Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 2

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 2 Malam itu, di dekat penjara istana kelihatan berkelebat bayangan orang.
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 2
Malam itu, di dekat penjara istana kelihatan berkelebat bayangan orang.

Orang itu adalah Hoan Eng.

Di luar penjara, serdadu-serdadu penjaga mundar-mandir tak henti-hentinya. Hoan Eng mengawasi dengan mata tajam, sedang otaknya diasah guna mencari jalan untuk masuk ke dalam.

Tiba-tiba terdengar suara terompet.

Berbareng dengan itu, di atas genteng muncul banyak bayangan hitam yang segera menuju ke arah utara barat dengan berbondongbondong.

Hoan Eng merasa heran. Ia tak tahu, apa artinya itu semua. Akan tetapi, itu adalah kesempatan luar biasa baginya.

Buru-buru ia mengeluarkan dua butir batu hui-hongsek dari sakunya dan melontarkan batu-batu itu ke tengah-tengah udara.

Begitu berbentrok, kedua batu itu mengeluarkan suara keras. Dua penjaga loncat keluar untuk menyelidiki suara itu.

Tanpa bersangsi, Hoan Eng mengenjot badan dan hinggap di atas tembok.

Malam itu adalah malam tak berbintang.

Dengan pakaiannya yang berwarna hitam dan dengan ilmu entengkan badannya yang cukup tinggi, gerakan Hoan Eng sama sekali tak dapat dilihat oleh kedua penjaga itu yang kepandaiannya masih sangat rendah.

Hati-hati, Hoan Eng merangkak di atas genteng. Sayupsayup ia mendengar teriakan-teriakan di tempat jauh.

Baru saja melewati dua wuwungan, tiba-tiba ia dibentak dengan perkataan "Thiansun".Hoan Eng tahu, bahwa "Thiansun" adalah kata-kata rahasia yang digunakan pada malam itu.

Dengan suara tak terang, ia menjawab dengan dua perkataan pula.

"Apa?" membentak orang itu. "Lebih keras sedikit!"

Hoan Eng meloncat, panah tangannya menyambar tenggorokan orang itu. Tanpa bersuara ia roboh di atas genteng. Hoan Eng lalu membuka pakaian penjaga itu yang lantas saja dipakai olehnya sendiri. Sesudah itu, ia loncat turun dan bersembunyi di tempat gelap.

Beberapa saat kemudian, seorang penjaga lain mendatangi sambil menengteng lentera. Hoan Eng meloncat dan kebaskan goloknya di muka orang itu. "Di mana Ie Kokloo di penjarakan?" ia membentak dengan suara perlahan.

Penjaga penjara yang tadi kaget setengah mati, mendadak tertawa girang. "Kau mau menolong Ie Kokloo?" ia menegasi.

"Di kamar (sel) persakitan yang mendapat hukuman mati, kamar nomor delapan. Dari sini jalan terus, sampai di ujung biluk ke kanan. Hitung saja, kamar yang ke delapan adalah kamarnya Ie Kokloo."

Hoan Eng masukkan Bianto ke dalam sarung, tapi, selagi ia mau bertindak, penjaga penjara itu berkata pula: "Eh, tanda rahasia malam ini adalah Thiansun Banlian (Thiansun berlaksa tahun). Ingatlah!"

Sesuai dengan petunjuk itu, dengan hati tetap, Hoan Eng masuk ke dalam. Setiap bentakan "Thiansun", dijawabnya dengan "Banlian" dan dapat berjalan terus tanpa rintangan.

Antara sipir-sipir itu, terdapat satu dua orang yang merasa curiga oleh karena suara Hoan Eng yang agak asing, akan tetapi, mereka diam-diam saja.



Di depan kamar nomor delapan berdiri seorang penjaga dengan menyekal pedang terhunus.

Mendadak, Hoan Eng menubruk, sambil mengayun golok. Tapi orang itu gesit luar biasa. Walaupun di-bokong, ia mash dapat berkelit. "Celaka!" Hoan Eng mengeluarkan seruan tertahan.

Penjaga itu memutar badan, tapi aneh sungguh, sebaliknya dari menyerang ia bersenyum!

"Lekas bacok diriku, di tempat yang tidakmembinasakan," katanya.

Hoan Eng terkesiap, tapi lantas saja ia menjadi sadar.

Penjaga penjara itu pun ingin menolong Ie Kiam!

Mengingat kemulian orang. Hoan Eng jadi terharu, sehingga ia tak tega untuk menurunkan tangan.

"Lekas!" kata penjaga itu. "Setengah jam lagi, tukar penjaga."

Sambil mengeraskan hati, Hoan Eng mengangkat goloknya dan menggurat kaki orang itu. "Jangan begitu! Lebih dalam sedikit!" kata penjaga itu sembari cekal tangannya Hoan Eng yang memegang golok dan membacok dengkulnya sendiri.

Sesudah itu, ia menotok jalan darah Ahhiat (jalanan darah yang membikin orang jadi gagu) di pinggangnya sendiri.

Di lain saat, ia roboh sambil menahan sakit, tapi mukanya terlukis senyuman!

Sembari menghela napas panjang, Hoan Eng membacok kunci yang lantas saja jatuh berarakan di atas lantai, tiba-tiba ia dengar suara seorang tua yang bersyair dengan suara perlahan:

"Di antara laksaan serangan ku munculkan diri, api membakar ku tak perduii, badan hancur 'ku tak takuti, asai nama bersih dalam dunia ini."

Itulah suatu syair, yang pada peristiwa "Tobokpo", telah digunakan oleh Ie Kiam untuk memperlihatkan kebersihan dirinya.

Dengan perlahan Hoan Eng menolak pintu, kedua tangannya meraba-raba kamar yang gelap itu.

"Siapa? Apa Cu-jie (anak Cu)?" menanya Ie Kiam. "Kenapa kau tak turut omongan ayah dan kembali datang ke sini?"

Oleh karena keadaan mendesak, Hoan Eng tak sempat menanyakan siapa adanya "Cu-jie". Buru-buru ia menyalakan bahan api yang dibawanya dan berbisik: “e Kokloo, apa kau terluka? Ijinkanlah aku menggendong kau untuk keluar dari sini."

Di bawah penerangan yang remang-remang, Ie Kiam, yang rambutnya sudah putih semua, duduk bersila dengan kedua tangan diborgol. Dalam keadaannya yang menyedihkan itu, kedua matanya tetap bersinar dan keangkerannya tetap tidak berkurang.

"Siapa?" ia membentak.

Hati Hoan Eng berdebar keras, air matanya mengucur deras. Sambil menekuk lututnya, ia menjawab dengan suara perlahan: "Ayahku adalah Siewie Hoan Cun, dahulu pernah jadi pengikut Kokloo."



"Oh!" berkata Ie Kiam. "Kalau begitu, kau adalah

keponakannya Hoan Tiong, puteranya Hoan Cun. Untuk apa kau datang kemari?"

"Aku datang untuk menolong Kokloo keluar dari tempat ini," sahutnya sembari mencabut Bianto untuk membabat borgolan.

“Inilah pekakas menghukum dari kerajaan, tak dapat sembarangan diganggu," berkata orang tua itu.

Hoan Eng menjadi bingung. "Jika borgolan tidak diputuskan, cara bagaimana kita dapat melarikan diri?" kata ia.

"Aku adalah seorang menteri besar dari kerajaan Beng!" Ie Kiam membentak dengan mata melotot. "Cara bagaimana aku dapat melarikan diri dengan jalan kabur dari penjara?"

Hoan Eng tak menduga, orang tua itu sedemikian "tolol".

"Tayjin!" ia berkata dengan suara bingung. "Jika Tayjin sungkan kabur, penasaranmu akan tetap merupakan suatu penasaran."

Ie Kiam tertawa terbahak-bahak. "Jika aku takut mati, dahulu hari aku tentu tidak perintah In Tiong pergi ke Watzu untuk menyambut Hongsiang," katanya dengan suara nyaring.

"Aku memang sudah menduga bakal ada kejadian seperti di ini hari. Hoan Hiantit! Kau pergilah!"

Tetapi manalah Hoan Eng mau gampang-gampang berlalu.

"Aku sudah mengambil putusan pasti," berkata Ie Kiam dengan gusar. "Aku bersumpah tak akan melarikan diri!"



"Kokloo!" berkata Hoan Eng dengan suara memohon.

"Apakah Kokloo tidak merasa kasihan kepada rakyat di seluruh negeri?"

"Usiaku sekarang sudah enam puluh tahun lebih, sehingga meskipun tidak lantas mati, aku adalah seperti lampu yang sudah kehabisan minyak," berkata orang tua itu sambil menghela napas. "Di antara putera dan puteri Tiongkok, jumlah ksatria tak dapat dihitung berapa banyaknya. Satu Ie Kiam mati, ratusan atau ribuan Ie Kiam munculkan diri. Tak dapat kau bicara begitu."

"Akan tetapi, mati secara Kokloo, adalah mati secara tidak

berharga!" berkata Hoan Eng dengan bernapsu.

"Kenapa tidak berharga?" menanya Ie Kiam. "Jika matiku

tidak berharga, maka matinya Gak bubok ong (Gak Hui) juga tidak berharga. Ketika itu, dalam tangannya ia memegang kekuasaan atas ratusan laksa serdadu, tapi ia toh masih sungkan melanggar undang-undang kerajaan dan rela menerima hukuman. Meskipun aku tak berani menelad contohnya, tapi sedikitnya aku pun sungkan melanggar undang-undang!"

Harus diingat, bahwa semenjak muda sehingga menjabat pangkat yang sangat tinggi, dalam alam pikirannya, Ie Kiam hanya mengetahui, bahwa seorang menteri yang setia harus tunduk pada kemauan sang jungjungan. Cara berpikir yang sedemikian sudah melekat dalam otaknya selama beberapa puluh tahun, sehingga Hoan Eng tentu saja tidak dapat merubahnya dalam tempo yang sangat pendek itu.

Hoan Eng masih ingin membujuk terus, akan tetapi, kupingnya mendadak mendengar suara bergulingan dari si penjaga penjara yang barusan sudah melukai dirinya sendiri.



Ia mengetahui, bahwa itu adalah satu peringatan, supaya ia bekerja terlebih cepat.

"Tayjin... Tayjin..." ia mengeluh.

"Pergi!" membentak Ie Kiam. "Jika kau tak menurut, aku akan benturkan kepala di tembok, supaya binasa di hadapanmu!"

Hoan Eng menghela napas panjang. "Kokloo," katanya dengan suara duka sekali. "Apa Kokloo mempunyai pesanan apa-apa?"

"Aku tak pernah berdosa terhadap Tuhan, tak pernah menyakiti sesama manusia," kata orang tua itu dengan suara tenang. "Ada apa yang aku harus memesan? Pergilah!"

Dengan air mata mengucur, Hoan Eng memutar badan dan bertindak keluar.

"Ada satu urusan, harap kau tolong menyampaikannya,"" Ie Kiam mendadak berkata.

Hoan Eng hentikan tindakannya.

"Pergilah ke telaga Thayouw dan cari Thio Tan Hong,"

memesan Ie Kiam. "Suruh ia lekas-lekas melarikan diri."

"Kokloo legakan hati," kata Hoan Eng. "Pesanan ini aku akan segera jalankan."

Baru habis ia berkata begitu, pintu penjara kedengaran ditendang terpental. "Ada orang membongkar penjara!" demikian teriakan beberapa orang.

Begitu loncat keluar dari kamar Ie Kiam, Hoan Eng putarkan goloknya dan menerjang beberapa musuh yang sudah tiba dihadapan-nya. Dengan suara "trang!" senjata beberapa orang itu sudah terbabat putus oleh Bianto yang tajam luar biasa. Mereka mundur dengan kaget, dan tanpa sia-siakan ketika bagus, Hoan Eng loncat naik ke atas genteng.

"Jangan lari!" satu bentakan terdengar, disusul dengan kesiuran angin tajam di belakang kepala Hoan Eng.

Hoan Eng berkelit sembari menyampok dengan goloknya.

Dengan satu suara keras, lelatu api berhamburan. Hoan Eng terkesiap oleh karena bukan saja Bianto tak dapat menguntungkan senjata musuh, malahan tangannya sendiri terasa sakit dan kesemutan. Ia mengawasi dan ternyata musuhnya adalah seorang Wiesu (pahlawan istana) yang

berseragam hitam dan bersenjata golok besar yang beratnya

kira-kira lima puluh kati.

Golok itu adalah senjata yang biasanya digunakan dalam
peperangan dengan menunggang kuda.
Bahwa Wiesu tersebut dapat menggunakannya dalam
pertempuran di atas genteng yang memerlukan loncatanloncatan
tinggi, dapatlah dibayangkan berapa liehaynya
pahlawan itu.
Hoan Eng kaget, tapi musuhnya pun tidak kurang
kagetnya. ia adalah seorang Giecian Siewie (pengawal pribadi
kaizar) kelas satu yang ditugaskan untuk menjaga penjara
istana.
Begitu golok besarnya kebentrok dengan Bianto yang tipis
kecil, ia merasakan tangannya kesemutan dan goloknya pun

82
sempoak sebagian. "Hei! Mana yang lain! Lekas datang!" ia
berteriak.
Dengan gerakan Tiangcoa Cueng (Ular keluar dari lubang),
Hoan Eng membacok. Sekonyong-konyong, berbareng dengan
satu bentakan, dua bola besi menyambar mukanya. Hoan Eng
menundukkan kepalanya dengan gerakan Honghong Tiamtauw
(Burung Hong manggutkan kepala) sambil menyampok
dengan goloknya. Dengan satu suara "trang!" kedua bola besi
itu sudah ditarik pulang. Dengan satu lirikan, Hoan Eng dapat
kenyataan, bahwa di sebelah kirinya sudah muncul seorang
Wiesu lain yang berseragam hitam. Dua bola besi itu bukan
senjata rahasia, tapi kepalanya senjata Liancu tui, atau
bandringan. Liancu tui adalah semajam senjata yang sukar
digunakan. Bahwa Wiesu itu dapat menggunakannya secara
begitu leluasa, dapatlah dibayangkan, bahwa ia itu bukannya
seorang lawan enteng.
Dalam jarak kurang lebih setombak, Wiesu itu segera
menyerang dengan bandringannya. Panjang rantai Liancu tui
ada delapan kaki lebih dan jika diputar, kedua bola besinya
dapat menghantam segala apa yang berada dalam jarak satu
tombak. Oleh karena itu, untuk sementara, Hoan Eng tak
dapat menoblos keluar.
Sementara itu, Wiesu yang bersenjata golok sudah
menyabet pinggangnya. Hoan Eng berkelit, sembari
menyampok dengan Bianto.
Tiba-tiba di sebelah kanan kembali terdengar bentakan dan
lagi bayangan hitam berkelebat masuk ke dalam gelanggang
pertempuran. Begitu musuh baru itu menggerakkan
tangannya, dua kesiuran angin tajam menyambar jalan darah
Kiankeng hiat, di kedua pundak Hoan Eng. Dengan gerakan
Huihong payliu (Angin meniup pohon liu), Hoan Eng buru-buru
membungkuk, goloknya menyampok Liancu tui, kakinya

83
menendang golok musuh, disusul dengan satu loncatan ke
samping.
Musuh ketiga yang baru datang itu adalah seorang yang
berbadan kecil dan kate (pendek), sedang dalam kedua
tangannya ia menyekal sepasang Poankoan pit yang panjang
hanya delapan dim. Tak usah disangsikan lagi, bahwa seorang
yang dapat menggunakan senjata sedemikian kecil, pastilah
seorang ahli menotok jalan darah.
Andaikata kepandaian Hoan Eng dua kali lipat lebih tinggi,
ia masih tak akan gampang-gampang meloloskan diri. Ketiga
Wiesu itu adalah Giecian siewie kelas satu, sedang masingmasing
senjatanya mempunyai ke-liehayan yang berbedabeda.
Golok besar adalah senjata berat yang tak takut
membentur golok mustika, Liancu tui adalah senjata yang
dapat menghantam dari jauh dan dari dekat, sedang
Poankoan pit selalu menyambar jalan darah. Tiga rupa senjata
itu, dengan tiga macam serangannya, sudah membikin Hoan
Eng bingung sekali.
Sesudah bergebrak kurang lebih tiga puluh jurus, Hoan Eng
sudah merasa tak tahan lagi. Sementara itu, di bawah genteng
sudah terdengar teriakan-teriakan dari para penjaga penjara.
Belasan orang yang dapat meloncat tinggi, sudah naik ke
genteng dan mengurung di empat penjuru.
Hoan Eng kertek giginya dan berkelahi bagaikan banteng
edan tanpa memperdulikan lagi keselamatan dirinya. Pada
detik yang sangat berbahaya, di wuwungan sebelah tiba-tiba
berkelebat bayangan orang yang mengenakan pakaian serba
putih dan melihat gerakan-gerakannya, Hoan Eng merasa
seperti sudah pernah bertemu dengan orang itu.
Saat itu, Wiesu yang bersenjata Poankoan pit mendadak
menghantam dengan senjatanya sembari berseru: "Kena!"

84
Oleh karena goloknya sedang menyampok Liancu tui, Hoan
Eng tidak sempat menyambut Poankoan pit musuh, dan dalam
keadaan kedesak, buru-buru ia mengerahkan pernapasannya
guna menutup semua jalan darahnya. Di lain saat,
pinggangnya kesemutan oleh karena jalan darah Cengpek hiat
sudah terkena totokan.
Dan, berbareng dengan itu, Wiesu yang bersenjata golok
besar membacok kepalanya dengan senjatanya yang berat.
Walaupun mengerti ilmu Piekie huhiat (Menutup hawa
melindungi jalan darah), tenaga dalam Hoan Eng belum
mencapai puncaknya. Maka itu, begitu pinggangnya terkena
totokan, tenaga lengannya segera berkurang. Ia mengetahui,
bahwa tenaganya tidak cukup untuk menyambut golok musuh
yang beratnya kira-kira lima puluh kati. Akan tetapi, lantaran
tiada jalan lain, apa boleh buat ia mengangkat Bianto untuk
menyambut. "Matilah aku!" ia mengeluh.
Tapi, pada detik Bianto dan golok besar hampir beradu, tak
diduga-duga Wiesu itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan
goloknya terpental dari tangannya. Dan secara kebetulan
sekali, golok yang terpental itu menghantam Liancu tui dan,
berbareng dengan satu suara keras, bandringan itupun jatuh
ke bawah genteng.
Satu suara tertawa nyaring yang sangat merduh tiba-tiba
terdengar. Hoan Eng mengawasi dan mendapat kenyataan,
bahwa bayangan putih yang barusan berkelebat di wuwungan
seberang adalah seorang pemuda. Di lain saat, pemuda itu
mengayun tangannya dan belasan Kimhoa (Bunga emas) yang
berkredep melesat ke tengah-tengah udara yang gelap itu.
Para Wiesu tak pernah mengimpi, bahwa dalam dunia
terdapat senjata rahasia yang begitu liehay. Siapa juga yang
kelanggar Bunga emas itu, badannya lantas lemas dan roboh
di atas genteng. Dalam tempo sekejap, sebagian besar dari

85
belasan Wiesu yang mengurung sudah pada rebah tanpa
berkutik. Bunga emas itu ternyata tak membedakan kawan
atau lawan. Satu antaranya menyambar lengan Hoan Eng dan
tangan kanannya lantas saja tak dapat digunakan lagi.
"Lekas panggil Yo Tayjin!" berseru
Wiesu yang bersenjata Poankoan pit. Baru habis ia berseru
begitu, sekuntum bunga menyambar dan ia rubuh sesudah
sempoyongan beberapa tindak.
Hoan Eng tak berani berlaku ayal. Sambil memindahkan
goloknya ke tangan kiri, ia menarik napas dalam-dalam dan
lalu kabur dengan menggunakan ilmu entengkan badan.
Sesudah melewati dua wuwungan, ia menoleh ke belakang.
Di atas genteng kelihatan dua bayangan yang sedang ubarubaran
dan satu antaranya adalah si pemuda, pemuda
penyebar Kimhoa.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah menghilang ke
jurusan utara barat.
Hoan Eng berdiam sejenak sambil meng-mengingat-ingat.
Tertawa yang nyaring, gerakan yang bagaikan kilat... ah, ia
sekarang ingat! Pemuda itu bukan lain dari pada si anak
sekolah berkuda putih yang telah mempermainkan Siauw
Houwcu!
Saat itu, ratusan obor sudah dipasang terang-terang,
sedang di atas genteng kelihatan berlari-lari puluhan orang,
beberapa antaranya sudah memburu ke arahnya. Hoan Eng
menghela napas. Dengan lengan mendapat luka dan
kepandaian yang masih sangat rendah, ia tahu tak akan dapat
berbuat apa-apa.

86
"Ah, biarlah tugas menolong Kokloo aku serahkan kepada si
pemuda penyebar bunga," katanya di dalam hati dan lain
kabur dengan menggunakan ilmu entengkan badan Lioktee
huiteng (Terbang di atas bumi).
Ia tiba di rumah penginapan pada jam empat pagi. Ia
membuka bajunya dan untung, lukanya hanya luka di luar.
Baru saja memakai obat luka, tiba-tiba kepalanya puyeng dan
matanya berkunang-kunang, lalu rubuh di atas pembaringan.
Tak tahu sudah lewat berapa lama, barulah Hoan Eng sadar
dari pingsannya. Ia membuka mata dan melihat api lampu
yang kelak-kelik. Di lain saat, ia terkesiap sebab Tiamsiauwjie
(pelayan) dengan mengenakan pakaian berkabung, sedang
berdiri di kepala ranjang sambil mengucurkan air mata.
"Eh, aku toh belum mati! Kenapa kau menangis?" ia
menanya.
“e Tayjin..." sahutnya. “e Tayjin sudah pulang kealam
baka!"
"Apa benar?" Hoan Eng berseru, matanya dibuka lebarlebar.
"Pagi ini beliau berpulang," sahut si pelayan sambil manggutkan
kepalanya. "Seluruh penduduk Pakkhia, kecuali
kawanan menteri bangsat, berkabung semuanya!"
Dengan satu teriakan menyayatkan hati, Hoan Eng kembali
pingsan!
Setelah sadar, si pelayan ternyata masih duduk di kepala
ranjang.
"Jam berapa ini?" menanya Hoan Eng.

87
"Kau pingsan sehari dan setengah malam," jawabnya. “Ini
adalah malam hari kedua."
Hati Hoan Eng seperti diiris-iris. Ia tak nyana, bahwa kaizar
bebodoran itu berani mengambil jiwa Ie Kiam, seorang
menteri utama yang sudah menolong kerajaan Beng dari
kemusnahan.
"Hoan Giesu (ksatria)," kata si pelayan. "Bagaimana kau
rasakan? Jika bisa jalan, baik kau segera meninggalkan kota
raja ini."
Mendengar si pelayan memanggil ia "Giesu", Hoan Eng
terkejut. "Apa kau kata?" ia menanya.
"Giesu, jangan kau berkuatir," sahutnya. "Kemarin malam,
ketika kau pulang, golokmu masih bernoda darah."
Berita tentang percobaan membongkar penjara pada
malamnya, sudah tersiar luas pada besok paginya. Melihat
pingsannya Hoan Eng dan goloknya yang bernoda darah,
ditambah dengan pertanyaannya mengenai Ie Kiam pada
siang harinya, si pelayan lantas saja menduga, bahwa
tetamunya itu adalah orang yang sudah menyatroni penjara.
Ia segera minta pertolongan seorang tabib yang dapat
dipercaya, guna memeriksa keadaan Hoan Eng. Tapi Hoan
Eng hanya mendapat luka di luar yang tidak berbahaya.
Bahwa ia pingsan begitu lama, adalah lantaran kelelahannya
yang melewati batas. Sesudah mengaso sehari dan setengah
malam, keadaannya segera pulih kembali.
Hoan Eng segera mengambil goloknya yang lantas
dibersihkan dari segala tanda-tanda darah. "Hm!" ia menggerendeng.
"Sungguh sayang aku tak dapat mampuskan lebih
banyak manusia jahat."

88
"Giesu," berbisik si pelayan. "Hebat benar desas-desus di
luaran. Katanya, segala orang yang mempunyai hubungan
dengan Ie Kokloo sudah ditangkap. Giesu, lebih baik kau
menyingkirkan diri."
Hoan Eng menghela papas sambil mengusap-usap Bianto.
"Dengan membikin ribut di penjara, sebaliknya dari menolong,
aku sudah mempercepat kebinasaannya Ie Kokloo," katanya.
"Ah, apa guna aku hidup lebih lama lagi!"
"Giesu tak boleh berpikir begitu," kata pula si pelayan.
"Matinya satu ksatria berarti negara kehilangan satu tenaga
berharga. Ie Kokloo yang sudah meninggal dunia, tak akan
bisa hidup lagi. Giesu yang masih hidup, haruslah menjaga diri
baik-baik."
Mendengar kata-kata si pelayan, Hoan Eng jadi kaget.
"Siapa kau?" ia menanya.
"Aku hanya satu pelayan rendah dari rumah penginapan
ini," jawabnya.
Lagi-lagi si Brewok menarik napas. "Ah! Dalam dewan
kerajaan hanya berjajar kawanan penjilat, sebaliknya di antara
rakyat jelata, orang masih dapat menemukan ksatria-ksatria
sejati," katanya. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya:
"Apa jenazah Ie Kokloo sudah dirawat?"
"Menurut katanya orang, Hongsiang sudah perintah Tan Kui
merawat jenazah Ie Kokloo, tapi kepalanya masih terpancer di
pintu kota sebelah timur," menerangkan si pelayan.
Hoan Eng berjingkrak sambil mengeluarkan teriakan keras.
Kedua matanya terputar dan badannya gemetar, saking
gusarnya.

89
"Berikan aku sedikit makanan," ia memerintah.
Si pelayan segera berjalan keluar dan balik dengan
membawa sekati arak putih dan dua kati daging sapi. Tanpa
berkata suatu apa, Hoan Eng sapu bersih makanan itu dan
kemudian lalu membayar uang sewa kamar dan makanan.
"Terima kasih untuk segala budi kebaikanmu, harap saja di
lain hari kita akan dapat bertemu pula," kata ia sembari
membuka jendela dan di lain saat, ia sudah menghilang di
antara gelapnya sang malam.
Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, Hoan Eng
menuju ke pintu kota sebelah timur. Malam itu adalah malam
yang gelap, sang rembulan yang melengkung bagaikan alisnya
seorang gadis, hanya memberi penerangan remang-remang.
Hoan Eng dongakkan kepalanya. Ia melihat, di atas tembok
kota berdiri sebatang tihang bendera dan di ujung tihang
tergantung serupa benda bundar yang bentuknya seperti
kepala manusia.
Hoan Eng tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Ia lantas
menangis tersedu-sedu. Tanpa memperdulikan segala bahaya
yang mengancam, sekali mengenjot badan ia sudah hinggap
di atas tembok dan lalu menyabet tihang bendera itu dengan
goloknya.
"Digantungnya kepala Ie Kiam di atas pintu kota,
merupakan satu jebakan yang dipasang oleh Kie Tin yang
kejam. Maka itu, manalah Hoan Eng bisa gampang-gampang
mencapai maksudnya. Baru saja ia mengangkat golok,
berbareng dengan suara tertawa dingin, dua bayangan hitam
sudah menerjang dari tempat gelap. Hoan Eng meloncat tinggi
untuk menghindari sepasang Kautiam khio (tombak yang ada

90
gae-tannya), sedang goloknya memapas ke bawah untuk
menyampok sambarannya sebatang tongkat besi.
"Ha-ha!" tertawa seorang lawannya. "Tepat sekali
perhitungannya Yo Tayjin. Satu kodok buduk bau sudah
masuk ke dalam jaring!"
Bukan main gusarnya Hoan Eng. Dengan gerakan Pekho
liangcie (Bango putih mementang sayap), ia mengirim dua
bacokan hebat.
"Bagus benar golokmu!" berkata orang yang bersenjata
Kauw-liam khio. "Aku ampuni jiwamu, jika kau menyerahkan
golokmu dan menakluk."
"Kau mau golok?" membentak Hoan Eng. “Inih!" Ia
membacok dengan sepenuh tenaga, sehingga lawannya
terpaksa menggulingkan diri.
Dengan mengandalkan senjatanya yang berat, orang yang
bersenjata tongkat besi segera maju menerjang. Tapi, begitu
kedua senjata kebentrok, tangannya kesemutan dan hampirhampir
tongkatnya terlepas. Hoan Eng mendesak, sambil
menendang.
Mendadak, betisnya sakit luar biasa. Ternyata, Siewie yang
barusan menggulingkan diri, sudah menggait betisnya dengan
Kauw-liam khio.
Pada saat yang sangat berbahaya, tanpa memperdulikan
keselamatannya lagi, Hoan Eng mengenjot badannya, sembari
memapas dengan goloknya. Orang yang menggait tidak
menduga, bahwa Hoan Eng masih dapat mengirim serangan
membalas yang begitu hebat, dalam bingungnya, ia
melepaskan senjatanya dan menggulingkan diri. Sambil
merapatkan gigi, Hoan Eng mencabut Kauwliam khio itu dari

91
betisnya dan lantas ditimpukkan ke arah Siewie yang
bersenjata tongkat. Siewie itu berkelit dan Kauwliam khio
membentur tembok, akan kemudian jatuh ke bawah.
Melihat musuhnya berkelahi seperti harimau edan, Siewie
yang bersenjata tongkat, jadi merasa gentar.
"Masa kau takut kodok buduk pincang!" berseru kawannya
yang bersenjata Kauwliam khio. "Tempel pundak dan hantam
padanya!" Walaupun sudah kehilangan sebelah senjatanya,
tapi serangan Siewie itu tak berkurang hebatnya. Sesudah
mendapat bantuan semangat dari kawannya. Siewie yang
bersenjata tongkat besi jadi lebih mantap hatinya dan ia pun
segera menyerang secara dahsyat. Dikepung secara begitu,
Hoan Eng yang sudah terluka, lambat laun jatuh di bawah
angin.
Hoan Eng berkelahi dengan mata merah. Sesudah lewat
beberapa jurus lagi, ia sengaja membuka satu lowongan untuk
memancing musuhnya. Sembari tertawa menyeramkan, Siewie
yang bersenjata Kauwliam khio segera menyodok dada Hoan
Eng. Bagaikan kilat, Hoan Eng mengegos dan, dibarengi
dengan bentakan keras, ia membacok sekuat tenaga.
"Trangl", suara beradunya senjata memecah kesunyian
malam. Siewie itu terkesiap. Ternyata ujung Kauwliam khio
melengkung, sedang tangannya berdarah! Tapi ia pun bukan
orang sembarangan, sebab, meskipun dihantam begitu keras,
senjatanya masih tetap tercekal dalam tangannya.
Hoan Eng menggeram bagaikan harimau terluka dan
segera menerjang pula. Sekonyong-konyong dari tempat
gelap, di bawah tihang bendera, meloncat keluar seorang lain.
"Manusia tolol!" ia membentak. "Kodok buduk pincang saja
kau orang tak mampu bereskan. Mundur!"

92
Hoan Eng mengawasi. Musuh itu mengenakan seragam
perwira Gielimkun dan tangannya menyekal sebilah golok
melengkung, model golok Arab.
Tiba-tiba ia merandek dan berkata: "Eh! Bianto Thio Hong
Hu cara bagaimana bisa berada dalam tanganmu?"
"Thio Hong Hu pinjamkan senjatanya kepadaku dan
perintah aku ambil jiwamu!" jawabnya, sembari membacok.
Perwira itu bukan main gusarnya. "Kebinasaan sudah
berada depan matamu, kau masih berani ngaco belo!" ia
berseru.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Hoan Eng segera menyerang
dengan seru. Beruntun-runtun ia mengirim bacokan-bacokan
yang membinasakan, tapi semuanya dengan gampang sudah
dipunahkan oleh lawannya.
"Kalau tidak diberi sedikit hajaran, kau tak tahu liehaynya
Tong-hong Lok," kata perwira itu dengan suara dingin.
Dengan penuh amarah, Hoan Eng mengerahkan tenaga
dalamnya dan lalu membacok sekuat tenaga. Secara tenang,
Tonghong Lok mengangkat goloknya untuk menyambut golok
musuh. Tenaganya Hoan Eng luar biasa besar dan dalam
perhitungannya, bacokannya yang hebat itu tak akan dapat
disambut oleh musuhnya. Tapi tak dinyana, begitu kedua
golok kebentrok, goloknya Tonghong Lok terus menempel
kepada Bianto.
Hoan Eng terkesiap. Tonghong Lok tertawa berkakakan,
sedang goloknya yang dibulang balingkan ke kiri kanan terus
"mengikat" Bianto, Hoan Eng yang belum mahir dalam ilmu
silat golok, tak mengetahui cara bagaimana harus melepaskan
goloknya dari “katan" itu. Mau tak mau, goloknya terus

93
mengikuti golok musuh berputar-putar dan, dalam sekejap,
kedua matanya sudah-sudah berkunang-kunang.
Dalam bingungnya, secara mendadak Hoan Eng
menendang dua kali beruntun dengan kaki kanan dan kiri, dan
berbareng dengan itu, tangan kirinya membabat musuh.
Senjata yang biasa digunakan Hoan Eng adalah kampak dan
pukulan tersebut, yang membabat bagaikan babatan kampak
adalah pukulan simpanannya, sedang tendangannya yang
barusan adalah Lianhoan tui (Tendangan berantai) yang
sangat hebat.
Tonghong Lok terkejut, ia tak menduga lawannya
mempunyai "bekalan" yang serupa itu.
Tonghong Lok adalah Hutongleng Gielimkun, yaitu
pembantunya Liok Tian Peng yang telah dibinasakan oleh Thio
Hong Hu. Walaupun pangkatnya lebih rendah setingkat, tapi
kepandaiannya kira-kira setanding dengan Lio Tian Peng dan
berada jauh di atas Hoan Eng.
Untuk menyambut serangan Hoan Eng, sebenarnya ia
dapat menggunakan tipu Bengtek hianto (Beng-tek
mempersembahkan golok), yaitu membalik tangannya dan
menyabet lehernya musuh. Akan tetapi, jika ia menggunakan
tipu tersebut, Hoan Eng pasti akan binasa. Ia bengong sejenak
dan lalu berkelit ke samping.
Dengan berlaku begitu, bukan sekali-kali Tonghong Lok
merasa kasihan atau sengaja mengampuni Hoan Eng. Yang
menjadi sebab adalah golok Bianto. Ia mengetahui, bahwa
Bianto adalah miliknya Thio Hong Hu yang tidak nanti
meminjamkan golok mustikanya kepada orang lain.
Kemungkinan satu-satunya ialah Hong Hu sudah binasa dan
golok itu jatuh ke dalam tangannya Hoan Eng. Perginya Liok
Tian Peng guna mencari Hong Hu, tentu saja diketahui oleh

94
Tonghong Lok. Maka itu, demikian ia memikir, jika Hong Hu
sudah binasa, golok itu tentulah jatuh ke dalam tangannya
Liok Tian Peng. Tapi kenapa Bianto sekarang berada
ditangannya si Brewok?
Ia memang sedang bercuriga, kenapa sampai sekarang
Liok Tian Peng belum juga balik ke kota raja. Apa ia celaka?
Dalam kesangsiannya itu,
Tonghong Lok segera mengambil putusan untuk
menangkap Hoan Eng hidup-hidup guna mengorek keterangan
dari mulutnya.
Akan tetapi, dengan berkelahi secara nekat, tidaklah
gampang-gampang Hoan Eng dapat ditawan. Sesudah
bertempur kurang lebih dua puluh jurus, Tonghong Lok
berhasil menggores pundak lawannya dengan goloknya dan
berbareng dengan itu, tendangannya mengenakan jitu lutut
Hoan Eng. Sembari berteriak, Hoan Eng segera
menggulingkan diri.
"Bekuk padanya!" Tonghong Lok memintah kedua Wiesu
tadi.
Akan tetapi, sebelum mereka bergerak, satu suara nyaring
yang luar biasa hebat, mendadak terdengar. Suara itu
ternyata disebabkan oleh seorang yang gerakannya cepat
bagaikan kilat. Begitu munculkan diri, dengan beberapa
loncatan saja, ia sudah berada di atas tembok, dan dengan
sekali menghantam dengan toyanya, tihang bendera patah
dua dengan mengeluarkan suara yang sangat nyaring itu.
Tihang bendera itu dibuat dari tembaga murni yang tak
akan dapat diputuskan dengan bacokan kampak atau golok.
Bahwa dengan sekali hantam saja, orang itu dapat

95
merobohkan tihang tersebut, dapatlah dibayangkan berapa
besar tenaga dalamnya!
Dua Wiesu yang hendak membekuk Hoan Eng, telah dibikin
kesima oleh suara itu, dan tanpa sia-siakan kesempatan baik,
dengan gerakan Leehie Tateng (Ikan gabus meletik), Hoan
Eng loncat bangun sembari mengayun golok. Tapi, ia terkejut
bukan main oleh karena pundaknya, yang barusan kena
digores, sakit luar biasa dan lengannya tidak menurut
kemauannya lagi.
Sesaat itu, Wiesu yang bersenjata Kauwliam khio dan
tongkat besi sudah menerjang padanya. Dengan sebelah
lengan yang baru sembuh dari lukanya dan lengan lain tak
dapat digerakkan lagi, Hoan Eng mengawasi menyambarnya
senjata musuh dengan hati mencelos dan menduga, bahwa
sekali itu, ia tak akan lolos pula dari kebinasaan.
Akan tetapi, di luar segala dugaan, pada detik yang sangat
berbahaya, kedua Wiesu itu mendadak mengeluarkan jeritan
dan rubuh di atas genteng. Di lain saat, Hoan Eng dapat
kenyataan, bahwa Tonghong Lok sudah bertempur seru
dengan seorang bertopeng di kaki tihang bendera.
Hoan Eng heran berbareng kagum. "Siapa ia?" ia menanya
dirinya sendiri. "Cara bagaimana, dari situ senjata rahasianya
masih dapat melukakan musuh?"
Harus diketahui, bahwa jarak antara Hoan Eng dan tihang
bendera, paling sedikit ada empat tombak. Ia sungguh tidak
mengerti, dari jarak begitu jauh, cara bagaimana orang itu
masih dapat membinasakan kedua Wiesu dengan senjata
rahasianya! Selain daripada itu, dalam pertempuran antara
jago dan jago, masing-masing pihak tidak dapat memecah
perhatiannya ketempat lain. Maka itu, ia jadi lebih-lebih
merasa kagum, cara bagaimana, sedang dirinya sendiri tengah

96
dikurung oleh sinar golok Tonghong Lok, orang itu masih
dapat melepaskan senjata rahasia yang menyambarnya
begitu jitu!
Mendadak saja semangat Hoan Eng terbangun. Ia
memindahkan Bianto dari tangan kanan ke tangan kiri dan
berniat lantas menyerbu ke gelanggang pertempuran.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan Tonghong Lok yang
terbirit-birit loncat ke bawah tembok, akan kemudian
menghilang di tempat gelap.
Orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak. Dengan
tangan kanan menengteng toya dan tangan kiri menyekal
kepala Ie Kokloo, ia mengenjot badannya dan tubuhnya
melayang ke bawah bagaikan seekor burung.
Hoan Eng terkesiap. Didengar dari suara tertawanya dan
dilihat gerak-gerakannya, orang itu adalah si penjahat
bertopeng yang telah merampas tiga puluh laksa tahil perak di
propinsi Shoatang!
Hoan Eng kemudian menunduk dan mengawasi kedua
Wiesu itu yang menggeletak tanpa berkutik lagi. Begitu
melihat, hatinya jadi lebih kaget lagi. Pada jalan darah
Tayyang hiat mereka, terlihat nyata bekas Kimhoa! Bunga
emas, atau Kimhoa, adalah senjata rahasia si pemuda baju
putih. Apakah pemuda baju putih itu adalah si penjahat
bertopeng? Akan tetapi, hal itu tak mungkin, oleh karena
potongan badan si baju putih berbeda dengan badan si
penjahat. Apakah si penjahat juga dapat menggunakan
senjata rahasia Kimhoa? Demikianlah Hoan Eng berdiri
bengong, tanpa dapat memecahkan "cangkeriman" itu.
Tiba-tiba, kesunyian sang malam dipecahkan suara
bentrokan dua kuntum Kimhoa! Dan hampir berbareng

97
dengan itu, dihadapan Hoan Eng berdiri si pemuda baju putih!
Hoan Eng adalah seorang yang berkepandaian cukup tinggi
dan sudah kawakan dalam dunia Kangouw. Akan tetapi, ia
sama sekali tidak mengetahui, dari mana datangnya pemuda
itu. Begitu terdengar suara bentrokan senjata rahasia, begitu
ia muncul dihadapannya! Dapatlah dibayangkan, betapa cepat
gerakan orang itu.
Pemuda itu tertawa nyaring, nyaring bagaikan kelenengan
perak.
"Apakah orang bertopeng itu sahabatmu?" ia menanya.
"Bukan!" jawab Hoan Eng.
Paras muka si baju putih berobah dengan mendadak. "Ah!"
katanya sembari memutarkan badan dan menjejek kedua
kakinya.
"Hiapkek (pendekar)! Bolehkah kau memberitahukan she
dan namamu yang mulia?" berseru Hoan Eng.
Tapi ia tidak menjawab, badannya sudah melayang turun
ke bawah tembok.
* * *
Pada besok paginya, masih remang-remang, dengan seekor
kuda dan sebatang golok, Hoan Eng sudah berangkat.
Sesudah kepala Ie Kokloo dicuri orang, atas nasehat si
pelayan hotel, Hoan Eng meninggalkan Pakkhia secepat
mungkin untuk pergi ke Thayouw guna mencari Thio Tan
Hong.
Tunggangannya adalah kuda pilihan yang larinya cepat
sekali dan kira-kira tengah hari, ia sudah melalui seratus lie

98
lebih. Sesudah melewati Lamwan, lalu lintas tidak begitu ramai
lagi dan ia dapat kaburkan tunggangannya tanpa banyak
rintangan.
Selagi larikan kudanya, ia mendapat kenyataan, bahwa di
belakangnya mengikuti seorang lain. Dilihat dari dandanannya,
orang itu adalah seorang saudagar. Ia menunggang seekor
kuda belang dan pada pelana tergantung dua tas kulit yang
tidak terlalu besar. Semula Hoan Eng tidak memperhatikannya
dan menduga, bahwa ia itu adalah seorang saudagar biasa.
Di waktu magrib, ia tiba disuatu kota kecil, yaitu kota
Liulieho, yang terpisah dua ratus lima puluh lie lebih dari
Pakkhia.
Sesudah Hoan Eng masuk ke dalam kota dan berhenti di
depan sebuah rumah penginapan, secara tidak di sengaja ia
menoleh ke belakang dan melihat saudagar itu sedang
mengikuti dari sebelah kejauhan. Ia terkejut. Cara bagaimana,
tunggangan saudagar itu, yang kelihatan seperti kuda
pasaran, dapat menyusul ia? Ketika masuk ke dalam hotel, ia
sangat berwaspada, tapi segera juga ia tertawa sendiri oleh
karena saudagar itu mengambil penginapan lain.
Hoan Eng adalah seorang yang sudah kawakan dalam
dunia Kangouw. Walaupun saudagar itu tidak terlalu
menyurigakan, akan tetapi, pikirnya lebih berhati-hati ada
lebih baik. Memikir begitu, sesudah mengobati lukanya, yang
untung juga hanya luka di luar, ia bersamedhi untuk
memelihara semangat dan kemudian tidur dengan
menggunakan goloknya sebagai bantal kepala. Besoknya,
sebelum jam lima pagi, ia sudah bangun, bayar uang sewa
kamar dan lalu berangkat.
Pada jaman itu terdapat satu nasehat untuk mereka yang
melakukan perjalanan: "Sebelum malam mengasolah di rumah

99
penginapan, sesudah terang tanah barulah berjalan." Maka
itu, si pelayan merasa agak heran melihat Hoan Eng sudah
berangkat sebelum fajar menyingsing.
Sekeluarnya dari kota kecil itu, Hoan Eng mendongak.
Bulan sabit dan beberapa bintang masih memancarkan
sinarnya yang remang-remang, sedang kawanan burung
masih tidur nyenyak dalam sarangnya. Ia senyum dan lalu
kaburkan tunggangannya.
Kira-kira tengah hari, ia sudah berada di tempat yang
terpisah kurang lebih seratus lima puluh lie dari Liulieho. Ia
menahan kudanya dan menengok ke belakang. Ia kaget oleh
karena saudagar itu ternyata sedang mengikuti dari jauh.
"Apakah ia sengaja menguntit aku?" ia menanya pada diri
sendiri. Muka orang itu agak berminyak, kepalanya memakai
topi kulit, sedang di punggungnya menggemblok sebentuk
tudung. Dilihat dari mukanya dan dipandang dari kudanya, ia
hanyalah seorang saudagar biasa. Hoan Eng sangat bersangsi.
Siapa orang itu dan apa maunya?
Sesudah melirik lagi sekali, ia menyabet kudanya dan
binatang itu lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Si saudagar
tenang-tenang saja, sama sekali tidak mengunjukkan
keinginan untuk sengaja menyusul Hoan Eng. Dalam sekejap,
saudagar itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi
dan Hoan Eng menjadi lega hatinya.
Hoan Eng adalah seorang yang sangat berhati-hati.
Sesudah larikan lagi kudanya beberapa lama, ia mem-biluk ke
suatu jalan kecil dan di waktu magrib, tibalah ia di kota
Pekkouw yang terletak seratus lie lebih di sebelah timur kota
Poteng. Dalam kota itu, yang terlebih kecil daripada Liulieho,
hanya terdapat sebuah rumah penginapan.

100
Sesudah mendapat kamar dan bersantap malam, ia merasa
pasti si saudagar tidak akan mengikutinya ke kota kecil itu.
Tapi, tak dinyana, baru saja ia memikir begitu, di luar sudah
terdengar suara berbengernya kuda dan saudagar itu sudah
berada di depan pintu hotel.
Sekarang benar-benar ia kaget. Sudah tak dapat
disangsikan lagi, orang itu sedang menguntit ia. Sebelum
orang itu masuk, dengan cepat ia masuk ke dalam kamarnya,
di mana ia mendengar saudagar itu memesan makanan dan
minta air cuci muka, tiada beda dengan seorang pelancong
biasa. Sesudah makan, saudagar itu masuk ke kamarnya yang
berhadapan dengan kamar Hoan Eng.
Hoan Eng merasa sangat tidak enak hatinya, ia bersamedhi
sembari menyekal golok. Tapi sesudah menung-kuli setengah
malam, sama sekali tidak terjadi kejadian luar biasa. "Jika
orang itu mempunyai niatan kurang baik, dalam dua hari ia
tentu sudah menyerang," pikirnya. "Jika maksudnya baik,
siang-siang tentu ia sudah menegur aku. Tapi kenapa, tanpa
menyerang atau menegur, ia menguntit terus menerus? Apa
kawan, apa lawan?"
Jam tiga sudah lewat, tapi tetap tak ada pembahan luar
biasa. Mendadak Hoan Eng ingin kencing dan sembari
menengteng golok, ia pergi ke kakus yang terletak di pojok
pekarangan hotel.
Selagi kencing, dari sela-sela pintu kakus, ia melihat satu
bayangan manusia mendekam di atas genteng. Begitu ia
keluar dari kamar kecil, bayangan itu menghilang dengan
gerakan cepat luar biasa.
"Sahabat dari mana di situ?" membentak Hoan Eng dengan
suara perlahan. "Lekas keluar!" Ia menimpuk dengan sebutir
batu kecil, tapi bayangan itu tetap tak muncul lagi.

101
Dengan penuh kecurigaan, cepat-cepat Hoan Eng kembali
ke kamarnya dan membesarkan api lampu. Pembahan besar
tak ada tapi toh ia terkejut bukan main, oleh karena
buntalannya yang tadi berada di tengah-tengah meja
sekarang sudah berkisar ke kiri dan bentuk ikatan buntalan
pun sudah berobah. Sebagai seorang yang biasa berkelana di
kalangan Kangouw, ia selalu berhati-hati dan semua
barangnya ditaroh di tempat tertentu, malah ada juga yang
diberi tanda, sehingga tergeser sedikit saja, ia pasti akan
mengetahuinya. Ia yakin, bahwa dalam tempo yang sangat
pendek, yaitu selagi ia pergi ke kakus, buntalannya sudah
dibuka orang. Buru-buru ia membuka buntalan itu dan
ternyata beberapa stel pakaiannya tidak diganggu.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Hoan Eng
mengambil putusan buat mabur secepat mungkin. Ia
meninggalkan sepotong perak di atas meja sebagai
pembayaran sewa kamar dan kemudian cemplak kudanya
yang lantas saja dikaburkan sekeras-kerasnya. Sesudah
berjalan kurang lebih setengah jam, di sebelah depan
kelihatan hutan yang melintang menutup jalan. Ia loncat turun
dari tunggangannya dan masuk ke dalam hutan dengan
menuntun kudanya.
Belum berapa lama ia berjalan, ketika tiba-tiba di sebelah
belakangnya terdengar suara berbengernya seekor kuda.
Ternyata si saudagar sudah mengubar sampai di situ dan
tanpa menghiraukan larangan Kangouw yang berbunyi:
"Bertemu hutan, janganlah masuk", dikepraknyalah kudanya
yang lantas menerobos masuk ke dalam hutan.
Melihat orang itu tidak berkawan, hati Hoan Eng jadi
mantep. Ia memutarkan badan dan sambil menyekal
goloknya keras-keras, ia menanya: "Kenapa tuan terus
menerus menguntit aku?"

102
Orang itu tertawa dingin. Dengan sekali menggoyangkan
tangan kirinya, ia menyalakan bahan api yang lantas
dilemparkan kerumput kering, sehingga rumput itu lantas jadi
terbakar. Sesudah menyapu dengan matanya ke kiri kanan,
barulah ia berkata: "Kau jalan di jalanmu, akupun jalan di
jalanku sendiri. Kenapa tuan menjadi curiga?"
Hoan Eng mengetahui orang itu membakar rumput lantaran
kuatir adanya musuh yang bersembunyi. Dari sini dapat
diketahui, bahwa orang itu benar-benar sudah kawakan dalam
kalangan Kangouw dan dapat memikir begitu cepat dalam
tempo yang begitu pendek.
Sambil melintangkan goloknya, Hoan Eng lantas saja
tertawa terbahak-bahak.
"Bahwa tuan meneruskan perjalanan di tengah malam
buta, adalah satu kejadian yang sungguh-sungguh
mengherankan aku!" katanya dengan suara nyaring.
Orang itu turut tertawa berkakakan seraya berkata: "Kalau
begitu, apakah kelakuan tuan yang juga kaburkan kuda di
tengah malam buta, tidak sama mengherankannya?"
"Sekarang lebih baik kita bicara terus terang saja," berkata
Hoan Eng. "Aku adalah seorang pemburon. Dan siapakah
adanya kau?"
"Kau pemburon, aku adalah orang yang menguntit
pemburon!" jawabnya.
"Jika begitu, kau tentunya orang dari istana," kata Hoan
Eng sembari tertawa tawar. "Baiklah! Aku siap sedia untuk
melayani kau!"

103
"Bukan aku, tapi kau yang berkata begitu," kata orang itu.
"Siapa yang mau berkelahi denganmu? Jika kau pemburon,
kenapa tidak cepat-cepat kabur?"
Hoan Eng terkejut. "Siapa sebenarnya kau?" ia membentak.
"Di hadapan ksatria, orang tidak berjusta." kata si
saudagar. "Dan kau, siapa sebenarnya kau?"
"Bukankah aku sudah memberitahukan?" jawab Hoan Eng.
"Lantaran apa kau menjadi pemburon?" menanya pula
orang itu. "Kedosaan apakah yang sudah kau lakukan?"
"Aku menyatroni penjara istana untuk menolong Ie Kiam!"
jawabnya dengan berani.
"Siapa yang curi kepala Ie Kiam?" orang itu menanya lagi.
"Aku sudah bicara terus terang, sekarang adalah giliranmu.
Siapa kau?" tanya Hoan Eng dengan perasaan mendongkol
oleh karena orang itu terus mencecer dengan pertanyaanpertanyaan,
tanpa ia sendiri mau berterus terang.
"Aku adalah seorang yang secara diam-diam sudah
melindungi kau," jawabnya. "Kita semua adalah sahabatsahabat
dari satu jalan. Aku ingin sekali bertemu dengan
Giesu (pendekar) yang sudah mencuri kepala Ie Kiam dan
dengan memandang persahabatan, aku mohon kau suka
mengantarkan aku kepada orang itu."
Biji mata Hoan Eng bergerak beberapa kali, hatinya
sungguh merasa sangsi. "Dilihat dari gerak-geriknya, ia bukan
mau menangkap aku," katanya di dalam hati. "Tapi kenapa ia
begitu ingin menemui si pencuri kepala?"

104
"Apa kau masih merasa sangsi?" tanya orang itu. "Cobalah
pikir. Jika aku orang pemerintah, masakah sesudah menguntit
dua hari dua malam, aku belum juga turun tangan?"
Hoan Eng tak menyahut, tapi lantas mendekati kuda orang
itu, yang sedang makan rumput. Melihat seorang asing datang
padanya, hewan itu mengangkat kepalanya dan berbe-nger
keras.
"Macam tunggangan tuan tidak terlalu garang, tapi
sungguh cepat larinya," memuji Hoan Eng sembari
mengangsurkan sebelah tangannya dan membetot les.
"Mau apa kau?" bentak orang itu.
Begitu dibetot, kuda itu berjingkrak dan menendang. Hoan
Eng berjongkok dan menangkap satu kakinya. Sekali melirik
saja, ia sudah melihat, bahwa pada besi kaki kuda tercetak
empat huruf: "Toalwee Giema" (Kuda Istana Kaizar). Hampir
berbareng, ia menggulingkan diri dan molos di antara kaki
kuda itu.
"Ha-ha-ha!" Hoan Eng tertawa berkaka-kan. "Sekarang aku
tahu siapa adanya tuan!"
Sebagaimana diketahui, ia adalah seorang yang sangat
berhati-hati. Dengan matanya yang sangat tajam, ia
menduga, bahwa kuda itu sudah mendapat latihan istimewa.
Ia mengetahui, bahwa semua kuda istana diberi tanda pada
besi kakinya. Maka itu, ia segera mengambil putusan untuk
mencoba dan benar saja percobaannya berhasil.
Orang itu adalah pahlawan istana yang dengan menyamar
sudah menguntit Hoan Eng. Ia tidak lantas turun tangan oleh
karena menduga, bahwa si pencuri kepala adalah kawan Hoan
Eng dan dari Hoan Eng, ia mengharap akan mendapatkan

105
keterangan yang diingininya, supaya dengan sekali menyapu,
ia bisa membinasakan kedua-duanya.
Ia bukan Wiesu (pahlawan) biasa dan setelah kedoknya dilocoti,
sebaliknya dari ketakutan, ia tertawa terbahak-bahak.
"Mata tuan sungguh awas sekali!" katanya. "Dari ini saja, tuan
sudah cukup berharga untuk menjadi sahabatku." Ia berhenti
sejenak dan kemudian membentak: "Apakah kau pernah
mendengar nama Yang Cong Hay? Jika kau ingin aku berlaku
murah hati, lekas antarkan aku kepada penjahat yang mencuri
kepala Ie Kiam!"
Hoan Eng terkesiap. Pada jaman itu, kiamkek (ahli pedang)
yang kesohor di wilayah Tiongkok adalah: "Di Selatan Thio
Tan Hong, di Utara Ouw Bong Hu, di Barat Yang Cong Hay,
sedang di Timur adalah Cio Keng Tauw. Thio Tan Hong dan
Ouw Bong Hu sudah lama mengundurkan diri dari pergaulan
umum, Cio Keng Tauw kabur ke seberang laut sebagai
pemburon lantaran merampok pedang mustika dari istana dan
hanya Yang Cong Hay yang masih malang melintang di daerah
Tiongkok Barat daya, di mana ia sudah melakukan banyak
perbuatan terkutuk. Sepanjang warta, ia adalah jago Cengshia
pay (Partai kota hijau), tapi para tetua partai itu ternyata tak
sanggup mengendalikan lagi tingkah lakunya. Dengan
menunggang seekor Toalwee Giema, sudah terang ia
sekarang menjadi kaki tangan kaizar dan "Yang Tayjin" itu
yang disebut-sebut oleh para Wiesu, tentulah ia adanya.
Hoan Eng menyedot napas dalam-dalam untuk
menenteramkan hatinya. "Baiklah!" katanya. "Aku akan
mengantar kau!" Ia maju setindak dan sekali membalik
tangan, golok Bianto sudah menyambar. Bacokan itu yang
dilakukan secara tidak diduga-duga, sudah cepat luar biasa,
tapi Yang Cong Hay tidak kalah cepatnya. Sembari tertawa
dingin, ia mementil dengan kedua jerijinya. Beratnya sabetan
Hoan Eng ada beberapa ratus kati, tapi, begitu terpentil, golok

106
itu mental! Dan pada saat itu, Yang Cong Hay sudah
menghunus pedangnya seraya membentak: "Rasakan
pedangku!"
Hoan Eng yang sudah kenyang menghadapi lawan-lawan
berat, lalu melancarkan serangan berantai, dengan
tendangan, sabetan tangan dan bacokan yang semua
merupakan serangan mati-matian. Yang Cong Hay kembali
tertawa dingin dan berkelit sembari menikam. "Bret", pundak
Hoan Eng tergores pedang! Dengan tikaman itu, Yang Cong
Hay sudah berlaku murah hati lantaran ia ingin sekali dapat
membekuk Hoan Eng hidup-hidup guna mengorek keterangan
dari mulutnya. Jika mau, dengan mudah ia dapat menobloskan
tulang pundak musuh.
Dulu, paman Hoan Eng mempunyai kedudukan setingkat
dengan Thio Hong Hu dan dikenal sebagai salah seorang dari
"Tiga Jago Kota Raja." Dengan mewarisi ilmu silat turunan, ia
mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Begitu pundaknya
tergores, ia meloncat mundur dan selagi Yang Cong Hay mau
menikam pula, tiba-tiba ia membentak keras sambil
membacok dan menendang. Pukulan ini sangat tersohor dan
dinamakan pukulan Houwwiekak Tiongmato (Tendangan
buntut harimau bacokan kuda kabur). Orang yang bisa
mengelit bacokannya, tak nanti mampu mengegosi
tendangannya. Akan tetapi, Yang Cong Hay bukan lawan biasa
dan dengan meloncat mundur, ia dapat menyingkir dari dua
serangan itu.
Di lain pihak, sembari membacok dan menendang, Hoan
Eng terus menubruk ke depan dan menerobos keluar dari
kurungan api. Selagi meloncat, ia menyembat dua batang
cabang pohon yang berkobar-kobar untuk menimpuk
musuhnya. Yang Cong Hay me-ngebas dengan tangannya dan
kedua batang itu jatuh di tempat yang terpisah kira-kira tujuh
kaki dari badannya. Akan tetapi, perbuatan Hoan Eng ini ada

107
hasilnya juga, yaitu sudah membikin binal kuda Yang Cong
Hay. Ketika akhirnya hewan itu dapat dibikin jinak,
Hoan Eng sudah lari agak jauh.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Yang Cong
Hay bernyali besar dan ia lantas saja mengubar.
"Kawan! Hayo membantu!" berseru Hoan Eng.
"Keluar! Aku tak takut!" berteriak Yang Cong Hay dengan
suara mengejek.
Sekonyong-konyong di luar hutan terdengar suara
berbengernya kuda. Yang Cong Hay mengeluarkan suara "hm"
dan menduga, Hoan Eng benar-benar mempunyai kawan. Ia
mengempos semangat dan mengubar seperti kilat cepatnya,
dengan tujuan lebih dulu membinasakan Hoan Eng dan
kemudian baru melayani musuh yang masih berada di luar
hutan.
Dengan menggunakan siasat "main petak" dan lari
membiluk-biluk di antara pohon-pohon, Hoan Eng dapat
menyelamatkan diri. Beberapa kali, lantaran terdesak, ia
terpaksa melawan sejurus dua jurus, akan kemudian kabur
lagi. Meskipun ilmu silat Yang Cong Hay jauh lebih tinggi, ia
tak akan dapat merobohkan Hoan Eng dalam hanya dua atau
tiga jurus.
Bukan main gusarnya Cong Hay. Dengan mata merah, ia
mengudak terus sembari mengeluarkan seraup Thielian cie
(Biji teratai besi) yang lantas ditimpukkan ke arah dua belas
jalan darah musuh. Dengan lari berbelit-belit, Hoan Eng dapat
menyingkir dari sejumlah senjata rahasia itu. Tiba-tiba, sambil
membentak "kenal", Cong Hay menendang rubuh sebatang
pohon kecil. Begitu pohon itu, yang merupakan tedeng bagi

108
badan Hoan Eng rubuh, ia menimpuk dengan beruntun dan
sebuah Thielian cie tepat mengenakan jalan darah Thianhian
hiat, di punggung Hoan Eng.
Hoan Eng berteriak kesakitan sembari meloncat dan
menyampok beberapa Thielian cie lain dengan goloknya.
Ketika itu, ia sudah sampai di tengah-tengah hutan lebat yang
penuh dengan pohon-pohon berduri. Dengan nekat ia
menerobos terus dan membuka jalan dengan Bianto-nya.
Yang Cong Hay mengejar terus, sering pakaiannya tercangkol
duri. Lantaran pedangnya tidak setajam Bianto, ia harus
menggunakan lebih banyak tempo untuk membabat pohonpohon
duri itu, sehingga semakin lama ia jadi ketinggalan
semakin jauh. Selain itu, sebab gelap gulita ia sekarang tak
dapat melihat lagi di mana adanya Hoan Eng. Dengan gusar ia
menyalakan bahan api yang lantas dilemparkan dan begitu
mengenakan cabang-cabang kering, api lantas berkobarkobar.
Sesudah itu dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan Tengpeng touw-sui (Menginjak rumput
menyeberang sungai), ia mengubar dengan berlari-lari di atas
pohon-pohon berduri, tanpa memperdulikan pakaian dan
kakinya yang tertusuk duri. Saban kali keadaan sudah terlalu
gelap, ia lalu membakar hutan lagi sehingga tidak lama
kemudian, di beberapa belas tempat sudah terbit kebakaran.
Semakin lama, Yang Cong Hay sudah semakin dekat pada
korbannya. Sementara itu, beberapa kali terdengar suara
berbengernya kuda di luar hutan. Secara mati-matian,
akhirnya Hoan Eng dapat juga menerobos ke luar dari hutan
itu yang panjangnya kira-kira tiga lie. Melihat musuhnya sudah
berada di tempat terbuka, Yang Cong Hay tertawa bergelakgelak.
"Sekarang mau lari ke mana kau?" ia berseru sembari
menimpuk dengan tiga butir Thielian cie.
Hoan Eng menyampok jatuh peluru pertama dengan
goloknya dan berkelit dari peluru kedua yang menyambar

109
tenggorokannya, tapi Thielian cie yang ketiga tak dapat
dielakkan lagi dan tepat mengenakan lututnya, sehingga ia
jatuh berlutut seketika itu juga.
Ketika itu, dengan adanya sinar api dan sinar bulan,
keadaan di situ menjadi cukup terang. Yang Cong Hay
bergirang hati dan kembali ia tertawa besar, akan kemudian
menghampiri korbannya untuk ditelikung.
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara tindakan
kuda yang berlari cepat sekali. Yang Cong Hay terkesiap dan
mengawasi ke jurusan itu. Bagaikan kilat sesosok bayangan
putih melesat mendatangi dan dalam sekejap mata, seekor
kuda berbulu putih sudah berada dihada-pannya dan
penunggangnya, seorang pemuda berbaju putih, segera
meloncat turun. Dilihat dari mukanya yang sangat cakap,
pemuda itu baru berusia kurang lebih tujuh belas tahun,
badannya langsing kecil, sehingga jika dipandang sekelebatan,
seolah-olah ia hanya satu bocah yang baru keluar dari rumah
sekolah.
Pemuda itu melirik dan berkata: "Ah! Tak tahunya Yang
Toacongkoan, Yang Tayjin! Untuk apa kau mengubar-ubar
ia?"
Yang Cong Hay terkejut sebab sekali membuka mulut, si
bocah sudah melocoti kedoknya.
"Siapa kau?" bentaknya sembari menuding dengan
pedangnya. "Jangan menyampuri urusan orang lain!"
Si pemuda senyum tawar dan menjawab: "Urusan dalam
dunia harus diurus oleh manusia yang hidup dalam dunia.
Siauwya-mu (Siauwya = Tuan kecil) paling senang
menyampuri urusan ganjil!"

110
Yang Cong Hay mendongkol tercampur geli mendengar
kata-kata itu. "Urusan ganjil apa?" ia menanya sembari
tertawa.
"Yang besar menindas yang kecil, kau sudah menghinakan
orang!" jawabnya.
Perkataan si bocah yang belum hilang bau pupuknya itu
sudah mengilik-ngilik hati Yang Cong Hay. Ia lantas meladeni
terus dan sama sekali tidak kuatir Hoan Eng, yang sudah kena
Thielian cie akan melarikan diri. "Ah! Perkataanmu tak masuk
diakal," katanya sembari tertawa geli. "Dia sudah cukup besar
dan bukan seperti kau yang masih bau daun deringo. Tak
dapat kau mengetakan: Yang besar menindas yang kecil!"
Si baju putih tertawa tawar.
"Sebagai kiamkek kenamaan dan seorang yang bergelar
Tayjin, kau sudah melukakan seorang piauwkek biasa dengan
senjata rahasia," katanya dengan suara mengejek.
"Apakah ini bukan yang kuat menghina yang lemah, yang
besar menindih yang kecil? Sesudah dilihat olehku, urusan
ganjil ini tak dapat aku tak menyampuri!"
Sembari menggosok-gosok lututnya dan mengempos
semangat untuk membuka jalan darahnya, Hoan Eng
mendapat kenyataan bahwa si baju putih adalah pemuda yang
sudah mempermainkan Thio Houwcu dan yang sudah
melukakan dua Siewie dengan senjata rahasia bunga emas. Ia
jengah bukan main ketika mendengar dirinya dinamakan
sebagai "piauwkek biasa".
Hati Yang Cong Hay jadi seperti semakin dikitik-kitik. "Jika
aku sampai turun tangan terhadapmu, bukankah soal yang

111
besar menindas yang kecil-kecil jadi terulang pula?" katanya
sembari tertawa berkakakan.
"Sebagai kiamkek kenamaan, kau sungguh mengecewakan
aku," kata si baju putih. "Sungguh aku tak nyana, otakmu
kosong melongpong!"
"Apa?" menegasi Yang Cong Hay.
"Apa gunanya mempunyai badan yang seperti kerbau atau
kuda besarnya?" kata pula pemuda itu. "Apakah kuat dan
lemah, besar atau kecil, diukur dengan ukuran usia? Aku
sekarang bicara terus terang kepadamu: Jika kau bukannya
seorang Toacongkoan (Pengurus besar dalam istana kaizar),
masih sungkan aku mengadu tanganku dengan cecongormu!"
Mendengar omongan temberang itu yang menyebut-nyebut
juga soal tingkatan, Yang Cong Hay jadi lebih-lebih sungkan
bertempur dengan si bocah. Harus diketahui, bahwa dalam
Rimba Persilatan, soal tingkatan diperhatikan benar. Jika,
sebagai seorang yang mempunyai tingkatan tinggi, ia sampai
mengukur tenaga dengan satu bocah, semua orang gagah
dalam Rimba Persilatan tentu akan mentertawakan-nya.
"Hayo!" membentak si baju putih sembari menghunus
sebatang pedang pendek. Begitu dihunus, pedang itu
mengeluarkan sinar yang menyilaukan, sehingga Yang Cong
Hay jadi terkesiap. Jika tidak melihat dengan mata sendiri,
sungguh ia tak percaya bahwa bocah yang belum hilang bau
pupuknya itu mempunyai kuda dan pedang mustika.
Tapi biar bagaimanapun juga, ia tentu tak memandang
sebelah mata si bocah itu. "Benar-benar kau mau turut
campur urusan ini?" ia menanya.

112
"Jangan rewel!" si baju putih membentak. "Hayo, seranglah
sesukamu!"
"Bocah!" berkata Yang Cong Hay yang sudah mulai
mendongkol. "Pergilah pulang kepada gurumu dan belajar lagi
beberapa tahun. Seorang yang seperti aku sebenarnya tidak
harus mempunyai pandangan seperti kau bocah cilik."
"Eh! Kau mau menyerang atau tidak?" mendesak si baju
putih. "Kalau kau tetap tidak bergerak, aku tak akan berlaku
sungkan lagi."
"Coba kau bersilat sejurus, aku mau lihat siapa gurumu,"
kata Yang Cong Hay akhirnya.
"Baik. Awas!" berseru pemuda itu, sembari menikam.
Dengan tenang Cong Hay mengangkat dua jerijinya untuk
mementil senjata yang sedang menyambar. Tak dinyana,
tikaman itu yang kelihatan seperti tikaman biasa, aneh sekali
perobahan-nya. Di tengah jalan, pedang itu mendadak
berobah arahnya, dari menikam jadi membabat dan jika kedua
jeriji Yang Cong Hay tidak ditarik kembali, sudah pasti dua-dua
akan terbabat putus.
Tak malu Yang Cong Hay dikenal sebagai kiamkek
kawakan.
Pada saat pedang itu hanya tinggal terpisah lima dim dari
jerijinya, ia masih keburu membalik tangannya dan dengan
gerakan Liongheng coanciang (Gerakan naga menembus
tangan), ia coba merampas pedang itu.
Hampir pada detik itu juga, pedang si baju putih lewat di
pinggir kuping Yang Cong Hay, sedang tangan Cong Hay
menyambar lengan si baju putih. Dalam pertempuran antara
jago melawan jago, menang kalah hanya berdasarkan

113
perbedaan bagai rambut sehelai dibelah tujuh. Pada detik itu,
dari berada di bawah angin, Yang Cong Hay berbalik berada di
atas angin, sehingga, dengan sekali menyodok, lengan si baju
putih akan dapat dirusaknya. Hoan Eng terkesiap dan
berteriak: "Celaka!" Tanpa memperdulikan lututnya yang
masih lemas, ia menepuk tanah dengan kedua tangannya dan
badannya lantas melesat ke dalam gelanggang pertempuran.
Tapi, sedang badan Hoan Eng masih berada di tengah
udara, tiba-tiba Yang Cong Hay berteriak: “h!" Ternyata, pada
detik itu, si baju putih sudah menarik pulang tangannya dan
menggunakan gagang pedang untuk menotok lengan
lawannya. Jika Yang Cong Hay tidak menghentikan
pukulannya, lengan kedua belah pihak tentu akan patah
bersama-sama. Cepat bagaikan kilat, Yang Cong Hay loncat
minggir dan kedua lawan itu sama-sama terlolos dari bahaya.
Sesaat itu, Hoan Eng hinggap diatas tanah, dengan napas
lega.
Tapi siapa nyana, satu gelombang baru lewat, lain
gelombang sudah menyusul. Menurut kebiasaan, jika dalam
satu pertempuran, dua musuh berpencar, masing-masing
pihak lebih dulu memperbaiki kedudukannya, kemudian baru
maju lagi untuk bertempur pula. Akan tetapi, baik Yang Cong
Hay, maupun si baju putih ketika itu mempunyai pikiran yang
sama, yaitu: Mendahului menyerang sebelum sang lawan
dapat memperbaiki kedudukannya. Dalam hal ini, Cong Hay
yang mempunyai lebih banyak pengalaman, sudah bertindak
lebih cepat dari pada lawannya. Baru saja pedang si baju putih
bergerak, kedua tangan Cong Hay sudah membuat satu
lingkaran dan menerobos masuk ke dalam garis pembelaan si
baju putih, yang kedua tangannya lantas saja "terkunci" dan
tak dapat mengerahkan tenaga lagi.
Yang Cong Hay adalah ahli waris Cengshia pay yang sudah
mendapat segala rahasia ilmu silat partai tersebut. Setiap

114
pukulannya mengandung "kekerasan" dan "kelembekan" serta
dapat berubah-ubah secara di luar dugaan. Walaupun tak
mengenal rahasia ilmu silat Cengshia pay, akan tetapi Hoan
Eng mengetahui, bahwa dengan sekali menggerakkan tangan.
Yang Cong Hay dapat mencelakakan si baju putih. Ia tahu,
biar bagaimanapun juga, ia tak akan dapat memberi
pertolongan dan tanpa merasa, sekali lagi ia berteriak:
"Celaka!"
Dan hampir berbareng dengan teriakan Hoan Eng, Yang
Cong Hay dan si baju putih bersama-sama menjerit. Mata
Hoan Eng kabur, ia tak tahu kedua pihak menggunakan
pukulan apa. Ia hanya melihat lengan baju Cong Hay robek
dan badannya sempoyongan."Sahabat kecil! Bagus! Sungguh
bagus!" Hoan Eng berteriak bagaikan kalap lantaran
kegirangan. Ia tidak mengetahui, bahwa pergelangan tangan
si pemuda juga sudah terpukul dan jika dihitung-hitung,
adalah si baju putih yang menderita kerugian terlebih besar.
Sekarang muka Toacongkoan itu berubah merah padam, ia
merasakan dadanya seperti mau meledak lantaran
gusarnya. Mengimpi pun ia tak pernah, bahwa tangan bajunya
bisa dirobek oleh satu bocah yang belum hilang bau
pupuknya.
Selagi lawannya ber-gusar, si baju putih lantas saja
mencecer dengan serangan-serangan hebat. Dalam keadaan
tenang, sebenarnya Cong Hay masih dapat melayani pemuda
itu dengan tangan kosong. Tapi begitu darahnya naik,
semangatnya tak dapat lagi dipusatkan dan dalam sekejap, ia
sudah terdesak, sehingga ia jadi kaget dan bingung. Tanpa
memperdulikan lagi tingkatannya yang tinggi, ia segera
menghunus pedangnya yang menggemblok di punggungnya.
"Nah! Sedari tadi aku sudah perintahkan kau mencabut
senjata," mengejek si baju putih sembari tertawa. "Tapi kau

115
tetap membandel. Sekarang bagaimana?" Sedang mulutnya
berbicara, tangannya bekerja terus dan menikam tenggorokan
Yang Cong Hay bagaikan kilat. Pedang si baju putih cepat, tapi
gerakan Cong Hay lebih cepat lagi. Dengan sekali mengegos,
ia sudah mengelit tikaman itu dan lalu balas menyerang.
Sesudah bergebrak beberapa-apa jurus, dengan gerakan
Souwcin pweekiam (Souwcin menggendong pedang), Cong
Hay menggerakan pedangnya, yang dengan mengeluarkan
suara mengaung, sudah "mengunci" bagian atas, tengah dan
bawah pemuda itu. "Bagus!" berseru si baju putih. Bukannya
berkelit atau mengegos, sebaliknya dengan ilmu Lie Kong
siaciok (Lie Kong memanah batu), ia malah menikam dada
Yang Cong Hay.
Gerakan itu sungguh-sungguh di luar dugaan. Menurut ilmu
pedang yang biasa, seorang yang sudah "dikunci" secara
begitu, harus berusaha menolong diri. Tapi dalam keadaan
yang sangat berbahaya itu, si pemuda sudah balas
menyerang. Saat itu, Cong Hay terkesiap, sebab ia mendadak
teringat, bahwa pedang lawannya adalah pedang mustika.
Menurut perhitungan, dalam bentrokan antara kedua pedang
itu, pedang si baju putih mesti jatuh terpental. Tapi pedang
Cong Hay bukan pedang mustika, sehingga, dalam bentrokan
itu, meskipun pedang si baju putih mungkin terpental jatuh,
tapi pedangnya sendiri pasti akan putus menjadi dua. Sebagai
seorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Rimba
Persilatan, ia tentu akan menjadi buah tertawaan umum, jika
pedangnya sampai diputuskan oleh satu bocah.
Biar bagaimanapun juga, bentrokan antara kedua pedang
itu sudah tak dapat dielakkan lagi. Berbareng dengan suara
"trangl", kedua lawan itu segera berpencar. Barusan, begitu
kedua pedang mereka beradu, Cong Hay menarik pulang
tenaga Yangkong (tenaga "keras") dan mengeluarkan tenaga
Imjiu (tenaga "lembek"), sehingga pedangnya hanya

116
menempel pedang lawan dan lalu mental kembali. Akan tetapi,
walaupun begitu, pedang Yang Cong Hay somplak juga
sedikit.
Demikianlah, dalam gebrakan itu, si baju putih telah
mendapat kemenangan gemilang.
Tapi sebagai seorang muda, ia tak mengenal batas. Dengan
cepat, ia membacok lagi dan berusaha untuk mengadu pula
pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu berbentrok, tapi...
aneh sungguh, sekali ini bentrokan itu tidak mengeluarkan
suara!
Hoan Eng kaget dan heran. Ia membuka kedua matanya
lebar-lebar untuk mencari tahu, apa sebabnya.
Di lain saat, pedang si baju putih seolah-olah sudah kena
"dihisap" oleh pedang Yang Cong Hay. Beberapa kali ia
berkutet, tapi pedang itu tetap tak dapat ditarik pulang.
Ternyata, kali ini Yang Cong Hay sudah mengerahkan
tenaga Imjiu yang sangat tinggi guna "menghisap" pedang
lawannya.
Beberapa saat kemudian, keringat sudah mengucur dari
dahi si baju putih.
"Bagaimana?" mengejek Cong Hay.
"Tak apa!" sahut si baju putih sembari senyum tawar. Tak
tahu dengan ilmu apa, tiba-tiba badan si baju putih mencelat
dap pedangnya sudah terlepas dari “katan" musuh. Kejadian
itu adalah karena salah Yang Cong Hay sendiri. Barusan,
sesudah berhasil "menghisap" senjata musuh, dalam sejenak
ia memandang rendah lawannya dan lalu mengejek, dan
selagi bicara, perhatiannya terpecah. Si baju putih, yang liehay

117
luar biasa, sungkan mensia-siakan ketika baik ini dan dengan
sekali membetot, ia melepaskan pedangnya dari "hisapan"
tenaga Imjiu. Berbareng dengan itu ia meloncat ke samping
Cong Hay dan menikam sekali.
Dengan sangat menyesal, Yang Cong Hay berkelit dengan
gerakan Tuipo lianhoan (Mundur berantai) dan kemudian
membabat dengan pedangnya dalam usaha untuk
"menghisap" pula pedang musuh. Tapi kali ini si baju putih tak
dapat dijebak lagi. Dengan gerakannya yang sangat gesit,
bagaikan kupu-kupu yang berterbangan di antara bungabunga,
ia melayani Toacongkoan itu. Yang Cong Hay menjadi
kaget, heran dan kagum dengan berbareng. Beberapa kali,
pedangnya hampir menempel pedang si baju putih, akan
tetapi, pada detik yang terakhir bocah itu selalu dapat
meloloskan senjatanya dari “katan". Mendadak Cong Hay
tergoncang hatinya. Sesudah memperhatikan ilmu pedang si
bocah, mendadak ia ingat akan seorang Tayhiap (pendekar)
yang sekarang sudah mengundurkan diri dari pergaulan
umum. Apakah bocah ini ahli waris dari pendekar tersebut?
Sesudah bertempur lagi beberapa lama, Yang Cong Hay
menjadi sadar dan mendapat jalan untuk menghadapi
musuhnya. Ia segera merobah cara bersi-latnya dan
mengutamakan pembelaan diri. Akan tetapi, dalam pembelaan
diri itu, ia berlaku sangat awas dan segera balas menyerang,
begitu ada kesempatan. Dilayani secara begitu, dengan
perlahan si baju putih menjadi lelah dan napasnya mulai
tersengal-sengal.
Sementara itu, Hoan Eng mengawasi jalannya pertempuran
dengan hati berdebar-debar. Kedua orang itu sedang
bertempur dengan menggunakan ilmu pedang yang paling
tinggi dan sekali salah tangan, jiwa bisa melayang. Walaupun
tidak terlalu paham akan ilmu pedang, ia mengetahui, bahwa
si baju putih berada di bawah angin. Ketika itu, dengan

118
mengatur jalan pernapasannya, Hoan Eng sudah pulihkan
kembali aliran darahnya dan perasaan kesemutan sudah
menjadi hilang. Maka itu, sambil membentak keras, ia
menjumput Bianto-nya dan bergerak untuk menyerbu ke
dalam gelanggang pertempuran.
Sebagai seorang berpengalaman, Yang Cong Hay sangat
awas matanya. Begitu Hoan Eng bergerak, ia pindahkan
pedangnya ke tangan kiri dan merogo sakunya dengan tangan
kanan. Sembari membacok dengan tangan kiri sehingga si
baju putih terpaksa mundur dua tindak, ia mengayun tangan
kanannya dan melepaskan sejumlah Thielian cie ke arah
kedua lawannya. Sekarang Toacongkoan ini sudah tidak
menghiraukan lagi soal tingkatan dan dalam kekuatirannya
akan dikerubuti, ia malah tidak merasa malu untuk
menggunakan juga senjata rahasia. Hoan Eng, yang baru
terluka kakinya, tak begitu gesit gerakannya, sehingga dua
butir Thielian cie mampir di lehernya dan ia kembali jatuh
terguling.
Begitu rubuh, ia meloncat bangun lagi dengan gerakan
Leehie Tateng (Ikan gabus meletik) dan pada detik itu, ia
mendengar si baju putih berteriak: "Bagus!"
Di lain saat, seperti hujan gerimis, belasan bunga emas
yang berbentuk Bweehoa menyambar ke arah Yang Cong Hay.
"Bagus!" teriak Hoan Eng, kegirangan.
Dengan gerakan Pe-kho ciongthian (Burung Ho putih
menembus awan), Cong Hay meloncat ke atas sambil
mengebas dengan pedangnya. Dengan suara "tring! trang!",
sejumlah bunga emas kena dibikin terpental, tapi dua
antaranya menyambar terus. "Kena kau!" berteriak si baju
putih sambil meloncat menikam.

119
Biar bagaimana liehay pun, Cong Hay tak dapat berkelit lagi
dari dua bunga emas itu yang menyambar kedua pundaknya.
"Bagus!" ia berseru sambil mengerahkan tenaga dalamnya dan
menggoyang pundaknya. Dua bunga emas itu tepat
mengenakan sasarannya, tapi lantas jatuh ke tanah lantaran
kena ditolak tenaga dalam Yang Cong Hay, yang, berbareng
dengan itu sudah mengangkat pedangnya untuk menyambut
serangan si baju putih.
Si pemuda kaget tak kepalang. Bahwa sepuluh antara dua
belas bunga emasnya kena dipukul jatuh, sudah cukup
mengagumkan. Tapi menolak senjata rahasia itu dengan
tenaga dalam, adalah kejadian yang tak pernah didugaduganya.
"Nama besar Yang Cong Hay sungguh bukan nama
kosong," ia memuji dalam hatinya. "Tak heran, dalam dunia
Kangouw ia mempunyai nama yang berendeng dengan nama
guruku."
Melihat keadaan yang berbahaya, tanpa memperdulikan
lukanya, Hoan Eng kembali putarkan goloknya dan maju ke
medan pertempuran.
Sekonyong-konyong si baju putih bersiul panjang dan
nyaring. Di lain saat, bagaikan terbang, kuda putih itu sudah
lari ke arah mereka. Sembari menjambret baju Hoan Eng, si
pemuda menjejek kedua kakinya dan badannya melesat ke
atas, akan kemudian hinggap tepat di atas punggung kuda
yang terus kabur bagaikan kilat!
Buru-buru Yang Cong Hay cemplak tunggangannya dan
mengubar. Kuda itu bukan kuda sembara-ngan, akan tetapi,
dibanding dengan kuda putih si pemuda, ia masih kalah terlalu
jauh. Semakin lama jarak antara mereka jadi semakin jauh
dan akhirnya Yang Cong Hay hanya dapat melihat satu titik
putih yang dengan cepat lalu menghilang dari pemandangan.

120
Tentu saja Toacongkoan tidak dapat berbuat lain daripada
menghela napas berulang-ulang dan menahan kudanya.
Tiba-tiba ia merasakan pundaknya sakit. Buru-buru ia turun
dari tunggangannya dan pergi ke sebuah kolam sambil
membuka bajunya. Dengan berkaca di air, ia melihat dua
tapak bunga yang berwarna merah di kedua pundaknya.
Masih untung senjata-senjata itu tidak beracun. Kalau
beracun, kedua lengannya tentu tak akan dapat digunakan
lagi. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan dalam jengkelnya,
ia masih boleh merasa syukur.
* * *
Hoan Eng yang menggemblok di punggung kuda,
merasakan seperti juga dibawa terbang di udara. Hatinya
berdebar-debar, ia tak nyana seekor kuda dapat berlari
sedemikian cepat. Selagi ia mau menengok ke belakang untuk
menghaturkan terima kasih kepada penolongnya, kuda itu
melompati suatu solokan dan hampir-hampir ia jatuh
terpelanting. Buru-buru ia menjepit perut kuda terlebih keras
dan tidak berani menengok ke belakang.
"Jangan bicara! Hati-hati!" membentak si baju putih
sembari memecut udara dan kuda itu lantas saja lari terlebih
keras.
Tak lama kemudian, fajar sudah menyingsing dan si baju
putih menahan kudanya.
"Sekarang sudah boleh berhenti," katanya sembari
meloncat turun dari kudanya dengan paras muka tidak
berobah dan napasnya juga tidak tersengal-sengal.

121
"Kuda ini benar-benar kuda mustika yang jarang terdapat
dalam dunia," memuji Hoan Eng. "Apa sekarang aku boleh
mengetahui nama tuan yang mulia?"
Ia tak menyahut.
Mendadak tangannya dilonjorkan dan golok Bianto yang
tergantung di pinggangnya Hoan Eng, sudah pindah ke dalam
tangannya. Bagi seorang ahli silat, melindungi senjatanya
adalah satu kebiasaan yang otomatis. Begitu tangan si baju
putih menyambar, tangan Hoan Eng pun bergerak. Tapi ia
kalah cepat dan di lain saat, pemuda itu sudah menyekal
Bianto dan mengawasi senjata itu dengan paras muka
bersangsi.
Hoan Eng terkejut.
"Dari mana kau dapat golok mustika ini?" menanya si baju
putih.
“Ini adalah golok Thio Hong Hu," jawabnya.
"Kenapa Thio Hong Hu menyerahkan goloknya kepadamu?"
menanya pula pemuda itu.
Secara terus terang Hoan Eng segera menceritakan
kejadian pada malam itu, bagaimana Thio Hong Hu binasa
lantaran kekejaman kaizar. "Hanya menyesal aku Hoan Eng
tak punya guna dan tak dapat menolong Thio Pehpeh," kata ia
sembari menangis.
"Sesudah itu aku pergi ke kota raja dan lagi-lagi gagal
dalam usaha menolong Ie Kokloo yang kepalanya belakangan
kena dicuri orang."

122
Tiba-tiba si baju putih menghunus Bianto yang lalu
disabetkan keudara beberapa kali. Ia mendongak dan tertawa
berkakakan, tertawa yang nadanya menyayatkan hati.
"Bagus!" ia berseru. "Biar bagaimanapun juga, Thio Hong
Hu tidak binasa secara mengecewakan. Ia tidak... ia tidak
mensia-siakan penghargaan Ie Kokloo."
Hoan Eng tergoncang hatinya dan air matanya berhenti
mengucur. Didengar perkataannya, si baju putih agaknya
mempunyai hubungan rapet dengan Ie Kiam dan Thio Hong
Hu.
Pemuda itu lalu masukkan Bianto ke dalam sarungnya dan
gantung senjata itu di pinggangnya sendiri.
"Mohon tuan sudi kasi pulang golok itu kepadaku," kata
Hoan Eng.
"Kenapa?" ia menanya.
"Aku dapat mengerti jika Injin (tuan penolong) menyukai
golok ini," kata Hoan Eng. "Semenjak dulu orang kata: Golok
mustika harus diserahkan kepada orang gagah, pupur wangi
harus dipersembahkan kepada wanita cantik. Menurut pantas,
memang aku harus mempersembahkan senjata itu kepada
Injin. Hanya sayang, sungguh sayang, waktu mau
menghembuskan napasnya yang penghabisan, Thio Pehpeh
sudah memesan aku, supaya menyerahkan golok itu kepada
orang lain, dan di sebelah itu, di dalamnya tersembunyi satu
urusan besar."
"Urusan apa?" menanya si baju putih dengan suara tawar.
"Golok ini harus kuserahkan kepada Thio Tayhiap, Thio Tan
Hong!" jawabnya.

123
Pada jaman itu, nama Thio Tan Hong sangat kesohor dan
setiap orang yang pandai silat, tentu mengenal namanya. Jika
orang lain yang mendengar perkataan Hoan Eng, sepuluh
sembilan ia akan segera mengembalikan golok itu dengan
segala kehormatan. Akan tetapi, pemuda itu hanya melirik
dan lalu berkata: "Untuk apa diserahkan kepada Thio
Tayhiap?"
"Selain golok, masih ada baju yang berlumuran darah,"
jawabnya. "Thio Hong Hu dan Thio Tan Hong adalah sahabat
rapat. Pada waktu mau menutup mata, Thio Pehpeh ingat
sahabatnya itu. Ia memesan aku supaya menyerahkan baju itu
kepada Thio Tan Hong agar, dengan melihat bajunya, Thio
Tayhiap jadi ingat sang sahabat yang sudah meninggal dunia
sebagai korban seorang kaizar kejam. Di samping itu, Thio
Pehpeh juga ingin minta supaya Thio Tayhiap berusaha
mencari pute-ranya dan jika bertemu, supaya Thio Tayhiap
sudi mengambil putera itu sebagai muridnya, dan di belakang
hari, supaya golok mustika itu diserahkan kepada puteranya
itu."
"Apakah putera Thio Hong Hu adalah itu anak nakal yang
tempo hari bertemu dengan aku di pinggir kolam?" tanya si
baju putih.
"Benar, namanya Thio Houwcu," jawab Hoan Eng.
"Mana itu baju berdarah" pemuda itu menanya pula.
“Ini dia," kata Hoan Eng sembari memperlihatkan baju itu.
Di luar dugaan, si baju putih mendadak menjambret dan
merampas baju itu.

124
"Kau... kau!" berseru Hoan Eng dengan suara kaget. "Apa
maksudmu? Kau adalah penolongku, tapi tak mungkin aku
menyerahkan golok dan baju itu!"
Dengan tenang si pemuda melipat baju itu yang lalu
dimasukkan ke dalam sakunya.
"Thio Tan Hong sungkan bertemu dengan orang luar,"
katanya. "Biarlah aku yang menyerahkan golok dan baju ini
kepadanya."
Hoan Eng jadi bingung dan berkata dengan suara terputusputus:
“Ini... ini..." Ia tak dapat meneruskan perkataannya
oleh karena si baju putih sudah mendorong dengan tangannya
dan menggaet dengan kakinya, sehingga tak ampun lagi ia
jatuh celentang. Pada saat itu, si baju putih loncat maju dan
sebelum badan Hoan Eng mengenakan tanah, ia kembali
mendorong. Begitu didorong, badan Hoan Eng terputar
beberapa kali dan kemudian berdiri tegak di tempat tadi. Dua
gerakan itu luar biasa cepatnya dan Hoan Eng menjadi kaget
berbareng gusar.
“Itulah Hiankie Cianghoat (Ilmu pukulan tangan kosong
dari Hiankie)," kata si baju putih dengan suara tawar.
"Meskipun kau belum pernah menyaksikan, rasanya kau sudah
pernah mendengar."
Hoan Eng terkesiap dan ingat penuturan Thio Hong Hu,
bahwa Thio Tan Hong mempunyai ilmu silat Hiankie Cianghoat
yang sangat dashyat.
"Bolehkah aku menanya, pernah apakah kau dengan Thio
Tayhiap?" menanya Hoan Eng.
Si baju putih tidak menjawab langsung pertanyaan orang,
ia hanya berkata: "Sesudah melihat Hiankie Cianghoat, apakah

125
kau masih menyangsikan aku? Golok dan baju biarlah aku
yang menyampaikan."
“Ini... ini..." kata Hoan Eng, tergugu.
“Ini apa?" membentak pemuda itu.
"Dengan membawa baju dan golok itu sebagai bukti, aku
ingin memohon pertolongan Thio Tayhiap untuk mengambil
pulang uang negara," menerangkan Hoan Eng.
Si pemuda mengerutkan alisnya dan menanya: "Uang
apa?"
Dengan menahan sabar Hoan Eng lalu mengisahkan semua
kejadian, cara bagaimana ia sudah terpaksa membantu
melindungi uang itu dan akhirnya cara bagaimana uang
tersebut sudah dirampas oleh seorang perampok bertopeng di
wilayah Shoatang.
"Apa benar di Shoatang ada perampok semacam itu?"
tanya si baju putih.
"Perampok bertopeng itu adalah orang yang sudah mencuri
kepala Ie Tayjin," menerangkan Hoan Eng. "Tak dapat aku
menebak asal-usulnya dan oleh karena itu, mesti juga aku
minta pertolongan Thio Tayhiap."
Sekonyong-konyong paras muka pemuda itu berubah. "Dia
yang mencuri kepala Ie Kokloo?" katanya sembari berjingkrak.
"Baik. Urusan ini pun kau serahkan saja kepadaku. Mari kita
cari padanya. Naik!"
Selagi Hoan Eng bersangsi, badannya sudah diangkat dan
di dudukkan di atas punggung kuda yang lantas saja
dikaburkan.

126
Kira-kira tengah hari, mereka tiba di satu kota kecil.
"Tempat ini sudah termasuk dalam wilayah Shoatang," kata si
baju putih. "Tak usah tiga hari lagi, kita akan tiba di Bongim.
Biar aku membeli seekor kuda untukmu." Sesudah memesan
supaya Hoan Eng menunggu di rumah penginapan, ia lantas
berjalan keluar.
Baru saja Hoan Eng selesai bersantap, si baju putih sudah
kembali dengan tangan menuntun seekor kuda yang cukup
bagus dengan totol-totol putih pada empat kakinya.
Hoan Eng merasa sangat heran, cara bagaimana dalam
tempo begitu cepat, ia sudah dapat membeli seekor kuda
yang baik.
"Hoan Toako," kata si baju putih. "Sebenarnya kita dapat
bersama-sama menunggang seekor kuda, akan tetapi, oleh
karena jalan akan menjadi terlebih ramai, aku kuatir orang
akan mentertawai kita."
Bagi Hoan Eng, urusan itu tak menjadi soal dan mendengar
keterangan si pemuda, hatinya merasa geli. Semenjak
bertemu, ia berusaha untuk mencari tahu siapa adanya si baju
putih, tapi sebegitu jauh ia belum berhasil. Sebagai seorang
yang mengenal baik kebiasaan dalam kalangan Kangouw, ia
tidak berani menanya melit-melit.
Pada hari ketiga, tibalah mereka di Bongim, yaitu tempat di
mana uang pemerintah telah dirampas oleh si perampok
bertopeng. Hoan Eng memberi keterangan, bahwa perampok
itu tak mungkin masih berada di Bongim, tapi si baju putih
tetap kukuh dan mau juga menyelidiki di kota itu. Benar saja,
tiga hari mereka membuang tenaga dengan percuma.

127
Pada hari ke empat, si baju putih masih juga mau
menyelidiki di daerah sekitar Bongim. "Tak gunanya kita
berdiam lama-lama di sini," berkata Hoan Eng dengan suara
kesal.
Pemuda itu mendelik dan berkata dengan suara tawar:
"Kalau begitu, biarlah kau yang memimpin aku untuk
mencarinya."
"Seorang perampok yang seperti dia, biasanya tak
mempunyai tempat yang tentu," kata Hoan Eng. "Cara
bagaimana aku bisa mengetahui tempat sembunyinya?"
"Kalau begitu, biarlah sekali lagi kita pergi ke tempat
perampokan," kata si baju putih. Hoan Eng merasa tidak enak
untuk membantah terus dan lantas saja mang-gutkan
kepalanya.
Tempat terjadinya perampokan itu adalah di pinggir hutan.
Si baju putih mencabut pedangnya yang digunakan untuk
menulis beberapa baris huruf-huruf besar di batang sebuah
pohon besar. Hoan Eng mengawasi tindak-tanduknya dan
lantas saja tertawa besar. Huruf-huruf itu berarti:
"Namanya saja penjahat besar, hatinya kecii seperti tikus.
Sesudah bekerja, tak berani munculkan kepala."
Caranya benar-benar seperti bocah.
Hari itu cape lelah mereka juga terbuang tanpa hasil.
Pada hari ke lima, pemuda itu mendadak berkata: "Tempat
ini adalah sebelah selatan gunung Thaysan. Menurut
pendapatku, sarang perampok bertopeng itu adalah di puncak
gunung ini."

128
"Aku rasa tidak begitu," kata Hoan Eng. "Daerah di sekitar
gunung Thaysan adalah tanah datar. Walaupun tinggi, gunung
itu tidak mempunyai tempat-tempat yang berbahaya,
sehingga semenjak dulu, jarang sekali perampok-perampok
besar bersarang di situ. Jika ingin menyaksikan pemandangan
indah, memang boleh pergi ke Thaysan. Akan tetapi, jika mau
mencari penjahat, aku rasa bukan tempatnya."
Tapi pemuda itu kukuh akan pendapatnya, sehingga
dengan terpaksa, Hoan Eng menuruti juga.
Thaysan adalah salah satu dari Ngogak (Lima gunung suci).
Dibandingkan dengan beberapa gunung besar dalam wilayah
Tiongkok, Thaysan sebenarnya tidak seberapa tinggi. Akan
tetapi, oleh karena terletak dalam propinsi Shoatang yang
tanahnya datar, gunung itu dianggap luar biasa angkernya
dan jumlah kuil yang terdapat di situ adalah lebih banyak
daripada di gunung-gunung lain. Setiap tahun, banyak sekali
pelancong mendaki gunung itu untuk bersembahyang atau
menikmati pemandangan alam yang indah. Di kaki gunung
terdapat banyak sekali rumah penginapan dan restoran untuk
menampung para pelancong itu.
Begitu tiba di kaki gunung, Hoan Eng dan si pemuda segera
memilih sebuah rumah penginapan dan mengambil dua
kamar.
Begitu membuka mulut, pemuda itu menanya: "Apa aman
di atas gunung?"
Ditanya begitu, pelayan hotel terkejut dan menjawab:
"Kenapa tidak aman? Jika tak aman, apa kami bisa berusaha
terus di sini? Jika tuan-tuan ingin mendaki gunung untuk
melihat-lihat pemandangan, kami mempunyai penunjuk jalan
yang meminta upah sangat ringan. Dengan lima uang perak

129
saja, tuan-tuan akan diantar ke berbagai tempat yang indah
pemandangannya."
Hoan Eng manggut-manggutkan kepalanya sembari
senyum. Si pemuda pun turut manggutkan kepala seraya
berkata: "Bagus! Bagus!"
Waktu itu adalah permulaan musim semi. Ratusan macam
kembang sedang mekarnya dan ke mana juga orang pergi, ia
akan mengendus bau-bauan yang sangat harum. Sambil
mengikuti si penunjuk jalan, Hoan Eng dan pemuda itu putar
kayun ke tempat-tempat yang bersejarah dan indah
pemandangannya. Mereka menyeberangi Patsian kio
(Jembatan delapan dewa), melihat-lihat Ongbo tie
(Pengempang Ong Bo Nionio), menyaksikan Cuiliam tong
(Guha tirai air), mendaki puncak Goanpo hong dan
sebagainya. Si pemuda yang tidak mempunyai kegembiraan
untuk menikmati semua pemandangan itu, saban-saban
mendesak supaya si penunjuk jalan berjalan terlebih cepat.
Sesudah melewati pintu Tiongthian bun, tibalah mereka di
Ngotay husiong (lima pohon siong yang berpangkat Tayhu).
Sepanjang cerita, pada waktu mendaki Thaysan, kaizar
Cinsiehong pernah berdiri di bawah lima pohon siong itu guna
berlindung dari serangan hujan, sehingga belakangan kaizar
tersebut menganugerahkan pangkat Tayhu kepada lima pohon
tersebut. Lima pohon itu katanya sudah mati lama sekali,
sedang lima pohon yang ditanam belakangan untuk
menggantikannya, juga hanya ketinggalan tiga. Kecuali pohon,
di tempat itu tidak terdapat pemandangan lain yang berharga,
sehingga si pemuda jadi merasa sangat tidak sabar. Selagi ia
mau berjalan pergi, di sebelah belakang mendadak terdengar
suara tertawa dingin.
Hoan Eng menengok. Ia melihat seorang toosu (imam)
sedang mengawani seorang yang kelihatannya seperti

130
saudagar hartawan serta sedang berbicara sembari tunjaktunjuk,
seperti juga ia lagi menceritakan sejarah lima pohon
siong itu.
"Ada orang mendaki gunung seperti juga sedang mengubar
maling," kata saudagar itu. "Daripada jalan-jalan secara
begitu, ada lebih baik tidur di rumah. Saudara Goan Jim,
benar tidak perkataanku?" Perkataan yang paling belakang
ditujukan kepada seorang kawannya.
"Benar! Benar!" sahut orang yang dipanggil Goan Jim.
"Sesudah berada di atas gunung, orang harus menikmati alam
permai sepuas hati."
Si pemuda baju putih mendadak mendelik dan berkata:
"Aku pergi sebentar."
"Jangan bikin gara-gara," kata Hoan Eng dengan terkejut.
Si pemuda sudah berlari-lari tanpa tercegah lagi, tapi ia
ternyata bukan mau mencari kerewelan, ia pergi kesuatu
tempat sepih, di belakang batu-batu gunung.
"Guna apa pergi jauh-jauh," gerendeng si penunjuk jalan.
"Mau kencing, boleh kencing saja di sembarang tempat."
Melihat lagak pemuda itu, Hoan Eng jadi merasa geli dalam
hatinya.
Begitu kembali, si pemuda menarik Hoan Eng ke tempat
yang agak jauh dan kemudian menanya: "Eh, kau tahu
mereka manusia bagaimana?"
"Dalam matamu, setiap orang adalah kawan si penjahat
bertopeng," sahut Hoan Eng sembari tertawa.

131
Pemuda itu turut tertawa dan bungkam untuk beberapa
saat. "Manusia tak bisa dilihat dari macamnya," akhirnya ia
berkata. "Bukankah Yang Cong Hay pun berdandan seperti
satu saudagar?"
Hoan Eng terkejut. Ia menengok, akan tetapi beberapa
orang itu sudah pergi ke lain tempat.
Sesudah melewati pintu Lamthian bun, mereka mendaki
puncak Thiancu hong, yaitu puncak tertinggi dari gunung
Thaysan, di mana terdapat kuil Giok Hong Koan yang sangat
indah dan biasa digunakan sebagai tempat penginapan para
pelancong.
Mereka tiba pada waktu magrib dan lantas saja minta
tempat untuk bermalam di kuil itu. Diam-diam Hoan Eng
berwaspada, akan tetapi orang-orang tadi ternyata tidak
datang di situ.
Pada besok paginya, si pemuda sebenarnya ingin lantas
turun gunung, tapi keinginan itu sudah dicegah si penunjuk
jalan, yang mengatakan, bahwa siapa juga yang sudah tiba di
situ, tak boleh tidak harus menikmati pemandangan matahari
terbit yang luar biasa indahnya. Hoan Eng menunjang usul
penunjuk jalan itu, sehingga, sesudah berpikir sebentar, si
pemuda terpaksa menyetujui juga.
Memandang matahari terbit dari puncak Thaysan,
sesungguhnya cukup berharga. Pada waktu Hoan Eng bertiga
tiba di tempat memandang sang matahari, di sebelah timur
hanya terlihat sinar putih seperti warna perut ikan, sedang di
antara awan terdapat sinar yang berwarna merah dadu. Jauh
di sebelah bawah, mereka melihat gelombang Laut Tong-hay
yang bermain di permukaan air bagaikan ribuan ikat pinggang
sutera berwarna putih.

132
Mendadak, mendadak saja, sang matahari yang bundar dan
berwarna merah seakan-akan meloncat keluar dari dalam laut.
Dalam sekejap, ia memencarkan sinarnya yang gilang
gemilang, sehingga seluruh jagat seperti juga mengenakan
kerodong merah pengantin perempuan.
Hoan Eng sudah kenyang berkelana di kalangan Kangouw,
akan tetapi, ia belum pernah menyaksikan pemandangan yang
begitu luar biasa. Ia melirik kawannya dan segera juga ia
tertawa dalam hatinya. Pemuda baju putih itu ternyata sedang
mengawasi pemandangan yang sangat indah itu tanpa
berkesip, sedang dari ujung kedua matanya mengetel turun
dua butir air mata.
"Ah, bocah ini masih seperti seekor anak burung yang
belum pernah terbang jauh," kata Hoan Eng dalam hatinya.
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa ramai. Hoan
Eng menengok. Mereka itu ternyata adalah rombongan lain
yang juga ingin menyaksikan matahari terbit dan di antara
mereka, terdapat si saudagar kemarin. Hoan Eng agak
terkejut dan meneliti orang-orang itu, tapi ia tidak
mendapatkan apa-apa yang luar biasa dan tidak lama
kemudian, mereka sudah naik ke tempat yang lebih tinggi.
Sesudah makan pagi, Hoan Eng bertiga lantas turun
gunung dan tiba di rumah penginapan kira-kira pada waktu
magrib.
"Apa tuan-tuan mendapat banyak kegembiraan?" tanya
pelayan hotel. "Bagaimana dengan penunjuk jalan yang aku
pujikan? Apakah tuan-tuan merasa puas?"
Si pemuda hanya menggerendeng, sedang Hoan Eng
menjawab dengan gembira: "Puas, puas sekali!"

133
Begitu masuk ke kamar, pemuda itu lantas mencaci si
penjahat bertopeng yang dikatakan pengecut dan tidak berani
muncul.
Hoan Eng menghampiri dan berkata dengan suara
membujuk: "Saudara, aku tahu kau mempunyai ilmu silat yang
sangat tinggi. Akan tetapi, rupanya kau belum mempunyai
banyak pengalaman di kalangan Kangouw. Orang kata,
tembok mempunyai kuping..."
"Hm!" si pemuda memutuskan perkataannya. "Jika aku
takut aku tentu tidak cari padanya. Aku sungguh ingin bangsa
tikus itu yang dikatakan penjahat besar, mendengar
perkataanku ini." Suaranya semakin lama jadi semakin keras,
sehingga Hoan Eng tidak dapat berbuat lain daripada tertawa
getir.
Tiba-tiba di luar kamar terdengar suara ribut.
"Eh, ada apa?" kata Hoan Eng. "Galak benar suara tamu
itu. Mari kita keluar." Ia berkata begitu untuk menhen-tikan
cacian kawannya. Tiga tamu yang baru datang itu adalah
seorang toosu dan dua pengemis. Mereka berteriak-teriak oleh
karena pelayan hotel menolak untuk menerima mereka.
"Eh, kau ini rupanya hanya melihat pakaian, tidak melihat
manusia," kata si toosu dengan suara gusar. "Kenapa kami
tidak boleh menginap di sini?"
"Tooya," kata pelayan hotel. "Jika ingin menginap di sini,
kau boleh minta kamar. Akan tetapi, menurut peraturan hotel
kami, kami tak dapat menerima kedua tuan ini."
"Dusta!" toosu itu membentak. "Dalam dunia di mana ada
begitu?"

134
Kedua pengemis itu tertawa terbahak-bahak. "Tooya," kata
satu di antaranya. "Benar juga orang berkata, mata anjing
hanya dapat memandang rendah kepada orang." Sehabis
berkata begitu, mukanya berobah dan ia membentak: "Tuan
besarmu tidak memakai sutera, ada sangkut paut apakah
dengan kau!"
"Plak!" ia melemparkan sepotong perak ke atas meja.
"Perak pengemis juga sama putihnya seperti perak tuan-tuan
besar," ia membentak. "Buka matamu!"
Meskipua tidak ada peraturannya, akan tetapi dapatlah di
mengerti jika rumah-rumah penginapan sungkan menerima
tamu pengemis. Selain itu, sebegitu jauh belum pernah, atau
sedikitnya jarang sekali, seorang pengemis minta menginap di
dalam hotel.
Melihat potongan perak yang beratnya kira-kira sepuluh
tahil, si pelayan jadi terperanjat.
Sesudah memikir beberapa saat, ia lantas saja berkata:
"Jika kedua Toaya (tuan) mau menginap juga di sini, boleh
juga dibikin pengecualian."
"Pengecualian apa?" bentak pengemis itu. "Bilang terus
terang: Mau atau tidak mau kau merawati tuan besarmu?"
"Mau! Mau!" jawabnya dengan cepat.
Tanpa banyak rewel lagi, ia lantas mengantar tiga tamunya
ke kamar kelas satu.
Dengan rasa geli, si pemuda kembali ke kamarnya bersama
Hoan Eng. "Sungguh menarik kedua pengemis itu," katanya.
"Enak benar ia memaki orang."

135
"Kalau bukan pendekar, orang semacam itu tentulah juga
penjahat besar," kata Hoan Eng dengan suara perlahan.
"Lebih baik kita jangan merundingkan mereka."
"Apa?" pemuda baju putih itu menegasi. "Kau menduga,
bahwa mereka kawan si penjahat bertopeng?"
"Mungkin," jawabnya.
"Bagus! Kalau begitu, sekarang juga aku mau mencaci
mereka." kata si pemuda.
"Dalam dunia ini terdapat banyak sekali orang luar biasa,"
kata Hoan Eng dengan cepat. "Belum tentu mereka adalah
konco-konco si penjahat bertopeng."
"Ah! Bagaimana sih!" kata pemuda itu dengan suara
jengkel. "Bicaramu sebentar lain, sebentar lain."
"Dengan sesungguhnya aku tak tahu, apa mereka konco si
penjahat atau bukan," kata Hoan Eng dengan suara sabar.
"Maksudku satu-satunya adalah, supaya kau jangan memaki
orang yang berdosa."
"Baiklah, aku tak memaki mereka," kata si pemuda sembari
tertawa. "Biar aku memaki saja bangsa cecurut itu yang
menamakan dirinya penjahat besar." Sehabis berkata begitu,
dengan suara keras ia mencaci habis-habisan, sehingga Hoan
Eng tidak dapat berbuat lain daripada tertawa getir.
Pada besok paginya, si pelayan datang dikamar pemuda
baju putih itu untuk minta uang sewa kamar. Saat itu, Hoan
Eng juga datang dengan me-nengteng buntalannya. Tiba-tiba
si pelayan mengangsurkan sebuah Payhap (kotak kayu yang
berisi surat undangan) seraya berkata: "Barusan datang orang

136
yang memberikan Payhap ini untuk diserahkan kepada kedua
Toaya."
"Siapa yang kirim?" tanya Hoan Eng.
"Orang dari Bu keekhung," jawabnya.
"Hm," gerendeng Hoan Eng, tapi ia tidak membuka kotak
itu dan lantas membereskan uang sewa kamar.
"Terima kasih, terima kasih," kata si pelayan. "Harap Toaya
berdua selamat dalam perjalanan. Apakah masih ada perintah
untukku?"
"Tidak," kata Hoan Eng, tapi pelayan itu belum juga mau
berlalu.
"Eh," kata si pemuda. "Apa dua pengemis itu masih berada
di sini?"
"Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat," jawabnya, "Ah!
Belum pernah aku bertemu dengan tamu yang begitu loyar.
Sepuluh tahil perak, tak mau mengambil pulangannya, semua
dikasikan kepadaku."
Mendengar begitu, Hoan Eng segera mengeluarkan
sepotong perak dari sakunya seraya berkata: "Nah, ini untuk
kau."
Si pelayan menjadi girang sekali dan lantas berlalu sesudah
menghaturkan terima kasih berulang-ulang.
"Hoan Toako," kata si pemuda sembari tertawa. "Kau
rupanya mau adu keloyaran dengan pengemis itu."

137
"Semenjak mencari penjahat bertopeng itu, dalam dua hari
ini kita telah bertemu dengan orang-orang luar biasa dan
kejadian-kejadian luar biasa," kata Hoan Eng sembari
membalik-balik kotak merah.
"Kenapa tidak lantas dibuka?" tanya si pemuda dengan
suara tak mengerti.
Tanpa menyahut, Hoan Eng menutup pintu dan meletakkan
kotak itu di atas meja. Ia menarik pemuda itu ke pojok kamar
dan mengeluarkan sebilah belati.
"Hoan Toako, mau apa kau?" tanya pemuda itu.
Hoan Eng terus bungkam. Ia membuat setengah lingkaran
dan menimpuk dengan belati itu. Dengan satu suara "trak!"
kotak itu terbuka dan tutupnya terlempar jatuh di atas lantai.
Si pemuda merasa sangat tidak mengerti, kenapa
kawannya sudah berlaku begitu rewel untuk membuka kotak
tersebut.
Hoan Eng menghampiri meja dan memungut surat
undangan yang terletak di dalam kotak. "Tulen," katanya
sembari tertawa.
"Tulen apa?" tanya si pemuda. "Dari siapa undangan itu?"
"Undangan Siauwkim-liong (si Naga emas kecil) Bu Cin
Tong," jawab Hoan Eng. "Sungguh mengherankan. Dengan
dia, aku hanya mengenal sele-watan, tapi ia sudah
mengundang aku untuk datang di rumahnya dan malahan
mengundang kau juga."
Bu Cin Tong adalah seorang kaya raya di Shoatang selatan.

138
Sepanjang warta, di waktu muda ia adalah perampok
besar, tapi sesudah mencapai usia pertengahan, ia mencuci
tangan dan berusaha seperti seorang rakyat baik-baik.
Belakangan ia menjadi terkenal sebagai yang paling kaya di
daerah itu. Demikianlah cerita orang yang belum dapat
dipasti-pastikan benar tidaknya.
Bu Cin Tong adalah seorang yang tangannya terbuka dan
suka bergaul. Seluruh tahun, tidak hentinya kawan-kawan
dalam kalangan Kangouw datang berkunjung untuk meminta
bantuan ini atau itu, yang sedapat mungkin selalu
diluluskannya. Itulah sebabnya kenapa ia sudah dijuluki nama
si Naga Emas Kecil, dalam artian bahwa seekor naga selalu
menyemburkan hujan untuk menolong ummat manusia.
Si pemuda baju putih, yang juga sudah pernah mendengar
nama Bu Cin Tong, lantas saja berkata: "Jika itu benar surat
undangan Bu Cin Tong, apa mungkin ada permainan gila?"
"Ada hal yang tidak di mengerti oleh saudara," Hoan Eng
menerangkan. "Bu Cin Tong tentu saja tak mungkin main gila.
Akan tetapi, selalu terdapat kemungkinan, bahwa orang lain,
dengan menggunakan nama Bu Cin Tong, yang mengirim
surat undangan ini. Maka itu, untuk berjaga-jaga, aku sudah
membukanya dengan timpukan belati. Jika orang mau main
gila, dalam kotak ia tentu akan menyembunyikan senjata
rahasia, yang begitu kotaknya terbuka, akan menyambar.
Sesudah mendapat kenyataan, bahwa kotak itu tidak terisi
senjata rahasia, barulah aku berani mengatakan, undangan itu
adalah tulen."
Mendengar keterangan itu, si pemuda jadi merasa sangat
kagum akan hati-hatinya Hoan Eng.
"Masih ada satu hal yang menyurigakan," kata pula Hoan
Eng.

139
"Apa?" tanya pemuda itu.
"Dari sini ke Bu keekhung masih ada seratus delapan puluh
lie," Hoan Eng menerangkan. "Dalam undangannya, ia minta
kita menghadiri perjamuan pada malam ini. Cara bagaimana ia
mengetahui kita mempunyai dua ekor kuda bagus? Lauwtee,
kudamu, seekor kuda mustika, sehari berlari seribu lie, masih
belum mengherankan. Tapi bagi kuda biasa, sehari seratus
delapan puluh lie adalah tugas yang hampir tak mungkin
dilakukan."
Si pemuda baju putih tertawa. "Jika surat undangan itu tak
palsu, apakah mungkin tanpa sebab Siauwkimliong ingin
mencelakakan kita?" katanya sembari tertawa. "Hoan Toako,
berhati-hati memang baik sekali, tapi janganlah keterlaluan
seperti kau. Hayolah, kita berangkat."
Walaupun kuda yang dibeli binatang semba-rangan, larinya
cepat dan ulet sekali. Sesudah lari sehari, sebelum matahari
menyelam ke barat, mereka sudah berada di depan Bu
keekhung.
Dalam jarak tiga lie dari gedung Bu Cin Tong, Hoan Eng
dan si pemuda sudah turun dari kudanya dan meneruskan
perjalanan sambil menuntun tunggangan masing-masing.
Itulah peraturan Kangouw untuk mengunjukkan hormat
kepada tuan rumah.
Sepanjang jalan mereka bertemu dengan banyak sekali
orang yang semua berjalan menuntun tunggangannya, Hoan
Eng menjadi heran. Dilihat tanda-tandanya, Bu Cin Tong akan
mengadakan pesta besar. Di antara orang-orang itu terdapat
juga: si saudagar dengan siapa mereka pernah bertemu di
atas puncak Thaysan, orang yang dipanggil "Goan Jim", si

140
toosu dan kedua pengemis yang pernah cekcok dengan
pelayan hotel.
Si pemuda menggerendeng.
"Sst!" bentak Hoan Eng dengan suara perlahan.
"Bersikaplah secara tenang!"
Si baju putih melirik, dari paras mukanya seperti juga ia
mau mengatakan, masakan soal begitu saja ia tidak mengerti?
Orang-orang itu pun terus berjalan tanpa menengok ke
jurusan Bu keekhung.
Begitu tiba di Bu keekhung, Hoan Eng dan si pemuda
disambut beberapa penyambut yang lantas mengantar mereka
ke taman bunga yang sangat luas, di mana sudah diatur
beberapa puluh meja perjamuan.
Di tengah-tengah taman tersebut terdapat lapangan untuk
berlatih silat dan di kedua sisi lapangan itu berdiri rak-rak
senjata. Hoan Eng dan si pemuda diantar ke sebuah meja
yang letaknya di sebelah timur. Mereka tak mengenal tamutamu
lain yang sedang kasak-kusuk saling menanya, karena
apa Bu Cin Tong mengadakan perjamuan besar. Media
mereka terpisah jauh dari meja tuan rumah dan rupanya
mereka dianggap sebagai tamu biasa saja yang boleh di
tempatkan di sembarang tempat.
Duduk belum lama, perjamuan segera dimulai. Seorang tua
yang jenggotnya bercabang tiga dan berusia kurang lebih
enam puluh tahun berbangkit dan berkata sambil memberi
hormat kepada hadirin: "Terlebih dulu aku hanturkan terima
kasih kepada saudara-saudara yang sudah memberi muka
kepada aku si tua. Dalam mengirimkan Enghiong tiap (surat
undangan untuk orang gagah) kali ini, kecuali Goan Ham
Tiangloo yang tidak bisa datang lantaran mempunyai urusan

141
penting lain, Liu Teng Am Suhu yang sedang sakit dan Han
Kang Tootiang yang belum kembali dari Ouwlam, yang lainnya
semua sudah sudi datang berkunjung. Dengan demikian,
pertemuan kita ini dapat dikatakan pertemuan besar para
orang gagah di lima propinsi Utara. Sebagai pernyataan terima
kasih kepada Saudara-saudara, terlebih dulu aku minta kalian
mengeringkan tiga cawan arak."
Hoan Eng terkejut. Mengirim Enghiong-tiap bukannya
urusan kecil. Bu Cin Tong yang sudah berusia lanjut, sudah
lama mengundurkan diri dari segala urusan Kangouw.
Apakah sekarang ia mempunyai maksud tertentu yang
sangat besar?
Sesudah semua tamunya minum tiga cawan arak. Bu Cin
Tong segera meneruskan pidatonya dengan suara nyaring:
"Saudara-saudara yang hadir di sini adalah sahabat-sahabat
kekal. Dengan tak malu-malu aku mengakui, bahwa di waktu
muda, aku pernah berusaha tanpa modal. Pada waktu
belakangan ini, dengan merasa sangat menyesal, aku
mendengar di antara jago-jago banyak yang bertengkar. Inilah
satu kejadian yang tidak baik. Menurut pendapatku, tanpa
kepala seekor ular tak dapat berjalan. Itulah sebabnya
mengapa aku sudah mengundang para orang gagah datang
ke sini dengan tujuan untuk mengangkat 'Toaliong-tauw1
(pemimpin) yang perintahnya harus ditaati oleh kita bera-mai.
Jika ini dapat tercapai, pertama, kita boleh tidak usah
bertengkar lagi, kedua, kita boleh tidak usah takut lagi kepada
tentara negeri dan ketiga, kita dapat melindungi daerah
sendiri, jika ada serangan dari luar. Sebagaimana Saudarasaudara
mengetahui, ancaman negeri Watzu belum dapat
disingkirkan, sedang di sebelah utara timur, suku Liecin juga
katanya sudah bersiap-siap untuk menggerayang ke wilayah

142
Tionggoan. Sekianlah adanya usulku yang aku harap suka
dipertimbangkan oleh Saudara-saudara sekalian."
Tujuh delapan bagian dari para tamu adalah orang-orang
Lioklim (Rimba Hijau, perampok), yang lainnya terdiri dari
jago-jago Rimba Persilatan yang berusaha secara jujur dan
beberapa orang kepala polisi.
Pidato tuan rumah telah mendapat macam-macam
sambutan. Ada yang berteriak menyatakan persetujuannya,
ada yang bisik-bisik dengan kawan-kawannya dan ada pula
yang tidak mengeluarkan suara. Bu Cin Tong menyapu semua
tamunya dengan matanya dan kemudian mengetok meja,
sehingga suara ribut lantas berhenti.
"Saudara-saudara," ia meneruskan pidatonya. "Walaupun
kita sudah mengadakan perserikatan dan mempunyai
pemimpin, akan tetapi, sesudah masuk dalam perserikatan,
sahabat-sahabat dari jalanan putih (bukan perampok) dapat
meneruskan usahanya sendiri dengan leluasa dan mereka
hanya diminta jangan menyusahkan kawan-kawan kalangan
Lioklim, seperti air sumur jangan mengganggu air sungai. Jika
muncul urusan, semua pihak harus berdamai dengan
pemimpin kita yang akan menjaga agar tidak ada pihak yang
dirugikan."
Mendengar keterangan itu, beberapa kepala polisi yang
kenamaan lantas saja merasa setuju. Dengan adanya
peraturan begitu, jika di belakang hari terjadi perampokan dan
pembesar atasan memperintah mereka untuk mengambil
pulang barang-barang rampokan itu, mereka jadi tak usah
turun tangan sendiri dengan mati-matian. Harus diketahui,
bahwa biarpun kepala-kepala polisi itu harus mempunyai ilmu
silat sangat tinggi, akan tetapi, biar bagaimana pun juga,
mereka harus mempunyai hubungan dengan pentolanpentolan
kalangan

143
RimbaHijau, supaya, jika kejepit, mereka masih bisa
meminta pertolongan dari pentolan-pentolan itu. Dengan
demikian, usul Bu Cin Tong untuk mengangkat Toaliongtauw
yang akan mengurus segala sengketa, pada hake-katnya
sangat menguntungkan kepala-kepala polisi itu. Maka itu,
mereka lantas saja mengangkat tangan dan memberi
persetujuan.
"Bu Lookhungcu!" seru seorang. "Kalau begitu, biarlah
kedudukan Toaliongtauw diduduki Lookhungcu sendiri."
Bu Cin Tong tertawa seraya berkata: "Sudah dua puluh
tahun, aku si tua menutup pintu dan menyimpan golok. Mana
aku mempunyai napsu lagi untuk tampil ke muka? Sekarang
ini aku hendak mengusulkan seorang yang rasanya cukup
cakap untuk menduduki kursi Toaliongtauw. Pit Lauwtee!
Harap kau suka bangun untuk berkenalan dengan para orang
gagah."
Begitu mendengar perkataan Bu Cin Tong, semua orang
segera mengulurkan leher untuk melihat, siapa adanya orang
itu yang dipujikan tuan rumah.
Di lain saat, seorang pemuda yang duduk di samping tuan
rumah, berdiri. Ia berbadan tinggi besar, alisnya tebal,
matanya besar, berewoknya pendek dan kaku, sedang usianya
belum cukup tiga puluh tahun. Dengan matanya yang tajam,
ia menyapu para hadirin. Banyak orang merasa terkejut dan
heran, oleh karena mereka tidak mengetahui, siapa adanya
pemuda itu. Antara mereka, adalah Hoan Eng yang paling
besar rasa kagetnya, lantaran, dilihat dari potongan badan
dan gerak-geriknya, pemuda itu bukan lain daripada si
penjahat bertopeng! "Saudara-saudara," demikian Bu Cin
Tong berkata pula. "Meskipun belum cukup dua tahun Pit
Lauwtee menerjunkan diri ke dalam kalangan Lioklim,

144
namanya sudah cukup menggetarkan dan sudah melakukan
beberapa pekerjaan yang mengejutkan. Dengan seorang diri,
ia pernah merubuhkan Lokho
Samliong (Tiga naga dari Lokho), tanpa berkawan ia
pernah menggulingkan Han Khung Jiehouw (Han dan Khung,
dua macan), dengan sebelah tangan ia pernah menyambut
dua belas golok terbang Cong-piauwtauw (pemimpin) Cinwie
Piauwkiok dan ia juga pernah merampas emas intan raja
muda Sengcinong yang berharga dua puluh laksa tahil perak.
Akan tetapi, dalam melakukan pekerjaannya, Pit Lauwtee
selalu sungkan memperlihatkan mukanya dan di kalangan
pembesar negeri, ia hanya dikenal sebagai si perampok
bertopeng!"
Keterangan Bu Cin Tong disambut dengan suara kaget dan
heran oleh para hadirin. Dalam Rimba Persilatan, si penjahat
bertopeng sudah sangat tersohor, tapi hanya berapa gelintir
orang saja yang pernah melihat mukanya.
"Saudara-saudara," Bu Cin Tong melanjutkan
keterangannya. "Paling belakang, Pit Lauwtee kembali sudah
melakukan dua pekerjaan yang benar-benar hebat. Pertama,
ia sudah merampas uang negara yang besarnya tiga puluh
laksa, sehingga Koan Kie, si manusia busuk dari Rimba
Persilatan yang sudah kaya raya, jadi kerupukan!"
Hoan Eng berdebar hatinya. Mendengar adik angkatnya
dinamakan manusia busuk yang kaya raya, mukanya menjadi
panas lantaran malu.
Sesudah berdiam beberapa saat, Bu Cin Tong berkata pula.
"Pekerjaannya yang kedua adalah pekerjaan yang terlebih
hebat lagi. Sebagaimana kalian mengetahui, Ie Kiam adalah
tihang negara yang putih bersih. Sungguh menyedihkan,

145
beliau sudah dibunuh mati oleh kaizar bebodoran, sehingga
semua orang gagah di kolong langit jadi mendidi darahnya.
Belum lama berselang, Pit Lauwtee sudah mengaduk di
ibukota dan dengan beruntun sudah membinasakan tujuh
Wiesu (pengawal) istana kaizar. Meskipun tidak berhasil
menolong Ie Kiam, ia sudah dapat merampas kepala menteri
berjasa itu, sehingga beliau dapat dikubur dengan anggau-ta
badan lengkap. Menurut pendapatku, pekerjaan itu saja sudah
cukup berharga untuk kita mengangkat ia sebagai
Toaliongtauw."
Hoan Eng melirik dan melihat si pemuda baju putih
berobah paras mukanya, sedang tangan kanannya menyekal
gagang pedang.
"Hiantee (adik), jangan terburu napsu," ia berbisik.
"Dengarkan dulu apa yang dikatakannya."
Baik juga, waktu itu semua orang sedang bersorak sorai,
sehingga tidak ada yang memperhatikan mereka. Si pemuda
melepaskan tangannya, tapi kedua matanya masih terus
mengawasi orang she Pit itu tanpa berkesip. Sifat kebocahan
yang biasanya terdapat dalam sikapnya, mendadak lenyap.
Melihat laga-lagu pemuda itu, Hoan Eng jadi merasa heran
sekali. Si baju putih agaknya sangat bernapsu untuk
mengambil pulang kepala Ie Kiam. Tujuan mencari si penjahat
bertopeng kelihatannya adalah untuk mencari tahu maksud
pencurian kepala itu. Ada hubungan apakah antara si baju
putih dan Ie Kiam? Pertanyaan itu tak dapat dijawab Hoan
Eng.
Sementara itu, Bu Cin Tong sudah berkata pula: "Meskipun
Pit Lauwtee belum lama menerjunkan diri ke dalam kalangan
Rimba Hijau, akan tetapi, ia bukan seorang yang tidak
mempunyai asal usul besar. Aku merasa, saudara-saudara

146
yang hadir di sini tentunya sudah pernah mendengar nama
ayahnya."
"Siapa? Siapa?" demikian terdengar teriakan dari segala
peloksok.
"Tiga puluh tahun berselang, ayahnya adalah seorang yang
kenamaan dalam dunia Kangouw," kata Bu Cin Tong.
"Cianpwee itu bukan lain daripada Cinsamkay (Menggetarkan
tiga benua) Pit To Hoan!" Sekarang ia mewarisi kedudukan
ayahnya sebagai Pang-cu dari Kaypang (partai pengemis) di
Utara barat dan ia pun menjadi adik angkat Ciu San Bin,
Kimtoo Siauwceecu di luar kota Ganbunkwan. Namanya
adalah Pit Kheng Thian!"
Mendengar itu, biji mata si baju putih bergerak dua kali dan
paras mukanya luar biasa.
Hoan Eng jadi tambah bersangsi. "Kau kenal ia?" tanyanya.
Pemuda itu yang sedang memusatkan perhatiannya kepada
Pit Kheng Thian, menyahut secara menyimpang: "Hm! Kalau
begitu, dia putera Cinsamkay? Kenapa dia tidak menjadi
paderi? Kenapa dia kesudian menjadi Toaliongtauw?"
Harus diketahui, bahwa menurut peraturan keluarga Pit To
Hoan, setiap anak lelaki yang sudah dewasa harus menjadi
pengemis untuk sepuluh tahun lamanya, kemudian menjadi
hweeshio untuk sepuluh tahun lagi dan sesudah itu, baru ia
dapat memelihara rambut, menikah dan berusaha seperti
orang biasa. Jika Pit Kheng Thian mentaati peraturan keluarga
itu, dalam usianya kira-kira belum cukup tiga puluh tahun,
semestinya ia tengah menjalankan tugas sebagai paderi.

147

Hoan Eng merasa sangat heran. Si baju putih yang belum

mengenal seluk-beluk kalangan Kangouw, agaknya banyak mengetahui asal usul banyak orang ternama.

Meskipun Pit To Hoan sudah meninggal dunia lama berselang, namanya masih cemerlang. Baru saja Bu Cin Tong memperkenalkan jagonya itu, seluruh ruangan lantas saja menjadi ramai dengan suara orang yang masing-masing berunding dengan kawan-kawannya. Semua orang gagah yang berada di situ sangat mengagumi Cinsamkay, akan tetapi terhadap puteranya yang baru saja dia tahun tampil ke muka, mereka belum merasa ta'luk, meskipun pemuda itu pernah melakukan beberapa pekerjaan yang menggemparkan.

"Orang-orang Lioklim yang masing-masing menganggap dirinya jagoan, tak gampang-gampang mau bertekuk lutut," pikir Hoan Eng. "Dilihat begini, Pit Kheng Thian rasanya harus lebih dulu membuktikan kepandaiannya."

Pit Kheng Thian menyapu semua orang itu dengan matanya yang angkar bagaikan mata harimau. "Sebagaimana saudarasaudara mengetahui, waktu ini dunia sudah mulai kalut,"

katanya dengan suara nyaring. "Dikatakan orang, dalam jaman begitu, enghiong hidup menderita, yang hidup mewah kebanyakan adalah manusia-manusia rendah. Jika kita sekarang mengharapkan tangan kaizar untuk membereskan negara, adalah seperti mengharapkan embun tengah hari.

Maka itu, usul Bu Lookhungcu untuk mengangkat seorang pemimpin Rimba Hijau adalah usul yang harus diselesaikan secara lekas. Akan tetapi, penunjukan supaya aku menjadi Toaliongtauw benar-benar merupakan kejadian yang dapat ditertawakan orang. Bukankah di tempat ini terdapat banyak sekali orang yang lebih tepat?"



Baru habis ia mengucapkan perkataannya, di seluruh taman lantas saja terdengar teriakan banyak orang berlomba-lomba mengutarakan pendapatnya.

"Kenapa Pit Lauwtee berlaku begitu sungkan?" kata Bu Cin Tong.

"Sedari dulu, enghiong muncul daripada kalangan orangorang muda," seru seorang lain. "Kedudukan Toaliongtauw memang pantas di tempati Pit Ceecu."

"Siapa lagi yang berani merampas uang Yamunsu?" Tanya seorang.

"Apakah orang lain berani mengacau di ibukota? Benar sekali perkataan Bu Lookhungcu, bahwa dua pekerjaan itu saja sudah mencukupi syarat untuk menjadi pemimpin kita."

"Kedudukan Toaliongtauw bukan usia pentingnya!" teriak seorang yang duduk pada meja sebelah belakang.

"Meskipun ia gagah, pengalamannya dalam Rimba Hijau masih agak kurang!"

"Siapa merasa tak puas, boleh main-main sedikit dengan aku!" teriak orang lain yang rupanya menjadi penunjang Pit Kheng Thian.

Tiba-tiba, dari antara orang banyak meloncat keluar seorang, yang lantas saja berkata sembari tertawa ha-ha hi-hi:

"Siapa yang berhak menjadi Toaliongtauw, bagiku bukan soal penting. Tapi siauwtee adalah seorang pedagang. Sebelum rela menjadi pegawai toko, siauwtee harus mengetahui dulu berapa besar modal sang majikan."



Hoan Eng mengawasi. Orang itu ternyata adalah si saudagar, dengan siapa ia pernah bertemu di atas gunung Thaysan.

Baru selesai si saudagar berbicara, seorang lain sudah meloncat keluar. "Harta orang tidak boleh sembarang dipertunjukkan di depan orang banyak," kata orang itu.

"Orang yang bermodal besar, mana mau membeber hartanya di hadapanmu? Aku si pengemis hanya mempunyai dua tangkhie (uang tembaga), yang hanya cukup untuk membeli phia bakar atau bubur dingin. Maukah kau menengok hartaku itu?"

Orang ini ternyata adalah salah seorang pengemis yang kemarin membikin ribut di rumah penginapan. Jawabannya yang diucapkan secara lucu, sudah membikin semua orang tertawa bergelak-gelak.

"Baiklah!" kata si saudagar dengan suara mendongkol.

"Tapi, apakah dua tangkhie itu cukup untuk melayani tamu?"

Sehabis berkata begitu, ia segera mengeluarkan senjatanya.

Senjata itu berwarna kuning dengan sinar berkilauan.

Banyak orang terkejut, karena senjata tersebut adalah sebuah shuiphoa (alat hitung Tionghoa) yang dibuat dari emas murni!

"Ah! Kenapa dia tampil ke muka?" kata seorang yang duduk berdekatan dengan Hoan Eng.

"Siapa?" tanya si baju putih.

"Siauwko (saudara kecil), kau masih berusia sangat muda, tidak mengherankan jika kau tidak mengenal ia," kata orang itu. "Seperti Bu Khungcu, ia pernah menjadi perampok.

Sesudah melakukan beberapa pekerjaan besar, tiba-tiba ia cuci tangan dan lalu berusaha. Merampok, dia pandai, berdagang, dia lebih pandai lagi. Belum cukup sepuluh tahun, hartanya sudah hitung ratusan laksa. Tiekoan dan Tiehu semua mempunyai hubungan yang sangat baik dengan ia.

Yang tahu ia pernah menjadi perampok hanya beberapa orang dan sekarang, semua orang menyebut ia Cian Pek Ban (si Kaya raya dengan harta ratusan laksa). Jika Siauwko mau tahu namanya, ia adalah Cian Thong Hay."

"Sungguh heran," seorang lain menyeletuk. "Dia begitu kaya, tetapi tak mau duduk diam di rumah. Guna apa rewelrewel di sini?"

Si baju putih melirik kepada Hoan Eng dan bersenyum simpul.

Diam-diam Hoan Eng merasa jengah, oleh karena, dengan segala pengalamannya, ia masih tidak dapat mengenali seorang seperti Cian Thong Hay.

"Siapakah pengemis itu?" tanya lagi si pemuda.

"Dia adalah Hupang-cu (wakil pemimpin) Partai pengemis, namanya Pit Yan Kiong," jawab orang tadi. “a adalah keponakan jauh Pit To Hoan."

"Nama orang itu menarik sekali," kata si baju putih sembari bersenyum. Tak ingin miskin (put yan kiong), benar-benar menjadi miskin."

Senjata si pengemis adalah sebatang tongkat bambu yang agaknya biasa digunakan untuk menggebah anjing, jika ia sedang mengemis. Senjata kedua lawan itu berbeda bagaikan langit dan bumi, yang satu mewah luar biasa, yang lain memperlihatkan kemiskinan yang sangat. Begitu berhadapan, tanpa bicara lagi, mereka lantas saja bertempur.

Dengan senjatanya yang aneh, Cian Thong Hay mempunyai pukulan-pukulan yang aneh pula dan shuiphoa itu terutama digunakan untuk merebut senjata musuh.

Di lain pihak, tongkat Pit Yan Kiong licin luar biasa dan selalu melejit setiap kali akan "dikunci" senjata lawan.

Sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Cian Thong Hay mendadak menghantam ke depan sehingga biji-biji shuiphoa-nya mengeluarkan suara kerotakan.

"Ha! Berapa besar jumlah duit baumu?" Pit Yan Kiong mengejek.

Dengan sekali memukul dan sekali menarik, Cian Thong Hay coba merebut tongkat si pengemis. Mendadak dengan suara "krok", Pit Yan Kiong menyemburkan riaknya. Cian Thong Hay sekarang bukan Cian Thong Hay dulu, waktu masih berkelana dalam dunia Kangouw dan tak takut akan segala kotoran. Kuatir badannya ke-sambar riak, buru-buru ia menarik pulang senjatanya dan berkelit ke samping. Pit Yan Kiong menyabet dan dengan bunyi "trangl", shuiphoa itu kena terpukul. Si saudagar membalik tangannya untuk merebut senjata musuh, tapi si pengemis kembali menyemburkan riaknya, sehingga ia terpaksa berkelit lagi.

Sesudah memperhatikan jalan pertempuran si baju putih dan Hoan Eng mengetahui, bahwa dalam ilmu silat, si saudagar lebih unggul, tapi dalam tenaga, ia kalah dari lawannya.

Selama kurang lebih tiga puluh jurus, Pit Yan Kiong mempertahankan diri dengan mengandalkan riaknya, sehingga Cian Thong Hay semakin lama jadi semakin gusar.



Sesudah lewat beberapa jurus lagi, ketika Pit Yan Kiong menghantam dengan tongkatnya, Cian Thong Hay mendadak menggetarkan shuiphoa-nya dan entah dengan gerakan apa, dua biji alat hitung itu tiba-tiba menyambar. Berbareng dengan itu, si pengemis mengeluarkan teriakan kesakitan dan jatuh berlutut di atas tanah. Ternyata jalan darah di kedua lututnya telah disambar biji-biji shuiphoa itu.

"Kau menyerah?" tanya Cian Thong Hay sembari tertawa.

Ia maju setindak sambil mengangkat sebelah kakinya sebagai akan menendang dan kemudian niat memungut dua biji shuiphoa itu yang terbuat dari emas murni.

Mendadak Pit Yan Kiong loncat bangun, tangan kirinya memungut dua biji emas itu, sedang tangan kanannya menyekal tongkat, dan dengan terpincang-pincang, ia kembali ke mejanya. "Ha-ha-ha!" ia tertawa terbahak-bahak. "Dalam dunia ini banyak sekali orang yang berlutut dihada-pan uang.

Dengan memandang muka emas, aku sudah berlutut dihadapanmu."

Baru saja ia berkata begitu, dari antara meja-meja perjamuan sekonyong-konyong meloncat keluar seorang toosu (imam) yang mengenakan juba pertapaan kuning.

Dengan gerakan gesit, lebih gesit daripada Pit Yan Kiong, ia meloncat ke dalam gelanggang.

"Hoan Toako, lihatlah!" bisik si baju putih. "Dia adalah toosu bau itu, yang kemarin menginap di hotel."

Cian Thong Hay agak terkejut, ia melintangkan senjatanya di depan dada dan berkata: "Ah! Apakah Hian Eng Tootiang juga mau turut serta dalam keramaian?"



Disebutkannya nama itu sudah mengejutkan banyak orang.

Hian Eng Toojin adalah kepala kuil Siangceng koan di propinsi Shoatang.

Menurut kata orang, ia mempunyai silat yang luar biasa tingginya dan sampai sebegitu jauh, ia belum pernah berkelana dalam dunia Kangouw, sehingga tampilnya ke dalam gelanggang pertempuran, sudah mengherankan sangat banyak orang.

Hian Eng Toojin mendongak dan tertawa besar.

"Kedatangan pin-too di sini adalah untuk minta sedekah,"

katanya dengan suara tawar. "Di antara begini banyak orang, Lauwko-lah yang terhitung paling beruang. Maka itu, sudah sepantasnya jika aku memohon sedikit derma dari kau."

"Bagus! Bagus!" kata Cian Thong Hay. "Apakah Tootiang perlu uang perak?"

"Lauwko adalah seorang gagah yang tangannya terbuka,"

sahut Hian Eng. "Aku tak perlu uang perak, yang kubutuhkan adalah emas. Lauwko pun tak usah berabe pulang untuk mengambil emas. Biji-biji emas dari shuiphoa itu sudah mencukupi keperluanku."

Cian Thong Hay mendongkol bukan main, ia senyum tawar seraya berkata: "Jika begitu, biarlah Tootiang mengambil sendiri." Ia mengebas dengan senjatanya yang lantas saja mengeluarkan suara kerotakan.

"Baiklah," kata Hian Eng. "Kau tak sekaker, aku pun tak usah berlaku sungkan." Berbareng dengan perkataannya, ia mengeluarkan hudtim (kebutan yang biasa dimiliki orang pertapaan) dan lalu mengebut.



Cian Thong Hay pa-paki senjata itu dengan shuiphoa-nya untuk "dikunci" dan dibetot. Akan tetapi hudtim adalah benda lemas dan dengan sekali meng-gentak, Hian Eng sudah meloloskankan senjatanya dari ikatan. Cian Thong Hay membalik tangannya dan menggulung hudtim itu di tihang shuiphoa.

"Bagus! Kasi!" seru si imam sembari membetot.

Cian Thong Hay merasakan tangannya kesemutan dan tiga biji shuiphoa sudah direbut si imam.

Ia terkejut bukan main, tak berani ia menyerang lagi secara sembarangan. Sambil menyekal senjatanya erat-erat, ia bersilat dengan taktik membela diri, sehingga untuk sementara waktu, Hian Eng tidak dapat berbuat banyak.

Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, hati Cian Thong Hay mulai tentaram pula. Tiba-tiba Hian Eng tertawa dan berkata dengan suara mengejek: "Kau sudah kehilangan beberapa biji emas, apa kau tidak merasa sakit hati?"

Sehabis mengejek, ia membalikkan senjatanya dan dengan kecepatan kilat, lalu menotok alis Cian Thong Hay dengan gagang hudtim. Buru-buru Cian Thong Hay manggut dengan gerakan Honghong Tiamtauw (Burung Hong manggut) dan berbareng menghantam dengan shuiphoa-nya. Tapi tak dinyana, totokan itu hanya gertakan untuk memancing serangan si saudagar.

Begitu lekas shuiphoa itu menyambar, Hian Eng mengebut dan dua biji emas kembali terpental keluar dari dalam alat hitung itu. Dengan sekali menjambret, dan biji emas itu sudah

berada dalam tangannya.



Sampai di situ, Cian Thong Hay sebenarnya ingin segera mengakhiri pertandingan itu, tapi ia terus didesak oleh Hian Eng, sehingga tak dapat meloloskan diri.

Dalam tempo sekejap, belasan biji shuiphoa kembali kena direbut.

Sembari mencecer lawannya, Hian Eng terus menghitung: "Satu, dua, tiga, empat, lima..." Tidak lama kemudian, empat puluh sembilan biji sudah dikantongi si imam.

Sebuah shuiphoa mempunyai tiga belas tihang yang masing-masing terisi tujuh bijinya.

Sesudah dua biji direbut Pit Yan Kiong, dalam shuiphoa itu ketinggalan delapan puluh sembilan biji dan dari jumlah itu sudah hilang pula empat puluh sembilan biji.

Cian Thong Hay merasakan dadanya sesak.

"Baiklah! Sekarang aku mau mengadu jiwa!" ia berteriak.

Sekonyong-konyong sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menggoyangkan senjatanya dan... loh! Empat puluh biji itu terbang berbareng dan menyambar Hian Eng dari berbagai jurusan. Itulah ilmu melepaskan senjata rahasia yang sangat istimewa, yang dinamakan Boanthian Hoaie Saykim

khie (Di selebar langit turun hujan bunga, menyebar uang emas). Melihat itu, semua penonton jadi merasa kagum.

Tapi Hian Eng Toojin bersikap tenang sekali. Ia tertawa besar seraya berkata: "Cian Toaya sungguh royal dan aku pun tidak usah sungkan-sungkan lagi." Sebaliknya dari berkelit, ia mengebas kalang kabut dengan kedua tangan jubahnya yang sangat panjang dan dalam tempo sekejap, seantero biji

shuiphoa itu sudah masuk ke dalam tangan jubahnya!



Muka Cian Thong Hay menjadi pucat bagaikan mayat. Ia berdiri terpaku di tengah gelanggang sambil menyekal shuiphoa-nya yang sudah kosong.

Tampik sorak bergemuruh terdengar di seluruh taman. Hian Eng membungkuk sembari bersenyum, tapi sebelum ia sempat membuka suara, di antara sorak sorai, mendadak terdengar suara orang yang menyeramkan: "Guna apa berlaku begitu kejam? Aku sungguh tak tega melihatnya!"

Suara itu tidak begitu keras, tapi sangat menusuk kuping dan sudah menindih sorakan ramai itu.

Hian Eng Toojin terkejut dan di lain saat, seorang tinggi besar sudah loncat masuk ke dalam gelanggang dengan melompati kepala sekian banyak tamu.

"Cian Lauwtee!" kata orang itu. "Jangan pergi dulu. Aku akan mengambil pulang biji emasmu!"

Orang itu juga berdandan seperti saudagar dan begitu melihat, Hoan Eng terkesiap lantaran orang itu bukan lain daripada Yang Cong Hay. Si baju putih juga kaget dan tangannya merasa gagang pedangnya.

"Yang Toako," kata Bu Cin Tong dengan suara manis. "Kau juga datang? Hian Eng Tootiang adalah kawan kita!"

Pada jaman itu, Yang Cong Hay adalah salah satu dari empat ahli pedang utama di seluruh Tiongkok. Nama besarnya sudah menggetarkan Rimba Persilatan, tapi karena ia hanya berkelana di daerah Sucoan, Hunlam dan Kwiciu, maka di antara orang-orang gagah di wilayah Tionggoan, banyak sekali

yang belum pernah bertemu muka dengan ia. Begitu she-nya disebutkan Bu Cin Tong, semua orang jadi terperanjat.

"Kawan apa?" kata Yang Cong Hay dengan suara tawar.

"Cian Lauwtee adalah seorang saudagar jujur. Tujuanku hanya untuk mengambil pulang modalnya!"
Berbareng dengan perkataannya itu, ia menghunus pedang.
Mendengar perkataan yang tidak segan-segan itu, Hian
Eng, lantas saja naik darahnya. Tanpa mengucapkan sepatah
kata, ia mengebut dan coba menggulung gagang pedang Yang
Cong Hay dengan hudtim-nya. Pukulan itu yang diberi nama
Ouwliong jiauw-cu (Naga hitam melibat tihang) adalah salah
satu pukulan paling berbahaya dari Thiankong Hudtim khiu
(ilmu bersilat dengan kebutan) yang mempunyai tiga puluh
enam jalan. Dengan sekali membalik tangan, ia membuat
suatu gerakan yang sangat sukar ditebak arahnya. Hian Eng
sangsi, ia tidak tahu, apakah musuh akan menikam ke sebelah
kiri atau ke sebelah kanan. Di saat ia bersangsi, pedang Yang
Cong Hay mendadak berkelebat bagaikan kilat cepatnya dan
dengan bunyi "bret!", tangan jubah si imam ditembusi pedang
dan biji-biji shuiphoa yang tersimpan di dalamnya lantas saja
jatuh berarakan di atas tanah!
Hian Eng gusar bukan main. Dengan gerakan Poanliong
jiauwpo (Naga bertindak), ia loncat ke samping kanan Yang
Cong Hay sembari mengiram serangan.
"Hidung kerbau!" kata Yang Cong Hay sembari tertawa
dingin. "Apa kau masih mau berku-kuh mengangkangi segala
harta rampasan?" Berbareng dengan itu, ia menikam tulang
pundak Hian Eng yang lantas mengegos sembari memapaki
pedang itu dengan hudtim-nya. Tapi gerakan pedang Yang
Cong Hay sangat aneh dan tidak dapat diduga terlebih dulu.
Di tengah jalan, pedang tersebut mendadak berobah arahnya
dan dengan bunyi "bret" untuk kedua kalinya, tangan juba kiri
Hian Eng telah dirobek, dan biji-biji shuiphoa yang tersimpan
di situ tentu saja jatuh berantakan.

158
Kejadian itu sudah membikin semua orang terkesiap. Dalam
mata mereka, Hian Eng Toojin adalah seorang ahli silat kelas
utama yang jarang ada tandingannya. Tapi siapa nyana,
dalam dua gebrakan saja, kedua tangan jubahnya sudah
dirobek semua.
Hian Eng jadi mata gelap.
Dengan kedua kaki menginjak kedudukan Ngoheng Patkwa,
ia menyerang dengan hudtim-nya secara mati-matian.
Sebenarnya, meskipun kepandaian Hian Eng masih kalah
setingkat dari Yang Cong Hay, akan tetapi bedanya tidak
begitu besar. Tadi, lantaran kedua tangan jubahnya penuh biji
shuiphoa, ia tidak dapat bergerak dengan leluasa, sehingga
Yang
Cong Hay dapat menarik banyak keuntungan. Sekarang,
sesudah semua biji emas itu jatuh berarakan, gerakannya
menjadi terlebih gesit, ia dapat membela diri dan balas
menyerang.
Sesudah lewat beberapa jurus, Yang Cong Hay mendadak
berseru: "Kenal", dan pedangnya menyambar. Hian Eng loncat
dengan perasaan heran. Pukulan itu bukan pukulan luar biasa
dan gampang sekali dipunahkan. Ia tidak mengerti, kenapa
lawannya berteriak: "Kena!" Sekonyong-konyong suatu sinar
emas berkelebat di depan matanya. Ternyata, dengan gerakan
yang indah sekali, dengan ujung pedangnya, Yang Cong Hay
sudah menyontek sebuah biji shuiphoa yang lantas terbang ke
arah Cian Thong Hay. Ia ini lantas saja menyambuti dan
memasukkan biji emas itu ke dalam alat hitungnya.
Sorakan riuh kembali menggetarkan seluruh taman.
Dengan sikap bangga, Yang Cong Hay terus mencecer Hian
Eng dengan pukulan-pukulan hebat dan setiap kali imam itu
loncat minggir, ia menyontek sebuah biji shuiphoa yang

159
segera disambuti si saudagar she Cian. Dalam tempo sekejap,
delapan puluh sembilan biji shuiphoa yang tadi berhamburan
di atas tanah, sudah kembali ke dalam shuiphoa Cian Thong
Hay.
Dengan paras muka pucat bagaikan kertas, Hian Eng
menarik pulang hudtim-nya dan menghampiri Pit Kheng
Thian. "Pintoo tak mempunyai kemampuan, sehingga Ceecu
menjadi hilang muka," katanya sembari membungkuk.
"Sekarang aku meminta diri dan mohon Ceecu sudi
memaafkan."
Bu Cin Tong dan Pit Kheng Thian coba mencegah, tapi
orang pertapaan itu sudah berlalu dengan tindakan lebar.
Perkataan Hian Eng menggenggam permintaan supaya Pit
Kheng Thian turun tangan untuk menolong mukanya. Semua
mata sekarang ditujukan kepada pemuda itu untuk melihat
gerakannya.
Yang Cong Hay sama sekali tidak memperduli-kan. Sambil
menyentil pedangnya, ia berpaling kepada Cian Thong Hay
seraya berkata: "Hian-tee, apakah modalmu sudah dapat
diambil pulang semuanya?"
Tiba-tiba Pit Yan Kiong tertawa terbahak-bahak. Ia muncul
dari antara orang banyak dan berkata: "Orang kaya mengeduk
kantong sama mustahilnya seperti naik ke langit. Baiklah! Oleh
karena Yang Toaya sudah tampil ke muka, maka aku si
pengemis tak dapat berbuat lain daripada muntahkan kembali
makanan yang sudah berada di dalam muiut." Sehabis berkata
begitu, ia menyentil dengan jerijinya dan dua buah biji
shuiphoa lantas saja melesat di tengah udara. Ilmu Cian
Thong Hay lebih tinggi daripada si pengemis dan ia sungkan
menyia-nyiakan kesempatan untuk memperlihatkan
kepandaiannya. Ia mengangkat shuiphoa-nya untuk

160
menyambuti dan dua biji itu jatuh tepat sekali di tihang yang
masih belum lengkap isinya.
Dengan sekali menekuk tihang itu, isi shuiphoa tersebut
sudah penuh kembali seperti sediakala.
"Toaya yang kaya-raya," kata Pit Yan Kiong. "Sekarang
modalmu sudah kembali semua. Apakah masih membutuhkan
bunganya?"
Dengan berkata begitu, si pengemis ingin Yang Cong Hay
lantas berlalu dari tempat itu.
Tapi Yang Cong Hay tetap tidak berkisar dari tempatnya di
tengah gelanggang. Ia kembali menyentil pedangnya dan
berkata dengan suara tawar: "Benar! Orang dagang
selamanya mengharapkan bunga untuk uangnya."
Pernyataan itu sudah mengejutkan semua orang. "Apa ia
mau merebut kedudukan Toaliongtauw?" tanya Bu Cin Tong di
dalam hatinya. “lmu silatnya cukup tinggi, hanya sepak
terjangnya tidak begitu bagus. Jika ia menjadi pemimpin
kalangan Lioklim di lima propinsi Utara, kita bakal jadi
berabe."
Orang yang berpendapat sama dengan Bu Cin Tong
berjumlah besar, maka sorakan yang terdengar hanya keluar
dari beberapa gelintir orang yang mungkin juga konco Yang
Cong Hay.
Sementara itu, dengan tindakan perlahan, Pit Kheng Thian
berjalan masuk ke dalam gelanggang. Begitu berhadapan
dengan Yang Cong Hay, ia mengawasi dengan kedua matanya
yang tajam bagaikan pedang.

161
"Toaliongtauw," kata Yang Cong Hay dengan suara dingin.
"Pengajaran apakah yang kau mau berikan kepadaku?"
Pit Kheng Thian mendongak dan terbahak-bahak. "Aku
adalah seorang houwpwee (orang yang tingkatannya rendah)
dengan kepandaian yang sangat cetek," katanya. "Mana
berani aku memikul tugas sebagai Toaliongtauw? Saudaraku
ini adalah seorang pengemis yang sangat miskin dan tidak
mempunyai uang untuk membayar bunga. Maka itu, apa boleh
buat, aku saja yang tolong membayarnya."
"Bagus! Bagus!" kata Yang Cong Hay. "Kalau begitu, aku
pun boleh tidak usah sungkan-sungkan lagi." Berbareng
dengan perkataannya, ia menikam jalan darah Hiankie hiat, di
bawah tenggorokan Pit Kheng Thian.
Dengan cepat, Pit Kheng Thian menangkis pedang musuh
dengan toyanya yang sebesar mangkok. Tanpa me-robah
kuda-kuda, tangkisan itu ia susul dengan pukulan Bu Siong
pahhouw (Bu Siong pukul harimau), yaitu membabat lutut
musuh.
"Sungguh cepat!" seru Yang Cong Hay, sembari
menyampok dengan pedangnya. Berbareng dengan suara
bentrokan senjata, Pit Kheng Thian terhuyung ke depan
beberapa tindak, sedang Yang Cong Hay mundur ke belakang
dengan sempoyongan.
Ternyata, dalam sampokannya, Yang Cong Hay telah
menggunakan tenaga Imjiu (tenaga "lembek") dan dengan
meminjam tenaga Yangkong (tenaga "keras") dari Pit Kheng
Tian, ia niat merubuhkan lawannya itu.
Jika tenaga antara kedua orang itu tidak berbeda seberapa,
tujuan Yang Cong Hay pasti akan terwujud. Akan tetapi, Pit
Kheng Thian mempunyai "tenaga malaikat", pe-ngasi Tuhan.

162
Pukulan Bu Siong pahhouw itu luar biasa hebatnya dan
biarpun Yang Cong Hay berhasil menyampok toya Pit Kheng
Thian, ia sendiri telah dibikin terpental dan sempoyongan ke
belakang beberapa tindak. Di lain pihak, begitu lekas toyanya
kebentrok dengan ujung pedang, Pit Kheng Thian mengetahui
adanya bahaya. Buru-buru ia menyontek dengan toyanya,
miringkan badannya dan meloncat beberapa tindak ke depan
dengan agak sempoyongan. Demikianlah, yang satu mundur,
yang lain maju, masing-masing tidak mempunyai kesempatan
untuk membarengi dengan serangan membalas. Maka itu,
dalam gebrakan tersebut, mereka dapat dikatakan seri.
Sesudah kedua belah pihak memperbaiki kedudukan
masing-masing, mereka lalu mulai bertempur pula dengan
hebatnya.
Pedang Yang Cong Hay menyelam timbul di tengah udara
bagaikan naga yang sedang memain di lautan, sedang toya Pit
Kheng Thian ber-kelebat-kelebat, seakan-akan burung Hong
tengah berterbangan. Semua orang gagah yang menyaksikan
pertempuran itu jadi terpesona. Mereka merasa kagum sekali
melihat seorang muda yang usianya belum cukup tiga puluh
tahun, sudah dapat menandingi kiamkek kenamaan.
Dengan cepat lima puluh jurus sudah lewat dan belum ada
yang keteter.
Tiba-tiba, berbareng dengan suatu siulan panjang, Yang
Cong Hay merubah cara bersilatnya. Sinar pedangnya
berkelebat-kelebat bagaikan kilat menyambar dan sebatang
pedang itu, bahna cepatnya bergerak-gerak, kelihatan seperti
ratusan pedang yang menyambar-nyambar di sekitar badan
Pit Kheng Thian, seakan-akan turunnya rontokan bunga ditiup
angin. Dikurung secara begitu, perlahan-lahan Pit
Kheng Thian jatuh di bawah angin.

163
Cian Thong Hay kelihatan girang sekali, ia menyentil-nyentil
biji shuiphoa-nya sembari berkata seorang diri: "Bunganya
pasti akan segera dibayar!"
Pit Yan Kiong yang berdiri di pinggir gelanggang lantas saja
tertawa ha-ha hi-hi. "Memang juga bunganya akan lantas
dibayar," katanya. "Tapi belum tentu, pihak mana akan
membayarnya!"
Cian Thong Hay melirik dengan paras gusar. "Toaya yang
kaya raya!" kata Pit Yan Kiong sembari tertawa. "Jangan
gusar." Ia menyelesap dan lalu menghilang di antara orang
banyak.
Sekonyong-konyong jalan pertempuran kembali berubah.
Untuk melayani pedang musuh, Pit Kheng Thian sudah
merubah cara bersilatnya. Jika tadi ia bersilat dengan tenaga
Yangkong yang agresif, adalah sekarang toyanya berputarputar
di sekitar badannya, dalam gerakan membela diri dan
sama sekali tidak mengandung serangan pembalasan. Akan
tetapi, ahli-ahli yang ilmunya tinggi, mengetahui, bahwa
sekarang Pit Kheng Thian sedang bersilat dengan tenaga Imjiu
dan gerakan toyanya merupakan gerakan lingkaran atau
setengah lingkaran, sehingga toya yang keras dan lempang itu
seolah-olah joanpian, atau pecut lemas.
Dalam pelajaran ilmu silat, terdapat kata-kata seperti
berikut: "Tombak takut kepada lingkaran, pecut mengenai
kelurusan." Tombak dan toya adalah senjata yang
kegunaannya sama. Jika seorang dapat menggunakan tombak
atau toya seperti pecut dan membuat gerakan-gerakan
melingkar, maka lawannya harus berlaku hati-hati.
Demikianlah, begitu lekas Pit Kheng Thian merubah cara
bersilatnya, pedang Yang Cong Hay lantas saja dapat ditindih

164
dan gerak-gerakannya tidak begitu cepat lagi. Akan tetapi,
dalam gerakannya yang lebih perlahan itu, Yang Cong Hay
kelihatan menggunakan lebih banyak tenaga, seperti juga
berat pedangnya bertambah seribu kati.
"Hm! Yang Toacongkoan sekarang menggunakan Iweekang
yang sangat tinggi," geren-deng si baju putih. "Aku mau lihat,
bagaimana ia melayani ilmu toya itu."
Baru habis perkataan itu diucapkan, suatu bentrokan
senjata yang sangat nyaring memecahkan kesunyian taman
itu. Di antara lelatu api, toya Pit Kheng
Thian kelihatan terbang di tengah udara, sehingga semua
orang mengeluarkan seruan kaget. Dalam detik yang sama,
Yang Cong Hay agaknya seperti orang kesima, ia terpaku dan
tidak bergerak untuk menyerang. Gesit sungguh gerakan Pit
Kheng Thian. Di saat itu juga, badannya melesat dan
tangannya menyambuti toyanya yang sedang melayang turun
kembali. Dan sebelum kedua kakinya hinggap di atas tanah, ia
memutar toyanya dan laksana seekor elang, ia menghantam
kepala Yang Cong Hay.
Dalam pertempuran antara kedua jago itu, Pit Kheng Thian
menang tenaga, sedang Yang Cong Hay lebih unggul dalam
Iweekang dan pengalaman. Ia mahir sekali dalam ilmu
meminjam tenaga musuh untuk menjatuhkan musuh.
Barusan, selagi Pit Kheng Thian menghantam dengan toyanya,
ia membarengi menyerang dengan pedangnya dengan
menggunakan sembilan bagian tenaganya. (Dalam
pertandingan antara jago-jago kelas utama, seseorang tidak
boleh menggunakan tenaganya 100 persen untuk menjaga
serangan membalas yang mendadak. Digunakannya sembilan
bagian tenaga adalah ukuran yang paling tinggi). Dalam
perhitungannya, pukulan tersebut pasti akan dapat
mematahkan toya Pit Kheng Thian. Tapi ia tidak mengetahui,

165
bahwa toya itu adalah senjata mustika, warisan dari leluhur
keluarga Pit. Toya itu dikenal sebagai Hang-liong pang (Toya
menaklukkan naga), dibuat dari pohon Hang-liong su yang
tumbuh di atas gunung Lamthian san. Walaupun dibuat dari
kayu, toya itu lebih keras dan ulet daripada emas maupun
besi. Dulu dalam pertempuran antara Thio Tan Hong dan Pit
To Hoan, pedang mustika Tan Hong masih belum dapat
mengutungkan Hangliong pang itu.l) Maka itu, dapat di
mengerti jika pedang Yang Cong Hay, yang hanya lebih baik
sedikit dari pedang biasa, tidak dapat berbuat banyak
terhadap toya mustika tersebut. Dalam bentrokan itu, berkat
tenaga dalamnya, Yang Cong Hay berhasil melontarkan toya
Pit Kheng Thian, akan tetapi, berbareng dengan itu,
pedangnya juga somplak dan tangannya terbeset sehingga
mengeluarkan darah.
Sabetan toya Pit Kheng Thian yang di kirim selagi tubuhnya
masih berada di tengah udara, sudah mengejutkan semua
orang. Dengan cepat, Yang Cong Hay mengerahkan tenaga
dalamnya dan memapaki toya itu. Semua orang menduga,
bentrokan senjata kali ini, akan sepuluh kali lebih hebat
daripada bentrokan yang pertama. Tapi di luar dugaan,
bentrokan antara kedua senjata itu sama sekali tidak
mengeluarkan suara dan lebih mengherankan lagi, toya itu
seperti juga menempel di ujung pedang, sedang tubuh Pit
Kheng Thian masih terus berada di tengah udara. Yang Cong
Hay membentak keras dan maju tiga tindak, sambil
menggentak pedangnya.
Tapi... toya itu terus menempel di ujung pedang dan tubuh
Pit Kheng Thian tetap menggelantung di tengah udara! Semua
orang terkesiap, sedang mereka yang ilmunya belum seberapa
tinggi, tidak mengetahui apakah artinya semua itu.
Si baju putih, Bu Cin Tong dan beberapa jago lain yang
ilmunya tinggi, tentu saja mengerti, bahwa kedua lawan itu

166
sedang mengadu tenaga dalam. Barusan, waktu mema-paki
toya lawannya, Yang Cong Hay telah menggunakan Liankin
dan Pengkin dengan berbareng (tenaga untuk menempel dan
tenaga untuk melontarkan), semacam ilmu Iweekang yang
sangat tinggi. Di lain pihak, walaupun Iweekang-nya masih
kalah setingkat, sabetan Pit Kheng Thian, yang dilakukan dari
atas ke bawah, sudah menambah tenaganya, sedikitnya
separoh lebih. Ditambah lagi dengan berat badannya, tenaga
toya itu (yang menindih ke bawah) tidak kurang dari seribu
kati! Maka itu, meskipun Yang Cong Hay sudah berhasil
memunahkan tenaga yang menyabet, ia masih merasakan
beratnya tenaga yang menindih itu. Liankin-nya sudah berhasil
menempel senjata musuh, tapi dengan Pengkin-nya, ia gagal
untuk melontarkan lawannya.
Sembari jalan mengitari gelanggang, Yang Cong Hay
menggoyang-goyangkan pedangnya dalam usaha untuk
melontarkan lawannya yang menempel bagaikan lintah.
Tapi sebegitu jauh ia belum berhasil dan dalam sekejap
saja badan kedua orang itu sudah basah dengan keringat.
Bu Cin Tong mengeluh di dalam hatinya.
Jika keadaan itu dipertahankan dalam tempo yang agak
lama, ia mengetahui, Pit Kheng Thian bisa celaka. Keadaan Pit
Kheng Thian agak lemah, oleh karena ia belum dapat menarik
pulang tenaga pukulannya dan tidak bisa mengerahkan tenaga
lagi, sebab badannya masih berada di tengah udara.
Sambil mengerutkan alisnya, Bu Cin Tong berjalan masuk
ke dalam gelanggang. Ia menyoja seraya berkata: "Jika dua
harimau berkelahi terus menerus, salah satu mesti celaka.
Yang Toako dan Pit Hiantee sekarang kalian boleh berhenti
saja."

167
Tapi mereka tidak menyahut, agaknya karena sedang
memusatkan seluruh semangat dan menggunakan semua
tenaga mereka.
"Yang Toako," kata pula Bu Cin Tong. "Kau adalah seorang
kiamkek yang sudah mendapat nama besar. Pit Hiantee
adalah enghiong yang tingkatannya terlebih rendah. Yang
Toako! Kau biasanya berkelana di daerah Selatan barat dan
jika kau mempunyai niatan untuk berusaha di wilayah Utara,
kedudukan Toaliongtauw dapat kita rundingkan terlebih jauh."
Bu Cin Tong sudah berkata begitu lantaran ia belum
mengetahui Yang Cong Hay sudah menjabat pangkat
Toacongkoan di dalam istana kaizar. Ia menduga, orang she
Yang itu benar-benar mau merebut kedudukan Toaliongtauw
dari tangan Pit Kheng Thian.
Dibujuk dengan kata-kata manis, sedikitpun Yang Cong Hay
tidak menggubris. Sesudah berada di atas angin, tentu saja ia
sungkan melepaskan korbannya. Ia berjalan semakin cepat
mengitar gelanggang, sehingga Pit Kheng Thian seperti juga
sebuah perahu kolek yang sedang ditiup angin. Bu Cin Tong
tidak berdaya, ia ingin menolong, tapi kepandaiannya tidak
mencukupi.
Selagi semua orang mengawasi dengan hati berdebardebar
dan sedang Bu Cin Tong berada dalam kebingungan
hebat, mendadak saja terdengar suara seseorang yang sangat
nyaring: "Kalian tidak tahu diri! Yang Toacongkoan mana
memandang sebelah mata segala kedudukan Toaliongtauw!"
Hampir berbareng dengan suara itu, sekuntum bunga emas
melesat di tengah udara, yang dengan menerbitkan bunyi
"cring!", menghantam ujung pedang Yang Cong Hay!

168
Senjata rahasia itu yang dilepaskan dengan tenaga yang
tepat sekali, sudah memukul miring ujung pedang itu dan di
lain saat, sesudah memutar badan satu kali, Pit Kheng Thian
hinggap di atas bumi.
Kejadian itu disusul dengan loncat masuknya seorang
pemuda baju putih, ke dalam gelanggang. Tak usah dikatakan
lagi, bunga emas itu adalah miliknya.
Semua orang, tak terkecuali Bu Lookhungcu sendiri, merasa
sangat kaget. Mereka tak nyana, bahwa seorang yang usianya
masih begitu muda, sudah mempunyai tenaga dalam yang
sedemikian tinggi.
Perlu diterangkan, bahwa untuk timpu-kannya itu, si
baju putih telah menggunakan tenaga Kiauwkin (tenaga
yang dikeluarkan secara tepat, pada saat yang tepat pula).
Selagi Iweekang Yang Cong Hay beradu dengan Iweekang Pit
Kheng Thian, ia menghantam di tengah-tengah yang kosong
di antara kedua tenaga yang besar itu. Dalam pelajaran ilmu
silat, pukulan itu dinamakan Sieniu pociankin (dengan tenaga
empat tahil menjatuhkan tenaga ribuan kati). Itulah
sebabnya, kenapa dengan sekali menghantam saja, si baju
putih sudah berhasil.
Mengetahui itu, Pit Kheng Thian jadi merasa kagum sekali.
Dengan tindakan tenang, si baju putih berjalan mendekati
Yang Cong Hay. Ia menyapu semua orang dengan sepasang
matanya yang bersinar bening dan kemudian mengawasi Yang
Cong Hay. "Yang Toacongkoan," katanya. "Kau mengabdi
kepada Hongsiang (Kaizar), kurasa kau masih sangat
kekurangan tempo. Mana kau mempunyai tempo untuk
menjadi Toaliongtauw dari kaum Rimba Hijau. Bukankah
begitu?"

169
Baru habis si pemuda mengucapkan perkataannya, seluruh
taman lantas menjadi gempar. Harus diketahui, bahwa belum
cukup sebulan Yang Cong Hay memegang jabatan
Toacongkoan. Ia menerima jabatan tersebut sebelum Kie Tin
merebut pulang takhta kerajaan. Ketika itu, Kie Tin masih
dikurung di dalam istana Lamkiong dan belum diketahui,
apakah usahanya akan berhasil. Oleh karena itu,
pengangkatan Yang Cong Hay sangat dirahasiakan dan hanya
diketahui oleh beberapa orang. Tak usah dikatakan lagi,
orang-orang kalangan Kangouw tak ada satu pun yang
mengetahui kejadian tersebut.
Begitu lekas si baju putih membuka rahasia, orang yang
paling dulu mengajukan pertanyaan adalah Bu Cin Tong.
"Yang Toako, benarkah itu?" tanyanya.
Sementara itu, semua orang gagah lantas saja berlombalomba
menyatakan pendapat. Ada yang merasa sangsi, ada
yang gusar, ada yang lantas mengejek... sehingga seluruh
taman menjadi ramai sekali.
"Kamu di sini mengangkat Liongtauw, siapa yang paling
kuat, dia yang menjadi jago," sahut Yang Cong Hay. dengan
suara angkuh. "Apa yang aku sendiri kerjakan, ada sangkut
paut apa dengan kamu semua?"
Paras muka Bu Cin Tong lantas saja berubah. Ia
mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Air sumur tidak
mengganggu air kali," katanya. "Orang gunung tak berani
melayani orang mulia. Yang Toacongkoan! Maafkan aku yang
tidak bisa melayani kau lagi!"
Yang Cong Hay melirik, ia melihat semua orang sudah
menyekal gagang senjata dan semua mata mengawasi ia
dengan sorot gusar. Meskipun Bu Cin Tong tidak berani
terang-terangan memberontak terhadap kaizar, akan tetapi ia

170
mengetahui, bahwa berbagai ceecu itu adalah orang-orang
yang tak takut mati dan bisa berbuat segala apa. Walaupun
ilmu silatnya sangat tinggi, tak urung ia gentar juga. Ia
masukkan pedangnya ke dalam sarung dan tertawa tengal
untuk menutupi goncangan hatinya.
"Baiklah," katanya kepada Cian Thong Hay. "Sekarang baru aku tahu, kedudukan Toaliongtauw bukan direbut dengan kepandaian. Orang tak bermodal juga dapat berdagang besar.

Guna apa kita berdiam lama- lama lagi di sini? Saudagar tulen lebih baik berlalu!"

"Apa artinya saudagar tulen?" kata Pit Yan Kiong dengan suara tawar. "Saudagar tulen tentu dimaksudkan manusia yang bisa mengurut-urut lutut Hongtee (kaizar) supaya bisa lekas-lekas naik pangkat."

"Jangan sombong kau!" bentak seorang. "Kau sama sekali belum dapat menjatuhkan Pit Ceecu. Kalau mau, boleh menjajal-jajal lagi!"

Suara cacian menjadi semakin ramai, sehingga tanpa menengok pula, sembari menuntun tangan Cian Thong Hay, Yang Cong Hay buru-buru berlalu bersama beberapa konconya. Sekarang baru orang mengetahui, bahwa si kaya raya Cian Thong Hay sudah bersekutu dengan Toacongkoan itu, dengan niatan menjadi orang berpangkat.

Baru saja Bu Lookhungcu ingin membuka mulut, si baju putih mendadak menghunus sebatang pedang pendek yang sinarnya berkilauan.

Bu Cin Tong terkejut.

"Apa bocah yang masih bau susu itu juga ingin merebut kedudukan Toaliongtauw?" tanyanya di dalam hati.



Sementara itu, sembari menuding Pit Kheng Thian dengan pedangnya, si baju putih berkata: "Bahwa kau menjadi Liongtauw, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan aku.

Tapi benda yang kau curi sebelum menjadi Liongtauw, harus dipulangkan kepadaku!"

Bu Cin Tong heran bukan main. Sepanjang pengetahuannya, harta yang berharga kurang dari selaksa

tahil perak, sedikitpun tidak menarik hati Pit Kheng Thian. Di samping itu, pekerjaannya tak dapat dikatakan "mencuri", tapi "merampok" terang-terangan. Mendengar perkataan si baju

putih, Bu Cin Tong menduga, ia sedang minta kembali sejumlah uang yang telah dirampas Pit Kheng Thian.

Maka itu, lantas saja ia menyahut: "Gampang, urusan ini gampang diselesaikan. Aku yang bertanggung jawab, aku akan membayar pulang seanteronya."

Pemuda itu tertawa dingin seraya berkata: “aku berhutang sebuah kepala manusia. Apakah kau bisa membayarnya?"

Bu Cin Tong terkesiap. Ia mengawasi si baju putih dengan mata melotot.

"Apakah kepala itu milik keluargamu?" tanya Pit Kheng Thian.

Mata pemuda itu segera menjadi merah, seperti orang yang hampir mengucurkan air mata. "Kau mau mengembalikan atau tidak?" ia membentak.

"Tapi sekarang sukar sekali, walaupun aku ingin mengembalikannya," jawab Pit Kheng Thian.

Paras muka si baju putih lantas saja berubah pucat.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, tiba-tiba ia menikam. Pit Kheng Thian loncat mundur sambil menangkis dengan toyanya, tapi pemuda itu, yang gerakannya cepat luar biasa, dalam sekejap

saja sudah mengirimkan sembilan tikaman, sehingga Pit Kheng Thian lantas saja kena didesak.

Serangan-serangan si baju putih menyambar-nyambar bagaikan kilat dan jika dinilai dari kiamhoat-nya,

kepandaiannya malah masih lebih tinggi daripada Yang Cong Hay.

"Saudara kecil, janganlah terburu napsu," kata Bu Cin Tong dengan suara membujuk. "Jika kau mempunyai ganjelan apaapa, cobalah tuturkan kepada kami secara terang. Jika Pit Ceecu sudah kesalahan tangan, aku akan minta ia mengadakan sebuah meja perjamuan untuk meminta maaf."

Dengan berkata begitu, Bu Cin Tong menduga, Pit Kheng Thian telah membinasakan seorang yang mempunyai hubungan erat dengan si baju putih dan ia ini sekarang datang untuk membalas sakit hati. Dalam dunia Kangouw kejadian itu adalah kejadian lumrah dan Bu Cin Tong berusaha untuk

mendamaikan kedua belah pihak.

Tapi pemuda itu tidak menjawab dan terus menyerang semakin hebat. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, Pit Kheng Thian segera bersilat dengan ilmu Kimliong hiesui (Naga emas memain di air). Dengan kesiuran angin yang menderu-deru, Hangliong pang-nya berkelebat-kelebat di sekitar badan si

baju putih yang pedang pendeknya lantas saja dapat ditindih.

"Apakah sekarang kau masih menganggap aku sebagai bangsa tikus?" tanya Pit Kheng Thian sembari tertawa.

"Kabur sesudah mencuri bukan perbuatan seorang gagah!" bentak pemuda itu. "Kau mau mengembalikan atau tidak?"



Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Kepala saja tiada gunanya," katanya. "Aku bersedia untuk mengembalikan seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku sudah kerjakan secara sempurna."

"Benarkah?" tanya si baju putih sembari menarik pulang pedangnya.

"Dengan mempertaruhkan jiwa, aku sudah mencuri kepala orang," sahut Pit Kheng Thian dengan suara sungguhsungguh.

"Mustahil dalam soal ini aku bisa berbicara mainmain?"

Kedua mata pemuda itu kembali menjadi merah. "Kalau begitu," katanya dengan suara perlahan. "Kau adalah Injinku (tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi."

Oleh karena tak mengetahui bagaimana persoalannya, semua orang yang berada di taman itu, terhitung juga Bu Cin Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh karena pemuda itu adalah orang yang baru dikenal, Bu Cin Tong merasa tidak enak untuk menanya terlebih jauh.

Mengingat bahwa urusan Toaliongtauw belum dapat diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Bu Lookhungcu lantas saja berkata: "Pit Ceecu adalah seorang yang berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan saudara-saudara sudah menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia diangkat menjadi Toaliong-tauw, apakah ada saudara yang merasa tidak puas?"

Semua orang lantas saja memberi persetujuannya dan selagi Pit Kheng Thian coba menolak, Bu Cin Tong sudah mendahului:



"Sedang para ceecu sudah menyetujui, aku rasa Hiantee tak perlu berlaku sungkan lagi."

"Tahan!" sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil menghunus pedang. "Masih ada satu urusan yang aku ingin kemukakan."

Bu Cin Tong mengerutkan alisnya, ia kuatir jika kemudian akan muncul urusan yang tidak enak.

"Toaliongtauw," kata si baju putih. "Aku masih mempunyai suatu perhitungan yang harus diselesaikan dengan kau."

Pit Kheng Thian melotot, akan kemudian tertawa besar. "Saudara kecil," katanya "Kau benar-benar rewel! Sakit hati ada asal mulanya, hutang piutang ada tuan uangnya, pedang pendeknya lantas saja dapat ditindih.

"Apakah sekarang kau masih menganggap aku sebagai bangsa tikus?" tanya Pit Kheng Thian sembari tertawa.

"Kabur sesudah mencuri bukan perbuatan seorang gagah!" bentak pemuda itu. "Kau mau mengembalikan atau tidak?"

Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Kepala saja tiada gunanya," katanya. "Aku bersedia untuk mengembalikan seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku sudah kerjakan secara sempurna."

"Benarkah?" tanya si baju putih sembari menarik pulang pedangnya.

"Dengan mempertaruhkan jiwa, aku sudah mencuri kepala orang," sahut Pit Kheng Thian dengan suara sungguhsungguh.

"Mustahil dalam soal ini aku bisa berbicara mainmain?"



Kedua mata pemuda itu kembali menjadi merah. "Kalau begitu," katanya dengan suara perlahan. "Kau adalah Injin-ku (tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi."

Oleh karena tak mengetahui bagaimana persoalannya, semua orang yang berada di taman itu, terhitung juga Bu Cin Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh karena pemuda itu adalah orang yang baru dikenal, Bu Cin Tong merasa tidak enak untuk menanya terlebih jauh.

Mengingat bahwa urusan Toaliongtauw belum dapat diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Bu Lookhungcu lantas saja berkata: "Pit Ceecu adalah seorang yang berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan saudara-saudara sudah menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia diangkat menjadi Toaliongtauw, apakah ada saudara yang merasa tidak puas?"

Semua orang lantas saja memberi persetujuannya dan selagi Pit Kheng Thian coba menolak, Bu Cin Tong sudah mendahului:

"Sedang para ceecu sudah menyetujui, aku rasa Hiantee tak perlu berlaku sungkan lagi."

"Tahan!" sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil menghunus pedang. "Masih ada satu urusan yang aku ingin ke mukakan."

Bu Cin Tong mengerutkan alisnya, ia kuatir jika kemudian akan muncul urusan yang tidak enak.

"Toaliongtauw," kata si baju putih. "Aku masih mempunyai suatu perhitungan yang harus diselesaikan dengan kau."



Pit Kheng Thian melotot, akan kemudian tertawa besar.

"Saudara kecil," katanya "Kau benar-benar rewel! Sakit hati ada asal mulanya, hutang piutang ada tuan uangnya. Sedang tuan uang berada di sini, guna apa kau yang mewakili bicara?"

Bu Cin Tong kaget. Dari perkataannya, Pit Kheng Thian ternyata sudah mengetahui perhitungan apa yang hendak diselesaikan dan sudah mengundang orang yang berkepen-tingan langsung tampil ke muka.

Di lain saat, seorang laki-laki yang berbadan kasar loncat masuk ke dalam gelanggang.

Orang itu mempunyai brewok yang kaku seperti kawat dan kedua matanya bersinar terang sekali. Orang yang mengenal a segera berseru: "Ah! Itulah Soanhoahu Hoan Eng!"

Hoan Eng nmerang-kap kedua tangannya untuk member hormat dan berkata dengan suara nyaring: "Pit Ceecu! Kaumbarangkali masih ingat pertemuan kita di sebelah selatan gunung Thaysan.

Sekarang beruntung kita dapat bertemu muka pula.

Sudikah kau membayar pulang uang itu yang berjumlah tiga

puluh laksa tahil?"

Begitu Hoan Eng habis bicara, seluruh taman lantas saja

ramai.

"Kenapa Soanhoahu Hoan Eng melindungi uang pembesar

negeri?" tanya seorang.

"Sungguh luar biasa!" kata yang lain.
177

Hoan Eng adalah turunan ahli silat yang ternama dan

dalam kalangan Kangouw, ia terkenal sebagai seorang jujur

dan dihormati. Begitu lekas persoalan itu muncul, semua

orang segera merasakan sukarnya memecahkan soal itu.

Dilihat dari sudut persahabatan dengan Hoan Eng, uang itu

harus dikembalikan. Akan tetapi, menurut peraturan Lioklim,

uang pembesar negeri yang sudah dirampas, tak boleh

dipulangkan dengan begitu saja. Di samping itu, Yamunsu

Koan Kie dikenal sebagai seorang busuk dalam Rimba

Persilatan yang sangat serakah akan segala kemewahan. Maka

itu, jika Pit Kheng Thian mengembalikan uang tersebut, ia

tidak berlaku adil dan mengecewakan harapan kalangan

Lioklim.

Semua mata mengawasi jago muda itu tanpa berkesip,

sedang paras muka Hoan Eng sebentar merah dan sebentar

pucat. Melihat Pit Kheng Thian belum juga menjawab, dengan

suara terputus-putus Hoan Eng berkata pula: "Urusan ini...

sebenarnya agak memalukan. Akan tetapi... dengan

sesungguhnya siauwtee telah didesak keadaan. Aku

sebenarnya ingin minta pertolongan Thio... Thio..."

Mendadak perkataan itu diputuskan dengan suara

tertawanya Pit Kheng Thian. "Aku tahu," katanya. "Aku tahu

pembesar anjing itu adalah keponakan Thio Hong Hu. Tapi

andaikata urusan ini diberitahukan Thio Hong Hu, belum tentu

Thio Hong Hu sudi mengakui dia sebagai keponakan. Selain

itu, aku mempunyai serupa adat. Sekali bekerja, aku tidak

akan meladeni segala permintaan dikembalikan hasil

pekerjaan itu, biarpun yang datang mendamaikan adalah

pentolan Bulim yang paling jempol. Meski orang menggunakan

gunung Thaysan untuk menindih aku, aku toh tak akan

menyerah!"

Yang dimaksudkan Hoan Eng sebenarnya adalah Thio Tan

Hong, tapi sudah salah ditafsirkan oleh Pit Kheng Thian. Hoan



178

Eng menjadi semakin jengah, sedang si pemuda baju putih

kembali meraba gagang pedangnya.

Sekonyong-konyong Pit Kheng Thian tertawa terbahakbahak.

"Tapi," katanya. "Mengingat kau sudah dapat

menyambut tiga hantaman toyaku, urusan ini masih dapat

didamaikan."

"Kalau begitu, aku menyerahkannya kepada pertimbangan

Ceecu," kata Hoan Eng dengan hati sedikit lega.

Pit Kheng Thian menepuk kedua tangannya sembari

berteriak: "Bawa kemari!" Semua orang yang sedang

mengawasi Pit Kheng Thian sudah tidak memperhatikan Pit

Yan Kiong yang entah dari mana datangnya, sudah muncul

sembari menggusur seorang yang mengenakan pakaian

pembesar negeri.

"Pengadilan bersidang!" katanya sembari tertawa. “Inilah

Yamunsu Toalooya (tuan besar)!"

Hoan Eng terperanjat. Orang itu bukan lain daripada

saudara angkatnya, Koan Kie! Muka Koan Kie pucat bagaikan

mayat, badannya gemetar, matanya, yang bersorot ketakutan,

sebentar mengawasi Pit Kheng Thian, sebentar melirik Hoan

Eng, gerak-geriknya tak beda dengan seorang peran-taian

yang sudah dijatuhi hukuman mati.

"Hoan Toako!" kata Pit Kheng Thian sembari tertawa. "Aku

sudah mengundang saudara angkatmu datang kemari dari

kantor Yamunsu. Apakah perbuatanku ini tidak cukup

menghormat terhadap sahabat?"

Hoan Eng kaget berbareng gusar. Ia kaget lantaran Pit

Kheng Thian sudah berhasil menawan Koan Kie yang berada

di tempat begitu jauh, harus diingat, bahwa ilmu silat Koan Kie



179

bukan ilmu sem-barangan, sedang kantor Yamunsu biasanya

mempunyai penjagaan yang sangat kuat. Penculikan itu

sungguh bukan pekerjaan gampang. Berbareng dengan itu, ia

merasa gusar oleh karena Pit Kheng Thian sedikit pun tidak

"memberi muka" kepadanya. Sebaliknya dari mengembalikan

uang itu, ia sudah menggusur saudara angkatnya dihadapan

orang banyak.

"Koan Tayjin!" kata Pit Kheng Thian. "Dalam beberapa hari

ini aku sudah berlaku kurang pantas terhadapmu!"

Melihat dirinya sukar terlolos dari bahaya, Koan Kie jadi

berbalik tenang. "Aku adalah pembesar kerajaan," katanya

dengan suara keras. "Aku boleh mati, tapi sungkan menerima

hinaan. Mau dibunuh, kau boleh bunuh. Guna apa banyak rewel! Hoan Toako! Aku hanya ingin meninggalkan suatu pesan kepadamu.

Tolong kau memberitahukan hal ini kepada Thio Siepek."

Demikianlah, dalam menghadapi bahaya maut, ia menggunakan nama Thio Hong Hu untuk coba menggertak Pit Kheng Thian. Ia tidak mengetahui, bahwa orang tua itu sudah meninggal dunia bersama-sama dengan empat pahlawan istana.

Sebenarnya Hoan Eng sendiri tidak dapat menghargakan sepak terjang Koan Kie. Akan tetapi, mengingat persaudaraan yang sudah turun menurun, hatinya merasa pilu dan tanpa merasa, ia mengucurkan air mata. Selagi ia hendak bicara, mendadak terdengar suara tertawa Pit Kheng Thian.

"Hm! Pembesar kerajaan apa?" kata Pit Kheng Thian.

"Agaknya kau belum mengetahui, bahwa kau sedang dicari majikanmu! Jika sekarang aku melepaskan kau dan kau tak mampu mengembalikan tiga puluh laksa tahil perak itu, bukankah seluruh keluargamu akan dihukum mati? Ha! Jika hanya kau seorang yang mampus, sedikit pun tak usah dibuat menyesal! Akan tetapi, kematianmu itu akan menyeret juga anak isterimu. Inilah yang dinamakan "budi" kerajaan!"

Khoan Kie terkesiap. Perkataan Pit Kheng Thian bukan gertak sambal belaka. Memang benar, kalau ia tidak bisa mengadakan uang itu, seluruh rumah tangganya akan menghadapi bahaya termus-na. Mengingat begitu, mukanya lantas saja berubah pucat. Tanpa merasa, ia berkata dengan suara perlahan: "Aku mohon belas kasihan Ceecu."

Pit Kheng Thian melirik Hoan Eng dan berkata pula sembari tertawa: "Tiga tahun kau menjabat pangkat Yamunsu. Berapa banyak harta sudah dikeduk olehmu?"

"Ti... dak... tidak banyak," jawabnya dengan tergugu. Sama sekali ia tak nyana, Pit Kheng Thian akan mengajukan pertanyaan itu. "

Pit Kheng Thian kembali tertawa besar. "Menurut pengetahuanku, seluruhnya kau sudah mengeduk lima belas laksa enam ribu empat ratus tahil perak," katanya. "Jumlah ini belum terhitung gedung besar yang kau bangunkan di kampung kelahiranmu. Benar tidak?"

Lagi-lagi Koan Kie terkejut. Ia sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa Pit Kheng Thian bisa mengetahui kekayaannya secara begitu terang. Ia tak dapat berbuat lain daripada menyahut: "Benar!"

Pit Kheng Thian bersenyum mendengar pengakuan itu.

"Sekarang," katanya pula. "Dengan memandang muka Hoan Toako, aku sudah mengirimkan uang itu ke kota raja. Kau tak mempunyai sangkutan apa-apa lagi!"



Itulah suatu pernyataan yang tidak diduga-duga. Koan Kie terpaku, ia berdiri bengong seperti tak percaya kupingnya sendiri.

Mendadak paras muka Pit Kheng Thian kembali berubah menyeramkan. "Akan tetapi," katanya. "Harta yang tidak halal itu, kau tak dapat menggunakan sesuka hatimu. Dari tiga puluh laksa tahil perak, aku hanya menyerahkan separoh,

sedang kekurangan yang separoh lagi aku sudah tutup dengan uangmu sendiri. Untukmu, aku tinggalkan gedung besar itu dan enam ribu empat ratus tahil perak. Jumlah ini, kurasa sudah cukup untuk digunakan sampai di hari tuamu. Selain itu, kau sudah dipecat dari pangkatmu dan kurasa, mulai dari sekarang kau tak dapat menjadi pembesar negeri lagi.

Tindakanku itu sebenar-benarnya adalah untuk menolong dirimu. Apakah kau merasa puas?"

Perkataannya diucapkan kepada Koan Kie, tapi maksudnya yang benar adalah menanya Hoan Eng.

Mendengar itu, Hoan Eng merasa kagum dan ta'luk terhadap kebijaksanaan Toaliongtauw itu. Beberapa kali ia pernah membujuk Koan Kie supaya berhenti menjadi pembesar negeri, tapi nasehatnya itu tak pernah diladeni sang adik.

Tak dinyana dengan menggunakan caranya sendiri, Pit Kheng Thian sudah berhasil membikin Koan Kie tak bisa memegang pangkat lagi untuk seumur hidupnya. Tindakan itu sedalamdalamnya memang merupakan "pertolongan". Perampasan sebagian besar hartanya itu, tentu saja dirasakan sakit oleh

Koan Kie, tapi dalam keadaan sekarang, ia sudah merasa girang, bahwa jiwanya selamat.

Maka itu, sambil memanggut-manggutkan kepalanya ia berkata: "Puas, aku puas!"



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar