Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 11

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 11 "Piauwtauw tua she Han iku ada seorang jujur dan terhormat," ia berkata. "Sebenarnya, kenapakah kau telah bentrok dengannya?
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 11
"Piauwtauw tua she Han iku ada seorang jujur dan terhormat," ia berkata. "Sebenarnya, kenapakah kau telah bentrok dengannya? Dua-dua pihak ada sahabat-sahabat, inilah sukar... Eh, eh, kau kenapakah?"

Paderi ini terkejut. Dia melihat Pit Yan Kiong mendelik matanya dan tangannya menunjuk ke luar, sedang dari mulutnya keluar teriakan: "Lekas! Lekas!"

Tiauw Im berlaku sebat sekali. Ia membuka luka liang jarum, ia lantas memencet keras, untuk mengeluarkan darah yang warnanya hitam.

Selagi berbuat begitu, ia berkata pada Sin Cu: "Lekas kau pergi, kau mewakilkan aku melihat sudah terjadi onar apa di sana! Di sebelah depan, di mulut gunung, ada serombongan orang lagi bertempur! Kalau bisa, kau pisahkan mereka, supaya dapat diadakan perdamaian, kalau

tidak, kau membiarkan saja, jangan kau campur tangan!

Haha, kau lihat, aku si tukang usilan atau bukan!"

Sin Cu tertawa.

"Jangan kuatir, supeecouw." katanya. "Aku tidak akan menerbitkan onar untukmu! Yap Toako, kau pandai bertindak, mari kau temani aku!"

Seng Lim suka mengikut, maka itu keduanya lantas lari keluar. Setibanya mereka di muka dusun, di depan gunung, benar-benar ada serombongan orang lagi berkelahi.

Sampai di situ, Seng Lim bertindak dengan pelahan.

"Kelihatannya aneh," katanya. "Mari kita melihat dulu."

Sin Cu suka menurut. Sama-sama mereka bertindak maju, mata mereka mengawasi.



Pertempuran berjalan secara luar biasa, pantas Seng Lim mengatakan aneh. Kawanan piauwsu itu pada menunggang kuda tetapi kuda mereka pada rebah di tanah, suara meringkiknya mengiriskan. Sejumlah peti dan keranjang bermuatkan barang bertumpuk seperti bukit, dikurung oleh orang-orang piauwkiok yang melindunginya. Di atas sebuah peti duduk bersilah seorang piauw-su tua, tangannya mencekal sebatang huncwee, yaitu pipa panjang, saban-saban dia menyedot pipanya itu dan mengepulkan asapnya. Si perampas piauw adalah serombongan pengemis, semua mereka menunggang kuda, saban-saban mereka menerjang.

Saban tiba saatnya rombongan piauwsu terdesak, si piauwsu tua mengayun tangannya, lantas terdengar suara sarser.

Saban diserang secara begitu, semua pengemis itu lari kabur, atau di lain saat mereka merangsak pula, akan mengulangi serangan mereka.

Terang sudah mereka itu jeri terhadap si piauwsu tua dan lagi memancing agar si piauwsu kehabisan senjata rahasianya itu.

"Apakah kamu ada dari Kaypang?" kemudian si piauwsu tua menanya. "Kaypang" itu berarti Partai Pengemis perkumpulan tukang minta-minta.

Seorang pengemis yang rupanya menjadi kepada mengasi dengar tertawanya.

"Kau telah mengenal kami, kenapa kau tidak hendak menjual persahabatanmu kepada kami?" sahutnya. "Kau keluarkan obat pemunah racun, kau serahkan piauw angkutanmu ini, percaya aku, kami tidak nanti membikin sulit padamu! Haha!"



"Ngaco belo!" membentak si piauwsu tua. "Pangcu dari Kaypang sekarang ini telah menjadi Toailongtauw dari delapan belas propinsi, mustahil dia bolehnya kepincuk oleh barang

angkutanku yang begini sedikit? Teranglah kamu semua telah memalsukan diri, kamu menyamar jadi rombongan Kaypang itu! Siapakah pemimpinmu?"

"Jikalau kau tidak percaya aku, aku pun tidak berdaya," berkata pengemis tadi. "Sekarang ini kau serahkan dulu barang-barangmu, baru aku suka bicara denganmu!"

Si piauwsu tua menjadi gusar, ia membentak: "Piauwkiok keluarga Han mana dapat sembarang menyerahkan barangbarang yang berada di bawah perlindungannya? Hm! Hm!

Memang biasa orang merampas piauw tetapi aku belum pernah menyaksikan caramu yang sekeji ini kamu menggunai racun meracuni kuda orang! Tidakkah kamu kuatir, karena

perbuatan hina kamu ini, orang kangouw nanti mentertawakan kamu? Karena kamu menggunai nama Kaypang, hari ini mesti aku bekuk kamu untuk nanti dihadapkan kepada Pit Keng Thian! Sampai itu waktu, sekalipun aku suka member ampun padamu, Pit Keng Thian sendiri pastilah tidak!"

Pengemis kepala itu tertawa bergelak-gelak.

"Aku bersedia untuk dicekuk olehmu!" katanya mengejek.

Ia keprak kudanya untuk dimajukan.

Piauwsu tua itu mengayun tangannya. Atas itu, si pengemis memutar kudanya untuk menyingkir jauh hingga senjata yang berupa jarum itu tidak dapat mengenakan padanya. Dia pun pandai sekali mengendalikan kudanya.

"Ah, benar-benar aneh!" berkata Sin Cu sesudah ia menonton sekian lama. "Kenapa Pit Keng Thian hendak merampas barang-barang angkutannya piauwkiok keluarga Han ini? Sungguh tidak sedap didengarnya cacian piauwsu she Han yang tua itu terhadap Keng Thian!"

"Benarkah mereka ini orang-orangnya Pit Keng Thian?"

Seng Lim ragu-ragu.

"Mereka pasti bukan orang-orang palsu!" menyahut Sin Cu.

"Pit Yan Kiong itu ada orang kepercayaannya Pit Keng Thian.

Ini pemimpin ada orang she Pek, aku kenal dia, sedang kepandaian membikin celaka kuda ini memang ada kepandaian istimewa dari Pit Keng Thian sendiri.

Dulu hari aku pun pernah menjadi kurbannya. Dia hendak mendapatkan kuda Ciauwya Saycu ma, lantas kudaku dikejar hampir tak dapat bertindak."

Seng Lim menggeleng kepala. Merampas piauw dengan cara seperti itu benar-benar bukan cara yang dapat dipuji.

"Apakah kau kenal Han Loopiauwtauw itu?" kemudian si nona tanya kawannya.

"Sebelum ini, belum pernah aku bertemu dengannya.

Hanya menurut pamanku, dialah satu piauwsu terhormat.

Kecuali ilmu silatnya liehay, dia pun pandai bergaul dan menghargai persahabatan. Katanya dia mempunyai tiga macam syarat tidak melindungi. Ialah dia tidak suka melindungi piauw yang tidak terang asal usulnya, tidak suka melindungi piauw asal curian, dan tidak suka melindungi juga hartanya pembesar sekakar. Ada dibilang juga, satu kali dia melindungi barang, tidak nanti terjadi kegagalan, sebab duadua golongan Hitam dan Putih ada menaruh hormat kepadanya. Setahu kenapa sekarang Pit Keng Thian hendak membikin susah padanya..."

"Kabarnya dia pun jarang sekali keluar sendiri melindungi piauwnya," kata Sin Cu Magi. "Sekarang dia sampai turun tangan sendirinya, mestinya angkutan ini ada angkutan istimewa!"

"Taruh kata benar dia lagi mengangkut harta besar sekali,"

berkata juga Seng Lim, "sebagai kepala dari tentara suka rela, tidak pantasnya Pit Keng Thian merampas piauw orang."

Keduanya menjadi bingung sekali, tidak dapat mereka menerka jelas.

Hampir di itu waktu, kawanan pengemis itu pada tertawa riuh, lalu ada yang berseru-seru: "Lihat, lihat! Tua bang-ka itu sudah melepas habis senjata rahasianya! Mari maju semua,

menyerang! Pandanglah sedikit kepada mukanya, jangan rampas benderanya!"

Kawanan pengemis itu melihat beberapa kali si piauwsu mengayun tangannya tetapi tidak ada jarum rahasia yang menyambar mereka, maka itu mereka mau menyerbu pula, akan tetapi mereka berlaku hati-hati, sambil majukan kuda mereka, mereka memutar senjatanya masing-masing di depan muka dan dadanya.

Tiba-tiba saja si piauwsu tua mengasi dengar suara menggeledek: "Pengemis bangsat, berdiamlah kamu!"

Menyusul itu sebelah tangannya diayun dan suara sar-ser terdengar tak hentinya. Lalu dua pengemis di kiri dan kanan roboh terjungkal dari atas kudanya.

Si pengemis she Pek sudah lantas memutar kudanya, untuk lari menyingkir.

Hebat piauwsu tua itu, dari atas peti di mana ia duduk bersila tubuhnya mencelat meleset, menyerang si pengemis she Pek itu, sebelah tangannya menyekal semacam senjata yang hitam mengkilap dengan apa dengan tipu "Lie Kong memanah batu" ia menotok jalan darah soankie hiat!



Pengemis she Pek itu, yang bernama Beng Coan, ada salah satu pengemis kenamaan di dalam partainya, ilmu silatnya tak ada di bawahan Pit Yan Kiong, maka juga ketika ia diserang, ia

berkelit sebat sekali, tapi sembari berkelit, dia menjerit, "Oh, kau bangsat tua!..." Belum berhenti jeritannya itu, terlihat lelatu api memercik, lalu tubuhnya terguling dari punggung

kuda!

Piauwsu tua she Han itu selainnya pandai menggunai senjata rahasia jarum yang diberi nama Bweehoa Touwkut ciam juga liehay sekali ilmunya menotok jalan darah, alat peranti itu adalah sebatang huncwee-nya itu yang tidak pernah lepas dari tangannya, maka juga setiap kali

digunakan, api huncwee pun meletik muncrat, sekalian membakar baju atau kulit kurbannya. Pek Beng Coan luput dari totokan, tidak luput ia dari api huncwee itu.

Sebat kelitnya Beng Coan, lebih sebat adalah si piauwsu tua. Tanpa berayal sedikit juga, selagi orang jungkir balik, ujung huncwee-nya sudah menotok pula. Beng Coan berbalik, dengan cambuknya ia menangkis. Kosong tangkisan-nya itu, atau mendadak, asap huncwee si orang tua mengepul ke mukanya! Asap itu membuatnya menjadi kepala pusing dan matanya kabur, hingga karenanya, permainan cambuknya turut menjadi kacau juga. Karena ini, segera ia kena didesak.

Huncwee itu, dengan asapnya mengepul berulang-ulang, mendesak untuk mencari sasaran jalan darah.

Sampai di situ, Beng Coan tidak berdaya lagi untuk membalas menyerang, ia cuma dapat membela diri.

Sin Cu tertawa menyaksikan pertempuran yang sifatnya lucu itu.

"Sekarang apa sudah tiba waktunya kita pergi memisahkan?" dia menanya Seng Lim.



"Tunggu dulu, kita lihat lagi sebentar!" menyahut si anak muda.

Selagi dua orang itu bertempur secara kipa, kawanan pengemis tidak berani merangsak pula untuk mengulangi serbuan mereka.

Selain Beng Coan nampaknya tak berdaya, dua pemimpinnya yang lainnya pun telah terkena jarum beracun. Di lain pihak, orang-orang piauwkiok menjadi mendapat hati, mereka sekarang menyerang dengan panah mereka.

Dengan begitu terlihat tegas, pihak Kaypang lekas juga bakal kena dikalahkan.

Dalam pada itu orang mendengar tertawanya Han Loopiauwtauw, yang mendesak Pek Beng Coan, hingga pemimpin Kaypang itu menjadi sangat terdesak dan repot sekali. Satu kali dia mencoba menyerang dengan cambuknya.

Kali ini si piauwsu tidak berkelit, ia justeru mengajukan huncwee-nya, mengasi pipa itu kena dilibat cambuk.

Hanya, bukan cambuk yang melibat terus, adalah si piauwsu yangmemutar senjatanya itu, yang membikin senjatanya terus terlibat, hingga cambuk menjadi semakin pendek dan semakin

pendek. Di akhirnya si piauwsu berteriak: "Robohlah kau!"

Hebat Pek Beng Coan, dia terhuyung, tubuhnya miring, tidak dia jatuh!

Di dalam rombongan piauwsu orang menjadi heran.

"Ah, mungkin dia benar orang Kaypang?" ada yang berkata.

Tapi si piauwsu tua telah berpikir lain.

"Tidak perduli dia siapa!" serunya. "Dia mesti dibekuk untuk dibawa menghadap Pit Toaliong tauw Jikalau toh benar dia orang Kaypang, tidak, usah kita yang menghukumnya, pasti

Pit Toaliongtauw yang nanti membikin kutung kedua kakinya!"

Piauwsu ini masih tidak mau percaya orang ada dari Kaypang.

Sin Cu dan Seng Lim bersembunyi di belakang batu besar dari mana mereka mengintai, mendengar perkataan si piauwsu tua, mereka mengulur lidah mereka. Mereka heran

dan kagum. Keduanya pun menjadi ragu-ragu, hingga mereka saling menanya, kalau mereka maju untuk memisahkan, apa mereka mesti bilang apa mereka mesti membenarkan bahwa

Beng Coan ada dari pihak Kaypang?..."

Piauwsu itu mulutnya berbicara, tangannya tak berhenti

bergerak. Ia memang lebih kosen daripada Pek Beng Coan,

maka itu, si pengemis terlihat nyata tengah terancam bahaya.

Di saat bahaya mengancam itu, tiba-tiba perlawanannya

kawanan piauwsu itu seperti terpecah sendirinya, di antara

mereka muncul satu orang yang gerakannya sebat bagaikan

bayangan.

Piauwsu tua itu mendapat lihat orang datang, ia segera

memukul mundur pada Beng Coan, untuk memasang mata

kepada ini orang baru, yang ternyata ada satu toosu atau

imam dengan jubah kuning, tangannya mencekal hudtim atau

kebutan. Dia sudah lantas berdiri di depannya si pengemis.

"Apakah aku berhadapan sama Hian Eng Tootiangg dari

kuil Siangceng Koan di Shoatang?" si piauwsu menanya

sesudah ia melihat tegas orang di depannya itu.

"Benar," menyahut si imam. "Sudah lama aku mendengar

nama Han Loopiauwtauw, hari ini kita bertemu, aku merasa

beruntung sekali."


912
"Mohon tanya, too-tiang, untuk apakah kau datang ke
Selatan ini?" piauwsu tua itu menanya pula.
"Pin too datang untuk meminta amal dari kiesu," sahut
imam itu. "Pintoo mohon sukalah kiesu mendermakan piauw
yang menjadi angkutanmu ini."
Pintoo adalah "aku" untuk imam dan kiesu adalah sebutan
"kau" menghormat.
Di waktu mengucap demikian, imam ini bersikap sungguhsungguh,
tidak sedikit tanda ia bergurau.
Piauwsu itu agaknya gusar sekali, tetapi ia mengendalikan
diri. Saking gusar, tangannya yang mencekal huncwee sampai
bergemetar.
"Tootiang ada orang di luar manusia umum, apa perlunya
tootiang dengan uang ini?" ia menanya, menahan sabar.
"Di kolong langit ini, banyak sekali orang yang menanti
untuk disuapi," menyahut si imam tenang. "Pintoo memohon
amal karena ada keperluannya."
Piauwsu itu tertawa melenggak.
"Sebenarnya, dengan memandang kepada tootiang, tidak
dapat aku tidak menderma," ia bilang, "hanya sayang aku Han
Cin Ie, meskipun aku telah mengusahakan piauwkiok
beberapa puluh tahun, tanganku tetap kosong, karenanya
tidak sanggup aku mengganti uang piauw ini. Bagaimana aku
dapat mengikuti kau, tootiang ? Di lain pihak lagi, seumur
hidupku, belum pernah aku membikin gagal kepercayaannya
langgananku terhadapku. Tootiang, apakah kau bukan
memaksakan orang mendapatkan kesulitan?"

913
Hian Eng Toojin tetap dengan sikapnya yang tenang dan
dingin.
"Bicara pulang pergi, nyatanya kiesu berat untuk
mengamal, bukankah?" ia bertanya.
Han Cin Ie si piauwsu tua pun rupanya habis sabarnya. Ia
angkat huncwee-nya.
"Begini saja, tootiang ," katanya singkat, "apabila tetap
tootiang hendak meluncurkan tanganmu, silahkan kau
singkirkan dulu itu bendera piauwkiok kami!"
Ia menunjuk kepada benderanya. Itulah tanda pembicaraan
sudah putus.
Mukanya si imam menjadi keren, tanpa membilang suatu
apa lagi, ia geraki kebutan-nya, menotok ke arah jalan darah
tiongbeng dan pekhoay.
Han Piauwsu berkelit, tetapi ia tidak mundur, terus ia
membalas menyerang. Maka itu, keduanya sudah lantas
bergebrak. Bahkan semua gerakan mereka berbahaya sekali
untuk pihak lawan.
Munculnya Hian Eng secara tiba-tiba itu dan sikapnya itu,
yang pun luar biasa, membikin heran tidak cuma pihak
piauwkiok dan Kaypang, juga Sin Cu dan Seng Lim. Hian Eng
ada imam jujur dan alim, untuk lima propinsi Utara, namanya
sangat terkenal. Sebagai imam, untuk apa ia merampas
piauw, apapula piauw dari satu piauwsu yang demikian
memegang derajat dan bersih?
"Katanya ketika Pit Keng Thian mendapatkan kedudukan
Toaliongtauw di lima propinsi Utara dia dapat bantuannya
Hian Eng Toojin ini, benarkah itu?" Seng Lim tanya kawannya.

914
"Benar," menjawab Sin Cu. "Mereka berdua bersahabat
erat, maka itu kedatangannya ini mungkin karena dia
menerima permintaan bantuan dari Pit Keng Thian. Hanya
heran imam ini sendiri. Biasanya dia tidak turun tangan di
dalam urusan yang benar, dia tidak usilan. Kenapa sekarang
dia bersikap begini keras? Mungkinkah ada terselip rahasia
pada piauw dari Han Loopiauwtauw ini?"
Pertempuran berlangsung dengan seruh. Huncwee Han Cin
Ie pendek, totokannya hanya tiba di satu batas. Kebutan Hian
Eng cukup panjang, ujung kebutan itu dapat bekerja terlebih
merdeka. Maka juga si piauwsu seperti kena dikurung. Syukur
untuknya, ia kosen, ia cuma kalah di bawah angin.
Rombongan piauwkiok menjadi kecil hatinya menampak
pemimpin mereka terdesak. Mereka kuatir nama besar dari
pemimpinnya nanti runtuh karenanya. Kalau kekuatiran itu
berwujud, mereka pun akan turut bercelaka, mangkuk nasi
mereka bakal terbalik...
Dalam saat itu men-dadakan terdengar satu suara nyaring.
Nyata huncwee Cin Ie, yang dipakai menyerang hebat, kena
disampok kebutan Hian Eng. Itulah yang menerbitkan suara
itu. Habis menangkis, Hian Eng membalas menyerang.
Hebatnya untuknya, setiap lembar bulu kebutannya itu
seperti berbangkit berdiri dan bagaikan jarum mengancam
mukanya si piauwsu.
"Celaka!" Seng Lim berseru, hampir tubuhnya mencelat. Ia
berniat menolong piauwsu kenamaan itu.
Di saat sangat mengancam itu, terlihat berkilauannya sinar
seperti kilat, menyambar ke arah Hian Eng Toojin, tubuh siapa
lantas mencelat tinggi, lalu jumpalitan, terus turun di tanah
jauhnya setombak lebih dari lawannya.

915
"Bagus!" berseru Sin Cu. Ia memuji dua-dua pihak, si
penyerang dan lawannya. Si penyerang untuk serangannya
yang liehay si lawan untuk caranya berkelit yang lincah itu.
Di dalam saat jiwanya terancam, Han Cin Ie sudah
menggunakan tiga batang jarum emasnya, yang menjadi
senjata rahasianya yang dimalui, yang membuatnya
terjulukkan "Kimciam Sengciu" atau "Ahli Jarum Emas." Dia
liehay untuk senjata rahasianya itu, Hian Eng liehay untuk
ringan tubuhnya.
Setelah itu, Han Piauwsu tidak berlompat maju mengubar
lawannya, untuk merangsak, ia hanya berdiri tenang seperti
lagi menantikan datangnya musuh. Hal ini membikin heran
semua orang dari rombongannya, hingga mereka itu, dalam
hatinya, saling menanya, kenapa si piauwsu mensia-siakan
ketikanya yang baik itu. Mereka tidak tahu, saking liehaynya si
imam, piauwsu itu mau berlaku hati-hati.
"Hian Eng Tootiang ," katanya kemudian, sesudah ia
membuang napas, "sekarang sudikah kau memberi ampun
kepadaku si orang tua?" Ia menanya sembari tertawa.
Hian Eng mengibas dengan kebutannya, terus ia menyahuti
dengan tawar: "Beberapa batang jarum emas tidak ada
harganya, pintoo tetap hendak meminta amal dari kau, kiesu."
Lalu ia mengebut pula, untuk menyerang.
" Too tiang," berkata Cin Ie, "di kolong langit ini sangat
jarang aku melihat cara orang meminta derma sebagai kau ini,
kau membuatnya aku si orang tua menjadi kewalahan..."
Kata-kata ini dengan mendadak ditutup sama semburan
asap huncwee.

916
Memang tiga keistimewaan dari piauwsu kenamaan ini
adalah jarum rahasianya, huncwee-nya dan ini asap huncweenya
itu. Asapnya ini yang terlebih luar biasa. Kalau ia habis
menyedot pipanya, asapnya dia dapat tahan di dalam
mulutnya, di saatnya yang perlu, ia semburkan secara tibatiba,
di luar sangkaan lawan. Demikian sudah terjadi serangan
asap kepada imam itu.
Di dalam satu pertempuran, yang paling dimalui adalah
pembokongan. Itu artinya, kita berada di tempat terang,
lawan di tempat gelap. Hian Eng tidak menduga jelek ketika
tahu-tahu ia terserang asap huncwee, tidak perduli ia gagah
dan tabah, hatinya toh terkesiap juga. Dalam kesehatannya, ia
mengebut, bukan untuk menyerang, hanya untuk membela
diri. Ia melindungi diri di tiga jurusan, atas, tengah dan
bawah, tipu silatnya ialah yang dinamakan "Pathong hongie,
atau "Hujan Angin di Delapan Penjuru."
"Bagus!" Han Cin Ie berseru dengan pujiannya. Mau atau
tidak, ia mesti mengagumi imam itu. Tapi ia memuji bukan
untuk berhenti berkelahi, pujiannya itu disusul pula sama
semburan asapnya.
Hian Eng menjadi panas hatinya.
"Apakah ini namanya pertempuran?" dia menanya.
Selagi orang sangat mendongkol, si piauwsu tertawa.
"Tetamu yang dihormati berkunjung datang, sudah
selayaknya saja aku si orang tua menyambut dengan
menyuguhkan huncwee dan teh!" ia berkata. "Tetapi kita di
sini berada di tengah jalan, di sini tidak ada air teh, terpaksa
aku menghormati kau dengan asap!"

917
Sembari berkata begitu, piauwsu ini melanjuti serangannya,
huncwee-nya dipakai menotok atau menikam seperti tombak.
Ia selalu mencari jalan darah.
Hian Eng membela diri dengan rapat. Ia mengeluarkan
kepandaiannya hasil latihan beberapa puluh tahun. Ia
terhalang dengan asap huncwee, yang membikin tubuh lawan
seperti tertutup dan nampak samar-samar, akan tetapi ia
dapat mengarahkan pandangan matanya.
Cin Ie kewalahan juga meskipun benar nampaknya ia lebih
unggul. Sampai habis asapnya, ia masih belum berhasil
merobohkan lawan, sedangkan huncwee-nya tidak pernah
mengenai sasarannya. Ia masih mempunyai sisa jarumnya
tetapi ia tidak mau pakai itu secara sembrono, kuatir keburu
habis.
Pertempuran juga terjadi di antara pihak pelindung piauw
dan orang-orang Kaypang. Cambuknya Pek Beng Coan sudah
patah, ia ganti itu dengar sebatang golok rampasan. Dengan
bengis ia merobohkan dua piauwsu kepala, lantas ia tertawa.
"Han Loopiauwsu ," ia berkata, "kau serahkan piauw dan
benderamu! Air hijau, gunung ribuan, maka itu masih ada
waktunya untuk kita bertemu pula!"
Perlawanan pihak piauwkiok runtuh sampai di situ, maka
Pek Beng Coan dengan merdeka memerintahkan orangorangnya
mengangkut semua angkutan, yang dipindahkan ke
kereta-kereta keledai yang mereka siapkan. Orang Kaypang
berjumlah cukup banyak, mereka pun bekerja keras. Orangorang
piauwkiok cuma bisa mengawasi saja, untuk maju
mencegah, mereka dihalangi Beng Coan.
"Sekarang sudah waktunya kita turun tangan?" Sin Cu
tanya Seng Lim.

918
Orang yang ditanya tertawa.
"Kita membantu Hian Eng merampas piauw atau
membantu Han Loopiauwtauw membelai barangnya itu?" ia
balik menanya.
"Kita datang sama tengah, untuk memisahkan dan
mendamaikan," sahut si nona.
Pertempuran berlangsung dengan seru. Huncwee Han Cin
Ie pendek, totokannya hanya tiba disatu batas. Kebutan Hian
Eng Toojin cukup panjang, ujung kebutan itu dapat bekerja
terlebih merdeka. Maka juga si piauwsu seperti kena dikurung.
Syukur untuknya, ia konsen, ia cuma kalah di bawah angin.
"Sudah terang Hian Eng menghendaki piauw, mana dapat
kita memisahkan mereka?" tanya si anak muda.
Sin Cu berdiam. Urusan memang aneh sekali. Piauw apa
piauw -nya Han Cie Ie ini? Kenapa Pit Keng Thian hendak
merampasnya? Kalau ia hendak mendamaikan, apa dasarnya
atau alasannya untuk berbicara?
"Habis bagaimana?" akhirnya si nona tanya.
"Jelas sudah, mereka hendak merampas piauw, mereka
tidak berniat mencelakakan orang," mengutarakan Seng Lim,
"sekarang kita biarkan Hian Eng berlalu dengan barang
rampasannya itu, kita pegat ia di lain tempat, untuk meminta
penjelasan. Pit Toako bukan orang lain, kita dapat berbicara
dengan baik, nanti kita ketahui duduknya hal yang benar."
Sin Cu setujui sahabat ini, ia mengangguk.

919
Sampai di situ, mereka mengawasi pula medan
pertempuran. Di sana orang-orang Kaypang bekerja keras
memindahkan semua piauw.
"Kau dengar, suara apa itu?" berkata Seng Lim pada
kawannya. Mendadak saja ia mendengar semacam suara yang
terbawa angin, ialah suara terompet.
Segera juga suara itu terdengar pihak piauwkiok dan
Kaypang, mereka heran, masing-masing lantas memasang
kuping. Suara terompet itu tercampur siulan.
Semua orang memasang kuping sambil berbareng
memasang mata ke arah dari mana suara itu datang. Mereka
tidak usah menanti lama atau mereka tampak munculnya satu
barisan serdadu wanita, yang dandanannya rapi. Di paling
depan ada empat wanita yang tangannya menenteng
tengloleng, mengiringi seorang wanita lain yang berpelangi
merah. Dari antara mereka itu pun terdengar suara tertawa.
Semua orang menjadi heran, mereka mengawasi dengan
menjublak.
"Melihat dandanannya, mungkinkah dia yang orang sebut
Angkin Liecat?" tanya Sin Cu dalam hatinya sesudah ia
mengawasi sekian lama. Angkin Liecat itu berarti berandal
wanita berpelangi merah, atau si Pelangi Merah.
Setibanya, si pelangi merah itu menggapai dengan
tangannya, dan dengan dingin dia berkata: "Piauw itu
tinggalkan untuk aku!"
Hian Eng Toojin gusar mendengar kata-kata itu. "Apa?" dia
menegaskan.

920
Nona itu tertawa manis, tetapi mendadak dia berseru
bengis: "Apakah kau tidak mempunyakan kuping yang
panjang? Aku bilang, piauw itu tinggalkan untuk aku!"
Hian Eng mengebut kebutannya.
"Alasan apa kau ada punya untuk aku menyerahkan piauw
ini kepadamu?" dia menegaskan.
"Oh, kiranya kau ingin bertempur?" si nona balik
menegaskan. "Aku mengandalkan ini maka aku menghendaki
piauw ini!"
Dengan hanya satu kelebatan, si nona sudah menghunus
pedangnya yang tajam mengkilap, dengan itu ia menyerang
tanpa ayal lagi.
Untuk kagetnya Hian Eng Toojin, ia mendapat kenyataan
kebutannya telah terbabat ujungnya. Pastilah pedang si nona
tajam luar biasa, kalau tidak, kebutan besi itu tidak nanti kena
dibikin bercacad. Tentu sekali ia menjadi gusar sekali. Ia pun
menjadi heran sebab sehabis babatan-nya yang pertama itu, si
nona terus menyerang ia dengan bengis. Itulah bukan cara
umum untuk kaum Golongan Hitam.
Mau atau tidak, terpaksa Hian Eng melayani nona itu. Ia
menggunai ilmu silat kebutannya itu yang semuanya terdiri
dari enam puluh empat jurus. Belum habis separuhnya ia
gunai ketika mendadak si nona, sambil berseru nyaring,
menikam tenggorokan dengan pedangnya dan menotok kedua
mata dengan dua jari tangan kirinya.
Imam itu melihat serangan itu, ia segera menggeraki
kebutannya untuk membela dirinya. Tetapi si nona liehay,
belum sampai ia mengenakan sasarannya, mendadak ia
mengubah gerakan, pedangnya diteruskan dengan babatan,

921
hingga tubuh Hian Eng seperti terkurung sinar pedang. Tapi ia
pun bukan seorang lemah, ia juga mencari lowongan.
Demikian setelah datang ketikanya, ia membalas
menyerang, ia menotok kepada enam jalan darah giokheng,
kwangoan, thiankwan, soankie, yauwkong dan tionghu. Secara
begini ia memaksa si nona repot membela dirinya, hingga
mereka menjadi sebanding, sedang mulanya, si imam
kelihatan terdesak.
Pertempuran berlanjut terus. Hian Eng ingin melampiaskan
kemen-dongkolannya, sebisa-bisa ia mencari jalan untuk
memberi pengajaran kepada lawannya itu. Begitulah satu kali
ia menyerang hebat sekali. Sekonyong-konyong si nona
meniup keras, lalu dia tertawa dan berseru: "Hai, imam busuk,
ilmu silatmu tidak ada kecelaannya, tetapi kau pergilah!" Dan
dia menyambuti kebutan.
Hian Eng tidak menghendaki kebutannya itu terbabat pula,
ia lekas-lekas menarik pulang. Tapi justeru ia menarik pulang,
justeru pedang si nona dibaliki, terus dipakai menyerang,
maka dengan satu suara cukup nyaring, kopia suci imam ini
kena terpapas kutung!
Hian Eng kaget bukan kepalang. Sia-sia ia hendak
melindungi dirinya, menangkis tidak bisa, berkelit tidak
keburu. Inilah untuk kedua kalinya yang ia kena dipecundangi.
Yang pertama kali ialah waktu ia membantui Pit Keng Thian
memperebu-ti kedudukan Toaliong-tauw dari lima propinsi
Utara, ia telah terkalahkan Yang Cong Hay. Ia tidak menyesal
yang ia kena dirobohkan orang she Yang itu, sebab orang
terkenal sebagai satu di antara empat kiamkek, ahli silat
pedang, terbesar. Tetapi kali ini, ia melayani nona itu belum
sampai tiga puluh jurus. Maka juga ia mendongkol berbareng
malu sekali.

922
Sampai di situ Han Cin Ie maju mendekati. Ia nampak
girang karena air mukanya berseri-seri. Ia memberi hormat
kepada si nona seraya ia menanya: "Nona, adakah kau liehiap
Leng In Hong dari Huyong San? Aku si orang tua ada piauwsu
Han Cin Ie dari Cin wan Piauwkiok dari Pakkhia, aku lewat di
wilayah nona tetapi belum sempat aku membuat kunjungan
kehormatan, maka itu aku minta sukalah kau memaafkannya."
Piauwsu jago ini menyebutnya orang iiehiap, pendekar
wanita, itulah untuk mengangkat saja. Ia sebenarnya bukan
belum mengunjungi hanya tidak ada niatnya untuk itu. Ia
ketahui nama besar si nona tetapi nama itu didapatnya belum
ada satu tahun, dia jadinya tidak dilihat mata. Han Cin Ie telah
pergi menghormati tujuh kepala berandal lainnya tetapi tidak
si nona ini, yang tak masuk dalam hitungannya...
Leng In Hong menyapu kepada wajahnya piauwsu tua itu,
jalu ia mengerutkan kening. Ia kata: "Loojinkee, buat apa kau
banyak omong? Aku toh tidak minta berkenalan denganmu
atau memohon tanya riwayatmu?"
Han Cin Ie melengak, ia mengawasi si nona, terus ia
tertawa.
"Nona, piauw ini berada di bawah perlindunganku," ia
berkata, hormat, "maka itu aku minta sukalah nona berbuat
baik. Aku akan menuruti aturan kaum kangouw kita, nanti aku
akan mengirim bingkisan kepadamu."
Piauwsu ini percaya si nona bakal memberi muka padanya.
Ia percaya, sebagai seorang yang baru muncul, si nona
tentunya membutuhkan nama kesohor. Ia pun percaya, ia
akan dipandang juga sebab ia adalah pemimpin antara
pelbagai piauwsu kepala. Tapi kesudahannya adalah di luar
dugaannya.

923
Leng In Hong memperlihatkan wajah dingin.
"Apakah halangannya untuk mengambil piauw ini?" katanya
tawar. "Untukku, aku tidak mengambil perduli siapa yang
menjadi pembelanya!"
Pek Beng Coan tertarik mendengar kata-kata si nona, maka
juga ia berjingkrak.
"Tidak salah!" dia nimbrung. "Memang juga, apakah
halangannya untuk mengambil piauw ini? Kita ada orang dari
sesama kaum, menurut aturan, dapat kita membagi rata,
seorang separuh!"
"Adakah piauw ini kau yang turun tangan lebih dulu
merampasnya?" si nona tanya.
"Benar," menyahut Beng Coan. "Kami mendapat perintah
dari Pit Pangcu. Ini... ini..."
Ia hendak menuturkan asal-usulnya piauw itu, atau si nona
dengan tak sabaran sudah menggoyang-goyangi tangannya
seraya berkata: "Hm! Kami bekerja di dalam daerah
pengaruhku, turut pantas kamu harus diberi sedikit tanda
mata, tetapi mengingat yang imam ini berkepandaian tak
tercela, suka aku membiarkan kamu pergi dengan cara baik!
Apakah kamu masih tidak mau mengangkat kaki?"
Mendengar itu, Pek Beng Coan menjadi gusar. Ia sudah
bicara dengan aturan, orang nyata tidak menggubrisnya.
Dalam gusarnya, ia membulang-balingkan goloknya.
"Ha, bagus ya!" serunya. "Aku sudah memberikan muka
kepadamu! Aku undang kau minum arak, kau menolak, kau
justeru menerima arak dendaan! Baiklah, sekarang kau boleh
merampasnya piauw ini dari tanganku!"

924
"Kau, Han Cin Ie, apa kau hendak bilang?" Hian Eng pun
menanya si piauwsu.
Leng In Hong sementara itu menitahkan barisan
perempuannya menggiring piauw, untuk dibawa pergi, atas
mana orang-orang piauwkiok mencoba menghalanginya. Pihak
piauwkiok itu dibantu oleh orang-orang Kaypang, yang
hendak mempertahankan piauw itu.
Barisan wanita itu kosen, dalam bentrokan, mereka tidak
dapat dirintangi.
"Baiklah!" ia berseru, menyambut Hian Eng. "Mari kita
sama-sama naik sebuah perahu! Mari kita hajar dulu ini
rombongan berandal!"
Kata-kata ini disusul serangannya dengan huncwee yang
dibarengi sama semburan asap huncwee itu. Berbareng
dengan itu, Hian Eng dan Pek Beng Coan juga turut
menyerang, maka itu si nona, si Pelangi Merah, sudah lantas
dikepung bertiga.
***
Leng In Hong tertawa panjang melihat orang mengepung
kepadanya, tubuhnya segera bergerak dengan lincah,
menyelamatkan diri, setelah mana pedangnya lantas menikam
kepada Han Cin Ie. Piauwsu tua ini angkat tangan kirinya,
untuk melindungi dadanya, berbareng dengan itu dengan
huncwee-nya ia menyerang seperti juga ia menggunai
tombak. Inilah gerakan "Bianglala putih menutupi matahari."
Ia membela diri sambil menyerang, ujung pipanya menyamber
ke tenggorokan.

925
Si nona benar-benar gesit, cuma bergerak satu kali, dia
sudah lantas lolos dari tikaman itu. Untuk membalas, ia
menusuk lengannya s piauwsu. Cepat serangan membalasnya
ini. Coba si piauwsu tidak liehay, pasti tangannya sudah kena
terpanggang pedang. Ia kelit tangannya itu, yang ditarik
terputar, berbareng dengan mana, kembali ia menyemburkan
asapnya, ketika asap itu sudah seperti semacam tirai, tangan
kirinya pun diayun, menimpukkan jarum rahasianya. Malah
saking sengitnya, ia menggunai semua sisa tujuh batang
senjata rahasianya yang beracun itu. Hingga di situ nampak
sinar berkilauan.
"Bagus!" berseru si nona sambil terus ia tertawa panjang,
sembari berseru, tubuhnya mencelat tinggi, hingga semua
tujuh batang jarum lewat di bawahan kakinya. Nyata ia sangat
celi matanya dan gesit tubuhnya. Karena ia berlompat, ketika
tubuhnya turun, ia berada dekat Hian Eng Toojin, dari itu
tanpa berayal lagi, ia menyerang imam itu dengan gerakannya
"Burung walet menyambar ombak."
Imam kosen ini ketahui dengan baik orang sangat liehay, ia
tidak mau menangkis pedang dengan kebutannya itu. Untuk
membela diri, ia tetap menggunai kebutannya. Hanya kali ini
ia menggunakan jurus "Murid imam mengebut debu." Secara
liehay sekali, ujung kebutannya dapat melilit ujung pedang.
Pek Beng Coan dapat melihat pedang si nona seperti sudah
mati kutunya, ia lantas menggunai ketikanya yang baik itu,
dengan hebat ia menyerang dengan goloknya.
Golok itu berkelebat berkilau, begitu juga sinar pedang.
Berbareng dengan itu, terdengar pula tertawa nyaring dari si
nona, tertawa yang mengejek. Untuk herannya Beng Coan, ia
kehilangan tubuh si nona, yang menjadi sasarannya itu. Di lain
pihak, terdengar jeritan "Celaka!" dari Hian Eng Toojin,

926
disebabkan kebutannya terlepas dari tangannya, terbang
mental.
Beng Coan kaget sekali, hingga ia melengak. Justeru ia
berdiam, mendadak ia mendengar siuran angin di
belakangnya. Kembali da menjadi kaget. Ia menduga pada
ancaman bahaya. Sayang, belum lagi ia memutar tubuh atau
menangkis ke belakang, ia sudah lantas merasakan sakit pada
pundaknya.
Nyatalah Leng In Hong, setelah membalingkan kebutannya
Hian Eng Toojin, sambil lalu, sudah menikam orang she Pek
ini, tetapi ia masih menaruh belas kasihan, ia tidak menikam
sekuat-kuatnya, ujung pedangnya cuma mengenakan daging
piepee.
Hian Eng sendiri telah melihat ke mana kebutannya
melayang, dengan berlompat pesat ia menyambar, untuk
mencekal pula itu, sesudah mana ia pernahkan diri
berdampingan sama Han Cin Ie. Hanya sekarang, dengan
Beng Coan terluka, mereka menjadi kekurangan satu tenaga.
Sebenarnya, dengan bekerja bersama bertiga, mereka ada
cukup tangguh, sayangnya, Leng In Hong ada terlalu gesit.
Sin Cu dan Seng Lim terus mengintai. Keduanya kagum
untuk kelincahannya si Pelangi Merah. Bahkan si nona segera
berpikir: “Ilmu pedang partai manakah ini, yang dia dapat
mainkan secara begini bagus? Kelihatannya ilmu pedang ini
tidak ada bawahan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat dari kakek
guruku..."
Pertempuran sementara itu berjalan terus. Pek Beng Coan
sudah menyerbu pula. Ialah yang dianggap terlemah dan
kembali ia menjadi kurban. Dengan bersuara nyaring, lebih
dulu goloknya kena dibabat kutung, belum sempat ia sadar

927
dari kagetnya, menyusul melayangnya sebelah kaki si nona,
tubuhnya pun roboh terguling!
Habis itu, Leng In Hong mendesak si imam dan si piauwsu,
ia memaksa mereka itu.
Juga orang-orang piauwkiok dan Kaypang mesti mundur
dari serbuannya pasukan wanita dari si berandal Pelangi
Merah, mereka itu kabur ke segala penjuru. Sampai di situ,
pasukan wanita itu lantas kembali, untuk membawa dan
mengiringi barang rampasan mereka. Sekarang mereka tidak
terintang siapa juga.
Leng In Hong mendesak terus pada Cin Ie dan Hian Eng, ia
membuatnya mereka itu berkuatir. Mereka itu tidak lagi
mundur, mereka terpaksa memutar tubuh, secara demikian,
beberapa kali mereka terpaksa memutar pula tubuh, untuk
membela diri, sebab mereka merasai anginnya pedang di
punggung mereka.
Mereka cemas hati tapi saban-saban hati mereka lega
kembali, ujung pedang si nona tidak mampir di tubuh mereka.
Lagi satu kali, dua-dua Hian Eng dan Cin Ie merasakan
ancaman di belakang mereka. Mendadak mereka mendengar
suara "Traang!" Hian Eng berbalik sambil menangkis dengan
kebutannya. Ia melihat sinar kuning emas yang kecil sekali. Ia
menduga Cin Ie melawan musuh dengan jarum rahasianya.
Tapi Leng In Hong sendiri sudah terpisah sepuluh tombak
lebih dari pada mereka, nona itu sambil tertawa berkata
dengan nyaring: "Dengan memandang kepada biji senjata
rahasia, aku melepaskan kamu pergi!"
Hian Eng melengak, di dalam hatinya ia berkata: "Apakah
artinya jarum rahasia si tua bangka she Han hingga ini wanita
iblis begini menghargainya?"

928
Leng In Hong itu cepat datangnya, cepat juga perginya.
Dengan lekas ia bersama barisan tentaranya, serta piauw yang
mereka rampas, sudah menghilang di dalam rimba yang lebat
pepohonannya.
Han Cin Ie sangat penasaran, ia lari mengejar, untuk
menyusul. Saking letih, napasnya memburu.
Hian Eng turut berlari-lari, tetapi sembari menyusul, imam
ini berkata dengan ejekannya: "Bangsat wanita itu sudah pergi
jauh, untuk apa kau repot tidak keruan?" Suara ini
ditambahkan tertawa yang dingin.
"Dasar kamu semua!" membentak Cin Ie dalam panasnya
hatinya. "Kamu yang membikin celaka hingga merek
piauwkiok kami telah kena orang bikin rusak!" Lalu dengan
huncwee-nya ia menyerang imam ini, yang ia arah jalan
darahnya honghu hiat. Saking murka, kelihatan urat-urat di
dahinya pada timbul.
Hian Eng menangkis dengan kebutannya. Kembali dia
tertawa mengejek.
"Toh bukannya aku yang merampas piauwmu itu!" berkata
imam ini, dingin.
"Toh kamulah yang menjadi gara-gara!" membentak pula si
piauwsu. Dalam sengitnya, ia menyerang pula, berulangulang.
Sudah empat puluh tahun ia memimpin piauwkiok,
mengangkut barang-barang orang, inilah yang pertama kali ia
gagal nama baiknya rusak, barang orang mesti diganti! Dan
tadi ia telah menerangkan, tidak nanti ia sanggup
menggantinya...

929
Sekarang ini Hian Eng tidak ada niatnya menempur
piauwsu itu. Ia menyangka barusan adalah si piauwsu yang
sudah menolong jiwanya dengan merintangi tikaman si nona
berandal. Piauw pun sudah kena dirampas orang. Maka itu ia
melainkan membela diri saja. Tapi si piauwsu tidak mengarti
hati orang, ia bahkan bertambah penasaran, saking
mendongkolnya, ia menyerang makin hebat.
Hian Eng pun mendongkol, tetapi ia masih dapat
menguasai dirinya.
"Tua bangka, kau benar-benar keterlaluan!" akhirnya ia
kata dengan sengit,
"Sekarang aku hendak tanya kau, kau ingin atau tidak
mencari piauwmu itu?"
Piauwsu itu terbangun alisnya.
"Tentu saja!" dia menjawab nyaring.
"Bukankah piauw itu dirampas si berandal wanita?" Hian
Eng menanya pula.
"Jikalau bukannya kamu yang mengacau, pasti aku sudah
dapat melewati ini gunung Huyong San?" menyahut Han Cin
Ie, yang jawabannya menyimpang.
"Hutang tinggal hutang!" berkata si imam. "Sekarang mari
kita bicara dari hal di depan mata!"
"Bagaimana?"
"Kau hendak merampas pulang piauw-mu itu! Aku sendiri,
aku hendak merampasnya! Di dalam hal merampas, tujuan

930
kita sama, karena itu, sudah selayaknya apabila kita samasama
naik sebuah perahu!"
"Jadi kau maksudkan kita bekerja sama berdaya mencari
pulang piauw itu?"
"Benar!"
Piauwsu itu berpikir, hanya sebentar, lalu timbul pula
kemurkahannya.
"Aku tidak sudi bekerja sama kamu bangsa hina dina!"
jawabnya.
Hian Eng murka dikatakan hina.
"Kenapa aku hina?" dia menanya.
Justeru itu Pek Beng Coan mendatangi. Dia duduk atas
seekor kuda, tubuhnya bergoyang-goyang seperti hendak
roboh.
Masih Cin Ie gusar. Dia berkata: "Kamu telah menggunai
racun terhadap kuda dan keledai kami hingga binatang itu
roboh semua! Bukankah itu perbuatan sangat hina dina?"
Di mulut piauwsu ini berkata demikian, tubuhnya sendiri
tahu-tahu berlompat memapaki Beng Coan yang ia terus
serang, dengan pipa panjangnya. Belum sampai ujung
huncwee mengenai sasarannya, atau lebih benar, belum lagi
Beng Coan dan kudanya tiba di dekat si piauwsu, orang she
Pek itu sudah roboh sendirinya, sebab kudanya mendadak
meringkik dan berjingkrak.
Hian Eng gusar sekali. Dia membentak: "Kau mengatakan
aku hina dina! Sekarang kau menyerang orang yang lagi
terluka, apakah kau satu enghiong?"

931
Dengan menggeraki kebutannya, imam ini menyerang si
piauwsu. Cin Ie pun sadar atas teguran ini. Bukankah tadi
Beng Coan bekerja sama melawan si berandal wanita, hingga
karenanya, orang she Pek itu mendapat luka terkena dua kali
tikaman si nona? Ia menjadi likat sendirinya. Meski begitu, ia
melawan terus kepada si imam, yang masih menyerang ia
dengan sengit. Pertempuran ini lebih seruh daripada yang
bermula tadi.
Di saat kedua orang itu berkutat hebat, mendadak ada
terdengar seruan yang nyaring tetapi halus: "Kedua
toocianpwee, sabar! Supeecouw kami Tiauw Im Hweeshio
mengundang toocianpwee untuk bertemu!"
Seruan itu berpengaruh, kedua jago itu sudah lantas
berhenti berkelahi. Dengan berdiri berpisahan, mereka
berpaling ke arah dari mana suara itu datang. Maka mereka
lantas mendapat lihat dua orang, yang satu adalah seorang
nona yang cantik, yang lain seorang muda yang romannya
gagah.
Teranglah, si nona yang barusan menyerukan mereka
sabar. Tentu saja, mereka itu ialah Sin Cu dan Seng Lim.
Hian Eng Toojin sudah lantas mengenali Nona Ie. Ia pernah
bertemu nona itu di desa Bu keekhung di waktu ia membantu
Pit Keng Thian merebut kedudukan Toaliongtauw lima propinsi
Utara, bahkan ia ketahui orang adalah muridnya Thio Tan
Hong. Maka ia lantas mengangkat tangannya memberi hormat
kepada si nona.
Han Cin Ie tidak kenal Sin Cu tetapi mendengar suara
orang dan menyaksikan sikapnya Hian Eng Toojin kepada
nona itu, ia pun tidak mau bersikap kasar. Ia bahkan ingat
suatu apa, maka lekas-lekas ia berkata: "Ketika tadi pada

932
permulaan kali aku bertempur sama ini rombongan pengemis,
ada seekor kuda putih yang lari keras di luar rimbah, larinya
cepat luar biasa, selagi aku mengubar si pemimpin pengemis,
penunggang kuda itu telah menyambar padanya dan terus
dibawa pergi. Karena laratnya kuda, aku tidak dapat melihat
nyata penunggang kuda itu. Itu waktu pun masih gelap.
Adakah orang itu Tiauw Im Hweeshio?"
"Benar," menyahut Sin Cu mengangguk.
Mendapat jawaban itu, matanya si piauwsu terbuka lebar,
lalu dia berkata dengan nyaring: "Oh, beginilah satu sahabat
lama membantu aku? Baiklah, aku mesti minta keadilan dari
hweeshio itu!"
"Kiranya Tiauw Im Taysu pun datang ke mari?" berkata
Hian Eng heran. "Dia melihat Pit Yan Kiong mendapat luka,
cara bagaimana dia dapat tidak menolongnya? Sebenarnya
harus dari siang-siang piauw ini sudah kena dirampas, jadi
tidak usahlah sampai terjadi hal bertele-tele seperti ini!"
Sin Cu tidak mem-perdulikan bicara orang, ia tertawa dan
berkata: "Oleh karena supeecouwku itu bersahabat dengan
kedua loocianpwee, maka juga ia menitahkan aku
mengundang kalian!"
Dua-dua orang itu masih mendongkol, mereka
memperdengarkan suara "Hm!" Tanpa mengucap kata-kata
lain, mereka lantas mengikuti Sin Cu dan si pemuda, yang
memimpin mereka sampai di kuil butut. Di sana terlihat Tiauw
Im Hweeshio masih saja menolongi Pit Yan Kiong.
Melihat orang datang, paderi itu tertawa nyaring, terus ia
berkata: "Han Laoko, bagus kau telah datang! Mari kau
keluarkan obat pemunahmu, supaya aku tidak usah
berkutatan lagi menolongi ini pengemis!"

933
Tapi Cin Ie masih gusar.
"Tiauw Im, kau membantu siapa?" ia tanya paderi itu,
suaranya keras.
Tiauw Im terus tertawa.
"Aku tidak membantu siapa juga!" jawabnya. "Bocah wanita
ini baru saja mengatakan aku usilan, suka campur urusan lain
orang! Di mana dua-dua pihak ada sahabat-sahabatku, jikalau
aku membantu salah satu pihak, bukankah urusan bakal
menjadi terlebih hebat lagi?"
Napasnya Cin Ie memburu. Ia masih tetap gusar.
"Kau bilang tidak hendak membantu, mengapa kau
memaksa aku untuk mengeluarkan obat pemunah?" dia
tanya sengit.
Tiauw Im tertawa,
"Sabar, saudaraku!" ia berkata. "Aku hanya minta kau
sukalah mengeluarkan obatmu itu. Aku minta, jikalau kau
tidak melihat muka paderi, melihatlah muka Sang Buddha!"
"Hm!" bersuara pula si piauwsu tua. "Tiauw Im Hweeshio,
kau jadi menggunai pengaruhnya si kakak menindih si adik!"
"Aku tidak demikian muka terang, aku cuma mau minta
sukalah kau memandang kepada Toaliongtauw Pit Keng Than
dari delapan belas propinsi!" berkata pula si paderi tenang.
Piauwsu tua itu tercengang.

934
"Apa kau bilang?" menegasi ia kemudian. "Pit Keng Thian?
Pit Toaliong tauw ?"
"Tidak salah!" menjawab Tiauw Im. "Bukankah ada
harganya untuk kau membeli mukanya Pit Toaliongtauw itu?"
Han Piauwsu agaknya heran.
"Jadi menurut kau," katanya keras, "kawanan pengemis
busuk barusan itu diperintahkan Pit Keng Thian?"
"Sedikitpun tidak salah!" Tiauw Im mengangguk.
Kedua matanya si piauwsu mencilak, dia duduk numprah di
lantai.
"Orang dengan kedudukan sebagai dia masih hendak
merampas piauw-ku yang tidak berharga ini?..." katanya.
"Dan ia pun membiarkan orang-orang sebawahannya itu
menggunai akal keji sekali!" Napasnya kembali memburu.
Hian Eng Toojin turut campur bicara, suaranya dingin:
"Jikalau bukannya kau yang dirampas, habis siapakah?
Siapa suruh kau melindungi barang-barang angkutanmu itu?"
Cin Ie berjingkrak bangun.
"Apa katamu?" dia menjerit. "Aku mengusahakan piauwkiok
, jikalau aku tidak melindungi barang angkutan, apa aku mesti
makan angin saja?"
Ketika itu Pit Yan Kiong telah merasakan sakitnya
kurangan, ia pun turut bicara.

935
"Han Loapiauwsu, apakah kau takut nanti tidak dapat
makan?" dia tanya tertawa. "Justeru di pihak kami ada orangorang
yang perutnya kosong kelaparan!"
"Kau artikan apa?" Cin Ie menanya.
"Tunggu dulu!" berkata Pit Yan Kiong. "Aku numpang
tanya, piauw ini siapakah yang menyerahkannya padamu
untuk dilindungi?"
Piauwsu itu mendongkol.
"Mustahilkah kau tidak ketahui tiga syaratku pantang
melindungi barang angkutan?" ia balik menanya. "Jikalau
angkutanku kali ini angkutan tidak terang, apakah kau kira aku
ada demikian tolol mau melindunginya?"
Kembali Hian Eng Toojin menyelak. Ia kata: "Untukmu, kau
memantang tiga baik, untuk tiga puluh tahun kau tidak
melindungi piauw juga baik, tentang itu aku tidak ambil
perduli! Aku cuma mau tanya kau, piauwmu ini piauw siapa?"
"Bagus betul!" Cin Ie kembali berteriak. "Kau seperti
sedang memeriksa aku!"
“Itulah aku tidak berani," menyahut Hian Eng. "Aku bilang
terus terang, kau sudi mengasi keterangan atau tidak tentang
pemilik barang-barang ini, terserah kepada kau, tetapi kami,
sudah pasti kami menghendakinya!"
Mendengar semua itu, Sin Cu tertawa geli.
“Piauw toh ada di tangan lain orang, loocianpwee, untuk
apa kamu berselisih?" dia bertanya.

936
Pertanyaan ini membuatnya dua jago itu melengak, juga
yang lainnya, hanya kemudian, mereka menjadi tertawa.
Memang benar, mereka lagi memperebuti pepesan kosong!
Karena ini, kedua pihak menjadi terlebih sabar.
Sekarang Seng Lim yang turut bicara.
"Baik kalangan piauwkiok maupun golongan Hitam, masingmasing
ada aturannya sendiri-diri," demikian katanya. "Karena
itu, apabila Han Loopiauwsu tidak sudi memberi keterangan,
tidak apalah, urusan baik disudahi saja..."
"Apa?" berseru Pek Beng Coan, yang sudah membalut lukalukanya.
"Sudah saja? Kau siapa? Kami tidak mengundang kau
untuk mengutarakan pikiranmu!"
"Saudara Pek, aku minta sukalah kau tidak berlaku kurang
hormat," Pit Yan Kiong minta. "Tuan ini ada keponakannya
Yap Tongnia."
Beng Coan heran, hingga ia mengeluarkan suara tertahan.
"Jikalau begitu," katanya kemudian, "tidaklah seharusnya
dia berpihak kepada orang luar..."
Seng Lim tidak menjadi kurang senang.
"Adakah barang-barang ini dikehendaki pasukan rakyat?" ia
tanya.
"Apakah aku memangnya mempunyai pencernaan demikian
besar?" Beng Coan kata, masih rada mendongkol.
"Pamanku..." kata Seng Lim, "apakah ia ketahui urusan
ini?"

937
“Ini... ini..."
Suaranya Beng Coan berhenti setengah jalan.
Perampasan piauw itu terjadi menurut titahnya Pit Keng
Thian sendiri, kepada Yap Cong Liu belum diberitahukan atau
dimintai persetujuannya.
Han Cin Ie lantas berkata: "Jikalau piauw ini dikehendaki
Yap Cong Liu, mungkin terjadi aku nanti memberikan mukaku.
Ha, kiranya kamu memalsukan namanya tentara rakyat!"
Pek Beng Coan murka.
"Apakah Pit Toaliongtauw tidak berhak?" dia berteriak.
"Sekalipun, sekalipun..."
Ia sebenarnya hendak meneruskan: "...sekalipun Yap Cong
Liu, dia mesti mendengar titahnya Pit Toaliong tauw!" Tapi ia
tidak enak hati menyebutkannya, maka ia menambahkan:
"Sekalipun Yap Tongnia berada di sini, piauw ini pastilah dia
pun bakal merampasnya."
Tiauw Im Hweeshio tidak setuju sama perkataan orang, ia
pun polos sekali, maka ia campur bicara: "Kau bukannya Yap
Tongnia, caya bagaimana kau bisa bicara dengan mewakilkan
dia?"
Coba lain orang yang bicara. Akibatnya mungkin hebat,
tetapi paderi ini berkedudukan tinggi dan ia pun baru saja
menolongi Pit Yan Kiong, orang terpaksa berdiam saja.
Seng Lim tertawa, ia berkata pula: "Benarlah apa yang
dibilang Nona Ie barusan! Justeru piauw sudah berada di
tangan lain orang, apa perlunya kita masih memperebutinya?
Lagi dua hari aku bakal bertemu sama pamanku dan Pit

938
Toaliongtauw, itu waktu aku nanti minta merekalah yang
memberikan keputusan. Aku percaya dalam tempo beberapa
hari ini, tidak nanti Leng In Hong dapat meludaskan habis
semua piauw itu! Bukankah sama saja yang piauw itu
dititipkan pada mereka di sana?"
Kata-kata ini sebenarnya dapat menyabarkan kedua pihak.
Han Cin Ie mengangguk.
"Baik," katanya, menyatakan akur, "aku bersedia akan
mendengar kata-kata pamanmu."
Pit Yan Kiong tapi-nya mengkerut alisnya, sedang Pek Beng
Coan berubah air mukanya.
"Tapi, tapi, bagaimana urusan dapat diperlambat?"
katanya.
Piauwsu she Han itu mendongkol juga.
"Habis?" katanya. "Apakah kau ada mempunyai kepandaian
untuk mengambil pulang piauw itu? Kalau benar, aku si orang
she Han nanti menghaturkannya kepadamu dengan kedua
tanganku!"
Beng Coan menjublak meskipun ia merasa sangat terhina.
Ketika itu terdengar ketokan pada pintu kuil. Sin Cu membuka
lebar matanya, ia tertawa.
"Lihat, orang mendahului datang lebih dulu!" katanya.
Seng Lim bertindak ke pintu, untuk membukakan.
Yang datang itu dua nona muda yang mengenakan baju
warna kuning gading serta pinggang dilibat sabuk putih, yang

939
satu membawa sebuah peti kecil, yang lain me-nengteng
tengloleng. Mereka bertindak masuk dengan pelahan-lahan.
Mereka ialah pengiring-penginngnya Leng In Hong si
berandal wanita berpelangi merah.
Nona yang membawa peti itu menyapu semua orang di
dalam ruang, habis itu sinar matanya berhenti kepada Sin Cu.
Ia lantas maju menghampirkan, ia mengangsurkan petinya itu.
"Pemimpin kamu menitahkan mengundang siapa?" Nona Ie
bertanya.
"Kami dititahkan meminta nona membuka peti ini," sahut
nona itu.
Sin Cu bersangsi sebentar, akhirnya ia membuka juga. Ia
melihat di dalam situ ada terletak tiga biji kimhoa atau bunga
emas, ditaruhnya rapi sekali.
Pengiring itu segera berkata: "Pemimpin kami mengundang
pemiliknya ketiga bunga emas ini."
Sin Cu bersenyum, ia menjemput bunga emas itu.
"Kepandaian tidak berarti pastilah telah membuatnya
pemimpinmu tertawa," ia berkata.
"Bunga emas nona hebat sekali," berkata pengiring itu,
"pemimpinku sangat mengaguminya. Dengan memandang
bunga emas ini, kami minta sukalah nona serta semua tuantuan
di sini berangkat ke gunung kami."
Sampai di situ barulah Hian Eng Toojin mendusin, dalam
pertempuran tadi, selagi ia terancam bahaya, Sin Cu adalah

940
orang yang telah menolongi padanya. Ia tadinya menyangka si
penolong adalah Han Cin Ie si piauwsu tua.
Pit Yan Kiong tertawa.
"Nona, kali ini kami mendapat kehormatan dari kau!" ia
berkata. "Saudara Pek, kau tolong pepayang aku mendaki
gunung!"
"Kau baik beristirahat saja," Beng Coan bilang. Sebenarnya
ia likat.
"Nona Ie ada bersama kita, piauw itu pastilah ini hari akan
didapat pulang!" kata Pit Yan Kiong dengan kepercayaan
penuh.
"Hai, siapa berkelakar denganmu?" kata Sin Cu.
Pit Yan Kiong tertawa pula.
"Nona yang baik," katanya, "mana berani aku berlaku
kurang ajar terhadapmu? Mengenai piauw ini, aku benarbenar
mengharap pertolonganmu. Dengan melihat muka
gurumu yang bersahabat erat dengan pemimpin kami, piauw
itu tidak dapat kau tidak mengambilnya pulang..."
Dengan bantuannya tembok Pit Yan Kiong lantas menekuk
sebelah lututnya di depan Nona Ie. Ia bersikap sungguhsungguh
sekali, hingga ia membuatnya si nona kurang enak
hati.
"Biar bagaimana Pit Keng Thian bukan sembarang orang,"
nona ini berpikir. "Dan ini Hian Eng Toojin, dia ada dari
golongan sadar. Mereka begini, keras menghendaki piauw,
mungkinkah ini ada hubungannya yang luar biasa?"

941
"Eh, Han Toako, marilah obat pemunahmu!" Tiauw Im
meminta pula kepada Cin Ie. "Aku akan berdiam di kuil butut
ini mewakilkan kamu menjaga rumah sekalian menolong
mengobati ini beberapa tuan pengemis yang terluka."
Han Cin Ie lantas berpikir. Memang busuk perbuatannya
Kaypang merampas piauw-nya, tetapi mencelakai jiwa mereka
pun perbuatan salah dari pihaknya. Tadinya ia tidak
mengetahui duduknya hal, tapi sekarang, setelah duduknya
sudah terang, sudah sepantasnya kalau ia tidak mengambil
sikap keras terus menerus. Maka itu, setelah berpikir sejenak,
ia keluarkan obatnya, ia serahkan itu pada Pit Yan Kiong.
"Kau memberikan obat padaku, aku terima kebaikan kau,"
berkata Yan Kiong tertawa. "Hanya tentang piauw-mu itu,
tidak dapat tidak, aku mesti mengambilnya."
Cin Ie mengasi dengar suara dingin.
"Boleh!" jawabnya. "Lihat saja nanti bagaimana
kepandaianmu!"
Sampai di situ, orang lantas berangkat. Cuma Tiauw Im
dan mereka yang terluka yang tidak turut. Orang pun
mengikuti kedua pengiring perempuan dari Leng In Hong.
Gunung Huyong San itu ada salah satu cabang dari
pegunungan Sianhee Nia. Keletakan gunung tidak berbahaya
tetapi setelah diatur In Hong, kedudukannya menjadi kuat. Di
semua tempat penting ada benteng yang kuat mirip dengan
kota tembok. Menyaksikan itu, Seng Lim pun diam-diam
memuji dan ia mengagumi si nona berandal. Sekarang ia
mengarti, di atas gunung pun ada orang yang tak kalah
pandai dengan seorang panglima perang.

942
Tiba di muka markas, kedua pengiring meminta tetamutetamunya
menanti sebentar. Mereka lantas masuk ke dalam
untuk memberi lapuran.
Orang tidak usah menanti lama akan mendengar suara
tambur tiga kali, lalu pintu markas yang besar dipentang
lebar-lebar. Atas itu, Seng Lim segera tarik tangannya Sin Cu,
untuk mendorong si nona maju di depan mereka. Itulah
aturan kaum Rimba Persilatan, siapa yang diundang, dia mesti
berada di muka, lain orang tidak dapat mendahului dia.
Dari dalam gedung markas terlihat keluarnya dua barisan
serdadu wanita, di tengah-tengah muncul Leng In Hong, yang
lengkap dengan seragam dan pedang di pinggangnya. Ia
menyambut dengan hormat, sebagai Sin Cu juga bersikap
sopan sekali. Paling dulu keduanya belajar kenal.
"Nona Ie, bagaimana kau menyebutnya terhadap Tayhiap
Thio Tan Hong?" tiba-tiba nona rumah menanya.
"Tayhiap itu ialah guruku," Sin Cu menjawab merendah.
Lantas In Hong tertawa.
"Pantas bunga emas nona liehay sekali!" ia berkata. "Kalau
begitu, tentulah nona yang kaum kangouw julukkan Sanhoa
Liehiap?"
Di waktu menanya demikian, sinar matanya nona ini
menjadi sedikit luar biasa.
"Semua itu ada bisanya cianpwee kaum kangouw," Sin Cu
merendah. "Aku sendiri tidak berani menyebutkan diriku
liehiap."

943
Liehiap itu pendekar wanita dan "Sanhoa" berarti "Penyebar
Bunga."
"Orang punya nama sama seperti bayangan pohon,"
berkata pula In Hong, "begitu dengan kau, nona. Kau ada dari
keluarga setia dan berbakti, kau pun gagah sekali, aku sangat
mengaguminya. Nona, harap kau suka terima hormatku."
Orang heran akan sikapnya ini kepala berandal. Bukankah
ia seorang ketua gunung yang gagah? Bukankah ia tengah
mengundang tetamu? Bukankah pantas kalau ia perlakukan
tetamunya sebagai sesamanya? Tapi sekarang tidak! Nona ini
berlaku demikian merendahkan diri, inilah tidak umum.
Sin Cu lekas-lekas menyingkir untuk pemberian hormat ratu
berandal itu, yang menjura terhadapnya, tetapi In Hong lebih
sebat daripadanya, dia dapat merintangi dan dia terus saja
menjura dengan dalam, maka mau atau tidak Sin Cu
menerimanya sambil lekas-lekas membalas hormat. Ia
menekuk sebelah kakinya.
Selagi memberi hormat, In Hong mendadak mencekal
kedua lengan Nona Ie. Kelihatannya ia hendak memimpin
bangun. Sin Cu terkejut, ia bercuriga.
"Mungkinkah ia hendak sekalian menguji aku?" terkanya. Ia
lantas bersedia.
In Hong tetapinya tidak menguji, ia menjalankan
kehormatan. Ketika ia mengangkat mukanya, kelihatan
matanya merah.
"Seumurku aku paling menghargai Ie Tayjin dan Thio
Tayhiap," ia berkata.

944
"Ketika dulu hari Ie Tayjin terfitnah dan terpenjara, aku
menyesal sekali yang aku tidak dapat menolongi. Maka itu
hormatku ini adalah hormatku untuk ayahmu almarhum itu,
dan aku minta sukalah encie mewakilkan ayahmu itu
menerimanya."
Sin Cu malu kepada dirinya sendiri. Siapa nyana Angkin
Liecat yang umum menamakannya hantu wanita sebenarnya
mempunyai sifatnya seorang ksatrya, bahkan dia memuji
kepada ayahnya. Tentu sekali ia tidak dapat menolak hormat
itu, ia menerimanya dengan air mata mengembeng. Ia
menyekal keras tangannya Nona Leng, sebagai juga
merekalah encie dan adik yang sudah bertahun-tahun tidak
pernah bertemu satu dengan lain.
Menyaksikan itu, Han Cin Ie dan Hian Eng Toojin girang
sekali. Keduanya tidak menyangka juga si bandit wanita
demikian menghormati Sin Cu. Karena ini timbul harapan
mereka bahwa piauw gampang akan diminta pulang.
Kemudian Leng In Hong undang Sin Cu duduk di kursi atas,
ia terus berkata: "Kali ini aku mengundang encie mendaki
gunungku ini kesatu karena aku mengagumi encie sekalian
untuk belajar kenal dan kedua aku ingin minta keterangan
apa maksudnya encie telah menggunai tiga bunga emasmu."
Melihat nona itu berlaku jujur, Sin Cu tidak mendusta.
"Buat bicara terus terang, itulah ada berhubung sama
urusan piauw," sahutnya.
"Ah, mengenai urusan piauw." nona itu agak heran.
"Benar! Piauw ini dilindungi oleh Han Loopiauwsu."

945
“Itulah aku pun sudah ketahui," berkata si nona berandal.
"Tidak dapat tidak, piauw ini mesti aku rampas!"
"Piauw ini hebat sangkut pautnya," Sin Cu memberitahu.
"Juga Pit Keng Thian berniat merampasnya. Ah, sungguh
aku tidak mengarti, kenapa kalian semua hendak merampas
piauw ini. Bukankah di dalam ini ada hubungannya yang
ruwet? Aku kira tidaklah halangannya jikalau kalian
menjelaskan duduknya hal."
Leng In Hong agaknya heran.
"Apa?" katanya. "Pit Keng Thian yang mengangkat dirinya
menjadi Toaliongtauw dari delapan belas propinsi juga
menghendaki piauw ini? Jadi ini serombongan pengemis serta
si hidung kerbau adalah orang orang suruhannya? Hm! Dan
mereka merampas piauw dengan menggunai cara yang
rendah sekali! Jikalau kau tidak mengasi tahu, encie, sungguh
aku tidak dapat mempercayainya!"
Tanpa tedeng aling, bandit wanita itu menyebutnya Hian
Eng Toojin si hidung kerbau.
Mau atau tidak, Sin Cu merasakan mukanya panas. Hebat
Pit Keng Thian dijengeki. Tetapi memang biasa Toaliongtauw
itu bertindak tanpa memikir masak-masak. Maka itu, tidak
dapat ia membilang suatu apa.
Akan tetapi Pit Yan Kiong memikir lain. Ia berjingkrak
bangun.
"Aku mohon tanya, ceecu," katanya sambil tertawa hihihihi.
"Kalau ada lain orang menandalkan golok dibatang
lehermu, apakah nanti kau minta dulu orang itu meletaki
goloknya, untuk undang ia secara laki-laki mengadu

946
kepandaian? Atau segera saja kau berontak, untuk menghajar
roboh kepadanya?"
"Kata-katamu ini apa artinya?" Leng In Hong menegaskan.
Han Loopiauwsu pun berjingkrak bangun, mukanya merah.
"Ya, apakah artinya kata-katamu ini?" ia juga menanya.
"Aku melindungi barang angkutanku, dengan kau ada apakah
sangkutannya?"
Pit Yan Kiong tertawa dingin.
"Piauw-mu ini hendak diangkut ke Ouwpak," sahutnya, “Itu
artinya kau menolongi pemerintah menggosok tajam puluhan
laksa golok yang hendak dipakai untuk mencelakai tentara
rakyat di Kanglam."
"Ngaco belo!" membantah Han Cin Ie. "Tahukah kau, aku
mengangkut piauw apa?"
Leng In Hong melirik kepada piauwsu itu.
"Bagus!" katanya, mendahului Pit Yan Kiong. "Memang
hendak aku melihatnya piauwmu ini piauw apa!"
Justeru itu sejumlah serdadu wanita masuk ke dalam ruang
membawa peti-peti dan keranjang-keranjang piauw yang
mereka rampas kemarinnya, semua itu ditumpuk di ruang itu.
"Han Piauwtauw, cobalah kau bilang," berkata Leng, In
Hong kepada Cin Ie, "piauw apakah yang kau lindungi?"
“Itulah bahan obat-obatan penting yang Keluarga Ghak dari
Pakkhia minta aku mengantarnya ke Ouwpak," menjawab
piauwsu yang ditanya. "Obat-obatan itu ada untuk menolong

947
orang banyak yang tengah menderita sakit. Ada apakah
salahnya?"
Keluarga Ghak di Pakkhia itu adalah toko obat-obatan yang
paling kesohor dan untuk kota raja adalah keluarga terkaya,
memang setiap tahun satu kali dia minta pertolongan piauwsu
akan melindungi obat-obatannya yang di kirim ke Kanglam,
maka juga dialah langganan paling bagus untuk setiap
piauwkiok. Tahun ini katanya berharga sekali piauw-nya itu
maka juga sengaja diminta bantuannya Han Loopiauwsu yang
kenamaan itu.
Sin Cu heran.
"Kalau benar obat-obatannya Keluarga Ghak, lebih tidak
layak lagi piauw ini dirampas," pikirnya.
"Menolong orang banyak!" berkata Pit Yan Kiong dengan
dingin. "Aku justeru bilang untuk mengacau negara
mencelakai manusia!"
"Ah!" seru Han Piauwsu, "rupanya di mulut anjingmu tidak
tumbuh caling gajah!"
Leng In Hong tidak mengambil mumat orang mengadu
mulut. Ia angkat tangannya.
"Buka semua peti ini!" ia memberi titah.
Han Cin Ie gusar bukan kepalang hingga tubuhnya
bergemetar.
"Apakah ini bukan berarti merusak obat-obatannya?" ia
berteriak. Ketika ia diserahkan piauw itu, pihak Keluarga Ghak
telah memesannya, kebanyakan obat itu mesti ditutup rapat
sekali, tidak boleh terkena angin atau hawanya keluar. Tapi

948
piauwsu ini tidak dapat mencegah. Kawanan serdadu wanita
sudah lantas bekerja melakukan titah pemimpinnya.
Dengan dibukanya peti-peti dan keranjang, obat-obatan itu
jadi berhamburan, tetapi yang hebat, yang membuatnya
orang tercengang, adalah di antara itu terlihat lempenganlempengan
emas yang kuning berkilauan.
Pit Yan Kiong segera mengasi dengar pula tertawanya yang
dingin.
"Bagaimana?" dia berkata. “Inilah hartanya negara, untuk
dipakai mengongkosi angkatan perangnya! Jumlah ini
berharga tujuh ribu laksa tail perak! Inilah perbuatannya
Kiubun Teetok dari kota raja yang memaksa Keluarga Ghak
itu mengirimkannya dengan memakai nama obat-obatan.
Sepuluh laksa serdadu negara di Ouwpak kekurangan
rangsum, jikalau mereka tidak ditolongi, mereka bakal bubar
sendirinya tanpa berperang lagi! Sekarang kau mengantar
piauw ini ke Ouwpak, bukankah itu berarti kau memberi
makan obat penyambung jiwa kepada ratusan ribu serdadu
itu, supaya dapat menggosok tajam puluhan laksa goloknya
untuk nanti dipakai melawan kami?"
Han Loopiauwsu berdiri diam, ia merasakan tubuhnya
dingin bagaikan es. Inilah ia tidak sangka sama sekali. Untuk
seumurnya ia belum pernah mengangkut uang negara, tetapi
kali ini, ia terpedayakan. Keluarga Ghak itu pengusaha obatobatan
yang sangat kesohor, siapa nyana dia telah dipaksa
pembesar negeri untuk mendusta, hingga ia kena ditipu.
Pek Beng Coan segera mengasi dengar suaranya yang
nyaring, "Han Loopiauwsu, telah kau melihat nyatakah?
Jadinya, pantas atau tidak jikalau kami memegatnya untuk
dirampas?"

949
Han Cin Ie tidak menjawab, hanya mendadak tubuhnya
roboh terguling. Ia jatuh pingsan.
"Pimpin dia bangun!" memerintah Leng In Hong. "Semprot
dia dengan air dingin!"
Sin Cu menghela napas. Ia menyesal bukan main. Ia ingat
kesetiaannya ayahnya terhadap pemerintah, siapa dapat
menerka, pemerintah justeru bertindak secara begini hina dina
memaksa sebuah perusahaan swasta main gila hingga sua t u
piauwsu kenamaan turut menjadi kurbannya. Pula, begitu
banyak obat di kirim ke Kanglam, tidaklah di Utara orang nanti
kekurangan obat-obatan itu?
Pit Yan Kiong sebaliknya puas sekali.
"Syukur sekali kupingnya Toaliongtauw kami sangat tajam!"
ia berkata. "Pemerintah tentunya menganggap kami tidak
membegal angkutan piauwkiok, dengan begitu harta besar ini
dapat diselundupkan. Haha! Akhirnya toh kita mendapat tahu
juga dan memegatnya!"
Tidak senang Leng In Hong mendengar suara orang itu.
"Tetapi piauw ini bukannya berada dalam tangan kamu!"
katanya dingin.
Melengak wakilnya Pit Keng Thian itu.
"Apa?" dia menegaskan. "Duduknya harta ini sudah jelas
sekali, apakah kau masih hendak merampasnya?"
Si nona tertawa bergelak.
”Pit Keng Thian dapat merampasnya, apakah aku tidak?"
dia menanya.

950
"Encie," Sin Cu turut bicara, "aku harap encie suka
memandang kepada tentara rakyat yang dipimpin Yap Cong
Liu, sukalah kau mengangkat tanganmu dan melepaskannya."
Nama Yap Cong Liu besar sekali, walaupun resminya Pit
Keng Thian menjadi Toaliongtauw, pemimpin utama dari
delapan belas propinsi, toh orang tetap menghormati dia itu.
Mendengar disebutnya nama Yap Cong Liu, berubah air
mukanya si nona, "bandit," dia bersenyum.
“Ini rombongan pengemis jahat dan imam bau tak sudi aku
memperdulikannya," ia berkata, "tetapi terhadap Yap Toako
serta kau, suka aku menjualnya!"
"Oh, encie, banyak-banyak terima kasih!" berkata Sin Cu
girang sekali.
Leng In Hong tertawa.
"Yap Toako tidak ada di sini, kaulah menjadi si pelindung,"
ia berkata pula.
"Ya, anggaplah aku yang melindunginya" berkata pula
Nona Ie.
Hian Eng Toojin dan Pit Yan Kiong berubah air mukanya
masing-masing. Hebat mereka dicaci, mereka tak dipandang
sama sekali.
"Bagus, encie," berkata pula In Hong. "Sekarang aku
mohon encie suka memberikan pelajaran kepadaku. Aku
memang ingin sekali menyaksikan ilmu pedang yang
diturunkan Thio Tayhiap."

951
Mendengar itu, Sin Cu tidak menjadi heran. Ia mengarti
maksudnya "bandit" wanita ini, yang hendak memegang teguh
aturan Rimba Persilatan, yaitu mereka mesti bertanding dulu.
"Kalau begitu, encie, maaf," berkata Nona Ie, yang terus
menghunus pedangnya.
In Hong pun bersiap, maka keduanya lantas berdiri
berhadapan.
"Encie datang dari jauh, encielah si tetamu," berkata Nona
Leng. "Karena tuan rumah tidak dapat melancangi tetamu,
silahkan encie yang mulai."
Sin Cu tidak mau memakai banyak aturan lagi.
"Baiklah, aku memperlihatkan kejelekan-ku," ia kata,
merendah. Ia lantas menyerang. Karena ia kagumi nona
berandal itu, ia cuma menikam asal saja.
Beda daripada Nona Ie, Leng In Hong berlaku sungguhsungguh.
Ia berkelit dari tikaman. Hampir berbareng dengan
itu, ia melesat ke samping. Maka di lain detik ia sudah berada
di belakang lawannya. Sangat gesit gerakan tubuhnya itu. Di
sini tanpa bersangsi lagi ia menikam punggung lawannya.
Sin Cu terkejut. "Oh, kiranya dia bertanding benar-benar,"
pikirnya. Ia lantas memutar tubuhnya, pedangnya dipakai
menangkis. Ia menggunakan jurus "Burung belibis pulang ke
Selatan," salah satu dari Hian Kie Kiamhoat, ilmu pedang dari
Hian Kie Itsu. Dengan ini ia dapat menggagalkan serangan
lawan. Karena ia juga menjadi bersungguh-sungguh, lantas ia
membalas menyerang dengan jurusnya "Bidadari melempar
torak," hingga sekarang ialah jadi si penyerang, seperti tetamu
yang berbalik menjadi tuan rumah. Yang menjadi sasaran ada
jalan darah honghu hiat dari Nona Leng.

952
"Bagus!" berseru In Hong dengan pujiannya. Ia berkelit, ia
pun memutar tubuhnya, dalam gerakannya "Burung rajawali
menembusi rimba" serta sikapnya "Souw Cin menggendol
pedang," setelah mana, belum lagi tubuhnya mutar semua,
pedangnya sudah menikam. Ia pun membalasnya.
Sin Cu melihat satu lowongan, ia mengangkat pedangnya
dengan jurusnya
"Mengangkat obor menyuluhi langit." Atau tiba-tiba ia ingat
pedangnya ada pedang mustika. Jelek kalau ia menabas
kutung pedang lawannya itu. Tengah ia berpikir, angin pedang
lawan sudah menyamber.
Segera ia berkelit. Lantas ia merasa pedang nona itu
seperti lewat di atasan rambut di samping kupingnya. Ia
lantas menjejak, untuk mencelat menyingkir dua tombak.
Leng In Hong benar-benar gesit. Dalam sekejab itu ia pun
sudah lompat menyusul.
"Encie, jangan sungkan-sungkan!" kata nona Leng ini.
Selagi mulut mengucap demikian, ia pun menyerang pula. Ia
benar-benar tidak berlaku sungkan, beruntun ia mendesak
dengan tiga jurus "Kera putih menghaturkan buah", "Dewa
menunjuki jalan," dan "Burung garuda mementang sayap."
Mau atau tidak, Sin Cu dipaksa bangun semangatnya untuk
melayani. Kalau tidak, ia bakal terdesak. Selang dua puluh
jurus, barulah ia dapat meloloskan diri dari rangsakan
lawannya. Ia merasa ilmu pedang In Hong luar biasa. Sampai
itu waktu, kekuatan mereka nyata berimbang. In Hong
menang sedikit di atas angin, karena pedangnya ada pedang
biasa, bukan pedang mustika.

953
Lewat lagi tiga puluh jurus, lalu terlihat perubahan pada In
Hong. Tubuh nona itu bergerak lebih lincah dan gesit lagi. Sin
Cu terus melayani dengan sama sebatnya, dengan hati-hati
sekali. Ia heran, sampai kira-kira seratus jurus, ia masih belum
bisa menerka nona itu ada dari partai persilatan mana. Ia
menginsafinya, coba selama dua tahun ini ia tidak
memperoleh kemajuan pesat, mungkin sukar ia melayani
Nona Leng itu.
Pertandingan berlangsung terus. Karena perhatiannya yang
sungguh-sungguh, kemudian Sin Cu mulai dapat merabahrabah
juga ilmu silat lawannya itu. Ia melihat tiga dasar:
Butong Pay, Siauwlim Pay atau Siongyang Pay.
Hian Eng Toojin dan Pit Goan Kiong sekalian berhati cemas.
Mereka mengharap-harap Nona Ie yang menang, tetapi
pertandingan itu nampaknya bertele-tele, hingga tak tahu
mereka kapan bakal akhirnya. Tetapi mereka tidak usah
menunggu lama lagi.
Mendadak terdengar suara "Traang!" sebagai akibat dari
perubahan serangan In Hong. Tiba-tiba saja nona ini
merangsak hebat, hingga Sin Cu pun mesti mempertahankan
diri. Suara itu berbunyi setelah Nona Ie menangkis satu
serangan dahsyat. Akibatnya ialah pedang In Hong kena
dibikin kutung. Tetapi di lain pihak, dia masih dapat
menyampok, maka itu pedang Sin Cu pun terpental, terlepas
dari cekalan.
Mulanya Hian Eng semua girang melihat Nona Ie menang,
hanya belum sempat mereka bersorak, mereka pun mesti
menyaksikan pedang si nona terbang, hingga mereka menjadi
kecele.
Sampai di situ pertandingan itu.

954
"Encie, telah aku belajar kenal dengan ilmu pedangmu,"
berkata In Hong sambil bersenyum. "Sungguh hebat
kepandaianmu itu! Tetapi, encie, aku berminat berlebihlebihan.
Sekarang aku ingin sekali belajar kenal dengan
senjata rahasiamu."
Sin Cu senang dengan tantangan itu. Kesudahan tadi seri,
ia tidak puas. Biar bagaimana, ia menang karena Cengbeng
kiam pedang mustika dan Cengkong kiam pedang biasa.
"Encie sudah memberi pengajaran, inilah minta pun aku tak
dapat," sahutnya.
"Silahkan encie tunjuki caranya."
"Aku pikir lebih baik kita mulai dengan piebun, lalu dengan
piebu," In Hong mengutarakannya.
Sin Cu heran juga dalam hal mengadu senjata rahasia ada
piebun dan piehu. Yang pertama ada cara halus atau sipil
(pun), dan yang kedua cara keras atau militer (bu). Selagi ia
berpikir, Nona Leng sudah menjelaskan pula: "Encie datang
dari tempat jauh, encie adalah tetamu, maka itu suka aku
mengalah membiarkan encie menyerang lebih dulu dengan
tiga buah senjata rahasiamu, umpama kata aku beruntung
berhasil meloloskan diri, aku baru akan minta encie mengalah
untuk aku menyerang padamu. Ini yang dinamakan piebun .
Jikalau dua-dua tidak ada yang gagal, hah, barulah kita piebu.
Kita saling menyerang dengan merdeka, baru kita berhenti
sesudah ada keputusan siapa lebih kuat dan lebih lemah."
Mendengar itu, Sin Cu tertawa.
"Dengan begitu bukankah aku jadi menang di atas angin?"
tanyanya.

955
"Berlaku hormat tak ada yang lebih baik daripada menurut
perintah," Hian Eng Toojin menyelak. "Nona Ie, baiklah kau
jangan menampik."
Sin Cu pun percaya tidak nanti In Hong suka menyerang
terlebih dulu, maka itu ia lantas menyiapkan tiga buah
kembang emasnya.
Ia memberi hormat seraya berkata: "Baiklah, encie. Harap
maafkan aku berlaku kurang hormat!"
Dengan satu suara, Nona Ie menggeraki dua jari tangannya
membikin menyambar sebuah kimhoa. Atas itu, tubuh In Hong
pun bergerak memutar, membikin kimhoa itu lewat di samping
kupingnya. Hanya berbareng dengan itu, nona ini telah
menarik turun pelangi merahnya.
Sin Cu mengulangi serangan yang kedua. Leng In Hong
tidak lagi berkelit sebagai tadi, hanya pelanginya diangkat
bagaikan diayun, atas mana kimhoa lenyap seperti nyemplung
di laut, tanpa suara, tanpa bekas.
Terperanjat Sin Cu. Tapi ia sadar, maka ia menimpuk pula.
Sudah tentu sekarang kecuali berlaku sebat ia pun menambah
tenaganya. Ia mengarah jalan darah kioktie hiat dari si nona.
"Bagus!" berseru In Hong memuji. "Nama Sanhoa Liehiap
bukan nama belaka!"
Mulutnya berseru memuji, tubuh Nona Leng itu berputar
dengan lincah sekali, pelanginya pun berkelebat kemerahmerahan.
Menyusul itu terdengar bentrokan dari dua rupa
benda keras. Sebab In Hong, dengan meminjam kimhoa yang
ia tanggapi tadi, menangkis kimhoa yang ketiga itu, tepat
tangkisannya, hingga kedua kimhoa bersuara nyaring, lalu
dua-duanya mental jatuh di lantai!

956
Kimhoa atau bunga emasnya Sin Cu, lembaran bunganya
tajam seperti pisau, In Hong dapat menangkapnya itu dengan
pelangi merah, itulah hebat, sekarang ia dapat pakai
menangkis, itulah terlebih hebat pula. Hian Eng semua
melengak menyaksikan kepandaian bandit wanita itu. Tak
usah dibilang kekagumannya Sin Cu sendiri.
In Hong sudah lantas memakai pula pelanginya.
"Terima kasih untuk mengalahmu, encie." katanya tertawa.
Tapi ia bukan cuma berkata merendah itu, tangannya terayun
secara mendadak, lalu tanpa menerbitkan suara apa juga,
senjata rahasianya sudah menyerang.
Sin Cu celi matanya. Ia menunggu sampainya senjata, baru
dengan hebat dan lincah ia berkelit. Ia sudah paham dengan
gerakan "Menembusi bunga mengitarkan pohon," ia dapat
bertindak dengan gesit sekali. Kelincahannya itu tak kalah
dengan kelincahan In Hong.
Semua serdadu wanita kagum, mereka bersorak memuji.
Selagi serdadu-serdadu itu bersorak, In Hong sudah
menyerang untuk kedua kalinya. Kali ini senjatanya itu
mengasi dengar satu suara nyaring, sebelum tiba kepada
sasarannya, berputar dulu di udara, baru berbalik menyambar
Nona Ie.
Sekarang Sin Cu mendapat kenyataan orang menggunai
Ouwtiap piauw, atau piauw "Kupu-kupu," yang dapat
bersuara. Sambil memuji "Bagus!" ia berkelit pula, berkelit
dengan gerak-geriknya "Burung walet menyambar
gelombang" dan "Cecapung menowel air." Tiga kali piauw itu
berputar balik mengubar dia, tiga-tiga kalinya gagal, akhirnya
jatuh.

957
"Sungguh kau liehay sekali, encie." memuji In Hong.
Kembali, membarengi pujiannya, menyambarlah senjatanya
yang kedua.
Sin Cu berkelit dengan segera, lalu ia menjaga. Karena
sekarang ia sudah ketahui gerak berbalik dari piauw itu, yang
seperti boomerang, begitu piauw berbalik, segera ia
menyerang dengan sebuah bunganya, maka tepat kedua
senjata rahasia itu bentrok satu pada lain, suaranya nyaring.
Kimhoa mental. Tapi, kebetulan sekali, mentalnya itu
menyambar piauw ketiga yang Nona Leng melepaskannya
dengan segera, maka ini kedua senjata pun berbareng jatuh.
Kali ini Sin Cu menggunai kimhoa menurut ajaran ilmu
Itciesian, Sebuah Jeriji, dari Ouw Bong Hu. Sebenarnya ia baru
memahamkannya tiga bagian kepandaian itu tetapi buktinya
sekarang dapat ia gunakan itu untuk melayani In Hong.
"Piebun berkesudahan tidak ada yang tinggi dan tidak ada
yang rendah," berkata Nona Leng. "Sekarang marilah kita
piebu."
"Baik!" menyahut Nona Ie bersedia melayani. "Sekarang
silahkan encie yang memberi petunjuk padaku."
Tubuh In Hong bergerak dengan lantas, disusul sama
terayunnya tangannya. Ia menyerang dengan Ouwtiap piauw,
piauw Kupu-kupunya itu, bahkan sekali ini, ia menggunai
berbareng seraup terdiri dari dua belas biji, hingga senjata
rahasianya itu, setelah penyerangan yang pertama, lalu
beterbangan saling menyambar.
Mulanya Sin Cu berkelit, habis itu ia lawan semua piauw
dengan bunga emas. Ia tidak saja menggunai ilmu

958
kepandaiannya Ouw Bong Hu, ia menelad juga pelajaran dari
persaudaraan Akhmad. Maka dengan melesatnya tak hentinya
bunganya, suara "Trang-trang!" tak hentinya terdengar,
disebabkan bentroknya kedua senjata rahasia itu. Ia juga
menggunai dua belas kimhoa. Keras serangannya kimhoa,
Ouwtiap piauw terserang mental kalang kabutan.
Leng In Hong kaget bukan main apapula ketika sebuah
kimhoa melesat ke arahnya. Ia masih sempat berkelit, tetapi
selagi ia mendak, kimhoa menyambar pelangi merahnya,
hingga separuh dari pelangi itu putus dan terbawa terbang!
Selagi orang banyak agaknya bingung, karena mata mereka
seperti kabur, Leng In Hong lompat ke luar gelanggang sambil
ia tertawa bergelak-gelak.
“Ilmu menyebar bunga sungguh tidak ada tandingannya
dalam dunia ini!" demikian dia berseru dengan pujiannya, “
Encie, kali ini benar-benar adikmu kagum sekali, ia takluk!"
"Kau terlalu memuji, encie," Nona Ie merendahkan diri,
sedang hatinya girang sekali mendapatkan nona itu polos.
Pit Goan Kiong dan Pek Beng Coan girang Leng In Hong si
berandal wanita dari gunung Hu-yong-san, sedang mengadu
kepandaian dengan Ie Sin Cu, pendekar wanita penjebar
bunga. luar biasa karena kemenangannya Sin Cu itu, mereka
sampai lompat berjingkrak.
"Hai, kamu merepoti apa?" In Hong menegur. Tanpa
menanti jawaban, ia menyuruh serdadu-serdadunya
merapikan pula peti-peti obat-obatan atau harta itu, kemudian
sambil tertawa, ia berpaling kepada Sin Cu dan berkata:
"Encie, menuruti aturan kita kaum kangouw, piauw ini harus
diserahkan padamu!"

959
Pit Goan Kiong lantas saja menjura.
"Nona, terima kasih banyak!" ia berkata. Tetap pengemis
ini bergirang.
"Nona Ie," berkata Pek Beng Coan kepada Sin Cu, "belum
lagi kau tiba di dalam markas kita, sudah kau membuat ini
jasa besar luar biasa, sungguh kau harus diberi selamat!"
Sin Cu tidak ambil mumat apa yang orang bilang, ia
melainkan bersenyum.
"Yap Toako, kemari!" sebaliknya ia memanggil Seng Lim
kepada siapa ia berpaling.
Seng Lim menyahuti dan menghampirkan. Semenjak tadi
orang bicara dan adu kepandaian, pemuda ini berdiam saja, ia
melainkan waspada.
"Piauw ini aku serahkan kepada kau, toako," berkata Sin Cu
pula. "Dan kau, terserah kepada putusanmu sendiri, kau
hendak menghaturkannya kepada pamanmu atau langsung
kepada Pit Keng Thian. Setelah aku menyerahkannya
kepadamu, aku tidak mau mengambil tahu lagi!"
Pit Goan Kiong dan Pek Beng Coan sudah girang sekali,
mereka menduga piauw itu bakal diserahkan kepada mereka,
dari itu bukan main kecewanya mereka akan mendapatkan si
nona menyerahkannya kepada si pemuda she Yap.
Mereka pun menganggap, kecuali mereka, Pit Keng Thian
turut hilang muka karenanya. Tapi, memikir lebih jauh, Yap
Cong Liu juga ada orang sendiri, mereka dapat melegakan hati
mereka. Terpaksa mereka membungkam.

960
Sementara itu muncul seorang budak yang mengenakan
baju warna gading. Ia memberitahu bahwa "si orang tua
sudah sadar dan tengah memukuli dada sambil berulang-ulang
menghela napas panjang pendek."
In Hong menyambut warta itu dengan tertawa.
"Dia kehilangan piauwnya seharga tujuh puluh laksa tahil,
tidak heran jikalau dia jadi sangat berduka!" katanya. Pergi
kau berikan dia uang beberapa tail untuk ongkos jalan, kau
antar dia turun gunung..."
Belum berhenti suara si nona ini, Han Cin Ie tampak lari
mendatangi, tubuhnya limbung.
"Aku mempunyai mata tetapi tidak bijinya!" terdengar
suaranya yang keras tetapi serak. "Sudah empat puluh tahun
aku melindungi piauw, akhirnya kali ini aku roboh! Saudara
Hian Eng, kau jujur, maka itu tolong kau perhatikan
keluargaku di Pakkhia!" Kata-kata ini dengan mendadak
ditutup sama mencelatnya tubuhnya ke arah tihang di ruang
itu!
Adalah aturan di dalam kalangan piauwkiok, siapa
melindungi barang dan barangnya itu lenyap, si piauwsu mesti
mengganti kerugian. Di dalam kejadian ini, Han Cin Ie tidak
kuat mengganti. Ia ada punya rumah dan simpanan, akan
tetapi jumlah piauw yang lenyap ini besar luar biasa, terang ia
tidak mampu menggantinya. Ia pun sangat malu karena
robohnya itu. Maka itu, pepat hatinya, ia menjadi pendek
pikirannya. Demikian dengan nekat ia membenturkan
kepalanya ke tihang.
Semua orang mengarti kesulitannya Han Piauwsu, bahwa di
sembarang waktu ia dapat melakukan yang tidak-tidak, hanya
itu ketika orang tengah bergirang, tidak ada orang yang

961
menyangka sesuatu. Barulah semua orang kaget akan melihat
piauwsu itu berlompat. Hian Eng Toojin berteriak tetapi tanpa
berdaya, tak keburu ia memberi pertolongan.
Di saat kepalanya Han Piauwsu hampir mengenai tihang,
terdengarlah suara yang keras sekali, tahu-tahu tihang itu
telah patah dua, kepalanya piauwsu itu, berikut tubuhnya,
molos di antara patahan tihang itu, atau di lain saat ia sudah
terpeluk satu orang, yang segera ternyata Seng Lim adanya.
Pemuda ini sangat celi matanya dan sebat gerakannya,
menampak si piauwsu nekat, ia berlompat sambil menghajar
tihang dengan pukulannya Taylek Kimkong Ciu, ilmu silat
Tangan Arhat, dengan begitu dapat ia menolongi jiwanya Cin
Ie.
Sambil bersenyum, Seng Lim mengasi turun tubuhnya Han
Piauwsu , kemudian ia menghadapi Leng In Hong untuk
memberi hormat sambil berkata: "Oleh karena sangat
terpaksa, aku telah membikin rusak tihang ceecu ini, aku
mohon sukalah diberi maaf."
Cin Ie sendiri agaknya tidak puas.
"Kenapa kau tolongi aku?" dia menanya.
Seng Lim tidak menjawab, hanya dia berkata: “ Piauw ini
silahkan kau bawa ke Ouwpak!"
Mendengar itu, semua orang terperanjat, mereka saling
mengawasi. Semua berdiam, hingga umpama kata sebatang
jarum jatuh ke lantai, akan orang dapat mendengarnya.
Hanya sesaat orang menjublak, lalu terdengarlah suara
riuh.

962
“Ini... ini... bagaimana aku dapat berkata?..." katanya
bingung.
Pek Beng Coan sebaliknya mendongkol.
"Kau, kau mengandal apa maka kau berani mengambil
putusan ini?" dia menegur Seng Lim. "Harta ini hendak
diserahkan kepada tentara negeri, bukankah itu berarti
membantu musuh menghajar orang sendiri?"
Pit Goan Kiong sendiri tidak membilang suatu apa. Ia hanya
bersenyum mengejek tak hentinya. Adalah kemudian, ia
tertawa lebar, beda dari biasanya, lalu ia mengeprak meja.
"Engko she Yap, tindakanmu berlebih-lebihan!" dia
berteriak. "Apakah kau hendak serahkan jiwa banyak orang
ke dalam tangannya tentara negeri?"
Seng Lim bersikap tenang, wajahnya pun tak berubah. Ia
berdiam saja.
Beberapa orang lain pun memperdengarkan suara mereka,
ada yang menggerutu dan mencaci, akan tetapi tempo si anak
muda terus berlaku sabar, mereka lalu berdiam sendirinya.
Semua mata tetap diarahkan kepada pemuda itu, yang sepak
terjangnya mengherankan mereka.
Sampai itu waktu barulah Seng Lim bertindak ke
gelanggang, ia memandang semua orang sambil bersenyum.
"Harta besar ini kita rampas," katanya, "dengan begitu
tentara negeri yang berjumlah sepuluh laksa jiwa di Ouwpak,
yang tengah kekurangan belanja, bakal bubar sendirinya,
bukan?"

963
"Ya, tentara itu bakal bubar tanpa berperang lagi!" berkata
Pek Beng Coan nyaring. "Tidakkah itu menguntungkan pihak
kita?"
"Tidak salah!" sahut Seng Lim. "Akan tetapi sepuluh laksa
perut toh perlu makan, bukan?"
"Ah, engko Yap, sungguh hatimu pemurah!" Pit Goan Kiong
mengejek. "Kau menaruh belas kasihan terhadap tentara
negeri!"
Seng Lim mengebas dengan tangan bajunya.
"Aku hanya berkasihan terhadap rakyat jelata di Ouwpak!"
katanya nyaring. "Kalau itu sepuluh laksa serdadu bubar tanpa
berperang, sedang waktu ini hawa udara sangat dingin,
bukankah mereka bakal merampok rakyat? Kalau bukan
rakyat, siapa lagi mereka bakal ganggu? Apakah yang mereka
bakal gegaras? Apakah yang mereka bakal pakai? Si orang
hartawan mungkin dapat melindungi dirinya, si rakyat jelata
bakal malang sekali nasibnya! Tidakkah kamu pernah berpikir
ancaman bencana hebat itu terhadap anak negeri?"
Mukanya Hian Eng Toojin dan Pit Goan Kiong menjadi
pucat sekali, mereka bungkam bagaikan bola kempes. Pek
Beng Coan melotot matanya, dia agaknya hendak mementang
bacot tetapi Seng Lim mendahulukan dia.
"Piauw ini telah diminta pulang oleh Nona Ie," kata si
pemuda ini, "dan Nona Ie menyerahkannya kepadaku. Dengan
begitu aku mempunyai kekuasaan penuh atasnya. Benar
bukan?"
"Sedikitpun tidak salah!" In Hong yang pertama menyahuti.

964
"Bagus!" kata Seng Lim pula. "Sekarang ini, siapa pun tidak
dapat banyak bicara! Han Loopiauwtauw, piauw ini silahkan
kau bawa ke Ouwpak, kau serahkan pada tentara negeri di
sana! Bagaimana besar juga tanggung jawabnya, aku sendiri
yang nanti mempertahankannya!"
Hati Sin Cu berdenyutan keras dan tak hentinya. Ia tidak
menyangka Seng Lim, yang demikian sederhana dan tidak
pandai bicara, sekarang dapat berpikir demikian serta dapat
mengambil putusan yang luar biasa itu dia mirip dengan satu
panglima besar yang tengah memimpin angkatan perang,
sikapnya demikian gagah.
Kembali Seng Lim memandang semua orang matanya
bersinar tajam. Tapi ketika ia berbicara, suaranya sabar dan
terang.
"Kita bergerak untuk rakyat, kenapa kita mesti
menyebabkan rakyat bercelaka?" demikian tanyanya.
"Pasukan rakyat suka rela ialah pasukan yang di kolong langit
ini tidak tandingannya, maka itu kenapa kita mesti jeri baru
terhadap sepuluh laksa atau sejuta serdadu? Kita berlaku
benar, untuk kebaikan umum, semua orang ketahui itu.
Sepuluh laksa serdadu itu, andaikata mereka sudah gegaras
kenyang, masih belum pasti mereka sudi menjual jiwa
mereka! Jikalau kamu takut kepada sepuluh laksa serdadu
negeri itu, nanti aku yang menjadi pelopor, aku ada punya
daya untuk membuat mereka menakluk, atau kalau mereka
tidak sudi akan aku hajar mereka hingga mereka kalah! Apa
yang harus dibuat takut? Untuk berperang orang mesti
menghitung jauh! Tujuan kita yang maha suci berharga lebih
daripada sepuluh laksa serdadu!"
Tiba-tiba saja Leng In Hong tertawa dengan nyaring dan
panjang, lalu jempolnya diangkat tinggi-tinggi.

965
"Sungguh gagah!" berseru nona "bandit" ini. “Inilah baru
semangatnya satu pendekar! Tentaraku, lekas kau antar
piauw turun gunung, kembalikan pada pihak piauwkiok. Mari,
mari, Yap Toako." ia memanggil Seng Lim, "mari aku hormati
kau dengan tiga cawan arak!"
Ia benar-benar lantas mengisi penuh tiga buah cangkir, ia
sendiri minum lebih dulu.
Seng Lim tertawa lebar.
"Kau tidak menghendaki aku mengganti tihangmu ini!" ia
berkata. "Baiklah, akan aku minum arakmu!"
Sunyi seluruh ruang itu, cuma terdengar tertawanya si
nona dan si pemuda.
***
Ie Sin Cu berdiri diam di samping. Ia menyaksikan gerakgerik
In Hong, ujung pelangi siapa bergerak-gerak,
semangatnya nona itu terbangun, dia demikian gembira
hingga nampaknya dia jumawa. Diam-diam ia ingat sesuatu.
Ialah ia ingat, sepasang muda-mudi itu berdiri berendeng,
mirip dengan pasangan di dalam gambar ialah pasangan
merpati Lie Ceng bersama Ang Hut si Nona Kebutan Merah.
Dua-dua gagah, sama-sama tampan dan cantik, semangat
mereka bersatu padu, tidakkah mereka itu sangat sepadan?
Memikir ini, tanpa merasa ia diam menjublak.
Leng In Hong masih saja tertawa lebar.
"Nona Ie, kau juga mengeringkan tiga cawan!" dia berseru
kepada Sin Cu.

966
"Adikmu tidak kuat minum, tidak berani aku menemani," si
nona menjawab.
"Kalau arak ketemu sahabat akrabnya, untuk apa jeri akan
mabuk sinting," berkata nona rumah si kepala berandal
wanita. "Nona Ie, ini satu cawan tidak dapat kau tidak
meminumnya!"
Ketarik Sin Cu untuk sikap polos dan gembira serta
bersemangat nona itu, ia tidak menampik terlebih jauh, ia
keringkan cawan yang diangsurkan kepadanya.
"Nah, inilah baru mempuaskan!" berseru In Hong. Ia
hendak meminta Seng Lim minum pula atau si anak muda
telah mendahuluinya: "Aku tidak dapat minum lebih jauh, aku
sudah mabuk!"
Memang Seng Lim tidak biasa minum, atas desakan In
Hong, ia mengeringkan tiga cawan, ia telah memaksakan diri,
maka itu kakinya lantas berdiri tak tetap, ia terhuyung seperti
mau jatuh.
In Hong melihat orang tidak berpura-pura, ia tertawa pula,
nyaring dan panjang, lalu ia melemparkan cawannya ke lantai.
"Baiklah, sebentar malam kita minum pula !" katanya,
"Hengjie, pergi kau siapkan pembaringan di kamar samping
untuk Yap Toako beristirahat. Dan kau, Nona Ie, mari kau
turut aku pergi ke gunung depan!" Ia mengajak Sin Cu.
Pek Beng Coan be-ramai menjadi jengah sendirinya karena
In Hong tidak memperdulikan mereka, karena itu mereka
lantas memberi hormat untuk pamitan.
"Jangan kesusu!" berkata si nona tertawa. "Di kaki gunung
hanya dusun kosong, kabarnya orang kamu kaum Kaypang

967
banyak yang terluka, baik kamu kirim orang untuk
mengundang mereka semua datang ke mari! Tempatku kecil
tetapi ini masih terlebih baik daripada pondokan di
kampungan."
Pek Beng Coan dan Pit Goan Kiong heran.
"Aneh nona ini..." pikir mereka. "Kenapa baru sekarang dia
menghormat kita?"
In Hong tidak mengambil tahu apa yang orang pikir, lagilagi
ia tertawa.
"Kamu dalam tentara rakyat ada orang besarnya, bagus!"
katanya pula nyaring. "Tadinya aku tidak melihat mata,
sekarang lain. Ada keponakan semacam ini, mestinya Yap
Cong Liu sang paman bukan sembarang orang, maka di
belakang hari hendak aku pergi mengunjungi dia!"
Mendengar ini, Hian Eng Toojin dan Pit Goan Kiong girang.
Memang bagus sekali jikalau si nona suka menggabungkan
diri. Dengan begitu usaha mereka di Kangsee tentulah akan
maju pesat. Karena ini, lenyaplah kelikatan mereka tadi.
Dengan rada sinting, In Hong lantas mengajak Sin Cu
pergi. Mereka berpegangan tangan. Nona rumah, sambil
tanjak-tunjuk, menerangkan sesuatu kepada tetamunya,
tentang keletakan gunungnya serta penjagaannya. Ia pun
bicara dari hal urusan tentara.
Sin Cu ada rada asing untuk ketentaraan tetapi dapat juga
ia menemani bicara. Ia mendapat kenyataan nona ini masih
lebih luas pandangannya daripada Keng Sim. Ia mendapatkan
orang rada jumawa, akan tetapi mengingat In Hong sedang
sinting, ia tidak memperdulikan itu, ia malah menjadi suka
kepada orang.

968
Ketika itu di akhir musim ke empat, di atas gunung
kedapatan banyak salju, dipandang dari jauh, salju itu
bagaikan perak yang berkilauan. Lewat sebuah tikungan, di
sana tertampak bunga bwee warna putih dan merah sedang
mekarnya dan baunya harum semerbak.
"Aku pernah mendengar tentang bunga bwee di gunung
Tengut San yang dikenal sebagai bunga hiangsoat hay atau
Laut Salju Wangi, sayang belum pernah aku pergi ke sana,"
berkata In Hong. "Pohon bwee di sini telah ditanam setelah
aku berdiam di sini, aku menyuruh orang-orangnya pergi
mencari di lembah-lembah untuk ditanam di sini."
"Kau nyata gemar seni, encie." Sin Cu memuji.
In Hong tertawa.
"Seni apa!" katanya. "Aku menanam bunga bwee ini karena
aku menyukai harumnya yang halus."
"Encie, kau sungguh mengagumkan," Sin Cu memuji pula.
"Tadinya aku menyangka diriku besar, tidak tahunya aku kalah
jauh daripada kau! Pohon bwee memang tahan melawan
hawa dingin."
"Bicara tentang menahan dingin, di gunung Thian San
barulah hawa udara dingin luar biasa!" berkata In Hong.
Agaknya ia mengingat secara tiba-tiba. "Musim dingin di sini
bukan mirip-miripnya musim dingin."
Mendengar itu, Sin Cu lantas mengingat satu orang. Itulah
hal omongan gurunya, yang pada suatu hari bercerita
kepadanya selagi mereka bicarakan halnya pelbagai partai
persilatan ilmu pedang. Katanya di Thian San berdiam seorang
yang hidup menyendiri, she Hok namanya Heng Tiong, siapa

969
telah berminat menggabung ilmu silat pedang semua partai
untuk dijadikan suatu partai baru. Dia itu menyendiri semenjak
usia pertengahan, tidak lagi dia menginjak tanah Tionggoan,
dia hidup di wilayah Hweekiang di suatu tempat ke mana tak
ada lain orang tiba, hingga sangat sedikit orang yang
mengetahui hal ikhwalnya. Cuma Hian Kie Itsu, sebelum dia
mengundurkan diri, pernah satu kali bertemu dengannya. Hian
Kie puji semangat Heng Tiong itu, hanya ia anggap itulah
terlalu berlebihan. Bagaimana gampang untuk mengumpul
pelbagai cabang ilmu silat pedang, untuk dipahamkan dan
kemudian menciptakan satu cabang baru dari antaranya.
Sejak pertempuran itu, tidak pernah mereka bertemu pula,
maka Hian Kie tidak ketahui orang sudah mati atau masih
hidup, apa dia berhasil atau gagal. Atau kalau dia masih
hidup, juga orang tidak tahu sampai di mana kemahiran ilmu
pedangnya itu.
"Apakah encie pernah pergi ke Thian San?" menanya Sin
Cu. Ia ingat suatu apa karena disebutnya nama gunung itu. Ia
pun menanya seperti keterlepasan.
"Aku menjadi besar di Thian San," menyahut orang yang
ditanya.
"Aku mohon tanya, pernah apakah encie dengan
loocianpwee Hok Heng Tiong?" Sin Cu menanya pula.
"Dialah pamanku," sahut pula In Hong, yang
memberitahukan hal engku-nya (paman).
"Pantas ilmu pedang encie begini liehay, kiranya kau
mewariskan langsung ilmu pedangnya Hok Loocianpwee itu.
Ya, aku ingat, loocianpwee telah mengumpulkan ilmu silat
pedang pelbagai partai dan ia mempersatukan itu, untuk
menciptakan partai baru. Sungguh hebat!"

970
Selagi Nona Ie berkata demikian, pada wajahnya In Hong
tertampak sinar guram, bagaikan langit terang dilintasi awan
gelap tetapi, hanya sebentar saja, air mukanya itu tenang
seperti sediakala. Sin Cu sedang bergembira, ia tidak dapat
melihat perubahan air muka orang. Bahkan ia melanjuti
pertanyaannya.
"Apakah Thian San itu indah, senang untuk pesiar? Apakah
Hok Loocianpwee masih tinggal di sana?" demikian
pertanyaannya terlebih jauh.
In Hong memandang salju di puncak.
"Pamanku itu telah meninggal dunia," sahutnya tawar.
"Tentang keindahannya gunung Thian San, karena aku
meninggalkannya sudah lama, aku tidak ingat lagi."
Sin Cu melengak. Ia merasa heran atas sikapnya Nona
Leng itu. Maka ia mengawasi, hingga ia tampak air muka
orang tak wajar.
"Kenapa, dengan disebutnya Thian San, agaknya dia
kurang senang?" ia tanya dirinya sendiri.
"Dia seperti mempunyai suatu urusan yang mendukakan
hatinya..."
Sebenarnya Sin Cu masih hendak menanya banyak
terutama tentang sebabnya si nona menjadi berandal di
gunung Huyong San ini, sebab sikap orang itu, ia menjadi
membatalkan niatannya itu.
Mereka lalu bertindak melintasi rimba pohon bwee itu.
"Yap Toako itu besar cita-citanya," mendadak In Hong
berkata selang sekian lama.

971
Sin Cu heran, air mukanya berubah menjadi merah.
"Aku kenal dia baru beberapa bulan," ia berkata. "Bicara
tentang dia, dia sebenarnya ada dari satu rumah perguruan
denganku."
In Hong tertawa.
"Dia sangat memperhatikan kau, encie." katanya. "Di waktu
kita mengadu pedang aku melihat itu dari sinar matanya."
Sin Cu likat, ia tunduk.
"Ada orang yang memperhatikan, itulah hal yang sangat
memberuntungkan," kata Nona Leng seraya menghela napas.
"Ah, Yap Toako kau itu mirip dengan seorang yang aku kenal
baik..."
Hati Sin Cu tidak tentaram.
"Benarkah?" katanya. "Siapakah dia?"
Sekonyong-konyong In Hong tertawa besar.
"Ah, aku sudah sinting!" katanya. "Sekarang sudah tidak
siang lagi, mari kita pulang. Ya, ada orang yang karena
peristiwa yang sudah-sudah dia suka menjadi berduka, apakah
sebabnya itu?"
Hati Sin Cu terkesiap. Ia lantas ingat Tiat Keng Sim. Karena
ini, ia tidak menjawab, ia berdiam saja.
Malam itu In Hong mengajaki Sin Cu tidur dalam sebuah
pembaringan untuk mereka memasang among. Hanya di
waktu bersantap malam, In Hong minum banyak sekali air

972
kata-kata, hingga begitu ia menjatuhkan diri di pembaringan,
lantas ia pulas.
Sin Cu gulak-gulik, ia tidak lantas dapat tidur pulas. Ia
seperti melayang-layang. Ia merasa seperti berada di pesisir
laut Jiehay di mana ada sebuah pohon tayceng yang besar,
yang daunnya teduh sekali. Selagi ia berpikir untuk pergi ke
bawah pohon itu, mendadak di situ tumbuh muncul sebuah
pohon tayceng lain yang besar. Atau di lain saat, matanya
menampak di bawah pohon tayceng itu ada sepasang mudamudi
menyembunyikan diri. Yang berdiri di sebelah kiri adalah
Yap Seng Lim, dan yang berdiri di sebelah kanan ada Leng In
Hong.
"Yap Toakol" sananya Sin Cu berseru seraya berlompat
kepada pemuda itu.
Sekonyong-konyong terdengar guntur di tengah udara, lalu
Seng Lim lenyap seketika. Tinggal pohon tayceng, yang
bergoyang-goyang keras.
"Encie Leng!" sananya ia memanggil In Hong.
In Hong tertawa dan datang menghampirkan. Sin Cu pun
lari kepada nona itu. Hendak ia menanya, "Mana Yap Toako?"
atau ia melihat tiba-tiba alis In Hong berbangkit berdiri,
dengan pedangnya dia terus menikam.
"Encie Leng, aku, aku!" Sin Cu berteriak-teriak kaget, ia
pun segera mundur, atau "Plug!" ia tercebur ke laut Jiehay.
Itu waktu di kupingnya ia mendengar suara halus: "Jangan
takut... Jangan takut... Aku di sini!"
Sin Cu mementang kedua matanya. In Hong berdiri di
hadapannya. Kiranya ia jatuh dari pembaringan. Barusan ia
sudah bermimpi. In Hong mengenakan yahengie, yaitu

973
pakaian untuk keluar malam, tangannya mencekal pedangnya
yang tajam. Ia terkejut, hingga ia bersangsi ia masih
mengimpi atau sudah sadar.
"Di luar seperti ada orang," In Hong berbisik. "Kau jangan
kuatir, nanti aku pergi untuk melihat."
Si nona melihat daun jendela sudah terpentang, lantas dia
berlompat ke luar. Dia seperti tidak dapat mensia-siakan
tempo lagi. Sin Cu lantas berpikir. Ia mengarti sekarang
bahwa barusan ia sudah mimpi. Dalam kesunyian, ia
mendengar tindakan kaki bukan dari satu orang. Ia menduga
kepada orang-orang yang tak sembarang kepandaiannya
ringan tubuh.
"Mana dapat aku membiarkan encie Leng menempu
bahaya?" pikirnya. Maka ia lekas berdandan, dengan
membawa pedangnya, ia lari keluar untuk menyusul.
Sampai di gunung depan baru Sin Cu melihat bayangannya
In Hong. Ia lari terus. Setelah lewat setengah lie, di depan
tertampak samar-samar beberapa orang bagaikan bayangan.
Benar-benar mereka itu mahir ilmunya ringan tubuh. Ia heran,
tidak dapat ia menerka siapa mereka itu. Kalau mereka
bermaksud baik, kenapa mereka tidak datang secara
berterang? Kalau mereka berniat jahat, kenapa mereka kabur
pula, kenapa mereka tidak menempur Nona Leng?"
Tepat di waktu Sin Cu menduga-duga demikian, beberapa
bayangan dtu menghentikan larinya.
"Siapa kamu ?" terdengar tegurannya In Hong.
"Kami ialah sahabat-sahabat akrab dari Hok Thian Touw,"
menyahut seorang yang jangkung kurus. "Oh, Nona Leng,
benarkah kau tidak mengenali aku? Aku Hwee kielin Hek In

974
Tay. Bukankah pada lima tahun dulu kita pernah bertemu di
atas gunung Thian San di puncak tinggi sebelah selatan?
Mereka ini adalah saudara-saudara angkatku."
Pada lima tahun yang lalu itu, In Hong baru berumur lima
belas tahun. Samar-samar ia ingat orang jangkung kurus
sebagai sahabatnya Hok Thian Touw.
"Kalau begitu, kenapa kau datang malam-malam dan main
sembunyi-sembunyi?" ia tanya.
"Kami tidak hendak membikin kaget orang-orang lain,"
sahut Hek In Tay. "Eh, siapakah orang itu?" Ia menunjuk ke
arah Sin Cu.
In Hong segera menoleh.
"Dialah kakakku. Jikalau kau hendak bicara, bicaralah, tidak
ada halangannya."
Sin Cu dapat mendengar pembicaraan mereka itu, hatinya
menjadi lega.
"Kiranya kenalan-kenalannya encie Leng..." pikirnya. Ia
tidak mau lantas datang dekat, supaya ia tidak usah
mendengari pembicaraan mereka itu. Ia bahkan hendak
mundur pula tatkala ia mendengar pertanyaan keras dari In
Hong: "Apa? Kamu jadinya diperintah datang oleh Hok Thian
Touw? Dia di mana? Di mana?"
Nadanya suara itu nada dari orang sangat tertarik hatinya,
seperti seorang yang berdahaga sekali untuk suatu kabaran.
"Hok Thian Touw berada di suatu tempat di Siamsay,"
sahut si jangkung kurus Hwee kielin, si Kielin Api. "Dia minta
Nona suka pergi untuk menemui dia."

975
"Thian Touw ketahui aku berada di ini gunung, kenapa dia
tidak datang sendiri kepadaku?" In Hong menanya. "Apakah
dia sakit? Atau apakah dia terluka?"
"Letaknya tempat terpisah ribuan lie, tidak leluasa untuk
dia datang ke mari," sahut pula Hek In Tay. "Kalau nona
sudah pergi ke sana nanti kau akan ketahui sendiri sebabnya."
In Hong tertawa menyeringai.
"Letaknya tempat jauh ribuan lie, aku juga tidak leluasa
pergi kesana," ia menyahuti, menelad suara orang. "Untuk
menyuruh aku meninggalkan tempatku ini juga masih
memerlukan tempo beberapa hari guna mengatur sesuatu."
Memang semenjak dua tahun, In Hong sering berhadapan
sama tentara negeri yang hendak menumpas padanya, ia
telah dipandang sebagai satu berandal yang berbahaya, maka
itu, kalau ia pergi meninggalkan gunungnya, itulah sungguh
berbahaya untuk Huyong San. Ia pun tidak ikhlas
meninggalkan tentaranya dengan siapa ia telah hidup
bersama, senang dan susah, sebagai encie dan adik.
"Kalau begitu, benar sukar," Hek In Tay berkata pula.
"Thian Touw menanya kau, apakah kau masih ingat akan janji
lama?"
"Habis kenapa?"
"Sekarang ini dunia kacau, sekarang ini waktunya untuk
menyendiri meyakinkan ilmu pedang. Thian Touw
menanyakan kau, apakah kau masih menyimpan itu kitab ilmu
pedang?"

976
In Hong melirik. "Adakah ini kata-katanya Thian Touw
sendiri?"
"Dia mempunyakan surat yang dia tulis sendiri di sini.
Silahkan kau lihat sendiri."
Hek In Tay menyerahkan surat yang ia sebutkan itu.
Sin Cu melihat wajahnya In Hong ramai hingga dia menjadi
terlebih cantik dan manis. Maka maulah ia menduga tentang
hati si nona. Maka berkatalah ia di dalam hatinya: “Ini nona
gagah berpelangi merah, melihat surat kekasihnya, dia likat
bagaikan nona pengantin..."
Tangan In Hong bergemetaran sedikit ketika ia memegang
surat, untuk dibuka dengan perlahan-perlahan. Begitu ia
melihat, ia membaca dengan perlahan:
"Adik Hong, terimalah suratku ini seperti kita bertemu
sendiri... Adik Hong, terimalah suratku ini seperti kita bertemu
sendiri...bertemu sendiri..."
Mendengar itu, hampir Sin Cu tertawa. Bukankah lucu In
Hong ini, yang membacanya berulang-ulang surat kekasihnya
itu bagian pertama?
In Hong tidak membaca terus. Mendadak air mukanya
berubah menjadi sungguh-sungguh dan dengan mendadak
juga ia tertawa lebar.
"Benar saja Thian Touw telah menduga bahwa aku tidak
dapat segera berangkat maka dia telah mengutus kamu
beberapa tuan-tuan yang ilmu silatnya tinggi untuk datang
mengambil kitab ilmu silat itu untuk dibawa kepadanya. Ha,
sungguh sukar dicari orang yang demikian matang
pikirannya!"

977
"Sebenarnya ilmu silat kami biasa saja," berkata Hak In
Tay, "akan tetapi kami telah menerima baik permintaannya
saudara Thian Touw, terpaksa kami mesti melakukan
kewajiban kami, biarnya mesti membuang jiwa, tentu kami
akan antarkan kitab itu kepada saudara Thian Touw."
In Hong melirik, ia tertawa pula.
"Sungguh sahabat-sahabat yang baik!" ia berkata. "Kitab
pedang itu asalnya ada kepunyaan Keluarga Hok, sekarang
Thian Touw menghendaki itu, tidak dapat aku tidak
mengembalikannya, dan sekarang kamu yang mengantarkan,
itulah bagus sekali. In Tay, mari!"
Hek In Tay tercengang, ia mengawasi.
"Apakah kitab itu kau senantiasa bawa-bawa, Nona Leng?"
tanyanya.
"Ya," menyahut si nona, yang merogo ke dalam sakunya.
In Tay maju dua tindak. Sekonyong-konyong si nona
tertawa, berbareng dengan mana pedangnya terhunus, terus
dipakai menikam orang di depannya itu. Berbareng dengan
itu, tangan kirinya terayun, menerbangkan tiga biji Ouwtiap
piauw. Sebab dia bukannya mengeluarkan kitab hanya
menjumput senjata rahasianya itu.
In Tay kaget tetapi ia masih dapat berkelit, hanya ia kalah
sebat, pundaknya kena juga tertikam, syukur tulang piepeenya
tak sampai kena dibikin tembus.
"Kami bermaksud baik, kenapa kau menurunkan tangan
jahat?" In Tay berteriak.

978
In Hong berlompat, untuk menikam pula, hingga dua kali
beruntun.
"Ya, sungguh baik hatimu!" dia berkata, dingin. "Hm! hm!
Apakah kamu menyangka aku sebagai bocah enam tahun
yang lampau ketika aku masih belum mengarti apa-apa? Lekas
bilang, sebenarnya apakah kamu perbuat terhadap Thian
Touw? Kamu meniru tulisannya itu! Mana dapat kamu
mengelabui aku?"
In Tay berkelit terus.
"Kau lihatlah biar terang!" ia masih berkata. "Surat itu
tulisan tangannya Thian Touw sendiri! Mengapa kau bilang
surat tiruan?"
In Hong tertawa dingin.
"Kau masih mendustai" bentaknya. "Nanti aku bikin picak
matamu!"
Kali ini si nona menyerang dengan empat biji senjata
rahasianya.
Menyusul itu terdengarlah suara "traang!" beberapa kali
dan ke empat senjata rahasia itu terhajar hancur, oleh
seorang Uighur sahabatnya Hek In Tay. In Tay sendiri
menghunus senjatanya, sepasang poankoan pit, senjata mirip
alat tulis, dengan apa ia menangkis Cengkong kiam. Ia
menangkis dengan tangan kirinya sebab dengan tangan kanan
ia membalas menyerang, menotok ke arah buah dada. Ia
murka, karena ia pun berseru: "Sebenarnya kami memandang
kepada saudara Thian Touw! Apakah kau sangka kami jeri
terhadapmu? Perempuan ini tidak tahu aturan, mari kita
bereskan dia dulu!"

979
Dan ia menyerang pula. Kawannya In Tay ada tiga, dua di
antaranya orang-orang Uighur, yang masing-masing
bergegaman gembolan kuningan serta golok bulan sabit,
sedang yang ketiga bersenjatakan sepotong kongpian panjang
setombak, ketika dia menyerang, merabuh ke bawah, cambuk
itu memperdengarkan siu-ran angin keras. Yang terliehay
adalah In Tay sendiri, walaupun dia sudah terluka pundaknya,
sepasang pit-nya hebat sekali, senantiasa mencari jalan darah.
In Hong melayani dengan tabah, bahkan ia tertawa
panjang. Ia tidak mengambil mumat yang ia dikepung
berempat, ia bergerak ke segala penjuru dengan gesit sekali.
Kedua orang Uighur itu mengandal betul kepada senjatanya
masing-masing, yang berat, mereka berdaya akan membentur
pedang si nona, tetapi nona itu memperlihatkan
kelincahannya, jangan kata pedangnya, ujung bajunya pun tak
dapat dilanggar, bahkan pedangnya berkelebatan di muka
orang. Demikian ketika si nona berseru, si orang Uighur yang
memegang gembolan kena tertikam.
"Jangan mengadu jiwa!" In Tay berteriak. "Kurung saja
padanya!" Ia pun mendesak terlebih hebat, sepasang pit-nya
bergerak gesit ke kiri dan kanan.
Orang yang memegang kongpian berkelahi secara
renggang, ia menjauhkan diri kira-kira satu tombak. Cuma In
Tay yang mendesak rapat. Kedua orang Uighur itu pun tidak
merapatkan diri, mereka bersikap hendak meme-gat jalan
mundur lawannya.
Sin Cu menonton sejak tadi, kemudian ia menjadi tak
sabaran.
"Encie Leng, apakah kau hendak bikin picak si kurus ini?" ia
menanya. "Benarkah?"

980
"Benar!" In Hong memberikan penyahu-tannya.
"Baik!" berkata Sin Cu. "Tidak usah encie turun tangan,
nanti aku lebih dulu membikin buta mata kirinya!"
In Tay telah berjaga-jaga terhadap nona itu, hanya melihat
usia orang lebih muda daripada In Hong, ia tidak memandang
mata. Maka juga ia tertawa berkakak ketika ia mendengar
nona itu memperdengarkan suaranya, yang ia anggap omong
besar belaka.
"He, budak cilik!" ia membentak. "Tuan besarmu ini semua
ada ahli senjata rahasda, maka lihatlah siapa yang terlebih
dulu matanya picak!"
Dengan melindungi mukanya dengan sebelah senjatanya,
orang she Hek itu mendahulukan menyerang dengan panah
tangannya, yang dia sembunyikan di dalam tangan bajunya.
Sin Cu menyingkir dari penyerangan itu, sambil menyingkir
ia membalas, maka meluncurlah bunga emasnya, yang
cahayanya berkilauan.
Hek In Tay menangkis dengan poankoan pit, tetapi bunga
emas itu luar bisa, setelah tertangkis lalu berbalik menyambar
pula. Kaget In Tay, hendak ia menangkis pula seraya
bertindak mundur.
Justeru itu, In Hong maju mendesak, dengan jurus "Mega
melintang di gunung Cin Nia," dia membuatnya sepasang
poankoan pit musuh kena tertutup. Maka kimhoa menyambar
tanpa rintangan, dan benar saja, bunga itu menancap di mata
kiri orang!

981
Bukan main In Tay merasakan sakit, sambil menjerit keras,
ia menyerang dengan menimpuk dengan sepasang
senjatanya, atas mana In Hong berlompat mundur.
Nona ini masih dapat melihat tubuh orang roboh dan
menggelinding.
“Ini aku kembalikan panah tanganmu!" berseru Sin Cu
seraya menimpuk. Sebab tadi sambil berkelit, ia menanggapi
panah tangan orang she Hek itu.
Sebab In Tay bergulingan, panah tangannya itu gagal
mengenai tubuhnya. Kedua orang Uighur itu melihat bahaya,
mereka juga menyerang dengan senjata mereka seperti
caranya In Tay, habis mana mereka menjatuhkan diri untuk
menyingkir sambil menggulingkan diri juga.
Tinggallah satu musuh, yang bersenjatakan kongpian. Dia
pun hendak menyingkir tetapi dia kena dihalangi Sin Cu. Dia
adalah Ouw Hong, satu berandal kuda di tapal batas. Dia
gagah, melihat si nona masih sangat muda dan senjatanya
pun pedang, ia tidak memandang mata. Di lain pihak,
cambuknya panjang.
Maka itu, dengan berkelahi renggang, ia menyerang
bertubi-tubi. Hebat desiran cambuknya itu. Dia mengharap si
nona terluka, atau sedikitnya orang membuka jalan untuknya.
Sin Cu tidak mengasi dirinya dipermainkan. Melayani musuh
itu, ia keluarkan ilmu silatnya "Menembusi bunga mengitarkan
pohon," dengan lincah ia bergerak-gerak menyingkir dari
setiap ujung cambuk.
Akhirnya, Ouw Hong bercekat sendirinya. Ia tidak
menyangka si nona ada demikian liehay. Karena ini ia memikir
untuk mengangkat kaki saja. Ia mau segera mengundurkan

982
diri. Tapi untuknya sudah kasep. Sin Cu dengan berani
mendesak rapat, hanya dengan dua kali berkelebat
pedangnya, pedang Cengbeng kiam itu telah memapas kutung
cambuk orang hingga menjadi tiga potong, sesudah mana
dengan tikaman "Ular putih memuntahkan bisa," ia menikam
tenggorokan musuh itu.
"Tahan, enciel" berseru In Hong seraya tertawa. "Kasilah
dia hidup, hendak aku menanyakan keterangannya!" Sembari
berkata begitu, ia lompat akan menotok jalan darahnya Ouw
Hong.
"Suratnya Hok Thian Touw itu, bukankah kamu yang
memalsukannya?" Nona Leng menanya dengan bengis.
“Itu bukan urusanku," sahut Ouw Hong. “Itulah pekerjaan
Hek Toako."
"Kenapa kamu dapat meniru tulisannya Thian Touw," In
Hong menanya pula.
"Hek Toako telah memancing seorang bekas suya dari
Liang-ciu, dengan menggunakan tempo satu bulan, bisalah si
suya meniru tulisan tangan orang," Ouw Hong menerangkan.
In Hong tertawa dingin.
"Sungguh hebat kamu berpikir," katanya. "Bagaimana
dengan Thian Touw? Dia sebenarnya ada di mana? Cara
bagaimana kamu dapat mencuri suratnya untuk ditiru
tulisannya itu?"
"Hok Thian Touw..." kata si berandal kuda perlahan, "Hok
Thian Touw sudah mati..."
In Hong kaget hingga mukanya menjadi pucat.

983
"Mati!" teriaknya. "Kenapa dia mati?"
"Dia dibunuh Hek In Tay," Ouw Hong menjawab pula.
Kembali In Hong tertawa dingin.
"Dengan kepandaiannya itu In Tay dapat membinasakan
Thian Touw!" katanya. "Hm! Kau ngaco belo? Apakah
maksudmu dengan mendusta?"
Bergeraklah dua jari tangan si nona, mengancam ke kedua
biji mata si berandal.
"Tahan, ceecul" menjerit Ouw Hong. "Nanti aku omong
terus terang!"
"Kau bicaralah!" si nona berkata dengan mata mendelik.
"Asal kau mendusta, akan aku kutungi lidahmu!"
"Pada suatu hari Hok Thian Touw itu di kaki bukit Hoasan
telah bertemu sama Taybok Sinlong Hamutu," menerangkan
Ouw Hong. "Hamutu hendak merampas kitab ilmu pedang.
Keduanya jadi bertempur, keduanya sama-sama mendapat
luka. Menggunai saat orang terluka, Hek In Tay mengusir
Taybok Sinlong, kemudian dia meminta kitab pedang kepada
Thian Touw, katanya sebagai pembalasan budi. Thian Touw
menolak. Karena ini, mereka jadi berkelahi. Karena
keterlepasan tangan, Hek Toako dapat menotok Hok Thian
Touw, kemudian hendak ia menolongi tetapi, sudah kasep. Ia
menyesal pun tidak berguna."
Taybok Sinlong Hamutu itu si Srigala Sakti Dari Gurun Pasir
adalah satu hantu di tapal batas, dan keterangannya Ouw

984
Hong itu agaknya masuk di akal. Mendengar itu, In Hong
kaget bukan main. Mendadak ia memuntahkan darah.
Sin Cu kaget, ia menubruk untuk pepa-yang sahabatnya
itu.
"Encie Leng, sabar!" ia berkata, menghibur. "Mari kita
menanya dulu biar jelas."
Baru Nona Ie berkata demikian, atau mendadak kupingnya
mendengar suara tubuh roboh, tatkala ia menoleh, ia
menampak Ouw Hong bergulingan ke bawah gunung. Sebab
berandal ini, yang dapat membebaskan dirinya sendiri, sudah
lantas melarikan diri.
Dalam kagetnya Sin Cu hendak mengejar musuh itu, tetapi
In Hong, yang mandi air mata, telah berseru: "Thian Touw
mati! Tidak, aku tidak percaya!"
"Memang, tidak seharusnya kau percaya!" Sin Cu bilang.
"Ya, pikiranku kalut, otakku tidak mau dengar kata!" kata
si Nona Leng. "Aku akan mendengar kau, encie yang baik, kau
bicaralah."
Sin Cu tahu bagaimana harus memperlakukan orang.
"Encie, kau tutur-kanlah," ia berkata, halus.
In Hong mengangkat kepalanya, ia memandang salju di
puncak gunung, yang ia menganggapnya seperti gunung
Thian San, dan di dalam sinarnya salju itu seperti berbayang
tubuhnya Thian Touw...
"Kita kedua keluarga Leng dan Hok bersahabat turun
temurun," ia berkata, memulai. "Kita sama-sama berasal dari

985
Kanglam dan bertetangga juga. Kira-kira seratus tahun yang
lampau, ialah di akhir kerajaan Goan atau di permulaan
kerajaan Beng, selagi jago-jago berbangkit bangun
memperebuti kota-kota dan daerah, hingga Tionggoan
menjadi kacau sekali dan rakyat menderita, kita kedua
keluarga mengungsi ke Hweekiang yang jauh itu. Kita kedua
keluarga lalu diikat dengan pernikahan satu dengan lain.
Sampai kepada ayahku dan pamanku, ayah mempunyai cuma
aku seorang anak perempuan dan engku Hok Heng Tiong juga
mempunyai Thian Touw yang menjadi kakak misanku itu.
Ayah menutup mata siang-siang, dari itu aku menumpang
tinggal pada engku, yang merawatku hingga besar. Kedua
keluarga kita memang keluarga yang mengarti ilmu silat,
maka juga engku Heng Tiong berhasil mewariskan ilmu silat
kedua keluarga. Dia gagah dan berani, di masa mudanya
pernah dia merantau ke Tionggoan, untuk mengumpulkan
ilmu silat pedang dari pelbagai partai. Ketika dia mendapat
kenyataan Tionggoan masih diganggu peperangan, dia pulang
ke Thian San untuk hidup menyendiri. Di sini dia membangun
partai persilatan Thian San Pay. Dia sudah mencoba
mengumpulkan pelbagai ilmu silat, hingga rambutnya putih,
dia masih belum puas, tapi dia tidak putus asa, dia bekerja
terus. Rupanya dia terlalu bekerja keras, belum berumur lima
puluh tahun, dia menutup mata. Dia memesan Thian Touw
untuk melanjuti usahanya itu, memesan juga untuk semua
turunannya meyakinkan terus, supaya Thian San Pay berdiri
sebagai pengumpul ilmu silatnya pelbagai partai."
Ketarik hati Sin Cu mendengar keterangan itu.
"Hebat semangatnya Hok Heng Tiong," pikirnya, "Dia dapat
disamakan Gie Kong yang hendak memindahkan gunung.
Kalau Thian Touw masih hidup, aku nanti minta suhu
membantu hingga dia mencapai cita-cita leluhurnya itu."

986
Habis hening sebentar, In Hong melanjuti ceritanya: "Ketika
engku menutup mata, usiaku baru dua belas tahun. Thian
Touw lebih tua empat tahun. Dasarnya ilmu silatku adalah
engku yang menanamnya, tetapi ilmu silat pedangnya aku
dapatkan dari Thian Touw. Kita sama-sama tidak
mempunyakan orang tua, kita hidup bersama melebihkan
rapatnya saudara-saudara kandung. Thian Touw itu bagus
segala apanya, dia polos dan sederhana seperti kau punya Yap
Toako itu, cuma semangatnya rada besar, dia tidak sudi untuk
selama-lamanya mendekam di Thian San. Sama sekali engku
telah mengumpul kitab ilmu silat dua belas partai, sedang
sebenarnya, semua partai ada tiga puluh enam, maka itu, ia
baru mendapatkan satu per tiga bagian. Thian Touw hendak
pesiar, untuk mewujudkan cita-cita ayahnya itu. Kalau
sebegitu jauh dia belum juga pergi merantau, itulah
disebabkan usiaku masih terlalu muda. Empat tahun telah
lewat tatkala pangeran dari Watzu memimpin tentara
menyerang Hweekiang hingga bagian selatan dan utara dari
Thian San menjadi tidak aman. Karena itu pada suatu hari
Thian Touw mengajak aku pulang ke Tionggoan, tempat asal
kita. Ketika itu aku ingat keindahannya Tionggoan.
Sebenarnya ayahku memberi nama Bok Hoa kepadaku,
maksudnya supaya aku jangan melupakan Tionggoan. Karena
itu, aku setuju ajakan itu."
"Oh, begitu..." kata Sin Cu perlahan.
"Sekarang kau tahu, encie, kenapa begitu melihat surat
Thian Touw aku ketahui kepalsuannya," berkata pula In Hong.
"Nama In Hong aku pakai semenjak aku tiba di Tionggoan ini,
Thian Touw tidak ketahui namaku ini. Ia selalu memanggil aku
Adik Hoa, Adik Hoa..."
"Encie berjalan berdua, kenapa encie berpisah
daripadanya?" Sin Cu menanya.

987
"Kamu orang Tionggoan mana kenal hebatnya gurun pasir,"
menyahut In Hong. "Gurun itu luas seperti tak ada ujung
pangkalnya. Kita jalan sepuluh hari atau setengah bulan,
kadang-kadang kita belum sampai kepada tujuan kita.
Demikian kita terpisah di tengah-tengah gurun. Itu hari kita
kehabisan air, lantas Thian Touw pergi ke sebuah gunung kecil
akan mencari sumber air. Hari itu langit terang, bukit pun
terletak dekat. Aku letih, aku membiarkan dia pergi seorang
diri. Apa lacur, seperginya dia, datanglah angin besar,
membuat pasir beterbangan. Di jarak sepuluh tindak, tidak
dapat kita melihat satu pada lain. Aku kaget, aku lari-larian
untuk menyusul Thian Touw, tetapi aku salah jalan, makin
lama aku nyasar makin jauh. Akhirnya aku roboh terdampar
angin. Ketika aku sadar sendirinya, aku lihat hanya pasir
bertumpuk-tumpuk bagaikan bukit-bukit kecil. Bukit yang
dipergikan Thian Touw tidak nampak pula. Masih untung
untukku, aku bertemu sama rombongan saudagar gurun pasir,
aku ikut mereka keluar dari gurun pasir itu. Thian Touw
hendak pergi ke Tionggoan, aku lantas menuju ke mari. Sejak
itu beberapa tahun sudah lewat, tidak pernah aku mendengar
halnya Thian Touw, sampai datanglah hari ini. Inilah warta
pertama untukku. Aku menyaksikan kabar ini, aku tidak tahu
ia benar sudah mati atau masih hidup..."
Sin Cu mendengeri dengan pikiran bekerja keras.
"Aku lihat dia gagah dan bersemangat, siapa tahu, hatinya
pun lemah juga," ia berpikir. "Dia mempunyakan Thian Touw
yang gagah, yang dia buat andalkan, yang dapat dia
memikirkannya, umpama kata toh terjadi hal tidak beruntung
bagi Thian Touw itu, tidaklah kecewa hidupnya. Tapi aku..." Ia
menjadi berduka sendirinya. Ia pun hidup sebatang kara,
ayahnya terfitnah dan terbinasa, sekarang ia hidup sendirian,
belum mempunyai andalan... Maka ia mengasihani In Hong
berbareng ia memikirkan nasib sendiri...”

988
In Hong melanjuti ceritanya: "Ketika kita berangkat
bersama dari Hweekiang, Thian Touw titipkan kitab ilmu silat
engku, yang terdiri dari dua belas jilid, katanya untuk aku
yang menyimpannya. Pernah secara bergurau ia bilang,
umpama kata satu hari kita ngalami malang dan berpisahan,
ia pesan untuk aku meyakinkannya sendiri. Ia sendiri,
bilangnya, sudah paham semua. Ia kata juga bahwa aku
dapat melangsungkan cita-cita engku. Siapa nyana,
berguraunya itu sekarang menjadi kenyataan. Ia kata ia sudah
paham isi kitab, ini pun salah satu sebab kenapa aku lantas
ketahui kedustaannya surat dari In Tay. Bukankah Thian Touw
tak membutuhkan lagi kitab ilmu pedang itu? Kemudian,
ketika aku tiba di Tionggoan, aku mendapatkan keamanan
tetap terganggu, di sini rakyat bersengsara melebihkan
penduduk Hweekiang. Seorang diri aku merantau, tanpa
merasa aku menjadi seorang kasar. Aku telah tolongi sejumlah
anak-anak perempuan yang bercelaka itu, tetapi itu bukan
cara yang baik, maka akhirnya aku membangun sarangku ini,
angkat diriku menjadi ceecu. Aku percaya, jikalau Thian Touw
mengetahui sepak terjangku, dia pasti menyetujuinya. Ah,
sayang aku tidak bakal bertemu pula dengannya..."
"Hatimu mulia, encie, Thian pasti akan melindungi kau dan
akan membuat kamu nanti bertemu pula satu sama lain," Sin
Cu menghibur.
“Itulah pengharapanku," In Hong tertawa sedih, "Hanya
aneh rombongan In Tay itu. Kenapa mereka ketahui kitab
berada di tanganku? Kenapa mereka ketahui tulisannya Thian
Touw. Maka itu aku kuatir benar-benar Thian Touw terancam
bahaya..."
Tanpa merasa, air mata si nona mengalir turun. Sin Cu
bingung. Sukar untuk menghiburnya.

989
"Kedukaan dapat membuat orang celaka," katanya
kemudian. "Di depan matamu, encie, ada satu usaha besar,
maka itu baik kau tenangkan diri dan ingat usahamu ini. Aku
harap encie bisa menjaga kesehatanmu."
Kembali In Hong tertawa sedih. Habis itu, benar ia nampak
tenang.
"Aku mengarti, encie ," katanya, sungguh-sungguh. "Kau
baik sekali! Kaulah yang mengetahui hatiku. Aku tidak punya
kakak atau adik, aku anggap Thian Touw sebagai kakakku,
maka itu sekarang dan selanjutnya, aku pun ingin pandang
kau sebagai saudaraku!"
“Inilah yang mengharapnya pun aku tidak berani!" sahut
Sin Cu, yang menjadi girang sekali.
Mereka lantas saling mengasi tahu umur mereka. Nyata In
Hong lebih tua dua tahun, maka ia menjadi kakak. Untuk
mengangkat saudara, mereka gunai tanah sebagai gantinya
hio. Lalu Sin Cu memanggil "Encie1." dan In Hong memanggil
"Adik!" Upacara sangat sederhana itu ditutup dengan
bercucurannya air mata mereka saking terharunya hati mereka
itu, saking girang di akhirnya.
Tidak lama setelah itu, mereka melihat Seng Lim
mendatangi, keluar dari antara pohon bwee yang lebat.
"Apakah tidak terjadi sesuatu?" anak muda itu menanya.
"Tentara-mu tidak melihat kau, nona, dan mereka mendengar
banyak tindakan kaki, mereka jadi ribut sendirinya."
"Tidak apa-apa!" menyahut In Hong sambil tertawa. Siangsiang
ia sudah menepas kering air matanya. "Malam ini indah,
bersama Nona Ie ini aku jalan-jalan ke sini. Kalau mereka

990
bingung, baik aku lantas pulang. Karena malam permai, kau
sendiri baiklah menemani nona ini menggadanginya sebentar."
Ia berkata seraya terus bertindak pergi. Sin Cu hendak
mencegah tetapi sudah tidak keburu. Sejenak itu, hati nona
ini berdenyutan.
"Sungguh kamu gembira sekali!" berkata Seng Lim tertawa.
Sin Cu berdiam, ia ingat kebaikannya In Hong. Ia juga
mengagumi nona itu, yang hatinya kuat, yang dapat
mengatasi penderitaannya.
Seng Lim bertindak mendekati. Ia melihat orang tunduk,
samar-samar ia mendapatkan orang sering melirik kepadanya,
maka mukanya menjadi merah sendirinya. Ia mundur dua
tindak.
"Nona Ie, kau tengah memikirkan apa?" ia menanya.
Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya.
"Yap Toako," katanya, "bagaimana kau lihat ceecu ini?"
Seng Lim melengak, lalu ia tertawa.
"Dia gagah dan pintar," ia menyahut. "Dialah wanita sejati,
wanita jantan!"
Hati si nona tergerak. Ia membuat main cabang dan daun
bwee.
"Apa katanya Leng Ceecu kepadamu?" Seng Lim menanya.
"Tidak apa-apa. Eh, Yap Toako, aku ingin tanya kau satu
hal."

991
"Silahkan."
"Orang dulu bilang, dua perasaan saling suka, keras emas
atau batu, benarkah itu?"
Air mukanya Seng Lim merah hatinya goncang.
"Begitulah katanya orang dulu. Umpama Ciok Eng Tay,
yang sesudah mati menjadi kupu-kupu, atau Beng Kiang Lie
yang menangiskan Tembok Besar. Perasaan atau cinta mereka
itu dapat menggeraki langit dan bumi. Itu dia yang dibilang
keras seperti emas dan batu. Kau baca lebih banyak buku dari
aku, nona, kau mengarti lebih banyak lagi."
"Orang dulu demikian, bagaimana orang jaman sekarang?"
Seng Lim bersenyum.
"Aku lihat, dulu dan sekarang sama saja."
"Tapi toh ada bedanya dengan perbuatan orang yang
bersangkutan sendiri..."
"Memang, siapa cocok satu pada lain, di antara mereka
baru ada cinta."
Sin Cu berpikir.
"Diumpamakan orang menyinta satu kepada lain, lalu satu
sebab membikin mereka berpisahan, terpisahnya jauh, kabar
ceritanya tidak ada, tak tahu juga sampai kapan mereka bakal
bertemu pula, kalau begitu, pantas atau tidak apabila hati
Selagi mengangkat saudara, Leng In Hong dan Ie Sin Cu
melihat Seng Lim mendatangi, keluar dari pohon bwee yang
lebat. mereka tak berubah sampai di akhirnya?"

992
Seng Lim heran. Ia tidak ketahui hal ikhwalnya In Hong. Ia
pikir: "Kiranya si nona sangat jatuh hati kepada Keng Sim,
kalau begitu tak boleh aku lancang... Maka sambil tertawa
tawar ia menyahut: “Itulah bukan soal pantas atau tidak,
itulah soal cintanya. Menurut aku, setelah mereka saling
menyintai, pasti hati mereka tidak berubah."
"Bagaimana kalau salah satu pihak telah menutup mata?"
"Mana orang muda demikian gampang mati? Kau bicara
dari hal siapa?"
Pemuda ini menjadi heran.
"Aku lagi bicara saja, Yap Toako. Adat peradatan kita
membilang, wanita itu wajib mengikuti suaminya sampai
di hari akhirnya, tetapi kalau mereka belum menikah dan bakal
suaminya sudah mati lebih dulu, apakah dia mesti tetap
bersetia pada bakal suaminya itu?"
Melihat orang bicara dengan sungguh-sungguh, Seng Lim
tidak berani omong sembarangan.
“Ini pun terserah kepada orang yang bersangkutan sendiri.
Kalau dia mau bersetia, dia setia terus, kalau tidak, dia boleh
berubah hatinya."
"Menurut kau, toako, mana lebih baik, tetap setia atau
berubah?"
"Kalau orang itu diumpamakan aku, setelah aku mati dan
aku ketahui halnya, aku pasti mengharap kekasihku itu
mendapatkan orang yang lebih baik daripada aku," sahut Seng
Lim. “Inilah untuk menjaga jangan dia menjadi sebatang kara

993
dan kesepihan hidupnya. Eh, mengapa malam ini kau
menanyakan urusan seaneh ini?"
Si nona tertawa.
"Terima kasih untuk keteranganmu ini," katanya. "Kau
membuatnya hatiku terbuka. Benar, dia tak dapat dibikin
sebatang kara dan sepih hidupnya!..."
Seng Lim menjadi terlebih heran.
"Eh, kau bicara dari hal siapa?" ia mananya.
"Dari halnya satu encie-ku yang baik. Nanti kau ketahui
sendiri."
Seng Lim tidak usilan, meskipun ia heran, ia tidak menanya
lebih jauh. Ia hanya mengawasi si nona, yang memandang ke
arah jauh, agaknya nona itu berduka berbareng girang.
"Ah, di sini dingin, dingin sekali..." kata si nona kemudian.
"Memang hawa udara di sini tak dapat dibanding dengan
hawa udara di Kunbeng," berkata Seng Lim.
"Coba bilang," mendadak si nona kata, "Tiat Keng Sim itu
bakal kembali atau tidak?"
Seng Lim heran. Itulah pertanyaannya kepada si nona,
sekarang di pakai untuk menanya padanya. Ia menyesal,
tetapi ia menjawab: "Tentang Tiat Kongcu, kau mengetahui
lebih dalam daripada aku. Benar, hawa dingin sekali, mari kita
pulang."
Pemuda ini tidak ketahui hati si nona, ia menyangka orang
tak dapat melupakan pemuda she Tiat itu, Sin Cu dapat

994
menerka Seng Lim menduga tetapi sesaat itu ia tidak hendak
memberikan penjelasannya.
Besoknya, setelah Tiauw Im Hweeshio memperoleh obat
pemunah dari Han Cin Ie dan ia berhasil mengobati semua
orang Kaypang yang terluka, ia mendaki gunung, untuk
bertemu sama Leng In Hong dan lainnya. Di situ dilakukan
pembicaraan soal keberangkatan tentara wanita dari Huyong
San ini untuk menggabungkan diri dengan tentara rakyat di
bawah pimpinan Yap Cong Liu.
In Hong berduka, halnya itu cuma Sin Cu seorang yang
mendapat tahu, tetapi ia dapat menguati hati, ia tidak
memberi kentara dari kedukaannya itu. Ia mencoba bersikap
seperti biasa. Di tengah jalan, Sin Cu sengaja mengatur
dengan diam-diam agar nona itu berjalan sama-sama Seng
Lim. Keduanya bicara secara umum, karena keduanya tidak
mengetahui akalnya Nona Ie. Bicara dari hal ilmu perang,
keduanya cocok sekali satu dengan lain. Kapan Sin Cu
memandang mereka berdua, mendadak ia membayangi pula
impiannya. Ia dapat merasa Seng Lim dan In Hong adalah
orang-orang mirip pohon tayceng. Ia girang dan masgul,
masgul seorang diri, tanpa In Hong dan Seng Lim
mengetahuinya.
Setengah bulan kemudian rombongan tentara suka rela ini
tiba di pusat tentara rakyat di Ciatkang. Sin Cu berduka kapan
ia mengingat jauh ke depan, ingat hari-hari yang telah lalu.
"Dulu hari di Tay-ciu," berkata Seng Lim tertawa, "kaulah
satu-satunya pendekar wanita, sekarang kau dikawani oleh
Leng Ceecu serta tentara-nya, maka itu lain kali kau tidak
usah menyamar lagi sebagai seorang pemuda!"
Sin Cu bersenyum walaupun hatinya pepat.

995
Itu waktu terlihat satu pasukan tentara mendatangi ke arah
mereka, yang menjadi pemimpin masing-masing ada seorang
pria dan seorang wanita. Mereka itu ialah Seng Hay San dan
Cio Bun Wan.
Heran Seng Lim, hingga ia berkata: "Aneh, kenapa mereka
sudah lantas mendapat kabar hingga mereka dapat ketahui
hari ini kita bakal tiba di sini?" Ia berkata begitu karena
menyangka Pit Keng Thian mengutus pasukan untuk
menyambut mereka.
Dari jauh-jauh Cio Bun Wan sudah lantas mengenali Sin Cu,
maka itu ia kaburkan kudanya, hingga ia lantas sampai kepada
Nona Ie, tangan siapa ia jabat keras-keras.
"Encie Sin Cu, kau pulang asalmu, kau bertambah cantik!"
memuji Nona Cio itu. "Apakah kau bertemu sama aku punya
Tiat Suko?"
Nona Ie mengangguk.
"Panjang untuk menutur," sahutnya, "tetapi sekarang ia
berbahagia berdiam di istana Bhok Kokkong di Kunbeng,
hingga tak usah kau menguatirkan-nya, tak usah kau
memikirkannya lagi. Bagaimana ayahmu?"
"Semenjak peristiwa itu malam, sampai sekarang ayah
belum pulang," menyahut Bun Wan.
Sin Cu berdiam, air mukanya guram. Ketika kemudian ia
mengangkat kepala, ia lihat Seng Hay San dan Seng Lim
tengah bicara dengan tangan dan kakinya bergerak-gerak,
melihat wajahnya, dia tidak puas. Ia pun mengawasi Bun
Wan, yang dari kerutan alisnya nyata dia berduka.

996
"Apakah Yap Tongnia baik?" Sin Cu menanya. Ia ingat
suatu apa. "Bukankah kamu datang ke mari untuk menyambut
kami?"
"Kami dititahkan Pit Toaliongtauw untuk pergi berperang,"
menjawab Nona Cio. "Hm! Hm! Jikalau kami tidak memandang
kepada Yap Tongnia, tidak nanti kami suka mentaati titahnya!"
***
Ie Sin Cu tertawa.
"Tentara rakyat sudah bergerak, mana dapat kita luput dari
peperangan?" kata ia.
"Kita bukannya takut berperang, hanya medan perangnya
tak terpilih tepat," berkata Cio Bun Wan.
"Bagaimana?"
"Tentara kita terdiri dari kaum nelayan," Seng Hay
menjelaskan, "dari Tayciu kita dipindahkan ke Un-ciu, selama
setahun lebih kita berperang di air, saban-saban kita beroleh
kemenangan, sekarang kita harus berkelahi di tanah datar,
kita pun mencil sendiri dan masuk ke perdalaman. Kita
dititahkan maju ke Sianggiauw, Kangsee. Bukankah itu tak
tepat, bahkan melanggar pantangan ilmu perang?"
"Laginya dengan ke-barangkatan kita. Unciu menjadi
kosong"" menambahkan Bun Wan. "Umpama kata tentara
negeri menyerang dengan ambil jalan air, berbahayalah kota
itu."
Seng Lim mengerutkan kening.

997
"Pit Kheng Thian mengarti baik ilmu perang," ia berkata,
"tempo dulu ia masih menjadi berandal di Shoatang, tak
kurang daripada seratus kali ia bertempur sama tentara
negeri, baik pertempuran kecil maupun pertempuran besar, ia
selalu menang, maka kenapa ia mengatur begini rupa?
Pernahkah kamu bicarakan ini dengan pamanku?"
"Sudah. Tapi Pit Kheng Thian telah mengeluarkan titahnya,
tak mau ia menarik pulang. Dua kali Yap Tongnia bicara, tidak
ada hasilnya, akhirnya ia menasihati kami untuk menurut saja,
guna mencegah bentrokan. Yap Toako, sekarang kau pulang,
coba kau tolong omongkan. Sebenarnya kami tidak ingin
meninggalkan kampung halaman kami..."
"Baik, nanti aku menemui Pit Kheng Thian," menyahut
Seng Lim. "Cuma titah telah dikeluarkan, dalam ketentaraan,
aturan yang dimuliakan, maka baiklah kamu bekerja terus.
Jikalau aku berhasil bicara dengan Pit Kheng Thian, nanti aku
mengirim warta cepat untuk menarik pulang pada kamu."
Seng Lim bersama Sin Cu pulang ke markas besar. Di sana
Pit Kheng Thian dan Yap Cong Liu lagi berunding, kapan ia
mendengar kabar kembalinya mereka, lekas-lekas ia keluar
menyambut.
"Yap Laotee, banyak capai!" katanya, tertawa. "Pergi kau
beristirahat dulu! Ah, Nona Ie, kau pun pulang! Aku memang
lagi memikir untuk membangun satu pasukan wanita,
pulangmu ini bagus sekali." Matanya lantas melihat semua
orang.
Pek Beng Coan lantas mengajar kenal: “Inilah ceecu Leng
In Hong dari gunung Huyong San di Kangsee!"
Kheng Thian mengangkat tangannya, akan memberi
hormat pada In Hong.

998
"Sudah lama aku mendengar nama besar dari Leng Ceecu."
katanya.
In Hong tertawa.
"Aku pun telah mendengar namamu!" sahutnya. "Kau telah
mengirim orang merampas piauwnya Han Cin Ie, cara yang
kau pakai hebat sekali, hingga aku tak dapat menerkanya
bahwa itulah perbuatannya Toaliongtauw dari delapan belas
propinsi yang namanya kesohor di kolong langit ini!"
Selagi mereka berbicara, mereka telah sampai di dalam.
Yap Cong Liu mendapat dengar perkataannya Nona Leng itu.
"Apa?" tanyanya. "Siapakah yang merampas piauw-nya
Han Cin Ie?"
Parasnya Kheng Thian berubah, tetapi ia menyahuti, secara
tawar.
"Akulah yang mengirim orang untuk merampasnya," ia
mengakui. "Piauw itu ada keperluannya tentara negeri di
Ouwpak. Ah, Goan Kiong, berhasilkah kau merampas piauw
itu?"
"Pit Toaliongtauw, siauwtee datang untuk memohon maaf!"
Seng Lim mendahului Pit Goan Kiong menyahut.
Kheng Thian heran. Ia menentang kedua matanya.
"Untuk apakah?" ia tanya.
"Oleh karena siauwtee telah membayar pulang piauw itu."
Seng Lim menjelaskan.

999
"Sepuluh laksa serdadu negeri itu, tanpa rangsum, bakal
mencelakai rakyat jelata. Karena kita menyebut diri tentara
rakyat, maka untuk bertindak kita harus melihat salatan."
"Sungguh murah hatimu!" kata Kheng Thian yang tertawa
dingin.
"Pembilangannya Seng Lim beralasan," berkata Cong Liu.
"Kita ada rakyat jelata, kita berperang untuk rakyat jelata,
sudah tentu paling dulu kita mesti melindungi kepentingan
rakyat jelata juga. Laginya piauwsu tua itu seorang laki-laki
sejati, tak tega hatiku kalau karena piauw itu ia mesti
mengurbankan rumah tangga dan mungkin jiwanya juga."
Wajahnya Kheng Thian menjadi gelap sejenak, kemudian ia
tertawa lebar.
"Yap Laoteel" katanya, "kau muda dan gagah,
pandanganmu pun jauh, aku kagum untukmu! Tentang piauw
itu, aku tidak hendak menarik panjang, sudah dilepaskan,
sudah saja. Bagaimana tentang kepergianmu ke Tali,
dapatkah kau bertemu dengan Thio Tan Hong? Apa katanya
dia? Dan mana itu peta, sudah didapat atau belum?"
"Thio Tayhiap pun menyampaikan hormatnya untuk
paman," berkata Seng Lim, menyahuti. "Peta itu ada di sini."
Tidak puas Kheng Thian mengetahui Tan Hong cuma
memperhatikan Cong Liu, tetapi ia tidak membilang suatu apa,
hanya ia mengulurkan tangannya guna menyambuti peta dari
tangan Seng Lim itu.
Justeru tangan orang diulur, Sin Cu berkata dengan cepat:
"Peta guruku ini ada untuk Yap Tongnia."

1000
Seng Lim tercengang, akan tetapi hanya sejenak, ia terus
berpaling kepada pamannya kepada siapa ia serahkan peta
itu. Parasnya Kheng Thian menjadi bermuram durja, saking
mendongkolnya. Ia baru hendak mengasi dengar suaranya,
ketika Cong Liu menoleh kepadanya.
"Pit Laotee, kau terimalah ini!" katanya sambil tertawa. Ia
pun mengangsurkan peta itu, yang ia baru terima dari
keponakannya.
Kheng Thian segera membeber peta itu.
"Kenapa ini hanya peta lima propinsi di Kanglam?" ia
bertanya.
"Karena maksudnya Thio Tayhiap supaya kita jangan
terburu napsu untuk maju," Seng Lim menerangkan. "Kalau
kita dapat melindungi wilayah Kanglam dan hidup bersama
rakyat sambil beristirahat, itu artinya kita membangun dasar
untuk tak dapat dikalahkan."
Kembali wajahnya Kheng Thian menjadi suram. Ia sangat
tak setujui sikap menanti itu. Sebelum ia sempat membuka
mulut, Seng Lim sudah berkata pula.
"Barusan di luar tangsi aku bertemu sama Seng Hay San,
katanya Pit Toaliongtauw mengirim ia ke Sianggiauw.
Benarkah itu?" '
"Habis kenapa?"
"Pasukannya Seng Hay San itu terlatih untuk peperangan di
air, sekarang ia di kirim ke tanah pegunungan, aku lihat itu
kurang tepat," menjawab Seng Lim.

1001
"Laginya menurut pandangannya Thio Tayhiap,
memperkuat Kanglam ada tindakan paling utama, kalau kita
memecah tenaga, untuk merampas daerah, Tayhiap kuatir kita
nanti diserbu musuh!"
"Hm!" Kheng Thian mengasi dengar suaranya yang dingin.
"Thio Tayhiap, Thio Tayhiap. Kedudukan Toaliongtauw ini
toh bukannya Thio Tan Hong yang mendudukinya!"
Sin Cu gusar mendengar itu.
"Pit Kheng Thian, apa kau bilang?" ia menanya. Tidak bisa
si nona mengendalikan diri lagi. Tidakkah gurunya, yang ia
puja itu, telah diperhina?
Kheng Thian memandang si nona dengan mata mendelik,
setelah itu ia menoleh kepada Yap Seng Lim.
"Thio Tan Hong banyak sekali pendapatnya!" katanya.
"Kenapa dia tidak datang sendiri ke mari?"
"Karena sekarang ini Thio Tayhiap lagi mengantar puteri
Iran ke kota raja," si anak muda menjawab.
Kembali Kheng Thian mengasi dengar tertawanya yang
dingin.
"Pada sepuluh tahun dulu Thio Tan Hong pergi menyambut
kaisar dari negera Watzu," katanya, "dan sekarang ia pergi
pula ke kota raja menghadap sri baginda! Ha, tentulah
bagiannya ada pangkat tinggi dan kebahagiaan!"
Sin Cu murka sekali hingga ia merabah gagang pedangnya.

1002
"Jikalau guruku kemaruk sama kedudukan tinggi, negara
Beng ini siang-siang sudah menjadi kepunyaannya Keluarga
Thio!" ia berkata keras. "Mana ada bagianmu si orang she
Pit!"
Menampak demikian, Cong Liu segera maju sama tengah.
"Thio Tayhiap bekerja untuk rakyat jelata, pasti dia
bukannya seorang yang kemaruk sama kedudukan agung!" ia
menerangkan. "Ah, nona Ie, kau kurang sabar..."
Pit Kheng Thian tertawa.
"Nona Ie masih sangat muda, mustahil aku hendak
menentangi dia?..."
Hatinya Sin Cu masih panas tetapi ia ingat Kheng Thian
pernah melepas budi sudah mengubur jenazah ayahnya, maka
ia berdiam. Cuma di dalam hatinya, ia kata: "Karena budimu
itu, baiklah, aku tidak akan melayani padamu!"
"Thio Tan Hong memang seorang pandai," berkata pula Pit
Kheng Thian, "akan tetapi ia berada jauh di Inlam Selatan,
mana dia ketahui urusan dalam pasukan perang? Tentara
negeri seratus lipat lebih besar daripada pasukan perang kita,
jikalau kita tidak menyerang untuk merampas tempat atau
kota, untuk lebih dulu mendapatkan beberapa kemenangan,
mana dapat semangat rakyat dibuatnya terbangun? Mana bisa
kita membikin seluruh negara menyambut gerakan kita?
Dengan mengirim Seng Hay San ke Sianggiauw maksudku
ialah kita menyerang untuk membuat perlindungan diri sendiri,
guna membataskan pengaruh musuh yang tangguh. Tentara
memang mesti pelajarkan ilmu perang di air, tetapi mesti
dipelajari juga ilmu perang di darat, kalau tidak, dia cuma bisa
menjagoi di laut."

1003
Sebenarnya Seng Lim hendak membantah, tetapi
menampak orang sudah mulai bergusar, ia terpaksa
menyabarkan diri.
"Tentang mengatur siasat, akulah seorang kasar, aku tak
dapat membilang suatu apa," berkata Cong Liu tertawa,
"tetapi apa yang dibilang Toaliongtauw dan Thio Tayhiap,
masing-masing ada alasannya sendiri, maka itu sekarang ini
baiklah kita bersabar sampai lagi beberapa hari, kita nanti
minta pertimbangan dari semua pemimpin kita. Pepatah pun
membilangnya, seorang pikirannya pendek, dua orang
pikirannya panjang. Singkatnya biarlah kita beramai samasama
memikirkan suatu daya yang sampurna."
Dengan kata-katanya Cong Liu itu, mukanya Kheng Thian
menjadi terang pula. Karena itu, urusannya Seng Hay San jadi
tak dibicarakan lagi.
Ketika malam itu orang bersantap, rata-rata mereka tidak
bergembira. Setelah lagi dua hari, Pit Kheng Thian sudah
mengirim lagi dua pasukan untuk pergi berperang. Dua-dua
pasukan itu ada pasukan-pasukan seba-wahannya Yap Cong
Liu.
Menampak begitu, Leng In Hong berkata kepada Sin Cu.
"Aku lihat urusan rada aneh. Kenapa yang di kirim selalu
pasukannya Yap Tongnia ?" Nona Leng tanya.
Sin Cu tidak bisa bilang suatu apa. Ia heran tetapi ia tidak
bercuriga. Ia hanya percaya Keng Thian berbuat demikian
karena dia kemaruk sama pahala.
Syukur tentara yang di kirim itu dapat berkelahi dengan
baik. Tentara negeri dapat ditolak hingga ke luar batas
gunung Sianhee Nia. Dua propinsi Kangsouw dan Ciatkang

1004
serta Hokkian Utara telah kena diduduki. Karena itu Kheng
Thian saban-saban dapat mengadakan pesta kemenangan.
Pula ada saja orang-orang Rimba Hijau yang datang
mempersatukan diri, semua mereka ini memuji Toaliongtauw
itu, si "kepala naga," hingga dia menjadi besar hati.
Dengan lewatnya sang waktu tibalah musim semi dengan
bunga-bunganya yang mekar. Itu waktu sepuluh laksa
serdadu di Ouwpak, yang telah memperoleh rangsum, benar
saja berangkat ke timur, barisan depannya sudah lantas
sampai di Tunkee. Kheng Thian lantas mengirim Seng Lim
untukmenahan lajunya tentara pemerintah itu.
Kembali yang di kirim ini, sejumlah selaksa jiwa,
pasukannya Yap Cong Liu, hingga hampir habislah tentaranya
si pemimpin rakyat ini.
Di harian keberangkatan Seng Lim, Kheng Thian sendiri
pergi mengantar, Sin Cu dan In Hong turut bersama. Sampai
jauhnya lima lie, Seng Lim minta pemimpin itu suka kembali
saja.
"Aku akan menantikan kabar baik dari kau, hiantee."
berkata Kheng Thian. "Kali ini musuh berjumlah besar dan kita
sedikit, aku mengandal kepada kepan-daianmu. Kalau nanti
tentara rakyat dari pelbagai daerah sudah berkumpul, akan
aku mengirimkan bala bantuan untukmu."
"Tempat ini ada pokok dasar kita, sudah seharusnya
persiapan diperkokoh," berkata Seng Lim, "maka itu tak
usahlah aku di kirimkan bala bantuan. Karena musuh besar
dan kita sedikit, aku tidak berniat segera menempur musuh,
hendak aku melihat dahulu keadaan tempat, guna membela
diri saja, guna menggempur semangat mereka, supaya
walaupun jumlah mereka banyak, tak ada niat mereka untuk

1005
berkelahi. Aku harap mereka bubar sendiri karena sang
waktu."
Kheng Thian bertepuk tangan memuji pemuda she Yap ini.
"Kau pintar, hiantee, kau pasti bakal menang!" katanya.
"Setelah kau peroleh kemenangan nanti, akan aku
ganjarkan kau sebagai pangeran Icie Pengkin Ong"
Seng Lim mengerutkan kening.
"Mana kita mengharapi ganjaran raja muda..." katanya. Ia
belum bicara terus, atau Kheng Thian telah memotong:
"Benar, kita memang berkelahi untuk menolongi rakyat jelata
dari marah bahaya!"
Coba kata-kata itu keluar dari mulut Seng Lim, itulah tidak
aneh, tetapi sekarang keluarnya dari mulut Kheng Thian,
untuk kupingnya Sin Cu dan In Hong, itu tak sedap
didengarnya.
"Pit Toako, silahkan kembali!" berkata Seng Lim sambil
mengangkat kedua tangannya.
"Untukku tak usah kau menambah bantuan, asal sudilah
kau menerima satu permintaanku."
"Silahkan sebutkan, hiantee."
"Peperangan kali ini mungkin tak bakal selesai di dalam
tempo yang pendek, karena itu aku minta rangsum untuk
tentara nanti di kirim berangsur-angsur dengan tetap."
Kheng Thian tertawa lebar.

1006
"Tentang itu tak usah hiantee pesan lagi!" katanya Kheng
Thian gembira. "Belum lagi tentara berangkat, rangsum sudah
di kirim. Sekalipun rangsum tentara negeri hiantee telah
lepaskan, mustahil aku nanti menahan rangsum untukmu?"
Sampai di situ, Seng Lim berangkat. Tiba-tiba Sin Cu
merasakan sesuatu.
"Encie Leng, mari kita mengantar satu rintasan lebih jauh!"
ia mengajak In Hong.
Nona Leng setuju, maka mereka jalankan kuda mereka
berendeng.
Tapi mendadak nona ini kata: "Ah, aku lupa satu hal, maka
pergilah kau sendiri yang mengantarnya!"
Sin Cu merasakan mukanya merah, akan tetapi, ia jalan
terus.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar