Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 6

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 6 Ishii sudah lantas berdiri pula di tengah-tengah lingkaran begitu ia menginsafi ia hampir keluar dari situ,
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 6
Yang hebat adalah kesebatannya.

Ishii sudah lantas berdiri pula di tengah-tengah lingkaran begitu ia menginsafi ia hampir keluar dari situ, ia menjaga diri akan tetapi ia masih merasakan sakit pada pundaknya. Ia telah mendengar peringatannya Hasegawa, ia mau berhatihati.

Begitulah ia menyingkir dari serangan dengan memutar tubuhnya. Inilah justeru yang dikehendaki Keng Sim. Tepat bebokong orang menghadapi ianya, segera ia melanjuti

serangannya ke jalan darah thiancu hiat, jalan darah yang terlemah. Sekalipun orang berlatih Kimciongtiauw atau Tiatpousan, siapa tertotok jalan darahnya itu, dia mesti celaka.

Demikianlah Ishii Taro, lantas saja dia menjerit, dari mulutnya menyembur darah hidup. Dia tertotok tepat, tubuhnya terus roboh. Jago-jago Nippon menjadi kaget,

mereka memburu untuk meno-longi. Ishii berwajah pucat, napasnya empas-empis. Dia telah terluka di bahagian dalam.

Jago-jago Nippon itu menjadi panas hatinya, mereka maju mengham-pirkan Keng Sim, wajah mereka menunjuki kemarahan mereka.

Keng Sim dapat lihat sikap mengancam itu, ia gendong kedua tangannya di punggungnya, sembari tertawa, ia kata: "Adakah ini semangat bushido dari Nippon?"

Mendengar itu, Hasegawa berseru: "Semua mundur!"

Sejenak itu, sunyilah gelanggang itu. Semua jago Nippon berhenti beraksi.

Dengan tindakan tetap, Hasegawa menghampirkan. Ia berwajah bermuram durja.

"Kau juga mundur!" berkata Hasegawa pada Keng Sim selagi orang hendak menegur padanya."Tahukah kau, siapa aku? Aku ada dan sembilan, kau bukan tandinganku! Siapa pemimpinmu?"

Mendahului Keng Sim, Pit Kheng Thian sudah lantas majukan dirinya. Ia bukannya pemimpin akan tetapi ia anggap dirinya begitu. Ia maju begitu lekas perkataan Hasegawa diterjemahkan.

"Kau cari aku?" dia kata sambil tertawa.

"Bagus, bagus sekali! Hendak aku belajar dari kau, dan sembilan!"

Hasegawa memperlihatkan jempolnya.

"Kaulah si pemimpin besar?" dia tanya. Di pihak Nippon terdapat pengkhianat, maka itu mereka ketahui siapa jadi toaliongtauw di lima propinsi Utara. Cuma Hasegawa tidak tahu apa itu toaliongtauw, yang ia ketahui hanya pemimpin besar.

Kheng Thian puas sekali. "Kiranya kau ketahui namaku yang besar?" pikirnya. Terus ia tertawa. Lalu ia menjawab:

"Orang gagah kita banyak, tidak sedikit yang menangi aku, tetapi kau tidak usah menemui pemimpin kami..."

"Jadi kau bukan si pemimpin besar?"

Hasegawa mengawasi, matanya mendelik.

"Maaf untuk pujianmu? Tidak berani aku mengangkat diriku menjadi pemimpin besar!" ia menjawab.

"Bangsa kamu tidak jujur! Apa perlu kamu merendah tidak keruan?" menegur Hasegawa. "Baiklah, sebagai dan sembilan, aku tantang pemimpin besarmu!"



Seluruh gelanggang sunyi senyap. Terutama di pihak Nippon, hati mereka kebat-kebit. Mereka senang jago mereka maju, tapi di sebelah itu, mereka kuatir jago ini pun gagal dan mereka bisa dapat malu besar. Di sini terletak kehormatan mereka! Maka mereka mengawasi dengan mata dibuka lebarlebar.

Hasegawa dan Pit Kheng Thian saling mengawasi.

Keduanya sudah siap sedia tetapi tidak ada satu yang hendak mulai turun tangan.

Juga Sin Cu dan Keng Sim kurang tenang pikirannya.

Mereka sudah bertempur, mereka insaf sulitnya merobohkan musuh dan delapan. Sekarang Pit Kheng Thian menghadapi dan sembilan. Kheng Thian pun mengaku sebagai pemimpin mereka. Tidak baik kalau sahabat ini gagal.

Selagi banyak mata mengawasi mereka berdua, tiba-tiba Kheng Thian dan Hasegawa berseru berbareng, tubuh mereka sama-sama dimajukan, untuk menyerang. Keng Thian sudah lantas menggunai ilmu silat Toasut payciu, Tangan Bantingan.

Ia memang bertenaga besar, ilmu silat ini cocok untuknya. Keng Sim kagum menyaksikan kawan itu mengerahkan tenaganya. Di pihak Hasegawa, dia pun menyambut serangan itu. Baru mereka bergebrak, atau keduanya telah mundur sendirinya, dengan terhuyung tiga tindak.

Kejadian ini mengherankan para penonton. Cuma Keng Sim yang terkejut untuk caranya Hasegawa. Dia ini nyata menggunai tipu meminjam tenaga lawan. Hanya saking hebatnya Kheng Thian, dia pun turut mundur.

Hasegawa menggunai Jujitsu, yang asal mulanya adalah ilmu silat Thaykek Kun yang dibawa masuk ke Nippon di mana ilmu itu diolah pula hingga menjadi sedikit berbeda.

Di puncaknya kemahiran, dengan itu orang bisa meminjam tenaga lawan untuk melayani atau merobohkan lawan.



Kheng Thian kehilangan keseimbangan tubuhnya ketika ia ditimpali Hasagawa itu, sedang ia telah kerahkan seluruh tenaganya, syukur untuknya, ia pun paham Lweekang dengan baik, ia masih sempat mempertahankan diri, hingga tidaklah ia sampai roboh. Tadi itu, ia maju menyerang dengan tangan

kanannya mengancam, dengan tangan kiri ia bekerja, menotok jidatnya lawan di jalan darah pekhouw hiat.

Ia gagal, tubuhnya maju ke depan, tapi segera ia menahan diri seraya terus mundur, maka juga ia mundur dengan terhuyung.

Segera setelah bergerak pula, Kheng Thian bersilat dengan ilmu silat Hangliong Ciang, atau Menaklukkan Naga, tangan kirinya keras, tangan kanannya lemas. Ia tidak sudi merapatkan diri. Sebaliknya, Hasegawa ingin bertempur rapat, supaya ia bisa menyekal lawan, untuk dibanting atau dibikin terpental. Maka kedua pihak tidak lantas dapat mewujudkan pengharapan mereka.

Lagi beberapa puluh jurus, masih saja mereka sama tangguhnya. Pihak Nippon menjadi heran. Kenapa jago mereka tidak juga berhasil? Inilah tidak biasanya.

Pertandingan ini pun tidak seseru tadi. Mereka tidak mau pikir, siapa lawannya jago mereka itu. Sebaliknya, Keng Sim dan Sin Cu ketahui, pertempuran lagi mendekati saat terakhir, puncaknya kehebatan.

Kheng Thian sebenarnya cemas sendirinya. Keng Sim dan Sin Cu menang dengan gampang, hasil mereka gemilang. Ia sendiri? Kalau ia kalah, sungguh memalukan, apa pula ia telah menempati diri sebagai toaliongtauw... Ia tahu, dua-dua Keng Sim merobohkan lawan mereka itu dengan ilmu totok. Ia

sudah mencobanya, ia selalu gagal. Ia sendiri, sebaliknya, tidak dapat kasi dirinya ditempel lawan itu.

Lagi beberapa jurus, barulah Sin Cu dan Keng Sim berlega hati. Keng Sim kata pada kawannya: "Pit Toako dapat berlaku keras dan halus, dengan begini, walaupun ia tak dapat menang, tidak nanti ia kalah. Dan asal seri, pihak kita menang."

Sin Cu mengangguk.

"Dalam halnya kepandaian, kelihatannya Hasegawa menang setingkat," ia kata. "Syukur Pit Toako liehay ia punya Hangliong Ciang dan tenaga dalamnya lebih sempurna.

Dengan berlaku tenang, ia tidak bakal kalah, yang aku kuatirkan ialah ia kurang sabar..."

Baru Sin Cu mengatakan demikian, sudah terlihat Kheng Thian mengubah cara berkelahinya, ia menyerang hebat sekali umpama kata bagaikan gelombangnya sungai Tiangkang yang menggulung saling susul.

Hasegawa terdesak, ia mesti main mundur, hingga kawankawannya mengawasi dengan hati memukul.

“Inilah berbahaya..." kata Keng Sim pelahan.

Segera terlihat Kheng Thian berlompat maju, tangan kirinya dimajukan, untuk mementang lengan Hasegawa, terus satu jeriji tangannya dipakai menotok jalan darah tionghu hiat.

Serangan itu hebat tetapinya pun berbahaya untuk si

penyerang sendiri.

Sin Cu kurang mengarti.

"Kau artikan bagaimana?" ia tanya Keng Sim.

Belum lagi si orang she Tiat menyahuti, Hasegawa nampak

sudah beraksi. Dia membebaskan diri, sebaliknya dengan

466
sebat, dengan kedua tangannya, dia pegang lengan Kheng
Thian, untuk terus ditelikung ke belakang. Di kalangan Jujitsu,
itulah yang dinamakan tipu "Membalik tangan, melempar
sendiri." Di mana lengan Kheng Thian sudah dipegang, asal
Hasegawa mengerahkan tenaganya, mesti Kheng Thian kena
dibanting roboh.
Di luar dugaan, kedua lawan itu nampak berdiri tegar
bagaikan patung batu. Hasegewa tetap memegangi, ia tidak
angkat tubuh orang untuk dibanting. Kheng Thian menancap
kedua kakinya bagaikan ia sebuah tunggak, tubuhnya tidak
bergeming.
Kedua pihak saling mengawasi, sinar mata mereka bengis,
tandanya keduanya gusar satu pada lain. Di mata penonton,
mereka itu nampaknya lucu.
Kheng Thian telah menggunai kesehatan tangannya,
hendak ia menotok. Percobaannya itu gagal. Ketika ia dapat
menotok, ia rasai perut lawan menjadi ciut, serangannya gagal
sendirinya. Ia terkejut, ia tahu ia terancam bahaya terbanting,
maka ia lantas tabahkan hati seraya memasang kuda-kuda
memberatkan tubuhnya. Dengan begitu ia tidak dapat
diangkat, untuk dibanting.
Hasegawa memikir untuk membanting lawannya, ia tidak
dapat mewujudkan itu. Ia memegang lengan Kheng Thian
tetapi lengan itu lembek. Untuk dapat membanting, ia mesti
pinjam tenaga lawan, sekarang lawan itu seperti hilang
tenaganya. Ia pun tidak dapat mengangkat, lantaran kudakudanya
Kheng Thian teguh sekali.
Maka keduanya saling berdiam, mereka sama-sama tidak
berani melepaskan lengan lawannya atau menggeser kakinya.

467
Pihak Nippon berdiam bengong, habis itu, mereka
terbenam dalam kekuatiran.
Keng Sim pun cemas. Ketika Sin Cu lihat sikap orang,
kesan baiknya terhadap orang she Tiat itu bertambah, karena
ia tahu, di antara Keng Sim dan Kheng Thian itu ada ganjalan
tak terkenta-rakan.
Dalam kekuatirannya, pihak Nippon membikin banyak
berisik. Sin Cu tidak tahu apa yang mereka perkatakan, sebab
ia tidak mengerti bahasa Nippon. Ia lantas minta keterangan
dari Keng Sim.
"Mereka itu tidak puas," sahut Keng Sim. "Mereka kalah,
mereka bilang pihak kita menggunai ilmu siluman begitupun
sekarang Kheng Thian terhadap Hasegawa."
Sin Cu bersenyum ewah.
"Mereka umumnya tidak tahu liehaynya ilmu silat kita, apa
begitu cupat juga pandangan dan mereka yang ke tujuh dan
ke delapan?" dia bertanya.
Keng Sim pun cemas.
"Mungkin pemimpin mereka di belakang layar hendak
menggunai akal busuk," katanya. "Rupanya dia hendak
mengasut supaya orang-orangnya menyerang kita secara
serampangan. Biasanya semangat bushido mengalah
sesudahnya kalah. Ketika ini mungkin mereka pakai untuk
mengacau..."
Dugaan Keng Sim ini tepat. Malah segera terlihat orangorang
yang berjalan meng-hampirkan. Di antara mereka ada
Kagawa dan delapan, yang tadi dirobohkan Sin Cu, tapi habis
dipale, dia dapat pulang tenaganya.

468
Keng Sim jadi mendongkol.
"Beginilah semangat bushido kamu!" ia menegur.
Dasar dan delapan, Kagawa jengah sendirinya, ia
merandak.
Adalah di saat itu, di kejauhan terdengar suara berisik
bagaikan guntur. Segera setelah suara itu, satu perompak
yang dandan sebagai opsir berkata dengan nyaring: "Orang
Khina tidak dapat dipercaya! Di satu pihak mereka kirim orang
bertanding sama kita, di lain pihak mereka menyerang tangsi
kita! Kita mesti bunuh habis semua telur busuk ini!"
"Telur-telur busuk ini memakai ilmu siluman menjatuhkan
jago-jago kita, mereka mesti dibasmi!" berseru beberapa
orang di antara rombongan Nippon itu. "Maju!"
Benar-benar beberapa orang, yang bersenjatakan golok
dan tombak, sudah lantas maju.
Keng Sim jadi mendongkol sekali. Ia menyampok
tombaknya dua orang yang maju paling depan, hingga tombak
itu mental tinggi dan jauh. Setelah itu ia cabut pedangnya
seraya berseru: "Kamu menghendaki ilmu silat sejati?" Terus
ia membabat dengan pedangnya itu, maka beberapa golok
Nippon lantas kena ditabas kutung!
Mereka itu berjumlah besar, mereka pun tidak jeri, mereka
merangsak terus. Di akhirnya, Keng Sim dan Sin Cu menjadi
repot juga. Bahkan Keng Sim segera kena dikurung. Beberapa
musuh menuju ke arah Kheng Thian. Melihat sikap mereka itu,
Sin Cu terkejut. Keng Sim terancam bahaya tetapi tak sehebat
ancaman Kheng Thian, karena toaliongtauw itu lagi melayani
Hasegawa.

469
Umpamakata, satu bocah pun bisa serang Kheng Thian
tanpa dia ini dapat mengelakkannya. Maka tidak bersangsi
pula, Sin Cu berlompat melewati kepala beberapa orang,
untuk menolong Kheng Thian itu.
Sejumlah musuh berteriak-teriak melihat orang berlompat
tinggi. Malah musuh yang bersembunyi, yang bersenjatakan
panah, sudah lantas menyerang. Karena ini, selagi mendekati
Kheng Thian, Sin Cu kena terhalang anak panah. Terpaksa,
lantaran bisa berlompat lebih jauh, ia gunai pedangnya
menangkis anak-anak panah itu.
Ketika itu terlihat Kagawa dengan golok di tangan, lari
mendatangi. Kelihatannya dia gusar sekali, dari mulutnya
terdengar kata-kata keras. Sin Cu tidak mengarti bahasa
Nippon, ia tidak tahu apa yang orang bilang. Ia cuma
menduga, orang tentu benci ia sebab ialah yang merobohkan
orang itu.
Cuma sebentar saja, Kagawa sudah lantas bertempur sama
si Nona Ie.
Beberapa musuh yang tadi memburu kepada Kheng Thian,
karena tidak ada yang halangi, telah datang dekat kepada
lawannya Hasegawa itu. Sin Cu lihat ini, ia jadi berkuatir
bukan main. Sebab tidak ada lain jalan untuk menolongi
kawan itu, terpaksa ia berlompat menyingkir dari Kagawa,
terus ia menimpuk dengan tiga buah kimhoa kepada mereka
itu. Justeru itu, Kagawa lompat membacok, maka terpaksa Sin
Cu memutar tubuh, untuk menangkis.
Hasegawa masih berkutat sama Pit Kheng Thian, ia dapat
melihat orang hendak membantui padanya, tentu membantu
dengan cara mengepung. Dasar ia dan sembilan, ia tidak
senang sama cara mengeroyok itu.

470
"Kamu semua mundur!" ia bentak mereka itu.
Adalah itu waktu, dua buah kimhoa menyamber dua orang
Nippon. Tidak ampun lagi, mereka itu roboh. Hebat adalah
kimhoa yang ketiga, yang menyamber ke arah Hasegawa.
Untuk menolong diri, terpaksa jago ini melepaskan
pegangannya kepada Kheng Thian, sambil berseru, ia
menangkis serangan senjata rahasia itu dengan satu
sampokan. Ia berhasil, kimhoa mental jauh.
"Bagus!" Kheng Thian berseru. "Kau tidak sudi orang
bantui, begitu juga aku! Mari kita bertempur terus!"
Sebenarnya selagi orang melepaskan cekalannya dan
membentak kawannya, Kheng Thian bisa membarengi
menghajar musuh ini, tetapi sebab ia dapatkan orang satu
laki-laki, ia tidak ingin berlaku curang. Ia juga hendak jaga
baik namanya sebagai toaliongtauw.
"Bagus! Kau benar seorang gagah!" berkata Hasegawa,
dalam bahasa Tionghoa yang tidak lancar. Ia menepuk ke
pinggangnya, dari mana segera ia mencabut keluar sebatang
golok yang tajam mengkilap. Yang luar biasa ialah golok itu
lemas hingga dapat dilibatkan di pinggang.
Senjata Kheng Thian adalah toya Hangliong pang, karena ia
bertanding dengan tangan kosong, ia tidak bekal senjatanya
itu.
Hasegawa telah tidak mengasi ketika padanya, dua kali
beruntun ia diserang hebat, hingga ia mesti berlompatan
mundur. Menampak orang terdesak, Hasegawa tertawa
berkakakan. Dengan tiba-tiba saja ia samber golok seorang
kawannya, golok mana terus ia lempar pada lawannya itu.

471
"Sambutlah! Kita bertempur dengan bersenjata golok!"
katanya. Ia berlaku adil tetapi sebenarnya, imbangan kipa. Ia
memegang goloknya sendiri. Kheng Thian sebaliknya asing
dengan golok orang itu. Maka itu, ia kembali terdesak.
Oleh karena mereka terpecah tiga, Kheng Thian, Sin Cu
dan Keng Sim tidak dapat berhubungan satu dengan lain.
Kheng Thian melayani satu musuh, walaupun ia terdesak, ia
tidak terancam bahaya langsung. Sin Cu liehay pedangnya, ia
dapat membela diri. Berbahaya adalah Keng Sim, yang
dikepung enam musuh. Syukur Teng Bouw Cit dan The Kan
Louw, yang berada paling dekat, sudah lantas menyerbu
mendekati dia, maka sebentar kemudian, mereka bertiga bisa
merapatkan diri melayani musuh yang mengeroyok itu. Bouw
Cit bersenjatakan cambuk joanpian, ia dapat menyerang jauh
begitu juga Kan Louw, yang gegamannya bandring gembolan,
maka siapa terbandring, kepalanya hancur, tubuhnya remuk.
Mereka ini segera meminta kurban. Begitu juga Keng Sim,
yang mengambil kedudukan di tengah, yang main papas jari
tangan orang, hingga orang tidak dapat terus memegang
senjatanya masing-masing.
Melihat tiga musuh liehay, pihak Nippon tidak berani
merapatkan diri, mereka main mengurung saja.
"Kita mesti labrak mereka!" kata Keng Sim akhirnya. "Dapat
satu sudah pulang modal, dapat dua sudah untung, tetapi kita
mesti dapat membinasakan lebih!" Dan segera dia mulai
menerjang hebat. Ia ingin membuka jalan.
"Tiat Siangkong, jangan terburu napsu," Bouw Cit memberi
ingat. "Yap Toako sudah mengatur siasatnya, dari itu kita
bertiga jangan mengacau siasatnya itu."

472
Keng Sim suka percaya keterangan ini, karena ia ketahui
kecermatannya ketua itu. Karenanya, hatinya jadi lega.
Dengan berhati lega, ia dapat emposan semangat.
Ketika itu dua musuh dan enam hendak membokong Bouw
Cit. Mereka maju dari belakang Keng Sim, yang kebetulan
maju ke depan. Bouw Cit tidak ketahui itu. Tapi Keng Sim
bermata celi. Mendadak saja ia putar tubuhnya dan
pedangnya menyambar. Tepat ia dapat membabat jeriji
tangan kedua musuh itu!
Bouw Cit ketolongan, ia lantas ambil kesempatan akan
melepaskan dua batang coayam cian, panah ular api, yang
meluncur ke atas dengan mengeluarkan sinar biru.
Dengan pertandaan ini ia minta bantuan. Melihat panah itu,
kawanan perompak menyiapkan pasukan yang bertameng
rotan, mereka ini membantu dengan maju di muka,
tamengnya diatur rapi. Jumlah tameng ada beberapa puluh
buah, semuanya menjadi tedengan atau tirai, untuk
melindungi sambil maju setindak demi setindak.
Sekarang ini sulit untuk Keng Sim membabat jari tangan
musuh. Tameng menjadi rintangan. Kalau toh ada serdadu
tameng yang roboh, segera datang gantinya. Karena ini,
mereka bertiga mulai terdesak. Barisan tameng itu berjumlah
seratus jiwa lebih.
Dalam saat sangat mengancam itu untuk Keng Sim bertiga,
mendadak terdengar suara sangat berisik di luar lapisan
kurungan, menyusul mana, tertampak tentara perompak
menjadi kacau, di antara mereka segera tertampak lebih jauh
datangnya satu pasukan serdadu.
"Bala bantuan datang!" Keng Sim berseru setelah ia melihat
tegas kepada pasukan yang baru sampai itu.

473
Pasukan itu kecil saja, jumlahnya tak sampai seratus jiwa.
Pakaian mereka juga aneh ragamnya, ialah dandanan dari
segala nelayan. Jadi mereka bukannya pasukan rakyat suka
rela, menampak mana, Keng Sim kehilangan kegembiraannya.
Segera setelah datang terlebih dekat, dari dalam pasukan
itu terlihat munculnya seorang tua yang jenggotnya panjang,
yang tangannya menyekal senjata seperti boneka rumput,
tetapi dengan itu, satu kali ia menyerang musuh, lantas ada
beberapa musuh yang terpelanting dan roboh. Sebab
gerakannya itu adalah gerakan Toasut payciu, dalam hal
mana, orang tua itu ada terlebih mahir daripada ini pemuda
she Tiat.
Keng Sim kagum bukan main tetapi kekagumannya itu
segera berubah menjadi kegirangan tidak terkira, sebab
sejenak kemudian, ia dapat mengenali orang tua kosen itu
yang bukan lain daripada gurunya. Kalau pada mulanya ia
tidak menyangka, inilah disebabkan ia tak pernah memikirnya.
Di antara guru dan murid ini, perpisahannya lebih banyak
daripada pertemuannya, apa pula selama beberapa tahun
yang belakangan ini gurunya itu, ialah Cio Keng To, sudah
mengangkat kaki pergi jauh ke luar negara hingga Keng Sim
tidak ketahui lagi gerak-geriknya. Maka sekarang munculnya
sang guru secara tiba-tiba ini sungguh di luar terkaannya.
Maka juga ia heran berbareng girang sekali.
Pasukan nelayan itu berjumlah kecil tetapi mereka hebat,
mereka dapat satu melawan sepuluh, maka itu setelah
mendobolkan kurungan lapis luar, mereka sudah lantas
menerjang barisan tameng, hingga barisan tameng ini mesti
membalik diri guna melawan mereka.

474
Si orang tua segera memberi tanda kepada muridnya, yang
ia kenali, setelah mana dia maju terus, untuk menghampirkan
Pit Kheng Thian dan Hasegawa, justeru dua musuh itu lagi
menghadapi saatnya yang dahsyat. Kheng Thian menyerang
dengan goloknya, Hasegawa menangkis. Hebat tangkisan ini,
Kheng Thian sampai kaget hampir menjerit, disebabkan
telapakan tangannya dirasakan sangat sakit, sampai goloknya
terlepas dari cekalan dan terlempar, terus disamber lawannya,
yang dengan lantas membikinnya patah dua, setelah mana,
jago asing itu meneruskan menikam lawannya!
Di saat mati hidup itu, belum sempat Kheng Thian berdaya,
tiba-tiba ia merasa ada orang sambar tubuhnya dan terus
diangkat, hingga di lain detik, tubuhnya itu terlempar di udara,
berjumpalitan dua kali, lalu turun ke tanah. Karena ia
membantu menggeraki tubuhnya, ia jatuh berdiri dengan tidak
kurang suatu apa. Kapan ia melihat ke depan, ia tampak
seorang tua tengah menghadapi Hasegawa dengan si orang
tua bersenyum dingin.
"Hai, orang tua, apakah yang kau tertawakan?" Hasegawa
membentak, murka.
"Aku tertawakan kau bangsa udang dari negara pulau!"
menyahut si orang tua, ialah Cio Keng To. "Kau meniru
kepandaian Tiongkok, baru mengerti beberapa jurus ilmu silat
golok, lantas kau aguli dirimu!"
Cio Keng To bicara dalam bahasanya sendiri, Hasegawa
dapat mengarti dengan baik. Dia memang lebih mengarti
mendengar daripada berbicara dalam bahasa Tionghoa. Dia
gusar atas teguran itu walaupun ia menginsafi, pelajaran
silatnya benar ada cangkokan dari Tiongkok. Oleh bangsanya,
kepandaian itu dianggap milik sendiri, bangsanya tak mengaku
menjadi murid malah sebaliknya me-ngagulkan diri. Dia ada
dan sembilan, belum pernah dia memperoleh penghinaan,

475
maka itu tanpa banyak omong lagi, dia menantang: "Kau
hunus golokmu, mari kita bertanding!"
Keng To ada menggantung pedang di pinggangnya akan
tetapi ia tidak hunus itu. Itulah hinaan hebat untuk Hasegawa,
dia murka tak terkira. Dalam murkanya itu ia tapinya masih
dapat tertawa bergerak. Ia kata dengan nyaring: "Baiklah!
Sebenarnya tidak biasa aku membinasakan orang tak
ternama, aku juga tidak niat membunuhmu, akan tetapi kali
ini kaulah yang menyerahkan dirimu kepada golok!" Lantas
saja ia maju menyerang, dengan lebih dulu menekuk bengkok
pedang lemasnya itu.
Keng To berkelit, sembari berkelit ia menyusuli dua jari
tangannya untuk menindih belakang golok, hingga Hasegawa
menjadi heran, sebab ia tidak menyangka orang demikian
sebat dan tekenannya pun berat. Tapi goloknya lemas, ia
lekas menarik pulang, guna dipakai membacok.
"Jikalau kau dapat melayani aku tiga jurus, suka aku
mengasi ampun pada jiwamu!" kata Keng To, yang kagum
untuk kegagahan orang. Ia berkata sambil tertawa. Ia berkelit
pula dari bacokan itu.
Hasegawa tidak gubris ancaman itu. Ia lihat orang tua dan
tidak bersenjata, kalau ia kalah, atau jatuh di bawah angin, ia
malu sekali, maka itu dalam murkanya, tanpa berpikir pula, ia
ulangi serangannya. Menyaksikan sikap orang itu, Keng To
tertawa lebar. Sekarang ia tidak berkelit lagi. Dengan kibaskan
tangan bajunya, ia menangkis. Tangan baju itu, yang lebar,
pun dapat membuat matanya Hasegawa kealingan. Di lain
pihak, dengan tangan kirinya, dengan jari tangan, ia
menyentil. Dengan memperdengarkan suara "Trang!" maka
golok itu mental balik, hampir saja membentur jidat
majikannya sendiri.

476
Maka Hasegawa mesti mendak, untuk berkelit. Justeru itu,
Keng To mengibas pula dengan tangan bajunya, kali ini
Hasegawa merasakan sakit pada telapakan tangannya. Tempo
ia mencoba untuk meng-geraki goloknya, ia terkejut. Golok itu
seperti dililit tangan baju, tidak dapat dikasi bergerak.
"Masih kau tidak hendak melepaskan golokmu?" Keng To
membentak dengan ancamannya. Tapi ia bukan cuma
mengancam, ia terus menarik tangannya, dengan begitu
tangan bajunya ikut bersama.
Hasegawa masih tidak mau melepaskan cekalannya,
dengan begitu dengan sendirinya tubuhnya kena ditarik maju.
Tentu saja ia kaget tidak terkira. Ia tahu orang menggunai
tenaga pinjaman, dan tenaga orang itu jauh lebih menang
daripada tenaganya sendiri. Celakanya ia telah mencoba akan
meloloskan goloknya itu, kesudahannya sia-sia belaka. Maka
terpaksa ia melepaskan cekalannya, tubuhnya sendiri
berlompat mundur untuk terus lari. Dengan demikian, dalam
tempo ancamannya Keng To, sebagai dan sembilan, satu jago,
ia kalah dengan kecewa, meninggalkan golok dan lari...
"Golok yang jempolan!" berkata Keng To. "Pantas golok ini
dihadiahkan kepada muridku! Eh, aku telah beri ampun pada
jiwamu, mari serahkan sarung golok itu!"
Hasegawa dengar suara itu tetapi ia lari terus, atau
mendadak ia rasa ada orang menepuk pundaknya. Ia lantas
memutar tubuh seraya menyerang ke belakang. Gagal
serangannya itu. Ia lihat Keng To terpisah dari ia setombak
lebih dan di tangannya orang tua itu tercekal sarung goloknya,
yang di luar tahunya rupanya telah diloloskan dari
pinggangnya.
Semua kawannya Hasegawa kaget sekali. Tadinya mereka
tidak berani membantui, sebab Hasegawa ada dan sembilan.

477
Sekarang pemimpin itu kena dikalahkan secara demikian
mengecewakan, terpaksa mereka itu memburu. Hasegawa
menanti sampai kawan-kawannya itu tiba, terus ia merampas
sebatang golok.
"Sudahlah!" serunya, yang mana disusuli dodetannya
kepada perutnya merupakan silang empat, maka selagi
darahnya berhamburan, tubuhnya roboh, jiwanya melayang.
Dia telah menjalankan harakiri menepati kebiasaan bushido.
Lebih baik terbinasa daripada terhina! Pihak perompak kate
(pendek) menjadi murka sekali. Kagawa Ryuki dan delapan
sudah lantas tinggalkan Ie Sin Cu, untuk memimpin kawankawannya
guna mengurung Cio Keng To.
"Sekarang bolehlah aku mencoba-coba pedangku sendiri!"
kata Keng To dengan berani, sembari tertawa. Dan ia hunus
pedangnya, ia bulang-balingkan itu ke arah musuh, hingga di
antara suara trang-treng-trong, banyak golok musuh yang
terbabat kutung.
Pedang Keng To ini ada pedang curian dari istana, yang
membuatnya ia dicari pemerintah. Pedang itu tak usah kalah
dengan pedang Cengbeng kiam dan Pekin kiam buatan Hian
Kie Itsu. Dengan bersenjatakan pedang, ia bagaikan harimau
tumbuh sayap. Ia lantas bekerja sama dengan Ie Sin Cu, yang
telah menghubungi diri kepadanya.
Pit Kheng Thian juga bekerja keras untuk melabrak
musuhnya, cuma disebabkan musuh berjumlah besar dan
mereka nekat, mereka hendak menuntut balas untuk
Hasegawa, mereka jadi berani luar biasa. Yang satu roboh,
yang lain merubul merangsak. Barisan nelayan yang dipimpin
Keng To pun gagah sekali. Mereka itu bersenjatakan gaetan
dan golok, dengan itu mereka menggaet tameng musuh,
untuk terus membacok.

478
Dengan tameng, musuh lebih banyak menjaga di atas, dari
itu kaki mereka tidak terlindung sempurna, kaki merekalah
yang diarah. Lekas sekali mereka roboh separuhnya, maka
yang separuh lagi terpaksa lari menyingkir. Begitu lekas ia
bebas dari kurungan, Tiat Keng Sim memburu ke arah
gurunya, untuk membantu gurunya itu melabrak musuh.
Adalah di itu saat, di luar kurungan musuh terdengar suara
menggelegar dari meriam, berulang-ulang, menyusul mana
terlihat menerjangnya satu pasukan tentara di bawah
pimpinan satu orang yang bersenjatakan golok, yang
kemudian ternyata ada Yo Cong Bu, salah satu pembantunya
Yap Cong Liu. Dia itu berseru-seru: "Tentara perompak di
bahagian luar sudah dilabrak musnah, tinggal yang di sini
saja, mari kita usir mereka ke laut!"
Pemimpin perompak licin sekali. Sejak dua hari yang lalu
mereka sudah dapat kabar, di hari pertandingan ini bakal
datang bala bantuannya, terdiri dari seribu jiwa lebih. Dia
anggap bala bantuan ini masih kurang, maka dia mengatur
tipu menantang piebu. Selagi orang adu kepandaian, dia
mengatur serangan di tiga jurusan. Di barat Tayciu, yaitu di
pelabuan Samah, bala bantuannya akan menyerang
belakangnya tentara rakyat. Untuk maju di muka, dia pakai
pasukannya sendiri. Lagi satu ialah penyerangan dari pasisir di
mana piebu diadakan.
Di sini jumlah serdadunya seribu jiwa lebih. Mengenai
piebu, Hasegawa percaya dia bakal menang. Dia anggap
pihaknya kuat sekali. Dia tidak sangka, dia kalah dan dia
sendiri mesti harakiri. Dua tentara sayapnya siang-siang sudah
kena dibasmi.
Hagasegawa licin, Yap Cong Liu lebih cerdik lagi. Cong Liu
mencurigai musuh, maka supaya tidak terbokong, dia
mengatur penjagaan. Syukur untuknya, dia pun secara
kebetulan dapat bantuannya Cio Keng To dengan seratus lebih

479
nelayannya yang tangguh, yang asalnya ada tentara rakyat di
pelbagai pulau Laut Timur. Cong Liu dapat tahu datangnya
Keng To, dia segera minta jago tua langsung membantu
pihaknya yang lagi piebu.
Demikian pihak perompak dilabrak, hingga sisanya kabur ke
pesisir. Dari seribu jiwa lebih, mereka ini tinggal seratus lebih.
Dengan naik perahu mereka, mereka kabur ke tengah laut.
***
Sin Cu puas sekali dengan kemenangan itu. Dengan sapu
tangannya ia susuti darah di pedangnya yang ia sayang itu.
Cengbeng kiam benar istimewa, cuma sedikit darah yang
nempel, dan sinarnya tetap bergemirlapan. Keng To pun
ketarik, ia terus mengawasi pedang orang. Di saat Sin Cu mau
masuki itu ke dalam sarungnya, tiba-tiba ia menyambar,
hingga si nona terperanjat.
"Cio Loocianpwee, mengapa kau main-main?" ia tanya,
heran.
Keng To tidak segera menyahuti, hanya ia saling bacoki
Cengbeng kiam dengan pedangnya sendiri, hingga kedua
senjata bentrok keras tetapi tidak ada yang rusak.
Menampak itu, Sin Cu heran berbareng sadar. "Ya,"
pikirnya. "Dia pernah kalah oleh pedang Thaysucouw, lantaran
itu, dia curi pedang di istana, sekarang dia coba kedua pedang
itu..."
Keng To tertawa terbahak, terus kembalikan pedang si
nona, yang menyamar sebagai seorang pemudi. Ia pun tanya:
"Kau pernah apa dengan Hian Kie Itsu?"
“Ialah Thaysucouwku," Sin Cu jawab.

480
"Jadi gurumu ialah Thio Tan Hong?"
"Benar. Suhu sering menyebut-nyebut loocianpwee, yang ia
kagumi," kata pula Sin Cu, yang terus memberi hormat,
katanya, untuk sekalian mewakilkan gurunya.
Keng To kagum hingga ia menghela napas. Ia kata:
"Muridnya begini sempurna, maka dapatlah diketahui tentang
gurunya. Orang kangouw merendengi aku dengan Thio Tan
Hong, kami disebut empat ahli pedang besar, sebenarnya, aku
malu sekali." Ia tertawa, ia meneruskan: “Ini dia yang
dibilang, gelombang sungai Tiangkang yang di belakang
mendampar yang di depan orang muda di dunia
menggantikan mereka yang tua. Kamu muda dan gagah, aku
malu, tetapi aku pun girang sekali!"
Keng To ini lebih tinggi tingkat derajatnya dibanding sama
Thio Tan Hong, sebaliknya guru Tan Hong serta Tiauw Im
Hweeshio dan Tang Gak, tidak ia pandang mata, maka ia tidak
puas yang orang rendengi ia sama Tan Hong itu, tetapi
sekarang menyaksikan kegagahan Sin Cu, berubahlah
pandangannya, sekarang ia insaf, Tan Hong memang lebih
liehay daripadanya. Dengan begitu pun padam pula minatnya
mencari Hian Kie Itsu untuk bertanding pula.
Pit Kheng Thian berlari-lari kepada jago tua itu, guna
menghaturkan terima kasih, akan tetapi belum sempat ia
mengucap sepatah kata, orang she Cio itu sudah dului ia.
"Tidak usah, tidak ada artinya," kata Keng To, tertawa.
"Hoohan toh..."
“Inilah Pit Toaliongtauw dari lima propinsi Utara," Bouw Cit
mendahului memberi keterangan.

481
"Ha, kiranya toaliongtauw Pit Kheng Thian!" kata Keng To.
"Sudah dua tahun aku si tua berada di perantauan, toh pernah
aku dengar, namamu yang besar. Dari murid-muridku,
kelihatannya cuma Tiat Keng Sim yang dapat dibanding
denganmu. Ya, pernahkah kau bertemu sama muridmuridku?"
Kheng Thian girang mendengar ia dipuji, tapi lantas merasa
tidak puas yang ia disamakan dengan murid orang, tak
kepuasan itu segera terutara pada paras mukanya.
Justeru itu, Keng Sim muncul, maka Keng To berkata:
"Nah, ini dianya! Apakah kamu telah kenal satu dengan lain?"
Kheng Thian paksakan diri tertawa ketika ia menyahuti:
"Murid loocianpwee muda dan gagah, dalam penumpasan
perompak ini, banyak aku menerima bantuannya."
Keng To girang sekali, ia cekal tangan orang, yang ia ajak
bicara tak hentinya, hingga Keng Sim tidak sempat menyelak.
Maka anak muda itu lantas pasang omong sama Sin Cu,
keduanya girang, mereka pun tertawa-tertawa. Melihat sikap
mereka itu, Kheng Thian tak enak sendirinya. Ia ingin dekati
mereka, guna membuyarkan, tapi Keng To terus mengajak ia
bicara.
Di sepanjang jalan pulang, Keng Sim pikirkan Sin Cu. Ia
sudah curiga, sekarang ia lihat orang menyusuti pedang
dengan sapu tangan, tambah kecurigaannya itu. Tidak ada
pria lain yang memakai semacam sapu tangan. Sembari jalan,
mereka bicarakan hal piebu tadi. Jauh di tengah laut masih
terlihat titik-titik hitam, ialah perahu-perahu perompak yang
sudah berlayar jauh sekali.
“Ie Siangkong, tadi kau melayani musuh dan delapan,
tubuhmu enteng sekali, gerak-gerakanmu sangat lincah dan

482
indah, apakah namanya ilmu silatmu itu?" Keng Sim tanya
kemudian.
“Itulah ilmu ajarannya subo-ku," sahut Sin Cu. "Namanya
ialah Menembusi Bunga Mengitarkan Pohon. Kau tidak tahu,
rumah kita di Thayouw indah sekali dan subo gemar bunga, di
depan rumah ia banyak menanam pohon mawar, lie, tho dan
bwee. Setiap musim semi, semua bunga itu berkembang
permai. Di situlah aku ikuti subo belajar ilmu enteng tubuh.
Selama dua tahun bukan saja aku tidak dapat susul subo
malah aku sering tertusuk duri, baru sesudah tiga empat
tahun aku dapat nelasap-nelusap dengan baik. Di tahun ke
lima barulah aku bisa sambar kun-nya subo ”
Keng Sim tertawa.
"Subo-mu itu baik sekali terhadap kau!" katanya. "Kau
membikin orang kagum dan mengiri. Rupanya kau dipandang
sebagai anak kandung sendiri."
Dengan "anak kandung," Keng Sim maksudkan anak
kandung perempuan. Sedang “subo" itu ialah guru wanita.
Selagi orang bicara, Sin Cu mengawasi. Ia tampak wajah
orang bersenyum bukannya bersenyum, dan wajah itu mirip
sama wajah gurunya, Thio Tan Hong, hatinya sedikit
terkesiap. Berbareng dengan itu ia pun sadar bahwa ia telah
terle-pasan omong mengenai subo-nya itu. Mustahil murid pria
demikian erat hubungannya sama isteri gurunya, sekalipun
subo itu benar turut mengajari ia ilmu silat. Karena ini
sendirinya parasnya bersemu merah.
"Bagus sekali nama ilmu enteng tubuh itu. Menembusi
Bunga Mengitarkan Pohon," Keng Sim berkata pula. "Memang,
ketika kau permainkan musuh tadi, kau seperti kupu-kupu
memain di antara bunga-bunga, kau bukan seperti sedang

483
piebu, kau mirip tengah menarikan tarian Puteri Kahyangan
Menyebar Bunga. Ya, sungguh indah!"
"Ah, kau memuji saja," kata Sin Cu. "Kalau kau main puji
terus, tak suka aku bicara terlebih jauh!"
"Memangnya aku salah omong?" Keng Sim tanya. "Taruh
kata pujianku kurang, kau tak usah gusar. Sebenarnya, aku
memikir untuk minta kau mengajari aku..." Sin Cu tertawa.
"Kau lebih tua daripa-daku, ilmu silatmu tinggi,
pengetahuanmu luas, jikalau aku yang meminta pengajaran
dari kau, barulah pantas!" kata dia. "Kenapa kau begini
sungkan?"
"Bukan begitu, Ie Siangkong," Keng Sim kata. "Di
kalangan Rimba Persilatan, pantas orang saling mengajari.
Kau ajari aku apa yang kau bisa, aku ajari kau kebisaanku,
bagus bukan? Maka sebentar malam, kau datanglah ke
kemahku, kita nanti pasang omong selama satu malam,
tentang ilmu silat. Tidakkah itu bagus? Orang dulu pun bilang,
'Mendengar tuan berbicara satu malam, lebih menang
daripada membaca buku sepuluh tahun!. Demikian kita, pasti
kita akan peroleh banyak kefaedahan."
Kembali merah parasnya Sin Cu.
"Ah, kau ngaco!" katanya. "Siapa mau berada dengan kau
dalam sebuah kemah di waktu malam? Jikalau kau datang ke
kemahku, akan aku tikam kau!"
"Oh!" Keng Sim berpura kaget. "Saudara, kenapa kau
begini marah? Bukankah di waktu pertama kali kita datang,
kita sama-sama mengambil sebuah kemah?"
Sin Cu sadar bahwa kembali ia bersikap keliru, lalu sebisabisa
ia tenangi hatinya.

484
"Sebenarnya aku paling tidak suka berdiam dalam sebuah
kemah dengan orang lain," ia menerangkan, sabar. "Di waktu
kita pertama datang, itulah lain. Aku terpaksa karena
tempatnya buruk..."
Ia ingin berlaku tenang supaya tidak membuka rahasia,
tetapi ia tetap likat.
Keng Sim tertawa. Ia bukan satu pemuda ceriwis. Ia
mengajak Sin Cu pasang omong seantero malam untuk
menguji saja. Melihat sikap orang, tahulah ia pemuda di
depannya ini sebenarnya seorang pemudi. Karena ini, ia tidak
mau mendesak lebih jauh.
"Karena kau menampik aku si bau, saudara, pasti aku tidak
berani datang ke kemahmu," katanya bersenyum. "Biarlah
selang dua hari lagi, kita pasang omong di sini saja. Perompak
telah membikinkan kita gelanggang luas ini, di sini aku nanti
minta pengajaranmu."
Sin Cu tetap tidak tenang hatinya. Tahulah ia sekarang
yang Keng Sim sudah ketahui rahasianya. Syukur untuk ianya,
pemuda itu tidak mengganggu padanya.
Sebentar lagi mereka sudah tiba di wilayah gunung. Di sana
pasukan-pasukan yang menang telah berkumpul. Keng Sim
dapat melihat sutee dan sumoay-nya, adik seperguruan pria
dan wanita, ia lekas menemui mereka itu.
Seng Hay San dan Cio Bun Wan sudah membantu tentara
rakyat membelai kota Tayciu. Selama dua bulan, beberapa kali
mereka berhasil memukul mundur kaum perompak kate
(pendek). Karena pergerakannya Cong Liu dan pihak
perompak membantu pihaknya yang menghadapi Cong Liu itu,
kota Tayciu menjadi tidak terancam bahaya lagi. Maka mereka

485
berdua dapat kesempatan membawa pasukan rakyatnya
membantu Cong Liu. Kebetulan untuk mereka, Cio Keng To
pun pulang, maka guru dan murid-murid dapat bertemu dan
lantas bekerja sama.
Bun Wan masih ingat Sin Cu, yang telah permainkan
padanya, ia bersikap tawar, ia tak memperdulikan-nya. Sin Cu
tidak mendongkol, bahkan dalam hatinya, ia tertawai nona itu.
Diam-diam ia menyingkir dari Keng Sim, ketika Keng To cari
ia, untuk diajak bicara ia sudah nelusup di antara orang
banyak. Sementara itu di antara tentara rakyat ada seorang
yang rupanya ada asal kota Tayciu, dia senantiasa mengawasi
Tiat Keng Sim. Sin Cu dapat lihat kelakuan orang itu, ia
menjadi heran, tetapi karena ia lagi menyingkir, orang itu
lantas lenyap dari pandangan matanya.
Malam itu tangsi tentara rakyat ramai bukan main.
Penduduk berdekatan pun datang berduyun-duyun
menggotong daging babi dan kerbau yang mereka sembelih,
beras dan arak, untuk menghadiahkan tentara itu. Yap Cong
Liu mem-persilahkan Cio Keng To, Pit Kheng Thian, Tiat Keng
Sim dan Ie Sin Cu duduk di kursi tetamu, ia sendiri menemani
dengan duduk di sebelah bawah. Kemenangan itu ia anggap
ada jasa besar dari empat tetamu itu.
Keng Sim berdua Sin Cu merasa tidak selayaknya menerima
jasa, hati mereka tidak tenang. Kheng Thian sebaliknya
omong banyak sama Cong Liu mengenai rencana mereka
selanjutnya. Bahkan habis menenggak beberapa cawan arak,
hingga ia rada sinting, toaliongtauw ini kata sambil tertawa:
"Yap Toako, pandai sekali kau mengatur tentara, maka di
belakang hari, kita semua sangat mengandal padamu!" Ia
memuji orang tetapi itulah saran tak langsung agar orang
nanti bekerja sama dengannya.

486
Keng Sim tidak puas dengan pernyataan orang itu tetapi
karena orang lagi dipengaruhi air kata-kata dan dia pun
memuji kemenangan mereka, sedang itu waktu mereka lagi
berpesta, ia tidak bilang suatu apa. Untuk menghibur diri, ia
pun minum araknya. Ia berada di samping Sin Cu, diam-diam
ia senantiasa melirik si nona.
Sin Cu tahu kelakuan orang, ia masgul, maka itu, dengan
alasan tidak dapat minum banyak, ia minta perkenan untuk
undurkan diri, guna beristirahat. Di kemahnya, ia tidak dapat
tidur, pikirannya terus tidak tenang. Ia malu mendongkol
sendirinya karena kata-kata Keng Sim. Ia hendak menjaga
supaya orang tidak datang ke kemahnya itu, karena itu, ia
tidak membuka pakaian lagi dan pedangnya diletakkan di
bawah bantal. Ia bercokol di atas pembaringan dengan
hatinya terus bekerja.
Beberapa kali bayangan Thio Tan Hong, Tiat Keng Sim dan
Pit Kheng Thian seperti berkelebat di depan matanya. Ia
membandingkan gurunya dengan Keng Sim dan Kheng Thian
itu. Ia anggap gurunya bagai gelombang laut dan Keng Sim
seperti air telaga yang mati. Dan Kheng Thian bagaikan air
curuk yang tumpah ke bawah. Air tumpah itu mungkin
mengalir ke laut, mungkin juga ke telaga, hingga jadi air mati
juga. Mungkin ada yang menyukai air tumpah tapi orang itu
bukanlah ia. Ia merasa Kheng Thian itu menjemukan tetapi
juga Keng Sim tak mendatangkan rasa sukanya, apapula Keng
Sim telah mengetahui rahasia penyamarannya.
Ruwet pikirannya nona umur tujuh belas tahun ini. Sampai
jam tiga, ia masih belum tidur pulas. Maka ia ketahui,
berisiknya pesta mulai sirap dan itu diganti dengan derupnya
angin laut, dengan damparannya gelombang. Ia sampai
ngelamun bagaikan gurunya menggapai kepadanya, hingga ia
merasa di dalam dunia ini, kecuali gurunya itu, tidak ada lagi

487
orang yang "berdekatan" dengannya. Puas ia kapan ia ingat
gurunya.
Tiba-tiba Sin Cu ingat: "Hari ini perompak telah dilabrak
hampir musnah, walaupun di beberapa tempat masih ada
beberapa rombongannya, jumlah mereka kecil sekali, mereka
tidak dapat dikuatirkan pula. Di pihak kita ada bala bantuan
dari Ciu San Bin, apabila bantuan itu sudah tiba, kekuatiran
sudah tidak ada lagi. Maka itu apa perlunya aku berdiam di
sini lebih lama? Kenapa aku tidak mau pergi mengikuti suhul
Tentu saja, tidak dapat aku pergi dengan berterang, Cong Liu
tentulah bakal menahan dan Keng Sim serta Kheng Thian
pasti akan menggerecoki aku..."
Ia berdiam, lalu berpikir, berdiam pula, berpikir kembali. Ia
terganggu ragu-ragunya. Di akhirnya, ia turun dari
pembaringannya, ia rapikan pakaiannya, kemudian ia
benahkan juga buntalannya. Sebelum berlalu dengan diamdiam,
ia menulis sepucuk surat perpisahan untuk Cong Liu.
Malam itu rembulan guram.
Kemah Sin Cu dekat dengan kemah Keng Sim, jaraknya
tidak ada setengah lie. Itu waktu, si nona lihat ada sinar api di
kemah sahabat itu. Ia pikir, rupanya pemuda itu pun belum
tidur. Maka ia pikir pula, baik ia lewat di sana dan
meninggalkan tapak kakinya di luar kemah orang. Biar
bagaimana, Keng Sim toh kenalannya. Ia lantas menuju ke
kemah itu. Untuk tidak meninggalkan suara, ia lari dengan
ilmu ringan tubuh. Anehnya, ia ingin melihat bayangan
pemuda itu...
Di samping kemah ada pepohonan lebat, selagi lewat di
situ, Sin Cu dengar suara orang bicara pelahan. Ia pun segera
mengenali suaranya Keng Sim. Ia jadi terlebih heran pula.

488
Pikirnya: "Sudah malam begini dia belum tidur, dia pun kasakkusuk
sama orang lain, apa dia bikin?"
Karena ingin ketahui, Sin Cu lompat naik ke sebatang
cabang pohon. Ia tidak mengasi dengar suara apa-apa. Untuk
ringan tubuh, ia menang jauh daripada pemuda she Tiat itu.
Segera ia kenali kawan bicara Keng Sim itu adalah orang dari
Tayciu tadi.
"Ong An, kau bukan berdiam di Tayciu melayani looya, mau
apa kau datang kemari?" demikian suaranya Keng Sim.
"Pasukan rakyat toh tidak memerlukan seorang sebagai kau?"
"Looya yang mengirim aku untuk menyampaikan pesan
lisan," sahut Ong An itu. "Tadi siang ada banyak orang tidak
leluasa untuk kita berbicara."
"Kabar apa itu yang kau bawa?" Agaknya dia heran.
"Looya pesan jangan kongcu bercampuran sama tentara
rakyat," menerangkan Ong An. "Looya bilang di dalam
pasukan rakyat terdapat segala macam orang sampaipun
segala penjahat, mereka itu berkumpul cuma dengan alasan
melawan perompak."
"Tentara negeri tidak lawan perompak, kalau sekarang
rakyat bertindak sendiri, bukankah itu baik?"
"Walaupun demikian tetapi pembesar negeri tidak memikir
begitu. Looya bilang, Keluarga Tiat keluarga berpangkat, tak
perlu kita bercampuran sama penjahat, kalau mereka
menerbitkan huru hara, kita bakal kena terembet-rembet,
itulah berbahaya. Maka Looya ingin kongcu mengarti jelas."
Keng Sim berdiam, tetapi hatinya memikiri Cong Liu
beramai, yang ternyata jujur dan bekerja sungguh untuk

489
rakyat jelata dan negara. Ia kagumi Cong Liu itu meski benar
ia merasa, ia bukan golongannya. Lain lagi adalah Kheng
Thian. Ingat Kheng Thian, ia ingat kata-kata orang tadi di
medan pesta. Ia menerka: "Dia jangan-jangan bukan seperti
orang jahat yang kebanyakan, mungkin dia bercita-cita
merampas kerajaan Beng. Dalam hal ini, kekuatiran ayah
beralasan, ayah berpandangan jauh..."
"Looya ingin kongcu segera pulang," Ong An kata pula.
"Sekarang perompak sudah dapat disapu, maka aku pikir,
seperti kata kongcu tadi, pasukan rakyat juga tidak
memerlukan kongcu satu orang. Baiklah kongcu pulang agar
looya tidak buat pikiran."
Keng Sim berdiam, dia bersangsi. Dia bukan tidak ingin
meninggalkan tentara rakyat, dia hanya pikirkan Sin Cu.
"Baiklah kongcu cepatan mengambil putusan," Ong An si
hamba mendesak.
"Nanti aku pikir dulu. Apakah looya di Hangciu baik?"
"Looya berdiam di kantor butay. Dia bernama Wie Cun
Teng. Ingatkah kongcu akan dia?"
"Ya. Dialah muridnya looya. Dia juga murid looya yang
pangkatnya paling tinggi."
"Benar. Syukur dia masih ingat Looya, mengetahui looya
tinggal di Hangciu, dia lantas menyambut dan mengajak looya
tinggal di kantornya. Sempurna sekali rawatannya."
“Itu bagus, Ong An. Sekarang pergilah kau pulang.
Umpama kata aku hendak berangkat, sedikitnya mesti lagi dua
hari."

490
"Dua hari pun baik. Looya masih memesan satu hal lagi."
"Apakah itu?" Keng Sim lantas membade-bade.
"Looya telah dapat menerima firman rahasia dari Sri
Baginda, maksudnya agar looya menitahkan kongcu
membantu komandan Gielimkun menawan seorang penjahat
yang dicari Sri Baginda..."
“Ini aneh! Apa hubungannya itu dengan aku? Aku
bukannya hamba negeri. Raja pintar, kenapa dia berbuat
setolol ini? Mungkin kau salah dengar..."
"Tidak salah, kongcu. Penjahat itu bukan lain hanya guru
kongcu , si orang she Cio,"
"Apa, guruku penjahat yang dicari raja?"
"Benar. Firman itu dibawa sendiri oleh Law Tong Sun,
komandan Gielimkun, dia menyerahkan kepada butay dan
butay menyampaikan kepada looya. Katanya Cio Loosu itu
pada tiga puluh tahun yang lampau pernah mengacau keraton
dan sudah mencuri pedang mustika. Sekarang dia sedang
dicari."
Keng Sim menjublak seperti dikageti guntur. Segera ia
ingat gurunya, dengan siapa baru saja ia bertemu pula.
Segera ia ingat kejadian pada sepuluh tahun berselang. Ketika
itu ia adalah bocah umur dua belas tahun, ayahnya
memangku pangkat giesu atau censor di kota raja. Tidak ada
orang yang kendalikan padanya, maka di samping belajar
surat, ia belajar silat sama cintengnya. Dia tinggal di dalam
kota tetapi dia pun punya pila di luar kota, ke sana dia pergi
beristirahat bersama saudaranya sepupu. Dia pergi di musim
panas, di musim rontok dia kembali ke kota. Di pila dia
semakin merdeka. Yang terbelakang, dia ada punya dua guru

491
silat baru, yang satu ahli toya Jielong pang, yang lain pandai
Tiatsee ciang, Tangan Pasir Besi. Keng Sim pernah lihat
orang menghajar batu dengan tangannya hingga batu itu
hancur lebur. Dia gemar sekali belajar silat, walaupun sudah
sampai musim rontok, dia berat meninggalkan pilanya itu,
yang pernahnya di pesisir.
Pada suatu malam terjadilah suatu perampokan. Beberapa
cinteng kena dikalahkan. Kedua guru silat yang baru tak
nampak. Keng Sim hendak dibekuk tapi dia lincah, dia bisa
lari-larian. Satu penjahat habis sabar, dia hendak dipanah.
Justeru itu terdengar satu seruan panjang, tiba-tiba di situ
muncul seorang nelayan tua yang kumisnya panjang. Cuma
dengan satu gerakan, ia dapat merampas busurnya si
penjahat. Penjahat itu dan kawan-kawannya menjadi gusar,
mereka menyerang. Nelayan itu menghunus pedangnya, ia
melawan. Dalam beberapa gebrakan saja, habis sudah semua
senjata penjahat, kena ditabas kutung pedang nelayan tua itu.
"Pedangku tidak membinasakan segala kurcaci, lekas kamu
pergi!" ia membentak.
Takut semua penjahat itu, mereka mengangkat kaki.
Tinggallah cinteng-cinteng, yang rebah merintih di tanah,
tidak dapat bangun.
Nelayan tua itu tertawa, ia pegangi tangan Keng Sim untuk
diawasi, lalu ia menghela napas dan berkata: "Sayang,
sayang, bakat begini baik dibikin gagal oleh segala guru tidak
keruan..."
Justeru muncullah kedua guru silat yang baru, dengan
roman sungguh-sungguh mereka kata: "Loosuhu benar, kita
memang datang untuk gegares. Selayaknya kita mengangkat
kaki dari sini tetapi kita tidak tahu diri, kita mohon loosuhu
suka membuka mata kita." Mendadak mereka menyerang dari

492
kiri dan kanan, senjatanya yang satu ialah tongkat kayu
diarahkan ke batok kepala, yang lain dengan tangan besinya
ke bebokong. Si nelayan tua menangkis tongkat, hingga
tongkat itu patah dua dan penyerangnya roboh. Serangan
yang satunya mengenai tepat.
Keng Sim masih bocah tetapi ia tahu membedakan
perbuatan jahat dan baik, dia menjadi gusar, dia lantas tegur
guru silat Tiatsee ciang itu. Sebaliknya guru itu memegangi
tangannya seraya mulutnya mengeluh kesakitan.
"Engko kecil, tidak usah kau damprat dia, dia sudah cukup
menerima bagiannya," kata si nelayan sambil tertawa.
Sekarang terlihat nyata, tangan guru silat itu bengkak,
tangannya itu dikasi meroyot turun, sedang lima jarinya kaku,
tidak dapat ditekuk-tekuk. Tidak saja tangan itu tidak dapat
digunai lagi, seluruh kepandaian silatnya pun telah musnah.
Setelah itu, semua guru silat pergi. Keng Sim minta si
nelayan jadi gurunya tetapi si nelayan mengajukan satu
syarat. Ia sebenarnya bersedia sekalipun untuk sepuluh
syarat. Nyatanya, syarat itu pun enteng, ialah si nelayan ingin
Keng Sim jangan buka rahasia dia menjadi gurunya, rahasia
mesti ditutup sekalipun terhadap ayah ibu dan saudarasaudaranya,
atau ia tidak bakal datang lagi.
Keng Sim tanya kalau-kalau si nelayan menghendaki ia
turut guru itu pergi ke suatu tempat, si nelayan tertawa dan
kata: "Mana bisa aku ajak-ajak kau satu kongcu, puteranya
seorang berpangkat? Tidakkah aku disangka menculikmu?"
Lantas Keng Sim tanya, bagaimana dia hendak diajari silat.
"Aku tahu kau bakal pulang ke kota, sekarang aku ajarkan
kau pokok dasarnya saja," menerangkan si nelayan. "Selama

493
satu tahun, kau terus pelajarkan ini, nanti lain tahun, kau
datang pula ke mari, aku nanti datang juga menemui kau."
Keng Sim memegang janji, ia menutup mulut. Di lain
tahunnya, ia pergi ke pila dengan mengajak satu budak
kepercayaan. Benarlah, si nelayan pun muncul. Tapi dia tidak
mengajari silat di pila hanya di gubuknya di tepi laut. Keng
Sim dipesan memakai alasan pesiar untuk datang ke gubuknya
itu. Nelayan itu ada punya satu anak perempuan umur
delapan tahun, anak itu disuruh belajar sama-sama Keng Sim.
Baru itu waktu, Keng Sim ketahui gurunya itu she Cio dan
namanya Keng To dan si nona bernama Bun Wan. Sejak itu
setiap tahun tiga bulan lamanya Keng Sim belajar sama si
orang tua, dan waktu selebihnya ia pakai berlatih di rumah
sendiri. Cuma kadangkadang
saja guru itu tengok ia di waktu malam di pilanya. Ke
rumah di kota, tidak pernah sekali jua guru itu datang.
Selama itu, tujuh tahun berselang. Banyak perubahan telah
terjadi. Di antaranya, Keng To menerima lagi satu murid, ialah
Seng Hay San anak nelayan. Ayah Keng Sim berhenti bekerja
dan pulang ke rumahnya. Keng Sim pun lulus ujian sebagai
siucay. Setiap tahun Keng Sim tetap pergi ke pilanya, di sana
terus ia belajar silat. Di rumahnya ia ada punya guru silat yang
baru, hanya dengan pelabi saja, ia belajar sama guru itu.
Sampai sebegitu jauh, tidak ada orang yang ketahui ia pandai
silat.
Adalah di musim semi di tahun ke tujuh itu barulah kaum
perompak mulai mengganggu keamanan di pesisir. Suatu hari
Keng Sim melabrak serombongan perompak yang lagi
mengganas, karena itu baru orang tahu ia gagah. Lantas
namanya tersiar sampai pun ayahnya, Tiat Hong,
mengetahuinya. Maka pada suatu malam ia dipanggil ayah
dan ditanyakan. Ia memang berbakti, ia lupa pesan gurunya,
ia membuka rahasia. Ayahnya girang dan kaget. Girang sebab

494
anaknya liehay, dan kaget sebab ia kuatir anak itu bersahabat
sama kaum kangouw yang sesat.
Di musim panas tahun itu, Keng Sim pergi ke pilanya
seperti biasa. Tapi kali ini gurunya tidak ada. Ketika ia tanya
Bun Wan, nona itu bilang memang ayahnya suka pergi tanpa
ketentuan, entah kapan pulangnya. Tiga bulan Keng Sin,
menanti di pilanya, ia menanti dengan sia-sia saja. Demikian
seterusnya, baru sekarang ia bertemu guru itu di medan
pertempuran. Pula, baru sekarang ia tahu rahasia gurunya,
yang telah dicari pemerintah karena mencuri pedang di dalam
istana. Demikianlah, mendengar kata-kata Ong An, Keng Sim
berdiam. Ia cerdik tetapi ia mati daya. Dalam Rimba
Persilatan, melawan guru adalah kejahatan tak berampun.
Sebaliknya, titah kaisar tidak dapat ditentang.
Sin Cu dari tempat sembunyinya terus memasang mata. Ia
lihat orang jalan mundar-mandir, tanda dari ruwetnya pikiran.
Dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar dehem-nya Ong An.
Dia berkata: "Kongcu telah banyak membaca kitab, pastilah
kongcu ketahui baik perihal perbedaan tingkat derajat
manusia."
"Bocah umur tiga tahun pun mengetahui tingkatnya langit
dan bumi, raja, orang tua dan guru," sahut Keng Sim. "Perlu
apa kau menanyakan itu?"
"Dengan begitu, kecuali langit dan bumi, rajalah yang
teratas," berkata Ong An. "Habis itu baru persanakan antara
ayah dan anak, dan pertalian di antara guru dan murid ialah
yang terendah." Mendengar itu, Keng Sim menggigil.
"Jadi kau hendak mengajari aku melawan guruku?" ia
membentak. Dia pun heran budak ini bisa bicara demikian
rupa. Dia tidak tahu, Ong An telah diajari ayahnya.

495
"Mana budakmu berani mengajari kongcu menjadi
manusia tidak berbudi?" berkata budak itu. "Hanya
budakmu tidak sudi melihat kongcu menjadi satu menteri tidak
setia berbareng satu anak puthauw."
"Jadi kau maksudkan, kalau aku tidak menjalankan bunyi
firman, ayahku akan terancam bahaya?" Keng Sim tanya. Ia
pun tidak sudi jadi anak puthauw atau tidak berbakti.
"Memang dikuatirkan rumah kita disita atau entengnya kita
kena terembet," Ong An jawab.
Mukanya Keng Sim menjadi pucat, ia jadi semakin bingung.
"Sebenarnya sekarang ini looya pun telah ditahan secara
halus di kantor butay," Ong An berkata pula. "Keselamatan
looya itu bergantung kepada kongcu seorang."
"Bukankah kau bilang butay ada murid ayah yang terbaik?"
Keng Sim tanya.
"Sudah tiga puluh tahun budakmu mengikuti looya, aku
ketahui baik penghidupan di kalangan pembesar negeri,"
berkata Ong An. "Kalau bahaya mengancam, makin tinggi
pangkat seseorang, makin kentara orang tak menghiraukan
persahabatan. Pikir saja, raja tinggal di dalam keraton, mana
dia ketahui Cio Keng To itu guru kongcu?"
"Benar. Habis, adakah firman itu firman palsu?"
"Mana bisa firman itu palsu? Adalah kongcu yang tidak tahu
kenyataan dalam urusan pembesar negeri. Law Tong Sun itu
mendapat tugas menangkap orang jahat dalam
kedudukannya sebagai komandan Gielimkun, sudah pasti ia
bawa bersamanya kertas kosong yang sudah dicap dengan
cap kerajaan, untuk tinggal diisi saja. Kabarnya Law Tong Sun

496
yang ketahui halnya Cio Loosu serta di mana adanya Cio
Loosu itu. Law Tong Sun sendiri tidak berani menangkap Cio
Loosu, dia pakai pengaruh firman untuk desak butay serta
looya. Maka kalau kongcu tidak suka membantu, bukan cuma
looya bakal susah tapi juga butay. Bahkan mungkin Law Tong
Sun bakal datang ke mari."
"Kalau aku khianati suhu, pasti aku bakal dicaci orang
gagah di kolong langit ini..." Keng Sim berkata.
"Dan kalau looya dapat susah, dosa kongcu sebagai anak
puthauw tidak dapat dicuci bersih dengan air sungai
Tiangkang," berkata Ong An.
"Sudah, jangan bicara pula!" Keng Sim membentak,
tangannya dikibaskan. "Pergi kau pulang, urusan ini aku
hendak pikirkan pula masak-masak."
Sin Cu kagum dan berkuatir.
"Malam ini akan ada putusannya, Keng Sim seorang gagah
sejati atau satu manusia hina dina!" pikirnya.
Sin Cu paling menghormati gurunya, maka itu, biar
bagaimana, perbuatan menjual guru untuk mendapatkan
pangkat besar adalah dosa tak berampun. Apapula Cio Keng
To itu orang gagah kenamaan yang seimbang dengan
gurunya.
Dalam kesunyian sang malam itu tiba-tiba terdengar siulan
yang panjang disusul dengan nyanyian yang tedas: "Tidak
mengecewakan pedang tajam tiga kaki setelah tua jantung
nyali jadi semakin dingin!" Lalu terlihat orangnya, yang
tangannya menyentil-nyentil pedang. Dialah Cio Keng To!
Hati Keng Sim gon-cang. Ia lantas menyambut.

497
"Suhu belum tidur?" tanyanya.
"Aku merasa sangat puas dengan peperangan hari ini!"
sahut guru itu sambil tertawa, tangannya masih menyentil
pedangnya. "Aku gembira hingga aku tidak dapat tidur pulas.
Kita berdua pun sudah tiga tahun tidak pernah bertemu, tadi
siang tidak sempat kita berbicara, sekarang sengaja aku
tengok. Kiranya kau pun belum tidur. Ah, kau kenapa-kah?
Aku lihat kau kurang sehat. Mungkinkah tadi berperang letih
sekali?"
"Ya, aku merasa letih, suhu," sahut Keng Sim, hatinya
memukul. "Tapi tidak apa. Suhu, adakah pedangmu pedang
mustika?"
Keng To tertawa terbahak.
"Apakah kau suka pedang ini?" dia tanya. “Ilmu pedangmu
maju banyak, tidak demikian dengan Bun Wan dan Seng Hay.
Aku tidak nyana ilmu pedang keluarga Cio terwariskan kepada
lain she" Ia berhenti sebentar. "Selama dua tahun ini, aku
telah dapat menciptakan beberapa jurus istimewa. Besok, bila
ada waktunya yang luang, akan aku turunkan semua itu
kepada kau, supaya kau dapat mewariskannya."
Di antara tiga muridnya, berikut gadisnya, Keng To paling
menyayangi Keng Sim. Tadinya, karena orang ada anak orang
berpangkat, tidak mau Keng To omong terus terang, tetapi
tadi ia telah menyaksikan sendiri kegagahan muridnya itu,
sedang Yap Cong Liu pun telah memuji tinggi, ia anggap ia
tidak salah melihat, maka hendak ia mewariskan semua
kepandaiannya, untuk angkat murid ini jadi ciangbunjin, murid
kepala yang mewariskan ilmu silat Keluarga Cio.

498
Biasanya Keng Sim girang bukan main mendapat pelajaran
baru dari gurunya, tentu-tentu ia lantas paykui menghaturkan
terima kasihnya, kali ini ia merasa tidak tenang, ia malu
sendirinya, punggungnya serasa ditusuk-tusuk. Keng To lihat
itu, ia nenjadi heran murid ini bagaikan hilang semangat.
"Apakah kau kurang sehat?" ia tanya, halus.
Keng Sim tidak menjawab, hanya dengan hati kebat-kebit,
ia balik menanya: "Suhu, dari mana suhu dapatkan pedangmu
ini?"
Keng To terkejut.
"Perlu apa kau menanyakan ini?" ia pun balik menanya.
"Tidak, tidak apa-apa..." sahut murid itu tidak lancar.
"Siapa yang suruh kau menanyakan?" tanya lagi sang guru,
keras.
"Tidak, tidak ada yang suruh, suhu," sahut Keng Sim.
Keng To segera menatap muridnya itu.
"Ketika pertama kali kau angkat aku jadi guru, kau pernah
bilang kau akan dengar segala perkataan gurumu!" ia berkata.
"Masihkah kau ingat itu?"
“Ingat, suhu."
"Kalau begitu, kenapa sekarang kau hendak mendustakan
gurumu? Kenapa kau menanyakan tentang pedangku ini?"
"Suhu, maafkan muridmu," kata Keng Sim kemudian.
"Benarkah pedang ini dapat dicuri dari istana?"

499
"Memang! Memang barang curian!" sahut Keng To terus
terang. "Benda mustika disimpan saja di dalam istana, itulah
artinya mensia-siakan. Apakah tidak tepat aku mengambil ini?"
Keng Sim tidak berani bersuara.
Keng To sentil pedang di tangannya. Segera pedang itu
mengasi dengar suara nyaring dan panjang bagaikan naga
bersenandung dan harimau menggeram. Terus ia dongak dan
tertawa lebar. Ia pun kata: "Buat guna pedang ini aku telah
buron ke empat penjuru dunia, tidak pernah aku menyesal!..."
Habis itu, ia mengawasi muridnya. Ia kata: "Lekas bilang,
siapa yang suruh kau menanyakan?"
"Tongnia Law Tong Sun dari Gielimkun," sahut Keng Sim
akhirnya.
"Dia ada di mana?" Keng To tanya. "Suruh dia yang datang
sendiri padaku!"
"Dia paksa ayahku dan ayahku memaksa aku," sahut sang
murid. "Ayah suruh aku menangkap Suhu..."
Keng To tertawa dingin.
"Menangkap aku?" dia mengulangi. Segera dia sadar, maka
dia menambahkan: "Aku mengarti sekarang! Jikalau kau tidak
tangkap aku, dia bakal bikin ayahmu celaka! Benarkah
begitu?"
Keng Sim menangis.
"Benar," sahutnya.

500
"Sekarang ini ayahku telah ditahan secara halus di kantor
butay ”
"Bagus, beginilah lelakon kita guru dan murid!" berkata
Keng To. "Sekarang kau bicara terus terang, kau hendak
berbuat bagaimana? Benarkah kau hendak ambil darah di
leherku untuk dipakai menyemir merah kopia hitam di batok
kepala ayahmu?"
Keng Sim menangis terus.
"Teecu tidak berani," ia menyahuti.
"Satu laki-laki mengucurkan darah tidak mengalirkan air
mata!" berkata Keng To kemudian. "Aku Cio Keng To, aku
telah berani mengacau di istana, biarpun langit ambruk, aku
tidak takut! Buat apa kau menangis? Kenapa kau takut? Lekas
bilang, sebenarnya kau hendak bertindak bagaimana?"
"Suhu," menjawab murid itu. "Kepandaian suhu sudah
sampai di batasnya kemahiran, orang yang dapat merendengi
kegagahan kau, tidak ada seberapa lagi, dari itu, suhu sudah
tidak membutuhkan pedang lagi. Suhu , kenapa untuk
semacam pedang kau sudi menerima dosa sebagai
pemberontak?"
Keng Sim menangis terus. Keng To berdiam.
"Kita bukan orang luar, tidak usah kita bicara banyak lagi!"
katanya, bengis. "Sekarang bilang, kalau menurut kau, aku
harus bertindak bagaimana?"
"Suhu," jawab murid itu, "baiklah suhu serahkan pedang
padaku, nanti aku mengembalikannya ke istana, untuk minta
sri baginda menarik pulang titahnya. Tidakkah itu baik untuk
kedua belah pihak?"

501
"Bagus, sungguh pikiran yang bagus!" kata Keng To dingin.
Sementara itu, ia ada sangat berduka. Ia sudah pikir untuk
menyerahkan pedang kepada muridnya ini, siapa sangka
rahasianya terbuka dan muridnya itu anggap perbuatannya
perbuatan mendurhaka, memberontak, hingga ia diminta
menyerahkan pulang pedangnya itu melulu untuk
kesempurnaan hidup mereka. Tentu saja penyerahan berarti
pelanggaran kepada pantangan Rimba Persilatan. Ia sudah
memikir untuk menolongi Tiat Hong, guna ajak dia dan Keng
Sim pergi buron, siapa tahu, Keng Sim telah mengutarakan
sarannya ini.
Keng Sim mengawasi gurunya itu, yang ia lihat seperti
sudah berubah menjadi seorang lain, romannya bermuram
durja, sebagai juga guru itu sudah tidak mengenali dia. Ia jadi
merasa sangat tidak tenang.
"Suhul..." katanya.
"Aku bukan gurumu lagi!" jawab Keng To, suaranya tapinya
tenang, mungkin saking murkanya yang tertahan.
"Suhu, kau..." kata pula si murid.
"Jangan banyak omong!" menyanggapi guru itu. "Kau bawa
pergi pedang ini!" Ia cekal gagang pedang, ia angsurkan itu ke
muka muridnya hingga mata orang kabur dan hatinya
terkesiap. Keng Sim tidak berani menyambuti.
"Kau ambil!" Keng To membentak. "Biarlah kau jadi orang
setia dan berbakti yang sempurna! Kenapa kau belum mau
ambil juga?"
Dengan hati kebat-kebit, Keng Sim angkat sebelah
tangannya.

502
Keng To segera berkata: "Pedang ini aku serahkan pada
kau, maka ilmu silat yang aku ajarkan kau, kau mesti
kembalikan padaku!"
Di kolong langit ini tidak ada guru yang meletaki senjata
kepada muridnya. Hal ini barulah Keng Sim ketahui. Pantas
gurunya mengatakan bahwa dia bukannya guru lagi. Murid itu
mengucurkan air mata deras, ia menangis sesenggukan.
"Muridmu bersalah, pantas suhu menegurkan," ia berkata.
"Aku minta suhu jangan usir aku dari rumah perguruan..."
"Hh!" guru itu bersuara, bengis, wajahnya merah padam.
"Mana aku ada punya rejeki mendapatkan murid bagus
semacam kau! Kau tentunya menganggap tidak berarti itu
sedikit pelajaran yang aku telah berikan padamu... Akan aku
ambil pulang pengajaran yang aku berikanmu, selanjutnya,
kita masing-masing ambil jalan sendiri. Pedang ini kau
persembahkan kepada raja, hitunglah ini sebagai barang
presenanku yang terakhir untukmu. Seumurku, aku
membilang satu, tidak dua! Kenapa kau masih tidak mau ambil
pedang ini?"
Keng Sim sangat berduka ia menjadi serbah salah. Kalau ia
tidak menyambuti pedang, ia menjadi tidak berbakti, biarnya
keluarganya tidak disita, sedikitnya ayahnya bakal kerembet
dan mendapat malu. Kalau ia menyambuti, maka habislah
perhubungan guru dengan murid, dan habis juga ilmu
silatnya. Pada otaknya segera berbayang aksi gurunya yang
memberi hajaran kepada cintengnya. Ia lantas menggigil
sendirinya.
"Orang terhormat mesti pandai mengambil putusan!" Keng
To berkata pula. "Kau kenapa begini cupat pikiranmu? Kau

503
ambil pedang ini, kau kembalikan pelajaranku! Apakah kau
merasa dirugikan aku?"
Guru ini balingkan pedang di muka muridnya dan tangan
kirinya diangkat, supaya begitu Keng Sim menyambuti
pedang, ia bisa menghajarnya. Asal ia dapat menepuk,
habislah kepandaiannya Keng Sim, dia akan jadi manusia
bercacad..."
Selagi begitu, Sin Cu di atas pohon pun bergidik. Hebat
pemandangan itu. Ia tidak bersimpati kepada Keng Sim tetapi
ia pun tidak tega menyaksikan ilmu silat orang hendak dibikin
musnah. Ia melihat tangannya Keng To turun dengan
pelahan-pelahan, siap untuk menepuk embun-embunan Keng
Sim begitu lekas Keng Sim menyambuti pedang mustika.
Saking ngeri, hampir nona ini menjerit.
Ia lantas merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur,
hingga sendirinya ia menutup rapat kedua matanya. Sunyi
waktu itu, atau tiba-tiba terdengar Keng To menghela napas
panjang. Sin Cu terkejut, belum lagi ia membuka matanya, ia
sudah dengar bergontrangnya suara pedang jatuh. Tempo ia
sudah melek, ia tidak lihat lagi Keng To, sedang Keng Sim
berdiri menjublak di bawah pohon, pedang menggeletak di
pinggir kakinya. Untuk sejenak si nona tercengang, tetapi
segara ia sadar. Keng To masih ingat ikatan guru dengan
murid, tidak tega dia menurunkan tangan telengas. Mengingat
dia menghela napas panjang, bisalah dimengarti
kedudukannya yang hebat. Masih lewat sekian lama tempat
sunyi senyap itu terbenam dalam kesunyian, baru kelihatan
tubuh Keng Sim bergerak, dengan pelahan-pelahan ia
membungkuk untuk menjumput pedang.
Hati Sin Cu kusut sendirinya. Ia merasa jemu tercampur
kasihan terhadap pemuda gagah itu. Ia merasa orang ia kenal
erat tetapi di lain pihak asing sekali... Ia menjadi serba salah.

504
Kembali sang waktu lewat. Atau mendadak, dari antara
pepohonan, muncul dua orang. Keng Sim merasa atas
datangnya orang itu, ia segera menoleh seraya mengangkat
kepala. Itulah Ong An si hamba setia serta seorang umur
empat puluh lebih, yang tubuhnya besar, yang mengenakan
baju tentara suka rela kota Tayciu, muka siapa
memperlihatkan wajah kelicikan, sedang kedua matanya
ditujukan kepada pedang mustika.
Si anak muda tidak kenal orang itu, sebaliknya dengan Sin
Cu, yang turut mengawasi. Nona ini terperanjat. Dia kenali
Tongnia Law Tong Sun dari pasukan pengawal raja pasukan
Gielimkun dengan siapa ia pernah bertarung!
Sambil tertawa haha-hihi, Law Tong Sun menghampirkan
Keng Sim, ia ulur sebelah tangannya akan menepuk-nepuk
pundak pemuda itu.
"Tiat Kongcu, kau telah berhasil?" katanya, seperti ia ada
satu sahabat kekal. "Kenapa itu bangsat tua kabur?"
Keng Sim mendelik. "Kau siapa?" ia tanya. "Barusan aku
lihat Cio Loosu datang," Ong An mendahului orang menjawab,
"oleh karena kuatir kongcu mendapat celaka, aku sudah lantas
mengundang Law Tayjin datang ke mari. Law Tayjin ini
memang datang bersama aku dari Tayciu. Harap kongcu
maafkan aku yang telah tidak lantas memberitahukannya.
Apakah Cio Loosu bentrok sama kongcu ? Apakah dia tidak
turun tangan?"
Keng Sim terkejut.
"Kaulah Law Tong Sun?" dia tanya.
“Itulah aku yang rendah," sahut Tong Sun sembari tertawa.

505
Tiba-tiba saja tangan Keng Sim terayun, hingga pedangnya
melesat.
"Pergi kau bawa pedang ini!" ia berseru. "Mulai sekarang
hingga selanjutnya, jangan kau datang pula menemui aku!" "
Tong Sun berkelit, tangannya menyamber pedang, terus ia
menyabet ke sampingnya di mana ada sebuah pohon, maka
batang besar pohon itu kutung. Ia tertawa dan memuji:
"Benar-benar pedang mustika dari istana! Ha, Tiat Kongcu,
jasamu ini bukan main besarnya!"
"Pedang telah ada ditanganmu, apakah kau masih tidak
mau pergi?" pemuda itu menegur.
Tong Sun tidak lantas pergi. Agaknya ia membelar. Lantas
ia tertawa.
"Memang pedang telah aku dapatkan akan tetapi
penjahatnya masih belum tertawan," ia kata. "Tiat Kongcu,
aku harap kau bekerja tidak kepalang tanggung, untuk
mengantar Sang Buddha harap kau mengantarnya sampai di
Langit Barat!"
"Apa katamu?" Keng Sim tegaskan.
"Tay gie biat cin, kongcu." menjawab kommandan
Gielimkun itu. "Apapula inilah cuma di antara guru dan murid.
Bangsat tua she Cio itu telah kehilangan pedangnya, dengan
mengandal tenaga kita berdua, dapat kita melayani dia.
Haha!"
Belum lagi kommandan itu sempat tutup mulutnya,
matanya Keng Sim sudah mendelik, kedua biji matanya seperti
mau lompat keluar. Kata-kata "tay gie biat cin" itu yang
berarti, sekalipun orang tua sendiri pun boleh dibinasakan

506
membuatnya murka bukan buatan. Melihat wajah orang yang
bengis itu, Tong Sun merasa jeri, tetapi sejenak saja, ia sudah
tertawa pula.
"Ayahmu di dalam gedung sunbu siang dan malam
memikirkan kau saja, kongcu," ia berkata pula, suaranya,
tingkahnya, dibikin-bikin. "Kalau ada sesuatu yang membikin
kau murka sebagai ini, hingga kesehatanmu terganggu,
pastilah ia akan berduka bukan main!"
Mendengar itu, Keng Sim ingat bahwa ayahnya masih di
tangan butay. Ia jadi ber-sangsi, hingga tangannya yang
hendak dipakai menyerang menjadi didiamkan saja.
Tong Sun tertawa pula.
"Kongcu ada seorang yang cerdik, jikalau sekarang kongcu
mendirikan suatu jasa besar, maka untuk kau selanjutnya, tak
usah lagi kau kuatirkan urusan pangkat dan penghidupan yang
berbahagia!" katanya lagi.
Dengan pengaruh kekuasaan, dengan pancingan
kedudukan mulia, Tong Sun hendak membikin pemuda itu
jatuh di bawah pengaruhnya, tetapi sampai di situ, ia berhenti
membuka mulutnya. Ia melihat wajah orang yang muram dan
lalu menjadi pucat.
"Oh, Thian!" berseru itu anak muda, seraya ia menepuk
dadanya, "kedosaan apa telah hambamu lakukan maka
sekarang orang pandang aku sebagai manusia hina dina?"
Tong Sun terkejut. Inilah ia tidak sangka.
"Jikalau aku temahak pangkat dan kesenangan!" pemuda
itu kata dengan nyaring, "kenapa aku tidak mau bawa sendiri
pedang ini ke kota raja kepada raja? Sudah cukup, jikalau lagi

507
kau ngaco belo, aku nanti adu jiwaku denganmu, biarlah aku
menjadi hamba tidak setia dan anak tidak berbakti!"
"Sabar, kongcu." kata Tong Sun dengan berani. "Bukankah
kita dapat bicara secara baik-baik? Kenapa kau bicara keraskeras,
berkaok-kaok?"
Keng Sim tidak gubris komandan Gielimkun itu, hanya
seorang diri ia berseru: "Suhu, suhu1. Kapankah aku bisa
bertemu pula denganmu untuk membeber hatiku ini?"
Sampai di situ, Tong Sun juga menjadi habis sabar, hingga
ia menyesal tidak bisa lantas mencekek leher orang, meskipun
begitu, tidak berani ia sembarang turun tangan, karena ia
tahu, dalam lima puluh jurus, belum tentu ia dapat
merobohkan pemuda itu yang liehay. Ia pun kuatir suara
berisik nanti mengasi bangun banyak orang di sekitarnya.
Bukankah ia telah mendapatkan pedang? Dengan membawa
pedang itu, kendati si penjahat belum tertawan, ia sudah
dapat bertanggung jawab.
Ong An sementara itu masgul sekali. Belum pernah ia
saksikan majikan mudanya demikian bersusah hati.
"Kongcu, mari kita pulang menemui looya," ia berkata
membujuk. "Baiklah kalau siang-siang kongcu menyingkir dari
ini tempat buruk...?"
"Kau juga pergi!" membentak si kongcu tiba-tiba.
"Semenjak hari ini, jangan kau melihat aku pula!"
Lantas pemuda ini menangis seraya menepuk-nepuk dada.
Ong An menjadi bingung.

508
"Kongcu-mu telah jadi gila, mari kita lekas pergi!" berkata
Law Tong Sun menyaksikan kelakuan orang itu. Tapi ia
sebenarnya kuatir Keng Sim menyebabkan bangunnya banyak
orang, hingga Ong An bisa dibekuk. Ia lantas sambar tangan
Ong An itu untuk ditarik diajak pergi.
Keng Sim menangis hingga ia merasa sangat letih
melebihkan pertempuran sama musuh tadi siang. Ia merasa
telah mendapat cacad yang seumurnya sukar ia singkirkan.
Sin Cu di tempat bersembunyi pun terharu. Ia lihat orang
numprak di tanah, kehilangan semangat, hingga pemuda itu
mirip dengan sebuah patung batu. Diam-diam ia menghela
napas. Tak tahu ia, ia merasa kasihan atau muak...
Ketika itu terdengar suara berisik yang mendatangi.
Mungkin dari pelbagai kemah datang orang yang tadi
mendengar suaranya keras dari si anak muda. Mendengar itu,
Sin Cu pun insaf akan halnya dirinya sendiri. Bukankah ia
hendak pergi menyingkir? Maka, tanpa ayal lagi, ia lompat
turun, untuk mengangkat kaki.
Keng Sim mendapat dengar suara pelahan sekali, segera ia
mengawasi, maka sekarang baru ia ketahui, di sana ada
seorang lain. Ia lantas mengawasi, samar-samar ia kenali Sin
Cu. Ia menjadi menjublak sendirinya.
Sin Cu lari terus turun gunung. Ia dapatkan sinar rembulan
dan bintang-bintang guram. Fajar belum lagi menyingsing
akan tetapi di tengah laut terlihat dua tiga ekor burung laut
sudah berterba-ngan mencari makanan. Di tepian, sang
gelombang mendampar gili-gili tak hentinya. Menampak itu,
hatinya pun ruwet. Ia ingat ia datang dengan gembira tapi
sekarang pergi dengan lesu. Ia menoleh ke arah Keng Sim, ia
seperti dengar pemuda itu memanggil-manggil padanya...

509
Kemudian pemudi ini memungut sebutir batu, ia timpuki itu
ke air laut, seperti kias bahwa ia membuang segala macam
kesannya...
***
Setelah fajar, air laut nampak bergelombang hebat,
suaranya bergemuruh, setiap kali tepian digempur, muncratlah
letikannya, bagaikan air hujan atau hancuran mutiara. Sin Cu
berada di tepian, bajunya terkena muncratan air. Hawa dingin
membikin hatinya terbuka. Maka tanpa merasa, ia
bersenandung dengan syairnya Su Tung Po "Pergi ke Kang
Tong." Ia ingat belum pernah ia menemui orang yang cocok
dengan hatinya. Ia bayangkan Keng Sim dan Kheng Thian,
keduanya lenyap di dalam rupa bayangan. Cong Liu gagah
tetapi dia bukanlah pria yang menjadi idam-idamannya
wanita. Maka di akhirnya ia merasa, adalah subo-nya, gurunya
yang wanita, yang berbahagia sekali.
Di timur, cuaca makin lama makin terang, gelombang pun
menghebat terus. Kelihatan laut dan langit seperti nempel.
Luas air laut, yang seperti tak berujung pangkal. Kagum Sin
Cu menyaksikan kebesaran sang laut dengan gelombangnya.
Cuma burung-burung laut yang dapat terbang mundar-mandir
diatasnya dengan kadang-kadang binatang itu terjun
menyamber ke muka air.
Mengawasi burung itu, Sin Cu tertawa sendirinya dan
berkata: "Burung laut itu menyerbu lautan, dia mementang
sayap dan berterbangan, maka mustahil sekali aku tidak dapat
seperti dia?"
Ia ngelamun tetapi ia jadi bersemangat, maka tempo ia
membuka tindakannya, ia dapat berjalan dengan cepat. Fajar
membuat laut terlihat tegas, gunung-gunung pun turut
berpeta, muncul dari antara uwap gempal.
Terbukalah hati memandangi gunung-gunung itu.
Selagi si nona terbenam dalam keindahan sang alam itu, tiba-tiba kupingnya
mendengar suara tindakan yang keras, yang tengah mendatangi. Ia terkejut. Segera ia menduga apa Cong Liu mengirim orang menyusul padanya. Ia memasang kuping, ia
dapat kenyataan suara itu bukan datang dari arah belakang.
Maka ia memikir pula: "Benarkah di waktu pagi buta begini sudah ada orang yang melakukan perjalanan?"
Makin lama tindakan kaki itu terdengar makin dekat, sekarang pun terdengar juga suara napas orang yang disusuli dengan kata-kata: "Dengan bersembunyi di tempat gelap membokong orang, apakah itu perbuatannya satu lakilaki?
Jikalau kau ada punya nyali, mari muncul di tempat terbuka di bawahnya matahari untuk kita main-main!"
Itulah tantangan. Tapi yang menarik perhatian ialah suara itu Sin Cu rasanya kenal baik. Ia tidak usah memikir lama akan ingat suaranya Law Tong Sun si komandan Gielimkun. Ia
menjadi heran. Bukankah komandan itu gagah sekali?
Siapakah yang berani membokong padanya?
Segera juga terlihat orang yang berlari-lari dan berkatakata itu muncul di sebuah tikungan. Dia memang Tong Sun adanya! Sin Cu lantas saja menyembunyikan diri di antara dua batu besar di tepi jalan. Di situ orang tidak dapat lihat ia sebaliknya ia dapat mengintai orang.
Ia lantas memasang mata.
Tong Sun itu riap-riapan rambutnya, mukanya mateng biru di sana-sini dan pakaiannya penuh kotoran tanah, dia bagaikan seorang rudin.
Melihat keadaan orang itu, Sin Cu heran bukan main. Ia berpikir: "Walaupun Loocianpwee Cio Keng To tidak nanti dapat membikin ini komandan Gielimkun yang gagah menjadi rusak begini macam... Untuk Cio Loocianpwee, ini pun tidak mungkin, karena ia sudah tidak suka  memusingkan kepala lagi terhadap segala urusan..."
Oleh karena ia insaf ia bukan tandingan Law Tong Sun, Sin Cu tetap bersembunyi, ia hanya mengawasi saja. Bahkan napasnya ia sampai tahan, kuatir nanti kedengaran musuh itu.
Ia tetap heran kenapa orang menjadi serudin itu.
Tong Sun telah mendapatkan pedang mustika, ia kabur, bahkan dengan meninggalkan Ong An ketika ia dengar suara orang mencari Keng Sim. Ia memilih jalan kecil, lantaran ia sungkan menemui tentara rakyat. Ia tidak takuti tentara itu tetapi ia segan mendapat kesulitan digerembengi mereka.
Karena ia pilih jalan kecil itu, ia mesti melewati sebuah tanjakan atau bukit kecil. Ketika kemudian ia memasuki sebuah tempat dengan pepohonan yang lebat bagaikan rimba, ia kendorkan tindakannya. Ia menduga bahwa ia sudah terpisah tiga puluh lie lebih dari tangsi tentara rakyat.
Di sini ia mengambil kesempatan untuk menghunus pedang mustika, yang segera mengasi lihat sinar berkilauan, cahayanya mirip dengan cahaya mutiara. Sejarak lima tindak,
ia bisa melihat segala apa dengan nyata. Bukan main
girangnya ia.
"Pantaslah pedang dari istana!" ia memuji di dalam hati
saking kagum. "Tidak aneh yang untuk ini Cio Keng To sampai
mengacau istana!..."
Gembira Tong Sun hingga seorang diri ia tertawa tak
hentinya. Ia sudah membayangkan bahwa ia telah
mendapatkan hadiah istimewa dari raja untuk jasanya sudah
mendapatkan pedang itu.
"Syukur Yang Cong Hay tidak turut bersama aku," ia
ngelamun terlebih jauh. Tiba-tiba saja ia ingat rekannya itu.

512
"Kalau tidak, jikalau sampai dia yang mendapatkan ini, pasti
sekali dia tidak menghiraukan lagi pangkat Tay i wee
Congkoan, kuasa istana! Pasti dia bakal buron dengan pedang
ini! Sayang dahulu hari aku tidak meyakinkan ilmu pedang,
coba sebaliknya, sekarang ini tentulah aku tidak kesudian
mengantarkan pedang ke istana!..."
Tong Sun mengatakan ia tidak mempelajari ilmu silat
pedang, tetapi sedikit-sedikit ia bisa juga, maka itu, dengan
pedang mustika itu, ia terus bersilat dengan caranya sendiri.
"Traang!" demikian sekonyong-konyong terdengar suara
nyaring.
Komandan Gielimkun ini menjadi kaget sekali. Itulah
pedangnya yang mengasi dengar suara nyaring itu. Pedang itu
telah kena ditimpuk batu, keras serangannya hingga
tangannya sedikit gemetar.
"Sahabat siapa itu?" dia lantas menegur. "Silahkan kau
keluar, sahabat?"
Dari dalam rimba tidak terdengar suatu apa, suasana di situ
tetap sunyi. Tong Sun heran dan penasaran, ia memandang
kelilingan, pedangnya disiapkan untuk melindungi tubuhnya.
Tiba-tiba ada terdengar suara tertawa pelahan di sebelah
timur. Gesit sekali ia berlompat, akan lari ke arah dari mana
suara itu datang. Ia pun menegur: "Di sini Law Tong Sun
menanti pengajaran!" Ia percaya, orang golongan Jalan Hitam
atau Jalan Putih, sedikitnya tentu pernah mendengar namanya
itu.
Belum lagi suara tantangan itu lenyap di udara, kembali
ada sebutir batu yang menyambar, jauh lebih keras daripada
yang tadi. Kali ini pedang berbunyi nyaring dan getarannya

513
terasa hingga telapakan tangan komandan Gielimkun itu
menjadi seperti kesemutan.
Tong Sun ketahui ia dipermainkan, ia menjadi sangat
gusar, maka ia lantas lompat ke arah timur itu, dengan niat
memasuki rimba guna mencari orang yang mempermainkan
padanya. Ketika ia baru sampai di muka rimba, mendadak
kupingnya mendengar suara tertawa di sebelah barat. Ia
mengenali suara yang sama.
"Setan alas!" ia mendamprat. "Jikalau kau tetap tidak mau
keluar, nanti aku mengupat caci padamu!"
Tengah ia membuka mulutnya itu, tiba-tiba ada sepotong
tanah yang menyambar masuk tanpa ia dapat mencegah,
saking hebatnya timpukan tanah itu. Ia kaget sekali, sampai
hampir ia ketelak. Dengan luar biasa cepat, ia
memuntahkannya. Tentu saja, meluap kemurkaannya, hendak
ia membuktikan ancamannya, akan mengupat caci. Tapi kali
ini, timpukan datang pula dan mengenai mukanya, hingga ia
merasakan sakit dan perih, hampir berbareng dengan mana,
ia dengar suara tertawa di arah selatan!
“Inilah hebat," kemudian Tong Sun berpikir. Ia ada satu
jago tetapi dua kali ia kena orang timpuk. Bahwa pedangnya
yang kena diserang, itulah tidak terlalu heran, yang
belakangan tapinya mulutnya dan mukanya. Ia menjadi
mendongkol berbareng jeri.
"Siapakah orang liehay ini? Mungkinkah dia iblis rimba ini?"
Sekarang ia tidak berani membuka mulut pula jangan kata
mendamprat atau menegur. Sudah tentu, ia pun tidak berani
membuktikan ancamannya akan mengupat caci. Bahkan ia
pikir, menyingkir dari tempat ini adalah paling baik. Ia baru
jalan beberapa tindak tatkala ia dengar suara bengis:

514
"Kembali!" suara mana disusuli mengaungnya suara senjata
rahasia menyambar.
Dengan terpaksa jago ini mencelat mundur, dengan begitu
ia lolos dari serangan. Untuk herannya ia memperoleh
kenyataan, ia ditimpuk dengan batu yang terlebih kecil
daripada telur burung. Maka itu menyatakan liehaynya si
penyerang. Kalau ia kena ditimpuk, mungkin tulangnya patah.
Penyerang batu itu tidak berhenti dengan yang pertama itu,
lalu itu disusul dengan yang kedua dan ketiga, seterusnya.
Dengan begitu juga Tong Sun terpaksa mesti kembali ke
tempat dari mana ia datang. Sebab setiap datang serangan
itu, ia mesti berkelit mundur. Serangan batu pun tercampur
sama tanah atau gumpalan lumpur, maka itu, tidak dapat ia
membebaskan diri anteronya, hingga sekarang pakaiannya
menjadi kotor begitupun muka dan kepalanya.
Percuma ia ada satu jago atau kepala dari pasukan tentara
kerajaan, sekarang ini Tong Sun tidak berani membuka
mulutnya, ia mesti membungkam tidak perduli kemendongkolan
dan kegusarannya meluap-luap. Sebagai satu jago
silat, ia ada cacadnya, ialah ia tidak pernah meyakinkan mata,
untuk dapat melihat tegas di waktu malam gelap petang,
sedang keistimewaannya, ialah ilmu silat Hunkin Cokut ciu,
untuk mematahkan tulang lawan, cuma dapat dipakai dalam
perkelahian rapat.
Sementara itu langit telah mulai menjadi terang, angin laut
meniup-niup dengan santar, dari kepala pusing, Tong Sun
mendapat pulang kesegarannya. Ketika ia memandang ke
sekitarnya, ia mendapat kenyataan yang ia telah dipaksa
mundur kembali ke jalanan di tepi laut. Ia menjadi heran dan
kaget sendirinya.

515
"Lagi beberapa lie, aku pasti akan tiba di tangsi tentara
rakyat," ia berpikir. "Syukurlah langit keburu terang, jikalau
tidak, tentulah aku akan dipaksa mundur sampai di sana. Pasti
di sana orang bakal jadikan aku buah tertawaan..."
Dengan cuaca menjadi terang, Tong Sun terbangun
semangatnya. Sekarang orang tidak bisa main sembunyi
seperti tadi untuk saban-saban menyerang ia dengan
timpukan. Kembali ia memandang ke sekitarnya. Di waktu
fajar seperti itu, di situ belum ada orang yang berlalu lintas. Ia
tidak lihat siapa juga, hingga ia jadi penasaran sekali.
Penyerangnya itu tetap tidak pernah memunculkan diri.
Sekarang barulah Tong Sun merasakan letih, maka itu ia
cari sebuah batu besar di tepi jalanan itu, untuk duduk
beristirahat. Ia pun segera merasakan perutnya lapar. Maka ia
tancap pedang di sampingnya, terus ia keluarkan rangsum
keringnya untuk didahar. Ia tidak meneliti lagi tempat
duduknya itu, ia tidak tahu batu itu ada pasangannya dan di
antara kedua batu itu ada satu nona tengah mengintai ia...
Sin Cu tetap sembunyi di sela batu itu. Ia mengintai
selama matanya masih dapat melihat. Ia sembunyi di situ
sampai orang tiba kembali. Ia terkejut akan mendapatkan
orang duduk di dekatnya, hingga ia dapat mendengar suara
bernapas orang. Ia baru merasa sedikit lega setelah mendapat
kenyataan rupanya orang tidak ketahui sembunyinya di situ.
Ia terus berdiam, dengan ati-ati ia mengintai. Begitulah ia lihat
pedang itu, yang kalau mau, dapat ia sambar dengan
tangannya.
"Kenapa aku tidak mau curi pedangnya ini, untuk
diteruskan menikam padanya?" si nona dapat pikiran. Ia nyata
bernyali besar, begitu ia berpikir, begitu ia bekerja. Tangannya
menyambar dan pedang tercekal. Hanya di saat ia baru
mencabut,

516
Tong Sun mendapat tahu, jago ini dengar suara angin,
maka dengan kesehatannya yang luar biasa, tangannya
menyambar, tepat ia kena cekal lengan si nona.
Sin Cu kaget bukan main, ia pun merasakan sakit pada
tangannya itu, yang bagaikan terjepit besi.
Law Tong Sun sudah lantas tertawa terbahak.
"Kiranya kau?" katanya. Ia telah lantas berpaling kepada si
nona, yang ia pun tarik.
Sin Cu cerdik, belum sampai ia tertarik, ia mendahulukan
berlompat, di waktu mana pun, "Sret!" terdengarlah suara
pedang dicabut. Dasar muridnya Thio Tan Hong, ia cerdik
sekali, ia tidak gugup. Tangan kanannya benar telah orang
cekuk tetapi tangan kirinya masih bebas maka dengan tangan
kiri itu ia menghunus pedangnya, bahkan tanpa ayal sedetik
jua, ia terus menikam ke tenggorokannya komandan
Gielimkun itu.
Tong Sun liehay, ia tarik tangannya si nona hingga tubuh
nona ini tergerak, hingga tentu saja serangannya mengenakan
sasaran yang keliru, ialah mengenakan pedang dari istana itu.
Syukur untuk si nona, ia tidak sampai menikam tangannya
sendiri yang kanan itu. Ia menjadi kaget berbareng
penasaran, ia mendongkol bukan main. Dengan berani ia
ulangi serangannya, kali ini ia membacok ke arah lengannya
sendiri yang dipegangi Tong Sun itu!
Inilah hebat! Tong Sun tidak sempat berdaya, walaupun
sebenarnya, kalau ia cukup cerdas, dapat ia membikin patah
tangan nona itu. Ia telah didului, ia menjadi kaget. Kalau ia
tidak lepaskan cekalannya, bukan melainkan tangan si nona,
tangannya sendiri bakal terbabat kutung, ia tidak sempat

517
merampas pedang istana itu, yang Sin Cu tidak mau
melepaskannya tidak perduli tangannya dipencet keras. Ia
menahan sakit sebisa-bisa.
Serangan Sin Cu ini ada maksudnya, dan nyata ia berhasil.
Mau atau tidak, Tong Sun mesti melepaskan cekalannya,
maka itu, si nona menjadi merdeka. Tidak mensia-siakan
tempo lagi, Nona Ie segera menyerang dengan kedua pedang
di tangannya itu.
"Binatang licin!" Tong Sun berseru saking mendelu. Ia tidak
takut, ia lawan si nona dengan bertangan kosong. Ia harap
dapat melanggar atau memegang tangan nona itu, untuk
dibikin keseleo atau patah. Ia bersilat dengan ilmu silatnya
Hunkin Cokut Ciu itu yang liehay. Maka ia dapat melayani
dengan baik. Dengan sangat lincah ia saban-saban menyingkir
dari sabetan atau tikaman pedang. Hanya ia repot juga, ia
mesti berlaku ati-ati luar biasa.
Sin Cu berkelahi dengan ilmu pedangnya Hian Kie Itsu,
dengan begitu, walaupun ia kalah kosen, ia masih dapat
bertahan, apapula sekarang ia memegang dua batang pedang
mustika.
Mereka telah bertempur sampai kira-kira lima puluh jurus,
itu artinya meminta tempo. Keduanya lantas merasa tidak
aman sendirinya. Law Tong Sun kuatir munculnya lawan yang
sembunyikan diri itu, yang belum ketahuan siapa adanya,
kalau dia itu datang, ia bisa dapat susah. Sin Cu sebaliknya
kuatir-kan munculnya Kheng Thian, yang bisa menggerecoki
padanya. Maka itu keduanya sama-sama ingin lekas-lekas
mengakhiri pertempuran itu.
Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari Hian Kie Itsu
mengutamakan sepasang pedang yang dipegang masingmasing
oleh satu orang, sekarang Sin Cu menggunainya

518
sendiri ini kurang tepat, tangan kirinya kalah lincah dengan
tangan kanannya. Lama-lama kekurangan ini dapat dilihat
Tong Sun yang liehay itu, maka selang lagi sekian lama, ini
komandan Gielimkun lantas mendesak di sebelah kiri.
"Lepas!" berseru Tong Sun tatkala ia dapat membikin
mental Cengbeng kiam di tangan kiri si nona sambil tangan
kanannya menyambar ke pedang istana, untuk mana ia gunai
dua jarinya, tengah dan telunjuk, untuk menjepit pedang
mustika itu. Ia benar-benar liehay, karena berbareng sama
seruannya itu, pedang itu terlepas dari tangan Sin Cu, pindah
ke tangannya. Lantas ia tertawa berkakak.
"Lepas!" kembali komanan Gielimkun ini berseru setelah
beberapa jurus lagi. Kali ini dengan tangan kiri ia menyamber
tangan si nona dengan maksud merampas juga pedang
Cengbeng kiam. Tapi kali ini ia keliru menyangka. Dengan
hanya memegang sebuah pedang, Sin Cu jadi terlebih liehay
daripada ia mencekal dua. Ia meloloskan diri dari sambaran, ia
terus membalas menikam ke uluhati lawannya dengan
jurusnya "Ular putih muntahkan bisa." Tong Sun bukan ahli
pedang, ia dapat menangkis, akan tetapi ia kalah tindih,
karenanya ujung Cengbeng kiam terus mengarah dadanya.
Tentu saja ia menjadi terkejut, perlu ia lebih dahulu membela
dirinya, hingga gagal ia dengan serangannya itu.
Sin Cu menjadi dapat hati, maka itu, berulang-ulang ia
mendesak. Dengan terpaksa, Tong Sun main mundur.
Akhirnya, saking penasaran, komandan itu berseru: "Jikalau
aku tidak dapat rampas pedangmu, aku bukan si orang she
Law lagi!"
Dengan teriakannya itu, Tong Sun hendak menyimpan
pedang mustika ke dalam sarungnya. Sebab ingin ia
merampas pedang si nona dengan tangan kosong, dengan
menggunai ilmu silat andalannya ialah Hunkin Cokut Ciu.

519
Justeru itu sekonyong-konyong terdengar seruan “lmu pedang
yang bagus!" Lalu sebutir batu menyambar keras sekali
kepada kedua pedang yang lagi saling tindih itu, hingga kedua
pedang itu terpisah sendirinya.
Tong Sun terkejut,ia lantas berlompat mundur seraya
berpaling ke arah dari mana suara datang. Ia kenali suara
yang tadi mengganggu padanya. Ia mendapat lihat, di tempat
terpisah belasan tindak dari ia, dua orang tengah berdiri
menonton. Mereka itu pria dan wanita, umurnya umur
pertengahan, masing-masing dengan sikapnya sangat tenang.
Rupanya sudah sekian lama mereka itu menonton
pertempuran. Si pria dandan sedikit luar biasa, ialah ia
mengenakan pakaian orang Hweekiang. Dan si wanita, di
bebokong siapa ada tergendol sepasang gaetan, juga dandan
bukan sebagai orang Han.
Kembali Tong Sun menjadi kaget, ini kali disebabkan ia
tidak ketahui datangnya orang. Ia percaya dirinya sangat
liehay dan mengetahui segala apa. Ia pun lantas menduga
pasti, si pria adalah orang yang dari dalam rimba menggodai
padanya...
Dengan Tong Sun berlompat mundur, Sin Cu menjadi
berhenti berkelahi. Tentu saja ia pun heran atas datangnya
batu yang memisahkan perkelahian mereka. Justeru itu si pria
menunjuk padanya seraya menanya: "Eh, nona, apakah kau
muridnya Thio Tan Hong?"
Sin Cu heran bukan main hingga ia melengak.
"Kenapa sekali melihat saja dia ketahui aku wanita?"
pikirnya.

520
"Kenapa dia pun mengenali ilmu silatku?" Tapi ia tidak
melengak lama, segera ia sadar. Bukannya menjawab, ia
justeru menanya:
"Bukankah kau Peehu Ouw Bong Hu?"
Orang itu bersenyum. Ia memang Ouw Bong Hu, muridnya
Siangkoan Thian Ya, yang mewariskan ilmu silat gurunya itu
dan kepandaiannya jauh terlebih liehay daripada Tamtay Biat
Beng, kakak seperguruannya yang tertua. Sedang wanita itu
adalah adik seperguruannya. Kimkauw Siancu Lim Sian In si
Dewi Gaetan Emas. Siangkoan Thian Ya, sama kesohornya
dengan Hian Kie Itsu, ia hanya bertabiat aneh, ialah ia
melarang pernikahan di antara murid-muridnya pria dan
wanita. Ouw Bong Hu dan Lim Sian In terkena larangan itu,
mereka menyinta satu pada lain tetapi tidak dapat mereka
merangkap jodoh. Adalah kemudian, sesudah dibantu Thio
Tan Hong, yang membikin Siangkoan Thian Ya kagum
terhadap orang she Thio itu, baru pantangan itu ditiadakan
dan mereka dapat menikah. Karena ini, tanpa perdulikan lagi
tingkat derajat. Ouw Bong Hu suami isteri jadi bersahabat erat
dengan Thio Tan Hong. 3)
Sin Cu sering mendengar gurunya bercerita tentang Ouw
Bong Hu dan Lim Sian In itu, maka lekas juga ia ingat mereka
dan lantas mengenalinya. Tentu saja datangnya mereka itu
membuat hatinya lega, hingga ia menjadi girang sekali. Adalah
Ouw Bong Hu yang bersama-sama Thio Tan Hong, Cio Keng
To dan Yang Cong Hay yang disebut Thianhee Sutay Kiam-kek
yaitu jago pedang paling besar di kolong langit di jamannya
itu. Maka juga kaget sekali Law Tong Sun apabila ia dengar
Sin Cu yang ia sangka seorang pemuda menyebut namanya
jago itu. Tapi dasar ia sangat percaya ilmu silatnya Hunkin
Cokut Ciu, ia tidak menjadi berkecil hati.

521
"Ouw Bong Hu," ia lantas berkata, dengan dingin, "kaulah
seorang kenamaan, mengapa kau senantiasa bermain di
tempat gelap, sampai kau tidak berani memperlihatkan
dirimu? Hari ini aku si orang she Law telah belajar kenal
denganmu!"
Ouw Bong Hu melirik orang dengan sikapnya yang dingin
sekali.
"Tahukah kau siapa binatang ini?" ia tanya Sin Cu.
"Tahukah kau perlu apa dia datang ke mari?"
"Dialah tongnia dari Gielimkun," menjawab Sin Cu, "dia
sedang menerima firman raja untuk menawan Loocianpwee
Cio Keng To sekalian dia hendak merampas pedangku! Dialah
satu telur busuk paling besar!"
Ouw Bong Hu tertawa dingin, ia lantas berpaling kepada
komandan Gielimkun itu.
"Tadi malam aku tidak ketahui asal-usulmu maka itu aku
berlaku murah terhadapmu," ia berkata. "Hm! Kenapa kau
justeru mencaci aku? Kau berniat keras sekali merampas
pedang orang, sekarang aku juga ingin merampas pedang di
tanganmu itu! Mari, mari kita main-main!"
Habis mengucap kata-katanya yang terakhir itu, Ouw Bong
Hu mengulur sebelah tangannya ke sampingnya di mana ada
pohon bambu, ia menjambret sebatang yang masih muda, ia
patahkan itu, dengan tangannya ia belah dan merautnya
hingga menjadi seperti pedang bambu panjang tak ada tiga
kaki, kemudian menyabet dengan itu, ia kata dengan nyaring:
"Kau gunakanlah pedang mustikamu itu! Jikalau kau dapat
mengalahkan pedang bambuku ini, segera aku kembali ke
gurun pasir di Utara dan untuk selanjutnya tidak nanti aku
kembali ke Kanglam ini!"

522
Tong Sun mendongkol tidak terkira.
"Bagaimana jikalau pedang bambumu itu kena aku babat
kutung?" dia tanya.
"Dengan begitu akulah yang kalah!" menjawab Ouw Bong
Hu.
Tong Sun segera berpikir: "Aku punya ilmu pedang tidak
sempurna tetapi pedang ini tajam luar biasa, rambut ditiup di
tajamnya pedang putus, mustahil segala pedang bambu tidak
akan terpapas buntung?" Lantas ia menerima baik, serunya:
"Baiklah! Kau ada seorang kenamaan, kata-kata kita adalah
janji! Jikalau aku kalah, dengan kedua tanganku akan aku
persembahkan pedang mustika dari istana ini kepadamu!"
Baru Tong Sun menutup mulutnya atau tangannya sudah
bergerak menikam seraya sebelah kakinya dimajukan dengan
cepat. Ia mengarah pinggang orang.
Ouw Bong Hu tertawa.
"Hm! Sungguh sebat" katanya, mengejek. Sembari tertawa,
ia berkelit ke samping terus ke belakang penyerangnya itu,
untuk menotok jalan darah honghu hiat dari komandan
Gielimkun itu.
"Celaka!" Tong Sun berseru di dalam hatinya, karena ia
tengah menyerang dan tidak dapat ia lekas-lekas menarik
pulang pedangnya itu untuk menangkis. Tapi meskipun begitu,
ia gunai tangan kirinya guna menyambar tangan lawan. Itulah
gerakan dari Hunkin Cokut Ciu.

523
Diserang dengan sambaran itu, Ouw Bong Hu tertawa.
"Namanya mengadu pedang tetapi ceker anjing pun
dikeluarkan!" katanya.
Mukanya Tong Sun menjadi merah dan ia merasakan panas
sendirinya. Bukan saja sambarannya itu tidak memberi hasil
juga ejekan lawan membuatnya malu sekali. Memang tidak
ada dibikin perjanjian, mengadu pedang tak boleh dicampur
baur dengan lain macam ilmu silat, akan tetapi sama-sama
orang kenamaan sebagaimana ia anggap ia pun tersohor
sudah sepantasnya ia hilang muka.
Setelah ini, dalam mendongkol dan sengitnya, Tong Sun
mendesak lawannya itu. Berulang-ulang ia membacok atau
membabat, dengan niat keras membikin sapat pedang bambu
dari si lawan. Pedang bambu itu, asal bentrok sedikit saja,
mesti putus.
Ouw Bong Hu ada sangat lincah, ia berkelit atau berlompat
mengegos tubuh menyingkir dari setiap serangan, ia selalu
dapat membebaskan diri dari ancaman, sambil menolong diri,
di mana ada kesempatan, ia juga membalas menyerang,
hingga satu dua kali, hampir Tong Sun kena ditotok ujung
pedang bambu itu, yang di tangannya Bong Hu, menjadi
liehay sekali.
"Jikalau terus begini jalannya, mungkin aku nanti salah
tangan atau kena dipancing," pikir Tong Sun kemudian
dengan hatinya gon-cang. Karena ini, terus ia putar
pedangnya. Ia tidak pandai mainkan pedang untuk menyerang
tetapi untuk membela diri, melindungi tubuhnya, ia cukup
mahir. Bagaikan lingkaran perak demikian tubuhnya tertutup
sinar pedangnya itu. Di dalam hatinya ia kata: "Aku hendak
lihat dengan cara bagaimana kau dapat menyerang aku! Asal
pedangku dapat mengenai sedikit saja, pedangmu tentu bakal
terkutung..."

524
Komandan Gielimkun ini berpikir demikian, hatinya puas. Ia
tidak menduga, justeru di saat ia membuat perubahan siasat,
dari menyerang menjadi menjaga diri sekejap itu Ouw Bong
Hu telah menggunai ketika-nya dengan baik, dia ulur pedang
bambunya dan membentur pedang mustika dari istana raja
itu.
Dengan lekas-lekas Tong Sun membalik pedangnya,
dengan harapan supaya ia dapat menempel pedang lawan
dengan pedangnya bagiannya yang tajam, akan tetapi
kesudahannya ia heran sekali. Pedang bambu itu seperti
nempel sama pedangnya sendiri, tidak dapat ia membalik
pedangnya itu. Belasan kali ia geraki pedangnya, dengan
pelbagai tipu, tetap kedua pedang tak dapat terpisah.
Yang membikin hatinya jadi kecil adalah ketika kemudian ia
merasakan pedang bambu berubah sifatnya, tadinya enteng,
sekarang menjadi berat, berat hingga seribu kati, hingga
hampir ia tidak dapat berdaya lagi. Ia menginsafi akan tenaga
dalam yang luar biasa dari lawannya ini.
"Sekarang kau hendak membilang apa lagi?" Ouw Bong Hu
menanya.
Tong Sun mengertak giginya.
"Aku serahkan pedang padamu!" sahutnya sengit. Sambil
menolak keras, ia lepas gagang pedangnya dengan ujung
pedang yang tajam menjurus ke jantung lawannya itu.
Sin Cu dapat melihat perbuatan orang itu, ia kaget hingga
ia menjerit. Ouw Bong Hu tidak menjadi kaget karena
kelicikan lawannya. Ia menarik pedangnya selagi Tong Sun
menolaknya, tangan kirinya membarengi maju bekerja, maka
sebelum ujung pedang mampir di tubuhnya, gagang pedang
sudah dapat ia cekal. Begitu cepat gerakan tangan jago ini,

525
sampai Sin Cu tidak dapat melihat orang menggunai tipu silat
apa. Maka ia menjadi kagum luar biasa.
"Pantas dia sama kesohornya seperti suhu." pikirnya.
Nona ini mengatakan demikian tanpa ia menginsafi bahwa
dalam tingkat derajat, Ouw Bong Hu ada terlebih tinggi
setingkat daripada gurunya itu, sedang ilmu menanggapi
pedang itu, Ouw Bong Hu dapat menurunkan dari Liehiap
Siauw Un Lan, sahabat gurunya.
Untuk jamannya itu, Siauw Liehiap itu adalah yang tingkat
derajatnya paling atas. Dahulu harinya pernah dengan
sebatang pedang bambu dia melayani Cia Thian Hoa dan Yap
Eng Eng yang mengepung ia berbareng dengan pedang
mereka dengan kesudahannya seri. 4)
Begitu lekas ia menyekal pedang mustika gegamannya
lawannya itu, Ouw Bong Hu tertawa lebar, hingga wajahnya
Law Tong Sun menjadi bermuram durja saking mendongkol
dan malunya dia.
"Dengan pedang bambu kau merampas pedangku, itulah
tidak aneh!" berkata komandan Gielimkun ini terkebur. "Kau
lihat bagaimana dengan tangan kosong aku rampas pulang
pedang itu!"
Tanpa memberi ketika lagi, komandan ini segera
menyerang. Ia menggunai kedua tangannya dengan
berbareng.
"Cis, tidak tahu malu!" Sin Cu berludah. Ia muak
menyaksikan kelicikan orang.
Ouw Bong Hu berkelit mundur, sambil tertawa, ia kata:
"Jikalau dia tidak diberikan ketika untuk mengeluarkan

526
kepandaiannya yang istimewa, biarnya dia kalah dia tidak
bakal puas! Baiklah, mari aku belajar kenal sama ilmu silatmu
yang katanya paling liehay di kolong langit ini ialah Hunkin
Cokut Ciu!"
Selagi ia berkata-kata, Bong Hu sudah diserang dengan
hebat. Rupanya adalah kebiasaannya Tong Sun untuk
menutup kata-katanya sendiri dengan serangan, untuk
separuh membokong kepada lawannya, guna membikin lawan
kaget dan gelagapan. Tujuh atau delapan kali dia menyerang
saling susul.
"Baiklah kita main-main dengan tangan kosong!" berkata
Ouw Bong Hu kemudian seraya ia ambil kesempatan
membawa pedangnya ke mulut, untuk digigit. Hingga dengan
begitu ia jadi melawan tangan kosong tanpa senjata. Ia sudah
lantas menbuyarkan setiap serangan si lawan. Tentu saja,
dengan sikapnya ini, ia jadi sudah mengalah terhadap Law
Tong Sun.
Komandan Gielimkun itu tidak ambil mumat orang bilang
apa, dengan membungkam ia melanjutkan serangannya,
dengan pelbagai jurusnya, mencoba yang satu dari yang lain,
karena sampai sebegitu jauh semua serangannya dapat
dipunahkan lawan. Ia juga menggunai kedua kakinya di mana
ada kesempatan. Nampaknya ia liehay sekali, hebat setiap
serangannya itu.
Ouw Bong Hu berlaku sangat lincah. Ia menyingkir setiap
kali serangan datang. Ia pun tidak sudi kasi dirinya dirapatkan.
Kalau ada ketikanya barulah ia menyerang. Tanpa merasa
dengan lekas mereka telah lewatkan kira lima puluh jurus.
Hati Tong Sun menjadi panas berbareng cemas. Tidakkah
sia-sia belaka semua penyerangannya yang sudah-sudah itu?

527
"Ouw Bong Hu, kau tidak berani menyambuti tanganku!"
kemudian ia berkata dengan sengit. "Dengan bertempur cara
begini, sampai kapan nanti akhirnya?"
Ouw Bong Hu tidak menjadi gusar, sebaliknya ia tertawa.
"Aku mengalah dengan membiarkan kau main-main lebih
banyak dari selayaknya!" ia menyahuti dengan manis. "Apakah
kau tidak sudi terima kebaikanku ini? Jikalau aku berniat
merobohkan kau, tidak usah sampai aku gunai satu
tanganku!"
Oleh karena mulutnya sedang menggigit pedang, suaranya
Ouw Bong Hu tidak terdengar terang, dan karena ia berbicara
saja, dadanya telah terbuka. Ketika itu ia tengah mengegos
tubuh ke samping.
"Kena!" Tong Sun berseru seraya kedua tangannya
dikeluarkan, tangan kirinya lebih dulu, tangan kanannya
menyusul, tetapi kenyataannya, tangan kananlah yang
menyerang hebat. Lagi-lagi dia gunai ketikanya separuh
membokong itu, sebab lawannya tengah membuka suara.
Tangan kanannya itu, yang jari-jarinya dibuka, menyambar
bagaikan cengkraman. Sebab inilah salah satu serangan
terliehay dari ilmu silatnya itu, Hunkin Cokut Ciu, ilmu peranti
mematahkan tulang. Siapa terkena itu, kontan dia bakal
bercacad.
Kembali Sin Cu kaget. Ia merasakan berbahayanya
serangan orang she Law itu. Ia pun tidak mengarti kenapa
Ouw Bong Hu menjadi demikian alpa, berbicara tanpa
kewaspadaan. Law Tong Sun berseru kena membarengi
serangannya itu, tepat seruannya itu. Ia berhasil mengenai
sasarannya. Hanya, ketika jari-jari tangannya baru nempel di
baju, dia telah dipapaki sentilan oleh Ouw Bong Hu, yang tidak
berkelit atas serangan yang liehay itu.

528
"Aduh!" Tong Sun menjerit seraya dia lompat mundur
setombak lebih.
Ouw Bong Hu mengawasi orang, sembari tertawa ia kata:
"Kau dapat bertahan untuk sebuah jeriji tanganku ini, kau
hebat. Baiklah, aku beri ampun padamu dari kematian!
Sekarang pergi kau pulang, untuk merawat diri selama tujuh
hari. Mengenai pedang ini, suka aku menerimanya!"
Ia angkat tangan kirinya, di situ nyata tambah sebuah
sarung pedang. Ialah sarung pedang mustika dari istana, yang
tadi tergantung di pinggangnya komandan Gielimkun itu.
Sebab barusan, selagi sebelah tangannya menyentil, tangan
yang lain menjambret ke pinggang lawan itu. Law Tong Sun
kaget bukan main ia mati kutunya, di saat Ouw Bong Hu
memasuki pedang ke dalam sarung, ia telah kabur hingga
bayangannya pun lantas tak nampak lagi.
Sin Cu girang tidak terhingga, ia lantas bertindak cepat
menghampirkan orang she Ouw itu untuk mengunjukkan
hormatnya, begitupun kepada Lim Sian In. Kimkauw Siancu
tertawa ketika ia ulur tangannya menarik tangan si nona.
"Kau menjadi besar hingga mirip dengan In Lui dahulu
hari!" berkata nyonya ini. "Juga subo-mu itu dulu senantiasa
menyamar sebagai pemuda, dia merantau seperti kau
sekarang ini! Lihat, Bong Hu, bagaimana bagus muridnya Tan
Hong! Kita sendiri sayang tidak punya rejeki sebagai dia. Bagi
kita seperti juga dunia ini lebar luas akan tetapi murid yang
berbakat baik dirampas lain orang!..."
Sin Cu tidak perhatikan pembicaraan suami isteri itu, ia
hanya heran kenapa orang segera mengenali ia sebagai
pemudi.

529
"Peehu dan peebo ," ia tanya, "suhu dan subo pergi ke
Khong San, apakah peehu dan peebo bertemu dengan
mereka?"
Ouw Bong Hu tertawa.
"Jikalau kami tidak bertemu sama mereka itu, tidak nanti
kami datang ke Kanglam ini," sahutnya. "Kau tahu, subo-mu
itu telah mendengar kabar kau, turut dalam pasukan rakyat
suka rela, ia menjadi girang berbareng kuatir. Ia berkuatir
karena hatinya memikirkan kau, takut-takut kalau kau gagal.
Aku tidak nyana, semuda kau ini, kau telah dapat mewariskan
kepandaian gurumu, sampai Law Tong Sun si bangsat tua itu
barusan tidak sanggup berbuat apa-apa terhadapmu.
Sungguh, kau harus diberi selamat!"
Lim Sian In sembari tertawa pun berkata: "Kalau nanti
kami pulang akan aku mengasi keterangan pada suhu dan
subo-mu itu tentulah mereka bakal jadi girang sekali, hingga
selanjutnya subo-mu itu tak usah bercemas hati lagi."
Sin Cu tertawa, ia gembira sekali.
"Aku pun berniat pergi ke gunung Khong San di Inlam itu
untuk memberi selamat pada thaysucouw di harian ulang
tahunnya!" katanya.
“Itulah baik," mengatakan Lim Sian In.
"Aku berniat mencari Cio Keng To," kata Ouw Bong Hu
kemudian. "Kabarnya dia berada di dalam pasukan rakyat,
benarkah itu?"
"Benar," Sin Cu menjawab lekas.

530
"Sebenarnya aku belum pernah bertemu muka dengan dia
itu," Bong Hu berkata pula. "Kedatanganku ini adalah Tan
Hong yang menyuruhnya aku pergi ke Kanglam untuk
menemui dia, maka kebetulan sekali sekarang aku dapat
merampas pulang pedangnya itu, pedang ini dapat dijadikan
persembahan perkenalan untuknya. Bagaimana kalau aku
minta kau yang mengantarkan aku mengunjungi dia?"
"Aku kuatir sekarang ini Cio Loocianpwee sudah tidak ada
di sini," Sin Cu mengutarakan dugaannya. "Mungkin sekali ia
telah pulang ke rumahnya di Tayciu."
"Kenapa maka pedangnya ini bisa berada di tangannya Law
Tong Sun?" tanya Bong Hu tak mengarti.
“Itulah ada sebabnya," sahut Sin Cu, yang terus
menuturkan duduknya hal.
Ouw Bong Hu tertawa.
"Memang juga heran, dengan kepandaiannya itu, Law Tong
Sun dapat merampas pedang dari tangan Cio Keng To," ia
berkata. "Tadi malam karena aku belum tahu hal ikhwalnya
Tong Sun itu, aku cuma giring dia dengan paksa ke wilayah
tentara rakyat ini, untuk mencari keterangan, maka beruntung
aku bertemu denganmu. Karena Cio Keng To tidak ada di sini,
percuma aku mensia-siakan tempo."
Sin Cu pun beranggapan itu benar.
"Peehu," katanya kemudian. Tiba-tiba ia ingat suatu apa.
"Kalau Peehu kembalikan pedang ini kepada Cio Loocianpwee,
pasti sekali ia tidak dapat menerimanya, itu malah
menambahkan kedukaannya."

531
"Habis bagaimana?" Ouw Bong Hu tanya. Ia tua tetapi tidak
sungkan ia menanya yang terlebih muda. "Pedang ini pedang
mustika, mesti ada pemiliknya yang cocok. Aku sendiri tidak
membutuhkan ini."
"Kalau peehu sudi, serahkan saja padaku," Sin Cu minta
langsung. "Nanti aku serahkan pada orang yang tepat."
Bong Hu setuju.
"Kau benar," katanya. "Menurut katamu tadi, Cio Keng To
ada punya satu murid she Tiat, apakah pemuda itu pantas
memiliki pedang ini?"
Wajahnya Sin Cu merah sendirinya.
"Aku tidak akan berikan pedang ini kepadanya," ia kata.
Ouw Bong Hu lantas serahkan pedang mustika itu.
"Sekarang mari lekas kita berangkat!" Lim Sian In
mengajak. "Lebih dulu kita cari Cio Keng To, baru Yang Cong
Hay. Kita harus lekas-lekas menyelesaikan tugas kita supaya
kita tidak terlambat pulang untuk memberi selamat kepada
Hian Kie Itsu."
Sin Cu heran.
"Peehu dan peebo hendak cari Yang Cong Hay?" ia
bertanya.
"Benar," Bong Hu menyahuti. "Orang she Cio dan orang
she Yang itu, bersama-sama kita, menjadi apa yang disebut
Sutay Kiamkek. Tentu sekali, julukan itu adalah pujian kaum
kangouw belaka, maka itu, kami ingin sekali membuktikan
benar atau tidaknya pujian itu."

532
Mendengar itu, dengan menjebi, Sin Cu kata: "Yang Cong
Hay itu tidak layak menjadi salah satu Tay kiamkek, jago silat
yang terbesar seperti peehu bertiga!"
"Benarkah itu?" Bong Hu menegaskan.
"Apakah kau pernah bertempur dengannya?"
"Menurut pandanganku, dia hanya kurang lebih sama
dengan Law Tong Sun," kata si nona tanpa menjawab
langsung.
"Kalau begitu, urusan sulit!" kata Bong Hu, yang romannya
jadi bersungguh-sungguh.
Sin Cu menjadi heran sekali.
"Kenapa begitu, peehu?" ia tanya. "Sebenarnya ada urusan
apakah?"
"Kalau dia sudah demikian kosen, pasti orang yang berdiri
di belakangnya liehay luar biasa!" sahut Bong Hu, kembali
tidak langsung.
Sin Cu menjadi bertambah heran.
"Apakah benar ada orang yang terlebih liehay daripada
Siangkoan Loocianpwee?" ia tanya lagi.
Ouw Bong Hu tertawa.
"Kau harus ketahui itu pembilangan, di luar langit ada langit
lainnya, di samping orang gagah ada lagi yang terlebih gagah.
Tentang ini sukar diberikan kepastiannya," ia menjawab.
"Yang Cong Hay itu ada orang dari partai Cekseng Pay tingkat

533
kedua, bahwa dia berani main gila, di belakangnya mesti ada
orang yang dia buat andalan..."
Hati Sin Cu terkesiap. Memang gurunya pernah omong
tentang Cekseng Cu pendiri dari partai Cekseng Pay itu,
bahwa Cek Seng Cu ada seorang Rimba Persilatan yang
liehay, bahwa tiga kali Cek Seng Cu pernah datangi Hian Kie
Itsu, thaysucouw-nya itu. Tentang kunjungan itu Tan Hong,
gurunya, menerangkan: Pertama kali dia datang, Cek Seng Cu
telah diajak Hian Kie Itsu, kakek guru itu, masuk ke kamar
samedhi, di sana satu hari dia diajak berdiam. Pada
kunjungannya yang kedua, dia diajak bersamedhi dua hari.
Dan pada yang ketiga kali, dia diajak mengeram diri tiga hari.
Ketika itu dari murid-muridnya Hian Kie Itsu, cuma ada Tang
Gak seorang tetapi murid ini diperintah menanti di luar saja ia
dilarang masuk ke dalam kamar katanya nanti mengganggu
mereka berdua. Maka itu Tang Gak pun tidak ketahui apa
yang gurunya dan Cek Seng Cu itu lakukan. Kalau mereka
mengadu ilmu silat, dari dalam kamar tidak terdengar suara
apa-apa. Yang jelas adalah, setiap kali Cek Seng Cu keluar
dari kamar samedhi, dia selalu tunduk dan romannya kucel.
Sejak kunjungan yang ketiga kali itu, tidak pernah Cek Seng
Cu datang pula. Di kunjungan yang ketiga kali itu, di waktu
mana mereka berdiam tiga hari di dalam kamar, keduanya
tidak pernah minum air seceguk juga.
"Mungkinkah orang liehay yang Ouw Peehu bilang ini Cek
Seng Cu adanya?" Sin Cu menduga. Tapi karena orang
agaknya terburu-buru, ia tidak berani menanyakan
keterangan.
Bertiga mereka lantas berpisah. Seberlalunya suami isteri
itu, baru Sin Cu periksa pedang mustika dari istana itu. Ia
dapatkan dua ukiran huruf "Cie Hong." Itulah rupanya,
namanya pedang itu, yang samar-samar mengeluarkan sinar
biru muda.

534
Kapan ia ingat kejadian semalam, nona ini menghela
napas. Ia lihat hari sudah jadi terang sekali, matahari mulai
naik tinggi, di laut tertampak sinar berkilauan seperti emas.
Dari tangsi tentara rakyat ia pun mendengar suara terompet.
Ia tidak mau berdiam lebih lama, lantas ia berangkat.
Belum lama, Sin Cu mendapat dengar suara tindakan kaki
kuda mendatangi dari arah belakangnya, ia lantas saja
menoleh. Ia lihat sepasang muda-mudi, yang lari
mengaburkan kudanya ke arahnya. Ia pun lantas mengenali
Seng Hay San dan Cio Bun Wan. Karena di antara mereka
tidak ada
Yap Cong Liu atau Pit Kheng Thian, hatinya menjadi lega, ia
lantas memutar tubuh, untuk menyambut mereka itu.
"Aku bilang bocah ini bukan orang baik-baik, suko, kau
masih tidak percaya!" terdengar suaranya Nona Cio. "Eh,
mengapa kau pergi dengan diam-diam?"
Justeru orang telah datang dekat padanya, Sin Cu dengar
nyata suaranya nona itu. Ia mengarti perkataan serta
pertanyaan itu diartikan dan dimajukan kepadanya. Ia lantas
angkat pedangnya, ia tertawa sedih, karena tak tahu ia
bagaimana harus memulai membuka pembicaraan.
Setibanya, Bun Wan agaknya tercengang, dia mengawasi
saja pemudi yang menyamar sebagai pemuda itu.
"Apa? Kau seorang wanita?" kemudian dia tanya, heran.
Sin Cu terkejut. Ia lekas memeriksa dirinya. Segera ia dapat
kenyataan, ujung rambut di dekat kupingnya telah meroyot
turun. Setahu kapan, ikat kepalanya telah terbuka di pinggiran
itu. Mungkin itu disebabkan terjambret Law Tong Sun atau

535
kebentur sela-sela batu tadi. Sekarang pun ia sadar kenapa
Ouw Bong Hu mengenali penyamarannya itu, ialah dari
rambutnya itu.
Bun Wan sekarang mengarti kenapa orang berlaku ceriwis
kepadanya.
Akhir-akhirnya Sin Cu bersenyum. Tenang hatinya
sekarang.
"Adik, kau ambil pedang ini," kata ia, manis. Dengan "adik"
ia artikan adik perempuan.
Bun Wan heran. Ia kenali pedang ayahnya itu. Ia sampai
lupa menegaskan orang sebenarnya pria atau wanita.
"Kenapa pedang ayah berada di tanganmu?" dia menanya
kemudian.
"Janganlah kau menanya, kau terima saja pedang ini," Sin
Cu bilang. "Kau anggap saja bahwa ini ada persembahanku
untukmu. Sekarang ini ayahmu ada sangat berduka, ia
memerlukan kau mendampinginya untuk menghiburi. Baik kau
lekas pulang untuk menjenguknya. Aku pun hendak pergi.
Adik Bun Wan, kau harus baik-baik merawati ayahmu itu, kau
mesti menghiburi dia hingga hatinya menjadi lega..."
Sin Cu bicara dengan sungguh-sungguh, hingga ia mirip
dengan gadisnya Keng To sendiri, maka itu, hati Bun Wan
tergerak, lenyaplah kecurigaannya. Ia jadi ingat ayahnya
hingga ia berkuatir, ingin ia segera pulang. Ia menyambuti
pedang itu.
"Terima kasih!" ia mengucap, lalu ia ajak Hay San mengasi
lari kuda mereka.

536
Sin Cu mengawasi orang pergi sampai mereka itu lenyap
dari pandangan mata, lalu ia menghela napas.
"Bocah ini tajam matanya," katanya di dalam hatinya.
"Seng Hay San ini menang daripada suheng-nya"
Hay San nampaknya tolol, ia tak secerdik Keng Sim, yang
romannya pun tampan. Tadinya Sin Cu heran kenapa Bun
Wan pilih pemuda itu, sekarang baru ia mengarti. Sendirinya
ia menjadi berduka. Beberapa bulan ia berada bersama Keng
Sim, sekarang semua itu lenyap bagaikan impian...
Nona ini angkat kepalanya, dongak melihat langit, ia
dapatkan matahari merah telah naik semakin tinggi. Ia
berpaling ke arah laut, ia tampak air laut bergemirlap
bagaikan kaca. Hari itu benar-benar indah. Di antara langit
biru terlihat burung-burung walet laut berterbangan.
Sedetik itu, ia sadar akan dirinya, maka lantas ia buka
tindakan kakinya, untuk melanjuti perjalanannya yang telah
tertunda sekian lama.
Beberapa hari kemudian, Sin Cu mulai menyeberang di
sungai Tiangkang. Ia naik sebuah perahu yang menyusur
gelombang. Di tengah-tengah sungai, pikirannya melayang. Di
luar kehendaknya, ia terbayang kepada saat-saat pertama dari
pertemuannya dengan Tiat Keng Sim. Saat-saat itu telah
lantas lenyap mengikuti aliran sungai...
Kuda Ciauwya Say-cu ma telah dititipkan di rumah Thio Hek
di tepi sungai Tiangkang, setibanya di seberang, Sin Cu sudah
lantas menuju ke rumah orang she Thio itu. Ia girang akan
mendapatkan kudanya tidak kurang suatu apa, malah
nampaknya lebih segar, berkat rawatan yang sempurna.
Binatang itu pun gembira menemui majikannya. Maka Sin Cu

537
girang berbareng terharu. Ia tahu, begitu banyak ia kenal
orang, sahabatnya paling kekal adalah kuda jempolan ini.
Keluarga Thio Hek menanyakan urusan melawan kaum
perompak, mereka girang akan mendengar keterangan bahwa
kawanan penjahat itu sudah diusir ke laut. Mereka pun girang
waktu diberitahukan, Thio Hek sendiri akan pulang tidak lama
kemudian. Mereka lantas memuji kaum penyinta negara yang
mengambil bagian dalam penindasan perompak terutama
mereka puji Sin Cu, mendengar mana si nona sendiri terharu
berbareng jengah.
Di rumah Thio Hek ini si nona tidak berdiam lama, cuma
semalaman, lalu besoknya pagi ia berangkat menuju ke barat,
meninggalkan wilayah Kanglam yang permai itu. Selang
sebulan lebih, tibalah ia di daerah pegunungan Kiu Leng di
barat daya. Di sini ia melihat pemandangan alam yang beda
dengan Kanglam. Kalau Kanglam ada bagaikan nona-nona
manis, barat daya ini seperti pemuda-pemuda sederhana.
Tiba-tiba ia dapat suatu perasaan aneh. Ia ingat Keng Sim dan
Cong Liu, ia umpamakan Keng Sim sebagai bunga bouwtan di
taman di Kanglam, dan Cong Liu seperti pohon cemara di
tanah datar kedua propinsi Inlam atau Kuiciu.
Nona ini melanjutkan perjalanannya. Ia hendak melintasi
Kuiciu menuju ke Inlam. Di Kuiciu ia tampak gunung jauh
terlebih banyak, puncaknya berentet-rentet begi-tupun
rimbanya, rimba cemara yang lebat. Di mana saja, ia dapat
mendengar nyanyian kaum wanita suku bangsa Biauw dan
melihat wanita bangsa itu bekerja di sawah ladang, bekerja
rajin danulat seperti pria. Mereka itu sangat berbeda dari
nona-nona Kanglam yang seperti tak pernah keluar rumah.
Sin Cu dandan sebagai pemuda, melihat sikap wajar dari
wanita Biauw itu, ia likat sendirinya, maka ia cari tempat sunyi
di mana ia salin pakaiannya, untuk kembali menjadi seorang

538
nona. Orang Biauw senang sekali menyambut tetamu asing, di
tengah jalan di mana ada peseban peranti beristirahat, tentutentu
ada disediakan air minum yang diambil dari sumber di
kaki gunung serta cauwee, ialah sepatu rumput, untuk kaum
pelancong melenyapkan dahaganya atau menukar sepatunya
yang rusak. Sekalipun keluarga miskin, kalau mereka
kedatangan tetamu, perlu sekali mereka melayani tetamunya
supaya menjadi puas. Karena ini, sebagai satu pemudi, Sin Cu
tidak nampak kesulitan dalam perjalanannya ini.
Setelah berjalan setengah bulan, ia tiba di barat Kuiciu di
tempat yang disebut Yamacoan. Dari situ, lagi enam atau
tujuh hari, ia akan melintasi wilayah bangsa Biauw itu dan
akan sampai di batas propinsi Inlam. Sore itu Sin Cu
menumpang di rumah seorang Biauw di mana cuma ada dua
penghuninya, ibu dan puteranya, tetapi si putera bekerja di
rumah touwsu, kepala suku bangsa, maka itu, tinggallah si ibu
seorang diri. Nyonya ini menyembelih seekor ayam semenggamengganya
untuk menyuguhkan tetamunya. Sin Cu malu hati,
ia membantui memasak beras.
Di Kuiciu Barat, orang Han dan Biauw hidup bercampuran,
dari itu ada banyak orang Biauw yang dapat berbicara
Tionghoa, demikian nyonya rumah ini, meskipun ia tidak dapat
bicara lancar, perkataannya masih dapat di mengerti Sin Cu.
Dari itu mereka dapat memasang omong.
Habis bersantap, nyonya rumah dan tetamunya duduk di
luar rumah di bawah sebuah pohon. Nyonya itu senang sekali
terhadap tetamunya, ia cekal tangan si nona seraya berkata :
"Banyak aku melihat nona-nona bangsa Han, cuma kau yang
melebihkan cantiknya wanita Biauw yang tercantik! Lihat
tanganmu, begini halus dan putih, seperti kepunyaan tuan
puteri dalam ceritera saja?"

539
Sin Cu likat dipuji, dengan bersenyum malu-malu ia kata:
"Mana dapat aku dibanding sama nona-nona bangsamu?
Mereka itu pandai sekali bekerja, masak nasi, bercucuk tanam
dan bersulam. Aku justeru sangat mengagumi mereka..."
Nyonya itu tertawa.
"Berapa usia kau, nona?" ia tanya.
"Tujuh belas tahun," menjawab Sin Cu.
"Sudah punya mertua atau belum?"
"Tidak," sahut Sin Cu, mukanya merah.
"Kita di sini, pemudi umur tujuh atau delapan belas tahun
jarang sekali yang belum menikah," berkata nyonya rumah,
"apa pula yang cantik seperti kau, yang melamar tentulah
siang-siang datang mendobrak pintu!"
"Masih begitu muda sudah menikah?"
Sin Cu menanya begitu tanpa ia mengetahui, di jamannya
itu, sudah umum nona Han menikah dalam usia seperti itu. Ia
tidak tahu sebab ia mengutamakan ilmu silat, perhatian tidak
sampai kepada soal usia pernikahan. Tengah mereka
memasang omong, tiba-tiba kuping mereka mendengar suara
tetabuan yang merdu, yang tercampur nyanyian nona-nona
Biauw. Sin Cu tidak mengarti kata-kata nyanyian itu tetapi
lagunya menarik hatinya, lagu itu seperti berirama asmara.
"Pernahkah kau menyaksikan upacara nikah orang Biauw?"
si nyonya tanya. Ia tertawa.
"Belum," menyahut Sin Cu, dengan hatinya ketarik. "Mari
kita lihat!"

540
Nyonya itu lantas ajak tetamunya pergi ke jalan dari mana
suara tetabuan datang. Melewati sebuah bukit, di sana ada
satu tanah datar berumput yang luas, di tanah datar itu,
mengitari segerombolan pohon bunga, sejumlah nona Biauw
berlari-lari mengitarinya, menari dan bernyanyi gembira sekali.
Di antaranya ada yang memainkan tetabuan berikut seruling,
yang lagunya merdu.
Selagi Sin Cu mengawasi dengan hati tertarik, tiba-tiba dua
pemuda Biauw menghampirkan ia, mereka membungkuk dan
bersenyum, terus mereka pentang kedua tangan mereka
seraya datang lebih dekat dengan berebut.
"Apakah artinya ini?" Sin Cu tanya heran.
Sebelum mereka itu menyahuti, si nyonya sudah bicara
dalam bahasa Biauw kepada mereka itu, lantas mereka
berlalu, romannya kecele. Si nyonya memetik dua tangkai
bunga putih ia tancap itu di rambut si nona dekat kupingnya,
sembari bersenyum ia kata: "Siapa suruh kau begini cantik,
sampai bocah-bocah itu berebutan mengajak kau menarikan
bunga?"
"Apa itu menarikan bunga?" Sin Cu tanya.
"Bukankah itu menarikan bunga?" si nyonya balik menanya
seraya tangannya menunjuk ke depan, kepada nona-nona dan
pemuda-pemuda yang tengah menari di antara bunga-bunga
seraya memainkan tetabuan. Malah segera juga mereka itu
berpasangan, terus menari dan bernyanyi.
"Sungguh menarik!" kata Sin Cu tertawa. "Sayang aku tidak
bisa bernyanyi dan menari!"

541
"Aku tahu kamu nona-nona Han pemaluan, maka itu aku
tancapi bunga di rambutmu!" berkata si nyonya sambil
tertawa.
"Dengan menaruh tanda bunga ini, orang jadi tidak datang
mengajak menari?" Sin Cu tanya pula.
"Benar. Itu artinya orang sudah punya kekasih tetapi
kekasihnya tidak hadir di sini, kau jadi cuma datang untuk
menonton. Jangan kau gusar, nona, tanpa kau berbuat begini,
bagaimana juga kau tidak dapat menampik bocah-bocah itu,
pasti mereka tidak mau mengarti. Eh ya, sebenarnya kau
sudah punya kekasih atau belum?"
Parasnya Sin Cu merah dengan mendadak. Tanpa merasa,
ia menjadi kesepian. Tapi tetabuan dan nyanyian menggema
di kupingnya. Tidak lama, ia menjadi biasa pula, ia kembali
bergembira.
Sang Puteri Malam makin lama naik makin tinggi. Jumlah
pasangan muda-mudi pun tambah makin banyak. Sabansaban
ada pasangan, yang bergandengan tangan masuk ke
tempat pepohonan lebat, seperginya mereka, tempatnya
lantas diambil lain pasangan. Begitu seterusnya, bergantian.
"Beginilah kebiasaan kami mencari pasangan!" kata si
nyonya sambil tertawa. “Ini pun tanda dari suatu pernikahan."
Sin Cu likat tetapi ia tertarik hatinya.
"Pernikahan?" tanyanya. "Mana nona pengantinnya?"
"Segera dia akan muncul!"
Lewat sesaat lalu tertampak dua orang laki-laki dengan
baju kembang dan panjang muncul seraya menuntun seekor

542
kerbau, mereka jalan mengitari gelanggang, lantas mereka
disambut tampik sorak, terus mereka dirubungi sejumlah pria,
yang mengepung kerbau itu, yang diikat ke empat kakinya,
kemudian muncul seorang sebagai dukun, dengan kampak dia
mengampak tiga kali kepala kerbau itu, setelah binatang itu
tak sadarkan diri, pemuda-pemuda itu lantas berebut
mengeset kulitnya, memotong dagingnya, untuk dipanggang
di situ juga. Sebab inilah upacara mereka yang disebut
"Memukul kerbau."
"Habis memukul kerbau, sepasang mempelai segera akan
datang!" si nyonya berkata kepada tetamunya.
"Siapa itu yang ada hajat?" tanya si nona. "Begini ramai!"
"Orang miskin mana bisa menyembelih kerbau demikian
gemuk? Inilah touwsu kami yang menikahkan puterinya." Baru
sekarang si nyonya mengasi keterangan, maksudnya akan
menggirangkan tetamunya.
Sin Cu benar-benar bergembira. Ia lantas memasang mata,
menanti mempelai. Tiba-tiba tetabuan berhenti, tanah datar
menjadi sunyi. Lalu terlihat delapan pasang bocah pria dan
wanita mengiringi sepasang mempelai. Pengantin perempuan
memegang payung kertas kembang mentereng, dan
pengantin laki-laki memakai bunga besar di dadanya, hingga
separuh mukanya kena teralingi. Di tanah datar, mereka
disambut dengan tampik sorak. Pengantin perempuan lantas
menyerahkan payungnya pada pengiringnya, dan pengantin
laki-laki ada orang yang menyingkirkan bunganya itu, untuk
dikasi pakai pada bakal isterinya.
Sekarang terlihat tegas wajah si mempelai laki-laki itu.
Melihat dia, Sin Cu berdiri terbengong, hingga hampir ia tidak
mempercayai matanya. Pengantin itu adalah Siauw Houwcu!
Baru satu tahun Sin Cu tidak melihat Siauw Houwcu, dia telah

543
jadi lebih tinggi dan besar banyak, akan tetapi dibanding sama
pengantin perempuan, dia masih terlebih kate (pendek).
Nona Ie menjadi heran sekali. Siauw Houwcu menjadi
pengantin orang Biauw! Coba suasana tidak demikian rupa,
mau ia percaya bocah itu tengah bersandiwara. Bukanlah
Siauw Houwcu memangnya gemar bergurau? Kenapa si bocah
menikah? Bukankah dia telah pergi mengikuti Hek Pek Moko?
Kenapa dia berada di sini dan sendirian saja? Ke mana
perginya Hek Pek Moko? Kenapa puteri touwsu menikah sama
Siauw Houwcu? Pusing kepala si nona. Tidak dapat ia
menjawab semua pertanyaan itu.
"Kenapa, eh?" si nyonya tanya, tertawa. "Kau sangat
heran? Mempelai laki-laki itu ada orang bangsamu!"
"Kenapa bocah itu datang kemari?" Sin Cu tanya. "Kenapa
touwsu menikahkan puterinya dengannya? Tahukah kau
sebabnya?"
Nyonya itu menggeleng kepala sambil tertawa.
"Kami penduduk biasa, mana kami dapat campur tahu
urusan keluarga touwsu?" dia menjawab. "Dulu-dulu memang
tidak banyak pernikahan campuran Han dan Biauw tetapi
sekarang sudah umum, tidak aneh lagi!"
Tentu saja, Sin Cu bukan heran akan halnya pernikahan
campuran, hanya kenapa Siauw Houwcu berada sendirian dan
kenapa dia menikah sama puteri ketua suku Biauw itu.
"Kau bilang mempelai laki-laki bocah bukankah di kalangan
bangsamu ada isteri bakal sejak masih kecil?" tanya si nyonya.
Tapi pun kebiasaan ini berlaku di antara bocah umur dua tiga
tahun sudah dinikahkan dan bakal isterinya lebih tua belasan

544
tahun, “Isteri" itu diambil, untuk merawati suami ciliknya,
hingga ia mirip ibu merawati anak.
"Puteri touwsu tahun ini berusia enam belas," berkata pula
si nyonya, "dia dinikahkan sebab menurut dukun, jodohnya
cocok sekali. Mempelai ini berumur empat belas, jadi usia
mereka tidak beda banyak."
Pemuda-pemuda Biauw itu telah memanggang matang
daging kerbaunya, mereka dahar itu sambil minum arak,
mereka gembira sekali, saban-saban mereka bersorak.
"Dalam pesta pernikahan kami, tetamu tak usah diundang
lagi," berkata si nyonya. "Kau pun boleh turut dahar daging
panggang itu."
"Ah, aku tidak lapar."
"Kalau kau tidak dahar daging atau tidak minum arak, itu
artinya kau tidak memberi muka pada tuan rumah," si nyonya
mengasi tahu. "Baiklah, kau tentu malu bercampuran sama
anak-anak itu, nanti aku yang ambilkan."
Sin Cu tidak perdulikan nyonya itu, ia hanya mengawasi
Siauw Houwcu. Ia menjadi lebih heran mendapatkan bocah itu
diam saja, matanya juga mengawasi hanya kesatu jurusan.
Siauw Houwcu tidak lincah lagi seperti biasanya, dia malah
mirip boneka kayu, dia dapat orang perbuat sesukanya. Dari
heran, si nona jadi bercuriga.
Tiba-tiba seorang pemuda Biauw bernyanyi dalam bahasa
Tionghoa:
"Puteri Malam di atas langit dikawani mega dadu yang
indah permai, burung hong di muka bumi bagaimana dapat

545
dipasangi burung gaok? Haha! Nona yang begini cantik
kenapa dijodohkan baba begini jelek?"
Sebagai sambutan, seluruh hadirin bersorak ramai.
Sembari bernyanyi, orang itu muncul dari antara orang
banyak. Melihat dia itu, Sin Cu kata dalam hatinya: "Hm! Kau
katakan Siauw Houwcu si baba jelek tapi sebenarnya dia jauh
lebih ganteng dari padamu!"
Pemuda itu bermuka merah tidak keruan akibat banyak
minum arak, rupanya menjadi jelek. Dia mengham-pirkan
Siauw Houwcu, dia mengusap pipi orang seraya berkata:
"Baba kecil, mari aku lihat gigimu sudah tumbuh semua atau
belum?"
Siauw Houwcu diam saja, cuma mendadak tangannya
terangkat.
"Plok!" demikian satu tamparan, atas mana pemuda jail itu
menjerit kesakitan, tubuhnya terpental roboh, dua buah
giginya copot berdarah!
Para hadirin ribut tertawa.
Lalu seorang lagi bernyanyi:
“Inilah binatang kielin dipasangi dengan burung hong,
bukannya burung hong direndengi dengan gaok!"
Sin Cu bisa melihat, kalau tadinya orang bersikap
menggoda Siauw Houwcu, sekarang mereka itu dipengaruhi
rasa heran dan kagum. Si nyonya sementara itu telah
membawa datang sebuah lodong arak serta sepotong daging
kerbau. Ia serahkan semua itu kepada tetamunya.

546
"Bocah itu sudah sinting, kalau tidak, tidak nanti dia main
gila seperti barusan," katanya.
"Siapa bocah itu?"
"Dia anaknya salah satu kepala di bawahan touwsu.
Memang sudah lama dia gilai puteri touwsu malah pada tahun
yang lalu, dia telah menari bunga sama puteri itu. Nampaknya
puteri pun menyukai bocah itu. Setahu kenapa sekarang
mendadak touwsu jodohkan puterinya pada bocah Han ini
yang tidak terang asal-usulnya. Bocah ini rupanya tidak puas,
dia minum banyak arak, lalu dia menggoda. Ha, bocah Han itu
liehay! Kau tidak tahu, nona, bocah jail itu ada seorang kosen
di antara pemuda-pemuda kami!"
Sin Cu berdiam tetapi kecurigaannya bertambah. Siauw
Houwcu baru berumur empat belas tahun, tak tahu dia urusan
pernikahan. Kalau dia tidak setuju, dengan kepandaian yang
ada padanya, siapa dapat memaksa dia? Sekarang kenapa dia
diam saja? Kenapa dia mau direndengi sama pengantin
perempuan ini? Kenapa dia bisa menghajar pemuda jail itu?
Itu waktu ada terdengar orang meniup terompet tanduk
kerbau yang panjang, hingga beberapa kali, lalu tertampak
sebarisan tukang musik.
"Upacara nikah sudah dimulai!" berkata si nyonya.
Seorang tetua Biauw mengambil dua buah cawan tanduk,
semuanya diisikan arak dicampur darah kerbau, lalu orang tua
itu berseru sebagai menyanyi: "Minum arak perpaduan dua
cawan, saling menyinta sampai di hari tua!" Terus dua cawan
itu dibagi kepada mempelai.
Nona pengantin menyambut dengan malu-malu, baba
pengantin tetapi menyentil cawan seraya berkata dengan
nyaring: "Ayahku telah memesan, sebelum aku dewasa, aku

547
dilarang minum arak!" Dan cawan itu mental tinggi, araknya
tumpah berhamburan. Maka basahlah si orang tua pemimpin
upacara itu!
Tak tahan lagi, Sin Cu tertawa. Bukankah lucu Siauw
Houwcu masih ingat pesan ayahnya itu?
Tetua itu terkejut. Tumpahnya arak campur darah itu
beralamat buruk.
Sin Cu terus tertawa di dalam hati, ingin ia menyaksikan
lebih jauh.
"Kasikan lagi dia satu cawan!" tiba-tiba satu suara dalam
dan seram, lalu orangnya muncul. Dia mirip orang Han akan
tetapi dandan sebagai orang Biauw, usianya empat puluh
lebih, romannya bengis. Dia yang memerintah tetapi dia
sendiri yang menyiapkan arak campur darah itu, ia sendiri
juga yang membawa ke depan si baba pengantin, terus dia
mengangsurkannya.
"Aku bilang aku tidak minum arak!" Siauw Houwcu bilang.
Mendadak ia menyentil pula dengan dua jari tangannya.
"Jangan main gila!" membentak si orang bengis, yang
menyingkir dari itu sentilan, menyusul mana, cangkir
disesapkan ke tangan Siauw Houwcu, terus ia paksa menuang
ke mulut orang selagi si baba pengantin berseru.
Siauw Houwcu gelagapan, ia lekas menyemburkan keluar
arak campur darah itu, meski demikian, ia dapat minum juga
sedikit. Semua itu terjadi dengan cepat, hingga para hadirin
menyangka baba pengantin meminumnya sendiri. Melainkan
Sin Cu yang melihat nyata.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar