Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 12 (Tamat)

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 12 (Tamat) In Tiong berlompat ke pintu taman, sambil berseru ia menyerang pintu itu, yang ia gempur dengan tenaganya yang dikerahkan.
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 12 (Tamat)
(Jilid sebelumnya hilang)
Belasan busu itu kaget, tidak berani mereka melawan, dalam sekejaban mereka lari serabutan.

In Tiong berlompat ke pintu taman, sambil berseru ia menyerang pintu itu, yang ia gempur dengan tenaganya yang dikerahkan.

Hebat penyerangan Taylek Kimkong ciu itu, pintu terdobrak terbuka walaupun terbuatnya daripada besi, maka dari situ Tan Hong bertiga menerobos ke luar, hingga mereka berada

di bukit Keng San, bukit yang terletak di bagian belakang dari taman itu. Dari atas bukit mereka memandang ke arah taman, ke arah istana, di mana kebakaran tidak dapat segera

dipadamkan.

In Tiong mendongkol sekali hingga ia berkata dengan sengit: "Sungguh satu raja goblok yang tak dapat membedakan kesetiaan dari kedurhakaan! Kita hendak membela mereka, kita justeru diperlakukan begini rupa!

Biarlah api ini membakar ludas semua istananya yang indahindah itu! Beginilah baru aku puas!"

Tan Hong tertawa, “Istana ini pun terbangunkan oleh peluh dan darahnya rakyat!" ia berkata, "maka sayanglah kalau semuanya dijadikan kurban api... Laginya, dengan sekarang terbakar, apa lain kali tidak dapat dibangun pula? Itu justeru akan menambah kesengsaraannya rakyat..."

"Tetapi aku sangat membenci kaisar tolol itu!" kata In Tiong tetap sengit. Ia ingat masanya ia sangat bersetia kepada negara, kepada kaisar, tetapi begini macam nasib keluarga In, maka itu sembari mengawasi api, rupa-rupa perasaan datang menyandingi otaknya.

Dulu ia setia,  berkobar semangatnya untuk bekerja untuk negara, tetapi sekarang, semangat itu seperti terbakar tumpas oleh api yang lagi berkobar-kobar itu...



"Kau menyebutnya raja tolol, yang gelap pikirannya," berkata Tan Hong, yang tak lenyap kegembiraannya, "aku menaksir dia tentulah menganggap dirinya cerdik sekali!

Bukankah kita semua dipandang dia sebagai orang-orang yang dapat mencelakai kedudukan kaisarnya? Pantas saja kita membangkitkan kebenciannya itu!"

Lalu moayhu ini menghibur iparnya itu.

Sekarang In Lui ingat puteri Iran. "Coba bilang, engko," ia tanya suaminya, "puteri Iran dan suaminya berada di dalam istana, mungkin mereka ditahan, apakah mereka terancam bahaya atau tidak?"

"Bukan saja mereka tidak terancam bahaya," menyahut Tan Hong tertawa, "bahkan sebaliknya, mereka pasti akan diperlakukan hormat sekali oleh Kie Tin! Mereka itu bukannya seperti kita. Pasti sekali Kie Tin senang dapat berserikat sama satu negara asing. Bukankah ia  mengharapkan keselamatan takhta kerajaannya?"

In Lui pun tertawa. Ia kata: "Dengan masuknya kita kali ini ke istana, kita telah mengajar adat kepadanya. Pasti dia kecewa yang dia tidak dapat menyingkirkan kau, engko.

Sekarang tidak dapat tidak, ia mesti turut salah satu dari tiga jalan yang ditunjuki olehmu, untuk berserikat sama Negara asing."

Selama itu, api nampak mulai reda.

"Kita jangan omong saja di sini," kata Tan Hong, memperingati, "kalau api sudah padam semua, ada kemungkinan mereka nanti mencari dan menyusul kita. Mari kita lekas pulang!"

"Pulang ke manakah?" sang isteri tanya.

Tan Hong berpikir, lalu dia tertawa.

"Lupakah kau orang yang mengantar kuwe kepada kita?" ia tanya. "Biarlah, malam-malam juga kita berangkat ke Patatleng, untuk membalas kunjungannya itu! Dua sahabat itu berharga untuk kita mengikat persahabatan dengannya."

"Baik," sahut In Lui, setuju. "Kau biasanya tidak menduga keliru. Aku hanya tidak mengerti, kenapa mereka ketahui alamat kita dan pun datang menolong di saat yang tepat.

Kenapa mereka ketahui kita terancam bahaya? Kenapa mereka dapat berdaya menolongi kita?"

Pertanyaan itu tidak dapat dijawab Tan Hong. In Tiong juga tidak dapat memikirnya. Maka itu ingin mereka lekas-lekas tiba di gunung Patatleng, untuk mendapatkan pemecahannya.

Sementara itu mereka tidak menyangka yang murid mereka, untuk sesuatu hal, sudah mendahului mereka pergi ke gunung Patatleng itu.

Di Huiliong Piauwkiok, seberlalunya Tan Hong, Liong Teng sudah lantas mengambil  tindakannya.

Ia telah membubarkan semua pegawainya, ia tutup perusahaannya itu. Dengan begitu, Sin Cu dan Siauw Houwcu pun turut mengangkat kaki.

Tadinya Sin Cu ingin menumpang sama Co Thaykam, untuk melihat perkembangan terlebih jauh, tetapi setelah memikir lainnya, ia mengambil lain pendapat. Maka dengan menunggang kuda putih, bersama Siauw Houwcu ia keluar dari pintu kota barat, untuk menuju ke kota Kieyongkwan, hingga mereka tiba di luar kota itu.

"Eh, encie Sin Cu, perlu apa kau ajak aku ke tanah pegunungan ini?" Siauw Houwcu menanya.



"Anak nakal!" Sin Cu tertawa. "Kau paling gemar memain, sekarang aku ajak kau ke tempat di mana ada pemandangan yang paling aneh di kolong langit ini, ialah Banlie Tiangshia, itu tembok besar dan panjang yang katanya selaksa lie!

Apakah kau tidak gembira?"

Lantas si nona men-joroki orang turun dari kudanya, dengan kudanya itu terus dilepas dibiarkan mencari makan sendirinya.

Ketika itu sudah magrib, di antara sinar layung, sungguh indah nampaknya Tembok Besar, yang bagaikan ular panjang dengan sinarnya kekuning-kuningan berlugat-legot di atas tanah pegunungan.

Banlie Tiangshia ialah bangunan paling besar dalam hikayat Tiongkok, dari kota Keejukwan dia menyambung sampai di kota Sanhaykwan, berliku-liku di antara gunung-gunung sejauh dua belas ribu lie lebih. Di bagian kota Kieyongkwan ini ialah daerah yang menyampaikan gunung Patatleng (Pataling), maka itu Sin Cu mengajak Siauw Houwcu pergi ke kota Kieyongkwan ini. Mereka mendaki bukit dari selatan kota, mereka naik ke atas Tembok Besar, maka dari sana mereka menyaksikan gunung-gunung yang seperti tak ada ujung pangkalnya, tembok kota panjang seperti ular terlihat kepalanya tidak ekornya.

Berada di atas tembok dan tertiup angin, Siauw Houwcu bergembira sekali, hingga ia berseru-seru kegirangan. Tetapi kapan ia ingat suatu apa, ia lantas mengawasi nona  kawannya.

"Encie Sin Cu, benarkah cuma untuk aku memandangi tembok dan bukit ini maka kau mengajak aku ke mari?" dia bertanya.



Nona Ie tertawa.

"Apa? Tidakkah ini indah?" ia balik menanya.

"Memang indah," sahut Siauw Houwcu. "Hanya sekarang sudah sore, kalau kita pulang, pintu kota tentunya telah ditutup. Ah, aku tidak percaya hari ini kau mempunyai kegembiraan mengajak aku pesiar ke mari"

Si nona tertawa geli.

"Malam ini, kita mencari pondokan di atas gunung Patatleng," ia berkata. "Eh, Siauw Houwcu, apakah kau takut nanti digegares srigala? Benarkah kau hendak pulang kembali ke kota raja?"

"Aku takut srigala? Ha! Aku justeru hendak mencari seekor untuk dipakai menangsal perutku! Hanya guru kita, mereka tentu menantikannya di rumah Co Thaykam, kalau mereka tidak mendapatkan kita, bagaimana? Ah, encie Sin Cu, kau biasanya sangat mendengar kata terhadap suhu, kenapa sekarang kau berkuasa sendiri, kau mengajaknya aku kemari?

Tentu ada sebabnya! Nah, encie, apabila kau tidak menjelaskannya padaku, nanti aku mengadu pada suhu."

Sin Cu tertawa.

"Aku ajak kau ke mari justeru untuk menantikan suhul" jawabnya mana.

"Apakah kau lupa yang suhu pernah berjanji sama orang yang menyebut dirinya Patat Sanjin itu, yang menjanjikan pertemuan di atas panggung Tiamciang Tay?"

"Akan tetapi suhu tidak menjanjikan temponya," Siauw



Houwcu kata. "Sekeluarnya dari istana, suhu tentu bakal terus menuju

kemari, "Sin Cu menerangkan. "Aku sendiri ingin lekas menemui Patat Sanjin itu, maka itu aku mendahului datang ke mari untuk menyelidikinya. Aku percaya suhu tidak bakal menegur aku."

"Apakah kau kenal Patat Sanjin itu?" tanya Siauw Houwcu heran.

"Tidak."

"Habis kenapa kau mencari dia? Dia pun tidak berjanji bertemu suhu malam ini? Mana kau tahu pasti yang dia akan menantikan di Tiamciang Tay?"

"Kita cari dia di seluruh Patatleng, aku percaya kita dapat menemukannya."

"Sebenarnya siapakah dia maka kau merasa perlu sekali menemukannya?"

"Aku mengharap-harap dialah sahabatku yang telah lama aku dengar namanya tapi yang aku belum pernah menemuinya. Sudah, Siauw Houwcu, kau jangan banyak tanya lagi! Mari kita turun dari tembok panjang ini, kita masuk ke dalam rimba."

Siauw Houwcu heran bukan buatan.

"Sahabat yang kau belum pernah ketemui itu, dia laki-laki atau wanita?" tanyanya.

"Laki-laki."



Siauw Houwcu makin heran.

"Ah!" serunya. "Jadi kau tidak sukai engko Seng Lim?"

"Cis" muka Sin Cu bersemu dadu. "Kau iblis cilik, otakmu tidak jernih! Kau ngaco belo lagi, nanti aku hajar kau!"

Bocah nakal itu mengulur lidahnya keluar, ia terus bungkam.

Orang yang Sin Cu ingin cari itu ialah Hok Thian Touw.

Dia telah mendengar keterangannya Yap Goan Ciang si tabib ia dari See San bahwa si "pemuda gagah" berdiam di Patatleng, sedang orang yang mengantar kuwe kepada gurunya menyebut dirinya Patat Sanjin. Ia mencurigai bahwa dua orang itu hanya satu orang belaka, bahwa mungkin sekali dialah Hok Thian Touw. Ia mesti mendapatkan kepastiannya, Thian Touw benar sudah meninggal dunia atau masih hidup.

Sin Cu menjadi besar di kota raja tetapi Banlie Tiangshia juga menjadi tempat pesiarnya, meski begitu ia belum tahu di mana letaknya panggung peranti apel panglima perang, ialah Tiamciang Tay, maka itu sekarang, sesudah sang malam mendatangi dan cuaca menjadi remang-remang, ia sibuk sendirinya.

Untuk beberapa puluh lie si nona mengajak Siauw Houwcu berputaran, jangan kata Tiamciang Tay, sebuah gubuk pun mereka tidak mendapatkannya.

Cuaca, semakin gelap, si Puteri Malam pun mulai muncul. Di hutan terdengar suara angin malam, yang membawa datang juga pekiknya orang hutan atau srigala.

"Syukur malam ini bulan terang!" berkata Siauw Houwcu, yang nyalinya besar. "Kalau tidak sungguh berbahaya apabila kita dibokong srigala?

1197
Bagaimana eh, apa malam ini kita terus pesiar di rimba ini
sampai besok pagi?"
Sin Cu tidak menjawab hanya ia tertawa sambil melengak,
lalu dari mulutnya keluar suara senandung:
"Terbang memutari tangi t untuk mencari burung pieek!
Entahiah Leng In dan It Hong menclok di rumah siapa?..."
"Ah encie Sin Cu!" berkata Siauw Houwcu. "Di waktu begini
kau masih mempunyai kegembiraanmu!"
Tenaga dalam Sin Cu telah mempunyai dasarnya, maka itu
sebutannya "Leng In" dan “In Hong" itu telah mendengung,
berkumandang di dalam rimba itu, mungkin dapat didengar
orang hingga jauhnya belasan lie. Hanya, sampai suara itu
sirap, tidak ada terdengar jawaban untuknya.
Malam itu rembulan terang dan jernih sekali, bunga-bunga
hutan terlihat memain di antara sampokan sang angin. Indah
pemandangan itu. Suasana pun tenang dan tentaram, hingga
itu merupakan kesunyian yang berbareng dapat menciutkan
hati orang-orang yang nyalinya tidak besar.
Tiba-tiba Sin Cu ingat pengalaman itu malam ketika
bersama Leng In Hong ia berada di gunung Huyong San,
bagaimana mereka memasang omong dengan asyik sekali
pada malam indah seperti malam ini. Adalah di itu malam
yang untuk pertama kali ia mendengar dari mulutnya In Hong
tentang Hok Thian Touw, sedang ini malam dia lagi mencari
Hok Thian Touw itu. Maka diam-diam ia memuji di dalam
hatinya: "Semoga In Hong dapat mencari kawannya itu, agar
mereka dapat terbang bersama seperti si burung pie-ek!
(Menurut kitab Jie Nge, burung pieek ini adanya di Selatan,

1198
namanya kiam-kiam, karena burung ini tidak terbang apabila
tidak berpasangan, maka itu disebut pieek, sepasang sayap.)
Tengah si nona memuji itu, sekonyong-konyong terdengar
suara "ser" dari me-nyambernya sesuatu, yang memecah
kesu-nyiannya sang malam atau rimba itu, yang pun
menghentikan pujian si nona, menyusul itu sebutir batu jatuh
tepat di depannya nona ini, Siauw Houwcu terkejut.
"Ah, adakah dia manusia atau hantu?" katanya. "Aku
seperti melihat berkelebatnya satu bayangan orang, yang
terus lenyap cepat sekali..."
Belum berhenti suara bocah ini atau sebutir batu lain jatuh
di depan mereka.
Sebat luar biasa, Sin Cu berlompat ke arah dari mana batu
itu datang. Ia mahir dalam ilmu enteng tubuh, akan tetapi
setelah mengejar sekian lama, ia tidak berhasil menyandak, ia
tidak mendapatkan bekas-bekas orang. Ia mulai mendongkol
juga, maka dengan rada sengit ia kata dalam hatinya: "Untuk
encie In Hong aku bercapai-capai mencari kau, kenapa kau
sebaliknya hendak menguji kepan-daianku?"
Ia lantas menghentikan tindakannya, atau lagi-lagi
sepotong batu lantas jatuh di depannya.
Dengan tiba-tiba Sin Cu mencelat dengan gerakannya
"Cecapung menyambar air tiga kali beruntun," dengan tiga kali
juga ia mencelat tak putusnya, setelah belasan tombak, ia
menampak satu bayangan orang di sebelah depannya. Ia baru
mengempos pula, akan menukar napas, atau bayangan itu
lenyap seketika.
Dengan penasaran Nona Ie mengejar terus, kali ini ia
mendapatkan bayangan itu sebentar nampak sebentar tidak,

1199
sampai akhirnya ia tiba di sebuah batu bundar yang besar luar
biasa, yang licin mengkilap, dan di antara sinarnya si Puteri
Malam, batu itu bagaikan kaca rasa. Segera ia melihat tiga
ukiran huruf di atas batu itu, bunyinya "Tiamciang Tay." Ia
melengak, karena itulah yang dinamakan batu peranti
menyebut nama-nama panglima perang. Ia melengak tetapi ia
sadar.
"Nyatalah dia sengaja memancing aku sampai di sini,"
pikirnya. "Tepat di sinilah dia berjanji akan bertemu sama
guruku. Rupanya dia kuatir, kalau suhu sampai di sini, suhu
nanti tidak dapat mencarinya." Karena ini segera ia berseru
nyaring: "Sahabatnya Leng In Hong, muridnya Thio Tan Hong,
Ie Sin Cu dan Thio Giok Houw datang ke mari mengunjungi
Patat Sanjinl"
Sin Cu kuatir orang bukannya Hok Thian Touw, maka
sengaja dia menyebut namanya In Hong terlebih dulu. Setelah
itu, ia menantikan jawaban.
Batu Tiamciang Tay ini terletak di tempat di mana
pepohonan tumbuhnya jarang, di waktu terang bulan seperti
itu, segala apa nampak nyata, akan tetapi menantikan sekian
lama, si nona tidak memperoleh jawaban, ia menjadi kurang
senang. Ia memikir untuk mengangkat kaki dari situ, tetapi
Siauw Houwcu belum me-nyandak padanya.
Terpaksa ia berdiam terus. Ia mengawasi ke sekitarnya,
sampai ia melihat sebuah ciopay kecil di pinggiran Tiamciang
Tay itu, ada huruf-hurufnya yang halus, yang mana, ia baca,
menunjuki Bok Kui Eng, wanita gagah yang menjadi kepala
perang dari ahala Song, pernah mengepalai panglimapanglima
perangnya di situ.
"Encie In Hong gagah dan pintar, dia dapat dibandingkan
Bok Kui Eng," Sin Cu berpikir, "hanya jaman dan suasana

1200
berbeda, peruntungan mereka berbeda juga. Ah, apakah
orang ini bukannya Hok Thian Touw?"
Tiba-tiba ada tindakan kaki di sebelah belakang, Sin Cu
berpaling dengan cepat, hingga ia melihat Siauw Houwcu
tengah menghampirkan. Mukanya bocah itu beda daripada
tadi-tadinya, dia agaknya berkuatir atau bergelisah.
"Encie," berkata dia, tangannya menunjuk ke samping
Tiamciang
Tay, "adalah orang itu sahabatmu? Kenapa kau tidak pergi
padanya?"
Sin Cu berpaling dengan cepat, melihat ke arah yang
ditunijuk bocah itu.
Benar situ, di atas batu, ada seorang tengah rebah tidur. Ia
heran bukan main. Ia berkuping terang dan bermata celi, akan
tetapi heran, ia tidak mengetahui ada orang datang untuk
tidur di situ. Mau atau tidak, ia melengak.
"Hok... Hoo... Patat Sanjin," katanya, masih gugup,
"bukankah kau yang menjanjikan guruku datang ke mari?"
Orang itu lagi tidur, dia berdiam saja. Dia mengenakan baju
biru yang gerombongan, karena cara rebahnya, mukanya tak
kelihatan.
Siauw Houwcu habis sabar. Dengan satu kali mencelat, ia
telah naik di atas batu besar itu.
"Eh, orang kurang ajar " bentaknya seraya tangannya
menyambar, untuk membaliki tubuh orang, akan menyingkap
bajunya.

1201
Sin Cu menjadi heran bukan main. Ia bukan mendapatkan
satu anak muda, yang romannya tampan, hanya seorang tua
dengan rambut ubanan, yang hidungnya merah. Dia tidak
beroman terlalu jelek, tetapi dia pasti bukan kekasihnya Leng
In Hong.
Orang tua itu mengulet.
"Eh, dari mana datangnya si bocah nakal?" katanya.
"Kenapa kau mengganggu orang tengah asyik bermimpi?"
Siauw Houwcu pun melengak.
"Kau siapa?" ia menanya.
"Kau mau cari siapa?" orang tua itu balik menanya.
"Apakah kau bukannya Patat Sanjin?" Siauw Houwcu
menanya pula.
"Apa? Kau mencari aku?" tanya pula si orang tua. "Eh, eh,
aku si orang tua tidak kenal kau bocah yang nakal."
Ia menarik bajunya yang gerombongan itu, ia rebah pula.
Siauw Houwcu memanggil pula, mengajak bicara, ia tidak
dilayani. Orang tua itu bahkan terdengar gerosan napasnya!
Bocah itu jadi mendongkol.
"Aku tidak akan bikin kau enak tidur!" katanya sengit. Ia
ulur tangannya, dengan dua jari tangannya itu ia menjepit
hidung orang!
Siauw Houwcu paling gemar bergurau, hidung besar dan
merah dari si orang tua membuatnya gembira. Ia mau

1202
percaya, kalau hidungnya dijepit, orang tua itu bakal tidak
bernapas dan akan mengeluarkan suara kaget.
Sin Cu hampir ter-tawa melihat kenakalan kawannya,
meskipun begitu, hendak ia mencegah.
Tiba-tiba tubuh si orang tua bergerak miring, dengan
begitu gagallah jepitan tangannya Siauw Houwcu.
Bocah ini penasaran, ia menjepitnya pula. Ia muda tetapi
ilmu silatnya sudah cukup sempurna, di dalam dunia kangouw
ada sedikit orang yang dapat menandinginnya, sedang kali ini
ia berlaku sangat sebat, ia percaya ia bakal berhasil. Hanya di
luar dugaannya, di saat jeriji tangannya bakal mengenai
hidung si orang tua, mendadak orang tua itu memiringkan
pula tubuhnya!
Siauw Houwcu menggunai tenaga, karena tidak mengenai
sasarannya, ia terjerunuk, kedua jerijinya mengenai batu,
tubuhnya sendiri hampir ngusruk!
Sin Cu melihat itu, ia terkejut. Belum pernah ia
menyaksikan orang lincah demikian rupa. Tidak ayal lagi ia
pun lompat naik ke atas Tiamciang Tay.
Justeru itu si orang tua menegur: "Bocah nakal, kau kurang
ajar! Kau harus dirangket!"
Tepat Sin Cu berlompat naik, ia melihat satu bayangan
melejit dari sebelah kanan, mendahului si nona, atau di lain
saat, "Plok!" maka kempolan Siauw Houwcu kena dihajar
hingga dia terguling jatuh dari batu besar yang bundar dan
licin itu!

1203
Sin Cu paling menyayangi Siauw Houwcu, maka itu melihat
gerakan orang, yang ia tidak tahu bakal jadi hebat atau tidak,
karena kuatir Siauw Houwcu terluka ,ia lantas menolongi.
Dengan pedangnya ia menikam ke arah orang itu. Tapi
Siauw Houwcu sudah mendahulukan jatuh.
Karena diserang, orang itu menangkis. Nyata ia memegang
sebatang cabang pohon yang ia gunakan dalam caranya ilmu
golok, Sin Cu batal dengan tikamannya itu, bahkan hampir ia
tergores golok cabang kayu itu...
Dengan lekas Sin Cu menyerang pula. Tidak bersangsi lagi,
ia menggunai gerakan dari Siangkiam happek.
Pedangnya itu seperti bergerak dari kiri dan kanan dengan
berbareng.
"Ah!" berseru orang itu, pelahan suaranya. "Tidaklah
kecewa muridnya ahli pedang nomor satu di kolong langit ini!"
Sembari bicara, dia selalu menyingkir dari ujung pedang yang
menyambar-nyambar. Ia lincah sekali menggunai cabang
kayunya itu.
Sekarang Sin Cu dapat melihat tegas roman orang, ialah
seorang muda dengan sepasang alis gompiok dan matanya
besar meski dia tidak setampan Tiat Keng Sim, dia toh cukup
menarik. Ia lantas saja menduga, tidak salah lagi, pemuda ini
mestinya Hok Thian Touw.
Sementara itu si orang tua sudah ber-bangkit untuk
bercokol di atas Tiamciang Tay. Seorang diri ia mengoceh:
"Mengadu pedang di bawah sinar rembulan indah, sungguh
menarik hati! Dengan begitu dapatlah aku menonton ilmu
pedang yang istimewa! Ah, aku si orang tua jadi tidak kepingin
tidur lagi..."

1204
Sebenarnya Sin Cu telah memikir untuk menghentikan
pertempuran itu, tetapi tiba-tiba ia ingat apa-apa. Maka ia
kata di dalam hatinya. "Baiklah aku lihat dulu ilmu silatnya Hok
Thian Touw ini..." Maka ia geraki terus pedangnya, pedang
Cengbeng kiam, menyerang anak muda itu.
Si anak muda melayani terus. Dia pun agaknya
mengandung serupa maksud. Maka di atas batu itu mereka
bertarung. Si anak muda menggunai hanya secabang pohon
tetapi gerak-gerakannya mendatangkan juga suara angin,
suatu tanda yang tenaga dalamnya sudah mahir.
Sin Cu tidak berani berlaku alpa, ia keluarkan
kepandaiannya menurut ajaran gurunya. Karena ia menggunai
pedang dan pedangnya pun pedang mustika, ia seperti
membuat si anak muda terkurung sinar pedangnya itu. Ia
hendak menabas kutung cabang kayu itu, maka ia bekerja
keras sekali.
Si anak muda ada sangat lincah, gerakannya gesit,
tubuhnya licin. Ilmu silatnya pun tidak seperti yang
kebanyakan. Setelah terdesak demikian rupa, ia merubah cara
bersilatnya. Ia membebaskan diri dari kurungan, cabang
kayunya bergerak bagaikan ular perak. Maka di lain saat, di
empat penjuru, di delapan jurusan, yang nampak hanya
bayangannya saja. Sebentar ia bersilat dengan ilmu pedang
Lianhoan Toatbeng kiam dari Butong Pay, sebentar lagi
dengan Thaykek Sipsam kiam, atau itu lantas ditukar dengan
Twiehun Kiamsut dari Khongtong Pay. Masih ada lainnya
macam ilmu pedang, seperti dari Jiuin Kiamsut dari Cengyang
Pay dan Soanhong Kiamsut dari Thianliong Pay.
Menyaksikan ilmu silat orang yang banyak ragamnya itu,
Sin Cu menguasai diri, untuk berlaku tenang dan mantap. Ia
pecahkan setiap serangan, ia tidak kasi dirinya didesak. Di lain

1205
pihak masih sia-sia saja percobaannya akan membikin kutung
pedang cabang pohon dari lawannya itu.
Sedangnya orang bertarung dengan seruh itu, mendadak
Siauw Houwcu mengacau. Dengan dua butir batu ia
menimpuk, kepada si anak muda, kepada si orang tua juga.
Menampak itu, si orang tua tertawa lebar, tangannya
diangkat, jari tangannya dipakai menyentil, maka batu yang
menimpa kepadanya terpental, justeru menghajar batu yang
meluncur kepada si anak muda, hingga dia ini tak usah repotrepot
berkelit atau menangkis bokongan itu. Cuma, sebab ada
datang serangan, baik si anak muda maupun si nona, mereka
sama-sama berkelit, hingga mereka jadi renggang satu dari
lain. Habis itu, baru mereka sama-sama maju pula.
Dengan lantas ujung pedang Sin Cu menyambar ke arah
pundak, di lain pihak ujung cabang pohon si pemuda meluncur
ke lengan si nona!
Itulah saat yang sangat genting, karena dua-duanya bakal
bercelaka.
Justeru itu terdengarlah dua seruan berbareng: "Sudah
cukup! Sudah cukup!"
Berbareng dengan itu, dua-dua Sin Cu dan si anak muda
merasakan tangannya lemas, di luar tahu mereka, senjata
mereka masing-masing kena orang rampas, kapan keduanya
menoleh, mereka dapatkan Thio Tan Hong dan si orang tua
berdiri berendeng, bergandengan tangan, berlompat turun
dari atas Tiamciang Tay!
Di dua-dua tangan kedua orang itu ada tercekal pedang
dan cabang kayu, ialah Thio Tan Hong memegang Cengbeng

1206
kiam muridnya, dan si orang tua memegang cabang kayu si
anak muda.
"Loo cianp wee !" berkata Thio Tan Hong tertawa,
"bukankah kau Patpie Locia Ciu Kok In yang banyak tahun
dulu telah menggetarkan dunia Rimba Persilatan?"
"Maaf, maaf," menyahut si orang tua. "Aku tidak berani
menerima pujian itu! Aku juga tidak mau menyebut-nyebut
segala peristiwa dulu, karena sekarang aku hidup menyendiri
di gunung belukar yang sunyi, maka sekarang aku ialah Patat
Sanjin."
Justeru itu In Tiong dan In Lui pun tiba, maka keduanya
lantas memberi hormat kepada jago tua itu.
Memang, di masa jayanya, orang tua itu ada sama
kenamaannya seperti Hian Kie Itsu. Di waktu muda, seorang
diri pernah ia merobohkan delapan belas orang kosen bangsa
Mongolia. Ia terkenal untuk kegagahannya, kelincahannya. Ia
bergelar Patpie Locia, ialah Locia Bertangan
Delapan. Ia mengangkat saudara dengan Hok Tiong Eng.
Ketika Hok Tiong Eng pergi menyendiri di tapal batas, ia
sembunyi di Patatleng. Maka itu, kaum muda tak ada yang
pernah mendengar namanya.
Tan Hong menjalankan kehormatan kepada orang tua itu.
"Loocianpwee, Tan Hong sangat berterima kasih untuk
bingkisan kuwemu itu!" ia berkata.
Ciu Kok In tertawa terbahak.

1207
"Sebenarnya aku si orang tua tiada biasanya berlaku
sungkan!" ia berkata. "Aku mengantar barang padamu karena
aku mengharap pembalasannya!"
Tan Hong melengak. Setelah memandang si orang tua, ia
berpaling kepada si anak muda. Dia itu justru lagi mengawasi
pedang di tangannya. Karena ia sangat cerdas, ia lantas dapat
menduga.
“Ini tuan..." katanya.
Tapi Patat Sanjin telah memotongnya: "Dia Hok Thian
Touw, anaknya Hok Tiong Eng, adik angkatku yang telah
marhum!"
Benarlah pemuda itu Hok Thian Touw, maka Sin Cu girang
bukan main. Kalau tadi ia masih menerka-nerka, sekarang ia
memperoleh kepastian. Ia kata di dalam hatinya. "Sungguh
sembabat encie Leng dipasangi dengan dia ini." Tapi,
mengingat Leng In Hong dan Yap Seng Lim, kekuatiran
menerkam padanya.
Bukankah mereka itu tengah menghadapi bahaya
peperangan, di saat itu tak ketahuan mati atau hidupnya?
Mereka itu pun berada bersama dan Leng In Hong tidak tahu
Thian Touw masih hidup, sedang Seng Lim tidak sadar bahwa
dia dicintai secara diam-diam.
Memikir itu, hatinya gentar. Maka ia berpikir pula. "Apakah
tindakanku tidak bakal membuat urusan cade? Aku mengalah
tetapi sekarang aku menambah keruwetan..."
Tengah si nona bingung, ia mendengar gurunya tertawa
dan berkata: "Baiklah, hanya aku kuatir pembalasanku terlalu
sedikit hingga tidak cukup aku membalas budi!" Habis itu, ia
lihat gurunya menyerahkan Ceng-beng kiam ke tangan Thian

1208
Touw. Ia menjadi heran sekali. Pikirnya, "Kenapa suhu
serahkan pedang sucouw kepada lain orang?"
Juga Thian Touw heran atas sikapnya Tan Hong, mukanya
menjadi merah, ketika ia hendak mengatakan sesuatu, ia lihat
Tan Hong mengambil cabang pohon dari tangan Ciu Kok In,
lalu sambil bersenyum, Tan Hong berkata: "Sin Cu, kau lihat
dan perhatikan ilmu silat pedang dari Hok Sieheng."
Baru sekarang Thian Touw mengerti, maka itu lantas
terlihat air mukanya yang terang. Tidak selayaknya Tan Hong
menempur ia, tepat adalah kalau tayhiap itu memberi
petunjuk kepadanya. Bersama-sama ayahnya ia telah
mengambil putusan akan meyakinkan ilmu silat pedang
pelbagai partai, untuk membangun satu partai baru, yaitu
Thiansan Pay, dalam hal ini ia menghadapi kesulitan karena ia
tidak memperoleh petunjuknya seorang ahli. Maka sekarang,
kalau Tan Hong hendak mengajari ia, itulah lebih menang
daripada ia dihadiahkan pedang mustika.
Di sebelah Thian Touw, Patat Sanjin pun telah bekerja
keras akan mencari Thio Tan Hong, bahkan setelah ia
mengantar kuwe, ia juga membantui jago itu meloloskan diri
dari kepungan di dalam istana, setelah mana orang dipancing
untuk datang ke Tiamciang Tay ini. Maksudnya yang utama
ialah untuk membantu Hok Thian Touw mencapai anganangannya
itu. Dari itu ia girang sekali mendapatkan Tan Hong
sendiri yang hendak menempur Thian Touw. Katanya dalam
hatinya: "Kalau Thian Touw berhasil menjadi jago pedang di
jamannya ini, pastilah adik angkatku di dunia baka bakal dapat
memeramkan matanya." Lantas ia kata, "Thian Touw, Thio
Tayhiap hendak memberi petunjuk padamu, mengapa kau
tidak lantas menggeraki pedangmu?"
"Maaf!" berkata Thian Touw, yang benar-benar sudah
lantas menyerang Tan Hong.

1209
Serangan itu ada dengan jurus dari Lianhoan Toatbeng
kiam dari Butong Pay, jarak di antara mereka pun dekat, maka
hebatnya itu dapat di mengerti. Sinar pedang mustika juga
berkilau ke empat penjuru, seperti hendak menutup jalan
mundur dari pihak sana.
Selagi Sin Cu memikir, cara bagaimana orang harus
menangkis serangan itu, gurunya sudah mengangkat
tangannya, menggeraki cabang kayunya, hingga terlihatlah
berke-lebatnya satu sinar hijau. Sebab tahu-tahu pedang
Cengbeng kiam di tangan Thian Touw sudah terpental tinggi.
"Bagus!" Siauw Houwcu berseru kegirangan. "Bagus!"
"Apanya yang bagus?" tanya Sin Cu tertawa. "Coba kau
jelaskan."
"Bagus ya bagus, apanya yang mesti dijelaskan lagi?" sahut
si nakal. "Kalau bukannya bagus, kenapa dengan satu kali
menangkis saja pedang dapat terlepas dan terbang?"
"Cis" Sin Cu mengejek. "Cuma sebegini pengetahuanmu!
Apakah kau tidak takut nanti orang mentertawainya hingga
orang copot giginya?"
Hok Thian Touw sendiri menjadi merah mukanya. Ia pergi
memungut pedang itu.
"Jurus ini tidak masuk hitungan!" kata Tan Hong tertawa.
"Mari coba lagi! Mari!"
"Eh, mengapa tidak masuk hitungan?" tanya si nakal,
berani. Ia tak mengerti.

1210
"Sebab tangkisanku ini tidak bagus," sahut Tan Hong.
"Siauw Houwcu, kau tidak mengerti apa-apa, tetapi kau mau
berlagak tahu saja! Ingat, lain kali jangan banyak lagak!"
Bocah itu berdiam.
"Thio Tayhiap," Thian Touw menanya, "bukankah barusan
aku telah terlalu mengeluarkan tanganku?"
Tan Hong mengangguk.
"Siauw How Cu, kau dengar!" ia bilang pada si murid nakal
itu. “Ini barulah perkataannya seorang ahli. Barusan aku
bukan mendapat kemenangan karena mengandal ilmu pedang
belaka, hanya aku menggunai tenaga dalamku membuat
pedang terpental, hanya benar, tikamannya barusan kurang
tepat. Jurus barusan ada jurus 'Guntur dan kilat berbunyi
bersinar berbareng,' serangan itu dapat ditujukan kepada
lawan biasa, tetapi terhadap orang yang tenaga dalamnya
liehay, tidak ada faedahnya. Tenaga kuat saja tidak dapat
melawan kecerdikan."
"Kalau lain orang terlebih liehay daripada kau, suhu, apa
pun kecerdikan masih dapat dipergunakan?" Siauw Houwcu
tanya.
"Sebenarnya tenaga dalam serta kepandaian harus
seimbang," Tan Hong jelaskan. "Kalau ilmu pedang kita sudah
sempurna, dengan itu kita dapat meminjam tenaga lawan
untuk mengalahkan lawan itu. Aturan ini telah disebut dalam
ilmu silat pedang partai mana juga. Aku tahu Hek Pek Moko
pun telah mengajari kau."
"Benar aku telah diajari tetapi aku belum mengerti," si
bocah akui.

1211
Tan Hong tertawa, ia memandang Thian Touw.
"Baiklah, Hok Sieheng , kau boleh mulai lagi," ia berkata.
"Kau gunai jurus yang sama. Kau, Siauw Houwcu, kau lihat!"
Hok Thian Touw menurut, dengan mendadak ia menyerang
dengan jurusnya yang tadi.
Tan Hong membuat gerakan yang sempurna, ia membikin
serangan itu gagal, cuma sekarang pedang tidak dibikin
terpental terbang, sebaliknya, dengan ujung cabangnya ia
mencoba menowel lengan si anak muda.
Thian Touw mundur, terus ia membalas membacok.
Dengan gerakan berkelitnya itu, ia bebas dari towelan.
"Bagus!" Tan Hong memuji. "Kau berbakat!"
Kali ini Thian Touw menyerang dengan menyimpan tenaga
terakhir, maka itu ia bisa berkelit seraya terus membalas
menyerang pula, dengan begitu tidaklah ia sampai kena
didesak.
Pertempuran lantas berlanjut. Tan Hong hendak
menyaksikan lebih jauh kepandaian si anak muda, ia mencoba
terus-terusan, tetapi ia tidak berlaku keras.
Thian Touw bertempur dengan hati-hati tetapi sebat,
sesudah belasan jurus, ia jadi semakin mantap hatinya, maka
bedalah dari saat ia melayani Sin Cu tadi. Ia telah
mengeluarkan kepandaiannya.
Siauw Houwcu berkunang-kunang matanya menyaksikan
pertempuran itu. Ia menjadi kagum dan gembira sekali. Ia
menonton terus sampai mendadak terdengar jeritannya,
sebab saking pusing, ia roboh sendirinya!

1212
Sin Cu tertawa, ia mengasi bangun kawannya itu, kemudian
dengan sapu tangannya, ia menutup mata orang, ia sendiri
menonton terus.
Cabang pohon dari Tan Hong liehay sekali. Cabang itu
seperti mengiringi setiap serangan Thian Touw, gerakannya
tepat dan enteng. Percuma Thian Touw mencoba berkali-kali,
tidak bisa ia membabat cabang itu. Kalau ia terlambat,
sebaliknya cabang itu menikam kepadanya.
Sin Cu melihat gurunya bersilat dengan ilmu pedang yang
pernah diturunkan kepadanya, tetapi
menghadapi Thian Touw, ilmu pedang itu seperti berubah
sendirinya. Tidak lain, itulah disebabkan kegesitan yang luar
biasa.
Pertempuran itu berlangsung sampai seratus jurus, habis
mana, Tan Hong lalu menggunai akalnya. Ia memukul
lowongan untuk Thian Touw menyerang. Tapi Thian Touw
cerdik, ia menyerang ke kiri, menyerang ke kanan, lalu ke
depan. Dengan bergantian ia menggunai jurus-jurus dari
empat partai Butong, Siauwlim, Kunlun dan Khongtong Pay.
Selagi Sin Cu memikirkan, cara bagaimana serangan itu
dapat dihalau, mendadak ia melihat cabang pohon di tangan
gurunya lempang meluncur, mengenai lengannya Thian Touw,
menyusul mana pedang si anak muda terbang seperti tadi.
Itu hanya serangan "Pekhong koanjit" atau "Bianglala putih
menutupi matahari," tetapi walaupun sederhana, dengan Tan
Hong yang menggeraki, sehatnya luar biasa, Thian Touw tidak
dapat menghindarkan diri.
Sin Cu pungut pedangnya itu.

1213
"Bagus! Bagus!" ia memuji.
Siauw Houwcu lekas-lekas membuka sapu tangan yang
menutupi matanya tetapi pertempuran sudah berhenti, hanya
sekarang guru itu, dengan pedang cabangnya, lagi memberi
keterangan pada si anak muda.
"Ah dasar kau!" ia sesalkan Sin Cu. "Kau sih menutup
mataku!"
Si nona tidak menyahut, ia mengganda tertawa.
"Kau telah berhasil menyangkok ilmu pedang dari tiga belas
partai," terdengar Tan Hong berkata kepada Hok Thian Touw,
"kau pun telah dapat menjalankannya dengan baik, maka
sekarang kau tinggal meyakinkan lebih jauh untuk mencapai
kemahirannya. Kau membutuhkan tenaga dalam untuk dapat
membangun satu partai baru. Kalau kau berlatih terus lagi tiga
puluh atau lima puluh tahun, kau bakal jadi ahli pedang tanpa
tandingan. Karena segala apa tergantung sama kau sendiri, di
antara kita tidak ada soal guru dengan murid."
Mendengar begitu, Ciu Kok In kagum sekali.
"Dasar seorang tayhiap." pikirnya.
Kata-kata Tan Hong memang benar. Kalau kemudian Thian
Touw dapat membangun partai sendiri, ia mendapatkan itu
tanpa bantuan guru lagi. Hanya ia memperoleh bukan sedikit
faedah karena kebaikannya Tan Hong ini. Karena ini juga pada
enam puluh tahun kemudian bersama muridnya yang
terpandai, Gak Beng Kie, yang kemudian menjadi Hui Beng
Siansu dari akhir ahala Beng, ia berhasil membangun partai
Thiansan Pay. 7)

1214
Sin Cu tidak sabaran mendengar gurunya terus pasang
omong sama Thian Touw.
"Encie Leng sangat pikirkan dia, sekarang dia asyik bicara
saja tentang ilmu pedang," pikirnya. "Ah, dia keterlaluan..."
Tan Hong bermata celi, walaupun ia tengah bicara,
matanya diarahkan ke segala penjuru, demikian ia menampak
sikap tak tenang dari muridnya yang wanita itu.
"Eh, Sin Cu, kau hendak membilang apa?" ia menanya.
"Hok Toako lagi asyik sekali, mana dapat aku menyelak?"
sang murid menyahut. "Oh, Hok Toako, kau sungguh kuat
hati, kau sangat tenang!"
Thian Touw tercengang, ia heran.
"Kenapakah?" ia bertanya. "Aku kuat dan tenang
bagaimana?"
"Kecuali ilmu pedang, tidak ada apa juga yang dapat
memecah perhatianmu, bukankah?"
Kembali pemuda itu tercengang. Tapi kali ini hanya
sebentar, lantas ia seperti mengingat suatu apa. Segera ia
menanya, "Ya, nona Ie, aku justeru hendak menanyakan
sesuatu padamu. Kau tadi menyebut-nyebut Leng In dan It
Hong, apakah itu artinya?"
"Apakah benar-benar kau tidak mengerti?" Sin Cu
membaliki.
Thian Touw agaknya bingung.

1215
"Leng In It Hong... Leng In It Hong..." ia mengulanginya
beberapa kali. Atau: "Ah! Apakah kau membilang tentang...
tentang..."
Sin Cu pun ber-n bareng sadar.
Nama In Hong sebenarnya Bok Hoa dan nama In Hong itu
dipakai setelah dia menjadi ceceecu, kepala berandal wanita.
Maka ia lantas bersenyum.
"Tidak salah!" sahutnya. "Yang aku sebutkan itu ialah
burung hong yang mencil sendirian, yang kehilangan kawan,
yang terbang dari padang pasir!"
"Ah, heran!" nyeletuk Siauw Houwcu.
"Benarkah di padang pasir ada burung hong?"
Thian Touw kaget sekali.
"Kau kenal Leng Bok Hoa?" ia menanya, menegaskan.
"Dialah adik misanku! Benar kau bicara tentang dia?"
Sin Cu mengangguk.
"Benar! Dia sekarang telah mengubah namanya jadi Leng
In Hong."
"Di mana adanya dia sekarang?" tanya Thian Touw cepat.
"Dia sekarang berada di antara tentara rakyat di Kanglam,"
Sin Cu menerangkan. "Sering sekali encie Leng membicarakan
tentangmu dengan aku. Tahukah kau bahwa ia, dalam impian
dan dalam sadarnya, selalu memikirkan kau?"
Air mukanya Thian Touw menjadi merah.

1216
"Benarkah itu?" ia coba tertawa. "Aku berada bersama
dengannya sampai dia membesari, tidak heran dia memikirkan
aku. Ketika aku terpisah dari ia di padang pasir, dialah satu
nona umur enam belas tahun yang belum tahu apa-apa.
Sekarang dia telah dewasa, bukan?"
Sin Cu tertawa.
"Sekarang ini encie Leng menjadi wanita kosen yang
menggemparkan Kanglam!" katanya, "Apakah kau masih
menyangka dia seorang nona yang tidak tahu apa-apa?
Karena dia tidak berhasil mencari keterangan tentang kau,
setahu berapa banyak air mata dia telah kucurkan? Apa benar
kau tidak kangan dengannya?"
"Ah, aneh!" Siauw Houwcu nyeletuk. "Sudah gagah tapi toh
masih menangis!"
Mendengar itu Sin Cu tak tahan tak tertawa.
"Orang tua lagi bicara, kau tidak boleh campur-campur!"
katanya seraya menarik tangan orang.
Thian Touw girang berbareng berduka. Ia memandang In
Hong sebagai adik, tidak tahu adik itu mengandung maksud
lain terhadapnya.
"Tentu saja aku kangan terhadapnya," ia menyahut.
"Dan kau telah menangis atau tidak?" lagi-lagi Siauw
Houwcu nyeletuk.
Thian Touw tertawa.

1217
"Rupanya, dia menduga aku mati di padang pasir, dia jadi
berduka," bilangnya. "Aku sendiri tahu dia belum mati, dari itu
aku tidak pernah menangisi dia. Ketika itu hari kami
menghadapi bencana di padang pasir, aku sendiri berada di
tengah angin puyu, dia berada di pinggiran, maka aku
percaya, dengan kega-gahannya, dia dapat menolong dirinya
sendiri."
"Kau sendiri, bagaimana kau dapat menolong dirimu?" Sin
Cu tanya.
"Hampir saja aku mati terpendam pasir. Syukur aku
bertemu dua orang, dengan begitu aku ketolongan."
"Apakah kau bertemu sama Toamo Sinlong Hamutu serta
Seesan Iein Yap Goan Ciang?" Sin Cu menegaskan.
Thian Touw terkejut bahkan heran.
"Kau ketahui itu?" tanyanya.
"Ya," sahut si nona, yang terus menuturkan halnya ia
bertemu Hamutu dan Yap Goan Ciang si tabib pandai.
Kemudian ia menceritakan juga hal penipuannya Hek In Tay,
yang mau mendapati kitab ilmu pedang In Hong.
Mendengar semua itu, Thian Touw tertawa.
"Kiranya telah terjadi peristiwa-peristiwa demikian!"
katanya. Ia pun lantas menuturkan pengalamannya.
Memang ketika hari itu Thian Touw diserang badai pasir di
gurun, ia roboh dan keurukan pasir kuning karenanya. Setelah
angin berhenti, hampir ia mati kependam, baiknya Toamo
Sinlong lewat di situ, dia lantas ditolongi. Ketika itu napasnya
sudah empas-empis. Ia sendiri merasa bahwa ia bakal tidak

1218
ketolongan lagi. Tapi ia masih ingat saudara angkat dari
ayahnya, yaitu Ciu Kok In yang tinggal di dekat panggung
Tiamciang Tay di gunung Patatleng.
Dengan paman itu sudah banyak tahun ia tidak pernah
bertemu, ia tidak tahu sang paman masih hidup atau sudah
menutup mata, tapi karena tidak ada orang lain, ia minta
Pertempuran lantas berlanjut, Tan Hong hendak
menyaksikan lebih jauh kepandaian Hok Thian Touw, ia
mencoba terus-terusan, tetapi ia tidak berlaku keras.
Toamo Sinlong menyampaikan kitab ilmu pedangnya
kepada Ciu Kok In. Ketika ia habis mengucapkan pesannya, ia
pingsan.
"Cocok!" berkata Sin Cu tertawa. "Toamo Sinlong menduga
kau sudah mati, maka kemudian bersama-sama Hek In Tay ia
mencoba meyakinkan kitab ilmu pedang itu. Pada kitab itu ada
tulisanmu, dari itu kemudian lagi Hek In Tay meniru tulisanmu
itu, dia menulis surat pada encie In Hong yang dia hendak
tipu."
"Setelah pingsan, aku memang ada bagian mati," Thian
Touw menutur lebih jauh. "Tapi telah terjadi sesuatu yang
kebetulan. Besoknya telah turun hujan besar. Itulah hujan
yang orang bilang dalam seratus tahun tak turun satu kali.
Aku kuyup kehujanan, aku sadar sendiri karenanya. Karena
kena terserang angin, ketimpa panas dan lalu ketimpa hujan,
aku mendapat sakit di dalam tubuh, sering aku kedinginan
atau kepanasan. Dengan susah payah aku berangkat ke
Patatleng mencari Ciu Siepee. Beruntung sekali, aku bertemu
sama Seesan Iein Yap Goan Ciang. Untuk beberapa bulan aku
tinggal menumpang di rumahnya, dan ia telah berhasil
mengobati aku hingga aku sembuh."

1219
Habis Thian Touw menutur, Ie Sin Cu menggantikan
bercerita segala apa mengenai Leng In Hong, mendengar
mana, anak muda ini jadi bergelisah.
"Aku mesti segera berangkat ke sana!" katanya.
"Marilah kita pergi bersama," mengajak Ie Sin Cu.
Maka mereka lantas mengambil putusan akan berangkat
besok.
Di belakang Tiamciang Tay itu, Ciu Kok In membangun
sebuah rumah batu yang terdiri dari tiga kamar, dari itu
malam itu mereka berkumpul di dalam satu rumah. Banyak
yang mereka bicarakan, dan semuanya gembira sekali. Itulah
pertemuan yang membahagiakan mereka.
Ciu Kok In girang, bahwa Thio Tan Hong mau memberi
petunjuk ilmu pedang kepada Hok Thian Touw, ia lantas
membalas budi dengan menyatakan suka mengajari Ie Sin Cu
dan Siauw Houwcu ilmu meringankan tubuh yang istimewa,
yang dinamakan “Ieheng hoaneng," "Memindahkan wujud,
menukar bayangan." Itulah ilmu yang tadi diperlihatkannya,
hingga tubuhnya, yang bagaikan bayangan, sebentar terlihat
dan sebentar lenyap, dan Sin Cu yang telah mahir ilmu
meringankan tubuhnya masih bisa dipermainkan.
Sebenarnya Siauw Houwcu mendongkol karena Thian Touw
telah menghajar kempolannya tetapi setelah si jago tua
mengajarkannya ilmu ini, maka lenyaplah
kemendongkolannya.
Lama mereka berbicara, terutama tentang ilmu silat,
sehingga sampai jam lima baru mereka semua masuk tidur.
Hanya Sin Cu seorang, yang tidak bisa pulas. Hatinya sangat

1220
gelisah. Ia senantiasa memikirkan Seng Lim. Bagaimana
dengan pemuda pujaannya itu? Bagaimana pula dengan Leng
In Hong? Bukankah ia yang berdaya merangkapkan jodoh
mereka berdua? Kini bingunglah ia...
Juga Yap Seng Lim dan Leng In Hong di Tunkee, selalu
memikirkan Nona Ie ini. Sudah lewat beberapa bulan
semenjak mereka melayani tentara negeri. Beberapa kali
mereka menang bertempur, tetapi pengurungan tentara
negeri tidak menjadi berkurang, bahkan tentara negeri itu
bertambah banyak. Mereka menjadi gelisah, karena tidak
adanya bala bantuan. Rangsum sudah habis, hingga kudakuda
mereka pun disembelih setiap hari dan dagingnya
dijadikan makanan mereka beramai. Itulah daya yang tidak
sempurna.
Juga jumlah mereka, dari selaksa jiwa, sudah tinggal empat
ribu serdadu saja.
Pada suatu hari tengah Yap Seng Lim berpikir keras,
seorang serdadunya datang melaporkan bahwa Pit Goan Kiong
datang minta bertemu. Ia menjadi heran sekali, karena
sedikitpun ia tidak menyangka akan memperoleh kunjungan
itu.
"Undang ia masuk!" perintahnya.
Pit Goan Kiong muncul dengan muka penuh debu, hingga
tidak lagi tampak romannya yang Jenaka.
Dengan heran berkatalah Seng Lim dalam hatinya: "Pit
Goan Kiong ini adalah kemenakan Pit Kheng Thian dan ialah
orang yang paling dipercayanya. Kenapa sekarang dia datang
ke mari? Bukankah Pit Kheng Thian telah bentrok dengan
pamanku?"

1221
Segera juga Goan Kiong masuk. Tanpa menanti sampai
orang membuka mulutnya, Seng Lim mendahului bertanya:
"Apa kabar dengan keadaan peperangan di sana? Sekarang
pelbagai pihak membentuk persatuan untuk melawan musuh,
perselisihan di antara saudara sendiri baik dikesampingkan
dulu. Itulah sebabnya kenapa aku hendak mengirimkan utusan
kepada Pit Toaliongtauw untuk mohon petunjuk, hanya
sayang, karena sedang terkurung hebat, aku belum
mendapatkan kesempatannya. Hari ini kau datang ke mari, Pit
Toako, aku girang sekali! Adakah toako membawa surat
toaliongtauw? Kapankah bala bantuan akan tiba di sini?"
Seng Lim bertanya demikian karena ia percaya Goan Kiong
datang sebagai utusan Kheng Thian. Tapi segera juga jadi
melengak. Air mata Pit Goan Kiong segera tampak mengalir,
dan dengan tertawa sedih ia berkata: "Memang aku membawa
surat toaliongtauw, akan tetapi bukan untukmu! Tentaranya
juga sudah berangkat tetapi juga bukannya untuk
membantumu!"
"Eh, kenapa begitu?" tanya In Hong dengan heran. Seng
Lim sendiri tidak dapat bicara. Ia hanya membuka matanya
lebar-lebar.
"Baiklah kamu ketahui," sahut Goan Kiong dengan sedih.
"Pit Toaliongtauw sudah menerima panggilan menakluk
kepada pemerintah! Ketika aku mencuri lewat di Unciu,
bendera di sana sudah ditukar! Kabarnya tentara suka rela di
sana sudah bergabung dengan tentara negeri. Kabar yang
kuterima, ialah bahwa toaliongtauw akan mengepalai
pasukannya kemari untuk menyerang kamu..."
Seng Lim tidak menyangka akan kejadian ini. Saking
kagetnya, terlepaslah cawan teh di tangannya, hingga cawan
itu jatuh hancur.

1222
"Benarkah itu?" tegasnya.
"Kau lihat saja surat ini!" sahut Goan Kiong.
Itulah surat Pit Kheng Thian untuk Yang Cong Hay, isinya
memberitahukan penaklukannya kepada pemerintah, dan
syarat-syaratnya. Dia minta dijanjikan pangkat yang besar.
Surat itu membuat Seng Lim bagaikan gagu.
"Apakah kau telah pergi ke Pakkhia?" tanya Seng Lim.
"Aku baru kembali dari Pakkhia untuk mana siang dan
malam tak pernah aku berhenti di tengah jalan!" sahut yang
ditanya. "Ya, memang aku telah sampai di Pakkhia tetapi di
sana tak pernah aku menginjak gedung Taylwee Congkoan."
Seng Lim merangkul, tubuh orang.
"Saudara Pit, kau sungguh-sungguh laki-laki sejati!"
pujinya. “Inilah yang disebut, angin dahsyat membuat orang
mengenal rumput, kekalutan dunia memperlihatkan hati
orang! Baru hari ini aku mengenalmu dengan benar! Saudara
Pit, terimalah hormatku!"
Dan kepala tentara suka rela ini menjura.
Pit Goan Kiong mencegah.
"Sudah, janganlah membicarakan urusan demikian!"
katanya. "Selama di Pakkhia aku telah bertemu dengan Thio
Tayhiap. Tayhiap minta aku menyampaikan pesannya
kepadamu, supaya kau segera mundur, katanya semakin
banyak kita dapat melindungi orang kita, semakin baik kelak
hasilnya."

1223
"Baiklah, sekarang juga aku akan bekerja," kata Seng Lim.
“n Hong, kau dan saudara Pit, coba bicarakanlah segala
kemungkinan."
Dengan lantas pemuda she Yap ini meninggalkan mereka.
In Hong menghela napas.
"Selama hari-hari yang terakhir saudara Yap sangat
memeras tenaga dan pikiran," ia berkata. "Sayang encie Sin
Cu tidak ada di sini, hingga tidak ada yang membantu
bertanggung jawab."
"Nona Ie di kota raja, aku telah bertemu dengannya," Goan
Kiong memberitahukan. Hati In Hong bercekat.
"Bukankah ia bersama seorang pemuda she Tiat?"
tanyanya.
"Apakah nona maksudkan Tiat Keng Sim?" Goan Kiong
menegaskan. "Aku tidak melihatnya."
Nona Leng bernapas lega.
"Entah kapan beresnya urusan mereka di kota raja,"
katanya. "Aku ingin sekali bertemu dengan encie Sin Cu..."
Kemudian Nona Leng menanyakan urusan perang.
"Ketika aku memasuki wilayah Ciatkang, di sana tentara
sedang bergerak tak putusnya," Goan Kiong menjelaskan.
"Aku lalu mengambil jalan kecil di sepanjang jalan tidak
berani aku ayal-ayalan. Sementara itu kudengar Sunbu Thio
Kie dari Ciatkang memegang sendiri pimpinan atas tentara,
tentang yang lainnya, entahlah."

1224
Tengah mereka berbicara, jauh di luar terdengar tembakan
meriam beberapa kali. "Saudara Pit, mari kita lihat!" In Hong
mengajak. "Apakah kau tidak letih? Aku mau naik ketembok
kota untuk sama-sama melakukan penjagaan."
Baru si nona berbangkit atau Seng Lim muncul. Dia datang
bagaikan terbang.
"Dinding kota telah pecah!" katanya segera.
"Bukankah baru beberapa hari yang lalu diperbaiki
mengapa baru terkena beberapa tembakan saja sudah
pecah?" tanya In Hong.
"Karena yang datang menyerang ialah Pit Keng Thian
sendiri," sahut Seng Lim. "Saudara-saudara kita tidak tahu dia
sudah menakluk pada musuh, dia dibukakan pintu. Beberapa
tembakan itu hanya tembakan untuk memperlihatkan
keangkaran! Sekarang mari kita mundur dari pintu timur!"
In Hong menurut, bersama Goan Kiong, mereka berlalu.
Di dalam kota, di beberapa tempat, tampak api berkobarkobar.
Syukur Seng Lim dapat berlaku tabah dan sebat,
tentaranya telah lantas dipusatkan, kalau tidak, tentu bukan
main akibatnya penyerbuan Kheng Thian itu.
In Hong gusar bukan kepalang hingga ia mengertak gigi.
"Oh, Pit Kheng Thian!" ia berseru. "Adakah kau mempunyai
muka bertemu denganku?"
Pada saat itu datanglah sepasukan tentara dan
pemimpinnya justeru Pit Kheng Thian sendiri.

1225
Kheng Thian tertawa lebar seketika melihatnya.
"Leng Ceecu!" katanya girang. "Siapa mengenal salatan
dialah si orang gagah perkasa! Kenapa kau kesudian
menyertai si bocah Seng Lim mengantarkan jiwa?"
"Benar, Pit Toaliongtauw." berkata si nona. "Kemarilah
kau!"
In Hong menyambar sebatang busur dan lantas saja
memanah toaliongtauw itu.
Kheng Thian melihat serangan itu, ia menangkis dan
menjatuhkan anak panah itu. Oleh karena mereka berdekatan,
In Hong segera maju untuk menyerang dengan pedangnya, ia
menikam tiga kali beruntun.
Pit Kheng Thian gagah, tetapi didesak si nona, hatinya
gentar juga. Maka syukurlah ia segera dibantu sejumlah
pengawalnya, yang senantiasa mendampinginya.
Karena dikepung, pundak In Hong segera sudah kena
tercambuk tetapi ujung pedangnya juga berhasil memapas
kutung ujung baju pengkhianat itu, yang meninggalkan citacitanya,
dan mengkhianati kawan-kawan seperjuangannya.
Yap Seng Lim tengah memimpin pertempuran di gang-gang
kecil ketika ia kehilangan In Hong, ia menjadi kaget sekali,
lekas-lekas ia kembali, maka segera ia melihat si nona tengah
dikurung musuh.
"Yap Toako, lekas kau pergi!" seru In Hong, yang
melihatnya hendak membantu.
Tentu sekali Seng Lim tidak menghiraukan anjuran itu.
Sebaliknya, ia putar goloknya, untuk maju menyerang.

1226
Dengan cepat ia dapat merobohkan beberapa di antara
belasan pengawal Kheng Thian, hingga ia berhadapan dengan
si pengkhianat sendiri.
"Hm, seorang toaliongtauw yang jempolan!" katanya
mengejek. "Kau malu atau tidak?"
Pit Kheng Thian benar-benar tidak kenal malu. Dia justeru
tertawa terbahak-bahak.
"Yap Seng Lim!" serunya, "kematianmu sudah tiba, kau
masih mentertawai aku? Hm!
Kau harus tahu, seorang laki-laki mesti mendirikan jasa
besar, supaya bisa menjadi raja muda! Apakah artinya
toaliongtauw dari delapan belas propinsi?"
Seng Lim mendongkol, ia tidak memper-dulikan perkataan
orang. Kembali ia merobohkan dua orang musuh. Akan tetapi
jumlah musuh demikan besar, setelah bisa menerobos masuk,
sulit untuk ia membuka jalan keluar.
"Siapa bernyali besar mari bertempur mati-matian
denganku!" Seng Lim menantang.
"Kau tolol!" bentak Kheng Thian. "Apakah kau masih
menyangka aku orang dari Jalan Hitam atau Rimba Hijau?
Sekarang ini akulah panglima besar dari pemerintah agung!
Siapa kesudian berpandangan sama denganmu?"
Mengenai kepandaian, Kheng Thian tidak kalah dari Seng
Lim atau In Hong, tetapi sekarang, setelah menjadi panglima
pemerintah, ia sungkan mengadu jiwa secara laki-laki kaum
Rimba Persilatan.

1227
Seng Lim mendongkol bukan main, ia menerjang hebat
sekali. Kheng Thian tidak sudi melayani, ia hanya menuding
dengan tangannya, maka lagi-lagi beberapa pengawalnya
maju, untuk mengepung pemimpin tentara rakyat itu.
Seng Lim mengenali beberapa orang seba-wahan Cong Liu,
maka ia berseru kepada mereka itu: "Bagaimanakah dulu
kamu dididik oleh Yap Tongnia ? Kenapa sekarang kamu
berkhianat? Di belakang hari bagaimana kamu dapat bertemu
muka dengan Yap Tongnia?"
Beberapa pengawal itu tidak mau mundur. Mereka
menghadapi Seng Lim. Meski begitu, ketika mereka
menyerang, serangan itu hanya separuh hati.
Kheng Thian dapat melihat lagak orang-orangnya itu.
"Kamu mundur!" ia membentak mereka. Sebaliknya, ia
menitahkan pengawal-pengawal sendiri maju.
Seng Lim mengalami kesukaran. Sulit baginya untuk
menerobos keluar. Ia pun melihat tentara musuh makin
bertambah. Akhirnya ia berteriak kepada tentaranya: "Kamu
lekas menyingkir! Satu jiwa lolos artinya kita masih punya satu
tenaga!"
Justeru karena berseru, ia menjadi alpa, maka dua bacokan
mengenai pundaknya. Sementara itu terlihat barisan tentara
negeri membuka jalan, dan segera tampak Pit Goan Kiong
mendatangi. Dia bagaikan mandi darah, tindakannya pun
terhuyung.
Kheng Thian heran dan kaget.

1228
"Eh, kenapa kau ada di sini?" tanyanya. "Kau telah tiba di
Pakkhia atau belum? Kenapa, dalam suratnya, Yang Congkoan
tidak menyebut-nyebut kunjunganmu?"
Tidaklah heran, bahwa Kheng Thian tidak tahu tentang
Goan Kiong. Goan Kiong memang berangkat langsung dari
kota raja ke tempat Seng Lim. Tempo surat rahasia dari Kouw
Beng Ciang sampai di kota Unciu, Kheng Thian sudah
meninggalkan kota itu.
Maka tak tahulah toaliongtauw ini, bahwa Goan Kiong telah
berbalik mengkhianatinya.
"Panjang ceritera-nya!" kata Goan Kiong setelah ia datang
dekat. "Ada rahasia yang hendak kusampaikan kepadamu!..."
Hanya sejenak Kheng Thian bersangsi, lalu ia mengulapkan
tangannya.
"Baiklah!" katanya kepada orang-orangnya. "Pergi kamu
membantu bertempur! Seng Lim mesti dapat dibekuk!"
Demikianlah perintahnya kepada pengawal-pengawalnya.
Justeru pasukan pelindung itu berlalu, Goan Kiong
melompat, menyambar lengan orang, tepat ia memegang
nadi, sedang tangan kirinya menghunus pisau belati yang
diancamkan ke tenggorokan pengkhianat itu.
"Lekas lepaskan dua orang itu!" ia memerintah sambil
mengancam.
"Goan Kiong, kau... kau sudah angot?" teriak Kheng Thian.
Goan Kiong terus menyekal dengan keras dan pisaunya
ditempel ke tenggorokan.

1229
"Lekas lepaskan mereka berdua!" ia tetap mengancam.
"Kau toh kemenakanku yang telah kuangkat?" kata Kheng
Thian pula. Ia lantas saja berontak, untuk mengelakan diri.
Goan Kiong tidak per-dulikan paman itu, pisaunya dikasi
bekerja hingga dia menggores kulit orang, mengenakan sedikit
daging...
"Jikalau kau tidak merdekakan dia, mari kita sama binasa!"
dia mengancam pula.
Kheng Thian menjadi takut.
"Lekas membuka jalan!" teriaknya. "Kasi mereka berlalu!"
Setelah bebas dari kepungan, Seng Lim megawasi Goan
Kiong. Ia sangsi.
"Kalau masih ada gunung hijau, jangan takut kekurangan
kayu bakar!" Goan Kiong berteriak. "Thio Tayhiap menitahkan
kamu mengangkat kaki!"
Bukan main terharunya Seng Lim. Seumurnya ia belum
pernah menangis tetapi sekarang ia mengucurkan air mata.
Bersama In Hong ia lantas berlalu.
Goan Kiong mengawasi orang berlalu sampai lenyap di
antara pasukan rakyat, lantas ia menghela napas panjang.
"Paman, aku telah melakukan kewajibanku terhadap leluhur
kami kaum keluarga Pit," katanya, menyesal. "Semoga kau
pun nanti menghargakan nama besar dari Cinsamkay supaya
kalau nanti kamu bertemu di alam baka, kau dapat
bertanggung jawab terhadapnya..."

1230
Mendadak ia menarik pulang pisau belatinya, untuk
ditumblaskan ke dadanya sendiri, maka itu ia roboh tanpa
berjiwa lagi, tubuhnya melintang, darahnya berhamburan!
Kheng Thian berdiri menjublak. Pikirannya kacau. Banyak ia
pikirkan. Sikapnya Goan Kiong itu membuatnya berpikir keras.
Sementara itu semua pahlawannya pun berdiri diam,
menantikan titahnya.
"Bagian mampus!" teriaknya kemudian seraya ia mengertak
gigi. "Lekas kutungin lehernya Pit Goan Kiong ini, pancar
kepalanya! Inilah contoh seorang pengkhianat dan
pendurhaka!"
Kemudian, dengan memberikan titahnya lebih jauh,
tentaranya lantas maju pula, untuk menyerang pula kepada
musuh.
Seng Lim bersama empat ribu sisa serdadunya berkelahi
sambil mundur. Di waktu magrib, ia telah mundur jauh tiga
puluh lie lebih. Tentu saja ia mengalami kerusakan besar
sekali, hingga tentaranya tinggal seribu jiwa lebih kurang.
Di situ ada sebuah bukit dengan rimbanya yang lebat, di
situ tentara rakyat itu dipernahkan. Dengan adanya rimba
sebagai pelindung, tentara negeri tidak berani mendaki bukit
untuk melanjuti penyerangan mereka.
Ketika Pit Kheng Thian menyusul sampai di kaki bukit, ia
menitahkan tentaranya memasang obor, untuk menjaga di
apa yang dinamakan leher gunung, guna memegat jalanan.
"Yap Seng Lim!" Kheng Thian berseru dari atas kuda
tunggangnya. "Kamu adalah bagaikan ikan di bawah jaring,

1231
maka lekas-lekas kamu menyerah! Dengan begitu saja kamu
dapat menyelamatkan jiwa kamu!"
"Seorang laki-laki boleh terbinasa tetapi tidaklah sebagai
kau!" Seng Lim membaliki. "Kau telah meninggalkan saudarasaudara
setengah jalan, kau telah berkhianat! Sungguh kau
tidak tahu malu!"
Dengan lantas pemuda ini mengangkat busurnya, untuk
memanah hingga tiga kali beruntun. Dengan pandai ilmu
Taylek Kimkong Ciu, tarikan panahnya itu dengan tenaga
besar luar biasa.
Kheng Thian gagah dan liehay, ia menangkis dengan
toyanya. Akan tetapi panah yang kedua datang cepat luar
biasa dan anak panah itu mengenai kudanya tanpa ia sempat
menangkis, maka sambil meringkik kuda itu roboh, hingga dia
roboh bersama. Justeru itu menyusul anak panah yang ketiga,
yang mengarah si kepala perang sendiri. Dalam keadaan
sangat mengancam itu, terpaksa Kheng Thian membuang diri
sambil terus bergulingan dengan tipu silatnya "Yan Ceng
Sippat hoan," ialah "Yan Ceng bergulingan delapan belas kali."
Maka itu, anak panah itu menancap di tubuhnya seorang
pahlawan yang berada di belakangnya hingga dia ini tembus
uluh hatinya!
Ketika dia merayap bangun, Kheng Thian menjadi kecil
nyalinya, maka itu ia tidak berani mementang pula mulutnya
lebar-lebar, hanya dia lantas mengundurkan diri, untuk
mengambil putusan besok akan melakukan penyerangan
secara besar-besaran.
Di waktu malam, dengan rembulan guram dan bintang
kelak-kelik suram, kedua pihak tidak berani berlaku
semberono.

1232
Burung-burung di dalam rimba pun terbang kabur hingga
jagat menjadi sunyi-senyap.
Menyaksikan suasana itu, matanya In Hong mengeluarkan
sinar tajam.
"Yap Toakol" katanya. "Justeru sekarang lagi gelap petang,
pergilah kau menyingkir!"
Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala.
"Dapatkah aku menolong jiwaku seorang dengan
meninggalkan semua saudara?" ia menanya. "Bukankah kita
harus hidup atau mati bersama?"
"Tetapi bukankah Thio Tayhiap yang membilangnya, molos
satu orang berarti satu orang ketolongan?" berkata si nona,
mendesak. "Kaulah si kepala perang, jikalau kau dapat lolos,
maka di belakang hari kau masih dapat bangun pula!
Bukankah itu ada terlebih baik daripada berdiam terus di sini
menantikan kematian?"
Seng Lim terus menggoyangi kepala.
"Jikalau adik Sin Cu di Pakkhia mendengar kabar Kheng
Thian telah berkhianat, entah bagaimana dia berkuatir
memikirkan kau!" kata pula si nona.
Pemuda itu berdiam.
"Ah, Yap Toakol" si nona mendesak. "Apakah kau tidak
memikir untuk bertemu pula dengannya?"
"Jikalau aku menyingkir dengan cara begini, mana aku
mempunyai muka untuk bertemu sama dia?" Seng Lim
menanya.

1233
"Bukan begitu, toako !" kata si nona dengan desakannya.
"Kau telah bertahan dengan sekuat tenagamu, kau bukannya
menyingkir karena takut! Kau jangan kuatir, kau serahkan
semua saudara di sini kepadaku, kapan sebentar sudah terang
tanah, aku nanti mencoba melakukan peperangan yang
memutuskan! Mustahil tidak ada jalan hidup untuk kita!"
Seng Lim mengerti si nona mau berkurban untuk
membantu dia, dia jadi sangat bersyukur, maka tanpa likat
lagi dia menjabat tangannya nona itu, dia memegangnya eraterat.
"Encie Leng, terima kasih!" mengucapnya.
"Apakah faedahnya untuk kematiannya satu orang lebih
banyak seperti kau?" berkata pula In Hong. "Pula, jikalau kau
tidak berlalu dari sini, adik Sin Cu bakal menyesal seumur
hidupnya! Benarkah kau tidak memikirkan dia?"
"Aku tahu dia pasti bakal berduka sekali," berkata Seng
Lim. "Hanya, kenapa dia mesti menyesal seumur hidupnya?
Dia toh dari siang-siang telah mempunyai orang yang menjadi
idam-idamannya? Sebenarnya, hatiku justeru lega sekali."
"Apakah katamu, toako?" tanya In Hong, heran. "Siapakah
yang kau maksudkan?"
"Tiat Keng Sim itu bunbu siangcoan, dengan dia ia setimpal
sekali!"
"Ah!" seru si nona. " Toako, mengapa kau masih belum
mengetahui hatinya adik Sin Cu? Aku dengan dia ada bagaikan
saudara kandung, walaupun dia tidak membilang apa-apa
akan tetapi aku tahu hatinya! Di sebelah itu, sudah sering dia
mengentarakannya!"

1234
Tanpa bersangsi lagi, In Hong tuturkan hal ikhwalnya Sin
Cu yang sampaikan dalam mimpinya suka mengigau
menyebut-nyebut nama si pemuda. Ia juga mengerti
maksudnya Sin Cu mengirim dia pergi pada Seng Lim, supaya
mereka berdua merangkap jodoh mereka. Tetapi ia telah
punyakan cita-citanya sendiri, tidak dapat ia mengubahnya itu.
Maka sebaliknya, ingin sekali ia merekoki jodoh Sin Cu dengan
jodoh Seng Lim itu. Dan inilah saatnya yang terakhir!
Mendengar keterangannya In Hong itu, Seng Lim
membungkam. Ia memikirkan hatinya Sin Cu. Mungkin sekali
hati si nona ada padanya hanya nona itu keras hatinya, dia
tidak sembarang menum-plakkan rasa hatinya itu.
Samar-samar Seng Lim mendapatkan alisnya In Hong
berkerut, menandakan si nona berduka. Maka ia memegang
pula keras tangannya nona itu.
"Encie Leng," katanya,"sekarang ini malam gelap, kalau kita
menerobos ramai-ramai, itulah sulit, tetapi kau, yang gagah
dan cerdik, kau dapat meloloskan dirimu! Encie, kau
berangkatlah! Kalau nanti kau ketemu Sin Cu, kau tolong, kau
tolong menyampaikannya supaya dia tidak usah memikirkan
pula padaku..."
"Tidak, toakol" si nona menolak.
"Untukku, tidak ada orang yang aku buat pikiran, maka
baiklah kau sendiri yang pergi!"
"Di sana, aku memang memikirkan dia seorang," Seng Lim
akui. "Akan tetapi di sini, di sini aku memikirkan
keselamatannya jiwa lebih daripada seribu saudara-saudara
kita! Maka, encie Leng, sudahlah, kau jangan omong lebih
banyak lagi, pergilah kau menyingkir!"

1235
Mendengar itu tahulah In Hong bahwa orang telah
berkepu-tusan tetap, maka percumalah andaikata ia
membujuki terus. Ia seorang yang berhati keras belum pernah
ia mengucurkan air mata, akan tetapi sekarang air matanya
itu mengembeng, karena ia terharu sekali untuk kekerasan
hati pemuda ini, yang menyinta negara, menyinta kawan
seperjuangan melebihkan kecintaan kepada kekasihnya!
"Dialah benar laki-laki sejati!" katanya dalam hatinya.
"Tidaklah kecewa yang adik Sin Cu menyintai dia! Ah, apa
kata denganku sendiri?
Bukankah aku pun mempunyai orang yang menjadi idamidamanku?
Cumalah entah ia masih ada di dalam dunia atau
tidak?... Kalau dia masih ada, di manakah adanya dia dan
bagaimanakah keadaannya sekarang?..."
Segera juga berpe-tahlah bayangannya Hok Thian Touw.
"Semoga dia kuat dan keras hati seperti toako Seng Lim
ini," ia ngelamun. "Umpama kata tanpa aku, biarlah ia berhasil
menciptakan suatu partai persilatan baru!..."
Mengingat ini, karena leganya hatinya, ia bersenyum
tanpa merasa.
"Yap Toako," katanya kemudian, "karena kau tidak mau
pergi, aku juga tidak!"
Seng Lim masih berdiam, tangannya tetap masih mencekal
keras. Setelah bergaul bersama sekian lama, ia ketahui
sifatnya nona ini, yang keras hati seperti ia sendiri, yang tidak
pernah menarik pulang putusannya.

1236
Si nona pun membalas mencekal keras, ia juga berdiam
saja.
Peperangan berhenti bukannya berhenti. Benar pasukan
pemerintah tidak berani menerjang naik akan tetapi kadangkadang
mereka masih menghujani anak panah. Maka itu
dalam kesunyian sang malam, di situ terdengar berulangulang
mengaungnya anak-anak panah itu.
Dua-dua Seng Lim dan In Hong berpikir keras, dua-duanya
memikirkan orang yang menjadi idam-idaman mereka...
Tengah mereka ini ngelamun, mendadak hujan anak panah
berhenti sendirinya. Tentu sekali mereka menjadi heran. Maka
keduanya segera memasang mata.
Di depan mereka berkelebat satu bayangan, yang
gerakannya sangat pesat.
"Siapa?" Seng Lim menegur, tangannya merabah goloknya.
"Aku!" sahut bayangan itu, yang berhenti berlari, hingga
di lain saat ia sudah tiba di depan mereka berdua.
Di antara samar-samarnya sinar si Puteri Malam dan
bintang-bintang masih dapat dikenali bayangan itu ialah Keng
Sim yang tampangnya tampan.
"Oh, kau Keng Sim!" seru Seng Lim.
"Benar!" menyahut itu anak muda. "Kecuali aku siapa lagi
yang berani datang kemari di waktu begini!"
Masih tetap menantu Hertog Bhok ini membawa sikapnya
yang jumawa.

1237
In Hong mengawasi, hingga ia melihat tegas orang masih
dandan sebagai seorang agung-agungan, bahkan pada
pakaiannya tidak ada setitik juga darah, hingga dari heran ia
menjadi bercuriga.
"Mau apa kau datang ke mari?" ia menanya, tangannya di
gagang pedang.
"Aku hendak membantu kamu meloloskan diri dari
kepungan!" Keng Sim jawab.
"Kenapa tentara negeri mengijinkan kau melewatkan
mereka?" Seng Lim tanya. "Apakah Pit Kheng Thian bertemu
denganmu?"
Keng Sim tertawa dingin. Ia beradat angku. Ia pun
menduga sikap orang.
"Jikalau kau percaya aku, mari turut padaku!" katanya.
"Jikalau kamu tidak percaya, baik jangan banyak bicara lagi!
Pit Kheng Thian itu makhluk apa hingga dia ada harganya
untuk aku menemuinya?"
In Hong mengawasi dengan tajam. Ia melihat orang
mendongkol berbareng jengah. Wajah pemuda itu beda
daripada biasa.
"Baik, Keng Sim, aku percaya kau!" kata si nona kemudian.
"Hanya hendak aku menanya dulu padamu, sepatah kata saja!
Kenapa kau berani menempu bahaya besar ini untuk
menolongi kami?"
Keng Sim tetap membawa lagaknya yang tinggi. Dia
tertawa dingin.

1238
"Aku tidak mau menerima kebaikan dari kamu!" sahutnya
tawar. "Aku datang kemari melulu untuk Nona Ie!"
Itulah suara dari kepala gedeh yang bernadakan sedih...
Pemuda ini telah dapat hajaran hingga dia menjadi
menyesal dan malu kepada dirinya sendiri. Ketika itu hari di
rumahnya di Hangciu dia telah membuka rahasia tentara
kepada Law Tong Sun, dia malu sekali mendapatkan di hari
kedua Sin Cu berlalu dengan diam-diam sambil meninggalkan
surat dengan apa dia ditegur sudah menjual sahabat dan nona
itu bersumpah tidak mau bertemu pula dengannya. Itulah
kejadian di luar dugaannya, dia menyesal dan malu, dia pun
panasaran. Dia mengatakan Sin Cu tidak tahu hatinya.
Keng Sim menyesal karena sudah membuka rahasia tentara
rakyat. Ia kuatir, kalau tentara rakyat itu gagal, semua orang
bakal mengutuk ia seperti telah diperbuat Sin Cu. Tapi juga ia
berpikir, "Tidak nanti tentara rakyat itu sanggup bertahan
terhadap tentara pemerintah. Aku membocorkan rahasia atau
tidak, bukanlah soal. Tanpa rahasianya terbuka, tidak nanti
mereka menjadi menang. Mereka tetap bakal kalah! Tapi
encie Sin Cu telah menegur aku, tidak dapat tidak, aku mesti
memberikan keterangan, aku mesti menjelaskan hatiku,
biarnya aku terbinasa dan namaku busuk, mesti aku
membersihkan diri, supaya dia ketahui aku sebenarnya
seorang enghiong!"
Maka, karena putusannya ini, hendak ia melakukan
sesuatu, ialah agar Seng Lim lolos dari bahaya!
Keng Sim pintar, dapat ia mengatur ceritera. Begitulah ia
pergi ke kantor sunbu dari Ciatkang. Ketika itu Pit Kheng
Thian sudah menakluk dan pasukan perangnya Thio Kie sudah
menuju ke Tunkee. Thio Kie adalah murid dari Tiat Hong, ayah
dari Keng Sim, dan berhasilnya ia mendapatkan menak-luknya

1239
Kheng Thian pun sebagian disebabkan Keng Sim
membocorkan rahasia tentara rakyat itu, maka itu pemuda ini
dipercaya sunbu itu, bahkan dia girang sekali anak gurunya
datang kepadanya. Thio Sunbu pun sudah memikir, kalau
nanti pemberontak sudah dapat ditindas dan wilayah aman,
hendak dia memujikan pemuda itu kepada pemerintah.
Demikian malam itu, selagi tentara Seng Lim dikurung
tentara negeri, Keng Sim mengajukan permintaan akan pergi
menemui Seng Lim itu, guna membujuki si pemberontak
menyerah dan menakluk. Thio Kie tidak curiga sedikit juga, ia
memberikan persetujuannya, ia bahkan membekali surat yang
ditulisnya sendiri.
Demikianlah dengan gampang Keng Sim dapat naik ke
gunung serta hujan anak panah dihentikan dengan tiba-tiba.
Tentu sekali Seng Lim tidak dapat membade hatinya Keng
Sim itu.
"Jikalau kamu berniat meloloskan diri, jalannya ada dua,"
begitu Keng Sim memberitahu selagi orang berpikir keras.
"Coba kau jelaskan," Seng Lim minta.
"Yang pertama yaitu menuruti teledannya Pit Kheng Thian,
menakluk kepada pemerintah," Keng Sim kasi tahu. "Nanti
sunbu Thio Kie dapat menjanjikan kau pangkat komandan
angkatan perang air. Nah, inilah suratnya sunbu itu dengan
apa dia memanggil kau menyerah."
"Hm!" bersuara Seng Lim dengan gusar. "Kau sangka aku
orang macam apa?"
Keng Sim tertawa berkakak, dengan lantas ia merobek
suratnya Thio Sunbu itu.

1240
"Aku juga tahu kau bukannya seperti Kheng Thian yang
bertulang anjing itu!" katanya. "Kalau tidak, tidak nanti aku
datang ke mari! Hanya, kau toh bukannya seorang tolol!
Kenapa kau hendak membela mati Tunkee sebuah tempat?"
Sepasang alisnya In Hong berkerut.
"Tiat Kongcu, adakah kau datang untuk menghina kami?" ia
menanya. "Ataukah kau benar-benar hendak membantu kita
meloloskan diri dari kepungan ini? Kaulah seorang pandai
yang berbakat panglima perang, setelah kami lolos, nanti kami
angkat kau menjadi toaliongtauw dari delapan belas propinsi!"
Keng Sim tertawa.
"Mana aku mengharapi kedudukan toaliongtauw kamu itu!"
katanya. "Telah aku membilangnya, aku datang ke mari
melulu karena aku memandang Nona Ie!"
Sebenarnya tak puas In Hong menyaksikan lagak luguknya
Keng Sim ini akan tetapi untuk kebaikannya Seng Lim, dapat
ia bersabar.
"Baiklah!" katanya. "Sekarang kami mohon keterangan
tentang tipu dayamu itu."
"Oleh karena kamu tidak sudi menyerah, sekarang tinggal
jalan yang kedua," berkata Keng Sim pula. “Itulah kita
menggunai ketika sang malam untuk menyerang menerobos!"
"Pasukan negeri mengurung berlapis-lapis, taruh kata kita
dapat menoblos turun, kita tetap berada dalam kurungannya!"
Seng Lim bilang.

1241
"Untuk itu aku ada dayanya, tak usah kamu buat kuatir,"
Keng Sim bilang. "Asal kamu suka mendengar titahku, aku
tanggung kamu akan dapat molos!"
"Pantaslah adik Sin Cu tidak menyukainya!" pikir In Hong.
"Dia menempuh bahaya datang kemari untuk menolong kami,
perbuatannya ini dapat membikin orang mengagumi dia, akan
tetapi sikapnya ini menyatakan terang-terang, dia hendak
menonjolkan budinya! Inilah dapat menimbulkan kesan
sebaliknya! Hm, kalau bukan untuk Yap Toako dan seribu lebih
saudara-saudaranya ini, sungguh tak sudi aku menerima
budinya ini!"
Seng Lim sebaliknya bersikap lain. Dengan kedua,
tangannya dengan cara hormat ia menghaturkan bendera
kekuasaannya.
“Inilah lengkiel" katanya. "Segala apa dapat kongcu
mengaturnya!"
Pada romannya pemimpin tentara rakyat itu tidak nampak
roman mendongkol. Menyaksikan itu, Nona Leng menjadi
sangat kagum.
Keng Sim menyambuti lengkie itu.
"Di belakang gunung ini ada sebuah jalanan kecil," katanya,
"dan jalanan itu nembus ke Bugoan. Di sanalah penjagaan
paling lemah dari tentara negeri ini."
"Jalanan kecil itu ada jalanan pegunungan yang sulit sekali,
telah aku melihatnya," menerangkan Seng Lim. "Jalanan
tembusan itu sempit dan penuh dengan duri, sangat sukar
untuk lewat di situ.. Kalau di sana di tempatkan saja beberapa
ratus serdadu, kita sama juga ikan di dalam bubuh!"

1242
Agaknya Keng Sim kurang puas.
“Ilmu perang membilang, di saat berbahaya menggunailah
bahaya itu," katanya. "Ada pula kata-kata yang membilang,
kosong itu berisi, berisi itu kosong. Tentara negeri telah
menduga kamu tidak nanti berani menoblos dari jalanan kecil
itu, maka mereka tidak menempatkan pasukan yang kuat. Di
beberapa tempat lain, yang merupakan jalanan bagus, di sana
telah disembunyikan tukang-tukang panah serta tukangtukang
menggaet, di sana semuanya berbahaya. Nah,
terserahlah kepada kamu, kamu suka menerima baik usulku
ini atau tidak!"
Memang, selama di dalam pasukannya Thio Sunbu, Keng
Sim telah melihat jelas rencana perangnya sunbu itu. Bahwa ia
menyebut-nyebut kitab ilmu perang itu melulu guna
mempertontonkan temberangnya. Dengan cara angkuh itu ia
hendak mencoba menakluki Seng Lim.
Kedua matanya pemimpin tentara rakyat itu bersinar.
Sejenak kemudian, ia memberi hormat seraya berkata:
"Kongcu, pandanganku memang cupat sekali. Memang juga,
siapa bodoh dia banyak kecurigaannya. Aku harap kongcu
tidak menjadi kecil hati."
Seng Lim berpandangan tajam. Ia telah dapat menduga
kenapa Keng Sim dapat masuk ke dalam pasukan tentara
negeri itu Tentulah itu disebabkan pengaruh ayahnya, seorang
bekas giesu, penasihat negara.
Dengan berada di dalam pasukan tentara, tidaklah aneh
kalau dia menjadi mendapat tahu keadaan dalam dari tentara
itu. Di mata sunbu, Keng Sim bukannya seorang rendah,
pantas kalau dia dipercaya habis. Hanya Seng Lim tidak
pernah menyangka yang Keng Sim pernah membocorkan

1243
rahasianya tentara rakyat, salah satu sebab yang membuatnya
dia sangat dipercaya itu.
Melihat Seng Lim suka mengalah, Keng Sim bersenyum.
"Kamu masih mempunyai berapa banyak kuda?" ia tanya.
"Kamu kumpulkanlah itu. Kamu kumpulkan juga semua sisa
tentara, bersiap untuk segera bekerja!"
Menyedihkan adalah tentara rakyat ini. Karena kekurangan
rangsum, mereka terpaksa memakan daging kuda, dari itu,
sisa kudanya tinggal tiga puluh ekor kurang lebih. Karena ini,
Seng Lim lantas menggunai akal. Ia perintahkan tentaranya
mengumpul rumput, untuk membuat anak-anakan, yang
semuanya diikat di punggung kuda. Sudah begitu, setiap ekor
kuda itu dipasangi dadung yang panjang, yang ditambat
kepada pohon. Ketika mereka mau berangkat, ujungnya
dadung itu disulut menyala. Di lain pihak, semua seribu lebih
serdadu rakyat itu dengan cara sembunyi mengambil jalan
kecil yang disebutkan itu.
Benar sekali, jalanan kecil itu, jalanan selat, sangat sukar
dilalui, sudah sempit, banyak pohon durinya pula.
Keng Sim maju di muka. Ia telah menghunus pedang
mustika Ciehong kiam hadiah dari gurunya, dengan itu ia
membabat setiap rintangan. Ia tidak memperdulikan jubahnya
yang panjang tersangkut robek dan jari tangan serta jari
kakinya baret dan mengeluarkan darah.
Menyaksikan kesungguhannya si anak muda, lenyap
separuh dari kemendongkolan-nya In Hong. Ia membulangbalingkan
sepasang pedangnya, guna membantu membuka
jalan.

1244
Keng Sim bekerja terus, ia maju dengan cepat. Senang
hatinya menyaksikan pihak tentara rakyat itu taat kepada
pimpinannya. Maka itu di dalam hatinya ia berkata: "Sayang
Sin Cu tidak ada di sini! Entahlah jasaku ini, mereka bakal
memberitahukannya Sin Cu atau tidak..."
Baru saja tentara rakyat ini keluar dari mulut lembah, di
belakang mereka terdengar hikuk-pikuknya kuda meringkik
dan suara manusia serta tambur perang yang menulikan
kuping, kapan orang menoleh ke belakang, terlihat di sana, di
atas rimba, mengepulnya asap dari api yang berkobar naik.
Dadung penambat kuda telah terbakar putus, kudanya semua
kepanasan dan kesakitan, mereka lari serabutan sambil
meringkik-ringkik. Karena itu, di beberapa puluh tempat
timbullah bahaya api. Kuda cuma tiga puluh lebih tetapi
mereka bagaikan terdiri dari satu pasukan perang besar.
Di dalam malam yang gelap petang itu tetapi yang
diterangkan cahaya api, tentara negeri melihatnya banyak
serdadu berkuda, sebab itu waktu, semua anak-anakan
rumput belum kena terbakar. Mereka itu menduga tentara
rakyat bergerak hendak menerobos kepungan, semua lantas
bersiap sedia.
Thio Kie ada seorang yang mengerti ilmu perang, maka
tahulah ia yang musuh mogok tidak dapat dilawan keras
dengan keras, dari itu ia menitahkan tentaranya berjagajaga.
Barisan panah bersiap dengan panahnya, dan barisan
tukang gaet dengan alat-alat gaetannya. Ia memesan, apabila
sudah tiba saatnya baru pihaknya menghujani, anak panah
dan menggaet. Ia sendiri memasang mata. Saking lama ia
telah menanti, tidak juga ia menampak musuh menyerbu
turun gunung. Ia menjadi heran.

1245
"Mereka menggunai api membakar gunung, kenapa mereka
belum juga menyerbu?" katanya dalam hatinya. "Mungkinkah
mereka berduduk diam saja menantikan terbakar hangus?"
Karena herannya itu, ia masih menantikan ketika.
Tidak lama, api dadung telah memakan dadung hingga di
anak-anakan rumput, maka terbakarlah anak-anakan itu,
karena mana kudanya jadi semakin kalap, semuanya lari tidak
keruan tujuan. Ada kuda yang mati terbakar, ada juga yang
roboh terserimpat hingga dia mati terinjak-injak kawankawannya.
Belasan kuda lainnya nerobos turun gunung.
Sampai itu waktu barulah pihak tentara negeri menduga
kepada kejadian yang sebenarnya tetapi sudah kasap, tidak
saja musuh sudah lolos, juga gunung telah terbakar, tidak
dapat mereka menyerang naik.
Keng Sim menyaksikan api berkobar-kobar, ia bertepuktepuk
tangan, ia tertawa lebar.
Seng Lim pun memuji, katanya: "Di jaman dulu Thian Tan
menggunai kerbau api memukul pecah pasukan perang negeri
Cee tetapi sekarang Tiat Kongcu menggunai kuda api
mengacau musuh, mencegah mereka itu mengubar hingga
kita dapat lolos! Inilah sungguh suatu tipu daya yang bagus!"
Keng Sim puas sekali, saking bangganya, ia tidak mencoba
merendahkan diri. Ia menerima semua pujian itu. Bahkan
dengan melirik, ia memandang ke sekitarnya. Di dalam
hatinya ia kata: "Apakah bisanya Yap Seng Lim? Kenapa Ie Sin
Cu demikian menghargai dia?"
Keng Sim tidak mau memikir bagaimana Seng Lim seorang
diri, dengan tentara mencil, sudah mempertahankan diri di
Tunkee untuk beberapa bulan.

1246
In Hong berpanda-ngan lain. Maka itu, melihat tegas
perbedaan di antara Keng Sim dan Seng Lim itu, lagi-lagi ia
memuji Sin Cu yang matanya tajam.
Ketika terang tanah, tentara rakyat telah melintasi Bugoan.
Selama itu tidak pernah mereka bersomplok sama tentara
negeri.
Di beberapa tempat ada tentara musuh yang menjaga
tetapi mereka itu tidak berani muncul untuk memegat atau
menerjang, sedang tentara rakyat pun tidak suka
mengganggu mereka.
Selewatnya Bugoan orang tiba di jalan datar. Sampai di
sini, Seng Lim mengucurkan air mata. Ia tahu, dalam keadaan
seperti itu, tidak dapat mereka berkumpul terus. Sembarang
waktu tentara negeri dapat menyerang atau mengurung pula
pada mereka. Maka dengan terpaksa ia membubarkan
pasukannya itu, ia menyuruh tentaranya mengambil jalan
masing-masing, supaya mereka dapat menolong jiwa sendiri.
Ia menjanjikan untuk di lain waktu mereka nanti bergerak
pula.
Oleh karena terpaksa, tentara rakyat itu suka
membubarkan diri. Setelah pembubaran, Seng Lim jadi tinggal
bertiga bersama In Hong dan Keng Sim. Mereka lantas
kembali ke daerah pegunungan. Naik di tempat tinggi dan
memandang jauh, pemuda she Yap ini menghela napas.
"Suatu usaha besar dan bagus dikucar-kacirkan Pit Kheng
Thian satu orang!" katanya, sengit dan masgul.
Dengan tertawa dingin, Keng Sim berkata: "Semasa di Tali
pun aku telah mengatakan kamu tidak bakal berhasil! Apakah

1247
salah kataku itu? Sekarang, setelah kita berhasil lolos, aku
hendak mengundurkan diri, aku hendak memohon sesuatu..."
"Bilanglah, Tiat Kongcu," berkata Seng Lim lekas.
"Aku kuatir seumurku aku bakal tidak bertemu pula sama
Ie Sin Cu," berkata pemuda she Tiat itu, "maka itu, kalau nanti
kamu bertemu dengannya, tolong kamu menyampaikan
sepatah dua patah kepadanya..."
Seng Lim tercengang.
"Ah, kiranya dia bekerja untuk Sin Cu melulu..." pikirnya.
Tentu saja ia menjadi tidak enak hati.
In Hong menyelak: "Kalau Sin Cu ketahui perbuatan kau
kali ini, dia tentu girang sekali! Kamu toh sahabat-sahabat
kekal, kenapa kamu tidak bakal bertemu pula satu dengan
lain? Tapi baiklah! Apakah pesan itu? Nanti aku yang
menyampaikannya! Asal itu bukannya yang bukan-bukan,
tentu dia bakal menerimanya!"
"Kau tolong memberitahukan," berkata Keng Sim, "apa
yang dia harap aku melakukannya, biarnya itu yang tak aku
sukai, aku sudah melakukannya. Dan, biar apa juga dia
menganggap tentang diriku, dengan perbuatanku ini, dia tentu
telah mengetahuinya..."
Tidak enak In Hong mendengar kata-kata itu. Pikirnya, "Oh,
kiranya perbuatannya ini ialah perbuatan yang dia tak sudi
melakukannya! Jadi dia melakukannya untuk memenuhi
pengharapannya adik Sin Cu! Orang ini beroman agung tetapi
sebenarnya dialah seorang manusia biasa saja! Apakah
bedanya dia dengan seorang saudagar?"

1248
Meski ia tahu orang bersifat rendah, Nona Leng tidak mau
mengejek. Biar bagaimana, kali ini Keng Sim berjasa. Maka ia
mengangguk dan kata: "Baiklah, akan aku menyampaikan
perkataan kau ini kepada adik Sin Cu. Apakah masih ada lagi
pesan lainnya?"
"Aku hanya mengharap dia dapat hidup selamat dan
beruntung, supaya dia jangan merantau pula dalam dunia
kangouw," Keng Sim menambahkan.
"Bukan saja orang semacam Pit Kheng Thian itu harus
dijauh-kan, juga urusan menentang pemerintah agung baiklah
ia jangan campur pula. Pekerjaan berebut kekuasaan adalah
pekerjaan orang kasar, bukan pekerjaan dia yang bertubuh
halus!"
In Hong merasa sangat tidak puas. Terang sekali
perbedaannya di antara cita-cita mereka kedua pihak.
Seng Lim pun tidak puas, tetapi ia dapat berbicara dengan
sabar.
"Nona Ie itu ada mempunyai pendiriannya sendiri,"
katanya. "Apa yang dia harus lakukan, apa yang tidak, dia
pasti mengerti baik sekali. Tapi pesanmu ini akan aku
menyampaikannya."
In Hong masih hendak bicara pula ketika dari kejauhan ia
menampak mendatanginya belasan penunggang kuda. Ia
batal bicara, ia mengawasi mereka itu.
"Nah, pergilah kamu!" berkata Keng Sim. "Aku tidak dapat
turut kamu. Biarlah lagi sekali aku mengundurkan pasukan
pengejar itu!"

1249
"Kita hidup sama-sama, baik mati maupun susah," berkata
Seng Lim, "maka itu, marilah kita pergi bersama!"
"Apa?" kata Keng Sim, matanya membelalak. "Kau tahu
apa? Mana dapat kau mengajak aku? Aku ada mempunyai
daya untuk mengundurkan musuh! Kau tahu, kalau kau mati,
tidak apa, tetapi bagaimana nanti dengan Sin Cu? Pasti dia
bakal sesalkan aku!"
Seng Lim tidak hendak meladeni, maka ia lantas
menjauhkan diri.
In Hong tahu pasti, Keng Sim ada mempunyai hubungan
sama tentara negeri, karena
"Nah, pergilah kamu!" berkata Keng Sim kepada Seng Lim
dan In Hong. "Aku tidak dapat turut kamu. Biarlah lagi sekali
aku mengundurkan pasukan pengejar itu!" itu, ia pun tidak
mau bertindak apa-apa, ia lantas ikut Seng Lim mengangkat
kaki.
Mereka baru jalan beberapa puluh tindak atau mereka
dengar Keng Sin tertawa nyaring dan lama dan lantas lari ke
arah belasan penunggang kuda itu, yang mestinya ada dari
pihak tentara negeri.
In Hong berdua tidak dapat menerka pikirannya Keng Sim
itu. Pikiran pemuda itu sebenarnya kacau sekali. Dia ingin
melakukan sesuatu, untuk Sin Cu, tetapi di lain pihak, dia
ingat ayahnya, yang masih ada di Hangciu. Dia juga tidak
mempunyai keinginan akan turut Seng Lim buron.
Belasan orang yang mendatangi itu ada rombongan dari
Taylwee Congkoan Yang Cong

1250
Hay dan Gielimkun Tongnia Law Tong Sun. Mereka itu
heran menyaksikan kelakuannya Keng Sim, yang tertawa
nyaring demikian lama.
"Bagaimana dengan sisa tentaranya Yap Seng Lim?" Cong
Hay tanya.
"Mereka semua mati terbakar di atas gunung!" sahut si
anak muda.
"Orang benar tidak bicara dusta," berkata Law Tong Sun.
"Aku mendengar dari Thio Sunbu bahwa kau pergi kepada
mereka untuk memanggil mereka menakluk. Kalau mereka
mampus terbakar, kenapa kau sendiri dapat lolos?"
Keng Sim tertawa pula.
"Bagus!" katanya. "Orang benar tidak bicara dusta! Baiklah
aku beritahu kepada kamu! Mereka itu telah aku lepaskan!"
Yang Cong Hay terkejut hingga matanya mencilak. Ia kaget
bukan main.
"Apakah itu bukannya mereka?" ia tanya nyaring,
tangannya menunjuk.
Seng Lim dan In Hong baru jalan menikung tetapi mereka
susah pergi jauh. Law Tong Sun lantas mengeprak kudanya,
berniat mengejar. Tiat Keng Sim menghunus pedangnya,
dengan itu ia membabat.
Tong Sun kaget, ia berkelit sambil berlompat turun. Maka
naas kudanya, yang kena terbabat hingga kutung kedua kaki
depannya, tentu sekali ia menjadi sangat gusar.

1251
"Tiat Keng Sim!" serunya. "Kau turun-temurun menerima
budi negara, kenapa sekarang kau berkhianat?"
"Siapa bilang aku berkhianat?" Keng Sim tanya.
"Nah kenapa kau melepaskan mereka?"
"Apakah kau tidak tahu pembilangan kitab ilmu perang,
binatang mogok tak dapat dilawan? Kalau mereka diubar
terus-terusan, Seng Lim boleh menjadi nekat! Aku justeru
tidak suka melihat kamu terbinasa sama-sama! Kalau seorang
panglima pandai mengepalai tentara, dia mesti dapat
membuka suatu jalan! Tentaranya Yap Seng Lim sudah bubar,
apakah halangannya aku melepaskan mereka satu atau dua
orang?"
"Ha, siapakah yang bicara denganmu tentang ilmu
perang?" menegur Yang Tong Hay. "
Keng Sim tertawa pula. Ia memang lagi ngoceh untuk
menang tempo, supaya Seng Lim dan In Hong dapat pergi
jauh hingga tak dapat disusul lagi.
"Jikalau kamu tidak hendak bicara dari ilmu perang, habis
kamu hendak bicarakan urusan apa?" ia menanya. Ia tertawa
pula.
Law Tong Sun menjadi sengit sekali, sebelah tangannya
menyambar. Itulah jurus "Kimpa tamjiauw" atau "Macan tutul
emas menyengkeram," suatu jurus dari ilmu silat Taykimna,
untuk mencekuk nadinya si anak muda.
"Seorang budiman membuka mulutnya tidak tangannya!"
berkata Keng Sim sambil berkelit. "Aku akan turut kamu,
maka buat apa kamu turun tangan!"

1252
Lalu ia menyodorkan gagang pedangnya kepada komandan
Gielimkun itu.
Tong Sun heran hingga ia melengak. Ia tidak menyambuti,
karena mana pedang itu jatuh berkontrang ke tanah.
"Satu laki-laki, dia berbuat, dia bertanggung jawab!" kata
pula Keng Sim. "Aku melepaskan mereka itu, maka kau boleh
tangkap aku untuk dibawa menghadap kepada Thio Kie!
Bukankah dengan begitu kamu dapat bertanggung jawab?
Pedang ini pedang dari gudang di istana, kau boleh sekalian
bawa pulang buat di pulangkan ke gudang istana itu! Di dalam
satu hari kau dapat melakukan dua pahala besar, tidakkah itu
mempuaskan kau?"
Habis mengucap, Keng Sim membawa kedua tangannya,
untuk membiarkan kedua tangannya itu ditelikung.
Tong Sun masih melengak, ia heran sekali. Orang ada
puteranya satu bekas menteri, ia tidak berani berlaku kurang
ajar.
"Sudahlah, mari!" kata Cong Hay akhir-nya.
***
Setengah bulan kemudian selesailah sudah pembasmian
kepada kaum pemberontak. Semua sisa tentara rakyat sudah
nelusup pula di antara rakyat jelata, dan Yap Seng Lim
bersama Leng In Hong telah hidup menyendiri di dalam
pegunungan Yangbwee Lim di utara Hangciu, di tempat yang
disebut "Kiukee Sippat kian," ialah "sembilan kali dan delapan
belas solokan gunung."
Kota Hangciu adalah kota di mana Thio Sunbu memusatkan
pasukan perangnya dan Kiukee Sippat kian terpisah dekat dari

1253
kota itu, akan tetapi Seng Lim mengambil tempat itu, inilah
artinya ia berdiam di tempat yang berbahaya, akan tetapi ada
maksudnya kenapa ia memilih tempat itu.
Nyatanya Seng Lim dan In Hong telah mendengar kabar
yang Tiat Keng Sim sudah "dikurung" di kota Hangciu dan
perkaranya itu tinggal menanti saja firman kaisar yang akan
memberikan putusan, entah hukuman apa, karena mana, hati
pemimpin tentara rakyat ini menjadi tidak tentaram.
Sebenarnya ia telah dibujuki oleh kawan-kawannya, untuk,
menyingkir jauh-jauh tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia
telah berketetapan untuk menolongi Keng Sim, yang sudah
melepas budi terhadapnya. Di dalam hal ini ia tidak
memikirkan kejumawaannya putera giesu itu. Mengenai ini In
Hong tidak bisa membilang suatu apa, sebab ia juga
menginsafi budi Keng Sim itu sudah meloloskan seribu lebih
jiwanya sisa tentara rakyat.
Seng Lim tinggal menumpang di rumahnya seorang petani
pemetik daun teh. Kedua anaknya petani itu pernah menjadi
serdadu suka rela maka itu ia percaya mereka itu, bahkan
bantuan si petani yang diharapkan untuk menyerap-nyerapi
kabaran dari kota. Telah didapat keterangan, penjagaankota
kuat sekali dan Keng Sim entah di mana ditahannya. Dua kali
Seng Lim dan In Hong pernah masuk ke dalam kota,
menyatroni penjara dan kantor sunbu, tidak juga mereka
memperoleh endusan, bahkan satu kali mereka kepergok,
hampir mereka kena ditawan atau terluka, syukur liehay ilmu
ringan tubuh mereka, mereka bebas dari hujan anak panah.
Dengan lewatnya sang hari. Seng Lim dan In Hong menjadi
bergelisah, cemas hati mereka, itu artinya, kalau menanti
terlalu lama, firman kaisar bakal keburu sampai dan Keng Sim
pastilah terancam jiwanya.

1254
"Jikalau firman kaisar tiba, cuma dua kemungkinannya,"
kata Seng Lim suatu hari kepada In Hong.
"Pertama ialah dia dapat dihukum mati di kota Hangciu
juga atas tuduhan sudah berkongkol sama kaum
pemberontak. Kemungkinan yang kedua ialah, karena dia ada
puteranya seorang giesu, dia bakal dibawa ke kota raja, entah
hukuman apa bakal dijatuhkan di sana, tetapi sedikitnya dia
bakal di penjarakan sepuluh tahun. Dengan begitu dia
tertolong jiwanya hanya satu kali dia dijebloskan dalam
penjara di kota raja, itu artinya dia sulit ditolong karena
penjara di kota raja sukar dibongkar."
"Dua kali kita telah memasuki kota Hangciu hingga kita
menghadapi bahaya," berkata In Hong, "habis sekarang ada
daya apa lagi?"
"Hanya pada itu ada hal yang membuatnya aku heran,"
berkata Seng Lim. "Katanya penjagaan dilakukan keras sekali,
toh dua kali kita sudah pergi ke sana, tidak pernah kita
dirintangi oleh orang-orang kosen kelas satu. Pit Kheng Thian
pun ada di dalam kota itu. Kenapa dia tidak pernah muncul?"
"Mungkinkah Yang Cong Hay dan Law Tong Sun yang
menjagai Keng Sim?" In Hong tanya.
“Itu pun suatu kemungkinan."
"Apakah kemungkinan yang lainnya?"
"Setelah dua kali kita mengacau kota, tersiar kabar bakal
dilakukan penggeledahan umum hingga ke desa-desa,"
menyatakan Seng Lim. “Itulah kabar belaka, sampai sekarang
buktinya belum ada. Tidakkah, karenanya, sebenarnya Thio
Kie ada mengandung maksud lain? Siasat apakah mereka itu
tengah mengaturnya?"

1255
"Apakah kau menyangka itu ada hubungannya sama Keng
Sim?"
Seng Lim mengangguk.
"Maka itu kalau dugaanku benar, baiklah lagi sekali kita
pergi ke kota," katanya.
"Tetapi kita tak boleh sembrono," si nona memberi ingat,
"Kaulah pemimpin tentara rakyat, tidak dapat kau menempuh
bahaya!"
"Apakah Keng Sim telah tidak menempuh bahaya untuk
menolongi kita?"
In Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak setuju tetapi ia
bungkam. Alasannya pemuda ini kuat.
"Aku mengerti pandanganmu," kata Seng Lim. "Keng Sim
memang bukannya orang kaum kita. Hanya kita tidak boleh
memandang dari sudutnya itu. Kita boleh tidak setuju
dengannya tetapi satu hal sudah terang, dia telah melepas
budi besar terhadap kita, untuk itu dia tidak takuti bahaya
yang mengancam dirinya. Apakah kita mesti menjadi manusiamanusia
yang melupakan budi orang?"
In Hong kena didesak.
"Baiklah!" katanya akhirnya. "Mari kita pergi!"
Selagi mengatakan begitu, Nona Leng berpikir: "Terang
Seng Lim ketahui Keng Sim bertindak melulu untuk Sin Cu, toh
dia mau mengurbankan jiwanya untuk menolongi pemuda itu,
jikalau aku tidak mengiringi dia, maka terlihatlah pandanganku
yang cupat"

1256
"Kita sekarang baik pergi membuat penyelidikan ke
rumahnya Keng Sim," berkata Seng Lim. "Aku tahu di mana
letak rumahnya itu. Aku pun telah mendengar kabar Tiat Hong
sudah mengajukan surat permohonan guna menolongi
puteranya Thio Kie ada muridnya Tiat Hong, dia pasti tidak
berani mempersulit Keng Sim, maka mungkin sekali Keng Sim
ditahan di rumahnya itu. Yang pasti ialah Tiat Hong tentu
ketahui baik di mana adanya puteranya. Kalau si anak di
penjarakan, tentulah Tiat Hong pernah menjenguknya di
tempat tahanan."
In Hong setuju. Pergi ke rumahnya Tiat Hong, ia anggap,
pastilah tak begitu berbahaya seperti menyatroni penjara kota
Hangciu. Maka sore itu ia lantas dandan, menukar pakaian
dengan yahengie, pakaian hitam peranti keluar malam.
Segera juga keduanya meninggalkan pondokan mereka,
untuk menuju ke telaga Seeouw. Di telaga itu rumahnya
Keluarga Tiat menghadapi bukit Kouw San. Pada waktu
tengah malam, telaga dan tepiannya telah menjadi sangat
sunyi. Di telaga itu sudah tidak ada perahu nelayan!
Rumahnya Tiat Hong tertutup rapat dan api pun dipadamkan
semua. Kelihatannya tidak ada penjagaan di rumah itu. Maka
juga Seng Lim merasa aneh.
"Mari kita masuk," ia mengajak In Hong setelah bersangsi
sejenak.
Di dalam, pekarangan tidak terawat, rontokan bunga
berserakan di tanah. Para-para bunga pun ada yang roboh.
Rumput di situ tidak pernah kenal gunting. Maka juga
keadaan ada sunyi sekali, sangat sepi.

1257
Untuk berlaku hati-hati. In Hong yang masuk ke dalam
Seng Lim yang menjaga di luar. Tidak lama si nona ke luar
dengan tangan kosong, dia merasa sangat heran.
"Aneh sekali, di dalam tidak ada seorang juga!" katanya
Nona Leng.
Seng Lim pun heran, hingga ia berpikir keras.
"Apakah mungkin Tiat Hong kabur meninggalkan rumah
tangganya?" ia menduga-duga.
Segera juga Seng Lim membantah dugaannya itu.
Bukankah Tiat Hong hanya seorang pembesar sipil, yang tidak
mengerti ilmu silat? Mana dapat dia lari menyingkir, apa pula
menyingkir seluruh rumah tangga? Juga adalah beralasan
kalau Tiat Hong pun diawasi, tidak perduli Thio Kie masih
memandang mata padanya. Biar bagaimana, puteranya itu
tersangkut perkara besar.
Maka itu, kedua muda mudi menjadi berdiri diam saja.
Percuma mereka mengasah otak mereka, tidak bisa mereka
menerka dengan jitu. Tengah mereka berpikir itu, mendadak
mereka dikejutkan satu suara keras sekali. Ialah suara dari
pintu depan yang digempur men-jeblak, lalu satu orang
nampak nerobos masuk. Mereka terkejut, keduanya lantas
lompat ke atas genting. Mereka menyangka orang pemerintah.
Setibanya di atas, setelah mengawasi, mereka menjadi heran
sekali.
Cuma satu orang yang menyerbu itu dan dialah Tiauw Im
Hweeshio. Pendeta itu mencekal tongkat sucinya, tubuhnya
bermandikan darah. Bahkan beberapa batang anak panah
masih menancap di tubuhnya.

1258
Meskipun ia kaget, Seng Lim dan In Hong pun lompat
turun.
Si pendeta segera mendapat lihat dua orang itu.
"Eh, mengapa kamu ada di sini?" ia menanya, heran.
"Mana dia Tiat Hong si tua bangka?"
Muda-mudi itu mendekati, untuk lebih dulu memberi
hormat.
"Kita pun lagi mencari Tiat Hong," kemudian In Hong
menjawab, "Di sini tidak ada seorang jua. Mungkin orang
sudah buron. Taysu, mengapa kau ada di sini dan kenapa
terluka?"
"Aku lagi mencari Tiat Keng Sim," menyahut pendeta itu
singkat.
"Apakah dia telah dapat diketemukan?" Seng Lim menanya.
"Tidak! Beberapa hari yang lalu aku memperoleh
keterangan dari mulutnya Tiat Hong sendiri bahwa puteranya
ditahan di dalam menara Liok Hap Tah. Aku hendak pergi ke
menara itu tetapi si orang tua menahan, dia mencegah aku
secara mati-matian. Karena itu aku menahan sabar beberapa
hari, hingga hari ini aku mendengar kabar firman raja sudah
tiba. Kalau aku tidak segera menolongi, tentulah Keng Sim
diangkut ke kota raja, paling lambat besok. Karena ini aku
tidak memperdulikan apa juga, aku tidak pergi berdamai pula
sama tua bangka itu. Aku hendak menggempur Liok Hap Tah
dengan tongkatku ini guna menolongi itu bocah. Di dalam
menara itu ada ditahan beberapa orang lain tetapi Keng Sim
tidak berada di sana, maka itu sia-sia belaka aku menghajar
mampus beberapa siewie."

1259
"Susiokcouw, baiklah kau beristirahat dulu!" Seng Lim
minta.
In Hong pun maju untuk mencabuti beberapa batang anak
panah itu, guna membalut luka-lukanya.
"Apakah Yang Cong Hay dan Law Tong Sun ada di Liok Hap
Tah?" si nona menanya.
"Jangan perdulikan lukaku!" tiba-tiba si pendeta berkata,
tangannya dikibaskan. "Paling benar, lekas kamu
menyingkirkan diri!"
In Hong dan Seng Lim heran.
"Kami telah memeriksa, di sini tidak ada tentara
sembunyi," Kata si nona.
"Di luar kota tidak ada tentara sembunyi tetapi di dalam
kota sudah dilakukan pertempuran di jalan-jalan besar dan di
ganggang!" kata pendeta itu.
Seng Lim heran dan kaget.
"Bagaimana itu, Susiokcouw?" ia menanya. "Pasukan dari
manakah itu yang melawan tentara negeri?"
"Tentang itu aku tidak tahu jelas, dan aku juga tidak tahu
jelas, dan aku juga tidak sudi mencari keterangan!" berkata si
pendeta yang tabiatnya keras itu. "Hm, kamu tahu! Karena
aku tidak dapat mencari Keng Sim, hatiku semakin panas!
Semua ini terjadi karena gara-garanya Pit Kheng Thian! Maka
aku segera pergi menyantroni tangsinya itu. Siapa tahu, aku
bersomptokan sama kedua tentara yang lagi bertarung di
dalam gang. Di dalam pertempuran kalut itu, beberapa anak
panah ini menyasar ke tubuhku! Sebaliknya bayangannya Pit

1260
Kheng Thian tidak aku melihatnya! Syukur tongkatku ini cukup
berat, dengan ini aku dapat membuka jalan untuk keluar dari
kota. Tentara negeri itu repot berkelahi, mereka tidak sempat
mengejar aku. Demikian aku tiba di sini..."
Baru sekarang tampaknya si pendeta letih.
"Benar-benar su-siokcouw sembrono..." pikir Seng Lim.
"Lekas pergi, lekas pergi!" kata Tiauw Im berulang-ulang,
tepat sehabisnya semua anak panahnya dapat dicabut In
Hong, yang masih hendak menanyakan sesuatu kepadanya.
"Jangan takut, aku tidak bakal mati karena luka-lukaku ini!
Tapi, kalau tentara negeri sampai di sini, mungkin aku sudah
tidak kuat berkelahi lagi..."
Baru pendeta ini menutup mulutnya, atau dari jurusan kota
terdengar letusan meriam beberapa kali.
Seng Lim lantas saja mempepayang pendeta itu, untuK
diajak menyingkir dari rumahnya Tiat Hong. Atau hampir
berbareng dengan itu tibalah satu pasukan tentara negeri.
Seng Lim masih dapat melihat nyata, ia menjadi heran
sekali, hingga ia menyangsikan matanya.
Orang yang kabur dikejar adalah Pit Kheng Thian, dia
menunggang kuda yang tidak ada pelananya, dia pun tanpa
memakai seragam. Dia dilindungi kira-kira tiga puluh
pahlawannya. Di belakang dia menyusul bagaikan arus satu
pasukan besar dengan kepala perananya ialah Taylwee
Congkoan Yang Cong Hay bersama Gielimkun Tongnia Law
Tong Sun. Pasukan negeri itu berseru-seru.
Bahkan Yang Cong Hay telah menggunakan panah.

1261
"Ser!" demikian sebatang anak panah menyambar, dan Pit
Kheng Thian roboh terguling dari kudanya, sebab binatang
tunggangan itu telah kena terpanah jitu!
Menyaksikan itu semua, Seng Lim lantas dapat menduga
duduknya hal.
Pemerintah memanggil menakluk kepada Pit Kheng Thian
hanya suatu akal belaka, untuk menang tempo. Bukankah Pit
Kheng Thian telah mengajukan syarat supaya dia sedikitnya di
angkat menjadi tokbu atau gubernur militer dari satu propinsi?
Mana dapat permintaan itu diluluskan? Itulah menyinggung
kehormatannya seorang raja. Raja lantas mengetahui sifat
orang, dari itu tidak suka raja membiarkannya saja. Maka di
harian dikeluarkan firman ciauw an, memanggil Kheng Thian
menakluk, berbareng dikeluarkan firman lain, firman rahasia
untuk Sunbu Thio Kie. Sunbu itu diberi perintah, setelah
pemberontakan tertindas, jalan mesti dicari untuk mengurangi
kekuasaannya Kheng Thian, agar akhirnya Kheng Thian
diringkus dan dibawa ke kota raja, untuk diperiksa dan
dijatuhkan hukuman.
Tampaknya Kheng Thian seorang kasar akan tetapi dia
dapat berpikir, matanya tajam. Ia lantas dapat melihat dan
merasakan tindakannya pihak sunbu terhadapnya, dari itu ia
menjadi bercuriga. Begitu ia masuk ke dalam kota Hangciu,
Thio Sunbu lantas mengatur pasukannya itu, yang
dipindahkan ke sana sini. Itulah siasat yang ia kenal baik,
sebab dulu pun ia berbuat demikian terhadap tentaranya Yap
Cong Liu. Sudah begitu, ia seperti menanti angin. Pangkat
atau karunia yang dijanjikan pemerintah tidak juga kunjung
tiba. Kalau dulu ia merasa puas berhasil memecah-mecah
pasukannya Yap Cong Liu, sekarang ia merasa perih yang
tentaranya sendiri digeser sedikit demi sedikit. Maka itu ia jadi
berpikir keras, hatinya merasa tidak enak, hingga di waktu

1262
malam ia menjadi kurang tidur. Ia selalu terbenam dalam
kekuatiran.
Thio Sunbu bukannya seorang tolol. Ia dapat melihat
kegelisahannya Pit Kheng Thian itu. Tentu saja, ia man
bertindak cepat. Itulah tugasnya. Ia pun tidak mau
dipersalahkan pemerintah.
Demikian itu hari, Thio Kie mempersilahkan Pit Kheng Thian
berangkat ke kota raja, alasannya ialah agar Kheng Thian
sendiri yang menghadap kepada kaisar guna melaporkan
berhasilnya penindasannya terhadap kaum pemberontak.
Kheng Thian merasa bahwa ia hendak ditipu, ia menolak
berangkat dengan mengemukakan alasan ia lagi sakit. Itulah
akal belaka. Bahkan ia menolak menemui utusannya Thio
Sunbu.
Thio Sunbu menjadi gusar, ia lantas bertindak. Pasukan
serdadu segera di kirim untuk menyerang Kheng Thian, yang
dituduh membangkang. Begitulah terjadi pertempuran. Di
dalam tempo tidak ada satu jam, tumpaslah kekuatannya
Kheng Thian itu. Tidak saja dia tidak bersedia, juga tenaganya
memang sudah berkurang banyak. Dia gagah tetapi dia
seperti bersendirian saja, dia tidak bisa berbuat banyak, dan
lantas terkurung. Tapi dia dapat membobol kurungan dan
dapat kabur bersama kira-kira tiga puluh pengiringnya, atau
setibanya di tepi telaga Thayouw itu, kudanya kena dipanah
roboh oleh Yang Cong Hay.
Taylwee Congkoan itu segera berseru-seru: "Titahnya
pemerintah agung ialah cuma Pit Kheng Thian seorang yang
berdosa yang hendak ditawan! Yang lain-lainnya tidak bakal
dihukum! Sebaliknya, siapa dapat menangkap Kheng Thian
hidup-hidup, dia bakal dikasi presen uang emas seribu tail dan
pangkat congpeng. Siapa yang dapat membunuhnya, ia juga

1263
bakal dikasi presen uang emas tiga ratus tail serta pangkat
kelas lima!"
Begitu seruan itu terdengar, dua pahlawannya Kheng Thian
lantas berbalik pikiran. Dengan masing-masing tombaknya,
mereka menikam bekas pemimpin mereka itu, si bekas
toaliongtauw dari delapan belas propinsi.
Kheng Thian tengah berlompat bangun ketika serangan itu
dilakukan. Dengan mementang kedua tangannya yang kuat, ia
menangkis kedua tombak itu. Ia lantas pungut toyanya, toya
longgee pang, dengan itu ia menangkis patah dua batang
tombak lain yang ditikamkan kepadanya!
Beberapa pengiring itu kaget meskipun mereka tahu ini
bekas pemimpin memangnya kosen sekali. Kalau kini mereka
berani berontak, itu disebabkan Kheng Thian sudah roboh dan
mereka temaha akan janjinya Cong Hay yang hebat itu. Tapi
mereka sudah kepalang, maka dengan berani mereka kata:
"Dulu juga Yap Tongnia perlalukan baik padamu kenapa
kau berontak terhadapnya?"
Ditegur begitu, Kheng Thian melengak. Hanya sejenak,
lantas bangkit hawa amarahnya. Maka dia lantas menerjang
hebat. Dengan sekali hajar saja, dia telah membikin remuk
batok kepalanya dua pengiringnya. Menampak itu, yang lainlain
menjadi takut dan berteriak untuk kabur mencar.
Kheng Thian tahu bahaya, dia tidak mau berdiam lamalama
di situ, maka dia lantas lari. Dia melintasi jembatan
Seeleng Kie, dan mendaki bukit Kouw San. Tentara negeri
terus mengejarnya, menghujani dia dengan anak panah.
Ketika itu Seng Lim bertiga Tiauw Im dan In Hong juga
sudah tiba di atas bukit, mereka menyaksikan tentara negeri
mendaki bukit itu dari empat penjuru, dengan sikap

1264
mengurung. Tentu saja mereka menjadi berkuatir, apapula
Seng Lim yang melihat Tiauw Im, yang terluka itu, sudah
kurang merdeka larinya. Juga Leng In Hong tak kurang
kuatirnya. Ia ini takut tentara negeri dapat melihat Seng Lim.
Itulah berbahaya sekali.
Bukankah Seng Lim tengah dicari?
"Lekas! Lekas!" berseru nona ini berulang-ulang, sedang
Seng Lim seperti juga menyeret si pendeta. Tiauw Im seorang
yang beradat keras. Mendadak ia meronta.
"Aku dapat berlari!" teriaknya. "Tak usah kau membantu
aku!"
Seng Lim jengah. Ia tidak menyangka orang demikian
kepala besar. Tiauw Im membuktikan kata-katanya. Ia
berlompat berulang-ulang, ia berhasil menjauhkan diri. Maka
di lain saat tibalah mereka di belakang kuil Gak Ong Bio, di
atas bukit.
Malam gelap sekali, mereka maju terus. Jalanan sukar dan
banyak tikungannya juga. Meski begitu, di depan mereka
tertampak samar-samar sebuah batu besar sekali. Mendadak
Tiauw Im berlompat. Apa celaka, kakinya sakit, luka-lukanya
pun pecah, ia lantas saja roboh hingga ia tidak mampu
bangun lagi.
Seng Lim lompat untuk mengasi bangun.
"Pergi kamu menyingkir!" berkata pendeta itu. "Gunung
begini luas, tidak nanti tentara negeri dapat mencari aku!...”
Pemuda itu tertawa.

1265
"Kalau begitu, mereka pun tak nanti dapat mencari aku!"
katanya. Lalu, tanpa banyak bicara lagi, ia pondong tubuhnya
si pendeta, buat dibawa pergi ke belakang batu besar.
In Hong memeriksa luka-lukanya pendeta itu. Belasan luka
itu telah mengucurkan darah hidup. Ia lantas kata: "Tentara
negeri lagi mencari kita, tetapi kalau jumlah mereka kecil,
taruh kata mereka dapat mencari kita, kita tidak takut! Taysu,
mari aku balut dulu lukamu!"
Ketika itu benar-benar terlihat api di sana sini, ialah
obornya tentara negeri yang lagi mencari Pit Kheng Thian.
Seng Lim membantu membalut Tiauw Im. Selagi bekerja, ia
memikirkan Keng Sim. Ia tidak bisa melupakan itu anak muda,
yang telah melepas budi kepada mereka.
"Susiokcouw," tanyanya, "kenapa kau ketahui Keng Sim
terjatuh di tangan tentara negeri?"
"Sebab sekian lama aku berdiam di rumahnya Tiat Hong!"
menyahut si hweeshio tertawa. "Aku tahu halnya Nona Leng
dan Sin Cu mencoba membunuh Kheng Thian!"
"Kita bukannya hendak membunuh dia," In Hong mengasi
keterangan. "Sebenarnya adik Ie mau memaksa Kheng Thian
menyerahkan penghu supaya dia dapat mengatur kiriman
rangsum untuk menolong Yap Toako. Kemudian sesudah itu.
Adik Ie menghendaki aku pergi ke Tunkee. Rupanya dia
sendiri pulang untuk menolong Keng Sim."
"Benar," berkata Tiauw Im. "Habis menolong Keng Sim, dia
bertemu sama aku. Kita bersama-sama pergi ke Pakkhia."

1266
"Tetapi," kata Seng Lim, "menurut katanya Pit Goan Kiong,
dia di kota raja telah bertemu Sin Cu, maka kenapa kau
bersama Keng Sim berada di sini?"
“Itulah anehnya!" kata si pendeta. "Aku tidak tahu
bagaimana sikapnya mereka si anak-anak muda! Aku lihat
Keng Sim senantiasa memperhatikan Sin Cu tetapi Sin Cu
sendiri selalu menjauhkan diri, bahkan dia pergi tanpa pamitan
lagi!"
Seng Lim merasa tidak enak hati.
"Begitulah orang banyak melihatnya," pikirnya. "Orang
banyak menganggap merekalah pasangan yang sangat
setimpal! Keng Sim melepas budi kepadaku, mana dapat aku
me-nyelak di antara mereka berdua?"
Karena berpikir begini, ia menjadi tak tentaram hatinya.
"Sebenarnya, bagaimana terjadinya itu?" In Hong
menanya.
"Kita bertiga berangkat bersama ke kota raja," Tiauw Im
menjelaskan. "Setibanya di Hangciu, Keng Sim memaksa Sin
Cu dan aku singgah di rumahnya untuk berapa hari. Maka kita
berdiam di sana. Aku ada mempunyai seorang sahabat yang
mengepalai kuil Lengin Sie, maka pada suatu hari aku pergi ke
kuil itu menyambangi sahabatku itu. Aku tinggal satu malam di
dalam kuil. Ketika besoknya aku pulang ke rumah Keng Sim,
nyata Sin Cu telah berangkat dengan diam-diam pada
malamnya. Dia pergi dengan meninggalkan sepucuk surat
untuk Keng Sim. Tempo Keng Sim memberitahukan aku
kepergian Sin Cu, dia masih memegangi suratnya nona itu
beberapa lembar. Ah, aku tidak tahu, apa yang Sin Cu tulis,
demikian banyak, suratnya begitu panjang. Nah, terkalah
kamu, bagaimana dengan Keng Sim si bocah?"

1267
"Dia kenapa?" tanya In Hong heran.
"Dia remas surat itu dan menggumpalnya menjadi satu,
habis itu dia masukkan ke dalam mulutnya dan telan!" sahut
Tiauw Im.
In Hong benar-benar heran.
"Apakah artinya itu?" ia tanya pula.
"Aku juga tidak mengerti!" sahut pula Tiauw Im. "Masih
ada lagi lain keanehannya! Habis menelan surat itu dia lantas
menangis seperti anak kecil!"
"Apakah katanya selama dia menangis?" In Hong masih
menanya. Di dalam hatinya ia kata, banyak lagaknya Keng Sim
itu.
"Dia ngoceh tidak keruan," berkata Tiauw Im. "Dia kata dia
malu terhadap Nona Ie, bahwa Nona Ie tidak mengerti
kepadanya! Aku lantas menasihati dia bahwa perselisihan di
antara anak muda lumrah saja, dan aku menjanjikan dia akan
membujuki Nona Ie. Atas itu sampai sekian lama dia berdiam
saja. Kemudian barulah dia memberi hormat padaku, dia
menggunai kehormatan besar..."
In Hong tertawa.
"Kenapa dia berbuat begitu?"
"Dia kata padaku bahwa untuk Nona Ie dia hendak
melakukan suatu usaha besar, supaya Nona Ie puas, cuma dia
kuatir, dengan kepergiannya itu, dia tidak bakal kembali, maka
itu dia minta aku tolong melihat-lihat ayahnya. Aku telah tanya
dia apa yang dia hendak lakukan, dia tidak mau memberikan

1268
keterangan. Sekarang barulah aku tahu, dia pergi ke Tunkee
untuk memberikan bantuannya yang berharga itu untuk
tentara rakyat!"
Mendengar itu, hatinya Seng Lim tidak tergerak, hanya ia
berpikir, "Entah ada salah paham apa di antara dia dan Sin
Cu..." Hanya, karena dia berani berkurban untuk menolong
kami, kenapa aku pun tidak mau berkurban untuknya?"
In Hong berpendapat lain daripada pemuda she Yap ini. Ia
mau percaya, bukan tidak ada sebabnya yang besar, kenapa
Sin Cu meninggalkan surat dan juga meninggalkan Keng Sim
itu. Bahkan urusan itu mestinya penting sekali. Urusan apakah
itu? Ia hanya tidak pernah menyangka itulah sebab Keng Sim
membocorkan rahasia tentara rakyat.
Tiauw Im melanjuti keterangannya: "Baru satu bulan yang
lalu, Keng Sim dibawa pulang ke Hangciu. Kejadian itu
membuat Tiat Hong sangat berkuatir.
Karena aku telah berjanji akan menjaga orang tua itu, tidak
pernah aku berlalu dari Hangciu. Untungnya, Thio Sunbu
mengirim orang untuk mengawasi
Tiat Hong tetapi tidak pernah dia datang mengacau. Pernah
Tiat Hong pergi ke menara Liok Hap Tah menemui puteranya,
ia melakukan itu di luar tahuku. Apa yang aneh ialah
kemudiannya! Ketika aku ketahui kepergian Tiat Hong kepada
puteranya itu aku pun lantas pergi ke menara itu. Di sana aku
mengacau. Aku heran sekali ketika aku tidak mendapatkan
Keng Sim! Hari ini aku pulang, maka heranku menjadi
bertambah! Tiat Hong tidak ada, rumahnya kosong! Entah ke
mana mereka sudah pergi? Sebenarnya, bagaimanakah
duduknya hal?"

1269
In Hong dan Seng Lim menduga-duga. Sia-sia belaka.
Mereka tidak bisa mendapatkan jawabannya yang tepat.
Ketika mereka manjat ke tempat tinggi, untuk melihat
kesekitar-nya, obor tentara negeri masih terlihat bagaikan
berlugat-legot.
Ketika itu In Hong sudah selesai membalut luka terakhir
dari Tiauw Im.
"Susiokcouw, mari kita pergi!" Seng Lim mengajak. "Mari
aku gendong kau!"
Pendeta itu menggeleng kepala.
Justeru itu waktu mereka melihat berke-lebatnya beberapa
bayangan orang ke arah mereka, maka Seng Lim lantas tarik
si pendeta, untuk diajak bersembunyi di belakang sebuah batu
karang besar.
Hanya sedetik itu, mereka mendengar satu jeritan keras,
menyusul mana tertampak seorang, yang punggungnya
tertancap anak panah, yang tubuhnya bermandikan darah,
lompat ke arah mereka, melompati karang itu. Rupanya dia itu
lari untuk mencari tempat sembunyi. Tepat sekali, dia tiba
dihadapan Seng Lim.
"Pit Kheng Thian!" berseru si anak muda, yang segera
mengenali orang. Ia kaget dan heran.
Justeru itu, mendadak sekali, entah dari mana datangnya
tenaga si pendeta, tahu-tahu ia telah mengangkat tongkatnya
dengan apa ia menyerang toaliongtauw itu!
"Tahan!" berseru Seng Lim kaget.

1270
Hebat terdengarnya suara bentrokan! Sebagai kesudahan
dari itu, toyanya Kheng Thian terpatah dua dan tongkatnya
Tiauw Im mental ke udara!
Sebenarnya tenaga Tiauw Im besar luar biasa tetapi itu
waktu ia lagi terluka parah, maka itu Kheng Thian dapat
menangkis, sedang bekas toaliongtauw ini juga sudah
mengerahkan semua tenaganya, hingga kekuatan mereka jadi
berimbang. Hebatnya untuk Tiauw Im, karena ia menggunai
semua tenaganya, habis itu ia jatuh sendirinya.
"Jangan kasih dia lari!" In Hong berteriak. Tapi dia tidak
maju, karena dia percaya Seng Lim seorang dapat melayani
pengkhianat itu. Ia sendiri lebih memerlukan lompat kepada
Tiauw Im.
Pit Kheng Thian berdiri menjublak, tangannya memegang
kutu-ngan toyanya. Melihat Seng Lim, yang diketemukan di
tempat tidak disangka-sangka ini, pelbagai perasaan mengulak
di dalam batok kepalanya. Ia malu, ia gusar, ia jeri, ia pun
mendongkol dan jelus.
Seng Lim telah menghunus goloknya tetapi ia tidak lantas
menyerang, ia hanya mengawasi dengan tajam.
Sekonyong-konyong Kheng Thian berteriak: "Saudara Yap,
tolong aku!"
Teriakan ini dikeluarkan karena di dekat mereka terlihat
berlompatnya satu bayangan, yang bukan lain daripada
bayangannya Yang Cong Hay, yang dapat menyusul bekas
toaliongtauw itu!
Seng Lim berlompat maju, ia menghadang di depannya
Kheng Thian.

1271
Yang Cong Hay segera menyerang, beruntun hingga dua
kali, sinar pedangnya berkeredepan. Sebab pedang yang ia
gunai itu pedang mustika yang ia pinjam dari Law Tong Sun.
Karena itulah pedang mustika dari istana.
Kaget dan girang Cong Hay, ketika di antara sinar
pedangnya itu ia mengenali Seng Lim.
"Ha, kiranya kau!" ia berseru.
Di dalam hatinya, Tay I wee Congkoan ini lantas berpikir:
"Dapat membekuk Yap Seng Lim berarti jasa jauh terlebih
benar daripada dapat menawan Pit Kheng Thian." Maka itu, ia
lantas mengulangi serangannya.
Kalau tadi ia hanya main berkelit, sekarang Seng Lim
menangkis. Tapi tangkisannya ini, yang pertama, membuatnya
kaget sekali. Ketika kedua senjata bentrok, goloknya kena
terbabat kutung ujungnya!
Menggunakan ketika yang baik itu, Pit Kheng Thian lompat
untuk lari. Ia tidak mau berdiam saja di situ, tidak perduli
Seng Lim lagi berkelahi untuknya. Hanya begitu ia melihat
menyambarnya satu bayangan, tangan bayangan itu sudah
lantas menyengkeram pundaknya, hingga ia merasakan
sangat sakit sampai ke ulu hatinya.
Penyerangnya itu, yang muncul tiba-tiba, adalah Gielimkun
Tongnia Law Tong Sun, yang telah tiba di situ bersama-sama
Yang Cong Hay, bahkan komandan pasukan raja ini segera
menggunai ilmu silatnya, Hunkin Cokut Ciu!
“In Hong, tolonglah dia!" Seng Lim teriaki kawannya.
In Hong mendengar itu tetapi ia bersangsi.

1272
“Inilah perintah tentara!" teriak Seng Lim.
Kali ini Nona Leng tidak ragu-ragu lagi, dengan satu
lompatan ia menikam punggungnya Tong Sun. Diserang
secara begitu, Tong Sun hendak membela dirinya, terpaksa ia
melepaskan cekalannya kepada Kheng Thian, atas mana
tubuhnya bekas toaliongtauw itu roboh terguling, orangnya
pun tak sadarkan diri. Tepat dia rebah di sampingnya Tiauw
Tm.
Seng Lim menempur terus pada Cong Hay. Sungguh ia
tidak menyangka yang congkoan ini menggunai pedang
mustika, karena mana hampir saja goloknya gerumpung.
Dengan bersenjatakan pedang mustika itu, Cong Hay lantai
berada di atas angin. Dengan bengis ia mendesak. Ia telah
menggunai ilmu silat "Citce thianlam" atau "Lempang
menuding ke langit selatan." Yang ia arah ialah lengannya
lawan.
Dengan terpaksa Seng Lim main mundur.
"Yap Seng Lim!" berkata congkoan dari istana kaisar itu
sambil tertawa lebar.
"Sekarang ini kau telah buntu jalanmu! Perlu apa kau
melawan aku? Paling benar lekas kau ringkus Pit Kheng Thian,
kau sendiri menyerah kepada Pemerintah agung! Aku
tanggung kau bakal dianugerahkan pangkat congpeng !"
Tawaran itu, yang berupa bujukan, disambut Seng Lim
dengan seruan keras dibarengi bacokan hebat yang disusuli
sambaran tangan kiri. Begitu hebat, hingga si congkoan kaget.
Ia menangkis, ia menikam, toh sambaran anginnya serangan
itu membuat pundaknya terasa sakit. Maka ia jadi sangat
murka.

1273
"Bocah yang baik!" jeritnya. "Kau tidak tahu diri! Kau pun
harus dibasmi sekalian!"
Maka dengan Ciehong kiam, ia menyerang dengan hebat.
Dialah salah satu dari empat jago pedang besar, meski benar,
ialah yang terlemah, ia toh liehay sekali, ia masih ada di
atasan Seng Lim, apapula sekarang ia bergegaman pedang
mustika. Dalam tempo yang pendek, pemuda she Yap itu kena
dia kurung.
Seng Lim juga bukan sembarang orang, ilmu goloknya, dan
ilmu tangan kosongnya, telah mencapai puncak kemahiran,
maka dengan ilmu goloknya, Ngohouw Toanbun too, ia
melakukan perlawanan tidak kurang dahsyatnya. Dengan
tangan kirinya yang kosong saban-saban ia menyerang
dengan ilmu silatnya Taylek Kimkong ciu!
Menghadapi perlawanan Seng Lim itu, Cong Hay tidak
berani berlaku sembrono. Ia bahkan berlaku waspada. Karena
ini, meskipun ia lebih unggul, sampai seratus jurus lebih, ia
masih belum bisa berbuat banyak. Ia melainkan dapat
mengurung.
Di lain pihak Leng In Hong, dengan pedang Cengkong
kiam, melayani Law Tong Sun si ahli Hunkin Cokut Ciu, si
tukang membikin otot patah dan tulang keseleo. Juga mereka
ini seimbang, meski sebenarnya Tong Sun ada terlebih liehay.
Mereka tampaknya bertempur lebih hebat daripada pasangan
Cong Hay dan Seng Lim itu.
Selagi orang bertarung seru itu, rombongan tentara terus
masih mencari, obor mereka tampak makin dekat. Cong Hay
melihat cahaya api itu, mendadak ia bersiul panjang, untuk
memberi isyarat. Maka di lain saat terdengarlah suara sahutan
yang berupa bunyinya terompet tentara.

1274
Telah ada rombongan serdadu yang sudah sampai di muka
Uyliong Tong, guha Naga Kuning dan melewatinya.
"Cong Hay! Apakah kau di atas?" kemudian terdengar satu
suara keras.
"Ya, toasukol" Tiong Hay menyahut sambil berkelahi terus.
"Aku tengah melibat Yap Seng Lim! Lekas kau bantu aku!"
Orang yang menanya itu adalah Poan Thian Lo, murid
kepala dari Cie Hee Toojin. Dialah yang menjadi pemimpin
tentara pengejar itu, sebab sengaja dia diundang dari wilayah
suku bangsa Biauw.
Seng Lim terkejut. Ia mengerti bahaya yang lagi
mengancam mereka. Bukankah Tiauw Im Hweeshio lagi
terluka parah dan Pit Kheng Thian sedang pingsan? Bukankah
ia benar-benar lagi dilibat Cong Hay dan In Hong pun
dirintangi Law Tong Sun? Jangan kata untuk menolong kawan,
ia sendiri juga sulit untuk membebaskan diri dari desakan
musuh!
Yang Cong Hay menjadi mendapat hati, maka itu
serangannya menjadi bertambah hebat. Ia lantas menggunai
siasat, menggertak ke timur menyerang ke barat, atau
menunjuk ke selatan tetapi menggempur ke utara. Dengan
satu jurus "Memutar dan melintasi bintang-bintang," kembali
ia memapas kutung ujung goloknya Seng Lim!
Pemuda she Yap itu menjadi seperti kalap. Percuma ia
bersenjata kalau itu hanya golok buntung, maka sambil
berseru keras, ia menimpuk dengan puntung goloknya itu!
Yang Cong Hay tertawa mengejek.

1275
"Siapa mau adu jiwa denganmu?" katanya. Ia menangkis
dengan pedangnya, membuat golok buntung itu terpental.
Tapi justeru ia menangkis, justeru tibalah serangan tangan
kosong dari lawannya itu!
Berbareng sama serangan dahsyat dari Seng Lim ini maka
terdengarlah suara nyaring bagaikan gunung ambruk, lantas
terlihat beberapa biji batu yang besar jatuh bergeluntungan
dari atas gunung di atas mereka.
Semua serdadu menjadi kaget dan ketakutan, sambil
berteriak atau menjerit ketakutan, mereka lari serabutan
untuk menyingkirkan diri dari bahaya. Mampuslah siapa
ketimpa batu-batu besar itu, yang jatuhnya ke jurang atau
lembah dengan menerbitkan suara lebih hebat lagi. Jatuhnya
batu-batu itu pun tidak serintasan saja hanya saling susul.
Maka teranglah di puncak ada orang yang membantu Seng
Lim.
Cong Hay kaget. Ia menginsafi bahaya. Maka ia tidak lagi
mendesak Seng Lim, ia menggunai ketika akan dongak, untuk
melihat ke atas di mana segera terlihat dua bayangan orang
berlari-lari turun, larinya sangat pesat.
Seng Lim pun menggunai ketikanya ini untuk mengawasi
dua bayangan itu. Atau segera dia berseru dengan
pertanyaannya: "Adik Sin Cu! Benarkah kau di sana?"
Memang benar itulah Ie Sin Cu yang datang! Sangat pesat
dia lari turun, bajunya berkibar-kibar. Dia datang bagaikan
seorang bidadari yang terbang melayang turun. Dalam tempo
yang pendek sekali, dia telah tiba di dekat Seng Lim. Di
belakang dia, ialah itu bayangan yang kedua, ada satu anak
muda yang tubuhnya jangkung.
Seng Lim melengak.

1276
"Siapakah dia?" pikirnya. "Dia begini liehay..."
Sin Cu tidak segera menjawab pemuda she Yap itu, hanya
terlebih dulu dia tertawa lebar, habis mana baru dia mengasi
dengar suaranya yang nyaring tapi halus: "Benar, inilah aku!
Eh, encie Leng! Siapakah ini yang aku ajak datang kemari?"
In Hong menggunai ketika untuk melirik, karena ia pun
lantas mengenali Nona Ie. Kapan ia sudah melihat tegas,
kegirangannya meluap-luap, sampai ia merasa bahwa ia
tengah bermimpi.
Pemuda itu ialah pemuda idam-idamannya, yang
senantiasa ia rindukan.
"Engko Hok!" ia berseru. Hanya satu kali, lantas ia seperti
terkancing tenggorokannya meski sebenarnya ia hendak
memanggil berulang-ulang.
Di saat In Hong kegirangan itu, Law Tong Sun sudah
melakukan penyerangannya yang berbahaya. Ia mendesak
dengan tikaman bertubi-tubi, lalu selagi si nona repot,
mendadak ia mengulur tangannya dengan jurusnya "Wankauw
tekko" atau "Sang kera memetik buah," untuk merampas
pedangnya nona itu!
Tentu sekali, In Hong menjadi kelabakan. Tapi Sin Cu
sudah bersedia, dengan sebat ia menimpuk dengan tiga
kuntum bunga emasnya, mengarah ke mata, ke dada dan ke
dengkul musuh. Tidak tanggung-tanggung ia menggunai
kimhoa bunga emasnya.
Law Tong Sun melihat datangnya senjata rahasia, tidak
ingat lagi ia kepada lawannya yang hendak ia bikin celaka itu,
dengan menjejak tanah, dengan mengenjot tubuhnya ia

1277
berlompat jumpalitan untuk menyingkir dari bunga-bunga
emas yang berbahaya itu. Saking liehaynya, ia bisa berlompat
jauh tiga tombak. Di lain pihak, ia pun telah berhasil
menyambar pedang In Hong, pedang mana ia lantas bikin
patah dengan satu tekukan Hunkin Cokut Ciu, sedang
ujungnya pedang ia lemparkan ke arah lawannya itu hingga In
Hong tidak berani melompat maju untuk mencoba merampas
pulang pedangnya itu.
Tong Sun sudah gesit sekali, tetapi Sin Cu lebih pesat pula.
Habis menimpuk, nona ini berlompat maju, guna menyusul,
maka dengan pedangnya, pedang Cengbeng kiam, dapat ia
menikam komandan Gielimkun itu.
Tong Sun pun sudah bersedia, menangkis dengan putaran
tangannya, untuk merampas juga pedangnya nona ini, maka
itu, keduanya lantas jadi bertempur.
Sambil bertempur, Sin Cu tertawa dan berkata: "Encie
Leng, sudah lama kamu berpisah dan sekarang setelah
bertemu pula, maka kau serahkanlah jahanam ini padaku!"
"Engko Hok!" berkata Nona Leng tanpa menjawab Sin Cu.
Tapi belum sempat ia berkata lebih jauh, sambil bersenyum
Thian Touw sudah kata padanya: "Adik Leng, kau
mengasolah!" Kemudian, menghadapi Seng Lim, ia
meneruskan berkata: "Yap Toako, kau juga beristirahat! Kau
serahkan jahanam ini padaku!"
Kata-kata ini diikuti gerakan tangan dan tubuhnya. Dengan
pedangnya Hok Thian Touw menempel pedang Yang Cong
Hay, maka dengan cepat ia telah menggantikan Seng Lim,
yang terus mundur tanpa sungkan-sungkan.
In Hong berdiri tercengang, ia kecele berbareng girang.
Kecele karena orang tidak melayaninya atau datang

1278
menghampirkan, tetapi ia girang dengan ini pertemuan.
Dengan begini pun berarti mereka mendapat pertolongan.
"Ah, engko Hok-ku ini benar-benar seorang ksatriya!"
pikirnya kemudian "Diumpamakan aku, aku juga tentu akan
menggantikan dulu toako Seng Lim! Urusan pribadi ada
urusan kedua, yang utama ialah urusan negara! Bukankah
musuh dahsyat ada di depan mata? Tapi Yang Cong Hay ialah
salah satu dari empat kiamkek terbesar, dapatkah engko Hok
melawan dia?..."
Karena ini, ia lantas mengawasi engko-nya itu...
Yang Cong Hay bertempur tanpa memperdulikan siapa
musuhnya. Ia berkelahi makin lama makin hebat. Ia insaf
bahwa ia tengah menghadapi lawan tangguh. Ia pun berlaku
cerdik sekali. Ketika ia menggunai tipu silat "Tiangho lokjit,"
atau "Matahari turun di sungai panjang," ia menggunai akal
"kosong ialah berisi, berisi ialah kosong." Sambil mengancam
ia menikam pundak lawannya.
Hok Thian Touw tidak membiarkan dirinya digertak. Ia
tidak menangkis atau berkelit, ia hanya menanti sampai ujung
pedang hampir mampir di pundaknya itu, yang menjadi
sasaran. Mendadak saja ia menggeser tubuhnya ke samping
seraya pedangnya dipakai membabat lengannya lawan. Itulah
tipu silat "Kimpeng tiancie," atau "Garuda emas mementang
sayap."
Yang Cong Hay menjadi sangat kaget. Kalau ia melanjuti
tika-mannya, pastilah lengannya bakal terbabat kutung. Inilah
ia tidak sangka dari lawannya yang muda itu. Dengan gesit ia
menggeser tubuhnya berikut tangannya yang ditarik pulang,
dengan begitu batallah ia menjadi si tangan kutung sebelah!

1279
Habis itu congkoan ini berkelahi dengan waspada. Ia
menggunai pedang mustika tapi ia seperti tidak berdaya,
bukan seperti tadi ia merangsak terus-terusan kepada Yap
Seng Lim. Percuma pedangnya itu, yang sekarang hanya
dipakai untuk melindungi diri.
Hok Thian Touw berkelahi dengan keras tetapi tenang. Ia
mengendalikan pedangnya dengan baik sekali. Tidak tampak
ia kesusu, tetapi serangannya bagaikan gelombang sungai
Tiangkang, saling susul tak hentinya. Beberapa kali Cong Hay
membabat pedangnya lawan itu, saban-saban percobaannya
gagal. Maka itu lama-lama Thian Touw membuat jago istana
itu menjadi kewalahan.
In Hong menonton dengan heran dan kagum, dengan
kegirangan.
"Aku tidak sangka sekarang ini ilmu silat pedang engko Hok
maju begini rupa," katanya dalam hati. "Sekarang aku ingat
akan sumpahnya dulu hari ketika kita masih kecil dan samasama
belajar di gunung Thian San. Engko Hok telah
mengangkat sumpah bahwa ia hendak mewujudkan cita-cita
ayahnya akan membangun suatu partai baru dalam ilmu silat
pedang. Ketika itu secara main-main aku telah menyindir dia
bahwa aku pun nanti membangun suatu partai lain. Barusan ia
telah melihat pedangku kena dibabat musuh, entah dia
mentertawai aku atau tidak..."
Ia memandang ujung pedangnya yang terletak di tanah, ia
menjadi malu sendirinya. Tapi, biar bagaimana, ia toh girang.
Ia memang seorang nona yang beradat tinggi. Ini pun
sebabnya di belakang hari, meski ia sudah menikah sama
Thian Touw dan keduanya sangat saling menyinta, karena
tabiat berlainan, mereka tidak dapat hidup berkumpul dengan
kekal, hingga kejadian, beberapa puluh tahun kemudian, ia
dapat membangun satu partai silat pedang lainnya... 8)

1280
Pertempuran di antara Sin Cu dan Tong Sun juga berjalan
tidak kurang hebatnya, Sin Cu telah memperoleh kemajuan
pesat selama ia mendampingi gurunya, maka itu dengan ia
pun menggunai pedang pusaka dari Hian Kie Itsu, ia membuat
daya Law Tong Sun sia-sia belaka dengan ilmu silatnya Hunkin
Cokut
Ciu yang liehay itu. Komandan Gielimkun ini selanjutnya
cuma bisa membela diri, tidak mampu dia membuat
penyerangan membalas.
Ketika itu obornya tentara negeri terlihat semakin dekat.
Mereka itu mendatangi dari gunung Kouw San. Mereka mulai
mendaki Ciathee Nia. Di lain pihak dari atas puncak Ciathee
Nia masih saja ada batu-batu gunung yang digulingkan ke
bawah. Itulah tanda, kecuali telah datang bala bantuan dalam
dirinya Ie Sin Cu dan Hok Thian Touw, di sana masih ada
kawan-kawannya, bahkan kawan atau kawan-kawan yang
liehay sebagaimana dapat dibuktikan dengan dijatuhkannya
batu-batu besar itu tak hentinya.
"Bukankah Thio Tayhiap pun telah datang bersama?" Seng
Lim menduga-duga.
Seng Lim ini tidak dapat membantu Thian Touw atau In
Hong, ia lebih memerlukan meng-hampirkan Tiauw Im
Hweeshio. Cuma sebentar hweeshio itu pingsan, lantas ia
mendusin.
Juga Pit Kheng Thian sadar dengan cepat, tetapi dia roboh
sebagai kurbannya Law Tong Sun, setelah mendusin dari
pingsannya, sebagai gantinya, ia merasakan sakit sekali pada
tulang-tulangnya dan tenaganya menjadi habis. Ketika ia
membuka kedua matanya, ia kaget tidak terkira. Ia justeru
duduk berhadapan sama Tiauw Im Hweeshio, mata siapa yang

1281
besar dan tajam diarahkan kepadanya. Hampir saja
semangatnya terbang.
"Hm!" Tiauw Im mengasi dengar suaranya yang seram
apabila ia mengenali Kheng Thian. Ia juga mengepal keras
kedua tangannya.
Katanya dengan bengis: “Ini dia yang dibilang, jaring langit
pulih, jarang tetapi tidak bocor! Inilah dia, keadilan Thian!
Akhir-akhirnya kau berada juga di depanku!"
Tanpa bangun lagi, hweeshio ini mengirim tinjunya!
"Tahan, susiokcouw !" berseru Seng Lim mencegah.
Tapi tinju telah di kirim, tidak dapat itu ditarik pulang.
Justeru itu terdengar suara tertawa yang diiringi kata-kata:
Supee, benar-benarlah kau bertabiat jahe, makin tua makin
pedas! Janganlah bergusar karena jahanam ini!"
Itulah Tan Hong, yang tiba dengan mendadak, mulanya
cuma terlihat baju putihnya berkibar-kibar.
Tan Hong sampai di antara mereka dengan dua-dua
tangannya dikasih bekerja. Tangan yang kiri menahan tinjunya
Tiauw Im, tangan yang lain menekan Kheng Thian. Dengan
begitu bekas toaliongtauw itu jadi ketolongan dari hajaran
yang hebat.
"Tan Hong, apakah artinya ini?" menanya itu supee, sang
paman guru.
"Keponakan muridmu hendak berbicara, supee." sahut
Tan Hong bersenyum.

1282
Lantas sepasang matanya yang tajam menyapu Kheng
Thian. Ia tertawa ketika ia berkata: "Aku mendengar kabar
kau hendak meminta peta buminya Pheng Hoosiang dari
tanganku, supaya kau
dapat merampas kera-jaannya si orang she Cu, maka itu
heran sekali mengapa kau jadinya begini tidak mempunyai
semangat? Bagaimana nanti kau dapat bertemu ayahmu di
alam baka?"
Kheng Thian malu bukan kepalang. Kalau bisa, ingin ia
menyelusup masuk ke dalam tanah. Ia malu berbareng
menyesal sekali. Tapi dasarnya bertabiat keras dan kasar,
dengan mengertak gigi, dengan tawar, ia menyahut: "Setelah
segala apa menjadi begini rupa, tak usahlah itu dibicarakan
pula banyak-banyak! Thio Tan Hong, kau bunuhlah aku
dengan pedangmu!"
Tan Hong tertawa melengak. Atau sekejab kemudian, ia
memperlihatkan wajah sungguh-sungguh.
"Jikalau aku hendak membinasakan kau, tidak usahlah aku
menanti sampai hari ini!" katanya tenang. "Biar bagaimana
aku masih ingat baik-baik leluhurmu! Bukankah kamu keluarga
Pit keluarga gagah perkasa turun temurun? Lihatlah buyutmu
Pit Ceng Coan yang telah membangun partai pengemis
Kaypang! Tengoklah kakekmu Pit Leng Hie yang telah
membantu Thio Su Seng mengusir tentara Mongolia! Yang
paling belakang kau ingatlah ayahmu, Cinsamkay Pit Too Hoan
yang namanya menggetarkan dunia orang gagah, yang dipuji
kaum Rimba Persilatan! Coba kau kenangkan leluhurmu itu,
apakah kau tidak merasa malu dan menyesal?"
Mukanya Kheng Thian menjadi pucat dan padam,
mendadak saja ia menangis meng-gerung-gerung, kemudian
ia berlompat bangun, untuk menub-ruki kepalanya ke batu
besar di sampingnya!

1283
Tan Hong menyambar tangan orang, untuk ditarik dengan
perlahan.
"Di masa kau kecil pernah aku merampas kau,
menolongmu dari tangannya tentara negeri," kata tayhiap ini
dengan sabar. 9) "Tapi hari ini kau telah melakukan
kekeliruanmu yang besar sekali. Inilah perbuatanmu, yang kau
mesti tanggung sendiri. Sebenarnya kau tidak seharusnya
hidup lebih lama lagi, akan tetapi aku memikir lain, meski
semestinya kau tidak dapat ditolong lagi, sukalah aku
menolong buat kedua kalinya. Aku memandang kakekmu dan
ayahmu aku menyayangi ilmu silat kamu kaum keluarga Pit,
yang mesti mewariskan kaum Kaypang, tidak pantas
kepandaianmu itu tumpas bersama kau! Kali ini aku menolong
pula kau dari tangan tentara musuh!"
Mendengar perkataannya Tan Hong itu, Tiauw Im menarik
pulang tinjunya. Ia memang menghargai leluhur keluarga Pit
itu, sedang sekarang ia melihat air matanya ini bekas
toaliongtauw yang tersesat. Akan tetapi ia masih sangsi. Maka
ia kata pada Tan Hong, keponakan muridnya itu: "Dapatkah
dia mengubah perbuatannya? Tidakkah di belakang hari dia
berbuat sesat pula?"
"Dia telah mendapat pelajaran, mungkin dia tidak akan
terjeblos pula," menyahut Tan Hong. "Dia pun telah terhajar
Hunkin Cokut Ciu dari Law Tong Sun, semua dua belas urat
nadinya sudah rusak, dengan begitu habislah sudah semua
ilmu silatnya. Selanjutnya ia cuma bisa mengajari orang ilmu
silat dengan petunjuk saja, ia sendiri tidak dapat berkelahi
lagi."
Kheng Thian berdiam saja mendengar perkataan Tan Hong
itu. Itulah benar. Sudah habis semua kepandaiannya itu.
Bahkan sekarang ia masih merasakan sangat sakit akibat

1284
hajarannya Tong Sun. Ia pun mengeluarkan keringat yang
menetesnya bagaikan butir-butir mutiara...
Melihat keadaan orang itu, Tan Hong mengeluarkan obat
pelnya yang berwarna hijau.
“Ini obat Siauwyang Siauwhoan Tan buatan-ku sendiri," ia
berkata seraya memberikan satu butir, "obat ini dapat
menahan sakitmu selama tiga hari, maka itu sekarang pergilah
kau lari turun gunung, kami nanti mencegah tentara negeri itu
mengejarmu! Kau ambil jalan dari belakang gunung!"
"Baik!" sahut Kheng Thian, yang tetap berkepala besar:
"Hari ini aku telah mati dan hidup pula! Pit Kheng Thian yang
kemarin sudah dikubur!"
Ia lantas berlutut dan mengangguk tiga kali kepada Tan
Hong, lantas ia memutar tubuhnya, untuk lari pergi.
Semua mata mengawasi kepergiannya bekas toaliongtauw
itu, mereka terharu.
Hampir berbareng dengan itu terlihat Siauw Houwcu
datang sambil lari berjingkrakan.
"Ada lagi serombongan tentara negeri mendaki gunung!"
katanya nyaring. "Suhu, apakah suhu tidak mau pergi
membantu susiok?"
Dengan "susiok," atau paman guru, Siauw Houwcu
maksudkan In Tiong. Tan Hong pun datang bersama
saudaranya In Lui itu, yang menjadi iparnya. Dan In Tiong ada
orang yang saban-saban menggulingkan batu besar untuk
merintangi tentara itu, untuk itu ia telah menggunakan tenaga
besar dari Taylek Kimkong ciu.

1285
Tan Hong tertawa kepada muridnya itu.
"Kau tunggu saja sebentar!" katanya tenang. "Sucie-mu
dan Hok Toako-mu itu lagi bekerja! Baik kau perhatikan ilmu
pedangnya Hok Toako itu!"
Siauw Houwcu menurut, ia lantas mengawasi orang yang
lagi bertempur itu.
Yang Cong Hay telah menjadi ciut nyalinya begitu lekas ia
tampak munculnya Thio Tan Hong. Karena itu permainan
pedangnya menjadi kacau sendirinya. Sebenarnya ia sudah
lantas memikir untuk mengangkat kaki, maka ia menyesal
sekali yang lawannya, yaitu Hok Thian Touw, sudah mencegah
ia dapat mewujudkan pikirannya itu. Ia telah didesak hingga ia
terus kewalahan. Maka sekarang ia cuma bisa berdaya
menolong jiwanya.
Thian Touw mendesak untuk memegat jalan mundur
lawannya itu.
Tan Hong menonton sambil mengangguk-angguk, katanya
pada Tiauw Im Hweeshio: "Sejak sekarang dan selanjutnya
maka akan muncul suatu partai ilmu silat pedang yang baru!"
“Ilmu pedang encie Sin Cu pun tidak kalah dari ilmunya!"
berkata Siauw Houwcu. Bocah ini tetap tidak puas karena
pertama kali bertemu sama Thian Touw, dia kena
dipermainkan. Ia pun melihat Cengbeng kiam digeraki secara
sangat liehay oleh Sin Cu. Malah mungkin pertempuran Sin Cu
dengan Tong Sun lebih menarik ditonton daripada petarungan
Thian Touw dengan Cong Hay, karena Cong Hay tinggal
membela diri saja.
"Memang juga encie-mu telah maju sangat pesat," kata
Tan Hong kepada muridnya itu. "Mengenai Thian Touw, ilmu

1286
pedangnya itu terdiri dari banyak partai dan sekarang ia telah
dapat mempersatukannya, maka di belakang hari, aku
mungkin tidak dapat dibandingkan dengannya...
In Hong sementara itu mengawasi terus pertempuran
kekasihnya, bahkan ia segera melihat Cong Hay berkelahi
dengan beringas sekali, beruntun dia sudah menggunai dua
jurus yang liehay, yaitu "Ombak kemarahan menggulung
mega" dan "Pasir kuning menutupi matahari."
Tan Hong melihat orang berlaku nekat itu, ia tertawa.
"Yang Cong Hay hendak mengadu jiwanya, perbuatannya
itu mempercepat kekalahannya!" katanya.
Hampir berbareng dengan kata-kata itu, tampak tubuhnya
Hok Thian Touw terhuyung, kakinya menindak ke tengah, ke
arah yang dinamakan pintu hongbun," setelah mana
sekonyong- konyong dia berseru sangat nyaring: "Lepas
pedangmu!" Dan teriakan itu diiringi sama bentrokan yang
keras dari barang logam, lalu Ciehong kiam, pedang mustika
dari istana kaisar, yang dicekal Yang Cong Hay, mental seperti
terbang. Belum lagi pedang itu jatuh ke tanah, tubuhnya
Thian Touw sudah mencelat seperti terbang melayang, untuk
menangkap itu, hingga pedang itu menjadi berganti tangan!
Yang Cong Hay tidak menghiraukan pedangnya itu, justeru
pedangnya mental dan lawannya berlompat akan menyambar
itu, ia sendiri pun lompat jumpalitan dengan tipu silatnya
"Burung kapinis membalik badan," dia lompat ke bawah
gunung, habis mana dia lari ngiprit tanpa memperdulikan lagi
Law Tong Sun!
Thio Tan Hong tertawa berkakak.

1287
"Pedang mustika telah bertukar tangan!" katanya nyaring.
"Maka itu empat kiamkek terbesar di kolong langit ini juga
telah bertukar orang baru!"
Sin Cu mendapat tahu kemenangannya Thian Touw itu, ia
menjadi tidak enak hati. Bukankah ia terus mesti berkutat
sama Law Tong Sun? Karena itu, ia lantas mengubah cara
bersilatnya, hingga ia membuat tubuhnya seperti terkurung
cahaya hijau dari pedangnya itu.
Melihat demikian, Tong Sun menjadi bingung. Bagaimana ia
bisa melayani terus? Tapi dasar ia menang tenaga dalam, ia
masih dapat bertahan, saban-saban ia bisa menyam-pok
mental pedang lawannya itu, sedang di mana ia bisa, ia
membalas menyerang. Ingin ia membikin si nona
tercengkeram nadinya atau tulangnya terpatahkan.
Siauw Houwcu menonton sampai habis sabarnya.
"Suciel" ia memanggil. "Kau dijuluki Sanhoa Liehiap, kenapa
kau tidak hendak menggunai kimhoa?"
Bocah ini memperingatkan orang kepada julukannya, "Nona
gagah penyebar bunga," supaya dia menggunai kimhoa,
bunga emasnya itu.
Belum lagi berhenti suara anak ini atau tangannya Sin Cu
telah terayun, disusul berkilaunya sinar kuning emas. Sebab
tiga kuntum bunga emasnya segera ditimpukkan!
Law Tong Sun melihat datangnya timpukan senjata rahasia,
dia memperlihatkan kelincahan tubuhnya. Kimhoa yang
pertama lewat di samping dadanya, yang kedua kena ia
sampok, sedang yang ketiga ia kasi lewat dengan satu
lompatan sambil mengenjot tubuh.

1288
"Bagus!" berseru Sin Cu tertawa dingin. "Aku mau lihat kau
dapat berkelit berapa lama..."
Lantas ia menimpuk pula, saling susul, karena sekarang ia
hendak menggunai tiga puluh enam kuntum bunga emasnya
itu, menyerang ke pelbagai jurusan, tidak ada ketentuannya.
Bahkan ada bunga yang membentur satu dengan lain hingga
menerbitkan suara nyaring. Meski penyerangan itu demikian
rupa, setiap bunga emas tadi mencari jalan darahnya si lawan.
Menyaksikan itu, diam-diam Tan Hong memuji muridnya
itu. Sebab ilmu menimpuk kimhoa dari Sin Cu bukan lagi ilmu
melulu pelajarannya In Lui hanya itu sudah kecampuran dan
dibikin menjadi lebih sempurna dengan pelajarannya si orang
luar biasa dari See Hek, wilayah Barat Hingga ia sebenarnya
dapat melebihkan gurunya...
Law Tong Sun telah mengeluarkan semua tenaganya, ia
telah mempergunakan kelincahannya, tetapi tidak lama,
terdengarlah jeritannya yang hebat. Biar gesit bagaimana
juga, dia tidak bisa membebaskan diri dari hujan kimhoa itu.
Maka segera juga dia kena terhajar dada dan punggungnya,
lutut dan mata kakinya. Itulah yang menyebabkan dia
memperdengarkan jeritannya itu.
"Anak Cu, cukup sudah!" Tan Hong menyerukan.
Sin Cu berhenti dengan lantas dengan penyerangannya itu,
ketika ia memandang Tong Sun, ia mendapatkan komandan
Gielimkun itu telah mandi darah, sebab semua bunganya,
kecuali dapat menotok jalan darah, lembarannya pun tajam
dan bisa melukai kulit dan daging.
"Dengan memandang kepada gurumu, aku suka memberi
ampun padamu!" berkata Tan Hong ke pada komandan itu.
"Apakah kau masih tidak mau mengangkat kaki?"

1289
Tanpa membilang suatu apa, Tong Sun ngeloyor pergi
dengan tindakan dingkluk-dingkluk. Dia telah rusak tulang
piepee-nya, terluka dengkulnya dan putus urat nadinya, maka
seperti Pit Kheng Thian, dia telah musnah semua kepandaian
silatnya. 10)
Ketika itu pasukan serdadu sudah mendatangi dekat,
pemimpinnya ialah Poan Thian Lo. Kakak seperguruan dari
Yang Cong Hay ini membulang-balingkan cambuknya yang
bergigi, untuk memimpin barisannya menyerbu. Ia sendiri
maju di muka.
"Dialah seorang kasar!" berkata Tan Hong. "Siauw Houwcu,
pergi kau gaplok dia pulang pergi, habis itu kau suruh dia lari
kabur!"
Poan Thian Lo dapat mendengar suaranya Tan Hong itu,
yang ia kenali baik sekali, lantas saja nyalinya ciut, tetapi
ketika Siauw Houwcu datang meng-hampirkan, untuk
menyerang padanya, ia jadi mendongkol dan gusar, tidak
menanti sampai kena digaplok, ia mendahulukan menyapu
dengan cambuknya. Ia mengarah pinggang lawan sebagai
sasarannya.
Mendadak, belum lagi cambuknya mengenai musuh, Poan
Thian Lo merasakan lengannya kesemutan, hingga cambuknya
itu tidak dapat digunai lagi, lalu menyusul itu, benar-benar ia
digaplok pulang pergi oleh lawannya hingga ada giginya yang
copot.
Tempo di tanah suku bangsa Biauw, Siauw Houwcu pernah
dihina Poan Thian Lo, sekaranglah ketikanya untuk ia
membikin pembalasan. Setelah merasa puas, ia membentak:
"Guruku menitahkan kau lari kabur, kenapa kau masih tidak
mau lari?"

1290
Pertanyaan ini dibarengi sama satu gaplokan yang terlebih
keras.
Kali ini Poan Thian Lo merasakan sakit yang hebat, benarbenar
dia dengar kata, lantas dia memutar tubuhnya dan lari
pergi. Karena mana, ia lantas diikuti pasukannya...
Siauw Houwcu mengawasi sambil tertawa berkakak.
Sampai di situ, Tan Hong mengajak rombongannya itu
pergi kepada In Tiong. Masih mereka merobohkan beberapa
buah pohon, untuk digulingkan ke bawah, hingga musuh
kabur semua. Tanpa pimpinan, tentara itu tidak punya guna.
"Mari!" kemudian Tan Hong mengajak, untuk berlalu dari
belakang gunung.
Tempat itu terpisah hanya kira-kira tiga puluh lie dari
Kiukee Sippat kan, yang menjadi tempat kediamannya Yap
Seng Lim. Ketika mereka sampai di Yangbwee ouw, waktu
sudah jam tiga, maka di sini mereka berjalan dengan
perlahan-perlahan.
Selama itu Thian Touw dan In Hong berjalan berendeng,
tangan mereka saling berpegangan. Mereka bicara dengan
asyik tentang perpisahan mereka.
Seng Lim berkumpul sama Sin Cu tetapi ia tidak tahu
bagaimana harus memasang omong, karena ia merasa
pikirannya kacau. Tempo si nona hendak menanyakan
keadaannya selama di Tunkee, mendadak ia menanya:
"Apakah kau ketahui di mana adanya Keng Sim sekarang?"
Ditanya begitu, si nona mengerutkan alis.

1291
"Baru kita bertemu, kau justeru menyebut-nyebut dia,
sungguh menyebalkan!" kata si nona masgul, hatinya,
mendelu.
Seng Lim heran hingga dia tercengang.
"Kalau bukan karena Keng Sim itu, aku dan encie In Hong
tidak akan bertemu pula denganmu..." katanya perlahan.
Lantas ia ceritakan bahaya yang mengancamnya sampai Keng
Sim datang menolong, untuk mana Keng Sim itu
mengurbankan dirinya.
Mendengar itu, Sin Cu melengak.
"Aku tidak menyangka dia dapat berbuat demikian rupa!"
katanya sesaat kemudian. "Ah, kalau begitu, dia masih mirip
dengan seorang manusia! Sebenarnya aku memandang dia
sudah mati, tetapi sekarang aku mengharap dia masih
hidup..."
Seng Lim heran untuk perkataannya nona ini. Mulanya ia
menerka si nona akan memuji tinggi-tinggi pemuda itu.
"Ketika di Hangciu..." kata pula Sin Cu perlahan, sehabisnya
dia menghela napas.
Tiba-tiba Tan Hong menyelak: "Kalau orang dapat
memperbaiki kesalahannya, kalau dia baru sekali salah tindak
saja, baiklah soalnya jangan ditimbulkan pula... Eh, Seng Lim,
benar-benarkah kau hendak menemui Keng Sim?"
Mendengar pertanyaan paman gurunya itu, Seng Lim
mendadak menjadi girang.
"Susiok, tahukah kau di mana adanya dia sekarang?" ia
menanya, cepat.

1292
Tan Hong tertawa.
"Malam ini pergilah kamu tidur dengan nyenyak, besok
akan aku ajak kamu pergi menemui dia," sahutnya.
Seng Lim menjadi bertambah girang. Sin Cu sebaliknya
heran, tak tahulah ia, gurunya mempunyai kepandaian mujijad
apa. Tapi ia percaya betul gurunya itu, maka ia percaya juga
besok tentulah mereka akan melihat Keng Sim.
Sin Cu tidur bersama In Hong, maka banyaklah yang
mereka bicarakan. In Hong jadi mengetahui segala halnya
Thian Touw, bahkan paling belakang Thian Touw sudah
memperoleh petunjuk penting dari Tan Hong tentang ilmu
silat pedang. Ketika ia mendengar cerita halnya Keng Sim
membuka rahasia militer, ia mencaci pemuda itu untuk
ketololannya. Setelah itu, ia tertawa.
"Keng Sim memperoleh pelajaran, inilah bukan tak ada
faedahnya untuknya," katanya. "Karena insaf akan
kesalahannya itu, dia telah menolong tentara rakyat,
pertolongannya itu membuat orang berterima kasih
kepadanya. Benarlah kata Thio Tayhiap, bagus kalau orang
bersalah dan dapat memperbaikinya, bahwa kesalahan itu tak
usahlah disebut-sebut pula. Ya, aku, lihat dia baik sekali sama
kau, adikku..."
Sin Cu menghela napas.
"Suhu cuma bermaksud menyembunyikan keburukan untuk
menyiarkan kebaikan," katanya. "Menurut penglihatanku,
orang semacam Keng Sim itu tidak dapat diperbaiki cuma
dengan satu atau dua kali pengajaran saja. Aku merasa dialah
bukannya orang yang termasuk dalam golongan kita. Kali ini
pun ia berbuat keliru bukannya tanpa di sengaja."

1293
Demikian keduanya pasang omong, sampai mereka sudah
letih betul barulah mereka tidur pulas. Ketika besoknya pagi
mereka mendusin, mereka dengar suara Siauw Houwcu, yang
kemudian ternyata sedang asyik pasang omong dengan Bhok
Lin.
"Encie Sin Cu, benar-benar kau di sini!" berkata Bhok Lin
melihat Nona Ie. "Kau lihat, bukankah aku telah jadi lebih
tinggi?"
Tapi Sin Cu heran
"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya. "Mana encie-mu?"
“Encie lagi menantikan kau", jawab Bhok Lin, "hanya suhu
menitahkan aku untuk mengajak dulu kau menemui Keng
Sim."
"Apa? Kau yang akan mengajak aku menemui Keng Sim?"
si nona tanya.
Belum lagi Bhok Lin menyahut, Tan Hong sudah muncul.
Guru ini tertawa dan ia kata: "Nah, Sin Cu, bukankah aku tidak
memperdayakan kau? Aku bilang hari ini kau bakal bertemu
sama Keng Sim dan benar-benar kau bakal bertemu
dengannya!"
Sin Cu benar-benar heran akan tetapi lekas juga ia menjadi
mengerti.
Bhok Kongya melihat Keng Sim pergi lama sekali, hatinya
menjadi tidak tentaram, maka itu ia telah mengutus pula lain
wakilnya ke kota raja, untuk menyampaikan kepada raja
bahwa Keng Sim itu membantu banyak padanya mengurus
wilayah Tali hingga kekacauan jadi tidak meluas, karena mana

1294
ia mengusulkan agar Keng Sim itu diangkat menjadi
pembantunya dengan pangkat khamkun.
Berhubung ayahnya hendak mengirim utusan itu, Bhok Yan
dan Bhok Lin menyatakan suka turut bersama. Permintaan
mereka ini diluluskan.
Segera juga di dapat keterangan bahwa Tiat Keng Sim
telah ditahan di Hangciu. Untuk menolong, utusan Bhok
Kokkong itu lantas minta bantuan menteri sahabatnya hertog
itu untuk membela Keng Sim, supaya anak muda itu
dibebaskan. Ketika itu laporan dari Sunbu Thio Kie belum
sampai di kota raja, maka juga Tayhaksu Yo Soan, yang
menjadi sanaknya Thio Kie itu dan sahabat kekal dari Bhok
Kokkong, lantas bertindak. Usul kepada raja segera
disampaikan, di lain pihak laporannya Thio Kie terus dibekap.
Kepada Thio Kie dituliskan surat oleh Yo Soan supaya sunbu
itu suka memberi muka kepada Bhok Kokkong. Thio Kie
dapat diajak bekerja sama, dari itu Keng Sim dipindahkan
tempat tahanannya dan diperlakukan baik sekali. Thio Tan
Hong berkuping terang, begitu ia sampai di Hangciu lantas ia
mendapat tahu hal ikhwalnya Keng Sim itu. Ketika Bhok Yan
dan Bhok Lin pun tiba di Hangciu, ia mengetahui segala apa
terlebih jelas. Katanya raja bakal mengutus utusannya Bhok
Kokkong guna menyambut Keng Sim itu.
Dua saudara Bhok itu tinggal di dalam gedung sunbu,
secara diam-diam Tan Hong pergi menemui mereka. Tentu
sekali, Sin Cu tidak mengetahui sepak terjang gurunya itu.
Pada mulanya, Keng Sim sendiri gelap tentang duduknya
perkara. Ia telah ditahan di menara Liok Hap Tah, lalu pada
suatu hari datang orangnya sunbu, ialah tiehu dari Hangciu,
yang menyambut ia dan mengajak ia pindah ke sebuah balai
istirahat di tepinya sungai Ciantong. Di sini ia dapat makan
dan pakai baik sekali, perlayanan sangat manis. Ia heran, ia

1295
minta keterangan pada tiehu tetapi tiehu menganjurkan ia
tinggal saja dengan tenang. Pula di sini Keng Sim merdeka,
kalau ia mau, ia bisa minggat, tetapi karena ingat kepada
ayahnya, ia tidak mau buron. Di lain pihak sudah bulat
tekadnya untuk berkurban untuk Sin Cu. Maka dalam
herannya dan masgul itu, tenang-tenang saja ia tinggal di
tempat kediamannya ini.
Pada suatu hari Keng Sim mendusin pagi-pagi. Ia telah
menghitung tanggal dan tahulah ia bahwa ia sudah tinggal di
gedung itu lima hari. Sama sekali ia tidak menerima kabar apa
juga, ia menjadi tidak sabaran. Ia muncul di lauwteng dan
memandang jauh, melihat pemandangan alam yang indah,
tetapi tetap ia merasakan sepi. Karena ini, pikirannya jadi
bekerja. Ia ingat Sin Cu, ia ingat juga sikap Nona Ie itu.
"Aku baik dengannya, untuknya aku melakukan segala apa,
tapi tahukah dia hatiku itu?" ia ngelamun. "Apa mungkin aku
bakal tak bertemu pula dengannya, putus perhubungan kita
berdua?"
Pemuda ini merasakan pasti, kalau nanti tiba firman raja,
habis sudah lelakon hidupnya. Ia mengharap raja ingat jasa
ayahnya dan akan meringankan hukumannya, tetapi ia,
menginsafi juga kedosaannya yang besar sekali itu, maka
lenyap pula harapannya.
Tengah ia melamun itu, Keng Sim mendengar tindakan kaki
perlahan di tangga lauwteng. Dengan lantas ia berpaling,
sedang kupingnya segera mendengar suara panggilan yang
halus: "Keng Sim..." Itulah suara yang ia kenal baik maka juga
hatinya berde-nyutan. Hampir ia tidak mau percaya kupingnya
sendiri. Selang sesaat barulah hatinya menjadi tenang dan ia
menyahut: "Sin Cu! Bagaimana kau dapat datang ke mari?"

1296
Nona Ie muncul untuk lantas berkata: "Yap Seng Lim telah
menuturkan aku segala apa mengenai kau..."
Sepasang alisnya anak muda itu bergerak.
"Apakah dia telah menuturkan bagaimana aku berkurban
untuk membebaskan dia dari mara bahaya?" ia menanya.
"Dia menuturkan semua tanpa ada yang lolos. Sebaliknya
aku, aku menutupi perbuatanmu selama di Hangciu. Mereka
sangat berterima kasih kepadamu."
"Hm!" Keng Sim tertawa. Lalu ia menambahkan: "Kalau
bukan untukmu, Sin Cu, tak sudi aku memperdulikan dia. Sin
Cu, suratmu itu mencaci aku hebat sekali. Sekarang, kau
tentunya telah melihat jelas aku ini orang macam apa!"
"Memang, sekarang aku telah melihat jelas," berkata si
nona.
"Kau takut aku tidak memandang matapadamu, kau kuatir
dunia nanti menterta-waimu dan mengatakan kau sudah
menjual sahabat, maka itu, kau mencoba melakukan satu
perbuatan bagus. Kau rada tolol tetapi kau pun masih insaf."
Mendengar itu, Keng Sim menjadi tidak puas.
"Cuma sebegitu saja?" katanya, hatinya panas.
Sin Cu tertawa.
"Apakah kau ingin aku memuji kau sebagai seorang gagah perkasa satu-satunya, di jaman dulu dan di jaman sekarang juga?" ia membaliki.

"Oh, tidak, tidak!" kata Keng Sim, tertawa dingin. Bangkit pula keangkuhannya. "Pasti aku bukannya si orang gagah perkasa. Tapi Seng Lim itu, tanpa aku, dia pasti telah ditawan tentara negeri, dan tentu sekali yang ditahan sekarang ini bukannya aku hanya dia!"

Sin Cu mengerutkan alisnya.

"Jikalau bukannya kau berbuat demikian, apa kau sangka aku sekarang masih memandang kau sebagai satu manusia?"

katanya. "Jikalau kau tidak membocorkan rahasia tentara rakyat, mereka pasti tidak bakal runtuh seperti sekarang ini!

Keng Sim, seorang angkuh juga mesti menegur dirinya sendiri!"

Parasnya Keng Sim menjadi pucat. Tidak ia sangka, si nona datang bukan untuk mengutarakan rasa syukurnya hanya justeru untuk menegur padanya!

Untuk sejenak, keduanya berdiam.

"Mustahilkah mereka itu sekawanan gerombolan, telah menjadi begini rupa karena aku satu orang?" kemudian Keng Sim berkata pula. Ia tertawa dingin.

"Tentu sekali bukan disebabkan perbuatan kau seorang!"

sahut si nona. "Hanya perbuatanmu membocorkan rahasia itu membantu tentara negeri menjo-roki mereka kecemplung ke dalam sumur di saat mereka menghadapi bahaya!"

Pemuda itu penasaran.

"Aku lakukan semua itu untuk kau!" katanya sengit.

"Sekarang ini aku tidak tahu jiwaku tinggal berapa hari lagi, tetapi sekarang kau datang, di saat kematianku ini, untuk menegur aku!"



Sebaliknya dari gusar, Sin Cu bersenyum.

"Keng Sim," katanya, "aku hendak berbuat baik untukmu, sayang kau tidak tahu. Tapi, tenangkanlah dirimu, kau tidak bakal mati, bahkan sebaliknya, kau bakal dapat pangkat besar! Inilah kabar baik yang didapat guruku! Kau tunggu sedikit waktu lagi, nanti ada orang yang datang menyambut kau!"

Keng Sim mau percaya itu, ia girang, tetapi ia menguasai dirinya. Ia masih hendak mencoba, untuk kali yang terakhir, guna merebut hatinya si nona. Maka ia menghela napas.

"Biar umpama kata kabarmu ini benar dan aku tidak bakalan mati," katanya, "toh segala apa telah menjadi terang, untukmu, aku tidak takut mati!"

“Itulah sebabnya maka sekarang aku menjenguk kau," bilang si nona. "Ah, Keng Sim, kau harus dikasihani, masih kau tidak mengerti. Coba aku mengangkat kau, mengumpakumpakmu setinggi langit, mungkin kau jadi masgul karenanya... Keng Sim, aku lihat, kita bukanlah orang dari satu golongan..."

Keng Sim menghela napas.

"Benar-benar aku tidak mengerti!" ujarnya. "Sin Cu, setiap kali aku melihat kau, kau agaknya semakin berubah! Makin lama aku jadi makin tidak mengerti, makin lama kau membuat aku merasa bahwa kau makin asing bagiku!..."

Sin Cu mengawasi pemuda itu, kemudian ia memandang ke luar lauwteng.



"Sin Cu, ingatkah kau ketika kita sama-sama berada di sungai Tiangkang?" Keng Sim tanya "Bukankah itu waktu terlihat gelombang itu yang seperti mengejar burung walet?"

Memang, jauh di depan mereka tampak sungai Ciantong berombak, di sana ada beterbangan beberapa ekor burung laut.

Sin Cu mengangguk.

"Benar," sahutnya. "Memang sungai Cian-tong ini bukannya sungai Tiangkang tetapi dua-duanya sama-sama mengalir ke laut."

Keng Sim masgul. Tidak dapat ia menjajaki hati si nona.

"Ya," katanya kemudian, kembali ia menghela napas, "harihari yang telah lalu mirip dengan air sungai, sesudah mengalir lewat lalu tidak kembali lagi. Sin Cu, benar-benar aku tidak mengerti kenapa kau makin lama terpisah makin jauh dari aku?..."

Nona Ie tertawa, tertawa sedih.

"Kau lihat di sana!" katanya kemudian, tiba-tiba. "Orang yang mengerti kau telah datang! Aku mesti pergi sekarang."

Keng Sim heran hingga ia melengak,tetapi hanya sejenak, segera ia menoleh.

Di sana, di tangga, tampak Bhok Yan berlari-lari naik, wajahnya tersungging senyuman. Lantas saja nona itu menghadapi Keng Sim dan berkata dengan gembira: "Ya, pemandangan di sini benar indah! Cuma, kalau dibandingkan sama musim semi di Kun-beng, di sana masih terlebih indah!

Sekarang ini bunga toh, bung lie, juga bunga kupu-kupu,  tentu sedang pada mekarnya! Eh, Keng Sim, ayahku telah menanggungkan dirimu! Utusan, yang membawa firman raja, bakal lekas tiba, maka sebentar lagi kita, kau dan aku, bisa lantas berangkat ke Kunbeng! Oh, Nona Ie, suhu bersama Yap Toako ada di bawah! Eh, eh, apakah kau tidak mau berdiam lebih lama di sini, kau hendak pergi turun?"

Baru sekarang ia menegur Sin Cu.

Nona Ie tertawa.

"Baiklah kamu berdua kumpul di sini mengicipi keindahan sang bunga, aku tidak mau meng-gerecoki kamu!" sahutnya.

"Lihat taman itu, di sana ada kedapatan segala macam pohon bunga, cuma sayang tidak ada pohon tayceng..."

Ia lantas turun di tangga lauwteng.

Keng Sim mengawasi hingga ke bawah lauwteng, di mana, di bawahnya sebuah pohon besar, terlihat Seng Lim lagi berdiri seraya tangannya menggapai ke arahnya. Tiba-tiba hatinya mencelos. Sebenarnya ia hendak lari menyusul nona itu, atau suara tertawa yang halus dan manis dari Bhok Yan mencegah ia...

Nona Bhok lantas berceritera, menuturkan semua dengan jelas. Maka sekarang, bagaikan orang baru sadar dari mimpinya, Keng Sim mengerti segala apa. Pantas ia dipindahkan ke tempat ini dan diperlakukan baik sekali.

"Bagaimana dengan ayahku?" kemudian ia tanya.

"Ayahku ketahui ayahmu pintar, maka ia pun diminta supaya dipindah ke Kunbeng," jawab si nona.

Keng Sim jadi sangat bersyukur. Hatinya pun lega.

"Aku tidak sangka keluarga Bhok menghargai aku..."

katanya di dalam hati. "Akhir-akhirnya toh ada juga orang yang mengenal aku..."

Bhok Yan memandang sekeliling kamar.

Keng Sim bagaikan melamun memandang Seng Lim dan Sin Cu berjalan bergandengan, meninggalkan taman. Tiba-tiba terdengar suara Bhok Yan disampingnya.

"Ah, barang-barangmu kalut sekali!" katanya bersenyum.

"Kita bakal lekas berangkat, mari aku benahkan!"

Ia mengajak anak muda itu masuk ke dalam kamar, untuk bekerja.

"Mereka itu ada di bawah, apakah kau tidak mau turun untuk menemui mereka?" kemudian tanya si nona.

Keng Sim mengangguk, lantas ia bertindak keluar.

Justeru di saat itu terdengar suara nyaring dari Bhok Lin: “

Encie, lekas kau memberi selamat kepada encie Sin Cu! Kita semua bakal lekas minum arak kegirangannya!"

Bocah ini baru saja mendengar dari Siauw Houwcu bahwa Tan Hong telah meregoki jodohnya Sin Cu dengan Seng Lim.

Sebenarnya dia rada kecewa tetapi toh dia gembira sekali.

Mendengar itu, Bhok Yan tertawa.

"Benarkah itu?" tanyanya.

Sin Cu, yang berada di antara mereka, lantas memegat.



1302

"Kau jangan dengari ocehannya si setan cilik! Eh, Bhok Lin, baiklah kau minum dulu arak kegirangannya encie-mu. Eh, kamu tak usah turun, aku hendak pergi kepada guruku!"

Keng Sim berdiam, pikirannya kusut. Ia melihat Sin Cu, dengan berendeng sama Seng Lim, bertindak keluar dari taman. Mereka itu mengulapkan tangan kepadanya.

Selagi pemuda ini masih berdiam, ia dengar suaranya Bhok Yan: "Semua telah aku bereskan, mari kita juga pergi!"

TAMAT


CATATAN

6. Tamtay Biat Beng dulunya adalah seorang jendral bawahan ayah Thio Tan Hong, kisahnya dapat dibaca dalam Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
7. Kisah tentang Gak Beng Kie atau Hui Bing Siansu dapat diikuti di cerita Giok Lo Sat, Pek Hoat Molie, Khau Guan Enghiong (Pahlawan Padang Rumput) dan Thian San Citkiam.
8. Bibit-bibit perpecahan Leng In Hong dan Hok Thian Touw mulai muncul dalam kisah Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu), setelah itu mereka benar-benar berpisah dan mendirikan aliran masing-masing, kisah selengkapnya dapat diikuti dalam Lian Kiam Hong In, Giok Lo
Sat, Pek Hoat Molie, Khau Guan Enghiong dan Thian San Citkiam.
9. Diceritakan dalam Peng Cong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan), bagian awal, ketika Thio Tan Hong hendak dikerubut orang banyak di rumah Cinsamkay Pit To Hoan, lalu rumah tsb diserbu pasukan pemerintah yang dipimpin Thio Hong Hu (ayah Siauw Houwcu).
10.Law Tong Sun ternyata bernasib baik, cacatnya berhasil disembuhkan oleh gurunya dalam beberapa tahun, sehingga ilmu silatnya dapat kembali pulih dan melakukan kejahatan lagi, tokoh ini muncul kembali dalam kisah selanjutnya, Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu).

Cuplikan bagian awal Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu)

Itulah kira-kira jam tiga pagi ketika sang Puteri Malam, yang sudah doyong ke arah barat, masih menyinari sebuah bangunan yang berukiran dengan jendela-jendela hijau dan pintu-pintu merah indah. Sang malam pun sunyi sekali.

Gedung itu yalah jang dikenal sebagai Kunmahu, gedung menantu Bhok Kokkong.

Malam sudah larut demikian rupa akan tetapi sampai itu waktu di dalam istana itu, di atas lauwteng, ada seseorang yang masih belum tidur, dia bahkan sambil menyender kepada loneng tengah memandangi sebilah pedang dengan pikirannya bergelombang.

Siapakah dia?

Tak lain tak bukan, dialah Kunma, menantu yang manis, dari Bhok Kokkong ialah Tiat Keng Sim.

Demikianlah seorang diri itu, di malam yang indah tetapi sunyi itu, ia seperti menggadangi si Puteri Malam. Ia pun mengawasi pohon-pohon bunga. Sambil menghela napas, ia berkata seorang diri: "Dengan tahun ini maka sudah tujuh

musim semi aku lalui di dalam istana Kunmahu ini... Selama tujuh tahun itu, kecuali membuat syair dan karangan, ada apakah lagi?"

Maka terkenanglah ia kepada masanya ia masih merdeka, bagaimana ia mundar-mandir dalam dunia kangouw, bagaimana itu menggembirakannya.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar