Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 9
Maka itu paman sekalian utus
aku kepada gurumu itu. Paman pesan, jikalau tayhiap
akur, barulah peta diminta
pinjam. Melihat keadaan sekarang ini, pamanku bersangsi sekali, sebab nampaknya
Pit Toaliongtauw pasti bakal menggeraki angkatan perangnya itu..."
Dalam hal besar seperti itu.
Sin Cu tidak dapat berpikir, hanya entah kenapa, ia senantiasa tidak berkesan
baik terhadap Pit Kheng Thian.
"Tahukah kau seorang she
Tiat yang dipanggil Tiat Kongcu?" ia menanya sesudah ia berdiam sekian
lama.
"Apakah kau maksudkan
Tiat Keng Sim puteranya Tiat Giesu dari Tayciu?"
"Benar."
"Semasa aku tiba di
Tayciu, dia masih ada di sana, pernah beberapa kali aku bertemu
dengannya."
"Ah, apakah sekarang ia
sudah pergi dari sana?"
"Ya, semenjak permulaan
bulan yang lalu. Kelihatannya ia kurang cocok dengan Pit Toaliongtauw."
Si nona berdiam.
"Tiat Kongcu itu agaknya
sedikit luar biasa..."
"Kenapa?" Sin Cu
heran.
"Kabarnya tempo menghajar
perompak, dia telah mengeluarkan banyak tenaga, hanya habis itu, setahu kenapa,
dia kehilangan kegembiraannya, dia menjadi lesuh, sering dia duduk minum arak
seorang diri, tak suka dia bergaul sama orang. Tidak ada yang ketahui sebabnya
perubahannya itu.
Pada permulaan bulan yang lalu
itu, setelah Pit Toaliongtauw menjadi pemimpin besar dari delapan belas
propinsi dan mulai berusaha untuk menggulingkan pemerintah Beng, secara
diam-diam kongcu itu
mengangkat kaki. Pit Toaliongtauw menjadi tidak senang, dia dicaci, dikatakan
dia tak cocok dengan kita sebab dialah anaknya orang berpangkat. Paman menyesal
sekali atas kejadian itu. Nona, apakah kau kenal dia dengan baik?"
Sin Cu memandang ke permukaan
air, ia menjadi teringat kepada gelombangnya sungai Tiangkang. Ia membayangi
pertemuannya pertama kali dengan Keng Sim. Kemudian ia
teringat juga peristiwa
menyedihkan di hutan cemara di antara Keng To dan Keng Sim, guru dan murid itu.
Maka itu lama baru ia
menyahuti.
"Ah, kita tidak mengenal
baik. Aku menanya sepintas lalu saja. Baiklah kita jangan sebut-sebut pula dia
itu," katanya.
Seng Lim heran. "Kenapa
dia berduka dengan disebutnya Keng Sim?" pikirnya. Ia menjadi dapat suatu
perasaan aneh.
Tapi ia menghiburkan diri.
"Buat apa aku pikirkan urusan lain orang?" Maka ia angkat kepalanya,
memandang ke antara batu-batu tinggi. Sinar matahari sudah mulai suram. Di
permukaan air nampak sinar
layung.
"Sebelum langit menjadi
gelap, mari kita melihat lain-lain bagian lagi," ia mengajak.
"Sekalian kita cari tempat di mana dapat kita beristirahat. Di sini benar
indah tetapi terlalu terbuka, apabila musuh menyerbu kita, sulit untuk kita
membela diri."
Sin Cu ikut si pemuda berjalan
tetapi dengan mulutnya bungkam. Mereka mengikuti seluk beluknya batu-batu
gunung itu yang bagaikan berpesta. Masih si nona berdiam saja.
Sampai di tempat di mana ada
kali kecil yang airnya bening, ia berhenti untuk minum.
"Ah, ada ikan di kali
ini!" kata Seng Lim. "Nanti aku tangkap beberapa ekor."
Ia lagi memandang ke muka air
tempo di sebelah hulunya ada bayangan satu nona, bayangan mana lenyap dengan berombaknya
air. Cepat sekali Seng Lim menjumput sepotong batu kecil, menimpuk ke arah dari
mana bayangan itu datang.
Atas itu terdengar teriakannya
satu nona, yang lantas saja muncul di antara mereka. Lagi sekali Seng Lim
menyerang, tapi kali ini batunya itu terhajar runtuh bunga emasnya Sin Cu.
"Jangan!" Nona Ie
mencegah. Bahkan tubuhnya segera mencelat menghampirkan nona yang baru muncul
itu.
"Kiranya kau!"
katanya tertawa. "Mana ayahmu?"
Nona itu berdandan sebagai
seorang wanita suku bangsa Ie. Ia mulanya kaget, tapi kemudian ia berkata
dengan pelahan: "Ah encie, kau masih mengenali aku?" Ia bicara dalam
bahasa Tionghoa.
Memang ialah si nona yang
bersama ayahnya pernah memberi pertunjukan sulap menelan pedang. Ia melihat ke
sekitarnya, kemudian ia berkata pula, tetapi dengan pelahan:
"Panjang untuk menutur.
Mari aku ajak dulu kamu keluar dari rimba batu ini."
Sin Cu girang bukan kepalang.
"Kau kenal jalanan
rahasia di sini?"
Si nona mengangguk.
"Aku menjadi besar di
sini, sekalipun dengan mata meram, dapat aku keluar dari sini,"sahutnya.
Seng Lim menghampirkan nona
itu, untuk memberi hormat.
"Maaf," katanya.
"Aku menyangka kau ada konconya penjahat..."
Si nona tertawa.
"Siapa bilang
bukannya?" ia menjawab.
Seng Lim terkejut.
"Kalau bukannya aku kenal
Nona Ie, tidak nanti aku menempuh bencana ini," berkata pula si nona.
Sin Cu pun heran.
Nona itu tertawa, ia menunjuk
pada tusuk konde kumala di rambutnya. Sin Cu lihat itu, ia kenali itulah tusuk
kondenya sendiri yang ia hadiahkan kepada si nona.
Maka sekarang mengartilah ia
sudah. Pada tusuk konde itu ada ukiran huruf Ie, tanda dari keluarga Ie.
"Karena nona ketahui
rahasia jalanan di sini, sekarang tak ingin aku lekas-lekas keluar dari
sini," berkata Seng Lim kemudian.
Mendengar itu sekarang si
nonalah yang menjadi heran, "Kamu tidak mau lekas berlalu dari sini,
apakah kamu hendak menantikan kematian-mu?" dia menegaskan.
"Aku ingin minta bantuanmu, nona,"
kata Seng Lim. "Aku ingin usir dulu kawanan penjahat, supaya ini tempat
indah tidaklah dinodai mereka itu!"
Sin Cu sebaliknya berpikir:
"Nona ini mengaku menjadi konco penjahat dan ia agaknya bukan tengah
bermain-main, kenapa Seng Lim berani bicara begini rupa terhadapnya?"
Nona itu mengawasi si anak
muda. "Apakah kamu Cuma berdua?" ia tanya.
"Kenapa?"
"Mereka itu berjumlah
besar, sedikitnya dua ratus jiwa, di antaranya ada pahlawan dari kota raja!
Bukankah kamu berdua saja?"
Mendengar itu, berubahlah
pandangannya Sin Cu. Ia menjadi girang sekali.
"Memang aku tahu kau
bukan orang busuk, nona," katanya. "Sekarang aku minta kau ajak aku
pergi ke sarangnya penjahat itu. Tentang segala peristiwanya kau tidak usah
memperdulikannya."
Nona itu tertawa.
"Aku boleh tidak usah
memperdulikannya, tidak demikian dengan Thio Tayhiapl"
Kembali Sin Cu heran hingga ia
berdiri melengak.
"Thio Tayhiap yang
mana?" ia bertanya.
"Kecuali guru kau, nona,
di kolong langit ini mana ada Thio Tayhiap lainnya?"
Benar-benar Sin Cu bingung
sekali.
"Sebenarnya, bagaimana
duduknya hal?" tanyanya pula. Di dalam hatinya, ia kata:
"Suhu memang liehay, aku
hanya tidak mengarti kenapa dia seperti dapat meramalkan? Mungkinkah dia sudah
ketahui kami bakal tersesat di sini?"
Nona suku Ie itu seperti dapat
menerka hati orang, ia tertawa ketika ia berkata pula: "Adalah Thio
Tayhiap yang menitahkan kami ayah dan anak datang ke mari. Kita tidak menyangka
akan menemui nona di sini, sungguh kebetulan!"
"Oh, encie yang baik, kau
menjelaskannya padaku!" akhirnya Sin Cu minta.
Nona itu lantas bicara dengan
sungguh-sungguh: "Kawanan penjahat di sini sebagian besar ada orang-orang
Ie, pemimpinnya pun suku Ie, namanya Lang Ying, tapi yang menjadi pemimpin
besar ialah begal tunggal dari Inlam Selatan yang namanya sangat kesohor yaitu
Touw Kun. Touw Kun ini ketarik pada rimba yang istimewa ini, ia mengajak Lang
Ying bekerja sama. Asalnya Lang Ying ada pemimpin yang gagah dari kaum Ie kami,
tapi ia benci pemerintah yang
memungut pajak dengan bengis,
tidak senang ia melihat bangsanya diperas, maka ia kena dibujuk Touw Kun.
Begitulah ia dapat mengumpul
kira-kira dua ratus orang bangsanya, yang semua muda-muda. Karena ini juga,
Lang Ying tidak mengganggu penduduk Ie di sekitar sini."
Baru sekarang Sin Cu mengarti
sebabnya kenapa penduduk tahu ada penjahat tetapi mereka tidak takut dan
hidupnya
tenang-tenang saja. Pantas
juga tuan rumah yang ia tumpangi
746
tidak suka menunjuki jalan,
malah ia dilarang pergi jauh dari
rumahnya.
"Touw Kun juga mengumpul
konco-konconya sendiri," si
nona suku Ie menerangkan lebih
jauh. "Mereka berjumlah
lebih sedikit tetapi mereka
lebih tangguh, maka itu dialah yang
berkuasa, hingga kejadian dia
bukan cuma membegal tetapi
pun membunuh orang, ialah kaum
saudagar yang berlalulintas
di sini. Karena ini
orang-orang suku Ie menjadi jeri dan
tempat ini seperti terlarang
untuk mereka. Lang Ying tidak
puas tetapi ia tidak dapat
berbuat suatu apa."
Sin Cu tidak menyangka
demikian kusut keadaan dalam
dari kawanan penjahat itu.
"Kami ayah dan anak asal
Cio Lim ini," berkata pula si nona
suku Ie itu melanjuti
keterangannya, "kemudian kami pindah
ke Tali di kaki gunung Khong
San. Di atas gunung itu
kabarnya ada tinggal beberapa
orang pertapa, yang penduduk
di dekat-dekatnya
menghormatinya sebagai dewa-dewa..."
Sin Cu menduga pada kakek
gurunya, ialah Hian Kie Itsu
bersama Siangkoan Thian Ya
serta Siauw Loothaypo bertiga.
Ia tidak menjelaskannya, ia
hanya tanya apa si nona pernah
melihat orang-orang pertapa
itu. Nona itu menggeleng kepala,
tetapi ia menyahuti:
"Katanya mereka itu tinggal di puncak
Inlong Hong, puncak tertinggi
dari Khong San, puncak mana
seluruh tahun ditutupi mega
atau kabut dan tidak sembarang
orang dapat mendakinya. Taruh
kata orang dapat memendakinya,
belum tentu dewa-dewa itu suka
menemuinya. Hanya
ada satu Ouw Toaya, muridnya
salah satu dewa itu, yang
sering turun gunung untuk
berbelanja dan dia suka menolong
mengobati orang sakit..."
"Bukankah Ouw Toaya itu
yang bernama Ouw Bong Hu?"
747
"Benar, itulah namanya
Ouw Toaya itu. Aku
mengetahuinya pun baru tahun
yang lampau. Kami menanam
sayur, setiap kali turun
gunung, Ouw Toaya belanja kepada
kami, karenanya kami jadi
kenal dia. Sering Ouw Toaya itu
singgah di rumah kami. Ayahku
ketahui Ouw Toaya pandai, ia
telah minta supaya aku
diterima menjadi muridnya. Ouw
Toaya menampik, katanya ia
masih mempunyai guru, ia jadi
tidak dapat menjadi guru lain
orang. Maka ia cuma
mengajarkan kami beberapa rupa
ilmu silat. Pun kebiasaan
kami menelan pedang adalah
pengajarannya Ouw Toaya itu di
saat ia bergembira
sekali..."
Ouw Bong Hu itu ada murid nomor
dua dari Siangkoan
Thian Ya. Dia tinggal lama
sekali bersama gurunya, maka itu
ia mendapatkan pelajaran jauh
lebih banyak daripada Tamtay
Biat Beng (atau Tantai Mieh
Ming) si murid kepala. Hanya ilmu
menelan pedang itu didapat Ouw
Bong Hu bukan dari gurunya
tetapi dari Hek Pek Moko
dengan siapa ia bersahabat erat
sekali, dia mempelajarinya
secara iseng-iseng.
"Kamu tinggal aman dan
berbahagia di kaki gunung Khong
San, habis kenapa kamu pindah
pula ke mari?" tanya Sin Cu.
“Itulah sebab kami menerima titahnya
gurumu, nona. Thio
Tayhiap datang ke Khong San
baru di musim semi tahun ini.
Ia kenal baik dengan kita.
Tayhiap gemar sekali pesiar.
Bahkan Toan Ongya sering
mengundang dia datang ke
istana."
Keluarga Toan ini, pada
sebelum jaman Goan Tiauw, ada
menjadi raja di Tali, raja
turun temurun, maka itu meski benar
sekarang kedudukannya cuma
sebagai tiepeng ciang -su,
pegawai negeri, rakyatnya
saking kebiasaan tetap memanggil
ongya (raja muda atau
pangeran).
748
"Selama yang paling
belakang ini Toan Ongya hendak
mengangkat dirinya menjadi
raja," si nona suku Ie melanjuti
keterangannya, "semua
suku kami di Inlam menunjang
padanya. Karena ini, Toan
Ongya ingat kepada rombongannya
Lang Ying, maka disayangi
sekali ketika ketahuan Lang Ying
menjadi penjahat. Tapi Thio
Tayhiap mengatur daya upaya
supaya Lang Ying suka datang
ke Tali. Kami ada orang Cio Lim
sini, dari itu Thio Tayhiap
yang menugaskan ayah untuk dapat
membujuk Lang Ying itu. Thio
Tayhiap menugaskan kami
datang ke Kunbeng dulu, untuk
mengadakan perhubungan
dengan siauwkongtia."
Baru sekarang Sin Cu sadar
kenapa siauwkongtia ketahui
alamatnya.
"Tentulah kau yang
membuka rahasiaku!" katanya.
Nona itu bersenyum.
"Harap nona maafkan aku
yang telah menguntit kau,"
bilangnya.
Hanya berhenti sebentar, si nona
suku Ie berbicara pula:
"Aku ada mempunyai satu
kakak misan yang menjadi salah
satu sebawahannya Lang Ying
itu, dengan kakak itu kami
membuat perhubungan. Sudah
tiga hari kami berada di sini,
masih kami belum dapat menemui
Lang Ying sendiri untuk
berbicara dengannya. Kakak
misanku itu bilang Lang Ying
dikekang Touw Kun, mungkin dia
tidak berdaya. Baru kemarin
ini ada datang beberapa
pahlawan dari kota raja, satu di
antaranya yang bernama Han
Thian ada saudara angkatnya
Touw Kun. Touw Kun hendak
dibujuk buat menjadi matamatanya
pahlawan-pahlawan itu. Tentang
ini kakak misanku
itu belum berani membebernya
pada Lang Ying. Kamu telah
dipancing masuk ke dalam rimba
ini, itulah hasil tipu dayanya
Han Thian suami isteri serta
Touw Kun itu. Kabarnya semua
749
pahlawan itu liehay apapula
yang menjadi kepala yang
bernama Lie Ham Cin..."
"Cuma sebegitu
saja!" kata Sin Cu, yang mendadak
berhenti berkata. Sebab
tiba-tiba ia ingat suatu apa.
Keningnya lantas dikerutkan.
"Musuh berjumlah besar,
baik Nona Ie jangan
sembarangan," kata si
nona suku Ie, yang menyangka orang
menyesal sudah omong besar
tadi.
"Tidak ada artinya
beberapa pahlawan itu!" Sin Cu kata
tertawa. "Bersama-sama
Yap Toako, dapat aku melayani
mereka. Apa yang aku kuatirkan
ialah kami nanti melukai
banyak orang bangsamu..."
Nona suku Ie itu berpikir.
"Kalau nona merasa pasti, suka
aku membantu," kemudian
ia menawarkan diri. Ia
mengeluarkan sehelai bendera
kecil, yang bersulamkan dua
ekor singa, terus ia serahkan
itu kepada Sin Cu sambil
menambahkan: “Inilah bendera
Toan Ongya. Tidak ada suku
bangsa di Inlam yang tidak
mengenal ini. Kalau nona bisa
mengalahkan Touw Kun serta
beberapa pahlawan itu, bisalah
kau gunai bendera ini untuk
panggil menakluk Lang Ying itu."
Inilah bagus, Sin Cu girang
menerima bendera itu.
"Bagus!" katanya.
"Sekarang kau pimpinlah aku ke sarang
mereka!"
Kawanan Touw Kun itu bersarang
di atas bukit Taykim Nia
di dalam rimba batu itu,
itulah bukit tertinggi. Ke sana si nona
suku Ie mengajak Sin Cu dan
Seng Lim. Mereka mesti berjalan
berliku-liku dan naik dan
turun, nyeplos di antara batu-batu
tinggi seperti pedang atau
tombak itu. Pula ada puncakpuncak
yang dihubungi satu dengan
lain dengan batu panjang
750
aneh bagaikan jembatan. Syukur
Sin Cu dan Seng Lim yang
mengikuti si nona suku Ie itu,
kalau tidak pastilah orang telah
terhalang di tengah jalan
saking sukarnya jalanan itu.
Tatkala itu sang waktu sudah
mulai magrib. Kagum Sin Cu
menyaksikan keletakan tempat.
"Tidak tepat tempat
seindah ini dijadikan sarang penjahat,"
berkata ia. "Biarnya
bukan untuk Toan Ongya, pasti suka aku
membasmi mereka ini."
Si nona suku Ie benar-benar
mengenal baik rimba batu itu.
Ia maju tanpa ragu-ragu sampai
mereka berada di kaki bukit
Taykim Nia itu. Di atas puncak
terlihat sinar api. Nona itu
kuatir terlihat orang jahat,
ia berkata: "Untuk sampai di
puncak yang menjadi sarang
penjahat itu perhu dilewatkan
tiga puncak yang kecilan yang
berada di jalanan mendaki ini,
maka itu sampai di sini,
silahkan nona maju sendiri. Aku
doakan hasilmu! Setelah sarang
penjahat pecah, nanti kita
bertemu pula!"
Sin Cu menerima baik. Memang
tidak dapat nona itu turut
menyerbu. Mereka berpisahan.
Seberlalunya si nona, Sin Cu
berbicara pada Seng Lim,
untuk bermupakatan. Selama
berbicara, mereka berduduk di
tanah. Sin Cu setuju masuk
langsung, untuk melabrak
kawanan penjahat itu.
"Lebih baik kita
berpencar," Seng Lim memberi usul. Ia
bicara sambil tertawa.
"Musuh liehay, mereka pun
berjumlah besar, jangan kita
sembrono. Baik kau yang
menyerang dari depan, untuk
melayani kawanan pahlawan
kaisar itu. Aku akan masuk dari
belakang, lebih dulu aku nanti
membakar sarang mereka,
751
supaya mereka bingung dan
kacau, tanpa mereka ketahui
berapa besarnya jumlah kita.
Dengan musnahnya sarang
mereka, Lang Ying lebih
gampang dibujuk."
Diam-diam Sin Cu mengagumi
anak muda ini, yang pandai
bekerja. Kalah Keng Sim kalau
mereka berdua dipadu. Keng
Sim lebih banyak temberang.
Karena orang bicara dengan
beralasan, ke-putusan lantas
diambil. Maka itu, lantas juga
mereka bekerja: Yang satu maju
langsung dari depan, yang
lain jalan ngitar ke belakang.
Mereka akan turun tangan begitu
lekas masing-masing sudah
tiba, tak usah mereka saling
memberi pertandaan lagi.
Sin Cu berjalan cepat, ia
berlari-lari.
Puncak pertama dilewatkan
tanpa penjaganya dapat
mengetahui. Di puncak kedua ia
terpergok, ia pun dipanah,
tetapi ia melawan, dengan
bunga emasnya ia robohkan
penjaga itu. Ia kaget ketika
ia melihat panah, yang dipakai
menyerangnya, nancap di batu,
suatu tanda si penyerang
bukan sembarang orang. Karena
ini, ia jadi waspada. Ia
loloskan pakaian orang, untuk
ia pakai. Dengan
penyamarannya ini, ia
menghampirkan puncak yang ketiga.
Tiba-tiba dua bayangan
menghampirkan padanya.
"Eh, Ciu Toako, kenapa
kau tidak menjaga di bawah?" ia
ditegur. Ia terkejut. Mahir
ilmu ringan tubuhnya tetapi orang
masih dapat memper-gokinya. Ia
tahu, si penjaga yang ia
binasakan tadi rupanya orang
she Ciu dan ia disangka si Ciu
itu. Ia menyambut mereka
dengan ayunan tangan, maka
sekejab saja, dua-dua mereka
roboh karena bunga emasnya.
Memang, di puncak kedua dan
ketiga, penjaga-penjaganya
adalah orang-orang yang
diandalkan Touw Kun. Tetapi
mereka semua masih tidak dapat
merintangi si nona.
752
Sin Cu maju terus hingga ia
mendekati markas penjahat. Ia
masih menyamar, cuaca pun suram,
tidak gampang untuk
orang mempergoki ia. Orang pun
tidak menyangka musuh
dapat memasuki Cio Lim yang
terahasia itu. Demikian ia dikasi
lewat tanpa teguran. Dari
dalam terdengar ramai orang
berpesta, dari orang yang main
tebak-tebakan tangan.
"Puas mereka merayakan
pesta kemenangannya!" Sin Cu
kata dalam hatinya. Ia
bersenyum ewah.
Memang itulah pesta
kemenangan.
"Han Jieso, inilah jasamu
yang besar!" terdengar suaranya
Lie Ham Cin, yang tertawa
lebar. "Mereka telah terkurung,
tinggal dibekuknya saja,
tidaklah apa, Han Jieko terluka
sedikit."
"Looyacu terlalu
memuji!" terdengar jawaban seorang
wanita."Tidak berani aku
menerima jasa. Sebenarnya jasa
harus didapatkan oleh Touw
Ceecu, yang mengijinkan Cio Lim
dipakai sebagai gelanggang
pancingan. Tapi dua titik itu sukar
untuk dibekuknya..."
Lie Ham Cin tertawa pula.
"Sebenarnya, semuanya
berjasa!" katanya pula. "Sekarang
ini Yang Congkoan sudah tiba
di Kunbeng, maka kedua titik itu
boleh kita serahkan saja
padanya, lalu habislah tanggung
jawab kita. Bahkan kita boleh
mengharapi pahala. Touw
Ceecu, jikalau dikehendaki
olehmu, boleh kau minta Yang
Congkoan bicarakan pada Bhok
Kongtia supaya kaulah yang
diangkat menjadi raja setempat
di sini. Kalau itu sampai
kejadian, sungguh tepat, jadi
kau tidak usahlah menjadi raja
dari rimba Cio Lim
ini!..."
753
"Aku juga tidak
mengharapi jasa atau pangkat!" terdengar
suara nyaring dan kasar dari
Touw Kun. "Hanya, aku tanya,
boleh tidak kalau itu bocah
she Ie diserahkan padaku?"
Lie Ham Cin si pahlawan kaisar
tertawa.
"Tahukah kau dia orang
apa?" tanya pahlawan ini. "Dialah
puterinya Ie Kiam! Dialah si
anak pemberontak yang dicari Sri
Baginda! Bagaimana kau dapat
menghendaki dia?"
Agaknya Touw Kun terkejut.
"Dia puterinya Ie
Kokloo?” katanya. "Oh, celaka aku, celaka
aku! Coba aku mengetahuinya
siang-siang, tidak nanti aku
memikir gila-gila
demikian!..."
Ie Kiam sangat dihormati orang
banyak, sekalipun Touw
Kun, dia masih menghargainya.
"Apa? Kau jeri untuk
namanya Ie Kiam?" Lie Ham Cin
tanya. "Menurut
undang-undang pemerintah, siapa berdosa,
kedosaannya turun kepada
anak-anaknya, anak-anaknya itu
akan dijadikan budak! Bocah
itu sangat cantik, aku kuatir Sri
Baginda sendiri yang nanti
menghendakinya! Kalau tidak,
dengan mengodol banyak uang,
ada harapan kau
mendapatkan dia..."
Kembali pahlawan ini tertawa,
hanya kali ini, tertawanya itu
dibarengi sama suara
memberebet di tenda gubuk, lalu
sebuah sinar emas melesat
masuk. Menyusul itu orang yang
dipanggil Han Jieso menjerit
keras, tubuhnya roboh.
Satu sinar pun menyambar ke arah
Lie Ham Cin, tetapi dia
awas dan sebat, dia sempat
mencabut goloknya dan
menangkis, hingga sinar emas
itu mental. Hanya, berbareng
754
dengan itu, Sin Cu lompat
masuk, matanya mendelik,
pedangnya diputar!
Touw Kun kaget hingga ia duduk
menjublak. Kembali Nona
Ie mengayun tangannya, kali
ini tiga bunga emas melesat dari
tangannya. Han Jieko
mengeluarkan teriakan mengerikan
yang tertahan, tubuhnya lantas
roboh, sebab sepotong kimhoa
nancap di batang lehernya,
hingga jiwanya segera melayang
pergi. Kimhoa yang kedua
mengenai Touw Kun di saat itu
kepala begal hendak menggeraki
toyanya guna maju
menyerang si nona begitu lekas
ia sadar, cuma orang she
Touw ini tidak dirampas
jiwanya, melainkan ilmu silatnya yang
dibikin musnah. Inilah sebab
barusan dia masih menghargai Ie
Kiam.
Lie Ham Cin menangkis kimhoa
yang ketiga, terus ia
tertawa terbahak-bahak. Ia
dapatkan si nona seorang diri, ia
tidak takut.
"Kau manusia
celaka!" Sin Cu menegur. "Hek Pek Moko
memberi ampun padamu, supaya
kau insaf dan mengubah
kelakuan, siapa tahu kau tetap
menjadi kuku garuda, bahkan
kau mencelakai menteri setia!
Sekarang kau tidak dapat
ampun lagi!"
Sin Cu pun berani, ia lantas
menerjang.
Lie Ham Cin membuat
perlawanan. Tiga kali ia
membuyarkan serangan si nona,
lalu ia tertawa lebar.
"Kau tidak hendak memberi
ampun padaku, apakah kau
kira aku sudi memberi ampun
padamu?" katanya, mengejek.
"Sahabat-sahabat, mari
maju! Dia inilah puterinya si
pengkhianat, dia mesti
ditangkap hidup, jangan bikin dia
mampus!"
755
Lie Ham Cin membawa empat
siewie, pahlawan, kecuali
Han Thian yang telah terbinasa
itu, masih ada tiga yang
lainnya, yang semuanya
pilihan, maka ia menganjurkan
mereka ini maju mengepung Nona
Ie. Maka Sin Cu lantas saja
terkurung.
Nona itu bersenyum ewah. In
mainkan pedangnya
melayani empat musuh itu. Ia
perlihatkan ilmu pedang Hian
Kie Kiamhoat. Walaupun ketiga
musuhnya gagah, ia
membuatnya mereka itu repot.
Syukur mereka mendapat
bantuannya Lie Ham Cin yang
liehay itu, kalau tidak pastlah
siang-siang senjata mereka
sudah terbabat kutung.
Lie Ham Cin itu berpokok ilmu
silat Thaykek Pay, ia telah
memaham-kan ilmu tangan kosong
dan golok untuk beberapa
puluh tahun, hebat
perlawanannya itu, hingga ia membikin si
Nona Ie menjadi penasaran dan
sebal. Maka Sin Cu
menyerang bukan main hebatnya.
Pertempuran itu dahsyat
sekali, seluruh markas menjadi
gempar. Touw Kun merayap
bangun, ia tidak dapat berkelahi
lagi tetapi ia bisa mementang
bacotnya. Maka ia teriaki Lang
Ying, yang ia panggil Lang
Ceecu, untuk membantui dengan
menggunakan barisan panah.
Sin Cu dengar suara orang itu,
ia menginsafinya bahaya. Ia
mengarti tidak dapat ia
berlaku ayal. Maka kembali ia desak
Lie Ham Cin, yang sudah mulai
kewalahan, begitu lekas
pahlawan tua itu mundur, ia
mengayun tangannya
menyambar-kan tiga buah
kimhoa.
Dari tiga pahlawan, yang dua
roboh seketika terkena bunga
emas itu. Yang ketiga, yang
paling liehay di antaranya, dapat
menyelamatkan diri. Setelah
itu sambil menuding, si nona
bentak Touw Kun: "Telah
aku mengampunkan jiwamu, kau
masih tidak sudi menerima
kebaikan hatiku! Jikalau kau masih
756
mementang bacot, lihatlah ini
dua contoh!" Ia menunjuk
kepada kedua pahlawan, dari
yang mana yang satu terhajar
matanya, yang satu lagi
tertancap tenggorokannya.
Setelah itu, tidak
menghiraukan markas penjahat kalut, Sin
Cu mendesak pula Ham Cin. Tapi
sambil berkelahi, ia melihat
kelilingnya. Ia mendapat
kenyataan di pintu ada menghalang
seorang suku Ie yang
berewo-kan dan matanya tajam beserta
beberapa puluh tukang panah
suku bangsa Ie. Ia menduga
kepada Lang Ying. Tidak tempo
lagi, ia keluarkan bendera
sulam dua kepala singa, ia
kibarkan itu untuk dilihat orang
banyak sambil ia berkata
dengan nyaring: "Lang Ceecu,
kaulah orang gagah bangsa Ie,
mengapa kau membantu
harimau mengganas? Kau tahu,
Toan Ongya menggundang
kau datang ke Tali untuk
melakukan usaha besar! Maka kau
pikirlah masak-masak!"
Kemudian Ia lemparkan bendera itu
kepada ketua suku Ie itu.
Lang Ying berdiri menjublak
setelah ia menanggapi bendera
itu.
"Lang Ceecu” Lie Ham Cin
berteriak, "jikalau kau
menghendaki kekayaan dan
pangkat mulia, akan aku
mintakan Sri Baginda
mengangkat kau menjadi touwsu dari
Cio Lim ini! Lekas bekerja
sama untuk membekuk pengkhianat
inil"
Belum lagi berhenti suaranya
pahlawan raja ini, segera
terdengar suara sangat berisik
dari belakang markas, di mana
nampak api berkobar-kobar.
Lang Ying kaget bukan main. Ia
tidak menduga kepada
perbuatan Yap Seng Lim
seorang, ia percaya markasnya sudah
diserbu dari belakang dan
telah dobol, bahkan ia tengah
terkurung. Untuk sejenak ia
tercengang, lantas ia berteriak
keras: "Siapa kesudian
anugerah kamu bangsa Han?"
757
Terus ia mengibaskan tangannya
kepada pasukan
panahnya: "Mundur
kamu!" Habis itu, ia menghunus goloknya
akan maju menerjang, untuk
membantui Sin Cu.
Lie Ham Cin kaget bukan
kepalang. Inilah ia tidak sangka.
Tapi ia sangat licin. Mendadak
saja ia berlompat, tangan
kirinya diulur. Ia mainkan
jurus dari Kimna hoat, pukulan
Menangkap. Hebat gerakannya
itu, sejenak saja, Lang Ying
telah kena ditawan olehnya.
Sin Cu kaget, ia menikam,
tetapi lawan itu memajukan
tubuhnya si pemimpin suku Ie
itu. Terpaksa si nona menarik
pulang pedangnya.
"Baiklah!" seru si
pahlawan. "Mari kita mampus bersama!"
Sin Cu menyerang terus, ia
membabat kuping tetapi gagal.
Saban-saban tubuh Lang Ying
digunakan sebagai tameng.
Senang Ham Cin melihat
kegagalan orang, bahwa orang
sudah kewalahan, maka ia
tertawa tergelak-gelak.
Tengah pahlawan ini tertawa,
mendadak ada seruan hebat
di sebelah belakangnya, seruan
bagaikan guntur, lalu tenda
tersingkap, terlihat bayangan
satu orang lompat menerjang
masuk. Belum sempat Ham Cin
melihat bayangan itu, ia
sudah merasakan sakit hingga
ke tulang-tulang. Sebab hanya
dengan satu kali bergerak,
selagi ia repot membela diri dari
serangan bertubi-lubi dari Sin
Cu, tiba-tiba saja
lengannyayang kanan kena orang
cekuk dan ditekuk!
Pasti sekali bayangan itu Seng
Lim adanya. Seng Lim
mempunyai kepandaian Taylek
kimkong ciu, lima jarinya
memegang keras sekali, maka
juga, satu kali dia mengerahkan
tenaganya, Lie Ham Cin tidak
sanggup mempertahankan diri
lagi, bahkan goloknya mental
menghajar jidatnya sendiri.
758
Untuk mencoba membela diri,
terpaksa ia melepaskan
cekalannya kepada Lang Ying.
Orang Ie itu menjadi sangat
gusar, begitu ia merdeka, ia
ayun goloknya ke arah pahlawan
ini, maka pada detik itu juga,
tubuh si pahlawan kena
terbacok menjadi dua potong!
Dalam saat kacau itu, Touw Kun
sudah menyingkirkan diri.
Pahlawan yang terakhir telah
kena dibinasakan Sin Cu, yang
meninggalkan Lie Ham Cin
selekasnya musuh ini dicekuk Seng
Lim. Maka itu, dengan yang
mati dan kabur, habislah kawanan
penjahat kecuali
orang-orangnya Lang Ying. Mereka ini lantas
mencoba memadamkan api.
Tetapi Lang Ying tertawa
berkakak:
"Biarlah semua terbakar
habis! Kita toh telah bebas dari
kawanan anjing itu hingga
sekarang kita semua dapat pergi ke
Tali kepada Toan Ongya."
"Memang, tidak selayaknya
kita melanjuti pekerjaan kita
ini, cuma-cuma kita dicaci dan
dikutuk bangsa kita!" ada yang
menimpali ketua itu. Dia ini
ialah kakak misan dari si nona
suku Ie itu.
Nona itu sudah lantas muncul,
dalam kegirangannya ia
tubruk Sin Cu yang ia rangkul.
Saking girang ia sampai tidak
dapat berkata-kata.
Malam itu juga Lang Ying
hendak meninggalkan Cio Lim.
Kapan penduduk yang berdekatan
memperoleh kabar, mereka
datang berduyun-duyun. Di
hadapan mereka itu Lang Ying
mengutarakan keputusannnya
untuk menukar cara hidup. Ia
mendapat sambutan riuh rendah.
Bahkan di depan rimba batu
itu segera diadakan pesta
besar, orang menyembelih babi dan
kambing, orang menari-nari dan
bernyanyi-nyanyi selama tiga
759
hari! Semua penduduk di
dekat-dekat situ turut ambil bagian
dalam pesta besar yang sangat
meriah itu. Adalah tiga hari
kemudian, baru rombongannya
Lang Ying itu berangkat
menuju ke Tali.
Seng Lim bersama Sin Cu tidak
dapat menunggu sampai
tiga hari, di hari pertama,
sehabis menghadiri pesta, mereka
pamitan dari Lang Ying semua,
kemudian mereka berangkat
terlebih dulu.
Dari Cio Lim ke Tali,
perjalanan ada seribu lie lebih dan
mesti melintasi pegunungan
atau tanah datar tinggi,
perjalanan pun sukar, maka
sudah empat lima hari, kedua
orang muda itu masih berada di
tanah pegunungan yang
tinggi atau hutan belukar.
Selama itu Seng Lim bersikap
sangat telaten terhadap Sin Cu
hingga si nona puas dengan
teman seperjalanan ini. Si
pemuda tidak menyebabkan orang
gembira tetapi juga ia tidak
menyebalkan...
Sin Cu pun puas dengan
perjalanan ini walaupun kawannya
tidak pandai bernyanyi atau
bersenandung, sebagai gantinya,
di rimba-rimba ada
burung-burung dengan pelbagai ragam
bunyinya, ada bunga-bunga yang
indah dan harum semerbak,
ada sungai-sungai atau air
yang indah.
Ada sebuah pohon yang menarik
perhatiannya Nona Ie
selama perjalanannya ini.
Pohon itu kedapatan di sepanjang
jalan. Itulah pohon yang
dinamakan tayceng sie atau "hijau
besar," yang penduduk
setempat namakan "bongsui sie" atau
"pohon angin dan
air," yang daunnya sangat lebat dan
mendatangkan keteduhan, yang
batangnya mirip
"cengkeraman naga,"
yang duduknya di tanah kuat sekali.
Daunnya pun hijau di empat
musim. Hingga orang
memandangnya sebagai alamat
usia muda dan penghidupan.
760
Memperhatikan pohon ini, Sin
Cu mendapat suatu kesan
baru. Pernah dia mengumpamai
Tiat Keng Sim dengan bunga
mawar di dalam taman di
Kanglam dan Yap Cong Liu seperti
pohon cemara di dataran Inlam
atau Kuiciu, maka sekarang ia
nampak Yap Seng Lim bagaikan
pohon tayceng itu, pohon
yang angkar dan berjiwa. Hanya
ia bimbang, ia lebih suka
bernawung di pohon yang teduh
nyaman itu atau berada di
antara pohon bunga mawar untuk
bersenandung...
Akhir-akhirnya mereka mulai
memasuki juga wilayah Tali.
Masih jalanan pegunungan yang
mesti ditempu.
Demikian pada suatu hari,
tibalah mereka di tempat yang
dinamakan Anggaypo atau
tanjakan Lembah Merah. Sin Cu
menjadi girang, karena pernah
ia memperoleh keterangan,
selewatnya lamping ini, lagi
dua hari mereka bakal sampai di
Tali. Ia girang dan lupa
letihnya karena ia merasa bakal
segera bertemu gurunya.
Begitulah ia mendahului Seng Lim,
untuk jalan di depan. Jalanan
luar biasa sukar, manusia masih
mending, tetapi kuda lelah
bukan main. Maka kesudahannya,
berdua mereka menuntun kuda
mereka.
"Orang bilang Thian-cu
biopo paling tinggi dan Anggaypo
paling berbahaya, inilah
benar," si nona kata menghela napas.
Seng Lim sebaliknya tertawa
dan berkata:
"Orang bilang Tali paling
indah pemandangan alamnya,
selewatnya tempat sukar ini
orang akan melihat tempat indah
seperti Taman Bunga Tho... Aku
lihat inilah kehendak Thian,
yang merencanakan manusia
mesti bersusah paya dulu baru
beriang gembira. Demikian
penghidupan manusia, demikian
juga jalanan..."
Sin Cu ketarik pada kata-kata
si pemuda ini, ia merasakan
itu ada filsafatnya...
761
Biarnya sukar, orang pun dapat
juga mendaki Anggaypo
itu, maka setibanya di atas
tanjakan, kuda mereka sengalsengal,
napasnya mengorong keras,
mereka sendiripun mesti
duduk beristirahat. Di sini
mereka merasa hati mereka
terbuka. Di hadapan mereka
terbentang pemandangan alam
yang menarik hari.
"Kau benar," kata
Sin Cu tertawa. "Lihat di sana, habis
gunung-gunung tinggi lalu
tanah rendah dan rata."
Tiba-tiba saja si nona
teringat pula pada Tiat Keng Sim,
hanya kapan ia berpaling, ia
menampak Yap Seng Lim yang
sederhana, polos bagaikan anak
dusun. Sendirinya ia
merasakan mukanya panas, ia
jengah walaupun Seng Lim
tidak tahu apa yang orang
pikir dalam hatinya. Tidak pernah
dia memikir kepada Keng Sim.
Sin Cu bertunduk, ia merasakan
pikirannya kacau. Di dalam
otaknya, ia berkutat seorang
diri. Ia menjadi sadar kapan
kupingnya mendengar suara
meringkiknya kuda di bawah
tanjakan. Mendadak saja ia
berseru-seru: "Ciauwya Saycu!
Ciauwya Saycu!"
Seng Lim heran.
"Apa?" tanyanya.
"Kudaku yang hilang!
Kudaku yang hilang!" menyahut si
nona. "Kau berdiam di
sini melihat kuda kita, aku hendak pergi
melihat ke sana!"
Tanpa menanti jawaban si anak
muda, ia lari turun
tanjakan. Tepat di
tengah-tengah tanjakan itu, Sin Cu
meadapatkan sebuah rumah besar
dengan tembokan merah
dan genting hijau, pekarangan
depannya luas di mana ada
sejumlah orang, tetapi di situ
tidak ada hewannya. Maka ia
menjadi heran sekali.
762
"Tidak nanti kupingku
salah dengar, katanya di dalam hati.
“Itulah ringkikannya kudaku!
Ah, kuda, kudaku, kau mestinya
telah ditambat dan di kurung
orang jahat! Karena kau ketahui
aku datang, kau perdengarkan
suaramu supaya aku datang
menolongi..."
Memikir begitu, si nona hampir
kalap, hingga hampir saja ia
lantas lari menghampirkan
orang banyak di muka rumah besar
itu. Ia membatalkan niatnya
karena ia melihat, lebih dulu
daripada ia, ada seorang muda
dengan pakaian putih sudah
lari ke antara orang-orang
itu. Mengawasi orang muda itu, ia
seperti tengah bermimpi. Orang
adalah Tiat Keng Sim, yang
baru saja ia buat
pikiran..."
Mau nona ini lari terus, ia
merasakan kedua kakinya lemas.
Mungkin ini disebabkan
kegirangannya yang meluap-luap. Di
lain pihak, ia berpikir pula
untuk menyingkir dari si pemuda,
seperti di Tayciu dulu hari
itu...
"Ah!" pikirnya
akhirnya, "Baik aku lihat dulu apa dia mau
bikin. Cuma aku tidak
mengarti, kenapa dia pun datang ke
mari..."
***
Selagi Ie Sin Cu tidak
menyangka Keng Sim dapat datang
ke Anggaypo ini, ke Tali,
adalah Keng Sim sendiri, sengaja dia
membuat perjalanan untuk
mencari si nona. Berdasarkan
kecerdasannya ia menduga,
setelah meninggalkan tentara
rakyat, pasti si nona pergi ke
Tali untuk mencari gurunya,
maka ia pun lantas menyusul.
Disebabkan si nona tertunda
perjalanannya di daerah orang
Biauw di Kuiciu dan di
Kunbeng, ia menjadi
ketinggalan, sedang barusan pun telah
terjadi peristiwa di Cio Lim
itu. Maka Keng Sim telah
mendahului ia. Keng Sim pun
tidak nanti bermimpikan, si nona
763
yang ia susul berada di
Anggaypo dan sekarang berada di
dekatnya, di belakangnya,
terpisahnya tak ada setengah lie...
Sin Cu terus menyembunyikan
diri di belakang satu batu
besar, hatinya berde-nyutan,
matanya terus mengawasi si
anak muda.
Keng Sim maju ke antara orang
banyak di depan rumah itu.
"Orang tua she Kok, lekas
kau keluar menemui aku!"
demikian suaranya nyaring.
Orang-orang itu adalah
khungteng, yaitu pegawaipegawainya
rumah besar itu. Mereka maju
untuk menghalangi
si anak muda, tetapi mereka
diterjang hingga beberapa di
antaranya roboh terguling.
Sin Cu heran sekali, sampai ia
mendelong saja. Segera
terlihat pintu pekarangan
dibuka, di situ muncul seorang tua
yang berewokan, yang memegang
sebatang golok besar,
tindakannya pun lebar dan
tegap.
"Bocah yang baik!"
dia berkata, nyaring, "berulang-ulang
kau datang mengacau di sini!
Sebenarnya, apakah
kehendakmu?"
"Hendak apa? Aku justeru
mau tanya kau, kau mau apa?"
mem-baliki Keng Sim.
"Kenapa kau mencegah aku bertemu
sama Ie Siangkong?"
Orang tua itu, tuan rumah,
yang ada orang she Kok, hingga
ia disebut Kok Khungcu,
menyahuti: "Di sini ialah Kok
keekhung. Di sini di mana ada
Ie Siangkong yang kau cari
itu?"
764
"Jikalau di sini tidak
ada Ie Siangkong, kenapa kuda
tunggangannya berada di
sini?" Keng Sim membentak pula.
Terus ia menambahkan, pelahan:
"Sebenarnya, Ie Siangkong
yang tidak sudi menemui aku
atau kau sendiri yang tidak
hendak membiarkan aku bertemu
dengannya? Kau mesti
mengasi penjelasan
padaku!"
"He, jangan kau mengaco
belo!" membentak Kok Khungcu
"Jikalau kau tetap
mengacau, nanti aku tidak akan berlaku
sungkan-sungkan lagi!"
"Biar bagaimana, aku
mesti dapat bertemu pada Ie
Siangkong." Keng Sim
membelar. "Tidak, tidak nanti dia tidak
sudi menemui aku!"
"Ayah," berkata
seorang muda, yang berada di sampingnya
si orang tua. Dia tadi turut
keluar bersama. "Buat apa ayah
banyak bicara lagi sama ini
bocah edan? Kau bacok saja
padanya! Berulangkah dia
mengacau di sini, kalau hal ini
sampai tersiar, bukankah pamor
Kok keekhung bakal turun?"
Pemuda itu ada tuan rumah yang
muda, siauw khungcu.
Dia habis sabar. Sudah tiga
hari Keng Sim datang mengacau,
sudah dua kali ia bertempur
sama tuan rumah yang tua itu.
Maka dia pikir, baik menghajar
saja, habis perkara.
Keng Sim berkata pula:
"Kau bilang di sini tidak ada Ie
Siangkong. Baiklah! Sekarang
coba kau suruh keluar orang
yang menjadi pemiliknya kuda
Ciauwya Saycu ma itu! Aku
ingin bertemu dengannya!"
Kali ini dia bicara sabar, dia
seperti memohon. Kok Khungcu
itu sebaliknya menjadi gusar.
765
"Apa kuda Ciauwya Saycu
ma?" katanya. "Apa pemiliknya?
Rumah ini rumahku! Di sini, di
tempat sepuluh lie sekitarnya,
semua sawah, rumah, binatang
piaraan, semua milikku,
akulah si pemiliknya!
Rupa-rupanya kau mengarah kuda
pilihanku itu? Hm, hm! Bangsat
cilik, kau pentanglah matamu!
Aku Kok Tiong Ho, aku tidak
dapat orang perhinakan!"
Mendengar begitu, Keng Sim pun
menjadi panas pula
hatinya.
"Kau tidak sudi mengasi
aku bertemu pada pemilik kuda
Ciauwya Saycu ma itu, kau
rupanya si tukang merampas
banda dan mencelakai jiwa
orang! Pasti kau sudah membunuh
Ie Siangkong , kau merampas
banda-nya!"
Orang tua itu menjadi kalap.
"Bocah edan!" dia
berteriak. "Kau ngaco belo! Lihat golok!"
Dia terus membacok.
Keng Sim menangkis, maka
muncratlah lelatu api yang
disebabkan bentroknya dua rupa
senjata. Keduanya lantas
saja bertempur. Sesudah
mendengari begitu lama, Sin Cu
mengarti duduknya hal. Pasti
karena beradanya Ciauwya
Saycu ma di sini, Keng Sim
menduga aku mesti berada
bersama. Dia tidak tahu yang aku
telah menyalin pakaian,
sampai sekarang dia tetap
memanggil Ie Siangkong kepadaku.
Oh, Keng Sim, kiranya kau
masih memikirkan aku..."
Pertempuran berjalan seruh,
sudah begitu itu diramaikan
oleh seruan-seruannya kawanan
khungteng. Tapi Sin Cu tidak
menggubris itu. Ia hanya
pikir: "Begini rupa Keng Sim
memikirkan aku, aku sebaliknya
senantiasa menyingkir
daripadanya..."
766
Hampir ia lompat keluar dari
tempatnya sembunyi, akan
menghampirkan pemuda itu, atau
ia ingat, bagaimana sulitnya
keadaan nanti bila ia
berkumpul pula sama itu pemuda. Dulu
saja ia sudah merasa pusing.
Mendadak ia dengar jeritan si
anak muda, apabila ia
menoleh, ia menampak pemuda
itu berdarah di pundaknya,
tandanya dia telah kena
tergores pedangnya Kok Khungcu.
"Bocah edan!" dia
berteriak. "Kau ngaco-belo! Lihat golok!!"
Dia terus membacok.
Keng Sim menangkis, maka
muncratlah lelatu api yang
disebabkan bentroknya dua rupa
senjata. Keduanya lantas
saja bertempur.
“Inilah hebat!" pikirnya.
Maka ia siapkan tiga tangkai bunga
emasnya. Hanya di saat ia
hendak berlompat, ia pun dapat
mendengar jeritannya Kok Tiong
Ho, lengan siapa ternyata
sudah dimam-pirkan pedang si
anak muda.
Keng Sim tertawa dan berkata
dengan nyaring: "Ada
datang tetapi tidak ada
perginya, itulah bukan kehormatan!
Lihat pedang!" Dan ia
mengulangi serangannya.
Kok Tiong Ho berkelit, tidak
urung tali bajunya terlanggar
kutung. Setelah terluka, Keng
Sim menjadi ganas. Berbareng
dengan itu, hati Sin Cu
menjadi tenang pula.
"Nyata Keng Sim dapat
melayani orang tua itu, baiklah aku
menanti dulu," ia
mengambil putusan. Di lain pihak ia
mengagumi orang she Kok itu,
yang tua tetapi gagah. Ia pun
tidak menyangka di tempat
seperti itu bisa terdapat orang tua
seperti dia itu. "Hanya
heran kudaku! Kenapa kudaku dapat
berada di sini? Orang she Kok
ini boleh gagah tetapi tidak
nanti dia dapat mencuri
kuda...!"
767
Sebentar kemudian, Kok Tiong
Ho kembali kena ditikam,
benar ia tidak roboh tetapi ia
toh terluka. Sekarang ternyata,
walaupun ia liehay, ia masih
tidak dapat menandingi Keng Sim
yang liehay ilmu pedangnya
"Keng To Kiamhoat."
Sampai di situ si tuan muda
mengambil sebatang tombak
dari tangan satu khungteng
nya, dengan itu ia maju
membantui ayahnya.
"Anak Cun, mundur!"
berseru si ayah.
Tapi pemuda itu sudah
menyerang ke punggung Keng Sim,
tidak keburu ia menarik pulang
serangannya itu. Hebat Keng
Sim. Sebat sekali, ia menyabet
ke belakang, menangkis
tombak. Hanya satu kali
bentrok, tombak itu kena dibabat
putus. Menyusul itu, kakinya
si pemuda she Tiat ini melayang,
maka "Bruk!" tubuh
tuan muda itu tertendang hingga
terpental dan jatuh
terbanting.
Kaget dan gusar si orang tua
menyaksikan anaknya kena
dibikin roboh, sambil berseru
ia lompat menyerang. Ia menjadi
kalap. Tapi ini merugikan
padanya. Karena menuruti hawa
marahnya, permainan silatnya
menjadi kacau. Keng Sim
menarik keuntungan dari cacad
lawan itu. Sambil ber-seru,
anak muda ini menangkis. Ia
telah mengerahkan tenaganya,
keras tangkisan-nya, maka
goloknya jago tua itu terpental
terlepas dari cekalan. Sesudah
itu, dengan satu gerakan
susulan, Keng Sim mengancam
tenggorokan orang. Ia
membentak: "Kau mau
ijinkan atau tidak aku bertemu pada Ie
Siangkong?"
Si orang tua tidak menyahuti,
hanya ia menghela napas. Ia
menanya anaknya:
"Anak Cun, kau terluka
atau tidak?"
768
"Tidak," jawab si
anak.
"Baiklah!" berkata
jago tua itu. "Semenjak dua puluh tahun,
inilah kekalahanku yang
pertama! Apakah namamu?"
"Aku Tiat Keng Sim dari
Tayciu!"
"Baik! Anak Cun, pergi
kau undang kedua pemilik kuda itu
untuk menemui Tiat Siangkong
ini!"
"Apa?" Keng Sim
heran. "Dua pemiliknya?"
Tiong Ho tidak menyahuti. Ia
hanya merobek ujung
bajunya untuk membalut tiga
lukanya. Sembari menghela
napas, ia menambahkan pada
anaknya: "Kau sekalian bawa
keluar itu kuda..."
Si tuan muda menurut, ia
lantas berlalu. Tidak lama ia
sudah kembali bersama sepasang
pemuda pemudi, yang
usianya belum dua puluh tahun
yang pakaiannya mewah,
tandanya mereka anak-anak
hartawan besar atau orang
berpangkat tinggi.
Melengak Keng Sim mengawasi
sepasang muda-mudi itu.
"Kau... kau... kamu
siapa?" tanyanya.
Itu sepasang muda-mudi pun
heran.
"Kau... kau...
siapa?" mereka balik menanya. "Kenapa kau
hendak menemui kami?"
Bukan melainkan Keng Sim, yang
heran tetapi juga Ie Sin
Cu dari tempatnya sembunyi,
karena ia kenali muda-mudi itu.
Sekian lama ia menahankan
hati, untuk melihat siapa pencuri
769
kudanya, siapa tahu sekarang
ia dapatkan sepasang puteri
dan puterinya Bhok Kokkong.
Kedua muda-mudi itu ada Bhok
Lin dan Bhok Yan, yang telah
meninggalkan rumahnya yang
mewah untuk buron!
Setelah datangnya Yang Cong
Hay ke istananya, Bhok Lin
mengarti bahwa ia telah
menerbitkan onar. Segera ia
bermupakatan dengan Bhok Yan,
saudarinya. Nyata si nona
sudah sebal dengan cara hidup
di istananya itu, ingin dia
pesiar. Keduanya lantas
mengambil keputusan untuk minggat,
malah keputusan itu segera
dilaksanakan. Bahkan mereka
menuju ke Tali, untuk mencari
Thio Tan Hong.
Selama Tan Hong berada di
istana dan mengajar ilmu
surat, pernah ia omong sama
kedua muridnya perihal adanya
seekor pooma, yaitu kuda istimewa,
yang jempolan, yang
keras larinya dan dapat
mengarti maksud orang, namanya
Ciauwya SayCu ma, kuda mana
diberikan pada muridnya yang
bernama Ie Sin Cu, bahwa kuda
itu cuma jinak kepada
majikannya. Tan Hong menutur
secara iseng-iseng, siapa tahu
Bhok Yan mendengari itu secara
sungguh-sungguh, maka
tempo kemudian ia meninggalkan
istana, si nona minta suatu
tanda mata ialah kipas
emasnya. Tan Hong tidak menyangka
apa-apa, ia memberikannya.
Tempo itu hari Bhok Yan buron,
ia belum memikir untuk
mencuri kuda. Seberlalunya
dari istana, mereka berdua pergi
ke hotel untuk mencari Sin Cu.
Mereka tidak ketahui Sin Cu
dan budaknya tengah dikurung
Cong Hay di penjara air. Bhok
Yan tidak menemui si nona,
sebaliknya, da dapatkan Ciauwya
Saycu ma. Tiba-tiba da dapat
satu pikiran, ialah untuk kabur
bersama kuda jempolan itu. Ia
lantas keluarkan kipasnya Tan
Hong dan pakai itu untuk
membikin kuda itu jinak. Ia berhasil,
karena kuda itu menurut. Maka
berdua, dengan menunggang
kuda itu, mereka kabur. Tanpa
tiga hari, tibalah mereka di
Anggaypo. Karena sudah magrib,
mereka mampir di Kok
770
keekhung, untuk menumpang
bermalam. Di sini mereka
tertahan.
Ketua dari Kok keekhung ada
jago dari Inlam Barat, melihat
kuda itu, timbullah
keinginannya untuk memilikinya. Ia
bersedia membayar seratus tail
emas asal ia bisa
mendapatkan kuda itu. Tentu
saja Bhok Yan dan Bhok Lin
tidak memandang uang, sedang
kuda itu milik guru mereka.
Kok Khungcu cerdik, karena
pandainya ia bicara, ia bisa
membikin kedua saudara itu
membilanginya bahwa kuda itu
bukan milik mereka. Karena ini
semakin keras niatnya memiliki
kuda itu. Tapi juga dua
saudara itu tidak menyebutkan diri
mereka yang sebenarnya, mereka
kuatir nanti di antar pulang
ke rumahnya. Tiong Ho tidak
berani membikin susah pada
sepasang muda-mudi itu, yang
gerak-geriknya luar biasa,
tanda dari bukan sembarang
orang. Maka itu dengan cara alus
mereka ini ditahan, sedang di
lain pihak, da mengirim orang
ke Kunbeng untuk membuat
penyelidikan.
Luar biasa kuda Ciauwya Saycu
ma sendiri. Kok Tiong Ho
tidak dapat menjinakinya
hingga sia-sia saja percobaannya
untuk dapat menunggangi. Maka
kejadianlah Tiat Keng Sim
kebetulan lewat di depan
kampung dan melihat kuda itu, yang
dia kenali. Dia lantas datang
untuk minta bertemu pada Sin
Cu, yang dia sangka berada di
dalam rumah besar itu.
Kesudahannya terjadilah satu
salah mengarti, hingga mereka
mengadu kekuatan.
Keng Sim tidak kenal Bhok Yan
dan Bhok Lin, ia heran.
Kedua puteri dan puteranya
Bhok Kokkong juga tidak kenal
pemuda ini, mereka pun heran.
"Kamu siapa?"
akhir-nya Keng Sim tanya. "Dari mana kamu
curi kuda putih ini?"
771
Bhok Yan heran dan berpikir:
"Kenapa dia tahu kuda ini aku
dapatinya dari mencuri?"
Bhok Lin sebaliknya tidak senang.
Dia seorang putera hertog, dia
dikatakan mencuri, dia merasa
keagungannya tersinggung. Kata
dia dengan dingin: "Kuda ini
bukan kudaku, habis apakah
kudamu, tuan? Siapa dapat
menunggangi dia, ialah
pemiliknya! Kamu semua mengarah
kuda ini, pergilah kamu coba
menunggangi, kamu lihat, kuda
ini suka menurut atau tidak!"
Keng Sim heran. Ia kenal Sin
Cu cukup lama, hingga ia
ketahui sifatnya kuda itu.
Kenapa kuda itu menurut terhadap
dua bocah ini? Untuk ini, ia
mau minta keterangannya mereka
itu. Hanya, belum lagi ia
sempat menanya, ke situ terlihat
datangnya dua penunggang kuda,
yang baru saja tiba. Melihat
mereka itu, Tiong Ho berseru
kegirangan.
Sin Cu pun melihat dua orang
baru itu, yang membuatnya
ia terperanjat. Sebab
merekalah Yang Cong Hay dan Poan
Thian Lo. Ia tentu tidak tahu,
sebelum Yang Cong Hay bekerja
di istana, dia pernah menjadi
jago di Inlam Selatan,
sebagaimana Kok Tiong Ho ada
jago dari Inlam Barat, dan
bersama suheng-nya, Poan Thian
Lo, pernah Cong Hay datang
pada Tiong Ho hingga keduanya
menjadi sahabat-sahabat
kekal.
"Katanya kau telah dapat
seekor kuda istimewa..." kata
Cong Hay, yang berhenti dengan
tiba-tiba, untuk segera
menambahkan: "Eh, Bhok
Siauwkongtia, kau berada di sini?"
tanyanya pada Bhok Kongcu.
Tiong Ho berlompat, untuk
menyingkir dari ancaman Keng
Sim. Kaget ia mendengar
perkataan Cong Hay itu.
"Apa?" katanya,
melengak. “Inikah Bhok Siauwkongtia?
Kuda itu dialah yang
membawanya..."
772
"Bhok Siocia, Bhok
Kongcu," berkata pula Cong Hay, "kamu
minggat, apakah kamu tidak
kuatir nanti mencelakai kongtia?"
Ia menegur itu dua anak muda
tetapi matanya menyapu Tiat
Sim, melihat siapa, ia heran.
Ia segera menegur juga. "Eh,
Tiat Kongcu , kenapa kau pun
berada di sini?"
"Beberapa kali dia datang
mengacau ke mari," Tiong Ho
memotong, "dia minta
bertemu sama apa yang dia katakan Ie
Siangkong , dia memaksa
sangat, dia pun mau minta kuda
istimewa itu! Apa? Apakah dia
sahabatmu?"
Tuan rumah ini menyesal. Ada
kemungkinan tak dapat ia
membalas sakit hati. Yang Cong
Hay tidak menjawab
sahabatnya itu, ia melenggak
dan tertawa lebar.
"Tiat Kongcu, kenapa kau
menuntut penghidupan dalam
dunia kangouw dan bergaulan
sama segala pengkhianat?" ia
tanya pemuda itu. "Ayahmu
berada di kantor sunbu di
Hangciu, ia mengharap-harap
pulangmu!" Setelah itu barulah
ia menoleh kepada Tiong Ho,
untuk berkata: "Kok Khungcu,
tolong kau menyiapkan kuda
untuk mengantarkan pulang
pada Bhok Kongcu dan Bhok
Siocia ini. Tentang kuda ini, yang
tidak ada pemiliknya,
terhadapmu aku tidak berlaku malumalu
lagi!"
Kata-kata yang terakhir
berarti si congkoan menghendaki
kuda jempolan itu.
Kok Tiong Ho mendongkol bukan
main, akan tetapi sedetik
saja, ia dapat mengendalikan
diri, ia lantas mengubah
sikapnya. Inilah ia ingat
bahwa ia tidak sanggup membikin
jinak kuda itu. Bukankah bagus
kalau ia melepas budi? Maka
ia tertawa dan berkata:
"Ada pepatah yang membilang,
pedang mustika dihadiahkan
kepada satu congsu, kuda
kenamaan dihadiahkan kepada
satu enghiong, maka itu
sungguh tepat Yang Congkoan
mendapatkan kuda bagus ini!"
773
Dua-dua congsu dan enghiong
berarti orang gagah perkasa
dan pendekar. Tapi Keng Sim
lain daripada tuan rumah itu. Ia
tertawa dingin.
"Yang Cong Hay, kau
jadinya menghendaki kuda ini?" dia
menanya.
Cong Hay berpaling seraya
melirik.
"Tiat Kongcu,"
katanya, mengancam, "bahwa aku sudah
tidak melaporkan pergaulanmu
dengan Yap Cong Liu, itulah
suatu tanda persahabatan dari
aku! Bukankah kuda ini bukan
kepunyaanmu? Benarkah kau
tidak sudi bersahabat
denganku?..."
Belum habis kata-kata itu
diucapkan, pedang sudah
berkelebat, ujung pedang telah
menikam congkoan itu. Itulah
serangannya Keng Sim, yang
habis sabar. Cong Hay berkelit
sambil tertawa.
"Tiat Kongcu, kau benar
mirip dengan anjing yang
menggigit dewa Lu Tong Pin,
kau tidak mengenal kebaikan
orang!" katanya,
mengejek. "Hm! Golok dan pedang tidak
mengenal budi, kau harus berhati-hati!"
Keng Sim tidak pedulikan itu
nasehat yang dicampur sama
penghinaan, malah tanpa
membilang suatu apa, ia menyerang
pula, segera ia mendesak. Ia
membuatnya Cong Hay repot,
hingga hampir lengan congkoan
itu berkenalan pada
pedangnya.
"Kau tidak tahu liehay ku
apabila kau tidak dikasi rasa!"
kata Cong Hay akhirnya. Ia
menjadi gusar. "Puteranya Bhok
Kongtia tidak berani aku
melukainya tetapi kau anaknya satu
774
bekas giesu, jikalau kau
dibikin darahmu mengucur tidak ada
artinya!"
Sekarang Congkoan ini
menggunai pedangnya untuk
melayani orang berkelahi.
Karena dua-duanya ahli pedang
kelas satu, hebat pertempuran
mereka itu.
Setelah banyak jurus, mendadak
terdengar suara tertawa
panjang dari Yang Cong Hay,
yang pun berkata secara
temberang: "Tiat Kongcu,
apakah kau masih hendak
bertempur pula?"
Suara ini ada suara yang
menyusuli bentrokan keras dari
dua senjata, yang lelatu
apinya muncrat berhamburan, kedua
lawan pun berpisahan, sebab
Keng Sim mesti mundur dengan
gerakan kakinya Ngoheng
Pat-kwa. Sebab pedangnya telah
kena dipapas sebelah hingga
pedang itu menjadi podol.
Cong Hay mengatakan demikian
tetapi dia maju pula, dia
mengulangi serangannya, sedang
Keng Sim, yang mundur
terpaksa, kembali melakukan
perlawanan, dengan begitu
mereka jadi bertempur pula.
Pemuda ini belum kalah tetapi ia
kena terdesak, kalangan sinar
pedangnya terus bertambah
ciut. Ia tidak lagi dapat
sering menyerang seperti bermula, ia
lebih banyak membela diri.
Sin Cu bergelisah. Ia menonton
dengan mencekal gagang
pedangnya. Ia tidak dapat
berpikir banyak kecuali harus maju
untuk membantui Keng Sim. Di
pihak sana ada musuh. Di saat
ia mau berlompat keluar dari
tempatnya bersembunyi, ia
dengar tindakan kaki di
belakangnya, ia lantas menoleh. Maka
terlihatlah Seng Lim, yang
sudah lantas berada di
belakangnya. Pemuda she Yap
itu agaknya heran.
“Itu toh Tiat Keng Sim?"
tanyanya.
775
Tidak sabaran pemuda ini
menanti lama-lama, justeru
kupingnya mendengar suara
senjata beradu, ia lantas lari
menghampirkan si nona. Ia
heran akan mengenali Keng Sim,
akan kemudian bertambah heran
menyaksikan Nona Ie seperti
orang ngelamun. Di dalam
hatinya ia menanya: "Mereka
berdua toh telah bersahabat
lama? Ia masih suka menanyakan
aku tentang si pemuda, kenapa
sekarang ia menonton saja?"
Ia tidak tahu si nona justeru
mau turun tangan.
Sin Cu terperanjat.
"Memang, dialah Tiat Ken,
Sim!" sahutnya bagaikan orang
tersadar.
"Siapakah itu yang
bertempur dengannya?"
"Dialah Yang Cong Hay,
congkoan dari istana kaisar!"
"Ah!" seru Seng Lim
tertahan. "Mari lekas kita membantui
dia!"
Di mulut pemuda ini mengatakan
demikian, dalam
perbuatan ia mendahului si
nona berlompat, untuk lari
menghampirkan tempat
pertempuran. Kalau tadinya ia berlaku
hati-hati, setelah mengetahui
orang itu ada pahlawan istana,
ia tidak mau main ayal-ayalan
lagi.
Justeru itu kembali terdengar
tertawa terkebur dari Cong
Hay. Kali ini disebabkan dia
berhasil memapas ikat kepalanya
Keng Sim. Kemudian dia
berkata: "Tiat Kongcu, jikalau kau
tidak mau meletaki pedangmu,
aku si orang she Yang
terpaksa akan melakukan
kadosahan terhadapmu!"
Itulah ancaman, yang
diberikuti dengan desakan, hingga
pemuda she Tiat itu, yang
mendongkol bukan main, menjadi
terdesak dan repot sekali.
776
Sementara itu Sin Cu telah
mengasi dengar seruannya yang
dibarengi dengan ber-lompatnya
tubuhnya, maka di lain saat
ia sudah mendahului Seng Lim
tiba di tanah datar.
Keng Sim dengar seruan si
nona, ia terperanjat.
Dalamkeadaan terancam bahaya
itu, ia masih mengambil
kesempatan untuk menoleh. Ia
menjadi heran akan
menyaksikan datangnya satu
nona yang cantik jelita, yang
gerakannya sangat lincah itu.
Tidak segera ia mengenali Sin
Cu, yang di matanya masih
tetap Ie Siangkong. Ini pun yang
pertama kali ia melihat orang
dandan sebagai seorang nona.
Karena ini, ia menjadi kurban.
Lengan kirinya di dekat pundak
telah tergores pedangnya Cong
Hay, yang menyerang ia
dengan ganas. Ia terhuyung,
sesudah mana, ia melawan pula
dengan nekat, akan di lain
saat ia lompat mundur, akan lari ke
arah si nona. Ia pun
memanggil-manggil: "Sin Cu! Sin Cu!"
Sin Cu menjadi sangat terharu
saking bersyukur terhadap si
anak muda, yang demikian
memperhatikannya. Sudah begitu,
ia pun mendengar suaranya
Ciauwya Saycu ma. Kuda itu
melihat majikannya, segera dia
meringkik berulang-ulang dan
berjingkrakan, untuk lari menghampirkan.
Kok Khungcu mendapatkan kuda
istimewa itu tidak mau
jinak, dia rantai ke empat
kakinya kuda itu dengan rantai yang
kasar, sedang empat
khungteng-nya diperintah memegangi
rantai itu, guna mencegah
binatang itu kabur. Tidak urung,
saking kuat tenaganya, kuda
itu bisa berontak. Empat
khungteng itu roboh
sendirinya. Karena dirantai, kakinya kuda
itu mengeluarkan darah.
Untuk sedetik itu Sin Cu
bersangsi. Ia terharu terhadap
Keng Sim, yang telah mandi
darah, ia pun terharu terhadap
kuda kesayangannya. Tapi Keng
Sim adalah manusia, ia
anggap baiklah menolongi Keng
Sim dulu. Selagi begitu, Yang
777
Cong Hay sudah maju padanya
seraya mendahului
menyerang. Tentu sekali, tidak
dapat ia berdiam saja. Ia pun
bertemu pada musuh lama. Tapi,
belum lagi ia mengangkat
pedangnya, Seng Lim di sebelah
belakangnya sudah
mendahului ianya. Pemuda she
Yap ini berlompat dari
samping, menyerang dengan
pukulannya Taylek kimkong ciu
jurus "Benturan sepasang
tangan." Cong Hay terkejut dan
kagum, hingga ia memuji. Tentu
saja ia dapat membela
dirinya dan membikin serangan
itu tidak memberi hasil.
Setelah itu, ia membalas
menyerang.
Seng Lim tidak jerih, dia
melawan tanpa berkisar, sedang di
sebelah dianya, Tiat Keng Sim
sudah lantas membantu
padanya.
Menampak demikian, karena
percaya Seng Lim berdua
bakal dapat bertahan. Sin Cu
mengawasi si pemuda she Tiat.
Ia berkata dengan pelahan:
"Baik-baiklah kau melayani dia,
hendak aku menolongi dulu kuda
putihku."
Habis berkata, si nona lompat
ke arah kudanya, yang pun
sudah tiba padanya. Ia lantas
mengasi bekerja pedangnya
yang tajam, membabat kutung
empat utas rantai besi itu.
Maka di lain saat, merdekalah
Ciauwya Saycu ma. Celaka
adalah ke empat khungteng,
mereka sudah terseret-seret
kuda itu, yang rantainya tak
mau mereka lepaskan...
Itu waktu Sin Cu dapat
mendengar teriakannya Yang Cong
Hay: "Dua orang ini ada
orang-orang jahat yang dicari Sri
Baginda Raja, jangan kasi
mereka merat!" Kata-kata itu
ditujukan kepada Keng Sim dan
Seng Lim. Sebab ia segera
kenali si orang she Yap itu
setelah ia menempur beberapa
jurus. ia kenali orang yang
diarah Lie Ham Cin. Ia girang
berbareng heran, sebab secara
kebetulan ia dapat menemui
orang she Yap ini yang ia
kagumi ilmu silatnya yang liehay.
778
Tapi ia tidak tahu yang Lie
Ham Cin sudah melayang jiwanya
pergi menghadap kepada Raja
Akherat.
Sin Cu usap-usap kudanya, yang
ia dapatkan tidak kurang
suatu apa kecuali lecet di
kakinya. Tentu sekali ia tidak dapat
berdiam lama-lama, mesti ia
maju untuk membantui Keng Sim
dan Seng Lim. Hanya, belum lagi
ia maju, tiba-tiba ia dengar
suara orang tertawa lebar
disusuli kata-kata: "Nona Ie, mana
gurumu? Ha! Kali ini tidak
lagi ada orang yang dapat
menolongi kau!"
Kata-kata itu segera disusul
dengan tibanya orangnya, yang
menyekal cambuk dengan apa dia
terus menyerang. Bagaikan
bayangan, penyerang itu
menggeraki tubuhnya.
"Jangan ganggu
kudaku!" berseru Sin Cu. Ia pun
menangkis.
Dua senjata bentrok keras,
karenanya si nona mundur tiga
tindak.
Penyerang itu ada Poan Thian
Lo, murid kepala dari Cie
Hee Toojin. Dia memang jauh
lebih liehay daripada Yang Cong
Hay.
Kuda putih itu melihat
majikannya terancam bahaya, dia
berjingkrak mendupak.
"Binatang, kau mencari
mampus!" membentak Poan Thian
Lo, yang tangan kirinya
diangkat, dipakai menekan kepala
kuda itu. Tapi binatang itu
kuat sekali.
Sin Cu sudah lantas menyerang,
guna menolongi kudanya,
maka Poan Thian Lo mesti
memutar tubuh untuk melayani
nona ini. Ia menyambut dengan
cambuknya.
779
Sin Cu bersiul panjang sambil
terus berkata: "Kudaku, pergi
kau lari ke tanjakan sana
menantikan aku!"
Ciauwya Saycu ma benar-benar
cerdas, sambil meringkik
dia berontak, lantas dia lari
pergi menuju ke tempat yang
ditunjuki. Berbareng dengan
itu, dua orang pun lari ke luar
kalangan dengan niat menyamber
kuda itu, untuk berlompat
ke atasnya guna lari
bersama-sama atas seekor kuda.
Merekalah Bhok Yan dan Bhok
Lin, puteri-puteranya Bhok
Kokkong
Poan Thian Lo menyaksikan itu
semua, dia bergerak sebat
sekali. Dengan tinggalkan Sin
Cu, dia ayun cambuknya pada
sebuah pohon di sisinya, dia
menarik dengan keras, hingga
pohon itu tercabut berikut
akarnya, lalu pohon itu dilemparkan
guna menghalang-halangi kedua
muda-mudi itu.
"Siauwkongtia jangan
lari-larian!" berkata dia sambil
bersenyum ewah. "Kau
tunggu saja, sebentar kita pulang
bersama ke Kunbeng!"
Kok Khungcu pun sudah lantas
mengepalai orang-orangnya
untuk mengurung muda-mudi itu.
Tapi mereka cuma
mengurung, sebab setelah
ketahui siapa dua orang itu, tidak
berani mereka berlaku kurang
ajar. Bahkan si khungcu muda
berkata dengan manis:
"Silahkan siauwkongtia
dan siocia kembali ke gubukku!"
"Aku mau berdiam di sini
menonton keramaian!" kata Bhok
Lin nyaring.
Khungcu itu merasa sudah cukup
asal kedua orang itu tidak
melarikan diri, maka itu ia
tidak memaksa.
780
Menampak aksinya Bhok Yan dan
Bhok Lin itu, Sin Cu
hendak menghampirkan mereka
akan tetapi dia dirintangi
Poan Thian Lo. Dalam murkanya
ia menyerang dengan lima
bunga emasnya.
Poan Thian Lo memutar
cambuknya membikin lima bunga
emas itu jatuh, kemudian ia
menyerang pula si nona. Sia-sia
saja Sin Cu hendak membabat
kutung cambuk lawan itu,
orang ada sangat lincah, ia
bagaikan dikurung, karenanya
terpaksa ia membela diri saja.
Kuda putih itu lari terus, dia
baru berhenti setelah sampai
di tempat yang ditunjuk. Di
sini dia mengangkat kedua kaki
depannya, berdiri bagaikan
manusia, kemudian dia menoleh
ke arah pertempuran.
Kok Tiong Ho berdiri bengong.
Ingin sekali ia mendapatkan
kuda itu. Tetapi sesaat
kemudian, hatinya menjadi tawar
sendirinya. Ia ingat, umpama
ia sanggup menangkap, kuda itu
toh akhirnya bakal jadi
kepunyaannya Yang Cong Hay...
Ketika itu Cong Hay tengah
dikepung Seng Lim berdua
Keng Sim. Nampaknya ia kena
terdesak. Maka juga, segera
terdengar dia berseru:
"Kok Khungcu, inilah saatnya untuk kau
mendirikan jasa untuk pemerintah!"
Orang she Kok ini berharta
besar, ia tidak mementingkan
pangkat, tetapi tiga kali ia
telah merasakan pedangnya Keng
Sim, hatinya panas, dari itu
kebetulan sekali Cong Hay
meminta bantuannya. Pula, di
hadapan banyak orangnya, ia
hendak menunjuk kegagahannya.
Demikianlah ia jumput
goloknya yang besar dan maju
menyerang Keng Sim.
Maka kali ini, berimbanglah
keadaan mereka itu. Hebat bagi
Sin Cu untuk melayani Poan
Thian Lo. Syukur untuknya, ia
dapat bersilat dengan baik
dengan ilmu silat pedang Hian Kie
781
Kiamhoat, dengan ia main
membela diri, masih bisa ia
bertahan.
Bhok Lin menyaksikan dua
rombongan yang bertempur itu.
"Encie, lekas
lihat!" ia serukan saudaranya. "Lihat, bagus
sekali ilmu pedangnya Nona Ie!
Ah, sayang, sayang! Oh,
celaka, berbahaya sekali
cambuk itu! Bagus, bagusnya Nona
Ie dapat menyelamatkan
dirinya!..."
Bhok Yan sebaliknya mengawasi
Tiat Keng Sim, ia seperti
tidak mendengar teriakan
adiknya itu.
"Nah, itulah baru ilmu
pedang yang bagus sekali!" dia pun
berseru. "Kau lihat,
adikku, itulah serangan Burung Garuda
Menyerbu Udara! Dan itulah
tipu silat Mengalungi Rembulan!"
"Apa?" tanya Bhok
Lin. Dia salah mengarti, dia membicarai
Sin Cu tetapi encie-nya
membicarakan Keng Sim.
Keng Sim bergerak dengan
lincah, ia mendatangkan
kekagumannya Nona Bhok, hingga
nona ini ngelamun: "Aku
tadinya menyangka yang liehay
adalah ilmu pedangnya Thio
Tayhiap seorang, yang tidak
ada tandingannya, siapa tahu dia
ini pun liehay sekali, mungkin
melebihkan-nya..."
Tentu sekali pandangan nona
ini tidak tepat, sebab sangat
jauh bedanya kalau Keng Sim
dibanding dengan Thio Tan
Hong. Kebetulan saja pemuda
she Tiat ini dibantu Seng Lim,
hingga ia jadi dapat berkelahi
dengan baik, sedang
pengetahuan si nona mengenai
ilmu silat pedang masih hijau.
Terus ini encie dan adik
menonton, saban-saban mereka
memuji diseling sama jeritan
kaget kalau kebetulan melakukan
penyerangan yang berbahaya.
782
Jauh di tanjakan, mendadak
terdengar Ciauwya Saycu ma
meringkik keras. Sin Cu dapat
dengar itu, ia kaget dan heran,
hingga ia sudah lantas
menoleh. Ia lihat kudanya berjingkrak,
terus lari ke arah jalan
besar. Justeru karena itu hampir saja ia
dirabuh cambuknya Poan Thian
Lo. Setelah sadar, ia melayani
pula dengan saksama, hingga
untuk sementara ia mesti
melupai kudanya.
Ciauwya Saycu ma pergi dengan
lekas, tetapi sama
lekasnya juga kembalinya. Tapi
ia bukan balik sendiri saja.
Sekarang di punggungnya ada
seorang yang telah
perdengarkan suara keras
bagaikan guntur. Dia bertubuh
besar, matanya biru, mukanya
berewokan, dia mirip seorang
Ouw (asing), sedang tubuhnya
tertutup dengan baju seragam
tersalut emas, tangannya
menyekal sepasang gaetan
Siangliong Hokciu kauw.
"Paman Tamtay!" Sin
Cu berseru apabila ia telah melihat
penunggang kudanya itu.
Memang benar penunggang kuda
itu ada Tamtay Biat
Beng, pahlawannya Thio Tan
Hong, atau murid kepala dari
Siangkoan Thian Ya. Dibanding
dengan Tan Hong,
majikannya, dia masih
setingkat lebih tinggi derajatnya. Dia
berasal orang Tionghoa tetapi
lama dia hidup di Mongolia,
maka dia mirip orang asing,
sedang di Mongolia dia dikenal
sebagai Tantai Mieh Ming.
Sekarang dia sudah mendekati usia
enam puluh tahun akan tetapi
dia masih tetap gagah.
Setibanya, setelah lompat
turun dari kudanya, Tamtay Biat
Beng membentak Poan Thian Lo,
lalu dia menyerang.
Suheng dari Yang Cong Hay ini
terkejut. Sebenarnya dia
hendak menyerang Sin Cu,
karena serangan itu, terpaksa ia
mengubah haluan, ia menyambuti
terjangan orang ini. Maka
783
berkelebatlah sepasang gaetan,
yang terus dapat menggaet
cambuknya itu.
"Kau siapa?"
membentak Biat Beng. "Besar nyalimu berani
menghina keponakanku!"
Poan Thian Lo mengerahkan
tenaganya, untuk menarik
cambuknya. Ia berhasil
meloloskan diri tetapi cambuknya itu
terkutung ujungnya!
Sin Cu segera mengasi dengar
suaranya: "Binatang ini
muridnya Cie Hee Toojin, sudah
sering sekali dia menghina
aku! Paman, tolong kau berikan
tanda mata di tubuhnya!"
"Baik!" berseru Biat
Beng, yang lantas saja menggeraki
sepasang gaetannya, yang
nampak seperti sepasang naga
emas.
Repot Poan Thian Lo didesak
secara begitu, tidak dapat ia
membalas menyerang. Ia mesti
menutup dirinya. Baru
beberapa jurus, lantas
terdengar satu suara keras. Itulah
suara dari putusnya pula
cambuk! Hingga dari panjang
setombak lebih, cambuk itu
menjadi pendek tinggal empat
kaki kurang!
Poan Thian Lo kaget,
semangatnya seperti terbang. Ia
lantas saja memikir untuk
mengangkat kaki, sebab lawannya
ini liehay luar biasa. Untuk
ini ia segera mendapatkan
ketikanya, sebab biar
bagaimana, dia tetap seorang liehay.
Tamtay Biat Beng tidak
mengejar, dia hanya berkata
nyaring: "Dengan
memandang muka gurumu yang bersahabat
dengan Hian Kie Loocianpwee,
suka aku mengasi ampun
padamu dari kematian! Kau
ingatlah ini baik-baik!"
784
Menyusul kata-katanya itu,
sebelah gaetannya menyambar,
maka tidak ampun lagi, sebelah
kupingnya Poan Thian Lo
kena dipapas kutung!
Tanpa membilang suatu apa,
tanpa menjerit, Poan Thian Lo
ngiprit terus.
Sin Cu hendak membantui Keng
Sim dan Seng Lim, akan
tetapi Yang Cong Hay sangat
licik, ia telah mendengar dan
menyaksikan segala apa, tanpa
mensia-siakan tempo sedetik
jua, ia meninggalkan kedua
lawannya dan kabur.
Keng Sim panas hatinya, hendak
ia mengejar, akan tetapi
kapan ia lihat si nona datang,
ia batalkan niatannya.
"Kau baik, Nona Ie!"
ia berkata pelahan.
Sin Cu mengangguk dengan
tawar.
"Perlu apa kau pergi ke
Inlam?" dia balik menanya.
Mendadak saja Keng Sim merasa
tawar hati, di dalam
hatinya ia kata: "Dari
tempat laksaan lie aku menyusul kau,
mustahilkah kau tidak
mengetahui rasa hatiku?" Tentu saja, di
hadapan banyak orang itu, ia
tidak berani membeber rahasia
hatinya itu.
Maka dengan menyeringai ia
menyahuti: "Aku dengar Thio
Tayhiap..."
Seng Lim melihat lagak orang,
ia menyelak: "Memang,
tentulah saudara Tiat mencari
Thio Tayhiap, maka kebetulan,
sekarang dapat kita berjalan
bersama."
Campur bicara orang ini
menolong Keng Sim, hanya
seterusnya, ia tetap merasa
hatinya tidak tentaram, sebab si
785
nona seperti tidak
mempedulikan padanya, nona itu
sebaliknya bicara dengan
pemuda she Yap itu, asyik agaknya.
Tamtay Biat Beng bekerja
terus. Dengan gampang ia
membubarkan orang-orang Kok
keekhung hingga ia berhasil
melepaskan Bhok Yan dan Bhok
Lin dari kurungan.
Biat Beng datang dengan tugas
mencari itu anak-anaknya
Bhok Kokkong, sebab Thio Tan
Hong menduga pasti muridmuridnya
itu tentulah menyingkir ke
Tali. Ia sendiri, setelah
mengusir Cong Hay semua, sudah
mendahului berangkat
pulang. Di sepanjang jalan
Biat Beng mendengar-dengar
kabar, sampai kebetulan sekali
di Anggaypo dia bertemu sama
Ciauwya Saycu ma. Kuda ini
mengenali baik pahlawan itu,
keeciang dari majikannya, maka
juga ia sudah lantas lari
menghampiri, karena mana Biat
Beng bisa sampai dengan
cepat di gelanggang
pertempuran.
Kok Tiong Ho melihat gelagat
jelek, dia lari masuk ke dalam
rumahnya. Di depan rumah dia
membuat semacam
bentengan, untuk melindungi
diri.
Biat Beng menanyakan Bhok Lin
tentang orang she Kok itu.
"Aku kenal orang ini,
satu jago di Inlam Barat," berkata Biat
Beng kemudian sambil tertawa,
"Dia hendak membeli kudamu
dengan seratus tahil emas,
tidak apa, meski dengan
perbuatannya itu ternyata dia
punya mata tetapi seperti buta.
Dia belum melakukan kejahatan,
baiklah kita memberi ampun
padanya!"
Karena ini, selamatlah orang
she Kok itu.
Sin Cu girang sekali mendapat
pulang kudanya.
786
"Marilah kita pergi,
lekas!" katanya. Ingin ia segera
mendaki gunung Khong San untuk
menjenguk kakek gurunya
serta gurunya sendiri.
Bhok Lin dan Bhok Yan lega
hatinya, keduanya
menghampirkan Sin Cu dan Keng
Sim. Hal ini ada baiknya bagi
Sin Cu, yang bisa meloloskan
diri dari Keng Sim.
"Siauwkongtia, terima
kasih!" katanya kepada putera
hertog dari Kunbeng itu.
"Kau yang datang
menolongi aku, akulah yang mesti
menghaturkan terima kasih
padamu!" berkata anak pangeran
itu. "Buat apa terima
kasihmu itu?"
Kelihatan nyata kepolosannya
anak ini, yang masih mirip
kekanak-kanakan.
"Kau toh telah membikin
patung untuk ayahku!" berkata
Sin Cu, girang berbareng
terharu. "Bagaimana bisa aku tidak
bersyukur kepadamu?"
"Ayahmu jujur dan setia,
dia berkurban untuk negara, dia
dikagumi seluruh negara,"
berkata Bhok Lin. "Sebenarnya
dengan membangun kuil saja aku
masih belum dapat
menunjuki hormatku
terhadapnya. Nona Ie, perkataanmu ini
membikin aku malu
saja..."
"Biar bagaimana, kau
telah menunjuki nyalimu yang besar!"
kata Sin Cu tertawa. "Aku
ketahui apa yang terjadi di antara
kau dan ayahmu."
"Di dalam ini hal, aku
menurut kepada kakakku saja," Bhok
Lin mengaku. "Sebenarnya
aku kuatir juga tetapi kakak
menganjurkan aku. Tanpa kakak,
aku pun tidak berani buron.
Ah, kau tidak tahu, kakakku
paling pandai bekerja! Dia dapat
787
membujuki ayah, katanya tidak
bakal terjadi sesuatu, sampai
ayah percaya padanya. Biasanya
kakaklah yang mengatur
segala apa, nyalinya besar
sekali, cuma ia pun biasa bekerja di
belakang, akulah yang selalu
dimajukan di depan!..."
Bocah ini mau bicara dengan
lagak tua bangka tetapi
akhirnya, ia balik kepada
asalnya, sebagai bocah!
Sin Cu bersenyum.
Bhok Yan pun bersenyum, ia
membiarkan adiknya itu
bicara.
"Ketika itu hari encie
menyuruh Kim Go memanggil aku,
sayang sudah terlambat,"
kata Sin Cu kemudian.
"Hari itu aku bertindak
lancang sekali, harap encie tidak
buat kecil hati," berkata
Bhok Yan. "Siapa nyana akhirnya
terbit onar. Syukur sekarang
kita dapat bertemu juga."
Nona ini bicara dengan Nona Ie
tetapi matanya melirik
Keng Sim.
“Inilah Tiat Kongcu ,
puteranya Giesu Tiat Hong," Sin Cu
memperkenalkan.
Mendengar itu, Keng Sim
mengerutkan keningnya.
"Oh, tentulah Tiat Giesu
yang dulu telah mendakwa si
pengkhianat Ong Cin!"
kata Nona Bhok kagum. "Ayah pun
pernah menyebut-rjebut nama
Tiat Giesul"
Senang Keng Sim si nona memuji
ayahnya.
"Tiat Kongcu dan Ie
Siocia, terima kasih yang kamu telah
menolongi kami," kata
pula Bhok Yan. "Dan kau sampai
788
terluka, kongcu..."
Mendadak ia pun ingat Seng Lim, maka
segera ia menambahkan:
"Masih ada ini kakak. Kakak,
terimalah hormat dan terima
kasihku!" Ia memberi hormat
kepada pemuda she Yap itu.
Seng Lim mengangguk, terus ia
dekati Tamtay Biat Beng
dengan siapa ia bicara.
Mendengar kata-katanya Bhok Yan,
yang berterima kasih
atas pertolongannya, Keng Sim
berkata di dalam hatinya:
"Sebenarnya aku tidak
tahu kamu ditahan di dalam rumah ini,
maka apakah artinya ucapan
terima kasihmu?" Tapi orang
mengingat budinya, ia girang.
Ia kata: "Jangan mengucap
terima kasih. Tidak berarti
luka kecil ini."
"Kau bilang tidak
berarti!" kata si nona, "Kau lihat, lukamu
mengeluarkan darah!"
"Aku ada punya obat luka,
setelah aku pakaikan, tentu
baik," katanya.
"Sebenarnya, luka ini tidak berarti, Bhok
Siocia. Kau tidak tahu, selama
pertempuran di Tayciu melawan
perompak asing, setiap hari
aku membikin darah mengalir.
Itulah baru hebat! Bahkan pada
suatu hari, ketika aku
menempur musuh dan tujuh dan
delapan, lenganku hampir
dibacok kutung mereka itu.
Syukur aku keburu kelit dan
akhirnya menang juga."
Agaknya Bhok Yan kagum bukan
main.
"Begitu?" katanya.
"Ah, kongcu benar muda dan gagah! Eh
ya, apa itu yang dinamakan dan
tujuh dan delapan? Jangan,
jangan bergerak, nanti aku
balut lukamu!..."
Sembari berkata si nona
mengeluarkan sapu tangan
suteranya, ia lantas ikat
lukanya pemuda itu. Senang Keng
Sim mendapat perlakuan ini.
Bukankah Sin Cu bersikap tawar
789
terhadapnya? Katanya dalam
hatinya, "Hm, kau tidak
pedulikan aku, ada lain orang
yang memperhatikannya! Dia
malah seorang nona agung! Dia
tidak bertingkah seperti kau!"
Sebenarnya ia ingin menolak
pertolongan Nona Bhok tetapi
akhirnya ia membiarkan saja.
Inilah karena ia ingin "mengasi
rasa" pada Sin Cu. Bahkan
setiap kata si nona agung ia jawab
dengan sepuluh kata, ialah
dengan menutur lebih jauh perihal
pertempurannya dengan
perompak, sebagai juga ialah satu
pendekar.
Di luar dugaannya pemuda ini,
Sin Cu tidak menjadi kurang
senang. Malah nona itu lantas
membayangi lagi Yap Cong Liu.
Cong Liu paling besar jasanya
tetapi dia tidak membanggakan
diri.
Kemudian ia pun menoleh kepada
Seng Lim, si pemuda
polos, yang nampak tolol
seperti anak dusun. Seng Lim pernah
melakukan banyak usaha besar,
tidak sedikit dia membantu
pamannya, dia pun tidak
temberang, sedikit omongnya. Maka
sekarang ia mengarti semakin
jelas. Pikirnya: "Ah, yang satu
bunga mawar dari taman di
Kanglam, yang lain pohon tayceng
dari tanah datar tinggi di
Inlam dan Kuiciu. Bunga mawar
mempertontonkan diri pada
orang-orang besar, pohon
tayceng berdiam saja meneduhkan
orang-orang perjalanan."
Jadi itulah dua sifat yang
berlainan satu dari lain. Dapat
membedakan itu, ia mual dan
berduka. Toh ia masih kadangkadang
melirik pada Keng Sim, orang
yang pertama kali
seperti menarik hatinya, hanya
setiap pemuda itu berpaling
kepadanya, ia melengos dengan
cepat.
"Encie, kau pikirkan
apa?" menegur Bhok Lin, yang heran
untuk sikap orang tak wajar.
790
"Tidak apa-apa,"
sahut Nona Ie sabar, "Aku lagi
memikirkan ingin lekas tiba di
Tali untuk menemui guruku."
"Benar," kaa bocah agung
itu. "Aku pun ingin lekas-lekas
menemuinya!"
Tamtay Biat Beng tertawa.
"Kalau begitu, marilah
lekas kita berangkat!" mengajaknya.
Sin Cu lantas serahkan kudanya
pada Bhok Yan dan Bhok
Lin untuk mereka itu yang
menaiki bersama. Bhok Yan
menampik dan mengatakan, Keng
Sim terluka, baik pemuda
itu yang menunggang kuda itu.
Akan tetapi kesudahannya,
Keng Sim naik atas kuda dari
Iran, Bhok Yan naik atas
Ciauwya Saycu ma, dan Bhok Lin
berjalan kaki menemani si
Nona Ie.
Jarak Anggaypo dan Tali tidak
ada tiga ratus lie, kalau
Ciauwya Saycu ma dibiarkan
lari, tanpa setengah harian,
orang akan sudah tiba di sana,
tetapi sekarang ada yang
berjalan kaki, terutama Bhok
Kongcu tidak biasa, perjalanan
mesti melewati sang malam.
Begitulah mereka singgah di
tengah jalan.
Malam itu Sin Cu tidak dapat
tidur pulas meski sebenarnya
ia merasa letih bekas jalan
dan bertempur. Ia gulak-gulik saja,
di depan matanya berbayang
Keng Sim dan Seng Lim. Ia
sekarang telah bertambah
pengalamannya, ia bukan lagi nona
umur tujuh belas tahun yang
kebanyakan. Setempo pun
muncul bayangan Bhok Lin,
tetapi dia ini masih terlalu muda.
seimbang dengan Siauw Houwcu,
maka di akhirnya si nona
bersenyum sendirinya.
Besoknya perjalanan dilanjuti
sejak pagi-pagi. Mereka
berada di jalan pegunungan.
Lalu lewat tengah hari mereka
791
tiba di sebuah lembah. Di lain
saat mereka sudah berada di
kaki sebuah puncak. Di timur
itu ada telaga yang airnya
berkaca pada matahari.
"Di bawah sana Heekwan,
lantas Tali," Tamtay Biat Beng
memberitahu sambil menunjuki.
"Kamu lihat, itulah bukit
Khong San serta laut Jiehay.
Sin Cu, sebentar sore kau bakal
bertemu gurumu."
Karena ini, orang percepat
tindakan kaki mereka, hingga
lekas juga mereka tiba di
Heekwan, yang duduknya di selatan
Khong San dan Jiehay, seperti menyender
pada Sia Yang
Hong, punyak terakhir dari
sembilan belas puncak gunung
Khong San itu.
Tamtay Biat Beng menjelaskan
empat keistimewaan dari
wilayah situ, yaitu siuran
angin dari Heekwan, bunga dari
Siangkwan, salju dari Khong
San dan rembulan dari Jiehay,
semua pemandangan alam yang
indah. Katanya angin dari
Heekwan aneh sekali, angin itu
bisa menyambar atasan rumah
dan mementang jendela tetapi
tak akan masuk ke dalam
rumah.
"Ah, lebih baik kita
jalan lekasan!" kata Sin Cu, yang tidak
tertarik hatinya.
Ketika itu di bulan ke
sembilan, musim rontok, di waktu
tengah hari, hawa udara terik
seperti di musim panas. Di jalan
besar ada terdengar orang
menjual salju.
Bhok Yan tertawa menjebi,
katanya pada Keng Sim:
"Bagaimana keadaan di
sini dibanding sama di Kanglam?"
"Masing-masing ada
kebagusannya," sahut si anak muda.
"Aku sudah biasa dengan
Kanglam, aku senang dengan
keadaan di sini."
792
"Pernah aku membaca syair
Menjual Salju karangannya
seorang paderi dari
Tali," berkata Bhok Yan. "Bunyinya syair
itu, 'Di dafam kota Sepasang
Naga ratusan bunga harum, Laut
Perak merangkul langit, di
musim enam di jalan besar
berteriakan menjual salju,
orang yang berlalu lintas
menyangka yang dijual itu
ialah madu.' Di bawah syair itu ada
keterangan bahwa di gunung Khong
San di Tali ini, sampai di
bulan enam, salju masih belum
lumer, orang menjualnya di
pasar, seperti di Gouwhee
orang menjual es. Nah, bagaimana
bedanya orang jual es itu
dengan di sini orang menjual salju?"
"Di Souwciu dan Hangciu
orang tak sepolos seperti di sini,”
sahut Keng Sim.
Dengan Gouwhee, tanah Gouw,
dimaksudkan dua kota
Hangciu dan Souwciu itu.
Bhok Yan seperti dapat
menyelami hati Keng Sim, di
sepanjang jalan itu terus ia
pasang omong dengan itu anak
muda, bicara hal ilmu surat
dan syair. Keng Sim pun senang
melayaninya, sebab orang
pandai bicara, luas
pengetahuannya, bicaranya
manis, meskipun sebenarnya
orang belum dapat menggantikan
Sin Cu...
Selewatnya Heekwan orang
mendapatkan tidak ada angin,
maka terlihatlah pemandangan
indah dari laut Jiehay.
Sebenarnya inilah bukan laut,
hanya telaga. Inilah disebabkan
di mata orang Inlam, telaga
besar ialah laut, dan Jiehay ada
sebuah telaga besar di
daratan. Di tepian ada tumbuh banyak
pohon yangliu, yang menambah
keindahan. Burung-burung
pun beterbangan. Pemandangan
di situ mirip dengan gambar
lukisan.
"Nona ie, tidakkah
pemandangan si sini indah sekali?"
tanya Bhok Lin tertawa.
"Aku pikir, kalau kita pilih suatu
793
malam terang bulan dan kita
main perahu di telaga Jiehay ini,
pasti sangat menarik hati!"
"Memang!" Keng Sim
mendahului menjawab. "Berdiam di
sini, aku seperti tidak ingin
pulang lagi..."
Sampai sebegitu jauh Seng Lim
berdiam saja, tetapi
sekarang tiba-tiba saja ia
merasa sifat Sin Cu sama dengan
sifatnya. Ia menggemari
keindahan gelombang sesudah badai.
Ia pikir: "Angin tenang
ombak diam, meski itu indah, itulah
biasa saja. Keadaan itu tepat
untuk orang-orang sebagai Keng
Sim dan Nona Bhok Yan..."
Sin Cu ada puterinya seorang
menteri, dia agung tak kalah
dengan Bhok Yan, entah
bagaimana, Seng Lim tapinya merasa
Nona Ie itu adalah orang
segolong dengannya, beda dari Nona
Bhok itu. Toh berkenalan
mereka berdua belum lama dan
belum erat.
Dari Heekwan sampai di Tali,
tempo perjalanan yang
diminta tak usah sampai satu
jam, akan tetapi Tamtay Biat
Beng membawa orang tak
langsung, dia mengajak ke Hieciu
tin dan melintasi
"laut" Jiehay itu, maka berenam, berikut
kuda mereka, mereka mesti
menyewah dua buah perahu
nelayan untuk menyeberangi
telaga besar itu. Biat Beng
bersama Sin Cu dan Seng Lim,
dan Bhok Yan serta adiknya
bersama Keng Sim. Bhok Lin
ingin turut perahunya Sin Cu
akan tetapi Biat Beng sudah
mendahului menarik tangannya
Seng Lim, ia jadi malu untuk
memaksa.
Sumbernya Jiehay adalah gunung
Khong San di mana air
adalah salju yang lumer, lalu
mengalir turun, berkumpul di
telaga itu. Di situ ada banyak
nelayan dan banyak burung
terbang berseliweran, untuk
saban-saban menyerbu air akan
menangkap ikan yang menjadi
barang makanannya.
794
Menyaksikan itu, Keng Sim
menjadi gembira, sembari tertawa
ia kata, itulah suasana
seperti di Kanglam.
Bhok Yan pun bergembira hingga
ia bersenandung.
"Sungguh mereka
bergembira sekali," kata Seng Lim
tertawa.
Pikiran Sin Cu se-dang ruwet
tetapi ia melirik kepada orang
she Yap itu dan bersenyum,
kemudian ia pun mengawasi ke
permukaan air.
Sebentar kemudian telaga telah
di seberangi dan orang tiba
di kaki bukit Khong San.
Terlihat puncak gunung penuh
dengan salju, di mana pun ada
nampak cahaya kehijauhijauan.
"Pantas Khong San
dinamakan juga Tiamkhong San, nama
ini cocok dengan
bukitnya," berkata Sin Cu. Di atasan
puncakpun nampak mega putih,
yang bagaikan sehelai sabuk
kumala mengitari sembilan
belas puncak.
"Orang bilang pemandangan
alam di sini sangat indah
tetapi aku tidak gembira untuk
mengicipinya, aku ingin lekaslekas
pulang!" berkata Tamtay
Biat Beng yang terus saja
melepaskan panah nyaring, yang
berbunyi mengaung di
tengah udara.
Menyusul pertandaan panah itu,
sebentar kemudian terlihat
beberapa orang berlari-lari
turun. Mereka itu segera dikenali
adalah Hek Pek Moko bersama
Siauw Houwcu si bocah bengal
dan Jenaka, malah bocah ini
lari mendahului dua orang India
itu, larinya sambil
berjingkrakan, untuk paling dulu
menghampirkan Sin Cu.
795
"Ha, setan cilik!"
Nona Ie berseru, sambil tertawa. "Hari itu
kau membikin aku mati
memikirkan kau! Siapa tahu kau telah
tiba lebih dulu di
sini...!"
Bocah itu tertawa. Kapan ia
melihat Bhok Lin, ia
membentur dengan sikutnya.
"Eh, jangan kurang
ajari" Sin Cu mencegah. “Inilah Bhok
Siauwkongtia."
"Aku pun tahu!"
Siauw Houwcu tertawa seraya terus ia
menyambar tangan orang untuk
ditarik. Ia kata: "Hai bocah,
kenapa itu hari kau tidak
menjelaskannya bahwa kaulah calon
murid guruku, kalau tidak,
pastilah aku sudah mengijinkan
kamu menunggang kuda putih
itu? Eh, eh, kenapa kau diam
saja? Apakah kau merasa sakit
bekas kesikut olehku? Sudah,
jangan marah, mari aku ajak
kau pergi mencari ikan!"
Senang Bhok Lin dengan
perlakuannya Siauw Houwcu. Di
dalam gedungnya ia tidak
kurang suatu apa, tetapi di sana
cuma menghormat atau mengangkat-angkat
ia, atau cuma
kakaknya, Bhok Yan, yang dapat
bergurau padanya tetapi di
sini, ia mendapatkan satu
sahabat yang sangat bergembira ini.
Sebenarnya ia merasa berat
untuk meninggalkan Sin Cu tetapi
toh ia turut juga pergi, akan
bermain-main dengan memetik
bunga dan menangkap ikan.
Sin Cu semua memberi hormat
kepada Hek Pek Moko, yang
ternyata sudah tiba lebih dulu
tujuh atau delapan hari. Mereka
itu berdiam sama Thio Tan
Hong. Sedang Toan Teng Khong
bersama isterinya, puteri
Iran, tinggal di istana Toan Ongya.
Ketika itu Siauw Houwcu sudah
diterima Tan Hong sebagai
murid yang kedua.
796
Setelah Biat Beng menitipkan
kuda mereka di rumah
seorang suku Ie, lantas
bersama-sama mereka mendaki
gunung mengikut Hek Pek Moko
yang jalan di depan.
Sembilan belas puncak gunung
Khong San serta delapan
belas aliran solokannya adalah
pemandangan alam paling
kesohor untuk Tali, semua air
solokan gunung itu turun ke
Jiehay, airnya jernih dan
indah dipandangnya, lebih-lebih di
waktu sinar matahari memenuhi
permukaan air, dasarnya
sampai terlihat nyata di mana
nampak batu-batu
bagaikan mutiara. Di gunung
Khong San ini, salju tak
habisnya seluruh tahun, tak
lumer semuanya. Maka hawa
udara di sini mirip dengan
hawa udara di Kanglam. Maka juga
pohon-pohon rumput yang hijau
dan pohon bunga yang
indah, hidup terus tahun
ketemu tahun.
Saking gembira, Keng Sim
bersenandung:
"Kalau dapat bunga indah
sebagai kawan untuk selamalamanya,
tubuh ini biarlah menjadi tua
di Khong San..."
Bhok Yan tertawa gembira. Ia
menduga, dengan "bunga
indah" itu tentulah si
pemuda maksudkan dia. Hanya ketika ia
menoleh kepada Sin Cu, hatinya
terkesiap.
Nona itu nampaknya masgul,
sepasang alisnya mengkerut,
matanya mendelong ke satu
arah.
Di atas gunung itu ada
beberapa buah rumah batu,
romannya kuno tetapi cocok
dengan hati.
"Kakek guru bersama kedua
loocianpwee Siangkoan Thian
Ya dan Siauw Lootoanio tinggal
di itu rumah di belakang
gunung," Tamtay Biat Beng
memberitahu kepada Sin Cu.
797
"Sekarang kita pergi dulu
ke itu rumah di sebelah depan untuk
menemui gurumu."
Mereka berbicara sambil
berjalan terus.
“Itulah sepantasnya,"
berkata Sin Cu, malah dia
mendahului menolak daun pintu.
Tiba di dalam, terlihat In
Tiong suami isteri tengah
menantikan, Tan Hong tidak
nampak.
"Gurumu lagi pergi ke
istana, ada urusan," In Tiong
memberi keterangan.
"Selama beberapa hari ini keadaan
tegang, katanya Bhok Kokkong
di Kunbeng sudah menggeraki
pasukan perangnya."
Mendengar itu hati Bhok Yan
dan Bhok Lin tak tenang.
Sin Cu mengangguk, ketika ia
hendak menanyakan subonya,
ialah ibu gurunya, mendadak
kupingnya mendengar
suara bayi menangis, apabila
ia menoleh dengan segera, ia
lihat ibu gurunya itu, In Lui,
mendatangi dengan tangannya
mengempo satu anak. Baru kira
setengah tahun subo itu
melahirkan anak.
Segera Sin Cu menghampirkan,
untuk memberi hormat
sekalian memberi selamat.
In Lui tarik tangan muridnya
itu, ia mengusap-usap
rambutnya yang bagus.
"Sin Cu, selama satu
tahun ini aku telah mensia-siakan
kau," katanya manis.
"Sebenarnya tidak tenang hatiku
membiarkan kau merantau
seorang diri. Syukurlah sekarang
kau telah kembali dengan tidak
kurang suatu apa. Ah, kau
sekarang telah menjadi tinggi
seperti aku...!"
798
Sin Cu terharu berbareng
gembira. Sejenak itu ia ingat
pengalamannya selama ia
mengembara. Ia duduk berendeng
sama ibu guru itu. Ia ingin
bicara banyak tetapi tak tahu ia
bagaimana harus mulai. Maka ia
memain saja sama si bayi
yang manis, ia mengemponya,
tak ingin ia melepaskannya...
Sementara itu ada terdengar
suaranya panah, yang
datangnya dari kaki gunung.
"Nanti aku lihat, siapa
yang datang," berkata Tamtay Biat
Beng, yang terus mengundurkan
diri. Atau di lain saat
terdengar suara orang tertawa.
"Suhu pulang!" seru
Sin Cu. Ia lompat bangun, unuk
membukai pintu. Maka segera ia
mendapatkan gurunya
datang bersama Ouw Bong Hu
suami isteri. Lekas-lekas ia
memberi hormat.
"Bagus kamu semua telah
tiba!" kata Tan Hong tertawa.
“Inilah tepat waktunya! Ketika
Toan Ongya mendengar
sampainya kamu, dia gembira
sekali. Besok kamu diundang
pergi ke istananya!"
Semua orang segera memberi
hormat pada tayhiap itu.
Mengetahui Seng Lim adalah
keponakannya Cong Liu,
sembari tertawa Tan Hong
berkata: "Rupanya saudara Yap
datang atas titahnya Yap
Toako."
"Benar," sahut Seng
Lim dengan hormat. "Ada urusan yang
menyulitkan untuk mana pamanku
hendak memohon petunjuk
dari tayhiap."
"Apakah itu?" tanya
Tan Hong. "Silahkan bicara."
799
Seng Lim menuturkan pesannya
Cong Liu.
Tan Hong tidak segera
menjawab, ia hanya tertawa dan
berkata kepada Keng Sim:
"Aku bersahabat erat dengan
gurumu. Adakah dia baik?"
"Baik..." sahut si
pemuda ringkas, mukanya bersemu
merah.
Habis itu barulah Tan Hong
berkata pula: "Mengenai
keadaan tentara di Kanglam aku
kurang jelas. Kamu berdua
datang dari sana, bagaimana
pandangan kamu?"
"Aku kuatirkan
kegagalannya..." menyahut Keng Sim.
"Kenapa?" Tan Hong
menanya.
"Untuk menggeraki
tentara, tiga pokok yang paling
penting,"
Keng Sim menjawab. “Itulah
temponya, keletakan tempat
dan orangnya..."
"Benar."
"Sekarang ini belum
saatnya untuk menggeraki tentara,"
menjelaskan Keng Sim.
"Sekarang ini negara lagi ngalami
banyak kesulitan. Peperangan
di Tobokpo menyebabkan
semangat kita mendapati
gempuran hebat. Baru saja
beberapa tahun kita
beristirahat, aku kuatir hati rakyat masih
kacau. Pula semenjak dulu
kala, gerakan harus di mulai dari
Barat daya, jarang yang mulai
dari pesisir laut. Dan bukannya
aku memandang kecil, orang
semacam Pit Kheng Thian itu,
dia bukanlah orang yang dapat
membangun negara. Itulah
sebabnya mengapa aku bilang
semua-nya tiga pokok tidak
tepat."
800
Lancar bicaranya Keng Sim ini.
Di matanya Sin Cu,
pembicaraan itu tepat dan
tidak tepat. Meski demikian, si nona
tidak membilang suatu apa.
Tan Hong bersenyum.
"Dan kau, bagaimana
pandanganmu?" ia menanya Seng
Lim.
"Untukku, kalah atau
menang, tidak berani aku membilang
suatu apa," sahut pemuda
she Yap itu. "Untukku, soal adalah
kita harus bekerja atau tidak,
soal menang atau kalah adalah
urusan yang nomor dua."
Keng Sim tertawa tawar.
"Kalau bakal gagal, untuk
apa kita bergerak? Cuma-cuma
mencelakai diri sendiri"
katanya.
Mendengar ini, Tan Hong kata
dalam hatinya: "Apabila
semua orang sependapat
denganmu, segala apa mesti sudah
ada kepastiannya, pasti dulu
hari itu leluhurku dan Cu Goan
Ciang boleh tidak usah
bergerak menentang bangsa
Mongolia!" Tapi ia tidak
mengutarakan itu. Ia kata pula pada
Seng Lim: "Coba kau omong
lebih jauh."
Seng Lim berpikir sejenak,
baru ia berkata pula: "Sekarang
ini bangsa Watzu tengah
membangun dan perompak asing
berdiam untuk sementara waktu
saja, ancaman dari pihak
mereka tetap ada, di balik itu
pemerintah Beng tidak berani
menentang musuh luar,
sebaliknya, dia menggeraki tentara di
dalam negeri, sikapnya itu
membikin lenyap pengharapan
rakyat. Menurut aku, rakyat
bukannya me-nguatirkan
kekacauan, mereka menguatirkan
justeru keselamatan negara.
Bicara tentang tempat, dulu
hari juga Thaycouw bergerak dari
801
Kanglam mengusir bangsa
Tartar, dia tidak mengukuhi dari
Barat daya untuk mempersatukan
negara. Perihal si
pemimpin, asal bendera dikerek
naik, rakyat tentu dapat
memilihnya sendiri."
"Tidak, tidak
demikian!" kata Keng Sim, mukanya merah. Ia
terus membantah dengan
menyebut-nyebut kitab.
Tan Hong berdiam, ia
mendengari orang berdebat.
Biat Beng habis sabar.
Katanya: "Urusan negara, yang
demikian besar, tidakkah baik
dibicarakan nanti saja? Aku libat
yang paling penting sekarang
ialah bagaimana kita harus
melayani rombongan iblis yang
hendak menyerbu gunung
kita!"
Sin Cu heran hingga ia
melengak.
"Rombongan iblis yang
hendak menyerbu gunung?" dia
menanya. "Apakah artinya
itu?"
"Tentang itu, paman Ouw
kamu ada membawa berita,"
berkata Tan Hong.
"Ya," berkata Ouw
Bong Hu. "Aku telah pergi ke Kanglam
mencari Cio Keng To. Aku telah
mencari ke mana-mana, tak
berhasil aku. Ia sudah pulang
tetapi segera ia lenyap. Karena
itu aku kembali sekalian
mencari Yang Cong Hay. Aku dengar
kabar dia sudah berhasil
membujuk gurunya turun gunung,
malah mereka sudah berhasil
juga meminta bantuannya
sejumlah iblis yang sejak
sekian lama hidup menyendiri.
Mereka itu hendak datang
mengacau ke mari dengan
menggunai alasan memberi
selamat hari ulangnya Hian
Kie Cianpwee."
"Sebenarnya kawanan iblis
apa itu?" Biat Beng bertanya.
802
"Sebegitu jauh yang aku
dengar," menjawab Ouw Bong Hu,
"ada Kiupoanpo Kongsun Bu
Houw dari Aylao San, ada Tek
Seng Siangjin dari Sengsiu hay
di Kunlun San, dan ada lagi
Touw Liong Cuncia dari pulau
Benghee To di Tanghay serta
Liok Yang Cinkun dari Ceksek
San di propinsi Kamsiok. Kalau
guru-guru kita turun tangan,
mereka itu dapat dilayani, kalau
tidak, sungguh mereka tidak
dapat dipandang ringan."
Thio Tan Hong tertawa. Ia
berkata: "Sekarang ini ketiga
loocianpwee kita justeru
tengah bersamedhi untuk melatih
dirinya, sampai nanti hari
ulangnya kakek guruku yang masuk
usia delapan puluh tahun
barulah cukup samedhinya itu."
Ouw Bong Hu heran.
“Ilmu apakah itu yang mereka
yakinkan?" ia tanya.
“Ilmu itu tidak ada
batasnya," kata Tan Hong, "Mereka
tengah memahamkan kepandaian
masing-masing untuk nanti
dipersatukan. Kapankah
datangnya Cie Hee Toojin serta
rombongan iblisnya itu?"
"Karena mereka menyebut
hari ulang tahun, mestinya
mereka bakal datang di harian
yang tepat," menyahut Ouw
Bong Hu.
"Bagus!" berseru
Siauw Houwcu, yang menyelak.
"Hari itu kita bakal melihat
Thay-sucouw mempertontonkan
kepandaiannya mengusir
rombongan iblis itu! Sungguh
rejeki mata kita bagus sekali!"
Sin Cu tertawa, tetapi dia
berkata: “Thaysucouw ialah tetua
paling terhormat kaum Rimba
Persilatan, tidak nanti dia
sembarang turun tangan!"
803
Tan Hong tidak ambil mumat
anak-anak itu. Ia kata:
"Toasupeh Tang Gak berada
jauh di perbatasan Tibet, aku
kuatir dia tidak dapat datang
untuk memberi selamat.
Jiesupeh Tiauw I m berada di
Ganbunkwan tengah
mengunjungi Kimtoo Ceecu, aku
kuatir dia pun tidak nanti
keburu pulang. Melainkan guruku
suami isteri yang pasti bakal
datang dari Siauwhan San.
Dengan adanya kedua guruku,
dengan gabungan pedang mereka,
aku percaya cukuplah
sudah untuk melayani semua
musuh itu."
Siauw Houwcu gembira sekali.
Ia tidak kenal bahaya, ia
cuma tahu menonton. Demikianpun
itu beberapa pemuda
segerombolannya.
***
Tan Hong tertawa.
"Kamu habis jalan jauh,
tentu kamu letih, sekarang pergilah
kamu beristirahat," ia
berkata. "Besok pagi-pagi kita mesti
pergi menghadap ongya.”
Semua orang menurut, mereka
mengundurkan diri untuk
beristirahat. Keng Sim melirik
Seng Lim, agaknya ia belum
puas. Ia pun merasa tidak enak
mendapatkan sikap tawar dari
Sin Cu, yang agaknya tidak
mempedulikan perdebatan
mereka.
Benar seperti dijanjikan,
besoknya pagi-pagi Tan Hong
mengajak lima anak-anak itu
Bhok Yan dan Bhok Lin, Keng
Sim, Sin Cu dan Seng Lim pergi
ke istana Toan Ongya yang
berada di luar kota Tali dekat
dengan Coakut Ta, menara
Tulang Ular. Di sepanjang
jalan di situ ada tempat-tempat
dengan pemandangan alam yang
indah, umpama di Ouwtiap
Coan, Sumber Kupu-kupu, di
tepi itu ada sebuah pohon tua
804
dan besar yang daunnya yang
lebat meroyot turun ke air yang
jernih.
"Sayang sekarang sudah
musim rontok," kata Tan Hong
tertawa, "sekarang sudah
tidak ada kupu-kupunya. Coba kamu
datang di musin semi atau
musim panas, pasti kamu akan
tampak banyak sekali binatang
itu terbang berseliweran di
sini, berkumpul di atas pohon
besar ini. Apapula pada tanggal
tujuh belas bulan empat,
kupu-kupu itu pada mencelok
bergelantungan di
cabang-cabang pohon, sambung
menyambung sampai di permukaan
air. Itulah pemandangan
yang indah dan langka."
Semua orang kagum, tetapi Bhok
Yan kemudian menghela
napas, ia berkata: "Hanya
dikuatir penghidupan manusia tak
kekal. Sampai nanti musim semi
lain tahun, entah kita bakal
berpisahan ke mana..."
Sembari berkata begitu, ia melirik
Keng Sim.
Pemuda itu terkesiap hatinya,
ia lantas tunduk, agaknya ia
seperti tak mengarti
perkataannya nona itu.
Jalan lebih jauh, mereka tiba
di Samtah Sie, kuil Tiga
Menara yang katanya dibangun
oleh Jenderal Uttie Keng Tek,
di jaman kerajaan Tong. Yang
aneh dari menara ini ialah
setiap saatnya matahari doyong
ke barat, bayangan menara
muncul di sebuah kobakan air
lima belas lie dari situ,
berbayang menjadi tiga buah
menara.
Habis menara ini, tibalah
mereka di Coakut Tah, yang pun
ada dongengnya, katanya: Lama,
lama sekali, di Jiehay itu ada
seekor ular besar, yang suka
menimbulkan angin menerbitkan
gelombang hingga sawah-sawah
kelam terendam, hingga
manusia dan binatang bercelaka
karenanya. Kemudian datang
seorang gagah bernama Toan Cie
Seng, dengan membawa
delapan buah golok, dia terjun
ke dalam telaga Jiehay itu,
805
sengaja dia mengasi dirinya
ditelan ular itu, sesampainya di
dalam perut barulah dia
menikam kalang kabutan hingga ular
itu binasa. Sayangnya, dia
tidak dapat bernapas, dia pun turut
mati di dalam perut ular itu.
Untuk memperingati budi dan
jasanya Cie Seng itu, ular itu
dibakar habis dan menara itu
dibangun. Katanya Cie Seng ini
ialah leluhurnya keluarga
Toan, sebab penduduk menghargainya,
turunannya dijunjung
sebagai raja turun temurun.
Bahwa istana Toan Ongya diberdirikan
di samping Coakut Tah, pun
katanya guna
memperingati leluhur yang
gagah dan berani berkurban itu.
Sampai pada, jaman Beng,
keluarga Toan diberi pangkat
"Tiepeng ciangsu"
tetapi rakyat setempat tetap memanggil
ongya.
Tiepeng ciangsu yang sekarang
bernama Toan Teng Peng,
dialah kakak sepupu dari Toan
Teng Khong, kapan mereka
berdua mendengar datangnya Ie
Sin Cu, mereka menyambut
dengan manis dan menjamunya di
dalam taman. Puteri Iran
turut hadir bersama. Banyak
yang mereka bicarakan.
Toan Teng Peng pun melayani
Bhok Yan dan Bhok Lin
dengan sempurna. Bhok Lin
menjadi malu hati, maka ia
beritahukan yang ayahnya bakal
menyerang ke Tali.
Mendengar itu sambil tertawa
Sin Cu berkata:
"Siauwkongtia, Toan Ongya
baik sekali terhadap kamu,
bagaimana ayahmu masih hendak
menggeraki angkatan
perangnya untuk datang
menyerang?"
Merah mukanya Bhok Kongcu.
"Aku akan mencoba
membujuk ayah, guna mencegah ia
membawa tentaranya memasuki
kota ini," katanya. Ia berkata
demikian, hatinya sebenarnya
bingung.
806
Toan Teng Peng dan Tan Hong
tertawa sambil saling
mengawasi.
"Terima kasih,
siauwkongtia." kata mereka.
Di saat pesta hendak ditutup,
satu nona datang dengan
paras bersenyum-senyum.
"Anak Cu mari!" Toan
Teng Peng memanggil seraya
menggapai. "Mari menemui
tetamu-tetamu kita!"
Itulah puterinya Teng Peng
yang bernama Cu Jie, usianya
baru enam belas, seimbang sama
usianya Bhok Lin. Dia cerdas
dan manis budi, siapa pun senang
bergaul dengannya.
Bhok Yan menarik tangan orang.
"Sungguh seorang nona
yang cantik manis!" dia memuji.
"Encie-lah yang seperti
bidadari!" Cu Jie balik memuji.
"Katanya Bhok Kongtia
hendak mengirim tentara menyerang
kita, kalau nanti negara kita
musnah dan rumah tangga kita
ludas, mungkin aku ditawan dan
dijadikan budak, sampai pada
itu waktu, pasti encie tidak
akan sukai aku..."
"Jangan mengucap begini,
adikku," berkata Bhok Yan.
"Ayahku tidak hendak
memusuhi, itu adalah urusan negara."
Teng Peng lantas menyelak sama
tengah: "Sudah jangan
bicarakan urusan itu!
Jauh-jauh Bhok Kongcu dan Bhok Siocia
datang ke mari, kita adalah
orang sendiri. Anak Cu, lebih baik
kau menyanyi untuk
mereka."
Nona itu dengar kata,
benar-benar ia lantas bernyanyi,
antaranya ia menyebut-nyebut
si tukang jual salju.
807
"Ya, kita mendengar
tukang jual salju itu menjual saljunya!"
Bhok Lin kata tertawa.
"Memang, Tali dan Kunbeng
tidak beda banyak," Cu Jie
bilang. Ia tertawa manis
sekali. Kemudian ia melanjuti
nyanyinya, tentang keindahan
alam di Tali, yang rakyatnya
bersedia untuk berperang.
"Rakyat yang
jempolan!" memuji Tan Hong.
Tapi hati Bhok Lin tawar. Ia
menyayangi kalau tempat
indah ini menjadi medan
perang.
Habis berjamu, Teng Peng ajak
semua tetamunya melihatlihat
istananya, istana indah yang
usianya sudah beberapa
ratus tahun. Di dalam taman
pun ada pengempangnya yang
bagus, yang dikitari loneng
batu putih serta diperlengkapi
jembatan batu marmer untuk
orang menyeberanginya. Di situ
pun ada paseban, ada ranggon,
ada sebuah batu besar mirip
singa.
Bhok Lin kagum, ia memuji.
"Kau baru sampai di Tali,
kau belum sempat melihat kelenting
Kwan Im Am," kata Toan Cu
Jie tertawa.
"Kelenting itu dibangun
atas sebuah batu besar, itulah baru
kelenting besar! Batu ini
sangat kecil."
"Bukankah kelenting Kwan
Im Am itu yang dinamakan juga
kelenting Tay Cio Am?"
tanya Bhok Yan.
"Benar! Oh, encie pernah
pergi ke sana?"
"Aku cuma pernah baca itu
dalam catatan di Tian Lam
Hong But Cie," jawab Nona
Bhok. "Berhubung dengan itu
808
katanya ada sebuah dongeng.
Katanya dulu kala itu ada
sekawanan berandal hendak
menyerbu Tali, lantas Dewi Kwan
Im muncul dengan menyamar
menjadi seorang wanita tua,
punggungnya menggen-dol itu
batu besar. Melihat itu,
kawanan berandal heran dan
kaget. Dewi kata pada mereka,
'Aku sudah tua, aku cuma bisa
menggendol batu kecil ini,
tetapi anak-anak muda di dalam
kota, mereka biasa
menggendong batu-batu yang
jauh terlebih besar.' Kawanan
berandal itu ketakutan, mereka
kabur, tidak berani mereka
masuk ke dalam kota. Itulah
dongeng yang dinamakan
'Menggendong batu mengundurkan
tentara.' Benarkah itu?"
Sengaja Nona Bhok menunjuki
pengatahuannya yang luas
itu di depan Keng Sim.
Cu Jie mengangguk.
"Benar, encie,"
katanya. "Luas pengatahuanmu, aku kagum
sekali. Habis itu, karena
penduduk kota bersyukur, mereka
membangun kelenting dewi itu
di atas itu batu besar."
Sin Cu ketahui halnya dongeng
itu tetapi ia berdiam saja.
Bhok Lin sebaliknya berpikir,
entah dewi itu bisa atau tidak
mencegah angkatan perang
ayahnya itu...
Keng Sim diam-diam terus
memperhatikan Sin Cu. Ia tahu
hati orang adem.
"Pemandangan di sini
indah, bukannya kamu mengicipinya
hanya kamu
membicarakannya!" katanya.
"Bukankah itu sama
saja?" Bhok Yan tertawa. "Rupanya
cuma kau yang paling pandai
mengicipi pemandangan alam
yang indah..."
809
Itu waktu mereka sudah
menyeberangi jembatan. Toan
Teng Peng minta Tan Hong
menulis sesuatu. Katanya, ia
dengar tayhiap ini pun pandai
ilmu surat.
"Biarlah anak-anak muda
yang menulisnya!" Tan Hong
tertawa. "Nah, siapa di antara
kamu yang hendak menulis
tanda peringatan?"
Bhok Yan ingin menulis tetapi
ia tidak segera mendapatkan
bahannya. Maka ia mengawasi
Keng Sim.
"Aku tidak berani
bertingkah di depan Thio Tayhiap." kata
pemuda she Tiat itu. Ia tahu
maksudnya si Nona Bhok.
"Tiat Kongcu turunan
pandai, kau pasti dapat menulis
bagus!" Tan Hong memuji.
"Ya, kau tulislah!"
Bhok Yan mendesak.
Keng Sim puas sekali. Ia
lantas minta pit dan kertas, terus
ia menulis, memuji keindahan
taman dan batu dalam dongeng
itu, bahwa di malaman terang
bulan, ujung jembatan
bagaikan sepasang bianglala.
Bhok Yan girang, ia memuji
sambil bertepuk tangan.
Teng Peng pun girang. Pujian
kepada batu itu ada pujian
untuk keluarga Toan juga.
Karena ini, ia mengasi titah agar
pujian itu diukir di alas batu,
Tan Hong pun memuji, tetapi ia
tahu, syairnya Keng Sim itu
kurang lengkap, kurang kekerasan
hati, seumpama kata ada kepala
tidak ada ekornya...
Kemudian orang duduk
beristirahat di bawah batu. Gembira
Toan Teng Peng, ia menyuruh
pahlawan-pahlawannya
mengadu gulat.
810
“Inilah permainan bagus!"
tertawa Bhok Yan, yang gembira
sekali. "Tiat Kongcu,
mengapa kau tidak hendak mencoba
mengambil bagian?"
"Oh, kiranya Tiat Kongcu
mengarti ilmu surat dan ilmu silat
juga!" berkata tuan
rumah. "Nah, inilah ketika baik untuk
kamu! Lekas kamu minta
pengajaran dari Tiat Kongcu”
Tidak dapat Keng Sim menampik
anjuran Nona Bhok. Ia
memang mau membanggakan
kegagahannya. Maka ia pergi
ke gelanggang. Ia melawan
kedua pahlawan. Mereka itu
mengira orang lemah lembut,
tidak berani mereka
mengeluarkan seantero
tenaganya, tetapi kesudahannya,
mereka kena dibikin jungkir
balik! Malah jidat mereka munjul
bengkak bekas terbanting.
Menonton itu, Sin Cu
mengerutkan kening. Bhok Yan pun
agak kecewa. Toan Teng Peng,
sebagai tuan rumah, bertepuk
tangan memuji. Mendengar ini,
Keng Sim menjadi puas sekali.
Puas pesiar, sudah magrib,
orang balik pulang. Selagi
berjalan, Sin Cu membiarkan
Keng Sim dan Bhok Yan jalan
lebih dulu, ia berayal-ayalan,
untuk bisa berjalan bersama
Seng Lim.
"Berhubung sama ilmu
gulat, kepandaianmu Taylek
kimkong ciu adalah yang paling
tepat," ia kata pada pemuda
itu, coba tadi kau turun
tangan, celakalah kedua pahlawan
itu."
"Tetapi itu main-main
saja, orang mesti mengenal batas,"
Seng Lim jawab. "Tiat
Kongcu itu benar lincah, dia harus
dipuji."
Sin Cu bersenyum.
811
"Eh, ya, mengapa hari ini
kau berdiam saja?" ia tanya.
"Sebenarnya aku tengah
memikirkan keletakan tempat,"
Seng Lim menyahut. “stana
mengandal gunung di tiga muka
dan air di satu muka.
Pendirian benar kuat, tetapi kalau orang
menggunai perahu enteng
menyerbu dari air, setibanya di
tepian lantas orang menghadapi
pembelaan di darat, inilah
berbahaya. Tentara penjaga
pasti tidak bakal keburu
mencegahnya. Inilah berbahaya.
Istana pun berada di luar
kota, kurang erat hubungannya
dengan tentara di dalam kota,
ini menambah ancaman bahaya.
Umpama kata aku menjadi
kepala perang musuh, pasti aku
akan rampas dulu istana guna
nanti merampas seluruh
Tali."
"Kiranya kau membungkam
seluruh hari karena memikirkan
soal peperangan," kata si
nona.
"Meskipun begitu, kalau
musuh menyerang dari air, mereka
cuma dapat mengirim jumlah
yang kecil," Seng Lim
menambahkan. "Hanya
dengan jumlah yang kecil mereka
dapat menyeberangi air. Oleh
karenanya, apabila kita
membuat penjagaan di muka air,
cukup kita dengan beberapa
ratus serdadu yang terlatih
saja. Umpama di hulu telaga kita
mengatur penjagaan, kita
memancing musuh masuk, lantas
mereka akan kena
dibekuk!"
Kembali Sin Cu tertawa.
"Pantaslah selama di
dalam istana kau mengawasi tembok
saja di mana ada terlukis peta
bumi!" katanya pula.
Pembicaraan mereka terputus
tertawanya Bhok Yan. Ketika
Sin Cu berpaling, ia melihat
Nona Bhok jalan berendeng
dengan Keng Sim, agaknya erat
sekali pergaulan
812
mereka. Tiba-tiba ia merasakan
mukanya menjadi panas
sendirinya. Belum sempat ia
menoleh ke lain jurusan, Keng
Sim sudah berpaling ke
arahnya. Empat mata bentrok
sinarnya, lantas keduanya
sama-sama tunduk. Hati Sin Cu
berdenyu-tan, ia mendapatkan
kemenyesalan pada sinar
matanya anak muda itu.
Malam itu Nona Ie mesti
berpikir banyak. Sampai jauh
malam barulah ia dapat pulas.
Selama itu ia ingat saja Keng
Sim. Besoknya pagi ia pergi ke
luar kamar gurunya, ia jalan
mundar-mandir saja, tidak
berani ia mengasi bangun gurunya
itu.
Selang sekian lama barulah
sang guru membuka pintu.
"Eh, Sin Cu, kau
memikirkan apa?" menegur Tan Hong,
yang lihat roman orang beda
daripada biasanya. Ia tertawa.
"Tidak, suhu, muridmu
cuma hendak memberi selamat pagi
padamu," sahut si nona.
Tan Hong bersenyum. Bersama
murid itu ia pergi ke latar.
Mereka menyender di loneng
untuk memandangi gunung
Khong San dan telaga Jiehay.
"Ah, sang hari lewat
cepat sekali!" berkata sang guru. "Kau
sekarang sudah berumur tujuh
belas tahun. Benar bukan?"
"Dari hari ulang telah
lewat tiga bulan," sahut sang murid,
mengangguk.
"Ketika pertama kali kau
datang ke Thayouw sankhung, kau
baru berusia tujuh
tahun," berkata pula sang guru. "Ya, itu
waktu kau masih mengeluarkan
air dari hidungmu..."
813
"Sementara itu belasan
tahun sudah suhu mendidik
muridmu," sahut si nona.
Guru itu tertawa pula.
"Kau telah menjadi
dewasa, aku lega hati. Hanya..."
"Hanya apa, suhu?"
"Semasa kau berumur tujuh
tahun, kau tidak memikir suatu
apa. Sekarang dalam usia tujuh
belas, kaulah satu nona
remaja. Tidak dapat tidak, aku
mesti memikirkan kau dalam
suatu urusan..."
Si nona berdiam. Hanya
sebentar, ia mengangkat
kepalanya.
"Keindahan di sini dipadu
sama Thayouw sankhung saling
beri..." katanya.
"Ya. Memang Jiehay dapat
dibandingkan dengan Thayouw.
Selama musim semi, seluruh
gunung penuh bunga,
pemandangannya sungguh
indah."
"Apakah di Khong San ada
bunga mawarnya?" tanya Sin Cu
tiba-tiba.
Tan Hong tercengang.
“Inilah aku tidak
perhatikan," sahutnya. "Tapi di sini semua
empat musim seperti musim
semi, umpama kata benar tidak
ada pohon mawarnya, kalau kita
memindahkannya dari
Kanglam, pohon itu pastilah
akan tumbuh di sini..."
814
"Eh, suhul" mendadak
si murid menanya pula, suhu
menyukai bunga mawar di
Kanglam atau pohon tayceng di
sini?"
Kembali guru itu tercengang.
Ia memandang mata orang,
hingga ia merasa melihat
cahaya yang mengandung sesuatu
rahasia. Maka ia lantas
bersenyum.
"Untukku, aku menyukai
dua-duanya!" sahutnya. "Bunga
mawar dapat membikin orang
senang dan gembira, dan
pohon tayceng bisa membikin
orang meneduh dan berangin."
"Tidak demikian,
suhu," si murid mendesak. "Umpama suhu
mesti memilih, yang mana suhu
akan pilihnya?" Kali ini ia
menatap wajah gurunya itu. Ia
mirip bocah yang menghadap
soal sulit, yang meminta
bantuan keputusan.
Tan Hong berpikir, terus ia
tertawa.
"Dalam hal itu kita mesti
melihat sifatnya sesuatu orang,"
ujarnya.
"Diumpamakan Bhok Yan,
dia pasti menyukai bunga
mawar."
Sin Cu mengangguk.
"Kalau kita bicara
tentang kefaedahannya untuk manusia,
tentu saja pohon tayceng yang
terlebih baik," guru itu
menambahkan.
Kembali si nona mengangguk.
"Sebenarnya,"
berkata guru itu kemudian, tertawa,
"untukmu baiklah kau
tunggu lagi dua tahun untuk
memikirkan soal begini.
Untukmu masih belum lambat."
815
Mukanya nona itu bersemu
merah.
"Sekarang pergilah kau
memasang omong sama subo-mul"
kata pula sang guru, yang
bersenyum. "Subo-mu hendak
mengetahui ke-pandaianmu
menggunai senjata rahasia.
Sekarang aku hendak pergi ke
ke istana. Lusa ada harian
thaysucouw membuka pintu
kamarnya, di depannya kau boleh
pertontonkan
kepandaianmu."
Seberlalunya guru itu, Sin Cu
berpikir keras. Ia masgul.
Maka ia lantas cari subo-nya,
ibu guru. Tapi ia segera
mendengar suara bayi menangis,
ia membatalkan niatnya.
Tentu sang ibu guru lagi
menyusui bayinya.
Justeru itu ia tampak Siauw
Houwcu mendatangi sambil lari
berjingkrakan. Bocah nakal itu
sudah lantas menyamber
tangannya, untuk ditarik.
"Sudah lama aku
mencarinya, kiranya kau ada di sini,"
serunya. "Lekas, lekas!
Mari kita menangkap ikan!" Segera dia
menambahkan: di sana pun ada
Bhok Siauwkongtia, dia
menyuruh aku, mengajak
kau!"
Karena lagi masgul itu, Sin Cu
turut bocah nakal itu.
Girang Bhok Lin melihat
datangnya nona ini.
"Kau baik, Nona Ie?"
ia menegur.
"Cis" bentak Siauw
Houwcu. "Memang ada apanya yang
tidak baik sampai kau mesti
menyapanya?..."
Mukanya Bhok Lin merah.
816
“Inilah adat peradatan, Siauw
Houwcu," katanya. "Ah, kau
mirip bocah liar!"
"Ya, aku bocah liar dan
kau bocah agung!" kata si nakal,
mengangkat pundak. "Kau
tidak suka main-main sama aku!"
"Maaf, Siauw Houwcu, aku
salah!" Bhok Lin lekas mengaku.
"Aku tidak berani
lagi..."
Lenyap juga kegembiraannya Sin
Cu melihat dua bocah itu
bergurau. Mereka itu, kecil
tidak dapat dikatakan masih kecil,
besar belum besar.
Yang digemarkan Houwcu adalah
kionghie, ikan "panah,"
ikan istimewa di telaga Jiehay
itu, yang bisa disebut juga ikan
paling aneh di kolong langit.
Kalau ikan lain berenang
mengikuti air, dia justeru
sebaliknya, dia berenang melawan
air, untuk selamanya dia tidak
kembali ke hilir dari telaga
Jiehay, dia berenang naik
melawan delapan belas aliran kali
kecil di Khong San itu,
tubuhnya dapat mencelat maju.
Demikian dia dapat namanya,
ikan panah.
Untuk menangkap akan itu,
Siauw Houwcu membikin
lingkaran pada ujungnya sebuah
cabang kayu kecil. Lingkaran
itu digunai sebagai
joanpian,cambuk lemas. Setiap kali dia
menyamber, ikan kena
tersamber, untuk terus dikasi masuk ke
dalam korang. Dia liehay,
belum pernah samberannya gagal.
Maka itu cepat sekali dia
telah dapat menangkap banyak.
Bhok Lin girang sekali,
berulangkah ia bersorak.
Kembali Siauw Houwcu
menyamber. Mendadak ia
menampak satu bayangan orang,
lalu lingkarannya itu
kesamber, ikannya terlepas,
nyemplung pula ke air, hingga air
muncrat. Pun korang-nya turut
kesamber, hingga ikannya
pada terlepas, semua berenang
terus ke hulu.
817
Bayangan itu ialah Yap Seng
Lim.
Bocah itu jadi gusar.
"Yap Toako, kau bikin
apa?" dia menegur.
"Jangan ganggu ikan
ini," sahut Seng Lim tertawa. “kan ini
besar semangatnya, dia tidak
kenal kesukaran. Lihat, dia terus
maju ke hulu. Semangatnya itu
harus dikagumi. Sekarang kau
main menangkapi, aku tidak
puas..."
Siauw Houwcu melengak, tapi
cuma sebentar, dia kata
"Baiklah, kau
benar!" Ia berbangkit, ia menepuk-nepuk
tangan, untuk membersihkan
tangannya itu.
Sin Cu dan Bhok Lin tertawa.
Tapi mendadak, tertawa
mereka tertindih suara tertawa
seram dari lain orang, yang
datangnya tiba-tiba.
Tahu-tahu di dekat mereka
muncul enam tujuh orang, yang
semua beroman luar biasa. Yang
satu berambut merah, kedua
kakinya lempang jegar, ketika
dia berlompat, dia berlompat
tingginya tujuh delapan kaki
dan jauhnya dua tiga tombak,
kedua matanya besar seperti
kelene-ngan. Dia mengawasi
Nona Ie, sembari tertawa dia
kata: "Sungguh nona kecil yang
cantik manis!"
Seng Lim berempat terkejut,
apapula ia sendiri dan Sin Cu.
Turut pantas, sedikit saja
orang berkerisik, mereka mesti
mendengarnya. Tapi kali ini,
tahu-tahu orang sudah datang
dekat.
Sin Cu mendongkol atas
kata-kata orang, akan tetapi belum
ia sempat mengambil sikap, ia
sudah dibikin terkejut pula.
Orang luar biasa itu sudah
berlompat kepadanya, tangannya
818
menyamber. Hampir ia kena
dicekuk, baiknya ia masih dapat
berkelit.
Siauw Houwcu menjadi gusar,
mendadak saja ia
menyerang. Ia berhasil, suara
hajarannya berbunyi keras. Ia
telah menggunai jurus dari
Liongkun, kuntauw Naga. Ia masih
kecil tetapi tenaganya sudah
berat enam atau tujuh ratus kati.
Hanya kali ini ia gagal. Meski
ia menghajar jitu, yang roboh
bukan si orang berambut merah
itu, ia sendiri yang tertolak
mundur kira-kira tiga tombak,
terus kecebur ke kali kecil!
Seng Lim tidak ketahui,
rombongan itu adalah orang-orang
undangannya Cie Hee Toojin.
Merekalah yang disebut
rombongan iblis. Dan si rambut
merah ini ada Liok Yang
Cinkun yang ceriwis, yang
gemar paras elok, maka juga
datang-datang dia main gila
terhadap Nona Ie.
Selagi Siauw Houwcu
terpelanting, Sin Cu sudah
menghunus Cengbeng kiam.
Liok Yang Cinkun tidak
menghiraukan pedang itu, kembali
ia menjambret, karena ini, ia
lantas bertempur sama si nona.
Mengetahui musuh liehay, Sin
Cu lantas menggunai ilmu
silat "Menembusi bunga
mengitarkan pohon." Ia berlompatan,
ia melejit sana sini, tubuhnya
sangat lincah. Tempo ia
menyerang dengan tipu silat
"Bidadari melemparkan torak," ia
berhasil memapas ujung jubah si
imam, hanya habis itu,
pedangnya terpental.
Liok Yang Cinkun tidak kaget,
dia bahkan tertawa terbahak.
"Pedang yang bagus!"
serunya. "Pedang yang bagus dan
nona yang cantik! Kalau aku
mendapatkan dua-duanya,
tidakkah itu bagus?"
Kembali dia menyamber, kali ini ke tulang
819
piepee di pundak si nona.
Celaka siapa kena dijambak
tulangnya itu.
Selagi imam ini girang sekali
sebab ia dapat mendesak si
nona manis, mendadak terdengar
suara "Buk!" lalu ia
merasakan punggungnya sakit,
tubuhnya pun terhuyung ke
depan dua tindak. Berbareng
dengan itu, ujung pedang si
nona menyamber ke jalan darah
cietong hiat di bawah
tetenya. Tapi ia bisa
membebaskan diri, cuma hajaran tadi
membikin ia kaget juga.
"Ha, kiranya kau pun
mengarti silat?" tegurnya pada orang
yang membokong punggungnya.
Sin Cu menyerang terus, tiga
kali beruntun, tapi ia
menggunai ketika akan menoleh kepada
orang yang membantu ianya,
ialah Seng Lim. Tangan si anak
muda bengkak dengan tiba-tiba,
tubuhnya pun bergulingan
di tanah, sebab akibat
serangannya, ia terpental jatuh, ia
mesti bergulingan di tanah.
Liok Yang mendongkol karena
kena dibo-kong sedang si
nona tak dapat ia membekuknya.
Sin Cu yang cerdik lantas saja
insaf bahwa ia kalah jauh,
karena itu ia berkelahi terus
dengan tipu silatnya itu
Menembusi Bunga Mengitari
Pohon.
Dengan begini ia dapat
bergerak dengan lincah sekali,
serangannya pun aneh. Ia
menggertak ke timur, sebenarnya
ia menyerang ke barat, ia
mengancam ke selatan, habisnya ia
menikam ke utara. Ia sendiri
tidak pernah kena dijambret.
Cuma semua serangannya tidak
memberi hasil. Lawan itu
kebal, tidak mempan senjata
tajam, tidak pun pedang mustika
itu.
820
"Yap Suheng, lekas pergi
mengundang suhu1." kata si nona
kemudian, sesudah ia melayani
belasan jurus tanpa ada
hasilnya.
Seng Lim tidak mau pergi. Ia
dapat kenyataan si nona
terancam bahaya. Tangan
kanannya bengkak dan sakit,
sekarang ia gunai tangan
kirinya. Tangannya terluka tetapi ia
masih dapat berkelahi dengan
baik.
"Jangan lawan tenaga, dia
kedot!" Sin Cu mengasi ingat.
"Dia kuat sekali!"
Ia berseru tetapi ia menyerang.
Seng Lim panas hatinya. Ia
lompat ke samping, dengan
tangan kiri ia mencabut sebuah
pohon kecil, dengan itu ia
menyapu imam yang tangguh itu.
Gagal serangan dengan pohon
kayu ini. Liok Yang Cinkun
dapat berkelit. Tapi dia
mendongkol. Sekian lama dia tidak
sanggup merebut kemenangan,
dia malu sendirinya.
"Mesti aku mampusi dulu
bocah ini, baru aku bekuk si
wanita!" pikirnya. Karena
ini, ia lantas mengempos
semangatnya.
Ketika itu Cie Hee Toojin
berseru: ”Cinkun, ampuni dia!
Dialah muridnya Thio Tan
Hong!"
Imam ini tidak kenal Sin Cu,
tetapi bersama ia ada Poan
Thian Lo dan muridnya itu yang
memberitahukan. Poan Thian
Lo mengharap-harap Liok Yang
Cinkun berhasil, sebab ia benci
nona itu. Tadinya ia diam
saja, adalah gurunya, yang minta
keterangan padanya, sebab guru
ini bercuriga melihat ilmu
silat yang liehay dari nona
itu. Ditanya gurunya, Poan Thian Lo
tidak berani mendusta. Cie Hee
tidak takuti Tan Hong, ia tidak
menyayangi Sin Cu, ia hanya
merasa malu mengingat
derajatnya mesti melayani
orang dari tingkat rendah.
821
"Oh, kiranya muridnya
Thio Tan Hong!" Liok Yang Cinkun
pun berseru. "Benar,
tidak dapat aku berlaku sembrono!" Tapi
ia toh menggunai tenaganya, ia
menyamber pohonnya Seng
Lim, ia menarik dan mematahkannya,
sesudah mana, ia
serang si anak muda. Seng Lim
cerdik, dia membuang diri
dengan lompatan “Ikan gabus
meletik," dengan begitu ia
selamat.
Sin Cu tapinya tidak mundur,
sekalian hendak menolongi
Seng Lim, ia berkelahi secara
nekat.
Liok Yang Cinkun mengebas
dengan tangan bajunya, untuk
melibat pedang orang. Sembari
tertawa dia kata: "Sebentar
aku akan minta kepada gurumu!
Aku menghendaki Thio Tan
Hong menyerahkanmu menjadi
muridku!"
Panas hatinya Sin Cu, mukanya
menjadi merah padam. Ia
mengerahkan tenaganya tetapi
tidak berhasil ia meloloskan
pedangnya dari gubatan tangan
baju imam itu. Ia heran
bahwa orang ada sedemikian
liehay.
Seng Lim sudah berlompat
bangun, ia menahan sakit pada
lukanya. Ia memikir untuk
menyuruh Bhok Lin lari pulang,
guna mengasi kabar pada Thio
Tan Hong atau lainnya. Ia
kecele. Pangeran muda itu
tidak ada, setahu ke mana
perginya. Ia tidak tahu Liok
Yang Cinkun tengah
mempermainkan Nona Ie,
menyaksikan nona itu terancam
bahaya, lupa segala apa, ia
lompat untuk menerjang.
"Bocah busuk, kau mencari
mampusmu?" Liok Yang Cinkun
mengejek. Ia masih mengubat
pedang, si nona, dengan
tangan baju yang lainnya ia
mengebas pada ini anak muda.
Hebat Seng Lim terancam. Baru
saja samberan angin
datang, ia sudah merasai
kepalanya pusing. Tapi ia nekat, ia
822
maju terus dengan serangannya.
Atau mendadak ia
merasakan tubuhnya tertolak
keras, sampai ia mundur
beberapa tindak. Ia masih
terhuyung tatkala ia dengar
teriakan girang dari Sin Cu.
Beberapa bayangan orang
terlihat berkelebat, menyusul itu
tubuh Liok Yang Cinkun
terguling roboh hingga si imam
berteriak keras, selagi dia
roboh, dia disusul dua rupa benda
yang berkelebat berkilauan.
Seng Lim pun segera dapat
melihat, dia menjadi girang
sekali.
Di situ muncul Hek Pek Moko!
Dua orang Putih dan Hitam ini
dipanggil Siauw Houwcu. Kecemplung
di kali, bocah nakal itu tidak
segera mendarat. Ia
ada sangat cerdik, tanpa
timbul lagi, ia berenang sambil
menyelam. Ia baru muncul
sesudah terpisah jauh dari tempat
kejadian. Dia mau pergi kepada
Toan Teng Khong akan
mencari gurunya, tempo ia
bersomplokan sama Hek Pek
Moko. Maka ia lantas minta
bantuannya dua saudara ini.
Mengetahui Sin Cu terancam
bahaya, Hek Pek Moko datang
dengan lantas, bahkan dengan
lantas mereka serang si imam
ceriwis hingga dia itu roboh.
Liok Yang Cinkun tidak
terluka, dia lantas berlompat
bangun.
Ketika sepasang tongkat Hek
Pek Moko menyamber pula, ia
menangkis dengan mengerahkan
tenaganya menurut ilmu
kekuatannya Kungoan
Itkhiekang.
Hebat tolakan itu, kedua
tongkat kena dibikin mental,
setelah mana, imam ini
mengulangi emposan semangatnya,
untuk membalas menyerang.