakan saja, Yo Wie rubuh terguling.

"Maaf!" kata panglima Mongolia itu. Ia maju menghampiri, untuk membangunkan, lalu sambil tertawa, ia menambahkan: "Ini adalah giliran yang ke sepuluh! Apakah masih ada saudara lainnya yang sudi beri pengajaran padaku?"
Sampai di situ, Hong Hoe habis sabar. Ia maju.
"Suka aku menerima pelajaran dari Tantai Tjiangkoen1." ia kata sambil memberi hormat, suaranya manis.
Tantai Mie Ming tertawa lebar. "Sudah lama aku dengar Thio Thaydjin adalah ahli nomor satu dari kota raja ini," dia berkata, "sekarang thaydjin sudi majukan diri, sungguh aku merasa sangat beruntung!"
Suara itu manis dan hormat tetapi nadanya agak tinggi, tanda dari kejumawaan yang tak dapat dile nyap kan.

Kali ini benar-benar pertandingan adalah yang terakhir, umpama kata Hong Hoe kalah,pahlawan lainnya tidak nanti ada yang berani maju lagi.
"Suka aku menerima pengajaranmu," Hong Hoe ulangi, yang terus berdiri berhadapan dengan panglima Mongolia itu, setelah mana ia memberi hormat dengan tiatjoe, dengan tangan kiri dikepal, tangan kanan dibuka, ditaruh di depan dadanya. Sebenarnya itu bukan cuma tanda memberi hormat, berbareng itu ada persiapan untuk mulai pertempuran.

Tantai Mie Ming tahu diri, dengan bersenyum ia membalas hormat sambil merangkap kedua tangannya, tapi setelah itu, sebat sekali, ia mulai dengan serangannya tanpa membuka lagi kedua tangannya itu, karena ia menyerang dengan "Pekwan tamlouw" atau "Lutung putih tanya jalan." Serangan dengan kedua tangan dirangkapkan itu diarahkan ke atas, ke umbun-umbun, dari atas turun ke bawah.

Thio Hong Hoe buka kedua tangannya, tubuhnya digeser nyamping sedikit, tangan kanan dipakai menangkis, tangan kiri membarengi menyabet, maka, sejenak saja,keduanya sudah saling serang.

Tantai Mie Ming berlaku tenang. Ia tarik kembali kedua tangannya, untuk menyingkir dari tangkisan, guna menangkis juga. Tapi ia tidak cuma menangkis, dengan sebelah tangannya yang lain, dengan dua jari, ia menotok ke tulang lemas di pinggang lawannya itu!

Kalau totokan ini mengenai tepat, mestinya Hong Hoe rubuh dengan segera,disebabkan tenaganya habis dengan tiba-tiba. Tapi ia ada jago kenamaan, ia juga telah banyak pengalamannya, tak dapat ia diperdayakan secara demikian gampang. Kelihatannya ia majukan diri, tak tahunya, menyusuli serangan lawan yang berbahaya itu,ia juga menyerang, sebelah kepalannya menuju ke uluhati! Itu artinya, apabila kedua pihak sama-sama mengenai sasarannya, mereka bakal terluka dan celaka, sebab Mie Ming akan muntahkan darah!

"Sungguh liehay!" berseru Tantai Mie Ming. "Inilah Toota Kimtjiong!"
"Toota Kimtjiong" berarti "Menggempur rubuh genta emas"

Sama sekali Mie Ming tidak lompat mundur, hanya berbareng dengan seruannya itu,tubuhnya menggeser sedikit, sebelah kakinya menginjak "tiongkiong" (garis tengah),sebelah tangannya "membacok" lengan Hong Hoe.

Semua pahlawan berseru bahkan kaget. Nyaring suaranya ketika kedua tangan bentrok satu dengan lain, habis mana baharulah keduanya lompat mundur dengan berbareng,sama-sama memasang kuda-kuda, untuk bersiap sedia kembali.

Menampak demikian, semua, penonton bernapas lega. Tapi mereka berlega hati tak lama, atau mendadak mereka lihat tubuh besar dari Tantai Mie Ming merangsak ke depan,seperti rubuh terpelanting, bagaikan runtuhnya sebuah balok besar, kedua tangannya maju sambil menerbitkan angin. Sebab dengan cara luar biasa itu, panglima Mongolia ini sudah mulai pula dengan serangannya! .

Beda daripada serangan yang datangnya ganas, Hong Hoe sebaliknya berlaku ayalayalan,ia menangkis kedua tangan itu bagaikan ia telah kehabisan tenaga.

Semua orang heran, tak terkecuali In Loei.

Tapi Mie Ming segera berseru: "Inilah Biantjiang Kanghoe yang lihay!"
"Biantjiang Kanghoe" ialah ilmu silat "Tangan Kapas," yang lemas.
Lalu, sambil tertawa, Mie Ming elakkan dirinya, hingga ia bebas dari serangan membalas dari komandan Gielim koen itu. Hingga kembali mereka lewatkan tiga jurus dengan keduanya tak kurang suatu apa.
Hong Hoe tahu ia kalah tenaga akan tetapi ia adalah Lweek.ee, ahli dalam, ia pandai "Biankoen," ilmu silat "Tangan Kapas", ia lawan kekerasan dengan kelembekan. Namanya saja lembek, sebenarnya bukan tangan yang lembek atau tenaga yang lemah, melainkan macamnya, sedang sebenarnya, siapa terkena Biankoen, tangannya bisa remuk seperti batu terpukul hancur. Mie Ming insyaf akan ancaman bahaya itu, tak mau ia menerjangnya.

Semua pihak Gielim koen gembira menyaksikan kesudahan itu, akan tetapi, setelah pertempuran dilanjutkan, In Loei tak tenang hatinya. Ia telah tampak, makin lama pertandingan berjalan, Hong Hoe makin tegang wajahnya, tidak demikian dengan jago Mongolia, yang tenang sekali. Dia ini seolah-olah tidak menggunakan tenaga, serangannya enteng, tapi cepat.

Pertandingan tidak segera memberikan kesudahan yang memutuskan, cuma Hong Hoe mulai mandi keringat, suatu tanda bahwa ia telah bekerja sungguh-sungguh untuk membela namanya. Kalau lain-lain orang tidak melihatnya, In Loei ketahui itu dengan baik, maka itu, nona ini menjadi berkuatir.

"Kepandaian Hong Hoe dibanding dengan kepandaian Tan Hong, ada berimbang," nona ini berpikir. "Selama pertandingan di dalam kuburan, Tan Hong cuma bisa melayani Mie Ming sampai lima puluh jurus, maka itu, Hong Hoe pasti tidak dapat bertahan sampai tujuh puluh jurus. Sekarang sudah lewat lima puluh jurus, mestinya tak lama lagi, Hong Hoe bakal kena dikalahkan.....”

Benar, baharu lewat lagi tujuh atau delapan jurus, tampak Hong Hoe sudah sulit bernapas.

"Jikalau aku kalah, tak apa untuk nama pribadiku," ia berpikir, "yang celaka adalah nama Tionggoan runtuh karenanya....." Karena ini, di saat terakhir itu, ia mencoba menggunakan ketikanya. Ia empos semangatnya, ia kumpulkan tenaganya ke tangan, waktu Tantai Mie Ming dengan dahsyat menyerang padanya, mendadak ia berseru, ia menyambuti dengan sekuat tenaganya. Serangan membalas ini sangat berbahaya andaikata mengenai sasaran kosong. Mie Ming adalah seorang yang cerdik, tak sudi ia membiarkan dirinya dipedayakan. Maka walaupun ia sedang terancam, dapat ia menghindarkan diri. Ia membalas dengan satu tangan yang berat.

Hong Hoe tidak menduga sama sekali lawannya ada demikian licin dan tanggu, ia kaget sekali merasakan dadanya seperti tertindih keras, sampai napasnya sesak dan tubuhnya berhawa panas. Syukur untuknya, ia masih dapat ketika akan mundur teratur, dengan elakkan diri, ia membuatnya tenaga lawan tinggal separuh, hingga ia tak terserang hebat.

Dalam keadaan seperti itu, kedua lawan seolah-olah tengah menunggang harimau,duduk terus salah, turun berbahaya. Mie Ming menang di atas angin, tapi ia kagum akan Tangan Kapas yang liehay itu. Ia kaget ketika ia dapat kenyataan, tangannya seperti dilihat, tak dapat segera ia loloskan tangannya itu.
"Inilah hebat.....” ia mengeluh. Ia tidak berniat melukai lawannya itu, satu jago, akan tetapi ia terancam bahaya. Daripada bercelaka sendiri, lebih baik ia cari keselamatan.Karena ini, ia mencoba kerahkan tenaganya.
Semua penonton kembali menjadi tegang, semua berdiam dengan menahan napas. Kedua lawan memasang kuda-kudanya masing-masing, kedua tangan mereka nempel satu pada lain.

Hong Hoe bertahan diri, walaupun napasnya terdengar nyata, keringatnya ngucur dijidatnya. Sedapat-dapatnya ia terus melindungi dirinya.

Dalam sibuknya, In Loei berpikir keras.
"Bagaimana aku bisa memisahkan mereka?" demikian otaknya bekerja. Hong Hoe akan terbinasa atau terluka parah. Hong Hoe adalah hamba negara tapi dia ada satu laki-laki,jiwanya harus disayangi.
Sunyi sekali suasana waktu itu, hingga bila ada jarum jatuh, dapat orang mendengarnya. Semua penonton mengawasi dengan mendelong, hati mereka tegang sekali.

Dalam keadaan yang sunyi senyap itu, tiba-tiba terdengar satu suara batuk yang perlahan sekali. Itulah tanda bahwa di situ telah tambah satu orang lain. Kemudian ternyata, tambahan satu orang itu adalah seorang yang mukanya kuning, kumis jenggotnya panjang dan terpecah tiga, usianya lebih kurang lima puluh tahun, bajunya panjang, tangannya menyekal sebuah kipas rusak.

Dari romannya dan dandanannya, teranglah ia adalah satu petani, atau seorang yang baharu pulang dari ladang habis meluku.....

Semua orang memusatkan perhatiannya pada pertandingan, tidak ada yang lihat datangnya orang baru ini sampai orang mendengar suara batuknya itu. Menyusul itu terjadilah satu kejadian aneh, yang dilakukan orang asing ini. Dia sudah lantas datang kepada kedua orang yang bertempur itu, untuk menyelak disama tengah.

"Tuan-tuan, kamu telah lelah, pergilah beristirahat!" demikian suaranya perlahan tetapi nyata. Itulah lagu suaranya Tantai Mie Ming ketika tadi Mie Ming merubuhkan lawanlawan yang terdahulu.

Heran Mie Ming, apa pula ketika orang itu ketengahkan kipas rusaknya di antara mereka berdua, hingga kipas itu hancur dan merosot turun bagaikan terikat sutera.....

Hong Hoe terperanjat, sambil berseru, dia lompat mundur.

Mie Ming pun terhuyung, lekas-lekas ia tarik kembali kedua tangannya, ia heran sekali. Hebat orang tua itu, yang mengerahkan tenaganya dengan pinjam perantaraan kipas rusak itu, hingga kedua orang yang tengah bertempur itu terpaksa memisahkan diri.

Begitu lekas ia telah sadar akan dirinya, Tantai Mie Ming tertawa tergelak-gelak.
"Sungguh beruntung hari ini aku bertemu dengan orang pandai!" kata orang Mongolia ini. "Aku Tantai Mie Ming, ingin menerima pengajaranmu!"

Sambil pegangi kipas rusak itu, si orang tua perlihatkan roman sibuk."Haraplah Tantai Tjiangkoen tidak berkelakar denganku," katanya, suaranya kurang nyata. "Aku adalah seorang desa yang telah lanjut usianya, apakah yang aku mengerti tentang ilmu silat?"
Mie Ming sebaliknya perlihatkan roman sungguh-sungguh, roman tak senang.
"Apakah benar-benar ioosianseng tidak suka memberi pengajaran padaku?" dia tegaskan.
Lalu dengan satu gerakan tangannya, dia membuat kutung tulang-tulang kipas rusak dari si orang tua itu, seperti terpapas pisau tajam.

Semua orang menjadi kagum dan heran. Itu adalah kekuatan jari-jari tangan yang istimewa. Orangpun heran, kenapa si orang tua membiarkannya, sedang tadi ia yang memisahkan kedua lawan itu.
Ketika tadi ia memisahkan, orang tua itu menggunakan akal, yaitu waktu Mie Ming dan Hong Hoe tidak bersiap sedia, dan barusan, Mie Ming juga bergerak secara tiba-tiba, tak sempat si orang tua menolong kipasnya itu, ia cuma dapat melindungi dirinya sendiri.

Hong Hoe ketahui semua itu, ia menjadi kagum, di dalam hatinya, ia berkata: "Benar-benar kepandaian manusia tak ada batasnya. Sampai sebegitu jauh, aku merasa puas dengan kepandaianku, sekarang terbukti, Mie Ming adalah terlebih liehay daripadaku,siapa tahu, orang tua ini ada jauh terlebih liehay lagi..... Mereka ini sama liehaynya, entah siapa yang terlebih liehay.....”

Karena memikir demikian, hati komandan Kimie wie ini menjadi tidak tenteram. Ia pun berkuatir dalam pertempuran selanjutnya akan meminta korban jiwa. Tidak apa untuk si orang tua, ia tak dikenal, ia adalah rakyat jelata, tidak demikian dengan Tantai Mie Ming.

Umpama terbinasa, akibatnya bisa hebat, sebab dia adalah utusan Watzu. Kalau si orang tua terbinasa, cuma Hong Hoe sendiri yang merasa tidak enak, karena barusan ia berhutang budi, ia merasa kasihan terhadap orang tua itu. Jikalau mereka bertempur,siapa sanggup memisahkan mereka?"

Semua pahlawan juga merasa heran dan bingungnya seperti Hong Hoe. Di satu pihak,mereka ingin menyaksikan pertempuran, di lain pihak mereka kuatirkan akibatnya, hingga mereka berbareng ingin pertempuran dibatalkan.....

Semua mata lantas diarahkan kepada Mie Ming dan si orang tua itu.
"Jangan, jangan bertempur....." achirnya Hong Hoe berkata dalam hati.
Tiba-tiba si orang tua mengangkat kipasnya.
"Kau telah rusakkan kipasku, tak ingin lagi aku akan kipasku ini!" kata ia sambil mengangkat tangannya.
Kipas itu tinggal batangnya saja, ketika diangkat, gagangnya menuju kepada jidat Tantai Mie Ming, pada jalan darah "thianleng niat" Tantai Mie Ming terkejut.

"Sentilan yang liehay!" dia berseru, saking cepatnya tangan si orang tua. Selagi sekalian pahlawan kaget, Tantai Mie Ming mengangkat tangannya, mengibaskan tangan bajanya, atas mana, tangan baju itu berlubang terkena gagang kipas, dan gagangnya sendiri, yang dilepaskan dari tangan si orang tua, melesat terus, mengenai sebuah pohon hingga menerbitkan suara!
"Telah aku saksikan kepandaian jari tanganmu," kata Mie Ming. "Sekarang ingin aku saksikan lebih jauh tanganmu!.....” Menyusul itu, orang Mongolia ini lompat maju, beruntun ia menyerang dengan kedua tangannya saling susul.
Orang tua itu menangkis, sambil berseru: "Oh, oh, kenapa kau benar-benar hendak serang aku si orang dusun yang tua?" Kedua tangannya dirapatkan, bagaikan ngempo bayi, sambil menangkis, ia tambahkan: "Boleh, boleh kau patahkan tulang-tulangku yang tua ini!.....”

Hong Hoe terkejut melihat bergeraknya tangan dari kedua orang itu. Mie Ming ada bagaikan singa murka, si orang tua sebaliknya seperti ular air yang lincah, tubuhnya setiap saat menyingkir dari serangan si panglima Mongolia. Setelah beberapa kali gagal, Mie Ming berseru, ia menyerang pula berbareng dengan
kedua tangannya.
"Ah!....." seru si orang tua, tubuhnya terhuyung tiga tindak.
Setelah itu, Tantai Mie Ming berseru: "Looenghiong, Taylek Kimkong Tjioe-mu tak ada tandingannya di kolong langit ini, suka aku bersahabat denganmu! Looenghiong, sudikah kau memberitahukan she dan namamu?"
"Ehrn!" si orang tua bersuara pula, suaranya dingin. "Tidak berani aku si orang dusun bersahabat dengan seorang besar.....” Sambil mengucap demikian, tangan kirinya menangkis, kaki kanannya menendang, ke arah jalan darah pekhay hiat di betis lawannya.

Tiba-tiba Tantai Mie Ming menjadi gusar, hingga ia berseru: "Apakah kau sangka aku benar-benar takut terhadapmu?" demikian suaranya yang nyaring, lalu tangan kirinya dilonjorkan, tangan kanannya menyambar.Si orang tua loloskan diri, ia tertawa dingin."Telah aku saksikan dua macam kepandaian Thian Ya Lookoay si orang tua aneh!" katanya. "Sungguh ilmu Tiat Piepie Tjioe dan Loohan koen yang liehay!"

Mendengar itu, Tantai Mie Ming terkejut berbareng mendongkol. Memang, gurunya adalah Siangkoan Thian Ya, dan guru itu liehay dalam lima macam ilmu kepandaian, yaitu "tangan besi" Tiat Piepie Tjioe, jurus Loohan koen, pedang Gouwkauw kiam, sentilan satu jari Ittjie sian, dan lima batang jarum Hoeihong tjiam, yang di kalangan Boeiim, Rimba Persilatan, kesohor sebagai Boeiim Ngotjiat — lima macam ilmu kepandaian silat yang istimewa. Ia mendongkol karena lagu suara orang, yang seperti memandang enteng
kepada gurunya. Maka juga, ia perhebat serangannya.

Nampaknya si orang tua jumawa akan tetapi selama berkelahi, ia berlaku sangat hatihati,tidak mau ia memandang enteng, semua gerakannya adalah penting untuk pembelaan diri, dan dengan Taylek Kimkong tjioe ia layani Loohan koen dan Tiat Piepee tjioe.

Makin lama makin seru jalannya pertempuran kedua orang itu. sampai debu mengepul,sambaran-sambaran angin membuat penonton terpaksa mundur sendirinya.Loohan koen adalah ilmu silat biasa, Tiat Piepee tjioe juga tak susah untuk dipelajarinya, hanya, di tangannya Tantai Mie Ming, kedua ilmu silat itu jadi liehay luar biasa, dapat digabung jadi satu, hebat serangannya, sempurna penjagaannya.

Demikian juga liehaynya si orang tua, tubuh siapa sangat lincah, hingga Tantai Mie Ming tidak pernah mengenai tubuh orang itu, hingga keduanya bagaikan air banjir menerjang gili-gili panjang, yang tak berhasil merubuhkannya. Di pihak lain, si orang tua juga tidak sanggup merubuhkan panglima Watzu itu.
Kalau tadi pertandingan antara Hong Hoe dan Tantai Mie Ming membuatnya semua penonton kagum, sekarang mereka ini menyaksikan sambil menjublak, saking kagum dan heran. Dua lawan ini hebat tapi mereka nampaknya lucu, bagaikan dua bocah tengah bermain-main.....
Sudah beberapa puluh jurus mereka itu mengadu kepandaian, kelihatannya Tantai akan mengenai tubuh si orang tua, tahu-tahu orang tua itu dapat membebaskan diri, atau nampaknya si orang tua menang di atas angin, atau si panglima Mongolia mendadak bebas dari ancaman bahaya. Maka semua penonton seperti menahan napas.....

In Loei kagum seperti semua pahlawan lainnya.
"Hebat Taylek Kimkong tjioe si orang tua ini," demikian pikirnya. "Katanya toasoepee liehay dalam ilmu silat itu, apakah orang tua ini toasoepee adanya!.....”

Hian Kee Itsoe mempunyai lima murid, kecuali ayahnya In Loei, yang telah menutup mata, ia masih punya empat murid yang masing-masing dapat mewariskan satu kepandaian tersendiri. Dalam ilmu pedang, yang terliehay adalah muridnya yang ketiga,Tjia Thian Hoa. Mengenai tenaga dalam, yang paling tanggu adalah murid kepalanya yaitu Tang Gak dengan Taylek Kimkong Tjioe.

Pikir In Loei terlebih jauh: "Aku dengar toasoepee dan samsoepee pandai ilmu silat dan pintar ilmu suratnya, wajah mereka luar biasa, kalau dia ini benar toasoepee, mengapa dia hanya seorang desa yang tua? Pun katanya, untuk belasan tahun dia pesiar di Mongolia dan Thibet, kenapa sekarang dia mendadak muncul di kota raja ini?.....”

Tengah In Loei berpikir keras, pertandingan pun sudah berganti rupa. Kalau tadi mereka itu saling serang dengan hebat, sekarang gerakan kaki tangan mereka jadi lambat, malah ada kalanya mereka seperti saling mengawasi saja, kaki tak bergerak,tangan diam, cuma mata mereka memandang tajam. Mereka pun berhadapan dekat.Tak lama keadaan ini, atau mendadak mereka berubah pula, keduanya lompat maju,
lantas mereka memisah diri. Nampaknya tak hebat serangan mereka, tetapi sebenarnya,mereka mencoba mencari kemenangannya masing-masing.

Semua penonton tak tahu gerakan mereka itu, karena hebatnya dan anehnya.Tidak lama, juga Tantai Mie Ming telah mandi keringat.Menampak itu, Hong Hoe terperanjat, ia berkuatir. Kelihatannya mereka itu mesti kalah kedua-duanya, sama-sama terluka..... Ia bingung sebab tak tahu ia,bagaimana harus memisahkannya.

Seumurnya, Tantai Mie Ming belum pernah menghadapi lawan setanggu ini, ia pun menjadi berkuatir sendirinya. Karena ini, ia nampaknya menjadi nekat. Maka ia menyerang pula dengan sengit, dengan cepat. Ia berseru.Si orang tua melayani sambil mundur, dengan teratur. Ia bertindak dengan gerakan
"kioekiong patkwa," sebelah tangannya menangkis, yang lain melindungi dadanya.Tampaknya ia seperti tidak membalas menyerang, sedang sebenarnya, sambil menangkis,ia pun membalas.

Dilihat dengan mata biasa, Tantai Mie Ming menyerang hebat sekali, akan tetapi sebenarnya, setiap kali ia tertolak oleh tenaga dorongan Kimkong tjioe dari lawannya itu.

"Sudah dua puluh tahun lebih aku malang melintang, kecuali Tjia Thian Hoa, inilah tandinganku yang terkuat," pikir Mie Ming. "Tjia Thian Hoa liehay ilmu pedangnya, tak ada tandingannya di kolong langit ini tetapi bicara hal tenaga dalam, orang tua ini menang daripadanya. Mungkinkah dia sama dengan Tjia Thian Hoa, ialah salah satu murid lawannya guruku?"

Memang pada tiga puluh tahun yang lampau, gurunya Mie Ming ini, yaitu Siangkoan Thian Ya, telah bentrok keras dengan Hian Kee Itsoe, bentrok dalam perebutan kedudukan sebagai pemimpin kaum Rimba Persilatan, selama tiga hari dan tiga malam,keduanya sudah bertempur hebat di atas gunung Ngobie San, tanpa ada yang kalah atau menang, hingga kesudahannya Siangkoan Thian Ya pergi menyembunyikan diri di Mongolia, di mana dengan menerima murid, ia mencoba mendirikan satu kaum persilatan tersendiri.

Walaupun ia bercuriga demikian rupa, dalam keadaan seperti itu, di saat mati atau hidup, Tantai Mie Ming tidak sempat berpikir lama-lama, ia harus terus melayani si orang tua, siapa meski usianya lebih tua belasan tahun, nyata, tenaga dalamnya ada terlebih tanggu. Orang tua ini tetap membela diri sambil balas menyerang, menyabet atau mencengkram.

"Ah, hebat sekali....." Mie Ming menghela napas. Ia menyedot hawa dingin. Diam-diam ia bergidik. Sia-sia belaka ia menyerang, tangan kiri dengan Lohan koen, tangan kanan dengan Piepee tjioe. Terpaksa ia mesti jaga diri baik-baik, ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya yang ia peroleh dari Siangkoan Thian Ya, yang telah mendidik ia dengan sungguh-sungguh hati, dengan susah payah. Sekian lama ia percaya, tidak nanti ada lain orang yang sanggup memecahkan Loohan koen dan Piepee tjioe-nya, tidak tahunya kali ini ia menemui lawannya.

"Biarlah, aku tidak akan serang hebat padamu, hendak aku lihat, apa yang kau dapat berbuat terhadap diriku," pikir panglima Mongolia ini kemudian. Dengan begitu ia telah mengambil keputusannya.

Jurus-jurus telah lewat, masih mereka sama tanggunya, cuma keringat yang membasahi jidat, mereka masing-masing.

Para penonton tetap dalam ketegangan. Biar bagaimana, mereka, mengharapkan si orang tua yang keluar sebagai pemenang, untuk nama baik persilatan Tionggoan. Tentu sekali, mereka tidak tahu, Mie Ming pun asal orang Han sejati.

Tantai Mie Ming juga berkuatir akan akibatnya pertandingan ini. Pihak luar niscaya tidak ketahui yang mereka bertanding hanya untuk mencoba kepandaian. Akibat itu bisa mengenai urusan negara dengan negara, sebab ia adalah pahlawan dari utusan Watzu,sedang pihak lainnya adalah pahlawan-pahlawan Beng.

Selagi para penonton meragu-ragukan akhirnya pertandingan itu, tiba-tiba si orang tua membuat lagi satu gerakan baru. Tubuhnya tidak bergerak, adalah tangan kirinya dibikin melengkung bundar, lalu tangan kanannya dikepal, dimajukan ke depan. Menyusul tangan kanan itu baharulah tubuhnya turut maju sedikit, diturut dengan tindakan kaki. Dengan satu gerakan, Tantai Mie Ming tangkis serangan itu.

Tiba-tiba si orang tua menarik kembali tangan kanannya, untuk dipakai melindungi dadanya, sebaliknya, kepalan kirinya berbalik menyerang. "Kena!" dia berteriak. Lalu tangan kanannya menyusul.Itu adalah tiga serangan kepalan saling susul.

Tantai Mie Ming rasakan dorongan keras ketika ia tangkis pukulan yang pertama, selagi ia hendak lawan dorongan itu, mendadak dorongan pihak lawan itu menjadi kendor sendirinya, selagi tubuhnya hampir terjerunuk, mendadak datang dorongan yang lain. Ia segera menangkis pula. Lalu ia tangkis serangan yang ketiga kali.
"Kecuali toasoepee, siapa lagi yang tenaga dalamnya begini hebat?" pikir In Loei, yang menyaksikan sambil mendelong. Tanpa merasa, ia berseru dengan kagumnya: "Bagus!" Sekonyong-konyong terdengar satu suara "Duk!" yang keras. Nyata pundak Mie Ming terkena jotosan yang ketiga kali itu.

"Celaka!" Thio Hong Hoe menjerit. Ia lantas lompat maju, maksudnya untuk datang sama tengah. Bersama ia maju pula beberapa pahlawan lain.

Serangan si orang tua itu membuatnya pundak Mie Ming turun rendah, berbareng itu,kepalan si orang tua seperti terbetot tenaga rahasia. Belum sempat orang tua itu menarik kembali kepalannya, atau Mie Ming sudah membalas menyerang ke arah pinggang siorang tua itu.

"Hm! Ha!" demikian terdengar si orang tua, yang tubuhnya mencelat mundur, tinggi,sampai melewati kepalanya beberapa pahlawan, hingga di lain saat ia telah lewati juga tembok pekarangan!.

In Loei tidak sempat berbuat apa-apa, ia cuma melihat, sinar matanya si orang tua menatap dengan tajam ke arahnya.

Tubuh Hong Hoe masih lemah, walaupun ia lompat, ia dapat disusul oleh dua pahlawan yang lompat berbareng dengannya. Kedua pahlawan ini sudah lantas sampai kepada Mie Ming, siapa hendak mereka tolongi. Karena serangannya itu, Mie Ming jatuh duduk,tubuhnya tak lagi bergerak. Mereka ini cekal kedua pundaknya, maksudnya untuk memimpin bangun, atau tiba-tiba di antara jeritan "Ayo!" dua pahlawan itu mundur terhuyung, iga mereka dirasakan sakit.

"Ha!" mereka itu berseru.

Hong Hoe segera mengerti duduknya hal. Ia halangi kedua pahlawan itu, hingga mereka tak terhuyung terlebih jauh."Biarkan Tantai Tjiangkoen1." Hong Hoe teriaki kedua pahlawan itu. "Dia tengah empos
tenaga dalamnya!.....”

Hampir berbareng dengan itu, kelihatan Mie Ming bersenyum, terus ia manggut-manggut kepada si komandan, seperti ia hendak puji komandan itu.

Si orang tua turunkan tangannya yang terakhir, dia gunakan Taylek Kimkong tjioe,untung tenaga dalam si panglima Watzu pun liehay, ia pun luas pengalamannya, dari itu,dapat ia mengelakkan diri. Ia turunkan pundaknya untuk menyambut serangan, kecuali mendak, tidak ada lain jalan lagi baginya. Berbareng dengan itu, ia juga coba menyerang,guna meringankan pukulan si orang tua. Walaupun itu semua, pakaian perangnya — lapis baja — telah menjadi korban, jikalau tidak, tentu rusaklah anggota-anggota dalam
tubuhnya.

Juga si orang tua tidak menyangka, dalam keadaan terancam seperti itu, Mie Ming masih bisa mengelakkan diri, masih bisa membalas menyerang, ia terkejut ketika ia merasa tubuhnya seperti terbetot lawan itu. Ia mencoba pula mengelakkan diri. Syukur untuknya, serangan Mie Ming tak sekuat tenaganya — tenaga Mie Ming tengah terbagi —jadi serangan itu, dalam sepuluh cuma dua tiga bagian saja. Jikalau tidak, juga si orang tua mesti rubuh seperti lawannya ini, yang jatuh duduk numprah. Tapi tidak urung,
sekeluarnya dari rumah Hong Hoe, ia mesti juga muntahkan diri, dan tempo ia kembali di pondoknya, ia mesti duduk bersemedhi guna memulihkan kesehatannya.
Mie Ming tetap bercokol sekian lama. Ia lolos dari bahaya di dalam, ia tidak bebas dari luka di luar. Tidak berani ia bicara. Ia juga empos semangatnya, untuk mengalirkan jalan darahnya.

Hong Hoe mengawasi orang, terus ia berkata pada rekan-rekannya: "Pertandingan sudah berakhir, sekarang silakan saudara-saudara pulang saja!"

Semua pahlawan itu juga kuatir nanti terlibat, maka itu, dengan segala senang hati mereka lantas pamitan dan pergi, kecuali dua pahlawan, yang terus berdiri diam, wajah mereka beda dari biasanya.

In Loei tak dapat berdiam lebih lama, hendak ia bicara kepada tuan rumahnya, atau mendadak, dua pahlawan itu membuka mulutnya.
"Sekarang ini masih pagi, Tantai Tjiangkoen pun belum pulih kesehatannya, kami berdua hendak berdiam dulu di sini," demikian kata mereka.
"Tidak berani aku mengganggu djiewie," kata Hong Hoe dengan cepat.
"Kami dua saudara pertama-tama ingin menemani Tantai Tjiangkoen, kedua kami hendak gunakan ketika ini untuk melanjutkan pertandingan ini," kata pula mereka itu,yang bicaranya mendesak, "ialah kami ingin belajar kenal sama ilmu golok dari Thio Thaydjin. Karena ini ada latihan belaka, untuk kemajuan kedua pihak, kami percaya Thio Thaydjin tentulah tak nanti sudi tak memberi petunjuk kepada kami."

Hong Hoe jadi berpikir keras. Kedua pahlawan itu adalah orang-orang kepercayaannya Soeiee Thaykam Ong Tjin, si orang kebiri yang besar pengaruhnya. Semasa kaisar masih menjadi putera mahkota, Ong Thaykam ini pernah mengajarkan ilmu silat padanya,sekarang, sebagai Soeiee Thaykam, dia jadi sangat berkuasa, dengan gampang dia dapat memfitnah menteri-menteri setia. Dua pahlawan ini, yang bersaudara kandung, adalah Lou Beng dan Lou Liang, kepandaian mereka yang utama adalah genggaman tameng yang bernama ilmu silat Lakcapshalou Koengoanpay hoat, yang terdiri dari enam puluh tiga jurus. Tameng itu istimewanya ialah bukan dikawani dengan golok, hanya dengan pedang, dan kedua saudara ini, yang satu menyekal pedang, yang lain memegang tameng, biasa mereka bertempur bersama. Sebenarnya Hong Hoe tidak mengundang mereka ini, adalah mereka yang datang sendiri.

Bingung juga Hong Hoe. Terang sudah, kedua saudara she Lou ini tidak mempunyai maksud baik. Yang hebat baginya ialah selagi ia masih lelah habis melayani Mie Ming, tak dapat ia menampik dengan alasan masih letih itu. Akhirnya, terpaksa ia ambil putusannya.

"Oleh karena djiwie mempunyai kegembiraan itu, baiklah, suka aku yang rendah menemaninya," demikianlah penyahutannya. "Tapi karena kita cuma melatih diri, aku harap kita hanya saling menyentuh saja, jangan kita bicarakan urusan kalah atau menang....."
"Itulah pasti!" tertawa kedua saudara Lou itu. "Siapa kalah siapa menang, kita sambut dengan tertawa saja!"
Lalu, dengan mengambil tempat di kiri dan kanan, kedua pahlawan itu segera siap sedia dengan pedang dan tameng mereka.

In Loei menjadi tidak puas sekali.
"Tidak keruan-keruan, kembali orang hendak bertanding," pikirnya. Tapi ia ada orang luar, tidak dapat ia menyelak di tengah untuk mencegah pertandingan itu, terpaksa ia berdiri tetap di pinggiran.
Thio Hong Hoe hunus goloknya, golok Biantoo. "Silakan!" ia undang.
"Thio Thaydjin saja yang mulai!" Lou Beng jawab.
Hong Hoe mengerti persiapan kedua saudara itu, tak sudi ia hunjuk kelemahan dirinya.
"Baiklah!" ia jawab sambil tertawa. "Maaf!"
Dengan satu gerakan menyabet dari ilmu golok Ngohouw Toanboen too, komandan Kimie wie sudah lantas menyerang lengannya Lou Beng.
"Trang!" demikian satu suara, ketika pahlawan Ong Tjin menangkis dengan tamengnya.
Itulah Lou Liang, yang mendalangi saudaranya.

Hong Hoe sudah menduga akan tangkisan itu, maka juga dengan menggunakan ketika itu, ia luncurkan goloknya di antara tameng itu, dengan menerbitkan sinar hijau yang menyilaukan mata, dengan jurus "Anghee toatbak," "Sinar layung menyilaukan mata," ia menikam terus dengan ujung goloknya ke arah tenggorokan. Justeru itu Lou Beng, dengan pedangnya yang tajam, majukan diri sambil memapas,akan tabas kutung lengan si orang she Thio. Dengan cara ini ia berbareng menolongi saudaranya.

Dengan cepat Hong Hoe tarik pulang goloknya, untuk menangkis pedangnya. Dalam tempo yang pendek itu Lou Liang dapat kenyataan, tamengnya pada bagian yang terbacok lawan telah melesak, memberi bekas bacokan golok, karena mana, ia terkejut.

"Kusangka dia sudah lelah, tidak tahunya dia masih tetap tangguh," ia berpikir. Karena ini, segera ia maju pula, guna membantu saudaranya. Ia mencoba mendesak. Dengan lantas ia perlihatkan liehaynya ilmu silat tamengnya. Desakan ini ada baiknya untuk Lou Beng, yang jadi leluasa dengan pedangnya, sebab dia senantiasa terlindung tameng saudaranya itu.

Dalam keadaan biasa, dua saudara Lou itu bukan tandingannya Thio Hong Hoe,sekarang ini komandan itu masih lelah hingga golok yang tajam itu kurang lincah gerakkannya, dengan begitu, bertiga mereka jadi berimbang. Lou Beng dan Lou Liang mencoba mendesak, sebentar saja mereka sudah bertempur kira-kira lima puluh jurus, bagus kerja sama mereka berdua, sempurna serangan dan pembelaan diri mereka, maka sulit bagi Hong Hoe untuk merubuhkan mereka, tidak peduli goloknya itu istimewa tajamnya.

Dalam percobaannya mendesak itu Lou Liang kembali menyerang dengan tamengnya,dengan jurus "Soenloei koanteng" atau "Geledek menyambar." Ia arah batok kepalanya Thio Hong Hoe.

Komandan Kimie wie itu menginsyafi bahaya tameng itu, yang beratnya sedikitnya seratus kati. Coba ia masih segar, tidak usah ia pikirkan itu. Sekarang adalah lain, tidak mau ia melayani keras dengan keras. Maka itu dengan cepat ia berkelit. Karena ia mengalah, ia jadi terdesak, hingga segera ia berada di bawah
angin. Dilindungi tameng saudaranya, pedang Lou Beng mendesak berulang-ulang, bagaikan ular berbisa yang tak hentinya menyemburkan bisanya.

In Loei lantas menginsyafi bahaya yang mengancam Thio Hong Hoe itu, ia menjadi heran. "Ini bukan caranya orang berlatih," pikirnya.
Tiba-tiba tampak Lou Liang mendekam, tamengnya menutupi seluruh tubuhnya, habis itu dengan cepat, ia lompat bangun, tamengnya itu menyambar, dalam gerakan "Hengsaw tjiankoen" — "melintang menyapu ribuan serdadu." Tameng itu mengarah kepinggang. Hong Hoe berkelit dengan gerakan "Liongheng hoeipou" atau "Naga terbang," ia lolos di bawah tameng, sambil berkelit, ia membalas menyerang dengan bacokan. "Tongleng tianpie" atau "Cengcorang pentang sayap." Kalau ia barusan diarah pinggangnya, ia
mengarah sepasang kaki orang.

Inilah yang dikatakan "Tong long pok sian, oey tjiak tjay houw," yaitu, sang cengcorang menubruk sang tonggeret, sang burung gereja mengintai di belakangnya. Selagi Hong Hoe membabat kaki Lou Liang, Lou Beng di sampingnya pun menikam dengan pedangnya. Sebab Lou Beng hendak menolongi Lou Liang, sang saudara.

In Loei saksikan kejadian itu, ia kaget hingga ia menjerit. Tapi ia tidak hanya menjerit,berbareng dengan itu, jari-jari tangannya menyentilkan Bweehoa Ouwtiap piauw.

Lou Beng percaya betul, pedangnya akan mengenai sasarannya. Ia tidak sangka,berbareng dengan satu suara "trang!" ujung pedangnya telah meleset, karena piauw menyampoknya hingga ujung pedang itu menggeser dari arahnya. Coba tidak demikian,sudah tentu tubuh Hong Hoe bakal tertusuk bagaikan sate dipanggang. Tak sempat berpaling lagi, untuk mencari tahu, siapa si pelepas piauw itu, Lou Beng berlompat
mundur, sesudah itu, baharu ia pikir hendak menanya.

Berbareng dengan itu, juga In Loei hendak lompat maju, untuk majukan diri, atau ia telah didahului Tantai Mie Ming. Panglima Mongolia ini mencelat maju seraya perdengarkan suaranya: "Aku hendak bertempur pula satu gebrakan! Djiewie, kamu suka berdiam di sini, untuk temani aku, maka untuk membalas kebaikanmu ini, suka aku mengorbankan diri untuk menemani kau! — Thio Thaydjin, silakan kau undurkan diri!"

Mie Ming bergerak terus menyusuli kata-katanya itu, ia tak tunggu lagi jawabannya kedua saudara Lou itu atau Hong Hoe, tangan kirinya bekerja dibarengi dengan tangan kanan. Kalau tangan kiri menyambar menangkap, tangan kanan menggempur menyampok. Karena kagetnya, tameng Lou Liang sampai terlepas dari cekalannya,terpental tinggi, dan pedangnya Lou Beng kena dirampas, terus dibikin patah menjadi dua potong! .

Maka melengaklah kedua saudara itu! .

Tantai Mie Ming tidak berhenti sampai di situ. Dia bekerja terus, kedua tangannya menyambar tubuh Lou Beng dan Lou Liang, yang terus dia angkat sambil berseru "Pergi!" Maka kedua tubuh itu yang bagaikan ditiup angin puyuh, terapung kurang lebih satu tombak jauhnya, perdengarkan jeritan dari kesakitan, mata mereka berkunang-kunang,sebab mereka terbanting keras, sejenak itu juga mereka pingsan!

Tantai Mie Ming melenggak, ia tertawa ber-kakakan.

"Selama hidupku, inilah hari pertandinganku yang paling memuaskan!" kata dia dengan nyaring. Terus dia manggut terhadap Thio Hong Hoe, sedang terhadap In Loei, dia usapkan tangannya dan berkata: "Aku hendak cari si orang tua tadi, maaf, tak dapat aku temani kamu terlebih lama pula!.....”

Dan dia buka tindakan lebar untuk berlalu dari rumah Hong Hoe.

Tuan rumah she Thio itu segera lari menghampiri Lou Beng dan Lou Liang, untuk memeriksa keadaannya. Ia dapat kenyataan, tulang iga Lou Beng patah dua buah dan gigi Lou Liang copot dua biji. Sama sekali mereka tidak peroleh luka di dalam tubuh, hingga jiwa mereka tidak terancam bahaya. Maka dengan hati lega, Hong Hoe lantas ambil obat dan obati mereka itu. Habis itu, dengan keluarkan kata-kata tak tegas, dengan tindakan tidak tetap, kedua pahlawan itu juga ngeloyor pergi.....

Akhir-akhirnya, Hong Hoe menghela napas.
"Sungguh aku tidak duga....." keluhnya.
"Apakah yang kau tidak duga?" In Loei tanya.
"Biasanya aku tidak pernah berhubungan dengan Ong Tjin," sahut komandan Kimie wie itu. "Dua orang ini adalah pahlawan-pahlawan Ong Tjin, mereka rupanya mendapat titah dari Ong Tjin untuk mencelakai aku. Mungkin ini disebabkan aku tak sudi pernahkan diri di bawah pengaruh orang kebiri itu.....”

In Loei berdiam. Baharu sekarang ia tahu, di kota raja ini, juga kaum pahlawan terdiri dari berbagai golongan, bahwa mereka saling berdengki. Tentang ini, tidak sudi ia mencari tahu, ia tidak menanyakannya lebih jauh. "Eh, mana sahabatmu itu, Siangkong Thio Tan Hong?" tanya Hong Hoe kemudian.
Wajah In Loei menjadi bersemu merah.
"Sejak di Tjengliong Kiap, kita telah berpisah," ia menyahut, terpaksa.
"Sayang, sayang," mengeluh Hong Hoe. "Coba kamu berdua ada di sini, dengan pedangmu bergabung menjadi satu, pasti sekali kamu dapat mengalahkan Tantai Mie Ming itu! Selama tiga hari beruntun, terus menerus Mie Ming menangkan belasan pertandingan, beruntung datang orang tua tidak dikenal itu yang membuatnya ia tahu rasa, sayang mereka bertanding seri, sama-sama mereka memperoleh luka..... Ah,
sungguh, kali ini runtuhlah kaum pahlawan dari kota raja!.....”

In Loei mengerti orang sangat berduka dan menyesal. Tapi ia tertawa.
"Sebenarnya kau belum terkalahkan Tantai Mie Ming!" ia kata.
"Syukur datang si orang tua, kalau tidak, tetap aku bakal kalah," Hong Hoe akui. "Malah mungkin jiwaku akan lenyap bersama! Tidak tahu aku bagaimana cara datangnya orang tua itu, di sini banyak pahlawan, tidak seorang jua yang mengetahuinya....." Ia berhenti sebentar, untuk menambahkan: "Tantai Mie Ming juga ada seorang aneh. Kalau tadi dia tidak turun tangan, mungkin aku bercelaka juga. Biar bagaimana, aku mesti haturkan terima kasihku untuk Bweehoa Ouwtiap piauw-mu!"

In Loei tak gubris pujian itu. Ia mempunyai urusan lain.
"Thio Thaydjin," katanya, "aku datang ke kota raja ini untuk satu urusan penting.Hendak aku mohon bantuan kau!"
"Katakanlah," jawab Hong Hoe.
"Mana dia sebawahanmu, si perwira muda she In?" In Loei tanya. "Aku minta supaya kau ajak dia menemui aku." Hong Hoe mengawasi, nampaknya ia merasa heran.
"Adalah untuk ini saja kau datang ke kota raja ini?" dia tegaskan.
"Ya, untuk ini saja," In Loei pastikan. "Sebenarnya kau menpunyai hubungan apa dengan In Tongnia itu?" Hong Hoe tanya pula.
"Belum pernah aku dengar ia menyebut-nyebut kau.....”
"Kita adalah dari satu she, aku ingin berkenalan dengannya," sahut In Loei, yang masih belum ingin menerangkan jelas.
"Di kolong langit ini banyak orang yang sama she-nya," pikir Hong Hoe, "maka itu alasanmu tidak masuk diakal.....”

In Loei tidak membiarkan orang bungkam.
"Jikalau Thaydjin ada punya urusan lain, tolong beritahukan saja alamatnya In Tongnia itu," ia mendesak. "Aku sendiri dapat mencari dia."
Tiba-tiba saja komandan itu bersenyum.
"Inilah urusan gampang," katanya. "Sekarang silakan kau masuk dulu."
In Loei heran, di dalam hatinya, ia kata: "Kalau urusan ada gampang, untuk apa kau undang aku masuk dulu? Tidakkah cukup bila kau beri tahu aku alamatnya perwira muda itu?.....”
Tapi ia adalah tetamu, tidak berani ia terlalu mendesak.

Hong Hoe pimpin tetamunya berlalu dari tanah lapang, untuk memasuki sebuah ruang tetamu di mana paling dulu ia titahkan pelayannya menyiapkan dua cangkir terisi teh wangi.

"Maaf, ingin aku salin pakaian dulu," kata tuan rumah ini kemudian, lalu ia terus masuk.
Memang, setelah pertempuran hebat melawan Tantai Mie Ming, pakaian komandan Kimie wie itu telah robek dan kotor, begitupun rambutnya. Mulanya In Loei, karena urusannya, tidak memperhatikan, sesudah orang menyebutkannya, baharu ia melihat terang. Benar-benar tidak pantas tuan rumah menemani tetamu dengan pakaian tidak keruan macam itu. Maka ia jadi tertawa.
"Sungguh liehay Tantai Mie Ming itu!" ia kata. "Syukur kau yang melayani dia, coba orang lain, sudah tentu dia tidak sanggup.....”

Hong Hoe bersenyum, ia jalan terus.
Sebenarnya tidak lama, tapi In Loei menantikan dengan tidak sabaran, baharu hatinya lega apabila ia tampak tuan rumah itu muncul pula.
"Thio Thaydjin, di mana tinggalnya In Tongnia itu?" ia tanya tanpa menanti lagi. Ia seperti tak sanggup kuasai pula dirinya.

Hong Hoe berlaku ayal-ayalan, ia singkap bajunya untuk duduk dengan tenang. Ia pun angkat dulu cawan tehnya, untuk menghirup teh yang wangi itu.
"Sukar untuk menemui In Tongnia itu!" sahutnya kemudian, tapi sambil bersenyum.
In Loei heran, hingga tak dapat ia tidak memperlihatkan roman kaget.
"Apa katamu?" tanyanya cepat. "Dia kena-pakah?"
Hong Hoe lihat tegas kelakuan orang yang luar biasa itu. Itu menyatakan bahwa di antara kedua anak muda itu terdapat suatu hubungan yang erat, kembali ia bersenyum.
"Dia tengah menghadapi suatu kejadian di luar dugaan, hanya itu adalah kejadian yang
baik," jawabnya kemudian. "Dia telah disetujui oleh Sri Baginda, dia telah diangkat menjadi siewie di dalam keraton. Karena ini dia tidak dapat sembarang keluar, jadi sulit untuk menemui dia." In Loei jadi bingung.
"Apakah kau juga tak dapat memanggil dia keluar?" ia tanya.
"Sekarang ini dia bukan lagi sebawahanku, pasti tak dapat aku memanggil dia keluar," sahut Hong Hoe.

In Loei jadi seperti putus asa.
"Habis bagaimana?" tanyanya, lenyap kegembiraannya.
"Jikalau kau berniat menemui dia, mungkin setengah bulan lagi baharu ada ketikanya," Hong Hoe beritahu.
"Kenapa begitu?" In Loei tanya. "Apakah sebabnya?"
"Setengah bulan lagi tibalah waktunya Sri Baginda mengadakan ujian militer tahun ini,"
komandan Kimie wie itu menerangkan. "Dengan ujian militer" dia maksudkan ujian boe kiedjin. "Saudara Tjian Lie sudah mendaftarkan namanya. Dia pandai ilmu silat, dia paham membaca kitab perang, ada harapan baginya lulus sebagai Boe tjonggoan. Umpama kata dia menjadi Boe tjonggoan, sudah pasti Sri Baginda akan berikan dia pangkat besar dan mendapat kedudukan lain hingga tak usah dia tinggal lebih lama di dalam keraton sebagai pahlawan."

Benar-benar lenyap harapan In Loei. Ia jadi memikir untuk pamitan saja. Akan tetapi Hong Hoe tanya ia ini dan itu, ia tetap diajak bicara. Dan bicara tentang kejadian di Tjengliong Kiap, tuan rumah ini kembali puji Thio Tan Hong, ia kata, karena tipu dayanya Tan Hong itu, puteranya Tjioe Kian dan ia sendiri jadi dapat kebaikan.

Hati In Loei berdenyut setiap kali ia dengar disebutnya nama Tan Hong.
Hong Hoe lihat keadaan orang itu, ia menjadi heran sekali.
"Apakah benar Thio Tan Hong itu puteranya Thio Tjong Tjioe?" tanyanya kemudian.
"Benar," jawab In Loei, terpaksa.
"Kalau benar begitu, benarlah, teratai keluar dari lumpur tetapi tidak kotor!" kata Hong Hoe. "Melihat segala sepak terjangnya, terang dia adalah satu pemuda penyinta negara,maka harus ditertawai saudara Tjian Lie, dia baik dalam semua hal kecuali terhadap Tan Hong, dia sangat berkukuh, dia sangat benci Tan Hong itu." In Loei berdiam, ia rasakan hatinya sakit.
"Apakah kau juga datang dari Mongolia?" kembali Hong Hoe menanya secara di luar dugaan.
"Di masa kecilku, pernah aku tinggal di Mongolia," In Loei akui.
"Kalau benar begitu, kau mirip dengan saudara Tjian Lie itu," kata Hong Hoe. "Tahukah kau orang macam apa pangeran asing serta Tantai Mie Ming yang datang ke Tionggoan ini?"
"Aku meninggalkan Mongolia sebelum berumur tujuh tahun," sahut In Loei, "maka itu mengenai Mongolia, sedikit sekali pengetahuanku. Kenapa Thaydjin tanya tentang kedua orang asing itu?"
"Sekarang pemerintah kita menghadapi suatu urusan penting," jawab komandan itu.
"Itu adalah satu urusan aneh."

In Loei tidak menegaskan. Ia anggap ia adalah seorang rakyat jelata, tak ada pentingnya baginya untuk mengetahui urusan negara itu.
Hong Hoe sebaliknya pandang "pemuda" ini sebagai sahabat karib, bagaikan saudara kandung, tanpa kekuatiran, ia membicarakannya terlebih jauh. "Pangeran asing itu bernama Atzu," ia berikan keterangan, "di negerinya dia menjabat pangkat tiwan, yang berarti pejabat pemerintah, maka kekuasaannya berada di atasnya lain-lain pangeran, dia cuma berada di bawahan thaysoe. Kali ini dia datang ke negeri kita sebagai utusan, untuk membuat perundingan. Ada tiga syarat yang telah dikemukakan. Pertama-tama dia minta supaya daerah seratus lie di luar Ganboenkwan diserahkan pada negara Watzu, dan kota Ganboenkwan menjadi tapal batas kedua negara itu. Yang kedua dia minta diadakan penukaran antara barang-barang besi kita dengan kuda Mongolia. Dan yang ketiga dia minta supaya puteri raja kita dinikahkan dengan Toto Puhwa, putera raja Watzu itu. Ketiga permintaan itu ditentang keras oleh Ie Kokioo, yang tak dapat
menerimanya. Ie Kokioo bilang, tanah daerah Tionggoan, satu dim juga panjangnya tak dapat diserahkan pada lain negara. Kalau besi kita diserahkan pada negara Watzu, itu ada seumpama kita pelihara harimau untuk mendatangkan ancaman bencana di belakang hari, sebab sekarang saja negeri Watzu sudah kuat sekali.Tentang pernikahan, meskipun itu ada urusan keraton, tetapi itu juga mengenai kehormatan kebangsaan, maka itu pun tak dapat diterima."

"Ie Kiam adalah satu menteri besar yang jujur, dia sangat setia kepada negara,sikapnya itu pasti tidak aneh," kata In Loei, yang turut juga bicara.
"Ie Kiam menentang keras, ia memang tidak aneh," Hong Hoe jawab, "yang aneh adalah sikapnya Ong Tjin. Dia juga menentang, sedang dia secara diam-diam, telah sekongkol dengan negeri Watzu itu, hal mana sudah dapat kita dengar semua. Pada sikap Ong Tjin itu ada satu sebabnya. Daerah seratus lie di luar Ganboenkwan berada dalam pengaruhnya Kimtoo Tjioe Kian, daerah itu tak lagi dapat dikendalikan oleh pemerintah kita. Inilah sebabnya Ong Tjin sangat benci pada Tjioe Kian, selama sepuluh tahun sudah
sering dia kirim surat-surat rahasia pada panglima kota Ganboenkwan, mengijinkan panglima itu berserikat dengan tentara Watzu, untuk bersama menghajar dan memusnahkan Tjioe Kian. Karena sebab itu, kita percaya, Ong Tjin tentunya setuju untuk menyerahkan daerah itu kepada bangsa Watzu. Di luar dugaan, dia justeru menentangi! . Tentang pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia, hal itu sudah berjalan selama sepuluh tahun, yang melakukan itu, tentu saja secara diam-diam juga, adalah Ong Tjin sendiri."

"Mungkin Ong Tjin mainkan siasat, supaya orang tidak tahu jelas akal muslihatnya itu," kata In Loei. "Rupanya dia tidak mau main terang-terangan." Thio Hong Hoe tertawa.
"Kenapa Ong Tjin tidak melakukan itu terang-terangan?" katanya. "Ong Tjin itu sudah mempengaruhi Sri Baginda untuk membikin tunduk semua menteri. Di dalam istana, dia telah berkoncoh, mengumpulkan kawan sekongkol, karena itu, ada alasan apa maka ia tidak berani berterus terang? Kau tahu, sekalipun Sri Baginda selalu pandang mata padanya. Sri Baginda sendiri ada seorang yang berhati kecil, bila Ong Tjin menganjurkan perdamaian, tentu semua permintaan Watzu itu akan sudah diterima baik.....”
"Tentang keadaan pemerintah aku tidak tahu suatu apa," kata In Loei.
"Masih ada yang lebih aneh lagi daripada sikap Ong Tjin itu," Hong Hoe tambahkan. "Sudah dia tentangi perdamaian, dia juga menganjurkan supaya utusan Watzu itu ditahan.Mengenai ini, Ie Kiam tidak mupakat. Ong Tjin biasa membantu Watzu, sekarang dia menganjurkan untuk menahan utusan negara itu, semua menteri tak ada yang tidak merasa heran....."
Mendengar ini, panas hati In Loei. Kembali ia teringat pada urusan engkong-nya, yang diutus ke negeri Watzu, lalu ditahan, disiksa sebagai pengembala kuda selama dua puluh tahun, hidup menderita di tempat dingin, es dan salju.

"Walaupun kedua negara sedang berperang, tidak seharusnya utusan salah satu negara dibunuh mati!" kata dia dengan sengit. "Karena itu, tidak selayaknya utusan Watzu mesti ditahan!"
"Mengerti aku tentang kebiasaan antara negara itu, kata Hong Hoe. "Tapi usul penahanan utusan Watzu itu keluar dari Ong Tjin sendiri, itulah yang membuatnya semua orang tidak mengerti.....”

Tanpa merasa, mereka telah bicara banyak, tahu-tahu sang magrib telah tiba, maka Thio Hong Hoe titahkan orangnya menyiapkan barang santapan untuk menjamu tetamunya.

"Di manakah In Siangkong ambil kamar?" tanya tuan rumah. "Jikalau kau tidak cela rumahku yang kecil dan buruk ini, aku minta sukalah kau pindah saja pada aku di sini." In Loei menampik dengan segera. Ia mengerti bahwa ia adalah satu gadis dan ia tidak merdeka untuk menumpang di rumah komandan ini. Untuk itu ia menghaturkan terima kasih.

"Kenapa ia pemaluan sekali, tingka polanya mirip dengan satu nona remaja?" Hong Hoe berpikir. "Dia beda jauh sekali daripada Thio Tan Hong."
Di waktu bersantap, In Loei tanyakan alamatnya Ie Kiam si menteri besar.
"Apakah kau berniat menemui Ie Thaydjin?" Hong Hoe tegaskan. "Dalam beberapa hari ini ia ada sangat repot dengan urusan pemerintahan, umpama kata dia sendiri sudi menemui kau, pengawal pintunya pasti akan tak mengijinkannya." Walaupun ia menjawab demikian, Hong Hoe beritahukan juga alamat menteri yang setia itu.

Habis bersantap malam, In Loei pamitan tanpa tuan rumah mampu mencegah dia,maka itu Hong Hoe antar tetamunya sampai di luar. Waktu hendak berpisah, sambil tertawa komandan Kimie wie ini berkata: "Kalau nanti sahabatmu juga datang ke kota raja" — ia maksudkan Thio Tan Hong — "dan bila saudara Tjian Lie, telah lulus sebagai Boe tjonggoan, pasti aku akan jadi Lou Tiong Lian si juru perantara, untuk menjamu saudara Tjian Lie itu pada waktu mana kau harus menjadi tetamu yang mengawaninya....."

In Loei tertawa menyeringai, ia lihat sendirinya. "Kau baik sekali, Thio Thaydjin," katanya. "Lebih dahulu aku haturkan terima kasih untuk perjamuan itu."

Lalu pemudi ini pamitan, akan pulang ke hotelnya.

Malam itu In Loei tidur gelisah, tak dapat ia lantas pulas. Sebentar ia ingat akan kakaknya, di lain detik ia ingat Thio Tan Hong. Ia menyesal, begitu jauh ia telah susul kakaknya itu, yang satu-satunya, siapa tahu, sesampainya di kota raja ini, masih ia tak dapat segera menemuinya. Siapa nyana kakak itu telah berada di dalam istana. Memang dapat ia menunggu kakaknya itu, sampai selesai ujian militer, di waktu mana mungkin si kakak akan ke luar sebagai pemenang, akan tetapi, sampai kapankah ia mesti menanti? Pastikah si kakak bakal menang? Siapa tahu, sesudah itu, tidak bakal menyusul lain urusan, yang dapat menghalangi pertemuan mereka? Maka pada akhirnya, ia menghela napas seorang diri.
"Dasar nasibku buruk....." katanya dalam hatinya: "Sampai saudara sendiri, sulit aku menemuinya....."
Ingat saudara sendiri, In Loei kembali teringat pada Tan Hong. Ada sesuatu yang membikin ia selalu ingat pemuda itu. Teringat pula ia akan kata-katanya Thio Hong Hoe tentang si anak muda. Dengan sendirinya, ia tertawa meringis.

"Mana kau ketahui keluargaku dengan keluarganya bermusuhan hebat, laksana dalamnya lautan..." katanya di dalam hati. "Kau berniat memberi nasehat kepada kakakku supaya dia akur dengan Tan Hong, pastilah percobaanmu itu, akan sia-sia belaka akhirnya.....”

Ingat Tan Hong, segera In Loei ingat Ie Kiam. Ia lantas rabah sakunya. Ia keluarkan surat Tan Hong yang dititipkan padanya, untuk disampaikan kepada Ie Kiam, menteri setia itu. Ia baca alamat surat itu. Itulah tulisan tangan yang bagus, bagaikan "naga terbang atau burung hong menari." Itulah tulisan si mahasiswa berkuda putih.....

Mengawasi tulisan itu, ia bagaikan melihat wajahnya si penulis surat sendiri.
"Inilah untuk pertama Thio Tan Hong memasuki Tionggoan, cara bagaimana ia kenal Ie Kiam?" ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa ia menulis surat kepada Ie Kiam untuk memperkenalkan aku?" In Loei berpikir Tan Hong itu agak jumawa tetapi orangnya sangat berhati-hati, hingga sebegitu jauh ia tahu, belum pernah Tan Hong melakukan kekeliruan, dan diapun belum pernah mendusta.

"Dia menulis surat kepada Ie Kiam, mesti ada sebab yang kuat alasannya," ia pikir lebih jauh. "Tidak ada jalan untukku akan menghadap Ie Kiam, baiklah aku pakai surat Tan Hong ini selaku pembuka jalan. Aku akan mencoba-coba saja! Ah, bagaimana jikalau pengawal pintu tak sudi mengijinkan aku menghadap Ie Kokioo? Apa aku mesti bertindak seperti di rumah keluarga Thio, untuk menyerbu saja? Ie Kiam adalah menteri kelas satu,dialah menteri tertua dan agung, yang dihormati di luar dan di dalam negara,bagaimana
dapat aku berlaku lancang? Aku mempunyai kepandaian enteng tubuh, ah, baiklah aku datang saja pada waktu malam, aku datang secara diam-diam....."

Setelah malamnya ia mengambil keputusan, besok paginya In Loei sadar dengan segar,akan tetapi hari itu ia keram diri di dalam kamar, untuk pelihara diri, guna sebentar malam bekerja. Begitulah, kira-kira jam tiga, ia sudah lantas salin pakaian, dengan yaheng ie,pakaian untuk keluar malam. Secara hati-hati ia keluar dari hotelnya, lalu langsung mencari gedung Ie Kokioo.

Oleh karena Ie Kiam ada satu menteri, di mata In Loei, gedungnya mesti merupakan sebuah istana, besar dan tinggi lotengnya, indah dan agung pemandangannya, akan tetapi setelah ia dapat mencarinya, ia tercengang. Ia dapatkan bukan istana yang bagaikan ia impikan, hanya sebuah rumah besar yang biasa saja, yang di belakangnya terdapat taman kecil. Itulah rumah mirip dengan satu keluarga yang cukup saja.....

"Sungguh satu menteri setia," akhirnya si nona menghela napas. "Dengan melihat tempat kediamannya ini dapatlah diduga dia orang macam apa.....”

Dengan pesat In Loei lompat naik ke atas genteng, mulai dari payon, ia naik ke atas.

Benar-benar ia tampak sebuah rumah yang biasa saja. Ia dapatkan sebuah kamar dengan taman, tiga penjuru jendelanya ditutupi gorden yang berkembang, kembangnya kecil dan besar, tak rata.
Setiap jendela ada kacanya. Manis hiasan jendela itu, dari mana muncul sinar api yang terang, hingga di atas meja kelihatan pohon bunga bwee, yang berbayang di jendela.

"Melihat cara menghiasnya, rumah ini tidak mirip dengan rumah seorang hartawan," In Loei berpikir terlebih jauh. "Kamar ini pasti kamar tulisnya Ie Kokioo. Karena api belum padam, mungkin Kokioo belum tidur.....”

Dengan tindakan perlahan sekali, In Loei menuju ke kamar itu. Begitu ia datang dekat,segera ia dengar suara orang bicara. Ia lantas pasang kuping. Ia dapat mendengar dengan nyata, hatinya lantas saja goncang. Ia kenali, itulah suaranya Thio Tan Hong.

"Bukankah aku tengah bermimpi?" ia tanya dirinya sendiri. Hatinya menjadi bimbang.
"Kenapa dia berada di sini? Kenapa dia datang secara begini tiba-tiba?"
Baharu malam kemarin In Loei mimpikan si anak muda atau sekarang ia dengar suaranya. Ia memikir untuk tidak menemui pemuda itu..... Ia bersangsi.
Apakah benar ia tak hendak menemuinya? Tapi ia berdahaga sekali untuk menemui si mahasiswa. Ah!.....
"Biarlah aku intip dia.....”

Dan In Loei bertindak lebih jauh, dengan tindakan sangat enteng ia mendekati kamar tulisnya Ie Kokioo, untuk memasang mata. Dari kain gorden, ia segera dapat melihat sepasang bayangan manusia. Benar saja, satu di antaranya, adalah bayangannya Thio Tan Hong!.

-ooo0dw00ooo

Untuk sekian lama, In Loei berdiri tegak, tak bergeming. Ia bagaikan terpaku. Syukur
untuknya, berselang sesaat, ia sadar kembali. Segera ia menghela napas, untuk melegakan hati. Ia hirup hawa yang berbau harumnya bunga di dalam taman itu. Habis itu, dengan bersemangat, ia mendekam di jendela, untuk memasang kuping.

"Walaupun Toto Puhwa adalah raja Watzu, kekuasaan pemerintah berada ditangan Yasian," demikian terdengar suaranya Tan Hong. "Di samping Yasian ini, pangeran Atzu juga mempunyai sebagian kekuasaan atas tentara. Maka itu kenyataannya, Watzu adalah negara yang diperintah tiga orang. Ong Tjin menyarankan untuk menahan Pangeran Atzu,turut penglihatanku, inilah ada atas usulnya Yasian."

"Habis, bagaimana sekarang?" terdengar Ie Kiam menanya.

"Meminjam golok untuk membunuh orang, itulah suatu siasat untuk menyingkirkan lawan yang tanggu," Tan Hong berkata pula. "Aku kenal baik, Yasian itu ada orang macam apa. Dia bercita-cita sangat besar. Dia pandang dirinya sebagai pengganti dari Djenghiz Khan. Maka itu, lambat laun, dia pasti akan merampas tachta kerajaan. Dia dapat membedakan antara Toto Puhwa dan Atzu, di antara raja Watzu dan pangerannya itu. Teranglah dia percaya, kalau dia sudah dapat menyingkirkan Atzu, dengan gampang nanti dia dapat me- rampas tachta kerajaan."
"Mendengar kau, terbukalah hatiku yang cupat," kata Ie Kiam sambil menghela napas.
"Harus disayangi bahwa pihak kita sama sekali tak mengetahui keadaan dalam dari musuh
sebagaimana yang kau mengetahuinya.....”
"Walaupun demikian, apabila benar terjadi perang saudara di dalam negara Watzu, itu
pun berarti rejekinya kerajaan Beng," kata Tan Hong.

Tiba-tiba anak muda ini tertawa menyeringai, matanya dialihkan ke arah jendela.

In Loei terkejut, dengan cepat ia umpetkan diri di antara pohon bunga. Ia berpikir keras, saking tak mengertinya.

"Thio Tan Hong anggap kaisar Beng sebagai musuh turunan, kenapa sekarang dia agaknya tengah bekerja untuk kerajaan Beng itu?" ia berpikir, heran.

Tidak sempat si nona berpikir lama, atau ia sudah dengar pula suaranya pemuda she Thio itu, mengingat siapa senantiasa hatinya goncang.

"Ingin aku menjelaskan tentang Tantai Mie Ming." demikian si mahasiswa berkuda putih. "Dia sebenarnya ada orang bangsa Han kelahiran negara Watzu. Dan dia bersahabat sangat erat dengan tiwan Atzu. Baharu kemarin aku bertemu dengan Tantai Mie Ming dan pasang omong dengannya, aku telah minta dia suka beri nasihat dan anjurkan ayahku agar ayah membantu memperbesar gelombang, untuk menyulut api dari sebelah dalam, supaya dengan begitu bisalah terjadi perang saudara di dalam negeri Watzu."

"Maukah ayahmu berbuat demikian?" Ie Kiam tanya.

"Untuk tidak mendusta." kata Tan Hong, "ayahku itu mempunyai cita-cita untuk merampas kerajaan Beng, akan tetapi di samping itu, ia tak lupa bahwa ia sendiri adalah putera Han, maka itu, di dalam hal ini, sulit bagiku untuk mengatakan dari sekarang bagaimana perkara ini nanti akan berakhir. Gagalkah atau berhasil?.....”

"Jikalau begitu, sieheng," tiba-tiba Ie Kiam berkata kepada Tan Hong. "kenapa tidak kau sendiri saja yang menganjurkan ayahmu itu?"

"Sekarang ini belum dapat aku lekas-lekas pulang ke Watzu," Tan Hong akui terus terang. "Kedatanganku ke Tionggoan ini adalah untuk satu tugas yang sangat penting.

Hendak aku mencari satu benda berharga yang mengenai nasibnya negara." Ie Kiam sibuk juga.
"Kekacauan di dalam negeri Watzu itu jadi boleh diharap dan boleh tidak," ia kata,"sebaliknya tindakan Watzu untuk menerjang Tionggoan ada seumpama, alis akan segera terbakar..... agaimana sekarang?"

"Sebenarnya tak usah kita berkuatir," Tan Hong jawab. "Tionggoan besarnya berlipat puluh kali dibanding dengan negeri Watzu itu, bila semua rakyat dapat bersatu hati, tak usah kita kuatirkan musuh yang tanggu itu!"

"Yang dikuatirkan justeru tak adanya persatuan..." Ie Kiam utarakan.

"Piauwkie Tjiangkoen Kwee Teng, Pengpou Tjoesoe Yo Hong, begitu juga Gielim koen Toatongnia Thio Hong Hoe adalah penyinta negara yang dapat diandalkan," kata Tan Hong, "maka berhubung dengan ini, baiklah thaydjin lekas membuat persiapan. Ong Tjin itu besar pengaruhnya, akan tetapi di antara menteri setia dan pengkhianat ada perbedaannya yang nyata, maka bila tiba saatnya negara terancam bahaya kemusnahan,asal thaydjin bergerak secara tepat, mesti thaydjin dapat sambutan hangat dari empat penjuru! Ong Tjin adalah satu hamba kebiri, dia dapat diumpamakan dengan seekor cengcorang yang menerjang kereta, mana dia dapat memusnahkan negara?"

Akan tetapi Ie Kiam menghela napas pula.

"Sungguh sukar untuk mengatakan, siapa yang akan berhasil dan siapa yang akan runtuh," kata menteri setia ini, "tetapi aku, akan aku habiskan semua tenagaku untuk mencoba melindungi negara!"

"Kesesatan tak dapat melawan kebenaran, hal ini harap thaydjin jangan sangsikan!" Tan Hong menganjurkan.

"Siesieng, kau dapat melihat segala apa dengan tegas sekali, kau juga berpemandangan luas dan jauh, kau adalah satu orang cerdik pandai luar biasa untuk jaman ini," berkata Ie Kiam, karenanya, sieheng, kenapa kau tidak sudi bekerja untuk pemerintah?"

Thio Tan Hong tertawa.

"Seseorang mempunyai pendiriannya sendiri-sendiri!" ia kata. "Lagi pula, untuk satu laki-laki membela negara, apakah dia mesti selalu berdiri dipihak pemerintah?"

Ie Kiam diam, dia bungkam.

Tan Hong insyaf bahwa ia telah bicara terlalu tandas, maka ia tertawa pula.

"Thaydjin adalah tiang negara, tentang thaydjin adalah lain," ia tambahkan.

Bukan main tergeraknya hati In Loei mendengar pembicaraan antara Tan Hong dan menteri setia itu, teranglah sudah, mereka itu adalah penyinta-penyinta negara, hanya paham mereka itu yang berlainan. Ia girang dan kagum untuk Tan Hong. Ia kagum karena sepak terjang yang tak dapat diterka-terka dari anak muda itu. Ia girang karena terbukti ia tak keliru mengenali orang — Tan Hong benar-benar satu pemuda gagah dan jujur. Karena ini juga, dalam sekejap itu ia anggap benar-benar "tidak ada faedahnya permusuhan antara kedua keluarga mereka".....

Segera terdengar pula suaranya Tan Hong.

"Thaydjin, harap kau maafkan aku, sukalah kau percaya akan janjiku," demikian pengutaraan si anak muda. "Aku telah nelusup masuk ke kota raja ini, aku pun telah lancang menemui thaydjin, tindakanku ini penuh dengan ancaman bahaya, akan tetapi,lega hatiku, karena thaydjin telah mempercayai aku. Thaydjin, apabila di belakang hari kau membutuhkan aku, walaupun tubuhku mesti hancur lebur, masih itu tak cukup untuk aku membalas budi kebaikanmu ini."

"Jangan kau mengucap demikian, sieheng," kata Ie Kiam "Untukku adalah sama, kau membalas untuk negara, sama dengan kau membalas untukku!"

"Satu laki-laki mesti membalas budi negara, tentang itu tak usah orang sampai dipesan lagi," Tan Hong kata. "Sekarang sudah jauh malam, thaydjin harus beristirahat,maka itu harap thaydjin mengijinkan boanseng mengundurkan diri....."

Ie Kiam berdiam, ia bagaikan berbicara seorang diri.

"Bila kau akan datang pula padaku?" tanyanya kemudian.
"Kalau telah datang saatnya untuk bertemu pula, akan aku datang sendiri," jawab Tan
Hong.
"Pribahasa kuno mengatakan, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa," pribahasa itu cocok dengan kita," kata Ie Kiam. "Dalam usiaku yang lanjut ini, aku masih dapatkan satu sahabat sebagai kau, sieheng, sungguh aku puas sekali. Sieheng pandai main tabuhan, main catur, melukis gambar juga, kebetulan baru-baru ini aku telah mendapatkan gambar lukisannya Tio Yoe, 'Liang Hoe Gim Touw,1 aku harap sieheng sudi menuliskan sebaris syair untuk gambar itu, untuk dijadikan peringatan di kemudian hari. Sudikah kau menulisnya, sieheng?"

Dengan pribahasanya itu, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa," Ie Kiam maksudkan: Ada beberapa orang yang telah bersahabat satu dengan lain, sampai rambut mereka telah ubanan, persahabatan itu masih sama seperti sahabat-sahabat baru, masing-masing tetap tak mengerti satu pada lain. Atau, ada beberapa orang yang telah bertemu di tengah jalan, mereka hentikan kereta mereka,mereka membuka tenda kereta mereka, untuk pasang omong, asyik pembicaraan mereka,hingga mereka jadi mirip dengan sahabat-sahabat lama. Dengan itu diartikan,persahabatan itu, kekal atau tidak, tidak disebabkan melulu dari waktunya bersahabat
sudah lama atau masih baharu, hanya dari mereka saling mengerti atau tidak.

Atas permintaan menteri itu, Tan Hong jawab: "yang terlebih tua telah memintanya,mana berani aku menampik? Baiklah, akan aku menuliskannya dengan syair The Soe Siauw,"

In Loei di luar jendela dengar semua pembicaraan itu, lalu ia dengar juga suara goresan, dari jalannya pit di atas kertas, cepat dan tetap, maka tahulah ia, Tan Hong tengah menulis syairnya itu di atas gambar lukisan "Liang Hoe Gim Touw" — "Liang Hoe tengah bersenanjung."

Lalu habis itu, terdengarlah Ie Kiam membacakan syair itu, membacanya sambil bersenanjung.

"Sungguh indah! kata si menteri kemudian. "Entah bagaimana sieheng telah terpengaruh syair ini.....”

Tiba-tiba saja Thio Tan Hong tertawa bergelak, menyusul mana, ia pun bersenanjung:
"Di dalam dadaku ada sumpah laksana dalamnya lautan, yang dapat membuat negara bagaikan karam terendam..... Boanseng tidak minum arak tetapi boanseng bagaikan telah mabuk, maka haraplah, thaydjin sudi memaafkan kelakuanku ini yang lancang! Di belakang hari masih ada waktu untuk kita bertemu muka pula, dari itu tidak usahlah thaydjin mengantar aku!"

Kata-kata itu disusul oleh Ie Kiam, yang membukakan pintu, atas mana lalu terdengar tindakan kaki Tan Hong, yang pergi berlalu.

Sejenak itu, kusut pikirannya In Loei. Ia bimbang, baik ketemui Tan Hong atau jangan.Tak dapat ia ambil putusan dalam sekejap. Sementara itu, Tan Hong sendiri sudah keluar dari kamar tulis, dia tengah memohon Ie Kiam tidak mengantar dia keluar.

Di saat tegang itu, mendadak In Loei ingat kata-katanya Tan Hong: "Kalau mesti tertawa, tertawalah! Kalau mesti menangis, menangislah! Kenapa segala apa mesti dipaksakan?....." Karena ini, ia pikir: "Kalau begitu aku pun mesti, kalau mesti bertemu, mesti aku menemuinya, kenapa aku mesti kuatirkan ocehan orang luar?"

In Loei segera merasa darahnya berjalan cepat sekali, hatinya menjadi goncang, tapi ia sudah lantas ambil putusannya. Hanya, pada saat ia hendak lompat, untuk menyusul,sekonyong-konyong ia merasa ada angin halus yang menyambar pada bebokongnya, lalu ia merasa ada benturan perlahan pada pinggangnya. Ia kaget, segera ia rabah pinggangnya.

Akhirnya ia menjadi kaget sekali. Pedang Tjengbeng kiam, pemberian gurunya, telah dicabut orang, hingga di pinggangnya tinggal sarungnya saja, yang kosong! Walaupun ia sangat kaget, tidak berani ia menjerit, tapi ia teruskan berlompat, kedua tangannya dibuka ke kiri dan kanan. Itulah sampokan untuk menyusul tangan yang membuatnya pedang itu terbang. Tiba-tiba saja, ia rasakan sebelah lengannya lemas bergemetar, lalu ia tampak, di depan matanya, satu tubuh berkelebat bagaikan bayangan. Kecewa dia,yang pandai ilmu silat, telah ditotok orang tanpa dapat bersiap. Dalam keadaan lemah itu,ia merasa orang telah menyambar tubuhnya, dikempit, terus dibawa pergi cepat sekali bagaikan terbang, sampai tak dapat ia berteriak. Tapi selagi dibawa kabur itu, di kupingnya, ia dengar suara Thio Tan Hong: "Turunkan dia! Turunkan dia! — Eh, adik
kecil, adik kecil! Benarkah kau?"

In Loei merasa bahwa Tan Hong, yang berkata-kata itu, tengah menyusul ia.

Larinya cepat luar biasa orang yang mengempit itu, In Loei merasa seperti dibawa terbang di tengah udara. Ilmu enteng tubuh Thio Tan Hong sudah liehay sekali, dalam dunia kangouw jarang ada tandingannya, tetapi kali ini, orang itu seperti melebihinya sebab di lain saat, dia telah membuatnya si mahasiswa berkuda putih jauh tertinggal, di sebelah belakang.....

In Loei kaget dan gusar, ia mendongkol tanpa ada gunanya. Sama sekali ia tidak mampu berontak, untuk membebaskan diri dari kempitan.

Adalah tidak lama kemudian, si nona merasa ada orang menepuk bebokongnya,menyusul mana dengan perlahan ia dilepaskan, diturunkan ke tanah. Itu waktu, orang telah berhenti berlari-lari yang pesatnya bagaikan terbang. Ia pun segera merasa,darahnya telah mengalir seperti biasa.

Sebenarnya, ketika ia menoleh, akan pandang orang yang membawa ia kabur, ia kenali dia adalah si orang tua yang lihay ilmu Taylek Kimkong Tjioe-nya dengan apa dia dapat melukai Tantai Mie Ming! Sedetik saja, kata-kata ketus yang sudah siap untuk dikeluarkan, ia batalkan mengucapkannya, ia tarik kembali ke dalam perutnya.....

Si orang tua buat main pedang Tjengbeng kiam-nya, dibulak-balik di tangannya, lalu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam, ia tatap si nona. Dengan tiba-tiba dia menanya: "Bukankah gurumu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dari Siauwhan San di Soetjoan Utara?"

Tanpa bersangsi, In Loei menjawab: "Ya." Orang tua itu lantas menghela napas.

"Sudah belasan tahun aku tak pernah bertemu pula dengan dia," ia kata suaranya tak sekeras tadi, "walaupun demikian, dengan melihat pedangnya, aku bagaikan melihat dia sendiri. Dia telah serahkan Tjengbeng kiam kepadamu, rupa-rupanya dia sudah berhasil mewujudkan dua tugas yang menjadi pesan kakek gurunya"

Cepat-cepat In Loei manggut kepada orang tua itu. Ia tahu tentang gurunya. Itulah kejadian pada dua belas tahun yang lampau. Ketika itu Hoeithian Lionglie, si Puteri Naga Terbang, yaitu Yap Eng Eng, telah melanggar pesan gurunya, ialah Hian Kee It Soe.

Kesalahan itu ialah: dia bersama Tjia Thian Hoa, secara diam-diam telah saling menukar pelajaran ilmu silat pedang. Karena kesalahan itu, Yap Eng Eng dihukum duduk bersemedhi menghadapi tembok di gunung Siauwhan San selama lima belas tahun, dan selama lima belas tahun itu, dia dimestikan menjelesaikan dua rupa urusan, dua tugas.
Yang kesatu dia mesti melatih sempurna dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk dipelajarinya, dan yang kedua, dia mesti berhasil mendidik satu murid yang pandai "Pekpian Hian Kee iamhoat" yaitu ilmu silat pedang yang mempunyai seratus jurus perubahannya.

"Loodjinkee, bukankah kau Kimkong Tjioe Tang Toasoepee?" dia lantas tanya. Ia percaya betul, tidak ada lain orang lagi yang mengetahui hal ikhwal gurunya itu.

Orang tua itu, yang benar ada Kimkong Tjioe Tang Gak, tertawa bergelak.

"Hai, bocah, kau cerdik sekali!" katanya. "Kemarin malam di rumah Thio Hong Hoe kau menggondol pedang ini dibebokongmu, aku sudah lantas perhatikan padamu, cuma disebabkan kau menyamar sebagai satu pemuda, aku tidak berani berlaku lancang.Nyatalah kau benar ada keponakan muridku! Tahukah kau kenapa aku melarang kau turun tangan?"

Heran In Loei

"Apa?" dia tanya. Di dalam hatinya sendiri, dia kata: "Aku toh tidak memikir untuk turun tangan terhadap siapa juga.....?"

"Bukankah tadi kau berniat munculkan diri untuk membunuh Thio Tan Hong?" Tang Gak tegaskan. "Jikalau kau bunuh dia kau lakukan satu kekeliruan."

In Loei meringis. Nyata sudah paman guru itu telah keliru. Tapi ia cerdik. Ingin ia ketahui, apa yang menyebabkan kekeliruan paman guru itu.

"Kenapa keliru?" demikian ia tanya.

"Thio Tan Hong itu," sahut Tang Gak, menerangkan, "sekalipun benar dia ada puteranya Thio Tjong Tjioe, akan tetapi mendengar kata-katanya dan melihat sepak terjangnya, dia adalah satu penyinta negara. Kemarin ini setelah aku tempur Tantai Mie Ming, malamnya aku datangi tempat kediamannya si pangeran Mongolia, untuk mendengar kabar. Di sana dapat aku dengar pembicaraan antara Thio Tan Hong dengan Tantai Mie Ming itu. Mereka tengah merundingkan suatu urusan rahasia yang maha penting. Tentang itu, tak usah kau mengetahuinya jelas, tetapi itu ada sangat besar faedahnya untuk Tionggoan. Oleh karena itu, meski aku berniat memberi juga satu gaplokan lagi kepada Tantai Mie Ming, kesudahannya aku beri ampun juga padanya."

Mendengar ini, In Loei tertawa di dalam hatinya."Halmu ini telah aku ketahui.....” demikian pikirnya.

Tang Gak tidak ketahui apa yang si nona pikir, ia bicara lebih jauh.
"Coba kau pikir, jikalau sampai terjadi kau binasakan Thio Tan Hong, tidakkah karenanya kau jadi melakukan satu kekeliruan besar?" katanya. "Lagi pula, dalam hal ilmu silat, kau bukan tandingannya Tan Hong..... Ah, apakah kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya yang asli?"

"Baharu sebagian saja," In Loei jawab paman guru itu.

Orang tua itu kerutkan alisnya.
"Nah, itulah tak tepat," katanya. "Satu anggota dari Rimba Persilatan tidak seharusnya menuruti saja ambekannya tanpa mengukur tenaga sendiri. Eh, ya, apakah namamu?"

"Aku bernama In Loei," si nona jawab.
"Ah!" seru si orang tua, agaknya ia terkejut sekali. "Inilah yang pribahasa bilang, orang mencari sesuatu dengan memakai sepatu besi, sampai sepatu itu rusak, yang dicarinya tetap tak dapat diketemukan, sebaliknya, bila ada jodohnya, yang dicari itu dapat diketemukan dalam tempo sedetik, tanpa susah payah. Kiranya kau adalah adiknya In Tiong! Sungguh beruntung! Sekarang aku tak merasa aneh lagi kenapa kau, sekalipun kau ketahui kau bukan tandingan Tan Hong, tetap kau hendak mencoba membunuh dia!.....”

In Loei meringis pula. Tak dapat ia menangis, tak dapat ia tertawa.

"Kemarin malam aku dengar Thio Tan Hong bilang, malam ini hendak dia menghadap Ie Kiam," Tang Gak bicara pula, "karena itu, aku pun telah datang kemari. Di tengah jalan tadi, satu urusan telah memhuatnya aku datang terlambat, maka itu, ketika aku tiba, Tan Hong sudah pergi, hingga tak tahu aku apa yang telah mereka bicarakan. Apakah kau dengar pembicaraan mereka itu?"

"Aku tak dapat mendengar nyata," sahut In Loei, yang tidak gembira untuk omong banyak. "Aku cuma dengar mereka menyebut-nyebut Watzu dan Tionggoan, mereka hendak menerbitkan perang saudara di Watzu. Ya, tak ingat aku semua apa yang mereka itu katakan."

"Itulah soalnya!" kata Tang Gak. "Aku dengar In Tiong juga berada di sini. Pernahkah kamu bertemu satu dengan lain?"

In Loei menjawab dengan suara dalam, tanda ia berduka. "Kakakku itu telah diangkat menjadi pahlawan dalam keraton," ia beri tahu.

Mendengar itu, Kimkong Tjioe menghela napas.
"Bagus cita-cita bocah itu," ia kata, "hanya kali ini, tak tepat tindakannya. Dia berpendapat, untuk dapat membalas sakit hati kakeknya, guna menyuci malu negara,mesti dia menghamba dahulu kepada pemerintah, untuk mendapat pangkat dan pengaruh besar."

"Toasoepee benar," kata In Loei, "Di mana ada dorna yang berkuasa dalam pemerintahan, sekalipun Lie Kong yang gagah tak ada jasanya!" Itulah kata-katanya Tang Gak dalam suratnya kepada Kimtoo Tjioe Kian.

Heran Tang Gak hingga ia mengawasi si nona. "Eh, apakah kau pun melihat surat itu?" dia tanya. "Sayang si Tiong tak menginsyafi dalil itu. Aku kuatir, karena sikapnya si Tiong itu, akan sukar untuk kita menemui dia.....”

"Mungkin, lagi setengah bulan akan ada ketika-nya," In Loei beritahu. Ia utarakan dugaannya Thio Hong Hoe mengenai In Tiong.

"Sekarang begini saja," kata Tang Gak kemudian. "Aku pulang secara mendadak, untuk satu urusan sangat penting. Perlu aku segera menemui kakek gurumu. Ini pun sebabnya,sampai aku tak sempat mengunjungi pula Kimtoo Tjioe Kian yang namanya telah lama aku kenangkan. Bahwa aku telah mampir di kota raja ini, itulah untuk sekalian menengok si Tiong. Tidak dapat aku berdiam lama di sini, maka itu, kalau kau bertemu dengan kakakmu, kau sampaikan pesanku ini."

In Loei menyanggupi, ia manggut.

"Kamu berniat mencari balas untuk keluargamu terhadap keluarga Thio," berkata pula Tang Gak. "Mengenai ini, jikalau kita pakai aturan kaum Rimba Persilatan, tidak dapat aku mencampurinya. Tapi satu hal hendak aku terangkan: Thio Tan Hong itu adalah orang kaum kita dan dia tidak ada hubungannya dengan perbuatan leluhurnya, yang bermusuhan dengan keluargamu, maka itu aku harap, kalau bisa, bereskanlah permusuhan itu. Kakakmu menjadi putera sulung, dalam hal menuntut balas, kau mesti turut pendapat dia. Kau sampaikan kata-kataku ini kepadanya, untuk dia pikirkan dan fahamkan." Turut kebiasaan Rimba Persilatan, mengenai permusuhan ayah, ibu dan leluhur,meskipun satu guru, dia cuma dapat menganjurkan perdamaian, tak bisa dia memerintah atau melarang pembalasannya. Demikian, Tang Gak berikan pesannya itu.

"Tentang Thio Tjong Tjioe itu, dia ada seorang baik atau seorang busuk, aku masih belum tahu suatu apa," Tang Gak lanjutkan. "Shatee Thian Hoa terkurung di dalam keraton bangsa Ouw, tentang dia, tentang kejadian yang sebenarnya, aku pun tak mengetahuinya. Karena itu, hendak aku menemui kakek gurumu, ingin aku minta supaya kakek gurumu itu mengijinkan gurumu turun gunung.....”

"Mungkin sekarang ini djiesoepee sudah sampai di Siauwhan San," In Loei utarakan dugaannya. Ia beritahukan warta perihal Tiauw Im Hweeshio, djiesoepee-nya itu, paman guru yang kedua.

"Bagus, bagus!" tertawa Tang Gak. "Rupa-rupanya kita ke empat saudara seperguruan akan melakukan suatu apa yang menggemparkan di tapal batas bangsa Ouw, malah mungkin kakek gurumu juga akan turut terlibat, hingga dia turut turun gunung!.....”

Hian Kee Itsoe telah sekap diri selama tiga puluh tahun lebih, In Loei belum pernah bertemu dengan kakek gurunya itu, maka itu, di dalam hatinya, ia kata: "Untuk melibat kakek gurumu turun gunung, itulah pekerjaan sangat sulit.....”

Tentu saja, mengenai orang-orang pihak tertua, In Loei tidak berani campur tahu,karenanya, ia tidak menanyakan terlebih jauh.

Tang Gak pun berdiam, ia cuma memandang langit.
"Jam sudah hampir pukul empat," ia kata, "karena sebentar pagi aku mesti lantas meninggalkan kota raja ini, tak dapat aku antar kau pulang. Di mana kau tinggal?"

"Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei. "Toasoepee, silakan berangkat! Akupun tak dapat mengantar kau."

Waktu itu mereka berdua berada di luar kota, di tempat di mana mereka berdiri,terdapat sebuah empang kecil, maka itu, selagi rembulan bersinar terang, tegas sekali bayangan mereka berpeta di muka air itu.

Ketika Tang Gak berpaling ke muka air, tiba-tiba ia menghela napas.
"Buat belasan tahun aku lewatkan waktuku di tanah yang ber-es dan bersalju, tanpa merasa, rambut kepalaku pun telah berubah menjadi putih," dia kata, menyesal."Sungguh, sang waktu lewat pesat sekali! Ketika dulu aku berpisah dari gurumu, gurumu itu mirip dengan kau sekarang ini.....”

Diam-diam tergerak hatinya In Loei. Ia ingat lelakon asmara antara gurunya itu dengan samsoepee-nya, paman guru yang ketiga. Mengenai kata-katanya toasoepee ini, ia separuh mengerti dan separuh tidak, ia diam saja, tunduk. Maka itu, ketika kemudian ia angkat kepalanya, ia dapatkan paman guru itu sudah tidak ada dihadapannya.....

Sampai di situ, In Loei segera putar tubuhnya. Ia tidak balik ke hotelnya, ia hanya menuju kembali ke rumah Ie Kiam. Tepat ketika ia sampai, ia dengar suara kentongan empat kali. Pada waktu itu, ia dapat lihat kamar si menteri masih terang benderang seperti tadi. Heran ia.
"Ah, apakah dia masih belum tidur?" dia tanya dirinya sendiri. Dengan perlahan, ia menghampiri pintu. Tanpa sangsi-sangsi, ia mengetok dengan perlahan, beberapa kali.

Ie Kiam belum tidur, lantas ia membukakan pintu. "Nona In, silakan masuk!" menteri itu mengundang, sambil tertawa manis, "sudah lama aku tunggui kau!" In Loei tercengang. Ia dandan sebagai satu pemuda, ia anggap tidak ada orang yang ketahui atau kenali padanya, siapa tahu, Ie Kiam sekarang buka rahasianya itu!

"Thio Tan Hong telah menuturkan halmu kepadaku," Ie Kokioo kata pula,menambahkan. "Dia juga telah melukiskan potongan tubuhmu dan wajahmu kepadaku.Apakah kau baharu sampai?"

Melihat sikap orang demikian ramah tamah, tanpa merasa In Loei jadi sangat terharu, hingga air matanya mengucur. Ia lantas saja berlutut, untuk memberi hormat.

Ie Kiam membungkuk, untuk memimpin bangun nona itu.

"Ketika dahulu aku diangkat menjadi Hanlim, adalah kakekmu yang menjadi ketua ujian," Ie Kiam kata pula. "Maka itu, andaikata aku tidak dipandang lancang, ingin aku panggil kau titlie saja."

Titlie ialah keponakan perempuan.

Mendengar disebutnya engkong-nya, In Loei menjadi terlebih berduka.

"Bagaimana meninggalnya kakekku itu?" dia tanya sambil menangis tersedu-sedu.
"Benarkah dia diberikan kematian oleh raja? Peehoe, tahukah kau keadaan yang sebenarnya?"
In Loei sudah lantas memanggil peehoe, paman, kepada menteri itu.
"Kau duduk dulu," berkata Ie Kiam serta menuangkan orang secangkir teh, yang masih panas. "Kau seka air matamu, nanti aku jelaskan padamu."

In Loei mengucap terima kasih, ia seka air matanya. Ie Kiam mengawasi, ia menghela napas pula.
"Ketika hari itu kakekmu menemui kecelakaannya, aku telah menjadi Pengpou Sielong,"menteri ini menutur. "Begitu kita dapat kabar buruk dari kota Ganboenkwan, semua menteri, sipil dan militer, menjadi kaget sekali, mereka berduka berbareng gusar. Semua orang anggap kakekmu itu sudah meninggalkan nama baik di negara asing. Selama dua puluh tahun kakekmu mengembala kuda di daerah ber-es dan bersalju, tak sudi ia menyerah di bawah tekanan musuh, sungguh dia mirip dengan Souw Boe yang setia dan keras hati, dialah satu manusia yang langka! Kakekmu menemui ajalnya secara demikian mengenaskan, manusia dan langit bergusar bersama. Demikian satu giesoe yang tak takut mati sudah memajukan surat kepada raja, untuk membalas kakekmu itu, ia minta supaya raja mencuci penasaran itu, agar nama kakekmu diperbaiki, untuk selanjutnya
diberi pangkat mulia.

"Apa benar In Tjeng telah meninggal dunia?" tanya raja setelah ia baca surat giesoe itu. "Aku masih belum tahu. Baiklah, nanti aku cari keterangan. Suratmu ini akan ditangguhkan dulu."
"Lantas raja menitahkan membubarkan persidangan di singgasana.
"Menteri besar yang bernama Lauw Tek Sin tidak puas dengan sikap raja. Ia berbangkit, ia susul raja sampai di kamar tulis.
"Bukankah Sri Baginda yang membubuhi tanda tangan atas surat titah yang menghadiahkan kematian kepada In Tjeng itu?" dia tanya.
"Raja mencoba menyangkal tapi bicaranya tidak jelas.
"Mengetahui rajanya disusul Lauw Tek Sin, Soeiee Thaykam Ong Tjin datang menyusul.
"Sri Baginda, apakah Baginda telah lupa menulis firman itu?" ia tanya.
"Oh, ya, ya," kata raja itu gugup. "Memang benar, akulah yang menulis firman itu. Ya,kenapakah dia diberi hadiah kematian? Baiklah, nanti aku pikir-pikir....."
"Ong Tjin, yang mendampingi raja, lantas membantu mengingat. Dia kata, In Tjeng menjadi utusan, dengan tidak tahu malu, dia bekerja kepada musuh. Begitulah maka dia dihadiahkan kematiannya.....”
"Benar, benar!" kata raja. "Karena itu dia dihukum mati"

Lauw Tek Sin menjadi sangat murka.

"Teranglah kau yang membuat firman palsu, jahanam!" dia damprat orang kebiri itu."Kau telah memfitnah satu menteri setia dan membinasakannya, kau pakai nama Sri Baginda, dengan begitu kau membuatnya Sri Baginda tak disukai menteri-menterinya!"

"Akan tetapi Ong Tjin menjadi gusar sekali. Dia perintahkan menawan Lauw Tek Sin,untuk dijebluskan ke dalam penjara istana, habis mana, dengan mencari akal, menunjuk orang berdosa, dia hendak hukum mati pada menteri itu. Hal ini membangkitkan kegusarannya menteri-menteri sipil dan militer dalam istana, mereka ini memprotes,mereka menuduh Ong Tjin. Karena protes ini, Lauw Tek Sin bebas dari kematian, tetapi dia dipecat, dijadikan rakyat jelata. Sedang giesoe yang setia itu, yang membelai kakekmu, juga dihukum, yaitu dihukum buang ke Haylam. Tidak lama kemudian, giesoe itu terbinasa di bawah tangan jahat dari Ong Tjin. Kemudian lagi, satu demi satu, menterimenteri yang protes dorna kebiri itu, telah menerima bagiannya,pembalasannya Ong Tjin itu. Aku sendiri tidak terkecuali, aku telah diturunkan pangkat, dipindah ke Kangsee
menjadi soenan."

Mendengar keterangan itu, bukan kepalang mendongkolnya In Loei.

"Sungguh satu dorna kebiri yang sangat menjemukan!" dia berseru. "Jadi dialah yang membinasakan kakekku itu? Kenapa dia membinasakan kakekku?"

"Hal itu baharulah kita ketahui kemudian," sahut Ie Kiam. "Sejak siang-siang Ong Tjin itu telah membuat perhubungan rahasia dengan Yasian ayah dan anak, secara diam-diam mereka itu menukar besi kita dengan kuda Mongolia. Perdagangan tukar-menukar secara gelap ini dilakukan secara besar-besaran, dengan begitu Yasian telah mengeruk uang dalam jumlah yang besar sekali. Turut kabar,untuk Mongolia, perdagangan semacam itu dilakukan secara terang-terangan. Kakekmu adalah satu menteri besar, dia ternama baik, sudah begitu, untuk dua puluh tahun dia
telah melindungi kesetiaannya, kesetiaan itu tak kalah dengan kesetiaan Souw Boe yang
mengembala kambing, umpama kata dia dapat kemerdekaannya, pulang ke negeri, pasti sekali dia akan perbaiki tata tertib di dalam istana, untuk mana tentulah dia akan singkirkan segala dorna. Karena ini semua, pasti Ong Tjin jeri terhadap kakekmu itu, Ong Tjin mestinya telah menerka yang kakekmu telah ketahui rahasianya. Untuk menjaga bahaya di belakang hari, Ong Tjin telah menggunakan firman palsu, untuk mendahului turun tangan terhadap kakekmu itu. Dia berpangkat Soeiee Thaykam, cap kerajaan berada di tangannya, karena semua surat-surat, dari luar dan dari dalam, mesti terlebih dahulu lewat ditangannya, kecuali jikalau yang dihaturkan pribadi oleh suatu menteri.Karena kekuasaannya itu, gampang sekali baginya untuk memalsukan firman."
Sampai di situ, In Loei teringat halnya Thio Tjong Tjioe telah memesan Tantai Mie Ming untuk menyampaikan tiga buah kimlong kepada kakeknya.

Memang kimlong itu surat tertutup, yang untuk sementara dirahasiakan dulu ada luar biasa. Dulu, dimasa ia kecil, In Loei tidak ketahui suatu apa tentang kimlong itu,adalah kemudian, sesudah ia dewasa, ia dengar hal itu dari Tiauw Im Hweeshio, dari Kimtoo Tjioe Kian juga, dan belakangan lagi, dari Thio Tan Hong. Dari ketiga kimlong,yang ketiga memuat sebutir pil lahwan, dan di dalam lahwan ini — lilin bundar — terdapat lagi sehelai surat. Itulah suratnya Ong Tjin yang di alamatkan kepada To Huan (ayahnya Yasian) serta Thio Tjong Tjioe, maksud yang tak adalah surat urusan pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia. Surat rahasia itulah yang menyebabkan In Tjeng ditawan. Sebenarnya Tjia Thian Hoa telah dititahkan pergi ke kota raja, untuk menyerahkan lahwan kepada Ie Kiam, supaya Ong Tjin didakwa. Sayang telah terjadi
kegagalan. In Tjeng bukan melainkan kena ditawan, dia malah segera dibinasakan. Meski begitu, terang sudah, itulah maksud baik dari Thio Tjong Tjioe berdua. Surat itu kesampaian.Ingat kebinasaan kakeknya "Apabila lahwan dapat diserahkan kepada Ie Kiam, pasti sudah Ong Tjin dan kawan-kawannya serta pengaruhnya tak jadi sehebat sekarang ini.Dengan bukti itu belum tentu Ong Tjin tak dapat dirubuhkan....."

Setelah menutur, Ie Kiam menghela napas.

"Memang sakit hati In Thaydjin belum dapat dicuci bersih," kata dia, "akan tetapi ia mempunyai satu cucu perempuan sebagai kau, di alam baka, dia tentunya dapat meramkan mata."

Ingat itu, In Loei berpikir itu, hati In Loei panas dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja ia tepuk kedua tangannya satu dengan lain, seraya berseru: "Jikalau aku tidak berhasil mencingcang hancur tubuh dorna kebiri itu, aku bersumpah tak sudi menjadi manusia!"

Tapi Ie Kiam menggeleng-gelengkan kepala.

"Nona In, sekarang ini, aku tidak setuju kau pergi menuntut balas!" dia kata.

In Loei heran. Ia memang sedang murka.

"Loopee, apakah artinya perkataanmu ini?" ia tanya.

"Sekarang Ong Tjin sedang besar pengaruhnya dan orang-orangnya pun banyak sekali," menteri itu berikan keterangan, "di samping itu, di dalam angkatan perang,banyak panglima yang menjadi anak pungutnya. Maka sekarang lebih baik kita pusatkan seluruh tenaga kita untuk menghadapi penyerbuan bangsa Watzu. Jikalau kita turuti hati saja, bisa-bisa kita mencelakai diri sendiri, bisa kita merusak urusan besar. Tidakkah pepatah mengatakan, 'Kalau seribu orang menuding, tak sakit pun orang dapat mati?' Jikalau orang telah penuh dengan kedosaan dan kejahatan, mana dapat dia hidup senang untuk selama-lamanya? Pendeknya kalau nanti telah tiba saatnya dari terbukanya kebusukan itu, taruh kata kau tidak pergi membalasnya sendiri, mungkin ada lain orang yang akan menyingkirkan dia! Kau pandai silat dan gagah, tapi kau harus ingat, tangan
sebelah tak dapat perdengarkan suara. Maka sedikitnya kau mesti tunggu sampai kau bertemu dengan kakakmu, baharu dapat kau berichtiar."

In Loei berdiam. Ia anggap pikiran menteri itu benar sekali. Tapi ia jadi sangat bersedih, hingga air matanya membasahi ujung bajunya.

Dengan perlahan-lahan, Ie Kiam berbangkit, akan bertindak ke jendela, yang daunnya
ia tolak.
"Ah, sudah hampir terang tanah!" katanya. "Keponakan Loei, kau tinggal di mana?"

Nada suara itu seperti mengandung maksud.

"Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei.

"Di rumah penginapan terdapat orang dari segala macam, kau bersendirian saja, kaupun menyamar, pastilah kau kurang merdeka," berkata menteri itu."Bukankah ada terlebih baik untuk pindah saja kemari, untuk tinggal bersama aku? Disini juga kabar-kabar datangnya terlebih cepat."

"Jikalau peehoe kehendaki itu, aku menurut saja" sahut si nona. "Baik, akan aku pulang dulu ke pondokku, untuk mengambil barang-barangku."

Justeru itu waktu, dari kamar sebelah, terdengar satu suara bocah perempuan yang terang sekali: "Ayah, kembali untuk satu malam kau tidak tidur....."

Bangun alisnya Ie Kiam, ia tertawa.

"Segera akan aku tidur," ia menyahuti. Ia terus berpaling pada In Loei, untuk meneruskan: "Anakku meminta aku masuk tidur, maka lekaslah kau pergi untuk lekas kembali. Seringkah, karena repot, aku tidak tidur satu malaman, untukku tidak berarti apa-apa, cuma kasihan bagi anak itu, dia jadi kesepian.....”

Itulah kecintaan antara ayah dan anaknya, mengetahui itu, In Loei teringat pada kakek dan ayahnya. Ie Kiam ini, dalam hal usianya, tak berbeda daripada kakeknya pada sepuluh tahun yang lampau. Bedanya ialah, kakeknya tidak semanis budi seperti menteri ini.

Segera nona ini memberi hormat, untuk berlalu, dan di lain saat, ia telah kembali. Ia pun segera menjadi kawannya si nona tadi, puterinya Ie Kiam.

Puterinya Ie Kiam bernama Sin Tjoe,4j usianya baharu sembilan tahun, akan tetapi ia cerdik sekali dan gesit. Ia panggil entjie kepada In Loei, yang sudah lantas dandan sebagai satu nona. In Loei pun senang mendapat kawan yang manis ini.

Selama menumpang pada keluarga Ie, In Loei ada kandung suatu maksud. Ialah, ia harap-harap datangnya Tan Hong kembali untuk menemui Ie Kokioo. Akan tetapi,setengah bulan sudah lewat, pemuda itu masih belum kelihatan juga.

Sementara itu si pangeran asing beserta Tantai Mie Ming, enam hari sesudahnya In Loei pindah ke rumah Menteri Ie, telah berangkat pulang ke negeri mereka, sebabnya ialah karena pembicaraan mereka gagal.

Setelah lewat setengah bulan, tiba-tiba ingatlah In Loei akan omongannya Thio Hong Hoe tentang ujian militer Boe kiedjin istimewa untuk tahun yang sedang berjalan. Hal itu sangat menarik perhatiannya, maka sering sekali ia tanyakan Ie Kokioo, bilamana ujian itu akan diadakan.

"Keponakanku yang baik, kau sabarlah," kata Ie Kokioo sambil tertawa ketika ia ditanyakan yang terakhir. "Kalau nanti kakakmu turut ambil bagian, pasti sekali akan aku pertemukan kau dengannya!"

"Apakah ujian sudah dimulai?" si nona tanya.

"Sekarang baharu permulaan saja. Banyak sekali jumlah mereka yang mengambil bagian. Nanti aku pergi ke Kementerian Perang untuk mencari tahu angka ujiannya kakakmu itu."
Lima hari telah lewat sejak pembicaraan itu, atau pada hari ke enam, pagi-pagi sekali,Ie Kiam telah memanggil In Loei, dan semunculnya si nona, ia tertawa dengan manis.

"Bukankah kau ingin menemui kakakmu?" ia tanya.

In Loei berjingkrak.

"Peehoe, apakah sekarang juga kau hendak ajak aku menemuinya?" tanya ia, yang girangnya tak kepalang.

"Benar," jawab paman itu. "Hanya kau harus merendahkan sedikit dirimu. Kau menyamar sebagai pengiringku, nanti aku ajak kau ke lapangan pieboe untuk menyaksikan pertandingan."

In Loei girang bukan main, dengan lantas ia salin pakaian. Ia sudah biasa menyamar sebagai priya, untuk jadi pengiring atau kacung, iapun tak berkeberatan. Ia seperti tak pedulikan segala apa, asal ia dapat bertemu dengan kakaknya.

Kiranya hari itu adalah hari terakhir, untuk memilih Boe tjonggoan. Sudah dikatakan,ujian ada istimewa, maka itu, setelah ujian main panah sambil menunggang kuda, ujian lisan ilmu perang, datanglah ujian untuk pieboe, guna mengadu kepandaian silat.

Usul atau saran keluar dari otaknya Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay. Dia ambil alasan, ilmu silat ada banyak macamnya, tak berbatas cuma dengan ilmu panah di atas kuda, ada ilmu tombak atau golok, juga dengan bertangan kosong, tanpa ini, ilmu silat itu tidak lengkap.

Senantiasa berdiam di dalam keraton, atau istana, kaisar merasa kesepian, maka itu satu kali ia dengar akan diadakan keramaian — di antaranya termasuk pieboe — dengan segera dia terima baik usul Kong Tjongkoan itu.

Demikian di tengah-tengah lapangan segera dibangun satu ioeitay — panggung untuk adu silat itu — dengan di empat penjurunya diberdirikan pula panggung-panggung untuk penonton. Kaisar pun tidak datang menonton sendiri, ia diiring para pahlawan dan thaykam, pun Menteri Perang dan semua menteri lainnya turut mendampingi padanya.

Sebenarnya usul Kong Tiauw Hay ini disebabkan dia mempunyai maksud sendiri urusan pribadi. Dia mempunyai dua soehengtee, saudara-saudara seperguruan yang liehay ilmu silatnya, dia ingin kedua saudara itu memamerkan kepandaiannya, supaya mereka peroleh nama dan kedudukan baik. Tapi kedua saudara itu terlalu rendah pengetahuannya mengenai kitab ilmu perang, maka itu diciptakan akal ini, ialah adu kepandaian silat.

Sekitar lapangan dijaga tentara Gielim koen, pasukan pribadi kaisar. Kaisar sendiri,diiring oleh para pangeran dan orang kebiri, mengambil tempat di panggung tengah, yang menghadapi langsung panggung ioeitay. Ie Kiam beserta In Loei, bersama Menteri Perang dan menteri lainnya, mengambil panggung timur, dari mana orang pun dapat melihat tegas ke panggung raja.

"Kau lihat," kata Ie Kokioo pada pengiringnya sambil berbisik, "itu orang dengan juba naga di belakang siapa berbaris pahlawan-pahlawan adalah Sri Baginda raja. Di kiri raja,orang yang berdiri mendampinginya adalah Thaykam Ong Tjin."

Dengan mata tajam, In Loei awasi orang kebiri itu, untuk mengenali dengan baik roman orang dan potongan tubuhnya.
Semua boe kiedjin, yang berhak turut ujian, berkumpul di bawah panggung di mana ada sebuah gubuk istimewa untuk mereka menanti atau beristirahat, sebab sebelum tiba gilirannya, tak dapat mereka sembarang menaiki panggung ioeitay.

"Ujian istimewa kali ini namanya saja boleh diikuti oleh siapa saja asal berkepandaian silat dan telah terpilih," Ie Kiam terangkan pada In Loei, "akan tetapi kenyataannya,kecuali mereka yang memang sudah memangku pangkat dalam tentara, dia mesti diberi pertanggungan oleh suatu orang berpangkat, yang pangkatnya mesti sedikitnya sudah tingkat ketiga. Inilah sebabnya kenapa Sri Baginda berani turut datang menonton."

Mendengar ini, di dalam hatinya, In Loei kata:
"Kalau begitu orang kangouw, yang benar-benar gagah, tak dapat kesempatan untuk turut serta.....”

Tiba-tiba terdengarlah suara tambur nyaring, tiga kali. Itulah tanda bahwa pieboe sudah akan dimulai. Mendengar suara tambur itu, In Loei merasa tegang sendirinya,segera ia mengawasi ke arah ioeitay.

Yang pertama kali maju adalah dua orang yang romannya kasar, mereka masing-masing bersenjatakan golok tantoo dan sebuah tombak. Sebentar saja, si pemegang golok peroleh kemenangan.

Menyusul itu adalah tiga pertandingan lagi. Siapa yang menang, dia mesti bertanding terus. Siapa menang dua kali beruntun, dia dapat hak untuk beristirahat, untuk nanti diadu pula dengan pemenang lainnya. Begitu seterusnya.

Selama itu, In Loei belum lihat kakaknya.

Pertandingan, ke empat telah selesai, dan pemenangnya adalah seorang yang tubuhnya tinggi tujuh kaki, besar dan tegap, gegamannya adalah sepasang gembolan.

Selama itu, kuranglah perhatian In Loei. Sampai ia dengar bicaranya Pengpou Siangsie,menteri perang, kepada Ie Kokioo. Kata menteri itu: "Pemenang ini adalah Tjiangkoen Ouw Tay Keng, panglima yang baru diangkat oleh Kementerian Perang, kedua tangannya bertenaga seribu kati. Sebenarnya jumlah peserta ada banyak sekali, semuanya sembilan puluh enam orang, tetapi Sri Baginda hendak menyaksikan yang paling kosen saja, maka kemarin diadakan ujian istimewa oleh Kementerian, hingga kesudahannya, dari sembilan puluh enam peserta itu sekarang tinggal dua puluh empat orang. Sri Baginda pun ingin supaya ujian selesai dalam hari ini. Dalam ujian kemarin, Ouw Tjiangkoen ini dapat angka baik sekali."

Ie Kiam sambut keterangan itu dengan senyuman. Ia tahu, Ouw Tay Keng adalah sanaknya Pengpou Siangsie, sudah tentu Siangsie itu, menteri, mengharap-harap si sanak keluar sebagai pemenang.

Segera juga terdengar suaranya kiepaykhoa di muka panggung: "Lim Too An, kiedjin nomor sembilan, naiklah ke atas panggung! Penanggung jawabnya adalah Leepou Tjoesoe Lie Soen."

Pemberitahuan itu menunjukkan bahwa peserta Lim Too An bukan perwira, maka ia memerlukan orang yang menanggung dirinya.

Heran juga In Loei, maka perhatiannya jadi tertarik sekali. Ia lantas lihat, Lim Too An lompat naik ke atas ioeitay dengan sebelah tangannya menggoyangkan kipas, dandannya pun tidak keruan, ialah sembarangan saja. Dia adalah puteranya Lim Tjhoengtjoe,sahabatnya Hongthianloei Tjio Eng. Dia juga yang beberapa bulan yang lalu telah melamar Nona Tjio Tjoei Hong akan tetapi dia kena dikalahkan Nona Tjio.

Too An beri hormat pada Ouw Tjiangkoen sambil menjura seraya pegangi terus kipasnya itu. Ia kata dengan lagu suaranya yang agak seram: "Ouw Tjiangkoen, aku mengharap belas kasihanmu....."

"Sial!" keluh Ouw Tay Keng di dalam hatinya. "Dari mana datangnya makhluk aneh ini,priya bukan wanita bukan?....." Tapi waktu menjawab, sambil mengayunkan gembolannya, dia membentak: "Belas kasihan apa! Ini ada tempat resmi! Apakah kau anggap ini bagaikan sandiwara? Lekas kau keluarkan senjatamu!"

Jumawa panglima ini, tetapi Lim Too An tidak menghiraukannya.
"Boanseng empunya senjata ialah kipas ini," dia menyahut, suaranya halus bagaikan suara wanita. Ia pun membahasakan diri boanseng, artinya yang mudaan.

Ouw Tay Keng menjadi gusar sekali, segera ia menghajar dengan sebelah gembolannya.

Lim Too An berkelit sambil mendak, berbareng dengan itu kipasnya yang ia buat kuncup, diulurkan ke arah iga dari panglima itu, untuk menotok jalan darah djoanmoa hiat. Lincah gerakannya, tapi tidak segarang lawannya itu.

Ouw Tay Keng bertubuh besar, ia kurang gesit, tidak ampun lagi, begitu kena ditotok,tubuhnya itu bergelimpang rubah jatuh di lantai panggung dengan menerbitkan suara keras! Lim Too An tidak berhenti sampai di situ, dengan sebat ia angkat sebelah kakinya,untuk dipakai mendupak, maka tersapulah tubuh besar dari panglima itu, jatuh terbanting ke bawah panggung.

"Maaf, boanseng terima kalah!" kata dia sambil tertawa. Masih dia mengejek.

Gembira kaisar menampak pertempuran itu.

"Bagus!" serunya dengan pujiannya.

"Pertandingan yang menyusul akan lebih bagus lagi!" kata Ong Tjin. "Lekas Baginda lihat!"

Kiepaykhoa segera perdengarkan pula suaranya: "Nomor 10!"

Kali ini yang lompat naik adalah seorang dengan sebelah tangannya mengangkat tinggi sehelai tameng. Dia adalah Lou Liang, adiknya Lou Beng. Lou Beng sendiri kemarin telah dijatuhkan oleh satu anak muda, hingga Lou Liang mesti maju seorang diri. Dua saudara Lou ini adalah orang-orang kepercayaannya Ong Tjin.

Lim Too An layani ilmu tameng Koengoan pay dari keluarga Lou dengan tameng besinya, Lou Liang lindungi diri dari totokan ujung kipas. Untuk sementara, Too An tidak bisa berbuat suatu apa, maka itu dengan cepat pertandingan telah melalui kira-kira lima puluh jurus.

Lou Liang tahu orang pandai tiamhiat hoat, ilmu totok jalan darah, setelah bertanding sekian lama, ia menggunakan akal. Ialah mengangkat tamengnya demikian rupa hingga ia membuatnya satu lowongan.

Too An girang melihat ketika yang baik ini, ia tidak sia-siakan itu, dengan memutar kipasnya, segera ia menotok jalan darah soankee hiat pada dada lawan. Ia percaya,setelah lawan nampaknya lelah, ia akan berhasil.
Tiba-tiba saja tameng bergerak sangat cepat. "Prak!" demikian terdengar satu suara.

Too An kaget bukan main, karena kipasnya kena dihajar hingga patah seketika. Ia tahu selatan, segera saja ia lompat turun dari panggung.

Ong Tjin lantas saja tertawa, wajahnya berseri-seri.

"Kongkong, pahlawanmu benar kosen!" kaisar memuji. Ia membuatnya orang kebiri itu bergirang dan bersyukur.

"Kiedjin No. “, See Boe Kie, naik ke panggung! Penanggung jawabnya Hoetongnia Yo Wie dari Gielim koen!" demikian suara kiepaykhoa.

In Loei terkejut pula. Ia tidak sangka, juga penjahat besar ini, yang telengas, turut serta dalam ujian, malah dengan ditunggui oleh komandan muda dari tentara raja. Ia ingat benar, See Boe Kie adalah orang yang lamarannya telah ditolak Tjoei Hong.

Begitu ia mencelat naik ke atas panggung, See Boe Kie tidak berlaku sungkan lagi.

"Dengan kepalanku ini akan aku sambut tamengmu!" katanya dengan jumawa.

Lou Liang gusar terhadap sikap kasar itu.

"Baik, kau sambutlah!" dia jawab, dan tamengnya segera menyambar dari atas kebawah

Hebat serangan itu, sampai tameng itu mendatangkan siliran angin. See Boe Kie berkelit ke samping, dari situ ia membalas menyerang dengan kepalannya dibuka, hingga lima jarinya jadi berbaris rapat.

Lou Liang terkejut apabila ia tampak telapak tangan hitam dari lawannya ini. Itulah Toksee tjiang — Tangan Pasir Beracun. Lekas-lekas ia menangkis.

See Boe Kie sebat sekali, ketika serangan pembalasannya itu gagal, ia menyusul dengan tangan yang lain, ia barengi selagi orang menangkis. Kali ini ia berhasil menimpa pundak orang.

"Aduh!" teriak Lou Liang yang dibarengi dengan menggelindingnya tubuhnya ke bawah panggung. Ia sebenarnya kosen tetapi ia kalah sebat.

Wajah Ong Tjin menjadi matang biru, karena mendongkolnya, sebab pahlawan yang ia banggakan itu, rubuh sebelum mencapai tiga jurus.

Jangan gusar, kongkong1." tertawa Kong Tiauw Hay. "Pada babak selanjutnya,binatang itu tak akan bertahan lama!.....”

Lalu terdengar suara kiepaykhoa'. "No. 12, Liok Thian Peng! Penanggungnya, Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay!"

Segeralah lompat naik seorang yang tubuhnya tegap, di pinggangnya terlibat cambuk lemas Kimsie Djoanpian. Dia tidak loloskan senjata itu, hanya sambil tertawa ia kata pada See Boe Kie: "Toksee tjiang-mu liehay sekali, tapi biarlah aku mengalah, kau menyerang dulu dua kali! Bila aku berkelit, anggaplah, aku kalah!"

See Boe Kie melengak. Orang ada lebih terkebur daripadanya.

"Hayo mulai!" kata Liok Thian Peng. "Kenapa kau belum menyerang juga? Di sini ada ioeitay tempat pieboe, jikalau kau tetap tidak hendak menyerang, hendak kau menggelinding turun saja dari atas panggung ini!.....”

See Boe Kie mendongkol, ia penasaran.
"Mungkinkah tubuhnya kebal hingga ia tidak mempan racun tanganku yang liehay?" dia berpikir. "Belum pernah aku dengar ilmu kebal semacam itu.....” Lantas ia kata dengan tawar: "Tanganku beracun, Tuan Liok, harap kau berhati-hati!....."

Belum berhenti si jago tangan beracun ini berbicara, atau sebelah tangannya sudah menyambar ke arah muka lawan. Sambil menyerang, ia berpikir: "Pada tubuhnya ada bajunya, yang mungkin menjadi alingan, maka akan aku hajar mukanya, yang kulitnya tipis! Mungkinkah mukanya pun kebal?....."

Pada saat tangan lawan hampir sampai pada mukanya, mendadak Liok Thian Peng mendak berkelit, menyusul mana, tangannya diangkat, dipakai membentur sikut orang.

Hebat benturan ini, See Boe Kie merasakan sakitnya sampai di jantungnya, lengannya yang dibentur pun lantas saja turun tergantung, tetapi ia kuat, masih dapat ia bertahan,maka dengan menuruti amarahnya, ia tidak mau menyerah kalah, lantas dengan menggunakan tangannya yang lain, ia menyambar ke iga Liok Thian Peng, mengarah jalan darah kematian.

In Loei saksikan pertempuran itu, ia tahu, kalau sambaran itu tidak gagal, mesti celaka Liok Thian Peng. Tapi yang menjerit hebat adalah See Boe Kie, tangannya semper,tubuhnya rubuh ke bawah panggung.

"Hebat!" kata In Loei di dalam hatinya. Ia insyaf atas orang punya ilmu "Tjiamie sippattiat" — "Membentur baju, delapan belas kali terguling." Itulah ilmu tenaga dalam yang paling sempurna. Sedikit benturan saja sudah cukup membuatnya orang kesakitan dan rubuh. Maka berpikirlah ia lebih jauh: "Dalam ujian ini turut ambil bagian orang kosen semacam ini, aku kuatir kakakku tidak akan dapat merebut gelar Boe tjonggoan....."

Liok Thian Peng adalah soetee, adik seperguruan, dari Kong Tiauw Hay, kepandaiannya berimbang dengan Tiauw Hay sendiri. Tentu saja dia jadi sangat puas dengan kemenangannya itu, hingga dia jadi bangga sekali. Kemudian terdengar pula seruannya kiepaykhoa: "Kiedjin No. 14 naik ke panggung!"

Bukan kepalang girangnya In Loei apabila ia tampak, siapa calon yang ke empat belas itu, dialah In Tiong, kakaknya.

"Ha, In Tongnia juga naik!" tertawa Liok Thin Peng. "Silakan tongnia keluarkan senjatamu!"

Belum lama In Tiong masuk dalam kalangan Gielim koen akan tetapi namanya menaik dengan cepat sekali, hingga hampir menyamai kesohornya ketiga jago utama dari kota raja. Tentu saja, terhadap tongnia ini, Liok Thian Peng tidak berani memandang enteng,maka itu, ia sudah lantas loloskan cambuk lemasnya. Ia malah segera rebut tempat di kepala di mana ia berdiri dengan siap sedia.

Cambuk lemas itu terbuat dari rotan tua terlibat dengan urat harimau, keuletannya istimewa, dapat melibat juga golok atau pedang. Karena In Tiong bersenjatakan golok Angmo Pootoo, dalam tandingan, ia kalah imbangan. Baharu ia hunus goloknya, atau Liok Thian Peng sudah mulai menyerang padanya.

Dahsyat serangan cambuk itu, akan tetapi mengimbangi kegesitan lawan, In Tiong kelitkan diri. Nampaknya ia akan tercambuk, tapi kesudahannya, bajunya pun tidak tersentuh. Sebaliknya ia, dari samping, segera membalas membacok.

Liok Thian Peng benar-benar liehay. Ia terancam bahaya tapi, dengan mudah ia egoskan tubuhnya, untuk selanjutnya, menyambuk pula berulang-ulang tiga kali, guna mendesak lawannya, yang pun gesit sekali, hingga tiga cambukan itu tidak memperoleh hasil. In Tiong tidak cuma berkelit, dia pun berlompatan pesat, dan di bawah bayangan cambuk itu, ia melakukan serangan pembalasannya.

Serangan tiga kali saling susul dari Liok Thian Peng itu adalah serangan jurus-jurus "Kenghong sauwlioe" atau "Angin besar menyapu pohon yanglioe," biasanya sulit untuk orang menghindarkan diri dari bahaya itu, maka itu kagum Thian Peng, terhadap lawannya. Ia pun mengelakkan diri dari pelbagai bacokan, sesudah mana, lagi satu kali ia menyerang hebat, untuk melibat lengan orang. Apabila ia berhasil, yang paling dulu akan terjadi adalah golok In Tiong mesti terlepas dari cekalan dan terlempar.

In Tiong perdengarkan suara, bagaikan kaget, berbareng dengan itu, tangan kirinya,yang hendak dilihat itu, dilonjorkan lempang dan kaku, atas mana, dengan sendirinya,libatan cambuk lolos dan cambuk lemas itu mental, tidak mendapatkan korbannya. Tapi itu belum semua, selagi dilonjorkan, tangan In Tiong dan kepalannya, berbareng dipakai menjotos dada lawannya!

"Bagus" teriak Liok Thian Peng, yang kaget dan kagum. Kakinya tidak digerakkan,hanya tubuhnya digeser sedikit, untuk melewatkan kepalan itu, menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarinya, dipakai menunjuk, akan menyambuti kepalan lawan itu.

Kelihatannya kepalan dan jari-jari tangan akan bentrok satu dengan lain, akan tetapi di saat yang berbahaya, keduanya mundur sendirinya, diganti dengan gerakan cambuk dan golok — cambuk bagaikan terbang, golok bagaikan menari.....

Kedua pihak nampak merenggangkan diri tetapi sebenarnya, mereka asyik mengadu kepandaian mereka, hingga penonton rata-rata menjadi kagum, ada yang menyaksikannya seperti matanya kabur.

Ilmu silat "Tjiamie Sippattiat" dari Liok Thian Peng liehay, akan tetapi, kali ini,menghadapi ilmu silat "Taylek Kimkong Tjioe" dari In Tiong, dia repot juga. Kelihatannya dia cuma dapat bertahan. Maka itu, dia lantas berlaku sangat hati-hati, dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat melayani terus.

"Bagus, bagus!" kaisar memuji berulang-ulang. Ia kagum dan girang.

In Loei sebaliknya, berdebar-debar hatinya.

Pertempuran seru berjalan terus, sampai kemudian In Loei lihat, gerakan kaki kedua
pihak mulai ayal.

"Kali ini umpama kata kakak menang," pikir In Loei kemudian, "ia pasti akan jadi sangat lelah, sedang menurut aturan pertandingan, dia mesti melayani terus lawan-lawan baru hingga dua pertandingan, baharu ia boleh beristirahat. Jikalau tandingan kakak yang kedua ada sebangsa Liok Thian Peng kosennya, pasti lenyaplah gelaran Boe tjonggoan1.Sekarang masih belum ada kepastiannya.....”

Pertempuran berjalan untuk banyak jurus, kedua pihak masih sama imbangannya,kejadian itu membuatnya kedua pihak tegang sendirinya.

In Tiong berkemauan keras untuk menang, ia berani melakukan penyeranganpenyerangan yang berbahaya sekalipun untuk dirinya sendiri, setiap kalinya, pukulannya bertambah berat. Untuk ini ia berlaku lambat dan sebat dengan tiba-tiba. Ia mainkan siasat, ia mencari lowongan, sekalipun dengan memancing.

Liok Thian Peng lebih berpengalaman, dia tidak membiarkan dirinya dipancing, dia berlaku tenang, matanya pun dipasang dengan tajam.
Selagi pertandingan berjalan, tiba-tiba tubuh In Tiong terhuyung, lalu lolos di antara cambuk, ia menyerang dengan kedua tangannya, golok di tangan kanan, kepalan di sebelah kiri.

"Bagus!" seru Liok Thian Peng atas serangan tiba-tiba itu. Ia berkelit dari kepalan dan menangkis golok, sesudah mana, ia pun membalas, yaitu ia membarengi, meneruskan gerakan cambuknya, yang ia pakai menyerang membalas.

Hampir In Loei keluarkan seruan karena menyaksikan saat yang sangat berbahaya itu,atau segera ia dengar jeritan "aduh!" dari Liok Thian Peng. Ia pun belum melihat nyata atau ia saksikan Thian Peng rubuh, cambuknya terlempar, tubuhnya terguling di atas panggung.

Dengan tibanya serangan membalas itu, tiba-tiba Thian Peng merasakan lengannya tertusuk jarum yang sakit rasanya. Tentu saja ia menjadi sangat kaget, apapula pada saat itu, serangan In Tiong datang menyusul. Tak ada jalan lain, sambil melepaskan cambuknya, ia buang dirinya ke panggung, guna berkelit dari serangan Kimkong tjioe yang dahsyat. Selagi bergulingan, di dalam hatinya, ia kata: "Hm! Kiranya di tangan bocah ini masih ada senjata rahasianya! Kecewa aku terpedaya!" Tapi ia bungkam.

Di dalam pieboe itu tidak disebutkan larangan menggunakan senjata rahasia. Tentu saja, ia pun
tidak ketahui, penyerang dengan jarum rahasia itu bukannya In Tiong.

Di bawah panggung, In Loei heran. Di atas panggung, In Tiong tidak kurang herannya kenapa lawannya itu rubuh sedang serangannya belum lagi mengenal sasarannya.

Dengan begitu, selesailah sudah pertempuran itu, maka kembalilah kiepaykhoa dengan tugasnya, memperdengarkan suaranya seperti biasa: "Kiedjin ke lima belas, Thio Tan Hong, naik ke panggung! Penanggungnya Thio Hong Hoe, Tjongkauwtauw dari Gielim koen merangkap Tjiehoei
dari Kimie wie!"

In Loei mendengar nyata, ia menjadi kaget hingga semangatnya bagaikan terbang pergi. Ia berdiri menjublak. Ia heran bukan main. Kenapa Thio Tan Hong juga turut dalam ujian? Kenapa Thio Tan Hong hendak perebutkan gelar Boe tjonggoan dengan kakaknya itu?

-ooo00dw00ooo

Thio Tan Hong lompat naik ke atas panggung dengan sikap yang tenang dan wajah berseri-seri. Seperti biasanya, dia dandan dengan pakaian putih, pun ikat kepalanya putih juga. Sepatunya adalah sepatu yang enteng. Indah gerakannya ketika tubuhnya mencelat ke atas panggung Ioeitay, bagaikan "pohon kemala ditiup angin" atau "bunga lay beterbangan antara salju." Dia pun muda dan cakap romannya, halus gerak-geriknya.
Para kiedjin bersorak, waktu mereka menyaksikan munculnya saingan ini.

"Sungguh satu pemuda yang cakap!" raja memuji setelah menyaksikan kiedjin No. 15 ini. Hingga ia berkata kepada Kong Tiauw Hay: "Orang ini sepantasnya turut dalam ujian Boen tjonggoan....."

"Ya," sahut Kong Tiauw Hay, acuh tak acuh, sebab kedua matanya sedang menatap Thio Tan Hong. Terang nampaknya, dia heran atau curiga.....”

Sesampainya di atas panggung, Tan Hong tidak segera tantang In Tiong, dia hanya memandang sekelebatan, menyapu dari kaisar sampai kepada yang lainnya.

Terkejut Kaisar Kie Tin ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Tan Hong,tanpa merasa, ia bergidik sendirinya. Kaisar ini heran sekali, orang ada demikian lemah lembut, kenapa matanya tajam sekali, pada sinarnya seperti berbayang "hawa pembunuhan." Tentu sekali raja ini tidak tahu, leluhur Thio Tan Hong adalah musuh besar dari leluhurnya sendiri — musuh dalam perebutan negara.
Munculnya Tan Hong tidak hanya mengejutkan In Loei seorang. Ie Kiam dan In Tiong juga tak Menyangkanya sama sekali. Ie Kokioo berpikir: "Tan Hong adalah seorang luar biasa, telah berulang kali aku menganjurkan dia bekerja untuk pemerintah, untuk itu bersedia aku menanggung dia dengan rumah tanggaku, dengan jiwaku, dia senantiasa menampiknya, kenapa sekarang dia muncul di sini hendak memperebutkan segala gelar Boe tjonggoan?"

In Tiong sebaliknya berpikir: "Binatang ini adalah pengchianat yang bekerja untuk bangsa Watzu, kenapa dia datang untuk perebutkan gelaran Boe tjonggoan denganku? Apa tidak baik jikalau aku beber saja rahasianya? Tapi dia ditanggung oleh Thio Hong Hoe, pemimpinku, bagaimana?" Karena ini, terpaksa ia bungkam, ia cuma telan sendiri kemendeluannya.

Tak berayal lagi, Thio Tan Hong menghadap In Tiong. Ia bersenyum lebar dengan tangannya di gagang pedang. Dengan dalam ia menjura, terus ia berkata dengan hormat:
"Saudara In, aku mohon belas kasihanmu.....”

In Tiong gusar bukan kepalang, kedua matanya sampai bersinar bagaikan api menyala, akan tetapi dia berada di atas panggung, dia mesti kendalikan dirinya, dia harus mengindahkan adat istiadat, maka itu, dia pun membalas menghormat sambil menjura, cuma waktu dia buka suara, walaupun perlahan, dia kata: "Hari ini jikalau bukannya kau yang mati, aku yang mampus!"

Akan tetapi Tan Hong tertawa.

"Itulah tak usah!.....” katanya, sabar.

Belum orang menutup mulutnya, In Tiong sudah mulai menyerang. Setelah mereka satu pada lain memberi hormat, tak perlu lagi mereka main hormat-hormatan terlebih jauh. Gerakkannya adalah "Kwahouw tengsan," atau "Menunggang harimau mendak gunung."

In Loei telah menyaksikan itu, tanpa merasa, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
Ia berkuatir tak terkira.

Di atas panggung, Tan Hong telah perdengarkan seruannya, "Bagus!" lalu tubuhnya bergerak, mengegos dari bacokan In Tiong, atas mana, In Tiong, menyusul dengan bacokan lagi dari samping. Ia jadi penasaran karena bacokannya yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan.

Kali ini Tan Hong mencoba tenaga orang, ketika ia melewatkan bacokan itu, ia bentur lengan pemuda she In itu, hingga terjadilah satu peraduan tangan yang keras. Ia pakai tangan kanan, In Tiong tangan kiri.

"Nyata Taylek Kimkong Tjioe dari Toasoepee bukan nama belaka!" kata Tan Hong dalam hatinya setelah benturan itu, terus saja ia balas menikam.

"Bagus!" seru In Tiong tanpa disengaja ketika ia berhasil mengelakan diri dari tikaman yang berbahaya itu. Ia juga kagumi liehaynya lawan ini.

Kedua pihak bertempur dengan hati-hati, apa-pula In Tiong, yang tahu pedang lawan adalah pedang mustika dan goloknya, walaupun tajam, tak akan sanggup melawan pedang itu. Ia tidak membiarkan goloknya dipapas, sedang ia sendiri, ia selalu menahas pedang lawan dari samping.

Kedua pihak, berlaku hati-hati, tapi kedua pihak pun saling menyerang secara hebat.
Sesudah pertempuran berjalan sekian lama, tiba-tiba Tan Hong merubah gerak-geriknya. Satu kali ia berseru panjang, lalu tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan, kekiri dan kanan, hingga In Tiong seperti dikurung musuh-musuh diempat penjuru.

Menghadapi musuh demikian gesit, In Tiong pernahkan diri di tengah-tengah. Ia berputar ke mana lawan berkelebat, ia menangkis sambil membalas membacok. Ia telah mencoba, akan menahas kutung pedang lawan, tapi belum pernah ia berhasil. Ia berlaku sangat cepat, tapi lawan lebih cepat pula. Bagaikan capung menyambar air, demikian samberan Tan Hong dan lewatlah tubuhnya pesat sekali.

Sepasang alis kaisar bangun ketika menyaksikan pertempuran setelah tujuh puluh jurus.

"Bagus! Bagus!" pujinya berulang-ulang.

In Loei kagum, tetapi kekuatirannya menjadi lebih besar. Ia takut kalau-kalau Tan Hong melukai In Tiong, ia kuatir saudaranya nanti melukai mahasiswa itu.....

Di mata banyak penonton, kedua pemuda itu setanding, tetapi di mata In Loei,keadaan ada sebaliknya. In Tiong gagah tetapi ia tetap kalah gesit, kalah mantap daripada Tan Hong. Tubuh si mahasiswa, juga pedangnya, bergerak dengan terlebih bebas. In Loei sering bertempur melawan musuh bersama Tan Hong, ia tahu baik tentang liehaynya pemuda ini. Adalah kemudian, lega juga hati si nona. Ia merasa bahwa Tan Hong
mempunyai belas kasihan terhadap kakaknya itu.....

Ie Kiam pun berkuatir, hingga membuka mulutnya. Ia seperti berbicara sendiri, seperti mengatakan pada In Loei. Katanya: "Kalau dua ekor harimau berkelahi salah satu mesti terluka..... Apakah perlunya itu? Apakah perlunya itu?.....”

Tapi pertandingan ini resmi, siapa juga tidak berhak untuk menghentikannya.

In Tiong telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tapi ia hanya dapat bertanding seri terhadap lawan itu, dengan sendirinya, hatinya menjadi tegang. Ia pun baru saja berkutat mati-matian dengan Liok Thian Peng, hingga ia merasa letih bukan main. Maka pada akhirnya, ia menjadi lelah sendirinya.

Aneh sikap Tan Hong terlebih jauh. Satu kali agaknya ia peroleh lowongan, lalu ia lepaskan itu, ia sebaliknya bagaikan terancam golok In Tiong. Beberapa kali hal ini terjadi,In Tiong lantas menduga, bahwa Tan Hong tidak berniat mengalahkannya. Tapi hal ini membuatnya ia menjadi panas hati, ia tidak puas.....

Bertempur lebih jauh, In Tiong berlaku telengas.

Goloknya, di tangan kanan, dan kepalan kirinya mendesak terus hingga tiga kali beruntun. Ia mendesak begitu rupa , hingga Tan Hong mesti mundur. Kemudian, sambil lompat mutar, ia mundur teratur, agaknya desakan itu tidak memberi hasil.

Tan Hong tertawa di dalam hatinya.

"Kau hendak gunakan akal, siapa sudi terkena tipumu?" kata mahasiswa ini. Ia segera gunakan akal untuk melawan akal. Ialah ia maju, untuk menyusul.

Justeru itu, mendadak In Tiong lompat mutar pula, tangan kirinya turut bergerak,melemparkan tujuh butir senjata rahasia Thielian tjie, semacam biji teratai besi, yang semuanya menuju keberbagai anggota berbahaya dari si pemuda she Thio. Itulah senjata rahasia Hian Kee Itsoe.

Itulah serangan sangat berbahaya, para penonton menjadi terkejut.
Menyusul serangan teratai besi itu, terdengar suara bentrokan nyaring, lalu sirap,hingga orang menjadi heran, cuma In Tiong yang hatinya gentar, sebab ia tahu, serangan itu telah digagalkan lawan. Malah ia menduga juga, senjata rahasia yang dipakai menentanginya adalah sebangsa jarum, yang kecil sekali, hingga heranlah ia, kenapa senjata halus itu dapat melemahkan bijih-bijih besi yang jauh terlebih berat. Lain dari itu,senjata Tan Hong ini membuatnya In Tiong ingat kejadian tadi sewaktu ia bertanding dengan Liok Thian Peng.

Tadi ketika berhadapan dengan Thian Peng, In Tiong tahu benar mereka berdua sudah menghadapi jalan buntu, ia mesti celaka, demikian juga Thian Peng, akan tetapi pada saat terakhir, Thian Peng rubuh tanpa sesuatu sebab. Tidak mengerti In Tiong, kenapa lawannya itu kalah tanpa alasan apa-apa. Tapi sekarang, melihat senjata rahasia Tan Hong, segera ia mengerti, ia sadar. Teranglah sudah, tadi Tan Hong telah menyerang Thian Peng secara diam-diam. Maka bingunglah ia kenapa "musuhnya" — "musuh besar" — telah membantu ia secara diam-diam itu.

Pada saat itu, In Tiong jadi merasa malu berbareng bersyukur. Malu karena serangannya itu gagal, bersyukur sebab "musuh" telah membantu padanya, telah menolong ia dari ancaman bahaya besar. Sebaliknya, ia juga mendongkol, karena musuh itu sangat tanggu dan tak dapat dirubuhkan.

Selagi In Tiong diliputi pelbagai perasaan itu, tiba-tiba terdengar suara Tan Hong.

"Lihat pedang!" seru pemuda she Thio itu sambil tertawa, lalu pedangnya berkelebat,bersinar di muka orang she In itu.

In Tiong masih sadar akan dirinya, maka dengan sebat ia tangkis tikaman itu, setelah mana, ia melakukan pembalasan. Ia terpaksa membalas, sebab setelah tikaman itu, Tan Hong mengulanginya, hingga dia mesti dilayani terus.

In Tiong berpikir, baik atau tidak ia serahkan saja gelar Boe tjonggoan kepada Tan Hong, karena pertempuran mereka ini luar biasa dahsyatnya. Kalau ia mengalah, bahaya sudah tidak ada. Tapi ia didesak, ia jadi berpikir lain. Semuanya terjadi dalam sekejap itu.

Tidak banyak waktu untuk berpikir lama-lama. Maka, setelah satu tangkisan tangan kiri disusul dengan bacokan tangan kanan, dengan goloknya, ia memikir untuk menggunakan serangan "Pengin liatsek" atau "Awan buyar, batu gempur."

"Jangan!" tiba-tiba terdengar suaranya Tan Hong, perlahan. "Lekas gunakan Samyang kaytay....."

Tanpa merasa, In Tiong ubah serangannya, lalu tiga kali beruntun ia memberikan bacokan. Benar saja, ia telah menggunakan tipu silat yang disebutkan pemuda she Thio itu.

Tan Hong menutup dirinya dengan tipu silat "Pathong hongie" — "Hujan angin di delapan penjuru," tetapi percuma saja, pembelaannya dapat dipecahkan, hingga ia jadi terdesak, kalau tadi ia menjadi penyerang, sekarang ia berbalik menjadi orang yang diserang, karenanya, ia perdengarkan jeritan terancam bahaya.

In Tiong lanjutkan desakannya, ia membuat Tan Hong mundur terus, sampai di pinggir panggung di mana sudah tak terdapat tempat lagi untuk mundur lebih jauh, di saat itu tiba-tiba pemuda she Thio itu mencelat tinggi, ia apungkan dirinya, berjumpalitan, hingga di lain saat, ia telah berada di bawah panggung! Tubuhnya itu telah melayang bagaikan layangan putus.....
Bergemuruhlah suara di bawah panggung, sebab pieboe telah berakhir untuk kekalahannya Thio Tan Hong dan kemenangannya In Tiong. Semua orang puji In Tiong dengan jurusnya yang terakhir itu,"Samyang kaytay," — "Selamat tahun baru"

Di antara semua penonton, cuma In Loei yang bernapas lega, yang ketahui kemenangan In Tiong itu, sebab Thio Tan Hong bukannya kalah, hanya mengalah.

Adalah maksud Tan Hong turut dalam pieboe, bukan untuk merebut kemenangan,bukan untuk menjadi Boe tjonggoan, hanya guna membantu In Tiong, supaya In Tiong dapat menjadi tjonggoan militer, supaya In Tiong berhasil dengan angan-angannya mencari kedudukan tinggi guna nanti mencapai cita-citanya.

Tan Hong mengetahui, dua saudara seperguruan dari Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay turut dalam ujian militer itu. Inilah berbahaya untuk In Tiong sekalipun ia ketahui kepandaian In Tiong dibanding dengan dua saudara seperguruan dari Tiauw Hay itu berimbang. Bahayanya ialah kalau In Tiong mesti bergantian melayani dua musuh tanggu itu, sedang di lain pihak, masih ada beberapa calon lainnya yang tak kurang berbahayanya. Maka ia paksa pernahkan dirinya dalam keadaan berbahaya itu, guna secara diam-diam membantui In Tiong, agar orang she In ini dapat memastikan kemenangannya. Untuk ini, Tan Hong dapat bantuannya Thio Hong Hoe, yang menjadi orang penanggungnya.

Bahwa In Tiong sampai sebegitu jauh tidak ketahui Tan Hong turut dalam ujian itulah karena, dalam ujian-ujian pertama, mereka dipisahkan rombongannya, hingga baharulah di babak ini mereka diberikan ketika untuk berhadapan satu pada lain.

Kemarinnya, dalam ujian pertama, Tan Hong telah merubuhkan tiga calon yang liehay,yaitu pertama satu soeheng lainnya dari Kong Tiauw Hay, kedua ahli silat Kimkauw Gouwhong, dan ketiga pahlawan istana Lou Liang. Ini pun membantu meringankan In Tiong untuk memasuki babak terakhir. Pada akhirnya, Tan Hong membantu ia merubuhkan Liok Thian Peng, sesudah mana, ia maju sendiri, ia berpura-pura kalah
sesudah mengajari In Tiong bagaimana ia harus mendesak padanya.....

Begitu rupa Tan Hong telah bertindak, sehingga Thio Hong Hoe dan Ie Kiam tidak mengetahui maksud yang disembunyikan itu.

Tetapi ini tidak berarti Tan Hong tidak menghadapi ancaman malapetaka.

In Tiong melengak atas kemenangannya itu. Ia berpikir keras karena kemenangan yang tidak wajar itu, walaupun tidak ada satu orang jua yang mengetahuinya. Tengah ia berdiri diam, gemuruhlah seluruh tanah lapang itu. Lalu, di saat ia masih belum ingat untuk mengundurkan diri, guna beristirahat, ia dengar satu teriakan dari panggung muka: "Lekas tangkap pemberontak! Lekas tangkap pemberontak!"

In Loei kaget mendengar suara itu, In Tiong pun tak terkecuali, hingga ia jadi sadar.

Di panggung muka itu, ialah panggung untuk kaisar menyaksikan pieboe, Kong Tiauw Hay perdengarkan suara nyaring berulang-ulang. Dia berteriak-teriak menitahkan pasukan raja menangkap Thio Tan Hong.

Ketika dua soesiok, atau paman guru, dari Kong Tiauw Hay dikalahkan Tan Hong dan In Loei di selat Tjengliong Kiap, maka kedua orang itu — ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe — sudah lari pulang ke kota raja. Mereka ini telah bertemu dengan Kong Tiauw Hay, lalu mereka tuturkan tentang Tan Hong dan In Loei,terutama mereka lukiskan tegas roman Tan Hong. Tiauw Hay sangat perhatikan
keterangan kedua guru itu, maka sekarang melihat Tan Hong, ia segera dapat mengetahui tidak peduli kedua paman gurunya tak turut menyaksikan pieboe itu. Sekian lama ia telah mengawasi Tan Hong, selama itu ia telah mengambil keputusannya, "lebih baik keliru menangkap orang daripada meloloskannya," maka juga, habis pieboe, ia maju kemuka panggung dan berikan titahnya itu.

Semua orang menjadi heran, gemuruh pun lenyaplah. Barisan Gielim koen tidak kurang herannya. Dalam kesunyian setelah teriakan-teriakan Kong Tiauw Hay itu, menyusullan suara tertawa yang tajam dar nyaring, lalu tampaklah Thin Tan Hong lari ke muka — ke panggung muka — panggung kaisar, di atas mana Tiauw Hay tengah menuding kepada pemberontak yang ia titahkan menawannya.

Tayiwee Tjongkoan itu tak dapat berteriak lebih jauh, begitu lekas Thio Tan Hong lari sampai di muka panggung, dia pun menjerit keras, tubuhnya terus terguling, jatuh ke bawah panggung. Karena Tan Hong tidak mau membiarkan orang pentang terus bacotnya, dia telah menghadiahkan hoeitjiam, senjata rahasia jarum yang liehay.

Kembali orang kaget, mereka menjadi gempar. Semua pahlawan lantas lari maju, untuk memburu. Sekarang mereka tahu pasti, siapa yang dimaksudkan sebagai si pemberontak yang mesti ditawan itu.

Tengah orang berlari-lari, di antara suasana kacau itu, Thio Tan Hong segera perdengarkan suitan mulut yang panjang, menyusul mana, dari satu jurusan datanglah kuda Tjiauwya saytjoe ma yang larinya sangat pesat, menuju ke arah majikannya.

Thio Tan Hong lantas perdengarkan tertawa berkakakan. Dengan satu enjotan,tubuhnya sudah mencelat naik di bebokong kudanya, sesudah mana, ia mainkan pedangnya secara liehay. Sebab waktu itu, kecuali serdadu-serdadu yang memburu, anak-anak panah juga sudah datang saling sambar, maka anak panah itu mesti ditangkis,disampok jatuh, supaya tidak mengenai sasarannya.

Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali keluar lapangan tanpa ada yang bisa mencegah!

Ong Tjin jadi sangat mendongkol, hingga tubuhnya gemetar.

"Celaka betul!" teriaknya. "Lekas tawan si penanggung jawab, Thio Hong Hoe!" demikian ia berikan titahnya.

"Tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar raja mencegah. "Coba tanya dulu Kong Tiauw Hay,bagaimana duduknya perkara!"

Raja memang tidak mengetahui duduknya perkara itu.

Kong Tiauw Hay adalah seorang gagah, akan tetapi sekarang dia seperti tak berdaya.

Saking sakitnya, dia rubuh dari atas panggung. Hoeitjiam tidak meminta jiwanya, akan tetapi jarum itu yang membuat jalan darahnya terganggu dan beberapa uratnya terluka.

Untuk menolong dirinya, terlebih dahulu harus dicabut jarum rahasianya dengan kekuatan besi berani. Tapi ia tanggu, dan jatuhnya pun tidak membikin ia terluka parah, maka ia berbangkit, lalu dengan timpang ia bertindak mendaki panggung, untuk menghampiri raja.

"Kau kenapa?" tanya kaisar.
Tidak berani Kong Tiauw Hay bicara terus terang, ia malu, ia mesti lindungi namabaiknya.
"Oleh karena kesusu hendak menawan pemberontak, budakmu telah terjeblos jatuh di pinggir panggung.....” demikian ia menjawab junjungannya itu.
Kong Tiauw Hay adalah Tayiwee Tjongkoan, dengan diam-diam ia bersaingan dengan Thio Hong Hoe, kepala Gielim koen, komandan Kimie wie. Ia ingin rebut nama sebagai orang kosen nomor satu untuk kota raja. Tentu saja ia akan merasa malu kalau orang mengetahui ia rubuh di tangan orang sebawahannya Thio Hong Hoe itu. Bukankah Tan Hong pun tak dikenal ?

Mendengar jawaban tjongkoan itu, kaisar tertawa.

"Apakah Thio Tan Hong itu benar-benar pemberontak?" tanya pula junjungan ini.

"Benar," sahut tjongkoan itu. "Dia pernah melukai Taytongnia Thio Hong Hoe dari Gielim koen, dia pernah merampas persakitan utama dari tangan Thio Hong Hoe, yaitu putera pengkhianat pemberontak Tjioe Kian! Bukankah Thio Hong Hoe pernah melaporkannya semua kejadian itu? Si perampas persakitan utama itu adalah Thio Tan Hong!"

Tanpa pikir panjang lagi, mengikuti kemendongkolannya, Kong Tiauw Hay telah mengucapkan kata-katanya itu. Dengan begitu juga hendak ia lindungi nama baik kedua paman gurunya yang telah dipecundangkan Tan Hong. Dengan begitu ia tumpahkan kesalahan atas diri Hong Hoe.

Mendengar jawaban itu, raja tertawa berkakakan.

"Aykeng, kau telah membuat kekeliruan!" kata raja ini. Ia memanggil "aykeng" "hambaku yang disayang" kepada tjongkoan-nya itu.

"Jikalau Thio Tan Hong itu pernah melukai Thio Hong Hoe, cara bagaimana sekarang Thio Hong Hoe kesudian menjadi penanggung atas dirinya? Aku lihat Thio Tan Hong itu meski benar dia kena dikalahkan In Tongnia, tidak lemah ilmu silatnya. Dia mempunyai roman yang baik, tenaganya juga dapat dipakai. Sayang kau menyebabkan dia menyingkirkan diri. Sekarang pergilah kau cari dia, untuk mengajak dia pulang, jangan
kau membuat dia ketakutan terus menerus!"

Kaisar Kie Tin ini, walaupun setiap hari dia dipengaruhi Ong Tjin, belum dapat dikatakan dia kaisar dungu, malah dia sebenarnya gemar juga memperlihatkan kecerdasannya. Demikian kali ini, dia anggap pandangannya jauh terlebih sadar daripada Kong Tiauw Hay, maka dia bergurau dengan hambanya itu, habis mana, dia menjadi puas sekali, dia anggap Kong Tiauw Hay tolol, telah mencari kepusingan sendiri.

Thio Hong Hoe telah mendengar semua, dia keluarkan keringat dingin. Dia girang sekali yang raja tidak memperpanjang kejadian itu, kalau tidak, bisa sulit kedudukannya.

Habis kekacauan itu, pieboe dilanjutkan pula. In Tiong telah menangkan dua kali, dia dapat hak untuk masuk dalam babak terakhir, karenanya, dia boleh beristirahat.

Dengan majunya Tan Hong sebagai calon ke lima belas, masih ada sembilan calon lagi.
Sudah diterangkan, cuma ada dua puluh empat calon yang berhak pieboe di atas ioeitay.

Pertandingan dilanjutkan antara sembilan calon itu, kesudahannya ada satu orang, yang beruntung menang dua kali beruntun. Dia adalah Hoan Tjoen, salah satu dari tiga jago dikota raja Kengsoe samtoa kotjioe. Dialah adik kandung dari Hoan Tiong, itu Gietjian siewie, kepandaiannya Hoan Tiong yang mengajarkan. Dibanding dengan In Tiong, dia masih beda jauh, maka itu, sebelum pertandingan berakhir, belum sampai tiga puluh
jurus, dia telah dirubuhkan In Tiong.

Kembali terdengar suara gemuruh diseluruh lapangan. Sebagai penghormatan, In Tiong dikerebongi mantel sendiri oleh kaisar, yang mengumumkan dia adalah Boe tjonggoan.
In Loei girang tak terhingga. Begitu pulang ke gedung Ie Kiam, dia nanti-nantikan In Tiong peroleh sesuatu jabatan, untuk In Tiong pindah keluar dari istana. Waktu itu dia berpikir akan minta bantuannya Thio Hong Hoe, supaya mereka dua saudara, kakak dan adik, diperkenalkan, dipertemukan satu dengan lain. Tapi, beberapa hari telah berselang,kabar yang ditunggu-tunggu itu tidak juga kunjung tiba, hingga, selainnya In Loei, Ie Kiam juga turut merasa heran.

Menurut kebiasaan, siapa sudah diangkat jadi boe tjonggoan, sedikitnya dia akan diangkat menjadi tjiangkoen, jenderal, dia akan diberikan satu gedung tersendiri untuknya, jadi tidak usah dia berasrama lagi di dalam istana. Maka kali ini, sia-sia saja orang menantikan pengumuman dari kaisar tentang pengangkatan boe tjonggoan itu.
Inilah kejadian yang langka.

Ie Kiam menjadi bingung juga meski benar ia ada satu menteri, di dalam hal pemberian pangkat atau gelar atau hadiah, dia tidak punya hak untuk mencampurinya.

In Tiong sendiri, setelah kemenangannya itu, terus terbenam dalam keragu-raguan,hingga ketika ramai orang memberi selamat, sama sekali ia tidak pernah tertawa. Ia kembali ke asrama, tetap ia menjadi pahlawan, kalau malam, masih ia bertugas meronda keraton.

Di dalam istana terdapat batas di antara istana dan keraton. Keraton adalah istana bahagian dalam. Dan bahagian In Tiong adalah keraton, yang disebut iweeteng,perdalaman.

Ketika ia kembali ke asramanya, dia lantas keram diri di dalam kamarnya, beberapa rekannya telah datang untuk memberi selamat, tetapi ia tidak mau menemuinya. Karena sikapnya ini, ada rekannya yang menganggap dia jadi angkuh dan kepala besar, tapi ada juga yang mengerti dan percaya bahwa dia sangat letih hingga dia perlu beristirahat.

Hanya anehnya, sejak hari kemenangan itu, In Tiong lantas saja menjadi seorang yang pendiam, tidak lagi dia bergembira seperti biasa, malah dia nampaknya tak tenang. Ini pun sebabnya kenapa dia keram diri di dalam kamar.

Cuma In Tiong sendiri yang ketahui kenapa ia bawa sikap yang luar biasa ini. Ia tahu,Boe tjonggoan itu ia dapatkan bukan karena kepandaiannya, ia hanya seperti dihadiahkan Thio Tan Hong, yang telah mengalah terhadapnya, hal ini membuatnya ia merasa malu sendiri. Tidakkah ia diberi hadiah oleh "musuh?" Tapi, gelar itu telah ia dapatkan, mustahil kalau ia kembalikan kepada Kaisar. Karena ini, ia jadi berpikir keras, makin ia berpikir,makin ruwet pikirannya. Demikian dalam keadaan bimbang dan berduka itu, tiba-tiba satu thaykam kecil datang padanya, mengetok pintu kamarnya, sambil berkata bahwa kaisar memanggil ia.

In Tiong terkejut berbareng girang. Dengan lekas ia salin pakaian, terus ia ikut thaykam itu, melintasi lorong yang panjang, sampai di pendopo Boenhoa thian di mana terdapat giesie pong, kantor kaisar.

Dalam kantor itu, yang apinya dipasang terang-terang tampak raja duduk seorang diri.

Melihat datangnya Boe tjonggoan, raja memberi tanda kepada thaykam untuk mengundurkan diri sambil menutup pintu kamar.

"Liehay keng punya ilmu silat, keng telah menjagoi di kolong langit ini, maka keng harus bergembira, seharusnya keng diberi selamat!" kata raja sambil tertawa. Dan ia beri selamatnya.

Muka In Tiong menjadi merah.
"Terima kasih untuk pujian Sri Baginda," kata ia, dengan likat. "Untuk budi Sri Baginda ini, walaupun hancur lebur tubuh sin, tidak dapat sin membalasnya."Dengan kata "sin," In Tiong membahasakan dirinya "hambamu."

Kaisar awasi tjonggoan baru ini. "Sebenarnya keng asai mana?" ia tanya. ("Keng" adalah kata hormat seperti "kau" atau "kamu" untuk menteri.)

In Tiong bersangsi ketika ia menyahuti: "Leluhur sin berasal dari Kayhong dipropinsi Hoolam." Mata kaisar bagaikan terbalik, ia menatap pula. "Kalau begitu," kata raja dengan sekonyong-konyong, "keng berasal dari satu kampung dan satu she dengan menteri In Tjeng dari pemerintah yang terdahulu. Pernah apakah keng dengan In Tjeng itu?"

Terharu In Tiong, hingga lantas saja ia bertekuk lutut.

'In Kimsoe adalah sin empunya kakek," sahut ia. Ia menyebutnya "kimsoe" — "utusan kaisar" — terhadap engkong-nya itu.

Sekian lama In Tiong sembunyikan diri sebagai turunan dari In Tjeng, yang dipandang sebagai "menteri yang berdosa," tidak berani ia memberitahukan itu kepada siapa juga,tetapi sekarang, ditanya raja, tidak berani ia mendusta.

Raja pun terkejut, wajahnya sampai berubah. "In Tjonggoan, adakah keng mengandung rasa benci terhadap tim?" dia tanya. ("Tim" adalah istilah raja membahasakan dirinya sendiri selagi bicara dengan menterinya.)

In Tiong merasa hatinya sakit bagaikan disayat-sayat.

"Kakek sin itu sangat setia terhadap negaranya, maka itu sin mohon semoga Baginda suka mencuci bersih noda atas namanya itu," ia mohon. Setelah mengucap demikian, air matanya segera bercucuran.

Raja tidak mengeluarkan air mata akan tetapi ia berpura-pura menyusut matanya."Kakekmu itu setia, inilah tim ketahui," ia kata. "Dalam hal tim menghadiahkan ia kematian, itulah sebenarnya bukan kehendak tim sendiri....."

In Tiong heran, ia angkat kepalanya akan mengawasi kaisar.

"Hanya," kaisar lantas menambahkan, "untuk tim mencuci noda kakekmu itu, guna memulihkan kehormatannya, haruslah ditunggu lain hari.....”

Benar-benar, kaisar ini bukan kaisar tolol, dia tidak berdaya karena sejak kecil dia selalu dikekang Ong Tjin, hingga dia tak dapat berdiri sendiri. Pernah dia memikirnya,berulangkah, untuk merampas kembali kekuasaan, haknya sebagai kepala pemerintahan,tetapi pengaruh Ong Tjin besar sekali, hingga dia merasa sulit. Maka tidak ada lain jalan daripada bertindak dengan perlahan-lahan, untuk ini, dia juga perlu mengumpulkan tenaga-tenaga pembantu, akan mengimbangi kekuatan kawannya si dorna kebiri.

Sekarang dia lihat In Tiong setia, dan In Tiong kebetulan bermusuh dengan Ong Tjin,orang semacam In Tiong inilah yang sedang dicari.

In Tiong sementara itu sedang menangis tersedu-sedu mengetahui kakeknya telah menjadi korbannya Ong Tjin, tidak peduli dihadapan raja tidak dapat ia kuatkan hati lagi.

Sekarang telah berubah pandangannya, maka ia mengambil keputusan akan bekerja untuk raja ini, supaya ia dapat membantu menyingkirkan dorna .

Raja mengawasi Boe tjonggoan itu, ia tunggu sampai orang menyeka kering air matanya, lalu ia bersenyum dan berkata: "Keng, janganlah kau terburu napsu, kau mesti bersabar, sekarang ini belum sampai ketikanya hingga tak dapat kita menggeprak rumput membikin ular kaget.....”

"Jikalau diperkenankan Sri Baginda," In Tiong lantas minta, "sin mohon diberikan tugas di tapal batas, untuk sin memimpin suatu pasukan, supaya bila dikemudian hari tiba saatnya untuk berperang, sin nanti bisa Mengumpulkan pasukan-pasukan yang bersetia kepada Sri Baginda. Bila sin mempunyai kekuasaan ketentaraan, sesudahnya memukul mundur angkatan perang Watzu, sin akan segera pulang ke dalam negeri untuk menyapu bersih kawanan dorna!"

Raja bersenyum pula.

"Tindakan itu pun harus dilakukan dengan sabar," kata dia.

Mendengar ini, In Tiong menjadi lesu. Ketika ia pandang kaisar, raja itu sedang mengawasi dia. Kaisar sudah lantas tertawa.

"Bukankah boe kiedjin yang tadi bertanding dengan kau bernama Thio Tan Hong?" raja ini tanya. "Tim lihat ilmu silatnya tak dapat dicela!"

In Tiong merasakan mukanya panas, hatinya pun berdebar. Ia kertek giginya, untuk dapat menguasai diri.
"Harap Sri Baginda mengetahui," dia berkata, "ilmu silat Thio Tan Hong itu sebenarnya berada di atasan sin. Gelar Soe tjonggoan ini pun aku peroleh karena dia mengalah dan memberikannya kepada sin."

Kalau tadinya ia merasa tidak tenang, setelah mengucapkan kata-katanya yang terachir ini, hati In Tiong menjadi lega.

Wajah raja sedikit berubah setelah mendengarkan perkataan tjonggoan itu. Tiba-tiba dia tertawa pula sambil terus mengatakan: "Keng benar jujur! Sebenarnya, tanpa kau mengatakannya, itu sudah dapat dilihat.....”

In Tiong terperanjat, ia heran.

"Raja tinggal di dalam istana, dia tentunya tidak mengerti ilmu silat, ia sekarang ketahui Tan Hong mengalah, inilah aneh," pikirnya. "Sekalipun ahli-ahli silat di sekitar Ioeitay tidak ada yang sadar akan peranan Tan Hong itu....."

Benar-benar boe tjonggoan itu tak mengerti.

"Tahukan kau, orang macam apa Thio Tan Hong itu?" tanya pula raja kemudian.

"Tentang ini justeru sin hendak menuturkan kepada Sri Baginda," jawab In Tiong. "Thio Tan Hong adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, menteri muda dari negara Watzu. Dia sekarang melusup masuk ke dalam negeri kita, sin kuatir dia mengandung maksud yang tidak baik.....”

Raja agaknya heran.

"Apa, dia puteranya Thio Tjong Tjioe?" dia ulangi.
"Ya," In Tiong pastikan. "Mengenai dia, mungkin Thio Hong Hoe belum tahu jelas,cuma karena melihat dia pandai silat, maka Hong Hoe berikan pertanggungannya. Thio Tongnia setia, sin mohon dia tidak dicurigai."
"Siapa tidak bersalah, dia tidak dapat dipersalahkan," kata raja. "Tentang kecurigaan,ah, sebenarnya tim tidak mencurigai Thio Hong Hoe....."

In Tiong terperanjat, wajahnya sampai pucat.
"Thio Tan Hong mengalah, dia serahkan gelar Boe tjonggoan kepada sin, tidaklah mengherankan jikalau Baginda merasa curiga ia lekas berkata. "Harap Baginda ketahui,Thio Tan Hong itu adalah musuh keluarga sin\"
Untuk membuktikan perkataan ini, In Tiong terus tuturkan duduknya permusuhan itu dan akhirnya ia perlihatkan surat wasiat dari kakeknya.

Setelah mendengar dan menyaksikan itu, raja tertawa.

"Aku pun tidak curigai kau," katanya kemudian. "Sepak terjang Thio Tan Hong itu,menurut penglihatan tim, adalah untuk melepas budi atas dirimu, supaya kau melupakan permusuhan kekeluargaan itu, dan juga tentang sakit hati negara. Tim lihat, kau tentunya tidak akan terpedayakan dia.....”

In Tiong setujui pendapat raja itu. "Sekarang kemari kau," kata pula raja, kemudian.Tim hendak perlihatkan keng sehelai gambar lukisan." Raja menghampiri lemari bukunya, lalu membuka pintunya, akan mengambil gambar yang ia maksudkan itu. Di situ terlukis satu orang yang memakai mahkota, jubanya bersulamkan naga-nagaan, romannya keren.

"Coba keng lihat, miripkah Thio Tan Hong dengan orang dalam gambar ini?" tanya raja setelah ia menunjukkan gambar itu.

In Tiong awasi gambar itu, ia terperanjat. Ia tampak potongan muka dan tubuh yang sama, kecuali orang dalam gambar ini ada terlebih kasar, kalah halus dan tenang dengan Thio Tan Hong.

"Mungkinkah Thio Tan Hong seorang anggauta keluarga raja?" ia menduga-duga dalam hatinya.
"Tidakkah mereka agak mirip?" raja menegaskan.
"Ya, mirip," sahut In Tiong, suaranya tak tegas.

Sekonyong-konyong wajah raja berubah, secara tiba-tiba dia tuding gambar itu sambil mengatakan dengan keras: "Kau telah mati tetapi kau tidak meramkan mata, kau masih menugaskan anak cucumu untuk merampas negaraku?"

In Tiong kaget, ia heran bukan main.
"Dia..... dia siapakah?" ia tanya.

Raja menyahut sambil tertawa tawar: "Raja bangsat di dalam gambar ini adalah Thio Soe Seng, kaisar dari kerajaan Tjioe yang palsu!" dia jawab. "Thio Tjong Tjioe dan Thio Tan Hong adalah anak cucunya! Hm! Dia pakai nama Tjong Tjioe, bukankah dengan itu dia bermaksud meminjam tenaga bangsa asing untuk membangunkan pula kerajaan Tjioe itu, untuk memusnakan kerajaanku?"

Inilah untuk pertama kali yang In Tiong ketahui Thio Tan Hong adalah turunan Thio Soe Seng. Inilah di luar dugaannya. Maka itu, ia jadi menjublek saja, tak dapat ia mengatakan suatu apa. Tapi, dalam hatinya, ia berpikir: "Pantas mereka ayah dan anak sangat membenci kerajaan Beng. Hanya heran, cara bagaimana Sri Baginda ketahui ini? Raja sudah ketahui Tan Hong siapa, kenapa ia tidak titahkan menawan Tan Hong selagi pieboe berlangsung?"

Raja seperti tidak mempedulikan orang terheran, ia berikan keterangannya terlebih jauh. Ia kata: "Ketika dahulu Thio Soe Seng perebutkan negara dengan leluhurku, mereka telah melakukan pertempuran yang memutuskan disungai Tiangkang. Dia kalah, dia pun terbinasa. Menurut ceritera, pada saat menghadapi ajalnya yang terakhir, Thio Soe Seng sudah pendam kekayaannya, yang berupa emas dan, perak dan permata mulia, di suatu tempat di daerah Souwtjioe. Di situ terpendam tidak hanya harta besar itu, juga sehelai peta bumi negara, di mana terlukis jelas tempat-tempat yang penting untuk pergerakan tentara. Kalau peta itu tetap masih ada, itulah berbahaya sekali untuk keamanan negara,karena itu, leluhurku telah meninggalkan pesan agar turunan keluarga Thio itu dibasmi habis, supaya harta dan peta itu dicari, agar dengan secara demikian, amanlah kerajaan Beng. Thio Tan Hong sudah lolos, mestinya dia terus meninggalkan kota raja, tim duga dia pasti menuju langsung ke Souwtjioe, untuk mencari tempat menyimpan harta dan peta itu. Sekarang tim berikan keng seekor kuda, dengan itu keng mesti segera pergi ke Souwtjioe, untuk menyusul Thio Tan Hong. Tugas keng adalah, selama Thio Tan Hong belum berhasil membongkar harta dan peta itu jangan keng turun tangan atas dirinya,adalah setelah ia berhasil mendapatkan harta dan peta itu, baharu keng bunuh padanya,keng rampas harta dan peta itu, untuk dibawa pulang, untuk diperlihat kan kepada tim."

In Tiong bergidik seorang diri, ia sampai tidak menyahuti raja.

Raja pun melanjutkan perkataannya. Ia bicara sambil tertawa.

"Akan tim titahkan tujuh pahlawan untuk turut kau, guna membantu padamu," katanya."Kamu nanti bertemu di Souwtjioe saja. Jangan kau kuatir."

In Tiong terima tugas ini. Ia pikir, meskipun Tan Hong lebih gagah daripadanya tapi dengan mendapat bantuan dari tujuh pahlawan pilihan, pasti dia akan dapat kemenangan.Ia hanya tidak tahu, kenapa raja ketahui asal-usul Thio Tan Hong.

Sebenarnya, duduknya hal, ada sederhana saja: Thio Tan Hong turut dalam ujian setelah ia memikir masak-masak, ia sudah mengatur rencana. Ia telah siap sedia bila ada orang hendak turun tangan terhadap dirinya. Karena ini, sesudah bertanding dengan In Tiong, dan Kong Tiauw Hay memberi titah untuk membekuk padanya, dia mendahului turun tangan. Begitu lekas dia telah menghadiahkan jarum rahasia kepada Kong Tiauw Hay, begitu juga ia lemparkan segumpal kertas ke arah raja. Itulah kertas yang ia tulis dan sediakan siang-siang. Ia memang mempunyai kepandaian luar biasa dalam hal melepaskan senjata rahasia. Bukan saja oran lain, raja sendiri tidak merasa yang orang telah menimpuki dengan segumpal kertas kecil itu, yang tepat masuk ke dalam sakunya.

Adalah sekembalinya ke keraton, selagi hendak beristirahat, raja dapatkan gumpalan kertas itu. Di dalamnya lebih dahulu Tan Hong membeber rahasia bangsa Watzu akan menyerbu Tionggoan, lantas ia beri nasihat supaya raja membedakan menteri-menteri setia dari dorna supaya raja bersiap sedia menghalau serbuan dari luar. Tan Hong juga memberi bukti dari hal persekongkolan antara Ong Tjin dan raja Watzu dan dimintanya
raja bersiap-siap juga. Habis itu baharu Tan Hong tuturkan yang ia, ialah keluarganya,bermusuhan dengan keluarga raja.

Meski begitu, ia jelaskan dalam suratnya itu, jikalau raja bersungguh-sungguh hendak melawan musuh, ia bersedia untuk membasmi permusuhan di antara mereka. Akhirnya,Tan Hong beri nasihat supaya raja jangan lagi mencelakai menteri-menteri setia, kalau tidak, hendak ia ambil kepala raja itu. Ia kata, untuk mengambil kepala raja, kerjaannya sama gampangnya seperti orang membalikkan telapak tangan.

Terang dan jelas bunyi surat itu, halus dan keras sifatnya. Tan Hong ambil sikap demikian karena ia masih menyintai negaranya, tidak peduli negara itu sedang diperintah oleh musuhnya. Ia hanya tidak sangka, bagaimana nanti kesan raja setelah raja membaca suratnya itu.
Mulanya raja terperanjat, kemudian ia berpikir.

"Kenapa di dalam dunia ada manusia tolol semacam dia?" demikian pikir raja ini mengenai Tan Hong. "Jikalau dia tidak siang-siang disingkirkan, bukankah jiwaku terancam di dalam tangannya?"

Lantas raja menduga, mestinya Tan Hong ada turunan Thio Soe Seng. Bukankah Tan Hong menyebut-nyebut permusuhan keluarga? Untuk dapat kepastian, ia keluarkan gambar Thio Soe Seng, yang disimpan di dalam
keraton. Melihat tampang Thio Soe Seng, raja kaget. Tampang itu mirip dengan tampang Tan Hong. Maka ia percaya, tak salah lagi dugaannya itu. Karena ini, ia tak mengambil mumat lagi atas kebaikan Tan Hong, yang sudah membeber rahasia dorna dan memberikan ia nasihat, sebaliknya, ingin ia membinasakan Tan Hong.

Begitulah ia berikan tugasnya kepada In Tiong.

Thio Tan Hong, dalam tindakannya menulis surat kepada kaisar, untuk membuka rahasia dorna dan memberi nasehat, ada seumpama orang memainkan tabuhan kim terhadap seekor kerbau, hasilnya tak usah diharap. Hanya, ada juga sedikit kebaikannya,yaitu yang mengenai Thio Hong Hoe. Yaitu, sebelum Tan Hong tertawan, raja tidak berani mengambil tindakan apa-apa terhadap pemimpin Gielim koen dan Kimie wie itu.

Demikian, karena tugasnya ini, In Tiong seperti telah menghilang dari kota raja. Pada hari kedua, dia sudah lantas berangkat secara diam-diam. Dia mendapat kuda istana,kuda itu tidak dapat menandingi Tjiauwya saytjoe ma, kuda Tan Hong, akan tetapi perbedaannya tidak seberapa, cuma enam atau tujuh hari. Setelah melewati dua propinsi Hoopak dan Shoatang, dia menuju ke propinsi Kangsouw, pada suatu hari tibalah ia di
kecamatan Gouwkoan, yang bertetangga dengan kota Souwtjioe, maka itu, dia mulai memperlambat kudanya. Jarak kedua kota itu cuma setengah hari perjalanan.

Kanglam adalah satu daerah yang indah, yang kesohor, In Tiong dapat kesempatan untuk melihat-lihat. Pernah ia menyaksikan gurun pasir, yang gundul, yang berhawa panas, sekarang ia menyaksikan Kanglam, sungguh suatu perbedaan besar. Ia merasa seolah-olah hatinya terbuka. Malah ia insaf juga, sebenarnya hidup bergulat, untuk memperebutkan nama, tidak ada artinya.....”

Setelah berjalan sekian lama, In Tiong singgah di depan sebuah telaga. Ia turun dari kudanya, ia rebahkan diri di tepi telaga itu, yang airnya jernih dan indah. Langit waktu itu bersinar kebiru-biruan.

Dekat tempat In Tiong berbaring terdapat sebuah kuburan tua, selagi berpaling ke arah kuburan itu, matanya terpaku pada batu bongpay atau nisan, yang ada huruf-hurufnya. Ia lantas mengawasi, hingga dapat ia baca huruf-huruf ukiran itu. Ia menjadi heran sekali.

Bongpay itu berbunyi: "Kuburan Tantai Mie Ming."

"Tantai Mie Ming menjadi jenderal bangsa Watzu," ia berpikir, "bulan yang lalu dia masih ada di Pakkhia, kenapa sekarang di sini terdapat kuburannya. Kenapa kuburan ini beda daripada yang lainnya? Teranglah ini bukan kuburan baru.....”

Keras In Tiong berpikir, ketika tiba-tiba datang satu bocah angon, di tanduk kerbaunya tergantung sejilit buku. Dengan perlahan bocah itu berjalan di tepi telaga.

"Engko kecil, numpang tanya, tempat ini tempat apa?" In Tiong tegur bocah itu. "Dan kuburan ini kuburan siapa?"
Bocah itu memandang orang yang menanya dia, dia tertawa.

"Tuan tentu orang yang datang dari tempat jauh," ia menyahut. "Desa ini dipanggil Tamtay Tjoen, dan telaga ini dinamakan Tamtay Ouw. Dan kuburan ini, inilah kuburan leluhur keluarga kami."

In Tiong menjadi tambah heran.

"Apa?" dia tanya pula. "Kuburan kaum keluargamu?"

Bocah itu tertawa pula.

"Tuan, aku lihat kau tidak mirip dengan orang yang tidak bersekolah," dia kata.
"Mustahil sampaipun Tamtay Biat Beng macam apa kau tidak tahu?"

In Tiong melengak.

"Tahukah kau akan pepatah yang berbunyi, "Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru mengenali Tjoe Ie?" bocah itu kembali menanya.

Ditanya begitu, In Tiong menjadi kurang senang.

"Ah, engko kecil, kau menguji aku!" dia kata. "Pepatah itu adalah kata-katanya Khong Hoe Tjoe. Tjoe Ie adalah muridnya Khong Hoe Tjoe, dia pandai, cuma dia beroman jelek.

Maka itu Khong Hoe Tjoe mengatakannya demikian. Artinya ialah supaya melihat orang tidak dari romannya saja."

"Ya, benarlah begitu," kata bocah itu. "Leluhur kami, Tamtay Biat Beng, adalah salah satu dari ke tujuh puluh dua murid Khong Hoe Tjoe, alias Tjoe Ie. Siapa saja, yang telah membaca kitab Soe Sie, pasti mengetahui tentang ini. Telaga ini mulanya adalah tempat kedudukannya rumah keluarga kami, kemudian karena suatu perubahan alam, tanah ini melesak ke dalam, lalu berubah menjadi telaga, maka itu, namanya dipanggil Tamtay Ouw. Tentang ini, dalam buku riwayat kecamatan kami, ada catatannya."

Penyahutan bocah itu membuatnya In Tiong melengak.

Guru In Tiong, yaitu Tang Gak, adalah seorang boenboe tjoantjay, yang paham ilmu surat dan ilmu silat berbareng, maka itu selama In Tiong ikuti gurunya, ia juga sekalian belajar surat, hingga pernah ia membaca buku klassik. Memang, di antara murid-murid Khong Hoe Tjoe, ada yang bernama Tamtay Biat Beng itu. Ia ingat sekarang bagaimana pada waktu bermula ia dengari nama Tantai Mie Ming, panglima bangsa Watzu itu, ia merasa lucu, hingga ia tertawa dalam hatinya, sebab seorang militer, malah seorang asing, memakai nama seorang yang terpelajar dalam ilmu surat pada jaman dahulu. Ia mengira, "Tantai" itu she bangsa Mongolia, begitupun nama "Mie Ming" itu. Tapi sekarang ia dapat kenyataan, Tamtay Biat Beng itu benar-benar ada, malah kuburannya masih ada dikecamatan Gouwkouw ini, Kangsouw. Tapi ia percaya, kuburan ini mungkin pernah diperbaiki oleh turunannya, meskipun bentuk kuburan, bentuk bongpay dan huruf-hurufnya sedikit mirip dengan jaman setelah kerajaan Tjin atau Han, jadi bukan kuburan buatan jaman Tjoen Tjioe. Perbedaannya ialah dalam cara membacanya, antara Tantai Mie Ming dan Tamtay Biat Beng.

Bocah itu tertawa, ia kata: "Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru mengenali Tjoe Ie, maka sekarang terbuktilah kata-katanya nabi!"

Lalu, habis mengucap demikian, ia bawa serulingnya ke mulutnya, untuk meniup lagu,sedang kerbaunya ia jalankan perlahan-lahan.....”
In Tiong awasi orang berlalu, sambil memikirkan pepatah itu, yang benar-benar tepat.

Ia jadi berpikir keras: "Kalau begitu, aneh Tantai Mie Ming itu. Itulah nama orang Han. Kenapa dia memakainya sebagai she dan namanya sendiri? Sengajakah dia memakai nama sasterawan jaman dahulu itu? Tantai Mie Ming beroman keren dan jelek, ia dapat disamakan dengan Tamtay Biat Beng, tetapi tentang kepintaran dan penghidupannya tidak. Dia telah pergi dan tinggal di negara asing dengan memakai nama asing juga! Adakah ia mengandung sesuatu maksud? Yaitu ia ingin orang jangan hanya memandang ia dari romannya saja? Atau mungkinkah nama Mie Ming itu ia pakai justeru untuk diartikan sebagai kenyataannya, yaitu untuk membikin musnah kerajaan Beng? Mungkinkah Tantai Mie Ming bercita-cita demikian besar?"

Setelah beristirahat cukup, In Tiong berbangkit, untuk melanjutkan perjalanannya. Ia memasuki dusun Tamtay Tjoen itu. Karena ia telah peroleh kesan, masih ia pikirkan halnya Tantai Mie Ming. Ia ingat ketika malam itu ia serang si pangeran asing di Tjengteng. Tantai Mie Ming benar-benar kosen, tapi Mie Ming tidak menurunkan tangan jahat terhadap dirinya. Ia ingat juga kepada pieboe di dalam rumah Thio Hong Hoe, waktu itu secara diam-diam Tantai Mie Ming telah menghalau musuh. Ia jadi seperti dibikin pusing.

"Ah, sudahlah!" katanya kemudian seorang diri. "Kenapa aku mesti pusingkan kepala bahwa dia Tantai Mie Ming atau Tamtay Biat Beng?" Ia tertawa seorang diri, ia jalan terus.

Hari waktu itu sangat panas, In Tiong merasa sangat berdahaga, tenggorokannya kering. Ia hanya merasa aneh, kenapa tempat itu tidak seperti kebanyakan tempat di Kanglam — umpamanya Souwtjioe dan Hangtjioe — di mana banyak kedapatan warung teh atau arak. Sekarang, dia telah melintasi dua petak sawah di kiri dan kanannya, tapi tak tampak olehnya orang membajak sawah, di situ tidak ada warung teh atau arak.

"Mungkinkah Tamtay Tjoen ini tidak ada penduduknya?" akhirnya In Tiong tanya dirinya sendiri.

Ia menengok kesana kesini, ia jalankan kudanya terus. Ia rasakan lehernya semakin kering. Syukur baginya, akhirnya ia tampak juga sebuah warung teh model paseban dan penjualnya adalah seorang wanita tua. Baharu sekarang ia bisa tertawa.

"Begitu jauh aku berjalan, baharu sekarang aku dapatkan tempat untuk minum teh," kata dia seorang diri. "Syukur tidak semua tempat di daerah ini ada semacam dusun ini,kalau tidak, boleh aku anggap bahwa aku tengah membuat perjalanan di padang pasir.....”

In Tiong tambat kudannya, ia memasuki paseban.

"Ada tamu! Anak Beng, tuangkan teh!" kata si nyonya tua, yang dengan manis menyambut tetamunya.

Dari ruang dalam lantas muncul satu bocah wanita umur kira-kira empat atau lima belas tahun, ia membawa tehkoan serta cangkirnya, terus ia tuangkan teh hijau ke dalam cangkir itu, yang disuguhkan kepada tetamu nya itu.

Anak dara itu berpakaian kain kasar akan tetapi dia mempunyai kulit halus.

"Memang Kanglam indah tanahnya, sekalipun penduduk desanya tak sembarang," pikir In Tiong.

Oleh karena iseng, In Tiong ajak si nyonya tua bicara, ia tanyakan she-nya.
"Kami di sini satu desa, semua penduduknya she Tamtay," sahut orang tua itu. "Untuk aku, cukup kau memanggilnya Tamtay Toanio."

Selagi dua orang ini bicara, satu penunggang kuda lewat di depan paseban itu. Orang ini beroman kasar. Tanpa turun dari kudanya, dia bertanya dengan suaranya yang kaku:
"Eh, orang tua, ingin aku bertanya, adakah kemarin seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih lewat di sini atau tidak?"

"Mahasiswa berkuda putih!" pikir In Tiong, yang menjadi kaget sendirinya. Tidak salah,orang mesti maksudkan Thio Tan Hong.

Nyonya tua itu membuka kedua matanya lebar-lebar.

"Aku tidak dengar nyata!" dia sahuti. Penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya.
"Aku tanya kau, adakah kau lihat seorang anak sekolah yang naik seekor kuda putih?"dia ulangi pertanyaannya, suaranya keras, seolah-olah menggetarkan genteng.

Nyonya itu membuka matanya dan mulutnya ternganga, tetapi ia bungkam.

Gusar penunggang kuda itu.

"Taruh kata kau tuli, tapi seharusnya kau dapat melihat!" dia berteriak. Dia bertindak masuk ke dalam paseban, agaknya dia hendak menjambret si nyonya tua.

In Tiong heran. Tidak dapat ia biarkan kejadian kurang ajar itu di hadapannya, maka itu, sebelum tangan kasar si penunggang kuda mengenai si nyonya tua, ia mendahului melonjorkan tangannya sendiri, untuk mencegah. Ia kerahkan tenaga dalam Taylek Kimkong Tjioe, karena mana, hampir saja penunggang kuda itu terpelanting. Dia jadi kaget, dia mengawasi dengan tidak berani bertindak kasar terlebih jauh.

In Tiong pandang orang itu, ia tertawa. "Kalau mau bicara, bicaralah dengan baikbaik,untuk apa kau bergusar?" katanya. "Nyonya tua ini kupingnya kurang sempurna.....”

Sebenarnya nyonya itu tidak tuli, tadi pun ia dapat bicara seperti biasa dengan In Tiong. Si anak muda mengatakan demikian hanya untuk meredakan suasana.

Si nyonya tua tertawa mendengar perkataan orang itu.

"Kupingku ini aneh," kata dia. "Kalau suara terlalu keras, aku tidak dapat dengar,begitupun suara terlalu perlahan, aku tidak dapat dengar juga, hanya suara yang tidak keras dan tidak perlahan, baharu aku dapat dengar nyata. Tadi kau menanyakan apa?Coba kau ulangi." Penunggang kuda itu kendalikan hawa amarahnya.

"Aku ingin menanya tentang seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih,"demikian ia ulangi pertanyaannya, "apakah dia telah lewat di sini?"

"Oh, mahasiswa penunggang kuda putih?" kata si orang tua. "Ya, benar! Kemarin ada seorang mahasiswa menunggang kuda putih, tepat pada waktu seperti ini telah lewat di sini. Dia malah telah meninggalkan pesan kepadaku, yaitu kalau ada orang yang menanyakan tentang dia, dia minta disampaikan undangannya pada orang itu untuk besok tengah hari pergi ke Souwtjioe guna membuat pertemuan di Koaywa Lim, dia akan
mengundang minum arak."

Begitu dengar jawaban itu, tanpa berkata suatu apa lagi, si penunggang kuda lari kepada kudanya, lalu lompat naik ke bebokongnya, untuk segera dikaburkan.

Si nyonya tua mengawasi sambil tertawa dingin. "Anak Beng, kau catat!" dia berkata. Nona muda tadi, yang duduk di satu pojok sambil menyulam, menyahuti: "Sudah dicatat!"
Terus dia balik sulamannya, maka di situ terlihat sulaman dari tujuh tangkai bunga merah,ada yang benar, ada yang kecil. Ia pun menambahkan: "Inilah yang ke tujuh!"

In Tiong berdiam, ia merasa heran. Ia duga nyonya tua dan si nona muda itu bukan sembarang orang. Tapi ia tidak takut, ia percaya akan kepandaiannya sendiri. Maka itu, ia pun tidak ambil mumat pantangan kaum kangouw untuk jangan lancang mencampuri utusan lain orang.

"Siapakah mahasiswa penunggang kuda putih itu?" demikian ia tanya. "Dan di manakah letak Koaywa Lim?"

Nyonya tua itu pandang tetamunya, ia tertawa.

"Tuan, kau seorang baik, aku suka memberi keterangan padamu," ia jawab. Koaywa Lim letaknya di dalam kota Souwtjioe, itu adalah tempat untuk menghamburkan uang.Katanya dahulu, pada masa Thio Soe Seng menjadi kaisar di Souwtjioe, di sana ia telah membangun satu istana peristirahatan. Kemudian, ketika Thio Soe Seng terbinasa dalam peperangan, Koaywa Lim disita pembesar negeri, sebab dipandang sebagai milik
pemberontak, lalu dijual. Sekarang ini pemilik dari Koaywa Lim itu adalah Kioetauw Saytjoe In Thian Sek si Singa Berkepala Sembilan, dia membuatnya menjadi taman yang besar, menjadi tempat pelesir dan judi, hingga dia mendapat untung besar terdiri dari uang tak halal, uang itu terus dipakai membeli sawah dan tanah, sampai dia membelinya ke-kecamatan Gouwkoan ini. Begitulah, tanah di dusun Tamtay Tjoen ini, dalam sepuluh bahagian, tujuh atau delapan bahagian telah menjadi kepunyaannya."

"Jikalau begitu, Kioetauw Saytjoe itu adalah okpa besar!" kata In Tiong. Dia menyebutnya "okpa," — "hartawan jagoan." "Bagaimana mengenai si mahasiswa berkuda putih? Apakah hubungannya dengan dia itu?"
"Nanti aku jelaskan," sahut si nyonya tua, yang suka berbicara dengan anak muda ini.

"Tempat di mana pasebanku ini berdiri adalah tanah miliknya Kioetauw Saytjoe, setiap bulannya dia pungut sewa sebanyak tiga tail enam tjhie. Mengenai sewa tanah itu, kami sudah berhutang tiga bulan. Kemarin Kioetauw Saytjoe mengirimkan dua guru silatnya,mereka ini memaksa hendak membawa anak Beng untuk dijadikan budak, katanya sebagai tanggungan dari hutang kami itu. Kebetulan tengah kita berbicara, si mahasiswa penunggang kuda putih itu lewat di sini, dia singgah, begitu dia ketahui duduknya perkara,dia lantas tolongi kami membayar hutang itu. Itu belum semua, dia juga telah menghajar kedua guru silat itu hingga mereka sungsang sumbel."

Si nona muda tiba-tiba campur bicara: "Tetapi, ibu, si mahasiswa itu tidak memukul orang itu! Sebaliknya kedua guru silat itu yang memukul padanya! Ah, sungguh menarik hati! Baharu saja kepalannya kedua guru silat itu mengenai tubuh si mahasiswa, lantas mereka menjerit kesakitan, sama sekali tidak terlihat si mahasiswa membalas menyerang, tahu-tahu kedua guru silat itu rubuh terguling-guling. Ketika kemudian mereka dapat merayap bangun, aku lihat kepalan mereka menjadi bengkak matang biru,sebesar mangkok! Tuan, kau tentu banyak pengalaman, luas pengetahuanmu, tahukah kau ilmu silat apa yang digunakan si mahasiswa itu?"

"Aku tidak tahu," jawab In Tiong, sekalipun ia tahu betul, si anak muda pasti telah menggunakan tipu silat Tjiamie sippattiat atau sebangsanya yang liehay.
"Kedua guru silat itu tidak berdaya, cuma mulutnya yang besar," kata si nyonya tua.
"Begitulah terhadap si mahasiswa berkuda putih itu, mereka menantang, katanya: Jikalau kau benar laki-laki, pergilah ke Koaywa Lim untuk menemui Kioetauw Saytjoe kami. Atas itu, si mahasiswa tertawa besar, sambil tertawa melenggak, dia jawab: Lagi dua hari, akan aku pergi menemui dia! Hendak aku lihat, bagaimana galaknya Kioetauw Saytjoe itu!"

In Tiong heran. Ia jadi berpikir: "Thio Tan Hong pergi ke Souwtjioe terang-terang untuk mencari harta benda leluhurnya, kenapa sekarang dia mencampuri urusan ini? Dia telah bertentangan dengan satu okpa besar, apa dia tidak kuatir rahasianya nanti terbuka? Jikalau dia hendak berbuat baik, sudah cukup bila dia menghajar kedua guru silat itu dan menolong melunaskan hutang sewa tanah nyonya tua ini dan anaknya. Di kolong langit
ini, bangsa okpa sangat banyak dan tak akan habis dengan dihajar saja..... Bukankah dia mempunyai urusan sangat penting, cara bagaimana dia dapat dengan gampang berlaku usilan?"

Berpikir sampai di situ, In Tiong tetap tidak mengerti. Ia ingat, Thio Tan Hong itu cerdik sekali, tindak tanduknya senantiasa secara rahasia, yang mengandung maksud dalam dan sukar diduga-duga.

Si nyonya tua belum bercerita habis, maka itu dia menambahkan: "Mahasiswa penunggang kuda putih itu, setelah menghajar kedua guru silat hingga mereka itu kabur pergi, sudah lantas berkata kepadaku: pergi kau beritahukan semua orang lelaki di desamu ini, titahkan mereka untuk pergi ke Koaywa Lim guna menyaksikan keramaian, di sana aku mempunyai uang untuk dibagi-bagikan kepada mereka. Tuan, kau tentu tidak menghendaki uangnya itu, sebaliknya, kau tentu sudi menonton keramaian, bukan?"

In Tiong manggut.

"Sudah lama aku dengar perihal keindahan taman-taman di Souwtjioe," ia menyahut,"kebetulan akan ada keramaian, sudah pasti aku suka pergi ke sana!"

Habis berkata, ia membayar tehnya sambil melirik kepada si nona muda, maka terlihatlah olehnya, nona itu sudah menyulam bunga merah yang ke delapan!.

In Tiong kaburkan kudanya, yang dapat lari keras, sebelum matahari terbenam, dia sudah sampai di Souwtjioe. Yang pertama ia lihat adalah jalan besar yang lantainya berbatu besar kecil dan berwarna belang, yang teratur rata dan rapih, sedang rumah-rumah nampaknya indah, umumnya berbeda daripada yang biasa terlihat di lain-lain kota.Juga terdapat banyak pohon-pohonan, umpamanya pohon-pohon gouwtong dan yanglioe,yang muncul keluar dari tembok-tembok pekarangan. Rumahnya di mana-mana terdapat taman. Jadi Souwtjioe beda jauh sekali daripada gurun pasir. Diam-diam ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Benarlah perkataan, Sang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang!....." "Siang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang" berarti: "Di atas langit ada sorga, di muka bumi ada kota-kota Souwtjioe dan Hangtjioe."

Berhubung dengan tugasnya, In Tiong lantas pergi ke kantor soenboe. Ia minta keterangan tentang tujuh pahlawan dari kota raja, yang diperbantukan kepadanya. Ia dapat kenyataan, belum satu dari ke tujuh orang itu yang tiba. Tapi ia mesti menjalankan tugas, tanpa pembantu, ia suka lantas bekerja. Bukankah ia telah mendengar halnya Thio Tan Hong, ke mana tujuan si mahasiswa berkuda putih itu? Begitulah, malam itu ia
beristirahat, lalu besok paginya, dengan dandan sebagai rakyat jelata, ia menuju ke Koaywa Lim, taman penglipur.

Koaywa Lim terletak di luar kota Souwtjioe sebelah utara. Itu adalah satu taman yang luas. Begitu sampai di pintu, orang dapatkan lorong yang panjang, yang banyak tikungannya, sedang di kedua belah temboknya, terdapat banyak sekali tulisan-tulisan jaman dulu. Rupanya pemilik taman tak tahu cara melindungi huruf-huruf itu, waktu itu banyak huruf yang telah gugur dan tampaknya tak tegas lagi. In Tiong tidak mengenal
tulisan-tulisan bagus itu tetapi ia menyayangi, ia menghela napas. Setelah melewati lorong, di kiri dan kanan lantas tampak pelbagai macam pohon, pohon kayu dan bunga,bambu dan tumpukan-tumpukan batu, yang merupakan gunung buatan, ada selatnya,empang teratai dan pasebannya, yang semuanya indah. Yang disayangi ialah di manamana dalam taman itu terdapat tempat-tempat perjudian, ada banyak pelancongnya,
hingga di situ berisik dengan teriakan-teriakan mereka itu. Tentu saja, suasana itu tak tepat dengan keindahan taman.

Diam-diam In Tiong memasang mata. Dengan lantas ia dapat kenyataan, di mana-mana terdapat orang-orang sebagai si tukang pukul, yaitu gundal-gundal. Rupa-rupanya Kioetauw Saytjoe sudah bersedia-sedia untuk menyambut tantangan si mahasiswa berkuda putih, karenanya dia telah menyiapkan orang-orangnya itu. Dengan sikapnya sebagai pelancong biasa, In Tiong cari satu tempat di mana ia dapat memperhatikan sesuatu sambil duduk beristirahat, akan tetapi, sampai lewat tengah hari,ia masih belum tampak Thio Tan Hong muncul.

Mungkinkah, karena sesuatu hal, Tan Hong mengadakan perubahan dengan mendadak,hingga ia tak datang hari ini?" ia menerka-nerka. Justeru ia tengah menduga-duga, apa yang menjadi sebab hingga Tan Hong gagal
menetapi janji, tiba-tiba kelihatan serombongan orang mendatangi dengan suara yang berisik. Yang menjadi kepala adalah seorang berumur lima puluh tahun, yang mukanya berewokan.

"Kioetauw Saytjoe, hari ini aku datang untuk bertaruh denganmu, untuk main, guna melewatkan waktu yang terluang!" begitu terdengar suaranya yang besar dan nyaring.

Sejenak saja, taman menjadi sunyi, semua orang berhenti berjudi. In Tiong lantas dengar beberapa orang bicara berbisik. Antaranya ia dengar nyata: "Liong pangtjoe dari Hay liong Pay telah tiba. Teranglah dia mempunyai maksud untuk merubuhkan panggung Kioetauw Saytjoe. Maka lantas juga kita akan menyaksikan keramaian!.....”

In Tiong menjadi heran. Inilah di luar dugaannya. Dia muncul di situ untuk menantikan Thio Tan Hong, siapa tahu sekarang telah datang Liong Pangtjoe, Ketua Liong atau Naga,dari Hayliong Pang atau Kawanan Naga Laut. Dari pendengaran terlebih jauh, ia percaya Hayliong Pang Pangtjoe itu mesti ada salah satu okpa dari kota Souwtjioe.

Dari sebelah depan, menghadapi rombongan Hayliong Pang itu, dari antara rombongan orang banyak, yang lantas membuka jalan, kelihatan muncul satu orang yang tubuhnya kasar, alisnya tebal, matanya besar. Dia mengenakan thungsha, baju panjang, yang dilapis dengan makwa, semacam rompi, atau baju pendek tanpa tangan. Dia unjuk sikap sebagai satu anak sekolah, yang lemah lembut, tetapi dandanannya tak tepat dengan
romannya dan lagaknya. Ia pun diiringi tujuh atau delapan boesoe, guru silat. Ia maju nmnghampiri Liong Pangtjoe, terus dia angkat kedua tangannya, lalu dirangkapkan, untuk memberi hormat.

"Liong Pangtjoe, hari ini angin apa telah meniup kau sampai di sini?" dia tanya. Dia mencoba bersikap ramah tamah. "Silakan duduk, silakan duduk! Mari kita minum teh! —Eh, anak-anak, lekas kamu perintahkan supaya lekas disajikan beberapa rupa kuwe!"

Orang telah bersikap manis tetapi si Liong Pangtjoe, dengan roman keren, membawa sikap dingin.
"Kioetauw Saytjoe, hari ini aku ketagihan," demikian jawabnya, "maka itu sengaja aku datang kemari, untuk bertaruh denganmu! Untuk minum teh, jangan kau kesusu, marilah kita bertaruh dahulu!" '

Nampaknya Kioetauw Saytjoe In Thian Sek agak jeri terhadap Ketua dari Hayliong Pang itu, dia diperlakukan demikian kasar dan dingin, masih dia bisa tertawa manis.

"Kita berdua bersahabat, untuk apa kita membuat renggang persahabatan itu?" berkata ia, dengan sabar. "Kau hendak menitahkan apa? Titahkanlah asal saja yang adikmu sanggup kerjakan!"

Ketua Hayliong Pang itu kembali tertawa dingin.

"Lao In, siapa yang membuka rumah makan, mustahil dia jeri terhadap perut besar dari tetamu-tetamunya?" begitu dia menjawab. "Kau telah membuka rumah judi, mana dapat kau tolak aku yang telah datang untuk turut adu peruntungan? Apakah kau kuatirkan aku tidak punya uang? Kau tanyakan padaku, apa yang aku hendak titahkan padamu! Nah,aku menghendaki kau berjudi dengan aku! Kau sanggup melakukan ini, bukan?"

Habislah kesabaran dari In Thian Sek, mukanya menjadi pucat. Maka berkatalah ia: "Setiap orang ada mukanya, setiap pohon ada kulitnya, karena kau telah mendesak aku di muka orang ramai ini, tidak ada jalan lain, terpaksa aku temani kau! Baiklah! Kau hendak bertaruh apa?"

"Main dadu paling menyenangkan!" sahut Liong Pangtjoe. "Kita lempar dadu! — Eh,Lao Kwee, tanganmu dingin, mari kau wakilkan aku melemparnya! — Dan kau, Lao In,apakah kau hendak melemparkan sendiri atau diwakilkan oleh guru besarmu?"

Setelah mengucap demikian, dari rombongan Hayliong Pang muncul satu orang tua kurus kering yang romannya tak luar biasa, sambil membuka kopiah kulitnya, dia berkata kepada In Thian Sek: "Aku Kwee Hong, toako, terimalah hormatku!"

Selama dia belum membuka kopiahnya, orang tua itu memang beroman biasa, akan tetapi setelah kepalanya tak bertutup lagi, dia membuatnya semua orang heran. Nyata dia mempunyai rambut yang semuanya berwarna merah, rambut itu kusut seperti awan,numpuk di batok kepalanya.

In Tiong malah terkejut, karena ia kenali orang tua itu.

"Ah, kiranya dia adalah Anghoat Vauwliong Kwee Hong!" kata dia dalam hatinya. Dia pun heran. "Kenapa dia datang kemari?"

Kwee Hong adalah pahlawan dorna kebiri Ong Tjin, dalam seluruh tahun, dia keram diri di dalam gedung Soelee Thaykam she Ong itu, karena tugasnya adalah melindungi diri si thaykam. Jarang sekali dia pergi ke mana-mana, maka itu jangan kata orang kangouw jarang mengetahui dia, malah pahlawan atau guru-guru silat di kota raja sendiri, tak banyak yang pernah melihat dia. Keistimewaannya adalah rambutnya yang merah itu. In
Tiong juga belum pernah melihat Kwee Hong, ia hanya pernah mendengar dari Thio Hong Hoe, baharu sekarang, ia melihat untuk pertama kalinya, sesudah orang perkenalkan diri sambil membuka kopiahnya. Oleh karena rambutnya juga, Kwee Hong telah memakai julukan itu, Anghoat Yauwliong, si Naga Siluman Rambut Merah.

"Inilah aneh," In Tiong berpikir pula. "Ong Tjin telah menjadi hartawan, kenapa dia utus pahlawannya datang kemari untuk dengan satu okpa merebut sebuah taman? Dan Kwee Hong sendiri, karena kedudukannya sebagai pahlawan dorna, tidak sepantasnya dia menjadi kawan atau pembantu seorang pangtjoe. Benar-benar aneh!" Sementara itu,Kioetauw Saytjoe In Thian Sek telah menjawab Liong Pangtjoe.
"Oh, Kwee Soehoe yang mewakilkan kau?" katanya. "Baiklah, aku tidak akan memakai wakil, aku akan turun tangan sendiri."

Liong Pangtjoe itu lantas saja tertawa terbahak-bahak.

"Bagus!" serunya. Di sini ada cek seharga sepuluh laksa tail, inilah cek dari bank besar.Kau lihat biar tegas! Dengan satu dadu, aku bertaruh sepuluh laksa tail perak!"
"Ditanganku tidak ada uang demikian banyak," berkata In Thian Sek.
Liong Pangtjoe tertawa pula, sampai dia melenggakkan kepalanya.
"Apakah kau sangka aku tidak tahu tentang kekayaanmu?" dia kata. "Sawah, kebun dan toko-tokomu berharga empat puluh laksa tail, dan taman Koaywa Lim ini juga berharga empat puluh laksa tail, jadi dengan begitu, kau mempunyai pokok berjudi delapan puluh laksa tail! Maka itu, janganlah kau kuatirkan suatu apa.....”

In Thian Sek menjadi mendongkol. Tapi ia tertawa bergelak.

"Oh, kiranya kau memikir untuk memiliki Koaywa Lim ini?" dia kata.
"Ah, jangan kau mengatakan demikian. Apa benar, sebelumnya kalah, kau sudah jeri?"tanya Liong Pangtjoe.
"Aku kuatir kau tak akan berhasil dengan maksudmu," In Thian Sek baliki. "Baiklah! Silakan periksa dulu dadunya."

Kwee Hong lantas periksa dadu itu.

"Kwee Toako, dadu itu tidak palsu bukan?" Liong Pangtjoe tanya kawannya.
Kwee Hong tidak menyahuti, dia hanya angsurkan dadu kepada In Thian Sek.
"Kioetauw Saytjoe, kau adalah tuan rumah, silakan kau yang mulai!" kata ia.

In Thian Sek sambuti biji-biji dadu itu, segera saja ia lemparkan sambil berseru: "Satu" Lantas enam biji dadu itu berputaran di dalam mangkok yang besar dan cekung. Dan menyusul itu, seorang membuka suaranya: "Dua, enam! satu, empat! Enam belas! Toa"

Dalam perjudian dadu itu, angka terbesar adalah delapan belas, maka itu, untuk mendapatkan biji enam belas pun sukar, meski demikian, In Thian Sek telah menyeka keringat dingin ketika ia kata kepada lawannya:
"Nah, orang she Kwee, kau susullah aku!"

Orang tua berambut merah itu bersenyum, dengan sikap sangat tenang, dia raup semua biji dadu itu, kemudian dengan lekas dia gerakkan jeriji-jeriji tangannya, lalu dilemparkan.

Segera tukang tunggu biji pun berseru: "Dua, enam! satu, lima! Tujuh belas! Toa\"
Dengan mengatakan "Toa," bandar maksudkan angka besar.

Paras Kioetauw Saytjoe menjadi pucat.

"Ha, ada saitannya!" dia berseru. "Mari, lagi satu kali!"
"Baik!" sambut si orang tua rambut merah. "Kali ini kita bertaruh dua puluh laksa tail!"
Tangan Thian Sek berkeringatan, suaranyapun agak gemetar ketika ia berteriak:
"It sek" Berbareng dengan itu, biji-biji dadu pun telah dilemparkan.
Bandar lantas perdengarkan suaranya seperti biasa: "Dua, enam, satu lima! Bagus! Kembali tujuh belas!"
Mendapat angka tujuh belas berarti kemenangan hampir pasti, maka itu kali ini In Thian Sek tampak bersenyum.

Seperti lagaknya tadi, si orang tua tidak mengatakan sesuatu, dengan tenang ia raup gambar biji-biji dadu itu, untuk segera dilemparkan, nampaknya ia seperti acuh tak acuh.

Para hadirin segera berubah parasnya. Bandar pun berteriak: "Tiga merah, empat! Itsek"
Itsek itu, satu warna, apapula warna merah, adalah angka paling besar.

Si orang tua berambut merah tertawa, dia kata dengan sabar: "Kau memanggilnya, dia tidak datang! Aku tidak memanggil, dia justeru datang! Nah, mari kita main terus! Kali ini tarohannya empat puluh laksa tail!"

In Thian Sek menyeringai, tapi ia terima tantangan itu. Merah urat-urat di dahinya.
"Sekarang, kau yang melempar lebih dulu!" dia kata.
"Baik!" sahut si orang tua muka merah itu. "Akan aku melempar lebih dahulu!"
Kali ini Kwee Hong raup biji-biji itu untuk digenggam dengan kedua tangannya, ketika hendak dilemparkan, tangannya digoyang-goyangkan dulu.

Begitu lekas biji-biji itu berhenti berputaran di dalam mangkok, suasana di sekitarnya menjadi sunyi senyap. Parasnya In Thian Sek pun menjadi pucat.

Hanya berselang sejenak, bandar perdengarkan suaranya: "Tiga kali enam! Delapan belas, merangkap itsek!. Thongsat!."

Kalau itsek hanya serupa warna saja, untuk berbagai macam angka, adalah itsek dengan angka delapan belas, merupakan batas tertinggi, dengan begitu permainan tak dapat dilanjutkan, karena angka itu tidak dapat disusul lagi. "Toa" adalah besar, tetapi "thongsat" adalah terbesar, habis semua.

Setelah kesunyian, lalu timbul kegemparan, suara orang ramai menjadi berisik. Semua orang menjadi heran dan kagum terhadap si orang tua rambut merah itu. Kenapa tangannya orang tua ini demikian "soen," begitu mujur!

Adalah In Tiong seorang, yang melihat gerakan tangannya Kwee Hong yang mengetahui sebab-sebabnya kemenangan Anghoat Yauwliong. Kalau dalam melepaskan senjata rahasia seorang ahli dapat merdeka mengarah ke mana dia suka, begitu juga dalam hal melemparkan biji-biji dadu. Kwee Hong rupanya seorang ahli, maka ia dapat menguasai biji-biji itu.

In Thian Sok tak dapat melihat rahasia kepandaian Kwee Hong itu, karena ia adalah seorang kangouw kenamaan, ia terima kekalahan itu, maka, dengan hati seperti disayat-sayat, dengan meringis, dia kata kepada lawannya: "Baiklah, orang she Liong,Koaywa Lim ini menjadi milikmu!.....”

"Pokokmu sama sekali delapan puluh laksa tail," berkata Liong Pangtjoe, "sekarang kau kalah tujuh puluh, masih ada kelebihannya sepuluh laksa, dengan begitu kau masih dapat kembali sepuluh laksa tail itu, katakanlah, kau kehendaki sawah, kebun atau uang kontan? Orang she In, dengan punyakan sepuluh laksa tail, kau masih terhitung orang hartawan juga. Kau lihat, aku tidak berlaku kejam, masih aku pandang padamu!"
"Sudahlah, jangan bicara terlalu banyak!" si orang tua berambut merah menyelak.
"Sekarang aku berikan ketika, yaitu sebelumnya matahari terbenam, kamu sudah mesti pindah dari Koaywa Lim ini!"
Kembali muka Thian Sek menjadi pucat. Nyata sudah bahwa ia telah diusir. Akan tetapi,sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar satu suara tertawa tegas,disusul dengan kata-katanya orang yang barusan tertawa itu: "Tunggu dulu. Aku juga hendak turut bertaruh!"

In Tiong segera menoleh, lalu di depan matanya berkelebat Thio Tan Hong dengan pakaian serba putih. Tan Hong itu segera muncul dari antara rombongan orang banyak.

Dengan sendirinya In Tiong menyesal karena ia lupa, saking tertarik pada permainan dadu, ia sampai lengah memperhatikan pemuda yang ia mesti cari itu. Entah sejak kapan pemuda itu telah berada di antara mereka.

Kioetauw Saytjoe In Thian Sek membuka dengan lebar kedua matanya ketika ia menoleh kepada anak muda itu, karena dari orang-orangnya ia dapat melukiskan roman orang dan potongannya, maka tahulah ia, dia ini adalah si mahasiswa berkuda putih yang telah perhina kedua guru silatnya. Tapi ia baharu saja kalah berjudi, sekarang pemuda ini hendak menggantikan tempatnya, ia mencoba menguasai dirinya. Ingin ia ketahui, apa
yang orang akan perbuat. Maka itu ia berdiri diam di tempatnya, untuk jadi penonton saja.

Thio Tan Hong dandan dengan perlente, lagaknya sebagai satu pemuda hartawan atau anak orang agung, begitu ia sampai di Souwtjioe, segera ia menjadi perhatiannya kawanan Hayliong Pang, segera juga beberapa orang Hayliong Pang itu menguntit ia hingga di hotel. Karena liehaynya, Tan Hong tahu bahwa ia telah dikuntit orang, ia lalu sengaja bersikap berpura-pura tak mengetahuinya, sengaja ia keluarkan barang-barang permata yang ia bekal, ia seperti pertontonkan itu.

Beberapa orang Hayliong Pang itu terdiri dari orang-orang berpengalaman, mereka jadi curiga, karenanya, tidak berani mereka lancang turun tangan, mereka lantas kembali untuk memberi laporan kepada ketua mereka.

Pada waktu itu, Liong Pangtjoe telah ber-keputusan akan memiliki Koaaywa Lim, untuk bertindak, ia tunda dulu hal si anak muda asing ini, yang ia ingin ketahui jelas asalusulnya,maka tidak ia sangka, baharu ia selesai berurusan dengan In Thian Sek, si anak muda justeru muncul di antara mereka, malah dia ditantang bertaruh.

Anghoat Yauwliong lirik anak muda ini.

"Kau hendak bertaruh berapa banyak?" dia tanya. Dia tidak tunggu lagi putusan ketuanya.
"Kau sendiri, mempunyai pokok berapa?" Tan Hong balik tanya. Ia menanya sambil tertawa, sikapnya wajar, tenang.

Liong Pangtjoe mendahului orang memberikan jawaban.

"Pokokku adalah benda miliknya Tuan In ini!" ia jawab sambil tertawa dingin.
"Oh, kalau begitu!" kata Tan Hong sabar, "berikut uang kontanmu sepuluh laksa tail,semua cuma terdiri dari sembilan puluh laksa! Baiklah, untuk iseng-iseng, guna melewatkan waktu senggang, suka aku bertaruh dengan kau!"
"Untuk permulaan, berapa kau hendak bertaruh?" tanya si orang tua rambut merah.

Tampaknya si Naga Siluman Rambut Merah tidak sabaran.

Tan Hong bersenyum, dari sakunya ia keluarkan serenceng mutiara, bentuk mutiara itu bundar-bundar dan besar-besar, semuanya bercahaya, maka teranglah sudah, semua mutiara itu tulen dan indah, mahal harganya. Pada renceng itu pun dibandulkan sebuah permata lain, yang sinarnya hijau mengkilap dan membuatnya silau siapa yang memandangnya.

"Uang tarohanku adalah mutiara dan permata ini," kata Tan Hong sambil tunjukkan barang berharga itu. "Coba kamu taksir sendiri harganya ini!" Liong Pangtjoe sambuti rencengan mutiara berikut batu permata itu, ia memeriksanya dengan teliti.
"Kita di sini biasa bertaruh secara pantas," ia berkata kemudian. "Mutiaramu ini ada seratus biji, setiap bijinya sama besarnya, tidak ada cacatnya, inilah mutiara yang sukar dicari timpalannya. Menurut taksiran, setiap biji mutiara ini berharga seribu lima ratus tail perak, tetapi karena ada seratus biji, harganya mesti dinaikkan sedikit. Aku hitung untuk dua puluh laksa tail!"
"Ah, kau tahu juga harga barang!" kata Tan Hong. "Bagaimana dengan batu permatanya?"
"Batu hijau ini jarang didapatkan," sahut Liong Pangtjoe, "tentang permata ini, tidak dapat aku menaksirnya. Bagaimana kalau sepuluh laksa tail?"
"Sebenarnya buat sepuluh laksa tail masih kurang sedikit," kata Tan Hong. "Akan tetapi kita hendak bertaruh, baiklah, aku tidak hendak memberi harga terlalu tinggi. Kau hitung semua tiga puluh laksa tail, akur! Mari dengan tiga puluh laksa tail kita bertaruh untuk satu kali lempar!"

Kecocokan telah didapat, maka orang hendak lantas mulai. Bandar sudah lantas keluarkan dadu yang baru. Tan Hong menangkan undian.

"Kalau aku yang melempar terlebih dahulu, lantas aku dapat itsek atau angka delapan belas, kau lantas tidak punya ketika untuk melempar lagi," berkata Tan Hong. "Tidak ingin aku menang secara begitu rupa, sebab kalau kau kalah, kau jadi tidak puas, kau penasaran. Nah, kau boleh melempar lebih dahulu!"

In Tiong telah memasang kupingnya, ia menjadi heran.

"Ilmu melepas senjata rahasia dari Tan Hong sukar tandingannya di dalam dunia ini," ia berpikir, "kalau dia yang melempar lebih dulu, sudah pasti dia yang bakal menang. Sekarang dia suka mengalah dari Anghoat Yauwliong, ada kemungkinan dia nanti kalah.....”

Si orang tua rambut merah tidak berlaku sungkan, dia terima baik usul itu. Dia pun lantas raup biji-biji dadu itu. Dia rasakan biji-biji itu terlebih enteng, tetapi dia tidak pedulikan itu. Dia raup dengan kedua tangannya, terus saja dia lemparkan.

Cepat sekali dalam mangkok terlihat tiga biji berhenti bergerak, ketiga-tiganya menunjukkan angka enam dan tiga biji lainnya masih berputaran. Dengan kedua matanya si orang tua rambut merah mengawasi tajam kepada ketiga biji itu. Sebentar kemudian,dua biji pun tak berputaran lagi. Juga kedua biji ini menunjukkan, angka enam!

Pada paras si orang tua lantas tersungging senyuman.

Hebat biji yang ke enam itu, yang membuat hati semua orang tegang. Dialah yang berputar paling lama. Pada saat dia hendak berhenti, dia perlihatkan angka enam, tetapi tiba-tiba, dia berputar satu kali lagi dan berhenti menjadi angka lima! "Dua enam, satu lima !" teriak bandar. "Tujuh belas. Toal"

Adalah keinginan si orang tua rambut merah akan mendapatkan semua biji angka enam, supaya itsek, serupa warnanya, tetapi angka tujuh belas pun sukar didapat, ia terpaksa mesti merasa puas.
"Tujuh belas ya tujuh belas, tidak apa," kata dia, menghibur diri. "Sekarang kau susullah!" ia tambahkan kepada lawannya.

Thio Tan Hong raup biji dadu itu.

"Tujuh belas sukar untuk disusul!" kata dia. Ia angkat kepalanya, akan memandang ke langit. Ia tidak lantas mulai. Suasana menjadi sunyi, sebab semua perhatian tertarik padanya.
"Sekarang aku mulai!" kata dia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa perhatian, dia lempar biji ke dalam mangkok.

Semua orang menjadi tegang, tak terkecuali si orang tua berambut merah. Dia malah pentang lebar kedua matanya!

Begitu lekas biji-biji dadu itu berhenti berputaran dan terletak diam, segera terdengar suara si bandar: "Sepasang empat! Dua lima! Lagi sepasang enam! Sie Gouw Lak Tjoansat."

Sie gouw lak — dua empat, dua lima dan dua enam — itu artinya "tjoansat" —"kemenangan penuh." Semua orang heran, kecuali In Tiong. Orang heran, sudah si orang tua rambut merah demikian mujur, sekarang ada Tan Hong yang sangat beruntung.

Kwee Hong mendelong, ia heran bukan main. Ia mempunyai ilmu Tokliong tjiang, yaitu "Tangan Naga Beracun," dirangkap dengan kepandaian Tokliong teng, ilmu melepaskan senjata rahasia "Paku Naga Beracun." Itulah kepandaian yang membuatnya ia peroleh julukan Anghoat Yauwliong si Naga Siluman Rambut Merah. Itu juga kepandaian yang membikin ia dapat permainkan biji-biji dadu sesukanya, hingga ia peroleh kemenangan atas In Thian Sek, hingga Hayliong Pang dapat menduduki Koaywa Lim.

Tapi kali ini, ia rubuh ditangannya Thio Tan Hong, orang yang ia tidak kenal. Tentu saja ia tidak ketahui,selagi Tan Hong raup semua biji, biji-biji itu sudah lantas digenggam begitu rupa.

Atas kemenangan itu, Tan Hong perlihatkan roman biasa saja. Dengan tenang, dia kata: "Berikut kemenangan ini, pokokku sekarang berjumlah enam puluh laksa tail. Nah,semua itu aku pakai untuk bertaruh pula!"

Si orang tua berambut merah cuma bersangsi sebentar, atau lantas ia berikan penyahutannya: "Baik, akan aku lawan kau satu kali lagi! Sekarang kaulah yang melempar terlebih dahulu!"

Mendengar sambutan itu, In Tong menjadi heran. Ia herankan si orang tua. Ia pikir,setelah kekalahannya itu, apa benar orang tua ini tak menginsiafi sebabnya? Kalau dia insiaf artinya dia tahu, kenapa sekarang dia berani melawan pula dengan suruh Tan Hong yang melemparkannya lebih dulu ?.

Tan Hong tertawa yang dia disuruh melempar lebih dahulu.
"Kau suruh aku yang melemparkan lebih dahulu, baik!" ia kata. "Aku harap kau tidak menyesal di belakang!"

Ia lantas raup ke enam biji dadu itu, lalu dilemparkan pula seperti tadi, tanpa aksi,tanpa memperhatikan pula. Lantas ke enam biji itu berputaran.

Si orang tua rambut merah mengawasi semua biji itu, tiba-tiba ia berseru: "Satu" Hampir pada waktu yang sama, ke enam biji itu berhenti berputar.Bandar pun segera berseru: "Sepasang dua, satu satu! lima!"

Si orang tua lantas tertawa.
"Kiranya lima yang bau!" kata dia.
Untuk permainan dadu itu, angka terbesar adalah delapan belas, yang terkecil ialah empat, sekarang Tan Hong dapat angka lima, itu sudah berarti kekalahan pasti. Tetapi In Tiong ketahui sebab-musababnya angka itu. Kwee Hong telah menggunakan ilmu hembusan napasnya "Toanseng tjinboet," yaitu "Dengan suara menggempur barang."

"Ah, kali ini Tan Hong mesti kalah," kata ia dalam hatinya. Ia tidak bisa campur mulut kendati ia tahu orang main curang. Di tempat main dadu, orang tidak dilarang untuk berseru-seru.

Sekarang datang giliran si orang tua rambut merah. Tampaknya ia sangat gembira.

Dengan sebat ia raup biji dadu itu, terus ia lemparkan, hingga mangkok itu perdengarkan suara nyaring.
Selagi biji berputaran, Tan Hong mengawasi sambil tertawa berkakakan.
Bandar pun segera menyebutkan angka-angkanya: "Sepasang satu, satu dua! Empat! Empat!" Ketika ia ulangi "Empat" itu, suaranya gemetar, suatu tanda ia kaget sekali.

Tan Hong kembali tertawa besar.

"Ha, kiranya empat busuk!" dia berkata. Muka si orang tua menjadi putih bagaikan lilin,kekalahannya ini berarti ia pun kalah dalam hal ilmu melepaskan senjata rahasia.

Tan Hong jetrikan dua jari tangannya, dia tertawa.

"Seluruh kekalahanmu berjumlah sembilan puluh laksa tail!" dia kata. "Kau telah menghabiskan pokokmu, cek, tanah milik, berikut Koaywa Lim ini, sekarang menjadi kepunyaanku si orang she Thio!"

Dengan sekonyong-konyong saja Kioetauw Saytjoe In Thian Sek lompat bangun,sebelah tangannya menyambar, menjambak ke arah pundak Tan Hong.

"Hrn! Kau penipu! Kau berani merampas aku punya Koaywa Lim?" dia berteriak.
Tapi dia baharu berteriak atau segera dia menjerit "Aduh!" disusul dengan rubuhnya tubuh, menggeletak di tanah.

Thio Tan Hong tertawa sambil berseru: "Hai, kuku singa patah!"

Orang semua mengawasi In Thian Sek, mereka lihat ke lima jarinya si Singa Kepala Sembilan telah patah dan berdarah-darah, orangnya pun pingsan.

Menampak demikian, semua gundalnya Thian Sek lantas maju menyerang.

"Foei! Tidak tahu malu!" teriak Tan Hong. "Siapa suka berjudi, dia mesti terima kekalahan! Aku pun menangkan Koaywa Lim ini bukan dari tangannya si orang she In ini!"

Mulut Tan Hong bersuara, tubuhnya pun bergerak, diturut dengan gerakan kaki dan tangannya, yang lincah dan sebat, hingga di lain saat, semua gundal Kioetauw Saytjoe telah rubuh terguling.

Si orang tua berambut merah keluarkan sebelah tangannya secara tiba-tiba.
"Kioetauw Saytjoe, jangan kau bikin malu kaum kangouw1." dia berseru.

Teriakan itu terang ada bantuan untuk Tan Hong menegur Thian Sek, tapi di mulut lain,ditangan lain, tangan jahat Anghoat Yauwliong justeru bergerak ke arah si pemuda berpakaian putih.
Tan Hong sangat celi matanya, sangat cepat gerakannya, melihat tangan orang bergerak ke arahnya, ia mengibas dengan tangan bajunya, hingga tangan jahat itu,tangan Naga Beracun, nyasar dari sasarannya.

"Nah, itulah baharu kata-katanya satu laki-laki!" kata Tan Hong sambil tertawa. Ia tetap bawa sikap seperti tak tahu bahwa orang telah menyerang ia secara curang. Kemudian ia ambil air teh dingin, yang terus diirup, untuk disemburkan ke mukanya In Thian Sek,hingga di lain saat, orang she In itu telah sadar dari pingsannya.

Liong Pangtjoe lantas saja berkata: "Kioetauw Saytjoe, kali ini kita harus mengaku kalah! Baiklah kau pergi ke Hayliong Pang, untuk menjadi hiotjoe1. Kita lihat saja nanti,berapa lama dia dapat kuasai Koaywa Lim ini!"

Ketua dari Hayliong Pang ini juga satu ahli silat, mendapatkan Kwee Hong bukan tandingan orang, ia sengaja bawa sikap sebagai seorang kangouw sejati, yang akui kekalahan setelah kena dipecundangkan orang.

Tan Hong tidak pedulikan lagak orang, dia hanya kata kepada In Thian Sek: "Kioetauw Saytjoe sekarang kau keluarkan surat-surat tanah serta uang kontanmu!"

In Thian Sek tengah mengobati jari-jari tangannya, dia sedang nunduk.

"Akan aku turut perintahmu," ia menjawab.
"Kau harus bersikap hormat," Thio Tan Hong peringatkan. "Aku tahu berapa banyak tanahmu dan bandamu, maka jikalau kau main gila, meskipun kau mempunyai sepuluh kepala, semua kepala itu akan aku tebas kutung! Eh, siapakah di antara kamu yang suka mengangkut barang-barang?"

Dalam sekejap saja serombongan orang telah memajukan diri sambil bersurak.

Mereka nyata sebagian adalah penduduk Tamtay Tjoen, sebagian penduduk melarat dari kota Souwtjioe. Memang sejak siang-siang Tan Hong telah pesan mereka berkumpul di taman Koaywa Lim itu.

Tan Hong bertindak tegas. Ia bakar hangus semua surat-surat tanah Kioetauw Saytjoe,untuk menghabiskan semua hak si okpa, sedang uang kontan okpa itu, ia bagi-bagikan di antara semua penduduk itu. Sampai lohor baharulah ia selesai dengan pembagiannya itu.

Selama itu Kioetauw Saytjoe, Liong Pangtjoe dan Anghoat Yauwliong, berikut orangorangnya,karena malu, sudah ngeloyor pergi dengan diam-diam.

Habis mempesta pora harta orang, Thio Tan Hong tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia membungkuk, akan petik setangkai bunga teratai dari dalam empang, terus ia bersenanjung: "Telah dikembalikan asal tanahku, maka hari ini bunga teratai muncul dari dalam lumpur!..... Lalu, kalau tadi ia tertawa terbahak-bahak, sekarang mendadak ia mengucurkan air mata.

In Tiong mengawasi terus kelakuan orang, di dalam hatinya, ia kata: "Dia tentu telah menyaksikan yang usaha leluhurnya telah diilas-ilas orang, maka sekarang ia menjadi sangat terharu....."

Ketika itu oran g telah mulai bubar, maka In Tiong, yang kuatir dikenali Tan Hong,lekas-lekas juga angkat kaki. Ia kembali ke kantor soenboe. Kali ini ia dapatkan, dari tujuh pahlawan istana, dua baharu saja sampai. Mereka ternyata adalah kedua paman guru dari Taywee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe.
Selama pieboe, In Tiong telah merubuhkan Liok Thian Peng, keponakan murid dari dua pahlawan ini, karenanya, di antara kedua pihak terdapat ganjalan, akan tetapi sekarang mereka sama-sama ditugaskan kaisar, terpaksa mereka tidak berani timbulkan ganjalan itu. In Tiong tuturkan apa yang barusan ia saksikan di Koaywa Lim.

Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe adalah orang-orang kangouw berpengalaman,setelah mendengar penuturan In Tiong, keduanya saling memandang, lantas mereka kerutkan alis.

"Urusan nampaknya aneh," kata Liong Tjin Hong kemudian. Anghoat Yauwliong adalah tangan kanan Ong Tjin, kenapa dia bantui Hayliong Pang memperebutkan Koaywa Lim? .

Thio Tan Hong pandang emas bagaikan tanah, dia juga tak ketentuan tempat kediamannya, kenapa sekarang dia justeru menghendaki taman Koaywa Lim itu? Menurut keterangan kau, Koaywa Lim adalah bekas istana peristirahatan dari Thio Soe Seng, siapa tahu kalau harta dan peta Thio Soe Seng itu berada di dalam Koaywa Lim?"

In Tiong anggap dugaan itu masuk di akal. Pembicaraan mereka ini ditunda setelah diambil persetujuan untuk sebentar malam mencoba pergi ke Koaywa Lim, lantas mereka bersantap malam, habis bersantap, mereka beristirahat.

Di saat genta di loteng kota berbunyi tiga kali, mereka bertiga berdandan, mengenakan yaheng ie, pakaian untuk keluar malam, setelah mana, tanpa ayal lagi, mereka keluar dari kamar mereka, untuk segera menuju ke Koaywa Lim.

Setelah berpindah tangan, taman penglipur lara itu telah berubah rupa. Lenyaplah segala keramaian, gantinya adalah kesunyian. Memandang gunung-gunung dan lainlainnya,perasaan orang seolah-olah dibawa kepada ketenteraman, keindahan alam.

In Tiong, Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe sempurna ilmu enteng tubuhnya, dengan merdeka mereka dapat melompati tembok pekarangan, untuk masuk ke dalam taman secara diam-diam. Di saat mereka hendak memecah diri, untuk membuat penyelidikan,tiba-tiba mereka dengar suara orang yang datangnya dari arah timur. Mereka memberi tanda satu dengan lain, lantas dengan berindap-indap, mereka menuju ke timur.

Setelah datang dekat kepada suara itu, mereka lantas sembunyikan diri di belakang batu gunung-gunungan.

Masih suara itu terdengar.

"Mungkin Thio Tan Hong, si bocah, jeri terhadap kita," kata seorang di antaranya. "Dia baharu dengar kabar, lantas dia singkirkan diri!"
"Apakah mungkin dia telah peroleh hasil?" tanya yang lain.
Lalu terdengar suara yang ketiga: "Tepat dugaan Ong kongkong, maka syukur kita telah datang tidak terlambat." Yang belakangan ini adalah suara Anghoat Yauwliong Kwee Hong.

In Tiong terkejut.

"Benar saja mereka adalah orang-orangnya si dorna kebiri Ong Tjin," kata ia di dalam hati. "Thio Tan Hong datang ke Souwtjioe untuk mencari harta dan peta pendaman,kenapa wartanya telah tersiar di mana-mana?"
Sebentar saja In Tiong menduga demikian, lantas ia ingat sesuatu."Ong Tjin banyak kaki tangannya, dia bermata awas dan berkuping tajam, tentunya dia dapat ketahui yang aku telah di kirim raja kesini," demikian pikirnya pula.
"Menurut petunjuk gambar, tempat itu mesti di sini," terdengar pula suara Kwee Hong.Coba lihat, di sini ada bekas-bekas bongkaran, cuma batunya belum terbongkar. Mungkin karena bocah itu bersendirian saja, dia belum keburu membongkar hartanya, begitu dia dengar suara kita, lekas-lekas dia angkat kaki.....”

Menyusul kata-kata itu terdengarlah suara pacul dipakai menggali tanah dan suara besi membentur batu.

In Tiong gerakkan tubuhnya. Baharu pundaknya bergerak, atau ia telah ditekan Samhoa Kiam.
"Jangan kesusu," Samhoa Kiam berbisik. "Kita tunggu sampai mereka sudah selesai menggali, nanti kita datang tinggal mendahar saja!"

In Tiong masih mencoba mengintai di antara sela-sela batu. Di depan sebuah batu Thayouw tjio yang besar bagaikan harimau nongkrong, ia lihat kira-kira sepuluh orang tengah berdegingan membongkar batu. Tidak lama, lantas terdengar satu di antara orangorang itu berseru: "Ini dia, ini dia! Lihat lobang ini! Ah, masih ada menghalang sepotong batu pekgiok pay!"

Seorang yang lain mengangkat linggisnya, dia membongkar. Menyusul itu terdengar satu suara nyaring, banyak lelatu api meletik.

"Lekas minggir!" Kwee Hong berteriak.

Dari dalam liang menyambar keluar sejumlah panah api, lantas enam atau tujuh orang rubuh, muka mereka bermandikan darah hitam.

"Panah beracun yang liehay sekali!" Kwee Hong berseru pula. Ia berdiam. Ia tunggu sampai anak-anak panah melesat habis. Masih ia kuatir, maka ia ambil tameng, sambil menggunakan itu, untuk melindungi diri, ia maju kemuka liang. Ia melakukan pemeriksaan. Tiba-tiba ia berseru: "Kita ditipu si bocah!" demikian seruannya. "Hm!" Ia mundur beberapa tindak, melepaskan tamengnya, ia ganti itu dengan pacul. Keras ia memacul ke arah pekgiok pay, hingga batu penghalang itu dapat disingkirkan. Tapi ia kecele. Liang itu kosong.

Rombongan orang itu lantas mengutuk, dengan menggendol kawan-kawannya yang terluka, mereka lantas berlalu dari situ. Maka sebentar saja, tempat itu bersih dari mereka.

"Mari kita lihat!" Tiatpie Kimwan mengajak.

In Tiong dan Hian Leng Tjoe akur, mereka keluar dari tempat sembunyi, akan menghampiri liang bekas galian itu. In Tiong berlaku sangat hati-hati. Mendekati batu bekas bongkaran Kwee Hong itu, yang telah terbelah, mereka lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi:

"Manusia mati karena harta, burung mampus karena barang makanan! Tuan-tuan datang kemari, silakan tuan-tuan rasakan lezadnya panah beracun!" Di bawahnya ditambah lagi, bunyinya: "Pay batu ini didirikan oieh Kaisar kerajaan Tjioe,Thio Soe Seng."

In Tiong terkejut.

"Sungguh hebat!" pikirnya. "Thio Soe Seng telah menduga dari siang-siang bahwa ada orang yang akan membongkar harta simpanannya, maka itu ia telah memasang jebakan panah beracun ini."
Anehnya, liang itu dangkal, sedang menurut kabar yang tersiar, jumlah simpanan harta Thio Soe Seng itu banyak sekali, bertumpuk bagaikan bukit. Kalau benar, mana bisa harta itu disimpan dalam lobang seperti ini ?

Ketiga orang itu saling memandang. "Aku percaya Thio Tan Hong masih belum berhasil mendapatkan harta pendaman itu," Samhoa Kiam utarakan dugaannya.

"Bagaimana kau dapat menduga demikian?" tanya In Tiong.

"Pertama-tama lobang itu tidak mirip tempat menyimpan harta," Samhoa Kiam terangkan. "Thio Tan Hong pun berada di bawah pengawasan Kwee Hong dan Hayliong Pang, meski dia luar biasa, tidak nanti dia sanggup angkut harta itu. “

"Kata-katamu beralasan, soetee," kata Liong Tjin Hong, "hanya, kalau benar dia belum berhasil membongkar harta itu, kenapa dia tinggalkan Koaywa Lim ini? Mungkinkah harta sebenarnya tidak dipendam di sini?"

Selagi kedua orang itu bilang In Tiong mengawasi ke arah pay. Mendadak ia lihat sehelai kertas kecil melekat di samping batu itu, suratnya pun halus. Ia baca dengan cepat:

"Seperti yang satu cegluk, yang satu lagi patok, demikian kerajaan keluarga Tjioe,bukan ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk apa bercape hati diperebutkan? Saudara In Tiong, angkat kaki adalah yang paling sempurna. — Dari adikmu, Thio Tan Hong."

"Celaka!" berseru In Tiong dengan gusar.

Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe heran.

"Ada apakah?" mereka tanya.

"Lihat ini!" sahut kawan itu. Membaca surat itu, kedua saudara seperguruan itu melongo, mereka bungkam. Sementara itu sang ayam sudah mulai berkokok.....

-ooo0dw0ooo

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar