Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 2
Malam itu, di dekat penjara
istana kelihatan berkelebat bayangan orang.
Orang itu adalah Hoan Eng.
Di luar penjara,
serdadu-serdadu penjaga mundar-mandir tak henti-hentinya. Hoan Eng mengawasi
dengan mata tajam, sedang otaknya diasah guna mencari jalan untuk masuk ke
dalam.
Tiba-tiba terdengar suara
terompet.
Berbareng dengan itu, di atas
genteng muncul banyak bayangan hitam yang segera menuju ke arah utara barat
dengan berbondongbondong.
Hoan Eng merasa heran. Ia tak
tahu, apa artinya itu semua. Akan tetapi, itu adalah kesempatan luar biasa
baginya.
Buru-buru ia mengeluarkan dua
butir batu hui-hongsek dari sakunya dan melontarkan batu-batu itu ke
tengah-tengah udara.
Begitu berbentrok, kedua batu
itu mengeluarkan suara keras. Dua penjaga loncat keluar untuk menyelidiki suara
itu.
Tanpa bersangsi, Hoan Eng
mengenjot badan dan hinggap di atas tembok.
Malam itu adalah malam tak
berbintang.
Dengan pakaiannya yang
berwarna hitam dan dengan ilmu entengkan badannya yang cukup tinggi, gerakan
Hoan Eng sama sekali tak dapat dilihat oleh kedua penjaga itu yang
kepandaiannya masih sangat rendah.
Hati-hati, Hoan Eng merangkak
di atas genteng. Sayupsayup ia mendengar teriakan-teriakan di tempat jauh.
Baru saja melewati dua
wuwungan, tiba-tiba ia dibentak dengan perkataan "Thiansun".Hoan Eng
tahu, bahwa "Thiansun" adalah kata-kata rahasia yang digunakan pada
malam itu.
Dengan suara tak terang, ia
menjawab dengan dua perkataan pula.
"Apa?" membentak
orang itu. "Lebih keras sedikit!"
Hoan Eng meloncat, panah tangannya
menyambar tenggorokan orang itu. Tanpa bersuara ia roboh di atas genteng. Hoan
Eng lalu membuka pakaian penjaga itu yang lantas saja dipakai olehnya sendiri.
Sesudah itu, ia loncat turun dan bersembunyi di tempat gelap.
Beberapa saat kemudian, seorang
penjaga lain mendatangi sambil menengteng lentera. Hoan Eng meloncat dan
kebaskan goloknya di muka orang itu. "Di mana Ie Kokloo di
penjarakan?" ia membentak dengan suara perlahan.
Penjaga penjara yang tadi
kaget setengah mati, mendadak tertawa girang. "Kau mau menolong Ie
Kokloo?" ia menegasi.
"Di kamar (sel)
persakitan yang mendapat hukuman mati, kamar nomor delapan. Dari sini jalan
terus, sampai di ujung biluk ke kanan. Hitung saja, kamar yang ke delapan
adalah kamarnya Ie Kokloo."
Hoan Eng masukkan Bianto ke
dalam sarung, tapi, selagi ia mau bertindak, penjaga penjara itu berkata pula:
"Eh, tanda rahasia malam ini adalah Thiansun Banlian (Thiansun berlaksa
tahun). Ingatlah!"
Sesuai dengan petunjuk itu,
dengan hati tetap, Hoan Eng masuk ke dalam. Setiap bentakan
"Thiansun", dijawabnya dengan "Banlian" dan dapat berjalan
terus tanpa rintangan.
Antara sipir-sipir itu,
terdapat satu dua orang yang merasa curiga oleh karena suara Hoan Eng yang agak
asing, akan tetapi, mereka diam-diam saja.
Di depan kamar nomor delapan
berdiri seorang penjaga dengan menyekal pedang terhunus.
Mendadak, Hoan Eng menubruk,
sambil mengayun golok. Tapi orang itu gesit luar biasa. Walaupun di-bokong, ia
mash dapat berkelit. "Celaka!" Hoan Eng mengeluarkan seruan tertahan.
Penjaga itu memutar badan,
tapi aneh sungguh, sebaliknya dari menyerang ia bersenyum!
"Lekas bacok diriku, di
tempat yang tidakmembinasakan," katanya.
Hoan Eng terkesiap, tapi
lantas saja ia menjadi sadar.
Penjaga penjara itu pun ingin
menolong Ie Kiam!
Mengingat kemulian orang. Hoan
Eng jadi terharu, sehingga ia tak tega untuk menurunkan tangan.
"Lekas!" kata
penjaga itu. "Setengah jam lagi, tukar penjaga."
Sambil mengeraskan hati, Hoan
Eng mengangkat goloknya dan menggurat kaki orang itu. "Jangan begitu!
Lebih dalam sedikit!" kata penjaga itu sembari cekal tangannya Hoan Eng
yang memegang golok dan membacok dengkulnya sendiri.
Sesudah itu, ia menotok jalan
darah Ahhiat (jalanan darah yang membikin orang jadi gagu) di pinggangnya
sendiri.
Di lain saat, ia roboh sambil
menahan sakit, tapi mukanya terlukis senyuman!
Sembari menghela napas
panjang, Hoan Eng membacok kunci yang lantas saja jatuh berarakan di atas
lantai, tiba-tiba ia dengar suara seorang tua yang bersyair dengan suara
perlahan:
"Di antara laksaan
serangan ku munculkan diri, api membakar ku tak perduii, badan hancur 'ku tak
takuti, asai nama bersih dalam dunia ini."
Itulah suatu syair, yang pada
peristiwa "Tobokpo", telah digunakan oleh Ie Kiam untuk
memperlihatkan kebersihan dirinya.
Dengan perlahan Hoan Eng
menolak pintu, kedua tangannya meraba-raba kamar yang gelap itu.
"Siapa? Apa Cu-jie (anak
Cu)?" menanya Ie Kiam. "Kenapa kau tak turut omongan ayah dan kembali
datang ke sini?"
Oleh karena keadaan mendesak,
Hoan Eng tak sempat menanyakan siapa adanya "Cu-jie". Buru-buru ia
menyalakan bahan api yang dibawanya dan berbisik: “e Kokloo, apa kau terluka?
Ijinkanlah aku menggendong kau untuk keluar dari sini."
Di bawah penerangan yang
remang-remang, Ie Kiam, yang rambutnya sudah putih semua, duduk bersila dengan
kedua tangan diborgol. Dalam keadaannya yang menyedihkan itu, kedua matanya
tetap bersinar dan keangkerannya tetap tidak berkurang.
"Siapa?" ia
membentak.
Hati Hoan Eng berdebar keras,
air matanya mengucur deras. Sambil menekuk lututnya, ia menjawab dengan suara
perlahan: "Ayahku adalah Siewie Hoan Cun, dahulu pernah jadi pengikut
Kokloo."
"Oh!" berkata Ie
Kiam. "Kalau begitu, kau adalah
keponakannya Hoan Tiong,
puteranya Hoan Cun. Untuk apa kau datang kemari?"
"Aku datang untuk
menolong Kokloo keluar dari tempat ini," sahutnya sembari mencabut Bianto
untuk membabat borgolan.
“Inilah pekakas menghukum dari
kerajaan, tak dapat sembarangan diganggu," berkata orang tua itu.
Hoan Eng menjadi bingung.
"Jika borgolan tidak diputuskan, cara bagaimana kita dapat melarikan
diri?" kata ia.
"Aku adalah seorang
menteri besar dari kerajaan Beng!" Ie Kiam membentak dengan mata melotot.
"Cara bagaimana aku dapat melarikan diri dengan jalan kabur dari
penjara?"
Hoan Eng tak menduga, orang
tua itu sedemikian "tolol".
"Tayjin!" ia berkata
dengan suara bingung. "Jika Tayjin sungkan kabur, penasaranmu akan tetap
merupakan suatu penasaran."
Ie Kiam tertawa
terbahak-bahak. "Jika aku takut mati, dahulu hari aku tentu tidak perintah
In Tiong pergi ke Watzu untuk menyambut Hongsiang," katanya dengan suara
nyaring.
"Aku memang sudah menduga
bakal ada kejadian seperti di ini hari. Hoan Hiantit! Kau pergilah!"
Tetapi manalah Hoan Eng mau
gampang-gampang berlalu.
"Aku sudah mengambil
putusan pasti," berkata Ie Kiam dengan gusar. "Aku bersumpah tak akan
melarikan diri!"
"Kokloo!" berkata
Hoan Eng dengan suara memohon.
"Apakah Kokloo tidak
merasa kasihan kepada rakyat di seluruh negeri?"
"Usiaku sekarang sudah
enam puluh tahun lebih, sehingga meskipun tidak lantas mati, aku adalah seperti
lampu yang sudah kehabisan minyak," berkata orang tua itu sambil menghela
napas. "Di antara putera dan puteri Tiongkok, jumlah ksatria tak dapat
dihitung berapa banyaknya. Satu Ie Kiam mati, ratusan atau ribuan Ie Kiam
munculkan diri. Tak dapat kau bicara begitu."
"Akan tetapi, mati secara
Kokloo, adalah mati secara tidak
berharga!" berkata Hoan
Eng dengan bernapsu.
"Kenapa tidak
berharga?" menanya Ie Kiam. "Jika matiku
tidak berharga, maka matinya
Gak bubok ong (Gak Hui) juga tidak berharga. Ketika itu, dalam tangannya ia
memegang kekuasaan atas ratusan laksa serdadu, tapi ia toh masih sungkan
melanggar undang-undang kerajaan dan rela menerima hukuman. Meskipun aku tak
berani menelad contohnya, tapi sedikitnya aku pun sungkan melanggar
undang-undang!"
Harus diingat, bahwa semenjak
muda sehingga menjabat pangkat yang sangat tinggi, dalam alam pikirannya, Ie
Kiam hanya mengetahui, bahwa seorang menteri yang setia harus tunduk pada
kemauan sang jungjungan. Cara berpikir yang sedemikian sudah melekat dalam
otaknya selama beberapa puluh tahun, sehingga Hoan Eng tentu saja tidak dapat
merubahnya dalam tempo yang sangat pendek itu.
Hoan Eng masih ingin membujuk
terus, akan tetapi, kupingnya mendadak mendengar suara bergulingan dari si
penjaga penjara yang barusan sudah melukai dirinya sendiri.
Ia mengetahui, bahwa itu
adalah satu peringatan, supaya ia bekerja terlebih cepat.
"Tayjin...
Tayjin..." ia mengeluh.
"Pergi!" membentak
Ie Kiam. "Jika kau tak menurut, aku akan benturkan kepala di tembok,
supaya binasa di hadapanmu!"
Hoan Eng menghela napas
panjang. "Kokloo," katanya dengan suara duka sekali. "Apa Kokloo
mempunyai pesanan apa-apa?"
"Aku tak pernah berdosa
terhadap Tuhan, tak pernah menyakiti sesama manusia," kata orang tua itu
dengan suara tenang. "Ada apa yang aku harus memesan? Pergilah!"
Dengan air mata mengucur, Hoan
Eng memutar badan dan bertindak keluar.
"Ada satu urusan, harap
kau tolong menyampaikannya,"" Ie Kiam mendadak berkata.
Hoan Eng hentikan tindakannya.
"Pergilah ke telaga
Thayouw dan cari Thio Tan Hong,"
memesan Ie Kiam. "Suruh
ia lekas-lekas melarikan diri."
"Kokloo legakan
hati," kata Hoan Eng. "Pesanan ini aku akan segera jalankan."
Baru habis ia berkata begitu,
pintu penjara kedengaran ditendang terpental. "Ada orang membongkar
penjara!" demikian teriakan beberapa orang.
Begitu loncat keluar dari
kamar Ie Kiam, Hoan Eng putarkan goloknya dan menerjang beberapa musuh yang
sudah tiba dihadapan-nya. Dengan suara "trang!" senjata beberapa
orang itu sudah terbabat putus oleh Bianto yang tajam luar biasa. Mereka mundur
dengan kaget, dan tanpa sia-siakan ketika bagus, Hoan Eng loncat naik ke atas
genteng.
"Jangan lari!" satu
bentakan terdengar, disusul dengan kesiuran angin tajam di belakang kepala Hoan
Eng.
Hoan Eng berkelit sembari
menyampok dengan goloknya.
Dengan satu suara keras,
lelatu api berhamburan. Hoan Eng terkesiap oleh karena bukan saja Bianto tak
dapat menguntungkan senjata musuh, malahan tangannya sendiri terasa sakit dan
kesemutan. Ia mengawasi dan ternyata musuhnya adalah seorang Wiesu (pahlawan
istana) yang
berseragam hitam dan
bersenjata golok besar yang beratnya
kira-kira lima puluh kati.
Golok itu adalah senjata yang
biasanya digunakan dalam
peperangan dengan menunggang
kuda.
Bahwa Wiesu tersebut dapat
menggunakannya dalam
pertempuran di atas genteng
yang memerlukan loncatanloncatan
tinggi, dapatlah dibayangkan
berapa liehaynya
pahlawan itu.
Hoan Eng kaget, tapi musuhnya
pun tidak kurang
kagetnya. ia adalah seorang
Giecian Siewie (pengawal pribadi
kaizar) kelas satu yang
ditugaskan untuk menjaga penjara
istana.
Begitu golok besarnya
kebentrok dengan Bianto yang tipis
kecil, ia merasakan tangannya
kesemutan dan goloknya pun
82
sempoak sebagian. "Hei!
Mana yang lain! Lekas datang!" ia
berteriak.
Dengan gerakan Tiangcoa Cueng
(Ular keluar dari lubang),
Hoan Eng membacok.
Sekonyong-konyong, berbareng dengan
satu bentakan, dua bola besi
menyambar mukanya. Hoan Eng
menundukkan kepalanya dengan gerakan
Honghong Tiamtauw
(Burung Hong manggutkan
kepala) sambil menyampok
dengan goloknya. Dengan satu
suara "trang!" kedua bola besi
itu sudah ditarik pulang.
Dengan satu lirikan, Hoan Eng dapat
kenyataan, bahwa di sebelah
kirinya sudah muncul seorang
Wiesu lain yang berseragam
hitam. Dua bola besi itu bukan
senjata rahasia, tapi
kepalanya senjata Liancu tui, atau
bandringan. Liancu tui adalah
semajam senjata yang sukar
digunakan. Bahwa Wiesu itu
dapat menggunakannya secara
begitu leluasa, dapatlah dibayangkan,
bahwa ia itu bukannya
seorang lawan enteng.
Dalam jarak kurang lebih
setombak, Wiesu itu segera
menyerang dengan
bandringannya. Panjang rantai Liancu tui
ada delapan kaki lebih dan
jika diputar, kedua bola besinya
dapat menghantam segala apa yang
berada dalam jarak satu
tombak. Oleh karena itu, untuk
sementara, Hoan Eng tak
dapat menoblos keluar.
Sementara itu, Wiesu yang
bersenjata golok sudah
menyabet pinggangnya. Hoan Eng
berkelit, sembari
menyampok dengan Bianto.
Tiba-tiba di sebelah kanan kembali
terdengar bentakan dan
lagi bayangan hitam berkelebat
masuk ke dalam gelanggang
pertempuran. Begitu musuh baru
itu menggerakkan
tangannya, dua kesiuran angin
tajam menyambar jalan darah
Kiankeng hiat, di kedua pundak
Hoan Eng. Dengan gerakan
Huihong payliu (Angin meniup
pohon liu), Hoan Eng buru-buru
membungkuk, goloknya menyampok
Liancu tui, kakinya
83
menendang golok musuh, disusul
dengan satu loncatan ke
samping.
Musuh ketiga yang baru datang
itu adalah seorang yang
berbadan kecil dan kate (pendek),
sedang dalam kedua
tangannya ia menyekal sepasang
Poankoan pit yang panjang
hanya delapan dim. Tak usah
disangsikan lagi, bahwa seorang
yang dapat menggunakan senjata
sedemikian kecil, pastilah
seorang ahli menotok jalan
darah.
Andaikata kepandaian Hoan Eng
dua kali lipat lebih tinggi,
ia masih tak akan
gampang-gampang meloloskan diri. Ketiga
Wiesu itu adalah Giecian
siewie kelas satu, sedang masingmasing
senjatanya mempunyai
ke-liehayan yang berbedabeda.
Golok besar adalah senjata
berat yang tak takut
membentur golok mustika,
Liancu tui adalah senjata yang
dapat menghantam dari jauh dan
dari dekat, sedang
Poankoan pit selalu menyambar
jalan darah. Tiga rupa senjata
itu, dengan tiga macam
serangannya, sudah membikin Hoan
Eng bingung sekali.
Sesudah bergebrak kurang lebih
tiga puluh jurus, Hoan Eng
sudah merasa tak tahan lagi.
Sementara itu, di bawah genteng
sudah terdengar
teriakan-teriakan dari para penjaga penjara.
Belasan orang yang dapat
meloncat tinggi, sudah naik ke
genteng dan mengurung di empat
penjuru.
Hoan Eng kertek giginya dan
berkelahi bagaikan banteng
edan tanpa memperdulikan lagi
keselamatan dirinya. Pada
detik yang sangat berbahaya,
di wuwungan sebelah tiba-tiba
berkelebat bayangan orang yang
mengenakan pakaian serba
putih dan melihat gerakan-gerakannya,
Hoan Eng merasa
seperti sudah pernah bertemu
dengan orang itu.
Saat itu, Wiesu yang
bersenjata Poankoan pit mendadak
menghantam dengan senjatanya
sembari berseru: "Kena!"
84
Oleh karena goloknya sedang
menyampok Liancu tui, Hoan
Eng tidak sempat menyambut
Poankoan pit musuh, dan dalam
keadaan kedesak, buru-buru ia
mengerahkan pernapasannya
guna menutup semua jalan
darahnya. Di lain saat,
pinggangnya kesemutan oleh
karena jalan darah Cengpek hiat
sudah terkena totokan.
Dan, berbareng dengan itu,
Wiesu yang bersenjata golok
besar membacok kepalanya
dengan senjatanya yang berat.
Walaupun mengerti ilmu Piekie
huhiat (Menutup hawa
melindungi jalan darah),
tenaga dalam Hoan Eng belum
mencapai puncaknya. Maka itu,
begitu pinggangnya terkena
totokan, tenaga lengannya
segera berkurang. Ia mengetahui,
bahwa tenaganya tidak cukup
untuk menyambut golok musuh
yang beratnya kira-kira lima
puluh kati. Akan tetapi, lantaran
tiada jalan lain, apa boleh
buat ia mengangkat Bianto untuk
menyambut. "Matilah
aku!" ia mengeluh.
Tapi, pada detik Bianto dan
golok besar hampir beradu, tak
diduga-duga Wiesu itu
mengeluarkan teriakan kesakitan dan
goloknya terpental dari
tangannya. Dan secara kebetulan
sekali, golok yang terpental
itu menghantam Liancu tui dan,
berbareng dengan satu suara
keras, bandringan itupun jatuh
ke bawah genteng.
Satu suara tertawa nyaring
yang sangat merduh tiba-tiba
terdengar. Hoan Eng mengawasi
dan mendapat kenyataan,
bahwa bayangan putih yang
barusan berkelebat di wuwungan
seberang adalah seorang
pemuda. Di lain saat, pemuda itu
mengayun tangannya dan belasan
Kimhoa (Bunga emas) yang
berkredep melesat ke
tengah-tengah udara yang gelap itu.
Para Wiesu tak pernah
mengimpi, bahwa dalam dunia
terdapat senjata rahasia yang
begitu liehay. Siapa juga yang
kelanggar Bunga emas itu,
badannya lantas lemas dan roboh
di atas genteng. Dalam tempo
sekejap, sebagian besar dari
85
belasan Wiesu yang mengurung
sudah pada rebah tanpa
berkutik. Bunga emas itu
ternyata tak membedakan kawan
atau lawan. Satu antaranya
menyambar lengan Hoan Eng dan
tangan kanannya lantas saja
tak dapat digunakan lagi.
"Lekas panggil Yo
Tayjin!" berseru
Wiesu yang bersenjata Poankoan
pit. Baru habis ia berseru
begitu, sekuntum bunga
menyambar dan ia rubuh sesudah
sempoyongan beberapa tindak.
Hoan Eng tak berani berlaku
ayal. Sambil memindahkan
goloknya ke tangan kiri, ia
menarik napas dalam-dalam dan
lalu kabur dengan menggunakan
ilmu entengkan badan.
Sesudah melewati dua wuwungan,
ia menoleh ke belakang.
Di atas genteng kelihatan dua
bayangan yang sedang ubarubaran
dan satu antaranya adalah si
pemuda, pemuda
penyebar Kimhoa.
Dalam tempo sekejap, mereka
sudah menghilang ke
jurusan utara barat.
Hoan Eng berdiam sejenak
sambil meng-mengingat-ingat.
Tertawa yang nyaring, gerakan
yang bagaikan kilat... ah, ia
sekarang ingat! Pemuda itu
bukan lain dari pada si anak
sekolah berkuda putih yang
telah mempermainkan Siauw
Houwcu!
Saat itu, ratusan obor sudah
dipasang terang-terang,
sedang di atas genteng
kelihatan berlari-lari puluhan orang,
beberapa antaranya sudah
memburu ke arahnya. Hoan Eng
menghela napas. Dengan lengan
mendapat luka dan
kepandaian yang masih sangat
rendah, ia tahu tak akan dapat
berbuat apa-apa.
86
"Ah, biarlah tugas
menolong Kokloo aku serahkan kepada si
pemuda penyebar bunga,"
katanya di dalam hati dan lain
kabur dengan menggunakan ilmu
entengkan badan Lioktee
huiteng (Terbang di atas
bumi).
Ia tiba di rumah penginapan
pada jam empat pagi. Ia
membuka bajunya dan untung,
lukanya hanya luka di luar.
Baru saja memakai obat luka,
tiba-tiba kepalanya puyeng dan
matanya berkunang-kunang, lalu
rubuh di atas pembaringan.
Tak tahu sudah lewat berapa
lama, barulah Hoan Eng sadar
dari pingsannya. Ia membuka
mata dan melihat api lampu
yang kelak-kelik. Di lain
saat, ia terkesiap sebab Tiamsiauwjie
(pelayan) dengan mengenakan
pakaian berkabung, sedang
berdiri di kepala ranjang
sambil mengucurkan air mata.
"Eh, aku toh belum mati!
Kenapa kau menangis?" ia
menanya.
“e Tayjin..." sahutnya.
“e Tayjin sudah pulang kealam
baka!"
"Apa benar?" Hoan
Eng berseru, matanya dibuka lebarlebar.
"Pagi ini beliau
berpulang," sahut si pelayan sambil manggutkan
kepalanya. "Seluruh
penduduk Pakkhia, kecuali
kawanan menteri bangsat,
berkabung semuanya!"
Dengan satu teriakan
menyayatkan hati, Hoan Eng kembali
pingsan!
Setelah sadar, si pelayan
ternyata masih duduk di kepala
ranjang.
"Jam berapa ini?"
menanya Hoan Eng.
87
"Kau pingsan sehari dan
setengah malam," jawabnya. “Ini
adalah malam hari kedua."
Hati Hoan Eng seperti
diiris-iris. Ia tak nyana, bahwa kaizar
bebodoran itu berani mengambil
jiwa Ie Kiam, seorang
menteri utama yang sudah
menolong kerajaan Beng dari
kemusnahan.
"Hoan Giesu
(ksatria)," kata si pelayan. "Bagaimana kau
rasakan? Jika bisa jalan, baik
kau segera meninggalkan kota
raja ini."
Mendengar si pelayan memanggil
ia "Giesu", Hoan Eng
terkejut. "Apa kau
kata?" ia menanya.
"Giesu, jangan kau
berkuatir," sahutnya. "Kemarin malam,
ketika kau pulang, golokmu
masih bernoda darah."
Berita tentang percobaan
membongkar penjara pada
malamnya, sudah tersiar luas
pada besok paginya. Melihat
pingsannya Hoan Eng dan
goloknya yang bernoda darah,
ditambah dengan pertanyaannya
mengenai Ie Kiam pada
siang harinya, si pelayan
lantas saja menduga, bahwa
tetamunya itu adalah orang
yang sudah menyatroni penjara.
Ia segera minta pertolongan
seorang tabib yang dapat
dipercaya, guna memeriksa
keadaan Hoan Eng. Tapi Hoan
Eng hanya mendapat luka di
luar yang tidak berbahaya.
Bahwa ia pingsan begitu lama,
adalah lantaran kelelahannya
yang melewati batas. Sesudah mengaso
sehari dan setengah
malam, keadaannya segera pulih
kembali.
Hoan Eng segera mengambil
goloknya yang lantas
dibersihkan dari segala
tanda-tanda darah. "Hm!" ia menggerendeng.
"Sungguh sayang aku tak
dapat mampuskan lebih
banyak manusia jahat."
88
"Giesu," berbisik si
pelayan. "Hebat benar desas-desus di
luaran. Katanya, segala orang
yang mempunyai hubungan
dengan Ie Kokloo sudah
ditangkap. Giesu, lebih baik kau
menyingkirkan diri."
Hoan Eng menghela papas sambil
mengusap-usap Bianto.
"Dengan membikin ribut di
penjara, sebaliknya dari menolong,
aku sudah mempercepat
kebinasaannya Ie Kokloo," katanya.
"Ah, apa guna aku hidup
lebih lama lagi!"
"Giesu tak boleh berpikir
begitu," kata pula si pelayan.
"Matinya satu ksatria
berarti negara kehilangan satu tenaga
berharga. Ie Kokloo yang sudah
meninggal dunia, tak akan
bisa hidup lagi. Giesu yang
masih hidup, haruslah menjaga diri
baik-baik."
Mendengar kata-kata si
pelayan, Hoan Eng jadi kaget.
"Siapa kau?" ia
menanya.
"Aku hanya satu pelayan
rendah dari rumah penginapan
ini," jawabnya.
Lagi-lagi si Brewok menarik
napas. "Ah! Dalam dewan
kerajaan hanya berjajar
kawanan penjilat, sebaliknya di antara
rakyat jelata, orang masih
dapat menemukan ksatria-ksatria
sejati," katanya. Sesudah
berdiam beberapa saat, ia menanya:
"Apa jenazah Ie Kokloo
sudah dirawat?"
"Menurut katanya orang,
Hongsiang sudah perintah Tan Kui
merawat jenazah Ie Kokloo,
tapi kepalanya masih terpancer di
pintu kota sebelah
timur," menerangkan si pelayan.
Hoan Eng berjingkrak sambil
mengeluarkan teriakan keras.
Kedua matanya terputar dan
badannya gemetar, saking
gusarnya.
89
"Berikan aku sedikit
makanan," ia memerintah.
Si pelayan segera berjalan
keluar dan balik dengan
membawa sekati arak putih dan
dua kati daging sapi. Tanpa
berkata suatu apa, Hoan Eng
sapu bersih makanan itu dan
kemudian lalu membayar uang
sewa kamar dan makanan.
"Terima kasih untuk
segala budi kebaikanmu, harap saja di
lain hari kita akan dapat
bertemu pula," kata ia sembari
membuka jendela dan di lain
saat, ia sudah menghilang di
antara gelapnya sang malam.
Dengan menggunakan ilmu
entengkan badan, Hoan Eng
menuju ke pintu kota sebelah
timur. Malam itu adalah malam
yang gelap, sang rembulan yang
melengkung bagaikan alisnya
seorang gadis, hanya memberi
penerangan remang-remang.
Hoan Eng dongakkan kepalanya.
Ia melihat, di atas tembok
kota berdiri sebatang tihang
bendera dan di ujung tihang
tergantung serupa benda bundar
yang bentuknya seperti
kepala manusia.
Hoan Eng tak dapat
mempertahankan dirinya lagi. Ia lantas
menangis tersedu-sedu. Tanpa
memperdulikan segala bahaya
yang mengancam, sekali
mengenjot badan ia sudah hinggap
di atas tembok dan lalu
menyabet tihang bendera itu dengan
goloknya.
"Digantungnya kepala Ie
Kiam di atas pintu kota,
merupakan satu jebakan yang
dipasang oleh Kie Tin yang
kejam. Maka itu, manalah Hoan
Eng bisa gampang-gampang
mencapai maksudnya. Baru saja
ia mengangkat golok,
berbareng dengan suara tertawa
dingin, dua bayangan hitam
sudah menerjang dari tempat
gelap. Hoan Eng meloncat tinggi
untuk menghindari sepasang
Kautiam khio (tombak yang ada
90
gae-tannya), sedang goloknya
memapas ke bawah untuk
menyampok sambarannya sebatang
tongkat besi.
"Ha-ha!" tertawa
seorang lawannya. "Tepat sekali
perhitungannya Yo Tayjin. Satu
kodok buduk bau sudah
masuk ke dalam jaring!"
Bukan main gusarnya Hoan Eng.
Dengan gerakan Pekho
liangcie (Bango putih
mementang sayap), ia mengirim dua
bacokan hebat.
"Bagus benar
golokmu!" berkata orang yang bersenjata
Kauw-liam khio. "Aku
ampuni jiwamu, jika kau menyerahkan
golokmu dan menakluk."
"Kau mau golok?"
membentak Hoan Eng. “Inih!" Ia
membacok dengan sepenuh
tenaga, sehingga lawannya
terpaksa menggulingkan diri.
Dengan mengandalkan senjatanya
yang berat, orang yang
bersenjata tongkat besi segera
maju menerjang. Tapi, begitu
kedua senjata kebentrok,
tangannya kesemutan dan hampirhampir
tongkatnya terlepas. Hoan Eng
mendesak, sambil
menendang.
Mendadak, betisnya sakit luar
biasa. Ternyata, Siewie yang
barusan menggulingkan diri,
sudah menggait betisnya dengan
Kauw-liam khio.
Pada saat yang sangat
berbahaya, tanpa memperdulikan
keselamatannya lagi, Hoan Eng
mengenjot badannya, sembari
memapas dengan goloknya. Orang
yang menggait tidak
menduga, bahwa Hoan Eng masih
dapat mengirim serangan
membalas yang begitu hebat,
dalam bingungnya, ia
melepaskan senjatanya dan
menggulingkan diri. Sambil
merapatkan gigi, Hoan Eng
mencabut Kauwliam khio itu dari
91
betisnya dan lantas
ditimpukkan ke arah Siewie yang
bersenjata tongkat. Siewie itu
berkelit dan Kauwliam khio
membentur tembok, akan kemudian
jatuh ke bawah.
Melihat musuhnya berkelahi
seperti harimau edan, Siewie
yang bersenjata tongkat, jadi
merasa gentar.
"Masa kau takut kodok
buduk pincang!" berseru kawannya
yang bersenjata Kauwliam khio.
"Tempel pundak dan hantam
padanya!" Walaupun sudah
kehilangan sebelah senjatanya,
tapi serangan Siewie itu tak
berkurang hebatnya. Sesudah
mendapat bantuan semangat dari
kawannya. Siewie yang
bersenjata tongkat besi jadi
lebih mantap hatinya dan ia pun
segera menyerang secara
dahsyat. Dikepung secara begitu,
Hoan Eng yang sudah terluka,
lambat laun jatuh di bawah
angin.
Hoan Eng berkelahi dengan mata
merah. Sesudah lewat
beberapa jurus lagi, ia
sengaja membuka satu lowongan untuk
memancing musuhnya. Sembari
tertawa menyeramkan, Siewie
yang bersenjata Kauwliam khio
segera menyodok dada Hoan
Eng. Bagaikan kilat, Hoan Eng
mengegos dan, dibarengi
dengan bentakan keras, ia
membacok sekuat tenaga.
"Trangl", suara
beradunya senjata memecah kesunyian
malam. Siewie itu terkesiap.
Ternyata ujung Kauwliam khio
melengkung, sedang tangannya
berdarah! Tapi ia pun bukan
orang sembarangan, sebab,
meskipun dihantam begitu keras,
senjatanya masih tetap
tercekal dalam tangannya.
Hoan Eng menggeram bagaikan
harimau terluka dan
segera menerjang pula.
Sekonyong-konyong dari tempat
gelap, di bawah tihang
bendera, meloncat keluar seorang lain.
"Manusia tolol!" ia
membentak. "Kodok buduk pincang saja
kau orang tak mampu bereskan.
Mundur!"
92
Hoan Eng mengawasi. Musuh itu
mengenakan seragam
perwira Gielimkun dan
tangannya menyekal sebilah golok
melengkung, model golok Arab.
Tiba-tiba ia merandek dan
berkata: "Eh! Bianto Thio Hong
Hu cara bagaimana bisa berada
dalam tanganmu?"
"Thio Hong Hu pinjamkan
senjatanya kepadaku dan
perintah aku ambil
jiwamu!" jawabnya, sembari membacok.
Perwira itu bukan main
gusarnya. "Kebinasaan sudah
berada depan matamu, kau masih
berani ngaco belo!" ia
berseru.
Tanpa berkata apa-apa lagi,
Hoan Eng segera menyerang
dengan seru. Beruntun-runtun
ia mengirim bacokan-bacokan
yang membinasakan, tapi
semuanya dengan gampang sudah
dipunahkan oleh lawannya.
"Kalau tidak diberi
sedikit hajaran, kau tak tahu liehaynya
Tong-hong Lok," kata
perwira itu dengan suara dingin.
Dengan penuh amarah, Hoan Eng
mengerahkan tenaga
dalamnya dan lalu membacok
sekuat tenaga. Secara tenang,
Tonghong Lok mengangkat
goloknya untuk menyambut golok
musuh. Tenaganya Hoan Eng luar
biasa besar dan dalam
perhitungannya, bacokannya
yang hebat itu tak akan dapat
disambut oleh musuhnya. Tapi
tak dinyana, begitu kedua
golok kebentrok, goloknya
Tonghong Lok terus menempel
kepada Bianto.
Hoan Eng terkesiap. Tonghong
Lok tertawa berkakakan,
sedang goloknya yang dibulang
balingkan ke kiri kanan terus
"mengikat" Bianto,
Hoan Eng yang belum mahir dalam ilmu
silat golok, tak mengetahui
cara bagaimana harus melepaskan
goloknya dari “katan"
itu. Mau tak mau, goloknya terus
93
mengikuti golok musuh
berputar-putar dan, dalam sekejap,
kedua matanya sudah-sudah
berkunang-kunang.
Dalam bingungnya, secara
mendadak Hoan Eng
menendang dua kali beruntun
dengan kaki kanan dan kiri, dan
berbareng dengan itu, tangan
kirinya membabat musuh.
Senjata yang biasa digunakan
Hoan Eng adalah kampak dan
pukulan tersebut, yang
membabat bagaikan babatan kampak
adalah pukulan simpanannya,
sedang tendangannya yang
barusan adalah Lianhoan tui
(Tendangan berantai) yang
sangat hebat.
Tonghong Lok terkejut, ia tak
menduga lawannya
mempunyai "bekalan"
yang serupa itu.
Tonghong Lok adalah Hutongleng
Gielimkun, yaitu
pembantunya Liok Tian Peng
yang telah dibinasakan oleh Thio
Hong Hu. Walaupun pangkatnya
lebih rendah setingkat, tapi
kepandaiannya kira-kira
setanding dengan Lio Tian Peng dan
berada jauh di atas Hoan Eng.
Untuk menyambut serangan Hoan
Eng, sebenarnya ia
dapat menggunakan tipu Bengtek
hianto (Beng-tek
mempersembahkan golok), yaitu
membalik tangannya dan
menyabet lehernya musuh. Akan
tetapi, jika ia menggunakan
tipu tersebut, Hoan Eng pasti
akan binasa. Ia bengong sejenak
dan lalu berkelit ke samping.
Dengan berlaku begitu, bukan
sekali-kali Tonghong Lok
merasa kasihan atau sengaja
mengampuni Hoan Eng. Yang
menjadi sebab adalah golok
Bianto. Ia mengetahui, bahwa
Bianto adalah miliknya Thio
Hong Hu yang tidak nanti
meminjamkan golok mustikanya
kepada orang lain.
Kemungkinan satu-satunya ialah
Hong Hu sudah binasa dan
golok itu jatuh ke dalam
tangannya Hoan Eng. Perginya Liok
Tian Peng guna mencari Hong
Hu, tentu saja diketahui oleh
94
Tonghong Lok. Maka itu,
demikian ia memikir, jika Hong Hu
sudah binasa, golok itu
tentulah jatuh ke dalam tangannya
Liok Tian Peng. Tapi kenapa
Bianto sekarang berada
ditangannya si Brewok?
Ia memang sedang bercuriga,
kenapa sampai sekarang
Liok Tian Peng belum juga
balik ke kota raja. Apa ia celaka?
Dalam kesangsiannya itu,
Tonghong Lok segera mengambil
putusan untuk
menangkap Hoan Eng hidup-hidup
guna mengorek keterangan
dari mulutnya.
Akan tetapi, dengan berkelahi
secara nekat, tidaklah
gampang-gampang Hoan Eng dapat
ditawan. Sesudah
bertempur kurang lebih dua
puluh jurus, Tonghong Lok
berhasil menggores pundak
lawannya dengan goloknya dan
berbareng dengan itu,
tendangannya mengenakan jitu lutut
Hoan Eng. Sembari berteriak,
Hoan Eng segera
menggulingkan diri.
"Bekuk padanya!"
Tonghong Lok memintah kedua Wiesu
tadi.
Akan tetapi, sebelum mereka
bergerak, satu suara nyaring
yang luar biasa hebat,
mendadak terdengar. Suara itu
ternyata disebabkan oleh
seorang yang gerakannya cepat
bagaikan kilat. Begitu
munculkan diri, dengan beberapa
loncatan saja, ia sudah berada
di atas tembok, dan dengan
sekali menghantam dengan
toyanya, tihang bendera patah
dua dengan mengeluarkan suara
yang sangat nyaring itu.
Tihang bendera itu dibuat dari
tembaga murni yang tak
akan dapat diputuskan dengan
bacokan kampak atau golok.
Bahwa dengan sekali hantam
saja, orang itu dapat
95
merobohkan tihang tersebut,
dapatlah dibayangkan berapa
besar tenaga dalamnya!
Dua Wiesu yang hendak membekuk
Hoan Eng, telah dibikin
kesima oleh suara itu, dan
tanpa sia-siakan kesempatan baik,
dengan gerakan Leehie Tateng
(Ikan gabus meletik), Hoan
Eng loncat bangun sembari
mengayun golok. Tapi, ia terkejut
bukan main oleh karena
pundaknya, yang barusan kena
digores, sakit luar biasa dan
lengannya tidak menurut
kemauannya lagi.
Sesaat itu, Wiesu yang
bersenjata Kauwliam khio dan
tongkat besi sudah menerjang
padanya. Dengan sebelah
lengan yang baru sembuh dari
lukanya dan lengan lain tak
dapat digerakkan lagi, Hoan
Eng mengawasi menyambarnya
senjata musuh dengan hati
mencelos dan menduga, bahwa
sekali itu, ia tak akan lolos
pula dari kebinasaan.
Akan tetapi, di luar segala dugaan,
pada detik yang sangat
berbahaya, kedua Wiesu itu
mendadak mengeluarkan jeritan
dan rubuh di atas genteng. Di
lain saat, Hoan Eng dapat
kenyataan, bahwa Tonghong Lok
sudah bertempur seru
dengan seorang bertopeng di
kaki tihang bendera.
Hoan Eng heran berbareng
kagum. "Siapa ia?" ia menanya
dirinya sendiri. "Cara
bagaimana, dari situ senjata rahasianya
masih dapat melukakan
musuh?"
Harus diketahui, bahwa jarak
antara Hoan Eng dan tihang
bendera, paling sedikit ada
empat tombak. Ia sungguh tidak
mengerti, dari jarak begitu
jauh, cara bagaimana orang itu
masih dapat membinasakan kedua
Wiesu dengan senjata
rahasianya! Selain daripada
itu, dalam pertempuran antara
jago dan jago, masing-masing
pihak tidak dapat memecah
perhatiannya ketempat lain.
Maka itu, ia jadi lebih-lebih
merasa kagum, cara bagaimana,
sedang dirinya sendiri tengah
96
dikurung oleh sinar golok
Tonghong Lok, orang itu masih
dapat melepaskan senjata
rahasia yang menyambarnya
begitu jitu!
Mendadak saja semangat Hoan
Eng terbangun. Ia
memindahkan Bianto dari tangan
kanan ke tangan kiri dan
berniat lantas menyerbu ke
gelanggang pertempuran.
Sekonyong-konyong terdengar
jeritan Tonghong Lok yang
terbirit-birit loncat ke bawah
tembok, akan kemudian
menghilang di tempat gelap.
Orang bertopeng itu tertawa
terbahak-bahak. Dengan
tangan kanan menengteng toya
dan tangan kiri menyekal
kepala Ie Kokloo, ia mengenjot
badannya dan tubuhnya
melayang ke bawah bagaikan
seekor burung.
Hoan Eng terkesiap. Didengar
dari suara tertawanya dan
dilihat gerak-gerakannya,
orang itu adalah si penjahat
bertopeng yang telah merampas
tiga puluh laksa tahil perak di
propinsi Shoatang!
Hoan Eng kemudian menunduk dan
mengawasi kedua
Wiesu itu yang menggeletak
tanpa berkutik lagi. Begitu
melihat, hatinya jadi lebih
kaget lagi. Pada jalan darah
Tayyang hiat mereka, terlihat
nyata bekas Kimhoa! Bunga
emas, atau Kimhoa, adalah
senjata rahasia si pemuda baju
putih. Apakah pemuda baju
putih itu adalah si penjahat
bertopeng? Akan tetapi, hal
itu tak mungkin, oleh karena
potongan badan si baju putih
berbeda dengan badan si
penjahat. Apakah si penjahat
juga dapat menggunakan
senjata rahasia Kimhoa?
Demikianlah Hoan Eng berdiri
bengong, tanpa dapat
memecahkan "cangkeriman" itu.
Tiba-tiba, kesunyian sang
malam dipecahkan suara
bentrokan dua kuntum Kimhoa!
Dan hampir berbareng
97
dengan itu, dihadapan Hoan Eng
berdiri si pemuda baju putih!
Hoan Eng adalah seorang yang
berkepandaian cukup tinggi
dan sudah kawakan dalam dunia
Kangouw. Akan tetapi, ia
sama sekali tidak mengetahui,
dari mana datangnya pemuda
itu. Begitu terdengar suara
bentrokan senjata rahasia, begitu
ia muncul dihadapannya!
Dapatlah dibayangkan, betapa cepat
gerakan orang itu.
Pemuda itu tertawa nyaring,
nyaring bagaikan kelenengan
perak.
"Apakah orang bertopeng
itu sahabatmu?" ia menanya.
"Bukan!" jawab Hoan
Eng.
Paras muka si baju putih
berobah dengan mendadak. "Ah!"
katanya sembari memutarkan
badan dan menjejek kedua
kakinya.
"Hiapkek (pendekar)!
Bolehkah kau memberitahukan she
dan namamu yang mulia?"
berseru Hoan Eng.
Tapi ia tidak menjawab,
badannya sudah melayang turun
ke bawah tembok.
* * *
Pada besok paginya, masih
remang-remang, dengan seekor
kuda dan sebatang golok, Hoan
Eng sudah berangkat.
Sesudah kepala Ie Kokloo
dicuri orang, atas nasehat si
pelayan hotel, Hoan Eng
meninggalkan Pakkhia secepat
mungkin untuk pergi ke Thayouw
guna mencari Thio Tan
Hong.
Tunggangannya adalah kuda
pilihan yang larinya cepat
sekali dan kira-kira tengah
hari, ia sudah melalui seratus lie
98
lebih. Sesudah melewati
Lamwan, lalu lintas tidak begitu ramai
lagi dan ia dapat kaburkan
tunggangannya tanpa banyak
rintangan.
Selagi larikan kudanya, ia
mendapat kenyataan, bahwa di
belakangnya mengikuti seorang
lain. Dilihat dari dandanannya,
orang itu adalah seorang
saudagar. Ia menunggang seekor
kuda belang dan pada pelana
tergantung dua tas kulit yang
tidak terlalu besar. Semula
Hoan Eng tidak memperhatikannya
dan menduga, bahwa ia itu
adalah seorang saudagar biasa.
Di waktu magrib, ia tiba
disuatu kota kecil, yaitu kota
Liulieho, yang terpisah dua
ratus lima puluh lie lebih dari
Pakkhia.
Sesudah Hoan Eng masuk ke
dalam kota dan berhenti di
depan sebuah rumah penginapan,
secara tidak di sengaja ia
menoleh ke belakang dan
melihat saudagar itu sedang
mengikuti dari sebelah
kejauhan. Ia terkejut. Cara bagaimana,
tunggangan saudagar itu, yang
kelihatan seperti kuda
pasaran, dapat menyusul ia?
Ketika masuk ke dalam hotel, ia
sangat berwaspada, tapi segera
juga ia tertawa sendiri oleh
karena saudagar itu mengambil
penginapan lain.
Hoan Eng adalah seorang yang
sudah kawakan dalam
dunia Kangouw. Walaupun
saudagar itu tidak terlalu
menyurigakan, akan tetapi,
pikirnya lebih berhati-hati ada
lebih baik. Memikir begitu,
sesudah mengobati lukanya, yang
untung juga hanya luka di
luar, ia bersamedhi untuk
memelihara semangat dan
kemudian tidur dengan
menggunakan goloknya sebagai
bantal kepala. Besoknya,
sebelum jam lima pagi, ia
sudah bangun, bayar uang sewa
kamar dan lalu berangkat.
Pada jaman itu terdapat satu
nasehat untuk mereka yang
melakukan perjalanan:
"Sebelum malam mengasolah di rumah
99
penginapan, sesudah terang
tanah barulah berjalan." Maka
itu, si pelayan merasa agak
heran melihat Hoan Eng sudah
berangkat sebelum fajar
menyingsing.
Sekeluarnya dari kota kecil
itu, Hoan Eng mendongak.
Bulan sabit dan beberapa
bintang masih memancarkan
sinarnya yang remang-remang,
sedang kawanan burung
masih tidur nyenyak dalam
sarangnya. Ia senyum dan lalu
kaburkan tunggangannya.
Kira-kira tengah hari, ia
sudah berada di tempat yang
terpisah kurang lebih seratus
lima puluh lie dari Liulieho. Ia
menahan kudanya dan menengok
ke belakang. Ia kaget oleh
karena saudagar itu ternyata
sedang mengikuti dari jauh.
"Apakah ia sengaja
menguntit aku?" ia menanya pada diri
sendiri. Muka orang itu agak
berminyak, kepalanya memakai
topi kulit, sedang di
punggungnya menggemblok sebentuk
tudung. Dilihat dari mukanya
dan dipandang dari kudanya, ia
hanyalah seorang saudagar
biasa. Hoan Eng sangat bersangsi.
Siapa orang itu dan apa
maunya?
Sesudah melirik lagi sekali,
ia menyabet kudanya dan
binatang itu lantas saja kabur
sekeras-kerasnya. Si saudagar
tenang-tenang saja, sama
sekali tidak mengunjukkan
keinginan untuk sengaja
menyusul Hoan Eng. Dalam sekejap,
saudagar itu sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi
dan Hoan Eng menjadi lega
hatinya.
Hoan Eng adalah seorang yang
sangat berhati-hati.
Sesudah larikan lagi kudanya
beberapa lama, ia mem-biluk ke
suatu jalan kecil dan di waktu
magrib, tibalah ia di kota
Pekkouw yang terletak seratus
lie lebih di sebelah timur kota
Poteng. Dalam kota itu, yang
terlebih kecil daripada Liulieho,
hanya terdapat sebuah rumah
penginapan.
100
Sesudah mendapat kamar dan
bersantap malam, ia merasa
pasti si saudagar tidak akan
mengikutinya ke kota kecil itu.
Tapi, tak dinyana, baru saja
ia memikir begitu, di luar sudah
terdengar suara berbengernya
kuda dan saudagar itu sudah
berada di depan pintu hotel.
Sekarang benar-benar ia kaget.
Sudah tak dapat
disangsikan lagi, orang itu
sedang menguntit ia. Sebelum
orang itu masuk, dengan cepat
ia masuk ke dalam kamarnya,
di mana ia mendengar saudagar
itu memesan makanan dan
minta air cuci muka, tiada
beda dengan seorang pelancong
biasa. Sesudah makan, saudagar
itu masuk ke kamarnya yang
berhadapan dengan kamar Hoan
Eng.
Hoan Eng merasa sangat tidak
enak hatinya, ia bersamedhi
sembari menyekal golok. Tapi
sesudah menung-kuli setengah
malam, sama sekali tidak
terjadi kejadian luar biasa. "Jika
orang itu mempunyai niatan
kurang baik, dalam dua hari ia
tentu sudah menyerang,"
pikirnya. "Jika maksudnya baik,
siang-siang tentu ia sudah
menegur aku. Tapi kenapa, tanpa
menyerang atau menegur, ia
menguntit terus menerus? Apa
kawan, apa lawan?"
Jam tiga sudah lewat, tapi
tetap tak ada pembahan luar
biasa. Mendadak Hoan Eng ingin
kencing dan sembari
menengteng golok, ia pergi ke
kakus yang terletak di pojok
pekarangan hotel.
Selagi kencing, dari sela-sela
pintu kakus, ia melihat satu
bayangan manusia mendekam di
atas genteng. Begitu ia
keluar dari kamar kecil,
bayangan itu menghilang dengan
gerakan cepat luar biasa.
"Sahabat dari mana di
situ?" membentak Hoan Eng dengan
suara perlahan. "Lekas
keluar!" Ia menimpuk dengan sebutir
batu kecil, tapi bayangan itu
tetap tak muncul lagi.
101
Dengan penuh kecurigaan,
cepat-cepat Hoan Eng kembali
ke kamarnya dan membesarkan
api lampu. Pembahan besar
tak ada tapi toh ia terkejut
bukan main, oleh karena
buntalannya yang tadi berada
di tengah-tengah meja
sekarang sudah berkisar ke
kiri dan bentuk ikatan buntalan
pun sudah berobah. Sebagai
seorang yang biasa berkelana di
kalangan Kangouw, ia selalu
berhati-hati dan semua
barangnya ditaroh di tempat
tertentu, malah ada juga yang
diberi tanda, sehingga
tergeser sedikit saja, ia pasti akan
mengetahuinya. Ia yakin, bahwa
dalam tempo yang sangat
pendek, yaitu selagi ia pergi
ke kakus, buntalannya sudah
dibuka orang. Buru-buru ia
membuka buntalan itu dan
ternyata beberapa stel
pakaiannya tidak diganggu.
Setelah menimbang-nimbang
beberapa saat, Hoan Eng
mengambil putusan buat mabur
secepat mungkin. Ia
meninggalkan sepotong perak di
atas meja sebagai
pembayaran sewa kamar dan
kemudian cemplak kudanya
yang lantas saja dikaburkan
sekeras-kerasnya. Sesudah
berjalan kurang lebih setengah
jam, di sebelah depan
kelihatan hutan yang melintang
menutup jalan. Ia loncat turun
dari tunggangannya dan masuk
ke dalam hutan dengan
menuntun kudanya.
Belum berapa lama ia berjalan,
ketika tiba-tiba di sebelah
belakangnya terdengar suara
berbengernya seekor kuda.
Ternyata si saudagar sudah
mengubar sampai di situ dan
tanpa menghiraukan larangan
Kangouw yang berbunyi:
"Bertemu hutan, janganlah
masuk", dikepraknyalah kudanya
yang lantas menerobos masuk ke
dalam hutan.
Melihat orang itu tidak
berkawan, hati Hoan Eng jadi
mantep. Ia memutarkan badan
dan sambil menyekal
goloknya keras-keras, ia
menanya: "Kenapa tuan terus
menerus menguntit aku?"
102
Orang itu tertawa dingin.
Dengan sekali menggoyangkan
tangan kirinya, ia menyalakan
bahan api yang lantas
dilemparkan kerumput kering,
sehingga rumput itu lantas jadi
terbakar. Sesudah menyapu
dengan matanya ke kiri kanan,
barulah ia berkata: "Kau
jalan di jalanmu, akupun jalan di
jalanku sendiri. Kenapa tuan
menjadi curiga?"
Hoan Eng mengetahui orang itu
membakar rumput lantaran
kuatir adanya musuh yang
bersembunyi. Dari sini dapat
diketahui, bahwa orang itu
benar-benar sudah kawakan dalam
kalangan Kangouw dan dapat
memikir begitu cepat dalam
tempo yang begitu pendek.
Sambil melintangkan goloknya,
Hoan Eng lantas saja
tertawa terbahak-bahak.
"Bahwa tuan meneruskan
perjalanan di tengah malam
buta, adalah satu kejadian
yang sungguh-sungguh
mengherankan aku!"
katanya dengan suara nyaring.
Orang itu turut tertawa
berkakakan seraya berkata: "Kalau
begitu, apakah kelakuan tuan
yang juga kaburkan kuda di
tengah malam buta, tidak sama
mengherankannya?"
"Sekarang lebih baik kita
bicara terus terang saja," berkata
Hoan Eng. "Aku adalah
seorang pemburon. Dan siapakah
adanya kau?"
"Kau pemburon, aku adalah
orang yang menguntit
pemburon!" jawabnya.
"Jika begitu, kau
tentunya orang dari istana," kata Hoan
Eng sembari tertawa tawar. "Baiklah!
Aku siap sedia untuk
melayani kau!"
103
"Bukan aku, tapi kau yang
berkata begitu," kata orang itu.
"Siapa yang mau berkelahi
denganmu? Jika kau pemburon,
kenapa tidak cepat-cepat
kabur?"
Hoan Eng terkejut. "Siapa
sebenarnya kau?" ia membentak.
"Di hadapan ksatria,
orang tidak berjusta." kata si
saudagar. "Dan kau, siapa
sebenarnya kau?"
"Bukankah aku sudah
memberitahukan?" jawab Hoan Eng.
"Lantaran apa kau menjadi
pemburon?" menanya pula
orang itu. "Kedosaan
apakah yang sudah kau lakukan?"
"Aku menyatroni penjara
istana untuk menolong Ie Kiam!"
jawabnya dengan berani.
"Siapa yang curi kepala
Ie Kiam?" orang itu menanya lagi.
"Aku sudah bicara terus
terang, sekarang adalah giliranmu.
Siapa kau?" tanya Hoan
Eng dengan perasaan mendongkol
oleh karena orang itu terus
mencecer dengan pertanyaanpertanyaan,
tanpa ia sendiri mau berterus
terang.
"Aku adalah seorang yang
secara diam-diam sudah
melindungi kau,"
jawabnya. "Kita semua adalah sahabatsahabat
dari satu jalan. Aku ingin
sekali bertemu dengan
Giesu (pendekar) yang sudah
mencuri kepala Ie Kiam dan
dengan memandang persahabatan,
aku mohon kau suka
mengantarkan aku kepada orang
itu."
Biji mata Hoan Eng bergerak
beberapa kali, hatinya
sungguh merasa sangsi.
"Dilihat dari gerak-geriknya, ia bukan
mau menangkap aku,"
katanya di dalam hati. "Tapi kenapa ia
begitu ingin menemui si
pencuri kepala?"
104
"Apa kau masih merasa
sangsi?" tanya orang itu. "Cobalah
pikir. Jika aku orang
pemerintah, masakah sesudah menguntit
dua hari dua malam, aku belum
juga turun tangan?"
Hoan Eng tak menyahut, tapi
lantas mendekati kuda orang
itu, yang sedang makan rumput.
Melihat seorang asing datang
padanya, hewan itu mengangkat
kepalanya dan berbe-nger
keras.
"Macam tunggangan tuan
tidak terlalu garang, tapi
sungguh cepat larinya,"
memuji Hoan Eng sembari
mengangsurkan sebelah
tangannya dan membetot les.
"Mau apa kau?"
bentak orang itu.
Begitu dibetot, kuda itu
berjingkrak dan menendang. Hoan
Eng berjongkok dan menangkap
satu kakinya. Sekali melirik
saja, ia sudah melihat, bahwa
pada besi kaki kuda tercetak
empat huruf: "Toalwee
Giema" (Kuda Istana Kaizar). Hampir
berbareng, ia menggulingkan
diri dan molos di antara kaki
kuda itu.
"Ha-ha-ha!" Hoan Eng
tertawa berkaka-kan. "Sekarang aku
tahu siapa adanya tuan!"
Sebagaimana diketahui, ia
adalah seorang yang sangat
berhati-hati. Dengan matanya
yang sangat tajam, ia
menduga, bahwa kuda itu sudah
mendapat latihan istimewa.
Ia mengetahui, bahwa semua
kuda istana diberi tanda pada
besi kakinya. Maka itu, ia
segera mengambil putusan untuk
mencoba dan benar saja
percobaannya berhasil.
Orang itu adalah pahlawan
istana yang dengan menyamar
sudah menguntit Hoan Eng. Ia
tidak lantas turun tangan oleh
karena menduga, bahwa si
pencuri kepala adalah kawan Hoan
Eng dan dari Hoan Eng, ia
mengharap akan mendapatkan
105
keterangan yang diingininya,
supaya dengan sekali menyapu,
ia bisa membinasakan
kedua-duanya.
Ia bukan Wiesu (pahlawan)
biasa dan setelah kedoknya dilocoti,
sebaliknya dari ketakutan, ia
tertawa terbahak-bahak.
"Mata tuan sungguh awas
sekali!" katanya. "Dari ini saja, tuan
sudah cukup berharga untuk
menjadi sahabatku." Ia berhenti
sejenak dan kemudian
membentak: "Apakah kau pernah
mendengar nama Yang Cong Hay?
Jika kau ingin aku berlaku
murah hati, lekas antarkan aku
kepada penjahat yang mencuri
kepala Ie Kiam!"
Hoan Eng terkesiap. Pada jaman
itu, kiamkek (ahli pedang)
yang kesohor di wilayah
Tiongkok adalah: "Di Selatan Thio
Tan Hong, di Utara Ouw Bong
Hu, di Barat Yang Cong Hay,
sedang di Timur adalah Cio
Keng Tauw. Thio Tan Hong dan
Ouw Bong Hu sudah lama
mengundurkan diri dari pergaulan
umum, Cio Keng Tauw kabur ke
seberang laut sebagai
pemburon lantaran merampok
pedang mustika dari istana dan
hanya Yang Cong Hay yang masih
malang melintang di daerah
Tiongkok Barat daya, di mana ia
sudah melakukan banyak
perbuatan terkutuk. Sepanjang
warta, ia adalah jago Cengshia
pay (Partai kota hijau), tapi
para tetua partai itu ternyata tak
sanggup mengendalikan lagi
tingkah lakunya. Dengan
menunggang seekor Toalwee
Giema, sudah terang ia
sekarang menjadi kaki tangan
kaizar dan "Yang Tayjin" itu
yang disebut-sebut oleh para
Wiesu, tentulah ia adanya.
Hoan Eng menyedot napas
dalam-dalam untuk
menenteramkan hatinya.
"Baiklah!" katanya. "Aku akan
mengantar kau!" Ia maju
setindak dan sekali membalik
tangan, golok Bianto sudah
menyambar. Bacokan itu yang
dilakukan secara tidak
diduga-duga, sudah cepat luar biasa,
tapi Yang Cong Hay tidak kalah
cepatnya. Sembari tertawa
dingin, ia mementil dengan
kedua jerijinya. Beratnya sabetan
Hoan Eng ada beberapa ratus
kati, tapi, begitu terpentil, golok
106
itu mental! Dan pada saat itu,
Yang Cong Hay sudah
menghunus pedangnya seraya
membentak: "Rasakan
pedangku!"
Hoan Eng yang sudah kenyang
menghadapi lawan-lawan
berat, lalu melancarkan
serangan berantai, dengan
tendangan, sabetan tangan dan
bacokan yang semua
merupakan serangan
mati-matian. Yang Cong Hay kembali
tertawa dingin dan berkelit
sembari menikam. "Bret", pundak
Hoan Eng tergores pedang!
Dengan tikaman itu, Yang Cong
Hay sudah berlaku murah hati
lantaran ia ingin sekali dapat
membekuk Hoan Eng hidup-hidup
guna mengorek keterangan
dari mulutnya. Jika mau,
dengan mudah ia dapat menobloskan
tulang pundak musuh.
Dulu, paman Hoan Eng mempunyai
kedudukan setingkat
dengan Thio Hong Hu dan
dikenal sebagai salah seorang dari
"Tiga Jago Kota
Raja." Dengan mewarisi ilmu silat turunan, ia
mempunyai kepandaian yang
cukup tinggi. Begitu pundaknya
tergores, ia meloncat mundur
dan selagi Yang Cong Hay mau
menikam pula, tiba-tiba ia
membentak keras sambil
membacok dan menendang.
Pukulan ini sangat tersohor dan
dinamakan pukulan Houwwiekak
Tiongmato (Tendangan
buntut harimau bacokan kuda
kabur). Orang yang bisa
mengelit bacokannya, tak nanti
mampu mengegosi
tendangannya. Akan tetapi,
Yang Cong Hay bukan lawan biasa
dan dengan meloncat mundur, ia
dapat menyingkir dari dua
serangan itu.
Di lain pihak, sembari
membacok dan menendang, Hoan
Eng terus menubruk ke depan
dan menerobos keluar dari
kurungan api. Selagi meloncat,
ia menyembat dua batang
cabang pohon yang
berkobar-kobar untuk menimpuk
musuhnya. Yang Cong Hay
me-ngebas dengan tangannya dan
kedua batang itu jatuh di
tempat yang terpisah kira-kira tujuh
kaki dari badannya. Akan
tetapi, perbuatan Hoan Eng ini ada
107
hasilnya juga, yaitu sudah
membikin binal kuda Yang Cong
Hay. Ketika akhirnya hewan itu
dapat dibikin jinak,
Hoan Eng sudah lari agak jauh.
Sebagai seorang yang
berkepandaian tinggi, Yang Cong
Hay bernyali besar dan ia
lantas saja mengubar.
"Kawan! Hayo
membantu!" berseru Hoan Eng.
"Keluar! Aku tak
takut!" berteriak Yang Cong Hay dengan
suara mengejek.
Sekonyong-konyong di luar
hutan terdengar suara
berbengernya kuda. Yang Cong
Hay mengeluarkan suara "hm"
dan menduga, Hoan Eng
benar-benar mempunyai kawan. Ia
mengempos semangat dan
mengubar seperti kilat cepatnya,
dengan tujuan lebih dulu
membinasakan Hoan Eng dan
kemudian baru melayani musuh
yang masih berada di luar
hutan.
Dengan menggunakan siasat
"main petak" dan lari
membiluk-biluk di antara
pohon-pohon, Hoan Eng dapat
menyelamatkan diri. Beberapa
kali, lantaran terdesak, ia
terpaksa melawan sejurus dua
jurus, akan kemudian kabur
lagi. Meskipun ilmu silat Yang
Cong Hay jauh lebih tinggi, ia
tak akan dapat merobohkan Hoan
Eng dalam hanya dua atau
tiga jurus.
Bukan main gusarnya Cong Hay.
Dengan mata merah, ia
mengudak terus sembari
mengeluarkan seraup Thielian cie
(Biji teratai besi) yang
lantas ditimpukkan ke arah dua belas
jalan darah musuh. Dengan lari
berbelit-belit, Hoan Eng dapat
menyingkir dari sejumlah
senjata rahasia itu. Tiba-tiba, sambil
membentak "kenal",
Cong Hay menendang rubuh sebatang
pohon kecil. Begitu pohon itu,
yang merupakan tedeng bagi
108
badan Hoan Eng rubuh, ia
menimpuk dengan beruntun dan
sebuah Thielian cie tepat
mengenakan jalan darah Thianhian
hiat, di punggung Hoan Eng.
Hoan Eng berteriak kesakitan
sembari meloncat dan
menyampok beberapa Thielian
cie lain dengan goloknya.
Ketika itu, ia sudah sampai di
tengah-tengah hutan lebat yang
penuh dengan pohon-pohon
berduri. Dengan nekat ia
menerobos terus dan membuka
jalan dengan Bianto-nya.
Yang Cong Hay mengejar terus,
sering pakaiannya tercangkol
duri. Lantaran pedangnya tidak
setajam Bianto, ia harus
menggunakan lebih banyak tempo
untuk membabat pohonpohon
duri itu, sehingga semakin
lama ia jadi ketinggalan
semakin jauh. Selain itu, sebab
gelap gulita ia sekarang tak
dapat melihat lagi di mana
adanya Hoan Eng. Dengan gusar ia
menyalakan bahan api yang
lantas dilemparkan dan begitu
mengenakan cabang-cabang
kering, api lantas berkobarkobar.
Sesudah itu dengan menggunakan
ilmu
mengentengkan badan Tengpeng
touw-sui (Menginjak rumput
menyeberang sungai), ia
mengubar dengan berlari-lari di atas
pohon-pohon berduri, tanpa
memperdulikan pakaian dan
kakinya yang tertusuk duri.
Saban kali keadaan sudah terlalu
gelap, ia lalu membakar hutan
lagi sehingga tidak lama
kemudian, di beberapa belas
tempat sudah terbit kebakaran.
Semakin lama, Yang Cong Hay
sudah semakin dekat pada
korbannya. Sementara itu,
beberapa kali terdengar suara
berbengernya kuda di luar
hutan. Secara mati-matian,
akhirnya Hoan Eng dapat juga
menerobos ke luar dari hutan
itu yang panjangnya kira-kira
tiga lie. Melihat musuhnya sudah
berada di tempat terbuka, Yang
Cong Hay tertawa bergelakgelak.
"Sekarang mau lari ke
mana kau?" ia berseru sembari
menimpuk dengan tiga butir
Thielian cie.
Hoan Eng menyampok jatuh
peluru pertama dengan
goloknya dan berkelit dari
peluru kedua yang menyambar
109
tenggorokannya, tapi Thielian
cie yang ketiga tak dapat
dielakkan lagi dan tepat
mengenakan lututnya, sehingga ia
jatuh berlutut seketika itu juga.
Ketika itu, dengan adanya
sinar api dan sinar bulan,
keadaan di situ menjadi cukup
terang. Yang Cong Hay
bergirang hati dan kembali ia
tertawa besar, akan kemudian
menghampiri korbannya untuk
ditelikung.
Sekonyong-konyong dari jauh
terdengar suara tindakan
kuda yang berlari cepat
sekali. Yang Cong Hay terkesiap dan
mengawasi ke jurusan itu.
Bagaikan kilat sesosok bayangan
putih melesat mendatangi dan
dalam sekejap mata, seekor
kuda berbulu putih sudah
berada dihada-pannya dan
penunggangnya, seorang pemuda
berbaju putih, segera
meloncat turun. Dilihat dari
mukanya yang sangat cakap,
pemuda itu baru berusia kurang
lebih tujuh belas tahun,
badannya langsing kecil,
sehingga jika dipandang sekelebatan,
seolah-olah ia hanya satu
bocah yang baru keluar dari rumah
sekolah.
Pemuda itu melirik dan
berkata: "Ah! Tak tahunya Yang
Toacongkoan, Yang Tayjin!
Untuk apa kau mengubar-ubar
ia?"
Yang Cong Hay terkejut sebab
sekali membuka mulut, si
bocah sudah melocoti kedoknya.
"Siapa kau?"
bentaknya sembari menuding dengan
pedangnya. "Jangan
menyampuri urusan orang lain!"
Si pemuda senyum tawar dan
menjawab: "Urusan dalam
dunia harus diurus oleh
manusia yang hidup dalam dunia.
Siauwya-mu (Siauwya = Tuan
kecil) paling senang
menyampuri urusan
ganjil!"
110
Yang Cong Hay mendongkol
tercampur geli mendengar
kata-kata itu. "Urusan
ganjil apa?" ia menanya sembari
tertawa.
"Yang besar menindas yang
kecil, kau sudah menghinakan
orang!" jawabnya.
Perkataan si bocah yang belum
hilang bau pupuknya itu
sudah mengilik-ngilik hati
Yang Cong Hay. Ia lantas meladeni
terus dan sama sekali tidak
kuatir Hoan Eng, yang sudah kena
Thielian cie akan melarikan
diri. "Ah! Perkataanmu tak masuk
diakal," katanya sembari
tertawa geli. "Dia sudah cukup besar
dan bukan seperti kau yang
masih bau daun deringo. Tak
dapat kau mengetakan: Yang
besar menindas yang kecil!"
Si baju putih tertawa tawar.
"Sebagai kiamkek kenamaan
dan seorang yang bergelar
Tayjin, kau sudah melukakan
seorang piauwkek biasa dengan
senjata rahasia," katanya
dengan suara mengejek.
"Apakah ini bukan yang
kuat menghina yang lemah, yang
besar menindih yang kecil?
Sesudah dilihat olehku, urusan
ganjil ini tak dapat aku tak
menyampuri!"
Sembari menggosok-gosok
lututnya dan mengempos
semangat untuk membuka jalan
darahnya, Hoan Eng
mendapat kenyataan bahwa si
baju putih adalah pemuda yang
sudah mempermainkan Thio
Houwcu dan yang sudah
melukakan dua Siewie dengan
senjata rahasia bunga emas. Ia
jengah bukan main ketika
mendengar dirinya dinamakan
sebagai "piauwkek
biasa".
Hati Yang Cong Hay jadi
seperti semakin dikitik-kitik. "Jika
aku sampai turun tangan
terhadapmu, bukankah soal yang
111
besar menindas yang
kecil-kecil jadi terulang pula?" katanya
sembari tertawa berkakakan.
"Sebagai kiamkek
kenamaan, kau sungguh mengecewakan
aku," kata si baju putih.
"Sungguh aku tak nyana, otakmu
kosong melongpong!"
"Apa?" menegasi Yang
Cong Hay.
"Apa gunanya mempunyai
badan yang seperti kerbau atau
kuda besarnya?" kata pula
pemuda itu. "Apakah kuat dan
lemah, besar atau kecil,
diukur dengan ukuran usia? Aku
sekarang bicara terus terang
kepadamu: Jika kau bukannya
seorang Toacongkoan (Pengurus
besar dalam istana kaizar),
masih sungkan aku mengadu
tanganku dengan cecongormu!"
Mendengar omongan temberang
itu yang menyebut-nyebut
juga soal tingkatan, Yang Cong
Hay jadi lebih-lebih sungkan
bertempur dengan si bocah.
Harus diketahui, bahwa dalam
Rimba Persilatan, soal
tingkatan diperhatikan benar. Jika,
sebagai seorang yang mempunyai
tingkatan tinggi, ia sampai
mengukur tenaga dengan satu
bocah, semua orang gagah
dalam Rimba Persilatan tentu
akan mentertawakan-nya.
"Hayo!" membentak si
baju putih sembari menghunus
sebatang pedang pendek. Begitu
dihunus, pedang itu
mengeluarkan sinar yang
menyilaukan, sehingga Yang Cong
Hay jadi terkesiap. Jika tidak
melihat dengan mata sendiri,
sungguh ia tak percaya bahwa
bocah yang belum hilang bau
pupuknya itu mempunyai kuda
dan pedang mustika.
Tapi biar bagaimanapun juga,
ia tentu tak memandang
sebelah mata si bocah itu.
"Benar-benar kau mau turut
campur urusan ini?" ia
menanya.
112
"Jangan rewel!" si
baju putih membentak. "Hayo, seranglah
sesukamu!"
"Bocah!" berkata
Yang Cong Hay yang sudah mulai
mendongkol. "Pergilah
pulang kepada gurumu dan belajar lagi
beberapa tahun. Seorang yang
seperti aku sebenarnya tidak
harus mempunyai pandangan
seperti kau bocah cilik."
"Eh! Kau mau menyerang
atau tidak?" mendesak si baju
putih. "Kalau kau tetap
tidak bergerak, aku tak akan berlaku
sungkan lagi."
"Coba kau bersilat
sejurus, aku mau lihat siapa gurumu,"
kata Yang Cong Hay akhirnya.
"Baik. Awas!"
berseru pemuda itu, sembari menikam.
Dengan tenang Cong Hay
mengangkat dua jerijinya untuk
mementil senjata yang sedang
menyambar. Tak dinyana,
tikaman itu yang kelihatan
seperti tikaman biasa, aneh sekali
perobahan-nya. Di tengah
jalan, pedang itu mendadak
berobah arahnya, dari menikam
jadi membabat dan jika kedua
jeriji Yang Cong Hay tidak
ditarik kembali, sudah pasti dua-dua
akan terbabat putus.
Tak malu Yang Cong Hay dikenal
sebagai kiamkek
kawakan.
Pada saat pedang itu hanya
tinggal terpisah lima dim dari
jerijinya, ia masih keburu
membalik tangannya dan dengan
gerakan Liongheng coanciang
(Gerakan naga menembus
tangan), ia coba merampas
pedang itu.
Hampir pada detik itu juga,
pedang si baju putih lewat di
pinggir kuping Yang Cong Hay,
sedang tangan Cong Hay
menyambar lengan si baju
putih. Dalam pertempuran antara
jago melawan jago, menang
kalah hanya berdasarkan
113
perbedaan bagai rambut sehelai
dibelah tujuh. Pada detik itu,
dari berada di bawah angin,
Yang Cong Hay berbalik berada di
atas angin, sehingga, dengan
sekali menyodok, lengan si baju
putih akan dapat dirusaknya.
Hoan Eng terkesiap dan
berteriak: "Celaka!"
Tanpa memperdulikan lututnya yang
masih lemas, ia menepuk tanah
dengan kedua tangannya dan
badannya lantas melesat ke
dalam gelanggang pertempuran.
Tapi, sedang badan Hoan Eng
masih berada di tengah
udara, tiba-tiba Yang Cong Hay
berteriak: “h!" Ternyata, pada
detik itu, si baju putih sudah
menarik pulang tangannya dan
menggunakan gagang pedang
untuk menotok lengan
lawannya. Jika Yang Cong Hay
tidak menghentikan
pukulannya, lengan kedua belah
pihak tentu akan patah
bersama-sama. Cepat bagaikan
kilat, Yang Cong Hay loncat
minggir dan kedua lawan itu
sama-sama terlolos dari bahaya.
Sesaat itu, Hoan Eng hinggap
diatas tanah, dengan napas
lega.
Tapi siapa nyana, satu
gelombang baru lewat, lain
gelombang sudah menyusul.
Menurut kebiasaan, jika dalam
satu pertempuran, dua musuh
berpencar, masing-masing
pihak lebih dulu memperbaiki
kedudukannya, kemudian baru
maju lagi untuk bertempur pula.
Akan tetapi, baik Yang Cong
Hay, maupun si baju putih
ketika itu mempunyai pikiran yang
sama, yaitu: Mendahului
menyerang sebelum sang lawan
dapat memperbaiki
kedudukannya. Dalam hal ini, Cong Hay
yang mempunyai lebih banyak
pengalaman, sudah bertindak
lebih cepat dari pada
lawannya. Baru saja pedang si baju putih
bergerak, kedua tangan Cong
Hay sudah membuat satu
lingkaran dan menerobos masuk
ke dalam garis pembelaan si
baju putih, yang kedua
tangannya lantas saja "terkunci" dan
tak dapat mengerahkan tenaga
lagi.
Yang Cong Hay adalah ahli
waris Cengshia pay yang sudah
mendapat segala rahasia ilmu
silat partai tersebut. Setiap
114
pukulannya mengandung
"kekerasan" dan "kelembekan" serta
dapat berubah-ubah secara di
luar dugaan. Walaupun tak
mengenal rahasia ilmu silat
Cengshia pay, akan tetapi Hoan
Eng mengetahui, bahwa dengan
sekali menggerakkan tangan.
Yang Cong Hay dapat
mencelakakan si baju putih. Ia tahu,
biar bagaimanapun juga, ia tak
akan dapat memberi
pertolongan dan tanpa merasa,
sekali lagi ia berteriak:
"Celaka!"
Dan hampir berbareng dengan
teriakan Hoan Eng, Yang
Cong Hay dan si baju putih
bersama-sama menjerit. Mata
Hoan Eng kabur, ia tak tahu
kedua pihak menggunakan
pukulan apa. Ia hanya melihat
lengan baju Cong Hay robek
dan badannya sempoyongan."Sahabat
kecil! Bagus! Sungguh
bagus!" Hoan Eng
berteriak bagaikan kalap lantaran
kegirangan. Ia tidak
mengetahui, bahwa pergelangan tangan
si pemuda juga sudah terpukul
dan jika dihitung-hitung,
adalah si baju putih yang
menderita kerugian terlebih besar.
Sekarang muka Toacongkoan itu
berubah merah padam, ia
merasakan dadanya seperti mau
meledak lantaran
gusarnya. Mengimpi pun ia tak
pernah, bahwa tangan bajunya
bisa dirobek oleh satu bocah
yang belum hilang bau
pupuknya.
Selagi lawannya ber-gusar, si
baju putih lantas saja
mencecer dengan
serangan-serangan hebat. Dalam keadaan
tenang, sebenarnya Cong Hay
masih dapat melayani pemuda
itu dengan tangan kosong. Tapi
begitu darahnya naik,
semangatnya tak dapat lagi
dipusatkan dan dalam sekejap, ia
sudah terdesak, sehingga ia
jadi kaget dan bingung. Tanpa
memperdulikan lagi
tingkatannya yang tinggi, ia segera
menghunus pedangnya yang
menggemblok di punggungnya.
"Nah! Sedari tadi aku
sudah perintahkan kau mencabut
senjata," mengejek si
baju putih sembari tertawa. "Tapi kau
115
tetap membandel. Sekarang
bagaimana?" Sedang mulutnya
berbicara, tangannya bekerja
terus dan menikam tenggorokan
Yang Cong Hay bagaikan kilat.
Pedang si baju putih cepat, tapi
gerakan Cong Hay lebih cepat
lagi. Dengan sekali mengegos,
ia sudah mengelit tikaman itu
dan lalu balas menyerang.
Sesudah bergebrak beberapa-apa
jurus, dengan gerakan
Souwcin pweekiam (Souwcin
menggendong pedang), Cong
Hay menggerakan pedangnya,
yang dengan mengeluarkan
suara mengaung, sudah
"mengunci" bagian atas, tengah dan
bawah pemuda itu.
"Bagus!" berseru si baju putih. Bukannya
berkelit atau mengegos,
sebaliknya dengan ilmu Lie Kong
siaciok (Lie Kong memanah
batu), ia malah menikam dada
Yang Cong Hay.
Gerakan itu sungguh-sungguh di
luar dugaan. Menurut ilmu
pedang yang biasa, seorang
yang sudah "dikunci" secara
begitu, harus berusaha
menolong diri. Tapi dalam keadaan
yang sangat berbahaya itu, si
pemuda sudah balas
menyerang. Saat itu, Cong Hay
terkesiap, sebab ia mendadak
teringat, bahwa pedang
lawannya adalah pedang mustika.
Menurut perhitungan, dalam
bentrokan antara kedua pedang
itu, pedang si baju putih
mesti jatuh terpental. Tapi pedang
Cong Hay bukan pedang mustika,
sehingga, dalam bentrokan
itu, meskipun pedang si baju
putih mungkin terpental jatuh,
tapi pedangnya sendiri pasti
akan putus menjadi dua. Sebagai
seorang yang mempunyai
kedudukan tinggi dalam Rimba
Persilatan, ia tentu akan
menjadi buah tertawaan umum, jika
pedangnya sampai diputuskan
oleh satu bocah.
Biar bagaimanapun juga,
bentrokan antara kedua pedang
itu sudah tak dapat dielakkan
lagi. Berbareng dengan suara
"trangl", kedua
lawan itu segera berpencar. Barusan, begitu
kedua pedang mereka beradu,
Cong Hay menarik pulang
tenaga Yangkong (tenaga
"keras") dan mengeluarkan tenaga
Imjiu (tenaga "lembek"),
sehingga pedangnya hanya
116
menempel pedang lawan dan lalu
mental kembali. Akan tetapi,
walaupun begitu, pedang Yang
Cong Hay somplak juga
sedikit.
Demikianlah, dalam gebrakan
itu, si baju putih telah
mendapat kemenangan gemilang.
Tapi sebagai seorang muda, ia
tak mengenal batas. Dengan
cepat, ia membacok lagi dan
berusaha untuk mengadu pula
pedangnya. Sekali lagi kedua
pedang itu berbentrok, tapi...
aneh sungguh, sekali ini
bentrokan itu tidak mengeluarkan
suara!
Hoan Eng kaget dan heran. Ia membuka
kedua matanya
lebar-lebar untuk mencari
tahu, apa sebabnya.
Di lain saat, pedang si baju
putih seolah-olah sudah kena
"dihisap" oleh
pedang Yang Cong Hay. Beberapa kali ia
berkutet, tapi pedang itu
tetap tak dapat ditarik pulang.
Ternyata, kali ini Yang Cong
Hay sudah mengerahkan
tenaga Imjiu yang sangat
tinggi guna "menghisap" pedang
lawannya.
Beberapa saat kemudian,
keringat sudah mengucur dari
dahi si baju putih.
"Bagaimana?"
mengejek Cong Hay.
"Tak apa!" sahut si
baju putih sembari senyum tawar. Tak
tahu dengan ilmu apa,
tiba-tiba badan si baju putih mencelat
dap pedangnya sudah terlepas
dari “katan" musuh. Kejadian
itu adalah karena salah Yang
Cong Hay sendiri. Barusan,
sesudah berhasil
"menghisap" senjata musuh, dalam sejenak
ia memandang rendah lawannya
dan lalu mengejek, dan
selagi bicara, perhatiannya
terpecah. Si baju putih, yang liehay
117
luar biasa, sungkan
mensia-siakan ketika baik ini dan dengan
sekali membetot, ia melepaskan
pedangnya dari "hisapan"
tenaga Imjiu. Berbareng dengan
itu ia meloncat ke samping
Cong Hay dan menikam sekali.
Dengan sangat menyesal, Yang
Cong Hay berkelit dengan
gerakan Tuipo lianhoan (Mundur
berantai) dan kemudian
membabat dengan pedangnya
dalam usaha untuk
"menghisap" pula
pedang musuh. Tapi kali ini si baju putih tak
dapat dijebak lagi. Dengan
gerakannya yang sangat gesit,
bagaikan kupu-kupu yang
berterbangan di antara bungabunga,
ia melayani Toacongkoan itu.
Yang Cong Hay menjadi
kaget, heran dan kagum dengan
berbareng. Beberapa kali,
pedangnya hampir menempel
pedang si baju putih, akan
tetapi, pada detik yang
terakhir bocah itu selalu dapat
meloloskan senjatanya dari
“katan". Mendadak Cong Hay
tergoncang hatinya. Sesudah
memperhatikan ilmu pedang si
bocah, mendadak ia ingat akan
seorang Tayhiap (pendekar)
yang sekarang sudah
mengundurkan diri dari pergaulan
umum. Apakah bocah ini ahli
waris dari pendekar tersebut?
Sesudah bertempur lagi
beberapa lama, Yang Cong Hay
menjadi sadar dan mendapat
jalan untuk menghadapi
musuhnya. Ia segera merobah
cara bersi-latnya dan
mengutamakan pembelaan diri.
Akan tetapi, dalam pembelaan
diri itu, ia berlaku sangat
awas dan segera balas menyerang,
begitu ada kesempatan.
Dilayani secara begitu, dengan
perlahan si baju putih menjadi
lelah dan napasnya mulai
tersengal-sengal.
Sementara itu, Hoan Eng
mengawasi jalannya pertempuran
dengan hati berdebar-debar.
Kedua orang itu sedang
bertempur dengan menggunakan
ilmu pedang yang paling
tinggi dan sekali salah
tangan, jiwa bisa melayang. Walaupun
tidak terlalu paham akan ilmu
pedang, ia mengetahui, bahwa
si baju putih berada di bawah
angin. Ketika itu, dengan
118
mengatur jalan pernapasannya,
Hoan Eng sudah pulihkan
kembali aliran darahnya dan
perasaan kesemutan sudah
menjadi hilang. Maka itu,
sambil membentak keras, ia
menjumput Bianto-nya dan
bergerak untuk menyerbu ke
dalam gelanggang pertempuran.
Sebagai seorang berpengalaman,
Yang Cong Hay sangat
awas matanya. Begitu Hoan Eng
bergerak, ia pindahkan
pedangnya ke tangan kiri dan
merogo sakunya dengan tangan
kanan. Sembari membacok dengan
tangan kiri sehingga si
baju putih terpaksa mundur dua
tindak, ia mengayun tangan
kanannya dan melepaskan
sejumlah Thielian cie ke arah
kedua lawannya. Sekarang
Toacongkoan ini sudah tidak
menghiraukan lagi soal
tingkatan dan dalam kekuatirannya
akan dikerubuti, ia malah
tidak merasa malu untuk
menggunakan juga senjata
rahasia. Hoan Eng, yang baru
terluka kakinya, tak begitu
gesit gerakannya, sehingga dua
butir Thielian cie mampir di
lehernya dan ia kembali jatuh
terguling.
Begitu rubuh, ia meloncat bangun
lagi dengan gerakan
Leehie Tateng (Ikan gabus
meletik) dan pada detik itu, ia
mendengar si baju putih
berteriak: "Bagus!"
Di lain saat, seperti hujan
gerimis, belasan bunga emas
yang berbentuk Bweehoa
menyambar ke arah Yang Cong Hay.
"Bagus!" teriak Hoan
Eng, kegirangan.
Dengan gerakan Pe-kho
ciongthian (Burung Ho putih
menembus awan), Cong Hay
meloncat ke atas sambil
mengebas dengan pedangnya.
Dengan suara "tring! trang!",
sejumlah bunga emas kena
dibikin terpental, tapi dua
antaranya menyambar terus.
"Kena kau!" berteriak si baju
putih sambil meloncat menikam.
119
Biar bagaimana liehay pun,
Cong Hay tak dapat berkelit lagi
dari dua bunga emas itu yang
menyambar kedua pundaknya.
"Bagus!" ia berseru
sambil mengerahkan tenaga dalamnya dan
menggoyang pundaknya. Dua
bunga emas itu tepat
mengenakan sasarannya, tapi
lantas jatuh ke tanah lantaran
kena ditolak tenaga dalam Yang
Cong Hay, yang, berbareng
dengan itu sudah mengangkat
pedangnya untuk menyambut
serangan si baju putih.
Si pemuda kaget tak kepalang.
Bahwa sepuluh antara dua
belas bunga emasnya kena
dipukul jatuh, sudah cukup
mengagumkan. Tapi menolak
senjata rahasia itu dengan
tenaga dalam, adalah kejadian
yang tak pernah didugaduganya.
"Nama besar Yang Cong Hay
sungguh bukan nama
kosong," ia memuji dalam
hatinya. "Tak heran, dalam dunia
Kangouw ia mempunyai nama yang
berendeng dengan nama
guruku."
Melihat keadaan yang
berbahaya, tanpa memperdulikan
lukanya, Hoan Eng kembali
putarkan goloknya dan maju ke
medan pertempuran.
Sekonyong-konyong si baju
putih bersiul panjang dan
nyaring. Di lain saat,
bagaikan terbang, kuda putih itu sudah
lari ke arah mereka. Sembari
menjambret baju Hoan Eng, si
pemuda menjejek kedua kakinya
dan badannya melesat ke
atas, akan kemudian hinggap
tepat di atas punggung kuda
yang terus kabur bagaikan
kilat!
Buru-buru Yang Cong Hay
cemplak tunggangannya dan
mengubar. Kuda itu bukan kuda
sembara-ngan, akan tetapi,
dibanding dengan kuda putih si
pemuda, ia masih kalah terlalu
jauh. Semakin lama jarak
antara mereka jadi semakin jauh
dan akhirnya Yang Cong Hay
hanya dapat melihat satu titik
putih yang dengan cepat lalu
menghilang dari pemandangan.
120
Tentu saja Toacongkoan tidak
dapat berbuat lain daripada
menghela napas berulang-ulang
dan menahan kudanya.
Tiba-tiba ia merasakan
pundaknya sakit. Buru-buru ia turun
dari tunggangannya dan pergi
ke sebuah kolam sambil
membuka bajunya. Dengan
berkaca di air, ia melihat dua
tapak bunga yang berwarna
merah di kedua pundaknya.
Masih untung senjata-senjata
itu tidak beracun. Kalau
beracun, kedua lengannya tentu
tak akan dapat digunakan
lagi. Ia menggeleng-gelengkan
kepala dan dalam jengkelnya,
ia masih boleh merasa syukur.
* * *
Hoan Eng yang menggemblok di
punggung kuda,
merasakan seperti juga dibawa
terbang di udara. Hatinya
berdebar-debar, ia tak nyana
seekor kuda dapat berlari
sedemikian cepat. Selagi ia
mau menengok ke belakang untuk
menghaturkan terima kasih
kepada penolongnya, kuda itu
melompati suatu solokan dan
hampir-hampir ia jatuh
terpelanting. Buru-buru ia
menjepit perut kuda terlebih keras
dan tidak berani menengok ke
belakang.
"Jangan bicara!
Hati-hati!" membentak si baju putih
sembari memecut udara dan kuda
itu lantas saja lari terlebih
keras.
Tak lama kemudian, fajar sudah
menyingsing dan si baju
putih menahan kudanya.
"Sekarang sudah boleh
berhenti," katanya sembari
meloncat turun dari kudanya
dengan paras muka tidak
berobah dan napasnya juga
tidak tersengal-sengal.
121
"Kuda ini benar-benar
kuda mustika yang jarang terdapat
dalam dunia," memuji Hoan
Eng. "Apa sekarang aku boleh
mengetahui nama tuan yang
mulia?"
Ia tak menyahut.
Mendadak tangannya dilonjorkan
dan golok Bianto yang
tergantung di pinggangnya Hoan
Eng, sudah pindah ke dalam
tangannya. Bagi seorang ahli
silat, melindungi senjatanya
adalah satu kebiasaan yang
otomatis. Begitu tangan si baju
putih menyambar, tangan Hoan
Eng pun bergerak. Tapi ia
kalah cepat dan di lain saat,
pemuda itu sudah menyekal
Bianto dan mengawasi senjata
itu dengan paras muka
bersangsi.
Hoan Eng terkejut.
"Dari mana kau dapat golok
mustika ini?" menanya si baju
putih.
“Ini adalah golok Thio Hong
Hu," jawabnya.
"Kenapa Thio Hong Hu
menyerahkan goloknya kepadamu?"
menanya pula pemuda itu.
Secara terus terang Hoan Eng
segera menceritakan
kejadian pada malam itu,
bagaimana Thio Hong Hu binasa
lantaran kekejaman kaizar.
"Hanya menyesal aku Hoan Eng
tak punya guna dan tak dapat
menolong Thio Pehpeh," kata ia
sembari menangis.
"Sesudah itu aku pergi ke
kota raja dan lagi-lagi gagal
dalam usaha menolong Ie Kokloo
yang kepalanya belakangan
kena dicuri orang."
122
Tiba-tiba si baju putih
menghunus Bianto yang lalu
disabetkan keudara beberapa
kali. Ia mendongak dan tertawa
berkakakan, tertawa yang
nadanya menyayatkan hati.
"Bagus!" ia berseru.
"Biar bagaimanapun juga, Thio Hong
Hu tidak binasa secara
mengecewakan. Ia tidak... ia tidak
mensia-siakan penghargaan Ie
Kokloo."
Hoan Eng tergoncang hatinya
dan air matanya berhenti
mengucur. Didengar
perkataannya, si baju putih agaknya
mempunyai hubungan rapet
dengan Ie Kiam dan Thio Hong
Hu.
Pemuda itu lalu masukkan
Bianto ke dalam sarungnya dan
gantung senjata itu di
pinggangnya sendiri.
"Mohon tuan sudi kasi
pulang golok itu kepadaku," kata
Hoan Eng.
"Kenapa?" ia
menanya.
"Aku dapat mengerti jika
Injin (tuan penolong) menyukai
golok ini," kata Hoan
Eng. "Semenjak dulu orang kata: Golok
mustika harus diserahkan
kepada orang gagah, pupur wangi
harus dipersembahkan kepada
wanita cantik. Menurut pantas,
memang aku harus
mempersembahkan senjata itu kepada
Injin. Hanya sayang, sungguh
sayang, waktu mau
menghembuskan napasnya yang
penghabisan, Thio Pehpeh
sudah memesan aku, supaya
menyerahkan golok itu kepada
orang lain, dan di sebelah
itu, di dalamnya tersembunyi satu
urusan besar."
"Urusan apa?"
menanya si baju putih dengan suara tawar.
"Golok ini harus
kuserahkan kepada Thio Tayhiap, Thio Tan
Hong!" jawabnya.
123
Pada jaman itu, nama Thio Tan
Hong sangat kesohor dan
setiap orang yang pandai
silat, tentu mengenal namanya. Jika
orang lain yang mendengar
perkataan Hoan Eng, sepuluh
sembilan ia akan segera
mengembalikan golok itu dengan
segala kehormatan. Akan
tetapi, pemuda itu hanya melirik
dan lalu berkata: "Untuk
apa diserahkan kepada Thio
Tayhiap?"
"Selain golok, masih ada
baju yang berlumuran darah,"
jawabnya. "Thio Hong Hu
dan Thio Tan Hong adalah sahabat
rapat. Pada waktu mau menutup
mata, Thio Pehpeh ingat
sahabatnya itu. Ia memesan aku
supaya menyerahkan baju itu
kepada Thio Tan Hong agar,
dengan melihat bajunya, Thio
Tayhiap jadi ingat sang
sahabat yang sudah meninggal dunia
sebagai korban seorang kaizar
kejam. Di samping itu, Thio
Pehpeh juga ingin minta supaya
Thio Tayhiap berusaha
mencari pute-ranya dan jika
bertemu, supaya Thio Tayhiap
sudi mengambil putera itu
sebagai muridnya, dan di belakang
hari, supaya golok mustika itu
diserahkan kepada puteranya
itu."
"Apakah putera Thio Hong
Hu adalah itu anak nakal yang
tempo hari bertemu dengan aku
di pinggir kolam?" tanya si
baju putih.
"Benar, namanya Thio
Houwcu," jawab Hoan Eng.
"Mana itu baju
berdarah" pemuda itu menanya pula.
“Ini dia," kata Hoan Eng
sembari memperlihatkan baju itu.
Di luar dugaan, si baju putih
mendadak menjambret dan
merampas baju itu.
124
"Kau... kau!"
berseru Hoan Eng dengan suara kaget. "Apa
maksudmu? Kau adalah
penolongku, tapi tak mungkin aku
menyerahkan golok dan baju
itu!"
Dengan tenang si pemuda
melipat baju itu yang lalu
dimasukkan ke dalam sakunya.
"Thio Tan Hong sungkan
bertemu dengan orang luar,"
katanya. "Biarlah aku
yang menyerahkan golok dan baju ini
kepadanya."
Hoan Eng jadi bingung dan
berkata dengan suara terputusputus:
“Ini... ini..." Ia tak
dapat meneruskan perkataannya
oleh karena si baju putih
sudah mendorong dengan tangannya
dan menggaet dengan kakinya,
sehingga tak ampun lagi ia
jatuh celentang. Pada saat
itu, si baju putih loncat maju dan
sebelum badan Hoan Eng
mengenakan tanah, ia kembali
mendorong. Begitu didorong,
badan Hoan Eng terputar
beberapa kali dan kemudian
berdiri tegak di tempat tadi. Dua
gerakan itu luar biasa
cepatnya dan Hoan Eng menjadi kaget
berbareng gusar.
“Itulah Hiankie Cianghoat
(Ilmu pukulan tangan kosong
dari Hiankie)," kata si
baju putih dengan suara tawar.
"Meskipun kau belum
pernah menyaksikan, rasanya kau sudah
pernah mendengar."
Hoan Eng terkesiap dan ingat
penuturan Thio Hong Hu,
bahwa Thio Tan Hong mempunyai
ilmu silat Hiankie Cianghoat
yang sangat dashyat.
"Bolehkah aku menanya,
pernah apakah kau dengan Thio
Tayhiap?" menanya Hoan
Eng.
Si baju putih tidak menjawab
langsung pertanyaan orang,
ia hanya berkata:
"Sesudah melihat Hiankie Cianghoat, apakah
125
kau masih menyangsikan aku?
Golok dan baju biarlah aku
yang menyampaikan."
“Ini... ini..." kata Hoan
Eng, tergugu.
“Ini apa?" membentak
pemuda itu.
"Dengan membawa baju dan
golok itu sebagai bukti, aku
ingin memohon pertolongan Thio
Tayhiap untuk mengambil
pulang uang negara,"
menerangkan Hoan Eng.
Si pemuda mengerutkan alisnya
dan menanya: "Uang
apa?"
Dengan menahan sabar Hoan Eng
lalu mengisahkan semua
kejadian, cara bagaimana ia
sudah terpaksa membantu
melindungi uang itu dan
akhirnya cara bagaimana uang
tersebut sudah dirampas oleh
seorang perampok bertopeng di
wilayah Shoatang.
"Apa benar di Shoatang
ada perampok semacam itu?"
tanya si baju putih.
"Perampok bertopeng itu
adalah orang yang sudah mencuri
kepala Ie Tayjin,"
menerangkan Hoan Eng. "Tak dapat aku
menebak asal-usulnya dan oleh
karena itu, mesti juga aku
minta pertolongan Thio
Tayhiap."
Sekonyong-konyong paras muka
pemuda itu berubah. "Dia
yang mencuri kepala Ie
Kokloo?" katanya sembari berjingkrak.
"Baik. Urusan ini pun kau
serahkan saja kepadaku. Mari kita
cari padanya. Naik!"
Selagi Hoan Eng bersangsi,
badannya sudah diangkat dan
di dudukkan di atas punggung
kuda yang lantas saja
dikaburkan.
126
Kira-kira tengah hari, mereka
tiba di satu kota kecil.
"Tempat ini sudah
termasuk dalam wilayah Shoatang," kata si
baju putih. "Tak usah
tiga hari lagi, kita akan tiba di Bongim.
Biar aku membeli seekor kuda
untukmu." Sesudah memesan
supaya Hoan Eng menunggu di
rumah penginapan, ia lantas
berjalan keluar.
Baru saja Hoan Eng selesai
bersantap, si baju putih sudah
kembali dengan tangan menuntun
seekor kuda yang cukup
bagus dengan totol-totol putih
pada empat kakinya.
Hoan Eng merasa sangat heran,
cara bagaimana dalam
tempo begitu cepat, ia sudah
dapat membeli seekor kuda
yang baik.
"Hoan Toako," kata
si baju putih. "Sebenarnya kita dapat
bersama-sama menunggang seekor
kuda, akan tetapi, oleh
karena jalan akan menjadi
terlebih ramai, aku kuatir orang
akan mentertawai kita."
Bagi Hoan Eng, urusan itu tak
menjadi soal dan mendengar
keterangan si pemuda, hatinya
merasa geli. Semenjak
bertemu, ia berusaha untuk
mencari tahu siapa adanya si baju
putih, tapi sebegitu jauh ia
belum berhasil. Sebagai seorang
yang mengenal baik kebiasaan
dalam kalangan Kangouw, ia
tidak berani menanya
melit-melit.
Pada hari ketiga, tibalah mereka
di Bongim, yaitu tempat di
mana uang pemerintah telah
dirampas oleh si perampok
bertopeng. Hoan Eng memberi
keterangan, bahwa perampok
itu tak mungkin masih berada
di Bongim, tapi si baju putih
tetap kukuh dan mau juga
menyelidiki di kota itu. Benar saja,
tiga hari mereka membuang
tenaga dengan percuma.
127
Pada hari ke empat, si baju
putih masih juga mau
menyelidiki di daerah sekitar
Bongim. "Tak gunanya kita
berdiam lama-lama di
sini," berkata Hoan Eng dengan suara
kesal.
Pemuda itu mendelik dan berkata
dengan suara tawar:
"Kalau begitu, biarlah
kau yang memimpin aku untuk
mencarinya."
"Seorang perampok yang
seperti dia, biasanya tak
mempunyai tempat yang
tentu," kata Hoan Eng. "Cara
bagaimana aku bisa mengetahui
tempat sembunyinya?"
"Kalau begitu, biarlah
sekali lagi kita pergi ke tempat
perampokan," kata si baju
putih. Hoan Eng merasa tidak enak
untuk membantah terus dan
lantas saja mang-gutkan
kepalanya.
Tempat terjadinya perampokan
itu adalah di pinggir hutan.
Si baju putih mencabut
pedangnya yang digunakan untuk
menulis beberapa baris
huruf-huruf besar di batang sebuah
pohon besar. Hoan Eng
mengawasi tindak-tanduknya dan
lantas saja tertawa besar.
Huruf-huruf itu berarti:
"Namanya saja penjahat
besar, hatinya kecii seperti tikus.
Sesudah bekerja, tak berani
munculkan kepala."
Caranya benar-benar seperti
bocah.
Hari itu cape lelah mereka
juga terbuang tanpa hasil.
Pada hari ke lima, pemuda itu
mendadak berkata: "Tempat
ini adalah sebelah selatan
gunung Thaysan. Menurut
pendapatku, sarang perampok
bertopeng itu adalah di puncak
gunung ini."
128
"Aku rasa tidak
begitu," kata Hoan Eng. "Daerah di sekitar
gunung Thaysan adalah tanah
datar. Walaupun tinggi, gunung
itu tidak mempunyai
tempat-tempat yang berbahaya,
sehingga semenjak dulu, jarang
sekali perampok-perampok
besar bersarang di situ. Jika
ingin menyaksikan pemandangan
indah, memang boleh pergi ke
Thaysan. Akan tetapi, jika mau
mencari penjahat, aku rasa
bukan tempatnya."
Tapi pemuda itu kukuh akan
pendapatnya, sehingga
dengan terpaksa, Hoan Eng
menuruti juga.
Thaysan adalah salah satu dari
Ngogak (Lima gunung suci).
Dibandingkan dengan beberapa
gunung besar dalam wilayah
Tiongkok, Thaysan sebenarnya
tidak seberapa tinggi. Akan
tetapi, oleh karena terletak
dalam propinsi Shoatang yang
tanahnya datar, gunung itu
dianggap luar biasa angkernya
dan jumlah kuil yang terdapat
di situ adalah lebih banyak
daripada di gunung-gunung
lain. Setiap tahun, banyak sekali
pelancong mendaki gunung itu
untuk bersembahyang atau
menikmati pemandangan alam
yang indah. Di kaki gunung
terdapat banyak sekali rumah
penginapan dan restoran untuk
menampung para pelancong itu.
Begitu tiba di kaki gunung,
Hoan Eng dan si pemuda segera
memilih sebuah rumah
penginapan dan mengambil dua
kamar.
Begitu membuka mulut, pemuda itu
menanya: "Apa aman
di atas gunung?"
Ditanya begitu, pelayan hotel
terkejut dan menjawab:
"Kenapa tidak aman? Jika
tak aman, apa kami bisa berusaha
terus di sini? Jika tuan-tuan
ingin mendaki gunung untuk
melihat-lihat pemandangan,
kami mempunyai penunjuk jalan
yang meminta upah sangat
ringan. Dengan lima uang perak
129
saja, tuan-tuan akan diantar
ke berbagai tempat yang indah
pemandangannya."
Hoan Eng manggut-manggutkan
kepalanya sembari
senyum. Si pemuda pun turut
manggutkan kepala seraya
berkata: "Bagus!
Bagus!"
Waktu itu adalah permulaan
musim semi. Ratusan macam
kembang sedang mekarnya dan ke
mana juga orang pergi, ia
akan mengendus bau-bauan yang
sangat harum. Sambil
mengikuti si penunjuk jalan,
Hoan Eng dan pemuda itu putar
kayun ke tempat-tempat yang
bersejarah dan indah
pemandangannya. Mereka
menyeberangi Patsian kio
(Jembatan delapan dewa),
melihat-lihat Ongbo tie
(Pengempang Ong Bo Nionio),
menyaksikan Cuiliam tong
(Guha tirai air), mendaki
puncak Goanpo hong dan
sebagainya. Si pemuda yang tidak
mempunyai kegembiraan
untuk menikmati semua
pemandangan itu, saban-saban
mendesak supaya si penunjuk
jalan berjalan terlebih cepat.
Sesudah melewati pintu
Tiongthian bun, tibalah mereka di
Ngotay husiong (lima pohon
siong yang berpangkat Tayhu).
Sepanjang cerita, pada waktu
mendaki Thaysan, kaizar
Cinsiehong pernah berdiri di
bawah lima pohon siong itu guna
berlindung dari serangan
hujan, sehingga belakangan kaizar
tersebut menganugerahkan
pangkat Tayhu kepada lima pohon
tersebut. Lima pohon itu katanya
sudah mati lama sekali,
sedang lima pohon yang ditanam
belakangan untuk
menggantikannya, juga hanya
ketinggalan tiga. Kecuali pohon,
di tempat itu tidak terdapat
pemandangan lain yang berharga,
sehingga si pemuda jadi merasa
sangat tidak sabar. Selagi ia
mau berjalan pergi, di sebelah
belakang mendadak terdengar
suara tertawa dingin.
Hoan Eng menengok. Ia melihat
seorang toosu (imam)
sedang mengawani seorang yang
kelihatannya seperti
130
saudagar hartawan serta sedang
berbicara sembari tunjaktunjuk,
seperti juga ia lagi
menceritakan sejarah lima pohon
siong itu.
"Ada orang mendaki gunung
seperti juga sedang mengubar
maling," kata saudagar
itu. "Daripada jalan-jalan secara
begitu, ada lebih baik tidur
di rumah. Saudara Goan Jim,
benar tidak perkataanku?"
Perkataan yang paling belakang
ditujukan kepada seorang
kawannya.
"Benar! Benar!"
sahut orang yang dipanggil Goan Jim.
"Sesudah berada di atas
gunung, orang harus menikmati alam
permai sepuas hati."
Si pemuda baju putih mendadak
mendelik dan berkata:
"Aku pergi
sebentar."
"Jangan bikin
gara-gara," kata Hoan Eng dengan terkejut.
Si pemuda sudah berlari-lari
tanpa tercegah lagi, tapi ia
ternyata bukan mau mencari
kerewelan, ia pergi kesuatu
tempat sepih, di belakang
batu-batu gunung.
"Guna apa pergi jauh-jauh,"
gerendeng si penunjuk jalan.
"Mau kencing, boleh
kencing saja di sembarang tempat."
Melihat lagak pemuda itu, Hoan
Eng jadi merasa geli dalam
hatinya.
Begitu kembali, si pemuda
menarik Hoan Eng ke tempat
yang agak jauh dan kemudian
menanya: "Eh, kau tahu
mereka manusia
bagaimana?"
"Dalam matamu, setiap
orang adalah kawan si penjahat
bertopeng," sahut Hoan
Eng sembari tertawa.
131
Pemuda itu turut tertawa dan
bungkam untuk beberapa
saat. "Manusia tak bisa
dilihat dari macamnya," akhirnya ia
berkata. "Bukankah Yang
Cong Hay pun berdandan seperti
satu saudagar?"
Hoan Eng terkejut. Ia
menengok, akan tetapi beberapa
orang itu sudah pergi ke lain
tempat.
Sesudah melewati pintu
Lamthian bun, mereka mendaki
puncak Thiancu hong, yaitu
puncak tertinggi dari gunung
Thaysan, di mana terdapat kuil
Giok Hong Koan yang sangat
indah dan biasa digunakan
sebagai tempat penginapan para
pelancong.
Mereka tiba pada waktu magrib
dan lantas saja minta
tempat untuk bermalam di kuil
itu. Diam-diam Hoan Eng
berwaspada, akan tetapi
orang-orang tadi ternyata tidak
datang di situ.
Pada besok paginya, si pemuda
sebenarnya ingin lantas
turun gunung, tapi keinginan
itu sudah dicegah si penunjuk
jalan, yang mengatakan, bahwa
siapa juga yang sudah tiba di
situ, tak boleh tidak harus
menikmati pemandangan matahari
terbit yang luar biasa
indahnya. Hoan Eng menunjang usul
penunjuk jalan itu, sehingga,
sesudah berpikir sebentar, si
pemuda terpaksa menyetujui
juga.
Memandang matahari terbit dari
puncak Thaysan,
sesungguhnya cukup berharga.
Pada waktu Hoan Eng bertiga
tiba di tempat memandang sang
matahari, di sebelah timur
hanya terlihat sinar putih
seperti warna perut ikan, sedang di
antara awan terdapat sinar
yang berwarna merah dadu. Jauh
di sebelah bawah, mereka
melihat gelombang Laut Tong-hay
yang bermain di permukaan air
bagaikan ribuan ikat pinggang
sutera berwarna putih.
132
Mendadak, mendadak saja, sang
matahari yang bundar dan
berwarna merah seakan-akan
meloncat keluar dari dalam laut.
Dalam sekejap, ia memencarkan
sinarnya yang gilang
gemilang, sehingga seluruh
jagat seperti juga mengenakan
kerodong merah pengantin
perempuan.
Hoan Eng sudah kenyang
berkelana di kalangan Kangouw,
akan tetapi, ia belum pernah
menyaksikan pemandangan yang
begitu luar biasa. Ia melirik
kawannya dan segera juga ia
tertawa dalam hatinya. Pemuda
baju putih itu ternyata sedang
mengawasi pemandangan yang
sangat indah itu tanpa
berkesip, sedang dari ujung
kedua matanya mengetel turun
dua butir air mata.
"Ah, bocah ini masih
seperti seekor anak burung yang
belum pernah terbang
jauh," kata Hoan Eng dalam hatinya.
Sekonyong-konyong terdengar
suara tertawa ramai. Hoan
Eng menengok. Mereka itu
ternyata adalah rombongan lain
yang juga ingin menyaksikan
matahari terbit dan di antara
mereka, terdapat si saudagar
kemarin. Hoan Eng agak
terkejut dan meneliti
orang-orang itu, tapi ia tidak
mendapatkan apa-apa yang luar
biasa dan tidak lama
kemudian, mereka sudah naik ke
tempat yang lebih tinggi.
Sesudah makan pagi, Hoan Eng
bertiga lantas turun
gunung dan tiba di rumah
penginapan kira-kira pada waktu
magrib.
"Apa tuan-tuan mendapat
banyak kegembiraan?" tanya
pelayan hotel. "Bagaimana
dengan penunjuk jalan yang aku
pujikan? Apakah tuan-tuan
merasa puas?"
Si pemuda hanya menggerendeng,
sedang Hoan Eng
menjawab dengan gembira:
"Puas, puas sekali!"
133
Begitu masuk ke kamar, pemuda
itu lantas mencaci si
penjahat bertopeng yang
dikatakan pengecut dan tidak berani
muncul.
Hoan Eng menghampiri dan
berkata dengan suara
membujuk: "Saudara, aku
tahu kau mempunyai ilmu silat yang
sangat tinggi. Akan tetapi,
rupanya kau belum mempunyai
banyak pengalaman di kalangan
Kangouw. Orang kata,
tembok mempunyai
kuping..."
"Hm!" si pemuda
memutuskan perkataannya. "Jika aku
takut aku tentu tidak cari
padanya. Aku sungguh ingin bangsa
tikus itu yang dikatakan
penjahat besar, mendengar
perkataanku ini."
Suaranya semakin lama jadi semakin keras,
sehingga Hoan Eng tidak dapat
berbuat lain daripada tertawa
getir.
Tiba-tiba di luar kamar
terdengar suara ribut.
"Eh, ada apa?" kata
Hoan Eng. "Galak benar suara tamu
itu. Mari kita keluar."
Ia berkata begitu untuk menhen-tikan
cacian kawannya. Tiga tamu
yang baru datang itu adalah
seorang toosu dan dua
pengemis. Mereka berteriak-teriak oleh
karena pelayan hotel menolak
untuk menerima mereka.
"Eh, kau ini rupanya
hanya melihat pakaian, tidak melihat
manusia," kata si toosu
dengan suara gusar. "Kenapa kami
tidak boleh menginap di
sini?"
"Tooya," kata
pelayan hotel. "Jika ingin menginap di sini,
kau boleh minta kamar. Akan
tetapi, menurut peraturan hotel
kami, kami tak dapat menerima
kedua tuan ini."
"Dusta!" toosu itu
membentak. "Dalam dunia di mana ada
begitu?"
134
Kedua pengemis itu tertawa
terbahak-bahak. "Tooya," kata
satu di antaranya. "Benar
juga orang berkata, mata anjing
hanya dapat memandang rendah
kepada orang." Sehabis
berkata begitu, mukanya
berobah dan ia membentak: "Tuan
besarmu tidak memakai sutera,
ada sangkut paut apakah
dengan kau!"
"Plak!" ia
melemparkan sepotong perak ke atas meja.
"Perak pengemis juga sama
putihnya seperti perak tuan-tuan
besar," ia membentak.
"Buka matamu!"
Meskipua tidak ada
peraturannya, akan tetapi dapatlah di
mengerti jika rumah-rumah
penginapan sungkan menerima
tamu pengemis. Selain itu,
sebegitu jauh belum pernah, atau
sedikitnya jarang sekali,
seorang pengemis minta menginap di
dalam hotel.
Melihat potongan perak yang
beratnya kira-kira sepuluh
tahil, si pelayan jadi
terperanjat.
Sesudah memikir beberapa saat,
ia lantas saja berkata:
"Jika kedua Toaya (tuan)
mau menginap juga di sini, boleh
juga dibikin
pengecualian."
"Pengecualian apa?"
bentak pengemis itu. "Bilang terus
terang: Mau atau tidak mau kau
merawati tuan besarmu?"
"Mau! Mau!" jawabnya
dengan cepat.
Tanpa banyak rewel lagi, ia
lantas mengantar tiga tamunya
ke kamar kelas satu.
Dengan rasa geli, si pemuda
kembali ke kamarnya bersama
Hoan Eng. "Sungguh
menarik kedua pengemis itu," katanya.
"Enak benar ia memaki
orang."
135
"Kalau bukan pendekar,
orang semacam itu tentulah juga
penjahat besar," kata
Hoan Eng dengan suara perlahan.
"Lebih baik kita jangan merundingkan
mereka."
"Apa?" pemuda baju
putih itu menegasi. "Kau menduga,
bahwa mereka kawan si penjahat
bertopeng?"
"Mungkin," jawabnya.
"Bagus! Kalau begitu,
sekarang juga aku mau mencaci
mereka." kata si pemuda.
"Dalam dunia ini terdapat
banyak sekali orang luar biasa,"
kata Hoan Eng dengan cepat.
"Belum tentu mereka adalah
konco-konco si penjahat
bertopeng."
"Ah! Bagaimana sih!"
kata pemuda itu dengan suara
jengkel. "Bicaramu
sebentar lain, sebentar lain."
"Dengan sesungguhnya aku
tak tahu, apa mereka konco si
penjahat atau bukan,"
kata Hoan Eng dengan suara sabar.
"Maksudku satu-satunya
adalah, supaya kau jangan memaki
orang yang berdosa."
"Baiklah, aku tak memaki
mereka," kata si pemuda sembari
tertawa. "Biar aku memaki
saja bangsa cecurut itu yang
menamakan dirinya penjahat
besar." Sehabis berkata begitu,
dengan suara keras ia mencaci
habis-habisan, sehingga Hoan
Eng tidak dapat berbuat lain
daripada tertawa getir.
Pada besok paginya, si pelayan
datang dikamar pemuda
baju putih itu untuk minta
uang sewa kamar. Saat itu, Hoan
Eng juga datang dengan
me-nengteng buntalannya. Tiba-tiba
si pelayan mengangsurkan
sebuah Payhap (kotak kayu yang
berisi surat undangan) seraya
berkata: "Barusan datang orang
136
yang memberikan Payhap ini
untuk diserahkan kepada kedua
Toaya."
"Siapa yang kirim?"
tanya Hoan Eng.
"Orang dari Bu
keekhung," jawabnya.
"Hm," gerendeng Hoan
Eng, tapi ia tidak membuka kotak
itu dan lantas membereskan
uang sewa kamar.
"Terima kasih, terima
kasih," kata si pelayan. "Harap Toaya
berdua selamat dalam
perjalanan. Apakah masih ada perintah
untukku?"
"Tidak," kata Hoan
Eng, tapi pelayan itu belum juga mau
berlalu.
"Eh," kata si
pemuda. "Apa dua pengemis itu masih berada
di sini?"
"Pagi-pagi sekali mereka
sudah berangkat," jawabnya, "Ah!
Belum pernah aku bertemu
dengan tamu yang begitu loyar.
Sepuluh tahil perak, tak mau
mengambil pulangannya, semua
dikasikan kepadaku."
Mendengar begitu, Hoan Eng
segera mengeluarkan
sepotong perak dari sakunya
seraya berkata: "Nah, ini untuk
kau."
Si pelayan menjadi girang
sekali dan lantas berlalu sesudah
menghaturkan terima kasih
berulang-ulang.
"Hoan Toako," kata
si pemuda sembari tertawa. "Kau
rupanya mau adu keloyaran
dengan pengemis itu."
137
"Semenjak mencari
penjahat bertopeng itu, dalam dua hari
ini kita telah bertemu dengan
orang-orang luar biasa dan
kejadian-kejadian luar
biasa," kata Hoan Eng sembari
membalik-balik kotak merah.
"Kenapa tidak lantas
dibuka?" tanya si pemuda dengan
suara tak mengerti.
Tanpa menyahut, Hoan Eng
menutup pintu dan meletakkan
kotak itu di atas meja. Ia
menarik pemuda itu ke pojok kamar
dan mengeluarkan sebilah
belati.
"Hoan Toako, mau apa
kau?" tanya pemuda itu.
Hoan Eng terus bungkam. Ia
membuat setengah lingkaran
dan menimpuk dengan belati
itu. Dengan satu suara "trak!"
kotak itu terbuka dan tutupnya
terlempar jatuh di atas lantai.
Si pemuda merasa sangat tidak
mengerti, kenapa
kawannya sudah berlaku begitu
rewel untuk membuka kotak
tersebut.
Hoan Eng menghampiri meja dan
memungut surat
undangan yang terletak di
dalam kotak. "Tulen," katanya
sembari tertawa.
"Tulen apa?" tanya
si pemuda. "Dari siapa undangan itu?"
"Undangan Siauwkim-liong
(si Naga emas kecil) Bu Cin
Tong," jawab Hoan Eng.
"Sungguh mengherankan. Dengan
dia, aku hanya mengenal
sele-watan, tapi ia sudah
mengundang aku untuk datang di
rumahnya dan malahan
mengundang kau juga."
Bu Cin Tong adalah seorang
kaya raya di Shoatang selatan.
138
Sepanjang warta, di waktu muda
ia adalah perampok
besar, tapi sesudah mencapai
usia pertengahan, ia mencuci
tangan dan berusaha seperti
seorang rakyat baik-baik.
Belakangan ia menjadi terkenal
sebagai yang paling kaya di
daerah itu. Demikianlah cerita
orang yang belum dapat
dipasti-pastikan benar
tidaknya.
Bu Cin Tong adalah seorang
yang tangannya terbuka dan
suka bergaul. Seluruh tahun,
tidak hentinya kawan-kawan
dalam kalangan Kangouw datang
berkunjung untuk meminta
bantuan ini atau itu, yang
sedapat mungkin selalu
diluluskannya. Itulah sebabnya
kenapa ia sudah dijuluki nama
si Naga Emas Kecil, dalam
artian bahwa seekor naga selalu
menyemburkan hujan untuk
menolong ummat manusia.
Si pemuda baju putih, yang
juga sudah pernah mendengar
nama Bu Cin Tong, lantas saja
berkata: "Jika itu benar surat
undangan Bu Cin Tong, apa
mungkin ada permainan gila?"
"Ada hal yang tidak di
mengerti oleh saudara," Hoan Eng
menerangkan. "Bu Cin Tong
tentu saja tak mungkin main gila.
Akan tetapi, selalu terdapat
kemungkinan, bahwa orang lain,
dengan menggunakan nama Bu Cin
Tong, yang mengirim
surat undangan ini. Maka itu,
untuk berjaga-jaga, aku sudah
membukanya dengan timpukan
belati. Jika orang mau main
gila, dalam kotak ia tentu
akan menyembunyikan senjata
rahasia, yang begitu kotaknya
terbuka, akan menyambar.
Sesudah mendapat kenyataan,
bahwa kotak itu tidak terisi
senjata rahasia, barulah aku
berani mengatakan, undangan itu
adalah tulen."
Mendengar keterangan itu, si
pemuda jadi merasa sangat
kagum akan hati-hatinya Hoan
Eng.
"Masih ada satu hal yang
menyurigakan," kata pula Hoan
Eng.
139
"Apa?" tanya pemuda
itu.
"Dari sini ke Bu keekhung
masih ada seratus delapan puluh
lie," Hoan Eng
menerangkan. "Dalam undangannya, ia minta
kita menghadiri perjamuan pada
malam ini. Cara bagaimana ia
mengetahui kita mempunyai dua
ekor kuda bagus? Lauwtee,
kudamu, seekor kuda mustika,
sehari berlari seribu lie, masih
belum mengherankan. Tapi bagi
kuda biasa, sehari seratus
delapan puluh lie adalah tugas
yang hampir tak mungkin
dilakukan."
Si pemuda baju putih tertawa.
"Jika surat undangan itu tak
palsu, apakah mungkin tanpa
sebab Siauwkimliong ingin
mencelakakan kita?"
katanya sembari tertawa. "Hoan Toako,
berhati-hati memang baik
sekali, tapi janganlah keterlaluan
seperti kau. Hayolah, kita
berangkat."
Walaupun kuda yang dibeli
binatang semba-rangan, larinya
cepat dan ulet sekali. Sesudah
lari sehari, sebelum matahari
menyelam ke barat, mereka
sudah berada di depan Bu
keekhung.
Dalam jarak tiga lie dari
gedung Bu Cin Tong, Hoan Eng
dan si pemuda sudah turun dari
kudanya dan meneruskan
perjalanan sambil menuntun
tunggangan masing-masing.
Itulah peraturan Kangouw untuk
mengunjukkan hormat
kepada tuan rumah.
Sepanjang jalan mereka bertemu
dengan banyak sekali
orang yang semua berjalan
menuntun tunggangannya, Hoan
Eng menjadi heran. Dilihat
tanda-tandanya, Bu Cin Tong akan
mengadakan pesta besar. Di
antara orang-orang itu terdapat
juga: si saudagar dengan siapa
mereka pernah bertemu di
atas puncak Thaysan, orang
yang dipanggil "Goan Jim", si
140
toosu dan kedua pengemis yang
pernah cekcok dengan
pelayan hotel.
Si pemuda menggerendeng.
"Sst!" bentak Hoan
Eng dengan suara perlahan.
"Bersikaplah secara
tenang!"
Si baju putih melirik, dari
paras mukanya seperti juga ia
mau mengatakan, masakan soal
begitu saja ia tidak mengerti?
Orang-orang itu pun terus
berjalan tanpa menengok ke
jurusan Bu keekhung.
Begitu tiba di Bu keekhung,
Hoan Eng dan si pemuda
disambut beberapa penyambut
yang lantas mengantar mereka
ke taman bunga yang sangat
luas, di mana sudah diatur
beberapa puluh meja perjamuan.
Di tengah-tengah taman
tersebut terdapat lapangan untuk
berlatih silat dan di kedua
sisi lapangan itu berdiri rak-rak
senjata. Hoan Eng dan si
pemuda diantar ke sebuah meja
yang letaknya di sebelah
timur. Mereka tak mengenal tamutamu
lain yang sedang kasak-kusuk
saling menanya, karena
apa Bu Cin Tong mengadakan
perjamuan besar. Media
mereka terpisah jauh dari meja
tuan rumah dan rupanya
mereka dianggap sebagai tamu
biasa saja yang boleh di
tempatkan di sembarang tempat.
Duduk belum lama, perjamuan
segera dimulai. Seorang tua
yang jenggotnya bercabang tiga
dan berusia kurang lebih
enam puluh tahun berbangkit
dan berkata sambil memberi
hormat kepada hadirin:
"Terlebih dulu aku hanturkan terima
kasih kepada saudara-saudara
yang sudah memberi muka
kepada aku si tua. Dalam
mengirimkan Enghiong tiap (surat
undangan untuk orang gagah)
kali ini, kecuali Goan Ham
Tiangloo yang tidak bisa
datang lantaran mempunyai urusan
141
penting lain, Liu Teng Am Suhu
yang sedang sakit dan Han
Kang Tootiang yang belum
kembali dari Ouwlam, yang lainnya
semua sudah sudi datang
berkunjung. Dengan demikian,
pertemuan kita ini dapat
dikatakan pertemuan besar para
orang gagah di lima propinsi
Utara. Sebagai pernyataan terima
kasih kepada Saudara-saudara,
terlebih dulu aku minta kalian
mengeringkan tiga cawan
arak."
Hoan Eng terkejut. Mengirim
Enghiong-tiap bukannya
urusan kecil. Bu Cin Tong yang
sudah berusia lanjut, sudah
lama mengundurkan diri dari
segala urusan Kangouw.
Apakah sekarang ia mempunyai
maksud tertentu yang
sangat besar?
Sesudah semua tamunya minum
tiga cawan arak. Bu Cin
Tong segera meneruskan
pidatonya dengan suara nyaring:
"Saudara-saudara yang
hadir di sini adalah sahabat-sahabat
kekal. Dengan tak malu-malu
aku mengakui, bahwa di waktu
muda, aku pernah berusaha
tanpa modal. Pada waktu
belakangan ini, dengan merasa
sangat menyesal, aku
mendengar di antara jago-jago
banyak yang bertengkar. Inilah
satu kejadian yang tidak baik.
Menurut pendapatku, tanpa
kepala seekor ular tak dapat
berjalan. Itulah sebabnya
mengapa aku sudah mengundang
para orang gagah datang
ke sini dengan tujuan untuk
mengangkat 'Toaliong-tauw1
(pemimpin) yang perintahnya
harus ditaati oleh kita bera-mai.
Jika ini dapat tercapai,
pertama, kita boleh tidak usah
bertengkar lagi, kedua, kita
boleh tidak usah takut lagi kepada
tentara negeri dan ketiga,
kita dapat melindungi daerah
sendiri, jika ada serangan
dari luar. Sebagaimana Saudarasaudara
mengetahui, ancaman negeri
Watzu belum dapat
disingkirkan, sedang di
sebelah utara timur, suku Liecin juga
katanya sudah bersiap-siap
untuk menggerayang ke wilayah
142
Tionggoan. Sekianlah adanya
usulku yang aku harap suka
dipertimbangkan oleh
Saudara-saudara sekalian."
Tujuh delapan bagian dari para
tamu adalah orang-orang
Lioklim (Rimba Hijau,
perampok), yang lainnya terdiri dari
jago-jago Rimba Persilatan
yang berusaha secara jujur dan
beberapa orang kepala polisi.
Pidato tuan rumah telah
mendapat macam-macam
sambutan. Ada yang berteriak
menyatakan persetujuannya,
ada yang bisik-bisik dengan
kawan-kawannya dan ada pula
yang tidak mengeluarkan suara.
Bu Cin Tong menyapu semua
tamunya dengan matanya dan kemudian
mengetok meja,
sehingga suara ribut lantas
berhenti.
"Saudara-saudara,"
ia meneruskan pidatonya. "Walaupun
kita sudah mengadakan
perserikatan dan mempunyai
pemimpin, akan tetapi, sesudah
masuk dalam perserikatan,
sahabat-sahabat dari jalanan
putih (bukan perampok) dapat
meneruskan usahanya sendiri
dengan leluasa dan mereka
hanya diminta jangan
menyusahkan kawan-kawan kalangan
Lioklim, seperti air sumur
jangan mengganggu air sungai. Jika
muncul urusan, semua pihak
harus berdamai dengan
pemimpin kita yang akan
menjaga agar tidak ada pihak yang
dirugikan."
Mendengar keterangan itu,
beberapa kepala polisi yang
kenamaan lantas saja merasa
setuju. Dengan adanya
peraturan begitu, jika di
belakang hari terjadi perampokan dan
pembesar atasan memperintah
mereka untuk mengambil
pulang barang-barang rampokan
itu, mereka jadi tak usah
turun tangan sendiri dengan
mati-matian. Harus diketahui,
bahwa biarpun kepala-kepala
polisi itu harus mempunyai ilmu
silat sangat tinggi, akan
tetapi, biar bagaimana pun juga,
mereka harus mempunyai
hubungan dengan pentolanpentolan
kalangan
143
RimbaHijau, supaya, jika
kejepit, mereka masih bisa
meminta pertolongan dari
pentolan-pentolan itu. Dengan
demikian, usul Bu Cin Tong
untuk mengangkat Toaliongtauw
yang akan mengurus segala sengketa,
pada hake-katnya
sangat menguntungkan
kepala-kepala polisi itu. Maka itu,
mereka lantas saja mengangkat
tangan dan memberi
persetujuan.
"Bu Lookhungcu!"
seru seorang. "Kalau begitu, biarlah
kedudukan Toaliongtauw
diduduki Lookhungcu sendiri."
Bu Cin Tong tertawa seraya
berkata: "Sudah dua puluh
tahun, aku si tua menutup
pintu dan menyimpan golok. Mana
aku mempunyai napsu lagi untuk
tampil ke muka? Sekarang
ini aku hendak mengusulkan
seorang yang rasanya cukup
cakap untuk menduduki kursi
Toaliongtauw. Pit Lauwtee!
Harap kau suka bangun untuk
berkenalan dengan para orang
gagah."
Begitu mendengar perkataan Bu
Cin Tong, semua orang
segera mengulurkan leher untuk
melihat, siapa adanya orang
itu yang dipujikan tuan rumah.
Di lain saat, seorang pemuda
yang duduk di samping tuan
rumah, berdiri. Ia berbadan
tinggi besar, alisnya tebal,
matanya besar, berewoknya
pendek dan kaku, sedang usianya
belum cukup tiga puluh tahun.
Dengan matanya yang tajam,
ia menyapu para hadirin.
Banyak orang merasa terkejut dan
heran, oleh karena mereka
tidak mengetahui, siapa adanya
pemuda itu. Antara mereka,
adalah Hoan Eng yang paling
besar rasa kagetnya, lantaran,
dilihat dari potongan badan
dan gerak-geriknya, pemuda itu
bukan lain daripada si
penjahat bertopeng!
"Saudara-saudara," demikian Bu Cin
Tong berkata pula.
"Meskipun belum cukup dua tahun Pit
Lauwtee menerjunkan diri ke
dalam kalangan Lioklim,
144
namanya sudah cukup
menggetarkan dan sudah melakukan
beberapa pekerjaan yang
mengejutkan. Dengan seorang diri,
ia pernah merubuhkan Lokho
Samliong (Tiga naga dari
Lokho), tanpa berkawan ia
pernah menggulingkan Han Khung
Jiehouw (Han dan Khung,
dua macan), dengan sebelah
tangan ia pernah menyambut
dua belas golok terbang
Cong-piauwtauw (pemimpin) Cinwie
Piauwkiok dan ia juga pernah
merampas emas intan raja
muda Sengcinong yang berharga
dua puluh laksa tahil perak.
Akan tetapi, dalam melakukan
pekerjaannya, Pit Lauwtee
selalu sungkan memperlihatkan
mukanya dan di kalangan
pembesar negeri, ia hanya
dikenal sebagai si perampok
bertopeng!"
Keterangan Bu Cin Tong
disambut dengan suara kaget dan
heran oleh para hadirin. Dalam
Rimba Persilatan, si penjahat
bertopeng sudah sangat
tersohor, tapi hanya berapa gelintir
orang saja yang pernah melihat
mukanya.
"Saudara-saudara,"
Bu Cin Tong melanjutkan
keterangannya. "Paling
belakang, Pit Lauwtee kembali sudah
melakukan dua pekerjaan yang
benar-benar hebat. Pertama,
ia sudah merampas uang negara
yang besarnya tiga puluh
laksa, sehingga Koan Kie, si
manusia busuk dari Rimba
Persilatan yang sudah kaya
raya, jadi kerupukan!"
Hoan Eng berdebar hatinya.
Mendengar adik angkatnya
dinamakan manusia busuk yang
kaya raya, mukanya menjadi
panas lantaran malu.
Sesudah berdiam beberapa saat,
Bu Cin Tong berkata pula.
"Pekerjaannya yang kedua
adalah pekerjaan yang terlebih
hebat lagi. Sebagaimana kalian
mengetahui, Ie Kiam adalah
tihang negara yang putih
bersih. Sungguh menyedihkan,
145
beliau sudah dibunuh mati oleh
kaizar bebodoran, sehingga
semua orang gagah di kolong
langit jadi mendidi darahnya.
Belum lama berselang, Pit
Lauwtee sudah mengaduk di
ibukota dan dengan beruntun
sudah membinasakan tujuh
Wiesu (pengawal) istana
kaizar. Meskipun tidak berhasil
menolong Ie Kiam, ia sudah
dapat merampas kepala menteri
berjasa itu, sehingga beliau
dapat dikubur dengan anggau-ta
badan lengkap. Menurut
pendapatku, pekerjaan itu saja sudah
cukup berharga untuk kita
mengangkat ia sebagai
Toaliongtauw."
Hoan Eng melirik dan melihat
si pemuda baju putih
berobah paras mukanya, sedang
tangan kanannya menyekal
gagang pedang.
"Hiantee (adik), jangan
terburu napsu," ia berbisik.
"Dengarkan dulu apa yang
dikatakannya."
Baik juga, waktu itu semua
orang sedang bersorak sorai,
sehingga tidak ada yang
memperhatikan mereka. Si pemuda
melepaskan tangannya, tapi
kedua matanya masih terus
mengawasi orang she Pit itu
tanpa berkesip. Sifat kebocahan
yang biasanya terdapat dalam
sikapnya, mendadak lenyap.
Melihat laga-lagu pemuda itu,
Hoan Eng jadi merasa heran
sekali. Si baju putih agaknya
sangat bernapsu untuk
mengambil pulang kepala Ie
Kiam. Tujuan mencari si penjahat
bertopeng kelihatannya adalah
untuk mencari tahu maksud
pencurian kepala itu. Ada
hubungan apakah antara si baju
putih dan Ie Kiam? Pertanyaan
itu tak dapat dijawab Hoan
Eng.
Sementara itu, Bu Cin Tong
sudah berkata pula: "Meskipun
Pit Lauwtee belum lama
menerjunkan diri ke dalam kalangan
Rimba Hijau, akan tetapi, ia
bukan seorang yang tidak
mempunyai asal usul besar. Aku
merasa, saudara-saudara
146
yang hadir di sini tentunya
sudah pernah mendengar nama
ayahnya."
"Siapa? Siapa?"
demikian terdengar teriakan dari segala
peloksok.
"Tiga puluh tahun
berselang, ayahnya adalah seorang yang
kenamaan dalam dunia
Kangouw," kata Bu Cin Tong.
"Cianpwee itu bukan lain
daripada Cinsamkay (Menggetarkan
tiga benua) Pit To Hoan!"
Sekarang ia mewarisi kedudukan
ayahnya sebagai Pang-cu dari
Kaypang (partai pengemis) di
Utara barat dan ia pun menjadi
adik angkat Ciu San Bin,
Kimtoo Siauwceecu di luar kota
Ganbunkwan. Namanya
adalah Pit Kheng Thian!"
Mendengar itu, biji mata si
baju putih bergerak dua kali dan
paras mukanya luar biasa.
Hoan Eng jadi tambah
bersangsi. "Kau kenal ia?" tanyanya.
Pemuda itu yang sedang
memusatkan perhatiannya kepada
Pit Kheng Thian, menyahut
secara menyimpang: "Hm! Kalau
begitu, dia putera Cinsamkay?
Kenapa dia tidak menjadi
paderi? Kenapa dia kesudian
menjadi Toaliongtauw?"
Harus diketahui, bahwa menurut
peraturan keluarga Pit To
Hoan, setiap anak lelaki yang
sudah dewasa harus menjadi
pengemis untuk sepuluh tahun
lamanya, kemudian menjadi
hweeshio untuk sepuluh tahun
lagi dan sesudah itu, baru ia
dapat memelihara rambut,
menikah dan berusaha seperti
orang biasa. Jika Pit Kheng
Thian mentaati peraturan keluarga
itu, dalam usianya kira-kira
belum cukup tiga puluh tahun,
semestinya ia tengah
menjalankan tugas sebagai paderi.
147
Hoan Eng merasa sangat heran.
Si baju putih yang belum
mengenal seluk-beluk kalangan
Kangouw, agaknya banyak mengetahui asal usul banyak orang ternama.
Meskipun Pit To Hoan sudah
meninggal dunia lama berselang, namanya masih cemerlang. Baru saja Bu Cin Tong
memperkenalkan jagonya itu, seluruh ruangan lantas saja menjadi ramai dengan
suara orang yang masing-masing berunding dengan kawan-kawannya. Semua orang
gagah yang berada di situ sangat mengagumi Cinsamkay, akan tetapi terhadap puteranya
yang baru saja dia tahun tampil ke muka, mereka belum merasa ta'luk, meskipun
pemuda itu pernah melakukan beberapa pekerjaan yang menggemparkan.
"Orang-orang Lioklim yang
masing-masing menganggap dirinya jagoan, tak gampang-gampang mau bertekuk lutut,"
pikir Hoan Eng. "Dilihat begini, Pit Kheng Thian rasanya harus lebih dulu
membuktikan kepandaiannya."
Pit Kheng Thian menyapu semua
orang itu dengan matanya yang angkar bagaikan mata harimau. "Sebagaimana
saudarasaudara mengetahui, waktu ini dunia sudah mulai kalut,"
katanya dengan suara nyaring.
"Dikatakan orang, dalam jaman begitu, enghiong hidup menderita, yang hidup
mewah kebanyakan adalah manusia-manusia rendah. Jika kita sekarang mengharapkan
tangan kaizar untuk membereskan negara, adalah seperti mengharapkan embun
tengah hari.
Maka itu, usul Bu Lookhungcu
untuk mengangkat seorang pemimpin Rimba Hijau adalah usul yang harus
diselesaikan secara lekas. Akan tetapi, penunjukan supaya aku menjadi
Toaliongtauw benar-benar merupakan kejadian yang dapat ditertawakan orang.
Bukankah di tempat ini terdapat banyak sekali orang yang lebih tepat?"
Baru habis ia mengucapkan
perkataannya, di seluruh taman lantas saja terdengar teriakan banyak orang
berlomba-lomba mengutarakan pendapatnya.
"Kenapa Pit Lauwtee
berlaku begitu sungkan?" kata Bu Cin Tong.
"Sedari dulu, enghiong
muncul daripada kalangan orangorang muda," seru seorang lain.
"Kedudukan Toaliongtauw memang pantas di tempati Pit Ceecu."
"Siapa lagi yang berani
merampas uang Yamunsu?" Tanya seorang.
"Apakah orang lain berani
mengacau di ibukota? Benar sekali perkataan Bu Lookhungcu, bahwa dua pekerjaan
itu saja sudah mencukupi syarat untuk menjadi pemimpin kita."
"Kedudukan Toaliongtauw
bukan usia pentingnya!" teriak seorang yang duduk pada meja sebelah
belakang.
"Meskipun ia gagah,
pengalamannya dalam Rimba Hijau masih agak kurang!"
"Siapa merasa tak puas,
boleh main-main sedikit dengan aku!" teriak orang lain yang rupanya
menjadi penunjang Pit Kheng Thian.
Tiba-tiba, dari antara orang
banyak meloncat keluar seorang, yang lantas saja berkata sembari tertawa ha-ha
hi-hi:
"Siapa yang berhak
menjadi Toaliongtauw, bagiku bukan soal penting. Tapi siauwtee adalah seorang
pedagang. Sebelum rela menjadi pegawai toko, siauwtee harus mengetahui dulu berapa
besar modal sang majikan."
Hoan Eng mengawasi. Orang itu
ternyata adalah si saudagar, dengan siapa ia pernah bertemu di atas gunung
Thaysan.
Baru selesai si saudagar
berbicara, seorang lain sudah meloncat keluar. "Harta orang tidak boleh
sembarang dipertunjukkan di depan orang banyak," kata orang itu.
"Orang yang bermodal
besar, mana mau membeber hartanya di hadapanmu? Aku si pengemis hanya mempunyai
dua tangkhie (uang tembaga), yang hanya cukup untuk membeli phia bakar atau
bubur dingin. Maukah kau menengok hartaku itu?"
Orang ini ternyata adalah
salah seorang pengemis yang kemarin membikin ribut di rumah penginapan.
Jawabannya yang diucapkan secara lucu, sudah membikin semua orang tertawa
bergelak-gelak.
"Baiklah!" kata si
saudagar dengan suara mendongkol.
"Tapi, apakah dua
tangkhie itu cukup untuk melayani tamu?"
Sehabis berkata begitu, ia
segera mengeluarkan senjatanya.
Senjata itu berwarna kuning
dengan sinar berkilauan.
Banyak orang terkejut, karena
senjata tersebut adalah sebuah shuiphoa (alat hitung Tionghoa) yang dibuat dari
emas murni!
"Ah! Kenapa dia tampil ke
muka?" kata seorang yang duduk berdekatan dengan Hoan Eng.
"Siapa?" tanya si
baju putih.
"Siauwko (saudara kecil),
kau masih berusia sangat muda, tidak mengherankan jika kau tidak mengenal
ia," kata orang itu. "Seperti Bu Khungcu, ia pernah menjadi perampok.
Sesudah melakukan beberapa
pekerjaan besar, tiba-tiba ia cuci tangan dan lalu berusaha. Merampok, dia
pandai, berdagang, dia lebih pandai lagi. Belum cukup sepuluh tahun, hartanya
sudah hitung ratusan laksa. Tiekoan dan Tiehu semua mempunyai hubungan yang
sangat baik dengan ia.
Yang tahu ia pernah menjadi
perampok hanya beberapa orang dan sekarang, semua orang menyebut ia Cian Pek
Ban (si Kaya raya dengan harta ratusan laksa). Jika Siauwko mau tahu namanya,
ia adalah Cian Thong Hay."
"Sungguh heran,"
seorang lain menyeletuk. "Dia begitu kaya, tetapi tak mau duduk diam di
rumah. Guna apa rewelrewel di sini?"
Si baju putih melirik kepada
Hoan Eng dan bersenyum simpul.
Diam-diam Hoan Eng merasa
jengah, oleh karena, dengan segala pengalamannya, ia masih tidak dapat
mengenali seorang seperti Cian Thong Hay.
"Siapakah pengemis
itu?" tanya lagi si pemuda.
"Dia adalah Hupang-cu
(wakil pemimpin) Partai pengemis, namanya Pit Yan Kiong," jawab orang
tadi. “a adalah keponakan jauh Pit To Hoan."
"Nama orang itu menarik
sekali," kata si baju putih sembari bersenyum. Tak ingin miskin (put yan
kiong), benar-benar menjadi miskin."
Senjata si pengemis adalah
sebatang tongkat bambu yang agaknya biasa digunakan untuk menggebah anjing,
jika ia sedang mengemis. Senjata kedua lawan itu berbeda bagaikan langit dan
bumi, yang satu mewah luar biasa, yang lain memperlihatkan kemiskinan yang
sangat. Begitu berhadapan, tanpa bicara lagi, mereka lantas saja bertempur.
Dengan senjatanya yang aneh,
Cian Thong Hay mempunyai pukulan-pukulan yang aneh pula dan shuiphoa itu
terutama digunakan untuk merebut senjata musuh.
Di lain pihak, tongkat Pit Yan
Kiong licin luar biasa dan selalu melejit setiap kali akan "dikunci"
senjata lawan.
Sesudah lewat kurang lebih
tiga puluh jurus, Cian Thong Hay mendadak menghantam ke depan sehingga
biji-biji shuiphoa-nya mengeluarkan suara kerotakan.
"Ha! Berapa besar jumlah
duit baumu?" Pit Yan Kiong mengejek.
Dengan sekali memukul dan
sekali menarik, Cian Thong Hay coba merebut tongkat si pengemis. Mendadak
dengan suara "krok", Pit Yan Kiong menyemburkan riaknya. Cian Thong
Hay sekarang bukan Cian Thong Hay dulu, waktu masih berkelana dalam dunia Kangouw
dan tak takut akan segala kotoran. Kuatir badannya ke-sambar riak, buru-buru ia
menarik pulang senjatanya dan berkelit ke samping. Pit Yan Kiong menyabet dan
dengan bunyi "trangl", shuiphoa itu kena terpukul. Si saudagar
membalik tangannya untuk merebut senjata musuh, tapi si pengemis kembali
menyemburkan riaknya, sehingga ia terpaksa berkelit lagi.
Sesudah memperhatikan jalan
pertempuran si baju putih dan Hoan Eng mengetahui, bahwa dalam ilmu silat, si
saudagar lebih unggul, tapi dalam tenaga, ia kalah dari lawannya.
Selama kurang lebih tiga puluh
jurus, Pit Yan Kiong mempertahankan diri dengan mengandalkan riaknya, sehingga
Cian Thong Hay semakin lama jadi semakin gusar.
Sesudah lewat beberapa jurus
lagi, ketika Pit Yan Kiong menghantam dengan tongkatnya, Cian Thong Hay
mendadak menggetarkan shuiphoa-nya dan entah dengan gerakan apa, dua biji alat
hitung itu tiba-tiba menyambar. Berbareng dengan itu, si pengemis mengeluarkan
teriakan kesakitan dan jatuh berlutut di atas tanah. Ternyata jalan darah di
kedua lututnya telah disambar biji-biji shuiphoa itu.
"Kau menyerah?"
tanya Cian Thong Hay sembari tertawa.
Ia maju setindak sambil
mengangkat sebelah kakinya sebagai akan menendang dan kemudian niat memungut
dua biji shuiphoa itu yang terbuat dari emas murni.
Mendadak Pit Yan Kiong loncat
bangun, tangan kirinya memungut dua biji emas itu, sedang tangan kanannya
menyekal tongkat, dan dengan terpincang-pincang, ia kembali ke mejanya.
"Ha-ha-ha!" ia tertawa terbahak-bahak. "Dalam dunia ini banyak sekali
orang yang berlutut dihada-pan uang.
Dengan memandang muka emas,
aku sudah berlutut dihadapanmu."
Baru saja ia berkata begitu,
dari antara meja-meja perjamuan sekonyong-konyong meloncat keluar seorang toosu
(imam) yang mengenakan juba pertapaan kuning.
Dengan gerakan gesit, lebih
gesit daripada Pit Yan Kiong, ia meloncat ke dalam gelanggang.
"Hoan Toako,
lihatlah!" bisik si baju putih. "Dia adalah toosu bau itu, yang
kemarin menginap di hotel."
Cian Thong Hay agak terkejut,
ia melintangkan senjatanya di depan dada dan berkata: "Ah! Apakah Hian Eng
Tootiang juga mau turut serta dalam keramaian?"
Disebutkannya nama itu sudah
mengejutkan banyak orang.
Hian Eng Toojin adalah kepala
kuil Siangceng koan di propinsi Shoatang.
Menurut kata orang, ia
mempunyai silat yang luar biasa tingginya dan sampai sebegitu jauh, ia belum
pernah berkelana dalam dunia Kangouw, sehingga tampilnya ke dalam gelanggang
pertempuran, sudah mengherankan sangat banyak orang.
Hian Eng Toojin mendongak dan
tertawa besar.
"Kedatangan pin-too di
sini adalah untuk minta sedekah,"
katanya dengan suara tawar.
"Di antara begini banyak orang, Lauwko-lah yang terhitung paling beruang.
Maka itu, sudah sepantasnya jika aku memohon sedikit derma dari kau."
"Bagus! Bagus!" kata
Cian Thong Hay. "Apakah Tootiang perlu uang perak?"
"Lauwko adalah seorang
gagah yang tangannya terbuka,"
sahut Hian Eng. "Aku tak
perlu uang perak, yang kubutuhkan adalah emas. Lauwko pun tak usah berabe
pulang untuk mengambil emas. Biji-biji emas dari shuiphoa itu sudah mencukupi
keperluanku."
Cian Thong Hay mendongkol
bukan main, ia senyum tawar seraya berkata: "Jika begitu, biarlah Tootiang
mengambil sendiri." Ia mengebas dengan senjatanya yang lantas saja
mengeluarkan suara kerotakan.
"Baiklah," kata Hian
Eng. "Kau tak sekaker, aku pun tak usah berlaku sungkan." Berbareng
dengan perkataannya, ia mengeluarkan hudtim (kebutan yang biasa dimiliki orang
pertapaan) dan lalu mengebut.
Cian Thong Hay pa-paki senjata
itu dengan shuiphoa-nya untuk "dikunci" dan dibetot. Akan tetapi
hudtim adalah benda lemas dan dengan sekali meng-gentak, Hian Eng sudah
meloloskankan senjatanya dari ikatan. Cian Thong Hay membalik tangannya dan
menggulung hudtim itu di tihang shuiphoa.
"Bagus! Kasi!" seru
si imam sembari membetot.
Cian Thong Hay merasakan
tangannya kesemutan dan tiga biji shuiphoa sudah direbut si imam.
Ia terkejut bukan main, tak
berani ia menyerang lagi secara sembarangan. Sambil menyekal senjatanya
erat-erat, ia bersilat dengan taktik membela diri, sehingga untuk sementara
waktu, Hian Eng tidak dapat berbuat banyak.
Sesudah lewat beberapa
gebrakan lagi, hati Cian Thong Hay mulai tentaram pula. Tiba-tiba Hian Eng
tertawa dan berkata dengan suara mengejek: "Kau sudah kehilangan beberapa
biji emas, apa kau tidak merasa sakit hati?"
Sehabis mengejek, ia
membalikkan senjatanya dan dengan kecepatan kilat, lalu menotok alis Cian Thong
Hay dengan gagang hudtim. Buru-buru Cian Thong Hay manggut dengan gerakan
Honghong Tiamtauw (Burung Hong manggut) dan berbareng menghantam dengan
shuiphoa-nya. Tapi tak dinyana, totokan itu hanya gertakan untuk memancing
serangan si saudagar.
Begitu lekas shuiphoa itu
menyambar, Hian Eng mengebut dan dua biji emas kembali terpental keluar dari
dalam alat hitung itu. Dengan sekali menjambret, dan biji emas itu sudah
berada dalam tangannya.
Sampai di situ, Cian Thong Hay
sebenarnya ingin segera mengakhiri pertandingan itu, tapi ia terus didesak oleh
Hian Eng, sehingga tak dapat meloloskan diri.
Dalam tempo sekejap, belasan
biji shuiphoa kembali kena direbut.
Sembari mencecer lawannya,
Hian Eng terus menghitung: "Satu, dua, tiga, empat, lima..." Tidak
lama kemudian, empat puluh sembilan biji sudah dikantongi si imam.
Sebuah shuiphoa mempunyai tiga
belas tihang yang masing-masing terisi tujuh bijinya.
Sesudah dua biji direbut Pit
Yan Kiong, dalam shuiphoa itu ketinggalan delapan puluh sembilan biji dan dari
jumlah itu sudah hilang pula empat puluh sembilan biji.
Cian Thong Hay merasakan
dadanya sesak.
"Baiklah! Sekarang aku
mau mengadu jiwa!" ia berteriak.
Sekonyong-konyong sambil
mengerahkan tenaga dalamnya, ia menggoyangkan senjatanya dan... loh! Empat
puluh biji itu terbang berbareng dan menyambar Hian Eng dari berbagai jurusan.
Itulah ilmu melepaskan senjata rahasia yang sangat istimewa, yang dinamakan
Boanthian Hoaie Saykim
khie (Di selebar langit turun
hujan bunga, menyebar uang emas). Melihat itu, semua penonton jadi merasa
kagum.
Tapi Hian Eng Toojin bersikap
tenang sekali. Ia tertawa besar seraya berkata: "Cian Toaya sungguh royal
dan aku pun tidak usah sungkan-sungkan lagi." Sebaliknya dari berkelit, ia
mengebas kalang kabut dengan kedua tangan jubahnya yang sangat panjang dan
dalam tempo sekejap, seantero biji
shuiphoa itu sudah masuk ke
dalam tangan jubahnya!
Muka Cian Thong Hay menjadi
pucat bagaikan mayat. Ia berdiri terpaku di tengah gelanggang sambil menyekal
shuiphoa-nya yang sudah kosong.
Tampik sorak bergemuruh
terdengar di seluruh taman. Hian Eng membungkuk sembari bersenyum, tapi sebelum
ia sempat membuka suara, di antara sorak sorai, mendadak terdengar suara orang
yang menyeramkan: "Guna apa berlaku begitu kejam? Aku sungguh tak tega
melihatnya!"
Suara itu tidak begitu keras,
tapi sangat menusuk kuping dan sudah menindih sorakan ramai itu.
Hian Eng Toojin terkejut dan
di lain saat, seorang tinggi besar sudah loncat masuk ke dalam gelanggang
dengan melompati kepala sekian banyak tamu.
"Cian Lauwtee!" kata
orang itu. "Jangan pergi dulu. Aku akan mengambil pulang biji
emasmu!"
Orang itu juga berdandan seperti
saudagar dan begitu melihat, Hoan Eng terkesiap lantaran orang itu bukan lain
daripada Yang Cong Hay. Si baju putih juga kaget dan tangannya merasa gagang
pedangnya.
"Yang Toako," kata
Bu Cin Tong dengan suara manis. "Kau juga datang? Hian Eng Tootiang adalah
kawan kita!"
Pada jaman itu, Yang Cong Hay
adalah salah satu dari empat ahli pedang utama di seluruh Tiongkok. Nama
besarnya sudah menggetarkan Rimba Persilatan, tapi karena ia hanya berkelana di
daerah Sucoan, Hunlam dan Kwiciu, maka di antara orang-orang gagah di wilayah
Tionggoan, banyak sekali
yang belum pernah bertemu muka
dengan ia. Begitu she-nya disebutkan Bu Cin Tong, semua orang jadi terperanjat.
"Kawan apa?" kata
Yang Cong Hay dengan suara tawar.
"Cian Lauwtee adalah
seorang saudagar jujur. Tujuanku hanya untuk mengambil pulang modalnya!"
Berbareng dengan perkataannya
itu, ia menghunus pedang.
Mendengar perkataan yang tidak
segan-segan itu, Hian
Eng, lantas saja naik
darahnya. Tanpa mengucapkan sepatah
kata, ia mengebut dan coba
menggulung gagang pedang Yang
Cong Hay dengan hudtim-nya.
Pukulan itu yang diberi nama
Ouwliong jiauw-cu (Naga hitam
melibat tihang) adalah salah
satu pukulan paling berbahaya
dari Thiankong Hudtim khiu
(ilmu bersilat dengan kebutan)
yang mempunyai tiga puluh
enam jalan. Dengan sekali
membalik tangan, ia membuat
suatu gerakan yang sangat
sukar ditebak arahnya. Hian Eng
sangsi, ia tidak tahu, apakah
musuh akan menikam ke sebelah
kiri atau ke sebelah kanan. Di
saat ia bersangsi, pedang Yang
Cong Hay mendadak berkelebat
bagaikan kilat cepatnya dan
dengan bunyi
"bret!", tangan jubah si imam ditembusi pedang
dan biji-biji shuiphoa yang
tersimpan di dalamnya lantas saja
jatuh berarakan di atas tanah!
Hian Eng gusar bukan main.
Dengan gerakan Poanliong
jiauwpo (Naga bertindak), ia
loncat ke samping kanan Yang
Cong Hay sembari mengiram
serangan.
"Hidung kerbau!"
kata Yang Cong Hay sembari tertawa
dingin. "Apa kau masih
mau berku-kuh mengangkangi segala
harta rampasan?"
Berbareng dengan itu, ia menikam tulang
pundak Hian Eng yang lantas
mengegos sembari memapaki
pedang itu dengan hudtim-nya.
Tapi gerakan pedang Yang
Cong Hay sangat aneh dan tidak
dapat diduga terlebih dulu.
Di tengah jalan, pedang
tersebut mendadak berobah arahnya
dan dengan bunyi
"bret" untuk kedua kalinya, tangan juba kiri
Hian Eng telah dirobek, dan
biji-biji shuiphoa yang tersimpan
di situ tentu saja jatuh
berantakan.
158
Kejadian itu sudah membikin
semua orang terkesiap. Dalam
mata mereka, Hian Eng Toojin
adalah seorang ahli silat kelas
utama yang jarang ada
tandingannya. Tapi siapa nyana,
dalam dua gebrakan saja, kedua
tangan jubahnya sudah
dirobek semua.
Hian Eng jadi mata gelap.
Dengan kedua kaki menginjak
kedudukan Ngoheng Patkwa,
ia menyerang dengan hudtim-nya
secara mati-matian.
Sebenarnya, meskipun
kepandaian Hian Eng masih kalah
setingkat dari Yang Cong Hay,
akan tetapi bedanya tidak
begitu besar. Tadi, lantaran
kedua tangan jubahnya penuh biji
shuiphoa, ia tidak dapat
bergerak dengan leluasa, sehingga
Yang
Cong Hay dapat menarik banyak
keuntungan. Sekarang,
sesudah semua biji emas itu
jatuh berarakan, gerakannya
menjadi terlebih gesit, ia
dapat membela diri dan balas
menyerang.
Sesudah lewat beberapa jurus,
Yang Cong Hay mendadak
berseru: "Kenal",
dan pedangnya menyambar. Hian Eng loncat
dengan perasaan heran. Pukulan
itu bukan pukulan luar biasa
dan gampang sekali dipunahkan.
Ia tidak mengerti, kenapa
lawannya berteriak:
"Kena!" Sekonyong-konyong suatu sinar
emas berkelebat di depan
matanya. Ternyata, dengan gerakan
yang indah sekali, dengan
ujung pedangnya, Yang Cong Hay
sudah menyontek sebuah biji
shuiphoa yang lantas terbang ke
arah Cian Thong Hay. Ia ini
lantas saja menyambuti dan
memasukkan biji emas itu ke
dalam alat hitungnya.
Sorakan riuh kembali
menggetarkan seluruh taman.
Dengan sikap bangga, Yang Cong
Hay terus mencecer Hian
Eng dengan pukulan-pukulan
hebat dan setiap kali imam itu
loncat minggir, ia menyontek
sebuah biji shuiphoa yang
159
segera disambuti si saudagar
she Cian. Dalam tempo sekejap,
delapan puluh sembilan biji shuiphoa
yang tadi berhamburan
di atas tanah, sudah kembali
ke dalam shuiphoa Cian Thong
Hay.
Dengan paras muka pucat
bagaikan kertas, Hian Eng
menarik pulang hudtim-nya dan
menghampiri Pit Kheng
Thian. "Pintoo tak
mempunyai kemampuan, sehingga Ceecu
menjadi hilang muka,"
katanya sembari membungkuk.
"Sekarang aku meminta
diri dan mohon Ceecu sudi
memaafkan."
Bu Cin Tong dan Pit Kheng
Thian coba mencegah, tapi
orang pertapaan itu sudah
berlalu dengan tindakan lebar.
Perkataan Hian Eng menggenggam
permintaan supaya Pit
Kheng Thian turun tangan untuk
menolong mukanya. Semua
mata sekarang ditujukan kepada
pemuda itu untuk melihat
gerakannya.
Yang Cong Hay sama sekali
tidak memperduli-kan. Sambil
menyentil pedangnya, ia
berpaling kepada Cian Thong Hay
seraya berkata:
"Hian-tee, apakah modalmu sudah dapat
diambil pulang semuanya?"
Tiba-tiba Pit Yan Kiong
tertawa terbahak-bahak. Ia muncul
dari antara orang banyak dan
berkata: "Orang kaya mengeduk
kantong sama mustahilnya
seperti naik ke langit. Baiklah! Oleh
karena Yang Toaya sudah tampil
ke muka, maka aku si
pengemis tak dapat berbuat
lain daripada muntahkan kembali
makanan yang sudah berada di
dalam muiut." Sehabis berkata
begitu, ia menyentil dengan
jerijinya dan dua buah biji
shuiphoa lantas saja melesat
di tengah udara. Ilmu Cian
Thong Hay lebih tinggi
daripada si pengemis dan ia sungkan
menyia-nyiakan kesempatan
untuk memperlihatkan
kepandaiannya. Ia mengangkat
shuiphoa-nya untuk
160
menyambuti dan dua biji itu
jatuh tepat sekali di tihang yang
masih belum lengkap isinya.
Dengan sekali menekuk tihang
itu, isi shuiphoa tersebut
sudah penuh kembali seperti
sediakala.
"Toaya yang
kaya-raya," kata Pit Yan Kiong. "Sekarang
modalmu sudah kembali semua.
Apakah masih membutuhkan
bunganya?"
Dengan berkata begitu, si pengemis
ingin Yang Cong Hay
lantas berlalu dari tempat
itu.
Tapi Yang Cong Hay tetap tidak
berkisar dari tempatnya di
tengah gelanggang. Ia kembali
menyentil pedangnya dan
berkata dengan suara tawar:
"Benar! Orang dagang
selamanya mengharapkan bunga
untuk uangnya."
Pernyataan itu sudah
mengejutkan semua orang. "Apa ia
mau merebut kedudukan
Toaliongtauw?" tanya Bu Cin Tong di
dalam hatinya. “lmu silatnya
cukup tinggi, hanya sepak
terjangnya tidak begitu bagus.
Jika ia menjadi pemimpin
kalangan Lioklim di lima
propinsi Utara, kita bakal jadi
berabe."
Orang yang berpendapat sama
dengan Bu Cin Tong
berjumlah besar, maka sorakan
yang terdengar hanya keluar
dari beberapa gelintir orang
yang mungkin juga konco Yang
Cong Hay.
Sementara itu, dengan tindakan
perlahan, Pit Kheng Thian
berjalan masuk ke dalam
gelanggang. Begitu berhadapan
dengan Yang Cong Hay, ia
mengawasi dengan kedua matanya
yang tajam bagaikan pedang.
161
"Toaliongtauw," kata
Yang Cong Hay dengan suara dingin.
"Pengajaran apakah yang
kau mau berikan kepadaku?"
Pit Kheng Thian mendongak dan
terbahak-bahak. "Aku
adalah seorang houwpwee (orang
yang tingkatannya rendah)
dengan kepandaian yang sangat
cetek," katanya. "Mana
berani aku memikul tugas
sebagai Toaliongtauw? Saudaraku
ini adalah seorang pengemis
yang sangat miskin dan tidak
mempunyai uang untuk membayar
bunga. Maka itu, apa boleh
buat, aku saja yang tolong
membayarnya."
"Bagus! Bagus!" kata
Yang Cong Hay. "Kalau begitu, aku
pun boleh tidak usah
sungkan-sungkan lagi." Berbareng
dengan perkataannya, ia
menikam jalan darah Hiankie hiat, di
bawah tenggorokan Pit Kheng
Thian.
Dengan cepat, Pit Kheng Thian
menangkis pedang musuh
dengan toyanya yang sebesar
mangkok. Tanpa me-robah
kuda-kuda, tangkisan itu ia
susul dengan pukulan Bu Siong
pahhouw (Bu Siong pukul
harimau), yaitu membabat lutut
musuh.
"Sungguh cepat!"
seru Yang Cong Hay, sembari
menyampok dengan pedangnya.
Berbareng dengan suara
bentrokan senjata, Pit Kheng
Thian terhuyung ke depan
beberapa tindak, sedang Yang
Cong Hay mundur ke belakang
dengan sempoyongan.
Ternyata, dalam sampokannya,
Yang Cong Hay telah
menggunakan tenaga Imjiu
(tenaga "lembek") dan dengan
meminjam tenaga Yangkong
(tenaga "keras") dari Pit Kheng
Tian, ia niat merubuhkan
lawannya itu.
Jika tenaga antara kedua orang
itu tidak berbeda seberapa,
tujuan Yang Cong Hay pasti
akan terwujud. Akan tetapi, Pit
Kheng Thian mempunyai
"tenaga malaikat", pe-ngasi Tuhan.
162
Pukulan Bu Siong pahhouw itu
luar biasa hebatnya dan
biarpun Yang Cong Hay berhasil
menyampok toya Pit Kheng
Thian, ia sendiri telah
dibikin terpental dan sempoyongan ke
belakang beberapa tindak. Di
lain pihak, begitu lekas toyanya
kebentrok dengan ujung pedang,
Pit Kheng Thian mengetahui
adanya bahaya. Buru-buru ia
menyontek dengan toyanya,
miringkan badannya dan meloncat
beberapa tindak ke depan
dengan agak sempoyongan.
Demikianlah, yang satu mundur,
yang lain maju, masing-masing
tidak mempunyai kesempatan
untuk membarengi dengan
serangan membalas. Maka itu,
dalam gebrakan tersebut,
mereka dapat dikatakan seri.
Sesudah kedua belah pihak
memperbaiki kedudukan
masing-masing, mereka lalu
mulai bertempur pula dengan
hebatnya.
Pedang Yang Cong Hay menyelam
timbul di tengah udara
bagaikan naga yang sedang
memain di lautan, sedang toya Pit
Kheng Thian
ber-kelebat-kelebat, seakan-akan burung Hong
tengah berterbangan. Semua
orang gagah yang menyaksikan
pertempuran itu jadi
terpesona. Mereka merasa kagum sekali
melihat seorang muda yang
usianya belum cukup tiga puluh
tahun, sudah dapat menandingi
kiamkek kenamaan.
Dengan cepat lima puluh jurus
sudah lewat dan belum ada
yang keteter.
Tiba-tiba, berbareng dengan
suatu siulan panjang, Yang
Cong Hay merubah cara
bersilatnya. Sinar pedangnya
berkelebat-kelebat bagaikan
kilat menyambar dan sebatang
pedang itu, bahna cepatnya bergerak-gerak,
kelihatan seperti
ratusan pedang yang
menyambar-nyambar di sekitar badan
Pit Kheng Thian, seakan-akan
turunnya rontokan bunga ditiup
angin. Dikurung secara begitu,
perlahan-lahan Pit
Kheng Thian jatuh di bawah
angin.
163
Cian Thong Hay kelihatan
girang sekali, ia menyentil-nyentil
biji shuiphoa-nya sembari
berkata seorang diri: "Bunganya
pasti akan segera
dibayar!"
Pit Yan Kiong yang berdiri di
pinggir gelanggang lantas saja
tertawa ha-ha hi-hi.
"Memang juga bunganya akan lantas
dibayar," katanya.
"Tapi belum tentu, pihak mana akan
membayarnya!"
Cian Thong Hay melirik dengan
paras gusar. "Toaya yang
kaya raya!" kata Pit Yan
Kiong sembari tertawa. "Jangan
gusar." Ia menyelesap dan
lalu menghilang di antara orang
banyak.
Sekonyong-konyong jalan pertempuran
kembali berubah.
Untuk melayani pedang musuh,
Pit Kheng Thian sudah
merubah cara bersilatnya. Jika
tadi ia bersilat dengan tenaga
Yangkong yang agresif, adalah
sekarang toyanya berputarputar
di sekitar badannya, dalam
gerakan membela diri dan
sama sekali tidak mengandung
serangan pembalasan. Akan
tetapi, ahli-ahli yang ilmunya
tinggi, mengetahui, bahwa
sekarang Pit Kheng Thian
sedang bersilat dengan tenaga Imjiu
dan gerakan toyanya merupakan
gerakan lingkaran atau
setengah lingkaran, sehingga toya
yang keras dan lempang itu
seolah-olah joanpian, atau
pecut lemas.
Dalam pelajaran ilmu silat,
terdapat kata-kata seperti
berikut: "Tombak takut
kepada lingkaran, pecut mengenai
kelurusan." Tombak dan
toya adalah senjata yang
kegunaannya sama. Jika seorang
dapat menggunakan tombak
atau toya seperti pecut dan
membuat gerakan-gerakan
melingkar, maka lawannya harus
berlaku hati-hati.
Demikianlah, begitu lekas Pit
Kheng Thian merubah cara
bersilatnya, pedang Yang Cong
Hay lantas saja dapat ditindih
164
dan gerak-gerakannya tidak
begitu cepat lagi. Akan tetapi,
dalam gerakannya yang lebih
perlahan itu, Yang Cong Hay
kelihatan menggunakan lebih
banyak tenaga, seperti juga
berat pedangnya bertambah
seribu kati.
"Hm! Yang Toacongkoan
sekarang menggunakan Iweekang
yang sangat tinggi,"
geren-deng si baju putih. "Aku mau lihat,
bagaimana ia melayani ilmu
toya itu."
Baru habis perkataan itu
diucapkan, suatu bentrokan
senjata yang sangat nyaring
memecahkan kesunyian taman
itu. Di antara lelatu api,
toya Pit Kheng
Thian kelihatan terbang di
tengah udara, sehingga semua
orang mengeluarkan seruan
kaget. Dalam detik yang sama,
Yang Cong Hay agaknya seperti
orang kesima, ia terpaku dan
tidak bergerak untuk
menyerang. Gesit sungguh gerakan Pit
Kheng Thian. Di saat itu juga,
badannya melesat dan
tangannya menyambuti toyanya
yang sedang melayang turun
kembali. Dan sebelum kedua
kakinya hinggap di atas tanah, ia
memutar toyanya dan laksana
seekor elang, ia menghantam
kepala Yang Cong Hay.
Dalam pertempuran antara kedua
jago itu, Pit Kheng Thian
menang tenaga, sedang Yang
Cong Hay lebih unggul dalam
Iweekang dan pengalaman. Ia
mahir sekali dalam ilmu
meminjam tenaga musuh untuk
menjatuhkan musuh.
Barusan, selagi Pit Kheng
Thian menghantam dengan toyanya,
ia membarengi menyerang dengan
pedangnya dengan
menggunakan sembilan bagian
tenaganya. (Dalam
pertandingan antara jago-jago
kelas utama, seseorang tidak
boleh menggunakan tenaganya
100 persen untuk menjaga
serangan membalas yang
mendadak. Digunakannya sembilan
bagian tenaga adalah ukuran
yang paling tinggi). Dalam
perhitungannya, pukulan
tersebut pasti akan dapat
mematahkan toya Pit Kheng
Thian. Tapi ia tidak mengetahui,
165
bahwa toya itu adalah senjata
mustika, warisan dari leluhur
keluarga Pit. Toya itu dikenal
sebagai Hang-liong pang (Toya
menaklukkan naga), dibuat dari
pohon Hang-liong su yang
tumbuh di atas gunung Lamthian
san. Walaupun dibuat dari
kayu, toya itu lebih keras dan
ulet daripada emas maupun
besi. Dulu dalam pertempuran
antara Thio Tan Hong dan Pit
To Hoan, pedang mustika Tan
Hong masih belum dapat
mengutungkan Hangliong pang
itu.l) Maka itu, dapat di
mengerti jika pedang Yang Cong
Hay, yang hanya lebih baik
sedikit dari pedang biasa,
tidak dapat berbuat banyak
terhadap toya mustika
tersebut. Dalam bentrokan itu, berkat
tenaga dalamnya, Yang Cong Hay
berhasil melontarkan toya
Pit Kheng Thian, akan tetapi,
berbareng dengan itu,
pedangnya juga somplak dan
tangannya terbeset sehingga
mengeluarkan darah.
Sabetan toya Pit Kheng Thian
yang di kirim selagi tubuhnya
masih berada di tengah udara,
sudah mengejutkan semua
orang. Dengan cepat, Yang Cong
Hay mengerahkan tenaga
dalamnya dan memapaki toya
itu. Semua orang menduga,
bentrokan senjata kali ini,
akan sepuluh kali lebih hebat
daripada bentrokan yang
pertama. Tapi di luar dugaan,
bentrokan antara kedua senjata
itu sama sekali tidak
mengeluarkan suara dan lebih
mengherankan lagi, toya itu
seperti juga menempel di ujung
pedang, sedang tubuh Pit
Kheng Thian masih terus berada
di tengah udara. Yang Cong
Hay membentak keras dan maju
tiga tindak, sambil
menggentak pedangnya.
Tapi... toya itu terus
menempel di ujung pedang dan tubuh
Pit Kheng Thian tetap
menggelantung di tengah udara! Semua
orang terkesiap, sedang mereka
yang ilmunya belum seberapa
tinggi, tidak mengetahui apakah
artinya semua itu.
Si baju putih, Bu Cin Tong dan
beberapa jago lain yang
ilmunya tinggi, tentu saja
mengerti, bahwa kedua lawan itu
166
sedang mengadu tenaga dalam.
Barusan, waktu mema-paki
toya lawannya, Yang Cong Hay
telah menggunakan Liankin
dan Pengkin dengan berbareng
(tenaga untuk menempel dan
tenaga untuk melontarkan),
semacam ilmu Iweekang yang
sangat tinggi. Di lain pihak,
walaupun Iweekang-nya masih
kalah setingkat, sabetan Pit
Kheng Thian, yang dilakukan dari
atas ke bawah, sudah menambah
tenaganya, sedikitnya
separoh lebih. Ditambah lagi
dengan berat badannya, tenaga
toya itu (yang menindih ke
bawah) tidak kurang dari seribu
kati! Maka itu, meskipun Yang
Cong Hay sudah berhasil
memunahkan tenaga yang
menyabet, ia masih merasakan
beratnya tenaga yang menindih
itu. Liankin-nya sudah berhasil
menempel senjata musuh, tapi
dengan Pengkin-nya, ia gagal
untuk melontarkan lawannya.
Sembari jalan mengitari
gelanggang, Yang Cong Hay
menggoyang-goyangkan pedangnya
dalam usaha untuk
melontarkan lawannya yang
menempel bagaikan lintah.
Tapi sebegitu jauh ia belum
berhasil dan dalam sekejap
saja badan kedua orang itu
sudah basah dengan keringat.
Bu Cin Tong mengeluh di dalam
hatinya.
Jika keadaan itu dipertahankan
dalam tempo yang agak
lama, ia mengetahui, Pit Kheng
Thian bisa celaka. Keadaan Pit
Kheng Thian agak lemah, oleh
karena ia belum dapat menarik
pulang tenaga pukulannya dan
tidak bisa mengerahkan tenaga
lagi, sebab badannya masih
berada di tengah udara.
Sambil mengerutkan alisnya, Bu
Cin Tong berjalan masuk
ke dalam gelanggang. Ia
menyoja seraya berkata: "Jika dua
harimau berkelahi terus
menerus, salah satu mesti celaka.
Yang Toako dan Pit Hiantee
sekarang kalian boleh berhenti
saja."
167
Tapi mereka tidak menyahut,
agaknya karena sedang
memusatkan seluruh semangat
dan menggunakan semua
tenaga mereka.
"Yang Toako," kata
pula Bu Cin Tong. "Kau adalah seorang
kiamkek yang sudah mendapat
nama besar. Pit Hiantee
adalah enghiong yang
tingkatannya terlebih rendah. Yang
Toako! Kau biasanya berkelana
di daerah Selatan barat dan
jika kau mempunyai niatan
untuk berusaha di wilayah Utara,
kedudukan Toaliongtauw dapat
kita rundingkan terlebih jauh."
Bu Cin Tong sudah berkata
begitu lantaran ia belum
mengetahui Yang Cong Hay sudah
menjabat pangkat
Toacongkoan di dalam istana
kaizar. Ia menduga, orang she
Yang itu benar-benar mau
merebut kedudukan Toaliongtauw
dari tangan Pit Kheng Thian.
Dibujuk dengan kata-kata
manis, sedikitpun Yang Cong Hay
tidak menggubris. Sesudah
berada di atas angin, tentu saja ia
sungkan melepaskan korbannya.
Ia berjalan semakin cepat
mengitar gelanggang, sehingga
Pit Kheng Thian seperti juga
sebuah perahu kolek yang
sedang ditiup angin. Bu Cin Tong
tidak berdaya, ia ingin
menolong, tapi kepandaiannya tidak
mencukupi.
Selagi semua orang mengawasi
dengan hati berdebardebar
dan sedang Bu Cin Tong berada
dalam kebingungan
hebat, mendadak saja terdengar
suara seseorang yang sangat
nyaring: "Kalian tidak
tahu diri! Yang Toacongkoan mana
memandang sebelah mata segala
kedudukan Toaliongtauw!"
Hampir berbareng dengan suara
itu, sekuntum bunga emas
melesat di tengah udara, yang
dengan menerbitkan bunyi
"cring!", menghantam
ujung pedang Yang Cong Hay!
168
Senjata rahasia itu yang
dilepaskan dengan tenaga yang
tepat sekali, sudah memukul
miring ujung pedang itu dan di
lain saat, sesudah memutar
badan satu kali, Pit Kheng Thian
hinggap di atas bumi.
Kejadian itu disusul dengan
loncat masuknya seorang
pemuda baju putih, ke dalam
gelanggang. Tak usah dikatakan
lagi, bunga emas itu adalah
miliknya.
Semua orang, tak terkecuali Bu
Lookhungcu sendiri, merasa
sangat kaget. Mereka tak
nyana, bahwa seorang yang usianya
masih begitu muda, sudah
mempunyai tenaga dalam yang
sedemikian tinggi.
Perlu diterangkan, bahwa untuk
timpu-kannya itu, si
baju putih telah menggunakan
tenaga Kiauwkin (tenaga
yang dikeluarkan secara tepat,
pada saat yang tepat pula).
Selagi Iweekang Yang Cong Hay
beradu dengan Iweekang Pit
Kheng Thian, ia menghantam di
tengah-tengah yang kosong
di antara kedua tenaga yang
besar itu. Dalam pelajaran ilmu
silat, pukulan itu dinamakan
Sieniu pociankin (dengan tenaga
empat tahil menjatuhkan tenaga
ribuan kati). Itulah
sebabnya, kenapa dengan sekali
menghantam saja, si baju
putih sudah berhasil.
Mengetahui itu, Pit Kheng
Thian jadi merasa kagum sekali.
Dengan tindakan tenang, si
baju putih berjalan mendekati
Yang Cong Hay. Ia menyapu
semua orang dengan sepasang
matanya yang bersinar bening
dan kemudian mengawasi Yang
Cong Hay. "Yang
Toacongkoan," katanya. "Kau mengabdi
kepada Hongsiang (Kaizar), kurasa
kau masih sangat
kekurangan tempo. Mana kau
mempunyai tempo untuk
menjadi Toaliongtauw dari kaum
Rimba Hijau. Bukankah
begitu?"
169
Baru habis si pemuda
mengucapkan perkataannya, seluruh
taman lantas menjadi gempar.
Harus diketahui, bahwa belum
cukup sebulan Yang Cong Hay
memegang jabatan
Toacongkoan. Ia menerima
jabatan tersebut sebelum Kie Tin
merebut pulang takhta
kerajaan. Ketika itu, Kie Tin masih
dikurung di dalam istana
Lamkiong dan belum diketahui,
apakah usahanya akan berhasil.
Oleh karena itu,
pengangkatan Yang Cong Hay
sangat dirahasiakan dan hanya
diketahui oleh beberapa orang.
Tak usah dikatakan lagi,
orang-orang kalangan Kangouw
tak ada satu pun yang
mengetahui kejadian tersebut.
Begitu lekas si baju putih
membuka rahasia, orang yang
paling dulu mengajukan
pertanyaan adalah Bu Cin Tong.
"Yang Toako, benarkah
itu?" tanyanya.
Sementara itu, semua orang
gagah lantas saja berlombalomba
menyatakan pendapat. Ada yang
merasa sangsi, ada
yang gusar, ada yang lantas
mengejek... sehingga seluruh
taman menjadi ramai sekali.
"Kamu di sini mengangkat
Liongtauw, siapa yang paling
kuat, dia yang menjadi
jago," sahut Yang Cong Hay. dengan
suara angkuh. "Apa yang
aku sendiri kerjakan, ada sangkut
paut apa dengan kamu
semua?"
Paras muka Bu Cin Tong lantas
saja berubah. Ia
mendongak dan tertawa
terbahak-bahak. "Air sumur tidak
mengganggu air kali,"
katanya. "Orang gunung tak berani
melayani orang mulia. Yang
Toacongkoan! Maafkan aku yang
tidak bisa melayani kau
lagi!"
Yang Cong Hay melirik, ia
melihat semua orang sudah
menyekal gagang senjata dan
semua mata mengawasi ia
dengan sorot gusar. Meskipun
Bu Cin Tong tidak berani
terang-terangan memberontak
terhadap kaizar, akan tetapi ia
170
mengetahui, bahwa berbagai
ceecu itu adalah orang-orang
yang tak takut mati dan bisa
berbuat segala apa. Walaupun
ilmu silatnya sangat tinggi,
tak urung ia gentar juga. Ia
masukkan pedangnya ke dalam
sarung dan tertawa tengal
untuk menutupi goncangan
hatinya.
"Baiklah," katanya
kepada Cian Thong Hay. "Sekarang baru aku tahu, kedudukan Toaliongtauw
bukan direbut dengan kepandaian. Orang tak bermodal juga dapat berdagang besar.
Guna apa kita berdiam lama-
lama lagi di sini? Saudagar tulen lebih baik berlalu!"
"Apa artinya saudagar
tulen?" kata Pit Yan Kiong dengan suara tawar. "Saudagar tulen tentu
dimaksudkan manusia yang bisa mengurut-urut lutut Hongtee (kaizar) supaya bisa
lekas-lekas naik pangkat."
"Jangan sombong
kau!" bentak seorang. "Kau sama sekali belum dapat menjatuhkan Pit
Ceecu. Kalau mau, boleh menjajal-jajal lagi!"
Suara cacian menjadi semakin
ramai, sehingga tanpa menengok pula, sembari menuntun tangan Cian Thong Hay,
Yang Cong Hay buru-buru berlalu bersama beberapa konconya. Sekarang baru orang
mengetahui, bahwa si kaya raya Cian Thong Hay sudah bersekutu dengan
Toacongkoan itu, dengan niatan menjadi orang berpangkat.
Baru saja Bu Lookhungcu ingin
membuka mulut, si baju putih mendadak menghunus sebatang pedang pendek yang
sinarnya berkilauan.
Bu Cin Tong terkejut.
"Apa bocah yang masih bau
susu itu juga ingin merebut kedudukan Toaliongtauw?" tanyanya di dalam
hati.
Sementara itu, sembari
menuding Pit Kheng Thian dengan pedangnya, si baju putih berkata: "Bahwa
kau menjadi Liongtauw, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan aku.
Tapi benda yang kau curi sebelum
menjadi Liongtauw, harus dipulangkan kepadaku!"
Bu Cin Tong heran bukan main.
Sepanjang pengetahuannya, harta yang berharga kurang dari selaksa
tahil perak, sedikitpun tidak
menarik hati Pit Kheng Thian. Di samping itu, pekerjaannya tak dapat dikatakan
"mencuri", tapi "merampok" terang-terangan. Mendengar
perkataan si baju
putih, Bu Cin Tong menduga, ia
sedang minta kembali sejumlah uang yang telah dirampas Pit Kheng Thian.
Maka itu, lantas saja ia
menyahut: "Gampang, urusan ini gampang diselesaikan. Aku yang bertanggung
jawab, aku akan membayar pulang seanteronya."
Pemuda itu tertawa dingin
seraya berkata: “aku berhutang sebuah kepala manusia. Apakah kau bisa
membayarnya?"
Bu Cin Tong terkesiap. Ia
mengawasi si baju putih dengan mata melotot.
"Apakah kepala itu milik
keluargamu?" tanya Pit Kheng Thian.
Mata pemuda itu segera menjadi
merah, seperti orang yang hampir mengucurkan air mata. "Kau mau
mengembalikan atau tidak?" ia membentak.
"Tapi sekarang sukar
sekali, walaupun aku ingin mengembalikannya," jawab Pit Kheng Thian.
Paras muka si baju putih
lantas saja berubah pucat.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, tiba-tiba ia menikam. Pit Kheng Thian loncat mundur sambil menangkis
dengan toyanya, tapi pemuda itu, yang gerakannya cepat luar biasa, dalam
sekejap
saja sudah mengirimkan
sembilan tikaman, sehingga Pit Kheng Thian lantas saja kena didesak.
Serangan-serangan si baju
putih menyambar-nyambar bagaikan kilat dan jika dinilai dari kiamhoat-nya,
kepandaiannya malah masih
lebih tinggi daripada Yang Cong Hay.
"Saudara kecil, janganlah
terburu napsu," kata Bu Cin Tong dengan suara membujuk. "Jika kau
mempunyai ganjelan apaapa, cobalah tuturkan kepada kami secara terang. Jika Pit
Ceecu sudah kesalahan tangan, aku akan minta ia mengadakan sebuah meja
perjamuan untuk meminta maaf."
Dengan berkata begitu, Bu Cin
Tong menduga, Pit Kheng Thian telah membinasakan seorang yang mempunyai
hubungan erat dengan si baju putih dan ia ini sekarang datang untuk membalas
sakit hati. Dalam dunia Kangouw kejadian itu adalah kejadian lumrah dan Bu Cin
Tong berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak.
Tapi pemuda itu tidak menjawab
dan terus menyerang semakin hebat. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, Pit Kheng
Thian segera bersilat dengan ilmu Kimliong hiesui (Naga emas memain di air).
Dengan kesiuran angin yang menderu-deru, Hangliong pang-nya berkelebat-kelebat
di sekitar badan si
baju putih yang pedang
pendeknya lantas saja dapat ditindih.
"Apakah sekarang kau
masih menganggap aku sebagai bangsa tikus?" tanya Pit Kheng Thian sembari
tertawa.
"Kabur sesudah mencuri
bukan perbuatan seorang gagah!" bentak pemuda itu. "Kau mau
mengembalikan atau tidak?"
Pit Kheng Thian tertawa
terbahak-bahak. "Kepala saja tiada gunanya," katanya. "Aku
bersedia untuk mengembalikan seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku
sudah kerjakan secara sempurna."
"Benarkah?" tanya si
baju putih sembari menarik pulang pedangnya.
"Dengan mempertaruhkan
jiwa, aku sudah mencuri kepala orang," sahut Pit Kheng Thian dengan suara
sungguhsungguh.
"Mustahil dalam soal ini
aku bisa berbicara mainmain?"
Kedua mata pemuda itu kembali
menjadi merah. "Kalau begitu," katanya dengan suara perlahan.
"Kau adalah Injinku (tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi."
Oleh karena tak mengetahui bagaimana
persoalannya, semua orang yang berada di taman itu, terhitung juga Bu Cin Tong,
menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh karena pemuda itu adalah orang yang baru
dikenal, Bu Cin Tong merasa tidak enak untuk menanya terlebih jauh.
Mengingat bahwa urusan
Toaliongtauw belum dapat diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Bu
Lookhungcu lantas saja berkata: "Pit Ceecu adalah seorang yang
berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan saudara-saudara sudah
menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia diangkat menjadi Toaliong-tauw, apakah
ada saudara yang merasa tidak puas?"
Semua orang lantas saja
memberi persetujuannya dan selagi Pit Kheng Thian coba menolak, Bu Cin Tong
sudah mendahului:
"Sedang para ceecu sudah
menyetujui, aku rasa Hiantee tak perlu berlaku sungkan lagi."
"Tahan!"
sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil menghunus pedang. "Masih
ada satu urusan yang aku ingin kemukakan."
Bu Cin Tong mengerutkan
alisnya, ia kuatir jika kemudian akan muncul urusan yang tidak enak.
"Toaliongtauw," kata
si baju putih. "Aku masih mempunyai suatu perhitungan yang harus
diselesaikan dengan kau."
Pit Kheng Thian melotot, akan
kemudian tertawa besar. "Saudara kecil," katanya "Kau
benar-benar rewel! Sakit hati ada asal mulanya, hutang piutang ada tuan
uangnya, pedang pendeknya lantas saja dapat ditindih.
"Apakah sekarang kau
masih menganggap aku sebagai bangsa tikus?" tanya Pit Kheng Thian sembari
tertawa.
"Kabur sesudah mencuri
bukan perbuatan seorang gagah!" bentak pemuda itu. "Kau mau mengembalikan
atau tidak?"
Pit Kheng Thian tertawa
terbahak-bahak. "Kepala saja tiada gunanya," katanya. "Aku
bersedia untuk mengembalikan seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku
sudah kerjakan secara sempurna."
"Benarkah?" tanya si
baju putih sembari menarik pulang pedangnya.
"Dengan mempertaruhkan
jiwa, aku sudah mencuri kepala orang," sahut Pit Kheng Thian dengan suara
sungguhsungguh.
"Mustahil dalam soal ini
aku bisa berbicara mainmain?"
Kedua mata pemuda itu kembali
menjadi merah. "Kalau begitu," katanya dengan suara perlahan.
"Kau adalah Injin-ku (tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi."
Oleh karena tak mengetahui
bagaimana persoalannya, semua orang yang berada di taman itu, terhitung juga Bu
Cin Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh karena pemuda itu adalah orang
yang baru dikenal, Bu Cin Tong merasa tidak enak untuk menanya terlebih jauh.
Mengingat bahwa urusan
Toaliongtauw belum dapat diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Bu
Lookhungcu lantas saja berkata: "Pit Ceecu adalah seorang yang
berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan saudara-saudara sudah
menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia diangkat menjadi Toaliongtauw, apakah ada
saudara yang merasa tidak puas?"
Semua orang lantas saja
memberi persetujuannya dan selagi Pit Kheng Thian coba menolak, Bu Cin Tong
sudah mendahului:
"Sedang para ceecu sudah
menyetujui, aku rasa Hiantee tak perlu berlaku sungkan lagi."
"Tahan!"
sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil menghunus pedang. "Masih
ada satu urusan yang aku ingin ke mukakan."
Bu Cin Tong mengerutkan
alisnya, ia kuatir jika kemudian akan muncul urusan yang tidak enak.
"Toaliongtauw," kata
si baju putih. "Aku masih mempunyai suatu perhitungan yang harus
diselesaikan dengan kau."
Pit Kheng Thian melotot, akan
kemudian tertawa besar.
"Saudara kecil,"
katanya "Kau benar-benar rewel! Sakit hati ada asal mulanya, hutang
piutang ada tuan uangnya. Sedang tuan uang berada di sini, guna apa kau yang
mewakili bicara?"
Bu Cin Tong kaget. Dari perkataannya,
Pit Kheng Thian ternyata sudah mengetahui perhitungan apa yang hendak
diselesaikan dan sudah mengundang orang yang berkepen-tingan langsung tampil ke
muka.
Di lain saat, seorang
laki-laki yang berbadan kasar loncat masuk ke dalam gelanggang.
Orang itu mempunyai brewok
yang kaku seperti kawat dan kedua matanya bersinar terang sekali. Orang yang
mengenal a segera berseru: "Ah! Itulah Soanhoahu Hoan Eng!"
Hoan Eng nmerang-kap kedua
tangannya untuk member hormat dan berkata dengan suara nyaring: "Pit
Ceecu! Kaumbarangkali masih ingat pertemuan kita di sebelah selatan gunung
Thaysan.
Sekarang beruntung kita dapat
bertemu muka pula.
Sudikah kau membayar pulang
uang itu yang berjumlah tiga
puluh laksa tahil?"
Begitu Hoan Eng habis bicara,
seluruh taman lantas saja
ramai.
"Kenapa Soanhoahu Hoan
Eng melindungi uang pembesar
negeri?" tanya seorang.
"Sungguh luar
biasa!" kata yang lain.
177
Hoan Eng adalah turunan ahli
silat yang ternama dan
dalam kalangan Kangouw, ia
terkenal sebagai seorang jujur
dan dihormati. Begitu lekas
persoalan itu muncul, semua
orang segera merasakan
sukarnya memecahkan soal itu.
Dilihat dari sudut
persahabatan dengan Hoan Eng, uang itu
harus dikembalikan. Akan
tetapi, menurut peraturan Lioklim,
uang pembesar negeri yang
sudah dirampas, tak boleh
dipulangkan dengan begitu
saja. Di samping itu, Yamunsu
Koan Kie dikenal sebagai
seorang busuk dalam Rimba
Persilatan yang sangat serakah
akan segala kemewahan. Maka
itu, jika Pit Kheng Thian
mengembalikan uang tersebut, ia
tidak berlaku adil dan
mengecewakan harapan kalangan
Lioklim.
Semua mata mengawasi jago muda
itu tanpa berkesip,
sedang paras muka Hoan Eng
sebentar merah dan sebentar
pucat. Melihat Pit Kheng Thian
belum juga menjawab, dengan
suara terputus-putus Hoan Eng
berkata pula: "Urusan ini...
sebenarnya agak memalukan.
Akan tetapi... dengan
sesungguhnya siauwtee telah
didesak keadaan. Aku
sebenarnya ingin minta
pertolongan Thio... Thio..."
Mendadak perkataan itu
diputuskan dengan suara
tertawanya Pit Kheng Thian.
"Aku tahu," katanya. "Aku tahu
pembesar anjing itu adalah
keponakan Thio Hong Hu. Tapi
andaikata urusan ini
diberitahukan Thio Hong Hu, belum tentu
Thio Hong Hu sudi mengakui dia
sebagai keponakan. Selain
itu, aku mempunyai serupa
adat. Sekali bekerja, aku tidak
akan meladeni segala
permintaan dikembalikan hasil
pekerjaan itu, biarpun yang
datang mendamaikan adalah
pentolan Bulim yang paling
jempol. Meski orang menggunakan
gunung Thaysan untuk menindih
aku, aku toh tak akan
menyerah!"
Yang dimaksudkan Hoan Eng
sebenarnya adalah Thio Tan
Hong, tapi sudah salah
ditafsirkan oleh Pit Kheng Thian. Hoan
178
Eng menjadi semakin jengah,
sedang si pemuda baju putih
kembali meraba gagang
pedangnya.
Sekonyong-konyong Pit Kheng
Thian tertawa terbahakbahak.
"Tapi," katanya.
"Mengingat kau sudah dapat
menyambut tiga hantaman
toyaku, urusan ini masih dapat
didamaikan."
"Kalau begitu, aku
menyerahkannya kepada pertimbangan
Ceecu," kata Hoan Eng
dengan hati sedikit lega.
Pit Kheng Thian menepuk kedua
tangannya sembari
berteriak: "Bawa
kemari!" Semua orang yang sedang
mengawasi Pit Kheng Thian
sudah tidak memperhatikan Pit
Yan Kiong yang entah dari mana
datangnya, sudah muncul
sembari menggusur seorang yang
mengenakan pakaian
pembesar negeri.
"Pengadilan
bersidang!" katanya sembari tertawa. “Inilah
Yamunsu Toalooya (tuan
besar)!"
Hoan Eng terperanjat. Orang
itu bukan lain daripada
saudara angkatnya, Koan Kie!
Muka Koan Kie pucat bagaikan
mayat, badannya gemetar,
matanya, yang bersorot ketakutan,
sebentar mengawasi Pit Kheng
Thian, sebentar melirik Hoan
Eng, gerak-geriknya tak beda
dengan seorang peran-taian
yang sudah dijatuhi hukuman
mati.
"Hoan Toako!" kata
Pit Kheng Thian sembari tertawa. "Aku
sudah mengundang saudara angkatmu
datang kemari dari
kantor Yamunsu. Apakah
perbuatanku ini tidak cukup
menghormat terhadap
sahabat?"
Hoan Eng kaget berbareng
gusar. Ia kaget lantaran Pit
Kheng Thian sudah berhasil
menawan Koan Kie yang berada
di tempat begitu jauh, harus
diingat, bahwa ilmu silat Koan Kie
179
bukan ilmu sem-barangan,
sedang kantor Yamunsu biasanya
mempunyai penjagaan yang
sangat kuat. Penculikan itu
sungguh bukan pekerjaan
gampang. Berbareng dengan itu, ia
merasa gusar oleh karena Pit
Kheng Thian sedikit pun tidak
"memberi muka"
kepadanya. Sebaliknya dari mengembalikan
uang itu, ia sudah menggusur
saudara angkatnya dihadapan
orang banyak.
"Koan Tayjin!" kata
Pit Kheng Thian. "Dalam beberapa hari
ini aku sudah berlaku kurang
pantas terhadapmu!"
Melihat dirinya sukar terlolos
dari bahaya, Koan Kie jadi
berbalik tenang. "Aku
adalah pembesar kerajaan," katanya
dengan suara keras. "Aku
boleh mati, tapi sungkan menerima
hinaan. Mau dibunuh, kau boleh
bunuh. Guna apa banyak rewel! Hoan Toako! Aku hanya ingin meninggalkan suatu
pesan kepadamu.
Tolong kau memberitahukan hal
ini kepada Thio Siepek."
Demikianlah, dalam menghadapi
bahaya maut, ia menggunakan nama Thio Hong Hu untuk coba menggertak Pit Kheng
Thian. Ia tidak mengetahui, bahwa orang tua itu sudah meninggal dunia
bersama-sama dengan empat pahlawan istana.
Sebenarnya Hoan Eng sendiri
tidak dapat menghargakan sepak terjang Koan Kie. Akan tetapi, mengingat
persaudaraan yang sudah turun menurun, hatinya merasa pilu dan tanpa merasa, ia
mengucurkan air mata. Selagi ia hendak bicara, mendadak terdengar suara tertawa
Pit Kheng Thian.
"Hm! Pembesar kerajaan
apa?" kata Pit Kheng Thian.
"Agaknya kau belum
mengetahui, bahwa kau sedang dicari majikanmu! Jika sekarang aku melepaskan kau
dan kau tak mampu mengembalikan tiga puluh laksa tahil perak itu, bukankah
seluruh keluargamu akan dihukum mati? Ha! Jika hanya kau seorang yang mampus,
sedikit pun tak usah dibuat menyesal! Akan tetapi, kematianmu itu akan menyeret
juga anak isterimu. Inilah yang dinamakan "budi" kerajaan!"
Khoan Kie terkesiap. Perkataan
Pit Kheng Thian bukan gertak sambal belaka. Memang benar, kalau ia tidak bisa
mengadakan uang itu, seluruh rumah tangganya akan menghadapi bahaya termus-na.
Mengingat begitu, mukanya lantas saja berubah pucat. Tanpa merasa, ia berkata
dengan suara perlahan: "Aku mohon belas kasihan Ceecu."
Pit Kheng Thian melirik Hoan
Eng dan berkata pula sembari tertawa: "Tiga tahun kau menjabat pangkat
Yamunsu. Berapa banyak harta sudah dikeduk olehmu?"
"Ti... dak... tidak
banyak," jawabnya dengan tergugu. Sama sekali ia tak nyana, Pit Kheng
Thian akan mengajukan pertanyaan itu. "
Pit Kheng Thian kembali
tertawa besar. "Menurut pengetahuanku, seluruhnya kau sudah mengeduk lima
belas laksa enam ribu empat ratus tahil perak," katanya. "Jumlah ini
belum terhitung gedung besar yang kau bangunkan di kampung kelahiranmu. Benar
tidak?"
Lagi-lagi Koan Kie terkejut.
Ia sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa Pit Kheng Thian bisa mengetahui
kekayaannya secara begitu terang. Ia tak dapat berbuat lain daripada menyahut:
"Benar!"
Pit Kheng Thian bersenyum
mendengar pengakuan itu.
"Sekarang," katanya
pula. "Dengan memandang muka Hoan Toako, aku sudah mengirimkan uang itu ke
kota raja. Kau tak mempunyai sangkutan apa-apa lagi!"
Itulah suatu pernyataan yang
tidak diduga-duga. Koan Kie terpaku, ia berdiri bengong seperti tak percaya
kupingnya sendiri.
Mendadak paras muka Pit Kheng
Thian kembali berubah menyeramkan. "Akan tetapi," katanya.
"Harta yang tidak halal itu, kau tak dapat menggunakan sesuka hatimu. Dari
tiga puluh laksa tahil perak, aku hanya menyerahkan separoh,
sedang kekurangan yang separoh
lagi aku sudah tutup dengan uangmu sendiri. Untukmu, aku tinggalkan gedung
besar itu dan enam ribu empat ratus tahil perak. Jumlah ini, kurasa sudah cukup
untuk digunakan sampai di hari tuamu. Selain itu, kau sudah dipecat dari
pangkatmu dan kurasa, mulai dari sekarang kau tak dapat menjadi pembesar negeri
lagi.
Tindakanku itu
sebenar-benarnya adalah untuk menolong dirimu. Apakah kau merasa puas?"
Perkataannya diucapkan kepada
Koan Kie, tapi maksudnya yang benar adalah menanya Hoan Eng.
Mendengar itu, Hoan Eng merasa
kagum dan ta'luk terhadap kebijaksanaan Toaliongtauw itu. Beberapa kali ia
pernah membujuk Koan Kie supaya berhenti menjadi pembesar negeri, tapi
nasehatnya itu tak pernah diladeni sang adik.
Tak dinyana dengan menggunakan
caranya sendiri, Pit Kheng Thian sudah berhasil membikin Koan Kie tak bisa
memegang pangkat lagi untuk seumur hidupnya. Tindakan itu sedalamdalamnya
memang merupakan "pertolongan". Perampasan sebagian besar hartanya
itu, tentu saja dirasakan sakit oleh
Koan Kie, tapi dalam keadaan
sekarang, ia sudah merasa girang, bahwa jiwanya selamat.
Maka itu, sambil
memanggut-manggutkan kepalanya ia berkata: "Puas, aku puas!"