Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 4
Si hweeshio gemuk duduk
sendirian pada sebuah meja dan untuk beberapa saat, matanya mengawasi Sin Cu.
Dengan rasa tertindih, Sin Cu
mengambil tempat duduk, yang berdekatan dengan jendela. Ketika pelayan restoran
mengampiri, dengan sikap acuh tak acuh, ia mengeluarkan
Jitgoat Siangkie dari sakunya.
Pelayan itu manggutmanggutkan kepalanya dan berkata dengan suara perlahan:
"Tuan ingin makan apa?"
Si nona lantas saja minta
setengah kati daging kerbau asin dan satu kati arak putih. Pelayan itu mengawasi
dan paras mukanya mengunjuk perasaan sangsi.
Sesaat itu, Sin Cu menyapu
beberapa meja dengan matanya. Tiba-tiba saja ia menjadi heran karena di atas
setiap meja terdapat semangkok sayur ikan masak kuwa yang asapnya masih
mengebul-ngebul. Kenapa mereka dengan serentak memesan makanan yang sama?
Mendadak si hweeshio gemuk
yang sedang minum arak sendirian, berteriak: "Hei! Mana makanan yang
kupesan?"
“ Taysu pesan apa?" tanya
pelayan restoran.
"Begitu datang, aku
lantas memesan," jawabnya dengan suara mendongkol. "Aku minta Angsio
kaki babi. Bagaimana sih? Baru dipesan, sudah lantas lupa?"
"Maaflah," kata si
pelayan sembari tertawa. "Kawanku yang barusan melayani taysu , sedang ke
dapur. Biarlah kutengok."
Para tamu mengawasi hweeshio
itu, tapi mereka tidak berkata suatu apa.
Beberapa saat kemudian, salah
orang bangun dan terus naik ke loteng, entah ingin menengok kawan, entah dia
sendiri menginap di kamar atas. Lewat lagi beberapa detik, seorang lain
menyusul ke atas.
Tanpa sebab, si hweeshio gemuk
mendadak tertawa dingin.
Setelah itu, seorang pelayan
keluar dengan semangkok ikan masak kuwa yang masih mengebul dan membawa masakan
itu ke meja Pit Yan Kiong.
Tiba-tiba si paderi berbangkit
dan berteriak: "Hei! Aku memesan lebih dulu, kenapa dia yang lebih dulu
dilayani!"
"Jangan gusar,
taysu," kata si-pelayan sembari tertawa.
"Pesanan taysu akan
segera datang."
Paderi itu segera meninggalkan
mejanya dan berjalan dengan tindakan lebar. Sin Cu mula-mula menduga bahwa ia
ingin memprotes kepada pengurus restoran, tapi tak dinyana, begitu berdekatan,
ia menyikut si pelayan yang kontan jatuh kejengkang dan semangkok santapan itu
berhamburan di lantai. Pit Yan Kiong dan kawannya yang berbadan kasar, loncat
menyingkir, tapi tak urung kecipratan kuwa juga.
"Kalde gundul!"
bentak kawan Pit Yan Kiong. "Benar-benar kau mau cari-cari?" Sembari
mencaci, tinjunya menyambar.
"Tanganku sedang
gatal," jawab si paderi. "Tak menghajar kau, mau menghajar siapa
lagi? Dengan tangan kiri, ia menangkap tinju yang menyambar itu, sedang tangan
kanannya, dengan gerakan Tuikhung bonggoat (Menolak jendela memandang
rembulan), menyanggapi sikut lawannya yang lantas didorong dengan keras.
Saat itu juga, badan orang
yang besar itu "terbang" ke arah meja pengurus restoran.
Pengurus restoran itu adalah
seorang tua yang berkumis putih. Selagi tubuh orang itu melayang ke arahnya, ia
mengangkat shui-phoa (alat menghitung Tionghoa) dan
mendorong. "Celaka!
Kalian merusakkan perabotan di sini!" ia berseru. Kelihatannya, orang tua
itu mendorong tanpa bertenaga, tapi... begitu didorong, tubuh kawan Pit Yan
Kiong terpental kembali!
Ie Sin Cu terkesiap. Itulah
suatu ilmu menyerang dengan meminjam tenaga musuh, yaitu ilmu dari tingkatan
atas.
Lelaki itu juga ternyata bukan
sembarang orang. Dengan meminjam tenaga mendorong dari si pengurus restoran, ia
jungkir balik di tengah udara, akan kemudian menendang sebuah meja yang lantas
saja terbelah menjadi empat potong, satu di antara menyambar Ie Sin Cu yang
segera menyampoknya. Tiga potongan lain yang melesat ke arah beberapa orang,
juga sudah terpukul jatuh. Dengan demikian,
dapatlah diketahui, bahwa
semua orang yang berada di situ, berikut pengurus restoran itu juga, mempunyai
ilmu silat yang tidak cetek.
Sementara itu, si hweeshio
sudah menyerang pula secara bertubi-tubi dan orang itu segera jadi keteter.
"Siapa-siapa yang tak tahu malu, boleh maju ke sini!" tantang si
gemuk.
Para tamu jadi mendongkol,
tapi oleh karena mereka itu adalah orang-orang Ka- yang berkedudukan tinggi,
walaupun mendeluh, tiada satu yang turun tangan.
Beberapa saat kemudian, Pit
Yan Kiong bangun dan berkata sembari tertawa: "Aku si pengemis adalah
seorang yang paling tidak memperdulikan soal muka."
Berbareng dengan ucapan itu,
ia menotok pinggang si paderi dengan tongkatnya.
Biarpun berbadan gemuk, paderi
itu gesit sekali. Sembari memutarkan tubuh, ia menyam-pok totokan itu dengan
tangan kanan, sedang tangan kirinya menepuk dada si pengemis. Pit Yan Kiong
mengetahui, bahwa pukulan itu adalah pukulan Tiat pipee (Pipee, semacam alat
musik
Tionghoa, besi) dari Siauwlim
pay, yang disertai dengan tenaga dalam, sehingga, jika kena, tulang dadanya
pasti akan menjadi patah.
Tanpa berayal pula, sesudah
memunahkan pukulan itu, Pit Yan Kiong segera menyerang dengan ilmu tongkat
keluarga Pit. Dibantu dengan silat Ngoheng kun dari kawannya, ia
menyerang bagaikan hujan dan
angin, sehingga pertempuran menjadi hebat luar biasa.
Si pengurus restoran tak
hentinya teriak, tapi ketiga orang itu yang sedang berapi-api, tentu saja tidak
menggubris.
Sementara itu, dari luar
kembali masuk dua tamu laki-laki, seorang tua dan seorang muda. Yang tua
berbadan seperti seorang dusun dengan tangan menyekal huncwee (pipa panjang),
sedang muda, yang berusia tiga puluh tahun lebih, berbadan kate (pendek) gemuk,
seperti juga buah labu. Begitu mereka masuk, semua mata lantas ditujukan ke
arah mereka.
Si orang tua melirik ke
sekitarnya, lalu ia menyedot huncwee-nya, habis mana, seraya menuding dengan
pipa panjangnya itu, ia menegur pengurus restoran.
"Keadaan kacau begini,
tuan pengurus, mengapa kau diamkan saja?" demikian tanyanya.
Pengurus itu memberi hormat.
"Menyesal, Kwee Lootiacu
dan Beng Toatia," menyahut dia.
"Kami yang membuka rumah
makan tidak berani mendapat salah dari tetamu-tetamu kami..."
Hatinya Sin Cu tergerak
mendengar disebutnya she dari kedua orang itu. Ia pernah dengar dari gurunya
bahwa di antara orang-orang kosen di lima propinsi Utara ada Kwee Seng Tay,
begal tunggal dari propinsi Shoatang, yang romannya mirip orang dusun, yang
senjatanya ada sebatang huncwee, yang sebenarnya diperantikan menotok jalan
darah, sedang muridnya, Beng Tiang Seng namanya, bertubuh kate (pendek) gemuk
bagaikan labu, dia pandai ilmu silat
bergulingan Teetong kun.
Rupanya mereka inilah dua orang itu.
Mendengar jawaban itu, si
orang tua mengkerutkan kening.
"Tetamu yang pantas
dihormati mesti dihormati, tetapi yang suka menerbitkan onar mesti
diurus," katanya. "Nah, kau uruslah mereka, untuk segala akibatnya
aku si orang tua yang
akan bertanggung jawab!"
Pengurus itu bersangsi
sejenak, lantas ia maju ke kalangan.
"Tuan-tuan," ia
berkata, "dengan memandang kepada Kwee Lootiacu, aku minta sukalah kamu
menghentikan pertempuran, aku yang rendah suka menghaturkan maaf kepada kamu..."
"Apa sih Kwee
Lootiacu?" berkata si paderi. "Jikalau kau hendak menghaturkan maaf,
nah kau berlututlah tiga kali dan mengangguk-angguk hingga kepalamu berbunyi
nyaring serta kau memanggil engkong kepadaku!" Ia berkata demikian akan tetapi
kedua tangannya tidak berhenti bekerja, hingga beruntun dua kali terdengar
suara nyaring.
Dengan tangan kini ia hajar si
orang bertubuh kasar hingga dia terjungkal dan dengan tangan kanannya menyampok
terbang tongkatnya Pit Yan (Goan) Kiong.
Ie Sin Cu menyaksikan itu, ia
terkejut. Terang orang telah menggunai jurus-jurus "Liongkun" dan
"Pakun" atau kepalankepalan "Naga" dan "Macan
tutul" dari ilmu silat "Lo Han Kun,"
yang Hek Pek Moko telah
ajarkan kepada Siauw Houwcu.
Mestinya si paderi hendak
mencari onar, di saat ada orang yang mencampur tangan, baru dia keluarkan
kepandaiannya itu.
Kwee Seng Tay mengurut
kumisnya dan si pengurus restoran batuk-batuk.
“ Toasuhu, kau mengacau, aku
yang rendah terpaksa meminta kau pergi keluar!" berkata pengurus restoran
ini seraya kedua tangannya diulur kepada pundaknya paderi gemuk itu.
Ia tua dan kurus tetapi kedua
tangannya itu memainkan ilmu silat Eng Jiauw Kong si Kuku Garuda.
Si paderi mendak, untuk
membebaskan diri, tapi tidak urung ia merasakan pundaknya sakit dan pedas, maka
itu, ia menjadi terkejut, sedang si pengurus restoran heran yang cengkeramannya
itu lolos.
"Uangku bukan uang bau
amis, kau membuka rumah makan, mengapa kau larang aku dahar?" si hweeshio
tanya.
"Hm, kau hendak usir aku,
maka biarlah aku rubuh dulu rumah makanmu ini!"
Kata-kata ini ditutup dengan
serangan kepada si pengurus restoran, malah dia menyerang terus saling susul,
dengan tiga jurus lainnya dari Lo Han Kun yaitu Houwkun, Coakun dan Hookun,
ialah kepalan-kepalan Naga, Ular dan burung Hoo.
Maka walaupun dia mengarti Eng
Jiauw Kong, tuan rumah itu lantas saja keteter.
Pit Goan Kiong pungut
tongkatnya, hendak ia turun tangan, akan tetapi kapan ia lihat kawannya masih
rebah saja, ia lantas menghampirkan. Ia ingin menolongi andaikata kawan
itu terluka.
Si labu ialah Beng Tiang Seng,
menjadi habis sabar. Dia lompat kepada si paderi, untuk menerjang, atas mana,
paderi itu geraki sebelah tangannya. Sin Cu lihat tangan itu tidak
mengenai sasarannya tetapi
heran, Tiang Seng lantas saja rubuh terguling seperti cupu-cupu menggelinding.
"Dia kesohor kenapa dia
begini tidak punya guna?" Tanya nona itu dalam hatinya. "Mustahil dia
roboh hanya terkena anginnya kepalan?"
***
Segera ternyata, Tiang Seng
hanya bersilat dengan "Laylouw takun" atau "Keledai malas
bergulingan," dan setelah berguling menghampirkan si paderi, ia samber
kaki orang. Paderi itu sudah lantas menarik kakinya itu.
Atas itu, ia disusul dengan
sambe-ran lain, yang menjejak dengkulnya. Ia lantas saja menjadi repot.
Tiang Seng bukan roboh
sewajarnya, dia hanya sembari menjatuhkan diri untuk bersilat dengan
kepandaiannya, Teetong kun. Sangat lincah tubuhnya itu, yang bergulingan tak
hentinya, malah ada kalanya, tubuhnya dibantu sama tangannya, sama pundaknya
juga.
Sampai di situ, Ie Sin Cu
tertawa seorang diri. Lucu cara bersilatnya si orang she Beng itu, sedang si
paderi, yang tadi kosen sekali, sekarang terpaksa main mundur.
Tiba-tiba ada seorang yang
berkata-kata seorang diri, katakatanya itu berupa seruan: "Putar kaki,
tendang punggungnya! Ambil kedudukan kam, injak belakang tangannya! Ambil jalan
lie, sontek hidungnya!"
Kwee Seng Tay heran hingga
segera ia berpaling. Ia dapatkan orang bertubuh kecil tetapi lincah agaknya.
Ia mengarti bahwa orang tengah
mengajari si paderi untuk bersilat dengan "Wanyo Lianhoan twie" atau
"Tendangan berantai burung Wanyo" untuk memecahkan Teetong kun dari
si labu itu. Ia menjadi mendongkol.
Si paderi memang ada terlebih
kosen daripada Beng Tiang Seng, begitu ia diberi petunjuk, ia lantas melakukan
serangan membalas. Di atas ia mainkan Lo Han Ngoheng kun, di bawah
dengan Wanyo Lianhoan twie
itu. Tiang Seng menjadi repot berkelit, akan satu kali ia kena didupak hingga
jungkir balik!
282
Bukan main mendongkolnya Kwee
Seng Cay, hingga ia
urut-urut kumisnya dengan
sengit. Mengingat derajatnya,
tapinya tidak dapat ia lantas
turun tangan.
Pit Goan Kiong sementara itu
telah dekati si orang bertubuh
kecil lincah itu. Ia sudah
tolong mengasi bangun kawannya,
yang tidak terluka, maka itu
ia sempat menghampirkan orang.
Ia kata: "Kalau tuan
gatal tangan, aku si pengemis suka sekali
menemani kau
main-main..."
Orang kecil lincah itu
menyahuti: "Satu budiman
menggunai mulutnya, tidak
tangannya. Ya, nyamping ke
kedudukan sun, kasi dia satu
tendangan pula, aku tanggung
dia bakal tak berkutik
lagi!"
Perkataan yang belakangan ini
ditujukan kepada si paderi,
yang turut petunjuk, terus dia
ambil tempatnya dan
menendang, maka kali ini,
setelah tertendang terjungkir,
hingga ia membentur dua buah
meja, Beng Tiang Seng benarbenar
tak dapat berkutik lagi!
Pit Goan Kiong menjadi
mendelu. Ia tukang
mempermainkan orang, sekarang
ialah yang kena
dipermainkan. Ia mau lantas
turun tangan, atau tiba-tiba ia
merandak. Ia dengar tindakan
kaki nyata di tangga, turun dari
undakan atas. Ruang pun lantas
menjadi sunyi. Apabila ia
telah menoleh, ia pun lantas
turut berdiam seraya
menghunjuki sikap menghormat.
Ie Sin Cu heran sekali, ia pun
berpaling ke tangga
lauwteng. ia melihat sepasang
pria dan wanita umur
pertengahan tengah menindak
turun. Pakaian mereka itu
indah dan roman mereka gagah.
Pantas ruangan lantas
menjadi sunyi.
283
"Siapakah mereka ini,
yang besar pengaruhnya?" Sin Cu
tanya dirinya sendiri. Maka ia
lantas mengawasi dengan tajam.
Baru sekarang ia mengenalinya.
Merekalah yang Tan Hong
suruh ia mencarinya, yang
romannya tertera di dalam gambar
lukisan ialah suami isteri
Kimtoo Siauw-ceecu Ciu San Bin serta
Cio Cui Hong.
Pengurus restoran hendak
keluar dari gelanggang, tetapi si
paderi menghalangi.
"Pengurus tua bangka, tidak
dapat kau berlalu!" kata dia,
yang terus saja menyerang,
dengan tangan kiri yang disusul
tangan kanan. Maka pengurus
restoran itu lantas saja
terguling pula. Tapi kali ini
ia roboh karena alpa, ia hendak
menghampirkan San Bin, ia
tidak sangka bakal diserang.
Kejadian itu, yang dianggap
curang, membuat banyak
orang menjadi penasaran. Malah
Kwee Seng Tay, yang
matanya menjadi merah, tak
dapat menguasai diri lagi, ia
sudah lantas maju ke
gelanggang.
"Oh, Kwee Lootiacu , kau
pun datang?" terdengar suaranya
San Bin. "Maaf, tidak
berani aku membuat kau cape..."
Wajahnya Seng Tay menjadi
merah. Ia ingat kepada
derajatnya. Memang tidak
pantas ia melayani si hweeshio. Ia
pun berada di depan Kimtoo
Siauwceecu.
San Bin memandang si paderi
dan lainnya.
"Sebenarnya urusan apakah
yang tak dapat didamaikan?"
berkata ia sambil tertawa.
"Marilah semua duduk, untuk
pasang omong! Bukankah ini
bagus?"
"Kamu berkawan membantu
si pengurus restoran, aku
tidak takut!" berteriak
si paderi.
284
"Bagaimana kau bisa
bilang aku membantui tuan rumah?"
tanya San Bin tertawa.
"Coba kau berikan alasanmu, agar
orang ramai menimbang."
Dua anak muda tak tahan sabar,
selagi San Bin berkatakata,
mereka hendak tarik si paderi,
tetapi begitu lekas paderi
itu kibasi kedua tangannya,
mereka terjungkal roboh!
"Bagus betul!"
berseru Seng Tay di akhirnya. "Masih tidak
apa kau menghina aku si orang
tua tetapi sekarang kau pun
menghinai Kim..."
Belum sempat orang tua ini
bicara terus, San Bin sudah
mengulapkan tangan kepadanya.
Dia rupanya mengarti yang
San Bin tidak ingin
perkenalkan diri, maka dia terus
membentak: "Jikalau aku
tidak ajar adat padamu, keledai
gundul, aku bukannya si orang
she Kwee!"
Lantas dia lari kepada si
paderi.
Paderi itu tertawa.
"Aku justeru i ngin
belajar kenal sama huncwee-mu peranti
menotok jalan darah!" dia
kata menantang.
Hanya, belum sampai dia dapat
menyambut Seng Tay, satu
bayangan sudah berlompat ke
depannya seraya bayangan itu
berseru: "Apakah kau kira
kau tepat untuk melayani Kwee
Loocianpwee?" Dan seruan
itu dibarengi serangan.
Si paderi menjadi heran.
"Ah, dia pun mengarti
Loohan kun..." pikirnya. Dia lantas
menangkis dengan Tiat piepee
ciu tangan kiri dan dengan
tangan kanan, dengan Hoo-kun,
dia membarengi menyerang.
285
Bayangan itu, yang ada satu
anak muda, berkelit ke kiri,
berbareng dengan mana, dengan
lima jari tertekuk, ia
menyambuti serangan Hookun. Ia
menggunai Hookun juga.
Si paderi kembali menjadi
heran, hanya kali ini, ia alpa dan
kurang gesit. Di luar
dugaannya, habis me-nyambuti, anak
muda itu membalas menyerang
dengan sebat sekali. Dia
menggunai Tiangkun, Kepalan
Panjang, yang dia susuli
dengan sapuan kaki. Maka tanpa
ampun lagi, paderi itu
terguling roboh.
Anak muda itu ialah Ie Sin Cu.
Paderi itu merayap bangun
dengan muka merah, ia awasi
Sin Cu dengan mata melotot,
habis mana, ia ngeloyor pergi. Ia
tidak tahu bahwa ia telah
kalah cerdik dari Sin Cu. Ia pandai
Loo Han Kun, Sin Cu pun
menggunai ilmu silat itu, bedanya,
Sin Cu menggunai pelajaran
dari Hek Moko, yang disambung
dengan Tiangkun.
Kwee Seng Tay majukan dirinya.
"Eh, apakah dapat kau
berlalu dengan begini saja?" si
orang tua menegur.
Paderi itu berhenti bertindak.
"Engko kecil ini liehay,
aku menyerah kalah terhadapnya!"
dia menyahuti. "Tapi kau?
Aku belum belajar kenal denganmu!
Kalau kau hendak melarang aku,
kau mesti keluarkan
kepandaianmu seperti engko
kecil ini!"
Dengan "engko kecil"
ia maksudkan Ie Sin Cu.
Seng Tay gusar sekali.
286
"Aku tidak punya
kepandaian apa-apa, kalau kau hendak
coba, kau cobalah!" ia
bilang. "Jikalau kau bisa molos dari
bawah huncwee-ku ini,
selanjutnya aku tidak akan merantau
lagi di dunia kangouw1."
San Bin heran. Terang si
paderi hendak mengacau tetapi
dia jujur, dia bukan miripnya
orang jahat. Ia lantas maju di
tengah mereka itu.
"Di antara empat lautan,
kita semua bersaudara," ia
berkata. "Urusan apakah
yang demikian besar hingga untuk
itu kita mesti mengadu
jiwa?"
Beng Tiang Seng sudah lantas
merayap bangun, untuk
berdiri di samping gurunya,
dengan napas masih sengalsengal,
ia tuding si paderi dan
mengatakannya: "Keledai
gundul ini, begitu dia datang
dia lantas mengacau, semua
orang dapat melihat itu, maka
itu, buat apa kau main tanya
lagi?"
Matanya si paderi mencilak.
"Kita semua datang kemari
untuk minum arak dan
bersantap," dia bilang,
sengit, "karena itu, kenapa di sini
orang main membeda-bedakan?
Coba tanya pemilik restoran,
aturan apakah ini?"
Tiang Seng tidak mau mengarti,
ia buka pula mulutnya,
dengan begitu ia jadi adu
mulut dengan si paderi, karena itu,
perlahan-lahan San Bin
mengarti duduknya hal. Lantas saja
dia tertawa.
"Kiranya karena urusan
kecil sekali!" katanya. "Tuan rumah,
lekas atur meja kursi, lantas
kau sajikan barang hidangan, hari
ini hendak aku mengundang
tetamu. Kwee Lootiacu, toasuhu,
287
dan kau, engko kecil, dengan melihat
mukaku, mari kita
minum satu cangkir!"
Suaranya San Bin berpengaruh,
si paderi lantas tutup
mulutnya, hanya kepada
sahabatnya, si kate (pendek) dan
kecil, ia mengedipkan mata,
lalu dia berkata: "Kita ada orangorang
yang baru saling mengenal,
tidak pantas kami
menggerecok, maka itu biarlah
kami pergi saja."
San Bin tertawa, ia kata: “
Toako, kau bicara bukan seperti
orang kangouw1. Apakah kau
tidak dengar bahwa bunga
merah dengan daun hijau
asalnya satu? Secangkir arak tawar,
apakah artinya? Aku harap,
toako, janganlah kau malu-malu
sebagai seorang
perempuan."
Cio Cui Hong memandang
suaminya, matanya terbuka
lebar.
"Apakah semua wanita
malu-malu?" dia bertanya.
San Bin tertawa besar.
"Ya, aku salah omong, aku
harus didenda tiga cangkir!"
katanya.
Melihat orang demikian polos,
si paderi jatuhkan diri ke
atas kursi.
"Baiklah, aku pun
mendenda diriku tiga cawan!" katanya.
Si kate (pendek) dan kecil
mendelik kepada kawannya itu,
tetapi dia lantas ditarik San
Bin, yang mengatakan:
"Mari, kau pun minum
barang satu cawan!"
288
Justeru itu dari luar pintu
terdengar suara orang tertawa
seraya terus berkata:
"Bagus! Kami juga hendak minum
bersama!" Habis itu
terlihatlah orangnya, ialah dua orang
perwira, yang tubuhnya besar
dan kekar, yang di pinggangnya
tergantungkan pedang.
Ie Sin Cu cuma melihat
sekelebatan, lantas ia kenali
perwira yang jalan di depan
ialah Taylwee Congkoan Yang
Cong Hay, sedang semua orang
lainnya, melihat congkoan
dari istana kaisar itu, pada
berubah air mukanya.
Ciu San Bin berlaku tenang, ia
angkat kedua tangannya
akan memberi hormat kepada dua
orang baru itu seraya
mengatakan: "Bagus!
Sungguh kebetulan yang kedua tayjin
telah datang ke mari. Ini dia
yang dibilang, bertemu sama
orang agung, yang diundang pun
tak dapat datang!"
Di mana pengurus restoran
sudah siap sedia, Yang Cong
Hay berdua lantas ambil tempat
duduknya tanpa sungkan lagi,
hanya setelah berduduk, hampir
tak hentinya ia menoleh akan
mengawasi San Bin, siapa
sebaliknya menguasai dirinya.
"Aku mohon tanya she dan
nama yang mulia dari kedua
tayjin ," ia mohon.
"Aku she Yang, namaku
yang rendah Cong Hay," menjawab
Taylwee Congkoan itu.
"Dan ini ada Tongnia dari Gielimkun,
namanya Law Tong Sun."
Mendengar ini, semua hadirin
terkejut. Yang Cong Hay itu
ada salah satu dari empat
kiamkek , ahli pedang, yang
kenamaan di jaman itu, sedang
Law Tong Sun ada suheng,
kakak seperguruan, dari Cian
Sam San, bekas cong-ciehui
atau kepala dari pasukan
Kimiewie, sedang guru mereka, Cio
Hong Pok, guru silat kenamaan
di Shoasay Utara, terkenal
untuk ilmu silatnya Hunkin
Cokut hoat. Malah Tong Sun ini
289
dapat mewariskan kepandaian
gurunya melebihkan adik
seperguruannya. Kalau Yang
Cong Hay menjadi Taylwee
Congkoan adalah aneh, maka
sungguh tak disangka-angka
Tong Sun menjadi kepala Gielimkun,
barisan pelindung raja.
Duduknya hal adalah sebagai
berikut: Setelah Cian Sam
San terbinasakan Thio Hong Hu,
Kaisar Kie Tin perintah orang
pergi mengundang Cio Hong Pok,
gurunya kepala Kimiewie
itu. Dijelaskan bahwa Ciam Sam
San terbinasakan Thio Tan
Hong dan Cio Hong Pok diminta
suka menuntut balas untuk
muridnya itu. Cio Hong Pok
menampik undangan dengan
alasan usianya yang telah
lanjut, tetapi ia percaya saja
keterangannya Kie Tin itu, ia
jadi membenci Thio Tan Hong,
maka, sekalian untuk memamerkan
ilmu kepandaiannya, ia
kirim murid kepalanya itu. Kie
Tin lantas angkat Law Tong Sun
menjadi kepala Gielimkun.
Para hadirin tak tentaram
hatinya kapan mereka lihat Yang
Cong Hay berdua mengambil meja
di dekat pintu, sebagai
juga mereka itu hendak memegat
jalan.
Si kate (pendek) kecil cerdik
sekali, diam-diam ia tarik si
paderi, untuk memilih meja
dekat pintu besar, hingga mereka
jadi seperti menyaingi
kedudukannya Yang Cong Hay itu.
Kwee Seng Tay tidak puas sama
suasana di situ,
berulangkah ia kasi dengar
tertawa yang bernada ejekan.
Yang Cong Hay duduk dengan
tidak berdiam saja, dengan
matanya yang tajam ia menyapu
semua hadirin, apabila
matanya bentrok sama matanya
Ie Sin Cu, ia agaknya heran.
Sin Cu sebaliknya tak gentar
hatinya, dia justeru mengawasi
dengan tajam.
Tiba-tiba saja Yang Cong Hay
tertawa, lalu ia berbicara
seorang diri: "Sungguh,
inilah yang dibilang, mencari sampai
290
sepatu besi pecah, yang dicari
tidak kedapatan, sebaliknya,
yang dicari itu kedapatan
tanpa susah payah! Semua hadirin
adalah orang-orang kosen, maka
itu hari ini kita mesti minum
hingga puas!" Lalu tanpa
orang mengundangnya lagi, ia
tenggak kering tiga cawannya
secara beruntun.
San Bin angkat kedua tangannya
memberi hormat kepada
kedua perwira itu.
"Kedua tayjin sedang
menjalankan tugas, aku tidak berani
memintanya untuk minum
banyak-banyak," ia berkata,
"sekarang tayjin sudah
minum tiga cawan, maka para hadirin,
persilahkan siapa hendak
bersantap, siapa ingin minum,
baiklah masing-masing
memilihnya sendiri!"
"Tugasku telah mendapat
bantuan kau, saudara, itu tidak
menjadi soal lagi,"
berkata Yang Cong Hay. "Dengan tiga
cawan ini, terimalah ucapan
terima kasihku!"
Mau atau tidak, San Bin heran.
Ia menahan cawan araknya.
"Tayjin, apakah artinya
kata-katamu ini?" ia menanya.
"Sri Baginda mengundang
saudara datang ke kota raja!"
menyahut Yang Cong Hay tanpa
pakai tedeng aling lagi.
San Bin menjadi tambah heran
untuk keberaniannya
congkoan itu. Ia mau percaya
orang telah ketahui tentang
dirinya, tetapi di situ toh
banyak orang lainnya.
"Aku ada satu mahasiswa
tolol," ia berkata, tetapi suaranya
dingin, "untuk mencapai
tingkat siucay saja, beberapa kali aku
turut ujian, selalu aku jatuh,
maka itu mana aku ada punya
peruntungan bagus untuk
menghadap Sri Baginda Raja? Yang
Tayjin, bukankah kau sedang
berkelakar?"
291
Yang Cong Hay tertawa
terbahak-bahak.
"Aku harap di hadapan
orang yang mengetahuinya jangan
kita omong dari hal yang tidak
benar!" ia bilang, "Siauwceecu,
kau adalah seorang bunbu
siangcoan dan Sri Baginda Raja
sangat memangeni
kepadamu!"
Kali ini Yang Cong Hay
memanggil orang sebagai
siauwceecu, yaitu ceecu muda.
"Ceecu" ialah pemimpin dari
suatu rombongan. Dan ia pun
sengaja memuji orang ada
"bunbu siangcoan"
pandai ilmu surat dan silat dengan
berbareng.
Tiba-tiba si paderi gemuk
menyelak.
"Yang Tayjinl"
katanya, “Ini engko kecil juga bagus sekali
ilmu silatnya, kau harus
sekalian mengundang padanya!"
Paderi ini sembrono sekali, ia
tidak kenal salatan, ia
menyangka Yang Cong Hay mulia
hatinya telah mengundang
orang datang ke kota raja,
untuk diberi pangkat, maka itu ia
pujikan Ie Sin Cu, ia sampai
tidak mau memikir bahwa ia kenal
baik atau tidak dengan orang
she Yang itu.
Yang Cong Hay tertawa pula.
"Liauw Yan Taysu
benar!" katanya, gembira. "Semua orang
gagah di sini, wanita dan
pria, aku undang bersama!"
Biar bagaimana, dari sikapnya,
Yang Cong Hay seperti tidak
memandang mata semua hadirin
di situ, maka juga Kwee
Seng Tay, satu jago Rimba
Hijau dari beberapa puluh tahun,
menjadi tak dapat
mengendalikan diri lagi.
292
"Bagus!" dia berseru
seraya dia geser kursinya, "Yang
Tayjin telah membuat undangan,
maka hendak aku si tua
berangkat terlebih dulu!"
Yang Cong Hay tengah memandang
Ciu San Bin, ia tidak
ambil mumat jago tua itu
ketika ia berkata pula:
"Bagus! Saudara Cu, kau
layanilah semua tetamu!"
Si orang kate (pendek) dan
kecil yang lincah sudah lantas
menyahuti sambil ia
berbangkit, ia tolak tubuhnya si paderi
sambil ia berkata: "Liauw
Yan Taysu, mari kita bersama-sama
menyambut tetamu!" Seng
Tay tidak perdu-likan segala apa,
ia bertindak ke pintu, sambil
berbuat begitu, ia lonjorkan
huncwee-nya ke arah si kate
(pendek) kecil itu, yang berdiri
menghalang, maka tidak ampun
lagi, orang itu menjadi lemas
kakinya dan robohlah tubuhnya.
Akan tetapi dia roboh untuk
meneruskan mencabut sebatang
golok, lalu sambil
bergulingan, ia babat kakinya
si orang she Kwee.
Nyata ia mengarti ilmu silat
golok yang harus dimainkan di
waktu ia bergulingan. Itulah
ilmu Kunteetong Tohoat dari
partai persilatan Utara.
"Hm!" Kwee Seng Tay
kasi dengar suaranya yang tawar.
"Di depan pintu Khong Hu
Cu orang menjual kitab Pek Kee
She! Ia lantas menyontek
dengan huncwee-nya, yang ia
gunakan sebagai tombak pendek.
Dengan menerbitkan suara,
ujung huncwee membentur
tulang lakop dengkul dari lawannya
yang lincah itu, yang kali
ini gagal bergulingan untuk
menghindarkan diri.
Melihat kawannya roboh, si
paderi berseru: "Ah! Yang
Tayjin mengundang tetamu,
mengapa kau berlaku kasar?" ia
lantas memburu kawan itu,
untuk menolongi.
293
Kwee Seng Tay benci paderi
ini, yang tadi telah
mempecundangi muridnya, dari
itu begitu lekas si paderi
datang cukup dekat, ia menusuk
pinggang orang. Tusukannya
ini bisa menjadi tusukan biasa
juga totokan.
"Sungguh liehay!"
berseru si paderi sambil dia memutar
tubuhnya, menyusul mana kedua
tangannya bergerak, tangan
kiri dengan Liongkun, tangan
kanan dengan Houwkun, akan
menggempur musuh.
Seng Tay sudah lanjut usianya,
tidak mau ia melawan keras
dengan keras, dari itu,
setelah totokannya gagal, ia berkelit.
"Hahaha!" tertawa si
paderi. "Kau nyata cuma pandai
meniup mengepul, kau tidak
berani mengadu tangan
denganku!" Lalu dia maju,
akan menyerang pula, untuk
mendesak.
Seng Tay tetap tidak hendak
melayani kekerasan, ia
menggunai kelincahan tubuhnya,
dengan begitu, selama tujuh
atau delapan jurus, ia selalu
menyingkir dari kepalan dahsyat
dari hweeshio itu. Satu kali
saja si paderi berhasil dengan
tinjunya, ia dapat menyebabkan
patahnya tulang-tulang.
Tapi Seng Tay tidak melainkan
berkelit saja, di mana ada
kesempatan, ia juga membalas
menyerang, dengan
tikamannya, dengan totokannya.
Dengan begitu, mereka jadi
berimbang.
"Kiranya kau liehay
juga!" berkata lagi si paderi. "Nyata aku
telah keliru melihat, aku
tadinya menyangka kau cuma pandai
meniup mengepul!"
Sebagai seorang sembrono,
paderi ini jujur, ia memuji
dengan sesungguhnya hati.
Meski begitu, ia menyebabkan
294
murkanya Kwee Seng Tay, maka
juga dia ini lantas mencoba
membalas merangsak.
Pertempuran itu membuat Yang
Cong Hay menjadi habis
sabar.
"Nyatalah kamu menampik
undangan karena menghendaki
dihukum denda!" dia
berseru. "Kalau begitu, aku tidak hendak
berlaku sungkan-sungkan
lagi!"
Baru saja congkoan ini
perdengarkan suaranya itu atau Ciu
San Bin, yang telah menghunus
goloknya, golok Kimtoo,
seraya bulang balingkan
goloknya ke atas, berseru dengan
nyaring:
"Saudara-saudara, serbu
pintu! Yang Tayjin, arak
dendaanmu kami terima!"
Yang Cong Hay telah kasih
dengar suaranya tetapi matanya
tetap ditujukan kepada Ciu San
Bin, orang lain-lainnya ia tidak
perdulikan, melihat aksinya
San Bin itu, ia hunus pedangnya,
maka juga sejenak saja, golok
dan pedang telah bentrok.
Kesudahannya bentrokan ini ada
luar biasa. Golok berat,
pedang enteng, tetapi golok
kena dibikin terpental.
Cio Cui Hong sudah lantas
menghunus goloknya, golok
Liuyap to, dengan itu ia maju
menyerang, tidak peduli ia
terhalang dengan sebuah meja,
sedang San Bin, suaminya,
menyerang pula.
Yang Cong Hay tertawa dingin.
"Kamu suami isteri yang
manis maju bersama, bagus!" ia
berkata. "Hal ini aku si
orang she Yang tidak berani
memintanya!" Ia lantas
dupak meja di depannya, untuk
295
merintangi goloknya si nyonya,
di lain pihak, ia maju untuk
menikam perutnya San Bin.
Kimtoo ceecu sedang tanggung
gerakan goloknya, tidak
dapat ia menangkis, maka itu
kebetulan ada pot kuningan,
yang dipakai tempat kuwa
panas, ia samber pot itu, untuk
disambitkan kepada congkoan
itu.
Cong Hay lihat serangan itu,
ia menangkis, begitu keras,
hingga pot terbelah dua,
hingga kuwanya muncrat kepada kun
-nya Cui Hong, yang justeru
maju untuk membantu suaminya.
Tanpa mempedulikan itu, si
nyonya lompat naik ke atas meja,
untuk membacok terus.
Cong Hay menangkis, hingga
kedua senjata bentrok keras,
nyaring suaranya, habis mana,
ia pun tangkis goloknya San
Bin, yang menyusuli isterinya
itu, dengan begitu dua-dua
bacokan dapat disingkirkan.
Di pihak lain, para hadirin,
yang berada di pihaknya San
Bin, sudah maju ke ambang
pintu, hanya pintu sudah dikunci
Law Tong Sun, yang berdiri
menghalang di hadapan itu. "
Dua anak muda maju paling
depan, untuk menyerbu. Law
Tong Sun melihat aksi orang,
ia tertawa dingin.
"Semua rebah!"
serunya tiba-tiba, tangannya membarengi
bergerak sebat sekali.
Orang belum sempat melihat
tegas atau senjatanya kedua
anak muda itu masing-masing
sebatang gembolan telah kena
dibikin terlepas dari
cekalannya, sedang kedua anak muda itu
sendiri, sambil menjerit,
benar-benar roboh ke lantai.
296
Kemudian ternyata, dua pemuda
itu sudah terhajar ilmu
silat Hunkin Cokut hoat dari
tongnia Gielimkun itu, hingga
tangan mereka itu kena
dipatahkan.
Berbareng dengan kagetnya,
beberapa orang maju untuk
menolongi dua pemuda itu, akan
tetapi mereka disambut
Tong Sun, yang terus kerjakan
pula kepandaiannya, hingga
sebentar saja roboh lagi
beberapa kurban. Tong Sun liehay
kedua tangannya, asal ia dapat
menyamber tangan orang, ia
berhasil. Ilmu silatnya itu
memang menghendaki pertempuran
rapat, agar ia bisa samber
sana samber sini tanpa orang dapat
berkelit dengan merdeka.
Karena ini, orang tidak berani
merangsak pula, maka tongnia
itu dapat bertahan di depan
pintu. Ketika itu, kursi meja
telah terjungkir balik dan kusut
letaknya. Begitupun
pertempuran, yang terpecah dalam tiga
rombongan. Yang pertama yaitu
si hweeshio gemuk dengan
Kwee Seng Tay bertarung seruh
sekali. Yang kedua ialah Law
Tong Sun yang mempertahan
pintu. Dan yang ketiga, San Bin
serta isterinya yang mengepung
Yang Cong Hay.
Si orang kate (pendek) kecil
yang lincah sudah merayap
bangun, untuk balut sendiri
dengkulnya, terus dia berdiri di
dampingnya Law Tong Sun, untuk
menyerang musuhmusuhnya
dengan panah pelurunya.
Beberapa orang, yang
berniat membantu San Bin suami
isteri terpaksa mundur
karena serangan panah peluru
itu.
Di antara tiga rombongan itu,
San Bin dan isterinya yang
terancam bahaya walaupun
berdua mereka mengepung
seorang lawan. Yang Cong Hay
liehay sekali, dengan
pedangnya saban-saban ia
menggertak sambil menyerang
dengan sungguh-sungguh, ia
bikin San Bin berdua repot
sekali, hingga terpaksa mereka
ini bertempur rapat, untuk
membela diri saja.
297
Tidak lama terdengarlah satu
suara nyaring, lalu San Bin
menjadi terkejut. Karena
lambat sedikit, golok emasnya kena
disamber pedang lawannya dan
bercacad ujungnya. Cong Hay
tidak menggunai pedang mustika
tetapi berkat liehaynya ilmu
dalamnya, tabasa-nnya kaget
sekali dan tepat. Cui Hong turut
kaget karenanya.
Yang Cong Hay menang angin, ia
tidak sudi mengasi hati.
Ia menyerang terus dengan
desakannya, di kiri ia arah jalan
darah yangpek hiat dari San
Bin, di kanan ia menikam jalan
darah lengkiu hiat dari Cui
Hong. Maka lagi-lagi suami isteri itu
kena dibikin kelabakan.
Dalam saat kacau itu,
tiba-tiba terdengar suara tingtong
beberapa kali. Ie Sin Cu
lompat maju dengan tangannya
terayun, atas mana tiga batang
kimhoa, bunga emasnya,
terbang menyamber, menyebabkan
pelurunya si orang kate
(pendek) kecil dan lincah itu
tidak berdaya. Setelah itu dengan
berkelebat berkilauan, pedang
Cengbeng kiam si nona
menyamber kepada Yang Cong
Hay, kepada siapa nona itu
berlompat terlebih jauh.
Ie Sin Cu tidak jeri walaupun
Cong Hay liehay sekali.
Cong Hay geraki pedangnya,
untuk menyambut pedang Sin
Cu itu, dengan niat ditempel.
Ketika ini digunai oleh San Bin
dan Cui Hong untuk berbareng
membacok lawannya yang
tangguh itu.
Sin Cu pun geraki terus
pedangnya, yang tidak kena
ditempel lawan, dengan
menerbitkan suara nyaring, ia
menyebabkan ujung baju Cong
Hay terbabat putus. Ia telah
menggunai ilmu pedang Hian Kie
Kiamhoat, dengan adanya
serangan berbareng dari San
Bin berdua, serangannya itu jadi
memberi hasil.
298
Cong Hay kaget sekali. Ia ada salah
satu dari empat jago
silat. Thio Tan Hong pun ada
salah satu dari ke empat jago
itu. Sekarang bajunya kena
dirobek muridnya Tan Hong itu,
bagaimana ia tak menjadi malu
sendirinya? Tapi ia
berpengalaman, walaupun ia
malu dan kaget, dapat ia
menguasai dirinya. Sekarang ia
tidak mendesak lagi.
Nampaknya Sin Cu bertiga
menang di atas angin, tapi
buktinya pahlawan kaisar itu
dapat mempertahankan diri, di
sebelah pembelaan, ia masih
bisa membalas menyerang. Ie
Sin Cu bertempur di tengah, di
antara San Bin dan Cui Hong.
Ia selalu dapat memecahkan
serangannya Yang Cong Hay. Cio
Cui Hong dapat lihat ilmu
silat orang, ia menjadi heran.
"Eh, kau pernah apa
dengan Thio Tan Hong?" tanya
Nyonya San Bin ini.
"Dialah guruku,"
sahut Sin Cu terus terang.
"Apakah subo-mu
baik?" Cui Hong tanya pula, tentang
isterinya Tan Hong, yang
menjadi ibu guru dari Sin Cu. Ia
memang bergaul rapat sekali
dengan In Lui dan erat
perhubungannya. Dengan melihat
ilmu silat Sin Cu, ia
menduga kepada Tan Hong dan
ingat Tan Hong, wajar saja ia
lantas ingat In Lui. Hanya,
saking gembira, ia alpa, hampir
saja ia tertikam Cong Hay,
yang menyerang selagi ia tanya Sin
Cu.
"Subo baik!" Sin Cu
jawab. "Suhu dan subo pun kangen
padamu! Ah, baik kita
singkirkan dulu binatang ini baru kita
pasang omong!"
Kata-katanya nona ini disusuli
dorongannya.
Yang Cong Hay terus
menenangkan diri, maka itu, ia tetap
dapat bertahan meskipun mereka
sudah bertempur lagi dua
puluh jurus lebih. Malah satu
kali ia tertawa dan kata: "Apa?
299
Kamu berniat membinasakan aku?
Hahaha! Kamu bermimpi!
Kamu tahu, sekarang ini aku
telah siapkan lima ratus serdadu
panah, yang pun sudah
mengurung kamu! Jikalau kamu
menyayangi jiwa kamu, lekas
letaki senjatamu, lalu satu per
satu dari kamu turut aku pergi
ke kota raja!"
Sin Cu memasang kuping, ia
benar dengar suara tindakan
dan banyak kaki kuda di luar
rumah makan itu.
Sementara itu si paderi
terkejut ketika ia dengar disebutsebutnya
nama Tan Hong. Dia memang lagi
bertempur seru
dengan Kwee Seng Tay,
perhatiannya menjadi terganggu,
maka tidak heran dengkulnya
lantas kena kebentur ujung
huncwee-nya Seng Tay. Ia
kesakitan dan kaget, hingga ia
berjingkrak. Syukur ia tidak
kena tertotok jalan darahnya.
"Eh, bagaimana sih
caranya kau mengundang tetamu?" ia
tanya Yang Cong Hay.
"Liauw Yan Taysu, kau
jangan banyak usil!" kata Cong Hay
sambil tertawa. "Untukmu
sudah cukup asal kau dapat
melibat si tua bangka itu dan
jaga baik-baik pintu! Itulah
jasamu!"
Si paderi gemuk ini agaknya
heran dan bingung, kupingnya
pun dengar suara datangnya
pasukan tentara, tindakan kaki
kuda terdengar semakin dekat.
"Saudara kecil, serbu
pintu!" San Bin berseru. Ia menginsafi
bahaya yang mengancam mereka.
Apa jadinya kalau lima
ratus serdadu menghujani anak
panah kepada mereka?
Ie Sin Cu pun insaf ancaman
bahaya itu, ia lantas maju ke
pintu, tapi ketika ini dipakai
Cong Hay untuk mendesak pula
San Bin dan Cui Hong, karena
mana terpaksa ia kembali, akan
bantui suami isteri itu.
300
"Aku akan memegat di
belakang!" Sin Cu
berteriak, sesudah beberapa
kali ia menyerang hebat,
untuk desak mundur orang she
Yang itu.
San Bin dan isterinya lantas
menggantikan Sin Cu maju ke
pintu.
Cong Hay hendak mencegah suami
isteri itu, akan tetapi
Sin Cu rintangi ia, walaupun
ia kosen, tidak dapat ia pukul
mundur si nona hanya dalam
tiga atau empat puluh jurus.
Maka itu, suami isteri itu
lantas mendekati pintu besar.
"Liauw Yan Taysu, mereka
hendak mengepung, jangan
takut, aku nanti bantu
kau!" kata orang yang menjaga pintu.
"Aku nanti hajar mereka
dengan panah peluru!" ialah si kate
(pendek) kecil dan lincah.
Si paderi gemuk agaknya
menjadi habis sabar, dengan
geraki kedua tangannya, ia
serang hebat pada Seng Tay,
setelah itu, hendak ia serang
suami isteri itu. Atas itu San Bin
berdua sudah lantas bersiap.
Seng Tay juga tidak berdiam
saja, dengan gunai huncweenya
sebagai tombak, ia tikam
perutnya si paderi, pada jalan
darah jiekhie hiat. Ia
menggunai jurusnya "Sinliong jiphay"
atau "Naga sakti terjun
ke laut."
Si paderi menjadi repot, ke
satu ia memang berimbang
kepandaiannya dengan Seng Tay,
kedua sekarang San Bin
berdua mengancam kepadanya.
Selagi ia terancam bahaya,
tiba-tiba ada orang yang
berlompat ke arahnya, orang mana
menyampok huncwee hingga
terpental dan menarik si paderi
hingga dia ini terbetot ke
pintu.
301
Orang yang liehay ini ialah
Yang Cong Hay, yang telah
gunai kelincahannya akan
meninggalkan Sin Cu, buat tolongi
si paderi, untuk sekalian
menjaga agar pintu tak kena diserbu
pihak lawannya yang ia hendak
bekuk. Ia pun lantas
mendahulukan lompat ke pintu
itu.
Maka sekarang pintu dijaga
oleh empat orang, ialah Yang
Cong Hay, Law Tong Sun, si
paderi gemuk serta itu orang
yang memegang panah peluru.
Cong Hay berlaku bengis
dengan pedangnya, juga Tong
Sun dengan ilmunya membikin
tulang patah atau urat
keseleo. Si paderi juga memperlihatkan
tenaganya yang besar serta
ilmu silatnya Lo Han Kun yang
liehay, sedang kawannya dapat
dengan leluasa menggunai
lagi panah pelurunya.
Di pihak San Bin, ia cuma
berada berempat bersama
isterinya, Sin Cu dan Kwee
Seng Tay, yang lainnya bukan lagi
tandingan rombongannya Cong
Hay itu, karena mana, mereka
tak dapat berbuat banyak untuk
menyerbu pintu.
Di lain pihak lagi, pasukan
tentara sudah tiba di muka pintu
luar.
Yang Cong Hay lantas tertawa
besar.
"Kimtoo Ceecu, terimalah
nasibmu!" ia kata kepada San
Bin, mengejek. “Ini secawan
arak dendaan, tidak dapat kau
tidak minum! Liauw Yan Taysu,
kau ubah kepalanmu dengan
Houwkun, lebih dulu kau hajar
terlepas golok emasnya!"
Ketika itu San Bin sedang
menangkis dengan goloknya,
untuk membalas menyerang, Cong
Hay dapat melihat itu,
pahlawan ini lantas beri
petunjuknya kepada si paderi. Ia ingin
menawan hidup-hidup kepada
ceecu itu.
302
Menyusul suaranya Yang Cong
Hay itu, satu suara keras
sekali segera terdengar.
Untuk herannya semua orang,
mereka lihat daun pintu
menjeblak. Sebab si paderi
bukannya menghajar San Bin atau
goloknya ia ini, dia justeru
menyerang daun pintu dengan
kepalannya yang dahsyat. Untuk
itu, dari menghadapi San Bin,
dia memutar tubuh dengan
tiba-tiba, serangannya pun secara
mendadak.
"Liauw Yan Taysu, kau
bikin apa?" tanya Cong Hay heran.
"Lekas pegat musuh!"
"Liauw Yan Taysu, apakah
bilangmu tempo kau turut aku
datang ke mari?" menanya
kawannya. "Bukankah kau berniat
menaruh kakimu di kota
raja?"
Si paderi menyahuti dengan
suaranya yang nyaring: "Aku
tidak mengarti jelas apa yang
kamu tengah lakukan ini!
Siapakah musuh? Aku tidak sudi
anggap Kimtoo Ceecu
sebagai musuhku!"
Kedua matanya Yang Cong Hay
mendelik, tanpa bilang
suatu apa, ia cende-rungkan
tubuhnya seraya terus
menggeraki pedangnya menikam
pusarnya si paderi terokmok
itu. Inilah gerakannya,
"Dengan busur beng-kung
memanah harimau."
Ie Sin Cu dapat lihat gerakan
orang itu, ia menghajar
pedang orang dengan pedangnya,
hingga gagallah tikaman
seperti bokongan itu.
Berbareng dengan itu dengan
belakang goloknya, San Bin
hajar roboh orang yang
menghalang di pintu, sedang Seng
303
Tay menyambuti tubuh orang,
untuk dilemparkan. Maka
semua orang lantas memburu
keluar dari pintu.
Orang kate (pendek) kecil yang
lincah itu benar-benar
lincah, ia dilemparkan tetapi
begitu ia menginjak tanah, ia
mencelat pula dengan
gerakannya “kan gabus meletik." Ia
dilemparkan ke arah pasukan
tentara, yang hendak
menyambut ia dengan tikaman,
maka ia tangkap dua batang
tombak sambil ia membentak:
"Apakah kamu buta? Inilah
aku!"
Atas itu, pemimpin tentara
yang mengepalai pasukan
panah itu lantas berseru:
“Inilah Tie Tayjin. Jangan lepas
panah!"
Titah itu tidak ada perlunya,
sebab serdadu-serdadu yang
berada di muka sudah mengenali
orang yang dipanggil Tie
Tayjin itu tayjin atau
pembesar she Tie kalau tidak, panah
dan tombak mereka pasti tidak
dapat dicegah lagi.
Menyusul terlemparnya tubuh si
Tie Tayjin, paling dulu
muncul si paderi gemuk. Ada
beberapa serdadu yang kenali
paderi ini sebagai sahabatnya
Tie Tayjin, mereka berseruseru:
“Inilah Liauw Yan Taysu !
Orang sendiri!"
Si paderi tidak ambil mumat
apa orang bilang, hanya sambil
maju dengan murka sekali,
hingga ia berteriak keras, ia hajar
terjungkal seorang perwira
yang berada di dekatnya, habis
mana ia rampas kuda orang,
untuk lompat ke atas
punggungnya, guna terus dikasi
kabur!
Perwira pasukan panah menjadi
heran, hingga ia berdiam
saja. Adalah si Tie Tayjin,
yang lantas memberikan
perintahnya: "Paderi itu
berkongkol sama musuh, panah dia!"
304
Sementara itu Kwee Seng Tay
serta rombongannya sudah
menerjang keluar, tentara
negeri mencoba merintangi, di lain
pihak, sejumlah serdadu panah
telah menjalankan tugasnya
memanah si paderi, ialah Liauw
Yan Taysu. Paderi ini liehay, ia
buka jubah sucinya, dengan itu
ia sampok jatuh setiap anak
panah.
Pihak Seng Tay tidak kenal
Liauw Yan Taysu itu, yang
sebenarnya ada satu murid dari
Siauwlim Sie cabang
Pouwthian. Ia polos dan jujur,
ia sangat disayangi gurunya
yaitu Kak Hui Siansu. Hanya
ketika Kak Hui berpulang ke
Tanah Barat, karena bersalah
dahar daging anjing, oleh kakak
seperguruannya, ia ditegur. Ia
menjadi tidak puas, ia merasa
berat hidup di dalam kuil,
diam-diam ia buron. Ia berniat
untuk berhenti menjadi paderi.
Kalau ia berdiam di Selatan, ia
kuatir nanti bertemu sama
salah satu saudara
seperguruannya, dari itu, ia
kabur jauh sekali. Kemudian ia
ingin menyaksikan keindahannya
kota raja. Di kota raja ia ada
punya kenalan, yaitu si Tie
Tayjin, yang bernama Hian, yang
menjadi siewie atau pengiring
kelas tiga pembawa golok.
Tatkala itu Yang Cong Hay
bersama Law Tong Sun tengah
bertugas, mereka dapat
selentingan Kimtoo Ceecu San Bin
sudah memasuki wilayah
Tionggoan, mereka lantas pergi
menyelidiki, untuk dapat
menawan. Dalam perjalanan ini,
kebetulan sekali di propinsi
Shoatang, Tie Hian bertemu sama
Liauw Yan Taysu dan Liauw Yan
tuturkan niatnya pergi ke
kota raja. Liauw Yan buka
rahasia juga bahwa dia buron dari
kuilnya.
"Aku nanti bantu
kau," berkata Tie Hian, yang menjanjikan
sesuatu pekerjaan umpama
menjadi piauw-su, kemudian dia
ajak si paderi berjalan
bersama, sampai di rumah makan itu.
Di sini Tie Hian yang anjurkan
Liauw Yan membawa aksinya
itu tanpa si paderi ketahui ia
telah dijadikan perkakas guna
memancing keluar pada San Bin
dan isteri.
305
Walaupun ia sembrono dan
polos, Liauw Yan masih dapat
membedakan hal yang benar dan
tidak-tidak. Pula ia sangat
menghargai dua orang, ialah ke
satu Thio Tan Hong, dan
kedua Kimtoo Ceecu Ciu Kian,
yang di Ganbunkwan telah
menghalangi pasukan perang
bangsa Watzu. Maka itu
timbullah kecurigaannya
setelah dengar Ie Sin Cu ada
muridnya Tan Hong. setelah
mana ia dengar lagi halnya San
Bin putera dari Ciu Kian.
Sebaliknya, Yang Cong Hay berniat
menawan San Bin itu serta Sin
Cu. Tentu saja ia menjadi
murka yang ia telah
diperdayakan, maka itu ia terjang pintu,
ia hajar si perwira, lantas ia
kabur.
San Bin dan isterinya serta
Sin Cu turut Seng Tay beramai
nyerbu keluar. Seng Tay semua
berhasil tapi mereka bertiga
kena dirintangi Yang Cong Hay
dan Law Tong Sun. Sebabnya
ini adalah karena merekalah
yang di arah Cong Hay. Mereka
lantas merasakan kesulitan
mereka. Bertiga mereka sukar
melawan Cong Hay seorang,
sekarang congkoan dari Tay I
wee itu dibantu tongnia dari
Gielimkun serta di belakang dua
orang itu masih ada lima ratus
serdadu, benar-benar mereka
terancam bahaya.
Dalam bingung dan kuatirnya,
Sin Cu ingat kudanya, maka
ia lantas kasi dengar
siulannya yang nyaring. Lantas saja kuda
Ciauwya Saycu ma datang atas
panggilan itu. Untuk ini dia
menyerbu barisan serdadu, yang
dia tidak perduli-kan berapa
besarnya.
Yang Cong Hay segera dapat
lihat itu kuda putih, ia
mengarti pentingnya kuda itu,
lantas ia berteriak: "Jangan
lukai kuda itu! Tangkap
hidup-hidup!"
Beberapa serdadu lantas maju,
untuk menangkap, tapi
lacur mereka, kuda itu
menerjang dan menjentil, hingga
mereka roboh dengan kesakitan.
306
Sambil meringkik-ringkik, kuda
itu menerjang terus ke arah
Sin Cu.
Law Tong Sun panas hatinya, ia
tinggalkan Sin Cu, ia
memburu kepada kuda itu.
Sebaliknya binatang itu dapat
berlari-lari dengan merdeka,
karena tidak ada satu serdadu
yang berani melukainya.
Selama itu, rombongannya Kwee
Seng Tay sudah lolos dari
kepungan. Beng Tiang Seng
mengetahui San Bin bertiga
belum dapat menerjang keluar,
ia kata pada gurunya: ”Suhu,
silahkan suhu lindungi semua
orang, untuk pergi dari sini, aku
hendak kembali akan menyambut
mereka itu bertiga!" Tanpa
menanti jawaban lagi, ia lari
balik, untuk terus menggulingkan
tubuhnya di tanah, untuk
segera menyerang tentara, guna
membabat kakinya siapa yang
berada dekat.
Semua serdadu itu heran dengan
ini cara berkelahi, mereka
tidak berani merintangi.
Tong Sun sudah lantas datang
dekat kuda putih, ia memikir
akan gunai ilmu silatnya
Hunkin Cokut hoat, untuk melukai
kuda itu, supaya gampang ia
tangkap, akan tetapi belum lagi
ia mewujudkan pikirannya itu,
tiba-tiba ia tampak satu tubuh
bergulingan ke arahnya. Ia
menjadi kaget dan lantas saja
repot sendirinya, sebab ia
segera diserang orang itu. Terhadap
orang yang bergulingan, ia
tidak berdaya, benar ia dapat
berlompatan, untuk berkelit,
tidak urung satu kali tulang
kakinya kena terhajar hingga
ia kesakitan dan berkaok-kaok.
Kuda putih, yang tidak ada
yang menghalangi, kembali
men-jentil roboh dua serdadu,
dengan maju terus, dia
mencoba menghampirkan majikannya.
307
Tong Sun sementara itu panas
hatinya. Biar bagaimana, ia
jauh terlebih liehay daripada
Tiang Seng, maka untuk
melayani terlebih jauh, ia
bergerak dengan ilmu silatnya
tindakan patk-wa, delapan
penjuru. Sekarang Tiang Seng
tidak dapat lagi menyerang
kaki lawannya, malah sebaliknya,
setelah beberapa kali
berlompat, Tong Sun dapat menendang
lawannya sampai terpental dan
jatuh tidak berkutik lagi. Maka
di lain saat ia sudah kena
diringkus serdadu.
Dengan begitu, Tong Sun dapat
lari pula ke arah kuda
putih.
Yang Cong Hay sedang layani
Sin Cu bertiga ketika ia dapat
lihat sepak terjangnya Tong
Sun, ia jadi berkuatir kuda itu
nanti dapat ditangkap kawannya
itu. Maka ia kata dalam
hatinya: "Baiklah aku
tangkap dulu kuda itu! Masih ada tempo
akan membekuk San Bin..."
Dalam kekacauan itu, tiba-tiba
terdengar bunyi "ting-tong"
beberapa kali. Ie Sin Cu
mengayun tangannya sambil
melompat maju dan tiga buah
bunga emasnya, menyebabkan
peluru si kate (pendek) runtuh
semua.
Ie Sin Cu dapat menduga hati
orang ketika ia dapatkan
congkoan ini saban-saban
menoleh ke arah Tong Sun dan
kuda putihnya, maka justeru
orang berayal, ia enjot tubuhnya
untuk lompat melesat, guna
menjauhkan diri, habis mana ia
menoleh sambil layangkan
sebelah tangannya, hingga tiga
bunga emasnya menyamber
congkoan itu.
Yang Cong Hay liehay, ia
menangkis dengan pedangnya,
setelah mana ia lompat, untuk
susul nona itu. Biarnya begitu,
ia toh terlambat juga
disebabkan tangkisannya itu, dan sang
kuda putih sudah tiba di depan
majikannya.
308
Tanpa ayal, malah dengan
lincah sekali, Sin Cu lompat naik
ke punggung kuda. Di waktu ia
baru duduk, satu serdadu
menikam ia dengan sebatang
tombak panjang. Ia berlaku
sebat, dengan tangan kiri ia
samber tombak itu, dengan
tangan kanan ia membabat. Maka
kutunglah lengan si
serdadu, hingga tombaknya kena
terampas.
Justeru itu, San Bin dan
isterinya pun tiba ke situ. Tanpa
Cong Hay merintangi tapi
mereka bisa membuka jalan di
antara banyak serdadu.
"Ke mari!" Sin Cu
teriaki suami isteri itu, sedang kudanya ia
putar, guna memapaki mereka
itu.
Tong Sun sekarang sudah datang
dekat, dia maju untuk
pegat si nona.
"Saudara Law, tangkap
dulu pemberontak!" Cong Hay
teriaki kawan itu. Dengan
pemberontak ia maksudkan San Bin
suami isteri.
San Bin sendiri sudah maju
jauh, bagaikan harimau lolos
dari dalam kerangkeng, ia
menyerang hebat ke kanan dan kiri,
setelah merobohkan belasan
serdadu, ia datang semakin
dekat pada Sin Cu. Karena ini,
ia pun jadi datang dekat sama
Tong Sun.
Orang she Law ini mengarah
kuda, tetapi ada titah dari
Cong Hay, ia tidak dapat
tentangi itu. Benar kedudukan
mereka berimbang tapi Cong Hay
minta ia menawan
"pemberontak,"
alasan itu kuat.
Dengan berlompat, Tong Sun
dekati San Bin dan Cui Hong,
dengan geraki kedua tangannya,
ia menyerang berbareng
kepada suami isteri itu.
Dengan tangan kiri ia hajar San Bin,
dengan tangan kanan ia ingin
robohkan si nyonya.
309
Atas serangan itu, San Bin
berdua kena dipaksa mundur.
Tapi San Bin tidak melainkan
mundur, setelah per-nahkan diri,
ia membalas membabat. Ia ingin
menabas kedua-dua
tangannya lawan itu, ia
membacok dari kiri terus ke kanan,
dalam gerakannya "Sunciu
twieciu" atau "Mengikuti tangan
menolak perahu."
Tong Sun benar-benar liehay.
Serangannya tadi sebenarnya
di arahkan kepada San Bin
seorang, lalu ia meneruskan
kepada Cui Hong. Serangan
kepada si nona ini ada gertakan
belaka. Begitu ia dibabat, ia
berkelit seraya mendak, tetapi
begitu ia angkat pula
tubuhnya, ia ulangi serangannya kepada
Cui Hong. San Bin terkejut,
hendak ia membantu isterinya,
dengan cepat ia membacok pula.
Kali ini Tong Sun sudah
bersedia. Begitu golok lewat,
tangan kirinya menyerang San
Bin, cepatnya luar biasa,
hingga Kimtoo Ceecu tidak sempat
mengegos tubuh, maka dadanya
kena tertekan, bajunya
sampai robek, di dadanya itu
lantas berpetah tapak lima jari,
tubuhnya pun terhuyung.
Cui Hong tidak sempat
menolongi suaminya itu.
Berbareng itu waktu, dari arah
rumah makan datang satu
rombongan orang yang di
kepalai oleh perwira yang tadi.
Rombongan itu terdiri dari
orang-orang restoran berikut
pengurusnya yang usianya sudah
lanjut. Perwira ini tidak
bercuriga terhadap si
pengurus, dari itu ia cuma membelenggu
tangannya beberapa jongos. Ia
tawan mereka itu untuk
dibawa ke tangsi, guna
diperiksa. Si orang tua bukan cuma
tidak diborgol, diikat dengan
tambang pun tidak, dan ia jalan
dekat si perwira.
Rombongan ini datang dekat
Tong Sun sejarak beberapa
tindak, justeru tongnia dari
Gielimkun itu hendak mengulangi
serangannya kepada San Bin,
selagi ceecu ini terhuyung.
310
Mendadak saja si orang tua
berseru, tubuhnya diputar, kedua
tangannya bergerak sebat
sekali. Si perwira menjadi kaget,
sebab tahu-tahu kedua
tangannya kena dicekal keras, lalu
badannya terangkat, badan itu
terlempar, tepat ke arah Tong
Sun!
Karena San Bin terancam
bahaya, orang tua itu tidak dapat
berpura-pura lebih lama,
terpaksa ia turun tangan, guna
menolongi ceecu itu.
Tong Sun kaget tetapi ia masih
keburu membela diri. Ia
batal menyerang terus kepada
San Bin, seraya memutar
tubuh, ia tanggapi tubuh si
perwira, untuk ditolak kembali,
hingga tubuh orang disamakan
dengan bola.
"Siauwcujin, lekas
lari!" berteriak si pengurus restoran
kepada San Bin, yang ia
panggil siauwcujin atau majikan
muda. Sembari berteriak, ia
hampirkan Tong Sun, untuk
dirintangi.
San Bin tahu si orang tua
bukan tandingan dari Tong Sun,
ia hendak memberikan
bantuannya, maka ia geraki goloknya.
Tidak beruntung, tangannya
tidak sudi dengar kata. Begitu ia
kerahkan tenaganya, guna
mengayun golok, ia rasakan
dadanya sakit, goloknya turun
sendirinya.
Justeru itu Sin Cu bersama
kudanya telah datang dekat.
"Lekas lompat naik!"
ia teriaki ceecu itu.
Cui Hong menginsafi pentingnya
ketika, tanpa tunggu
suaminya menyahuti, ia samber
tubuh suami itu, terus ia
angkat, untuk dibawa lompat,
ke punggung kuda.
Sin Cu dengan sebat menggeser
tubuh ke belakang, untuk
memberi tempat kepada suami
isteri itu, sambil berbuat
311
begitu, ia mainkan tombak di
tangan kiri dan pedang di
tangan kanan, guna menghalau
setiap musuh, untuk nerobos
keluar kepungan.
Yang Cong Hay telah saksikan
itu semua, dia berlompat
memburu. Dia ada sangat
lincah, gerakannya sangat pesat.
Kepandaiannya ilmu enteng
tubuh memang istimewa.
Sin Cu dapat lihat orang
datang, ia memapaki dengan satu
tikaman tombak.
"Crok!" demikian
satu suara bentrokan, dan ujung tombak
itu terbabat kutung!
Tanpa menghiraukan tombaknya
buntung, Sin Cu
mengeprak kudanya, supaya
binatang itu berlompat maju,
guna pergi menyingkir lebih
jauh.
"Awas!" teriak Cong
Hay, yang sudah lantas menimpuk
dengan ujung tombak lawannya
itu.
Sin Cu menangkis, tetapi
tombak itu terpental ke samping,
tepat nancap di pundaknya Cui
Hong, hingga darahnya si
nyonya lantas saja bercucuran
keluar.
"Panah!" Cong Hay
berteriak pula, mengasi titahnya.
Ie Sin Cu putar tombak
buntungnya, untuk mengeprak
jatuh setiap anak panah. Dan
kudanya, di lain pihak, sambil
meringkik keras, sudah
berlompat, untuk kabur. Dia dapat lari
keras walaupun punggungnya
memuat tiga orang. Sama sekali
binatang ini tidak menjadi
kaget dengan datangnya anak-anak
panah.
Tiba-tiba saja San Bin ingat
suatu apa dan terus berseru:
"Mari kita tolongi si
pengurus rumah makan!"
312
"Lambat sedikit saja,
kita semua tidak bakal lolos!" Sin Cu
bilang.
"Toako, kau perlu lolos
terlebih dulu," Cui Hong pun bilang.
"Dia telah tolongi kita,
apa boleh kita tidak menolongi dia?"
tanya San Bin keras.
Justeru itu terdengar teriakan
aneh dari Law Tong Sun,
kapan San Bin menoleh ke
belakang, ia tampak si tongnia
Gielimkun tengah mengangkat
tubuhnya pengurus rumah
makan itu, kedua tangan siapa
telah ter-telikung, setelah
mana orang dilemparkan kepada
satu perwira berpangkat
geeciang. Habis itu, Tong Sun
lari memburu.
Saking gusar dan mendongkol,
San Bin berseru keras,
hingga ia memuntahkan darah,
habis mana ia pingsan,
tubuhnya terjatuh ke belakang,
syukur Cui Hong lantas
menyamber untuk dipeluki.
Dengan tangannya yang sebelah
lagi, nyonya ini mainkan
goloknya, untuk melindungi diri. Di
waktu begitu, ia melupakan
luka di pundaknya.
Kuda putih lari terus, akan
membuka jalan di antara
serdadu-serdadu tukang panah
itu. Di mana kuda sampai,
orang lari menyingkir. Maka
sebentar kemudian, kuda
jempolan ini sudah
meninggalkan jauh tentara negeri itu,
malah Yang Cong Hay pun tidak
sanggup mengejarnya, hanya
ia penasaran dan menyayangi
yang kuda itu dapat lolos.
Akhirnya ia menjadi seperti
nekat, ia siapkan panahnya,
dengan mengertak gigi, ia
menarik tali panah. Di saat itu, ia
bersangsi pula, maka sejenak
kemudian, kuda putih itu dan
penunggangnya semua telah
pergi jauh...
Untuk beberapa lie, kuda itu
kabur terus, sampai di jurusan
timurnya terdengar suara
tambur dan terompet tentara. Ie Sin
313
Cu tidak ingin bertemu pula
sama tentara negeri, ia tarik les
kuda, untuk lari ke arah
barat, hingga di lain saat mereka
berada di mana tak ada seorang
lain jua. Di sini kuda lari di
jalanan gunung yang sempit dan
berliku-liku.
Sampai di situ, lega hatinya
Cui Hong, tetapi justeru itu, ia
seperti kehabisan semangat,
hingga ia rasai tubuhnya lemah,
tubuh itu bergoyang-goyang
seperti hendak jatuh dari atas
kuda.
Sin Cu lihat orang lelah, ia
lantas memeluk. Ia sekarang
melihat tegas darah di pundak
nyonya itu, yang masih
mengalir. Tidak ayal lagi, ia
buka baju si nyonya, untuk di atas
kuda juga mengobati lukanya
itu.
Sampai di situ, San Bin pun
sadar dengan pelahan-lahan. Ia
terkejut akan menyaksikan Sin
Cu tengah mengolah tubuh
isterinya. Ia lantas ulur
sebelah tangannya, guna merangkul
isterinya itu, dengan hawa
amarah naik, ia membentak: "Eh,
kau bikin apa?"
Sin Cu terkejut akan mendapati
orang bergusar. Dalam
sesaat itu, ia lupa bahwa ia
dandan sebagai satu anak muda.
Cui Hong tertawa tiba-tiba. Ia
kata: ”Toako, kau bikin
berisik apa? Dia adalah satu
nona!"
Ia ingat halnya dulu In Lui,
yang telah permainkan
padanya, maka itu, setelah
pengalamannya itu, ia lantas
ketahui Sin Cu adalah satu
nona.
Sin Cu pun tertawa, terus ia
kasi turun kopianya, hingga
terlihat rambutnya yang bagus.
"Ciu Ceecu, untuk apa kau
bercemburu?" ia pun menanya
sambil tertawa.
314
San Bin tahu ia kecele, ia
jengah sendirinya, tetapi lekas ia
menghaturkan maaf.
Ketika itu matahari sudah
doyong rendah ke barat, manusia
dan kuda letih bersama. Sin Cu
lompat turun dari kudanya, ia
membantui suami isteri itu
turun. Ia pun lantas periksa
lukanya San Bin, Kalau luka
Cui Hong tidak mengenai urat
atau tulang, luka itu tidak
berbahaya, tidak demikian dengan
ceecu ini, jeriji tangannya
Tong Sun membuatnya ia terluka
parah. Sin Cu lantas kasi ia
makan dua butir pil Siauwyang
Siauwhoantan dan menitahkannya
dia beristirahat.
Berselang lama juga, San Bin
merasakan kesegarannya
pulih sedikit. Ingat kepada
lukanya, ia jadi sengit. Katanya:
"Pernah aku berperang
sama tentara Watzu, sampai beratus
kali, belum pernah aku
terkalahkan sebagai ini. Sakit hati ini
mesti aku balas!"
Cui Hong hiburkan suami itu.
"Mana gurumu?"
kemudian San Bin tanya Nona Ie. "Oleh
karena kami mendengar kabar
pemerintah bermaksud tidak
baik terhadapnya, kami sengaja
datang untuk menyambut
padanya. Apakah dia tidak
kurang suatu apa?"
"Suhu sudah menyingkir
sejak siang-siang," sahut Sin Cu.
"Untukmu ia telah titipkan
sepucuk surat."
Nona itu lantas keluarkan
surat gurunya itu.
San Bin sambuti surat itu,
untuk dibuka dan dibaca,
habisnya, ia menghela napas:
"Ah! Gurumu melarang aku
menuntut balas!"
"Apakah yang Thio Tan
Hong tulis?" Cui Hong tanya.
315
"Dia bilang di pesisir
timur selatan keamanan tengah
terganggu oleh
perompak-perompak bangsa kate (pendek),
jikalau aksinya kawanan
perompak itu tidak dicegah, mereka
bisa menjadi bencana besar di
belakang hari," sahut San Bin.
"Karena ini ia
menghendaki aku memecah sebahagian
tentaraku, guna dipindahkan ke
Kanglam, untuk bekerja sama
kawan sepaham di pesisir timur
selatan itu untuk menentang
pengaruhnya perompak-perompak
bangsa kate (pendek) itu.
Inilah bukan pekerjaan
gampang."
"Apakah yang sulit?"
Sin Cu menanya.
"Pertama-tama kita orang
Utara tidak bisa berenang,"
jawab San Bin. "Kedua
kita telah lama bermusuh sama
pemerintah, sekarang kita
mesti bawa pasukan tentara
melintasi tempat-tempat jagaan
pemerintah, sulitnya bukan
main. Ketiga, dengan begini
apa kita bukan seperti juga
membantu pemerintah si orang
she Cu itu?"
"Kau telah belajar silat,
apakah kau anggap belajar
berenang lebih sukar daripada
belajar silat itu?" Sin Cu tanya.
"Tentu saja belajar silat
ada terlebih sukar."
Si nona lantas tertawa.
"Kalau begitu,
kesukaranmu yang pertama itu tidak
beralasan!" ia berkata.
"Siapa pun tak bisa begitu dilahirkan
lantas dapat berenang. Orang
Utara juga, satu kali dia sampai
di Selatan, dia bakal bisa
berenang. Kita bisa belajar
berperang di air."
"Dan tentang kesulitan
tentara kita berangkat ke selatan,"
Cui Hong turut bicara,
"untuk bisa melintasi tempat jagaan
tentara negeri, baiklah kita
atur supaya mereka menyamar
316
sebagai pelbagai golongan
penduduk, jalannya pun dengan
berpencaran. Kita mesti masuk
ke Selatan dengan
menyelundup."
San Bin tertawa.
"Kamu berdua membilang
begini, aku jadinya tak seperti
kamu kaum wanita!" ia
kata. "Aku bukannya tidak mengarti
maksudnya Thio Tan Hong, bahwa
menolongi rakyat dari
ancaman bahaya adalah tugas
kita. Memang tidak dapat aku
menampik. Aku hanya tidak puas
kita keluarkan tenaga untuk
pemerintah si orang she Cu.
Pemerintahlah yang mesti tolong
rakyat di Selatan itu. Kalau
sekarang kita yang menolongi,
habisnya, pemerintah bakal
melabrak musnah pada kita!"
"Tetapi kau harus ingat,
toako, Thio Tan Hong sendiri tidak
mengutarakan penasaran seperti
kau ini," berkata Cui Hong,
sang isteri. "Bicara
perihal sakit hati, dia sebenarnya lebih
membenci dan mendendam kepada
pemerintah!"
San Bin memang mengarti soal
itu.
"Baiklah!" katanya.
"Asal kita bisa pulang ke tempat kita,
akan aku kerahkan
tentaraku..."
San Bin bicara keras-keras,
lukanya terasa sakit, maka ia
menjadi lesu pula.
"Mari kita cari rumah
penduduk, untuk menumpang
menginap barang semalam,"
Cui Hong menyarankan.
Tapi mereka berada di tempat
pegunungan yang sunyi. Di
situ di mana ada rumah orang?
Sin Cu berniat mencari tetapi
ia kuatir untuk meninggalkan
suami isteri itu.
317
Tengah mereka bingung, Sin Cu
tiba-tiba mendengar suara
kuda meringkik, lalu kudanya
meringkik keras dan panjang,
terus berjingkrakan dan lari.
Itulah aksi kuda menyambuti
suara bangsanya. Nona Ie
menjadi heran. Tidak biasanya
kuda putih itu menjadi binal.
Ia memanggil, kuda itu tidak
kembali. Terpaksa ia lari,
untuk menyusul.
Baru saja Sin Cu muncul di
sebuah tikungan, sekonyongkonyong
ia dengar bentakan
terhadapnya: "Bangsat bernyali
besar! Kudanya Thio Tan Hong
juga kau berani curi?" Lalu
bentakan itu disusuli satu
serangan hebat dengan sebatang
sianthung, tongkatnya seorang
suci.
Sin Cu terkejut dan heran. Di
bawah sinar rembulan, ia
dapatkan si penyerang adalah
satu paderi yang alisnya
gompiok dan matanya besar, dan
tongkatnya, yang panjang,
besar umpama kata sebesar
mangkok. Untuk melindungi diri,
terpaksa ia menangkis.
Sebenarnya ia hendak menegur, guna
meminta keterangan, apa mau,
si paderi sudah lantas
mengulangi serangannya dan,
secara hebat sekali.
Kali ini Nona Ie tidak berani
menangkis, ia berkelit, tetapi
justeru ia berkelit, ia
menjadi kena didesak paderi itu, yang
bengis sekali, yang tak mau
berhenti dengan dua kali
serangannya itu. Ia melayani
dengan tunjuki kegesitannya.
Segera ia dapat kenyataan
orang ada terlebih liehay banyak
daripada Liauw Yan Taysu.
" Toasuheng, dengar dulu
aku!" akhirnya ia berseru setelah
terdesak berulang-ulang. Ia
pun heran sekali atas sikap keras
dari paderi ini.
"Kau hendak omong
apa?" membentak paderi itu. Ia
lompat minggir. Lebih dulu
daripada itu, ia sudah sampok
pedang orang hingga pedang itu
terlepas dan mental.
318
"Ah, kiranya kau muridnya
Thio Tan Hong!" kemudian
paderi itu berkata dengan
nyaring sambil ia tertawa, sedang
Sin Cu berdiri tercengang
saking herannya.
"Sungguh, satu jaman
dengan satu jaman, orang menjadi
terlebih pandai, maka kita
dari tingkat terlebih tua harus mati
karena malu!..."
Sin Cu lompat untuk pungut
pedangnya, setelah itu, ia
awasi paderi itu, seorang
berusia mendekati enam puluh
tahun, mukanya merah segar,
matanya sedang memeriksa
tongkatnya, yang ujungnya
bercacad bekas bentrok sama
pedangnya. Paderi itu pun
mengawasi ia sambil bersenyum
berseri-seri, tidak lagi
bengis seperti tadi. Sedang tak jauh dari
mereka, ia lihat, kudanya kuda
Ciauwya Saycu ma tengah
bergurau sama seekor kuda
putih lainnya, yang segalanya
mirip dengan kudanya itu,
kecuali bulu putih di badannya
kecampuran banyak titik-titik
hitam.
Ciauwya Saycu ma menekuk
sebelah kakinya di depan kuda
putih itu, kepalanya
digosok-gosoki, dan kedua kuda berbunyi
tak hentinya. Mereka mirip
orang yang ketemu sanaknya yang
terdekat.
Menyaksikan semua itu, Sin Cu
ingat suatu apa. Itu waktu
pun lantas terdengar suara
nyaring dari Ciu San Bin: "Oh,
kiranya Tiauw Im Taysu."
Sin Cu segera menoleh, ia
dapatkan Cui Hong tengah
mempepa-yang suaminya itu.
Mereka rupanya menyusul
karena ia tidak segera
kembali. Tidak tempo lagi, ia bertekuk
lutut di depan paderi itu
seraya mengatakannya: “
Supeecouw, cucu muridmu Ie Sin
Cu memberi hormat."
"Kau bangunlah,"
berkata paderi itu, yang memang Tiauw
Im adanya, murid kedua dari
Hian Kie Itsu, yang kesohor ilmu
319
silat tongkatnya yaitu Thianmo
Thunghoat, dan terhadapnya,
Thio Tan Hong mesti memanggil
jiesupee, pe-man guru yang
kedua, sedang kuda putihnya
itu adalah biangnya Ciauwya
Saycu ma, maka juga kedua
binatang itu erat sekali
perhubungannya satu dengan
lain.
“ Siauwceecu, kenapa kau
terluka?" Tiauw Im tanya San
Bin.
"Kita dikepung
musuh," sahut Cui Hong, yang tuturkan
jalannya pertempuran melawan
rombongannya Yang Cong
Hay.
"Kiranya kamu juga sedang
mencari Thio Tan Hong!"
berkata paderi itu. Ia terus
tertawa dan menambahkannya:
"Aku pun lagi cari dia
supaya dia balaskan sakit hatinya dua
bacokan ini!" Ia robek
jubah di betulan pundaknya yang kiri,
akan mengasi lihat dua tapak
bacokan yang bersilang. Luka itu
telah ditempeli kouwyoh.
Sin Cu heran sekali.
"Pantas suhu membilangnya
hebat gwakang dari
supeecouw ini, dia terluka
pundaknya begini hebat tetapi ia
masih sanggup bersilat dengan
dahsyat sekali." pikirnya.
"Siapakah yang telah
makan hati harimau dan nyalinya
macan tutul maka dia berani
memusuhkan taysu?" San Bin
tanya. Ceecu ini pun heran.
"Siapa yang membacok
taysu?" Cui Hong bertanya.
"Mereka itu bukan
melainkan memusuhkan aku!" menyahut
Tiauw Im, sengit. "Mereka
juga membinasakan ribuan
penduduk di sepanjang pesisir
timur selatan! Syukur untukku,
tongkatku ini bukan tongkat sembarang,
kalau tidak pastilah
320
tubuhku juga telah tercingcang
mereka itu! Dua lukaku ini ada
luka bacokannya
perompak-perompak kate (pendek)!"
Lantas paderi ini menuturkan
hal ikhwalnya. Ia memang
gemar membelai perkara-perkara
tidak adil, waktu ia dengar
kabar perompak kate (pendek)
di pesisir timur selatan
mencelakai rakyat, yang mereka
garong dan bunuh-bunuhi, ia
lantas pergi ke Ciatkang, di
kota Tayciu, untuk membantu
pasukan suka rela rakyat.
Dalam satu pertempuran besar,
tentara rakyat itu kena dikalahkan,
sebab jumlah mereka
hanya beberapa ratus tetapi
perompak kate (pendek) tiga ribu
jiwa, benar musuh banyak yang
terbinasa tapi pihak rakyat
sendiri menderita kerugian
separuhnya. Ketika
Tiauw Im melindungi pemimpin
pasukan, Yap Cong Liu dan
Teng Bouw Cit, dalam
pergumulan, dua kali ia kena terbacok.
Demikian ia peroleh
luka-lukanya itu.
Sampai di situ Ie Sin Cu
mengatakan bahwa gurunya sudah
berangkat ke Taylie.
"Tentulah dia berniat
mengundang toasuheng turun
gunung," Tiauw Im
mengutarakan dugaannya.
"Katanya dia hendak
memberi selamat hari ulangnya
toasucouw," kata Sin Cu.
"Ah, aku sampai
lupa!" seru Tiauw Im seraya ia ketok
kepalanya sendiri.
"Memang tahun ini suhu memasuki usia
delapan puluh tahun!" Ia
tertawa dan menambahkan:
"Memang nampaknya Tan
Hong si bocah hendak
menyingkirkan diri dari dunia
ramai tetapi sebenarnya hatinya
panas bergolak, dia melebihi
aku dalam hal gemar mengurus
segala peristiwa tidak adil.
Begitulah pernah dia menulis surat
kepada Yap Cong Liu
menganjurkan Cong Liu berserikat
bersama San Bin dan lain-lain
rombongan suka rela lagi di
321
Shoatang. Sekarang dia pergi
memberi selamat kepada suhu,
mestinya dia ada mengandung
lain maksud pula. Aku lihat,
paling lambat lain tahun, dia
pasti akan sudah kembali ke
Kanglam."
Sin Cu mengangguk. Ia lantas
tanya lukanya San Bin.
"Setelah makan obatmu,
aku merasa baikan," sahut Kimtoo
Ceecu sambil tertawa,
"dan setelah mendengar penuturan
taysu barusan, aku jadi
semakin gembira. Aku percaya lukaku
ini tidak bakal jadi
hebat."
Mendengar pembicaraan itu,
Tiauw Im tegur dirinya sendiri.
"Lihat, bagaimana aku
tolol!" katanya. "Seharusnya kamu
beristirahat!"
"Di mana ada tempat
beristirahat di sini?" Cui Hong tanya.
"Di kaki gunung sana ada
rumahnya seorang pemburu , ia
ada orang sendiri,"
menyahut
Tiauw Im. "Mari kita
pergi ke sana!"
San Bin bertiga akur, maka
Tiauw Im lantas jalan di depan.
Sin Cu membantui Cui Hong yang
mempepayang suaminya
untuk naik atas kuda putih,
yang Nona Ie telah panggil
datang.
Baru saja kuda mereka
bertindak, tiba-tiba San Bin pesan
Sin Cu: "Nona Ie, tolong
kau meninggalkan tanda untukku.
Setiap kira-kira sepuluh
tindak, bikinlah tanda itu di batang
pohon."
"Tanda apakah itu?"
Sin Cu tegaskan.
322
"Jitgoat Siangkie serta
satu toya besar," sahut San Bin.
Jitgoat Siangkie ialah
sepasang bendera dengan lukisan
matahari dan rembulan.
Mendengar itu, Sin Cu ingat
apa-apa.
"Bukankah tanda untuk Pit
Keng Thian?" ia tanya.
"Benar. Maksud
perjalananku ini kecuali untuk memapak
gurumu juga sekalian untuk
mencari orang she Pit itu, adalah
niatku untuk kita
menggabungkan diri. Dialah adik angkatku.
Taysu, dialah seorang gagah,
yang polos, dia sama tabiatnya
sama taysu."
Tidak enak Sin Cu mendengar
disebut-sebutnya Pit Keng
Thian. Setahu kenapa, ia
merasa sebal terhadap orang itu dan
roman orang yang kasar seperti
berpeta di depan matanya.
Tiauw Im Taysu sebaliknya
gembira sekali dan ia menanyakan
San Bin tentang orang she Pit
itu.
San Bin beritahu siapa orang
itu.
"Haha, kiranya dia
puteranya Pit Too Hoan!" berkata si
paderi sambil
tertawa."Dengan begitu, dia harus memanggil
siesiok kepadaku!"
“ Siesiok" ialah paman.
Karena di masa hidupnya, Pit Too
Hoan bersahabat erat sekali
dengan Tiauw Im. Paderi ini pun
girang sekali mengetahui
pute-ra sahabatnya telah menjadi
Toaliongtauw, kepala dari
orang-orang kosen di lima propinsi
Utara.
Mereka berbicara sambil
berjalan, tak lama lewatlah
mereka di sebuah tikungan dari
mana lantas terlihat sebuah
rumah.
323
“ Siauwceecu," berkata
Tiauw Im, "lukamu ini, dikata berat
tidak berat, dibilang enteng
tidak enteng, mungkin kau perlu
beristirahat beberapa bulan
karenanya. Kebetulan untukmu
untuk singgah di sini, tuan
rumahnya mengerti ilmu
ketabiban."
Baru Tiauw Im berkata begitu,
tiba-tiba terlihat sinar obor
di kaki gunung, dari mana
tertampak satu penunggang kuda
sedang lari mendaki.
"Hebat ilmunya orang itu
menunggang kuda!" berkata
hweeshio ini kagum. "Dan
kudanya pun jempol! Saudara Ciu,
coba lihat, adakah dia Pit
Keng Thian?"
Sin Cu berpaling dengan cepat.
"Yang Cong Hay!" ia
mendahulukan berkata. Dengan
matanya yang celi, ia sudah
lantas mengenali penunggang
kuda itu.
"Yang Cong Hay yang
mana?" bertanya Tiauw Im. "Apakah
dia Yang Cong Hay si jago
pedang dari Sucoan Barat?"
"Dialah Tay i wee
Congkoan Yang Cong Hay!" Cui Hong
menyahuti. "Dialah si
bangsat anjing Yang Cong Hay yang
telah melukai aku!"
Memang jempol kudanya Yang
Cong Hay itu, yang ada
kuda dari istana. Dengan
menunggang kuda ia mencoba
mengikuti jejaknya Ie Sin Cu
dan ia dapat menyan-dak di
tempat ini. Ia sudah lantas
angkat tinggi obornya untuk
memandang ke depan. Tiba-tiba
saja ia tertawa lebar.
"Ciu Ceecu, kau kiranya
masih ada di sini?" ia berkata
nyaring. "Aku si orang
she Yang hendak menawan kau, tuan
yang mulia!"
324
Ie Sin Cu lantas menghunus
pedangnya, sedang San Bin
tidak sahuti orang.
"Kau serahkan bangsat itu
padaku!" berkata Tiauw Im,
dengan suaranya dalam.
"Kau lindungi saja Ciu Ceecu!"
Habis berkata, dengan
tiba-tiba paderi ini berseru keras,
tubuhnya pun mencelat maju,
begitu ia menginjak tanah,
tongkatnya menyamber kaki
kudanya Cong Hay. Kuda itu
liehay, dia kaget dan
berlompat. Cong Hay menjadi gusar
sekali, dengan obornya ia
menimpuk.
Tiauw Im lihat datangnya obor
itu, ia menyampok. Maka
bagaikan seekor ular api, obor
itu terpental jauh beberapa
tombak. Luar biasa gesitnya
paderi ini, menyusuli
tangkisannya itu kepada obor,
ia sudah lompat maju pula,
untuk mengulangi serangannya
kepada congkoan dari istana
kaisar itu. Cong Hay I ompat
turun dari kudanya, setelah itu
dengan pedangnya ia membalas menyerang
dengan jurusnya
"Ular berbisa memuntahkan
bisanya."
"Sungguh lincah!" si
paderi memuji menyaksikan kegesitan
orang. Ia menangkis dengan
keras, hingga pedang dan
tongkat beradu dengan nyaring,
orangnya pada mundur
sendirinya.
"Siapa kau?" Cong
Hay tanya sambil membentak.
"Akulah melaikat Hang Mo
Thiancun yang biasa
mengemplang anjing
jahat!" sahut Tiauw Im. "Kau bocah
tidak punya malu, kau berani
sebut dirimu satu jago pedang,
mari kaii coba tiga ratus
kemplangan tongkatku!"
Jawaban itu dibarengi dengan
serangan bertubi-tubi.
325
Yang Cong Hay men-jad repot
sekali. Ia tidak mau keras
melawan keras, ia terpaksa
menggunai kelincahannya, kelit
sana dan kelit sini,
berlompatan, baru setelah dapat ketikanya,
ia mencoba membalas menyerang.
Mereka bertempur sekian lama,
Tiauw Im tidak dapat
segera merobohkan lawan, ia
menjadi sibuk sendirinya, karena
ini ia menjadi sengit, ia
berkelahi dengan hebat sekali, hingga
tongkatnya bergerak bagaikan
"ular naga keluar dari gunanya"
atau "harimau kelaparan
turun dari gunung."
Yang Cong Hay terpaksa main
mundur, sambil mundur ia
terus menutup dirinya.
Saban-saban ia berhasil melenyapkan
ancaman bahaya tongkatnya si
paderi yang ia tidak kenal itu,
yang ia heran ada demikian
kosen.
Ie Sin Cu menyaksikan itu
pertempuran, ia mengerutkan
keningnya, ia masgul.
"Heran kenapa supeecouw
tidak insaf bahwa orang tengah
menungkuli dia..." ia
kata dalam hati kecilnya. "Kenapa
supeecouw menjadi demikian
sembrono? Coba guruku yang
lagi bertempur, tidak nanti ia
sudi memberikan ketika begini
kepada Yang Cong Hay..."
Memang di antara
murid-muridnya Hian Kie Itsu, Tiauw Im
adalah yang paling kuat
tenaganya tetapi paling rendah ilmu
silatnya, dibanding sama Thio
Tan Hong, keponakan
muridnya, dia masih kalah.
Dengan kepandaiannya itu, kalau
Tiauw Im berkelahi dengan
sabar, ia masih dapat
mengimbangi Yang Cong Hay,
sekarang ia main hantam
kromo, sedang juga sebelah
lengannya sakit, selewatnya tiga
puluh jurus, gerak-gerakannya
menjadi kendor sendirinya.
Yang Cong Hay pun telah kasi
dengar tertawanya yang
dingin.
326
"Aku kira siapa orangnya
yang dapat menggunai ilmu
tongkat Thian Mo Thunghoat
begini liehay, kiranya supee dari
Thio Tan Hong!" ia
berkata, mengejek. "Sayang dia ada
bagaikan kerbau dungkul, sama
sekali dia tidak mengarti
rahasianya ilmu silat yang
luhur! Kau sabar! Maukah kau aku
berikan petunjuk? Ah, tidak
seharusnya kau menyapu secara
begini! Tidak tepat kau
menggunai tenagamu!"
Congkoan ini hendak mengundang
hawa amarah orang dan
ia berhasil. Tiauw Im kena
dibikin panas hatinya, hingga ingin
dia menghajar mampus lawannya
ini dengan satu kali
kemplang saja. Adalah
pantangan orang liehay untuk
bertempur dengan hati bergusar
dan Tiauw Im sudah kena
langgar pantangan itu. Ia
masih menyerang dengan hebat
akan tetapi ilmu silatnya mulai
kacau.
Yang Cong Hay tertawa
terbahak-bahak menampak
perubahan lawannya ini,
sekaranglah ia mainkan pedangnya
secara dahsyat, untuk memulai
serangan pembalasannya,
hingga pedangnya jadi
berkelebatan bagaikan bianglala. Tiauw
Im lantas menjadi repot, dari
pihak menyerang, kontan ia
menjadi pihak yang membela
diri.
Sin Cu goncang hatinya
menyaksikan perubahan itu. Ia
ingin maju, untuk ia
membantui, ia cuma beringin tapi ia tidak
berani mewujudkan itu. Tiauw
Im berderajat lebih tinggi,
kalau ia maju, ia kuatir
supeecouw itu merasa tersinggung
keangkuhannya. Terpaksa ia
berdiri mengawasi dengan tajam,
sebelah tangannya ditaruh di
gagang pedangnya, tangan yang
lain menyiapkan tiga potong
kimhoa, senjata rahasianya itu
yang bermodel bunga emas. Ia
memikir untuk membantu
dengan senjata rahasia tetapi
ini pun ia masih sangsikan...
Justeru itu terdengar
meringkiknya si kuda putih.
327
"Ada orang jahat main
gila!" San Bin berseru.
Sin Cu menoleh dengan cepat,
hingga matanya kabentrok
sama aksinya Tie Hian si orang
kate (pendek) kecil yang
lincah. Entah kapan datangnya
dia, tahu-tahu dia muncul dari
belakangnya sebuah batu besar,
dari situ dia menyiapkan
busur pelurunya, untuk
membokong San Bin, dia dipergoki si
kuda putih, yang terus
meringkik. Karena ini, dia berbalik
mengincar kuda putih itu.
"
Si nona Ie menjadi gusar,
lantas saja ia menimpuk, bukan
kepada Cong Hay, hanya kepada
si orang she Tie itu. Bahkan
ia menyerang tiga kali saling
susul. Bunga emas yang pertama
berhasil mematahkan busurnya
Tie Hian, karena busur
menjepret, tangannya terluka
dan mengeluarkan darah.
Bunga emas yang kedua
menyamber ke kepala, Tie Hian
masih sempat berkelit tetapi
tidak urung rambutnya kena
terbabat, hingga kulit
kepalanya lecet. Dalam takutnya, ia
jatuhkan diri, untuk bergulingan
di tanah. Dengan caranya ini
ia dapat menolong jiwanya,
sebab bunga emas yang ketiga
lewat tepat lagi lima dim dari
batok kepalanya.
Sin Cu masih hendak mengulangi
serangannya dengan
bunga emas kepada Tie Hian si
tayjin atau pahlawan raja
kelas tiga tatkala ia dengar
suara kuda yang dilarikan keras ke
arah mereka, ialah ke arah Tie
Hian yang bergulingan terus ke
kaki bukit. Ia lantas melihat
satu penunggang kuda yang
tubuhnya besar dan kekar.
Sesampainya di dekat Tie Hian,
orang itu lompat turun dari kudanya,
tanpa ayal lagi, dia
dupak si orang she Tie. Tie
Hian masih sempat berkelit, hanya
di lain saat, dia sudah lantas
kena dibekuk orang bertubuh
besar itu.
"Pit Hiantee di
sana?" menanya San Bin sambil berseru,
agaknya ia girang sekali.
328
"Ciu Toako?" orang
itu membalasi. Ia memberi penyahutan
kepada San Bin tetapi
tangannya tak berhenti bekerja. Dengan
keras ia mencekek lehernya Tie
Hian, hingga dia ini
mengeluarkan teriakan
tertahan, lalu tubuh orang dilemparkan
ke dalam jurang tanpa Tie Hian
dapat membuka suara pula.
Yang Cong Hay sedang menang di
atas angin ketika ia
dapat lihat perbuatannya si
orang she Pit itu, yang dalam
segebrakan saja dapat
merobohkan Tie Hian yang lincah, ia
menjadi terkejut. Ia lantas
berpikir: "Di sini ada Pit Keng
Thian, Tiauw Im Hweeshio dan
Ie Sin Cu, kalau mereka
bertiga mengepung aku, inilah
berbahaya. Kalau kita berkelahi
satu sama satu itulah
lain."
Sebagai seorang yang
berpengalaman dan pandai berpikir,
ia lantas desak Tiauw Im
Hweeshio, begitu paderi itu mundur
dengan terpaksa, ia pun lompat
mundur, untuk terus memutar
tubuhnya, guna mengangkat
kaki.
Tiauw Im mendongkol bukan
main, ia menantang sambil
menjerit-jerit tanpa ada
faedahnya, sebab Cong Hay
menyingkir terus, malah dengan
naik atas kuda istana yang
jempol itu, sedetik kemudian
dia sudah menghilang di kaki
gunung.
Pit Keng Thian sudah lantas
datang pada mereka. Ia dan
Tiauw Im pernah bertemu,
mereka kenal satu dengan lain,
hanya sebagai kenalan baru,
mereka saling mengagumi.
"Pit Hiantee, cara
bagaimana kau bisa datang ke mari?"
San Bin menanya.
"Aku dengar kabar toako
datang ke Selatan, aku girang
bukan main," sahut
Toaliong-tauw itu, "melainkan aku
menyesal yang tak dapat aku
siang-siang datang menyambut.
329
Karena itu aku telah utus
lebih dulu kepada Pit Goan Kiong.
Apakah toako telah bertemu
dengannya?"
"Ya," sahut San Bin,
yang tapinya berduka. "Kali ini kita
nampak kerugian tak
sedikit."
"Jangan berduka,
toako." Keng Thian menghibur. "Kecuali
beberapa orang, yang lainnya
telah berhasil aku
menolonginya."
San Bin girang mendengar ke
terangan ini.
"Cara bagaimana hiantee
menolonginya?" ia tanya.
"Aku datang cepat sekali
bersama tiga belas ceecu lainnya,"
menjawab Keng Thian.
"Kebetulan kami bertemu sama
pasukan negeri. Kita lantas
bertempur. Di dalam tentara
negeri itu ada Law Tong Sun
yang liehay sekali, yang lainnya
tak dapat menentangi kami.
Tong Sun tahu diri, ia sudah
lantas mundur. Karena itu
sebagian besar saudara-saudara
yang tertawan pasukan negeri
itu dapat kami bebaskan. Aku
dengar toako menyingkir ke
jurusan ini, aku lantas menyusul
kemari."
"Bagaimana dengan si
pengurus rumah makan yang tua?"
"Dia pun telah dapat
ditolongi."
"Bagus! Bagaimana dengan
Beng Tiang Seng? Dia
muridnya Kwee
Lounghiong."
"Dia terluka parah, dia
dimasuki ke dalam kerangkeng,
Tong Sun sendiri yang jaga
padanya, dia tak dapat ditolongi,"
sahut Keng Thian pula.
330
San Bin menjadi berduka,
berduka tercampur girang. Ia
berdiam.
Keng Thian tertawa besar.
"Asal kita dapat bersatu,
negara Beng pun bakal dapat kita
rampas!" kata dia.
"Jadi bukannya cuma satu Beng Tiang
Seng!"
San Bin masih berdiam.
Sin Cu dengar suara jumawa
itu, tak senang hatinya, ia
sudah hendak membuka mulutnya,
syukur ia lantas dapat
menguasai diri. Justeru itu
matanya Keng Thian melihat si
Nona Ie.
"Ah, Nona Ie, kita
bertemu kembali," katanya sabar.
"Sungguh kita berjodoh!
Kali ini kau toh memasuki ikatan kita,
bukan?"
Tiauw Im mengawasi Sin Cu, ia
tertawa.
"Lagi-lagi satu nona
menyamar!" katanya. "Kau mirip In Lui
dulu hari itu. Apakah senjata
rahasia kau ini dia yang
mengajarinya?"
Keng Thian tidak puas yang
Tiauw Im menyelak bicara,
tetapi ia dapat bersabar
sampai si nona sudah menjawab
paderi itu. Ia kata pula
dengan sabar seperti tadi: "Apakah
nona telah tanyakan gurumu
tentang peta bumi itu? Itulah
peta bumi yang mengenai
kepentingan negara!"
Sin Cu menyahuti dengan
dingin. Ia tanya: "Mana lebih
perlu, merebut negara atau
menolongi rakyat jelata?"
Ditanya begitu, Keng Thian
melengak.
331
"Apakah artinya
pertanyaan ini?" ia balik menanya.
"Benar," Tiauw Im
menyelak pula, "perkataannya Sin Cu
cocok dengan suara gurunya.
Tan Hong menghendaki kamu
lebih dulu menolongi penduduk
di pesisir timur selatan. Di
sana itu selama yang
belakangan ini perompak-perompak
bangsa kate (pendek) ada
sangat mengganas, apakah kau
tidak ketahui itu?"
"Perompak-perompak kate
(pendek) itu adalah penyakit di
kulit belaka!" sahut Keng
Thian.
"Sekalipun kurap, jikalau
tidak lekas diobati, penyakit itu
bisa merembet menjadi
berbahaya!" kata Tiauw Im pula.
"Laginya belum tentu itu
hanya penyakit kurap! Saudara Pit,
aku baru kembali dari Tayciu,
hendak aku menjelaskan kau
tentang perompak bangsa kate
(pendek) itu. Ah, keadaan di
sana sungguh hebat dan
mengenaskan..." Ia berhenti
sebentar, lalu ia ketok
kepalanya yang gundul. "Kau lihat,
bagaimana aku tolol. Ciu Ceecu
dan isteri perlu beristirahat!
Mari kita kembali dulu ke
rumahnya pemburu itu."
Pikiran ini lantas diwujudkan,
maka sebentar lagi mereka
sudah berada di dalam rumah si
pemburu yang dimaksud itu.
Sin Cu mengatakan letih dan
ngantuk, ia pergi beristirahat
lebih dulu. San Bin dapat
menguatkan hati, ia duduk pasang
omong sama Tiauw Im dan Keng
Thian, membicarakan urusan
perompak bangsa kate (pendek).
Suara mereka itu membuat
si Nona Ie sukar pulas.
"Pit Laotee,"
berkata Tiauw Im, suaranya keras, "asal kau
tiba di pesisir timur selatan
itu dan dapat melihat keadaan di
sana, tidak dapat tidak
perutmu pasti meledak dan matamu
tentulah pecah dan rambutmu
bangun berdiri! Kawanan
perompak itu bukannya manusia
lagi, mereka main bunuh
332
orang atau menawan, tapi yang
paling hebat, sekalipun anakanak
kecil mereka bunuh juga! Di
waktu mereka menganiaya,
mereka dapat bertepuk tangan
dan bersorak-sorai. Sayang di
mala-man aku menyaksikan
kekejaman mereka, aku datang
terlambat, benar aku bisa
labrak mereka tetapi anak-anak itu
tidak dapat ditolong lagi.
Karena itu untuk beberapa malam
aku tidak dapat tidur pulas.
Perompak itu, saban habis
membajak, lantas kabur pula
dengan bawa rakyat yang
diculik, sedang yang lain
mereka bunuh dan wanitanya
diperkosa. Di waktu mau pergi,
mereka main membakar
kampung! Coba bilang, laotee,
siapa saja yang bersemangat,
bisakah dia diam saja? Kau
sendiri, apa kau bakal kerahkan
pasukanmu atau tidak?"
Keng Thian berdiam, hatinya
berpikir.
"Mengerahkan pasukan,
itulah tentu," sahutnya kemudian,
"Hanya, paman Tiauw Im,
di bahagian apakah liehaynya
kawanan perompak itu? Apakah
di antara mereka ada yang
liehay ilmu silatnya?
Sebelumnya bertindak, kita harus ketahui
diri sendiri dan mengenal
mereka itu."
"Kawanan perompak itu
biasa memecah diri dalam
rombongan-rombongan kecil,
kalau mereka bergerak,
nampaknya mereka bukan
gerombolan belaka," menyahut
Tiauw Im. "Mereka pergi
ke segala tempat yang mereka suka.
Tentara negeri menjaga
masing-masing wilayahnya, mereka
tidak merintangi. Jadinya
perlawanan mengandalkan saja pada
pasukan suka rela rakyat, yang
tidak terpimpin sempurna.
Inilah ruginya pihak kita.
Kawanan perompak itu ada punya
golok buatannya sendiri yang
tajam luar biasa, terutama di
waktu bergumul, pihak kita
tidak dapat mempertahankan diri.
Maka itu aku anggap, kita
mesti punya pasukan yang terlatih,
seperti pasukanmu itu. Tentang
ilmu silat, kawanan itu
mengarti yudo dan kendo. Yudo
mirip dengan silat tangan
333
kosong Thaykek Kun kita. Kendo
ialah ilmu pedang, yang beda
dengan ilmu pedang kita.
Kabarnya ahli yudo dan kendo
mereka dibagi dalam sembilan
dan. Pernah aku mengalahkan
dua musuh dari tingkat dan ke
lima, dengan dan ke sembilan,
belum pernah aku
bertemu."
Keng Thian kembali diam
berpikir.
"Kalau begitu,"
berkata San Bin, "tidak perduli kawanan
perompak itu liehay sekali,
tidak dapat kita tidak pergi ke
sana! Tiauw Im Taysu, kudamu
dapat lari keras, kau saja yang
menolongi membawa /eng cian
serta suratku ke
pesanggrahanku di luar kota
Ganbunkwan, untuk menitahkan
mereka itu nyelusup masuk ke
sini, guna berkumpul di
Gieouw, Ciatkang. Aku percaya
itu waktu lukaku tentu sudah
sembuh, nanti aku yang pimpin
sendiri kepada mereka itu.
Untuk menjaga pesanggrahan,
cukup dengan meninggalkan
satu atau dua per
sepuluh."
"Baik," jawab Tiauw
Im, setuju. "Kau, Pit Hiantee?"
"Pasti aku akan
turut," sahut Pit Keng Thian. "Cuma satu
hal harus didamaikan
dulu."
"Apakah itu?"
"Menurut katamu tadi,
rakyat suka rela dan badan
keamanan setempat di pesisir
timur selatan itu bekerja sendirisendiri,
inilah tidak bagus,"
berkata Keng Thian. "Aku pikir
perlu kita angkat satu
pemimpin dan orangnya ialah Ciu Toako
yang paling tepat, hanya tak
tahu kita bagaimana dengan Yap
Cong Liu dan Teng Bouw Cit,
mereka akur atau tidak."
"Untuk aku, siapa
menentang perompak, aku turut
padanya," berkata Tiauw
Im, "maka juga, siapa menjadi
pemimpin, itulah bukannya
soal."
334
"Bukannya begitu,"
Keng Thian tertawa. "Dalam urusan
peperangan, tanpa pemimpin,
itulah tak dapat. Bukankah kita
bukan cuma untuk membasmi
perompak saja? Tidakkah
demikian, Ciu Toako?"
"Memang ular tanpa kepala
tak dapat jalan, inilah benar,"
kata pula si paderi,
"hanya soal siapa mesti jadi kepala, aku
tidak tahu..."
"Pemimpin itu mestinya
Ciu Toako," Keng Thian tegaskan.
"Siapa tidak tahu nama
besar dan pengaruhnya Kimtoo
Ceecu?"
"Tidak, hiantee,"
berkata San Bin. "Mengenai kepintaran,
kau menang banyak daripada aku
dan kau juga Toaliongtauw
dari lima propinsi Utara.
Bukankah semua orang Rimba Hijau
dan pelbagai perkumpulan telah
mendengar kau? Maka kaulah
yang mesti jadi
pemimpin."
"Aku menjadi Toaliongtauw
karena orang sudi menjunjung
aku," Keng Thian masih
menolak, "di samping itu, toako
bersama, mana dapat aku
melewati kau?
Laginya, Yap Cong Liu dan Teng
Bouw Cit ada terlebih
berpengaruh daripada
aku."
Melihat orang saling tolak,
Tiauw Im tertawa.
"Kamu bukan bakal jadi
raja, kenapa kamu main saling
dorong?" kata ia.
"Menurut aku, Pit Hiantee, kau terlebih
tepat. Bukankah kau tuan rumah
dan Ciu Ceecu tetamu?
Tentang Yap Cong Liu dan Teng
Bouw Cit, mereka telah
nyatakan padaku, baik Ciu
Toako atau Pit Hiantee, pasti
335
mereka akan menjunjungnya. Pit
Hiantee, sekalipun kau
menjadi raja, Tiauw Im akan
tunjang padamu!"
Paderi itu tertawa, begitu
juga San Bin dan Keng Thian.
Mereka berdua kagum untuk
kepolosannya paderi ini.
Di akhirnya Sin Cu di dalam
kamar dengar Keng Thian
menerima baik kedudukannya. Ia
masgul sekali. Ia tak puas
dengan suara kaku dari orang
she Pit itu. Tapi ia berpikir: "Dia
beroman kasar, siapa tahu, dia
bisa berpikir. Terang dia ingin
menjadi kepala tetapi dia
berpura-pura. Dia suka menjadi
kepala penentang perompak, ini
ada baiknya juga..."
Kemudian terdengar pula
suaranya Tiauw Im, yang
mengatakan hendak berangkat
besok, sebab pertolongan
sangat penting. Ia pun
menganjurkan Keng Thian berangkat
lebih duluan ke Tayciu bersama
rombongannya.
"Tindakan untukku tidak
ada sedemikian sederhana,
saudaraku yang baik,"
berkata Keng Thian. "Pertama,
sepulangku ke Shoa-tang, aku
mesti panggil berkumpul semua
tiong-tauw dari pelbagai
penjuru, kita mesti berapat dulu, lalu
setelah itu aku mesti cari
pengganti, untuk mewakilkan aku.
Tidak dapat aku meninggalkan
kedudukanku dengan begitu
saja."
"Tidak dapatkah kau
mengirim orang saja untuk
menyampaikan segala titahmu?"
"Dalam urusan begini mana
bisa kita main wakil-wakilan?"
Keng Thian tertawa pula.
"Tapi usaha melawan
perompak di Tayciu penting sekali,"
Tiauw Im mendesak. "Kita
mesti kirim utusan untuk mengasi
kabar, supaya mereka tidak
keburu runtuh, sebaliknya, agar
mereka dapat semangat."
336
"Habis, siapakah yang
pergi?" menanya San Bin. Ia
tertawa.
"Aku!" sahut Cui
Hong.
"Kau perlu merawat toako,
mana dapat kau pergi?" Tiauw
Im tak akur.
Keng Thian pun ber-sangsi,
sampai tiba-tiba terdengar
suara nyaring: "Aku yang
pergi!"
Itulah suara Ie Sin Cu, yang
terus muncul.
Keng Thian mengawasi, sinar
matanya bentrok sama sinar
mata si nona, hatinya lantas
berpikir: "Memang baik sekali
kalau ia dapat mendampingi aku
dan membantu."
"Bagus!" Tiauw Im
pun tertawa lebar. "Ah, kenapa aku
tidak ingat kau, nona kecil?
Kau suka pergi, tak ada yang
terlebih baik!"
Keng Thian disadarkan
tertawanya paderi itu. Ia lantas
mendapatkan Ie Sin Cu
mengawasi ia dengan sinar mata
dingin. Si nona juga lantas
berkata dengan sabar:
"Pit Toaliongtauw,
silahkan kau tulis suratmu untuk
pemimpin penentang perompak di
Tayciu itu, supaya mereka
dapat ketahui bala bantuan
segera bakal tiba. Aku segera
berangkat ke sana."
Tuan rumah bukan pemburu
biasa, ia mengarti ilmu tabib,
maka itu, ia sedia perabot
tulis, mendengar perkataan si nona,
ia lantas siapkan perabotnya
itu di depan Keng Thian, siapa
sebaliknya terus menyapu semua
orang, hingga ia dapat tahu
mereka itu tengah memandangi
si nona.
337
Sin Cu bersikap tenang,
wajahnya membuat orang
menghormati dia. Juga Keng
Thian merasa menyayangi dan
mengaguminya. Ia berpikir:
"Dia satu wanita dan masih muda
sekali, dia berani pergi ke
tempat ribuan lie untuk membawa
surat, dia tak takut memasuki
daerah harimau dan srigala, apa
kata denganku satu laki-laki?
Mustahil aku mesti kalah
daripadanya?" Pikiran ini
menyadarkan ia bahwa keliru untuk
mengharap si nona nanti terus
mendampingi padanya. Ketika
ia memandang pula nona itu,
matanya kebente-rok pula sama
sinar mata bagaikan pedang
dari nona itu, lekas-lekas ia
tunduk, mukanya pun dirasakan
panas. Dengan lekas ia
menulis suratnya.
"Pit Laotee, kau juga
perlu menulis dua surat untukku,"
Tiauw Im minta.
"Untuk siapa?"
"Satu untuk Yap Cong Liu,
guna mengasi tahu bahwa aku
pergi ke Kwangwa buat mencari
bala bantuan, agar hatinya
tetap, yang satu pula untuk
seorang tukang perahu di
Tiangkang..."
Keng Thian heran.
"Seorang tukang
perahu?" ia menegaskan.
"Sin Cu asing di sana, ia
mesti dapatkan satu penunjuk
jalan untuk dapat bertemu sama
Cong Liu," Tiauw Im mengasi
keterangan. "Tukang
perahu itu bernama Thio Hek, tinggalnya
di Ceng-kang. Dia ditugaskan
Cong Liu untuk jadi
penghubung. Kau tulis bahwa
nona ini ada muridnya Thio Tan
Hong, keponakan muridku itu,
dan minta ia melayaninya baikbaik."
338
Keng Thian tidak menanya lagi,
ia tulis pula dua pucuk
surat itu.
Justeru itu fajar sudah
menyingsing. Orang sebenarnya tak
tidur tapi mereka tak merasa
kantuk, malah Sin Cu, setelah
simpan surat-suratnya, lalu
memberi hormat kepada kawankawan
itu. Ia pun kata: "Terima
kasih, Pit Toaliong tauw
Terimakasih, Ciu Ceecu dan
supeecouw!. Aku berangkat lebih
dulu!"
"Kau berangkat sekarang
juga?" Keng Thian tanya, heran.
"Ya," sahut si nona.
"Mencari bala bantuan ada seperti
menolong bahaya kebakaran!
Sekarang langit sudah terang
tanah, aku hendak tunggu
sampai kapan lagi?"
Orang lantas antar si nona
keluar di mana dia lompat naik
atas kuda putihnya, maka di
lain saat ia sudah lenyap di
jalanan yang masih
remang-remang. Ia menuju ke timur.
Keng Thian merasa sayang tapi
tak dapat ia membuka
mulut untuk mencegahnya...
Dua hari kemudian, tibalah
kuda Ciauwya Saycu ma dan
penunggangnya di tepian sungai
Tiangkang, di mana air
sangat lebar dan luas, hingga
ujungnya bagaikan nempel
sama langit. Gelombang pun
men-dampar-dampar.
Menyaksikan kebesaran alam
itu, terbuka hatinya Sin Cu
hingga tanpa merasa ia
bernyanyi pelahan. Ia pun jadi ingat
halnya dahulu hari Thio Su
Seng dan Cu Goan Ciang
melakukan peperangan yang
memutuskan di sungai ini, ia
menjadi terharu sendirinya.
339
Di hari kedua setelah itu, Sin
Cu sampai di Cengkang. Ia
menuju langsung ke luar kota
timur, untuk mencari Thio Hek
si tukang perahu. Ia berhasil
menemuinya dengan gampang.
Bukan main girangnya tukang
perahu ini menerima
suratnya Tiauw Im Hweeshio.
“Ie Siangkong, kau datang di
saat yang tepat!" ia berkata.
Ia memanggil siangkong tuan
muda karena Sin Cu tetap
dandan sebagai seorang pemuda.
"Sepanjang pesisir Tayciu
baru saja didatangi dua
rombongan baru perompak-perompak
bangsa kate (pendek) itu dan
keadaannya tentara rakyat
sedang terancam. Benar bala
bantuan masih belum sampai
tetapi surat ini, kabar dari
Pit Toaliongtauw, pastilah akan
merupakan obat penenang hati
mereka. Asal pasukan kita
mendapat semangat maka tak
usahlah kita berkuatir lagi!"
Lantas Thio Hek siapkan perahu
kecilnya, untuk
mengantarkan pembawa surat
ini. Kuda putih ditunda di
rumahnya tukang perahu ini
lantaran binatang itu tidak dapat
dinaiki ke dalam perahu yang
kecil itu. Pandai Thio Hek
memegang kemudi, kendaraannya
itu laju pesat sekali.
Sin Cu berdiri di kepala
perahu, matanya memandang ke
depan. Kembali ia merasakan
hatinya terbuka. Tapi ia
sekarang mendapat kawan, ia
ambil kesempatan akan
berbicara sama Thio Hek
mengenai sepak terjang kaum
perompak.
"Tukang perahu! Tukang
perahu!" demikian panggilan dari
tepian selagi perahu laju.
Itulah seorang mahasiswa muda
yang memanggil-manggil,
yang tangannya menggape-gape.
340
Thio Hek tahu tugasnya, ia
berpura-pura tidak mendengar,
ia menggayu terus perahunya
itu.
Mahasiswa itu berlari-lari,
kembali ia memanggil-manggil.
"Tolongilah dia,"
kata Sin Cu, yang tak sampai hati. "Kami
kaum perjalanan harus
menolongi satu sama lain..."
"Tetapi dunia ka-ngouw
banyak bahayanya, siangkong,"
Thio Hek bilang. "Tugas
kita penting sekali, kalau yang naik
ada satu telur busuk, apakah
itu tidak berbahaya dan kita bisa
gagal?"
"Segala mahasiswa lemah,
apakah yang dibuat takut?" Sin
Cu tertawa.
Mendengar begitu, Thio Hek ke
pinggirkan perahunya.
Mahasiswa itu lari terus ke
pinggiran, ia singsatkan jubahnya
yang panjang, lalu ia pegang
ujung penggayu yang Thio Hek
ulur kepadanya, sambil
pegangan, ia lompat ke lantai perahu.
Kendaraan air itu bergerak,
tubuh si mahasiswa terhuyung,
sebelah kakinya kejeblos,
hampir dia kecemplung ke air, tapi
Sin Cu samber tangannya,
sengaja dipegang keras, untuk
menguji. Karena tubuhnya
terhuyung, hampir mahasiswa itu
nubruk dada si nona dalam
penyamaran. Baru setelah itu, dia
dapat berdiri tetap.
"Dia bukan cuma tak
mengerti silat, dia pun lemah sekali,"
Sin Cu berpikir. "Thio Hek
berkuatir berlebihan..."
Anak muda itu bernapas
memburu, mukanya bermandikan
peluh, ia keluarkan sapu
tangannya untuk menyeka peluhnya
itu.
"Terima kasih!"
katanya kemudian.
341
Sin Cu undang orang berduduk,
lalu ia memberi hormat
sekalian menanyakan she dan
nama orang serta maksudnya
menyeberang.
"Siauwtee Tiat Keng
Sim," menyahut anak muda itu.
"Ayahku lagi sakit,
hendak aku menjenguknya. Kami tinggal di
Tayciu."
Sin Cu tertawa di dalam
hatinya.
"Mahasiswa ini lemah
lembut, ia tak surup dengan shenya,"
pikir ia. Pemuda itu she Tiat
yang artinya besi. Ia tidak
bilang suatu apa, ia hanya
berkata: "Kebetulan, siauwtee juga
hendak menuju ke Tayciu."
"Kalau begitu kebetulan
sekali!" berkata si mahasiswa.
"Dengan begini, setelah
mendarat, tujuan kita tetap sama.
Bolehlah aku mengetahui she
mulia dan nama besar dari
hengtay?" Ia memanggil
hengtay, artinya kakak yang
dihormati.
Tanpa kuatirkan apa-apa, Sin
Cu perkenalkan diri. Baru
setelah itu, ia seperti ingat
suatu apa. Ia lantas saja menanya:
"Katanya perompak lagi
mengacau di Tayciu, aku kuatir tidak
aman di jalanan?"
"Memang juga aku telah
dengar perompak kate (pendek)
lagi mengganas di pesisir
Tayciu," sahut si mahasiswa, "dan
walaupun betul kota Tayciu
masih berada di tangan tentara
negeri, bahaya bukannya tidak
ada. Ayahku lagi sakit, sebagai
anak, tidak dapat aku tidak
menjenguknya..."
Sin Cu terharu, ia jadi ingat
ayahnya sendiri. Diam-diam ia
menghela napas.
342
"Kenapa kau menghela
napas, hengtay?" si mahasiswa
menanya.
"Aku terharu untuk nasibnya
penduduk pesisir timur
selatan," menjawab Sin
Cu. "Di sana kaum perompak
mengganas, pemerintah tidak
dapat menolongi mereka..."
"Kau mulia sekali,
hengtay," kata si anak muda, yang
memuji kebaikan hati orang. Ia
berkata seraya menoleh ke
lain arah.
"Apakah hengtay gemar
menikmati pemandangan alam
indah di sini?" kemudian
Sin Cu menanya lain hal.
Mahasiswa itu mengusap mukanya
dengan tangan bajunya,
ia berpaling kembali.
"Maafkan aku," ia
menyahut. "Mataku kurang sehat,
terkena angin sungai, aku
telah mengeluarkan air mata."
Sin Cu lihat mata orang merah
dan masih ada sisa air
matanya. Ia sebenarnya tidak
perhatikan itu, sampai ia dibikin
bercuriga oleh nada orang yang
agaknya berbicara seperti
menahan tangisan. Kapan ia
mengawasi pula, ia tampak satu
muka yang tampan, kecuali
alisnya menunjuki tekukan dari
kedukaan.
"Mungkin ia berduka
karena ia memikirkan sakitnya
ayahnya," pikir Sin Cu.
Nona Ie ingin menghibur
mahasiswa ini ketika ia batal
karena perhatiannya tertarik
sebuah perahu, yang mendatangi
dari hulu sungai. Perahu itu
besar sekali dan kepalanya
berukiran naga-nagaan. Tubuh
perahu juga tinggi, karena
undakannya, yang merupakan
lauwteng di atas mana rupanya
ada terdapat banyak
penumpangnya. Dari atas itu terdengar
343
suara tetabuan berikut nyanyiannya.
Mungkin orang tengah
berpesta.
Gurunya Sin Cu terpelajar
dalam segala hal, si nona
sedikitnya dapat mewariskan
kepandaian guru itu, maka juga
ia bisa mengenali suara
tetabuan itu, yang bukannya tetabuan
Tionghoa.
Kapan perahu besar itu sudah
datang terlebih dekat,
terlihat nyata di atas
lauwteng-nya ada banyak orang, yang
semua bertubuh kasar.
“Ini toh orang-orang
Nippon?" Sin Cu kata sambil tertawa.
"Dari mana datangnya
mereka begini banyak?"
Terdengarlah suara nyanyian,
yang kasar tetapi berirama
sedih. Si nona memasang
kupingnya, sia-sia saja, ia tidak
mengarti, samar-samar ia
mendengarnya.
Tiba-tiba saja si mahasiswa
nyanyi seorang diri:
"Bunga itu walaupun harum
tetapi ia terbang terbawa angin
tanpa perlindungan... Inilah
nyanyian Nippon bunga sakura..."
Thio Hek sudah lantas berhenti
menggayu.
"Tidak salah, inilah
perahu upeti bangsa kate (pendek)!"
katanya.
Sin Cu terperanjat saking
heran.
"Kenapa perahu mereka
dapat berlayar dengan merdeka di
sungai Tiangkang?"
katanya.
"Siangkong tidak
tahu," sahut Thio Hek. "Bangsa kate
(pendek) itu sangat licin, di
satu pihak mereka membajak, di
344
lain pihak dengan berpura-pura
mengantar upeti mereka
berusaha dengan
menyelundup."
"Begitu?"
Si tukang perahu menghela
napas.
"Malah pembesar pabean
kita telah memperlakukan mereka
sebagai tetamu yang
dihormati!"
Di jaman kerajaan Beng itu,
sewaktu tahun Cengtong atau
Kaisar Eng Cong, untuk Nippon
adalah "jaman perang
saudara" dan di pelbagai
tempat di mana ada raja muda yang
berkuasa dengan angkatan perangnya,
raja-raja muda itu
berebut mengirim upeti ke
Tionggoan, dengan
mengangkutnya dengan
perahu-perahu besarnya itu. Menurut
aturan kerajaan Beng di masa
itu, kalau utusan asing datang
mengantar upeti, barang-barang
pribadinya bebas dari cukai.
Ketika ini dipakai pelbagai
raja muda itu untuk
menyelundupi barang-barangnya.
Kalau pemerintah Beng
menegur pemerintah Nippon
tentang kawanan perompaknya,
dijawabnya mereka itu ada
golongan bangsa 11 ronin" yang
pemerintah Nippon tidak
berdaya untuk mengurusnya. Sedang
sebenarnya, rombongan ronin
itu dapat tunjangan pelbagai
raja muda itu atau yang
langsung ditugaskan membajak.
"Mereka itu merampok,
membakar dan membunuh, kenapa
pembesar negeri setempat
membiarkan saja?" tanya pula Sin
Cu.
"Bukankah itu disebabkan
hasil keuntungan besar?" Thio
Hek balik bertanya.
"Mereka itu menggunai kedudukannya
sebagai utusan pengantar
upeti. Telah ditetapkan pemerintah,
waktu mengantar upeti adalah
tiga tahun sekali dan jumlah
rombongan utusan pun
dibataskan, tetapi pelbagai raja muda
itu berebut mengantar upeti
dan semua rombongan itu
345
menyogok pembesar maka mereka
dapat datang dan pergi
dengan merdeka."
Si nona menggeleng-geleng
kepala, ia menjadi sangat
masgul.
"Mari kita
menyingkir," kata Thio Hek selagi perahu di
depan datang semakin dekat.
Darahnya si nona menjadi naik.
"Kenapa kita mesti
menyingkir?" katanya sengit. "Kita
justeru papaki dia!"
Thio Hek mengedipi mata.
"Siangkong," ia
memberi ingat, "bukankah kau hendak
menyebrang untuk satu urusan?
Perahu upeti itu biasanya
galak dan jahat, satu kali
kita papaki dia, onar bakal terbit dan
itulah bukannya
permainan."
Nona Ie murka tapi nasihat
Thio Hek membuatnya ia diam.
Thio Hek lantas mengubah
tujuannya, tetapi di lain pihak
belasan tombak dari perahu
upeti itu, ada sebuah perahu
nelayan yang muatannya adalah
seorang nelayan tua serta
seorang anaknya perempuan,
perahu nelayan itu dapat dilihat
orang-orang dari perahu besar,
lantas mereka berkaok-kaok
menggunai penggayu, untuk
mengejar.
"Celaka!" seru si
mahasiswa, kaget. "Mereka hendak
tangkap itu nona
nelayan!"
Kembali naik darahnya Sin Cu.
346
"Thio Hek, biar bagaimana
juga, mari kita hampirkan
mereka!" dia berteriak.
"Lekas kau menggayu balik!"
Di pihak sana, perahu besar
sudah mendekati perahu
nelayan, ada dilemparkan dua
rantai gaetan, untuk membangkol
perahu nelayan itu. Justeru
itu, perahunya Thio Hek
dapat menyandak, dan Sin Cu,
dengan pedangnya, lantas
membabat kutung rantainya
gaetan seperti jangkar itu.
Di atas perahu besar, orang
kaget dan gusar, lalu terdengar
teriakan mereka
"Bagero" berulang-ulang. Bahkan dua orang,
yang membekal golok, sudah
lantas lompat turun ke
perahunya Thio Hek.
Ie Sin Cu memang sudah bersiap
sedia, ia menyambut
mereka dengan ayunan tangan,
yang membuatnya dua
bunga emasnya terbang menyamber.
Satu ronin kena dihajar,
dia roboh ke dalam air,
kawannya dapat menaruh kaki di
perahu tapi dia ini segera
dibabat dengan pedang. Dia gunai
goloknya, untuk menangkis.
Untuk kagetnya, goloknya
terpapas kutung, sedang
tadinya dia tertawa lebar.
Ronin itu ada dan ke empat, ia
percaya goloknya yang
tajam, ia tidak pandang mata
kepada nona ini, yang
macamnya sebagai seorang
pemuda lemah, baru ia kaget
sesudah goloknya itu
terkutung.
Selagi orang tercengang,
sambil membentak, Sin Cu kirim
tikaman mautnya seraya kakinya
membarengi menendang,
maka selain dada orang itu
ditembuskan pedang hingga di
punggungnya, dia pun roboh ke
dalam air, tubuhnya dibawa
hanyut air yang menjadi merah
karena darahnya.
Dari atas perahu besar segera
terdengar pula riuh teriakan
bagero tapi sekarang dibarengi
pujian, pujian untuk caranya
347
Sin Cu merobohkan kedua
lawannya, tidak perduli lawan itu
ada kawan atau bangsanya
sendiri.
Thio Hek memutar pula kepala
perahunya, untuk mencoba
menyingkir, atau lagi dua
musuh lompat ke atas perahunya
itu, mereka ini sangat lincah,
dan ketika mereka telah
menaruh kaki di lantai perahu,
perahu lantas saja kelam
sedikit.
Hatinya Sin Cu menjadi besar
menyaksikan bagaimana
dengan gampang sekali ia
berhasil menyingkirkan dua lawan
yang pertama itu, ia terus
menyambut lawan yang baru ini.
Dengan gerakan pedangnya
"Secara mendusta membagi
emas," ia menikam mereka
saling susul, berganti dari yang
satu kepada yang lain.
Kedua lawan itu berseru,
mereka membabat dengan
pedang mereka yang panjang. Dengan
terpaksa, Sin Cu
menarik pulang pedangnya
seraya mundur. Hampir berbareng
dengan itu, ia dengar jeritan,
terus ia tampak tubuh Thio Hek
terlempar ke air.
Tukang perahu itu hendak
membantui si nona, selagi kedua
musuh menyerang, ia membokong
satu musuh dengan
penggayunya. Musuh itu
kebetulan ada jago dan ke enam, dia
lihat serangan, dia berkelit,
justeru tubuh Thio Hek terjerunuk
ke arahnya, dengan menggunai
satu jurus yudo, dia tangkap
tangannya Thio Hek untuk
diteruskan dilemparkan. Saking
kaget, Thio Hek menjerit.
Sin Cu lantas menyerang pula,
tempo ia diserang kembali,
ia punahkan serangan mereka
itu. Kedua musuh ini, yang ada
dan ke enam dan ke lima,
menjadi kagum mengetahui si nona
liehay, karenanya, mereka
berkelahi dengan ati-ati. Nona Ie
didesak, ia tidak mau mundur,
sebaliknya, ia membalas
merangsak. Ia berhasil
membuatnya orang mundur ke kepala
348
perahu tetapi ia tidak dapat
lantas merobohkan mereka itu.
Mereka itu cerdik, tahu si
nona memegang pedang mustika,
mereka selalu menghindarkan bentrokan
senjata.
Selagi begitu, perahu besar
mulai mendekati perahu Thio
Hek. Dari atas perahu besar
itu segera dilonjorkan belasan
batang gaetan. Asal saja kedua
perahu telah datang dekat
sekali, pasti gaetan akan
bekerja dan perahunya si nona bakal
kena tergaet. Inilah
berbahaya. Perahu kecil itu tanpa tukang
kemudinya. Si nona sendiri
tidak pandai berenang.
Tanpa kemudi, perahu kecil itu
terumbang-ambing, dan
dengan di atasnya ada tiga
orang lagi bertarung, terumbang
ambingnya menjadi terlebih
keras. Gubuk perahu juga telah
terbabat golok -goloknya
musuh.
Lantas juga Sin Cu menjadi
berkuatir. Goncangan keras dari
perahu membuatnya repot,
kesatu untuk melayani musuh,
kedua guna memperteguh
kuda-kudanya. Celakanya,
kepalanya terasa pusing,
hingga matanya pun bagaikan kabur.
Ia terganggu apa yang
dinamakan "mabuk laut."
Di perahu besar, rombongan
ronin berteriak-teriak, belasan
gaetan mereka digerak-geraki.
Melihat gaetan itu, Sin Cu
menjadi bingung. Justeru itu,
sambil berseru, dua lawannya
menyerang dengan berbareng.
Bahkan musuh yang di kiri.
habis menggertak, hendak
menyergap, guna menangkap
tangan si nona, guna
dilemparkan ke sungai.
Dalam saat yang berbahaya itu,
Sin Cu masih dapat melihat
tegas. Ia lantas
mem-bulang-balingkan pedangnya, guna
menangkis. Ia geraki jurusnya
"Kuda sungai menggendol
gambar."
Tiba-tiba musuh yang di kanan
menjerit keras, sebelah
tangannya lantas dikasi turun.
Ketika baik ini digunai Sin Cu
349
untuk berkelit dari musuh yang
di kiri, yang hendak mencekuk
padanya. Setelah berkelit, ia
menikam ke bawah. Musuh itu
lantas menjerit, karena
perutnya menjadi sasaran pedang.
Syukur untuknya, dia tidak
terluka parah, maka bisa dia terjun
ke air untuk menolong dirinya.
Dia lantas ditelad kawannya,
yang tangannya terus dibabat
pula si nona hingga kutung.
Untuk sejenak, hatinya Sin Cu
lega, tetapi segera ia
diancam belasan gaetan, yang
bisa-bisa menyamber tubuhnya
atau perahunya.
Sekonyong-konyong saja perahu kecil itu
memutar tujuan, lalu melesat
menjauhkan diri beberapa
tombak, hingga ancaman itu
buyar!
Dengan cepat Sin Cu berpaling
ke belakang, hingga ia bisa
tampak wajahnya si mahasiswa,
yang bagaikan bersenyum,
hanya begitu lekas sinar mata
mereka bentrok, pemuda itu
lantas tunduk, tinggal kedua
tangannya saja yang memegang
kemudi, mengendalikan perahu
mereka.
"Terima kasih!"
berkata Sin Cu, hatinya ingat sesuatu.
"Terima kasih apa,"
sahut si mahasiswa, tenang. "Lekas
masuk ke dalam gubuk!"
Kata-kata ini disusuli
damparannya gelombang, hingga
perahu menjadi miring.
Dengan sekonyong-konyong dari
dalam gelombang terlihat
satu orang lompat mencelat, di
mulutnya tergigit sebatang
golok Nippon, kedua tangannya
menengteng masing-masing
sebuah kepala orang. Dia
lompat naik ke perahu kecil karena
dialah Thio Hek si tukang
perahu.
Sebelum membilang apa-apa
kepada si nona atau si
pemuda, Thio Hek melemparkan
kedua kepala manusia itu ke
perahu besar, lalu setelah
ambil golok dari mulutnya, ia
350
berseru: "Siapa berani
menyusul kami, inilah contohnya!"
Kemudian baru ia menoleh,
sembari tertawa ia kata: “Ini dia
yang dibilang, orang tulen
tidak mengentarakan diri, yang
mengentarakan diri bukanlah
orang tulen! Tiat Siangkong,
kaulah si orang gagah yang
menyimpan kepandaian liehay!"
Thio Hek adalah tukang perahu,
sebagai tukang perahu
pastilah ia pandai berenang,
maka itu tempo ia dilemparkan
ke sungai, ia tidak mendapat
bahaya apa-apa. Ia hanya tidak
segera muncul pula di
permukaan air, hanya dari dalam air, ia
ikuti perahunya, sampai ia
dapatkan dua musuh nyebur ke
sungai. Ia lantas serang
mereka itu, yang sudah terluka,
dengan gampang ia bisa bunuh
mereka, yang kepalanya ia
kutungi. Selama di dalam air,
ia dapatkan dua batang pisau
belati nancap di dada kedua
musuh itu, karena ia tahu, Sin Cu
menggunai bunga emas, ia
lantas menduga si mahasiswa.
Thio Hek terus ambil
penggayunya, untuk membantui si
mahasiswa, dengan begitu,
perahu kecil itu lantas laju pesat.
Baru saja Sin Cu merasa lega
betul-betul, atau ia telah
menjadi kaget pula.
"Celaka!" tiba-tiba
Thio Hek berseru, matanya mendelong
ke dasar perahu.
Si nona mengikuti tujuan mata
orang, maka itu ia
mendapat lihat papan perahu
pecah di dua tempat dan air
merubul masuk.
Thio Hek lepaskan penggayunya,
ia menimbakan air. Di lain
pihak, perahu besar, yang
memasang layar, datang menyusul.
Di kepala perahu, seorang yang
tubuhnya besar perdengarkan
suaranya yang nyaring dan
bengis. Orang tidak mengarti apa
yang dia bilang, sedang
sebenarnya dia mencaci: "Telur busuk
yang besar!"
351
Menyusul itu, dengan
menghitung “It ni san," dia
menimpuk dengan sebuah jangkar
besar ke arah perahu kecil.
Berat jangkar mungkin dua tiga
ratus kati, tidak dapat Sin Cu
tanggapi itu atau
menangkisnya. Tapi jangkar sudah melayang
datang, dengan terpaksa si
nona berlompat, untuk pergi ke
kepala perahu, guna paksa
menyanggapi juga. Justeru itu, ia
merasakan ada orang tarik ia
dari belakang, lalu seorang
melesat mendahulukan dia,
tepat itu waktu, jangkar pun
tibalah!
Dalam ancaman bahaya itu,
orang yang mendahulukan Sin
Cu, ialah si mahasiswa, sudah
lantas mengulur kedua
tangannya, dengan tenang ia
menyanggapi jangkar, lantas ia
berseru: "Kehormatan
tidak dibalas itulah bukan kehormatan!"
Menyusuli itu, ia ayun kedua
tangannya, maka sekejab saja,
jangkar telah terlempar balik
ke arah perahu besar!
Orang-orang di perahu besar,
yang pada berdiri di tepian,
menjadi kaget, serentak mereka
lari mundur karena ancaman
jangkar mereka itu. Tapi
seorang, yang ternyata ada dari dan
ke tujuh, majukan diri untuk
pasang kuda-kuda, guna
mengulur kedua tangannya, guna
menyanggapi jangkar.
Tanpa dia berbuat demikian,
jangkar itu dapat merusak lantai
perahu mereka. Dia berhasil
menyanggapi, dia terus letaki
jangkar itu, hanya, berbareng
dengan terlepasnya jangkar dari
tangannya, ia muntahkan darah
hidup dari dalam mulutnya!
Itulah karena lemparan yang
disebabkan tenaga besar luar
biasa dari si pemuda. Semua
orang di dalam perahu besar itu
menjadi kaget sekali. Di dalam
perahu itu ada sama sekali
dua jago dan ke tujuh, dua
dari dan ke enam, dan enam atau
tujuh lainnya dari dan ke
empat dan dan ke lima, dengan
dari dan ke enam telah
terbinasa satu orang, dari dan ke
lima satu orang, dan dari dan
ketiga atau ke empat dua
orang, sekarang dari dan ke
tujuh luka parah satu orang,
352
semua penghuni perahu besar
itu menjadi bingung. Lantas
banyak suara mengusulkan untuk
berhenti mengejar.
"Jangan!" berteriak
jago dari dan ke tujuh yang tinggal
satu-satunya. Dia bermata awas
dan dia dapat melihat
perahunya Thio Hek kemasukan
air. "Apakah pahlawanpahlawannya
Tenno mesti kehilangan
keangkarannya? Kejar
mereka, lepaskan panah!"
Sin Cu tidak mengarti apa yang
orang ucapkan itu, tidak
demikian dengan Thio Hek dan
si mahasiswa, yang hidup di
sepanjang pesisir. Mereka ini
menjadi kaget. Perahu mereka
bocor dan menjadi semakin
besar, kalau mereka dihujani anak
panah, mana mereka dapat
membela diri? Sedikitnya perahu
kecil itu bakal karam!
Thio Hek mengertak gigi.
"Mari kita adu
jiwa!" katanya kemudian, sengit. "Sayang
kabaran kita tidak dapat
sampai di kuping Yap Toako...."
"Yap Toako yang
mana?" bertanya si mahasiswa.
"Toako Yap Cong Liu
pemimpin dari tentara suka rela di
Tayciu," sahut si tukang
perahu. "Kita hendak menyampaikan
kabar kepadanya."
Thio Hek omong secara terbuka.
Ia percaya si mahasiswa
adalah orang kaum sendiri.
Mahasiswa itu mengasi dengar
suara tertahan, lalu ia
mengibas tangannya.
"Lekas menggayu dan
menyingkir!" ia berkata. "Pergi kamu
mengambil jalan kecil untuk
tiba di Tayciu!"
Ia lantas menepuk kepada
pinggangnya, dari mana ia
loloskan sebatang joangin kiam
atau pedang lemas, setelah itu
353
ia mencelat hingga tubuhnya
terlihat berkelebat seperti
terbangnya seekor burung ho.
Sementara itu riuh suara
teriakan di perahu besar, panah
mereka lantas ditarik dan
dilepaskan ke arah perahu kecil itu,
tetapi si mahasiswa putar pula
gegamannya itu yang istimewa,
ia membuatnya setiap batang
anak panah mental balik dan
jatuh ke air. Perahu besar pun
telah datang dekat, maka
tubuh si anak muda sudah
mencelat naik ke atasnya, di
tingkat yang kedua.
Penumpang-penumpang perahu
besar itu menjadi heran
menyaksikan kepandaian orang
hingga mereka jadi berdiri
tercengang, kecuali dua jago
dari dan ke empat, mereka maju
untuk memapaki lawan, yang
mereka terus serang.
Si mahasiswa berlaku awas dan
sebat sekali. Ia sebenarnya
seperti dibokong, karena orang
tidak hendak berikan ia ketika
untuk menaruh kaki. Syukur
saking gesitnya, kakinya itu telah
mendahului tiba, maka ia bisa
lantas menangkis serangan itu.
Ia tidak melainkan menangkis,
dengan kecepatan yang luar
biasa, ia membalas menyerang.
Kedua musuh itu tidak
menyangka, mereka kaget, tetapi
justeru mereka tergugu, mereka
lantas menjadi kurbannya
pedang perak yang lemas dari
lawannya ini. Mereka roboh
dengan lukanya masing-masing.
Jago dan ke tujuh menjadi
gusar sekali. Ia justeru ada
murid terpandai dari Egukhi
Fujiki, dan ke sembilan dan jago
kendo kenamaan dari Nippon. Ia
lantas menghunus
pedangnya, sambil memasang
kuda-kuda, ia menantang.
Melihat sikapnya jago ini,
yang lain-lain, dengan senjata
mereka terhunus juga, lantas
mengambil sikap mengurung,
siap sedia untuk mengeroyok
bila saatnya telah tiba.
354
Si mahasiswa tidak menjadi
jeri walaupun ia sudah
terkurung, dengan matanya yang
bersinar tajam dan bengis,
ia menyapu semua lawan itu.
Sikapnya ini membuat musuhmusuh
gentar hati. Bukankah tadi
mereka telah menyaksikan
sendiri orang telah menyambuti
jangkar dan melemparnya
balik serta barusan saja dia
telah menghalau hujan anak
panah?
***
"Panggillah juru bahasa
kamu!" membentak si mahasiswa.
Ia mengarti bahasa Nippon akan
tetapi dihadapan bangsa itu
ia tidak suka menggunai bahasa
orang itu. Di antara
rombongan ronin itu ada
sejumlah yang mengarti bahasa
Tionghoa, salah satu di
antaranya lantas menyahuti.
"Aku lihat kau ada satu
orang kosen," katanya, "maka kalau
kau ada pesan apa-apa,
sampaikanlah itu kepada kami! Perlu
apa mesti pakai juru bahasa
lagi?"
Si mahasiswa pentang lebar
kedua matanya, ia tertawa
bergelak.
"Aku telah naik ke atas
perahu kamu ini, itu artinya aku
sudah mengambil ketetapan
untuk pulang tanpa nyawa!" ia
menyahuti. "Hanya untuk
berpulang itu, mesti aku
mengundang dan mengajak kamu
pergi bersama ke noraka!"
Kata-kata ini ditutup dengan
berkelebatnya pedangnya
dengan tiba-tiba, maka itu dua
jago dan ke empat, yang
pedangnya diajukan ke depan,
kena terbabat kutung, hingga
mereka itu menjadi kaget. Jago
dan ke tujuh itu menjadi
murka sekali, sambil berseru,
ia menikam.
355
Si anak muda menangkis, hingga
senjata mereka bentrok
hingga memuntahkan lelatu api.
Anak muda ini tidak cuma
menangkis, ia pun mesti
berlompat, karena hampir berbareng
beberapa pedang lain membabat
kakinya!
Jago dan ke tujuh itu tidak
hendak mensia-siakan ketikanya,
selagi orang belum menaruh
kaki, ia menyerang. Si
mahasiswa dapat melihat orang
menyerang, sembari turun ia
menangkis, lalu dengan sebat
ia membalas menyerang. Maka
itu ia lantas jadi bertempur
sama penyerangnya itu.
Banyak musuh menjadi kagum
terhadap si mahasiswa,
bukannya berkelahi, mereka
justeru menonton. Adalah
kemudian, beberapa di
antaranya maju pula. Dengan
sekonyong-konyong, si
mahasiswa berseru keras. Ia bertubuh
kecil dan kurus, romannya juga
lemah, akan tetapi sekali ia
berseru, ia perdengarkan suara
mengguntur, sampai orang
kaget, tak terkecuali si jago
dan ke tujuh. Semua orang
merasakan telinga mereka
seperti berbunyi mengaung...
Mahasiswa itu pandai menggunai
ketikanya. Tempo ia
didesak rapat oleh dua musuh
dan ketiga, ia sampok senjata
mereka, ia mendesak, lalu
tangan kirinya menyamber seraya
terus dilemparkan. Dua kali ia
bergerak secara demikian, dua
musuh kena ditangkap dan
dilempar, celaka untuk mereka ini,
mereka dilemparkan ke arah
jago dan ke tujuh, justeru selagi
dia ini menerjang. Sia-sia
saja dia mencoba mengelakkan
pedangnya, dua kawannya itu
kena tertikam urat kakinya
hingga urat-urat itu putus.
Walaupun ia telah berhasil, si
mahasiswa tidak berhenti
sampai di situ. Bukankah ia
berada di dalam perahu musuh
dan musuh itu berjumlah besar?
Maka ia mesti bekerja terus.
Begitulah selagi merangsak, ia
dapat menendang dua musuh
hingga mereka itu terjungkal
ke luar perahu, tercebur ke
dalam sungai.
356
Jago dan ke tujuh itu pun maju
terus, tapi sekarang ia
tampak musuh tengah menyender
di loneng besi, tangannya
dibulang-balingkan tak
hentinya, hingga pedangnya itu
mengasi dengar suara angin
santer, mengaung tak hentinya.
"Baiklah, siapa akan
temani aku pergi ke noraka!" teriak
pemuda itu, sikapnya
menantang. Ia jadi semakin berani
karena di belakangnya ada
hanya sungai Tiangkang, tak usah
kuatir ia nanti ada yang
bokong.
Pihak penyerang itu
beragu-ragu. Mereka kuatir, umpama
kata musuh dapat disingkirkan,
mungkin di pihak mereka
sendiri bakal jatuh terlalu
banyak kurban. Ini pun menjadi
pikirannya utusan yang
mengantar upeti. Selagi keadaan
mandek itu, dari dalam perahu
terlihat munculnya satu orang
dengan seragamnya sebagai
pembesar kerajaan Beng. Ia
memang ada utusannya tiehu
atau wedana dari Tayciu untuk
menyambut dan mengawani si
utusan, yang akan menuju ke
kota raja. Kapan pembesar ini
telah melihat nyata si
mahasiswa, mukanya lantas saja
berubah menjadi pucat.
"Tiat Kongcu..."
katanya pelahan.
"Siapa kau?"
membentak si mahasiswa yang dipanggil Tiat
Kongcu itu seraya dia menuding
dengan pedangnya.
Pembesar itu memberi hormat.
"Aku adalah Siupie Uy Tay
Keng dari Tayciu," ia menyahut,
memperkenalkan diri sebagai
siupie atau kapten. "Aku kenal
ayahmu untuk banyak
tahun..."
“Itulah terlebih baik
lagi!" berkata si anak muda. "Kabarnya
kamu tengah mencari aku?"
357
"Aku tidak berani,"
menyahut siupie itu seraya menjura.
"Kenapa kau tidak berani?
Sekarang ini aku justeru hendak
menyerahkan diri! Kau beritahu
kepada budak-budak kate
(pendek) ini, karena aku
hendak menyerahkan diri ke Tayciu,
suruh mereka sediakan aku
sebuah perahu kecil, untuk
mengantarkan aku. Umpama kau
tidak bertentaram hati, kau
boleh utus beberapa pahlawan
untuk mereka menemani aku!
Sebaliknya, jikalau mereka
hendak menangkap dan
membunuh aku di sini, boleh
saja, aku bersedia untuk
melayani mereka! Asal kau
maklum bahwa pedang tidak ada
matanya dan tidak mengenal
kasihan, seandainya aku mesti
membuang jiwa di sungai
Tiangkang ini, utusan ini juga
jangan harap dia dapat
tertanggung keselamatannya hingga di
Pakkhia untuk mempersembahkan
upetinya!"
Kembali si mahasiswa kebaskan
pedangnya, yang lalu
berbunyi pula.
Utusan pembawa upeti itu
mengarti sedikit bahasa
Tionghoa, ia kaget berbareng
girang. Ia tarik si kapten ke
samping, lalu ia kata dengan
pelahan sekali: "Kiranya dia ini si
pembunuh dan perampas, yang
nyalinya besar berani
merobek bendera matahari kami?
Dia ini Tiat Keng Sim?"
"Dia bilang..."
berkata si siupie.
"Aku tahu apa yang dia
bilang!" si utusan memotong. "Aku
hendak tanya kau, apakah
benar-benar dia hendak
menyerahkan diri?"
"Sasterawan Tionghoa
paling menjunjung rajanya dan
berbakti kepada orang tuanya,
aku lihat dia rupanya
bersungguh-sungguh hati,"
menyahut si supie.
Utusan itu mengangguk.
358
"Baik," .bilangnya.
"Aku pun menghargai dia sebagai
seorang kosen. Sekarang kita
atur begini saja. Sebentar aku
sediakan sebuah perahu kulit,
Otonu dan kau boleh bawa
padanya. Sekarang undang dulu
dia bersantap."
Otonu adalah si jago dan ke
tujuh. Uy Siupie sampaikan
perkataannya si utusan kepada
si mahasiswa, dia ini lantas
tertawa lebar.
"Mati pun aku tidak
takut, kenapa aku mesti jeri untuk arak
kamu?" katanya.
"Nah, suruhlah dia keluarkan barang
makanannya dan dia boleh temani
aku minum!"
Nyaring tertawanya pemuda ini
hingga itu terdengar jauh,
sampai juga di telinganya Ie
Sin Cu.
Sebenarnya perahu kecil si
nona, yang digayu Thio Hek,
sudah terpisah jauh dari
perahu besar, akan tetapi mendengar
suara tertawa itu, nona ini berdiri
di kepala perahu, ia
memandang ke arah perahu besar
itu. Ia heran waktu ia dapat
lihat samar-samar si anak
muda, yang dikurung perompak,
tengah menenggak poci arak.
"Kenapa barusan dia
berkelahi mati-matian dan sekarang
dia minum arak bersama musuh?"
ia tanya dirinya sendiri
saking heran. Ia jadi
berkuatir yang si pemuda telah kena
diakali musuh. "Mari kita
kembali!" ia mengajak si tukang
perahu.
"Kita ada punya urusan
penting, mana dapat kita kembali?"
jawab Thio Hek sambil tertawa.
"Laginya perahu kita bocor,
untuk menyingkir jauh saja
masih belum tentu kita keburu,
apapula untuk balik
kembali..."
359
Dengan sebenarnya, air sungai
nerobos semakin besar.
Thio Hek tidak tahu bocor itu
disebabkan tadi dua musuh
memakai sepatu yang ada
pakunya dan di waktu menaruh
kaki, mereka itu sengaja
menginjak dengan keras. Di tengah
sungai itu tidak ada jalan
untuk menutup liang itu.
Sin Cu tidak bisa berenang
sekarang pun sepatunya telah
basah kerendam air, hatinya
gentar juga. Karena ini, ia tidak
berani memaksa. Tentu saja ia
menjadi merasa tak enak
bukan main mengingat si
mahasiswa berada di tangan
musuh...
Belum lagi perahu ini laju
jauh, tiba-tiba terlihat sebuah
perahu kecil lagi mendatangi
dengan pesat, malah segera
ternyata, itulah perahunya si
nelayan tua. Begitu perahu itu
sudah datang dekat, si nelayan
menjura kepada Sin Cu.
"Siangkong, terima kasih
banyak-banyak untuk budimu
sudah menolongi kami," ia
berkata, "Silahkan siangkong
pindah ke perahu kami untuk
kami ayah dan anak
menghunjuk hormat
padamu."
Di waktu begitu, Sin Cu tidak
dapat menampik pertolongan.
Thio Hek pun segera mengajak
ia pindah. Tak lama dari
kepindahan mereka, perahu
mereka lantas karam.
Perahu nelayan itu lantas
digayu oleh Thio Hek dibantu si
nona nelayan, Sin Cu sendiri
duduk di dalam gubuk ditemani si
nelayan tua. Nelayan itu ada
penduduk asli dari Tayciu, tempo
Sin Cu omong perihal perompak
asing, ia menghela napas. Ia
kata: "Kota Tayciu
sekarang ini, walaupun di sini ada tiehu
yang menjadi wakil pemerintah,
sebenarnya si perompak kate
(pendek) yang menjadi rajanya!
Jangan kata rakyat jelata,
sekalipun pembesar negeri jeri
terhadap mereka itu..."
"Sampai begitu ganasnya
perompak itu?" Sin Cu tanya.
360
"Memang! Baru bulan yang
sudah terjadi satu peristiwa.
Sebuah perahu penyelundup kate
(pendek) berlayar ke
Hayleng. Di Hayleng itu ada
seorang saudagar yang kemaruk,
dia berhubungan sama pihak
penyelundup itu, lantas dia kena
makan pancing. Selama
pembicaraan di pelabuan sudah
dijelaskan, mereka kedua pihak
akan saling tukar barang,
tetapi kenyataannya, pihak
sana main gila. Caranya ialah,
barang mereka dipasang
harganya tinggi sekali, barang si
saudagar sebaliknya ditaksir
rendah.
Saudagar itu tidak mau
mengarti. Berani sekali pihak
penyelundup itu. Mereka
menuduh si saudagar melanggar
janji, lantas mereka
menganiaya hingga saudagar itu setengah
mati, barangnya dirampas,
perahunya ditenggelamkan! Tapi
itu belum semua. Di dalam
perahu ada isteri dan gadisnya si
saudagar, nyonya dan nona itu
diambil mereka, katanya
sebagai barang pengganti
kerugian. Saudagar itu tidak
berdaya, saking putus asa, dia
terjun ke sungai dan binasa
karenanya. Kejadian itu
membangkitkan amarah umum,
banyak orang berseru-seru
untuk menyerbu. Berbareng
dengan itu, pihak penyelundup
pun berselisih sama belasan
kuli Tionghoa, yang upahnya
tak hendak diperhitungkan,
hingga kesudahannya kuli-kuli
itu bersatu sama orang banyak.
Ada ronin di dalam perahu
penyelundup itu, mereka akhirnya
menghunus golok, sembari
menunjuk benderanya, yang
dipancar di kepala perahu,
mereka buka mulut besar, sambil
tertawa mereka kata:
"Dengan ada bendera ini, kami dapat
malang melintang di pelbagai
tempat dari Tiongkok!
Pembesar-besar kamu, kapan
mereka lihat bendera kami ini,
mereka lantas menyambut kami
dengan segala kehormatan!
Beranikah kamu membikin ribut
di depan bendera ini?"
Kawanan kuli itu dan orang
banyak tidak mau mengarti,
mereka tetap berkeras. Ronin
itu benar ganas, mereka lantas
turun tangan, mereka menyerang
kalang kabutan. Pihak kuli
tidak bersenjata, mereka terpukul
mundur, belasan yang
361
terluka. Pihak ronin masih
hendak mengejar, sampai di antara
orang ramai ada satu pemuda
yang muncul seraya
membentak: "Apakah benar
dengan adanya bendera kamu ini
boleh kamu malang
melintang?" Dia lantas lompat maju, dia
lompat naik ke perahu
penyelundup, bagaikan kera, dia panjat
tihang bendera, untuk mengasi
turun benderanya, yang terus
dirobek empat! Seorang ronin
membacok, goloknya ditangkis
hingga kutung menjadi dua
potong. Setelah itu si pemuda
menghajar roboh belasan ronin,
golok mereka dibabat kutung,
kutungnya dibuang ke sungai!
Setelah itu, isteri dan gadisnya
si saudagar ditolongi. Di
akhirnya, sembari tertawa, dia angkat
kaki."
Sin Cu gembira mendengar
penuturan itu, meskipun
mulanya ia mendongkol.
"Bagus, bagus!"
serunya. "Siapakah pemuda gagah itu?"
"Sebenarnya kita semua
tidak tahu siapa pemuda itu,
sampai belakangan, setahu
dengan jalan bagaimana, satu
pengkhianat telah dapat
mengusutnya," sahut si nelayan tua.
"Dia adalah puteranya
satu bekas giesu yang telah pulang
berpensiun di Tayciu. Giesu
itu she Tiat, namanya Hong.
Untuk kota Tayciu ialah
penduduk kenamaan, memang telah
turun temurun ia memangku
pangkat. Giesu itu katanya ada
dari tingkat kedua. Ia baru
saja tahun yang selam meletaki
jabatannya dan pulang ke
kampung halamannya. Pengkhianat
itu lantas memberi kisikan
kepada wakil bangsa kate
(pendek) di Tayciu itu, yang
biasa mengurus soal-soal
perdagangan bangsanya. Wakil
perdagangan itu lantas
mendesak kepada tiehu dari
Tayciu, meminta anak muda itu.
Ketika itu, si anak muda telah
lenyap tak keruan paran. Tapi
tiehu tidak kurang akal, dia
tangkap giesu tua itu, yang terus
dia tahan secara halus, untuk
memaksa si giesu menyerahkan
puteranya. Perkara itu
menggemparkan kota Tayciu, sampai
sekarang masih belum beres.
Lihat, bukankah perompak kate
362
(pendek) itu menjadi raja di
sini, sampai tiehu pun jeri
terhadapnya?"
Habis menutur, nelayan itu
menghela napas pula.
Sin Cu lantas ingat si
mahasiswa, ia terkejut.
"Bukankah dia putera
giesu itu?" serunya seorang diri.
"Kau bicara dari dia
siapa, siangkong?" tanya si nelayan,
heran.
"Dialah si pemuda yang
tadi menempur bangsa kate
(pendek)," jawab Sin Cu.
"Kalau begitu, dia
benar-benar gagah!" berkata si nelayan.
"Di bawah desakan bangsa
kate (pendek), tiehu memang
berniat menawan dia, sekarang
dia pulang dan sendirian saja
dia menaiki perahu musuh, apa
itu bukan berarti dia antari diri
ke dalam perangkap?"
Sin Cu berdiam. Entah kenapa,
ia menjadi pepat hatinya.
Setibanya di seberang, Sin Cu
berpisah dari si nelayan dan
gadisnya, bersama Thio Hek, ia
lantas mendarat, untuk
melakukan perjalanannya.
Selang beberapa hari, tibalah ia di
kota Tayciu, yang letaknya di
pesisir propinsi Ciatkang, dan di
desa-desa sekitarnya justeru
lagi dikacau perompak,
penduduk terbenam dalam
ketakutan, pasar menjadi sepi,
walaupun di siang hari, dari
sepuluh toko atau warung, enam
atau tujuh yang menutup
pintunya.
Thio Hek bawa Sin Cu langsung
ke rumah kawannya,
bersiap untuk berangkat nanti
setelah ada perhubungan sama
pihak tentara rakyat.
363
Baru saja lewat dua hari, kota
Tayciu gempar dengan warta
bahwa Tiat Kongcu, yaitu
puteranya Tiat Hong si bekas giesu
atau censor raja, telah datang
menyerahkan diri di
kewedanaan, tetapi ada juga
yang bilang dia dibawa datang
oleh bangsa Nippon.
"Coba tolong mencari
keterangan," Sin Cu minta kepada
Thio Hek.
Tukang perahu itu pergi dengan
cepat. Ia ada punya
banyak kenalan sekalipun di
kantor negeri. Sesudah sore
barulah ia pulang, dengan
kabar yang memastikan, ia pun
dapat keterangan, sekarang ini
kongcu itu ditahan di dalam
kantor, sebab ada kemungkinan,
lagi tiga hari dia bakal
diserahkan pada pihak Nippon.
Katanya, sebab kongcu itu ada
puteranya Tiat Hong, dia tidak
ditahan di penjara hanya di
sebuah ingin aku ketahui,
penahanan itu dilakukan atas
undang-undang fatsal ke
berapa?"
Kembali mukanya si wedana
menjadi merah. Ia rangkapi
kedua tangannya, untuk
menjura.
"Harap kau tidak gusar,
kongcu," ia bilang. "Apa yang aku
lakukan ini sebenar-benarnya
saking terpaksa. Kongcu,
haraplah kau, kau maafkan
kesulitanku..."
"Sebenarnya kau
pembesarnya pemerintah atau hambanya
si perompak kate
(pendek)?" Tiat Keng Sim menanya pula.
"Terang aku ada
pembesarnya pemerintah," sahut si tiehu
cepat. "Tetapi, kongcu,
kau sendiri bukannya tak ketahui,
bahagian luar dari kota Tayciu
sekarang ini adalah dunianya
perompak kate (pendek) itu
sedang di bahagian dalamnya,
perwakilan Nippon telah sangat
mendesak padaku. Pemerintah
kita sama sekali tidak
mengirim pasukan perang untuk
menindas kaum perompak itu. Di
samping itu, pembesar
364
pabean telah menyambut hormat
sekali kepada utusan
perupetian Nippon itu. Maka,
kongcu, kau, kau hendak suruh
aku berbuat bagaimana? Ah,
siapakah yang dapat mengarti
kesulitanku ini?"
Menampak wajahnya tiehu, biar
bagaimana, Sin Cu
berkasihan juga kepada
pembesar lemah ini yang tidak
berdaya, kalau tadinya ia
ingin memenggal batang leher
orang, sekarang kemarahannya,
kebenciannya, tumplak
semua kepada perompak kate
(pendek).
"Ya, aku mengarti!"
berkata Keng Sim, tapi hatinya panas.
"Sekarang kau hendak
berbuat apa terhadapku?"
Tiehu mengurut-urut kumisnya
yang sudah ubanan.
"Perwakilan Nippon di
kota ini pasti sekali ingin
mendapatkan kau, kongcu,"
ia menyahut, pelahan, "maka itu
dengan memandang kepada
keselamatannya penduduk
Tayciu, aku minta sukalah
kongcu sedikit merendahkan diri
untuk besok pindah
tempat..."
Keng Sim tertawa dingin ketika
ia bilang: "Aku ada
rakyatnya kerajaan Beng,
jikalau aku bersalah, seharusnya
kaulah yang memeriksa! Kau
menyebut-nyebut undangundang
negara, sekarang aku tanya
padamu, mana undangundangmu
itu? Apakah menurut
undang-undang itu boleh
bangsa asing yang memeriksa
rakyat negara kita?"
Dengan tergesa-gesa tiehu itu
menjura.
"Kongcu, meskipun benar
katamu itu, aku minta kau
sukalah ingat kesulitanku,"
ia berkata. "Jikalau aku tidak
iringkan kehendak mereka itu,
pihak perwakilan Nippon itu
bisa memerintahkan kawanan
perompak kate (pendek) di luar
kota datang menerjang kota
kita ini. Kalau itu terjadi, tidakkah
365
penduduk kota menjadi
bercelaka? Kongcu, kau ada seorang
yang sadar dan mengarti segala
apa, aku minta sukalah kau,
kau, memaafkan kesukaranku
ini..."
Keng Sim mendongkol bukan
main.
"Kenapa aku tidak
mengarti?" katanya dalam hatinya.
“Inilah semua sebab kau hendak
lindungi kopia kebesaranmu,
karena kau bernyali kecil, kau
kasi dirimu didesak-desak!"
Melihat roman orang, pemuda
ini toh tidak tega untuk
menegur lebih jauh. Ia
dapatkan tiehu itu, dengan sorot mata
minta dikasihani, terus
mengawasi padanya. Akhirnya ia
angkat kepalanya.
"Baiklah kau ketahui, aku
tidak menyayangi jiwaku, tetapi
dengan kau serahkan aku kepada
si budak kate (pendek), ke
mana kau hendak letaki
kehormatannya pemerintah kita?" ia
berkata. "Tapi kau berada
dalam kesulitan. Baik begini saja:
Maukah kau aku carikan jalan
yang ada dua kebaikannya
untukmu?"
"Suka aku mendengarnya,
kongcu," menyahut tiehu cepat.
"Dayaku itu begini,"
berkata pula Keng Sim, menjelaskan.
"Perkaraku ini kau
sendiri yang periksa, kau ijinkan perwakilan
Nippon itu turut hadir untuk
menyaksikan. Mereka itu mencari
aku, biarlah dia memanggil
datang saksi-saksinya untuk
menuduh dan mendakwa aku. Di
waktu dilakukan
peperiksaan, rakyat jelata
penduduk Tayciu mesti diijinkan
turut menyaksikan juga."
“Ini... ini..."
“Ini, ini apa?" memotong
si anak muda. “Inilah cara untuk
melindungi undang-undang
pemerintah sekalian untuk
366
memberi muka kepada perwakilan
Nippon itu! Dengan begini
kau dapat membersihkan dirimu
dari tanggung jawab
terhadap pihak asing itu.
Tidakkah ini bagus? Jikalau kau tidak
setuju, sudah, hendak aku
mengangkat kaki dari sini! Apakah
kau kira ratusan atau ribuan
perompak kate (pendek) itu
dapat mencegah aku? Apakah kau
juga dapat
menghalanginya?"
Sengit ini anak muda hingga ia
hajar ujung meja teh
dengan tangannya. Tiehu menjadi
ketakutan. Ia memang tahu
anak muda ini liehay dan telah
dengar bagaimana orang telah
tempur musuh. Dengan cepat ia
menjura.
"Baiklah kalau kongcu
memikir demikian," katanya,
terpaksa.
"Besok akan aku bicarakan
urusan ini dengan pihak sana.
Aku hanya harap sukalah kongcu
ingat keselamatannya
penduduk kota kita."
Wajahnya tiehu ini menjadi
sangat kucel, dengan lesu ia
mengundurkan diri.
Seberlalunya pembesar itu, Sin
Cu lompat turun dari payon,
tanpa bersangsi pula, ia
lompat menembrak jendela untuk
masuk ke dalam kamar.
Keng Sim tidak jadi kaget,
bahkan ia menyambut sambil
tertawa. Katanya:
"Bukankah telah lama kau datang ke mari
dan telah mendengar
pembicaraan barusan?"
Sin Cu merasa heran dan kagum.
"Aku anggap aku datang di
luar tahu siapa juga, tidak
dinyana dia telah
mengetahuinya..." pikirnya. Belum lagi ia
367
menyahuti, anak muda itu sudah
menambahkan: "Kau telah
dengar segala apa, untuk apa
kau datang juga padaku?"
"Aku hendak menjenguk
kau!" sahut si nona, agaknya ia
kurang puas.
Keng Sim bersenyum.
“Itu hari di sungai Tiangkang
kau telah sudi mengajak aku
menumpang perahumu," ia
berkata, "sekarang selagi aku
dalam tahanan, kau pun
menjenguk aku, saudara Ie, kau
sangat baik, aku berterima
kasih padamu."
Habis berkata, dia menjura.
Sin Cu mendongkol, tetapi
mendengar perkataan orang dan
melihat tingkahnya itu, ia
tertawa.
"Kau bilang tidak perlu
aku datang ke mari, tetapi aku
anggap tidak perlu kau berdiam
di sini!" ia kata.
"Eh, kenapa?" tanya
pemuda itu.
"Ayahmu sudah
dimerdekakan, kenapa kau kesudian
berdiam di sini untuk menjadi
mendelu saja?" berkata si nona.
"Apakah benar-benar kau
sudi menerima hinaan dengan
membiarkan si budak kate
(pendek) bercokol di atas
menyaksikan kau
diperiksa?"
Mendengar itu, Keng Sim
membalas: "Apakah kurang jelas
bagimu maksudnya si
tiehu?"
"Dia ketakutan sangat
terhadap perompak kate (pendek),
dia sampai hilang semangatnya!
Apakah kita, kau dan aku, jeri
juga? Bukankah sejak dahulu
ada dibilang, Tentara datang,
panglima menangkisnya Air
melanda, kita pakai tanah
membendungnya? Jikalau
benar-benar perompak kate
368
(pendek) berani datang
menyerang, apakah kita tak dapat
berdaya untuk memukul mundur
pada mereka?"
Keng Sim tertawa. Ia
mengawasi.
"Kita berdua memang tidak
takuti perompak kate (pendek)
itu!" ia menyahut.
"Tetapi kita berdua saja, dapatkah kita
memukul mundur pada mereka?
Aku mohon tanya, umpama
kata kawanan perompak itu
menerjang kota secara besarbesaran,
saudaraku ada punya daya apa
untuk
menghancurkan mereka?"
Ie Sin Cu bicara dengan
menuruti suara hatinya, hati yang
muda, ia tidak pernah memikir
sampai begitu jauh. Tapi ia
tidak mau menyerah kalah
mentah-mentah.
"Apakah kau benar rela
diperiksa mereka?" ia tanya.
"Apakah kau telah
punyakan daya untuk menghajar kawanan
perompak itu?"
Tiat Keng Sim tertawa.
"Menarik melengkung busur
untuk memanah harimau dari
gunung Lam San, menggosok
pedang guna menyingkirkan
ular naga dari laut Pak
Hay," ia berkata. "Untuk memanah
harimau dan menyingkirkan ular
naga kita perlu lebih dulu
menarik busur dan menggosok
pedang, dari itu apa pula
untuk mengusir perompak yang
terlebih garang daripada
harimau dan ular naga
itu?"
Sin Cu menjadi berpikir
mendengar jawab orang, yang
seperti telah mempunyakan daya
upaya. Ia kata di dalam
hatinya: "Mungkinkah
kerelaannya diperiksa ini disebabkan dia
seperti hendak menarik busur
dan menggosok pedang, yaitu
dia telah menyiapkan sesuatu?
Sungguh dia tak dapat diterka
hatinya..."
369
Ia awasi pemuda itu, ia
dapatkan sinar mata yang tenang.
"Terima kasih yang kau
telah datang menjenguk aku,"
berkata pula si anak muda
sambil bersenyum. "Sekarang
sudah waktunya untuk kau
kembali pulang! Nanti saja di hari
peperiksaan, kau datang pula
melihat aku!"
Sin Cu masih merasa berat.
"Saudara Tiat, kau ada
pesan apa lagi?" ia tanya. "Aku suka
berikan tenagaku yang
lemah..."
Heran juga Keng Sim
menyaksikan kelakuan orang itu.
"Baik sekali ini anak
muda," ia berpikir. "Kita baru saja
bertemu, dia sudah lantas
memandang aku sebagai sahabat
kekal."
Ia menatap, hingga sinar mata
mereka bentrok, hanya
sejenak saja, Sin Cu lantas
melengos, wajahnya menjadi
merah sendirinya.
"Dasar bocah cilik!"
kata Keng Sim di dalam hatinya. Ia
merasa lucu. "Barusan dia
omong tampan, seperti orang
dewasa, sekarang dia malu
sendirinya..."
Pemuda ini masih belum menduga
bahwa orang ada satu
pemudi.
"Terima kasih,
saudaraku," katanya pula kemudian, sembari
tertawa. "Kalau begitu
baiklah saudaraku tolong bawa saja
pesanku."
"Untuk siapakah
itu?" Sin Cu tanya.
370
"Terpisah tujuh atau
delapan lie di timur kota ini ada
sebuah desa kecil yang
dipanggil Peksee cun," menjawab
Keng Sim. "Di sebelah
barat desa itu, seperti menyender pada
bukit, ada sebuah rumah. Di
depan rumah itu ada tiga pohon
pekyang dan di depan pintunya
ada sepasang singa batu. Ada
sangat gampang untuk mengenali
rumah itu. Kalau nanti
saudaraku telah bertemu sama
tuan rumah, tolong kau
tuturkan kepada dia semua apa
yang kau dengar dan lihat
malam ini."
"Siapakah tuan rumah
itu?" Sin Cu tanya. "Orang apakah
dia?"
"Asal saudaraku bertemu
dengannya, saudaraku bakal
ketahui sendiri," sahut
Keng Sim. Dia bersenyum, agaknya dia
aneh.
Sin Cu terima pesan itu, ia
lantas berlalu. Sampai di
pondoknya, ia masih tidak
dapat menerka artinya senyuman
pemuda itu. Besoknya, Sin Cu
masih belum menerima balasan
kabar dari orang yang diutus
Thio Hek untuk menghubungi
pihak tentara rakyat. Ia tidak
menanti lebih lama, seorang diri
ia menuju ke Peksee cun, desa
Pasir Putih.
Ketika itu ada di permulaan
musim rontok, sawah-sawah di
luar kota memperlihatkan wajah
kuning emas, tandanya
tanaman telah masak.
Pemandangan alam itu ada menarik
hati, maka Sin Cu merasa puas.
Hanya ketika itu, di situ
terdapat jarang sekali orang
yang berlalu lintas. Ia menghela
napas, di dalam hatinya ia
kata: "Coba tidak ada gangguan
perompak kate (pendek), tempat
ini mirip dengan dunia punya
Taman Bungah Toh..."
Peksee cun terpisah dari kota
tak ada sepuluh lie, maka itu
dengan tanya-tanya orang, Sin
Cu lekas tiba di desa itu. Itulah
sebuah kampung kecil, yang
penduduknya terdiri dari belasan
371
rumah, yang mencar satu dari
lain. Ia jalan terus di jalan
pegunungan yang berliku-liku,
sampai di selat di mana ia
dapatkan sebuah rumah yang
berdiri di lamping bukit. Rumah
itu tidak punya tetangga. Di
tanjakan terlihat tanaman
bunga kuihoa, yang harumnya
terbawa siuran angin gunung.
Lega akan mendapatkan bau
harum itu. Maka Sin Cu duga
penghuni rumah itu seorang
yang halus budi pekertinya.
Setelah melintasi kebun bunga,
Sin Cu dapat lihat sepasang
ciosay atau singa-singaan dari
batu, yang bercokol di undakan
tangga rumah, dan di depan
pintu rumah itu benar ada tiga
buah pohon pekyang, yang
mengalingi satu pojoknya
lauwteng rumah.
"Tidak salah lagi inilah
rumah yang Keng Sim pesan aku
mesti cari," memikir
pemudi ini selagi ia mengawasi ke arah
rumah itu. "Kenapa Keng
Sim tidak hendak memberitahukan
aku siapa pemilik rumah
ini?"
Ia bertindak meng-hampirkan
pintu, tindakannya pelahan,
niatnya untuk mengetok.
Tiba-tiba ia merasakan samberan
angin di belakangnya, lalu ia
dengar teguran yang nadanya
halus: "Siapa yang datang
celingukan ke mari?" Ia lantas
menoleh, maka di hadapannya
tampak satu nona yang manis,
bajunya bertangan pendek,
warnanya kuning marong,
rambutnya dijadikan konde dua.
Nampaknya nona itu masih
kebocah-bocahan walaupun
usianya, ia taksir, tak berjauhan
dengan usianya sendiri. Nona
itu bawa lagaknya seorang
dewasa. Untuk kagetnya, nona
itu terus menyerang padanya,
dengan satu jurus Kimna ciu.
Rupanya orang telah pandang ia
sebagai seorang panca longok!
Sebenarnya cukup untuk Sin Cu
untuk berkelit seraya
menyebutkan nama Keng Sim,
urusan sudah tidak ada lagi,
siapa tahu, ia pun bawa
tabiatnya, ingin ia mencoba nona itu.
Ia lantas membikin punah
serangan si nona itu dengan
372
jurusnya "Mega merah
menampa rembulan." Kalau si nona
menyerang ia dengan tangan
kiri seraya tangan kanan dipakai
melindungi diri, ia justeru
menangkis dengan tangan kiri
sambil menjambak dengan tangan
kanan.
Nona itu kaget hingga ia
mengeluarkan seruan pelahan,
sebab sikutnya kena dibentur.
Atas ini, ia lantas saja
menyerang pula dengan jurusnya
"Tujuh bintang," mengarah
dada orang, karena mana, Sin
Cu mesti menarik pulang
tangannya. Ia menjadi kagum
untuk kegesitannya nona itu.
Lantas ia mengubah jurusnya
tadi dengan jurus "Menarik
busur untuk memanah burung
rajawali." Ia belum dapat
menguasai ilmu silat tangan
kosong tetapi gurunya telah ajari
ia ilmu silat pedang
"Pekpian Hian Kie Kiamhoat," maka itu, ia
lincah luar biasa. Begitulah
selagi dengan tangan kiri ia tangkis
serangan si nona, dengan
tangan kanan ia menyamber dada
orang, pada jalan darah
lengkiu hiat.
Nona itu terkejut, mukanya
menjadi merah, tetapi ia tidak
menangkis atau berkelit, ia
buka mulutnya, untuk menggigit
tangan lawannya itu. Melihat
itu, Sin Cu pun terperanjat. Ia
lantas ingat bahwa ia tengah
menyamar sebagai satu pemuda
sedang lawannya itu satu nona
remaja. Ia jadinya telah
bersikap ceriwis!
Pun luar biasa sekali cara
bersilatnya nona itu, yang main
menggigit. Syukur Sin Cu sebat
menarik pulang tangannya,
kalau tidak dua jerijinya bisa
kutung terkacip gigi! Hanya, biar
bagaimana, ia merasa Jenaka
juga...
Di saat Nona Ie memikir untuk
bicara, nona itu sudah
menyerang pula padanya, secara
bertubi-tubi, kedua
tangannya, kiri dan kanan,
menyamber-nyamber saling susul,
kedua kakinya turut bergerak
dengan cepat dan tetap untuk
mengimbangi hujan serangannya
itu. Ia terpaksa menunjuki
kelincahannya akan menyingkir
dari semua serangan itu, ia
373
main berkelit, dengan mengegos
tubuh atau berlompat. Tapi
ia terus dirangsak, hingga
tanpa merasa telah berlalu empat
puluh sembilan jurus, hingga,
umpama kata, ia tak dapat
bernapas...
"Heran," pikirnya.
Nona itu kalah tenaga dalam tetapi ilmu
silatnya itu seperti melebih
padanya.
Banyak sudah gurunya, Thio Tan
Hong, menuturkan ia
tentang pelbagai macam ilmu
silat partai lain tetapi belum
pernah ada yang semacam ini.
Baru setelah itu, Sin Cu
"menutup" kedua tangannya si
nona dengan ilmu silatnya
"Siauwthian cee" atau "Bintang
kecil."
"Bagus!" ia pun
memuji. "Sudah, sampai di sini saja, tidak
usah kita bertarung pula. Aku
datang untuk membawa
kabar bagimu."
Nona itu berontak, tidak dapat
ia membebaskan kedua
tangannya. Ia telah kerahkan
tenaganya, masih sia-sia saja.
Sin Cu telah berhasil
mewariskan kepandaian gurunya, siapa
sebaliknya telah dapat
mengatasi warisan Pheng Hweeshio,
yang sudah meninggalkan surat
wasiatnya yang berisi
pelajaran istimewa, pelajaran
mana Tan Hong yakinkan
selama belasan tahun.
"Eh, kau bawa
surat?" tanya nona itu heran. "Surat
apakah?"
"Surat yang berupa pesan
lisan dari Tiat Keng Sim," Sin Cu
menjawab.
"Tiat Keng Sim meninggali
pesan untukku?" si nona
menegaskan. "Di mana kau
bertemu dengannya?"
374
"Di kantornya tiehu.
Besok dia bakal diserahkan tiehu
kepada orang Nippon."
Nona itu agaknya terkejut,
lalu nampak ia berduka, alisnya
berkerut.
Setahu kenapa, menampak roman
itu, Sin Cu merasa
sedikit iri hati...
"Benarkah Tiat Keng Sim
meninggalkan pesan?" tiba-tiba si
nona menanya. "Kau siapa?
Apakah namamu?"
"Aku she Ie dan namaku
Sin Cu. Kau?"
“Ie Sin Cu? Belum pernah aku
dengar..." kata nona itu.
"Kita ada sahabat-sahabat
baru," Sin Cu jelaskan.
Tiba-tiba nona itu tertawa
dingin.
"Mustahil Tiat Keng Sim
mempunyai sahabat semacam
kau!" katanya. "Kau
ceriwis! Kau tentu penipu! Rasai
pedangku!"
Sin Cu melayani orang bicara
tanpa curiga, maka ketika
nona itu berontak dengan
tiba-tiba, terlepaslah "tutupannya."
Cepat luar biasa, nona itu
sudah menghunus pedangnya, dan
sama cepatnya, dia buktikan
ancamannya, yang berupa
tikaman!
Mau atau tidak, Sin Cu mesti
berkelit, malah terus hingga
tiga kali sebab nona itu tikam
ia berulang-ulang. Akhirnya, ia
jadi mendongkol juga. Di dalam
hatinya ia kata: “Ilmu
pedangmu boleh liehay, apakah
kau sangka aku jeri
terhadapmu?"
375
Di saat Nona Ie hendak
mencabut pedangnya, guna
melayani, kupingnya dengar
tindakan berlari-lari diarah
belakangnya, suara
berlari-lari dari belakang bukit. Belum
sempat ia menoleh, si nona
sudah menghentikan serangannya
sambil terus berseru:
"Seng Jiekol"
"Jieko" itu ialah
kakak yang nomor dua.
Ketika ini digunai oleh Sin Cu
untuk berpaling ke belakang,
maka itu ia lantas dapat
melihat dua orang tengah berlari,
yang satu di depan, yang lain
di belakang, keduanya laki-laki,
yang di sebelah belakang
adalah seorang perwira, dengan
pedang di tangan, dia tengah
mengejar orang di depannya itu.
Laki-laki yang lagi
diubar-ubar itu adalah seorang muda
yang alisnya gompiok dan
matanya besar, bajunya tak
terkancing hingga nampak
dadanya. Dia berkulit hitam.
Segera dia dapat dikenali
sebagai seorang nelayan. Dia
bersenjatakan sebatang toya,
dengan itu saban-saban dia
berpaling untuk menyerang
pengejarnya itu.
Si perwira bersenjatakan
sebatang golok melengkung,
bagus ilmu silat goloknya,
selalu ia bisa singkirkan
serangannya si pemuda, ia cuma
kalah ilmu ringan tubuh,
karena di jalanan pegunungan
seperti itu, ia kalah cepat
larinya. Maka setiap menemui
jalan yang sulit, ia mesti lari
nyimpang ke lain arah untuk
dapat menyandak.
Si nona sudah lantas saja lari
untuk mema-paki, karena
mana, Sin Cu turut berlari
juga. Cepat sekali, mereka sudah
datang dekat satu pada lain.
Kapan si perwira melihat Sin Cu,
ia menjadi heran.
"Hm, binatang, kau pun di
sini?" dia menegur. "Kau pernah
apakah dengan si tua bangka
she Cio?"
376
Sin Cu segera mengenali
perwira itu, ialah Tonghong Lok,
hutongnia atau kepala yang
kedua dari pasukan Gielimkun,
ketika di kota raja ia mencuri
kepala ayahnya, ia telah
bertemu dan bertempur
dengannya, jadi ia mengetahui orang
ada liehay. Ia tidak tahu
siapa itu yang disebut tua bangka she
Cio, tetapi ia percaya
datangnya kepala Gielimkun ini niscaya
bukan bermaksud baik, ia
lantas bersiap akan bersama si nona
menempur padanya.
Nona itu sebat luar biasa,
baru Sin Cu berpikir, dia sudah
mendahulukan berlompat, terus
menikam perwira itu, hanya
berbareng menyerang, ia
teriaki si pemuda yang dikejar-kejar
perwira itu: "Seng Jieko,
kau layani itu bocah, dia berani
datang menghina aku, dia
bukannya satu manusia baik-baik!"
Mendengar ini, Sin Cu
tercengang.
Si anak muda dengar
perkataannya si nona, ia tinggalkan si
perwira, ia lantas
menghampirkan nona kita, untuk lantas
menekan pedang orang.
Tentu saja nona kita menjadi
mendongkol.
"Kenapa kau begini
sembrono?" ia menegur. "Aku datang
untuk membantu kamu!"
Ia lantas geraki pedangnya,
akan bebaskan diri dari
tekanan. Pemuda itu heran,
tetapi ia mengawasi dengan
tajam.
"Kau siapa?" ia
tanya, bengis.
"Seng Jieko, jangan
dengari bujukannya!" si nona berkata,
sekalipun ia tengah melayani
si perwira. "Tadi dia berlaku
kurang ajar terhadapku! Hajar
dulu padanya!"
377
Pemuda itu menjadi gusar, ia
lantas menyerang pula. Sin
Cu menjadi mendongkol sekali.
Atas datangnya serangan, ia
bergerak dalam jurusnya
"Menggeser tubuh, menukar
tindakan." Gesit luar
biasa, ia mendak, akan nyelusup di
bawah toya. Ia ada bagaikan
seekor ikan yang licin. Habis itu,
ia membalas menyerang, dengan
sabetannya. Ia hanya tidak
menikam tubuh atau lain
anggauta tubuh dari anak muda itu,
ia cuma membikin putus dua
buah kancing baju!
Pemuda itu terkejut, justeru
mana, Sin Cu tarik pulang
pedangnya, sambil tertawa
dingin, si nona berkata: “Ini dia
yang dibilang, anjing
menggigit Lu Tong Pin, kamu tidak kenal
kebaikan orang! Coba aku tidak
menghargai Tiat Keng Sim,
pastilah aku telah membikin
liang di dalam tubuhmu!"
Pemuda itu terkejut, ia heran.
"Tiat Keng Sim?" ia
mengulangi. "Tiat Keng Sim yang
mana?"
Sin Cu tertawa dingin.
"Mana ada Tiat Keng Sim
lainnya lagi selainnya Tiat Keng
Sim yang sekarang tengah
ditahan di kantor tiehu kota
Tayciu!" ia menyahut
tawar.
"Jangan dengari
ocehannya!" si nona mendahulukan si
anak muda. Ia lagi berkelahi,
ia pun memasang kupingnya.
"Tiat Suko tidak nanti
mempunyakan sahabat seperti dia ini!"
"Traang!" demikian
suara yang menyusuli perkataan si
nona dan nona itu menjadi
kaget. Justeru ia perdengarkan
suaranya, Tonghong Lok sudah
hajar pedangnya, hingga
tangannya tergetar dan
pedangnya itu terlepas dan terpental!
378
Pemuda itu terperanjat, ia
tinggalkan Sin Cu, untuk
membantui si nona.
"Jangan pedulikan
aku!" nona itu berseru, mencegah. "Aku
dapat bertahan! Kau hajar saja
pemuda ceriwis itu!"
Nyata nona itu besar kepala
dan tak suka menyerah kalah.
Si anak muda bersangsi
sebentar, akhir-nya ia mendengar
kata. Maka kembali ia hadapi
Nona Ie, ia lantas merabu ke
bawah.
Sin Cu benar-benar mendongkol,
ia berlompat, terus ia
membalas menyabet dengan tipu
silat "Menjahit dengan jarum
emas." Ia ingin memapas
pula kancing baju orang.
Kali ini si anak muda waspada,
ia dapat egoskan tubuhnya.
Ia kalah gesit tapi menang
tenaga, maka itu, ia lantas kurung
dirinya dengan toyanya.
Dalam mendongkolnya, Sin Cu menyerang
dengan sengit,
sampai ia lewatkan belasan
jurus, baru ia papas ujung toyanya
pemuda itu. Ia membarengi
berkata: "Jikalau kau tidak
percaya aku, kau mesti percaya
suheng-mu Tiat Keng Sim!"
Walaupun ia seorang kasar,
pemuda itu tidak besar kepala
seperti si nona, adik
seperguruannya itu. Ia pun polos. Maka
ia berpikir: “Ilmu silat orang
ini tak ada di bawahan Tiat
Suheng, kalau dia bermaksud
jahat, barusan mana dapat aku
membebaskan diri dari dua
tikamannya?"
"Sebenarnya kau datang
untuk urusan apa?" ia akhirnya
tanya. Ia tidak menyerang
lebih jauh, ia berdiri sambil
mengawasi dengan tajam.
"Aku datang untuk
menyampaikan pesan lisan dari suhengmu"
sahut Sin Cu.
379
"Pesan apakah itu?"
si anak muda bertanya.
"Dia ditahan di kantor
tiehu, besok dia hendak diserahkan
pada orang Nippon!" Sin
Cu beritahu.
"Hm! Cuma sebegitu saja
pesannya?" anak muda itu
menegasi. Agaknya ia seperti
sudah ketahui kejadian atas diri
si anak muda.
"Kau hendak menanya apa
lagi?" Sin Cu balik menanya.
Anak muda itu berpikir, lalu
ia angkat kepalanya.
"Menurut kau, jadinya
Tiat Suheng-ku itu ditahan di kantor
tiehu ?" katanya.
"Benar!" sahut Sin
Cu.
"Suheng-ku itu mempunyai
kepandaian untuk menakluki
naga dan menundukkan harimau,
dia pun pandai ilmu enteng
tubuh Terbang di atas rumput,
kenapa dia bolehnya
membiarkan dirinya ditangkap
tiehu untuk diserahkan pada
orang Nippon?" dia tanya
pula.
“Itu adalah pikirannya
sendiri, apa maksudnya, aku tidak
dapat tahu," menjawab
nona Ie. "Dia cuma membacakan dua
baris syair kepadaku, ialah
Menarik melengkung busur untuk
memanah harimau dari gunung
Lam San, menggosok pedang
guna menyingkirkan ular naga
dari laut Pak Hay. Ruparupanya
dia sudah ketahui baik apa
yang dia harus lakukan."
Mendengar itu, si anak muda
lantas berseru: "Sumoay,
perkataannya orang ini benar!
Benar-benar dia datang
membawa pesan lisan dari
suheng kita!"
380
Nona itu tidak menjawab, maka
Sin Cu menjadi heran. Ia
lantas berpaling.
Nyata nona itu tengah
bertempur hebat sekali dengan
Tonghong Lok, gerakan tubuh
mereka pesat sekali, sinar
pedang berkilauan. Tidak ada
suara dari beradunya senjata,
cuma suara angin yang
bersiuran keras. Sebab si nona
berkelahi dengan tangan
kosong, melayani musuh yang
bersenjata. Dia mainkan
sepasang kepalannya sama seperti
pedangnya tadi, dia menyerang
bertubi-tubi, seperti tak
hentinya. Ilmu silatnya itu
tetap tidak dapat dikenali Sin Cu.
Menghadapi nona itu, Tonghong
Lok agaknya kewalahan,
bukan karena ia kalah, hanya
sebab sukar untuk ia
memecahkan serangan berantai
dari si nona.
"Coba tenaga dalam si
nona lebih sempurna sedikit saja,
terang sudah Tonghong Lok
bukan tandingannya," berpikir Sin
Cu kemudian. Ia terus memasang
mata, hingga di akhirnya, ia
berseru kepada si anak muda di
depannya: "Kamu toh
muridnya Cio Keng To?"
Anak muda itu terperanjat.
"Cara bagaimana kau kenal
guru kami?" tanyanya heran.
Di jaman itu ada terdapat
empat kiamkek atau ahli ilmu
silat pedang. Di selatan ialah
Thio Tan Hong. Di utara yaitu
Ouw Bong Hu. Di barat yakni
Yang Cong Hay, itu congkoan
kesohor dari istana kaisar.
Dan di timur adalah Cio Keng To
yang disebutkan Sin Cu ini. Di
antara mereka itu berempat,
Tan Hong yang usianya paling
muda tetapi namanya paling
terkenal. Cio Keng To adalah
yang tertua, sebaliknya yang
mengenal dia, tak banyak
jumlahnya. Inilah disebabkan pada
dua puluh tahun yang lampau ia
telah mencuri pedang di
dalam istana kaisar hingga ia
menjadi melakukan
perlanggaran pidana besar, ia
kabur ke luar batas negara dan
381
seterusnya mengumpatkan diri,
hingga selama dua puluh
tahun orang tak dengar pula.
Lantaran ini kaum muda tidak
banyak yang ketahui namanya.
Tan Hong ketahui Keng To
pandai ilmu pedang "Keng
To Kiamhoat" karena pernah Cio
Keng To datang berkunjung
kepada kakek gurunya, untuk
sebagai yang muda memohon
pengajaran. Tatkala itu Hian Kie
Itsu kebetulan telah selesai
meyakinkan dua pedang Pekin
kiam dan Cengbeng kiam, maka
dengan sembarangan ia
gunai Cengbeng kiam melayani
Keng To. Di dalam sepuluh
jurus pedangnya Keng To kena
dibikin sapat. Habis itu, di
samping memuji Keng To, Hian
Kie pun menjelaskan
kekurangan orang. Hian Kie
bicara dengan polos, ia
membeber dengan tedas, ia pun
memberi penerangan dengan
jujur. Keng To malu atas
kekalahannya itu, tapi berbareng ia
kagumi pedang orang. Ia
percaya Hian Kie liehay, tetapi ia
kurang puas dengan
kekalahannya. Ia anggap ia kalah
disebabkan ia kalah pedang. Ia
tidak menginsafi akan latihan
sempurna dari Hian Kie, bahwa
dengan pedang biasa juga,
pedangnya itu dapat dibikin
kutung. Karena ini timbullah
niatnya mencuri pedang di
istana kaisar itu.
Tadi telah Sin Cu lihat ilmu
silatnya si nona, yang bergerak
bagaikan "gelombang
kaget" (keng to) atau " "ombak
mengejutkan," ia kemudian
dengar Tonghong Lok menyebutnyebut
"si tua bangka she
Cio," ia lantas ingat Cio Keng To
dan dugaannya itu ternyata
tepat. Hanya, belum lagi ia jawab
pertanyaan si anak muda,
berdua mereka berpaling dengan
cepat ke arah pertempuran
karena keduanya dengar suara
beradunya senjata nyaring
sekali. Mereka masih sempat
melihat lelatu api, lalu si
nona terdesak mundur. Terang
rupanya pedang si nona kena
terhajar hebat goloknya
hutongnia dari pasukan raja.
Liehay permainan pedang dari
si nona, kurang latihannya
dalam tenaga dalam, karena itu
ia kalah ulet dari Tonghong
Lok. Hutongnia itu mungkin
dapat melihat cacat si nona, dia
382
menunggu sampai nona itu
selesai memainkan empat puluh
sembilan jurus, dengan
mendadak dia melakukan
penyerangan membalas dan
menghajar pedang orang itu.
Pedang telah mental balik,
hampir si nona terlukai pedangnya
sendiri.
"Celaka!" berseru si
anak muda, yang melihat adik
seperguruannya terancam
bahaya. Ia baru hendak berlompat
maju, guna membantui nona itu,
atau Tonghong Lok telah
kerjakan pula goloknya, kali
ini dia berhasil membuatnya
ujung baju si nona tersontek
bolong!
Golok Tonghong Lok ada punya
gigi bengkung model
rembulan, semacam gaetan, maka
itu golok itu bisa dipakai
sebagai alat membangkol. Si
nona sedang terdesak, ia tidak
berdaya menghadapi ancaman
itu, ujung bajunya terus
tercantel.
Sin Cu pun kaget tetapi ia
tertawa, terus ia berseru: "Adik
yang baik, pergilah kamu dua
saudara seperguruan
memasang omong, akan aku
gantikan kau!" Habis itu, selagi
suara tertawanya belum lenyap
di udara, ia mengayun
tangannya, menerbangkan bunga
emasnya.
"Traang!" demikian
satu suara nyaring dan goloknya
Tonghong Lok terhajar hingga
miring. Lalu datang bunga
emas yang kedua, yang
membuatnya ujung baju si nona
terbabat putus, hingga baju
itu terlepas dari cantalan gigi
golok.
Si nona gunai ketikanya akan
menarik tangannya, untuk
terus menikam lawannya.
Tonghong Lok kaget, ia berlompat
ke samping. Tapi di sini ia
dirintangi Sin Cu, yang sehabisnya
menimpuk sudah lantas
berlompat maju. Ketika si nona
hendak mengulangi serangannya,
ia menjadi tercengang
383
sebab ia dapatkan musuhnya
sudah bertempur dengan si
pemuda...
Hebat cara berkelahinya Sin
Cu, sejenak saja ia sudah
melalui tujuh atau delapan
jurus.
Si anak muda menyeka peluhnya,
lalu ia tarik tangan si
nona.
"Aku lihat anak muda ini
benar-benar hendak membantu
kita," ia kata pada itu
sumoay atau adik seperguruan.
"Hm!" si nona
perdengarkan suaranya, tetapi mukanya
merah. Ia membungkam.
"Dia membilangnya dia ada
sahabat kekal dari Tiat Suko,
mungkin dia tidak
mendusta," kata pula si anak muda.
"Bagaimana kau ketahui
itu?" si nona menyahuti juga, tapi
suaranya menyatakan dia masih
mendongkol.
Si anak muda tarik pula tangan
sumoay ini, lalu ia bicara
pelahan sekali, bisik-bisik.
Sin Cu berkelahi dengan
saban-saban menggunai ketika
akan melirik itu suheng dan
sumoay berdua, ia lihat tingkah
laku orang, diam-diam ia
tertawa di dalam hatinya. Tahulah
dia ada hubungan apa di antara
suheng dan sumoay itu.
Karena ini, kalau tadinya ia
mendongkol kepada si nona, yang
perlakukan ia kasar, sekarang
ia mendapatkan kesan yang
baik. Ia merasa orang seperti
kebocah-bocahan dan ia jadi
menyukainya. Ia hanya tidak
memikir bahwa ia sendiri pun
masih membawa adatnya satu
bocah...
Tidak benar untuk Nona Ie
memecah perhatiannya selagi
ia menempur satu lawan yang
tangguh, justeru lawan itu
384
berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Begitu ketika Tonghong
Lok melakukan penyerangan
membalas, satu kali ujung
goloknya hampir mampir di
tenggorokannya.
Si anak muda dapat lihat
ancaman hanya untuk nona itu, ia
kaget hingga ia berseru, terus
ia lompat maju, guna
menolongi. Tapi, belum ia
sampai kepada si nona, ia dengar
satu suara nyaring, yang
dibarengi dengan muncratnya lelatu
api.
Nyata Sin Cu telah dapat
membebaskan diri dari ancaman
malapetaka itu, malah dengan
membabat podol dua buah
giginya goloknya lawannya itu.
Sin Cu masih muda, belum
sempurna tenaga dalamnya,
akan tetapi di samping itu,
sudah sering ia melakukan
pertempuran, pengalamannya
jadi bertambah. Kepandaiannya
pun bertambah setelah ia
peroleh pengajaran ilmu silat
Ngoheng Kun dari Hek Pek Moko,
maka itu, ia tidak lagi dapat
disamakan sama waktu pertama
kali ia bertempur sama
Tonghong Lok. Dulu hari itu,
selama sepuluh jurus, keadaan
mereka berimbang. Karena ini,
Tonghong Lok menjadi
memandang ringan kepada nona
ini, biarnya mulanya ia
didesak, ia dapat membela diri
dengan baik. Sebagai seorang
berpengalaman, hutongnia ini
dapat mengambil ketikanya
yang baik. Demikian ia
menyerang hebat sedangnya si nona
melirik itu suheng dan sumoay.
Ia percaya bahwa ia bakal
berhasil. Di luar dugaannya,
si nona liehay, matanya tajam,
gerakannya gesit, maka
goloknya kena dipapas giginya. Coba
ia tidak berlaku sebat,
mungkin ujung goloknya yang terbabat
buntung.
"Bagus!" berseru si
anak muda, yang dari kaget berbalik
menjadi memuji.
385
Si nona tidak turut memuji,
akan tetapi di dalam hatinya,
diam-diam ia kagum.
"Kamu suheng dan sumoay
sudah letih, baiklah kamu
beristirahat!" berkata
Sin Cu, yang melihat mereka itu
menonton dengan asyik. Ia pun
tertawa.
Mukanya si anak muda menjadi
merah, ia melirik kepada
sumoaynya, yang berdiam saja.
Pertempuran berjalan terus.
Tanpa merasa, mereka sudah
melalui kira-kira seratus
jurus. Keduanya telah menggunai
tenaga tetapi mereka nampaknya
berimbang. Sin Cu tetap
lincah seperti bermula,
pedangnya berkelebatan tak
hentinya, sinarnya menyilaukan
mata.
Di akhirnya, si nona menjadi
kagum.
"Aku menyangka ilmu
pedang Keng To Kiamhoat tidak ada
keduanya di kolong langit ini,
siapa tahu sekarang ada yang
menandingi," pikirnya. Ia
kagum tetapi toh ia merasakan
hatinya dingin, karena
kejuma-waannya terguyur.
Tonghong Lok penasaran tidak
dapat menjatuhkan
lawannya, yang ia pandang
enteng itu. Ia heran kenapa
sekarang orang ada begini
liehay. Di dalam halnya latihan dan
pengalaman, ia menang
setingkat daripada si nona, yang
membuatnya ia sulit adalah
pedang yang tajam dari nona itu,
hingga ia sungkan mengadu
senjata. Untuk selalu mengegos
golok dari tabasan pedang ada
meminta kecelian mata dan
kegesitan gerakan tangan, dan
ini meminta banyak dari
hutongnia itu.
Setelah seratus jurus,
kelincahannya Sin Cu tidak jadi
berkurang. Sekarang ia menang
di atas angin. Ia lantas
perkeras serangannya yang
bertubi-tubi.
386
Si nona, yang terus menonton
dengan perhatian, tanpa ia
merasa, lenyap
kemen-dongkolannya terhadap itu pemuda
ceriwis. Ia sekarang
dipengaruhkan kekagumannya untuk
kegagahan orang.
Si anak muda sebaliknya, di
sebelah kekagumannya,
hatinya menjadi sangat lega.
Bukankah pemuda itu sudah
bebas dari ancaman bahaya
maut? Maka itu ia sempat tanya si
nona: "Sumoay, benarkah
suhu sudah pulang?"
"Ya! ya!" si nona menyahut,
tanpa ia berpaling, karena ia
sedang ketarik sekali
menyaksikan gerakan terakhir dari Sin
Cu. Kelihatannya pedang si
"pemuda" bergerak dari kiri ke
kanan, tetapi nyatanya,
sebaliknya, ialah dari kanan ke kiri.
Gerakan ini sudah terjadi
melulu disebabkan kelincahan.
Tonghong Lok tengah bertempur,
akan tetapi ia dapat
dengar perkataannya itu pemuda
dan pemudi, ia terkejut. Di
dalam hatinya, ia berkata:
"Sudah terang ini beberapa
binatang ada murid-muridnya
Cio Keng To, kalau mereka
sudah begini liehay, apapula
si tua bangka sendiri! Kalau
sekarang dia sudah pulang,
tidakkah aku menghadapi
ancaman bencana?" Dengan
sendirinya, hatinya menjadi ciut.
Tonghong Lok datang dengan
tugas untuk menawan Cio
Keng To, ia menerima titah
langsung dari junjungannya. Ia
datang dengan hati besar,
sebab ia percaya betul
kegagahannya. Benar ia ketahui
Cio Keng To liehay tetapi
orang telah berusia lanjut,
belum tentu jago tua itu dapat
menandingi padanya. Setibanya,
ia lantas mendapat
pengalaman yang membuatnya ia
mesti berpikir. Pertamatama
ia tidak sanggup bekuk si anak
muda walaupun anak
muda itu sudah keteter. Kedua
ia lantas mengadu kepandaian
sama si nona, yang ternyata
bukan tandingan sembarang.