Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 7

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 7 Maka nona ini jadi terkejut. Orang itu liehay sekali, dia sudah menggunai tipu silat "Meminjam
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 7
Maka nona ini jadi terkejut. Orang itu liehay sekali, dia sudah menggunai tipu silat "Meminjam

tenaga untuk membunuh orang," yang lebih hebat dari tipu "Meminjam tenaga menyerang lawan."

Semua anak muda, pria dan wanita, bersorak-sorai seraya berjingkrakan. Pengiring pengantin lantas membuka payung, untuk memayungi pengantin perempuan, untuk berjalan berlalu dari tanah datar itu. Siauw Houwcu, seperti ada yang mendorong, berjalan di samping pengantinnya itu.

"Selesai sudah upacara ini!" kata si nyonya. "Sebentar di rumah touwsu orang akan menggodai kedua mempelai!"

Sin Cu nelusup di antara orang banyak, untuk mengikuti kedua mempelai itu.

"Apa? Kau hendak turut mengacau di kamar pengantin?" si nyonya tanya, tertawa. "Aku sudah tua bangka, rambutku sudah putih semua, tidak dapat aku turut-turutan bergurau sebagai kamu anak-anak muda!"

"Kau letih, nyonya silahkan kau pulang lebih dulu," kata Sin Cu. "Upacara ini menarik hati, sukar aku menemuinya lain kali, maka ingin aku menonton mereka mengacau kamar kemantin..."

Upacara menggoda pengantin bangsa Biauw lebih banyak ragamnya daripada cara orang Han. Kedua mempelai mesti sama-sama menggigit sebuah pinang.

Mempelai laki-laki mesti membukai tutup muka mempelai wanita. Mempelai wanita mesti bernyanyi untuk menghaturkan terima kasih kepada tetamu-tetamunya. Dan lain-lain lagi.

Sin Cu di antara orang banyak terus memperhatikan Siauw Houwcu saja. Ia dapat kenyataan sinar mata orang mendelong saja, bagai orang hilang semangatnya. Bocah itu menurut saja

apa yang orang suruh dia lakukan.

Habis bergurau sekian lama, laki-laki yang tadi memaksa Siauw Houwcu minum arak berkata: "Cukup sudah! Mempelai laki-laki tipis kulit mukanya, kalau dia digoda terus, nanti dia

menangis!"

Orang semua tertawa riuh.

Wanita pengiring mengambil kipas, dia kasikan itu kepada Siauw Houwcu, yang disuruh mengetok pundak mempelai wanita tiga kali.

Tiba-tiba Siauw Houwcu mengasi lihat roman sungguhsungguh.

"Dia baik sekali terhadapku, kenapa aku mesti ketok dia?" tanyanya, keras.

Mendengar itu, kembali orang banyak tertawa riuh. Wanita pengiring berbisik di kuping mempelai laki-laki: “Inilah upacara. Kau ketok saja pelahan-pelahan tiga kali."

Bisikan itu seperti tidak didengar nyata Siauw Houwcu, sebaliknya seorang muda di sampingnya mendengarnya, dia ini lantas berseru: "Tidak boleh! Tidak boleh. Mesti mengetok dengan keras, kalau tidak, itu artinya takut bini!"

Kembali orang tertawa gempar.

Matanya Siauw Houwcu bersinar, agaknya ia cemas hatinya. Mungkin ia ketahui artinya "takut bini" itu, bahwa itu memalui. Ia lantas angkat kipasnya, tiga kali ia pukul pundak pengantinnya. Hebat pukulannya itu, setiap kalinya, pengantin itu berjengit. Bahkan setelah pukulan yang ketiga, dia berlompat, kedua matanya mengeluarkan air, parasnya berubah pucat.

Kembali orang banyak tertawa, semua memuji: "Bagus!"

Sin Cu terkejut. Ia tahu pukulan Siauw Houwcu itu hebat, pantas nona pengantin kesakitan, melainkan dia mencoba menahan sakit, dia dapat tidak menjerit. Suara tertawa baru

berhenti kapan orang melihat baju di pundaknya nona pengantin itu pecah robek, hingga terlihat kulit pundaknya.

Mereka tidak berani menggoda pula. Hanya seorang mengambil air labu, untuk disiramkan kepada kedua mempelai bergantian.

"Ha, kau berani siram aku?" membentak Siauw Houwcu. Ia terus menyampuk sama kipasnya, maka air labu itu berbalik menjeblok muka si penyiram, muncrat kepada mereka yang

berdekatan.

Kali ini suara orang riuh bahna kaget dan heran. Menyiram dengan air labu itu ada adat kebiasaan orang Biauw, tanda pemberian selamat, makin basah pakaian pengantin, makin

beralamat baik katanya. Si orang lelaki memegang lengan Siauw Houwcu, ia membisiki, lalu air labu disiramkan untuk kedua kali, kali ini basah bajunya Siauw Houwcu. Meski begini,

itulah alamat tak baik.

Menurut kepercayaan orang Biauw, maka di belakang kali, kalau bukan si lelaki tentulah si perempuan, yang bakal menikah pula.

Sampai di situ selesai sudah upacara mengacau pengantin, berkesudahan dengan kacau dan kecewa, orang semua lesu.

Selagi orang bubaran, diam-diam Sin Cu sembunyi di gununggunungan di dalam pekarangan rumah si kepala suku, kemudian ia naik ke atas genteng kamarnya Siauw Houwcu, untuk mengintai. Ia lihat dua-dua mempelai duduk di atas pembaringan, keduanya berdiam saja, tidak ada roman gembiranya.

Baru kemudian mempelai perempuan memecahkan kesunyian.

"Eh, kau bilang kau suka aku, nyata kau mendustai" katanya.

"Siapa bilang dusta?" Siauw Houwcu menjawab. "Terhadap Siauwliong aku tidak sebaik terhadapmu."

"Siapa itu Siauwliong?" si nona tanya.

"Siauwliong itu anaknya tetanggaku yang aku panggil paman yang nomor dua," jawab Siauw Houwcu. "Dari masih kecil sekali kita biasa bermain-main berdua, cuma dia bernyali sedikit kecil. Begitulah di bulan ketiga, dia tidak berani turun ke empang untuk menangkap ikan. Dia takut dingin!"

Sin Cu ingat ketika pertama kali ia ketemu Siauw Houwcu, anak ini lagi mengganggu satu bocah nakal. Bocah itulah rupanya si Siauwliong. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya.

Nona pengantin rupanya merasa lucu.

"Mana dapat aku dibanding dengan Siauwliong!" katanya.

"Aku ini isterimu!"

“Isteri? Isteri itu apa?" Siauw Houwcu tanya.

“Isteri yaitu orang paling terdekat denganmu."

"Oh..." agaknya Siauw Houwcu bingung atau linglung, ia seperti tak aku si nona ada orang terdekat dengannya.



"Sebenarnya kau akui aku sebagai isterimu atau tidak?" sang isteri menanya pula.

"Eh, kenapa sih kau mendesak aku dengan pertanyaanmu ini?" Siauw Houwcu tanya.

"Habis, kenapa kau tidak mau saling tukar minum arak denganku?"

"Usiaku masih muda sekali, aku tidak minum arak."

Nona itu sangat mendongkol dan berduka, dia menangis.

"Kenapa kau menangis?" Siauw Houwcu agaknya cemas.

"Aku toh tidak menghina kau?"

"Kau berani menyebut tidak menghinaku? Kenapa kau pukul aku tiga kali dengan keras? Sampai sekarang pundakku masih sakit."

"Sebab mereka itu bilang, jikalau aku tidak memukul, aku takut bini! Oh, kiranya kau gusar karena itu. Nah, kau pukullah aku tiga kali! Maukah kau? Jikalau masih kurang, kau boleh

pukul sampai enam kali!"

Selagi berkata, sinar mata Siauw Houwcu bercahaya. Sin Cu lihat dia seperti kembali kepada kenakalannya.

Ia bersenyum, di dalam hatinya ia kata: "Di mana di kolong langit ini ada mempelai laki-laki bicara seperti bocah cilik?"

Karena memikir begini, timbul pula kecurigaannya. Maka ia berpikir lagi: "Siauw Houwcu sangat cerdik jarang ada bandingannya, kenapa sekarang dia jadi tolol, mirip anak desa yang dungu? Kenapa dia kasi dirinya diperbuat sesukanya oleh orang lain? Inilah bukan sifatnya! Mungkinkah dia telah kehilangan sifat nuraninya?"

Ia ingat Tan Hong pernah membilang, siapa terlalu bergirang atau terlalu berduka, sifat aslinya bisa hilang atau berubah. Tapi Siauw Houwcu masih bocah, dia belum kenal asam garamnya dunia. Kenapa dia agaknya berubah?

"Apa benar?" si nona tanya.

"Kenapa tidak benar? Kalau kau senang, kau pukullah!"

Si rona mengambil kipas. Siauw Houwcu buka bajunya.

"Mulailah! Aku buka bajuku supaya kau memukul sepuasnya!"

"Plok!" demikian suara pukulan. Si nona benar-benar memukul dada orang.

"Eh, kenapa nona ini pun bersifat kekanak-kanakan?" Sin Cu heran. Ia mengawasi lalu ia menjadi kaget. Ia dapatkan cara memukul si nona ada menurut gerakan menotok jalan

darah, sasarannya pun jalan darah soankie hiat. Dalam kagetnya, ia siapkan bunga emasnya, siap akan menolong kalau Siauw Houwcu dihajar hingga pingsan.

Ia mengawasi terus. Ia dapatkan Siauw Houwcu menarik napas dalam-dalam. Si nona menyerang pula, menotok hingga tiga kali, semua itu melejit, seperti dada itu ada minyaknya

dan licin. Nona itu menyerang dengan totokan hebat tetapi Siauw Houwcu merasakannya sebagai garukan. Menampak itu Sin Cu heran berbareng girang. Baru satu tahun tidak

bertemu, bocah itu sudah maju pesat ilmu Iweekang-nya.

Memang, siapa latihannya ilmu itu sudah sempurna, dia tak takuti totokan jalan darah lagi. Ilmu itu bisa dicapai dengan latihan sedikitnya sepuluh tahun.

Di India ada ilmu Yoga, yang pun bisa menutup jalan darah, caranya berlainan dan tempo pelajarannya sedikitnya dua tiga tahun untuk yang telah ada dasarnya. Siauw Houwcu mengikuti Hek Pek Moko baru satu tahun, dia telah dapatkan ilmu menutup diri itu, sungguh

langka.

"Tiga kali kau membalas menyerang aku, kau puas bukan?" Siauw Houwcu kata pada kemantinnya.

"Tidak!" sahut si isteri. "Tadi kau pukul aku sampai aku merasa sakit hingga air mataku keluar, kau sendiri, mengkerutkan alis pun tidak, jadi kau tidak merasa sakit sedikit juga."

"Ya, habis apa daya?" kata Siauw Houwcu. “Ilmu ini aku diajarkan guruku, bagaimana pun kau pukul aku, aku tidak akan merasa sakit. Ilmu ini tidak dapat dipelajari lain orang."

"Kau dapat belajar, kenapa lain orang tidak ?"

Siauw Houwcu mementang lebar kedua matanya. Ia rupanya anggap pertanyaan itu beralasan.

"Eh, kau ajari aku ilmu itu, bolehkah?"

Ditanya begitu, sinar mata Siauw Houwcu berubah, agaknya ia cemas. Ia lantas menggeleng kepala.

"Tidak dapat!" sahutnya.

Si nona heran. Ia menanya kenapa.

"Sebab ini... ini tidak dapat diajarkan kepada lain orang..."

"Ngaco! Lain orang boleh kau tidak ajari, aku lain, aku isterimu! Suami isteri ada seperti satu tubuh! Bagaimana kau tidak sudi mengajari aku?"



"Beginikah liehaynya satu isteri?" tanya Siauw Houwcu meringis.

"Benar! Apa yang isteri minta suaminya mesti memberinya!"

"Ah, kalau begitu seumurku aku tidak mau beristeri !..."

"Tapi kita sudah menikah! Mana dapat kau menyangkal!"

Kelihatannya Siauw Houwcu berkuatir, dia duduk bengong saja.

"Begini saja," katanya kemudian. "Aku ajari ilmu ini tetapi kau tidak dapat menjadi isteriku! Dapatkah begitu?"

"Tidak!" sahut si isteri.

Sin Cu heran mengapa Siauw Houwcu jadi demikian tolol.

Ia menduga nona pengantin itu bakal gusar. Tidak tahunya si nona menunjang janggut dan berpikir. Kemudian dia kata:

"Baiklah, karena kau tidak sudi jadi suamiku, tidak dapat aku paksa. Sekarang kau ajari aku ilmumu, tidak apa aku tidak jadi isterimu. Berapa lama aku mesti belajar?"

"Lamanya tiga tahun atau cepatnya cuma satu tahun," sahut Siauw Houwcu.

"Hanya, setelah mempelajari rahasianya, selanjutnya orang mesti berlatih sendiri."

"Berapa lamanya tempo belajar rahasianya itu?"

"Kurang lebih sepuluh hari."



"Baik! Dalam sepuluh hari kau ajarkan aku sampai bisa, sepuluh hari sehabisnya itu, aku akan melepaskan mengasih kau pergi!"

"Benarkah itu?" Siauw Houwcu kelihatan girang sekali.

"Kita bangsa Biauw tidak pernah mendustai"

"Baiklah! Sekarang juga aku mengajari kau!"

Sin Cu heran bukan main.

"Rupanya nona ini bukan menikah dengan sesungguhnya,"

ia berpikir. "Dia terlebih muda daripada aku tetapi dia cerdik sekali. Apakah dia telah diajari oleh orang tua? Ah, hebat!

Apakah ini bukan semacam jebakan, perangkap guna memperdayakan Siauw Houwcu?"

Ilmu silat ada golongannya masing-masing. Ilmu silat rahasia sesuatu golongan, atau perguruan, tidak dapat diajarkan kepada orang luar, kecuali orang dapat perkenan dari gurunya. Sekarang Siauw Houwcu hendak obral ilmunya itu, pasti Sin Cu berkuatir. Tidak dapat ia menguasai diri lagi, ia lompat turun ke bawah, terus ia lompat masuk ke dalam kamar.

Nona pengantin kaget bukan main melihat ada orang berlompat masuk ke kamarnya, dia ternganga hingga tak dapat dia mengucapkan sesuatu. Siauw Houwcu pun menjublak mengawasi Nona Ie, hatinya gelisah.

"Siauw Houwcu, kau kenali aku atau tidak?"

Sin Cu tanya si bocah tanpa ia gubris nona pengantin.

Bocah itu mundur dua tindak. Ia mengawasi.



"Kau... kau siapa?" ia tanya. "Di mana kita pernah bertemu?" ia bingung, ia seperti lagi berpikir keras, mengingat-ingat sesuatu yang ia lupakan.

Sin Cu masgul sekali. Ia mau percaya, bocah itu telah makan semacam obat hingga dia tak sadar akan dirinya.

Kasihan bocah demikian lincah kena dibikin jadi dungu begini.

Ia ulur tangannya, ia pegang pundak orang.

"Aku ialah encie Sin Cu-mu!" katanya. "Apakah kau sudah lupa?"

"Encie Sin Cu?" Siauw Houwcu mengulangi, suaranya pelahan. Ia seperti ingat tetapi tidak berani segera mengutarakannya.

Sin Cu menatap bocah itu, sampai mendadak ia ingat pengajarannya gurunya, Thio Tan Hong, tentang ilmu menyadarkan orang yang lupa ingatan. Dengan mendadak saja ia menotok jintiong dari Siauw Houwcu tanpa bocah itu sempat berkelit atau menangkis. Atas itu, Siauw Houwcu menjerit kaget.

Sin Cu menyambar kipas di atas pembaringan, seraya membeber dan mengibaskan itu, ia tanya si bocah: “Ingatkah kau siapa aku?"

Siauw Houwcu mementang kedua matanya lebar-lebar.

“Inilah ilmu yang kau ajarkan aku!" sahutnya lekas. "Encie Sin Cu!"

Memang di musim semi tahun itu, waktu pertama kali mereka bertemu, si nona telah menggunakan kipasnya mengipas air di tubuhnya Siauw Houwcu dan sekarang Siauw Houwcu ingat gerakan tangan orang itu.

Sin Cu girang bukan main mendapatkan orang telah sadar.

"Kau telah dapat mengingatnya, bagus!" katanya.

"Sekarang lekas ikut aku pergi!" Ia pun menarik tangan orang.

Tiba-tiba Siauw Houwcu nampaknya bergelisah, rupanya dia jeri.

"Tidak, tidak!" katanya. "Tidak dapat aku pergi. Apakah kau juga ingin menjadi isteriku ?"

Bocah ini telah makan obat pelupa ingatan, totokannya Sin Cu kurang tepat, totokan itu tidak dapat dipakai mengobatinya, mendadak saja Siauw Houwcu ingat "encie Sin Cu," habis itu, ia tak sadar pula.

Sin Cu mendongkol berbareng geli hatinya. Ia tidak menyangka bahwa orang belum sadar anteronya.

"Tidak dapat aku menjadi isterimu," ia berkata. "Aku hanya hendak menolongi kau! Kau takut apa?" Ia sambar pula tangan orang, untuk ditarik, buat diajak pergi berlari. Justeru  itu ia merasakan sambaran angin di belakangnya.

Itulah si nona pengantin yang dengan sebilah pisau tajam di tangannya sudah menikam sambil mempelai itu mendamprat: "Perempuan tidak tahu malu! Kenapa kau merampas suamiku?"

Sin Cu tidak menjadi kaget atau bingung, sembari menarik sedikit tubuhnya, ia memutar diri, sebelah tangannya diulur, maka sedetik saja ia sudah dapat merampas pisaunya si nona,

yang ia terus lemparkan keluar kamar.

"Kau yang tidak tahu malu!" ia balik mendamprat. Ia mendongkol didamprat nona itu. "Kau toh menikah bukan dengan sesungguhnya hati? Kau masih begini muda, kenapa kau begini licik? Kenapa kau hendak mengakali kepandaian orang?"

Nona pengantin itu mendadak menangis, dia menjatuhkan diri berguling di tanah, lalu dengan kedua kakinya dia menendang kalang kabutan kepada Nona Ie.

Dia nyata telah bersilat dengan ilmu silat tendangan berantai.

"Benar! Kau pun mengatakan kau tidak dapat menjadi isteriku!" tiba-tiba Siauw Houwcu berkata. Ia nampaknya bingung melihat nona pengantin menangis dan menyerang hebat itu.

Sin Cu berjaga diri dari serangan nona pengantin, satu kali, ia menyabat kaki orang.

"Jangan lukai dia!" Siauw Houwcu berseru seraya ia menarik tangan si nona. Bocah ini ketahui itulah serangan berbahaya. "Dia sebenarnya orang baik!"

"Orang baik apa!" berkata Sin Cu. Kembali ia ayun tangannya.

"Jangan!" Siauw Houwcu mencegah pula. "Baik aku akan turut kau pergi!"

Inilah jawaban yang diharap Sin Cu, maka ia tarik tangan orang, ia biarkan si nona pengantin. Keduanya sudah lantas keluar dari rumah. Baru mereka tiba di pekarangan, mendadak mereka dengar suara yang seram: "Perempuan siluman yang bernyali besar! Bagaimana kau berani datang ke mari merampas baba pengantin?"

Kata-kata itu disusul sama menghalangnya satu orang.

560
Sin Cu segera mengenali orang yang memaksa Siauw
Houwcu minum arak pengantin. Dia mengenakan pakaian
orang Biauw, di kedua lengannya masing-masing ada lima
buah gelang perak, ketika ia berbicara, ia mengangkat kedua
tangannya, maka sepuluh buah gelang itu memperdengarkan
suara beradunya yang nyaring dan berisik.
Sin Cu tidak mempunyakan kegembiraan untuk berbicara,
ia lantas ayun sebelah tangannya melayangkan tiga tangkai
bunga emas, yang ia telah genggam di tangannya itu. Ia
menyerang orang itu di tiga jalan darah cianbie hiat, yangpek
hiat dan hiathay hiat. Orang itu tertawa berkakak, dia
mengibas tangannya yang kiri. Entah tipu silat apa itu yang
dia gunakan selagi dia mengibas, terdengar suaranya yang
rada aneh, lantas sebuah gelang di tangannya itu melesat,
melayang menyamber, tak lurus, tetapi kesudahannya, semua
tiga bunga emas terjatuh ke dalam tangan bajunya. Yang
aneh, gelang perak itu pun kembali ke tangan pemiliknya.
Inilah kejadian di saat Sin Cu hendak menghunus
pedangnya guna menangkis gelang itu. Orang itu mengasi
keluar ketiga bunga emas, apabila dia sudah melihat nyata,
dia menunjuki roman heran. Sin Cu pun tercengang. Ia dapat
kenyataan, caranya orang menggunai gelang adalah dengan
bantuan kekuatannya tenaga dalam, jadi orang ini benarbenar
liehay.
"Siauw Houwcu!" ia lantas menyadarkan bocah itu. "Jikalau
kau hendak berlalu dari sini mari kita bekerja sama!" Ia
mengucap demikian karena ia pikir: "Siauw Houwcu telah
maju banyak dalam satu tahun ini, kalau dia membantu, aku
pasti dapat melayani ini orang aneh..."
Di luar dugaannya, ia tidak dapat jawaban dari bocah itu.
Ia dapatkan Siauw Houwcu berdiri menjublak, sedikit juga

561
tidak ada tandanya dia hendak menyambut ajakannya itu. Ia
heran dan merasa kecele.
"Siauw Houwcu, kau kenapa?" ia tanya, membentak.
Bocah itu tidak menjawab, jawaban datang justeru dari si
orang aneh, dengan tertawanya yang dingin dan seram.
"Merampas baba pengantin juga mesti dengan
persetujuannya si baba pengantin sendiri!" dia berkata, dingin.
"Fui! Kau main tarik-tarik orang, sungguh kau tidak tahu malu
barang sedikit juga!"
Sin Cu menjadi gusar sekali.
"Kamulah yang merampas baba pengantin!" ia membaliki.
"Cis Kamu memperdaya kan satu bocah! Tidak tahu malu!"
Kembali orang itu mengasi dengar tertawa dingin.
"Kau hendak bawa lari orang, di sini banyak calonnya!" dia
berkata. "Tapi dia ini tidak sudi ikut padamu! Perlu apa kau
masih berdiam di sini menggerembengi dia? Dengan
memandang kepada tiga buah bunga emasmu ini, aku tidak
hendak melukai padamu. Nah, kau pergilah! Jikalau kau sudah
pulang, kau beritahu pada subomu, kau kau bilang bahwa
Bong Goan Cu murid dari Cekseng Pay menahan tiga buah
bunga emasmu ini! Jikalau dia hendak mengambilnya pulang,
dia boleh datang ke Ouwbong San!"
Sin Cu murka bukan kepalang. Belum pernah ia terhina
sebagai ini. Parasnya pun berubah pucat. Tidak ayal lagi, ia
cabut pedangnya, pedang Cengbeng kiam.
"Siauw Houwcu, mari kau turut aku pergi!" ia berseru
seraya ia geraki tubuhnya untuk menerobos pergi.

562
"Tinggalkan Siauw Houwcu! Kau pergi sendiri!" membentak
Bong Goan Cu si orang aneh itu dengan suaranya yang keras
dan seram. Ia pun mengibaskan sebelah tangannya yang
panjang, atas mana dua buah gelangnya molos dari
tangannya dan menyamber sambil berputar ke arah nona kita.
Sin Cu terkejut berbareng gusar. Ia menjejak dengan
kedua ujung kakinya, untuk mencelat lompat, ketika kedua
gelang tiba padanya, ia menyabet dua kali beruntun. Di dalam
ilmu ringan tubuh dan menggunai pedang, kecuali kurang
mendalam latihannya,
Sin Cu jarang tandingannya. Hal ini di luar dugaannya si
orang aneh, maka juga, dia kaget bukan kepalang tempo
tahu-tahu dua buah gelangnya itu kena terbacok hingga putus
menjadi empat potong! Tentu sekali dia tidak keburu menarik
pulang...
Sin Cu tidak berhenti sampai di situ, sudah kepalang
tanggung, ia mencelat pula, maju kepada orang aneh itu,
untuk menyerang dia, hingga dalam sekejap, sinar pedangnya
sudah berkelebat di depan mata orang.
"Pedang yang bagus!" Bong Goan Cu berseru, sedang
tangannya mengibas. Dia bukannya menangkis, dia hanya
memapaki, untuk menyamber, menyengkeram lengan orang.
Dia bergerak tak kalah dengan dengan kesebatannya Law
Tong Sun. Hebat ancaman bahaya untuk Sin Cu itu, karena
serangan pedangnya sudah berjalan, untuk menariknya
pulang, sudah tidak ada tempo lagi. Segera lengannya bakal
kena dilanggar tangan musuh dan mungkin bakal patah.
Siauw Houwcu rupanya dapat melihat ancaman itu, dia
berseru kaget.

563
Sin Cu sendiri tidak mau menyerah lengannya dibikin patah
untuk menolong diri, ia kasi bekerja tangannya yang kiri.
Dengan dua jari tengah dan telunjuk, ia menotok kepada
tangan lawannya itu!
Bong Goan Cu tidak menyangka sama sekali, dia kaget
tidak terkira. Syukur untuknya, dapat dia membatalkan
serangannya sambil tubuhnya juga dimundurkan, dengan
begitu, serangannya gagal, dia sendiri tertolong.
“Itulah Hookun!" berseru Siauw Houwcu, yang dapat
melihat serangan si nona. Hookun ialah ilmu silat Burung Hoo.
"Tidak salah!" Sin Cu menyahuti bocah ini. Tapi ia
membuka mulut untuk terus berdiam. Kembali ia meneruskan
serangannya kepada orang aneh dari Ouw Bong San itu. Ia
menyerang dengan ujung pedangnya, di bawah itu ikut
bergerak tangannya yang kiri, yang dikasi melengkung sedikit.
“Itulah Pakun!" Siauw Houwcu berseru pula. Ia lantas ingat
tipu silat itu Pakun atau Macan tutul. Ketika dulu hari Hek Pek
Moko di Thayouw mengajarkan dia ilmu silat "Loohan
Ngoheng Kun," kedua saudara Moko itu sudah gunai sasaran
hidup dalam dirinya tujuh pahlawan dari istana. Itu waktu,
Siauw Houwcu ada bersama Sin Cu, keduanya
memperhatikannya hingga sekarang merasa dapat
mengingatnya dengan baik.
Siauw Houwcu telah kena makan obat akan tetapi ia tak
lenyap antero kesadarannya, masih ada sisa ingatannya, maka
itu, melihat penyerangannya Sin Cu itu, ia ingat samar-samar
pengajaran gurunya. Ia lantas saja berpikir keras, untuk
mengingat-ingat terlebih jauh. Sayang, dalam sesaat itu, ia
tidak cukup kuat untuk mengatasi dirinya.

564
Itu waktu Bong Goan Cu telah kerjakan tangan dan
kakinya, dia mulai menyerang si nona, selagi kedua tangannya
menyerang saling susul, kedua kakinya mengikuti maju
merangsak. Nampaknya dia berlaku bengis sekali.
Sin Cu lantas terdesak, terpaksa ia main mundur.
"Kenapa kau tidak hendak menggunai Liongkun?" tanya
Siauw Houwcu. Ia terus memperhatikan jalannya
pertempuran itu, ia melihat kefaeda-hannya "Liongkun" ilmu
silat "Naga".
"Aku lupa!" menyahuti si nona sengaja. Sebenarnya ia
bukannya lupa, ia hanya tidak berani mengadu tenaga, keras
lawan keras, karena ia tahu ia kalah kuat. Di antara Loohan
Ngoheng Kun ilmu silat Lima Macam Hewan Liongkun adalah
yang memerlukan tenaga besar sedang ia sendiri bertenaga
kecil, di lain pihak, musuhnya sangat tangguh.
Bong Goan Cu juga telah dapat melihat kelemahan orang,
ia mendesak di bagian yang lemah itu, ia menggunai ilmu silat
"Kimna ciu" Menangkap Tangan dibantu "Kungoan lat"
Tenaga Sejati.
Beruntung buat Sin Cu, liehay ilmu pedangnya dan enteng
sekali tubuhnya, ia dapat bergerak dengan lincah, sedang
Cengbeng kiam, pedangnya itu, ada pedang mustika yang bisa
merusak ilmu tubuh kedot semacam Kimciongtiauw dan
Tiatpousan. Ia bersilat dengan Hookun, Pakun dan juga
Coakun ilmu silat Ular, karena itulah ilmu yang paling tepat
untuknya, tak usah ia menggunakan tenaga berlebihan.
Begitu, dengan pedang ia mainkan ilmu silat Pekpian Hian Kee
Kiamhoat, dengan tangan kiri dengan Ngoheng Loohan kun.
Ia terdesak tetapi ia masih dapat bertahan.

565
Si nona pengantin juga selama itu telah turut menonton
pertempuran, ia berdiri di samping. Sampai itu waktu,
mendadak ia menegur Siauw Houwcu: "Siauw Houwcu,
perkataanmu dapat dipercaya atau tidak?"
Justeru itu, Sin Cu pun menyerukan:
"Siauw Houwcu, kenapa kau masih tidak mau mengangkat
kaki? Dia nanti memaksa kau menjadi suaminya!"
Karena ia berbicara, hampir saja Nona Ie kena dihajar Bong
Goan Cu, yang telah menjambak secara hebat sekali.
"Kenapa kau tidak hendak menggunai Houwkun?" berteriak
Siauw Houwcu. Ia lihat si nona terancam, ia sampai tidak
menghiraukan pertanyaan pengantinnya atau peringatannya
Nona Ie itu. Houwkun ialah ilmu silat "Harimau."
"Ah, Houwkun pun aku lupa!" Sin Cu menjerit dengan
jawabannya.
Kembali Bong Goan Cu menyerang, kali ini ia membuatnya
si nona terhuyung tiga tindak. Saking cepatnya peristiwa
berlaku, Siauw Houwcu tidak tahu nona itu terluka atau tidak.
Hanya, saking kaget, sekonyong-konyong dia berlompat
dengan terjangannya, tepat dia mengenai pundak bagian
belakang dari Bong Goan Cu, sembari menghajar dia berseru:
"Houwkun begini bukan?"
Orang aneh dari Ouw Bong San itu tidak menyangka sekalikali
bahwa Siauw Houwcu bakal menyerang padanya, ia tidak
dapat menangkis atau berkelit, maka itu ia merasakan sangat
sakit. Tentu saja ia menjadi sangat murka.
"Siauw Houwcu! Kau berontak?" dia membentak, bengis.

566
Sin Cu menggunai ketikanya yang baik, yang ia memang
sedang cari. Ia tidak mau mengasi ketika bocah itu
terpengaruh si orang aneh.
"Betul!" ia berseru. "Kau gunai lagi Liongkun!"
Di mulut nona kita menganjurkan Siuw Houwcu,
gerakannya adalah lain. Sekonyong-konyong saja ia mencelat,
meninggalkan lawannya, berlompat kepada nona kemantin,
yang ia segera totok urat gagunya, menyusul mana, ia berseru
pula: "Siauw Houwcu, mari kita bekerja sama! Kita robohkan
ini manusia jahat! Dia tentu tidak bakal menjadi isterimu!"
Dengan "dia," Sin Cu maksudkan nona pengantin.
Serangannya ini tepat waktunya, sebab itu waktu si nona
justeru hendak mempengaruh-kan pula Siauw Houwcu,
supaya Siauw Houwcu mengajarkan dia rahasia ilmu silatnya.
Siauw Houwcu terpengaruh kata-katanya Sin Cu. Dia
benar-benar takut takut nanti menjadi suaminya nona
pengantin itu. Di lain pihak, ia mulai merasa semakin
mengingat Sin Cu, kesannya bertambah baik. Karena ini, ia
serang pula Bong Goan Cu.
”Lihat, apakah ini bukannya Liongkun?" katanya
membarengi serangannya itu.
"Benar! Itulah Liongkun!" berseru Sin Cu seraya ia tertawa
terbahak-bahak. Ia pun membarengi menyerang dengan
pedangnya, dengan gerakannya Menggulung Sungai Perak.
Itulah tikaman dari atas ke bawah.
Bicara dari hal ilmu silat, Siauw Houwcu masih kalah jauh
daripada Bong Goan Cu dan walaupun serangannya Ie Sin Cu
sangat liehay, dapat si orang asing mengelakkannya, hanya

567
kali ini dia menghadapi dua serangan berbareng. Dapat dia
berkelit dari kepalan, tidak dapat dari pedang, dapat dari
pedang, mestilah ia kena tertinju. Tentu saja dia tidak sudi
kena ditikam dadanya atau didodet perutnya, dia lebih suka
merasakan bogem mentahnya si bocah. Demikian sudah
terjadi, selagi dia berkelit dari si nona, "Duk!" maka dia
merasakan pinggangnya terhajar hebat, sampai dia terhuyung
beberapa kali. Masih dia bersyukur yang dia bisa menyingkir
dari ujung pedang Cengbeng kiam.
Siauw Houwcu baru berusia empat belas tahun, tetapi
sebagai bocah, ia telah terlatih baik sekali. Sejak umur satu
tahun ketika ia mulai belajar jalan, ia sudah mulai dilatih uraturat
dan tulangnya, ialah dengan setiap waktu dipakaikan
rendaman obat kuat dan setelah ia mulai mengarti ini dan itu,
ia mulai diberikan pelajaran silat pokok, untuk menanam
dasar. Thio Hong Hu mengarti dua-dua ilmu dalam dan ilmu
luar, maka Siauw Houwcu pun dididik dalam dua rupa ilmu
kepandaian itu, mulanya ilmu luar, lalu ilmu dalam. Maka itu,
di antara Sin Cu dan Siauw Houwcu, si nona menang ilmu
silat, si bocah menang tenaga. Demikianlah, hebat Bong Goan
Cu merasakan pukulan bocah itu, meskipun dia tidak roboh,
dia hampir menjerit "Aduh!"
"Bagus!" berseru Sin Cu, yang tak berhenti dengan
penyerangannya, malah dia perhebat. Setelah menikam tiga
kali saling susul, ia serukan si bocah: "Bagus, Siauw Houwcu!
Mari kita bertaruh! Mari lihat, kau punya Lohan Ngoheng Kun
lebih liehay atau aku punya Hian Kie Kiamhoat!"
Bocah-bocah umumnya suka menang sendiri, Siauw
Houwcu tidak menjadi kecuali. Bukankah ia telah berhasil
menggebuk Bong Goan Cu sampai dua kali? Maka itu ia lantas
tertawa berkakakan.

568
"Pastilah tinjuku lebih liehay!" dia menjawab. Dengan tinju
dia maksudkan ilmu silatnya Loohan Ngoheng Kun itu. "Kau
lihat tua bangka ini, dia tidak dapat berkelit! Lihat, akan aku
hajar pula hidungnya dengan Pakun!" Dia terus lempangkan
pinggangnya, dia menyambar dengan kepalan kirinya,
berbareng dengan mana, kepalan kanannya meninju!
Itulah gerakan Pakun atau ilmu silat Macan Tutul.
Berbareng dengan itu, Ie Sin Cu juga menyerang dengan
pedangnya, bagaikan "Bianglala Perak Menyamber Melintang,"
guna memegat jalan mundur lawan mereka.
Dikepung begitu rupa, jago dari Ouwbong San itu terpaksa
mesti berlompat ke depan. Tidak dapat ia mundur, dan kalau
ia diam saja, ia bakal dihajar pula si bocah! Walaupun begitu,
meski juga ia berlaku gesit sekali, ia masih kalah cepat dari
Siauw Houwcu. Dengan menerbitkan suara dalam, batang
hidungnya terhajar tepat hingga kembali ia merasakan sakit.
Girangnya Siauw Houwcu bukan alang kepalang.
"Lihat, akan aku serang pula dia dengan Hokun!" dia
berseru pula.
Bong Goan Cu mendongkol sekali, sedang hidungnya telah
mengucurkan darah!
"Kali ini tidak nanti kau dapat meninju aku," pikirnya. Ia
berkelit dari serangannya Sin Cu, yang telah mendesak pula,
sembari menangkis, ia angkat sebelah kakinya untuk
menendang si bocah, menendang kepalan orang. Di waktu
melawan demikian, ia tidak pernah pikir liehaynya Loohan
Ngoheng Kun, yang mengutamakan kecepatan. Maka juga,
cepat gerakannya kaki, lebih cepat pula melesatnya tinju.
Hanya, disebabkan kaki itu menghalang di tengah jalan, maka

569
bagian dengkulnya yang kena dihajar! Mau atau tidak, jago
Ouw Bong San itu mesti menekuk kaki berikut tubuhnya.
"Hai, kau berlutut di depanku memohon ampun?" berseru
Siauw Houwcu yang melihat gerak-gerik orang itu. "Ah, tidak
enak hatiku untuk menghajar pula padamu!..."
Pertempuran itu telah mengejutkan orang-orang di rumah
touwsu itu serta dekat-dekatnya, yang termasuk satu
halaman kampung, begitupun sejumlah penari-penari bunga
yang masih belum berlalu. Mereka itu lantas lari menghampirkan.
"Tidak bagus!" Sin Cu teriaki Siauw Houwcu apabila ia
tampak mendatanginya banyak orang. "Jikalau kau tidak hajar
tua bangka ini, kita pasti tidak bisa lolos dari sini!"
Siauw Houwcu kena dipengaruhkan pula.
"Baiklah, akan aku hajar pula dia dengan Liongkun!" ia
berseru menyahuti, terus dengan mengerahkan tenaganya, ia
menyerang pula Bong Goan Cu.
Jago Ouwbong San itu tengah tak berdaya, maka itu
kembali ia kena dihajar. Ini kali ia tidak dapat bertahan lebih
lama pula, begitu terserang, ia menjerit, tubuhnya roboh
terguling, tidak dapat ia lantas merayap bangun pula. Sin Cu
tidak mau bekerja kepalang tanggung. Meninggalkan Bong
Goan Cu itu, ia lompat memapaki orang banyak, ia serang
mereka itu tanpa memilih bulu. Ia tidak menggunai
pedangnya, hanya ia menotok setiap orang yang berada
paling dekat dengannya, hingga orang tidak dapat berdaya
lagi kecuali nanti, selang dua belas jam, mereka itu akan
bebas sendirinya. Setelah itu, dengan menyekal lenganya
Siauw Houwcu, ia tarik bocah itu untuk dibawa lari kabur dari
rumahnya touwsu.

570
Sesudah lewat tengah malam itu suasana jadi sunyi sekali.
Ketika Sin Cu berdua sampai di tanah datar di mana tadi orang
menarikan bunga dan kedua mempelai menjalankan upacara,
di sana pun sunyi senyap, tinggal sisa api bekas memanggang
daging kerbau serta berserakannya bunga-bunga. Di situ si
nona memandang kawannya, ia lantas saja tertawa.
Siauw Houwcu masih mengenakan pakaian pengantin!
Habis itu, nona ini berdiri diam. Aneh pengalamannya malam
ini, ia merasakan seperti habis bermimpi. Ia pun merasakan
dunia sangat luas tetapi sepi...
Siauw Houwcu sendiri juga merasa ia tengah bermimpi,
kedua matanya celingukan ke sekitarnya. Sekian lama ia
mengawasi Sin Cu. Akhir-akhirnya ia membuka mulutnya. Ia
tanya: "Ke mana kau hendak membawa aku?"
"Kau sendiri hendak pergi ke mana?" si nona balik
menanya. Ia lihat orang bingung atau belum sadar betul.
"Aku tidak tahu," menyahut anak itu, ke tolol-toloan.
"Kenapa kau dapat datang kemari?" Sin Cu menanya pula.
"Aku tidak tahu!"
"Kenapa kau tidak tahu? Mustahilkah kau jatuh dari atas
langit? Coba kau pikir baik-baik. Kapan pengantinmu itu
muncul di dampingmu? Mustahil dia muncul dari dalam
tanah?"
Habis berkata, si nona tertawa manis. Siauw Houwcu
tunduk. Ia rupanya berpikir. Ketika ia mengangkat kepalanya,
matanya memperlihatkan sinar berkuatir, suatu tanda hatinya
tidak tenang.

571
"Aneh sekali!" katanya kemudian. "Dia memang seperti
muncul dari dalam tanah! Rasanya, begitu aku mendusin, dia
sudah berada di dampingku, lagi melayani aku..."
Sin Cu pun heran.
"Mana gurumu?" ia tanya. Ia menanya tetapi hatinya
mengatakan: "Hek Pek Moko itu beroman sangat luar biasa,
tidak nanti Siauw Houwcu dapat melupakan mereka."
"Guru? Guru apa?" Siauw Houwcu balik menanya.
"Apakah ilmu silatmu didapat sejak kau dilahirkan?" berkata
si nona, menanya.
"Siapakah yang telah ajarkan kau ilmu silat itu? Kau
ingatkah?"
Siauw Houwcu berpikir pula. Agaknya ia pusing.
"Seperti ada banyak orang yang mengajari aku..." sahutnya
kemudian. "Ha, aku ingat sekarang! Kau juga pernah
mengajarkan aku! Aku menyampok arak dengan kipas,
sampokan itu adalah ajaranmu! Ya, kaulah guruku!"
Sin Cu berduka sekali berbareng merasa lucu, mau ia
tertawa, tetapi tidak dapat. Bocah ini lupa akan dirinya, dia
harus dikasihani.
"Entah dia telah di-kasi makan obat apa sampai gurunya
pun dia lupakan," pikirnya.
"Walaupun demikian, ia agaknya belum melupakan semuamua.
Bukankah tadi setelah melihat aku, dia rada-rada masih
mengingatnya?"

572
"Enciel" berkata Siauw Houwcu, menanya. "Eh, suhu!.
Sekarang kita hendak pergi ke mana?" Dia memanggil
encie dan suhu dengan beruntun. Rupanya dia masih ingat
nona itu pun gurunya (suhu).
Sin Cu juga tidak tahu ke mana ia harus ajak bocah ini
tetapi ia tertawa.
"Aku bukannya gurumu, akulah encie-mu1." ia bilang.
"Gurumu adalah dua orang India yang parasnya masingmasing
hitam dan putih!"
Kedua matanya Siauw Houwcu mencilak, ia seperti ingat
suatu apa.
"Ah, aku takut!..." katanya.
"Kau takut apa?" si nona tanya.
"Aku takut padamu!"
Nona itu tertawa.
"Kenapa kau takut padaku?"
"Sebab dia telah bilang padaku, kecuali dia, tidak ada lagi
orang lain yang hatinya baik. Tadi kau telah serang dia, aku
takut..." Dengan "dia," terang bocah ini maksudkan
pengantinnya. Inilah Sin Cu bisa duga.
"Benar-benarkah kau percaya dia?" ia tanya, tertawa.
Siauw Houwcu tidak menjawab, dia cuma mengawasi.
"Habis dia itu hendak jadi isterimu! Apakah kau tidak
takut?"

573
Tubuh Siauw Houwcu menggigil.
"Benar, kelihatannya setiap orang pun menakuti!..."
katanya. Nyata dia jeri.
"Bagaimana aku mesti berbuat untuk membikin dia
mempercayai aku?" Sin Cu tanya dirinya sendiri. Ia berpikir
keras. Tiba-tiba ia kena raba sesuatu di pinggangnya. Segera
ia menanya: "Ayahmu telah wariskan kau golok Bianto apakah
golokmu itu masih ada?"
Siauw Houwcu mengawasi dengan bengong.
"Masih ada!" sahutnya sesaat kemudian. Goloknya itu ada
golok lemas, yang dia libat di pinggangnya bagaikan sabuk,
sampai si nona pengantin pun tidak mendapatkannya. Dia
lantas lepaskan golok itu dari pinggangnya, terus dua kali dia
membacok ke udara.
"Bukankah ini golok itu?" dia tanya. Dia ada begitu
gembira, di situ juga dia lantas bersilat, memainkan ilmu golok
Ngohouw Toanbun too. Dia tertawa, terus dia tanya: "Kau
lihat, aku masih belum lupa!"
"Betul!" Sin Cu menyahuti.
"Kuat ingatanmu! Sekarang coba kau mengingat-ingat pula.
Siapakah yang ajari kau ini ilmu golok?"
"Pasti sekali ayah!" sahut Siauw Houwcu, cepat dan
bangga. "Ayahku ada satu enghiong terbesar, satu hoohan
sejati!"
"Mana baju yang berlumuran darah dari ayahmu itu?" tibatiba
Sin Cu menanyakan lain hal.

574
Kembali Siauw Houw menjublak.
"Baju yang berlumuran darah?" katanya, bagaikan
mendumal.
"Benar, baju berdarah!" Sin Cu memberi kepastian.
"Mustahil kau lupai baju ayahmu itu?"
Siauw Houwcu berdiam, pikirannya bekerja. Erat sekali
perhubungan di antara ayah dan anak, tidak gampang untuk
melupakan itu. Sebagaimana Sin Cu tidak dapat melupakan
Tan Hong, gurunya, yang ia sangat puja. Siauw Houwcu
sebaliknya sangat menghargakan dan memuliakan ayahnya
itu. Pelahan-lahan ingatannya itu seperti terbangun.
"Eh, mengapa ayahku memberikan aku baju berdarah itu?"
katanya, habis menjublak lagi sekian lama. "Ayah penasaran
kenapakah?"
"Ayahmu itu orang baik atau bukan?" Sin Cu tanya
mendadak.
"Apa perlunya untuk menyebutkan itu lagi?" Siauw Houwcu
menjawab, membentak. Ia terlihat murka.
“Ini golok Bianto serta baju berdarah itu, siapakah yang
kasikan padamu?" Sin Cu tanya pula tanaa pedulikan
kemarahan orang.
Bocah itu mementang lebar matanya.
“Itulah kau!" serunya. "Ya! Encie Sin Cu, sekarang aku
percaya kau, kau memang orang baik! Bilangi aku, encie,
kenapa ayahku serahkan baju berdarah padaku?"

575
Sin Cu menatap, ia bersenyum.
"Kau percaya aku, itulah bagus," sahutnya. "Tentang
ayahmu itu nanti saja aku tuturkan padamu. Sekarang coba
kau pikirkan, kenapa kau dapat tiba di sini. Dan kedua gurumu
itu, ke mana mereka sudah pergi?"
Sengaja Sin Cu menanya begini, supaya orang tidak
"terpukul" urusan hebat dari ayahnya dia itu. Ia pun mencoba
menggempur ingatan orang yang kabur. Sia-sia usahanya ini.
Siauw Houwcu, tidak dapat lantas mengingatnya.
Sin Cu menanti, ia mencoba menanya, hasilnya tidak ada.
Hingga ia ingat: "Pernah aku dengar di wilayah orang Biauw
ini ada kedapatan beberapa rupa rumput obat yang mujijad,
sekarang baiklah aku ajak Siauw Houwcu ke rumah si nyonya
yang rumahnya aku tumpangi, untuk menanyakan
keterangannya."
Untuk pulang dengan mengajak Siauw Houwcu, Sin Cu
tidak menampak kesukaran. Siauw Houwcu benar-benar telah
mempercayai ia, tempo ia mengajak, bocah itu mengikuti
dengan jinak
Nyonya rumah sudah tidur ketika Sin Cu mengetok pintu. Ia
mendusin dengan kaget.
"Apakah sudah bubaran orang mengacau di kamar
pengantin?" menanya nyonya itu sambil ia turun dari
pembaringannya. "Aku menyangka kau akan pulang di waktu
terang tanah!"
Ia membuka pintu, tangannya memegang sebatang obor
cabang cemara. Lantas saja ia terkejut kapan ia melihat si
nona datang berdua dan bersama siapa. Ia sampai tergugu.

576
"Kau... kau..." katanya kepada Siauw Houwcu. "Bukankah
kau si mempelai laki-laki? Ha, perawan yang bernyali besar!
Kenapa kau bawa pulang baba mantunya touwsu kami?"
Perkataan itu, pertanyaan itu, ditujukan kepada si bocah dan
si nona berbareng.
Sin Cu bersikap tenang.
"Dia ini ialah adikku," ia menjawab. "Entah dia makan obat
apa, ingatannya menjadi kacau hingga dia lupa segala apa.
Sebenarnya dia sungkan menjadi baba mantunya touwsu !"
Nyonya itu heran.
"Ha? Benarkah itu?" katanya. Ia lantas menyuluhi mukanya
Siauw Houwcu. Mendadak ia ketakutan, mukanya menjadi
pucat. Ia lantas tarik Sin Cu ke samping.
"Celaka!" serunya. "Dia bukan cuma telah makan obat lupa
ingatan, dia pun terkena buatan orang! Lewat satu tahun
habis ini, kalau dia tidak ditolong dengan obatnya orang yang
mencelakai dia, dia pasti bakal mati! Mungkin ini ada
perbuatan puterinya touwsu, yang kuatir adikmu berubah
hatinya. Sudah obat pelupa itu sukar disembuhkannya, obat
racun itu terlebih sukar lagi seperti aku katakan, cuma
pembuatnya yang dapat menolongnya...”
Sin Cu terkejut. Ia mau percaya keterangannya nyonya ini.
Selang sesaat baru ia dapat kembali ketenangannya. Menurut
nyonya itu, daya pertolongannya bukannya tidak ada. Ia
lantas minta si nyonya tolong mengobati itu penyakit lupa
ingatan.
Nyonya itu berdiam sekian lama, lalu dengan cepat ia pergi
keluar rumahnya. Ia pergi tidak lama atau ia telah kembali,
tangannya membawa segeng-gam rumput, ialah daun obat

577
yang ia maksudkan. Ia lantas saja masak air, untuk menyeduh
rumput itu, yang terus diminumkan kepada Siauw Houwcu.
"Pahit!" kata si bocah habis dia menenggak seceglukan.
"Satu enghiong, satu hoohan, dia tidak takut langit atau
bumi!" berkata Sin Cu. "Masa dia takut rasa pahit?"
"Akur!" menimpali Siauw Houwcu, lantas dia cegluk habis
air obat yang pahit itu. Hanya, habis itu, ia kata: "Ah, aku
kepingin tidur!"
Nyonya rumah menepuk punggung orang dua kali.
"Baiklah, pergi kau tidur!" katanya.
Siauw Houwcu tapi-nya bukan tidur, dia hanya duduk
bersila, kedua matanya dimeramkan. Nyata ia duduk
bersamedhi.
Sin Cu mengeluarkan sepotong perak, ia angsurkan itu
kepada si nyonya.
Nyonya itu agaknya tidak senang, dia menampik uang itu.
"Aku lihat kau baik, aku suka membantu padamu," Ia
berkata. "Apakah kau sangka aku mengharap uangmu?"
"Maaf, maaf!" berkata Sin Cu lekas. Ia simpan pula
uangnya.
Nyonya itu menghela napas.
"Aku juga tidak merasa pasti obatku akan berhasil atau
tidak," katanya kemudian.

578
Sin Cu terperanjat.
"Kenapa begitu?"
"Obatku ada obat yang umum," menerangkan si nyonya.
"Racun yang dimakan adikmu ini sebaliknya mirip dengan
racun terhebat yang sulit didapatnya di wilayah kita ini.
Namanya racun itu ialah Bongyu cauw rumput lupa kedukaan.
Lagi pula ia kena buatan orang, maka setelah makan obatku,
mungkin dia tak sadar seluruhnya.
Hanya, melihat keadaannya sekarang ini, mungkin
ingatannya akan kembali."
Keduanya lantas berdiam. Sin Cu dengan pikiran kurang
tenang.
Berselang lagi sekian lama, Siauw Houwcu kelihatan
menggeraki pinggangnya dibikin lempang. Terus saja dia
membuka matanya.
"Aku merasa lega," katanya. "Aku ingat sekarang! Kedua
guruku telah bertempur sama satu orang, bertempurnya di
dalam sebuah rumah yang luar biasa..."
Sin Cu terkejut.
"Tunggu!" katanya. Terus ia menghadapi nyonya rumah,
akan berkata: "Nyonya, terima kasih untuk kebaikan kau.
Sekarang juga aku mesti berangkat pergi..."
"Benar," berkata si nyonya, yang mengarti maksud orang.
"Memang kamu mesti lekas pergi menyingkir. Begitu lekas
sang fajar datang, sukar untuk kamu melarikan diri!"

579
Lagi sekali Sin Cu mengucap terima kasih, terus ia ajak
Siauw Houwcu lari keluar.
"Dengan siapa kedua gurumu itu berkelahi?" si nona tanya,
sesudah mereka sedikit jauh dari rumah si nyonya.
"Bagaimana caranya kau berpisah dengan kedua gurumu itu?"
"Aku merasa aku dan kedua suhu datang dari tempat yang
jauh sekali," Siauw Hou Cu menyahut. Ia agaknya berpikir.
"Pada suatu hari, setahu kenapa, kami memasuki sebuah
rumah tua semacam bentengan. Di sana sedang diadakan
pesta. Para hadirin di situ, semuanya beroman luar biasa.
Yang lebih menakuti adalah seorang di antaranya. Dia lanang
kepalanya, tubuhnya sangat kurus, kulitnya kering, dia mirip
dengan mayat hidup. Meski begitu, terhadap kedua guruku,
nampaknya mereka hormat sekali, mereka mengundang
minum arak. Habis itu, entah kenapa, mendadak mereka
berkelahi. Aku membantu kedua guruku melawan mereka.
Tiba-tiba aku kena dijambak si mayat hidup, lantas aku tak
sadar lagi. Ketika kemudian aku mendusin, aku rebah di
rumah si touwsu tadi. Puteri touwsu itu mengasi aku minum
secangkir teh panas. Setelah itu, kacaulah ingatanku. Tapi dia
berlaku sangat baik padaku, setiap hari dia merawat dan
melayani aku dengan telaten sekali. Sesudah aku sembuh,
lantas dia menggerembengi aku, dia bilang dia mau menjadi
isteriku. Coba aku tahu dia bukannya isteri yang baik, tidak
nanti aku menerima baik untuk menjadi suaminya."
Sin Cu tak tahan tertawa. Bukan saja ceritera Siauw
Houwcu lucu, ia pun senang yang ingatan orang telah pulih
kembali, meskipun belum seluruhnya.
"Kalau benar dia mempunyakan tempo satu tahun untuk
dapat disembuhkan dari racun buatan orang itu," ia berpikir,
"masih ada tempo untuk mendaya-kan memaksa si
perempuan siluman menyerahkan obat pemunah-nya.

580
Sekarang ini perlu dicari tahu dulu di mana adanya Hek Pek
Moko." Maka ia lantas tanya Siauw Houwcu: "Di mana
letaknya benteng tua itu? Apakah kau masih ingat?"
"Nanti aku coba mencarinya," menyahut bocah itu. "Kalau
tidak salah adanya di lembah di gunung depan itu..."
Sin Cu suka mengiringi, maka sekarang dialah yang
dipimpin Siauw Houwcu pergi ke gunung di depan mereka.
Jalanan sukar dan banyak tikungannya tetapi bocah itu dapat
mengingatnya. Tidak selang lama, tiba sudah mereka di
sebuah lembah yang gelap di mana cahaya rembulan tak
dapat menembus masuk. Cuma ada cahaya yang kecil sekali
yang molos di antara sela-sela batu. Dari atas gunung sering
terdengar suaranya si burung malam dan angin gunung yang
dingin saban-saban meniup bersilir. Hawa dingin itu dan
suasana lembah itu dapat membuat orang bangun bulu
romanya. Sin Cu sendiri sampai merasa seram.
Lagi sekian lama, lalu Siauw Houwcu menghentikan
tindakannya.
"Sudah sampai!" katanya. "Lihat, itulah benteng tua itu!"
Sin Cu mengawasi benteng yang ditunjuk si bocah.
Bangunan itu memang luar biasa. Di empat penjuru tembok
semua. Di kiri dan kanannya ada bangunan seperti menara
bundar. Sebuah pintu sempit sekali kedapatan di situ, sempit
hingga cuma muat satu orang untuk keluar dan masuk. Dari
dalam pintu itu terlihat sinar terang dari api. Sebab pintu itu
terbuka. Pula dari dalam terdengar suara orang bicara sambil
tertawa-tertawa, meskipun lapat-lapat.
Ketika itu sudah jam empat, di dalam benteng masih ada
api menyala dan pula suara orang pasang omong, benarbenar
luar biasa. Cuma sedetik saja Sin Cu bersangsi, lantas ia

581
tarik tangannya Siauw Houwcu, buat diajak menghampirkan
pintu itu, untuk ke dalamnya, terus ke sebuah ruang besar. Di
situ ada sebuah meja panjang, di atasnya tersajikan rupa-rupa
barang hidangan berikut araknya. Duduk di meja tuan rumah
ada seorang yang kepalanya gundul licin, tubuhnya kurus
sekali dan kulitnya kering, benar mirip satu mayat hidup.
Di tempat tetamu, semua kursi kosong. Adalah di
lorongnya, di kiri dan kanan, ada berbaris pelayan pria dan
wanita.
“Itulah dia si orang aneh!" berkata Siauw Houwcu
menunjuk si mayat hidup. Ia agaknya tidak jeri, sebagaimana
juga Sin Cu. Kalau tidak, tidak nanti mereka berani masuk
sampai di ruang besar itu.
Melihat Siauw Houwcu, kelihatan si mayat hidup itu kaget,
sampai ia mengeluarkan sepatah kata tertahan. Kemudian
barulah ia berkata terus.
"Kenapa kau tidak jadi mempelai di rumahnya touwsu?"
demikian pertanyaannya. "Mau apa kau datang ke mari?"
"Aku tidak menginginan isteri!" teriak Siauw Houwcu
dengan jawabannya. "Aku menghendaki guruku!"
Orang aneh itu tertawa dingin.
"Suhu apa kau ada punya?"tanyanya.
"Kenapa aku tidak punya suhu?" Siauw Houwcu
membentak pula. "Guruku bukan cuma satu! Bukankah itu
hari aku punya Hek Suhu telah berkelahi denganmu di sini?
Lekas kembalikan guruku!"
Wajahnya orang aneh itu jadi semakin tak enak dilihat.

582
"Siapakah yang telah memberi obat pemunah kepadanya?"
dia menanya bengis pada seorang di sampingnya, ialah
muridnya. "Lekas bekuk dia!"
Murid yang diperintah itu bergerak maju, akan tetapi baru
ia bertindak, ia sudah diserang Sin Cu dengan setangkai
bunga emas, tepat mengenai jalan darahnya, bukan dia
roboh, dia hanya menindak seraya kedua tangannya diangkat,
seperti mengancam hendak menerjang.
Orang aneh itu mengasi dengar suara tertawa terkekeh
yang menyeramkan.
"Kiranya ada Thio Tan Hong yang menjadi tulang
punggungmu!" katanya bengis, mengejek. "Pantas kamu
berani datang ke mari meminta orang!" Dia melenggak, dia
tertawa tiga kali, terus dia berkata nyaring: "Thio Tayhiap
kesohor di dunia ini, mengapa kau menyembunyikan kepala
dan mengumpatkan ekor? Kenapa kau cuma kirim dua bocah
datang mengacau di sini? Kau sembunyi saja, apakah kau
tidak kuatir nanti ditertawakan orang? Diundang tidak sama
dengan bertemu secara kebetulan, maka itu silahkanlah
masuk ke mari. Aku silahkan kau minum tiga buah cangkir!
Tidak ada halangannya bukan?"
Sin Cu melihat orang menggerakki tubuh dan tangan
seperti orang yang mempersilahkan tetamunya masuk dan
duduk, mau atau tidak, ia menjadi tertawa berkakakan.
"Apakah kau melihat hantu?" di menegur sekalian
mengejek.
"Guruku ada di Tali di gunung Khong San! Jikalau kau
hendak mengundang dia menghadiri pestamu ini, lekas kau

583
menulis surat undangannya, kau serahkan itu padaku, nanti
aku yang tolong membawa dan menyampaikannya!"
Orang aneh itu mengawasi dengan perasaan sangat heran.
Dia tidak menyangka sekali orang ada demikian berhati besar.
Ia menduga Thio Tan Hong datang bersama. Ia pun mau
percaya Siauw Houwcu ditolongi Tan Hong. Karenanya tidak
berani ia lancang turun tangan. Sekarang mendengar Tan
Hong berada jauh di gunungnya, wajahnya lantas saja
menjadi berubah bengis.
"Kau dengar tidak perkataanku?" dia tanya Siauw Houwcu.
Kedua matanya pun mencorong menatap bocah itu. Kemudian
dia menyapu dengan matanya yang berpengaruh itu kepada
Sin Cu.
Tanpa merasa, kedua orang itu bergidik sendirinya. Sin Cu
merasa mata orang mempunyai pengaruh iblis, yang
membuatnya hati orang goncang. Maka ia lantas saja
menguasa dirinya, kepada Siauw Houwcu ia membisiki: "Lekas
pusatkan pikiranmu, jangan kau awasi dia!"
Siauw Houwcu sudah menjublak seperti ia terkena
pengaruh ilmu sihir, mendengar kisikan si nona, mendadak ia
sadar. Malah segera ia membentak: "Siapa sudi dengan
perkataanmu? Aku cuma dengar perkataan guruku! Mana
kedua guruku itu?"
"Kedua gurumu itu bukan tandinganku," menyahut si orang
aneh. "Mereka telah aku hajar hingga mereka lari kabur!"
"Ngaco!" Siauw Houwcu membentak. "Kedua guruku ada
enghiong-enghiong di jaman ini, mana dapat kau menghajar
mereka!"

584
"Baik!" seru orang aneh itu. "Jikalau kau tidak percaya,
mari aku ajak kau pergi melihatnya!" Sembari mengatakan
demikian, setindak demi setindak dia menghampirkan si
bocah, kedua matanya dengan sinarnya yang tajam terus
menatap, mukanya memperlihatkan senyum aneh.
"Celaka!" berseru Sin Cu di dalam hatinya seraya terus ia
menimpuk dengan tiga buah bunga emasnya.
Orang aneh itu tertawa dingin.
"Segala mutiara sebesar biji beras juga mengeluarkan
sinar!" mengejeknya. Ia mengibaskan tangannya, jari-jarinya
menyentil. Dengan menerbitkan suara nyaring, ketiga bunga
emas terpental nyamping tinggi, nancap di balok penglari
merupakan tiga segi seperti huruf “ pin." Coba serangan itu
mengenai tubuh manusia, sasarannya ialah tiga jalan darah
lengciu hiat di kiri buah susu serta pusar.
Hebat sentilannya orang aneh itu, Sin Cu kaget hingga
parasnya berubah menjadi pucat, karena ia tahu, bunga
emasnya itu tajam di empat penjuru, tidak dapat senjata
rahasia itu membentur daging. Tapi sekarang si orang aneh
menyentilnya! Malah sentilan itu mengasi dengar suara
nyaring, itu menyatakan tangannya bukan seperti berdarah
daging...
"Siauw Houwcu lekas gunai Liongkun!" ia segera serukan
kawannya. Meski ia kaget dan gentar hatinya, ia masih ingat
akan bahaya yang mengancam mereka. Ia sendiri pun sudah
lantas menghunus Cengbeng kiam.
Siauw Houwcu berada di sebelah depan, dia sudah lantas
menyerang.

585
"Bus!" demikian serangannya mengenai jitu tetapi suaranya
seperti ia memukul rumput layu dan tubuh orang pun tidak
bergeming jangan kata terhuyung. Malah si orang aneh pun
sudah lantas mengibas mental pedangnya si nona.
"Haha!" dia tertawa lebar. ”Biarpun pedangmu tajam, apa
dia bisa bikin terhadap aku?" Dia mengejek Sin Cu, matanya
tapinya melirik tajam kepada Siauw Houwcu, suaranya yang
bengis diperdengarkan: "Hm! Kau berani tidak dengar kataku!"
Siauw Houwcu bergidik, ia mengigil. Sin Cu penasaran
kembali ia menyerang dengan hebat, tiga kali beruntun. Orang
aneh itu sangat terkebur, dia tetap membawa sikapnya yang
sangat memandang enteng kepada si nona, dia pun
menggunakan pula kibasannya untuk menghalau pedang,
supaya pedang itu terpental seperti tadi. Akan tetapi kali ini
dia keliru menduga, dia tidak menginsafi liehaynya ilmu
pedang Hian Kee Kiamhoat dari Hian Kee Itsu. Tanpa
keliehayannya itu, Hian Kee Kiamhoat tidak nanti menjadi
sangat tersohor.
Dua serangan Sin Cu yang pertama gertakan belaka, yang
ketiga kali adalah serangan sungguh-sungguh, dan
gerakannya pun diubah sedikit di saat ujung pedang
meluncur. Maka "Bret!" robek dan kutunglah ujung bajunya si
orang aneh itu!
"Sayang!..." Sin Cu mengeluh. Sebenarnya ia mengarah
lengan si orang aneh, untuk dibikin putus, saking lincahnya
musuh, ia tidak dapat mencapai maksud hatinya itu. Cuma,
karenanya, ia membikin buyar beberapa bahagian dari
kejumawaan orang.
Di saat si orang aneh menyingkir dari pedang si nona, yang
membuatnya ia terperanjat, kembali pukulannya Siauw

586
Houwcu mengenakan perutnya hingga terdengar suara keras
"Buk!" Sebab bocah itu menyerang selagi Sin Cu membabat.
Hanya akibat serangan bocah ini ada hebat. Dia mengenai
sasarannya tetapi dia tidak mampu segera menarik pulang
kepalanya itu, yang seperti nancap atau nempel di perut
orang.
"Enciel" dia berteriak, dengan mukanya menjadi merah
bahna malu dan kaget. Kaget karena mendadak tubuhnya
lantas terangkat naik dan terlempar!
Sin Cu pun kaget akan tetapi ia cukup tabah dan sebat,
begitu kaget begitu ia menyerang, membabat lengan si orang
aneh itu. Lagi sekali si orang aneh mengibas dengan tangan
bajunya, kali ini dia bukannya hendak membikin mental tetapi
untuk melibat. Tapi si nona liehay sekali, ia lantas berontak
seraya menegakkan tangannya, maka itu, ia dapat lolos
dengan tangan bajunya lawan lagi-lagi terbabat kutung! Si
nona tidak berhenti sampai di situ, kecerdasannya membuat ia
sadar. Maka menggunai ketikanya itu, hendak ia menusuk ke
dadanya lawan. Akan tetapi bertepatan dengan itu mendadak
ia mendapat cium semacam bau yang asing untuknya, bau itu
keluar dari tangan baju si orang aneh. Ia kaget, buru-buru ia
menahan napas, guna menyingkir dari bau itu. Karena ini,
belum sempat ia menikam. Di saat itu, tahu-tahu ia telah kena
ditotok si orang aneh!
"Haha!" orang aneh itu tertawa. "Sebenarnya aku ingin
menyaksikan Hian Kie Kiamhoat di jalankan habis, untuk
menyaksikan keliehayannya, sayang aku mesti melayani
tetamu agung, sukar untuk aku menemani kau lebih lama
pula!..."
Hampir berbareng dengan itu, Siauw Houwcu juga telah
kena ditotok hingga berdua Sin Cu ia menjadi mati daya,

587
berdua mereka lantas dibawa ke barisan murid-muridnya si
orang aneh. Nona Ie tidak dapat menggeraki kaki tangannya
tetapi pikirannya sadar. Ia heran bukan main, hatinya menjadi
goncang. Ia heran atas keliehayan orang, ia pun mendugaduga
siapa tetamu agung dari orang itu. Adakah si tetamu
juga orang aneh semacam dia?
Orang aneh itu berlalu sebentar, untuk menyalin pakaian,
ketika ia muncul pula, ia menitahkan tetabuan dibunyikan.
Cuma sebabak, musik berhenti, lantas terlihat datangnya dua
orang. Sin Cu mementang matanya. Ia dapatkan dua orang itu
adalah seorang pria dan seorang wanita, dan si wanita adalah
orang asing yang berambut berwarna keemas-emasan,
wajahnya cantik, romannya agung. Dia mengenakan rok yang
panjang hingga mengenai lantai. Kembali Sin Cu heran melihat
wanita agung ini. Kenapa dia datang ke tempat semacam
benteng tua ini?
Si orang pria be-roman tampan, tubuhnya tinggi,
nampaknya pun agung. Ia tidak bisa lantas dikenali apa ia
orang Barat atau orang Han. Tapi ia mengenakan pakaian
orang asing. Ia berhidung mancung dan kedua matanya
bersinar tajam. Kulitnya berwarna kuning tetapi rambutnya
hitam. Ia berjalan dengan berpegang tangan dengan si
wanita, keduanya nampak akrab sekali perhubungannya.
Siauw Houwcu mengawasi dengan bengong. Sin Cu
sebaliknya menduga-duga, mereka itu berdua suami isteri
atau bukan.
"Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk
perlayanan ongya di sini," terdengar si pria berkata kepada si
orang aneh, yang dipanggil "ongya" atau "tuanku raja" atau
"tuanku pangeran." Untuk banyak hari kami sudah
menggerecok di istanamu ini, tidak dapat kami berdiam lebih
lama pula, maka itu hari ini kami mohon pamitan."

588
Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa yang kaku, seperti
juga orang yang sudah lama meninggalkan kampung
halamannya, yang baru pulang kembali, tinggal lagu suara
asalnya yang belum berubah.
Sin Cu berpikir keras. Orang aneh ini ongya dari mana? Biar
bagaimana ia ada puterinya satu menteri dan luas juga
pengetahuannya. Kerajaan Beng, semenjak dibangun Kaisar
Cu Goan Ciang, meskipun banyak menganugerahkan raja-raja
muda di pelbagai propinsi tetapi belum pernah ia dengar ada
pangeran yang diangkat menjadi raja atau raja muda di
propinsi Kuiciu ini. Orang ini dipanggil ongya maka heran dia
punya " onghu" alias istana adalah macam ini benteng tua dan
juga tidak seharusnya dibangun di tanah pegunungan sepi
sunyi seperti ini. Bukankah ongya ini ongya palsu?
Si mayat hidup itu bersikap sangat menghormat kepada
kedua tetamunya itu, wajahnya senantiasa tersungging
senyuman manis. Ketika ia menyahuti, ia pun menjura dalamdalam.
"Sungguh siauw ong sangat berbahagia telah mendapat
kunjungan dari kongcu dan huma ini," demikian katanya.
"Oleh karena huma berkeras hendak berangkat, siauw ong
tidak dapat menahannya terlebih jauh. Perjalanan ini ke kota
raja Tiongkok adalah jauh, jalannya banyak sungai dan
gunungnya, keamanannya pun kurang, maka itu perlu sekali
ada orang pandai yang mengiringinya, baru hatiku
tentaram..."
Kembali Sin Core heran. Si orang aneh dipanggil ongya,
selayaknya saja dia membasahkan diri siauw ong," yaitu "raja
yang kecil." Wanita itu dipanggil "kongcu" artinya puteri, dan
si pria dipanggil "huma," yaitu suaminya puteri atau menantu
raja. Tidakkah itu aneh?

589
"Benarlah mereka sepasang suami isteri," nona kita
berpikir. "Entah dia kongcu dari raja atau negara mana. Dia
menjadi kongcu, kenapa dia tidak punya pengiring? Apa
perlunya tuan puteri ini berkunjung ke Tiongkok? Meski
Tiongkok ada negara besar, sudah lama lemah kedudukannya,
sudah lama tak pernah datang utusan dari negara lain, maka
itu, dari mana tuan puteri ini? Umpama kata benar dia
mewakilkan negaranya dan hendak datang ke Tiongkok untuk
membayar upeti, bukankah tak perlu dia mengambil jalan dari
Kuiciu ini terutama mengambil jalan pegunungan yang jauh
dan sulit hingga dia mesti mampir di sini? Bukankah dia juga
tuan puteri palsu? Hanya, kalau dikata palsu, suami isteri ini
nampaknya benar-benar agung..."
Maka itu, pusing Sin Cu memikirkannya. Pria yang dipanggil
huma itu kelihatannya rada bersangsi.
"Sebenarnya kami telah diantar oleh dua orang pandai,
hanya dengan mereka itu kami berpisah di tengah jalan,"
berkata dia kemudian. "Lama kami menantikan mereka, tidak
juga mereka kunjung tiba, dari itu terpaksa kami lantas
berangkat terlebih dulu."
"Kalau begitu, tidakdapat kongcu dan huma berangkat
sendiri," berkata si orang aneh, "Baiklah siauw ong saja yang
mengiringi pengantar. Baiklah surat kepercayaan dan barang
hadiah diserahkan dia yang bawa. Dia ada seorang gagah
yang kenamaan, ilmu silatnya tinggi, orangnya pun jujur dan
setia, karenanya huma boleh tidak usah menguatirkan apaapa
lagi."
Huma itu menggeleng kepala.
"Tidak usah," bilangnya. "Tentang surat kepercayaan dan
barang hadiah itu, semua telah diserahkan kepada dua orang

590
pengantar kami itu. Kami berjalan dengan tubuh kosong, kami
tidak kuatirkan apa juga. Umpama kata di tengah jalan ada
gangguan segala kurcaci, rasanya dapat aku melayani
mereka!"
Orang asing itu tertawa.
"Huma pandai surat dan silat, siauw ong memang sangat
mengagumi kau," katanya, "Beda dengan kongcu, seorang
tuan puteri yang lemah lembut hingga kaget saja tidak dapat
kongcu mendapatkannya. Oh, ya, huma barusan menyebutkan
kedua orang pandai yang menjadi pengantar, bukankah
mereka ada dua saudagar bangsa India yang mukanya
masing-masing hitam dan putih, ialah kedua saudara kembar
yang dipanggil Hek Pek Moko?"
Huma itu nampaknya heran.
"Mengapa ongya ketahui mereka itu?" ia balik bertanya.
"Mereka pernah mengirim satu muridnya datang ke mari,
siauw ong kurang percaya," sahut orang aneh itu. "Kiranya
benar-benar mereka adanya."
"Mana dia muridnya Hek Pek Moko itu?" si huma tanya.
"Dia ada di sini..."
Sembari menyahuti, si orang aneh menghampirkan Siauw
Houwcu, yang ia tarik dari antara murid-muridnya. Sin Cu
bermata celi, dia mendapat tahu orang aneh itu telah
menggunai ilmu totokan yang luar biasa untuk membebaskan
si bocah, hanya sementara itu, sembari mencekal tangan
orang dia sebenarnya memencet nadi.

591
Siauw Houwcu bergidik, dengan jinak dia mengikuti orang
aneh itu. Sin Cu heran menyaksikan bocah itu demikian jinak.
"Siauw Houwcu beradat keras dan berani, biar nadinya
dipencet, tidak selayaknya ia jinak begini?" ia berpikir. Maka ia
mengawasi terus. Siauw Houwcu tetap jinak dan si orang aneh
memperlihatkan kedua matanya yang bersinar sangat tajam
dan berpengaruh menatap bocah itu.
"Bukankah kau datang bersama kedua gurumu, Hek Suhu
dan Pek Suhu itu?" tanya si orang aneh.
"Benar," Siauw Houwcu menjawab.
"Kau datang ke mari mencari gurumu, benarkah?" tanya
pula si orang aneh.
"Benar, tidak salah," jawab pula Siauw Houwcu. Ia seperti
terpengaruh tetapi ia dapat menjawab rapi.
"Eh, Siauw Houwcu, apakah kau masih kenali kami?" si
huma turut bertanya.
Siauw Houwcu menjublak mengawasi huma dan kongcu
itu, ia rupanya mengingat secara samar-samar saja.
Si orang aneh tertawa.
“Ingatannya anak kecil kurang kuat," ia bilang. "Berapa
kalikah huma pernah bertemu sama Siauw Houwcu?"
"Heran!" berkata huma itu. "Ketika pertama kali aku
bertemu dengannya di Kalimpong, dia nampaknya sangat
cerdik."

592
"Setibanya di sini, karena udara tidak cocok, dia lantas
dapat sakit," berkata si ongya , "Sudah beberapa hari dia jatuh
sakit, baru sekarang dia sembuh sedikit." Dia lantas menepuknepuk
tangannya dan berkata nyaring: "Undang Bong Goan
Cu datang ke mari!"
Titah itu rupanya ada yang lakukan, maka sebentar saja
dari dalam terlihat munculnya satu orang dengan dandanan
sebagai bangsa Biauw. Dialah itu orang yang di rumah touwsu
telah memale Siauw Houwcu, yang kemudian ditinggal lari
Siauw Houwcu dan Sin Cu sehabisnya dia dihajar roboh.
"Siauw Houwcu, apakah kau masih kenali orang ini?" si
orang aneh tanya sambil menunjuk Bong Goan Cu.
"Aku ingat," sahut Siauw Houwcu. "Tadi malam kita masih
ada bersama."
Si orang aneh menghadapi huma, lalu sambil menunjuk
Bong Goan Cu, dia kata: “Ini orang bersahabat kenal dengan
Hek Pek Moko. Hek Pek Moko itu lagi beberapa hari bakal
datang ke mari. Umpama kata huma ingin cepat-cepat
berangkat, boleh siauw ong menitahkan Bong Goan Cu yang
mengantarkan, biar Hek Pek Moko menyusul belakangan."
Setelah melihat Siauw Houwcu, huma itu nampaknya mulai
percaya si ongya. Ia mengangguk.
"Baiklah kalau begitu!" katanya.
"Bagus!" kata si ongya pula. "Sekarang mari siauw ong
memberi perjamuan selamat berpisah kepada kongcu dan
huma." Ia lantas menuangi arak ke dalam cawan kumala
putih, araknya berwarna hijau. Lebih dulu ia menyuguhkan
kepada huma.

593
Itulah arak Biauw yang dicampuri obat pengacau asabat.
Huma itu menyambuti cawan itu, yang ia terus antar ke
mulutnya. Baru pinggiran cangkir nempel pada bibir, atau satu
sinar kuning emas berkelebat, segera terdengar suara nyaring
dari pecahnya cangkir. Sebab cangkir di tangan huma itu
pecah terbelah empat, terlepas dari tangan, mental jauh.
Berbareng dengan itu terdengar juga suara nyaring tetapi
halus: "Arak itu ada racunnya! Binatang ini bukannya orang
baik-baik!"
Itulah Sin Cu, yang telah menimpuk dengan kimhoa, bunga
emasnya. Selama itu di samping memasang mata dan kuning,
ia pun sudah kumpul semangatnya, ia empos itu. Dengan
mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil ia membebaskan diri
dari totokannya si orang aneh. Tentu sekali, kejadian ini ada di
luar dugaan mayat hidup itu. Malah saatnya pun sangat tepat,
hingga Sin Cu bisa menolong si huma tanpa orang aneh itu
dapat mencegah.
Setelah itu Sin Cu berlompat maju dan dengan pedangnya
ia serang pula si mayat hidup. Ia ada sangat berani. Orang
aneh itu menggeraki tangannya, dari dalam tangan bajunya
lantas menghembus pula bau aneh yang tadi menyerang
hidungnya si nona. Tapi sekarang Sin Cu dapat menahan
napas, dia pun menahas tangan baju orang. Dengan berpaling
cepat, ia melepaskan napasnya yang tertahan itu.
"Lepas pedangmu!" tiba-tiba si mayat hidup berseru.
Sin Cu merasakan tenaga kuat sekali menekan pedangnya.
Ia dapatkan orang aneh itu telah menjepit dan menekan
pedangnya dengan sepasang sumpit yang dia dengan sebat
telah samber dari atas meja, dengan itu dia menangkis
serangan membarengi menjepit. Pasti sekali Sin Cu kalah
tenaga hingga ia tidak berdaya.

594
"Jangan takut, encie Sin Cu!" Siauw Houwcu berteriak. "Aku
akan bantui kau!"
Juga bocah ini sadar akan dirinya, malah kata-katanya
disusuli serangannya, dengan begitu "Buk!" si orang aneh
kena terhajar kepalan Liongkun. Tapi serangan ini tidak
mengenai seluruhnya, sebab dari samping Bong Goan Cu
sudah menyambar tangan orang.
Bong Goan Cu telah kena orang hajar, dia bersakit hati,
maka itu sekarang dia turun tangan tidak kepalang tanggung,
hendak dia membikin remuk tulang orang, hingga Siauw
Houwcu merasakan tangannya sakit tidak terkira. Tapi ia
bandal, ia menahan sakit, tidak sudi ia menjerit kesakitan.
Menyaksikan kejadian itu, si huma mengkerutkan
keningnya. Di saat ia hendak perdengarkan suaranya,
mendadak dari pintu luar terdengar suara tertawa yang luar
biasa yang disusul seruan: "Siapa berani menghina muridku!"
Tertawa dan seruan itu segera disusul pula sama suara
hebat bagaikan guntur, yang disusul lagi dengan gempur
robohnya daun pintu, yang mendatangkan angin sampai api
lilin tertiup bergoyang-goyang.
Orang menjadi kaget, apapula setelah itu segera mereka
melihat munculnya dua orang yang romannya keren sekali,
ialah Hek Pek Moko, dua saudara kembar yang mukanya
hitam dan putih itu, malah lagu suaranya sama juga.
Bong Goan Cu terperanjat, ia segera melepaskan
cekalannya. Tapi ia sudah terlambat, serangannya Hek Moko
telah tiba tanpa dia sanggup menangkis atau berkelit dari itu.
Tidak ampun lagi dia kena terhajar hebat sampai tubuhnya
terlempar ke meja panjang di atas mana ada banyak rupa

595
barang makanan. Kaget jatuhnya tubuh, sebuah kaki meja
tidak dapat menahannya, meja itu turut ambruk bersama,
piring mangkoknya pada pecah dan hancur, bekas ketindihan
dan jatuh belarakan, menambahkan berisik.
Hek Moko sudah lantas tertawa berkakakan.
"Beginilah Liongkun harus digunakan, baru tenaganya
cukup besar!" ia kata, suaranya nyaring,
"Siauw Houwcu, kau lihat tegas-tegas! Aku hendak
mengajarkan pula kepadamu!"
Tangannya si hitam ini segera terayun pula, terayun
dengan memperdengarkan suara anginnya. Kepalan itu
melayang ke arah si orang aneh yang terpisah cukup jauh
dengan penyerang ini, sasarannya adalah muka orang.
Berbareng dengan itu, Sin Cu merasakan pedangnya
enteng. Itulah sebab dua batang sumpitnya si orang aneh,
yang dipakai menjepit pedang, telah kena dibikin patah oleh
sampokan ujung baju Hek Moko. Si orang aneh kaget dan
cemas. Untuk menangkis, ia menyamber dua muridnya yang
berada paling dekat dengannya, dia angkat tubuh orang,
untuk dipakai sebagai tameng. Kedua murid itu kalah pandai
daripada Bong Goan Cu, pasti mereka tidak berdaya. Masih
beruntung untuk mereka, Hek Moko tidak gunai seantero
tenaganya setelah ia lihat kelicikan si orang aneh.
Kesudahannya mereka terhajar terpental, yang satu patah
tulang rusuknya, yang lain patah lengannya, keduanya rebah
di lantai sambil merintih.
Kejadian itu membikin ciut hatinya murid-murid lainnya dari
orang aneh itu, banyak yang menyingkir, kuatir nanti digunai
gurunya sebagai tameng lagi.

596
"Hek Pek Moko, jikalau mau bicara, bicaralah dengan baik!"
berseru si orang aneh.
"Ada bicara baik apa!" menjawab Pek Moko. "Kepalanku ini
masih belum laku! Eh, Siauw Houwcu, kau lupa atau tidak
ilmu silatmu Loohan Kun?" dia menanya muridnya.
Murid itu berjengit.
"Suhu, tanganku ini tidak dapat digunai," dia menjawab.
"Ngaco!" bentak Pek Moko. "Kenapa tidak dapat digunai?"
Dia menghampirkan, dia jambret tangan yang sakit dari
muridnya itu, setelah menekan, dia menarik pelahan-pelahan.
Cuma sekejap itu saja, lenyap rasa sakitnya Siauw Hou Cu.
"Bagus!" berseru pula Pek Moko, si guru. "Dia membikin
luka lenganmu, sekarang kau hajar dia sepuluh kali!"
Bong Goan Cu lagi merayap bangun ketika Siauw Houwcu,
yang menghampirkan padanya, sudah melayangkan sebuah
kepalannya, maka tidak ampun lagi, dia terhuyung beberapa
tindak, hampir dia terguling. Dia terluka hingga kulitnya
pecah.
Hek Pek Moko tertawa berbareng.
"Bagus!" mereka membentak. "Sekarang kau, hantu
bangkotan, mari kau rasai kepalanku!"
Dengan berbareng dua saudara kembar itu berlompat
kepada si orang aneh, kepalan mereka menyambar. Orang itu
menjambret meja batu marmer, dengan itu ia menangkis.
Maka hancurlah batu marmer itu.

597
"Suhu, jangan sembrono!" si huma berteriak, kepada kedua
pengantarnya.
"Apa?" kedua Moko berpaling dan menanya. "Kamu
mengundang kami untuk mengantar kamu, kenapa sekarang
kamu melarang kami menghajar orang?"
"Dialah seorang raja Hoan!" huma menyahuti.
"Raja apa!" berseru Hek Moko, tertawa. "Dia ini adalah
Poan Thian Lo si siluman dari Ouwbong San. Dia sekarang lagi
main gila di sini!"
Lantas dua saudara kembar itu maju pula.
"Hek Pek Moko!" berkata si orang aneh. "Aku bermaksud
baik mengajak kamu berdamai! Apakah kamu sangka aku jeri
terhadapmu?"
Dia lantas meraba ke pinggangnya, maka di lain saat dia
telah mencekal serupa senjata yang aneh. Senjata itu mirip
dengan joanpian, ruyung lemas, akan tetapi seputar badannya
penuh duri bagaikan gergaji. Sebab itu adalah kiesit pian,
ruyung lemas bergigi. Itulah senjata yang cuma dapat digunai
partai persilatan Cie Hee Toojin dari Ouwbong San,
keistimewaannya ialah melibat merampas senjata lawan serta
menghajar pecah siapa yang tubuhnya kebal, yang tidak
mempan senjata.
Kedua Moko tertawa lebar melihat senjata itu.
"Lihat, senjata mustikanya Ouwbong San telah
dikeluarkan!" mereka berseru. "Kamu ada punya cambuk
mustika, kami juga ada punya tongkat serupa! Sekarang kami
ingin saksikan, cambuk atau tongkat yang terlebih liehay!"

598
Hek Moko sudah lantas menarik tongkatnya, Lekgiok thung,
dan Pek Moko, Pekgiok thung, masing-masing tongkat hijau
dan putih mengkilap, bila diputar keras, keduanya dapat
mengeluarkan suara nyaring berirama.
Poan Thian Lo melihat dan mendengar suara senjata lawan
itu, dia bergidik sendirinya, tetapi terpaksa dia lantas melayani
berkelahi. Oleh karena mereka sama-sama kosen, lekas sekali
mereka sudah bertempur sekira dua puluh jurus. Hanya hebat
kedua tongkat dari saudara kembar itu. Dulu hari melawan
Thio Tan Hong, tongkat itu membuat Tan Hong kewalahan
sebab pedang Cengbeng kiam tidak dapat merusaknya, maka
juga sekarang, senjatanya si orang aneh sudah lantas saja
menjadi gompal!
Hebat Hek Pek Moko, dengan pelahan-pelahan, dengan
teratur, mereka mulai mendesak, kedua tongkat mustika
mereka seperti menjadi satu. Ruyung lemasnya Poan Thian Lo
panjang setombak lima kaki, kalau itu digunai, diputar, senjata
itu seperti dapat menyamber dua lipat jauhnya, biasanya tidak
ada orang yang berani menghampirkan dia sampai dekat,
akan tetapi sekarang dia bertemu batunya, bukan saja dalam
hal ilmu silat dia kalah, mengadu senjata pun dia keteter, dari
itu kalangan pembelaan dirinya semakin lama jadi semakin
ciut. Agaknya segera pertempuran itu akan sampai di
akhirnya.
"Eh, Siauw Houwcu!" tiba-tiba Sin Cu berseru. "Kenapa kau
diam saja?"
Pek Moko dapat dengar pertanyaan itu, ia heran, hingga ia
lantas berpaling kepada muridnya. Ia menjadi bertambah
heran. Ia dapatkan Siauw Houwcu berdiri diam di hadapannya
Bong Goat Cu, matanya mendelong, kedua tangannya dikasi
turun. Di lain pihak Bong Goan Cu dengan matanya yang

599
tajam terus menatap bocah itu, tidak pernah dia menoleh ke
kiri dan kanan.
"Siauw Houwcu, kau mesti turut perkataanku!" demikian
Bong Goan Cu berkata suaranya bengis.
Menampak itu dengan mendadak guru yang putih itu
berlompat keluar dari kalangannya mengepung Poan Thian Lo,
dia berlompat kepada muridnya.
"Siauw Houwcu, kau kenapa?" dia berseru dengan
pertanyaannya. "Apakah kau sudah lupa ilmu silat Loohan
Ngoheng Kun yang aku ajari padamu?"
Sin Cu berteriak kepada orang India itu: "Siauw Houwcu
telah kena makan obat jahat dari mereka hingga urat sarafnya
terganggu!"
"Oh begitu!" seru Pek Moko. Lantas dia tarik tangan
muridnya, terus dia tepuk embun-embunannya, bebokongnya
dan rusuknya yang kiri, beruntun tiga kali. Habis itu ia berseru
menyuruh: "Lekas kau hajar dia! Dialah orang jahat!"
Itulah cara mengobatinya Pek Moko menurut ilmu yoga,
untuk menolong siapa yang urat sarafnya terganggu hingga
dia menjadi pelupaan. Pengobatan itu sangat mustajab, Siauw
Houwcu sudah lantas sadar, hingga bagaikan satu manusia
baru, dia segera ingat segala apa seperti sediakala. Bagaikan
berbayang di depan matanya, ia ingat baik-baik bagaimana
Bong Goan Cu telah perlakukan padanya. Tentu sekali ingatan
itu membangkitkan hawa amarahnya, maka juga tanpa Sin Cu
mente-riakinya lagi, seperti harimau ganas, dia berlompat
kepada Bong Goan Cu, untuk menyerang pula tanpa
mengucapkan sepatah kata, malah terus ia menyerang saling
susul dengan Loohan Ngoheng Kun, ialah ilmu silat Naga,
Harimau, Macan Tutul, Burung Hoo dan Ular.

600
Tadi diserang Hek Pek Moko, kepandaiannya Bong Goan Cu
telah lenyap separuh-nya, sekarang dia dirabuh si bocah, dia
menjadi kewalahan, dia tidak sanggup melayani lama-lama.
Maka lewat lagi sekian lama dia sudah roboh di lantai, kulit
dan dagingnya pada pecah dan hancur, urat-uratnya putus,
tulang-tulangnya patah, dengan napas empas-empis, dengan
tubuh berlumuran darah, ia rebah tanpa mampu merayap
bangun lagi!
Selama Pek Moko menolongi muridnya, Hek Moko mesti
menyerang Poan Thian Lo seorang diri, dengan begitu Poan
Thian Lo menjadi seperti dapat napas separuh, tetapi di
bawah desakan orang India ini, dia tetap keteter, dia tetap
kena didesak. Sudah begitu, segera Pek Moko datang pula
dengan tongkat putihnya, saking terdesak, dia sampai tak
malu-malu untuk berkaok-kaok...
Dua-dua Moko tertawa lebar.
"Baiklah!" berkata mereka. "Aku mengasi ketika untuk kau
memanggil bala bantuan!"
Lantas mereka tancap tongkat mereka, mata mereka
memandang ke kiri dan kanan.
Menyusul kaokannya Poan Thian Lo itu di ruang besar itu
sudah lantas muncul dua orang aneh lain!
***
Dua orang yang baru datang itu masing-masing
mengenakan baju kuning yang panjang, rambut mereka
digubat, sudah hidung mereka mancung, mata mereka celong.
Tapi yang aneh adalah, di samping pakaian mereka yang
berseragam itu, rupa mereka pun sangat mirip satu dengan

601
lain, kecuali, yang satu hilang kuping kirinya, yang kanan
lenyap kuping kanannya.
Di dalam ruang itu orang sudah heran melihat Hek Pek
Moko si saudara kembar, sekarang itu ditambah dengan
keheranannya atas dua orang baru ini. Benar-benar dunia
aneh, dalam sekejap, di sini muncul dua pasang saudara
kembar. Akan tetapi dua orang aneh ini dikenal oleh Hek Pek
Moko, juga oleh Sin Cu dan si bocah, malah mereka pernah
dilukai dengan panah oleh kedua saudara Moko itu. Mereka
dilukai pada tahun yang lalu di gunung Tongteng san di telaga
Thayouw. Sebab merekalah itu dua saudara kembar bangsa
Arab, Ismet dan Akhmad.
Melihat mereka itu, mulanya Hek Pek Moko tercengang, lalu
segera mereka tertawa lebar. Lekas-lekas mereka merangkap
kedua tangan mereka untuk memberi hormat.
"Saudara-saudara, sungguh kamu memegang
kepercayaan!" kata Hek Moko. "Tapi sekarang ini untuk
sampai kepada janji satu tahun masih kurang tiga hari!"
"Hm!" Ismet bersuara seraya ia membalas hormat. Tapi ia
tidak melayani orang bicara hanya lebih dulu dia berpaling
kepada si wanita asing yang cantik, untuk membungkuk
memberi hormat dari mulutnya terdengar kata-kata yang tidak
di mengerti Sin Cu dan Siauw Houwcu dan yang lainnya,
malah Hek Pek Moko juga mengarti tak sepenuhnya.
Habis mendengar perkataan orang, wanita cantik itu
mengkerutkan keningnya, d ujung matanya lantas terlihat air
mengembeng, parasnya turut berubah pias, akan kemudian
dia menjadi tak wajar lagi. Ismet bersikap semakin
menghormat, tetapi di samping itu, ia masih berkata-kata tak
hentinya.

602
Sin Cu sangat heran hingga ia berpikir: “Ismet dan Akhmad
ada kosen sekali, mereka sekarang berlaku begini hormat
terhadap ini wanita asing, terang benarlah ia ada seorang
wanita agung, satu tuan puteri. Hanya, kenapa mereka ini ada
sangkutannya sama Hek Pek Moko dan ini orang aneh dari
benteng tua ini?"
Sin Cu tidak mengarti tetapi dugaannya itu tidak meleset.
Wanita cantik itu memang ada puterinya raja Iran, suaminya
ialah itu pria yang berdiri di dampingnya, yang romannya
separuh orang Tionghoa dan separuh orang Arab. Sebenarnya
dia adalah seorang dari suku bangsa Pek dari Tali, namanya
Toan Teng Khong. Untuk negara Tali itu. Keluarga Toan
adalah keluarga besar dan kenamaan. Semenjak sebelum
kerajaan Song, keluarga itu menjadi raja turun temurun.
Adalah sejak kerajaan Goan memus-nakan negara Tali itu,
turunan keluarga Toan diubah kedudukannya dari raja
menjadi " pengciang" yaitu kedudukan perdana menteri.
Toan Kong itu pandai bekerja, dia dapat mendirikan jasa di
Tali melebihkan leluhurnya, hingga penduduk propinsi Inlam
dalam mana Tali berada, memuji tinggi padanya. Dan Toan
Teng Khong ini adalah generasi yang ke tujuh. Ketika dulu hari
tentara Mongolia menerjang ke Eropah, Asia dan Afrika, ada
satu puteranya Toan Kong yang menjadi perwira dan turut
dalam angkatan perang itu. Kemudian, setelah kerajaan Goan
runtuh, keluarga putera Toan Kong itu berdiam terus di Iran
(Persia) dan turun temurun menikah sama wanita Iran. Karena
keluarga Toan ada keluarga orang peperangan, mereka
pandai ilmu silat pedang. Demikian Toan Teng Khong ini, yang
di masa mudanya telah menjadi ahli pedang nomor satu
untuk seluruh Iran, hingga raja Iran undang dia menjadi guru
silat pedang, hingga karenanya dia dicintai puteri Iran itu.
Untuk beberapa tahun mereka berasmara secara diam-diam.
Kemudian barulah raja Iran mendengar selentingan. Ia tidak
setujui perjodohan itu, sebabnya ialah keagungan raja, tak

603
pantas puteri menikah sama satu guru silat pedang. Raja itu
ada kakaknya puteri, ia lantas mendesak adiknya menikah
sama lain pemuda. Puteri tidak setuju, dia menjadi nekat, dia
minggat bersama Toan Teng Khong. Di waktu pergi, puteri itu
membawa banyak barang berharga dari istana. Raja menjadi
gusar sekali, perintah dikeluarkan akan cari puteri itu. Dua
saudara Ismet dan Akhmad berkedudukan sebagai guru
negara, merekalah yang diutus pergi mencari, dibebankan
tanggungan mesti dapat menawan dan membawa pulang
sepasang merpati yang terbang kabur itu. Toan Teng Khong
merasa ia tidak sanggup melawan kedua guru negara itu,
ketika dia dan puteri lari sampai di India, dengan perantaraan
orang, ia minta bantuannya Hek Pek Moko. Mereka ini
menerima baik permintaan tolong itu. Sebagai saudagarsaudagar
barang permata, dua saudara Moko biasa mengitari
seluruh India, Iran dan Tiongkok. Isteri mereka pun orang
bangsa Iran. Maka itu, mereka mengantarkan Toan Teng
Khong dan sang puteri ke Tiongkok.
Ismet dan Akhmad telah menyusul puteri sampai di India,
di Kalimpong mereka bertemu sama Hek Pek Moko, kedua
pihak bertempur seruh tanpa ada yang kalah atau menang.
Tidak berhasil Ismet dan Akhmad mendapatkan tuan
puterinya. Hek Pek Moko berhasil menyembunyikan puteri itu
di rumah seorang sahabatnya bangsa India juga, mereka
sendiri menyingkir guna menyesatkan kedua orang Iran itu.
Mereka ini menyusul terus menerus hingga ke Tiongkok. Hal
ini membuat dua saudara Moko itu sangat mendongkol,
hingga mereka pernah memikir meminta bantuannya Thio Tan
Hong untuk menghajar dua orang itu, agar keduanya kapok
dan kabur. Ketika mereka tiba di Tongtengsan, Thayouw, Thio
Tan Hong sudah berlalu dari gunung di tengah telaga itu dan
pindah ke Inlam. Di Tongteng san, Hek Pek Moko bertemu
sama Sin Cu, maka mereka lantas pinjam panah pusaka dari
Thio Su Seng, dengan tiga batang panah itu mereka berhasil
meluka-kan Ismet dan Akhmad, yang kena dipukul mundur.

604
Karena luka itu, satu tahun lamanya dua jago Iran itu mesti
memelihara diri untuk memulihkan kesehatannya.
Dari gunung Tongteng san, Hek Pek Moko kembali ke
India, untuk menyambut tuan puteri dan Toan Teng Khong
berangkat ke Tiongkok. Puteri itu suka pergi ke Tiongkok
karena ia sekalian mempunyai suatu maksud.
Mongolia itu semenjak Perdana Menteri Yasian(Essen)
bangkit pula kembali telah menjadi kuat. Yasian telah
membantu Toto Puhwa membangun negara Watzu, hingga
dalam peperangan di Tobokpo hampir dia dapat
memusnahkan Tiongkok, Kemudian dari itu Yasian sendiri
kena dibasmi oleh suatu suku lain bangsa Mongolia, akan
tetapi putera Toto Puhwa dapat bangun lagi. Dia inilah yang
pemerintah Beng sebut " siauw ong cu" atau "raja kecil".
Siauw ong-cu ini menjadi kuat pelahan-pelahan, pengaruhnya
sampai di Asia Tengah hingga hampir berhubungan sama
Persia. Persia itu dulu pernah diilas-ilas bangsa Mongolia,
maka juga kalau mereka mendengar disebutnya "Bahaya
Kuning," mereka jeri sekali. Maka itu walaupun puteri Iran
(Persia) itu lari dari negaranya, dia tetap masih memikirkan
keselamatan negaranya. Dari itu dengan kedudukan sebagai
puteri Iran, ingin ia berkunjung ke Pakkhia untuk menghadap
kaisar Tiongkok, untuk mencoba mengadakan persahabatan di
antara Iran dan Tiongkok, maksudnya ialah untuk menjaga diri
dari ancaman bangsa Tartar (ialah siauw ongcu itu). Yang
dimaksudkan Tartar di sini adalah pemimpin bangsa Watzu,
yang disebutnya "khan Tartar."
Puteri itu berminat demikian, ia tapinya belum ketahui
keadaan yang sebenarnya dari kerajaan Beng, yang kusut di
dalamnya. Toan Teng Khong pun ada sama tidak
mengetahuinya, karena ia, semenjak beberapa turunan,
berada di luar negeri. Ia hanya ingin sekalian pulang ke

605
Tiongkok dengan maksud serupa seperti isterinya, untuk dapat
melakukan sesuatu guna kebaikan Tiongkok dan Iran.
Di dalam tugasnya mengantar suami isteri bangsawan itu
ke Pakkhia, Hek Pek Moko ada mengalami sedikit kesulitan,
ialah mereka tidak berani berjalan sama-sama secara
berterang, mereka cuma dapat mengawasi secara sembunyi.
Sebabnya ialah pada belasan tahun yang lalu, mereka pernah
mencuri batu-batu permata di istananya pangeran Seng Cin
Ong di Pakkhia, sedang pergaulannya dengan Tan Hong,
menyebabkan mereka juga dicari Kaisar Kie Tin yang telah
kembali ke atas takhta kerajaannya. Sebenarnya mereka
bukan takut dibekuk pemerintah, mereka hanya tidak ingin
sebab urusan pribadi mereka nanti merembet-rembet puteri
Iran dan Toan Teng Khong. Mulanya mereka berniat pergi
dahulu ke Tali di Inlam, kesatu untuk mengunjungi Thio Tan
Hong untuk mendamaikan sesuatu, kedua supaya Toan Teng
Khong dapat menengok kampung halamannya, apa mau di
tengah jalan di tanah datar Kuiciu itu kedua pihak
berpencaran, hingga kesudahannya mereka mencari puteri
Iran dan Toan Teng Khong itu di tempatnya Poan Thian Lo.
Poan Thian Lo adalah murid kepala dari Cie Hee Toojin dari
gunung Ouwbong San. Cie Hee ada punya tiga murid tetapi
murid kepala inilah yang paling pandai, cuma nama Poan
Thian Lo tidak tersohor secara umum disebabkan dia tidak
pernah ke luar dari propinsi Kuiciu dan ia senantiasa melayani
gurunya. Yang Cong Hay adalah murid yang ketiga, ialah yang
paling disayang gurunya maka itu ia mewariskan ilmu silat
pedang Cek Seng Kiamhoat dan di wilayah Barat daya ia
menjagoi hingga namanya sama terkenalnya seperti nama
Thio Tan Hong. Bong Goan Cu ada murid yang nomor dua dan
ialah yang kepandaiannya paling lemah.
Dua saudara Ismet dan Akhmad itu, setelah mereka terluka
panah oleh Hek Pek Moko, mereka sudah lantas pergi pada

606
Poan Thian Lo, untuk memohon bantuan guna menghadapi
pula musuhnya, yaitu kedua saudara Moko. Mereka dapat
persetujuannya Poan Thian Lo. Maka itu mereka lantas
mengatur rencana. Perjanjian mereka yaitu, Ismet dan
Akhmad cuma menghendaki membawa pulang puteri Iran ke
negerinya, sedang Poan Thian Lo boleh dapatkan semua
kekayaannya puteri itu. Poan Thian Lo mengatur rencananya
sebab, biar bagaimana, ia jeri terhadap Hek Pek Moko.
Partai Cek Seng Pay itu berpengaruh di propinsi Kuiciu,
maka juga Poan Thian Lo dapat bekerja dengan leluasa.
Mulanya Poan Thian Lo mengirim sejumlah muridnya
memegat puteri Iran itu di tengah jalan. Hal ini terjadi
sebelum Hek Pek Moko dapat menyusul puteri itu suami
isteri.
Di lain pihak Poan Thian Lo sendiri memimpin sejumlah
orangnya pergi "menolongi" puteri Iran itu. Ia mengaku diri
sebagai Hoan ong atau raja muda, maka ia dipanggil
pangeran. Setelah menolongi, ia sambut puteri itu serta
suaminya ke bentengnya itu di mana ia melayani orang
dengan cara hormat dan telaten sekali. Ketika pertama kali
Hek Pek Moko datang menyusul, mereka gagal, malah Siauw
Houwcu kena ditawan.
Ismet dan Akhmad serta Poan Thian Lo memang jeri
terhadap Hek Pek Moko, yang mereka malui terutama ilmu
yoganya, maka setelah Siauw Houwcu tertawan mereka, Poan
Thian Lo hendak mengorek pelajaran yoga itu dari murid
orang ini, tetapi Siauw Houwcu cerdik sekali, ia tidak kena
dibujuk atau dipedayakan, karenanya oleh Poan Thian Lo dan
Bong Goan Cu ia dikasi makan obat yang melemahkan urat
sarafnya hingga ia jadi pelupaan dan tolol sekali, sesudah
mana ia dinikahkan dengan puteri touwsu, puteri mana ada
muridnya Bong Goan Cu dan touwsu pun sudi menerima
bocah itu sebagai baba mantunya.

607
Itulah apa yang Sin Cu dapat menyaksikan di kamar
pengantin.
Hek Pek Moko tidak puas mendengar Ismet dan Akhmad,
Hek Moko lantas saja tertawa dingin dan menegur: "Tuan
puterimu tidak suka pulang, perlu apa kamu masih mengoceh
saja? Kalau kau lantas pulang, kau justeru masih dapat
melindungi kedudukanmu sebagai guru negara! Ketahui
olehmu, apabila kamu tetap tidak tahu gelagat, kami tidak
nanti sudi berlaku sungkan lagi! Dulu kamu kehilangan
kepandaianmu satu tahun, kali ini bisa untuk beberapa tahun,
dengan begitu, apakah kamu masih dapat menduduki kursi
kebesaranmu?"
Dua saudara itu merasa sangat terhina mereka sudah kena
terpanah, sekarang mereka diperingati hal lukanya itu, yang
meminta perawatan satu tahun, keduanya menjadi sangat
gusar, dengan berbareng mereka menghunus golak mereka
yang melengkung model bulan sabit, maka di situ terlihatlah
sinarnya kedua golok itu yang berkilauan.
Hek Pek Moko pun menggeraki tongkat mereka hingga
terdengar suaranya yang nyaring. Maka itu kedua pihak sudah
lantas bertempur. Cepat sekali belasan jurus telah dikasi
lewat.
"Sungguh golok yang bagus." Hek Moko memuji senjata
lawannya, berbareng dengan mana ia menyapu dengan
tongkatnya, Lekgiok thung.
Ismet membalas menyerang hingga tiga kali beruntun. Sin
Cu telah menyaksikan dan delapan Nippon menggunai
goloknya, sekarang ia lihat cara berkelahinya orang Iran ini, ia
merasa orang ada terlebih liehay. Ismet pun menyerang
sambil berseru.

608
Akhmad menyontoh saudaranya, ia menyerang tidak
kurang hebatnya, tetapi goloknya dihalau Pekgiok thung,
tongkatnya Pek Moko, maka habis itu, ia menjaga hingga
senjata mereka tidak bentrok pula. Demikian juga dengan
Ismet.
Tadi Hek Moko memuji lawannya tetapi bentrokan senjata
mereka merugikan Ismet, yang gigi goloknya pada patah, dari
itu ia mendahului saudaranya berkelahi dengan
menghindarkan peraduan senjata.
Di dalam halnya tenaga, dua saudara Ismet dan Akhmad
itu merasa mereka kalah, disebabkan tenaga dan keulatan
mereka belum pulih anteronya, oleh karenanya, untuk dapat
melawan, mereka mengandal kepada ilmu silat golok mereka.
Hek Pek Moko juga berkelahi dengan sabar, daripada
mendesak, mereka lebih banyak membela diri. Mereka mau
menanti ketika. Meskipun demikian, hebatnya pertempuran
tidak jadi berkurang.
Semua orang menonton dengan kagum.
Setelah lewat sekian lama, terlihat sinar hijau dari tongkat
mengalahkan sinar putih dari golok, melihat itu Siauw Houwcu
sudah lantas berseru kegirangan: "Guruku menang!"
Bocah ini tidak melihat keliru. Belum lagi seruannya
berhenti, sudah terdengar seruan hebat dari Ismet dan
Akhmad, lalu di luar tahu Sin Cu keduanya telah lompat
keluar dari gelanggang, menyingkir dari pengaruhnya tongkat,
sesudah mana terdengar Ismet bersumpah: "Hari ini aku
bersumpah mesti membalas sakit hati panah dahulu hari!"
Menyusul itu sebelah tangannya terayun!

609
Semua orang lantas menampak sebuah sinar terang kuning
emas meluncur, sinar yang keluar dari tiga bola yang pun
memperdengarkan suara mengaung. Ketiga bola itu
menyambar ke arah Hek Moko.
"Sungguh suatu senjata rahasia yang temberang!" Hek
Moko tertawa setelah ia lihat serangan itu, "Eh, berapa banyak
juga senjatamu ini, suka aku membelinya! Berapa harga yang
kau minta?"
Dua saudara kembar India ini ada saudagar-saudagar
barang permata, maka sifat dagangnya itu tidak gampanggampang
lenyap.
"Aku kuatir kau tidak sanggup membelinya!" Ismet
mengejek. Ia kembali menyerang dengan tiga bolanya, karena
tiga yang pertama dapat dikelit musuhnya.
Berbareng dengan itu, Acmad juga menyerang Pek Moko
dengan tiga bola yang sama.
Setelah menyaksikan senjata rahasia orang Iran itu, Sin Cu
kata di dalam hati kecilnya: "Apakah yang aneh dari senjata
ini? Sama saja dengan bunga emasku, yang bisa menyerang
jalan darah! Mana bisa senjata begini melukai Hek Pek Moko?"
Dua saudara Moko itu telah menggunai tongkat mereka,
mereka menyampok serangan hingga senjata rahasia itu
mental balik kepada lawannya masing-masing.
Ismet dan Akhmad memunahkan senjatanya itu sendiri
dengan lain bola mereka, sesudah itu mereka mengulangi
serangan mereka, beruntun beberapa kali, hingga mereka
telah membikin habis semuanya tiga puluh enam bola emas
mereka. Bola-bola emas itu bentrok satu dengan lain, hingga
suaranya menjadi sangat nyaring dan berisik, berkumandang

610
ditengah udara, hebat didengarnya, hati orang menjadi
goncang, hingga orang lekas-lekas menekap kuping.
"Kiranya suaranya bola ini begini berpengaruh..." berpikir
pula Sin Cu. "Cuma suara ini pasti tidak bakal mempengaruhi
mereka yang tenaga dalamnya tangguh."
Memang juga perhatian Hek Pek Moko tak terganggu suara
hebat itu. Mereka cuma repot menangkis setiap bola, sebab
Ismet dan Akhmad memungut pula yang jatuh, buat dipakai
menyerang lagi, atau menanggapi yang mental balik, yang
terus dipakai menimpuk pula.
Sekarang Sin Cu mengagumi bola emas itu. Sebab nyata
setiap sasarannya adalah jalan darah yang berbahaya.
"Encie, lihat!" berkata Siauw Houwcu.
Sin Cu tengah mengagumi senjata rahasia musuh, ia
seperti tidak dengar suara bocah itu.
"Enciel" Siauw Houwcu memanggil pula, terus hingga tiga
kali.
"Jangan berisik! Jangan berisik!" kata Sin Cu akhirnya. "Aku
lagi melihat!"
Memang benar Nona Ie ini lagi memperhatikan cara
menyerang dari Ismet dan Akhmad itu, ia pikirkan cara itu
untuk dipakai dengan bunga emasnya sendiri, kalau ia dapat
meniru, bunga emas itu dapat dipakai menotok berbareng
melukai karena lembaran-lembaran bunganya tajam.
“Itulah tidak aneh!" kata pula Siauw Houwcu. "Guruku
terlebih liehay lagi! Kau lihat! Kau lihat!"

611
Mau atau tidak, Sin Cu menjadi tertarik hatinya, maka ia
lantas memasang mata terhadap Hek Pek Moko. Ia
mendapatkan kedua sinar hijau dan putih dari dua saudara itu
bersinar bundar sebagai roda, menutupi tubuh mereka itu,
maka setiap kali bola emas menerjang, masuk ke dalam
bundaran sinar, masuknya itu bagaikan kerbau tanah kecemplung
ke laut, tidak dapat keluar pula seperti tadi. Lalu tak
berselang lama, kedua tongkat kedua saudara Moko itu telah
tergantungkan banyak bola emas dengan sinarnya kuning
mengkilap.
Semua bola emas itu tadi dapat mental balik, kesatu karena
cara menyerangnya Ismet dan Akhmad, dan kedua
disebabkan dihajar mental oleh kedua lawannya. Tapi
sekarang, semua bola itu tidak dihajar, hanya disambuti sinar
bundar seperti roda itu, sinar yang seperti merupakan jala
perangkap, dibiarkan dapat masuk, tidak diijinkan keluar lagi.
Sin Cu kagum hingga ia berdiri menjublak. Ismet dan
saudaranya hebat caranya menyerang, dan dua saudara Moko
ini hebat kepandaiannya menyambuti itu.
"Sekalipun nelayan menebar jala, masih ada ikannya yang
molos," ia berpikir. "Tapi dua saudara ini membuatnya bola
emas bergantung di tongkat mereka... Sungguh hebat!"
Tiba-tiba Sin Cu ingat kepandaian menggunai pedang dari
suami isteri gurunya.
"Sepasang pedang suhu dan subo liehay sekali apabila
keduanya telah tergabung," demikian pikirnya pula. "Pasti
kepandaian suhu dan subo lebih liehay dari dua saudara Moko
ini. Sayang ilmu pedang itu tidak dapat dipelajari satu orang
sendiri, tidak demikian, apabila itu digabung dengan
kepandaiannya Hek Pek Moko ini, tentu senjata rahasia yang
paling liehay di kolong langit ini dapat dipunahkan juga..."

612
Girang Sin Cu dapat menyaksikan ini kepandaian dari Hek
Pek Moko dan Ismet dan Akhmad itu, ia dapat melihat
kefaedahannya, yang ia hendakmeneladannya. Selama
sepuluh tahun ia mengikuti kedua gurunya, banyak
pengetahuannya dan kecerdasannya bertambah, hingga ia
gampang mengarti, gampang menerima pelajaran.
Habis itu terdengarlah suara tertawa nyaring dari Hek Pek
Moko.
"Pembicaraan dagang kita ini sudah dibicarakan putus jadi!"
demikian mereka itu berseru. "Haha! Kiranya di kolong langit
ini ada juga kejadian tanpa modal sepeser tetapi dapat kita
memperoleh begini banyak emas kuning! Perdagangan serupa
ini, seumur hidupnya satu manusia, satu kali juga sungguh
sukar diketemukannya! Ya, kamu masih mempunyai berapa
banyak emas lagi? Mari, ada berapa banyak juga kami suka
menerimanya!"
Ismet dan Akhmad berdiri bengong di dalam gelanggang
itu. Mereka masih mempunyai sisa enam biji bola emasnya
tetapi mereka tidak berani pakai itu untuk menyerang pula.
Mereka cuma memegangi saja golok bulan sabit mereka.
Poan Thian Lo menonton semenjak tadi, ia perhatikan
pertempuran dan segala apa di sekitarnya. Ia kagum untuk
jalannya pertempuran, ia bercemas hati untuk kesudahannya
itu. Sudah ia tidak sanggup berbuat apa-apa, juga dua
saudara kembar itu yang diharapkan bantuannya, gagal. Tapi
ia ada sangat cerdik dan licik, maka juga tengah Ismet berdua
berdiam saja dan kedua saudara Moko bergurau, ia
perdengarkan pekik yang aneh, tubuhnya lantas berlompat ke
arah Siauw Houwcu.

613
Hebat akibat pekik dan gerakan Hoan ong palsu ini,
bagaikan orang tersadar, Ismet dan Akhmad segera bergerak
pula, dengan memutar goloknya masing-masing, mereka
menerjang pula Hek Pek Moko.
Hebat adalah gerakannya Poan Thian Lo. Cambuknya yang
luar biasa sudah lantas menyambar ke arah si bocah, yang dia
niat lilit.
Sin Cu berada di damping Siauw Houwcu, ia sebenarnya
gesit tetapi ia masih kalah sebat. Ia pun tidak menyangka
sama sekali atas serangan mendadak ini. Ketika ia menyabet
dengan pedangnya, ujung cambuknya Poan Thian Lo sudah
menyamber robek ujung bajunya si bocah.
Tidak berhasil seanteronya terhadap Siauw Houwcu, Poan
Thian Lo memutar cambuknya yang istimewa terhadap
dadanya Sin Cu, nona yang merintangi usahanya itu. Ia
menyerang dengan jurusnya "Naga berbisa keluar dari
sarangnya."
Sin Cu menangkis serangan itu dengan sama kerasnya,
maka itu kedua senjata bentrok hebat, hingga muncratlah
lelatu apinya. Setelah bentrok, cambuk itu tidak berhenti
hanya masih mencoba melilit. Cambuk panjang setombak
lebih, dengan begitu seperti juga si nona dirintangi jalannya di
samping kiri atau kanan, sedang ujung cambuk mencari
bajunya, untuk digaet dengan gigi-giginya cambuk yang
istimewa itu.
Dalam saat sangat terdesak maka terlihatlah satu tubuh
mencelat tinggi bagaikan terbang, membarengi mana sinar
hijau dari pedang pun berkelebat ke empat penjuru, diikuti
dengan suara nyaring dari satu bentrokan.

614
"Bagus, ilmu pedang yang bagus!" berseru Poan Thian Lo.
"Nah, sambutlah lagi!"
Nyatalah Sin Cu dapat meloloskan diri dari cambuk dengan
ia mencelat tinggi sambil tangannya membabat, maka
pedangnya itu telah membabat habis gigi-gigi cambuknya si
pangeran tetiron. Semua itu terjadi dengan sangat cepat.
Dengan gerakannya ini yang luar biasa, Sin Cu telah
mempergunakan banyak sekali tenaganya. Dalam ilmu silat
dan tenaga, ia kalah jauh dari Poan Thian Lo, siapa ada
menangi Yang Cong Hay sedikitnya satu lipat, maka itu ia
bukanlah satu tandingan. Bahwa ia sudah membuat
perlawanan, itulah saking terpaksa, untuk melindungi Siauw
Houwcu. Dan bahwa ia dapat membabat putus giginya
cambuk, itu melulu karena ia andalkan liehaynya Hian Kie
Kiamhoat yang ia telah fahamkan itu dibantu sama tajamnya
Cengbeng kiam, pedang mustikanya itu.
Segera datang pula sambaran cambuknya Poan Thian Lo,
cepat dan berat. Sin Cu terkejut. Itu waktu ia sudah lelah dan
telapakan tangannya pun sakit. Meski ia dapat membabat,
bentrokan senjata buatnya tangannya tergetar dan sakit.
Kalau sekarang ia melayani keras dengan keras, ada
kemungkinan pedangnya bakal terlepas dari cekalannya dan
terlempar.
Siauw Houwcu bukannya berdiam saja ketika tadi ia
diserang Poan Thian Lo, ia sudah gunai kelincahannya untuk
berkelit dengan menjatuhkan diri dan bergulingan, sesudah
mana dengan gerakannya “Ikan gabus meletik," ia lantas
berlompat bangun.
Justeru itu, ia melihat bahaya mengancam si nona
kawannya itu.
"Encie, jangan bingung, aku datang!" ia lantas berseru.

615
"Mana kau dapat?" berseru Sin Cu dengan pertanyaannya,
agaknya ia terperanjat.
Ia baru menanya atau ia dengar suara angin menyambar,
sebab dengan berani bocah itu berlompat kepada musuh,
yang ia serang dengan mendadak itu.
Poan Thian Lo repot, karena ia lagi menyerang Sin Cu.
Kalau ia menyerang terus, mesti ia kena dihajar bocah itu.
Inilah ia tidak menghendakinya. Maka itu ia tarik cambuknya,
untuk dipakai membela diri.
Ketika ini digunai Sin Cu untuk menolong dirinya. Dengan
pedang di depan dada, ia turun, untuk menaruh kaki. Tapi
Poan Thian Lo benar-benar sebat, dia dapat menyerang pula,
ke arah jalan darah soankie hiat, setelah mana ujung
cambuknya menyambar terus ke arah Siauw Houwcu.
Berbahaya sekali bocah itu, dalam halnya ilmu enteng
tubuh, ia kalah dari Sin Cu, maka sulit untuk ia membebaskan
diri. Si nona pun kaget bukan main, hatinya cemas.
Adalah di saat sangat mengancam itu, tiba-tiba cambuk
Poan Thian Lo mental nyam-ping. Di antara mereka lantas
terlihat Hek Moko, yang sembari tertawa terbahak-bahak
memuji si bocah: "Bagus, Siauw Houwcu! Pukulan Naga kau
ini benar-benar ada ajaran gurumu!"
Memang juga Siauw Houwcu menyerang dengan Liongkun,
pukulan Naganya itu, hanya sebab kalah tenaga, ia kena
dibikin terpental lawannya, ia justeru malu sendirinya, karena
ia anggap gurunya itu menterta-wai padanya, ia dapatkan
tubuh lawannya miring. Jadi ia telah kena menghajar musuh
jago itu, meski tidak hebat. Sekarang barulah ia tahu, gurunya
memuji ia dengan sebenar-benarnya.

616
Pertarungan berjalan terus. Hek Pek Moko telah mendesak
Poan Thian Lo dan Ismet dan Akhmad. Dua saudara ini,
dengan mendapatkan bantuannya Poan Thian Lo, menjadi
mendapat hati, hingga mereka sanggup membuat perlawanan
dengan sama serunya.
Poan Thian Lo tidak puas, maka tanpa memikir panjang
lagi, ia memberikan tanda dengan siulannya, atas mana
murid-muridnya di kedua pinggiran lantas menghunus
senjatanya masing-masing, semua meluruk untuk mengepung.
Hek Moko melihat ancaman bahaya itu.
"Sin Cu, kau lindungi tuan puteri, kau menerjang keluar!" ia
teriaki si nona.
"Marilah kita berlalu bersama-sama!" mengajak Toan Teng
Khong.
"Tidak!" menyahut Hek Moko. "Tidak dapat tidak, aku mesti
menghajar dulu binatang ini!"
Sin Cu sudah lantas mendampingi puteri Iran itu, dengan
pedang di tangan ia menunjuki roman bengis.
Puteri itu pun agung, ia tidak jadi kecil hati karena bahaya
yang mengancam itu. Untuk beberapa tahun, ia pernah belajar
silat di bawah pimpinan suaminya. Bahkan sambil bersenyum,
ia kata pada suaminya itu: "Kau tidak usah pedulikan aku!
Apakah kau senang membiarkan satu bocah membantu kau
menerjang?"
Siauw Houwcu memang telah berpisah pula. Ia sudah
lantas menghunus goloknya golok Bianto yang ia cekal di
tangan kiri, karena dengan tangan kanannya ia bersilat

617
dengan Loo Han Kun ajarannya Hek Pek Moko. Dengan golok
itu ia bersilat dengan ilmu golok Ngohouw Toan-bun too. Ia
berkelahi dengan bengis sekali hingga murid-muridnya Poan
Thian Lo tidak berani merapatkan dia. Sayangnya untuk ia, ia
masih belum cukup ulat. Maka kemudian ia kena dirintangi
juga oleh banyak musuh, yang bersenjatakan tombak. Tapi ia
tidak kenal mundur, walaupun sudah mandi keringat, ia
bertempur terus.
"Sungguh, tidak kecewa dia menjadi puteranya Thio Hong
Hu!" Sin Cu memuji degan kekaguman menyaksikan
kegagahan orang.
Toan Teng Khong telah menerima baik anjuran isterinya,
begitu ia menghunus pedangnya, begitu ia lompat maju
menerjang. Dan begitu lekas juga, beberapa musuh roboh di
ujung pedangnya.
"Dengan baik hati aku melayani kau, kenapa kaumelukai
pengikut-pengikutku?" Poan Thian Lo menegur.
"Terima kasih, Hoan ong" menjawab Teng Khong. "Kalau
benar Hoan ong bermaksud baik, mengapa kau tidak
membubarkan sekalian pengiringmu ini? Kenapa kau
merintangi kami? Tentang kebaikanmu, nanti saja setibanya
kami di Pakkhia, kami melaporkannya kepada sri baginda
raja!"
Teng Khong bicara dengan bahasa Tionghoa yang kaku,
maka kata-katanya ini yang bersifat menyindir terasa lebih
menusuk kuping, dari itu, Poan Thian Lo menjadi gusar bukan
main. Tapi ia mesti mendongkol saja, untuk menghampirkan
orang dan menyerangnya, ia tidak sanggup. Kedua tongkatnya
Hek Pek Moko tetap tengah mengurung padanya.

618
Toan Teng Khong tersohor sebagai ahli pedang nomor satu
di Iran, ia merangkap kedua kepandaian Timur dan Barat, ia
menjadi hebat sekali. Sebentar kemudian, lagi beberapa orang
roboh sebagai kurban pedangnya.
San Cu dapat lihat orang menggunai pedang dengan jarang
sekali menyabet, selalu dengan menikam, maka gerakannya
Teng Khong ada cepat sekali. Ia anggap ilmu silat orang ada
baik sekali walaupun, tidak dapat dibandingkan dengan
Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari gurunya.
Dalam pertempuran dahsyat itu, tiba-tiba terdengar
mengaungnya senjata rahasia. Segera ternyata, itulah
serangannya Bong Goan Cu, adik seperguruan dari Poan Thian
Lo. Dia telah menggunai gelang perak di lengannya. Tapi dia
menyerang dengan tubuhnya rebah di tanah. Tinjunya Hek
Moko membikin dia tidak dapat merayap bangun. Meskipun
dia tidak bisa jalan, tangannya masih dapat menggunai
senjata rahasianya itu. Begitulah kedua tangannya menyerang
dengan enam buah gelang peraknya.
Toan Teng Khong kaget sekali waktu tahu-tahu ada senjata
rahasia yang menyambar ke arahnya. Ia lekas-lekas
menangkis dengan pedangnya. Senjata rahasia itu kena
terpukul, lalu mental. Celakanya, dengan mengasi dengar
suaranya yang luar biasa, gelang itu mental nyambar puteri
Iran. Tentu sekali, ia menjadi bertambah kaget. Di saat ia
hendak berlompat, akan menolongi isterinya, mendadak tiga
buah gelang yang lain menyambar pula ke arahnya.
"Celaka!" ia mengeluh.
Akan tetapi, tidak usah pangeran ini menangkis atau
berkelit, enam buah gelang itu telah runtuh sendirinya, jatuh
ke tanah. Sebab Ie Sin Cu sudah menolongi dia menimpuknya

619
hingga semua senjata rahasia itu jatuh. Dan caranya si nona
menimpuk tepat menuruti caranya Ismet dan Akhmad tadi!
Bukan main gembiranya Sin Cu yang ia dapat meniru cara
orang itu. Mengikuti kegembiraannya itu, ia lantas gunai
semuanya tujuh puluh dua biji bunga emasnya, untuk terus
menyerang murid-muridnya Poan Thian Lo. Mereka itu
berjumlah kira lima puluh orang, kecuali yang dirobohkan
Toan Teng Khong dan Siauw Houwcu, masih ada sisa tiga
puluh lebih orang dan mereka ini, semua roboh di tangannya
si nona. Hingga ia cuma menggunai tak ada separuh dari
senjata rahasianya itu.
Habis menyerang dengan cepat Sin Cu jalan mengitari
kalangan, untuk memungut pulang semua bunga emasnya itu.
Pertempuran di antara Hek Pek Moko melawan musuhmusuhnya
berlangsung terus, keadaan mereka kedua pihak
agaknya berimbang. Maka juga, menyaksikan itu, Sin Cu tidak
mendapat duga kapan akan akhirnya itu.
" Cianp wee marilah kita berlalu!" akhirnya Sin Cu
menyerukan dua saudara Moko itu, mengajak mengangkat
kaki.
Kedua saudara Moko itu tertawa bergelak, keduanya
menyahuti dengan berbareng:
“Inilah tandingan yang setimpal! Inilah pertandingan yang
seumur hidupku mungkin sukar diketemukan meski juga satu
kali saja! Maka itu baik kamu membiarkan kami bertempur
sepuas-puasnya!"
Kata-kata mereka ini di akhirkan dengan satu tangkisan
tergabung dari kedua tongkat hijau dan putih dan golok
bengkung dari Ismet lantas saja terhajar terlepas mencelat ke

620
atas. Akan tetapi Ismet benar-benar liehay, belum sampai
datang serangan kepadanya, ia sudah mencelat menyambuti
goloknya itu, hingga bersama saudaranya dapat ia
merapatkan diri untuk bertempur terlebih jauh. Kedua golok
mereka terus bergerak-gerak mengimbangi kedua tongkat,
kadang-kadang mereka membalas menyerang juga.
Poan Thian Lo adalah yang terendah ilmu silatnya akan
tetapi dengan dapat bantuannya dua saudara kembar yang
menjadi kawannya itu, ia bisa bergerak dengan gesit untuk
memberikan bantuannya mengepung dua saudara Moko itu.
Hingga berlima mereka menjadi bertarung rapat sekali.
Sin Cu mendapat perasaan sayang untuk tidak
menyaksikan pertempuran yang istimewa itu, akan tetapi
kapan ia melihat cuaca, ia menginsafi perlunya mereka
mengangkat kaki. Kalau umpama touwsu mengirim bala
bantuan, tentulah sulit untuk mereka menyingkir. Dari itu di
akhirnya ia berseru kepada dua saudara Moko itu: "Baiklah,
kami akan menantikannya di selat selatan sana!"
Di mana di situ sudah tidak ada lainnya musuh dengan
merdeka Sin Cu beramai dapat menyingkir dari benteng itu.
Sin Cu menarik tangannya si puteri, sedang Toan Teng Khong
mendahulukan mereka untuk mengambil kudanya yang bulu
merah atas mana ia sudah terus menyem-plak, sedang
tangannya menuntun seekor kuda lain yang sama warna
bulunya.
"Baik aku bersama Siauw Houwcu menaiki kuda ini," Toan
Teng Khong bilang. "Kau naiki itu kuda untuk sekalian
melindungi tuan puteri."
Kedua kuda ada kuda Persia kenamaan, larinya pesat,
jalanan pegunungan yang sukar di jalani itu tidak menjadikan

621
rintangan untuknya. Sebentar kemudian mereka sudah tiba di
selat di sebelah selatan itu.
Toan Teng Khong lompat turun dari kudanya.
"Bagaimana kau lihat kedua ekor kuda ini?" sembari
tertawa ia menanya Siauw Houwcu. "Jikalau kau suka kuda ini,
lain hari boleh aku menghadiahkan padamu!"
Sin Cu bersenyum.
"Kedua kuda ini memang tidak dapat dicelah," menjawab si
bocah, "hanya kalau mereka hendak diadu dengan kudanya
encie ku, bedanya masih jauh sekali!"
"Benarkah itu?" menanya Teng Khong kurang percaya.
Belum lagi Siauw Houwcu menyahuti, Sin Cu sudah
mengasi dengar siulannya yang nyaring halus yang panjang,
yang berkumandang di selat itu.
Mendengar suara itu, Teng Khong terperanjat.
"Leluhurku beberapa turunan pernah membilang hebatnya
ilmu silat Tionghoa, sekarang aku percaya kebenarannya itu,"
ia berkata kagum. "Sekalipun kau, nona, kau telah mempunyai
tenaga dalam yang liehay ini."
Sin Cu tidak membilang suatu apa, ia cuma bersenyum,
jawabannya telah diwakilkan suara meringkik yang nyaring
dan keras dan panjang, lalu tertampak lari mendatanginya
seekor kuda putih, lari pesat dan melompati beberapa solokan,
akan sebentar saja tiba di hadapan mereka.
Itulah Ciauwya Say-cu ma, yang datang atas panggilan
majikannya.

622
Toan Ceng Khong menghela napas.
"Orang Eropah membilang Persia mempunyakan banyak
mustika, aku bilang, Tiongkok kita, barulah negara kaya raya,"
ia berkata. "Lihat saja, sekalipun kudanya pun begini
istimewa!"
Ie Sin Cu tertawa. Ia pondong puteri untuk dikasi turun dari
kudanya.
Puteri itu menyekal tangan orang erat-erat.
"Terima kasih!" katanya dalam bahasa Tionghoa, yang
sedikit-sedikit ia dapat pelajari dari suaminya. Suaranya itu
kaku tetapi toh enak didengarnya.
Sin Cu bersenyum.
Lalu, dengan kata-kata Tionghoa yang ia tahu, dibantu
sama gerakan tangannya, puteri itu mencoba memasang
omong dengan nona kita.
Sin Cu menanyakan kenapa puteri ini datang ke Tiongkok.
Tidak dapat puteri memberi keterangan jelas, maka ia minta
Teng Khong membantu bicara. Ia agaknya senang sekali
dengan suami asingnya ini, karena memang ada biasa untuk
wanita Persia yang berbesar hati mempunyai kekasih,
sedikitpun ia tidak malu atau likat.
Sin Cu pun girang, ia gembira melihat suami isteri itu
bicara sambil dicampur sama tanda-tanda dengan tangan,
tetapi kemudian, ia masgul seorang diri. Lain orang telah
berpasangan, hidupnya berbahagia, tetapi ia sendiri, ia masib
sebatang kara...

623
Siauw Houwcu tidak dapat kawan bicara. Ia lari sana lari
sini, akan mencari kesenangannya sendiri, ia pun sering
menoleh ke arah dari mana tadi mereka datang. Lama rasanya
sudah lewat, mendadak dia berseru: "Lihat, kedua guruku
telah datang. Kelihatannya mereka gembira sekali, pasti
mereka telah peroleh kemenangan!" Dan ia lantas tertawa
terbahak-bahak.
Memang di sana terlihat Hek Pek Moko mendatangi dengan
laratkan kuda mereka. Dari jauh cambuk mereka itu telah
dibulang-balingkan, kemudian terdengar suara tertawa mereka
riang gembira.
Sin Cu semua berpaling, lantas ia lari bersama Siauw
Houwcu untuk memapaki.
Segera juga kedua saudara Moko telah sampai, keduanya
lantas lompat turun dari kuda mereka. Mereka pun tertawa
dengan gembira sekali.
"Kali ini pertempuran barulah mempuaskan sekali!"
keduanya berseru. "Sudah belasan tahun yang kami belum
pernah menemui tandingan seperti kali ini!"
"Ceritakanlah, suhu , untuk kami mendengarnya!" berkata
Siauw Houwcu yang pun girang luar biasa.
Hek Moko menoleh kepada Sin Cu.
"Pada sepuluh tahun yang lalu kami dua saudara pernah
bertarung dengan gurumu suami isteri," ia berkata. "Kami
kena dikalahkan tetapi kami kalah dengan puas. Kali ini kami
bertempur, kami menang dan Ismet dan Akhmad dua saudara
juga kalah dengan puas juga!"

624
"Dua saudara itu ada harganya untuk dijadikan sahabat!"
berkata Pek Moko. "Cuma sayang mereka tidak berpandangan
luas sebagai guru kamu nona, setelah kalah mereka lantas
bersumpah akan pulang ke negerinya untuk tidak mencampuri
lagi segala urusan nganggur!"
"Yang paling memuaskan adalah Poan Thian Lo si jahanam
itu!" berkata pula Hek Moko, "Dia kena kuhajar dengan
tongkatku hingga tulang kakinya patah! Siauw Houwcu, kau
pun boleh merasa puas!"
"Kabarnya Poan Thian Lo itu bersama-sama Yang Cong Hay
ada murid-muridnya Cie Hee Toojin," berkata Sin Cu.
Hek Pek Moko tertawa terbahak.
"Habis Cie Hee itu bagaimana?" tanya mereka.
"Mustahilkah kami dan gurumu berdua jeri terhadapnya? He,
Siauw Houwcu, mengapa kau diam saja?"
"Kepalaku sedikit pusing," menyahut murid itu.
Hek Moko menyambar tangan orang untuk memeriksa
nadinya.
"Ah tidak beres!" katanya.
"Dia telah kena makan obat pengganggu urat saraf,
sesudah itu dia pun kena makan bisa yang diberikan oleh
gadisnya touwsu," Sin Cu memberitahukan.
"Obat pengganggu urat saraf itu sudah dipunahkan,"
berkata Hek Mako. "Bagaimana dengan bisa itu?"
"Turut apa yang aku dengar," Sin Cu memberi keterangan,
"bangsa Biauw suka memelihara pelbagai macam binatang

625
berbisa mereka taruh semua binatang itu dalam sebuah paso
besar, semuanya dibiarkan saling membunuh hingga tinggal
semacam binatang yang hidup sendiri. Binatang itu ditumbuk
dijadikan bubuk, bubuk itu dibikin menjadi semacam obat,
jikalau itu dicampur dalam air teh atau di dalam sayur atau
nasi dan dikasikan orang minum atau makan, di dalam waktu
yang tertentu, umpamanya seratus hari atau satu tahun, bisa
itu akan bekerja, dengan begitu celakalah si kurban kecuali dia
ditolong oleh orang yang mera-cuninya sendiri."
Pek Moko menjadi gusar sekali.
"Kalau begitu mari kita kembali!" ia berseru. "Kita mesti
ubrak-abrik rumahnya touwsu itu dan paksa si wanita siluman
mengeluarkan obat pemunahnya!"
"Bukan, dia bukannya wanita siluman," Siauw Houwcu
bilang, "Ketika itu hari aku dilukai oleh Poan Thian Lo dan
Bong Goan Cu, selama setengah bulan, aku dirawat nona itu."
Sin Cu segera menaruh jari tangannya di mukanya.
"Siauw Houwcu ada punya liangsim yang baik sekali,"
katanya, menggoda, "dia menyayangi isterinya itu!..."
"Siapa bilang dialah isteriku?" Siauw Houwcu membentak.
"Bukankah kita telah membilangnya bahwa kami telah putus
hubungan?"
"Eh, bagaimana duduknya hal ini?" Hek Pek Moko tanya
heran.
"Dia telah dipeda-yakan dan dinikahkan," berkata Sin Cu
yang terus menuturkan duduknya hal. Tapi, ketika menutur
sampai di bagian mengacau kamar pengantin, nona ini jengah
sendirinya.

626
Hek Pek Moko lantas tertawa lebar.
"Jikalau menuruti adatku dulu-dulu, touwsu itu mesti
diubrak-abrik!" berkata Hek Pek Moko kemudian, romannya
sungguh-sungguh, "tetapi sejak aku bersahabat dengan
gurumu itu, perangaiku dapat aku ubah banyak. Mendengar
keterangan kau, rupanya gadis touwsu itu juga dijadikan
pekakasnya Poan Thian Lo, maka itu, tidak perlu kita
mengganggu padanya. Aku tidak percaya di dalam dunia ini
ada racun yang tidak dapat dipunahkan!"
Hek Pek Moko pernah mengidarkan seluruh India, sudah
merantau luas di Persia, Tiongkok dan beberapa negara timur
lainnya, mereka telah perhatikan pelbagai macam obat di
negara-negara itu, lebih-lebih Hek Pek Moko, ia paling
memperhatikan penyakit-penyakit yang aneh, ia jadi lebih
mengarti daripada saudaranya itu. Maka ia lantas menyuruh
Siauw Houwcu duduk bersila, terus ia memeriksa pula. Di
akhirnya ia tertawa.
"Bisa ini benar berbahaya tetapi dia tidak dapat mencelakai
orang yang faham yoga," katanya. "Sin Cu, pergi kau lebih
dahulu bersama tuan puteri, nanti aku bebaskan Siauw
Houwcu dari bisa yang menyerangnya, kemudian kita nanti
menyusul kamu."
Sin Cu menurut, maka ia lantas berlalu bersama puteri Iran.
Hek Pek Moko juga sudah lantas bekerja, akan uruti Siauw
Houwcu.
Lekas sekali bocah ini merasakan hawa panas pindah dari
tangan gurunya ke tubuhnya sendiri, sudah panas, ia pun
sampai bernapas memburu.

627
"Mainkan napasmu," Hek Moko ajari muridnya.
Siauw Houwcu menurut, ia menenangkan diri, ia bernapas
dengan beraturan, dengan pelahan. Inilah sama dengan
pelajarannya setiap hari, untuk merapikan jalan napasnya itu.
Mulanya ia merasakan sulit akan mengendalikan napasnya itu,
lama-lama barulah ia merasa lega. Lewat lagi sekian lama, ia
merasakan dalam perut seperti ada kutu bergerak-gerak,
perutnya itupun mengasi dengar suara gerijukan.
"Sudah!" berkata Hek Moko setelah menyaksikan
perubahan pada muridnya. "Nah, pergilah kau ke sana
membuang air besar!"
Siauw Houwcu menurut, ia pergi jongkok. Banyak ia
mengeluarkan kotoran. Ketika ia kembali pada gurunya, ia
diberikan obat makan.
Tiga hari Siauw Houwcu mesti membuang tempo, untuk
dirawat terus oleh kedua gurunya bergantian, selama itu ia
terus bersamedhi, maka akhir-akhirnya bukan melainkan
racunnya lenyap, tubuhnya pun menjadi semakin tangguh
berkat latihan tenaga dalam itu. Sesudah itu bersama kedua
gurunya itu serta Toan Teng Khong, ia melanjuti perjalanan
untuk menyusul Sin Cu dan puteri Iran.
Sekeluarnya dari wilayah bangsa Biauw, Hek Pek Moko
mengadakan pembicaraan seturuhnya. Mereka mengusulkan
untuk pergi dahulu ke Khong San, guna mencari Tan Hong
suami isteri. Di kaki gunung Khong San itu pun ada wilayah
Tali, negara atau kampung halamannya Toan Teng Khong.
Teng Khong setujui usul itu. Memang selama beberapa hari
bergaul, dari Sin Cu dan Hek Pek Moko juga, ia telah dengar
perihal Thio Tan Hong itu orang macam apa hingga ingin ia
berkenalan dengan orang she Thio itu suami isteri. Ia

628
merasakan, pengalaman dan hal ikhwalnya sendiri sama
dengan penghidupan yang penuh derita dari Tan Hong itu,
yang juga pernah merantau di negara orang.
Setelah mendapat kesetujuan, Hek Moko mengusulkan pula
untuk mereka memecah rombongan. Rupa mereka beda satu
dari lain, saudaranya dan ia sendiri pun ada apa yang
dinamakan "orang-orang yang dicari pemerintah," jadi dengan
jalan mencar, mereka tidak bakal menarik perhatian umum
dan akan bebas dari kecurigaan orang.
Usul ini pun dapat kesetujuan umum. Maka mereka lantas
memisah diri. Ie Sin Cu berjalan bersama Siauw Houwcu.
Toan Teng Khong tetap bersama isterinya. Dan Hek Pek Moko
tetap berdua dengan mereka jalan paling belakang, untuk
sekalian melindungi pasangan bangsawan itu. Kalau di depan
ada musuh, Sin Cu akan memberi kisikan, dan apabila di
belakang ada pengejar, dua saudara Moko yang akan
bertahan.
Hek Moko memberikan Sin Cu beberapa batang hiangcian,
yaitu panah bersuara.
"Umpama kata kau menemui musuh di waktu siang, kau
lepaslah panah putih ini," si Moko Hitam memesan, "Di waktu
malam, kau mesti melepas ini panah hitam. Panah ini tidak
melainkan suaranya dapat terdengar sejauh beberapa lie, juga
akan mengeluarkan sinar api biru, hingga di waktu malam
gampang terlihat dan dikenali."
Sin Cu simpan anak-anak panah itu.
Toan Teng Khong puas hatinya menyaksikan pelindung ini
pandai bersiaga.

629
Di waktu berangkat, Sin Cu ajak Siauw Houwcu bersama
menaiki kuda putihnya. Mereka melintasi tanah datar
perbatasan Inlam dan Kuiciu, lalu masuk ke dalam propinsi
Inlam. Mereka merasa beruntung tidak pernah mereka
menemui sesuatu halangan hingga panah mereka tidak usah
digunakan. Mereka senang dengan perjalanan ini. Dibanding
dengan Sin Cu, usia Siauw Houwcu lebih muda tiga tahun,
tubuhnya pun lebih kate (pendek) sebatas pundak si nona. Di
tengah jalan mereka omong banyak satu dengan lain, mereka
memanggil kakak dan adik. Mereka banyak bicara tentang
ilmu silat, hingga mereka tidak perna kesepian.
Lewat beberapa hari mereka mulai berjalan di jalan umum
dari kota Kunbeng. Di sini mereka jadi semakin tak berkuatir
lagi.
"Karena kuatir kita nanti terpisah terlalu jauh, dalam
beberapa hari ini kita berdua tidak berani membiarkan
kemerdekaannya kuda kita, pasti si putih sudah pepat
pikirannya," berkata Nona Ie.
Siauw Houwcu bersenyum.
Sin Cu mengeprak kudanya dengan tali lesnya, yang ia
terus kendorkan, maka tidak ayal lagi, kuda putihnya sudah
lantas membuka ke empat kakinya, untuk berlompat lari,
hingga di lain saat, mereka telah tinggalkan jauh di belakang
pohon-pohon dan rumah-rumah yang berada di kedua tepi
jalan besar.
Siauw Houwcu mempeluki pinggang si nona.
"Enak, enak!" serunya kegirangan disebabkan kaburnya
kuda mereka. "Ha, kita menjadi mirip dengan dewa dewi yang
melayang naik di udara!..."

630
Sin Cu tertawa. Ketika kemudian nona ini menahan les
kudanya, mereka telah berada di luar kota Kunbeng, ibukota
propinsi Inlam. Tembok kota sudah ada di dalam pandangan
matanya.
Kunbeng adalah kota yang keadaannya cocok dengan
pribahasa "Empat musim seperti musim semi." Itu waktu
sudah di pertengahan bulan ke delapan tetapi di luar kota itu,
pohon bunga ada bagaikan sulaman, sedang di dalam kota,
suasana kota ramai sekali dan di mana-mana kedapatan
pohon-pohon bunga, sedang gunung See San nampak
bagaikan seorang wanita cantik tengah rebah miring.
"Bagus sekali kota ini, kita harus pesiar di sini lebih lama
dua hari!" berkata Siauw Houw-cu.
"Mereka akan sampai di sini sedikitnya nusa, kau dapat
pelesiran dengan puas," Sin Cu bilang.
Mereka masuk ke dalam kota setelah mengitarkan itu,
untuk mempuaskan mata mereka, setibanya di dalam,
mereka menuju ke pusat kota untuk lantas mencari rumah
penginapan. Di luar hotel mereka meninggalkan tanda.
Besoknya pagi Sin Cu sudah lantas dapat keterangan
perihal tempat-tempat yang kesohor dari kota Kunbeng, maka
sambil tertawa ia kata pada Siauw Houwcu: "Eh, bocah nakal,
hari ini aku beri cuti satu hari padamu! Mari kita pergi ke
taman Taykoan Wan, lohornya kita pergi ke See San! Hanya
ingat, aku larang kau main gila!"
"Belum lagi aku mengangkat guru kepada Thio Tayhiap,
kau sudah mau tunjuk pengaruhmu sebagai kakak
seperguruan!" berkata Siauw
Houwcu. "Aku justeru hendak main gila!"

631
"Jikalau kau main gila, aku tidak akan ajak padamu!"
mengancam si nona. "Aku pun tidak akan ajarkan kau ilmu
dalam Hiankong Yauwkoat!"
"Bagus!" seru bocah itu. "Belum-belum kau sudah
mengancam tidak mau mengajarkan ilmu padaku! Baiklah, aku
akan dengar perkataanmu!"
Pesan terakhir dari Thio Hong Hu menghendaki Siauw
Houwcu, puteranya itu, diterima Tan Hong sebagai murid, ini
pun maksudnya Hek Pek Moko mengantar puteri Iran ke Tali,
ialah sekalian menjenguk Thio Tan Hong. Hal ini diketahui Sin
Cu begitupun Siauw Houwcu, maka si bocah nakal sudah
lantas akuh Sin Cu sebagai sucie, kakak seperguruannya.
Taykoan Wan ada taman terindah dari kota Kunbeng,
begitu memasuki pintu lantas terlihat banyak bunga serta bau
harumnya. Di situ ada dua buah telaga yang kedua tepinya
ditanamkan pohon-pohon yangliu di antara mana orang dapat
mundar-mandir. Di situ juga ada dua buah pengempang
teratai, yang bunganya harum semerbak.
Gembira Sin Cu berada di taman indah ini setelah selama
satu tahun ia berjoang saja. Ia merasa seperti ia telah kembali
ke kampung halamannya di telaga Thayouw.
Di dalam taman pun ada lauwteng atau ranggon Taykoan
Lauw, berada di atas itu orang dapat memandang ke
sekitarnya sejauh lima ratus lie, untuk menikmati
pemandangan alam yang luas dan menarik hati, yang mirip
dengan keindahan di Kanglam. Sin Cu tersengsam hingga
tanpa merasa ia ingat pertemuannya pertama kali dengan Tiat
Keng Sim di sungai Tiangkang. Ia jadi bagaikan bermimpi...

632
"Eh, encie, kau kenapa?" Siauw Houw-cu menegur
menyaksikan orang diam saja.
"Tidak apa-apa," menyahut si nona, pelahan.
"Sinar matamu tidak dapat mendustai aku, encie1." kata si
nakal. "Kau mesti tengah memikirkan sesuatu! Kenapa kau
tidak sudi memberitahukan itu kepadaku?" Ia lantas bawa jarijari
tangannya ke mukanya, untuk goda kawan itu.
Mau tidak mau, Sin Cu tertawa. Bocah nakal itu Jenaka
sekali.
"Anak kecil tahu apa tentang orang tua!" katanya. "Jangan
main gila!"
"Hai, berapa tua sih kau ada, encie?" tanya bocah "Kau
sudah lantas bawa lagaknya si orang tua! Mari berdiri, untuk
kita mengukur tubuh kita. Lihat, apakah kau bukan sama
tingginya dengan aku?"
Ia mendekati, untuk berdiri berendeng, guna mengukur
tingginya mereka. Sin Cu menolak tubuh orang.
"Siapa sedang memikirkan sesuatu!" katanya. "Jangan kau
main gila!"
Justeru itu di bawah ranggon terdengar suara gembreng
ramai.
"Ha, di sana ada yang main sulap!" kata Siauw Houwcu,
yang sudah lantas melongok ke bawah. "Mari kita lihat! Kau
nanti hilang kemasgulanmu, encie."
"Kemasgulan apa perlu aku melenyapkannya?" Sin Cu
berkata.

633
Meski ia berkata begitu, ia turut Siauw Houwcu turun di
tangga. Bocah itu sudah mendahului ia lari turun.
Di sebuah tanah terbuka ada, seorang tua dan seorang
nona, yang rupanya ada ayah serta gadisnya. Orang tua itu
menggubat kepalanya dengan sabuk putih dan si wanita muda
memakai semacam sarung.
Dandanannya mereka sebagai orang suku bangsa Ie. Si
nona tengah mengasi pertunjukan makan pedang, ialah
pedangnya yang panjang dia masuki ke dalam mulutnya
sebatas gagangnya. Setelah mencabut keluar pedang itu,
terus dia menyerang sebatang pohon, hingga pedang itu
nancap dalam beberapa dim. Inilah untuk menunjuki pedang
itu bukannya pedang lemas.
Semua penonton lantas saja bersorak. Si orang tua
mengangkat nampannya dari kuningan.
"Masih ada permainan yang terlebih menarik!" berkata dia,
"Tuan-tuan penonton sudilah memberikan sedikit uang!"
Penonton belum banyak, setelah jalan sekitaran, orang tua
itu dapat uang saweran belum ada satu tail. Kemudian ia pergi
ke depan Sin Cu.
Nona Ie merogo sakunya, atau mendadak air mukanya
menjadi merah. Nyata ia lupa membawa uang dan di sakunya
cuma ada belasan tangkhie. Mana dapat ia menyawer
demikian sedikit?
"Kasilah seberapa saja, nona," berkata si orang tua.
Sin Cu likat, maka ia cabut tusuk kondenya, yang terbuat
dari batu kumala, "Ambillah ini!" katanya seraya meletakkan

634
tusuk konde itu ke dalam penampan, atau mendadak ia
menjadi tercengang. Itulah warisan ibunya. Bagaimana itu
dapat diberikan kepada lain orang?
Si orang tua menjumput tusuk konde itu, ia pun agaknya
heran. Seumurnya ia merantau, belum pernah ia memperoleh
saweran barang perhiasan, sedang kumala ini berharga
sedikitnya seratus tail perak.
Tiba-tiba seorang muda tertawa dan berkata: "Nona ini
royal sekali! Sampai barang pesalinnya pun dia dermakan!..."
Nona kita memang sedang berduka, mendengar suara
orang itu ia menjadi mendongkol.
Ia memotes selembar daun yangliu, ia mementil itu. Ia
belum meyakinkan ilmu itu dengan sempurna tetapi ketika
daun itu menyamber lengan si anak muda, dia berkaok
"Aduh!" dan tangannya bertanda merah. Anak muda itu heran
sekali, tidak tahu ia sebabnya itu, tapi lekas-lekas, ia angkat
kaki pergi menyingkir.
Si tukang sulap pegang tusuk konde, setelah mengawasi
sekian lama, ia tertawa dan berkata: "Budakku ini tidak pantas
memakai tusuk konde kumala ini. Usianya pun masih terlalu
muda. Kalau tidak, cocok ini untuk dijadikan pesalinnya nanti.
Nona, kau baik sekali, aku sangat berterima kasih kepadamu,
hadiahmu ini tidak berani aku terima. Baiklah nona mengasi
aku beberapa bun saja."
Sembari tertawa, ia menyerahkan pulang tusuk konde itu.
Sin Cu menyambuti kulit mukanya bersemu dadu. Ia lantas
merogo semua uang tangkhie-nya, diletaki di dalam
penampan.

635
Atas itu para,penonton pada bersorak. Di samping tukang
sulap ini ada seorang penjual mieshoa matang, ialah yang
disebut mieshoa Inlam, dapurnya sedang marong apinya, si
nona tukang sulap itu masuki pedangnya ke dalam api,
setelah menjadi merah, ia serahkan itu pada ayahnya.
Ayah itu menyambuti. pedang itu ia kibasi, hingga letikan
apinya beterbangan, kemudian sambil tertawa, ia kata:
"Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya! Lihat!" Ia
masuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di batas
gagang. Ia memasukinya dengan pelahan-pelahan. Mendadak
saja ia memuntahkannya atau pedang itu berloncat keluar.
Dengan lantas ia masuki pedang itu ke dalam air di tahangnya
si tukang mieshoa, lantas air itu mendidih dan berbunyi, suatu
tanda pedang itu masih panas sekali. Asapnya pun mengepul
naik.
Semua penonton kagum hingga mereka menjublak, hingga
tidak lagi mereka perhatikan si nona.
"Ah, ilmu apakah itu?" bertanya Sin Cu.
“Ilmu sulap biasa, palsu," berbisik Siauw Houwcu di kuping
orang.
"Bagaimana bisa menjadi?" si nona tanya pula.
Siauw Houwcu menarik tangan si nona, untuk diajak pergi
sedikit jauh.
"Sulap ini sering aku saksikan di India," katanya. “Ilmu itu
ilmu palsu tetapi benar untuk meyakinkan itu dibutuhkan
waktu delapan sampai sepuluh tahun. Mereka dapat
mempelajari segala macam senjata, asal turunnya di
tenggorokan tidak bergoyang tidak nanti dia dapat melukakan
orang."

636
"Tetapi pedang itu telah dibakar hingga marong?" si nona
menanya.
"Tukang sulap itu lebih dulu, telah menyimpan sarung
pedang di dalam tenggorokannya itu," Siauw Houwcu
menerangkan pula, "pedang dikasi masuk ke dalam sarung itu
maka ia tidak terbakar."
Sin Cu mau percaya keterangan ini tetapi ia tetap heran.
Ilmu sulap itu adanya di India, dari mana si tukang sulap
pelaja-rinya? Mereka ini pun ada orang Ie sedang ketika itu
perhubungan India-Tiongkok belum maju. Memang jarak
propinsi Inlam dan India cuma terselang Birma tetapi orang
yang mundar-mandir ada sangat jarang. Orang Ie itu, dalam
hal kepindahan, ada terlebih kukuh daripada bangsa
Tionghoa umumnya, apa mungkin dia melakukan
perjalanan ribuan lie untuk mempelajari ilmu sulap itu? Meski
ilmu menelan pedang itu tipu belaka tetapi gerak-gerik si
orang Ie menandakan dia mengarti ilmu silat. Kalau dia
mengandali main sulap saja, kenapa dia menampik tusuk
konde?
Selagi nona ini merasa aneh, si orang Ie sendiri merasa
kecele. Ia sudah mengasikan pertunjukan menelan pedang
panas itu, penonton yang berkerumun tidak menjadi
bertambah dan uang saweran di dalam penampannya cuma
seratus bun lebih serta beberapa potong perak hancur.
"Apakah kau baru pernah datang ke kota Kunbeng ini?"
menanya seorang penonton.
"Kenapa kau tidak ketahui hari ini ada hari rampungnya
berhala Senghong bio? Semua penduduk Kunbeng pergi

637
melihat keramaian. Baik kau pun pergi ke sana untuk
membuka pertunjukanmu."
Sin Cu heran mendengar perkataan itu. Senghong bio
berarti kuil dari si malaikat kota. Malaikat kota bukan malaikat
yang terlalu agung. Kenapa seluruh penduduk kuil
memerlukan sangat malaikat itu? Mungkinkah Senghong di
Kunbeng beda dari Senghong lainnya?
Hampir itu waktu terdengar ramai suara gembreng dan
tambur tercampur terompet, begitu juga berisiknya suara
banyak orang.
"Nah, Senghong merondai kota, mari kita lihat!" berseru
satu orang.
Itu artinya arak-arakan toapekong atau malaikat.
Kali ini si tukang sulap lantas saja bebenah dan berlalu dari
situ.
"Encie, mari kita pun melihat!" Siauw Houwcu mengajak.
"Seng Hong di kolong langit ini semuanya sama, tidak lebih
dari-
Ayah itu menyambuti, pedang itu ia kebasi, hingga letikan
apinya beterbangan, kemudian sambil tertawa, ia berkata:
"Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya! Lihatlah!" Ia
memasuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di
batas gagang. Ia memasukinya dengan pelahan-pelahan. pada
sepotong boneka kayu, ada apakah yang bagus dilihat?" sahut
Sin Cu tertawa. "Apakah di kampungmu belum pernah kau
menyaksikan arak-arakan toapekong?"

638
"Kita bukan melihat toapekong, kita melihat keramaian
saja," Siauw Houwcu mengasi penjelasan.
"Dasar bocah gemar ramai-ramai!" tertawa pula si nona.
Sebenarnya Sin Cu pun ingin melihat, ia hanya ragu-ragu,
karena ini, ia bersama Siauw Houwcu berlalu paling belakang
dari taman itu. Kesudahannya ia mesti mendesak-desak di
antara orang banyak yang berjubalan.
Kapan akhirnya Nona Ie mendapat lihat wajah Senghong
atau malaikat kota itu, hampir ia menjerit bahna herannya. Ia
tampak suatu wajah bundar bagaikan rembulan penuh,
jubahnya tersulam, tangannya memegang hut atau tanda
kepangkatan. Kedua mata bagaikan matanya orang hidup.
Itulah suatu roman halus tetapi agung. Dan itulah wajah dari
ayahnya, almarhum Ie Kiam! (Menurut keterangan, Senghong
bio di Kunbeng Kunming memang besar dan agung hanya
sekarang digunakan untuk lain keperluan, dan Senghong atau
malaikatnya memang dituliskan namanya Ie Kiam.)
"Encie, apakah kau kurang sehat?" tanya Siauw Houwcu
heran.
"Tidak," menyahut si nona.
"Nah, kenapa kau menangis?"
Sin Cu lekas me-nyusuti air matanya.
"Aku biasa mengeluarkan air mata kalau terlalu girang," ia
menjawab pula.
Bocah itu lantas tertawa lebar.

639
"Nah, kau suka katai aku, kau sendiri sebenarnya lebih suka
menonton!" katanya.
Kali ini bocah ini tidak mendapat jawaban, ia mendapatkan
si nona masih terbengong mengawasi toapekong yang tengah
diarak itu.
***
"Siapakah Senghong Looya itu?" akhirnya Sin Cu tanya
seorang di sampingnya.
"Senghong ialah Senghong yaitu malaikat," menyahut
orang itu. "Nona, pertanyaanmu aneh!"
Sin Cu melengak.
"Toh malaikat ini ayahku!" pikirnya.
"Mungkinkah orang tak leluasa menjelaskannya?" Maka ia
tanya lainnya hal: "Siapakah yang membangun Senghong
bio?"
"Yang menderma kebanyakan orang hartawan dan
saudagar besar," sahut orang itu. "Siapa mereka itu, tidak
jelas bagiku. Ada apa kau menanyakan ini?"
Kembali Sin Cu mendapatkan pertanyaan yang tak dapat ia
jawab. Tapi ia tetap heran.
"Siapakah yang mengukir patung Senghong itu?" tanyanya
pula.
"Kau baik menanya pada kepala tukang kayu dan tukang
batu tak sempat aku mela-yanimu!" kata orang itu, yang
lantas ngeloyor pergi.

640
Toapekong pun sudah lantas diarak lewat.
"Encie, apakah kau sakit kepala?" tanya Siauw Houwcu,
seraya ia terus raba dahi orang. Tapi ia merasakan dahi yang
dingin. Sin Cu singkirkan tangan orang.
"Jangan ngaco!" katanya.
"Kau yang ngaco!" kata Siauw Houwcu dalam hatinya. "Kau
tanya orang yang tidak-tidak..." Tapi ia masgul melihat sikap
luar biasa dari kawannya ini.
Sebenarnya kacau pikirannya Sin Cu. Ayahnya toh
dipandang sebagai pengkhianat. Ayah itu dihukum mati dan
harta bendanya disita. Dunia boleh penasaran tapi kaisar
berkuasa, orang bisa bilang apa? Maka tidak disangka sekali,
di Kunbeng ini orang justeru memuja Ie Kiam dan dihormat
sebagai malaikat kota, patungnya dibikin begitu mirip dan
hidup, kuilnya dibangun secara besar.
"Kota Kunbeng ini berada jauh di Selatan tetapi masih tetap
dikuasai pemerintah kalau pemerintah ketahui ini, bukankah
pembikin patung ini dan pendiri kuilnya bisa ditangkap dan
disita rumah tangganya? Siapa itu orang yang nyalinya begini
besar?" Sin Cu tanya dirinya sendiri. Ia tidak ingat kalau-kalau
ayahnya ada punya sahabat di sini. Pikirnya pula: "Aku tidak
sangka ayah dapat menjadi Senghong di kota ini..."
Tanpa merasa nona Ie bertindak mengikuti arak-arakan itu
terus sampai di kuilnya, yang besar berlipat kali daripada yang
biasa terdapat di lain-lain kota. Undakan ruang depan pun ada
tiga, setelah itu baru sampai di toatian yaitu pendopo besar
tempat bersemayamnya malaikat kota itu. Di sini segala apa
ada mentereng, tangganya pun terbikin dari batu marmer,
mulai dari bawah payon ada belasan undak. Dari dalam

641
pendopo, asap mengulak naik. Di situ telah berjubal banyak
orang.
"Lihat, Siauwkongtia datang!" seru banyak orang begitu
lekas terdengarnya suara tetabuan patim.
"Siapa itu siauwkongtia?" tanya Sin Cu kepada seorang tua
di dekatnya.
Orang tua itu tertawa.
"Di dalam kota Kunbeng ini memangnya ada berapa
kokkong?" dia menyahuti.
"Siauwkongtia itu berarti "paduka hertog yang muda" dan "
kokkong" ialah hertog.
Mendapat jawaban itu, Sin Cu terkejut.
“Itukah Bhok Kokkong?" dia tanya pula.
Orang tua itu mengangguk.
"Tidak salah," sahutnya. "Senghong bio ini ialah Bhok
Siauwkongtia yang memperbarui."
Di muka tangga batu segera terlihat dihentikan dan
diturunkannya sebuah joli besar warna biru, dari dalam joli
muncul satu anak muda yang romannya seperti pemuda
bangsawan, bibirnya merah, giginya putih, usianya baru tujuh
atau delapan belas tahun, wajahnya masih wajah kekanakkanakan.
Setibanya pemuda ini, siraplah pendopo yang tadi
ramai itu. Pengacara pun lantas berseru: "Bunyikan genta dan
tambur! Silahkan Malaikat yang agung naik atas
kedudukannya!"

642
Kiranya pangeran yang muda ini akan mengepalai upacara
selesainya pembangunan kuil dan menyambutnya malaikat ke
gedungnya yang baru rampung itu.
Sin Cu heran hingga ia merasai ia tengah bermimpi.
Keluarga Bhok ini turun menurun menjadi hertog
Kimkokkong dengan kedudukannya di propinsi Inlam ini. Di
antara banyak panglimanya Kaisar Cu Goan Ciang dari ahala
Beng, leluhurnya siauwkongtia ini, yaitu Bhok Eng, adalah
yang paling berbahagia karena dia sekalian menjadi anak
angkat dari kaisar itu. Setelah berhasil menumpas apa yang
disebut "Pemberontakan Liang Ong," dia dikur-niakan gelaran
raja muda Kimiengong. Habis dia, semua turunannya dijadikan
hertog KimKokkong. Di a n t a ra putera atau cucu keluarga
besar itu, ada beberapa yang menjadi huma yaitu menantu
raja. Hingga di dalam kalangan menteri-menteri, tidak ada
keluarga lainnya yang dapat mengimbangi kebesarannya.
Sin Cu mempunyai ayah suatu menteri, sendirinya ia
mengarti hikayat pemerintahnya pemerintah Beng. Cu Goan
Ciang itu tidak mengenal budi, setelah menjadi raja, dia suka
membunuh menteri-menterinya yang berjasa, dia kejam tak
kalah daripada Han Khotouw Lauw Pang, pendiri dari ahala
Han. Ada di antara menteri berjasa yang melebihkan Bhok
Eng, umpama Cie Tat, Siang Gie Cun dan Na Giok, tapi
mereka sendiri atau anak cucunya, tidak langgeng
kedudukannya. Na Giok didakwa berontak, dia dihukum mati
sampai kepada tiga tingkat keluarganya. Putera Siang Gie Cun
terembet perkara Na Giok itu, dia dikurniakan kematian. Cie
Tat ada menteri berjasa nomor satu, dia diangkat jadi raja
muda Tiongsan Ong, dia punya mempunyai surat bukti bebas
dari hukuman mati, toh kemudian ketika pangeran Yan Ong
sebagai paman merampas kedudukan keponakannya (kaisar
Beng Seng Couw) puteranya, yaitu Cie Hui Couw, tak luput
dari pemecatan pangkat dan kehormatan dan mesti mati

643
mereras di dalam penjara. Cuma Keluarga Bhok ini, dengan
kedudukannya di Inlam ini, paling beruntung.
"Kenapa siauwkongtia ini berani membangun Senghong bio
ini?" Sin Cu heran. "Apakah dia tidak takut pemerintah
mengetahuinya dan nanti mendapat susah karenanya? Ini toh
ayahku yang dipuja, meskipun disebutnya malaikat kota?
Bukankah pembangunan ini dan upacaranya ada mentereng
luar biasa? Di samping itu, herannya, belum pernah aku
mendengar ada hubungan apa-apa di antara ayahku dengan
keluarga besar ini..."
Siauwkongtia sudah lantas mengunjuki kehormatannya. Ia
memasang tiga batang hio. Perbuatannya ini diturut oleh
banyak orang. Kecuali si pangeran muda sendiri, di situ tidak
ada pembesar lainnya.
Sin Cu turut memberi hormatnya. Dari tangan biokong,
pengurus bio, ia minta tiga batang hio. Lantas ia menekuk
lutut, air matanya pun mengem-beng. Sembari tunduk ia kata
dalam hatinya: "Ayah, ayah dipuja sebagai malaikat, dihormati
rakyat jelata, ayah mati bagaikan hidup!"
Siauwkongtia lihat orang demikian ber-sungguh hati
bersujut, dia heran. Dia memanggil, terus dia tanya: "Kau ada
punya kesukaran apa maka kau menyampaikannya itu kepada
Senghong?"
"Tidak apa-apa," menyahut Sin Cu seraya menepas air
matanya. "Aku lihat kamu sangat menghormati Senghong,
hatiku jadi tergerak sekali dan terharu, hingga tidak dapat aku
menahan keluarnya air mataku."
Siauwkongtia masih heran, ia sebenarnya hendak menanya
pula ketika dari luar terdengar suara gembreng pembuka
jalan, lantas datang pemberitahuan: "Ong Huciangkun tiba!"

644
"Mau apa dia datang kemari?" kata siauwkongtia, yang
keningnya mengkerut. Ia berjalan keluar, untuk menyambut.
Sin Cu menggunai ketika ini untuk mengundurkan diri.
Ketika ia menoleh ke pojok, ia dapatkan si tukang sulap dan
gadisnya lagi melirik ke arahnya, rupanya orang mengawasi ia
secara diam-diam. Ia terkejut, ia lantas ingat suatu apa. Ia
berkata dalam hatinya: "Setibanya Hek Pek Moko, aku mesti
lantas berlalu dari sini." Ia menduga orang mencurigai ia
tetapi ia merasa berat untuk lantas meninggalkan patung
ayahnya itu...
Suara gembreng sudah lantas berhenti, satu pembesar
kelihatan agung bertindak masuk.
"Ong Ciangkun juga datang untuk pasang hio?"
Siauwkongtia menyambut.
"Siauwkongtia, bagus betul usaha kesujutanmu ini,"
menyahuit si panglima. Ia lantas memandangi patung.
Kemudian ia tertawa dan berkata pula: "Pandai benar orang
melukis, seperti orang hidup saja! Hanya kenapa wajah
Senghong ini beda dari Senghong yang pernah aku lihat di
lain-lain kota?"
"Sesuatu tempat ada malaikat kotanya masing-masing,"
siauwkongtia menjawab. “ini tidak aneh, bukan?"
Huciang itu tertawa lebar.
"Perkataan kau ini, siauwkongtia, membuka kecupatan
pandanganku!" katanya. "Kiranya malaikat kota itu beda satu
dari lain karena perbedaan kotanya... Haha! Pembangunan
kuil ini serta pembuatan patungnya adakah atas
kehendaknya Bhok Kongya atau siauwkongtia sendiri?"

645
“inilah kehendakku sendiri," menyahut pangeran muda itu.
"Adakah sesuatu yang tidak dapat?"
"Bagus! Bagus!" berkata Ong Huciang tertawa menyeringai.
"Di dalam wilayah bangsa Ie memang tidak ada halangannya
mengadakan pengajaran dengan perantaraan malaikat. Nabi
sendiri pernah membilangnya begitu."
Semua orang di ruang itu mendongkol mendengar opsir ini
menyebutkan propinsi Inlam sebagai tanah suku bangsa Ie,
semuanya mengawasi dengan sinar mata kebencian. Rupanya
si ciangkun dapat lihat sikap orang itu, lekas-lekas dia tertawa
dan menambahkannya: . "Maksudku, ya... ialah, perbuatan
siauwkongtia ini tepat dengan caranya seorang nabi!"
"Ah, benarkah itu?" siauwkongtia tertawa. "Bagus, bagus!
Kalau begitu kau pun harus memberi hormat sambil berlutut
dan mengangguk tiga kali!"
Perwira ini bernama Ong Tin Lam, pangkatnya yaitu
Pengiam Huciangkun, tetapi di mana kekuasaan di Inlam
berada di dalam tangannya Bhok Kongya , ia berada sebagai
sebawahan saja dari hertog itu, ia sama sekali tidak punya
kekuasaan, maka itu meskipun ia tidak puas dengan perkataan
si pangeran muda, ia toh terpaksa menurut menjalankan
kehormatan. Ia bertekuk lutut, ia manggut tiga kali, ketika ia
berbangkit, ia likat sekali.
Sin Cu tertawa di dalam hatinya.
"Ciangkun ini tentulahh pernah lihat ayahku," pikirnya. "Ah,
hebat permainan dari siauwkongtia ini, satu perwira tinggi
diperintah memberi hormat kepada satu pemberontak!..."

646
Ong Huciang itu bicara agi sedikit dengan siauwkongtia,
terus dia berpamitan.
Siauwkongtia membiarkan orang pergi, ia lebih
memerlukan melihat kelilingan akan mencari Sin Cu. Justeru
itu di luar sirap suara berisik dari banyak orang, lalu terlihat
orang banyak membuka jalan, akan mengasi lewat pada
seorang nona yang diiring dua budak wanita.
Bhok Lin, ialah siauwkongtia, sudah lantas maju
menyambut.
“ Encie pun datang!" katanya.
Nona itu mengangguk. Ia adalah Bhok Yan puterinya
Kimkokkong Bhok Cong. Ia mempunyai alis yang panjang,
romannya cantik, potongan tubuhnya halus, sikapnya pun
agung. Lebih dahulu ia memberi hormat kepada Senghong.
"Adik, mari ikut aku pulang," ia berkata kemudian. "Ayah
mencari kau."
"Ada apa, encie?" tanya pangeran itu terperanjat.
Agaknya tidak leluasa nona itu menyahuti, tapi ia
bersenyum.
"Segala apa ada aku, kau pulanglah," ia berkata. Ia pun
menarik tangan orang untuk diajak berlalu.
Sin Cu mencuri mengawasi. Ia lihat alis nona itu menunjuki
hati pepat.
Seberlalunya nona dan pangeran muda itu, pendopo
kembali jadi ramai oleh orang banyak, yang pada menghunjuk
hormatnya.

647
Sin Cu ajak Siauw Houwcu mengundurkan diri. Ia lihat si
tukang sulap dan gadisnya, mereka itu rupanya tidak dapat
melihat padanya.
"Dari kata-kata dan sikapnya si nona, rupanya Bhok
Kokkong tidak ketahui urusan pembaruan kuil dan pembikinan
patung Senghong ini," ia berpikir. "Anehlah si pangeran muda,
ia ada muda belia, ia pun pasti belum melihat rupa ayahku,
kenapa ia dapat membuatnya patung ayah begini bagus?"
"Encie benarkah kau tidak sakit?" Siauw Houwcu tanya. Ia
heran akan roman tak wajar dari Nona Ie, yang sejak tadi
menarik perhatiannya.
"Eh apakah kau menyumpahi aku?" si nona balik menanya.
"Aku lihat kau tidak wajar, encie," berkata bocah itu. "Tidak
keruan-ruan mengapa tadi kau menangis?"
"Kau lihat bukankah orang banyak itu sangat menghormati
Senghong?" kata si nona. "Sikap mereka itu membuatnya aku
terharu. Aku sangat menghargai kesujutan mereka." Ia lalu
tertawa.
"Tidak, encie, kau tentu ada memikirkan sesuatu,"
membandal si bocah. Kau cuma tidak sudi memberitahukan itu
kepadaku..."
Sin Cu mengkerut-kan keningnya.
"Sudahlah, jangan ngaco belo di sini!" membentak si nona.
"Anak kecil mana tahu urusan orang tua? Mari lekas pulang
untuk bersantap tengah hari!"

648
"Tidak, aku tidak mau pulang dulu! Kau telah menjanjikan
aku pesiar ke See San. Sepatah katanya satu kuncu..."
Mau tak mau, Sin Cu tertawa. Ia menambahkan:
"...bagaikan kuda dicambuk satu kali!"
"Bagus! Itulah baru tepat! Nah, lekas ajak aku ke See San!"
"Apakah kau tidak lapar?"
"Aku ada membekal uang beberapa puluh bun tangkhie!"
"Kenapa tadi kau tidak menyawer kepada si tukang sulap?"
"Sengaja aku tinggalkan untuk kau nanti bersantap tengah
hari!" si bocah tertawa. "Dengan melihat romanmu tadi, encie,
aku tahu kau lupa membawa uang..."
Sin Cu melengak untuk kecerdikannya bocah ini. Justeru itu
tangannya disamber, untuk ditarik. Sembari berbuat begitu,
bocah itu tertawa lucu. Ia mengajak orang untuk dahar
mieshoa, hingga uang mereka tinggal dua bun!
Sekeluarnya dari kota, hari sudah lewat tengah hari.
Dengan tidak adanya mega, langit menjadi cerah. Terbuka
hatinya Sin Cu, apapula setelah ia menyaksikan keindahan See
San, Gunung Barat. Mengagumi untuk men-daki bukit, akan
memandangi apa yang disebut "pintu naga," ialah semacam
puncak yang menonjol, yang tingginya ribuan tombak, hingga
kuil di atas itu mirip tergantung di udara. Di bawah itu ada
telaga Thian Tie yang kesohor, yang luas. Siapa mendaki
tangga, bajunya berkibar-kibar tertiup angin, orang mirip
menaiki tempat dewa-dewi, Sin Cu kagum hingga ia
terbengong...

649
Lorong dari pintu naga itu adalah batu gunung yang
dibobok dan berliku-liku, hingga ada bagian yang muat hanya
satu orang.
"Tempat ini tepat untuk main petak!" kata Siauw Houwcu
tertawa.
"Aku ajak kau ke gunung ini, lantas kau ingat main petak!"
berkata Sin Cu, yang pun tertawa. "Kau mensia-siakan
pemandangan alam yang indah di sini!"
Di atas "pintu naga" (jiongburi) ada kedapatan ukiran ikan
leehie yang luar biasa, yang seperti dari udara berlompat
terbang. Ikan itu bahagian bawahnya mirip ikan, bahagian
atasnya seperti naga. Jadi inilah yang di dalam dongeng
disebut “kan leehie melompati pintu naga." katanya, "sebab
pintu naga terlalu tinggi, apabila ikan leehie dari telaga
Thiantie dapat meloncatinya, ikan itu dapat terus berubah
menjadi naga untuk naik ke langit."
"Aku lihat, walaupun orang paling liehay ringan tubuhnya,
tidak nanti dia dapat melompati pintu naga ini!" berkata Siauw
Houwcu.
Sin Cu bersenyum. Di lain pihak, ia kagumi bocah ini, yang
tak pernah melupai ilmu silat. Pantas Hek Pek Moko
membilangnya dia sangat berbakat.
Di atas iiongbun itu juga ada ukiran malaikat Kwee Seng
dalam rupa patung batu, kecuali pit di tangannya yang terbuat
dari kayu. Di situ ada tulisan singkat mengenai sebuah
dongeng. Ialah katanya seorang pemuda kehilangan
kekasihnya, dia mendaki See San dan mengukir patung itu.
Sayang di situ dia tidak dapatkan batu yang cocok untuk
membuat pit (alat tulis), hingga patungnya itu tidak lengkap.
Habis itu ia terjun ke telaga Thiantie, hingga ia berkurban diri.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar