Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 9

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 9 Maka itu paman sekalian utus aku kepada gurumu itu. Paman pesan, jikalau tayhiap
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 9
Maka itu paman sekalian utus aku kepada gurumu itu. Paman pesan, jikalau tayhiap

akur, barulah peta diminta pinjam. Melihat keadaan sekarang ini, pamanku bersangsi sekali, sebab nampaknya Pit Toaliongtauw pasti bakal menggeraki angkatan perangnya itu..."

Dalam hal besar seperti itu. Sin Cu tidak dapat berpikir, hanya entah kenapa, ia senantiasa tidak berkesan baik terhadap Pit Kheng Thian.

"Tahukah kau seorang she Tiat yang dipanggil Tiat Kongcu?" ia menanya sesudah ia berdiam sekian lama.

"Apakah kau maksudkan Tiat Keng Sim puteranya Tiat Giesu dari Tayciu?"

"Benar."

"Semasa aku tiba di Tayciu, dia masih ada di sana, pernah beberapa kali aku bertemu dengannya."

"Ah, apakah sekarang ia sudah pergi dari sana?"

"Ya, semenjak permulaan bulan yang lalu. Kelihatannya ia kurang cocok dengan Pit Toaliongtauw."

Si nona berdiam.

"Tiat Kongcu itu agaknya sedikit luar biasa..."

"Kenapa?" Sin Cu heran.

"Kabarnya tempo menghajar perompak, dia telah mengeluarkan banyak tenaga, hanya habis itu, setahu kenapa, dia kehilangan kegembiraannya, dia menjadi lesuh, sering dia duduk minum arak seorang diri, tak suka dia bergaul sama orang. Tidak ada yang ketahui sebabnya perubahannya itu.

Pada permulaan bulan yang lalu itu, setelah Pit Toaliongtauw menjadi pemimpin besar dari delapan belas propinsi dan mulai berusaha untuk menggulingkan pemerintah Beng, secara

diam-diam kongcu itu mengangkat kaki. Pit Toaliongtauw menjadi tidak senang, dia dicaci, dikatakan dia tak cocok dengan kita sebab dialah anaknya orang berpangkat. Paman menyesal sekali atas kejadian itu. Nona, apakah kau kenal dia dengan baik?"

Sin Cu memandang ke permukaan air, ia menjadi teringat kepada gelombangnya sungai Tiangkang. Ia membayangi pertemuannya pertama kali dengan Keng Sim. Kemudian ia

teringat juga peristiwa menyedihkan di hutan cemara di antara Keng To dan Keng Sim, guru dan murid itu.

Maka itu lama baru ia menyahuti.

"Ah, kita tidak mengenal baik. Aku menanya sepintas lalu saja. Baiklah kita jangan sebut-sebut pula dia itu," katanya.

Seng Lim heran. "Kenapa dia berduka dengan disebutnya Keng Sim?" pikirnya. Ia menjadi dapat suatu perasaan aneh.

Tapi ia menghiburkan diri. "Buat apa aku pikirkan urusan lain orang?" Maka ia angkat kepalanya, memandang ke antara batu-batu tinggi. Sinar matahari sudah mulai suram. Di

permukaan air nampak sinar layung.

"Sebelum langit menjadi gelap, mari kita melihat lain-lain bagian lagi," ia mengajak. "Sekalian kita cari tempat di mana dapat kita beristirahat. Di sini benar indah tetapi terlalu terbuka, apabila musuh menyerbu kita, sulit untuk kita membela diri."

Sin Cu ikut si pemuda berjalan tetapi dengan mulutnya bungkam. Mereka mengikuti seluk beluknya batu-batu gunung itu yang bagaikan berpesta. Masih si nona berdiam saja.



Sampai di tempat di mana ada kali kecil yang airnya bening, ia berhenti untuk minum.

"Ah, ada ikan di kali ini!" kata Seng Lim. "Nanti aku tangkap beberapa ekor."

Ia lagi memandang ke muka air tempo di sebelah hulunya ada bayangan satu nona, bayangan mana lenyap dengan berombaknya air. Cepat sekali Seng Lim menjumput sepotong batu kecil, menimpuk ke arah dari mana bayangan itu datang.

Atas itu terdengar teriakannya satu nona, yang lantas saja muncul di antara mereka. Lagi sekali Seng Lim menyerang, tapi kali ini batunya itu terhajar runtuh bunga emasnya Sin Cu.

"Jangan!" Nona Ie mencegah. Bahkan tubuhnya segera mencelat menghampirkan nona yang baru muncul itu.

"Kiranya kau!" katanya tertawa. "Mana ayahmu?"

Nona itu berdandan sebagai seorang wanita suku bangsa Ie. Ia mulanya kaget, tapi kemudian ia berkata dengan pelahan: "Ah encie, kau masih mengenali aku?" Ia bicara dalam bahasa Tionghoa.

Memang ialah si nona yang bersama ayahnya pernah memberi pertunjukan sulap menelan pedang. Ia melihat ke sekitarnya, kemudian ia berkata pula, tetapi dengan pelahan:

"Panjang untuk menutur. Mari aku ajak dulu kamu keluar dari rimba batu ini."

Sin Cu girang bukan kepalang.

"Kau kenal jalanan rahasia di sini?"

Si nona mengangguk.



"Aku menjadi besar di sini, sekalipun dengan mata meram, dapat aku keluar dari sini,"sahutnya.

Seng Lim menghampirkan nona itu, untuk memberi hormat.

"Maaf," katanya. "Aku menyangka kau ada konconya penjahat..."

Si nona tertawa.

"Siapa bilang bukannya?" ia menjawab.

Seng Lim terkejut.

"Kalau bukannya aku kenal Nona Ie, tidak nanti aku menempuh bencana ini," berkata pula si nona.

Sin Cu pun heran.

Nona itu tertawa, ia menunjuk pada tusuk konde kumala di rambutnya. Sin Cu lihat itu, ia kenali itulah tusuk kondenya sendiri yang ia hadiahkan kepada si nona.

Maka sekarang mengartilah ia sudah. Pada tusuk konde itu ada ukiran huruf Ie, tanda dari keluarga Ie.

"Karena nona ketahui rahasia jalanan di sini, sekarang tak ingin aku lekas-lekas keluar dari sini," berkata Seng Lim kemudian.

Mendengar itu sekarang si nonalah yang menjadi heran, "Kamu tidak mau lekas berlalu dari sini, apakah kamu hendak menantikan kematian-mu?" dia menegaskan.

 "Aku ingin minta bantuanmu, nona," kata Seng Lim. "Aku ingin usir dulu kawanan penjahat, supaya ini tempat indah tidaklah dinodai mereka itu!"

Sin Cu sebaliknya berpikir: "Nona ini mengaku menjadi konco penjahat dan ia agaknya bukan tengah bermain-main, kenapa Seng Lim berani bicara begini rupa terhadapnya?"

Nona itu mengawasi si anak muda. "Apakah kamu Cuma berdua?" ia tanya.

"Kenapa?"

"Mereka itu berjumlah besar, sedikitnya dua ratus jiwa, di antaranya ada pahlawan dari kota raja! Bukankah kamu berdua saja?"

Mendengar itu, berubahlah pandangannya Sin Cu. Ia menjadi girang sekali.

"Memang aku tahu kau bukan orang busuk, nona," katanya. "Sekarang aku minta kau ajak aku pergi ke sarangnya penjahat itu. Tentang segala peristiwanya kau tidak usah memperdulikannya."

Nona itu tertawa.

"Aku boleh tidak usah memperdulikannya, tidak demikian dengan Thio Tayhiapl"

Kembali Sin Cu heran hingga ia berdiri melengak.

"Thio Tayhiap yang mana?" ia bertanya.

"Kecuali guru kau, nona, di kolong langit ini mana ada Thio Tayhiap lainnya?"



Benar-benar Sin Cu bingung sekali.

"Sebenarnya, bagaimana duduknya hal?" tanyanya pula. Di dalam hatinya, ia kata:

"Suhu memang liehay, aku hanya tidak mengarti kenapa dia seperti dapat meramalkan? Mungkinkah dia sudah ketahui kami bakal tersesat di sini?"

Nona suku Ie itu seperti dapat menerka hati orang, ia tertawa ketika ia berkata pula: "Adalah Thio Tayhiap yang menitahkan kami ayah dan anak datang ke mari. Kita tidak menyangka akan menemui nona di sini, sungguh kebetulan!"

"Oh, encie yang baik, kau menjelaskannya padaku!" akhirnya Sin Cu minta.

Nona itu lantas bicara dengan sungguh-sungguh: "Kawanan penjahat di sini sebagian besar ada orang-orang Ie, pemimpinnya pun suku Ie, namanya Lang Ying, tapi yang menjadi pemimpin besar ialah begal tunggal dari Inlam Selatan yang namanya sangat kesohor yaitu Touw Kun. Touw Kun ini ketarik pada rimba yang istimewa ini, ia mengajak Lang Ying bekerja sama. Asalnya Lang Ying ada pemimpin yang gagah dari kaum Ie kami, tapi ia benci pemerintah yang

memungut pajak dengan bengis, tidak senang ia melihat bangsanya diperas, maka ia kena dibujuk Touw Kun.

Begitulah ia dapat mengumpul kira-kira dua ratus orang bangsanya, yang semua muda-muda. Karena ini juga, Lang Ying tidak mengganggu penduduk Ie di sekitar sini."

Baru sekarang Sin Cu mengarti sebabnya kenapa penduduk tahu ada penjahat tetapi mereka tidak takut dan hidupnya

tenang-tenang saja. Pantas juga tuan rumah yang ia tumpangi

746
tidak suka menunjuki jalan, malah ia dilarang pergi jauh dari
rumahnya.
"Touw Kun juga mengumpul konco-konconya sendiri," si
nona suku Ie menerangkan lebih jauh. "Mereka berjumlah
lebih sedikit tetapi mereka lebih tangguh, maka itu dialah yang
berkuasa, hingga kejadian dia bukan cuma membegal tetapi
pun membunuh orang, ialah kaum saudagar yang berlalulintas
di sini. Karena ini orang-orang suku Ie menjadi jeri dan
tempat ini seperti terlarang untuk mereka. Lang Ying tidak
puas tetapi ia tidak dapat berbuat suatu apa."
Sin Cu tidak menyangka demikian kusut keadaan dalam
dari kawanan penjahat itu.
"Kami ayah dan anak asal Cio Lim ini," berkata pula si nona
suku Ie itu melanjuti keterangannya, "kemudian kami pindah
ke Tali di kaki gunung Khong San. Di atas gunung itu
kabarnya ada tinggal beberapa orang pertapa, yang penduduk
di dekat-dekatnya menghormatinya sebagai dewa-dewa..."
Sin Cu menduga pada kakek gurunya, ialah Hian Kie Itsu
bersama Siangkoan Thian Ya serta Siauw Loothaypo bertiga.
Ia tidak menjelaskannya, ia hanya tanya apa si nona pernah
melihat orang-orang pertapa itu. Nona itu menggeleng kepala,
tetapi ia menyahuti: "Katanya mereka itu tinggal di puncak
Inlong Hong, puncak tertinggi dari Khong San, puncak mana
seluruh tahun ditutupi mega atau kabut dan tidak sembarang
orang dapat mendakinya. Taruh kata orang dapat memendakinya,
belum tentu dewa-dewa itu suka menemuinya. Hanya
ada satu Ouw Toaya, muridnya salah satu dewa itu, yang
sering turun gunung untuk berbelanja dan dia suka menolong
mengobati orang sakit..."
"Bukankah Ouw Toaya itu yang bernama Ouw Bong Hu?"

747
"Benar, itulah namanya Ouw Toaya itu. Aku
mengetahuinya pun baru tahun yang lampau. Kami menanam
sayur, setiap kali turun gunung, Ouw Toaya belanja kepada
kami, karenanya kami jadi kenal dia. Sering Ouw Toaya itu
singgah di rumah kami. Ayahku ketahui Ouw Toaya pandai, ia
telah minta supaya aku diterima menjadi muridnya. Ouw
Toaya menampik, katanya ia masih mempunyai guru, ia jadi
tidak dapat menjadi guru lain orang. Maka ia cuma
mengajarkan kami beberapa rupa ilmu silat. Pun kebiasaan
kami menelan pedang adalah pengajarannya Ouw Toaya itu di
saat ia bergembira sekali..."
Ouw Bong Hu itu ada murid nomor dua dari Siangkoan
Thian Ya. Dia tinggal lama sekali bersama gurunya, maka itu
ia mendapatkan pelajaran jauh lebih banyak daripada Tamtay
Biat Beng (atau Tantai Mieh Ming) si murid kepala. Hanya ilmu
menelan pedang itu didapat Ouw Bong Hu bukan dari gurunya
tetapi dari Hek Pek Moko dengan siapa ia bersahabat erat
sekali, dia mempelajarinya secara iseng-iseng.
"Kamu tinggal aman dan berbahagia di kaki gunung Khong
San, habis kenapa kamu pindah pula ke mari?" tanya Sin Cu.
“Itulah sebab kami menerima titahnya gurumu, nona. Thio
Tayhiap datang ke Khong San baru di musim semi tahun ini.
Ia kenal baik dengan kita. Tayhiap gemar sekali pesiar.
Bahkan Toan Ongya sering mengundang dia datang ke
istana."
Keluarga Toan ini, pada sebelum jaman Goan Tiauw, ada
menjadi raja di Tali, raja turun temurun, maka itu meski benar
sekarang kedudukannya cuma sebagai tiepeng ciang -su,
pegawai negeri, rakyatnya saking kebiasaan tetap memanggil
ongya (raja muda atau pangeran).

748
"Selama yang paling belakang ini Toan Ongya hendak
mengangkat dirinya menjadi raja," si nona suku Ie melanjuti
keterangannya, "semua suku kami di Inlam menunjang
padanya. Karena ini, Toan Ongya ingat kepada rombongannya
Lang Ying, maka disayangi sekali ketika ketahuan Lang Ying
menjadi penjahat. Tapi Thio Tayhiap mengatur daya upaya
supaya Lang Ying suka datang ke Tali. Kami ada orang Cio Lim
sini, dari itu Thio Tayhiap yang menugaskan ayah untuk dapat
membujuk Lang Ying itu. Thio Tayhiap menugaskan kami
datang ke Kunbeng dulu, untuk mengadakan perhubungan
dengan siauwkongtia."
Baru sekarang Sin Cu sadar kenapa siauwkongtia ketahui
alamatnya.
"Tentulah kau yang membuka rahasiaku!" katanya.
Nona itu bersenyum.
"Harap nona maafkan aku yang telah menguntit kau,"
bilangnya.
Hanya berhenti sebentar, si nona suku Ie berbicara pula:
"Aku ada mempunyai satu kakak misan yang menjadi salah
satu sebawahannya Lang Ying itu, dengan kakak itu kami
membuat perhubungan. Sudah tiga hari kami berada di sini,
masih kami belum dapat menemui Lang Ying sendiri untuk
berbicara dengannya. Kakak misanku itu bilang Lang Ying
dikekang Touw Kun, mungkin dia tidak berdaya. Baru kemarin
ini ada datang beberapa pahlawan dari kota raja, satu di
antaranya yang bernama Han Thian ada saudara angkatnya
Touw Kun. Touw Kun hendak dibujuk buat menjadi matamatanya
pahlawan-pahlawan itu. Tentang ini kakak misanku
itu belum berani membebernya pada Lang Ying. Kamu telah
dipancing masuk ke dalam rimba ini, itulah hasil tipu dayanya
Han Thian suami isteri serta Touw Kun itu. Kabarnya semua

749
pahlawan itu liehay apapula yang menjadi kepala yang
bernama Lie Ham Cin..."
"Cuma sebegitu saja!" kata Sin Cu, yang mendadak
berhenti berkata. Sebab tiba-tiba ia ingat suatu apa.
Keningnya lantas dikerutkan.
"Musuh berjumlah besar, baik Nona Ie jangan
sembarangan," kata si nona suku Ie, yang menyangka orang
menyesal sudah omong besar tadi.
"Tidak ada artinya beberapa pahlawan itu!" Sin Cu kata
tertawa. "Bersama-sama Yap Toako, dapat aku melayani
mereka. Apa yang aku kuatirkan ialah kami nanti melukai
banyak orang bangsamu..."
Nona suku Ie itu berpikir. "Kalau nona merasa pasti, suka
aku membantu," kemudian ia menawarkan diri. Ia
mengeluarkan sehelai bendera kecil, yang bersulamkan dua
ekor singa, terus ia serahkan itu kepada Sin Cu sambil
menambahkan: “Inilah bendera Toan Ongya. Tidak ada suku
bangsa di Inlam yang tidak mengenal ini. Kalau nona bisa
mengalahkan Touw Kun serta beberapa pahlawan itu, bisalah
kau gunai bendera ini untuk panggil menakluk Lang Ying itu."
Inilah bagus, Sin Cu girang menerima bendera itu.
"Bagus!" katanya. "Sekarang kau pimpinlah aku ke sarang
mereka!"
Kawanan Touw Kun itu bersarang di atas bukit Taykim Nia
di dalam rimba batu itu, itulah bukit tertinggi. Ke sana si nona
suku Ie mengajak Sin Cu dan Seng Lim. Mereka mesti berjalan
berliku-liku dan naik dan turun, nyeplos di antara batu-batu
tinggi seperti pedang atau tombak itu. Pula ada puncakpuncak
yang dihubungi satu dengan lain dengan batu panjang

750
aneh bagaikan jembatan. Syukur Sin Cu dan Seng Lim yang
mengikuti si nona suku Ie itu, kalau tidak pastilah orang telah
terhalang di tengah jalan saking sukarnya jalanan itu.
Tatkala itu sang waktu sudah mulai magrib. Kagum Sin Cu
menyaksikan keletakan tempat.
"Tidak tepat tempat seindah ini dijadikan sarang penjahat,"
berkata ia. "Biarnya bukan untuk Toan Ongya, pasti suka aku
membasmi mereka ini."
Si nona suku Ie benar-benar mengenal baik rimba batu itu.
Ia maju tanpa ragu-ragu sampai mereka berada di kaki bukit
Taykim Nia itu. Di atas puncak terlihat sinar api. Nona itu
kuatir terlihat orang jahat, ia berkata: "Untuk sampai di
puncak yang menjadi sarang penjahat itu perhu dilewatkan
tiga puncak yang kecilan yang berada di jalanan mendaki ini,
maka itu sampai di sini, silahkan nona maju sendiri. Aku
doakan hasilmu! Setelah sarang penjahat pecah, nanti kita
bertemu pula!"
Sin Cu menerima baik. Memang tidak dapat nona itu turut
menyerbu. Mereka berpisahan.
Seberlalunya si nona, Sin Cu berbicara pada Seng Lim,
untuk bermupakatan. Selama berbicara, mereka berduduk di
tanah. Sin Cu setuju masuk langsung, untuk melabrak
kawanan penjahat itu.
"Lebih baik kita berpencar," Seng Lim memberi usul. Ia
bicara sambil tertawa.
"Musuh liehay, mereka pun berjumlah besar, jangan kita
sembrono. Baik kau yang menyerang dari depan, untuk
melayani kawanan pahlawan kaisar itu. Aku akan masuk dari
belakang, lebih dulu aku nanti membakar sarang mereka,

751
supaya mereka bingung dan kacau, tanpa mereka ketahui
berapa besarnya jumlah kita. Dengan musnahnya sarang
mereka, Lang Ying lebih gampang dibujuk."
Diam-diam Sin Cu mengagumi anak muda ini, yang pandai
bekerja. Kalah Keng Sim kalau mereka berdua dipadu. Keng
Sim lebih banyak temberang. Karena orang bicara dengan
beralasan, ke-putusan lantas diambil. Maka itu, lantas juga
mereka bekerja: Yang satu maju langsung dari depan, yang
lain jalan ngitar ke belakang. Mereka akan turun tangan begitu
lekas masing-masing sudah tiba, tak usah mereka saling
memberi pertandaan lagi.
Sin Cu berjalan cepat, ia berlari-lari.
Puncak pertama dilewatkan tanpa penjaganya dapat
mengetahui. Di puncak kedua ia terpergok, ia pun dipanah,
tetapi ia melawan, dengan bunga emasnya ia robohkan
penjaga itu. Ia kaget ketika ia melihat panah, yang dipakai
menyerangnya, nancap di batu, suatu tanda si penyerang
bukan sembarang orang. Karena ini, ia jadi waspada. Ia
loloskan pakaian orang, untuk ia pakai. Dengan
penyamarannya ini, ia menghampirkan puncak yang ketiga.
Tiba-tiba dua bayangan menghampirkan padanya.
"Eh, Ciu Toako, kenapa kau tidak menjaga di bawah?" ia
ditegur. Ia terkejut. Mahir ilmu ringan tubuhnya tetapi orang
masih dapat memper-gokinya. Ia tahu, si penjaga yang ia
binasakan tadi rupanya orang she Ciu dan ia disangka si Ciu
itu. Ia menyambut mereka dengan ayunan tangan, maka
sekejab saja, dua-dua mereka roboh karena bunga emasnya.
Memang, di puncak kedua dan ketiga, penjaga-penjaganya
adalah orang-orang yang diandalkan Touw Kun. Tetapi
mereka semua masih tidak dapat merintangi si nona.

752
Sin Cu maju terus hingga ia mendekati markas penjahat. Ia
masih menyamar, cuaca pun suram, tidak gampang untuk
orang mempergoki ia. Orang pun tidak menyangka musuh
dapat memasuki Cio Lim yang terahasia itu. Demikian ia dikasi
lewat tanpa teguran. Dari dalam terdengar ramai orang
berpesta, dari orang yang main tebak-tebakan tangan.
"Puas mereka merayakan pesta kemenangannya!" Sin Cu
kata dalam hatinya. Ia bersenyum ewah.
Memang itulah pesta kemenangan.
"Han Jieso, inilah jasamu yang besar!" terdengar suaranya
Lie Ham Cin, yang tertawa lebar. "Mereka telah terkurung,
tinggal dibekuknya saja, tidaklah apa, Han Jieko terluka
sedikit."
"Looyacu terlalu memuji!" terdengar jawaban seorang
wanita."Tidak berani aku menerima jasa. Sebenarnya jasa
harus didapatkan oleh Touw Ceecu, yang mengijinkan Cio Lim
dipakai sebagai gelanggang pancingan. Tapi dua titik itu sukar
untuk dibekuknya..."
Lie Ham Cin tertawa pula.
"Sebenarnya, semuanya berjasa!" katanya pula. "Sekarang
ini Yang Congkoan sudah tiba di Kunbeng, maka kedua titik itu
boleh kita serahkan saja padanya, lalu habislah tanggung
jawab kita. Bahkan kita boleh mengharapi pahala. Touw
Ceecu, jikalau dikehendaki olehmu, boleh kau minta Yang
Congkoan bicarakan pada Bhok Kongtia supaya kaulah yang
diangkat menjadi raja setempat di sini. Kalau itu sampai
kejadian, sungguh tepat, jadi kau tidak usahlah menjadi raja
dari rimba Cio Lim ini!..."

753
"Aku juga tidak mengharapi jasa atau pangkat!" terdengar
suara nyaring dan kasar dari Touw Kun. "Hanya, aku tanya,
boleh tidak kalau itu bocah she Ie diserahkan padaku?"
Lie Ham Cin si pahlawan kaisar tertawa.
"Tahukah kau dia orang apa?" tanya pahlawan ini. "Dialah
puterinya Ie Kiam! Dialah si anak pemberontak yang dicari Sri
Baginda! Bagaimana kau dapat menghendaki dia?"
Agaknya Touw Kun terkejut.
"Dia puterinya Ie Kokloo?” katanya. "Oh, celaka aku, celaka
aku! Coba aku mengetahuinya siang-siang, tidak nanti aku
memikir gila-gila demikian!..."
Ie Kiam sangat dihormati orang banyak, sekalipun Touw
Kun, dia masih menghargainya.
"Apa? Kau jeri untuk namanya Ie Kiam?" Lie Ham Cin
tanya. "Menurut undang-undang pemerintah, siapa berdosa,
kedosaannya turun kepada anak-anaknya, anak-anaknya itu
akan dijadikan budak! Bocah itu sangat cantik, aku kuatir Sri
Baginda sendiri yang nanti menghendakinya! Kalau tidak,
dengan mengodol banyak uang, ada harapan kau
mendapatkan dia..."
Kembali pahlawan ini tertawa, hanya kali ini, tertawanya itu
dibarengi sama suara memberebet di tenda gubuk, lalu
sebuah sinar emas melesat masuk. Menyusul itu orang yang
dipanggil Han Jieso menjerit keras, tubuhnya roboh.
Satu sinar pun menyambar ke arah Lie Ham Cin, tetapi dia
awas dan sebat, dia sempat mencabut goloknya dan
menangkis, hingga sinar emas itu mental. Hanya, berbareng

754
dengan itu, Sin Cu lompat masuk, matanya mendelik,
pedangnya diputar!
Touw Kun kaget hingga ia duduk menjublak. Kembali Nona
Ie mengayun tangannya, kali ini tiga bunga emas melesat dari
tangannya. Han Jieko mengeluarkan teriakan mengerikan
yang tertahan, tubuhnya lantas roboh, sebab sepotong kimhoa
nancap di batang lehernya, hingga jiwanya segera melayang
pergi. Kimhoa yang kedua mengenai Touw Kun di saat itu
kepala begal hendak menggeraki toyanya guna maju
menyerang si nona begitu lekas ia sadar, cuma orang she
Touw ini tidak dirampas jiwanya, melainkan ilmu silatnya yang
dibikin musnah. Inilah sebab barusan dia masih menghargai Ie
Kiam.
Lie Ham Cin menangkis kimhoa yang ketiga, terus ia
tertawa terbahak-bahak. Ia dapatkan si nona seorang diri, ia
tidak takut.
"Kau manusia celaka!" Sin Cu menegur. "Hek Pek Moko
memberi ampun padamu, supaya kau insaf dan mengubah
kelakuan, siapa tahu kau tetap menjadi kuku garuda, bahkan
kau mencelakai menteri setia! Sekarang kau tidak dapat
ampun lagi!"
Sin Cu pun berani, ia lantas menerjang.
Lie Ham Cin membuat perlawanan. Tiga kali ia
membuyarkan serangan si nona, lalu ia tertawa lebar.
"Kau tidak hendak memberi ampun padaku, apakah kau
kira aku sudi memberi ampun padamu?" katanya, mengejek.
"Sahabat-sahabat, mari maju! Dia inilah puterinya si
pengkhianat, dia mesti ditangkap hidup, jangan bikin dia
mampus!"

755
Lie Ham Cin membawa empat siewie, pahlawan, kecuali
Han Thian yang telah terbinasa itu, masih ada tiga yang
lainnya, yang semuanya pilihan, maka ia menganjurkan
mereka ini maju mengepung Nona Ie. Maka Sin Cu lantas saja
terkurung.
Nona itu bersenyum ewah. In mainkan pedangnya
melayani empat musuh itu. Ia perlihatkan ilmu pedang Hian
Kie Kiamhoat. Walaupun ketiga musuhnya gagah, ia
membuatnya mereka itu repot. Syukur mereka mendapat
bantuannya Lie Ham Cin yang liehay itu, kalau tidak pastlah
siang-siang senjata mereka sudah terbabat kutung.
Lie Ham Cin itu berpokok ilmu silat Thaykek Pay, ia telah
memaham-kan ilmu tangan kosong dan golok untuk beberapa
puluh tahun, hebat perlawanannya itu, hingga ia membikin si
Nona Ie menjadi penasaran dan sebal. Maka Sin Cu
menyerang bukan main hebatnya.
Pertempuran itu dahsyat sekali, seluruh markas menjadi
gempar. Touw Kun merayap bangun, ia tidak dapat berkelahi
lagi tetapi ia bisa mementang bacotnya. Maka ia teriaki Lang
Ying, yang ia panggil Lang Ceecu, untuk membantui dengan
menggunakan barisan panah.
Sin Cu dengar suara orang itu, ia menginsafinya bahaya. Ia
mengarti tidak dapat ia berlaku ayal. Maka kembali ia desak
Lie Ham Cin, yang sudah mulai kewalahan, begitu lekas
pahlawan tua itu mundur, ia mengayun tangannya
menyambar-kan tiga buah kimhoa.
Dari tiga pahlawan, yang dua roboh seketika terkena bunga
emas itu. Yang ketiga, yang paling liehay di antaranya, dapat
menyelamatkan diri. Setelah itu sambil menuding, si nona
bentak Touw Kun: "Telah aku mengampunkan jiwamu, kau
masih tidak sudi menerima kebaikan hatiku! Jikalau kau masih

756
mementang bacot, lihatlah ini dua contoh!" Ia menunjuk
kepada kedua pahlawan, dari yang mana yang satu terhajar
matanya, yang satu lagi tertancap tenggorokannya.
Setelah itu, tidak menghiraukan markas penjahat kalut, Sin
Cu mendesak pula Ham Cin. Tapi sambil berkelahi, ia melihat
kelilingnya. Ia mendapat kenyataan di pintu ada menghalang
seorang suku Ie yang berewo-kan dan matanya tajam beserta
beberapa puluh tukang panah suku bangsa Ie. Ia menduga
kepada Lang Ying. Tidak tempo lagi, ia keluarkan bendera
sulam dua kepala singa, ia kibarkan itu untuk dilihat orang
banyak sambil ia berkata dengan nyaring: "Lang Ceecu,
kaulah orang gagah bangsa Ie, mengapa kau membantu
harimau mengganas? Kau tahu, Toan Ongya menggundang
kau datang ke Tali untuk melakukan usaha besar! Maka kau
pikirlah masak-masak!" Kemudian Ia lemparkan bendera itu
kepada ketua suku Ie itu.
Lang Ying berdiri menjublak setelah ia menanggapi bendera
itu.
"Lang Ceecu” Lie Ham Cin berteriak, "jikalau kau
menghendaki kekayaan dan pangkat mulia, akan aku
mintakan Sri Baginda mengangkat kau menjadi touwsu dari
Cio Lim ini! Lekas bekerja sama untuk membekuk pengkhianat
inil"
Belum lagi berhenti suaranya pahlawan raja ini, segera
terdengar suara sangat berisik dari belakang markas, di mana
nampak api berkobar-kobar.
Lang Ying kaget bukan main. Ia tidak menduga kepada
perbuatan Yap Seng Lim seorang, ia percaya markasnya sudah
diserbu dari belakang dan telah dobol, bahkan ia tengah
terkurung. Untuk sejenak ia tercengang, lantas ia berteriak
keras: "Siapa kesudian anugerah kamu bangsa Han?"

757
Terus ia mengibaskan tangannya kepada pasukan
panahnya: "Mundur kamu!" Habis itu, ia menghunus goloknya
akan maju menerjang, untuk membantui Sin Cu.
Lie Ham Cin kaget bukan kepalang. Inilah ia tidak sangka.
Tapi ia sangat licin. Mendadak saja ia berlompat, tangan
kirinya diulur. Ia mainkan jurus dari Kimna hoat, pukulan
Menangkap. Hebat gerakannya itu, sejenak saja, Lang Ying
telah kena ditawan olehnya.
Sin Cu kaget, ia menikam, tetapi lawan itu memajukan
tubuhnya si pemimpin suku Ie itu. Terpaksa si nona menarik
pulang pedangnya.
"Baiklah!" seru si pahlawan. "Mari kita mampus bersama!"
Sin Cu menyerang terus, ia membabat kuping tetapi gagal.
Saban-saban tubuh Lang Ying digunakan sebagai tameng.
Senang Ham Cin melihat kegagalan orang, bahwa orang
sudah kewalahan, maka ia tertawa tergelak-gelak.
Tengah pahlawan ini tertawa, mendadak ada seruan hebat
di sebelah belakangnya, seruan bagaikan guntur, lalu tenda
tersingkap, terlihat bayangan satu orang lompat menerjang
masuk. Belum sempat Ham Cin melihat bayangan itu, ia
sudah merasakan sakit hingga ke tulang-tulang. Sebab hanya
dengan satu kali bergerak, selagi ia repot membela diri dari
serangan bertubi-lubi dari Sin Cu, tiba-tiba saja
lengannyayang kanan kena orang cekuk dan ditekuk!
Pasti sekali bayangan itu Seng Lim adanya. Seng Lim
mempunyai kepandaian Taylek kimkong ciu, lima jarinya
memegang keras sekali, maka juga, satu kali dia mengerahkan
tenaganya, Lie Ham Cin tidak sanggup mempertahankan diri
lagi, bahkan goloknya mental menghajar jidatnya sendiri.

758
Untuk mencoba membela diri, terpaksa ia melepaskan
cekalannya kepada Lang Ying.
Orang Ie itu menjadi sangat gusar, begitu ia merdeka, ia
ayun goloknya ke arah pahlawan ini, maka pada detik itu juga,
tubuh si pahlawan kena terbacok menjadi dua potong!
Dalam saat kacau itu, Touw Kun sudah menyingkirkan diri.
Pahlawan yang terakhir telah kena dibinasakan Sin Cu, yang
meninggalkan Lie Ham Cin selekasnya musuh ini dicekuk Seng
Lim. Maka itu, dengan yang mati dan kabur, habislah kawanan
penjahat kecuali orang-orangnya Lang Ying. Mereka ini lantas
mencoba memadamkan api.
Tetapi Lang Ying tertawa berkakak:
"Biarlah semua terbakar habis! Kita toh telah bebas dari
kawanan anjing itu hingga sekarang kita semua dapat pergi ke
Tali kepada Toan Ongya."
"Memang, tidak selayaknya kita melanjuti pekerjaan kita
ini, cuma-cuma kita dicaci dan dikutuk bangsa kita!" ada yang
menimpali ketua itu. Dia ini ialah kakak misan dari si nona
suku Ie itu.
Nona itu sudah lantas muncul, dalam kegirangannya ia
tubruk Sin Cu yang ia rangkul. Saking girang ia sampai tidak
dapat berkata-kata.
Malam itu juga Lang Ying hendak meninggalkan Cio Lim.
Kapan penduduk yang berdekatan memperoleh kabar, mereka
datang berduyun-duyun. Di hadapan mereka itu Lang Ying
mengutarakan keputusannnya untuk menukar cara hidup. Ia
mendapat sambutan riuh rendah. Bahkan di depan rimba batu
itu segera diadakan pesta besar, orang menyembelih babi dan
kambing, orang menari-nari dan bernyanyi-nyanyi selama tiga

759
hari! Semua penduduk di dekat-dekat situ turut ambil bagian
dalam pesta besar yang sangat meriah itu. Adalah tiga hari
kemudian, baru rombongannya Lang Ying itu berangkat
menuju ke Tali.
Seng Lim bersama Sin Cu tidak dapat menunggu sampai
tiga hari, di hari pertama, sehabis menghadiri pesta, mereka
pamitan dari Lang Ying semua, kemudian mereka berangkat
terlebih dulu.
Dari Cio Lim ke Tali, perjalanan ada seribu lie lebih dan
mesti melintasi pegunungan atau tanah datar tinggi,
perjalanan pun sukar, maka sudah empat lima hari, kedua
orang muda itu masih berada di tanah pegunungan yang
tinggi atau hutan belukar. Selama itu Seng Lim bersikap
sangat telaten terhadap Sin Cu hingga si nona puas dengan
teman seperjalanan ini. Si pemuda tidak menyebabkan orang
gembira tetapi juga ia tidak menyebalkan...
Sin Cu pun puas dengan perjalanan ini walaupun kawannya
tidak pandai bernyanyi atau bersenandung, sebagai gantinya,
di rimba-rimba ada burung-burung dengan pelbagai ragam
bunyinya, ada bunga-bunga yang indah dan harum semerbak,
ada sungai-sungai atau air yang indah.
Ada sebuah pohon yang menarik perhatiannya Nona Ie
selama perjalanannya ini. Pohon itu kedapatan di sepanjang
jalan. Itulah pohon yang dinamakan tayceng sie atau "hijau
besar," yang penduduk setempat namakan "bongsui sie" atau
"pohon angin dan air," yang daunnya sangat lebat dan
mendatangkan keteduhan, yang batangnya mirip
"cengkeraman naga," yang duduknya di tanah kuat sekali.
Daunnya pun hijau di empat musim. Hingga orang
memandangnya sebagai alamat usia muda dan penghidupan.

760
Memperhatikan pohon ini, Sin Cu mendapat suatu kesan
baru. Pernah dia mengumpamai Tiat Keng Sim dengan bunga
mawar di dalam taman di Kanglam dan Yap Cong Liu seperti
pohon cemara di dataran Inlam atau Kuiciu, maka sekarang ia
nampak Yap Seng Lim bagaikan pohon tayceng itu, pohon
yang angkar dan berjiwa. Hanya ia bimbang, ia lebih suka
bernawung di pohon yang teduh nyaman itu atau berada di
antara pohon bunga mawar untuk bersenandung...
Akhir-akhirnya mereka mulai memasuki juga wilayah Tali.
Masih jalanan pegunungan yang mesti ditempu.
Demikian pada suatu hari, tibalah mereka di tempat yang
dinamakan Anggaypo atau tanjakan Lembah Merah. Sin Cu
menjadi girang, karena pernah ia memperoleh keterangan,
selewatnya lamping ini, lagi dua hari mereka bakal sampai di
Tali. Ia girang dan lupa letihnya karena ia merasa bakal
segera bertemu gurunya. Begitulah ia mendahului Seng Lim,
untuk jalan di depan. Jalanan luar biasa sukar, manusia masih
mending, tetapi kuda lelah bukan main. Maka kesudahannya,
berdua mereka menuntun kuda mereka.
"Orang bilang Thian-cu biopo paling tinggi dan Anggaypo
paling berbahaya, inilah benar," si nona kata menghela napas.
Seng Lim sebaliknya tertawa dan berkata:
"Orang bilang Tali paling indah pemandangan alamnya,
selewatnya tempat sukar ini orang akan melihat tempat indah
seperti Taman Bunga Tho... Aku lihat inilah kehendak Thian,
yang merencanakan manusia mesti bersusah paya dulu baru
beriang gembira. Demikian penghidupan manusia, demikian
juga jalanan..."
Sin Cu ketarik pada kata-kata si pemuda ini, ia merasakan
itu ada filsafatnya...

761
Biarnya sukar, orang pun dapat juga mendaki Anggaypo
itu, maka setibanya di atas tanjakan, kuda mereka sengalsengal,
napasnya mengorong keras, mereka sendiripun mesti
duduk beristirahat. Di sini mereka merasa hati mereka
terbuka. Di hadapan mereka terbentang pemandangan alam
yang menarik hari.
"Kau benar," kata Sin Cu tertawa. "Lihat di sana, habis
gunung-gunung tinggi lalu tanah rendah dan rata."
Tiba-tiba saja si nona teringat pula pada Tiat Keng Sim,
hanya kapan ia berpaling, ia menampak Yap Seng Lim yang
sederhana, polos bagaikan anak dusun. Sendirinya ia
merasakan mukanya panas, ia jengah walaupun Seng Lim
tidak tahu apa yang orang pikir dalam hatinya. Tidak pernah
dia memikir kepada Keng Sim.
Sin Cu bertunduk, ia merasakan pikirannya kacau. Di dalam
otaknya, ia berkutat seorang diri. Ia menjadi sadar kapan
kupingnya mendengar suara meringkiknya kuda di bawah
tanjakan. Mendadak saja ia berseru-seru: "Ciauwya Saycu!
Ciauwya Saycu!"
Seng Lim heran. "Apa?" tanyanya.
"Kudaku yang hilang! Kudaku yang hilang!" menyahut si
nona. "Kau berdiam di sini melihat kuda kita, aku hendak pergi
melihat ke sana!"
Tanpa menanti jawaban si anak muda, ia lari turun
tanjakan. Tepat di tengah-tengah tanjakan itu, Sin Cu
meadapatkan sebuah rumah besar dengan tembokan merah
dan genting hijau, pekarangan depannya luas di mana ada
sejumlah orang, tetapi di situ tidak ada hewannya. Maka ia
menjadi heran sekali.

762
"Tidak nanti kupingku salah dengar, katanya di dalam hati.
“Itulah ringkikannya kudaku! Ah, kuda, kudaku, kau mestinya
telah ditambat dan di kurung orang jahat! Karena kau ketahui
aku datang, kau perdengarkan suaramu supaya aku datang
menolongi..."
Memikir begitu, si nona hampir kalap, hingga hampir saja ia
lantas lari menghampirkan orang banyak di muka rumah besar
itu. Ia membatalkan niatnya karena ia melihat, lebih dulu
daripada ia, ada seorang muda dengan pakaian putih sudah
lari ke antara orang-orang itu. Mengawasi orang muda itu, ia
seperti tengah bermimpi. Orang adalah Tiat Keng Sim, yang
baru saja ia buat pikiran..."
Mau nona ini lari terus, ia merasakan kedua kakinya lemas.
Mungkin ini disebabkan kegirangannya yang meluap-luap. Di
lain pihak, ia berpikir pula untuk menyingkir dari si pemuda,
seperti di Tayciu dulu hari itu...
"Ah!" pikirnya akhirnya, "Baik aku lihat dulu apa dia mau
bikin. Cuma aku tidak mengarti, kenapa dia pun datang ke
mari..."
***
Selagi Ie Sin Cu tidak menyangka Keng Sim dapat datang
ke Anggaypo ini, ke Tali, adalah Keng Sim sendiri, sengaja dia
membuat perjalanan untuk mencari si nona. Berdasarkan
kecerdasannya ia menduga, setelah meninggalkan tentara
rakyat, pasti si nona pergi ke Tali untuk mencari gurunya,
maka ia pun lantas menyusul. Disebabkan si nona tertunda
perjalanannya di daerah orang Biauw di Kuiciu dan di
Kunbeng, ia menjadi ketinggalan, sedang barusan pun telah
terjadi peristiwa di Cio Lim itu. Maka Keng Sim telah
mendahului ia. Keng Sim pun tidak nanti bermimpikan, si nona

763
yang ia susul berada di Anggaypo dan sekarang berada di
dekatnya, di belakangnya, terpisahnya tak ada setengah lie...
Sin Cu terus menyembunyikan diri di belakang satu batu
besar, hatinya berde-nyutan, matanya terus mengawasi si
anak muda.
Keng Sim maju ke antara orang banyak di depan rumah itu.
"Orang tua she Kok, lekas kau keluar menemui aku!"
demikian suaranya nyaring.
Orang-orang itu adalah khungteng, yaitu pegawaipegawainya
rumah besar itu. Mereka maju untuk menghalangi
si anak muda, tetapi mereka diterjang hingga beberapa di
antaranya roboh terguling.
Sin Cu heran sekali, sampai ia mendelong saja. Segera
terlihat pintu pekarangan dibuka, di situ muncul seorang tua
yang berewokan, yang memegang sebatang golok besar,
tindakannya pun lebar dan tegap.
"Bocah yang baik!" dia berkata, nyaring, "berulang-ulang
kau datang mengacau di sini! Sebenarnya, apakah
kehendakmu?"
"Hendak apa? Aku justeru mau tanya kau, kau mau apa?"
mem-baliki Keng Sim. "Kenapa kau mencegah aku bertemu
sama Ie Siangkong?"
Orang tua itu, tuan rumah, yang ada orang she Kok, hingga
ia disebut Kok Khungcu, menyahuti: "Di sini ialah Kok
keekhung. Di sini di mana ada Ie Siangkong yang kau cari
itu?"

764
"Jikalau di sini tidak ada Ie Siangkong, kenapa kuda
tunggangannya berada di sini?" Keng Sim membentak pula.
Terus ia menambahkan, pelahan: "Sebenarnya, Ie Siangkong
yang tidak sudi menemui aku atau kau sendiri yang tidak
hendak membiarkan aku bertemu dengannya? Kau mesti
mengasi penjelasan padaku!"
"He, jangan kau mengaco belo!" membentak Kok Khungcu
"Jikalau kau tetap mengacau, nanti aku tidak akan berlaku
sungkan-sungkan lagi!"
"Biar bagaimana, aku mesti dapat bertemu pada Ie
Siangkong." Keng Sim membelar. "Tidak, tidak nanti dia tidak
sudi menemui aku!"
"Ayah," berkata seorang muda, yang berada di sampingnya
si orang tua. Dia tadi turut keluar bersama. "Buat apa ayah
banyak bicara lagi sama ini bocah edan? Kau bacok saja
padanya! Berulangkah dia mengacau di sini, kalau hal ini
sampai tersiar, bukankah pamor Kok keekhung bakal turun?"
Pemuda itu ada tuan rumah yang muda, siauw khungcu.
Dia habis sabar. Sudah tiga hari Keng Sim datang mengacau,
sudah dua kali ia bertempur sama tuan rumah yang tua itu.
Maka dia pikir, baik menghajar saja, habis perkara.
Keng Sim berkata pula: "Kau bilang di sini tidak ada Ie
Siangkong. Baiklah! Sekarang coba kau suruh keluar orang
yang menjadi pemiliknya kuda Ciauwya Saycu ma itu! Aku
ingin bertemu dengannya!"
Kali ini dia bicara sabar, dia seperti memohon. Kok Khungcu
itu sebaliknya menjadi gusar.

765
"Apa kuda Ciauwya Saycu ma?" katanya. "Apa pemiliknya?
Rumah ini rumahku! Di sini, di tempat sepuluh lie sekitarnya,
semua sawah, rumah, binatang piaraan, semua milikku,
akulah si pemiliknya! Rupa-rupanya kau mengarah kuda
pilihanku itu? Hm, hm! Bangsat cilik, kau pentanglah matamu!
Aku Kok Tiong Ho, aku tidak dapat orang perhinakan!"
Mendengar begitu, Keng Sim pun menjadi panas pula
hatinya.
"Kau tidak sudi mengasi aku bertemu pada pemilik kuda
Ciauwya Saycu ma itu, kau rupanya si tukang merampas
banda dan mencelakai jiwa orang! Pasti kau sudah membunuh
Ie Siangkong , kau merampas banda-nya!"
Orang tua itu menjadi kalap.
"Bocah edan!" dia berteriak. "Kau ngaco belo! Lihat golok!"
Dia terus membacok.
Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang
disebabkan bentroknya dua rupa senjata. Keduanya lantas
saja bertempur. Sesudah mendengari begitu lama, Sin Cu
mengarti duduknya hal. Pasti karena beradanya Ciauwya
Saycu ma di sini, Keng Sim menduga aku mesti berada
bersama. Dia tidak tahu yang aku telah menyalin pakaian,
sampai sekarang dia tetap memanggil Ie Siangkong kepadaku.
Oh, Keng Sim, kiranya kau masih memikirkan aku..."
Pertempuran berjalan seruh, sudah begitu itu diramaikan
oleh seruan-seruannya kawanan khungteng. Tapi Sin Cu tidak
menggubris itu. Ia hanya pikir: "Begini rupa Keng Sim
memikirkan aku, aku sebaliknya senantiasa menyingkir
daripadanya..."

766
Hampir ia lompat keluar dari tempatnya sembunyi, akan
menghampirkan pemuda itu, atau ia ingat, bagaimana sulitnya
keadaan nanti bila ia berkumpul pula sama itu pemuda. Dulu
saja ia sudah merasa pusing.
Mendadak ia dengar jeritan si anak muda, apabila ia
menoleh, ia menampak pemuda itu berdarah di pundaknya,
tandanya dia telah kena tergores pedangnya Kok Khungcu.
"Bocah edan!" dia berteriak. "Kau ngaco-belo! Lihat golok!!"
Dia terus membacok.
Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang
disebabkan bentroknya dua rupa senjata. Keduanya lantas
saja bertempur.
“Inilah hebat!" pikirnya. Maka ia siapkan tiga tangkai bunga
emasnya. Hanya di saat ia hendak berlompat, ia pun dapat
mendengar jeritannya Kok Tiong Ho, lengan siapa ternyata
sudah dimam-pirkan pedang si anak muda.
Keng Sim tertawa dan berkata dengan nyaring: "Ada
datang tetapi tidak ada perginya, itulah bukan kehormatan!
Lihat pedang!" Dan ia mengulangi serangannya.
Kok Tiong Ho berkelit, tidak urung tali bajunya terlanggar
kutung. Setelah terluka, Keng Sim menjadi ganas. Berbareng
dengan itu, hati Sin Cu menjadi tenang pula.
"Nyata Keng Sim dapat melayani orang tua itu, baiklah aku
menanti dulu," ia mengambil putusan. Di lain pihak ia
mengagumi orang she Kok itu, yang tua tetapi gagah. Ia pun
tidak menyangka di tempat seperti itu bisa terdapat orang tua
seperti dia itu. "Hanya heran kudaku! Kenapa kudaku dapat
berada di sini? Orang she Kok ini boleh gagah tetapi tidak
nanti dia dapat mencuri kuda...!"

767
Sebentar kemudian, Kok Tiong Ho kembali kena ditikam,
benar ia tidak roboh tetapi ia toh terluka. Sekarang ternyata,
walaupun ia liehay, ia masih tidak dapat menandingi Keng Sim
yang liehay ilmu pedangnya "Keng To Kiamhoat."
Sampai di situ si tuan muda mengambil sebatang tombak
dari tangan satu khungteng nya, dengan itu ia maju
membantui ayahnya.
"Anak Cun, mundur!" berseru si ayah.
Tapi pemuda itu sudah menyerang ke punggung Keng Sim,
tidak keburu ia menarik pulang serangannya itu. Hebat Keng
Sim. Sebat sekali, ia menyabet ke belakang, menangkis
tombak. Hanya satu kali bentrok, tombak itu kena dibabat
putus. Menyusul itu, kakinya si pemuda she Tiat ini melayang,
maka "Bruk!" tubuh tuan muda itu tertendang hingga
terpental dan jatuh terbanting.
Kaget dan gusar si orang tua menyaksikan anaknya kena
dibikin roboh, sambil berseru ia lompat menyerang. Ia menjadi
kalap. Tapi ini merugikan padanya. Karena menuruti hawa
marahnya, permainan silatnya menjadi kacau. Keng Sim
menarik keuntungan dari cacad lawan itu. Sambil ber-seru,
anak muda ini menangkis. Ia telah mengerahkan tenaganya,
keras tangkisan-nya, maka goloknya jago tua itu terpental
terlepas dari cekalan. Sesudah itu, dengan satu gerakan
susulan, Keng Sim mengancam tenggorokan orang. Ia
membentak: "Kau mau ijinkan atau tidak aku bertemu pada Ie
Siangkong?"
Si orang tua tidak menyahuti, hanya ia menghela napas. Ia
menanya anaknya:
"Anak Cun, kau terluka atau tidak?"

768
"Tidak," jawab si anak.
"Baiklah!" berkata jago tua itu. "Semenjak dua puluh tahun,
inilah kekalahanku yang pertama! Apakah namamu?"
"Aku Tiat Keng Sim dari Tayciu!"
"Baik! Anak Cun, pergi kau undang kedua pemilik kuda itu
untuk menemui Tiat Siangkong ini!"
"Apa?" Keng Sim heran. "Dua pemiliknya?"
Tiong Ho tidak menyahuti. Ia hanya merobek ujung
bajunya untuk membalut tiga lukanya. Sembari menghela
napas, ia menambahkan pada anaknya: "Kau sekalian bawa
keluar itu kuda..."
Si tuan muda menurut, ia lantas berlalu. Tidak lama ia
sudah kembali bersama sepasang pemuda pemudi, yang
usianya belum dua puluh tahun yang pakaiannya mewah,
tandanya mereka anak-anak hartawan besar atau orang
berpangkat tinggi.
Melengak Keng Sim mengawasi sepasang muda-mudi itu.
"Kau... kau... kamu siapa?" tanyanya.
Itu sepasang muda-mudi pun heran.
"Kau... kau... siapa?" mereka balik menanya. "Kenapa kau
hendak menemui kami?"
Bukan melainkan Keng Sim, yang heran tetapi juga Ie Sin
Cu dari tempatnya sembunyi, karena ia kenali muda-mudi itu.
Sekian lama ia menahankan hati, untuk melihat siapa pencuri

769
kudanya, siapa tahu sekarang ia dapatkan sepasang puteri
dan puterinya Bhok Kokkong. Kedua muda-mudi itu ada Bhok
Lin dan Bhok Yan, yang telah meninggalkan rumahnya yang
mewah untuk buron!
Setelah datangnya Yang Cong Hay ke istananya, Bhok Lin
mengarti bahwa ia telah menerbitkan onar. Segera ia
bermupakatan dengan Bhok Yan, saudarinya. Nyata si nona
sudah sebal dengan cara hidup di istananya itu, ingin dia
pesiar. Keduanya lantas mengambil keputusan untuk minggat,
malah keputusan itu segera dilaksanakan. Bahkan mereka
menuju ke Tali, untuk mencari Thio Tan Hong.
Selama Tan Hong berada di istana dan mengajar ilmu
surat, pernah ia omong sama kedua muridnya perihal adanya
seekor pooma, yaitu kuda istimewa, yang jempolan, yang
keras larinya dan dapat mengarti maksud orang, namanya
Ciauwya SayCu ma, kuda mana diberikan pada muridnya yang
bernama Ie Sin Cu, bahwa kuda itu cuma jinak kepada
majikannya. Tan Hong menutur secara iseng-iseng, siapa tahu
Bhok Yan mendengari itu secara sungguh-sungguh, maka
tempo kemudian ia meninggalkan istana, si nona minta suatu
tanda mata ialah kipas emasnya. Tan Hong tidak menyangka
apa-apa, ia memberikannya.
Tempo itu hari Bhok Yan buron, ia belum memikir untuk
mencuri kuda. Seberlalunya dari istana, mereka berdua pergi
ke hotel untuk mencari Sin Cu. Mereka tidak ketahui Sin Cu
dan budaknya tengah dikurung Cong Hay di penjara air. Bhok
Yan tidak menemui si nona, sebaliknya, da dapatkan Ciauwya
Saycu ma. Tiba-tiba da dapat satu pikiran, ialah untuk kabur
bersama kuda jempolan itu. Ia lantas keluarkan kipasnya Tan
Hong dan pakai itu untuk membikin kuda itu jinak. Ia berhasil,
karena kuda itu menurut. Maka berdua, dengan menunggang
kuda itu, mereka kabur. Tanpa tiga hari, tibalah mereka di
Anggaypo. Karena sudah magrib, mereka mampir di Kok

770
keekhung, untuk menumpang bermalam. Di sini mereka
tertahan.
Ketua dari Kok keekhung ada jago dari Inlam Barat, melihat
kuda itu, timbullah keinginannya untuk memilikinya. Ia
bersedia membayar seratus tail emas asal ia bisa
mendapatkan kuda itu. Tentu saja Bhok Yan dan Bhok Lin
tidak memandang uang, sedang kuda itu milik guru mereka.
Kok Khungcu cerdik, karena pandainya ia bicara, ia bisa
membikin kedua saudara itu membilanginya bahwa kuda itu
bukan milik mereka. Karena ini semakin keras niatnya memiliki
kuda itu. Tapi juga dua saudara itu tidak menyebutkan diri
mereka yang sebenarnya, mereka kuatir nanti di antar pulang
ke rumahnya. Tiong Ho tidak berani membikin susah pada
sepasang muda-mudi itu, yang gerak-geriknya luar biasa,
tanda dari bukan sembarang orang. Maka itu dengan cara alus
mereka ini ditahan, sedang di lain pihak, da mengirim orang
ke Kunbeng untuk membuat penyelidikan.
Luar biasa kuda Ciauwya Saycu ma sendiri. Kok Tiong Ho
tidak dapat menjinakinya hingga sia-sia saja percobaannya
untuk dapat menunggangi. Maka kejadianlah Tiat Keng Sim
kebetulan lewat di depan kampung dan melihat kuda itu, yang
dia kenali. Dia lantas datang untuk minta bertemu pada Sin
Cu, yang dia sangka berada di dalam rumah besar itu.
Kesudahannya terjadilah satu salah mengarti, hingga mereka
mengadu kekuatan.
Keng Sim tidak kenal Bhok Yan dan Bhok Lin, ia heran.
Kedua puteri dan puteranya Bhok Kokkong juga tidak kenal
pemuda ini, mereka pun heran.
"Kamu siapa?" akhir-nya Keng Sim tanya. "Dari mana kamu
curi kuda putih ini?"

771
Bhok Yan heran dan berpikir: "Kenapa dia tahu kuda ini aku
dapatinya dari mencuri?" Bhok Lin sebaliknya tidak senang.
Dia seorang putera hertog, dia dikatakan mencuri, dia merasa
keagungannya tersinggung. Kata dia dengan dingin: "Kuda ini
bukan kudaku, habis apakah kudamu, tuan? Siapa dapat
menunggangi dia, ialah pemiliknya! Kamu semua mengarah
kuda ini, pergilah kamu coba menunggangi, kamu lihat, kuda
ini suka menurut atau tidak!"
Keng Sim heran. Ia kenal Sin Cu cukup lama, hingga ia
ketahui sifatnya kuda itu. Kenapa kuda itu menurut terhadap
dua bocah ini? Untuk ini, ia mau minta keterangannya mereka
itu. Hanya, belum lagi ia sempat menanya, ke situ terlihat
datangnya dua penunggang kuda, yang baru saja tiba. Melihat
mereka itu, Tiong Ho berseru kegirangan.
Sin Cu pun melihat dua orang baru itu, yang membuatnya
ia terperanjat. Sebab merekalah Yang Cong Hay dan Poan
Thian Lo. Ia tentu tidak tahu, sebelum Yang Cong Hay bekerja
di istana, dia pernah menjadi jago di Inlam Selatan,
sebagaimana Kok Tiong Ho ada jago dari Inlam Barat, dan
bersama suheng-nya, Poan Thian Lo, pernah Cong Hay datang
pada Tiong Ho hingga keduanya menjadi sahabat-sahabat
kekal.
"Katanya kau telah dapat seekor kuda istimewa..." kata
Cong Hay, yang berhenti dengan tiba-tiba, untuk segera
menambahkan: "Eh, Bhok Siauwkongtia, kau berada di sini?"
tanyanya pada Bhok Kongcu.
Tiong Ho berlompat, untuk menyingkir dari ancaman Keng
Sim. Kaget ia mendengar perkataan Cong Hay itu.
"Apa?" katanya, melengak. “Inikah Bhok Siauwkongtia?
Kuda itu dialah yang membawanya..."

772
"Bhok Siocia, Bhok Kongcu," berkata pula Cong Hay, "kamu
minggat, apakah kamu tidak kuatir nanti mencelakai kongtia?"
Ia menegur itu dua anak muda tetapi matanya menyapu Tiat
Sim, melihat siapa, ia heran. Ia segera menegur juga. "Eh,
Tiat Kongcu , kenapa kau pun berada di sini?"
"Beberapa kali dia datang mengacau ke mari," Tiong Ho
memotong, "dia minta bertemu sama apa yang dia katakan Ie
Siangkong , dia memaksa sangat, dia pun mau minta kuda
istimewa itu! Apa? Apakah dia sahabatmu?"
Tuan rumah ini menyesal. Ada kemungkinan tak dapat ia
membalas sakit hati. Yang Cong Hay tidak menjawab
sahabatnya itu, ia melenggak dan tertawa lebar.
"Tiat Kongcu, kenapa kau menuntut penghidupan dalam
dunia kangouw dan bergaulan sama segala pengkhianat?" ia
tanya pemuda itu. "Ayahmu berada di kantor sunbu di
Hangciu, ia mengharap-harap pulangmu!" Setelah itu barulah
ia menoleh kepada Tiong Ho, untuk berkata: "Kok Khungcu,
tolong kau menyiapkan kuda untuk mengantarkan pulang
pada Bhok Kongcu dan Bhok Siocia ini. Tentang kuda ini, yang
tidak ada pemiliknya, terhadapmu aku tidak berlaku malumalu
lagi!"
Kata-kata yang terakhir berarti si congkoan menghendaki
kuda jempolan itu.
Kok Tiong Ho mendongkol bukan main, akan tetapi sedetik
saja, ia dapat mengendalikan diri, ia lantas mengubah
sikapnya. Inilah ia ingat bahwa ia tidak sanggup membikin
jinak kuda itu. Bukankah bagus kalau ia melepas budi? Maka
ia tertawa dan berkata: "Ada pepatah yang membilang,
pedang mustika dihadiahkan kepada satu congsu, kuda
kenamaan dihadiahkan kepada satu enghiong, maka itu
sungguh tepat Yang Congkoan mendapatkan kuda bagus ini!"

773
Dua-dua congsu dan enghiong berarti orang gagah perkasa
dan pendekar. Tapi Keng Sim lain daripada tuan rumah itu. Ia
tertawa dingin.
"Yang Cong Hay, kau jadinya menghendaki kuda ini?" dia
menanya.
Cong Hay berpaling seraya melirik.
"Tiat Kongcu," katanya, mengancam, "bahwa aku sudah
tidak melaporkan pergaulanmu dengan Yap Cong Liu, itulah
suatu tanda persahabatan dari aku! Bukankah kuda ini bukan
kepunyaanmu? Benarkah kau tidak sudi bersahabat
denganku?..."
Belum habis kata-kata itu diucapkan, pedang sudah
berkelebat, ujung pedang telah menikam congkoan itu. Itulah
serangannya Keng Sim, yang habis sabar. Cong Hay berkelit
sambil tertawa.
"Tiat Kongcu, kau benar mirip dengan anjing yang
menggigit dewa Lu Tong Pin, kau tidak mengenal kebaikan
orang!" katanya, mengejek. "Hm! Golok dan pedang tidak
mengenal budi, kau harus berhati-hati!"
Keng Sim tidak pedulikan itu nasehat yang dicampur sama
penghinaan, malah tanpa membilang suatu apa, ia menyerang
pula, segera ia mendesak. Ia membuatnya Cong Hay repot,
hingga hampir lengan congkoan itu berkenalan pada
pedangnya.
"Kau tidak tahu liehay ku apabila kau tidak dikasi rasa!"
kata Cong Hay akhirnya. Ia menjadi gusar. "Puteranya Bhok
Kongtia tidak berani aku melukainya tetapi kau anaknya satu

774
bekas giesu, jikalau kau dibikin darahmu mengucur tidak ada
artinya!"
Sekarang Congkoan ini menggunai pedangnya untuk
melayani orang berkelahi. Karena dua-duanya ahli pedang
kelas satu, hebat pertempuran mereka itu.
Setelah banyak jurus, mendadak terdengar suara tertawa
panjang dari Yang Cong Hay, yang pun berkata secara
temberang: "Tiat Kongcu, apakah kau masih hendak
bertempur pula?"
Suara ini ada suara yang menyusuli bentrokan keras dari
dua senjata, yang lelatu apinya muncrat berhamburan, kedua
lawan pun berpisahan, sebab Keng Sim mesti mundur dengan
gerakan kakinya Ngoheng Pat-kwa. Sebab pedangnya telah
kena dipapas sebelah hingga pedang itu menjadi podol.
Cong Hay mengatakan demikian tetapi dia maju pula, dia
mengulangi serangannya, sedang Keng Sim, yang mundur
terpaksa, kembali melakukan perlawanan, dengan begitu
mereka jadi bertempur pula. Pemuda ini belum kalah tetapi ia
kena terdesak, kalangan sinar pedangnya terus bertambah
ciut. Ia tidak lagi dapat sering menyerang seperti bermula, ia
lebih banyak membela diri.
Sin Cu bergelisah. Ia menonton dengan mencekal gagang
pedangnya. Ia tidak dapat berpikir banyak kecuali harus maju
untuk membantui Keng Sim. Di pihak sana ada musuh. Di saat
ia mau berlompat keluar dari tempatnya bersembunyi, ia
dengar tindakan kaki di belakangnya, ia lantas menoleh. Maka
terlihatlah Seng Lim, yang sudah lantas berada di
belakangnya. Pemuda she Yap itu agaknya heran.
“Itu toh Tiat Keng Sim?" tanyanya.

775
Tidak sabaran pemuda ini menanti lama-lama, justeru
kupingnya mendengar suara senjata beradu, ia lantas lari
menghampirkan si nona. Ia heran akan mengenali Keng Sim,
akan kemudian bertambah heran menyaksikan Nona Ie seperti
orang ngelamun. Di dalam hatinya ia menanya: "Mereka
berdua toh telah bersahabat lama? Ia masih suka menanyakan
aku tentang si pemuda, kenapa sekarang ia menonton saja?"
Ia tidak tahu si nona justeru mau turun tangan.
Sin Cu terperanjat.
"Memang, dialah Tiat Ken, Sim!" sahutnya bagaikan orang
tersadar.
"Siapakah itu yang bertempur dengannya?"
"Dialah Yang Cong Hay, congkoan dari istana kaisar!"
"Ah!" seru Seng Lim tertahan. "Mari lekas kita membantui
dia!"
Di mulut pemuda ini mengatakan demikian, dalam
perbuatan ia mendahului si nona berlompat, untuk lari
menghampirkan tempat pertempuran. Kalau tadinya ia berlaku
hati-hati, setelah mengetahui orang itu ada pahlawan istana,
ia tidak mau main ayal-ayalan lagi.
Justeru itu kembali terdengar tertawa terkebur dari Cong
Hay. Kali ini disebabkan dia berhasil memapas ikat kepalanya
Keng Sim. Kemudian dia berkata: "Tiat Kongcu, jikalau kau
tidak mau meletaki pedangmu, aku si orang she Yang
terpaksa akan melakukan kadosahan terhadapmu!"
Itulah ancaman, yang diberikuti dengan desakan, hingga
pemuda she Tiat itu, yang mendongkol bukan main, menjadi
terdesak dan repot sekali.

776
Sementara itu Sin Cu telah mengasi dengar seruannya yang
dibarengi dengan ber-lompatnya tubuhnya, maka di lain saat
ia sudah mendahului Seng Lim tiba di tanah datar.
Keng Sim dengar seruan si nona, ia terperanjat.
Dalamkeadaan terancam bahaya itu, ia masih mengambil
kesempatan untuk menoleh. Ia menjadi heran akan
menyaksikan datangnya satu nona yang cantik jelita, yang
gerakannya sangat lincah itu. Tidak segera ia mengenali Sin
Cu, yang di matanya masih tetap Ie Siangkong. Ini pun yang
pertama kali ia melihat orang dandan sebagai seorang nona.
Karena ini, ia menjadi kurban. Lengan kirinya di dekat pundak
telah tergores pedangnya Cong Hay, yang menyerang ia
dengan ganas. Ia terhuyung, sesudah mana, ia melawan pula
dengan nekat, akan di lain saat ia lompat mundur, akan lari ke
arah si nona. Ia pun memanggil-manggil: "Sin Cu! Sin Cu!"
Sin Cu menjadi sangat terharu saking bersyukur terhadap si
anak muda, yang demikian memperhatikannya. Sudah begitu,
ia pun mendengar suaranya Ciauwya Saycu ma. Kuda itu
melihat majikannya, segera dia meringkik berulang-ulang dan
berjingkrakan, untuk lari menghampirkan.
Kok Khungcu mendapatkan kuda istimewa itu tidak mau
jinak, dia rantai ke empat kakinya kuda itu dengan rantai yang
kasar, sedang empat khungteng-nya diperintah memegangi
rantai itu, guna mencegah binatang itu kabur. Tidak urung,
saking kuat tenaganya, kuda itu bisa berontak. Empat
khungteng itu roboh sendirinya. Karena dirantai, kakinya kuda
itu mengeluarkan darah.
Untuk sedetik itu Sin Cu bersangsi. Ia terharu terhadap
Keng Sim, yang telah mandi darah, ia pun terharu terhadap
kuda kesayangannya. Tapi Keng Sim adalah manusia, ia
anggap baiklah menolongi Keng Sim dulu. Selagi begitu, Yang

777
Cong Hay sudah maju padanya seraya mendahului
menyerang. Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja. Ia pun
bertemu pada musuh lama. Tapi, belum lagi ia mengangkat
pedangnya, Seng Lim di sebelah belakangnya sudah
mendahului ianya. Pemuda she Yap ini berlompat dari
samping, menyerang dengan pukulannya Taylek kimkong ciu
jurus "Benturan sepasang tangan." Cong Hay terkejut dan
kagum, hingga ia memuji. Tentu saja ia dapat membela
dirinya dan membikin serangan itu tidak memberi hasil.
Setelah itu, ia membalas menyerang.
Seng Lim tidak jerih, dia melawan tanpa berkisar, sedang di
sebelah dianya, Tiat Keng Sim sudah lantas membantu
padanya.
Menampak demikian, karena percaya Seng Lim berdua
bakal dapat bertahan. Sin Cu mengawasi si pemuda she Tiat.
Ia berkata dengan pelahan: "Baik-baiklah kau melayani dia,
hendak aku menolongi dulu kuda putihku."
Habis berkata, si nona lompat ke arah kudanya, yang pun
sudah tiba padanya. Ia lantas mengasi bekerja pedangnya
yang tajam, membabat kutung empat utas rantai besi itu.
Maka di lain saat, merdekalah Ciauwya Saycu ma. Celaka
adalah ke empat khungteng, mereka sudah terseret-seret
kuda itu, yang rantainya tak mau mereka lepaskan...
Itu waktu Sin Cu dapat mendengar teriakannya Yang Cong
Hay: "Dua orang ini ada orang-orang jahat yang dicari Sri
Baginda Raja, jangan kasi mereka merat!" Kata-kata itu
ditujukan kepada Keng Sim dan Seng Lim. Sebab ia segera
kenali si orang she Yap itu setelah ia menempur beberapa
jurus. ia kenali orang yang diarah Lie Ham Cin. Ia girang
berbareng heran, sebab secara kebetulan ia dapat menemui
orang she Yap ini yang ia kagumi ilmu silatnya yang liehay.

778
Tapi ia tidak tahu yang Lie Ham Cin sudah melayang jiwanya
pergi menghadap kepada Raja Akherat.
Sin Cu usap-usap kudanya, yang ia dapatkan tidak kurang
suatu apa kecuali lecet di kakinya. Tentu sekali ia tidak dapat
berdiam lama-lama, mesti ia maju untuk membantui Keng Sim
dan Seng Lim. Hanya, belum lagi ia maju, tiba-tiba ia dengar
suara orang tertawa lebar disusuli kata-kata: "Nona Ie, mana
gurumu? Ha! Kali ini tidak lagi ada orang yang dapat
menolongi kau!"
Kata-kata itu segera disusul dengan tibanya orangnya, yang
menyekal cambuk dengan apa dia terus menyerang. Bagaikan
bayangan, penyerang itu menggeraki tubuhnya.
"Jangan ganggu kudaku!" berseru Sin Cu. Ia pun
menangkis.
Dua senjata bentrok keras, karenanya si nona mundur tiga
tindak.
Penyerang itu ada Poan Thian Lo, murid kepala dari Cie
Hee Toojin. Dia memang jauh lebih liehay daripada Yang Cong
Hay.
Kuda putih itu melihat majikannya terancam bahaya, dia
berjingkrak mendupak.
"Binatang, kau mencari mampus!" membentak Poan Thian
Lo, yang tangan kirinya diangkat, dipakai menekan kepala
kuda itu. Tapi binatang itu kuat sekali.
Sin Cu sudah lantas menyerang, guna menolongi kudanya,
maka Poan Thian Lo mesti memutar tubuh untuk melayani
nona ini. Ia menyambut dengan cambuknya.

779
Sin Cu bersiul panjang sambil terus berkata: "Kudaku, pergi
kau lari ke tanjakan sana menantikan aku!"
Ciauwya Saycu ma benar-benar cerdas, sambil meringkik
dia berontak, lantas dia lari pergi menuju ke tempat yang
ditunjuki. Berbareng dengan itu, dua orang pun lari ke luar
kalangan dengan niat menyamber kuda itu, untuk berlompat
ke atasnya guna lari bersama-sama atas seekor kuda.
Merekalah Bhok Yan dan Bhok Lin, puteri-puteranya Bhok
Kokkong
Poan Thian Lo menyaksikan itu semua, dia bergerak sebat
sekali. Dengan tinggalkan Sin Cu, dia ayun cambuknya pada
sebuah pohon di sisinya, dia menarik dengan keras, hingga
pohon itu tercabut berikut akarnya, lalu pohon itu dilemparkan
guna menghalang-halangi kedua muda-mudi itu.
"Siauwkongtia jangan lari-larian!" berkata dia sambil
bersenyum ewah. "Kau tunggu saja, sebentar kita pulang
bersama ke Kunbeng!"
Kok Khungcu pun sudah lantas mengepalai orang-orangnya
untuk mengurung muda-mudi itu. Tapi mereka cuma
mengurung, sebab setelah ketahui siapa dua orang itu, tidak
berani mereka berlaku kurang ajar. Bahkan si khungcu muda
berkata dengan manis:
"Silahkan siauwkongtia dan siocia kembali ke gubukku!"
"Aku mau berdiam di sini menonton keramaian!" kata Bhok
Lin nyaring.
Khungcu itu merasa sudah cukup asal kedua orang itu tidak
melarikan diri, maka itu ia tidak memaksa.

780
Menampak aksinya Bhok Yan dan Bhok Lin itu, Sin Cu
hendak menghampirkan mereka akan tetapi dia dirintangi
Poan Thian Lo. Dalam murkanya ia menyerang dengan lima
bunga emasnya.
Poan Thian Lo memutar cambuknya membikin lima bunga
emas itu jatuh, kemudian ia menyerang pula si nona. Sia-sia
saja Sin Cu hendak membabat kutung cambuk lawan itu,
orang ada sangat lincah, ia bagaikan dikurung, karenanya
terpaksa ia membela diri saja.
Kuda putih itu lari terus, dia baru berhenti setelah sampai
di tempat yang ditunjuk. Di sini dia mengangkat kedua kaki
depannya, berdiri bagaikan manusia, kemudian dia menoleh
ke arah pertempuran.
Kok Tiong Ho berdiri bengong. Ingin sekali ia mendapatkan
kuda itu. Tetapi sesaat kemudian, hatinya menjadi tawar
sendirinya. Ia ingat, umpama ia sanggup menangkap, kuda itu
toh akhirnya bakal jadi kepunyaannya Yang Cong Hay...
Ketika itu Cong Hay tengah dikepung Seng Lim berdua
Keng Sim. Nampaknya ia kena terdesak. Maka juga, segera
terdengar dia berseru: "Kok Khungcu, inilah saatnya untuk kau
mendirikan jasa untuk pemerintah!"
Orang she Kok ini berharta besar, ia tidak mementingkan
pangkat, tetapi tiga kali ia telah merasakan pedangnya Keng
Sim, hatinya panas, dari itu kebetulan sekali Cong Hay
meminta bantuannya. Pula, di hadapan banyak orangnya, ia
hendak menunjuk kegagahannya. Demikianlah ia jumput
goloknya yang besar dan maju menyerang Keng Sim.
Maka kali ini, berimbanglah keadaan mereka itu. Hebat bagi
Sin Cu untuk melayani Poan Thian Lo. Syukur untuknya, ia
dapat bersilat dengan baik dengan ilmu silat pedang Hian Kie

781
Kiamhoat, dengan ia main membela diri, masih bisa ia
bertahan.
Bhok Lin menyaksikan dua rombongan yang bertempur itu.
"Encie, lekas lihat!" ia serukan saudaranya. "Lihat, bagus
sekali ilmu pedangnya Nona Ie! Ah, sayang, sayang! Oh,
celaka, berbahaya sekali cambuk itu! Bagus, bagusnya Nona
Ie dapat menyelamatkan dirinya!..."
Bhok Yan sebaliknya mengawasi Tiat Keng Sim, ia seperti
tidak mendengar teriakan adiknya itu.
"Nah, itulah baru ilmu pedang yang bagus sekali!" dia pun
berseru. "Kau lihat, adikku, itulah serangan Burung Garuda
Menyerbu Udara! Dan itulah tipu silat Mengalungi Rembulan!"
"Apa?" tanya Bhok Lin. Dia salah mengarti, dia membicarai
Sin Cu tetapi encie-nya membicarakan Keng Sim.
Keng Sim bergerak dengan lincah, ia mendatangkan
kekagumannya Nona Bhok, hingga nona ini ngelamun: "Aku
tadinya menyangka yang liehay adalah ilmu pedangnya Thio
Tayhiap seorang, yang tidak ada tandingannya, siapa tahu dia
ini pun liehay sekali, mungkin melebihkan-nya..."
Tentu sekali pandangan nona ini tidak tepat, sebab sangat
jauh bedanya kalau Keng Sim dibanding dengan Thio Tan
Hong. Kebetulan saja pemuda she Tiat ini dibantu Seng Lim,
hingga ia jadi dapat berkelahi dengan baik, sedang
pengetahuan si nona mengenai ilmu silat pedang masih hijau.
Terus ini encie dan adik menonton, saban-saban mereka
memuji diseling sama jeritan kaget kalau kebetulan melakukan
penyerangan yang berbahaya.

782
Jauh di tanjakan, mendadak terdengar Ciauwya Saycu ma
meringkik keras. Sin Cu dapat dengar itu, ia kaget dan heran,
hingga ia sudah lantas menoleh. Ia lihat kudanya berjingkrak,
terus lari ke arah jalan besar. Justeru karena itu hampir saja ia
dirabuh cambuknya Poan Thian Lo. Setelah sadar, ia melayani
pula dengan saksama, hingga untuk sementara ia mesti
melupai kudanya.
Ciauwya Saycu ma pergi dengan lekas, tetapi sama
lekasnya juga kembalinya. Tapi ia bukan balik sendiri saja.
Sekarang di punggungnya ada seorang yang telah
perdengarkan suara keras bagaikan guntur. Dia bertubuh
besar, matanya biru, mukanya berewokan, dia mirip seorang
Ouw (asing), sedang tubuhnya tertutup dengan baju seragam
tersalut emas, tangannya menyekal sepasang gaetan
Siangliong Hokciu kauw.
"Paman Tamtay!" Sin Cu berseru apabila ia telah melihat
penunggang kudanya itu.
Memang benar penunggang kuda itu ada Tamtay Biat
Beng, pahlawannya Thio Tan Hong, atau murid kepala dari
Siangkoan Thian Ya. Dibanding dengan Tan Hong,
majikannya, dia masih setingkat lebih tinggi derajatnya. Dia
berasal orang Tionghoa tetapi lama dia hidup di Mongolia,
maka dia mirip orang asing, sedang di Mongolia dia dikenal
sebagai Tantai Mieh Ming. Sekarang dia sudah mendekati usia
enam puluh tahun akan tetapi dia masih tetap gagah.
Setibanya, setelah lompat turun dari kudanya, Tamtay Biat
Beng membentak Poan Thian Lo, lalu dia menyerang.
Suheng dari Yang Cong Hay ini terkejut. Sebenarnya dia
hendak menyerang Sin Cu, karena serangan itu, terpaksa ia
mengubah haluan, ia menyambuti terjangan orang ini. Maka

783
berkelebatlah sepasang gaetan, yang terus dapat menggaet
cambuknya itu.
"Kau siapa?" membentak Biat Beng. "Besar nyalimu berani
menghina keponakanku!"
Poan Thian Lo mengerahkan tenaganya, untuk menarik
cambuknya. Ia berhasil meloloskan diri tetapi cambuknya itu
terkutung ujungnya!
Sin Cu segera mengasi dengar suaranya: "Binatang ini
muridnya Cie Hee Toojin, sudah sering sekali dia menghina
aku! Paman, tolong kau berikan tanda mata di tubuhnya!"
"Baik!" berseru Biat Beng, yang lantas saja menggeraki
sepasang gaetannya, yang nampak seperti sepasang naga
emas.
Repot Poan Thian Lo didesak secara begitu, tidak dapat ia
membalas menyerang. Ia mesti menutup dirinya. Baru
beberapa jurus, lantas terdengar satu suara keras. Itulah
suara dari putusnya pula cambuk! Hingga dari panjang
setombak lebih, cambuk itu menjadi pendek tinggal empat
kaki kurang!
Poan Thian Lo kaget, semangatnya seperti terbang. Ia
lantas saja memikir untuk mengangkat kaki, sebab lawannya
ini liehay luar biasa. Untuk ini ia segera mendapatkan
ketikanya, sebab biar bagaimana, dia tetap seorang liehay.
Tamtay Biat Beng tidak mengejar, dia hanya berkata
nyaring: "Dengan memandang muka gurumu yang bersahabat
dengan Hian Kie Loocianpwee, suka aku mengasi ampun
padamu dari kematian! Kau ingatlah ini baik-baik!"

784
Menyusul kata-katanya itu, sebelah gaetannya menyambar,
maka tidak ampun lagi, sebelah kupingnya Poan Thian Lo
kena dipapas kutung!
Tanpa membilang suatu apa, tanpa menjerit, Poan Thian Lo
ngiprit terus.
Sin Cu hendak membantui Keng Sim dan Seng Lim, akan
tetapi Yang Cong Hay sangat licik, ia telah mendengar dan
menyaksikan segala apa, tanpa mensia-siakan tempo sedetik
jua, ia meninggalkan kedua lawannya dan kabur.
Keng Sim panas hatinya, hendak ia mengejar, akan tetapi
kapan ia lihat si nona datang, ia batalkan niatannya.
"Kau baik, Nona Ie!" ia berkata pelahan.
Sin Cu mengangguk dengan tawar.
"Perlu apa kau pergi ke Inlam?" dia balik menanya.
Mendadak saja Keng Sim merasa tawar hati, di dalam
hatinya ia kata: "Dari tempat laksaan lie aku menyusul kau,
mustahilkah kau tidak mengetahui rasa hatiku?" Tentu saja, di
hadapan banyak orang itu, ia tidak berani membeber rahasia
hatinya itu.
Maka dengan menyeringai ia menyahuti: "Aku dengar Thio
Tayhiap..."
Seng Lim melihat lagak orang, ia menyelak: "Memang,
tentulah saudara Tiat mencari Thio Tayhiap, maka kebetulan,
sekarang dapat kita berjalan bersama."
Campur bicara orang ini menolong Keng Sim, hanya
seterusnya, ia tetap merasa hatinya tidak tentaram, sebab si

785
nona seperti tidak mempedulikan padanya, nona itu
sebaliknya bicara dengan pemuda she Yap itu, asyik agaknya.
Tamtay Biat Beng bekerja terus. Dengan gampang ia
membubarkan orang-orang Kok keekhung hingga ia berhasil
melepaskan Bhok Yan dan Bhok Lin dari kurungan.
Biat Beng datang dengan tugas mencari itu anak-anaknya
Bhok Kokkong, sebab Thio Tan Hong menduga pasti muridmuridnya
itu tentulah menyingkir ke Tali. Ia sendiri, setelah
mengusir Cong Hay semua, sudah mendahului berangkat
pulang. Di sepanjang jalan Biat Beng mendengar-dengar
kabar, sampai kebetulan sekali di Anggaypo dia bertemu sama
Ciauwya Saycu ma. Kuda ini mengenali baik pahlawan itu,
keeciang dari majikannya, maka juga ia sudah lantas lari
menghampiri, karena mana Biat Beng bisa sampai dengan
cepat di gelanggang pertempuran.
Kok Tiong Ho melihat gelagat jelek, dia lari masuk ke dalam
rumahnya. Di depan rumah dia membuat semacam
bentengan, untuk melindungi diri.
Biat Beng menanyakan Bhok Lin tentang orang she Kok itu.
"Aku kenal orang ini, satu jago di Inlam Barat," berkata Biat
Beng kemudian sambil tertawa, "Dia hendak membeli kudamu
dengan seratus tahil emas, tidak apa, meski dengan
perbuatannya itu ternyata dia punya mata tetapi seperti buta.
Dia belum melakukan kejahatan, baiklah kita memberi ampun
padanya!"
Karena ini, selamatlah orang she Kok itu.
Sin Cu girang sekali mendapat pulang kudanya.

786
"Marilah kita pergi, lekas!" katanya. Ingin ia segera
mendaki gunung Khong San untuk menjenguk kakek gurunya
serta gurunya sendiri.
Bhok Lin dan Bhok Yan lega hatinya, keduanya
menghampirkan Sin Cu dan Keng Sim. Hal ini ada baiknya bagi
Sin Cu, yang bisa meloloskan diri dari Keng Sim.
"Siauwkongtia, terima kasih!" katanya kepada putera
hertog dari Kunbeng itu.
"Kau yang datang menolongi aku, akulah yang mesti
menghaturkan terima kasih padamu!" berkata anak pangeran
itu. "Buat apa terima kasihmu itu?"
Kelihatan nyata kepolosannya anak ini, yang masih mirip
kekanak-kanakan.
"Kau toh telah membikin patung untuk ayahku!" berkata
Sin Cu, girang berbareng terharu. "Bagaimana bisa aku tidak
bersyukur kepadamu?"
"Ayahmu jujur dan setia, dia berkurban untuk negara, dia
dikagumi seluruh negara," berkata Bhok Lin. "Sebenarnya
dengan membangun kuil saja aku masih belum dapat
menunjuki hormatku terhadapnya. Nona Ie, perkataanmu ini
membikin aku malu saja..."
"Biar bagaimana, kau telah menunjuki nyalimu yang besar!"
kata Sin Cu tertawa. "Aku ketahui apa yang terjadi di antara
kau dan ayahmu."
"Di dalam ini hal, aku menurut kepada kakakku saja," Bhok
Lin mengaku. "Sebenarnya aku kuatir juga tetapi kakak
menganjurkan aku. Tanpa kakak, aku pun tidak berani buron.
Ah, kau tidak tahu, kakakku paling pandai bekerja! Dia dapat

787
membujuki ayah, katanya tidak bakal terjadi sesuatu, sampai
ayah percaya padanya. Biasanya kakaklah yang mengatur
segala apa, nyalinya besar sekali, cuma ia pun biasa bekerja di
belakang, akulah yang selalu dimajukan di depan!..."
Bocah ini mau bicara dengan lagak tua bangka tetapi
akhirnya, ia balik kepada asalnya, sebagai bocah!
Sin Cu bersenyum.
Bhok Yan pun bersenyum, ia membiarkan adiknya itu
bicara.
"Ketika itu hari encie menyuruh Kim Go memanggil aku,
sayang sudah terlambat," kata Sin Cu kemudian.
"Hari itu aku bertindak lancang sekali, harap encie tidak
buat kecil hati," berkata Bhok Yan. "Siapa nyana akhirnya
terbit onar. Syukur sekarang kita dapat bertemu juga."
Nona ini bicara dengan Nona Ie tetapi matanya melirik
Keng Sim.
“Inilah Tiat Kongcu , puteranya Giesu Tiat Hong," Sin Cu
memperkenalkan.
Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan keningnya.
"Oh, tentulah Tiat Giesu yang dulu telah mendakwa si
pengkhianat Ong Cin!" kata Nona Bhok kagum. "Ayah pun
pernah menyebut-rjebut nama Tiat Giesul"
Senang Keng Sim si nona memuji ayahnya.
"Tiat Kongcu dan Ie Siocia, terima kasih yang kamu telah
menolongi kami," kata pula Bhok Yan. "Dan kau sampai

788
terluka, kongcu..." Mendadak ia pun ingat Seng Lim, maka
segera ia menambahkan: "Masih ada ini kakak. Kakak,
terimalah hormat dan terima kasihku!" Ia memberi hormat
kepada pemuda she Yap itu.
Seng Lim mengangguk, terus ia dekati Tamtay Biat Beng
dengan siapa ia bicara.
Mendengar kata-katanya Bhok Yan, yang berterima kasih
atas pertolongannya, Keng Sim berkata di dalam hatinya:
"Sebenarnya aku tidak tahu kamu ditahan di dalam rumah ini,
maka apakah artinya ucapan terima kasihmu?" Tapi orang
mengingat budinya, ia girang. Ia kata: "Jangan mengucap
terima kasih. Tidak berarti luka kecil ini."
"Kau bilang tidak berarti!" kata si nona, "Kau lihat, lukamu
mengeluarkan darah!"
"Aku ada punya obat luka, setelah aku pakaikan, tentu
baik," katanya. "Sebenarnya, luka ini tidak berarti, Bhok
Siocia. Kau tidak tahu, selama pertempuran di Tayciu melawan
perompak asing, setiap hari aku membikin darah mengalir.
Itulah baru hebat! Bahkan pada suatu hari, ketika aku
menempur musuh dan tujuh dan delapan, lenganku hampir
dibacok kutung mereka itu. Syukur aku keburu kelit dan
akhirnya menang juga."
Agaknya Bhok Yan kagum bukan main.
"Begitu?" katanya. "Ah, kongcu benar muda dan gagah! Eh
ya, apa itu yang dinamakan dan tujuh dan delapan? Jangan,
jangan bergerak, nanti aku balut lukamu!..."
Sembari berkata si nona mengeluarkan sapu tangan
suteranya, ia lantas ikat lukanya pemuda itu. Senang Keng
Sim mendapat perlakuan ini. Bukankah Sin Cu bersikap tawar

789
terhadapnya? Katanya dalam hatinya, "Hm, kau tidak
pedulikan aku, ada lain orang yang memperhatikannya! Dia
malah seorang nona agung! Dia tidak bertingkah seperti kau!"
Sebenarnya ia ingin menolak pertolongan Nona Bhok tetapi
akhirnya ia membiarkan saja. Inilah karena ia ingin "mengasi
rasa" pada Sin Cu. Bahkan setiap kata si nona agung ia jawab
dengan sepuluh kata, ialah dengan menutur lebih jauh perihal
pertempurannya dengan perompak, sebagai juga ialah satu
pendekar.
Di luar dugaannya pemuda ini, Sin Cu tidak menjadi kurang
senang. Malah nona itu lantas membayangi lagi Yap Cong Liu.
Cong Liu paling besar jasanya tetapi dia tidak membanggakan
diri.
Kemudian ia pun menoleh kepada Seng Lim, si pemuda
polos, yang nampak tolol seperti anak dusun. Seng Lim pernah
melakukan banyak usaha besar, tidak sedikit dia membantu
pamannya, dia pun tidak temberang, sedikit omongnya. Maka
sekarang ia mengarti semakin jelas. Pikirnya: "Ah, yang satu
bunga mawar dari taman di Kanglam, yang lain pohon tayceng
dari tanah datar tinggi di Inlam dan Kuiciu. Bunga mawar
mempertontonkan diri pada orang-orang besar, pohon
tayceng berdiam saja meneduhkan orang-orang perjalanan."
Jadi itulah dua sifat yang berlainan satu dari lain. Dapat
membedakan itu, ia mual dan berduka. Toh ia masih kadangkadang
melirik pada Keng Sim, orang yang pertama kali
seperti menarik hatinya, hanya setiap pemuda itu berpaling
kepadanya, ia melengos dengan cepat.
"Encie, kau pikirkan apa?" menegur Bhok Lin, yang heran
untuk sikap orang tak wajar.

790
"Tidak apa-apa," sahut Nona Ie sabar, "Aku lagi
memikirkan ingin lekas tiba di Tali untuk menemui guruku."
"Benar," kaa bocah agung itu. "Aku pun ingin lekas-lekas
menemuinya!"
Tamtay Biat Beng tertawa.
"Kalau begitu, marilah lekas kita berangkat!" mengajaknya.
Sin Cu lantas serahkan kudanya pada Bhok Yan dan Bhok
Lin untuk mereka itu yang menaiki bersama. Bhok Yan
menampik dan mengatakan, Keng Sim terluka, baik pemuda
itu yang menunggang kuda itu. Akan tetapi kesudahannya,
Keng Sim naik atas kuda dari Iran, Bhok Yan naik atas
Ciauwya Saycu ma, dan Bhok Lin berjalan kaki menemani si
Nona Ie.
Jarak Anggaypo dan Tali tidak ada tiga ratus lie, kalau
Ciauwya Saycu ma dibiarkan lari, tanpa setengah harian,
orang akan sudah tiba di sana, tetapi sekarang ada yang
berjalan kaki, terutama Bhok Kongcu tidak biasa, perjalanan
mesti melewati sang malam. Begitulah mereka singgah di
tengah jalan.
Malam itu Sin Cu tidak dapat tidur pulas meski sebenarnya
ia merasa letih bekas jalan dan bertempur. Ia gulak-gulik saja,
di depan matanya berbayang Keng Sim dan Seng Lim. Ia
sekarang telah bertambah pengalamannya, ia bukan lagi nona
umur tujuh belas tahun yang kebanyakan. Setempo pun
muncul bayangan Bhok Lin, tetapi dia ini masih terlalu muda.
seimbang dengan Siauw Houwcu, maka di akhirnya si nona
bersenyum sendirinya.
Besoknya perjalanan dilanjuti sejak pagi-pagi. Mereka
berada di jalan pegunungan. Lalu lewat tengah hari mereka

791
tiba di sebuah lembah. Di lain saat mereka sudah berada di
kaki sebuah puncak. Di timur itu ada telaga yang airnya
berkaca pada matahari.
"Di bawah sana Heekwan, lantas Tali," Tamtay Biat Beng
memberitahu sambil menunjuki. "Kamu lihat, itulah bukit
Khong San serta laut Jiehay. Sin Cu, sebentar sore kau bakal
bertemu gurumu."
Karena ini, orang percepat tindakan kaki mereka, hingga
lekas juga mereka tiba di Heekwan, yang duduknya di selatan
Khong San dan Jiehay, seperti menyender pada Sia Yang
Hong, punyak terakhir dari sembilan belas puncak gunung
Khong San itu.
Tamtay Biat Beng menjelaskan empat keistimewaan dari
wilayah situ, yaitu siuran angin dari Heekwan, bunga dari
Siangkwan, salju dari Khong San dan rembulan dari Jiehay,
semua pemandangan alam yang indah. Katanya angin dari
Heekwan aneh sekali, angin itu bisa menyambar atasan rumah
dan mementang jendela tetapi tak akan masuk ke dalam
rumah.
"Ah, lebih baik kita jalan lekasan!" kata Sin Cu, yang tidak
tertarik hatinya.
Ketika itu di bulan ke sembilan, musim rontok, di waktu
tengah hari, hawa udara terik seperti di musim panas. Di jalan
besar ada terdengar orang menjual salju.
Bhok Yan tertawa menjebi, katanya pada Keng Sim:
"Bagaimana keadaan di sini dibanding sama di Kanglam?"
"Masing-masing ada kebagusannya," sahut si anak muda.
"Aku sudah biasa dengan Kanglam, aku senang dengan
keadaan di sini."

792
"Pernah aku membaca syair Menjual Salju karangannya
seorang paderi dari Tali," berkata Bhok Yan. "Bunyinya syair
itu, 'Di dafam kota Sepasang Naga ratusan bunga harum, Laut
Perak merangkul langit, di musim enam di jalan besar
berteriakan menjual salju, orang yang berlalu lintas
menyangka yang dijual itu ialah madu.' Di bawah syair itu ada
keterangan bahwa di gunung Khong San di Tali ini, sampai di
bulan enam, salju masih belum lumer, orang menjualnya di
pasar, seperti di Gouwhee orang menjual es. Nah, bagaimana
bedanya orang jual es itu dengan di sini orang menjual salju?"
"Di Souwciu dan Hangciu orang tak sepolos seperti di sini,”
sahut Keng Sim.
Dengan Gouwhee, tanah Gouw, dimaksudkan dua kota
Hangciu dan Souwciu itu.
Bhok Yan seperti dapat menyelami hati Keng Sim, di
sepanjang jalan itu terus ia pasang omong dengan itu anak
muda, bicara hal ilmu surat dan syair. Keng Sim pun senang
melayaninya, sebab orang pandai bicara, luas
pengetahuannya, bicaranya manis, meskipun sebenarnya
orang belum dapat menggantikan Sin Cu...
Selewatnya Heekwan orang mendapatkan tidak ada angin,
maka terlihatlah pemandangan indah dari laut Jiehay.
Sebenarnya inilah bukan laut, hanya telaga. Inilah disebabkan
di mata orang Inlam, telaga besar ialah laut, dan Jiehay ada
sebuah telaga besar di daratan. Di tepian ada tumbuh banyak
pohon yangliu, yang menambah keindahan. Burung-burung
pun beterbangan. Pemandangan di situ mirip dengan gambar
lukisan.
"Nona ie, tidakkah pemandangan si sini indah sekali?"
tanya Bhok Lin tertawa. "Aku pikir, kalau kita pilih suatu

793
malam terang bulan dan kita main perahu di telaga Jiehay ini,
pasti sangat menarik hati!"
"Memang!" Keng Sim mendahului menjawab. "Berdiam di
sini, aku seperti tidak ingin pulang lagi..."
Sampai sebegitu jauh Seng Lim berdiam saja, tetapi
sekarang tiba-tiba saja ia merasa sifat Sin Cu sama dengan
sifatnya. Ia menggemari keindahan gelombang sesudah badai.
Ia pikir: "Angin tenang ombak diam, meski itu indah, itulah
biasa saja. Keadaan itu tepat untuk orang-orang sebagai Keng
Sim dan Nona Bhok Yan..."
Sin Cu ada puterinya seorang menteri, dia agung tak kalah
dengan Bhok Yan, entah bagaimana, Seng Lim tapinya merasa
Nona Ie itu adalah orang segolong dengannya, beda dari Nona
Bhok itu. Toh berkenalan mereka berdua belum lama dan
belum erat.
Dari Heekwan sampai di Tali, tempo perjalanan yang
diminta tak usah sampai satu jam, akan tetapi Tamtay Biat
Beng membawa orang tak langsung, dia mengajak ke Hieciu
tin dan melintasi "laut" Jiehay itu, maka berenam, berikut
kuda mereka, mereka mesti menyewah dua buah perahu
nelayan untuk menyeberangi telaga besar itu. Biat Beng
bersama Sin Cu dan Seng Lim, dan Bhok Yan serta adiknya
bersama Keng Sim. Bhok Lin ingin turut perahunya Sin Cu
akan tetapi Biat Beng sudah mendahului menarik tangannya
Seng Lim, ia jadi malu untuk memaksa.
Sumbernya Jiehay adalah gunung Khong San di mana air
adalah salju yang lumer, lalu mengalir turun, berkumpul di
telaga itu. Di situ ada banyak nelayan dan banyak burung
terbang berseliweran, untuk saban-saban menyerbu air akan
menangkap ikan yang menjadi barang makanannya.

794
Menyaksikan itu, Keng Sim menjadi gembira, sembari tertawa
ia kata, itulah suasana seperti di Kanglam.
Bhok Yan pun bergembira hingga ia bersenandung.
"Sungguh mereka bergembira sekali," kata Seng Lim
tertawa.
Pikiran Sin Cu se-dang ruwet tetapi ia melirik kepada orang
she Yap itu dan bersenyum, kemudian ia pun mengawasi ke
permukaan air.
Sebentar kemudian telaga telah di seberangi dan orang tiba
di kaki bukit Khong San. Terlihat puncak gunung penuh
dengan salju, di mana pun ada nampak cahaya kehijauhijauan.
"Pantas Khong San dinamakan juga Tiamkhong San, nama
ini cocok dengan bukitnya," berkata Sin Cu. Di atasan
puncakpun nampak mega putih, yang bagaikan sehelai sabuk
kumala mengitari sembilan belas puncak.
"Orang bilang pemandangan alam di sini sangat indah
tetapi aku tidak gembira untuk mengicipinya, aku ingin lekaslekas
pulang!" berkata Tamtay Biat Beng yang terus saja
melepaskan panah nyaring, yang berbunyi mengaung di
tengah udara.
Menyusul pertandaan panah itu, sebentar kemudian terlihat
beberapa orang berlari-lari turun. Mereka itu segera dikenali
adalah Hek Pek Moko bersama Siauw Houwcu si bocah bengal
dan Jenaka, malah bocah ini lari mendahului dua orang India
itu, larinya sambil berjingkrakan, untuk paling dulu
menghampirkan Sin Cu.

795
"Ha, setan cilik!" Nona Ie berseru, sambil tertawa. "Hari itu
kau membikin aku mati memikirkan kau! Siapa tahu kau telah
tiba lebih dulu di sini...!"
Bocah itu tertawa. Kapan ia melihat Bhok Lin, ia
membentur dengan sikutnya.
"Eh, jangan kurang ajari" Sin Cu mencegah. “Inilah Bhok
Siauwkongtia."
"Aku pun tahu!" Siauw Houwcu tertawa seraya terus ia
menyambar tangan orang untuk ditarik. Ia kata: "Hai bocah,
kenapa itu hari kau tidak menjelaskannya bahwa kaulah calon
murid guruku, kalau tidak, pastilah aku sudah mengijinkan
kamu menunggang kuda putih itu? Eh, eh, kenapa kau diam
saja? Apakah kau merasa sakit bekas kesikut olehku? Sudah,
jangan marah, mari aku ajak kau pergi mencari ikan!"
Senang Bhok Lin dengan perlakuannya Siauw Houwcu. Di
dalam gedungnya ia tidak kurang suatu apa, tetapi di sana
cuma menghormat atau mengangkat-angkat ia, atau cuma
kakaknya, Bhok Yan, yang dapat bergurau padanya tetapi di
sini, ia mendapatkan satu sahabat yang sangat bergembira ini.
Sebenarnya ia merasa berat untuk meninggalkan Sin Cu tetapi
toh ia turut juga pergi, akan bermain-main dengan memetik
bunga dan menangkap ikan.
Sin Cu semua memberi hormat kepada Hek Pek Moko, yang
ternyata sudah tiba lebih dulu tujuh atau delapan hari. Mereka
itu berdiam sama Thio Tan Hong. Sedang Toan Teng Khong
bersama isterinya, puteri Iran, tinggal di istana Toan Ongya.
Ketika itu Siauw Houwcu sudah diterima Tan Hong sebagai
murid yang kedua.

796
Setelah Biat Beng menitipkan kuda mereka di rumah
seorang suku Ie, lantas bersama-sama mereka mendaki
gunung mengikut Hek Pek Moko yang jalan di depan.
Sembilan belas puncak gunung Khong San serta delapan
belas aliran solokannya adalah pemandangan alam paling
kesohor untuk Tali, semua air solokan gunung itu turun ke
Jiehay, airnya jernih dan indah dipandangnya, lebih-lebih di
waktu sinar matahari memenuhi permukaan air, dasarnya
sampai terlihat nyata di mana nampak batu-batu
bagaikan mutiara. Di gunung Khong San ini, salju tak
habisnya seluruh tahun, tak lumer semuanya. Maka hawa
udara di sini mirip dengan hawa udara di Kanglam. Maka juga
pohon-pohon rumput yang hijau dan pohon bunga yang
indah, hidup terus tahun ketemu tahun.
Saking gembira, Keng Sim bersenandung:
"Kalau dapat bunga indah sebagai kawan untuk selamalamanya,
tubuh ini biarlah menjadi tua di Khong San..."
Bhok Yan tertawa gembira. Ia menduga, dengan "bunga
indah" itu tentulah si pemuda maksudkan dia. Hanya ketika ia
menoleh kepada Sin Cu, hatinya terkesiap.
Nona itu nampaknya masgul, sepasang alisnya mengkerut,
matanya mendelong ke satu arah.
Di atas gunung itu ada beberapa buah rumah batu,
romannya kuno tetapi cocok dengan hati.
"Kakek guru bersama kedua loocianpwee Siangkoan Thian
Ya dan Siauw Lootoanio tinggal di itu rumah di belakang
gunung," Tamtay Biat Beng memberitahu kepada Sin Cu.

797
"Sekarang kita pergi dulu ke itu rumah di sebelah depan untuk
menemui gurumu."
Mereka berbicara sambil berjalan terus.
“Itulah sepantasnya," berkata Sin Cu, malah dia
mendahului menolak daun pintu.
Tiba di dalam, terlihat In Tiong suami isteri tengah
menantikan, Tan Hong tidak nampak.
"Gurumu lagi pergi ke istana, ada urusan," In Tiong
memberi keterangan. "Selama beberapa hari ini keadaan
tegang, katanya Bhok Kokkong di Kunbeng sudah menggeraki
pasukan perangnya."
Mendengar itu hati Bhok Yan dan Bhok Lin tak tenang.
Sin Cu mengangguk, ketika ia hendak menanyakan subonya,
ialah ibu gurunya, mendadak kupingnya mendengar
suara bayi menangis, apabila ia menoleh dengan segera, ia
lihat ibu gurunya itu, In Lui, mendatangi dengan tangannya
mengempo satu anak. Baru kira setengah tahun subo itu
melahirkan anak.
Segera Sin Cu menghampirkan, untuk memberi hormat
sekalian memberi selamat.
In Lui tarik tangan muridnya itu, ia mengusap-usap
rambutnya yang bagus.
"Sin Cu, selama satu tahun ini aku telah mensia-siakan
kau," katanya manis. "Sebenarnya tidak tenang hatiku
membiarkan kau merantau seorang diri. Syukurlah sekarang
kau telah kembali dengan tidak kurang suatu apa. Ah, kau
sekarang telah menjadi tinggi seperti aku...!"

798
Sin Cu terharu berbareng gembira. Sejenak itu ia ingat
pengalamannya selama ia mengembara. Ia duduk berendeng
sama ibu guru itu. Ia ingin bicara banyak tetapi tak tahu ia
bagaimana harus mulai. Maka ia memain saja sama si bayi
yang manis, ia mengemponya, tak ingin ia melepaskannya...
Sementara itu ada terdengar suaranya panah, yang
datangnya dari kaki gunung.
"Nanti aku lihat, siapa yang datang," berkata Tamtay Biat
Beng, yang terus mengundurkan diri. Atau di lain saat
terdengar suara orang tertawa.
"Suhu pulang!" seru Sin Cu. Ia lompat bangun, unuk
membukai pintu. Maka segera ia mendapatkan gurunya
datang bersama Ouw Bong Hu suami isteri. Lekas-lekas ia
memberi hormat.
"Bagus kamu semua telah tiba!" kata Tan Hong tertawa.
“Inilah tepat waktunya! Ketika Toan Ongya mendengar
sampainya kamu, dia gembira sekali. Besok kamu diundang
pergi ke istananya!"
Semua orang segera memberi hormat pada tayhiap itu.
Mengetahui Seng Lim adalah keponakannya Cong Liu,
sembari tertawa Tan Hong berkata: "Rupanya saudara Yap
datang atas titahnya Yap Toako."
"Benar," sahut Seng Lim dengan hormat. "Ada urusan yang
menyulitkan untuk mana pamanku hendak memohon petunjuk
dari tayhiap."
"Apakah itu?" tanya Tan Hong. "Silahkan bicara."

799
Seng Lim menuturkan pesannya Cong Liu.
Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawa dan
berkata kepada Keng Sim: "Aku bersahabat erat dengan
gurumu. Adakah dia baik?"
"Baik..." sahut si pemuda ringkas, mukanya bersemu
merah.
Habis itu barulah Tan Hong berkata pula: "Mengenai
keadaan tentara di Kanglam aku kurang jelas. Kamu berdua
datang dari sana, bagaimana pandangan kamu?"
"Aku kuatirkan kegagalannya..." menyahut Keng Sim.
"Kenapa?" Tan Hong menanya.
"Untuk menggeraki tentara, tiga pokok yang paling
penting,"
Keng Sim menjawab. “Itulah temponya, keletakan tempat
dan orangnya..."
"Benar."
"Sekarang ini belum saatnya untuk menggeraki tentara,"
menjelaskan Keng Sim. "Sekarang ini negara lagi ngalami
banyak kesulitan. Peperangan di Tobokpo menyebabkan
semangat kita mendapati gempuran hebat. Baru saja
beberapa tahun kita beristirahat, aku kuatir hati rakyat masih
kacau. Pula semenjak dulu kala, gerakan harus di mulai dari
Barat daya, jarang yang mulai dari pesisir laut. Dan bukannya
aku memandang kecil, orang semacam Pit Kheng Thian itu,
dia bukanlah orang yang dapat membangun negara. Itulah
sebabnya mengapa aku bilang semua-nya tiga pokok tidak
tepat."

800
Lancar bicaranya Keng Sim ini. Di matanya Sin Cu,
pembicaraan itu tepat dan tidak tepat. Meski demikian, si nona
tidak membilang suatu apa.
Tan Hong bersenyum.
"Dan kau, bagaimana pandanganmu?" ia menanya Seng
Lim.
"Untukku, kalah atau menang, tidak berani aku membilang
suatu apa," sahut pemuda she Yap itu. "Untukku, soal adalah
kita harus bekerja atau tidak, soal menang atau kalah adalah
urusan yang nomor dua."
Keng Sim tertawa tawar.
"Kalau bakal gagal, untuk apa kita bergerak? Cuma-cuma
mencelakai diri sendiri" katanya.
Mendengar ini, Tan Hong kata dalam hatinya: "Apabila
semua orang sependapat denganmu, segala apa mesti sudah
ada kepastiannya, pasti dulu hari itu leluhurku dan Cu Goan
Ciang boleh tidak usah bergerak menentang bangsa
Mongolia!" Tapi ia tidak mengutarakan itu. Ia kata pula pada
Seng Lim: "Coba kau omong lebih jauh."
Seng Lim berpikir sejenak, baru ia berkata pula: "Sekarang
ini bangsa Watzu tengah membangun dan perompak asing
berdiam untuk sementara waktu saja, ancaman dari pihak
mereka tetap ada, di balik itu pemerintah Beng tidak berani
menentang musuh luar, sebaliknya, dia menggeraki tentara di
dalam negeri, sikapnya itu membikin lenyap pengharapan
rakyat. Menurut aku, rakyat bukannya me-nguatirkan
kekacauan, mereka menguatirkan justeru keselamatan negara.
Bicara tentang tempat, dulu hari juga Thaycouw bergerak dari

801
Kanglam mengusir bangsa Tartar, dia tidak mengukuhi dari
Barat daya untuk mempersatukan negara. Perihal si
pemimpin, asal bendera dikerek naik, rakyat tentu dapat
memilihnya sendiri."
"Tidak, tidak demikian!" kata Keng Sim, mukanya merah. Ia
terus membantah dengan menyebut-nyebut kitab.
Tan Hong berdiam, ia mendengari orang berdebat.
Biat Beng habis sabar. Katanya: "Urusan negara, yang
demikian besar, tidakkah baik dibicarakan nanti saja? Aku libat
yang paling penting sekarang ialah bagaimana kita harus
melayani rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung
kita!"
Sin Cu heran hingga ia melengak.
"Rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung?" dia
menanya. "Apakah artinya itu?"
"Tentang itu, paman Ouw kamu ada membawa berita,"
berkata Tan Hong.
"Ya," berkata Ouw Bong Hu. "Aku telah pergi ke Kanglam
mencari Cio Keng To. Aku telah mencari ke mana-mana, tak
berhasil aku. Ia sudah pulang tetapi segera ia lenyap. Karena
itu aku kembali sekalian mencari Yang Cong Hay. Aku dengar
kabar dia sudah berhasil membujuk gurunya turun gunung,
malah mereka sudah berhasil juga meminta bantuannya
sejumlah iblis yang sejak sekian lama hidup menyendiri.
Mereka itu hendak datang mengacau ke mari dengan
menggunai alasan memberi selamat hari ulangnya Hian
Kie Cianpwee."
"Sebenarnya kawanan iblis apa itu?" Biat Beng bertanya.

802
"Sebegitu jauh yang aku dengar," menjawab Ouw Bong Hu,
"ada Kiupoanpo Kongsun Bu Houw dari Aylao San, ada Tek
Seng Siangjin dari Sengsiu hay di Kunlun San, dan ada lagi
Touw Liong Cuncia dari pulau Benghee To di Tanghay serta
Liok Yang Cinkun dari Ceksek San di propinsi Kamsiok. Kalau
guru-guru kita turun tangan, mereka itu dapat dilayani, kalau
tidak, sungguh mereka tidak dapat dipandang ringan."
Thio Tan Hong tertawa. Ia berkata: "Sekarang ini ketiga
loocianpwee kita justeru tengah bersamedhi untuk melatih
dirinya, sampai nanti hari ulangnya kakek guruku yang masuk
usia delapan puluh tahun barulah cukup samedhinya itu."
Ouw Bong Hu heran.
“Ilmu apakah itu yang mereka yakinkan?" ia tanya.
“Ilmu itu tidak ada batasnya," kata Tan Hong, "Mereka
tengah memahamkan kepandaian masing-masing untuk nanti
dipersatukan. Kapankah datangnya Cie Hee Toojin serta
rombongan iblisnya itu?"
"Karena mereka menyebut hari ulang tahun, mestinya
mereka bakal datang di harian yang tepat," menyahut Ouw
Bong Hu.
"Bagus!" berseru
Siauw Houwcu, yang menyelak. "Hari itu kita bakal melihat
Thay-sucouw mempertontonkan kepandaiannya mengusir
rombongan iblis itu! Sungguh rejeki mata kita bagus sekali!"
Sin Cu tertawa, tetapi dia berkata: “Thaysucouw ialah tetua
paling terhormat kaum Rimba Persilatan, tidak nanti dia
sembarang turun tangan!"

803
Tan Hong tidak ambil mumat anak-anak itu. Ia kata:
"Toasupeh Tang Gak berada jauh di perbatasan Tibet, aku
kuatir dia tidak dapat datang untuk memberi selamat.
Jiesupeh Tiauw I m berada di Ganbunkwan tengah
mengunjungi Kimtoo Ceecu, aku kuatir dia pun tidak nanti
keburu pulang. Melainkan guruku suami isteri yang pasti bakal
datang dari Siauwhan San. Dengan adanya kedua guruku,
dengan gabungan pedang mereka, aku percaya cukuplah
sudah untuk melayani semua musuh itu."
Siauw Houwcu gembira sekali. Ia tidak kenal bahaya, ia
cuma tahu menonton. Demikianpun itu beberapa pemuda
segerombolannya.
***
Tan Hong tertawa.
"Kamu habis jalan jauh, tentu kamu letih, sekarang pergilah
kamu beristirahat," ia berkata. "Besok pagi-pagi kita mesti
pergi menghadap ongya.”
Semua orang menurut, mereka mengundurkan diri untuk
beristirahat. Keng Sim melirik Seng Lim, agaknya ia belum
puas. Ia pun merasa tidak enak mendapatkan sikap tawar dari
Sin Cu, yang agaknya tidak mempedulikan perdebatan
mereka.
Benar seperti dijanjikan, besoknya pagi-pagi Tan Hong
mengajak lima anak-anak itu Bhok Yan dan Bhok Lin, Keng
Sim, Sin Cu dan Seng Lim pergi ke istana Toan Ongya yang
berada di luar kota Tali dekat dengan Coakut Ta, menara
Tulang Ular. Di sepanjang jalan di situ ada tempat-tempat
dengan pemandangan alam yang indah, umpama di Ouwtiap
Coan, Sumber Kupu-kupu, di tepi itu ada sebuah pohon tua

804
dan besar yang daunnya yang lebat meroyot turun ke air yang
jernih.
"Sayang sekarang sudah musim rontok," kata Tan Hong
tertawa, "sekarang sudah tidak ada kupu-kupunya. Coba kamu
datang di musin semi atau musim panas, pasti kamu akan
tampak banyak sekali binatang itu terbang berseliweran di
sini, berkumpul di atas pohon besar ini. Apapula pada tanggal
tujuh belas bulan empat, kupu-kupu itu pada mencelok
bergelantungan di cabang-cabang pohon, sambung
menyambung sampai di permukaan air. Itulah pemandangan
yang indah dan langka."
Semua orang kagum, tetapi Bhok Yan kemudian menghela
napas, ia berkata: "Hanya dikuatir penghidupan manusia tak
kekal. Sampai nanti musim semi lain tahun, entah kita bakal
berpisahan ke mana..." Sembari berkata begitu, ia melirik
Keng Sim.
Pemuda itu terkesiap hatinya, ia lantas tunduk, agaknya ia
seperti tak mengarti perkataannya nona itu.
Jalan lebih jauh, mereka tiba di Samtah Sie, kuil Tiga
Menara yang katanya dibangun oleh Jenderal Uttie Keng Tek,
di jaman kerajaan Tong. Yang aneh dari menara ini ialah
setiap saatnya matahari doyong ke barat, bayangan menara
muncul di sebuah kobakan air lima belas lie dari situ,
berbayang menjadi tiga buah menara.
Habis menara ini, tibalah mereka di Coakut Tah, yang pun
ada dongengnya, katanya: Lama, lama sekali, di Jiehay itu ada
seekor ular besar, yang suka menimbulkan angin menerbitkan
gelombang hingga sawah-sawah kelam terendam, hingga
manusia dan binatang bercelaka karenanya. Kemudian datang
seorang gagah bernama Toan Cie Seng, dengan membawa
delapan buah golok, dia terjun ke dalam telaga Jiehay itu,

805
sengaja dia mengasi dirinya ditelan ular itu, sesampainya di
dalam perut barulah dia menikam kalang kabutan hingga ular
itu binasa. Sayangnya, dia tidak dapat bernapas, dia pun turut
mati di dalam perut ular itu. Untuk memperingati budi dan
jasanya Cie Seng itu, ular itu dibakar habis dan menara itu
dibangun. Katanya Cie Seng ini ialah leluhurnya keluarga
Toan, sebab penduduk menghargainya, turunannya dijunjung
sebagai raja turun temurun. Bahwa istana Toan Ongya diberdirikan
di samping Coakut Tah, pun katanya guna
memperingati leluhur yang gagah dan berani berkurban itu.
Sampai pada, jaman Beng, keluarga Toan diberi pangkat
"Tiepeng ciangsu" tetapi rakyat setempat tetap memanggil
ongya.
Tiepeng ciangsu yang sekarang bernama Toan Teng Peng,
dialah kakak sepupu dari Toan Teng Khong, kapan mereka
berdua mendengar datangnya Ie Sin Cu, mereka menyambut
dengan manis dan menjamunya di dalam taman. Puteri Iran
turut hadir bersama. Banyak yang mereka bicarakan.
Toan Teng Peng pun melayani Bhok Yan dan Bhok Lin
dengan sempurna. Bhok Lin menjadi malu hati, maka ia
beritahukan yang ayahnya bakal menyerang ke Tali.
Mendengar itu sambil tertawa Sin Cu berkata:
"Siauwkongtia, Toan Ongya baik sekali terhadap kamu,
bagaimana ayahmu masih hendak menggeraki angkatan
perangnya untuk datang menyerang?"
Merah mukanya Bhok Kongcu.
"Aku akan mencoba membujuk ayah, guna mencegah ia
membawa tentaranya memasuki kota ini," katanya. Ia berkata
demikian, hatinya sebenarnya bingung.

806
Toan Teng Peng dan Tan Hong tertawa sambil saling
mengawasi.
"Terima kasih, siauwkongtia." kata mereka.
Di saat pesta hendak ditutup, satu nona datang dengan
paras bersenyum-senyum.
"Anak Cu mari!" Toan Teng Peng memanggil seraya
menggapai. "Mari menemui tetamu-tetamu kita!"
Itulah puterinya Teng Peng yang bernama Cu Jie, usianya
baru enam belas, seimbang sama usianya Bhok Lin. Dia cerdas
dan manis budi, siapa pun senang bergaul dengannya.
Bhok Yan menarik tangan orang.
"Sungguh seorang nona yang cantik manis!" dia memuji.
"Encie-lah yang seperti bidadari!" Cu Jie balik memuji.
"Katanya Bhok Kongtia hendak mengirim tentara menyerang
kita, kalau nanti negara kita musnah dan rumah tangga kita
ludas, mungkin aku ditawan dan dijadikan budak, sampai pada
itu waktu, pasti encie tidak akan sukai aku..."
"Jangan mengucap begini, adikku," berkata Bhok Yan.
"Ayahku tidak hendak memusuhi, itu adalah urusan negara."
Teng Peng lantas menyelak sama tengah: "Sudah jangan
bicarakan urusan itu! Jauh-jauh Bhok Kongcu dan Bhok Siocia
datang ke mari, kita adalah orang sendiri. Anak Cu, lebih baik
kau menyanyi untuk mereka."
Nona itu dengar kata, benar-benar ia lantas bernyanyi,
antaranya ia menyebut-nyebut si tukang jual salju.

807
"Ya, kita mendengar tukang jual salju itu menjual saljunya!"
Bhok Lin kata tertawa.
"Memang, Tali dan Kunbeng tidak beda banyak," Cu Jie
bilang. Ia tertawa manis sekali. Kemudian ia melanjuti
nyanyinya, tentang keindahan alam di Tali, yang rakyatnya
bersedia untuk berperang.
"Rakyat yang jempolan!" memuji Tan Hong.
Tapi hati Bhok Lin tawar. Ia menyayangi kalau tempat
indah ini menjadi medan perang.
Habis berjamu, Teng Peng ajak semua tetamunya melihatlihat
istananya, istana indah yang usianya sudah beberapa
ratus tahun. Di dalam taman pun ada pengempangnya yang
bagus, yang dikitari loneng batu putih serta diperlengkapi
jembatan batu marmer untuk orang menyeberanginya. Di situ
pun ada paseban, ada ranggon, ada sebuah batu besar mirip
singa.
Bhok Lin kagum, ia memuji.
"Kau baru sampai di Tali, kau belum sempat melihat kelenting
Kwan Im Am," kata Toan Cu Jie tertawa.
"Kelenting itu dibangun atas sebuah batu besar, itulah baru
kelenting besar! Batu ini sangat kecil."
"Bukankah kelenting Kwan Im Am itu yang dinamakan juga
kelenting Tay Cio Am?" tanya Bhok Yan.
"Benar! Oh, encie pernah pergi ke sana?"
"Aku cuma pernah baca itu dalam catatan di Tian Lam
Hong But Cie," jawab Nona Bhok. "Berhubung dengan itu

808
katanya ada sebuah dongeng. Katanya dulu kala itu ada
sekawanan berandal hendak menyerbu Tali, lantas Dewi Kwan
Im muncul dengan menyamar menjadi seorang wanita tua,
punggungnya menggen-dol itu batu besar. Melihat itu,
kawanan berandal heran dan kaget. Dewi kata pada mereka,
'Aku sudah tua, aku cuma bisa menggendol batu kecil ini,
tetapi anak-anak muda di dalam kota, mereka biasa
menggendong batu-batu yang jauh terlebih besar.' Kawanan
berandal itu ketakutan, mereka kabur, tidak berani mereka
masuk ke dalam kota. Itulah dongeng yang dinamakan
'Menggendong batu mengundurkan tentara.' Benarkah itu?"
Sengaja Nona Bhok menunjuki pengatahuannya yang luas
itu di depan Keng Sim.
Cu Jie mengangguk.
"Benar, encie," katanya. "Luas pengatahuanmu, aku kagum
sekali. Habis itu, karena penduduk kota bersyukur, mereka
membangun kelenting dewi itu di atas itu batu besar."
Sin Cu ketahui halnya dongeng itu tetapi ia berdiam saja.
Bhok Lin sebaliknya berpikir, entah dewi itu bisa atau tidak
mencegah angkatan perang ayahnya itu...
Keng Sim diam-diam terus memperhatikan Sin Cu. Ia tahu
hati orang adem.
"Pemandangan di sini indah, bukannya kamu mengicipinya
hanya kamu membicarakannya!" katanya.
"Bukankah itu sama saja?" Bhok Yan tertawa. "Rupanya
cuma kau yang paling pandai mengicipi pemandangan alam
yang indah..."

809
Itu waktu mereka sudah menyeberangi jembatan. Toan
Teng Peng minta Tan Hong menulis sesuatu. Katanya, ia
dengar tayhiap ini pun pandai ilmu surat.
"Biarlah anak-anak muda yang menulisnya!" Tan Hong
tertawa. "Nah, siapa di antara kamu yang hendak menulis
tanda peringatan?"
Bhok Yan ingin menulis tetapi ia tidak segera mendapatkan
bahannya. Maka ia mengawasi Keng Sim.
"Aku tidak berani bertingkah di depan Thio Tayhiap." kata
pemuda she Tiat itu. Ia tahu maksudnya si Nona Bhok.
"Tiat Kongcu turunan pandai, kau pasti dapat menulis
bagus!" Tan Hong memuji.
"Ya, kau tulislah!" Bhok Yan mendesak.
Keng Sim puas sekali. Ia lantas minta pit dan kertas, terus
ia menulis, memuji keindahan taman dan batu dalam dongeng
itu, bahwa di malaman terang bulan, ujung jembatan
bagaikan sepasang bianglala.
Bhok Yan girang, ia memuji sambil bertepuk tangan.
Teng Peng pun girang. Pujian kepada batu itu ada pujian
untuk keluarga Toan juga. Karena ini, ia mengasi titah agar
pujian itu diukir di alas batu, Tan Hong pun memuji, tetapi ia
tahu, syairnya Keng Sim itu kurang lengkap, kurang kekerasan
hati, seumpama kata ada kepala tidak ada ekornya...
Kemudian orang duduk beristirahat di bawah batu. Gembira
Toan Teng Peng, ia menyuruh pahlawan-pahlawannya
mengadu gulat.

810
“Inilah permainan bagus!" tertawa Bhok Yan, yang gembira
sekali. "Tiat Kongcu, mengapa kau tidak hendak mencoba
mengambil bagian?"
"Oh, kiranya Tiat Kongcu mengarti ilmu surat dan ilmu silat
juga!" berkata tuan rumah. "Nah, inilah ketika baik untuk
kamu! Lekas kamu minta pengajaran dari Tiat Kongcu”
Tidak dapat Keng Sim menampik anjuran Nona Bhok. Ia
memang mau membanggakan kegagahannya. Maka ia pergi
ke gelanggang. Ia melawan kedua pahlawan. Mereka itu
mengira orang lemah lembut, tidak berani mereka
mengeluarkan seantero tenaganya, tetapi kesudahannya,
mereka kena dibikin jungkir balik! Malah jidat mereka munjul
bengkak bekas terbanting.
Menonton itu, Sin Cu mengerutkan kening. Bhok Yan pun
agak kecewa. Toan Teng Peng, sebagai tuan rumah, bertepuk
tangan memuji. Mendengar ini, Keng Sim menjadi puas sekali.
Puas pesiar, sudah magrib, orang balik pulang. Selagi
berjalan, Sin Cu membiarkan Keng Sim dan Bhok Yan jalan
lebih dulu, ia berayal-ayalan, untuk bisa berjalan bersama
Seng Lim.
"Berhubung sama ilmu gulat, kepandaianmu Taylek
kimkong ciu adalah yang paling tepat," ia kata pada pemuda
itu, coba tadi kau turun tangan, celakalah kedua pahlawan
itu."
"Tetapi itu main-main saja, orang mesti mengenal batas,"
Seng Lim jawab. "Tiat Kongcu itu benar lincah, dia harus
dipuji."
Sin Cu bersenyum.

811
"Eh, ya, mengapa hari ini kau berdiam saja?" ia tanya.
"Sebenarnya aku tengah memikirkan keletakan tempat,"
Seng Lim menyahut. “stana mengandal gunung di tiga muka
dan air di satu muka. Pendirian benar kuat, tetapi kalau orang
menggunai perahu enteng menyerbu dari air, setibanya di
tepian lantas orang menghadapi pembelaan di darat, inilah
berbahaya. Tentara penjaga pasti tidak bakal keburu
mencegahnya. Inilah berbahaya. Istana pun berada di luar
kota, kurang erat hubungannya dengan tentara di dalam kota,
ini menambah ancaman bahaya. Umpama kata aku menjadi
kepala perang musuh, pasti aku akan rampas dulu istana guna
nanti merampas seluruh Tali."
"Kiranya kau membungkam seluruh hari karena memikirkan
soal peperangan," kata si nona.
"Meskipun begitu, kalau musuh menyerang dari air, mereka
cuma dapat mengirim jumlah yang kecil," Seng Lim
menambahkan. "Hanya dengan jumlah yang kecil mereka
dapat menyeberangi air. Oleh karenanya, apabila kita
membuat penjagaan di muka air, cukup kita dengan beberapa
ratus serdadu yang terlatih saja. Umpama di hulu telaga kita
mengatur penjagaan, kita memancing musuh masuk, lantas
mereka akan kena dibekuk!"
Kembali Sin Cu tertawa.
"Pantaslah selama di dalam istana kau mengawasi tembok
saja di mana ada terlukis peta bumi!" katanya pula.
Pembicaraan mereka terputus tertawanya Bhok Yan. Ketika
Sin Cu berpaling, ia melihat Nona Bhok jalan berendeng
dengan Keng Sim, agaknya erat sekali pergaulan

812
mereka. Tiba-tiba ia merasakan mukanya menjadi panas
sendirinya. Belum sempat ia menoleh ke lain jurusan, Keng
Sim sudah berpaling ke arahnya. Empat mata bentrok
sinarnya, lantas keduanya sama-sama tunduk. Hati Sin Cu
berdenyu-tan, ia mendapatkan kemenyesalan pada sinar
matanya anak muda itu.
Malam itu Nona Ie mesti berpikir banyak. Sampai jauh
malam barulah ia dapat pulas. Selama itu ia ingat saja Keng
Sim. Besoknya pagi ia pergi ke luar kamar gurunya, ia jalan
mundar-mandir saja, tidak berani ia mengasi bangun gurunya
itu.
Selang sekian lama barulah sang guru membuka pintu.
"Eh, Sin Cu, kau memikirkan apa?" menegur Tan Hong,
yang lihat roman orang beda daripada biasanya. Ia tertawa.
"Tidak, suhu, muridmu cuma hendak memberi selamat pagi
padamu," sahut si nona.
Tan Hong bersenyum. Bersama murid itu ia pergi ke latar.
Mereka menyender di loneng untuk memandangi gunung
Khong San dan telaga Jiehay.
"Ah, sang hari lewat cepat sekali!" berkata sang guru. "Kau
sekarang sudah berumur tujuh belas tahun. Benar bukan?"
"Dari hari ulang telah lewat tiga bulan," sahut sang murid,
mengangguk.
"Ketika pertama kali kau datang ke Thayouw sankhung, kau
baru berusia tujuh tahun," berkata pula sang guru. "Ya, itu
waktu kau masih mengeluarkan air dari hidungmu..."

813
"Sementara itu belasan tahun sudah suhu mendidik
muridmu," sahut si nona.
Guru itu tertawa pula.
"Kau telah menjadi dewasa, aku lega hati. Hanya..."
"Hanya apa, suhu?"
"Semasa kau berumur tujuh tahun, kau tidak memikir suatu
apa. Sekarang dalam usia tujuh belas, kaulah satu nona
remaja. Tidak dapat tidak, aku mesti memikirkan kau dalam
suatu urusan..."
Si nona berdiam. Hanya sebentar, ia mengangkat
kepalanya.
"Keindahan di sini dipadu sama Thayouw sankhung saling
beri..." katanya.
"Ya. Memang Jiehay dapat dibandingkan dengan Thayouw.
Selama musim semi, seluruh gunung penuh bunga,
pemandangannya sungguh indah."
"Apakah di Khong San ada bunga mawarnya?" tanya Sin Cu
tiba-tiba.
Tan Hong tercengang.
“Inilah aku tidak perhatikan," sahutnya. "Tapi di sini semua
empat musim seperti musim semi, umpama kata benar tidak
ada pohon mawarnya, kalau kita memindahkannya dari
Kanglam, pohon itu pastilah akan tumbuh di sini..."

814
"Eh, suhul" mendadak si murid menanya pula, suhu
menyukai bunga mawar di Kanglam atau pohon tayceng di
sini?"
Kembali guru itu tercengang. Ia memandang mata orang,
hingga ia merasa melihat cahaya yang mengandung sesuatu
rahasia. Maka ia lantas bersenyum.
"Untukku, aku menyukai dua-duanya!" sahutnya. "Bunga
mawar dapat membikin orang senang dan gembira, dan
pohon tayceng bisa membikin orang meneduh dan berangin."
"Tidak demikian, suhu," si murid mendesak. "Umpama suhu
mesti memilih, yang mana suhu akan pilihnya?" Kali ini ia
menatap wajah gurunya itu. Ia mirip bocah yang menghadap
soal sulit, yang meminta bantuan keputusan.
Tan Hong berpikir, terus ia tertawa.
"Dalam hal itu kita mesti melihat sifatnya sesuatu orang,"
ujarnya.
"Diumpamakan Bhok Yan, dia pasti menyukai bunga
mawar."
Sin Cu mengangguk.
"Kalau kita bicara tentang kefaedahannya untuk manusia,
tentu saja pohon tayceng yang terlebih baik," guru itu
menambahkan.
Kembali si nona mengangguk.
"Sebenarnya," berkata guru itu kemudian, tertawa,
"untukmu baiklah kau tunggu lagi dua tahun untuk
memikirkan soal begini. Untukmu masih belum lambat."

815
Mukanya nona itu bersemu merah.
"Sekarang pergilah kau memasang omong sama subo-mul"
kata pula sang guru, yang bersenyum. "Subo-mu hendak
mengetahui ke-pandaianmu menggunai senjata rahasia.
Sekarang aku hendak pergi ke ke istana. Lusa ada harian
thaysucouw membuka pintu kamarnya, di depannya kau boleh
pertontonkan kepandaianmu."
Seberlalunya guru itu, Sin Cu berpikir keras. Ia masgul.
Maka ia lantas cari subo-nya, ibu guru. Tapi ia segera
mendengar suara bayi menangis, ia membatalkan niatnya.
Tentu sang ibu guru lagi menyusui bayinya.
Justeru itu ia tampak Siauw Houwcu mendatangi sambil lari
berjingkrakan. Bocah nakal itu sudah lantas menyamber
tangannya, untuk ditarik.
"Sudah lama aku mencarinya, kiranya kau ada di sini,"
serunya. "Lekas, lekas! Mari kita menangkap ikan!" Segera dia
menambahkan: di sana pun ada Bhok Siauwkongtia, dia
menyuruh aku, mengajak kau!"
Karena lagi masgul itu, Sin Cu turut bocah nakal itu.
Girang Bhok Lin melihat datangnya nona ini.
"Kau baik, Nona Ie?" ia menegur.
"Cis" bentak Siauw Houwcu. "Memang ada apanya yang
tidak baik sampai kau mesti menyapanya?..."
Mukanya Bhok Lin merah.

816
“Inilah adat peradatan, Siauw Houwcu," katanya. "Ah, kau
mirip bocah liar!"
"Ya, aku bocah liar dan kau bocah agung!" kata si nakal,
mengangkat pundak. "Kau tidak suka main-main sama aku!"
"Maaf, Siauw Houwcu, aku salah!" Bhok Lin lekas mengaku.
"Aku tidak berani lagi..."
Lenyap juga kegembiraannya Sin Cu melihat dua bocah itu
bergurau. Mereka itu, kecil tidak dapat dikatakan masih kecil,
besar belum besar.
Yang digemarkan Houwcu adalah kionghie, ikan "panah,"
ikan istimewa di telaga Jiehay itu, yang bisa disebut juga ikan
paling aneh di kolong langit. Kalau ikan lain berenang
mengikuti air, dia justeru sebaliknya, dia berenang melawan
air, untuk selamanya dia tidak kembali ke hilir dari telaga
Jiehay, dia berenang naik melawan delapan belas aliran kali
kecil di Khong San itu, tubuhnya dapat mencelat maju.
Demikian dia dapat namanya, ikan panah.
Untuk menangkap akan itu, Siauw Houwcu membikin
lingkaran pada ujungnya sebuah cabang kayu kecil. Lingkaran
itu digunai sebagai joanpian,cambuk lemas. Setiap kali dia
menyamber, ikan kena tersamber, untuk terus dikasi masuk ke
dalam korang. Dia liehay, belum pernah samberannya gagal.
Maka itu cepat sekali dia telah dapat menangkap banyak.
Bhok Lin girang sekali, berulangkah ia bersorak.
Kembali Siauw Houwcu menyamber. Mendadak ia
menampak satu bayangan orang, lalu lingkarannya itu
kesamber, ikannya terlepas, nyemplung pula ke air, hingga air
muncrat. Pun korang-nya turut kesamber, hingga ikannya
pada terlepas, semua berenang terus ke hulu.

817
Bayangan itu ialah Yap Seng Lim.
Bocah itu jadi gusar.
"Yap Toako, kau bikin apa?" dia menegur.
"Jangan ganggu ikan ini," sahut Seng Lim tertawa. “kan ini
besar semangatnya, dia tidak kenal kesukaran. Lihat, dia terus
maju ke hulu. Semangatnya itu harus dikagumi. Sekarang kau
main menangkapi, aku tidak puas..."
Siauw Houwcu melengak, tapi cuma sebentar, dia kata
"Baiklah, kau benar!" Ia berbangkit, ia menepuk-nepuk
tangan, untuk membersihkan tangannya itu.
Sin Cu dan Bhok Lin tertawa. Tapi mendadak, tertawa
mereka tertindih suara tertawa seram dari lain orang, yang
datangnya tiba-tiba.
Tahu-tahu di dekat mereka muncul enam tujuh orang, yang
semua beroman luar biasa. Yang satu berambut merah, kedua
kakinya lempang jegar, ketika dia berlompat, dia berlompat
tingginya tujuh delapan kaki dan jauhnya dua tiga tombak,
kedua matanya besar seperti kelene-ngan. Dia mengawasi
Nona Ie, sembari tertawa dia kata: "Sungguh nona kecil yang
cantik manis!"
Seng Lim berempat terkejut, apapula ia sendiri dan Sin Cu.
Turut pantas, sedikit saja orang berkerisik, mereka mesti
mendengarnya. Tapi kali ini, tahu-tahu orang sudah datang
dekat.
Sin Cu mendongkol atas kata-kata orang, akan tetapi belum
ia sempat mengambil sikap, ia sudah dibikin terkejut pula.
Orang luar biasa itu sudah berlompat kepadanya, tangannya

818
menyamber. Hampir ia kena dicekuk, baiknya ia masih dapat
berkelit.
Siauw Houwcu menjadi gusar, mendadak saja ia
menyerang. Ia berhasil, suara hajarannya berbunyi keras. Ia
telah menggunai jurus dari Liongkun, kuntauw Naga. Ia masih
kecil tetapi tenaganya sudah berat enam atau tujuh ratus kati.
Hanya kali ini ia gagal. Meski ia menghajar jitu, yang roboh
bukan si orang berambut merah itu, ia sendiri yang tertolak
mundur kira-kira tiga tombak, terus kecebur ke kali kecil!
Seng Lim tidak ketahui, rombongan itu adalah orang-orang
undangannya Cie Hee Toojin. Merekalah yang disebut
rombongan iblis. Dan si rambut merah ini ada Liok Yang
Cinkun yang ceriwis, yang gemar paras elok, maka juga
datang-datang dia main gila terhadap Nona Ie.
Selagi Siauw Houwcu terpelanting, Sin Cu sudah
menghunus Cengbeng kiam.
Liok Yang Cinkun tidak menghiraukan pedang itu, kembali
ia menjambret, karena ini, ia lantas bertempur sama si nona.
Mengetahui musuh liehay, Sin Cu lantas menggunai ilmu
silat "Menembusi bunga mengitarkan pohon." Ia berlompatan,
ia melejit sana sini, tubuhnya sangat lincah. Tempo ia
menyerang dengan tipu silat "Bidadari melemparkan torak," ia
berhasil memapas ujung jubah si imam, hanya habis itu,
pedangnya terpental.
Liok Yang Cinkun tidak kaget, dia bahkan tertawa terbahak.
"Pedang yang bagus!" serunya. "Pedang yang bagus dan
nona yang cantik! Kalau aku mendapatkan dua-duanya,
tidakkah itu bagus?" Kembali dia menyamber, kali ini ke tulang

819
piepee di pundak si nona. Celaka siapa kena dijambak
tulangnya itu.
Selagi imam ini girang sekali sebab ia dapat mendesak si
nona manis, mendadak terdengar suara "Buk!" lalu ia
merasakan punggungnya sakit, tubuhnya pun terhuyung ke
depan dua tindak. Berbareng dengan itu, ujung pedang si
nona menyamber ke jalan darah cietong hiat di bawah
tetenya. Tapi ia bisa membebaskan diri, cuma hajaran tadi
membikin ia kaget juga.
"Ha, kiranya kau pun mengarti silat?" tegurnya pada orang
yang membokong punggungnya. Sin Cu menyerang terus, tiga
kali beruntun, tapi ia menggunai ketika akan menoleh kepada
orang yang membantu ianya, ialah Seng Lim. Tangan si anak
muda bengkak dengan tiba-tiba, tubuhnya pun bergulingan
di tanah, sebab akibat serangannya, ia terpental jatuh, ia
mesti bergulingan di tanah.
Liok Yang mendongkol karena kena dibo-kong sedang si
nona tak dapat ia membekuknya.
Sin Cu yang cerdik lantas saja insaf bahwa ia kalah jauh,
karena itu ia berkelahi terus dengan tipu silatnya itu
Menembusi Bunga Mengitari Pohon.
Dengan begini ia dapat bergerak dengan lincah sekali,
serangannya pun aneh. Ia menggertak ke timur, sebenarnya
ia menyerang ke barat, ia mengancam ke selatan, habisnya ia
menikam ke utara. Ia sendiri tidak pernah kena dijambret.
Cuma semua serangannya tidak memberi hasil. Lawan itu
kebal, tidak mempan senjata tajam, tidak pun pedang mustika
itu.

820
"Yap Suheng, lekas pergi mengundang suhu1." kata si nona
kemudian, sesudah ia melayani belasan jurus tanpa ada
hasilnya.
Seng Lim tidak mau pergi. Ia dapat kenyataan si nona
terancam bahaya. Tangan kanannya bengkak dan sakit,
sekarang ia gunai tangan kirinya. Tangannya terluka tetapi ia
masih dapat berkelahi dengan baik.
"Jangan lawan tenaga, dia kedot!" Sin Cu mengasi ingat.
"Dia kuat sekali!" Ia berseru tetapi ia menyerang.
Seng Lim panas hatinya. Ia lompat ke samping, dengan
tangan kiri ia mencabut sebuah pohon kecil, dengan itu ia
menyapu imam yang tangguh itu.
Gagal serangan dengan pohon kayu ini. Liok Yang Cinkun
dapat berkelit. Tapi dia mendongkol. Sekian lama dia tidak
sanggup merebut kemenangan, dia malu sendirinya.
"Mesti aku mampusi dulu bocah ini, baru aku bekuk si
wanita!" pikirnya. Karena ini, ia lantas mengempos
semangatnya.
Ketika itu Cie Hee Toojin berseru: ”Cinkun, ampuni dia!
Dialah muridnya Thio Tan Hong!"
Imam ini tidak kenal Sin Cu, tetapi bersama ia ada Poan
Thian Lo dan muridnya itu yang memberitahukan. Poan Thian
Lo mengharap-harap Liok Yang Cinkun berhasil, sebab ia benci
nona itu. Tadinya ia diam saja, adalah gurunya, yang minta
keterangan padanya, sebab guru ini bercuriga melihat ilmu
silat yang liehay dari nona itu. Ditanya gurunya, Poan Thian Lo
tidak berani mendusta. Cie Hee tidak takuti Tan Hong, ia tidak
menyayangi Sin Cu, ia hanya merasa malu mengingat
derajatnya mesti melayani orang dari tingkat rendah.

821
"Oh, kiranya muridnya Thio Tan Hong!" Liok Yang Cinkun
pun berseru. "Benar, tidak dapat aku berlaku sembrono!" Tapi
ia toh menggunai tenaganya, ia menyamber pohonnya Seng
Lim, ia menarik dan mematahkannya, sesudah mana, ia
serang si anak muda. Seng Lim cerdik, dia membuang diri
dengan lompatan “Ikan gabus meletik," dengan begitu ia
selamat.
Sin Cu tapinya tidak mundur, sekalian hendak menolongi
Seng Lim, ia berkelahi secara nekat.
Liok Yang Cinkun mengebas dengan tangan bajunya, untuk
melibat pedang orang. Sembari tertawa dia kata: "Sebentar
aku akan minta kepada gurumu! Aku menghendaki Thio Tan
Hong menyerahkanmu menjadi muridku!"
Panas hatinya Sin Cu, mukanya menjadi merah padam. Ia
mengerahkan tenaganya tetapi tidak berhasil ia meloloskan
pedangnya dari gubatan tangan baju imam itu. Ia heran
bahwa orang ada sedemikian liehay.
Seng Lim sudah berlompat bangun, ia menahan sakit pada
lukanya. Ia memikir untuk menyuruh Bhok Lin lari pulang,
guna mengasi kabar pada Thio Tan Hong atau lainnya. Ia
kecele. Pangeran muda itu tidak ada, setahu ke mana
perginya. Ia tidak tahu Liok Yang Cinkun tengah
mempermainkan Nona Ie, menyaksikan nona itu terancam
bahaya, lupa segala apa, ia lompat untuk menerjang.
"Bocah busuk, kau mencari mampusmu?" Liok Yang Cinkun
mengejek. Ia masih mengubat pedang, si nona, dengan
tangan baju yang lainnya ia mengebas pada ini anak muda.
Hebat Seng Lim terancam. Baru saja samberan angin
datang, ia sudah merasai kepalanya pusing. Tapi ia nekat, ia

822
maju terus dengan serangannya. Atau mendadak ia
merasakan tubuhnya tertolak keras, sampai ia mundur
beberapa tindak. Ia masih terhuyung tatkala ia dengar
teriakan girang dari Sin Cu.
Beberapa bayangan orang terlihat berkelebat, menyusul itu
tubuh Liok Yang Cinkun terguling roboh hingga si imam
berteriak keras, selagi dia roboh, dia disusul dua rupa benda
yang berkelebat berkilauan.
Seng Lim pun segera dapat melihat, dia menjadi girang
sekali.
Di situ muncul Hek Pek Moko!
Dua orang Putih dan Hitam ini dipanggil Siauw Houwcu. Kecemplung
di kali, bocah nakal itu tidak segera mendarat. Ia
ada sangat cerdik, tanpa timbul lagi, ia berenang sambil
menyelam. Ia baru muncul sesudah terpisah jauh dari tempat
kejadian. Dia mau pergi kepada Toan Teng Khong akan
mencari gurunya, tempo ia bersomplokan sama Hek Pek
Moko. Maka ia lantas minta bantuannya dua saudara ini.
Mengetahui Sin Cu terancam bahaya, Hek Pek Moko datang
dengan lantas, bahkan dengan lantas mereka serang si imam
ceriwis hingga dia itu roboh.
Liok Yang Cinkun tidak terluka, dia lantas berlompat
bangun.
Ketika sepasang tongkat Hek Pek Moko menyamber pula, ia
menangkis dengan mengerahkan tenaganya menurut ilmu
kekuatannya Kungoan Itkhiekang.
Hebat tolakan itu, kedua tongkat kena dibikin mental,
setelah mana, imam ini mengulangi emposan semangatnya,
untuk membalas menyerang.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar