Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 12 (Tamat)
(Jilid sebelumnya hilang)
Belasan busu itu kaget, tidak
berani mereka melawan, dalam sekejaban mereka lari serabutan.
In Tiong berlompat ke pintu
taman, sambil berseru ia menyerang pintu itu, yang ia gempur dengan tenaganya
yang dikerahkan.
Hebat penyerangan Taylek
Kimkong ciu itu, pintu terdobrak terbuka walaupun terbuatnya daripada besi,
maka dari situ Tan Hong bertiga menerobos ke luar, hingga mereka berada
di bukit Keng San, bukit yang
terletak di bagian belakang dari taman itu. Dari atas bukit mereka memandang ke
arah taman, ke arah istana, di mana kebakaran tidak dapat segera
dipadamkan.
In Tiong mendongkol sekali
hingga ia berkata dengan sengit: "Sungguh satu raja goblok yang tak dapat
membedakan kesetiaan dari kedurhakaan! Kita hendak membela mereka, kita justeru
diperlakukan begini rupa!
Biarlah api ini membakar ludas
semua istananya yang indahindah itu! Beginilah baru aku puas!"
Tan Hong tertawa, “Istana ini
pun terbangunkan oleh peluh dan darahnya rakyat!" ia berkata, "maka
sayanglah kalau semuanya dijadikan kurban api... Laginya, dengan sekarang
terbakar, apa lain kali tidak dapat dibangun pula? Itu justeru akan menambah
kesengsaraannya rakyat..."
"Tetapi aku sangat
membenci kaisar tolol itu!" kata In Tiong tetap sengit. Ia ingat masanya
ia sangat bersetia kepada negara, kepada kaisar, tetapi begini macam nasib
keluarga In, maka itu sembari mengawasi api, rupa-rupa perasaan datang
menyandingi otaknya.
Dulu ia setia, berkobar semangatnya untuk bekerja untuk
negara, tetapi sekarang, semangat itu seperti terbakar tumpas oleh api yang
lagi berkobar-kobar itu...
"Kau menyebutnya raja
tolol, yang gelap pikirannya," berkata Tan Hong, yang tak lenyap
kegembiraannya, "aku menaksir dia tentulah menganggap dirinya cerdik
sekali!
Bukankah kita semua dipandang
dia sebagai orang-orang yang dapat mencelakai kedudukan kaisarnya? Pantas saja
kita membangkitkan kebenciannya itu!"
Lalu moayhu ini menghibur
iparnya itu.
Sekarang In Lui ingat puteri
Iran. "Coba bilang, engko," ia tanya suaminya, "puteri Iran dan
suaminya berada di dalam istana, mungkin mereka ditahan, apakah mereka terancam
bahaya atau tidak?"
"Bukan saja mereka tidak
terancam bahaya," menyahut Tan Hong tertawa, "bahkan sebaliknya,
mereka pasti akan diperlakukan hormat sekali oleh Kie Tin! Mereka itu bukannya
seperti kita. Pasti sekali Kie Tin senang dapat berserikat sama satu negara
asing. Bukankah ia mengharapkan
keselamatan takhta kerajaannya?"
In Lui pun tertawa. Ia kata:
"Dengan masuknya kita kali ini ke istana, kita telah mengajar adat
kepadanya. Pasti dia kecewa yang dia tidak dapat menyingkirkan kau, engko.
Sekarang tidak dapat tidak, ia
mesti turut salah satu dari tiga jalan yang ditunjuki olehmu, untuk berserikat
sama Negara asing."
Selama itu, api nampak mulai
reda.
"Kita jangan omong saja
di sini," kata Tan Hong, memperingati, "kalau api sudah padam semua,
ada kemungkinan mereka nanti mencari dan menyusul kita. Mari kita lekas
pulang!"
"Pulang ke manakah?"
sang isteri tanya.
Tan Hong berpikir, lalu dia
tertawa.
"Lupakah kau orang yang
mengantar kuwe kepada kita?" ia tanya. "Biarlah, malam-malam juga
kita berangkat ke Patatleng, untuk membalas kunjungannya itu! Dua sahabat itu
berharga untuk kita mengikat persahabatan dengannya."
"Baik," sahut In
Lui, setuju. "Kau biasanya tidak menduga keliru. Aku hanya tidak mengerti,
kenapa mereka ketahui alamat kita dan pun datang menolong di saat yang tepat.
Kenapa mereka ketahui kita
terancam bahaya? Kenapa mereka dapat berdaya menolongi kita?"
Pertanyaan itu tidak dapat dijawab
Tan Hong. In Tiong juga tidak dapat memikirnya. Maka itu ingin mereka
lekas-lekas tiba di gunung Patatleng, untuk mendapatkan pemecahannya.
Sementara itu mereka tidak
menyangka yang murid mereka, untuk sesuatu hal, sudah mendahului mereka pergi
ke gunung Patatleng itu.
Di Huiliong Piauwkiok,
seberlalunya Tan Hong, Liong Teng sudah lantas mengambil tindakannya.
Ia telah membubarkan semua
pegawainya, ia tutup perusahaannya itu. Dengan begitu, Sin Cu dan Siauw Houwcu
pun turut mengangkat kaki.
Tadinya Sin Cu ingin menumpang
sama Co Thaykam, untuk melihat perkembangan terlebih jauh, tetapi setelah
memikir lainnya, ia mengambil lain pendapat. Maka dengan menunggang kuda putih,
bersama Siauw Houwcu ia keluar dari pintu kota barat, untuk menuju ke kota
Kieyongkwan, hingga mereka tiba di luar kota itu.
"Eh, encie Sin Cu, perlu
apa kau ajak aku ke tanah pegunungan ini?" Siauw Houwcu menanya.
"Anak nakal!" Sin Cu
tertawa. "Kau paling gemar memain, sekarang aku ajak kau ke tempat di mana
ada pemandangan yang paling aneh di kolong langit ini, ialah Banlie Tiangshia,
itu tembok besar dan panjang yang katanya selaksa lie!
Apakah kau tidak
gembira?"
Lantas si nona men-joroki
orang turun dari kudanya, dengan kudanya itu terus dilepas dibiarkan mencari makan
sendirinya.
Ketika itu sudah magrib, di
antara sinar layung, sungguh indah nampaknya Tembok Besar, yang bagaikan ular
panjang dengan sinarnya kekuning-kuningan berlugat-legot di atas tanah
pegunungan.
Banlie Tiangshia ialah
bangunan paling besar dalam hikayat Tiongkok, dari kota Keejukwan dia
menyambung sampai di kota Sanhaykwan, berliku-liku di antara gunung-gunung
sejauh dua belas ribu lie lebih. Di bagian kota Kieyongkwan ini ialah daerah
yang menyampaikan gunung Patatleng (Pataling), maka itu Sin Cu mengajak Siauw
Houwcu pergi ke kota Kieyongkwan ini. Mereka mendaki bukit dari selatan kota,
mereka naik ke atas Tembok Besar, maka dari sana mereka menyaksikan
gunung-gunung yang seperti tak ada ujung pangkalnya, tembok kota panjang
seperti ular terlihat kepalanya tidak ekornya.
Berada di atas tembok dan
tertiup angin, Siauw Houwcu bergembira sekali, hingga ia berseru-seru
kegirangan. Tetapi kapan ia ingat suatu apa, ia lantas mengawasi nona kawannya.
"Encie Sin Cu, benarkah
cuma untuk aku memandangi tembok dan bukit ini maka kau mengajak aku ke
mari?" dia bertanya.
Nona Ie tertawa.
"Apa? Tidakkah ini
indah?" ia balik menanya.
"Memang indah,"
sahut Siauw Houwcu. "Hanya sekarang sudah sore, kalau kita pulang, pintu
kota tentunya telah ditutup. Ah, aku tidak percaya hari ini kau mempunyai
kegembiraan mengajak aku pesiar ke mari"
Si nona tertawa geli.
"Malam ini, kita mencari
pondokan di atas gunung Patatleng," ia berkata. "Eh, Siauw Houwcu,
apakah kau takut nanti digegares srigala? Benarkah kau hendak pulang kembali ke
kota raja?"
"Aku takut srigala? Ha!
Aku justeru hendak mencari seekor untuk dipakai menangsal perutku! Hanya guru
kita, mereka tentu menantikannya di rumah Co Thaykam, kalau mereka tidak
mendapatkan kita, bagaimana? Ah, encie Sin Cu, kau biasanya sangat mendengar
kata terhadap suhu, kenapa sekarang kau berkuasa sendiri, kau mengajaknya aku
kemari?
Tentu ada sebabnya! Nah,
encie, apabila kau tidak menjelaskannya padaku, nanti aku mengadu pada
suhu."
Sin Cu tertawa.
"Aku ajak kau ke mari
justeru untuk menantikan suhul" jawabnya mana.
"Apakah kau lupa yang
suhu pernah berjanji sama orang yang menyebut dirinya Patat Sanjin itu, yang
menjanjikan pertemuan di atas panggung Tiamciang Tay?"
"Akan tetapi suhu tidak
menjanjikan temponya," Siauw
Houwcu kata. "Sekeluarnya
dari istana, suhu tentu bakal terus menuju
kemari, "Sin Cu
menerangkan. "Aku sendiri ingin lekas menemui Patat Sanjin itu, maka itu
aku mendahului datang ke mari untuk menyelidikinya. Aku percaya suhu tidak
bakal menegur aku."
"Apakah kau kenal Patat
Sanjin itu?" tanya Siauw Houwcu heran.
"Tidak."
"Habis kenapa kau mencari
dia? Dia pun tidak berjanji bertemu suhu malam ini? Mana kau tahu pasti yang
dia akan menantikan di Tiamciang Tay?"
"Kita cari dia di seluruh
Patatleng, aku percaya kita dapat menemukannya."
"Sebenarnya siapakah dia
maka kau merasa perlu sekali menemukannya?"
"Aku mengharap-harap
dialah sahabatku yang telah lama aku dengar namanya tapi yang aku belum pernah
menemuinya. Sudah, Siauw Houwcu, kau jangan banyak tanya lagi! Mari kita turun
dari tembok panjang ini, kita masuk ke dalam rimba."
Siauw Houwcu heran bukan
buatan.
"Sahabat yang kau belum
pernah ketemui itu, dia laki-laki atau wanita?" tanyanya.
"Laki-laki."
Siauw Houwcu makin heran.
"Ah!" serunya.
"Jadi kau tidak sukai engko Seng Lim?"
"Cis" muka Sin Cu
bersemu dadu. "Kau iblis cilik, otakmu tidak jernih! Kau ngaco belo lagi,
nanti aku hajar kau!"
Bocah nakal itu mengulur
lidahnya keluar, ia terus bungkam.
Orang yang Sin Cu ingin cari
itu ialah Hok Thian Touw.
Dia telah mendengar
keterangannya Yap Goan Ciang si tabib ia dari See San bahwa si "pemuda
gagah" berdiam di Patatleng, sedang orang yang mengantar kuwe kepada
gurunya menyebut dirinya Patat Sanjin. Ia mencurigai bahwa dua orang itu hanya
satu orang belaka, bahwa mungkin sekali dialah Hok Thian Touw. Ia mesti
mendapatkan kepastiannya, Thian Touw benar sudah meninggal dunia atau masih
hidup.
Sin Cu menjadi besar di kota
raja tetapi Banlie Tiangshia juga menjadi tempat pesiarnya, meski begitu ia
belum tahu di mana letaknya panggung peranti apel panglima perang, ialah
Tiamciang Tay, maka itu sekarang, sesudah sang malam mendatangi dan cuaca
menjadi remang-remang, ia sibuk sendirinya.
Untuk beberapa puluh lie si
nona mengajak Siauw Houwcu berputaran, jangan kata Tiamciang Tay, sebuah gubuk
pun mereka tidak mendapatkannya.
Cuaca, semakin gelap, si
Puteri Malam pun mulai muncul. Di hutan terdengar suara angin malam, yang
membawa datang juga pekiknya orang hutan atau srigala.
"Syukur malam ini bulan
terang!" berkata Siauw Houwcu, yang nyalinya besar. "Kalau tidak
sungguh berbahaya apabila kita dibokong srigala?
1197
Bagaimana eh, apa malam ini
kita terus pesiar di rimba ini
sampai besok pagi?"
Sin Cu tidak menjawab hanya ia
tertawa sambil melengak,
lalu dari mulutnya keluar
suara senandung:
"Terbang memutari tangi t
untuk mencari burung pieek!
Entahiah Leng In dan It Hong
menclok di rumah siapa?..."
"Ah encie Sin Cu!"
berkata Siauw Houwcu. "Di waktu begini
kau masih mempunyai
kegembiraanmu!"
Tenaga dalam Sin Cu telah
mempunyai dasarnya, maka itu
sebutannya "Leng In"
dan “In Hong" itu telah mendengung,
berkumandang di dalam rimba
itu, mungkin dapat didengar
orang hingga jauhnya belasan
lie. Hanya, sampai suara itu
sirap, tidak ada terdengar
jawaban untuknya.
Malam itu rembulan terang dan
jernih sekali, bunga-bunga
hutan terlihat memain di
antara sampokan sang angin. Indah
pemandangan itu. Suasana pun
tenang dan tentaram, hingga
itu merupakan kesunyian yang
berbareng dapat menciutkan
hati orang-orang yang nyalinya
tidak besar.
Tiba-tiba Sin Cu ingat
pengalaman itu malam ketika
bersama Leng In Hong ia berada
di gunung Huyong San,
bagaimana mereka memasang
omong dengan asyik sekali
pada malam indah seperti malam
ini. Adalah di itu malam
yang untuk pertama kali ia
mendengar dari mulutnya In Hong
tentang Hok Thian Touw, sedang
ini malam dia lagi mencari
Hok Thian Touw itu. Maka
diam-diam ia memuji di dalam
hatinya: "Semoga In Hong
dapat mencari kawannya itu, agar
mereka dapat terbang bersama
seperti si burung pie-ek!
(Menurut kitab Jie Nge, burung
pieek ini adanya di Selatan,
1198
namanya kiam-kiam, karena
burung ini tidak terbang apabila
tidak berpasangan, maka itu
disebut pieek, sepasang sayap.)
Tengah si nona memuji itu,
sekonyong-konyong terdengar
suara "ser" dari
me-nyambernya sesuatu, yang memecah
kesu-nyiannya sang malam atau
rimba itu, yang pun
menghentikan pujian si nona,
menyusul itu sebutir batu jatuh
tepat di depannya nona ini,
Siauw Houwcu terkejut.
"Ah, adakah dia manusia
atau hantu?" katanya. "Aku
seperti melihat berkelebatnya
satu bayangan orang, yang
terus lenyap cepat
sekali..."
Belum berhenti suara bocah ini
atau sebutir batu lain jatuh
di depan mereka.
Sebat luar biasa, Sin Cu
berlompat ke arah dari mana batu
itu datang. Ia mahir dalam
ilmu enteng tubuh, akan tetapi
setelah mengejar sekian lama,
ia tidak berhasil menyandak, ia
tidak mendapatkan bekas-bekas
orang. Ia mulai mendongkol
juga, maka dengan rada sengit
ia kata dalam hatinya: "Untuk
encie In Hong aku bercapai-capai
mencari kau, kenapa kau
sebaliknya hendak menguji
kepan-daianku?"
Ia lantas menghentikan
tindakannya, atau lagi-lagi
sepotong batu lantas jatuh di
depannya.
Dengan tiba-tiba Sin Cu
mencelat dengan gerakannya
"Cecapung menyambar air
tiga kali beruntun," dengan tiga kali
juga ia mencelat tak putusnya,
setelah belasan tombak, ia
menampak satu bayangan orang
di sebelah depannya. Ia baru
mengempos pula, akan menukar
napas, atau bayangan itu
lenyap seketika.
Dengan penasaran Nona Ie
mengejar terus, kali ini ia
mendapatkan bayangan itu
sebentar nampak sebentar tidak,
1199
sampai akhirnya ia tiba di
sebuah batu bundar yang besar luar
biasa, yang licin mengkilap,
dan di antara sinarnya si Puteri
Malam, batu itu bagaikan kaca
rasa. Segera ia melihat tiga
ukiran huruf di atas batu itu,
bunyinya "Tiamciang Tay." Ia
melengak, karena itulah yang
dinamakan batu peranti
menyebut nama-nama panglima
perang. Ia melengak tetapi ia
sadar.
"Nyatalah dia sengaja
memancing aku sampai di sini,"
pikirnya. "Tepat di sinilah
dia berjanji akan bertemu sama
guruku. Rupanya dia kuatir,
kalau suhu sampai di sini, suhu
nanti tidak dapat
mencarinya." Karena ini segera ia berseru
nyaring: "Sahabatnya Leng
In Hong, muridnya Thio Tan Hong,
Ie Sin Cu dan Thio Giok Houw
datang ke mari mengunjungi
Patat Sanjinl"
Sin Cu kuatir orang bukannya
Hok Thian Touw, maka
sengaja dia menyebut namanya
In Hong terlebih dulu. Setelah
itu, ia menantikan jawaban.
Batu Tiamciang Tay ini
terletak di tempat di mana
pepohonan tumbuhnya jarang, di
waktu terang bulan seperti
itu, segala apa nampak nyata,
akan tetapi menantikan sekian
lama, si nona tidak memperoleh
jawaban, ia menjadi kurang
senang. Ia memikir untuk
mengangkat kaki dari situ, tetapi
Siauw Houwcu belum me-nyandak
padanya.
Terpaksa ia berdiam terus. Ia
mengawasi ke sekitarnya,
sampai ia melihat sebuah
ciopay kecil di pinggiran Tiamciang
Tay itu, ada huruf-hurufnya
yang halus, yang mana, ia baca,
menunjuki Bok Kui Eng, wanita
gagah yang menjadi kepala
perang dari ahala Song, pernah
mengepalai panglimapanglima
perangnya di situ.
"Encie In Hong gagah dan
pintar, dia dapat dibandingkan
Bok Kui Eng," Sin Cu
berpikir, "hanya jaman dan suasana
1200
berbeda, peruntungan mereka
berbeda juga. Ah, apakah
orang ini bukannya Hok Thian
Touw?"
Tiba-tiba ada tindakan kaki di
sebelah belakang, Sin Cu
berpaling dengan cepat, hingga
ia melihat Siauw Houwcu
tengah menghampirkan. Mukanya
bocah itu beda daripada
tadi-tadinya, dia agaknya
berkuatir atau bergelisah.
"Encie," berkata
dia, tangannya menunjuk ke samping
Tiamciang
Tay, "adalah orang itu
sahabatmu? Kenapa kau tidak pergi
padanya?"
Sin Cu berpaling dengan cepat,
melihat ke arah yang
ditunijuk bocah itu.
Benar situ, di atas batu, ada
seorang tengah rebah tidur. Ia
heran bukan main. Ia berkuping
terang dan bermata celi, akan
tetapi heran, ia tidak
mengetahui ada orang datang untuk
tidur di situ. Mau atau tidak,
ia melengak.
"Hok... Hoo... Patat
Sanjin," katanya, masih gugup,
"bukankah kau yang
menjanjikan guruku datang ke mari?"
Orang itu lagi tidur, dia berdiam
saja. Dia mengenakan baju
biru yang gerombongan, karena
cara rebahnya, mukanya tak
kelihatan.
Siauw Houwcu habis sabar.
Dengan satu kali mencelat, ia
telah naik di atas batu besar
itu.
"Eh, orang kurang ajar
" bentaknya seraya tangannya
menyambar, untuk membaliki
tubuh orang, akan menyingkap
bajunya.
1201
Sin Cu menjadi heran bukan
main. Ia bukan mendapatkan
satu anak muda, yang romannya
tampan, hanya seorang tua
dengan rambut ubanan, yang
hidungnya merah. Dia tidak
beroman terlalu jelek, tetapi
dia pasti bukan kekasihnya Leng
In Hong.
Orang tua itu mengulet.
"Eh, dari mana datangnya
si bocah nakal?" katanya.
"Kenapa kau mengganggu
orang tengah asyik bermimpi?"
Siauw Houwcu pun melengak.
"Kau siapa?" ia
menanya.
"Kau mau cari
siapa?" orang tua itu balik menanya.
"Apakah kau bukannya
Patat Sanjin?" Siauw Houwcu
menanya pula.
"Apa? Kau mencari
aku?" tanya pula si orang tua. "Eh, eh,
aku si orang tua tidak kenal
kau bocah yang nakal."
Ia menarik bajunya yang
gerombongan itu, ia rebah pula.
Siauw Houwcu memanggil pula,
mengajak bicara, ia tidak
dilayani. Orang tua itu bahkan
terdengar gerosan napasnya!
Bocah itu jadi mendongkol.
"Aku tidak akan bikin kau
enak tidur!" katanya sengit. Ia
ulur tangannya, dengan dua
jari tangannya itu ia menjepit
hidung orang!
Siauw Houwcu paling gemar
bergurau, hidung besar dan
merah dari si orang tua
membuatnya gembira. Ia mau
1202
percaya, kalau hidungnya
dijepit, orang tua itu bakal tidak
bernapas dan akan mengeluarkan
suara kaget.
Sin Cu hampir ter-tawa melihat
kenakalan kawannya,
meskipun begitu, hendak ia
mencegah.
Tiba-tiba tubuh si orang tua
bergerak miring, dengan
begitu gagallah jepitan
tangannya Siauw Houwcu.
Bocah ini penasaran, ia
menjepitnya pula. Ia muda tetapi
ilmu silatnya sudah cukup
sempurna, di dalam dunia kangouw
ada sedikit orang yang dapat
menandinginnya, sedang kali ini
ia berlaku sangat sebat, ia
percaya ia bakal berhasil. Hanya di
luar dugaannya, di saat jeriji
tangannya bakal mengenai
hidung si orang tua, mendadak
orang tua itu memiringkan
pula tubuhnya!
Siauw Houwcu menggunai tenaga,
karena tidak mengenai
sasarannya, ia terjerunuk,
kedua jerijinya mengenai batu,
tubuhnya sendiri hampir
ngusruk!
Sin Cu melihat itu, ia
terkejut. Belum pernah ia
menyaksikan orang lincah
demikian rupa. Tidak ayal lagi ia
pun lompat naik ke atas
Tiamciang Tay.
Justeru itu si orang tua
menegur: "Bocah nakal, kau kurang
ajar! Kau harus
dirangket!"
Tepat Sin Cu berlompat naik,
ia melihat satu bayangan
melejit dari sebelah kanan,
mendahului si nona, atau di lain
saat, "Plok!" maka
kempolan Siauw Houwcu kena dihajar
hingga dia terguling jatuh
dari batu besar yang bundar dan
licin itu!
1203
Sin Cu paling menyayangi Siauw
Houwcu, maka itu melihat
gerakan orang, yang ia tidak
tahu bakal jadi hebat atau tidak,
karena kuatir Siauw Houwcu
terluka ,ia lantas menolongi.
Dengan pedangnya ia menikam ke
arah orang itu. Tapi
Siauw Houwcu sudah
mendahulukan jatuh.
Karena diserang, orang itu
menangkis. Nyata ia memegang
sebatang cabang pohon yang ia
gunakan dalam caranya ilmu
golok, Sin Cu batal dengan
tikamannya itu, bahkan hampir ia
tergores golok cabang kayu
itu...
Dengan lekas Sin Cu menyerang
pula. Tidak bersangsi lagi,
ia menggunai gerakan dari
Siangkiam happek.
Pedangnya itu seperti bergerak
dari kiri dan kanan dengan
berbareng.
"Ah!" berseru orang
itu, pelahan suaranya. "Tidaklah
kecewa muridnya ahli pedang
nomor satu di kolong langit ini!"
Sembari bicara, dia selalu
menyingkir dari ujung pedang yang
menyambar-nyambar. Ia lincah
sekali menggunai cabang
kayunya itu.
Sekarang Sin Cu dapat melihat
tegas roman orang, ialah
seorang muda dengan sepasang
alis gompiok dan matanya
besar meski dia tidak setampan
Tiat Keng Sim, dia toh cukup
menarik. Ia lantas saja
menduga, tidak salah lagi, pemuda ini
mestinya Hok Thian Touw.
Sementara itu si orang tua
sudah ber-bangkit untuk
bercokol di atas Tiamciang
Tay. Seorang diri ia mengoceh:
"Mengadu pedang di bawah
sinar rembulan indah, sungguh
menarik hati! Dengan begitu
dapatlah aku menonton ilmu
pedang yang istimewa! Ah, aku
si orang tua jadi tidak kepingin
tidur lagi..."
1204
Sebenarnya Sin Cu telah
memikir untuk menghentikan
pertempuran itu, tetapi
tiba-tiba ia ingat apa-apa. Maka ia
kata di dalam hatinya.
"Baiklah aku lihat dulu ilmu silatnya Hok
Thian Touw ini..." Maka
ia geraki terus pedangnya, pedang
Cengbeng kiam, menyerang anak
muda itu.
Si anak muda melayani terus.
Dia pun agaknya
mengandung serupa maksud. Maka
di atas batu itu mereka
bertarung. Si anak muda
menggunai hanya secabang pohon
tetapi gerak-gerakannya
mendatangkan juga suara angin,
suatu tanda yang tenaga
dalamnya sudah mahir.
Sin Cu tidak berani berlaku
alpa, ia keluarkan
kepandaiannya menurut ajaran
gurunya. Karena ia menggunai
pedang dan pedangnya pun
pedang mustika, ia seperti
membuat si anak muda terkurung
sinar pedangnya itu. Ia
hendak menabas kutung cabang
kayu itu, maka ia bekerja
keras sekali.
Si anak muda ada sangat
lincah, gerakannya gesit,
tubuhnya licin. Ilmu silatnya
pun tidak seperti yang
kebanyakan. Setelah terdesak
demikian rupa, ia merubah cara
bersilatnya. Ia membebaskan
diri dari kurungan, cabang
kayunya bergerak bagaikan ular
perak. Maka di lain saat, di
empat penjuru, di delapan
jurusan, yang nampak hanya
bayangannya saja. Sebentar ia
bersilat dengan ilmu pedang
Lianhoan Toatbeng kiam dari
Butong Pay, sebentar lagi
dengan Thaykek Sipsam kiam,
atau itu lantas ditukar dengan
Twiehun Kiamsut dari Khongtong
Pay. Masih ada lainnya
macam ilmu pedang, seperti
dari Jiuin Kiamsut dari Cengyang
Pay dan Soanhong Kiamsut dari
Thianliong Pay.
Menyaksikan ilmu silat orang
yang banyak ragamnya itu,
Sin Cu menguasai diri, untuk
berlaku tenang dan mantap. Ia
pecahkan setiap serangan, ia
tidak kasi dirinya didesak. Di lain
1205
pihak masih sia-sia saja
percobaannya akan membikin kutung
pedang cabang pohon dari
lawannya itu.
Sedangnya orang bertarung
dengan seruh itu, mendadak
Siauw Houwcu mengacau. Dengan
dua butir batu ia
menimpuk, kepada si anak muda,
kepada si orang tua juga.
Menampak itu, si orang tua
tertawa lebar, tangannya
diangkat, jari tangannya
dipakai menyentil, maka batu yang
menimpa kepadanya terpental,
justeru menghajar batu yang
meluncur kepada si anak muda,
hingga dia ini tak usah repotrepot
berkelit atau menangkis
bokongan itu. Cuma, sebab ada
datang serangan, baik si anak
muda maupun si nona, mereka
sama-sama berkelit, hingga
mereka jadi renggang satu dari
lain. Habis itu, baru mereka
sama-sama maju pula.
Dengan lantas ujung pedang Sin
Cu menyambar ke arah
pundak, di lain pihak ujung
cabang pohon si pemuda meluncur
ke lengan si nona!
Itulah saat yang sangat genting,
karena dua-duanya bakal
bercelaka.
Justeru itu terdengarlah dua
seruan berbareng: "Sudah
cukup! Sudah cukup!"
Berbareng dengan itu, dua-dua
Sin Cu dan si anak muda
merasakan tangannya lemas, di
luar tahu mereka, senjata
mereka masing-masing kena orang
rampas, kapan keduanya
menoleh, mereka dapatkan Thio
Tan Hong dan si orang tua
berdiri berendeng,
bergandengan tangan, berlompat turun
dari atas Tiamciang Tay!
Di dua-dua tangan kedua orang
itu ada tercekal pedang
dan cabang kayu, ialah Thio
Tan Hong memegang Cengbeng
1206
kiam muridnya, dan si orang
tua memegang cabang kayu si
anak muda.
"Loo cianp wee !"
berkata Thio Tan Hong tertawa,
"bukankah kau Patpie
Locia Ciu Kok In yang banyak tahun
dulu telah menggetarkan dunia
Rimba Persilatan?"
"Maaf, maaf,"
menyahut si orang tua. "Aku tidak berani
menerima pujian itu! Aku juga
tidak mau menyebut-nyebut
segala peristiwa dulu, karena
sekarang aku hidup menyendiri
di gunung belukar yang sunyi,
maka sekarang aku ialah Patat
Sanjin."
Justeru itu In Tiong dan In Lui
pun tiba, maka keduanya
lantas memberi hormat kepada
jago tua itu.
Memang, di masa jayanya, orang
tua itu ada sama
kenamaannya seperti Hian Kie
Itsu. Di waktu muda, seorang
diri pernah ia merobohkan
delapan belas orang kosen bangsa
Mongolia. Ia terkenal untuk
kegagahannya, kelincahannya. Ia
bergelar Patpie Locia, ialah
Locia Bertangan
Delapan. Ia mengangkat saudara
dengan Hok Tiong Eng.
Ketika Hok Tiong Eng pergi
menyendiri di tapal batas, ia
sembunyi di Patatleng. Maka
itu, kaum muda tak ada yang
pernah mendengar namanya.
Tan Hong menjalankan
kehormatan kepada orang tua itu.
"Loocianpwee, Tan Hong
sangat berterima kasih untuk
bingkisan kuwemu itu!" ia
berkata.
Ciu Kok In tertawa terbahak.
1207
"Sebenarnya aku si orang
tua tiada biasanya berlaku
sungkan!" ia berkata.
"Aku mengantar barang padamu karena
aku mengharap
pembalasannya!"
Tan Hong melengak. Setelah
memandang si orang tua, ia
berpaling kepada si anak muda.
Dia itu justru lagi mengawasi
pedang di tangannya. Karena ia
sangat cerdas, ia lantas dapat
menduga.
“Ini tuan..." katanya.
Tapi Patat Sanjin telah
memotongnya: "Dia Hok Thian
Touw, anaknya Hok Tiong Eng,
adik angkatku yang telah
marhum!"
Benarlah pemuda itu Hok Thian
Touw, maka Sin Cu girang
bukan main. Kalau tadi ia
masih menerka-nerka, sekarang ia
memperoleh kepastian. Ia kata
di dalam hatinya. "Sungguh
sembabat encie Leng dipasangi
dengan dia ini." Tapi,
mengingat Leng In Hong dan Yap
Seng Lim, kekuatiran
menerkam padanya.
Bukankah mereka itu tengah
menghadapi bahaya
peperangan, di saat itu tak
ketahuan mati atau hidupnya?
Mereka itu pun berada bersama
dan Leng In Hong tidak tahu
Thian Touw masih hidup, sedang
Seng Lim tidak sadar bahwa
dia dicintai secara diam-diam.
Memikir itu, hatinya gentar.
Maka ia berpikir pula. "Apakah
tindakanku tidak bakal membuat
urusan cade? Aku mengalah
tetapi sekarang aku menambah
keruwetan..."
Tengah si nona bingung, ia
mendengar gurunya tertawa
dan berkata: "Baiklah,
hanya aku kuatir pembalasanku terlalu
sedikit hingga tidak cukup aku
membalas budi!" Habis itu, ia
lihat gurunya menyerahkan
Ceng-beng kiam ke tangan Thian
1208
Touw. Ia menjadi heran sekali.
Pikirnya, "Kenapa suhu
serahkan pedang sucouw kepada
lain orang?"
Juga Thian Touw heran atas
sikapnya Tan Hong, mukanya
menjadi merah, ketika ia
hendak mengatakan sesuatu, ia lihat
Tan Hong mengambil cabang
pohon dari tangan Ciu Kok In,
lalu sambil bersenyum, Tan
Hong berkata: "Sin Cu, kau lihat
dan perhatikan ilmu silat
pedang dari Hok Sieheng."
Baru sekarang Thian Touw
mengerti, maka itu lantas
terlihat air mukanya yang
terang. Tidak selayaknya Tan Hong
menempur ia, tepat adalah
kalau tayhiap itu memberi
petunjuk kepadanya.
Bersama-sama ayahnya ia telah
mengambil putusan akan
meyakinkan ilmu silat pedang
pelbagai partai, untuk
membangun satu partai baru, yaitu
Thiansan Pay, dalam hal ini ia
menghadapi kesulitan karena ia
tidak memperoleh petunjuknya
seorang ahli. Maka sekarang,
kalau Tan Hong hendak
mengajari ia, itulah lebih menang
daripada ia dihadiahkan pedang
mustika.
Di sebelah Thian Touw, Patat
Sanjin pun telah bekerja
keras akan mencari Thio Tan
Hong, bahkan setelah ia
mengantar kuwe, ia juga
membantui jago itu meloloskan diri
dari kepungan di dalam istana,
setelah mana orang dipancing
untuk datang ke Tiamciang Tay
ini. Maksudnya yang utama
ialah untuk membantu Hok Thian
Touw mencapai anganangannya
itu. Dari itu ia girang sekali
mendapatkan Tan Hong
sendiri yang hendak menempur
Thian Touw. Katanya dalam
hatinya: "Kalau Thian
Touw berhasil menjadi jago pedang di
jamannya ini, pastilah adik
angkatku di dunia baka bakal dapat
memeramkan matanya."
Lantas ia kata, "Thian Touw, Thio
Tayhiap hendak memberi
petunjuk padamu, mengapa kau
tidak lantas menggeraki
pedangmu?"
"Maaf!" berkata
Thian Touw, yang benar-benar sudah
lantas menyerang Tan Hong.
1209
Serangan itu ada dengan jurus
dari Lianhoan Toatbeng
kiam dari Butong Pay, jarak di
antara mereka pun dekat, maka
hebatnya itu dapat di
mengerti. Sinar pedang mustika juga
berkilau ke empat penjuru,
seperti hendak menutup jalan
mundur dari pihak sana.
Selagi Sin Cu memikir, cara
bagaimana orang harus
menangkis serangan itu,
gurunya sudah mengangkat
tangannya, menggeraki cabang
kayunya, hingga terlihatlah
berke-lebatnya satu sinar
hijau. Sebab tahu-tahu pedang
Cengbeng kiam di tangan Thian
Touw sudah terpental tinggi.
"Bagus!" Siauw
Houwcu berseru kegirangan. "Bagus!"
"Apanya yang bagus?"
tanya Sin Cu tertawa. "Coba kau
jelaskan."
"Bagus ya bagus, apanya
yang mesti dijelaskan lagi?" sahut
si nakal. "Kalau bukannya
bagus, kenapa dengan satu kali
menangkis saja pedang dapat
terlepas dan terbang?"
"Cis" Sin Cu
mengejek. "Cuma sebegini pengetahuanmu!
Apakah kau tidak takut nanti
orang mentertawainya hingga
orang copot giginya?"
Hok Thian Touw sendiri menjadi
merah mukanya. Ia pergi
memungut pedang itu.
"Jurus ini tidak masuk
hitungan!" kata Tan Hong tertawa.
"Mari coba lagi!
Mari!"
"Eh, mengapa tidak masuk
hitungan?" tanya si nakal,
berani. Ia tak mengerti.
1210
"Sebab tangkisanku ini
tidak bagus," sahut Tan Hong.
"Siauw Houwcu, kau tidak
mengerti apa-apa, tetapi kau mau
berlagak tahu saja! Ingat,
lain kali jangan banyak lagak!"
Bocah itu berdiam.
"Thio Tayhiap,"
Thian Touw menanya, "bukankah barusan
aku telah terlalu mengeluarkan
tanganku?"
Tan Hong mengangguk.
"Siauw How Cu, kau
dengar!" ia bilang pada si murid nakal
itu. “Ini barulah perkataannya
seorang ahli. Barusan aku
bukan mendapat kemenangan
karena mengandal ilmu pedang
belaka, hanya aku menggunai
tenaga dalamku membuat
pedang terpental, hanya benar,
tikamannya barusan kurang
tepat. Jurus barusan ada jurus
'Guntur dan kilat berbunyi
bersinar berbareng,' serangan
itu dapat ditujukan kepada
lawan biasa, tetapi terhadap
orang yang tenaga dalamnya
liehay, tidak ada faedahnya.
Tenaga kuat saja tidak dapat
melawan kecerdikan."
"Kalau lain orang
terlebih liehay daripada kau, suhu, apa
pun kecerdikan masih dapat
dipergunakan?" Siauw Houwcu
tanya.
"Sebenarnya tenaga dalam
serta kepandaian harus
seimbang," Tan Hong
jelaskan. "Kalau ilmu pedang kita sudah
sempurna, dengan itu kita
dapat meminjam tenaga lawan
untuk mengalahkan lawan itu.
Aturan ini telah disebut dalam
ilmu silat pedang partai mana
juga. Aku tahu Hek Pek Moko
pun telah mengajari kau."
"Benar aku telah diajari
tetapi aku belum mengerti," si
bocah akui.
1211
Tan Hong tertawa, ia memandang
Thian Touw.
"Baiklah, Hok Sieheng ,
kau boleh mulai lagi," ia berkata.
"Kau gunai jurus yang
sama. Kau, Siauw Houwcu, kau lihat!"
Hok Thian Touw menurut, dengan
mendadak ia menyerang
dengan jurusnya yang tadi.
Tan Hong membuat gerakan yang
sempurna, ia membikin
serangan itu gagal, cuma
sekarang pedang tidak dibikin
terpental terbang, sebaliknya,
dengan ujung cabangnya ia
mencoba menowel lengan si anak
muda.
Thian Touw mundur, terus ia
membalas membacok.
Dengan gerakan berkelitnya
itu, ia bebas dari towelan.
"Bagus!" Tan Hong
memuji. "Kau berbakat!"
Kali ini Thian Touw menyerang
dengan menyimpan tenaga
terakhir, maka itu ia bisa
berkelit seraya terus membalas
menyerang pula, dengan begitu
tidaklah ia sampai kena
didesak.
Pertempuran lantas berlanjut.
Tan Hong hendak
menyaksikan lebih jauh
kepandaian si anak muda, ia mencoba
terus-terusan, tetapi ia tidak
berlaku keras.
Thian Touw bertempur dengan
hati-hati tetapi sebat,
sesudah belasan jurus, ia jadi
semakin mantap hatinya, maka
bedalah dari saat ia melayani
Sin Cu tadi. Ia telah
mengeluarkan kepandaiannya.
Siauw Houwcu berkunang-kunang
matanya menyaksikan
pertempuran itu. Ia menjadi
kagum dan gembira sekali. Ia
menonton terus sampai mendadak
terdengar jeritannya,
sebab saking pusing, ia roboh
sendirinya!
1212
Sin Cu tertawa, ia mengasi
bangun kawannya itu, kemudian
dengan sapu tangannya, ia
menutup mata orang, ia sendiri
menonton terus.
Cabang pohon dari Tan Hong
liehay sekali. Cabang itu
seperti mengiringi setiap
serangan Thian Touw, gerakannya
tepat dan enteng. Percuma
Thian Touw mencoba berkali-kali,
tidak bisa ia membabat cabang
itu. Kalau ia terlambat,
sebaliknya cabang itu menikam
kepadanya.
Sin Cu melihat gurunya
bersilat dengan ilmu pedang yang
pernah diturunkan kepadanya,
tetapi
menghadapi Thian Touw, ilmu
pedang itu seperti berubah
sendirinya. Tidak lain, itulah
disebabkan kegesitan yang luar
biasa.
Pertempuran itu berlangsung
sampai seratus jurus, habis
mana, Tan Hong lalu menggunai
akalnya. Ia memukul
lowongan untuk Thian Touw
menyerang. Tapi Thian Touw
cerdik, ia menyerang ke kiri,
menyerang ke kanan, lalu ke
depan. Dengan bergantian ia
menggunai jurus-jurus dari
empat partai Butong, Siauwlim,
Kunlun dan Khongtong Pay.
Selagi Sin Cu memikirkan, cara
bagaimana serangan itu
dapat dihalau, mendadak ia
melihat cabang pohon di tangan
gurunya lempang meluncur,
mengenai lengannya Thian Touw,
menyusul mana pedang si anak
muda terbang seperti tadi.
Itu hanya serangan
"Pekhong koanjit" atau "Bianglala putih
menutupi matahari,"
tetapi walaupun sederhana, dengan Tan
Hong yang menggeraki, sehatnya
luar biasa, Thian Touw tidak
dapat menghindarkan diri.
Sin Cu pungut pedangnya itu.
1213
"Bagus! Bagus!" ia
memuji.
Siauw Houwcu lekas-lekas
membuka sapu tangan yang
menutupi matanya tetapi
pertempuran sudah berhenti, hanya
sekarang guru itu, dengan
pedang cabangnya, lagi memberi
keterangan pada si anak muda.
"Ah dasar kau!" ia
sesalkan Sin Cu. "Kau sih menutup
mataku!"
Si nona tidak menyahut, ia
mengganda tertawa.
"Kau telah berhasil
menyangkok ilmu pedang dari tiga belas
partai," terdengar Tan
Hong berkata kepada Hok Thian Touw,
"kau pun telah dapat
menjalankannya dengan baik, maka
sekarang kau tinggal
meyakinkan lebih jauh untuk mencapai
kemahirannya. Kau membutuhkan
tenaga dalam untuk dapat
membangun satu partai baru.
Kalau kau berlatih terus lagi tiga
puluh atau lima puluh tahun,
kau bakal jadi ahli pedang tanpa
tandingan. Karena segala apa
tergantung sama kau sendiri, di
antara kita tidak ada soal
guru dengan murid."
Mendengar begitu, Ciu Kok In
kagum sekali.
"Dasar seorang
tayhiap." pikirnya.
Kata-kata Tan Hong memang
benar. Kalau kemudian Thian
Touw dapat membangun partai
sendiri, ia mendapatkan itu
tanpa bantuan guru lagi. Hanya
ia memperoleh bukan sedikit
faedah karena kebaikannya Tan
Hong ini. Karena ini juga pada
enam puluh tahun kemudian
bersama muridnya yang
terpandai, Gak Beng Kie, yang
kemudian menjadi Hui Beng
Siansu dari akhir ahala Beng,
ia berhasil membangun partai
Thiansan Pay. 7)
1214
Sin Cu tidak sabaran mendengar
gurunya terus pasang
omong sama Thian Touw.
"Encie Leng sangat
pikirkan dia, sekarang dia asyik bicara
saja tentang ilmu
pedang," pikirnya. "Ah, dia keterlaluan..."
Tan Hong bermata celi,
walaupun ia tengah bicara,
matanya diarahkan ke segala
penjuru, demikian ia menampak
sikap tak tenang dari muridnya
yang wanita itu.
"Eh, Sin Cu, kau hendak
membilang apa?" ia menanya.
"Hok Toako lagi asyik
sekali, mana dapat aku menyelak?"
sang murid menyahut. "Oh,
Hok Toako, kau sungguh kuat
hati, kau sangat tenang!"
Thian Touw tercengang, ia
heran.
"Kenapakah?" ia
bertanya. "Aku kuat dan tenang
bagaimana?"
"Kecuali ilmu pedang,
tidak ada apa juga yang dapat
memecah perhatianmu,
bukankah?"
Kembali pemuda itu tercengang.
Tapi kali ini hanya
sebentar, lantas ia seperti
mengingat suatu apa. Segera ia
menanya, "Ya, nona Ie,
aku justeru hendak menanyakan
sesuatu padamu. Kau tadi
menyebut-nyebut Leng In dan It
Hong, apakah itu
artinya?"
"Apakah benar-benar kau
tidak mengerti?" Sin Cu
membaliki.
Thian Touw agaknya bingung.
1215
"Leng In It Hong... Leng
In It Hong..." ia mengulanginya
beberapa kali. Atau: "Ah!
Apakah kau membilang tentang...
tentang..."
Sin Cu pun ber-n bareng sadar.
Nama In Hong sebenarnya Bok
Hoa dan nama In Hong itu
dipakai setelah dia menjadi
ceceecu, kepala berandal wanita.
Maka ia lantas bersenyum.
"Tidak salah!"
sahutnya. "Yang aku sebutkan itu ialah
burung hong yang mencil
sendirian, yang kehilangan kawan,
yang terbang dari padang
pasir!"
"Ah, heran!"
nyeletuk Siauw Houwcu.
"Benarkah di padang pasir
ada burung hong?"
Thian Touw kaget sekali.
"Kau kenal Leng Bok
Hoa?" ia menanya, menegaskan.
"Dialah adik misanku!
Benar kau bicara tentang dia?"
Sin Cu mengangguk.
"Benar! Dia sekarang
telah mengubah namanya jadi Leng
In Hong."
"Di mana adanya dia
sekarang?" tanya Thian Touw cepat.
"Dia sekarang berada di
antara tentara rakyat di Kanglam,"
Sin Cu menerangkan.
"Sering sekali encie Leng membicarakan
tentangmu dengan aku. Tahukah
kau bahwa ia, dalam impian
dan dalam sadarnya, selalu
memikirkan kau?"
Air mukanya Thian Touw menjadi
merah.
1216
"Benarkah itu?" ia
coba tertawa. "Aku berada bersama
dengannya sampai dia
membesari, tidak heran dia memikirkan
aku. Ketika aku terpisah dari
ia di padang pasir, dialah satu
nona umur enam belas tahun
yang belum tahu apa-apa.
Sekarang dia telah dewasa,
bukan?"
Sin Cu tertawa.
"Sekarang ini encie Leng
menjadi wanita kosen yang
menggemparkan Kanglam!"
katanya, "Apakah kau masih
menyangka dia seorang nona
yang tidak tahu apa-apa?
Karena dia tidak berhasil
mencari keterangan tentang kau,
setahu berapa banyak air mata
dia telah kucurkan? Apa benar
kau tidak kangan
dengannya?"
"Ah, aneh!" Siauw
Houwcu nyeletuk. "Sudah gagah tapi toh
masih menangis!"
Mendengar itu Sin Cu tak tahan
tak tertawa.
"Orang tua lagi bicara,
kau tidak boleh campur-campur!"
katanya seraya menarik tangan
orang.
Thian Touw girang berbareng
berduka. Ia memandang In
Hong sebagai adik, tidak tahu
adik itu mengandung maksud
lain terhadapnya.
"Tentu saja aku kangan
terhadapnya," ia menyahut.
"Dan kau telah menangis
atau tidak?" lagi-lagi Siauw
Houwcu nyeletuk.
Thian Touw tertawa.
1217
"Rupanya, dia menduga aku
mati di padang pasir, dia jadi
berduka," bilangnya.
"Aku sendiri tahu dia belum mati, dari itu
aku tidak pernah menangisi
dia. Ketika itu hari kami
menghadapi bencana di padang
pasir, aku sendiri berada di
tengah angin puyu, dia berada
di pinggiran, maka aku
percaya, dengan kega-gahannya,
dia dapat menolong dirinya
sendiri."
"Kau sendiri, bagaimana
kau dapat menolong dirimu?" Sin
Cu tanya.
"Hampir saja aku mati
terpendam pasir. Syukur aku
bertemu dua orang, dengan begitu
aku ketolongan."
"Apakah kau bertemu sama
Toamo Sinlong Hamutu serta
Seesan Iein Yap Goan
Ciang?" Sin Cu menegaskan.
Thian Touw terkejut bahkan
heran.
"Kau ketahui itu?"
tanyanya.
"Ya," sahut si nona,
yang terus menuturkan halnya ia
bertemu Hamutu dan Yap Goan
Ciang si tabib pandai.
Kemudian ia menceritakan juga
hal penipuannya Hek In Tay,
yang mau mendapati kitab ilmu
pedang In Hong.
Mendengar semua itu, Thian
Touw tertawa.
"Kiranya telah terjadi
peristiwa-peristiwa demikian!"
katanya. Ia pun lantas menuturkan
pengalamannya.
Memang ketika hari itu Thian
Touw diserang badai pasir di
gurun, ia roboh dan keurukan
pasir kuning karenanya. Setelah
angin berhenti, hampir ia mati
kependam, baiknya Toamo
Sinlong lewat di situ, dia
lantas ditolongi. Ketika itu napasnya
sudah empas-empis. Ia sendiri
merasa bahwa ia bakal tidak
1218
ketolongan lagi. Tapi ia masih
ingat saudara angkat dari
ayahnya, yaitu Ciu Kok In yang
tinggal di dekat panggung
Tiamciang Tay di gunung
Patatleng.
Dengan paman itu sudah banyak
tahun ia tidak pernah
bertemu, ia tidak tahu sang
paman masih hidup atau sudah
menutup mata, tapi karena
tidak ada orang lain, ia minta
Pertempuran lantas berlanjut,
Tan Hong hendak
menyaksikan lebih jauh
kepandaian Hok Thian Touw, ia
mencoba terus-terusan, tetapi
ia tidak berlaku keras.
Toamo Sinlong menyampaikan
kitab ilmu pedangnya
kepada Ciu Kok In. Ketika ia
habis mengucapkan pesannya, ia
pingsan.
"Cocok!" berkata Sin
Cu tertawa. "Toamo Sinlong menduga
kau sudah mati, maka kemudian
bersama-sama Hek In Tay ia
mencoba meyakinkan kitab ilmu
pedang itu. Pada kitab itu ada
tulisanmu, dari itu kemudian
lagi Hek In Tay meniru tulisanmu
itu, dia menulis surat pada
encie In Hong yang dia hendak
tipu."
"Setelah pingsan, aku
memang ada bagian mati," Thian
Touw menutur lebih jauh.
"Tapi telah terjadi sesuatu yang
kebetulan. Besoknya telah
turun hujan besar. Itulah hujan
yang orang bilang dalam
seratus tahun tak turun satu kali.
Aku kuyup kehujanan, aku sadar
sendiri karenanya. Karena
kena terserang angin, ketimpa
panas dan lalu ketimpa hujan,
aku mendapat sakit di dalam
tubuh, sering aku kedinginan
atau kepanasan. Dengan susah
payah aku berangkat ke
Patatleng mencari Ciu Siepee.
Beruntung sekali, aku bertemu
sama Seesan Iein Yap Goan
Ciang. Untuk beberapa bulan aku
tinggal menumpang di rumahnya,
dan ia telah berhasil
mengobati aku hingga aku
sembuh."
1219
Habis Thian Touw menutur, Ie
Sin Cu menggantikan
bercerita segala apa mengenai
Leng In Hong, mendengar
mana, anak muda ini jadi
bergelisah.
"Aku mesti segera
berangkat ke sana!" katanya.
"Marilah kita pergi
bersama," mengajak Ie Sin Cu.
Maka mereka lantas mengambil
putusan akan berangkat
besok.
Di belakang Tiamciang Tay itu,
Ciu Kok In membangun
sebuah rumah batu yang terdiri
dari tiga kamar, dari itu
malam itu mereka berkumpul di
dalam satu rumah. Banyak
yang mereka bicarakan, dan
semuanya gembira sekali. Itulah
pertemuan yang membahagiakan
mereka.
Ciu Kok In girang, bahwa Thio
Tan Hong mau memberi
petunjuk ilmu pedang kepada
Hok Thian Touw, ia lantas
membalas budi dengan
menyatakan suka mengajari Ie Sin Cu
dan Siauw Houwcu ilmu
meringankan tubuh yang istimewa,
yang dinamakan “Ieheng
hoaneng," "Memindahkan wujud,
menukar bayangan." Itulah
ilmu yang tadi diperlihatkannya,
hingga tubuhnya, yang bagaikan
bayangan, sebentar terlihat
dan sebentar lenyap, dan Sin
Cu yang telah mahir ilmu
meringankan tubuhnya masih
bisa dipermainkan.
Sebenarnya Siauw Houwcu
mendongkol karena Thian Touw
telah menghajar kempolannya
tetapi setelah si jago tua
mengajarkannya ilmu ini, maka
lenyaplah
kemendongkolannya.
Lama mereka berbicara,
terutama tentang ilmu silat,
sehingga sampai jam lima baru
mereka semua masuk tidur.
Hanya Sin Cu seorang, yang
tidak bisa pulas. Hatinya sangat
1220
gelisah. Ia senantiasa
memikirkan Seng Lim. Bagaimana
dengan pemuda pujaannya itu?
Bagaimana pula dengan Leng
In Hong? Bukankah ia yang
berdaya merangkapkan jodoh
mereka berdua? Kini bingunglah
ia...
Juga Yap Seng Lim dan Leng In
Hong di Tunkee, selalu
memikirkan Nona Ie ini. Sudah
lewat beberapa bulan
semenjak mereka melayani
tentara negeri. Beberapa kali
mereka menang bertempur,
tetapi pengurungan tentara
negeri tidak menjadi
berkurang, bahkan tentara negeri itu
bertambah banyak. Mereka
menjadi gelisah, karena tidak
adanya bala bantuan. Rangsum
sudah habis, hingga kudakuda
mereka pun disembelih setiap
hari dan dagingnya
dijadikan makanan mereka
beramai. Itulah daya yang tidak
sempurna.
Juga jumlah mereka, dari
selaksa jiwa, sudah tinggal empat
ribu serdadu saja.
Pada suatu hari tengah Yap
Seng Lim berpikir keras,
seorang serdadunya datang
melaporkan bahwa Pit Goan Kiong
datang minta bertemu. Ia
menjadi heran sekali, karena
sedikitpun ia tidak menyangka
akan memperoleh kunjungan
itu.
"Undang ia masuk!"
perintahnya.
Pit Goan Kiong muncul dengan
muka penuh debu, hingga
tidak lagi tampak romannya
yang Jenaka.
Dengan heran berkatalah Seng
Lim dalam hatinya: "Pit
Goan Kiong ini adalah
kemenakan Pit Kheng Thian dan ialah
orang yang paling
dipercayanya. Kenapa sekarang dia datang
ke mari? Bukankah Pit Kheng
Thian telah bentrok dengan
pamanku?"
1221
Segera juga Goan Kiong masuk.
Tanpa menanti sampai
orang membuka mulutnya, Seng
Lim mendahului bertanya:
"Apa kabar dengan keadaan
peperangan di sana? Sekarang
pelbagai pihak membentuk
persatuan untuk melawan musuh,
perselisihan di antara saudara
sendiri baik dikesampingkan
dulu. Itulah sebabnya kenapa
aku hendak mengirimkan utusan
kepada Pit Toaliongtauw untuk
mohon petunjuk, hanya
sayang, karena sedang
terkurung hebat, aku belum
mendapatkan kesempatannya.
Hari ini kau datang ke mari, Pit
Toako, aku girang sekali!
Adakah toako membawa surat
toaliongtauw? Kapankah bala
bantuan akan tiba di sini?"
Seng Lim bertanya demikian
karena ia percaya Goan Kiong
datang sebagai utusan Kheng
Thian. Tapi segera juga jadi
melengak. Air mata Pit Goan
Kiong segera tampak mengalir,
dan dengan tertawa sedih ia
berkata: "Memang aku membawa
surat toaliongtauw, akan
tetapi bukan untukmu! Tentaranya
juga sudah berangkat tetapi
juga bukannya untuk
membantumu!"
"Eh, kenapa begitu?"
tanya In Hong dengan heran. Seng
Lim sendiri tidak dapat
bicara. Ia hanya membuka matanya
lebar-lebar.
"Baiklah kamu
ketahui," sahut Goan Kiong dengan sedih.
"Pit Toaliongtauw sudah
menerima panggilan menakluk
kepada pemerintah! Ketika aku
mencuri lewat di Unciu,
bendera di sana sudah ditukar!
Kabarnya tentara suka rela di
sana sudah bergabung dengan
tentara negeri. Kabar yang
kuterima, ialah bahwa
toaliongtauw akan mengepalai
pasukannya kemari untuk
menyerang kamu..."
Seng Lim tidak menyangka akan
kejadian ini. Saking
kagetnya, terlepaslah cawan
teh di tangannya, hingga cawan
itu jatuh hancur.
1222
"Benarkah itu?"
tegasnya.
"Kau lihat saja surat
ini!" sahut Goan Kiong.
Itulah surat Pit Kheng Thian
untuk Yang Cong Hay, isinya
memberitahukan penaklukannya
kepada pemerintah, dan
syarat-syaratnya. Dia minta
dijanjikan pangkat yang besar.
Surat itu membuat Seng Lim
bagaikan gagu.
"Apakah kau telah pergi
ke Pakkhia?" tanya Seng Lim.
"Aku baru kembali dari
Pakkhia untuk mana siang dan
malam tak pernah aku berhenti
di tengah jalan!" sahut yang
ditanya. "Ya, memang aku
telah sampai di Pakkhia tetapi di
sana tak pernah aku menginjak
gedung Taylwee Congkoan."
Seng Lim merangkul, tubuh
orang.
"Saudara Pit, kau
sungguh-sungguh laki-laki sejati!"
pujinya. “Inilah yang disebut,
angin dahsyat membuat orang
mengenal rumput, kekalutan
dunia memperlihatkan hati
orang! Baru hari ini aku
mengenalmu dengan benar! Saudara
Pit, terimalah hormatku!"
Dan kepala tentara suka rela
ini menjura.
Pit Goan Kiong mencegah.
"Sudah, janganlah
membicarakan urusan demikian!"
katanya. "Selama di
Pakkhia aku telah bertemu dengan Thio
Tayhiap. Tayhiap minta aku
menyampaikan pesannya
kepadamu, supaya kau segera
mundur, katanya semakin
banyak kita dapat melindungi
orang kita, semakin baik kelak
hasilnya."
1223
"Baiklah, sekarang juga
aku akan bekerja," kata Seng Lim.
“n Hong, kau dan saudara Pit,
coba bicarakanlah segala
kemungkinan."
Dengan lantas pemuda she Yap
ini meninggalkan mereka.
In Hong menghela napas.
"Selama hari-hari yang
terakhir saudara Yap sangat
memeras tenaga dan
pikiran," ia berkata. "Sayang encie Sin
Cu tidak ada di sini, hingga
tidak ada yang membantu
bertanggung jawab."
"Nona Ie di kota raja,
aku telah bertemu dengannya," Goan
Kiong memberitahukan. Hati In
Hong bercekat.
"Bukankah ia bersama
seorang pemuda she Tiat?"
tanyanya.
"Apakah nona maksudkan
Tiat Keng Sim?" Goan Kiong
menegaskan. "Aku tidak
melihatnya."
Nona Leng bernapas lega.
"Entah kapan beresnya
urusan mereka di kota raja,"
katanya. "Aku ingin
sekali bertemu dengan encie Sin Cu..."
Kemudian Nona Leng menanyakan
urusan perang.
"Ketika aku memasuki
wilayah Ciatkang, di sana tentara
sedang bergerak tak
putusnya," Goan Kiong menjelaskan.
"Aku lalu mengambil jalan
kecil di sepanjang jalan tidak
berani aku ayal-ayalan.
Sementara itu kudengar Sunbu Thio
Kie dari Ciatkang memegang
sendiri pimpinan atas tentara,
tentang yang lainnya,
entahlah."
1224
Tengah mereka berbicara, jauh
di luar terdengar tembakan
meriam beberapa kali.
"Saudara Pit, mari kita lihat!" In Hong
mengajak. "Apakah kau
tidak letih? Aku mau naik ketembok
kota untuk sama-sama melakukan
penjagaan."
Baru si nona berbangkit atau
Seng Lim muncul. Dia datang
bagaikan terbang.
"Dinding kota telah
pecah!" katanya segera.
"Bukankah baru beberapa
hari yang lalu diperbaiki
mengapa baru terkena beberapa
tembakan saja sudah
pecah?" tanya In Hong.
"Karena yang datang
menyerang ialah Pit Keng Thian
sendiri," sahut Seng Lim.
"Saudara-saudara kita tidak tahu dia
sudah menakluk pada musuh, dia
dibukakan pintu. Beberapa
tembakan itu hanya tembakan
untuk memperlihatkan
keangkaran! Sekarang mari kita
mundur dari pintu timur!"
In Hong menurut, bersama Goan
Kiong, mereka berlalu.
Di dalam kota, di beberapa
tempat, tampak api berkobarkobar.
Syukur Seng Lim dapat berlaku
tabah dan sebat,
tentaranya telah lantas
dipusatkan, kalau tidak, tentu bukan
main akibatnya penyerbuan
Kheng Thian itu.
In Hong gusar bukan kepalang
hingga ia mengertak gigi.
"Oh, Pit Kheng
Thian!" ia berseru. "Adakah kau mempunyai
muka bertemu denganku?"
Pada saat itu datanglah
sepasukan tentara dan
pemimpinnya justeru Pit Kheng
Thian sendiri.
1225
Kheng Thian tertawa lebar
seketika melihatnya.
"Leng Ceecu!"
katanya girang. "Siapa mengenal salatan
dialah si orang gagah perkasa!
Kenapa kau kesudian
menyertai si bocah Seng Lim
mengantarkan jiwa?"
"Benar, Pit
Toaliongtauw." berkata si nona. "Kemarilah
kau!"
In Hong menyambar sebatang
busur dan lantas saja
memanah toaliongtauw itu.
Kheng Thian melihat serangan
itu, ia menangkis dan
menjatuhkan anak panah itu.
Oleh karena mereka berdekatan,
In Hong segera maju untuk
menyerang dengan pedangnya, ia
menikam tiga kali beruntun.
Pit Kheng Thian gagah, tetapi
didesak si nona, hatinya
gentar juga. Maka syukurlah ia
segera dibantu sejumlah
pengawalnya, yang senantiasa
mendampinginya.
Karena dikepung, pundak In
Hong segera sudah kena
tercambuk tetapi ujung
pedangnya juga berhasil memapas
kutung ujung baju pengkhianat
itu, yang meninggalkan citacitanya,
dan mengkhianati kawan-kawan
seperjuangannya.
Yap Seng Lim tengah memimpin
pertempuran di gang-gang
kecil ketika ia kehilangan In
Hong, ia menjadi kaget sekali,
lekas-lekas ia kembali, maka
segera ia melihat si nona tengah
dikurung musuh.
"Yap Toako, lekas kau
pergi!" seru In Hong, yang
melihatnya hendak membantu.
Tentu sekali Seng Lim tidak
menghiraukan anjuran itu.
Sebaliknya, ia putar goloknya,
untuk maju menyerang.
1226
Dengan cepat ia dapat
merobohkan beberapa di antara
belasan pengawal Kheng Thian,
hingga ia berhadapan dengan
si pengkhianat sendiri.
"Hm, seorang toaliongtauw
yang jempolan!" katanya
mengejek. "Kau malu atau
tidak?"
Pit Kheng Thian benar-benar
tidak kenal malu. Dia justeru
tertawa terbahak-bahak.
"Yap Seng Lim!"
serunya, "kematianmu sudah tiba, kau
masih mentertawai aku? Hm!
Kau harus tahu, seorang
laki-laki mesti mendirikan jasa
besar, supaya bisa menjadi
raja muda! Apakah artinya
toaliongtauw dari delapan
belas propinsi?"
Seng Lim mendongkol, ia tidak
memper-dulikan perkataan
orang. Kembali ia merobohkan
dua orang musuh. Akan tetapi
jumlah musuh demikan besar,
setelah bisa menerobos masuk,
sulit untuk ia membuka jalan
keluar.
"Siapa bernyali besar
mari bertempur mati-matian
denganku!" Seng Lim
menantang.
"Kau tolol!" bentak
Kheng Thian. "Apakah kau masih
menyangka aku orang dari Jalan
Hitam atau Rimba Hijau?
Sekarang ini akulah panglima besar
dari pemerintah agung!
Siapa kesudian berpandangan
sama denganmu?"
Mengenai kepandaian, Kheng
Thian tidak kalah dari Seng
Lim atau In Hong, tetapi
sekarang, setelah menjadi panglima
pemerintah, ia sungkan mengadu
jiwa secara laki-laki kaum
Rimba Persilatan.
1227
Seng Lim mendongkol bukan
main, ia menerjang hebat
sekali. Kheng Thian tidak sudi
melayani, ia hanya menuding
dengan tangannya, maka
lagi-lagi beberapa pengawalnya
maju, untuk mengepung pemimpin
tentara rakyat itu.
Seng Lim mengenali beberapa
orang seba-wahan Cong Liu,
maka ia berseru kepada mereka
itu: "Bagaimanakah dulu
kamu dididik oleh Yap Tongnia
? Kenapa sekarang kamu
berkhianat? Di belakang hari
bagaimana kamu dapat bertemu
muka dengan Yap Tongnia?"
Beberapa pengawal itu tidak
mau mundur. Mereka
menghadapi Seng Lim. Meski
begitu, ketika mereka
menyerang, serangan itu hanya
separuh hati.
Kheng Thian dapat melihat
lagak orang-orangnya itu.
"Kamu mundur!" ia
membentak mereka. Sebaliknya, ia
menitahkan pengawal-pengawal
sendiri maju.
Seng Lim mengalami kesukaran.
Sulit baginya untuk
menerobos keluar. Ia pun
melihat tentara musuh makin
bertambah. Akhirnya ia
berteriak kepada tentaranya: "Kamu
lekas menyingkir! Satu jiwa
lolos artinya kita masih punya satu
tenaga!"
Justeru karena berseru, ia
menjadi alpa, maka dua bacokan
mengenai pundaknya. Sementara
itu terlihat barisan tentara
negeri membuka jalan, dan
segera tampak Pit Goan Kiong
mendatangi. Dia bagaikan mandi
darah, tindakannya pun
terhuyung.
Kheng Thian heran dan kaget.
1228
"Eh, kenapa kau ada di
sini?" tanyanya. "Kau telah tiba di
Pakkhia atau belum? Kenapa,
dalam suratnya, Yang Congkoan
tidak menyebut-nyebut
kunjunganmu?"
Tidaklah heran, bahwa Kheng
Thian tidak tahu tentang
Goan Kiong. Goan Kiong memang
berangkat langsung dari
kota raja ke tempat Seng Lim.
Tempo surat rahasia dari Kouw
Beng Ciang sampai di kota
Unciu, Kheng Thian sudah
meninggalkan kota itu.
Maka tak tahulah toaliongtauw
ini, bahwa Goan Kiong telah
berbalik mengkhianatinya.
"Panjang
ceritera-nya!" kata Goan Kiong setelah ia datang
dekat. "Ada rahasia yang
hendak kusampaikan kepadamu!..."
Hanya sejenak Kheng Thian
bersangsi, lalu ia mengulapkan
tangannya.
"Baiklah!" katanya
kepada orang-orangnya. "Pergi kamu
membantu bertempur! Seng Lim
mesti dapat dibekuk!"
Demikianlah perintahnya kepada
pengawal-pengawalnya.
Justeru pasukan pelindung itu
berlalu, Goan Kiong
melompat, menyambar lengan
orang, tepat ia memegang
nadi, sedang tangan kirinya
menghunus pisau belati yang
diancamkan ke tenggorokan
pengkhianat itu.
"Lekas lepaskan dua orang
itu!" ia memerintah sambil
mengancam.
"Goan Kiong, kau... kau
sudah angot?" teriak Kheng Thian.
Goan Kiong terus menyekal
dengan keras dan pisaunya
ditempel ke tenggorokan.
1229
"Lekas lepaskan mereka
berdua!" ia tetap mengancam.
"Kau toh kemenakanku yang
telah kuangkat?" kata Kheng
Thian pula. Ia lantas saja
berontak, untuk mengelakan diri.
Goan Kiong tidak per-dulikan
paman itu, pisaunya dikasi
bekerja hingga dia menggores
kulit orang, mengenakan sedikit
daging...
"Jikalau kau tidak merdekakan
dia, mari kita sama binasa!"
dia mengancam pula.
Kheng Thian menjadi takut.
"Lekas membuka
jalan!" teriaknya. "Kasi mereka berlalu!"
Setelah bebas dari kepungan,
Seng Lim megawasi Goan
Kiong. Ia sangsi.
"Kalau masih ada gunung
hijau, jangan takut kekurangan
kayu bakar!" Goan Kiong
berteriak. "Thio Tayhiap menitahkan
kamu mengangkat kaki!"
Bukan main terharunya Seng
Lim. Seumurnya ia belum
pernah menangis tetapi
sekarang ia mengucurkan air mata.
Bersama In Hong ia lantas
berlalu.
Goan Kiong mengawasi orang
berlalu sampai lenyap di
antara pasukan rakyat, lantas
ia menghela napas panjang.
"Paman, aku telah
melakukan kewajibanku terhadap leluhur
kami kaum keluarga Pit,"
katanya, menyesal. "Semoga kau
pun nanti menghargakan nama
besar dari Cinsamkay supaya
kalau nanti kamu bertemu di
alam baka, kau dapat
bertanggung jawab
terhadapnya..."
1230
Mendadak ia menarik pulang
pisau belatinya, untuk
ditumblaskan ke dadanya
sendiri, maka itu ia roboh tanpa
berjiwa lagi, tubuhnya
melintang, darahnya berhamburan!
Kheng Thian berdiri menjublak.
Pikirannya kacau. Banyak ia
pikirkan. Sikapnya Goan Kiong
itu membuatnya berpikir keras.
Sementara itu semua
pahlawannya pun berdiri diam,
menantikan titahnya.
"Bagian mampus!"
teriaknya kemudian seraya ia mengertak
gigi. "Lekas kutungin
lehernya Pit Goan Kiong ini, pancar
kepalanya! Inilah contoh
seorang pengkhianat dan
pendurhaka!"
Kemudian, dengan memberikan
titahnya lebih jauh,
tentaranya lantas maju pula,
untuk menyerang pula kepada
musuh.
Seng Lim bersama empat ribu
sisa serdadunya berkelahi
sambil mundur. Di waktu
magrib, ia telah mundur jauh tiga
puluh lie lebih. Tentu saja ia
mengalami kerusakan besar
sekali, hingga tentaranya
tinggal seribu jiwa lebih kurang.
Di situ ada sebuah bukit
dengan rimbanya yang lebat, di
situ tentara rakyat itu
dipernahkan. Dengan adanya rimba
sebagai pelindung, tentara
negeri tidak berani mendaki bukit
untuk melanjuti penyerangan
mereka.
Ketika Pit Kheng Thian
menyusul sampai di kaki bukit, ia
menitahkan tentaranya memasang
obor, untuk menjaga di
apa yang dinamakan leher
gunung, guna memegat jalanan.
"Yap Seng Lim!"
Kheng Thian berseru dari atas kuda
tunggangnya. "Kamu adalah
bagaikan ikan di bawah jaring,
1231
maka lekas-lekas kamu
menyerah! Dengan begitu saja kamu
dapat menyelamatkan jiwa kamu!"
"Seorang laki-laki boleh
terbinasa tetapi tidaklah sebagai
kau!" Seng Lim membaliki.
"Kau telah meninggalkan saudarasaudara
setengah jalan, kau telah
berkhianat! Sungguh kau
tidak tahu malu!"
Dengan lantas pemuda ini
mengangkat busurnya, untuk
memanah hingga tiga kali
beruntun. Dengan pandai ilmu
Taylek Kimkong Ciu, tarikan
panahnya itu dengan tenaga
besar luar biasa.
Kheng Thian gagah dan liehay,
ia menangkis dengan
toyanya. Akan tetapi panah
yang kedua datang cepat luar
biasa dan anak panah itu mengenai
kudanya tanpa ia sempat
menangkis, maka sambil
meringkik kuda itu roboh, hingga dia
roboh bersama. Justeru itu
menyusul anak panah yang ketiga,
yang mengarah si kepala perang
sendiri. Dalam keadaan
sangat mengancam itu, terpaksa
Kheng Thian membuang diri
sambil terus bergulingan
dengan tipu silatnya "Yan Ceng
Sippat hoan," ialah
"Yan Ceng bergulingan delapan belas kali."
Maka itu, anak panah itu
menancap di tubuhnya seorang
pahlawan yang berada di
belakangnya hingga dia ini tembus
uluh hatinya!
Ketika dia merayap bangun,
Kheng Thian menjadi kecil
nyalinya, maka itu ia tidak
berani mementang pula mulutnya
lebar-lebar, hanya dia lantas
mengundurkan diri, untuk
mengambil putusan besok akan
melakukan penyerangan
secara besar-besaran.
Di waktu malam, dengan
rembulan guram dan bintang
kelak-kelik suram, kedua pihak
tidak berani berlaku
semberono.
1232
Burung-burung di dalam rimba
pun terbang kabur hingga
jagat menjadi sunyi-senyap.
Menyaksikan suasana itu,
matanya In Hong mengeluarkan
sinar tajam.
"Yap Toakol"
katanya. "Justeru sekarang lagi gelap petang,
pergilah kau menyingkir!"
Akan tetapi pemuda itu
menggeleng kepala.
"Dapatkah aku menolong
jiwaku seorang dengan
meninggalkan semua
saudara?" ia menanya. "Bukankah kita
harus hidup atau mati
bersama?"
"Tetapi bukankah Thio
Tayhiap yang membilangnya, molos
satu orang berarti satu orang
ketolongan?" berkata si nona,
mendesak. "Kaulah si
kepala perang, jikalau kau dapat lolos,
maka di belakang hari kau
masih dapat bangun pula!
Bukankah itu ada terlebih baik
daripada berdiam terus di sini
menantikan kematian?"
Seng Lim terus menggoyangi
kepala.
"Jikalau adik Sin Cu di
Pakkhia mendengar kabar Kheng
Thian telah berkhianat, entah
bagaimana dia berkuatir
memikirkan kau!" kata
pula si nona.
Pemuda itu berdiam.
"Ah, Yap Toakol" si
nona mendesak. "Apakah kau tidak
memikir untuk bertemu pula
dengannya?"
"Jikalau aku menyingkir
dengan cara begini, mana aku
mempunyai muka untuk bertemu
sama dia?" Seng Lim
menanya.
1233
"Bukan begitu, toako
!" kata si nona dengan desakannya.
"Kau telah bertahan
dengan sekuat tenagamu, kau bukannya
menyingkir karena takut! Kau
jangan kuatir, kau serahkan
semua saudara di sini
kepadaku, kapan sebentar sudah terang
tanah, aku nanti mencoba
melakukan peperangan yang
memutuskan! Mustahil tidak ada
jalan hidup untuk kita!"
Seng Lim mengerti si nona mau
berkurban untuk
membantu dia, dia jadi sangat
bersyukur, maka tanpa likat
lagi dia menjabat tangannya
nona itu, dia memegangnya eraterat.
"Encie Leng, terima
kasih!" mengucapnya.
"Apakah faedahnya untuk
kematiannya satu orang lebih
banyak seperti kau?"
berkata pula In Hong. "Pula, jikalau kau
tidak berlalu dari sini, adik
Sin Cu bakal menyesal seumur
hidupnya! Benarkah kau tidak
memikirkan dia?"
"Aku tahu dia pasti bakal
berduka sekali," berkata Seng
Lim. "Hanya, kenapa dia
mesti menyesal seumur hidupnya?
Dia toh dari siang-siang telah
mempunyai orang yang menjadi
idam-idamannya? Sebenarnya,
hatiku justeru lega sekali."
"Apakah katamu,
toako?" tanya In Hong, heran. "Siapakah
yang kau maksudkan?"
"Tiat Keng Sim itu bunbu
siangcoan, dengan dia ia setimpal
sekali!"
"Ah!" seru si nona.
" Toako, mengapa kau masih belum
mengetahui hatinya adik Sin
Cu? Aku dengan dia ada bagaikan
saudara kandung, walaupun dia
tidak membilang apa-apa
akan tetapi aku tahu hatinya!
Di sebelah itu, sudah sering dia
mengentarakannya!"
1234
Tanpa bersangsi lagi, In Hong
tuturkan hal ikhwalnya Sin
Cu yang sampaikan dalam
mimpinya suka mengigau
menyebut-nyebut nama si
pemuda. Ia juga mengerti
maksudnya Sin Cu mengirim dia pergi
pada Seng Lim, supaya
mereka berdua merangkap jodoh
mereka. Tetapi ia telah
punyakan cita-citanya sendiri,
tidak dapat ia mengubahnya itu.
Maka sebaliknya, ingin sekali
ia merekoki jodoh Sin Cu dengan
jodoh Seng Lim itu. Dan inilah
saatnya yang terakhir!
Mendengar keterangannya In
Hong itu, Seng Lim
membungkam. Ia memikirkan
hatinya Sin Cu. Mungkin sekali
hati si nona ada padanya hanya
nona itu keras hatinya, dia
tidak sembarang menum-plakkan
rasa hatinya itu.
Samar-samar Seng Lim
mendapatkan alisnya In Hong
berkerut, menandakan si nona
berduka. Maka ia memegang
pula keras tangannya nona itu.
"Encie Leng,"
katanya,"sekarang ini malam gelap, kalau kita
menerobos ramai-ramai, itulah
sulit, tetapi kau, yang gagah
dan cerdik, kau dapat
meloloskan dirimu! Encie, kau
berangkatlah! Kalau nanti kau
ketemu Sin Cu, kau tolong, kau
tolong menyampaikannya supaya
dia tidak usah memikirkan
pula padaku..."
"Tidak, toakol" si
nona menolak.
"Untukku, tidak ada orang
yang aku buat pikiran, maka
baiklah kau sendiri yang pergi!"
"Di sana, aku memang
memikirkan dia seorang," Seng Lim
akui. "Akan tetapi di
sini, di sini aku memikirkan
keselamatannya jiwa lebih
daripada seribu saudara-saudara
kita! Maka, encie Leng,
sudahlah, kau jangan omong lebih
banyak lagi, pergilah kau menyingkir!"
1235
Mendengar itu tahulah In Hong
bahwa orang telah
berkepu-tusan tetap, maka
percumalah andaikata ia
membujuki terus. Ia seorang
yang berhati keras belum pernah
ia mengucurkan air mata, akan
tetapi sekarang air matanya
itu mengembeng, karena ia
terharu sekali untuk kekerasan
hati pemuda ini, yang menyinta
negara, menyinta kawan
seperjuangan melebihkan
kecintaan kepada kekasihnya!
"Dialah benar laki-laki
sejati!" katanya dalam hatinya.
"Tidaklah kecewa yang
adik Sin Cu menyintai dia! Ah, apa
kata denganku sendiri?
Bukankah aku pun mempunyai
orang yang menjadi idamidamanku?
Cumalah entah ia masih ada di
dalam dunia atau
tidak?... Kalau dia masih ada,
di manakah adanya dia dan
bagaimanakah keadaannya
sekarang?..."
Segera juga berpe-tahlah
bayangannya Hok Thian Touw.
"Semoga dia kuat dan
keras hati seperti toako Seng Lim
ini," ia ngelamun.
"Umpama kata tanpa aku, biarlah ia berhasil
menciptakan suatu partai
persilatan baru!..."
Mengingat ini, karena leganya
hatinya, ia bersenyum
tanpa merasa.
"Yap Toako," katanya
kemudian, "karena kau tidak mau
pergi, aku juga tidak!"
Seng Lim masih berdiam,
tangannya tetap masih mencekal
keras. Setelah bergaul bersama
sekian lama, ia ketahui
sifatnya nona ini, yang keras
hati seperti ia sendiri, yang tidak
pernah menarik pulang
putusannya.
1236
Si nona pun membalas mencekal
keras, ia juga berdiam
saja.
Peperangan berhenti bukannya
berhenti. Benar pasukan
pemerintah tidak berani
menerjang naik akan tetapi kadangkadang
mereka masih menghujani anak
panah. Maka itu
dalam kesunyian sang malam, di
situ terdengar berulangulang
mengaungnya anak-anak panah
itu.
Dua-dua Seng Lim dan In Hong
berpikir keras, dua-duanya
memikirkan orang yang menjadi
idam-idaman mereka...
Tengah mereka ini ngelamun,
mendadak hujan anak panah
berhenti sendirinya. Tentu
sekali mereka menjadi heran. Maka
keduanya segera memasang mata.
Di depan mereka berkelebat
satu bayangan, yang
gerakannya sangat pesat.
"Siapa?" Seng Lim
menegur, tangannya merabah goloknya.
"Aku!" sahut
bayangan itu, yang berhenti berlari, hingga
di lain saat ia sudah tiba di
depan mereka berdua.
Di antara samar-samarnya sinar
si Puteri Malam dan
bintang-bintang masih dapat
dikenali bayangan itu ialah Keng
Sim yang tampangnya tampan.
"Oh, kau Keng Sim!"
seru Seng Lim.
"Benar!" menyahut
itu anak muda. "Kecuali aku siapa lagi
yang berani datang kemari di
waktu begini!"
Masih tetap menantu Hertog
Bhok ini membawa sikapnya
yang jumawa.
1237
In Hong mengawasi, hingga ia
melihat tegas orang masih
dandan sebagai seorang
agung-agungan, bahkan pada
pakaiannya tidak ada setitik
juga darah, hingga dari heran ia
menjadi bercuriga.
"Mau apa kau datang ke
mari?" ia menanya, tangannya di
gagang pedang.
"Aku hendak membantu kamu
meloloskan diri dari
kepungan!" Keng Sim
jawab.
"Kenapa tentara negeri
mengijinkan kau melewatkan
mereka?" Seng Lim tanya.
"Apakah Pit Kheng Thian bertemu
denganmu?"
Keng Sim tertawa dingin. Ia
beradat angku. Ia pun
menduga sikap orang.
"Jikalau kau percaya aku,
mari turut padaku!" katanya.
"Jikalau kamu tidak
percaya, baik jangan banyak bicara lagi!
Pit Kheng Thian itu makhluk
apa hingga dia ada harganya
untuk aku menemuinya?"
In Hong mengawasi dengan
tajam. Ia melihat orang
mendongkol berbareng jengah.
Wajah pemuda itu beda
daripada biasa.
"Baik, Keng Sim, aku
percaya kau!" kata si nona kemudian.
"Hanya hendak aku menanya
dulu padamu, sepatah kata saja!
Kenapa kau berani menempu
bahaya besar ini untuk
menolongi kami?"
Keng Sim tetap membawa
lagaknya yang tinggi. Dia
tertawa dingin.
1238
"Aku tidak mau menerima
kebaikan dari kamu!" sahutnya
tawar. "Aku datang kemari
melulu untuk Nona Ie!"
Itulah suara dari kepala gedeh
yang bernadakan sedih...
Pemuda ini telah dapat hajaran
hingga dia menjadi
menyesal dan malu kepada
dirinya sendiri. Ketika itu hari di
rumahnya di Hangciu dia telah
membuka rahasia tentara
kepada Law Tong Sun, dia malu
sekali mendapatkan di hari
kedua Sin Cu berlalu dengan
diam-diam sambil meninggalkan
surat dengan apa dia ditegur
sudah menjual sahabat dan nona
itu bersumpah tidak mau
bertemu pula dengannya. Itulah
kejadian di luar dugaannya,
dia menyesal dan malu, dia pun
panasaran. Dia mengatakan Sin
Cu tidak tahu hatinya.
Keng Sim menyesal karena sudah
membuka rahasia tentara
rakyat. Ia kuatir, kalau
tentara rakyat itu gagal, semua orang
bakal mengutuk ia seperti
telah diperbuat Sin Cu. Tapi juga ia
berpikir, "Tidak nanti
tentara rakyat itu sanggup bertahan
terhadap tentara pemerintah.
Aku membocorkan rahasia atau
tidak, bukanlah soal. Tanpa
rahasianya terbuka, tidak nanti
mereka menjadi menang. Mereka
tetap bakal kalah! Tapi
encie Sin Cu telah menegur
aku, tidak dapat tidak, aku mesti
memberikan keterangan, aku
mesti menjelaskan hatiku,
biarnya aku terbinasa dan
namaku busuk, mesti aku
membersihkan diri, supaya dia
ketahui aku sebenarnya
seorang enghiong!"
Maka, karena putusannya ini,
hendak ia melakukan
sesuatu, ialah agar Seng Lim
lolos dari bahaya!
Keng Sim pintar, dapat ia
mengatur ceritera. Begitulah ia
pergi ke kantor sunbu dari
Ciatkang. Ketika itu Pit Kheng
Thian sudah menakluk dan
pasukan perangnya Thio Kie sudah
menuju ke Tunkee. Thio Kie
adalah murid dari Tiat Hong, ayah
dari Keng Sim, dan berhasilnya
ia mendapatkan menak-luknya
1239
Kheng Thian pun sebagian
disebabkan Keng Sim
membocorkan rahasia tentara
rakyat itu, maka itu pemuda ini
dipercaya sunbu itu, bahkan
dia girang sekali anak gurunya
datang kepadanya. Thio Sunbu
pun sudah memikir, kalau
nanti pemberontak sudah dapat
ditindas dan wilayah aman,
hendak dia memujikan pemuda
itu kepada pemerintah.
Demikian malam itu, selagi
tentara Seng Lim dikurung
tentara negeri, Keng Sim
mengajukan permintaan akan pergi
menemui Seng Lim itu, guna
membujuki si pemberontak
menyerah dan menakluk. Thio
Kie tidak curiga sedikit juga, ia
memberikan persetujuannya, ia
bahkan membekali surat yang
ditulisnya sendiri.
Demikianlah dengan gampang
Keng Sim dapat naik ke
gunung serta hujan anak panah
dihentikan dengan tiba-tiba.
Tentu sekali Seng Lim tidak
dapat membade hatinya Keng
Sim itu.
"Jikalau kamu berniat
meloloskan diri, jalannya ada dua,"
begitu Keng Sim memberitahu
selagi orang berpikir keras.
"Coba kau jelaskan,"
Seng Lim minta.
"Yang pertama yaitu
menuruti teledannya Pit Kheng Thian,
menakluk kepada
pemerintah," Keng Sim kasi tahu. "Nanti
sunbu Thio Kie dapat
menjanjikan kau pangkat komandan
angkatan perang air. Nah,
inilah suratnya sunbu itu dengan
apa dia memanggil kau
menyerah."
"Hm!" bersuara Seng
Lim dengan gusar. "Kau sangka aku
orang macam apa?"
Keng Sim tertawa berkakak,
dengan lantas ia merobek
suratnya Thio Sunbu itu.
1240
"Aku juga tahu kau
bukannya seperti Kheng Thian yang
bertulang anjing itu!"
katanya. "Kalau tidak, tidak nanti aku
datang ke mari! Hanya, kau toh
bukannya seorang tolol!
Kenapa kau hendak membela mati
Tunkee sebuah tempat?"
Sepasang alisnya In Hong
berkerut.
"Tiat Kongcu, adakah kau
datang untuk menghina kami?" ia
menanya. "Ataukah kau
benar-benar hendak membantu kita
meloloskan diri dari kepungan
ini? Kaulah seorang pandai
yang berbakat panglima perang,
setelah kami lolos, nanti kami
angkat kau menjadi
toaliongtauw dari delapan belas propinsi!"
Keng Sim tertawa.
"Mana aku mengharapi
kedudukan toaliongtauw kamu itu!"
katanya. "Telah aku
membilangnya, aku datang ke mari
melulu karena aku memandang
Nona Ie!"
Sebenarnya tak puas In Hong
menyaksikan lagak luguknya
Keng Sim ini akan tetapi untuk
kebaikannya Seng Lim, dapat
ia bersabar.
"Baiklah!" katanya.
"Sekarang kami mohon keterangan
tentang tipu dayamu itu."
"Oleh karena kamu tidak
sudi menyerah, sekarang tinggal
jalan yang kedua,"
berkata Keng Sim pula. “Itulah kita
menggunai ketika sang malam
untuk menyerang menerobos!"
"Pasukan negeri mengurung
berlapis-lapis, taruh kata kita
dapat menoblos turun, kita
tetap berada dalam kurungannya!"
Seng Lim bilang.
1241
"Untuk itu aku ada
dayanya, tak usah kamu buat kuatir,"
Keng Sim bilang. "Asal
kamu suka mendengar titahku, aku
tanggung kamu akan dapat
molos!"
"Pantaslah adik Sin Cu
tidak menyukainya!" pikir In Hong.
"Dia menempuh bahaya
datang kemari untuk menolong kami,
perbuatannya ini dapat
membikin orang mengagumi dia, akan
tetapi sikapnya ini menyatakan
terang-terang, dia hendak
menonjolkan budinya! Inilah
dapat menimbulkan kesan
sebaliknya! Hm, kalau bukan
untuk Yap Toako dan seribu lebih
saudara-saudaranya ini,
sungguh tak sudi aku menerima
budinya ini!"
Seng Lim sebaliknya bersikap
lain. Dengan kedua,
tangannya dengan cara hormat
ia menghaturkan bendera
kekuasaannya.
“Inilah lengkiel"
katanya. "Segala apa dapat kongcu
mengaturnya!"
Pada romannya pemimpin tentara
rakyat itu tidak nampak
roman mendongkol. Menyaksikan
itu, Nona Leng menjadi
sangat kagum.
Keng Sim menyambuti lengkie
itu.
"Di belakang gunung ini
ada sebuah jalanan kecil," katanya,
"dan jalanan itu nembus
ke Bugoan. Di sanalah penjagaan
paling lemah dari tentara
negeri ini."
"Jalanan kecil itu ada
jalanan pegunungan yang sulit sekali,
telah aku melihatnya,"
menerangkan Seng Lim. "Jalanan
tembusan itu sempit dan penuh
dengan duri, sangat sukar
untuk lewat di situ.. Kalau di
sana di tempatkan saja beberapa
ratus serdadu, kita sama juga
ikan di dalam bubuh!"
1242
Agaknya Keng Sim kurang puas.
“Ilmu perang membilang, di
saat berbahaya menggunailah
bahaya itu," katanya.
"Ada pula kata-kata yang membilang,
kosong itu berisi, berisi itu
kosong. Tentara negeri telah
menduga kamu tidak nanti
berani menoblos dari jalanan kecil
itu, maka mereka tidak
menempatkan pasukan yang kuat. Di
beberapa tempat lain, yang
merupakan jalanan bagus, di sana
telah disembunyikan
tukang-tukang panah serta tukangtukang
menggaet, di sana semuanya
berbahaya. Nah,
terserahlah kepada kamu, kamu
suka menerima baik usulku
ini atau tidak!"
Memang, selama di dalam
pasukannya Thio Sunbu, Keng
Sim telah melihat jelas
rencana perangnya sunbu itu. Bahwa ia
menyebut-nyebut kitab ilmu
perang itu melulu guna
mempertontonkan temberangnya.
Dengan cara angkuh itu ia
hendak mencoba menakluki Seng
Lim.
Kedua matanya pemimpin tentara
rakyat itu bersinar.
Sejenak kemudian, ia memberi
hormat seraya berkata:
"Kongcu, pandanganku
memang cupat sekali. Memang juga,
siapa bodoh dia banyak
kecurigaannya. Aku harap kongcu
tidak menjadi kecil
hati."
Seng Lim berpandangan tajam.
Ia telah dapat menduga
kenapa Keng Sim dapat masuk ke
dalam pasukan tentara
negeri itu Tentulah itu
disebabkan pengaruh ayahnya, seorang
bekas giesu, penasihat negara.
Dengan berada di dalam pasukan
tentara, tidaklah aneh
kalau dia menjadi mendapat
tahu keadaan dalam dari tentara
itu. Di mata sunbu, Keng Sim
bukannya seorang rendah,
pantas kalau dia dipercaya
habis. Hanya Seng Lim tidak
pernah menyangka yang Keng Sim
pernah membocorkan
1243
rahasianya tentara rakyat, salah
satu sebab yang membuatnya
dia sangat dipercaya itu.
Melihat Seng Lim suka
mengalah, Keng Sim bersenyum.
"Kamu masih mempunyai
berapa banyak kuda?" ia tanya.
"Kamu kumpulkanlah itu.
Kamu kumpulkan juga semua sisa
tentara, bersiap untuk segera
bekerja!"
Menyedihkan adalah tentara
rakyat ini. Karena kekurangan
rangsum, mereka terpaksa
memakan daging kuda, dari itu,
sisa kudanya tinggal tiga
puluh ekor kurang lebih. Karena ini,
Seng Lim lantas menggunai
akal. Ia perintahkan tentaranya
mengumpul rumput, untuk
membuat anak-anakan, yang
semuanya diikat di punggung
kuda. Sudah begitu, setiap ekor
kuda itu dipasangi dadung yang
panjang, yang ditambat
kepada pohon. Ketika mereka
mau berangkat, ujungnya
dadung itu disulut menyala. Di
lain pihak, semua seribu lebih
serdadu rakyat itu dengan cara
sembunyi mengambil jalan
kecil yang disebutkan itu.
Benar sekali, jalanan kecil
itu, jalanan selat, sangat sukar
dilalui, sudah sempit, banyak
pohon durinya pula.
Keng Sim maju di muka. Ia
telah menghunus pedang
mustika Ciehong kiam hadiah
dari gurunya, dengan itu ia
membabat setiap rintangan. Ia
tidak memperdulikan jubahnya
yang panjang tersangkut robek
dan jari tangan serta jari
kakinya baret dan mengeluarkan
darah.
Menyaksikan kesungguhannya si
anak muda, lenyap
separuh dari
kemendongkolan-nya In Hong. Ia membulangbalingkan
sepasang pedangnya, guna
membantu membuka
jalan.
1244
Keng Sim bekerja terus, ia
maju dengan cepat. Senang
hatinya menyaksikan pihak
tentara rakyat itu taat kepada
pimpinannya. Maka itu di dalam
hatinya ia berkata: "Sayang
Sin Cu tidak ada di sini!
Entahlah jasaku ini, mereka bakal
memberitahukannya Sin Cu atau
tidak..."
Baru saja tentara rakyat ini
keluar dari mulut lembah, di
belakang mereka terdengar
hikuk-pikuknya kuda meringkik
dan suara manusia serta tambur
perang yang menulikan
kuping, kapan orang menoleh ke
belakang, terlihat di sana, di
atas rimba, mengepulnya asap
dari api yang berkobar naik.
Dadung penambat kuda telah
terbakar putus, kudanya semua
kepanasan dan kesakitan,
mereka lari serabutan sambil
meringkik-ringkik. Karena itu,
di beberapa puluh tempat
timbullah bahaya api. Kuda
cuma tiga puluh lebih tetapi
mereka bagaikan terdiri dari
satu pasukan perang besar.
Di dalam malam yang gelap
petang itu tetapi yang
diterangkan cahaya api, tentara
negeri melihatnya banyak
serdadu berkuda, sebab itu
waktu, semua anak-anakan
rumput belum kena terbakar.
Mereka itu menduga tentara
rakyat bergerak hendak
menerobos kepungan, semua lantas
bersiap sedia.
Thio Kie ada seorang yang
mengerti ilmu perang, maka
tahulah ia yang musuh mogok
tidak dapat dilawan keras
dengan keras, dari itu ia
menitahkan tentaranya berjagajaga.
Barisan panah bersiap dengan
panahnya, dan barisan
tukang gaet dengan alat-alat
gaetannya. Ia memesan, apabila
sudah tiba saatnya baru
pihaknya menghujani, anak panah
dan menggaet. Ia sendiri
memasang mata. Saking lama ia
telah menanti, tidak juga ia
menampak musuh menyerbu
turun gunung. Ia menjadi
heran.
1245
"Mereka menggunai api
membakar gunung, kenapa mereka
belum juga menyerbu?" katanya
dalam hatinya. "Mungkinkah
mereka berduduk diam saja
menantikan terbakar hangus?"
Karena herannya itu, ia masih
menantikan ketika.
Tidak lama, api dadung telah
memakan dadung hingga di
anak-anakan rumput, maka
terbakarlah anak-anakan itu,
karena mana kudanya jadi
semakin kalap, semuanya lari tidak
keruan tujuan. Ada kuda yang
mati terbakar, ada juga yang
roboh terserimpat hingga dia
mati terinjak-injak kawankawannya.
Belasan kuda lainnya nerobos
turun gunung.
Sampai itu waktu barulah pihak
tentara negeri menduga
kepada kejadian yang
sebenarnya tetapi sudah kasap, tidak
saja musuh sudah lolos, juga
gunung telah terbakar, tidak
dapat mereka menyerang naik.
Keng Sim menyaksikan api
berkobar-kobar, ia bertepuktepuk
tangan, ia tertawa lebar.
Seng Lim pun memuji, katanya:
"Di jaman dulu Thian Tan
menggunai kerbau api memukul
pecah pasukan perang negeri
Cee tetapi sekarang Tiat
Kongcu menggunai kuda api
mengacau musuh, mencegah
mereka itu mengubar hingga
kita dapat lolos! Inilah
sungguh suatu tipu daya yang bagus!"
Keng Sim puas sekali, saking
bangganya, ia tidak mencoba
merendahkan diri. Ia menerima
semua pujian itu. Bahkan
dengan melirik, ia memandang
ke sekitarnya. Di dalam
hatinya ia kata: "Apakah
bisanya Yap Seng Lim? Kenapa Ie Sin
Cu demikian menghargai
dia?"
Keng Sim tidak mau memikir
bagaimana Seng Lim seorang
diri, dengan tentara mencil,
sudah mempertahankan diri di
Tunkee untuk beberapa bulan.
1246
In Hong berpanda-ngan lain.
Maka itu, melihat tegas
perbedaan di antara Keng Sim
dan Seng Lim itu, lagi-lagi ia
memuji Sin Cu yang matanya
tajam.
Ketika terang tanah, tentara
rakyat telah melintasi Bugoan.
Selama itu tidak pernah mereka
bersomplok sama tentara
negeri.
Di beberapa tempat ada tentara
musuh yang menjaga
tetapi mereka itu tidak berani
muncul untuk memegat atau
menerjang, sedang tentara
rakyat pun tidak suka
mengganggu mereka.
Selewatnya Bugoan orang tiba
di jalan datar. Sampai di
sini, Seng Lim mengucurkan air
mata. Ia tahu, dalam keadaan
seperti itu, tidak dapat
mereka berkumpul terus. Sembarang
waktu tentara negeri dapat
menyerang atau mengurung pula
pada mereka. Maka dengan
terpaksa ia membubarkan
pasukannya itu, ia menyuruh
tentaranya mengambil jalan
masing-masing, supaya mereka
dapat menolong jiwa sendiri.
Ia menjanjikan untuk di lain
waktu mereka nanti bergerak
pula.
Oleh karena terpaksa, tentara
rakyat itu suka
membubarkan diri. Setelah
pembubaran, Seng Lim jadi tinggal
bertiga bersama In Hong dan
Keng Sim. Mereka lantas
kembali ke daerah pegunungan.
Naik di tempat tinggi dan
memandang jauh, pemuda she Yap
ini menghela napas.
"Suatu usaha besar dan
bagus dikucar-kacirkan Pit Kheng
Thian satu orang!"
katanya, sengit dan masgul.
Dengan tertawa dingin, Keng
Sim berkata: "Semasa di Tali
pun aku telah mengatakan kamu
tidak bakal berhasil! Apakah
1247
salah kataku itu? Sekarang,
setelah kita berhasil lolos, aku
hendak mengundurkan diri, aku
hendak memohon sesuatu..."
"Bilanglah, Tiat
Kongcu," berkata Seng Lim lekas.
"Aku kuatir seumurku aku
bakal tidak bertemu pula sama
Ie Sin Cu," berkata
pemuda she Tiat itu, "maka itu, kalau nanti
kamu bertemu dengannya, tolong
kamu menyampaikan
sepatah dua patah
kepadanya..."
Seng Lim tercengang.
"Ah, kiranya dia bekerja
untuk Sin Cu melulu..." pikirnya.
Tentu saja ia menjadi tidak
enak hati.
In Hong menyelak: "Kalau
Sin Cu ketahui perbuatan kau
kali ini, dia tentu girang
sekali! Kamu toh sahabat-sahabat
kekal, kenapa kamu tidak bakal
bertemu pula satu dengan
lain? Tapi baiklah! Apakah
pesan itu? Nanti aku yang
menyampaikannya! Asal itu
bukannya yang bukan-bukan,
tentu dia bakal
menerimanya!"
"Kau tolong
memberitahukan," berkata Keng Sim, "apa
yang dia harap aku
melakukannya, biarnya itu yang tak aku
sukai, aku sudah melakukannya.
Dan, biar apa juga dia
menganggap tentang diriku,
dengan perbuatanku ini, dia tentu
telah mengetahuinya..."
Tidak enak In Hong mendengar
kata-kata itu. Pikirnya, "Oh,
kiranya perbuatannya ini ialah
perbuatan yang dia tak sudi
melakukannya! Jadi dia
melakukannya untuk memenuhi
pengharapannya adik Sin Cu!
Orang ini beroman agung tetapi
sebenarnya dialah seorang
manusia biasa saja! Apakah
bedanya dia dengan seorang
saudagar?"
1248
Meski ia tahu orang bersifat
rendah, Nona Leng tidak mau
mengejek. Biar bagaimana, kali
ini Keng Sim berjasa. Maka ia
mengangguk dan kata:
"Baiklah, akan aku menyampaikan
perkataan kau ini kepada adik
Sin Cu. Apakah masih ada lagi
pesan lainnya?"
"Aku hanya mengharap dia
dapat hidup selamat dan
beruntung, supaya dia jangan
merantau pula dalam dunia
kangouw," Keng Sim
menambahkan.
"Bukan saja orang semacam
Pit Kheng Thian itu harus
dijauh-kan, juga urusan
menentang pemerintah agung baiklah
ia jangan campur pula.
Pekerjaan berebut kekuasaan adalah
pekerjaan orang kasar, bukan
pekerjaan dia yang bertubuh
halus!"
In Hong merasa sangat tidak
puas. Terang sekali
perbedaannya di antara
cita-cita mereka kedua pihak.
Seng Lim pun tidak puas,
tetapi ia dapat berbicara dengan
sabar.
"Nona Ie itu ada
mempunyai pendiriannya sendiri,"
katanya. "Apa yang dia
harus lakukan, apa yang tidak, dia
pasti mengerti baik sekali. Tapi
pesanmu ini akan aku
menyampaikannya."
In Hong masih hendak bicara
pula ketika dari kejauhan ia
menampak mendatanginya belasan
penunggang kuda. Ia
batal bicara, ia mengawasi
mereka itu.
"Nah, pergilah
kamu!" berkata Keng Sim. "Aku tidak dapat
turut kamu. Biarlah lagi
sekali aku mengundurkan pasukan
pengejar itu!"
1249
"Kita hidup sama-sama,
baik mati maupun susah," berkata
Seng Lim, "maka itu,
marilah kita pergi bersama!"
"Apa?" kata Keng
Sim, matanya membelalak. "Kau tahu
apa? Mana dapat kau mengajak aku?
Aku ada mempunyai
daya untuk mengundurkan musuh!
Kau tahu, kalau kau mati,
tidak apa, tetapi bagaimana
nanti dengan Sin Cu? Pasti dia
bakal sesalkan aku!"
Seng Lim tidak hendak
meladeni, maka ia lantas
menjauhkan diri.
In Hong tahu pasti, Keng Sim
ada mempunyai hubungan
sama tentara negeri, karena
"Nah, pergilah
kamu!" berkata Keng Sim kepada Seng Lim
dan In Hong. "Aku tidak
dapat turut kamu. Biarlah lagi sekali
aku mengundurkan pasukan
pengejar itu!" itu, ia pun tidak
mau bertindak apa-apa, ia
lantas ikut Seng Lim mengangkat
kaki.
Mereka baru jalan beberapa
puluh tindak atau mereka
dengar Keng Sin tertawa
nyaring dan lama dan lantas lari ke
arah belasan penunggang kuda
itu, yang mestinya ada dari
pihak tentara negeri.
In Hong berdua tidak dapat
menerka pikirannya Keng Sim
itu. Pikiran pemuda itu
sebenarnya kacau sekali. Dia ingin
melakukan sesuatu, untuk Sin
Cu, tetapi di lain pihak, dia
ingat ayahnya, yang masih ada
di Hangciu. Dia juga tidak
mempunyai keinginan akan turut
Seng Lim buron.
Belasan orang yang mendatangi
itu ada rombongan dari
Taylwee Congkoan Yang Cong
1250
Hay dan Gielimkun Tongnia Law
Tong Sun. Mereka itu
heran menyaksikan kelakuannya
Keng Sim, yang tertawa
nyaring demikian lama.
"Bagaimana dengan sisa
tentaranya Yap Seng Lim?" Cong
Hay tanya.
"Mereka semua mati
terbakar di atas gunung!" sahut si
anak muda.
"Orang benar tidak bicara
dusta," berkata Law Tong Sun.
"Aku mendengar dari Thio
Sunbu bahwa kau pergi kepada
mereka untuk memanggil mereka
menakluk. Kalau mereka
mampus terbakar, kenapa kau
sendiri dapat lolos?"
Keng Sim tertawa pula.
"Bagus!" katanya.
"Orang benar tidak bicara dusta! Baiklah
aku beritahu kepada kamu!
Mereka itu telah aku lepaskan!"
Yang Cong Hay terkejut hingga
matanya mencilak. Ia kaget
bukan main.
"Apakah itu bukannya
mereka?" ia tanya nyaring,
tangannya menunjuk.
Seng Lim dan In Hong baru
jalan menikung tetapi mereka
susah pergi jauh. Law Tong Sun
lantas mengeprak kudanya,
berniat mengejar. Tiat Keng
Sim menghunus pedangnya,
dengan itu ia membabat.
Tong Sun kaget, ia berkelit
sambil berlompat turun. Maka
naas kudanya, yang kena
terbabat hingga kutung kedua kaki
depannya, tentu sekali ia
menjadi sangat gusar.
1251
"Tiat Keng Sim!"
serunya. "Kau turun-temurun menerima
budi negara, kenapa sekarang
kau berkhianat?"
"Siapa bilang aku
berkhianat?" Keng Sim tanya.
"Nah kenapa kau
melepaskan mereka?"
"Apakah kau tidak tahu
pembilangan kitab ilmu perang,
binatang mogok tak dapat
dilawan? Kalau mereka diubar
terus-terusan, Seng Lim boleh
menjadi nekat! Aku justeru
tidak suka melihat kamu
terbinasa sama-sama! Kalau seorang
panglima pandai mengepalai
tentara, dia mesti dapat
membuka suatu jalan!
Tentaranya Yap Seng Lim sudah bubar,
apakah halangannya aku
melepaskan mereka satu atau dua
orang?"
"Ha, siapakah yang bicara
denganmu tentang ilmu
perang?" menegur Yang
Tong Hay. "
Keng Sim tertawa pula. Ia
memang lagi ngoceh untuk
menang tempo, supaya Seng Lim
dan In Hong dapat pergi
jauh hingga tak dapat disusul
lagi.
"Jikalau kamu tidak
hendak bicara dari ilmu perang, habis
kamu hendak bicarakan urusan
apa?" ia menanya. Ia tertawa
pula.
Law Tong Sun menjadi sengit
sekali, sebelah tangannya
menyambar. Itulah jurus
"Kimpa tamjiauw" atau "Macan tutul
emas menyengkeram," suatu
jurus dari ilmu silat Taykimna,
untuk mencekuk nadinya si anak
muda.
"Seorang budiman membuka
mulutnya tidak tangannya!"
berkata Keng Sim sambil
berkelit. "Aku akan turut kamu,
maka buat apa kamu turun
tangan!"
1252
Lalu ia menyodorkan gagang
pedangnya kepada komandan
Gielimkun itu.
Tong Sun heran hingga ia melengak.
Ia tidak menyambuti,
karena mana pedang itu jatuh
berkontrang ke tanah.
"Satu laki-laki, dia
berbuat, dia bertanggung jawab!" kata
pula Keng Sim. "Aku
melepaskan mereka itu, maka kau boleh
tangkap aku untuk dibawa
menghadap kepada Thio Kie!
Bukankah dengan begitu kamu
dapat bertanggung jawab?
Pedang ini pedang dari gudang
di istana, kau boleh sekalian
bawa pulang buat di pulangkan
ke gudang istana itu! Di dalam
satu hari kau dapat melakukan
dua pahala besar, tidakkah itu
mempuaskan kau?"
Habis mengucap, Keng Sim
membawa kedua tangannya,
untuk membiarkan kedua
tangannya itu ditelikung.
Tong Sun masih melengak, ia
heran sekali. Orang ada
puteranya satu bekas menteri,
ia tidak berani berlaku kurang
ajar.
"Sudahlah, mari!"
kata Cong Hay akhir-nya.
***
Setengah bulan kemudian
selesailah sudah pembasmian
kepada kaum pemberontak. Semua
sisa tentara rakyat sudah
nelusup pula di antara rakyat
jelata, dan Yap Seng Lim
bersama Leng In Hong telah
hidup menyendiri di dalam
pegunungan Yangbwee Lim di
utara Hangciu, di tempat yang
disebut "Kiukee Sippat
kian," ialah "sembilan kali dan delapan
belas solokan gunung."
Kota Hangciu adalah kota di
mana Thio Sunbu memusatkan
pasukan perangnya dan Kiukee
Sippat kian terpisah dekat dari
1253
kota itu, akan tetapi Seng Lim
mengambil tempat itu, inilah
artinya ia berdiam di tempat
yang berbahaya, akan tetapi ada
maksudnya kenapa ia memilih
tempat itu.
Nyatanya Seng Lim dan In Hong
telah mendengar kabar
yang Tiat Keng Sim sudah
"dikurung" di kota Hangciu dan
perkaranya itu tinggal menanti
saja firman kaisar yang akan
memberikan putusan, entah
hukuman apa, karena mana, hati
pemimpin tentara rakyat ini
menjadi tidak tentaram.
Sebenarnya ia telah dibujuki
oleh kawan-kawannya, untuk,
menyingkir jauh-jauh tetapi ia
tidak menghiraukannya. Ia
telah berketetapan untuk
menolongi Keng Sim, yang sudah
melepas budi terhadapnya. Di
dalam hal ini ia tidak
memikirkan kejumawaannya
putera giesu itu. Mengenai ini In
Hong tidak bisa membilang
suatu apa, sebab ia juga
menginsafi budi Keng Sim itu
sudah meloloskan seribu lebih
jiwanya sisa tentara rakyat.
Seng Lim tinggal menumpang di
rumahnya seorang petani
pemetik daun teh. Kedua
anaknya petani itu pernah menjadi
serdadu suka rela maka itu ia
percaya mereka itu, bahkan
bantuan si petani yang diharapkan
untuk menyerap-nyerapi
kabaran dari kota. Telah
didapat keterangan, penjagaankota
kuat sekali dan Keng Sim entah
di mana ditahannya. Dua kali
Seng Lim dan In Hong pernah
masuk ke dalam kota,
menyatroni penjara dan kantor
sunbu, tidak juga mereka
memperoleh endusan, bahkan
satu kali mereka kepergok,
hampir mereka kena ditawan
atau terluka, syukur liehay ilmu
ringan tubuh mereka, mereka
bebas dari hujan anak panah.
Dengan lewatnya sang hari.
Seng Lim dan In Hong menjadi
bergelisah, cemas hati mereka,
itu artinya, kalau menanti
terlalu lama, firman kaisar
bakal keburu sampai dan Keng Sim
pastilah terancam jiwanya.
1254
"Jikalau firman kaisar
tiba, cuma dua kemungkinannya,"
kata Seng Lim suatu hari
kepada In Hong.
"Pertama ialah dia dapat
dihukum mati di kota Hangciu
juga atas tuduhan sudah
berkongkol sama kaum
pemberontak. Kemungkinan yang
kedua ialah, karena dia ada
puteranya seorang giesu, dia
bakal dibawa ke kota raja, entah
hukuman apa bakal dijatuhkan
di sana, tetapi sedikitnya dia
bakal di penjarakan sepuluh
tahun. Dengan begitu dia
tertolong jiwanya hanya satu
kali dia dijebloskan dalam
penjara di kota raja, itu
artinya dia sulit ditolong karena
penjara di kota raja sukar
dibongkar."
"Dua kali kita telah
memasuki kota Hangciu hingga kita
menghadapi bahaya,"
berkata In Hong, "habis sekarang ada
daya apa lagi?"
"Hanya pada itu ada hal
yang membuatnya aku heran,"
berkata Seng Lim.
"Katanya penjagaan dilakukan keras sekali,
toh dua kali kita sudah pergi
ke sana, tidak pernah kita
dirintangi oleh orang-orang
kosen kelas satu. Pit Kheng Thian
pun ada di dalam kota itu.
Kenapa dia tidak pernah muncul?"
"Mungkinkah Yang Cong Hay
dan Law Tong Sun yang
menjagai Keng Sim?" In
Hong tanya.
“Itu pun suatu
kemungkinan."
"Apakah kemungkinan yang
lainnya?"
"Setelah dua kali kita
mengacau kota, tersiar kabar bakal
dilakukan penggeledahan umum
hingga ke desa-desa,"
menyatakan Seng Lim. “Itulah
kabar belaka, sampai sekarang
buktinya belum ada. Tidakkah,
karenanya, sebenarnya Thio
Kie ada mengandung maksud
lain? Siasat apakah mereka itu
tengah mengaturnya?"
1255
"Apakah kau menyangka itu
ada hubungannya sama Keng
Sim?"
Seng Lim mengangguk.
"Maka itu kalau dugaanku
benar, baiklah lagi sekali kita
pergi ke kota," katanya.
"Tetapi kita tak boleh
sembrono," si nona memberi ingat,
"Kaulah pemimpin tentara
rakyat, tidak dapat kau menempuh
bahaya!"
"Apakah Keng Sim telah
tidak menempuh bahaya untuk
menolongi kita?"
In Hong mengerutkan alisnya.
Ia tidak setuju tetapi ia
bungkam. Alasannya pemuda ini
kuat.
"Aku mengerti pandanganmu,"
kata Seng Lim. "Keng Sim
memang bukannya orang kaum
kita. Hanya kita tidak boleh
memandang dari sudutnya itu.
Kita boleh tidak setuju
dengannya tetapi satu hal
sudah terang, dia telah melepas
budi besar terhadap kita,
untuk itu dia tidak takuti bahaya
yang mengancam dirinya. Apakah
kita mesti menjadi manusiamanusia
yang melupakan budi
orang?"
In Hong kena didesak.
"Baiklah!" katanya
akhirnya. "Mari kita pergi!"
Selagi mengatakan begitu, Nona
Leng berpikir: "Terang
Seng Lim ketahui Keng Sim
bertindak melulu untuk Sin Cu, toh
dia mau mengurbankan jiwanya
untuk menolongi pemuda itu,
jikalau aku tidak mengiringi
dia, maka terlihatlah pandanganku
yang cupat"
1256
"Kita sekarang baik pergi
membuat penyelidikan ke
rumahnya Keng Sim,"
berkata Seng Lim. "Aku tahu di mana
letak rumahnya itu. Aku pun
telah mendengar kabar Tiat Hong
sudah mengajukan surat
permohonan guna menolongi
puteranya Thio Kie ada
muridnya Tiat Hong, dia pasti tidak
berani mempersulit Keng Sim,
maka mungkin sekali Keng Sim
ditahan di rumahnya itu. Yang
pasti ialah Tiat Hong tentu
ketahui baik di mana adanya
puteranya. Kalau si anak di
penjarakan, tentulah Tiat Hong
pernah menjenguknya di
tempat tahanan."
In Hong setuju. Pergi ke
rumahnya Tiat Hong, ia anggap,
pastilah tak begitu berbahaya
seperti menyatroni penjara kota
Hangciu. Maka sore itu ia
lantas dandan, menukar pakaian
dengan yahengie, pakaian hitam
peranti keluar malam.
Segera juga keduanya
meninggalkan pondokan mereka,
untuk menuju ke telaga Seeouw.
Di telaga itu rumahnya
Keluarga Tiat menghadapi bukit
Kouw San. Pada waktu
tengah malam, telaga dan
tepiannya telah menjadi sangat
sunyi. Di telaga itu sudah
tidak ada perahu nelayan!
Rumahnya Tiat Hong tertutup
rapat dan api pun dipadamkan
semua. Kelihatannya tidak ada
penjagaan di rumah itu. Maka
juga Seng Lim merasa aneh.
"Mari kita masuk,"
ia mengajak In Hong setelah bersangsi
sejenak.
Di dalam, pekarangan tidak
terawat, rontokan bunga
berserakan di tanah. Para-para
bunga pun ada yang roboh.
Rumput di situ tidak pernah
kenal gunting. Maka juga
keadaan ada sunyi sekali,
sangat sepi.
1257
Untuk berlaku hati-hati. In
Hong yang masuk ke dalam
Seng Lim yang menjaga di luar.
Tidak lama si nona ke luar
dengan tangan kosong, dia
merasa sangat heran.
"Aneh sekali, di dalam
tidak ada seorang juga!" katanya
Nona Leng.
Seng Lim pun heran, hingga ia
berpikir keras.
"Apakah mungkin Tiat Hong
kabur meninggalkan rumah
tangganya?" ia
menduga-duga.
Segera juga Seng Lim membantah
dugaannya itu.
Bukankah Tiat Hong hanya
seorang pembesar sipil, yang tidak
mengerti ilmu silat? Mana
dapat dia lari menyingkir, apa pula
menyingkir seluruh rumah
tangga? Juga adalah beralasan
kalau Tiat Hong pun diawasi,
tidak perduli Thio Kie masih
memandang mata padanya. Biar
bagaimana, puteranya itu
tersangkut perkara besar.
Maka itu, kedua muda mudi
menjadi berdiri diam saja.
Percuma mereka mengasah otak
mereka, tidak bisa mereka
menerka dengan jitu. Tengah
mereka berpikir itu, mendadak
mereka dikejutkan satu suara
keras sekali. Ialah suara dari
pintu depan yang digempur men-jeblak,
lalu satu orang
nampak nerobos masuk. Mereka
terkejut, keduanya lantas
lompat ke atas genting. Mereka
menyangka orang pemerintah.
Setibanya di atas, setelah
mengawasi, mereka menjadi heran
sekali.
Cuma satu orang yang menyerbu
itu dan dialah Tiauw Im
Hweeshio. Pendeta itu mencekal
tongkat sucinya, tubuhnya
bermandikan darah. Bahkan
beberapa batang anak panah
masih menancap di tubuhnya.
1258
Meskipun ia kaget, Seng Lim
dan In Hong pun lompat
turun.
Si pendeta segera mendapat
lihat dua orang itu.
"Eh, mengapa kamu ada di
sini?" ia menanya, heran.
"Mana dia Tiat Hong si
tua bangka?"
Muda-mudi itu mendekati, untuk
lebih dulu memberi
hormat.
"Kita pun lagi mencari
Tiat Hong," kemudian In Hong
menjawab, "Di sini tidak
ada seorang jua. Mungkin orang
sudah buron. Taysu, mengapa
kau ada di sini dan kenapa
terluka?"
"Aku lagi mencari Tiat
Keng Sim," menyahut pendeta itu
singkat.
"Apakah dia telah dapat
diketemukan?" Seng Lim menanya.
"Tidak! Beberapa hari
yang lalu aku memperoleh
keterangan dari mulutnya Tiat
Hong sendiri bahwa puteranya
ditahan di dalam menara Liok
Hap Tah. Aku hendak pergi ke
menara itu tetapi si orang tua
menahan, dia mencegah aku
secara mati-matian. Karena itu
aku menahan sabar beberapa
hari, hingga hari ini aku
mendengar kabar firman raja sudah
tiba. Kalau aku tidak segera
menolongi, tentulah Keng Sim
diangkut ke kota raja, paling
lambat besok. Karena ini aku
tidak memperdulikan apa juga,
aku tidak pergi berdamai pula
sama tua bangka itu. Aku
hendak menggempur Liok Hap Tah
dengan tongkatku ini guna
menolongi itu bocah. Di dalam
menara itu ada ditahan
beberapa orang lain tetapi Keng Sim
tidak berada di sana, maka itu
sia-sia belaka aku menghajar
mampus beberapa siewie."
1259
"Susiokcouw, baiklah kau
beristirahat dulu!" Seng Lim
minta.
In Hong pun maju untuk
mencabuti beberapa batang anak
panah itu, guna membalut
luka-lukanya.
"Apakah Yang Cong Hay dan
Law Tong Sun ada di Liok Hap
Tah?" si nona menanya.
"Jangan perdulikan
lukaku!" tiba-tiba si pendeta berkata,
tangannya dikibaskan.
"Paling benar, lekas kamu
menyingkirkan diri!"
In Hong dan Seng Lim heran.
"Kami telah memeriksa, di
sini tidak ada tentara
sembunyi," Kata si nona.
"Di luar kota tidak ada
tentara sembunyi tetapi di dalam
kota sudah dilakukan
pertempuran di jalan-jalan besar dan di
ganggang!" kata pendeta
itu.
Seng Lim heran dan kaget.
"Bagaimana itu,
Susiokcouw?" ia menanya. "Pasukan dari
manakah itu yang melawan
tentara negeri?"
"Tentang itu aku tidak
tahu jelas, dan aku juga tidak tahu
jelas, dan aku juga tidak sudi
mencari keterangan!" berkata si
pendeta yang tabiatnya keras
itu. "Hm, kamu tahu! Karena
aku tidak dapat mencari Keng
Sim, hatiku semakin panas!
Semua ini terjadi karena
gara-garanya Pit Kheng Thian! Maka
aku segera pergi menyantroni
tangsinya itu. Siapa tahu, aku
bersomptokan sama kedua
tentara yang lagi bertarung di
dalam gang. Di dalam
pertempuran kalut itu, beberapa anak
panah ini menyasar ke tubuhku!
Sebaliknya bayangannya Pit
1260
Kheng Thian tidak aku
melihatnya! Syukur tongkatku ini cukup
berat, dengan ini aku dapat
membuka jalan untuk keluar dari
kota. Tentara negeri itu repot
berkelahi, mereka tidak sempat
mengejar aku. Demikian aku
tiba di sini..."
Baru sekarang tampaknya si
pendeta letih.
"Benar-benar su-siokcouw
sembrono..." pikir Seng Lim.
"Lekas pergi, lekas
pergi!" kata Tiauw Im berulang-ulang,
tepat sehabisnya semua anak
panahnya dapat dicabut In
Hong, yang masih hendak
menanyakan sesuatu kepadanya.
"Jangan takut, aku tidak
bakal mati karena luka-lukaku ini!
Tapi, kalau tentara negeri
sampai di sini, mungkin aku sudah
tidak kuat berkelahi
lagi..."
Baru pendeta ini menutup
mulutnya, atau dari jurusan kota
terdengar letusan meriam
beberapa kali.
Seng Lim lantas saja
mempepayang pendeta itu, untuK
diajak menyingkir dari
rumahnya Tiat Hong. Atau hampir
berbareng dengan itu tibalah
satu pasukan tentara negeri.
Seng Lim masih dapat melihat
nyata, ia menjadi heran
sekali, hingga ia menyangsikan
matanya.
Orang yang kabur dikejar
adalah Pit Kheng Thian, dia
menunggang kuda yang tidak ada
pelananya, dia pun tanpa
memakai seragam. Dia
dilindungi kira-kira tiga puluh
pahlawannya. Di belakang dia
menyusul bagaikan arus satu
pasukan besar dengan kepala
perananya ialah Taylwee
Congkoan Yang Cong Hay bersama
Gielimkun Tongnia Law
Tong Sun. Pasukan negeri itu
berseru-seru.
Bahkan Yang Cong Hay telah
menggunakan panah.
1261
"Ser!" demikian
sebatang anak panah menyambar, dan Pit
Kheng Thian roboh terguling
dari kudanya, sebab binatang
tunggangan itu telah kena
terpanah jitu!
Menyaksikan itu semua, Seng
Lim lantas dapat menduga
duduknya hal.
Pemerintah memanggil menakluk
kepada Pit Kheng Thian
hanya suatu akal belaka, untuk
menang tempo. Bukankah Pit
Kheng Thian telah mengajukan
syarat supaya dia sedikitnya di
angkat menjadi tokbu atau
gubernur militer dari satu propinsi?
Mana dapat permintaan itu
diluluskan? Itulah menyinggung
kehormatannya seorang raja.
Raja lantas mengetahui sifat
orang, dari itu tidak suka
raja membiarkannya saja. Maka di
harian dikeluarkan firman
ciauw an, memanggil Kheng Thian
menakluk, berbareng dikeluarkan
firman lain, firman rahasia
untuk Sunbu Thio Kie. Sunbu
itu diberi perintah, setelah
pemberontakan tertindas, jalan
mesti dicari untuk mengurangi
kekuasaannya Kheng Thian, agar
akhirnya Kheng Thian
diringkus dan dibawa ke kota
raja, untuk diperiksa dan
dijatuhkan hukuman.
Tampaknya Kheng Thian seorang
kasar akan tetapi dia
dapat berpikir, matanya tajam.
Ia lantas dapat melihat dan
merasakan tindakannya pihak
sunbu terhadapnya, dari itu ia
menjadi bercuriga. Begitu ia
masuk ke dalam kota Hangciu,
Thio Sunbu lantas mengatur
pasukannya itu, yang
dipindahkan ke sana sini.
Itulah siasat yang ia kenal baik,
sebab dulu pun ia berbuat
demikian terhadap tentaranya Yap
Cong Liu. Sudah begitu, ia
seperti menanti angin. Pangkat
atau karunia yang dijanjikan pemerintah
tidak juga kunjung
tiba. Kalau dulu ia merasa
puas berhasil memecah-mecah
pasukannya Yap Cong Liu,
sekarang ia merasa perih yang
tentaranya sendiri digeser
sedikit demi sedikit. Maka itu ia jadi
berpikir keras, hatinya merasa
tidak enak, hingga di waktu
1262
malam ia menjadi kurang tidur.
Ia selalu terbenam dalam
kekuatiran.
Thio Sunbu bukannya seorang
tolol. Ia dapat melihat
kegelisahannya Pit Kheng Thian
itu. Tentu saja, ia man
bertindak cepat. Itulah
tugasnya. Ia pun tidak mau
dipersalahkan pemerintah.
Demikian itu hari, Thio Kie
mempersilahkan Pit Kheng Thian
berangkat ke kota raja,
alasannya ialah agar Kheng Thian
sendiri yang menghadap kepada
kaisar guna melaporkan
berhasilnya penindasannya
terhadap kaum pemberontak.
Kheng Thian merasa bahwa ia
hendak ditipu, ia menolak
berangkat dengan mengemukakan
alasan ia lagi sakit. Itulah
akal belaka. Bahkan ia menolak
menemui utusannya Thio
Sunbu.
Thio Sunbu menjadi gusar, ia
lantas bertindak. Pasukan
serdadu segera di kirim untuk
menyerang Kheng Thian, yang
dituduh membangkang. Begitulah
terjadi pertempuran. Di
dalam tempo tidak ada satu
jam, tumpaslah kekuatannya
Kheng Thian itu. Tidak saja
dia tidak bersedia, juga tenaganya
memang sudah berkurang banyak.
Dia gagah tetapi dia
seperti bersendirian saja, dia
tidak bisa berbuat banyak, dan
lantas terkurung. Tapi dia
dapat membobol kurungan dan
dapat kabur bersama kira-kira
tiga puluh pengiringnya, atau
setibanya di tepi telaga
Thayouw itu, kudanya kena dipanah
roboh oleh Yang Cong Hay.
Taylwee Congkoan itu segera
berseru-seru: "Titahnya
pemerintah agung ialah cuma
Pit Kheng Thian seorang yang
berdosa yang hendak ditawan!
Yang lain-lainnya tidak bakal
dihukum! Sebaliknya, siapa
dapat menangkap Kheng Thian
hidup-hidup, dia bakal dikasi
presen uang emas seribu tail dan
pangkat congpeng. Siapa yang
dapat membunuhnya, ia juga
1263
bakal dikasi presen uang emas
tiga ratus tail serta pangkat
kelas lima!"
Begitu seruan itu terdengar,
dua pahlawannya Kheng Thian
lantas berbalik pikiran.
Dengan masing-masing tombaknya,
mereka menikam bekas pemimpin
mereka itu, si bekas
toaliongtauw dari delapan
belas propinsi.
Kheng Thian tengah berlompat
bangun ketika serangan itu
dilakukan. Dengan mementang
kedua tangannya yang kuat, ia
menangkis kedua tombak itu. Ia
lantas pungut toyanya, toya
longgee pang, dengan itu ia
menangkis patah dua batang
tombak lain yang ditikamkan
kepadanya!
Beberapa pengiring itu kaget
meskipun mereka tahu ini
bekas pemimpin memangnya kosen
sekali. Kalau kini mereka
berani berontak, itu disebabkan
Kheng Thian sudah roboh dan
mereka temaha akan janjinya
Cong Hay yang hebat itu. Tapi
mereka sudah kepalang, maka
dengan berani mereka kata:
"Dulu juga Yap Tongnia
perlalukan baik padamu kenapa
kau berontak
terhadapnya?"
Ditegur begitu, Kheng Thian
melengak. Hanya sejenak,
lantas bangkit hawa amarahnya.
Maka dia lantas menerjang
hebat. Dengan sekali hajar
saja, dia telah membikin remuk
batok kepalanya dua
pengiringnya. Menampak itu, yang lainlain
menjadi takut dan berteriak
untuk kabur mencar.
Kheng Thian tahu bahaya, dia
tidak mau berdiam lamalama
di situ, maka dia lantas lari.
Dia melintasi jembatan
Seeleng Kie, dan mendaki bukit
Kouw San. Tentara negeri
terus mengejarnya, menghujani
dia dengan anak panah.
Ketika itu Seng Lim bertiga
Tiauw Im dan In Hong juga
sudah tiba di atas bukit,
mereka menyaksikan tentara negeri
mendaki bukit itu dari empat
penjuru, dengan sikap
1264
mengurung. Tentu saja mereka
menjadi berkuatir, apapula
Seng Lim yang melihat Tiauw
Im, yang terluka itu, sudah
kurang merdeka larinya. Juga
Leng In Hong tak kurang
kuatirnya. Ia ini takut
tentara negeri dapat melihat Seng Lim.
Itulah berbahaya sekali.
Bukankah Seng Lim tengah
dicari?
"Lekas! Lekas!"
berseru nona ini berulang-ulang, sedang
Seng Lim seperti juga menyeret
si pendeta. Tiauw Im seorang
yang beradat keras. Mendadak
ia meronta.
"Aku dapat berlari!"
teriaknya. "Tak usah kau membantu
aku!"
Seng Lim jengah. Ia tidak
menyangka orang demikian
kepala besar. Tiauw Im
membuktikan kata-katanya. Ia
berlompat berulang-ulang, ia
berhasil menjauhkan diri. Maka
di lain saat tibalah mereka di
belakang kuil Gak Ong Bio, di
atas bukit.
Malam gelap sekali, mereka
maju terus. Jalanan sukar dan
banyak tikungannya juga. Meski
begitu, di depan mereka
tertampak samar-samar sebuah
batu besar sekali. Mendadak
Tiauw Im berlompat. Apa
celaka, kakinya sakit, luka-lukanya
pun pecah, ia lantas saja
roboh hingga ia tidak mampu
bangun lagi.
Seng Lim lompat untuk mengasi
bangun.
"Pergi kamu
menyingkir!" berkata pendeta itu. "Gunung
begini luas, tidak nanti
tentara negeri dapat mencari aku!...”
Pemuda itu tertawa.
1265
"Kalau begitu, mereka pun
tak nanti dapat mencari aku!"
katanya. Lalu, tanpa banyak
bicara lagi, ia pondong tubuhnya
si pendeta, buat dibawa pergi
ke belakang batu besar.
In Hong memeriksa luka-lukanya
pendeta itu. Belasan luka
itu telah mengucurkan darah
hidup. Ia lantas kata: "Tentara
negeri lagi mencari kita,
tetapi kalau jumlah mereka kecil,
taruh kata mereka dapat
mencari kita, kita tidak takut! Taysu,
mari aku balut dulu
lukamu!"
Ketika itu benar-benar
terlihat api di sana sini, ialah
obornya tentara negeri yang
lagi mencari Pit Kheng Thian.
Seng Lim membantu membalut
Tiauw Im. Selagi bekerja, ia
memikirkan Keng Sim. Ia tidak
bisa melupakan itu anak muda,
yang telah melepas budi kepada
mereka.
"Susiokcouw,"
tanyanya, "kenapa kau ketahui Keng Sim
terjatuh di tangan tentara
negeri?"
"Sebab sekian lama aku
berdiam di rumahnya Tiat Hong!"
menyahut si hweeshio tertawa.
"Aku tahu halnya Nona Leng
dan Sin Cu mencoba membunuh
Kheng Thian!"
"Kita bukannya hendak
membunuh dia," In Hong mengasi
keterangan. "Sebenarnya
adik Ie mau memaksa Kheng Thian
menyerahkan penghu supaya dia
dapat mengatur kiriman
rangsum untuk menolong Yap
Toako. Kemudian sesudah itu.
Adik Ie menghendaki aku pergi
ke Tunkee. Rupanya dia
sendiri pulang untuk menolong
Keng Sim."
"Benar," berkata
Tiauw Im. "Habis menolong Keng Sim, dia
bertemu sama aku. Kita
bersama-sama pergi ke Pakkhia."
1266
"Tetapi," kata Seng
Lim, "menurut katanya Pit Goan Kiong,
dia di kota raja telah bertemu
Sin Cu, maka kenapa kau
bersama Keng Sim berada di
sini?"
“Itulah anehnya!" kata si
pendeta. "Aku tidak tahu
bagaimana sikapnya mereka si
anak-anak muda! Aku lihat
Keng Sim senantiasa
memperhatikan Sin Cu tetapi Sin Cu
sendiri selalu menjauhkan diri,
bahkan dia pergi tanpa pamitan
lagi!"
Seng Lim merasa tidak enak
hati.
"Begitulah orang banyak
melihatnya," pikirnya. "Orang
banyak menganggap merekalah
pasangan yang sangat
setimpal! Keng Sim melepas
budi kepadaku, mana dapat aku
me-nyelak di antara mereka
berdua?"
Karena berpikir begini, ia
menjadi tak tentaram hatinya.
"Sebenarnya, bagaimana
terjadinya itu?" In Hong
menanya.
"Kita bertiga berangkat
bersama ke kota raja," Tiauw Im
menjelaskan. "Setibanya
di Hangciu, Keng Sim memaksa Sin
Cu dan aku singgah di rumahnya
untuk berapa hari. Maka kita
berdiam di sana. Aku ada
mempunyai seorang sahabat yang
mengepalai kuil Lengin Sie,
maka pada suatu hari aku pergi ke
kuil itu menyambangi sahabatku
itu. Aku tinggal satu malam di
dalam kuil. Ketika besoknya
aku pulang ke rumah Keng Sim,
nyata Sin Cu telah berangkat
dengan diam-diam pada
malamnya. Dia pergi dengan
meninggalkan sepucuk surat
untuk Keng Sim. Tempo Keng Sim
memberitahukan aku
kepergian Sin Cu, dia masih
memegangi suratnya nona itu
beberapa lembar. Ah, aku tidak
tahu, apa yang Sin Cu tulis,
demikian banyak, suratnya
begitu panjang. Nah, terkalah
kamu, bagaimana dengan Keng
Sim si bocah?"
1267
"Dia kenapa?" tanya
In Hong heran.
"Dia remas surat itu dan
menggumpalnya menjadi satu,
habis itu dia masukkan ke
dalam mulutnya dan telan!" sahut
Tiauw Im.
In Hong benar-benar heran.
"Apakah artinya
itu?" ia tanya pula.
"Aku juga tidak
mengerti!" sahut pula Tiauw Im. "Masih
ada lagi lain keanehannya!
Habis menelan surat itu dia lantas
menangis seperti anak kecil!"
"Apakah katanya selama
dia menangis?" In Hong masih
menanya. Di dalam hatinya ia
kata, banyak lagaknya Keng Sim
itu.
"Dia ngoceh tidak
keruan," berkata Tiauw Im. "Dia kata dia
malu terhadap Nona Ie, bahwa
Nona Ie tidak mengerti
kepadanya! Aku lantas menasihati
dia bahwa perselisihan di
antara anak muda lumrah saja,
dan aku menjanjikan dia akan
membujuki Nona Ie. Atas itu
sampai sekian lama dia berdiam
saja. Kemudian barulah dia
memberi hormat padaku, dia
menggunai kehormatan
besar..."
In Hong tertawa.
"Kenapa dia berbuat
begitu?"
"Dia kata padaku bahwa
untuk Nona Ie dia hendak
melakukan suatu usaha besar,
supaya Nona Ie puas, cuma dia
kuatir, dengan kepergiannya
itu, dia tidak bakal kembali, maka
itu dia minta aku tolong
melihat-lihat ayahnya. Aku telah tanya
dia apa yang dia hendak
lakukan, dia tidak mau memberikan
1268
keterangan. Sekarang barulah
aku tahu, dia pergi ke Tunkee
untuk memberikan bantuannya
yang berharga itu untuk
tentara rakyat!"
Mendengar itu, hatinya Seng
Lim tidak tergerak, hanya ia
berpikir, "Entah ada
salah paham apa di antara dia dan Sin
Cu..." Hanya, karena dia
berani berkurban untuk menolong
kami, kenapa aku pun tidak mau
berkurban untuknya?"
In Hong berpendapat lain
daripada pemuda she Yap ini. Ia
mau percaya, bukan tidak ada
sebabnya yang besar, kenapa
Sin Cu meninggalkan surat dan
juga meninggalkan Keng Sim
itu. Bahkan urusan itu
mestinya penting sekali. Urusan apakah
itu? Ia hanya tidak pernah
menyangka itulah sebab Keng Sim
membocorkan rahasia tentara
rakyat.
Tiauw Im melanjuti
keterangannya: "Baru satu bulan yang
lalu, Keng Sim dibawa pulang
ke Hangciu. Kejadian itu
membuat Tiat Hong sangat
berkuatir.
Karena aku telah berjanji akan
menjaga orang tua itu, tidak
pernah aku berlalu dari
Hangciu. Untungnya, Thio Sunbu
mengirim orang untuk mengawasi
Tiat Hong tetapi tidak pernah
dia datang mengacau. Pernah
Tiat Hong pergi ke menara Liok
Hap Tah menemui puteranya,
ia melakukan itu di luar
tahuku. Apa yang aneh ialah
kemudiannya! Ketika aku
ketahui kepergian Tiat Hong kepada
puteranya itu aku pun lantas
pergi ke menara itu. Di sana aku
mengacau. Aku heran sekali
ketika aku tidak mendapatkan
Keng Sim! Hari ini aku pulang,
maka heranku menjadi
bertambah! Tiat Hong tidak
ada, rumahnya kosong! Entah ke
mana mereka sudah pergi?
Sebenarnya, bagaimanakah
duduknya hal?"
1269
In Hong dan Seng Lim
menduga-duga. Sia-sia belaka.
Mereka tidak bisa mendapatkan
jawabannya yang tepat.
Ketika mereka manjat ke tempat
tinggi, untuk melihat
kesekitar-nya, obor tentara
negeri masih terlihat bagaikan
berlugat-legot.
Ketika itu In Hong sudah
selesai membalut luka terakhir
dari Tiauw Im.
"Susiokcouw, mari kita
pergi!" Seng Lim mengajak. "Mari
aku gendong kau!"
Pendeta itu menggeleng kepala.
Justeru itu waktu mereka
melihat berke-lebatnya beberapa
bayangan orang ke arah mereka,
maka Seng Lim lantas tarik
si pendeta, untuk diajak
bersembunyi di belakang sebuah batu
karang besar.
Hanya sedetik itu, mereka
mendengar satu jeritan keras,
menyusul mana tertampak
seorang, yang punggungnya
tertancap anak panah, yang tubuhnya
bermandikan darah,
lompat ke arah mereka,
melompati karang itu. Rupanya dia itu
lari untuk mencari tempat
sembunyi. Tepat sekali, dia tiba
dihadapan Seng Lim.
"Pit Kheng Thian!"
berseru si anak muda, yang segera
mengenali orang. Ia kaget dan
heran.
Justeru itu, mendadak sekali,
entah dari mana datangnya
tenaga si pendeta, tahu-tahu
ia telah mengangkat tongkatnya
dengan apa ia menyerang
toaliongtauw itu!
"Tahan!" berseru
Seng Lim kaget.
1270
Hebat terdengarnya suara
bentrokan! Sebagai kesudahan
dari itu, toyanya Kheng Thian
terpatah dua dan tongkatnya
Tiauw Im mental ke udara!
Sebenarnya tenaga Tiauw Im
besar luar biasa tetapi itu
waktu ia lagi terluka parah,
maka itu Kheng Thian dapat
menangkis, sedang bekas
toaliongtauw ini juga sudah
mengerahkan semua tenaganya,
hingga kekuatan mereka jadi
berimbang. Hebatnya untuk
Tiauw Im, karena ia menggunai
semua tenaganya, habis itu ia
jatuh sendirinya.
"Jangan kasih dia
lari!" In Hong berteriak. Tapi dia tidak
maju, karena dia percaya Seng
Lim seorang dapat melayani
pengkhianat itu. Ia sendiri
lebih memerlukan lompat kepada
Tiauw Im.
Pit Kheng Thian berdiri
menjublak, tangannya memegang
kutu-ngan toyanya. Melihat
Seng Lim, yang diketemukan di
tempat tidak disangka-sangka
ini, pelbagai perasaan mengulak
di dalam batok kepalanya. Ia
malu, ia gusar, ia jeri, ia pun
mendongkol dan jelus.
Seng Lim telah menghunus
goloknya tetapi ia tidak lantas
menyerang, ia hanya mengawasi
dengan tajam.
Sekonyong-konyong Kheng Thian
berteriak: "Saudara Yap,
tolong aku!"
Teriakan ini dikeluarkan
karena di dekat mereka terlihat
berlompatnya satu bayangan,
yang bukan lain daripada
bayangannya Yang Cong Hay,
yang dapat menyusul bekas
toaliongtauw itu!
Seng Lim berlompat maju, ia
menghadang di depannya
Kheng Thian.
1271
Yang Cong Hay segera
menyerang, beruntun hingga dua
kali, sinar pedangnya
berkeredepan. Sebab pedang yang ia
gunai itu pedang mustika yang
ia pinjam dari Law Tong Sun.
Karena itulah pedang mustika
dari istana.
Kaget dan girang Cong Hay,
ketika di antara sinar
pedangnya itu ia mengenali
Seng Lim.
"Ha, kiranya kau!"
ia berseru.
Di dalam hatinya, Tay I wee
Congkoan ini lantas berpikir:
"Dapat membekuk Yap Seng
Lim berarti jasa jauh terlebih
benar daripada dapat menawan
Pit Kheng Thian." Maka itu, ia
lantas mengulangi serangannya.
Kalau tadi ia hanya main
berkelit, sekarang Seng Lim
menangkis. Tapi tangkisannya
ini, yang pertama, membuatnya
kaget sekali. Ketika kedua
senjata bentrok, goloknya kena
terbabat kutung ujungnya!
Menggunakan ketika yang baik
itu, Pit Kheng Thian lompat
untuk lari. Ia tidak mau
berdiam saja di situ, tidak perduli
Seng Lim lagi berkelahi
untuknya. Hanya begitu ia melihat
menyambarnya satu bayangan,
tangan bayangan itu sudah
lantas menyengkeram pundaknya,
hingga ia merasakan
sangat sakit sampai ke ulu hatinya.
Penyerangnya itu, yang muncul
tiba-tiba, adalah Gielimkun
Tongnia Law Tong Sun, yang
telah tiba di situ bersama-sama
Yang Cong Hay, bahkan komandan
pasukan raja ini segera
menggunai ilmu silatnya,
Hunkin Cokut Ciu!
“In Hong, tolonglah dia!"
Seng Lim teriaki kawannya.
In Hong mendengar itu tetapi
ia bersangsi.
1272
“Inilah perintah
tentara!" teriak Seng Lim.
Kali ini Nona Leng tidak
ragu-ragu lagi, dengan satu
lompatan ia menikam
punggungnya Tong Sun. Diserang
secara begitu, Tong Sun hendak
membela dirinya, terpaksa ia
melepaskan cekalannya kepada
Kheng Thian, atas mana
tubuhnya bekas toaliongtauw
itu roboh terguling, orangnya
pun tak sadarkan diri. Tepat
dia rebah di sampingnya Tiauw
Tm.
Seng Lim menempur terus pada
Cong Hay. Sungguh ia
tidak menyangka yang congkoan
ini menggunai pedang
mustika, karena mana hampir
saja goloknya gerumpung.
Dengan bersenjatakan pedang
mustika itu, Cong Hay lantai
berada di atas angin. Dengan
bengis ia mendesak. Ia telah
menggunai ilmu silat
"Citce thianlam" atau "Lempang
menuding ke langit
selatan." Yang ia arah ialah lengannya
lawan.
Dengan terpaksa Seng Lim main
mundur.
"Yap Seng Lim!"
berkata congkoan dari istana kaisar itu
sambil tertawa lebar.
"Sekarang ini kau telah
buntu jalanmu! Perlu apa kau
melawan aku? Paling benar
lekas kau ringkus Pit Kheng Thian,
kau sendiri menyerah kepada
Pemerintah agung! Aku
tanggung kau bakal
dianugerahkan pangkat congpeng !"
Tawaran itu, yang berupa
bujukan, disambut Seng Lim
dengan seruan keras dibarengi
bacokan hebat yang disusuli
sambaran tangan kiri. Begitu
hebat, hingga si congkoan kaget.
Ia menangkis, ia menikam, toh
sambaran anginnya serangan
itu membuat pundaknya terasa
sakit. Maka ia jadi sangat
murka.
1273
"Bocah yang baik!"
jeritnya. "Kau tidak tahu diri! Kau pun
harus dibasmi sekalian!"
Maka dengan Ciehong kiam, ia
menyerang dengan hebat.
Dialah salah satu dari empat
jago pedang besar, meski benar,
ialah yang terlemah, ia toh
liehay sekali, ia masih ada di
atasan Seng Lim, apapula
sekarang ia bergegaman pedang
mustika. Dalam tempo yang
pendek, pemuda she Yap itu kena
dia kurung.
Seng Lim juga bukan sembarang
orang, ilmu goloknya, dan
ilmu tangan kosongnya, telah
mencapai puncak kemahiran,
maka dengan ilmu goloknya,
Ngohouw Toanbun too, ia
melakukan perlawanan tidak kurang
dahsyatnya. Dengan
tangan kirinya yang kosong
saban-saban ia menyerang
dengan ilmu silatnya Taylek
Kimkong ciu!
Menghadapi perlawanan Seng Lim
itu, Cong Hay tidak
berani berlaku sembrono. Ia
bahkan berlaku waspada. Karena
ini, meskipun ia lebih unggul,
sampai seratus jurus lebih, ia
masih belum bisa berbuat
banyak. Ia melainkan dapat
mengurung.
Di lain pihak Leng In Hong,
dengan pedang Cengkong
kiam, melayani Law Tong Sun si
ahli Hunkin Cokut Ciu, si
tukang membikin otot patah dan
tulang keseleo. Juga mereka
ini seimbang, meski sebenarnya
Tong Sun ada terlebih liehay.
Mereka tampaknya bertempur
lebih hebat daripada pasangan
Cong Hay dan Seng Lim itu.
Selagi orang bertarung seru
itu, rombongan tentara terus
masih mencari, obor mereka
tampak makin dekat. Cong Hay
melihat cahaya api itu,
mendadak ia bersiul panjang, untuk
memberi isyarat. Maka di lain
saat terdengarlah suara sahutan
yang berupa bunyinya terompet
tentara.
1274
Telah ada rombongan serdadu
yang sudah sampai di muka
Uyliong Tong, guha Naga Kuning
dan melewatinya.
"Cong Hay! Apakah kau di
atas?" kemudian terdengar satu
suara keras.
"Ya, toasukol" Tiong
Hay menyahut sambil berkelahi terus.
"Aku tengah melibat Yap
Seng Lim! Lekas kau bantu aku!"
Orang yang menanya itu adalah
Poan Thian Lo, murid
kepala dari Cie Hee Toojin.
Dialah yang menjadi pemimpin
tentara pengejar itu, sebab
sengaja dia diundang dari wilayah
suku bangsa Biauw.
Seng Lim terkejut. Ia mengerti
bahaya yang lagi
mengancam mereka. Bukankah
Tiauw Im Hweeshio lagi
terluka parah dan Pit Kheng
Thian sedang pingsan? Bukankah
ia benar-benar lagi dilibat
Cong Hay dan In Hong pun
dirintangi Law Tong Sun?
Jangan kata untuk menolong kawan,
ia sendiri juga sulit untuk
membebaskan diri dari desakan
musuh!
Yang Cong Hay menjadi mendapat
hati, maka itu
serangannya menjadi bertambah
hebat. Ia lantas menggunai
siasat, menggertak ke timur
menyerang ke barat, atau
menunjuk ke selatan tetapi
menggempur ke utara. Dengan
satu jurus "Memutar dan
melintasi bintang-bintang," kembali
ia memapas kutung ujung goloknya
Seng Lim!
Pemuda she Yap itu menjadi
seperti kalap. Percuma ia
bersenjata kalau itu hanya
golok buntung, maka sambil
berseru keras, ia menimpuk
dengan puntung goloknya itu!
Yang Cong Hay tertawa
mengejek.
1275
"Siapa mau adu jiwa
denganmu?" katanya. Ia menangkis
dengan pedangnya, membuat
golok buntung itu terpental.
Tapi justeru ia menangkis,
justeru tibalah serangan tangan
kosong dari lawannya itu!
Berbareng sama serangan
dahsyat dari Seng Lim ini maka
terdengarlah suara nyaring
bagaikan gunung ambruk, lantas
terlihat beberapa biji batu
yang besar jatuh bergeluntungan
dari atas gunung di atas
mereka.
Semua serdadu menjadi kaget
dan ketakutan, sambil
berteriak atau menjerit
ketakutan, mereka lari serabutan
untuk menyingkirkan diri dari
bahaya. Mampuslah siapa
ketimpa batu-batu besar itu,
yang jatuhnya ke jurang atau
lembah dengan menerbitkan
suara lebih hebat lagi. Jatuhnya
batu-batu itu pun tidak
serintasan saja hanya saling susul.
Maka teranglah di puncak ada
orang yang membantu Seng
Lim.
Cong Hay kaget. Ia menginsafi
bahaya. Maka ia tidak lagi
mendesak Seng Lim, ia
menggunai ketika akan dongak, untuk
melihat ke atas di mana segera
terlihat dua bayangan orang
berlari-lari turun, larinya
sangat pesat.
Seng Lim pun menggunai
ketikanya ini untuk mengawasi
dua bayangan itu. Atau segera
dia berseru dengan
pertanyaannya: "Adik Sin
Cu! Benarkah kau di sana?"
Memang benar itulah Ie Sin Cu
yang datang! Sangat pesat
dia lari turun, bajunya
berkibar-kibar. Dia datang bagaikan
seorang bidadari yang terbang melayang
turun. Dalam tempo
yang pendek sekali, dia telah
tiba di dekat Seng Lim. Di
belakang dia, ialah itu
bayangan yang kedua, ada satu anak
muda yang tubuhnya jangkung.
Seng Lim melengak.
1276
"Siapakah dia?"
pikirnya. "Dia begini liehay..."
Sin Cu tidak segera menjawab
pemuda she Yap itu, hanya
terlebih dulu dia tertawa
lebar, habis mana baru dia mengasi
dengar suaranya yang nyaring
tapi halus: "Benar, inilah aku!
Eh, encie Leng! Siapakah ini
yang aku ajak datang kemari?"
In Hong menggunai ketika untuk
melirik, karena ia pun
lantas mengenali Nona Ie.
Kapan ia sudah melihat tegas,
kegirangannya meluap-luap,
sampai ia merasa bahwa ia
tengah bermimpi.
Pemuda itu ialah pemuda
idam-idamannya, yang
senantiasa ia rindukan.
"Engko Hok!" ia
berseru. Hanya satu kali, lantas ia seperti
terkancing tenggorokannya
meski sebenarnya ia hendak
memanggil berulang-ulang.
Di saat In Hong kegirangan
itu, Law Tong Sun sudah
melakukan penyerangannya yang
berbahaya. Ia mendesak
dengan tikaman bertubi-tubi,
lalu selagi si nona repot,
mendadak ia mengulur tangannya
dengan jurusnya "Wankauw
tekko" atau "Sang
kera memetik buah," untuk merampas
pedangnya nona itu!
Tentu sekali, In Hong menjadi
kelabakan. Tapi Sin Cu
sudah bersedia, dengan sebat
ia menimpuk dengan tiga
kuntum bunga emasnya, mengarah
ke mata, ke dada dan ke
dengkul musuh. Tidak
tanggung-tanggung ia menggunai
kimhoa bunga emasnya.
Law Tong Sun melihat datangnya
senjata rahasia, tidak
ingat lagi ia kepada lawannya
yang hendak ia bikin celaka itu,
dengan menjejak tanah, dengan
mengenjot tubuhnya ia
1277
berlompat jumpalitan untuk
menyingkir dari bunga-bunga
emas yang berbahaya itu.
Saking liehaynya, ia bisa berlompat
jauh tiga tombak. Di lain
pihak, ia pun telah berhasil
menyambar pedang In Hong,
pedang mana ia lantas bikin
patah dengan satu tekukan
Hunkin Cokut Ciu, sedang
ujungnya pedang ia lemparkan
ke arah lawannya itu hingga In
Hong tidak berani melompat
maju untuk mencoba merampas
pulang pedangnya itu.
Tong Sun sudah gesit sekali,
tetapi Sin Cu lebih pesat pula.
Habis menimpuk, nona ini
berlompat maju, guna menyusul,
maka dengan pedangnya, pedang
Cengbeng kiam, dapat ia
menikam komandan Gielimkun
itu.
Tong Sun pun sudah bersedia,
menangkis dengan putaran
tangannya, untuk merampas juga
pedangnya nona ini, maka
itu, keduanya lantas jadi
bertempur.
Sambil bertempur, Sin Cu
tertawa dan berkata: "Encie
Leng, sudah lama kamu berpisah
dan sekarang setelah
bertemu pula, maka kau
serahkanlah jahanam ini padaku!"
"Engko Hok!" berkata
Nona Leng tanpa menjawab Sin Cu.
Tapi belum sempat ia berkata
lebih jauh, sambil bersenyum
Thian Touw sudah kata padanya:
"Adik Leng, kau
mengasolah!" Kemudian,
menghadapi Seng Lim, ia
meneruskan berkata: "Yap
Toako, kau juga beristirahat! Kau
serahkan jahanam ini
padaku!"
Kata-kata ini diikuti gerakan
tangan dan tubuhnya. Dengan
pedangnya Hok Thian Touw
menempel pedang Yang Cong
Hay, maka dengan cepat ia
telah menggantikan Seng Lim,
yang terus mundur tanpa
sungkan-sungkan.
In Hong berdiri tercengang, ia
kecele berbareng girang.
Kecele karena orang tidak
melayaninya atau datang
1278
menghampirkan, tetapi ia
girang dengan ini pertemuan.
Dengan begini pun berarti
mereka mendapat pertolongan.
"Ah, engko Hok-ku ini
benar-benar seorang ksatriya!"
pikirnya kemudian
"Diumpamakan aku, aku juga tentu akan
menggantikan dulu toako Seng
Lim! Urusan pribadi ada
urusan kedua, yang utama ialah
urusan negara! Bukankah
musuh dahsyat ada di depan
mata? Tapi Yang Cong Hay ialah
salah satu dari empat kiamkek
terbesar, dapatkah engko Hok
melawan dia?..."
Karena ini, ia lantas
mengawasi engko-nya itu...
Yang Cong Hay bertempur tanpa
memperdulikan siapa
musuhnya. Ia berkelahi makin
lama makin hebat. Ia insaf
bahwa ia tengah menghadapi
lawan tangguh. Ia pun berlaku
cerdik sekali. Ketika ia
menggunai tipu silat "Tiangho lokjit,"
atau "Matahari turun di
sungai panjang," ia menggunai akal
"kosong ialah berisi,
berisi ialah kosong." Sambil mengancam
ia menikam pundak lawannya.
Hok Thian Touw tidak
membiarkan dirinya digertak. Ia
tidak menangkis atau berkelit,
ia hanya menanti sampai ujung
pedang hampir mampir di
pundaknya itu, yang menjadi
sasaran. Mendadak saja ia
menggeser tubuhnya ke samping
seraya pedangnya dipakai
membabat lengannya lawan. Itulah
tipu silat "Kimpeng
tiancie," atau "Garuda emas mementang
sayap."
Yang Cong Hay menjadi sangat
kaget. Kalau ia melanjuti
tika-mannya, pastilah
lengannya bakal terbabat kutung. Inilah
ia tidak sangka dari lawannya
yang muda itu. Dengan gesit ia
menggeser tubuhnya berikut
tangannya yang ditarik pulang,
dengan begitu batallah ia menjadi
si tangan kutung sebelah!
1279
Habis itu congkoan ini
berkelahi dengan waspada. Ia
menggunai pedang mustika tapi
ia seperti tidak berdaya,
bukan seperti tadi ia
merangsak terus-terusan kepada Yap
Seng Lim. Percuma pedangnya
itu, yang sekarang hanya
dipakai untuk melindungi diri.
Hok Thian Touw berkelahi
dengan keras tetapi tenang. Ia
mengendalikan pedangnya dengan
baik sekali. Tidak tampak
ia kesusu, tetapi serangannya
bagaikan gelombang sungai
Tiangkang, saling susul tak
hentinya. Beberapa kali Cong Hay
membabat pedangnya lawan itu,
saban-saban percobaannya
gagal. Maka itu lama-lama
Thian Touw membuat jago istana
itu menjadi kewalahan.
In Hong menonton dengan heran
dan kagum, dengan
kegirangan.
"Aku tidak sangka
sekarang ini ilmu silat pedang engko Hok
maju begini rupa,"
katanya dalam hati. "Sekarang aku ingat
akan sumpahnya dulu hari
ketika kita masih kecil dan samasama
belajar di gunung Thian San.
Engko Hok telah
mengangkat sumpah bahwa ia
hendak mewujudkan cita-cita
ayahnya akan membangun suatu partai
baru dalam ilmu silat
pedang. Ketika itu secara
main-main aku telah menyindir dia
bahwa aku pun nanti membangun
suatu partai lain. Barusan ia
telah melihat pedangku kena
dibabat musuh, entah dia
mentertawai aku atau
tidak..."
Ia memandang ujung pedangnya
yang terletak di tanah, ia
menjadi malu sendirinya. Tapi,
biar bagaimana, ia toh girang.
Ia memang seorang nona yang
beradat tinggi. Ini pun
sebabnya di belakang hari,
meski ia sudah menikah sama
Thian Touw dan keduanya sangat
saling menyinta, karena
tabiat berlainan, mereka tidak
dapat hidup berkumpul dengan
kekal, hingga kejadian,
beberapa puluh tahun kemudian, ia
dapat membangun satu partai
silat pedang lainnya... 8)
1280
Pertempuran di antara Sin Cu
dan Tong Sun juga berjalan
tidak kurang hebatnya, Sin Cu
telah memperoleh kemajuan
pesat selama ia mendampingi
gurunya, maka itu dengan ia
pun menggunai pedang pusaka
dari Hian Kie Itsu, ia membuat
daya Law Tong Sun sia-sia
belaka dengan ilmu silatnya Hunkin
Cokut
Ciu yang liehay itu. Komandan
Gielimkun ini selanjutnya
cuma bisa membela diri, tidak
mampu dia membuat
penyerangan membalas.
Ketika itu obornya tentara
negeri terlihat semakin dekat.
Mereka itu mendatangi dari
gunung Kouw San. Mereka mulai
mendaki Ciathee Nia. Di lain
pihak dari atas puncak Ciathee
Nia masih saja ada batu-batu
gunung yang digulingkan ke
bawah. Itulah tanda, kecuali
telah datang bala bantuan dalam
dirinya Ie Sin Cu dan Hok
Thian Touw, di sana masih ada
kawan-kawannya, bahkan kawan
atau kawan-kawan yang
liehay sebagaimana dapat
dibuktikan dengan dijatuhkannya
batu-batu besar itu tak
hentinya.
"Bukankah Thio Tayhiap
pun telah datang bersama?" Seng
Lim menduga-duga.
Seng Lim ini tidak dapat
membantu Thian Touw atau In
Hong, ia lebih memerlukan
meng-hampirkan Tiauw Im
Hweeshio. Cuma sebentar
hweeshio itu pingsan, lantas ia
mendusin.
Juga Pit Kheng Thian sadar
dengan cepat, tetapi dia roboh
sebagai kurbannya Law Tong
Sun, setelah mendusin dari
pingsannya, sebagai gantinya,
ia merasakan sakit sekali pada
tulang-tulangnya dan tenaganya
menjadi habis. Ketika ia
membuka kedua matanya, ia
kaget tidak terkira. Ia justeru
duduk berhadapan sama Tiauw Im
Hweeshio, mata siapa yang
1281
besar dan tajam diarahkan
kepadanya. Hampir saja
semangatnya terbang.
"Hm!" Tiauw Im
mengasi dengar suaranya yang seram
apabila ia mengenali Kheng
Thian. Ia juga mengepal keras
kedua tangannya.
Katanya dengan bengis: “Ini
dia yang dibilang, jaring langit
pulih, jarang tetapi tidak
bocor! Inilah dia, keadilan Thian!
Akhir-akhirnya kau berada juga
di depanku!"
Tanpa bangun lagi, hweeshio
ini mengirim tinjunya!
"Tahan, susiokcouw
!" berseru Seng Lim mencegah.
Tapi tinju telah di kirim,
tidak dapat itu ditarik pulang.
Justeru itu terdengar suara
tertawa yang diiringi kata-kata:
Supee, benar-benarlah kau
bertabiat jahe, makin tua makin
pedas! Janganlah bergusar
karena jahanam ini!"
Itulah Tan Hong, yang tiba
dengan mendadak, mulanya
cuma terlihat baju putihnya
berkibar-kibar.
Tan Hong sampai di antara
mereka dengan dua-dua
tangannya dikasih bekerja.
Tangan yang kiri menahan tinjunya
Tiauw Im, tangan yang lain
menekan Kheng Thian. Dengan
begitu bekas toaliongtauw itu
jadi ketolongan dari hajaran
yang hebat.
"Tan Hong, apakah artinya
ini?" menanya itu supee, sang
paman guru.
"Keponakan muridmu hendak
berbicara, supee." sahut
Tan Hong bersenyum.
1282
Lantas sepasang matanya yang
tajam menyapu Kheng
Thian. Ia tertawa ketika ia
berkata: "Aku mendengar kabar
kau hendak meminta peta
buminya Pheng Hoosiang dari
tanganku, supaya kau
dapat merampas kera-jaannya si
orang she Cu, maka itu
heran sekali mengapa kau
jadinya begini tidak mempunyai
semangat? Bagaimana nanti kau
dapat bertemu ayahmu di
alam baka?"
Kheng Thian malu bukan
kepalang. Kalau bisa, ingin ia
menyelusup masuk ke dalam
tanah. Ia malu berbareng
menyesal sekali. Tapi dasarnya
bertabiat keras dan kasar,
dengan mengertak gigi, dengan
tawar, ia menyahut: "Setelah
segala apa menjadi begini
rupa, tak usahlah itu dibicarakan
pula banyak-banyak! Thio Tan
Hong, kau bunuhlah aku
dengan pedangmu!"
Tan Hong tertawa melengak. Atau
sekejab kemudian, ia
memperlihatkan wajah
sungguh-sungguh.
"Jikalau aku hendak
membinasakan kau, tidak usahlah aku
menanti sampai hari ini!"
katanya tenang. "Biar bagaimana
aku masih ingat baik-baik
leluhurmu! Bukankah kamu keluarga
Pit keluarga gagah perkasa
turun temurun? Lihatlah buyutmu
Pit Ceng Coan yang telah
membangun partai pengemis
Kaypang! Tengoklah kakekmu Pit
Leng Hie yang telah
membantu Thio Su Seng mengusir
tentara Mongolia! Yang
paling belakang kau ingatlah
ayahmu, Cinsamkay Pit Too Hoan
yang namanya menggetarkan
dunia orang gagah, yang dipuji
kaum Rimba Persilatan! Coba
kau kenangkan leluhurmu itu,
apakah kau tidak merasa malu
dan menyesal?"
Mukanya Kheng Thian menjadi
pucat dan padam,
mendadak saja ia menangis
meng-gerung-gerung, kemudian
ia berlompat bangun, untuk
menub-ruki kepalanya ke batu
besar di sampingnya!
1283
Tan Hong menyambar tangan
orang, untuk ditarik dengan
perlahan.
"Di masa kau kecil pernah
aku merampas kau,
menolongmu dari tangannya
tentara negeri," kata tayhiap ini
dengan sabar. 9) "Tapi
hari ini kau telah melakukan
kekeliruanmu yang besar
sekali. Inilah perbuatanmu, yang kau
mesti tanggung sendiri.
Sebenarnya kau tidak seharusnya
hidup lebih lama lagi, akan
tetapi aku memikir lain, meski
semestinya kau tidak dapat ditolong
lagi, sukalah aku
menolong buat kedua kalinya.
Aku memandang kakekmu dan
ayahmu aku menyayangi ilmu
silat kamu kaum keluarga Pit,
yang mesti mewariskan kaum
Kaypang, tidak pantas
kepandaianmu itu tumpas
bersama kau! Kali ini aku menolong
pula kau dari tangan tentara
musuh!"
Mendengar perkataannya Tan
Hong itu, Tiauw Im menarik
pulang tinjunya. Ia memang
menghargai leluhur keluarga Pit
itu, sedang sekarang ia
melihat air matanya ini bekas
toaliongtauw yang tersesat.
Akan tetapi ia masih sangsi. Maka
ia kata pada Tan Hong,
keponakan muridnya itu: "Dapatkah
dia mengubah perbuatannya?
Tidakkah di belakang hari dia
berbuat sesat pula?"
"Dia telah mendapat
pelajaran, mungkin dia tidak akan
terjeblos pula," menyahut
Tan Hong. "Dia pun telah terhajar
Hunkin Cokut Ciu dari Law Tong
Sun, semua dua belas urat
nadinya sudah rusak, dengan
begitu habislah sudah semua
ilmu silatnya. Selanjutnya ia
cuma bisa mengajari orang ilmu
silat dengan petunjuk saja, ia
sendiri tidak dapat berkelahi
lagi."
Kheng Thian berdiam saja
mendengar perkataan Tan Hong
itu. Itulah benar. Sudah habis
semua kepandaiannya itu.
Bahkan sekarang ia masih
merasakan sangat sakit akibat
1284
hajarannya Tong Sun. Ia pun
mengeluarkan keringat yang
menetesnya bagaikan
butir-butir mutiara...
Melihat keadaan orang itu, Tan
Hong mengeluarkan obat
pelnya yang berwarna hijau.
“Ini obat Siauwyang Siauwhoan
Tan buatan-ku sendiri," ia
berkata seraya memberikan satu
butir, "obat ini dapat
menahan sakitmu selama tiga
hari, maka itu sekarang pergilah
kau lari turun gunung, kami
nanti mencegah tentara negeri itu
mengejarmu! Kau ambil jalan
dari belakang gunung!"
"Baik!" sahut Kheng
Thian, yang tetap berkepala besar:
"Hari ini aku telah mati
dan hidup pula! Pit Kheng Thian yang
kemarin sudah dikubur!"
Ia lantas berlutut dan
mengangguk tiga kali kepada Tan
Hong, lantas ia memutar
tubuhnya, untuk lari pergi.
Semua mata mengawasi
kepergiannya bekas toaliongtauw
itu, mereka terharu.
Hampir berbareng dengan itu
terlihat Siauw Houwcu
datang sambil lari
berjingkrakan.
"Ada lagi serombongan
tentara negeri mendaki gunung!"
katanya nyaring. "Suhu,
apakah suhu tidak mau pergi
membantu susiok?"
Dengan "susiok,"
atau paman guru, Siauw Houwcu
maksudkan In Tiong. Tan Hong
pun datang bersama
saudaranya In Lui itu, yang
menjadi iparnya. Dan In Tiong ada
orang yang saban-saban
menggulingkan batu besar untuk
merintangi tentara itu, untuk
itu ia telah menggunakan tenaga
besar dari Taylek Kimkong ciu.
1285
Tan Hong tertawa kepada
muridnya itu.
"Kau tunggu saja
sebentar!" katanya tenang. "Sucie-mu
dan Hok Toako-mu itu lagi
bekerja! Baik kau perhatikan ilmu
pedangnya Hok Toako itu!"
Siauw Houwcu menurut, ia
lantas mengawasi orang yang
lagi bertempur itu.
Yang Cong Hay telah menjadi
ciut nyalinya begitu lekas ia
tampak munculnya Thio Tan Hong.
Karena itu permainan
pedangnya menjadi kacau
sendirinya. Sebenarnya ia sudah
lantas memikir untuk
mengangkat kaki, maka ia menyesal
sekali yang lawannya, yaitu
Hok Thian Touw, sudah mencegah
ia dapat mewujudkan pikirannya
itu. Ia telah didesak hingga ia
terus kewalahan. Maka sekarang
ia cuma bisa berdaya
menolong jiwanya.
Thian Touw mendesak untuk
memegat jalan mundur
lawannya itu.
Tan Hong menonton sambil
mengangguk-angguk, katanya
pada Tiauw Im Hweeshio:
"Sejak sekarang dan selanjutnya
maka akan muncul suatu partai
ilmu silat pedang yang baru!"
“Ilmu pedang encie Sin Cu pun
tidak kalah dari ilmunya!"
berkata Siauw Houwcu. Bocah
ini tetap tidak puas karena
pertama kali bertemu sama
Thian Touw, dia kena
dipermainkan. Ia pun melihat
Cengbeng kiam digeraki secara
sangat liehay oleh Sin Cu.
Malah mungkin pertempuran Sin Cu
dengan Tong Sun lebih menarik
ditonton daripada petarungan
Thian Touw dengan Cong Hay,
karena Cong Hay tinggal
membela diri saja.
"Memang juga encie-mu
telah maju sangat pesat," kata
Tan Hong kepada muridnya itu.
"Mengenai Thian Touw, ilmu
1286
pedangnya itu terdiri dari
banyak partai dan sekarang ia telah
dapat mempersatukannya, maka
di belakang hari, aku
mungkin tidak dapat
dibandingkan dengannya...
In Hong sementara itu
mengawasi terus pertempuran
kekasihnya, bahkan ia segera
melihat Cong Hay berkelahi
dengan beringas sekali,
beruntun dia sudah menggunai dua
jurus yang liehay, yaitu
"Ombak kemarahan menggulung
mega" dan "Pasir
kuning menutupi matahari."
Tan Hong melihat orang berlaku
nekat itu, ia tertawa.
"Yang Cong Hay hendak
mengadu jiwanya, perbuatannya
itu mempercepat
kekalahannya!" katanya.
Hampir berbareng dengan
kata-kata itu, tampak tubuhnya
Hok Thian Touw terhuyung,
kakinya menindak ke tengah, ke
arah yang dinamakan pintu hongbun,"
setelah mana
sekonyong- konyong dia berseru
sangat nyaring: "Lepas
pedangmu!" Dan teriakan
itu diiringi sama bentrokan yang
keras dari barang logam, lalu
Ciehong kiam, pedang mustika
dari istana kaisar, yang
dicekal Yang Cong Hay, mental seperti
terbang. Belum lagi pedang itu
jatuh ke tanah, tubuhnya
Thian Touw sudah mencelat
seperti terbang melayang, untuk
menangkap itu, hingga pedang
itu menjadi berganti tangan!
Yang Cong Hay tidak
menghiraukan pedangnya itu, justeru
pedangnya mental dan lawannya
berlompat akan menyambar
itu, ia sendiri pun lompat
jumpalitan dengan tipu silatnya
"Burung kapinis membalik
badan," dia lompat ke bawah
gunung, habis mana dia lari
ngiprit tanpa memperdulikan lagi
Law Tong Sun!
Thio Tan Hong tertawa
berkakak.
1287
"Pedang mustika telah
bertukar tangan!" katanya nyaring.
"Maka itu empat kiamkek
terbesar di kolong langit ini juga
telah bertukar orang
baru!"
Sin Cu mendapat tahu
kemenangannya Thian Touw itu, ia
menjadi tidak enak hati.
Bukankah ia terus mesti berkutat
sama Law Tong Sun? Karena itu,
ia lantas mengubah cara
bersilatnya, hingga ia membuat
tubuhnya seperti terkurung
cahaya hijau dari pedangnya
itu.
Melihat demikian, Tong Sun
menjadi bingung. Bagaimana ia
bisa melayani terus? Tapi
dasar ia menang tenaga dalam, ia
masih dapat bertahan,
saban-saban ia bisa menyam-pok
mental pedang lawannya itu,
sedang di mana ia bisa, ia
membalas menyerang. Ingin ia
membikin si nona
tercengkeram nadinya atau
tulangnya terpatahkan.
Siauw Houwcu menonton sampai
habis sabarnya.
"Suciel" ia
memanggil. "Kau dijuluki Sanhoa Liehiap, kenapa
kau tidak hendak menggunai
kimhoa?"
Bocah ini memperingatkan orang
kepada julukannya, "Nona
gagah penyebar bunga,"
supaya dia menggunai kimhoa,
bunga emasnya itu.
Belum lagi berhenti suara anak
ini atau tangannya Sin Cu
telah terayun, disusul
berkilaunya sinar kuning emas. Sebab
tiga kuntum bunga emasnya
segera ditimpukkan!
Law Tong Sun melihat datangnya
timpukan senjata rahasia,
dia memperlihatkan kelincahan
tubuhnya. Kimhoa yang
pertama lewat di samping
dadanya, yang kedua kena ia
sampok, sedang yang ketiga ia
kasi lewat dengan satu
lompatan sambil mengenjot
tubuh.
1288
"Bagus!" berseru Sin
Cu tertawa dingin. "Aku mau lihat kau
dapat berkelit berapa
lama..."
Lantas ia menimpuk pula,
saling susul, karena sekarang ia
hendak menggunai tiga puluh
enam kuntum bunga emasnya
itu, menyerang ke pelbagai
jurusan, tidak ada ketentuannya.
Bahkan ada bunga yang
membentur satu dengan lain hingga
menerbitkan suara nyaring.
Meski penyerangan itu demikian
rupa, setiap bunga emas tadi
mencari jalan darahnya si lawan.
Menyaksikan itu, diam-diam Tan
Hong memuji muridnya
itu. Sebab ilmu menimpuk
kimhoa dari Sin Cu bukan lagi ilmu
melulu pelajarannya In Lui
hanya itu sudah kecampuran dan
dibikin menjadi lebih sempurna
dengan pelajarannya si orang
luar biasa dari See Hek,
wilayah Barat Hingga ia sebenarnya
dapat melebihkan gurunya...
Law Tong Sun telah
mengeluarkan semua tenaganya, ia
telah mempergunakan
kelincahannya, tetapi tidak lama,
terdengarlah jeritannya yang
hebat. Biar gesit bagaimana
juga, dia tidak bisa
membebaskan diri dari hujan kimhoa itu.
Maka segera juga dia kena
terhajar dada dan punggungnya,
lutut dan mata kakinya. Itulah
yang menyebabkan dia
memperdengarkan jeritannya
itu.
"Anak Cu, cukup
sudah!" Tan Hong menyerukan.
Sin Cu berhenti dengan lantas
dengan penyerangannya itu,
ketika ia memandang Tong Sun,
ia mendapatkan komandan
Gielimkun itu telah mandi
darah, sebab semua bunganya,
kecuali dapat menotok jalan
darah, lembarannya pun tajam
dan bisa melukai kulit dan
daging.
"Dengan memandang kepada
gurumu, aku suka memberi
ampun padamu!" berkata
Tan Hong ke pada komandan itu.
"Apakah kau masih tidak
mau mengangkat kaki?"
1289
Tanpa membilang suatu apa,
Tong Sun ngeloyor pergi
dengan tindakan
dingkluk-dingkluk. Dia telah rusak tulang
piepee-nya, terluka dengkulnya
dan putus urat nadinya, maka
seperti Pit Kheng Thian, dia
telah musnah semua kepandaian
silatnya. 10)
Ketika itu pasukan serdadu
sudah mendatangi dekat,
pemimpinnya ialah Poan Thian
Lo. Kakak seperguruan dari
Yang Cong Hay ini
membulang-balingkan cambuknya yang
bergigi, untuk memimpin
barisannya menyerbu. Ia sendiri
maju di muka.
"Dialah seorang
kasar!" berkata Tan Hong. "Siauw Houwcu,
pergi kau gaplok dia pulang
pergi, habis itu kau suruh dia lari
kabur!"
Poan Thian Lo dapat mendengar
suaranya Tan Hong itu,
yang ia kenali baik sekali,
lantas saja nyalinya ciut, tetapi
ketika Siauw Houwcu datang
meng-hampirkan, untuk
menyerang padanya, ia jadi
mendongkol dan gusar, tidak
menanti sampai kena digaplok, ia
mendahulukan menyapu
dengan cambuknya. Ia mengarah
pinggang lawan sebagai
sasarannya.
Mendadak, belum lagi cambuknya
mengenai musuh, Poan
Thian Lo merasakan lengannya
kesemutan, hingga cambuknya
itu tidak dapat digunai lagi,
lalu menyusul itu, benar-benar ia
digaplok pulang pergi oleh
lawannya hingga ada giginya yang
copot.
Tempo di tanah suku bangsa
Biauw, Siauw Houwcu pernah
dihina Poan Thian Lo,
sekaranglah ketikanya untuk ia
membikin pembalasan. Setelah
merasa puas, ia membentak:
"Guruku menitahkan kau
lari kabur, kenapa kau masih tidak
mau lari?"
1290
Pertanyaan ini dibarengi sama
satu gaplokan yang terlebih
keras.
Kali ini Poan Thian Lo
merasakan sakit yang hebat, benarbenar
dia dengar kata, lantas dia
memutar tubuhnya dan lari
pergi. Karena mana, ia lantas
diikuti pasukannya...
Siauw Houwcu mengawasi sambil
tertawa berkakak.
Sampai di situ, Tan Hong
mengajak rombongannya itu
pergi kepada In Tiong. Masih
mereka merobohkan beberapa
buah pohon, untuk digulingkan
ke bawah, hingga musuh
kabur semua. Tanpa pimpinan,
tentara itu tidak punya guna.
"Mari!" kemudian Tan
Hong mengajak, untuk berlalu dari
belakang gunung.
Tempat itu terpisah hanya
kira-kira tiga puluh lie dari
Kiukee Sippat kan, yang
menjadi tempat kediamannya Yap
Seng Lim. Ketika mereka sampai
di Yangbwee ouw, waktu
sudah jam tiga, maka di sini
mereka berjalan dengan
perlahan-perlahan.
Selama itu Thian Touw dan In
Hong berjalan berendeng,
tangan mereka saling
berpegangan. Mereka bicara dengan
asyik tentang perpisahan
mereka.
Seng Lim berkumpul sama Sin Cu
tetapi ia tidak tahu
bagaimana harus memasang
omong, karena ia merasa
pikirannya kacau. Tempo si
nona hendak menanyakan
keadaannya selama di Tunkee,
mendadak ia menanya:
"Apakah kau ketahui di
mana adanya Keng Sim sekarang?"
Ditanya begitu, si nona
mengerutkan alis.
1291
"Baru kita bertemu, kau
justeru menyebut-nyebut dia,
sungguh menyebalkan!"
kata si nona masgul, hatinya,
mendelu.
Seng Lim heran hingga dia
tercengang.
"Kalau bukan karena Keng
Sim itu, aku dan encie In Hong
tidak akan bertemu pula
denganmu..." katanya perlahan.
Lantas ia ceritakan bahaya
yang mengancamnya sampai Keng
Sim datang menolong, untuk
mana Keng Sim itu
mengurbankan dirinya.
Mendengar itu, Sin Cu
melengak.
"Aku tidak menyangka dia
dapat berbuat demikian rupa!"
katanya sesaat kemudian.
"Ah, kalau begitu, dia masih mirip
dengan seorang manusia!
Sebenarnya aku memandang dia
sudah mati, tetapi sekarang
aku mengharap dia masih
hidup..."
Seng Lim heran untuk
perkataannya nona ini. Mulanya ia
menerka si nona akan memuji
tinggi-tinggi pemuda itu.
"Ketika di
Hangciu..." kata pula Sin Cu perlahan, sehabisnya
dia menghela napas.
Tiba-tiba Tan Hong menyelak:
"Kalau orang dapat
memperbaiki kesalahannya,
kalau dia baru sekali salah tindak
saja, baiklah soalnya jangan
ditimbulkan pula... Eh, Seng Lim,
benar-benarkah kau hendak
menemui Keng Sim?"
Mendengar pertanyaan paman
gurunya itu, Seng Lim
mendadak menjadi girang.
"Susiok, tahukah kau di
mana adanya dia sekarang?" ia
menanya, cepat.
1292
Tan Hong tertawa.
"Malam ini pergilah kamu
tidur dengan nyenyak, besok
akan aku ajak kamu pergi
menemui dia," sahutnya.
Seng Lim menjadi bertambah
girang. Sin Cu sebaliknya
heran, tak tahulah ia, gurunya
mempunyai kepandaian mujijad
apa. Tapi ia percaya betul
gurunya itu, maka ia percaya juga
besok tentulah mereka akan
melihat Keng Sim.
Sin Cu tidur bersama In Hong,
maka banyaklah yang
mereka bicarakan. In Hong jadi
mengetahui segala halnya
Thian Touw, bahkan paling
belakang Thian Touw sudah
memperoleh petunjuk penting
dari Tan Hong tentang ilmu
silat pedang. Ketika ia
mendengar cerita halnya Keng Sim
membuka rahasia militer, ia
mencaci pemuda itu untuk
ketololannya. Setelah itu, ia
tertawa.
"Keng Sim memperoleh
pelajaran, inilah bukan tak ada
faedahnya untuknya,"
katanya. "Karena insaf akan
kesalahannya itu, dia telah
menolong tentara rakyat,
pertolongannya itu membuat
orang berterima kasih
kepadanya. Benarlah kata Thio
Tayhiap, bagus kalau orang
bersalah dan dapat
memperbaikinya, bahwa kesalahan itu tak
usahlah disebut-sebut pula.
Ya, aku, lihat dia baik sekali sama
kau, adikku..."
Sin Cu menghela napas.
"Suhu cuma bermaksud
menyembunyikan keburukan untuk
menyiarkan kebaikan,"
katanya. "Menurut penglihatanku,
orang semacam Keng Sim itu
tidak dapat diperbaiki cuma
dengan satu atau dua kali
pengajaran saja. Aku merasa dialah
bukannya orang yang termasuk
dalam golongan kita. Kali ini
pun ia berbuat keliru bukannya
tanpa di sengaja."
1293
Demikian keduanya pasang
omong, sampai mereka sudah
letih betul barulah mereka
tidur pulas. Ketika besoknya pagi
mereka mendusin, mereka dengar
suara Siauw Houwcu, yang
kemudian ternyata sedang asyik
pasang omong dengan Bhok
Lin.
"Encie Sin Cu,
benar-benar kau di sini!" berkata Bhok Lin
melihat Nona Ie. "Kau
lihat, bukankah aku telah jadi lebih
tinggi?"
Tapi Sin Cu heran
"Kenapa kau ada di
sini?" tanyanya. "Mana encie-mu?"
“Encie lagi menantikan
kau", jawab Bhok Lin, "hanya suhu
menitahkan aku untuk mengajak
dulu kau menemui Keng
Sim."
"Apa? Kau yang akan
mengajak aku menemui Keng Sim?"
si nona tanya.
Belum lagi Bhok Lin menyahut,
Tan Hong sudah muncul.
Guru ini tertawa dan ia kata:
"Nah, Sin Cu, bukankah aku tidak
memperdayakan kau? Aku bilang
hari ini kau bakal bertemu
sama Keng Sim dan benar-benar
kau bakal bertemu
dengannya!"
Sin Cu benar-benar heran akan
tetapi lekas juga ia menjadi
mengerti.
Bhok Kongya melihat Keng Sim
pergi lama sekali, hatinya
menjadi tidak tentaram, maka
itu ia telah mengutus pula lain
wakilnya ke kota raja, untuk
menyampaikan kepada raja
bahwa Keng Sim itu membantu
banyak padanya mengurus
wilayah Tali hingga kekacauan
jadi tidak meluas, karena mana
1294
ia mengusulkan agar Keng Sim
itu diangkat menjadi
pembantunya dengan pangkat
khamkun.
Berhubung ayahnya hendak
mengirim utusan itu, Bhok Yan
dan Bhok Lin menyatakan suka
turut bersama. Permintaan
mereka ini diluluskan.
Segera juga di dapat
keterangan bahwa Tiat Keng Sim
telah ditahan di Hangciu.
Untuk menolong, utusan Bhok
Kokkong itu lantas minta
bantuan menteri sahabatnya hertog
itu untuk membela Keng Sim,
supaya anak muda itu
dibebaskan. Ketika itu laporan
dari Sunbu Thio Kie belum
sampai di kota raja, maka juga
Tayhaksu Yo Soan, yang
menjadi sanaknya Thio Kie itu
dan sahabat kekal dari Bhok
Kokkong, lantas bertindak.
Usul kepada raja segera
disampaikan, di lain pihak
laporannya Thio Kie terus dibekap.
Kepada Thio Kie dituliskan
surat oleh Yo Soan supaya sunbu
itu suka memberi muka kepada
Bhok Kokkong. Thio Kie
dapat diajak bekerja sama,
dari itu Keng Sim dipindahkan
tempat tahanannya dan
diperlakukan baik sekali. Thio Tan
Hong berkuping terang, begitu
ia sampai di Hangciu lantas ia
mendapat tahu hal ikhwalnya
Keng Sim itu. Ketika Bhok Yan
dan Bhok Lin pun tiba di
Hangciu, ia mengetahui segala apa
terlebih jelas. Katanya raja
bakal mengutus utusannya Bhok
Kokkong guna menyambut Keng
Sim itu.
Dua saudara Bhok itu tinggal
di dalam gedung sunbu,
secara diam-diam Tan Hong
pergi menemui mereka. Tentu
sekali, Sin Cu tidak
mengetahui sepak terjang gurunya itu.
Pada mulanya, Keng Sim sendiri
gelap tentang duduknya
perkara. Ia telah ditahan di
menara Liok Hap Tah, lalu pada
suatu hari datang orangnya
sunbu, ialah tiehu dari Hangciu,
yang menyambut ia dan mengajak
ia pindah ke sebuah balai
istirahat di tepinya sungai
Ciantong. Di sini ia dapat makan
dan pakai baik sekali,
perlayanan sangat manis. Ia heran, ia
1295
minta keterangan pada tiehu
tetapi tiehu menganjurkan ia
tinggal saja dengan tenang.
Pula di sini Keng Sim merdeka,
kalau ia mau, ia bisa minggat,
tetapi karena ingat kepada
ayahnya, ia tidak mau buron.
Di lain pihak sudah bulat
tekadnya untuk berkurban untuk
Sin Cu. Maka dalam
herannya dan masgul itu,
tenang-tenang saja ia tinggal di
tempat kediamannya ini.
Pada suatu hari Keng Sim
mendusin pagi-pagi. Ia telah
menghitung tanggal dan tahulah
ia bahwa ia sudah tinggal di
gedung itu lima hari. Sama
sekali ia tidak menerima kabar apa
juga, ia menjadi tidak
sabaran. Ia muncul di lauwteng dan
memandang jauh, melihat
pemandangan alam yang indah,
tetapi tetap ia merasakan
sepi. Karena ini, pikirannya jadi
bekerja. Ia ingat Sin Cu, ia
ingat juga sikap Nona Ie itu.
"Aku baik dengannya,
untuknya aku melakukan segala apa,
tapi tahukah dia hatiku
itu?" ia ngelamun. "Apa mungkin aku
bakal tak bertemu pula
dengannya, putus perhubungan kita
berdua?"
Pemuda ini merasakan pasti,
kalau nanti tiba firman raja,
habis sudah lelakon hidupnya.
Ia mengharap raja ingat jasa
ayahnya dan akan meringankan
hukumannya, tetapi ia,
menginsafi juga kedosaannya
yang besar sekali itu, maka
lenyap pula harapannya.
Tengah ia melamun itu, Keng
Sim mendengar tindakan kaki
perlahan di tangga lauwteng.
Dengan lantas ia berpaling,
sedang kupingnya segera
mendengar suara panggilan yang
halus: "Keng Sim..."
Itulah suara yang ia kenal baik maka juga
hatinya berde-nyutan. Hampir
ia tidak mau percaya kupingnya
sendiri. Selang sesaat barulah
hatinya menjadi tenang dan ia
menyahut: "Sin Cu!
Bagaimana kau dapat datang ke mari?"
1296
Nona Ie muncul untuk lantas
berkata: "Yap Seng Lim telah
menuturkan aku segala apa
mengenai kau..."
Sepasang alisnya anak muda itu
bergerak.
"Apakah dia telah
menuturkan bagaimana aku berkurban
untuk membebaskan dia dari
mara bahaya?" ia menanya.
"Dia menuturkan semua
tanpa ada yang lolos. Sebaliknya
aku, aku menutupi perbuatanmu
selama di Hangciu. Mereka
sangat berterima kasih
kepadamu."
"Hm!" Keng Sim tertawa.
Lalu ia menambahkan: "Kalau
bukan untukmu, Sin Cu, tak
sudi aku memperdulikan dia. Sin
Cu, suratmu itu mencaci aku
hebat sekali. Sekarang, kau
tentunya telah melihat jelas
aku ini orang macam apa!"
"Memang, sekarang aku
telah melihat jelas," berkata si
nona.
"Kau takut aku tidak
memandang matapadamu, kau kuatir
dunia nanti menterta-waimu dan
mengatakan kau sudah
menjual sahabat, maka itu, kau
mencoba melakukan satu
perbuatan bagus. Kau rada
tolol tetapi kau pun masih insaf."
Mendengar itu, Keng Sim menjadi
tidak puas.
"Cuma sebegitu
saja?" katanya, hatinya panas.
Sin Cu tertawa.
"Apakah kau ingin aku
memuji kau sebagai seorang gagah perkasa satu-satunya, di jaman dulu dan di
jaman sekarang juga?" ia membaliki.
"Oh, tidak, tidak!"
kata Keng Sim, tertawa dingin. Bangkit pula keangkuhannya. "Pasti aku
bukannya si orang gagah perkasa. Tapi Seng Lim itu, tanpa aku, dia pasti telah
ditawan tentara negeri, dan tentu sekali yang ditahan sekarang ini bukannya aku
hanya dia!"
Sin Cu mengerutkan alisnya.
"Jikalau bukannya kau
berbuat demikian, apa kau sangka aku sekarang masih memandang kau sebagai satu
manusia?"
katanya. "Jikalau kau
tidak membocorkan rahasia tentara rakyat, mereka pasti tidak bakal runtuh
seperti sekarang ini!
Keng Sim, seorang angkuh juga mesti
menegur dirinya sendiri!"
Parasnya Keng Sim menjadi
pucat. Tidak ia sangka, si nona datang bukan untuk mengutarakan rasa syukurnya
hanya justeru untuk menegur padanya!
Untuk sejenak, keduanya
berdiam.
"Mustahilkah mereka itu
sekawanan gerombolan, telah menjadi begini rupa karena aku satu orang?"
kemudian Keng Sim berkata pula. Ia tertawa dingin.
"Tentu sekali bukan
disebabkan perbuatan kau seorang!"
sahut si nona. "Hanya
perbuatanmu membocorkan rahasia itu membantu tentara negeri menjo-roki mereka
kecemplung ke dalam sumur di saat mereka menghadapi bahaya!"
Pemuda itu penasaran.
"Aku lakukan semua itu
untuk kau!" katanya sengit.
"Sekarang ini aku tidak
tahu jiwaku tinggal berapa hari lagi, tetapi sekarang kau datang, di saat
kematianku ini, untuk menegur aku!"
Sebaliknya dari gusar, Sin Cu
bersenyum.
"Keng Sim," katanya,
"aku hendak berbuat baik untukmu, sayang kau tidak tahu. Tapi,
tenangkanlah dirimu, kau tidak bakal mati, bahkan sebaliknya, kau bakal dapat
pangkat besar! Inilah kabar baik yang didapat guruku! Kau tunggu sedikit waktu
lagi, nanti ada orang yang datang menyambut kau!"
Keng Sim mau percaya itu, ia
girang, tetapi ia menguasai dirinya. Ia masih hendak mencoba, untuk kali yang
terakhir, guna merebut hatinya si nona. Maka ia menghela napas.
"Biar umpama kata kabarmu
ini benar dan aku tidak bakalan mati," katanya, "toh segala apa telah
menjadi terang, untukmu, aku tidak takut mati!"
“Itulah sebabnya maka sekarang
aku menjenguk kau," bilang si nona. "Ah, Keng Sim, kau harus dikasihani,
masih kau tidak mengerti. Coba aku mengangkat kau, mengumpakumpakmu setinggi
langit, mungkin kau jadi masgul karenanya... Keng Sim, aku lihat, kita bukanlah
orang dari satu golongan..."
Keng Sim menghela napas.
"Benar-benar aku tidak
mengerti!" ujarnya. "Sin Cu, setiap kali aku melihat kau, kau agaknya
semakin berubah! Makin lama aku jadi makin tidak mengerti, makin lama kau
membuat aku merasa bahwa kau makin asing bagiku!..."
Sin Cu mengawasi pemuda itu,
kemudian ia memandang ke luar lauwteng.
"Sin Cu, ingatkah kau
ketika kita sama-sama berada di sungai Tiangkang?" Keng Sim tanya
"Bukankah itu waktu terlihat gelombang itu yang seperti mengejar burung
walet?"
Memang, jauh di depan mereka
tampak sungai Ciantong berombak, di sana ada beterbangan beberapa ekor burung
laut.
Sin Cu mengangguk.
"Benar," sahutnya.
"Memang sungai Cian-tong ini bukannya sungai Tiangkang tetapi dua-duanya
sama-sama mengalir ke laut."
Keng Sim masgul. Tidak dapat
ia menjajaki hati si nona.
"Ya," katanya
kemudian, kembali ia menghela napas, "harihari yang telah lalu mirip
dengan air sungai, sesudah mengalir lewat lalu tidak kembali lagi. Sin Cu,
benar-benar aku tidak mengerti kenapa kau makin lama terpisah makin jauh dari
aku?..."
Nona Ie tertawa, tertawa
sedih.
"Kau lihat di sana!"
katanya kemudian, tiba-tiba. "Orang yang mengerti kau telah datang! Aku
mesti pergi sekarang."
Keng Sim heran hingga ia
melengak,tetapi hanya sejenak, segera ia menoleh.
Di sana, di tangga, tampak
Bhok Yan berlari-lari naik, wajahnya tersungging senyuman. Lantas saja nona itu
menghadapi Keng Sim dan berkata dengan gembira: "Ya, pemandangan di sini
benar indah! Cuma, kalau dibandingkan sama musim semi di Kun-beng, di sana
masih terlebih indah!
Sekarang ini bunga toh, bung
lie, juga bunga kupu-kupu, tentu sedang
pada mekarnya! Eh, Keng Sim, ayahku telah menanggungkan dirimu! Utusan, yang
membawa firman raja, bakal lekas tiba, maka sebentar lagi kita, kau dan aku,
bisa lantas berangkat ke Kunbeng! Oh, Nona Ie, suhu bersama Yap Toako ada di
bawah! Eh, eh, apakah kau tidak mau berdiam lebih lama di sini, kau hendak
pergi turun?"
Baru sekarang ia menegur Sin
Cu.
Nona Ie tertawa.
"Baiklah kamu berdua
kumpul di sini mengicipi keindahan sang bunga, aku tidak mau meng-gerecoki
kamu!" sahutnya.
"Lihat taman itu, di sana
ada kedapatan segala macam pohon bunga, cuma sayang tidak ada pohon
tayceng..."
Ia lantas turun di tangga
lauwteng.
Keng Sim mengawasi hingga ke
bawah lauwteng, di mana, di bawahnya sebuah pohon besar, terlihat Seng Lim lagi
berdiri seraya tangannya menggapai ke arahnya. Tiba-tiba hatinya mencelos.
Sebenarnya ia hendak lari menyusul nona itu, atau suara tertawa yang halus dan
manis dari Bhok Yan mencegah ia...
Nona Bhok lantas berceritera,
menuturkan semua dengan jelas. Maka sekarang, bagaikan orang baru sadar dari
mimpinya, Keng Sim mengerti segala apa. Pantas ia dipindahkan ke tempat ini dan
diperlakukan baik sekali.
"Bagaimana dengan
ayahku?" kemudian ia tanya.
"Ayahku ketahui ayahmu
pintar, maka ia pun diminta supaya dipindah ke Kunbeng," jawab si nona.
Keng Sim jadi sangat
bersyukur. Hatinya pun lega.
"Aku tidak sangka
keluarga Bhok menghargai aku..."
katanya di dalam hati.
"Akhir-akhirnya toh ada juga orang yang mengenal aku..."
Bhok Yan memandang sekeliling
kamar.
Keng Sim bagaikan melamun
memandang Seng Lim dan Sin Cu berjalan bergandengan, meninggalkan taman.
Tiba-tiba terdengar suara Bhok Yan disampingnya.
"Ah, barang-barangmu
kalut sekali!" katanya bersenyum.
"Kita bakal lekas
berangkat, mari aku benahkan!"
Ia mengajak anak muda itu
masuk ke dalam kamar, untuk bekerja.
"Mereka itu ada di bawah,
apakah kau tidak mau turun untuk menemui mereka?" kemudian tanya si nona.
Keng Sim mengangguk, lantas ia
bertindak keluar.
Justeru di saat itu terdengar
suara nyaring dari Bhok Lin: “
Encie, lekas kau memberi
selamat kepada encie Sin Cu! Kita semua bakal lekas minum arak
kegirangannya!"
Bocah ini baru saja mendengar
dari Siauw Houwcu bahwa Tan Hong telah meregoki jodohnya Sin Cu dengan Seng
Lim.
Sebenarnya dia rada kecewa
tetapi toh dia gembira sekali.
Mendengar itu, Bhok Yan
tertawa.
"Benarkah itu?"
tanyanya.
Sin Cu, yang berada di antara
mereka, lantas memegat.
1302
"Kau jangan dengari
ocehannya si setan cilik! Eh, Bhok Lin, baiklah kau minum dulu arak kegirangannya
encie-mu. Eh, kamu tak usah turun, aku hendak pergi kepada guruku!"
Keng Sim berdiam, pikirannya
kusut. Ia melihat Sin Cu, dengan berendeng sama Seng Lim, bertindak keluar dari
taman. Mereka itu mengulapkan tangan kepadanya.
Selagi pemuda ini masih
berdiam, ia dengar suaranya Bhok Yan: "Semua telah aku bereskan, mari kita
juga pergi!"
TAMAT
CATATAN
6. Tamtay Biat Beng dulunya adalah seorang jendral bawahan ayah Thio
Tan Hong, kisahnya dapat dibaca dalam Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
7. Kisah tentang Gak Beng Kie atau Hui Bing Siansu dapat diikuti di
cerita Giok Lo Sat, Pek Hoat Molie, Khau Guan Enghiong (Pahlawan Padang Rumput)
dan Thian San Citkiam.
8. Bibit-bibit perpecahan Leng In Hong dan Hok Thian Touw mulai muncul
dalam kisah Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu), setelah itu mereka
benar-benar berpisah dan mendirikan aliran masing-masing, kisah selengkapnya
dapat diikuti dalam Lian Kiam Hong In, Giok Lo
Sat, Pek Hoat Molie, Khau Guan Enghiong dan Thian San Citkiam.
9. Diceritakan dalam Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan), bagian
awal, ketika Thio Tan Hong hendak dikerubut orang banyak di rumah Cinsamkay Pit
To Hoan, lalu rumah tsb diserbu pasukan pemerintah yang dipimpin Thio Hong Hu
(ayah Siauw Houwcu).
10.Law Tong Sun ternyata bernasib baik, cacatnya berhasil disembuhkan
oleh gurunya dalam beberapa tahun, sehingga ilmu silatnya dapat kembali pulih
dan melakukan kejahatan lagi, tokoh ini muncul kembali dalam kisah selanjutnya,
Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu).
Cuplikan bagian awal Lian Kiam
Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu)
Itulah kira-kira jam tiga pagi
ketika sang Puteri Malam, yang sudah doyong ke arah barat, masih menyinari
sebuah bangunan yang berukiran dengan jendela-jendela hijau dan pintu-pintu
merah indah. Sang malam pun sunyi sekali.
Gedung itu yalah jang dikenal
sebagai Kunmahu, gedung menantu Bhok Kokkong.
Malam sudah larut demikian
rupa akan tetapi sampai itu waktu di dalam istana itu, di atas lauwteng, ada
seseorang yang masih belum tidur, dia bahkan sambil menyender kepada loneng
tengah memandangi sebilah pedang dengan pikirannya bergelombang.
Siapakah dia?
Tak lain tak bukan, dialah
Kunma, menantu yang manis, dari Bhok Kokkong ialah Tiat Keng Sim.
Demikianlah seorang diri itu,
di malam yang indah tetapi sunyi itu, ia seperti menggadangi si Puteri Malam.
Ia pun mengawasi pohon-pohon bunga. Sambil menghela napas, ia berkata seorang
diri: "Dengan tahun ini maka sudah tujuh
musim semi aku lalui di dalam
istana Kunmahu ini... Selama tujuh tahun itu, kecuali membuat syair dan
karangan, ada apakah lagi?"
Maka terkenanglah ia kepada
masanya ia masih merdeka, bagaimana ia mundar-mandir dalam dunia kangouw,
bagaimana itu menggembirakannya.