Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 3

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 3 "Koan Tayjin," kata Pit Kheng Thian sembari tertawa.
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 3
"Koan Tayjin," kata Pit Kheng Thian sembari tertawa.
"Sekarang kau boleh berlalu. Seragam pembesar yang kau pakai itu, rasanya sudah tidak begitu cocok lagi. Maka, sekeluarnya dari sini, kurasa baik kau menukar pakaian. Yan Kiong! Tolong antarkan Koan Tayjin keluar dari sini."

Koan Kie yang sudah lama menjadi pembesar negeri hingga kebiasaan seorang pembesar sudah melekat dalam dirinya,
tanpa merasa segera menjawab:
"Baiklah. Terima kasih atas budi Baginda! Eh, salah!
Terima kasih atas budi Ceecu!"
Kesalahan berbicara itu tentu saja disambut dengan
tertawa ramai oleh segenap hadirin.
"Aku juga ingin mengantarkan Jietee," kata Hoan Eng.
Pit Kheng Thian melirik dan berkata sembari bersenyum:
"Loohoan, harap kemudian kau kembali lagi. Aku menunggu di
sini."

Hoan Eng kaget karena kata-kata itu menggenggam
maksud yang dalam. Ia mendongak dan tertawa terbahakbahak.
"Tentu saja aku akan kembali," katanya. "Pit Ceecu!
Kau tak usah kuatir!"

Setibanya di pintu luar, Hoan Eng menyekal Koan Kie dan
berkata dengan mata basah: "Hiantee, sekali ini, dalam
penderitaan kau menemui kebahagiaan. Mulai sekarang,
tuntutlah penghidupan sebagai orang baik."
Mendengar itu dan mengingat bantuan Hoan Eng, Koan Kie
jadi terharu. "Nasehat toako, siauwtee akan perhatikan,"
jawabnya dengan suara perlahan.

Sementara itu, sambil tertawa ha-ha hi-hi, Pit Yan Kiong
berkata: "Harap Tayjin menukar pakaian." Ia mengangsurkan

183
sebuah bungkusan yang terisi pakaian rakyat biasa. Sebagai
seorang yang sudah dipecat dari pangkatnya, Koan Kie tak
boleh memakai lagi seragam pembesar. Maka itu, walaupun ia
merasa sangat jengah, hatinya berterima kasih terhadap Pit
Kheng Thian yang sudah mengatur segala sesuatu dengan
begitu sempurna.
Waktu Hoan Eng kembali kemeja perjamuan, Pit Kheng
Thian sudah menduduki kursi Toaliongtauw secara resmi. Di
situ juga ia segera membereskan beberapa sengketa,
antaranya soal pencurian topi mutiara oleh seorang perampok
besar yang bernama Louw Put Sia. Raja muda itu telah
menugaskan seorang kepala polisi untuk mengambil pulang
barangnya. Kepala polisi itu minta pertolongan Pit Kheng
Thian yang lantas saja mengambil tindakan dan memulangkan
barang berharga itu. Beberapa urusan lain juga sudah
diputuskan secara adil oleh Toaliongtauw itu, sehingga semua
orang jadi merasa puas.
Malam itu, Hoan Eng dan si baju putih menginap dalam
gedung Bu Cin Tong. Seantero malam, Hoan Eng gulak-gulik
di atas pembaringan tanpa bisa pulas karena diganggu ruparupa
pikiran.
Ada beberapa hal yang ia benar-benar tak dapat
pecahkan. Sebagai contoh, kenapa si baju putih rela melalui
perjalanan ribuan lie untuk mengambil kembali kepala Ie
Kiam? Kenapa pemuda itu menutupi asal-usulnya begitu
rapat? Sikap Pit Kheng Thian juga sangat meragukan. Ia
seperti mengenal si baju putih, tapi pura-pura tidak
mengenalnya. Dengan meminjam nama Bu Khungcu, Kheng
Thian sudah mengundang mereka datang kesitu. Apakah
maksudnya?
Besoknya, pagi sekali Pit Kheng Thian sudah memerintah
orang mengundang ia. Setibanya di taman, ia melihat Pit

184
Kheng Thian, si baju putih, Bu Cin Tong dan beberapa tetua
dari Rimba Persilatan, sudah menunggu di situ.
"Aku sengaja mengundang beberapa saudara datang ke
sini untuk menjadi saksi," kata Pit Kheng Thian. "Siauwko ini
telah minta sebuah kepala orang yang memang benar sudah
dicuri olehku. Akan tetapi, sekarang tak dapat aku
mengembalikannya. Sebagai gantinya, aku ingin menyerahkan
sebuah peti mati yang berisi jenazah lengkap. Kalau Siauwko
ini masih juga merasa tidak puas, aku pun tak dapat berbuat
lain."
Selain Hoan Eng dan Bu Cin Tong, semua orang tidak
mengerti apa yang dimaksudkan oleh Pit Kheng Thian.
Dengan diikuti oleh semua orang, Kheng Thian segera
menuju ke bagian belakang taman dengan melalui jalan kecil
yang berliku-liku. Di situ, di suatu sudut taman, berdiri sebuah
bangunan kecil berwarna abu-abu. Dari jendelanya yang
terbuka, lapat-lapat kelihatan mengepulkan asap hio. Semua
orang menjadi kaget. Pit Kheng Thian menolak pintu dan
berkata dengan suara terharu: "Lihatlah! Bukankah aku sudah
mengurusnya baik-baik?"
Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati
yang dibuat dari tembaga, sedang di depan peti itu dipasang
meja sembahyang dengan hiolouw dan beberapa batang hio
yang asapnya naik keudara dengan perlahan. Di atas meja itu
terdapat sebuah papan dengan tulisan: "Kokpo Taysin Ie
Kiam" (Menteri besar Ie Kiam). Di samping meja itu kelihatan
berdiri seorang Thaykam (orang kebiri dalam istana kaizar) tua
yang rambutnya sudah putih semua. Ia agak terkejut melihat
masuknya begitu banyak orang dan ketika melihat paras si
baju putih, ia mengeluarkan seruan tertahan.

185
Dengan sikap menghormat, Pit Kheng Thian menghampiri
peti tembaga itu, yang tutupnya lantas saja diangkat dengan
kedua tangannya yang kuat. Dalam peti itu ternyata terdapat
peti mati lain yang dibuat dari kristal. Di dalam peti kristal itu
berbaring jenazah seorang tua yang mengenakan pakaian
kebesaran seorang pembesar tertinggi. Jenazah itu agaknya
dipakaikan obat sehingga tidak bisa rusak. Jenazah itu bukan
lain daripada jenazah Ie Kiam, seorang menteri besar yang
sudah menolong kerajaan Beng dari kemusnahan, tapi,
kemudian sudah dibinasakan oleh kaizar kejam yang sudah
ditolongnya itu!
Paras muka si baju putih berubah pucat bagaikan kertas. Ia
meloncat dan menubruk peti mati itu. "Thia thia (ayah)!
Sungguh jelek nasibmu !" ia menangis dengan menyayatkan
hati.
Sekarang semua orang mengetahui, bahwa pemuda itu
adalah putera Ie Kiam. Berbareng dengan itu, beberapa
pertanyaan muncul di dalam hati beberapa orang. Ie Kiam
adalah seorang menteri besar, tapi kenapa puteranya
berkelana di kalangan Kangouw. Siapakah guru pemuda itu
yang ternyata mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.
Sebagai orang yang sudah menolong negara, Ie Kiam
dihormati oleh segenap rakyat.
Kecuali Pit Kheng Thian, semua orang lantas saja menekuk
lutut dan memberi hormat di hadapan jenazah Ie Kiam.
Sesudah kenyang menangis, si baju putih mengangkat
kepalanya dan matanya mendadak melihat sebuah syair yang
artinya kira-kira seperti berikut:
Menghadapi iaksaan serangan, 'ku turun gunung,
Lautan api, 'ku tak per-duiikan,

186
Badan hancur, 'ku tak takut,
Asai nama bersih dalam dunia!
Syair yang digantung pada tembok itu, adalah syair
mendiang ayahnya yang digubah berdasarkan syair
Engsekhwee (Syair debu batu), untuk memperlihatkan isi
hatinya. Ia heran dan tak mengetahui, dari mana Pit Kheng
Thian mendapat syair tersebut.
Mendadak, di antara sesenggukan, si baju putih tertawa
berkaka-kan bagaikan orang edan. "Badan hancur, 'ku tak
takut, asal nama bersih dalam dunia!" ia berteriak. "Oh,
ayahku! Kebinasaanmu akan tercatat ribuan tahun. Tapi
sungguh, kau sudah binasa secara cuma-cuma!"
Sesudah tertawa, ia mengulun, dan dalam tangisnya, ia
tertawa pula. Laganya seperti orang berotak miring, suatu
tanda dari kedukaan yang melewati batas!
Pit Kheng Thian tidak berlutut dan juga tidak menangis. Ia
menyalakan hio yang lalu ditancapkan di hiolouw sambil
manggutkan kepalanya. Kedua matanya terus mengawasi si
baju putih. Mendadak ia berkata: "Co Kongkong, dari mana Ie
Kiam mempunyai anak lelaki?"
Thaykam itu mengawasi si baju putih, bibirnya bergerak,
tapi ia tak lantas bicara.
Sekonyong-konyong putera Ie Kiam ini meloncat bangun
dengan wajah gusar. "Kau sudah mengurus jenazah ayahku,
budi itu selama hidupku tak dapat kulupakan," katanya. "Tapi,
apa kau katakan barusan? Di kolong langit, di manakah
pernah terjadi, seorang anak mengakui ayah terhadap orang
yang bukan ayahnya?"

187
Semua orang yang menyaksikan kesedihan si baju putih, di
dalam hati menyalahkan Pit Kheng Thian yang, sebaliknya dari
membujuk, sudah mengeluarkan kata-kata yang menyinggung
perasaan.
Thaykam tua itu mengangkat kepalanya dan berkata
dengan suara perlahan: "Tak salah. Ayahnya adalah Ie
Tayjin."
Barusan, oleh karena seantero perhatiannya ditujukan
kepada jenazah Ie Kiam, si baju putih tidak memperhatikan
Thaykam tua itu. Begitu dua pasang mata mereka berbentrok,
pemuda itu kelihatan terkejut, mulutnya terbuka, tapi lantas
tertutup lagi. Hoan Eng melihat itu semua, tapi Pit Kheng
Thian, yang berdiri membelakangi si baju putih, sudah tidak
melihat perubahan paras muka pemuda itu. Pit Kheng Thian
kaget berbareng heran dan ia lantas saja berkata: “e-heng,
harap kau sudi memaafkan perkataanku yang tidak pada
tempatnya. Bolehkah aku mentanyakan, di mana Ie-heng
ingin menempatkan jenazah mendiang ayahmu?"
Pemuda itu yang dapat dikatakan belum mengerti urusan,
tak dapat menjawab pertanyaan Pit Kheng Thian.
"Menurut keterangan Co Kongkong, semasa hidupnya,
mendiang ayahmu senang sekali kepada kota Hangciu," kata
pula Pit Kheng Thian. "Sebelum meninggal dunia, beliau telah
meninggalkan pesan, supaya jenazahnya dikubur di Hangciu,
di kaki gunung berdekatan dengan kuburan Gak Hui. Jika Ieheng
dapat mempercayai diriku, aku bersedia untuk mengurus
penguburan beliau di Hangciu, sesuai dengan pesannya itu."
Mendengar perkataan itu, si baju putih lantas saja menekuk
lutut dan memanggil: “nkong (tuan penolong)."

188
Kheng Thian buru-buru menyekal lengan pemuda itu seraya
berkata: "Bukan terhadap aku, tapi terhadap Kongkong yang
kau harus menghaturkan terima kasih."
Si baju putih mengawasi Thaykam tua itu dan di dalam
matanya terdapat sorot kesangsian.
"Co Kongkong adalah Thaykam isana yang bertugas
mengajar ilmu surat kepada Thaycu (putera mahkota),"
Kheng Thian menerangkan. “a sudah berdiam di istana
kurang lebih empat puluh tahun. Dulu, saban kali kaizar ingin
memberi tugas atau hadiah kepada menteri besarnya, orang
yang diperintah menyampaikannya kebanyakan adalah Co
Kongkong. Apakah ia belum pernah datang di rumahmu?"
Si baju putih tergugu. Lewat beberapa saat, baru ia
menjawab: "Tak heran, jika aku rasanya mengenal ia.
Mungkin sekali, kita sudah pernah bertemu sekali dua kali."
"Co Kongkong adalah seorang yang sangat mengagumi
ayahmu," Pit Kheng Thian meneruskan penuturannya. "Tanpa
memperdulikan keselamatan dirinya sendiri, ia telah memohon
kepada kaizar bebodoran itu supaya ia diijinkan mengurus
jenazah mendiang ayahmu. Sementara itu, aku sendiri sudah
beruntung dapat mencuri kepala Ie Tayjin. Kaizar itu yang
mengetahui adanya pergolakan di antara rakyat, sudah
mengalah sedikit untuk menenteramkan hati orang-orang
yang sedang gusar. Katanya:
Mengingat Ie Kiam adalah Goanloo (menteri tua) dari dua
kaizar, maka ijin itu diberikan. Demikianlah, Co Kongkong
berhasil membawa keluar jenazah mendiang ayahmu.
Sesudah itu, baru kepala Ie Tayjin dapat dipersatukan
dengan tubuhnya dan kita semua sudah berbuat begitu hanya

189
untuk mengunjukkan rasa cinta kita kepada Ie Tayjin. Co
Kongkong pun sudah mengambil putusan untuk tidak kembali
lagi ke istana."
Sedang Pit Kheng Thian berceritera, air mata si baju putih
mengucur deras sekali. Diam-diam ia merasa menyesal,
bahwa ia sudah mencurigai dan berlaku kasar terhadap
orang gagah itu. Oleh karena Pit Kheng Thian sungkan
menerima pemberian hormat besar (berlutut), ia hanya dapat
menghaturkan terima kasihnya berulang-ulang. (Belakangan,
Pit Kheng Thian benar-benar sudah memerintahkan orang
mengantarkan peti mati Ie Kiam ke kota Hangciu di mana peti
itu dikubur sesuai dengan pesan orang tua itu.)
"Kesetiaan Ie Tayjin memang pantas dicatat dalam kitab
sejarah," kata pula Pit Kheng Thian. "Akan tetapi, menurut
pendapatku, ia bukan seorang yang berpengetahuan tinggi
dan lebih-lebih bukan seorang gagah (hokiat)!"
Muka si baju putih lantas saja berubah merah, sedang
hatinya mendongkol sekali.
Hoan Eng yang juga merasa Pit Kheng Thian sudah
keterlepasan bicara, buru-buru berkata: "Pit Toaliongtauw,
apa artinya perkataanmu itu?"
Pit Kheng Thian tertawa besar dan berkata: "Sungguh
sayang! Ia hanya seorang menteri setia. Jika ia benar-benar
seorang enghiong atau hokiat, tak nanti ia mau binasa secara
cuma-cuma!"
Sesudah berkata begitu, ia menghela napas berulangulang.
"Jika Ie Tayjin sudah menyelami sejarah sampai di
dasar-dasarnya, ia tentu mengetahui, bahwa dunia ini adalah
dunia (milik) penghuni dunia," katanya pula. "Dunia ini bukan
milik pribadi suatu keluarga tertentu. Dulu, waktu Cinsiehong

190
berlaku sewenang-wenang, Hang Ie telah bangkit dan
merubuhkan kaizar bebodoran itu. Orang yang semacam
itulah, baru boleh dinamakan enghiong atau hokiat sejati!"
Hoan Eng terkesiap. Perkataan Pit Kheng Thian hebat
bukan main. Dalam kata-kata itu bersembunyi suatu maksud
yang sangat besar, yaitu maksud untuk merebut Tiongkok dari
tangan kaizar Beng!
"Hm!" kata si baju putih dengan suara tawar. "Kalau begitu,
kau ingin menjadi kaizar? Orang yang ingin menjadi raja, juga
belum tentu benar-benar seorang enghiong sejati."
Sekarang adalah giliran Pit Kheng Thian yang berubah
paras mukanya. "Ada orang yang mempunyai kesempatan
untuk menjadi hongtee (kaizar), tapi sungkan menggunakan
kesempatan itu," si baju putih berkata pula. "Orang begitu
baru boleh disebut seorang gagah tulen."
“Itulah Thio Tayhiap, Thio Tan Hong!" Hoan Eng
menyeletuk tanpa merasa.
Paras muka Pit Kheng Thian lantas saja berubah pucat.
Melihat ketegangan itu, Bu Cin Tong buru-buru menyelak.
"Dulu adalah lain dari pada sekarang," katanya. "Thio Tan
Hong memang benar seorang gagah. Akan tetapi, di ini waktu,
belum tentu ia sudi membantu kerajaan Beng."
Mata si baju putih kesap kesip, seperti juga ia sedang
berpikir. Tiba-tiba, Pit Kheng Thian berteriak dengan suara
gusar: "Enghiong apakah Thio Tan Hong itu? Menurut aku,
dia adalah anak yang tidak berbakti. Aku kata, dia adalah
hiapkek (pendekar) palsu yang licik!"
Di jaman itu, nama Thio Tan Hong kesohor di seluruh
negeri dan dihormati semua orang. Maka itu, cacian Pit Kheng

191
Thian ini sudah membikin setiap orang jadi kesima. Muka si
baju putih merah padam, bahna gusarnya. "Manusia macam
apakah kau ini, hingga berani mencaci Thio Tayhiap!" ia
membentak. Bagaikan kilat, ia menghunus pedangnya yang
lalu ditikamkan ke mulut Pit Kheng Thian.
Harus diketahui, bahwa sesudah melihat ilmu silat si baju
putih yang sedemikian tinggi dan mengetahui pemuda itu
adalah putera Ie Kiam, Pit Kheng Thian sudah sengaja
mengeluarkan kata-kata yang membakar, supaya si baju putih
mau bekerja sama dengan ia dalam usaha merebut takhta
kerajaan. Dan ia sama sekali tidak menduga, jika pemuda itu
akan mendadak menikam. Jarak antara mereka sangat dekat
dan ia tak keburu berkelit lagi!
"Bagus!" seru Pit Kheng Thian, sembari membuka
mulutnya.
Hoan Eng mengeluarkan teriakan tertahan dan dalam detik
yang sama, tangan Bu Cin Tong menyambar untuk menangkis
pedang itu. Di saat itu, badan si baju putih sedikit condong ke
depan. Bu Cin Tong, yang berdiri di sampingnya, sebenarnya
ingin memukul lengannya untuk menangkis tikaman itu, tapi
oleh karena, ketika itu, badan si baju putih condong ke depan,
maka pukulan Bu Cin Tong menyambar ke arah kepalanya.
Mereka bertiga berdiri berderet, dan lantaran itu, meskipun
mau, yang lainnya sudah tidak keburu menolong lagi. Di lain
detik, Pit Kheng Thian menyemburkan darah dari mulutnya
dan memaki: "Apakah kau sudah lupa akan sakit hati ayahmu?
Pedangmu sebenarnya harus digunakan untuk menikam kaizar
anjing itu, bukannya berbalik menyerang aku. Mana ada
aturan begitu?"
Ternyata, begitu ditikam, Pit Kheng Thian sudah papaki
dengan mulutnya dan menggigit pedang itu. Si baju putih

192
yang tidak mempunyai niatan jahat, tidak menyertakan tenaga
dalamnya pada serangan itu. Tapi, oleh karena pedang itu
masuk ke dalam mulut, mau tak mau, mulut Pit Kheng Thian
terluka juga. Si baju putih buru-buru menarik pulang
senjatanya dan di detik itu, tangan Bu Cin Tong menyambar.
"Ayal" Pit Kheng Thian berteriak, sehabis mencaci. Semua
mata dengan serentak mengawasi kepala si baju putih!
Topi pemuda itu ternyata sudah jatuh di lantai, sedang ikat
kepalanya juga sudah terlepas dan terlihatlah rambut yang
hitam jengat! Barusan, meskipun sedapat mungkin Bu Cin
Tong menarik pulang pukulannya, tapi sambaran angin
pukulannya sudah cukup untuk menggulingkan topi si baju
putih. Semua orang yang tadinya hanya memperhatikan Pit
Kheng Thian yang terluka, baru menjadi sadar sesudah
mendengar teriakan Toaliongtauw itu. Sekarang mereka baru
mengetahui, bahwa si baju putih adalah seorang gadis jelita!
Semua orang jadi kesima, mereka berdiri terpaku, tanpa
dapat mengeluarkan sepatah kata.
"Sin Cu! Sin Cu!" mendadak terdengar suara Co Thaykam.
"Benar-benar kau adanya! Kau berhutang budi besar dengan
Pit Ceecu. Tak boleh kau menyerang ia!"
"Sesudah bengong untuk berapa saat, si nona menyontek
topinya dengan pedangnya dan lalu dipakai lagi di kepalanya.
Ia merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara
perlahan: "Pit Ceecu, budimu yang besar tak akan kulupakan.
Jika di hari kemudian, kau memerlukan tenagaku, biarpun
mesti berenang di air atau masuk di api, tak akan aku menolak
segala perintahmu.
Hanya jika kau mencaci Thio Tayhiap. janganlah kau
menyesalkan aku sebagai tidak mengenal budi." Sehabis

193
berkata begitu, ia masukkan pedangnya ke dalam sarung dan
lalu berjalan keluar dengan tindakan cepat.
“Ie-heng! Tahan dulu!" seru Kheng Thian. Ia masih
menggunakan perkataan "heng" (saudara lelaki) lantaran
belum dapat mengubah panggilan itu.
Tapi si nona tak meladeni teriakan itu. Setibanya di luar, ia
bersiul panjang dan nyaring. Kuda putihnya yang memang
berada dalam taman tersebut lantas menghampiri dan dengan
sekali meloncat, ia sudah berada di atas punggung binatang
itu. Sungguh jempol kuda itu! Sekali ditepuk, ia melompati
tembok yang tingginya setombak lebih. Di lain saat, di luar
tembok terdengar derap kaki kuda yang semakin lama jadi
semakin jauh.
* * *
"Si baju putih" adalah puteri tunggal mendiang Ie Kiam dan
diberi nama Sin Cu. Co Thaykam pernah memberitahukan Pit
Kheng Thian, bahwa Ie Kiam tidak mempunyai putera, dan
itulah sebabnya, kenapa tadi ia sudah memperlihatkan
perasaan sangsi. Dulu, di gedung Ie Kiam, In Lui pernah
bertemu dengan Sin Cu yang cantik dan cerdas sekali otaknya,
sehingga pendekar wanita itu sangat sayang kepada nona
cilik itu. Belakangan, sesudah menikah dengan Thio Tan Hong,
In Lui mengambil Sin Cu sebagai muridnya yang lalu diajak
tinggal bersama-sama di dekat telaga Thayouw. Dalam tempo
beberapa tahun saja, di bawah pimpinan suami isteri yang
gagah itu, dari seorang gadis lemah, Ie Sin Cu sudah berubah
menjadi jago wanita yang ilmu silatnya tinggi. Mereka bukan
saja sudah menurunkan kiamhoat Hian Kie Itsu yang luar
biasa, tapi In Lui pun sudah mengajar ilmu menimpuk senjata
rahasia yang sangat liehay dan dikenal sebagai Huihoa tahhiat
(bunga terbang menghantam jalan darah) kepadanya.
Sesudah keluar dari rumah perguruan, berkat senjata

194
rahasianya itu, Sin Cu sudah mendapat julukan sebagai
Sanhoa Liehiap (Pendekar Wanita
Penyebar Bunga). Sesudah berlatih hampir sepuluh tahun,
dapat dikatakan Ie Sin Cu sudah mencapai puncak pelajaran
silat yang sangat tinggi. Oleh karena ia sendiri hanya
berkelana di kalangan Kangouw selama dua tiga tahun, lalu
menyingkir dan hidup bersembunyi di daerah Thayouw, In Lui
menginginkan supaya muridnya itu bukan saja mewarisi ilmu
silatnya, tapi juga meneruskan pekerjaannya sebagai seorang
pendekar wanita.
Dalam beberapa tahun itu, di samping meyakinkan ilmu
silat, Ie Sin Cu juga sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat Tan
Hong suami isteri. Ketika itu, Thio Tan Hong dan In Lui
berusia kira-kira tiga puluh tahun, sedang Sin Cu baru saja
belasan tahun. Dengan adanya perbedaan usia yang begitu
besar, perhubungan antara mereka bukan hanya merupakan
perhubungan antara guru dan murid, tapi juga seperti antara
orang tua dan anak sendiri. Maka itu, demi mendengar
gurunya dicaci, Sin Cu tak dapat menguasai diri lagi, biarpun
yang mencaci itu adalah tuan penolongnya.
Dalam sekejap mata, ia sudah terpisah belasan lie dari Bu
keekhung. Hatinya yang mendongkol dengan perlahan sudah
menjadi tenang pula. Ia memikirkan perbuatannya tadi dan
berulang-ulang menanya dirinya sendiri: "Apakah aku benar?
Apakah aku keliru?"
Dengan hati pepat, ia menjalankan kudanya. Ia ingat akan
Pit Kheng Thian yang kasar dan gagah, dengan keangkeran
seorang enghiong. Akan tetapi, dengan segala kega-gahannya
itu, sama sekali ia tidak merasa takluk. Sebab apa ia tidak
merasa takluk, ia sendiri tidak mengerti. Mengenai
serangannya tadi, ia pun tidak tahu, apakah itu benar atau
salah. Apakah sakit hati ayahnya harus dibalas? Jika harus

195
dibalas, bagaimana membalasnya? Pertanyaan-pertanyaan itu
sangat mengusutkan pikiran si nona.
Harus diingat, bahwa waktu itu, Ie Sin Cu baru saja berusia
enam belas tahun. Dalam usia sebegitu, orang lain mungkin
belum tahu, apa artinya penderitaan. Tapi oleh karena ia
pernah mengalam beberapa kejadian yang menggoncangkan
hati, maka ia sudah lebih dewasa daripada nona-nona lain
sepan-tarannya. Saat itu, tujuan satu-satunya adalah buruburu
pulang ke rumah gurunya, untuk menye-sapkan
kepalanya di pangkuan sang Subo (ibu guru, In Lui) dan
kemudian minta petunjuk Suhu-nya.
Tiba-tiba, tunggangannya yang biasa berlari bagaikan
angin, entah kenapa, jadi semakin lambat larinya. Sin Cu
menepuk-nepuk punggung hewan itu dan berkata dengan
suara halus: "Kudaku, hayolah lari lebih cepat."
Kuda itu berbenger dua kali, mulutnya mengeluarkan busa
putih dan berjalan semakin perlahan. Si nona merasa heran,
belum pernah ia mengalami peristiwa seperti itu. Kuda putih
itu sebenarnya adalah tunggangan Thio Tan Hong yang
dinamakan Ciauwya Saycu (si singa yang menerangi malam),
seekor kuda mustika yang jarang terdapat dalam dunia. Dalam
sehari dia bisa berlari seribu lie, sehingga di waktu
menungganginya, Sin Cu sering-sering merasa larinya terlalu
cepat. Dengan perasaan heran, si nona loncat turun. Ia
melihat kuda itu seperti sedang sakit dan mulutnya terus
mengeluarkan busa. Ia menjadi bingung karena tidak
mengerti penyakit kuda.
Dengan perasaan menyayang, ia memeluk leher hewan itu
dan berkata dengan suara halus: "Hayolah, kita jalan lagi
beberapa lie. Sebentar, di kota sebelah depan, aku akan
memberikan kau makan kenyang-kenyang dan kemudian
mengundang thabib untuk mengobati pe-nyakitmu."

196
Kuda itu seperti juga mengerti apa yang dikatakan
majikannya. Tiba-tiba ia berbenger keras dan mengangkatangkat
kedua kaki depannya. Begitu si nona loncat ke
punggungnya, lantas saja ia kabur bagaikan terbang. Tapi
sebelum berlari berapa jauh, tindakannya kembali berubah
perlahan, seperti sedang lelah dan dari mulutnya keluar lebih
banyak busa. Selagi Ie Sin Cu akan loncat turun, mendadak di
sebelah belakangnya terdengar tindakan kaki kuda.
“Ie Kouwnio (nona Ie)!" teriak seseorang. "Kudamu tak
dapat berjalan lagi. Mari kita bercakap-cakap sebentar."
Si nona menengok dan melihat, orang yang mendatangi
itu bukan lain daripada Pit Kheng Thian.
"Mau membicarakan apa lagi?" tanya Sin Cu uring-uringan.
"Barusan aku sudah memaki Thio Tan Hong sehingga kau
menjadi gusar," kata Pit Kheng Thian. "Kau tahu kenapa aku
mencaci ia?"
Ie Sin Cu lantas saja naik darahnya. "Aku tak mau
mendengarkan segala alasanmu!" ia membentak sambil
meraba gagang pedangnya. Sesudah membentak, ia merasa
agak menyesal dan lalu berkata pula: "Kau sudah mengurus
jenazah ayahku, budi itu bukan main besarnya dan aku
merasa berterima kasih tak habisnya. Tapi sebagaimana sudah
kukatakan tadi, kau tak boleh menyebut-nyebut pula nama
Thio Tayhiap1."
"Ah! Sungguh heran!" kata Kheng Thian. "Ada hubungan
apakah antara Thio Tan Hong dan kau?"
"Tak usah tahu!" Sin Cu membentak pula. "Pit
Toaliongtauw1. Biarlah kita masing-masing mengambil jalan

197
sendiri. Mengenai budimu, di belakang hari aku pasti akan
membalasnya."
"Baiklah!" kata Pit Kheng Thian sembari tertawa besar.
"Kau sungkan mendengarkan, aku pun tak perlu bicara. Tapi
aku mempunyai sebuah cerita istimewa. Apakah kau suka
mendengarnya?"
Sin Cu yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan,
lantas saja merasa ketarik. "Baiklah! Kalau ceritanya bagus,
aku suka mendengarkan," jawabnya sembari bersenyum.
"Dahulu, dahulu kala," Kheng Thian mulai menutur. "Di
negara ini hidup seorang hweeshio (paderi) yang mempunyai
ilmu luar biasa tingginya. Ia bukan saja pandai ilmu silat, tapi
juga mahir dalam ilmu perang. Paderi itu mempunyai tiga
murid. Murid pertamanya adalah seorang pengemis, murid
yang kedua adalah seorang penyelundup garam, sedang si
murid ketiga adalah seorang yang pernah menjadi paderi dan
juga pernah menjadi pengemis.
Belakangan, murid pertama dan murid kedua itu menjadi
raja dan kaizar, keturunan mereka hidup dalam kemewahan
dan kemuliaan. Hanya murid ketiga itu yang paling bangpak.
Guna kedua saudara seperguruannya, ia sudah bertempur
mati-matian di sepanjang Sungai Besar dan belakangan ia
sudah mengorbankan jiwanya dalam peperangan, tanpa
diketahui di mana mayatnya. Keturunannya hidup terombangambing
dalam dunia Kangouw, menjadi pengemis, menjadi
hweeshio dan selalu berada dalam ketakutan, sebab
sembarang waktu bisa dibekuk oleh kaki tangan kaizar.
"Akan tetapi, sebelum binasa dalam peperangan, murid
ketiga itu pernah melakukan suatu pekerjaan penting
bersama-sama gurunya. Ia tak kepingin menjadi raja atau

198
kaizar dan selalu mengawani sang guru berkelana ke berbagai
tempat.
Sesudah menjelajah ke gunung dan ketempat-tempat
berbahaya yang penting artinya bagi ketentaraan, guru dan
murid itu lalu membuat sebuah peta bumi yang lengkap dan
sempurna, di mana tercantum petunjuk-petunjuk untuk
menggunakan tentara dan peperangan. Siapa juga yang dapat
mengantongi peta itu, dialah yang mempunyai harapan untuk
menjadi raja atau kaizar. Balakangan, sesudah murid ketiga
dan murid kedua binasa dalam peperangan di Sungai Besar,
peta bumi tersebut lenyap tak ketahuan ke mana atau oleh
siapa disembunyikannya.
"Akhir-akhirnya, murid pertamalah, yaitu si pengemis, yang
berhasil mempersatukan negara dan naik ke atas takhta. Tapi
hatinya masih selalu berkuatir dan ia meninggalkan pesan
dalam surat wasiatnya, supaya kaizar-kaizar anak cucunya
terus berusaha untuk membasmi turunan kedua keluarga itu
dan berusaha pula untuk merebut peta bumi itu.
Menurut pantas, peta bumi tersebut adalah milik bersama
dua keluarga, keturunan murid kedua dan ketiga, apa pula jika
diingat, bahwa murid ketiga ini telah mengeluarkan tenaga
terlebih banyak, seharusnya keturunan murid ketigalah yang
lebih berhak atas peta itu. Kira-kira seratus tahun kemudian,
peta bumi tersebut muncul pula, dan berada dalam tangan
keturunan murid kedua. Tak diduga-duga, orang itu sudah
menyerahkan peta tersebut kepada musuh, sehingga anak
cucu musuh itu bisa terus menerus bercokol di atas takhta.
Coba katakan: pantas atau tidak?"
Ie Sin Cu tertawa dingin. "Hm!" ia meng-gerendeng.
"Bicara ke barat, bicara ke timur, akhirnya yang kau bicarakan
adalah Tayhiap Thio Tan Hong juga! Kejadian itu adalah
kejadian yang sudah lama sekali, si hweeshio tua adalah

199
Pheng Eng Giok, si pengemis adalah Cu Goan Ciang, si
penyelundup garam Thio Su Seng, sedang murid ketiga, yang
pernah menjadi hweeshio dan pengemis, mungkin adalah
leluhurmu yang bernama Pit Leng Hie. Pit Toaliongtauw1.
Guna apa kau menyebut-nyebut hutang yang sudah begitu
lama?" 2)
"Biarpun orang memuji Thio Tan Hong setinggi langit, aku
tetap menganggap perbuatannya tidak adil," kata Pit Kheng
Thian.
Ie Sin Cu jadi mendongkol. "Apakah kau tak tahu, bahwa
waktu itu negara Watzu sedang menyerang?" tanyanya
dengan suara aseran. "Apakah percekcokan antara bangsa
sendiri lebih penting daripada menolak musuh yang datang
dari luar!"
"Peta itu adalah milik bersama keluarga Thio dan keluarga
Pit," kata Kheng Thian. "Malah, menurut pantas, keluarga Pit
mempunyai hak yang lebih besar. Dan Thio Tan Hong! Tanpa
berunding dulu dengan pihak kami, sudah menyerahkan peta
tersebut kepada kaizar!"
"Tidak!" bantah Sin Cu. “a menyerahkan itu kepada
ayahku."
Biji mata Kheng Thian berputar dan tanpa menggubris
bantahan si nona, ia berkata pula: “Itulah kesalahannya yang
pertama. Menolak bahaya dari luar memang benar urusan
penting. Tapi, biar bagaimana pun juga, sedikitnya ia harus
minta persetujuan keluargaku."
Si nona tertawa dingin seraya berkata: "Ah! Kalau begitu
kau datang ke sini untuk mengadu lidah!"

200
Pemuda itu masih tetap tidak meladeni dan terus
melanjutkan bicaranya: "Selain itu, menurut pantas, peta
tersebut harus ada salinannya (copy), atau, sesudah tentara
Watzu dipukul mundur, peta aselinya harus diambil pulang.
Biar bagaimana pun juga, Thio Tan Hong pasti menyimpan
salinannya. Sebelum ayahku menutup mata, ia pernah minta
pertolongan beberapa saudara Partai Pengemis untuk minta
peta itu dari Thio Tan Hong, tapi dia kata, tidak ada. Dengan
demikian, sedikit pun ia tidak memperdulikan persahabatan
lama antara kedua keluarga kami. Apakah ini bukan perbuatan
tidak adil yang kedua?"
Ie Sin Cu tertawa dingin. "Thio Tayhiap tak ingin menjadi
raja." katanya. "Guna apa ia menyimpan salinan peta itu atau
memintanya pulang dari tangan ayahku? Kalau ia kata tidak
ada, tentu tidak ada. Apakah kau berani menyangsikan
kejujurannya?"
Kheng Thian lagi-lagi tertawa besar. "Kalau kau membela ia
secara begitu, sudahlah, aku pun tak perlu bicara lagi."
katanya.
"Hayo! Hayo katakan apa yang kau mau katakan!" kata si
nona sambil melotot.
Kheng Thian bersenyum dan berkata: "Andaikata benar ia
tidak menyimpan salinannya." katanya. "Tapi, orang sekolong
langit mengetahui, bahwa Thio Tan Hong adalah manusia
cerdas luar biasa, yang sekali membaca tak dapat melupakan
lagi apa yang dibacanya. Apakah ia tak bisa menolong
membuatkan salinan peta itu tanpa melihat contoh?"
Mendengar gurunya dipuji, si nona jadi merasa senang dan
hawa amarahnya mulai reda. Ia senyum dan tidak berkata
apa-apa.

201
"Sungguh celaka, kalau benar-benar ia tidak
menyembunyikan peta tersebut," kata pula Kheng Thian. "Aku
sudah menyelidiki dengan terliti dan mendapat kepastian
bahwa peta itu tidak berada dalam rumahmu. Maka itu,
kesimpulan satu-satunya adalah peta bumi yang sangat
penting itu sekarang sudah berada dalam istana kaizar."
Paras si nona lantas berubah dan ia mengeluarkan seruan
tertahan. Kheng Thian tertawa seraya berkata: "Apakah kau
heran? Apakah kau belum insyaf, bahwa kaizar yang tak
mengenal budi itu, dapat melakukan segala rupa perbuatan
busuk? Dia sudah membunuh ayahmu, sudah menggeledah
rumahmu, apakah kau mengira ia sudi melepaskan peta bumi
itu?"
Tapi, yang di saat itu dipikirkan si nona, bukannya hal ini.
Sesudah mendengar keterangan Pit Kheng Thian, ia
mengetahui, pemuda itu sudah memeriksa rumahnya untuk
mencari peta tersebut.
Sebelum Pit Kheng Thian datang, rumahnya mungkin sudah
lebih dulu digeledah oleh kaki tangan kaizar dan segala apa
yang berharga sudah dirampas. Kumpulan syair ayahnya
mungkin tak dipandang sebelah mata oleh orang-orang kaizar
itu dan sudah dibuang-buang dengan begitu saja, sehingga
belakangan dapat dikete-mukan oieh pemuda itu. Sebelum Pit
Kheng Thian mengemukakan soal peta bumi itu, ia
menganggap sepak terjang pemuda itu, yakni mengacau di
ibu kota dan belakangan mencuri kepala ayahnya, adalah
semata-mata untuk kepentingan ayahnya. Tapi sesudah
mendengar keterangan pemuda itu, ia mengetahui, bahwa Pit
Kheng Thian sebenar-benarnya mempunyai tujuan yang lebih
penting untuk dirinya sendiri, yaitu merebut kembali peta
tersebut. Ie Sin Cu adalah seorang gadis yang polos dan
bersih. Tadi, meskipun hatinya mendongkol mendengar cacian
terhadap gurunya, sedalam-dalamnya ia merasa sangat

202
berterima kasih kepada pemuda itu. Tapi sesudah mengetahui
maksud Pit Kheng Thian sesungguhnya, rasa terima kasih itu
jadi banyak berkurang. Dan sebagai orang yang polos,
perasaan kecewanya lantas saja terlukis pada wajahnya.
Sesudah Kheng Thian selesai berbicara, ia menyoja seraya
berkata: "Jika Pit-ya tidak mau bicara apa-apa lagi, aku ingin
segera berlalu." Mukanya tenang, suaranya manis, tapi
sikapnya dingin luar biasa. Sebagai seorang cerdas, Kheng
Thian tentu saja merasakan ketawaran itu. Ia mengeluh di
dalam hatinya dan merasa putus asa.
Sin Cu mengusap-usap punggung kudanya yang lalu
dituntun pergi.
"Kembali!" mendadak terdengar teriakan Pit Kheng Thian.
"Ada apa lagi?" tanya si nona sembari memutar badan.
"Kau melupakan satu hal," kata Pit Kheng Thian, Ie Sin Cu
berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Hm! Benar! Lekas
pulangkan kumpulan syair ayahku."
Pit Kheng Thian tertawa berkakakan. "Benar-benar anak
berbakti!" katanya. "Kecuali syair Engsekhwee yang ditempel
di samping peti mati ayahmu, yang lain semuanya berada di
sini."
Ie Sin Cu segera menyambut kumpulan syair itu dan
menghaturkan terima kasih dengan suara tawar.
"Kau menyintai ayahmu dan mewarisi pelajarannya, itu
semua memang merupakan kewajiban dalam menjalankan
kebaktian," kata Pit Kheng Thian sembari mengawasi si nona.
"Hanya sayang, kau masih belum merupakan anak yang
benar-benar berbakti!"

203
"Kenapa begitu?" tanya Ie Sin Cu.
"Ayahmu mati dengan penuh penasaran, seluruh rakyat,
tak ada satu pun yang tidak gusar," kata Pit Kheng Thian.
"Tapi kenapa kau sendiri justru masih tenang-tenang saja?"
"Apa katamu?" bentak si nona, matanya melotot.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" Pit Kheng Thian balas
menanya. "Kenapa kau tak mau membalas sakit hati?
Sekarang orang-orang gagah di lima propinsi Utara sudah
berserikat, kenapa kau sungkan berdiam di sini untuk
bersama-sama mengerjakan usaha besar?"
"Hm!" si nona mengeluarkan suara di hidung. "Kalau begitu
kau ingin menahan aku untuk menjungjung kau sebagai
Toaliongtauw."
Kheng Thian mengerutkan alisnya dan ia berkata pula
dengan suara kecewa: "Rakyat di seluruh negeri sedang
bergolak. Apakah kau mengira aku bertindak untuk
kepentinganku pribadi?"
"Dari dulu sampai sekarang, orang yang ingin menjadi
kaizar selalu menyanyikan lagu begitu," kata si nona.
Pit Kheng Thian tertawa dingin. "Sekarang aku tahu, kau
sungguh-sungguh puteri Ie Kiam, menteri yang setia kepada
kerajaan Beng," katanya, menyindir. "Dan aku pun tahu,
bahwa kau bukannya seorang pendekar wanita yang berbakti
dan luhur pribadinya!"
Didesak begitu, Ie Sin Cu menjadi bingung. Harus diingat,
bahwa dalam usia yang masih begitu muda, sukar untuk ia
segera mengambil putusan dalam memilih antara dua soal

204
penting yang bersangkut paut dengan seluruh
penghidupannya ini.
Sementara itu, Pit Kheng Thian sudah berkata pula dengan
suara mengejek: "Apakah dengan berdiam dalam
pesanggerahanku, kedudukanmu sebagai Ciankim Siocia
(nona yang berharga ribuan uang emas) akan ternoda?"
"Selama hidupnya, ayahku adalah seorang yang putih
bersih!" bentak Sin Cu dengan gusar sekali. “a menambal
pakaian dan membetulkan kerusakan rumah dengan
tangannya sendiri. Kenyataan ini diketahui oleh manusia
sedunia.
Dengan bicaramu itu, kau menganggap aku sebagai
manusia apa sih?"
"Kalau begitu, baiklah kita bicara secara ringkas saja," kata
Kheng Thian. "Apakah kau ingin membalas sakit hati atau
tidak? Apakah kau bersedia berdiam bersama-sama kami atau
tidak?"
"Soal membalas sakit hati dan soal berdiam sama-sama
kau, adalah dua soal yang tak dapat dicampur adukkan,"
jawabnya. "Mengenai itu, aku akan minta nasehat guruku."
Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Siang-siang aku
sudah tahu, bahwa kau adalah murid Thio Tan Hong,"
katanya. "Tak heran, jika kau membela gurumu mati-matian."
"Sesudah mengetahui, bahwa Thio Tayhiap adalah guruku,
sepantasnya tak boleh kau mengeluarkan kata-kata yang
menyinggung beliau diha-dapanku," kata si nona.

205
"Sakit hatinya sendiri, Thio Tan Hong belum dapat
membalas." kata Kheng Thian. "Bagaimana ia bisa membantu
kau?"
Alis Ie Sin Cu berdiri, ia gusar, ia gusar bukan main. "Untuk
melawan musuh dari luar, guruku sudah menyampingkan sakit
hati pribadinya," kata Sin Cu dengan suara keras. "Orang
begitu baru dapat disebut hokiat sejati."
"Dulu lain dan sekarang lain," bantah Kheng Thian.
"Sekarang ini, orang-orang gagah di seluruh negeri bangkit
dengan serentak oleh karena kaizar sewenang-wenang.
Apakah kau mau mengatakan, bahwa mereka memberontak
untuk membalas sakit hati pribadi dan tidak dapat dinamakan
hokiat ?"
Sin Cu melirik seraya berkata: "Dalam soal itu, kau tak
dapat menyama ratakan semua orang. Apakah kau seorang
gagah atau bukan, harus ditunggu dulu buktinya dikemu-dian
hari!"
Perkataan itu yang dikeluarkan si nona secara terus terang
sudah membikin Kheng Thian jengah dan mu- kanya
dirasakan panas. Ie Sin Cu kembali memberi hormat dan
bergerak untuk berlalu.
"Tahan dulu!" kata Kheng Thian.
"Maaf, Pit Toaliongtauw," kata si nona, tidak sabar. "Aku
harus berangkat sekarang juga."
"Biar pun mau, kau tetap tidak dapat lantas berlalu," kata
Kheng Thian sembari tertawa. "Kudamu menolak untuk
membawa kau!"

206
Sembari berkata begitu, ia mendekati kuda putih itu.
Mendadak saja, Ciauwya Saycu berbenger keras dan
menendang! Pit Kheng Thian meloncat pergi dan berkata
sembari tertawa: "Benar-benar kuda mustika! Lagi sakit,
masih begitu garang."
Sebagai seorang yang sangat cerdas, si nona lantas saja
teringat suatu hal. "Pit Toaliong tau w!" katanya dengan suara
sungguh. "Kau adalah pemimpin Rimba Hijau dari lima
propinsi Utara. Apakah kau tak malu sudah menghina seorang
wanita?"
"Kenapa begitu?" tanya Kheng Thian.
"Apakah kudaku benar-benar sakit?
Apakah sakitnya bukan akibat permainan gila seorang
manusia?" tanyanya.
Pit Kheng Thian terkejut. Walaupun dalam menghadapi
urusan besar, nona itu masih ragu-ragu, tapi ia ternyata
mempunyai otak yang sangat cerdas. Memang benar juga
penyakit Ciauwya
Saycu adalah perbuatan Kheng Thian. Melihat nona itu
yang berparas sangat cantik dan berilmu silat sangat tinggi,
ditambah lagi ia adalah puteri Ie Kiam dan murid Thio Tan
Hong, sedapat mungkin Kheng Thian ingin menahan ia untuk
dijadikan pembantu. Maka itu, diam-diam ia memerintahkan
orang menambahkan semacam obat dalam makanan kudanya.
Obat itu bukan racun, hanya semacam obat yang
memabukkan dengan perlahan. Kuda yang telah makan obat
itu, cepat letih dan akhir-nya tidak kuat lari lagi. Untuk
menyembuhkannya, harus digunakan obat yang dibuatnya
sendiri.

207
Demikianlah untuk menahan si nona, dengan melupakan
kedudukannya sebagai pemimpin, Pit Kheng Thian sudah
menggunakan siasat yang kurang bagus itu. Tapi sedalamdalamnya
ia bebas dari maksud jahat dan tujuannya, dilihat
dari sudutnya, adalah baik sekali. Tidak dinyana, si nona
sudah menanya secara begitu, sehingga, dengan segala
kegagahan dan kepintarannya, Pit Kheng Thian jadi tergugu.
Ia melengos untuk mengegosi sorot mata Ie Sin Cu dan
kemudian mengambil sebuah kantong kulit yang dicantelkan
pada pelana kudanya.
"Benar-benar kau mau pergi?" kata Kheng Thian dengan
suara menyesal. "Baiklah.
Minumkan air dalam kantong ini pada kudamu dan belum
setengah jam, kesehatannya akan baik kembali."
"Kalau begitu, benar kerjaan dia!" kata Sin Cu di dalam
hatinya.
Sesudah berdiam sejenak, Kheng Thian berkata pula: “Ie
Kouwnio, dengan setulus hati, aku coba menahan kau. Tapi
karena kau mau berlalu juga, aku pun tak dapat berbuat lain.
Aku hanya seorang kasar yang tidak mengerti cara-caya
menahan tamu, sehingga dalam beberapa hal, perbuatanku
sudah menggusarkan kau. Ie Kouwnio1. Dapatkah kita
menjadi sahabat?"
Kata-kata itu diucapkan dengan lemah lembut, sebagian
untuk menjelasikan kenapa ia sudah main gila terhadap
Ciauwya Saycu dan sebagian pula untuk mengunjuk rasa
cintanya. Di lain pihak, mendengar perkataan halus yang
keluar dari mulut seorang yang begitu kasar, Ie Sin Cu yang
masih bebas dari segala rasa cinta antara lelaki dan
perempuan, jadi merasa geli dalam hatinya. Akan tetapi,

208
mendengar suara itu yang keluar dari lubuk hati, tanpa
merasa jantung si nona jadi berdebar juga. "Pit Toaliong tau
w," katanya. "Kau adalah Injin-ku (tuan penolong). Kecuali
jika kau mencaci guruku, aku selalu merasa berterima kasi
terhadapmu. Dari jauh aku mendoakan, agar kau berhasil
dalam usaha yang mulia."
Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya,
sebagai tanda ia bersedia menjadi sahabat pemuda itu.
Dengan heran ia merasakan gemeternya tangan pemuda
tersebut. Buru-buru ia melepaskan tangannya yang sedang
dijabat dan lalu memberikan "Guruku tak obat Kheng Thian
kepada kuda putihnya.
"Jika kau bertemu gurumu, tak ada halangan, kalau kau
menyampaikan perkataanku kepadanya," kata Pit Kheng
Thian. "Jika ia sudi melukiskan peta bumi itu di luar kepala,
aku mohon kau sudi membawa itu kemari. Sebenar-benarnya
aku tak mempunyai maksud jelek terhadap gurumu. Hanya
oleh karena peta tersebut adalah milik dua keluarga, maka
dapatlah di mengerti jika aku menagih padanya."
"Baiklah," Sin Cu menyanggupi. "Aku akan menyampaikan
perkataanmu kepada Suhu." Ia loncat ke punggung kuda
yang, sesudah minum obat, mulai memperoleh kembali
tenaganya dan tanpa diperintah, lantas saja mementang ke
empat kakinya.
"Sampai bertemu pula!" seru Pit Kheng Thian dengan suara
sedih. Sang kuda lari semakin cepat dan dalam sekejap mata,
si nona sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
***
Sepuluh hari kemudian, seorang diri, dengan menunggang
Ciauwya Saycu, Ie Sin Cu masuk ke dalam kota Souwciu, di

209
mana Thio Tan Hong mempunyai suatu usaha. Usaha tersebut
adalah taman Koay-walim, yang telah dimenangkan Thio Tan
Hong dalam perjudian dari tangan Kiutauw Saycu In Thian
Kian (si Singa Sembilan Kepala). Koaywalim sebenarnya
adalah Heng-kiong (istana di luar kota raja yang biasa
digunakan oleh kaizar yang sedang pesiar) yang telah dibuat
oleh Thio Su Seng (leluhur Thio Tan Hong), di waktu ia
menjadi kaizar di Souwciu. Sesudah Thio Su Seng kalah dalam
peperangan dan harta bendanya dirampas, istana itu dijual
kepada keluarga In dan belakangan dijadikan sarang judi.
Sesudah kembali ke dalam tangan Thio Tan Hong, istana dan
taman itu segera diperbarui dengan seksama.
Akan tetapi, Thio Tan Hong adalah seorang yang tidak suka
akan keramaian. Ia membuat sebuah rumah di atas gunung
Tongteng san, di telaga Thayouw, dan hidup mengasingkan
diri bersama isterinya, sedang pengurusan Koaywalim,
diserahkan kepada In Tiong dan isterinya, Tantay Keng Beng.
Beberapa kali Ie Sin Cu pernah mengunjungi Koaywalim dan
begitu tiba di
Souwciu, ia segera menuju ke taman tersebut untuk
menyambangi suami isteri In Tiong.
Tapi lekas juga ia menjadi terkejut lantaran pintu taman
tertutup dan di atas pintu ditempel pemberiantahu yang
bunyinya seperti berikut:
Taman ini telah dibeli olehku. Ditutup untuk sementara
waktu, guna diperbarui.
Liong Thian Su, Pemilik Koaywalim.
"Guruku tak kekurangan uang, kenapa ia sudah menjual
Koaywalim?" tanya Sin Cu dalam hatinya. "Siapa itu Liong

210
Thian Su? Selain si nona, di depan pintu taman itu terdapat
beberapa orang lain yang luntang-lantung.
"Ha-ha!" tertawa seorang. "Koaywalim akan pulang asal,
jadi tempat judi! Saudara kita bakal mempunyai pencarian
lagi. Liong Pangcu sudah minta bantuanku."
Dilihat romannya dan didengar perkataannya, orang itu
tentunya seorang buaya darat.
Sin Cu jadi semakin tidak mengerti. "Kalau toh Suhu mau
menjualnya, ia harus memilih pembelinya," katanya di dalam
hati. "Kenapa dijual kepada gembong judi?"
"Ah!" kata seorang lain sambil menghela napas. "Kalau ada
judi, tempat ini bakal tak aman lagi. Menurut cerita orangorang
tua, sepuluh tahun berselang, waktu Koaywalim
menjadi sarang judi, setiap hari tentu mesti terjadi pencurian,
perampokan dan perkelahian. Anak-anak muda menjadi
rusak."
"Memang juga lebih baik dalam tangan In Conggoan,"
orang ketiga menyeletuk.
"Waktu ia masih mengurus taman ini, meskipun kita tak
dapat sembarang keluar masuk, tapi sebulan dua kali, saban
Ceeit dan Capgo (tanggal 1 dan tanggal 15 menurut
penanggalan Imlek), orang dapat pesiar dengan leluasa dan
tentaram. Orang bisa melihat-lihat kembang, melihat-lihat
ikan, mengobrol di bawah pohon siong dan sebagainya. Ah!
Kalau sudah menjadi sarang judi, untuk kita si miskin, tak ada
tempat lagi untuk menghibur hati." Dilihat dari romannya,
orang itu mestinya seorang Siucay (gelar seorang sasterawan)
miskin.

211
"Apakah dulu, pemilik taman ini seorang Conggoan?" tanya
Sin Cu.
"Siauwko, apakah kau datang dari tempat lain?" tanya si
sastera-wan. "Masa kau belum pernah mendengar nama
Buconggoan In Tiong yang kesohor? Buconggoan itu bukan
saja paham ilmu silat dan pernah jadi jenderal, tapi juga tinggi
ilmu suratnya. Coba lihat! Bagaimana ia menghias taman ini!
Angker dan indah!"
Ie Sin Cu tertawa. "Mana kau tahu, bahwa pemilik taman
ini adalah guruku," katanya di dalam hati. "Segala sesuatu
dalam mengatur dan menghias taman ini, semua-muanya
menurut petunjuk Suhu."
"Kenapa Siauwko tertawa?" tanya Siucay itu.
"Kalau benar Conggoan, tentu tidak kekurangan uang,"
jawabnya. "Kenapa taman ini dijual kepada orang yang mau
membuka tempat judi?"
"Siauwko," kata Siucay miskin itu. "Ada sesuatu yang kau
tak tahu. In Conggoan sekeluarga sudah pindah semua. Dan
Liong Pangcu itu... hm..."
Si buaya darat mendelik sehingga saste-rawan itu jadi
keder dan berkata pula dengan suara perlahan: "Sudah lama
Liong Pangcu ingin membuka tempat judi dan kebetulan ada
tempat yang cocok, ia lantas membelinya."
Ie Sin Cu heran bukan main. Kenapa In Tiong sekeluarga
pindah ke lain tempat? "Ke mana In Conggoan pindah?"
tanyanya.
Si buaya darat tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Apakah kau kira dia ini pentolan, sehingga In Conggoan

212
sudah begitu perlu memberitahukan ia ini ke mana pindahnya?
Jika begitu jempol, dia ini tentu tidak berkawan dengan orangorang
seperti kami."
Siucay miskin itu kelihatan jengkel sekali. "Meskipun sudah
pernah menjabat pangkat tinggi, In Conggoan tidak banyak
tingkah," katanya. "Bahwa In Conggoan dan aku pernah
bercakap-cakap, sama sekali bukan kejadian luar biasa." Tapi
Siucay ini memang tak tahu ke mana In Tiong pindah dan si
buaya darat jadi tertawa terlebih besar dan terus
mengejeknya.
Ie Sin Cu yang tidak mempunyai kegembiraan untuk
mendengarkan pertengkaran mereka, lantas saja berlalu
dengan pikiran kusut. Ketika membiluk di ujung jalan,
mendadak ia melihat dua orang, yang rasanya tak asing lagi
baginya, sedang membuntutinya. Si nona menghentikan
tindakannya dan mengawasi mereka. Segera juga ia
mengenali, bahwa mereka adalah dua perwira itu yang
bersama Hoan Eng telah berkunjung ke kampung Thio Hong
Hu.
Kedua perwira itu lantas saja mendekati dan sesudah
mengawasi beberapa saat, mereka mengenali si baju putih.
"Ah! Siauwko," kata perwira she Liok. "Bukankah kau yang
pernah bertempur dengan Loohoan?"
"Kenapa?" kata si nona. "Apa kamu mau tolong
membalaskan sakit hatinya?"
Mereka tak meladeni pertanyaan Sin Cu yang garang. "Apa
belakangan kau pernah bertemu lagi dengan Loohoan?" tanya
perwira she Ie.
Ie Sin Cu merasa geli dalam hatinya dan balas menanya:
"Kalau ketemu kenapa? Dan kalau tidak ketemu, kenapa?"

213
"Loohoan telah menjanjikan kami untuk bertemu pula di
tepi telaga Thayouw, tapi sesudah kami menunggu belasan
hari, belum juga muncul," perwira she Liok menerangkan.
"Untuk apa ia berjanji begitu?" si nona sengaja menanya.
Kedua perwira itu jadi gaga gugu, mereka tak berani bicara
terus terang.
Dalam hati Sin Cu lantas saja timbul rasa kasihan. Ia
mengetahui, mereka sedang berada dalam ketakutan hebat.
Maka itu, sembari tertawa ia lantas saja berkata: "Hoan Eng
menjanjikan kalian bertemu di sini untuk bersama-sama
mencari Thio Tan Hong dalam usaha mengambil pulang uang
negara yang berjumlah tiga puluh laksa perak. Bukankah
begitu?"
Mereka terkesiap mendengar perkaraan itu. Mengingat
liehay-nya si baju putih, mereka mengetahui "pemuda" itu
bukan orang sembarangan. Maka itu, sesudah dapat
menetapkan jantungnya yang ber-goncang keras, si perwira
she Ie segera menyahut: "Benar. Sesudah bertempur, kau dan
Loohoan lalu mengikat tali persahabatan, bukan? Apakah
Loohoan yang memberitahukan hal ini kepadamu?"
"Apa kalian sudah bertemu dengan Thio Tan Hong?" Ie Sin
Cu balas menanya.
Mereka lantas saja mengatakan, bahwa tanpa diantar oleh
Hoan Eng, mereka tidak berani menemui Thio Tan Hong.
Sin Cu bersenyum dan berkata: "Sudahlah kalian tak usah
menunggu lagi. Tiga puluh laksa tahil itu sudah dibayar pulang
dan sudah diantar oleh orang lain kepada yang harus
menerimanya. Tapi atasanmu sudah dipecat, sehingga kalian

214
harus buru-buru pulang ke Ouwpak. Jika Yamunsu baru sudah
menjabat pangkatnya dan kalian belum melaporkan diri,
mungkin kalian juga akan dipecat."
Mereka kaget berbareng girang dan hampir-hampir tak
percaya apa yang dikatakan Sin Cu.
"Malam ini kalian boleh tidur dengan tenang," kata pula Sin
Cu sembari bersenyum dan lantas meninggalkan kedua
perwira itu. Di luar tahunya, pembicaraan mereka sudah dapat
didengar oleh dua pahlawan istana yang dengan diam-diam
segera membuntuti puteri Ie Kiam ini.
Besok paginya, dengan menunggang si putih, Sin Cu pergi
ke pinggir telaga, di mana biasanya terdapat banyak sekali
perahu, tapi sekarang hanya kelihatan sebuah perahu kecil
yang ditambat di bawah pohon yangliu.
Si nona heran dalam hatinya. Waktu itu adalah buntut
musim semi yang sangat cocok untuk pesiar di telaga, yang
biasanya ramai sekali. Kenapa sekarang begitu sunyi?
Begitu melihat Ie Sin Cu, si pemilik perahu, seorang yang
alisnya tebal, matanya besar dan badannya tinggi kasar,
lantas membuka tambatan dan menanya sembari tertawa:
"Apa Siangkong (tuan) mau pesiar?"
"Benar," jawah Sin Cu. "Antar aku ke sebelah barat
Tongteng san."
"Bagus! Bagus!" kata orang itu. "Kudamu benar bagus. Mari
aku tuntun."
Indah sungguh pemandangan telaga Thayouw. Dengan
dikipasi angin musim semi yang sejuk, sambil memandang
gelombang yang berwarna biru dan puncak-puncak di tengah

215
telaga tersebut, seorang pelancong seakan-akan berada di
tempat dewa-dewa. Tapi si nona tak mempunyai kegembiraan
untuk menikmati pemandangan alam itu lantaran hatinya
berdebar-debar mengingat ia sudah berada dekat sekali
dengan Suhu dan Subo-nya. Ia berdiri bengong, ia melamun.
Mendadak matanya melihat dua buah perahu besar yang
sedang berlayar ke arah perahunya. Dua perahu itu bukan
perahu pesiar dan di setiap kepala perahu berdiri seorang
lelaki yang berbadan tinggi dan yang terus mengawasi Sin Cu.
Si nona terkejut, ia tak mengerti kenapa dua orang itu begitu
kurang ajar.
Tiba-tiba si pemilik perahu berkata dengan suara
menyeramkan: " Loohu selamanya hidup di pinggir telaga, tak
suka bergaul, paling suka uang. Ha-ha! Sungguh mujur, pagi
ini bertemu dengan kambing gemuk!"
Ie Sin Cu terperanjat, "Apa katamu?" tanyanya.
"Siangkong," jawabnya. "Numpang tanya: Kau lebih suka
mie golok atau mie pangsit."
"Apa artinya mie golok? Apa artinya mie pangsit?" tanya si
nona.
Si pemilik perahu lalu membuka papan perahu dan
mengambil sebatang golok. "Mie golok adalah ini, sekali sabet,
kau menjadi dua potong," katanya sembari menyabetkan
goloknya diudara. "Mie pangsit yaitu: Kau diikat keras-keras
dan plung, kau masuk ke dalam air!"
"Binatang! Tengah hari bolong kau berani merampok dan
membunuh?" bentak Sin Cu dengan suara gusar.

216
"Lekas keluarkan semua milikmu!" si perampok balas
membentak. "Baiklah, aku mengampuni jiwamu, tapi kau
mesti mengikut aku."
Dua perahu besar itu semakin lama jadi semakin dekat.
"Hei! Mau apa rewel-rewel!" teriak si lelaki tinggi besar
yang berdiri di kepala perahu. "Lempar saja ke air, biar dia
setengah mampus! Ha-ha! Kemudian baru diserahkan pada
Yang Toacongkoan."
"Baiklah, kasi dia makan mie pangsit dulu," jawab si
perampok. Dengan tangan kiri menyekal golok dan tangan
kanan memegang tambang, ia mendekati Ie Sin Cu.
Tiba-tiba saja, berbareng dengan diayunnya tangan si
nona, suatu sinar emas menyambar dan, tanpa mengeluarkan
suara, si pemilik perahu kecebur ke dalam air! Ternyata
lehernya sudah ditembuskan sekuntum bunga emas. Dia
berdiri yang lebih dulu makan "mie pangsit"!
Ie Sin Cu sebenarnya sungkan menurunkan tangan kejam.
Akan tetapi, sesudah mendengar teriakan si lelaki tinggi besar,
ia mengetahui, bahwa kawanan itu bukan perampok biasa dan
dalam gusarnya, ia tak main kasihan lagi. Badan si pemilik
perahu tenggelam timbul beberapa kali dan kemudian lenyap
dari permukaan air.
"Bagus! Liehay juga bocah itu!" seru si tinggi besar. Ia lalu
memerintah anak buah kedua perahu itu agar menggayuh
lebih cepat dan menjepit perahu Sin Cu dengan dua perahu
besar itu.
Begitu si pemilik kecebur, perahunya terputar beberapa
kali.

217
Sin Cu tak pandai berenang dan juga tak dapat
mengemudikan perahu. Dalam gusarnya, ia mengayun kedua
tangannya, masing-masing melepaskan tiga kuntum bunga
emas yang menyambar ke arah tiga jalan darah setiap lelaki
tinggi besar yang berdiri di kepala perahu.
Mereka adalah Wie-su (pahlawan) kelas satu dari istana
kaizar. Yang berdiri di perahu sebelah kiri adalah Yo Cian Kin,
sedang yang di sebelah kanan adalah Kim Ban Liang. Yo Cian
Kin yang bertenaga besar segera menyampok jatuh tiga
bunga emas itu dengan rantai besinya. Kim Ban Liang yang
pandai berkelit, sudah menangkis dengan goloknya sambil
mengegos ke kiri kanan. Ia menyampok jatuh sekuntum
bunga emas dengan goloknya dan mengelit dua bunga
lainnya, yang kemudian menancap di papan perahu. Ie Sin Cu
melepaskan senjata rahasianya dari jarak belasan tombak dan
bahwa dari jarak begitu jauh ia masih dapat menimpuk begitu
jitu, sudah membikin kedua Wiesu itu menjadi kaget dan tak
berani datang terlalu dekat.
Tapi di lain saat, mereka sudah mengetahui, si baju putih
tidak mengenal ilmu berenang. Yo Cian Kin tertawa
berkakakan, "Kunjungan harus dibalas dengan kunjungan!" ia
membentak sambil menimpuk dengan Tiattha ("Nyali-besi"),
yang ditujukan bukan ke arah Sin Cu, tapi ke perahunya.
Tiattha itu yang beratnya beberapa kati, lantas saja membikin
papan perahu berlubang dan air telaga mulai mengalir masuk.
Sin Cu terkejut dan Tiattha kedua sudah menyambar pula.
Buru-buru ia mengeluarkan dua bunga emas dan menimpuk
dengan menggunakan seantero tenaga dalamnya.
Tiattha itu ketahan di tengah udara dan jatuh ke dalam air
di pinggir perahu, sehingga air telaga muncrat tinggi dan
berombak keras. Perahu itu terputar-putar beberapa kali dan
Sin Cu merasakan matanya berkunang-kunang, hampir-hampir
ia muntah.

218
Yo Cian Kin kembali tertawa berkakakan. "Ambil batu
penindih perahu!" ia berteriak. "Lebih dulu aku mau
menenggelamkan perahu bocah itu."
Sebagaimana diketahui, perahu-perahu yang muatannya
sedikit, bergoncang keras jika bertemu angin dan ombak
besar. Maka itu, anak buah perahu yang berpengalaman selalu
menaruh batu-batu besar di dasar perahu yang muatannya
enteng, untuk meneguhkan kedudukan perahu itu. Disetiap
perahu besar yang sedang menggenjet perahu Ie Sin Cu,
hanya terdapat tiga orang, yaitu dua pemegang kemudi dan
seorang melayani si nona. Selain itu, kedua perahu tersebut
tidak membawa barang. Maka di saban perahu terdapat batubatu
besar yang beratnya sama sekali dua tiga ribu kati.
Begitu diperintahkan, anak buah perahu itu lantas saja
menggotong naik beberapa batu besar.
Yo Cian Kin tertawa berkakakan seraya berteriak: "Bocah!
Sambutlah ini!" Ia mengerahkan tenaga dalamnya, membuat
sebuah lingkaran dengan kedua lengannya dan kemudian
melontarkan sebuah batu yang beratnya hampir seratus kati.
Batu itu jatuh ke dalam air, di dekat perahu Sin Cu. Air telaga
berombak keras sehingga perahu Sin Cu terputar dan miring.
Buru-buru si nona mengerahkan ilmu Ciankin tui dan
memusatkan seluruh tenaga kepada kedua kakinya yang
menginjak perahu itu keras-keras. Untuk menetapkan perahu
yang didampar ombak dengan menggunakan ilmu Ciankin tui,
orang harus mempunyai Iweekang dan gwakang yang sama
tingginya. Ie Sin Cu sudah mewarisi ilmu Iweekee (ilmu
dalam) dari Thio Tan Hong, tapi oleh karena usianya masih
sangat muda, gwakang-nya belum dapat menyamakan tenaga
dalamnya (Iweekang). Maka itu, perahunya masih terus
terputar-putar dan miring ke kiri kanan, sehingga si nona
merasakan kepalanya pusing.

219
Lagi-lagi Yo Cian Kin mengeluarkan tertawa girang dan
melontarkan pula sebuah batu besar yang jatuh di sebelah kiri
perahu Sin Cu. Air telaga muncrat, sehingga pakaian si nona
menjadi basah dan ombak jadi semakin hebat. Sambil
membentak keras, Yo Cian Kin melemparkan batu ketiga yang
jatuh di sebelah kanan perahu Sin Cu!
Dapat dibayangkan hebatnya ombak itu yangn menggencat
dari kiri dan kanan. Perahu Sin Cu terputar, miring, tenggelam
timbul, beberapa kali hampir-hampir ditelan ombak. Mata si
nona berkunang-kunang, kepalanya pusing. "Wah!" ia
muntahkan semua makanan yang telah dimakan pagi tadi. Ia
kaget dan gusar, tapi seluruh badannya lemas. Sementara itu,
Yo Cian Kin sudah mengangkat batu yang ke empat. Jika batu
itu dilemparkan, perahu Sin Cu pasti akan tenggelam.
Di saat yang sangat genting itu, berbareng dengan suatu
siulan panjang dan nyaring, di tengah telaga mendadak
munjul sebuah perahu kecil yang mendatangi bagaikan anak
panah yang baru terlepas dari busurnya. Dengan cepat,
perahu itu sudah menyelak di antara perahu Sin Cu dan dua
perahu besar itu.
"Apakah kau mau cari mampus?" teriak Yo Cian Kin.
Dari dalam perahu itu sekonyong-konyong muncul seorang
yang berkata sembari tertawa: "Di siang hari bolong, kau
berani merampok dan membunuh! Apakah kau kira dunia ini
milikmu sendiri?" Suara itu nyaring sekali, seperti suara anak
kecil.
Mendengar suara itu, yang agaknya tak asing baginya, Sin
Cu yang sedang mabuk jadi bergoncang hatinya. Ia membuka
kedua matanya dan ternyata yang muncul dari perahu itu
adalah bocah yang mengenakan pakaian serba hitam, dengan

220
tudung hitam dan lantaran mukanya juga berwarna hitam,
kedua matanya yang bersinar terang kelihatan menyolok
sekali. Sebab kepalanya pusing, Sin Cu tidak dapat lantas
mengenali siapa adanya bocah itu.
"Binatang kecil yang tak kenal mampus!" Yo Cian Kin
membentak. "Kau juga gegares sebuah batu!" Dengan suara
"jebiur!", batu ke empat dilontarkan ke arah perahu si hitam
yang lantas saja terbalik dan tenggelam di antara ombakombak
besar.
Ie Sin Cu terperanjat. Sekonyong-konyong ia merasakan
seakan-akan perahunya didorong orang, sekali melesat
belasan tombak dan dalam sekejap mata sudah keluar dari
lingkungan ombak-ombak besar. Itulah suatu kejadian yang
benar tidak diduga-duganya.
Begitu berada di air tenang, mabuknya lantas agak reda
dan sesudah menjalankan pernapasannya, tenaganya segera
juga kembali. Buru-buru ia menjembat penggayuh dan
menggayuh secepat mungkin. Walaupun tidak mengerti ilmu
main perahu, akan tetapi di air tenang dan karena perahu
itupun bergerak mengikuti aliran air, dapat juga ia
menjalankannya.
Mengingat si bocah, Sin Cu menengok ke belakang. Ia
melihat perahu si hitam mengambang terbalik di atas
permukaan air, sedang si hitam sendiri tidak kelihatan bayangbayangannya,
mungkin sudah tenggelam di dasar telaga. Si
nona berduka sangat dan berkata dalam hatinya: "Hai!
Dengan kenakalannya itu, secara kebe-tulan ia sudah
menolong jiwaku, tapi ia sendiri harus mengorbankan
jiwa."

221
Tiba-tiba Yo Cian Kin berteriak-teriak dengan kegusaran
hebat. Ternyata perahunya sedang terputar-putar dan miring
ke sana sini.
"Ada orang main gila di bawah air!" seru salah seorang
anak buahnya dan seorang antaranya lantas loncat ke air.
"Kim Toakol" teriak Yo Cian Kin. "Tolong kau mengubar
bocah yang sedang kabur itu!"
Saat itu, jarak antara perahu Kim Ban Liang dan Ie Sin Cu
kira-kira dua puluh tombak. Tenaga orang she Kim itu tidak
sebesar kawannya, sehingga ia tak mampu menimpuk musuh
dengan batu besar. Tetapi ia pandai main perahu dan dalam
tempo tak lama, ia sudah mengubar semakin dekat. Ie Sin Cu
segera mengayun tangannya dan melepaskan lima bunga
emas yang menyambar ke beberapa jurusan. Sekuntum bunga
emas yang menyambar Kim Ban Liang kena dipukul jatuh
dengan goloknya, tapi dua bunga lainnya mengenakan jitu
pada tambang layar yang lantas putus dan layarnya jatuh,
sehingga lajunya perahu itu jadi tertahan. Berbareng dengan
itu, dua kuntum bunga emas lain menyambar ke arah dua
pengemudi perahu.
Pengemudi yang berdiri di sebelah kiri masih dapat berkelit,
tapi yang di sebelah kanan kena disambar jitu, sehingga tanpa
mengeluarkan suara, ia terguling ke dalam air. Kim Ban Liang
terkesiap dan sementara itu, perahu Sin Cu sudah terpisah
lebih dari dua puluh tombak. Dengan gusar, Kim Ban Liang
mengambil penggayuh untuk coba mengubar lagi. Tapi
mendadak ia mendengar teriakan Yo Cian Kin: "Kim Toako.
Balik!"
Ia menengok dan melihat air telaga berwarna merah,
sedang mayat anak-buah perahu yang tadi terjun dan
menyelam ke dalam air, ketika itu sudah mengambang di atas

222
air. Lebih celaka lagi, air telaga mengalir masuk ke dalam
perahu itu yang segera mulai tenggelam dengan perlahan.
Ternyata anak buah perahu itu telah dibinasakan si hitam
yang juga sudah membocorkan perahu tersebut, Yo Cian Kin
yang tidak pandai berenang, jadi ketakutan dan buru-buru
menteriaki kawannya.
Dengan terpaksa, Kim Ban Liang melepaskan si baju putih
dan membilukkan perahunya untuk menolong Yo Cian Kin.
Dengan sekuat tenaga, Kim Ban Liang dan seorang anak
buahnya menggayuh perahunya, yang terpisah kira-kira lima
puluh tombak dari perahu Yo Cian Kin.
Ketika sudah berdekatan, perahu Yo Cian Kin sudah hampir
tenggelam seluruhnya dan kaki orang she Yo itu yang berdiri
di kepala perahu, sudah kerendam air. Pengemudi perahu
yang satunya lagi buru-buru terjun ke dalam air, tapi beberapa
saat kemudian, air telaga mendadak berubah merah dan ia
mengalami nasib seperti kawannya.
Begitu kesambar bunga emas di tenggorokannya, tukang
perahu itu lantas terjungkal ke dalam air. Sesudah itu, dengan
hati berdebar, Ie Sin Cu mengawasi dua perahu besar itu yang
semakin lama jadi semakin dekat.
Melihat keadaan mendesak, sembari melemparkan papan,
Kim Ban Liang berteriak "Yo Toakol Lihat ini!"
Yo Cian Kin loncat dan kedua kakinya hinggap di atas
papan. Sekonyong-konyong bocah hitam itu muncul di
permukaan air dan menarik papan yang sedang diinjak Yo
Cian Kin. "Orang gede!" katanya sembari tertawa ha-ha hi-hi.
"Mari turun main-main!"

223
Dengan mata merah, Yo Cian Kin menghantam sekuat
tenaganya. Pukulan itu hebat luar biasa, air telaga muncrat
tinggi.
"Tak kena!" teriak si hitam sembari menyelam.
Tak usah malu Yo Cian Kin menjadi pahlawan kelas satu di
istana kaizar! Pada detik yang sangat berbahaya itu, ujung
kakinya menotol papan dan badannya segera melesat ke atas
setombak lebih! Selagi berada di tengah udara, ia memutarkan
badan dan di lain saat, kedua kakinya hinggap di atas perahu
Kim Ban Liang!
"Bangsat kecil itu benar-benar seperti setan air," katanya,
tersengal-sengal. "Kim Toako. Coba kau turun !"
Sambil menyekal sumpitan anak panah, Kim Ban Liang
segera terjun dan menyelam. Ia berdiam di dalam air tanpa
bergerak, dengan niatan membokong si hitam dengan anak
panahnya. Tidak lama kemudian, dalam jarak beberapa
tombak, ia melihat berkelebatnya bayangan hitam yang
gerakannya gesit luar biasa, seperti juga seekor ikan terbang.
Bayangan itu lewat di depannya dan menuju ke arah perahu
Ie Sin Cu. Kim Ban Liang coba mengubar, tapi kepandaiannya
ternyata masih kalah jauh, sehingga sesudah mengudak
beberapa lama, dengan mendongkol ia terpaksa kembali ke
perahunya.
Di lain pihak, sesudah terlepas dari bahaya, perlahan-lahan
Ie Sin Cu menggayuh perahunya. Ia menengok dan dengan
terkejut, ia mendapat kenyataan bahwa sebuah antara dua
perahu besar itu sudah tenggelam. Sekarang ia mengetahui,
bahwa itu semua adalah pekerjaan si bocah hitam. Ia merasa
kagum dan tidak mengerti, bagaimana bocah itu bisa memiliki
kepandaian yang demikian tinggi. Lapat-lapat ia ingat bahwa
ia pernah bertemu dengan bocah tersebut, akan tetapi ia lupa

224
bila dan di mana. Selagi mengingat-ingat, perahunya
mendadak bergoncang dan di lain saat, perahu itu mendadak
melesat ke depan, didorong orang dari dalam air.
"Hei! Anak nakal! Lekas naik!" teriak si nona. Tapi teriakan
itu tidak diladeni, sedang perahunya laju bagaikan terbang.
Dalam tempo sekejap, perahu itu sudah tiba di kaki
Tongteng san barat. Baru saja perahu itu menempel pada tepi
telaga, Ciauwya Saycu berbenger keras.
"Sudah hampir sampai rumah," kata Sin Cu sembari
tertawa. "Untuk apa kau berteriak-teriak?" Dengan menuntun
si putih, ia lantas naik ke darat. Sekonyong-konyong sesosok
bayangan hitam loncat keluar dari dalam air, yang bagaikan
kilat sudah mengusap kepala dan muka Sin Cu dengan kedua
tangannya yang berlumpur!
Si nona menyampok dengan tangannya, tapi bayangan itu
sudah melesat ke gili-gili.
"Hayo, udak jika kau bisa!" ia berteriak sembari tertawa
haha hi-hi.
"Hm! Baru sekarang aku tahu, kau bukan bocah, tapi nona
besar!"
Ie Sin Cu mengawasi dan segera juga ia mengenali, bahwa
si nakal bukan lain daripada Siauw Houwcu, putera Thio Hong
Hu! Girangnya si nona tidak kepalang. "Waktu mau menutup
mata, Thio Hong Hu telah minta Hoan Eng menyampaikan
kepada guruku, supaya ia mencari anak itu dan mengambilnya
sebagai murid," kata Sin Cu di dalam hatinya.

225
"Ketika itu, aku tak tahu sampai kapan bisa dapat
menemukan ia. Tak dinyana, sebaliknya dialah, yang sudah
lebih dulu berada di sini."
Kegusaran Sin Cu lantas saja seperti ditiup angin. "Siauw
Houwcu!" ia berteriak. "Bocah nakal! Aku mau lihat, ke mana
kau mau lari?" ia mengudak untuk membekuk si hitam.
"Aku tak suka main dengan anak perempuan!" teriak si
hitam sembari kabur dan bagaikan seekor kera dalam sekejap
mata ia sudah merghilang di antara pohon-pohon yang
rindang.
Ie Sin Cu bengong. Sekarang baru ia mengetahui, bahwa
ikat kepalanya telah ditarik oleh si nakal, sehingga rambutnya
awut-awutan, muka dan pakaiannya juga sudah kotor penuh
lumpur. Sesaat itu, dua orang dusun kelihatan mendatangi
dari kejauhan. Sin Cu yang merasa malu untuk bertemu orang
dengan muka dan pakaian kotor, buru-buru kembali ke perahu
untuk membereskan rambutnya, mencuci muka dan tukar
pakaian. Waktu ia keluar lagi, bukan saja Siauw Houwcu, tapi
dua orang itu juga sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya
lagi.
Dengan penuh kesangsian, si nona mendaki gunung. "Biar
pun Siauw Houwcu pintar, tapi jika tak ada yang menuntun,
mana bisa ia mencari sampai di sini?" pikir Sin Cu. "Baru
berselang sebulan lebih, ilmu silatnya sudah maju begitu jauh.
Tak salah lagi, ia tentu telah mendapat petunjuk-petunjuk
seorang berilmu. Tapi siapakah orang itu? Apakah guruku
sendiri? Mungkinkah Suhu sudah mengetahui segala kejadian
dan lalu mencari si nakal yang lantas diambil sebagai
muridnya?"
Sembari berpikir, si nona berjalan terus dan tanpa merasa
ia sudah tiba di tengah-tengah gunung. Tongteng san barat

226
adalah gunung yang penuh dengan bunga dan buah-buahan.
Di kaki gunung, sawah berderet-deret, di atas gunung, pohon
buah sambung menyambung. Waktu itu adalah buntut musim
semi, musim yang sangat repot untuk petani. Akan etapi di
sepanjang jalan, di kaki gunung si nona tidak melihat petani
yang menggarap sawah dan di lereng gunung, ia tidak
mendengar suara nyanyian nona-nona pemetik teh. Kecuali
dua orang dusun itu, baik di sawah maupun di kebun buahbuahan,
keadaan sunyi senyap dan tak tampak manusia lain.
Itulah keadaan yang luar biasa, yang sudah membikin hati Sin
Cu tidak enak sekali. Ia mempercepat tindakannya, menuju ke
arah perkampungan di mana rumah gurunya berdiri.
Tongteng sankhung dahulu adalah milik Tantay Tiong
Goan, mertua In Tiong. Belakangan, sesudah in Tiong suami
isteri berdiam di Koaywalim, rumah itu diserahkan kepada
keluarga Thio Tan Hong. Sankhung (rumah di daerah
pegunungan) tersebut berdiri di lereng gunung yang penuh
dengan pohon-pohon dan meskipun tidak seangker
Koaywalim, tapi dengan ranggon-ranggonnya dan
pemandangan alamnya yang sangat indah, rumah tersebut
mempunyai keindahan yang sukar dicari bandingannya.
Begitu tiba di depan rumah, hati si nona lapang dan lega,
dengan perlahan ia mengetuk pintu. "Aku pulang!" ia berseru
dengan suara nyaring.
Sebagai seorang yang menjadi besar di Tongteng
sankhung, suaranya dikenal oleh semua orang di sekitar situ.
Tapi, kali ini, sesudah memanggil-manggil tiga kaii, belum
juga ia mendapat jawaban. Sin Cu sangat heran. Ia menolak
pintu yang lantas saja terbuka, tapi di dalam tidak terdapat
seorang manusia pun.

227
"Suhu!. Aku pulang!" teriak si nona. Suaranya yang nyaring
berkumandang dalam taman Sankhung yang sunyi senyap. Sin
Cu bergidik dan mengawasi sekitarnya. Ia melihat bungabunga,
pohon-pohon, beberapa pen-dopo, air yang mengalir
di sela-sela batu... seluruhnya tiada bedanya dengan keadaan
biasa. Hati si nona jadi berdebar-debar. Ia jalan mengitari
sebuah gunung-gunungan, melewati sebuah lorong panjang
dan terus menuju ke kamar berlatih silat Subo-nya (In Lui).
"Suhu!. Aku pulang!" ia memanggil sembari mengetuk pintu,
tapi tetap tidak mendapat jawaban. Ia menolak pintu itu dan
mendapat kenyataan, bahwa kamar itu kosong melongpong,
malah tulisan-tulisan dan gambar-gambar juga sudah hilang.
"Apakah Suhu juga pindah?" ia menanya dirinya sendiri dan
kemudian berlari-lari ke kamar buku Thio Tan Hong. Ia
menolak pintu dan hatinya lagi-lagi terkejut. Kecuali gambar
"Sungai Tiangkang di Musim Rontok", lukisan Thio Tan Hong,
dalam kamar itu tidak terdapat suatu apa lagi. Di atas gambar
itu terdapat sebuah syair yang ia belum pernah lihat dan yang
agaknya baru saja ditambahkan pada gambar itu. Syair
tersebut kira-kira berarti seperti berikut:
Siapakah, yang menyanyikan lagu-lagu Souw-hang
(Souwciu dan Hangciu) yang penuh kesedapan?
Bunga teratai sepuluh iie, bunga Kwi di musim rontok,
Siapa nyana bunga dan pohon yang tak berperasaan,
Dapat menyeret lembah Tiangkang ke dalam
kesengsaraan,'
Itulah syair yang sering sekali dihafalkan gurunya. Sering
sekali, sesudah menghafalkan syair tersebut, Thio Tan Hong
tertawa berkakakan, akan kemudian menangis sesenggukan.
Membaca tulisan sang guru yang melukiskan penderitaannya,
Sin Cu jadi merasa lebih tidak enak di dalam hatinya.

228
"Apakah Suhu telah menemui bencana?" ia menggerendeng
seorang diri. Tapi segera juga ia membantah pertanyaannya
sendiri. "Tak bisa! Hal itu tak mungkin terjadi," katanya di
dalam hati. Sama sekali ia tidak percaya, bahwa gurunya yang
berkepandaian begitu tinggi, bisa menemui bahaya yang di
luar dugaan.
Tapi, biar bagaimana pun juga, semakin lama ia jadi
semakin bingung. Ia masuk keluar kamar, pergi ke berbagai
peloksok, tapi tetap tak dapat menemui siapa juga. la
berteriak-teriak memanggil-manggil, tapi yang menyahut
hanya kumandang suaranya sendiri. Paling akhir, ia pergi ke
kamar tidur Thio Tan Hong. Begitu tiba di depan kamar, dari
sela-sela pintu, ia mengendus harumnya kayu garu yang
sangat disukai In Lui dan sering-sering dibakar dalam kamar
tidurnya.
"Kenapa siang hari bolong, Suhu dan Subo masih
mengumpat dalam kamar?" tanya si nona dalam hatinya. Ia
menanya begitu hanya untuk menghibur dirinya sendiri. Ia
sudah melihat perubahan aneh dan dalam hati kecilnya ia
merasa, bahwa pasti sudah terjadi sesuatu yang luar biasa.
Beberapa saat ia berdiri bengong di luar kamar dan
kemudian mengetuk pintu dengan perlahan. "Suhu!." ia
memanggil. "Aku sudah pulang."
Oleh karena tidak mendapat jawaban, ia menempelkan
kupingnya pada pintu. Ia heran bukan main lantaran lapatlapat.
kupingnya menangkap suara orang bernapas.
"Apakah Suhu sedang tidur siang?" tanyanya di dalam
hatinya dan sesudah bersangsi beberapa saat, perlahanperlahan
ia menolak pintu.

229
Begitu masuk, Ie Sin Cu yang tabah dan gagah berani,
hampir-hampir mencelat bahna kagetnya. Di atas dua
pembaringan, masing-masing terdapat manusia yang duduk
bersila. Orang yang bersila di pembaringan sebelah kiri hitam
mukanya dan hitam pula kulitnya, sedang yang bersila di
pembaringan sebelah kanan, putih sekujur badannya, malah
kedua alisnya juga putih meletak dan kelihatannya sungguh
menakutkan. Kecuali perbedaan warna kulit, potongan badan
dan roman kedua orang itu sangat sama, seperti juga saudara
kembar. Rambut mereka ikal, hidung mereka bengkok, mulut
mereka seperti mulut singa, sedang mata mereka celong ke
dalam. Dengan sekali melirik, si nona mengetahui, bahwa
mereka adalah orang asing. Badan mereka mengeluarkan bau
seperti kambing yang tidak dapat ditindih dengan harumnya
kayu garu.
Masuknya Ie Sin Cu seperti juga tidak diketahui mereka
yang tetap bersila di atas ranjang. Mereka berdua tidak
memakai sepatu dan di atas sprei yang putih terlihat tapaktapak
kaki kotor.
Ie Sin Cu jadi sangat gusar dan sembari menuding ia
membentak: "Hei! Siapa kamu? Kenapa begitu tak tahu adat?"
Mereka terus meramkan mata dan tak menggubris
bentakan si nona. Sin Cu jadi semakin gusar. "Hei!" ia
membentak pula. "Kamar ini adalah kamar tidur guruku. Siapa
memperkenankan kamu masuk dan mengotorkan ranjang
itu?"
Kedua orang aneh itu membuka mata mereka dan empat
sinar tajam menyapu Ie Sin Cu, tapi di lain saat, mereka
kembali meramkan mata.
Thio Tan Hong dan In Lui adalah orang-orang yang sangat
memperhatikan kebersihan dan kamar mereka selalu dirawat

230
dengan seksama. Melihat lagak kedua orang itu, si nona tak
dapat menahan sabar lagi. "Kalau kamu masih tetap tak
meladeni, aku tidak akan berlaku sungkan lagi," katanya
sembari mendorong orang yang bermuka hitam. Seketika itu
juga, si nona terkesiap karena tangannya hanya menyentuh
sesuatu yang lembek sebagai kapas. Sekarang ternyata,
manusia aneh itu mempunyai Iweekang yang luar biasa
tingginya. Selagi memutar badan, ia mendengar si orang aneh
di sebelah kanan tertawa terbahak-bahak. Dengan gusar, ia
menghantam jalan darah Joanma hiat di pinggang orang itu.
Lagi-lagi, dengan terkejut, ia menarik pulang tangannya,
karena kali ini, tangan itu seperti kebentrok dengan papan
besi yang sangat panas. Tapi badan orang yang terus tertawa
itu juga bergoyang sedikit. Dengan gusar, si nona lalu
menghunus pedang.
"Pergi!" ia membentak. "Mana boleh kau mengotorkan
kamar Thio Tayhiap!." Pedangnya berkelebat dan menikam
pinggang si muka hitam.
Senjata Sin Cu adalah pedang mustika yang telah
dihadiahkan oleh In Lui kepadanya. Pedang tersebut
dinamakan Cengbeng Pokiam dan dengan Pekin Pokiam milik
Thio Tan Hong, merupakan pasangan setimpal. Yang satu
pedang untuk pria dan yang lain pedang perempuan. Sepuluh
tahun lamanya Hian Kie Itsu telah mengolah kedua senjata
tersebut yang tajamnya luar biasa dan dapat memapas besi
seperti membacok lumpur.
Berkat ketajamannya, kedua pedang itu dapat
menobloskan tubuh orang-orang yang mempunyai ilmu
Kimciongto atau Tiatposan (ilmu weduk).
Karena darahnya meluap, si nona sudah menikam si muka
hitam dengan pedang mustikanya. Akan tetapi, baru saja
tangannya meluncur, hatinya sudah agak menyesal dan ia lalu

231
menikam ke bagian tubuh yang tidak berbahaya dengan
hanya menggunakan tiga bagian tenaganya.
Tapi, baru saja ujung pedangnya melanggar pakaian orang
itu, si nona merasakan senjatanya "terpeleset" dan melejit ke
samping.
Si muka hitam tertawa terbahak-bahak. "Jika kau ingin
tolong menggaruk badanku yang gatal, gunakanlah tenaga
yang lebih besar!" katanya. Sin Cu menjadi kalap tanpa
memikir pula, ia mendorong senjatanya dengan sepenuh
tenaganya.
"Bret!" baju orang itu robek dan si nona terkesiap, kuatir
kalau orang aneh itu jadi binasa. Buru-buru ia menarik pulang
senjatanya, tapi lagi-lagi ia terkejut oleh karena Cengbeng
kiam seperti juga kena dijepit sesuatu yang lembek tapi kuat
sekali dan tak dapat dicabut keluar! Separoh dari pedang itu
yang panjangnya dua kaki delapan dim, sudah terjepit otototot
dada orang itu! Si nona mengerahkan seantero tenaga
dalamnya, tapi ia masih tidak berhasil.
Muka Sin Cu menjadi merah seperti kepiting direbus.
Sekonyong-konyong ia merasa batang lehernya ditiup
orang dan hampir berbareng dengan itu, terdengar suara
tertawa Siauw Houwcu.
"Kau memang paling suka berkelahi!" kata si nakal. "Tapi
bertemu dengan guruku, kau menubruk tembok. Perlu
bantuan?"
Si muka hitam mendadak mengendorkan otot-ototnya dan
pedang si nona segera juga terlepas dari jepitan. "Sungguh
tak usah malu kau menjadi murid suami isteri Thio Tan Hong,"
katanya sembari tertawa. "Kepandaianmu sudah cukup tinggi.

232
Siauw Houwcu! Jangan kau besar mulut. Biarpun berlatih
siang malam, dalam tiga tahun kau tak akan dapat menyusul
ia. Di kemudian hari, ia bakal menjadi Suheng-mu. Mari! Lekas
memberi hormat!"
Ie Sin Cu membuka matanya lebar-lebar, hatinya heran
bukan main. "Siapa kau?" tanyanya.
"Apakah gurumu belum pernah menyebut-nyebut nama
kami?" tanya si muka hitam. "Kami adalah Hek Pek Moko (si
Hantu Hitam dan si Hantu Putih)!"
Hek Moko dan Pek Moko adalah saudara kembar. Mereka
terlahir di India, tapi berdagang emas intan di Tiongkok.
Mereka adalah sahabat Thio Tan Hong, tapi sesudah Tan
Hong mengasingkan diri di ......hilang halaman...
...........yangkan tubuh Pek Moko dengan dorongannya dan
bahwa ia dapat merobek baju Hek Moko, adalah suatu
kejadian luar biasa.
Mendengar nama kedua orang itu, kegusaran Sin Cu lantas
saja reda, tapi ia masih tetap mendongkol. "Biar pun kamu
menjadi sahabat Suhu, tak pantas kamu mengotorkan kamar
tidurnya," katanya di dalam hati.
"Bocah! Kau benar tak tahu diri!" kata Hek Moko sembari
tertawa. "Jika kami bukan sahabat kekal gurumu, apa kau kira
kami kesudian berdiam dalam kamar ini yang menyesakkan
napas?"
"Apa?" tanya Sin Cu.
"Apa, apa?" kata Pek Moko sembari menunjuk si nona.
"Bukankah tadi kau telah bertempur dengan dengkul anjing
(kaki tangan kaizar)?"

233
"Dihajar pulang pergi!" Siauw Houwcu menyambungi.
"Lihat! Bajunya sampai kotor." Sembari berkata begini ia
mengusap tangan jubanya si nona yang lantas saja menjadi
kotor. Sin Cu menangkap tangan si nakal dan lalu
memencetnya sehingga ia berteriak-teriak.
"Semua gara-garamu!" Sin Cu menyomel. "Jika kau nakal
lagi, akan kuhajar kau sampai terkuing-kuing."
"Dulu kau sudah membikin sekujur badanku penuh
lumpur," kata Siauw Houwcu sembari nyengir. "Hari ini hanya
pembalasan."
"Sedang kau saja masih diubar-ubar, bagaimana kawanan
dengkul anjing itu bisa membiarkan gurumu hidup tenang?"
kata pula Hek Moko.
Sin Cu terkejut, ia teringat nasib Thio Hong Hu. "Kalau
begitu, bukankah guruku sudah angkat kaki karena kuatir
kaizar menurunkan tangan jahat?" tanyanya. Sin Cu yang
biasa mendewa-dewakan gurunya dan menganggap sang guru
dapat mengatasi kejadian apa pun juga, sama sekali tidak
mengerti, mengapa gurunya bisa didesak orang sehingga
mesti menyingkir.
"Gurumu tak ingin rewel," sahut Pek Moko. "Tapi kami
berdua justru ingin menalangi ia melampiaskan
kemendongkolannya ini."
"Ke mana perginya guruku ?" tanya pula si nona.
"Jauh, jauh sekali..." jawab Hek Moko yang mendadak
menghentikan bicaranya dan memasang kuping.

234
Sesaat kemudian, ia berkata lagi sembari tertawa: "Siauw
Houwcu! Apakah kau masih ingat pelajaran Kunkeng (Kitab
ilmu silat) yang kuajarkan kemarin dulu?"
“Ingat," jawabnya. "Apakah perlu aku menghafal?"
"Hanya bisa menghafal, apa gunanya?" kata Hek Moko.
"Yang penting, harus dapat menggunakannya jika berhadapan
dengan musuh. Sebentar aku akan mengajarkan kau ilmu itu
dalam prakteknya, bagaimana harus menggunakan Lohan
Sinkun terhadap musuh yang jumlahnya lebih besar."
"Bagus!" seru si nakal. "Apakah kita berlatih di lapangan
belakang?"
"Bukan, dalam kamar ini." jawab Hek Moko. "Sebentar kau
harus memperhatikan dengan terliti. Nah! Sekarang kamu
berdua mengumpat di atas lemari pakaian."
Heran sungguh hati si nakal, tapi sebelum ia sempat
menanya, di luar sudah terdengar tindakan banyak orang. Ie
Sin Cu buru-buru menarik tangannya dan mereka lalu
meloncat ke atas lemari. "Bakal ada tontonan menarik," bisik
si nona sembari tertawa. "Gurumu ingin menggunakan musuh
untuk berlatih silat, supaya kau dapat mempelajarinya."
Tiba-tiba di luar kamar terdengar teriakan: "Thio Tan Hong
diperintahkan menerima firman Hongsiang (Kaizar) dengan
berlutut!"
"Aku si tua tak sudi menerima firman kaizar kentut anjing!"
sahut Hek Moko dengan me-niru suara Thio Tan Hong.
Mereka berdua adalah orang India yang belum paham
benar bahasa Tionghoa. Maka itu, meskipun suaranya mirip
dengan suara Thio Tan Hong, tapi bahasanya kaku dan kacau

235
balau. Sin Cu tidak tahan untuk tidak tertawa. "Benar-benar
kentut anjing," katanya di dalam hati. "Guruku belum pernah
menggunakan kata-kata yang begitu kasar."
Orang-orang yang berada di luar tentu merasa sangat
heran mendengar jawaban yang berani mati itu.
"Thio Tan Hong!" demikian terdengar mereka membentak.
"Mengapa kau berani berlaku begitu kurang ajar? Apakah kau
tak takut serumah tanggamu ditumpas seantero-nya?"
"Dak!" pintu ditendang dan terpental!
Di depan pintu berjejer sejumlah orang, antaranya Yo Cian
Kin dan Kim Ban Liang. Mereka itu adalah pahlawan-pahlawan
istana yang menerima perintah kaizar Kie Tin untuk
menangkap Thio Tan Hong. Kie Tin yang mengetahui Tan
Hong mempunyai kepandaian sangat tinggi, sebenarnya ingin
mengirim pasukan laut untuk mengepung Tongteng san barat,
tapi, karena kuatir gerakan pasukan laut itu akan membikin
Thio Tan Hong mencium bau, maka ia mengurungkan
niatannya dan lalu mengirim tujuh Wiesu kelas satu yang
dianggapnya cukup untuk membekuk pendekar gagah itu
bersama isterinya. Tapi di luar dugaan, meskipun berdiam di
tempat sepih, hidung Tan Hong tajam luar biasa dan niatan
Kie Tin sudah lebih dulu diendusnya. Demikianlah, ketika
orang-orang itu datang di Thayouw, mereka mendapat
kenyataan, bahwa burung yang mau dijaring itu sudah
terbang jauh. Mereka jadi penasaran dan setiap hari secara
bergiliran dua orang meronda di telaga Thayouw. Hari itu, Yo
Cian Kin dan Kim Ban Liang yang sedang bertugas sudah
bertemu dengan Ie Sin Cu dan sebagaimana diketahui,
mereka telah menubruk tembok gara-gara Siauw Houwcu.
Begitu pintu terpental, orang-orang Kie Tin itu terkesiap
melihat Hek Pek Moko yang beroman aneh dan menakutkan.

236
"Siapa kau?" bentak seorang.
Pek Moko tertawa ha-ha he-he dan kemudian menyahut:
"Kami adalah Hek Pek Busiang (si Hitam dan si Putih) yang
menugaskan diri untuk mencabut jiwa kawanan dengkul
anjing!"
"Ah! Dua bangsat kecil itu juga berada di sini!" seru Yo Cian
Kin sembari menghantam pintu kamar dengan rantai besinya,
sehingga pintu itu hancur lebur.
"Ha-ha!" tertawa Pek Moko. "Aku justru sedang mencaricari
rantai untuk merantai setan. Bagus juga kau sendiri yang
membawanya!"
Kim Ban Liang tertawa seram seraya berkata: "Di hadapan
malaikat, jangan kau coba menakut-nakutkan orang dengan
berlaga menjadi setan." Ia adalah seorang ahli senjata rahasia
dan berbareng dengan perkataannya, ia mengayun tangannya
serta menundukkan kepala. Dengan serentak, belasan senjata
rahasia, seperti panah tangan, batu Huihong sek dan Thielian
cie (biji teratai besi), menyambar ke arah Hek Pek Moko. Luas
kamar tidur Thio Tan Hong tidak lebih dari dua tombak dan
ketika itu, Hek Pek Moko sedang bersila di atas pembaringan
sehingga menurut perhitungan, senjata rahasia itu tidak bisa
meleset lagi.
Hek Pek Moko tertawa bergelak-gelak. "Ha!" kata seorang
antara mereka. "Terima kasih. Badanku memang sedang
gatal. Enak benar garukanmu!"
Semua senjata rahasia itu tepat mengenai badan Hek Pek
Moko dan kemudian jatuh meluruk di atas pembaringan,
sedang kedua orang itu sama sekali tidak bergeming.

237
"Lagi! Lagi!" mereka berteriak sembari tertawa terbahakbahak.
Kim Ban Liang terkesiap, ia bengong seperti orang kesima.
Yo Cian Kin gusar bukan main, sembari menggereng seperti
harimau, ia loncat masuk.
Begitu sudah datang agak dekat, ia membabat pinggang
Hek Moko dengan rantai besinya, yang panjangnya satu
tombak tujuh kaki, sedang buntut rantai itu digunakan untuk
melibat badan Pek Moko.
"Bagus!" seru Hek Moko sambil mengebaskan lengannya
dan rantai itu lantas saja terpental balik. Terkena hantaman
tenaga dalam yang hebat itu, Yo Cian Kin yang sedang
menggunakan seantero tenaganya, lantas saja jadi terhuyung.
Sementara itu, dengan tenang Pek Moko menangkap
buntut rantai itu yang segera digunakannya untuk melilit
kedua tangan Yo Cian Kin. "Nah! Satu setan kecil sudah
dirantai!" katanya sembari tertawa.
Sesaat itu, enam Wiesu yang lain hampir berbareng turut
meloncat ke dalam kamar. Sekonyong-konyong tubuh Hek
Moko melesat dari atas pembaringan dan hinggap di tengahtengah
pintu, sehingga semua pahlawan istana itu tercegat
jalan mundurnya.
"Siauw Houwcu!" ia berseru, "Perhatikanlah baik-baik!"
Para Wiesu menjadi agak keder, tapi mengingat jumlah
mereka yang besar, lantas saja mereka maju menyerang.
Sambil membentak keras, seorang Wiesu menghantam kepala
Pek Moko, yang sedang bersila di tengah ranjang, dengan
tongkat besinya.

238
Bagaikan kilat, Pek Moko menangkis dengan tangan kirinya
dan membabat dengan tangan kanannya.
"Krek!" pergelangan tangan Wiesu itu sudah menjadi
patah!
“Inilah Houwkun (Ilmu silat harimau)!" Pek Moko berseru.
Hampir berbareng dengan itu, Wiesu yang kedua sudah
menerjang. Pek Moko berkelit sembari mengirim tinjunya yang
tepat mampir di hidung orang. Telak sungguh jotosan itu!
Hidung itu amblas dan kedua mata si Wiesu melotot keluar.
“Itulah Pakun (Ilmu silat macan tutul)!" teriak Hek Moko.
"Eh! Kau jangan memukul begitu cepat. Perlahan sedikit,
supaya Siauw Houwcu dapat melihat lebih terang."
"Cukup terang!" si nakal berseru kegirangan.
Melihat gelagat tidak baik, salah seorang Wiesu buru-buru
balik dan coba kabur. Wiesu itu mahir dalam ilmu tendangan
Tantui yang mempunyai tiga puluh enam jalan. Untuk
melewati Hek Moko yang menghadang di depan pintu, ia
segera mengirimkan tendangan berantai.
"Koko," kata Pek Moko. "Sekarang giliranmu."
Hek Moko merapatkan lima jerijinya yang, bagaikan pacul,
menotok lutut Wiesu itu. Dengan teriakan mengerikan, si
Wiesu sempoyongan karena tulang lututnya sudah hancur.
Hek Moko lantas membarengi menjotos dengan tinju kirinya
dan tubuh Wiesu itu kembali terpental ngusruk ke dalam
kamar.

239
“Itulah Hokun (ilmu silat bangau)!" teriak Pek Moko. "Eh!
Kau pun tak boleh memukul begitu cepat."
"Ha-ha-ha!" Siauw Houwcu tertawa berkakakan sembari
menepuk-nepuk tangan. "Toasuhu (gu ru pertama) benarbenar
seperti seekor bangau. Hanya sayang bukan bangau
putih. Jika pukulan itu digunakan oleh Jiesuhu (guru kedua),
barulah mirip benar seperti bangau putih!"
Selagi Pek Moko bicara, Yo Cian Kin mengerahkan tenaga
dalamnya dan dengan sekali berontak, rantai yang mengikat
kedua tangannya segera menjadi putus. Begitu tangannya
bebas, dengan sekuat tenaganya ia menjotos ketiak Pek Moko.
Dengan tinju kiri Pek Moko memakai tinju musuh, sedang
telapak tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah.
Meskipun Yo Cian Kin bertenaga besar, tak dapat ia melawan
tenaga lweekee (tenaga dalam) Pek Moko. Dengan
terdengarnya teriakan menyayatkan hati, tangannya berdarah
dan lima jerijinya remuk!
“Itulah Liongkun (Ilmu silat naga)!" Hek Moko berseru.
Mulutnya berbicara, tangannya terus bekerja. Dengan gerakan
Tiangcoa cuttong (Ular keluar dari guha), ia menghantam
dengan telapakan tangannya, disusul dengan tinjunya dan
lagi-lagi seorang Wiesu jungkir balik.
"Aku kenal pukulan itu!" teriak Siauw Houwcu. "Itulah Coakun
(ilmu silat ular)!"
"Benar," sahut Hek Moko. "Coba lihat, apakah ini?"
Bagaikan kilat ia menggerakkan kedua tinjunya dan
menghantam seorang Wiesu lain dengan gerakan mengacip,
sebuah tinju menjotos punggung dan tinju yang lain memukul
perut Wiesu itu. Sambil menyedot napasnya untuk
mengempeskan perut, Wiesu itu berkelit dengan gerakan

240
Thaykek kun (Ilmu silat Thaykek) dan ia berhasil meloloskan
diri, tapi biarpun begitu, tak urung ia terputar-putar beberapa
kali sebagai akibat sambaran angin tenaga iweekee.
“Itulah Liongkun!" teriak Siauw Houwcu. "Hanya sayang,
kenanya tidak telak."
Wiesu tersebut adalah kepala rombongan yang terdiri dari
tujuh Wiesu itu. Ia bernama Lie Ham Cin dan merupakan salah
seorang tangan kanan Yang Cong Hay. Jika Hek Moko
menggunakan seantero tenaganya, ia pasti akan rubuh, tapi
karena tujuan si iblis hitam hanya untuk memberi pelajaran
kepada Siauw Houwcu, maka ia hanya menggunakan tiga
bagian tenaganya.
Sebagai ahli Thaykek, Lie Ham Cin mengetahui itu dan ia
tidak berani menyambut pukulan yang kedua. Buru-buru ia
loncat minggir dan bersembunyi di belakang salah seorang
kawannya.
Hek Moko tertawa terbahak-bahak. "Dengan dapat
menyambut sebelah tinjuku, kau boleh dibilang ahli yang
bandingannya sukar ditemukan," katanya. "Aku mengampuni
jiwamu, lain kali tak boleh kau datang lagi di sini."
Sembari berkata begitu, dengan sekali menggentak, ia
membikin Wiesu yang berdiri di depan Lie Ham Cin "terbang"
dan jatuh ngusruk di atas pembaringan. Hek Moko bekerja
terus, tangan kirinya menjambak Lie Ham Cin yang lantas
dilempar keluar, seperti melempar seekor itik. Segera
terdengar bunyi gedubrakan dan pecahnya genteng. Mungkin
sekali Wiesu itu jatuh di atas genteng kamar sebelah.
"Bagus! Bagus!" teriak Siauw Houwcu. "Tapi itu bukan
Lohan Sinkun (Ilmu silat Lohan). Suhu!. Hebat benar ilmu
melontarkan itu!"

241
"Benar!" kata Hek Moko. "Nah, sekarang, muncul lagi
Lohan Sinkun!" Berbareng dengan perkataannya, ia menjotos
Wiesu yang baru merangkak bangun di atas pembaringan,
sehingga ia ini kembali rubuh di tengah ranjang.
Demikianlah Hek Pek Moko menghajar ke tujuh Wiesu itu
pulang pergi, sehingga mereka jadi babak belur dan mata
mereka berkunang-kunang. Mereka ingin melarikan diri, tapi
tak bisa oleh karena Hek Moko menghadang di tengah pintu.
Lohan Sinkun yang digunakan Hek Pek Moko adalah
semacam ilmu silat yang merupakan gabungan lima macam
ilmu, yaitu Liongkun, Houwkun, Pakun, Coakun dan Hokun
(Ilmu silat Naga, Harimau, Macan tutul, Ular dan Bangau).
Menurut Kunkeng (Kitab Ilmu silat), Liongkun adalah untuk
"melatih semangat," yang terutama memperhatikan pianhoa
(pero-bahan-perobahan) dan tenaga dalam.
Houwkun "melatih tulang" untuk melakukan seranganserangan
keras, dengan tujuan melukakan musuh.
Pakun "melatih tenaga" dan mengutamakan kegesitan serta
kegarangan. Coakun adalah untuk "melatih hawa", dengan
tujuan memperpanjang umur. Hokun "melatih tenaga batin"
supaya pukulan-pukulan jatuh tepat pada bagian badan
musuh yang berbahaya.
Sumber lima macam ilmu silat itu adalah Siauwlim, sedang
pen-cipta ilmu silat Siauwlim sie adalah Tatmo Couwsu dari
India. Hek Pek Moko adalah orang India dan mereka sudah
menyelami pelajaran Tatmo yang tersebar di negaranya
sendiri. Belakangan sesudah datang di Tiongkok, mereka
mempelajari pula lima macam ilmu silat dari Siauwlim itu.
Meskipun Lohan Sinkun yang dikenal di India agak berbeda

242
dengan Lohan Sinkun di Tiongkok, tapi oleh karena bersumber
satu, pada dasarnya tidak berbeda banyak. Akhir-nya mereka
menggodok dan mempersatukan kedua macam Lohan Sinkun
itu, sehingga mereka memperoleh semacam Lohan Sinkun
yang benar-benar istimewa.
Thio Hong Hu adalah ahli Siauwlim pay dan sedari kecil
Siauw Houwcu sudah belajar Lohan kun di bawah pimpinan
mendiang ayahnya. Maka sesudah ia diambil sebagai murid,
Hek Pek Moko lalu menyerahkan Kunkeng kepadanya. Akan
tetapi, karena usianya masih sangat muda, ia belum mengerti
pelajaran dalam kitab tersebut. Sekarang, dengan
menyaksikan pukulan-pukulan yang "dipraktekkan" oleh kedua
gurunya terhadap para Wiesu itu, dengan sendirinya ia
menjadi lebih faham dan dapat menangkap bagian-bagian
yang tadinya gelap baginya. Dalam pelajaran praktek itu,
bukan saja Siauw Houwcu, tapi Ie Sin Tiu pun sudah menarik
keuntungan tidak sedikit.
Selagi Ie Sin Cu memuaskan seantero perhatiannya kepada
pertempuran, mendadak Siauw Houwcu menanya: "Eh,
apakah hari itu kau bertemu dengan ayahku?"
Hati Si nona mencelos. Saat itu baru ia tahu, bahwa bocah
itu belum mengetahui kebinasaan ayahnya.
Di antara tujuh Wiesu itu, Yo Cian Kin sudah setengah mati,
Lie Ham Cin sudah dilemparkan keluar kamar, sedang lima
Wiesu lainnya, kecuali Kim Ban Liang, sudah mendapat lukaluka
berat. Bahwa Kim Ban Liang terlolos dari luka berat, sama
sekali bukan karena kepandaiannya yang lebih tinggi, tapi
lantaran kelicikannya. Ia selalu main petak dan bersembunyi di
belakang kawan-kawannya. Sesaat itu, dengan Hokun, Hek
Moko memukul rubuh dua Wiesu dan Kim Ban Liang pun telah
dibikin terguling ke kolong ranjang. Selagi merangkak bangun,
mendadak ia melihat Siauw Houwcu sedang berbicara dengan

243
Ie Sin Cu di atas lemari. Dengan gergetan, secara mendadak
ia melepaskan dua batang panah tangan.
Siauw Houwcu yang sedang menanyakan hal ayahnya,
terkesiap ketika melihat menyambarnya dua batang anak
panah itu. Buru-buru ia mengangkat tangannya untuk coba
menyampok dua senjata gelap itu. Tapi Ie Sin Cu sudah
mendahuluinya. Dengan sekali mencentil, dua batang anak
panah itu terpental, dan hampir berbareng, sekuntum bunga
emas menyambar tenggorokan Kim Ban Liang. Dengan
teriakan menyayatkan hati, Kim Ban Liang loncat setombak
lebih, kepalanya hampir-hampir mengenakan langit-langit
kamar.
Pek Moko tertawa besar dan tangannya menyambar. Di lain
saat, badan Kim Ban Liang sudah terlempar keluar kamar
dengan tulang remuk akibat remasan ilmu Hunkin cokut
(Memecah otot memindahkan tulang).
Gerakan Ie Sin Cu dalam menyentil anak panah dan
melepaskan bunga emasnya, cepat luar biasa, sehingga Siauw
Houwcu jadi merasa kagum sekali.
“ Ciecie yang baik," katanya. "Kepandaian Suhu sukar
ditulad, tapi jika aku dapat menyusul Ciecie, hatiku sudah
merasa puas sekali."
Mendengar perkataan itu, Hek Pek Moko yang tadinya
menduga Ie Sin Cu adalah seorang laki-laki, baru mengetahui,
bahwa mereka sudah salah mata. Mereka merasa kagum
berbareng mengiri dan segera mengambil putusan untuk
mendidik Siauw Houwcu sebaik-baiknya dan kemudian,
sesudah anak itu memperoleh kepandaian tinggi, baru akan
diserahkan kepada Thio Tan Hong.

244
Sesudah berhasil me-lukakan musuh, sedang Siauw
Houwcu menepuk-nepuk tangan bahna girangnya, Ie Sin Cu
sendiri mengerutkan alisnya, seperti sedang berduka.
“Ciecie, kau kenapa?" tanya si nakal. "Sampai di mana
barusan kita bicara? Ya! Hari itu apakah kau bertemu dengan
ayahku?"
“Ia meninggalkan dua rupa barang, sebentar akan
kuserahkan kepadamu," sahut si nona.
"Kalau begitu, kau telah bertemu dengan ia," kata pula
Siauw Houwcu. "Barang itu sebentar saja dikasikan kepadaku.
Eh, coba lihat! Sungguh indah pukulan Suhu!."
Sesaat itu, Hek Pek Moko sedang menghujani empat Wiesu
yang masih agak segar dengan pukulan. Mereka mengirim
pukulan-pukulan dengan tenaga yang diperhitungkan, setiap
pukulan membikin seorang Wiesu kejeng-kang di tengah
ranjang dan begitu lekas badan Wiesu itu membal bangun,
mereka mema-pakinya dengan pukulan lagi yang membikin
pahlawan istana itu kembali terpelanting di atas pembaringan.
"Siauw Houwcu! Perhatikanlah ini!" seru Hek Moko. “Inilah
Lohan Ngoheng kun. Semuanya ada seratus delapan jalan.
Lihat! Akan kujalankan dari kepala sampai dibuntut."
Sungguh sial ke empat Wiesu itu! Badan mereka dijadikan
semacam karung pasir untuk melatih pukulan.
Sebagaimana diketahui, seorang yang berkepandaian ilmu
silat, secara otomatis mengerahkan tenaganya untuk
melawan, jika ia mendapat serangan. Dari sebab itu, dalam
menghadapi hujan pukulan, penderitaan empat Wiesu
tersebut bahkan lebih hebat daripada orang biasa. Sebelum
Hek Pek Moko menjalankan separoh Lohan Ngoheng kun,

245
tenaga dalam mereka sudah musnah sama sekali, keringat
mereka membasahi sprei dan kasur, keadaan mereka seolaholah
lampu yang sudah kehabisan minyak dan tinggal matinya
saja. Dua di antara mereka terkencing-kencing, sehingga
kamar itu jadi penuh dengan bau-bauan yang kurang sedap.
"Bau!" seru si nona. "Hei! Jangan mengotorkan kamar
Suhu-ku! Lekas lempar mereka keluar!"
Hek Pek Moko kembali tertawa terbahak-bahak. Saling
berganti mereka menyambar badan Wiesu-wiesu itu yang
seorang demi seorang segera dilemparkan keluar. Paling
belakang Hek Moko menyengkeram punggung Yo Cian Kin
sambil menggunakan dua bagian tenaga dalamnya dan sesaat
itu, tulang punggung orang she Yo itu lantas menjadi patah.
Sembari melontarkan tubuh kurbannya, Hek Moko
membentak: "Pergi pulang dan beritahukan kepada kaizar
anjingmu! Jika dia berani memerintah orang datang lagi untuk
mengganggu Thio Tayhiap, dia akan mendapat nasib seperti
kamu tadi!"
Dulu Hek Pek Moko adalah orang-orang yang bisa
membunuh manusia tanpa berkesip. Belakangan, sesudah
lanjut usianya, adat mereka yang berapi-api telah menjadi
lebih sabar. Kali ini, kecuali Yo Cian Kin dan Kim Ban Liang
yang telah dihajar sehingga menjadi orang bercacad, empat
Wiesu lainnya masih dapat menuntut penghidupan sebagai
manusia biasa, meskipun ilmu silat mereka telah dibikin
musnah. Di antara tujuh Wiesu itu, Lie Ham Cin-lah yang
paling beruntung, karena sesudah kelak lukanya sembuh, ilmu
silatnya tidak akan menjadi hilang. Bahwa antara ke tujuh
Wiesu itu tak satu pun yang diambil jiwanya, dilihat dari sudut
Hek Pek Moko, berarti bahwa mereka sudah berbelas kasihan
yang luar biasa.

246
Sesudah menyapu bersih semua musuh, Pek Moko berkata
sembari tertawa:
"Siauw Houwcu, hari ini kau kurang mujur. Lohan Sinkun
kita hanya dapat dilatih separuh."
"Yang separuh lagi, biarlah ditunda sampai di lain hari,"
sahut si nakal dengan suara gembira. "Yang separuh ini sudah
cukup untuk dipelajari dalam tempo beberapa bulan."
"Anak otak!" kata Hek Moko. "Lain kali mana bisa ada
kesempatan yang begitu baik?"
"Eh, jangan rewel lama-lama dalam kamar ini," kata Ie Sin
Cu. "Jika guruku melihat kamarnya begini kotor, tak tahu ia
bakal bagaimana marahnya!"
Sembari senyum, Hek Pek Moko berjalan keluar, diikuti si
nona dan Siauw Houwcu.
"Paling sedikitnya tiga tahun kemudian barulah gurumu
bisa kembali ke rumah ini," kata Hek Moko. "Aku berani
tanggung, ia tak akan menjadi gusar."
"Apa kalian pernah bertemu dengan guruku?" tanya Sin Cu.
"Apa ia ada memesan apa-apa? Kemana ia pergi?"
"Aduh! Benar-benar jempol murid Thio Tan Hong!" kata
Hek Moko. "Kami berdua menjual jiwa untuk gurumu, tapi kau
hanya ingat gurumu dan sama sekali tidak ingat untuk
menghatur-kan terima kasih."
Si nona monyongkan mulutnya seraya berkata: "Jual jiwa
apa? Barusan kalian berkelahi untuk memberi pelajaran
kepada murid sendiri. Sama sekali bukan untuk kepentingan
guruku."

247
"Ha! Benar-benar manusia tak mengenal budi!" kata Pek
Moko sembari tertawa. "Kau tahu? Aku mengajar murid juga
untuk gurumu sendiri!"
"Sudahlah," kata Hek Moko. "Kami datang di sini tiga hari
berselang dan waktu itu, gurumu baru saja mau berangkat. Ia
mendesak supaya kami juga buru-buru menyingkir, tapi kami
justru sengaja berdiam di sini untuk mengurus urusan orang
lain."
“Toasuhu omong besar," kata Siauw Houwcu sembari
nyengir. "Bukankah di tengah jalan Suhu berkata akan
meminjam serupa barang dari Thio Tayhiap? Dan hanya
secara kebetulan kita menemui urusan ini."
"Aduh!" kata Hek Moko sembari menggeleng-gelengkan
kepala. "Belum mengangkat Thio Tan Hong menjadi guru, kau
sudah membantu calon gurumu. Benar-benar aku merasa
mengiri! Benar! Gurumu sudah menduga, bahwa kau akan
kembali kemari dan ia memesan, supaya kau saja yang
memberikan barang itu kepada kami."
"Barang apa?" tanya si nona.
"Pokiong (gendewa mustika) dari keluarga Thio," sahut Hek
Moko.
Dulu, di waktu Thio Su Seng, leluhur Thio Tan Hong,
menjadi kaizar di Souwciu, ia telah membuat sebuah gendewa
raksasa yang beratnya kira-kira lima ratus kati. Ketika itu, Thio
Su Seng menduga pasti, bahwa ia akan dapat merebut seluruh
Tiongkok dan gendewa tersebut dimaksudkan untuk dijadikan
mustika negara, sebagai semacam nasehat, supaya anak
cucunya yang menjadi kaizar tidak melupakan gendewa dan
kuda. Sesudah ia kalah perang, gendewa itu disembunyikan

248
dalam guha batu di Koaywalim. Belakangan, setelah Thio Tan
Hong mendapat kembali istana dan taman tersebut, ia
mengangkut gendewa itu ke atas gunung.
Mendengar Hek Pek Moko ingin meminjam gendewa itu,
Sin Cu menjadi sangat heran. "Untuk apa kalian meminjam
gendewa raksasa itu?" tanyanya.
"Anak kecil jangan menyampuri urusan orang," kata Pek
Moko. "Serahkan saja kepada kami."
"Jika kau tak berterus terang, aku tidak nanti keluarkan,"
kata si nona. "Di samping itu, bagaimana kau bertemu guruku
dan apakah yang telah dikatakan guruku? Sesudah kalian
memberitahukan, baru aku menyerahkan gendewa itu."
Hek Moko mendongak mengawasi cuaca, parasnya seperti
orang tidak sabar. "Benar gila! Hayolah!" katanya.
"Perempuan memang rewel sekali. Baiklah. Sembari jalan,
aku akan menceritakan. Hayolah, cepatan!"
Melihat kesungguhan kedua orang tua itu, Ie Sin Cu tidak
berani banyak bicara lagi dan lalu bertindak lebih cepat,
diikuti Hek Pek Moko dan Siauw Houwcu.
"Aku sama sekali tidak menjustai kau," kata Hek Moko
sembari jalan. "Sebenarnya aku mencari gurumu untuk
menghadapi musuh besar. Tapi begitu tiba di sini, gurumu
justru sedang ketakutan diubar kaki tangan si kaizar anjing
dan bersiap untuk kabur bersama keluarganya. Hari itu, kita
bertemu di pinggir telaga. Sesudah aku menceritakan
duduknya persoalan, ia mengajarkan aku suatu tipu untuk
menghadapi musuh dengan menggunakan gendewa itu.
Ketika itu, gurumu sudah kesusu mau lekas-lekas berangkat.
Kami datang ke sini dengan membawa Siauw Houwcu dan

249
niatan kami adalah untuk menyerahkan anak itu kepadanya,
tapi karena ia begitu terburu-buru, kami tak sempat lagi
membicarakan hal itu."
Heran sungguh hati si nona, mendengar keterangan itu.
Thio Tan Hong pernah menceritakan padanya, bahwa dengan
kepandaiannya Hek Pek Moko sukar dicari tandingannya dalam
dunia. Jika satu lawan satu. Thio Tan Hong sendiri pun paling
banyak hanya setanding dengan kedua orang tua itu.
Siapakah adanya musuh itu, yang agaknya disegani oleh
mereka?
Pek Moko mendongak melihat cuaca. "Celaka!" katanya.
"Dua musuh itu akan segera datang. Lekas serahkan gendewa
itu kepadaku!"
Sebenarnya Sin Cu masih ingin mengajukan beberapa
pertanyaan, akan tetapi, mendengar desakan itu, ia
mengurungkan niatannya dan buru-buru menuju ke gudang
mustika yang terletak di gunung belakang. Gudang tersebut
yang berada di dalam guha, dulunya adalah tempat
menyimpan mustika Thio Su Seng. Sesudah Thio Tan Hong
menyerahkan semua mustika dan emas permata kepada
kaizar Beng, dalam gudang tersebut hanya tersimpan
beberapa alat senjata dan barang-barang peringatan. Ie Sin
Cu yang pernah beberapa kali masuk ke dalam gudang
tersebut, mengetahui cara membuka pintunya. Sesudah
memutarkan sebuah batu tiga kali ke kiri dan tiga kali ke
kanan, pintu guha itu lantas saja terbuka lebar.
Pek Moko segera menyalakan bahan api dan masuk ke
dalam. Di tengah-tengah ruangan itu terletak gendewa
raksasa dan di sampingnya terdapat tiga batang anak panah
yang bersinar kuning, yang ternyata dibuat dari emas murni.
Hek Moko membungkuk dan mengangkat gendewa itu. "Haha-
ha!" ia tertawa. "Cocok sekali untuk digunakan olehku."

250
Pek Moko lantas saja mengambil tiga anak panah itu dan
mereka lalu berjalan keluar.
"Sebenarnya aku ingin minta bantuan gurumu," kata Hek
Moko kepada Sin Cu. "Tapi karena gurumu tidak berada di
sini, maka aku ingin minta bantuan kau berdua. Bolehkah?"
Siauw Houwcu yang tahu akan terjadi "keramaian",
menjadi sangat girang dan lantas saja menyanggupi sembari
bertepuk tangan. Tapi Sin Cu merasa heran dan berkata:
"Dengan cara apa kami berdua dapat melawan musuh kalian?"
"Menurut keterangan Thio Tan Hong," Hek Moko
menjelaskan. "Di sebelah bawah perkampungan ini terdapat
suatu barisan batu, yang diatur menurut Pattintouw Cukat
Buhouw (Cukat Liang, panglima besar dari kaizar Lauw Pie,
pada jaman Samkok). Apakah kau tahu?"
"Tahu," jawab si nona. "Waktu mengikut Suhu pertama kali
datang di sini, hampir-hampir saja aku kesasar di dalam
barisan itu."
"Apakah kau paham seluk beluk barisan itu?" tanya Pek
Moko.
"Aku hanya mengetahui, bagaimana orang harus keluar
dari pintu hidup," jawabnya. "Cara menggunakannya, tak
tahu."
"Cukup," kata Hek Moko. "Aku hanya minta kau turun
gunung dan memancing kedua musuh kami itu ke dalam tin
(barisan). Mereka adalah orang Arab, sekali melihat, kau akan
lantas mengenali. Hayo, lekas!"
Tanpa berkata suatu apa, Siauw Houwcu lantas saja
berlari-lari seperti terbang dan tidak lama kemudian, Ie Sin Cu

251
sudah menyusul. "Eh, Siauw Houwcu!" kata si nona.
"Bagaimana kita harus memancingnya? Kita mesti berdamai
dulu."
"Mau berdamai apa?" kata si nakal sembari nyengir. “kut
aku saja." Dari sikapnya, agaknya ia sudah mempunyai siasat
yang baik. Baru saja si nona hendak menanya pula, di kaki
gunung sudah kelihatan berkelebatnya dua bayangan
manusia.
Kedua orang itu mengenakan jubah panjang dari sutera
kuning, pundak mereka ditutup dengan sutera putih, kepala
mereka diikat dengan ikatan kepala, hidung mereka mancung,
mata mereka dalam dan sekali melihat saja, orang segera
mengetahui, bahwa mereka adalah orang Arab. Apa yang luar
biasa adalah: Mereka bukan saja berpakaian sama, tapi muka
mereka pun seperti pinang dibelah dua. Perbedaan satusatunya
adalah: Yang satu tidak mempunyai kuping kiri,
sedang yang lain hilang kuping kanannya.
"Luar biasa!" kata Siauw Houwcu sembari tertawa. "Aku
lihat, mereka sama benar dengan kedua guruku. Tak bisa
salah lagi, mereka adalah saudara kembar. Ha! Dua saudara
kembar bermusuhan dengan dua saudara kembar. Sungguh
aneh!"
Walaupun gunung Tongteng san Barat tidak seberapa
tinggi, tapi dari kaki sampai di lerengnya, masih ada ratusan
tombak.
Dengan jalan yang berbelit-belit, untuk naik sampai di
lereng, sedikitnya orang harus menggunakan tempo setengah
jam. Tapi entah bagaimana, dalam sekejap mata, kedua orang
itu sudah tiba di lereng.

252
Baru habis Siauw Houwcu mengucapkan perkataannya, dua
orang Arab itu sudah tiba di lembah sebelah kiri barisan batu
itu dan dilihat dari arah jalan mereka, mereka bisa naik ke
atas gunung, tanpa melewati barisan batu itu.
Ie Sin Cu menjadi bingung. "Nah, sekarang akan kupancing
mereka," kata si nakal. "Bunga emasmu harus dilepaskan pada
saat yang tepat. Sekarang aku pergi." Lantas saja ia berlarilari
dan naik ke atas sebuah pohon pipa.
Si nona tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh si nakal,
tapi ia segera mengikutinya dan bersembunyi dalam jarak
beberapa tombak dari pohon itu.
Di lain saat, kedua orang itu sudah masuk ke dalam hutan
pohon buah-buahan. Dengan mempunyai kepandaian yang
sangat tinggi, tentu saja mereka segera mengetahui, bahwa di
atas pohon bersembunyi seorang manusia. Tapi oleh karena
melihat, yang "nangkring" di atas itu hanya satu bocah,
mereka tidak memperhatikannya dan menduga, bahwa bocah
itu mau memetik buah pipa. Sembari jalan mereka berbicara
dalam bahasa Arab. Tepat selagi mereka lewat di bawah
pohon pipa tersebut, ketika mendadak ada air mancur ke
bawah. Ternyata di saat itu Siauw Houwcu sengaja kencing.
Mereka terkejut dan loncat minggir dengan berbareng, tapi
tak urung, muka mereka masih juga kecipratan air kencing.
"Bocah nakal!" bentak salah seorang dari mereka dalam
bahasa Tionghoa. "Apakah kau mau mencari mampus?"
Hampir berbareng mereka menyerang, yang satu
mengebas dengan tangan kirinya, yang lain menghantam
dengan tangan kanannya, dari jarak kira-kira dua tombak dari
pohon itu. Itulah Pekkong ciang (Pukulan menghantam
udara)! Digempur dua kali sambaran angin yang sangat tajam,

253
daun-daun pohon itu rontok, cabang-cabangnya, bahkan
batang pohon pipa itu sekali jadi bergoyang-goyang semua!
Ie Sin Cu terkesiap dan segera mengayun kedua
tangannya. Enam bunga emas segera melesat dari setiap
tangannya dan menyambar ke arah jalan darah kedua orang
itu.
“Ih!" terdengar mereka mengeluarkan seruan tertahan,
yang satu loncat ke kiri, yang lain loncat ke kanan, masingmasing
menggerakkan tangannya, saling menolong
menangkap bunga-bunga emas itu. Bunga emas Sin Cu
sebenarnya tajam luar biasa, tapi mereka sama sekali tidak
menghiraukan itu dan dengan sekali bergerak, semua bunga
tersebut sudah masuk ke dalam tangan mereka. Di lain saat,
sembari tertawa besar, mereka membuka tangan mereka dan
loh... bunga emas itu sudah hancur menjadi pasir emas yang
berkredepan!
Sementara itu, sambil jungkir balik, Siauw Houwcu sudah
hinggap di atas tanah dan segera lari terbirit-birit. Barusan,
biar pun sedang gusar, tapi karena melihat Siauw Houwcu
hanya satu bocah cilik, kedua orang itu masing-masing hanya
menggunakan tiga bagian tenaganya di waktu menggunakan
Pekkong ciang, dengan tujuan supaya si nakal jatuh untuk
kemudian dicaci maki. Jika ketika itu seluruh tenaga mereka
dikerahkan, Siauw Houwcu tentu sudah binasa.
Kedua orang itu memang benar sepasang saudara kembar.
Yang tertua bernama Ismet, adiknya Akhmad.
Mereka pernah menjelajah benua-benua Eropa dan Asia.
Pada waktu itu, mereka menjadi Koksu (guru negara) dari
Raja Iran. Oleh sebab terjadinya suatu peristiwa aneh di istana
ratu, dalam mana malah terselip juga perkara pencurian
mustika, yang bersangkut paut dengan Hek Pek Moko, maka

254
dari Iran sampai di India dan dari India sampai di Tiongkok,
Ismet dan Akhmad mengubar-ubar Hek Pek Moko. Kepandaian
kedua belah fihak agaknya berimbang, si Hitam dan si Putih
tak dapat mengalahkan dua saudara itu, sedang dua orang
Arab itu juga tak dapat menyekal Hek Pek Moko.
Seperti Hek Pek Moko, kepandaian kedua saudara itu pun
didapat dari berbagai sumber, dari Eropa dan dari Asia.
Pukulan Pekkong ciang mereka merupakan gabungan dari
Gwakang (Ilmu luar) Arab dan Jiukang (Ilmu "lembek") dari
Bitcong pay di Tibet, sehingga pukulan tersebut mengeluarkan
tenaga "keras" dan "lembek" dengan berbareng dan hebatnya
luar biasa. Barusan, kedua saudara itu sudah memastikan,
bahwa si bocah nakal akan jatuh semaput di bawah pohon
dan mereka heran bukan main, ketika Siauw Houwcu berhasil
melarikan diri. Keheranan itu jadi bertambah besar, ketika Ie
Sin Cu melepaskan bunga emasnya yang sangat dahsyat.
Ismet tertawa dan berkata dalam bahasa Arab: "Ah! Tak
nyana, di tempat ini muncul bocah-bocah yang berkepandaian
tinggi. Eh, aku mengambil yang besar, kau mengambil yang
kecil." Dengan berkata begitu, ia bermaksud mengambil Ie Sin
Cu dan Siauw Houwcu sebagai murid.
"Bagus!" jawab Akhmad menyetujui usul saudaranya dan
dengan sekali menjejek kaki, badan mereka sudah melesat
enam tujuh tombak jauhnya. Berbareng dengan itu, mereka
lalu melancarkan pulah pukulan Pekkong ciang dengan
menggunakan lima bagian tenaga mereka.
Ie Sin Cu yang sedang lari terbirit-birit, mendadak
merasakan sambaran angin yang sangat tajam. Secara
otomatis, ia loncat minggir. Meskipun pukulan itu dilancarkan
dari tempat yang agak jauh, badannya tak urung bergoyanggoyang
juga beberapa kali.

255
Ismet jadi semakin heran, setelah mendapat kenyataan,
bahwa pukulannya yang lebih berat itu, masih belum dapat
merubuhkan si bocah. Sesudah mengubar enam tujuh tombak
lagi, tiba-tiba ia menghantam dengan kedua tangannya, kali
ini ia menggunakan delapan bagian tenaganya.
Mendengar kesiuran angin, si nona mengetahui, bahwa ia
sendiri masih dapat mempertahankan diri, tapi kawannya pasti
akan rubuh. Sungguh tak usah malu Ie Sin Cu menjadi murid
yang disayang suami isteri Thio Tan Hong. Pada saat yang
genting itu, sambil menyambar badan si nakal, ia meloncat
kira-kira dua tombak tingginya dengan gerakan Itho
ciongthian (Burung Ho menembusi langit). "Biar tetap!" ia
berseru di tengah udara dan angin pukulan Pekkong ciang itu
lewat di bawah kaki mereka! Segera setelah itu, si nona
melemparkan tubuh Siauw Houwcu masuk ke dalam barisan
batu, sedang ia sendiri pun, dengan gerakan yang sangat
indah, melayang turun di depan pintu tin (barisan) tersebut.
Sementara itu, Ismet dan Akhmad juga sudah menyusul.
"Tak kenal malu!" si nona mengejek. "Bisanya menghina anak
kecil."
"Angkatlah aku menjadi gurumu dan kau akan beruntung
sekali," bujuk Ismet.
"Punya kepandaian apa kau, berani menawarkan diri untuk
menjadi guru?" si nona menyindir.
Tangan Ismet menyambar dan coba menyengkeram si
nona. Bagaikan kilat Ie Sin Cu menikam pedangnya yang
berkeredapan menyambar ke arah jalan darah Hiankie hiat di
dada dan Koangoan hiat di bawah ketiak Ismet. Tikaman itu
adalah serangan membinasakan menurut Hian Kie Kiamhoat.

256
Melihat serangan yang sehebat itu, Ismet agak terkejut. Ia
tak menduga, jika pemuda yang masih kekanak-kanakan itu
mempunyai kiamhoat yang begitu liehay.
Ia tak berani berlaku ayal, sembari mengegos ia menyentil
dengan jerijinya. Dengan berbunyi "tring!", Cengbeng kiam
itu hampir-hampir terbang dari tangan Ie Sin Cu.
Oleh karena tujuannya adalah untuk memancing musuh,
maka gerakan Sin Cu itu, walaupun hebat, tetapi di samping
menyerang juga mengandung persiapan untuk mundur.
Demikianlah dengan meminjam tenaga musuh, begitu
pedangnya terpental balik, ia lantas loncat mundur dan masuk
ke dalam barisan batu. Ismet yang tidak menduga jelek,
lantas saja mengubar, diikuti saudaranya.
Barisan batu itu dulu dibuat Pheng Hweeshio menurut
rencana Pattintouw Cukat Buhouw dan mempunyai delapan
pintu, yaitu pintu Hiu (Beruntung), Seng (Hidup), Siang
(Luka), Touw (Buntu), Sie (Mati), Keng (Besar), Kheng
(Kaget) dan Kay (Buka). Seorang yang tidak mengenal
barisan itu, meski mempunyai kepandaian bagaimana tinggi
juga, sekali masuk, tak usah mengharap akan bisa keluar lagi.
Dengan perasaan tidak mengerti, Ismet bersama
saudaranya berputar-putar di antara batu-batu itu. Sebentarsebentar,
entah dari mana Ie Sin Cu dan Siauw Houwcu
muncul, tapi begitu diserang, mereka menghilang, tak tahu ke
mana. Mereka tak usah kuatir akan keselamatan mereka, akan
tetapi, dipermainkan secara begitu, mata mereka jadi
berkunang-kunang dan semakin lama, mereka masuk semakin
dalam.
Ismet terkejut. "Tujuan kita adalah untuk mencari dua
siluman tua itu, tapi kenapa kita sendiri berbalik kena
dipermainkan oleh dua bocah cilik itu?" katanya kepada

257
saudaranya. Berputar-putar, mereka mencari jalan keluar, tapi
tidak bisa berhasil.
"Hei!" teriak Siauw Houwcu, mengejek. "Kamu mau
mengambil aku sebagai murid. Aku sekarang berada di sini,
kenapa kau tak berani mendekati?"
Dengan gusar kedua saudara itu mengubar. Si nakal buruburu
lari mendekati Ie Sin Cu dan mengikuti si nona lari
beberapa putaran. Ismet dan Akhmad mengejar terus dan
akhirnya kena dipancing masuk ke pintu Mati.
Biar tinggi ilmu mereka, kedua saudara itu mulai menjadi
bingung juga. Sementara itu, Sin Cu dan si nakal mengejek
terus. Akhmad jadi gusar bukan main. Ia memeluk sebuah
pilar batu dan sembari membentak keras ia mencabut pilar itu
yang beratnya ratusan kati. Tinggi setiap pilar sedikitnya
beberapa tombak dan bagi orang biasa, untuk merubuhkan
sebuah saja sudah bukan pekerjaan enteng. Sesudah
mengeluarkan banyak keringat dan badannya lemas
kecapean, Akhmad baru berhasil merubuhkan beberapa pilar
saja dan bersama saudaranya, ia masih belum dapat mencari
jalanan keluar.
Ismet minta saudaranya berhenti mencabut pilar-pilar itu
dan lalu mengasah otak untuk mencari daya lain yang lebih
baik. Beberapa saat kemudian, ia minta saudaranya berdiam
di bawah untuk berjaga-jaga terhadap serangan senjata
rahasia Ie Sin Cu, sedang ia sendiri segera memanjat salah
sebuah pilar. Pinggiran pilar dtu tajam bagaikan pisau, tapi
Ismet yang seakan-akan mempunyai tulang besi dan urat
kawat, tidak takut akan ketajaman batu itu.
Dalam sekejap mata, ia sudah tiba di ujung pilar. Baru saja
matanya memandang ke empat penjuru, kupingnya

258
mendadak mendengar suara tertawa yang nyaring dan aneh,
di puncak gunung.
Ternyata orang yang berada di puncak itu bukan lain
daripada Hek dan Pek Moko. Hek Moko kelihatan sedang
memeluk sebuah gendewa raksasa, sedang Pek Moko
menyekal anak panah. Dengan badan mereka yang tinggi
besar, dua saudara hitam putih itu seakan-akan dua malaikat
yang sedang berdiri di puncak gunung.
Ismet dan Akhmad kaget bukan main dan sebelum mereka
membuka suara, Hek Moko sudah tertawa terbahak-bahak
seraya berkata: "Muridku saja kamu masih tak sanggup
melayani, bagaimana kamu berani banyak berlagak di sini?
Lebih baik kamu lekas-lekas pergi!"
"Manusia yang memancing musuhnya dengan segala akal
bulus, bukan seorang gagah!" Ismet membentak dengan
gusar. "Jika kau benar-benar mempunyai nyali, turunlah dan
bertempur dengan kami sampai ada yang binasa!"
"Baiklah, jika kamu tidak mau menyerah kalah, kita boleh
bertempur lagi," sahut Hek Moko sembari tertawa. "Sambutlah
anak panahku!"
Meskipun Ie Sin Cu dan Siauw Houwcu tidak mengerti
cacian-cacian yang diucapkan dalam bahasa Arab itu, hati
mereka berdebar-debar mendengar suara orang-orang aneh
itu yang nyaring dan angker luar biasa, seolah-olah
menggetarkan seluruh gunung.
Ketika itu mereka berdua bersembunyi disuatu sudut pintu
Seng (Hidup). Mendadak, berbareng dengan terdengarnya
bunyi "ung!", sebatang anak panah menyambar ke bawah dari
puncak gunung dan tubuh Ismet tergelincir dari atas pilar.
Bagaikan kilat, Akhmad loncat ke atas sambil mementang

259
kedua tangannya untuk menyambut kakaknya yang sedang
melayang jatuh. Hampir pada saat itu juga, kembali terdengar
"ung!" dan tubuh Akhmad juga terpelanting ke bawah. Susulmenyusul
kedua saudara itu rubuh di atas tanah, di pundak
masing-masing terdapat satu tanda merah. Hampir pada detik
yang sama, menyusul berkelebatnya sinar kuning yang
berkeredep, dua anak panah menancap pada batu, dengan
batang bergoyang-goyang tak hentinya.
Kepandaian Hek Pek Moko dan kedua orang Arab itu kira
kira setanding. Jika mereka bertempur secara biasa di atas
tanah datar, dalam tempo tiga hari tiga malam belum tentu
ada yang kalah atau menang. Tapi tadi, dengan
mengandalkan tenaga gendewa raksasa itu dan juga karena
Hek Pek Moko memanah dari tempat yang lebih tinggi, maka
Ismet maupun Akhmad yang sudah pusing dipermainkan Sin
Cu dan Siauw Houwcu, tak dapat berkelit lagi dan segera
rubuh ketika anak panah itu mengenai pundak mereka. Masih
untung. Hek Pek Moko tidak berlaku kejam dan hanya
memanah bagian pundak yang tidak membahayakan jiwa.
Akan tetapi, maskipun begitu, hantaman anak panah itu sudah
memecahkan khie (hawa) mereka dan untuk memperoleh
kembali tenaga dalam yang hilang karenanya, mereka harus
berlatih sedikitnya setahun.
Siauw Houwcu adalah bocah nakal yang tak kenal takut.
Tapi, menyaksikan peraduan tenaga yang demikian hebat, ia
terkesiap dan hanya dapat mengawaskan dengan mulut
ternganga. Dengan hati kagum, ia menyaksikan bagaimana
Ismet dan Akhmad "menyambut" kedua anak panah itu
dengan pundak mereka. Tanpa mempunyai tenaga dalam
yang sudah mencapai puncak kesempurnaan, tulang serta
otot-otot pundak mereka tentu sudah ditembusi dan
dihancurkan dua anak panah itu. Dengan Iweekang mereka
yang luar biasa dahsyatnya, Ismet dan Akhmad sudah dapat
membuat terpentalnya kedua anak panah itu, yang masih

260
mempunyai tenaga begitu besar, sehingga menancap di batu.
Dari peristiwa ini dapat dibayangkan, bagaimana hebatnya
peraduan tenaga yang terjadi barusan. Begitu kagum Siauw
Houwcu dibuatnya sehingga ia tak dapat mengeluarkan ejekan
pula. Sebaliknya, buru-buru ia mendekati kedua saudara itu
dan membangunkan mereka.
Ismet mendelik dan loncat bangun. "Bocah! Hatimu baik
sekali," katanya sembari menjambret si nakal yang lalu diputar
beberapa kali, sedang dengan tangan kirinya ia menepuk
punggung si bocah.
Ie Sin Cu jadi terkejut, buru-buru ia loncat untuk menolong.
Tapi tangan Ismet cepat luar biasa, dalam sekejap mata sudah
tiga kali ia menepuk punggung Siauw Houwcu yang lalu
didorongnya pergi.
Mendadak saja, si nakal merasakan perutnya mulas dan
gegerugukan. Ia lari dan bersembunyi di belakang sebuah
batu besar.
"Kenapa kau?" tanya Sin Cu.
Siauw Houwcu menongolkan kepalanya dan menjawab:
"Jangan kemari. Aku mau buang air."
Si nona mendongkol berbareng geli hatinya, tetapi di
samping itu, demi melihat paras muka Siauw Houwcu tidak
berubah, hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba terdengar teriakan Hek Moko: "Sin Cu! Dengan
memandang budi yang dilepasnya kepada Sutee-mu (Sutee
berarti adik seperguruan, yaitu Siauw Houwcu), antarlah
mereka keluar."

261
"Hek Moko!" kata Ismet dengan suara mendongkol. "Tak
sudi aku menerima budimu!"
"Jika kau masih ingin mengadu tenaga, sedikitnya kau
harus menunggu setahun lagi." kata Hek Moko.
"Lihatlah! Aku masih mempunyai sebatang anak panah.
Biarlah aku menggunakan ini untuk membuka jalan."
Berbareng dengan diucapkannya perkataan itu, sebatang
anak panah emas menyambar pilar batu yang berada di depan
Ismet dan pilar itu lantas saja terbelah dua. Ismet mengarti,
bahwa dengan anak panah itu, Hek Moko ingin
memperlihatkan keangkerannya. Ia tertawa dingin seraya
berkata: "Sungguh angker! Tapi keangkeranmu hanya untuk
satu tahun." Sehabis berkata begitu, ia menuntun saudaranya
dan berjalan keluar dari barisan batu itu dengan diantar oleh
Ie Sin Cu.
Sesudah keluar dari tin (barisan) sembari memandang si
nona, Ismet menanya: "Apakah kau murid dua siluman itu?"
”Guruku adalah Thio Tayhiap, Thio Tan Hong," jawabnya.
"Hm! Thio Tan Hong!" kata Ismet. "Baiklah. Aku menerima
baik budimu ini. Aku tak akan melupakannya."
Sesudah kedua saudara itu berlalu, Sin Cu segera masuk
pula ke dalam barisan batu, dari mana ia mengambil pulang
tiga anak panah emas itu. Waktu tiba di pintu Seng, ia
bertemu dengan Siauw Houwcu yang, sungguh
mengherankan, telah menjadi pucat mukanya dan agak lebih
kurus.
"Kenapa kau?" tanya Sin Cu.

262
"Tak apa-apa," jawabnya. "Aku tadi buang-buang air, tapi
badanku sekarang rasanya nyaman sekali."
Harus diketahui, bahwa Ismet mempunyai semacam ilmu
mengurut yang sangat liehay, yang dapat menyembuhkan
macam-macam penyakit. Waktu Siauw Houwcu bermula
belajar Iweekang, ia telah berlatih secara melewati batas
karena ingin mendapat kemajuan pesat. Sebagai akibatnya,
kadang-kadang ia merasakan dadanya mendeluh, tapi ia
sendiri tidak menyadari, bahwa ia menderita semacam
penyakit dalam. Sebagai seorang ahli, dengan sekali melirik
saja, Ismet sudah mengetahui penyakit bocah itu. Dengan
menepuk tiga kali ia menjalankan darah Siauw Houwcu,
sehingga semua "hawa kotor" turun ke bawah dan keluar
sebagai kotoran dan "hawa bersih" naik ke atas. Bantuan
Ismet itu sangat besar faedahnya dan akan banyak membantu
latihan Siauw Houwcu di hari kemudian.
"Tak heran, jika kedua guruku sudah meminjam kamar
gurumu untuk berlatih," kata Siauw Houwcu.
"Ternyata, mereka harus bertempur dengan dua siluman
itu."
"Lagi kapan kau bertemu dengan kedua gurumu?" tanya
Sin Cu.
"Malam itu, sesudah mengurung Hoan Eng di dalam kamar,
aku keluar untuk mencari ayah," cerita si nakal. "Setibanya di
mulut dusun, aku bertemu kedua guruku itu. Aku kenal
mereka, karena mereka pernah berkunjung di rumahku.
Begitu bertemu, Toa-suhu Hek Moko lantas saja berkata:
"Siauw Houwcu, ada orang jahat yang mau mencari ayahmu.
Lebih baik kau jangan pulang. Aku segera mengatakan,
bahwa, jika benar ada orang jahat mau mencari ayahku, lebihlebih
aku perlu buru-buru pulang untuk memberitahukannya.

263
Jiesuhu Pek Moko lantas saja membujuk. Katanya: ”Siauw
Houwcu, kepandaianmu masih sangat cetek, tak dapat kau
membantu ayahmu. Jika kau pulang, ayahmu berbalik harus
melindungi kau dan kau sendiri pun mungkin dilukakan orang.
Aku tahu, dua orang jahat itu bukan tandingan ayahmu. Lebih
baik kau mengikut kami. Aku akan membawa kau pergi
menemui Thio Tan Hong. Dulu, ayahmu pernah mengatakan
kepadaku, bahwa ia ingin sekali kau belajar silat kepada Thio
Tan Hong. Kedatangan kami kali ini, adalah untuk mengajak
kau pergi, tapi tak dinyana, ayahmu kebetulan menemui
urusan penting. Di lain pihak, kami juga tak dapat berayal lagi
dan perlu buru-buru mencari Thio Tan Hong. Maka itu, kami
sudah mengambil keputusan untuk tidak menemui ayahmu
dulu dan meninggalkan suatu tanda saja di depan rumahmu.
Malam ini, sesudah mengusir kedua orang jahat itu, ayahmu
pasti akan menyusul kita. Sekian bujukan Jiesuhu dan aku
segera menurut. Hm! Sin Cu Ciecie, kau sudah bertemu
dengan ayahku, kenapa ia tidak datang bersama-sama kau?"
Mendengar cerita itu yang ditutup dengan pertanyaan, si
nona jadi sangat berduka. "Ah, sungguh sayang Hek Pek Moko
hanya melihat dua orang yang datang lebih dulu," katanya di
dalam hati. "Sungguh sayang, mereka hanya melihat Cian Sam
San dan Bun Tiat Seng yang di kirim Kie Giok. Mereka tak
mengetahui, bahwa dua orang kaki tangan Kie Tin belakangan
juga menyusul. Jika mereka tahu, biar bagaimana juga,
mereka tentu akan membantu."
“Ciecie!" kata Siauw Houwcu dengan tidak sabar, karena si
nona bungkem terus. "Kau kenapa? Kenapa matamu merah?
Apakah kau dimaki ayahku yang sungkan menerima kau?
Benarkah begitu? Ah, sudahlah! Jangan menangis! Ayahku
pernah mengatakan, biar darahnya mengucur, air mata
seorang laki-laki tidak keluar..."

264
Hati Siauw Houwcu sangat heran melihat air mata Sin Cu
berketel-ketel. Ia teringat, bahwa Sin Cu bukan seorang laki,
sehingga perkataan ayahnya tidak sesuai untuk ciecie itu.
Mendadak Sin Cu membuka mulutnya dan berkata dengan
suara terputus-putus: "Ayahmu... telah... telah... dibinasakan
orang!"
Bagi telinga Siauw Houwcu kata-kata itu bagaikan halilintar
di tengah hari bolong.
"Apa?" teriaknya. "Dibinasakan orang?"
Si nona manggut dan menjawab dengan suara serak:
"Dibinasakan kawanan manusia keparat itu!"
Siauw Houwcu ternganga. Tiba-tiba ia berteriak dengan
suara tak wajar: "Justa! Ayahku jarang ada tandingannya.
Mana mungkin ia dibinasakan orang?"
Sambil menahan air mata, Ie Sin Cu mengeluarkan golok
Bianto dan sobekan baju Thio Hong Hu yang berlumuran
darah untuk diserahkan kepada Siauw Houwcu.
"Siauw Houwcu, benar katamu," katanya dengan suara
sedih. "Ayahmu adalah seorang jago yang jarang
tandingannya. Orang-orang jahat itu semuanya sudah
dibinasakan-nya sendiri, sakit hatinya semua sudah dibalas
dengan tangannya sendiri."
Muka bocah itu mendadak menjadi pucat bagaikan kertas.
Ia hanya dapat mengeluarkan sepatah kata: "Ayahku..."
"Biar pun mati, ayahmu mati dengan mata meram," Sin Cu
membujuk. "Golok mustika itu ditinggalkan untukmu."

265
Kedua mata Siauw Houwcu menjadi merah bagaikan darah,
ia mengawasi Sin Cu dengan mata beringas. Tiba-tiba ia
mengangkat tinjunya dan menumbuk dadanya sendiri serta
kemudian menangis menggerung-gerung.
Si nona mengeluarkan saputangannya dan menyusuti air
mata bocah itu dengan hati penuh kedukaan.
"Siauw Houwcu," katanya dengan lemah lembut serta
perlahan. "Ayahmu bukankah pernah berkata, biarpun
darahnya mengucur, air mata seorang laki-laki tidak akan
keluar."
Sekonyong-konlong bocah itu menghunus Bianto itu dan
membacok beberapa kali di udara. "Baiklah! Aku memang tak
boleh menangis," katanya, tapi air matanya masih terus
mengucur.
"Aku bersumpah akan membinasakan semua orang jahat
dalam dunia dengan golok ini!" kata Siauw Houwcu dengan
suara gergetan. “ Ciecie, aku mohon kau mengajarkan aku
ilmu silat."
"Asal mau dan rajin belajar, di kemudian hari kau pasti
akan mempunyai ilmu yang sangat tinggi," kata si nona.
"Kedua gurumu dan guruku sendiri sudah tentu akan
menurunkan segala kepandaian mereka kepadamu."
Sedang mulutnya membujuk bocah itu, hati si nona sendiri
justru seakan-akan diiris-iris. Ia ingat, bahwa sakit hati Thio
Hong Hu sudah terbalas himpas, tapi sakit hati ayahnya
sendiri, siapa yang akan dapat membalaskannya? Ia
menghibur Siauw Houwcu, tapi air matanya sendiri terus
berketel-ketel turun.

266
"Ah! Mengapa kamu menangis berdua-dua?" demikian
terdengar pertanyaan Hek Moko yang tanpa diketahui sudah
berada di damping mereka.
"Thio Hong Hu Peh-peh telah meninggal dunia, aku sedang
membujuk supaya ia jangan terlalu bersedih," kata Sin Cu.
"Ha? Thio Hong Hu mati? Apakah gara-gara urusan malam
itu?" tanya Hek Moko dengan suara terkejut.
Sin Cu lantas saja menuturkan, bagaimana Thio Hong Hu
sudah binasa secara laki-laki, sesudah, dengan tangan sendiri,
membunuh semua penyerangnya.
"Bagus! Dia hidup sebagai laki-laki, mati juga sebagai lakilaki,"
kata Hek Moko. "Siauw Houwcu! Kau harus merasa
bangga mempunyai ayah seperti ia." Ia berpaling kepada Sin
Cu dan berkata pula: "Sebenarnya aku harus membiarkan kau
mengajak Siauw Houwcu pergi mencari gurumu. Tapi,
mengingat ilmu silat bocah itu masih sangat cetek, sehingga
akan membikin kau berabe saja dalam perjalanan jauh, maka
lebih baik aku akan mengajaknya ke India untuk dua tahun
lamanya. Sesudah ia mempunyai kepandaian yang agaknya
cukup tinggi, baru aku akan mengirimnya kepada gurumu.
Bagaimana pendapatmu?"
"Aku setuju," sahut si nona. "Rencana kalian adalah untuk
kebaikan Siauw Houwcu. Hm! Sekarang aku minta kau
menceritakan hal guruku."
"Gurumu telah memberitahukan, bahwa ia ingin pergi ke
Taylie, di Hunlam," Hek Moko menerangkan, “ Thay-sucouwmu
yang berdiam di gunung Tiamcong san di Taylie, tahun ini
akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke delapan puluh
satu. Maka, kepergian gurumu kali ini mempunyai dua tujuan,

267
yaitu untuk menyingkir dari bencana dan berbareng untuk
memberi selamat panjang umur kepada Thaysu couw-mu."
Thaysucouw Ie Sin Cu adalah Hian Kie Itsu yang dulu
pernah bermusuhan dengan Siangkoan Thian Ya. Sepuluh
tahun berselang, sesudah kedua lawan itu berbalik menjadi
kawan, mereka bersama-sama mengundurkan diri dan hidup
bersembunyi di pegunungan. Hal itu sudah diketahui Sin Cu
dari cerita gurunya, tapi baru sekarang ia mengetahui bahwa
kedua orang tua itu berdiam di Tiamcong san.
"Gurumu menunggu tiga hari lamanya dan karena kau
belum juga pulang, ia terpaksa lantas berangkat," kata Hek
Moko pula. "Menurut katanya, dalam kamar buku ia telah
meninggalkan sepucuk surat untukmu."
Mendengar, bahwa sang guru sudah menunggu ia tiga hari
lamanya, Sin Cu jadi lebih-lebih merasakan kecintaan guru itu
dan jadi sangat menyesal, bahwa ia tidak pulang lebih cepat.
"Menurut dugaanku, sesudah mendapat hajaran keras,
untuk sementara, Wiesu-wiesu itu tentu tidak berani
menyatroni pula," kata Hek Moko lagi sesudah berdiam
beberapa saat. "Perjalanan ke Hunlam bukan perjalanan
dekat. Maka itu, kuharap kau berlaku hati-hati di tengah jalan.
Di kemudian hari, kami juga ingin menyambangi gurumu di
Hunlam dengan mengambil jalan dari Birma. Nanti, kalau kau
bertemu dengan gurumu, harap kau menanyakan
kesehatannya atas nama kami."
Sesudah berkata begitu, bersama saudaranya dan Siauw
Houwcu, Hek Moko segera berangkat.
Setelah berada seorang diri, dengan hati duka si nona pergi
ke kamar buku Thio Tan Hong. Oleh karena sering melayani
sang guru menulis surat, ia mengetahui bahwa gurunya biasa

268
menyimpan surat-surat pribadinya di dalam laci tengah meja
tulisnya. Benar saja, begitu menarik keluar laci tersebut, di
dalamnya terdapat dua pucuk surat, satu untuknya sendiri,
yang lain untuk Ciu San Bin, di samping itu terdapat sepasang
bendera merah kecil, sehelai tersulam matahari, sedang yang
lain bulan sabit.
Ie Sin Cu lantas saja merobek amplop surat dengan
namanya. Dalam amplop itu, selain sepucuk surat, terdapat
sebuah lukisan seorang laki-laki dan seorang perempuan
setengah tua yang berparas cakap dan angker. Si nona lantas
saja membaca surat itu yang isinya kira-kira seperti berikut:
Dipersembahkan untuk muridku Sin Cu:
Sungguh kaget hatiku, ketika mendengar berita wafatnya
ayahmu. Sungguh aku berduka, jika mengingat, bagaimana
Kaizar Beng sudah memusnahkan Tembok Besar dengan
tangannya sendiri dan jika mengingat, bahwa aku sendiri
sudah kehilangan seorang guru, seorang sahabat. Satu hai
aku tahu, bahwa orang yang bersedih hati, bukan hanya kau
dan aku berdua saja.
Aku hanya mengharap, supaya dengan mengingat adanya
kekalutan dalam dunia dan kesukaran dalam negara kita, kau
jangan terlalu bersedih. Aku berharap supaya kau dapat
meneruskan cita-cita mendiang ayahmu, agar tak
mengecewakan penghargaan seluruh rakyat. Aku tahu, bahwa
Taysianghong ada/ah manusia kejam dan bahwa, begitu lekas
ia naik lagi ke atas takhta, ia tentu akan membasmi menterimenteri
yang berjasa.
Gunung ini yang gampang disatroni pasukan kaizar, bukan
tempat yang sentosa. Aku sebenarnya tidak memikirkan
keselamatan jiwa sendiri. Tapi sebagaimana kau tahu, suku
Lie cin (leluhur orang Boan) telah bergerak di daerah Utara
timur, sedang orang-orang Jepang sering menyatroni pasi-sir
Tenggara, sehingga pada waktu ini, kita seharusnya bersatu
padu untuk menghadapi bahaya dari luar. Kau tentu tahu,

269
bahwa keharusan bersatu itu merupakan cita-citaku semenjak
dulu. Aku selamanya tidak mau bersatu dengan pihak
kerajaan.
Itulah sebabnya, mengapa, guna menyingkir dari mara
bahaya, untuk sementara waktu aku ingin bersembunyi di
Hunlam selatan. Berbareng dengan itu, akupun ingin memberi
selamat panjang umur kepada Thaysucouw-mu.
Aku tahu kau tentu akan segera menyusul. Akan tetapi,
sekarang ini ada suatu urusan penting yang kuminta kau
mengerjakannya. Sepasang bendera yang terlampir di sini
harus disimpan baik-baik olehmu, sebagai semacam
pertandaan. Dengan membawa surat yang kutinggalkan, kau
harus segera berangkat ke Utara. Jika bertemu dengan
pasangan suami isteri yang romannya mirip dengan gambar
terlampir, kau harus mengetahui, bahwa pasangan itu adalah
suami isteri Kim too Siauwceecu Ciu San Bin.
Sekian surat itu.
Sesudah selesai membaca, walaupun masih sedih, si nona
agak terhibur juga oleh pesan sang guru yang ia cintai itu.
Tanpa berayal lagi, ia segera menyemplak kudanya dan turun
gunung.
Tentang riwayat Kimtoo Ceecu Ciu Kian, sudah sering ia
mendengar gurunya berceritera. "Ciu Kian sudah tua dan
segala urusan katanya diserahkan kepada puteranya," pikir si
nona. "Tapi kenapa suami isteri Ciu San Bin berani masuk ke
wilayah Tionggoan? Dan dengan cara apa guruku bisa
mengetahui itu?" Hatinya sangsi, tapi karena ia percaya,
bahwa gurunya tidak akan bicara sembarangan, ia
meneruskan perjalanannya ke Utara dengan hati tetap.
Setibanya di tepi telaga, Sin Cu merasa agak bingung,
karena di atas telaga yang luas itu, tidak kelihatan sebuah
perahu pun. Selagi diliputi kejengkelan, tiba-tiba dari antara

270
cabang-cabang pohon Yangliu yang tumbuh di pinggir air,
muncul sebuah perahu kecil.
“Ie Kouwnio (Nona Ie)." kata seorang penangkap ikan yang
mengemudikan perahu itu. "Apakah kau mau pergi ke Busek?
Apakah kau tidak mengenali aku? Aku adalah Sie Loosam yang
tinggal di Pipa lim di lereng gunung."
Di gunung Tongteng san Barat terdapat ratusan keluarga.
Sesudah berdiam delapan tahun lamanya di gunung itu,
walaupun tidak dapat mengingat semua nama, Sin Cu
mengenal sebagian besar penduduk di situ. Demikianlah,
begitu si penangkap ikan menyebut namanya. Sin Cu segera
mengenalnya kembali.
"Tadi waktu aku mendaki gunung, bukankah kau juga
berada di atas gunung?" tanya Sin Cu dengan rasa agak
jengah. "Tak mengherankan jika kau tidak mengenali, karena
aku mengenakan pakaian lelaki. Benar besar nyalimu. Orang
lain semua pada bersembunyi."
"Aku tahu kau ingin menyeberang, maka aku sudah
sengaja menunggu di sini," kata Sie Loosam. "Nona, kau
naiklah."
Sembari berkata begitu, ia menuntun si Putih ke perahu
dan sesudah Sin Cu loncat turun, ia segera menggayuti
perahunya. "Baik juga kalian dapat mengalahkan orang-orang
jahat itu," kata si penangkap ikan. "Jika tidak, kami semua
tentu tak berani muncul. Thio Tayhiap benar-benar baik.
Sebelum berangkat ia sudah mengetahui akan datangnya
manusia-manusia itu dan menasehatkan kami untuk
menyingkir sementara waktu. Hm! Ke mana ia pergi? Kapan
pulangnya?"

271
Perahu itu laju cepat sekali. Mengingat pengalamanpengalaman
yang membahagiakan selama delapan tahun
berdiam di Tongteng Sankhung, hati si nona jadi terharu dan
dengan mata mende-long, ia mengawasi puncak-puncak
gunung yang semakin lama menjadi semakin jauh. "Ya!"
katanya sambil menghela napas. "Guruku telah pergi ke
tempat jauh, jauh sekali. Tapi ia sangat menyintai tempat ini.
Kurasa beberapa tahun kemudian, lama atau cepat, ia tentu
akan kembali."
Sembari bercakap-cakap, tidak lama kemudian, perahu itu
sudah tiba di Busek. Sesudah menghaturkan terima kasih pada
Sie Loosam, Sin Cu segera meneruskan perjalanannya dengan
menunggang kuda.
Pada hari kedua, sembari jalan, hati Sin Cu merasa heran
karena di sepanjang jalan ia bertemu dengan orang-orang
yang kelihatan menyurigakan. Di waktu magrib, selagi ingin
mempercepat lari kudanya supaya bisa buru-buru tiba di
sebuah kota kecil, dua penunggang kuda tiba-tiba
melewatinya, yang seorang brewokan mukanya, yang lain
seorang pengemis.
Pengemis itu, yang pakaiannya penuh tambalan,
menunggang seekor kuda besar yang garang, sedang
pelananya pun indah sekali. Begitu melewati si nona, Ia
menengok dan berkata sembari tertawa: “Ie Siangkong ... Ie
Kouwnio, Toa-iiongtauw kami tak dapat melupakan kau.
Bagus! Kau juga datang ke sini. Atas nama Toaliongtauw, aku
menanyakan keselamatanmu." Sembari berkata begitu, ia
mengangkat tongkatnya dan memberi hormat dengan cara
yang lucu sekali.
Si nona lantas saja mengenali, bahwa pengemis itu adalah
Pit Yan Kiong. Dengan rasa malu dan gusar, ia menimpukkan
sekuntum bunga emas seraya membentak: "Siapa kesudian

272
menerima hormat segala pengemis jorok!" Senjata rahasia itu
menyambar jitu sekali dan Tahkauw pang (tongkat pemukul
anjing) si pengemis terlepas dari tangannya. Tubuh Pit Yan
Kiong melesat dari atas pelana dan dengan suatu gerakan
indah, menangkap tongkatnya yang sedang melayang jatuh,
akan kemudian, dengan sekali jungkir balik, ia sudah duduk
lagi di atas pelana.
"Umumnya, jika kita berlaku hormat, semua orang akan
merasa senang," katanya sembari nyengir. "Tapi kau
sebaliknya. Biarpun kau jempol, tak pantas kau menghajar
seorang yang berlaku begitu hormat terhadapmu. Hm! Nona
mantu itu benar-benar sukar diurus!" Sembari mengejek,
buru-buru ia mengeprak kudanya yang lantas saja lari kabur.
Bukan main gusarnya Sin Cu. Jika menuruti adatnya, ia
tentu sudah menyusul dan memberi persen si mulut jail
dengan dua bunga emas. Akan tetapi, karena sungkan
diketahui orang, bahwa ia sebenarnya adalah seorang wanita
yang menyamar sebagai pria dan juga karena merasa malu,
jika dipanggil "nona mantu", maka sebaliknya dari mengubar,
ia menahan-nahan les kudanya supaya jangan berdekatan
dengan pengemis itu.
Sesudah melarikan kudanya beberapa lama, kota kecil itu
sudah terlihat di depan mata. Sekonyong-konyong di belakang
Sin Cu kembali terdengar kelenengan kuda dan bagaikan kilat
seekor kuda lewat di sampingnya. Si penunggang kuda
agaknya sedang kesusu dan tak hentinya menyambuk
tunggangannya itu. Entah disengaja atau tidak, selagi lewat,
cambuknya sudah menghantam kuda si nona.
Ciauwya Saycu adalah seekor kuda mustika yang belum
pernah dicambuk oleh majikannya. Demikianlah, begitu
kecambuk, adatnya keluar. Sembari berbenger, ia menendang
dengan kaki depannya. Si penunggang kuda, seorang

273
hweeshio (paderi) yang berbadan gemuk, memutarkan badan
dan menahan kaki kuda itu dengan sebelah tangannya,
sehingga Ciauwya Saycu mundur terhuyung beberapa tindak.
Ie Sin Cu terkesiap. Harus diketahui bahwa tendangan si
Putih mempunyai tenaga lima atau enam ratus kati dan dari
sini dapat dibayangkan, betapa besar tenaga si paderi gemuk.
Sin Cu tak sempat berpikir banyak-banyak. Sekali
mengayun tangan, sekuntum bunga emas lantas menyambar.
Sesaat itu, si hweeshio sudah berada dalam jarak belasan
tombak. Begitu mendengar suara menyambarnya senjata
rahasia, ia menyabet dengan pecutnya yang jitu mengenai
bunga emas itu.
"Oleh karena terburu-buru, aku sudah kesalahan menyabet
kuda mestikamu," katanya sembari memberi hormat.
"Kuharap Siauwko sudi memaafkan."
Ie Sin Cu yang sudah bersiap untuk bertempur, menjadi
sabar lagi sesudah mendengar permintaan maaf itu. Di
samping itu, ia pun ingat, bahwa ia sendiri mempunyai tugas
yang sangat penting. Maka, urusan itu lantas saja menjadi
beres sampai di situ.
Ketika Sin Cu tiba di dalam kota, siang sudah berganti
malam. Selagi mau masuk di sebuah rumah penginapan,
mendadak ia melihat kuda Pit Yan Kiong tertambat di depan
gedung. Melihat begitu, lantas saja ia berubah pikiran dan
mengambil putusan untuk meneruskan perjalanan. Tapi di
lain saat, ia jadi terpaku dan matanya mengawasi serupa
benda yang menarik seluruh perhatiannya.
Rumah penginapan itu adalah sebuah gedung dua tingkat
yang sangat indah dan berbentuk delapan pa-segi. Kamarkamar
tamu terletak di atas loteng, sedang di bawah loteng

274
terdapat ruangan besar yang diperaboti indah dan digunakan
sebagai restoran. Bahwa dalam sebuah kota kecil terdapat
rumah makan yang begitu indah, sudah merupakan suatu
keheranan. Tapi apa yang mengagetkan Sin Cu adalah dua
gambar yang ditempelkan di tembok, di kiri kanan pintu
tengah, sebuah gambar merupakan matahari merah yang
bundar, gambar yang lain berupa bulan sabit. Sekali melihat,
ia mengetahui, bahwa kedua gambar itu belum lama
dilukisnya. Terang-terangan, itu adalah Jitgoat Siangkie
(Sepasang bendera matahari bulan) Ciu San Bin.
Sesudah bersangsi sebentar, Sin Cu turun dari kudanya
yang lalu ditambat pada sebuah tihang. Begitu masuk di
ruangan restoran, ia melihat belasan orang yang duduk pada
lima enam meja.
Menurut kebiasaan, jika begitu banyak orang makan minum
dalam suatu restoran, ributnya tak kepalang. Sungguh heran,
ruangan itu sunyi senyap dan semua orang memperlihatkan
paras sungguh-sungguh, seolah-olah mereka berada disuatu
tempat keramat. Pit Yan Kiong dan kawannya yang brewokan,
duduk pada sebuah meja di dekat jendela sebelah barat.
Melihat Sin Cu, ia senyum, sehingga hati si nona jadi
berdebar-debar, tapi syukur ia tidak mengeluarkan kata yang
gila-gila.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar