Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 11
"Piauwtauw tua she Han
iku ada seorang jujur dan terhormat," ia berkata. "Sebenarnya,
kenapakah kau telah bentrok dengannya? Dua-dua pihak ada sahabat-sahabat,
inilah sukar... Eh, eh, kau kenapakah?"
Paderi ini terkejut. Dia
melihat Pit Yan Kiong mendelik matanya dan tangannya menunjuk ke luar, sedang
dari mulutnya keluar teriakan: "Lekas! Lekas!"
Tiauw Im berlaku sebat sekali.
Ia membuka luka liang jarum, ia lantas memencet keras, untuk mengeluarkan darah
yang warnanya hitam.
Selagi berbuat begitu, ia
berkata pada Sin Cu: "Lekas kau pergi, kau mewakilkan aku melihat sudah
terjadi onar apa di sana! Di sebelah depan, di mulut gunung, ada serombongan
orang lagi bertempur! Kalau bisa, kau pisahkan mereka, supaya dapat diadakan
perdamaian, kalau
tidak, kau membiarkan saja,
jangan kau campur tangan!
Haha, kau lihat, aku si tukang
usilan atau bukan!"
Sin Cu tertawa.
"Jangan kuatir,
supeecouw." katanya. "Aku tidak akan menerbitkan onar untukmu! Yap
Toako, kau pandai bertindak, mari kau temani aku!"
Seng Lim suka mengikut, maka
itu keduanya lantas lari keluar. Setibanya mereka di muka dusun, di depan
gunung, benar-benar ada serombongan orang lagi berkelahi.
Sampai di situ, Seng Lim
bertindak dengan pelahan.
"Kelihatannya aneh,"
katanya. "Mari kita melihat dulu."
Sin Cu suka menurut. Sama-sama
mereka bertindak maju, mata mereka mengawasi.
Pertempuran berjalan secara
luar biasa, pantas Seng Lim mengatakan aneh. Kawanan piauwsu itu pada
menunggang kuda tetapi kuda mereka pada rebah di tanah, suara meringkiknya
mengiriskan. Sejumlah peti dan keranjang bermuatkan barang bertumpuk seperti
bukit, dikurung oleh orang-orang piauwkiok yang melindunginya. Di atas sebuah
peti duduk bersilah seorang piauw-su tua, tangannya mencekal sebatang huncwee,
yaitu pipa panjang, saban-saban dia menyedot pipanya itu dan mengepulkan
asapnya. Si perampas piauw adalah serombongan pengemis, semua mereka menunggang
kuda, saban-saban mereka menerjang.
Saban tiba saatnya rombongan
piauwsu terdesak, si piauwsu tua mengayun tangannya, lantas terdengar suara
sarser.
Saban diserang secara begitu,
semua pengemis itu lari kabur, atau di lain saat mereka merangsak pula, akan
mengulangi serangan mereka.
Terang sudah mereka itu jeri
terhadap si piauwsu tua dan lagi memancing agar si piauwsu kehabisan senjata
rahasianya itu.
"Apakah kamu ada dari
Kaypang?" kemudian si piauwsu tua menanya. "Kaypang" itu berarti
Partai Pengemis perkumpulan tukang minta-minta.
Seorang pengemis yang rupanya
menjadi kepada mengasi dengar tertawanya.
"Kau telah mengenal kami,
kenapa kau tidak hendak menjual persahabatanmu kepada kami?" sahutnya.
"Kau keluarkan obat pemunah racun, kau serahkan piauw angkutanmu ini,
percaya aku, kami tidak nanti membikin sulit padamu! Haha!"
"Ngaco belo!"
membentak si piauwsu tua. "Pangcu dari Kaypang sekarang ini telah menjadi
Toailongtauw dari delapan belas propinsi, mustahil dia bolehnya kepincuk oleh
barang
angkutanku yang begini
sedikit? Teranglah kamu semua telah memalsukan diri, kamu menyamar jadi
rombongan Kaypang itu! Siapakah pemimpinmu?"
"Jikalau kau tidak
percaya aku, aku pun tidak berdaya," berkata pengemis tadi. "Sekarang
ini kau serahkan dulu barang-barangmu, baru aku suka bicara denganmu!"
Si piauwsu tua menjadi gusar,
ia membentak: "Piauwkiok keluarga Han mana dapat sembarang menyerahkan
barangbarang yang berada di bawah perlindungannya? Hm! Hm!
Memang biasa orang merampas
piauw tetapi aku belum pernah menyaksikan caramu yang sekeji ini kamu menggunai
racun meracuni kuda orang! Tidakkah kamu kuatir, karena
perbuatan hina kamu ini, orang
kangouw nanti mentertawakan kamu? Karena kamu menggunai nama Kaypang, hari ini
mesti aku bekuk kamu untuk nanti dihadapkan kepada Pit Keng Thian! Sampai itu
waktu, sekalipun aku suka member ampun padamu, Pit Keng Thian sendiri pastilah
tidak!"
Pengemis kepala itu tertawa
bergelak-gelak.
"Aku bersedia untuk
dicekuk olehmu!" katanya mengejek.
Ia keprak kudanya untuk
dimajukan.
Piauwsu tua itu mengayun
tangannya. Atas itu, si pengemis memutar kudanya untuk menyingkir jauh hingga
senjata yang berupa jarum itu tidak dapat mengenakan padanya. Dia pun pandai
sekali mengendalikan kudanya.
"Ah, benar-benar
aneh!" berkata Sin Cu sesudah ia menonton sekian lama. "Kenapa Pit
Keng Thian hendak merampas barang-barang angkutannya piauwkiok keluarga Han
ini? Sungguh tidak sedap didengarnya cacian piauwsu she Han yang tua itu
terhadap Keng Thian!"
"Benarkah mereka ini
orang-orangnya Pit Keng Thian?"
Seng Lim ragu-ragu.
"Mereka pasti bukan
orang-orang palsu!" menyahut Sin Cu.
"Pit Yan Kiong itu ada
orang kepercayaannya Pit Keng Thian.
Ini pemimpin ada orang she
Pek, aku kenal dia, sedang kepandaian membikin celaka kuda ini memang ada
kepandaian istimewa dari Pit Keng Thian sendiri.
Dulu hari aku pun pernah
menjadi kurbannya. Dia hendak mendapatkan kuda Ciauwya Saycu ma, lantas kudaku
dikejar hampir tak dapat bertindak."
Seng Lim menggeleng kepala.
Merampas piauw dengan cara seperti itu benar-benar bukan cara yang dapat
dipuji.
"Apakah kau kenal Han
Loopiauwtauw itu?" kemudian si nona tanya kawannya.
"Sebelum ini, belum
pernah aku bertemu dengannya.
Hanya menurut pamanku, dialah
satu piauwsu terhormat.
Kecuali ilmu silatnya liehay,
dia pun pandai bergaul dan menghargai persahabatan. Katanya dia mempunyai tiga
macam syarat tidak melindungi. Ialah dia tidak suka melindungi piauw yang tidak
terang asal usulnya, tidak suka melindungi piauw asal curian, dan tidak suka
melindungi juga hartanya pembesar sekakar. Ada dibilang juga, satu kali dia
melindungi barang, tidak nanti terjadi kegagalan, sebab duadua golongan Hitam
dan Putih ada menaruh hormat kepadanya. Setahu kenapa sekarang Pit Keng Thian
hendak membikin susah padanya..."
"Kabarnya dia pun jarang
sekali keluar sendiri melindungi piauwnya," kata Sin Cu Magi.
"Sekarang dia sampai turun tangan sendirinya, mestinya angkutan ini ada
angkutan istimewa!"
"Taruh kata benar dia
lagi mengangkut harta besar sekali,"
berkata juga Seng Lim,
"sebagai kepala dari tentara suka rela, tidak pantasnya Pit Keng Thian
merampas piauw orang."
Keduanya menjadi bingung
sekali, tidak dapat mereka menerka jelas.
Hampir di itu waktu, kawanan
pengemis itu pada tertawa riuh, lalu ada yang berseru-seru: "Lihat, lihat!
Tua bang-ka itu sudah melepas habis senjata rahasianya! Mari maju semua,
menyerang! Pandanglah sedikit
kepada mukanya, jangan rampas benderanya!"
Kawanan pengemis itu melihat
beberapa kali si piauwsu mengayun tangannya tetapi tidak ada jarum rahasia yang
menyambar mereka, maka itu mereka mau menyerbu pula, akan tetapi mereka berlaku
hati-hati, sambil majukan kuda mereka, mereka memutar senjatanya masing-masing
di depan muka dan dadanya.
Tiba-tiba saja si piauwsu tua
mengasi dengar suara menggeledek: "Pengemis bangsat, berdiamlah
kamu!"
Menyusul itu sebelah tangannya
diayun dan suara sar-ser terdengar tak hentinya. Lalu dua pengemis di kiri dan
kanan roboh terjungkal dari atas kudanya.
Si pengemis she Pek sudah
lantas memutar kudanya, untuk lari menyingkir.
Hebat piauwsu tua itu, dari
atas peti di mana ia duduk bersila tubuhnya mencelat meleset, menyerang si
pengemis she Pek itu, sebelah tangannya menyekal semacam senjata yang hitam
mengkilap dengan apa dengan tipu "Lie Kong memanah batu" ia menotok
jalan darah soankie hiat!
Pengemis she Pek itu, yang
bernama Beng Coan, ada salah satu pengemis kenamaan di dalam partainya, ilmu
silatnya tak ada di bawahan Pit Yan Kiong, maka juga ketika ia diserang, ia
berkelit sebat sekali, tapi
sembari berkelit, dia menjerit, "Oh, kau bangsat tua!..." Belum
berhenti jeritannya itu, terlihat lelatu api memercik, lalu tubuhnya terguling
dari punggung
kuda!
Piauwsu tua she Han itu
selainnya pandai menggunai senjata rahasia jarum yang diberi nama Bweehoa
Touwkut ciam juga liehay sekali ilmunya menotok jalan darah, alat peranti itu
adalah sebatang huncwee-nya itu yang tidak pernah lepas dari tangannya, maka
juga setiap kali
digunakan, api huncwee pun
meletik muncrat, sekalian membakar baju atau kulit kurbannya. Pek Beng Coan
luput dari totokan, tidak luput ia dari api huncwee itu.
Sebat kelitnya Beng Coan,
lebih sebat adalah si piauwsu tua. Tanpa berayal sedikit juga, selagi orang
jungkir balik, ujung huncwee-nya sudah menotok pula. Beng Coan berbalik, dengan
cambuknya ia menangkis. Kosong tangkisan-nya itu, atau mendadak, asap huncwee
si orang tua mengepul ke mukanya! Asap itu membuatnya menjadi kepala pusing dan
matanya kabur, hingga karenanya, permainan cambuknya turut menjadi kacau juga.
Karena ini, segera ia kena didesak.
Huncwee itu, dengan asapnya
mengepul berulang-ulang, mendesak untuk mencari sasaran jalan darah.
Sampai di situ, Beng Coan
tidak berdaya lagi untuk membalas menyerang, ia cuma dapat membela diri.
Sin Cu tertawa menyaksikan
pertempuran yang sifatnya lucu itu.
"Sekarang apa sudah tiba
waktunya kita pergi memisahkan?" dia menanya Seng Lim.
"Tunggu dulu, kita lihat
lagi sebentar!" menyahut si anak muda.
Selagi dua orang itu bertempur
secara kipa, kawanan pengemis tidak berani merangsak pula untuk mengulangi
serbuan mereka.
Selain Beng Coan nampaknya tak
berdaya, dua pemimpinnya yang lainnya pun telah terkena jarum beracun. Di lain
pihak, orang-orang piauwkiok menjadi mendapat hati, mereka sekarang menyerang
dengan panah mereka.
Dengan begitu terlihat tegas,
pihak Kaypang lekas juga bakal kena dikalahkan.
Dalam pada itu orang mendengar
tertawanya Han Loopiauwtauw, yang mendesak Pek Beng Coan, hingga pemimpin
Kaypang itu menjadi sangat terdesak dan repot sekali. Satu kali dia mencoba
menyerang dengan cambuknya.
Kali ini si piauwsu tidak
berkelit, ia justeru mengajukan huncwee-nya, mengasi pipa itu kena dilibat
cambuk.
Hanya, bukan cambuk yang
melibat terus, adalah si piauwsu yangmemutar senjatanya itu, yang membikin
senjatanya terus terlibat, hingga cambuk menjadi semakin pendek dan semakin
pendek. Di akhirnya si piauwsu
berteriak: "Robohlah kau!"
Hebat Pek Beng Coan, dia
terhuyung, tubuhnya miring, tidak dia jatuh!
Di dalam rombongan piauwsu
orang menjadi heran.
"Ah, mungkin dia benar
orang Kaypang?" ada yang berkata.
Tapi si piauwsu tua telah
berpikir lain.
"Tidak perduli dia
siapa!" serunya. "Dia mesti dibekuk untuk dibawa menghadap Pit
Toaliong tauw Jikalau toh benar dia orang Kaypang, tidak, usah kita yang
menghukumnya, pasti
Pit Toaliongtauw yang nanti
membikin kutung kedua kakinya!"
Piauwsu ini masih tidak mau
percaya orang ada dari Kaypang.
Sin Cu dan Seng Lim
bersembunyi di belakang batu besar dari mana mereka mengintai, mendengar
perkataan si piauwsu tua, mereka mengulur lidah mereka. Mereka heran
dan kagum. Keduanya pun
menjadi ragu-ragu, hingga mereka saling menanya, kalau mereka maju untuk
memisahkan, apa mereka mesti bilang apa mereka mesti membenarkan bahwa
Beng Coan ada dari pihak
Kaypang?..."
Piauwsu itu mulutnya
berbicara, tangannya tak berhenti
bergerak. Ia memang lebih
kosen daripada Pek Beng Coan,
maka itu, si pengemis terlihat
nyata tengah terancam bahaya.
Di saat bahaya mengancam itu,
tiba-tiba perlawanannya
kawanan piauwsu itu seperti
terpecah sendirinya, di antara
mereka muncul satu orang yang
gerakannya sebat bagaikan
bayangan.
Piauwsu tua itu mendapat lihat
orang datang, ia segera
memukul mundur pada Beng Coan,
untuk memasang mata
kepada ini orang baru, yang
ternyata ada satu toosu atau
imam dengan jubah kuning,
tangannya mencekal hudtim atau
kebutan. Dia sudah lantas
berdiri di depannya si pengemis.
"Apakah aku berhadapan
sama Hian Eng Tootiangg dari
kuil Siangceng Koan di
Shoatang?" si piauwsu menanya
sesudah ia melihat tegas orang
di depannya itu.
"Benar," menyahut si
imam. "Sudah lama aku mendengar
nama Han Loopiauwtauw, hari
ini kita bertemu, aku merasa
beruntung sekali."
912
"Mohon tanya, too-tiang,
untuk apakah kau datang ke
Selatan ini?" piauwsu tua
itu menanya pula.
"Pin too datang untuk
meminta amal dari kiesu," sahut
imam itu. "Pintoo mohon
sukalah kiesu mendermakan piauw
yang menjadi angkutanmu
ini."
Pintoo adalah "aku"
untuk imam dan kiesu adalah sebutan
"kau" menghormat.
Di waktu mengucap demikian,
imam ini bersikap sungguhsungguh,
tidak sedikit tanda ia
bergurau.
Piauwsu itu agaknya gusar
sekali, tetapi ia mengendalikan
diri. Saking gusar, tangannya
yang mencekal huncwee sampai
bergemetar.
"Tootiang ada orang di
luar manusia umum, apa perlunya
tootiang dengan uang
ini?" ia menanya, menahan sabar.
"Di kolong langit ini,
banyak sekali orang yang menanti
untuk disuapi," menyahut
si imam tenang. "Pintoo memohon
amal karena ada
keperluannya."
Piauwsu itu tertawa melenggak.
"Sebenarnya, dengan
memandang kepada tootiang, tidak
dapat aku tidak
menderma," ia bilang, "hanya sayang aku Han
Cin Ie, meskipun aku telah mengusahakan
piauwkiok
beberapa puluh tahun, tanganku
tetap kosong, karenanya
tidak sanggup aku mengganti
uang piauw ini. Bagaimana aku
dapat mengikuti kau, tootiang
? Di lain pihak lagi, seumur
hidupku, belum pernah aku
membikin gagal kepercayaannya
langgananku terhadapku.
Tootiang, apakah kau bukan
memaksakan orang mendapatkan
kesulitan?"
913
Hian Eng Toojin tetap dengan
sikapnya yang tenang dan
dingin.
"Bicara pulang pergi,
nyatanya kiesu berat untuk
mengamal, bukankah?" ia
bertanya.
Han Cin Ie si piauwsu tua pun
rupanya habis sabarnya. Ia
angkat huncwee-nya.
"Begini saja, tootiang
," katanya singkat, "apabila tetap
tootiang hendak meluncurkan
tanganmu, silahkan kau
singkirkan dulu itu bendera
piauwkiok kami!"
Ia menunjuk kepada benderanya.
Itulah tanda pembicaraan
sudah putus.
Mukanya si imam menjadi keren,
tanpa membilang suatu
apa lagi, ia geraki
kebutan-nya, menotok ke arah jalan darah
tiongbeng dan pekhoay.
Han Piauwsu berkelit, tetapi
ia tidak mundur, terus ia
membalas menyerang. Maka itu,
keduanya sudah lantas
bergebrak. Bahkan semua
gerakan mereka berbahaya sekali
untuk pihak lawan.
Munculnya Hian Eng secara
tiba-tiba itu dan sikapnya itu,
yang pun luar biasa, membikin
heran tidak cuma pihak
piauwkiok dan Kaypang, juga
Sin Cu dan Seng Lim. Hian Eng
ada imam jujur dan alim, untuk
lima propinsi Utara, namanya
sangat terkenal. Sebagai imam,
untuk apa ia merampas
piauw, apapula piauw dari satu
piauwsu yang demikian
memegang derajat dan bersih?
"Katanya ketika Pit Keng
Thian mendapatkan kedudukan
Toaliongtauw di lima propinsi
Utara dia dapat bantuannya
Hian Eng Toojin ini, benarkah
itu?" Seng Lim tanya kawannya.
914
"Benar," menjawab
Sin Cu. "Mereka berdua bersahabat
erat, maka itu kedatangannya
ini mungkin karena dia
menerima permintaan bantuan
dari Pit Keng Thian. Hanya
heran imam ini sendiri.
Biasanya dia tidak turun tangan di
dalam urusan yang benar, dia
tidak usilan. Kenapa sekarang
dia bersikap begini keras?
Mungkinkah ada terselip rahasia
pada piauw dari Han
Loopiauwtauw ini?"
Pertempuran berlangsung dengan
seruh. Huncwee Han Cin
Ie pendek, totokannya hanya
tiba di satu batas. Kebutan Hian
Eng cukup panjang, ujung
kebutan itu dapat bekerja terlebih
merdeka. Maka juga si piauwsu
seperti kena dikurung. Syukur
untuknya, ia kosen, ia cuma
kalah di bawah angin.
Rombongan piauwkiok menjadi
kecil hatinya menampak
pemimpin mereka terdesak.
Mereka kuatir nama besar dari
pemimpinnya nanti runtuh
karenanya. Kalau kekuatiran itu
berwujud, mereka pun akan
turut bercelaka, mangkuk nasi
mereka bakal terbalik...
Dalam saat itu men-dadakan
terdengar satu suara nyaring.
Nyata huncwee Cin Ie, yang
dipakai menyerang hebat, kena
disampok kebutan Hian Eng.
Itulah yang menerbitkan suara
itu. Habis menangkis, Hian Eng
membalas menyerang.
Hebatnya untuknya, setiap
lembar bulu kebutannya itu
seperti berbangkit berdiri dan
bagaikan jarum mengancam
mukanya si piauwsu.
"Celaka!" Seng Lim
berseru, hampir tubuhnya mencelat. Ia
berniat menolong piauwsu
kenamaan itu.
Di saat sangat mengancam itu,
terlihat berkilauannya sinar
seperti kilat, menyambar ke
arah Hian Eng Toojin, tubuh siapa
lantas mencelat tinggi, lalu
jumpalitan, terus turun di tanah
jauhnya setombak lebih dari
lawannya.
915
"Bagus!" berseru Sin
Cu. Ia memuji dua-dua pihak, si
penyerang dan lawannya. Si
penyerang untuk serangannya
yang liehay si lawan untuk
caranya berkelit yang lincah itu.
Di dalam saat jiwanya
terancam, Han Cin Ie sudah
menggunakan tiga batang jarum
emasnya, yang menjadi
senjata rahasianya yang
dimalui, yang membuatnya
terjulukkan "Kimciam
Sengciu" atau "Ahli Jarum Emas." Dia
liehay untuk senjata
rahasianya itu, Hian Eng liehay untuk
ringan tubuhnya.
Setelah itu, Han Piauwsu tidak
berlompat maju mengubar
lawannya, untuk merangsak, ia
hanya berdiri tenang seperti
lagi menantikan datangnya
musuh. Hal ini membikin heran
semua orang dari rombongannya,
hingga mereka itu, dalam
hatinya, saling menanya,
kenapa si piauwsu mensia-siakan
ketikanya yang baik itu.
Mereka tidak tahu, saking liehaynya si
imam, piauwsu itu mau berlaku
hati-hati.
"Hian Eng Tootiang
," katanya kemudian, sesudah ia
membuang napas, "sekarang
sudikah kau memberi ampun
kepadaku si orang tua?"
Ia menanya sembari tertawa.
Hian Eng mengibas dengan
kebutannya, terus ia menyahuti
dengan tawar: "Beberapa
batang jarum emas tidak ada
harganya, pintoo tetap hendak
meminta amal dari kau, kiesu."
Lalu ia mengebut pula, untuk
menyerang.
" Too tiang,"
berkata Cin Ie, "di kolong langit ini sangat
jarang aku melihat cara orang
meminta derma sebagai kau ini,
kau membuatnya aku si orang
tua menjadi kewalahan..."
Kata-kata ini dengan mendadak
ditutup sama semburan
asap huncwee.
916
Memang tiga keistimewaan dari
piauwsu kenamaan ini
adalah jarum rahasianya,
huncwee-nya dan ini asap huncweenya
itu. Asapnya ini yang terlebih
luar biasa. Kalau ia habis
menyedot pipanya, asapnya dia
dapat tahan di dalam
mulutnya, di saatnya yang
perlu, ia semburkan secara tibatiba,
di luar sangkaan lawan.
Demikian sudah terjadi serangan
asap kepada imam itu.
Di dalam satu pertempuran,
yang paling dimalui adalah
pembokongan. Itu artinya, kita
berada di tempat terang,
lawan di tempat gelap. Hian
Eng tidak menduga jelek ketika
tahu-tahu ia terserang asap
huncwee, tidak perduli ia gagah
dan tabah, hatinya toh
terkesiap juga. Dalam kesehatannya, ia
mengebut, bukan untuk
menyerang, hanya untuk membela
diri. Ia melindungi diri di
tiga jurusan, atas, tengah dan
bawah, tipu silatnya ialah
yang dinamakan "Pathong hongie,
atau "Hujan Angin di
Delapan Penjuru."
"Bagus!" Han Cin Ie
berseru dengan pujiannya. Mau atau
tidak, ia mesti mengagumi imam
itu. Tapi ia memuji bukan
untuk berhenti berkelahi,
pujiannya itu disusul pula sama
semburan asapnya.
Hian Eng menjadi panas
hatinya.
"Apakah ini namanya
pertempuran?" dia menanya.
Selagi orang sangat
mendongkol, si piauwsu tertawa.
"Tetamu yang dihormati
berkunjung datang, sudah
selayaknya saja aku si orang
tua menyambut dengan
menyuguhkan huncwee dan
teh!" ia berkata. "Tetapi kita di
sini berada di tengah jalan,
di sini tidak ada air teh, terpaksa
aku menghormati kau dengan
asap!"
917
Sembari berkata begitu,
piauwsu ini melanjuti serangannya,
huncwee-nya dipakai menotok
atau menikam seperti tombak.
Ia selalu mencari jalan darah.
Hian Eng membela diri dengan
rapat. Ia mengeluarkan
kepandaiannya hasil latihan
beberapa puluh tahun. Ia
terhalang dengan asap huncwee,
yang membikin tubuh lawan
seperti tertutup dan nampak
samar-samar, akan tetapi ia
dapat mengarahkan pandangan
matanya.
Cin Ie kewalahan juga meskipun
benar nampaknya ia lebih
unggul. Sampai habis asapnya,
ia masih belum berhasil
merobohkan lawan, sedangkan
huncwee-nya tidak pernah
mengenai sasarannya. Ia masih
mempunyai sisa jarumnya
tetapi ia tidak mau pakai itu
secara sembrono, kuatir keburu
habis.
Pertempuran juga terjadi di
antara pihak pelindung piauw
dan orang-orang Kaypang.
Cambuknya Pek Beng Coan sudah
patah, ia ganti itu dengar
sebatang golok rampasan. Dengan
bengis ia merobohkan dua
piauwsu kepala, lantas ia tertawa.
"Han Loopiauwsu ,"
ia berkata, "kau serahkan piauw dan
benderamu! Air hijau, gunung
ribuan, maka itu masih ada
waktunya untuk kita bertemu
pula!"
Perlawanan pihak piauwkiok
runtuh sampai di situ, maka
Pek Beng Coan dengan merdeka
memerintahkan orangorangnya
mengangkut semua angkutan,
yang dipindahkan ke
kereta-kereta keledai yang
mereka siapkan. Orang Kaypang
berjumlah cukup banyak, mereka
pun bekerja keras. Orangorang
piauwkiok cuma bisa mengawasi
saja, untuk maju
mencegah, mereka dihalangi
Beng Coan.
"Sekarang sudah waktunya
kita turun tangan?" Sin Cu
tanya Seng Lim.
918
Orang yang ditanya tertawa.
"Kita membantu Hian Eng
merampas piauw atau
membantu Han Loopiauwtauw
membelai barangnya itu?" ia
balik menanya.
"Kita datang sama tengah,
untuk memisahkan dan
mendamaikan," sahut si
nona.
Pertempuran berlangsung dengan
seru. Huncwee Han Cin
Ie pendek, totokannya hanya
tiba disatu batas. Kebutan Hian
Eng Toojin cukup panjang,
ujung kebutan itu dapat bekerja
terlebih merdeka. Maka juga si
piauwsu seperti kena dikurung.
Syukur untuknya, ia konsen, ia
cuma kalah di bawah angin.
"Sudah terang Hian Eng
menghendaki piauw, mana dapat
kita memisahkan mereka?"
tanya si anak muda.
Sin Cu berdiam. Urusan memang
aneh sekali. Piauw apa
piauw -nya Han Cie Ie ini?
Kenapa Pit Keng Thian hendak
merampasnya? Kalau ia hendak
mendamaikan, apa dasarnya
atau alasannya untuk
berbicara?
"Habis bagaimana?" akhirnya
si nona tanya.
"Jelas sudah, mereka
hendak merampas piauw, mereka
tidak berniat mencelakakan
orang," mengutarakan Seng Lim,
"sekarang kita biarkan
Hian Eng berlalu dengan barang
rampasannya itu, kita pegat ia
di lain tempat, untuk meminta
penjelasan. Pit Toako bukan
orang lain, kita dapat berbicara
dengan baik, nanti kita
ketahui duduknya hal yang benar."
Sin Cu setujui sahabat ini, ia
mengangguk.
919
Sampai di situ, mereka
mengawasi pula medan
pertempuran. Di sana
orang-orang Kaypang bekerja keras
memindahkan semua piauw.
"Kau dengar, suara apa
itu?" berkata Seng Lim pada
kawannya. Mendadak saja ia
mendengar semacam suara yang
terbawa angin, ialah suara
terompet.
Segera juga suara itu
terdengar pihak piauwkiok dan
Kaypang, mereka heran, masing-masing
lantas memasang
kuping. Suara terompet itu
tercampur siulan.
Semua orang memasang kuping
sambil berbareng
memasang mata ke arah dari
mana suara itu datang. Mereka
tidak usah menanti lama atau
mereka tampak munculnya satu
barisan serdadu wanita, yang
dandanannya rapi. Di paling
depan ada empat wanita yang
tangannya menenteng
tengloleng, mengiringi seorang
wanita lain yang berpelangi
merah. Dari antara mereka itu
pun terdengar suara tertawa.
Semua orang menjadi heran,
mereka mengawasi dengan
menjublak.
"Melihat dandanannya,
mungkinkah dia yang orang sebut
Angkin Liecat?" tanya Sin
Cu dalam hatinya sesudah ia
mengawasi sekian lama. Angkin
Liecat itu berarti berandal
wanita berpelangi merah, atau
si Pelangi Merah.
Setibanya, si pelangi merah
itu menggapai dengan
tangannya, dan dengan dingin
dia berkata: "Piauw itu
tinggalkan untuk aku!"
Hian Eng Toojin gusar
mendengar kata-kata itu. "Apa?" dia
menegaskan.
920
Nona itu tertawa manis, tetapi
mendadak dia berseru
bengis: "Apakah kau tidak
mempunyakan kuping yang
panjang? Aku bilang, piauw itu
tinggalkan untuk aku!"
Hian Eng mengebut kebutannya.
"Alasan apa kau ada punya
untuk aku menyerahkan piauw
ini kepadamu?" dia
menegaskan.
"Oh, kiranya kau ingin
bertempur?" si nona balik
menegaskan. "Aku mengandalkan
ini maka aku menghendaki
piauw ini!"
Dengan hanya satu kelebatan,
si nona sudah menghunus
pedangnya yang tajam
mengkilap, dengan itu ia menyerang
tanpa ayal lagi.
Untuk kagetnya Hian Eng
Toojin, ia mendapat kenyataan
kebutannya telah terbabat ujungnya.
Pastilah pedang si nona
tajam luar biasa, kalau tidak,
kebutan besi itu tidak nanti kena
dibikin bercacad. Tentu sekali
ia menjadi gusar sekali. Ia pun
menjadi heran sebab sehabis
babatan-nya yang pertama itu, si
nona terus menyerang ia dengan
bengis. Itulah bukan cara
umum untuk kaum Golongan
Hitam.
Mau atau tidak, terpaksa Hian
Eng melayani nona itu. Ia
menggunai ilmu silat
kebutannya itu yang semuanya terdiri
dari enam puluh empat jurus.
Belum habis separuhnya ia
gunai ketika mendadak si nona,
sambil berseru nyaring,
menikam tenggorokan dengan
pedangnya dan menotok kedua
mata dengan dua jari tangan
kirinya.
Imam itu melihat serangan itu,
ia segera menggeraki
kebutannya untuk membela
dirinya. Tetapi si nona liehay,
belum sampai ia mengenakan
sasarannya, mendadak ia
mengubah gerakan, pedangnya
diteruskan dengan babatan,
921
hingga tubuh Hian Eng seperti
terkurung sinar pedang. Tapi ia
pun bukan seorang lemah, ia
juga mencari lowongan.
Demikian setelah datang
ketikanya, ia membalas
menyerang, ia menotok kepada
enam jalan darah giokheng,
kwangoan, thiankwan, soankie,
yauwkong dan tionghu. Secara
begini ia memaksa si nona
repot membela dirinya, hingga
mereka menjadi sebanding,
sedang mulanya, si imam
kelihatan terdesak.
Pertempuran berlanjut terus. Hian
Eng ingin melampiaskan
kemen-dongkolannya,
sebisa-bisa ia mencari jalan untuk
memberi pengajaran kepada
lawannya itu. Begitulah satu kali
ia menyerang hebat sekali.
Sekonyong-konyong si nona
meniup keras, lalu dia tertawa
dan berseru: "Hai, imam busuk,
ilmu silatmu tidak ada
kecelaannya, tetapi kau pergilah!" Dan
dia menyambuti kebutan.
Hian Eng tidak menghendaki
kebutannya itu terbabat pula,
ia lekas-lekas menarik pulang.
Tapi justeru ia menarik pulang,
justeru pedang si nona
dibaliki, terus dipakai menyerang,
maka dengan satu suara cukup
nyaring, kopia suci imam ini
kena terpapas kutung!
Hian Eng kaget bukan kepalang.
Sia-sia ia hendak
melindungi dirinya, menangkis
tidak bisa, berkelit tidak
keburu. Inilah untuk kedua
kalinya yang ia kena dipecundangi.
Yang pertama kali ialah waktu
ia membantui Pit Keng Thian
memperebu-ti kedudukan
Toaliong-tauw dari lima propinsi
Utara, ia telah terkalahkan
Yang Cong Hay. Ia tidak menyesal
yang ia kena dirobohkan orang
she Yang itu, sebab orang
terkenal sebagai satu di
antara empat kiamkek, ahli silat
pedang, terbesar. Tetapi kali
ini, ia melayani nona itu belum
sampai tiga puluh jurus. Maka
juga ia mendongkol berbareng
malu sekali.
922
Sampai di situ Han Cin Ie maju
mendekati. Ia nampak
girang karena air mukanya berseri-seri.
Ia memberi hormat
kepada si nona seraya ia
menanya: "Nona, adakah kau liehiap
Leng In Hong dari Huyong San?
Aku si orang tua ada piauwsu
Han Cin Ie dari Cin wan
Piauwkiok dari Pakkhia, aku lewat di
wilayah nona tetapi belum
sempat aku membuat kunjungan
kehormatan, maka itu aku minta
sukalah kau memaafkannya."
Piauwsu jago ini menyebutnya
orang iiehiap, pendekar
wanita, itulah untuk
mengangkat saja. Ia sebenarnya bukan
belum mengunjungi hanya tidak
ada niatnya untuk itu. Ia
ketahui nama besar si nona
tetapi nama itu didapatnya belum
ada satu tahun, dia jadinya
tidak dilihat mata. Han Cin Ie telah
pergi menghormati tujuh kepala
berandal lainnya tetapi tidak
si nona ini, yang tak masuk
dalam hitungannya...
Leng In Hong menyapu kepada
wajahnya piauwsu tua itu,
jalu ia mengerutkan kening. Ia
kata: "Loojinkee, buat apa kau
banyak omong? Aku toh tidak
minta berkenalan denganmu
atau memohon tanya
riwayatmu?"
Han Cin Ie melengak, ia
mengawasi si nona, terus ia
tertawa.
"Nona, piauw ini berada
di bawah perlindunganku," ia
berkata, hormat, "maka
itu aku minta sukalah nona berbuat
baik. Aku akan menuruti aturan
kaum kangouw kita, nanti aku
akan mengirim bingkisan
kepadamu."
Piauwsu ini percaya si nona
bakal memberi muka padanya.
Ia percaya, sebagai seorang yang
baru muncul, si nona
tentunya membutuhkan nama
kesohor. Ia pun percaya, ia
akan dipandang juga sebab ia
adalah pemimpin antara
pelbagai piauwsu kepala. Tapi
kesudahannya adalah di luar
dugaannya.
923
Leng In Hong memperlihatkan
wajah dingin.
"Apakah halangannya untuk
mengambil piauw ini?" katanya
tawar. "Untukku, aku
tidak mengambil perduli siapa yang
menjadi pembelanya!"
Pek Beng Coan tertarik
mendengar kata-kata si nona, maka
juga ia berjingkrak.
"Tidak salah!" dia
nimbrung. "Memang juga, apakah
halangannya untuk mengambil
piauw ini? Kita ada orang dari
sesama kaum, menurut aturan,
dapat kita membagi rata,
seorang separuh!"
"Adakah piauw ini kau
yang turun tangan lebih dulu
merampasnya?" si nona
tanya.
"Benar," menyahut
Beng Coan. "Kami mendapat perintah
dari Pit Pangcu. Ini...
ini..."
Ia hendak menuturkan
asal-usulnya piauw itu, atau si nona
dengan tak sabaran sudah
menggoyang-goyangi tangannya
seraya berkata: "Hm! Kami
bekerja di dalam daerah
pengaruhku, turut pantas kamu
harus diberi sedikit tanda
mata, tetapi mengingat yang
imam ini berkepandaian tak
tercela, suka aku membiarkan
kamu pergi dengan cara baik!
Apakah kamu masih tidak mau
mengangkat kaki?"
Mendengar itu, Pek Beng Coan
menjadi gusar. Ia sudah
bicara dengan aturan, orang
nyata tidak menggubrisnya.
Dalam gusarnya, ia
membulang-balingkan goloknya.
"Ha, bagus ya!"
serunya. "Aku sudah memberikan muka
kepadamu! Aku undang kau minum
arak, kau menolak, kau
justeru menerima arak dendaan!
Baiklah, sekarang kau boleh
merampasnya piauw ini dari tanganku!"
924
"Kau, Han Cin Ie, apa kau
hendak bilang?" Hian Eng pun
menanya si piauwsu.
Leng In Hong sementara itu
menitahkan barisan
perempuannya menggiring piauw,
untuk dibawa pergi, atas
mana orang-orang piauwkiok
mencoba menghalanginya. Pihak
piauwkiok itu dibantu oleh
orang-orang Kaypang, yang
hendak mempertahankan piauw
itu.
Barisan wanita itu kosen,
dalam bentrokan, mereka tidak
dapat dirintangi.
"Baiklah!" ia
berseru, menyambut Hian Eng. "Mari kita
sama-sama naik sebuah perahu!
Mari kita hajar dulu ini
rombongan berandal!"
Kata-kata ini disusul
serangannya dengan huncwee yang
dibarengi sama semburan asap
huncwee itu. Berbareng
dengan itu, Hian Eng dan Pek
Beng Coan juga turut
menyerang, maka itu si nona,
si Pelangi Merah, sudah lantas
dikepung bertiga.
***
Leng In Hong tertawa panjang
melihat orang mengepung
kepadanya, tubuhnya segera
bergerak dengan lincah,
menyelamatkan diri, setelah
mana pedangnya lantas menikam
kepada Han Cin Ie. Piauwsu tua
ini angkat tangan kirinya,
untuk melindungi dadanya, berbareng
dengan itu dengan
huncwee-nya ia menyerang
seperti juga ia menggunai
tombak. Inilah gerakan
"Bianglala putih menutupi matahari."
Ia membela diri sambil
menyerang, ujung pipanya menyamber
ke tenggorokan.
925
Si nona benar-benar gesit,
cuma bergerak satu kali, dia
sudah lantas lolos dari
tikaman itu. Untuk membalas, ia
menusuk lengannya s piauwsu.
Cepat serangan membalasnya
ini. Coba si piauwsu tidak
liehay, pasti tangannya sudah kena
terpanggang pedang. Ia kelit
tangannya itu, yang ditarik
terputar, berbareng dengan
mana, kembali ia menyemburkan
asapnya, ketika asap itu sudah
seperti semacam tirai, tangan
kirinya pun diayun,
menimpukkan jarum rahasianya. Malah
saking sengitnya, ia menggunai
semua sisa tujuh batang
senjata rahasianya yang
beracun itu. Hingga di situ nampak
sinar berkilauan.
"Bagus!" berseru si
nona sambil terus ia tertawa panjang,
sembari berseru, tubuhnya
mencelat tinggi, hingga semua
tujuh batang jarum lewat di
bawahan kakinya. Nyata ia sangat
celi matanya dan gesit
tubuhnya. Karena ia berlompat, ketika
tubuhnya turun, ia berada
dekat Hian Eng Toojin, dari itu
tanpa berayal lagi, ia
menyerang imam itu dengan gerakannya
"Burung walet menyambar
ombak."
Imam kosen ini ketahui dengan
baik orang sangat liehay, ia
tidak mau menangkis pedang
dengan kebutannya itu. Untuk
membela diri, ia tetap
menggunai kebutannya. Hanya kali ini
ia menggunakan jurus
"Murid imam mengebut debu." Secara
liehay sekali, ujung
kebutannya dapat melilit ujung pedang.
Pek Beng Coan dapat melihat
pedang si nona seperti sudah
mati kutunya, ia lantas
menggunai ketikanya yang baik itu,
dengan hebat ia menyerang
dengan goloknya.
Golok itu berkelebat berkilau,
begitu juga sinar pedang.
Berbareng dengan itu,
terdengar pula tertawa nyaring dari si
nona, tertawa yang mengejek.
Untuk herannya Beng Coan, ia
kehilangan tubuh si nona, yang
menjadi sasarannya itu. Di lain
pihak, terdengar jeritan
"Celaka!" dari Hian Eng Toojin,
926
disebabkan kebutannya terlepas
dari tangannya, terbang
mental.
Beng Coan kaget sekali, hingga
ia melengak. Justeru ia
berdiam, mendadak ia mendengar
siuran angin di
belakangnya. Kembali da
menjadi kaget. Ia menduga pada
ancaman bahaya. Sayang, belum
lagi ia memutar tubuh atau
menangkis ke belakang, ia
sudah lantas merasakan sakit pada
pundaknya.
Nyatalah Leng In Hong, setelah
membalingkan kebutannya
Hian Eng Toojin, sambil lalu,
sudah menikam orang she Pek
ini, tetapi ia masih menaruh
belas kasihan, ia tidak menikam
sekuat-kuatnya, ujung
pedangnya cuma mengenakan daging
piepee.
Hian Eng sendiri telah melihat
ke mana kebutannya
melayang, dengan berlompat
pesat ia menyambar, untuk
mencekal pula itu, sesudah
mana ia pernahkan diri
berdampingan sama Han Cin Ie.
Hanya sekarang, dengan
Beng Coan terluka, mereka
menjadi kekurangan satu tenaga.
Sebenarnya, dengan bekerja
bersama bertiga, mereka ada
cukup tangguh, sayangnya, Leng
In Hong ada terlalu gesit.
Sin Cu dan Seng Lim terus
mengintai. Keduanya kagum
untuk kelincahannya si Pelangi
Merah. Bahkan si nona segera
berpikir: “Ilmu pedang partai
manakah ini, yang dia dapat
mainkan secara begini bagus?
Kelihatannya ilmu pedang ini
tidak ada bawahan ilmu pedang
Hian Kie Kiamhoat dari kakek
guruku..."
Pertempuran sementara itu
berjalan terus. Pek Beng Coan
sudah menyerbu pula. Ialah
yang dianggap terlemah dan
kembali ia menjadi kurban.
Dengan bersuara nyaring, lebih
dulu goloknya kena dibabat
kutung, belum sempat ia sadar
927
dari kagetnya, menyusul
melayangnya sebelah kaki si nona,
tubuhnya pun roboh terguling!
Habis itu, Leng In Hong
mendesak si imam dan si piauwsu,
ia memaksa mereka itu.
Juga orang-orang piauwkiok dan
Kaypang mesti mundur
dari serbuannya pasukan wanita
dari si berandal Pelangi
Merah, mereka itu kabur ke
segala penjuru. Sampai di situ,
pasukan wanita itu lantas
kembali, untuk membawa dan
mengiringi barang rampasan
mereka. Sekarang mereka tidak
terintang siapa juga.
Leng In Hong mendesak terus
pada Cin Ie dan Hian Eng, ia
membuatnya mereka itu
berkuatir. Mereka itu tidak lagi
mundur, mereka terpaksa
memutar tubuh, secara demikian,
beberapa kali mereka terpaksa
memutar pula tubuh, untuk
membela diri, sebab mereka
merasai anginnya pedang di
punggung mereka.
Mereka cemas hati tapi
saban-saban hati mereka lega
kembali, ujung pedang si nona
tidak mampir di tubuh mereka.
Lagi satu kali, dua-dua Hian
Eng dan Cin Ie merasakan
ancaman di belakang mereka.
Mendadak mereka mendengar
suara "Traang!" Hian
Eng berbalik sambil menangkis dengan
kebutannya. Ia melihat sinar
kuning emas yang kecil sekali. Ia
menduga Cin Ie melawan musuh
dengan jarum rahasianya.
Tapi Leng In Hong sendiri
sudah terpisah sepuluh tombak
lebih dari pada mereka, nona
itu sambil tertawa berkata
dengan nyaring: "Dengan
memandang kepada biji senjata
rahasia, aku melepaskan kamu
pergi!"
Hian Eng melengak, di dalam
hatinya ia berkata: "Apakah
artinya jarum rahasia si tua
bangka she Han hingga ini wanita
iblis begini
menghargainya?"
928
Leng In Hong itu cepat
datangnya, cepat juga perginya.
Dengan lekas ia bersama
barisan tentaranya, serta piauw yang
mereka rampas, sudah
menghilang di dalam rimba yang lebat
pepohonannya.
Han Cin Ie sangat penasaran,
ia lari mengejar, untuk
menyusul. Saking letih,
napasnya memburu.
Hian Eng turut berlari-lari,
tetapi sembari menyusul, imam
ini berkata dengan ejekannya:
"Bangsat wanita itu sudah pergi
jauh, untuk apa kau repot
tidak keruan?" Suara ini
ditambahkan tertawa yang
dingin.
"Dasar kamu semua!"
membentak Cin Ie dalam panasnya
hatinya. "Kamu yang
membikin celaka hingga merek
piauwkiok kami telah kena
orang bikin rusak!" Lalu dengan
huncwee-nya ia menyerang imam
ini, yang ia arah jalan
darahnya honghu hiat. Saking
murka, kelihatan urat-urat di
dahinya pada timbul.
Hian Eng menangkis dengan
kebutannya. Kembali dia
tertawa mengejek.
"Toh bukannya aku yang
merampas piauwmu itu!" berkata
imam ini, dingin.
"Toh kamulah yang menjadi
gara-gara!" membentak pula si
piauwsu. Dalam sengitnya, ia
menyerang pula, berulangulang.
Sudah empat puluh tahun ia
memimpin piauwkiok,
mengangkut barang-barang
orang, inilah yang pertama kali ia
gagal nama baiknya rusak,
barang orang mesti diganti! Dan
tadi ia telah menerangkan,
tidak nanti ia sanggup
menggantinya...
929
Sekarang ini Hian Eng tidak
ada niatnya menempur
piauwsu itu. Ia menyangka
barusan adalah si piauwsu yang
sudah menolong jiwanya dengan
merintangi tikaman si nona
berandal. Piauw pun sudah kena
dirampas orang. Maka itu ia
melainkan membela diri saja.
Tapi si piauwsu tidak mengarti
hati orang, ia bahkan
bertambah penasaran, saking
mendongkolnya, ia menyerang
makin hebat.
Hian Eng pun mendongkol,
tetapi ia masih dapat
menguasai dirinya.
"Tua bangka, kau
benar-benar keterlaluan!" akhirnya ia
kata dengan sengit,
"Sekarang aku hendak
tanya kau, kau ingin atau tidak
mencari piauwmu itu?"
Piauwsu itu terbangun alisnya.
"Tentu saja!" dia
menjawab nyaring.
"Bukankah piauw itu
dirampas si berandal wanita?" Hian
Eng menanya pula.
"Jikalau bukannya kamu
yang mengacau, pasti aku sudah
dapat melewati ini gunung
Huyong San?" menyahut Han Cin
Ie, yang jawabannya
menyimpang.
"Hutang tinggal
hutang!" berkata si imam. "Sekarang mari
kita bicara dari hal di depan
mata!"
"Bagaimana?"
"Kau hendak merampas
pulang piauw-mu itu! Aku sendiri,
aku hendak merampasnya! Di
dalam hal merampas, tujuan
930
kita sama, karena itu, sudah
selayaknya apabila kita samasama
naik sebuah perahu!"
"Jadi kau maksudkan kita
bekerja sama berdaya mencari
pulang piauw itu?"
"Benar!"
Piauwsu itu berpikir, hanya
sebentar, lalu timbul pula
kemurkahannya.
"Aku tidak sudi bekerja
sama kamu bangsa hina dina!"
jawabnya.
Hian Eng murka dikatakan hina.
"Kenapa aku hina?"
dia menanya.
Justeru itu Pek Beng Coan
mendatangi. Dia duduk atas
seekor kuda, tubuhnya
bergoyang-goyang seperti hendak
roboh.
Masih Cin Ie gusar. Dia
berkata: "Kamu telah menggunai
racun terhadap kuda dan
keledai kami hingga binatang itu
roboh semua! Bukankah itu
perbuatan sangat hina dina?"
Di mulut piauwsu ini berkata
demikian, tubuhnya sendiri
tahu-tahu berlompat memapaki
Beng Coan yang ia terus
serang, dengan pipa
panjangnya. Belum sampai ujung
huncwee mengenai sasarannya,
atau lebih benar, belum lagi
Beng Coan dan kudanya tiba di
dekat si piauwsu, orang she
Pek itu sudah roboh
sendirinya, sebab kudanya mendadak
meringkik dan berjingkrak.
Hian Eng gusar sekali. Dia
membentak: "Kau mengatakan
aku hina dina! Sekarang kau
menyerang orang yang lagi
terluka, apakah kau satu
enghiong?"
931
Dengan menggeraki kebutannya,
imam ini menyerang si
piauwsu. Cin Ie pun sadar atas
teguran ini. Bukankah tadi
Beng Coan bekerja sama melawan
si berandal wanita, hingga
karenanya, orang she Pek itu
mendapat luka terkena dua kali
tikaman si nona? Ia menjadi
likat sendirinya. Meski begitu, ia
melawan terus kepada si imam,
yang masih menyerang ia
dengan sengit. Pertempuran ini
lebih seruh daripada yang
bermula tadi.
Di saat kedua orang itu
berkutat hebat, mendadak ada
terdengar seruan yang nyaring
tetapi halus: "Kedua
toocianpwee, sabar! Supeecouw
kami Tiauw Im Hweeshio
mengundang toocianpwee untuk
bertemu!"
Seruan itu berpengaruh, kedua
jago itu sudah lantas
berhenti berkelahi. Dengan
berdiri berpisahan, mereka
berpaling ke arah dari mana
suara itu datang. Maka mereka
lantas mendapat lihat dua
orang, yang satu adalah seorang
nona yang cantik, yang lain
seorang muda yang romannya
gagah.
Teranglah, si nona yang
barusan menyerukan mereka
sabar. Tentu saja, mereka itu
ialah Sin Cu dan Seng Lim.
Hian Eng Toojin sudah lantas
mengenali Nona Ie. Ia pernah
bertemu nona itu di desa Bu
keekhung di waktu ia membantu
Pit Keng Thian merebut
kedudukan Toaliongtauw lima propinsi
Utara, bahkan ia ketahui orang
adalah muridnya Thio Tan
Hong. Maka ia lantas
mengangkat tangannya memberi hormat
kepada si nona.
Han Cin Ie tidak kenal Sin Cu
tetapi mendengar suara
orang dan menyaksikan sikapnya
Hian Eng Toojin kepada
nona itu, ia pun tidak mau
bersikap kasar. Ia bahkan ingat
suatu apa, maka lekas-lekas ia
berkata: "Ketika tadi pada
932
permulaan kali aku bertempur
sama ini rombongan pengemis,
ada seekor kuda putih yang
lari keras di luar rimbah, larinya
cepat luar biasa, selagi aku
mengubar si pemimpin pengemis,
penunggang kuda itu telah
menyambar padanya dan terus
dibawa pergi. Karena laratnya
kuda, aku tidak dapat melihat
nyata penunggang kuda itu. Itu
waktu pun masih gelap.
Adakah orang itu Tiauw Im
Hweeshio?"
"Benar," menyahut
Sin Cu mengangguk.
Mendapat jawaban itu, matanya
si piauwsu terbuka lebar,
lalu dia berkata dengan
nyaring: "Oh, beginilah satu sahabat
lama membantu aku? Baiklah,
aku mesti minta keadilan dari
hweeshio itu!"
"Kiranya Tiauw Im Taysu
pun datang ke mari?" berkata
Hian Eng heran. "Dia
melihat Pit Yan Kiong mendapat luka,
cara bagaimana dia dapat tidak
menolongnya? Sebenarnya
harus dari siang-siang piauw
ini sudah kena dirampas, jadi
tidak usahlah sampai terjadi
hal bertele-tele seperti ini!"
Sin Cu tidak mem-perdulikan
bicara orang, ia tertawa dan
berkata: "Oleh karena
supeecouwku itu bersahabat dengan
kedua loocianpwee, maka juga
ia menitahkan aku
mengundang kalian!"
Dua-dua orang itu masih
mendongkol, mereka
memperdengarkan suara
"Hm!" Tanpa mengucap kata-kata
lain, mereka lantas mengikuti
Sin Cu dan si pemuda, yang
memimpin mereka sampai di kuil
butut. Di sana terlihat Tiauw
Im Hweeshio masih saja
menolongi Pit Yan Kiong.
Melihat orang datang, paderi
itu tertawa nyaring, terus ia
berkata: "Han Laoko,
bagus kau telah datang! Mari kau
keluarkan obat pemunahmu,
supaya aku tidak usah
berkutatan lagi menolongi ini
pengemis!"
933
Tapi Cin Ie masih gusar.
"Tiauw Im, kau membantu
siapa?" ia tanya paderi itu,
suaranya keras.
Tiauw Im terus tertawa.
"Aku tidak membantu siapa
juga!" jawabnya. "Bocah wanita
ini baru saja mengatakan aku usilan,
suka campur urusan lain
orang! Di mana dua-dua pihak
ada sahabat-sahabatku, jikalau
aku membantu salah satu pihak,
bukankah urusan bakal
menjadi terlebih hebat
lagi?"
Napasnya Cin Ie memburu. Ia
masih tetap gusar.
"Kau bilang tidak hendak
membantu, mengapa kau
memaksa aku untuk mengeluarkan
obat pemunah?" dia
tanya sengit.
Tiauw Im tertawa,
"Sabar, saudaraku!"
ia berkata. "Aku hanya minta kau
sukalah mengeluarkan obatmu
itu. Aku minta, jikalau kau
tidak melihat muka paderi,
melihatlah muka Sang Buddha!"
"Hm!" bersuara pula
si piauwsu tua. "Tiauw Im Hweeshio,
kau jadi menggunai pengaruhnya
si kakak menindih si adik!"
"Aku tidak demikian muka
terang, aku cuma mau minta
sukalah kau memandang kepada
Toaliongtauw Pit Keng Than
dari delapan belas
propinsi!" berkata pula si paderi tenang.
Piauwsu tua itu tercengang.
934
"Apa kau bilang?"
menegasi ia kemudian. "Pit Keng Thian?
Pit Toaliong tauw ?"
"Tidak salah!"
menjawab Tiauw Im. "Bukankah ada
harganya untuk kau membeli
mukanya Pit Toaliongtauw itu?"
Han Piauwsu agaknya heran.
"Jadi menurut kau,"
katanya keras, "kawanan pengemis
busuk barusan itu
diperintahkan Pit Keng Thian?"
"Sedikitpun tidak
salah!" Tiauw Im mengangguk.
Kedua matanya si piauwsu
mencilak, dia duduk numprah di
lantai.
"Orang dengan kedudukan
sebagai dia masih hendak
merampas piauw-ku yang tidak
berharga ini?..." katanya.
"Dan ia pun membiarkan
orang-orang sebawahannya itu
menggunai akal keji
sekali!" Napasnya kembali memburu.
Hian Eng Toojin turut campur
bicara, suaranya dingin:
"Jikalau bukannya kau
yang dirampas, habis siapakah?
Siapa suruh kau melindungi
barang-barang angkutanmu itu?"
Cin Ie berjingkrak bangun.
"Apa katamu?" dia
menjerit. "Aku mengusahakan piauwkiok
, jikalau aku tidak melindungi
barang angkutan, apa aku mesti
makan angin saja?"
Ketika itu Pit Yan Kiong telah
merasakan sakitnya
kurangan, ia pun turut bicara.
935
"Han Loapiauwsu, apakah
kau takut nanti tidak dapat
makan?" dia tanya
tertawa. "Justeru di pihak kami ada orangorang
yang perutnya kosong
kelaparan!"
"Kau artikan apa?"
Cin Ie menanya.
"Tunggu dulu!"
berkata Pit Yan Kiong. "Aku numpang
tanya, piauw ini siapakah yang
menyerahkannya padamu
untuk dilindungi?"
Piauwsu itu mendongkol.
"Mustahilkah kau tidak
ketahui tiga syaratku pantang
melindungi barang angkutan?"
ia balik menanya. "Jikalau
angkutanku kali ini angkutan
tidak terang, apakah kau kira aku
ada demikian tolol mau
melindunginya?"
Kembali Hian Eng Toojin
menyelak. Ia kata: "Untukmu, kau
memantang tiga baik, untuk
tiga puluh tahun kau tidak
melindungi piauw juga baik,
tentang itu aku tidak ambil
perduli! Aku cuma mau tanya
kau, piauwmu ini piauw siapa?"
"Bagus betul!" Cin
Ie kembali berteriak. "Kau seperti
sedang memeriksa aku!"
“Itulah aku tidak
berani," menyahut Hian Eng. "Aku bilang
terus terang, kau sudi mengasi
keterangan atau tidak tentang
pemilik barang-barang ini,
terserah kepada kau, tetapi kami,
sudah pasti kami
menghendakinya!"
Mendengar semua itu, Sin Cu
tertawa geli.
“Piauw toh ada di tangan lain
orang, loocianpwee, untuk
apa kamu berselisih?" dia
bertanya.
936
Pertanyaan ini membuatnya dua
jago itu melengak, juga
yang lainnya, hanya kemudian,
mereka menjadi tertawa.
Memang benar, mereka lagi
memperebuti pepesan kosong!
Karena ini, kedua pihak
menjadi terlebih sabar.
Sekarang Seng Lim yang turut
bicara.
"Baik kalangan piauwkiok
maupun golongan Hitam, masingmasing
ada aturannya
sendiri-diri," demikian katanya. "Karena
itu, apabila Han Loopiauwsu
tidak sudi memberi keterangan,
tidak apalah, urusan baik
disudahi saja..."
"Apa?" berseru Pek
Beng Coan, yang sudah membalut lukalukanya.
"Sudah saja? Kau siapa?
Kami tidak mengundang kau
untuk mengutarakan
pikiranmu!"
"Saudara Pek, aku minta
sukalah kau tidak berlaku kurang
hormat," Pit Yan Kiong
minta. "Tuan ini ada keponakannya
Yap Tongnia."
Beng Coan heran, hingga ia
mengeluarkan suara tertahan.
"Jikalau begitu,"
katanya kemudian, "tidaklah seharusnya
dia berpihak kepada orang
luar..."
Seng Lim tidak menjadi kurang
senang.
"Adakah barang-barang ini
dikehendaki pasukan rakyat?" ia
tanya.
"Apakah aku memangnya
mempunyai pencernaan demikian
besar?" Beng Coan kata,
masih rada mendongkol.
"Pamanku..." kata
Seng Lim, "apakah ia ketahui urusan
ini?"
937
“Ini... ini..."
Suaranya Beng Coan berhenti
setengah jalan.
Perampasan piauw itu terjadi
menurut titahnya Pit Keng
Thian sendiri, kepada Yap Cong
Liu belum diberitahukan atau
dimintai persetujuannya.
Han Cin Ie lantas berkata:
"Jikalau piauw ini dikehendaki
Yap Cong Liu, mungkin terjadi
aku nanti memberikan mukaku.
Ha, kiranya kamu memalsukan
namanya tentara rakyat!"
Pek Beng Coan murka.
"Apakah Pit Toaliongtauw
tidak berhak?" dia berteriak.
"Sekalipun,
sekalipun..."
Ia sebenarnya hendak
meneruskan: "...sekalipun Yap Cong
Liu, dia mesti mendengar
titahnya Pit Toaliong tauw!" Tapi ia
tidak enak hati menyebutkannya,
maka ia menambahkan:
"Sekalipun Yap Tongnia
berada di sini, piauw ini pastilah dia
pun bakal merampasnya."
Tiauw Im Hweeshio tidak setuju
sama perkataan orang, ia
pun polos sekali, maka ia
campur bicara: "Kau bukannya Yap
Tongnia, caya bagaimana kau
bisa bicara dengan mewakilkan
dia?"
Coba lain orang yang bicara.
Akibatnya mungkin hebat,
tetapi paderi ini berkedudukan
tinggi dan ia pun baru saja
menolongi Pit Yan Kiong, orang
terpaksa berdiam saja.
Seng Lim tertawa, ia berkata
pula: "Benarlah apa yang
dibilang Nona Ie barusan!
Justeru piauw sudah berada di
tangan lain orang, apa
perlunya kita masih memperebutinya?
Lagi dua hari aku bakal
bertemu sama pamanku dan Pit
938
Toaliongtauw, itu waktu aku
nanti minta merekalah yang
memberikan keputusan. Aku
percaya dalam tempo beberapa
hari ini, tidak nanti Leng In
Hong dapat meludaskan habis
semua piauw itu! Bukankah sama
saja yang piauw itu
dititipkan pada mereka di
sana?"
Kata-kata ini sebenarnya dapat
menyabarkan kedua pihak.
Han Cin Ie mengangguk.
"Baik," katanya,
menyatakan akur, "aku bersedia akan
mendengar kata-kata
pamanmu."
Pit Yan Kiong tapi-nya
mengkerut alisnya, sedang Pek Beng
Coan berubah air mukanya.
"Tapi, tapi, bagaimana
urusan dapat diperlambat?"
katanya.
Piauwsu she Han itu mendongkol
juga.
"Habis?" katanya.
"Apakah kau ada mempunyai kepandaian
untuk mengambil pulang piauw
itu? Kalau benar, aku si orang
she Han nanti menghaturkannya
kepadamu dengan kedua
tanganku!"
Beng Coan menjublak meskipun
ia merasa sangat terhina.
Ketika itu terdengar ketokan
pada pintu kuil. Sin Cu membuka
lebar matanya, ia tertawa.
"Lihat, orang mendahului
datang lebih dulu!" katanya.
Seng Lim bertindak ke pintu,
untuk membukakan.
Yang datang itu dua nona muda
yang mengenakan baju
warna kuning gading serta
pinggang dilibat sabuk putih, yang
939
satu membawa sebuah peti
kecil, yang lain me-nengteng
tengloleng. Mereka bertindak
masuk dengan pelahan-lahan.
Mereka ialah
pengiring-penginngnya Leng In Hong si
berandal wanita berpelangi
merah.
Nona yang membawa peti itu
menyapu semua orang di
dalam ruang, habis itu sinar
matanya berhenti kepada Sin Cu.
Ia lantas maju menghampirkan,
ia mengangsurkan petinya itu.
"Pemimpin kamu menitahkan
mengundang siapa?" Nona Ie
bertanya.
"Kami dititahkan meminta
nona membuka peti ini," sahut
nona itu.
Sin Cu bersangsi sebentar,
akhirnya ia membuka juga. Ia
melihat di dalam situ ada
terletak tiga biji kimhoa atau bunga
emas, ditaruhnya rapi sekali.
Pengiring itu segera berkata:
"Pemimpin kami mengundang
pemiliknya ketiga bunga emas
ini."
Sin Cu bersenyum, ia menjemput
bunga emas itu.
"Kepandaian tidak berarti
pastilah telah membuatnya
pemimpinmu tertawa," ia
berkata.
"Bunga emas nona hebat
sekali," berkata pengiring itu,
"pemimpinku sangat
mengaguminya. Dengan memandang
bunga emas ini, kami minta
sukalah nona serta semua tuantuan
di sini berangkat ke gunung
kami."
Sampai di situ barulah Hian
Eng Toojin mendusin, dalam
pertempuran tadi, selagi ia
terancam bahaya, Sin Cu adalah
940
orang yang telah menolongi
padanya. Ia tadinya menyangka si
penolong adalah Han Cin Ie si
piauwsu tua.
Pit Yan Kiong tertawa.
"Nona, kali ini kami
mendapat kehormatan dari kau!" ia
berkata. "Saudara Pek,
kau tolong pepayang aku mendaki
gunung!"
"Kau baik beristirahat
saja," Beng Coan bilang. Sebenarnya
ia likat.
"Nona Ie ada bersama
kita, piauw itu pastilah ini hari akan
didapat pulang!" kata Pit
Yan Kiong dengan kepercayaan
penuh.
"Hai, siapa berkelakar
denganmu?" kata Sin Cu.
Pit Yan Kiong tertawa pula.
"Nona yang baik,"
katanya, "mana berani aku berlaku
kurang ajar terhadapmu?
Mengenai piauw ini, aku benarbenar
mengharap pertolonganmu.
Dengan melihat muka
gurumu yang bersahabat erat
dengan pemimpin kami, piauw
itu tidak dapat kau tidak
mengambilnya pulang..."
Dengan bantuannya tembok Pit
Yan Kiong lantas menekuk
sebelah lututnya di depan Nona
Ie. Ia bersikap sungguhsungguh
sekali, hingga ia membuatnya
si nona kurang enak
hati.
"Biar bagaimana Pit Keng
Thian bukan sembarang orang,"
nona ini berpikir. "Dan
ini Hian Eng Toojin, dia ada dari
golongan sadar. Mereka begini,
keras menghendaki piauw,
mungkinkah ini ada hubungannya
yang luar biasa?"
941
"Eh, Han Toako, marilah
obat pemunahmu!" Tiauw Im
meminta pula kepada Cin Ie.
"Aku akan berdiam di kuil butut
ini mewakilkan kamu menjaga
rumah sekalian menolong
mengobati ini beberapa tuan
pengemis yang terluka."
Han Cin Ie lantas berpikir.
Memang busuk perbuatannya
Kaypang merampas piauw-nya,
tetapi mencelakai jiwa mereka
pun perbuatan salah dari
pihaknya. Tadinya ia tidak
mengetahui duduknya hal, tapi
sekarang, setelah duduknya
sudah terang, sudah
sepantasnya kalau ia tidak mengambil
sikap keras terus menerus.
Maka itu, setelah berpikir sejenak,
ia keluarkan obatnya, ia
serahkan itu pada Pit Yan Kiong.
"Kau memberikan obat
padaku, aku terima kebaikan kau,"
berkata Yan Kiong tertawa.
"Hanya tentang piauw-mu itu,
tidak dapat tidak, aku mesti
mengambilnya."
Cin Ie mengasi dengar suara
dingin.
"Boleh!" jawabnya.
"Lihat saja nanti bagaimana
kepandaianmu!"
Sampai di situ, orang lantas
berangkat. Cuma Tiauw Im
dan mereka yang terluka yang
tidak turut. Orang pun
mengikuti kedua pengiring
perempuan dari Leng In Hong.
Gunung Huyong San itu ada
salah satu cabang dari
pegunungan Sianhee Nia.
Keletakan gunung tidak berbahaya
tetapi setelah diatur In Hong,
kedudukannya menjadi kuat. Di
semua tempat penting ada
benteng yang kuat mirip dengan
kota tembok. Menyaksikan itu,
Seng Lim pun diam-diam
memuji dan ia mengagumi si
nona berandal. Sekarang ia
mengarti, di atas gunung pun
ada orang yang tak kalah
pandai dengan seorang panglima
perang.
942
Tiba di muka markas, kedua
pengiring meminta tetamutetamunya
menanti sebentar. Mereka
lantas masuk ke dalam
untuk memberi lapuran.
Orang tidak usah menanti lama
akan mendengar suara
tambur tiga kali, lalu pintu
markas yang besar dipentang
lebar-lebar. Atas itu, Seng
Lim segera tarik tangannya Sin Cu,
untuk mendorong si nona maju
di depan mereka. Itulah
aturan kaum Rimba Persilatan,
siapa yang diundang, dia mesti
berada di muka, lain orang
tidak dapat mendahului dia.
Dari dalam gedung markas
terlihat keluarnya dua barisan
serdadu wanita, di
tengah-tengah muncul Leng In Hong, yang
lengkap dengan seragam dan
pedang di pinggangnya. Ia
menyambut dengan hormat,
sebagai Sin Cu juga bersikap
sopan sekali. Paling dulu
keduanya belajar kenal.
"Nona Ie, bagaimana kau
menyebutnya terhadap Tayhiap
Thio Tan Hong?" tiba-tiba
nona rumah menanya.
"Tayhiap itu ialah
guruku," Sin Cu menjawab merendah.
Lantas In Hong tertawa.
"Pantas bunga emas nona
liehay sekali!" ia berkata. "Kalau
begitu, tentulah nona yang kaum
kangouw julukkan Sanhoa
Liehiap?"
Di waktu menanya demikian,
sinar matanya nona ini
menjadi sedikit luar biasa.
"Semua itu ada bisanya
cianpwee kaum kangouw," Sin Cu
merendah. "Aku sendiri
tidak berani menyebutkan diriku
liehiap."
943
Liehiap itu pendekar wanita
dan "Sanhoa" berarti "Penyebar
Bunga."
"Orang punya nama sama
seperti bayangan pohon,"
berkata pula In Hong,
"begitu dengan kau, nona. Kau ada dari
keluarga setia dan berbakti,
kau pun gagah sekali, aku sangat
mengaguminya. Nona, harap kau
suka terima hormatku."
Orang heran akan sikapnya ini
kepala berandal. Bukankah
ia seorang ketua gunung yang
gagah? Bukankah ia tengah
mengundang tetamu? Bukankah
pantas kalau ia perlakukan
tetamunya sebagai sesamanya?
Tapi sekarang tidak! Nona ini
berlaku demikian merendahkan
diri, inilah tidak umum.
Sin Cu lekas-lekas menyingkir
untuk pemberian hormat ratu
berandal itu, yang menjura
terhadapnya, tetapi In Hong lebih
sebat daripadanya, dia dapat
merintangi dan dia terus saja
menjura dengan dalam, maka mau
atau tidak Sin Cu
menerimanya sambil lekas-lekas
membalas hormat. Ia
menekuk sebelah kakinya.
Selagi memberi hormat, In Hong
mendadak mencekal
kedua lengan Nona Ie.
Kelihatannya ia hendak memimpin
bangun. Sin Cu terkejut, ia
bercuriga.
"Mungkinkah ia hendak sekalian
menguji aku?" terkanya. Ia
lantas bersedia.
In Hong tetapinya tidak
menguji, ia menjalankan
kehormatan. Ketika ia
mengangkat mukanya, kelihatan
matanya merah.
"Seumurku aku paling
menghargai Ie Tayjin dan Thio
Tayhiap," ia berkata.
944
"Ketika dulu hari Ie
Tayjin terfitnah dan terpenjara, aku
menyesal sekali yang aku tidak
dapat menolongi. Maka itu
hormatku ini adalah hormatku
untuk ayahmu almarhum itu,
dan aku minta sukalah encie
mewakilkan ayahmu itu
menerimanya."
Sin Cu malu kepada dirinya
sendiri. Siapa nyana Angkin
Liecat yang umum menamakannya
hantu wanita sebenarnya
mempunyai sifatnya seorang
ksatrya, bahkan dia memuji
kepada ayahnya. Tentu sekali
ia tidak dapat menolak hormat
itu, ia menerimanya dengan air
mata mengembeng. Ia
menyekal keras tangannya Nona
Leng, sebagai juga
merekalah encie dan adik yang
sudah bertahun-tahun tidak
pernah bertemu satu dengan
lain.
Menyaksikan itu, Han Cin Ie
dan Hian Eng Toojin girang
sekali. Keduanya tidak
menyangka juga si bandit wanita
demikian menghormati Sin Cu.
Karena ini timbul harapan
mereka bahwa piauw gampang
akan diminta pulang.
Kemudian Leng In Hong undang
Sin Cu duduk di kursi atas,
ia terus berkata: "Kali
ini aku mengundang encie mendaki
gunungku ini kesatu karena aku
mengagumi encie sekalian
untuk belajar kenal dan kedua
aku ingin minta keterangan
apa maksudnya encie telah
menggunai tiga bunga emasmu."
Melihat nona itu berlaku
jujur, Sin Cu tidak mendusta.
"Buat bicara terus
terang, itulah ada berhubung sama
urusan piauw," sahutnya.
"Ah, mengenai urusan
piauw." nona itu agak heran.
"Benar! Piauw ini
dilindungi oleh Han Loopiauwsu."
945
“Itulah aku pun sudah
ketahui," berkata si nona berandal.
"Tidak dapat tidak, piauw
ini mesti aku rampas!"
"Piauw ini hebat sangkut
pautnya," Sin Cu memberitahu.
"Juga Pit Keng Thian
berniat merampasnya. Ah, sungguh
aku tidak mengarti, kenapa
kalian semua hendak merampas
piauw ini. Bukankah di dalam
ini ada hubungannya yang
ruwet? Aku kira tidaklah
halangannya jikalau kalian
menjelaskan duduknya
hal."
Leng In Hong agaknya heran.
"Apa?" katanya.
"Pit Keng Thian yang mengangkat dirinya
menjadi Toaliongtauw dari
delapan belas propinsi juga
menghendaki piauw ini? Jadi
ini serombongan pengemis serta
si hidung kerbau adalah orang
orang suruhannya? Hm! Dan
mereka merampas piauw dengan
menggunai cara yang
rendah sekali! Jikalau kau
tidak mengasi tahu, encie, sungguh
aku tidak dapat
mempercayainya!"
Tanpa tedeng aling, bandit
wanita itu menyebutnya Hian
Eng Toojin si hidung kerbau.
Mau atau tidak, Sin Cu
merasakan mukanya panas. Hebat
Pit Keng Thian dijengeki.
Tetapi memang biasa Toaliongtauw
itu bertindak tanpa memikir
masak-masak. Maka itu, tidak
dapat ia membilang suatu apa.
Akan tetapi Pit Yan Kiong
memikir lain. Ia berjingkrak
bangun.
"Aku mohon tanya,
ceecu," katanya sambil tertawa hihihihi.
"Kalau ada lain orang
menandalkan golok dibatang
lehermu, apakah nanti kau
minta dulu orang itu meletaki
goloknya, untuk undang ia
secara laki-laki mengadu
946
kepandaian? Atau segera saja
kau berontak, untuk menghajar
roboh kepadanya?"
"Kata-katamu ini apa
artinya?" Leng In Hong menegaskan.
Han Loopiauwsu pun berjingkrak
bangun, mukanya merah.
"Ya, apakah artinya
kata-katamu ini?" ia juga menanya.
"Aku melindungi barang
angkutanku, dengan kau ada apakah
sangkutannya?"
Pit Yan Kiong tertawa dingin.
"Piauw-mu ini hendak
diangkut ke Ouwpak," sahutnya, “Itu
artinya kau menolongi
pemerintah menggosok tajam puluhan
laksa golok yang hendak
dipakai untuk mencelakai tentara
rakyat di Kanglam."
"Ngaco belo!"
membantah Han Cin Ie. "Tahukah kau, aku
mengangkut piauw apa?"
Leng In Hong melirik kepada
piauwsu itu.
"Bagus!" katanya,
mendahului Pit Yan Kiong. "Memang
hendak aku melihatnya piauwmu
ini piauw apa!"
Justeru itu sejumlah serdadu
wanita masuk ke dalam ruang
membawa peti-peti dan
keranjang-keranjang piauw yang
mereka rampas kemarinnya,
semua itu ditumpuk di ruang itu.
"Han Piauwtauw, cobalah
kau bilang," berkata Leng, In
Hong kepada Cin Ie,
"piauw apakah yang kau lindungi?"
“Itulah bahan obat-obatan
penting yang Keluarga Ghak dari
Pakkhia minta aku mengantarnya
ke Ouwpak," menjawab
piauwsu yang ditanya.
"Obat-obatan itu ada untuk menolong
947
orang banyak yang tengah
menderita sakit. Ada apakah
salahnya?"
Keluarga Ghak di Pakkhia itu
adalah toko obat-obatan yang
paling kesohor dan untuk kota
raja adalah keluarga terkaya,
memang setiap tahun satu kali
dia minta pertolongan piauwsu
akan melindungi obat-obatannya
yang di kirim ke Kanglam,
maka juga dialah langganan
paling bagus untuk setiap
piauwkiok. Tahun ini katanya
berharga sekali piauw-nya itu
maka juga sengaja diminta
bantuannya Han Loopiauwsu yang
kenamaan itu.
Sin Cu heran.
"Kalau benar
obat-obatannya Keluarga Ghak, lebih tidak
layak lagi piauw ini
dirampas," pikirnya.
"Menolong orang
banyak!" berkata Pit Yan Kiong dengan
dingin. "Aku justeru bilang
untuk mengacau negara
mencelakai manusia!"
"Ah!" seru Han
Piauwsu, "rupanya di mulut anjingmu tidak
tumbuh caling gajah!"
Leng In Hong tidak mengambil
mumat orang mengadu
mulut. Ia angkat tangannya.
"Buka semua peti
ini!" ia memberi titah.
Han Cin Ie gusar bukan
kepalang hingga tubuhnya
bergemetar.
"Apakah ini bukan berarti
merusak obat-obatannya?" ia
berteriak. Ketika ia
diserahkan piauw itu, pihak Keluarga Ghak
telah memesannya, kebanyakan
obat itu mesti ditutup rapat
sekali, tidak boleh terkena angin
atau hawanya keluar. Tapi
948
piauwsu ini tidak dapat
mencegah. Kawanan serdadu wanita
sudah lantas bekerja melakukan
titah pemimpinnya.
Dengan dibukanya peti-peti dan
keranjang, obat-obatan itu
jadi berhamburan, tetapi yang
hebat, yang membuatnya
orang tercengang, adalah di
antara itu terlihat lempenganlempengan
emas yang kuning berkilauan.
Pit Yan Kiong segera mengasi
dengar pula tertawanya yang
dingin.
"Bagaimana?" dia
berkata. “Inilah hartanya negara, untuk
dipakai mengongkosi angkatan
perangnya! Jumlah ini
berharga tujuh ribu laksa tail
perak! Inilah perbuatannya
Kiubun Teetok dari kota raja
yang memaksa Keluarga Ghak
itu mengirimkannya dengan
memakai nama obat-obatan.
Sepuluh laksa serdadu negara
di Ouwpak kekurangan
rangsum, jikalau mereka tidak
ditolongi, mereka bakal bubar
sendirinya tanpa berperang
lagi! Sekarang kau mengantar
piauw ini ke Ouwpak, bukankah
itu berarti kau memberi
makan obat penyambung jiwa
kepada ratusan ribu serdadu
itu, supaya dapat menggosok
tajam puluhan laksa goloknya
untuk nanti dipakai melawan
kami?"
Han Loopiauwsu berdiri diam,
ia merasakan tubuhnya
dingin bagaikan es. Inilah ia
tidak sangka sama sekali. Untuk
seumurnya ia belum pernah
mengangkut uang negara, tetapi
kali ini, ia terpedayakan.
Keluarga Ghak itu pengusaha obatobatan
yang sangat kesohor, siapa
nyana dia telah dipaksa
pembesar negeri untuk
mendusta, hingga ia kena ditipu.
Pek Beng Coan segera mengasi
dengar suaranya yang
nyaring, "Han Loopiauwsu,
telah kau melihat nyatakah?
Jadinya, pantas atau tidak jikalau
kami memegatnya untuk
dirampas?"
949
Han Cin Ie tidak menjawab,
hanya mendadak tubuhnya
roboh terguling. Ia jatuh
pingsan.
"Pimpin dia bangun!"
memerintah Leng In Hong. "Semprot
dia dengan air dingin!"
Sin Cu menghela napas. Ia
menyesal bukan main. Ia ingat
kesetiaannya ayahnya terhadap
pemerintah, siapa dapat
menerka, pemerintah justeru
bertindak secara begini hina dina
memaksa sebuah perusahaan
swasta main gila hingga sua t u
piauwsu kenamaan turut menjadi
kurbannya. Pula, begitu
banyak obat di kirim ke
Kanglam, tidaklah di Utara orang nanti
kekurangan obat-obatan itu?
Pit Yan Kiong sebaliknya puas
sekali.
"Syukur sekali kupingnya
Toaliongtauw kami sangat tajam!"
ia berkata. "Pemerintah
tentunya menganggap kami tidak
membegal angkutan piauwkiok, dengan
begitu harta besar ini
dapat diselundupkan. Haha!
Akhirnya toh kita mendapat tahu
juga dan memegatnya!"
Tidak senang Leng In Hong
mendengar suara orang itu.
"Tetapi piauw ini
bukannya berada dalam tangan kamu!"
katanya dingin.
Melengak wakilnya Pit Keng
Thian itu.
"Apa?" dia
menegaskan. "Duduknya harta ini sudah jelas
sekali, apakah kau masih
hendak merampasnya?"
Si nona tertawa bergelak.
”Pit Keng Thian dapat
merampasnya, apakah aku tidak?"
dia menanya.
950
"Encie," Sin Cu
turut bicara, "aku harap encie suka
memandang kepada tentara
rakyat yang dipimpin Yap Cong
Liu, sukalah kau mengangkat
tanganmu dan melepaskannya."
Nama Yap Cong Liu besar
sekali, walaupun resminya Pit
Keng Thian menjadi
Toaliongtauw, pemimpin utama dari
delapan belas propinsi, toh
orang tetap menghormati dia itu.
Mendengar disebutnya nama Yap
Cong Liu, berubah air
mukanya si nona,
"bandit," dia bersenyum.
“Ini rombongan pengemis jahat
dan imam bau tak sudi aku
memperdulikannya," ia
berkata, "tetapi terhadap Yap Toako
serta kau, suka aku
menjualnya!"
"Oh, encie, banyak-banyak
terima kasih!" berkata Sin Cu
girang sekali.
Leng In Hong tertawa.
"Yap Toako tidak ada di
sini, kaulah menjadi si pelindung,"
ia berkata pula.
"Ya, anggaplah aku yang
melindunginya" berkata pula
Nona Ie.
Hian Eng Toojin dan Pit Yan
Kiong berubah air mukanya
masing-masing. Hebat mereka
dicaci, mereka tak dipandang
sama sekali.
"Bagus, encie,"
berkata pula In Hong. "Sekarang aku
mohon encie suka memberikan
pelajaran kepadaku. Aku
memang ingin sekali
menyaksikan ilmu pedang yang
diturunkan Thio Tayhiap."
951
Mendengar itu, Sin Cu tidak
menjadi heran. Ia mengarti
maksudnya "bandit"
wanita ini, yang hendak memegang teguh
aturan Rimba Persilatan, yaitu
mereka mesti bertanding dulu.
"Kalau begitu, encie,
maaf," berkata Nona Ie, yang terus
menghunus pedangnya.
In Hong pun bersiap, maka
keduanya lantas berdiri
berhadapan.
"Encie datang dari jauh,
encielah si tetamu," berkata Nona
Leng. "Karena tuan rumah
tidak dapat melancangi tetamu,
silahkan encie yang
mulai."
Sin Cu tidak mau memakai
banyak aturan lagi.
"Baiklah, aku
memperlihatkan kejelekan-ku," ia kata,
merendah. Ia lantas menyerang.
Karena ia kagumi nona
berandal itu, ia cuma menikam
asal saja.
Beda daripada Nona Ie, Leng In
Hong berlaku sungguhsungguh.
Ia berkelit dari tikaman.
Hampir berbareng dengan
itu, ia melesat ke samping.
Maka di lain detik ia sudah berada
di belakang lawannya. Sangat
gesit gerakan tubuhnya itu. Di
sini tanpa bersangsi lagi ia
menikam punggung lawannya.
Sin Cu terkejut. "Oh,
kiranya dia bertanding benar-benar,"
pikirnya. Ia lantas memutar
tubuhnya, pedangnya dipakai
menangkis. Ia menggunakan
jurus "Burung belibis pulang ke
Selatan," salah satu dari
Hian Kie Kiamhoat, ilmu pedang dari
Hian Kie Itsu. Dengan ini ia
dapat menggagalkan serangan
lawan. Karena ia juga menjadi
bersungguh-sungguh, lantas ia
membalas menyerang dengan
jurusnya "Bidadari melempar
torak," hingga sekarang
ialah jadi si penyerang, seperti tetamu
yang berbalik menjadi tuan
rumah. Yang menjadi sasaran ada
jalan darah honghu hiat dari
Nona Leng.
952
"Bagus!" berseru In
Hong dengan pujiannya. Ia berkelit, ia
pun memutar tubuhnya, dalam
gerakannya "Burung rajawali
menembusi rimba" serta
sikapnya "Souw Cin menggendol
pedang," setelah mana,
belum lagi tubuhnya mutar semua,
pedangnya sudah menikam. Ia
pun membalasnya.
Sin Cu melihat satu lowongan,
ia mengangkat pedangnya
dengan jurusnya
"Mengangkat obor
menyuluhi langit." Atau tiba-tiba ia ingat
pedangnya ada pedang mustika.
Jelek kalau ia menabas
kutung pedang lawannya itu.
Tengah ia berpikir, angin pedang
lawan sudah menyamber.
Segera ia berkelit. Lantas ia
merasa pedang nona itu
seperti lewat di atasan rambut
di samping kupingnya. Ia
lantas menjejak, untuk
mencelat menyingkir dua tombak.
Leng In Hong benar-benar
gesit. Dalam sekejab itu ia pun
sudah lompat menyusul.
"Encie, jangan
sungkan-sungkan!" kata nona Leng ini.
Selagi mulut mengucap
demikian, ia pun menyerang pula. Ia
benar-benar tidak berlaku
sungkan, beruntun ia mendesak
dengan tiga jurus "Kera
putih menghaturkan buah", "Dewa
menunjuki jalan," dan
"Burung garuda mementang sayap."
Mau atau tidak, Sin Cu dipaksa
bangun semangatnya untuk
melayani. Kalau tidak, ia
bakal terdesak. Selang dua puluh
jurus, barulah ia dapat
meloloskan diri dari rangsakan
lawannya. Ia merasa ilmu pedang
In Hong luar biasa. Sampai
itu waktu, kekuatan mereka
nyata berimbang. In Hong
menang sedikit di atas angin,
karena pedangnya ada pedang
biasa, bukan pedang mustika.
953
Lewat lagi tiga puluh jurus,
lalu terlihat perubahan pada In
Hong. Tubuh nona itu bergerak
lebih lincah dan gesit lagi. Sin
Cu terus melayani dengan sama
sebatnya, dengan hati-hati
sekali. Ia heran, sampai
kira-kira seratus jurus, ia masih belum
bisa menerka nona itu ada dari
partai persilatan mana. Ia
menginsafinya, coba selama dua
tahun ini ia tidak
memperoleh kemajuan pesat,
mungkin sukar ia melayani
Nona Leng itu.
Pertandingan berlangsung
terus. Karena perhatiannya yang
sungguh-sungguh, kemudian Sin
Cu mulai dapat merabahrabah
juga ilmu silat lawannya itu.
Ia melihat tiga dasar:
Butong Pay, Siauwlim Pay atau
Siongyang Pay.
Hian Eng Toojin dan Pit Goan
Kiong sekalian berhati cemas.
Mereka mengharap-harap Nona Ie
yang menang, tetapi
pertandingan itu nampaknya
bertele-tele, hingga tak tahu
mereka kapan bakal akhirnya.
Tetapi mereka tidak usah
menunggu lama lagi.
Mendadak terdengar suara
"Traang!" sebagai akibat dari
perubahan serangan In Hong.
Tiba-tiba saja nona ini
merangsak hebat, hingga Sin Cu
pun mesti mempertahankan
diri. Suara itu berbunyi
setelah Nona Ie menangkis satu
serangan dahsyat. Akibatnya
ialah pedang In Hong kena
dibikin kutung. Tetapi di lain
pihak, dia masih dapat
menyampok, maka itu pedang Sin
Cu pun terpental, terlepas
dari cekalan.
Mulanya Hian Eng semua girang
melihat Nona Ie menang,
hanya belum sempat mereka
bersorak, mereka pun mesti
menyaksikan pedang si nona
terbang, hingga mereka menjadi
kecele.
Sampai di situ pertandingan
itu.
954
"Encie, telah aku belajar
kenal dengan ilmu pedangmu,"
berkata In Hong sambil
bersenyum. "Sungguh hebat
kepandaianmu itu! Tetapi,
encie, aku berminat berlebihlebihan.
Sekarang aku ingin sekali
belajar kenal dengan
senjata rahasiamu."
Sin Cu senang dengan tantangan
itu. Kesudahan tadi seri,
ia tidak puas. Biar bagaimana,
ia menang karena Cengbeng
kiam pedang mustika dan Cengkong
kiam pedang biasa.
"Encie sudah memberi
pengajaran, inilah minta pun aku tak
dapat," sahutnya.
"Silahkan encie tunjuki
caranya."
"Aku pikir lebih baik
kita mulai dengan piebun, lalu dengan
piebu," In Hong
mengutarakannya.
Sin Cu heran juga dalam hal mengadu
senjata rahasia ada
piebun dan piehu. Yang pertama
ada cara halus atau sipil
(pun), dan yang kedua cara
keras atau militer (bu). Selagi ia
berpikir, Nona Leng sudah
menjelaskan pula: "Encie datang
dari tempat jauh, encie adalah
tetamu, maka itu suka aku
mengalah membiarkan encie
menyerang lebih dulu dengan
tiga buah senjata rahasiamu,
umpama kata aku beruntung
berhasil meloloskan diri, aku
baru akan minta encie mengalah
untuk aku menyerang padamu.
Ini yang dinamakan piebun .
Jikalau dua-dua tidak ada yang
gagal, hah, barulah kita piebu.
Kita saling menyerang dengan
merdeka, baru kita berhenti
sesudah ada keputusan siapa
lebih kuat dan lebih lemah."
Mendengar itu, Sin Cu tertawa.
"Dengan begitu bukankah
aku jadi menang di atas angin?"
tanyanya.
955
"Berlaku hormat tak ada
yang lebih baik daripada menurut
perintah," Hian Eng
Toojin menyelak. "Nona Ie, baiklah kau
jangan menampik."
Sin Cu pun percaya tidak nanti
In Hong suka menyerang
terlebih dulu, maka itu ia
lantas menyiapkan tiga buah
kembang emasnya.
Ia memberi hormat seraya
berkata: "Baiklah, encie. Harap
maafkan aku berlaku kurang
hormat!"
Dengan satu suara, Nona Ie
menggeraki dua jari tangannya
membikin menyambar sebuah
kimhoa. Atas itu, tubuh In Hong
pun bergerak memutar, membikin
kimhoa itu lewat di samping
kupingnya. Hanya berbareng
dengan itu, nona ini telah
menarik turun pelangi
merahnya.
Sin Cu mengulangi serangan
yang kedua. Leng In Hong
tidak lagi berkelit sebagai
tadi, hanya pelanginya diangkat
bagaikan diayun, atas mana
kimhoa lenyap seperti nyemplung
di laut, tanpa suara, tanpa
bekas.
Terperanjat Sin Cu. Tapi ia
sadar, maka ia menimpuk pula.
Sudah tentu sekarang kecuali
berlaku sebat ia pun menambah
tenaganya. Ia mengarah jalan
darah kioktie hiat dari si nona.
"Bagus!" berseru In
Hong memuji. "Nama Sanhoa Liehiap
bukan nama belaka!"
Mulutnya berseru memuji, tubuh
Nona Leng itu berputar
dengan lincah sekali,
pelanginya pun berkelebat kemerahmerahan.
Menyusul itu terdengar
bentrokan dari dua rupa
benda keras. Sebab In Hong,
dengan meminjam kimhoa yang
ia tanggapi tadi, menangkis
kimhoa yang ketiga itu, tepat
tangkisannya, hingga kedua
kimhoa bersuara nyaring, lalu
dua-duanya mental jatuh di
lantai!
956
Kimhoa atau bunga emasnya Sin
Cu, lembaran bunganya
tajam seperti pisau, In Hong
dapat menangkapnya itu dengan
pelangi merah, itulah hebat,
sekarang ia dapat pakai
menangkis, itulah terlebih
hebat pula. Hian Eng semua
melengak menyaksikan
kepandaian bandit wanita itu. Tak
usah dibilang kekagumannya Sin
Cu sendiri.
In Hong sudah lantas memakai
pula pelanginya.
"Terima kasih untuk
mengalahmu, encie." katanya tertawa.
Tapi ia bukan cuma berkata
merendah itu, tangannya terayun
secara mendadak, lalu tanpa
menerbitkan suara apa juga,
senjata rahasianya sudah
menyerang.
Sin Cu celi matanya. Ia menunggu
sampainya senjata, baru
dengan hebat dan lincah ia
berkelit. Ia sudah paham dengan
gerakan "Menembusi bunga
mengitarkan pohon," ia dapat
bertindak dengan gesit sekali.
Kelincahannya itu tak kalah
dengan kelincahan In Hong.
Semua serdadu wanita kagum,
mereka bersorak memuji.
Selagi serdadu-serdadu itu
bersorak, In Hong sudah
menyerang untuk kedua kalinya.
Kali ini senjatanya itu
mengasi dengar satu suara
nyaring, sebelum tiba kepada
sasarannya, berputar dulu di
udara, baru berbalik menyambar
Nona Ie.
Sekarang Sin Cu mendapat
kenyataan orang menggunai
Ouwtiap piauw, atau piauw
"Kupu-kupu," yang dapat
bersuara. Sambil memuji
"Bagus!" ia berkelit pula, berkelit
dengan gerak-geriknya
"Burung walet menyambar
gelombang" dan
"Cecapung menowel air." Tiga kali piauw itu
berputar balik mengubar dia,
tiga-tiga kalinya gagal, akhirnya
jatuh.
957
"Sungguh kau liehay
sekali, encie." memuji In Hong.
Kembali, membarengi pujiannya,
menyambarlah senjatanya
yang kedua.
Sin Cu berkelit dengan segera,
lalu ia menjaga. Karena
sekarang ia sudah ketahui
gerak berbalik dari piauw itu, yang
seperti boomerang, begitu
piauw berbalik, segera ia
menyerang dengan sebuah
bunganya, maka tepat kedua
senjata rahasia itu bentrok
satu pada lain, suaranya nyaring.
Kimhoa mental. Tapi, kebetulan
sekali, mentalnya itu
menyambar piauw ketiga yang
Nona Leng melepaskannya
dengan segera, maka ini kedua
senjata pun berbareng jatuh.
Kali ini Sin Cu menggunai
kimhoa menurut ajaran ilmu
Itciesian, Sebuah Jeriji, dari
Ouw Bong Hu. Sebenarnya ia baru
memahamkannya tiga bagian
kepandaian itu tetapi buktinya
sekarang dapat ia gunakan itu
untuk melayani In Hong.
"Piebun berkesudahan
tidak ada yang tinggi dan tidak ada
yang rendah," berkata
Nona Leng. "Sekarang marilah kita
piebu."
"Baik!" menyahut
Nona Ie bersedia melayani. "Sekarang
silahkan encie yang memberi
petunjuk padaku."
Tubuh In Hong bergerak dengan
lantas, disusul sama
terayunnya tangannya. Ia
menyerang dengan Ouwtiap piauw,
piauw Kupu-kupunya itu, bahkan
sekali ini, ia menggunai
berbareng seraup terdiri dari
dua belas biji, hingga senjata
rahasianya itu, setelah
penyerangan yang pertama, lalu
beterbangan saling menyambar.
Mulanya Sin Cu berkelit, habis
itu ia lawan semua piauw
dengan bunga emas. Ia tidak
saja menggunai ilmu
958
kepandaiannya Ouw Bong Hu, ia
menelad juga pelajaran dari
persaudaraan Akhmad. Maka
dengan melesatnya tak hentinya
bunganya, suara
"Trang-trang!" tak hentinya terdengar,
disebabkan bentroknya kedua
senjata rahasia itu. Ia juga
menggunai dua belas kimhoa.
Keras serangannya kimhoa,
Ouwtiap piauw terserang mental
kalang kabutan.
Leng In Hong kaget bukan main
apapula ketika sebuah
kimhoa melesat ke arahnya. Ia
masih sempat berkelit, tetapi
selagi ia mendak, kimhoa
menyambar pelangi merahnya,
hingga separuh dari pelangi
itu putus dan terbawa terbang!
Selagi orang banyak agaknya
bingung, karena mata mereka
seperti kabur, Leng In Hong
lompat ke luar gelanggang sambil
ia tertawa bergelak-gelak.
“Ilmu menyebar bunga sungguh
tidak ada tandingannya
dalam dunia ini!" demikian
dia berseru dengan pujiannya, “
Encie, kali ini benar-benar
adikmu kagum sekali, ia takluk!"
"Kau terlalu memuji,
encie," Nona Ie merendahkan diri,
sedang hatinya girang sekali
mendapatkan nona itu polos.
Pit Goan Kiong dan Pek Beng
Coan girang Leng In Hong si
berandal wanita dari gunung
Hu-yong-san, sedang mengadu
kepandaian dengan Ie Sin Cu,
pendekar wanita penjebar
bunga. luar biasa karena
kemenangannya Sin Cu itu, mereka
sampai lompat berjingkrak.
"Hai, kamu merepoti
apa?" In Hong menegur. Tanpa
menanti jawaban, ia menyuruh
serdadu-serdadunya
merapikan pula peti-peti
obat-obatan atau harta itu, kemudian
sambil tertawa, ia berpaling
kepada Sin Cu dan berkata:
"Encie, menuruti aturan
kita kaum kangouw, piauw ini harus
diserahkan padamu!"
959
Pit Goan Kiong lantas saja
menjura.
"Nona, terima kasih
banyak!" ia berkata. Tetap pengemis
ini bergirang.
"Nona Ie," berkata
Pek Beng Coan kepada Sin Cu, "belum
lagi kau tiba di dalam markas
kita, sudah kau membuat ini
jasa besar luar biasa, sungguh
kau harus diberi selamat!"
Sin Cu tidak ambil mumat apa
yang orang bilang, ia
melainkan bersenyum.
"Yap Toako, kemari!"
sebaliknya ia memanggil Seng Lim
kepada siapa ia berpaling.
Seng Lim menyahuti dan
menghampirkan. Semenjak tadi
orang bicara dan adu
kepandaian, pemuda ini berdiam saja, ia
melainkan waspada.
"Piauw ini aku serahkan
kepada kau, toako," berkata Sin Cu
pula. "Dan kau, terserah
kepada putusanmu sendiri, kau
hendak menghaturkannya kepada
pamanmu atau langsung
kepada Pit Keng Thian. Setelah
aku menyerahkannya
kepadamu, aku tidak mau
mengambil tahu lagi!"
Pit Goan Kiong dan Pek Beng
Coan sudah girang sekali,
mereka menduga piauw itu bakal
diserahkan kepada mereka,
dari itu bukan main kecewanya
mereka akan mendapatkan si
nona menyerahkannya kepada si
pemuda she Yap.
Mereka pun menganggap, kecuali
mereka, Pit Keng Thian
turut hilang muka karenanya.
Tapi, memikir lebih jauh, Yap
Cong Liu juga ada orang
sendiri, mereka dapat melegakan hati
mereka. Terpaksa mereka
membungkam.
960
Sementara itu muncul seorang
budak yang mengenakan
baju warna gading. Ia
memberitahu bahwa "si orang tua
sudah sadar dan tengah
memukuli dada sambil berulang-ulang
menghela napas panjang
pendek."
In Hong menyambut warta itu
dengan tertawa.
"Dia kehilangan piauwnya
seharga tujuh puluh laksa tahil,
tidak heran jikalau dia jadi
sangat berduka!" katanya. Pergi
kau berikan dia uang beberapa
tail untuk ongkos jalan, kau
antar dia turun
gunung..."
Belum berhenti suara si nona
ini, Han Cin Ie tampak lari
mendatangi, tubuhnya limbung.
"Aku mempunyai mata
tetapi tidak bijinya!" terdengar
suaranya yang keras tetapi
serak. "Sudah empat puluh tahun
aku melindungi piauw, akhirnya
kali ini aku roboh! Saudara
Hian Eng, kau jujur, maka itu
tolong kau perhatikan
keluargaku di Pakkhia!"
Kata-kata ini dengan mendadak
ditutup sama mencelatnya
tubuhnya ke arah tihang di ruang
itu!
Adalah aturan di dalam
kalangan piauwkiok, siapa
melindungi barang dan
barangnya itu lenyap, si piauwsu mesti
mengganti kerugian. Di dalam
kejadian ini, Han Cin Ie tidak
kuat mengganti. Ia ada punya
rumah dan simpanan, akan
tetapi jumlah piauw yang
lenyap ini besar luar biasa, terang ia
tidak mampu menggantinya. Ia
pun sangat malu karena
robohnya itu. Maka itu, pepat
hatinya, ia menjadi pendek
pikirannya. Demikian dengan
nekat ia membenturkan
kepalanya ke tihang.
Semua orang mengarti
kesulitannya Han Piauwsu, bahwa di
sembarang waktu ia dapat
melakukan yang tidak-tidak, hanya
itu ketika orang tengah
bergirang, tidak ada orang yang
961
menyangka sesuatu. Barulah
semua orang kaget akan melihat
piauwsu itu berlompat. Hian
Eng Toojin berteriak tetapi tanpa
berdaya, tak keburu ia memberi
pertolongan.
Di saat kepalanya Han Piauwsu
hampir mengenai tihang,
terdengarlah suara yang keras
sekali, tahu-tahu tihang itu
telah patah dua, kepalanya piauwsu
itu, berikut tubuhnya,
molos di antara patahan tihang
itu, atau di lain saat ia sudah
terpeluk satu orang, yang
segera ternyata Seng Lim adanya.
Pemuda ini sangat celi matanya
dan sebat gerakannya,
menampak si piauwsu nekat, ia
berlompat sambil menghajar
tihang dengan pukulannya
Taylek Kimkong Ciu, ilmu silat
Tangan Arhat, dengan begitu
dapat ia menolongi jiwanya Cin
Ie.
Sambil bersenyum, Seng Lim
mengasi turun tubuhnya Han
Piauwsu , kemudian ia
menghadapi Leng In Hong untuk
memberi hormat sambil berkata:
"Oleh karena sangat
terpaksa, aku telah membikin
rusak tihang ceecu ini, aku
mohon sukalah diberi
maaf."
Cin Ie sendiri agaknya tidak
puas.
"Kenapa kau tolongi
aku?" dia menanya.
Seng Lim tidak menjawab, hanya
dia berkata: “ Piauw ini
silahkan kau bawa ke
Ouwpak!"
Mendengar itu, semua orang
terperanjat, mereka saling
mengawasi. Semua berdiam,
hingga umpama kata sebatang
jarum jatuh ke lantai, akan
orang dapat mendengarnya.
Hanya sesaat orang menjublak,
lalu terdengarlah suara
riuh.
962
“Ini... ini... bagaimana aku
dapat berkata?..." katanya
bingung.
Pek Beng Coan sebaliknya
mendongkol.
"Kau, kau mengandal apa
maka kau berani mengambil
putusan ini?" dia menegur
Seng Lim. "Harta ini hendak
diserahkan kepada tentara
negeri, bukankah itu berarti
membantu musuh menghajar orang
sendiri?"
Pit Goan Kiong sendiri tidak
membilang suatu apa. Ia hanya
bersenyum mengejek tak
hentinya. Adalah kemudian, ia
tertawa lebar, beda dari
biasanya, lalu ia mengeprak meja.
"Engko she Yap,
tindakanmu berlebih-lebihan!" dia
berteriak. "Apakah kau
hendak serahkan jiwa banyak orang
ke dalam tangannya tentara
negeri?"
Seng Lim bersikap tenang,
wajahnya pun tak berubah. Ia
berdiam saja.
Beberapa orang lain pun
memperdengarkan suara mereka,
ada yang menggerutu dan
mencaci, akan tetapi tempo si anak
muda terus berlaku sabar,
mereka lalu berdiam sendirinya.
Semua mata tetap diarahkan
kepada pemuda itu, yang sepak
terjangnya mengherankan
mereka.
Sampai itu waktu barulah Seng
Lim bertindak ke
gelanggang, ia memandang semua
orang sambil bersenyum.
"Harta besar ini kita
rampas," katanya, "dengan begitu
tentara negeri yang berjumlah
sepuluh laksa jiwa di Ouwpak,
yang tengah kekurangan
belanja, bakal bubar sendirinya,
bukan?"
963
"Ya, tentara itu bakal
bubar tanpa berperang lagi!" berkata
Pek Beng Coan nyaring.
"Tidakkah itu menguntungkan pihak
kita?"
"Tidak salah!" sahut
Seng Lim. "Akan tetapi sepuluh laksa
perut toh perlu makan,
bukan?"
"Ah, engko Yap, sungguh
hatimu pemurah!" Pit Goan Kiong
mengejek. "Kau menaruh
belas kasihan terhadap tentara
negeri!"
Seng Lim mengebas dengan
tangan bajunya.
"Aku hanya berkasihan
terhadap rakyat jelata di Ouwpak!"
katanya nyaring. "Kalau
itu sepuluh laksa serdadu bubar tanpa
berperang, sedang waktu ini
hawa udara sangat dingin,
bukankah mereka bakal merampok
rakyat? Kalau bukan
rakyat, siapa lagi mereka
bakal ganggu? Apakah yang mereka
bakal gegaras? Apakah yang
mereka bakal pakai? Si orang
hartawan mungkin dapat
melindungi dirinya, si rakyat jelata
bakal malang sekali nasibnya!
Tidakkah kamu pernah berpikir
ancaman bencana hebat itu
terhadap anak negeri?"
Mukanya Hian Eng Toojin dan
Pit Goan Kiong menjadi
pucat sekali, mereka bungkam
bagaikan bola kempes. Pek
Beng Coan melotot matanya, dia
agaknya hendak mementang
bacot tetapi Seng Lim
mendahulukan dia.
"Piauw ini telah diminta
pulang oleh Nona Ie," kata si
pemuda ini, "dan Nona Ie
menyerahkannya kepadaku. Dengan
begitu aku mempunyai kekuasaan
penuh atasnya. Benar
bukan?"
"Sedikitpun tidak
salah!" In Hong yang pertama menyahuti.
964
"Bagus!" kata Seng
Lim pula. "Sekarang ini, siapa pun tidak
dapat banyak bicara! Han
Loopiauwtauw, piauw ini silahkan
kau bawa ke Ouwpak, kau
serahkan pada tentara negeri di
sana! Bagaimana besar juga
tanggung jawabnya, aku sendiri
yang nanti
mempertahankannya!"
Hati Sin Cu berdenyutan keras
dan tak hentinya. Ia tidak
menyangka Seng Lim, yang
demikian sederhana dan tidak
pandai bicara, sekarang dapat
berpikir demikian serta dapat
mengambil putusan yang luar
biasa itu dia mirip dengan satu
panglima besar yang tengah
memimpin angkatan perang,
sikapnya demikian gagah.
Kembali Seng Lim memandang
semua orang matanya
bersinar tajam. Tapi ketika ia
berbicara, suaranya sabar dan
terang.
"Kita bergerak untuk
rakyat, kenapa kita mesti
menyebabkan rakyat
bercelaka?" demikian tanyanya.
"Pasukan rakyat suka rela
ialah pasukan yang di kolong langit
ini tidak tandingannya, maka
itu kenapa kita mesti jeri baru
terhadap sepuluh laksa atau
sejuta serdadu? Kita berlaku
benar, untuk kebaikan umum,
semua orang ketahui itu.
Sepuluh laksa serdadu itu, andaikata
mereka sudah gegaras
kenyang, masih belum pasti
mereka sudi menjual jiwa
mereka! Jikalau kamu takut
kepada sepuluh laksa serdadu
negeri itu, nanti aku yang
menjadi pelopor, aku ada punya
daya untuk membuat mereka
menakluk, atau kalau mereka
tidak sudi akan aku hajar
mereka hingga mereka kalah! Apa
yang harus dibuat takut? Untuk
berperang orang mesti
menghitung jauh! Tujuan kita
yang maha suci berharga lebih
daripada sepuluh laksa
serdadu!"
Tiba-tiba saja Leng In Hong
tertawa dengan nyaring dan
panjang, lalu jempolnya
diangkat tinggi-tinggi.
965
"Sungguh gagah!"
berseru nona "bandit" ini. “Inilah baru
semangatnya satu pendekar!
Tentaraku, lekas kau antar
piauw turun gunung, kembalikan
pada pihak piauwkiok. Mari,
mari, Yap Toako." ia
memanggil Seng Lim, "mari aku hormati
kau dengan tiga cawan
arak!"
Ia benar-benar lantas mengisi
penuh tiga buah cangkir, ia
sendiri minum lebih dulu.
Seng Lim tertawa lebar.
"Kau tidak menghendaki
aku mengganti tihangmu ini!" ia
berkata. "Baiklah, akan
aku minum arakmu!"
Sunyi seluruh ruang itu, cuma
terdengar tertawanya si
nona dan si pemuda.
***
Ie Sin Cu berdiri diam di
samping. Ia menyaksikan gerakgerik
In Hong, ujung pelangi siapa
bergerak-gerak,
semangatnya nona itu
terbangun, dia demikian gembira
hingga nampaknya dia jumawa.
Diam-diam ia ingat sesuatu.
Ialah ia ingat, sepasang
muda-mudi itu berdiri berendeng,
mirip dengan pasangan di dalam
gambar ialah pasangan
merpati Lie Ceng bersama Ang
Hut si Nona Kebutan Merah.
Dua-dua gagah, sama-sama
tampan dan cantik, semangat
mereka bersatu padu, tidakkah
mereka itu sangat sepadan?
Memikir ini, tanpa merasa ia
diam menjublak.
Leng In Hong masih saja
tertawa lebar.
"Nona Ie, kau juga
mengeringkan tiga cawan!" dia berseru
kepada Sin Cu.
966
"Adikmu tidak kuat minum,
tidak berani aku menemani," si
nona menjawab.
"Kalau arak ketemu
sahabat akrabnya, untuk apa jeri akan
mabuk sinting," berkata
nona rumah si kepala berandal
wanita. "Nona Ie, ini
satu cawan tidak dapat kau tidak
meminumnya!"
Ketarik Sin Cu untuk sikap
polos dan gembira serta
bersemangat nona itu, ia tidak
menampik terlebih jauh, ia
keringkan cawan yang
diangsurkan kepadanya.
"Nah, inilah baru
mempuaskan!" berseru In Hong. Ia
hendak meminta Seng Lim minum
pula atau si anak muda
telah mendahuluinya: "Aku
tidak dapat minum lebih jauh, aku
sudah mabuk!"
Memang Seng Lim tidak biasa
minum, atas desakan In
Hong, ia mengeringkan tiga
cawan, ia telah memaksakan diri,
maka itu kakinya lantas
berdiri tak tetap, ia terhuyung seperti
mau jatuh.
In Hong melihat orang tidak berpura-pura,
ia tertawa pula,
nyaring dan panjang, lalu ia
melemparkan cawannya ke lantai.
"Baiklah, sebentar malam
kita minum pula !" katanya,
"Hengjie, pergi kau
siapkan pembaringan di kamar samping
untuk Yap Toako beristirahat.
Dan kau, Nona Ie, mari kau
turut aku pergi ke gunung
depan!" Ia mengajak Sin Cu.
Pek Beng Coan be-ramai menjadi
jengah sendirinya karena
In Hong tidak memperdulikan
mereka, karena itu mereka
lantas memberi hormat untuk
pamitan.
"Jangan kesusu!"
berkata si nona tertawa. "Di kaki gunung
hanya dusun kosong, kabarnya
orang kamu kaum Kaypang
967
banyak yang terluka, baik kamu
kirim orang untuk
mengundang mereka semua datang
ke mari! Tempatku kecil
tetapi ini masih terlebih baik
daripada pondokan di
kampungan."
Pek Beng Coan dan Pit Goan
Kiong heran.
"Aneh nona ini..."
pikir mereka. "Kenapa baru sekarang dia
menghormat kita?"
In Hong tidak mengambil tahu
apa yang orang pikir, lagilagi
ia tertawa.
"Kamu dalam tentara
rakyat ada orang besarnya, bagus!"
katanya pula nyaring.
"Tadinya aku tidak melihat mata,
sekarang lain. Ada keponakan
semacam ini, mestinya Yap
Cong Liu sang paman bukan
sembarang orang, maka di
belakang hari hendak aku pergi
mengunjungi dia!"
Mendengar ini, Hian Eng Toojin
dan Pit Goan Kiong girang.
Memang bagus sekali jikalau si
nona suka menggabungkan
diri. Dengan begitu usaha
mereka di Kangsee tentulah akan
maju pesat. Karena ini,
lenyaplah kelikatan mereka tadi.
Dengan rada sinting, In Hong
lantas mengajak Sin Cu
pergi. Mereka berpegangan
tangan. Nona rumah, sambil
tanjak-tunjuk, menerangkan
sesuatu kepada tetamunya,
tentang keletakan gunungnya
serta penjagaannya. Ia pun
bicara dari hal urusan
tentara.
Sin Cu ada rada asing untuk
ketentaraan tetapi dapat juga
ia menemani bicara. Ia
mendapat kenyataan nona ini masih
lebih luas pandangannya
daripada Keng Sim. Ia mendapatkan
orang rada jumawa, akan tetapi
mengingat In Hong sedang
sinting, ia tidak
memperdulikan itu, ia malah menjadi suka
kepada orang.
968
Ketika itu di akhir musim ke
empat, di atas gunung
kedapatan banyak salju,
dipandang dari jauh, salju itu
bagaikan perak yang
berkilauan. Lewat sebuah tikungan, di
sana tertampak bunga bwee
warna putih dan merah sedang
mekarnya dan baunya harum
semerbak.
"Aku pernah mendengar
tentang bunga bwee di gunung
Tengut San yang dikenal
sebagai bunga hiangsoat hay atau
Laut Salju Wangi, sayang belum
pernah aku pergi ke sana,"
berkata In Hong. "Pohon
bwee di sini telah ditanam setelah
aku berdiam di sini, aku
menyuruh orang-orangnya pergi
mencari di lembah-lembah untuk
ditanam di sini."
"Kau nyata gemar seni,
encie." Sin Cu memuji.
In Hong tertawa.
"Seni apa!" katanya.
"Aku menanam bunga bwee ini karena
aku menyukai harumnya yang
halus."
"Encie, kau sungguh
mengagumkan," Sin Cu memuji pula.
"Tadinya aku menyangka
diriku besar, tidak tahunya aku kalah
jauh daripada kau! Pohon bwee
memang tahan melawan
hawa dingin."
"Bicara tentang menahan
dingin, di gunung Thian San
barulah hawa udara dingin luar
biasa!" berkata In Hong.
Agaknya ia mengingat secara
tiba-tiba. "Musim dingin di sini
bukan mirip-miripnya musim
dingin."
Mendengar itu, Sin Cu lantas
mengingat satu orang. Itulah
hal omongan gurunya, yang pada
suatu hari bercerita
kepadanya selagi mereka
bicarakan halnya pelbagai partai
persilatan ilmu pedang.
Katanya di Thian San berdiam seorang
yang hidup menyendiri, she Hok
namanya Heng Tiong, siapa
969
telah berminat menggabung ilmu
silat pedang semua partai
untuk dijadikan suatu partai
baru. Dia itu menyendiri semenjak
usia pertengahan, tidak lagi
dia menginjak tanah Tionggoan,
dia hidup di wilayah Hweekiang
di suatu tempat ke mana tak
ada lain orang tiba, hingga
sangat sedikit orang yang
mengetahui hal ikhwalnya. Cuma
Hian Kie Itsu, sebelum dia
mengundurkan diri, pernah satu
kali bertemu dengannya. Hian
Kie puji semangat Heng Tiong
itu, hanya ia anggap itulah
terlalu berlebihan. Bagaimana
gampang untuk mengumpul
pelbagai cabang ilmu silat
pedang, untuk dipahamkan dan
kemudian menciptakan satu
cabang baru dari antaranya.
Sejak pertempuran itu, tidak
pernah mereka bertemu pula,
maka Hian Kie tidak ketahui
orang sudah mati atau masih
hidup, apa dia berhasil atau
gagal. Atau kalau dia masih
hidup, juga orang tidak tahu
sampai di mana kemahiran ilmu
pedangnya itu.
"Apakah encie pernah
pergi ke Thian San?" menanya Sin
Cu. Ia ingat suatu apa karena
disebutnya nama gunung itu. Ia
pun menanya seperti
keterlepasan.
"Aku menjadi besar di
Thian San," menyahut orang yang
ditanya.
"Aku mohon tanya, pernah
apakah encie dengan
loocianpwee Hok Heng
Tiong?" Sin Cu menanya pula.
"Dialah pamanku,"
sahut pula In Hong, yang
memberitahukan hal engku-nya
(paman).
"Pantas ilmu pedang encie
begini liehay, kiranya kau
mewariskan langsung ilmu
pedangnya Hok Loocianpwee itu.
Ya, aku ingat, loocianpwee
telah mengumpulkan ilmu silat
pedang pelbagai partai dan ia
mempersatukan itu, untuk
menciptakan partai baru.
Sungguh hebat!"
970
Selagi Nona Ie berkata
demikian, pada wajahnya In Hong
tertampak sinar guram,
bagaikan langit terang dilintasi awan
gelap tetapi, hanya sebentar
saja, air mukanya itu tenang
seperti sediakala. Sin Cu
sedang bergembira, ia tidak dapat
melihat perubahan air muka
orang. Bahkan ia melanjuti
pertanyaannya.
"Apakah Thian San itu
indah, senang untuk pesiar? Apakah
Hok Loocianpwee masih tinggal
di sana?" demikian
pertanyaannya terlebih jauh.
In Hong memandang salju di
puncak.
"Pamanku itu telah
meninggal dunia," sahutnya tawar.
"Tentang keindahannya
gunung Thian San, karena aku
meninggalkannya sudah lama,
aku tidak ingat lagi."
Sin Cu melengak. Ia merasa
heran atas sikapnya Nona
Leng itu. Maka ia mengawasi,
hingga ia tampak air muka
orang tak wajar.
"Kenapa, dengan
disebutnya Thian San, agaknya dia
kurang senang?" ia tanya
dirinya sendiri.
"Dia seperti mempunyai
suatu urusan yang mendukakan
hatinya..."
Sebenarnya Sin Cu masih hendak
menanya banyak
terutama tentang sebabnya si
nona menjadi berandal di
gunung Huyong San ini, sebab
sikap orang itu, ia menjadi
membatalkan niatannya itu.
Mereka lalu bertindak
melintasi rimba pohon bwee itu.
"Yap Toako itu besar
cita-citanya," mendadak In Hong
berkata selang sekian lama.
971
Sin Cu heran, air mukanya
berubah menjadi merah.
"Aku kenal dia baru
beberapa bulan," ia berkata. "Bicara
tentang dia, dia sebenarnya
ada dari satu rumah perguruan
denganku."
In Hong tertawa.
"Dia sangat memperhatikan
kau, encie." katanya. "Di waktu
kita mengadu pedang aku
melihat itu dari sinar matanya."
Sin Cu likat, ia tunduk.
"Ada orang yang
memperhatikan, itulah hal yang sangat
memberuntungkan," kata
Nona Leng seraya menghela napas.
"Ah, Yap Toako kau itu
mirip dengan seorang yang aku kenal
baik..."
Hati Sin Cu tidak tentaram.
"Benarkah?" katanya.
"Siapakah dia?"
Sekonyong-konyong In Hong
tertawa besar.
"Ah, aku sudah
sinting!" katanya. "Sekarang sudah tidak
siang lagi, mari kita pulang.
Ya, ada orang yang karena
peristiwa yang sudah-sudah dia
suka menjadi berduka, apakah
sebabnya itu?"
Hati Sin Cu terkesiap. Ia
lantas ingat Tiat Keng Sim. Karena
ini, ia tidak menjawab, ia
berdiam saja.
Malam itu In Hong mengajaki
Sin Cu tidur dalam sebuah
pembaringan untuk mereka
memasang among. Hanya di
waktu bersantap malam, In Hong
minum banyak sekali air
972
kata-kata, hingga begitu ia
menjatuhkan diri di pembaringan,
lantas ia pulas.
Sin Cu gulak-gulik, ia tidak
lantas dapat tidur pulas. Ia
seperti melayang-layang. Ia
merasa seperti berada di pesisir
laut Jiehay di mana ada sebuah
pohon tayceng yang besar,
yang daunnya teduh sekali.
Selagi ia berpikir untuk pergi ke
bawah pohon itu, mendadak di
situ tumbuh muncul sebuah
pohon tayceng lain yang besar.
Atau di lain saat, matanya
menampak di bawah pohon
tayceng itu ada sepasang mudamudi
menyembunyikan diri. Yang
berdiri di sebelah kiri adalah
Yap Seng Lim, dan yang berdiri
di sebelah kanan ada Leng In
Hong.
"Yap Toakol" sananya
Sin Cu berseru seraya berlompat
kepada pemuda itu.
Sekonyong-konyong terdengar
guntur di tengah udara, lalu
Seng Lim lenyap seketika.
Tinggal pohon tayceng, yang
bergoyang-goyang keras.
"Encie Leng!"
sananya ia memanggil In Hong.
In Hong tertawa dan datang
menghampirkan. Sin Cu pun
lari kepada nona itu. Hendak
ia menanya, "Mana Yap Toako?"
atau ia melihat tiba-tiba alis
In Hong berbangkit berdiri,
dengan pedangnya dia terus
menikam.
"Encie Leng, aku,
aku!" Sin Cu berteriak-teriak kaget, ia
pun segera mundur, atau
"Plug!" ia tercebur ke laut Jiehay.
Itu waktu di kupingnya ia
mendengar suara halus: "Jangan
takut... Jangan takut... Aku
di sini!"
Sin Cu mementang kedua
matanya. In Hong berdiri di
hadapannya. Kiranya ia jatuh
dari pembaringan. Barusan ia
sudah bermimpi. In Hong
mengenakan yahengie, yaitu
973
pakaian untuk keluar malam,
tangannya mencekal pedangnya
yang tajam. Ia terkejut,
hingga ia bersangsi ia masih
mengimpi atau sudah sadar.
"Di luar seperti ada
orang," In Hong berbisik. "Kau jangan
kuatir, nanti aku pergi untuk
melihat."
Si nona melihat daun jendela
sudah terpentang, lantas dia
berlompat ke luar. Dia seperti
tidak dapat mensia-siakan
tempo lagi. Sin Cu lantas
berpikir. Ia mengarti sekarang
bahwa barusan ia sudah mimpi.
Dalam kesunyian, ia
mendengar tindakan kaki bukan
dari satu orang. Ia menduga
kepada orang-orang yang tak
sembarang kepandaiannya
ringan tubuh.
"Mana dapat aku
membiarkan encie Leng menempu
bahaya?" pikirnya. Maka
ia lekas berdandan, dengan
membawa pedangnya, ia lari
keluar untuk menyusul.
Sampai di gunung depan baru
Sin Cu melihat bayangannya
In Hong. Ia lari terus.
Setelah lewat setengah lie, di depan
tertampak samar-samar beberapa
orang bagaikan bayangan.
Benar-benar mereka itu mahir
ilmunya ringan tubuh. Ia heran,
tidak dapat ia menerka siapa
mereka itu. Kalau mereka
bermaksud baik, kenapa mereka
tidak datang secara
berterang? Kalau mereka
berniat jahat, kenapa mereka kabur
pula, kenapa mereka tidak
menempur Nona Leng?"
Tepat di waktu Sin Cu
menduga-duga demikian, beberapa
bayangan dtu menghentikan
larinya.
"Siapa kamu ?"
terdengar tegurannya In Hong.
"Kami ialah
sahabat-sahabat akrab dari Hok Thian Touw,"
menyahut seorang yang jangkung
kurus. "Oh, Nona Leng,
benarkah kau tidak mengenali
aku? Aku Hwee kielin Hek In
974
Tay. Bukankah pada lima tahun
dulu kita pernah bertemu di
atas gunung Thian San di
puncak tinggi sebelah selatan?
Mereka ini adalah
saudara-saudara angkatku."
Pada lima tahun yang lalu itu,
In Hong baru berumur lima
belas tahun. Samar-samar ia
ingat orang jangkung kurus
sebagai sahabatnya Hok Thian
Touw.
"Kalau begitu, kenapa kau
datang malam-malam dan main
sembunyi-sembunyi?" ia
tanya.
"Kami tidak hendak
membikin kaget orang-orang lain,"
sahut Hek In Tay. "Eh,
siapakah orang itu?" Ia menunjuk ke
arah Sin Cu.
In Hong segera menoleh.
"Dialah kakakku. Jikalau
kau hendak bicara, bicaralah, tidak
ada halangannya."
Sin Cu dapat mendengar
pembicaraan mereka itu, hatinya
menjadi lega.
"Kiranya
kenalan-kenalannya encie Leng..." pikirnya. Ia
tidak mau lantas datang dekat,
supaya ia tidak usah
mendengari pembicaraan mereka
itu. Ia bahkan hendak
mundur pula tatkala ia
mendengar pertanyaan keras dari In
Hong: "Apa? Kamu jadinya
diperintah datang oleh Hok Thian
Touw? Dia di mana? Di
mana?"
Nadanya suara itu nada dari
orang sangat tertarik hatinya,
seperti seorang yang berdahaga
sekali untuk suatu kabaran.
"Hok Thian Touw berada di
suatu tempat di Siamsay,"
sahut si jangkung kurus Hwee
kielin, si Kielin Api. "Dia minta
Nona suka pergi untuk menemui
dia."
975
"Thian Touw ketahui aku
berada di ini gunung, kenapa dia
tidak datang sendiri kepadaku?"
In Hong menanya. "Apakah
dia sakit? Atau apakah dia
terluka?"
"Letaknya tempat terpisah
ribuan lie, tidak leluasa untuk
dia datang ke mari,"
sahut pula Hek In Tay. "Kalau nona
sudah pergi ke sana nanti kau
akan ketahui sendiri sebabnya."
In Hong tertawa menyeringai.
"Letaknya tempat jauh
ribuan lie, aku juga tidak leluasa
pergi kesana," ia
menyahuti, menelad suara orang. "Untuk
menyuruh aku meninggalkan
tempatku ini juga masih
memerlukan tempo beberapa hari
guna mengatur sesuatu."
Memang semenjak dua tahun, In
Hong sering berhadapan
sama tentara negeri yang
hendak menumpas padanya, ia
telah dipandang sebagai satu
berandal yang berbahaya, maka
itu, kalau ia pergi
meninggalkan gunungnya, itulah sungguh
berbahaya untuk Huyong San. Ia
pun tidak ikhlas
meninggalkan tentaranya dengan
siapa ia telah hidup
bersama, senang dan susah,
sebagai encie dan adik.
"Kalau begitu, benar
sukar," Hek In Tay berkata pula.
"Thian Touw menanya kau,
apakah kau masih ingat akan janji
lama?"
"Habis kenapa?"
"Sekarang ini dunia
kacau, sekarang ini waktunya untuk
menyendiri meyakinkan ilmu
pedang. Thian Touw
menanyakan kau, apakah kau
masih menyimpan itu kitab ilmu
pedang?"
976
In Hong melirik. "Adakah
ini kata-katanya Thian Touw
sendiri?"
"Dia mempunyakan surat
yang dia tulis sendiri di sini.
Silahkan kau lihat
sendiri."
Hek In Tay menyerahkan surat
yang ia sebutkan itu.
Sin Cu melihat wajahnya In
Hong ramai hingga dia menjadi
terlebih cantik dan manis.
Maka maulah ia menduga tentang
hati si nona. Maka berkatalah
ia di dalam hatinya: “Ini nona
gagah berpelangi merah,
melihat surat kekasihnya, dia likat
bagaikan nona
pengantin..."
Tangan In Hong bergemetaran
sedikit ketika ia memegang
surat, untuk dibuka dengan
perlahan-perlahan. Begitu ia
melihat, ia membaca dengan
perlahan:
"Adik Hong, terimalah
suratku ini seperti kita bertemu
sendiri... Adik Hong,
terimalah suratku ini seperti kita bertemu
sendiri...bertemu
sendiri..."
Mendengar itu, hampir Sin Cu
tertawa. Bukankah lucu In
Hong ini, yang membacanya
berulang-ulang surat kekasihnya
itu bagian pertama?
In Hong tidak membaca terus.
Mendadak air mukanya
berubah menjadi
sungguh-sungguh dan dengan mendadak
juga ia tertawa lebar.
"Benar saja Thian Touw
telah menduga bahwa aku tidak
dapat segera berangkat maka
dia telah mengutus kamu
beberapa tuan-tuan yang ilmu
silatnya tinggi untuk datang
mengambil kitab ilmu silat itu
untuk dibawa kepadanya. Ha,
sungguh sukar dicari orang
yang demikian matang
pikirannya!"
977
"Sebenarnya ilmu silat
kami biasa saja," berkata Hak In
Tay, "akan tetapi kami
telah menerima baik permintaannya
saudara Thian Touw, terpaksa
kami mesti melakukan
kewajiban kami, biarnya mesti
membuang jiwa, tentu kami
akan antarkan kitab itu kepada
saudara Thian Touw."
In Hong melirik, ia tertawa
pula.
"Sungguh sahabat-sahabat
yang baik!" ia berkata. "Kitab
pedang itu asalnya ada
kepunyaan Keluarga Hok, sekarang
Thian Touw menghendaki itu,
tidak dapat aku tidak
mengembalikannya, dan sekarang
kamu yang mengantarkan,
itulah bagus sekali. In Tay,
mari!"
Hek In Tay tercengang, ia
mengawasi.
"Apakah kitab itu kau
senantiasa bawa-bawa, Nona Leng?"
tanyanya.
"Ya," menyahut si
nona, yang merogo ke dalam sakunya.
In Tay maju dua tindak.
Sekonyong-konyong si nona
tertawa, berbareng dengan mana
pedangnya terhunus, terus
dipakai menikam orang di
depannya itu. Berbareng dengan
itu, tangan kirinya terayun,
menerbangkan tiga biji Ouwtiap
piauw. Sebab dia bukannya
mengeluarkan kitab hanya
menjumput senjata rahasianya
itu.
In Tay kaget tetapi ia masih
dapat berkelit, hanya ia kalah
sebat, pundaknya kena juga
tertikam, syukur tulang piepeenya
tak sampai kena dibikin
tembus.
"Kami bermaksud baik,
kenapa kau menurunkan tangan
jahat?" In Tay berteriak.
978
In Hong berlompat, untuk
menikam pula, hingga dua kali
beruntun.
"Ya, sungguh baik hatimu!"
dia berkata, dingin. "Hm! hm!
Apakah kamu menyangka aku
sebagai bocah enam tahun
yang lampau ketika aku masih
belum mengarti apa-apa? Lekas
bilang, sebenarnya apakah kamu
perbuat terhadap Thian
Touw? Kamu meniru tulisannya
itu! Mana dapat kamu
mengelabui aku?"
In Tay berkelit terus.
"Kau lihatlah biar
terang!" ia masih berkata. "Surat itu
tulisan tangannya Thian Touw
sendiri! Mengapa kau bilang
surat tiruan?"
In Hong tertawa dingin.
"Kau masih
mendustai" bentaknya. "Nanti aku bikin picak
matamu!"
Kali ini si nona menyerang
dengan empat biji senjata
rahasianya.
Menyusul itu terdengarlah
suara "traang!" beberapa kali
dan ke empat senjata rahasia
itu terhajar hancur, oleh
seorang Uighur sahabatnya Hek
In Tay. In Tay sendiri
menghunus senjatanya, sepasang
poankoan pit, senjata mirip
alat tulis, dengan apa ia
menangkis Cengkong kiam. Ia
menangkis dengan tangan
kirinya sebab dengan tangan kanan
ia membalas menyerang, menotok
ke arah buah dada. Ia
murka, karena ia pun berseru:
"Sebenarnya kami memandang
kepada saudara Thian Touw!
Apakah kau sangka kami jeri
terhadapmu? Perempuan ini
tidak tahu aturan, mari kita
bereskan dia dulu!"
979
Dan ia menyerang pula.
Kawannya In Tay ada tiga, dua di
antaranya orang-orang Uighur,
yang masing-masing
bergegaman gembolan kuningan
serta golok bulan sabit,
sedang yang ketiga
bersenjatakan sepotong kongpian panjang
setombak, ketika dia
menyerang, merabuh ke bawah, cambuk
itu memperdengarkan siu-ran
angin keras. Yang terliehay
adalah In Tay sendiri,
walaupun dia sudah terluka pundaknya,
sepasang pit-nya hebat sekali,
senantiasa mencari jalan darah.
In Hong melayani dengan tabah,
bahkan ia tertawa
panjang. Ia tidak mengambil
mumat yang ia dikepung
berempat, ia bergerak ke
segala penjuru dengan gesit sekali.
Kedua orang Uighur itu
mengandal betul kepada senjatanya
masing-masing, yang berat,
mereka berdaya akan membentur
pedang si nona, tetapi nona
itu memperlihatkan
kelincahannya, jangan kata
pedangnya, ujung bajunya pun tak
dapat dilanggar, bahkan
pedangnya berkelebatan di muka
orang. Demikian ketika si nona
berseru, si orang Uighur yang
memegang gembolan kena
tertikam.
"Jangan mengadu
jiwa!" In Tay berteriak. "Kurung saja
padanya!" Ia pun mendesak
terlebih hebat, sepasang pit-nya
bergerak gesit ke kiri dan
kanan.
Orang yang memegang kongpian
berkelahi secara
renggang, ia menjauhkan diri
kira-kira satu tombak. Cuma In
Tay yang mendesak rapat. Kedua
orang Uighur itu pun tidak
merapatkan diri, mereka
bersikap hendak meme-gat jalan
mundur lawannya.
Sin Cu menonton sejak tadi, kemudian
ia menjadi tak
sabaran.
"Encie Leng, apakah kau
hendak bikin picak si kurus ini?" ia
menanya. "Benarkah?"
980
"Benar!" In Hong
memberikan penyahu-tannya.
"Baik!" berkata Sin
Cu. "Tidak usah encie turun tangan,
nanti aku lebih dulu membikin
buta mata kirinya!"
In Tay telah berjaga-jaga
terhadap nona itu, hanya melihat
usia orang lebih muda daripada
In Hong, ia tidak memandang
mata. Maka juga ia tertawa
berkakak ketika ia mendengar
nona itu memperdengarkan
suaranya, yang ia anggap omong
besar belaka.
"He, budak cilik!"
ia membentak. "Tuan besarmu ini semua
ada ahli senjata rahasda, maka
lihatlah siapa yang terlebih
dulu matanya picak!"
Dengan melindungi mukanya
dengan sebelah senjatanya,
orang she Hek itu mendahulukan
menyerang dengan panah
tangannya, yang dia
sembunyikan di dalam tangan bajunya.
Sin Cu menyingkir dari
penyerangan itu, sambil menyingkir
ia membalas, maka meluncurlah
bunga emasnya, yang
cahayanya berkilauan.
Hek In Tay menangkis dengan
poankoan pit, tetapi bunga
emas itu luar bisa, setelah
tertangkis lalu berbalik menyambar
pula. Kaget In Tay, hendak ia
menangkis pula seraya
bertindak mundur.
Justeru itu, In Hong maju
mendesak, dengan jurus "Mega
melintang di gunung Cin
Nia," dia membuatnya sepasang
poankoan pit musuh kena
tertutup. Maka kimhoa menyambar
tanpa rintangan, dan benar
saja, bunga itu menancap di mata
kiri orang!
981
Bukan main In Tay merasakan
sakit, sambil menjerit keras,
ia menyerang dengan menimpuk
dengan sepasang
senjatanya, atas mana In Hong
berlompat mundur.
Nona ini masih dapat melihat
tubuh orang roboh dan
menggelinding.
“Ini aku kembalikan panah
tanganmu!" berseru Sin Cu
seraya menimpuk. Sebab tadi
sambil berkelit, ia menanggapi
panah tangan orang she Hek
itu.
Sebab In Tay bergulingan,
panah tangannya itu gagal
mengenai tubuhnya. Kedua orang
Uighur itu melihat bahaya,
mereka juga menyerang dengan
senjata mereka seperti
caranya In Tay, habis mana
mereka menjatuhkan diri untuk
menyingkir sambil
menggulingkan diri juga.
Tinggallah satu musuh, yang
bersenjatakan kongpian. Dia
pun hendak menyingkir tetapi
dia kena dihalangi Sin Cu. Dia
adalah Ouw Hong, satu berandal
kuda di tapal batas. Dia
gagah, melihat si nona masih
sangat muda dan senjatanya
pun pedang, ia tidak memandang
mata. Di lain pihak,
cambuknya panjang.
Maka itu, dengan berkelahi
renggang, ia menyerang
bertubi-tubi. Hebat desiran
cambuknya itu. Dia mengharap si
nona terluka, atau sedikitnya
orang membuka jalan untuknya.
Sin Cu tidak mengasi dirinya
dipermainkan. Melayani musuh
itu, ia keluarkan ilmu
silatnya "Menembusi bunga mengitarkan
pohon," dengan lincah ia
bergerak-gerak menyingkir dari
setiap ujung cambuk.
Akhirnya, Ouw Hong bercekat
sendirinya. Ia tidak
menyangka si nona ada demikian
liehay. Karena ini ia memikir
untuk mengangkat kaki saja. Ia
mau segera mengundurkan
982
diri. Tapi untuknya sudah
kasep. Sin Cu dengan berani
mendesak rapat, hanya dengan
dua kali berkelebat
pedangnya, pedang Cengbeng
kiam itu telah memapas kutung
cambuk orang hingga menjadi
tiga potong, sesudah mana
dengan tikaman "Ular putih
memuntahkan bisa," ia menikam
tenggorokan musuh itu.
"Tahan, enciel"
berseru In Hong seraya tertawa. "Kasilah
dia hidup, hendak aku
menanyakan keterangannya!" Sembari
berkata begitu, ia lompat akan
menotok jalan darahnya Ouw
Hong.
"Suratnya Hok Thian Touw
itu, bukankah kamu yang
memalsukannya?" Nona Leng
menanya dengan bengis.
“Itu bukan urusanku,"
sahut Ouw Hong. “Itulah pekerjaan
Hek Toako."
"Kenapa kamu dapat meniru
tulisannya Thian Touw," In
Hong menanya pula.
"Hek Toako telah
memancing seorang bekas suya dari
Liang-ciu, dengan menggunakan
tempo satu bulan, bisalah si
suya meniru tulisan tangan
orang," Ouw Hong menerangkan.
In Hong tertawa dingin.
"Sungguh hebat kamu
berpikir," katanya. "Bagaimana
dengan Thian Touw? Dia
sebenarnya ada di mana? Cara
bagaimana kamu dapat mencuri
suratnya untuk ditiru
tulisannya itu?"
"Hok Thian Touw..."
kata si berandal kuda perlahan, "Hok
Thian Touw sudah mati..."
In Hong kaget hingga mukanya
menjadi pucat.
983
"Mati!" teriaknya.
"Kenapa dia mati?"
"Dia dibunuh Hek In
Tay," Ouw Hong menjawab pula.
Kembali In Hong tertawa
dingin.
"Dengan kepandaiannya itu
In Tay dapat membinasakan
Thian Touw!" katanya.
"Hm! Kau ngaco belo? Apakah
maksudmu dengan
mendusta?"
Bergeraklah dua jari tangan si
nona, mengancam ke kedua
biji mata si berandal.
"Tahan, ceecul"
menjerit Ouw Hong. "Nanti aku omong
terus terang!"
"Kau bicaralah!" si
nona berkata dengan mata mendelik.
"Asal kau mendusta, akan
aku kutungi lidahmu!"
"Pada suatu hari Hok
Thian Touw itu di kaki bukit Hoasan
telah bertemu sama Taybok
Sinlong Hamutu," menerangkan
Ouw Hong. "Hamutu hendak
merampas kitab ilmu pedang.
Keduanya jadi bertempur,
keduanya sama-sama mendapat
luka. Menggunai saat orang
terluka, Hek In Tay mengusir
Taybok Sinlong, kemudian dia
meminta kitab pedang kepada
Thian Touw, katanya sebagai
pembalasan budi. Thian Touw
menolak. Karena ini, mereka
jadi berkelahi. Karena
keterlepasan tangan, Hek Toako
dapat menotok Hok Thian
Touw, kemudian hendak ia
menolongi tetapi, sudah kasep. Ia
menyesal pun tidak
berguna."
Taybok Sinlong Hamutu itu si
Srigala Sakti Dari Gurun Pasir
adalah satu hantu di tapal
batas, dan keterangannya Ouw
984
Hong itu agaknya masuk di
akal. Mendengar itu, In Hong
kaget bukan main. Mendadak ia
memuntahkan darah.
Sin Cu kaget, ia menubruk untuk
pepa-yang sahabatnya
itu.
"Encie Leng, sabar!"
ia berkata, menghibur. "Mari kita
menanya dulu biar jelas."
Baru Nona Ie berkata demikian,
atau mendadak kupingnya
mendengar suara tubuh roboh,
tatkala ia menoleh, ia
menampak Ouw Hong bergulingan
ke bawah gunung. Sebab
berandal ini, yang dapat
membebaskan dirinya sendiri, sudah
lantas melarikan diri.
Dalam kagetnya Sin Cu hendak
mengejar musuh itu, tetapi
In Hong, yang mandi air mata,
telah berseru: "Thian Touw
mati! Tidak, aku tidak
percaya!"
"Memang, tidak seharusnya
kau percaya!" Sin Cu bilang.
"Ya, pikiranku kalut,
otakku tidak mau dengar kata!" kata
si Nona Leng. "Aku akan
mendengar kau, encie yang baik, kau
bicaralah."
Sin Cu tahu bagaimana harus
memperlakukan orang.
"Encie, kau
tutur-kanlah," ia berkata, halus.
In Hong mengangkat kepalanya,
ia memandang salju di
puncak gunung, yang ia
menganggapnya seperti gunung
Thian San, dan di dalam
sinarnya salju itu seperti berbayang
tubuhnya Thian Touw...
"Kita kedua keluarga Leng
dan Hok bersahabat turun
temurun," ia berkata,
memulai. "Kita sama-sama berasal dari
985
Kanglam dan bertetangga juga.
Kira-kira seratus tahun yang
lampau, ialah di akhir
kerajaan Goan atau di permulaan
kerajaan Beng, selagi
jago-jago berbangkit bangun
memperebuti kota-kota dan daerah,
hingga Tionggoan
menjadi kacau sekali dan
rakyat menderita, kita kedua
keluarga mengungsi ke
Hweekiang yang jauh itu. Kita kedua
keluarga lalu diikat dengan
pernikahan satu dengan lain.
Sampai kepada ayahku dan
pamanku, ayah mempunyai cuma
aku seorang anak perempuan dan
engku Hok Heng Tiong juga
mempunyai Thian Touw yang
menjadi kakak misanku itu.
Ayah menutup mata siang-siang,
dari itu aku menumpang
tinggal pada engku, yang
merawatku hingga besar. Kedua
keluarga kita memang keluarga
yang mengarti ilmu silat,
maka juga engku Heng Tiong
berhasil mewariskan ilmu silat
kedua keluarga. Dia gagah dan
berani, di masa mudanya
pernah dia merantau ke
Tionggoan, untuk mengumpulkan
ilmu silat pedang dari
pelbagai partai. Ketika dia mendapat
kenyataan Tionggoan masih
diganggu peperangan, dia pulang
ke Thian San untuk hidup
menyendiri. Di sini dia membangun
partai persilatan Thian San
Pay. Dia sudah mencoba
mengumpulkan pelbagai ilmu
silat, hingga rambutnya putih,
dia masih belum puas, tapi dia
tidak putus asa, dia bekerja
terus. Rupanya dia terlalu
bekerja keras, belum berumur lima
puluh tahun, dia menutup mata.
Dia memesan Thian Touw
untuk melanjuti usahanya itu,
memesan juga untuk semua
turunannya meyakinkan terus,
supaya Thian San Pay berdiri
sebagai pengumpul ilmu
silatnya pelbagai partai."
Ketarik hati Sin Cu mendengar
keterangan itu.
"Hebat semangatnya Hok
Heng Tiong," pikirnya, "Dia dapat
disamakan Gie Kong yang hendak
memindahkan gunung.
Kalau Thian Touw masih hidup,
aku nanti minta suhu
membantu hingga dia mencapai
cita-cita leluhurnya itu."
986
Habis hening sebentar, In Hong
melanjuti ceritanya: "Ketika
engku menutup mata, usiaku
baru dua belas tahun. Thian
Touw lebih tua empat tahun.
Dasarnya ilmu silatku adalah
engku yang menanamnya, tetapi
ilmu silat pedangnya aku
dapatkan dari Thian Touw. Kita
sama-sama tidak
mempunyakan orang tua, kita
hidup bersama melebihkan
rapatnya saudara-saudara
kandung. Thian Touw itu bagus
segala apanya, dia polos dan
sederhana seperti kau punya Yap
Toako itu, cuma semangatnya
rada besar, dia tidak sudi untuk
selama-lamanya mendekam di
Thian San. Sama sekali engku
telah mengumpul kitab ilmu
silat dua belas partai, sedang
sebenarnya, semua partai ada
tiga puluh enam, maka itu, ia
baru mendapatkan satu per tiga
bagian. Thian Touw hendak
pesiar, untuk mewujudkan
cita-cita ayahnya itu. Kalau
sebegitu jauh dia belum juga
pergi merantau, itulah
disebabkan usiaku masih
terlalu muda. Empat tahun telah
lewat tatkala pangeran dari
Watzu memimpin tentara
menyerang Hweekiang hingga
bagian selatan dan utara dari
Thian San menjadi tidak aman.
Karena itu pada suatu hari
Thian Touw mengajak aku pulang
ke Tionggoan, tempat asal
kita. Ketika itu aku ingat
keindahannya Tionggoan.
Sebenarnya ayahku memberi nama
Bok Hoa kepadaku,
maksudnya supaya aku jangan
melupakan Tionggoan. Karena
itu, aku setuju ajakan
itu."
"Oh, begitu..." kata
Sin Cu perlahan.
"Sekarang kau tahu,
encie, kenapa begitu melihat surat
Thian Touw aku ketahui
kepalsuannya," berkata pula In Hong.
"Nama In Hong aku pakai
semenjak aku tiba di Tionggoan ini,
Thian Touw tidak ketahui
namaku ini. Ia selalu memanggil aku
Adik Hoa, Adik Hoa..."
"Encie berjalan berdua,
kenapa encie berpisah
daripadanya?" Sin Cu
menanya.
987
"Kamu orang Tionggoan
mana kenal hebatnya gurun pasir,"
menyahut In Hong. "Gurun
itu luas seperti tak ada ujung
pangkalnya. Kita jalan sepuluh
hari atau setengah bulan,
kadang-kadang kita belum
sampai kepada tujuan kita.
Demikian kita terpisah di
tengah-tengah gurun. Itu hari kita
kehabisan air, lantas Thian
Touw pergi ke sebuah gunung kecil
akan mencari sumber air. Hari
itu langit terang, bukit pun
terletak dekat. Aku letih, aku
membiarkan dia pergi seorang
diri. Apa lacur, seperginya
dia, datanglah angin besar,
membuat pasir beterbangan. Di
jarak sepuluh tindak, tidak
dapat kita melihat satu pada
lain. Aku kaget, aku lari-larian
untuk menyusul Thian Touw,
tetapi aku salah jalan, makin
lama aku nyasar makin jauh.
Akhirnya aku roboh terdampar
angin. Ketika aku sadar
sendirinya, aku lihat hanya pasir
bertumpuk-tumpuk bagaikan
bukit-bukit kecil. Bukit yang
dipergikan Thian Touw tidak
nampak pula. Masih untung
untukku, aku bertemu sama
rombongan saudagar gurun pasir,
aku ikut mereka keluar dari
gurun pasir itu. Thian Touw
hendak pergi ke Tionggoan, aku
lantas menuju ke mari. Sejak
itu beberapa tahun sudah
lewat, tidak pernah aku mendengar
halnya Thian Touw, sampai
datanglah hari ini. Inilah warta
pertama untukku. Aku
menyaksikan kabar ini, aku tidak tahu
ia benar sudah mati atau masih
hidup..."
Sin Cu mendengeri dengan
pikiran bekerja keras.
"Aku lihat dia gagah dan
bersemangat, siapa tahu, hatinya
pun lemah juga," ia
berpikir. "Dia mempunyakan Thian Touw
yang gagah, yang dia buat
andalkan, yang dapat dia
memikirkannya, umpama kata toh
terjadi hal tidak beruntung
bagi Thian Touw itu, tidaklah
kecewa hidupnya. Tapi aku..." Ia
menjadi berduka sendirinya. Ia
pun hidup sebatang kara,
ayahnya terfitnah dan
terbinasa, sekarang ia hidup sendirian,
belum mempunyai andalan...
Maka ia mengasihani In Hong
berbareng ia memikirkan nasib
sendiri...”
988
In Hong melanjuti ceritanya:
"Ketika kita berangkat
bersama dari Hweekiang, Thian
Touw titipkan kitab ilmu silat
engku, yang terdiri dari dua
belas jilid, katanya untuk aku
yang menyimpannya. Pernah
secara bergurau ia bilang,
umpama kata satu hari kita
ngalami malang dan berpisahan,
ia pesan untuk aku
meyakinkannya sendiri. Ia sendiri,
bilangnya, sudah paham semua.
Ia kata juga bahwa aku
dapat melangsungkan cita-cita
engku. Siapa nyana,
berguraunya itu sekarang
menjadi kenyataan. Ia kata ia sudah
paham isi kitab, ini pun salah
satu sebab kenapa aku lantas
ketahui kedustaannya surat
dari In Tay. Bukankah Thian Touw
tak membutuhkan lagi kitab
ilmu pedang itu? Kemudian,
ketika aku tiba di Tionggoan,
aku mendapatkan keamanan
tetap terganggu, di sini
rakyat bersengsara melebihkan
penduduk Hweekiang. Seorang
diri aku merantau, tanpa
merasa aku menjadi seorang
kasar. Aku telah tolongi sejumlah
anak-anak perempuan yang
bercelaka itu, tetapi itu bukan
cara yang baik, maka akhirnya
aku membangun sarangku ini,
angkat diriku menjadi ceecu.
Aku percaya, jikalau Thian Touw
mengetahui sepak terjangku,
dia pasti menyetujuinya. Ah,
sayang aku tidak bakal bertemu
pula dengannya..."
"Hatimu mulia, encie,
Thian pasti akan melindungi kau dan
akan membuat kamu nanti bertemu
pula satu sama lain," Sin
Cu menghibur.
“Itulah pengharapanku,"
In Hong tertawa sedih, "Hanya
aneh rombongan In Tay itu.
Kenapa mereka ketahui kitab
berada di tanganku? Kenapa
mereka ketahui tulisannya Thian
Touw. Maka itu aku kuatir
benar-benar Thian Touw terancam
bahaya..."
Tanpa merasa, air mata si nona
mengalir turun. Sin Cu
bingung. Sukar untuk
menghiburnya.
989
"Kedukaan dapat membuat
orang celaka," katanya
kemudian. "Di depan
matamu, encie, ada satu usaha besar,
maka itu baik kau tenangkan
diri dan ingat usahamu ini. Aku
harap encie bisa menjaga
kesehatanmu."
Kembali In Hong tertawa sedih.
Habis itu, benar ia nampak
tenang.
"Aku mengarti, encie
," katanya, sungguh-sungguh. "Kau
baik sekali! Kaulah yang
mengetahui hatiku. Aku tidak punya
kakak atau adik, aku anggap
Thian Touw sebagai kakakku,
maka itu sekarang dan
selanjutnya, aku pun ingin pandang
kau sebagai saudaraku!"
“Inilah yang mengharapnya pun
aku tidak berani!" sahut
Sin Cu, yang menjadi girang
sekali.
Mereka lantas saling mengasi
tahu umur mereka. Nyata In
Hong lebih tua dua tahun, maka
ia menjadi kakak. Untuk
mengangkat saudara, mereka
gunai tanah sebagai gantinya
hio. Lalu Sin Cu memanggil
"Encie1." dan In Hong memanggil
"Adik!" Upacara
sangat sederhana itu ditutup dengan
bercucurannya air mata mereka
saking terharunya hati mereka
itu, saking girang di
akhirnya.
Tidak lama setelah itu, mereka
melihat Seng Lim
mendatangi, keluar dari antara
pohon bwee yang lebat.
"Apakah tidak terjadi
sesuatu?" anak muda itu menanya.
"Tentara-mu tidak melihat
kau, nona, dan mereka mendengar
banyak tindakan kaki, mereka
jadi ribut sendirinya."
"Tidak apa-apa!"
menyahut In Hong sambil tertawa. Siangsiang
ia sudah menepas kering air
matanya. "Malam ini indah,
bersama Nona Ie ini aku
jalan-jalan ke sini. Kalau mereka
990
bingung, baik aku lantas
pulang. Karena malam permai, kau
sendiri baiklah menemani nona
ini menggadanginya sebentar."
Ia berkata seraya terus
bertindak pergi. Sin Cu hendak
mencegah tetapi sudah tidak
keburu. Sejenak itu, hati nona
ini berdenyutan.
"Sungguh kamu gembira
sekali!" berkata Seng Lim tertawa.
Sin Cu berdiam, ia ingat
kebaikannya In Hong. Ia juga
mengagumi nona itu, yang
hatinya kuat, yang dapat
mengatasi penderitaannya.
Seng Lim bertindak mendekati.
Ia melihat orang tunduk,
samar-samar ia mendapatkan
orang sering melirik kepadanya,
maka mukanya menjadi merah
sendirinya. Ia mundur dua
tindak.
"Nona Ie, kau tengah
memikirkan apa?" ia menanya.
Tiba-tiba si nona mengangkat
kepalanya.
"Yap Toako,"
katanya, "bagaimana kau lihat ceecu ini?"
Seng Lim melengak, lalu ia
tertawa.
"Dia gagah dan
pintar," ia menyahut. "Dialah wanita sejati,
wanita jantan!"
Hati si nona tergerak. Ia
membuat main cabang dan daun
bwee.
"Apa katanya Leng Ceecu
kepadamu?" Seng Lim menanya.
"Tidak apa-apa. Eh, Yap
Toako, aku ingin tanya kau satu
hal."
991
"Silahkan."
"Orang dulu bilang, dua
perasaan saling suka, keras emas
atau batu, benarkah itu?"
Air mukanya Seng Lim merah
hatinya goncang.
"Begitulah katanya orang
dulu. Umpama Ciok Eng Tay,
yang sesudah mati menjadi
kupu-kupu, atau Beng Kiang Lie
yang menangiskan Tembok Besar.
Perasaan atau cinta mereka
itu dapat menggeraki langit
dan bumi. Itu dia yang dibilang
keras seperti emas dan batu.
Kau baca lebih banyak buku dari
aku, nona, kau mengarti lebih
banyak lagi."
"Orang dulu demikian,
bagaimana orang jaman sekarang?"
Seng Lim bersenyum.
"Aku lihat, dulu dan
sekarang sama saja."
"Tapi toh ada bedanya
dengan perbuatan orang yang
bersangkutan sendiri..."
"Memang, siapa cocok satu
pada lain, di antara mereka
baru ada cinta."
Sin Cu berpikir.
"Diumpamakan orang
menyinta satu kepada lain, lalu satu
sebab membikin mereka
berpisahan, terpisahnya jauh, kabar
ceritanya tidak ada, tak tahu
juga sampai kapan mereka bakal
bertemu pula, kalau begitu,
pantas atau tidak apabila hati
Selagi mengangkat saudara,
Leng In Hong dan Ie Sin Cu
melihat Seng Lim mendatangi,
keluar dari pohon bwee yang
lebat. mereka tak berubah
sampai di akhirnya?"
992
Seng Lim heran. Ia tidak
ketahui hal ikhwalnya In Hong. Ia
pikir: "Kiranya si nona
sangat jatuh hati kepada Keng Sim,
kalau begitu tak boleh aku
lancang... Maka sambil tertawa
tawar ia menyahut: “Itulah
bukan soal pantas atau tidak,
itulah soal cintanya. Menurut
aku, setelah mereka saling
menyintai, pasti hati mereka
tidak berubah."
"Bagaimana kalau salah
satu pihak telah menutup mata?"
"Mana orang muda demikian
gampang mati? Kau bicara
dari hal siapa?"
Pemuda ini menjadi heran.
"Aku lagi bicara saja,
Yap Toako. Adat peradatan kita
membilang, wanita itu wajib
mengikuti suaminya sampai
di hari akhirnya, tetapi kalau
mereka belum menikah dan bakal
suaminya sudah mati lebih
dulu, apakah dia mesti tetap
bersetia pada bakal suaminya
itu?"
Melihat orang bicara dengan
sungguh-sungguh, Seng Lim
tidak berani omong
sembarangan.
“Ini pun terserah kepada orang
yang bersangkutan sendiri.
Kalau dia mau bersetia, dia
setia terus, kalau tidak, dia boleh
berubah hatinya."
"Menurut kau, toako, mana
lebih baik, tetap setia atau
berubah?"
"Kalau orang itu
diumpamakan aku, setelah aku mati dan
aku ketahui halnya, aku pasti
mengharap kekasihku itu
mendapatkan orang yang lebih
baik daripada aku," sahut Seng
Lim. “Inilah untuk menjaga
jangan dia menjadi sebatang kara
993
dan kesepihan hidupnya. Eh,
mengapa malam ini kau
menanyakan urusan seaneh
ini?"
Si nona tertawa.
"Terima kasih untuk
keteranganmu ini," katanya. "Kau
membuatnya hatiku terbuka.
Benar, dia tak dapat dibikin
sebatang kara dan sepih
hidupnya!..."
Seng Lim menjadi terlebih
heran.
"Eh, kau bicara dari hal
siapa?" ia mananya.
"Dari halnya satu encie-ku
yang baik. Nanti kau ketahui
sendiri."
Seng Lim tidak usilan,
meskipun ia heran, ia tidak menanya
lebih jauh. Ia hanya mengawasi
si nona, yang memandang ke
arah jauh, agaknya nona itu
berduka berbareng girang.
"Ah, di sini dingin,
dingin sekali..." kata si nona kemudian.
"Memang hawa udara di
sini tak dapat dibanding dengan
hawa udara di Kunbeng,"
berkata Seng Lim.
"Coba bilang,"
mendadak si nona kata, "Tiat Keng Sim itu
bakal kembali atau
tidak?"
Seng Lim heran. Itulah
pertanyaannya kepada si nona,
sekarang di pakai untuk
menanya padanya. Ia menyesal,
tetapi ia menjawab:
"Tentang Tiat Kongcu, kau mengetahui
lebih dalam daripada aku.
Benar, hawa dingin sekali, mari kita
pulang."
Pemuda ini tidak ketahui hati
si nona, ia menyangka orang
tak dapat melupakan pemuda she
Tiat itu, Sin Cu dapat
994
menerka Seng Lim menduga
tetapi sesaat itu ia tidak hendak
memberikan penjelasannya.
Besoknya, setelah Tiauw Im
Hweeshio memperoleh obat
pemunah dari Han Cin Ie dan ia
berhasil mengobati semua
orang Kaypang yang terluka, ia
mendaki gunung, untuk
bertemu sama Leng In Hong dan
lainnya. Di situ dilakukan
pembicaraan soal keberangkatan
tentara wanita dari Huyong
San ini untuk menggabungkan
diri dengan tentara rakyat di
bawah pimpinan Yap Cong Liu.
In Hong berduka, halnya itu
cuma Sin Cu seorang yang
mendapat tahu, tetapi ia dapat
menguati hati, ia tidak
memberi kentara dari
kedukaannya itu. Ia mencoba bersikap
seperti biasa. Di tengah
jalan, Sin Cu sengaja mengatur
dengan diam-diam agar nona itu
berjalan sama-sama Seng
Lim. Keduanya bicara secara
umum, karena keduanya tidak
mengetahui akalnya Nona Ie.
Bicara dari hal ilmu perang,
keduanya cocok sekali satu
dengan lain. Kapan Sin Cu
memandang mereka berdua,
mendadak ia membayangi pula
impiannya. Ia dapat merasa
Seng Lim dan In Hong adalah
orang-orang mirip pohon
tayceng. Ia girang dan masgul,
masgul seorang diri, tanpa In
Hong dan Seng Lim
mengetahuinya.
Setengah bulan kemudian
rombongan tentara suka rela ini
tiba di pusat tentara rakyat
di Ciatkang. Sin Cu berduka kapan
ia mengingat jauh ke depan,
ingat hari-hari yang telah lalu.
"Dulu hari di
Tay-ciu," berkata Seng Lim tertawa, "kaulah
satu-satunya pendekar wanita,
sekarang kau dikawani oleh
Leng Ceecu serta tentara-nya,
maka itu lain kali kau tidak
usah menyamar lagi sebagai
seorang pemuda!"
Sin Cu bersenyum walaupun
hatinya pepat.
995
Itu waktu terlihat satu
pasukan tentara mendatangi ke arah
mereka, yang menjadi pemimpin
masing-masing ada seorang
pria dan seorang wanita.
Mereka itu ialah Seng Hay San dan
Cio Bun Wan.
Heran Seng Lim, hingga ia
berkata: "Aneh, kenapa mereka
sudah lantas mendapat kabar
hingga mereka dapat ketahui
hari ini kita bakal tiba di
sini?" Ia berkata begitu karena
menyangka Pit Keng Thian
mengutus pasukan untuk
menyambut mereka.
Dari jauh-jauh Cio Bun Wan
sudah lantas mengenali Sin Cu,
maka itu ia kaburkan kudanya,
hingga ia lantas sampai kepada
Nona Ie, tangan siapa ia jabat
keras-keras.
"Encie Sin Cu, kau pulang
asalmu, kau bertambah cantik!"
memuji Nona Cio itu.
"Apakah kau bertemu sama aku punya
Tiat Suko?"
Nona Ie mengangguk.
"Panjang untuk
menutur," sahutnya, "tetapi sekarang ia
berbahagia berdiam di istana
Bhok Kokkong di Kunbeng,
hingga tak usah kau
menguatirkan-nya, tak usah kau
memikirkannya lagi. Bagaimana
ayahmu?"
"Semenjak peristiwa itu
malam, sampai sekarang ayah
belum pulang," menyahut
Bun Wan.
Sin Cu berdiam, air mukanya
guram. Ketika kemudian ia
mengangkat kepala, ia lihat
Seng Hay San dan Seng Lim
tengah bicara dengan tangan
dan kakinya bergerak-gerak,
melihat wajahnya, dia tidak
puas. Ia pun mengawasi Bun
Wan, yang dari kerutan alisnya
nyata dia berduka.
996
"Apakah Yap Tongnia
baik?" Sin Cu menanya. Ia ingat
suatu apa. "Bukankah kamu
datang ke mari untuk menyambut
kami?"
"Kami dititahkan Pit
Toaliongtauw untuk pergi berperang,"
menjawab Nona Cio. "Hm!
Hm! Jikalau kami tidak memandang
kepada Yap Tongnia, tidak
nanti kami suka mentaati titahnya!"
***
Ie Sin Cu tertawa.
"Tentara rakyat sudah
bergerak, mana dapat kita luput dari
peperangan?" kata ia.
"Kita bukannya takut berperang,
hanya medan perangnya
tak terpilih tepat,"
berkata Cio Bun Wan.
"Bagaimana?"
"Tentara kita terdiri
dari kaum nelayan," Seng Hay
menjelaskan, "dari Tayciu
kita dipindahkan ke Un-ciu, selama
setahun lebih kita berperang
di air, saban-saban kita beroleh
kemenangan, sekarang kita
harus berkelahi di tanah datar,
kita pun mencil sendiri dan
masuk ke perdalaman. Kita
dititahkan maju ke Sianggiauw,
Kangsee. Bukankah itu tak
tepat, bahkan melanggar
pantangan ilmu perang?"
"Laginya dengan
ke-barangkatan kita. Unciu menjadi
kosong"" menambahkan
Bun Wan. "Umpama kata tentara
negeri menyerang dengan ambil
jalan air, berbahayalah kota
itu."
Seng Lim mengerutkan kening.
997
"Pit Kheng Thian mengarti
baik ilmu perang," ia berkata,
"tempo dulu ia masih
menjadi berandal di Shoatang, tak
kurang daripada seratus kali
ia bertempur sama tentara
negeri, baik pertempuran kecil
maupun pertempuran besar, ia
selalu menang, maka kenapa ia
mengatur begini rupa?
Pernahkah kamu bicarakan ini
dengan pamanku?"
"Sudah. Tapi Pit Kheng
Thian telah mengeluarkan titahnya,
tak mau ia menarik pulang. Dua
kali Yap Tongnia bicara, tidak
ada hasilnya, akhirnya ia
menasihati kami untuk menurut saja,
guna mencegah bentrokan. Yap
Toako, sekarang kau pulang,
coba kau tolong omongkan.
Sebenarnya kami tidak ingin
meninggalkan kampung halaman
kami..."
"Baik, nanti aku menemui
Pit Kheng Thian," menyahut
Seng Lim. "Cuma titah
telah dikeluarkan, dalam ketentaraan,
aturan yang dimuliakan, maka
baiklah kamu bekerja terus.
Jikalau aku berhasil bicara dengan
Pit Kheng Thian, nanti aku
mengirim warta cepat untuk
menarik pulang pada kamu."
Seng Lim bersama Sin Cu pulang
ke markas besar. Di sana
Pit Kheng Thian dan Yap Cong
Liu lagi berunding, kapan ia
mendengar kabar kembalinya
mereka, lekas-lekas ia keluar
menyambut.
"Yap Laotee, banyak
capai!" katanya, tertawa. "Pergi kau
beristirahat dulu! Ah, Nona
Ie, kau pun pulang! Aku memang
lagi memikir untuk membangun
satu pasukan wanita,
pulangmu ini bagus
sekali." Matanya lantas melihat semua
orang.
Pek Beng Coan lantas mengajar
kenal: “Inilah ceecu Leng
In Hong dari gunung Huyong San
di Kangsee!"
Kheng Thian mengangkat
tangannya, akan memberi
hormat pada In Hong.
998
"Sudah lama aku mendengar
nama besar dari Leng Ceecu."
katanya.
In Hong tertawa.
"Aku pun telah mendengar
namamu!" sahutnya. "Kau telah
mengirim orang merampas
piauwnya Han Cin Ie, cara yang
kau pakai hebat sekali, hingga
aku tak dapat menerkanya
bahwa itulah perbuatannya
Toaliongtauw dari delapan belas
propinsi yang namanya kesohor
di kolong langit ini!"
Selagi mereka berbicara,
mereka telah sampai di dalam.
Yap Cong Liu mendapat dengar
perkataannya Nona Leng itu.
"Apa?" tanyanya.
"Siapakah yang merampas piauw-nya
Han Cin Ie?"
Parasnya Kheng Thian berubah,
tetapi ia menyahuti, secara
tawar.
"Akulah yang mengirim
orang untuk merampasnya," ia
mengakui. "Piauw itu ada
keperluannya tentara negeri di
Ouwpak. Ah, Goan Kiong,
berhasilkah kau merampas piauw
itu?"
"Pit Toaliongtauw,
siauwtee datang untuk memohon maaf!"
Seng Lim mendahului Pit Goan
Kiong menyahut.
Kheng Thian heran. Ia
menentang kedua matanya.
"Untuk apakah?" ia
tanya.
"Oleh karena siauwtee
telah membayar pulang piauw itu."
Seng Lim menjelaskan.
999
"Sepuluh laksa serdadu
negeri itu, tanpa rangsum, bakal
mencelakai rakyat jelata.
Karena kita menyebut diri tentara
rakyat, maka untuk bertindak
kita harus melihat salatan."
"Sungguh murah
hatimu!" kata Kheng Thian yang tertawa
dingin.
"Pembilangannya Seng Lim
beralasan," berkata Cong Liu.
"Kita ada rakyat jelata,
kita berperang untuk rakyat jelata,
sudah tentu paling dulu kita
mesti melindungi kepentingan
rakyat jelata juga. Laginya
piauwsu tua itu seorang laki-laki
sejati, tak tega hatiku kalau
karena piauw itu ia mesti
mengurbankan rumah tangga dan
mungkin jiwanya juga."
Wajahnya Kheng Thian menjadi
gelap sejenak, kemudian ia
tertawa lebar.
"Yap Laoteel"
katanya, "kau muda dan gagah,
pandanganmu pun jauh, aku
kagum untukmu! Tentang piauw
itu, aku tidak hendak menarik
panjang, sudah dilepaskan,
sudah saja. Bagaimana tentang
kepergianmu ke Tali,
dapatkah kau bertemu dengan
Thio Tan Hong? Apa katanya
dia? Dan mana itu peta, sudah
didapat atau belum?"
"Thio Tayhiap pun
menyampaikan hormatnya untuk
paman," berkata Seng Lim,
menyahuti. "Peta itu ada di sini."
Tidak puas Kheng Thian
mengetahui Tan Hong cuma
memperhatikan Cong Liu, tetapi
ia tidak membilang suatu apa,
hanya ia mengulurkan tangannya
guna menyambuti peta dari
tangan Seng Lim itu.
Justeru tangan orang diulur,
Sin Cu berkata dengan cepat:
"Peta guruku ini ada
untuk Yap Tongnia."
1000
Seng Lim tercengang, akan
tetapi hanya sejenak, ia terus
berpaling kepada pamannya
kepada siapa ia serahkan peta
itu. Parasnya Kheng Thian
menjadi bermuram durja, saking
mendongkolnya. Ia baru hendak
mengasi dengar suaranya,
ketika Cong Liu menoleh
kepadanya.
"Pit Laotee, kau
terimalah ini!" katanya sambil tertawa. Ia
pun mengangsurkan peta itu,
yang ia baru terima dari
keponakannya.
Kheng Thian segera membeber
peta itu.
"Kenapa ini hanya peta
lima propinsi di Kanglam?" ia
bertanya.
"Karena maksudnya Thio
Tayhiap supaya kita jangan
terburu napsu untuk
maju," Seng Lim menerangkan. "Kalau
kita dapat melindungi wilayah
Kanglam dan hidup bersama
rakyat sambil beristirahat,
itu artinya kita membangun dasar
untuk tak dapat
dikalahkan."
Kembali wajahnya Kheng Thian menjadi
suram. Ia sangat
tak setujui sikap menanti itu.
Sebelum ia sempat membuka
mulut, Seng Lim sudah berkata
pula.
"Barusan di luar tangsi
aku bertemu sama Seng Hay San,
katanya Pit Toaliongtauw
mengirim ia ke Sianggiauw.
Benarkah itu?" '
"Habis kenapa?"
"Pasukannya Seng Hay San
itu terlatih untuk peperangan di
air, sekarang ia di kirim ke
tanah pegunungan, aku lihat itu
kurang tepat," menjawab
Seng Lim.
1001
"Laginya menurut
pandangannya Thio Tayhiap,
memperkuat Kanglam ada
tindakan paling utama, kalau kita
memecah tenaga, untuk merampas
daerah, Tayhiap kuatir kita
nanti diserbu musuh!"
"Hm!" Kheng Thian
mengasi dengar suaranya yang dingin.
"Thio Tayhiap, Thio
Tayhiap. Kedudukan Toaliongtauw ini
toh bukannya Thio Tan Hong
yang mendudukinya!"
Sin Cu gusar mendengar itu.
"Pit Kheng Thian, apa kau
bilang?" ia menanya. Tidak bisa
si nona mengendalikan diri
lagi. Tidakkah gurunya, yang ia
puja itu, telah diperhina?
Kheng Thian memandang si nona
dengan mata mendelik,
setelah itu ia menoleh kepada
Yap Seng Lim.
"Thio Tan Hong banyak
sekali pendapatnya!" katanya.
"Kenapa dia tidak datang
sendiri ke mari?"
"Karena sekarang ini Thio
Tayhiap lagi mengantar puteri
Iran ke kota raja," si
anak muda menjawab.
Kembali Kheng Thian mengasi
dengar tertawanya yang
dingin.
"Pada sepuluh tahun dulu
Thio Tan Hong pergi menyambut
kaisar dari negera
Watzu," katanya, "dan sekarang ia pergi
pula ke kota raja menghadap
sri baginda! Ha, tentulah
bagiannya ada pangkat tinggi
dan kebahagiaan!"
Sin Cu murka sekali hingga ia
merabah gagang pedangnya.
1002
"Jikalau guruku kemaruk
sama kedudukan tinggi, negara
Beng ini siang-siang sudah
menjadi kepunyaannya Keluarga
Thio!" ia berkata keras.
"Mana ada bagianmu si orang she
Pit!"
Menampak demikian, Cong Liu
segera maju sama tengah.
"Thio Tayhiap bekerja
untuk rakyat jelata, pasti dia
bukannya seorang yang kemaruk
sama kedudukan agung!" ia
menerangkan. "Ah, nona
Ie, kau kurang sabar..."
Pit Kheng Thian tertawa.
"Nona Ie masih sangat
muda, mustahil aku hendak
menentangi dia?..."
Hatinya Sin Cu masih panas
tetapi ia ingat Kheng Thian
pernah melepas budi sudah
mengubur jenazah ayahnya, maka
ia berdiam. Cuma di dalam
hatinya, ia kata: "Karena budimu
itu, baiklah, aku tidak akan
melayani padamu!"
"Thio Tan Hong memang
seorang pandai," berkata pula Pit
Kheng Thian, "akan tetapi
ia berada jauh di Inlam Selatan,
mana dia ketahui urusan dalam
pasukan perang? Tentara
negeri seratus lipat lebih
besar daripada pasukan perang kita,
jikalau kita tidak menyerang
untuk merampas tempat atau
kota, untuk lebih dulu
mendapatkan beberapa kemenangan,
mana dapat semangat rakyat
dibuatnya terbangun? Mana bisa
kita membikin seluruh negara
menyambut gerakan kita?
Dengan mengirim Seng Hay San
ke Sianggiauw maksudku
ialah kita menyerang untuk
membuat perlindungan diri sendiri,
guna membataskan pengaruh
musuh yang tangguh. Tentara
memang mesti pelajarkan ilmu
perang di air, tetapi mesti
dipelajari juga ilmu perang di
darat, kalau tidak, dia cuma bisa
menjagoi di laut."
1003
Sebenarnya Seng Lim hendak
membantah, tetapi
menampak orang sudah mulai
bergusar, ia terpaksa
menyabarkan diri.
"Tentang mengatur siasat,
akulah seorang kasar, aku tak
dapat membilang suatu
apa," berkata Cong Liu tertawa,
"tetapi apa yang dibilang
Toaliongtauw dan Thio Tayhiap,
masing-masing ada alasannya
sendiri, maka itu sekarang ini
baiklah kita bersabar sampai
lagi beberapa hari, kita nanti
minta pertimbangan dari semua
pemimpin kita. Pepatah pun
membilangnya, seorang
pikirannya pendek, dua orang
pikirannya panjang. Singkatnya
biarlah kita beramai samasama
memikirkan suatu daya yang
sampurna."
Dengan kata-katanya Cong Liu
itu, mukanya Kheng Thian
menjadi terang pula. Karena
itu, urusannya Seng Hay San jadi
tak dibicarakan lagi.
Ketika malam itu orang
bersantap, rata-rata mereka tidak
bergembira. Setelah lagi dua
hari, Pit Kheng Thian sudah
mengirim lagi dua pasukan
untuk pergi berperang. Dua-dua
pasukan itu ada
pasukan-pasukan seba-wahannya Yap Cong
Liu.
Menampak begitu, Leng In Hong
berkata kepada Sin Cu.
"Aku lihat urusan rada
aneh. Kenapa yang di kirim selalu
pasukannya Yap Tongnia ?"
Nona Leng tanya.
Sin Cu tidak bisa bilang suatu
apa. Ia heran tetapi ia tidak
bercuriga. Ia hanya percaya
Keng Thian berbuat demikian
karena dia kemaruk sama
pahala.
Syukur tentara yang di kirim
itu dapat berkelahi dengan
baik. Tentara negeri dapat
ditolak hingga ke luar batas
gunung Sianhee Nia. Dua
propinsi Kangsouw dan Ciatkang
1004
serta Hokkian Utara telah kena
diduduki. Karena itu Kheng
Thian saban-saban dapat
mengadakan pesta kemenangan.
Pula ada saja orang-orang
Rimba Hijau yang datang
mempersatukan diri, semua
mereka ini memuji Toaliongtauw
itu, si "kepala
naga," hingga dia menjadi besar hati.
Dengan lewatnya sang waktu
tibalah musim semi dengan
bunga-bunganya yang mekar. Itu
waktu sepuluh laksa
serdadu di Ouwpak, yang telah
memperoleh rangsum, benar
saja berangkat ke timur,
barisan depannya sudah lantas
sampai di Tunkee. Kheng Thian
lantas mengirim Seng Lim
untukmenahan lajunya tentara
pemerintah itu.
Kembali yang di kirim ini,
sejumlah selaksa jiwa,
pasukannya Yap Cong Liu,
hingga hampir habislah tentaranya
si pemimpin rakyat ini.
Di harian keberangkatan Seng
Lim, Kheng Thian sendiri
pergi mengantar, Sin Cu dan In
Hong turut bersama. Sampai
jauhnya lima lie, Seng Lim
minta pemimpin itu suka kembali
saja.
"Aku akan menantikan
kabar baik dari kau, hiantee."
berkata Kheng Thian.
"Kali ini musuh berjumlah besar dan kita
sedikit, aku mengandal kepada
kepan-daianmu. Kalau nanti
tentara rakyat dari pelbagai
daerah sudah berkumpul, akan
aku mengirimkan bala bantuan
untukmu."
"Tempat ini ada pokok
dasar kita, sudah seharusnya
persiapan diperkokoh,"
berkata Seng Lim, "maka itu tak
usahlah aku di kirimkan bala
bantuan. Karena musuh besar
dan kita sedikit, aku tidak
berniat segera menempur musuh,
hendak aku melihat dahulu
keadaan tempat, guna membela
diri saja, guna menggempur
semangat mereka, supaya
walaupun jumlah mereka banyak,
tak ada niat mereka untuk
1005
berkelahi. Aku harap mereka
bubar sendiri karena sang
waktu."
Kheng Thian bertepuk tangan
memuji pemuda she Yap ini.
"Kau pintar, hiantee, kau
pasti bakal menang!" katanya.
"Setelah kau peroleh
kemenangan nanti, akan aku
ganjarkan kau sebagai pangeran
Icie Pengkin Ong"
Seng Lim mengerutkan kening.
"Mana kita mengharapi
ganjaran raja muda..." katanya. Ia
belum bicara terus, atau Kheng
Thian telah memotong:
"Benar, kita memang
berkelahi untuk menolongi rakyat jelata
dari marah bahaya!"
Coba kata-kata itu keluar dari
mulut Seng Lim, itulah tidak
aneh, tetapi sekarang
keluarnya dari mulut Kheng Thian,
untuk kupingnya Sin Cu dan In
Hong, itu tak sedap
didengarnya.
"Pit Toako, silahkan
kembali!" berkata Seng Lim sambil
mengangkat kedua tangannya.
"Untukku tak usah kau
menambah bantuan, asal sudilah
kau menerima satu
permintaanku."
"Silahkan sebutkan,
hiantee."
"Peperangan kali ini
mungkin tak bakal selesai di dalam
tempo yang pendek, karena itu
aku minta rangsum untuk
tentara nanti di kirim
berangsur-angsur dengan tetap."
Kheng Thian tertawa lebar.
1006
"Tentang itu tak usah
hiantee pesan lagi!" katanya Kheng
Thian gembira. "Belum
lagi tentara berangkat, rangsum sudah
di kirim. Sekalipun rangsum
tentara negeri hiantee telah
lepaskan, mustahil aku nanti
menahan rangsum untukmu?"
Sampai di situ, Seng Lim
berangkat. Tiba-tiba Sin Cu
merasakan sesuatu.
"Encie Leng, mari kita
mengantar satu rintasan lebih jauh!"
ia mengajak In Hong.
Nona Leng setuju, maka mereka
jalankan kuda mereka
berendeng.
Tapi mendadak nona ini kata:
"Ah, aku lupa satu hal, maka
pergilah kau sendiri yang
mengantarnya!"
Sin Cu merasakan mukanya
merah, akan tetapi, ia jalan
terus.