Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 7
Maka nona ini jadi terkejut.
Orang itu liehay sekali, dia sudah menggunai tipu silat "Meminjam
tenaga untuk membunuh
orang," yang lebih hebat dari tipu "Meminjam tenaga menyerang
lawan."
Semua anak muda, pria dan
wanita, bersorak-sorai seraya berjingkrakan. Pengiring pengantin lantas membuka
payung, untuk memayungi pengantin perempuan, untuk berjalan berlalu dari tanah
datar itu. Siauw Houwcu, seperti ada yang mendorong, berjalan di samping
pengantinnya itu.
"Selesai sudah upacara
ini!" kata si nyonya. "Sebentar di rumah touwsu orang akan menggodai
kedua mempelai!"
Sin Cu nelusup di antara orang
banyak, untuk mengikuti kedua mempelai itu.
"Apa? Kau hendak turut
mengacau di kamar pengantin?" si nyonya tanya, tertawa. "Aku sudah
tua bangka, rambutku sudah putih semua, tidak dapat aku turut-turutan bergurau
sebagai kamu anak-anak muda!"
"Kau letih, nyonya
silahkan kau pulang lebih dulu," kata Sin Cu. "Upacara ini menarik
hati, sukar aku menemuinya lain kali, maka ingin aku menonton mereka mengacau
kamar kemantin..."
Upacara menggoda pengantin
bangsa Biauw lebih banyak ragamnya daripada cara orang Han. Kedua mempelai
mesti sama-sama menggigit sebuah pinang.
Mempelai laki-laki mesti
membukai tutup muka mempelai wanita. Mempelai wanita mesti bernyanyi untuk
menghaturkan terima kasih kepada tetamu-tetamunya. Dan lain-lain lagi.
Sin Cu di antara orang banyak
terus memperhatikan Siauw Houwcu saja. Ia dapat kenyataan sinar mata orang
mendelong saja, bagai orang hilang semangatnya. Bocah itu menurut saja
apa yang orang suruh dia
lakukan.
Habis bergurau sekian lama,
laki-laki yang tadi memaksa Siauw Houwcu minum arak berkata: "Cukup sudah!
Mempelai laki-laki tipis kulit mukanya, kalau dia digoda terus, nanti dia
menangis!"
Orang semua tertawa riuh.
Wanita pengiring mengambil
kipas, dia kasikan itu kepada Siauw Houwcu, yang disuruh mengetok pundak
mempelai wanita tiga kali.
Tiba-tiba Siauw Houwcu mengasi
lihat roman sungguhsungguh.
"Dia baik sekali
terhadapku, kenapa aku mesti ketok dia?" tanyanya, keras.
Mendengar itu, kembali orang
banyak tertawa riuh. Wanita pengiring berbisik di kuping mempelai laki-laki:
“Inilah upacara. Kau ketok saja pelahan-pelahan tiga kali."
Bisikan itu seperti tidak
didengar nyata Siauw Houwcu, sebaliknya seorang muda di sampingnya
mendengarnya, dia ini lantas berseru: "Tidak boleh! Tidak boleh. Mesti
mengetok dengan keras, kalau tidak, itu artinya takut bini!"
Kembali orang tertawa gempar.
Matanya Siauw Houwcu bersinar,
agaknya ia cemas hatinya. Mungkin ia ketahui artinya "takut bini"
itu, bahwa itu memalui. Ia lantas angkat kipasnya, tiga kali ia pukul pundak
pengantinnya. Hebat pukulannya itu, setiap kalinya, pengantin itu berjengit.
Bahkan setelah pukulan yang ketiga, dia berlompat, kedua matanya mengeluarkan
air, parasnya berubah pucat.
Kembali orang banyak tertawa,
semua memuji: "Bagus!"
Sin Cu terkejut. Ia tahu
pukulan Siauw Houwcu itu hebat, pantas nona pengantin kesakitan, melainkan dia
mencoba menahan sakit, dia dapat tidak menjerit. Suara tertawa baru
berhenti kapan orang melihat
baju di pundaknya nona pengantin itu pecah robek, hingga terlihat kulit
pundaknya.
Mereka tidak berani menggoda
pula. Hanya seorang mengambil air labu, untuk disiramkan kepada kedua mempelai
bergantian.
"Ha, kau berani siram
aku?" membentak Siauw Houwcu. Ia terus menyampuk sama kipasnya, maka air
labu itu berbalik menjeblok muka si penyiram, muncrat kepada mereka yang
berdekatan.
Kali ini suara orang riuh
bahna kaget dan heran. Menyiram dengan air labu itu ada adat kebiasaan orang
Biauw, tanda pemberian selamat, makin basah pakaian pengantin, makin
beralamat baik katanya. Si
orang lelaki memegang lengan Siauw Houwcu, ia membisiki, lalu air labu
disiramkan untuk kedua kali, kali ini basah bajunya Siauw Houwcu. Meski begini,
itulah alamat tak baik.
Menurut kepercayaan orang
Biauw, maka di belakang kali, kalau bukan si lelaki tentulah si perempuan, yang
bakal menikah pula.
Sampai di situ selesai sudah
upacara mengacau pengantin, berkesudahan dengan kacau dan kecewa, orang semua
lesu.
Selagi orang bubaran,
diam-diam Sin Cu sembunyi di gununggunungan di dalam pekarangan rumah si kepala
suku, kemudian ia naik ke atas genteng kamarnya Siauw Houwcu, untuk mengintai.
Ia lihat dua-dua mempelai duduk di atas pembaringan, keduanya berdiam saja,
tidak ada roman gembiranya.
Baru kemudian mempelai
perempuan memecahkan kesunyian.
"Eh, kau bilang kau suka
aku, nyata kau mendustai" katanya.
"Siapa bilang
dusta?" Siauw Houwcu menjawab. "Terhadap Siauwliong aku tidak sebaik
terhadapmu."
"Siapa itu
Siauwliong?" si nona tanya.
"Siauwliong itu anaknya
tetanggaku yang aku panggil paman yang nomor dua," jawab Siauw Houwcu.
"Dari masih kecil sekali kita biasa bermain-main berdua, cuma dia bernyali
sedikit kecil. Begitulah di bulan ketiga, dia tidak berani turun ke empang
untuk menangkap ikan. Dia takut dingin!"
Sin Cu ingat ketika pertama
kali ia ketemu Siauw Houwcu, anak ini lagi mengganggu satu bocah nakal. Bocah
itulah rupanya si Siauwliong. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya.
Nona pengantin rupanya merasa
lucu.
"Mana dapat aku dibanding
dengan Siauwliong!" katanya.
"Aku ini isterimu!"
“Isteri? Isteri itu apa?"
Siauw Houwcu tanya.
“Isteri yaitu orang paling
terdekat denganmu."
"Oh..." agaknya
Siauw Houwcu bingung atau linglung, ia seperti tak aku si nona ada orang
terdekat dengannya.
"Sebenarnya kau akui aku
sebagai isterimu atau tidak?" sang isteri menanya pula.
"Eh, kenapa sih kau
mendesak aku dengan pertanyaanmu ini?" Siauw Houwcu tanya.
"Habis, kenapa kau tidak
mau saling tukar minum arak denganku?"
"Usiaku masih muda
sekali, aku tidak minum arak."
Nona itu sangat mendongkol dan
berduka, dia menangis.
"Kenapa kau
menangis?" Siauw Houwcu agaknya cemas.
"Aku toh tidak menghina
kau?"
"Kau berani menyebut
tidak menghinaku? Kenapa kau pukul aku tiga kali dengan keras? Sampai sekarang
pundakku masih sakit."
"Sebab mereka itu bilang,
jikalau aku tidak memukul, aku takut bini! Oh, kiranya kau gusar karena itu.
Nah, kau pukullah aku tiga kali! Maukah kau? Jikalau masih kurang, kau boleh
pukul sampai enam kali!"
Selagi berkata, sinar mata
Siauw Houwcu bercahaya. Sin Cu lihat dia seperti kembali kepada kenakalannya.
Ia bersenyum, di dalam hatinya
ia kata: "Di mana di kolong langit ini ada mempelai laki-laki bicara
seperti bocah cilik?"
Karena memikir begini, timbul
pula kecurigaannya. Maka ia berpikir lagi: "Siauw Houwcu sangat cerdik
jarang ada bandingannya, kenapa sekarang dia jadi tolol, mirip anak desa yang
dungu? Kenapa dia kasi dirinya diperbuat sesukanya oleh orang lain? Inilah bukan
sifatnya! Mungkinkah dia telah kehilangan sifat nuraninya?"
Ia ingat Tan Hong pernah
membilang, siapa terlalu bergirang atau terlalu berduka, sifat aslinya bisa
hilang atau berubah. Tapi Siauw Houwcu masih bocah, dia belum kenal asam
garamnya dunia. Kenapa dia agaknya berubah?
"Apa benar?" si nona
tanya.
"Kenapa tidak benar?
Kalau kau senang, kau pukullah!"
Si rona mengambil kipas. Siauw
Houwcu buka bajunya.
"Mulailah! Aku buka
bajuku supaya kau memukul sepuasnya!"
"Plok!" demikian
suara pukulan. Si nona benar-benar memukul dada orang.
"Eh, kenapa nona ini pun
bersifat kekanak-kanakan?" Sin Cu heran. Ia mengawasi lalu ia menjadi
kaget. Ia dapatkan cara memukul si nona ada menurut gerakan menotok jalan
darah, sasarannya pun jalan
darah soankie hiat. Dalam kagetnya, ia siapkan bunga emasnya, siap akan
menolong kalau Siauw Houwcu dihajar hingga pingsan.
Ia mengawasi terus. Ia
dapatkan Siauw Houwcu menarik napas dalam-dalam. Si nona menyerang pula,
menotok hingga tiga kali, semua itu melejit, seperti dada itu ada minyaknya
dan licin. Nona itu menyerang
dengan totokan hebat tetapi Siauw Houwcu merasakannya sebagai garukan. Menampak
itu Sin Cu heran berbareng girang. Baru satu tahun tidak
bertemu, bocah itu sudah maju
pesat ilmu Iweekang-nya.
Memang, siapa latihannya ilmu
itu sudah sempurna, dia tak takuti totokan jalan darah lagi. Ilmu itu bisa
dicapai dengan latihan sedikitnya sepuluh tahun.
Di India ada ilmu Yoga, yang
pun bisa menutup jalan darah, caranya berlainan dan tempo pelajarannya sedikitnya
dua tiga tahun untuk yang telah ada dasarnya. Siauw Houwcu mengikuti Hek Pek
Moko baru satu tahun, dia telah dapatkan ilmu menutup diri itu, sungguh
langka.
"Tiga kali kau membalas
menyerang aku, kau puas bukan?" Siauw Houwcu kata pada kemantinnya.
"Tidak!" sahut si
isteri. "Tadi kau pukul aku sampai aku merasa sakit hingga air mataku
keluar, kau sendiri, mengkerutkan alis pun tidak, jadi kau tidak merasa sakit
sedikit juga."
"Ya, habis apa
daya?" kata Siauw Houwcu. “Ilmu ini aku diajarkan guruku, bagaimana pun
kau pukul aku, aku tidak akan merasa sakit. Ilmu ini tidak dapat dipelajari
lain orang."
"Kau dapat belajar,
kenapa lain orang tidak ?"
Siauw Houwcu mementang lebar
kedua matanya. Ia rupanya anggap pertanyaan itu beralasan.
"Eh, kau ajari aku ilmu
itu, bolehkah?"
Ditanya begitu, sinar mata
Siauw Houwcu berubah, agaknya ia cemas. Ia lantas menggeleng kepala.
"Tidak dapat!"
sahutnya.
Si nona heran. Ia menanya
kenapa.
"Sebab ini... ini tidak
dapat diajarkan kepada lain orang..."
"Ngaco! Lain orang boleh
kau tidak ajari, aku lain, aku isterimu! Suami isteri ada seperti satu tubuh!
Bagaimana kau tidak sudi mengajari aku?"
"Beginikah liehaynya satu
isteri?" tanya Siauw Houwcu meringis.
"Benar! Apa yang isteri
minta suaminya mesti memberinya!"
"Ah, kalau begitu
seumurku aku tidak mau beristeri !..."
"Tapi kita sudah menikah!
Mana dapat kau menyangkal!"
Kelihatannya Siauw Houwcu
berkuatir, dia duduk bengong saja.
"Begini saja,"
katanya kemudian. "Aku ajari ilmu ini tetapi kau tidak dapat menjadi
isteriku! Dapatkah begitu?"
"Tidak!" sahut si
isteri.
Sin Cu heran mengapa Siauw
Houwcu jadi demikian tolol.
Ia menduga nona pengantin itu
bakal gusar. Tidak tahunya si nona menunjang janggut dan berpikir. Kemudian dia
kata:
"Baiklah, karena kau
tidak sudi jadi suamiku, tidak dapat aku paksa. Sekarang kau ajari aku ilmumu,
tidak apa aku tidak jadi isterimu. Berapa lama aku mesti belajar?"
"Lamanya tiga tahun atau
cepatnya cuma satu tahun," sahut Siauw Houwcu.
"Hanya, setelah mempelajari
rahasianya, selanjutnya orang mesti berlatih sendiri."
"Berapa lamanya tempo
belajar rahasianya itu?"
"Kurang lebih sepuluh
hari."
"Baik! Dalam sepuluh hari
kau ajarkan aku sampai bisa, sepuluh hari sehabisnya itu, aku akan melepaskan
mengasih kau pergi!"
"Benarkah itu?"
Siauw Houwcu kelihatan girang sekali.
"Kita bangsa Biauw tidak
pernah mendustai"
"Baiklah! Sekarang juga
aku mengajari kau!"
Sin Cu heran bukan main.
"Rupanya nona ini bukan
menikah dengan sesungguhnya,"
ia berpikir. "Dia terlebih
muda daripada aku tetapi dia cerdik sekali. Apakah dia telah diajari oleh orang
tua? Ah, hebat!
Apakah ini bukan semacam
jebakan, perangkap guna memperdayakan Siauw Houwcu?"
Ilmu silat ada golongannya
masing-masing. Ilmu silat rahasia sesuatu golongan, atau perguruan, tidak dapat
diajarkan kepada orang luar, kecuali orang dapat perkenan dari gurunya.
Sekarang Siauw Houwcu hendak obral ilmunya itu, pasti Sin Cu berkuatir. Tidak
dapat ia menguasai diri lagi, ia lompat turun ke bawah, terus ia lompat masuk
ke dalam kamar.
Nona pengantin kaget bukan
main melihat ada orang berlompat masuk ke kamarnya, dia ternganga hingga tak
dapat dia mengucapkan sesuatu. Siauw Houwcu pun menjublak mengawasi Nona Ie,
hatinya gelisah.
"Siauw Houwcu, kau kenali
aku atau tidak?"
Sin Cu tanya si bocah tanpa ia
gubris nona pengantin.
Bocah itu mundur dua tindak.
Ia mengawasi.
"Kau... kau siapa?"
ia tanya. "Di mana kita pernah bertemu?" ia bingung, ia seperti lagi
berpikir keras, mengingat-ingat sesuatu yang ia lupakan.
Sin Cu masgul sekali. Ia mau
percaya, bocah itu telah makan semacam obat hingga dia tak sadar akan dirinya.
Kasihan bocah demikian lincah
kena dibikin jadi dungu begini.
Ia ulur tangannya, ia pegang
pundak orang.
"Aku ialah encie Sin
Cu-mu!" katanya. "Apakah kau sudah lupa?"
"Encie Sin Cu?"
Siauw Houwcu mengulangi, suaranya pelahan. Ia seperti ingat tetapi tidak berani
segera mengutarakannya.
Sin Cu menatap bocah itu,
sampai mendadak ia ingat pengajarannya gurunya, Thio Tan Hong, tentang ilmu
menyadarkan orang yang lupa ingatan. Dengan mendadak saja ia menotok jintiong
dari Siauw Houwcu tanpa bocah itu sempat berkelit atau menangkis. Atas itu,
Siauw Houwcu menjerit kaget.
Sin Cu menyambar kipas di atas
pembaringan, seraya membeber dan mengibaskan itu, ia tanya si bocah: “Ingatkah
kau siapa aku?"
Siauw Houwcu mementang kedua
matanya lebar-lebar.
“Inilah ilmu yang kau ajarkan
aku!" sahutnya lekas. "Encie Sin Cu!"
Memang di musim semi tahun
itu, waktu pertama kali mereka bertemu, si nona telah menggunakan kipasnya
mengipas air di tubuhnya Siauw Houwcu dan sekarang Siauw Houwcu ingat gerakan
tangan orang itu.
Sin Cu girang bukan main
mendapatkan orang telah sadar.
"Kau telah dapat
mengingatnya, bagus!" katanya.
"Sekarang lekas ikut aku
pergi!" Ia pun menarik tangan orang.
Tiba-tiba Siauw Houwcu
nampaknya bergelisah, rupanya dia jeri.
"Tidak, tidak!"
katanya. "Tidak dapat aku pergi. Apakah kau juga ingin menjadi isteriku
?"
Bocah ini telah makan obat
pelupa ingatan, totokannya Sin Cu kurang tepat, totokan itu tidak dapat dipakai
mengobatinya, mendadak saja Siauw Houwcu ingat "encie Sin Cu," habis
itu, ia tak sadar pula.
Sin Cu mendongkol berbareng
geli hatinya. Ia tidak menyangka bahwa orang belum sadar anteronya.
"Tidak dapat aku menjadi
isterimu," ia berkata. "Aku hanya hendak menolongi kau! Kau takut
apa?" Ia sambar pula tangan orang, untuk ditarik, buat diajak pergi
berlari. Justeru itu ia merasakan
sambaran angin di belakangnya.
Itulah si nona pengantin yang
dengan sebilah pisau tajam di tangannya sudah menikam sambil mempelai itu
mendamprat: "Perempuan tidak tahu malu! Kenapa kau merampas suamiku?"
Sin Cu tidak menjadi kaget
atau bingung, sembari menarik sedikit tubuhnya, ia memutar diri, sebelah
tangannya diulur, maka sedetik saja ia sudah dapat merampas pisaunya si nona,
yang ia terus lemparkan keluar
kamar.
"Kau yang tidak tahu
malu!" ia balik mendamprat. Ia mendongkol didamprat nona itu. "Kau
toh menikah bukan dengan sesungguhnya hati? Kau masih begini muda, kenapa kau
begini licik? Kenapa kau hendak mengakali kepandaian orang?"
Nona pengantin itu mendadak
menangis, dia menjatuhkan diri berguling di tanah, lalu dengan kedua kakinya
dia menendang kalang kabutan kepada Nona Ie.
Dia nyata telah bersilat
dengan ilmu silat tendangan berantai.
"Benar! Kau pun
mengatakan kau tidak dapat menjadi isteriku!" tiba-tiba Siauw Houwcu
berkata. Ia nampaknya bingung melihat nona pengantin menangis dan menyerang
hebat itu.
Sin Cu berjaga diri dari
serangan nona pengantin, satu kali, ia menyabat kaki orang.
"Jangan lukai dia!"
Siauw Houwcu berseru seraya ia menarik tangan si nona. Bocah ini ketahui itulah
serangan berbahaya. "Dia sebenarnya orang baik!"
"Orang baik apa!"
berkata Sin Cu. Kembali ia ayun tangannya.
"Jangan!" Siauw
Houwcu mencegah pula. "Baik aku akan turut kau pergi!"
Inilah jawaban yang diharap
Sin Cu, maka ia tarik tangan orang, ia biarkan si nona pengantin. Keduanya
sudah lantas keluar dari rumah. Baru mereka tiba di pekarangan, mendadak mereka
dengar suara yang seram: "Perempuan siluman yang bernyali besar! Bagaimana
kau berani datang ke mari merampas baba pengantin?"
Kata-kata itu disusul sama
menghalangnya satu orang.
560
Sin Cu segera mengenali orang
yang memaksa Siauw
Houwcu minum arak pengantin.
Dia mengenakan pakaian
orang Biauw, di kedua
lengannya masing-masing ada lima
buah gelang perak, ketika ia
berbicara, ia mengangkat kedua
tangannya, maka sepuluh buah
gelang itu memperdengarkan
suara beradunya yang nyaring
dan berisik.
Sin Cu tidak mempunyakan
kegembiraan untuk berbicara,
ia lantas ayun sebelah
tangannya melayangkan tiga tangkai
bunga emas, yang ia telah
genggam di tangannya itu. Ia
menyerang orang itu di tiga
jalan darah cianbie hiat, yangpek
hiat dan hiathay hiat. Orang
itu tertawa berkakak, dia
mengibas tangannya yang kiri.
Entah tipu silat apa itu yang
dia gunakan selagi dia
mengibas, terdengar suaranya yang
rada aneh, lantas sebuah
gelang di tangannya itu melesat,
melayang menyamber, tak lurus,
tetapi kesudahannya, semua
tiga bunga emas terjatuh ke
dalam tangan bajunya. Yang
aneh, gelang perak itu pun
kembali ke tangan pemiliknya.
Inilah kejadian di saat Sin Cu
hendak menghunus
pedangnya guna menangkis
gelang itu. Orang itu mengasi
keluar ketiga bunga emas,
apabila dia sudah melihat nyata,
dia menunjuki roman heran. Sin
Cu pun tercengang. Ia dapat
kenyataan, caranya orang
menggunai gelang adalah dengan
bantuan kekuatannya tenaga
dalam, jadi orang ini benarbenar
liehay.
"Siauw Houwcu!" ia
lantas menyadarkan bocah itu. "Jikalau
kau hendak berlalu dari sini
mari kita bekerja sama!" Ia
mengucap demikian karena ia
pikir: "Siauw Houwcu telah
maju banyak dalam satu tahun
ini, kalau dia membantu, aku
pasti dapat melayani ini orang
aneh..."
Di luar dugaannya, ia tidak
dapat jawaban dari bocah itu.
Ia dapatkan Siauw Houwcu berdiri
menjublak, sedikit juga
561
tidak ada tandanya dia hendak
menyambut ajakannya itu. Ia
heran dan merasa kecele.
"Siauw Houwcu, kau
kenapa?" ia tanya, membentak.
Bocah itu tidak menjawab,
jawaban datang justeru dari si
orang aneh, dengan tertawanya
yang dingin dan seram.
"Merampas baba pengantin
juga mesti dengan
persetujuannya si baba
pengantin sendiri!" dia berkata, dingin.
"Fui! Kau main
tarik-tarik orang, sungguh kau tidak tahu malu
barang sedikit juga!"
Sin Cu menjadi gusar sekali.
"Kamulah yang merampas
baba pengantin!" ia membaliki.
"Cis Kamu memperdaya kan
satu bocah! Tidak tahu malu!"
Kembali orang itu mengasi
dengar tertawa dingin.
"Kau hendak bawa lari
orang, di sini banyak calonnya!" dia
berkata. "Tapi dia ini
tidak sudi ikut padamu! Perlu apa kau
masih berdiam di sini
menggerembengi dia? Dengan
memandang kepada tiga buah
bunga emasmu ini, aku tidak
hendak melukai padamu. Nah,
kau pergilah! Jikalau kau sudah
pulang, kau beritahu pada
subomu, kau kau bilang bahwa
Bong Goan Cu murid dari Cekseng
Pay menahan tiga buah
bunga emasmu ini! Jikalau dia
hendak mengambilnya pulang,
dia boleh datang ke Ouwbong
San!"
Sin Cu murka bukan kepalang.
Belum pernah ia terhina
sebagai ini. Parasnya pun
berubah pucat. Tidak ayal lagi, ia
cabut pedangnya, pedang Cengbeng
kiam.
"Siauw Houwcu, mari kau
turut aku pergi!" ia berseru
seraya ia geraki tubuhnya
untuk menerobos pergi.
562
"Tinggalkan Siauw Houwcu!
Kau pergi sendiri!" membentak
Bong Goan Cu si orang aneh itu
dengan suaranya yang keras
dan seram. Ia pun mengibaskan
sebelah tangannya yang
panjang, atas mana dua buah
gelangnya molos dari
tangannya dan menyamber sambil
berputar ke arah nona kita.
Sin Cu terkejut berbareng
gusar. Ia menjejak dengan
kedua ujung kakinya, untuk
mencelat lompat, ketika kedua
gelang tiba padanya, ia
menyabet dua kali beruntun. Di dalam
ilmu ringan tubuh dan
menggunai pedang, kecuali kurang
mendalam latihannya,
Sin Cu jarang tandingannya.
Hal ini di luar dugaannya si
orang aneh, maka juga, dia
kaget bukan kepalang tempo
tahu-tahu dua buah gelangnya
itu kena terbacok hingga putus
menjadi empat potong! Tentu
sekali dia tidak keburu menarik
pulang...
Sin Cu tidak berhenti sampai
di situ, sudah kepalang
tanggung, ia mencelat pula,
maju kepada orang aneh itu,
untuk menyerang dia, hingga
dalam sekejap, sinar pedangnya
sudah berkelebat di depan mata
orang.
"Pedang yang bagus!"
Bong Goan Cu berseru, sedang
tangannya mengibas. Dia
bukannya menangkis, dia hanya
memapaki, untuk menyamber,
menyengkeram lengan orang.
Dia bergerak tak kalah dengan
dengan kesebatannya Law
Tong Sun. Hebat ancaman bahaya
untuk Sin Cu itu, karena
serangan pedangnya sudah
berjalan, untuk menariknya
pulang, sudah tidak ada tempo
lagi. Segera lengannya bakal
kena dilanggar tangan musuh
dan mungkin bakal patah.
Siauw Houwcu rupanya dapat
melihat ancaman itu, dia
berseru kaget.
563
Sin Cu sendiri tidak mau
menyerah lengannya dibikin patah
untuk menolong diri, ia kasi
bekerja tangannya yang kiri.
Dengan dua jari tengah dan
telunjuk, ia menotok kepada
tangan lawannya itu!
Bong Goan Cu tidak menyangka
sama sekali, dia kaget
tidak terkira. Syukur
untuknya, dapat dia membatalkan
serangannya sambil tubuhnya
juga dimundurkan, dengan
begitu, serangannya gagal, dia
sendiri tertolong.
“Itulah Hookun!" berseru
Siauw Houwcu, yang dapat
melihat serangan si nona.
Hookun ialah ilmu silat Burung Hoo.
"Tidak salah!" Sin
Cu menyahuti bocah ini. Tapi ia
membuka mulut untuk terus
berdiam. Kembali ia meneruskan
serangannya kepada orang aneh
dari Ouw Bong San itu. Ia
menyerang dengan ujung pedangnya,
di bawah itu ikut
bergerak tangannya yang kiri,
yang dikasi melengkung sedikit.
“Itulah Pakun!" Siauw
Houwcu berseru pula. Ia lantas ingat
tipu silat itu Pakun atau
Macan tutul. Ketika dulu hari Hek Pek
Moko di Thayouw mengajarkan
dia ilmu silat "Loohan
Ngoheng Kun," kedua
saudara Moko itu sudah gunai sasaran
hidup dalam dirinya tujuh
pahlawan dari istana. Itu waktu,
Siauw Houwcu ada bersama Sin
Cu, keduanya
memperhatikannya hingga
sekarang merasa dapat
mengingatnya dengan baik.
Siauw Houwcu telah kena makan
obat akan tetapi ia tak
lenyap antero kesadarannya,
masih ada sisa ingatannya, maka
itu, melihat penyerangannya
Sin Cu itu, ia ingat samar-samar
pengajaran gurunya. Ia lantas
saja berpikir keras, untuk
mengingat-ingat terlebih jauh.
Sayang, dalam sesaat itu, ia
tidak cukup kuat untuk
mengatasi dirinya.
564
Itu waktu Bong Goan Cu telah
kerjakan tangan dan
kakinya, dia mulai menyerang
si nona, selagi kedua tangannya
menyerang saling susul, kedua
kakinya mengikuti maju
merangsak. Nampaknya dia
berlaku bengis sekali.
Sin Cu lantas terdesak,
terpaksa ia main mundur.
"Kenapa kau tidak hendak
menggunai Liongkun?" tanya
Siauw Houwcu. Ia terus
memperhatikan jalannya
pertempuran itu, ia melihat
kefaeda-hannya "Liongkun" ilmu
silat "Naga".
"Aku lupa!"
menyahuti si nona sengaja. Sebenarnya ia
bukannya lupa, ia hanya tidak
berani mengadu tenaga, keras
lawan keras, karena ia tahu ia
kalah kuat. Di antara Loohan
Ngoheng Kun ilmu silat Lima
Macam Hewan Liongkun adalah
yang memerlukan tenaga besar
sedang ia sendiri bertenaga
kecil, di lain pihak, musuhnya
sangat tangguh.
Bong Goan Cu juga telah dapat
melihat kelemahan orang,
ia mendesak di bagian yang
lemah itu, ia menggunai ilmu silat
"Kimna ciu"
Menangkap Tangan dibantu "Kungoan lat"
Tenaga Sejati.
Beruntung buat Sin Cu, liehay
ilmu pedangnya dan enteng
sekali tubuhnya, ia dapat
bergerak dengan lincah, sedang
Cengbeng kiam, pedangnya itu,
ada pedang mustika yang bisa
merusak ilmu tubuh kedot
semacam Kimciongtiauw dan
Tiatpousan. Ia bersilat dengan
Hookun, Pakun dan juga
Coakun ilmu silat Ular, karena
itulah ilmu yang paling tepat
untuknya, tak usah ia
menggunakan tenaga berlebihan.
Begitu, dengan pedang ia
mainkan ilmu silat Pekpian Hian Kee
Kiamhoat, dengan tangan kiri
dengan Ngoheng Loohan kun.
Ia terdesak tetapi ia masih
dapat bertahan.
565
Si nona pengantin juga selama
itu telah turut menonton
pertempuran, ia berdiri di
samping. Sampai itu waktu,
mendadak ia menegur Siauw
Houwcu: "Siauw Houwcu,
perkataanmu dapat dipercaya
atau tidak?"
Justeru itu, Sin Cu pun menyerukan:
"Siauw Houwcu, kenapa kau
masih tidak mau mengangkat
kaki? Dia nanti memaksa kau
menjadi suaminya!"
Karena ia berbicara, hampir
saja Nona Ie kena dihajar Bong
Goan Cu, yang telah menjambak
secara hebat sekali.
"Kenapa kau tidak hendak
menggunai Houwkun?" berteriak
Siauw Houwcu. Ia lihat si nona
terancam, ia sampai tidak
menghiraukan pertanyaan
pengantinnya atau peringatannya
Nona Ie itu. Houwkun ialah
ilmu silat "Harimau."
"Ah, Houwkun pun aku
lupa!" Sin Cu menjerit dengan
jawabannya.
Kembali Bong Goan Cu
menyerang, kali ini ia membuatnya
si nona terhuyung tiga tindak.
Saking cepatnya peristiwa
berlaku, Siauw Houwcu tidak
tahu nona itu terluka atau tidak.
Hanya, saking kaget,
sekonyong-konyong dia berlompat
dengan terjangannya, tepat dia
mengenai pundak bagian
belakang dari Bong Goan Cu,
sembari menghajar dia berseru:
"Houwkun begini
bukan?"
Orang aneh dari Ouw Bong San
itu tidak menyangka sekalikali
bahwa Siauw Houwcu bakal
menyerang padanya, ia tidak
dapat menangkis atau berkelit,
maka itu ia merasakan sangat
sakit. Tentu saja ia menjadi
sangat murka.
"Siauw Houwcu! Kau
berontak?" dia membentak, bengis.
566
Sin Cu menggunai ketikanya
yang baik, yang ia memang
sedang cari. Ia tidak mau
mengasi ketika bocah itu
terpengaruh si orang aneh.
"Betul!" ia berseru.
"Kau gunai lagi Liongkun!"
Di mulut nona kita
menganjurkan Siuw Houwcu,
gerakannya adalah lain.
Sekonyong-konyong saja ia mencelat,
meninggalkan lawannya,
berlompat kepada nona kemantin,
yang ia segera totok urat
gagunya, menyusul mana, ia berseru
pula: "Siauw Houwcu, mari
kita bekerja sama! Kita robohkan
ini manusia jahat! Dia tentu
tidak bakal menjadi isterimu!"
Dengan "dia," Sin Cu
maksudkan nona pengantin.
Serangannya ini tepat
waktunya, sebab itu waktu si nona
justeru hendak mempengaruh-kan
pula Siauw Houwcu,
supaya Siauw Houwcu
mengajarkan dia rahasia ilmu silatnya.
Siauw Houwcu terpengaruh
kata-katanya Sin Cu. Dia
benar-benar takut takut nanti
menjadi suaminya nona
pengantin itu. Di lain pihak,
ia mulai merasa semakin
mengingat Sin Cu, kesannya
bertambah baik. Karena ini, ia
serang pula Bong Goan Cu.
”Lihat, apakah ini bukannya
Liongkun?" katanya
membarengi serangannya itu.
"Benar! Itulah
Liongkun!" berseru Sin Cu seraya ia tertawa
terbahak-bahak. Ia pun
membarengi menyerang dengan
pedangnya, dengan gerakannya
Menggulung Sungai Perak.
Itulah tikaman dari atas ke
bawah.
Bicara dari hal ilmu silat,
Siauw Houwcu masih kalah jauh
daripada Bong Goan Cu dan
walaupun serangannya Ie Sin Cu
sangat liehay, dapat si orang
asing mengelakkannya, hanya
567
kali ini dia menghadapi dua
serangan berbareng. Dapat dia
berkelit dari kepalan, tidak
dapat dari pedang, dapat dari
pedang, mestilah ia kena
tertinju. Tentu saja dia tidak sudi
kena ditikam dadanya atau
didodet perutnya, dia lebih suka
merasakan bogem mentahnya si
bocah. Demikian sudah
terjadi, selagi dia berkelit
dari si nona, "Duk!" maka dia
merasakan pinggangnya terhajar
hebat, sampai dia terhuyung
beberapa kali. Masih dia
bersyukur yang dia bisa menyingkir
dari ujung pedang Cengbeng
kiam.
Siauw Houwcu baru berusia
empat belas tahun, tetapi
sebagai bocah, ia telah
terlatih baik sekali. Sejak umur satu
tahun ketika ia mulai belajar
jalan, ia sudah mulai dilatih uraturat
dan tulangnya, ialah dengan
setiap waktu dipakaikan
rendaman obat kuat dan setelah
ia mulai mengarti ini dan itu,
ia mulai diberikan pelajaran
silat pokok, untuk menanam
dasar. Thio Hong Hu mengarti
dua-dua ilmu dalam dan ilmu
luar, maka Siauw Houwcu pun
dididik dalam dua rupa ilmu
kepandaian itu, mulanya ilmu
luar, lalu ilmu dalam. Maka itu,
di antara Sin Cu dan Siauw
Houwcu, si nona menang ilmu
silat, si bocah menang tenaga.
Demikianlah, hebat Bong Goan
Cu merasakan pukulan bocah
itu, meskipun dia tidak roboh,
dia hampir menjerit
"Aduh!"
"Bagus!" berseru Sin
Cu, yang tak berhenti dengan
penyerangannya, malah dia
perhebat. Setelah menikam tiga
kali saling susul, ia serukan
si bocah: "Bagus, Siauw Houwcu!
Mari kita bertaruh! Mari
lihat, kau punya Lohan Ngoheng Kun
lebih liehay atau aku punya
Hian Kie Kiamhoat!"
Bocah-bocah umumnya suka menang
sendiri, Siauw
Houwcu tidak menjadi kecuali.
Bukankah ia telah berhasil
menggebuk Bong Goan Cu sampai
dua kali? Maka itu ia lantas
tertawa berkakakan.
568
"Pastilah tinjuku lebih
liehay!" dia menjawab. Dengan tinju
dia maksudkan ilmu silatnya
Loohan Ngoheng Kun itu. "Kau
lihat tua bangka ini, dia
tidak dapat berkelit! Lihat, akan aku
hajar pula hidungnya dengan
Pakun!" Dia terus lempangkan
pinggangnya, dia menyambar
dengan kepalan kirinya,
berbareng dengan mana, kepalan
kanannya meninju!
Itulah gerakan Pakun atau ilmu
silat Macan Tutul.
Berbareng dengan itu, Ie Sin
Cu juga menyerang dengan
pedangnya, bagaikan
"Bianglala Perak Menyamber Melintang,"
guna memegat jalan mundur
lawan mereka.
Dikepung begitu rupa, jago
dari Ouwbong San itu terpaksa
mesti berlompat ke depan.
Tidak dapat ia mundur, dan kalau
ia diam saja, ia bakal dihajar
pula si bocah! Walaupun begitu,
meski juga ia berlaku gesit
sekali, ia masih kalah cepat dari
Siauw Houwcu. Dengan
menerbitkan suara dalam, batang
hidungnya terhajar tepat hingga
kembali ia merasakan sakit.
Girangnya Siauw Houwcu bukan
alang kepalang.
"Lihat, akan aku serang
pula dia dengan Hokun!" dia
berseru pula.
Bong Goan Cu mendongkol
sekali, sedang hidungnya telah
mengucurkan darah!
"Kali ini tidak nanti kau
dapat meninju aku," pikirnya. Ia
berkelit dari serangannya Sin
Cu, yang telah mendesak pula,
sembari menangkis, ia angkat
sebelah kakinya untuk
menendang si bocah, menendang
kepalan orang. Di waktu
melawan demikian, ia tidak
pernah pikir liehaynya Loohan
Ngoheng Kun, yang mengutamakan
kecepatan. Maka juga,
cepat gerakannya kaki, lebih
cepat pula melesatnya tinju.
Hanya, disebabkan kaki itu
menghalang di tengah jalan, maka
569
bagian dengkulnya yang kena
dihajar! Mau atau tidak, jago
Ouw Bong San itu mesti menekuk
kaki berikut tubuhnya.
"Hai, kau berlutut di
depanku memohon ampun?" berseru
Siauw Houwcu yang melihat
gerak-gerik orang itu. "Ah, tidak
enak hatiku untuk menghajar
pula padamu!..."
Pertempuran itu telah
mengejutkan orang-orang di rumah
touwsu itu serta dekat-dekatnya,
yang termasuk satu
halaman kampung, begitupun
sejumlah penari-penari bunga
yang masih belum berlalu.
Mereka itu lantas lari menghampirkan.
"Tidak bagus!" Sin
Cu teriaki Siauw Houwcu apabila ia
tampak mendatanginya banyak
orang. "Jikalau kau tidak hajar
tua bangka ini, kita pasti
tidak bisa lolos dari sini!"
Siauw Houwcu kena
dipengaruhkan pula.
"Baiklah, akan aku hajar
pula dia dengan Liongkun!" ia
berseru menyahuti, terus
dengan mengerahkan tenaganya, ia
menyerang pula Bong Goan Cu.
Jago Ouwbong San itu tengah
tak berdaya, maka itu
kembali ia kena dihajar. Ini
kali ia tidak dapat bertahan lebih
lama pula, begitu terserang,
ia menjerit, tubuhnya roboh
terguling, tidak dapat ia
lantas merayap bangun pula. Sin Cu
tidak mau bekerja kepalang tanggung.
Meninggalkan Bong
Goan Cu itu, ia lompat
memapaki orang banyak, ia serang
mereka itu tanpa memilih bulu.
Ia tidak menggunai
pedangnya, hanya ia menotok
setiap orang yang berada
paling dekat dengannya, hingga
orang tidak dapat berdaya
lagi kecuali nanti, selang dua
belas jam, mereka itu akan
bebas sendirinya. Setelah itu,
dengan menyekal lenganya
Siauw Houwcu, ia tarik bocah
itu untuk dibawa lari kabur dari
rumahnya touwsu.
570
Sesudah lewat tengah malam itu
suasana jadi sunyi sekali.
Ketika Sin Cu berdua sampai di
tanah datar di mana tadi orang
menarikan bunga dan kedua
mempelai menjalankan upacara,
di sana pun sunyi senyap,
tinggal sisa api bekas memanggang
daging kerbau serta
berserakannya bunga-bunga. Di situ si
nona memandang kawannya, ia
lantas saja tertawa.
Siauw Houwcu masih mengenakan
pakaian pengantin!
Habis itu, nona ini berdiri
diam. Aneh pengalamannya malam
ini, ia merasakan seperti
habis bermimpi. Ia pun merasakan
dunia sangat luas tetapi
sepi...
Siauw Houwcu sendiri juga
merasa ia tengah bermimpi,
kedua matanya celingukan ke
sekitarnya. Sekian lama ia
mengawasi Sin Cu.
Akhir-akhirnya ia membuka mulutnya. Ia
tanya: "Ke mana kau
hendak membawa aku?"
"Kau sendiri hendak pergi
ke mana?" si nona balik
menanya. Ia lihat orang
bingung atau belum sadar betul.
"Aku tidak tahu,"
menyahut anak itu, ke tolol-toloan.
"Kenapa kau dapat datang
kemari?" Sin Cu menanya pula.
"Aku tidak tahu!"
"Kenapa kau tidak tahu?
Mustahilkah kau jatuh dari atas
langit? Coba kau pikir
baik-baik. Kapan pengantinmu itu
muncul di dampingmu? Mustahil
dia muncul dari dalam
tanah?"
Habis berkata, si nona tertawa
manis. Siauw Houwcu
tunduk. Ia rupanya berpikir.
Ketika ia mengangkat kepalanya,
matanya memperlihatkan sinar
berkuatir, suatu tanda hatinya
tidak tenang.
571
"Aneh sekali!"
katanya kemudian. "Dia memang seperti
muncul dari dalam tanah!
Rasanya, begitu aku mendusin, dia
sudah berada di dampingku,
lagi melayani aku..."
Sin Cu pun heran.
"Mana gurumu?" ia
tanya. Ia menanya tetapi hatinya
mengatakan: "Hek Pek Moko
itu beroman sangat luar biasa,
tidak nanti Siauw Houwcu dapat
melupakan mereka."
"Guru? Guru apa?"
Siauw Houwcu balik menanya.
"Apakah ilmu silatmu
didapat sejak kau dilahirkan?" berkata
si nona, menanya.
"Siapakah yang telah
ajarkan kau ilmu silat itu? Kau
ingatkah?"
Siauw Houwcu berpikir pula.
Agaknya ia pusing.
"Seperti ada banyak orang
yang mengajari aku..." sahutnya
kemudian. "Ha, aku ingat
sekarang! Kau juga pernah
mengajarkan aku! Aku menyampok
arak dengan kipas,
sampokan itu adalah ajaranmu!
Ya, kaulah guruku!"
Sin Cu berduka sekali
berbareng merasa lucu, mau ia
tertawa, tetapi tidak dapat.
Bocah ini lupa akan dirinya, dia
harus dikasihani.
"Entah dia telah di-kasi
makan obat apa sampai gurunya
pun dia lupakan,"
pikirnya.
"Walaupun demikian, ia
agaknya belum melupakan semuamua.
Bukankah tadi setelah melihat
aku, dia rada-rada masih
mengingatnya?"
572
"Enciel" berkata
Siauw Houwcu, menanya. "Eh, suhu!.
Sekarang kita hendak pergi ke
mana?" Dia memanggil
encie dan suhu dengan
beruntun. Rupanya dia masih ingat
nona itu pun gurunya (suhu).
Sin Cu juga tidak tahu ke mana
ia harus ajak bocah ini
tetapi ia tertawa.
"Aku bukannya gurumu,
akulah encie-mu1." ia bilang.
"Gurumu adalah dua orang
India yang parasnya masingmasing
hitam dan putih!"
Kedua matanya Siauw Houwcu
mencilak, ia seperti ingat
suatu apa.
"Ah, aku takut!..."
katanya.
"Kau takut apa?" si
nona tanya.
"Aku takut padamu!"
Nona itu tertawa.
"Kenapa kau takut
padaku?"
"Sebab dia telah bilang
padaku, kecuali dia, tidak ada lagi
orang lain yang hatinya baik.
Tadi kau telah serang dia, aku
takut..." Dengan
"dia," terang bocah ini maksudkan
pengantinnya. Inilah Sin Cu
bisa duga.
"Benar-benarkah kau
percaya dia?" ia tanya, tertawa.
Siauw Houwcu tidak menjawab,
dia cuma mengawasi.
"Habis dia itu hendak
jadi isterimu! Apakah kau tidak
takut?"
573
Tubuh Siauw Houwcu menggigil.
"Benar, kelihatannya
setiap orang pun menakuti!..."
katanya. Nyata dia jeri.
"Bagaimana aku mesti
berbuat untuk membikin dia
mempercayai aku?" Sin Cu
tanya dirinya sendiri. Ia berpikir
keras. Tiba-tiba ia kena raba
sesuatu di pinggangnya. Segera
ia menanya: "Ayahmu telah
wariskan kau golok Bianto apakah
golokmu itu masih ada?"
Siauw Houwcu mengawasi dengan
bengong.
"Masih ada!"
sahutnya sesaat kemudian. Goloknya itu ada
golok lemas, yang dia libat di
pinggangnya bagaikan sabuk,
sampai si nona pengantin pun
tidak mendapatkannya. Dia
lantas lepaskan golok itu dari
pinggangnya, terus dua kali dia
membacok ke udara.
"Bukankah ini golok
itu?" dia tanya. Dia ada begitu
gembira, di situ juga dia lantas
bersilat, memainkan ilmu golok
Ngohouw Toanbun too. Dia
tertawa, terus dia tanya: "Kau
lihat, aku masih belum
lupa!"
"Betul!" Sin Cu
menyahuti.
"Kuat ingatanmu! Sekarang
coba kau mengingat-ingat pula.
Siapakah yang ajari kau ini
ilmu golok?"
"Pasti sekali ayah!"
sahut Siauw Houwcu, cepat dan
bangga. "Ayahku ada satu
enghiong terbesar, satu hoohan
sejati!"
"Mana baju yang
berlumuran darah dari ayahmu itu?" tibatiba
Sin Cu menanyakan lain hal.
574
Kembali Siauw Houw menjublak.
"Baju yang berlumuran darah?"
katanya, bagaikan
mendumal.
"Benar, baju
berdarah!" Sin Cu memberi kepastian.
"Mustahil kau lupai baju
ayahmu itu?"
Siauw Houwcu berdiam,
pikirannya bekerja. Erat sekali
perhubungan di antara ayah dan
anak, tidak gampang untuk
melupakan itu. Sebagaimana Sin
Cu tidak dapat melupakan
Tan Hong, gurunya, yang ia
sangat puja. Siauw Houwcu
sebaliknya sangat menghargakan
dan memuliakan ayahnya
itu. Pelahan-lahan ingatannya
itu seperti terbangun.
"Eh, mengapa ayahku
memberikan aku baju berdarah itu?"
katanya, habis menjublak lagi
sekian lama. "Ayah penasaran
kenapakah?"
"Ayahmu itu orang baik
atau bukan?" Sin Cu tanya
mendadak.
"Apa perlunya untuk
menyebutkan itu lagi?" Siauw Houwcu
menjawab, membentak. Ia
terlihat murka.
“Ini golok Bianto serta baju
berdarah itu, siapakah yang
kasikan padamu?" Sin Cu
tanya pula tanaa pedulikan
kemarahan orang.
Bocah itu mementang lebar
matanya.
“Itulah kau!" serunya.
"Ya! Encie Sin Cu, sekarang aku
percaya kau, kau memang orang
baik! Bilangi aku, encie,
kenapa ayahku serahkan baju
berdarah padaku?"
575
Sin Cu menatap, ia bersenyum.
"Kau percaya aku, itulah
bagus," sahutnya. "Tentang
ayahmu itu nanti saja aku
tuturkan padamu. Sekarang coba
kau pikirkan, kenapa kau dapat
tiba di sini. Dan kedua gurumu
itu, ke mana mereka sudah pergi?"
Sengaja Sin Cu menanya begini,
supaya orang tidak
"terpukul" urusan
hebat dari ayahnya dia itu. Ia pun mencoba
menggempur ingatan orang yang
kabur. Sia-sia usahanya ini.
Siauw Houwcu, tidak dapat
lantas mengingatnya.
Sin Cu menanti, ia mencoba
menanya, hasilnya tidak ada.
Hingga ia ingat: "Pernah
aku dengar di wilayah orang Biauw
ini ada kedapatan beberapa
rupa rumput obat yang mujijad,
sekarang baiklah aku ajak
Siauw Houwcu ke rumah si nyonya
yang rumahnya aku tumpangi,
untuk menanyakan
keterangannya."
Untuk pulang dengan mengajak
Siauw Houwcu, Sin Cu
tidak menampak kesukaran.
Siauw Houwcu benar-benar telah
mempercayai ia, tempo ia
mengajak, bocah itu mengikuti
dengan jinak
Nyonya rumah sudah tidur
ketika Sin Cu mengetok pintu. Ia
mendusin dengan kaget.
"Apakah sudah bubaran
orang mengacau di kamar
pengantin?" menanya
nyonya itu sambil ia turun dari
pembaringannya. "Aku
menyangka kau akan pulang di waktu
terang tanah!"
Ia membuka pintu, tangannya
memegang sebatang obor
cabang cemara. Lantas saja ia
terkejut kapan ia melihat si
nona datang berdua dan bersama
siapa. Ia sampai tergugu.
576
"Kau... kau..."
katanya kepada Siauw Houwcu. "Bukankah
kau si mempelai laki-laki? Ha,
perawan yang bernyali besar!
Kenapa kau bawa pulang baba
mantunya touwsu kami?"
Perkataan itu, pertanyaan itu,
ditujukan kepada si bocah dan
si nona berbareng.
Sin Cu bersikap tenang.
"Dia ini ialah
adikku," ia menjawab. "Entah dia makan obat
apa, ingatannya menjadi kacau
hingga dia lupa segala apa.
Sebenarnya dia sungkan menjadi
baba mantunya touwsu !"
Nyonya itu heran.
"Ha? Benarkah itu?"
katanya. Ia lantas menyuluhi mukanya
Siauw Houwcu. Mendadak ia
ketakutan, mukanya menjadi
pucat. Ia lantas tarik Sin Cu
ke samping.
"Celaka!" serunya.
"Dia bukan cuma telah makan obat lupa
ingatan, dia pun terkena
buatan orang! Lewat satu tahun
habis ini, kalau dia tidak
ditolong dengan obatnya orang yang
mencelakai dia, dia pasti
bakal mati! Mungkin ini ada
perbuatan puterinya touwsu,
yang kuatir adikmu berubah
hatinya. Sudah obat pelupa itu
sukar disembuhkannya, obat
racun itu terlebih sukar lagi
seperti aku katakan, cuma
pembuatnya yang dapat
menolongnya...”
Sin Cu terkejut. Ia mau
percaya keterangannya nyonya ini.
Selang sesaat baru ia dapat
kembali ketenangannya. Menurut
nyonya itu, daya pertolongannya
bukannya tidak ada. Ia
lantas minta si nyonya tolong
mengobati itu penyakit lupa
ingatan.
Nyonya itu berdiam sekian
lama, lalu dengan cepat ia pergi
keluar rumahnya. Ia pergi
tidak lama atau ia telah kembali,
tangannya membawa segeng-gam
rumput, ialah daun obat
577
yang ia maksudkan. Ia lantas
saja masak air, untuk menyeduh
rumput itu, yang terus
diminumkan kepada Siauw Houwcu.
"Pahit!" kata si
bocah habis dia menenggak seceglukan.
"Satu enghiong, satu
hoohan, dia tidak takut langit atau
bumi!" berkata Sin Cu.
"Masa dia takut rasa pahit?"
"Akur!" menimpali
Siauw Houwcu, lantas dia cegluk habis
air obat yang pahit itu.
Hanya, habis itu, ia kata: "Ah, aku
kepingin tidur!"
Nyonya rumah menepuk punggung
orang dua kali.
"Baiklah, pergi kau
tidur!" katanya.
Siauw Houwcu tapi-nya bukan
tidur, dia hanya duduk
bersila, kedua matanya
dimeramkan. Nyata ia duduk
bersamedhi.
Sin Cu mengeluarkan sepotong
perak, ia angsurkan itu
kepada si nyonya.
Nyonya itu agaknya tidak
senang, dia menampik uang itu.
"Aku lihat kau baik, aku
suka membantu padamu," Ia
berkata. "Apakah kau
sangka aku mengharap uangmu?"
"Maaf, maaf!"
berkata Sin Cu lekas. Ia simpan pula
uangnya.
Nyonya itu menghela napas.
"Aku juga tidak merasa
pasti obatku akan berhasil atau
tidak," katanya kemudian.
578
Sin Cu terperanjat.
"Kenapa begitu?"
"Obatku ada obat yang
umum," menerangkan si nyonya.
"Racun yang dimakan
adikmu ini sebaliknya mirip dengan
racun terhebat yang sulit
didapatnya di wilayah kita ini.
Namanya racun itu ialah Bongyu
cauw rumput lupa kedukaan.
Lagi pula ia kena buatan
orang, maka setelah makan obatku,
mungkin dia tak sadar
seluruhnya.
Hanya, melihat keadaannya
sekarang ini, mungkin
ingatannya akan kembali."
Keduanya lantas berdiam. Sin
Cu dengan pikiran kurang
tenang.
Berselang lagi sekian lama,
Siauw Houwcu kelihatan
menggeraki pinggangnya dibikin
lempang. Terus saja dia
membuka matanya.
"Aku merasa lega,"
katanya. "Aku ingat sekarang! Kedua
guruku telah bertempur sama
satu orang, bertempurnya di
dalam sebuah rumah yang luar biasa..."
Sin Cu terkejut.
"Tunggu!" katanya.
Terus ia menghadapi nyonya rumah,
akan berkata: "Nyonya,
terima kasih untuk kebaikan kau.
Sekarang juga aku mesti
berangkat pergi..."
"Benar," berkata si
nyonya, yang mengarti maksud orang.
"Memang kamu mesti lekas
pergi menyingkir. Begitu lekas
sang fajar datang, sukar untuk
kamu melarikan diri!"
579
Lagi sekali Sin Cu mengucap
terima kasih, terus ia ajak
Siauw Houwcu lari keluar.
"Dengan siapa kedua
gurumu itu berkelahi?" si nona tanya,
sesudah mereka sedikit jauh
dari rumah si nyonya.
"Bagaimana caranya kau
berpisah dengan kedua gurumu itu?"
"Aku merasa aku dan kedua
suhu datang dari tempat yang
jauh sekali," Siauw Hou
Cu menyahut. Ia agaknya berpikir.
"Pada suatu hari, setahu
kenapa, kami memasuki sebuah
rumah tua semacam bentengan.
Di sana sedang diadakan
pesta. Para hadirin di situ,
semuanya beroman luar biasa.
Yang lebih menakuti adalah
seorang di antaranya. Dia lanang
kepalanya, tubuhnya sangat
kurus, kulitnya kering, dia mirip
dengan mayat hidup. Meski begitu,
terhadap kedua guruku,
nampaknya mereka hormat
sekali, mereka mengundang
minum arak. Habis itu, entah
kenapa, mendadak mereka
berkelahi. Aku membantu kedua
guruku melawan mereka.
Tiba-tiba aku kena dijambak si
mayat hidup, lantas aku tak
sadar lagi. Ketika kemudian
aku mendusin, aku rebah di
rumah si touwsu tadi. Puteri
touwsu itu mengasi aku minum
secangkir teh panas. Setelah
itu, kacaulah ingatanku. Tapi dia
berlaku sangat baik padaku,
setiap hari dia merawat dan
melayani aku dengan telaten
sekali. Sesudah aku sembuh,
lantas dia menggerembengi aku,
dia bilang dia mau menjadi
isteriku. Coba aku tahu dia
bukannya isteri yang baik, tidak
nanti aku menerima baik untuk
menjadi suaminya."
Sin Cu tak tahan tertawa.
Bukan saja ceritera Siauw
Houwcu lucu, ia pun senang
yang ingatan orang telah pulih
kembali, meskipun belum
seluruhnya.
"Kalau benar dia
mempunyakan tempo satu tahun untuk
dapat disembuhkan dari racun
buatan orang itu," ia berpikir,
"masih ada tempo untuk
mendaya-kan memaksa si
perempuan siluman menyerahkan
obat pemunah-nya.
580
Sekarang ini perlu dicari tahu
dulu di mana adanya Hek Pek
Moko." Maka ia lantas
tanya Siauw Houwcu: "Di mana
letaknya benteng tua itu?
Apakah kau masih ingat?"
"Nanti aku coba
mencarinya," menyahut bocah itu. "Kalau
tidak salah adanya di lembah
di gunung depan itu..."
Sin Cu suka mengiringi, maka
sekarang dialah yang
dipimpin Siauw Houwcu pergi ke
gunung di depan mereka.
Jalanan sukar dan banyak
tikungannya tetapi bocah itu dapat
mengingatnya. Tidak selang
lama, tiba sudah mereka di
sebuah lembah yang gelap di
mana cahaya rembulan tak
dapat menembus masuk. Cuma ada
cahaya yang kecil sekali
yang molos di antara sela-sela
batu. Dari atas gunung sering
terdengar suaranya si burung
malam dan angin gunung yang
dingin saban-saban meniup
bersilir. Hawa dingin itu dan
suasana lembah itu dapat
membuat orang bangun bulu
romanya. Sin Cu sendiri sampai
merasa seram.
Lagi sekian lama, lalu Siauw
Houwcu menghentikan
tindakannya.
"Sudah sampai!"
katanya. "Lihat, itulah benteng tua itu!"
Sin Cu mengawasi benteng yang
ditunjuk si bocah.
Bangunan itu memang luar
biasa. Di empat penjuru tembok
semua. Di kiri dan kanannya
ada bangunan seperti menara
bundar. Sebuah pintu sempit
sekali kedapatan di situ, sempit
hingga cuma muat satu orang
untuk keluar dan masuk. Dari
dalam pintu itu terlihat sinar
terang dari api. Sebab pintu itu
terbuka. Pula dari dalam
terdengar suara orang bicara sambil
tertawa-tertawa, meskipun
lapat-lapat.
Ketika itu sudah jam empat, di
dalam benteng masih ada
api menyala dan pula suara
orang pasang omong, benarbenar
luar biasa. Cuma sedetik saja
Sin Cu bersangsi, lantas ia
581
tarik tangannya Siauw Houwcu,
buat diajak menghampirkan
pintu itu, untuk ke dalamnya,
terus ke sebuah ruang besar. Di
situ ada sebuah meja panjang,
di atasnya tersajikan rupa-rupa
barang hidangan berikut
araknya. Duduk di meja tuan rumah
ada seorang yang kepalanya
gundul licin, tubuhnya kurus
sekali dan kulitnya kering,
benar mirip satu mayat hidup.
Di tempat tetamu, semua kursi
kosong. Adalah di
lorongnya, di kiri dan kanan,
ada berbaris pelayan pria dan
wanita.
“Itulah dia si orang
aneh!" berkata Siauw Houwcu
menunjuk si mayat hidup. Ia
agaknya tidak jeri, sebagaimana
juga Sin Cu. Kalau tidak,
tidak nanti mereka berani masuk
sampai di ruang besar itu.
Melihat Siauw Houwcu,
kelihatan si mayat hidup itu kaget,
sampai ia mengeluarkan sepatah
kata tertahan. Kemudian
barulah ia berkata terus.
"Kenapa kau tidak jadi
mempelai di rumahnya touwsu?"
demikian pertanyaannya.
"Mau apa kau datang ke mari?"
"Aku tidak menginginan
isteri!" teriak Siauw Houwcu
dengan jawabannya. "Aku
menghendaki guruku!"
Orang aneh itu tertawa dingin.
"Suhu apa kau ada
punya?"tanyanya.
"Kenapa aku tidak punya
suhu?" Siauw Houwcu
membentak pula. "Guruku
bukan cuma satu! Bukankah itu
hari aku punya Hek Suhu telah
berkelahi denganmu di sini?
Lekas kembalikan guruku!"
Wajahnya orang aneh itu jadi
semakin tak enak dilihat.
582
"Siapakah yang telah
memberi obat pemunah kepadanya?"
dia menanya bengis pada
seorang di sampingnya, ialah
muridnya. "Lekas bekuk
dia!"
Murid yang diperintah itu
bergerak maju, akan tetapi baru
ia bertindak, ia sudah
diserang Sin Cu dengan setangkai
bunga emas, tepat mengenai
jalan darahnya, bukan dia
roboh, dia hanya menindak
seraya kedua tangannya diangkat,
seperti mengancam hendak
menerjang.
Orang aneh itu mengasi dengar
suara tertawa terkekeh
yang menyeramkan.
"Kiranya ada Thio Tan
Hong yang menjadi tulang
punggungmu!" katanya
bengis, mengejek. "Pantas kamu
berani datang ke mari meminta
orang!" Dia melenggak, dia
tertawa tiga kali, terus dia
berkata nyaring: "Thio Tayhiap
kesohor di dunia ini, mengapa
kau menyembunyikan kepala
dan mengumpatkan ekor? Kenapa
kau cuma kirim dua bocah
datang mengacau di sini? Kau
sembunyi saja, apakah kau
tidak kuatir nanti ditertawakan
orang? Diundang tidak sama
dengan bertemu secara
kebetulan, maka itu silahkanlah
masuk ke mari. Aku silahkan
kau minum tiga buah cangkir!
Tidak ada halangannya
bukan?"
Sin Cu melihat orang
menggerakki tubuh dan tangan
seperti orang yang mempersilahkan
tetamunya masuk dan
duduk, mau atau tidak, ia
menjadi tertawa berkakakan.
"Apakah kau melihat
hantu?" di menegur sekalian
mengejek.
"Guruku ada di Tali di
gunung Khong San! Jikalau kau
hendak mengundang dia
menghadiri pestamu ini, lekas kau
583
menulis surat undangannya, kau
serahkan itu padaku, nanti
aku yang tolong membawa dan
menyampaikannya!"
Orang aneh itu mengawasi
dengan perasaan sangat heran.
Dia tidak menyangka sekali
orang ada demikian berhati besar.
Ia menduga Thio Tan Hong
datang bersama. Ia pun mau
percaya Siauw Houwcu ditolongi
Tan Hong. Karenanya tidak
berani ia lancang turun
tangan. Sekarang mendengar Tan
Hong berada jauh di gunungnya,
wajahnya lantas saja
menjadi berubah bengis.
"Kau dengar tidak
perkataanku?" dia tanya Siauw Houwcu.
Kedua matanya pun mencorong
menatap bocah itu. Kemudian
dia menyapu dengan matanya
yang berpengaruh itu kepada
Sin Cu.
Tanpa merasa, kedua orang itu
bergidik sendirinya. Sin Cu
merasa mata orang mempunyai
pengaruh iblis, yang
membuatnya hati orang goncang.
Maka ia lantas saja
menguasa dirinya, kepada Siauw
Houwcu ia membisiki: "Lekas
pusatkan pikiranmu, jangan kau
awasi dia!"
Siauw Houwcu sudah menjublak
seperti ia terkena
pengaruh ilmu sihir, mendengar
kisikan si nona, mendadak ia
sadar. Malah segera ia membentak:
"Siapa sudi dengan
perkataanmu? Aku cuma dengar
perkataan guruku! Mana
kedua guruku itu?"
"Kedua gurumu itu bukan
tandinganku," menyahut si orang
aneh. "Mereka telah aku
hajar hingga mereka lari kabur!"
"Ngaco!" Siauw
Houwcu membentak. "Kedua guruku ada
enghiong-enghiong di jaman
ini, mana dapat kau menghajar
mereka!"
584
"Baik!" seru orang
aneh itu. "Jikalau kau tidak percaya,
mari aku ajak kau pergi
melihatnya!" Sembari mengatakan
demikian, setindak demi
setindak dia menghampirkan si
bocah, kedua matanya dengan
sinarnya yang tajam terus
menatap, mukanya
memperlihatkan senyum aneh.
"Celaka!" berseru
Sin Cu di dalam hatinya seraya terus ia
menimpuk dengan tiga buah
bunga emasnya.
Orang aneh itu tertawa dingin.
"Segala mutiara sebesar
biji beras juga mengeluarkan
sinar!" mengejeknya. Ia
mengibaskan tangannya, jari-jarinya
menyentil. Dengan menerbitkan
suara nyaring, ketiga bunga
emas terpental nyamping
tinggi, nancap di balok penglari
merupakan tiga segi seperti
huruf “ pin." Coba serangan itu
mengenai tubuh manusia,
sasarannya ialah tiga jalan darah
lengciu hiat di kiri buah susu
serta pusar.
Hebat sentilannya orang aneh
itu, Sin Cu kaget hingga
parasnya berubah menjadi
pucat, karena ia tahu, bunga
emasnya itu tajam di empat
penjuru, tidak dapat senjata
rahasia itu membentur daging.
Tapi sekarang si orang aneh
menyentilnya! Malah sentilan
itu mengasi dengar suara
nyaring, itu menyatakan
tangannya bukan seperti berdarah
daging...
"Siauw Houwcu lekas gunai
Liongkun!" ia segera serukan
kawannya. Meski ia kaget dan
gentar hatinya, ia masih ingat
akan bahaya yang mengancam
mereka. Ia sendiri pun sudah
lantas menghunus Cengbeng
kiam.
Siauw Houwcu berada di sebelah
depan, dia sudah lantas
menyerang.
585
"Bus!" demikian
serangannya mengenai jitu tetapi suaranya
seperti ia memukul rumput layu
dan tubuh orang pun tidak
bergeming jangan kata
terhuyung. Malah si orang aneh pun
sudah lantas mengibas mental
pedangnya si nona.
"Haha!" dia tertawa
lebar. ”Biarpun pedangmu tajam, apa
dia bisa bikin terhadap
aku?" Dia mengejek Sin Cu, matanya
tapinya melirik tajam kepada
Siauw Houwcu, suaranya yang
bengis diperdengarkan:
"Hm! Kau berani tidak dengar kataku!"
Siauw Houwcu bergidik, ia
mengigil. Sin Cu penasaran
kembali ia menyerang dengan
hebat, tiga kali beruntun. Orang
aneh itu sangat terkebur, dia
tetap membawa sikapnya yang
sangat memandang enteng kepada
si nona, dia pun
menggunakan pula kibasannya
untuk menghalau pedang,
supaya pedang itu terpental
seperti tadi. Akan tetapi kali ini
dia keliru menduga, dia tidak
menginsafi liehaynya ilmu
pedang Hian Kee Kiamhoat dari
Hian Kee Itsu. Tanpa
keliehayannya itu, Hian Kee
Kiamhoat tidak nanti menjadi
sangat tersohor.
Dua serangan Sin Cu yang
pertama gertakan belaka, yang
ketiga kali adalah serangan
sungguh-sungguh, dan
gerakannya pun diubah sedikit
di saat ujung pedang
meluncur. Maka
"Bret!" robek dan kutunglah ujung bajunya si
orang aneh itu!
"Sayang!..." Sin Cu
mengeluh. Sebenarnya ia mengarah
lengan si orang aneh, untuk
dibikin putus, saking lincahnya
musuh, ia tidak dapat mencapai
maksud hatinya itu. Cuma,
karenanya, ia membikin buyar
beberapa bahagian dari
kejumawaan orang.
Di saat si orang aneh
menyingkir dari pedang si nona, yang
membuatnya ia terperanjat,
kembali pukulannya Siauw
586
Houwcu mengenakan perutnya hingga
terdengar suara keras
"Buk!" Sebab bocah
itu menyerang selagi Sin Cu membabat.
Hanya akibat serangan bocah
ini ada hebat. Dia mengenai
sasarannya tetapi dia tidak
mampu segera menarik pulang
kepalanya itu, yang seperti
nancap atau nempel di perut
orang.
"Enciel" dia
berteriak, dengan mukanya menjadi merah
bahna malu dan kaget. Kaget
karena mendadak tubuhnya
lantas terangkat naik dan
terlempar!
Sin Cu pun kaget akan tetapi
ia cukup tabah dan sebat,
begitu kaget begitu ia
menyerang, membabat lengan si orang
aneh itu. Lagi sekali si orang
aneh mengibas dengan tangan
bajunya, kali ini dia bukannya
hendak membikin mental tetapi
untuk melibat. Tapi si nona
liehay sekali, ia lantas berontak
seraya menegakkan tangannya,
maka itu, ia dapat lolos
dengan tangan bajunya lawan
lagi-lagi terbabat kutung! Si
nona tidak berhenti sampai di
situ, kecerdasannya membuat ia
sadar. Maka menggunai
ketikanya itu, hendak ia menusuk ke
dadanya lawan. Akan tetapi
bertepatan dengan itu mendadak
ia mendapat cium semacam bau
yang asing untuknya, bau itu
keluar dari tangan baju si
orang aneh. Ia kaget, buru-buru ia
menahan napas, guna menyingkir
dari bau itu. Karena ini,
belum sempat ia menikam. Di
saat itu, tahu-tahu ia telah kena
ditotok si orang aneh!
"Haha!" orang aneh
itu tertawa. "Sebenarnya aku ingin
menyaksikan Hian Kie Kiamhoat
di jalankan habis, untuk
menyaksikan keliehayannya,
sayang aku mesti melayani
tetamu agung, sukar untuk aku
menemani kau lebih lama
pula!..."
Hampir berbareng dengan itu,
Siauw Houwcu juga telah
kena ditotok hingga berdua Sin
Cu ia menjadi mati daya,
587
berdua mereka lantas dibawa ke
barisan murid-muridnya si
orang aneh. Nona Ie tidak
dapat menggeraki kaki tangannya
tetapi pikirannya sadar. Ia
heran bukan main, hatinya menjadi
goncang. Ia heran atas
keliehayan orang, ia pun mendugaduga
siapa tetamu agung dari orang
itu. Adakah si tetamu
juga orang aneh semacam dia?
Orang aneh itu berlalu
sebentar, untuk menyalin pakaian,
ketika ia muncul pula, ia
menitahkan tetabuan dibunyikan.
Cuma sebabak, musik berhenti,
lantas terlihat datangnya dua
orang. Sin Cu mementang
matanya. Ia dapatkan dua orang itu
adalah seorang pria dan
seorang wanita, dan si wanita adalah
orang asing yang berambut
berwarna keemas-emasan,
wajahnya cantik, romannya
agung. Dia mengenakan rok yang
panjang hingga mengenai
lantai. Kembali Sin Cu heran melihat
wanita agung ini. Kenapa dia
datang ke tempat semacam
benteng tua ini?
Si orang pria be-roman tampan,
tubuhnya tinggi,
nampaknya pun agung. Ia tidak
bisa lantas dikenali apa ia
orang Barat atau orang Han.
Tapi ia mengenakan pakaian
orang asing. Ia berhidung
mancung dan kedua matanya
bersinar tajam. Kulitnya
berwarna kuning tetapi rambutnya
hitam. Ia berjalan dengan
berpegang tangan dengan si
wanita, keduanya nampak akrab
sekali perhubungannya.
Siauw Houwcu mengawasi dengan
bengong. Sin Cu
sebaliknya menduga-duga,
mereka itu berdua suami isteri
atau bukan.
"Aku menghaturkan
banyak-banyak terima kasih untuk
perlayanan ongya di
sini," terdengar si pria berkata kepada si
orang aneh, yang dipanggil
"ongya" atau "tuanku raja" atau
"tuanku pangeran."
Untuk banyak hari kami sudah
menggerecok di istanamu ini,
tidak dapat kami berdiam lebih
lama pula, maka itu hari ini
kami mohon pamitan."
588
Orang itu bicara dalam bahasa
Tionghoa yang kaku, seperti
juga orang yang sudah lama
meninggalkan kampung
halamannya, yang baru pulang
kembali, tinggal lagu suara
asalnya yang belum berubah.
Sin Cu berpikir keras. Orang
aneh ini ongya dari mana? Biar
bagaimana ia ada puterinya
satu menteri dan luas juga
pengetahuannya. Kerajaan Beng,
semenjak dibangun Kaisar
Cu Goan Ciang, meskipun banyak
menganugerahkan raja-raja
muda di pelbagai propinsi
tetapi belum pernah ia dengar ada
pangeran yang diangkat menjadi
raja atau raja muda di
propinsi Kuiciu ini. Orang ini
dipanggil ongya maka heran dia
punya " onghu" alias
istana adalah macam ini benteng tua dan
juga tidak seharusnya dibangun
di tanah pegunungan sepi
sunyi seperti ini. Bukankah
ongya ini ongya palsu?
Si mayat hidup itu bersikap
sangat menghormat kepada
kedua tetamunya itu, wajahnya
senantiasa tersungging
senyuman manis. Ketika ia
menyahuti, ia pun menjura dalamdalam.
"Sungguh siauw ong sangat
berbahagia telah mendapat
kunjungan dari kongcu dan huma
ini," demikian katanya.
"Oleh karena huma
berkeras hendak berangkat, siauw ong
tidak dapat menahannya
terlebih jauh. Perjalanan ini ke kota
raja Tiongkok adalah jauh,
jalannya banyak sungai dan
gunungnya, keamanannya pun
kurang, maka itu perlu sekali
ada orang pandai yang
mengiringinya, baru hatiku
tentaram..."
Kembali Sin Core heran. Si
orang aneh dipanggil ongya,
selayaknya saja dia
membasahkan diri siauw ong," yaitu "raja
yang kecil." Wanita itu
dipanggil "kongcu" artinya puteri, dan
si pria dipanggil
"huma," yaitu suaminya puteri atau menantu
raja. Tidakkah itu aneh?
589
"Benarlah mereka sepasang
suami isteri," nona kita
berpikir. "Entah dia
kongcu dari raja atau negara mana. Dia
menjadi kongcu, kenapa dia
tidak punya pengiring? Apa
perlunya tuan puteri ini
berkunjung ke Tiongkok? Meski
Tiongkok ada negara besar,
sudah lama lemah kedudukannya,
sudah lama tak pernah datang
utusan dari negara lain, maka
itu, dari mana tuan puteri
ini? Umpama kata benar dia
mewakilkan negaranya dan
hendak datang ke Tiongkok untuk
membayar upeti, bukankah tak
perlu dia mengambil jalan dari
Kuiciu ini terutama mengambil
jalan pegunungan yang jauh
dan sulit hingga dia mesti
mampir di sini? Bukankah dia juga
tuan puteri palsu? Hanya,
kalau dikata palsu, suami isteri ini
nampaknya benar-benar
agung..."
Maka itu, pusing Sin Cu
memikirkannya. Pria yang dipanggil
huma itu kelihatannya rada
bersangsi.
"Sebenarnya kami telah
diantar oleh dua orang pandai,
hanya dengan mereka itu kami
berpisah di tengah jalan,"
berkata dia kemudian.
"Lama kami menantikan mereka, tidak
juga mereka kunjung tiba, dari
itu terpaksa kami lantas
berangkat terlebih dulu."
"Kalau begitu, tidakdapat
kongcu dan huma berangkat
sendiri," berkata si
orang aneh, "Baiklah siauw ong saja yang
mengiringi pengantar. Baiklah
surat kepercayaan dan barang
hadiah diserahkan dia yang bawa.
Dia ada seorang gagah
yang kenamaan, ilmu silatnya
tinggi, orangnya pun jujur dan
setia, karenanya huma boleh
tidak usah menguatirkan apaapa
lagi."
Huma itu menggeleng kepala.
"Tidak usah,"
bilangnya. "Tentang surat kepercayaan dan
barang hadiah itu, semua telah
diserahkan kepada dua orang
590
pengantar kami itu. Kami
berjalan dengan tubuh kosong, kami
tidak kuatirkan apa juga.
Umpama kata di tengah jalan ada
gangguan segala kurcaci,
rasanya dapat aku melayani
mereka!"
Orang asing itu tertawa.
"Huma pandai surat dan
silat, siauw ong memang sangat
mengagumi kau," katanya,
"Beda dengan kongcu, seorang
tuan puteri yang lemah lembut
hingga kaget saja tidak dapat
kongcu mendapatkannya. Oh, ya,
huma barusan menyebutkan
kedua orang pandai yang
menjadi pengantar, bukankah
mereka ada dua saudagar bangsa
India yang mukanya
masing-masing hitam dan putih,
ialah kedua saudara kembar
yang dipanggil Hek Pek
Moko?"
Huma itu nampaknya heran.
"Mengapa ongya ketahui
mereka itu?" ia balik bertanya.
"Mereka pernah mengirim
satu muridnya datang ke mari,
siauw ong kurang
percaya," sahut orang aneh itu. "Kiranya
benar-benar mereka
adanya."
"Mana dia muridnya Hek
Pek Moko itu?" si huma tanya.
"Dia ada di sini..."
Sembari menyahuti, si orang
aneh menghampirkan Siauw
Houwcu, yang ia tarik dari
antara murid-muridnya. Sin Cu
bermata celi, dia mendapat
tahu orang aneh itu telah
menggunai ilmu totokan yang
luar biasa untuk membebaskan
si bocah, hanya sementara itu,
sembari mencekal tangan
orang dia sebenarnya memencet
nadi.
591
Siauw Houwcu bergidik, dengan
jinak dia mengikuti orang
aneh itu. Sin Cu heran
menyaksikan bocah itu demikian jinak.
"Siauw Houwcu beradat
keras dan berani, biar nadinya
dipencet, tidak selayaknya ia
jinak begini?" ia berpikir. Maka ia
mengawasi terus. Siauw Houwcu
tetap jinak dan si orang aneh
memperlihatkan kedua matanya
yang bersinar sangat tajam
dan berpengaruh menatap bocah
itu.
"Bukankah kau datang
bersama kedua gurumu, Hek Suhu
dan Pek Suhu itu?" tanya
si orang aneh.
"Benar," Siauw
Houwcu menjawab.
"Kau datang ke mari
mencari gurumu, benarkah?" tanya
pula si orang aneh.
"Benar, tidak
salah," jawab pula Siauw Houwcu. Ia seperti
terpengaruh tetapi ia dapat
menjawab rapi.
"Eh, Siauw Houwcu, apakah
kau masih kenali kami?" si
huma turut bertanya.
Siauw Houwcu menjublak
mengawasi huma dan kongcu
itu, ia rupanya mengingat
secara samar-samar saja.
Si orang aneh tertawa.
“Ingatannya anak kecil kurang
kuat," ia bilang. "Berapa
kalikah huma pernah bertemu
sama Siauw Houwcu?"
"Heran!" berkata
huma itu. "Ketika pertama kali aku
bertemu dengannya di
Kalimpong, dia nampaknya sangat
cerdik."
592
"Setibanya di sini,
karena udara tidak cocok, dia lantas
dapat sakit," berkata si
ongya , "Sudah beberapa hari dia jatuh
sakit, baru sekarang dia
sembuh sedikit." Dia lantas menepuknepuk
tangannya dan berkata nyaring:
"Undang Bong Goan
Cu datang ke mari!"
Titah itu rupanya ada yang
lakukan, maka sebentar saja
dari dalam terlihat munculnya
satu orang dengan dandanan
sebagai bangsa Biauw. Dialah
itu orang yang di rumah touwsu
telah memale Siauw Houwcu,
yang kemudian ditinggal lari
Siauw Houwcu dan Sin Cu
sehabisnya dia dihajar roboh.
"Siauw Houwcu, apakah kau
masih kenali orang ini?" si
orang aneh tanya sambil
menunjuk Bong Goan Cu.
"Aku ingat," sahut
Siauw Houwcu. "Tadi malam kita masih
ada bersama."
Si orang aneh menghadapi huma,
lalu sambil menunjuk
Bong Goan Cu, dia kata: “Ini
orang bersahabat kenal dengan
Hek Pek Moko. Hek Pek Moko itu
lagi beberapa hari bakal
datang ke mari. Umpama kata
huma ingin cepat-cepat
berangkat, boleh siauw ong
menitahkan Bong Goan Cu yang
mengantarkan, biar Hek Pek
Moko menyusul belakangan."
Setelah melihat Siauw Houwcu,
huma itu nampaknya mulai
percaya si ongya. Ia
mengangguk.
"Baiklah kalau
begitu!" katanya.
"Bagus!" kata si
ongya pula. "Sekarang mari siauw ong
memberi perjamuan selamat
berpisah kepada kongcu dan
huma." Ia lantas menuangi
arak ke dalam cawan kumala
putih, araknya berwarna hijau.
Lebih dulu ia menyuguhkan
kepada huma.
593
Itulah arak Biauw yang
dicampuri obat pengacau asabat.
Huma itu menyambuti cawan itu,
yang ia terus antar ke
mulutnya. Baru pinggiran
cangkir nempel pada bibir, atau satu
sinar kuning emas berkelebat,
segera terdengar suara nyaring
dari pecahnya cangkir. Sebab
cangkir di tangan huma itu
pecah terbelah empat, terlepas
dari tangan, mental jauh.
Berbareng dengan itu terdengar
juga suara nyaring tetapi
halus: "Arak itu ada
racunnya! Binatang ini bukannya orang
baik-baik!"
Itulah Sin Cu, yang telah
menimpuk dengan kimhoa, bunga
emasnya. Selama itu di samping
memasang mata dan kuning,
ia pun sudah kumpul
semangatnya, ia empos itu. Dengan
mengerahkan tenaga dalamnya,
berhasil ia membebaskan diri
dari totokannya si orang aneh.
Tentu sekali, kejadian ini ada di
luar dugaan mayat hidup itu.
Malah saatnya pun sangat tepat,
hingga Sin Cu bisa menolong si
huma tanpa orang aneh itu
dapat mencegah.
Setelah itu Sin Cu berlompat
maju dan dengan pedangnya
ia serang pula si mayat hidup.
Ia ada sangat berani. Orang
aneh itu menggeraki tangannya,
dari dalam tangan bajunya
lantas menghembus pula bau
aneh yang tadi menyerang
hidungnya si nona. Tapi
sekarang Sin Cu dapat menahan
napas, dia pun menahas tangan
baju orang. Dengan berpaling
cepat, ia melepaskan napasnya
yang tertahan itu.
"Lepas pedangmu!"
tiba-tiba si mayat hidup berseru.
Sin Cu merasakan tenaga kuat
sekali menekan pedangnya.
Ia dapatkan orang aneh itu
telah menjepit dan menekan
pedangnya dengan sepasang
sumpit yang dia dengan sebat
telah samber dari atas meja,
dengan itu dia menangkis
serangan membarengi menjepit.
Pasti sekali Sin Cu kalah
tenaga hingga ia tidak
berdaya.
594
"Jangan takut, encie Sin
Cu!" Siauw Houwcu berteriak. "Aku
akan bantui kau!"
Juga bocah ini sadar akan
dirinya, malah kata-katanya
disusuli serangannya, dengan
begitu "Buk!" si orang aneh
kena terhajar kepalan Liongkun.
Tapi serangan ini tidak
mengenai seluruhnya, sebab
dari samping Bong Goan Cu
sudah menyambar tangan orang.
Bong Goan Cu telah kena orang
hajar, dia bersakit hati,
maka itu sekarang dia turun
tangan tidak kepalang tanggung,
hendak dia membikin remuk
tulang orang, hingga Siauw
Houwcu merasakan tangannya
sakit tidak terkira. Tapi ia
bandal, ia menahan sakit,
tidak sudi ia menjerit kesakitan.
Menyaksikan kejadian itu, si
huma mengkerutkan
keningnya. Di saat ia hendak
perdengarkan suaranya,
mendadak dari pintu luar
terdengar suara tertawa yang luar
biasa yang disusul seruan:
"Siapa berani menghina muridku!"
Tertawa dan seruan itu segera
disusul pula sama suara
hebat bagaikan guntur, yang
disusul lagi dengan gempur
robohnya daun pintu, yang
mendatangkan angin sampai api
lilin tertiup
bergoyang-goyang.
Orang menjadi kaget, apapula
setelah itu segera mereka
melihat munculnya dua orang
yang romannya keren sekali,
ialah Hek Pek Moko, dua
saudara kembar yang mukanya
hitam dan putih itu, malah
lagu suaranya sama juga.
Bong Goan Cu terperanjat, ia
segera melepaskan
cekalannya. Tapi ia sudah
terlambat, serangannya Hek Moko
telah tiba tanpa dia sanggup
menangkis atau berkelit dari itu.
Tidak ampun lagi dia kena
terhajar hebat sampai tubuhnya
terlempar ke meja panjang di
atas mana ada banyak rupa
595
barang makanan. Kaget jatuhnya
tubuh, sebuah kaki meja
tidak dapat menahannya, meja
itu turut ambruk bersama,
piring mangkoknya pada pecah
dan hancur, bekas ketindihan
dan jatuh belarakan,
menambahkan berisik.
Hek Moko sudah lantas tertawa
berkakakan.
"Beginilah Liongkun harus
digunakan, baru tenaganya
cukup besar!" ia kata,
suaranya nyaring,
"Siauw Houwcu, kau lihat
tegas-tegas! Aku hendak
mengajarkan pula
kepadamu!"
Tangannya si hitam ini segera
terayun pula, terayun
dengan memperdengarkan suara
anginnya. Kepalan itu
melayang ke arah si orang aneh
yang terpisah cukup jauh
dengan penyerang ini,
sasarannya adalah muka orang.
Berbareng dengan itu, Sin Cu
merasakan pedangnya
enteng. Itulah sebab dua
batang sumpitnya si orang aneh,
yang dipakai menjepit pedang,
telah kena dibikin patah oleh
sampokan ujung baju Hek Moko.
Si orang aneh kaget dan
cemas. Untuk menangkis, ia
menyamber dua muridnya yang
berada paling dekat dengannya,
dia angkat tubuh orang,
untuk dipakai sebagai tameng.
Kedua murid itu kalah pandai
daripada Bong Goan Cu, pasti
mereka tidak berdaya. Masih
beruntung untuk mereka, Hek
Moko tidak gunai seantero
tenaganya setelah ia lihat
kelicikan si orang aneh.
Kesudahannya mereka terhajar
terpental, yang satu patah
tulang rusuknya, yang lain
patah lengannya, keduanya rebah
di lantai sambil merintih.
Kejadian itu membikin ciut
hatinya murid-murid lainnya dari
orang aneh itu, banyak yang
menyingkir, kuatir nanti digunai
gurunya sebagai tameng lagi.
596
"Hek Pek Moko, jikalau
mau bicara, bicaralah dengan baik!"
berseru si orang aneh.
"Ada bicara baik
apa!" menjawab Pek Moko. "Kepalanku ini
masih belum laku! Eh, Siauw
Houwcu, kau lupa atau tidak
ilmu silatmu Loohan Kun?"
dia menanya muridnya.
Murid itu berjengit.
"Suhu, tanganku ini tidak
dapat digunai," dia menjawab.
"Ngaco!" bentak Pek
Moko. "Kenapa tidak dapat digunai?"
Dia menghampirkan, dia jambret
tangan yang sakit dari
muridnya itu, setelah menekan,
dia menarik pelahan-pelahan.
Cuma sekejap itu saja, lenyap
rasa sakitnya Siauw Hou Cu.
"Bagus!" berseru
pula Pek Moko, si guru. "Dia membikin
luka lenganmu, sekarang kau
hajar dia sepuluh kali!"
Bong Goan Cu lagi merayap
bangun ketika Siauw Houwcu,
yang menghampirkan padanya,
sudah melayangkan sebuah
kepalannya, maka tidak ampun
lagi, dia terhuyung beberapa
tindak, hampir dia terguling.
Dia terluka hingga kulitnya
pecah.
Hek Pek Moko tertawa
berbareng.
"Bagus!" mereka
membentak. "Sekarang kau, hantu
bangkotan, mari kau rasai
kepalanku!"
Dengan berbareng dua saudara kembar
itu berlompat
kepada si orang aneh, kepalan
mereka menyambar. Orang itu
menjambret meja batu marmer,
dengan itu ia menangkis.
Maka hancurlah batu marmer
itu.
597
"Suhu, jangan
sembrono!" si huma berteriak, kepada kedua
pengantarnya.
"Apa?" kedua Moko
berpaling dan menanya. "Kamu
mengundang kami untuk
mengantar kamu, kenapa sekarang
kamu melarang kami menghajar
orang?"
"Dialah seorang raja
Hoan!" huma menyahuti.
"Raja apa!" berseru
Hek Moko, tertawa. "Dia ini adalah
Poan Thian Lo si siluman dari
Ouwbong San. Dia sekarang lagi
main gila di sini!"
Lantas dua saudara kembar itu
maju pula.
"Hek Pek Moko!"
berkata si orang aneh. "Aku bermaksud
baik mengajak kamu berdamai!
Apakah kamu sangka aku jeri
terhadapmu?"
Dia lantas meraba ke
pinggangnya, maka di lain saat dia
telah mencekal serupa senjata
yang aneh. Senjata itu mirip
dengan joanpian, ruyung lemas,
akan tetapi seputar badannya
penuh duri bagaikan gergaji.
Sebab itu adalah kiesit pian,
ruyung lemas bergigi. Itulah
senjata yang cuma dapat digunai
partai persilatan Cie Hee
Toojin dari Ouwbong San,
keistimewaannya ialah melibat
merampas senjata lawan serta
menghajar pecah siapa yang
tubuhnya kebal, yang tidak
mempan senjata.
Kedua Moko tertawa lebar
melihat senjata itu.
"Lihat, senjata
mustikanya Ouwbong San telah
dikeluarkan!" mereka
berseru. "Kamu ada punya cambuk
mustika, kami juga ada punya
tongkat serupa! Sekarang kami
ingin saksikan, cambuk atau
tongkat yang terlebih liehay!"
598
Hek Moko sudah lantas menarik
tongkatnya, Lekgiok thung,
dan Pek Moko, Pekgiok thung,
masing-masing tongkat hijau
dan putih mengkilap, bila
diputar keras, keduanya dapat
mengeluarkan suara nyaring
berirama.
Poan Thian Lo melihat dan
mendengar suara senjata lawan
itu, dia bergidik sendirinya,
tetapi terpaksa dia lantas melayani
berkelahi. Oleh karena mereka
sama-sama kosen, lekas sekali
mereka sudah bertempur sekira
dua puluh jurus. Hanya hebat
kedua tongkat dari saudara
kembar itu. Dulu hari melawan
Thio Tan Hong, tongkat itu
membuat Tan Hong kewalahan
sebab pedang Cengbeng kiam
tidak dapat merusaknya, maka
juga sekarang, senjatanya si
orang aneh sudah lantas saja
menjadi gompal!
Hebat Hek Pek Moko, dengan
pelahan-pelahan, dengan
teratur, mereka mulai
mendesak, kedua tongkat mustika
mereka seperti menjadi satu.
Ruyung lemasnya Poan Thian Lo
panjang setombak lima kaki,
kalau itu digunai, diputar, senjata
itu seperti dapat menyamber
dua lipat jauhnya, biasanya tidak
ada orang yang berani
menghampirkan dia sampai dekat,
akan tetapi sekarang dia
bertemu batunya, bukan saja dalam
hal ilmu silat dia kalah,
mengadu senjata pun dia keteter, dari
itu kalangan pembelaan dirinya
semakin lama jadi semakin
ciut. Agaknya segera
pertempuran itu akan sampai di
akhirnya.
"Eh, Siauw Houwcu!"
tiba-tiba Sin Cu berseru. "Kenapa kau
diam saja?"
Pek Moko dapat dengar
pertanyaan itu, ia heran, hingga ia
lantas berpaling kepada
muridnya. Ia menjadi bertambah
heran. Ia dapatkan Siauw
Houwcu berdiri diam di hadapannya
Bong Goat Cu, matanya
mendelong, kedua tangannya dikasi
turun. Di lain pihak Bong Goan
Cu dengan matanya yang
599
tajam terus menatap bocah itu,
tidak pernah dia menoleh ke
kiri dan kanan.
"Siauw Houwcu, kau mesti
turut perkataanku!" demikian
Bong Goan Cu berkata suaranya
bengis.
Menampak itu dengan mendadak
guru yang putih itu
berlompat keluar dari
kalangannya mengepung Poan Thian Lo,
dia berlompat kepada muridnya.
"Siauw Houwcu, kau
kenapa?" dia berseru dengan
pertanyaannya. "Apakah
kau sudah lupa ilmu silat Loohan
Ngoheng Kun yang aku ajari
padamu?"
Sin Cu berteriak kepada orang
India itu: "Siauw Houwcu
telah kena makan obat jahat
dari mereka hingga urat sarafnya
terganggu!"
"Oh begitu!" seru
Pek Moko. Lantas dia tarik tangan
muridnya, terus dia tepuk
embun-embunannya, bebokongnya
dan rusuknya yang kiri,
beruntun tiga kali. Habis itu ia berseru
menyuruh: "Lekas kau
hajar dia! Dialah orang jahat!"
Itulah cara mengobatinya Pek
Moko menurut ilmu yoga,
untuk menolong siapa yang urat
sarafnya terganggu hingga
dia menjadi pelupaan.
Pengobatan itu sangat mustajab, Siauw
Houwcu sudah lantas sadar, hingga
bagaikan satu manusia
baru, dia segera ingat segala
apa seperti sediakala. Bagaikan
berbayang di depan matanya, ia
ingat baik-baik bagaimana
Bong Goan Cu telah perlakukan
padanya. Tentu sekali ingatan
itu membangkitkan hawa
amarahnya, maka juga tanpa Sin Cu
mente-riakinya lagi, seperti
harimau ganas, dia berlompat
kepada Bong Goan Cu, untuk
menyerang pula tanpa
mengucapkan sepatah kata,
malah terus ia menyerang saling
susul dengan Loohan Ngoheng
Kun, ialah ilmu silat Naga,
Harimau, Macan Tutul, Burung
Hoo dan Ular.
600
Tadi diserang Hek Pek Moko,
kepandaiannya Bong Goan Cu
telah lenyap separuh-nya,
sekarang dia dirabuh si bocah, dia
menjadi kewalahan, dia tidak
sanggup melayani lama-lama.
Maka lewat lagi sekian lama
dia sudah roboh di lantai, kulit
dan dagingnya pada pecah dan
hancur, urat-uratnya putus,
tulang-tulangnya patah, dengan
napas empas-empis, dengan
tubuh berlumuran darah, ia
rebah tanpa mampu merayap
bangun lagi!
Selama Pek Moko menolongi
muridnya, Hek Moko mesti
menyerang Poan Thian Lo seorang
diri, dengan begitu Poan
Thian Lo menjadi seperti dapat
napas separuh, tetapi di
bawah desakan orang India ini,
dia tetap keteter, dia tetap
kena didesak. Sudah begitu,
segera Pek Moko datang pula
dengan tongkat putihnya,
saking terdesak, dia sampai tak
malu-malu untuk
berkaok-kaok...
Dua-dua Moko tertawa lebar.
"Baiklah!" berkata
mereka. "Aku mengasi ketika untuk kau
memanggil bala bantuan!"
Lantas mereka tancap tongkat
mereka, mata mereka
memandang ke kiri dan kanan.
Menyusul kaokannya Poan Thian
Lo itu di ruang besar itu
sudah lantas muncul dua orang
aneh lain!
***
Dua orang yang baru datang itu
masing-masing
mengenakan baju kuning yang
panjang, rambut mereka
digubat, sudah hidung mereka
mancung, mata mereka celong.
Tapi yang aneh adalah, di
samping pakaian mereka yang
berseragam itu, rupa mereka
pun sangat mirip satu dengan
601
lain, kecuali, yang satu
hilang kuping kirinya, yang kanan
lenyap kuping kanannya.
Di dalam ruang itu orang sudah
heran melihat Hek Pek
Moko si saudara kembar,
sekarang itu ditambah dengan
keheranannya atas dua orang
baru ini. Benar-benar dunia
aneh, dalam sekejap, di sini
muncul dua pasang saudara
kembar. Akan tetapi dua orang
aneh ini dikenal oleh Hek Pek
Moko, juga oleh Sin Cu dan si
bocah, malah mereka pernah
dilukai dengan panah oleh
kedua saudara Moko itu. Mereka
dilukai pada tahun yang lalu
di gunung Tongteng san di telaga
Thayouw. Sebab merekalah itu
dua saudara kembar bangsa
Arab, Ismet dan Akhmad.
Melihat mereka itu, mulanya
Hek Pek Moko tercengang, lalu
segera mereka tertawa lebar.
Lekas-lekas mereka merangkap
kedua tangan mereka untuk
memberi hormat.
"Saudara-saudara, sungguh
kamu memegang
kepercayaan!" kata Hek
Moko. "Tapi sekarang ini untuk
sampai kepada janji satu tahun
masih kurang tiga hari!"
"Hm!" Ismet bersuara
seraya ia membalas hormat. Tapi ia
tidak melayani orang bicara
hanya lebih dulu dia berpaling
kepada si wanita asing yang
cantik, untuk membungkuk
memberi hormat dari mulutnya
terdengar kata-kata yang tidak
di mengerti Sin Cu dan Siauw
Houwcu dan yang lainnya,
malah Hek Pek Moko juga
mengarti tak sepenuhnya.
Habis mendengar perkataan
orang, wanita cantik itu
mengkerutkan keningnya, d
ujung matanya lantas terlihat air
mengembeng, parasnya turut
berubah pias, akan kemudian
dia menjadi tak wajar lagi. Ismet
bersikap semakin
menghormat, tetapi di samping
itu, ia masih berkata-kata tak
hentinya.
602
Sin Cu sangat heran hingga ia
berpikir: “Ismet dan Akhmad
ada kosen sekali, mereka
sekarang berlaku begini hormat
terhadap ini wanita asing,
terang benarlah ia ada seorang
wanita agung, satu tuan
puteri. Hanya, kenapa mereka ini ada
sangkutannya sama Hek Pek Moko
dan ini orang aneh dari
benteng tua ini?"
Sin Cu tidak mengarti tetapi
dugaannya itu tidak meleset.
Wanita cantik itu memang ada
puterinya raja Iran, suaminya
ialah itu pria yang berdiri di
dampingnya, yang romannya
separuh orang Tionghoa dan
separuh orang Arab. Sebenarnya
dia adalah seorang dari suku
bangsa Pek dari Tali, namanya
Toan Teng Khong. Untuk negara
Tali itu. Keluarga Toan
adalah keluarga besar dan
kenamaan. Semenjak sebelum
kerajaan Song, keluarga itu
menjadi raja turun temurun.
Adalah sejak kerajaan Goan
memus-nakan negara Tali itu,
turunan keluarga Toan diubah
kedudukannya dari raja
menjadi " pengciang"
yaitu kedudukan perdana menteri.
Toan Kong itu pandai bekerja,
dia dapat mendirikan jasa di
Tali melebihkan leluhurnya,
hingga penduduk propinsi Inlam
dalam mana Tali berada, memuji
tinggi padanya. Dan Toan
Teng Khong ini adalah generasi
yang ke tujuh. Ketika dulu hari
tentara Mongolia menerjang ke
Eropah, Asia dan Afrika, ada
satu puteranya Toan Kong yang
menjadi perwira dan turut
dalam angkatan perang itu.
Kemudian, setelah kerajaan Goan
runtuh, keluarga putera Toan
Kong itu berdiam terus di Iran
(Persia) dan turun temurun
menikah sama wanita Iran. Karena
keluarga Toan ada keluarga
orang peperangan, mereka
pandai ilmu silat pedang.
Demikian Toan Teng Khong ini, yang
di masa mudanya telah menjadi
ahli pedang nomor satu
untuk seluruh Iran, hingga
raja Iran undang dia menjadi guru
silat pedang, hingga karenanya
dia dicintai puteri Iran itu.
Untuk beberapa tahun mereka
berasmara secara diam-diam.
Kemudian barulah raja Iran
mendengar selentingan. Ia tidak
setujui perjodohan itu,
sebabnya ialah keagungan raja, tak
603
pantas puteri menikah sama satu
guru silat pedang. Raja itu
ada kakaknya puteri, ia lantas
mendesak adiknya menikah
sama lain pemuda. Puteri tidak
setuju, dia menjadi nekat, dia
minggat bersama Toan Teng
Khong. Di waktu pergi, puteri itu
membawa banyak barang berharga
dari istana. Raja menjadi
gusar sekali, perintah
dikeluarkan akan cari puteri itu. Dua
saudara Ismet dan Akhmad
berkedudukan sebagai guru
negara, merekalah yang diutus
pergi mencari, dibebankan
tanggungan mesti dapat menawan
dan membawa pulang
sepasang merpati yang terbang
kabur itu. Toan Teng Khong
merasa ia tidak sanggup
melawan kedua guru negara itu,
ketika dia dan puteri lari
sampai di India, dengan perantaraan
orang, ia minta bantuannya Hek
Pek Moko. Mereka ini
menerima baik permintaan
tolong itu. Sebagai saudagarsaudagar
barang permata, dua saudara
Moko biasa mengitari
seluruh India, Iran dan
Tiongkok. Isteri mereka pun orang
bangsa Iran. Maka itu, mereka
mengantarkan Toan Teng
Khong dan sang puteri ke
Tiongkok.
Ismet dan Akhmad telah
menyusul puteri sampai di India,
di Kalimpong mereka bertemu
sama Hek Pek Moko, kedua
pihak bertempur seruh tanpa
ada yang kalah atau menang.
Tidak berhasil Ismet dan
Akhmad mendapatkan tuan
puterinya. Hek Pek Moko
berhasil menyembunyikan puteri itu
di rumah seorang sahabatnya
bangsa India juga, mereka
sendiri menyingkir guna
menyesatkan kedua orang Iran itu.
Mereka ini menyusul terus
menerus hingga ke Tiongkok. Hal
ini membuat dua saudara Moko
itu sangat mendongkol,
hingga mereka pernah memikir
meminta bantuannya Thio Tan
Hong untuk menghajar dua orang
itu, agar keduanya kapok
dan kabur. Ketika mereka tiba
di Tongtengsan, Thayouw, Thio
Tan Hong sudah berlalu dari
gunung di tengah telaga itu dan
pindah ke Inlam. Di Tongteng
san, Hek Pek Moko bertemu
sama Sin Cu, maka mereka
lantas pinjam panah pusaka dari
Thio Su Seng, dengan tiga
batang panah itu mereka berhasil
meluka-kan Ismet dan Akhmad,
yang kena dipukul mundur.
604
Karena luka itu, satu tahun
lamanya dua jago Iran itu mesti
memelihara diri untuk
memulihkan kesehatannya.
Dari gunung Tongteng san, Hek
Pek Moko kembali ke
India, untuk menyambut tuan
puteri dan Toan Teng Khong
berangkat ke Tiongkok. Puteri
itu suka pergi ke Tiongkok
karena ia sekalian mempunyai
suatu maksud.
Mongolia itu semenjak Perdana
Menteri Yasian(Essen)
bangkit pula kembali telah
menjadi kuat. Yasian telah
membantu Toto Puhwa membangun
negara Watzu, hingga
dalam peperangan di Tobokpo
hampir dia dapat
memusnahkan Tiongkok, Kemudian
dari itu Yasian sendiri
kena dibasmi oleh suatu suku
lain bangsa Mongolia, akan
tetapi putera Toto Puhwa dapat
bangun lagi. Dia inilah yang
pemerintah Beng sebut "
siauw ong cu" atau "raja kecil".
Siauw ong-cu ini menjadi kuat
pelahan-pelahan, pengaruhnya
sampai di Asia Tengah hingga
hampir berhubungan sama
Persia. Persia itu dulu pernah
diilas-ilas bangsa Mongolia,
maka juga kalau mereka
mendengar disebutnya "Bahaya
Kuning," mereka jeri
sekali. Maka itu walaupun puteri Iran
(Persia) itu lari dari
negaranya, dia tetap masih memikirkan
keselamatan negaranya. Dari
itu dengan kedudukan sebagai
puteri Iran, ingin ia
berkunjung ke Pakkhia untuk menghadap
kaisar Tiongkok, untuk mencoba
mengadakan persahabatan di
antara Iran dan Tiongkok,
maksudnya ialah untuk menjaga diri
dari ancaman bangsa Tartar
(ialah siauw ongcu itu). Yang
dimaksudkan Tartar di sini
adalah pemimpin bangsa Watzu,
yang disebutnya "khan
Tartar."
Puteri itu berminat demikian,
ia tapinya belum ketahui
keadaan yang sebenarnya dari
kerajaan Beng, yang kusut di
dalamnya. Toan Teng Khong pun
ada sama tidak
mengetahuinya, karena ia,
semenjak beberapa turunan,
berada di luar negeri. Ia
hanya ingin sekalian pulang ke
605
Tiongkok dengan maksud serupa
seperti isterinya, untuk dapat
melakukan sesuatu guna
kebaikan Tiongkok dan Iran.
Di dalam tugasnya mengantar
suami isteri bangsawan itu
ke Pakkhia, Hek Pek Moko ada
mengalami sedikit kesulitan,
ialah mereka tidak berani
berjalan sama-sama secara
berterang, mereka cuma dapat
mengawasi secara sembunyi.
Sebabnya ialah pada belasan
tahun yang lalu, mereka pernah
mencuri batu-batu permata di
istananya pangeran Seng Cin
Ong di Pakkhia, sedang
pergaulannya dengan Tan Hong,
menyebabkan mereka juga dicari
Kaisar Kie Tin yang telah
kembali ke atas takhta
kerajaannya. Sebenarnya mereka
bukan takut dibekuk
pemerintah, mereka hanya tidak ingin
sebab urusan pribadi mereka
nanti merembet-rembet puteri
Iran dan Toan Teng Khong.
Mulanya mereka berniat pergi
dahulu ke Tali di Inlam,
kesatu untuk mengunjungi Thio Tan
Hong untuk mendamaikan
sesuatu, kedua supaya Toan Teng
Khong dapat menengok kampung
halamannya, apa mau di
tengah jalan di tanah datar
Kuiciu itu kedua pihak
berpencaran, hingga
kesudahannya mereka mencari puteri
Iran dan Toan Teng Khong itu
di tempatnya Poan Thian Lo.
Poan Thian Lo adalah murid
kepala dari Cie Hee Toojin dari
gunung Ouwbong San. Cie Hee
ada punya tiga murid tetapi
murid kepala inilah yang
paling pandai, cuma nama Poan
Thian Lo tidak tersohor secara
umum disebabkan dia tidak
pernah ke luar dari propinsi
Kuiciu dan ia senantiasa melayani
gurunya. Yang Cong Hay adalah
murid yang ketiga, ialah yang
paling disayang gurunya maka
itu ia mewariskan ilmu silat
pedang Cek Seng Kiamhoat dan
di wilayah Barat daya ia
menjagoi hingga namanya sama
terkenalnya seperti nama
Thio Tan Hong. Bong Goan Cu
ada murid yang nomor dua dan
ialah yang kepandaiannya
paling lemah.
Dua saudara Ismet dan Akhmad
itu, setelah mereka terluka
panah oleh Hek Pek Moko,
mereka sudah lantas pergi pada
606
Poan Thian Lo, untuk memohon
bantuan guna menghadapi
pula musuhnya, yaitu kedua
saudara Moko. Mereka dapat
persetujuannya Poan Thian Lo.
Maka itu mereka lantas
mengatur rencana. Perjanjian
mereka yaitu, Ismet dan
Akhmad cuma menghendaki
membawa pulang puteri Iran ke
negerinya, sedang Poan Thian
Lo boleh dapatkan semua
kekayaannya puteri itu. Poan
Thian Lo mengatur rencananya
sebab, biar bagaimana, ia jeri
terhadap Hek Pek Moko.
Partai Cek Seng Pay itu
berpengaruh di propinsi Kuiciu,
maka juga Poan Thian Lo dapat
bekerja dengan leluasa.
Mulanya Poan Thian Lo mengirim
sejumlah muridnya
memegat puteri Iran itu di
tengah jalan. Hal ini terjadi
sebelum Hek Pek Moko dapat
menyusul puteri itu suami
isteri.
Di lain pihak Poan Thian Lo
sendiri memimpin sejumlah
orangnya pergi
"menolongi" puteri Iran itu. Ia mengaku diri
sebagai Hoan ong atau raja
muda, maka ia dipanggil
pangeran. Setelah menolongi,
ia sambut puteri itu serta
suaminya ke bentengnya itu di
mana ia melayani orang
dengan cara hormat dan telaten
sekali. Ketika pertama kali
Hek Pek Moko datang menyusul,
mereka gagal, malah Siauw
Houwcu kena ditawan.
Ismet dan Akhmad serta Poan
Thian Lo memang jeri
terhadap Hek Pek Moko, yang
mereka malui terutama ilmu
yoganya, maka setelah Siauw
Houwcu tertawan mereka, Poan
Thian Lo hendak mengorek
pelajaran yoga itu dari murid
orang ini, tetapi Siauw Houwcu
cerdik sekali, ia tidak kena
dibujuk atau dipedayakan,
karenanya oleh Poan Thian Lo dan
Bong Goan Cu ia dikasi makan
obat yang melemahkan urat
sarafnya hingga ia jadi
pelupaan dan tolol sekali, sesudah
mana ia dinikahkan dengan
puteri touwsu, puteri mana ada
muridnya Bong Goan Cu dan
touwsu pun sudi menerima
bocah itu sebagai baba
mantunya.
607
Itulah apa yang Sin Cu dapat
menyaksikan di kamar
pengantin.
Hek Pek Moko tidak puas
mendengar Ismet dan Akhmad,
Hek Moko lantas saja tertawa
dingin dan menegur: "Tuan
puterimu tidak suka pulang,
perlu apa kamu masih mengoceh
saja? Kalau kau lantas pulang,
kau justeru masih dapat
melindungi kedudukanmu sebagai
guru negara! Ketahui
olehmu, apabila kamu tetap
tidak tahu gelagat, kami tidak
nanti sudi berlaku sungkan
lagi! Dulu kamu kehilangan
kepandaianmu satu tahun, kali
ini bisa untuk beberapa tahun,
dengan begitu, apakah kamu
masih dapat menduduki kursi
kebesaranmu?"
Dua saudara itu merasa sangat
terhina mereka sudah kena
terpanah, sekarang mereka
diperingati hal lukanya itu, yang
meminta perawatan satu tahun,
keduanya menjadi sangat
gusar, dengan berbareng mereka
menghunus golak mereka
yang melengkung model bulan
sabit, maka di situ terlihatlah
sinarnya kedua golok itu yang
berkilauan.
Hek Pek Moko pun menggeraki
tongkat mereka hingga
terdengar suaranya yang
nyaring. Maka itu kedua pihak sudah
lantas bertempur. Cepat sekali
belasan jurus telah dikasi
lewat.
"Sungguh golok yang
bagus." Hek Moko memuji senjata
lawannya, berbareng dengan
mana ia menyapu dengan
tongkatnya, Lekgiok thung.
Ismet membalas menyerang
hingga tiga kali beruntun. Sin
Cu telah menyaksikan dan
delapan Nippon menggunai
goloknya, sekarang ia lihat
cara berkelahinya orang Iran ini, ia
merasa orang ada terlebih
liehay. Ismet pun menyerang
sambil berseru.
608
Akhmad menyontoh saudaranya,
ia menyerang tidak
kurang hebatnya, tetapi
goloknya dihalau Pekgiok thung,
tongkatnya Pek Moko, maka
habis itu, ia menjaga hingga
senjata mereka tidak bentrok
pula. Demikian juga dengan
Ismet.
Tadi Hek Moko memuji lawannya
tetapi bentrokan senjata
mereka merugikan Ismet, yang
gigi goloknya pada patah, dari
itu ia mendahului saudaranya
berkelahi dengan
menghindarkan peraduan
senjata.
Di dalam halnya tenaga, dua
saudara Ismet dan Akhmad
itu merasa mereka kalah,
disebabkan tenaga dan keulatan
mereka belum pulih anteronya,
oleh karenanya, untuk dapat
melawan, mereka mengandal
kepada ilmu silat golok mereka.
Hek Pek Moko juga berkelahi
dengan sabar, daripada
mendesak, mereka lebih banyak
membela diri. Mereka mau
menanti ketika. Meskipun
demikian, hebatnya pertempuran
tidak jadi berkurang.
Semua orang menonton dengan
kagum.
Setelah lewat sekian lama,
terlihat sinar hijau dari tongkat
mengalahkan sinar putih dari
golok, melihat itu Siauw Houwcu
sudah lantas berseru
kegirangan: "Guruku menang!"
Bocah ini tidak melihat
keliru. Belum lagi seruannya
berhenti, sudah terdengar
seruan hebat dari Ismet dan
Akhmad, lalu di luar tahu Sin
Cu keduanya telah lompat
keluar dari gelanggang,
menyingkir dari pengaruhnya tongkat,
sesudah mana terdengar Ismet
bersumpah: "Hari ini aku
bersumpah mesti membalas sakit
hati panah dahulu hari!"
Menyusul itu sebelah tangannya
terayun!
609
Semua orang lantas menampak
sebuah sinar terang kuning
emas meluncur, sinar yang
keluar dari tiga bola yang pun
memperdengarkan suara
mengaung. Ketiga bola itu
menyambar ke arah Hek Moko.
"Sungguh suatu senjata
rahasia yang temberang!" Hek
Moko tertawa setelah ia lihat
serangan itu, "Eh, berapa banyak
juga senjatamu ini, suka aku
membelinya! Berapa harga yang
kau minta?"
Dua saudara kembar India ini
ada saudagar-saudagar
barang permata, maka sifat
dagangnya itu tidak gampanggampang
lenyap.
"Aku kuatir kau tidak
sanggup membelinya!" Ismet
mengejek. Ia kembali menyerang
dengan tiga bolanya, karena
tiga yang pertama dapat
dikelit musuhnya.
Berbareng dengan itu, Acmad
juga menyerang Pek Moko
dengan tiga bola yang sama.
Setelah menyaksikan senjata
rahasia orang Iran itu, Sin Cu
kata di dalam hati kecilnya:
"Apakah yang aneh dari senjata
ini? Sama saja dengan bunga
emasku, yang bisa menyerang
jalan darah! Mana bisa senjata
begini melukai Hek Pek Moko?"
Dua saudara Moko itu telah
menggunai tongkat mereka,
mereka menyampok serangan
hingga senjata rahasia itu
mental balik kepada lawannya
masing-masing.
Ismet dan Akhmad memunahkan
senjatanya itu sendiri
dengan lain bola mereka,
sesudah itu mereka mengulangi
serangan mereka, beruntun
beberapa kali, hingga mereka
telah membikin habis semuanya
tiga puluh enam bola emas
mereka. Bola-bola emas itu
bentrok satu dengan lain, hingga
suaranya menjadi sangat nyaring
dan berisik, berkumandang
610
ditengah udara, hebat
didengarnya, hati orang menjadi
goncang, hingga orang
lekas-lekas menekap kuping.
"Kiranya suaranya bola
ini begini berpengaruh..." berpikir
pula Sin Cu. "Cuma suara
ini pasti tidak bakal mempengaruhi
mereka yang tenaga dalamnya
tangguh."
Memang juga perhatian Hek Pek
Moko tak terganggu suara
hebat itu. Mereka cuma repot
menangkis setiap bola, sebab
Ismet dan Akhmad memungut pula
yang jatuh, buat dipakai
menyerang lagi, atau
menanggapi yang mental balik, yang
terus dipakai menimpuk pula.
Sekarang Sin Cu mengagumi bola
emas itu. Sebab nyata
setiap sasarannya adalah jalan
darah yang berbahaya.
"Encie, lihat!"
berkata Siauw Houwcu.
Sin Cu tengah mengagumi
senjata rahasia musuh, ia
seperti tidak dengar suara
bocah itu.
"Enciel" Siauw
Houwcu memanggil pula, terus hingga tiga
kali.
"Jangan berisik! Jangan
berisik!" kata Sin Cu akhirnya. "Aku
lagi melihat!"
Memang benar Nona Ie ini lagi
memperhatikan cara
menyerang dari Ismet dan
Akhmad itu, ia pikirkan cara itu
untuk dipakai dengan bunga
emasnya sendiri, kalau ia dapat
meniru, bunga emas itu dapat
dipakai menotok berbareng
melukai karena
lembaran-lembaran bunganya tajam.
“Itulah tidak aneh!" kata
pula Siauw Houwcu. "Guruku
terlebih liehay lagi! Kau
lihat! Kau lihat!"
611
Mau atau tidak, Sin Cu menjadi
tertarik hatinya, maka ia
lantas memasang mata terhadap
Hek Pek Moko. Ia
mendapatkan kedua sinar hijau
dan putih dari dua saudara itu
bersinar bundar sebagai roda,
menutupi tubuh mereka itu,
maka setiap kali bola emas
menerjang, masuk ke dalam
bundaran sinar, masuknya itu
bagaikan kerbau tanah kecemplung
ke laut, tidak dapat keluar
pula seperti tadi. Lalu tak
berselang lama, kedua tongkat
kedua saudara Moko itu telah
tergantungkan banyak bola emas
dengan sinarnya kuning
mengkilap.
Semua bola emas itu tadi dapat
mental balik, kesatu karena
cara menyerangnya Ismet dan
Akhmad, dan kedua
disebabkan dihajar mental oleh
kedua lawannya. Tapi
sekarang, semua bola itu tidak
dihajar, hanya disambuti sinar
bundar seperti roda itu, sinar
yang seperti merupakan jala
perangkap, dibiarkan dapat
masuk, tidak diijinkan keluar lagi.
Sin Cu kagum hingga ia berdiri
menjublak. Ismet dan
saudaranya hebat caranya
menyerang, dan dua saudara Moko
ini hebat kepandaiannya
menyambuti itu.
"Sekalipun nelayan
menebar jala, masih ada ikannya yang
molos," ia berpikir.
"Tapi dua saudara ini membuatnya bola
emas bergantung di tongkat
mereka... Sungguh hebat!"
Tiba-tiba Sin Cu ingat
kepandaian menggunai pedang dari
suami isteri gurunya.
"Sepasang pedang suhu dan
subo liehay sekali apabila
keduanya telah
tergabung," demikian pikirnya pula. "Pasti
kepandaian suhu dan subo lebih
liehay dari dua saudara Moko
ini. Sayang ilmu pedang itu
tidak dapat dipelajari satu orang
sendiri, tidak demikian,
apabila itu digabung dengan
kepandaiannya Hek Pek Moko
ini, tentu senjata rahasia yang
paling liehay di kolong langit
ini dapat dipunahkan juga..."
612
Girang Sin Cu dapat
menyaksikan ini kepandaian dari Hek
Pek Moko dan Ismet dan Akhmad
itu, ia dapat melihat
kefaedahannya, yang ia
hendakmeneladannya. Selama
sepuluh tahun ia mengikuti
kedua gurunya, banyak
pengetahuannya dan
kecerdasannya bertambah, hingga ia
gampang mengarti, gampang
menerima pelajaran.
Habis itu terdengarlah suara
tertawa nyaring dari Hek Pek
Moko.
"Pembicaraan dagang kita
ini sudah dibicarakan putus jadi!"
demikian mereka itu berseru.
"Haha! Kiranya di kolong langit
ini ada juga kejadian tanpa
modal sepeser tetapi dapat kita
memperoleh begini banyak emas
kuning! Perdagangan serupa
ini, seumur hidupnya satu
manusia, satu kali juga sungguh
sukar diketemukannya! Ya, kamu
masih mempunyai berapa
banyak emas lagi? Mari, ada
berapa banyak juga kami suka
menerimanya!"
Ismet dan Akhmad berdiri
bengong di dalam gelanggang
itu. Mereka masih mempunyai
sisa enam biji bola emasnya
tetapi mereka tidak berani
pakai itu untuk menyerang pula.
Mereka cuma memegangi saja
golok bulan sabit mereka.
Poan Thian Lo menonton
semenjak tadi, ia perhatikan
pertempuran dan segala apa di
sekitarnya. Ia kagum untuk
jalannya pertempuran, ia
bercemas hati untuk kesudahannya
itu. Sudah ia tidak sanggup
berbuat apa-apa, juga dua
saudara kembar itu yang
diharapkan bantuannya, gagal. Tapi
ia ada sangat cerdik dan
licik, maka juga tengah Ismet berdua
berdiam saja dan kedua saudara
Moko bergurau, ia
perdengarkan pekik yang aneh,
tubuhnya lantas berlompat ke
arah Siauw Houwcu.
613
Hebat akibat pekik dan gerakan
Hoan ong palsu ini,
bagaikan orang tersadar, Ismet
dan Akhmad segera bergerak
pula, dengan memutar goloknya
masing-masing, mereka
menerjang pula Hek Pek Moko.
Hebat adalah gerakannya Poan
Thian Lo. Cambuknya yang
luar biasa sudah lantas
menyambar ke arah si bocah, yang dia
niat lilit.
Sin Cu berada di damping Siauw
Houwcu, ia sebenarnya
gesit tetapi ia masih kalah
sebat. Ia pun tidak menyangka
sama sekali atas serangan
mendadak ini. Ketika ia menyabet
dengan pedangnya, ujung
cambuknya Poan Thian Lo sudah
menyamber robek ujung bajunya
si bocah.
Tidak berhasil seanteronya
terhadap Siauw Houwcu, Poan
Thian Lo memutar cambuknya
yang istimewa terhadap
dadanya Sin Cu, nona yang
merintangi usahanya itu. Ia
menyerang dengan jurusnya
"Naga berbisa keluar dari
sarangnya."
Sin Cu menangkis serangan itu
dengan sama kerasnya,
maka itu kedua senjata bentrok
hebat, hingga muncratlah
lelatu apinya. Setelah
bentrok, cambuk itu tidak berhenti
hanya masih mencoba melilit.
Cambuk panjang setombak
lebih, dengan begitu seperti
juga si nona dirintangi jalannya di
samping kiri atau kanan,
sedang ujung cambuk mencari
bajunya, untuk digaet dengan
gigi-giginya cambuk yang
istimewa itu.
Dalam saat sangat terdesak
maka terlihatlah satu tubuh
mencelat tinggi bagaikan
terbang, membarengi mana sinar
hijau dari pedang pun
berkelebat ke empat penjuru, diikuti
dengan suara nyaring dari satu
bentrokan.
614
"Bagus, ilmu pedang yang
bagus!" berseru Poan Thian Lo.
"Nah, sambutlah
lagi!"
Nyatalah Sin Cu dapat
meloloskan diri dari cambuk dengan
ia mencelat tinggi sambil
tangannya membabat, maka
pedangnya itu telah membabat
habis gigi-gigi cambuknya si
pangeran tetiron. Semua itu
terjadi dengan sangat cepat.
Dengan gerakannya ini yang
luar biasa, Sin Cu telah
mempergunakan banyak sekali
tenaganya. Dalam ilmu silat
dan tenaga, ia kalah jauh dari
Poan Thian Lo, siapa ada
menangi Yang Cong Hay
sedikitnya satu lipat, maka itu ia
bukanlah satu tandingan. Bahwa
ia sudah membuat
perlawanan, itulah saking
terpaksa, untuk melindungi Siauw
Houwcu. Dan bahwa ia dapat
membabat putus giginya
cambuk, itu melulu karena ia
andalkan liehaynya Hian Kie
Kiamhoat yang ia telah
fahamkan itu dibantu sama tajamnya
Cengbeng kiam, pedang
mustikanya itu.
Segera datang pula sambaran
cambuknya Poan Thian Lo,
cepat dan berat. Sin Cu
terkejut. Itu waktu ia sudah lelah dan
telapakan tangannya pun sakit.
Meski ia dapat membabat,
bentrokan senjata buatnya tangannya
tergetar dan sakit.
Kalau sekarang ia melayani
keras dengan keras, ada
kemungkinan pedangnya bakal
terlepas dari cekalannya dan
terlempar.
Siauw Houwcu bukannya berdiam
saja ketika tadi ia
diserang Poan Thian Lo, ia
sudah gunai kelincahannya untuk
berkelit dengan menjatuhkan
diri dan bergulingan, sesudah
mana dengan gerakannya “Ikan
gabus meletik," ia lantas
berlompat bangun.
Justeru itu, ia melihat bahaya
mengancam si nona
kawannya itu.
"Encie, jangan bingung,
aku datang!" ia lantas berseru.
615
"Mana kau dapat?"
berseru Sin Cu dengan pertanyaannya,
agaknya ia terperanjat.
Ia baru menanya atau ia dengar
suara angin menyambar,
sebab dengan berani bocah itu
berlompat kepada musuh,
yang ia serang dengan mendadak
itu.
Poan Thian Lo repot, karena ia
lagi menyerang Sin Cu.
Kalau ia menyerang terus,
mesti ia kena dihajar bocah itu.
Inilah ia tidak
menghendakinya. Maka itu ia tarik cambuknya,
untuk dipakai membela diri.
Ketika ini digunai Sin Cu
untuk menolong dirinya. Dengan
pedang di depan dada, ia turun,
untuk menaruh kaki. Tapi
Poan Thian Lo benar-benar
sebat, dia dapat menyerang pula,
ke arah jalan darah soankie
hiat, setelah mana ujung
cambuknya menyambar terus ke
arah Siauw Houwcu.
Berbahaya sekali bocah itu,
dalam halnya ilmu enteng
tubuh, ia kalah dari Sin Cu,
maka sulit untuk ia membebaskan
diri. Si nona pun kaget bukan
main, hatinya cemas.
Adalah di saat sangat
mengancam itu, tiba-tiba cambuk
Poan Thian Lo mental
nyam-ping. Di antara mereka lantas
terlihat Hek Moko, yang
sembari tertawa terbahak-bahak
memuji si bocah: "Bagus,
Siauw Houwcu! Pukulan Naga kau
ini benar-benar ada ajaran
gurumu!"
Memang juga Siauw Houwcu
menyerang dengan Liongkun,
pukulan Naganya itu, hanya
sebab kalah tenaga, ia kena
dibikin terpental lawannya, ia
justeru malu sendirinya, karena
ia anggap gurunya itu
menterta-wai padanya, ia dapatkan
tubuh lawannya miring. Jadi ia
telah kena menghajar musuh
jago itu, meski tidak hebat.
Sekarang barulah ia tahu, gurunya
memuji ia dengan
sebenar-benarnya.
616
Pertarungan berjalan terus.
Hek Pek Moko telah mendesak
Poan Thian Lo dan Ismet dan
Akhmad. Dua saudara ini,
dengan mendapatkan bantuannya
Poan Thian Lo, menjadi
mendapat hati, hingga mereka
sanggup membuat perlawanan
dengan sama serunya.
Poan Thian Lo tidak puas, maka
tanpa memikir panjang
lagi, ia memberikan tanda
dengan siulannya, atas mana
murid-muridnya di kedua
pinggiran lantas menghunus
senjatanya masing-masing,
semua meluruk untuk mengepung.
Hek Moko melihat ancaman
bahaya itu.
"Sin Cu, kau lindungi
tuan puteri, kau menerjang keluar!" ia
teriaki si nona.
"Marilah kita berlalu
bersama-sama!" mengajak Toan Teng
Khong.
"Tidak!" menyahut
Hek Moko. "Tidak dapat tidak, aku mesti
menghajar dulu binatang
ini!"
Sin Cu sudah lantas
mendampingi puteri Iran itu, dengan
pedang di tangan ia menunjuki
roman bengis.
Puteri itu pun agung, ia tidak
jadi kecil hati karena bahaya
yang mengancam itu. Untuk
beberapa tahun, ia pernah belajar
silat di bawah pimpinan
suaminya. Bahkan sambil bersenyum,
ia kata pada suaminya itu:
"Kau tidak usah pedulikan aku!
Apakah kau senang membiarkan
satu bocah membantu kau
menerjang?"
Siauw Houwcu memang telah
berpisah pula. Ia sudah
lantas menghunus goloknya
golok Bianto yang ia cekal di
tangan kiri, karena dengan
tangan kanannya ia bersilat
617
dengan Loo Han Kun ajarannya
Hek Pek Moko. Dengan golok
itu ia bersilat dengan ilmu
golok Ngohouw Toan-bun too. Ia
berkelahi dengan bengis sekali
hingga murid-muridnya Poan
Thian Lo tidak berani
merapatkan dia. Sayangnya untuk ia, ia
masih belum cukup ulat. Maka
kemudian ia kena dirintangi
juga oleh banyak musuh, yang
bersenjatakan tombak. Tapi ia
tidak kenal mundur, walaupun
sudah mandi keringat, ia
bertempur terus.
"Sungguh, tidak kecewa
dia menjadi puteranya Thio Hong
Hu!" Sin Cu memuji degan
kekaguman menyaksikan
kegagahan orang.
Toan Teng Khong telah menerima
baik anjuran isterinya,
begitu ia menghunus pedangnya,
begitu ia lompat maju
menerjang. Dan begitu lekas
juga, beberapa musuh roboh di
ujung pedangnya.
"Dengan baik hati aku
melayani kau, kenapa kaumelukai
pengikut-pengikutku?"
Poan Thian Lo menegur.
"Terima kasih, Hoan
ong" menjawab Teng Khong. "Kalau
benar Hoan ong bermaksud baik,
mengapa kau tidak
membubarkan sekalian
pengiringmu ini? Kenapa kau
merintangi kami? Tentang
kebaikanmu, nanti saja setibanya
kami di Pakkhia, kami
melaporkannya kepada sri baginda
raja!"
Teng Khong bicara dengan
bahasa Tionghoa yang kaku,
maka kata-katanya ini yang
bersifat menyindir terasa lebih
menusuk kuping, dari itu, Poan
Thian Lo menjadi gusar bukan
main. Tapi ia mesti mendongkol
saja, untuk menghampirkan
orang dan menyerangnya, ia
tidak sanggup. Kedua tongkatnya
Hek Pek Moko tetap tengah
mengurung padanya.
618
Toan Teng Khong tersohor
sebagai ahli pedang nomor satu
di Iran, ia merangkap kedua
kepandaian Timur dan Barat, ia
menjadi hebat sekali. Sebentar
kemudian, lagi beberapa orang
roboh sebagai kurban
pedangnya.
San Cu dapat lihat orang
menggunai pedang dengan jarang
sekali menyabet, selalu dengan
menikam, maka gerakannya
Teng Khong ada cepat sekali.
Ia anggap ilmu silat orang ada
baik sekali walaupun, tidak
dapat dibandingkan dengan
Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari
gurunya.
Dalam pertempuran dahsyat itu,
tiba-tiba terdengar
mengaungnya senjata rahasia.
Segera ternyata, itulah
serangannya Bong Goan Cu, adik
seperguruan dari Poan Thian
Lo. Dia telah menggunai gelang
perak di lengannya. Tapi dia
menyerang dengan tubuhnya
rebah di tanah. Tinjunya Hek
Moko membikin dia tidak dapat
merayap bangun. Meskipun
dia tidak bisa jalan,
tangannya masih dapat menggunai
senjata rahasianya itu.
Begitulah kedua tangannya menyerang
dengan enam buah gelang
peraknya.
Toan Teng Khong kaget sekali
waktu tahu-tahu ada senjata
rahasia yang menyambar ke
arahnya. Ia lekas-lekas
menangkis dengan pedangnya.
Senjata rahasia itu kena
terpukul, lalu mental.
Celakanya, dengan mengasi dengar
suaranya yang luar biasa,
gelang itu mental nyambar puteri
Iran. Tentu sekali, ia menjadi
bertambah kaget. Di saat ia
hendak berlompat, akan
menolongi isterinya, mendadak tiga
buah gelang yang lain
menyambar pula ke arahnya.
"Celaka!" ia
mengeluh.
Akan tetapi, tidak usah
pangeran ini menangkis atau
berkelit, enam buah gelang itu
telah runtuh sendirinya, jatuh
ke tanah. Sebab Ie Sin Cu
sudah menolongi dia menimpuknya
619
hingga semua senjata rahasia
itu jatuh. Dan caranya si nona
menimpuk tepat menuruti
caranya Ismet dan Akhmad tadi!
Bukan main gembiranya Sin Cu
yang ia dapat meniru cara
orang itu. Mengikuti
kegembiraannya itu, ia lantas gunai
semuanya tujuh puluh dua biji
bunga emasnya, untuk terus
menyerang murid-muridnya Poan
Thian Lo. Mereka itu
berjumlah kira lima puluh
orang, kecuali yang dirobohkan
Toan Teng Khong dan Siauw
Houwcu, masih ada sisa tiga
puluh lebih orang dan mereka
ini, semua roboh di tangannya
si nona. Hingga ia cuma
menggunai tak ada separuh dari
senjata rahasianya itu.
Habis menyerang dengan cepat
Sin Cu jalan mengitari
kalangan, untuk memungut
pulang semua bunga emasnya itu.
Pertempuran di antara Hek Pek
Moko melawan musuhmusuhnya
berlangsung terus, keadaan
mereka kedua pihak
agaknya berimbang. Maka juga,
menyaksikan itu, Sin Cu tidak
mendapat duga kapan akan
akhirnya itu.
" Cianp wee marilah kita
berlalu!" akhirnya Sin Cu
menyerukan dua saudara Moko
itu, mengajak mengangkat
kaki.
Kedua saudara Moko itu tertawa
bergelak, keduanya
menyahuti dengan berbareng:
“Inilah tandingan yang
setimpal! Inilah pertandingan yang
seumur hidupku mungkin sukar
diketemukan meski juga satu
kali saja! Maka itu baik kamu
membiarkan kami bertempur
sepuas-puasnya!"
Kata-kata mereka ini di
akhirkan dengan satu tangkisan
tergabung dari kedua tongkat
hijau dan putih dan golok
bengkung dari Ismet lantas
saja terhajar terlepas mencelat ke
620
atas. Akan tetapi Ismet
benar-benar liehay, belum sampai
datang serangan kepadanya, ia
sudah mencelat menyambuti
goloknya itu, hingga bersama
saudaranya dapat ia
merapatkan diri untuk
bertempur terlebih jauh. Kedua golok
mereka terus bergerak-gerak
mengimbangi kedua tongkat,
kadang-kadang mereka membalas
menyerang juga.
Poan Thian Lo adalah yang
terendah ilmu silatnya akan
tetapi dengan dapat bantuannya
dua saudara kembar yang
menjadi kawannya itu, ia bisa
bergerak dengan gesit untuk
memberikan bantuannya
mengepung dua saudara Moko itu.
Hingga berlima mereka menjadi
bertarung rapat sekali.
Sin Cu mendapat perasaan
sayang untuk tidak
menyaksikan pertempuran yang
istimewa itu, akan tetapi
kapan ia melihat cuaca, ia
menginsafi perlunya mereka
mengangkat kaki. Kalau umpama
touwsu mengirim bala
bantuan, tentulah sulit untuk
mereka menyingkir. Dari itu di
akhirnya ia berseru kepada dua
saudara Moko itu: "Baiklah,
kami akan menantikannya di
selat selatan sana!"
Di mana di situ sudah tidak
ada lainnya musuh dengan
merdeka Sin Cu beramai dapat
menyingkir dari benteng itu.
Sin Cu menarik tangannya si
puteri, sedang Toan Teng Khong
mendahulukan mereka untuk
mengambil kudanya yang bulu
merah atas mana ia sudah terus
menyem-plak, sedang
tangannya menuntun seekor kuda
lain yang sama warna
bulunya.
"Baik aku bersama Siauw
Houwcu menaiki kuda ini," Toan
Teng Khong bilang. "Kau
naiki itu kuda untuk sekalian
melindungi tuan puteri."
Kedua kuda ada kuda Persia
kenamaan, larinya pesat,
jalanan pegunungan yang sukar
di jalani itu tidak menjadikan
621
rintangan untuknya. Sebentar
kemudian mereka sudah tiba di
selat di sebelah selatan itu.
Toan Teng Khong lompat turun
dari kudanya.
"Bagaimana kau lihat
kedua ekor kuda ini?" sembari
tertawa ia menanya Siauw
Houwcu. "Jikalau kau suka kuda ini,
lain hari boleh aku
menghadiahkan padamu!"
Sin Cu bersenyum.
"Kedua kuda ini memang
tidak dapat dicelah," menjawab si
bocah, "hanya kalau
mereka hendak diadu dengan kudanya
encie ku, bedanya masih jauh
sekali!"
"Benarkah itu?"
menanya Teng Khong kurang percaya.
Belum lagi Siauw Houwcu
menyahuti, Sin Cu sudah
mengasi dengar siulannya yang
nyaring halus yang panjang,
yang berkumandang di selat
itu.
Mendengar suara itu, Teng
Khong terperanjat.
"Leluhurku beberapa
turunan pernah membilang hebatnya
ilmu silat Tionghoa, sekarang
aku percaya kebenarannya itu,"
ia berkata kagum.
"Sekalipun kau, nona, kau telah mempunyai
tenaga dalam yang liehay
ini."
Sin Cu tidak membilang suatu
apa, ia cuma bersenyum,
jawabannya telah diwakilkan
suara meringkik yang nyaring
dan keras dan panjang, lalu
tertampak lari mendatanginya
seekor kuda putih, lari pesat
dan melompati beberapa solokan,
akan sebentar saja tiba di
hadapan mereka.
Itulah Ciauwya Say-cu ma, yang
datang atas panggilan
majikannya.
622
Toan Ceng Khong menghela
napas.
"Orang Eropah membilang
Persia mempunyakan banyak
mustika, aku bilang, Tiongkok
kita, barulah negara kaya raya,"
ia berkata. "Lihat saja,
sekalipun kudanya pun begini
istimewa!"
Ie Sin Cu tertawa. Ia pondong
puteri untuk dikasi turun dari
kudanya.
Puteri itu menyekal tangan
orang erat-erat.
"Terima kasih!"
katanya dalam bahasa Tionghoa, yang
sedikit-sedikit ia dapat pelajari
dari suaminya. Suaranya itu
kaku tetapi toh enak
didengarnya.
Sin Cu bersenyum.
Lalu, dengan kata-kata
Tionghoa yang ia tahu, dibantu
sama gerakan tangannya, puteri
itu mencoba memasang
omong dengan nona kita.
Sin Cu menanyakan kenapa
puteri ini datang ke Tiongkok.
Tidak dapat puteri memberi
keterangan jelas, maka ia minta
Teng Khong membantu bicara. Ia
agaknya senang sekali
dengan suami asingnya ini,
karena memang ada biasa untuk
wanita Persia yang berbesar
hati mempunyai kekasih,
sedikitpun ia tidak malu atau
likat.
Sin Cu pun girang, ia gembira
melihat suami isteri itu
bicara sambil dicampur sama
tanda-tanda dengan tangan,
tetapi kemudian, ia masgul
seorang diri. Lain orang telah
berpasangan, hidupnya
berbahagia, tetapi ia sendiri, ia masib
sebatang kara...
623
Siauw Houwcu tidak dapat kawan
bicara. Ia lari sana lari
sini, akan mencari
kesenangannya sendiri, ia pun sering
menoleh ke arah dari mana tadi
mereka datang. Lama rasanya
sudah lewat, mendadak dia
berseru: "Lihat, kedua guruku
telah datang. Kelihatannya
mereka gembira sekali, pasti
mereka telah peroleh
kemenangan!" Dan ia lantas tertawa
terbahak-bahak.
Memang di sana terlihat Hek
Pek Moko mendatangi dengan
laratkan kuda mereka. Dari
jauh cambuk mereka itu telah
dibulang-balingkan, kemudian
terdengar suara tertawa mereka
riang gembira.
Sin Cu semua berpaling, lantas
ia lari bersama Siauw
Houwcu untuk memapaki.
Segera juga kedua saudara Moko
telah sampai, keduanya
lantas lompat turun dari kuda
mereka. Mereka pun tertawa
dengan gembira sekali.
"Kali ini pertempuran
barulah mempuaskan sekali!"
keduanya berseru. "Sudah
belasan tahun yang kami belum
pernah menemui tandingan
seperti kali ini!"
"Ceritakanlah, suhu ,
untuk kami mendengarnya!" berkata
Siauw Houwcu yang pun girang
luar biasa.
Hek Moko menoleh kepada Sin
Cu.
"Pada sepuluh tahun yang
lalu kami dua saudara pernah
bertarung dengan gurumu suami
isteri," ia berkata. "Kami
kena dikalahkan tetapi kami
kalah dengan puas. Kali ini kami
bertempur, kami menang dan
Ismet dan Akhmad dua saudara
juga kalah dengan puas
juga!"
624
"Dua saudara itu ada
harganya untuk dijadikan sahabat!"
berkata Pek Moko. "Cuma
sayang mereka tidak berpandangan
luas sebagai guru kamu nona,
setelah kalah mereka lantas
bersumpah akan pulang ke
negerinya untuk tidak mencampuri
lagi segala urusan
nganggur!"
"Yang paling memuaskan
adalah Poan Thian Lo si jahanam
itu!" berkata pula Hek
Moko, "Dia kena kuhajar dengan
tongkatku hingga tulang
kakinya patah! Siauw Houwcu, kau
pun boleh merasa puas!"
"Kabarnya Poan Thian Lo
itu bersama-sama Yang Cong Hay
ada murid-muridnya Cie Hee
Toojin," berkata Sin Cu.
Hek Pek Moko tertawa terbahak.
"Habis Cie Hee itu
bagaimana?" tanya mereka.
"Mustahilkah kami dan
gurumu berdua jeri terhadapnya? He,
Siauw Houwcu, mengapa kau diam
saja?"
"Kepalaku sedikit
pusing," menyahut murid itu.
Hek Moko menyambar tangan
orang untuk memeriksa
nadinya.
"Ah tidak beres!"
katanya.
"Dia telah kena makan
obat pengganggu urat saraf,
sesudah itu dia pun kena makan
bisa yang diberikan oleh
gadisnya touwsu," Sin Cu
memberitahukan.
"Obat pengganggu urat
saraf itu sudah dipunahkan,"
berkata Hek Mako.
"Bagaimana dengan bisa itu?"
"Turut apa yang aku
dengar," Sin Cu memberi keterangan,
"bangsa Biauw suka
memelihara pelbagai macam binatang
625
berbisa mereka taruh semua
binatang itu dalam sebuah paso
besar, semuanya dibiarkan
saling membunuh hingga tinggal
semacam binatang yang hidup
sendiri. Binatang itu ditumbuk
dijadikan bubuk, bubuk itu
dibikin menjadi semacam obat,
jikalau itu dicampur dalam air
teh atau di dalam sayur atau
nasi dan dikasikan orang minum
atau makan, di dalam waktu
yang tertentu, umpamanya
seratus hari atau satu tahun, bisa
itu akan bekerja, dengan
begitu celakalah si kurban kecuali dia
ditolong oleh orang yang
mera-cuninya sendiri."
Pek Moko menjadi gusar sekali.
"Kalau begitu mari kita
kembali!" ia berseru. "Kita mesti
ubrak-abrik rumahnya touwsu
itu dan paksa si wanita siluman
mengeluarkan obat
pemunahnya!"
"Bukan, dia bukannya
wanita siluman," Siauw Houwcu
bilang, "Ketika itu hari
aku dilukai oleh Poan Thian Lo dan
Bong Goan Cu, selama setengah
bulan, aku dirawat nona itu."
Sin Cu segera menaruh jari
tangannya di mukanya.
"Siauw Houwcu ada punya
liangsim yang baik sekali,"
katanya, menggoda, "dia
menyayangi isterinya itu!..."
"Siapa bilang dialah isteriku?"
Siauw Houwcu membentak.
"Bukankah kita telah
membilangnya bahwa kami telah putus
hubungan?"
"Eh, bagaimana duduknya
hal ini?" Hek Pek Moko tanya
heran.
"Dia telah dipeda-yakan
dan dinikahkan," berkata Sin Cu
yang terus menuturkan duduknya
hal. Tapi, ketika menutur
sampai di bagian mengacau
kamar pengantin, nona ini jengah
sendirinya.
626
Hek Pek Moko lantas tertawa
lebar.
"Jikalau menuruti adatku
dulu-dulu, touwsu itu mesti
diubrak-abrik!" berkata
Hek Pek Moko kemudian, romannya
sungguh-sungguh, "tetapi
sejak aku bersahabat dengan
gurumu itu, perangaiku dapat
aku ubah banyak. Mendengar
keterangan kau, rupanya gadis
touwsu itu juga dijadikan
pekakasnya Poan Thian Lo, maka
itu, tidak perlu kita
mengganggu padanya. Aku tidak
percaya di dalam dunia ini
ada racun yang tidak dapat
dipunahkan!"
Hek Pek Moko pernah
mengidarkan seluruh India, sudah
merantau luas di Persia,
Tiongkok dan beberapa negara timur
lainnya, mereka telah
perhatikan pelbagai macam obat di
negara-negara itu, lebih-lebih
Hek Pek Moko, ia paling
memperhatikan
penyakit-penyakit yang aneh, ia jadi lebih
mengarti daripada saudaranya
itu. Maka ia lantas menyuruh
Siauw Houwcu duduk bersila,
terus ia memeriksa pula. Di
akhirnya ia tertawa.
"Bisa ini benar berbahaya
tetapi dia tidak dapat mencelakai
orang yang faham yoga,"
katanya. "Sin Cu, pergi kau lebih
dahulu bersama tuan puteri,
nanti aku bebaskan Siauw
Houwcu dari bisa yang
menyerangnya, kemudian kita nanti
menyusul kamu."
Sin Cu menurut, maka ia lantas
berlalu bersama puteri Iran.
Hek Pek Moko juga sudah lantas
bekerja, akan uruti Siauw
Houwcu.
Lekas sekali bocah ini
merasakan hawa panas pindah dari
tangan gurunya ke tubuhnya
sendiri, sudah panas, ia pun
sampai bernapas memburu.
627
"Mainkan napasmu,"
Hek Moko ajari muridnya.
Siauw Houwcu menurut, ia
menenangkan diri, ia bernapas
dengan beraturan, dengan
pelahan. Inilah sama dengan
pelajarannya setiap hari,
untuk merapikan jalan napasnya itu.
Mulanya ia merasakan sulit
akan mengendalikan napasnya itu,
lama-lama barulah ia merasa
lega. Lewat lagi sekian lama, ia
merasakan dalam perut seperti
ada kutu bergerak-gerak,
perutnya itupun mengasi dengar
suara gerijukan.
"Sudah!" berkata Hek
Moko setelah menyaksikan
perubahan pada muridnya.
"Nah, pergilah kau ke sana
membuang air besar!"
Siauw Houwcu menurut, ia pergi
jongkok. Banyak ia
mengeluarkan kotoran. Ketika
ia kembali pada gurunya, ia
diberikan obat makan.
Tiga hari Siauw Houwcu mesti
membuang tempo, untuk
dirawat terus oleh kedua
gurunya bergantian, selama itu ia
terus bersamedhi, maka akhir-akhirnya
bukan melainkan
racunnya lenyap, tubuhnya pun
menjadi semakin tangguh
berkat latihan tenaga dalam
itu. Sesudah itu bersama kedua
gurunya itu serta Toan Teng
Khong, ia melanjuti perjalanan
untuk menyusul Sin Cu dan
puteri Iran.
Sekeluarnya dari wilayah
bangsa Biauw, Hek Pek Moko
mengadakan pembicaraan
seturuhnya. Mereka mengusulkan
untuk pergi dahulu ke Khong
San, guna mencari Tan Hong
suami isteri. Di kaki gunung
Khong San itu pun ada wilayah
Tali, negara atau kampung
halamannya Toan Teng Khong.
Teng Khong setujui usul itu.
Memang selama beberapa hari
bergaul, dari Sin Cu dan Hek
Pek Moko juga, ia telah dengar
perihal Thio Tan Hong itu
orang macam apa hingga ingin ia
berkenalan dengan orang she
Thio itu suami isteri. Ia
628
merasakan, pengalaman dan hal
ikhwalnya sendiri sama
dengan penghidupan yang penuh
derita dari Tan Hong itu,
yang juga pernah merantau di
negara orang.
Setelah mendapat kesetujuan,
Hek Moko mengusulkan pula
untuk mereka memecah
rombongan. Rupa mereka beda satu
dari lain, saudaranya dan ia
sendiri pun ada apa yang
dinamakan "orang-orang
yang dicari pemerintah," jadi dengan
jalan mencar, mereka tidak
bakal menarik perhatian umum
dan akan bebas dari kecurigaan
orang.
Usul ini pun dapat kesetujuan
umum. Maka mereka lantas
memisah diri. Ie Sin Cu
berjalan bersama Siauw Houwcu.
Toan Teng Khong tetap bersama
isterinya. Dan Hek Pek Moko
tetap berdua dengan mereka
jalan paling belakang, untuk
sekalian melindungi pasangan
bangsawan itu. Kalau di depan
ada musuh, Sin Cu akan memberi
kisikan, dan apabila di
belakang ada pengejar, dua
saudara Moko yang akan
bertahan.
Hek Moko memberikan Sin Cu
beberapa batang hiangcian,
yaitu panah bersuara.
"Umpama kata kau menemui
musuh di waktu siang, kau
lepaslah panah putih
ini," si Moko Hitam memesan, "Di waktu
malam, kau mesti melepas ini
panah hitam. Panah ini tidak
melainkan suaranya dapat
terdengar sejauh beberapa lie, juga
akan mengeluarkan sinar api
biru, hingga di waktu malam
gampang terlihat dan
dikenali."
Sin Cu simpan anak-anak panah
itu.
Toan Teng Khong puas hatinya
menyaksikan pelindung ini
pandai bersiaga.
629
Di waktu berangkat, Sin Cu
ajak Siauw Houwcu bersama
menaiki kuda putihnya. Mereka
melintasi tanah datar
perbatasan Inlam dan Kuiciu,
lalu masuk ke dalam propinsi
Inlam. Mereka merasa beruntung
tidak pernah mereka
menemui sesuatu halangan
hingga panah mereka tidak usah
digunakan. Mereka senang
dengan perjalanan ini. Dibanding
dengan Sin Cu, usia Siauw
Houwcu lebih muda tiga tahun,
tubuhnya pun lebih kate
(pendek) sebatas pundak si nona. Di
tengah jalan mereka omong
banyak satu dengan lain, mereka
memanggil kakak dan adik.
Mereka banyak bicara tentang
ilmu silat, hingga mereka
tidak perna kesepian.
Lewat beberapa hari mereka
mulai berjalan di jalan umum
dari kota Kunbeng. Di sini mereka
jadi semakin tak berkuatir
lagi.
"Karena kuatir kita nanti
terpisah terlalu jauh, dalam
beberapa hari ini kita berdua
tidak berani membiarkan
kemerdekaannya kuda kita,
pasti si putih sudah pepat
pikirannya," berkata Nona
Ie.
Siauw Houwcu bersenyum.
Sin Cu mengeprak kudanya
dengan tali lesnya, yang ia
terus kendorkan, maka tidak
ayal lagi, kuda putihnya sudah
lantas membuka ke empat
kakinya, untuk berlompat lari,
hingga di lain saat, mereka
telah tinggalkan jauh di belakang
pohon-pohon dan rumah-rumah yang
berada di kedua tepi
jalan besar.
Siauw Houwcu mempeluki
pinggang si nona.
"Enak, enak!"
serunya kegirangan disebabkan kaburnya
kuda mereka. "Ha, kita
menjadi mirip dengan dewa dewi yang
melayang naik di
udara!..."
630
Sin Cu tertawa. Ketika
kemudian nona ini menahan les
kudanya, mereka telah berada
di luar kota Kunbeng, ibukota
propinsi Inlam. Tembok kota
sudah ada di dalam pandangan
matanya.
Kunbeng adalah kota yang
keadaannya cocok dengan
pribahasa "Empat musim
seperti musim semi." Itu waktu
sudah di pertengahan bulan ke
delapan tetapi di luar kota itu,
pohon bunga ada bagaikan
sulaman, sedang di dalam kota,
suasana kota ramai sekali dan
di mana-mana kedapatan
pohon-pohon bunga, sedang
gunung See San nampak
bagaikan seorang wanita cantik
tengah rebah miring.
"Bagus sekali kota ini,
kita harus pesiar di sini lebih lama
dua hari!" berkata Siauw
Houw-cu.
"Mereka akan sampai di
sini sedikitnya nusa, kau dapat
pelesiran dengan puas,"
Sin Cu bilang.
Mereka masuk ke dalam kota
setelah mengitarkan itu,
untuk mempuaskan mata mereka,
setibanya di dalam,
mereka menuju ke pusat kota
untuk lantas mencari rumah
penginapan. Di luar hotel
mereka meninggalkan tanda.
Besoknya pagi Sin Cu sudah
lantas dapat keterangan
perihal tempat-tempat yang
kesohor dari kota Kunbeng, maka
sambil tertawa ia kata pada
Siauw Houwcu: "Eh, bocah nakal,
hari ini aku beri cuti satu
hari padamu! Mari kita pergi ke
taman Taykoan Wan, lohornya
kita pergi ke See San! Hanya
ingat, aku larang kau main
gila!"
"Belum lagi aku
mengangkat guru kepada Thio Tayhiap,
kau sudah mau tunjuk
pengaruhmu sebagai kakak
seperguruan!" berkata
Siauw
Houwcu. "Aku justeru
hendak main gila!"
631
"Jikalau kau main gila,
aku tidak akan ajak padamu!"
mengancam si nona. "Aku
pun tidak akan ajarkan kau ilmu
dalam Hiankong Yauwkoat!"
"Bagus!" seru bocah
itu. "Belum-belum kau sudah
mengancam tidak mau
mengajarkan ilmu padaku! Baiklah, aku
akan dengar perkataanmu!"
Pesan terakhir dari Thio Hong
Hu menghendaki Siauw
Houwcu, puteranya itu,
diterima Tan Hong sebagai murid, ini
pun maksudnya Hek Pek Moko
mengantar puteri Iran ke Tali,
ialah sekalian menjenguk Thio
Tan Hong. Hal ini diketahui Sin
Cu begitupun Siauw Houwcu,
maka si bocah nakal sudah
lantas akuh Sin Cu sebagai
sucie, kakak seperguruannya.
Taykoan Wan ada taman terindah
dari kota Kunbeng,
begitu memasuki pintu lantas
terlihat banyak bunga serta bau
harumnya. Di situ ada dua buah
telaga yang kedua tepinya
ditanamkan pohon-pohon yangliu
di antara mana orang dapat
mundar-mandir. Di situ juga
ada dua buah pengempang
teratai, yang bunganya harum
semerbak.
Gembira Sin Cu berada di taman
indah ini setelah selama
satu tahun ia berjoang saja.
Ia merasa seperti ia telah kembali
ke kampung halamannya di
telaga Thayouw.
Di dalam taman pun ada
lauwteng atau ranggon Taykoan
Lauw, berada di atas itu orang
dapat memandang ke
sekitarnya sejauh lima ratus
lie, untuk menikmati
pemandangan alam yang luas dan
menarik hati, yang mirip
dengan keindahan di Kanglam.
Sin Cu tersengsam hingga
tanpa merasa ia ingat
pertemuannya pertama kali dengan Tiat
Keng Sim di sungai Tiangkang.
Ia jadi bagaikan bermimpi...
632
"Eh, encie, kau
kenapa?" Siauw Houw-cu menegur
menyaksikan orang diam saja.
"Tidak apa-apa,"
menyahut si nona, pelahan.
"Sinar matamu tidak dapat
mendustai aku, encie1." kata si
nakal. "Kau mesti tengah
memikirkan sesuatu! Kenapa kau
tidak sudi memberitahukan itu
kepadaku?" Ia lantas bawa jarijari
tangannya ke mukanya, untuk
goda kawan itu.
Mau tidak mau, Sin Cu tertawa.
Bocah nakal itu Jenaka
sekali.
"Anak kecil tahu apa
tentang orang tua!" katanya. "Jangan
main gila!"
"Hai, berapa tua sih kau
ada, encie?" tanya bocah "Kau
sudah lantas bawa lagaknya si
orang tua! Mari berdiri, untuk
kita mengukur tubuh kita.
Lihat, apakah kau bukan sama
tingginya dengan aku?"
Ia mendekati, untuk berdiri
berendeng, guna mengukur
tingginya mereka. Sin Cu
menolak tubuh orang.
"Siapa sedang memikirkan
sesuatu!" katanya. "Jangan kau
main gila!"
Justeru itu di bawah ranggon
terdengar suara gembreng
ramai.
"Ha, di sana ada yang
main sulap!" kata Siauw Houwcu,
yang sudah lantas melongok ke
bawah. "Mari kita lihat! Kau
nanti hilang kemasgulanmu,
encie."
"Kemasgulan apa perlu aku
melenyapkannya?" Sin Cu
berkata.
633
Meski ia berkata begitu, ia
turut Siauw Houwcu turun di
tangga. Bocah itu sudah
mendahului ia lari turun.
Di sebuah tanah terbuka ada,
seorang tua dan seorang
nona, yang rupanya ada ayah
serta gadisnya. Orang tua itu
menggubat kepalanya dengan
sabuk putih dan si wanita muda
memakai semacam sarung.
Dandanannya mereka sebagai
orang suku bangsa Ie. Si
nona tengah mengasi
pertunjukan makan pedang, ialah
pedangnya yang panjang dia
masuki ke dalam mulutnya
sebatas gagangnya. Setelah
mencabut keluar pedang itu,
terus dia menyerang sebatang
pohon, hingga pedang itu
nancap dalam beberapa dim.
Inilah untuk menunjuki pedang
itu bukannya pedang lemas.
Semua penonton lantas saja
bersorak. Si orang tua
mengangkat nampannya dari
kuningan.
"Masih ada permainan yang
terlebih menarik!" berkata dia,
"Tuan-tuan penonton
sudilah memberikan sedikit uang!"
Penonton belum banyak, setelah
jalan sekitaran, orang tua
itu dapat uang saweran belum
ada satu tail. Kemudian ia pergi
ke depan Sin Cu.
Nona Ie merogo sakunya, atau
mendadak air mukanya
menjadi merah. Nyata ia lupa
membawa uang dan di sakunya
cuma ada belasan tangkhie.
Mana dapat ia menyawer
demikian sedikit?
"Kasilah seberapa saja,
nona," berkata si orang tua.
Sin Cu likat, maka ia cabut
tusuk kondenya, yang terbuat
dari batu kumala,
"Ambillah ini!" katanya seraya meletakkan
634
tusuk konde itu ke dalam
penampan, atau mendadak ia
menjadi tercengang. Itulah
warisan ibunya. Bagaimana itu
dapat diberikan kepada lain
orang?
Si orang tua menjumput tusuk
konde itu, ia pun agaknya
heran. Seumurnya ia merantau,
belum pernah ia memperoleh
saweran barang perhiasan,
sedang kumala ini berharga
sedikitnya seratus tail perak.
Tiba-tiba seorang muda tertawa
dan berkata: "Nona ini
royal sekali! Sampai barang
pesalinnya pun dia dermakan!..."
Nona kita memang sedang
berduka, mendengar suara
orang itu ia menjadi
mendongkol.
Ia memotes selembar daun
yangliu, ia mementil itu. Ia
belum meyakinkan ilmu itu
dengan sempurna tetapi ketika
daun itu menyamber lengan si
anak muda, dia berkaok
"Aduh!" dan
tangannya bertanda merah. Anak muda itu heran
sekali, tidak tahu ia sebabnya
itu, tapi lekas-lekas, ia angkat
kaki pergi menyingkir.
Si tukang sulap pegang tusuk
konde, setelah mengawasi
sekian lama, ia tertawa dan
berkata: "Budakku ini tidak pantas
memakai tusuk konde kumala
ini. Usianya pun masih terlalu
muda. Kalau tidak, cocok ini
untuk dijadikan pesalinnya nanti.
Nona, kau baik sekali, aku
sangat berterima kasih kepadamu,
hadiahmu ini tidak berani aku
terima. Baiklah nona mengasi
aku beberapa bun saja."
Sembari tertawa, ia
menyerahkan pulang tusuk konde itu.
Sin Cu menyambuti kulit
mukanya bersemu dadu. Ia lantas
merogo semua uang
tangkhie-nya, diletaki di dalam
penampan.
635
Atas itu para,penonton pada
bersorak. Di samping tukang
sulap ini ada seorang penjual
mieshoa matang, ialah yang
disebut mieshoa Inlam,
dapurnya sedang marong apinya, si
nona tukang sulap itu masuki
pedangnya ke dalam api,
setelah menjadi merah, ia
serahkan itu pada ayahnya.
Ayah itu menyambuti. pedang
itu ia kibasi, hingga letikan
apinya beterbangan, kemudian
sambil tertawa, ia kata:
"Pertunjukan yang lebih
menarik inilah dianya! Lihat!" Ia
masuki pedang panas itu ke
dalam mulutnya, sampai di batas
gagang. Ia memasukinya dengan
pelahan-pelahan. Mendadak
saja ia memuntahkannya atau
pedang itu berloncat keluar.
Dengan lantas ia masuki pedang
itu ke dalam air di tahangnya
si tukang mieshoa, lantas air
itu mendidih dan berbunyi, suatu
tanda pedang itu masih panas
sekali. Asapnya pun mengepul
naik.
Semua penonton kagum hingga
mereka menjublak, hingga
tidak lagi mereka perhatikan
si nona.
"Ah, ilmu apakah
itu?" bertanya Sin Cu.
“Ilmu sulap biasa,
palsu," berbisik Siauw Houwcu di kuping
orang.
"Bagaimana bisa
menjadi?" si nona tanya pula.
Siauw Houwcu menarik tangan si
nona, untuk diajak pergi
sedikit jauh.
"Sulap ini sering aku
saksikan di India," katanya. “Ilmu itu
ilmu palsu tetapi benar untuk
meyakinkan itu dibutuhkan
waktu delapan sampai sepuluh
tahun. Mereka dapat
mempelajari segala macam
senjata, asal turunnya di
tenggorokan tidak bergoyang
tidak nanti dia dapat melukakan
orang."
636
"Tetapi pedang itu telah
dibakar hingga marong?" si nona
menanya.
"Tukang sulap itu lebih
dulu, telah menyimpan sarung
pedang di dalam tenggorokannya
itu," Siauw Houwcu
menerangkan pula, "pedang
dikasi masuk ke dalam sarung itu
maka ia tidak terbakar."
Sin Cu mau percaya keterangan
ini tetapi ia tetap heran.
Ilmu sulap itu adanya di
India, dari mana si tukang sulap
pelaja-rinya? Mereka ini pun
ada orang Ie sedang ketika itu
perhubungan India-Tiongkok
belum maju. Memang jarak
propinsi Inlam dan India cuma
terselang Birma tetapi orang
yang mundar-mandir ada sangat
jarang. Orang Ie itu, dalam
hal kepindahan, ada terlebih
kukuh daripada bangsa
Tionghoa umumnya, apa mungkin
dia melakukan
perjalanan ribuan lie untuk
mempelajari ilmu sulap itu? Meski
ilmu menelan pedang itu tipu
belaka tetapi gerak-gerik si
orang Ie menandakan dia
mengarti ilmu silat. Kalau dia
mengandali main sulap saja,
kenapa dia menampik tusuk
konde?
Selagi nona ini merasa aneh,
si orang Ie sendiri merasa
kecele. Ia sudah mengasikan
pertunjukan menelan pedang
panas itu, penonton yang berkerumun
tidak menjadi
bertambah dan uang saweran di
dalam penampannya cuma
seratus bun lebih serta
beberapa potong perak hancur.
"Apakah kau baru pernah
datang ke kota Kunbeng ini?"
menanya seorang penonton.
"Kenapa kau tidak ketahui
hari ini ada hari rampungnya
berhala Senghong bio? Semua
penduduk Kunbeng pergi
637
melihat keramaian. Baik kau
pun pergi ke sana untuk
membuka pertunjukanmu."
Sin Cu heran mendengar
perkataan itu. Senghong bio
berarti kuil dari si malaikat
kota. Malaikat kota bukan malaikat
yang terlalu agung. Kenapa
seluruh penduduk kuil
memerlukan sangat malaikat
itu? Mungkinkah Senghong di
Kunbeng beda dari Senghong
lainnya?
Hampir itu waktu terdengar
ramai suara gembreng dan
tambur tercampur terompet,
begitu juga berisiknya suara
banyak orang.
"Nah, Senghong merondai
kota, mari kita lihat!" berseru
satu orang.
Itu artinya arak-arakan
toapekong atau malaikat.
Kali ini si tukang sulap
lantas saja bebenah dan berlalu dari
situ.
"Encie, mari kita pun
melihat!" Siauw Houwcu mengajak.
"Seng Hong di kolong
langit ini semuanya sama, tidak lebih
dari-
Ayah itu menyambuti, pedang
itu ia kebasi, hingga letikan
apinya beterbangan, kemudian
sambil tertawa, ia berkata:
"Pertunjukan yang lebih
menarik inilah dianya! Lihatlah!" Ia
memasuki pedang panas itu ke
dalam mulutnya, sampai di
batas gagang. Ia memasukinya
dengan pelahan-pelahan. pada
sepotong boneka kayu, ada
apakah yang bagus dilihat?" sahut
Sin Cu tertawa. "Apakah
di kampungmu belum pernah kau
menyaksikan arak-arakan
toapekong?"
638
"Kita bukan melihat
toapekong, kita melihat keramaian
saja," Siauw Houwcu
mengasi penjelasan.
"Dasar bocah gemar
ramai-ramai!" tertawa pula si nona.
Sebenarnya Sin Cu pun ingin
melihat, ia hanya ragu-ragu,
karena ini, ia bersama Siauw
Houwcu berlalu paling belakang
dari taman itu. Kesudahannya
ia mesti mendesak-desak di
antara orang banyak yang
berjubalan.
Kapan akhirnya Nona Ie
mendapat lihat wajah Senghong
atau malaikat kota itu, hampir
ia menjerit bahna herannya. Ia
tampak suatu wajah bundar
bagaikan rembulan penuh,
jubahnya tersulam, tangannya
memegang hut atau tanda
kepangkatan. Kedua mata
bagaikan matanya orang hidup.
Itulah suatu roman halus
tetapi agung. Dan itulah wajah dari
ayahnya, almarhum Ie Kiam!
(Menurut keterangan, Senghong
bio di Kunbeng Kunming memang besar
dan agung hanya
sekarang digunakan untuk lain
keperluan, dan Senghong atau
malaikatnya memang dituliskan
namanya Ie Kiam.)
"Encie, apakah kau kurang
sehat?" tanya Siauw Houwcu
heran.
"Tidak," menyahut si
nona.
"Nah, kenapa kau
menangis?"
Sin Cu lekas me-nyusuti air
matanya.
"Aku biasa mengeluarkan
air mata kalau terlalu girang," ia
menjawab pula.
Bocah itu lantas tertawa
lebar.
639
"Nah, kau suka katai aku,
kau sendiri sebenarnya lebih suka
menonton!" katanya.
Kali ini bocah ini tidak
mendapat jawaban, ia mendapatkan
si nona masih terbengong
mengawasi toapekong yang tengah
diarak itu.
***
"Siapakah Senghong Looya
itu?" akhirnya Sin Cu tanya
seorang di sampingnya.
"Senghong ialah Senghong
yaitu malaikat," menyahut
orang itu. "Nona,
pertanyaanmu aneh!"
Sin Cu melengak.
"Toh malaikat ini
ayahku!" pikirnya.
"Mungkinkah orang tak
leluasa menjelaskannya?" Maka ia
tanya lainnya hal:
"Siapakah yang membangun Senghong
bio?"
"Yang menderma kebanyakan
orang hartawan dan
saudagar besar," sahut
orang itu. "Siapa mereka itu, tidak
jelas bagiku. Ada apa kau
menanyakan ini?"
Kembali Sin Cu mendapatkan
pertanyaan yang tak dapat ia
jawab. Tapi ia tetap heran.
"Siapakah yang mengukir
patung Senghong itu?" tanyanya
pula.
"Kau baik menanya pada
kepala tukang kayu dan tukang
batu tak sempat aku
mela-yanimu!" kata orang itu, yang
lantas ngeloyor pergi.
640
Toapekong pun sudah lantas
diarak lewat.
"Encie, apakah kau sakit
kepala?" tanya Siauw Houwcu,
seraya ia terus raba dahi
orang. Tapi ia merasakan dahi yang
dingin. Sin Cu singkirkan
tangan orang.
"Jangan ngaco!"
katanya.
"Kau yang ngaco!"
kata Siauw Houwcu dalam hatinya. "Kau
tanya orang yang
tidak-tidak..." Tapi ia masgul melihat sikap
luar biasa dari kawannya ini.
Sebenarnya kacau pikirannya
Sin Cu. Ayahnya toh
dipandang sebagai pengkhianat.
Ayah itu dihukum mati dan
harta bendanya disita. Dunia
boleh penasaran tapi kaisar
berkuasa, orang bisa bilang
apa? Maka tidak disangka sekali,
di Kunbeng ini orang justeru
memuja Ie Kiam dan dihormat
sebagai malaikat kota,
patungnya dibikin begitu mirip dan
hidup, kuilnya dibangun secara
besar.
"Kota Kunbeng ini berada
jauh di Selatan tetapi masih tetap
dikuasai pemerintah kalau
pemerintah ketahui ini, bukankah
pembikin patung ini dan
pendiri kuilnya bisa ditangkap dan
disita rumah tangganya? Siapa
itu orang yang nyalinya begini
besar?" Sin Cu tanya
dirinya sendiri. Ia tidak ingat kalau-kalau
ayahnya ada punya sahabat di
sini. Pikirnya pula: "Aku tidak
sangka ayah dapat menjadi
Senghong di kota ini..."
Tanpa merasa nona Ie bertindak
mengikuti arak-arakan itu
terus sampai di kuilnya, yang
besar berlipat kali daripada yang
biasa terdapat di lain-lain
kota. Undakan ruang depan pun ada
tiga, setelah itu baru sampai
di toatian yaitu pendopo besar
tempat bersemayamnya malaikat
kota itu. Di sini segala apa
ada mentereng, tangganya pun
terbikin dari batu marmer,
mulai dari bawah payon ada
belasan undak. Dari dalam
641
pendopo, asap mengulak naik.
Di situ telah berjubal banyak
orang.
"Lihat, Siauwkongtia
datang!" seru banyak orang begitu
lekas terdengarnya suara
tetabuan patim.
"Siapa itu
siauwkongtia?" tanya Sin Cu kepada seorang tua
di dekatnya.
Orang tua itu tertawa.
"Di dalam kota Kunbeng
ini memangnya ada berapa
kokkong?" dia menyahuti.
"Siauwkongtia itu berarti
"paduka hertog yang muda" dan "
kokkong" ialah hertog.
Mendapat jawaban itu, Sin Cu
terkejut.
“Itukah Bhok Kokkong?"
dia tanya pula.
Orang tua itu mengangguk.
"Tidak salah,"
sahutnya. "Senghong bio ini ialah Bhok
Siauwkongtia yang
memperbarui."
Di muka tangga batu segera
terlihat dihentikan dan
diturunkannya sebuah joli
besar warna biru, dari dalam joli
muncul satu anak muda yang
romannya seperti pemuda
bangsawan, bibirnya merah,
giginya putih, usianya baru tujuh
atau delapan belas tahun,
wajahnya masih wajah kekanakkanakan.
Setibanya pemuda ini, siraplah
pendopo yang tadi
ramai itu. Pengacara pun
lantas berseru: "Bunyikan genta dan
tambur! Silahkan Malaikat yang
agung naik atas
kedudukannya!"
642
Kiranya pangeran yang muda ini
akan mengepalai upacara
selesainya pembangunan kuil dan
menyambutnya malaikat ke
gedungnya yang baru rampung
itu.
Sin Cu heran hingga ia merasai
ia tengah bermimpi.
Keluarga Bhok ini turun
menurun menjadi hertog
Kimkokkong dengan kedudukannya
di propinsi Inlam ini. Di
antara banyak panglimanya
Kaisar Cu Goan Ciang dari ahala
Beng, leluhurnya siauwkongtia
ini, yaitu Bhok Eng, adalah
yang paling berbahagia karena
dia sekalian menjadi anak
angkat dari kaisar itu.
Setelah berhasil menumpas apa yang
disebut "Pemberontakan
Liang Ong," dia dikur-niakan gelaran
raja muda Kimiengong. Habis
dia, semua turunannya dijadikan
hertog KimKokkong. Di a n t a
ra putera atau cucu keluarga
besar itu, ada beberapa yang
menjadi huma yaitu menantu
raja. Hingga di dalam kalangan
menteri-menteri, tidak ada
keluarga lainnya yang dapat mengimbangi
kebesarannya.
Sin Cu mempunyai ayah suatu
menteri, sendirinya ia
mengarti hikayat pemerintahnya
pemerintah Beng. Cu Goan
Ciang itu tidak mengenal budi,
setelah menjadi raja, dia suka
membunuh menteri-menterinya
yang berjasa, dia kejam tak
kalah daripada Han Khotouw
Lauw Pang, pendiri dari ahala
Han. Ada di antara menteri
berjasa yang melebihkan Bhok
Eng, umpama Cie Tat, Siang Gie
Cun dan Na Giok, tapi
mereka sendiri atau anak
cucunya, tidak langgeng
kedudukannya. Na Giok didakwa
berontak, dia dihukum mati
sampai kepada tiga tingkat
keluarganya. Putera Siang Gie Cun
terembet perkara Na Giok itu,
dia dikurniakan kematian. Cie
Tat ada menteri berjasa nomor
satu, dia diangkat jadi raja
muda Tiongsan Ong, dia punya
mempunyai surat bukti bebas
dari hukuman mati, toh
kemudian ketika pangeran Yan Ong
sebagai paman merampas
kedudukan keponakannya (kaisar
Beng Seng Couw) puteranya,
yaitu Cie Hui Couw, tak luput
dari pemecatan pangkat dan
kehormatan dan mesti mati
643
mereras di dalam penjara. Cuma
Keluarga Bhok ini, dengan
kedudukannya di Inlam ini,
paling beruntung.
"Kenapa siauwkongtia ini
berani membangun Senghong bio
ini?" Sin Cu heran.
"Apakah dia tidak takut pemerintah
mengetahuinya dan nanti
mendapat susah karenanya? Ini toh
ayahku yang dipuja, meskipun
disebutnya malaikat kota?
Bukankah pembangunan ini dan
upacaranya ada mentereng
luar biasa? Di samping itu,
herannya, belum pernah aku
mendengar ada hubungan apa-apa
di antara ayahku dengan
keluarga besar ini..."
Siauwkongtia sudah lantas
mengunjuki kehormatannya. Ia
memasang tiga batang hio.
Perbuatannya ini diturut oleh
banyak orang. Kecuali si
pangeran muda sendiri, di situ tidak
ada pembesar lainnya.
Sin Cu turut memberi
hormatnya. Dari tangan biokong,
pengurus bio, ia minta tiga
batang hio. Lantas ia menekuk
lutut, air matanya pun
mengem-beng. Sembari tunduk ia kata
dalam hatinya: "Ayah,
ayah dipuja sebagai malaikat, dihormati
rakyat jelata, ayah mati
bagaikan hidup!"
Siauwkongtia lihat orang
demikian ber-sungguh hati
bersujut, dia heran. Dia memanggil,
terus dia tanya: "Kau ada
punya kesukaran apa maka kau
menyampaikannya itu kepada
Senghong?"
"Tidak apa-apa,"
menyahut Sin Cu seraya menepas air
matanya. "Aku lihat kamu
sangat menghormati Senghong,
hatiku jadi tergerak sekali
dan terharu, hingga tidak dapat aku
menahan keluarnya air
mataku."
Siauwkongtia masih heran, ia
sebenarnya hendak menanya
pula ketika dari luar
terdengar suara gembreng pembuka
jalan, lantas datang
pemberitahuan: "Ong Huciangkun tiba!"
644
"Mau apa dia datang
kemari?" kata siauwkongtia, yang
keningnya mengkerut. Ia
berjalan keluar, untuk menyambut.
Sin Cu menggunai ketika ini
untuk mengundurkan diri.
Ketika ia menoleh ke pojok, ia
dapatkan si tukang sulap dan
gadisnya lagi melirik ke
arahnya, rupanya orang mengawasi ia
secara diam-diam. Ia terkejut,
ia lantas ingat suatu apa. Ia
berkata dalam hatinya:
"Setibanya Hek Pek Moko, aku mesti
lantas berlalu dari
sini." Ia menduga orang mencurigai ia
tetapi ia merasa berat untuk
lantas meninggalkan patung
ayahnya itu...
Suara gembreng sudah lantas
berhenti, satu pembesar
kelihatan agung bertindak
masuk.
"Ong Ciangkun juga datang
untuk pasang hio?"
Siauwkongtia menyambut.
"Siauwkongtia, bagus
betul usaha kesujutanmu ini,"
menyahuit si panglima. Ia
lantas memandangi patung.
Kemudian ia tertawa dan
berkata pula: "Pandai benar orang
melukis, seperti orang hidup
saja! Hanya kenapa wajah
Senghong ini beda dari
Senghong yang pernah aku lihat di
lain-lain kota?"
"Sesuatu tempat ada
malaikat kotanya masing-masing,"
siauwkongtia menjawab. “ini tidak
aneh, bukan?"
Huciang itu tertawa lebar.
"Perkataan kau ini,
siauwkongtia, membuka kecupatan
pandanganku!" katanya.
"Kiranya malaikat kota itu beda satu
dari lain karena perbedaan
kotanya... Haha! Pembangunan
kuil ini serta pembuatan
patungnya adakah atas
kehendaknya Bhok Kongya atau
siauwkongtia sendiri?"
645
“inilah kehendakku
sendiri," menyahut pangeran muda itu.
"Adakah sesuatu yang
tidak dapat?"
"Bagus! Bagus!"
berkata Ong Huciang tertawa menyeringai.
"Di dalam wilayah bangsa
Ie memang tidak ada halangannya
mengadakan pengajaran dengan
perantaraan malaikat. Nabi
sendiri pernah membilangnya
begitu."
Semua orang di ruang itu
mendongkol mendengar opsir ini
menyebutkan propinsi Inlam
sebagai tanah suku bangsa Ie,
semuanya mengawasi dengan
sinar mata kebencian. Rupanya
si ciangkun dapat lihat sikap
orang itu, lekas-lekas dia tertawa
dan menambahkannya: .
"Maksudku, ya... ialah, perbuatan
siauwkongtia ini tepat dengan
caranya seorang nabi!"
"Ah, benarkah itu?"
siauwkongtia tertawa. "Bagus, bagus!
Kalau begitu kau pun harus
memberi hormat sambil berlutut
dan mengangguk tiga
kali!"
Perwira ini bernama Ong Tin
Lam, pangkatnya yaitu
Pengiam Huciangkun, tetapi di
mana kekuasaan di Inlam
berada di dalam tangannya Bhok
Kongya , ia berada sebagai
sebawahan saja dari hertog
itu, ia sama sekali tidak punya
kekuasaan, maka itu meskipun
ia tidak puas dengan perkataan
si pangeran muda, ia toh
terpaksa menurut menjalankan
kehormatan. Ia bertekuk lutut,
ia manggut tiga kali, ketika ia
berbangkit, ia likat sekali.
Sin Cu tertawa di dalam
hatinya.
"Ciangkun ini tentulahh
pernah lihat ayahku," pikirnya. "Ah,
hebat permainan dari
siauwkongtia ini, satu perwira tinggi
diperintah memberi hormat
kepada satu pemberontak!..."
646
Ong Huciang itu bicara agi
sedikit dengan siauwkongtia,
terus dia berpamitan.
Siauwkongtia membiarkan orang
pergi, ia lebih
memerlukan melihat kelilingan
akan mencari Sin Cu. Justeru
itu di luar sirap suara
berisik dari banyak orang, lalu terlihat
orang banyak membuka jalan,
akan mengasi lewat pada
seorang nona yang diiring dua
budak wanita.
Bhok Lin, ialah siauwkongtia,
sudah lantas maju
menyambut.
“ Encie pun datang!"
katanya.
Nona itu mengangguk. Ia adalah
Bhok Yan puterinya
Kimkokkong Bhok Cong. Ia
mempunyai alis yang panjang,
romannya cantik, potongan
tubuhnya halus, sikapnya pun
agung. Lebih dahulu ia memberi
hormat kepada Senghong.
"Adik, mari ikut aku
pulang," ia berkata kemudian. "Ayah
mencari kau."
"Ada apa, encie?"
tanya pangeran itu terperanjat.
Agaknya tidak leluasa nona itu
menyahuti, tapi ia
bersenyum.
"Segala apa ada aku, kau
pulanglah," ia berkata. Ia pun
menarik tangan orang untuk
diajak berlalu.
Sin Cu mencuri mengawasi. Ia
lihat alis nona itu menunjuki
hati pepat.
Seberlalunya nona dan pangeran
muda itu, pendopo
kembali jadi ramai oleh orang
banyak, yang pada menghunjuk
hormatnya.
647
Sin Cu ajak Siauw Houwcu
mengundurkan diri. Ia lihat si
tukang sulap dan gadisnya,
mereka itu rupanya tidak dapat
melihat padanya.
"Dari kata-kata dan
sikapnya si nona, rupanya Bhok
Kokkong tidak ketahui urusan
pembaruan kuil dan pembikinan
patung Senghong ini," ia
berpikir. "Anehlah si pangeran muda,
ia ada muda belia, ia pun
pasti belum melihat rupa ayahku,
kenapa ia dapat membuatnya
patung ayah begini bagus?"
"Encie benarkah kau tidak
sakit?" Siauw Houwcu tanya. Ia
heran akan roman tak wajar
dari Nona Ie, yang sejak tadi
menarik perhatiannya.
"Eh apakah kau menyumpahi
aku?" si nona balik menanya.
"Aku lihat kau tidak
wajar, encie," berkata bocah itu. "Tidak
keruan-ruan mengapa tadi kau
menangis?"
"Kau lihat bukankah orang
banyak itu sangat menghormati
Senghong?" kata si nona.
"Sikap mereka itu membuatnya aku
terharu. Aku sangat menghargai
kesujutan mereka." Ia lalu
tertawa.
"Tidak, encie, kau tentu
ada memikirkan sesuatu,"
membandal si bocah. Kau cuma
tidak sudi memberitahukan itu
kepadaku..."
Sin Cu mengkerut-kan
keningnya.
"Sudahlah, jangan ngaco
belo di sini!" membentak si nona.
"Anak kecil mana tahu
urusan orang tua? Mari lekas pulang
untuk bersantap tengah
hari!"
648
"Tidak, aku tidak mau pulang
dulu! Kau telah menjanjikan
aku pesiar ke See San. Sepatah
katanya satu kuncu..."
Mau tak mau, Sin Cu tertawa.
Ia menambahkan:
"...bagaikan kuda
dicambuk satu kali!"
"Bagus! Itulah baru
tepat! Nah, lekas ajak aku ke See San!"
"Apakah kau tidak lapar?"
"Aku ada membekal uang
beberapa puluh bun tangkhie!"
"Kenapa tadi kau tidak
menyawer kepada si tukang sulap?"
"Sengaja aku tinggalkan
untuk kau nanti bersantap tengah
hari!" si bocah tertawa.
"Dengan melihat romanmu tadi, encie,
aku tahu kau lupa membawa
uang..."
Sin Cu melengak untuk
kecerdikannya bocah ini. Justeru itu
tangannya disamber, untuk
ditarik. Sembari berbuat begitu,
bocah itu tertawa lucu. Ia
mengajak orang untuk dahar
mieshoa, hingga uang mereka
tinggal dua bun!
Sekeluarnya dari kota, hari sudah
lewat tengah hari.
Dengan tidak adanya mega,
langit menjadi cerah. Terbuka
hatinya Sin Cu, apapula
setelah ia menyaksikan keindahan See
San, Gunung Barat. Mengagumi
untuk men-daki bukit, akan
memandangi apa yang disebut
"pintu naga," ialah semacam
puncak yang menonjol, yang
tingginya ribuan tombak, hingga
kuil di atas itu mirip
tergantung di udara. Di bawah itu ada
telaga Thian Tie yang kesohor,
yang luas. Siapa mendaki
tangga, bajunya berkibar-kibar
tertiup angin, orang mirip
menaiki tempat dewa-dewi, Sin
Cu kagum hingga ia
terbengong...
649
Lorong dari pintu naga itu
adalah batu gunung yang
dibobok dan berliku-liku,
hingga ada bagian yang muat hanya
satu orang.
"Tempat ini tepat untuk
main petak!" kata Siauw Houwcu
tertawa.
"Aku ajak kau ke gunung ini,
lantas kau ingat main petak!"
berkata Sin Cu, yang pun
tertawa. "Kau mensia-siakan
pemandangan alam yang indah di
sini!"
Di atas "pintu naga"
(jiongburi) ada kedapatan ukiran ikan
leehie yang luar biasa, yang
seperti dari udara berlompat
terbang. Ikan itu bahagian
bawahnya mirip ikan, bahagian
atasnya seperti naga. Jadi
inilah yang di dalam dongeng
disebut “kan leehie melompati
pintu naga." katanya, "sebab
pintu naga terlalu tinggi,
apabila ikan leehie dari telaga
Thiantie dapat meloncatinya,
ikan itu dapat terus berubah
menjadi naga untuk naik ke
langit."
"Aku lihat, walaupun
orang paling liehay ringan tubuhnya,
tidak nanti dia dapat
melompati pintu naga ini!" berkata Siauw
Houwcu.
Sin Cu bersenyum. Di lain
pihak, ia kagumi bocah ini, yang
tak pernah melupai ilmu silat.
Pantas Hek Pek Moko
membilangnya dia sangat
berbakat.
Di atas iiongbun itu juga ada
ukiran malaikat Kwee Seng
dalam rupa patung batu,
kecuali pit di tangannya yang terbuat
dari kayu. Di situ ada tulisan
singkat mengenai sebuah
dongeng. Ialah katanya seorang
pemuda kehilangan
kekasihnya, dia mendaki See
San dan mengukir patung itu.
Sayang di situ dia tidak
dapatkan batu yang cocok untuk
membuat pit (alat tulis),
hingga patungnya itu tidak lengkap.
Habis itu ia terjun ke telaga
Thiantie, hingga ia berkurban diri.