Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 3
"Koan Tayjin," kata
Pit Kheng Thian sembari tertawa.
"Sekarang kau boleh
berlalu. Seragam pembesar yang kau pakai itu, rasanya sudah tidak begitu cocok
lagi. Maka, sekeluarnya dari sini, kurasa baik kau menukar pakaian. Yan Kiong!
Tolong antarkan Koan Tayjin keluar dari sini."
Koan Kie yang sudah lama
menjadi pembesar negeri hingga kebiasaan seorang pembesar sudah melekat dalam
dirinya,
tanpa merasa segera menjawab:
"Baiklah. Terima kasih
atas budi Baginda! Eh, salah!
Terima kasih atas budi
Ceecu!"
Kesalahan berbicara itu tentu
saja disambut dengan
tertawa ramai oleh segenap
hadirin.
"Aku juga ingin
mengantarkan Jietee," kata Hoan Eng.
Pit Kheng Thian melirik dan
berkata sembari bersenyum:
"Loohoan, harap kemudian
kau kembali lagi. Aku menunggu di
sini."
Hoan Eng kaget karena
kata-kata itu menggenggam
maksud yang dalam. Ia
mendongak dan tertawa terbahakbahak.
"Tentu saja aku akan
kembali," katanya. "Pit Ceecu!
Kau tak usah kuatir!"
Setibanya di pintu luar, Hoan
Eng menyekal Koan Kie dan
berkata dengan mata basah:
"Hiantee, sekali ini, dalam
penderitaan kau menemui
kebahagiaan. Mulai sekarang,
tuntutlah penghidupan sebagai
orang baik."
Mendengar itu dan mengingat
bantuan Hoan Eng, Koan Kie
jadi terharu. "Nasehat
toako, siauwtee akan perhatikan,"
jawabnya dengan suara
perlahan.
Sementara itu, sambil tertawa
ha-ha hi-hi, Pit Yan Kiong
berkata: "Harap Tayjin
menukar pakaian." Ia mengangsurkan
183
sebuah bungkusan yang terisi
pakaian rakyat biasa. Sebagai
seorang yang sudah dipecat
dari pangkatnya, Koan Kie tak
boleh memakai lagi seragam
pembesar. Maka itu, walaupun ia
merasa sangat jengah, hatinya
berterima kasih terhadap Pit
Kheng Thian yang sudah
mengatur segala sesuatu dengan
begitu sempurna.
Waktu Hoan Eng kembali kemeja
perjamuan, Pit Kheng
Thian sudah menduduki kursi
Toaliongtauw secara resmi. Di
situ juga ia segera
membereskan beberapa sengketa,
antaranya soal pencurian topi
mutiara oleh seorang perampok
besar yang bernama Louw Put
Sia. Raja muda itu telah
menugaskan seorang kepala
polisi untuk mengambil pulang
barangnya. Kepala polisi itu
minta pertolongan Pit Kheng
Thian yang lantas saja
mengambil tindakan dan memulangkan
barang berharga itu. Beberapa
urusan lain juga sudah
diputuskan secara adil oleh
Toaliongtauw itu, sehingga semua
orang jadi merasa puas.
Malam itu, Hoan Eng dan si
baju putih menginap dalam
gedung Bu Cin Tong. Seantero
malam, Hoan Eng gulak-gulik
di atas pembaringan tanpa bisa
pulas karena diganggu ruparupa
pikiran.
Ada beberapa hal yang ia
benar-benar tak dapat
pecahkan. Sebagai contoh,
kenapa si baju putih rela melalui
perjalanan ribuan lie untuk
mengambil kembali kepala Ie
Kiam? Kenapa pemuda itu
menutupi asal-usulnya begitu
rapat? Sikap Pit Kheng Thian
juga sangat meragukan. Ia
seperti mengenal si baju
putih, tapi pura-pura tidak
mengenalnya. Dengan meminjam
nama Bu Khungcu, Kheng
Thian sudah mengundang mereka
datang kesitu. Apakah
maksudnya?
Besoknya, pagi sekali Pit
Kheng Thian sudah memerintah
orang mengundang ia. Setibanya
di taman, ia melihat Pit
184
Kheng Thian, si baju putih, Bu
Cin Tong dan beberapa tetua
dari Rimba Persilatan, sudah
menunggu di situ.
"Aku sengaja mengundang
beberapa saudara datang ke
sini untuk menjadi
saksi," kata Pit Kheng Thian. "Siauwko ini
telah minta sebuah kepala
orang yang memang benar sudah
dicuri olehku. Akan tetapi,
sekarang tak dapat aku
mengembalikannya. Sebagai
gantinya, aku ingin menyerahkan
sebuah peti mati yang berisi
jenazah lengkap. Kalau Siauwko
ini masih juga merasa tidak
puas, aku pun tak dapat berbuat
lain."
Selain Hoan Eng dan Bu Cin Tong,
semua orang tidak
mengerti apa yang dimaksudkan
oleh Pit Kheng Thian.
Dengan diikuti oleh semua
orang, Kheng Thian segera
menuju ke bagian belakang
taman dengan melalui jalan kecil
yang berliku-liku. Di situ, di
suatu sudut taman, berdiri sebuah
bangunan kecil berwarna
abu-abu. Dari jendelanya yang
terbuka, lapat-lapat kelihatan
mengepulkan asap hio. Semua
orang menjadi kaget. Pit Kheng
Thian menolak pintu dan
berkata dengan suara terharu:
"Lihatlah! Bukankah aku sudah
mengurusnya baik-baik?"
Di tengah-tengah ruangan itu
terdapat sebuah peti mati
yang dibuat dari tembaga,
sedang di depan peti itu dipasang
meja sembahyang dengan hiolouw
dan beberapa batang hio
yang asapnya naik keudara
dengan perlahan. Di atas meja itu
terdapat sebuah papan dengan tulisan:
"Kokpo Taysin Ie
Kiam" (Menteri besar Ie
Kiam). Di samping meja itu kelihatan
berdiri seorang Thaykam (orang
kebiri dalam istana kaizar) tua
yang rambutnya sudah putih
semua. Ia agak terkejut melihat
masuknya begitu banyak orang
dan ketika melihat paras si
baju putih, ia mengeluarkan
seruan tertahan.
185
Dengan sikap menghormat, Pit
Kheng Thian menghampiri
peti tembaga itu, yang
tutupnya lantas saja diangkat dengan
kedua tangannya yang kuat.
Dalam peti itu ternyata terdapat
peti mati lain yang dibuat
dari kristal. Di dalam peti kristal itu
berbaring jenazah seorang tua
yang mengenakan pakaian
kebesaran seorang pembesar
tertinggi. Jenazah itu agaknya
dipakaikan obat sehingga tidak
bisa rusak. Jenazah itu bukan
lain daripada jenazah Ie Kiam,
seorang menteri besar yang
sudah menolong kerajaan Beng
dari kemusnahan, tapi,
kemudian sudah dibinasakan
oleh kaizar kejam yang sudah
ditolongnya itu!
Paras muka si baju putih
berubah pucat bagaikan kertas. Ia
meloncat dan menubruk peti
mati itu. "Thia thia (ayah)!
Sungguh jelek nasibmu !"
ia menangis dengan menyayatkan
hati.
Sekarang semua orang
mengetahui, bahwa pemuda itu
adalah putera Ie Kiam.
Berbareng dengan itu, beberapa
pertanyaan muncul di dalam
hati beberapa orang. Ie Kiam
adalah seorang menteri besar,
tapi kenapa puteranya
berkelana di kalangan Kangouw.
Siapakah guru pemuda itu
yang ternyata mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi.
Sebagai orang yang sudah
menolong negara, Ie Kiam
dihormati oleh segenap rakyat.
Kecuali Pit Kheng Thian, semua
orang lantas saja menekuk
lutut dan memberi hormat di
hadapan jenazah Ie Kiam.
Sesudah kenyang menangis, si
baju putih mengangkat
kepalanya dan matanya mendadak
melihat sebuah syair yang
artinya kira-kira seperti
berikut:
Menghadapi iaksaan serangan,
'ku turun gunung,
Lautan api, 'ku tak
per-duiikan,
186
Badan hancur, 'ku tak takut,
Asai nama bersih dalam dunia!
Syair yang digantung pada
tembok itu, adalah syair
mendiang ayahnya yang digubah
berdasarkan syair
Engsekhwee (Syair debu batu),
untuk memperlihatkan isi
hatinya. Ia heran dan tak
mengetahui, dari mana Pit Kheng
Thian mendapat syair tersebut.
Mendadak, di antara
sesenggukan, si baju putih tertawa
berkaka-kan bagaikan orang
edan. "Badan hancur, 'ku tak
takut, asal nama bersih dalam
dunia!" ia berteriak. "Oh,
ayahku! Kebinasaanmu akan
tercatat ribuan tahun. Tapi
sungguh, kau sudah binasa
secara cuma-cuma!"
Sesudah tertawa, ia mengulun,
dan dalam tangisnya, ia
tertawa pula. Laganya seperti
orang berotak miring, suatu
tanda dari kedukaan yang
melewati batas!
Pit Kheng Thian tidak berlutut
dan juga tidak menangis. Ia
menyalakan hio yang lalu
ditancapkan di hiolouw sambil
manggutkan kepalanya. Kedua
matanya terus mengawasi si
baju putih. Mendadak ia
berkata: "Co Kongkong, dari mana Ie
Kiam mempunyai anak
lelaki?"
Thaykam itu mengawasi si baju
putih, bibirnya bergerak,
tapi ia tak lantas bicara.
Sekonyong-konyong putera Ie
Kiam ini meloncat bangun
dengan wajah gusar. "Kau
sudah mengurus jenazah ayahku,
budi itu selama hidupku tak
dapat kulupakan," katanya. "Tapi,
apa kau katakan barusan? Di
kolong langit, di manakah
pernah terjadi, seorang anak
mengakui ayah terhadap orang
yang bukan ayahnya?"
187
Semua orang yang menyaksikan
kesedihan si baju putih, di
dalam hati menyalahkan Pit
Kheng Thian yang, sebaliknya dari
membujuk, sudah mengeluarkan
kata-kata yang menyinggung
perasaan.
Thaykam tua itu mengangkat
kepalanya dan berkata
dengan suara perlahan:
"Tak salah. Ayahnya adalah Ie
Tayjin."
Barusan, oleh karena seantero
perhatiannya ditujukan
kepada jenazah Ie Kiam, si baju
putih tidak memperhatikan
Thaykam tua itu. Begitu dua
pasang mata mereka berbentrok,
pemuda itu kelihatan terkejut,
mulutnya terbuka, tapi lantas
tertutup lagi. Hoan Eng
melihat itu semua, tapi Pit Kheng
Thian, yang berdiri
membelakangi si baju putih, sudah tidak
melihat perubahan paras muka
pemuda itu. Pit Kheng Thian
kaget berbareng heran dan ia
lantas saja berkata: “e-heng,
harap kau sudi memaafkan
perkataanku yang tidak pada
tempatnya. Bolehkah aku
mentanyakan, di mana Ie-heng
ingin menempatkan jenazah
mendiang ayahmu?"
Pemuda itu yang dapat
dikatakan belum mengerti urusan,
tak dapat menjawab pertanyaan
Pit Kheng Thian.
"Menurut keterangan Co
Kongkong, semasa hidupnya,
mendiang ayahmu senang sekali
kepada kota Hangciu," kata
pula Pit Kheng Thian.
"Sebelum meninggal dunia, beliau telah
meninggalkan pesan, supaya
jenazahnya dikubur di Hangciu,
di kaki gunung berdekatan
dengan kuburan Gak Hui. Jika Ieheng
dapat mempercayai diriku, aku
bersedia untuk mengurus
penguburan beliau di Hangciu,
sesuai dengan pesannya itu."
Mendengar perkataan itu, si
baju putih lantas saja menekuk
lutut dan memanggil: “nkong
(tuan penolong)."
188
Kheng Thian buru-buru menyekal
lengan pemuda itu seraya
berkata: "Bukan terhadap
aku, tapi terhadap Kongkong yang
kau harus menghaturkan terima
kasih."
Si baju putih mengawasi
Thaykam tua itu dan di dalam
matanya terdapat sorot
kesangsian.
"Co Kongkong adalah
Thaykam isana yang bertugas
mengajar ilmu surat kepada
Thaycu (putera mahkota),"
Kheng Thian menerangkan. “a
sudah berdiam di istana
kurang lebih empat puluh
tahun. Dulu, saban kali kaizar ingin
memberi tugas atau hadiah
kepada menteri besarnya, orang
yang diperintah
menyampaikannya kebanyakan adalah Co
Kongkong. Apakah ia belum
pernah datang di rumahmu?"
Si baju putih tergugu. Lewat
beberapa saat, baru ia
menjawab: "Tak heran,
jika aku rasanya mengenal ia.
Mungkin sekali, kita sudah
pernah bertemu sekali dua kali."
"Co Kongkong adalah
seorang yang sangat mengagumi
ayahmu," Pit Kheng Thian
meneruskan penuturannya. "Tanpa
memperdulikan keselamatan
dirinya sendiri, ia telah memohon
kepada kaizar bebodoran itu
supaya ia diijinkan mengurus
jenazah mendiang ayahmu.
Sementara itu, aku sendiri sudah
beruntung dapat mencuri kepala
Ie Tayjin. Kaizar itu yang
mengetahui adanya pergolakan
di antara rakyat, sudah
mengalah sedikit untuk
menenteramkan hati orang-orang
yang sedang gusar. Katanya:
Mengingat Ie Kiam adalah
Goanloo (menteri tua) dari dua
kaizar, maka ijin itu
diberikan. Demikianlah, Co Kongkong
berhasil membawa keluar
jenazah mendiang ayahmu.
Sesudah itu, baru kepala Ie
Tayjin dapat dipersatukan
dengan tubuhnya dan kita semua
sudah berbuat begitu hanya
189
untuk mengunjukkan rasa cinta
kita kepada Ie Tayjin. Co
Kongkong pun sudah mengambil
putusan untuk tidak kembali
lagi ke istana."
Sedang Pit Kheng Thian
berceritera, air mata si baju putih
mengucur deras sekali.
Diam-diam ia merasa menyesal,
bahwa ia sudah mencurigai dan
berlaku kasar terhadap
orang gagah itu. Oleh karena
Pit Kheng Thian sungkan
menerima pemberian hormat
besar (berlutut), ia hanya dapat
menghaturkan terima kasihnya
berulang-ulang. (Belakangan,
Pit Kheng Thian benar-benar
sudah memerintahkan orang
mengantarkan peti mati Ie Kiam
ke kota Hangciu di mana peti
itu dikubur sesuai dengan
pesan orang tua itu.)
"Kesetiaan Ie Tayjin
memang pantas dicatat dalam kitab
sejarah," kata pula Pit
Kheng Thian. "Akan tetapi, menurut
pendapatku, ia bukan seorang
yang berpengetahuan tinggi
dan lebih-lebih bukan seorang
gagah (hokiat)!"
Muka si baju putih lantas saja
berubah merah, sedang
hatinya mendongkol sekali.
Hoan Eng yang juga merasa Pit
Kheng Thian sudah
keterlepasan bicara, buru-buru
berkata: "Pit Toaliongtauw,
apa artinya perkataanmu
itu?"
Pit Kheng Thian tertawa besar
dan berkata: "Sungguh
sayang! Ia hanya seorang
menteri setia. Jika ia benar-benar
seorang enghiong atau hokiat,
tak nanti ia mau binasa secara
cuma-cuma!"
Sesudah berkata begitu, ia
menghela napas berulangulang.
"Jika Ie Tayjin sudah
menyelami sejarah sampai di
dasar-dasarnya, ia tentu
mengetahui, bahwa dunia ini adalah
dunia (milik) penghuni
dunia," katanya pula. "Dunia ini bukan
milik pribadi suatu keluarga
tertentu. Dulu, waktu Cinsiehong
190
berlaku sewenang-wenang, Hang
Ie telah bangkit dan
merubuhkan kaizar bebodoran
itu. Orang yang semacam
itulah, baru boleh dinamakan
enghiong atau hokiat sejati!"
Hoan Eng terkesiap. Perkataan
Pit Kheng Thian hebat
bukan main. Dalam kata-kata
itu bersembunyi suatu maksud
yang sangat besar, yaitu
maksud untuk merebut Tiongkok dari
tangan kaizar Beng!
"Hm!" kata si baju putih
dengan suara tawar. "Kalau begitu,
kau ingin menjadi kaizar?
Orang yang ingin menjadi raja, juga
belum tentu benar-benar
seorang enghiong sejati."
Sekarang adalah giliran Pit
Kheng Thian yang berubah
paras mukanya. "Ada orang
yang mempunyai kesempatan
untuk menjadi hongtee
(kaizar), tapi sungkan menggunakan
kesempatan itu," si baju
putih berkata pula. "Orang begitu
baru boleh disebut seorang
gagah tulen."
“Itulah Thio Tayhiap, Thio Tan
Hong!" Hoan Eng
menyeletuk tanpa merasa.
Paras muka Pit Kheng Thian
lantas saja berubah pucat.
Melihat ketegangan itu, Bu Cin
Tong buru-buru menyelak.
"Dulu adalah lain dari
pada sekarang," katanya. "Thio Tan
Hong memang benar seorang
gagah. Akan tetapi, di ini waktu,
belum tentu ia sudi membantu
kerajaan Beng."
Mata si baju putih kesap
kesip, seperti juga ia sedang
berpikir. Tiba-tiba, Pit Kheng
Thian berteriak dengan suara
gusar: "Enghiong apakah
Thio Tan Hong itu? Menurut aku,
dia adalah anak yang tidak
berbakti. Aku kata, dia adalah
hiapkek (pendekar) palsu yang
licik!"
Di jaman itu, nama Thio Tan
Hong kesohor di seluruh
negeri dan dihormati semua
orang. Maka itu, cacian Pit Kheng
191
Thian ini sudah membikin
setiap orang jadi kesima. Muka si
baju putih merah padam, bahna
gusarnya. "Manusia macam
apakah kau ini, hingga berani
mencaci Thio Tayhiap!" ia
membentak. Bagaikan kilat, ia
menghunus pedangnya yang
lalu ditikamkan ke mulut Pit
Kheng Thian.
Harus diketahui, bahwa sesudah
melihat ilmu silat si baju
putih yang sedemikian tinggi
dan mengetahui pemuda itu
adalah putera Ie Kiam, Pit
Kheng Thian sudah sengaja
mengeluarkan kata-kata yang
membakar, supaya si baju putih
mau bekerja sama dengan ia
dalam usaha merebut takhta
kerajaan. Dan ia sama sekali
tidak menduga, jika pemuda itu
akan mendadak menikam. Jarak
antara mereka sangat dekat
dan ia tak keburu berkelit
lagi!
"Bagus!" seru Pit
Kheng Thian, sembari membuka
mulutnya.
Hoan Eng mengeluarkan teriakan
tertahan dan dalam detik
yang sama, tangan Bu Cin Tong
menyambar untuk menangkis
pedang itu. Di saat itu, badan
si baju putih sedikit condong ke
depan. Bu Cin Tong, yang
berdiri di sampingnya, sebenarnya
ingin memukul lengannya untuk
menangkis tikaman itu, tapi
oleh karena, ketika itu, badan
si baju putih condong ke depan,
maka pukulan Bu Cin Tong
menyambar ke arah kepalanya.
Mereka bertiga berdiri
berderet, dan lantaran itu, meskipun
mau, yang lainnya sudah tidak
keburu menolong lagi. Di lain
detik, Pit Kheng Thian
menyemburkan darah dari mulutnya
dan memaki: "Apakah kau
sudah lupa akan sakit hati ayahmu?
Pedangmu sebenarnya harus
digunakan untuk menikam kaizar
anjing itu, bukannya berbalik
menyerang aku. Mana ada
aturan begitu?"
Ternyata, begitu ditikam, Pit
Kheng Thian sudah papaki
dengan mulutnya dan menggigit
pedang itu. Si baju putih
192
yang tidak mempunyai niatan
jahat, tidak menyertakan tenaga
dalamnya pada serangan itu.
Tapi, oleh karena pedang itu
masuk ke dalam mulut, mau tak
mau, mulut Pit Kheng Thian
terluka juga. Si baju putih
buru-buru menarik pulang
senjatanya dan di detik itu,
tangan Bu Cin Tong menyambar.
"Ayal" Pit Kheng
Thian berteriak, sehabis mencaci. Semua
mata dengan serentak mengawasi
kepala si baju putih!
Topi pemuda itu ternyata sudah
jatuh di lantai, sedang ikat
kepalanya juga sudah terlepas
dan terlihatlah rambut yang
hitam jengat! Barusan,
meskipun sedapat mungkin Bu Cin
Tong menarik pulang
pukulannya, tapi sambaran angin
pukulannya sudah cukup untuk
menggulingkan topi si baju
putih. Semua orang yang
tadinya hanya memperhatikan Pit
Kheng Thian yang terluka, baru
menjadi sadar sesudah
mendengar teriakan
Toaliongtauw itu. Sekarang mereka baru
mengetahui, bahwa si baju
putih adalah seorang gadis jelita!
Semua orang jadi kesima,
mereka berdiri terpaku, tanpa
dapat mengeluarkan sepatah
kata.
"Sin Cu! Sin Cu!"
mendadak terdengar suara Co Thaykam.
"Benar-benar kau adanya!
Kau berhutang budi besar dengan
Pit Ceecu. Tak boleh kau
menyerang ia!"
"Sesudah bengong untuk
berapa saat, si nona menyontek
topinya dengan pedangnya dan
lalu dipakai lagi di kepalanya.
Ia merangkap kedua tangannya
dan berkata dengan suara
perlahan: "Pit Ceecu,
budimu yang besar tak akan kulupakan.
Jika di hari kemudian, kau
memerlukan tenagaku, biarpun
mesti berenang di air atau
masuk di api, tak akan aku menolak
segala perintahmu.
Hanya jika kau mencaci Thio
Tayhiap. janganlah kau
menyesalkan aku sebagai tidak
mengenal budi." Sehabis
193
berkata begitu, ia masukkan
pedangnya ke dalam sarung dan
lalu berjalan keluar dengan
tindakan cepat.
“Ie-heng! Tahan dulu!"
seru Kheng Thian. Ia masih
menggunakan perkataan
"heng" (saudara lelaki) lantaran
belum dapat mengubah panggilan
itu.
Tapi si nona tak meladeni
teriakan itu. Setibanya di luar, ia
bersiul panjang dan nyaring.
Kuda putihnya yang memang
berada dalam taman tersebut
lantas menghampiri dan dengan
sekali meloncat, ia sudah berada
di atas punggung binatang
itu. Sungguh jempol kuda itu!
Sekali ditepuk, ia melompati
tembok yang tingginya setombak
lebih. Di lain saat, di luar
tembok terdengar derap kaki
kuda yang semakin lama jadi
semakin jauh.
* * *
"Si baju putih"
adalah puteri tunggal mendiang Ie Kiam dan
diberi nama Sin Cu. Co Thaykam
pernah memberitahukan Pit
Kheng Thian, bahwa Ie Kiam
tidak mempunyai putera, dan
itulah sebabnya, kenapa tadi
ia sudah memperlihatkan
perasaan sangsi. Dulu, di
gedung Ie Kiam, In Lui pernah
bertemu dengan Sin Cu yang
cantik dan cerdas sekali otaknya,
sehingga pendekar wanita itu
sangat sayang kepada nona
cilik itu. Belakangan, sesudah
menikah dengan Thio Tan Hong,
In Lui mengambil Sin Cu
sebagai muridnya yang lalu diajak
tinggal bersama-sama di dekat
telaga Thayouw. Dalam tempo
beberapa tahun saja, di bawah
pimpinan suami isteri yang
gagah itu, dari seorang gadis
lemah, Ie Sin Cu sudah berubah
menjadi jago wanita yang ilmu
silatnya tinggi. Mereka bukan
saja sudah menurunkan kiamhoat
Hian Kie Itsu yang luar
biasa, tapi In Lui pun sudah
mengajar ilmu menimpuk senjata
rahasia yang sangat liehay dan
dikenal sebagai Huihoa tahhiat
(bunga terbang menghantam
jalan darah) kepadanya.
Sesudah keluar dari rumah
perguruan, berkat senjata
194
rahasianya itu, Sin Cu sudah
mendapat julukan sebagai
Sanhoa Liehiap (Pendekar
Wanita
Penyebar Bunga). Sesudah
berlatih hampir sepuluh tahun,
dapat dikatakan Ie Sin Cu
sudah mencapai puncak pelajaran
silat yang sangat tinggi. Oleh
karena ia sendiri hanya
berkelana di kalangan Kangouw
selama dua tiga tahun, lalu
menyingkir dan hidup
bersembunyi di daerah Thayouw, In Lui
menginginkan supaya muridnya
itu bukan saja mewarisi ilmu
silatnya, tapi juga meneruskan
pekerjaannya sebagai seorang
pendekar wanita.
Dalam beberapa tahun itu, di
samping meyakinkan ilmu
silat, Ie Sin Cu juga sangat
dipengaruhi oleh sifat-sifat Tan
Hong suami isteri. Ketika itu,
Thio Tan Hong dan In Lui
berusia kira-kira tiga puluh
tahun, sedang Sin Cu baru saja
belasan tahun. Dengan adanya
perbedaan usia yang begitu
besar, perhubungan antara
mereka bukan hanya merupakan
perhubungan antara guru dan
murid, tapi juga seperti antara
orang tua dan anak sendiri.
Maka itu, demi mendengar
gurunya dicaci, Sin Cu tak
dapat menguasai diri lagi, biarpun
yang mencaci itu adalah tuan
penolongnya.
Dalam sekejap mata, ia sudah
terpisah belasan lie dari Bu
keekhung. Hatinya yang
mendongkol dengan perlahan sudah
menjadi tenang pula. Ia
memikirkan perbuatannya tadi dan
berulang-ulang menanya dirinya
sendiri: "Apakah aku benar?
Apakah aku keliru?"
Dengan hati pepat, ia
menjalankan kudanya. Ia ingat akan
Pit Kheng Thian yang kasar dan
gagah, dengan keangkeran
seorang enghiong. Akan tetapi,
dengan segala kega-gahannya
itu, sama sekali ia tidak
merasa takluk. Sebab apa ia tidak
merasa takluk, ia sendiri
tidak mengerti. Mengenai
serangannya tadi, ia pun tidak
tahu, apakah itu benar atau
salah. Apakah sakit hati
ayahnya harus dibalas? Jika harus
195
dibalas, bagaimana
membalasnya? Pertanyaan-pertanyaan itu
sangat mengusutkan pikiran si
nona.
Harus diingat, bahwa waktu
itu, Ie Sin Cu baru saja berusia
enam belas tahun. Dalam usia
sebegitu, orang lain mungkin
belum tahu, apa artinya
penderitaan. Tapi oleh karena ia
pernah mengalam beberapa
kejadian yang menggoncangkan
hati, maka ia sudah lebih
dewasa daripada nona-nona lain
sepan-tarannya. Saat itu,
tujuan satu-satunya adalah buruburu
pulang ke rumah gurunya, untuk
menye-sapkan
kepalanya di pangkuan sang
Subo (ibu guru, In Lui) dan
kemudian minta petunjuk
Suhu-nya.
Tiba-tiba, tunggangannya yang
biasa berlari bagaikan
angin, entah kenapa, jadi
semakin lambat larinya. Sin Cu
menepuk-nepuk punggung hewan
itu dan berkata dengan
suara halus: "Kudaku,
hayolah lari lebih cepat."
Kuda itu berbenger dua kali,
mulutnya mengeluarkan busa
putih dan berjalan semakin
perlahan. Si nona merasa heran,
belum pernah ia mengalami
peristiwa seperti itu. Kuda putih
itu sebenarnya adalah
tunggangan Thio Tan Hong yang
dinamakan Ciauwya Saycu (si
singa yang menerangi malam),
seekor kuda mustika yang
jarang terdapat dalam dunia. Dalam
sehari dia bisa berlari seribu
lie, sehingga di waktu
menungganginya, Sin Cu
sering-sering merasa larinya terlalu
cepat. Dengan perasaan heran,
si nona loncat turun. Ia
melihat kuda itu seperti
sedang sakit dan mulutnya terus
mengeluarkan busa. Ia menjadi
bingung karena tidak
mengerti penyakit kuda.
Dengan perasaan menyayang, ia
memeluk leher hewan itu
dan berkata dengan suara
halus: "Hayolah, kita jalan lagi
beberapa lie. Sebentar, di
kota sebelah depan, aku akan
memberikan kau makan kenyang-kenyang
dan kemudian
mengundang thabib untuk
mengobati pe-nyakitmu."
196
Kuda itu seperti juga mengerti
apa yang dikatakan
majikannya. Tiba-tiba ia
berbenger keras dan mengangkatangkat
kedua kaki depannya. Begitu si
nona loncat ke
punggungnya, lantas saja ia
kabur bagaikan terbang. Tapi
sebelum berlari berapa jauh,
tindakannya kembali berubah
perlahan, seperti sedang lelah
dan dari mulutnya keluar lebih
banyak busa. Selagi Ie Sin Cu
akan loncat turun, mendadak di
sebelah belakangnya terdengar
tindakan kaki kuda.
“Ie Kouwnio (nona Ie)!"
teriak seseorang. "Kudamu tak
dapat berjalan lagi. Mari kita
bercakap-cakap sebentar."
Si nona menengok dan melihat,
orang yang mendatangi
itu bukan lain daripada Pit
Kheng Thian.
"Mau membicarakan apa
lagi?" tanya Sin Cu uring-uringan.
"Barusan aku sudah memaki
Thio Tan Hong sehingga kau
menjadi gusar," kata Pit
Kheng Thian. "Kau tahu kenapa aku
mencaci ia?"
Ie Sin Cu lantas saja naik
darahnya. "Aku tak mau
mendengarkan segala
alasanmu!" ia membentak sambil
meraba gagang pedangnya.
Sesudah membentak, ia merasa
agak menyesal dan lalu berkata
pula: "Kau sudah mengurus
jenazah ayahku, budi itu bukan
main besarnya dan aku
merasa berterima kasih tak
habisnya. Tapi sebagaimana sudah
kukatakan tadi, kau tak boleh
menyebut-nyebut pula nama
Thio Tayhiap1."
"Ah! Sungguh heran!"
kata Kheng Thian. "Ada hubungan
apakah antara Thio Tan Hong
dan kau?"
"Tak usah tahu!" Sin
Cu membentak pula. "Pit
Toaliongtauw1. Biarlah kita
masing-masing mengambil jalan
197
sendiri. Mengenai budimu, di belakang
hari aku pasti akan
membalasnya."
"Baiklah!" kata Pit
Kheng Thian sembari tertawa besar.
"Kau sungkan
mendengarkan, aku pun tak perlu bicara. Tapi
aku mempunyai sebuah cerita
istimewa. Apakah kau suka
mendengarnya?"
Sin Cu yang masih mempunyai
sifat kekanak-kanakan,
lantas saja merasa ketarik.
"Baiklah! Kalau ceritanya bagus,
aku suka mendengarkan,"
jawabnya sembari bersenyum.
"Dahulu, dahulu
kala," Kheng Thian mulai menutur. "Di
negara ini hidup seorang
hweeshio (paderi) yang mempunyai
ilmu luar biasa tingginya. Ia
bukan saja pandai ilmu silat, tapi
juga mahir dalam ilmu perang.
Paderi itu mempunyai tiga
murid. Murid pertamanya adalah
seorang pengemis, murid
yang kedua adalah seorang
penyelundup garam, sedang si
murid ketiga adalah seorang
yang pernah menjadi paderi dan
juga pernah menjadi pengemis.
Belakangan, murid pertama dan
murid kedua itu menjadi
raja dan kaizar, keturunan
mereka hidup dalam kemewahan
dan kemuliaan. Hanya murid
ketiga itu yang paling bangpak.
Guna kedua saudara
seperguruannya, ia sudah bertempur
mati-matian di sepanjang
Sungai Besar dan belakangan ia
sudah mengorbankan jiwanya
dalam peperangan, tanpa
diketahui di mana mayatnya.
Keturunannya hidup terombangambing
dalam dunia Kangouw, menjadi
pengemis, menjadi
hweeshio dan selalu berada
dalam ketakutan, sebab
sembarang waktu bisa dibekuk
oleh kaki tangan kaizar.
"Akan tetapi, sebelum
binasa dalam peperangan, murid
ketiga itu pernah melakukan
suatu pekerjaan penting
bersama-sama gurunya. Ia tak
kepingin menjadi raja atau
198
kaizar dan selalu mengawani
sang guru berkelana ke berbagai
tempat.
Sesudah menjelajah ke gunung
dan ketempat-tempat
berbahaya yang penting artinya
bagi ketentaraan, guru dan
murid itu lalu membuat sebuah
peta bumi yang lengkap dan
sempurna, di mana tercantum
petunjuk-petunjuk untuk
menggunakan tentara dan
peperangan. Siapa juga yang dapat
mengantongi peta itu, dialah
yang mempunyai harapan untuk
menjadi raja atau kaizar.
Balakangan, sesudah murid ketiga
dan murid kedua binasa dalam
peperangan di Sungai Besar,
peta bumi tersebut lenyap tak
ketahuan ke mana atau oleh
siapa disembunyikannya.
"Akhir-akhirnya, murid
pertamalah, yaitu si pengemis, yang
berhasil mempersatukan negara
dan naik ke atas takhta. Tapi
hatinya masih selalu berkuatir
dan ia meninggalkan pesan
dalam surat wasiatnya, supaya
kaizar-kaizar anak cucunya
terus berusaha untuk membasmi
turunan kedua keluarga itu
dan berusaha pula untuk
merebut peta bumi itu.
Menurut pantas, peta bumi
tersebut adalah milik bersama
dua keluarga, keturunan murid
kedua dan ketiga, apa pula jika
diingat, bahwa murid ketiga
ini telah mengeluarkan tenaga
terlebih banyak, seharusnya
keturunan murid ketigalah yang
lebih berhak atas peta itu.
Kira-kira seratus tahun kemudian,
peta bumi tersebut muncul
pula, dan berada dalam tangan
keturunan murid kedua. Tak
diduga-duga, orang itu sudah
menyerahkan peta tersebut
kepada musuh, sehingga anak
cucu musuh itu bisa terus
menerus bercokol di atas takhta.
Coba katakan: pantas atau
tidak?"
Ie Sin Cu tertawa dingin.
"Hm!" ia meng-gerendeng.
"Bicara ke barat, bicara
ke timur, akhirnya yang kau bicarakan
adalah Tayhiap Thio Tan Hong
juga! Kejadian itu adalah
kejadian yang sudah lama
sekali, si hweeshio tua adalah
199
Pheng Eng Giok, si pengemis
adalah Cu Goan Ciang, si
penyelundup garam Thio Su
Seng, sedang murid ketiga, yang
pernah menjadi hweeshio dan
pengemis, mungkin adalah
leluhurmu yang bernama Pit
Leng Hie. Pit Toaliongtauw1.
Guna apa kau menyebut-nyebut
hutang yang sudah begitu
lama?" 2)
"Biarpun orang memuji
Thio Tan Hong setinggi langit, aku
tetap menganggap perbuatannya
tidak adil," kata Pit Kheng
Thian.
Ie Sin Cu jadi mendongkol.
"Apakah kau tak tahu, bahwa
waktu itu negara Watzu sedang
menyerang?" tanyanya
dengan suara aseran.
"Apakah percekcokan antara bangsa
sendiri lebih penting daripada
menolak musuh yang datang
dari luar!"
"Peta itu adalah milik
bersama keluarga Thio dan keluarga
Pit," kata Kheng Thian.
"Malah, menurut pantas, keluarga Pit
mempunyai hak yang lebih
besar. Dan Thio Tan Hong! Tanpa
berunding dulu dengan pihak kami,
sudah menyerahkan peta
tersebut kepada kaizar!"
"Tidak!" bantah Sin
Cu. “a menyerahkan itu kepada
ayahku."
Biji mata Kheng Thian berputar
dan tanpa menggubris
bantahan si nona, ia berkata
pula: “Itulah kesalahannya yang
pertama. Menolak bahaya dari luar
memang benar urusan
penting. Tapi, biar bagaimana
pun juga, sedikitnya ia harus
minta persetujuan
keluargaku."
Si nona tertawa dingin seraya
berkata: "Ah! Kalau begitu
kau datang ke sini untuk
mengadu lidah!"
200
Pemuda itu masih tetap tidak
meladeni dan terus
melanjutkan bicaranya:
"Selain itu, menurut pantas, peta
tersebut harus ada salinannya
(copy), atau, sesudah tentara
Watzu dipukul mundur, peta
aselinya harus diambil pulang.
Biar bagaimana pun juga, Thio
Tan Hong pasti menyimpan
salinannya. Sebelum ayahku
menutup mata, ia pernah minta
pertolongan beberapa saudara
Partai Pengemis untuk minta
peta itu dari Thio Tan Hong,
tapi dia kata, tidak ada. Dengan
demikian, sedikit pun ia tidak
memperdulikan persahabatan
lama antara kedua keluarga
kami. Apakah ini bukan perbuatan
tidak adil yang kedua?"
Ie Sin Cu tertawa dingin.
"Thio Tayhiap tak ingin menjadi
raja." katanya.
"Guna apa ia menyimpan salinan peta itu atau
memintanya pulang dari tangan
ayahku? Kalau ia kata tidak
ada, tentu tidak ada. Apakah
kau berani menyangsikan
kejujurannya?"
Kheng Thian lagi-lagi tertawa
besar. "Kalau kau membela ia
secara begitu, sudahlah, aku
pun tak perlu bicara lagi."
katanya.
"Hayo! Hayo katakan apa
yang kau mau katakan!" kata si
nona sambil melotot.
Kheng Thian bersenyum dan
berkata: "Andaikata benar ia
tidak menyimpan
salinannya." katanya. "Tapi, orang sekolong
langit mengetahui, bahwa Thio
Tan Hong adalah manusia
cerdas luar biasa, yang sekali
membaca tak dapat melupakan
lagi apa yang dibacanya.
Apakah ia tak bisa menolong
membuatkan salinan peta itu
tanpa melihat contoh?"
Mendengar gurunya dipuji, si
nona jadi merasa senang dan
hawa amarahnya mulai reda. Ia
senyum dan tidak berkata
apa-apa.
201
"Sungguh celaka, kalau
benar-benar ia tidak
menyembunyikan peta tersebut,"
kata pula Kheng Thian. "Aku
sudah menyelidiki dengan
terliti dan mendapat kepastian
bahwa peta itu tidak berada
dalam rumahmu. Maka itu,
kesimpulan satu-satunya adalah
peta bumi yang sangat
penting itu sekarang sudah
berada dalam istana kaizar."
Paras si nona lantas berubah
dan ia mengeluarkan seruan
tertahan. Kheng Thian tertawa
seraya berkata: "Apakah kau
heran? Apakah kau belum
insyaf, bahwa kaizar yang tak
mengenal budi itu, dapat
melakukan segala rupa perbuatan
busuk? Dia sudah membunuh
ayahmu, sudah menggeledah
rumahmu, apakah kau mengira ia
sudi melepaskan peta bumi
itu?"
Tapi, yang di saat itu
dipikirkan si nona, bukannya hal ini.
Sesudah mendengar keterangan
Pit Kheng Thian, ia
mengetahui, pemuda itu sudah
memeriksa rumahnya untuk
mencari peta tersebut.
Sebelum Pit Kheng Thian
datang, rumahnya mungkin sudah
lebih dulu digeledah oleh kaki
tangan kaizar dan segala apa
yang berharga sudah dirampas.
Kumpulan syair ayahnya
mungkin tak dipandang sebelah
mata oleh orang-orang kaizar
itu dan sudah dibuang-buang
dengan begitu saja, sehingga
belakangan dapat dikete-mukan
oieh pemuda itu. Sebelum Pit
Kheng Thian mengemukakan soal
peta bumi itu, ia
menganggap sepak terjang
pemuda itu, yakni mengacau di
ibu kota dan belakangan
mencuri kepala ayahnya, adalah
semata-mata untuk kepentingan
ayahnya. Tapi sesudah
mendengar keterangan pemuda
itu, ia mengetahui, bahwa Pit
Kheng Thian sebenar-benarnya
mempunyai tujuan yang lebih
penting untuk dirinya sendiri,
yaitu merebut kembali peta
tersebut. Ie Sin Cu adalah seorang
gadis yang polos dan
bersih. Tadi, meskipun hatinya
mendongkol mendengar cacian
terhadap gurunya,
sedalam-dalamnya ia merasa sangat
202
berterima kasih kepada pemuda
itu. Tapi sesudah mengetahui
maksud Pit Kheng Thian
sesungguhnya, rasa terima kasih itu
jadi banyak berkurang. Dan
sebagai orang yang polos,
perasaan kecewanya lantas saja
terlukis pada wajahnya.
Sesudah Kheng Thian selesai
berbicara, ia menyoja seraya
berkata: "Jika Pit-ya
tidak mau bicara apa-apa lagi, aku ingin
segera berlalu." Mukanya
tenang, suaranya manis, tapi
sikapnya dingin luar biasa.
Sebagai seorang cerdas, Kheng
Thian tentu saja merasakan
ketawaran itu. Ia mengeluh di
dalam hatinya dan merasa putus
asa.
Sin Cu mengusap-usap punggung
kudanya yang lalu
dituntun pergi.
"Kembali!" mendadak
terdengar teriakan Pit Kheng Thian.
"Ada apa lagi?"
tanya si nona sembari memutar badan.
"Kau melupakan satu
hal," kata Pit Kheng Thian, Ie Sin Cu
berdiam sejenak dan kemudian
berkata: "Hm! Benar! Lekas
pulangkan kumpulan syair
ayahku."
Pit Kheng Thian tertawa
berkakakan. "Benar-benar anak
berbakti!" katanya.
"Kecuali syair Engsekhwee yang ditempel
di samping peti mati ayahmu,
yang lain semuanya berada di
sini."
Ie Sin Cu segera menyambut
kumpulan syair itu dan
menghaturkan terima kasih dengan
suara tawar.
"Kau menyintai ayahmu dan
mewarisi pelajarannya, itu
semua memang merupakan
kewajiban dalam menjalankan
kebaktian," kata Pit
Kheng Thian sembari mengawasi si nona.
"Hanya sayang, kau masih
belum merupakan anak yang
benar-benar berbakti!"
203
"Kenapa begitu?"
tanya Ie Sin Cu.
"Ayahmu mati dengan penuh
penasaran, seluruh rakyat,
tak ada satu pun yang tidak
gusar," kata Pit Kheng Thian.
"Tapi kenapa kau sendiri
justru masih tenang-tenang saja?"
"Apa katamu?" bentak
si nona, matanya melotot.
"Siapa yang membunuh
ayahmu?" Pit Kheng Thian balas
menanya. "Kenapa kau tak
mau membalas sakit hati?
Sekarang orang-orang gagah di
lima propinsi Utara sudah
berserikat, kenapa kau sungkan
berdiam di sini untuk
bersama-sama mengerjakan usaha
besar?"
"Hm!" si nona
mengeluarkan suara di hidung. "Kalau begitu
kau ingin menahan aku untuk
menjungjung kau sebagai
Toaliongtauw."
Kheng Thian mengerutkan
alisnya dan ia berkata pula
dengan suara kecewa:
"Rakyat di seluruh negeri sedang
bergolak. Apakah kau mengira
aku bertindak untuk
kepentinganku pribadi?"
"Dari dulu sampai
sekarang, orang yang ingin menjadi
kaizar selalu menyanyikan lagu
begitu," kata si nona.
Pit Kheng Thian tertawa
dingin. "Sekarang aku tahu, kau
sungguh-sungguh puteri Ie
Kiam, menteri yang setia kepada
kerajaan Beng," katanya,
menyindir. "Dan aku pun tahu,
bahwa kau bukannya seorang
pendekar wanita yang berbakti
dan luhur pribadinya!"
Didesak begitu, Ie Sin Cu
menjadi bingung. Harus diingat,
bahwa dalam usia yang masih
begitu muda, sukar untuk ia
segera mengambil putusan dalam
memilih antara dua soal
204
penting yang bersangkut paut
dengan seluruh
penghidupannya ini.
Sementara itu, Pit Kheng Thian
sudah berkata pula dengan
suara mengejek: "Apakah
dengan berdiam dalam
pesanggerahanku, kedudukanmu sebagai
Ciankim Siocia
(nona yang berharga ribuan
uang emas) akan ternoda?"
"Selama hidupnya, ayahku
adalah seorang yang putih
bersih!" bentak Sin Cu
dengan gusar sekali. “a menambal
pakaian dan membetulkan
kerusakan rumah dengan
tangannya sendiri. Kenyataan
ini diketahui oleh manusia
sedunia.
Dengan bicaramu itu, kau
menganggap aku sebagai
manusia apa sih?"
"Kalau begitu, baiklah
kita bicara secara ringkas saja," kata
Kheng Thian. "Apakah kau
ingin membalas sakit hati atau
tidak? Apakah kau bersedia
berdiam bersama-sama kami atau
tidak?"
"Soal membalas sakit hati
dan soal berdiam sama-sama
kau, adalah dua soal yang tak
dapat dicampur adukkan,"
jawabnya. "Mengenai itu,
aku akan minta nasehat guruku."
Pit Kheng Thian tertawa
terbahak-bahak. "Siang-siang aku
sudah tahu, bahwa kau adalah
murid Thio Tan Hong,"
katanya. "Tak heran, jika
kau membela gurumu mati-matian."
"Sesudah mengetahui,
bahwa Thio Tayhiap adalah guruku,
sepantasnya tak boleh kau
mengeluarkan kata-kata yang
menyinggung beliau
diha-dapanku," kata si nona.
205
"Sakit hatinya sendiri,
Thio Tan Hong belum dapat
membalas." kata Kheng
Thian. "Bagaimana ia bisa membantu
kau?"
Alis Ie Sin Cu berdiri, ia
gusar, ia gusar bukan main. "Untuk
melawan musuh dari luar,
guruku sudah menyampingkan sakit
hati pribadinya," kata
Sin Cu dengan suara keras. "Orang
begitu baru dapat disebut
hokiat sejati."
"Dulu lain dan sekarang
lain," bantah Kheng Thian.
"Sekarang ini,
orang-orang gagah di seluruh negeri bangkit
dengan serentak oleh karena
kaizar sewenang-wenang.
Apakah kau mau mengatakan,
bahwa mereka memberontak
untuk membalas sakit hati
pribadi dan tidak dapat dinamakan
hokiat ?"
Sin Cu melirik seraya berkata:
"Dalam soal itu, kau tak
dapat menyama ratakan semua
orang. Apakah kau seorang
gagah atau bukan, harus ditunggu
dulu buktinya dikemu-dian
hari!"
Perkataan itu yang dikeluarkan
si nona secara terus terang
sudah membikin Kheng Thian
jengah dan mu- kanya
dirasakan panas. Ie Sin Cu
kembali memberi hormat dan
bergerak untuk berlalu.
"Tahan dulu!" kata
Kheng Thian.
"Maaf, Pit
Toaliongtauw," kata si nona, tidak sabar. "Aku
harus berangkat sekarang
juga."
"Biar pun mau, kau tetap
tidak dapat lantas berlalu," kata
Kheng Thian sembari tertawa.
"Kudamu menolak untuk
membawa kau!"
206
Sembari berkata begitu, ia mendekati
kuda putih itu.
Mendadak saja, Ciauwya Saycu
berbenger keras dan
menendang! Pit Kheng Thian
meloncat pergi dan berkata
sembari tertawa:
"Benar-benar kuda mustika! Lagi sakit,
masih begitu garang."
Sebagai seorang yang sangat
cerdas, si nona lantas saja
teringat suatu hal. "Pit
Toaliong tau w!" katanya dengan suara
sungguh. "Kau adalah
pemimpin Rimba Hijau dari lima
propinsi Utara. Apakah kau tak
malu sudah menghina seorang
wanita?"
"Kenapa begitu?"
tanya Kheng Thian.
"Apakah kudaku
benar-benar sakit?
Apakah sakitnya bukan akibat
permainan gila seorang
manusia?" tanyanya.
Pit Kheng Thian terkejut.
Walaupun dalam menghadapi
urusan besar, nona itu masih
ragu-ragu, tapi ia ternyata
mempunyai otak yang sangat
cerdas. Memang benar juga
penyakit Ciauwya
Saycu adalah perbuatan Kheng
Thian. Melihat nona itu
yang berparas sangat cantik
dan berilmu silat sangat tinggi,
ditambah lagi ia adalah puteri
Ie Kiam dan murid Thio Tan
Hong, sedapat mungkin Kheng
Thian ingin menahan ia untuk
dijadikan pembantu. Maka itu,
diam-diam ia memerintahkan
orang menambahkan semacam obat
dalam makanan kudanya.
Obat itu bukan racun, hanya
semacam obat yang
memabukkan dengan perlahan.
Kuda yang telah makan obat
itu, cepat letih dan akhir-nya
tidak kuat lari lagi. Untuk
menyembuhkannya, harus
digunakan obat yang dibuatnya
sendiri.
207
Demikianlah untuk menahan si
nona, dengan melupakan
kedudukannya sebagai pemimpin,
Pit Kheng Thian sudah
menggunakan siasat yang kurang
bagus itu. Tapi sedalamdalamnya
ia bebas dari maksud jahat dan
tujuannya, dilihat
dari sudutnya, adalah baik
sekali. Tidak dinyana, si nona
sudah menanya secara begitu,
sehingga, dengan segala
kegagahan dan kepintarannya,
Pit Kheng Thian jadi tergugu.
Ia melengos untuk mengegosi
sorot mata Ie Sin Cu dan
kemudian mengambil sebuah
kantong kulit yang dicantelkan
pada pelana kudanya.
"Benar-benar kau mau
pergi?" kata Kheng Thian dengan
suara menyesal. "Baiklah.
Minumkan air dalam kantong ini
pada kudamu dan belum
setengah jam, kesehatannya
akan baik kembali."
"Kalau begitu, benar
kerjaan dia!" kata Sin Cu di dalam
hatinya.
Sesudah berdiam sejenak, Kheng
Thian berkata pula: “Ie
Kouwnio, dengan setulus hati,
aku coba menahan kau. Tapi
karena kau mau berlalu juga,
aku pun tak dapat berbuat lain.
Aku hanya seorang kasar yang
tidak mengerti cara-caya
menahan tamu, sehingga dalam
beberapa hal, perbuatanku
sudah menggusarkan kau. Ie
Kouwnio1. Dapatkah kita
menjadi sahabat?"
Kata-kata itu diucapkan dengan
lemah lembut, sebagian
untuk menjelasikan kenapa ia
sudah main gila terhadap
Ciauwya Saycu dan sebagian
pula untuk mengunjuk rasa
cintanya. Di lain pihak,
mendengar perkataan halus yang
keluar dari mulut seorang yang
begitu kasar, Ie Sin Cu yang
masih bebas dari segala rasa
cinta antara lelaki dan
perempuan, jadi merasa geli
dalam hatinya. Akan tetapi,
208
mendengar suara itu yang
keluar dari lubuk hati, tanpa
merasa jantung si nona jadi
berdebar juga. "Pit Toaliong tau
w," katanya. "Kau
adalah Injin-ku (tuan penolong). Kecuali
jika kau mencaci guruku, aku
selalu merasa berterima kasi
terhadapmu. Dari jauh aku
mendoakan, agar kau berhasil
dalam usaha yang mulia."
Sehabis berkata begitu, ia
mengangsurkan tangannya,
sebagai tanda ia bersedia
menjadi sahabat pemuda itu.
Dengan heran ia merasakan
gemeternya tangan pemuda
tersebut. Buru-buru ia
melepaskan tangannya yang sedang
dijabat dan lalu memberikan
"Guruku tak obat Kheng Thian
kepada kuda putihnya.
"Jika kau bertemu gurumu,
tak ada halangan, kalau kau
menyampaikan perkataanku
kepadanya," kata Pit Kheng
Thian. "Jika ia sudi
melukiskan peta bumi itu di luar kepala,
aku mohon kau sudi membawa itu
kemari. Sebenar-benarnya
aku tak mempunyai maksud jelek
terhadap gurumu. Hanya
oleh karena peta tersebut
adalah milik dua keluarga, maka
dapatlah di mengerti jika aku
menagih padanya."
"Baiklah," Sin Cu
menyanggupi. "Aku akan menyampaikan
perkataanmu kepada Suhu."
Ia loncat ke punggung kuda
yang, sesudah minum obat,
mulai memperoleh kembali
tenaganya dan tanpa
diperintah, lantas saja mementang ke
empat kakinya.
"Sampai bertemu
pula!" seru Pit Kheng Thian dengan suara
sedih. Sang kuda lari semakin
cepat dan dalam sekejap mata,
si nona sudah tak kelihatan
bayang-bayangannya lagi.
***
Sepuluh hari kemudian, seorang
diri, dengan menunggang
Ciauwya Saycu, Ie Sin Cu masuk
ke dalam kota Souwciu, di
209
mana Thio Tan Hong mempunyai
suatu usaha. Usaha tersebut
adalah taman Koay-walim, yang
telah dimenangkan Thio Tan
Hong dalam perjudian dari
tangan Kiutauw Saycu In Thian
Kian (si Singa Sembilan
Kepala). Koaywalim sebenarnya
adalah Heng-kiong (istana di luar
kota raja yang biasa
digunakan oleh kaizar yang
sedang pesiar) yang telah dibuat
oleh Thio Su Seng (leluhur
Thio Tan Hong), di waktu ia
menjadi kaizar di Souwciu.
Sesudah Thio Su Seng kalah dalam
peperangan dan harta bendanya
dirampas, istana itu dijual
kepada keluarga In dan
belakangan dijadikan sarang judi.
Sesudah kembali ke dalam
tangan Thio Tan Hong, istana dan
taman itu segera diperbarui
dengan seksama.
Akan tetapi, Thio Tan Hong
adalah seorang yang tidak suka
akan keramaian. Ia membuat
sebuah rumah di atas gunung
Tongteng san, di telaga
Thayouw, dan hidup mengasingkan
diri bersama isterinya, sedang
pengurusan Koaywalim,
diserahkan kepada In Tiong dan
isterinya, Tantay Keng Beng.
Beberapa kali Ie Sin Cu pernah
mengunjungi Koaywalim dan
begitu tiba di
Souwciu, ia segera menuju ke
taman tersebut untuk
menyambangi suami isteri In
Tiong.
Tapi lekas juga ia menjadi
terkejut lantaran pintu taman
tertutup dan di atas pintu
ditempel pemberiantahu yang
bunyinya seperti berikut:
Taman ini telah dibeli olehku.
Ditutup untuk sementara
waktu, guna diperbarui.
Liong Thian Su, Pemilik
Koaywalim.
"Guruku tak kekurangan
uang, kenapa ia sudah menjual
Koaywalim?" tanya Sin Cu
dalam hatinya. "Siapa itu Liong
210
Thian Su? Selain si nona, di
depan pintu taman itu terdapat
beberapa orang lain yang
luntang-lantung.
"Ha-ha!" tertawa
seorang. "Koaywalim akan pulang asal,
jadi tempat judi! Saudara kita
bakal mempunyai pencarian
lagi. Liong Pangcu sudah minta
bantuanku."
Dilihat romannya dan didengar
perkataannya, orang itu
tentunya seorang buaya darat.
Sin Cu jadi semakin tidak
mengerti. "Kalau toh Suhu mau
menjualnya, ia harus memilih
pembelinya," katanya di dalam
hati. "Kenapa dijual
kepada gembong judi?"
"Ah!" kata seorang
lain sambil menghela napas. "Kalau ada
judi, tempat ini bakal tak
aman lagi. Menurut cerita orangorang
tua, sepuluh tahun berselang,
waktu Koaywalim
menjadi sarang judi, setiap
hari tentu mesti terjadi pencurian,
perampokan dan perkelahian.
Anak-anak muda menjadi
rusak."
"Memang juga lebih baik
dalam tangan In Conggoan,"
orang ketiga menyeletuk.
"Waktu ia masih mengurus
taman ini, meskipun kita tak
dapat sembarang keluar masuk,
tapi sebulan dua kali, saban
Ceeit dan Capgo (tanggal 1 dan
tanggal 15 menurut
penanggalan Imlek), orang
dapat pesiar dengan leluasa dan
tentaram. Orang bisa
melihat-lihat kembang, melihat-lihat
ikan, mengobrol di bawah pohon
siong dan sebagainya. Ah!
Kalau sudah menjadi sarang
judi, untuk kita si miskin, tak ada
tempat lagi untuk menghibur
hati." Dilihat dari romannya,
orang itu mestinya seorang
Siucay (gelar seorang sasterawan)
miskin.
211
"Apakah dulu, pemilik
taman ini seorang Conggoan?" tanya
Sin Cu.
"Siauwko, apakah kau
datang dari tempat lain?" tanya si
sastera-wan. "Masa kau
belum pernah mendengar nama
Buconggoan In Tiong yang
kesohor? Buconggoan itu bukan
saja paham ilmu silat dan
pernah jadi jenderal, tapi juga tinggi
ilmu suratnya. Coba lihat!
Bagaimana ia menghias taman ini!
Angker dan indah!"
Ie Sin Cu tertawa. "Mana
kau tahu, bahwa pemilik taman
ini adalah guruku," katanya
di dalam hati. "Segala sesuatu
dalam mengatur dan menghias
taman ini, semua-muanya
menurut petunjuk Suhu."
"Kenapa Siauwko
tertawa?" tanya Siucay itu.
"Kalau benar Conggoan,
tentu tidak kekurangan uang,"
jawabnya. "Kenapa taman
ini dijual kepada orang yang mau
membuka tempat judi?"
"Siauwko," kata
Siucay miskin itu. "Ada sesuatu yang kau
tak tahu. In Conggoan
sekeluarga sudah pindah semua. Dan
Liong Pangcu itu...
hm..."
Si buaya darat mendelik
sehingga saste-rawan itu jadi
keder dan berkata pula dengan
suara perlahan: "Sudah lama
Liong Pangcu ingin membuka
tempat judi dan kebetulan ada
tempat yang cocok, ia lantas
membelinya."
Ie Sin Cu heran bukan main.
Kenapa In Tiong sekeluarga
pindah ke lain tempat?
"Ke mana In Conggoan pindah?"
tanyanya.
Si buaya darat tertawa
terbahak-bahak dan berkata:
"Apakah kau kira dia ini
pentolan, sehingga In Conggoan
212
sudah begitu perlu
memberitahukan ia ini ke mana pindahnya?
Jika begitu jempol, dia ini
tentu tidak berkawan dengan orangorang
seperti kami."
Siucay miskin itu kelihatan
jengkel sekali. "Meskipun sudah
pernah menjabat pangkat
tinggi, In Conggoan tidak banyak
tingkah," katanya.
"Bahwa In Conggoan dan aku pernah
bercakap-cakap, sama sekali
bukan kejadian luar biasa." Tapi
Siucay ini memang tak tahu ke
mana In Tiong pindah dan si
buaya darat jadi tertawa
terlebih besar dan terus
mengejeknya.
Ie Sin Cu yang tidak mempunyai
kegembiraan untuk
mendengarkan pertengkaran
mereka, lantas saja berlalu
dengan pikiran kusut. Ketika
membiluk di ujung jalan,
mendadak ia melihat dua orang,
yang rasanya tak asing lagi
baginya, sedang membuntutinya.
Si nona menghentikan
tindakannya dan mengawasi
mereka. Segera juga ia
mengenali, bahwa mereka adalah
dua perwira itu yang
bersama Hoan Eng telah
berkunjung ke kampung Thio Hong
Hu.
Kedua perwira itu lantas saja
mendekati dan sesudah
mengawasi beberapa saat,
mereka mengenali si baju putih.
"Ah! Siauwko," kata
perwira she Liok. "Bukankah kau yang
pernah bertempur dengan
Loohoan?"
"Kenapa?" kata si
nona. "Apa kamu mau tolong
membalaskan sakit
hatinya?"
Mereka tak meladeni pertanyaan
Sin Cu yang garang. "Apa
belakangan kau pernah bertemu
lagi dengan Loohoan?" tanya
perwira she Ie.
Ie Sin Cu merasa geli dalam
hatinya dan balas menanya:
"Kalau ketemu kenapa? Dan
kalau tidak ketemu, kenapa?"
213
"Loohoan telah
menjanjikan kami untuk bertemu pula di
tepi telaga Thayouw, tapi
sesudah kami menunggu belasan
hari, belum juga muncul,"
perwira she Liok menerangkan.
"Untuk apa ia berjanji
begitu?" si nona sengaja menanya.
Kedua perwira itu jadi gaga
gugu, mereka tak berani bicara
terus terang.
Dalam hati Sin Cu lantas saja
timbul rasa kasihan. Ia
mengetahui, mereka sedang
berada dalam ketakutan hebat.
Maka itu, sembari tertawa ia
lantas saja berkata: "Hoan Eng
menjanjikan kalian bertemu di
sini untuk bersama-sama
mencari Thio Tan Hong dalam
usaha mengambil pulang uang
negara yang berjumlah tiga
puluh laksa perak. Bukankah
begitu?"
Mereka terkesiap mendengar
perkaraan itu. Mengingat
liehay-nya si baju putih,
mereka mengetahui "pemuda" itu
bukan orang sembarangan. Maka
itu, sesudah dapat
menetapkan jantungnya yang
ber-goncang keras, si perwira
she Ie segera menyahut:
"Benar. Sesudah bertempur, kau dan
Loohoan lalu mengikat tali
persahabatan, bukan? Apakah
Loohoan yang memberitahukan
hal ini kepadamu?"
"Apa kalian sudah bertemu
dengan Thio Tan Hong?" Ie Sin
Cu balas menanya.
Mereka lantas saja mengatakan,
bahwa tanpa diantar oleh
Hoan Eng, mereka tidak berani
menemui Thio Tan Hong.
Sin Cu bersenyum dan berkata:
"Sudahlah kalian tak usah
menunggu lagi. Tiga puluh
laksa tahil itu sudah dibayar pulang
dan sudah diantar oleh orang
lain kepada yang harus
menerimanya. Tapi atasanmu
sudah dipecat, sehingga kalian
214
harus buru-buru pulang ke
Ouwpak. Jika Yamunsu baru sudah
menjabat pangkatnya dan kalian
belum melaporkan diri,
mungkin kalian juga akan
dipecat."
Mereka kaget berbareng girang
dan hampir-hampir tak
percaya apa yang dikatakan Sin
Cu.
"Malam ini kalian boleh
tidur dengan tenang," kata pula Sin
Cu sembari bersenyum dan
lantas meninggalkan kedua
perwira itu. Di luar tahunya,
pembicaraan mereka sudah dapat
didengar oleh dua pahlawan
istana yang dengan diam-diam
segera membuntuti puteri Ie
Kiam ini.
Besok paginya, dengan
menunggang si putih, Sin Cu pergi
ke pinggir telaga, di mana
biasanya terdapat banyak sekali
perahu, tapi sekarang hanya
kelihatan sebuah perahu kecil
yang ditambat di bawah pohon
yangliu.
Si nona heran dalam hatinya.
Waktu itu adalah buntut
musim semi yang sangat cocok
untuk pesiar di telaga, yang
biasanya ramai sekali. Kenapa
sekarang begitu sunyi?
Begitu melihat Ie Sin Cu, si
pemilik perahu, seorang yang
alisnya tebal, matanya besar
dan badannya tinggi kasar,
lantas membuka tambatan dan
menanya sembari tertawa:
"Apa Siangkong (tuan) mau
pesiar?"
"Benar," jawah Sin
Cu. "Antar aku ke sebelah barat
Tongteng san."
"Bagus! Bagus!" kata
orang itu. "Kudamu benar bagus. Mari
aku tuntun."
Indah sungguh pemandangan
telaga Thayouw. Dengan
dikipasi angin musim semi yang
sejuk, sambil memandang
gelombang yang berwarna biru
dan puncak-puncak di tengah
215
telaga tersebut, seorang
pelancong seakan-akan berada di
tempat dewa-dewa. Tapi si nona
tak mempunyai kegembiraan
untuk menikmati pemandangan
alam itu lantaran hatinya
berdebar-debar mengingat ia
sudah berada dekat sekali
dengan Suhu dan Subo-nya. Ia
berdiri bengong, ia melamun.
Mendadak matanya melihat dua
buah perahu besar yang
sedang berlayar ke arah
perahunya. Dua perahu itu bukan
perahu pesiar dan di setiap
kepala perahu berdiri seorang
lelaki yang berbadan tinggi
dan yang terus mengawasi Sin Cu.
Si nona terkejut, ia tak
mengerti kenapa dua orang itu begitu
kurang ajar.
Tiba-tiba si pemilik perahu
berkata dengan suara
menyeramkan: " Loohu
selamanya hidup di pinggir telaga, tak
suka bergaul, paling suka
uang. Ha-ha! Sungguh mujur, pagi
ini bertemu dengan kambing
gemuk!"
Ie Sin Cu terperanjat,
"Apa katamu?" tanyanya.
"Siangkong,"
jawabnya. "Numpang tanya: Kau lebih suka
mie golok atau mie
pangsit."
"Apa artinya mie golok?
Apa artinya mie pangsit?" tanya si
nona.
Si pemilik perahu lalu membuka
papan perahu dan
mengambil sebatang golok.
"Mie golok adalah ini, sekali sabet,
kau menjadi dua potong,"
katanya sembari menyabetkan
goloknya diudara. "Mie
pangsit yaitu: Kau diikat keras-keras
dan plung, kau masuk ke dalam
air!"
"Binatang! Tengah hari
bolong kau berani merampok dan
membunuh?" bentak Sin Cu
dengan suara gusar.
216
"Lekas keluarkan semua
milikmu!" si perampok balas
membentak. "Baiklah, aku
mengampuni jiwamu, tapi kau
mesti mengikut aku."
Dua perahu besar itu semakin
lama jadi semakin dekat.
"Hei! Mau apa
rewel-rewel!" teriak si lelaki tinggi besar
yang berdiri di kepala perahu.
"Lempar saja ke air, biar dia
setengah mampus! Ha-ha!
Kemudian baru diserahkan pada
Yang Toacongkoan."
"Baiklah, kasi dia makan
mie pangsit dulu," jawab si
perampok. Dengan tangan kiri
menyekal golok dan tangan
kanan memegang tambang, ia
mendekati Ie Sin Cu.
Tiba-tiba saja, berbareng
dengan diayunnya tangan si
nona, suatu sinar emas
menyambar dan, tanpa mengeluarkan
suara, si pemilik perahu
kecebur ke dalam air! Ternyata
lehernya sudah ditembuskan
sekuntum bunga emas. Dia
berdiri yang lebih dulu makan
"mie pangsit"!
Ie Sin Cu sebenarnya sungkan
menurunkan tangan kejam.
Akan tetapi, sesudah mendengar
teriakan si lelaki tinggi besar,
ia mengetahui, bahwa kawanan
itu bukan perampok biasa dan
dalam gusarnya, ia tak main
kasihan lagi. Badan si pemilik
perahu tenggelam timbul
beberapa kali dan kemudian lenyap
dari permukaan air.
"Bagus! Liehay juga bocah
itu!" seru si tinggi besar. Ia lalu
memerintah anak buah kedua
perahu itu agar menggayuh
lebih cepat dan menjepit
perahu Sin Cu dengan dua perahu
besar itu.
Begitu si pemilik kecebur,
perahunya terputar beberapa
kali.
217
Sin Cu tak pandai berenang dan
juga tak dapat
mengemudikan perahu. Dalam
gusarnya, ia mengayun kedua
tangannya, masing-masing
melepaskan tiga kuntum bunga
emas yang menyambar ke arah
tiga jalan darah setiap lelaki
tinggi besar yang berdiri di
kepala perahu.
Mereka adalah Wie-su
(pahlawan) kelas satu dari istana
kaizar. Yang berdiri di perahu
sebelah kiri adalah Yo Cian Kin,
sedang yang di sebelah kanan
adalah Kim Ban Liang. Yo Cian
Kin yang bertenaga besar
segera menyampok jatuh tiga
bunga emas itu dengan rantai
besinya. Kim Ban Liang yang
pandai berkelit, sudah
menangkis dengan goloknya sambil
mengegos ke kiri kanan. Ia
menyampok jatuh sekuntum
bunga emas dengan goloknya dan
mengelit dua bunga
lainnya, yang kemudian
menancap di papan perahu. Ie Sin Cu
melepaskan senjata rahasianya
dari jarak belasan tombak dan
bahwa dari jarak begitu jauh
ia masih dapat menimpuk begitu
jitu, sudah membikin kedua
Wiesu itu menjadi kaget dan tak
berani datang terlalu dekat.
Tapi di lain saat, mereka
sudah mengetahui, si baju putih
tidak mengenal ilmu berenang.
Yo Cian Kin tertawa
berkakakan, "Kunjungan
harus dibalas dengan kunjungan!" ia
membentak sambil menimpuk
dengan Tiattha ("Nyali-besi"),
yang ditujukan bukan ke arah
Sin Cu, tapi ke perahunya.
Tiattha itu yang beratnya
beberapa kati, lantas saja membikin
papan perahu berlubang dan air
telaga mulai mengalir masuk.
Sin Cu terkejut dan Tiattha
kedua sudah menyambar pula.
Buru-buru ia mengeluarkan dua
bunga emas dan menimpuk
dengan menggunakan seantero
tenaga dalamnya.
Tiattha itu ketahan di tengah
udara dan jatuh ke dalam air
di pinggir perahu, sehingga
air telaga muncrat tinggi dan
berombak keras. Perahu itu
terputar-putar beberapa kali dan
Sin Cu merasakan matanya
berkunang-kunang, hampir-hampir
ia muntah.
218
Yo Cian Kin kembali tertawa
berkakakan. "Ambil batu
penindih perahu!" ia
berteriak. "Lebih dulu aku mau
menenggelamkan perahu bocah
itu."
Sebagaimana diketahui,
perahu-perahu yang muatannya
sedikit, bergoncang keras jika
bertemu angin dan ombak
besar. Maka itu, anak buah
perahu yang berpengalaman selalu
menaruh batu-batu besar di
dasar perahu yang muatannya
enteng, untuk meneguhkan
kedudukan perahu itu. Disetiap
perahu besar yang sedang
menggenjet perahu Ie Sin Cu,
hanya terdapat tiga orang,
yaitu dua pemegang kemudi dan
seorang melayani si nona.
Selain itu, kedua perahu tersebut
tidak membawa barang. Maka di
saban perahu terdapat batubatu
besar yang beratnya sama
sekali dua tiga ribu kati.
Begitu diperintahkan, anak
buah perahu itu lantas saja
menggotong naik beberapa batu
besar.
Yo Cian Kin tertawa berkakakan
seraya berteriak: "Bocah!
Sambutlah ini!" Ia
mengerahkan tenaga dalamnya, membuat
sebuah lingkaran dengan kedua
lengannya dan kemudian
melontarkan sebuah batu yang
beratnya hampir seratus kati.
Batu itu jatuh ke dalam air,
di dekat perahu Sin Cu. Air telaga
berombak keras sehingga perahu
Sin Cu terputar dan miring.
Buru-buru si nona mengerahkan
ilmu Ciankin tui dan
memusatkan seluruh tenaga
kepada kedua kakinya yang
menginjak perahu itu
keras-keras. Untuk menetapkan perahu
yang didampar ombak dengan
menggunakan ilmu Ciankin tui,
orang harus mempunyai Iweekang
dan gwakang yang sama
tingginya. Ie Sin Cu sudah
mewarisi ilmu Iweekee (ilmu
dalam) dari Thio Tan Hong,
tapi oleh karena usianya masih
sangat muda, gwakang-nya belum
dapat menyamakan tenaga
dalamnya (Iweekang). Maka itu,
perahunya masih terus
terputar-putar dan miring ke
kiri kanan, sehingga si nona
merasakan kepalanya pusing.
219
Lagi-lagi Yo Cian Kin
mengeluarkan tertawa girang dan
melontarkan pula sebuah batu
besar yang jatuh di sebelah kiri
perahu Sin Cu. Air telaga
muncrat, sehingga pakaian si nona
menjadi basah dan ombak jadi
semakin hebat. Sambil
membentak keras, Yo Cian Kin
melemparkan batu ketiga yang
jatuh di sebelah kanan perahu
Sin Cu!
Dapat dibayangkan hebatnya
ombak itu yangn menggencat
dari kiri dan kanan. Perahu
Sin Cu terputar, miring, tenggelam
timbul, beberapa kali
hampir-hampir ditelan ombak. Mata si
nona berkunang-kunang,
kepalanya pusing. "Wah!" ia
muntahkan semua makanan yang
telah dimakan pagi tadi. Ia
kaget dan gusar, tapi seluruh
badannya lemas. Sementara itu,
Yo Cian Kin sudah mengangkat
batu yang ke empat. Jika batu
itu dilemparkan, perahu Sin Cu
pasti akan tenggelam.
Di saat yang sangat genting
itu, berbareng dengan suatu
siulan panjang dan nyaring, di
tengah telaga mendadak
munjul sebuah perahu kecil
yang mendatangi bagaikan anak
panah yang baru terlepas dari
busurnya. Dengan cepat,
perahu itu sudah menyelak di
antara perahu Sin Cu dan dua
perahu besar itu.
"Apakah kau mau cari
mampus?" teriak Yo Cian Kin.
Dari dalam perahu itu
sekonyong-konyong muncul seorang
yang berkata sembari tertawa:
"Di siang hari bolong, kau
berani merampok dan membunuh!
Apakah kau kira dunia ini
milikmu sendiri?" Suara
itu nyaring sekali, seperti suara anak
kecil.
Mendengar suara itu, yang
agaknya tak asing baginya, Sin
Cu yang sedang mabuk jadi
bergoncang hatinya. Ia membuka
kedua matanya dan ternyata
yang muncul dari perahu itu
adalah bocah yang mengenakan
pakaian serba hitam, dengan
220
tudung hitam dan lantaran
mukanya juga berwarna hitam,
kedua matanya yang bersinar
terang kelihatan menyolok
sekali. Sebab kepalanya
pusing, Sin Cu tidak dapat lantas
mengenali siapa adanya bocah
itu.
"Binatang kecil yang tak
kenal mampus!" Yo Cian Kin
membentak. "Kau juga
gegares sebuah batu!" Dengan suara
"jebiur!", batu ke
empat dilontarkan ke arah perahu si hitam
yang lantas saja terbalik dan
tenggelam di antara ombakombak
besar.
Ie Sin Cu terperanjat.
Sekonyong-konyong ia merasakan
seakan-akan perahunya didorong
orang, sekali melesat
belasan tombak dan dalam
sekejap mata sudah keluar dari
lingkungan ombak-ombak besar.
Itulah suatu kejadian yang
benar tidak diduga-duganya.
Begitu berada di air tenang,
mabuknya lantas agak reda
dan sesudah menjalankan
pernapasannya, tenaganya segera
juga kembali. Buru-buru ia
menjembat penggayuh dan
menggayuh secepat mungkin.
Walaupun tidak mengerti ilmu
main perahu, akan tetapi di
air tenang dan karena perahu
itupun bergerak mengikuti
aliran air, dapat juga ia
menjalankannya.
Mengingat si bocah, Sin Cu
menengok ke belakang. Ia
melihat perahu si hitam
mengambang terbalik di atas
permukaan air, sedang si hitam
sendiri tidak kelihatan bayangbayangannya,
mungkin sudah tenggelam di
dasar telaga. Si
nona berduka sangat dan
berkata dalam hatinya: "Hai!
Dengan kenakalannya itu,
secara kebe-tulan ia sudah
menolong jiwaku, tapi ia
sendiri harus mengorbankan
jiwa."
221
Tiba-tiba Yo Cian Kin
berteriak-teriak dengan kegusaran
hebat. Ternyata perahunya
sedang terputar-putar dan miring
ke sana sini.
"Ada orang main gila di
bawah air!" seru salah seorang
anak buahnya dan seorang
antaranya lantas loncat ke air.
"Kim Toakol" teriak
Yo Cian Kin. "Tolong kau mengubar
bocah yang sedang kabur
itu!"
Saat itu, jarak antara perahu
Kim Ban Liang dan Ie Sin Cu
kira-kira dua puluh tombak.
Tenaga orang she Kim itu tidak
sebesar kawannya, sehingga ia
tak mampu menimpuk musuh
dengan batu besar. Tetapi ia
pandai main perahu dan dalam
tempo tak lama, ia sudah
mengubar semakin dekat. Ie Sin Cu
segera mengayun tangannya dan
melepaskan lima bunga
emas yang menyambar ke
beberapa jurusan. Sekuntum bunga
emas yang menyambar Kim Ban
Liang kena dipukul jatuh
dengan goloknya, tapi dua
bunga lainnya mengenakan jitu
pada tambang layar yang lantas
putus dan layarnya jatuh,
sehingga lajunya perahu itu
jadi tertahan. Berbareng dengan
itu, dua kuntum bunga emas
lain menyambar ke arah dua
pengemudi perahu.
Pengemudi yang berdiri di
sebelah kiri masih dapat berkelit,
tapi yang di sebelah kanan
kena disambar jitu, sehingga tanpa
mengeluarkan suara, ia
terguling ke dalam air. Kim Ban Liang
terkesiap dan sementara itu,
perahu Sin Cu sudah terpisah
lebih dari dua puluh tombak.
Dengan gusar, Kim Ban Liang
mengambil penggayuh untuk coba
mengubar lagi. Tapi
mendadak ia mendengar teriakan
Yo Cian Kin: "Kim Toako.
Balik!"
Ia menengok dan melihat air
telaga berwarna merah,
sedang mayat anak-buah perahu
yang tadi terjun dan
menyelam ke dalam air, ketika
itu sudah mengambang di atas
222
air. Lebih celaka lagi, air
telaga mengalir masuk ke dalam
perahu itu yang segera mulai
tenggelam dengan perlahan.
Ternyata anak buah perahu itu
telah dibinasakan si hitam
yang juga sudah membocorkan
perahu tersebut, Yo Cian Kin
yang tidak pandai berenang,
jadi ketakutan dan buru-buru
menteriaki kawannya.
Dengan terpaksa, Kim Ban Liang
melepaskan si baju putih
dan membilukkan perahunya
untuk menolong Yo Cian Kin.
Dengan sekuat tenaga, Kim Ban
Liang dan seorang anak
buahnya menggayuh perahunya,
yang terpisah kira-kira lima
puluh tombak dari perahu Yo
Cian Kin.
Ketika sudah berdekatan,
perahu Yo Cian Kin sudah hampir
tenggelam seluruhnya dan kaki
orang she Yo itu yang berdiri
di kepala perahu, sudah
kerendam air. Pengemudi perahu
yang satunya lagi buru-buru
terjun ke dalam air, tapi beberapa
saat kemudian, air telaga
mendadak berubah merah dan ia
mengalami nasib seperti
kawannya.
Begitu kesambar bunga emas di
tenggorokannya, tukang
perahu itu lantas terjungkal
ke dalam air. Sesudah itu, dengan
hati berdebar, Ie Sin Cu
mengawasi dua perahu besar itu yang
semakin lama jadi semakin
dekat.
Melihat keadaan mendesak,
sembari melemparkan papan,
Kim Ban Liang berteriak
"Yo Toakol Lihat ini!"
Yo Cian Kin loncat dan kedua
kakinya hinggap di atas
papan. Sekonyong-konyong bocah
hitam itu muncul di
permukaan air dan menarik
papan yang sedang diinjak Yo
Cian Kin. "Orang
gede!" katanya sembari tertawa ha-ha hi-hi.
"Mari turun main-main!"
223
Dengan mata merah, Yo Cian Kin
menghantam sekuat
tenaganya. Pukulan itu hebat
luar biasa, air telaga muncrat
tinggi.
"Tak kena!" teriak
si hitam sembari menyelam.
Tak usah malu Yo Cian Kin
menjadi pahlawan kelas satu di
istana kaizar! Pada detik yang
sangat berbahaya itu, ujung
kakinya menotol papan dan
badannya segera melesat ke atas
setombak lebih! Selagi berada
di tengah udara, ia memutarkan
badan dan di lain saat, kedua
kakinya hinggap di atas perahu
Kim Ban Liang!
"Bangsat kecil itu
benar-benar seperti setan air," katanya,
tersengal-sengal. "Kim
Toako. Coba kau turun !"
Sambil menyekal sumpitan anak
panah, Kim Ban Liang
segera terjun dan menyelam. Ia
berdiam di dalam air tanpa
bergerak, dengan niatan
membokong si hitam dengan anak
panahnya. Tidak lama kemudian,
dalam jarak beberapa
tombak, ia melihat
berkelebatnya bayangan hitam yang
gerakannya gesit luar biasa,
seperti juga seekor ikan terbang.
Bayangan itu lewat di depannya
dan menuju ke arah perahu
Ie Sin Cu. Kim Ban Liang coba
mengubar, tapi kepandaiannya
ternyata masih kalah jauh,
sehingga sesudah mengudak
beberapa lama, dengan
mendongkol ia terpaksa kembali ke
perahunya.
Di lain pihak, sesudah
terlepas dari bahaya, perlahan-lahan
Ie Sin Cu menggayuh perahunya.
Ia menengok dan dengan
terkejut, ia mendapat
kenyataan bahwa sebuah antara dua
perahu besar itu sudah
tenggelam. Sekarang ia mengetahui,
bahwa itu semua adalah
pekerjaan si bocah hitam. Ia merasa
kagum dan tidak mengerti,
bagaimana bocah itu bisa memiliki
kepandaian yang demikian tinggi.
Lapat-lapat ia ingat bahwa
ia pernah bertemu dengan bocah
tersebut, akan tetapi ia lupa
224
bila dan di mana. Selagi
mengingat-ingat, perahunya
mendadak bergoncang dan di
lain saat, perahu itu mendadak
melesat ke depan, didorong
orang dari dalam air.
"Hei! Anak nakal! Lekas
naik!" teriak si nona. Tapi teriakan
itu tidak diladeni, sedang
perahunya laju bagaikan terbang.
Dalam tempo sekejap, perahu
itu sudah tiba di kaki
Tongteng san barat. Baru saja
perahu itu menempel pada tepi
telaga, Ciauwya Saycu
berbenger keras.
"Sudah hampir sampai
rumah," kata Sin Cu sembari
tertawa. "Untuk apa kau
berteriak-teriak?" Dengan menuntun
si putih, ia lantas naik ke
darat. Sekonyong-konyong sesosok
bayangan hitam loncat keluar
dari dalam air, yang bagaikan
kilat sudah mengusap kepala
dan muka Sin Cu dengan kedua
tangannya yang berlumpur!
Si nona menyampok dengan
tangannya, tapi bayangan itu
sudah melesat ke gili-gili.
"Hayo, udak jika kau
bisa!" ia berteriak sembari tertawa
haha hi-hi.
"Hm! Baru sekarang aku
tahu, kau bukan bocah, tapi nona
besar!"
Ie Sin Cu mengawasi dan segera
juga ia mengenali, bahwa
si nakal bukan lain daripada
Siauw Houwcu, putera Thio Hong
Hu! Girangnya si nona tidak
kepalang. "Waktu mau menutup
mata, Thio Hong Hu telah minta
Hoan Eng menyampaikan
kepada guruku, supaya ia
mencari anak itu dan mengambilnya
sebagai murid," kata Sin
Cu di dalam hatinya.
225
"Ketika itu, aku tak tahu
sampai kapan bisa dapat
menemukan ia. Tak dinyana,
sebaliknya dialah, yang sudah
lebih dulu berada di sini."
Kegusaran Sin Cu lantas saja
seperti ditiup angin. "Siauw
Houwcu!" ia berteriak.
"Bocah nakal! Aku mau lihat, ke mana
kau mau lari?" ia
mengudak untuk membekuk si hitam.
"Aku tak suka main dengan
anak perempuan!" teriak si
hitam sembari kabur dan
bagaikan seekor kera dalam sekejap
mata ia sudah merghilang di
antara pohon-pohon yang
rindang.
Ie Sin Cu bengong. Sekarang
baru ia mengetahui, bahwa
ikat kepalanya telah ditarik
oleh si nakal, sehingga rambutnya
awut-awutan, muka dan
pakaiannya juga sudah kotor penuh
lumpur. Sesaat itu, dua orang
dusun kelihatan mendatangi
dari kejauhan. Sin Cu yang
merasa malu untuk bertemu orang
dengan muka dan pakaian kotor,
buru-buru kembali ke perahu
untuk membereskan rambutnya,
mencuci muka dan tukar
pakaian. Waktu ia keluar lagi,
bukan saja Siauw Houwcu, tapi
dua orang itu juga sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya
lagi.
Dengan penuh kesangsian, si
nona mendaki gunung. "Biar
pun Siauw Houwcu pintar, tapi
jika tak ada yang menuntun,
mana bisa ia mencari sampai di
sini?" pikir Sin Cu. "Baru
berselang sebulan lebih, ilmu
silatnya sudah maju begitu jauh.
Tak salah lagi, ia tentu telah
mendapat petunjuk-petunjuk
seorang berilmu. Tapi siapakah
orang itu? Apakah guruku
sendiri? Mungkinkah Suhu sudah
mengetahui segala kejadian
dan lalu mencari si nakal yang
lantas diambil sebagai
muridnya?"
Sembari berpikir, si nona
berjalan terus dan tanpa merasa
ia sudah tiba di tengah-tengah
gunung. Tongteng san barat
226
adalah gunung yang penuh
dengan bunga dan buah-buahan.
Di kaki gunung, sawah
berderet-deret, di atas gunung, pohon
buah sambung menyambung. Waktu
itu adalah buntut musim
semi, musim yang sangat repot
untuk petani. Akan etapi di
sepanjang jalan, di kaki
gunung si nona tidak melihat petani
yang menggarap sawah dan di
lereng gunung, ia tidak
mendengar suara nyanyian
nona-nona pemetik teh. Kecuali
dua orang dusun itu, baik di
sawah maupun di kebun buahbuahan,
keadaan sunyi senyap dan tak
tampak manusia lain.
Itulah keadaan yang luar
biasa, yang sudah membikin hati Sin
Cu tidak enak sekali. Ia
mempercepat tindakannya, menuju ke
arah perkampungan di mana
rumah gurunya berdiri.
Tongteng sankhung dahulu
adalah milik Tantay Tiong
Goan, mertua In Tiong.
Belakangan, sesudah in Tiong suami
isteri berdiam di Koaywalim,
rumah itu diserahkan kepada
keluarga Thio Tan Hong.
Sankhung (rumah di daerah
pegunungan) tersebut berdiri
di lereng gunung yang penuh
dengan pohon-pohon dan
meskipun tidak seangker
Koaywalim, tapi dengan
ranggon-ranggonnya dan
pemandangan alamnya yang
sangat indah, rumah tersebut
mempunyai keindahan yang sukar
dicari bandingannya.
Begitu tiba di depan rumah,
hati si nona lapang dan lega,
dengan perlahan ia mengetuk
pintu. "Aku pulang!" ia berseru
dengan suara nyaring.
Sebagai seorang yang menjadi
besar di Tongteng
sankhung, suaranya dikenal
oleh semua orang di sekitar situ.
Tapi, kali ini, sesudah
memanggil-manggil tiga kaii, belum
juga ia mendapat jawaban. Sin
Cu sangat heran. Ia menolak
pintu yang lantas saja
terbuka, tapi di dalam tidak terdapat
seorang manusia pun.
227
"Suhu!. Aku pulang!"
teriak si nona. Suaranya yang nyaring
berkumandang dalam taman
Sankhung yang sunyi senyap. Sin
Cu bergidik dan mengawasi
sekitarnya. Ia melihat bungabunga,
pohon-pohon, beberapa
pen-dopo, air yang mengalir
di sela-sela batu... seluruhnya
tiada bedanya dengan keadaan
biasa. Hati si nona jadi
berdebar-debar. Ia jalan mengitari
sebuah gunung-gunungan,
melewati sebuah lorong panjang
dan terus menuju ke kamar
berlatih silat Subo-nya (In Lui).
"Suhu!. Aku pulang!"
ia memanggil sembari mengetuk pintu,
tapi tetap tidak mendapat
jawaban. Ia menolak pintu itu dan
mendapat kenyataan, bahwa
kamar itu kosong melongpong,
malah tulisan-tulisan dan
gambar-gambar juga sudah hilang.
"Apakah Suhu juga
pindah?" ia menanya dirinya sendiri dan
kemudian berlari-lari ke kamar
buku Thio Tan Hong. Ia
menolak pintu dan hatinya
lagi-lagi terkejut. Kecuali gambar
"Sungai Tiangkang di
Musim Rontok", lukisan Thio Tan Hong,
dalam kamar itu tidak terdapat
suatu apa lagi. Di atas gambar
itu terdapat sebuah syair yang
ia belum pernah lihat dan yang
agaknya baru saja ditambahkan
pada gambar itu. Syair
tersebut kira-kira berarti
seperti berikut:
Siapakah, yang menyanyikan
lagu-lagu Souw-hang
(Souwciu dan Hangciu) yang
penuh kesedapan?
Bunga teratai sepuluh iie,
bunga Kwi di musim rontok,
Siapa nyana bunga dan pohon
yang tak berperasaan,
Dapat menyeret lembah
Tiangkang ke dalam
kesengsaraan,'
Itulah syair yang sering
sekali dihafalkan gurunya. Sering
sekali, sesudah menghafalkan
syair tersebut, Thio Tan Hong
tertawa berkakakan, akan
kemudian menangis sesenggukan.
Membaca tulisan sang guru yang
melukiskan penderitaannya,
Sin Cu jadi merasa lebih tidak
enak di dalam hatinya.
228
"Apakah Suhu telah
menemui bencana?" ia menggerendeng
seorang diri. Tapi segera juga
ia membantah pertanyaannya
sendiri. "Tak bisa! Hal
itu tak mungkin terjadi," katanya di
dalam hati. Sama sekali ia
tidak percaya, bahwa gurunya yang
berkepandaian begitu tinggi,
bisa menemui bahaya yang di
luar dugaan.
Tapi, biar bagaimana pun juga,
semakin lama ia jadi
semakin bingung. Ia masuk
keluar kamar, pergi ke berbagai
peloksok, tapi tetap tak dapat
menemui siapa juga. la
berteriak-teriak
memanggil-manggil, tapi yang menyahut
hanya kumandang suaranya
sendiri. Paling akhir, ia pergi ke
kamar tidur Thio Tan Hong. Begitu
tiba di depan kamar, dari
sela-sela pintu, ia mengendus
harumnya kayu garu yang
sangat disukai In Lui dan
sering-sering dibakar dalam kamar
tidurnya.
"Kenapa siang hari
bolong, Suhu dan Subo masih
mengumpat dalam kamar?"
tanya si nona dalam hatinya. Ia
menanya begitu hanya untuk
menghibur dirinya sendiri. Ia
sudah melihat perubahan aneh
dan dalam hati kecilnya ia
merasa, bahwa pasti sudah
terjadi sesuatu yang luar biasa.
Beberapa saat ia berdiri
bengong di luar kamar dan
kemudian mengetuk pintu dengan
perlahan. "Suhu!." ia
memanggil. "Aku sudah
pulang."
Oleh karena tidak mendapat
jawaban, ia menempelkan
kupingnya pada pintu. Ia heran
bukan main lantaran lapatlapat.
kupingnya menangkap suara
orang bernapas.
"Apakah Suhu sedang tidur
siang?" tanyanya di dalam
hatinya dan sesudah bersangsi
beberapa saat, perlahanperlahan
ia menolak pintu.
229
Begitu masuk, Ie Sin Cu yang
tabah dan gagah berani,
hampir-hampir mencelat bahna
kagetnya. Di atas dua
pembaringan, masing-masing
terdapat manusia yang duduk
bersila. Orang yang bersila di
pembaringan sebelah kiri hitam
mukanya dan hitam pula
kulitnya, sedang yang bersila di
pembaringan sebelah kanan,
putih sekujur badannya, malah
kedua alisnya juga putih
meletak dan kelihatannya sungguh
menakutkan. Kecuali perbedaan
warna kulit, potongan badan
dan roman kedua orang itu
sangat sama, seperti juga saudara
kembar. Rambut mereka ikal,
hidung mereka bengkok, mulut
mereka seperti mulut singa,
sedang mata mereka celong ke
dalam. Dengan sekali melirik,
si nona mengetahui, bahwa
mereka adalah orang asing.
Badan mereka mengeluarkan bau
seperti kambing yang tidak
dapat ditindih dengan harumnya
kayu garu.
Masuknya Ie Sin Cu seperti
juga tidak diketahui mereka
yang tetap bersila di atas
ranjang. Mereka berdua tidak
memakai sepatu dan di atas
sprei yang putih terlihat tapaktapak
kaki kotor.
Ie Sin Cu jadi sangat gusar
dan sembari menuding ia
membentak: "Hei! Siapa
kamu? Kenapa begitu tak tahu adat?"
Mereka terus meramkan mata dan
tak menggubris
bentakan si nona. Sin Cu jadi semakin
gusar. "Hei!" ia
membentak pula. "Kamar
ini adalah kamar tidur guruku. Siapa
memperkenankan kamu masuk dan
mengotorkan ranjang
itu?"
Kedua orang aneh itu membuka
mata mereka dan empat
sinar tajam menyapu Ie Sin Cu,
tapi di lain saat, mereka
kembali meramkan mata.
Thio Tan Hong dan In Lui
adalah orang-orang yang sangat
memperhatikan kebersihan dan
kamar mereka selalu dirawat
230
dengan seksama. Melihat lagak
kedua orang itu, si nona tak
dapat menahan sabar lagi.
"Kalau kamu masih tetap tak
meladeni, aku tidak akan
berlaku sungkan lagi," katanya
sembari mendorong orang yang
bermuka hitam. Seketika itu
juga, si nona terkesiap karena
tangannya hanya menyentuh
sesuatu yang lembek sebagai
kapas. Sekarang ternyata,
manusia aneh itu mempunyai
Iweekang yang luar biasa
tingginya. Selagi memutar
badan, ia mendengar si orang aneh
di sebelah kanan tertawa
terbahak-bahak. Dengan gusar, ia
menghantam jalan darah Joanma
hiat di pinggang orang itu.
Lagi-lagi, dengan terkejut, ia
menarik pulang tangannya,
karena kali ini, tangan itu
seperti kebentrok dengan papan
besi yang sangat panas. Tapi
badan orang yang terus tertawa
itu juga bergoyang sedikit.
Dengan gusar, si nona lalu
menghunus pedang.
"Pergi!" ia
membentak. "Mana boleh kau mengotorkan
kamar Thio Tayhiap!." Pedangnya
berkelebat dan menikam
pinggang si muka hitam.
Senjata Sin Cu adalah pedang
mustika yang telah
dihadiahkan oleh In Lui
kepadanya. Pedang tersebut
dinamakan Cengbeng Pokiam dan
dengan Pekin Pokiam milik
Thio Tan Hong, merupakan
pasangan setimpal. Yang satu
pedang untuk pria dan yang
lain pedang perempuan. Sepuluh
tahun lamanya Hian Kie Itsu
telah mengolah kedua senjata
tersebut yang tajamnya luar
biasa dan dapat memapas besi
seperti membacok lumpur.
Berkat ketajamannya, kedua
pedang itu dapat
menobloskan tubuh orang-orang
yang mempunyai ilmu
Kimciongto atau Tiatposan
(ilmu weduk).
Karena darahnya meluap, si
nona sudah menikam si muka
hitam dengan pedang
mustikanya. Akan tetapi, baru saja
tangannya meluncur, hatinya
sudah agak menyesal dan ia lalu
231
menikam ke bagian tubuh yang
tidak berbahaya dengan
hanya menggunakan tiga bagian
tenaganya.
Tapi, baru saja ujung
pedangnya melanggar pakaian orang
itu, si nona merasakan
senjatanya "terpeleset" dan melejit ke
samping.
Si muka hitam tertawa
terbahak-bahak. "Jika kau ingin
tolong menggaruk badanku yang
gatal, gunakanlah tenaga
yang lebih besar!"
katanya. Sin Cu menjadi kalap tanpa
memikir pula, ia mendorong
senjatanya dengan sepenuh
tenaganya.
"Bret!" baju orang
itu robek dan si nona terkesiap, kuatir
kalau orang aneh itu jadi
binasa. Buru-buru ia menarik pulang
senjatanya, tapi lagi-lagi ia
terkejut oleh karena Cengbeng
kiam seperti juga kena dijepit
sesuatu yang lembek tapi kuat
sekali dan tak dapat dicabut
keluar! Separoh dari pedang itu
yang panjangnya dua kaki
delapan dim, sudah terjepit otototot
dada orang itu! Si nona
mengerahkan seantero tenaga
dalamnya, tapi ia masih tidak
berhasil.
Muka Sin Cu menjadi merah
seperti kepiting direbus.
Sekonyong-konyong ia merasa
batang lehernya ditiup
orang dan hampir berbareng
dengan itu, terdengar suara
tertawa Siauw Houwcu.
"Kau memang paling suka
berkelahi!" kata si nakal. "Tapi
bertemu dengan guruku, kau
menubruk tembok. Perlu
bantuan?"
Si muka hitam mendadak
mengendorkan otot-ototnya dan
pedang si nona segera juga
terlepas dari jepitan. "Sungguh
tak usah malu kau menjadi
murid suami isteri Thio Tan Hong,"
katanya sembari tertawa.
"Kepandaianmu sudah cukup tinggi.
232
Siauw Houwcu! Jangan kau besar
mulut. Biarpun berlatih
siang malam, dalam tiga tahun
kau tak akan dapat menyusul
ia. Di kemudian hari, ia bakal
menjadi Suheng-mu. Mari! Lekas
memberi hormat!"
Ie Sin Cu membuka matanya
lebar-lebar, hatinya heran
bukan main. "Siapa
kau?" tanyanya.
"Apakah gurumu belum
pernah menyebut-nyebut nama
kami?" tanya si muka hitam.
"Kami adalah Hek Pek Moko (si
Hantu Hitam dan si Hantu
Putih)!"
Hek Moko dan Pek Moko adalah
saudara kembar. Mereka
terlahir di India, tapi
berdagang emas intan di Tiongkok.
Mereka adalah sahabat Thio Tan
Hong, tapi sesudah Tan
Hong mengasingkan diri di
......hilang halaman...
...........yangkan tubuh Pek
Moko dengan dorongannya dan
bahwa ia dapat merobek baju
Hek Moko, adalah suatu
kejadian luar biasa.
Mendengar nama kedua orang
itu, kegusaran Sin Cu lantas
saja reda, tapi ia masih tetap
mendongkol. "Biar pun kamu
menjadi sahabat Suhu, tak
pantas kamu mengotorkan kamar
tidurnya," katanya di
dalam hati.
"Bocah! Kau benar tak
tahu diri!" kata Hek Moko sembari
tertawa. "Jika kami bukan
sahabat kekal gurumu, apa kau kira
kami kesudian berdiam dalam
kamar ini yang menyesakkan
napas?"
"Apa?" tanya Sin Cu.
"Apa, apa?" kata Pek
Moko sembari menunjuk si nona.
"Bukankah tadi kau telah
bertempur dengan dengkul anjing
(kaki tangan kaizar)?"
233
"Dihajar pulang
pergi!" Siauw Houwcu menyambungi.
"Lihat! Bajunya sampai
kotor." Sembari berkata begini ia
mengusap tangan jubanya si
nona yang lantas saja menjadi
kotor. Sin Cu menangkap tangan
si nakal dan lalu
memencetnya sehingga ia
berteriak-teriak.
"Semua gara-garamu!"
Sin Cu menyomel. "Jika kau nakal
lagi, akan kuhajar kau sampai
terkuing-kuing."
"Dulu kau sudah membikin
sekujur badanku penuh
lumpur," kata Siauw
Houwcu sembari nyengir. "Hari ini hanya
pembalasan."
"Sedang kau saja masih
diubar-ubar, bagaimana kawanan
dengkul anjing itu bisa
membiarkan gurumu hidup tenang?"
kata pula Hek Moko.
Sin Cu terkejut, ia teringat
nasib Thio Hong Hu. "Kalau
begitu, bukankah guruku sudah
angkat kaki karena kuatir
kaizar menurunkan tangan
jahat?" tanyanya. Sin Cu yang
biasa mendewa-dewakan gurunya
dan menganggap sang guru
dapat mengatasi kejadian apa
pun juga, sama sekali tidak
mengerti, mengapa gurunya bisa
didesak orang sehingga
mesti menyingkir.
"Gurumu tak ingin
rewel," sahut Pek Moko. "Tapi kami
berdua justru ingin menalangi
ia melampiaskan
kemendongkolannya ini."
"Ke mana perginya guruku
?" tanya pula si nona.
"Jauh, jauh
sekali..." jawab Hek Moko yang mendadak
menghentikan bicaranya dan
memasang kuping.
234
Sesaat kemudian, ia berkata
lagi sembari tertawa: "Siauw
Houwcu! Apakah kau masih ingat
pelajaran Kunkeng (Kitab
ilmu silat) yang kuajarkan
kemarin dulu?"
“Ingat," jawabnya.
"Apakah perlu aku menghafal?"
"Hanya bisa menghafal,
apa gunanya?" kata Hek Moko.
"Yang penting, harus
dapat menggunakannya jika berhadapan
dengan musuh. Sebentar aku
akan mengajarkan kau ilmu itu
dalam prakteknya, bagaimana
harus menggunakan Lohan
Sinkun terhadap musuh yang
jumlahnya lebih besar."
"Bagus!" seru si
nakal. "Apakah kita berlatih di lapangan
belakang?"
"Bukan, dalam kamar
ini." jawab Hek Moko. "Sebentar kau
harus memperhatikan dengan terliti.
Nah! Sekarang kamu
berdua mengumpat di atas
lemari pakaian."
Heran sungguh hati si nakal,
tapi sebelum ia sempat
menanya, di luar sudah
terdengar tindakan banyak orang. Ie
Sin Cu buru-buru menarik
tangannya dan mereka lalu
meloncat ke atas lemari.
"Bakal ada tontonan menarik," bisik
si nona sembari tertawa.
"Gurumu ingin menggunakan musuh
untuk berlatih silat, supaya
kau dapat mempelajarinya."
Tiba-tiba di luar kamar
terdengar teriakan: "Thio Tan Hong
diperintahkan menerima firman
Hongsiang (Kaizar) dengan
berlutut!"
"Aku si tua tak sudi
menerima firman kaizar kentut anjing!"
sahut Hek Moko dengan me-niru
suara Thio Tan Hong.
Mereka berdua adalah orang
India yang belum paham
benar bahasa Tionghoa. Maka
itu, meskipun suaranya mirip
dengan suara Thio Tan Hong,
tapi bahasanya kaku dan kacau
235
balau. Sin Cu tidak tahan
untuk tidak tertawa. "Benar-benar
kentut anjing," katanya
di dalam hati. "Guruku belum pernah
menggunakan kata-kata yang
begitu kasar."
Orang-orang yang berada di
luar tentu merasa sangat
heran mendengar jawaban yang
berani mati itu.
"Thio Tan Hong!"
demikian terdengar mereka membentak.
"Mengapa kau berani
berlaku begitu kurang ajar? Apakah kau
tak takut serumah tanggamu
ditumpas seantero-nya?"
"Dak!" pintu
ditendang dan terpental!
Di depan pintu berjejer
sejumlah orang, antaranya Yo Cian
Kin dan Kim Ban Liang. Mereka
itu adalah pahlawan-pahlawan
istana yang menerima perintah
kaizar Kie Tin untuk
menangkap Thio Tan Hong. Kie
Tin yang mengetahui Tan
Hong mempunyai kepandaian
sangat tinggi, sebenarnya ingin
mengirim pasukan laut untuk
mengepung Tongteng san barat,
tapi, karena kuatir gerakan
pasukan laut itu akan membikin
Thio Tan Hong mencium bau,
maka ia mengurungkan
niatannya dan lalu mengirim
tujuh Wiesu kelas satu yang
dianggapnya cukup untuk
membekuk pendekar gagah itu
bersama isterinya. Tapi di
luar dugaan, meskipun berdiam di
tempat sepih, hidung Tan Hong
tajam luar biasa dan niatan
Kie Tin sudah lebih dulu
diendusnya. Demikianlah, ketika
orang-orang itu datang di
Thayouw, mereka mendapat
kenyataan, bahwa burung yang
mau dijaring itu sudah
terbang jauh. Mereka jadi
penasaran dan setiap hari secara
bergiliran dua orang meronda
di telaga Thayouw. Hari itu, Yo
Cian Kin dan Kim Ban Liang
yang sedang bertugas sudah
bertemu dengan Ie Sin Cu dan
sebagaimana diketahui,
mereka telah menubruk tembok
gara-gara Siauw Houwcu.
Begitu pintu terpental,
orang-orang Kie Tin itu terkesiap
melihat Hek Pek Moko yang
beroman aneh dan menakutkan.
236
"Siapa kau?" bentak
seorang.
Pek Moko tertawa ha-ha he-he dan
kemudian menyahut:
"Kami adalah Hek Pek
Busiang (si Hitam dan si Putih) yang
menugaskan diri untuk mencabut
jiwa kawanan dengkul
anjing!"
"Ah! Dua bangsat kecil
itu juga berada di sini!" seru Yo Cian
Kin sembari menghantam pintu
kamar dengan rantai besinya,
sehingga pintu itu hancur
lebur.
"Ha-ha!" tertawa Pek
Moko. "Aku justru sedang mencaricari
rantai untuk merantai setan.
Bagus juga kau sendiri yang
membawanya!"
Kim Ban Liang tertawa seram
seraya berkata: "Di hadapan
malaikat, jangan kau coba menakut-nakutkan
orang dengan
berlaga menjadi setan."
Ia adalah seorang ahli senjata rahasia
dan berbareng dengan
perkataannya, ia mengayun tangannya
serta menundukkan kepala.
Dengan serentak, belasan senjata
rahasia, seperti panah tangan,
batu Huihong sek dan Thielian
cie (biji teratai besi),
menyambar ke arah Hek Pek Moko. Luas
kamar tidur Thio Tan Hong
tidak lebih dari dua tombak dan
ketika itu, Hek Pek Moko
sedang bersila di atas pembaringan
sehingga menurut perhitungan,
senjata rahasia itu tidak bisa
meleset lagi.
Hek Pek Moko tertawa
bergelak-gelak. "Ha!" kata seorang
antara mereka. "Terima
kasih. Badanku memang sedang
gatal. Enak benar
garukanmu!"
Semua senjata rahasia itu
tepat mengenai badan Hek Pek
Moko dan kemudian jatuh
meluruk di atas pembaringan,
sedang kedua orang itu sama
sekali tidak bergeming.
237
"Lagi! Lagi!" mereka
berteriak sembari tertawa terbahakbahak.
Kim Ban Liang terkesiap, ia
bengong seperti orang kesima.
Yo Cian Kin gusar bukan main,
sembari menggereng seperti
harimau, ia loncat masuk.
Begitu sudah datang agak
dekat, ia membabat pinggang
Hek Moko dengan rantai
besinya, yang panjangnya satu
tombak tujuh kaki, sedang
buntut rantai itu digunakan untuk
melibat badan Pek Moko.
"Bagus!" seru Hek
Moko sambil mengebaskan lengannya
dan rantai itu lantas saja
terpental balik. Terkena hantaman
tenaga dalam yang hebat itu,
Yo Cian Kin yang sedang
menggunakan seantero
tenaganya, lantas saja jadi terhuyung.
Sementara itu, dengan tenang
Pek Moko menangkap
buntut rantai itu yang segera
digunakannya untuk melilit
kedua tangan Yo Cian Kin.
"Nah! Satu setan kecil sudah
dirantai!" katanya
sembari tertawa.
Sesaat itu, enam Wiesu yang
lain hampir berbareng turut
meloncat ke dalam kamar.
Sekonyong-konyong tubuh Hek
Moko melesat dari atas
pembaringan dan hinggap di tengahtengah
pintu, sehingga semua pahlawan
istana itu tercegat
jalan mundurnya.
"Siauw Houwcu!" ia
berseru, "Perhatikanlah baik-baik!"
Para Wiesu menjadi agak keder,
tapi mengingat jumlah
mereka yang besar, lantas saja
mereka maju menyerang.
Sambil membentak keras,
seorang Wiesu menghantam kepala
Pek Moko, yang sedang bersila
di tengah ranjang, dengan
tongkat besinya.
238
Bagaikan kilat, Pek Moko
menangkis dengan tangan kirinya
dan membabat dengan tangan
kanannya.
"Krek!" pergelangan
tangan Wiesu itu sudah menjadi
patah!
“Inilah Houwkun (Ilmu silat
harimau)!" Pek Moko berseru.
Hampir berbareng dengan itu,
Wiesu yang kedua sudah
menerjang. Pek Moko berkelit
sembari mengirim tinjunya yang
tepat mampir di hidung orang.
Telak sungguh jotosan itu!
Hidung itu amblas dan kedua
mata si Wiesu melotot keluar.
“Itulah Pakun (Ilmu silat
macan tutul)!" teriak Hek Moko.
"Eh! Kau jangan memukul
begitu cepat. Perlahan sedikit,
supaya Siauw Houwcu dapat
melihat lebih terang."
"Cukup terang!" si
nakal berseru kegirangan.
Melihat gelagat tidak baik,
salah seorang Wiesu buru-buru
balik dan coba kabur. Wiesu
itu mahir dalam ilmu tendangan
Tantui yang mempunyai tiga
puluh enam jalan. Untuk
melewati Hek Moko yang
menghadang di depan pintu, ia
segera mengirimkan tendangan
berantai.
"Koko," kata Pek
Moko. "Sekarang giliranmu."
Hek Moko merapatkan lima
jerijinya yang, bagaikan pacul,
menotok lutut Wiesu itu.
Dengan teriakan mengerikan, si
Wiesu sempoyongan karena
tulang lututnya sudah hancur.
Hek Moko lantas membarengi menjotos
dengan tinju kirinya
dan tubuh Wiesu itu kembali
terpental ngusruk ke dalam
kamar.
239
“Itulah Hokun (ilmu silat
bangau)!" teriak Pek Moko. "Eh!
Kau pun tak boleh memukul
begitu cepat."
"Ha-ha-ha!" Siauw
Houwcu tertawa berkakakan sembari
menepuk-nepuk tangan.
"Toasuhu (gu ru pertama) benarbenar
seperti seekor bangau. Hanya
sayang bukan bangau
putih. Jika pukulan itu
digunakan oleh Jiesuhu (guru kedua),
barulah mirip benar seperti
bangau putih!"
Selagi Pek Moko bicara, Yo
Cian Kin mengerahkan tenaga
dalamnya dan dengan sekali
berontak, rantai yang mengikat
kedua tangannya segera menjadi
putus. Begitu tangannya
bebas, dengan sekuat tenaganya
ia menjotos ketiak Pek Moko.
Dengan tinju kiri Pek Moko
memakai tinju musuh, sedang
telapak tangan kanannya menghantam
dari atas ke bawah.
Meskipun Yo Cian Kin bertenaga
besar, tak dapat ia melawan
tenaga lweekee (tenaga dalam)
Pek Moko. Dengan
terdengarnya teriakan
menyayatkan hati, tangannya berdarah
dan lima jerijinya remuk!
“Itulah Liongkun (Ilmu silat
naga)!" Hek Moko berseru.
Mulutnya berbicara, tangannya
terus bekerja. Dengan gerakan
Tiangcoa cuttong (Ular keluar
dari guha), ia menghantam
dengan telapakan tangannya,
disusul dengan tinjunya dan
lagi-lagi seorang Wiesu
jungkir balik.
"Aku kenal pukulan
itu!" teriak Siauw Houwcu. "Itulah Coakun
(ilmu silat ular)!"
"Benar," sahut Hek
Moko. "Coba lihat, apakah ini?"
Bagaikan kilat ia menggerakkan
kedua tinjunya dan
menghantam seorang Wiesu lain
dengan gerakan mengacip,
sebuah tinju menjotos punggung
dan tinju yang lain memukul
perut Wiesu itu. Sambil
menyedot napasnya untuk
mengempeskan perut, Wiesu itu
berkelit dengan gerakan
240
Thaykek kun (Ilmu silat
Thaykek) dan ia berhasil meloloskan
diri, tapi biarpun begitu, tak
urung ia terputar-putar beberapa
kali sebagai akibat sambaran
angin tenaga iweekee.
“Itulah Liongkun!" teriak
Siauw Houwcu. "Hanya sayang,
kenanya tidak telak."
Wiesu tersebut adalah kepala
rombongan yang terdiri dari
tujuh Wiesu itu. Ia bernama
Lie Ham Cin dan merupakan salah
seorang tangan kanan Yang Cong
Hay. Jika Hek Moko
menggunakan seantero
tenaganya, ia pasti akan rubuh, tapi
karena tujuan si iblis hitam
hanya untuk memberi pelajaran
kepada Siauw Houwcu, maka ia
hanya menggunakan tiga
bagian tenaganya.
Sebagai ahli Thaykek, Lie Ham
Cin mengetahui itu dan ia
tidak berani menyambut pukulan
yang kedua. Buru-buru ia
loncat minggir dan bersembunyi
di belakang salah seorang
kawannya.
Hek Moko tertawa
terbahak-bahak. "Dengan dapat
menyambut sebelah tinjuku, kau
boleh dibilang ahli yang
bandingannya sukar
ditemukan," katanya. "Aku mengampuni
jiwamu, lain kali tak boleh
kau datang lagi di sini."
Sembari berkata begitu, dengan
sekali menggentak, ia
membikin Wiesu yang berdiri di
depan Lie Ham Cin "terbang"
dan jatuh ngusruk di atas
pembaringan. Hek Moko bekerja
terus, tangan kirinya
menjambak Lie Ham Cin yang lantas
dilempar keluar, seperti
melempar seekor itik. Segera
terdengar bunyi gedubrakan dan
pecahnya genteng. Mungkin
sekali Wiesu itu jatuh di atas
genteng kamar sebelah.
"Bagus! Bagus!"
teriak Siauw Houwcu. "Tapi itu bukan
Lohan Sinkun (Ilmu silat
Lohan). Suhu!. Hebat benar ilmu
melontarkan itu!"
241
"Benar!" kata Hek
Moko. "Nah, sekarang, muncul lagi
Lohan Sinkun!" Berbareng
dengan perkataannya, ia menjotos
Wiesu yang baru merangkak
bangun di atas pembaringan,
sehingga ia ini kembali rubuh
di tengah ranjang.
Demikianlah Hek Pek Moko
menghajar ke tujuh Wiesu itu
pulang pergi, sehingga mereka
jadi babak belur dan mata
mereka berkunang-kunang.
Mereka ingin melarikan diri, tapi
tak bisa oleh karena Hek Moko
menghadang di tengah pintu.
Lohan Sinkun yang digunakan
Hek Pek Moko adalah
semacam ilmu silat yang
merupakan gabungan lima macam
ilmu, yaitu Liongkun, Houwkun,
Pakun, Coakun dan Hokun
(Ilmu silat Naga, Harimau,
Macan tutul, Ular dan Bangau).
Menurut Kunkeng (Kitab Ilmu
silat), Liongkun adalah untuk
"melatih semangat,"
yang terutama memperhatikan pianhoa
(pero-bahan-perobahan) dan
tenaga dalam.
Houwkun "melatih
tulang" untuk melakukan seranganserangan
keras, dengan tujuan melukakan
musuh.
Pakun "melatih
tenaga" dan mengutamakan kegesitan serta
kegarangan. Coakun adalah
untuk "melatih hawa", dengan
tujuan memperpanjang umur.
Hokun "melatih tenaga batin"
supaya pukulan-pukulan jatuh
tepat pada bagian badan
musuh yang berbahaya.
Sumber lima macam ilmu silat
itu adalah Siauwlim, sedang
pen-cipta ilmu silat Siauwlim
sie adalah Tatmo Couwsu dari
India. Hek Pek Moko adalah
orang India dan mereka sudah
menyelami pelajaran Tatmo yang
tersebar di negaranya
sendiri. Belakangan sesudah
datang di Tiongkok, mereka
mempelajari pula lima macam
ilmu silat dari Siauwlim itu.
Meskipun Lohan Sinkun yang
dikenal di India agak berbeda
242
dengan Lohan Sinkun di
Tiongkok, tapi oleh karena bersumber
satu, pada dasarnya tidak
berbeda banyak. Akhir-nya mereka
menggodok dan mempersatukan
kedua macam Lohan Sinkun
itu, sehingga mereka
memperoleh semacam Lohan Sinkun
yang benar-benar istimewa.
Thio Hong Hu adalah ahli
Siauwlim pay dan sedari kecil
Siauw Houwcu sudah belajar
Lohan kun di bawah pimpinan
mendiang ayahnya. Maka sesudah
ia diambil sebagai murid,
Hek Pek Moko lalu menyerahkan
Kunkeng kepadanya. Akan
tetapi, karena usianya masih
sangat muda, ia belum mengerti
pelajaran dalam kitab
tersebut. Sekarang, dengan
menyaksikan pukulan-pukulan
yang "dipraktekkan" oleh kedua
gurunya terhadap para Wiesu
itu, dengan sendirinya ia
menjadi lebih faham dan dapat
menangkap bagian-bagian
yang tadinya gelap baginya.
Dalam pelajaran praktek itu,
bukan saja Siauw Houwcu, tapi
Ie Sin Tiu pun sudah menarik
keuntungan tidak sedikit.
Selagi Ie Sin Cu memuaskan
seantero perhatiannya kepada
pertempuran, mendadak Siauw
Houwcu menanya: "Eh,
apakah hari itu kau bertemu
dengan ayahku?"
Hati Si nona mencelos. Saat
itu baru ia tahu, bahwa bocah
itu belum mengetahui
kebinasaan ayahnya.
Di antara tujuh Wiesu itu, Yo
Cian Kin sudah setengah mati,
Lie Ham Cin sudah dilemparkan
keluar kamar, sedang lima
Wiesu lainnya, kecuali Kim Ban
Liang, sudah mendapat lukaluka
berat. Bahwa Kim Ban Liang
terlolos dari luka berat, sama
sekali bukan karena
kepandaiannya yang lebih tinggi, tapi
lantaran kelicikannya. Ia
selalu main petak dan bersembunyi di
belakang kawan-kawannya.
Sesaat itu, dengan Hokun, Hek
Moko memukul rubuh dua Wiesu
dan Kim Ban Liang pun telah
dibikin terguling ke kolong
ranjang. Selagi merangkak bangun,
mendadak ia melihat Siauw
Houwcu sedang berbicara dengan
243
Ie Sin Cu di atas lemari.
Dengan gergetan, secara mendadak
ia melepaskan dua batang panah
tangan.
Siauw Houwcu yang sedang
menanyakan hal ayahnya,
terkesiap ketika melihat
menyambarnya dua batang anak
panah itu. Buru-buru ia
mengangkat tangannya untuk coba
menyampok dua senjata gelap
itu. Tapi Ie Sin Cu sudah
mendahuluinya. Dengan sekali
mencentil, dua batang anak
panah itu terpental, dan
hampir berbareng, sekuntum bunga
emas menyambar tenggorokan Kim
Ban Liang. Dengan
teriakan menyayatkan hati, Kim
Ban Liang loncat setombak
lebih, kepalanya hampir-hampir
mengenakan langit-langit
kamar.
Pek Moko tertawa besar dan
tangannya menyambar. Di lain
saat, badan Kim Ban Liang
sudah terlempar keluar kamar
dengan tulang remuk akibat
remasan ilmu Hunkin cokut
(Memecah otot memindahkan
tulang).
Gerakan Ie Sin Cu dalam
menyentil anak panah dan
melepaskan bunga emasnya,
cepat luar biasa, sehingga Siauw
Houwcu jadi merasa kagum
sekali.
“ Ciecie yang baik,"
katanya. "Kepandaian Suhu sukar
ditulad, tapi jika aku dapat
menyusul Ciecie, hatiku sudah
merasa puas sekali."
Mendengar perkataan itu, Hek
Pek Moko yang tadinya
menduga Ie Sin Cu adalah
seorang laki-laki, baru mengetahui,
bahwa mereka sudah salah mata.
Mereka merasa kagum
berbareng mengiri dan segera
mengambil putusan untuk
mendidik Siauw Houwcu
sebaik-baiknya dan kemudian,
sesudah anak itu memperoleh
kepandaian tinggi, baru akan
diserahkan kepada Thio Tan
Hong.
244
Sesudah berhasil me-lukakan
musuh, sedang Siauw
Houwcu menepuk-nepuk tangan
bahna girangnya, Ie Sin Cu
sendiri mengerutkan alisnya,
seperti sedang berduka.
“Ciecie, kau kenapa?"
tanya si nakal. "Sampai di mana
barusan kita bicara? Ya! Hari
itu apakah kau bertemu dengan
ayahku?"
“Ia meninggalkan dua rupa
barang, sebentar akan
kuserahkan kepadamu,"
sahut si nona.
"Kalau begitu, kau telah
bertemu dengan ia," kata pula
Siauw Houwcu. "Barang itu
sebentar saja dikasikan kepadaku.
Eh, coba lihat! Sungguh indah
pukulan Suhu!."
Sesaat itu, Hek Pek Moko
sedang menghujani empat Wiesu
yang masih agak segar dengan
pukulan. Mereka mengirim
pukulan-pukulan dengan tenaga
yang diperhitungkan, setiap
pukulan membikin seorang Wiesu
kejeng-kang di tengah
ranjang dan begitu lekas badan
Wiesu itu membal bangun,
mereka mema-pakinya dengan
pukulan lagi yang membikin
pahlawan istana itu kembali
terpelanting di atas pembaringan.
"Siauw Houwcu!
Perhatikanlah ini!" seru Hek Moko. “Inilah
Lohan Ngoheng kun. Semuanya
ada seratus delapan jalan.
Lihat! Akan kujalankan dari
kepala sampai dibuntut."
Sungguh sial ke empat Wiesu
itu! Badan mereka dijadikan
semacam karung pasir untuk
melatih pukulan.
Sebagaimana diketahui, seorang
yang berkepandaian ilmu
silat, secara otomatis
mengerahkan tenaganya untuk
melawan, jika ia mendapat
serangan. Dari sebab itu, dalam
menghadapi hujan pukulan,
penderitaan empat Wiesu
tersebut bahkan lebih hebat
daripada orang biasa. Sebelum
Hek Pek Moko menjalankan
separoh Lohan Ngoheng kun,
245
tenaga dalam mereka sudah
musnah sama sekali, keringat
mereka membasahi sprei dan
kasur, keadaan mereka seolaholah
lampu yang sudah kehabisan
minyak dan tinggal matinya
saja. Dua di antara mereka
terkencing-kencing, sehingga
kamar itu jadi penuh dengan
bau-bauan yang kurang sedap.
"Bau!" seru si nona.
"Hei! Jangan mengotorkan kamar
Suhu-ku! Lekas lempar mereka
keluar!"
Hek Pek Moko kembali tertawa
terbahak-bahak. Saling
berganti mereka menyambar
badan Wiesu-wiesu itu yang
seorang demi seorang segera
dilemparkan keluar. Paling
belakang Hek Moko menyengkeram
punggung Yo Cian Kin
sambil menggunakan dua bagian
tenaga dalamnya dan sesaat
itu, tulang punggung orang she
Yo itu lantas menjadi patah.
Sembari melontarkan tubuh
kurbannya, Hek Moko
membentak: "Pergi pulang
dan beritahukan kepada kaizar
anjingmu! Jika dia berani memerintah
orang datang lagi untuk
mengganggu Thio Tayhiap, dia
akan mendapat nasib seperti
kamu tadi!"
Dulu Hek Pek Moko adalah
orang-orang yang bisa
membunuh manusia tanpa
berkesip. Belakangan, sesudah
lanjut usianya, adat mereka
yang berapi-api telah menjadi
lebih sabar. Kali ini, kecuali
Yo Cian Kin dan Kim Ban Liang
yang telah dihajar sehingga
menjadi orang bercacad, empat
Wiesu lainnya masih dapat
menuntut penghidupan sebagai
manusia biasa, meskipun ilmu
silat mereka telah dibikin
musnah. Di antara tujuh Wiesu
itu, Lie Ham Cin-lah yang
paling beruntung, karena
sesudah kelak lukanya sembuh, ilmu
silatnya tidak akan menjadi
hilang. Bahwa antara ke tujuh
Wiesu itu tak satu pun yang
diambil jiwanya, dilihat dari sudut
Hek Pek Moko, berarti bahwa
mereka sudah berbelas kasihan
yang luar biasa.
246
Sesudah menyapu bersih semua
musuh, Pek Moko berkata
sembari tertawa:
"Siauw Houwcu, hari ini
kau kurang mujur. Lohan Sinkun
kita hanya dapat dilatih
separuh."
"Yang separuh lagi,
biarlah ditunda sampai di lain hari,"
sahut si nakal dengan suara
gembira. "Yang separuh ini sudah
cukup untuk dipelajari dalam
tempo beberapa bulan."
"Anak otak!" kata
Hek Moko. "Lain kali mana bisa ada
kesempatan yang begitu
baik?"
"Eh, jangan rewel
lama-lama dalam kamar ini," kata Ie Sin
Cu. "Jika guruku melihat
kamarnya begini kotor, tak tahu ia
bakal bagaimana
marahnya!"
Sembari senyum, Hek Pek Moko
berjalan keluar, diikuti si
nona dan Siauw Houwcu.
"Paling sedikitnya tiga
tahun kemudian barulah gurumu
bisa kembali ke rumah
ini," kata Hek Moko. "Aku berani
tanggung, ia tak akan menjadi
gusar."
"Apa kalian pernah
bertemu dengan guruku?" tanya Sin Cu.
"Apa ia ada memesan
apa-apa? Kemana ia pergi?"
"Aduh! Benar-benar jempol
murid Thio Tan Hong!" kata
Hek Moko. "Kami berdua
menjual jiwa untuk gurumu, tapi kau
hanya ingat gurumu dan sama
sekali tidak ingat untuk
menghatur-kan terima
kasih."
Si nona monyongkan mulutnya
seraya berkata: "Jual jiwa
apa? Barusan kalian berkelahi
untuk memberi pelajaran
kepada murid sendiri. Sama
sekali bukan untuk kepentingan
guruku."
247
"Ha! Benar-benar manusia
tak mengenal budi!" kata Pek
Moko sembari tertawa.
"Kau tahu? Aku mengajar murid juga
untuk gurumu sendiri!"
"Sudahlah," kata Hek
Moko. "Kami datang di sini tiga hari
berselang dan waktu itu,
gurumu baru saja mau berangkat. Ia
mendesak supaya kami juga
buru-buru menyingkir, tapi kami
justru sengaja berdiam di sini
untuk mengurus urusan orang
lain."
“Toasuhu omong besar,"
kata Siauw Houwcu sembari
nyengir. "Bukankah di
tengah jalan Suhu berkata akan
meminjam serupa barang dari
Thio Tayhiap? Dan hanya
secara kebetulan kita menemui
urusan ini."
"Aduh!" kata Hek
Moko sembari menggeleng-gelengkan
kepala. "Belum mengangkat
Thio Tan Hong menjadi guru, kau
sudah membantu calon gurumu.
Benar-benar aku merasa
mengiri! Benar! Gurumu sudah
menduga, bahwa kau akan
kembali kemari dan ia memesan,
supaya kau saja yang
memberikan barang itu kepada
kami."
"Barang apa?" tanya
si nona.
"Pokiong (gendewa
mustika) dari keluarga Thio," sahut Hek
Moko.
Dulu, di waktu Thio Su Seng,
leluhur Thio Tan Hong,
menjadi kaizar di Souwciu, ia
telah membuat sebuah gendewa
raksasa yang beratnya
kira-kira lima ratus kati. Ketika itu, Thio
Su Seng menduga pasti, bahwa
ia akan dapat merebut seluruh
Tiongkok dan gendewa tersebut
dimaksudkan untuk dijadikan
mustika negara, sebagai
semacam nasehat, supaya anak
cucunya yang menjadi kaizar
tidak melupakan gendewa dan
kuda. Sesudah ia kalah perang,
gendewa itu disembunyikan
248
dalam guha batu di Koaywalim.
Belakangan, setelah Thio Tan
Hong mendapat kembali istana
dan taman tersebut, ia
mengangkut gendewa itu ke atas
gunung.
Mendengar Hek Pek Moko ingin
meminjam gendewa itu,
Sin Cu menjadi sangat heran.
"Untuk apa kalian meminjam
gendewa raksasa itu?"
tanyanya.
"Anak kecil jangan
menyampuri urusan orang," kata Pek
Moko. "Serahkan saja
kepada kami."
"Jika kau tak berterus
terang, aku tidak nanti keluarkan,"
kata si nona. "Di samping
itu, bagaimana kau bertemu guruku
dan apakah yang telah
dikatakan guruku? Sesudah kalian
memberitahukan, baru aku menyerahkan
gendewa itu."
Hek Moko mendongak mengawasi
cuaca, parasnya seperti
orang tidak sabar. "Benar
gila! Hayolah!" katanya.
"Perempuan memang rewel
sekali. Baiklah. Sembari jalan,
aku akan menceritakan.
Hayolah, cepatan!"
Melihat kesungguhan kedua
orang tua itu, Ie Sin Cu tidak
berani banyak bicara lagi dan
lalu bertindak lebih cepat,
diikuti Hek Pek Moko dan Siauw
Houwcu.
"Aku sama sekali tidak
menjustai kau," kata Hek Moko
sembari jalan.
"Sebenarnya aku mencari gurumu untuk
menghadapi musuh besar. Tapi begitu
tiba di sini, gurumu
justru sedang ketakutan diubar
kaki tangan si kaizar anjing
dan bersiap untuk kabur
bersama keluarganya. Hari itu, kita
bertemu di pinggir telaga.
Sesudah aku menceritakan
duduknya persoalan, ia
mengajarkan aku suatu tipu untuk
menghadapi musuh dengan
menggunakan gendewa itu.
Ketika itu, gurumu sudah
kesusu mau lekas-lekas berangkat.
Kami datang ke sini dengan
membawa Siauw Houwcu dan
249
niatan kami adalah untuk
menyerahkan anak itu kepadanya,
tapi karena ia begitu
terburu-buru, kami tak sempat lagi
membicarakan hal itu."
Heran sungguh hati si nona,
mendengar keterangan itu.
Thio Tan Hong pernah
menceritakan padanya, bahwa dengan
kepandaiannya Hek Pek Moko
sukar dicari tandingannya dalam
dunia. Jika satu lawan satu.
Thio Tan Hong sendiri pun paling
banyak hanya setanding dengan
kedua orang tua itu.
Siapakah adanya musuh itu,
yang agaknya disegani oleh
mereka?
Pek Moko mendongak melihat
cuaca. "Celaka!" katanya.
"Dua musuh itu akan
segera datang. Lekas serahkan gendewa
itu kepadaku!"
Sebenarnya Sin Cu masih ingin
mengajukan beberapa
pertanyaan, akan tetapi,
mendengar desakan itu, ia
mengurungkan niatannya dan
buru-buru menuju ke gudang
mustika yang terletak di
gunung belakang. Gudang tersebut
yang berada di dalam guha,
dulunya adalah tempat
menyimpan mustika Thio Su
Seng. Sesudah Thio Tan Hong
menyerahkan semua mustika dan
emas permata kepada
kaizar Beng, dalam gudang
tersebut hanya tersimpan
beberapa alat senjata dan
barang-barang peringatan. Ie Sin
Cu yang pernah beberapa kali masuk
ke dalam gudang
tersebut, mengetahui cara
membuka pintunya. Sesudah
memutarkan sebuah batu tiga
kali ke kiri dan tiga kali ke
kanan, pintu guha itu lantas
saja terbuka lebar.
Pek Moko segera menyalakan
bahan api dan masuk ke
dalam. Di tengah-tengah ruangan
itu terletak gendewa
raksasa dan di sampingnya
terdapat tiga batang anak panah
yang bersinar kuning, yang
ternyata dibuat dari emas murni.
Hek Moko membungkuk dan
mengangkat gendewa itu. "Haha-
ha!" ia tertawa.
"Cocok sekali untuk digunakan olehku."
250
Pek Moko lantas saja mengambil
tiga anak panah itu dan
mereka lalu berjalan keluar.
"Sebenarnya aku ingin
minta bantuan gurumu," kata Hek
Moko kepada Sin Cu. "Tapi
karena gurumu tidak berada di
sini, maka aku ingin minta
bantuan kau berdua. Bolehkah?"
Siauw Houwcu yang tahu akan
terjadi "keramaian",
menjadi sangat girang dan
lantas saja menyanggupi sembari
bertepuk tangan. Tapi Sin Cu
merasa heran dan berkata:
"Dengan cara apa kami
berdua dapat melawan musuh kalian?"
"Menurut keterangan Thio
Tan Hong," Hek Moko
menjelaskan. "Di sebelah
bawah perkampungan ini terdapat
suatu barisan batu, yang
diatur menurut Pattintouw Cukat
Buhouw (Cukat Liang, panglima
besar dari kaizar Lauw Pie,
pada jaman Samkok). Apakah kau
tahu?"
"Tahu," jawab si
nona. "Waktu mengikut Suhu pertama kali
datang di sini, hampir-hampir
saja aku kesasar di dalam
barisan itu."
"Apakah kau paham seluk
beluk barisan itu?" tanya Pek
Moko.
"Aku hanya mengetahui,
bagaimana orang harus keluar
dari pintu hidup,"
jawabnya. "Cara menggunakannya, tak
tahu."
"Cukup," kata Hek
Moko. "Aku hanya minta kau turun
gunung dan memancing kedua
musuh kami itu ke dalam tin
(barisan). Mereka adalah orang
Arab, sekali melihat, kau akan
lantas mengenali. Hayo,
lekas!"
Tanpa berkata suatu apa, Siauw
Houwcu lantas saja
berlari-lari seperti terbang
dan tidak lama kemudian, Ie Sin Cu
251
sudah menyusul. "Eh,
Siauw Houwcu!" kata si nona.
"Bagaimana kita harus
memancingnya? Kita mesti berdamai
dulu."
"Mau berdamai apa?"
kata si nakal sembari nyengir. “kut
aku saja." Dari sikapnya,
agaknya ia sudah mempunyai siasat
yang baik. Baru saja si nona
hendak menanya pula, di kaki
gunung sudah kelihatan
berkelebatnya dua bayangan
manusia.
Kedua orang itu mengenakan
jubah panjang dari sutera
kuning, pundak mereka ditutup
dengan sutera putih, kepala
mereka diikat dengan ikatan
kepala, hidung mereka mancung,
mata mereka dalam dan sekali
melihat saja, orang segera
mengetahui, bahwa mereka
adalah orang Arab. Apa yang luar
biasa adalah: Mereka bukan
saja berpakaian sama, tapi muka
mereka pun seperti pinang
dibelah dua. Perbedaan satusatunya
adalah: Yang satu tidak
mempunyai kuping kiri,
sedang yang lain hilang kuping
kanannya.
"Luar biasa!" kata
Siauw Houwcu sembari tertawa. "Aku
lihat, mereka sama benar
dengan kedua guruku. Tak bisa
salah lagi, mereka adalah
saudara kembar. Ha! Dua saudara
kembar bermusuhan dengan dua
saudara kembar. Sungguh
aneh!"
Walaupun gunung Tongteng san
Barat tidak seberapa
tinggi, tapi dari kaki sampai
di lerengnya, masih ada ratusan
tombak.
Dengan jalan yang berbelit-belit,
untuk naik sampai di
lereng, sedikitnya orang harus
menggunakan tempo setengah
jam. Tapi entah bagaimana,
dalam sekejap mata, kedua orang
itu sudah tiba di lereng.
252
Baru habis Siauw Houwcu
mengucapkan perkataannya, dua
orang Arab itu sudah tiba di
lembah sebelah kiri barisan batu
itu dan dilihat dari arah
jalan mereka, mereka bisa naik ke
atas gunung, tanpa melewati
barisan batu itu.
Ie Sin Cu menjadi bingung.
"Nah, sekarang akan kupancing
mereka," kata si nakal.
"Bunga emasmu harus dilepaskan pada
saat yang tepat. Sekarang aku
pergi." Lantas saja ia berlarilari
dan naik ke atas sebuah pohon
pipa.
Si nona tak tahu apa yang
hendak dilakukan oleh si nakal,
tapi ia segera mengikutinya
dan bersembunyi dalam jarak
beberapa tombak dari pohon itu.
Di lain saat, kedua orang itu
sudah masuk ke dalam hutan
pohon buah-buahan. Dengan
mempunyai kepandaian yang
sangat tinggi, tentu saja
mereka segera mengetahui, bahwa di
atas pohon bersembunyi seorang
manusia. Tapi oleh karena
melihat, yang
"nangkring" di atas itu hanya satu bocah,
mereka tidak memperhatikannya
dan menduga, bahwa bocah
itu mau memetik buah pipa.
Sembari jalan mereka berbicara
dalam bahasa Arab. Tepat
selagi mereka lewat di bawah
pohon pipa tersebut, ketika
mendadak ada air mancur ke
bawah. Ternyata di saat itu
Siauw Houwcu sengaja kencing.
Mereka terkejut dan loncat
minggir dengan berbareng, tapi
tak urung, muka mereka masih
juga kecipratan air kencing.
"Bocah nakal!"
bentak salah seorang dari mereka dalam
bahasa Tionghoa. "Apakah
kau mau mencari mampus?"
Hampir berbareng mereka
menyerang, yang satu
mengebas dengan tangan
kirinya, yang lain menghantam
dengan tangan kanannya, dari
jarak kira-kira dua tombak dari
pohon itu. Itulah Pekkong
ciang (Pukulan menghantam
udara)! Digempur dua kali
sambaran angin yang sangat tajam,
253
daun-daun pohon itu rontok,
cabang-cabangnya, bahkan
batang pohon pipa itu sekali
jadi bergoyang-goyang semua!
Ie Sin Cu terkesiap dan segera
mengayun kedua
tangannya. Enam bunga emas
segera melesat dari setiap
tangannya dan menyambar ke
arah jalan darah kedua orang
itu.
“Ih!" terdengar mereka
mengeluarkan seruan tertahan,
yang satu loncat ke kiri, yang
lain loncat ke kanan, masingmasing
menggerakkan tangannya, saling
menolong
menangkap bunga-bunga emas
itu. Bunga emas Sin Cu
sebenarnya tajam luar biasa,
tapi mereka sama sekali tidak
menghiraukan itu dan dengan
sekali bergerak, semua bunga
tersebut sudah masuk ke dalam
tangan mereka. Di lain saat,
sembari tertawa besar, mereka
membuka tangan mereka dan
loh... bunga emas itu sudah
hancur menjadi pasir emas yang
berkredepan!
Sementara itu, sambil jungkir
balik, Siauw Houwcu sudah
hinggap di atas tanah dan
segera lari terbirit-birit. Barusan,
biar pun sedang gusar, tapi
karena melihat Siauw Houwcu
hanya satu bocah cilik, kedua
orang itu masing-masing hanya
menggunakan tiga bagian
tenaganya di waktu menggunakan
Pekkong ciang, dengan tujuan
supaya si nakal jatuh untuk
kemudian dicaci maki. Jika
ketika itu seluruh tenaga mereka
dikerahkan, Siauw Houwcu tentu
sudah binasa.
Kedua orang itu memang benar
sepasang saudara kembar.
Yang tertua bernama Ismet,
adiknya Akhmad.
Mereka pernah menjelajah
benua-benua Eropa dan Asia.
Pada waktu itu, mereka menjadi
Koksu (guru negara) dari
Raja Iran. Oleh sebab
terjadinya suatu peristiwa aneh di istana
ratu, dalam mana malah
terselip juga perkara pencurian
mustika, yang bersangkut paut
dengan Hek Pek Moko, maka
254
dari Iran sampai di India dan
dari India sampai di Tiongkok,
Ismet dan Akhmad mengubar-ubar
Hek Pek Moko. Kepandaian
kedua belah fihak agaknya
berimbang, si Hitam dan si Putih
tak dapat mengalahkan dua
saudara itu, sedang dua orang
Arab itu juga tak dapat
menyekal Hek Pek Moko.
Seperti Hek Pek Moko,
kepandaian kedua saudara itu pun
didapat dari berbagai sumber,
dari Eropa dan dari Asia.
Pukulan Pekkong ciang mereka
merupakan gabungan dari
Gwakang (Ilmu luar) Arab dan
Jiukang (Ilmu "lembek") dari
Bitcong pay di Tibet, sehingga
pukulan tersebut mengeluarkan
tenaga "keras" dan
"lembek" dengan berbareng dan hebatnya
luar biasa. Barusan, kedua
saudara itu sudah memastikan,
bahwa si bocah nakal akan
jatuh semaput di bawah pohon
dan mereka heran bukan main,
ketika Siauw Houwcu berhasil
melarikan diri. Keheranan itu
jadi bertambah besar, ketika Ie
Sin Cu melepaskan bunga
emasnya yang sangat dahsyat.
Ismet tertawa dan berkata
dalam bahasa Arab: "Ah! Tak
nyana, di tempat ini muncul
bocah-bocah yang berkepandaian
tinggi. Eh, aku mengambil yang
besar, kau mengambil yang
kecil." Dengan berkata
begitu, ia bermaksud mengambil Ie Sin
Cu dan Siauw Houwcu sebagai
murid.
"Bagus!" jawab
Akhmad menyetujui usul saudaranya dan
dengan sekali menjejek kaki,
badan mereka sudah melesat
enam tujuh tombak jauhnya.
Berbareng dengan itu, mereka
lalu melancarkan pulah pukulan
Pekkong ciang dengan
menggunakan lima bagian tenaga
mereka.
Ie Sin Cu yang sedang lari
terbirit-birit, mendadak
merasakan sambaran angin yang
sangat tajam. Secara
otomatis, ia loncat minggir.
Meskipun pukulan itu dilancarkan
dari tempat yang agak jauh,
badannya tak urung bergoyanggoyang
juga beberapa kali.
255
Ismet jadi semakin heran,
setelah mendapat kenyataan,
bahwa pukulannya yang lebih
berat itu, masih belum dapat
merubuhkan si bocah. Sesudah
mengubar enam tujuh tombak
lagi, tiba-tiba ia menghantam
dengan kedua tangannya, kali
ini ia menggunakan delapan
bagian tenaganya.
Mendengar kesiuran angin, si
nona mengetahui, bahwa ia
sendiri masih dapat
mempertahankan diri, tapi kawannya pasti
akan rubuh. Sungguh tak usah
malu Ie Sin Cu menjadi murid
yang disayang suami isteri
Thio Tan Hong. Pada saat yang
genting itu, sambil menyambar
badan si nakal, ia meloncat
kira-kira dua tombak tingginya
dengan gerakan Itho
ciongthian (Burung Ho
menembusi langit). "Biar tetap!" ia
berseru di tengah udara dan
angin pukulan Pekkong ciang itu
lewat di bawah kaki mereka!
Segera setelah itu, si nona
melemparkan tubuh Siauw Houwcu
masuk ke dalam barisan
batu, sedang ia sendiri pun,
dengan gerakan yang sangat
indah, melayang turun di depan
pintu tin (barisan) tersebut.
Sementara itu, Ismet dan
Akhmad juga sudah menyusul.
"Tak kenal malu!" si
nona mengejek. "Bisanya menghina anak
kecil."
"Angkatlah aku menjadi
gurumu dan kau akan beruntung
sekali," bujuk Ismet.
"Punya kepandaian apa
kau, berani menawarkan diri untuk
menjadi guru?" si nona
menyindir.
Tangan Ismet menyambar dan
coba menyengkeram si
nona. Bagaikan kilat Ie Sin Cu
menikam pedangnya yang
berkeredapan menyambar ke arah
jalan darah Hiankie hiat di
dada dan Koangoan hiat di
bawah ketiak Ismet. Tikaman itu
adalah serangan membinasakan
menurut Hian Kie Kiamhoat.
256
Melihat serangan yang sehebat
itu, Ismet agak terkejut. Ia
tak menduga, jika pemuda yang
masih kekanak-kanakan itu
mempunyai kiamhoat yang begitu
liehay.
Ia tak berani berlaku ayal,
sembari mengegos ia menyentil
dengan jerijinya. Dengan
berbunyi "tring!", Cengbeng kiam
itu hampir-hampir terbang dari
tangan Ie Sin Cu.
Oleh karena tujuannya adalah
untuk memancing musuh,
maka gerakan Sin Cu itu,
walaupun hebat, tetapi di samping
menyerang juga mengandung
persiapan untuk mundur.
Demikianlah dengan meminjam
tenaga musuh, begitu
pedangnya terpental balik, ia
lantas loncat mundur dan masuk
ke dalam barisan batu. Ismet
yang tidak menduga jelek,
lantas saja mengubar, diikuti
saudaranya.
Barisan batu itu dulu dibuat
Pheng Hweeshio menurut
rencana Pattintouw Cukat Buhouw
dan mempunyai delapan
pintu, yaitu pintu Hiu
(Beruntung), Seng (Hidup), Siang
(Luka), Touw (Buntu), Sie
(Mati), Keng (Besar), Kheng
(Kaget) dan Kay (Buka).
Seorang yang tidak mengenal
barisan itu, meski mempunyai
kepandaian bagaimana tinggi
juga, sekali masuk, tak usah
mengharap akan bisa keluar lagi.
Dengan perasaan tidak
mengerti, Ismet bersama
saudaranya berputar-putar di
antara batu-batu itu. Sebentarsebentar,
entah dari mana Ie Sin Cu dan
Siauw Houwcu
muncul, tapi begitu diserang,
mereka menghilang, tak tahu ke
mana. Mereka tak usah kuatir
akan keselamatan mereka, akan
tetapi, dipermainkan secara
begitu, mata mereka jadi
berkunang-kunang dan semakin
lama, mereka masuk semakin
dalam.
Ismet terkejut. "Tujuan
kita adalah untuk mencari dua
siluman tua itu, tapi kenapa
kita sendiri berbalik kena
dipermainkan oleh dua bocah
cilik itu?" katanya kepada
257
saudaranya. Berputar-putar,
mereka mencari jalan keluar, tapi
tidak bisa berhasil.
"Hei!" teriak Siauw
Houwcu, mengejek. "Kamu mau
mengambil aku sebagai murid.
Aku sekarang berada di sini,
kenapa kau tak berani
mendekati?"
Dengan gusar kedua saudara itu
mengubar. Si nakal buruburu
lari mendekati Ie Sin Cu dan
mengikuti si nona lari
beberapa putaran. Ismet dan
Akhmad mengejar terus dan
akhirnya kena dipancing masuk
ke pintu Mati.
Biar tinggi ilmu mereka, kedua
saudara itu mulai menjadi
bingung juga. Sementara itu,
Sin Cu dan si nakal mengejek
terus. Akhmad jadi gusar bukan
main. Ia memeluk sebuah
pilar batu dan sembari
membentak keras ia mencabut pilar itu
yang beratnya ratusan kati.
Tinggi setiap pilar sedikitnya
beberapa tombak dan bagi orang
biasa, untuk merubuhkan
sebuah saja sudah bukan
pekerjaan enteng. Sesudah
mengeluarkan banyak keringat
dan badannya lemas
kecapean, Akhmad baru berhasil
merubuhkan beberapa pilar
saja dan bersama saudaranya,
ia masih belum dapat mencari
jalanan keluar.
Ismet minta saudaranya
berhenti mencabut pilar-pilar itu
dan lalu mengasah otak untuk
mencari daya lain yang lebih
baik. Beberapa saat kemudian,
ia minta saudaranya berdiam
di bawah untuk berjaga-jaga
terhadap serangan senjata
rahasia Ie Sin Cu, sedang ia
sendiri segera memanjat salah
sebuah pilar. Pinggiran pilar
dtu tajam bagaikan pisau, tapi
Ismet yang seakan-akan
mempunyai tulang besi dan urat
kawat, tidak takut akan ketajaman
batu itu.
Dalam sekejap mata, ia sudah
tiba di ujung pilar. Baru saja
matanya memandang ke empat
penjuru, kupingnya
258
mendadak mendengar suara
tertawa yang nyaring dan aneh,
di puncak gunung.
Ternyata orang yang berada di
puncak itu bukan lain
daripada Hek dan Pek Moko. Hek
Moko kelihatan sedang
memeluk sebuah gendewa
raksasa, sedang Pek Moko
menyekal anak panah. Dengan
badan mereka yang tinggi
besar, dua saudara hitam putih
itu seakan-akan dua malaikat
yang sedang berdiri di puncak
gunung.
Ismet dan Akhmad kaget bukan
main dan sebelum mereka
membuka suara, Hek Moko sudah
tertawa terbahak-bahak
seraya berkata: "Muridku
saja kamu masih tak sanggup
melayani, bagaimana kamu
berani banyak berlagak di sini?
Lebih baik kamu lekas-lekas
pergi!"
"Manusia yang memancing
musuhnya dengan segala akal
bulus, bukan seorang
gagah!" Ismet membentak dengan
gusar. "Jika kau
benar-benar mempunyai nyali, turunlah dan
bertempur dengan kami sampai
ada yang binasa!"
"Baiklah, jika kamu tidak
mau menyerah kalah, kita boleh
bertempur lagi," sahut
Hek Moko sembari tertawa. "Sambutlah
anak panahku!"
Meskipun Ie Sin Cu dan Siauw
Houwcu tidak mengerti
cacian-cacian yang diucapkan
dalam bahasa Arab itu, hati
mereka berdebar-debar
mendengar suara orang-orang aneh
itu yang nyaring dan angker
luar biasa, seolah-olah
menggetarkan seluruh gunung.
Ketika itu mereka berdua
bersembunyi disuatu sudut pintu
Seng (Hidup). Mendadak,
berbareng dengan terdengarnya
bunyi "ung!",
sebatang anak panah menyambar ke bawah dari
puncak gunung dan tubuh Ismet
tergelincir dari atas pilar.
Bagaikan kilat, Akhmad loncat
ke atas sambil mementang
259
kedua tangannya untuk
menyambut kakaknya yang sedang
melayang jatuh. Hampir pada
saat itu juga, kembali terdengar
"ung!" dan tubuh
Akhmad juga terpelanting ke bawah. Susulmenyusul
kedua saudara itu rubuh di
atas tanah, di pundak
masing-masing terdapat satu
tanda merah. Hampir pada detik
yang sama, menyusul
berkelebatnya sinar kuning yang
berkeredep, dua anak panah
menancap pada batu, dengan
batang bergoyang-goyang tak
hentinya.
Kepandaian Hek Pek Moko dan
kedua orang Arab itu kira
kira setanding. Jika mereka
bertempur secara biasa di atas
tanah datar, dalam tempo tiga
hari tiga malam belum tentu
ada yang kalah atau menang.
Tapi tadi, dengan
mengandalkan tenaga gendewa
raksasa itu dan juga karena
Hek Pek Moko memanah dari
tempat yang lebih tinggi, maka
Ismet maupun Akhmad yang sudah
pusing dipermainkan Sin
Cu dan Siauw Houwcu, tak dapat
berkelit lagi dan segera
rubuh ketika anak panah itu
mengenai pundak mereka. Masih
untung. Hek Pek Moko tidak
berlaku kejam dan hanya
memanah bagian pundak yang
tidak membahayakan jiwa.
Akan tetapi, maskipun begitu,
hantaman anak panah itu sudah
memecahkan khie (hawa) mereka
dan untuk memperoleh
kembali tenaga dalam yang hilang
karenanya, mereka harus
berlatih sedikitnya setahun.
Siauw Houwcu adalah bocah
nakal yang tak kenal takut.
Tapi, menyaksikan peraduan
tenaga yang demikian hebat, ia
terkesiap dan hanya dapat
mengawaskan dengan mulut
ternganga. Dengan hati kagum,
ia menyaksikan bagaimana
Ismet dan Akhmad
"menyambut" kedua anak panah itu
dengan pundak mereka. Tanpa
mempunyai tenaga dalam
yang sudah mencapai puncak
kesempurnaan, tulang serta
otot-otot pundak mereka tentu
sudah ditembusi dan
dihancurkan dua anak panah itu.
Dengan Iweekang mereka
yang luar biasa dahsyatnya,
Ismet dan Akhmad sudah dapat
membuat terpentalnya kedua
anak panah itu, yang masih
260
mempunyai tenaga begitu besar,
sehingga menancap di batu.
Dari peristiwa ini dapat
dibayangkan, bagaimana hebatnya
peraduan tenaga yang terjadi
barusan. Begitu kagum Siauw
Houwcu dibuatnya sehingga ia
tak dapat mengeluarkan ejekan
pula. Sebaliknya, buru-buru ia
mendekati kedua saudara itu
dan membangunkan mereka.
Ismet mendelik dan loncat
bangun. "Bocah! Hatimu baik
sekali," katanya sembari
menjambret si nakal yang lalu diputar
beberapa kali, sedang dengan
tangan kirinya ia menepuk
punggung si bocah.
Ie Sin Cu jadi terkejut,
buru-buru ia loncat untuk menolong.
Tapi tangan Ismet cepat luar
biasa, dalam sekejap mata sudah
tiga kali ia menepuk punggung
Siauw Houwcu yang lalu
didorongnya pergi.
Mendadak saja, si nakal
merasakan perutnya mulas dan
gegerugukan. Ia lari dan
bersembunyi di belakang sebuah
batu besar.
"Kenapa kau?" tanya
Sin Cu.
Siauw Houwcu menongolkan kepalanya
dan menjawab:
"Jangan kemari. Aku mau
buang air."
Si nona mendongkol berbareng
geli hatinya, tetapi di
samping itu, demi melihat
paras muka Siauw Houwcu tidak
berubah, hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba terdengar teriakan
Hek Moko: "Sin Cu! Dengan
memandang budi yang dilepasnya
kepada Sutee-mu (Sutee
berarti adik seperguruan,
yaitu Siauw Houwcu), antarlah
mereka keluar."
261
"Hek Moko!" kata
Ismet dengan suara mendongkol. "Tak
sudi aku menerima
budimu!"
"Jika kau masih ingin
mengadu tenaga, sedikitnya kau
harus menunggu setahun
lagi." kata Hek Moko.
"Lihatlah! Aku masih
mempunyai sebatang anak panah.
Biarlah aku menggunakan ini
untuk membuka jalan."
Berbareng dengan diucapkannya
perkataan itu, sebatang
anak panah emas menyambar
pilar batu yang berada di depan
Ismet dan pilar itu lantas
saja terbelah dua. Ismet mengarti,
bahwa dengan anak panah itu,
Hek Moko ingin
memperlihatkan keangkerannya.
Ia tertawa dingin seraya
berkata: "Sungguh angker!
Tapi keangkeranmu hanya untuk
satu tahun." Sehabis
berkata begitu, ia menuntun saudaranya
dan berjalan keluar dari
barisan batu itu dengan diantar oleh
Ie Sin Cu.
Sesudah keluar dari tin
(barisan) sembari memandang si
nona, Ismet menanya:
"Apakah kau murid dua siluman itu?"
”Guruku adalah Thio Tayhiap,
Thio Tan Hong," jawabnya.
"Hm! Thio Tan Hong!"
kata Ismet. "Baiklah. Aku menerima
baik budimu ini. Aku tak akan
melupakannya."
Sesudah kedua saudara itu
berlalu, Sin Cu segera masuk
pula ke dalam barisan batu,
dari mana ia mengambil pulang
tiga anak panah emas itu. Waktu
tiba di pintu Seng, ia
bertemu dengan Siauw Houwcu
yang, sungguh
mengherankan, telah menjadi
pucat mukanya dan agak lebih
kurus.
"Kenapa kau?" tanya
Sin Cu.
262
"Tak apa-apa,"
jawabnya. "Aku tadi buang-buang air, tapi
badanku sekarang rasanya
nyaman sekali."
Harus diketahui, bahwa Ismet
mempunyai semacam ilmu
mengurut yang sangat liehay,
yang dapat menyembuhkan
macam-macam penyakit. Waktu
Siauw Houwcu bermula
belajar Iweekang, ia telah
berlatih secara melewati batas
karena ingin mendapat kemajuan
pesat. Sebagai akibatnya,
kadang-kadang ia merasakan
dadanya mendeluh, tapi ia
sendiri tidak menyadari, bahwa
ia menderita semacam
penyakit dalam. Sebagai
seorang ahli, dengan sekali melirik
saja, Ismet sudah mengetahui
penyakit bocah itu. Dengan
menepuk tiga kali ia
menjalankan darah Siauw Houwcu,
sehingga semua "hawa
kotor" turun ke bawah dan keluar
sebagai kotoran dan "hawa
bersih" naik ke atas. Bantuan
Ismet itu sangat besar
faedahnya dan akan banyak membantu
latihan Siauw Houwcu di hari
kemudian.
"Tak heran, jika kedua
guruku sudah meminjam kamar
gurumu untuk berlatih,"
kata Siauw Houwcu.
"Ternyata, mereka harus
bertempur dengan dua siluman
itu."
"Lagi kapan kau bertemu
dengan kedua gurumu?" tanya
Sin Cu.
"Malam itu, sesudah
mengurung Hoan Eng di dalam kamar,
aku keluar untuk mencari
ayah," cerita si nakal. "Setibanya di
mulut dusun, aku bertemu kedua
guruku itu. Aku kenal
mereka, karena mereka pernah
berkunjung di rumahku.
Begitu bertemu, Toa-suhu Hek
Moko lantas saja berkata:
"Siauw Houwcu, ada orang
jahat yang mau mencari ayahmu.
Lebih baik kau jangan pulang.
Aku segera mengatakan,
bahwa, jika benar ada orang
jahat mau mencari ayahku, lebihlebih
aku perlu buru-buru pulang
untuk memberitahukannya.
263
Jiesuhu Pek Moko lantas saja
membujuk. Katanya: ”Siauw
Houwcu, kepandaianmu masih
sangat cetek, tak dapat kau
membantu ayahmu. Jika kau
pulang, ayahmu berbalik harus
melindungi kau dan kau sendiri
pun mungkin dilukakan orang.
Aku tahu, dua orang jahat itu
bukan tandingan ayahmu. Lebih
baik kau mengikut kami. Aku
akan membawa kau pergi
menemui Thio Tan Hong. Dulu,
ayahmu pernah mengatakan
kepadaku, bahwa ia ingin
sekali kau belajar silat kepada Thio
Tan Hong. Kedatangan kami kali
ini, adalah untuk mengajak
kau pergi, tapi tak dinyana,
ayahmu kebetulan menemui
urusan penting. Di lain pihak,
kami juga tak dapat berayal lagi
dan perlu buru-buru mencari
Thio Tan Hong. Maka itu, kami
sudah mengambil keputusan
untuk tidak menemui ayahmu
dulu dan meninggalkan suatu
tanda saja di depan rumahmu.
Malam ini, sesudah mengusir
kedua orang jahat itu, ayahmu
pasti akan menyusul kita.
Sekian bujukan Jiesuhu dan aku
segera menurut. Hm! Sin Cu
Ciecie, kau sudah bertemu
dengan ayahku, kenapa ia tidak
datang bersama-sama kau?"
Mendengar cerita itu yang
ditutup dengan pertanyaan, si
nona jadi sangat berduka.
"Ah, sungguh sayang Hek Pek Moko
hanya melihat dua orang yang
datang lebih dulu," katanya di
dalam hati. "Sungguh
sayang, mereka hanya melihat Cian Sam
San dan Bun Tiat Seng yang di
kirim Kie Giok. Mereka tak
mengetahui, bahwa dua orang
kaki tangan Kie Tin belakangan
juga menyusul. Jika mereka
tahu, biar bagaimana juga,
mereka tentu akan
membantu."
“Ciecie!" kata Siauw
Houwcu dengan tidak sabar, karena si
nona bungkem terus. "Kau
kenapa? Kenapa matamu merah?
Apakah kau dimaki ayahku yang
sungkan menerima kau?
Benarkah begitu? Ah, sudahlah!
Jangan menangis! Ayahku
pernah mengatakan, biar
darahnya mengucur, air mata
seorang laki-laki tidak
keluar..."
264
Hati Siauw Houwcu sangat heran
melihat air mata Sin Cu
berketel-ketel. Ia teringat,
bahwa Sin Cu bukan seorang laki,
sehingga perkataan ayahnya
tidak sesuai untuk ciecie itu.
Mendadak Sin Cu membuka
mulutnya dan berkata dengan
suara terputus-putus:
"Ayahmu... telah... telah... dibinasakan
orang!"
Bagi telinga Siauw Houwcu
kata-kata itu bagaikan halilintar
di tengah hari bolong.
"Apa?" teriaknya.
"Dibinasakan orang?"
Si nona manggut dan menjawab
dengan suara serak:
"Dibinasakan kawanan
manusia keparat itu!"
Siauw Houwcu ternganga.
Tiba-tiba ia berteriak dengan
suara tak wajar: "Justa!
Ayahku jarang ada tandingannya.
Mana mungkin ia dibinasakan
orang?"
Sambil menahan air mata, Ie
Sin Cu mengeluarkan golok
Bianto dan sobekan baju Thio
Hong Hu yang berlumuran
darah untuk diserahkan kepada
Siauw Houwcu.
"Siauw Houwcu, benar
katamu," katanya dengan suara
sedih. "Ayahmu adalah
seorang jago yang jarang
tandingannya. Orang-orang
jahat itu semuanya sudah
dibinasakan-nya sendiri, sakit
hatinya semua sudah dibalas
dengan tangannya
sendiri."
Muka bocah itu mendadak
menjadi pucat bagaikan kertas.
Ia hanya dapat mengeluarkan
sepatah kata: "Ayahku..."
"Biar pun mati, ayahmu
mati dengan mata meram," Sin Cu
membujuk. "Golok mustika
itu ditinggalkan untukmu."
265
Kedua mata Siauw Houwcu
menjadi merah bagaikan darah,
ia mengawasi Sin Cu dengan
mata beringas. Tiba-tiba ia
mengangkat tinjunya dan
menumbuk dadanya sendiri serta
kemudian menangis
menggerung-gerung.
Si nona mengeluarkan
saputangannya dan menyusuti air
mata bocah itu dengan hati
penuh kedukaan.
"Siauw Houwcu,"
katanya dengan lemah lembut serta
perlahan. "Ayahmu
bukankah pernah berkata, biarpun
darahnya mengucur, air mata
seorang laki-laki tidak akan
keluar."
Sekonyong-konlong bocah itu
menghunus Bianto itu dan
membacok beberapa kali di
udara. "Baiklah! Aku memang tak
boleh menangis," katanya,
tapi air matanya masih terus
mengucur.
"Aku bersumpah akan
membinasakan semua orang jahat
dalam dunia dengan golok
ini!" kata Siauw Houwcu dengan
suara gergetan. “ Ciecie, aku
mohon kau mengajarkan aku
ilmu silat."
"Asal mau dan rajin
belajar, di kemudian hari kau pasti
akan mempunyai ilmu yang
sangat tinggi," kata si nona.
"Kedua gurumu dan guruku
sendiri sudah tentu akan
menurunkan segala kepandaian
mereka kepadamu."
Sedang mulutnya membujuk bocah
itu, hati si nona sendiri
justru seakan-akan diiris-iris.
Ia ingat, bahwa sakit hati Thio
Hong Hu sudah terbalas himpas,
tapi sakit hati ayahnya
sendiri, siapa yang akan dapat
membalaskannya? Ia
menghibur Siauw Houwcu, tapi
air matanya sendiri terus
berketel-ketel turun.
266
"Ah! Mengapa kamu
menangis berdua-dua?" demikian
terdengar pertanyaan Hek Moko
yang tanpa diketahui sudah
berada di damping mereka.
"Thio Hong Hu Peh-peh
telah meninggal dunia, aku sedang
membujuk supaya ia jangan
terlalu bersedih," kata Sin Cu.
"Ha? Thio Hong Hu mati?
Apakah gara-gara urusan malam
itu?" tanya Hek Moko
dengan suara terkejut.
Sin Cu lantas saja menuturkan,
bagaimana Thio Hong Hu
sudah binasa secara laki-laki,
sesudah, dengan tangan sendiri,
membunuh semua penyerangnya.
"Bagus! Dia hidup sebagai
laki-laki, mati juga sebagai lakilaki,"
kata Hek Moko. "Siauw
Houwcu! Kau harus merasa
bangga mempunyai ayah seperti
ia." Ia berpaling kepada Sin
Cu dan berkata pula:
"Sebenarnya aku harus membiarkan kau
mengajak Siauw Houwcu pergi
mencari gurumu. Tapi,
mengingat ilmu silat bocah itu
masih sangat cetek, sehingga
akan membikin kau berabe saja
dalam perjalanan jauh, maka
lebih baik aku akan
mengajaknya ke India untuk dua tahun
lamanya. Sesudah ia mempunyai
kepandaian yang agaknya
cukup tinggi, baru aku akan
mengirimnya kepada gurumu.
Bagaimana pendapatmu?"
"Aku setuju," sahut
si nona. "Rencana kalian adalah untuk
kebaikan Siauw Houwcu. Hm!
Sekarang aku minta kau
menceritakan hal guruku."
"Gurumu telah
memberitahukan, bahwa ia ingin pergi ke
Taylie, di Hunlam," Hek
Moko menerangkan, “ Thay-sucouwmu
yang berdiam di gunung
Tiamcong san di Taylie, tahun ini
akan merayakan hari ulang
tahunnya yang ke delapan puluh
satu. Maka, kepergian gurumu
kali ini mempunyai dua tujuan,
267
yaitu untuk menyingkir dari
bencana dan berbareng untuk
memberi selamat panjang umur
kepada Thaysu couw-mu."
Thaysucouw Ie Sin Cu adalah
Hian Kie Itsu yang dulu
pernah bermusuhan dengan
Siangkoan Thian Ya. Sepuluh
tahun berselang, sesudah kedua
lawan itu berbalik menjadi
kawan, mereka bersama-sama
mengundurkan diri dan hidup
bersembunyi di pegunungan. Hal
itu sudah diketahui Sin Cu
dari cerita gurunya, tapi baru
sekarang ia mengetahui bahwa
kedua orang tua itu berdiam di
Tiamcong san.
"Gurumu menunggu tiga
hari lamanya dan karena kau
belum juga pulang, ia terpaksa
lantas berangkat," kata Hek
Moko pula. "Menurut
katanya, dalam kamar buku ia telah
meninggalkan sepucuk surat
untukmu."
Mendengar, bahwa sang guru
sudah menunggu ia tiga hari
lamanya, Sin Cu jadi
lebih-lebih merasakan kecintaan guru itu
dan jadi sangat menyesal,
bahwa ia tidak pulang lebih cepat.
"Menurut dugaanku,
sesudah mendapat hajaran keras,
untuk sementara, Wiesu-wiesu
itu tentu tidak berani
menyatroni pula," kata
Hek Moko lagi sesudah berdiam
beberapa saat.
"Perjalanan ke Hunlam bukan perjalanan
dekat. Maka itu, kuharap kau
berlaku hati-hati di tengah jalan.
Di kemudian hari, kami juga
ingin menyambangi gurumu di
Hunlam dengan mengambil jalan
dari Birma. Nanti, kalau kau
bertemu dengan gurumu, harap
kau menanyakan
kesehatannya atas nama
kami."
Sesudah berkata begitu,
bersama saudaranya dan Siauw
Houwcu, Hek Moko segera
berangkat.
Setelah berada seorang diri,
dengan hati duka si nona pergi
ke kamar buku Thio Tan Hong.
Oleh karena sering melayani
sang guru menulis surat, ia
mengetahui bahwa gurunya biasa
268
menyimpan surat-surat
pribadinya di dalam laci tengah meja
tulisnya. Benar saja, begitu
menarik keluar laci tersebut, di
dalamnya terdapat dua pucuk
surat, satu untuknya sendiri,
yang lain untuk Ciu San Bin,
di samping itu terdapat sepasang
bendera merah kecil, sehelai
tersulam matahari, sedang yang
lain bulan sabit.
Ie Sin Cu lantas saja merobek
amplop surat dengan
namanya. Dalam amplop itu,
selain sepucuk surat, terdapat
sebuah lukisan seorang
laki-laki dan seorang perempuan
setengah tua yang berparas
cakap dan angker. Si nona lantas
saja membaca surat itu yang
isinya kira-kira seperti berikut:
Dipersembahkan untuk muridku
Sin Cu:
Sungguh kaget hatiku, ketika
mendengar berita wafatnya
ayahmu. Sungguh aku berduka,
jika mengingat, bagaimana
Kaizar Beng sudah memusnahkan
Tembok Besar dengan
tangannya sendiri dan jika
mengingat, bahwa aku sendiri
sudah kehilangan seorang guru,
seorang sahabat. Satu hai
aku tahu, bahwa orang yang
bersedih hati, bukan hanya kau
dan aku berdua saja.
Aku hanya mengharap, supaya
dengan mengingat adanya
kekalutan dalam dunia dan
kesukaran dalam negara kita, kau
jangan terlalu bersedih. Aku
berharap supaya kau dapat
meneruskan cita-cita mendiang
ayahmu, agar tak
mengecewakan penghargaan
seluruh rakyat. Aku tahu, bahwa
Taysianghong ada/ah manusia
kejam dan bahwa, begitu lekas
ia naik lagi ke atas takhta,
ia tentu akan membasmi menterimenteri
yang berjasa.
Gunung ini yang gampang
disatroni pasukan kaizar, bukan
tempat yang sentosa. Aku
sebenarnya tidak memikirkan
keselamatan jiwa sendiri. Tapi
sebagaimana kau tahu, suku
Lie cin (leluhur orang Boan)
telah bergerak di daerah Utara
timur, sedang orang-orang
Jepang sering menyatroni pasi-sir
Tenggara, sehingga pada waktu
ini, kita seharusnya bersatu
padu untuk menghadapi bahaya
dari luar. Kau tentu tahu,
269
bahwa keharusan bersatu itu
merupakan cita-citaku semenjak
dulu. Aku selamanya tidak mau
bersatu dengan pihak
kerajaan.
Itulah sebabnya, mengapa, guna
menyingkir dari mara
bahaya, untuk sementara waktu
aku ingin bersembunyi di
Hunlam selatan. Berbareng
dengan itu, akupun ingin memberi
selamat panjang umur kepada
Thaysucouw-mu.
Aku tahu kau tentu akan segera
menyusul. Akan tetapi,
sekarang ini ada suatu urusan
penting yang kuminta kau
mengerjakannya. Sepasang
bendera yang terlampir di sini
harus disimpan baik-baik
olehmu, sebagai semacam
pertandaan. Dengan membawa
surat yang kutinggalkan, kau
harus segera berangkat ke
Utara. Jika bertemu dengan
pasangan suami isteri yang
romannya mirip dengan gambar
terlampir, kau harus
mengetahui, bahwa pasangan itu adalah
suami isteri Kim too
Siauwceecu Ciu San Bin.
Sekian surat itu.
Sesudah selesai membaca,
walaupun masih sedih, si nona
agak terhibur juga oleh pesan
sang guru yang ia cintai itu.
Tanpa berayal lagi, ia segera
menyemplak kudanya dan turun
gunung.
Tentang riwayat Kimtoo Ceecu
Ciu Kian, sudah sering ia
mendengar gurunya berceritera.
"Ciu Kian sudah tua dan
segala urusan katanya
diserahkan kepada puteranya," pikir si
nona. "Tapi kenapa suami
isteri Ciu San Bin berani masuk ke
wilayah Tionggoan? Dan dengan
cara apa guruku bisa
mengetahui itu?" Hatinya
sangsi, tapi karena ia percaya,
bahwa gurunya tidak akan
bicara sembarangan, ia
meneruskan perjalanannya ke
Utara dengan hati tetap.
Setibanya di tepi telaga, Sin
Cu merasa agak bingung,
karena di atas telaga yang
luas itu, tidak kelihatan sebuah
perahu pun. Selagi diliputi
kejengkelan, tiba-tiba dari antara
270
cabang-cabang pohon Yangliu
yang tumbuh di pinggir air,
muncul sebuah perahu kecil.
“Ie Kouwnio (Nona Ie)."
kata seorang penangkap ikan yang
mengemudikan perahu itu.
"Apakah kau mau pergi ke Busek?
Apakah kau tidak mengenali
aku? Aku adalah Sie Loosam yang
tinggal di Pipa lim di lereng
gunung."
Di gunung Tongteng san Barat
terdapat ratusan keluarga.
Sesudah berdiam delapan tahun
lamanya di gunung itu,
walaupun tidak dapat mengingat
semua nama, Sin Cu
mengenal sebagian besar
penduduk di situ. Demikianlah,
begitu si penangkap ikan
menyebut namanya. Sin Cu segera
mengenalnya kembali.
"Tadi waktu aku mendaki
gunung, bukankah kau juga
berada di atas gunung?"
tanya Sin Cu dengan rasa agak
jengah. "Tak mengherankan
jika kau tidak mengenali, karena
aku mengenakan pakaian lelaki.
Benar besar nyalimu. Orang
lain semua pada
bersembunyi."
"Aku tahu kau ingin
menyeberang, maka aku sudah
sengaja menunggu di
sini," kata Sie Loosam. "Nona, kau
naiklah."
Sembari berkata begitu, ia
menuntun si Putih ke perahu
dan sesudah Sin Cu loncat
turun, ia segera menggayuti
perahunya. "Baik juga
kalian dapat mengalahkan orang-orang
jahat itu," kata si
penangkap ikan. "Jika tidak, kami semua
tentu tak berani muncul. Thio
Tayhiap benar-benar baik.
Sebelum berangkat ia sudah
mengetahui akan datangnya
manusia-manusia itu dan
menasehatkan kami untuk
menyingkir sementara waktu.
Hm! Ke mana ia pergi? Kapan
pulangnya?"
271
Perahu itu laju cepat sekali.
Mengingat pengalamanpengalaman
yang membahagiakan selama
delapan tahun
berdiam di Tongteng Sankhung,
hati si nona jadi terharu dan
dengan mata mende-long, ia
mengawasi puncak-puncak
gunung yang semakin lama
menjadi semakin jauh. "Ya!"
katanya sambil menghela napas.
"Guruku telah pergi ke
tempat jauh, jauh sekali. Tapi
ia sangat menyintai tempat ini.
Kurasa beberapa tahun
kemudian, lama atau cepat, ia tentu
akan kembali."
Sembari bercakap-cakap, tidak
lama kemudian, perahu itu
sudah tiba di Busek. Sesudah
menghaturkan terima kasih pada
Sie Loosam, Sin Cu segera
meneruskan perjalanannya dengan
menunggang kuda.
Pada hari kedua, sembari
jalan, hati Sin Cu merasa heran
karena di sepanjang jalan ia
bertemu dengan orang-orang
yang kelihatan menyurigakan.
Di waktu magrib, selagi ingin
mempercepat lari kudanya
supaya bisa buru-buru tiba di
sebuah kota kecil, dua
penunggang kuda tiba-tiba
melewatinya, yang seorang
brewokan mukanya, yang lain
seorang pengemis.
Pengemis itu, yang pakaiannya penuh
tambalan,
menunggang seekor kuda besar
yang garang, sedang
pelananya pun indah sekali.
Begitu melewati si nona, Ia
menengok dan berkata sembari
tertawa: “Ie Siangkong ... Ie
Kouwnio, Toa-iiongtauw kami
tak dapat melupakan kau.
Bagus! Kau juga datang ke
sini. Atas nama Toaliongtauw, aku
menanyakan
keselamatanmu." Sembari berkata begitu, ia
mengangkat tongkatnya dan
memberi hormat dengan cara
yang lucu sekali.
Si nona lantas saja mengenali,
bahwa pengemis itu adalah
Pit Yan Kiong. Dengan rasa
malu dan gusar, ia menimpukkan
sekuntum bunga emas seraya
membentak: "Siapa kesudian
272
menerima hormat segala
pengemis jorok!" Senjata rahasia itu
menyambar jitu sekali dan
Tahkauw pang (tongkat pemukul
anjing) si pengemis terlepas
dari tangannya. Tubuh Pit Yan
Kiong melesat dari atas pelana
dan dengan suatu gerakan
indah, menangkap tongkatnya
yang sedang melayang jatuh,
akan kemudian, dengan sekali
jungkir balik, ia sudah duduk
lagi di atas pelana.
"Umumnya, jika kita
berlaku hormat, semua orang akan
merasa senang," katanya
sembari nyengir. "Tapi kau
sebaliknya. Biarpun kau
jempol, tak pantas kau menghajar
seorang yang berlaku begitu
hormat terhadapmu. Hm! Nona
mantu itu benar-benar sukar
diurus!" Sembari mengejek,
buru-buru ia mengeprak kudanya
yang lantas saja lari kabur.
Bukan main gusarnya Sin Cu.
Jika menuruti adatnya, ia
tentu sudah menyusul dan
memberi persen si mulut jail
dengan dua bunga emas. Akan
tetapi, karena sungkan
diketahui orang, bahwa ia
sebenarnya adalah seorang wanita
yang menyamar sebagai pria dan
juga karena merasa malu,
jika dipanggil "nona
mantu", maka sebaliknya dari mengubar,
ia menahan-nahan les kudanya
supaya jangan berdekatan
dengan pengemis itu.
Sesudah melarikan kudanya
beberapa lama, kota kecil itu
sudah terlihat di depan mata. Sekonyong-konyong
di belakang
Sin Cu kembali terdengar
kelenengan kuda dan bagaikan kilat
seekor kuda lewat di
sampingnya. Si penunggang kuda
agaknya sedang kesusu dan tak
hentinya menyambuk
tunggangannya itu. Entah
disengaja atau tidak, selagi lewat,
cambuknya sudah menghantam
kuda si nona.
Ciauwya Saycu adalah seekor
kuda mustika yang belum
pernah dicambuk oleh
majikannya. Demikianlah, begitu
kecambuk, adatnya keluar.
Sembari berbenger, ia menendang
dengan kaki depannya. Si
penunggang kuda, seorang
273
hweeshio (paderi) yang
berbadan gemuk, memutarkan badan
dan menahan kaki kuda itu
dengan sebelah tangannya,
sehingga Ciauwya Saycu mundur
terhuyung beberapa tindak.
Ie Sin Cu terkesiap. Harus
diketahui bahwa tendangan si
Putih mempunyai tenaga lima
atau enam ratus kati dan dari
sini dapat dibayangkan, betapa
besar tenaga si paderi gemuk.
Sin Cu tak sempat berpikir
banyak-banyak. Sekali
mengayun tangan, sekuntum
bunga emas lantas menyambar.
Sesaat itu, si hweeshio sudah
berada dalam jarak belasan
tombak. Begitu mendengar suara
menyambarnya senjata
rahasia, ia menyabet dengan
pecutnya yang jitu mengenai
bunga emas itu.
"Oleh karena
terburu-buru, aku sudah kesalahan menyabet
kuda mestikamu," katanya
sembari memberi hormat.
"Kuharap Siauwko sudi
memaafkan."
Ie Sin Cu yang sudah bersiap
untuk bertempur, menjadi
sabar lagi sesudah mendengar
permintaan maaf itu. Di
samping itu, ia pun ingat,
bahwa ia sendiri mempunyai tugas
yang sangat penting. Maka,
urusan itu lantas saja menjadi
beres sampai di situ.
Ketika Sin Cu tiba di dalam
kota, siang sudah berganti
malam. Selagi mau masuk di
sebuah rumah penginapan,
mendadak ia melihat kuda Pit
Yan Kiong tertambat di depan
gedung. Melihat begitu, lantas
saja ia berubah pikiran dan
mengambil putusan untuk
meneruskan perjalanan. Tapi di
lain saat, ia jadi terpaku dan
matanya mengawasi serupa
benda yang menarik seluruh
perhatiannya.
Rumah penginapan itu adalah
sebuah gedung dua tingkat
yang sangat indah dan
berbentuk delapan pa-segi. Kamarkamar
tamu terletak di atas loteng,
sedang di bawah loteng
274
terdapat ruangan besar yang
diperaboti indah dan digunakan
sebagai restoran. Bahwa dalam
sebuah kota kecil terdapat
rumah makan yang begitu indah,
sudah merupakan suatu
keheranan. Tapi apa yang
mengagetkan Sin Cu adalah dua
gambar yang ditempelkan di
tembok, di kiri kanan pintu
tengah, sebuah gambar
merupakan matahari merah yang
bundar, gambar yang lain
berupa bulan sabit. Sekali melihat,
ia mengetahui, bahwa kedua
gambar itu belum lama
dilukisnya. Terang-terangan,
itu adalah Jitgoat Siangkie
(Sepasang bendera matahari
bulan) Ciu San Bin.
Sesudah bersangsi sebentar,
Sin Cu turun dari kudanya
yang lalu ditambat pada sebuah
tihang. Begitu masuk di
ruangan restoran, ia melihat
belasan orang yang duduk pada
lima enam meja.
Menurut kebiasaan, jika begitu
banyak orang makan minum
dalam suatu restoran, ributnya
tak kepalang. Sungguh heran,
ruangan itu sunyi senyap dan
semua orang memperlihatkan
paras sungguh-sungguh,
seolah-olah mereka berada disuatu
tempat keramat. Pit Yan Kiong
dan kawannya yang brewokan,
duduk pada sebuah meja di
dekat jendela sebelah barat.
Melihat Sin Cu, ia senyum,
sehingga hati si nona jadi
berdebar-debar, tapi syukur ia
tidak mengeluarkan kata yang
gila-gila.