Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 4

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 4 Si hweeshio gemuk duduk sendirian pada sebuah meja dan untuk beberapa saat, matanya mengawasi Sin Cu.
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 4
Si hweeshio gemuk duduk sendirian pada sebuah meja dan untuk beberapa saat, matanya mengawasi Sin Cu.

Dengan rasa tertindih, Sin Cu mengambil tempat duduk, yang berdekatan dengan jendela. Ketika pelayan restoran mengampiri, dengan sikap acuh tak acuh, ia mengeluarkan

Jitgoat Siangkie dari sakunya. Pelayan itu manggutmanggutkan kepalanya dan berkata dengan suara perlahan: "Tuan ingin makan apa?"

Si nona lantas saja minta setengah kati daging kerbau asin dan satu kati arak putih. Pelayan itu mengawasi dan paras mukanya mengunjuk perasaan sangsi.

Sesaat itu, Sin Cu menyapu beberapa meja dengan matanya. Tiba-tiba saja ia menjadi heran karena di atas setiap meja terdapat semangkok sayur ikan masak kuwa yang asapnya masih mengebul-ngebul. Kenapa mereka dengan serentak memesan makanan yang sama?

Mendadak si hweeshio gemuk yang sedang minum arak sendirian, berteriak: "Hei! Mana makanan yang kupesan?"

“ Taysu pesan apa?" tanya pelayan restoran.

"Begitu datang, aku lantas memesan," jawabnya dengan suara mendongkol. "Aku minta Angsio kaki babi. Bagaimana sih? Baru dipesan, sudah lantas lupa?"

"Maaflah," kata si pelayan sembari tertawa. "Kawanku yang barusan melayani taysu , sedang ke dapur. Biarlah kutengok."

Para tamu mengawasi hweeshio itu, tapi mereka tidak berkata suatu apa.

Beberapa saat kemudian, salah orang bangun dan terus naik ke loteng, entah ingin menengok kawan, entah dia sendiri menginap di kamar atas. Lewat lagi beberapa detik, seorang lain menyusul ke atas.

Tanpa sebab, si hweeshio gemuk mendadak tertawa dingin.

Setelah itu, seorang pelayan keluar dengan semangkok ikan masak kuwa yang masih mengebul dan membawa masakan itu ke meja Pit Yan Kiong.

Tiba-tiba si paderi berbangkit dan berteriak: "Hei! Aku memesan lebih dulu, kenapa dia yang lebih dulu dilayani!"



"Jangan gusar, taysu," kata si-pelayan sembari tertawa.

"Pesanan taysu akan segera datang."

Paderi itu segera meninggalkan mejanya dan berjalan dengan tindakan lebar. Sin Cu mula-mula menduga bahwa ia ingin memprotes kepada pengurus restoran, tapi tak dinyana, begitu berdekatan, ia menyikut si pelayan yang kontan jatuh kejengkang dan semangkok santapan itu berhamburan di lantai. Pit Yan Kiong dan kawannya yang berbadan kasar, loncat menyingkir, tapi tak urung kecipratan kuwa juga.

"Kalde gundul!" bentak kawan Pit Yan Kiong. "Benar-benar kau mau cari-cari?" Sembari mencaci, tinjunya menyambar.

"Tanganku sedang gatal," jawab si paderi. "Tak menghajar kau, mau menghajar siapa lagi? Dengan tangan kiri, ia menangkap tinju yang menyambar itu, sedang tangan kanannya, dengan gerakan Tuikhung bonggoat (Menolak jendela memandang rembulan), menyanggapi sikut lawannya yang lantas didorong dengan keras.

Saat itu juga, badan orang yang besar itu "terbang" ke arah meja pengurus restoran.

Pengurus restoran itu adalah seorang tua yang berkumis putih. Selagi tubuh orang itu melayang ke arahnya, ia mengangkat shui-phoa (alat menghitung Tionghoa) dan

mendorong. "Celaka! Kalian merusakkan perabotan di sini!" ia berseru. Kelihatannya, orang tua itu mendorong tanpa bertenaga, tapi... begitu didorong, tubuh kawan Pit Yan Kiong terpental kembali!

Ie Sin Cu terkesiap. Itulah suatu ilmu menyerang dengan meminjam tenaga musuh, yaitu ilmu dari tingkatan atas.

Lelaki itu juga ternyata bukan sembarang orang. Dengan meminjam tenaga mendorong dari si pengurus restoran, ia jungkir balik di tengah udara, akan kemudian menendang sebuah meja yang lantas saja terbelah menjadi empat potong, satu di antara menyambar Ie Sin Cu yang segera menyampoknya. Tiga potongan lain yang melesat ke arah beberapa orang, juga sudah terpukul jatuh. Dengan demikian,

dapatlah diketahui, bahwa semua orang yang berada di situ, berikut pengurus restoran itu juga, mempunyai ilmu silat yang tidak cetek.

Sementara itu, si hweeshio sudah menyerang pula secara bertubi-tubi dan orang itu segera jadi keteter. "Siapa-siapa yang tak tahu malu, boleh maju ke sini!" tantang si gemuk.

Para tamu jadi mendongkol, tapi oleh karena mereka itu adalah orang-orang Ka- yang berkedudukan tinggi, walaupun mendeluh, tiada satu yang turun tangan.

Beberapa saat kemudian, Pit Yan Kiong bangun dan berkata sembari tertawa: "Aku si pengemis adalah seorang yang paling tidak memperdulikan soal muka."

Berbareng dengan ucapan itu, ia menotok pinggang si paderi dengan tongkatnya.

Biarpun berbadan gemuk, paderi itu gesit sekali. Sembari memutarkan tubuh, ia menyam-pok totokan itu dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya menepuk dada si pengemis. Pit Yan Kiong mengetahui, bahwa pukulan itu adalah pukulan Tiat pipee (Pipee, semacam alat musik

Tionghoa, besi) dari Siauwlim pay, yang disertai dengan tenaga dalam, sehingga, jika kena, tulang dadanya pasti akan menjadi patah.

Tanpa berayal pula, sesudah memunahkan pukulan itu, Pit Yan Kiong segera menyerang dengan ilmu tongkat keluarga Pit. Dibantu dengan silat Ngoheng kun dari kawannya, ia

menyerang bagaikan hujan dan angin, sehingga pertempuran menjadi hebat luar biasa.



Si pengurus restoran tak hentinya teriak, tapi ketiga orang itu yang sedang berapi-api, tentu saja tidak menggubris.

Sementara itu, dari luar kembali masuk dua tamu laki-laki, seorang tua dan seorang muda. Yang tua berbadan seperti seorang dusun dengan tangan menyekal huncwee (pipa panjang), sedang muda, yang berusia tiga puluh tahun lebih, berbadan kate (pendek) gemuk, seperti juga buah labu. Begitu mereka masuk, semua mata lantas ditujukan ke arah mereka.

Si orang tua melirik ke sekitarnya, lalu ia menyedot huncwee-nya, habis mana, seraya menuding dengan pipa panjangnya itu, ia menegur pengurus restoran.

"Keadaan kacau begini, tuan pengurus, mengapa kau diamkan saja?" demikian tanyanya.

Pengurus itu memberi hormat.

"Menyesal, Kwee Lootiacu dan Beng Toatia," menyahut dia.

"Kami yang membuka rumah makan tidak berani mendapat salah dari tetamu-tetamu kami..."

Hatinya Sin Cu tergerak mendengar disebutnya she dari kedua orang itu. Ia pernah dengar dari gurunya bahwa di antara orang-orang kosen di lima propinsi Utara ada Kwee Seng Tay, begal tunggal dari propinsi Shoatang, yang romannya mirip orang dusun, yang senjatanya ada sebatang huncwee, yang sebenarnya diperantikan menotok jalan darah, sedang muridnya, Beng Tiang Seng namanya, bertubuh kate (pendek) gemuk bagaikan labu, dia pandai ilmu silat

bergulingan Teetong kun. Rupanya mereka inilah dua orang itu.

Mendengar jawaban itu, si orang tua mengkerutkan kening.



"Tetamu yang pantas dihormati mesti dihormati, tetapi yang suka menerbitkan onar mesti diurus," katanya. "Nah, kau uruslah mereka, untuk segala akibatnya aku si orang tua yang

akan bertanggung jawab!"

Pengurus itu bersangsi sejenak, lantas ia maju ke kalangan.

"Tuan-tuan," ia berkata, "dengan memandang kepada Kwee Lootiacu, aku minta sukalah kamu menghentikan pertempuran, aku yang rendah suka menghaturkan maaf kepada kamu..."

"Apa sih Kwee Lootiacu?" berkata si paderi. "Jikalau kau hendak menghaturkan maaf, nah kau berlututlah tiga kali dan mengangguk-angguk hingga kepalamu berbunyi nyaring serta kau memanggil engkong kepadaku!" Ia berkata demikian akan tetapi kedua tangannya tidak berhenti bekerja, hingga beruntun dua kali terdengar suara nyaring.

Dengan tangan kini ia hajar si orang bertubuh kasar hingga dia terjungkal dan dengan tangan kanannya menyampok terbang tongkatnya Pit Yan (Goan) Kiong.

Ie Sin Cu menyaksikan itu, ia terkejut. Terang orang telah menggunai jurus-jurus "Liongkun" dan "Pakun" atau kepalankepalan "Naga" dan "Macan tutul" dari ilmu silat "Lo Han Kun,"

yang Hek Pek Moko telah ajarkan kepada Siauw Houwcu.

Mestinya si paderi hendak mencari onar, di saat ada orang yang mencampur tangan, baru dia keluarkan kepandaiannya itu.

Kwee Seng Tay mengurut kumisnya dan si pengurus restoran batuk-batuk.

“ Toasuhu, kau mengacau, aku yang rendah terpaksa meminta kau pergi keluar!" berkata pengurus restoran ini seraya kedua tangannya diulur kepada pundaknya paderi  gemuk itu.

Ia tua dan kurus tetapi kedua tangannya itu memainkan ilmu silat Eng Jiauw Kong si Kuku Garuda.

Si paderi mendak, untuk membebaskan diri, tapi tidak urung ia merasakan pundaknya sakit dan pedas, maka itu, ia menjadi terkejut, sedang si pengurus restoran heran yang cengkeramannya itu lolos.

"Uangku bukan uang bau amis, kau membuka rumah makan, mengapa kau larang aku dahar?" si hweeshio tanya.

"Hm, kau hendak usir aku, maka biarlah aku rubuh dulu rumah makanmu ini!"

Kata-kata ini ditutup dengan serangan kepada si pengurus restoran, malah dia menyerang terus saling susul, dengan tiga jurus lainnya dari Lo Han Kun yaitu Houwkun, Coakun dan Hookun, ialah kepalan-kepalan Naga, Ular dan burung Hoo.

Maka walaupun dia mengarti Eng Jiauw Kong, tuan rumah itu lantas saja keteter.

Pit Goan Kiong pungut tongkatnya, hendak ia turun tangan, akan tetapi kapan ia lihat kawannya masih rebah saja, ia lantas menghampirkan. Ia ingin menolongi andaikata kawan

itu terluka.

Si labu ialah Beng Tiang Seng, menjadi habis sabar. Dia lompat kepada si paderi, untuk menerjang, atas mana, paderi itu geraki sebelah tangannya. Sin Cu lihat tangan itu tidak

mengenai sasarannya tetapi heran, Tiang Seng lantas saja rubuh terguling seperti cupu-cupu menggelinding.

"Dia kesohor kenapa dia begini tidak punya guna?" Tanya nona itu dalam hatinya. "Mustahil dia roboh hanya terkena anginnya kepalan?"

***

Segera ternyata, Tiang Seng hanya bersilat dengan "Laylouw takun" atau "Keledai malas bergulingan," dan setelah berguling menghampirkan si paderi, ia samber kaki orang. Paderi itu sudah lantas menarik kakinya itu.

Atas itu, ia disusul dengan sambe-ran lain, yang menjejak dengkulnya. Ia lantas saja menjadi repot.

Tiang Seng bukan roboh sewajarnya, dia hanya sembari menjatuhkan diri untuk bersilat dengan kepandaiannya, Teetong kun. Sangat lincah tubuhnya itu, yang bergulingan tak hentinya, malah ada kalanya, tubuhnya dibantu sama tangannya, sama pundaknya juga.

Sampai di situ, Ie Sin Cu tertawa seorang diri. Lucu cara bersilatnya si orang she Beng itu, sedang si paderi, yang tadi kosen sekali, sekarang terpaksa main mundur.

Tiba-tiba ada seorang yang berkata-kata seorang diri, katakatanya itu berupa seruan: "Putar kaki, tendang punggungnya! Ambil kedudukan kam, injak belakang tangannya! Ambil jalan lie, sontek hidungnya!"

Kwee Seng Tay heran hingga segera ia berpaling. Ia dapatkan orang bertubuh kecil tetapi lincah agaknya.

Ia mengarti bahwa orang tengah mengajari si paderi untuk bersilat dengan "Wanyo Lianhoan twie" atau "Tendangan berantai burung Wanyo" untuk memecahkan Teetong kun dari si labu itu. Ia menjadi mendongkol.

Si paderi memang ada terlebih kosen daripada Beng Tiang Seng, begitu ia diberi petunjuk, ia lantas melakukan serangan membalas. Di atas ia mainkan Lo Han Ngoheng kun, di bawah

dengan Wanyo Lianhoan twie itu. Tiang Seng menjadi repot berkelit, akan satu kali ia kena didupak hingga jungkir balik!

282
Bukan main mendongkolnya Kwee Seng Cay, hingga ia
urut-urut kumisnya dengan sengit. Mengingat derajatnya,
tapinya tidak dapat ia lantas turun tangan.
Pit Goan Kiong sementara itu telah dekati si orang bertubuh
kecil lincah itu. Ia sudah tolong mengasi bangun kawannya,
yang tidak terluka, maka itu ia sempat menghampirkan orang.
Ia kata: "Kalau tuan gatal tangan, aku si pengemis suka sekali
menemani kau main-main..."
Orang kecil lincah itu menyahuti: "Satu budiman
menggunai mulutnya, tidak tangannya. Ya, nyamping ke
kedudukan sun, kasi dia satu tendangan pula, aku tanggung
dia bakal tak berkutik lagi!"
Perkataan yang belakangan ini ditujukan kepada si paderi,
yang turut petunjuk, terus dia ambil tempatnya dan
menendang, maka kali ini, setelah tertendang terjungkir,
hingga ia membentur dua buah meja, Beng Tiang Seng benarbenar
tak dapat berkutik lagi!
Pit Goan Kiong menjadi mendelu. Ia tukang
mempermainkan orang, sekarang ialah yang kena
dipermainkan. Ia mau lantas turun tangan, atau tiba-tiba ia
merandak. Ia dengar tindakan kaki nyata di tangga, turun dari
undakan atas. Ruang pun lantas menjadi sunyi. Apabila ia
telah menoleh, ia pun lantas turut berdiam seraya
menghunjuki sikap menghormat.
Ie Sin Cu heran sekali, ia pun berpaling ke tangga
lauwteng. ia melihat sepasang pria dan wanita umur
pertengahan tengah menindak turun. Pakaian mereka itu
indah dan roman mereka gagah. Pantas ruangan lantas
menjadi sunyi.

283
"Siapakah mereka ini, yang besar pengaruhnya?" Sin Cu
tanya dirinya sendiri. Maka ia lantas mengawasi dengan tajam.
Baru sekarang ia mengenalinya. Merekalah yang Tan Hong
suruh ia mencarinya, yang romannya tertera di dalam gambar
lukisan ialah suami isteri Kimtoo Siauw-ceecu Ciu San Bin serta
Cio Cui Hong.
Pengurus restoran hendak keluar dari gelanggang, tetapi si
paderi menghalangi.
"Pengurus tua bangka, tidak dapat kau berlalu!" kata dia,
yang terus saja menyerang, dengan tangan kiri yang disusul
tangan kanan. Maka pengurus restoran itu lantas saja
terguling pula. Tapi kali ini ia roboh karena alpa, ia hendak
menghampirkan San Bin, ia tidak sangka bakal diserang.
Kejadian itu, yang dianggap curang, membuat banyak
orang menjadi penasaran. Malah Kwee Seng Tay, yang
matanya menjadi merah, tak dapat menguasai diri lagi, ia
sudah lantas maju ke gelanggang.
"Oh, Kwee Lootiacu , kau pun datang?" terdengar suaranya
San Bin. "Maaf, tidak berani aku membuat kau cape..."
Wajahnya Seng Tay menjadi merah. Ia ingat kepada
derajatnya. Memang tidak pantas ia melayani si hweeshio. Ia
pun berada di depan Kimtoo Siauwceecu.
San Bin memandang si paderi dan lainnya.
"Sebenarnya urusan apakah yang tak dapat didamaikan?"
berkata ia sambil tertawa. "Marilah semua duduk, untuk
pasang omong! Bukankah ini bagus?"
"Kamu berkawan membantu si pengurus restoran, aku
tidak takut!" berteriak si paderi.

284
"Bagaimana kau bisa bilang aku membantui tuan rumah?"
tanya San Bin tertawa. "Coba kau berikan alasanmu, agar
orang ramai menimbang."
Dua anak muda tak tahan sabar, selagi San Bin berkatakata,
mereka hendak tarik si paderi, tetapi begitu lekas paderi
itu kibasi kedua tangannya, mereka terjungkal roboh!
"Bagus betul!" berseru Seng Tay di akhirnya. "Masih tidak
apa kau menghina aku si orang tua tetapi sekarang kau pun
menghinai Kim..."
Belum sempat orang tua ini bicara terus, San Bin sudah
mengulapkan tangan kepadanya. Dia rupanya mengarti yang
San Bin tidak ingin perkenalkan diri, maka dia terus
membentak: "Jikalau aku tidak ajar adat padamu, keledai
gundul, aku bukannya si orang she Kwee!"
Lantas dia lari kepada si paderi.
Paderi itu tertawa.
"Aku justeru i ngin belajar kenal sama huncwee-mu peranti
menotok jalan darah!" dia kata menantang.
Hanya, belum sampai dia dapat menyambut Seng Tay, satu
bayangan sudah berlompat ke depannya seraya bayangan itu
berseru: "Apakah kau kira kau tepat untuk melayani Kwee
Loocianpwee?" Dan seruan itu dibarengi serangan.
Si paderi menjadi heran.
"Ah, dia pun mengarti Loohan kun..." pikirnya. Dia lantas
menangkis dengan Tiat piepee ciu tangan kiri dan dengan
tangan kanan, dengan Hoo-kun, dia membarengi menyerang.

285
Bayangan itu, yang ada satu anak muda, berkelit ke kiri,
berbareng dengan mana, dengan lima jari tertekuk, ia
menyambuti serangan Hookun. Ia menggunai Hookun juga.
Si paderi kembali menjadi heran, hanya kali ini, ia alpa dan
kurang gesit. Di luar dugaannya, habis me-nyambuti, anak
muda itu membalas menyerang dengan sebat sekali. Dia
menggunai Tiangkun, Kepalan Panjang, yang dia susuli
dengan sapuan kaki. Maka tanpa ampun lagi, paderi itu
terguling roboh.
Anak muda itu ialah Ie Sin Cu.
Paderi itu merayap bangun dengan muka merah, ia awasi
Sin Cu dengan mata melotot, habis mana, ia ngeloyor pergi. Ia
tidak tahu bahwa ia telah kalah cerdik dari Sin Cu. Ia pandai
Loo Han Kun, Sin Cu pun menggunai ilmu silat itu, bedanya,
Sin Cu menggunai pelajaran dari Hek Moko, yang disambung
dengan Tiangkun.
Kwee Seng Tay majukan dirinya.
"Eh, apakah dapat kau berlalu dengan begini saja?" si
orang tua menegur.
Paderi itu berhenti bertindak.
"Engko kecil ini liehay, aku menyerah kalah terhadapnya!"
dia menyahuti. "Tapi kau? Aku belum belajar kenal denganmu!
Kalau kau hendak melarang aku, kau mesti keluarkan
kepandaianmu seperti engko kecil ini!"
Dengan "engko kecil" ia maksudkan Ie Sin Cu.
Seng Tay gusar sekali.

286
"Aku tidak punya kepandaian apa-apa, kalau kau hendak
coba, kau cobalah!" ia bilang. "Jikalau kau bisa molos dari
bawah huncwee-ku ini, selanjutnya aku tidak akan merantau
lagi di dunia kangouw1."
San Bin heran. Terang si paderi hendak mengacau tetapi
dia jujur, dia bukan miripnya orang jahat. Ia lantas maju di
tengah mereka itu.
"Di antara empat lautan, kita semua bersaudara," ia
berkata. "Urusan apakah yang demikian besar hingga untuk
itu kita mesti mengadu jiwa?"
Beng Tiang Seng sudah lantas merayap bangun, untuk
berdiri di samping gurunya, dengan napas masih sengalsengal,
ia tuding si paderi dan mengatakannya: "Keledai
gundul ini, begitu dia datang dia lantas mengacau, semua
orang dapat melihat itu, maka itu, buat apa kau main tanya
lagi?"
Matanya si paderi mencilak.
"Kita semua datang kemari untuk minum arak dan
bersantap," dia bilang, sengit, "karena itu, kenapa di sini
orang main membeda-bedakan? Coba tanya pemilik restoran,
aturan apakah ini?"
Tiang Seng tidak mau mengarti, ia buka pula mulutnya,
dengan begitu ia jadi adu mulut dengan si paderi, karena itu,
perlahan-lahan San Bin mengarti duduknya hal. Lantas saja
dia tertawa.
"Kiranya karena urusan kecil sekali!" katanya. "Tuan rumah,
lekas atur meja kursi, lantas kau sajikan barang hidangan, hari
ini hendak aku mengundang tetamu. Kwee Lootiacu, toasuhu,

287
dan kau, engko kecil, dengan melihat mukaku, mari kita
minum satu cangkir!"
Suaranya San Bin berpengaruh, si paderi lantas tutup
mulutnya, hanya kepada sahabatnya, si kate (pendek) dan
kecil, ia mengedipkan mata, lalu dia berkata: "Kita ada orangorang
yang baru saling mengenal, tidak pantas kami
menggerecok, maka itu biarlah kami pergi saja."
San Bin tertawa, ia kata: “ Toako, kau bicara bukan seperti
orang kangouw1. Apakah kau tidak dengar bahwa bunga
merah dengan daun hijau asalnya satu? Secangkir arak tawar,
apakah artinya? Aku harap, toako, janganlah kau malu-malu
sebagai seorang perempuan."
Cio Cui Hong memandang suaminya, matanya terbuka
lebar.
"Apakah semua wanita malu-malu?" dia bertanya.
San Bin tertawa besar.
"Ya, aku salah omong, aku harus didenda tiga cangkir!"
katanya.
Melihat orang demikian polos, si paderi jatuhkan diri ke
atas kursi.
"Baiklah, aku pun mendenda diriku tiga cawan!" katanya.
Si kate (pendek) dan kecil mendelik kepada kawannya itu,
tetapi dia lantas ditarik San Bin, yang mengatakan:
"Mari, kau pun minum barang satu cawan!"

288
Justeru itu dari luar pintu terdengar suara orang tertawa
seraya terus berkata: "Bagus! Kami juga hendak minum
bersama!" Habis itu terlihatlah orangnya, ialah dua orang
perwira, yang tubuhnya besar dan kekar, yang di pinggangnya
tergantungkan pedang.
Ie Sin Cu cuma melihat sekelebatan, lantas ia kenali
perwira yang jalan di depan ialah Taylwee Congkoan Yang
Cong Hay, sedang semua orang lainnya, melihat congkoan
dari istana kaisar itu, pada berubah air mukanya.
Ciu San Bin berlaku tenang, ia angkat kedua tangannya
akan memberi hormat kepada dua orang baru itu seraya
mengatakan: "Bagus! Sungguh kebetulan yang kedua tayjin
telah datang ke mari. Ini dia yang dibilang, bertemu sama
orang agung, yang diundang pun tak dapat datang!"
Di mana pengurus restoran sudah siap sedia, Yang Cong
Hay berdua lantas ambil tempat duduknya tanpa sungkan lagi,
hanya setelah berduduk, hampir tak hentinya ia menoleh akan
mengawasi San Bin, siapa sebaliknya menguasai dirinya.
"Aku mohon tanya she dan nama yang mulia dari kedua
tayjin ," ia mohon.
"Aku she Yang, namaku yang rendah Cong Hay," menjawab
Taylwee Congkoan itu. "Dan ini ada Tongnia dari Gielimkun,
namanya Law Tong Sun."
Mendengar ini, semua hadirin terkejut. Yang Cong Hay itu
ada salah satu dari empat kiamkek , ahli pedang, yang
kenamaan di jaman itu, sedang Law Tong Sun ada suheng,
kakak seperguruan, dari Cian Sam San, bekas cong-ciehui
atau kepala dari pasukan Kimiewie, sedang guru mereka, Cio
Hong Pok, guru silat kenamaan di Shoasay Utara, terkenal
untuk ilmu silatnya Hunkin Cokut hoat. Malah Tong Sun ini

289
dapat mewariskan kepandaian gurunya melebihkan adik
seperguruannya. Kalau Yang Cong Hay menjadi Taylwee
Congkoan adalah aneh, maka sungguh tak disangka-angka
Tong Sun menjadi kepala Gielimkun, barisan pelindung raja.
Duduknya hal adalah sebagai berikut: Setelah Cian Sam
San terbinasakan Thio Hong Hu, Kaisar Kie Tin perintah orang
pergi mengundang Cio Hong Pok, gurunya kepala Kimiewie
itu. Dijelaskan bahwa Ciam Sam San terbinasakan Thio Tan
Hong dan Cio Hong Pok diminta suka menuntut balas untuk
muridnya itu. Cio Hong Pok menampik undangan dengan
alasan usianya yang telah lanjut, tetapi ia percaya saja
keterangannya Kie Tin itu, ia jadi membenci Thio Tan Hong,
maka, sekalian untuk memamerkan ilmu kepandaiannya, ia
kirim murid kepalanya itu. Kie Tin lantas angkat Law Tong Sun
menjadi kepala Gielimkun.
Para hadirin tak tentaram hatinya kapan mereka lihat Yang
Cong Hay berdua mengambil meja di dekat pintu, sebagai
juga mereka itu hendak memegat jalan.
Si kate (pendek) kecil cerdik sekali, diam-diam ia tarik si
paderi, untuk memilih meja dekat pintu besar, hingga mereka
jadi seperti menyaingi kedudukannya Yang Cong Hay itu.
Kwee Seng Tay tidak puas sama suasana di situ,
berulangkah ia kasi dengar tertawa yang bernada ejekan.
Yang Cong Hay duduk dengan tidak berdiam saja, dengan
matanya yang tajam ia menyapu semua hadirin, apabila
matanya bentrok sama matanya Ie Sin Cu, ia agaknya heran.
Sin Cu sebaliknya tak gentar hatinya, dia justeru mengawasi
dengan tajam.
Tiba-tiba saja Yang Cong Hay tertawa, lalu ia berbicara
seorang diri: "Sungguh, inilah yang dibilang, mencari sampai

290
sepatu besi pecah, yang dicari tidak kedapatan, sebaliknya,
yang dicari itu kedapatan tanpa susah payah! Semua hadirin
adalah orang-orang kosen, maka itu hari ini kita mesti minum
hingga puas!" Lalu tanpa orang mengundangnya lagi, ia
tenggak kering tiga cawannya secara beruntun.
San Bin angkat kedua tangannya memberi hormat kepada
kedua perwira itu.
"Kedua tayjin sedang menjalankan tugas, aku tidak berani
memintanya untuk minum banyak-banyak," ia berkata,
"sekarang tayjin sudah minum tiga cawan, maka para hadirin,
persilahkan siapa hendak bersantap, siapa ingin minum,
baiklah masing-masing memilihnya sendiri!"
"Tugasku telah mendapat bantuan kau, saudara, itu tidak
menjadi soal lagi," berkata Yang Cong Hay. "Dengan tiga
cawan ini, terimalah ucapan terima kasihku!"
Mau atau tidak, San Bin heran. Ia menahan cawan araknya.
"Tayjin, apakah artinya kata-katamu ini?" ia menanya.
"Sri Baginda mengundang saudara datang ke kota raja!"
menyahut Yang Cong Hay tanpa pakai tedeng aling lagi.
San Bin menjadi tambah heran untuk keberaniannya
congkoan itu. Ia mau percaya orang telah ketahui tentang
dirinya, tetapi di situ toh banyak orang lainnya.
"Aku ada satu mahasiswa tolol," ia berkata, tetapi suaranya
dingin, "untuk mencapai tingkat siucay saja, beberapa kali aku
turut ujian, selalu aku jatuh, maka itu mana aku ada punya
peruntungan bagus untuk menghadap Sri Baginda Raja? Yang
Tayjin, bukankah kau sedang berkelakar?"

291
Yang Cong Hay tertawa terbahak-bahak.
"Aku harap di hadapan orang yang mengetahuinya jangan
kita omong dari hal yang tidak benar!" ia bilang, "Siauwceecu,
kau adalah seorang bunbu siangcoan dan Sri Baginda Raja
sangat memangeni kepadamu!"
Kali ini Yang Cong Hay memanggil orang sebagai
siauwceecu, yaitu ceecu muda. "Ceecu" ialah pemimpin dari
suatu rombongan. Dan ia pun sengaja memuji orang ada
"bunbu siangcoan" pandai ilmu surat dan silat dengan
berbareng.
Tiba-tiba si paderi gemuk menyelak.
"Yang Tayjinl" katanya, “Ini engko kecil juga bagus sekali
ilmu silatnya, kau harus sekalian mengundang padanya!"
Paderi ini sembrono sekali, ia tidak kenal salatan, ia
menyangka Yang Cong Hay mulia hatinya telah mengundang
orang datang ke kota raja, untuk diberi pangkat, maka itu ia
pujikan Ie Sin Cu, ia sampai tidak mau memikir bahwa ia kenal
baik atau tidak dengan orang she Yang itu.
Yang Cong Hay tertawa pula.
"Liauw Yan Taysu benar!" katanya, gembira. "Semua orang
gagah di sini, wanita dan pria, aku undang bersama!"
Biar bagaimana, dari sikapnya, Yang Cong Hay seperti tidak
memandang mata semua hadirin di situ, maka juga Kwee
Seng Tay, satu jago Rimba Hijau dari beberapa puluh tahun,
menjadi tak dapat mengendalikan diri lagi.

292
"Bagus!" dia berseru seraya dia geser kursinya, "Yang
Tayjin telah membuat undangan, maka hendak aku si tua
berangkat terlebih dulu!"
Yang Cong Hay tengah memandang Ciu San Bin, ia tidak
ambil mumat jago tua itu ketika ia berkata pula:
"Bagus! Saudara Cu, kau layanilah semua tetamu!"
Si orang kate (pendek) dan kecil yang lincah sudah lantas
menyahuti sambil ia berbangkit, ia tolak tubuhnya si paderi
sambil ia berkata: "Liauw Yan Taysu, mari kita bersama-sama
menyambut tetamu!" Seng Tay tidak perdu-likan segala apa,
ia bertindak ke pintu, sambil berbuat begitu, ia lonjorkan
huncwee-nya ke arah si kate (pendek) kecil itu, yang berdiri
menghalang, maka tidak ampun lagi, orang itu menjadi lemas
kakinya dan robohlah tubuhnya. Akan tetapi dia roboh untuk
meneruskan mencabut sebatang golok, lalu sambil
bergulingan, ia babat kakinya si orang she Kwee.
Nyata ia mengarti ilmu silat golok yang harus dimainkan di
waktu ia bergulingan. Itulah ilmu Kunteetong Tohoat dari
partai persilatan Utara.
"Hm!" Kwee Seng Tay kasi dengar suaranya yang tawar.
"Di depan pintu Khong Hu Cu orang menjual kitab Pek Kee
She! Ia lantas menyontek dengan huncwee-nya, yang ia
gunakan sebagai tombak pendek.
Dengan menerbitkan suara, ujung huncwee membentur
tulang lakop dengkul dari lawannya yang lincah itu, yang kali
ini gagal bergulingan untuk menghindarkan diri.
Melihat kawannya roboh, si paderi berseru: "Ah! Yang
Tayjin mengundang tetamu, mengapa kau berlaku kasar?" ia
lantas memburu kawan itu, untuk menolongi.

293
Kwee Seng Tay benci paderi ini, yang tadi telah
mempecundangi muridnya, dari itu begitu lekas si paderi
datang cukup dekat, ia menusuk pinggang orang. Tusukannya
ini bisa menjadi tusukan biasa juga totokan.
"Sungguh liehay!" berseru si paderi sambil dia memutar
tubuhnya, menyusul mana kedua tangannya bergerak, tangan
kiri dengan Liongkun, tangan kanan dengan Houwkun, akan
menggempur musuh.
Seng Tay sudah lanjut usianya, tidak mau ia melawan keras
dengan keras, dari itu, setelah totokannya gagal, ia berkelit.
"Hahaha!" tertawa si paderi. "Kau nyata cuma pandai
meniup mengepul, kau tidak berani mengadu tangan
denganku!" Lalu dia maju, akan menyerang pula, untuk
mendesak.
Seng Tay tetap tidak hendak melayani kekerasan, ia
menggunai kelincahan tubuhnya, dengan begitu, selama tujuh
atau delapan jurus, ia selalu menyingkir dari kepalan dahsyat
dari hweeshio itu. Satu kali saja si paderi berhasil dengan
tinjunya, ia dapat menyebabkan patahnya tulang-tulang.
Tapi Seng Tay tidak melainkan berkelit saja, di mana ada
kesempatan, ia juga membalas menyerang, dengan
tikamannya, dengan totokannya. Dengan begitu, mereka jadi
berimbang.
"Kiranya kau liehay juga!" berkata lagi si paderi. "Nyata aku
telah keliru melihat, aku tadinya menyangka kau cuma pandai
meniup mengepul!"
Sebagai seorang sembrono, paderi ini jujur, ia memuji
dengan sesungguhnya hati. Meski begitu, ia menyebabkan

294
murkanya Kwee Seng Tay, maka juga dia ini lantas mencoba
membalas merangsak.
Pertempuran itu membuat Yang Cong Hay menjadi habis
sabar.
"Nyatalah kamu menampik undangan karena menghendaki
dihukum denda!" dia berseru. "Kalau begitu, aku tidak hendak
berlaku sungkan-sungkan lagi!"
Baru saja congkoan ini perdengarkan suaranya itu atau Ciu
San Bin, yang telah menghunus goloknya, golok Kimtoo,
seraya bulang balingkan goloknya ke atas, berseru dengan
nyaring:
"Saudara-saudara, serbu pintu! Yang Tayjin, arak
dendaanmu kami terima!"
Yang Cong Hay telah kasih dengar suaranya tetapi matanya
tetap ditujukan kepada Ciu San Bin, orang lain-lainnya ia tidak
perdulikan, melihat aksinya San Bin itu, ia hunus pedangnya,
maka juga sejenak saja, golok dan pedang telah bentrok.
Kesudahannya bentrokan ini ada luar biasa. Golok berat,
pedang enteng, tetapi golok kena dibikin terpental.
Cio Cui Hong sudah lantas menghunus goloknya, golok
Liuyap to, dengan itu ia maju menyerang, tidak peduli ia
terhalang dengan sebuah meja, sedang San Bin, suaminya,
menyerang pula.
Yang Cong Hay tertawa dingin.
"Kamu suami isteri yang manis maju bersama, bagus!" ia
berkata. "Hal ini aku si orang she Yang tidak berani
memintanya!" Ia lantas dupak meja di depannya, untuk

295
merintangi goloknya si nyonya, di lain pihak, ia maju untuk
menikam perutnya San Bin.
Kimtoo ceecu sedang tanggung gerakan goloknya, tidak
dapat ia menangkis, maka itu kebetulan ada pot kuningan,
yang dipakai tempat kuwa panas, ia samber pot itu, untuk
disambitkan kepada congkoan itu.
Cong Hay lihat serangan itu, ia menangkis, begitu keras,
hingga pot terbelah dua, hingga kuwanya muncrat kepada kun
-nya Cui Hong, yang justeru maju untuk membantu suaminya.
Tanpa mempedulikan itu, si nyonya lompat naik ke atas meja,
untuk membacok terus.
Cong Hay menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras,
nyaring suaranya, habis mana, ia pun tangkis goloknya San
Bin, yang menyusuli isterinya itu, dengan begitu dua-dua
bacokan dapat disingkirkan.
Di pihak lain, para hadirin, yang berada di pihaknya San
Bin, sudah maju ke ambang pintu, hanya pintu sudah dikunci
Law Tong Sun, yang berdiri menghalang di hadapan itu. "
Dua anak muda maju paling depan, untuk menyerbu. Law
Tong Sun melihat aksi orang, ia tertawa dingin.
"Semua rebah!" serunya tiba-tiba, tangannya membarengi
bergerak sebat sekali.
Orang belum sempat melihat tegas atau senjatanya kedua
anak muda itu masing-masing sebatang gembolan telah kena
dibikin terlepas dari cekalannya, sedang kedua anak muda itu
sendiri, sambil menjerit, benar-benar roboh ke lantai.

296
Kemudian ternyata, dua pemuda itu sudah terhajar ilmu
silat Hunkin Cokut hoat dari tongnia Gielimkun itu, hingga
tangan mereka itu kena dipatahkan.
Berbareng dengan kagetnya, beberapa orang maju untuk
menolongi dua pemuda itu, akan tetapi mereka disambut
Tong Sun, yang terus kerjakan pula kepandaiannya, hingga
sebentar saja roboh lagi beberapa kurban. Tong Sun liehay
kedua tangannya, asal ia dapat menyamber tangan orang, ia
berhasil. Ilmu silatnya itu memang menghendaki pertempuran
rapat, agar ia bisa samber sana samber sini tanpa orang dapat
berkelit dengan merdeka. Karena ini, orang tidak berani
merangsak pula, maka tongnia itu dapat bertahan di depan
pintu. Ketika itu, kursi meja telah terjungkir balik dan kusut
letaknya. Begitupun pertempuran, yang terpecah dalam tiga
rombongan. Yang pertama yaitu si hweeshio gemuk dengan
Kwee Seng Tay bertarung seruh sekali. Yang kedua ialah Law
Tong Sun yang mempertahan pintu. Dan yang ketiga, San Bin
serta isterinya yang mengepung Yang Cong Hay.
Si orang kate (pendek) kecil yang lincah sudah merayap
bangun, untuk balut sendiri dengkulnya, terus dia berdiri di
dampingnya Law Tong Sun, untuk menyerang musuhmusuhnya
dengan panah pelurunya. Beberapa orang, yang
berniat membantu San Bin suami isteri terpaksa mundur
karena serangan panah peluru itu.
Di antara tiga rombongan itu, San Bin dan isterinya yang
terancam bahaya walaupun berdua mereka mengepung
seorang lawan. Yang Cong Hay liehay sekali, dengan
pedangnya saban-saban ia menggertak sambil menyerang
dengan sungguh-sungguh, ia bikin San Bin berdua repot
sekali, hingga terpaksa mereka ini bertempur rapat, untuk
membela diri saja.

297
Tidak lama terdengarlah satu suara nyaring, lalu San Bin
menjadi terkejut. Karena lambat sedikit, golok emasnya kena
disamber pedang lawannya dan bercacad ujungnya. Cong Hay
tidak menggunai pedang mustika tetapi berkat liehaynya ilmu
dalamnya, tabasa-nnya kaget sekali dan tepat. Cui Hong turut
kaget karenanya.
Yang Cong Hay menang angin, ia tidak sudi mengasi hati.
Ia menyerang terus dengan desakannya, di kiri ia arah jalan
darah yangpek hiat dari San Bin, di kanan ia menikam jalan
darah lengkiu hiat dari Cui Hong. Maka lagi-lagi suami isteri itu
kena dibikin kelabakan.
Dalam saat kacau itu, tiba-tiba terdengar suara tingtong
beberapa kali. Ie Sin Cu lompat maju dengan tangannya
terayun, atas mana tiga batang kimhoa, bunga emasnya,
terbang menyamber, menyebabkan pelurunya si orang kate
(pendek) kecil dan lincah itu tidak berdaya. Setelah itu dengan
berkelebat berkilauan, pedang Cengbeng kiam si nona
menyamber kepada Yang Cong Hay, kepada siapa nona itu
berlompat terlebih jauh.
Ie Sin Cu tidak jeri walaupun Cong Hay liehay sekali.
Cong Hay geraki pedangnya, untuk menyambut pedang Sin
Cu itu, dengan niat ditempel. Ketika ini digunai oleh San Bin
dan Cui Hong untuk berbareng membacok lawannya yang
tangguh itu.
Sin Cu pun geraki terus pedangnya, yang tidak kena
ditempel lawan, dengan menerbitkan suara nyaring, ia
menyebabkan ujung baju Cong Hay terbabat putus. Ia telah
menggunai ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat, dengan adanya
serangan berbareng dari San Bin berdua, serangannya itu jadi
memberi hasil.

298
Cong Hay kaget sekali. Ia ada salah satu dari empat jago
silat. Thio Tan Hong pun ada salah satu dari ke empat jago
itu. Sekarang bajunya kena dirobek muridnya Tan Hong itu,
bagaimana ia tak menjadi malu sendirinya? Tapi ia
berpengalaman, walaupun ia malu dan kaget, dapat ia
menguasai dirinya. Sekarang ia tidak mendesak lagi.
Nampaknya Sin Cu bertiga menang di atas angin, tapi
buktinya pahlawan kaisar itu dapat mempertahankan diri, di
sebelah pembelaan, ia masih bisa membalas menyerang. Ie
Sin Cu bertempur di tengah, di antara San Bin dan Cui Hong.
Ia selalu dapat memecahkan serangannya Yang Cong Hay. Cio
Cui Hong dapat lihat ilmu silat orang, ia menjadi heran.
"Eh, kau pernah apa dengan Thio Tan Hong?" tanya
Nyonya San Bin ini.
"Dialah guruku," sahut Sin Cu terus terang.
"Apakah subo-mu baik?" Cui Hong tanya pula, tentang
isterinya Tan Hong, yang menjadi ibu guru dari Sin Cu. Ia
memang bergaul rapat sekali dengan In Lui dan erat
perhubungannya. Dengan melihat ilmu silat Sin Cu, ia
menduga kepada Tan Hong dan ingat Tan Hong, wajar saja ia
lantas ingat In Lui. Hanya, saking gembira, ia alpa, hampir
saja ia tertikam Cong Hay, yang menyerang selagi ia tanya Sin
Cu.
"Subo baik!" Sin Cu jawab. "Suhu dan subo pun kangen
padamu! Ah, baik kita singkirkan dulu binatang ini baru kita
pasang omong!"
Kata-katanya nona ini disusuli dorongannya.
Yang Cong Hay terus menenangkan diri, maka itu, ia tetap
dapat bertahan meskipun mereka sudah bertempur lagi dua
puluh jurus lebih. Malah satu kali ia tertawa dan kata: "Apa?

299
Kamu berniat membinasakan aku? Hahaha! Kamu bermimpi!
Kamu tahu, sekarang ini aku telah siapkan lima ratus serdadu
panah, yang pun sudah mengurung kamu! Jikalau kamu
menyayangi jiwa kamu, lekas letaki senjatamu, lalu satu per
satu dari kamu turut aku pergi ke kota raja!"
Sin Cu memasang kuping, ia benar dengar suara tindakan
dan banyak kaki kuda di luar rumah makan itu.
Sementara itu si paderi terkejut ketika ia dengar disebutsebutnya
nama Tan Hong. Dia memang lagi bertempur seru
dengan Kwee Seng Tay, perhatiannya menjadi terganggu,
maka tidak heran dengkulnya lantas kena kebentur ujung
huncwee-nya Seng Tay. Ia kesakitan dan kaget, hingga ia
berjingkrak. Syukur ia tidak kena tertotok jalan darahnya.
"Eh, bagaimana sih caranya kau mengundang tetamu?" ia
tanya Yang Cong Hay.
"Liauw Yan Taysu, kau jangan banyak usil!" kata Cong Hay
sambil tertawa. "Untukmu sudah cukup asal kau dapat
melibat si tua bangka itu dan jaga baik-baik pintu! Itulah
jasamu!"
Si paderi gemuk ini agaknya heran dan bingung, kupingnya
pun dengar suara datangnya pasukan tentara, tindakan kaki
kuda terdengar semakin dekat.
"Saudara kecil, serbu pintu!" San Bin berseru. Ia menginsafi
bahaya yang mengancam mereka. Apa jadinya kalau lima
ratus serdadu menghujani anak panah kepada mereka?
Ie Sin Cu pun insaf ancaman bahaya itu, ia lantas maju ke
pintu, tapi ketika ini dipakai Cong Hay untuk mendesak pula
San Bin dan Cui Hong, karena mana terpaksa ia kembali, akan
bantui suami isteri itu.

300
"Aku akan memegat di belakang!" Sin Cu
berteriak, sesudah beberapa kali ia menyerang hebat,
untuk desak mundur orang she Yang itu.
San Bin dan isterinya lantas menggantikan Sin Cu maju ke
pintu.
Cong Hay hendak mencegah suami isteri itu, akan tetapi
Sin Cu rintangi ia, walaupun ia kosen, tidak dapat ia pukul
mundur si nona hanya dalam tiga atau empat puluh jurus.
Maka itu, suami isteri itu lantas mendekati pintu besar.
"Liauw Yan Taysu, mereka hendak mengepung, jangan
takut, aku nanti bantu kau!" kata orang yang menjaga pintu.
"Aku nanti hajar mereka dengan panah peluru!" ialah si kate
(pendek) kecil dan lincah.
Si paderi gemuk agaknya menjadi habis sabar, dengan
geraki kedua tangannya, ia serang hebat pada Seng Tay,
setelah itu, hendak ia serang suami isteri itu. Atas itu San Bin
berdua sudah lantas bersiap.
Seng Tay juga tidak berdiam saja, dengan gunai huncweenya
sebagai tombak, ia tikam perutnya si paderi, pada jalan
darah jiekhie hiat. Ia menggunai jurusnya "Sinliong jiphay"
atau "Naga sakti terjun ke laut."
Si paderi menjadi repot, ke satu ia memang berimbang
kepandaiannya dengan Seng Tay, kedua sekarang San Bin
berdua mengancam kepadanya. Selagi ia terancam bahaya,
tiba-tiba ada orang yang berlompat ke arahnya, orang mana
menyampok huncwee hingga terpental dan menarik si paderi
hingga dia ini terbetot ke pintu.

301
Orang yang liehay ini ialah Yang Cong Hay, yang telah
gunai kelincahannya akan meninggalkan Sin Cu, buat tolongi
si paderi, untuk sekalian menjaga agar pintu tak kena diserbu
pihak lawannya yang ia hendak bekuk. Ia pun lantas
mendahulukan lompat ke pintu itu.
Maka sekarang pintu dijaga oleh empat orang, ialah Yang
Cong Hay, Law Tong Sun, si paderi gemuk serta itu orang
yang memegang panah peluru. Cong Hay berlaku bengis
dengan pedangnya, juga Tong Sun dengan ilmunya membikin
tulang patah atau urat keseleo. Si paderi juga memperlihatkan
tenaganya yang besar serta ilmu silatnya Lo Han Kun yang
liehay, sedang kawannya dapat dengan leluasa menggunai
lagi panah pelurunya.
Di pihak San Bin, ia cuma berada berempat bersama
isterinya, Sin Cu dan Kwee Seng Tay, yang lainnya bukan lagi
tandingan rombongannya Cong Hay itu, karena mana, mereka
tak dapat berbuat banyak untuk menyerbu pintu.
Di lain pihak lagi, pasukan tentara sudah tiba di muka pintu
luar.
Yang Cong Hay lantas tertawa besar.
"Kimtoo Ceecu, terimalah nasibmu!" ia kata kepada San
Bin, mengejek. “Ini secawan arak dendaan, tidak dapat kau
tidak minum! Liauw Yan Taysu, kau ubah kepalanmu dengan
Houwkun, lebih dulu kau hajar terlepas golok emasnya!"
Ketika itu San Bin sedang menangkis dengan goloknya,
untuk membalas menyerang, Cong Hay dapat melihat itu,
pahlawan ini lantas beri petunjuknya kepada si paderi. Ia ingin
menawan hidup-hidup kepada ceecu itu.

302
Menyusul suaranya Yang Cong Hay itu, satu suara keras
sekali segera terdengar.
Untuk herannya semua orang, mereka lihat daun pintu
menjeblak. Sebab si paderi bukannya menghajar San Bin atau
goloknya ia ini, dia justeru menyerang daun pintu dengan
kepalannya yang dahsyat. Untuk itu, dari menghadapi San Bin,
dia memutar tubuh dengan tiba-tiba, serangannya pun secara
mendadak.
"Liauw Yan Taysu, kau bikin apa?" tanya Cong Hay heran.
"Lekas pegat musuh!"
"Liauw Yan Taysu, apakah bilangmu tempo kau turut aku
datang ke mari?" menanya kawannya. "Bukankah kau berniat
menaruh kakimu di kota raja?"
Si paderi menyahuti dengan suaranya yang nyaring: "Aku
tidak mengarti jelas apa yang kamu tengah lakukan ini!
Siapakah musuh? Aku tidak sudi anggap Kimtoo Ceecu
sebagai musuhku!"
Kedua matanya Yang Cong Hay mendelik, tanpa bilang
suatu apa, ia cende-rungkan tubuhnya seraya terus
menggeraki pedangnya menikam pusarnya si paderi terokmok
itu. Inilah gerakannya,
"Dengan busur beng-kung memanah harimau."
Ie Sin Cu dapat lihat gerakan orang itu, ia menghajar
pedang orang dengan pedangnya, hingga gagallah tikaman
seperti bokongan itu.
Berbareng dengan itu dengan belakang goloknya, San Bin
hajar roboh orang yang menghalang di pintu, sedang Seng

303
Tay menyambuti tubuh orang, untuk dilemparkan. Maka
semua orang lantas memburu keluar dari pintu.
Orang kate (pendek) kecil yang lincah itu benar-benar
lincah, ia dilemparkan tetapi begitu ia menginjak tanah, ia
mencelat pula dengan gerakannya “kan gabus meletik." Ia
dilemparkan ke arah pasukan tentara, yang hendak
menyambut ia dengan tikaman, maka ia tangkap dua batang
tombak sambil ia membentak: "Apakah kamu buta? Inilah
aku!"
Atas itu, pemimpin tentara yang mengepalai pasukan
panah itu lantas berseru: “Inilah Tie Tayjin. Jangan lepas
panah!"
Titah itu tidak ada perlunya, sebab serdadu-serdadu yang
berada di muka sudah mengenali orang yang dipanggil Tie
Tayjin itu tayjin atau pembesar she Tie kalau tidak, panah
dan tombak mereka pasti tidak dapat dicegah lagi.
Menyusul terlemparnya tubuh si Tie Tayjin, paling dulu
muncul si paderi gemuk. Ada beberapa serdadu yang kenali
paderi ini sebagai sahabatnya Tie Tayjin, mereka berseruseru:
“Inilah Liauw Yan Taysu ! Orang sendiri!"
Si paderi tidak ambil mumat apa orang bilang, hanya sambil
maju dengan murka sekali, hingga ia berteriak keras, ia hajar
terjungkal seorang perwira yang berada di dekatnya, habis
mana ia rampas kuda orang, untuk lompat ke atas
punggungnya, guna terus dikasi kabur!
Perwira pasukan panah menjadi heran, hingga ia berdiam
saja. Adalah si Tie Tayjin, yang lantas memberikan
perintahnya: "Paderi itu berkongkol sama musuh, panah dia!"

304
Sementara itu Kwee Seng Tay serta rombongannya sudah
menerjang keluar, tentara negeri mencoba merintangi, di lain
pihak, sejumlah serdadu panah telah menjalankan tugasnya
memanah si paderi, ialah Liauw Yan Taysu. Paderi ini liehay, ia
buka jubah sucinya, dengan itu ia sampok jatuh setiap anak
panah.
Pihak Seng Tay tidak kenal Liauw Yan Taysu itu, yang
sebenarnya ada satu murid dari Siauwlim Sie cabang
Pouwthian. Ia polos dan jujur, ia sangat disayangi gurunya
yaitu Kak Hui Siansu. Hanya ketika Kak Hui berpulang ke
Tanah Barat, karena bersalah dahar daging anjing, oleh kakak
seperguruannya, ia ditegur. Ia menjadi tidak puas, ia merasa
berat hidup di dalam kuil, diam-diam ia buron. Ia berniat
untuk berhenti menjadi paderi. Kalau ia berdiam di Selatan, ia
kuatir nanti bertemu sama salah satu saudara
seperguruannya, dari itu, ia kabur jauh sekali. Kemudian ia
ingin menyaksikan keindahannya kota raja. Di kota raja ia ada
punya kenalan, yaitu si Tie Tayjin, yang bernama Hian, yang
menjadi siewie atau pengiring kelas tiga pembawa golok.
Tatkala itu Yang Cong Hay bersama Law Tong Sun tengah
bertugas, mereka dapat selentingan Kimtoo Ceecu San Bin
sudah memasuki wilayah Tionggoan, mereka lantas pergi
menyelidiki, untuk dapat menawan. Dalam perjalanan ini,
kebetulan sekali di propinsi Shoatang, Tie Hian bertemu sama
Liauw Yan Taysu dan Liauw Yan tuturkan niatnya pergi ke
kota raja. Liauw Yan buka rahasia juga bahwa dia buron dari
kuilnya.
"Aku nanti bantu kau," berkata Tie Hian, yang menjanjikan
sesuatu pekerjaan umpama menjadi piauw-su, kemudian dia
ajak si paderi berjalan bersama, sampai di rumah makan itu.
Di sini Tie Hian yang anjurkan Liauw Yan membawa aksinya
itu tanpa si paderi ketahui ia telah dijadikan perkakas guna
memancing keluar pada San Bin dan isteri.

305
Walaupun ia sembrono dan polos, Liauw Yan masih dapat
membedakan hal yang benar dan tidak-tidak. Pula ia sangat
menghargai dua orang, ialah ke satu Thio Tan Hong, dan
kedua Kimtoo Ceecu Ciu Kian, yang di Ganbunkwan telah
menghalangi pasukan perang bangsa Watzu. Maka itu
timbullah kecurigaannya setelah dengar Ie Sin Cu ada
muridnya Tan Hong. setelah mana ia dengar lagi halnya San
Bin putera dari Ciu Kian. Sebaliknya, Yang Cong Hay berniat
menawan San Bin itu serta Sin Cu. Tentu saja ia menjadi
murka yang ia telah diperdayakan, maka itu ia terjang pintu,
ia hajar si perwira, lantas ia kabur.
San Bin dan isterinya serta Sin Cu turut Seng Tay beramai
nyerbu keluar. Seng Tay semua berhasil tapi mereka bertiga
kena dirintangi Yang Cong Hay dan Law Tong Sun. Sebabnya
ini adalah karena merekalah yang di arah Cong Hay. Mereka
lantas merasakan kesulitan mereka. Bertiga mereka sukar
melawan Cong Hay seorang, sekarang congkoan dari Tay I
wee itu dibantu tongnia dari Gielimkun serta di belakang dua
orang itu masih ada lima ratus serdadu, benar-benar mereka
terancam bahaya.
Dalam bingung dan kuatirnya, Sin Cu ingat kudanya, maka
ia lantas kasi dengar siulannya yang nyaring. Lantas saja kuda
Ciauwya Saycu ma datang atas panggilan itu. Untuk ini dia
menyerbu barisan serdadu, yang dia tidak perduli-kan berapa
besarnya.
Yang Cong Hay segera dapat lihat itu kuda putih, ia
mengarti pentingnya kuda itu, lantas ia berteriak: "Jangan
lukai kuda itu! Tangkap hidup-hidup!"
Beberapa serdadu lantas maju, untuk menangkap, tapi
lacur mereka, kuda itu menerjang dan menjentil, hingga
mereka roboh dengan kesakitan.

306
Sambil meringkik-ringkik, kuda itu menerjang terus ke arah
Sin Cu.
Law Tong Sun panas hatinya, ia tinggalkan Sin Cu, ia
memburu kepada kuda itu. Sebaliknya binatang itu dapat
berlari-lari dengan merdeka, karena tidak ada satu serdadu
yang berani melukainya.
Selama itu, rombongannya Kwee Seng Tay sudah lolos dari
kepungan. Beng Tiang Seng mengetahui San Bin bertiga
belum dapat menerjang keluar, ia kata pada gurunya: ”Suhu,
silahkan suhu lindungi semua orang, untuk pergi dari sini, aku
hendak kembali akan menyambut mereka itu bertiga!" Tanpa
menanti jawaban lagi, ia lari balik, untuk terus menggulingkan
tubuhnya di tanah, untuk segera menyerang tentara, guna
membabat kakinya siapa yang berada dekat.
Semua serdadu itu heran dengan ini cara berkelahi, mereka
tidak berani merintangi.
Tong Sun sudah lantas datang dekat kuda putih, ia memikir
akan gunai ilmu silatnya Hunkin Cokut hoat, untuk melukai
kuda itu, supaya gampang ia tangkap, akan tetapi belum lagi
ia mewujudkan pikirannya itu, tiba-tiba ia tampak satu tubuh
bergulingan ke arahnya. Ia menjadi kaget dan lantas saja
repot sendirinya, sebab ia segera diserang orang itu. Terhadap
orang yang bergulingan, ia tidak berdaya, benar ia dapat
berlompatan, untuk berkelit, tidak urung satu kali tulang
kakinya kena terhajar hingga ia kesakitan dan berkaok-kaok.
Kuda putih, yang tidak ada yang menghalangi, kembali
men-jentil roboh dua serdadu, dengan maju terus, dia
mencoba menghampirkan majikannya.

307
Tong Sun sementara itu panas hatinya. Biar bagaimana, ia
jauh terlebih liehay daripada Tiang Seng, maka untuk
melayani terlebih jauh, ia bergerak dengan ilmu silatnya
tindakan patk-wa, delapan penjuru. Sekarang Tiang Seng
tidak dapat lagi menyerang kaki lawannya, malah sebaliknya,
setelah beberapa kali berlompat, Tong Sun dapat menendang
lawannya sampai terpental dan jatuh tidak berkutik lagi. Maka
di lain saat ia sudah kena diringkus serdadu.
Dengan begitu, Tong Sun dapat lari pula ke arah kuda
putih.
Yang Cong Hay sedang layani Sin Cu bertiga ketika ia dapat
lihat sepak terjangnya Tong Sun, ia jadi berkuatir kuda itu
nanti dapat ditangkap kawannya itu. Maka ia kata dalam
hatinya: "Baiklah aku tangkap dulu kuda itu! Masih ada tempo
akan membekuk San Bin..."
Dalam kekacauan itu, tiba-tiba terdengar bunyi "ting-tong"
beberapa kali. Ie Sin Cu mengayun tangannya sambil
melompat maju dan tiga buah bunga emasnya, menyebabkan
peluru si kate (pendek) runtuh semua.
Ie Sin Cu dapat menduga hati orang ketika ia dapatkan
congkoan ini saban-saban menoleh ke arah Tong Sun dan
kuda putihnya, maka justeru orang berayal, ia enjot tubuhnya
untuk lompat melesat, guna menjauhkan diri, habis mana ia
menoleh sambil layangkan sebelah tangannya, hingga tiga
bunga emasnya menyamber congkoan itu.
Yang Cong Hay liehay, ia menangkis dengan pedangnya,
setelah mana ia lompat, untuk susul nona itu. Biarnya begitu,
ia toh terlambat juga disebabkan tangkisannya itu, dan sang
kuda putih sudah tiba di depan majikannya.

308
Tanpa ayal, malah dengan lincah sekali, Sin Cu lompat naik
ke punggung kuda. Di waktu ia baru duduk, satu serdadu
menikam ia dengan sebatang tombak panjang. Ia berlaku
sebat, dengan tangan kiri ia samber tombak itu, dengan
tangan kanan ia membabat. Maka kutunglah lengan si
serdadu, hingga tombaknya kena terampas.
Justeru itu, San Bin dan isterinya pun tiba ke situ. Tanpa
Cong Hay merintangi tapi mereka bisa membuka jalan di
antara banyak serdadu.
"Ke mari!" Sin Cu teriaki suami isteri itu, sedang kudanya ia
putar, guna memapaki mereka itu.
Tong Sun sekarang sudah datang dekat, dia maju untuk
pegat si nona.
"Saudara Law, tangkap dulu pemberontak!" Cong Hay
teriaki kawan itu. Dengan pemberontak ia maksudkan San Bin
suami isteri.
San Bin sendiri sudah maju jauh, bagaikan harimau lolos
dari dalam kerangkeng, ia menyerang hebat ke kanan dan kiri,
setelah merobohkan belasan serdadu, ia datang semakin
dekat pada Sin Cu. Karena ini, ia pun jadi datang dekat sama
Tong Sun.
Orang she Law ini mengarah kuda, tetapi ada titah dari
Cong Hay, ia tidak dapat tentangi itu. Benar kedudukan
mereka berimbang tapi Cong Hay minta ia menawan
"pemberontak," alasan itu kuat.
Dengan berlompat, Tong Sun dekati San Bin dan Cui Hong,
dengan geraki kedua tangannya, ia menyerang berbareng
kepada suami isteri itu. Dengan tangan kiri ia hajar San Bin,
dengan tangan kanan ia ingin robohkan si nyonya.

309
Atas serangan itu, San Bin berdua kena dipaksa mundur.
Tapi San Bin tidak melainkan mundur, setelah per-nahkan diri,
ia membalas membabat. Ia ingin menabas kedua-dua
tangannya lawan itu, ia membacok dari kiri terus ke kanan,
dalam gerakannya "Sunciu twieciu" atau "Mengikuti tangan
menolak perahu."
Tong Sun benar-benar liehay. Serangannya tadi sebenarnya
di arahkan kepada San Bin seorang, lalu ia meneruskan
kepada Cui Hong. Serangan kepada si nona ini ada gertakan
belaka. Begitu ia dibabat, ia berkelit seraya mendak, tetapi
begitu ia angkat pula tubuhnya, ia ulangi serangannya kepada
Cui Hong. San Bin terkejut, hendak ia membantu isterinya,
dengan cepat ia membacok pula. Kali ini Tong Sun sudah
bersedia. Begitu golok lewat, tangan kirinya menyerang San
Bin, cepatnya luar biasa, hingga Kimtoo Ceecu tidak sempat
mengegos tubuh, maka dadanya kena tertekan, bajunya
sampai robek, di dadanya itu lantas berpetah tapak lima jari,
tubuhnya pun terhuyung.
Cui Hong tidak sempat menolongi suaminya itu.
Berbareng itu waktu, dari arah rumah makan datang satu
rombongan orang yang di kepalai oleh perwira yang tadi.
Rombongan itu terdiri dari orang-orang restoran berikut
pengurusnya yang usianya sudah lanjut. Perwira ini tidak
bercuriga terhadap si pengurus, dari itu ia cuma membelenggu
tangannya beberapa jongos. Ia tawan mereka itu untuk
dibawa ke tangsi, guna diperiksa. Si orang tua bukan cuma
tidak diborgol, diikat dengan tambang pun tidak, dan ia jalan
dekat si perwira.
Rombongan ini datang dekat Tong Sun sejarak beberapa
tindak, justeru tongnia dari Gielimkun itu hendak mengulangi
serangannya kepada San Bin, selagi ceecu ini terhuyung.

310
Mendadak saja si orang tua berseru, tubuhnya diputar, kedua
tangannya bergerak sebat sekali. Si perwira menjadi kaget,
sebab tahu-tahu kedua tangannya kena dicekal keras, lalu
badannya terangkat, badan itu terlempar, tepat ke arah Tong
Sun!
Karena San Bin terancam bahaya, orang tua itu tidak dapat
berpura-pura lebih lama, terpaksa ia turun tangan, guna
menolongi ceecu itu.
Tong Sun kaget tetapi ia masih keburu membela diri. Ia
batal menyerang terus kepada San Bin, seraya memutar
tubuh, ia tanggapi tubuh si perwira, untuk ditolak kembali,
hingga tubuh orang disamakan dengan bola.
"Siauwcujin, lekas lari!" berteriak si pengurus restoran
kepada San Bin, yang ia panggil siauwcujin atau majikan
muda. Sembari berteriak, ia hampirkan Tong Sun, untuk
dirintangi.
San Bin tahu si orang tua bukan tandingan dari Tong Sun,
ia hendak memberikan bantuannya, maka ia geraki goloknya.
Tidak beruntung, tangannya tidak sudi dengar kata. Begitu ia
kerahkan tenaganya, guna mengayun golok, ia rasakan
dadanya sakit, goloknya turun sendirinya.
Justeru itu Sin Cu bersama kudanya telah datang dekat.
"Lekas lompat naik!" ia teriaki ceecu itu.
Cui Hong menginsafi pentingnya ketika, tanpa tunggu
suaminya menyahuti, ia samber tubuh suami itu, terus ia
angkat, untuk dibawa lompat, ke punggung kuda.
Sin Cu dengan sebat menggeser tubuh ke belakang, untuk
memberi tempat kepada suami isteri itu, sambil berbuat

311
begitu, ia mainkan tombak di tangan kiri dan pedang di
tangan kanan, guna menghalau setiap musuh, untuk nerobos
keluar kepungan.
Yang Cong Hay telah saksikan itu semua, dia berlompat
memburu. Dia ada sangat lincah, gerakannya sangat pesat.
Kepandaiannya ilmu enteng tubuh memang istimewa.
Sin Cu dapat lihat orang datang, ia memapaki dengan satu
tikaman tombak.
"Crok!" demikian satu suara bentrokan, dan ujung tombak
itu terbabat kutung!
Tanpa menghiraukan tombaknya buntung, Sin Cu
mengeprak kudanya, supaya binatang itu berlompat maju,
guna pergi menyingkir lebih jauh.
"Awas!" teriak Cong Hay, yang sudah lantas menimpuk
dengan ujung tombak lawannya itu.
Sin Cu menangkis, tetapi tombak itu terpental ke samping,
tepat nancap di pundaknya Cui Hong, hingga darahnya si
nyonya lantas saja bercucuran keluar.
"Panah!" Cong Hay berteriak pula, mengasi titahnya.
Ie Sin Cu putar tombak buntungnya, untuk mengeprak
jatuh setiap anak panah. Dan kudanya, di lain pihak, sambil
meringkik keras, sudah berlompat, untuk kabur. Dia dapat lari
keras walaupun punggungnya memuat tiga orang. Sama sekali
binatang ini tidak menjadi kaget dengan datangnya anak-anak
panah.
Tiba-tiba saja San Bin ingat suatu apa dan terus berseru:
"Mari kita tolongi si pengurus rumah makan!"

312
"Lambat sedikit saja, kita semua tidak bakal lolos!" Sin Cu
bilang.
"Toako, kau perlu lolos terlebih dulu," Cui Hong pun bilang.
"Dia telah tolongi kita, apa boleh kita tidak menolongi dia?"
tanya San Bin keras.
Justeru itu terdengar teriakan aneh dari Law Tong Sun,
kapan San Bin menoleh ke belakang, ia tampak si tongnia
Gielimkun tengah mengangkat tubuhnya pengurus rumah
makan itu, kedua tangan siapa telah ter-telikung, setelah
mana orang dilemparkan kepada satu perwira berpangkat
geeciang. Habis itu, Tong Sun lari memburu.
Saking gusar dan mendongkol, San Bin berseru keras,
hingga ia memuntahkan darah, habis mana ia pingsan,
tubuhnya terjatuh ke belakang, syukur Cui Hong lantas
menyamber untuk dipeluki. Dengan tangannya yang sebelah
lagi, nyonya ini mainkan goloknya, untuk melindungi diri. Di
waktu begitu, ia melupakan luka di pundaknya.
Kuda putih lari terus, akan membuka jalan di antara
serdadu-serdadu tukang panah itu. Di mana kuda sampai,
orang lari menyingkir. Maka sebentar kemudian, kuda
jempolan ini sudah meninggalkan jauh tentara negeri itu,
malah Yang Cong Hay pun tidak sanggup mengejarnya, hanya
ia penasaran dan menyayangi yang kuda itu dapat lolos.
Akhirnya ia menjadi seperti nekat, ia siapkan panahnya,
dengan mengertak gigi, ia menarik tali panah. Di saat itu, ia
bersangsi pula, maka sejenak kemudian, kuda putih itu dan
penunggangnya semua telah pergi jauh...
Untuk beberapa lie, kuda itu kabur terus, sampai di jurusan
timurnya terdengar suara tambur dan terompet tentara. Ie Sin

313
Cu tidak ingin bertemu pula sama tentara negeri, ia tarik les
kuda, untuk lari ke arah barat, hingga di lain saat mereka
berada di mana tak ada seorang lain jua. Di sini kuda lari di
jalanan gunung yang sempit dan berliku-liku.
Sampai di situ, lega hatinya Cui Hong, tetapi justeru itu, ia
seperti kehabisan semangat, hingga ia rasai tubuhnya lemah,
tubuh itu bergoyang-goyang seperti hendak jatuh dari atas
kuda.
Sin Cu lihat orang lelah, ia lantas memeluk. Ia sekarang
melihat tegas darah di pundak nyonya itu, yang masih
mengalir. Tidak ayal lagi, ia buka baju si nyonya, untuk di atas
kuda juga mengobati lukanya itu.
Sampai di situ, San Bin pun sadar dengan pelahan-lahan. Ia
terkejut akan menyaksikan Sin Cu tengah mengolah tubuh
isterinya. Ia lantas ulur sebelah tangannya, guna merangkul
isterinya itu, dengan hawa amarah naik, ia membentak: "Eh,
kau bikin apa?"
Sin Cu terkejut akan mendapati orang bergusar. Dalam
sesaat itu, ia lupa bahwa ia dandan sebagai satu anak muda.
Cui Hong tertawa tiba-tiba. Ia kata: ”Toako, kau bikin
berisik apa? Dia adalah satu nona!"
Ia ingat halnya dulu In Lui, yang telah permainkan
padanya, maka itu, setelah pengalamannya itu, ia lantas
ketahui Sin Cu adalah satu nona.
Sin Cu pun tertawa, terus ia kasi turun kopianya, hingga
terlihat rambutnya yang bagus.
"Ciu Ceecu, untuk apa kau bercemburu?" ia pun menanya
sambil tertawa.

314
San Bin tahu ia kecele, ia jengah sendirinya, tetapi lekas ia
menghaturkan maaf.
Ketika itu matahari sudah doyong rendah ke barat, manusia
dan kuda letih bersama. Sin Cu lompat turun dari kudanya, ia
membantui suami isteri itu turun. Ia pun lantas periksa
lukanya San Bin, Kalau luka Cui Hong tidak mengenai urat
atau tulang, luka itu tidak berbahaya, tidak demikian dengan
ceecu ini, jeriji tangannya Tong Sun membuatnya ia terluka
parah. Sin Cu lantas kasi ia makan dua butir pil Siauwyang
Siauwhoantan dan menitahkannya dia beristirahat.
Berselang lama juga, San Bin merasakan kesegarannya
pulih sedikit. Ingat kepada lukanya, ia jadi sengit. Katanya:
"Pernah aku berperang sama tentara Watzu, sampai beratus
kali, belum pernah aku terkalahkan sebagai ini. Sakit hati ini
mesti aku balas!"
Cui Hong hiburkan suami itu.
"Mana gurumu?" kemudian San Bin tanya Nona Ie. "Oleh
karena kami mendengar kabar pemerintah bermaksud tidak
baik terhadapnya, kami sengaja datang untuk menyambut
padanya. Apakah dia tidak kurang suatu apa?"
"Suhu sudah menyingkir sejak siang-siang," sahut Sin Cu.
"Untukmu ia telah titipkan sepucuk surat."
Nona itu lantas keluarkan surat gurunya itu.
San Bin sambuti surat itu, untuk dibuka dan dibaca,
habisnya, ia menghela napas: "Ah! Gurumu melarang aku
menuntut balas!"
"Apakah yang Thio Tan Hong tulis?" Cui Hong tanya.

315
"Dia bilang di pesisir timur selatan keamanan tengah
terganggu oleh perompak-perompak bangsa kate (pendek),
jikalau aksinya kawanan perompak itu tidak dicegah, mereka
bisa menjadi bencana besar di belakang hari," sahut San Bin.
"Karena ini ia menghendaki aku memecah sebahagian
tentaraku, guna dipindahkan ke Kanglam, untuk bekerja sama
kawan sepaham di pesisir timur selatan itu untuk menentang
pengaruhnya perompak-perompak bangsa kate (pendek) itu.
Inilah bukan pekerjaan gampang."
"Apakah yang sulit?" Sin Cu menanya.
"Pertama-tama kita orang Utara tidak bisa berenang,"
jawab San Bin. "Kedua kita telah lama bermusuh sama
pemerintah, sekarang kita mesti bawa pasukan tentara
melintasi tempat-tempat jagaan pemerintah, sulitnya bukan
main. Ketiga, dengan begini apa kita bukan seperti juga
membantu pemerintah si orang she Cu itu?"
"Kau telah belajar silat, apakah kau anggap belajar
berenang lebih sukar daripada belajar silat itu?" Sin Cu tanya.
"Tentu saja belajar silat ada terlebih sukar."
Si nona lantas tertawa.
"Kalau begitu, kesukaranmu yang pertama itu tidak
beralasan!" ia berkata. "Siapa pun tak bisa begitu dilahirkan
lantas dapat berenang. Orang Utara juga, satu kali dia sampai
di Selatan, dia bakal bisa berenang. Kita bisa belajar
berperang di air."
"Dan tentang kesulitan tentara kita berangkat ke selatan,"
Cui Hong turut bicara, "untuk bisa melintasi tempat jagaan
tentara negeri, baiklah kita atur supaya mereka menyamar

316
sebagai pelbagai golongan penduduk, jalannya pun dengan
berpencaran. Kita mesti masuk ke Selatan dengan
menyelundup."
San Bin tertawa.
"Kamu berdua membilang begini, aku jadinya tak seperti
kamu kaum wanita!" ia kata. "Aku bukannya tidak mengarti
maksudnya Thio Tan Hong, bahwa menolongi rakyat dari
ancaman bahaya adalah tugas kita. Memang tidak dapat aku
menampik. Aku hanya tidak puas kita keluarkan tenaga untuk
pemerintah si orang she Cu. Pemerintahlah yang mesti tolong
rakyat di Selatan itu. Kalau sekarang kita yang menolongi,
habisnya, pemerintah bakal melabrak musnah pada kita!"
"Tetapi kau harus ingat, toako, Thio Tan Hong sendiri tidak
mengutarakan penasaran seperti kau ini," berkata Cui Hong,
sang isteri. "Bicara perihal sakit hati, dia sebenarnya lebih
membenci dan mendendam kepada pemerintah!"
San Bin memang mengarti soal itu.
"Baiklah!" katanya. "Asal kita bisa pulang ke tempat kita,
akan aku kerahkan tentaraku..."
San Bin bicara keras-keras, lukanya terasa sakit, maka ia
menjadi lesu pula.
"Mari kita cari rumah penduduk, untuk menumpang
menginap barang semalam," Cui Hong menyarankan.
Tapi mereka berada di tempat pegunungan yang sunyi. Di
situ di mana ada rumah orang? Sin Cu berniat mencari tetapi
ia kuatir untuk meninggalkan suami isteri itu.

317
Tengah mereka bingung, Sin Cu tiba-tiba mendengar suara
kuda meringkik, lalu kudanya meringkik keras dan panjang,
terus berjingkrakan dan lari. Itulah aksi kuda menyambuti
suara bangsanya. Nona Ie menjadi heran. Tidak biasanya
kuda putih itu menjadi binal. Ia memanggil, kuda itu tidak
kembali. Terpaksa ia lari, untuk menyusul.
Baru saja Sin Cu muncul di sebuah tikungan, sekonyongkonyong
ia dengar bentakan terhadapnya: "Bangsat bernyali
besar! Kudanya Thio Tan Hong juga kau berani curi?" Lalu
bentakan itu disusuli satu serangan hebat dengan sebatang
sianthung, tongkatnya seorang suci.
Sin Cu terkejut dan heran. Di bawah sinar rembulan, ia
dapatkan si penyerang adalah satu paderi yang alisnya
gompiok dan matanya besar, dan tongkatnya, yang panjang,
besar umpama kata sebesar mangkok. Untuk melindungi diri,
terpaksa ia menangkis. Sebenarnya ia hendak menegur, guna
meminta keterangan, apa mau, si paderi sudah lantas
mengulangi serangannya dan, secara hebat sekali.
Kali ini Nona Ie tidak berani menangkis, ia berkelit, tetapi
justeru ia berkelit, ia menjadi kena didesak paderi itu, yang
bengis sekali, yang tak mau berhenti dengan dua kali
serangannya itu. Ia melayani dengan tunjuki kegesitannya.
Segera ia dapat kenyataan orang ada terlebih liehay banyak
daripada Liauw Yan Taysu.
" Toasuheng, dengar dulu aku!" akhirnya ia berseru setelah
terdesak berulang-ulang. Ia pun heran sekali atas sikap keras
dari paderi ini.
"Kau hendak omong apa?" membentak paderi itu. Ia
lompat minggir. Lebih dulu daripada itu, ia sudah sampok
pedang orang hingga pedang itu terlepas dan mental.

318
"Ah, kiranya kau muridnya Thio Tan Hong!" kemudian
paderi itu berkata dengan nyaring sambil ia tertawa, sedang
Sin Cu berdiri tercengang saking herannya.
"Sungguh, satu jaman dengan satu jaman, orang menjadi
terlebih pandai, maka kita dari tingkat terlebih tua harus mati
karena malu!..."
Sin Cu lompat untuk pungut pedangnya, setelah itu, ia
awasi paderi itu, seorang berusia mendekati enam puluh
tahun, mukanya merah segar, matanya sedang memeriksa
tongkatnya, yang ujungnya bercacad bekas bentrok sama
pedangnya. Paderi itu pun mengawasi ia sambil bersenyum
berseri-seri, tidak lagi bengis seperti tadi. Sedang tak jauh dari
mereka, ia lihat, kudanya kuda Ciauwya Saycu ma tengah
bergurau sama seekor kuda putih lainnya, yang segalanya
mirip dengan kudanya itu, kecuali bulu putih di badannya
kecampuran banyak titik-titik hitam.
Ciauwya Saycu ma menekuk sebelah kakinya di depan kuda
putih itu, kepalanya digosok-gosoki, dan kedua kuda berbunyi
tak hentinya. Mereka mirip orang yang ketemu sanaknya yang
terdekat.
Menyaksikan semua itu, Sin Cu ingat suatu apa. Itu waktu
pun lantas terdengar suara nyaring dari Ciu San Bin: "Oh,
kiranya Tiauw Im Taysu."
Sin Cu segera menoleh, ia dapatkan Cui Hong tengah
mempepa-yang suaminya itu. Mereka rupanya menyusul
karena ia tidak segera kembali. Tidak tempo lagi, ia bertekuk
lutut di depan paderi itu seraya mengatakannya: “
Supeecouw, cucu muridmu Ie Sin Cu memberi hormat."
"Kau bangunlah," berkata paderi itu, yang memang Tiauw
Im adanya, murid kedua dari Hian Kie Itsu, yang kesohor ilmu

319
silat tongkatnya yaitu Thianmo Thunghoat, dan terhadapnya,
Thio Tan Hong mesti memanggil jiesupee, pe-man guru yang
kedua, sedang kuda putihnya itu adalah biangnya Ciauwya
Saycu ma, maka juga kedua binatang itu erat sekali
perhubungannya satu dengan lain.
“ Siauwceecu, kenapa kau terluka?" Tiauw Im tanya San
Bin.
"Kita dikepung musuh," sahut Cui Hong, yang tuturkan
jalannya pertempuran melawan rombongannya Yang Cong
Hay.
"Kiranya kamu juga sedang mencari Thio Tan Hong!"
berkata paderi itu. Ia terus tertawa dan menambahkannya:
"Aku pun lagi cari dia supaya dia balaskan sakit hatinya dua
bacokan ini!" Ia robek jubah di betulan pundaknya yang kiri,
akan mengasi lihat dua tapak bacokan yang bersilang. Luka itu
telah ditempeli kouwyoh.
Sin Cu heran sekali.
"Pantas suhu membilangnya hebat gwakang dari
supeecouw ini, dia terluka pundaknya begini hebat tetapi ia
masih sanggup bersilat dengan dahsyat sekali." pikirnya.
"Siapakah yang telah makan hati harimau dan nyalinya
macan tutul maka dia berani memusuhkan taysu?" San Bin
tanya. Ceecu ini pun heran.
"Siapa yang membacok taysu?" Cui Hong bertanya.
"Mereka itu bukan melainkan memusuhkan aku!" menyahut
Tiauw Im, sengit. "Mereka juga membinasakan ribuan
penduduk di sepanjang pesisir timur selatan! Syukur untukku,
tongkatku ini bukan tongkat sembarang, kalau tidak pastilah

320
tubuhku juga telah tercingcang mereka itu! Dua lukaku ini ada
luka bacokannya perompak-perompak kate (pendek)!"
Lantas paderi ini menuturkan hal ikhwalnya. Ia memang
gemar membelai perkara-perkara tidak adil, waktu ia dengar
kabar perompak kate (pendek) di pesisir timur selatan
mencelakai rakyat, yang mereka garong dan bunuh-bunuhi, ia
lantas pergi ke Ciatkang, di kota Tayciu, untuk membantu
pasukan suka rela rakyat. Dalam satu pertempuran besar,
tentara rakyat itu kena dikalahkan, sebab jumlah mereka
hanya beberapa ratus tetapi perompak kate (pendek) tiga ribu
jiwa, benar musuh banyak yang terbinasa tapi pihak rakyat
sendiri menderita kerugian separuhnya. Ketika
Tiauw Im melindungi pemimpin pasukan, Yap Cong Liu dan
Teng Bouw Cit, dalam pergumulan, dua kali ia kena terbacok.
Demikian ia peroleh luka-lukanya itu.
Sampai di situ Ie Sin Cu mengatakan bahwa gurunya sudah
berangkat ke Taylie.
"Tentulah dia berniat mengundang toasuheng turun
gunung," Tiauw Im mengutarakan dugaannya.
"Katanya dia hendak memberi selamat hari ulangnya
toasucouw," kata Sin Cu.
"Ah, aku sampai lupa!" seru Tiauw Im seraya ia ketok
kepalanya sendiri. "Memang tahun ini suhu memasuki usia
delapan puluh tahun!" Ia tertawa dan menambahkan:
"Memang nampaknya Tan Hong si bocah hendak
menyingkirkan diri dari dunia ramai tetapi sebenarnya hatinya
panas bergolak, dia melebihi aku dalam hal gemar mengurus
segala peristiwa tidak adil. Begitulah pernah dia menulis surat
kepada Yap Cong Liu menganjurkan Cong Liu berserikat
bersama San Bin dan lain-lain rombongan suka rela lagi di

321
Shoatang. Sekarang dia pergi memberi selamat kepada suhu,
mestinya dia ada mengandung lain maksud pula. Aku lihat,
paling lambat lain tahun, dia pasti akan sudah kembali ke
Kanglam."
Sin Cu mengangguk. Ia lantas tanya lukanya San Bin.
"Setelah makan obatmu, aku merasa baikan," sahut Kimtoo
Ceecu sambil tertawa, "dan setelah mendengar penuturan
taysu barusan, aku jadi semakin gembira. Aku percaya lukaku
ini tidak bakal jadi hebat."
Mendengar pembicaraan itu, Tiauw Im tegur dirinya sendiri.
"Lihat, bagaimana aku tolol!" katanya. "Seharusnya kamu
beristirahat!"
"Di mana ada tempat beristirahat di sini?" Cui Hong tanya.
"Di kaki gunung sana ada rumahnya seorang pemburu , ia
ada orang sendiri," menyahut
Tiauw Im. "Mari kita pergi ke sana!"
San Bin bertiga akur, maka Tiauw Im lantas jalan di depan.
Sin Cu membantui Cui Hong yang mempepayang suaminya
untuk naik atas kuda putih, yang Nona Ie telah panggil
datang.
Baru saja kuda mereka bertindak, tiba-tiba San Bin pesan
Sin Cu: "Nona Ie, tolong kau meninggalkan tanda untukku.
Setiap kira-kira sepuluh tindak, bikinlah tanda itu di batang
pohon."
"Tanda apakah itu?" Sin Cu tegaskan.

322
"Jitgoat Siangkie serta satu toya besar," sahut San Bin.
Jitgoat Siangkie ialah sepasang bendera dengan lukisan
matahari dan rembulan.
Mendengar itu, Sin Cu ingat apa-apa.
"Bukankah tanda untuk Pit Keng Thian?" ia tanya.
"Benar. Maksud perjalananku ini kecuali untuk memapak
gurumu juga sekalian untuk mencari orang she Pit itu, adalah
niatku untuk kita menggabungkan diri. Dialah adik angkatku.
Taysu, dialah seorang gagah, yang polos, dia sama tabiatnya
sama taysu."
Tidak enak Sin Cu mendengar disebut-sebutnya Pit Keng
Thian. Setahu kenapa, ia merasa sebal terhadap orang itu dan
roman orang yang kasar seperti berpeta di depan matanya.
Tiauw Im Taysu sebaliknya gembira sekali dan ia menanyakan
San Bin tentang orang she Pit itu.
San Bin beritahu siapa orang itu.
"Haha, kiranya dia puteranya Pit Too Hoan!" berkata si
paderi sambil tertawa."Dengan begitu, dia harus memanggil
siesiok kepadaku!"
“ Siesiok" ialah paman. Karena di masa hidupnya, Pit Too
Hoan bersahabat erat sekali dengan Tiauw Im. Paderi ini pun
girang sekali mengetahui pute-ra sahabatnya telah menjadi
Toaliongtauw, kepala dari orang-orang kosen di lima propinsi
Utara.
Mereka berbicara sambil berjalan, tak lama lewatlah
mereka di sebuah tikungan dari mana lantas terlihat sebuah
rumah.

323
“ Siauwceecu," berkata Tiauw Im, "lukamu ini, dikata berat
tidak berat, dibilang enteng tidak enteng, mungkin kau perlu
beristirahat beberapa bulan karenanya. Kebetulan untukmu
untuk singgah di sini, tuan rumahnya mengerti ilmu
ketabiban."
Baru Tiauw Im berkata begitu, tiba-tiba terlihat sinar obor
di kaki gunung, dari mana tertampak satu penunggang kuda
sedang lari mendaki.
"Hebat ilmunya orang itu menunggang kuda!" berkata
hweeshio ini kagum. "Dan kudanya pun jempol! Saudara Ciu,
coba lihat, adakah dia Pit Keng Thian?"
Sin Cu berpaling dengan cepat.
"Yang Cong Hay!" ia mendahulukan berkata. Dengan
matanya yang celi, ia sudah lantas mengenali penunggang
kuda itu.
"Yang Cong Hay yang mana?" bertanya Tiauw Im. "Apakah
dia Yang Cong Hay si jago pedang dari Sucoan Barat?"
"Dialah Tay i wee Congkoan Yang Cong Hay!" Cui Hong
menyahuti. "Dialah si bangsat anjing Yang Cong Hay yang
telah melukai aku!"
Memang jempol kudanya Yang Cong Hay itu, yang ada
kuda dari istana. Dengan menunggang kuda ia mencoba
mengikuti jejaknya Ie Sin Cu dan ia dapat menyan-dak di
tempat ini. Ia sudah lantas angkat tinggi obornya untuk
memandang ke depan. Tiba-tiba saja ia tertawa lebar.
"Ciu Ceecu, kau kiranya masih ada di sini?" ia berkata
nyaring. "Aku si orang she Yang hendak menawan kau, tuan
yang mulia!"

324
Ie Sin Cu lantas menghunus pedangnya, sedang San Bin
tidak sahuti orang.
"Kau serahkan bangsat itu padaku!" berkata Tiauw Im,
dengan suaranya dalam. "Kau lindungi saja Ciu Ceecu!"
Habis berkata, dengan tiba-tiba paderi ini berseru keras,
tubuhnya pun mencelat maju, begitu ia menginjak tanah,
tongkatnya menyamber kaki kudanya Cong Hay. Kuda itu
liehay, dia kaget dan berlompat. Cong Hay menjadi gusar
sekali, dengan obornya ia menimpuk.
Tiauw Im lihat datangnya obor itu, ia menyampok. Maka
bagaikan seekor ular api, obor itu terpental jauh beberapa
tombak. Luar biasa gesitnya paderi ini, menyusuli
tangkisannya itu kepada obor, ia sudah lompat maju pula,
untuk mengulangi serangannya kepada congkoan dari istana
kaisar itu. Cong Hay I ompat turun dari kudanya, setelah itu
dengan pedangnya ia membalas menyerang dengan jurusnya
"Ular berbisa memuntahkan bisanya."
"Sungguh lincah!" si paderi memuji menyaksikan kegesitan
orang. Ia menangkis dengan keras, hingga pedang dan
tongkat beradu dengan nyaring, orangnya pada mundur
sendirinya.
"Siapa kau?" Cong Hay tanya sambil membentak.
"Akulah melaikat Hang Mo Thiancun yang biasa
mengemplang anjing jahat!" sahut Tiauw Im. "Kau bocah
tidak punya malu, kau berani sebut dirimu satu jago pedang,
mari kaii coba tiga ratus kemplangan tongkatku!"
Jawaban itu dibarengi dengan serangan bertubi-tubi.

325
Yang Cong Hay men-jad repot sekali. Ia tidak mau keras
melawan keras, ia terpaksa menggunai kelincahannya, kelit
sana dan kelit sini, berlompatan, baru setelah dapat ketikanya,
ia mencoba membalas menyerang.
Mereka bertempur sekian lama, Tiauw Im tidak dapat
segera merobohkan lawan, ia menjadi sibuk sendirinya, karena
ini ia menjadi sengit, ia berkelahi dengan hebat sekali, hingga
tongkatnya bergerak bagaikan "ular naga keluar dari gunanya"
atau "harimau kelaparan turun dari gunung."
Yang Cong Hay terpaksa main mundur, sambil mundur ia
terus menutup dirinya. Saban-saban ia berhasil melenyapkan
ancaman bahaya tongkatnya si paderi yang ia tidak kenal itu,
yang ia heran ada demikian kosen.
Ie Sin Cu menyaksikan itu pertempuran, ia mengerutkan
keningnya, ia masgul.
"Heran kenapa supeecouw tidak insaf bahwa orang tengah
menungkuli dia..." ia kata dalam hati kecilnya. "Kenapa
supeecouw menjadi demikian sembrono? Coba guruku yang
lagi bertempur, tidak nanti ia sudi memberikan ketika begini
kepada Yang Cong Hay..."
Memang di antara murid-muridnya Hian Kie Itsu, Tiauw Im
adalah yang paling kuat tenaganya tetapi paling rendah ilmu
silatnya, dibanding sama Thio Tan Hong, keponakan
muridnya, dia masih kalah. Dengan kepandaiannya itu, kalau
Tiauw Im berkelahi dengan sabar, ia masih dapat
mengimbangi Yang Cong Hay, sekarang ia main hantam
kromo, sedang juga sebelah lengannya sakit, selewatnya tiga
puluh jurus, gerak-gerakannya menjadi kendor sendirinya.
Yang Cong Hay pun telah kasi dengar tertawanya yang
dingin.

326
"Aku kira siapa orangnya yang dapat menggunai ilmu
tongkat Thian Mo Thunghoat begini liehay, kiranya supee dari
Thio Tan Hong!" ia berkata, mengejek. "Sayang dia ada
bagaikan kerbau dungkul, sama sekali dia tidak mengarti
rahasianya ilmu silat yang luhur! Kau sabar! Maukah kau aku
berikan petunjuk? Ah, tidak seharusnya kau menyapu secara
begini! Tidak tepat kau menggunai tenagamu!"
Congkoan ini hendak mengundang hawa amarah orang dan
ia berhasil. Tiauw Im kena dibikin panas hatinya, hingga ingin
dia menghajar mampus lawannya ini dengan satu kali
kemplang saja. Adalah pantangan orang liehay untuk
bertempur dengan hati bergusar dan Tiauw Im sudah kena
langgar pantangan itu. Ia masih menyerang dengan hebat
akan tetapi ilmu silatnya mulai kacau.
Yang Cong Hay tertawa terbahak-bahak menampak
perubahan lawannya ini, sekaranglah ia mainkan pedangnya
secara dahsyat, untuk memulai serangan pembalasannya,
hingga pedangnya jadi berkelebatan bagaikan bianglala. Tiauw
Im lantas menjadi repot, dari pihak menyerang, kontan ia
menjadi pihak yang membela diri.
Sin Cu goncang hatinya menyaksikan perubahan itu. Ia
ingin maju, untuk ia membantui, ia cuma beringin tapi ia tidak
berani mewujudkan itu. Tiauw Im berderajat lebih tinggi,
kalau ia maju, ia kuatir supeecouw itu merasa tersinggung
keangkuhannya. Terpaksa ia berdiri mengawasi dengan tajam,
sebelah tangannya ditaruh di gagang pedangnya, tangan yang
lain menyiapkan tiga potong kimhoa, senjata rahasianya itu
yang bermodel bunga emas. Ia memikir untuk membantu
dengan senjata rahasia tetapi ini pun ia masih sangsikan...
Justeru itu terdengar meringkiknya si kuda putih.

327
"Ada orang jahat main gila!" San Bin berseru.
Sin Cu menoleh dengan cepat, hingga matanya kabentrok
sama aksinya Tie Hian si orang kate (pendek) kecil yang
lincah. Entah kapan datangnya dia, tahu-tahu dia muncul dari
belakangnya sebuah batu besar, dari situ dia menyiapkan
busur pelurunya, untuk membokong San Bin, dia dipergoki si
kuda putih, yang terus meringkik. Karena ini, dia berbalik
mengincar kuda putih itu. "
Si nona Ie menjadi gusar, lantas saja ia menimpuk, bukan
kepada Cong Hay, hanya kepada si orang she Tie itu. Bahkan
ia menyerang tiga kali saling susul. Bunga emas yang pertama
berhasil mematahkan busurnya Tie Hian, karena busur
menjepret, tangannya terluka dan mengeluarkan darah.
Bunga emas yang kedua menyamber ke kepala, Tie Hian
masih sempat berkelit tetapi tidak urung rambutnya kena
terbabat, hingga kulit kepalanya lecet. Dalam takutnya, ia
jatuhkan diri, untuk bergulingan di tanah. Dengan caranya ini
ia dapat menolong jiwanya, sebab bunga emas yang ketiga
lewat tepat lagi lima dim dari batok kepalanya.
Sin Cu masih hendak mengulangi serangannya dengan
bunga emas kepada Tie Hian si tayjin atau pahlawan raja
kelas tiga tatkala ia dengar suara kuda yang dilarikan keras ke
arah mereka, ialah ke arah Tie Hian yang bergulingan terus ke
kaki bukit. Ia lantas melihat satu penunggang kuda yang
tubuhnya besar dan kekar. Sesampainya di dekat Tie Hian,
orang itu lompat turun dari kudanya, tanpa ayal lagi, dia
dupak si orang she Tie. Tie Hian masih sempat berkelit, hanya
di lain saat, dia sudah lantas kena dibekuk orang bertubuh
besar itu.
"Pit Hiantee di sana?" menanya San Bin sambil berseru,
agaknya ia girang sekali.

328
"Ciu Toako?" orang itu membalasi. Ia memberi penyahutan
kepada San Bin tetapi tangannya tak berhenti bekerja. Dengan
keras ia mencekek lehernya Tie Hian, hingga dia ini
mengeluarkan teriakan tertahan, lalu tubuh orang dilemparkan
ke dalam jurang tanpa Tie Hian dapat membuka suara pula.
Yang Cong Hay sedang menang di atas angin ketika ia
dapat lihat perbuatannya si orang she Pit itu, yang dalam
segebrakan saja dapat merobohkan Tie Hian yang lincah, ia
menjadi terkejut. Ia lantas berpikir: "Di sini ada Pit Keng
Thian, Tiauw Im Hweeshio dan Ie Sin Cu, kalau mereka
bertiga mengepung aku, inilah berbahaya. Kalau kita berkelahi
satu sama satu itulah lain."
Sebagai seorang yang berpengalaman dan pandai berpikir,
ia lantas desak Tiauw Im Hweeshio, begitu paderi itu mundur
dengan terpaksa, ia pun lompat mundur, untuk terus memutar
tubuhnya, guna mengangkat kaki.
Tiauw Im mendongkol bukan main, ia menantang sambil
menjerit-jerit tanpa ada faedahnya, sebab Cong Hay
menyingkir terus, malah dengan naik atas kuda istana yang
jempol itu, sedetik kemudian dia sudah menghilang di kaki
gunung.
Pit Keng Thian sudah lantas datang pada mereka. Ia dan
Tiauw Im pernah bertemu, mereka kenal satu dengan lain,
hanya sebagai kenalan baru, mereka saling mengagumi.
"Pit Hiantee, cara bagaimana kau bisa datang ke mari?"
San Bin menanya.
"Aku dengar kabar toako datang ke Selatan, aku girang
bukan main," sahut Toaliong-tauw itu, "melainkan aku
menyesal yang tak dapat aku siang-siang datang menyambut.

329
Karena itu aku telah utus lebih dulu kepada Pit Goan Kiong.
Apakah toako telah bertemu dengannya?"
"Ya," sahut San Bin, yang tapinya berduka. "Kali ini kita
nampak kerugian tak sedikit."
"Jangan berduka, toako." Keng Thian menghibur. "Kecuali
beberapa orang, yang lainnya telah berhasil aku
menolonginya."
San Bin girang mendengar ke terangan ini.
"Cara bagaimana hiantee menolonginya?" ia tanya.
"Aku datang cepat sekali bersama tiga belas ceecu lainnya,"
menjawab Keng Thian. "Kebetulan kami bertemu sama
pasukan negeri. Kita lantas bertempur. Di dalam tentara
negeri itu ada Law Tong Sun yang liehay sekali, yang lainnya
tak dapat menentangi kami. Tong Sun tahu diri, ia sudah
lantas mundur. Karena itu sebagian besar saudara-saudara
yang tertawan pasukan negeri itu dapat kami bebaskan. Aku
dengar toako menyingkir ke jurusan ini, aku lantas menyusul
kemari."
"Bagaimana dengan si pengurus rumah makan yang tua?"
"Dia pun telah dapat ditolongi."
"Bagus! Bagaimana dengan Beng Tiang Seng? Dia
muridnya Kwee Lounghiong."
"Dia terluka parah, dia dimasuki ke dalam kerangkeng,
Tong Sun sendiri yang jaga padanya, dia tak dapat ditolongi,"
sahut Keng Thian pula.

330
San Bin menjadi berduka, berduka tercampur girang. Ia
berdiam.
Keng Thian tertawa besar.
"Asal kita dapat bersatu, negara Beng pun bakal dapat kita
rampas!" kata dia. "Jadi bukannya cuma satu Beng Tiang
Seng!"
San Bin masih berdiam.
Sin Cu dengar suara jumawa itu, tak senang hatinya, ia
sudah hendak membuka mulutnya, syukur ia lantas dapat
menguasai diri. Justeru itu matanya Keng Thian melihat si
Nona Ie.
"Ah, Nona Ie, kita bertemu kembali," katanya sabar.
"Sungguh kita berjodoh! Kali ini kau toh memasuki ikatan kita,
bukan?"
Tiauw Im mengawasi Sin Cu, ia tertawa.
"Lagi-lagi satu nona menyamar!" katanya. "Kau mirip In Lui
dulu hari itu. Apakah senjata rahasia kau ini dia yang
mengajarinya?"
Keng Thian tidak puas yang Tiauw Im menyelak bicara,
tetapi ia dapat bersabar sampai si nona sudah menjawab
paderi itu. Ia kata pula dengan sabar seperti tadi: "Apakah
nona telah tanyakan gurumu tentang peta bumi itu? Itulah
peta bumi yang mengenai kepentingan negara!"
Sin Cu menyahuti dengan dingin. Ia tanya: "Mana lebih
perlu, merebut negara atau menolongi rakyat jelata?"
Ditanya begitu, Keng Thian melengak.

331
"Apakah artinya pertanyaan ini?" ia balik menanya.
"Benar," Tiauw Im menyelak pula, "perkataannya Sin Cu
cocok dengan suara gurunya. Tan Hong menghendaki kamu
lebih dulu menolongi penduduk di pesisir timur selatan. Di
sana itu selama yang belakangan ini perompak-perompak
bangsa kate (pendek) ada sangat mengganas, apakah kau
tidak ketahui itu?"
"Perompak-perompak kate (pendek) itu adalah penyakit di
kulit belaka!" sahut Keng Thian.
"Sekalipun kurap, jikalau tidak lekas diobati, penyakit itu
bisa merembet menjadi berbahaya!" kata Tiauw Im pula.
"Laginya belum tentu itu hanya penyakit kurap! Saudara Pit,
aku baru kembali dari Tayciu, hendak aku menjelaskan kau
tentang perompak bangsa kate (pendek) itu. Ah, keadaan di
sana sungguh hebat dan mengenaskan..." Ia berhenti
sebentar, lalu ia ketok kepalanya yang gundul. "Kau lihat,
bagaimana aku tolol. Ciu Ceecu dan isteri perlu beristirahat!
Mari kita kembali dulu ke rumahnya pemburu itu."
Pikiran ini lantas diwujudkan, maka sebentar lagi mereka
sudah berada di dalam rumah si pemburu yang dimaksud itu.
Sin Cu mengatakan letih dan ngantuk, ia pergi beristirahat
lebih dulu. San Bin dapat menguatkan hati, ia duduk pasang
omong sama Tiauw Im dan Keng Thian, membicarakan urusan
perompak bangsa kate (pendek). Suara mereka itu membuat
si Nona Ie sukar pulas.
"Pit Laotee," berkata Tiauw Im, suaranya keras, "asal kau
tiba di pesisir timur selatan itu dan dapat melihat keadaan di
sana, tidak dapat tidak perutmu pasti meledak dan matamu
tentulah pecah dan rambutmu bangun berdiri! Kawanan
perompak itu bukannya manusia lagi, mereka main bunuh

332
orang atau menawan, tapi yang paling hebat, sekalipun anakanak
kecil mereka bunuh juga! Di waktu mereka menganiaya,
mereka dapat bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Sayang di
mala-man aku menyaksikan kekejaman mereka, aku datang
terlambat, benar aku bisa labrak mereka tetapi anak-anak itu
tidak dapat ditolong lagi. Karena itu untuk beberapa malam
aku tidak dapat tidur pulas. Perompak itu, saban habis
membajak, lantas kabur pula dengan bawa rakyat yang
diculik, sedang yang lain mereka bunuh dan wanitanya
diperkosa. Di waktu mau pergi, mereka main membakar
kampung! Coba bilang, laotee, siapa saja yang bersemangat,
bisakah dia diam saja? Kau sendiri, apa kau bakal kerahkan
pasukanmu atau tidak?"
Keng Thian berdiam, hatinya berpikir.
"Mengerahkan pasukan, itulah tentu," sahutnya kemudian,
"Hanya, paman Tiauw Im, di bahagian apakah liehaynya
kawanan perompak itu? Apakah di antara mereka ada yang
liehay ilmu silatnya? Sebelumnya bertindak, kita harus ketahui
diri sendiri dan mengenal mereka itu."
"Kawanan perompak itu biasa memecah diri dalam
rombongan-rombongan kecil, kalau mereka bergerak,
nampaknya mereka bukan gerombolan belaka," menyahut
Tiauw Im. "Mereka pergi ke segala tempat yang mereka suka.
Tentara negeri menjaga masing-masing wilayahnya, mereka
tidak merintangi. Jadinya perlawanan mengandalkan saja pada
pasukan suka rela rakyat, yang tidak terpimpin sempurna.
Inilah ruginya pihak kita. Kawanan perompak itu ada punya
golok buatannya sendiri yang tajam luar biasa, terutama di
waktu bergumul, pihak kita tidak dapat mempertahankan diri.
Maka itu aku anggap, kita mesti punya pasukan yang terlatih,
seperti pasukanmu itu. Tentang ilmu silat, kawanan itu
mengarti yudo dan kendo. Yudo mirip dengan silat tangan

333
kosong Thaykek Kun kita. Kendo ialah ilmu pedang, yang beda
dengan ilmu pedang kita. Kabarnya ahli yudo dan kendo
mereka dibagi dalam sembilan dan. Pernah aku mengalahkan
dua musuh dari tingkat dan ke lima, dengan dan ke sembilan,
belum pernah aku bertemu."
Keng Thian kembali diam berpikir.
"Kalau begitu," berkata San Bin, "tidak perduli kawanan
perompak itu liehay sekali, tidak dapat kita tidak pergi ke
sana! Tiauw Im Taysu, kudamu dapat lari keras, kau saja yang
menolongi membawa /eng cian serta suratku ke
pesanggrahanku di luar kota Ganbunkwan, untuk menitahkan
mereka itu nyelusup masuk ke sini, guna berkumpul di
Gieouw, Ciatkang. Aku percaya itu waktu lukaku tentu sudah
sembuh, nanti aku yang pimpin sendiri kepada mereka itu.
Untuk menjaga pesanggrahan, cukup dengan meninggalkan
satu atau dua per sepuluh."
"Baik," jawab Tiauw Im, setuju. "Kau, Pit Hiantee?"
"Pasti aku akan turut," sahut Pit Keng Thian. "Cuma satu
hal harus didamaikan dulu."
"Apakah itu?"
"Menurut katamu tadi, rakyat suka rela dan badan
keamanan setempat di pesisir timur selatan itu bekerja sendirisendiri,
inilah tidak bagus," berkata Keng Thian. "Aku pikir
perlu kita angkat satu pemimpin dan orangnya ialah Ciu Toako
yang paling tepat, hanya tak tahu kita bagaimana dengan Yap
Cong Liu dan Teng Bouw Cit, mereka akur atau tidak."
"Untuk aku, siapa menentang perompak, aku turut
padanya," berkata Tiauw Im, "maka juga, siapa menjadi
pemimpin, itulah bukannya soal."

334
"Bukannya begitu," Keng Thian tertawa. "Dalam urusan
peperangan, tanpa pemimpin, itulah tak dapat. Bukankah kita
bukan cuma untuk membasmi perompak saja? Tidakkah
demikian, Ciu Toako?"
"Memang ular tanpa kepala tak dapat jalan, inilah benar,"
kata pula si paderi, "hanya soal siapa mesti jadi kepala, aku
tidak tahu..."
"Pemimpin itu mestinya Ciu Toako," Keng Thian tegaskan.
"Siapa tidak tahu nama besar dan pengaruhnya Kimtoo
Ceecu?"
"Tidak, hiantee," berkata San Bin. "Mengenai kepintaran,
kau menang banyak daripada aku dan kau juga Toaliongtauw
dari lima propinsi Utara. Bukankah semua orang Rimba Hijau
dan pelbagai perkumpulan telah mendengar kau? Maka kaulah
yang mesti jadi pemimpin."
"Aku menjadi Toaliongtauw karena orang sudi menjunjung
aku," Keng Thian masih menolak, "di samping itu, toako
bersama, mana dapat aku melewati kau?
Laginya, Yap Cong Liu dan Teng Bouw Cit ada terlebih
berpengaruh daripada aku."
Melihat orang saling tolak, Tiauw Im tertawa.
"Kamu bukan bakal jadi raja, kenapa kamu main saling
dorong?" kata ia. "Menurut aku, Pit Hiantee, kau terlebih
tepat. Bukankah kau tuan rumah dan Ciu Ceecu tetamu?
Tentang Yap Cong Liu dan Teng Bouw Cit, mereka telah
nyatakan padaku, baik Ciu Toako atau Pit Hiantee, pasti

335
mereka akan menjunjungnya. Pit Hiantee, sekalipun kau
menjadi raja, Tiauw Im akan tunjang padamu!"
Paderi itu tertawa, begitu juga San Bin dan Keng Thian.
Mereka berdua kagum untuk kepolosannya paderi ini.
Di akhirnya Sin Cu di dalam kamar dengar Keng Thian
menerima baik kedudukannya. Ia masgul sekali. Ia tak puas
dengan suara kaku dari orang she Pit itu. Tapi ia berpikir: "Dia
beroman kasar, siapa tahu, dia bisa berpikir. Terang dia ingin
menjadi kepala tetapi dia berpura-pura. Dia suka menjadi
kepala penentang perompak, ini ada baiknya juga..."
Kemudian terdengar pula suaranya Tiauw Im, yang
mengatakan hendak berangkat besok, sebab pertolongan
sangat penting. Ia pun menganjurkan Keng Thian berangkat
lebih duluan ke Tayciu bersama rombongannya.
"Tindakan untukku tidak ada sedemikian sederhana,
saudaraku yang baik," berkata Keng Thian. "Pertama,
sepulangku ke Shoa-tang, aku mesti panggil berkumpul semua
tiong-tauw dari pelbagai penjuru, kita mesti berapat dulu, lalu
setelah itu aku mesti cari pengganti, untuk mewakilkan aku.
Tidak dapat aku meninggalkan kedudukanku dengan begitu
saja."
"Tidak dapatkah kau mengirim orang saja untuk
menyampaikan segala titahmu?"
"Dalam urusan begini mana bisa kita main wakil-wakilan?"
Keng Thian tertawa pula.
"Tapi usaha melawan perompak di Tayciu penting sekali,"
Tiauw Im mendesak. "Kita mesti kirim utusan untuk mengasi
kabar, supaya mereka tidak keburu runtuh, sebaliknya, agar
mereka dapat semangat."

336
"Habis, siapakah yang pergi?" menanya San Bin. Ia
tertawa.
"Aku!" sahut Cui Hong.
"Kau perlu merawat toako, mana dapat kau pergi?" Tiauw
Im tak akur.
Keng Thian pun ber-sangsi, sampai tiba-tiba terdengar
suara nyaring: "Aku yang pergi!"
Itulah suara Ie Sin Cu, yang terus muncul.
Keng Thian mengawasi, sinar matanya bentrok sama sinar
mata si nona, hatinya lantas berpikir: "Memang baik sekali
kalau ia dapat mendampingi aku dan membantu."
"Bagus!" Tiauw Im pun tertawa lebar. "Ah, kenapa aku
tidak ingat kau, nona kecil? Kau suka pergi, tak ada yang
terlebih baik!"
Keng Thian disadarkan tertawanya paderi itu. Ia lantas
mendapatkan Ie Sin Cu mengawasi ia dengan sinar mata
dingin. Si nona juga lantas berkata dengan sabar:
"Pit Toaliongtauw, silahkan kau tulis suratmu untuk
pemimpin penentang perompak di Tayciu itu, supaya mereka
dapat ketahui bala bantuan segera bakal tiba. Aku segera
berangkat ke sana."
Tuan rumah bukan pemburu biasa, ia mengarti ilmu tabib,
maka itu, ia sedia perabot tulis, mendengar perkataan si nona,
ia lantas siapkan perabotnya itu di depan Keng Thian, siapa
sebaliknya terus menyapu semua orang, hingga ia dapat tahu
mereka itu tengah memandangi si nona.

337
Sin Cu bersikap tenang, wajahnya membuat orang
menghormati dia. Juga Keng Thian merasa menyayangi dan
mengaguminya. Ia berpikir: "Dia satu wanita dan masih muda
sekali, dia berani pergi ke tempat ribuan lie untuk membawa
surat, dia tak takut memasuki daerah harimau dan srigala, apa
kata denganku satu laki-laki? Mustahil aku mesti kalah
daripadanya?" Pikiran ini menyadarkan ia bahwa keliru untuk
mengharap si nona nanti terus mendampingi padanya. Ketika
ia memandang pula nona itu, matanya kebente-rok pula sama
sinar mata bagaikan pedang dari nona itu, lekas-lekas ia
tunduk, mukanya pun dirasakan panas. Dengan lekas ia
menulis suratnya.
"Pit Laotee, kau juga perlu menulis dua surat untukku,"
Tiauw Im minta.
"Untuk siapa?"
"Satu untuk Yap Cong Liu, guna mengasi tahu bahwa aku
pergi ke Kwangwa buat mencari bala bantuan, agar hatinya
tetap, yang satu pula untuk seorang tukang perahu di
Tiangkang..."
Keng Thian heran.
"Seorang tukang perahu?" ia menegaskan.
"Sin Cu asing di sana, ia mesti dapatkan satu penunjuk
jalan untuk dapat bertemu sama Cong Liu," Tiauw Im mengasi
keterangan. "Tukang perahu itu bernama Thio Hek, tinggalnya
di Ceng-kang. Dia ditugaskan Cong Liu untuk jadi
penghubung. Kau tulis bahwa nona ini ada muridnya Thio Tan
Hong, keponakan muridku itu, dan minta ia melayaninya baikbaik."

338
Keng Thian tidak menanya lagi, ia tulis pula dua pucuk
surat itu.
Justeru itu fajar sudah menyingsing. Orang sebenarnya tak
tidur tapi mereka tak merasa kantuk, malah Sin Cu, setelah
simpan surat-suratnya, lalu memberi hormat kepada kawankawan
itu. Ia pun kata: "Terima kasih, Pit Toaliong tauw
Terimakasih, Ciu Ceecu dan supeecouw!. Aku berangkat lebih
dulu!"
"Kau berangkat sekarang juga?" Keng Thian tanya, heran.
"Ya," sahut si nona. "Mencari bala bantuan ada seperti
menolong bahaya kebakaran! Sekarang langit sudah terang
tanah, aku hendak tunggu sampai kapan lagi?"
Orang lantas antar si nona keluar di mana dia lompat naik
atas kuda putihnya, maka di lain saat ia sudah lenyap di
jalanan yang masih remang-remang. Ia menuju ke timur.
Keng Thian merasa sayang tapi tak dapat ia membuka
mulut untuk mencegahnya...
Dua hari kemudian, tibalah kuda Ciauwya Saycu ma dan
penunggangnya di tepian sungai Tiangkang, di mana air
sangat lebar dan luas, hingga ujungnya bagaikan nempel
sama langit. Gelombang pun men-dampar-dampar.
Menyaksikan kebesaran alam itu, terbuka hatinya Sin Cu
hingga tanpa merasa ia bernyanyi pelahan. Ia pun jadi ingat
halnya dahulu hari Thio Su Seng dan Cu Goan Ciang
melakukan peperangan yang memutuskan di sungai ini, ia
menjadi terharu sendirinya.

339
Di hari kedua setelah itu, Sin Cu sampai di Cengkang. Ia
menuju langsung ke luar kota timur, untuk mencari Thio Hek
si tukang perahu. Ia berhasil menemuinya dengan gampang.
Bukan main girangnya tukang perahu ini menerima
suratnya Tiauw Im Hweeshio.
“Ie Siangkong, kau datang di saat yang tepat!" ia berkata.
Ia memanggil siangkong tuan muda karena Sin Cu tetap
dandan sebagai seorang pemuda. "Sepanjang pesisir Tayciu
baru saja didatangi dua rombongan baru perompak-perompak
bangsa kate (pendek) itu dan keadaannya tentara rakyat
sedang terancam. Benar bala bantuan masih belum sampai
tetapi surat ini, kabar dari Pit Toaliongtauw, pastilah akan
merupakan obat penenang hati mereka. Asal pasukan kita
mendapat semangat maka tak usahlah kita berkuatir lagi!"
Lantas Thio Hek siapkan perahu kecilnya, untuk
mengantarkan pembawa surat ini. Kuda putih ditunda di
rumahnya tukang perahu ini lantaran binatang itu tidak dapat
dinaiki ke dalam perahu yang kecil itu. Pandai Thio Hek
memegang kemudi, kendaraannya itu laju pesat sekali.
Sin Cu berdiri di kepala perahu, matanya memandang ke
depan. Kembali ia merasakan hatinya terbuka. Tapi ia
sekarang mendapat kawan, ia ambil kesempatan akan
berbicara sama Thio Hek mengenai sepak terjang kaum
perompak.
"Tukang perahu! Tukang perahu!" demikian panggilan dari
tepian selagi perahu laju.
Itulah seorang mahasiswa muda yang memanggil-manggil,
yang tangannya menggape-gape.

340
Thio Hek tahu tugasnya, ia berpura-pura tidak mendengar,
ia menggayu terus perahunya itu.
Mahasiswa itu berlari-lari, kembali ia memanggil-manggil.
"Tolongilah dia," kata Sin Cu, yang tak sampai hati. "Kami
kaum perjalanan harus menolongi satu sama lain..."
"Tetapi dunia ka-ngouw banyak bahayanya, siangkong,"
Thio Hek bilang. "Tugas kita penting sekali, kalau yang naik
ada satu telur busuk, apakah itu tidak berbahaya dan kita bisa
gagal?"
"Segala mahasiswa lemah, apakah yang dibuat takut?" Sin
Cu tertawa.
Mendengar begitu, Thio Hek ke pinggirkan perahunya.
Mahasiswa itu lari terus ke pinggiran, ia singsatkan jubahnya
yang panjang, lalu ia pegang ujung penggayu yang Thio Hek
ulur kepadanya, sambil pegangan, ia lompat ke lantai perahu.
Kendaraan air itu bergerak, tubuh si mahasiswa terhuyung,
sebelah kakinya kejeblos, hampir dia kecemplung ke air, tapi
Sin Cu samber tangannya, sengaja dipegang keras, untuk
menguji. Karena tubuhnya terhuyung, hampir mahasiswa itu
nubruk dada si nona dalam penyamaran. Baru setelah itu, dia
dapat berdiri tetap.
"Dia bukan cuma tak mengerti silat, dia pun lemah sekali,"
Sin Cu berpikir. "Thio Hek berkuatir berlebihan..."
Anak muda itu bernapas memburu, mukanya bermandikan
peluh, ia keluarkan sapu tangannya untuk menyeka peluhnya
itu.
"Terima kasih!" katanya kemudian.

341
Sin Cu undang orang berduduk, lalu ia memberi hormat
sekalian menanyakan she dan nama orang serta maksudnya
menyeberang.
"Siauwtee Tiat Keng Sim," menyahut anak muda itu.
"Ayahku lagi sakit, hendak aku menjenguknya. Kami tinggal di
Tayciu."
Sin Cu tertawa di dalam hatinya.
"Mahasiswa ini lemah lembut, ia tak surup dengan shenya,"
pikir ia. Pemuda itu she Tiat yang artinya besi. Ia tidak
bilang suatu apa, ia hanya berkata: "Kebetulan, siauwtee juga
hendak menuju ke Tayciu."
"Kalau begitu kebetulan sekali!" berkata si mahasiswa.
"Dengan begini, setelah mendarat, tujuan kita tetap sama.
Bolehlah aku mengetahui she mulia dan nama besar dari
hengtay?" Ia memanggil hengtay, artinya kakak yang
dihormati.
Tanpa kuatirkan apa-apa, Sin Cu perkenalkan diri. Baru
setelah itu, ia seperti ingat suatu apa. Ia lantas saja menanya:
"Katanya perompak lagi mengacau di Tayciu, aku kuatir tidak
aman di jalanan?"
"Memang juga aku telah dengar perompak kate (pendek)
lagi mengganas di pesisir Tayciu," sahut si mahasiswa, "dan
walaupun betul kota Tayciu masih berada di tangan tentara
negeri, bahaya bukannya tidak ada. Ayahku lagi sakit, sebagai
anak, tidak dapat aku tidak menjenguknya..."
Sin Cu terharu, ia jadi ingat ayahnya sendiri. Diam-diam ia
menghela napas.

342
"Kenapa kau menghela napas, hengtay?" si mahasiswa
menanya.
"Aku terharu untuk nasibnya penduduk pesisir timur
selatan," menjawab Sin Cu. "Di sana kaum perompak
mengganas, pemerintah tidak dapat menolongi mereka..."
"Kau mulia sekali, hengtay," kata si anak muda, yang
memuji kebaikan hati orang. Ia berkata seraya menoleh ke
lain arah.
"Apakah hengtay gemar menikmati pemandangan alam
indah di sini?" kemudian Sin Cu menanya lain hal.
Mahasiswa itu mengusap mukanya dengan tangan bajunya,
ia berpaling kembali.
"Maafkan aku," ia menyahut. "Mataku kurang sehat,
terkena angin sungai, aku telah mengeluarkan air mata."
Sin Cu lihat mata orang merah dan masih ada sisa air
matanya. Ia sebenarnya tidak perhatikan itu, sampai ia dibikin
bercuriga oleh nada orang yang agaknya berbicara seperti
menahan tangisan. Kapan ia mengawasi pula, ia tampak satu
muka yang tampan, kecuali alisnya menunjuki tekukan dari
kedukaan.
"Mungkin ia berduka karena ia memikirkan sakitnya
ayahnya," pikir Sin Cu.
Nona Ie ingin menghibur mahasiswa ini ketika ia batal
karena perhatiannya tertarik sebuah perahu, yang mendatangi
dari hulu sungai. Perahu itu besar sekali dan kepalanya
berukiran naga-nagaan. Tubuh perahu juga tinggi, karena
undakannya, yang merupakan lauwteng di atas mana rupanya
ada terdapat banyak penumpangnya. Dari atas itu terdengar

343
suara tetabuan berikut nyanyiannya. Mungkin orang tengah
berpesta.
Gurunya Sin Cu terpelajar dalam segala hal, si nona
sedikitnya dapat mewariskan kepandaian guru itu, maka juga
ia bisa mengenali suara tetabuan itu, yang bukannya tetabuan
Tionghoa.
Kapan perahu besar itu sudah datang terlebih dekat,
terlihat nyata di atas lauwteng-nya ada banyak orang, yang
semua bertubuh kasar.
“Ini toh orang-orang Nippon?" Sin Cu kata sambil tertawa.
"Dari mana datangnya mereka begini banyak?"
Terdengarlah suara nyanyian, yang kasar tetapi berirama
sedih. Si nona memasang kupingnya, sia-sia saja, ia tidak
mengarti, samar-samar ia mendengarnya.
Tiba-tiba saja si mahasiswa nyanyi seorang diri:
"Bunga itu walaupun harum tetapi ia terbang terbawa angin
tanpa perlindungan... Inilah nyanyian Nippon bunga sakura..."
Thio Hek sudah lantas berhenti menggayu.
"Tidak salah, inilah perahu upeti bangsa kate (pendek)!"
katanya.
Sin Cu terperanjat saking heran.
"Kenapa perahu mereka dapat berlayar dengan merdeka di
sungai Tiangkang?" katanya.
"Siangkong tidak tahu," sahut Thio Hek. "Bangsa kate
(pendek) itu sangat licin, di satu pihak mereka membajak, di

344
lain pihak dengan berpura-pura mengantar upeti mereka
berusaha dengan menyelundup."
"Begitu?"
Si tukang perahu menghela napas.
"Malah pembesar pabean kita telah memperlakukan mereka
sebagai tetamu yang dihormati!"
Di jaman kerajaan Beng itu, sewaktu tahun Cengtong atau
Kaisar Eng Cong, untuk Nippon adalah "jaman perang
saudara" dan di pelbagai tempat di mana ada raja muda yang
berkuasa dengan angkatan perangnya, raja-raja muda itu
berebut mengirim upeti ke Tionggoan, dengan
mengangkutnya dengan perahu-perahu besarnya itu. Menurut
aturan kerajaan Beng di masa itu, kalau utusan asing datang
mengantar upeti, barang-barang pribadinya bebas dari cukai.
Ketika ini dipakai pelbagai raja muda itu untuk
menyelundupi barang-barangnya. Kalau pemerintah Beng
menegur pemerintah Nippon tentang kawanan perompaknya,
dijawabnya mereka itu ada golongan bangsa 11 ronin" yang
pemerintah Nippon tidak berdaya untuk mengurusnya. Sedang
sebenarnya, rombongan ronin itu dapat tunjangan pelbagai
raja muda itu atau yang langsung ditugaskan membajak.
"Mereka itu merampok, membakar dan membunuh, kenapa
pembesar negeri setempat membiarkan saja?" tanya pula Sin
Cu.
"Bukankah itu disebabkan hasil keuntungan besar?" Thio
Hek balik bertanya. "Mereka itu menggunai kedudukannya
sebagai utusan pengantar upeti. Telah ditetapkan pemerintah,
waktu mengantar upeti adalah tiga tahun sekali dan jumlah
rombongan utusan pun dibataskan, tetapi pelbagai raja muda
itu berebut mengantar upeti dan semua rombongan itu

345
menyogok pembesar maka mereka dapat datang dan pergi
dengan merdeka."
Si nona menggeleng-geleng kepala, ia menjadi sangat
masgul.
"Mari kita menyingkir," kata Thio Hek selagi perahu di
depan datang semakin dekat.
Darahnya si nona menjadi naik.
"Kenapa kita mesti menyingkir?" katanya sengit. "Kita
justeru papaki dia!"
Thio Hek mengedipi mata.
"Siangkong," ia memberi ingat, "bukankah kau hendak
menyebrang untuk satu urusan? Perahu upeti itu biasanya
galak dan jahat, satu kali kita papaki dia, onar bakal terbit dan
itulah bukannya permainan."
Nona Ie murka tapi nasihat Thio Hek membuatnya ia diam.
Thio Hek lantas mengubah tujuannya, tetapi di lain pihak
belasan tombak dari perahu upeti itu, ada sebuah perahu
nelayan yang muatannya adalah seorang nelayan tua serta
seorang anaknya perempuan, perahu nelayan itu dapat dilihat
orang-orang dari perahu besar, lantas mereka berkaok-kaok
menggunai penggayu, untuk mengejar.
"Celaka!" seru si mahasiswa, kaget. "Mereka hendak
tangkap itu nona nelayan!"
Kembali naik darahnya Sin Cu.

346
"Thio Hek, biar bagaimana juga, mari kita hampirkan
mereka!" dia berteriak. "Lekas kau menggayu balik!"
Di pihak sana, perahu besar sudah mendekati perahu
nelayan, ada dilemparkan dua rantai gaetan, untuk membangkol
perahu nelayan itu. Justeru itu, perahunya Thio Hek
dapat menyandak, dan Sin Cu, dengan pedangnya, lantas
membabat kutung rantainya gaetan seperti jangkar itu.
Di atas perahu besar, orang kaget dan gusar, lalu terdengar
teriakan mereka "Bagero" berulang-ulang. Bahkan dua orang,
yang membekal golok, sudah lantas lompat turun ke
perahunya Thio Hek.
Ie Sin Cu memang sudah bersiap sedia, ia menyambut
mereka dengan ayunan tangan, yang membuatnya dua
bunga emasnya terbang menyamber. Satu ronin kena dihajar,
dia roboh ke dalam air, kawannya dapat menaruh kaki di
perahu tapi dia ini segera dibabat dengan pedang. Dia gunai
goloknya, untuk menangkis. Untuk kagetnya, goloknya
terpapas kutung, sedang tadinya dia tertawa lebar.
Ronin itu ada dan ke empat, ia percaya goloknya yang
tajam, ia tidak pandang mata kepada nona ini, yang
macamnya sebagai seorang pemuda lemah, baru ia kaget
sesudah goloknya itu terkutung.
Selagi orang tercengang, sambil membentak, Sin Cu kirim
tikaman mautnya seraya kakinya membarengi menendang,
maka selain dada orang itu ditembuskan pedang hingga di
punggungnya, dia pun roboh ke dalam air, tubuhnya dibawa
hanyut air yang menjadi merah karena darahnya.
Dari atas perahu besar segera terdengar pula riuh teriakan
bagero tapi sekarang dibarengi pujian, pujian untuk caranya

347
Sin Cu merobohkan kedua lawannya, tidak perduli lawan itu
ada kawan atau bangsanya sendiri.
Thio Hek memutar pula kepala perahunya, untuk mencoba
menyingkir, atau lagi dua musuh lompat ke atas perahunya
itu, mereka ini sangat lincah, dan ketika mereka telah
menaruh kaki di lantai perahu, perahu lantas saja kelam
sedikit.
Hatinya Sin Cu menjadi besar menyaksikan bagaimana
dengan gampang sekali ia berhasil menyingkirkan dua lawan
yang pertama itu, ia terus menyambut lawan yang baru ini.
Dengan gerakan pedangnya "Secara mendusta membagi
emas," ia menikam mereka saling susul, berganti dari yang
satu kepada yang lain.
Kedua lawan itu berseru, mereka membabat dengan
pedang mereka yang panjang. Dengan terpaksa, Sin Cu
menarik pulang pedangnya seraya mundur. Hampir berbareng
dengan itu, ia dengar jeritan, terus ia tampak tubuh Thio Hek
terlempar ke air.
Tukang perahu itu hendak membantui si nona, selagi kedua
musuh menyerang, ia membokong satu musuh dengan
penggayunya. Musuh itu kebetulan ada jago dan ke enam, dia
lihat serangan, dia berkelit, justeru tubuh Thio Hek terjerunuk
ke arahnya, dengan menggunai satu jurus yudo, dia tangkap
tangannya Thio Hek untuk diteruskan dilemparkan. Saking
kaget, Thio Hek menjerit.
Sin Cu lantas menyerang pula, tempo ia diserang kembali,
ia punahkan serangan mereka itu. Kedua musuh ini, yang ada
dan ke enam dan ke lima, menjadi kagum mengetahui si nona
liehay, karenanya, mereka berkelahi dengan ati-ati. Nona Ie
didesak, ia tidak mau mundur, sebaliknya, ia membalas
merangsak. Ia berhasil membuatnya orang mundur ke kepala

348
perahu tetapi ia tidak dapat lantas merobohkan mereka itu.
Mereka itu cerdik, tahu si nona memegang pedang mustika,
mereka selalu menghindarkan bentrokan senjata.
Selagi begitu, perahu besar mulai mendekati perahu Thio
Hek. Dari atas perahu besar itu segera dilonjorkan belasan
batang gaetan. Asal saja kedua perahu telah datang dekat
sekali, pasti gaetan akan bekerja dan perahunya si nona bakal
kena tergaet. Inilah berbahaya. Perahu kecil itu tanpa tukang
kemudinya. Si nona sendiri tidak pandai berenang.
Tanpa kemudi, perahu kecil itu terumbang-ambing, dan
dengan di atasnya ada tiga orang lagi bertarung, terumbang
ambingnya menjadi terlebih keras. Gubuk perahu juga telah
terbabat golok -goloknya musuh.
Lantas juga Sin Cu menjadi berkuatir. Goncangan keras dari
perahu membuatnya repot, kesatu untuk melayani musuh,
kedua guna memperteguh kuda-kudanya. Celakanya,
kepalanya terasa pusing, hingga matanya pun bagaikan kabur.
Ia terganggu apa yang dinamakan "mabuk laut."
Di perahu besar, rombongan ronin berteriak-teriak, belasan
gaetan mereka digerak-geraki. Melihat gaetan itu, Sin Cu
menjadi bingung. Justeru itu, sambil berseru, dua lawannya
menyerang dengan berbareng. Bahkan musuh yang di kiri.
habis menggertak, hendak menyergap, guna menangkap
tangan si nona, guna dilemparkan ke sungai.
Dalam saat yang berbahaya itu, Sin Cu masih dapat melihat
tegas. Ia lantas mem-bulang-balingkan pedangnya, guna
menangkis. Ia geraki jurusnya "Kuda sungai menggendol
gambar."
Tiba-tiba musuh yang di kanan menjerit keras, sebelah
tangannya lantas dikasi turun. Ketika baik ini digunai Sin Cu

349
untuk berkelit dari musuh yang di kiri, yang hendak mencekuk
padanya. Setelah berkelit, ia menikam ke bawah. Musuh itu
lantas menjerit, karena perutnya menjadi sasaran pedang.
Syukur untuknya, dia tidak terluka parah, maka bisa dia terjun
ke air untuk menolong dirinya. Dia lantas ditelad kawannya,
yang tangannya terus dibabat pula si nona hingga kutung.
Untuk sejenak, hatinya Sin Cu lega, tetapi segera ia
diancam belasan gaetan, yang bisa-bisa menyamber tubuhnya
atau perahunya. Sekonyong-konyong saja perahu kecil itu
memutar tujuan, lalu melesat menjauhkan diri beberapa
tombak, hingga ancaman itu buyar!
Dengan cepat Sin Cu berpaling ke belakang, hingga ia bisa
tampak wajahnya si mahasiswa, yang bagaikan bersenyum,
hanya begitu lekas sinar mata mereka bentrok, pemuda itu
lantas tunduk, tinggal kedua tangannya saja yang memegang
kemudi, mengendalikan perahu mereka.
"Terima kasih!" berkata Sin Cu, hatinya ingat sesuatu.
"Terima kasih apa," sahut si mahasiswa, tenang. "Lekas
masuk ke dalam gubuk!"
Kata-kata ini disusuli damparannya gelombang, hingga
perahu menjadi miring.
Dengan sekonyong-konyong dari dalam gelombang terlihat
satu orang lompat mencelat, di mulutnya tergigit sebatang
golok Nippon, kedua tangannya menengteng masing-masing
sebuah kepala orang. Dia lompat naik ke perahu kecil karena
dialah Thio Hek si tukang perahu.
Sebelum membilang apa-apa kepada si nona atau si
pemuda, Thio Hek melemparkan kedua kepala manusia itu ke
perahu besar, lalu setelah ambil golok dari mulutnya, ia

350
berseru: "Siapa berani menyusul kami, inilah contohnya!"
Kemudian baru ia menoleh, sembari tertawa ia kata: “Ini dia
yang dibilang, orang tulen tidak mengentarakan diri, yang
mengentarakan diri bukanlah orang tulen! Tiat Siangkong,
kaulah si orang gagah yang menyimpan kepandaian liehay!"
Thio Hek adalah tukang perahu, sebagai tukang perahu
pastilah ia pandai berenang, maka itu tempo ia dilemparkan
ke sungai, ia tidak mendapat bahaya apa-apa. Ia hanya tidak
segera muncul pula di permukaan air, hanya dari dalam air, ia
ikuti perahunya, sampai ia dapatkan dua musuh nyebur ke
sungai. Ia lantas serang mereka itu, yang sudah terluka,
dengan gampang ia bisa bunuh mereka, yang kepalanya ia
kutungi. Selama di dalam air, ia dapatkan dua batang pisau
belati nancap di dada kedua musuh itu, karena ia tahu, Sin Cu
menggunai bunga emas, ia lantas menduga si mahasiswa.
Thio Hek terus ambil penggayunya, untuk membantui si
mahasiswa, dengan begitu, perahu kecil itu lantas laju pesat.
Baru saja Sin Cu merasa lega betul-betul, atau ia telah
menjadi kaget pula.
"Celaka!" tiba-tiba Thio Hek berseru, matanya mendelong
ke dasar perahu.
Si nona mengikuti tujuan mata orang, maka itu ia
mendapat lihat papan perahu pecah di dua tempat dan air
merubul masuk.
Thio Hek lepaskan penggayunya, ia menimbakan air. Di lain
pihak, perahu besar, yang memasang layar, datang menyusul.
Di kepala perahu, seorang yang tubuhnya besar perdengarkan
suaranya yang nyaring dan bengis. Orang tidak mengarti apa
yang dia bilang, sedang sebenarnya dia mencaci: "Telur busuk
yang besar!"

351
Menyusul itu, dengan menghitung “It ni san," dia
menimpuk dengan sebuah jangkar besar ke arah perahu kecil.
Berat jangkar mungkin dua tiga ratus kati, tidak dapat Sin Cu
tanggapi itu atau menangkisnya. Tapi jangkar sudah melayang
datang, dengan terpaksa si nona berlompat, untuk pergi ke
kepala perahu, guna paksa menyanggapi juga. Justeru itu, ia
merasakan ada orang tarik ia dari belakang, lalu seorang
melesat mendahulukan dia, tepat itu waktu, jangkar pun
tibalah!
Dalam ancaman bahaya itu, orang yang mendahulukan Sin
Cu, ialah si mahasiswa, sudah lantas mengulur kedua
tangannya, dengan tenang ia menyanggapi jangkar, lantas ia
berseru: "Kehormatan tidak dibalas itulah bukan kehormatan!"
Menyusuli itu, ia ayun kedua tangannya, maka sekejab saja,
jangkar telah terlempar balik ke arah perahu besar!
Orang-orang di perahu besar, yang pada berdiri di tepian,
menjadi kaget, serentak mereka lari mundur karena ancaman
jangkar mereka itu. Tapi seorang, yang ternyata ada dari dan
ke tujuh, majukan diri untuk pasang kuda-kuda, guna
mengulur kedua tangannya, guna menyanggapi jangkar.
Tanpa dia berbuat demikian, jangkar itu dapat merusak lantai
perahu mereka. Dia berhasil menyanggapi, dia terus letaki
jangkar itu, hanya, berbareng dengan terlepasnya jangkar dari
tangannya, ia muntahkan darah hidup dari dalam mulutnya!
Itulah karena lemparan yang disebabkan tenaga besar luar
biasa dari si pemuda. Semua orang di dalam perahu besar itu
menjadi kaget sekali. Di dalam perahu itu ada sama sekali
dua jago dan ke tujuh, dua dari dan ke enam, dan enam atau
tujuh lainnya dari dan ke empat dan dan ke lima, dengan
dari dan ke enam telah terbinasa satu orang, dari dan ke
lima satu orang, dan dari dan ketiga atau ke empat dua
orang, sekarang dari dan ke tujuh luka parah satu orang,

352
semua penghuni perahu besar itu menjadi bingung. Lantas
banyak suara mengusulkan untuk berhenti mengejar.
"Jangan!" berteriak jago dari dan ke tujuh yang tinggal
satu-satunya. Dia bermata awas dan dia dapat melihat
perahunya Thio Hek kemasukan air. "Apakah pahlawanpahlawannya
Tenno mesti kehilangan keangkarannya? Kejar
mereka, lepaskan panah!"
Sin Cu tidak mengarti apa yang orang ucapkan itu, tidak
demikian dengan Thio Hek dan si mahasiswa, yang hidup di
sepanjang pesisir. Mereka ini menjadi kaget. Perahu mereka
bocor dan menjadi semakin besar, kalau mereka dihujani anak
panah, mana mereka dapat membela diri? Sedikitnya perahu
kecil itu bakal karam!
Thio Hek mengertak gigi.
"Mari kita adu jiwa!" katanya kemudian, sengit. "Sayang
kabaran kita tidak dapat sampai di kuping Yap Toako...."
"Yap Toako yang mana?" bertanya si mahasiswa.
"Toako Yap Cong Liu pemimpin dari tentara suka rela di
Tayciu," sahut si tukang perahu. "Kita hendak menyampaikan
kabar kepadanya."
Thio Hek omong secara terbuka. Ia percaya si mahasiswa
adalah orang kaum sendiri. Mahasiswa itu mengasi dengar
suara tertahan, lalu ia mengibas tangannya.
"Lekas menggayu dan menyingkir!" ia berkata. "Pergi kamu
mengambil jalan kecil untuk tiba di Tayciu!"
Ia lantas menepuk kepada pinggangnya, dari mana ia
loloskan sebatang joangin kiam atau pedang lemas, setelah itu

353
ia mencelat hingga tubuhnya terlihat berkelebat seperti
terbangnya seekor burung ho.
Sementara itu riuh suara teriakan di perahu besar, panah
mereka lantas ditarik dan dilepaskan ke arah perahu kecil itu,
tetapi si mahasiswa putar pula gegamannya itu yang istimewa,
ia membuatnya setiap batang anak panah mental balik dan
jatuh ke air. Perahu besar pun telah datang dekat, maka
tubuh si anak muda sudah mencelat naik ke atasnya, di
tingkat yang kedua.
Penumpang-penumpang perahu besar itu menjadi heran
menyaksikan kepandaian orang hingga mereka jadi berdiri
tercengang, kecuali dua jago dari dan ke empat, mereka maju
untuk memapaki lawan, yang mereka terus serang.
Si mahasiswa berlaku awas dan sebat sekali. Ia sebenarnya
seperti dibokong, karena orang tidak hendak berikan ia ketika
untuk menaruh kaki. Syukur saking gesitnya, kakinya itu telah
mendahului tiba, maka ia bisa lantas menangkis serangan itu.
Ia tidak melainkan menangkis, dengan kecepatan yang luar
biasa, ia membalas menyerang.
Kedua musuh itu tidak menyangka, mereka kaget, tetapi
justeru mereka tergugu, mereka lantas menjadi kurbannya
pedang perak yang lemas dari lawannya ini. Mereka roboh
dengan lukanya masing-masing.
Jago dan ke tujuh menjadi gusar sekali. Ia justeru ada
murid terpandai dari Egukhi Fujiki, dan ke sembilan dan jago
kendo kenamaan dari Nippon. Ia lantas menghunus
pedangnya, sambil memasang kuda-kuda, ia menantang.
Melihat sikapnya jago ini, yang lain-lain, dengan senjata
mereka terhunus juga, lantas mengambil sikap mengurung,
siap sedia untuk mengeroyok bila saatnya telah tiba.

354
Si mahasiswa tidak menjadi jeri walaupun ia sudah
terkurung, dengan matanya yang bersinar tajam dan bengis,
ia menyapu semua lawan itu. Sikapnya ini membuat musuhmusuh
gentar hati. Bukankah tadi mereka telah menyaksikan
sendiri orang telah menyambuti jangkar dan melemparnya
balik serta barusan saja dia telah menghalau hujan anak
panah?
***
"Panggillah juru bahasa kamu!" membentak si mahasiswa.
Ia mengarti bahasa Nippon akan tetapi dihadapan bangsa itu
ia tidak suka menggunai bahasa orang itu. Di antara
rombongan ronin itu ada sejumlah yang mengarti bahasa
Tionghoa, salah satu di antaranya lantas menyahuti.
"Aku lihat kau ada satu orang kosen," katanya, "maka kalau
kau ada pesan apa-apa, sampaikanlah itu kepada kami! Perlu
apa mesti pakai juru bahasa lagi?"
Si mahasiswa pentang lebar kedua matanya, ia tertawa
bergelak.
"Aku telah naik ke atas perahu kamu ini, itu artinya aku
sudah mengambil ketetapan untuk pulang tanpa nyawa!" ia
menyahuti. "Hanya untuk berpulang itu, mesti aku
mengundang dan mengajak kamu pergi bersama ke noraka!"
Kata-kata ini ditutup dengan berkelebatnya pedangnya
dengan tiba-tiba, maka itu dua jago dan ke empat, yang
pedangnya diajukan ke depan, kena terbabat kutung, hingga
mereka itu menjadi kaget. Jago dan ke tujuh itu menjadi
murka sekali, sambil berseru, ia menikam.

355
Si anak muda menangkis, hingga senjata mereka bentrok
hingga memuntahkan lelatu api. Anak muda ini tidak cuma
menangkis, ia pun mesti berlompat, karena hampir berbareng
beberapa pedang lain membabat kakinya!
Jago dan ke tujuh itu tidak hendak mensia-siakan ketikanya,
selagi orang belum menaruh kaki, ia menyerang. Si
mahasiswa dapat melihat orang menyerang, sembari turun ia
menangkis, lalu dengan sebat ia membalas menyerang. Maka
itu ia lantas jadi bertempur sama penyerangnya itu.
Banyak musuh menjadi kagum terhadap si mahasiswa,
bukannya berkelahi, mereka justeru menonton. Adalah
kemudian, beberapa di antaranya maju pula. Dengan
sekonyong-konyong, si mahasiswa berseru keras. Ia bertubuh
kecil dan kurus, romannya juga lemah, akan tetapi sekali ia
berseru, ia perdengarkan suara mengguntur, sampai orang
kaget, tak terkecuali si jago dan ke tujuh. Semua orang
merasakan telinga mereka seperti berbunyi mengaung...
Mahasiswa itu pandai menggunai ketikanya. Tempo ia
didesak rapat oleh dua musuh dan ketiga, ia sampok senjata
mereka, ia mendesak, lalu tangan kirinya menyamber seraya
terus dilemparkan. Dua kali ia bergerak secara demikian, dua
musuh kena ditangkap dan dilempar, celaka untuk mereka ini,
mereka dilemparkan ke arah jago dan ke tujuh, justeru selagi
dia ini menerjang. Sia-sia saja dia mencoba mengelakkan
pedangnya, dua kawannya itu kena tertikam urat kakinya
hingga urat-urat itu putus.
Walaupun ia telah berhasil, si mahasiswa tidak berhenti
sampai di situ. Bukankah ia berada di dalam perahu musuh
dan musuh itu berjumlah besar? Maka ia mesti bekerja terus.
Begitulah selagi merangsak, ia dapat menendang dua musuh
hingga mereka itu terjungkal ke luar perahu, tercebur ke
dalam sungai.

356
Jago dan ke tujuh itu pun maju terus, tapi sekarang ia
tampak musuh tengah menyender di loneng besi, tangannya
dibulang-balingkan tak hentinya, hingga pedangnya itu
mengasi dengar suara angin santer, mengaung tak hentinya.
"Baiklah, siapa akan temani aku pergi ke noraka!" teriak
pemuda itu, sikapnya menantang. Ia jadi semakin berani
karena di belakangnya ada hanya sungai Tiangkang, tak usah
kuatir ia nanti ada yang bokong.
Pihak penyerang itu beragu-ragu. Mereka kuatir, umpama
kata musuh dapat disingkirkan, mungkin di pihak mereka
sendiri bakal jatuh terlalu banyak kurban. Ini pun menjadi
pikirannya utusan yang mengantar upeti. Selagi keadaan
mandek itu, dari dalam perahu terlihat munculnya satu orang
dengan seragamnya sebagai pembesar kerajaan Beng. Ia
memang ada utusannya tiehu atau wedana dari Tayciu untuk
menyambut dan mengawani si utusan, yang akan menuju ke
kota raja. Kapan pembesar ini telah melihat nyata si
mahasiswa, mukanya lantas saja berubah menjadi pucat.
"Tiat Kongcu..." katanya pelahan.
"Siapa kau?" membentak si mahasiswa yang dipanggil Tiat
Kongcu itu seraya dia menuding dengan pedangnya.
Pembesar itu memberi hormat.
"Aku adalah Siupie Uy Tay Keng dari Tayciu," ia menyahut,
memperkenalkan diri sebagai siupie atau kapten. "Aku kenal
ayahmu untuk banyak tahun..."
“Itulah terlebih baik lagi!" berkata si anak muda. "Kabarnya
kamu tengah mencari aku?"

357
"Aku tidak berani," menyahut siupie itu seraya menjura.
"Kenapa kau tidak berani? Sekarang ini aku justeru hendak
menyerahkan diri! Kau beritahu kepada budak-budak kate
(pendek) ini, karena aku hendak menyerahkan diri ke Tayciu,
suruh mereka sediakan aku sebuah perahu kecil, untuk
mengantarkan aku. Umpama kau tidak bertentaram hati, kau
boleh utus beberapa pahlawan untuk mereka menemani aku!
Sebaliknya, jikalau mereka hendak menangkap dan
membunuh aku di sini, boleh saja, aku bersedia untuk
melayani mereka! Asal kau maklum bahwa pedang tidak ada
matanya dan tidak mengenal kasihan, seandainya aku mesti
membuang jiwa di sungai Tiangkang ini, utusan ini juga
jangan harap dia dapat tertanggung keselamatannya hingga di
Pakkhia untuk mempersembahkan upetinya!"
Kembali si mahasiswa kebaskan pedangnya, yang lalu
berbunyi pula.
Utusan pembawa upeti itu mengarti sedikit bahasa
Tionghoa, ia kaget berbareng girang. Ia tarik si kapten ke
samping, lalu ia kata dengan pelahan sekali: "Kiranya dia ini si
pembunuh dan perampas, yang nyalinya besar berani
merobek bendera matahari kami? Dia ini Tiat Keng Sim?"
"Dia bilang..." berkata si siupie.
"Aku tahu apa yang dia bilang!" si utusan memotong. "Aku
hendak tanya kau, apakah benar-benar dia hendak
menyerahkan diri?"
"Sasterawan Tionghoa paling menjunjung rajanya dan
berbakti kepada orang tuanya, aku lihat dia rupanya
bersungguh-sungguh hati," menyahut si supie.
Utusan itu mengangguk.

358
"Baik," .bilangnya. "Aku pun menghargai dia sebagai
seorang kosen. Sekarang kita atur begini saja. Sebentar aku
sediakan sebuah perahu kulit, Otonu dan kau boleh bawa
padanya. Sekarang undang dulu dia bersantap."
Otonu adalah si jago dan ke tujuh. Uy Siupie sampaikan
perkataannya si utusan kepada si mahasiswa, dia ini lantas
tertawa lebar.
"Mati pun aku tidak takut, kenapa aku mesti jeri untuk arak
kamu?" katanya. "Nah, suruhlah dia keluarkan barang
makanannya dan dia boleh temani aku minum!"
Nyaring tertawanya pemuda ini hingga itu terdengar jauh,
sampai juga di telinganya Ie Sin Cu.
Sebenarnya perahu kecil si nona, yang digayu Thio Hek,
sudah terpisah jauh dari perahu besar, akan tetapi mendengar
suara tertawa itu, nona ini berdiri di kepala perahu, ia
memandang ke arah perahu besar itu. Ia heran waktu ia dapat
lihat samar-samar si anak muda, yang dikurung perompak,
tengah menenggak poci arak.
"Kenapa barusan dia berkelahi mati-matian dan sekarang
dia minum arak bersama musuh?" ia tanya dirinya sendiri
saking heran. Ia jadi berkuatir yang si pemuda telah kena
diakali musuh. "Mari kita kembali!" ia mengajak si tukang
perahu.
"Kita ada punya urusan penting, mana dapat kita kembali?"
jawab Thio Hek sambil tertawa. "Laginya perahu kita bocor,
untuk menyingkir jauh saja masih belum tentu kita keburu,
apapula untuk balik kembali..."

359
Dengan sebenarnya, air sungai nerobos semakin besar.
Thio Hek tidak tahu bocor itu disebabkan tadi dua musuh
memakai sepatu yang ada pakunya dan di waktu menaruh
kaki, mereka itu sengaja menginjak dengan keras. Di tengah
sungai itu tidak ada jalan untuk menutup liang itu.
Sin Cu tidak bisa berenang sekarang pun sepatunya telah
basah kerendam air, hatinya gentar juga. Karena ini, ia tidak
berani memaksa. Tentu saja ia menjadi merasa tak enak
bukan main mengingat si mahasiswa berada di tangan
musuh...
Belum lagi perahu ini laju jauh, tiba-tiba terlihat sebuah
perahu kecil lagi mendatangi dengan pesat, malah segera
ternyata, itulah perahunya si nelayan tua. Begitu perahu itu
sudah datang dekat, si nelayan menjura kepada Sin Cu.
"Siangkong, terima kasih banyak-banyak untuk budimu
sudah menolongi kami," ia berkata, "Silahkan siangkong
pindah ke perahu kami untuk kami ayah dan anak
menghunjuk hormat padamu."
Di waktu begitu, Sin Cu tidak dapat menampik pertolongan.
Thio Hek pun segera mengajak ia pindah. Tak lama dari
kepindahan mereka, perahu mereka lantas karam.
Perahu nelayan itu lantas digayu oleh Thio Hek dibantu si
nona nelayan, Sin Cu sendiri duduk di dalam gubuk ditemani si
nelayan tua. Nelayan itu ada penduduk asli dari Tayciu, tempo
Sin Cu omong perihal perompak asing, ia menghela napas. Ia
kata: "Kota Tayciu sekarang ini, walaupun di sini ada tiehu
yang menjadi wakil pemerintah, sebenarnya si perompak kate
(pendek) yang menjadi rajanya! Jangan kata rakyat jelata,
sekalipun pembesar negeri jeri terhadap mereka itu..."
"Sampai begitu ganasnya perompak itu?" Sin Cu tanya.

360
"Memang! Baru bulan yang sudah terjadi satu peristiwa.
Sebuah perahu penyelundup kate (pendek) berlayar ke
Hayleng. Di Hayleng itu ada seorang saudagar yang kemaruk,
dia berhubungan sama pihak penyelundup itu, lantas dia kena
makan pancing. Selama pembicaraan di pelabuan sudah
dijelaskan, mereka kedua pihak akan saling tukar barang,
tetapi kenyataannya, pihak sana main gila. Caranya ialah,
barang mereka dipasang harganya tinggi sekali, barang si
saudagar sebaliknya ditaksir rendah.
Saudagar itu tidak mau mengarti. Berani sekali pihak
penyelundup itu. Mereka menuduh si saudagar melanggar
janji, lantas mereka menganiaya hingga saudagar itu setengah
mati, barangnya dirampas, perahunya ditenggelamkan! Tapi
itu belum semua. Di dalam perahu ada isteri dan gadisnya si
saudagar, nyonya dan nona itu diambil mereka, katanya
sebagai barang pengganti kerugian. Saudagar itu tidak
berdaya, saking putus asa, dia terjun ke sungai dan binasa
karenanya. Kejadian itu membangkitkan amarah umum,
banyak orang berseru-seru untuk menyerbu. Berbareng
dengan itu, pihak penyelundup pun berselisih sama belasan
kuli Tionghoa, yang upahnya tak hendak diperhitungkan,
hingga kesudahannya kuli-kuli itu bersatu sama orang banyak.
Ada ronin di dalam perahu penyelundup itu, mereka akhirnya
menghunus golok, sembari menunjuk benderanya, yang
dipancar di kepala perahu, mereka buka mulut besar, sambil
tertawa mereka kata: "Dengan ada bendera ini, kami dapat
malang melintang di pelbagai tempat dari Tiongkok!
Pembesar-besar kamu, kapan mereka lihat bendera kami ini,
mereka lantas menyambut kami dengan segala kehormatan!
Beranikah kamu membikin ribut di depan bendera ini?"
Kawanan kuli itu dan orang banyak tidak mau mengarti,
mereka tetap berkeras. Ronin itu benar ganas, mereka lantas
turun tangan, mereka menyerang kalang kabutan. Pihak kuli
tidak bersenjata, mereka terpukul mundur, belasan yang

361
terluka. Pihak ronin masih hendak mengejar, sampai di antara
orang ramai ada satu pemuda yang muncul seraya
membentak: "Apakah benar dengan adanya bendera kamu ini
boleh kamu malang melintang?" Dia lantas lompat maju, dia
lompat naik ke perahu penyelundup, bagaikan kera, dia panjat
tihang bendera, untuk mengasi turun benderanya, yang terus
dirobek empat! Seorang ronin membacok, goloknya ditangkis
hingga kutung menjadi dua potong. Setelah itu si pemuda
menghajar roboh belasan ronin, golok mereka dibabat kutung,
kutungnya dibuang ke sungai! Setelah itu, isteri dan gadisnya
si saudagar ditolongi. Di akhirnya, sembari tertawa, dia angkat
kaki."
Sin Cu gembira mendengar penuturan itu, meskipun
mulanya ia mendongkol.
"Bagus, bagus!" serunya. "Siapakah pemuda gagah itu?"
"Sebenarnya kita semua tidak tahu siapa pemuda itu,
sampai belakangan, setahu dengan jalan bagaimana, satu
pengkhianat telah dapat mengusutnya," sahut si nelayan tua.
"Dia adalah puteranya satu bekas giesu yang telah pulang
berpensiun di Tayciu. Giesu itu she Tiat, namanya Hong.
Untuk kota Tayciu ialah penduduk kenamaan, memang telah
turun temurun ia memangku pangkat. Giesu itu katanya ada
dari tingkat kedua. Ia baru saja tahun yang selam meletaki
jabatannya dan pulang ke kampung halamannya. Pengkhianat
itu lantas memberi kisikan kepada wakil bangsa kate
(pendek) di Tayciu itu, yang biasa mengurus soal-soal
perdagangan bangsanya. Wakil perdagangan itu lantas
mendesak kepada tiehu dari Tayciu, meminta anak muda itu.
Ketika itu, si anak muda telah lenyap tak keruan paran. Tapi
tiehu tidak kurang akal, dia tangkap giesu tua itu, yang terus
dia tahan secara halus, untuk memaksa si giesu menyerahkan
puteranya. Perkara itu menggemparkan kota Tayciu, sampai
sekarang masih belum beres. Lihat, bukankah perompak kate

362
(pendek) itu menjadi raja di sini, sampai tiehu pun jeri
terhadapnya?"
Habis menutur, nelayan itu menghela napas pula.
Sin Cu lantas ingat si mahasiswa, ia terkejut.
"Bukankah dia putera giesu itu?" serunya seorang diri.
"Kau bicara dari dia siapa, siangkong?" tanya si nelayan,
heran.
"Dialah si pemuda yang tadi menempur bangsa kate
(pendek)," jawab Sin Cu.
"Kalau begitu, dia benar-benar gagah!" berkata si nelayan.
"Di bawah desakan bangsa kate (pendek), tiehu memang
berniat menawan dia, sekarang dia pulang dan sendirian saja
dia menaiki perahu musuh, apa itu bukan berarti dia antari diri
ke dalam perangkap?"
Sin Cu berdiam. Entah kenapa, ia menjadi pepat hatinya.
Setibanya di seberang, Sin Cu berpisah dari si nelayan dan
gadisnya, bersama Thio Hek, ia lantas mendarat, untuk
melakukan perjalanannya. Selang beberapa hari, tibalah ia di
kota Tayciu, yang letaknya di pesisir propinsi Ciatkang, dan di
desa-desa sekitarnya justeru lagi dikacau perompak,
penduduk terbenam dalam ketakutan, pasar menjadi sepi,
walaupun di siang hari, dari sepuluh toko atau warung, enam
atau tujuh yang menutup pintunya.
Thio Hek bawa Sin Cu langsung ke rumah kawannya,
bersiap untuk berangkat nanti setelah ada perhubungan sama
pihak tentara rakyat.

363
Baru saja lewat dua hari, kota Tayciu gempar dengan warta
bahwa Tiat Kongcu, yaitu puteranya Tiat Hong si bekas giesu
atau censor raja, telah datang menyerahkan diri di
kewedanaan, tetapi ada juga yang bilang dia dibawa datang
oleh bangsa Nippon.
"Coba tolong mencari keterangan," Sin Cu minta kepada
Thio Hek.
Tukang perahu itu pergi dengan cepat. Ia ada punya
banyak kenalan sekalipun di kantor negeri. Sesudah sore
barulah ia pulang, dengan kabar yang memastikan, ia pun
dapat keterangan, sekarang ini kongcu itu ditahan di dalam
kantor, sebab ada kemungkinan, lagi tiga hari dia bakal
diserahkan pada pihak Nippon. Katanya, sebab kongcu itu ada
puteranya Tiat Hong, dia tidak ditahan di penjara hanya di
sebuah ingin aku ketahui, penahanan itu dilakukan atas
undang-undang fatsal ke berapa?"
Kembali mukanya si wedana menjadi merah. Ia rangkapi
kedua tangannya, untuk menjura.
"Harap kau tidak gusar, kongcu," ia bilang. "Apa yang aku
lakukan ini sebenar-benarnya saking terpaksa. Kongcu,
haraplah kau, kau maafkan kesulitanku..."
"Sebenarnya kau pembesarnya pemerintah atau hambanya
si perompak kate (pendek)?" Tiat Keng Sim menanya pula.
"Terang aku ada pembesarnya pemerintah," sahut si tiehu
cepat. "Tetapi, kongcu, kau sendiri bukannya tak ketahui,
bahagian luar dari kota Tayciu sekarang ini adalah dunianya
perompak kate (pendek) itu sedang di bahagian dalamnya,
perwakilan Nippon telah sangat mendesak padaku. Pemerintah
kita sama sekali tidak mengirim pasukan perang untuk
menindas kaum perompak itu. Di samping itu, pembesar

364
pabean telah menyambut hormat sekali kepada utusan
perupetian Nippon itu. Maka, kongcu, kau, kau hendak suruh
aku berbuat bagaimana? Ah, siapakah yang dapat mengarti
kesulitanku ini?"
Menampak wajahnya tiehu, biar bagaimana, Sin Cu
berkasihan juga kepada pembesar lemah ini yang tidak
berdaya, kalau tadinya ia ingin memenggal batang leher
orang, sekarang kemarahannya, kebenciannya, tumplak
semua kepada perompak kate (pendek).
"Ya, aku mengarti!" berkata Keng Sim, tapi hatinya panas.
"Sekarang kau hendak berbuat apa terhadapku?"
Tiehu mengurut-urut kumisnya yang sudah ubanan.
"Perwakilan Nippon di kota ini pasti sekali ingin
mendapatkan kau, kongcu," ia menyahut, pelahan, "maka itu
dengan memandang kepada keselamatannya penduduk
Tayciu, aku minta sukalah kongcu sedikit merendahkan diri
untuk besok pindah tempat..."
Keng Sim tertawa dingin ketika ia bilang: "Aku ada
rakyatnya kerajaan Beng, jikalau aku bersalah, seharusnya
kaulah yang memeriksa! Kau menyebut-nyebut undangundang
negara, sekarang aku tanya padamu, mana undangundangmu
itu? Apakah menurut undang-undang itu boleh
bangsa asing yang memeriksa rakyat negara kita?"
Dengan tergesa-gesa tiehu itu menjura.
"Kongcu, meskipun benar katamu itu, aku minta kau
sukalah ingat kesulitanku," ia berkata. "Jikalau aku tidak
iringkan kehendak mereka itu, pihak perwakilan Nippon itu
bisa memerintahkan kawanan perompak kate (pendek) di luar
kota datang menerjang kota kita ini. Kalau itu terjadi, tidakkah

365
penduduk kota menjadi bercelaka? Kongcu, kau ada seorang
yang sadar dan mengarti segala apa, aku minta sukalah kau,
kau, memaafkan kesukaranku ini..."
Keng Sim mendongkol bukan main.
"Kenapa aku tidak mengarti?" katanya dalam hatinya.
“Inilah semua sebab kau hendak lindungi kopia kebesaranmu,
karena kau bernyali kecil, kau kasi dirimu didesak-desak!"
Melihat roman orang, pemuda ini toh tidak tega untuk
menegur lebih jauh. Ia dapatkan tiehu itu, dengan sorot mata
minta dikasihani, terus mengawasi padanya. Akhirnya ia
angkat kepalanya.
"Baiklah kau ketahui, aku tidak menyayangi jiwaku, tetapi
dengan kau serahkan aku kepada si budak kate (pendek), ke
mana kau hendak letaki kehormatannya pemerintah kita?" ia
berkata. "Tapi kau berada dalam kesulitan. Baik begini saja:
Maukah kau aku carikan jalan yang ada dua kebaikannya
untukmu?"
"Suka aku mendengarnya, kongcu," menyahut tiehu cepat.
"Dayaku itu begini," berkata pula Keng Sim, menjelaskan.
"Perkaraku ini kau sendiri yang periksa, kau ijinkan perwakilan
Nippon itu turut hadir untuk menyaksikan. Mereka itu mencari
aku, biarlah dia memanggil datang saksi-saksinya untuk
menuduh dan mendakwa aku. Di waktu dilakukan
peperiksaan, rakyat jelata penduduk Tayciu mesti diijinkan
turut menyaksikan juga."
“Ini... ini..."
“Ini, ini apa?" memotong si anak muda. “Inilah cara untuk
melindungi undang-undang pemerintah sekalian untuk

366
memberi muka kepada perwakilan Nippon itu! Dengan begini
kau dapat membersihkan dirimu dari tanggung jawab
terhadap pihak asing itu. Tidakkah ini bagus? Jikalau kau tidak
setuju, sudah, hendak aku mengangkat kaki dari sini! Apakah
kau kira ratusan atau ribuan perompak kate (pendek) itu
dapat mencegah aku? Apakah kau juga dapat
menghalanginya?"
Sengit ini anak muda hingga ia hajar ujung meja teh
dengan tangannya. Tiehu menjadi ketakutan. Ia memang tahu
anak muda ini liehay dan telah dengar bagaimana orang telah
tempur musuh. Dengan cepat ia menjura.
"Baiklah kalau kongcu memikir demikian," katanya,
terpaksa.
"Besok akan aku bicarakan urusan ini dengan pihak sana.
Aku hanya harap sukalah kongcu ingat keselamatannya
penduduk kota kita."
Wajahnya tiehu ini menjadi sangat kucel, dengan lesu ia
mengundurkan diri.
Seberlalunya pembesar itu, Sin Cu lompat turun dari payon,
tanpa bersangsi pula, ia lompat menembrak jendela untuk
masuk ke dalam kamar.
Keng Sim tidak jadi kaget, bahkan ia menyambut sambil
tertawa. Katanya: "Bukankah telah lama kau datang ke mari
dan telah mendengar pembicaraan barusan?"
Sin Cu merasa heran dan kagum.
"Aku anggap aku datang di luar tahu siapa juga, tidak
dinyana dia telah mengetahuinya..." pikirnya. Belum lagi ia

367
menyahuti, anak muda itu sudah menambahkan: "Kau telah
dengar segala apa, untuk apa kau datang juga padaku?"
"Aku hendak menjenguk kau!" sahut si nona, agaknya ia
kurang puas.
Keng Sim bersenyum.
“Itu hari di sungai Tiangkang kau telah sudi mengajak aku
menumpang perahumu," ia berkata, "sekarang selagi aku
dalam tahanan, kau pun menjenguk aku, saudara Ie, kau
sangat baik, aku berterima kasih padamu."
Habis berkata, dia menjura. Sin Cu mendongkol, tetapi
mendengar perkataan orang dan melihat tingkahnya itu, ia
tertawa.
"Kau bilang tidak perlu aku datang ke mari, tetapi aku
anggap tidak perlu kau berdiam di sini!" ia kata.
"Eh, kenapa?" tanya pemuda itu.
"Ayahmu sudah dimerdekakan, kenapa kau kesudian
berdiam di sini untuk menjadi mendelu saja?" berkata si nona.
"Apakah benar-benar kau sudi menerima hinaan dengan
membiarkan si budak kate (pendek) bercokol di atas
menyaksikan kau diperiksa?"
Mendengar itu, Keng Sim membalas: "Apakah kurang jelas
bagimu maksudnya si tiehu?"
"Dia ketakutan sangat terhadap perompak kate (pendek),
dia sampai hilang semangatnya! Apakah kita, kau dan aku, jeri
juga? Bukankah sejak dahulu ada dibilang, Tentara datang,
panglima menangkisnya Air melanda, kita pakai tanah
membendungnya? Jikalau benar-benar perompak kate

368
(pendek) berani datang menyerang, apakah kita tak dapat
berdaya untuk memukul mundur pada mereka?"
Keng Sim tertawa. Ia mengawasi.
"Kita berdua memang tidak takuti perompak kate (pendek)
itu!" ia menyahut. "Tetapi kita berdua saja, dapatkah kita
memukul mundur pada mereka? Aku mohon tanya, umpama
kata kawanan perompak itu menerjang kota secara besarbesaran,
saudaraku ada punya daya apa untuk
menghancurkan mereka?"
Ie Sin Cu bicara dengan menuruti suara hatinya, hati yang
muda, ia tidak pernah memikir sampai begitu jauh. Tapi ia
tidak mau menyerah kalah mentah-mentah.
"Apakah kau benar rela diperiksa mereka?" ia tanya.
"Apakah kau telah punyakan daya untuk menghajar kawanan
perompak itu?"
Tiat Keng Sim tertawa.
"Menarik melengkung busur untuk memanah harimau dari
gunung Lam San, menggosok pedang guna menyingkirkan
ular naga dari laut Pak Hay," ia berkata. "Untuk memanah
harimau dan menyingkirkan ular naga kita perlu lebih dulu
menarik busur dan menggosok pedang, dari itu apa pula
untuk mengusir perompak yang terlebih garang daripada
harimau dan ular naga itu?"
Sin Cu menjadi berpikir mendengar jawab orang, yang
seperti telah mempunyakan daya upaya. Ia kata di dalam
hatinya: "Mungkinkah kerelaannya diperiksa ini disebabkan dia
seperti hendak menarik busur dan menggosok pedang, yaitu
dia telah menyiapkan sesuatu? Sungguh dia tak dapat diterka
hatinya..."

369
Ia awasi pemuda itu, ia dapatkan sinar mata yang tenang.
"Terima kasih yang kau telah datang menjenguk aku,"
berkata pula si anak muda sambil bersenyum. "Sekarang
sudah waktunya untuk kau kembali pulang! Nanti saja di hari
peperiksaan, kau datang pula melihat aku!"
Sin Cu masih merasa berat.
"Saudara Tiat, kau ada pesan apa lagi?" ia tanya. "Aku suka
berikan tenagaku yang lemah..."
Heran juga Keng Sim menyaksikan kelakuan orang itu.
"Baik sekali ini anak muda," ia berpikir. "Kita baru saja
bertemu, dia sudah lantas memandang aku sebagai sahabat
kekal."
Ia menatap, hingga sinar mata mereka bentrok, hanya
sejenak saja, Sin Cu lantas melengos, wajahnya menjadi
merah sendirinya.
"Dasar bocah cilik!" kata Keng Sim di dalam hatinya. Ia
merasa lucu. "Barusan dia omong tampan, seperti orang
dewasa, sekarang dia malu sendirinya..."
Pemuda ini masih belum menduga bahwa orang ada satu
pemudi.
"Terima kasih, saudaraku," katanya pula kemudian, sembari
tertawa. "Kalau begitu baiklah saudaraku tolong bawa saja
pesanku."
"Untuk siapakah itu?" Sin Cu tanya.

370
"Terpisah tujuh atau delapan lie di timur kota ini ada
sebuah desa kecil yang dipanggil Peksee cun," menjawab
Keng Sim. "Di sebelah barat desa itu, seperti menyender pada
bukit, ada sebuah rumah. Di depan rumah itu ada tiga pohon
pekyang dan di depan pintunya ada sepasang singa batu. Ada
sangat gampang untuk mengenali rumah itu. Kalau nanti
saudaraku telah bertemu sama tuan rumah, tolong kau
tuturkan kepada dia semua apa yang kau dengar dan lihat
malam ini."
"Siapakah tuan rumah itu?" Sin Cu tanya. "Orang apakah
dia?"
"Asal saudaraku bertemu dengannya, saudaraku bakal
ketahui sendiri," sahut Keng Sim. Dia bersenyum, agaknya dia
aneh.
Sin Cu terima pesan itu, ia lantas berlalu. Sampai di
pondoknya, ia masih tidak dapat menerka artinya senyuman
pemuda itu. Besoknya, Sin Cu masih belum menerima balasan
kabar dari orang yang diutus Thio Hek untuk menghubungi
pihak tentara rakyat. Ia tidak menanti lebih lama, seorang diri
ia menuju ke Peksee cun, desa Pasir Putih.
Ketika itu ada di permulaan musim rontok, sawah-sawah di
luar kota memperlihatkan wajah kuning emas, tandanya
tanaman telah masak. Pemandangan alam itu ada menarik
hati, maka Sin Cu merasa puas. Hanya ketika itu, di situ
terdapat jarang sekali orang yang berlalu lintas. Ia menghela
napas, di dalam hatinya ia kata: "Coba tidak ada gangguan
perompak kate (pendek), tempat ini mirip dengan dunia punya
Taman Bungah Toh..."
Peksee cun terpisah dari kota tak ada sepuluh lie, maka itu
dengan tanya-tanya orang, Sin Cu lekas tiba di desa itu. Itulah
sebuah kampung kecil, yang penduduknya terdiri dari belasan

371
rumah, yang mencar satu dari lain. Ia jalan terus di jalan
pegunungan yang berliku-liku, sampai di selat di mana ia
dapatkan sebuah rumah yang berdiri di lamping bukit. Rumah
itu tidak punya tetangga. Di tanjakan terlihat tanaman
bunga kuihoa, yang harumnya terbawa siuran angin gunung.
Lega akan mendapatkan bau harum itu. Maka Sin Cu duga
penghuni rumah itu seorang yang halus budi pekertinya.
Setelah melintasi kebun bunga, Sin Cu dapat lihat sepasang
ciosay atau singa-singaan dari batu, yang bercokol di undakan
tangga rumah, dan di depan pintu rumah itu benar ada tiga
buah pohon pekyang, yang mengalingi satu pojoknya
lauwteng rumah.
"Tidak salah lagi inilah rumah yang Keng Sim pesan aku
mesti cari," memikir pemudi ini selagi ia mengawasi ke arah
rumah itu. "Kenapa Keng Sim tidak hendak memberitahukan
aku siapa pemilik rumah ini?"
Ia bertindak meng-hampirkan pintu, tindakannya pelahan,
niatnya untuk mengetok. Tiba-tiba ia merasakan samberan
angin di belakangnya, lalu ia dengar teguran yang nadanya
halus: "Siapa yang datang celingukan ke mari?" Ia lantas
menoleh, maka di hadapannya tampak satu nona yang manis,
bajunya bertangan pendek, warnanya kuning marong,
rambutnya dijadikan konde dua. Nampaknya nona itu masih
kebocah-bocahan walaupun usianya, ia taksir, tak berjauhan
dengan usianya sendiri. Nona itu bawa lagaknya seorang
dewasa. Untuk kagetnya, nona itu terus menyerang padanya,
dengan satu jurus Kimna ciu. Rupanya orang telah pandang ia
sebagai seorang panca longok!
Sebenarnya cukup untuk Sin Cu untuk berkelit seraya
menyebutkan nama Keng Sim, urusan sudah tidak ada lagi,
siapa tahu, ia pun bawa tabiatnya, ingin ia mencoba nona itu.
Ia lantas membikin punah serangan si nona itu dengan

372
jurusnya "Mega merah menampa rembulan." Kalau si nona
menyerang ia dengan tangan kiri seraya tangan kanan dipakai
melindungi diri, ia justeru menangkis dengan tangan kiri
sambil menjambak dengan tangan kanan.
Nona itu kaget hingga ia mengeluarkan seruan pelahan,
sebab sikutnya kena dibentur. Atas ini, ia lantas saja
menyerang pula dengan jurusnya "Tujuh bintang," mengarah
dada orang, karena mana, Sin Cu mesti menarik pulang
tangannya. Ia menjadi kagum untuk kegesitannya nona itu.
Lantas ia mengubah jurusnya tadi dengan jurus "Menarik
busur untuk memanah burung rajawali." Ia belum dapat
menguasai ilmu silat tangan kosong tetapi gurunya telah ajari
ia ilmu silat pedang "Pekpian Hian Kie Kiamhoat," maka itu, ia
lincah luar biasa. Begitulah selagi dengan tangan kiri ia tangkis
serangan si nona, dengan tangan kanan ia menyamber dada
orang, pada jalan darah lengkiu hiat.
Nona itu terkejut, mukanya menjadi merah, tetapi ia tidak
menangkis atau berkelit, ia buka mulutnya, untuk menggigit
tangan lawannya itu. Melihat itu, Sin Cu pun terperanjat. Ia
lantas ingat bahwa ia tengah menyamar sebagai satu pemuda
sedang lawannya itu satu nona remaja. Ia jadinya telah
bersikap ceriwis!
Pun luar biasa sekali cara bersilatnya nona itu, yang main
menggigit. Syukur Sin Cu sebat menarik pulang tangannya,
kalau tidak dua jerijinya bisa kutung terkacip gigi! Hanya, biar
bagaimana, ia merasa Jenaka juga...
Di saat Nona Ie memikir untuk bicara, nona itu sudah
menyerang pula padanya, secara bertubi-tubi, kedua
tangannya, kiri dan kanan, menyamber-nyamber saling susul,
kedua kakinya turut bergerak dengan cepat dan tetap untuk
mengimbangi hujan serangannya itu. Ia terpaksa menunjuki
kelincahannya akan menyingkir dari semua serangan itu, ia

373
main berkelit, dengan mengegos tubuh atau berlompat. Tapi
ia terus dirangsak, hingga tanpa merasa telah berlalu empat
puluh sembilan jurus, hingga, umpama kata, ia tak dapat
bernapas...
"Heran," pikirnya. Nona itu kalah tenaga dalam tetapi ilmu
silatnya itu seperti melebih padanya.
Banyak sudah gurunya, Thio Tan Hong, menuturkan ia
tentang pelbagai macam ilmu silat partai lain tetapi belum
pernah ada yang semacam ini.
Baru setelah itu, Sin Cu "menutup" kedua tangannya si
nona dengan ilmu silatnya "Siauwthian cee" atau "Bintang
kecil."
"Bagus!" ia pun memuji. "Sudah, sampai di sini saja, tidak
usah kita bertarung pula. Aku datang untuk membawa
kabar bagimu."
Nona itu berontak, tidak dapat ia membebaskan kedua
tangannya. Ia telah kerahkan tenaganya, masih sia-sia saja.
Sin Cu telah berhasil mewariskan kepandaian gurunya, siapa
sebaliknya telah dapat mengatasi warisan Pheng Hweeshio,
yang sudah meninggalkan surat wasiatnya yang berisi
pelajaran istimewa, pelajaran mana Tan Hong yakinkan
selama belasan tahun.
"Eh, kau bawa surat?" tanya nona itu heran. "Surat
apakah?"
"Surat yang berupa pesan lisan dari Tiat Keng Sim," Sin Cu
menjawab.
"Tiat Keng Sim meninggali pesan untukku?" si nona
menegaskan. "Di mana kau bertemu dengannya?"

374
"Di kantornya tiehu. Besok dia bakal diserahkan tiehu
kepada orang Nippon."
Nona itu agaknya terkejut, lalu nampak ia berduka, alisnya
berkerut.
Setahu kenapa, menampak roman itu, Sin Cu merasa
sedikit iri hati...
"Benarkah Tiat Keng Sim meninggalkan pesan?" tiba-tiba si
nona menanya. "Kau siapa? Apakah namamu?"
"Aku she Ie dan namaku Sin Cu. Kau?"
“Ie Sin Cu? Belum pernah aku dengar..." kata nona itu.
"Kita ada sahabat-sahabat baru," Sin Cu jelaskan.
Tiba-tiba nona itu tertawa dingin.
"Mustahil Tiat Keng Sim mempunyai sahabat semacam
kau!" katanya. "Kau ceriwis! Kau tentu penipu! Rasai
pedangku!"
Sin Cu melayani orang bicara tanpa curiga, maka ketika
nona itu berontak dengan tiba-tiba, terlepaslah "tutupannya."
Cepat luar biasa, nona itu sudah menghunus pedangnya, dan
sama cepatnya, dia buktikan ancamannya, yang berupa
tikaman!
Mau atau tidak, Sin Cu mesti berkelit, malah terus hingga
tiga kali sebab nona itu tikam ia berulang-ulang. Akhirnya, ia
jadi mendongkol juga. Di dalam hatinya ia kata: “Ilmu
pedangmu boleh liehay, apakah kau sangka aku jeri
terhadapmu?"

375
Di saat Nona Ie hendak mencabut pedangnya, guna
melayani, kupingnya dengar tindakan berlari-lari diarah
belakangnya, suara berlari-lari dari belakang bukit. Belum
sempat ia menoleh, si nona sudah menghentikan serangannya
sambil terus berseru: "Seng Jiekol"
"Jieko" itu ialah kakak yang nomor dua.
Ketika ini digunai oleh Sin Cu untuk berpaling ke belakang,
maka itu ia lantas dapat melihat dua orang tengah berlari,
yang satu di depan, yang lain di belakang, keduanya laki-laki,
yang di sebelah belakang adalah seorang perwira, dengan
pedang di tangan, dia tengah mengejar orang di depannya itu.
Laki-laki yang lagi diubar-ubar itu adalah seorang muda
yang alisnya gompiok dan matanya besar, bajunya tak
terkancing hingga nampak dadanya. Dia berkulit hitam.
Segera dia dapat dikenali sebagai seorang nelayan. Dia
bersenjatakan sebatang toya, dengan itu saban-saban dia
berpaling untuk menyerang pengejarnya itu.
Si perwira bersenjatakan sebatang golok melengkung,
bagus ilmu silat goloknya, selalu ia bisa singkirkan
serangannya si pemuda, ia cuma kalah ilmu ringan tubuh,
karena di jalanan pegunungan seperti itu, ia kalah cepat
larinya. Maka setiap menemui jalan yang sulit, ia mesti lari
nyimpang ke lain arah untuk dapat menyandak.
Si nona sudah lantas saja lari untuk mema-paki, karena
mana, Sin Cu turut berlari juga. Cepat sekali, mereka sudah
datang dekat satu pada lain. Kapan si perwira melihat Sin Cu,
ia menjadi heran.
"Hm, binatang, kau pun di sini?" dia menegur. "Kau pernah
apakah dengan si tua bangka she Cio?"

376
Sin Cu segera mengenali perwira itu, ialah Tonghong Lok,
hutongnia atau kepala yang kedua dari pasukan Gielimkun,
ketika di kota raja ia mencuri kepala ayahnya, ia telah
bertemu dan bertempur dengannya, jadi ia mengetahui orang
ada liehay. Ia tidak tahu siapa itu yang disebut tua bangka she
Cio, tetapi ia percaya datangnya kepala Gielimkun ini niscaya
bukan bermaksud baik, ia lantas bersiap akan bersama si nona
menempur padanya.
Nona itu sebat luar biasa, baru Sin Cu berpikir, dia sudah
mendahulukan berlompat, terus menikam perwira itu, hanya
berbareng menyerang, ia teriaki si pemuda yang dikejar-kejar
perwira itu: "Seng Jieko, kau layani itu bocah, dia berani
datang menghina aku, dia bukannya satu manusia baik-baik!"
Mendengar ini, Sin Cu tercengang.
Si anak muda dengar perkataannya si nona, ia tinggalkan si
perwira, ia lantas menghampirkan nona kita, untuk lantas
menekan pedang orang.
Tentu saja nona kita menjadi mendongkol.
"Kenapa kau begini sembrono?" ia menegur. "Aku datang
untuk membantu kamu!"
Ia lantas geraki pedangnya, akan bebaskan diri dari
tekanan. Pemuda itu heran, tetapi ia mengawasi dengan
tajam.
"Kau siapa?" ia tanya, bengis.
"Seng Jieko, jangan dengari bujukannya!" si nona berkata,
sekalipun ia tengah melayani si perwira. "Tadi dia berlaku
kurang ajar terhadapku! Hajar dulu padanya!"

377
Pemuda itu menjadi gusar, ia lantas menyerang pula. Sin
Cu menjadi mendongkol sekali. Atas datangnya serangan, ia
bergerak dalam jurusnya "Menggeser tubuh, menukar
tindakan." Gesit luar biasa, ia mendak, akan nyelusup di
bawah toya. Ia ada bagaikan seekor ikan yang licin. Habis itu,
ia membalas menyerang, dengan sabetannya. Ia hanya tidak
menikam tubuh atau lain anggauta tubuh dari anak muda itu,
ia cuma membikin putus dua buah kancing baju!
Pemuda itu terkejut, justeru mana, Sin Cu tarik pulang
pedangnya, sambil tertawa dingin, si nona berkata: “Ini dia
yang dibilang, anjing menggigit Lu Tong Pin, kamu tidak kenal
kebaikan orang! Coba aku tidak menghargai Tiat Keng Sim,
pastilah aku telah membikin liang di dalam tubuhmu!"
Pemuda itu terkejut, ia heran.
"Tiat Keng Sim?" ia mengulangi. "Tiat Keng Sim yang
mana?"
Sin Cu tertawa dingin.
"Mana ada Tiat Keng Sim lainnya lagi selainnya Tiat Keng
Sim yang sekarang tengah ditahan di kantor tiehu kota
Tayciu!" ia menyahut tawar.
"Jangan dengari ocehannya!" si nona mendahulukan si
anak muda. Ia lagi berkelahi, ia pun memasang kupingnya.
"Tiat Suko tidak nanti mempunyakan sahabat seperti dia ini!"
"Traang!" demikian suara yang menyusuli perkataan si
nona dan nona itu menjadi kaget. Justeru ia perdengarkan
suaranya, Tonghong Lok sudah hajar pedangnya, hingga
tangannya tergetar dan pedangnya itu terlepas dan terpental!

378
Pemuda itu terperanjat, ia tinggalkan Sin Cu, untuk
membantui si nona.
"Jangan pedulikan aku!" nona itu berseru, mencegah. "Aku
dapat bertahan! Kau hajar saja pemuda ceriwis itu!"
Nyata nona itu besar kepala dan tak suka menyerah kalah.
Si anak muda bersangsi sebentar, akhir-nya ia mendengar
kata. Maka kembali ia hadapi Nona Ie, ia lantas merabu ke
bawah.
Sin Cu benar-benar mendongkol, ia berlompat, terus ia
membalas menyabet dengan tipu silat "Menjahit dengan jarum
emas." Ia ingin memapas pula kancing baju orang.
Kali ini si anak muda waspada, ia dapat egoskan tubuhnya.
Ia kalah gesit tapi menang tenaga, maka itu, ia lantas kurung
dirinya dengan toyanya.
Dalam mendongkolnya, Sin Cu menyerang dengan sengit,
sampai ia lewatkan belasan jurus, baru ia papas ujung toyanya
pemuda itu. Ia membarengi berkata: "Jikalau kau tidak
percaya aku, kau mesti percaya suheng-mu Tiat Keng Sim!"
Walaupun ia seorang kasar, pemuda itu tidak besar kepala
seperti si nona, adik seperguruannya itu. Ia pun polos. Maka
ia berpikir: “Ilmu silat orang ini tak ada di bawahan Tiat
Suheng, kalau dia bermaksud jahat, barusan mana dapat aku
membebaskan diri dari dua tikamannya?"
"Sebenarnya kau datang untuk urusan apa?" ia akhirnya
tanya. Ia tidak menyerang lebih jauh, ia berdiri sambil
mengawasi dengan tajam.
"Aku datang untuk menyampaikan pesan lisan dari suhengmu"
sahut Sin Cu.

379
"Pesan apakah itu?" si anak muda bertanya.
"Dia ditahan di kantor tiehu, besok dia hendak diserahkan
pada orang Nippon!" Sin Cu beritahu.
"Hm! Cuma sebegitu saja pesannya?" anak muda itu
menegasi. Agaknya ia seperti sudah ketahui kejadian atas diri
si anak muda.
"Kau hendak menanya apa lagi?" Sin Cu balik menanya.
Anak muda itu berpikir, lalu ia angkat kepalanya.
"Menurut kau, jadinya Tiat Suheng-ku itu ditahan di kantor
tiehu ?" katanya.
"Benar!" sahut Sin Cu.
"Suheng-ku itu mempunyai kepandaian untuk menakluki
naga dan menundukkan harimau, dia pun pandai ilmu enteng
tubuh Terbang di atas rumput, kenapa dia bolehnya
membiarkan dirinya ditangkap tiehu untuk diserahkan pada
orang Nippon?" dia tanya pula.
“Itu adalah pikirannya sendiri, apa maksudnya, aku tidak
dapat tahu," menjawab nona Ie. "Dia cuma membacakan dua
baris syair kepadaku, ialah Menarik melengkung busur untuk
memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok pedang
guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay. Ruparupanya
dia sudah ketahui baik apa yang dia harus lakukan."
Mendengar itu, si anak muda lantas berseru: "Sumoay,
perkataannya orang ini benar! Benar-benar dia datang
membawa pesan lisan dari suheng kita!"

380
Nona itu tidak menjawab, maka Sin Cu menjadi heran. Ia
lantas berpaling.
Nyata nona itu tengah bertempur hebat sekali dengan
Tonghong Lok, gerakan tubuh mereka pesat sekali, sinar
pedang berkilauan. Tidak ada suara dari beradunya senjata,
cuma suara angin yang bersiuran keras. Sebab si nona
berkelahi dengan tangan kosong, melayani musuh yang
bersenjata. Dia mainkan sepasang kepalannya sama seperti
pedangnya tadi, dia menyerang bertubi-tubi, seperti tak
hentinya. Ilmu silatnya itu tetap tidak dapat dikenali Sin Cu.
Menghadapi nona itu, Tonghong Lok agaknya kewalahan,
bukan karena ia kalah, hanya sebab sukar untuk ia
memecahkan serangan berantai dari si nona.
"Coba tenaga dalam si nona lebih sempurna sedikit saja,
terang sudah Tonghong Lok bukan tandingannya," berpikir Sin
Cu kemudian. Ia terus memasang mata, hingga di akhirnya, ia
berseru kepada si anak muda di depannya: "Kamu toh
muridnya Cio Keng To?"
Anak muda itu terperanjat.
"Cara bagaimana kau kenal guru kami?" tanyanya heran.
Di jaman itu ada terdapat empat kiamkek atau ahli ilmu
silat pedang. Di selatan ialah Thio Tan Hong. Di utara yaitu
Ouw Bong Hu. Di barat yakni Yang Cong Hay, itu congkoan
kesohor dari istana kaisar. Dan di timur adalah Cio Keng To
yang disebutkan Sin Cu ini. Di antara mereka itu berempat,
Tan Hong yang usianya paling muda tetapi namanya paling
terkenal. Cio Keng To adalah yang tertua, sebaliknya yang
mengenal dia, tak banyak jumlahnya. Inilah disebabkan pada
dua puluh tahun yang lampau ia telah mencuri pedang di
dalam istana kaisar hingga ia menjadi melakukan
perlanggaran pidana besar, ia kabur ke luar batas negara dan

381
seterusnya mengumpatkan diri, hingga selama dua puluh
tahun orang tak dengar pula. Lantaran ini kaum muda tidak
banyak yang ketahui namanya. Tan Hong ketahui Keng To
pandai ilmu pedang "Keng To Kiamhoat" karena pernah Cio
Keng To datang berkunjung kepada kakek gurunya, untuk
sebagai yang muda memohon pengajaran. Tatkala itu Hian Kie
Itsu kebetulan telah selesai meyakinkan dua pedang Pekin
kiam dan Cengbeng kiam, maka dengan sembarangan ia
gunai Cengbeng kiam melayani Keng To. Di dalam sepuluh
jurus pedangnya Keng To kena dibikin sapat. Habis itu, di
samping memuji Keng To, Hian Kie pun menjelaskan
kekurangan orang. Hian Kie bicara dengan polos, ia
membeber dengan tedas, ia pun memberi penerangan dengan
jujur. Keng To malu atas kekalahannya itu, tapi berbareng ia
kagumi pedang orang. Ia percaya Hian Kie liehay, tetapi ia
kurang puas dengan kekalahannya. Ia anggap ia kalah
disebabkan ia kalah pedang. Ia tidak menginsafi akan latihan
sempurna dari Hian Kie, bahwa dengan pedang biasa juga,
pedangnya itu dapat dibikin kutung. Karena ini timbullah
niatnya mencuri pedang di istana kaisar itu.
Tadi telah Sin Cu lihat ilmu silatnya si nona, yang bergerak
bagaikan "gelombang kaget" (keng to) atau " "ombak
mengejutkan," ia kemudian dengar Tonghong Lok menyebutnyebut
"si tua bangka she Cio," ia lantas ingat Cio Keng To
dan dugaannya itu ternyata tepat. Hanya, belum lagi ia jawab
pertanyaan si anak muda, berdua mereka berpaling dengan
cepat ke arah pertempuran karena keduanya dengar suara
beradunya senjata nyaring sekali. Mereka masih sempat
melihat lelatu api, lalu si nona terdesak mundur. Terang
rupanya pedang si nona kena terhajar hebat goloknya
hutongnia dari pasukan raja.
Liehay permainan pedang dari si nona, kurang latihannya
dalam tenaga dalam, karena itu ia kalah ulet dari Tonghong
Lok. Hutongnia itu mungkin dapat melihat cacat si nona, dia

382
menunggu sampai nona itu selesai memainkan empat puluh
sembilan jurus, dengan mendadak dia melakukan
penyerangan membalas dan menghajar pedang orang itu.
Pedang telah mental balik, hampir si nona terlukai pedangnya
sendiri.
"Celaka!" berseru si anak muda, yang melihat adik
seperguruannya terancam bahaya. Ia baru hendak berlompat
maju, guna membantui nona itu, atau Tonghong Lok telah
kerjakan pula goloknya, kali ini dia berhasil membuatnya
ujung baju si nona tersontek bolong!
Golok Tonghong Lok ada punya gigi bengkung model
rembulan, semacam gaetan, maka itu golok itu bisa dipakai
sebagai alat membangkol. Si nona sedang terdesak, ia tidak
berdaya menghadapi ancaman itu, ujung bajunya terus
tercantel.
Sin Cu pun kaget tetapi ia tertawa, terus ia berseru: "Adik
yang baik, pergilah kamu dua saudara seperguruan
memasang omong, akan aku gantikan kau!" Habis itu, selagi
suara tertawanya belum lenyap di udara, ia mengayun
tangannya, menerbangkan bunga emasnya.
"Traang!" demikian satu suara nyaring dan goloknya
Tonghong Lok terhajar hingga miring. Lalu datang bunga
emas yang kedua, yang membuatnya ujung baju si nona
terbabat putus, hingga baju itu terlepas dari cantalan gigi
golok.
Si nona gunai ketikanya akan menarik tangannya, untuk
terus menikam lawannya. Tonghong Lok kaget, ia berlompat
ke samping. Tapi di sini ia dirintangi Sin Cu, yang sehabisnya
menimpuk sudah lantas berlompat maju. Ketika si nona
hendak mengulangi serangannya, ia menjadi tercengang

383
sebab ia dapatkan musuhnya sudah bertempur dengan si
pemuda...
Hebat cara berkelahinya Sin Cu, sejenak saja ia sudah
melalui tujuh atau delapan jurus.
Si anak muda menyeka peluhnya, lalu ia tarik tangan si
nona.
"Aku lihat anak muda ini benar-benar hendak membantu
kita," ia kata pada itu sumoay atau adik seperguruan.
"Hm!" si nona perdengarkan suaranya, tetapi mukanya
merah. Ia membungkam.
"Dia membilangnya dia ada sahabat kekal dari Tiat Suko,
mungkin dia tidak mendusta," kata pula si anak muda.
"Bagaimana kau ketahui itu?" si nona menyahuti juga, tapi
suaranya menyatakan dia masih mendongkol.
Si anak muda tarik pula tangan sumoay ini, lalu ia bicara
pelahan sekali, bisik-bisik.
Sin Cu berkelahi dengan saban-saban menggunai ketika
akan melirik itu suheng dan sumoay berdua, ia lihat tingkah
laku orang, diam-diam ia tertawa di dalam hatinya. Tahulah
dia ada hubungan apa di antara suheng dan sumoay itu.
Karena ini, kalau tadinya ia mendongkol kepada si nona, yang
perlakukan ia kasar, sekarang ia mendapatkan kesan yang
baik. Ia merasa orang seperti kebocah-bocahan dan ia jadi
menyukainya. Ia hanya tidak memikir bahwa ia sendiri pun
masih membawa adatnya satu bocah...
Tidak benar untuk Nona Ie memecah perhatiannya selagi
ia menempur satu lawan yang tangguh, justeru lawan itu

384
berkelahi dengan sungguh-sungguh. Begitu ketika Tonghong
Lok melakukan penyerangan membalas, satu kali ujung
goloknya hampir mampir di tenggorokannya.
Si anak muda dapat lihat ancaman hanya untuk nona itu, ia
kaget hingga ia berseru, terus ia lompat maju, guna
menolongi. Tapi, belum ia sampai kepada si nona, ia dengar
satu suara nyaring, yang dibarengi dengan muncratnya lelatu
api.
Nyata Sin Cu telah dapat membebaskan diri dari ancaman
malapetaka itu, malah dengan membabat podol dua buah
giginya goloknya lawannya itu.
Sin Cu masih muda, belum sempurna tenaga dalamnya,
akan tetapi di samping itu, sudah sering ia melakukan
pertempuran, pengalamannya jadi bertambah. Kepandaiannya
pun bertambah setelah ia peroleh pengajaran ilmu silat
Ngoheng Kun dari Hek Pek Moko, maka itu, ia tidak lagi dapat
disamakan sama waktu pertama kali ia bertempur sama
Tonghong Lok. Dulu hari itu, selama sepuluh jurus, keadaan
mereka berimbang. Karena ini, Tonghong Lok menjadi
memandang ringan kepada nona ini, biarnya mulanya ia
didesak, ia dapat membela diri dengan baik. Sebagai seorang
berpengalaman, hutongnia ini dapat mengambil ketikanya
yang baik. Demikian ia menyerang hebat sedangnya si nona
melirik itu suheng dan sumoay. Ia percaya bahwa ia bakal
berhasil. Di luar dugaannya, si nona liehay, matanya tajam,
gerakannya gesit, maka goloknya kena dipapas giginya. Coba
ia tidak berlaku sebat, mungkin ujung goloknya yang terbabat
buntung.
"Bagus!" berseru si anak muda, yang dari kaget berbalik
menjadi memuji.

385
Si nona tidak turut memuji, akan tetapi di dalam hatinya,
diam-diam ia kagum.
"Kamu suheng dan sumoay sudah letih, baiklah kamu
beristirahat!" berkata Sin Cu, yang melihat mereka itu
menonton dengan asyik. Ia pun tertawa.
Mukanya si anak muda menjadi merah, ia melirik kepada
sumoaynya, yang berdiam saja.
Pertempuran berjalan terus. Tanpa merasa, mereka sudah
melalui kira-kira seratus jurus. Keduanya telah menggunai
tenaga tetapi mereka nampaknya berimbang. Sin Cu tetap
lincah seperti bermula, pedangnya berkelebatan tak
hentinya, sinarnya menyilaukan mata.
Di akhirnya, si nona menjadi kagum.
"Aku menyangka ilmu pedang Keng To Kiamhoat tidak ada
keduanya di kolong langit ini, siapa tahu sekarang ada yang
menandingi," pikirnya. Ia kagum tetapi toh ia merasakan
hatinya dingin, karena kejuma-waannya terguyur.
Tonghong Lok penasaran tidak dapat menjatuhkan
lawannya, yang ia pandang enteng itu. Ia heran kenapa
sekarang orang ada begini liehay. Di dalam halnya latihan dan
pengalaman, ia menang setingkat daripada si nona, yang
membuatnya ia sulit adalah pedang yang tajam dari nona itu,
hingga ia sungkan mengadu senjata. Untuk selalu mengegos
golok dari tabasan pedang ada meminta kecelian mata dan
kegesitan gerakan tangan, dan ini meminta banyak dari
hutongnia itu.
Setelah seratus jurus, kelincahannya Sin Cu tidak jadi
berkurang. Sekarang ia menang di atas angin. Ia lantas
perkeras serangannya yang bertubi-tubi.

386
Si nona, yang terus menonton dengan perhatian, tanpa ia
merasa, lenyap kemen-dongkolannya terhadap itu pemuda
ceriwis. Ia sekarang dipengaruhkan kekagumannya untuk
kegagahan orang.
Si anak muda sebaliknya, di sebelah kekagumannya,
hatinya menjadi sangat lega. Bukankah pemuda itu sudah
bebas dari ancaman bahaya maut? Maka itu ia sempat tanya si
nona: "Sumoay, benarkah suhu sudah pulang?"
"Ya! ya!" si nona menyahut, tanpa ia berpaling, karena ia
sedang ketarik sekali menyaksikan gerakan terakhir dari Sin
Cu. Kelihatannya pedang si "pemuda" bergerak dari kiri ke
kanan, tetapi nyatanya, sebaliknya, ialah dari kanan ke kiri.
Gerakan ini sudah terjadi melulu disebabkan kelincahan.
Tonghong Lok tengah bertempur, akan tetapi ia dapat
dengar perkataannya itu pemuda dan pemudi, ia terkejut. Di
dalam hatinya, ia berkata: "Sudah terang ini beberapa
binatang ada murid-muridnya Cio Keng To, kalau mereka
sudah begini liehay, apapula si tua bangka sendiri! Kalau
sekarang dia sudah pulang, tidakkah aku menghadapi
ancaman bencana?" Dengan sendirinya, hatinya menjadi ciut.
Tonghong Lok datang dengan tugas untuk menawan Cio
Keng To, ia menerima titah langsung dari junjungannya. Ia
datang dengan hati besar, sebab ia percaya betul
kegagahannya. Benar ia ketahui Cio Keng To liehay tetapi
orang telah berusia lanjut, belum tentu jago tua itu dapat
menandingi padanya. Setibanya, ia lantas mendapat
pengalaman yang membuatnya ia mesti berpikir. Pertamatama
ia tidak sanggup bekuk si anak muda walaupun anak
muda itu sudah keteter. Kedua ia lantas mengadu kepandaian
sama si nona, yang ternyata bukan tandingan sembarang.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar