Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 6
Yang hebat adalah
kesebatannya.
Ishii sudah lantas berdiri
pula di tengah-tengah lingkaran begitu ia menginsafi ia hampir keluar dari
situ, ia menjaga diri akan tetapi ia masih merasakan sakit pada pundaknya. Ia
telah mendengar peringatannya Hasegawa, ia mau berhatihati.
Begitulah ia menyingkir dari
serangan dengan memutar tubuhnya. Inilah justeru yang dikehendaki Keng Sim.
Tepat bebokong orang menghadapi ianya, segera ia melanjuti
serangannya ke jalan darah
thiancu hiat, jalan darah yang terlemah. Sekalipun orang berlatih Kimciongtiauw
atau Tiatpousan, siapa tertotok jalan darahnya itu, dia mesti celaka.
Demikianlah Ishii Taro, lantas
saja dia menjerit, dari mulutnya menyembur darah hidup. Dia tertotok tepat,
tubuhnya terus roboh. Jago-jago Nippon menjadi kaget,
mereka memburu untuk
meno-longi. Ishii berwajah pucat, napasnya empas-empis. Dia telah terluka di
bahagian dalam.
Jago-jago Nippon itu menjadi
panas hatinya, mereka maju mengham-pirkan Keng Sim, wajah mereka menunjuki
kemarahan mereka.
Keng Sim dapat lihat sikap
mengancam itu, ia gendong kedua tangannya di punggungnya, sembari tertawa, ia
kata: "Adakah ini semangat bushido dari Nippon?"
Mendengar itu, Hasegawa
berseru: "Semua mundur!"
Sejenak itu, sunyilah
gelanggang itu. Semua jago Nippon berhenti beraksi.
Dengan tindakan tetap,
Hasegawa menghampirkan. Ia berwajah bermuram durja.
"Kau juga mundur!"
berkata Hasegawa pada Keng Sim selagi orang hendak menegur
padanya."Tahukah kau, siapa aku? Aku ada dan sembilan, kau bukan
tandinganku! Siapa pemimpinmu?"
Mendahului Keng Sim, Pit Kheng
Thian sudah lantas majukan dirinya. Ia bukannya pemimpin akan tetapi ia anggap
dirinya begitu. Ia maju begitu lekas perkataan Hasegawa diterjemahkan.
"Kau cari aku?" dia
kata sambil tertawa.
"Bagus, bagus sekali!
Hendak aku belajar dari kau, dan sembilan!"
Hasegawa memperlihatkan
jempolnya.
"Kaulah si pemimpin
besar?" dia tanya. Di pihak Nippon terdapat pengkhianat, maka itu mereka
ketahui siapa jadi toaliongtauw di lima propinsi Utara. Cuma Hasegawa tidak
tahu apa itu toaliongtauw, yang ia ketahui hanya pemimpin besar.
Kheng Thian puas sekali.
"Kiranya kau ketahui namaku yang besar?" pikirnya. Terus ia tertawa.
Lalu ia menjawab:
"Orang gagah kita banyak,
tidak sedikit yang menangi aku, tetapi kau tidak usah menemui pemimpin
kami..."
"Jadi kau bukan si
pemimpin besar?"
Hasegawa mengawasi, matanya
mendelik.
"Maaf untuk pujianmu?
Tidak berani aku mengangkat diriku menjadi pemimpin besar!" ia menjawab.
"Bangsa kamu tidak jujur!
Apa perlu kamu merendah tidak keruan?" menegur Hasegawa. "Baiklah,
sebagai dan sembilan, aku tantang pemimpin besarmu!"
Seluruh gelanggang sunyi
senyap. Terutama di pihak Nippon, hati mereka kebat-kebit. Mereka senang jago
mereka maju, tapi di sebelah itu, mereka kuatir jago ini pun gagal dan mereka
bisa dapat malu besar. Di sini terletak kehormatan mereka! Maka mereka
mengawasi dengan mata dibuka lebarlebar.
Hasegawa dan Pit Kheng Thian
saling mengawasi.
Keduanya sudah siap sedia
tetapi tidak ada satu yang hendak mulai turun tangan.
Juga Sin Cu dan Keng Sim
kurang tenang pikirannya.
Mereka sudah bertempur, mereka
insaf sulitnya merobohkan musuh dan delapan. Sekarang Pit Kheng Thian
menghadapi dan sembilan. Kheng Thian pun mengaku sebagai pemimpin mereka. Tidak
baik kalau sahabat ini gagal.
Selagi banyak mata mengawasi
mereka berdua, tiba-tiba Kheng Thian dan Hasegawa berseru berbareng, tubuh
mereka sama-sama dimajukan, untuk menyerang. Keng Thian sudah lantas menggunai
ilmu silat Toasut payciu, Tangan Bantingan.
Ia memang bertenaga besar,
ilmu silat ini cocok untuknya. Keng Sim kagum menyaksikan kawan itu mengerahkan
tenaganya. Di pihak Hasegawa, dia pun menyambut serangan itu. Baru mereka
bergebrak, atau keduanya telah mundur sendirinya, dengan terhuyung tiga tindak.
Kejadian ini mengherankan para
penonton. Cuma Keng Sim yang terkejut untuk caranya Hasegawa. Dia ini nyata
menggunai tipu meminjam tenaga lawan. Hanya saking hebatnya Kheng Thian, dia
pun turut mundur.
Hasegawa menggunai Jujitsu,
yang asal mulanya adalah ilmu silat Thaykek Kun yang dibawa masuk ke Nippon di
mana ilmu itu diolah pula hingga menjadi sedikit berbeda.
Di puncaknya kemahiran, dengan
itu orang bisa meminjam tenaga lawan untuk melayani atau merobohkan lawan.
Kheng Thian kehilangan
keseimbangan tubuhnya ketika ia ditimpali Hasagawa itu, sedang ia telah
kerahkan seluruh tenaganya, syukur untuknya, ia pun paham Lweekang dengan baik,
ia masih sempat mempertahankan diri, hingga tidaklah ia sampai roboh. Tadi itu,
ia maju menyerang dengan tangan
kanannya mengancam, dengan
tangan kiri ia bekerja, menotok jidatnya lawan di jalan darah pekhouw hiat.
Ia gagal, tubuhnya maju ke
depan, tapi segera ia menahan diri seraya terus mundur, maka juga ia mundur
dengan terhuyung.
Segera setelah bergerak pula,
Kheng Thian bersilat dengan ilmu silat Hangliong Ciang, atau Menaklukkan Naga,
tangan kirinya keras, tangan kanannya lemas. Ia tidak sudi merapatkan diri.
Sebaliknya, Hasegawa ingin bertempur rapat, supaya ia bisa menyekal lawan,
untuk dibanting atau dibikin terpental. Maka kedua pihak tidak lantas dapat
mewujudkan pengharapan mereka.
Lagi beberapa puluh jurus,
masih saja mereka sama tangguhnya. Pihak Nippon menjadi heran. Kenapa jago
mereka tidak juga berhasil? Inilah tidak biasanya.
Pertandingan ini pun tidak
seseru tadi. Mereka tidak mau pikir, siapa lawannya jago mereka itu.
Sebaliknya, Keng Sim dan Sin Cu ketahui, pertempuran lagi mendekati saat
terakhir, puncaknya kehebatan.
Kheng Thian sebenarnya cemas
sendirinya. Keng Sim dan Sin Cu menang dengan gampang, hasil mereka gemilang.
Ia sendiri? Kalau ia kalah, sungguh memalukan, apa pula ia telah menempati diri
sebagai toaliongtauw... Ia tahu, dua-dua Keng Sim merobohkan lawan mereka itu
dengan ilmu totok. Ia
sudah mencobanya, ia selalu
gagal. Ia sendiri, sebaliknya, tidak dapat kasi dirinya ditempel lawan itu.
Lagi beberapa jurus, barulah
Sin Cu dan Keng Sim berlega hati. Keng Sim kata pada kawannya: "Pit Toako
dapat berlaku keras dan halus, dengan begini, walaupun ia tak dapat menang,
tidak nanti ia kalah. Dan asal seri, pihak kita menang."
Sin Cu mengangguk.
"Dalam halnya kepandaian,
kelihatannya Hasegawa menang setingkat," ia kata. "Syukur Pit Toako
liehay ia punya Hangliong Ciang dan tenaga dalamnya lebih sempurna.
Dengan berlaku tenang, ia
tidak bakal kalah, yang aku kuatirkan ialah ia kurang sabar..."
Baru Sin Cu mengatakan
demikian, sudah terlihat Kheng Thian mengubah cara berkelahinya, ia menyerang
hebat sekali umpama kata bagaikan gelombangnya sungai Tiangkang yang menggulung
saling susul.
Hasegawa terdesak, ia mesti
main mundur, hingga kawankawannya mengawasi dengan hati memukul.
“Inilah berbahaya..."
kata Keng Sim pelahan.
Segera terlihat Kheng Thian
berlompat maju, tangan kirinya dimajukan, untuk mementang lengan Hasegawa,
terus satu jeriji tangannya dipakai menotok jalan darah tionghu hiat.
Serangan itu hebat tetapinya
pun berbahaya untuk si
penyerang sendiri.
Sin Cu kurang mengarti.
"Kau artikan
bagaimana?" ia tanya Keng Sim.
Belum lagi si orang she Tiat
menyahuti, Hasegawa nampak
sudah beraksi. Dia membebaskan
diri, sebaliknya dengan
466
sebat, dengan kedua tangannya,
dia pegang lengan Kheng
Thian, untuk terus ditelikung
ke belakang. Di kalangan Jujitsu,
itulah yang dinamakan tipu
"Membalik tangan, melempar
sendiri." Di mana lengan
Kheng Thian sudah dipegang, asal
Hasegawa mengerahkan
tenaganya, mesti Kheng Thian kena
dibanting roboh.
Di luar dugaan, kedua lawan
itu nampak berdiri tegar
bagaikan patung batu. Hasegewa
tetap memegangi, ia tidak
angkat tubuh orang untuk
dibanting. Kheng Thian menancap
kedua kakinya bagaikan ia
sebuah tunggak, tubuhnya tidak
bergeming.
Kedua pihak saling mengawasi,
sinar mata mereka bengis,
tandanya keduanya gusar satu
pada lain. Di mata penonton,
mereka itu nampaknya lucu.
Kheng Thian telah menggunai
kesehatan tangannya,
hendak ia menotok.
Percobaannya itu gagal. Ketika ia dapat
menotok, ia rasai perut lawan
menjadi ciut, serangannya gagal
sendirinya. Ia terkejut, ia
tahu ia terancam bahaya terbanting,
maka ia lantas tabahkan hati
seraya memasang kuda-kuda
memberatkan tubuhnya. Dengan
begitu ia tidak dapat
diangkat, untuk dibanting.
Hasegawa memikir untuk
membanting lawannya, ia tidak
dapat mewujudkan itu. Ia
memegang lengan Kheng Thian
tetapi lengan itu lembek.
Untuk dapat membanting, ia mesti
pinjam tenaga lawan, sekarang
lawan itu seperti hilang
tenaganya. Ia pun tidak dapat
mengangkat, lantaran kudakudanya
Kheng Thian teguh sekali.
Maka keduanya saling berdiam,
mereka sama-sama tidak
berani melepaskan lengan
lawannya atau menggeser kakinya.
467
Pihak Nippon berdiam bengong,
habis itu, mereka
terbenam dalam kekuatiran.
Keng Sim pun cemas. Ketika Sin
Cu lihat sikap orang,
kesan baiknya terhadap orang
she Tiat itu bertambah, karena
ia tahu, di antara Keng Sim
dan Kheng Thian itu ada ganjalan
tak terkenta-rakan.
Dalam kekuatirannya, pihak
Nippon membikin banyak
berisik. Sin Cu tidak tahu apa
yang mereka perkatakan, sebab
ia tidak mengerti bahasa
Nippon. Ia lantas minta keterangan
dari Keng Sim.
"Mereka itu tidak
puas," sahut Keng Sim. "Mereka kalah,
mereka bilang pihak kita
menggunai ilmu siluman begitupun
sekarang Kheng Thian terhadap
Hasegawa."
Sin Cu bersenyum ewah.
"Mereka umumnya tidak
tahu liehaynya ilmu silat kita, apa
begitu cupat juga pandangan
dan mereka yang ke tujuh dan
ke delapan?" dia bertanya.
Keng Sim pun cemas.
"Mungkin pemimpin mereka
di belakang layar hendak
menggunai akal busuk,"
katanya. "Rupanya dia hendak
mengasut supaya orang-orangnya
menyerang kita secara
serampangan. Biasanya semangat
bushido mengalah
sesudahnya kalah. Ketika ini
mungkin mereka pakai untuk
mengacau..."
Dugaan Keng Sim ini tepat.
Malah segera terlihat orangorang
yang berjalan meng-hampirkan.
Di antara mereka ada
Kagawa dan delapan, yang tadi
dirobohkan Sin Cu, tapi habis
dipale, dia dapat pulang
tenaganya.
468
Keng Sim jadi mendongkol.
"Beginilah semangat
bushido kamu!" ia menegur.
Dasar dan delapan, Kagawa
jengah sendirinya, ia
merandak.
Adalah di saat itu, di
kejauhan terdengar suara berisik
bagaikan guntur. Segera
setelah suara itu, satu perompak
yang dandan sebagai opsir
berkata dengan nyaring: "Orang
Khina tidak dapat dipercaya!
Di satu pihak mereka kirim orang
bertanding sama kita, di lain
pihak mereka menyerang tangsi
kita! Kita mesti bunuh habis
semua telur busuk ini!"
"Telur-telur busuk ini
memakai ilmu siluman menjatuhkan
jago-jago kita, mereka mesti
dibasmi!" berseru beberapa
orang di antara rombongan
Nippon itu. "Maju!"
Benar-benar beberapa orang,
yang bersenjatakan golok
dan tombak, sudah lantas maju.
Keng Sim jadi mendongkol
sekali. Ia menyampok
tombaknya dua orang yang maju
paling depan, hingga tombak
itu mental tinggi dan jauh.
Setelah itu ia cabut pedangnya
seraya berseru: "Kamu
menghendaki ilmu silat sejati?" Terus
ia membabat dengan pedangnya
itu, maka beberapa golok
Nippon lantas kena ditabas kutung!
Mereka itu berjumlah besar,
mereka pun tidak jeri, mereka
merangsak terus. Di akhirnya,
Keng Sim dan Sin Cu menjadi
repot juga. Bahkan Keng Sim
segera kena dikurung. Beberapa
musuh menuju ke arah Kheng
Thian. Melihat sikap mereka itu,
Sin Cu terkejut. Keng Sim
terancam bahaya tetapi tak sehebat
ancaman Kheng Thian, karena
toaliongtauw itu lagi melayani
Hasegawa.
469
Umpamakata, satu bocah pun
bisa serang Kheng Thian
tanpa dia ini dapat
mengelakkannya. Maka tidak bersangsi
pula, Sin Cu berlompat melewati
kepala beberapa orang,
untuk menolong Kheng Thian
itu.
Sejumlah musuh
berteriak-teriak melihat orang berlompat
tinggi. Malah musuh yang
bersembunyi, yang bersenjatakan
panah, sudah lantas menyerang.
Karena ini, selagi mendekati
Kheng Thian, Sin Cu kena
terhalang anak panah. Terpaksa,
lantaran bisa berlompat lebih
jauh, ia gunai pedangnya
menangkis anak-anak panah itu.
Ketika itu terlihat Kagawa
dengan golok di tangan, lari
mendatangi. Kelihatannya dia
gusar sekali, dari mulutnya
terdengar kata-kata keras. Sin
Cu tidak mengarti bahasa
Nippon, ia tidak tahu apa yang
orang bilang. Ia cuma
menduga, orang tentu benci ia
sebab ialah yang merobohkan
orang itu.
Cuma sebentar saja, Kagawa
sudah lantas bertempur sama
si Nona Ie.
Beberapa musuh yang tadi
memburu kepada Kheng Thian,
karena tidak ada yang halangi,
telah datang dekat kepada
lawannya Hasegawa itu. Sin Cu
lihat ini, ia jadi berkuatir
bukan main. Sebab tidak ada
lain jalan untuk menolongi
kawan itu, terpaksa ia
berlompat menyingkir dari Kagawa,
terus ia menimpuk dengan tiga
buah kimhoa kepada mereka
itu. Justeru itu, Kagawa
lompat membacok, maka terpaksa Sin
Cu memutar tubuh, untuk
menangkis.
Hasegawa masih berkutat sama
Pit Kheng Thian, ia dapat
melihat orang hendak membantui
padanya, tentu membantu
dengan cara mengepung. Dasar
ia dan sembilan, ia tidak
senang sama cara mengeroyok
itu.
470
"Kamu semua mundur!"
ia bentak mereka itu.
Adalah itu waktu, dua buah
kimhoa menyamber dua orang
Nippon. Tidak ampun lagi,
mereka itu roboh. Hebat adalah
kimhoa yang ketiga, yang
menyamber ke arah Hasegawa.
Untuk menolong diri, terpaksa
jago ini melepaskan
pegangannya kepada Kheng
Thian, sambil berseru, ia
menangkis serangan senjata
rahasia itu dengan satu
sampokan. Ia berhasil, kimhoa
mental jauh.
"Bagus!" Kheng Thian
berseru. "Kau tidak sudi orang
bantui, begitu juga aku! Mari
kita bertempur terus!"
Sebenarnya selagi orang
melepaskan cekalannya dan
membentak kawannya, Kheng
Thian bisa membarengi
menghajar musuh ini, tetapi
sebab ia dapatkan orang satu
laki-laki, ia tidak ingin
berlaku curang. Ia juga hendak jaga
baik namanya sebagai
toaliongtauw.
"Bagus! Kau benar seorang
gagah!" berkata Hasegawa,
dalam bahasa Tionghoa yang
tidak lancar. Ia menepuk ke
pinggangnya, dari mana segera
ia mencabut keluar sebatang
golok yang tajam mengkilap.
Yang luar biasa ialah golok itu
lemas hingga dapat dilibatkan
di pinggang.
Senjata Kheng Thian adalah
toya Hangliong pang, karena ia
bertanding dengan tangan
kosong, ia tidak bekal senjatanya
itu.
Hasegawa telah tidak mengasi
ketika padanya, dua kali
beruntun ia diserang hebat,
hingga ia mesti berlompatan
mundur. Menampak orang
terdesak, Hasegawa tertawa
berkakakan. Dengan tiba-tiba
saja ia samber golok seorang
kawannya, golok mana terus ia
lempar pada lawannya itu.
471
"Sambutlah! Kita bertempur
dengan bersenjata golok!"
katanya. Ia berlaku adil
tetapi sebenarnya, imbangan kipa. Ia
memegang goloknya sendiri.
Kheng Thian sebaliknya asing
dengan golok orang itu. Maka
itu, ia kembali terdesak.
Oleh karena mereka terpecah
tiga, Kheng Thian, Sin Cu
dan Keng Sim tidak dapat
berhubungan satu dengan lain.
Kheng Thian melayani satu
musuh, walaupun ia terdesak, ia
tidak terancam bahaya
langsung. Sin Cu liehay pedangnya, ia
dapat membela diri. Berbahaya
adalah Keng Sim, yang
dikepung enam musuh. Syukur
Teng Bouw Cit dan The Kan
Louw, yang berada paling
dekat, sudah lantas menyerbu
mendekati dia, maka sebentar
kemudian, mereka bertiga bisa
merapatkan diri melayani musuh
yang mengeroyok itu. Bouw
Cit bersenjatakan cambuk
joanpian, ia dapat menyerang jauh
begitu juga Kan Louw, yang
gegamannya bandring gembolan,
maka siapa terbandring,
kepalanya hancur, tubuhnya remuk.
Mereka ini segera meminta
kurban. Begitu juga Keng Sim,
yang mengambil kedudukan di
tengah, yang main papas jari
tangan orang, hingga orang
tidak dapat terus memegang
senjatanya masing-masing.
Melihat tiga musuh liehay,
pihak Nippon tidak berani
merapatkan diri, mereka main
mengurung saja.
"Kita mesti labrak
mereka!" kata Keng Sim akhirnya. "Dapat
satu sudah pulang modal, dapat
dua sudah untung, tetapi kita
mesti dapat membinasakan
lebih!" Dan segera dia mulai
menerjang hebat. Ia ingin
membuka jalan.
"Tiat Siangkong, jangan
terburu napsu," Bouw Cit memberi
ingat. "Yap Toako sudah
mengatur siasatnya, dari itu kita
bertiga jangan mengacau siasatnya
itu."
472
Keng Sim suka percaya
keterangan ini, karena ia ketahui
kecermatannya ketua itu.
Karenanya, hatinya jadi lega.
Dengan berhati lega, ia dapat
emposan semangat.
Ketika itu dua musuh dan enam
hendak membokong Bouw
Cit. Mereka maju dari belakang
Keng Sim, yang kebetulan
maju ke depan. Bouw Cit tidak
ketahui itu. Tapi Keng Sim
bermata celi. Mendadak saja ia
putar tubuhnya dan
pedangnya menyambar. Tepat ia
dapat membabat jeriji
tangan kedua musuh itu!
Bouw Cit ketolongan, ia lantas
ambil kesempatan akan
melepaskan dua batang coayam
cian, panah ular api, yang
meluncur ke atas dengan
mengeluarkan sinar biru.
Dengan pertandaan ini ia minta
bantuan. Melihat panah itu,
kawanan perompak menyiapkan
pasukan yang bertameng
rotan, mereka ini membantu
dengan maju di muka,
tamengnya diatur rapi. Jumlah
tameng ada beberapa puluh
buah, semuanya menjadi
tedengan atau tirai, untuk
melindungi sambil maju
setindak demi setindak.
Sekarang ini sulit untuk Keng
Sim membabat jari tangan
musuh. Tameng menjadi rintangan.
Kalau toh ada serdadu
tameng yang roboh, segera
datang gantinya. Karena ini,
mereka bertiga mulai terdesak.
Barisan tameng itu berjumlah
seratus jiwa lebih.
Dalam saat sangat mengancam
itu untuk Keng Sim bertiga,
mendadak terdengar suara
sangat berisik di luar lapisan
kurungan, menyusul mana,
tertampak tentara perompak
menjadi kacau, di antara
mereka segera tertampak lebih jauh
datangnya satu pasukan
serdadu.
"Bala bantuan
datang!" Keng Sim berseru setelah ia melihat
tegas kepada pasukan yang baru
sampai itu.
473
Pasukan itu kecil saja,
jumlahnya tak sampai seratus jiwa.
Pakaian mereka juga aneh
ragamnya, ialah dandanan dari
segala nelayan. Jadi mereka
bukannya pasukan rakyat suka
rela, menampak mana, Keng Sim
kehilangan kegembiraannya.
Segera setelah datang terlebih
dekat, dari dalam pasukan
itu terlihat munculnya seorang
tua yang jenggotnya panjang,
yang tangannya menyekal
senjata seperti boneka rumput,
tetapi dengan itu, satu kali
ia menyerang musuh, lantas ada
beberapa musuh yang
terpelanting dan roboh. Sebab
gerakannya itu adalah gerakan
Toasut payciu, dalam hal
mana, orang tua itu ada
terlebih mahir daripada ini pemuda
she Tiat.
Keng Sim kagum bukan main
tetapi kekagumannya itu
segera berubah menjadi
kegirangan tidak terkira, sebab
sejenak kemudian, ia dapat
mengenali orang tua kosen itu
yang bukan lain daripada
gurunya. Kalau pada mulanya ia
tidak menyangka, inilah
disebabkan ia tak pernah memikirnya.
Di antara guru dan murid ini,
perpisahannya lebih banyak
daripada pertemuannya, apa
pula selama beberapa tahun
yang belakangan ini gurunya
itu, ialah Cio Keng To, sudah
mengangkat kaki pergi jauh ke
luar negara hingga Keng Sim
tidak ketahui lagi
gerak-geriknya. Maka sekarang munculnya
sang guru secara tiba-tiba ini
sungguh di luar terkaannya.
Maka juga ia heran berbareng
girang sekali.
Pasukan nelayan itu berjumlah
kecil tetapi mereka hebat,
mereka dapat satu melawan
sepuluh, maka itu setelah
mendobolkan kurungan lapis
luar, mereka sudah lantas
menerjang barisan tameng,
hingga barisan tameng ini mesti
membalik diri guna melawan
mereka.
474
Si orang tua segera memberi
tanda kepada muridnya, yang
ia kenali, setelah mana dia
maju terus, untuk menghampirkan
Pit Kheng Thian dan Hasegawa,
justeru dua musuh itu lagi
menghadapi saatnya yang
dahsyat. Kheng Thian menyerang
dengan goloknya, Hasegawa
menangkis. Hebat tangkisan ini,
Kheng Thian sampai kaget
hampir menjerit, disebabkan
telapakan tangannya dirasakan
sangat sakit, sampai goloknya
terlepas dari cekalan dan
terlempar, terus disamber lawannya,
yang dengan lantas membikinnya
patah dua, setelah mana,
jago asing itu meneruskan
menikam lawannya!
Di saat mati hidup itu, belum
sempat Kheng Thian berdaya,
tiba-tiba ia merasa ada orang
sambar tubuhnya dan terus
diangkat, hingga di lain
detik, tubuhnya itu terlempar di udara,
berjumpalitan dua kali, lalu
turun ke tanah. Karena ia
membantu menggeraki tubuhnya,
ia jatuh berdiri dengan tidak
kurang suatu apa. Kapan ia
melihat ke depan, ia tampak
seorang tua tengah menghadapi
Hasegawa dengan si orang
tua bersenyum dingin.
"Hai, orang tua, apakah
yang kau tertawakan?" Hasegawa
membentak, murka.
"Aku tertawakan kau
bangsa udang dari negara pulau!"
menyahut si orang tua, ialah
Cio Keng To. "Kau meniru
kepandaian Tiongkok, baru
mengerti beberapa jurus ilmu silat
golok, lantas kau aguli
dirimu!"
Cio Keng To bicara dalam
bahasanya sendiri, Hasegawa
dapat mengarti dengan baik.
Dia memang lebih mengarti
mendengar daripada berbicara
dalam bahasa Tionghoa. Dia
gusar atas teguran itu
walaupun ia menginsafi, pelajaran
silatnya benar ada cangkokan
dari Tiongkok. Oleh bangsanya,
kepandaian itu dianggap milik
sendiri, bangsanya tak mengaku
menjadi murid malah sebaliknya
me-ngagulkan diri. Dia ada
dan sembilan, belum pernah dia
memperoleh penghinaan,
475
maka itu tanpa banyak omong lagi,
dia menantang: "Kau
hunus golokmu, mari kita
bertanding!"
Keng To ada menggantung pedang
di pinggangnya akan
tetapi ia tidak hunus itu.
Itulah hinaan hebat untuk Hasegawa,
dia murka tak terkira. Dalam
murkanya itu ia tapinya masih
dapat tertawa bergerak. Ia
kata dengan nyaring: "Baiklah!
Sebenarnya tidak biasa aku
membinasakan orang tak
ternama, aku juga tidak niat
membunuhmu, akan tetapi kali
ini kaulah yang menyerahkan
dirimu kepada golok!" Lantas
saja ia maju menyerang, dengan
lebih dulu menekuk bengkok
pedang lemasnya itu.
Keng To berkelit, sembari
berkelit ia menyusuli dua jari
tangannya untuk menindih
belakang golok, hingga Hasegawa
menjadi heran, sebab ia tidak
menyangka orang demikian
sebat dan tekenannya pun
berat. Tapi goloknya lemas, ia
lekas menarik pulang, guna
dipakai membacok.
"Jikalau kau dapat
melayani aku tiga jurus, suka aku
mengasi ampun pada
jiwamu!" kata Keng To, yang kagum
untuk kegagahan orang. Ia
berkata sambil tertawa. Ia berkelit
pula dari bacokan itu.
Hasegawa tidak gubris ancaman
itu. Ia lihat orang tua dan
tidak bersenjata, kalau ia
kalah, atau jatuh di bawah angin, ia
malu sekali, maka itu dalam
murkanya, tanpa berpikir pula, ia
ulangi serangannya.
Menyaksikan sikap orang itu, Keng To
tertawa lebar. Sekarang ia
tidak berkelit lagi. Dengan kibaskan
tangan bajunya, ia menangkis.
Tangan baju itu, yang lebar,
pun dapat membuat matanya
Hasegawa kealingan. Di lain
pihak, dengan tangan kirinya,
dengan jari tangan, ia
menyentil. Dengan
memperdengarkan suara "Trang!" maka
golok itu mental balik, hampir
saja membentur jidat
majikannya sendiri.
476
Maka Hasegawa mesti mendak,
untuk berkelit. Justeru itu,
Keng To mengibas pula dengan
tangan bajunya, kali ini
Hasegawa merasakan sakit pada
telapakan tangannya. Tempo
ia mencoba untuk meng-geraki
goloknya, ia terkejut. Golok itu
seperti dililit tangan baju,
tidak dapat dikasi bergerak.
"Masih kau tidak hendak
melepaskan golokmu?" Keng To
membentak dengan ancamannya.
Tapi ia bukan cuma
mengancam, ia terus menarik
tangannya, dengan begitu
tangan bajunya ikut bersama.
Hasegawa masih tidak mau
melepaskan cekalannya,
dengan begitu dengan
sendirinya tubuhnya kena ditarik maju.
Tentu saja ia kaget tidak
terkira. Ia tahu orang menggunai
tenaga pinjaman, dan tenaga
orang itu jauh lebih menang
daripada tenaganya sendiri.
Celakanya ia telah mencoba akan
meloloskan goloknya itu,
kesudahannya sia-sia belaka. Maka
terpaksa ia melepaskan
cekalannya, tubuhnya sendiri
berlompat mundur untuk terus
lari. Dengan demikian, dalam
tempo ancamannya Keng To, sebagai
dan sembilan, satu jago,
ia kalah dengan kecewa,
meninggalkan golok dan lari...
"Golok yang
jempolan!" berkata Keng To. "Pantas golok ini
dihadiahkan kepada muridku!
Eh, aku telah beri ampun pada
jiwamu, mari serahkan sarung
golok itu!"
Hasegawa dengar suara itu
tetapi ia lari terus, atau
mendadak ia rasa ada orang
menepuk pundaknya. Ia lantas
memutar tubuh seraya menyerang
ke belakang. Gagal
serangannya itu. Ia lihat Keng
To terpisah dari ia setombak
lebih dan di tangannya orang
tua itu tercekal sarung goloknya,
yang di luar tahunya rupanya
telah diloloskan dari
pinggangnya.
Semua kawannya Hasegawa kaget
sekali. Tadinya mereka
tidak berani membantui, sebab
Hasegawa ada dan sembilan.
477
Sekarang pemimpin itu kena
dikalahkan secara demikian
mengecewakan, terpaksa mereka
itu memburu. Hasegawa
menanti sampai kawan-kawannya
itu tiba, terus ia merampas
sebatang golok.
"Sudahlah!" serunya,
yang mana disusuli dodetannya
kepada perutnya merupakan
silang empat, maka selagi
darahnya berhamburan, tubuhnya
roboh, jiwanya melayang.
Dia telah menjalankan harakiri
menepati kebiasaan bushido.
Lebih baik terbinasa daripada
terhina! Pihak perompak kate
(pendek) menjadi murka sekali.
Kagawa Ryuki dan delapan
sudah lantas tinggalkan Ie Sin
Cu, untuk memimpin kawankawannya
guna mengurung Cio Keng To.
"Sekarang bolehlah aku
mencoba-coba pedangku sendiri!"
kata Keng To dengan berani,
sembari tertawa. Dan ia hunus
pedangnya, ia bulang-balingkan
itu ke arah musuh, hingga di
antara suara
trang-treng-trong, banyak golok musuh yang
terbabat kutung.
Pedang Keng To ini ada pedang
curian dari istana, yang
membuatnya ia dicari
pemerintah. Pedang itu tak usah kalah
dengan pedang Cengbeng kiam
dan Pekin kiam buatan Hian
Kie Itsu. Dengan bersenjatakan
pedang, ia bagaikan harimau
tumbuh sayap. Ia lantas
bekerja sama dengan Ie Sin Cu, yang
telah menghubungi diri
kepadanya.
Pit Kheng Thian juga bekerja
keras untuk melabrak
musuhnya, cuma disebabkan
musuh berjumlah besar dan
mereka nekat, mereka hendak
menuntut balas untuk
Hasegawa, mereka jadi berani
luar biasa. Yang satu roboh,
yang lain merubul merangsak.
Barisan nelayan yang dipimpin
Keng To pun gagah sekali.
Mereka itu bersenjatakan gaetan
dan golok, dengan itu mereka
menggaet tameng musuh,
untuk terus membacok.
478
Dengan tameng, musuh lebih
banyak menjaga di atas, dari
itu kaki mereka tidak
terlindung sempurna, kaki merekalah
yang diarah. Lekas sekali
mereka roboh separuhnya, maka
yang separuh lagi terpaksa
lari menyingkir. Begitu lekas ia
bebas dari kurungan, Tiat Keng
Sim memburu ke arah
gurunya, untuk membantu
gurunya itu melabrak musuh.
Adalah di itu saat, di luar
kurungan musuh terdengar suara
menggelegar dari meriam,
berulang-ulang, menyusul mana
terlihat menerjangnya satu
pasukan tentara di bawah
pimpinan satu orang yang bersenjatakan
golok, yang
kemudian ternyata ada Yo Cong
Bu, salah satu pembantunya
Yap Cong Liu. Dia itu
berseru-seru: "Tentara perompak di
bahagian luar sudah dilabrak
musnah, tinggal yang di sini
saja, mari kita usir mereka ke
laut!"
Pemimpin perompak licin
sekali. Sejak dua hari yang lalu
mereka sudah dapat kabar, di
hari pertandingan ini bakal
datang bala bantuannya,
terdiri dari seribu jiwa lebih. Dia
anggap bala bantuan ini masih
kurang, maka dia mengatur
tipu menantang piebu. Selagi
orang adu kepandaian, dia
mengatur serangan di tiga
jurusan. Di barat Tayciu, yaitu di
pelabuan Samah, bala
bantuannya akan menyerang
belakangnya tentara rakyat.
Untuk maju di muka, dia pakai
pasukannya sendiri. Lagi satu
ialah penyerangan dari pasisir di
mana piebu diadakan.
Di sini jumlah serdadunya
seribu jiwa lebih. Mengenai
piebu, Hasegawa percaya dia
bakal menang. Dia anggap
pihaknya kuat sekali. Dia
tidak sangka, dia kalah dan dia
sendiri mesti harakiri. Dua
tentara sayapnya siang-siang sudah
kena dibasmi.
Hagasegawa licin, Yap Cong Liu
lebih cerdik lagi. Cong Liu
mencurigai musuh, maka supaya
tidak terbokong, dia
mengatur penjagaan. Syukur
untuknya, dia pun secara
kebetulan dapat bantuannya Cio
Keng To dengan seratus lebih
479
nelayannya yang tangguh, yang
asalnya ada tentara rakyat di
pelbagai pulau Laut Timur.
Cong Liu dapat tahu datangnya
Keng To, dia segera minta jago
tua langsung membantu
pihaknya yang lagi piebu.
Demikian pihak perompak
dilabrak, hingga sisanya kabur ke
pesisir. Dari seribu jiwa
lebih, mereka ini tinggal seratus lebih.
Dengan naik perahu mereka,
mereka kabur ke tengah laut.
***
Sin Cu puas sekali dengan
kemenangan itu. Dengan sapu
tangannya ia susuti darah di
pedangnya yang ia sayang itu.
Cengbeng kiam benar istimewa,
cuma sedikit darah yang
nempel, dan sinarnya tetap
bergemirlapan. Keng To pun
ketarik, ia terus mengawasi
pedang orang. Di saat Sin Cu mau
masuki itu ke dalam sarungnya,
tiba-tiba ia menyambar,
hingga si nona terperanjat.
"Cio Loocianpwee, mengapa
kau main-main?" ia tanya,
heran.
Keng To tidak segera
menyahuti, hanya ia saling bacoki
Cengbeng kiam dengan pedangnya
sendiri, hingga kedua
senjata bentrok keras tetapi
tidak ada yang rusak.
Menampak itu, Sin Cu heran
berbareng sadar. "Ya,"
pikirnya. "Dia pernah
kalah oleh pedang Thaysucouw, lantaran
itu, dia curi pedang di
istana, sekarang dia coba kedua pedang
itu..."
Keng To tertawa terbahak,
terus kembalikan pedang si
nona, yang menyamar sebagai
seorang pemudi. Ia pun tanya:
"Kau pernah apa dengan
Hian Kie Itsu?"
“Ialah Thaysucouwku," Sin
Cu jawab.
480
"Jadi gurumu ialah Thio
Tan Hong?"
"Benar. Suhu sering
menyebut-nyebut loocianpwee, yang ia
kagumi," kata pula Sin
Cu, yang terus memberi hormat,
katanya, untuk sekalian
mewakilkan gurunya.
Keng To kagum hingga ia
menghela napas. Ia kata:
"Muridnya begini
sempurna, maka dapatlah diketahui tentang
gurunya. Orang kangouw
merendengi aku dengan Thio Tan
Hong, kami disebut empat ahli
pedang besar, sebenarnya, aku
malu sekali." Ia tertawa,
ia meneruskan: “Ini dia yang
dibilang, gelombang sungai
Tiangkang yang di belakang
mendampar yang di depan orang
muda di dunia
menggantikan mereka yang tua.
Kamu muda dan gagah, aku
malu, tetapi aku pun girang
sekali!"
Keng To ini lebih tinggi
tingkat derajatnya dibanding sama
Thio Tan Hong, sebaliknya guru
Tan Hong serta Tiauw Im
Hweeshio dan Tang Gak, tidak
ia pandang mata, maka ia tidak
puas yang orang rendengi ia
sama Tan Hong itu, tetapi
sekarang menyaksikan kegagahan
Sin Cu, berubahlah
pandangannya, sekarang ia
insaf, Tan Hong memang lebih
liehay daripadanya. Dengan
begitu pun padam pula minatnya
mencari Hian Kie Itsu untuk
bertanding pula.
Pit Kheng Thian berlari-lari
kepada jago tua itu, guna
menghaturkan terima kasih,
akan tetapi belum sempat ia
mengucap sepatah kata, orang
she Cio itu sudah dului ia.
"Tidak usah, tidak ada
artinya," kata Keng To, tertawa.
"Hoohan toh..."
“Inilah Pit Toaliongtauw dari
lima propinsi Utara," Bouw Cit
mendahului memberi keterangan.
481
"Ha, kiranya toaliongtauw
Pit Kheng Thian!" kata Keng To.
"Sudah dua tahun aku si tua
berada di perantauan, toh pernah
aku dengar, namamu yang besar.
Dari murid-muridku,
kelihatannya cuma Tiat Keng
Sim yang dapat dibanding
denganmu. Ya, pernahkah kau
bertemu sama muridmuridku?"
Kheng Thian girang mendengar
ia dipuji, tapi lantas merasa
tidak puas yang ia disamakan
dengan murid orang, tak
kepuasan itu segera terutara
pada paras mukanya.
Justeru itu, Keng Sim muncul,
maka Keng To berkata:
"Nah, ini dianya! Apakah
kamu telah kenal satu dengan lain?"
Kheng Thian paksakan diri
tertawa ketika ia menyahuti:
"Murid loocianpwee muda
dan gagah, dalam penumpasan
perompak ini, banyak aku
menerima bantuannya."
Keng To girang sekali, ia
cekal tangan orang, yang ia ajak
bicara tak hentinya, hingga
Keng Sim tidak sempat menyelak.
Maka anak muda itu lantas
pasang omong sama Sin Cu,
keduanya girang, mereka pun
tertawa-tertawa. Melihat sikap
mereka itu, Kheng Thian tak
enak sendirinya. Ia ingin dekati
mereka, guna membuyarkan, tapi
Keng To terus mengajak ia
bicara.
Di sepanjang jalan pulang,
Keng Sim pikirkan Sin Cu. Ia
sudah curiga, sekarang ia
lihat orang menyusuti pedang
dengan sapu tangan, tambah
kecurigaannya itu. Tidak ada
pria lain yang memakai semacam
sapu tangan. Sembari jalan,
mereka bicarakan hal piebu
tadi. Jauh di tengah laut masih
terlihat titik-titik hitam,
ialah perahu-perahu perompak yang
sudah berlayar jauh sekali.
“Ie Siangkong, tadi kau
melayani musuh dan delapan,
tubuhmu enteng sekali,
gerak-gerakanmu sangat lincah dan
482
indah, apakah namanya ilmu
silatmu itu?" Keng Sim tanya
kemudian.
“Itulah ilmu ajarannya
subo-ku," sahut Sin Cu. "Namanya
ialah Menembusi Bunga
Mengitarkan Pohon. Kau tidak tahu,
rumah kita di Thayouw indah
sekali dan subo gemar bunga, di
depan rumah ia banyak menanam
pohon mawar, lie, tho dan
bwee. Setiap musim semi, semua
bunga itu berkembang
permai. Di situlah aku ikuti
subo belajar ilmu enteng tubuh.
Selama dua tahun bukan saja
aku tidak dapat susul subo
malah aku sering tertusuk
duri, baru sesudah tiga empat
tahun aku dapat
nelasap-nelusap dengan baik. Di tahun ke
lima barulah aku bisa sambar
kun-nya subo ”
Keng Sim tertawa.
"Subo-mu itu baik sekali
terhadap kau!" katanya. "Kau
membikin orang kagum dan
mengiri. Rupanya kau dipandang
sebagai anak kandung
sendiri."
Dengan "anak
kandung," Keng Sim maksudkan anak
kandung perempuan. Sedang
“subo" itu ialah guru wanita.
Selagi orang bicara, Sin Cu
mengawasi. Ia tampak wajah
orang bersenyum bukannya
bersenyum, dan wajah itu mirip
sama wajah gurunya, Thio Tan
Hong, hatinya sedikit
terkesiap. Berbareng dengan
itu ia pun sadar bahwa ia telah
terle-pasan omong mengenai
subo-nya itu. Mustahil murid pria
demikian erat hubungannya sama
isteri gurunya, sekalipun
subo itu benar turut mengajari
ia ilmu silat. Karena ini
sendirinya parasnya bersemu
merah.
"Bagus sekali nama ilmu
enteng tubuh itu. Menembusi
Bunga Mengitarkan Pohon,"
Keng Sim berkata pula. "Memang,
ketika kau permainkan musuh
tadi, kau seperti kupu-kupu
memain di antara bunga-bunga,
kau bukan seperti sedang
483
piebu, kau mirip tengah
menarikan tarian Puteri Kahyangan
Menyebar Bunga. Ya, sungguh
indah!"
"Ah, kau memuji
saja," kata Sin Cu. "Kalau kau main puji
terus, tak suka aku bicara
terlebih jauh!"
"Memangnya aku salah
omong?" Keng Sim tanya. "Taruh
kata pujianku kurang, kau tak
usah gusar. Sebenarnya, aku
memikir untuk minta kau
mengajari aku..." Sin Cu tertawa.
"Kau lebih tua
daripa-daku, ilmu silatmu tinggi,
pengetahuanmu luas, jikalau
aku yang meminta pengajaran
dari kau, barulah
pantas!" kata dia. "Kenapa kau begini
sungkan?"
"Bukan begitu, Ie
Siangkong," Keng Sim kata. "Di
kalangan Rimba Persilatan,
pantas orang saling mengajari.
Kau ajari aku apa yang kau
bisa, aku ajari kau kebisaanku,
bagus bukan? Maka sebentar
malam, kau datanglah ke
kemahku, kita nanti pasang
omong selama satu malam,
tentang ilmu silat. Tidakkah
itu bagus? Orang dulu pun bilang,
'Mendengar tuan berbicara satu
malam, lebih menang
daripada membaca buku sepuluh
tahun!. Demikian kita, pasti
kita akan peroleh banyak
kefaedahan."
Kembali merah parasnya Sin Cu.
"Ah, kau ngaco!"
katanya. "Siapa mau berada dengan kau
dalam sebuah kemah di waktu
malam? Jikalau kau datang ke
kemahku, akan aku tikam
kau!"
"Oh!" Keng Sim
berpura kaget. "Saudara, kenapa kau
begini marah? Bukankah di
waktu pertama kali kita datang,
kita sama-sama mengambil
sebuah kemah?"
Sin Cu sadar bahwa kembali ia
bersikap keliru, lalu sebisabisa
ia tenangi hatinya.
484
"Sebenarnya aku paling
tidak suka berdiam dalam sebuah
kemah dengan orang lain,"
ia menerangkan, sabar. "Di waktu
kita pertama datang, itulah
lain. Aku terpaksa karena
tempatnya buruk..."
Ia ingin berlaku tenang supaya
tidak membuka rahasia,
tetapi ia tetap likat.
Keng Sim tertawa. Ia bukan
satu pemuda ceriwis. Ia
mengajak Sin Cu pasang omong
seantero malam untuk
menguji saja. Melihat sikap
orang, tahulah ia pemuda di
depannya ini sebenarnya
seorang pemudi. Karena ini, ia tidak
mau mendesak lebih jauh.
"Karena kau menampik aku
si bau, saudara, pasti aku tidak
berani datang ke
kemahmu," katanya bersenyum. "Biarlah
selang dua hari lagi, kita
pasang omong di sini saja. Perompak
telah membikinkan kita
gelanggang luas ini, di sini aku nanti
minta pengajaranmu."
Sin Cu tetap tidak tenang
hatinya. Tahulah ia sekarang
yang Keng Sim sudah ketahui
rahasianya. Syukur untuk ianya,
pemuda itu tidak mengganggu
padanya.
Sebentar lagi mereka sudah
tiba di wilayah gunung. Di sana
pasukan-pasukan yang menang
telah berkumpul. Keng Sim
dapat melihat sutee dan
sumoay-nya, adik seperguruan pria
dan wanita, ia lekas menemui
mereka itu.
Seng Hay San dan Cio Bun Wan
sudah membantu tentara
rakyat membelai kota Tayciu.
Selama dua bulan, beberapa kali
mereka berhasil memukul mundur
kaum perompak kate
(pendek). Karena pergerakannya
Cong Liu dan pihak
perompak membantu pihaknya
yang menghadapi Cong Liu itu,
kota Tayciu menjadi tidak
terancam bahaya lagi. Maka mereka
485
berdua dapat kesempatan
membawa pasukan rakyatnya
membantu Cong Liu. Kebetulan
untuk mereka, Cio Keng To
pun pulang, maka guru dan
murid-murid dapat bertemu dan
lantas bekerja sama.
Bun Wan masih ingat Sin Cu,
yang telah permainkan
padanya, ia bersikap tawar, ia
tak memperdulikan-nya. Sin Cu
tidak mendongkol, bahkan dalam
hatinya, ia tertawai nona itu.
Diam-diam ia menyingkir dari
Keng Sim, ketika Keng To cari
ia, untuk diajak bicara ia
sudah nelusup di antara orang
banyak. Sementara itu di
antara tentara rakyat ada seorang
yang rupanya ada asal kota
Tayciu, dia senantiasa mengawasi
Tiat Keng Sim. Sin Cu dapat
lihat kelakuan orang itu, ia
menjadi heran, tetapi karena
ia lagi menyingkir, orang itu
lantas lenyap dari pandangan
matanya.
Malam itu tangsi tentara
rakyat ramai bukan main.
Penduduk berdekatan pun datang
berduyun-duyun
menggotong daging babi dan
kerbau yang mereka sembelih,
beras dan arak, untuk
menghadiahkan tentara itu. Yap Cong
Liu mem-persilahkan Cio Keng
To, Pit Kheng Thian, Tiat Keng
Sim dan Ie Sin Cu duduk di
kursi tetamu, ia sendiri menemani
dengan duduk di sebelah bawah.
Kemenangan itu ia anggap
ada jasa besar dari empat
tetamu itu.
Keng Sim berdua Sin Cu merasa
tidak selayaknya menerima
jasa, hati mereka tidak
tenang. Kheng Thian sebaliknya
omong banyak sama Cong Liu
mengenai rencana mereka
selanjutnya. Bahkan habis
menenggak beberapa cawan arak,
hingga ia rada sinting,
toaliongtauw ini kata sambil tertawa:
"Yap Toako, pandai sekali
kau mengatur tentara, maka di
belakang hari, kita semua
sangat mengandal padamu!" Ia
memuji orang tetapi itulah
saran tak langsung agar orang
nanti bekerja sama dengannya.
486
Keng Sim tidak puas dengan
pernyataan orang itu tetapi
karena orang lagi dipengaruhi
air kata-kata dan dia pun
memuji kemenangan mereka,
sedang itu waktu mereka lagi
berpesta, ia tidak bilang
suatu apa. Untuk menghibur diri, ia
pun minum araknya. Ia berada
di samping Sin Cu, diam-diam
ia senantiasa melirik si nona.
Sin Cu tahu kelakuan orang, ia
masgul, maka itu, dengan
alasan tidak dapat minum
banyak, ia minta perkenan untuk
undurkan diri, guna
beristirahat. Di kemahnya, ia tidak dapat
tidur, pikirannya terus tidak
tenang. Ia malu mendongkol
sendirinya karena kata-kata
Keng Sim. Ia hendak menjaga
supaya orang tidak datang ke
kemahnya itu, karena itu, ia
tidak membuka pakaian lagi dan
pedangnya diletakkan di
bawah bantal. Ia bercokol di
atas pembaringan dengan
hatinya terus bekerja.
Beberapa kali bayangan Thio
Tan Hong, Tiat Keng Sim dan
Pit Kheng Thian seperti berkelebat
di depan matanya. Ia
membandingkan gurunya dengan
Keng Sim dan Kheng Thian
itu. Ia anggap gurunya bagai
gelombang laut dan Keng Sim
seperti air telaga yang mati.
Dan Kheng Thian bagaikan air
curuk yang tumpah ke bawah.
Air tumpah itu mungkin
mengalir ke laut, mungkin juga
ke telaga, hingga jadi air mati
juga. Mungkin ada yang
menyukai air tumpah tapi orang itu
bukanlah ia. Ia merasa Kheng
Thian itu menjemukan tetapi
juga Keng Sim tak mendatangkan
rasa sukanya, apapula Keng
Sim telah mengetahui rahasia penyamarannya.
Ruwet pikirannya nona umur
tujuh belas tahun ini. Sampai
jam tiga, ia masih belum tidur
pulas. Maka ia ketahui,
berisiknya pesta mulai sirap
dan itu diganti dengan derupnya
angin laut, dengan damparannya
gelombang. Ia sampai
ngelamun bagaikan gurunya
menggapai kepadanya, hingga ia
merasa di dalam dunia ini,
kecuali gurunya itu, tidak ada lagi
487
orang yang
"berdekatan" dengannya. Puas ia kapan ia ingat
gurunya.
Tiba-tiba Sin Cu ingat:
"Hari ini perompak telah dilabrak
hampir musnah, walaupun di
beberapa tempat masih ada
beberapa rombongannya, jumlah
mereka kecil sekali, mereka
tidak dapat dikuatirkan pula.
Di pihak kita ada bala bantuan
dari Ciu San Bin, apabila
bantuan itu sudah tiba, kekuatiran
sudah tidak ada lagi. Maka itu
apa perlunya aku berdiam di
sini lebih lama? Kenapa aku
tidak mau pergi mengikuti suhul
Tentu saja, tidak dapat aku
pergi dengan berterang, Cong Liu
tentulah bakal menahan dan
Keng Sim serta Kheng Thian
pasti akan menggerecoki
aku..."
Ia berdiam, lalu berpikir, berdiam
pula, berpikir kembali. Ia
terganggu ragu-ragunya. Di
akhirnya, ia turun dari
pembaringannya, ia rapikan
pakaiannya, kemudian ia
benahkan juga buntalannya.
Sebelum berlalu dengan diamdiam,
ia menulis sepucuk surat
perpisahan untuk Cong Liu.
Malam itu rembulan guram.
Kemah Sin Cu dekat dengan
kemah Keng Sim, jaraknya
tidak ada setengah lie. Itu
waktu, si nona lihat ada sinar api di
kemah sahabat itu. Ia pikir,
rupanya pemuda itu pun belum
tidur. Maka ia pikir pula,
baik ia lewat di sana dan
meninggalkan tapak kakinya di
luar kemah orang. Biar
bagaimana, Keng Sim toh
kenalannya. Ia lantas menuju ke
kemah itu. Untuk tidak
meninggalkan suara, ia lari dengan
ilmu ringan tubuh. Anehnya, ia
ingin melihat bayangan
pemuda itu...
Di samping kemah ada pepohonan
lebat, selagi lewat di
situ, Sin Cu dengar suara
orang bicara pelahan. Ia pun segera
mengenali suaranya Keng Sim.
Ia jadi terlebih heran pula.
488
Pikirnya: "Sudah malam
begini dia belum tidur, dia pun kasakkusuk
sama orang lain, apa dia
bikin?"
Karena ingin ketahui, Sin Cu
lompat naik ke sebatang
cabang pohon. Ia tidak mengasi
dengar suara apa-apa. Untuk
ringan tubuh, ia menang jauh
daripada pemuda she Tiat itu.
Segera ia kenali kawan bicara
Keng Sim itu adalah orang dari
Tayciu tadi.
"Ong An, kau bukan
berdiam di Tayciu melayani looya, mau
apa kau datang kemari?"
demikian suaranya Keng Sim.
"Pasukan rakyat toh tidak
memerlukan seorang sebagai kau?"
"Looya yang mengirim aku
untuk menyampaikan pesan
lisan," sahut Ong An itu.
"Tadi siang ada banyak orang tidak
leluasa untuk kita
berbicara."
"Kabar apa itu yang kau
bawa?" Agaknya dia heran.
"Looya pesan jangan
kongcu bercampuran sama tentara
rakyat," menerangkan Ong
An. "Looya bilang di dalam
pasukan rakyat terdapat segala
macam orang sampaipun
segala penjahat, mereka itu
berkumpul cuma dengan alasan
melawan perompak."
"Tentara negeri tidak
lawan perompak, kalau sekarang
rakyat bertindak sendiri,
bukankah itu baik?"
"Walaupun demikian tetapi
pembesar negeri tidak memikir
begitu. Looya bilang, Keluarga
Tiat keluarga berpangkat, tak
perlu kita bercampuran sama
penjahat, kalau mereka
menerbitkan huru hara, kita
bakal kena terembet-rembet,
itulah berbahaya. Maka Looya
ingin kongcu mengarti jelas."
Keng Sim berdiam, tetapi
hatinya memikiri Cong Liu
beramai, yang ternyata jujur
dan bekerja sungguh untuk
489
rakyat jelata dan negara. Ia
kagumi Cong Liu itu meski benar
ia merasa, ia bukan
golongannya. Lain lagi adalah Kheng
Thian. Ingat Kheng Thian, ia
ingat kata-kata orang tadi di
medan pesta. Ia menerka:
"Dia jangan-jangan bukan seperti
orang jahat yang kebanyakan,
mungkin dia bercita-cita
merampas kerajaan Beng. Dalam
hal ini, kekuatiran ayah
beralasan, ayah berpandangan
jauh..."
"Looya ingin kongcu
segera pulang," Ong An kata pula.
"Sekarang perompak sudah
dapat disapu, maka aku pikir,
seperti kata kongcu tadi,
pasukan rakyat juga tidak
memerlukan kongcu satu orang.
Baiklah kongcu pulang agar
looya tidak buat
pikiran."
Keng Sim berdiam, dia
bersangsi. Dia bukan tidak ingin
meninggalkan tentara rakyat,
dia hanya pikirkan Sin Cu.
"Baiklah kongcu cepatan
mengambil putusan," Ong An si
hamba mendesak.
"Nanti aku pikir dulu.
Apakah looya di Hangciu baik?"
"Looya berdiam di kantor
butay. Dia bernama Wie Cun
Teng. Ingatkah kongcu akan
dia?"
"Ya. Dialah muridnya
looya. Dia juga murid looya yang
pangkatnya paling
tinggi."
"Benar. Syukur dia masih
ingat Looya, mengetahui looya
tinggal di Hangciu, dia lantas
menyambut dan mengajak looya
tinggal di kantornya. Sempurna
sekali rawatannya."
“Itu bagus, Ong An. Sekarang
pergilah kau pulang.
Umpama kata aku hendak
berangkat, sedikitnya mesti lagi dua
hari."
490
"Dua hari pun baik. Looya
masih memesan satu hal lagi."
"Apakah itu?" Keng
Sim lantas membade-bade.
"Looya telah dapat
menerima firman rahasia dari Sri
Baginda, maksudnya agar looya
menitahkan kongcu
membantu komandan Gielimkun
menawan seorang penjahat
yang dicari Sri
Baginda..."
“Ini aneh! Apa hubungannya itu
dengan aku? Aku
bukannya hamba negeri. Raja
pintar, kenapa dia berbuat
setolol ini? Mungkin kau salah
dengar..."
"Tidak salah, kongcu.
Penjahat itu bukan lain hanya guru
kongcu , si orang she
Cio,"
"Apa, guruku penjahat
yang dicari raja?"
"Benar. Firman itu dibawa
sendiri oleh Law Tong Sun,
komandan Gielimkun, dia
menyerahkan kepada butay dan
butay menyampaikan kepada looya.
Katanya Cio Loosu itu
pada tiga puluh tahun yang
lampau pernah mengacau keraton
dan sudah mencuri pedang
mustika. Sekarang dia sedang
dicari."
Keng Sim menjublak seperti
dikageti guntur. Segera ia
ingat gurunya, dengan siapa
baru saja ia bertemu pula.
Segera ia ingat kejadian pada
sepuluh tahun berselang. Ketika
itu ia adalah bocah umur dua
belas tahun, ayahnya
memangku pangkat giesu atau
censor di kota raja. Tidak ada
orang yang kendalikan padanya,
maka di samping belajar
surat, ia belajar silat sama cintengnya.
Dia tinggal di dalam
kota tetapi dia pun punya pila
di luar kota, ke sana dia pergi
beristirahat bersama
saudaranya sepupu. Dia pergi di musim
panas, di musim rontok dia
kembali ke kota. Di pila dia
semakin merdeka. Yang
terbelakang, dia ada punya dua guru
491
silat baru, yang satu ahli
toya Jielong pang, yang lain pandai
Tiatsee ciang, Tangan Pasir
Besi. Keng Sim pernah lihat
orang menghajar batu dengan
tangannya hingga batu itu
hancur lebur. Dia gemar sekali
belajar silat, walaupun sudah
sampai musim rontok, dia berat
meninggalkan pilanya itu,
yang pernahnya di pesisir.
Pada suatu malam terjadilah
suatu perampokan. Beberapa
cinteng kena dikalahkan. Kedua
guru silat yang baru tak
nampak. Keng Sim hendak
dibekuk tapi dia lincah, dia bisa
lari-larian. Satu penjahat
habis sabar, dia hendak dipanah.
Justeru itu terdengar satu
seruan panjang, tiba-tiba di situ
muncul seorang nelayan tua
yang kumisnya panjang. Cuma
dengan satu gerakan, ia dapat
merampas busurnya si
penjahat. Penjahat itu dan
kawan-kawannya menjadi gusar,
mereka menyerang. Nelayan itu
menghunus pedangnya, ia
melawan. Dalam beberapa
gebrakan saja, habis sudah semua
senjata penjahat, kena ditabas
kutung pedang nelayan tua itu.
"Pedangku tidak
membinasakan segala kurcaci, lekas kamu
pergi!" ia membentak.
Takut semua penjahat itu,
mereka mengangkat kaki.
Tinggallah cinteng-cinteng,
yang rebah merintih di tanah,
tidak dapat bangun.
Nelayan tua itu tertawa, ia
pegangi tangan Keng Sim untuk
diawasi, lalu ia menghela
napas dan berkata: "Sayang,
sayang, bakat begini baik
dibikin gagal oleh segala guru tidak
keruan..."
Justeru muncullah kedua guru
silat yang baru, dengan
roman sungguh-sungguh mereka
kata: "Loosuhu benar, kita
memang datang untuk gegares.
Selayaknya kita mengangkat
kaki dari sini tetapi kita
tidak tahu diri, kita mohon loosuhu
suka membuka mata kita."
Mendadak mereka menyerang dari
492
kiri dan kanan, senjatanya
yang satu ialah tongkat kayu
diarahkan ke batok kepala,
yang lain dengan tangan besinya
ke bebokong. Si nelayan tua
menangkis tongkat, hingga
tongkat itu patah dua dan
penyerangnya roboh. Serangan
yang satunya mengenai tepat.
Keng Sim masih bocah tetapi ia
tahu membedakan
perbuatan jahat dan baik, dia
menjadi gusar, dia lantas tegur
guru silat Tiatsee ciang itu.
Sebaliknya guru itu memegangi
tangannya seraya mulutnya
mengeluh kesakitan.
"Engko kecil, tidak usah
kau damprat dia, dia sudah cukup
menerima bagiannya," kata
si nelayan sambil tertawa.
Sekarang terlihat nyata,
tangan guru silat itu bengkak,
tangannya itu dikasi meroyot
turun, sedang lima jarinya kaku,
tidak dapat ditekuk-tekuk.
Tidak saja tangan itu tidak dapat
digunai lagi, seluruh
kepandaian silatnya pun telah musnah.
Setelah itu, semua guru silat
pergi. Keng Sim minta si
nelayan jadi gurunya tetapi si
nelayan mengajukan satu
syarat. Ia sebenarnya bersedia
sekalipun untuk sepuluh
syarat. Nyatanya, syarat itu
pun enteng, ialah si nelayan ingin
Keng Sim jangan buka rahasia
dia menjadi gurunya, rahasia
mesti ditutup sekalipun
terhadap ayah ibu dan saudarasaudaranya,
atau ia tidak bakal datang
lagi.
Keng Sim tanya kalau-kalau si
nelayan menghendaki ia
turut guru itu pergi ke suatu
tempat, si nelayan tertawa dan
kata: "Mana bisa aku
ajak-ajak kau satu kongcu, puteranya
seorang berpangkat? Tidakkah
aku disangka menculikmu?"
Lantas Keng Sim tanya,
bagaimana dia hendak diajari silat.
"Aku tahu kau bakal
pulang ke kota, sekarang aku ajarkan
kau pokok dasarnya saja,"
menerangkan si nelayan. "Selama
493
satu tahun, kau terus
pelajarkan ini, nanti lain tahun, kau
datang pula ke mari, aku nanti
datang juga menemui kau."
Keng Sim memegang janji, ia
menutup mulut. Di lain
tahunnya, ia pergi ke pila
dengan mengajak satu budak
kepercayaan. Benarlah, si
nelayan pun muncul. Tapi dia tidak
mengajari silat di pila hanya
di gubuknya di tepi laut. Keng
Sim dipesan memakai alasan
pesiar untuk datang ke gubuknya
itu. Nelayan itu ada punya
satu anak perempuan umur
delapan tahun, anak itu
disuruh belajar sama-sama Keng Sim.
Baru itu waktu, Keng Sim
ketahui gurunya itu she Cio dan
namanya Keng To dan si nona
bernama Bun Wan. Sejak itu
setiap tahun tiga bulan
lamanya Keng Sim belajar sama si
orang tua, dan waktu
selebihnya ia pakai berlatih di rumah
sendiri. Cuma kadangkadang
saja guru itu tengok ia di
waktu malam di pilanya. Ke
rumah di kota, tidak pernah
sekali jua guru itu datang.
Selama itu, tujuh tahun
berselang. Banyak perubahan telah
terjadi. Di antaranya, Keng To
menerima lagi satu murid, ialah
Seng Hay San anak nelayan.
Ayah Keng Sim berhenti bekerja
dan pulang ke rumahnya. Keng
Sim pun lulus ujian sebagai
siucay. Setiap tahun Keng Sim
tetap pergi ke pilanya, di sana
terus ia belajar silat. Di
rumahnya ia ada punya guru silat yang
baru, hanya dengan pelabi
saja, ia belajar sama guru itu.
Sampai sebegitu jauh, tidak
ada orang yang ketahui ia pandai
silat.
Adalah di musim semi di tahun
ke tujuh itu barulah kaum
perompak mulai mengganggu
keamanan di pesisir. Suatu hari
Keng Sim melabrak serombongan
perompak yang lagi
mengganas, karena itu baru
orang tahu ia gagah. Lantas
namanya tersiar sampai pun
ayahnya, Tiat Hong,
mengetahuinya. Maka pada suatu
malam ia dipanggil ayah
dan ditanyakan. Ia memang
berbakti, ia lupa pesan gurunya,
ia membuka rahasia. Ayahnya
girang dan kaget. Girang sebab
494
anaknya liehay, dan kaget
sebab ia kuatir anak itu bersahabat
sama kaum kangouw yang sesat.
Di musim panas tahun itu, Keng
Sim pergi ke pilanya
seperti biasa. Tapi kali ini
gurunya tidak ada. Ketika ia tanya
Bun Wan, nona itu bilang
memang ayahnya suka pergi tanpa
ketentuan, entah kapan
pulangnya. Tiga bulan Keng Sin,
menanti di pilanya, ia menanti
dengan sia-sia saja. Demikian
seterusnya, baru sekarang ia
bertemu guru itu di medan
pertempuran. Pula, baru
sekarang ia tahu rahasia gurunya,
yang telah dicari pemerintah
karena mencuri pedang di dalam
istana. Demikianlah, mendengar
kata-kata Ong An, Keng Sim
berdiam. Ia cerdik tetapi ia
mati daya. Dalam Rimba
Persilatan, melawan guru
adalah kejahatan tak berampun.
Sebaliknya, titah kaisar tidak
dapat ditentang.
Sin Cu dari tempat sembunyinya
terus memasang mata. Ia
lihat orang jalan
mundar-mandir, tanda dari ruwetnya pikiran.
Dalam kesunyian itu tiba-tiba
terdengar dehem-nya Ong An.
Dia berkata: "Kongcu
telah banyak membaca kitab, pastilah
kongcu ketahui baik perihal
perbedaan tingkat derajat
manusia."
"Bocah umur tiga tahun
pun mengetahui tingkatnya langit
dan bumi, raja, orang tua dan
guru," sahut Keng Sim. "Perlu
apa kau menanyakan itu?"
"Dengan begitu, kecuali
langit dan bumi, rajalah yang
teratas," berkata Ong An.
"Habis itu baru persanakan antara
ayah dan anak, dan pertalian
di antara guru dan murid ialah
yang terendah." Mendengar
itu, Keng Sim menggigil.
"Jadi kau hendak
mengajari aku melawan guruku?" ia
membentak. Dia pun heran budak
ini bisa bicara demikian
rupa. Dia tidak tahu, Ong An
telah diajari ayahnya.
495
"Mana budakmu berani
mengajari kongcu menjadi
manusia tidak berbudi?"
berkata budak itu. "Hanya
budakmu tidak sudi melihat
kongcu menjadi satu menteri tidak
setia berbareng satu anak
puthauw."
"Jadi kau maksudkan,
kalau aku tidak menjalankan bunyi
firman, ayahku akan terancam
bahaya?" Keng Sim tanya. Ia
pun tidak sudi jadi anak
puthauw atau tidak berbakti.
"Memang dikuatirkan rumah
kita disita atau entengnya kita
kena terembet," Ong An
jawab.
Mukanya Keng Sim menjadi
pucat, ia jadi semakin bingung.
"Sebenarnya sekarang ini
looya pun telah ditahan secara
halus di kantor butay,"
Ong An berkata pula. "Keselamatan
looya itu bergantung kepada
kongcu seorang."
"Bukankah kau bilang
butay ada murid ayah yang terbaik?"
Keng Sim tanya.
"Sudah tiga puluh tahun
budakmu mengikuti looya, aku
ketahui baik penghidupan di
kalangan pembesar negeri,"
berkata Ong An. "Kalau
bahaya mengancam, makin tinggi
pangkat seseorang, makin
kentara orang tak menghiraukan
persahabatan. Pikir saja, raja
tinggal di dalam keraton, mana
dia ketahui Cio Keng To itu
guru kongcu?"
"Benar. Habis, adakah
firman itu firman palsu?"
"Mana bisa firman itu
palsu? Adalah kongcu yang tidak tahu
kenyataan dalam urusan
pembesar negeri. Law Tong Sun itu
mendapat tugas menangkap orang
jahat dalam
kedudukannya sebagai komandan
Gielimkun, sudah pasti ia
bawa bersamanya kertas kosong
yang sudah dicap dengan
cap kerajaan, untuk tinggal
diisi saja. Kabarnya Law Tong Sun
496
yang ketahui halnya Cio Loosu
serta di mana adanya Cio
Loosu itu. Law Tong Sun sendiri
tidak berani menangkap Cio
Loosu, dia pakai pengaruh
firman untuk desak butay serta
looya. Maka kalau kongcu tidak
suka membantu, bukan cuma
looya bakal susah tapi juga
butay. Bahkan mungkin Law Tong
Sun bakal datang ke
mari."
"Kalau aku khianati suhu,
pasti aku bakal dicaci orang
gagah di kolong langit
ini..." Keng Sim berkata.
"Dan kalau looya dapat
susah, dosa kongcu sebagai anak
puthauw tidak dapat dicuci
bersih dengan air sungai
Tiangkang," berkata Ong
An.
"Sudah, jangan bicara
pula!" Keng Sim membentak,
tangannya dikibaskan.
"Pergi kau pulang, urusan ini aku
hendak pikirkan pula
masak-masak."
Sin Cu kagum dan berkuatir.
"Malam ini akan ada
putusannya, Keng Sim seorang gagah
sejati atau satu manusia hina
dina!" pikirnya.
Sin Cu paling menghormati
gurunya, maka itu, biar
bagaimana, perbuatan menjual
guru untuk mendapatkan
pangkat besar adalah dosa tak
berampun. Apapula Cio Keng
To itu orang gagah kenamaan
yang seimbang dengan
gurunya.
Dalam kesunyian sang malam itu
tiba-tiba terdengar siulan
yang panjang disusul dengan
nyanyian yang tedas: "Tidak
mengecewakan pedang tajam tiga
kaki setelah tua jantung
nyali jadi semakin
dingin!" Lalu terlihat orangnya, yang
tangannya menyentil-nyentil
pedang. Dialah Cio Keng To!
Hati Keng Sim gon-cang. Ia
lantas menyambut.
497
"Suhu belum tidur?"
tanyanya.
"Aku merasa sangat puas
dengan peperangan hari ini!"
sahut guru itu sambil tertawa,
tangannya masih menyentil
pedangnya. "Aku gembira
hingga aku tidak dapat tidur pulas.
Kita berdua pun sudah tiga
tahun tidak pernah bertemu, tadi
siang tidak sempat kita
berbicara, sekarang sengaja aku
tengok. Kiranya kau pun belum
tidur. Ah, kau kenapa-kah?
Aku lihat kau kurang sehat.
Mungkinkah tadi berperang letih
sekali?"
"Ya, aku merasa letih,
suhu," sahut Keng Sim, hatinya
memukul. "Tapi tidak apa.
Suhu, adakah pedangmu pedang
mustika?"
Keng To tertawa terbahak.
"Apakah kau suka pedang
ini?" dia tanya. “Ilmu pedangmu
maju banyak, tidak demikian
dengan Bun Wan dan Seng Hay.
Aku tidak nyana ilmu pedang
keluarga Cio terwariskan kepada
lain she" Ia berhenti
sebentar. "Selama dua tahun ini, aku
telah dapat menciptakan
beberapa jurus istimewa. Besok, bila
ada waktunya yang luang, akan
aku turunkan semua itu
kepada kau, supaya kau dapat
mewariskannya."
Di antara tiga muridnya, berikut
gadisnya, Keng To paling
menyayangi Keng Sim. Tadinya,
karena orang ada anak orang
berpangkat, tidak mau Keng To
omong terus terang, tetapi
tadi ia telah menyaksikan
sendiri kegagahan muridnya itu,
sedang Yap Cong Liu pun telah
memuji tinggi, ia anggap ia
tidak salah melihat, maka
hendak ia mewariskan semua
kepandaiannya, untuk angkat
murid ini jadi ciangbunjin, murid
kepala yang mewariskan ilmu
silat Keluarga Cio.
498
Biasanya Keng Sim girang bukan
main mendapat pelajaran
baru dari gurunya, tentu-tentu
ia lantas paykui menghaturkan
terima kasihnya, kali ini ia
merasa tidak tenang, ia malu
sendirinya, punggungnya serasa
ditusuk-tusuk. Keng To lihat
itu, ia nenjadi heran murid
ini bagaikan hilang semangat.
"Apakah kau kurang
sehat?" ia tanya, halus.
Keng Sim tidak menjawab, hanya
dengan hati kebat-kebit,
ia balik menanya: "Suhu,
dari mana suhu dapatkan pedangmu
ini?"
Keng To terkejut.
"Perlu apa kau menanyakan
ini?" ia pun balik menanya.
"Tidak, tidak
apa-apa..." sahut murid itu tidak lancar.
"Siapa yang suruh kau
menanyakan?" tanya lagi sang guru,
keras.
"Tidak, tidak ada yang
suruh, suhu," sahut Keng Sim.
Keng To segera menatap
muridnya itu.
"Ketika pertama kali kau
angkat aku jadi guru, kau pernah
bilang kau akan dengar segala
perkataan gurumu!" ia berkata.
"Masihkah kau ingat
itu?"
“Ingat, suhu."
"Kalau begitu, kenapa
sekarang kau hendak mendustakan
gurumu? Kenapa kau menanyakan
tentang pedangku ini?"
"Suhu, maafkan
muridmu," kata Keng Sim kemudian.
"Benarkah pedang ini
dapat dicuri dari istana?"
499
"Memang! Memang barang
curian!" sahut Keng To terus
terang. "Benda mustika
disimpan saja di dalam istana, itulah
artinya mensia-siakan. Apakah
tidak tepat aku mengambil ini?"
Keng Sim tidak berani
bersuara.
Keng To sentil pedang di
tangannya. Segera pedang itu
mengasi dengar suara nyaring
dan panjang bagaikan naga
bersenandung dan harimau
menggeram. Terus ia dongak dan
tertawa lebar. Ia pun kata:
"Buat guna pedang ini aku telah
buron ke empat penjuru dunia,
tidak pernah aku menyesal!..."
Habis itu, ia mengawasi
muridnya. Ia kata: "Lekas bilang,
siapa yang suruh kau
menanyakan?"
"Tongnia Law Tong Sun
dari Gielimkun," sahut Keng Sim
akhirnya.
"Dia ada di mana?"
Keng To tanya. "Suruh dia yang datang
sendiri padaku!"
"Dia paksa ayahku dan
ayahku memaksa aku," sahut sang
murid. "Ayah suruh aku
menangkap Suhu..."
Keng To tertawa dingin.
"Menangkap aku?" dia
mengulangi. Segera dia sadar, maka
dia menambahkan: "Aku
mengarti sekarang! Jikalau kau tidak
tangkap aku, dia bakal bikin
ayahmu celaka! Benarkah
begitu?"
Keng Sim menangis.
"Benar," sahutnya.
500
"Sekarang ini ayahku
telah ditahan secara halus di kantor
butay ”
"Bagus, beginilah lelakon
kita guru dan murid!" berkata
Keng To. "Sekarang kau
bicara terus terang, kau hendak
berbuat bagaimana? Benarkah
kau hendak ambil darah di
leherku untuk dipakai menyemir
merah kopia hitam di batok
kepala ayahmu?"
Keng Sim menangis terus.
"Teecu tidak
berani," ia menyahuti.
"Satu laki-laki
mengucurkan darah tidak mengalirkan air
mata!" berkata Keng To
kemudian. "Aku Cio Keng To, aku
telah berani mengacau di
istana, biarpun langit ambruk, aku
tidak takut! Buat apa kau
menangis? Kenapa kau takut? Lekas
bilang, sebenarnya kau hendak
bertindak bagaimana?"
"Suhu," menjawab
murid itu. "Kepandaian suhu sudah
sampai di batasnya kemahiran,
orang yang dapat merendengi
kegagahan kau, tidak ada
seberapa lagi, dari itu, suhu sudah
tidak membutuhkan pedang lagi.
Suhu , kenapa untuk
semacam pedang kau sudi
menerima dosa sebagai
pemberontak?"
Keng Sim menangis terus. Keng
To berdiam.
"Kita bukan orang luar,
tidak usah kita bicara banyak lagi!"
katanya, bengis.
"Sekarang bilang, kalau menurut kau, aku
harus bertindak
bagaimana?"
"Suhu," jawab murid
itu, "baiklah suhu serahkan pedang
padaku, nanti aku
mengembalikannya ke istana, untuk minta
sri baginda menarik pulang
titahnya. Tidakkah itu baik untuk
kedua belah pihak?"
501
"Bagus, sungguh pikiran
yang bagus!" kata Keng To dingin.
Sementara itu, ia ada sangat
berduka. Ia sudah pikir untuk
menyerahkan pedang kepada
muridnya ini, siapa sangka
rahasianya terbuka dan
muridnya itu anggap perbuatannya
perbuatan mendurhaka,
memberontak, hingga ia diminta
menyerahkan pulang pedangnya
itu melulu untuk
kesempurnaan hidup mereka.
Tentu saja penyerahan berarti
pelanggaran kepada pantangan
Rimba Persilatan. Ia sudah
memikir untuk menolongi Tiat
Hong, guna ajak dia dan Keng
Sim pergi buron, siapa tahu,
Keng Sim telah mengutarakan
sarannya ini.
Keng Sim mengawasi gurunya
itu, yang ia lihat seperti
sudah berubah menjadi seorang
lain, romannya bermuram
durja, sebagai juga guru itu
sudah tidak mengenali dia. Ia jadi
merasa sangat tidak tenang.
"Suhul..." katanya.
"Aku bukan gurumu
lagi!" jawab Keng To, suaranya tapinya
tenang, mungkin saking
murkanya yang tertahan.
"Suhu, kau..." kata
pula si murid.
"Jangan banyak
omong!" menyanggapi guru itu. "Kau bawa
pergi pedang ini!" Ia
cekal gagang pedang, ia angsurkan itu ke
muka muridnya hingga mata
orang kabur dan hatinya
terkesiap. Keng Sim tidak
berani menyambuti.
"Kau ambil!" Keng To
membentak. "Biarlah kau jadi orang
setia dan berbakti yang
sempurna! Kenapa kau belum mau
ambil juga?"
Dengan hati kebat-kebit, Keng
Sim angkat sebelah
tangannya.
502
Keng To segera berkata:
"Pedang ini aku serahkan pada
kau, maka ilmu silat yang aku
ajarkan kau, kau mesti
kembalikan padaku!"
Di kolong langit ini tidak ada
guru yang meletaki senjata
kepada muridnya. Hal ini
barulah Keng Sim ketahui. Pantas
gurunya mengatakan bahwa dia
bukannya guru lagi. Murid itu
mengucurkan air mata deras, ia
menangis sesenggukan.
"Muridmu bersalah, pantas
suhu menegurkan," ia berkata.
"Aku minta suhu jangan
usir aku dari rumah perguruan..."
"Hh!" guru itu
bersuara, bengis, wajahnya merah padam.
"Mana aku ada punya
rejeki mendapatkan murid bagus
semacam kau! Kau tentunya
menganggap tidak berarti itu
sedikit pelajaran yang aku
telah berikan padamu... Akan aku
ambil pulang pengajaran yang
aku berikanmu, selanjutnya,
kita masing-masing ambil jalan
sendiri. Pedang ini kau
persembahkan kepada raja,
hitunglah ini sebagai barang
presenanku yang terakhir untukmu.
Seumurku, aku
membilang satu, tidak dua!
Kenapa kau masih tidak mau ambil
pedang ini?"
Keng Sim sangat berduka ia
menjadi serbah salah. Kalau ia
tidak menyambuti pedang, ia
menjadi tidak berbakti, biarnya
keluarganya tidak disita,
sedikitnya ayahnya bakal kerembet
dan mendapat malu. Kalau ia
menyambuti, maka habislah
perhubungan guru dengan murid,
dan habis juga ilmu
silatnya. Pada otaknya segera
berbayang aksi gurunya yang
memberi hajaran kepada
cintengnya. Ia lantas menggigil
sendirinya.
"Orang terhormat mesti
pandai mengambil putusan!" Keng
To berkata pula. "Kau
kenapa begini cupat pikiranmu? Kau
503
ambil pedang ini, kau
kembalikan pelajaranku! Apakah kau
merasa dirugikan aku?"
Guru ini balingkan pedang di
muka muridnya dan tangan
kirinya diangkat, supaya
begitu Keng Sim menyambuti
pedang, ia bisa menghajarnya.
Asal ia dapat menepuk,
habislah kepandaiannya Keng
Sim, dia akan jadi manusia
bercacad..."
Selagi begitu, Sin Cu di atas
pohon pun bergidik. Hebat
pemandangan itu. Ia tidak
bersimpati kepada Keng Sim tetapi
ia pun tidak tega menyaksikan
ilmu silat orang hendak dibikin
musnah. Ia melihat tangannya
Keng To turun dengan
pelahan-pelahan, siap untuk
menepuk embun-embunan Keng
Sim begitu lekas Keng Sim
menyambuti pedang mustika.
Saking ngeri, hampir nona ini
menjerit.
Ia lantas merasakan kepalanya
pusing dan matanya kabur,
hingga sendirinya ia menutup
rapat kedua matanya. Sunyi
waktu itu, atau tiba-tiba
terdengar Keng To menghela napas
panjang. Sin Cu terkejut,
belum lagi ia membuka matanya, ia
sudah dengar bergontrangnya
suara pedang jatuh. Tempo ia
sudah melek, ia tidak lihat
lagi Keng To, sedang Keng Sim
berdiri menjublak di bawah
pohon, pedang menggeletak di
pinggir kakinya. Untuk sejenak
si nona tercengang, tetapi
segara ia sadar. Keng To masih
ingat ikatan guru dengan
murid, tidak tega dia
menurunkan tangan telengas. Mengingat
dia menghela napas panjang,
bisalah dimengarti
kedudukannya yang hebat. Masih
lewat sekian lama tempat
sunyi senyap itu terbenam
dalam kesunyian, baru kelihatan
tubuh Keng Sim bergerak,
dengan pelahan-pelahan ia
membungkuk untuk menjumput
pedang.
Hati Sin Cu kusut sendirinya.
Ia merasa jemu tercampur
kasihan terhadap pemuda gagah
itu. Ia merasa orang ia kenal
erat tetapi di lain pihak
asing sekali... Ia menjadi serba salah.
504
Kembali sang waktu lewat. Atau
mendadak, dari antara
pepohonan, muncul dua orang.
Keng Sim merasa atas
datangnya orang itu, ia segera
menoleh seraya mengangkat
kepala. Itulah Ong An si hamba
setia serta seorang umur
empat puluh lebih, yang tubuhnya
besar, yang mengenakan
baju tentara suka rela kota
Tayciu, muka siapa
memperlihatkan wajah
kelicikan, sedang kedua matanya
ditujukan kepada pedang
mustika.
Si anak muda tidak kenal orang
itu, sebaliknya dengan Sin
Cu, yang turut mengawasi. Nona
ini terperanjat. Dia kenali
Tongnia Law Tong Sun dari
pasukan pengawal raja pasukan
Gielimkun dengan siapa ia
pernah bertarung!
Sambil tertawa haha-hihi, Law
Tong Sun menghampirkan
Keng Sim, ia ulur sebelah
tangannya akan menepuk-nepuk
pundak pemuda itu.
"Tiat Kongcu, kau telah
berhasil?" katanya, seperti ia ada
satu sahabat kekal.
"Kenapa itu bangsat tua kabur?"
Keng Sim mendelik. "Kau
siapa?" ia tanya. "Barusan aku
lihat Cio Loosu datang,"
Ong An mendahului orang menjawab,
"oleh karena kuatir
kongcu mendapat celaka, aku sudah lantas
mengundang Law Tayjin datang
ke mari. Law Tayjin ini
memang datang bersama aku dari
Tayciu. Harap kongcu
maafkan aku yang telah tidak
lantas memberitahukannya.
Apakah Cio Loosu bentrok sama
kongcu ? Apakah dia tidak
turun tangan?"
Keng Sim terkejut.
"Kaulah Law Tong
Sun?" dia tanya.
“Itulah aku yang rendah,"
sahut Tong Sun sembari tertawa.
505
Tiba-tiba saja tangan Keng Sim
terayun, hingga pedangnya
melesat.
"Pergi kau bawa pedang
ini!" ia berseru. "Mulai sekarang
hingga selanjutnya, jangan kau
datang pula menemui aku!" "
Tong Sun berkelit, tangannya
menyamber pedang, terus ia
menyabet ke sampingnya di mana
ada sebuah pohon, maka
batang besar pohon itu kutung.
Ia tertawa dan memuji:
"Benar-benar pedang
mustika dari istana! Ha, Tiat Kongcu,
jasamu ini bukan main
besarnya!"
"Pedang telah ada
ditanganmu, apakah kau masih tidak
mau pergi?" pemuda itu
menegur.
Tong Sun tidak lantas pergi.
Agaknya ia membelar. Lantas
ia tertawa.
"Memang pedang telah aku
dapatkan akan tetapi
penjahatnya masih belum
tertawan," ia kata. "Tiat Kongcu,
aku harap kau bekerja tidak
kepalang tanggung, untuk
mengantar Sang Buddha harap
kau mengantarnya sampai di
Langit Barat!"
"Apa katamu?" Keng
Sim tegaskan.
"Tay gie biat cin,
kongcu." menjawab kommandan
Gielimkun itu. "Apapula
inilah cuma di antara guru dan murid.
Bangsat tua she Cio itu telah
kehilangan pedangnya, dengan
mengandal tenaga kita berdua,
dapat kita melayani dia.
Haha!"
Belum lagi kommandan itu
sempat tutup mulutnya,
matanya Keng Sim sudah
mendelik, kedua biji matanya seperti
mau lompat keluar. Kata-kata
"tay gie biat cin" itu yang
berarti, sekalipun orang tua
sendiri pun boleh dibinasakan
506
membuatnya murka bukan buatan.
Melihat wajah orang yang
bengis itu, Tong Sun merasa
jeri, tetapi sejenak saja, ia sudah
tertawa pula.
"Ayahmu di dalam gedung
sunbu siang dan malam
memikirkan kau saja,
kongcu," ia berkata pula, suaranya,
tingkahnya, dibikin-bikin.
"Kalau ada sesuatu yang membikin
kau murka sebagai ini, hingga
kesehatanmu terganggu,
pastilah ia akan berduka bukan
main!"
Mendengar itu, Keng Sim ingat
bahwa ayahnya masih di
tangan butay. Ia jadi
ber-sangsi, hingga tangannya yang
hendak dipakai menyerang
menjadi didiamkan saja.
Tong Sun tertawa pula.
"Kongcu ada seorang yang
cerdik, jikalau sekarang kongcu
mendirikan suatu jasa besar,
maka untuk kau selanjutnya, tak
usah lagi kau kuatirkan urusan
pangkat dan penghidupan yang
berbahagia!" katanya
lagi.
Dengan pengaruh kekuasaan,
dengan pancingan
kedudukan mulia, Tong Sun
hendak membikin pemuda itu
jatuh di bawah pengaruhnya,
tetapi sampai di situ, ia berhenti
membuka mulutnya. Ia melihat
wajah orang yang muram dan
lalu menjadi pucat.
"Oh, Thian!" berseru
itu anak muda, seraya ia menepuk
dadanya, "kedosaan apa
telah hambamu lakukan maka
sekarang orang pandang aku
sebagai manusia hina dina?"
Tong Sun terkejut. Inilah ia
tidak sangka.
"Jikalau aku temahak
pangkat dan kesenangan!" pemuda
itu kata dengan nyaring,
"kenapa aku tidak mau bawa sendiri
pedang ini ke kota raja kepada
raja? Sudah cukup, jikalau lagi
507
kau ngaco belo, aku nanti adu
jiwaku denganmu, biarlah aku
menjadi hamba tidak setia dan
anak tidak berbakti!"
"Sabar, kongcu."
kata Tong Sun dengan berani. "Bukankah
kita dapat bicara secara
baik-baik? Kenapa kau bicara keraskeras,
berkaok-kaok?"
Keng Sim tidak gubris komandan
Gielimkun itu, hanya
seorang diri ia berseru:
"Suhu, suhu1. Kapankah aku bisa
bertemu pula denganmu untuk
membeber hatiku ini?"
Sampai di situ, Tong Sun juga
menjadi habis sabar, hingga
ia menyesal tidak bisa lantas
mencekek leher orang, meskipun
begitu, tidak berani ia
sembarang turun tangan, karena ia
tahu, dalam lima puluh jurus,
belum tentu ia dapat
merobohkan pemuda itu yang
liehay. Ia pun kuatir suara
berisik nanti mengasi bangun
banyak orang di sekitarnya.
Bukankah ia telah mendapatkan
pedang? Dengan membawa
pedang itu, kendati si
penjahat belum tertawan, ia sudah
dapat bertanggung jawab.
Ong An sementara itu masgul
sekali. Belum pernah ia
saksikan majikan mudanya
demikian bersusah hati.
"Kongcu, mari kita pulang
menemui looya," ia berkata
membujuk. "Baiklah kalau
siang-siang kongcu menyingkir dari
ini tempat buruk...?"
"Kau juga pergi!"
membentak si kongcu tiba-tiba.
"Semenjak hari ini,
jangan kau melihat aku pula!"
Lantas pemuda ini menangis
seraya menepuk-nepuk dada.
Ong An menjadi bingung.
508
"Kongcu-mu telah jadi
gila, mari kita lekas pergi!" berkata
Law Tong Sun menyaksikan
kelakuan orang itu. Tapi ia
sebenarnya kuatir Keng Sim
menyebabkan bangunnya banyak
orang, hingga Ong An bisa
dibekuk. Ia lantas sambar tangan
Ong An itu untuk ditarik
diajak pergi.
Keng Sim menangis hingga ia
merasa sangat letih
melebihkan pertempuran sama
musuh tadi siang. Ia merasa
telah mendapat cacad yang
seumurnya sukar ia singkirkan.
Sin Cu di tempat bersembunyi
pun terharu. Ia lihat orang
numprak di tanah, kehilangan
semangat, hingga pemuda itu
mirip dengan sebuah patung
batu. Diam-diam ia menghela
napas. Tak tahu ia, ia merasa
kasihan atau muak...
Ketika itu terdengar suara
berisik yang mendatangi.
Mungkin dari pelbagai kemah
datang orang yang tadi
mendengar suaranya keras dari
si anak muda. Mendengar itu,
Sin Cu pun insaf akan halnya
dirinya sendiri. Bukankah ia
hendak pergi menyingkir? Maka,
tanpa ayal lagi, ia lompat
turun, untuk mengangkat kaki.
Keng Sim mendapat dengar suara
pelahan sekali, segera ia
mengawasi, maka sekarang baru
ia ketahui, di sana ada
seorang lain. Ia lantas
mengawasi, samar-samar ia kenali Sin
Cu. Ia menjadi menjublak
sendirinya.
Sin Cu lari terus turun
gunung. Ia dapatkan sinar rembulan
dan bintang-bintang guram. Fajar
belum lagi menyingsing
akan tetapi di tengah laut
terlihat dua tiga ekor burung laut
sudah berterba-ngan mencari
makanan. Di tepian, sang
gelombang mendampar gili-gili
tak hentinya. Menampak itu,
hatinya pun ruwet. Ia ingat ia
datang dengan gembira tapi
sekarang pergi dengan lesu. Ia
menoleh ke arah Keng Sim, ia
seperti dengar pemuda itu
memanggil-manggil padanya...
509
Kemudian pemudi ini memungut
sebutir batu, ia timpuki itu
ke air laut, seperti kias
bahwa ia membuang segala macam
kesannya...
***
Setelah fajar, air laut nampak
bergelombang hebat,
suaranya bergemuruh, setiap
kali tepian digempur, muncratlah
letikannya, bagaikan air hujan
atau hancuran mutiara. Sin Cu
berada di tepian, bajunya
terkena muncratan air. Hawa dingin
membikin hatinya terbuka. Maka
tanpa merasa, ia
bersenandung dengan syairnya
Su Tung Po "Pergi ke Kang
Tong." Ia ingat belum
pernah ia menemui orang yang cocok
dengan hatinya. Ia bayangkan
Keng Sim dan Kheng Thian,
keduanya lenyap di dalam rupa
bayangan. Cong Liu gagah
tetapi dia bukanlah pria yang
menjadi idam-idamannya
wanita. Maka di akhirnya ia
merasa, adalah subo-nya, gurunya
yang wanita, yang berbahagia
sekali.
Di timur, cuaca makin lama
makin terang, gelombang pun
menghebat terus. Kelihatan
laut dan langit seperti nempel.
Luas air laut, yang seperti
tak berujung pangkal. Kagum Sin
Cu menyaksikan kebesaran sang
laut dengan gelombangnya.
Cuma burung-burung laut yang
dapat terbang mundar-mandir
diatasnya dengan kadang-kadang
binatang itu terjun
menyamber ke muka air.
Mengawasi burung itu, Sin Cu
tertawa sendirinya dan
berkata: "Burung laut itu
menyerbu lautan, dia mementang
sayap dan berterbangan, maka
mustahil sekali aku tidak dapat
seperti dia?"
Ia ngelamun tetapi ia jadi
bersemangat, maka tempo ia
membuka tindakannya, ia dapat
berjalan dengan cepat. Fajar
membuat laut terlihat tegas,
gunung-gunung pun turut
berpeta, muncul dari antara
uwap gempal.
Terbukalah hati memandangi
gunung-gunung itu.
Selagi si nona terbenam dalam
keindahan sang alam itu, tiba-tiba kupingnya
mendengar suara tindakan yang
keras, yang tengah mendatangi. Ia terkejut. Segera ia menduga apa Cong Liu
mengirim orang menyusul padanya. Ia memasang kuping, ia
dapat kenyataan suara itu
bukan datang dari arah belakang.
Maka ia memikir pula:
"Benarkah di waktu pagi buta begini sudah ada orang yang melakukan
perjalanan?"
Makin lama tindakan kaki itu
terdengar makin dekat, sekarang pun terdengar juga suara napas orang yang
disusuli dengan kata-kata: "Dengan bersembunyi di tempat gelap membokong
orang, apakah itu perbuatannya satu lakilaki?
Jikalau kau ada punya nyali,
mari muncul di tempat terbuka di bawahnya matahari untuk kita main-main!"
Itulah tantangan. Tapi yang
menarik perhatian ialah suara itu Sin Cu rasanya kenal baik. Ia tidak usah
memikir lama akan ingat suaranya Law Tong Sun si komandan Gielimkun. Ia
menjadi heran. Bukankah
komandan itu gagah sekali?
Siapakah yang berani membokong
padanya?
Segera juga terlihat orang
yang berlari-lari dan berkatakata itu muncul di sebuah tikungan. Dia memang
Tong Sun adanya! Sin Cu lantas saja menyembunyikan diri di antara dua batu
besar di tepi jalan. Di situ orang tidak dapat lihat ia sebaliknya ia dapat
mengintai orang.
Ia lantas memasang mata.
Tong Sun itu riap-riapan
rambutnya, mukanya mateng biru di sana-sini dan pakaiannya penuh kotoran tanah,
dia bagaikan seorang rudin.
Melihat keadaan orang itu, Sin
Cu heran bukan main. Ia berpikir: "Walaupun Loocianpwee Cio Keng To tidak
nanti dapat membikin ini komandan Gielimkun yang gagah menjadi rusak begini
macam... Untuk Cio Loocianpwee, ini pun tidak mungkin, karena ia sudah tidak
suka memusingkan kepala lagi terhadap
segala urusan..."
Oleh karena ia insaf ia bukan
tandingan Law Tong Sun, Sin Cu tetap bersembunyi, ia hanya mengawasi saja.
Bahkan napasnya ia sampai tahan, kuatir nanti kedengaran musuh itu.
Ia tetap heran kenapa orang
menjadi serudin itu.
Tong Sun telah mendapatkan
pedang mustika, ia kabur, bahkan dengan meninggalkan Ong An ketika ia dengar
suara orang mencari Keng Sim. Ia memilih jalan kecil, lantaran ia sungkan
menemui tentara rakyat. Ia tidak takuti tentara itu tetapi ia segan mendapat
kesulitan digerembengi mereka.
Karena ia pilih jalan kecil
itu, ia mesti melewati sebuah tanjakan atau bukit kecil. Ketika kemudian ia
memasuki sebuah tempat dengan pepohonan yang lebat bagaikan rimba, ia kendorkan
tindakannya. Ia menduga bahwa ia sudah terpisah tiga puluh lie lebih dari
tangsi tentara rakyat.
Di sini ia mengambil
kesempatan untuk menghunus pedang mustika, yang segera mengasi lihat sinar
berkilauan, cahayanya mirip dengan cahaya mutiara. Sejarak lima tindak,
ia bisa melihat segala apa
dengan nyata. Bukan main
girangnya ia.
"Pantaslah pedang dari
istana!" ia memuji di dalam hati
saking kagum. "Tidak aneh
yang untuk ini Cio Keng To sampai
mengacau istana!..."
Gembira Tong Sun hingga
seorang diri ia tertawa tak
hentinya. Ia sudah
membayangkan bahwa ia telah
mendapatkan hadiah istimewa
dari raja untuk jasanya sudah
mendapatkan pedang itu.
"Syukur Yang Cong Hay
tidak turut bersama aku," ia
ngelamun terlebih jauh.
Tiba-tiba saja ia ingat rekannya itu.
512
"Kalau tidak, jikalau
sampai dia yang mendapatkan ini, pasti
sekali dia tidak menghiraukan
lagi pangkat Tay i wee
Congkoan, kuasa istana! Pasti
dia bakal buron dengan pedang
ini! Sayang dahulu hari aku
tidak meyakinkan ilmu pedang,
coba sebaliknya, sekarang ini
tentulah aku tidak kesudian
mengantarkan pedang ke
istana!..."
Tong Sun mengatakan ia tidak
mempelajari ilmu silat
pedang, tetapi sedikit-sedikit
ia bisa juga, maka itu, dengan
pedang mustika itu, ia terus bersilat
dengan caranya sendiri.
"Traang!" demikian
sekonyong-konyong terdengar suara
nyaring.
Komandan Gielimkun ini menjadi
kaget sekali. Itulah
pedangnya yang mengasi dengar
suara nyaring itu. Pedang itu
telah kena ditimpuk batu,
keras serangannya hingga
tangannya sedikit gemetar.
"Sahabat siapa itu?"
dia lantas menegur. "Silahkan kau
keluar, sahabat?"
Dari dalam rimba tidak
terdengar suatu apa, suasana di situ
tetap sunyi. Tong Sun heran
dan penasaran, ia memandang
kelilingan, pedangnya
disiapkan untuk melindungi tubuhnya.
Tiba-tiba ada terdengar suara
tertawa pelahan di sebelah
timur. Gesit sekali ia
berlompat, akan lari ke arah dari mana
suara itu datang. Ia pun
menegur: "Di sini Law Tong Sun
menanti pengajaran!" Ia
percaya, orang golongan Jalan Hitam
atau Jalan Putih, sedikitnya
tentu pernah mendengar namanya
itu.
Belum lagi suara tantangan itu
lenyap di udara, kembali
ada sebutir batu yang
menyambar, jauh lebih keras daripada
yang tadi. Kali ini pedang
berbunyi nyaring dan getarannya
513
terasa hingga telapakan tangan
komandan Gielimkun itu
menjadi seperti kesemutan.
Tong Sun ketahui ia
dipermainkan, ia menjadi sangat
gusar, maka ia lantas lompat
ke arah timur itu, dengan niat
memasuki rimba guna mencari
orang yang mempermainkan
padanya. Ketika ia baru sampai
di muka rimba, mendadak
kupingnya mendengar suara
tertawa di sebelah barat. Ia
mengenali suara yang sama.
"Setan alas!" ia
mendamprat. "Jikalau kau tetap tidak mau
keluar, nanti aku mengupat
caci padamu!"
Tengah ia membuka mulutnya
itu, tiba-tiba ada sepotong
tanah yang menyambar masuk
tanpa ia dapat mencegah,
saking hebatnya timpukan tanah
itu. Ia kaget sekali, sampai
hampir ia ketelak. Dengan luar
biasa cepat, ia
memuntahkannya. Tentu saja,
meluap kemurkaannya, hendak
ia membuktikan ancamannya,
akan mengupat caci. Tapi kali
ini, timpukan datang pula dan
mengenai mukanya, hingga ia
merasakan sakit dan perih,
hampir berbareng dengan mana,
ia dengar suara tertawa di
arah selatan!
“Inilah hebat," kemudian
Tong Sun berpikir. Ia ada satu
jago tetapi dua kali ia kena
orang timpuk. Bahwa pedangnya
yang kena diserang, itulah
tidak terlalu heran, yang
belakangan tapinya mulutnya
dan mukanya. Ia menjadi
mendongkol berbareng jeri.
"Siapakah orang liehay
ini? Mungkinkah dia iblis rimba ini?"
Sekarang ia tidak berani
membuka mulut pula jangan kata
mendamprat atau menegur. Sudah
tentu, ia pun tidak berani
membuktikan ancamannya akan
mengupat caci. Bahkan ia
pikir, menyingkir dari tempat
ini adalah paling baik. Ia baru
jalan beberapa tindak tatkala
ia dengar suara bengis:
514
"Kembali!" suara
mana disusuli mengaungnya suara senjata
rahasia menyambar.
Dengan terpaksa jago ini
mencelat mundur, dengan begitu
ia lolos dari serangan. Untuk
herannya ia memperoleh
kenyataan, ia ditimpuk dengan
batu yang terlebih kecil
daripada telur burung. Maka
itu menyatakan liehaynya si
penyerang. Kalau ia kena
ditimpuk, mungkin tulangnya patah.
Penyerang batu itu tidak
berhenti dengan yang pertama itu,
lalu itu disusul dengan yang
kedua dan ketiga, seterusnya.
Dengan begitu juga Tong Sun
terpaksa mesti kembali ke
tempat dari mana ia datang.
Sebab setiap datang serangan
itu, ia mesti berkelit mundur.
Serangan batu pun tercampur
sama tanah atau gumpalan
lumpur, maka itu, tidak dapat ia
membebaskan diri anteronya,
hingga sekarang pakaiannya
menjadi kotor begitupun muka
dan kepalanya.
Percuma ia ada satu jago atau
kepala dari pasukan tentara
kerajaan, sekarang ini Tong
Sun tidak berani membuka
mulutnya, ia mesti membungkam
tidak perduli kemendongkolan
dan kegusarannya meluap-luap. Sebagai
satu jago
silat, ia ada cacadnya, ialah
ia tidak pernah meyakinkan mata,
untuk dapat melihat tegas di
waktu malam gelap petang,
sedang keistimewaannya, ialah
ilmu silat Hunkin Cokut ciu,
untuk mematahkan tulang lawan,
cuma dapat dipakai dalam
perkelahian rapat.
Sementara itu langit telah
mulai menjadi terang, angin laut
meniup-niup dengan santar,
dari kepala pusing, Tong Sun
mendapat pulang kesegarannya.
Ketika ia memandang ke
sekitarnya, ia mendapat
kenyataan yang ia telah dipaksa
mundur kembali ke jalanan di
tepi laut. Ia menjadi heran dan
kaget sendirinya.
515
"Lagi beberapa lie, aku
pasti akan tiba di tangsi tentara
rakyat," ia berpikir.
"Syukurlah langit keburu terang, jikalau
tidak, tentulah aku akan
dipaksa mundur sampai di sana. Pasti
di sana orang bakal jadikan
aku buah tertawaan..."
Dengan cuaca menjadi terang,
Tong Sun terbangun
semangatnya. Sekarang orang
tidak bisa main sembunyi
seperti tadi untuk saban-saban
menyerang ia dengan
timpukan. Kembali ia memandang
ke sekitarnya. Di waktu
fajar seperti itu, di situ
belum ada orang yang berlalu lintas. Ia
tidak lihat siapa juga, hingga
ia jadi penasaran sekali.
Penyerangnya itu tetap tidak
pernah memunculkan diri.
Sekarang barulah Tong Sun
merasakan letih, maka itu ia
cari sebuah batu besar di tepi
jalanan itu, untuk duduk
beristirahat. Ia pun segera
merasakan perutnya lapar. Maka ia
tancap pedang di sampingnya,
terus ia keluarkan rangsum
keringnya untuk didahar. Ia
tidak meneliti lagi tempat
duduknya itu, ia tidak tahu
batu itu ada pasangannya dan di
antara kedua batu itu ada satu
nona tengah mengintai ia...
Sin Cu tetap sembunyi di sela
batu itu. Ia mengintai
selama matanya masih dapat
melihat. Ia sembunyi di situ
sampai orang tiba kembali. Ia
terkejut akan mendapatkan
orang duduk di dekatnya, hingga
ia dapat mendengar suara
bernapas orang. Ia baru merasa
sedikit lega setelah mendapat
kenyataan rupanya orang tidak
ketahui sembunyinya di situ.
Ia terus berdiam, dengan
ati-ati ia mengintai. Begitulah ia lihat
pedang itu, yang kalau mau,
dapat ia sambar dengan
tangannya.
"Kenapa aku tidak mau
curi pedangnya ini, untuk
diteruskan menikam
padanya?" si nona dapat pikiran. Ia nyata
bernyali besar, begitu ia
berpikir, begitu ia bekerja. Tangannya
menyambar dan pedang tercekal.
Hanya di saat ia baru
mencabut,
516
Tong Sun mendapat tahu, jago
ini dengar suara angin,
maka dengan kesehatannya yang
luar biasa, tangannya
menyambar, tepat ia kena cekal
lengan si nona.
Sin Cu kaget bukan main, ia
pun merasakan sakit pada
tangannya itu, yang bagaikan
terjepit besi.
Law Tong Sun sudah lantas
tertawa terbahak.
"Kiranya kau?"
katanya. Ia telah lantas berpaling kepada si
nona, yang ia pun tarik.
Sin Cu cerdik, belum sampai ia
tertarik, ia mendahulukan
berlompat, di waktu mana pun,
"Sret!" terdengarlah suara
pedang dicabut. Dasar muridnya
Thio Tan Hong, ia cerdik
sekali, ia tidak gugup. Tangan
kanannya benar telah orang
cekuk tetapi tangan kirinya
masih bebas maka dengan tangan
kiri itu ia menghunus
pedangnya, bahkan tanpa ayal sedetik
jua, ia terus menikam ke
tenggorokannya komandan
Gielimkun itu.
Tong Sun liehay, ia tarik
tangannya si nona hingga tubuh
nona ini tergerak, hingga
tentu saja serangannya mengenakan
sasaran yang keliru, ialah
mengenakan pedang dari istana itu.
Syukur untuk si nona, ia tidak
sampai menikam tangannya
sendiri yang kanan itu. Ia
menjadi kaget berbareng
penasaran, ia mendongkol bukan
main. Dengan berani ia
ulangi serangannya, kali ini
ia membacok ke arah lengannya
sendiri yang dipegangi Tong
Sun itu!
Inilah hebat! Tong Sun tidak
sempat berdaya, walaupun
sebenarnya, kalau ia cukup
cerdas, dapat ia membikin patah
tangan nona itu. Ia telah
didului, ia menjadi kaget. Kalau ia
tidak lepaskan cekalannya,
bukan melainkan tangan si nona,
tangannya sendiri bakal
terbabat kutung, ia tidak sempat
517
merampas pedang istana itu,
yang Sin Cu tidak mau
melepaskannya tidak perduli
tangannya dipencet keras. Ia
menahan sakit sebisa-bisa.
Serangan Sin Cu ini ada
maksudnya, dan nyata ia berhasil.
Mau atau tidak, Tong Sun mesti
melepaskan cekalannya,
maka itu, si nona menjadi
merdeka. Tidak mensia-siakan
tempo lagi, Nona Ie segera
menyerang dengan kedua pedang
di tangannya itu.
"Binatang licin!"
Tong Sun berseru saking mendelu. Ia tidak
takut, ia lawan si nona dengan
bertangan kosong. Ia harap
dapat melanggar atau memegang
tangan nona itu, untuk
dibikin keseleo atau patah. Ia
bersilat dengan ilmu silatnya
Hunkin Cokut Ciu itu yang
liehay. Maka ia dapat melayani
dengan baik. Dengan sangat
lincah ia saban-saban menyingkir
dari sabetan atau tikaman
pedang. Hanya ia repot juga, ia
mesti berlaku ati-ati luar
biasa.
Sin Cu berkelahi dengan ilmu
pedangnya Hian Kie Itsu,
dengan begitu, walaupun ia
kalah kosen, ia masih dapat
bertahan, apapula sekarang ia
memegang dua batang pedang
mustika.
Mereka telah bertempur sampai
kira-kira lima puluh jurus,
itu artinya meminta tempo.
Keduanya lantas merasa tidak
aman sendirinya. Law Tong Sun
kuatir munculnya lawan yang
sembunyikan diri itu, yang
belum ketahuan siapa adanya,
kalau dia itu datang, ia bisa
dapat susah. Sin Cu sebaliknya
kuatir-kan munculnya Kheng
Thian, yang bisa menggerecoki
padanya. Maka itu keduanya
sama-sama ingin lekas-lekas
mengakhiri pertempuran itu.
Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari
Hian Kie Itsu
mengutamakan sepasang pedang
yang dipegang masingmasing
oleh satu orang, sekarang Sin
Cu menggunainya
518
sendiri ini kurang tepat,
tangan kirinya kalah lincah dengan
tangan kanannya. Lama-lama
kekurangan ini dapat dilihat
Tong Sun yang liehay itu, maka
selang lagi sekian lama, ini
komandan Gielimkun lantas
mendesak di sebelah kiri.
"Lepas!" berseru
Tong Sun tatkala ia dapat membikin
mental Cengbeng kiam di tangan
kiri si nona sambil tangan
kanannya menyambar ke pedang
istana, untuk mana ia gunai
dua jarinya, tengah dan
telunjuk, untuk menjepit pedang
mustika itu. Ia benar-benar
liehay, karena berbareng sama
seruannya itu, pedang itu
terlepas dari tangan Sin Cu, pindah
ke tangannya. Lantas ia
tertawa berkakak.
"Lepas!" kembali
komanan Gielimkun ini berseru setelah
beberapa jurus lagi. Kali ini
dengan tangan kiri ia menyamber
tangan si nona dengan maksud
merampas juga pedang
Cengbeng kiam. Tapi kali ini
ia keliru menyangka. Dengan
hanya memegang sebuah pedang,
Sin Cu jadi terlebih liehay
daripada ia mencekal dua. Ia
meloloskan diri dari sambaran, ia
terus membalas menikam ke
uluhati lawannya dengan
jurusnya "Ular putih
muntahkan bisa." Tong Sun bukan ahli
pedang, ia dapat menangkis,
akan tetapi ia kalah tindih,
karenanya ujung Cengbeng kiam
terus mengarah dadanya.
Tentu saja ia menjadi
terkejut, perlu ia lebih dahulu membela
dirinya, hingga gagal ia
dengan serangannya itu.
Sin Cu menjadi dapat hati,
maka itu, berulang-ulang ia
mendesak. Dengan terpaksa,
Tong Sun main mundur.
Akhirnya, saking penasaran,
komandan itu berseru: "Jikalau
aku tidak dapat rampas
pedangmu, aku bukan si orang she
Law lagi!"
Dengan teriakannya itu, Tong
Sun hendak menyimpan
pedang mustika ke dalam
sarungnya. Sebab ingin ia
merampas pedang si nona dengan
tangan kosong, dengan
menggunai ilmu silat
andalannya ialah Hunkin Cokut Ciu.
519
Justeru itu sekonyong-konyong
terdengar seruan “lmu pedang
yang bagus!" Lalu sebutir
batu menyambar keras sekali
kepada kedua pedang yang lagi
saling tindih itu, hingga kedua
pedang itu terpisah
sendirinya.
Tong Sun terkejut,ia lantas
berlompat mundur seraya
berpaling ke arah dari mana
suara datang. Ia kenali suara
yang tadi mengganggu padanya.
Ia mendapat lihat, di tempat
terpisah belasan tindak dari
ia, dua orang tengah berdiri
menonton. Mereka itu pria dan
wanita, umurnya umur
pertengahan, masing-masing
dengan sikapnya sangat tenang.
Rupanya sudah sekian lama
mereka itu menonton
pertempuran. Si pria dandan
sedikit luar biasa, ialah ia
mengenakan pakaian orang
Hweekiang. Dan si wanita, di
bebokong siapa ada tergendol
sepasang gaetan, juga dandan
bukan sebagai orang Han.
Kembali Tong Sun menjadi
kaget, ini kali disebabkan ia
tidak ketahui datangnya orang.
Ia percaya dirinya sangat
liehay dan mengetahui segala
apa. Ia pun lantas menduga
pasti, si pria adalah orang
yang dari dalam rimba menggodai
padanya...
Dengan Tong Sun berlompat
mundur, Sin Cu menjadi
berhenti berkelahi. Tentu saja
ia pun heran atas datangnya
batu yang memisahkan
perkelahian mereka. Justeru itu si pria
menunjuk padanya seraya
menanya: "Eh, nona, apakah kau
muridnya Thio Tan Hong?"
Sin Cu heran bukan main hingga
ia melengak.
"Kenapa sekali melihat
saja dia ketahui aku wanita?"
pikirnya.
520
"Kenapa dia pun mengenali
ilmu silatku?" Tapi ia tidak
melengak lama, segera ia
sadar. Bukannya menjawab, ia
justeru menanya:
"Bukankah kau Peehu Ouw
Bong Hu?"
Orang itu bersenyum. Ia memang
Ouw Bong Hu, muridnya
Siangkoan Thian Ya, yang
mewariskan ilmu silat gurunya itu
dan kepandaiannya jauh
terlebih liehay daripada Tamtay Biat
Beng, kakak seperguruannya
yang tertua. Sedang wanita itu
adalah adik seperguruannya. Kimkauw
Siancu Lim Sian In si
Dewi Gaetan Emas. Siangkoan
Thian Ya, sama kesohornya
dengan Hian Kie Itsu, ia hanya
bertabiat aneh, ialah ia
melarang pernikahan di antara
murid-muridnya pria dan
wanita. Ouw Bong Hu dan Lim
Sian In terkena larangan itu,
mereka menyinta satu pada lain
tetapi tidak dapat mereka
merangkap jodoh. Adalah
kemudian, sesudah dibantu Thio
Tan Hong, yang membikin
Siangkoan Thian Ya kagum
terhadap orang she Thio itu,
baru pantangan itu ditiadakan
dan mereka dapat menikah.
Karena ini, tanpa perdulikan lagi
tingkat derajat. Ouw Bong Hu
suami isteri jadi bersahabat erat
dengan Thio Tan Hong. 3)
Sin Cu sering mendengar
gurunya bercerita tentang Ouw
Bong Hu dan Lim Sian In itu,
maka lekas juga ia ingat mereka
dan lantas mengenalinya. Tentu
saja datangnya mereka itu
membuat hatinya lega, hingga
ia menjadi girang sekali. Adalah
Ouw Bong Hu yang bersama-sama
Thio Tan Hong, Cio Keng
To dan Yang Cong Hay yang
disebut Thianhee Sutay Kiam-kek
yaitu jago pedang paling besar
di kolong langit di jamannya
itu. Maka juga kaget sekali
Law Tong Sun apabila ia dengar
Sin Cu yang ia sangka seorang
pemuda menyebut namanya
jago itu. Tapi dasar ia sangat
percaya ilmu silatnya Hunkin
Cokut Ciu, ia tidak menjadi
berkecil hati.
521
"Ouw Bong Hu," ia
lantas berkata, dengan dingin, "kaulah
seorang kenamaan, mengapa kau
senantiasa bermain di
tempat gelap, sampai kau tidak
berani memperlihatkan
dirimu? Hari ini aku si orang
she Law telah belajar kenal
denganmu!"
Ouw Bong Hu melirik orang
dengan sikapnya yang dingin
sekali.
"Tahukah kau siapa
binatang ini?" ia tanya Sin Cu.
"Tahukah kau perlu apa
dia datang ke mari?"
"Dialah tongnia dari
Gielimkun," menjawab Sin Cu, "dia
sedang menerima firman raja
untuk menawan Loocianpwee
Cio Keng To sekalian dia
hendak merampas pedangku! Dialah
satu telur busuk paling
besar!"
Ouw Bong Hu tertawa dingin, ia
lantas berpaling kepada
komandan Gielimkun itu.
"Tadi malam aku tidak
ketahui asal-usulmu maka itu aku
berlaku murah
terhadapmu," ia berkata. "Hm! Kenapa kau
justeru mencaci aku? Kau
berniat keras sekali merampas
pedang orang, sekarang aku
juga ingin merampas pedang di
tanganmu itu! Mari, mari kita
main-main!"
Habis mengucap kata-katanya
yang terakhir itu, Ouw Bong
Hu mengulur sebelah tangannya
ke sampingnya di mana ada
pohon bambu, ia menjambret
sebatang yang masih muda, ia
patahkan itu, dengan tangannya
ia belah dan merautnya
hingga menjadi seperti pedang
bambu panjang tak ada tiga
kaki, kemudian menyabet dengan
itu, ia kata dengan nyaring:
"Kau gunakanlah pedang
mustikamu itu! Jikalau kau dapat
mengalahkan pedang bambuku
ini, segera aku kembali ke
gurun pasir di Utara dan untuk
selanjutnya tidak nanti aku
kembali ke Kanglam ini!"
522
Tong Sun mendongkol tidak
terkira.
"Bagaimana jikalau pedang
bambumu itu kena aku babat
kutung?" dia tanya.
"Dengan begitu akulah
yang kalah!" menjawab Ouw Bong
Hu.
Tong Sun segera berpikir:
"Aku punya ilmu pedang tidak
sempurna tetapi pedang ini
tajam luar biasa, rambut ditiup di
tajamnya pedang putus,
mustahil segala pedang bambu tidak
akan terpapas buntung?"
Lantas ia menerima baik, serunya:
"Baiklah! Kau ada seorang
kenamaan, kata-kata kita adalah
janji! Jikalau aku kalah,
dengan kedua tanganku akan aku
persembahkan pedang mustika
dari istana ini kepadamu!"
Baru Tong Sun menutup mulutnya
atau tangannya sudah
bergerak menikam seraya
sebelah kakinya dimajukan dengan
cepat. Ia mengarah pinggang
orang.
Ouw Bong Hu tertawa.
"Hm! Sungguh sebat"
katanya, mengejek. Sembari tertawa,
ia berkelit ke samping terus
ke belakang penyerangnya itu,
untuk menotok jalan darah
honghu hiat dari komandan
Gielimkun itu.
"Celaka!" Tong Sun
berseru di dalam hatinya, karena ia
tengah menyerang dan tidak
dapat ia lekas-lekas menarik
pulang pedangnya itu untuk
menangkis. Tapi meskipun begitu,
ia gunai tangan kirinya guna menyambar
tangan lawan. Itulah
gerakan dari Hunkin Cokut Ciu.
523
Diserang dengan sambaran itu,
Ouw Bong Hu tertawa.
"Namanya mengadu pedang
tetapi ceker anjing pun
dikeluarkan!" katanya.
Mukanya Tong Sun menjadi merah
dan ia merasakan panas
sendirinya. Bukan saja
sambarannya itu tidak memberi hasil
juga ejekan lawan membuatnya
malu sekali. Memang tidak
ada dibikin perjanjian,
mengadu pedang tak boleh dicampur
baur dengan lain macam ilmu
silat, akan tetapi sama-sama
orang kenamaan sebagaimana ia
anggap ia pun tersohor
sudah sepantasnya ia hilang
muka.
Setelah ini, dalam mendongkol
dan sengitnya, Tong Sun
mendesak lawannya itu.
Berulang-ulang ia membacok atau
membabat, dengan niat keras
membikin sapat pedang bambu
dari si lawan. Pedang bambu
itu, asal bentrok sedikit saja,
mesti putus.
Ouw Bong Hu ada sangat lincah,
ia berkelit atau berlompat
mengegos tubuh menyingkir dari
setiap serangan, ia selalu
dapat membebaskan diri dari
ancaman, sambil menolong diri,
di mana ada kesempatan, ia
juga membalas menyerang,
hingga satu dua kali, hampir
Tong Sun kena ditotok ujung
pedang bambu itu, yang di
tangannya Bong Hu, menjadi
liehay sekali.
"Jikalau terus begini
jalannya, mungkin aku nanti salah
tangan atau kena
dipancing," pikir Tong Sun kemudian
dengan hatinya gon-cang.
Karena ini, terus ia putar
pedangnya. Ia tidak pandai
mainkan pedang untuk menyerang
tetapi untuk membela diri,
melindungi tubuhnya, ia cukup
mahir. Bagaikan lingkaran
perak demikian tubuhnya tertutup
sinar pedangnya itu. Di dalam
hatinya ia kata: "Aku hendak
lihat dengan cara bagaimana
kau dapat menyerang aku! Asal
pedangku dapat mengenai
sedikit saja, pedangmu tentu bakal
terkutung..."
524
Komandan Gielimkun ini
berpikir demikian, hatinya puas. Ia
tidak menduga, justeru di saat
ia membuat perubahan siasat,
dari menyerang menjadi menjaga
diri sekejap itu Ouw Bong
Hu telah menggunai ketika-nya
dengan baik, dia ulur pedang
bambunya dan membentur pedang
mustika dari istana raja
itu.
Dengan lekas-lekas Tong Sun
membalik pedangnya,
dengan harapan supaya ia dapat
menempel pedang lawan
dengan pedangnya bagiannya
yang tajam, akan tetapi
kesudahannya ia heran sekali.
Pedang bambu itu seperti
nempel sama pedangnya sendiri,
tidak dapat ia membalik
pedangnya itu. Belasan kali ia
geraki pedangnya, dengan
pelbagai tipu, tetap kedua
pedang tak dapat terpisah.
Yang membikin hatinya jadi
kecil adalah ketika kemudian ia
merasakan pedang bambu berubah
sifatnya, tadinya enteng,
sekarang menjadi berat, berat
hingga seribu kati, hingga
hampir ia tidak dapat berdaya
lagi. Ia menginsafi akan tenaga
dalam yang luar biasa dari
lawannya ini.
"Sekarang kau hendak
membilang apa lagi?" Ouw Bong Hu
menanya.
Tong Sun mengertak giginya.
"Aku serahkan pedang
padamu!" sahutnya sengit. Sambil
menolak keras, ia lepas gagang
pedangnya dengan ujung
pedang yang tajam menjurus ke
jantung lawannya itu.
Sin Cu dapat melihat perbuatan
orang itu, ia kaget hingga
ia menjerit. Ouw Bong Hu tidak
menjadi kaget karena
kelicikan lawannya. Ia menarik
pedangnya selagi Tong Sun
menolaknya, tangan kirinya
membarengi maju bekerja, maka
sebelum ujung pedang mampir di
tubuhnya, gagang pedang
sudah dapat ia cekal. Begitu
cepat gerakan tangan jago ini,
525
sampai Sin Cu tidak dapat
melihat orang menggunai tipu silat
apa. Maka ia menjadi kagum
luar biasa.
"Pantas dia sama
kesohornya seperti suhu." pikirnya.
Nona ini mengatakan demikian
tanpa ia menginsafi bahwa
dalam tingkat derajat, Ouw
Bong Hu ada terlebih tinggi
setingkat daripada gurunya
itu, sedang ilmu menanggapi
pedang itu, Ouw Bong Hu dapat
menurunkan dari Liehiap
Siauw Un Lan, sahabat gurunya.
Untuk jamannya itu, Siauw
Liehiap itu adalah yang tingkat
derajatnya paling atas. Dahulu
harinya pernah dengan
sebatang pedang bambu dia
melayani Cia Thian Hoa dan Yap
Eng Eng yang mengepung ia
berbareng dengan pedang
mereka dengan kesudahannya
seri. 4)
Begitu lekas ia menyekal
pedang mustika gegamannya
lawannya itu, Ouw Bong Hu
tertawa lebar, hingga wajahnya
Law Tong Sun menjadi bermuram
durja saking mendongkol
dan malunya dia.
"Dengan pedang bambu kau
merampas pedangku, itulah
tidak aneh!" berkata
komandan Gielimkun ini terkebur. "Kau
lihat bagaimana dengan tangan
kosong aku rampas pulang
pedang itu!"
Tanpa memberi ketika lagi,
komandan ini segera
menyerang. Ia menggunai kedua
tangannya dengan
berbareng.
"Cis, tidak tahu
malu!" Sin Cu berludah. Ia muak
menyaksikan kelicikan orang.
Ouw Bong Hu berkelit mundur,
sambil tertawa, ia kata:
"Jikalau dia tidak
diberikan ketika untuk mengeluarkan
526
kepandaiannya yang istimewa,
biarnya dia kalah dia tidak
bakal puas! Baiklah, mari aku
belajar kenal sama ilmu silatmu
yang katanya paling liehay di
kolong langit ini ialah Hunkin
Cokut Ciu!"
Selagi ia berkata-kata, Bong
Hu sudah diserang dengan
hebat. Rupanya adalah
kebiasaannya Tong Sun untuk
menutup kata-katanya sendiri
dengan serangan, untuk
separuh membokong kepada
lawannya, guna membikin lawan
kaget dan gelagapan. Tujuh
atau delapan kali dia menyerang
saling susul.
"Baiklah kita main-main
dengan tangan kosong!" berkata
Ouw Bong Hu kemudian seraya ia
ambil kesempatan
membawa pedangnya ke mulut,
untuk digigit. Hingga dengan
begitu ia jadi melawan tangan
kosong tanpa senjata. Ia sudah
lantas menbuyarkan setiap
serangan si lawan. Tentu saja,
dengan sikapnya ini, ia jadi
sudah mengalah terhadap Law
Tong Sun.
Komandan Gielimkun itu tidak
ambil mumat orang bilang
apa, dengan membungkam ia
melanjutkan serangannya,
dengan pelbagai jurusnya,
mencoba yang satu dari yang lain,
karena sampai sebegitu jauh
semua serangannya dapat
dipunahkan lawan. Ia juga
menggunai kedua kakinya di mana
ada kesempatan. Nampaknya ia
liehay sekali, hebat setiap
serangannya itu.
Ouw Bong Hu berlaku sangat
lincah. Ia menyingkir setiap
kali serangan datang. Ia pun
tidak sudi kasi dirinya dirapatkan.
Kalau ada ketikanya barulah ia
menyerang. Tanpa merasa
dengan lekas mereka telah
lewatkan kira lima puluh jurus.
Hati Tong Sun menjadi panas
berbareng cemas. Tidakkah
sia-sia belaka semua
penyerangannya yang sudah-sudah itu?
527
"Ouw Bong Hu, kau tidak
berani menyambuti tanganku!"
kemudian ia berkata dengan
sengit. "Dengan bertempur cara
begini, sampai kapan nanti
akhirnya?"
Ouw Bong Hu tidak menjadi
gusar, sebaliknya ia tertawa.
"Aku mengalah dengan
membiarkan kau main-main lebih
banyak dari selayaknya!"
ia menyahuti dengan manis. "Apakah
kau tidak sudi terima kebaikanku
ini? Jikalau aku berniat
merobohkan kau, tidak usah
sampai aku gunai satu
tanganku!"
Oleh karena mulutnya sedang
menggigit pedang, suaranya
Ouw Bong Hu tidak terdengar
terang, dan karena ia berbicara
saja, dadanya telah terbuka.
Ketika itu ia tengah mengegos
tubuh ke samping.
"Kena!" Tong Sun
berseru seraya kedua tangannya
dikeluarkan, tangan kirinya
lebih dulu, tangan kanannya
menyusul, tetapi kenyataannya,
tangan kananlah yang
menyerang hebat. Lagi-lagi dia
gunai ketikanya separuh
membokong itu, sebab lawannya
tengah membuka suara.
Tangan kanannya itu, yang
jari-jarinya dibuka, menyambar
bagaikan cengkraman. Sebab
inilah salah satu serangan
terliehay dari ilmu silatnya
itu, Hunkin Cokut Ciu, ilmu peranti
mematahkan tulang. Siapa
terkena itu, kontan dia bakal
bercacad.
Kembali Sin Cu kaget. Ia
merasakan berbahayanya
serangan orang she Law itu. Ia
pun tidak mengarti kenapa
Ouw Bong Hu menjadi demikian
alpa, berbicara tanpa
kewaspadaan. Law Tong Sun
berseru kena membarengi
serangannya itu, tepat seruannya
itu. Ia berhasil mengenai
sasarannya. Hanya, ketika
jari-jari tangannya baru nempel di
baju, dia telah dipapaki
sentilan oleh Ouw Bong Hu, yang tidak
berkelit atas serangan yang
liehay itu.
528
"Aduh!" Tong Sun
menjerit seraya dia lompat mundur
setombak lebih.
Ouw Bong Hu mengawasi orang,
sembari tertawa ia kata:
"Kau dapat bertahan untuk
sebuah jeriji tanganku ini, kau
hebat. Baiklah, aku beri ampun
padamu dari kematian!
Sekarang pergi kau pulang,
untuk merawat diri selama tujuh
hari. Mengenai pedang ini,
suka aku menerimanya!"
Ia angkat tangan kirinya, di
situ nyata tambah sebuah
sarung pedang. Ialah sarung
pedang mustika dari istana, yang
tadi tergantung di pinggangnya
komandan Gielimkun itu.
Sebab barusan, selagi sebelah
tangannya menyentil, tangan
yang lain menjambret ke
pinggang lawan itu. Law Tong Sun
kaget bukan main ia mati
kutunya, di saat Ouw Bong Hu
memasuki pedang ke dalam
sarung, ia telah kabur hingga
bayangannya pun lantas tak
nampak lagi.
Sin Cu girang tidak terhingga,
ia lantas bertindak cepat
menghampirkan orang she Ouw
itu untuk mengunjukkan
hormatnya, begitupun kepada
Lim Sian In. Kimkauw Siancu
tertawa ketika ia ulur
tangannya menarik tangan si nona.
"Kau menjadi besar hingga
mirip dengan In Lui dahulu
hari!" berkata nyonya
ini. "Juga subo-mu itu dulu senantiasa
menyamar sebagai pemuda, dia
merantau seperti kau
sekarang ini! Lihat, Bong Hu,
bagaimana bagus muridnya Tan
Hong! Kita sendiri sayang
tidak punya rejeki sebagai dia. Bagi
kita seperti juga dunia ini
lebar luas akan tetapi murid yang
berbakat baik dirampas lain
orang!..."
Sin Cu tidak perhatikan
pembicaraan suami isteri itu, ia
hanya heran kenapa orang
segera mengenali ia sebagai
pemudi.
529
"Peehu dan peebo ,"
ia tanya, "suhu dan subo pergi ke
Khong San, apakah peehu dan
peebo bertemu dengan
mereka?"
Ouw Bong Hu tertawa.
"Jikalau kami tidak
bertemu sama mereka itu, tidak nanti
kami datang ke Kanglam
ini," sahutnya. "Kau tahu, subo-mu
itu telah mendengar kabar kau,
turut dalam pasukan rakyat
suka rela, ia menjadi girang
berbareng kuatir. Ia berkuatir
karena hatinya memikirkan kau,
takut-takut kalau kau gagal.
Aku tidak nyana, semuda kau
ini, kau telah dapat mewariskan
kepandaian gurumu, sampai Law
Tong Sun si bangsat tua itu
barusan tidak sanggup berbuat
apa-apa terhadapmu.
Sungguh, kau harus diberi
selamat!"
Lim Sian In sembari tertawa
pun berkata: "Kalau nanti
kami pulang akan aku mengasi
keterangan pada suhu dan
subo-mu itu tentulah mereka
bakal jadi girang sekali, hingga
selanjutnya subo-mu itu tak
usah bercemas hati lagi."
Sin Cu tertawa, ia gembira
sekali.
"Aku pun berniat pergi ke
gunung Khong San di Inlam itu
untuk memberi selamat pada
thaysucouw di harian ulang
tahunnya!" katanya.
“Itulah baik," mengatakan
Lim Sian In.
"Aku berniat mencari Cio
Keng To," kata Ouw Bong Hu
kemudian. "Kabarnya dia
berada di dalam pasukan rakyat,
benarkah itu?"
"Benar," Sin Cu
menjawab lekas.
530
"Sebenarnya aku belum
pernah bertemu muka dengan dia
itu," Bong Hu berkata
pula. "Kedatanganku ini adalah Tan
Hong yang menyuruhnya aku
pergi ke Kanglam untuk
menemui dia, maka kebetulan
sekali sekarang aku dapat
merampas pulang pedangnya itu,
pedang ini dapat dijadikan
persembahan perkenalan
untuknya. Bagaimana kalau aku
minta kau yang mengantarkan
aku mengunjungi dia?"
"Aku kuatir sekarang ini
Cio Loocianpwee sudah tidak ada
di sini," Sin Cu
mengutarakan dugaannya. "Mungkin sekali ia
telah pulang ke rumahnya di
Tayciu."
"Kenapa maka pedangnya
ini bisa berada di tangannya Law
Tong Sun?" tanya Bong Hu
tak mengarti.
“Itulah ada sebabnya,"
sahut Sin Cu, yang terus
menuturkan duduknya hal.
Ouw Bong Hu tertawa.
"Memang juga heran,
dengan kepandaiannya itu, Law Tong
Sun dapat merampas pedang dari
tangan Cio Keng To," ia
berkata. "Tadi malam
karena aku belum tahu hal ikhwalnya
Tong Sun itu, aku cuma giring
dia dengan paksa ke wilayah
tentara rakyat ini, untuk
mencari keterangan, maka beruntung
aku bertemu denganmu. Karena
Cio Keng To tidak ada di sini,
percuma aku mensia-siakan
tempo."
Sin Cu pun beranggapan itu
benar.
"Peehu," katanya
kemudian. Tiba-tiba ia ingat suatu apa.
"Kalau Peehu kembalikan
pedang ini kepada Cio Loocianpwee,
pasti sekali ia tidak dapat
menerimanya, itu malah
menambahkan kedukaannya."
531
"Habis bagaimana?"
Ouw Bong Hu tanya. Ia tua tetapi tidak
sungkan ia menanya yang
terlebih muda. "Pedang ini pedang
mustika, mesti ada pemiliknya
yang cocok. Aku sendiri tidak
membutuhkan ini."
"Kalau peehu sudi,
serahkan saja padaku," Sin Cu minta
langsung. "Nanti aku
serahkan pada orang yang tepat."
Bong Hu setuju.
"Kau benar,"
katanya. "Menurut katamu tadi, Cio Keng To
ada punya satu murid she Tiat,
apakah pemuda itu pantas
memiliki pedang ini?"
Wajahnya Sin Cu merah
sendirinya.
"Aku tidak akan berikan
pedang ini kepadanya," ia kata.
Ouw Bong Hu lantas serahkan
pedang mustika itu.
"Sekarang mari lekas kita
berangkat!" Lim Sian In
mengajak. "Lebih dulu
kita cari Cio Keng To, baru Yang Cong
Hay. Kita harus lekas-lekas
menyelesaikan tugas kita supaya
kita tidak terlambat pulang
untuk memberi selamat kepada
Hian Kie Itsu."
Sin Cu heran.
"Peehu dan peebo hendak
cari Yang Cong Hay?" ia
bertanya.
"Benar," Bong Hu
menyahuti. "Orang she Cio dan orang
she Yang itu, bersama-sama
kita, menjadi apa yang disebut
Sutay Kiamkek. Tentu sekali,
julukan itu adalah pujian kaum
kangouw belaka, maka itu, kami
ingin sekali membuktikan
benar atau tidaknya pujian
itu."
532
Mendengar itu, dengan menjebi,
Sin Cu kata: "Yang Cong
Hay itu tidak layak menjadi
salah satu Tay kiamkek, jago silat
yang terbesar seperti peehu
bertiga!"
"Benarkah itu?" Bong
Hu menegaskan.
"Apakah kau pernah
bertempur dengannya?"
"Menurut pandanganku, dia
hanya kurang lebih sama
dengan Law Tong Sun,"
kata si nona tanpa menjawab
langsung.
"Kalau begitu, urusan
sulit!" kata Bong Hu, yang romannya
jadi bersungguh-sungguh.
Sin Cu menjadi heran sekali.
"Kenapa begitu,
peehu?" ia tanya. "Sebenarnya ada urusan
apakah?"
"Kalau dia sudah demikian
kosen, pasti orang yang berdiri
di belakangnya liehay luar
biasa!" sahut Bong Hu, kembali
tidak langsung.
Sin Cu menjadi bertambah
heran.
"Apakah benar ada orang yang
terlebih liehay daripada
Siangkoan Loocianpwee?"
ia tanya lagi.
Ouw Bong Hu tertawa.
"Kau harus ketahui itu
pembilangan, di luar langit ada langit
lainnya, di samping orang
gagah ada lagi yang terlebih gagah.
Tentang ini sukar diberikan
kepastiannya," ia menjawab.
"Yang Cong Hay itu ada
orang dari partai Cekseng Pay tingkat
533
kedua, bahwa dia berani main
gila, di belakangnya mesti ada
orang yang dia buat
andalan..."
Hati Sin Cu terkesiap. Memang
gurunya pernah omong
tentang Cekseng Cu pendiri
dari partai Cekseng Pay itu,
bahwa Cek Seng Cu ada seorang
Rimba Persilatan yang
liehay, bahwa tiga kali Cek
Seng Cu pernah datangi Hian Kie
Itsu, thaysucouw-nya itu.
Tentang kunjungan itu Tan Hong,
gurunya, menerangkan: Pertama
kali dia datang, Cek Seng Cu
telah diajak Hian Kie Itsu,
kakek guru itu, masuk ke kamar
samedhi, di sana satu hari dia
diajak berdiam. Pada
kunjungannya yang kedua, dia
diajak bersamedhi dua hari.
Dan pada yang ketiga kali, dia
diajak mengeram diri tiga hari.
Ketika itu dari murid-muridnya
Hian Kie Itsu, cuma ada Tang
Gak seorang tetapi murid ini
diperintah menanti di luar saja ia
dilarang masuk ke dalam kamar
katanya nanti mengganggu
mereka berdua. Maka itu Tang
Gak pun tidak ketahui apa
yang gurunya dan Cek Seng Cu
itu lakukan. Kalau mereka
mengadu ilmu silat, dari dalam
kamar tidak terdengar suara
apa-apa. Yang jelas adalah,
setiap kali Cek Seng Cu keluar
dari kamar samedhi, dia selalu
tunduk dan romannya kucel.
Sejak kunjungan yang ketiga
kali itu, tidak pernah Cek Seng
Cu datang pula. Di kunjungan
yang ketiga kali itu, di waktu
mana mereka berdiam tiga hari
di dalam kamar, keduanya
tidak pernah minum air seceguk
juga.
"Mungkinkah orang liehay
yang Ouw Peehu bilang ini Cek
Seng Cu adanya?" Sin Cu
menduga. Tapi karena orang
agaknya terburu-buru, ia tidak
berani menanyakan
keterangan.
Bertiga mereka lantas
berpisah. Seberlalunya suami isteri
itu, baru Sin Cu periksa
pedang mustika dari istana itu. Ia
dapatkan dua ukiran huruf
"Cie Hong." Itulah rupanya,
namanya pedang itu, yang
samar-samar mengeluarkan sinar
biru muda.
534
Kapan ia ingat kejadian
semalam, nona ini menghela
napas. Ia lihat hari sudah
jadi terang sekali, matahari mulai
naik tinggi, di laut tertampak
sinar berkilauan seperti emas.
Dari tangsi tentara rakyat ia
pun mendengar suara terompet.
Ia tidak mau berdiam lebih
lama, lantas ia berangkat.
Belum lama, Sin Cu mendapat
dengar suara tindakan kaki
kuda mendatangi dari arah
belakangnya, ia lantas saja
menoleh. Ia lihat sepasang
muda-mudi, yang lari
mengaburkan kudanya ke
arahnya. Ia pun lantas mengenali
Seng Hay San dan Cio Bun Wan.
Karena di antara mereka
tidak ada
Yap Cong Liu atau Pit Kheng
Thian, hatinya menjadi lega, ia
lantas memutar tubuh, untuk
menyambut mereka itu.
"Aku bilang bocah ini
bukan orang baik-baik, suko, kau
masih tidak percaya!"
terdengar suaranya Nona Cio. "Eh,
mengapa kau pergi dengan
diam-diam?"
Justeru orang telah datang
dekat padanya, Sin Cu dengar
nyata suaranya nona itu. Ia
mengarti perkataan serta
pertanyaan itu diartikan dan
dimajukan kepadanya. Ia lantas
angkat pedangnya, ia tertawa
sedih, karena tak tahu ia
bagaimana harus memulai
membuka pembicaraan.
Setibanya, Bun Wan agaknya
tercengang, dia mengawasi
saja pemudi yang menyamar
sebagai pemuda itu.
"Apa? Kau seorang
wanita?" kemudian dia tanya, heran.
Sin Cu terkejut. Ia lekas
memeriksa dirinya. Segera ia dapat
kenyataan, ujung rambut di
dekat kupingnya telah meroyot
turun. Setahu kapan, ikat
kepalanya telah terbuka di pinggiran
itu. Mungkin itu disebabkan
terjambret Law Tong Sun atau
535
kebentur sela-sela batu tadi.
Sekarang pun ia sadar kenapa
Ouw Bong Hu mengenali
penyamarannya itu, ialah dari
rambutnya itu.
Bun Wan sekarang mengarti
kenapa orang berlaku ceriwis
kepadanya.
Akhir-akhirnya Sin Cu
bersenyum. Tenang hatinya
sekarang.
"Adik, kau ambil pedang
ini," kata ia, manis. Dengan "adik"
ia artikan adik perempuan.
Bun Wan heran. Ia kenali
pedang ayahnya itu. Ia sampai
lupa menegaskan orang
sebenarnya pria atau wanita.
"Kenapa pedang ayah
berada di tanganmu?" dia menanya
kemudian.
"Janganlah kau menanya,
kau terima saja pedang ini," Sin
Cu bilang. "Kau anggap
saja bahwa ini ada persembahanku
untukmu. Sekarang ini ayahmu
ada sangat berduka, ia
memerlukan kau mendampinginya
untuk menghiburi. Baik kau
lekas pulang untuk
menjenguknya. Aku pun hendak pergi.
Adik Bun Wan, kau harus
baik-baik merawati ayahmu itu, kau
mesti menghiburi dia hingga
hatinya menjadi lega..."
Sin Cu bicara dengan
sungguh-sungguh, hingga ia mirip
dengan gadisnya Keng To
sendiri, maka itu, hati Bun Wan
tergerak, lenyaplah kecurigaannya.
Ia jadi ingat ayahnya
hingga ia berkuatir, ingin ia
segera pulang. Ia menyambuti
pedang itu.
"Terima kasih!" ia
mengucap, lalu ia ajak Hay San mengasi
lari kuda mereka.
536
Sin Cu mengawasi orang pergi
sampai mereka itu lenyap
dari pandangan mata, lalu ia
menghela napas.
"Bocah ini tajam
matanya," katanya di dalam hatinya.
"Seng Hay San ini menang
daripada suheng-nya"
Hay San nampaknya tolol, ia
tak secerdik Keng Sim, yang
romannya pun tampan. Tadinya
Sin Cu heran kenapa Bun
Wan pilih pemuda itu, sekarang
baru ia mengarti. Sendirinya
ia menjadi berduka. Beberapa
bulan ia berada bersama Keng
Sim, sekarang semua itu lenyap
bagaikan impian...
Nona ini angkat kepalanya,
dongak melihat langit, ia
dapatkan matahari merah telah
naik semakin tinggi. Ia
berpaling ke arah laut, ia
tampak air laut bergemirlap
bagaikan kaca. Hari itu
benar-benar indah. Di antara langit
biru terlihat burung-burung
walet laut berterbangan.
Sedetik itu, ia sadar akan
dirinya, maka lantas ia buka
tindakan kakinya, untuk
melanjuti perjalanannya yang telah
tertunda sekian lama.
Beberapa hari kemudian, Sin Cu
mulai menyeberang di
sungai Tiangkang. Ia naik
sebuah perahu yang menyusur
gelombang. Di tengah-tengah
sungai, pikirannya melayang. Di
luar kehendaknya, ia terbayang
kepada saat-saat pertama dari
pertemuannya dengan Tiat Keng
Sim. Saat-saat itu telah
lantas lenyap mengikuti aliran
sungai...
Kuda Ciauwya Say-cu ma telah
dititipkan di rumah Thio Hek
di tepi sungai Tiangkang,
setibanya di seberang, Sin Cu sudah
lantas menuju ke rumah orang
she Thio itu. Ia girang akan
mendapatkan kudanya tidak
kurang suatu apa, malah
nampaknya lebih segar, berkat
rawatan yang sempurna.
Binatang itu pun gembira
menemui majikannya. Maka Sin Cu
537
girang berbareng terharu. Ia
tahu, begitu banyak ia kenal
orang, sahabatnya paling kekal
adalah kuda jempolan ini.
Keluarga Thio Hek menanyakan
urusan melawan kaum
perompak, mereka girang akan
mendengar keterangan bahwa
kawanan penjahat itu sudah
diusir ke laut. Mereka pun girang
waktu diberitahukan, Thio Hek
sendiri akan pulang tidak lama
kemudian. Mereka lantas memuji
kaum penyinta negara yang
mengambil bagian dalam
penindasan perompak terutama
mereka puji Sin Cu, mendengar
mana si nona sendiri terharu
berbareng jengah.
Di rumah Thio Hek ini si nona
tidak berdiam lama, cuma
semalaman, lalu besoknya pagi
ia berangkat menuju ke barat,
meninggalkan wilayah Kanglam
yang permai itu. Selang
sebulan lebih, tibalah ia di
daerah pegunungan Kiu Leng di
barat daya. Di sini ia melihat
pemandangan alam yang beda
dengan Kanglam. Kalau Kanglam
ada bagaikan nona-nona
manis, barat daya ini seperti
pemuda-pemuda sederhana.
Tiba-tiba ia dapat suatu
perasaan aneh. Ia ingat Keng Sim dan
Cong Liu, ia umpamakan Keng
Sim sebagai bunga bouwtan di
taman di Kanglam, dan Cong Liu
seperti pohon cemara di
tanah datar kedua propinsi
Inlam atau Kuiciu.
Nona ini melanjutkan
perjalanannya. Ia hendak melintasi
Kuiciu menuju ke Inlam. Di
Kuiciu ia tampak gunung jauh
terlebih banyak, puncaknya
berentet-rentet begi-tupun
rimbanya, rimba cemara yang
lebat. Di mana saja, ia dapat
mendengar nyanyian kaum wanita
suku bangsa Biauw dan
melihat wanita bangsa itu
bekerja di sawah ladang, bekerja
rajin danulat seperti pria.
Mereka itu sangat berbeda dari
nona-nona Kanglam yang seperti
tak pernah keluar rumah.
Sin Cu dandan sebagai pemuda,
melihat sikap wajar dari
wanita Biauw itu, ia likat
sendirinya, maka ia cari tempat sunyi
di mana ia salin pakaiannya,
untuk kembali menjadi seorang
538
nona. Orang Biauw senang
sekali menyambut tetamu asing, di
tengah jalan di mana ada
peseban peranti beristirahat, tentutentu
ada disediakan air minum yang
diambil dari sumber di
kaki gunung serta cauwee,
ialah sepatu rumput, untuk kaum
pelancong melenyapkan
dahaganya atau menukar sepatunya
yang rusak. Sekalipun keluarga
miskin, kalau mereka
kedatangan tetamu, perlu
sekali mereka melayani tetamunya
supaya menjadi puas. Karena
ini, sebagai satu pemudi, Sin Cu
tidak nampak kesulitan dalam
perjalanannya ini.
Setelah berjalan setengah
bulan, ia tiba di barat Kuiciu di
tempat yang disebut Yamacoan.
Dari situ, lagi enam atau
tujuh hari, ia akan melintasi
wilayah bangsa Biauw itu dan
akan sampai di batas propinsi
Inlam. Sore itu Sin Cu
menumpang di rumah seorang
Biauw di mana cuma ada dua
penghuninya, ibu dan
puteranya, tetapi si putera bekerja di
rumah touwsu, kepala suku
bangsa, maka itu, tinggallah si ibu
seorang diri. Nyonya ini
menyembelih seekor ayam semenggamengganya
untuk menyuguhkan tetamunya.
Sin Cu malu hati,
ia membantui memasak beras.
Di Kuiciu Barat, orang Han dan
Biauw hidup bercampuran,
dari itu ada banyak orang
Biauw yang dapat berbicara
Tionghoa, demikian nyonya
rumah ini, meskipun ia tidak dapat
bicara lancar, perkataannya
masih dapat di mengerti Sin Cu.
Dari itu mereka dapat memasang
omong.
Habis bersantap, nyonya rumah
dan tetamunya duduk di
luar rumah di bawah sebuah
pohon. Nyonya itu senang sekali
terhadap tetamunya, ia cekal
tangan si nona seraya berkata :
"Banyak aku melihat
nona-nona bangsa Han, cuma kau yang
melebihkan cantiknya wanita
Biauw yang tercantik! Lihat
tanganmu, begini halus dan
putih, seperti kepunyaan tuan
puteri dalam ceritera
saja?"
539
Sin Cu likat dipuji, dengan
bersenyum malu-malu ia kata:
"Mana dapat aku dibanding
sama nona-nona bangsamu?
Mereka itu pandai sekali
bekerja, masak nasi, bercucuk tanam
dan bersulam. Aku justeru
sangat mengagumi mereka..."
Nyonya itu tertawa.
"Berapa usia kau,
nona?" ia tanya.
"Tujuh belas tahun,"
menjawab Sin Cu.
"Sudah punya mertua atau
belum?"
"Tidak," sahut Sin
Cu, mukanya merah.
"Kita di sini, pemudi
umur tujuh atau delapan belas tahun
jarang sekali yang belum
menikah," berkata nyonya rumah,
"apa pula yang cantik
seperti kau, yang melamar tentulah
siang-siang datang mendobrak
pintu!"
"Masih begitu muda sudah
menikah?"
Sin Cu menanya begitu tanpa ia
mengetahui, di jamannya
itu, sudah umum nona Han
menikah dalam usia seperti itu. Ia
tidak tahu sebab ia
mengutamakan ilmu silat, perhatian tidak
sampai kepada soal usia
pernikahan. Tengah mereka
memasang omong, tiba-tiba
kuping mereka mendengar suara
tetabuan yang merdu, yang
tercampur nyanyian nona-nona
Biauw. Sin Cu tidak mengarti
kata-kata nyanyian itu tetapi
lagunya menarik hatinya, lagu
itu seperti berirama asmara.
"Pernahkah kau
menyaksikan upacara nikah orang Biauw?"
si nyonya tanya. Ia tertawa.
"Belum," menyahut
Sin Cu, dengan hatinya ketarik. "Mari
kita lihat!"
540
Nyonya itu lantas ajak
tetamunya pergi ke jalan dari mana
suara tetabuan datang.
Melewati sebuah bukit, di sana ada
satu tanah datar berumput yang
luas, di tanah datar itu,
mengitari segerombolan pohon
bunga, sejumlah nona Biauw
berlari-lari mengitarinya,
menari dan bernyanyi gembira sekali.
Di antaranya ada yang
memainkan tetabuan berikut seruling,
yang lagunya merdu.
Selagi Sin Cu mengawasi dengan
hati tertarik, tiba-tiba dua
pemuda Biauw menghampirkan ia,
mereka membungkuk dan
bersenyum, terus mereka
pentang kedua tangan mereka
seraya datang lebih dekat
dengan berebut.
"Apakah artinya
ini?" Sin Cu tanya heran.
Sebelum mereka itu menyahuti,
si nyonya sudah bicara
dalam bahasa Biauw kepada mereka
itu, lantas mereka
berlalu, romannya kecele. Si
nyonya memetik dua tangkai
bunga putih ia tancap itu di
rambut si nona dekat kupingnya,
sembari bersenyum ia kata:
"Siapa suruh kau begini cantik,
sampai bocah-bocah itu
berebutan mengajak kau menarikan
bunga?"
"Apa itu menarikan
bunga?" Sin Cu tanya.
"Bukankah itu menarikan
bunga?" si nyonya balik menanya
seraya tangannya menunjuk ke
depan, kepada nona-nona dan
pemuda-pemuda yang tengah
menari di antara bunga-bunga
seraya memainkan tetabuan.
Malah segera juga mereka itu
berpasangan, terus menari dan
bernyanyi.
"Sungguh menarik!"
kata Sin Cu tertawa. "Sayang aku tidak
bisa bernyanyi dan
menari!"
541
"Aku tahu kamu nona-nona
Han pemaluan, maka itu aku
tancapi bunga di
rambutmu!" berkata si nyonya sambil
tertawa.
"Dengan menaruh tanda
bunga ini, orang jadi tidak datang
mengajak menari?" Sin Cu
tanya pula.
"Benar. Itu artinya orang
sudah punya kekasih tetapi
kekasihnya tidak hadir di
sini, kau jadi cuma datang untuk
menonton. Jangan kau gusar,
nona, tanpa kau berbuat begini,
bagaimana juga kau tidak dapat
menampik bocah-bocah itu,
pasti mereka tidak mau
mengarti. Eh ya, sebenarnya kau
sudah punya kekasih atau
belum?"
Parasnya Sin Cu merah dengan
mendadak. Tanpa merasa,
ia menjadi kesepian. Tapi
tetabuan dan nyanyian menggema
di kupingnya. Tidak lama, ia
menjadi biasa pula, ia kembali
bergembira.
Sang Puteri Malam makin lama
naik makin tinggi. Jumlah
pasangan muda-mudi pun tambah
makin banyak. Sabansaban
ada pasangan, yang
bergandengan tangan masuk ke
tempat pepohonan lebat,
seperginya mereka, tempatnya
lantas diambil lain pasangan.
Begitu seterusnya, bergantian.
"Beginilah kebiasaan kami
mencari pasangan!" kata si
nyonya sambil tertawa. “Ini
pun tanda dari suatu pernikahan."
Sin Cu likat tetapi ia
tertarik hatinya.
"Pernikahan?"
tanyanya. "Mana nona pengantinnya?"
"Segera dia akan
muncul!"
Lewat sesaat lalu tertampak
dua orang laki-laki dengan
baju kembang dan panjang
muncul seraya menuntun seekor
542
kerbau, mereka jalan mengitari
gelanggang, lantas mereka
disambut tampik sorak, terus
mereka dirubungi sejumlah pria,
yang mengepung kerbau itu,
yang diikat ke empat kakinya,
kemudian muncul seorang
sebagai dukun, dengan kampak dia
mengampak tiga kali kepala
kerbau itu, setelah binatang itu
tak sadarkan diri, pemuda-pemuda
itu lantas berebut
mengeset kulitnya, memotong
dagingnya, untuk dipanggang
di situ juga. Sebab inilah
upacara mereka yang disebut
"Memukul kerbau."
"Habis memukul kerbau,
sepasang mempelai segera akan
datang!" si nyonya
berkata kepada tetamunya.
"Siapa itu yang ada
hajat?" tanya si nona. "Begini ramai!"
"Orang miskin mana bisa
menyembelih kerbau demikian
gemuk? Inilah touwsu kami yang
menikahkan puterinya." Baru
sekarang si nyonya mengasi
keterangan, maksudnya akan
menggirangkan tetamunya.
Sin Cu benar-benar bergembira.
Ia lantas memasang mata,
menanti mempelai. Tiba-tiba
tetabuan berhenti, tanah datar
menjadi sunyi. Lalu terlihat
delapan pasang bocah pria dan
wanita mengiringi sepasang
mempelai. Pengantin perempuan
memegang payung kertas kembang
mentereng, dan
pengantin laki-laki memakai
bunga besar di dadanya, hingga
separuh mukanya kena
teralingi. Di tanah datar, mereka
disambut dengan tampik sorak.
Pengantin perempuan lantas
menyerahkan payungnya pada
pengiringnya, dan pengantin
laki-laki ada orang yang
menyingkirkan bunganya itu, untuk
dikasi pakai pada bakal
isterinya.
Sekarang terlihat tegas wajah
si mempelai laki-laki itu.
Melihat dia, Sin Cu berdiri
terbengong, hingga hampir ia tidak
mempercayai matanya. Pengantin
itu adalah Siauw Houwcu!
Baru satu tahun Sin Cu tidak
melihat Siauw Houwcu, dia telah
543
jadi lebih tinggi dan besar
banyak, akan tetapi dibanding sama
pengantin perempuan, dia masih
terlebih kate (pendek).
Nona Ie menjadi heran sekali.
Siauw Houwcu menjadi
pengantin orang Biauw! Coba
suasana tidak demikian rupa,
mau ia percaya bocah itu
tengah bersandiwara. Bukanlah
Siauw Houwcu memangnya gemar
bergurau? Kenapa si bocah
menikah? Bukankah dia telah
pergi mengikuti Hek Pek Moko?
Kenapa dia berada di sini dan
sendirian saja? Ke mana
perginya Hek Pek Moko? Kenapa
puteri touwsu menikah sama
Siauw Houwcu? Pusing kepala si
nona. Tidak dapat ia
menjawab semua pertanyaan itu.
"Kenapa, eh?" si
nyonya tanya, tertawa. "Kau sangat
heran? Mempelai laki-laki itu
ada orang bangsamu!"
"Kenapa bocah itu datang
kemari?" Sin Cu tanya. "Kenapa
touwsu menikahkan puterinya
dengannya? Tahukah kau
sebabnya?"
Nyonya itu menggeleng kepala
sambil tertawa.
"Kami penduduk biasa,
mana kami dapat campur tahu
urusan keluarga touwsu?"
dia menjawab. "Dulu-dulu memang
tidak banyak pernikahan
campuran Han dan Biauw tetapi
sekarang sudah umum, tidak
aneh lagi!"
Tentu saja, Sin Cu bukan heran
akan halnya pernikahan
campuran, hanya kenapa Siauw
Houwcu berada sendirian dan
kenapa dia menikah sama puteri
ketua suku Biauw itu.
"Kau bilang mempelai
laki-laki bocah bukankah di kalangan
bangsamu ada isteri bakal
sejak masih kecil?" tanya si nyonya.
Tapi pun kebiasaan ini berlaku
di antara bocah umur dua tiga
tahun sudah dinikahkan dan
bakal isterinya lebih tua belasan
544
tahun, “Isteri" itu
diambil, untuk merawati suami ciliknya,
hingga ia mirip ibu merawati
anak.
"Puteri touwsu tahun ini
berusia enam belas," berkata pula
si nyonya, "dia
dinikahkan sebab menurut dukun, jodohnya
cocok sekali. Mempelai ini
berumur empat belas, jadi usia
mereka tidak beda
banyak."
Pemuda-pemuda Biauw itu telah
memanggang matang
daging kerbaunya, mereka dahar
itu sambil minum arak,
mereka gembira sekali,
saban-saban mereka bersorak.
"Dalam pesta pernikahan
kami, tetamu tak usah diundang
lagi," berkata si nyonya.
"Kau pun boleh turut dahar daging
panggang itu."
"Ah, aku tidak
lapar."
"Kalau kau tidak dahar
daging atau tidak minum arak, itu
artinya kau tidak memberi muka
pada tuan rumah," si nyonya
mengasi tahu. "Baiklah,
kau tentu malu bercampuran sama
anak-anak itu, nanti aku yang
ambilkan."
Sin Cu tidak perdulikan nyonya
itu, ia hanya mengawasi
Siauw Houwcu. Ia menjadi lebih
heran mendapatkan bocah itu
diam saja, matanya juga
mengawasi hanya kesatu jurusan.
Siauw Houwcu tidak lincah lagi
seperti biasanya, dia malah
mirip boneka kayu, dia dapat
orang perbuat sesukanya. Dari
heran, si nona jadi bercuriga.
Tiba-tiba seorang pemuda Biauw
bernyanyi dalam bahasa
Tionghoa:
"Puteri Malam di atas
langit dikawani mega dadu yang
indah permai, burung hong di
muka bumi bagaimana dapat
545
dipasangi burung gaok? Haha!
Nona yang begini cantik
kenapa dijodohkan baba begini
jelek?"
Sebagai sambutan, seluruh
hadirin bersorak ramai.
Sembari bernyanyi, orang itu
muncul dari antara orang
banyak. Melihat dia itu, Sin
Cu kata dalam hatinya: "Hm! Kau
katakan Siauw Houwcu si baba
jelek tapi sebenarnya dia jauh
lebih ganteng dari
padamu!"
Pemuda itu bermuka merah tidak
keruan akibat banyak
minum arak, rupanya menjadi
jelek. Dia mengham-pirkan
Siauw Houwcu, dia mengusap
pipi orang seraya berkata:
"Baba kecil, mari aku
lihat gigimu sudah tumbuh semua atau
belum?"
Siauw Houwcu diam saja, cuma
mendadak tangannya
terangkat.
"Plok!" demikian
satu tamparan, atas mana pemuda jail itu
menjerit kesakitan, tubuhnya terpental
roboh, dua buah
giginya copot berdarah!
Para hadirin ribut tertawa.
Lalu seorang lagi bernyanyi:
“Inilah binatang kielin
dipasangi dengan burung hong,
bukannya burung hong
direndengi dengan gaok!"
Sin Cu bisa melihat, kalau
tadinya orang bersikap
menggoda Siauw Houwcu,
sekarang mereka itu dipengaruhi
rasa heran dan kagum. Si
nyonya sementara itu telah
membawa datang sebuah lodong
arak serta sepotong daging
kerbau. Ia serahkan semua itu
kepada tetamunya.
546
"Bocah itu sudah sinting,
kalau tidak, tidak nanti dia main
gila seperti barusan,"
katanya.
"Siapa bocah itu?"
"Dia anaknya salah satu
kepala di bawahan touwsu.
Memang sudah lama dia gilai
puteri touwsu malah pada tahun
yang lalu, dia telah menari
bunga sama puteri itu. Nampaknya
puteri pun menyukai bocah itu.
Setahu kenapa sekarang
mendadak touwsu jodohkan
puterinya pada bocah Han ini
yang tidak terang
asal-usulnya. Bocah ini rupanya tidak puas,
dia minum banyak arak, lalu
dia menggoda. Ha, bocah Han itu
liehay! Kau tidak tahu, nona,
bocah jail itu ada seorang kosen
di antara pemuda-pemuda
kami!"
Sin Cu berdiam tetapi
kecurigaannya bertambah. Siauw
Houwcu baru berumur empat
belas tahun, tak tahu dia urusan
pernikahan. Kalau dia tidak
setuju, dengan kepandaian yang
ada padanya, siapa dapat memaksa
dia? Sekarang kenapa dia
diam saja? Kenapa dia mau
direndengi sama pengantin
perempuan ini? Kenapa dia bisa
menghajar pemuda jail itu?
Itu waktu ada terdengar orang
meniup terompet tanduk
kerbau yang panjang, hingga
beberapa kali, lalu tertampak
sebarisan tukang musik.
"Upacara nikah sudah
dimulai!" berkata si nyonya.
Seorang tetua Biauw mengambil
dua buah cawan tanduk,
semuanya diisikan arak
dicampur darah kerbau, lalu orang tua
itu berseru sebagai menyanyi:
"Minum arak perpaduan dua
cawan, saling menyinta sampai
di hari tua!" Terus dua cawan
itu dibagi kepada mempelai.
Nona pengantin menyambut
dengan malu-malu, baba
pengantin tetapi menyentil
cawan seraya berkata dengan
nyaring: "Ayahku telah
memesan, sebelum aku dewasa, aku
547
dilarang minum arak!" Dan
cawan itu mental tinggi, araknya
tumpah berhamburan. Maka
basahlah si orang tua pemimpin
upacara itu!
Tak tahan lagi, Sin Cu
tertawa. Bukankah lucu Siauw
Houwcu masih ingat pesan
ayahnya itu?
Tetua itu terkejut. Tumpahnya
arak campur darah itu
beralamat buruk.
Sin Cu terus tertawa di dalam
hati, ingin ia menyaksikan
lebih jauh.
"Kasikan lagi dia satu
cawan!" tiba-tiba satu suara dalam
dan seram, lalu orangnya
muncul. Dia mirip orang Han akan
tetapi dandan sebagai orang
Biauw, usianya empat puluh
lebih, romannya bengis. Dia
yang memerintah tetapi dia
sendiri yang menyiapkan arak
campur darah itu, ia sendiri
juga yang membawa ke depan si
baba pengantin, terus dia
mengangsurkannya.
"Aku bilang aku tidak
minum arak!" Siauw Houwcu bilang.
Mendadak ia menyentil pula
dengan dua jari tangannya.
"Jangan main gila!"
membentak si orang bengis, yang
menyingkir dari itu sentilan,
menyusul mana, cangkir
disesapkan ke tangan Siauw
Houwcu, terus ia paksa menuang
ke mulut orang selagi si baba
pengantin berseru.
Siauw Houwcu gelagapan, ia
lekas menyemburkan keluar
arak campur darah itu, meski
demikian, ia dapat minum juga
sedikit. Semua itu terjadi
dengan cepat, hingga para hadirin
menyangka baba pengantin
meminumnya sendiri. Melainkan
Sin Cu yang melihat nyata.