Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 10
"Siluman dari mana berani
mengganas di Khong San ini?" sekonyong-konyong Hek Moko berseru dengan
suaranya bagaikan guntur.
Mau atau tidak, Liok Yang
Cinkun terperanjat. Ia tahu ia tengah menghadapi lawan liehay. Akan tetapi ia
sudah siap, ia meneruskan juga serangannya.
Pek Moko turut maju, ia
menyusul serangan saudaranya.
Hebat Liok Yang Cinkun tetapi
ia kewalahan melayani sepasang tongkat putih dan hijau, ia kena terkurung sinar
kedua tongkat itu.
Di antara beberapa iblis itu,
Kiupoanpo Kongsun Bu Houw adalah yang erat persahabatannya dengan Liok Yang
Cinkun, hendak dia membantui, tetapi Cie Hee Toojin segera mencegah.
"Jangan bertempur kalut
dulu, marilah kita bicara!" berkata imam ini. Maka ia maju dengan tenang,
kipasnya dikibaskan.
Dengan sabar ia menanya kalau
dua orang itu Hek Pek Moko adanya.
Hek Pek Moko merasakan
samberan angin, mereka berhenti menyerang.
Liok Yang Cinkun bernapas
lega, tetapi bukannya dia mengundurkan diri, dia justeru berlompat tinggi,
sembari turun, ia menyerang.
"Kurang ajar!" Hek
Moko berseru. Saudaranya pun gusar.
"Jikalau hari ini kami
dapat melepaskan kau, iblis, coretlah nama Hek Pek Moko dari dunia
kangouw."
Cie Hee Toojin maju pula.
"Apakah tuan-tuan tidak
hendak memberi muka padaku?" ia menanya dingin. Ia pun berulang-ulang
mengebasi kipasnya.
Hek Pek Moko suka menahan
tongkat mereka, setelah menangkis Liok Yang Cinkun, hendak mereka menjawab Cie
Hee, atau mendadak ada suara lain yang mendahului mereka.
Suara itu datang dari atas
gunung, halus tetapi terang.
Katanya: "Kiranya Cie Hee
Tootiang yang datang! Maaf kami tidak dapat menyambut sebagai selayaknya. Dua
saudara Hek Pek, sabar dulu, kita perlu bicara!"
Sin Cu girang bukan main. Ia
mengenali baik suara gurunya. Ia tadinya kuatir gurunya itu, masih berada jauh
di istananya Toan Ongya Cie Hee Toojin terperanjat.
"Hebat Thio Tan
Hong,..." pikirnya.
"Suaranya ini ada suara
dari tenaga dalam yang liehay, sekali. Dia tidak ada di bawahan aku..." Ia
tahu, Tan Hong ada murid Hian Kie Itsu dari generasi ketiga.
Karenanya ia lantas tarik
mundur Liok Yang Cinkun sembari ia berkata "Mari kita menemui tuan
rumah!"
Liok Yang mendongkol tetapi
terpaksa ia menyabarkan diri. Sin Cu segera menghampirkan Seng Lim, yang ia
pepayang.
"Bagaimana?" ia
tanya, menghibur. "Apakah lukamu berat?"
Seng Lim pegangi tangannya
yang bengkak, ia menahan sakit.
"Tidak apa, cuma luka di
luar," sahutnya.
Sin Cu tetap mempepayang,
karena mana, si anak muda tidak dapat mencegah. Hanya mukanya menjadi merah,
saking jengah.
Sampai di atas gunung, di situ
Bhok Lin muncul secara tibatiba.
Ia kaget melihat tangan Seng
Lim bengkak besar. Tapi si anak muda tertawa dan menepuk-nepuk pundaknya,
katanya: "Adik kecil, kau tidak kaget?"
Kongcu ini malu sendirinya.
"Ah, sayang aku tidak pandai silat..." katanya.
"Maka perlulah kau
belajar padaku!" Siauw Houwcu bergurau.
Bhok Lin ingin bicara sama Sin
Cu tetapi ia likat, maka ia terus berjalan bersama Siauw Houwcu.
Di atas gunung Thio Tan Hong
ada bersama isterinya, Ouw Bong Hu dan isteri,
In Tiong dan isteri juga,
serta Tamtay Biat Beng. Melihat Seng Lim terluka, ia lantas memberi obatnya.
Cie Hee Toojin beramai sudah
lantas tiba, Hek Pek Moko mengikuti di belakang mereka.
Tan Hong menyambut sambil
tertawa.
"Tootiang datang ke mari,
ada apakah pengajaranmu?" tanyanya.
"Aku sengaja datang untuk
memberi selamat ulang tahun pada Hian Kie Itsu," menyahut imam itu.
"Hari ulang tahun kakek
guruku lusa," Tan Hong memberitahukan.
"Sengaja aku datang lebih
dulu!" Cie Hee kata. "Aku percaya dia tidak akan mengunci pintu
menampik kami.
Tolong kau
mengabarkannya."
"Menyesal," Tan
Hong, menampik. "Kakek guruku itu bersama-sama Siangkoan Loocianpwee
tengah menutup diri di dalam kamarnya, sampai lusa barulah mereka membuka
pintu."
"Benarkah itu?"
menegasi Cie Hee, yang air mukanya berubah.
"Apakah kau sangka mereka
jerih terhadapmu?" kata Hek Moko, yang gusar. Saudaranya gusar juga.
"Apakah kau mengira Hian Kie Loocianpwee tidak berani menemuimu?"
Mendadak dari mendongkol, Cie
Hee Toojin menjadi kegirangan.
"Sungguh tidak
kebetulan!" katanya, tertawa. "Tapi Hian Kie Itsu itu adalah sahabat
kekalku, karena aku sudah tiba di sini, aku mesti bertemu padanya. Terpaksa aku
mesti menantikan di sini..."
Tan Hong tertawa dingin. Ia
kata: "Sebelumnya kakek guruku menutup pintu, ia sudah memesan melarang
lain orang mengganggunya, oleh karena itu harap dimaafkan, aku
tidak dapat melayani tootiang
beramai."
Kembali air muka Cie Hee
berubah. Ia menjadi gusar kembali.
"Ketika aku dan Hian Kie
Itsu mulai berkenalan, kau masih belum terlahir!" katanya dingin.
"Kalau begitu Thio Tan
Hong tidak usah lagi memperdulikanmu!" berkata Tamtay Biat Beng murka.
"Jikalau kau hendak bicara dari hal persahabatan, lusa saja kau bicara
sendiri sama Hian Kie Loo cianp wee. Apakah kau tidak kenal aturan kaum
kangouw?"
Cie Hee menjadi bertambah
gusar.
"Tidak gampang kami yang
dari tempat jauh datang ke mari!" katanya, menegur.
"Dengan kata-katamu ini
jadi benar-benar kau hendak menolak kami?"
"Jikalau tootiang beramai
datang untuk memberi selamat, lusa saja tootiang datang pula ke gunung
ini," berkata Tan Hong.
"Nanti aku memberitahukan
kakek guruku itu, nanti kami melayani tootiang semua. Hari ini maafkan
saja!"
Kiupoanpo membanting tongkat
besinya. "Hm!" ia perdengarkan ejekannya. "Sungguh kepala
besar!"
Cie Hee Toojin mengibas
kipasnya. Ia gusar tetapi mendadak ia tertawa.
"Tahukah kau, hari ini
aku datang selain untuk member selamat kepada Hian Kie Itsu tetapi juga ada
maksud lainnya?" ia menanya.
"Kita bukannya cacing di
dalam perutmu, mana kita ketahui hatimu?" sahut Pek Moko.
Wajahnya Cie Hee menjadi merah
padam. Ia menggoyang kipasnya.
"Aku tidak mau bicara
sama orang tidak keruan" katanya jumawa. "Thio Tan Hong, hendak aku
menanya kau! Apakah gurumu dan paman gurumu juga belum datang?"
"Guruku pun mungkin akan
tiba lusa," Tan Hong menjawab sejujurnya.
Imam itu tertawa dingin.
"Benar-benar kamu
membikin dingin hati kami yang dating karena memangeni kamu!" katanya.
Sampai di situ terdengar
tertawanya Tek Seng Siangjin dari Sengsiu Hay dari Kunlun San. Sejak tadi dia
berdiam saja, sekarang dia meleng-gak.
Dia berkata: "Aku kuatir
di sini cuma ada nama kosong belaka! Orang cuma sengaja mengerek naik papan
biancian pay!"
Papan biancian pay itu ada
pemberitahuan menunda peperangan.
Alisnya Tan Hong terbangun.
"Apa?"menegaskannya.
Cie Hee Toojin berkata pula:
"Pada tiga puluh tahun yang lampau aku telah meyakinkan ilmu silat
bersama-sama Hian Kie Itsu, bukan sedikit aku telah menerima kefaedahannya.
Selama yang belakangan ini aku
mendengar kabar dia sudah memperoleh kemajuan yang besar, maka itu sekarang aku
datang bersama ini beberapa saudara yang berilmu, yang belum pernah berjodoh
dapat menerima pelajaran dari kakek gurumu itu, karenanya mereka memerlukan
datang berkunjung ke mari. Maksud kami ialah kesatu untuk member selamat hari
ulang tahunnya, dan kedua guna belajar kenal dengan kepandaiannya yang kesohor
ke mana-mana!"
Ia berhenti sebentar, lantas
ia meneruskan sembari mengasi dengar tertawa dingin: "Kami telah pikir,
dengan memasuki usia delapan puluh tahun, bukan Hian Kie Itsu sendiri yang
memperoleh kemajuan pesat
tetapi pun ke empat muridnya, yang masing-masing mewariskan serupa pelajaran,
maka sayang sekali, mereka tidak berada di sini semua! Tidakkah ini
membuatnya kami datang di
tempat kosong?"
Tan Hong tertawa.
"Jikalau kau hendak
belajar kenal sama ilmu kepandaiannya murid kakek guruku, itu pun
gampang!" katanya sabar. "Di sini, ada beberapa murid-muridnya dari
generasi ketiga,
mereka itu tidak nanti
membikin kamu hilang harapan!"
Ouw Bong Hu pun turut buka
suara, katanya dengan nyaring: "Murid generasi kedua dari Siangkoan Thian
Ya juga berada di sini, maka kalau tuan-tuan hendak berlatih, kami
suka melayaninya!"
Hek Pek Moko juga turut
bicara: "Kami dua saudara tidak termaksud partai mana juga, tetapi sebal
kita melihat tingkah pola kamu ini! Eh, Tan Hong, dalam pertempuran ini kami
hendak turut ambil
bagian!"
"Kedua tuan hendak
membantu meramaikan, itulah bagus sekali!" berkata Cie Hee Toojin ,
menyahuti. "Dengan begitu kami jadi tidak usah nanti dikatakan yang tua
menghina yang
muda!"
Sebenarnya girang Cie Hee
mengetahui ke empat muridnya Hian Kie Itsu tidak hadir bersama. Memang dia
sengaja dating hari ini, untuk mengacau lebih dulu.
"Tootiang, silahkan kau
menjelaskan caramu," kata Tan Hong tenang. "Kami bersedia untuk
menerima pelajaran!"
Cie Hee Toojin mengajak
kawan-kawannya mundur sedikit, terus mereka kasak-kusuk, Tan Hong mengawasi
mereka, maka ia mendapat lihat gerak-geriknya Poan Thian Lo. Dia ini
menunjuk sana dan menunjuk
sini. Menampak itu, ia terkejut.
"Hebat!" serunya
mendadak.
"Kenapa?" tanya Hek
Pek Moko.
"Yang Tiong Hay ada murid
paling disayang dari Cie Hee Toojin, dia tidak datang bersama ke mari,"
berkata Tan Hong.
"Mereka ini membilang
datangnya untuk memberi selamat tetapi mereka sengaja datang dua hari di muka.
Mereka tentu ada mengandung sesuatu maksud! Mereka seperti membokong kita,
mereka mestinya menggunai akal muslihat!"
"Aku tidak
mengarti," kata Hek Moko. "Coba kau menjelaskannya. Mereka hendak
menggunai tipu apa?"
"Aku mau menduga Yang
Cong Hay yang minta gurunya datang ke mari, untuk melibat kita, dia sendiri
dengan diamdiam menyerbu ke istana Toan Ongya," Tan Hong member
keterangan. "Mereka ini benar liehay tetapi mestinya mereka jerih juga
terhadap kakek guruku serta Siangkoan Loocianpwee. Tentunya mereka sudah tahu
kakek guruku lagi bersamedhi, sengaja mereka datang ke mari menantang kita.
Hm! Liehay akal mereka! Mereka
tentu menduga kita berkumpul di sini, lantas di istana tidak ada orang yang
bisa melayani mereka, itu artinya mereka bakal menang!"
"Benar," berkata Hek
Pek Moko. "Aku tidak takuti mereka tetapi aku berkuatir untuk
istana..."
Dua saudara ini berniat lantas
pergi tetapi mereka masih berat. Pergi artinya batal bertempur...
"Di dalam ilmu silat,
Yang Cong Hay tidak usah dikuatirkan," kata Tan Hong lagi. "Hanya
kalau dia menyerbu, dia mesti ambil jalan air. Untuk mencegah, inilah bukan
pekerjaan satu dua orang yang dapat mengadu kepandaian, kita mesti dapatkan
seorang yang mengarti ilmu perang terutama perang di air, untuk dia memegang
tampuk pimpinan. Di istana sudah tersedia cukup barisan air, tinggal yang
menjadi pemimpinnya..."
Segera orang she Tan ini
melirik pada Seng Lim. Pemuda ini memang pernah menjelaskan padanya perihal
cacad di istana, yang berbahaya kalau diserang dari jurusan air, dan hal itu ia
setujui. Bahwa tadi pagi ia pergi ke istana, itu pun untuk memberi kisikan
kepada Toan Ongya. Ia hanya tidak menyangka, orang datang begini cepat.
Seng Lim harus pergi, tetapi
tangannya lagi sakit. Maka habis melirik pemuda she Yap itu, ia melirik kepada
Keng Sim.
Ketika itu Keng Sim lagi
bicara sama Sin Cu. Ia hendak mengambil hati si nona.
"Ah, nona, kau pun
terluka," katanya. "Lihat pundakmu itu!
Nanti aku obati!"
Sin Cu cuma robek bajunya di
pundak, kulitnya lecet pun tidak. Ia tengah mendengari gurunya, ia tidak
perhatikan suara si anak muda itu.
"Apa katamu?"
tanyanya heran, seperti orang baru sadar.
"Siapa yang terluka? Oh,
suhu, kau kuatir onghu diserbu!
Bukankah tentang itu Yap Toako
telah memberitahukannya?
Ya, pandangan suhu dan
pandangan Yap Toako tepat sekali!"
Mendengar suara si nona, Seng
Lim majukan diri.
"Biarlah aku yang pergi
ke sana!" katanya. "Aku hidup di wilayah air, aku pandai
mengendalikan perahu!"
Tan Hong bersenyum.
"Apakah luka di tanganmu tidak berbahaya?" ia menanya.
Seng Lim ayun tangannya itu.
"Masih ada sebelah lagi
yang dapat aku gunakan!" sahutnya. "Mungkin aku tidak dapat berkelahi
benar-benar tetapi untuk menggayu, aku dapat!"
Tan Hong segera mengambil
putusan.
"Baik!" katanya.
"Biat Beng, pergi kau antar Seng Lim ke istana!"
Kedua orang itu menurut.
Sin Cu lekas dekati itu anak
muda. "Yap Toako, jaga dirimu baik-baik!" ia memesan.
Hati Keng Sim tidak enak. Ia
pun kata di dalam hatinya:
"Bocah ini mengarti apa
tentang ilmu perang maka dia berani memegang pimpinan?" Coba tidak ada Tan
Hong, tentulah ia sudah tertawa dingin.
Di pihak Cie Hee Toojin,
mereka itu sudah selesai berdamai. Mereka lantas kembali dengan berdiri
berbaris.
"Baiklah setiap dari kita
bertempur satu kali!" katanya.
"Hanya ingin aku
menjelaskan di muka. Beberapa sahabatku ini semua mempunyai kepandaian istimewa
sendiri-sendiri, andaikata ada yang keterlepasan tangan, siapa terbinasa atau
terluka, dia mesti terima nasib. Tentang aku sendiri, karena aku sahabat kekal
dari kakek guru kamu, biarlah aku menanti sampai lusa akan main-main dengan
kakek gurumu itu sendiri!"
Tan Hong tertawa.
"Tidak usah
sungkan-sungkan!" katanya. "Sungguh girang hatiku yang loocianpwee
sudi memberi pengajaran. Cuma ada dua sahabatku, yang ada punya urusan penting,
mereka
hendak pergi turun gunung
dulu."
Begitu orang berhenti bicara,
Biat Beng bersama Seng Lim sudah lantas bertindak pergi.
Melihat mereka itu, rombongan
Cie Hee terperanjat, mereka mengawasi dengan sorot mata membenci.
Tamtay Biat Beng bertindak
terus dengan sebelah tangannya menarik tangannya Seng Lim, ia tidak mengambil
mumat yang pihak sana tercengang. Tapi segera ia dibentak Tek Seng Siangjin:
"Sahabat, pelahan!" Bahkan tangan Siangjin sudah lantas menyambar
bagaikan kilat cepatnya.
Akibatnya itu adalah bentrokan
tangan yang nyaring,
disusul sama terpentalnya tubuh
Biat Beng, siapa sebaliknya
dengan tangannya yang lain
memeluk Seng Lim, hingga tubuh
pemuda she Yap ini turut
terbawa mental.
834
Tek Seng Siangjin itu, selama
berdiamnya di Sengsiu Hay di
Kunlun San, untuk
bertahun-tahun telah melatih pukulan "Tek
Seng Ciu" atau
"Tangan Memetik Bintang." Hebat pukulan itu,
yang menyambarnya tak mengasi
dengar suara dan tidak
memperlihatkan diri saking
cepatnya, maka heran ia akan
mendapatkan kenyataan Tamtay
Biat Beng dapat
menyambutinya, cuma tubuh
lawan saja yang terhajar
terpental. Di pihak lain, ia
segera merasakan tangannya sakit
dan panas sekali. Di luar
sangkaannya, selagi menangkis, Biat
Beng menggunai jari tangannya
yang kuat membarengi
menotok, maka itu, jari
tangannya itu meninggalkan tapak
merah bagaikan bekas tersulut
api.
Dasar orang liehay, walaupun
ia terkejut, Tek Seng Siangjin
dapat berlaku sebat sekali.
Kembali ia bergerak. Pukulannya
yang kedua sudah lantas di
kirim. Tapi kali ini ia bukan
dilayani Biat Beng.
Tiba-tiba saja Hek Pek Moko
berlompat maju, tongkat
mereka dilintangi, untuk
menghalang penyerangan ulangan
itu. Hampir berbareng keduanya
menegur: "Eh, apakah kau
hendak bertarung? Di sini ada
orangnya yang akan menemani
padamu!"
Thio Tan Hong pun segera
menyelak.
"Numpang tanya, Cie Hee Tootiang,
aturan ini aturan
macam apakah?" tanyanya.
Cie Hee Toojin mengibas dengan
kipasnya.
"Biarkan mereka
pergi!" katanya. Ia jengah untuk teguran
itu.
Akan tetapi selagi imam ini
berkata-kata, huitoo atau golok
terbangnya Touw Liong Cuncia
sudah melayang ke arah
835
Tamtay Biat Beng punggung
siapa dijadikan sasaran. Tentu
sekali, karenanya, Cie Hee
menjadi mengerutkan alis.
Golok terbang itu tidak dapat
menemui sasarannya. Suara
"Traang!" segera
terdengar. Baru sampai di tengah jalan,
golok itu sudah terpental
balik. Oleh karena Tan Hong yang
matanya tajam dan gerakannya
sebat sekali sudah
menyentilkan sepotong batu
kecil kepada huito itu, untuk
mana ia menggunai tipu
timpukan senjata rahasia "Memetik
daun menerbangkan bunga."
Tepat huito itu kena disentil
balik!
Hek Pek Moko menjadi gusar,
dengan berbareng mereka
menyerang, ke kiri kepada Tek
Seng Siangjin, ke kanan
kepada Touw Liong Cuncia si
tukang bokong itu.
Tan Hong menjadi tidak puas
sekali. Ia berseru dengan
pertanyaannya yang mirip
teguran: "Sebenarnya kamu hendak
mengadu ilmu silat atau hendak
main keroyok?"
Cie Hee Toojin menghadapi
kesulitan di depan matanya itu.
Ia ketahui baik sekali
kepergiannya Tamtay Biat Beng berdua
itu, ialah untuk menolongi
onghu. Tapi ia ada seorang
terkemuka yang kenamaan, tidak
dapat ia mengabaikan
teguran Tan Hong itu. Di mana
telah terlihat Biat Beng berdua
sudah turun gunung, terpaksa
ia maju seraya menggeraki
kipasnya, menyelak di antara
Hek Pek Moko dan dua
kawannya, untuk memisahkan
mereka.
"Baiklah jangan kamu
mengacau, tuan-tuan!" katanya.
"Mari kita menggunai
aturan kaum Rimba Persilatan untuk
mengadu silat..."
Dengan kata-kata itu, Cie Hee
tidak cuma menegur
pihaknya tetapi juga Hek Pek
Moko turut tertegur, maka itu
dua saudara itu menjadi gusar.
836
"Manusia tak dapat
membedakan merah dan putih,
siapakah yang mengacau?"
mereka membentak. "Baiklah,
kami berdua saudara suka
belajar kenal lebih dulu dengan
kepandaian istimewa dari kau
si orang terkemuka dan Cie
Seng Pay!"
Liok Yang Cinkun menjadi tidak
senang. Ia maju seraya
melintangi kedua belah
tangannya di depan dadanya.
"Untuk menyembelih ayam
buat apa memakai golok peranti
memotong kerbau?"
teriaknya. "Baiklah kita melanjuti
pertempuran kita menurut cara
tadi yang masih belum ada
keputusannya menang atau
kalah!"
“Itulah bagus!" berseru
Hek Pek Moko, yang hatinya panas.
Mereka mengulapkan
masing-masing tongkat mereka.
Kiupoanpo Kong-sun Bu Houw,
yang semenjak tadi berdiam
saja di pinggiran, sekarang
mengasi dengar suaranya yang
dingin mengejek.
"Liok Yang Cinkun
bersendirian melayani dua lawan,
apakah dengan begitu kau tidak
kuatir nanti merusak nama
baikmu?" katanya.
Hek Pek Moko tahu bahwa
merekalah yang disindir, dalam
murkanya, satu di antaranya
berseru: "Kau maju sendiri, kami
menyambut dengan dua
bersaudara! Kamu maju sepuluh
orang, kami tetap berdua
saudara juga!"
Adalah maksudnya Kiu Poan Po
untuk dengan samar-samar
membantui Liok Yang Cinkun,
tetapi imam ini sedang
bergusar, ia memang beradat
keras sekali, ia tidak dapat
menangkap maksud baik dari
kawannya itu. Maka dengan
sengit ia berkata:
"Biarlah dengan sepasang tanganku yang
837
berdarah daging ini aku
menyambut sepasang tongkatnya Hek
Pek Moko, untuk belajar kenal
dengan ilmu silat dari See Hek!"
Kiupoanpo tidak mau mengarti,
sembari tertawa, ia berkata
pula: "Liok Yang Cinkun,
kau adalah tokoh utama dari satu
partai, walaupun kau bertempur
satu melawan dua, hal itu
masih kurang tepat, menang pun
belum berarti kegagahan
untukmu, dari itu baik kau
membiarkan aku si perempuan tua
mewakilkan lebih dulu padamu
dalam satu pertempuran ini!"
Dengan kata-katanya ini,
Kiupoanpo bermaksud baik. Ia
mengetahui memang ada semacam
ilmu silat yang mesti
digunai berbareng oleh dua
orang dan ia menduga Hek Pek
Moko mengerti itu, maka mau ia
percaya, Liok Yang Cinkun
bukannya tandingan dari dua
saudara Moko itu, karenanya,
hendak ia bantuannya. Ia
bersahabat kekal sama si imam,
tidak puas ia andaikata kawan
itu roboh di tangannya kedua
musuh ini. Di dalam halnya
ilmu silat, ia cuma kalah setingkat
dari Cie Hee Toojin, maka ia
percaya bahwa ia akan sanggup
melayani Hek Pek Moko. Maka
itu ia menyesali akan
mendapatkan Liok Yang tetap
sama kepala besar dan
kejumawaan-nya, tak sudi kawan
itu mengalah.
Selagi saat tegang itu,
sekonyong-konyong ada terdengar
suaranya satu orang lain. Kata
orang itu "Saudara-saudara
Hek Pek dan Kongsun Cianpwee,
silahkan kamu menanti
giliranmu belakangan saja,
sekarang ini biarkan aku yang lebih
dulu belajar kenal dengan
Kungoan Itkhiekang dari Liok Yang
Cinkun."
Segera ternyata, orang yang
membuka suara itu ada Ouw
Bong Hu, salah satu di antara
Su tay Kiamkek, Empat Jago
Pedang, yang kedudukannya
hanya berada di bawah Thio Tan
Hong, tetapi mengenai
derajatnya, dia ada lebih tinggi satu
tingkat daripada Tan Hong itu.
838
Melihat siapa yang berbicara
itu, Hek Pek Moko suka
mengalah.
"Baiklah, kali ini suka
kami mengalah!" kata mereka. "Tapi
ketahuilah, kami berdua sudah
melepas kata-kata, tidak nanti
kami sudi mengijinkan orang
ini berlalu dari ini gunung
dengan masih berjiwa, dari itu
kami minta, di waktu kau
menurunkan tangan, janganlah
kau berbelas kasihan!"
Ouw Bong Hu tertawa.
"Aku tahu!" sahutnya
gembira. "Tidak usah kau memesan,
saudara-saudara yang baik,
akan aku menghabiskan tenagaku
untuk menunaikan
tugasku!"
Kemurkahannya Liok Yang Cinkun
bukan kepalang. Hebat
kata-kata orang yang
menyinggung kehormatannya itu. Tapi
ia tahu ia lagi menghadapi
lawan-lawan yang tangguh, tidak
berani ia terlalu mengumbar
napsu amarahnya itu, hanya
karenanya, cuma rambutnya yang
pada bangun berdiri.
Segera ia berjalan, tiga
tindak di samping Ouw Bong Hu, tiga
tindak lempang, sikapnya
bagaikan seekor singa hendak
menerkam mangsanya.
Ouw Bong Hu pun bersikap
sungguh-sungguh, ia
mengimbangi gerak-gerik orang.
Di saat orang maju tiga
tindak, ia mundur tiga tindak
juga, matanya mengawasi tajam
lawan itu, dan kapan orang
mundur, ia berbalik maju, tetap
tiga tindak. Ia mengambil
sikap patkwa.
Secara demikian mereka itu
main maju mundur, kira-kira
seperempat jam, masih belum
ada yang turun tangan. Semua
hadirin lainnya mengarti,
kedua pihak sama-sama tengah
mengerahkan tenaga mereka,
maka juga, satu kali mereka
bergerak, kesudahannya mesti
hebat sekali.
839
Sin Cu menyaksikan itu dengan
masgul. Ia mengawasi ke
bawah bukit. Di sana,
samar-samar masih terlihat bayangan
tubuh dari Tamtay Biat Beng
dan Yap Seng Lim. Ia menjadi
heran sekali.
"Ah, mengapakah mereka
jalan lambat sekali?" ia berpikir.
Ia berkuatir untuk keselamatan
onghu, istananya Toan Ongya,
ia menyesal yang ia tidak
dapat menganjurkan mereka jalan
cepat. Entah kenapa, ia pun
mengawasi punggungnya Seng
Lim, mengawasi hingga beberapa
kali... Ia ingat orang telah
berkurban untuk menolongi ia,
bahwa orang telah terluka
karenanya, dan sekarang orang
pergi dalam keadaan terluka
itu untuk menolongi onghu,
setahu dia bakal berhasil atau
tidak...
"Ah, biarlah dia kembali
dengan tidak kurang suatu apa!"
pikirnya pula kemudian.
Demikian Sin Cu berpikir, ia
tidak tahu bahwa Biat Beng
sebenarnya telah terluka
karena tadi dia sudah menangkis
serangannya Tek Seng Siangjin,
sedangkan Seng Lim karena
lukanya tidak dapat menggunai
ilmunya lari ringan tubuh.
Sebenarnya mereka itu terlebih
cemas hatinya daripada si
nona sebab mereka pun ingin
sekali lekas tiba di onghu.
Masih si nona berdiri
menjublak ketika tubuhnya Biat Beng
dan Seng Lim sudah tidak
nampak lagi ketika kemudian ia
berpaling, sinar matanya
bentrok sama sinar matanya Tiat
Keng Sim, yang tengah
mengawasi kepadanya. Sinar matanya
si anak muda itu lemah dan
seperti mengandung penyesalan...
Hanya sedetik itu, Sin Cu
mendapati di depan matanya
seperti berbayang tubuhnya
Seng Lim serta tubuhnya Keng
Sim, kemudian bayangan Keng
Sim itu seperti menindih
bayangannya Seng Lim. Tanpa
merasa, ia mengangkat
kepalanya, memandang Keng Sim
pula. Hanya ini kali ia
840
mendapatkan roman tegang dari
anak muda itu, yang
matanya menjurus ke lain arah.
Kapan ia sudah ikuti tujuan
mata si anak muda, ia
mendapatkan Ouw Bong Hu serta Liok
Yang Cinkun lagi menghadapi
saat-saat yang sangat
membahayakan.
Mereka itu tidak berputaran
dengan setindak demi
setindak, hanya tindakan
mereka berubah menjadi sangat
cepat, akan di lain saat
terdengarlah bentakan Liok Yang
Cinkun: "Jikalau bukannya
kau tentulah aku!"
Itulah berarti ancaman.
Sampai di situ cukup sudah si
imam mengumpul
tenaganya, maka tibalah
ketikanya untuk ia menyerang
dengan ilmu silatnya Kungoan
Itkhiekang, semangatnya yang
dipersatukan.
Hebat serangan itu, angin
seperti menderi, pasir dan batu
bagaikan berterbangan.
Berbareng dengan serangan itu,
tubuh Ouw Bong Hu
seperti terhuyung, tetapi ia
menyambut dengan satu jari
tangannya diangsurkan, maka
sebagai kesudahan dari itu
lantas terdengar suara beradu
yang tajam menusuk kuping,
seperti bola kena tertusuk
jarum dan kempes sendirinya.
Tubuhnya Liok Yang Cinkun juga
lantas terhuyung
beberapa tindak, mukanya
menjadi pucat sekali. Ia runtuh
seperti ayam jago
terpecundangkan!
Ouw Bong Hu sudah menggunai
“Itciesian" atau pukulan
"Sebuah Jeriji,"
yang justeru ada penakluk untuk Kungoan
Itkhiekang. Masih syukur untuk
Liok Yang Cinkun, telah mahir
latihannya, kuat tenaga
dalamnya, jikalau tidak, pastilah rusak
841
anggauta-anggauta tubuh bagian
dalamnya dan jiwanya akan
melayang lantas.
Begitulah kalau jago-jago
saling bertempur, cukup dengan
satu gebrakan yang memutuskan.
Tapi Liok Yang Cinkun,
bersifat lain dari umumnya
jago-jago. Ia penasaran, ia tidak
sudi segera mengaku kalah. Ia
merasa hilang muka. Maka
juga sejenak kemudian, setelah
berlompat jumpalitan, ia
berdiri dengan sebelah
tangannya mencekal sebatang alat
senjata yang luar biasa
senjata itu panjang dan merah, di
ujungnya ada tergantung dua
batok kepala orang terbuat dari
emas putih, hingga dilihat
sekelebatan, mirip itu dengan
tengkorak tulen.
"Ouw Bong Hu!"
berseru si imam, "kau terkenal sebagai
ahli pedang di Utara, sekarang
ingin aku melihat kau
sebenarnya ada mempunyai
kepandaian apa!"
Kata-kata ini tidak menantikan
jawaban. Liok Yang
Cinkun sudah lantas menggeraki
senjatanya yang aneh itu,
menjuju kepada lawannya. Yang
lebih aneh adalah mulutnya
kedua tengi-korak itu bisa
terbuka sendirinya, di situ terlihat
barisan gigi yang putih
meletak, kedua baris gigi atas dan
bawah itu hendak menggigit
lawan!
Ouw Bong Hu tidak menjadi
jeri, bahkan sebaliknya ia
tertawa tawar.
"Dengan senjatamu yang
sesat ini kau hendak menggertak
orang! Hm!" katanya.
Liok Yang Cinkun bergerak
dengan sangat gesit, tapi tak
kalah gesitnya adalah jago
pedang dari Utara itu, yang dalam
sekejab saja sudah menghunus
pedangnya dengan apa ia
menangkis.
842
Kedua senjata bentrok dengan
menerbitkan suara,
akibatnya cambuk si imam
mental balik.
Liok Yang Cinkun menggeraki
balik tangannya, kembali
senjatanya itu menyerang pula,
bahkan sekali ini, ia
menyerang beruntun-runtun tiga
kali dengan serangannya
berantai "Lianhoan
sampian," Tiga Cambuk Saling Susul.
Senjata itu berputar keras,
anginnya mendesir-desir.
Ouw Bong Hu berlaku celi dan
sebat. Ketika kedua
tengkorak menyambar kepadanya,
Ia menyentil dengan dua
jari tangannya yang kiri,
membarengi mana pedangnya,
pedang Cengkong kiam memapas
tangan orang nyerepet di
antara rujung itu.
Liok Yang Cinkun berseru
sambil dengan tangan kirinya
menggempur, untuk
menghancurkan jeriji orang, sedang
cambuknya, yang ditarik
pulang, ia pakai untuk menyerang
pula, kembali secara berantai.
Sebenarnya senjatanya Lio Yang
Cinkun ini, yaitu kolouw
pian, atau cambuk tengkorak,
biasa digunai untuk
menggempur merusak tenaga
dalam dan jalan darah lawan,
sedang kedua tengkoraknya
sendiri ada mempunyai
keistimewaan lain, maka
beruntunglah Ouw Bong Hu, dia
telah mempunyai kepandaian
yang mahir sekali hingga dapat
dia melayani terus tak perduli
senjata aneh itu.
Tan Hong mengangguk-angguk
melihat cara berkelahi
kawannya itu. Di dalam
hatinya, ia berkata: "Tidak kecewa
Ouw Bong Hu menjadi ahli
warisnya Siangkoan Cianpwee,
ternyata ilmu silatnya sudah
melebihkan berlipat kali daripada
Tamtay Biat Beng yang menjadi
kakak seperguruannya.
Makin lama pertempuran menjadi
makin hebat, hingga
datang saatnya cambuknya si
imam menyerang berulangTiraikasih
Website
843
ulang ke kiri dan kanan, lalu
kedua tengkoraknya, dengan
masing-masing mulutnya
terpentang, mengancam menggigit
pundak kiri dan kanan dari Ouw
Bong Hu, sedang ujung
cambuknya menyambar mengancam
melilit ke kaki orang.
Demikian satu gerakan dengan
tiga macam tujuannya.
Menampak serangan hebat itu,
hampir-hampir Sin Cu
menjerit bahna kagetnya.
Selagi ancaman ada demikian
dahsyat, hanya sedetik,
tubuh Ouw Bong Hu sudah
bergerak, menggeser dari
tempatnya menaruh kaki
barusan. Ia telah berlompat tinggi
satu kaki lebih, dengan
gerakannya "Yancu coanin," atau
"Burung walet menembusi
awan." Ia bukan melainkan
berkelit, sambil berlompat,
kedua tangannya bergerak juga,
pedang di tangan kiri, tangan
kanan dengan jerijinya, dari atas
menyerang ke bawah. Maka
terdengarlah dua kali suara
nyaring!
Kedua tengkorak emas putih itu
telah kena terhajar,
keduanya pecah, terbuka
mulutnya, dari situ menyembur sinar
terang yang berwarna merah
tua!
Memang, cambuk dari Liok Yang
Cinkun itu sebenarnya
adalah Kolouw Liathoh pian
atau Cambuk Tengkorak Api,
sebab di dalam tengkorak itu,
yang digunainya untuk
menggigit urat-urat musuh,
juga ada tersimpan api, yang
dapat menyembur membakar
lawan. Ini pula sebabnya
kenapa imam ini berani
menantang Hek Pek Moko. Ia hendak
mengandalkan senjatanya yang
luar biasa situ.
Semua terperanjat sebagai
kesudahannya menyemburnya
api itu. Ouw Bong Hu seperti
terkurung api, hingga bajunya,
dan rambutnya juga, telah kena
terbakar. Karena ini di kedua
844
pihak, ada orang-orang yang
telah berlompat maju, untuk
membantui masing-masing
pihaknya.
Orang berlompat maju dengan
cepat sekali, tetapi di dalam
gelanggang pertempuran,
peristiwa berlaku dengan terlebih
cepat pula. Dua kali lagi
terdengar suara jangg keras, dengan
kesudahannya kedua tengkorak
terhajar hancur oleh Ouw
Bong Hu, yang seperti tidak
jeri terhadap api, yang telah
menggunai jari tangannya yang
liehay.
Touw Liong Cuncia baru saja
tiba ketika kupingnya
mendengar jeritan hebat dari
Liok Yang Cinkun, kawannya itu
yang main api. Sebab lagi
sekali ia kena diserang pukulan
Itciesian dari lawannya, dan
kali ini hancurlah pertahanannya
Kungoan Itkhiekang, maka
sambil menjerit, ia roboh ke tanah,
dari mulutnya, kupingnya,
hidungnya, semua telah keluar
darah. Ia merintih seraya
bergulingan di tanah...
Kiupoanpo menjadi sangat gusar,
dia berlompat dengan
tongkatnya dengan apa dia
menyapu, untuk menghajar Ouw
Bong Hu.
Hek Pek Moko pun gusar bukan
main dengan tongkatnya
mereka menangkis.
"Kau hendak main
keroyok?" dua saudara ini menegur.
Belum sempat Kiupoanpo
menjawab teguran itu, Touw
Liong Cuncia, yang sudah
kepalang maju, mendahulukan
menyerang.
"Sabar, sahabat!"
berseru In Tiong, yang maju menangkis
serangan itu.
Sampai di situ, Thio Tan Hong
mengasi dengar pula
suaranya: "Cie Hee
Tootiang1. Bukankah kau telah
845
mengatakannya, siapa terluka
atau terbinasa, dia cuma dapat
menyesalkan nasib malangnya?
Adakah perkataanmu ini tak
masuk hitungan?"
Ditegur begitu, Cie Hee Toojin
pun mengasi dengar
suaranya.
"Kongsun Tooyu, tolong
kau mundur dulu!" demikian ia
berkata kepada kawannya.
Kiupoanpo jadi sangat
menyesal, maka juga dengan
tongkatnya ia memukul tanah.
"Kali ini aku
roboh!..." ia mengeluh.
Hek Pek Moko mendengar itu,
mereka sebaliknya tertawa.
"Kami berdua saudara
pasti sekali akan menemani kau
main-main!" katanya.
Kiupoanpo tidak melayani
bicara, ia hanya menghampirkan
Liok Yang Cinkun.
Imam sahabatnya itu rebah
dengan napas empas-empis,
darah mengalir keluar dari
mulut, hidung, mata dan
kupingnya, nadinya berjalan
dengan sangat pelahan. Itulah
tanda bahwa dia tidak bakal
hidup lebih lama pula karena
telah rusak semua anggauta
dalam tubuhnya.
Itu waktu In Tiong dan Touw
Liong Cuncia telah terus
bertempur. Inilah disebabkan
kawannya Liok Yang Cinkun itu
tidak mau mengarti, tak sudi
dia mundur. Maka itu, In Tiong
terus melayaninya.
846
Touw Liong menggunakan sebilah
golok yang luar biasa
juga. Ujung golok itu terpecah
dua bagaikan gaetan, di waktu
digeraki, dari dalam situ
memancar sinar merah tua gelap.
In Tiong luas pengalamannya,
maka ia dapat menduga,
mestinya golok itu telah
pernah direndam dalam semacam
racun. Karena ini ia berlaku
waspada, ia melayani dengan ilmu
goloknya Loohan Sintoo dengan
apa ia seperti menutup
dirinya.
Ilmu golok Loohan Sintoo, atau
Golok Arhat, ada
ciptaannya Hian Kie Itsu, yang
mengambil gerak-geriknya lima
ratus Arhat. Di masa mudanya,
dengan itu Hian Kie telah
menjagoi. Tang Gak adalah
murid kepalanya dan Tang Gak
berhasil mewariskan ilmu golok
itu. Paling belakang, In Tiong
pun dapat memahamkan ilmu
golok itu sesudah peryakinan
belasan tahun, maka juga,
tidak perduli Touw Liong Cuncia
ada sangat liehay, melayani In
Tiong ini, dia cuma bisa
merampas kedudukan seri.
Lama juga dua orang ini
bertarung, sampai lewat seratus
jurus. Rupanya Touw Liong
Cuncia penasaran, tiba-tiba
terdengar seruannya yang
nyaring, goloknya berkelebat
bersinar. Ia telah menggunai
jurus "Naga jahat keluar dari
kedungnya," dengan itu ia
mencoba memecahkan kurungan
lawannya.
Hek Pek Moko terkejut
menyaksikan itu penyerangan
sangat dahsyat, tanpa merasa
mereka mengeluarkan seruan.
In Tiong sendiri telah menanti
hingga golok sudah datang
dekat kepada mukanya, dengan
tiba-tiba ia berkelit, sambil
berkelit itu tangannya dipakai
membabat berbalik. Dengan
begitu, dari membalas
menyerang. Sasarannya adalah lengan
lawannya itu.
847
Touw Liong Cuncia dapat
mengelakkan diri seanteronya.
Goloknya itu bentrok sama
golok musuhnya. Dengan begitu
maka gagallah serangannya
barusan yang memecah
kurungannya In Tiong.
"Bagus! Bagus!" Pek
Moko membalas memuji.
Akan tetapi Tan Hong
menggeleng kepala dan
mengatakannya, "Gerakan
yang kedua kali kurang sempurna."
Inilah disebabkan, ilmu golok
Loohan Sintoo itu pertama
mengutamakan penyerangan dan
kedua pembelaan diri, tetapi
In Tiong menggunakannya
pertama untuk membela diri, lalu
sebagai penyerangan.
Belum rapat mulutnya Tan Hong
atau Touw Liong Cuncia
sudah menyerang pula dengan
cepat sekali, umpamakata kilat
menyambar. Itulah dia gerakan
"Burung aneh berjumpalitan,"
goloknya bagaikan menyapu
mengikuti gerakan tubuhnya itu.
In Tiong melihat bahaya
mengancam, ia berkelit sambil
melemparkan goloknya. Itulah
salah satu tipu dari Loohan
Sintoo, untuk membebaskan diri
dari ancaman bahaya.
Goloknya itu, meskipun
dilemparkan, dilemparkannya ke
arah musuh, untuk menyerang,
sesudah mana, dapat
menyambarnya pula, untuk
menangkap.
Touw Liong Cuncia kaget hingga
dia berteriak. Dia
mencoba berkelit. Kesudahannya
dia dapat menolong lehernya
tetapi tidak pundaknya, yang
keserepet golok, hingga
dagingnya kena terpapas!
Pek Moko kembali kaget,
setelah itu ia bernapas lega. Ia
menganggap In Tiong sudah
bebas dari ancaman bahaya.
848
Sebenarnya hendak ia majukan
dirinya. Tapi dugaannya itu
keliru.
Touw Liong Cuncia itu ganas
sekali, tanpa memperdulikan
yang dia sudah terluka, begitu
habis terpapas pundaknya,
begitu dia membacok pula,
hingga tahu-tahu goloknya yang
beracun itu sudah berkilau
berkelebat di depan muka
lawannya!
Dalam saat sangat berbahaya
itu, sebelah tangannya In
Tiong berkelebat, lalu
terdengar suara yang nyaring keras.
Sebab sebelah tangannya Touw
Liong Cuncia telah terpatah.
Tapi di samping itu, lengan In
Tiong sendiri mengeluarkan
darah, karena dagingnya telah
tergores golok musuh, lukanya
panjang tiga dim lebih!
Dalam lukanya yang hebat itu,
Touw Liong Cuncia masih
sempat tertawa menyeringai,
seraya menarik tangannya yang
patah itu, ia kata pada
lawannya: "Kau membuatnya aku
bercacad tetapi juga jiwamu
tidak bakal terlindung lagi!"
Mendengar itu orang semua
kaget bukan main.
In Tiong tidak menggubris
kata-kata orang, dengan
tindakan terhuyung ia berlari
untuk pulang. Dari luka di
lengannya itu, darah terlihat
menetes jatuh.
Touw Liong Cuncia itu terhajar
pukulan Taylek Kimkong
ciang, lengannya tidak dapat
dilindungi lagi, tetapi dia
membalas dengan goresan
goloknya yang beracun, racun
yang terbuat dari campuran
kotoran badak dan burung serta
ilar ular berbisa dari pulau
Benghee To di Laut Timur.
Setahunya dia, tanpa obat
pemunah dari dia sendiri, luka itu
tidak dapat disembuhkan lain
orang...
849
Isterinya In Tiong, ialah
Tamtay Keng Beng, segera
memegangi suaminya itu, untuk
diantar pulang. Lebih dulu ia
sudah merobek ujung bajunya,
untuk membalut luka
suaminya. Telah terlihat
sebuah garis hitam menaik pada
lengan yang terluka itu.
Menampak itu Tan Hong segera
berkata kepada Tamtay
Keng Beng: "Lekas ajak
dia beristirahat di kamar samedhi! Kau
bantu dia mengempos
semangatnya, untuk mencegah
menjalarnya racun itu!"
Tamtay Keng Beng pun seorang
ahli, ia menginsafinya,
garis hitam itu adalah racun
yang sedang bekerja, jikalau
racun itu menyerang ke uluh
hati, habis sudahlah lelakon
suaminya. Maka itu ia
berlari-lari pulang seraya mempepayang
suaminya itu.
Menyaksikan kesudahannya
pertempuran itu, Cie Hee
Toojin tertawa berkakak.
"Dalam babak ini dua-dua
pihak sama-sama mendapat
luka, kita boleh anggap ini
seri!" katanya. "Bagaimana dengan
babak yang kedua?"
Hek Pek Moko berlompat maju
berbareng.
"Kali ini kami berdua
saudara yang menggantung merek!"
berkata mereka.
Kiupoanpo mengasi dengar
tertawa dingin, dengan
tindakan pelahan ia maju ke dalam
gelanggang.
"Hm!" katanya, tetap
mengejek. "Telah lama aku
mendengar tentang dua batang
tongkat mustika dari Hek Pek
Moko, tongkat mana berharga
mahal seperti harganya sebuah
850
kota, maka itu sekarang aku si
perempuan tua ingin mainmain
dengan kamu. Marilah kita
bertaruh dua kali!"
"Bertaruh apakah?"
menanya dua saudara itu.
"Yang pertama ialah
bertaruh jiwa, dan yang kedua
bertaruh hadiah!"
menyahut Kiupoanpo dengan jumawa.
"Hadiah itu ialah
senjata-senjata di tangan kita! Aku sangat
penuju dua batang tongkat kamu
itu!"
Hek Pek Moko tertawa dingin.
"Jikalau kau ada
mempunyakan kepandaian, kau ambillah
senjata kami ini!" kata
satu di antaranya. "Kami tidak
memandang berharga kepada
tongkat kami ini!"
Kiupoanpo membawa sikapnya
yang tenang.
"Tentang tongkatku
ini," katanya, pelahan, sabar, "meski
ini bukannya tongkat yang
dapat dipandang berharga,
sebenarnya adalah benda
mustika. Maka aku percaya
pertaruhan ini tidak akan
merugikan kamu! Jikalau kamu tidak
percaya, kamu cobailah satu
kali, nanti baru kamu merasa!..."
Hek Pek Moko tidak menjawab
hanya mereka mengangkat
tongkat mereka ke dada mereka.
Kiupoanpo belum habis dengan
kata-katanya itu tatkala
tahu-tahu tongkatnya dikasi
melayang, maka itu terdengarlah
satu suara bentrokan seperti
nyaringnya emas atau kumala,
sedangkan sinar hijau dan
putih berkelebat lenyap. Akibatnya
itu ialah Hek Pek Moko dan
Kiupoanpo sama-sama mundur
sendirinya tiga tindak!
851
Di antara mereka bertiga itu
adalah Pek Moko yang tenaga
dalamnya terlemah, ia lantas
merasakan kedua belah
lengannya sesemutan dan baal.
Karena ini sekarang insaflah ia
akan liehay nya Kiupoanpo
Kongsun Bu Houw dari bukit Aylao
San.
Kongsun Bu Houw sendiri pun
terkejut. Sebelumnya ini,
belum pernah ia menghadapi
lawan yang tenaga dalamnya
seimbang dengan tenaga
dalamnya sendiri, yang dapat
menangkis tongkatnya seperti
kali ini, sampai ia mesti mundur
tiga tindak. Karenanya, ia pun
menginsafi hebatnya kedua
saudara Moko itu. Coba ia
tidak mempertahankan diri dengan
kuda-kuda berat badan
"Seribu Kati," mungkin ia terhuyung
roboh.
Habis mundur itu, Hek Pek Moko
sudah lantas bergerak
pula. Hek Moko dengan tangan
kiri di depan menotok kepada
nadi lawan, dan Pek Moko
dengan tangan kanan, menotok ke
jalan darah hiat-hay. Kedua
tongkat, dengan sinarnya hijau
dan putih, berkelebat sama
gesitnya, bagaikan halilintar.
Selagi kawan-kawannya si
wanita tua terperanjat untuk
gerakan luar biasa sebat itu,
si wanita tua sendiri
memperdengarkan seruan
nyaring, tongkatnya dikasi bergerak
turun. Itulah jurus
"Pengsee lokgan," atau "Burung belibis
turun di pasir datar."
Pertama dengan itu dihalau serangannya
Pek Moko, lalu menyusul itu
ujung tongkat menyambar ke
atas, ke mukanya Hek Moko,
totokan siapa telah dapat
dihindarkan dengan satu
gerakan tadi. Tongkat yang
berkepala seperti burung dara
itu bahagian pacuhnya
mematuk muka lawan yang
berkulit hitam itu.
Hebat serangannya Kiupoanpo
ini. Ia pun percaya bahwa ia
bakal berhasil. Ia hanya
keliru menduga. Kalau ia menyerang
Pek Moko, mungkin ia dapat
mencapai maksudnya. Tapi ia
852
sudah mengarah Hek Moko. Maka
"Traang!" tongkatnya itu
kena ditangkis tongkat Lekgiok
thung.
"Jangan mengharap terlalu
banyak!" mengejek Hek Moko,
habis mana tongkatnya itu
terus bersatu pula dengan Pekgiok
thung, tongkat putih, dari Pek
Moko, saudaranya.
Maka kedua tongkat itu seperti
mengurung tongkat
lawannya.
Segera setelah itu beberapa
jurus berlangsung. Hebat
perlawanan dari Kiupoanpo,
yang berulang kali
memperdengarkan seruan-seruan
dari kemurkaan, ujung
tongkatnya bergerak ke segala
penjuru. Hek Pek Moko
nampaknya berlaku sabar,
mereka tidak menyerang hebat,
lebih banyak mereka membela
diri, karena itu, berselang
sekian lama, kekuatan mereka
berimbang saja. Hanya benar,
sama-sama mereka itu tidak
berani berlaku alpa.
Semua hadirin menjadi kagum,
mereka menonton dengan
menjublak. Dalam saat itu
kembali terdengar bentrokan yang
nyaring, lalu suara itu sirap.
Segera terlihat apa yang
menyebabkan itu.
Kiupoanpo memegang tongkatnya
di tengah-tengah
dengan kedua belah tangannya.
Ujung tongkat itu, yang kiri
menahan tongkat Lekgiok thung
dari Hek Moko, yang kanan
menahan tongkat Pekgiok thung
dari Pek Moko. Maka mereka
merupakan segi tiga, sebab
ketiga tongkat itu bagaikan
nempel satu pada lain.
Ketiga orang itu berdiri diam
laksana patung. Mereka
tapinya tidak usah berdiam
lama, atau pada mereka segera
terlihat perubahan.
Masing-masing embun-embunan mereka
sudah lantas mengeluarkan uap
seperti asap yang mengepul
naik, warnanya putih.
853
Cie Hee Toojin dan Thio Tan
Hong terkejut bukan main.
Mereka ketahui baik sekali
ketiga orang itu, dalam dua
rombongan, tengah mengadu
tenaga dalam. Kalau terus
mereka saling berkuat hingga
semangat habis, mereka bakal
bercelaka dua-dua pihak, yang
menang bakal menderita sama
seperti yang kalah.
Sudah diketahui, liehaynya
Kiupoanpo cuma di sebawahan
Cie Hee Toojin. Dia diundang
Cie Hee, untuk membantui
kalau-kalau Siangkoan Thian Ya
turun tangan sendiri, supaya
si imam mendapat tenaga
bantuan yang berarti. Siapa tahu,
wanita kosen itu menemui
tandingan dalam dirinya Hek Pek
Moko. Inilah tidak disangka
sama sekali. Hebat akibatnya
apabila wanita itu dirobohkan
Hek Pek Moko, karena itu berarti
lenyapnya bantuan yang dibuat
andalan.
Thio Tan Hong bersenyum.
"Kita tengah melatih
silat, untuk itu tidak usalah kita main
mati atau hidup!"
katanya. "Baiklah babak ini ditutup dalam
keadaan seri."
Tan Hong ketahui dengan baik,
apabila pertempuran itu
berlangsung, Hek Pek Moko
pasti bakal menang dan
Kiupoanpo akan mati letih
tetapi pun dua saudara itu bakal
mendapat sakit hebat mungkin
bercacad karenanya.
Inilah apa yang diharap-harap
Cie Hee Toojin, maka itu
segera ia maju sambil membawa
kipasnya.
"Benar!" katanya. Ia
bertindak dengan sabar, tetapi toh
sebentar saja ia sudah berada
di sisinya Kiupoanpo, cuma
bersangsi sedetik, kipasnya
itu dipakai menyelak di antara
senjatanya orang-orang yang
lagi berkutat itu.
854
Hek Pek Moko bertiga ada
orang-orang liehay, tubuh
mereka berdiri tegar bagaikan
gunung, ketika Cie Hee
mengerahkan tenaganya, mereka
itu tetap tidak bergerak,
adalah tubuh si imam sendiri
yang bergoyang seperti
terhuyung. Kejadian ini
membuat mukanya Cie Hee menjadi
merah. Ia lantas menyedot
hawa, kembali ia majukan
kipasnya, kali ini ia
menggunai tenaga tak setengah hati
seperti tadi. Ia penasaran,
hendak ia memaksa memisahkan
tiga orang itu.
Justru itu pedangnya Thio Tan
Hong melesat menyelak ke
arah ketiga jago itu, dia
sendiri sembari tertawa
memperdengarkan suaranya:
"Biarlah aku membantu kepada
tootiang."
Cie Hee Toojin menggeraki
kipasnya, untuk mengangkat
tongkatnya Kongsun Bu Houw,
dan pedangnya Tan Hong
menarik melepaskan kedua
tongkatnya Hek Pek Moko.
Dengan begitu, terpisahlah
ketiga orang yang lagi menguji
tenaga dalam mereka itu.
Kiupoanpo dan Hek Pek Moko
mengawasi satu kepada lain
dengan muka mereka merah padam
saking mendongkolnya,
tetapi mereka bernapas
sengal-sengal, tidak dapat mereka
membuka suara, karenanya
terpaksa mereka pada
mengundurkan diri.
Thio Tan Hong bersenyum pula.
"Sungguh sukar dicari
ketika baik seperti ini," berkata dia
sabar, "karena itu,
tootiang, berhubung dengan kedatangan
tootiang ini, aku yang muda
ingin sekali meminta pengajaran
daripadamu."
Cie Hee Toojin mengangkat
kepala ber-dongak ke langit,
terus ia tertawa. Iapun
membawa sikap yang sabar sekali.
855
"Dulu hari pernah hingga
tiga kali pintoo memohon
pengajaran dari kakek gurumu
untuk memperoleh kemajuan,"
ia menyahuti, "sayang
hingga kali ini tidak kuberjodoh
menerima pengajaran itu.
Katanya kamu suami isteri sudah
mendapatkan pelajaran ilmu
silat pedang tergabung dari Hian
Kie Itsu, baiklah, silahkan
kamu berdua maju, supaya dengan
begitu pintoo jadi mendapat
membuka pandangan mataku!"
Cie Hee mengetahui dengan baik
Thio Tan Hong sudah
maju jauh sekali, ia telah
melewati paman-paman gurunya,
akan tetapi mengingat dalam
soal derajat dia terlebih tinggi
dua tingkat dari orang she
Thio itu, sengaja dia mengucapkan
kata-katanya itu. Dia tidak
sudi yang di muka orang banyak itu
dia nanti kehilangan
kehormatan dirinya.
In Lui tengah mengempo
anaknya, ia menyender di pintu,
apabila ia mendengar suaranya
si imam, sepasang alisnya
yang lentik bangun berdiri.
"Sin Cu, mari kau empo
adik seperguruanmu ini!" ia kata
pada muridnya.
Belum lagi Nona Ie
menghampirkan, Tan Hong sudah
mencegah.
"Adik In, tak usah kau
maju!" demikian katanya.
Sin Cu pun ketahui, baru habis
melahirkan, tenaganya In
Lui masih belum pulih, maka
itu, ia turut berkata: "Subo,
biarlah aku saja yang
menggantikan kau, jikalau aku gagal,
baru subo yang maju..."
Keng Sim terkejut, hingga ia
menanya: "Kau yang maju?"
Ia tahu liehaynya Cie Hee
Toojin itu, yang ilmu silatnya sangat
terkenal, yang derajatnya
telah sama tingkat dengan Hian Kie
856
Itsu dan Siangkoan Thian Ya,
maka itu, bagaimana dapat si
nona mengajukan diri? Bukankah
itu sama seperti cengcorang
yang membentur kereta?
Karenanya, hendak ia mencegah.
Nona Bhok Yan di pinggiran
menyaksikan lagaknya
pemuda she Tiat ini, pada
matanya lantas saja nampak sinar
tak puas.
Tan Hong bersenyum pula ketika
ia berkata kepada
muridnya: "Sin Cu, tidak
usah kau maju. Marilah berikan
pedangmu padaku."
Nona Ie bersangsi sejenak,
lantas ia meloloskan
pedangnya, dengan hormat dan
pelahan ia serahkan pedang
itu kepada gurunya. Tan Hong
menyambuti Cengbeng kiam,
habis mana ia menghunus
pedangnya sendiri, pedang Pekin
kiam. Setelah ia mengebaskan
kedua pedang itu, berkatalah ia
dengan nyaring: “lmu silat
pedang tergabung dari partaiku
tidak selamanya mesti
dimainkan oleh dua orang, dapat juga
oleh seorang orang
bersendirian, maka itu silahkan cianpwee
memberikan pengajaran
kepadaku."
Semenjak beberapa tahun ini
Thio Tan Hong sudah
mencapai puncaknya kemahiran,
maka itu apabila ia
menghadapi musuh, tidak sudi
ia menggunai senjata tajam,
akan tetapi sekarang ia
menghunusnya sampai dua batang,
itulah menandakan lawannya,
Cie Hee Toojin, ia pandang
tinggi. Meskipun demikian, Cie
Hee masih berlagak, dia
menunjuki sikap juma-wa. Habis
mengibas kipasnya, dia
berkata dengan tawar:
"Baiklah, kau boleh maju!"
Tan Hong tidak segera
menerjang. Ia sebaliknya berkata:
"Kakek guruku pun pernah
memuji ilmu silat pedang dari
tootiang. Silahkan tootiang
menghunus pedangmu itu supaya
aku yang terlebih muda dapat
belajar kenal!"
857
"Benarkah?" bertanya
Cie Hee. "Benarkah kakek gurumu
pernah memuji demikian? Ah,
sayang ia sekarang tengah
menutup diri. Sekarang dengan
siapakah dapat aku mengadu
pedang? Thio Tan Hong, sudah,
jangan kau banyak bicara
lagi, kau majulah!"
Dengan menggoyang-goyang
kipasnya, imam ini tetap
menjual lagaknya. Dia nampak
sangat jumawa. Tan Hong
mendongkol juga, tetapi ia
dapat mengendalikan diri, dari
pada menunjuki kemur-kahan, ia
justru tertawa. Ia
membalingkan pedangnya hingga
terdengar suara mengaung.
"Jikalau begitu, maafkan,
aku yang muda berlaku kurang
hormat!" katanya kemudian
dengan dingin. Ia lantas saja
menyerang dengan Cengbeng
kiam, mengarah jalan darah
honghu hiat.
Cie Hee membawa lagaknya
sangat angkuh tetapi
sebenarnya tidak berani ia
memandang enteng kepada orang
she Thio ini, maka itu ia
sudah lantas pentang kipasnya.
Itulah kipas bukan sembarang
kipas, sebab terbuatnya
daripada emas tercampur baja
yang telah berulang kali
dileburnya, semua tulangnya
berjumlah belasan batang,
kecuali bulunya, yang
merupakan kipas, tulang-tulang itu
tajam seperti jarum. Jadi
itulah senjata yang istimewa sekali.
Selagi Cie Hee mengebas, maka
berkelebatlah suatu sinar
hijau. Imam itu terus tertawa
berkakak.
"Sepasang pedang
tergabung!" serunya. "Tidak, tidak!
Ah!..." Dan ia menjadi
terkejut. Sebenarnya ia hendak
membilang: "Sepasang
pedang tergabung, kiranya sebegini
saja!" Tapi tahu-tahu
sinar hijau itu seperti sudah mengitarkan
kepalanya, menyambar dan
berbalik, menyusul mana, sinar
858
putih pun berkelebat, hingga
semua jalan darahnya seperti
telah terkurung kedua pedang
itu.
Dalam keadaan seperti itu, Cie
Hee memutar kipasnya ke
kiri dan kanan, sambil
mengempos semangat, ia membuat
perlawanan. Sekarang tidak
lagi ia membuka mulutnya. Thio
Tan Hong berlaku bengis, satu
kali ia sudah mendesak, ia
ulangi itu tak hentinya. Cie
Hee melawan, tiga kali ia
membalas menyerang dengan
"Pekkhong ciang," pukulan
"Memukul Udara,"
sia-sia saja, dia tidak dapat mengundurkan
musuhnya, dia tetap didesak,
malah semakin keras.
“ Cianpwee, apakah kau masih
tidak hendak menghunus
pedangmu untuk memberi
pengajaran padaku?" bertanya Tan
Hong kemudian, sambil tertawa
dingin. Pertanyaan itu pun
dibarengi sama serangan
Cengbeng kiam ke jalan darah
siangkiu hiat dan pedang Pekin
kiam ke jalan darah lengkie
hiat.
Cie Hee menangkis dengan
kipasnya, dengan tangan
kirinya juga, tetapi justeru
itu, sinar pedang lawan bagaikan
bertukar kedudukan, sinar
hijau dan sinar putih berbelit,
menyambar secara tidak
disangka-sangka. Dalam keadaan
seperti itu, cepat-cepat si
imam menggeser tubuh dengan
tipunya "Memindahkan
wujud, menukar kedudukan." Kipasnya
bergerak dengan sebat tetapi
tidak urung ia merasakan
sambaran hawa dingin kepada
kepalanya, sebab pedangnya
Tan Hong lewat di atasan
kepalanya itu, hampir saja
mengenai kulit kepalanya.
Baru sekarang imam ini
terkejut, maka itu sembari
memutar tubuh, dengan sendirinya
ia menghunus pedangnya,
yang sejak tadi tergantung
saja dipinggangnya, terus dengan
pedang itu ia menangkis ke
kiri dan kanan. Secara begini saja
maka dapatlah ia membuyarkan
serangan bertubi-tubi. Diamdiam
ia mengeluarkan peluh dingin.
859
Selama itu Pek Moko sudah
dapat beristirahat, ia menonton
dengan asyik sekali, kapan ia
telah menyaksikan si imam
terdesak demikian rupa, ia
bertepuk-tepuk tangan, ia tertawa
besar, dari mulutnya keluar
ejekan: "Hai, imam busuk hidung
kerbau, kau masih banyak tingkah?
Hahaha! Kau inilah yang
dibilang, diundang minum arak
kau tidak sudi minum,
sekalinya, kau minum arak
dendaan! Lihat, bukankah kau
terpaksa dengan jinak
menghunus pedangmu juga?"
Cie Hee Toojin tidak dapat
melayani orang yang
menghinanya itu. Tan Hong sudah
melanjuti serangannya
yang hebat-hebat, terpaksa ia
mesti melayani, untuk membela
dirinya, guna menjaga
kehormatannya...
Walaupun ia berada di pihak
terlebih unggul, Thio Tan
Hong tidak berani berbesar
hati hingga menjadi alpa. Bahkan
di dalam hatinya ia berpikir:
“Imam tua ini dapat melayani tiga
belas jurusku yang istimewa
hanya dengan menggunai
kipasnya, pantaslah kakek guru
menyebutkannya dia sebagai
jago dari kalangan kelas
satu."
Pula Cie Hee Toojin, setelah
tambah pedang di tangannya,
kedudukannya tidak lagi lemah
seperti sebermula. Pedangnya
itu hitam tetapi itulah bukan
pedang sembarang, pedang itu
terbuat dari besi pilihan,
maka juga, meskipun Tan Hong bisa
memapasnya hingga bercacad
tetapi tak dapat dibabat
kutung.
Cie Hee berkelahi dengan
memutar pedangnya itu yang
seperti menggulung tubuhnya,
dengan ilmu silatnya itu ia
hendak membikin pedang lawan
turut tergulung juga. Ia
mempunyai tenaga dalam yang
hebat sekali, maka juga
dengan pedangnya itu jarang ia
menikam, lebih banyak ia
menggempur. Setiap menyerang,
tenaganya jadi berlipat kali
besarnya.
860
Tan Hong bisa mengerti cara
berkelahi dari lawannya ini, ia
berlaku tenang tetapi gesit,
setiap serangan ia buyarkan,
saban-saban ia membuatnya
pedang lawan mental balik. Maka
terkejutlah Cie Hee. Maka imam
ini jadi berlaku hati-hati,
tenaganya senantiasa
dikerahkan.
Beberapa kali tertampak Cie
Hee lebih unggul, selalu ia
mengurung, atau di lain pihak
ia berbalik terdesak, hingga
keduanya menjadi berimbang.
Menyaksikan pertandingan itu, Hek
Pek Moko dan Ouw
Bong Hu menjadi kagum bukan
main.
Di matanya ahli, terlihat Cie
Hee Toojin lebih mahir di
dalam ilmu dalam, berkat
usianya yang tinggi dan latihannya
lebih lama, akan tetapi di
samping itu Tan Hong, menang
dalam kemahiran menggunai pedang,
dengar begitu,
berselang lagi setengah jam,
mereka tetap berimbang.
Selama itu Kiu-poanpo telah
dapat beristirahat, sesudah
kesegarannya pulih, ia habis
sabar. Sambil menggederuk
dengan tongkatnya, ia berseru:
"Apakah pantas perbuatan
Thio Tan Hong ini, sebagai
yang termuda dia menolak yang
terlebih tua? Adakah ini
caranya menyambut tetamu? Marilah
kita menyerbu ke dalam untuk
menanya keterangan kepada
Hian Kie si tua bangka?"
"Akur!" menyambut
Touw Liong Cuncia. "Cie Hee Tooyu,
marilah kita mencari Hian Kie,
untuk bicara dengannya! Buat
apa kau melayani segala anak
muda?"
Cie Hee ada satu ketua partai
dia melayani Tan Hong dan
mereka sama tangguhnya, itu
artinya ia sudah kehilangan
muka, maka kalau nanti ia
keliru menggeraki tangan atau
kakinya, ia bisa mendapat malu
besar. Karena ini, kawanTiraikasih
Website
861
kawannya itu menggunai
siasatnya itu, berteriak-teriak untuk
menyerbu saja ke dalam. Dengan
siasatnya ini, mereka itu
hendak menolongi Cie Hee
berbareng menyerbu beramairamai,
untuk mencoba mendapat
kemenangan dengan cara
mengeroyok itu.
Hek Pek Moko gusar sekali.
"Apakah kata-kata kamu
tidak ada hitungannya?" mereka
menegur. "Loocianpwee
Hian Kie tengah bersamedhi,
bukankah tentang itu sudah
diterangkan semenjak siangsiang?
Sekarang kamu hendak menyerbu
ke tempat suci,
apakah kamu sengaja hendak
mempermainkan orang?"
Kiupoanpo melenggak, dia
tertawa besar.
"Tidak salah!"
jawabnya nyaring. "Memang sengaja kami
hendak mempermainkan
kamu!" Lalu dengan galak ia
menyerang. Maka dengan begitu,
tongkatnya bentrok pula
dengan kedua tongkat dua
saudara Moko itu.
Touw Liong Cuncia telah
kehilangan sebelah tangannya, ia
masih tetap gagah, ia pun
lantas menerjang dengan sebelah
tangannya yang lainnya, yang
memegang golok. Tapi segera
ia dirintangi oleh Kimkauw
Siancu Lim Sian In, yang
menangkis golok dengan
gaetannya.
Ouw Bong Hu lantas maju, untuk
membantui isterinya.
Atau mendadak ia merasakan
samberan angin yang keras
sekali, lalu totokan jari
tangannya kena dibikin mental balik.
Sebab ia segera dihalangi oleh
Tek Seng Siangjin dari Sengsiu
hay, Kunlun San, siapa punya
ilmu silat "Tek Seng Ciu," atau
"Tangan Memetik
Bintang," liehay sekali. Itciesian dari Ouw
Bong Hu tidak dapat menakluki
tangan yang liehay dari musuh
itu.
862
Sampai di situ, terjadilah pertempuran
yang kacau itu.
Untuk sementara, Hek Pek Moko
dan Ouw Bong Hu suami
isteri kena didesak lawan.
Musuh menyerang dengan sangat
hebat, sampai mereka itu
seperti sukar dihalang-halangi.
Menampak demikian, Tan Hong
bergelisah juga. Bukankah
kakek gurunya tengah
bersamedhi dan belum saatnya untuk
mereka itu keluar dari kamar?
Bagaimana jikalau samedhi
mereka sampai kena dikacaukan
musuh ini? Tengah ia berpikir
itu, terdengar Cie Hee Toojin
bersiul panjang, pedangnya
menyabet, kipasnya menangkis,
untuk membikin buyar
lingkaran pedangnya. Lalu imam
itu tertawa dan berkata:
"Haha, Tan Hong! Jikalau
kau tetap tidak hendak memimpin
aku menemui kakek gurumu, akan
aku sendiri yang pergi
menghunjuk hormat padanya! Kau
maafkan aku, tidak dapat
aku menemani kau lebih lama
pula!"
Inilah Tan Hong tidak
menyangka. Siapa nyana, ini imam
kenamaan juga hendak berlaku
tak mengenal aturan! Ia
menjadi mendongkol, ia tertawa
dingin. Ia berkata dengan
nyaring: "Kau telah
belajar kenal dengan ilmu pedang Hian Kie
Kiamhoat, untuk apa kau
mencari pula kakek guruku?"
Itulah kata-kata yang berarti:
"Aku sendiri kau tidak
mampu robohkan, mana tepat
untukmu menemui kakek
guruku?" Lebih tegas,
itulah sindiran.
Mukanya Cie Hee menjadi merah
padam. Ia tertusuk
sindiran itu, hatinya menjadi
panas sekali. Justeru Tan Hong
menikam padanya, ia menangkis,
lalu ia membalas, untuk
mendesak. Hendak ia nerobos
terus. Sebisa-bisa Tan Hong
hendak merintangi. Ia tidak
bisa berbuat banyak,
sebagaimana Cie Hee pun
kewalahan. Nyata mereka berdua
berimbang kekuatannya. Untuk
kerugian pihaknya, Tan Hong
kekurangan In Tiong suami
isteri serta Tamtay Biat Beng.
863
Menyaksikan semua itu, In Lui
tidak melihat lain jalan dari
pada turut turun tangan. Musuh
sudah merangsak mendekati
pintu besar. Lantas ia
menyerahkan bayinya pada Bhok Yan.
Ia kata: "Kau berdua
adikmu pergi menyingkir ke dalam."
Bhok Yan menyambuti, sembari
berbuat begitu, ia melirik
kepada Keng Sim, justeru si
anak muda menemani Sin Cu,
bahkan pemuda itu berkata
dengan halus: "Adik Cu, kau telah
terluka, sebaliknya lawan
begini ganas, tidak dapat kau
berkelahi pula, baik kau pun
menyingkir ke dalam..."
Sin Cu seperti tidak mendengar
perkataan anak muda itu,
dengan berdiri di damping
gurunya, ia memasang mata ke
medan pertempuran. Tepat di itu
waktu, sambil
memperdengarkan seruannya, In
Lui mengasi melayang tiga
buah kimhoa atau bunga
emasnya.
Touw Liong Cuncia tengah
membacok Lim Sian In ketika
sebuah bunga emas menyambar
goloknya tanpa ia berdaya
mengelakkannya. Cepat sekali
menyambarnya bunga emas
itu. Setelah terdengar suara
"Traang!" golok itu mental sedikit.
Lim Sian In berlaku cerdik dan
sebat, batal menangkis
bacokan, ia putar gaetannya,
karena mana tidak ampun lagi
lengannya lawannya itu, Touw
Liong Cuncia, kena tergores
panjang.
Bunga emas yang kedua dari In
Lui menyambar kepada
Tek Seng Siangjin. Imam ini
membalik sebelah tangannya,
hendak ia membanggakan
kepandaiannya menyambuti
senjata rahasia. ia terkejut
tatkala kupingnya mendengar
suara meraum dari senjata
rahasia itu. Selagi hatinya
terkesiap, tangannya dibalik
pula. Maka batallah ia
menyambuti, sebaliknya,
menyerang dengan pukulan "Tangan
Bintang kecil" semacam
pukulan "Memukul Udara Kosong."
864
Maka itu, dengan masih meraum,
kimhoa itu mental ke lain
jurusan, ke samping.
Celaka adalah Poan Thian Lo,
dia seperti kena dibokong.
Tepat kimhoa itu mengenai
jalan darahnya, hingga tidak
ampun lagi, di itu detik juga
dia roboh terguling. Tek Seng
Siangjin mengeluarkan peluh
dingin menyaksikan liehaynya
bunga emas itu. Coba tadi ia benar-benar
menyambuti senjata
rahasia itu, celakalah
dirinya.
Sementara itu bunga emas yang
ketiga melesat ke arah Cie
Hee Toojin. Imam ini liehay,
ia dapat melihat senjata rahasia
datang ke arahnya. Begitu
kimhoa itu datang dekat, ia
menabas dengan pedangnya.
Sedetik itu juga, kimhoa itu
terbacok pecah menjadi dua
potong. Walaupun demikian,
sama-sama barang logam, bunga
emas itu pecah dengan
menghamburkan lelatu apinya.
"Hebat!" pikir si
imam.
Sin Cu mendelong menyaksikan
caranya gurunya itu
menggunai senjata rahasianya.
Ia tadinya menduga, guru itu
akan menyerang ke satu jurusan
saja. Ia pun kagum untuk
tenaganya bunga emas itu, yang
membuatnya musuh gentar.
Biarnya ia tidak dapat
mencapai maksud hatinya. In Lui
dengan bunga emasnya itu dapat
juga menghambat
desakannya musuh. Sin Cu
menjadi gatal tangan. Ia lantas
saja menelad gurunya itu dan
menimpuk dengan segenggam
bunganya. Ia menimpuk dengan
menyontoh timpukannya
Ismet sebagaimana caranya
Ismet melayani Hek Pek Moko
baru-baru ini. Dua belas tangkai
bunga emas segera
menyambar musuh-musuhnya.
Sayang tenaga dalamnya
masih belum sempurna. Separuh
bunga itu diruntuhkan Cie
Hee Toojin, dan yang separuh
pula oleh Kiupoanpo. Hasilnya
865
satu-satunya ialah ia pun
mengacaukan lawan, yang
rangsakan-nya kembali
terhalang.
In Lui melihat caranya
muridnya itu menimpuk, ia girang
berbareng kagum.
"Kepandaianmu melepaskan
senjata rahasia tak usah
diajari aku terlebih
jauh!" berkata ia.
Biar bagaimana, rintangan
hanya untuk sementara.
Dipimpin Cie Hee Toojin dan
Kiupoanpo, pihak menyerang
mulai merangsak pula. Lekas
juga mereka tiba di depan In
Lui. Bhok Yan lantas
menyingkir ke dalam seraya memeluki
bayinya In Lui itu, Bhok Lin
mengikuti ia.
Keng Sim memandang Sin Cu,
ingin ia melihat aksinya nona
itu. Di saat ia hendak membuka
mulut, tahu-tahu si nona
sudah merampas pedang
ditangannya seraya nona itu
membilang dengan tawar:
"Pergi kau melindungi Nona Bhok,
pedangmu ini hendak aku pinjam
sebentaran!"
Heran Keng Sim hingga ia
melengak. Tapi ia tidak bisa
berdiam saja. Kiupoanpo telah
tiba di dekatnya, ia segera
diserang, karena mana,
lekas-lekas ia mengundurkan diri
beberapa tindak. Hampir itu
waktu, bentrokan pedang yang
keras terdengar nyaring.
Dalam herannya, Keng Sim
menoleh ke arah suara pedang
itu.
Bentrokan sudah terjadi di
antara pedangnya Sin Cu
dengan pedangnya Cie Hee
Toojin. Imam ini dengan sengit
menyerang Tan Hong, perintang
satu-satunya yang
menghambat penyerbuannya ini.
Atas serangan itu, Tan Hong
menggeraki sepasang pedangnya.
Justru itu, Sin Cu tengah
menikam ke dada si imam yang
liehay. Kedua senjata segera
866
bentrok. Kesudahannya itu
ialah Cie Hee Toojin terhuyung
mundur beberapa tindak.
Itulah hebatnya siangkiam
happek atau pedang tergabung
dari Hian Kie Itsu. Tan Hong
bergerak, Sin Cu bergerak juga.
Mereka tidak berjanji dulu
tetapi sama tujuan mereka, dengan
sendirinya mereka menggunai
tipu silat pedang yang liehay
itu. Maka Cie Hee terancam
bahaya, terpaksa ia menangkis
sambil mundur, mundur secara
sangat kesusu, tanpa teratur,
hingga ia terhuyung. Kalau
umpama si imam menangkis Sin
Cu, ada kemungkinan dia dapat
mematahkan pedang
Cengkong kiam si nona, di lain
pihak, dia bakal menjadi
kurbannya sepasang pedang Tan
Hong. Kalau toh dia
melayani Tan Hong sendiri,
sukar dapat dicegah pedang si
nona membuat liang di dadanya,
menancap di jalan darah
soankie hiat. Karena itu,
terpaksa dia mengundurkan diri.
"Bagus!" berseru Tan
Hong, yang memuji muridnya itu.
Walaupun kalah tenaga dalam,
murid ini toh bisa merendengi
Tan Hong, gurunya itu, untuk melayani
Cie Hee Toojin.
Setelah itu Nyonya Tan Hong
mainkan kedua jari
tangannya, ia melepaskan pula
bunga emasnya. Kali ini ia
berhasil menghalang kembali
rangsakan musuh. Bukankah
setelah si imam terpegat,
Kiupoanpo dan Tek Seng Siangjin
repot juga dengan
rangsa-kannya itu?
Sudah menghalang Cie Hee
Toojin, Tan Hong mengambil
kesempatan berlompat kepada
Kiupoanpo, guna menolongi
Lim Sian In dari desakan
Kongsun Bu Houw. Lalu, dengan
suara nyaring dan lancar, ia
perdengarkan suara seperti
bersenandung: "Tega
melihat di gunung tersohor hawa
peperangan mengkedus naik!
Maka saksikanlah bagaimana
pedang mustika mengundurkan
sekalian iblis! Cie Hee
Tootiang, apabila tetap kau
tidak tahu mundur dan tidak tahu
867
maju, jangan sesalkan aku
jikalau aku nanti berlaku tanpa
sungkan-sungkan lagi!"
Cie Hee Toojin sudah seperti
menunggang harimau, untuk
turun sulit sekali.
"Baiklah!" ia
menjawab. “Ingin aku melihat kau dapat
merintangi aku masuk ke dalam
atau tidak!"
Imam ini segera mengibas
dengan kipasnya. Ia bukan
segera menyerang hanya dengan
itu mengatur diri, hingga
kawan-kawannya lantas
merupakan seperti ular yang panjang.
Barisan itu Tiangcoa Tin,
sebuah barisan lantas dipimpin
Kiupoanpo, yang maju di paling
depan dengan Tek Seng
Siangjin dan Touw Liong Cuncia
merangsak dari kiri dan
kanan. Cie Hee sendiri
menempatkan diri di tengah untuk
memimpin lain-lain kawannya.
Hebat cara menerjang ini,
dalam serin-tasan, mereka
berhasil maju hingga jauhnya
tiga tombak. Menyaksikan
rangsakan itu, Tan Hong
tertawa dingin, berulangkah ia
mengasi dengar ejekannya,
"Hm!" Lalu dengan
pedangnya ia menuding. Tepat tempo
ia hendak melakukan
penyerangan membalas, kupingnya
mendapat dengar siulan panjang
yang berlaku umpama kata
naga bersenandung. In Lui
sudah lantas berseru: ” Suhu
datang!"
Belum berhenti suaranya In Lui
ini, atau dua orang terlihat
berlari-lari mendatangi,
larinya sangat pesat. Mereka adalah
sepasang pria dan wanita,
ialah gurunya Tan Hong dan In Lui
itu, yaitu Cia Thian Hoa dan
Yap Eng Eng.
868
Cia Thian Hoa tiba paling
dulu, pedangnya dihunus. Dengan
nyaring ia berseru:
"Siapa berani datang mengacau ke Khong
San ini? Lekas
menyingkir!"
Hebat seruan itu, banyak
orangnya Cie Hee Toojin yang
merasa kupingnya sakit...
Tek Seng Siangjin berdua Touw
Liong Cuncia tidak kenal
Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng,
mereka tertawa menghina,
mereka menantang.
"Sungguh jumawa!"
kata mereka. "Kepandaian apa kau
mempunyai maka kau berani
menyuruh aku menyingkirkan
diri?" Lalu, dengan
masing-masing golok dan pedangnya,
mereka menyerang, menggencet
Thian Hoa.
Di samping Cia Thian Hoa ada
Yap Eng Eng, isterinya, yang
bergelar Huithian Lionglie, si
Puteri Naga Terbang ke Langit,
yang ilmunya enteng tubuh
paling jempol, menyaksikan
suaminya hendak digencet, ia
berlompat maju seraya
menggeraki pedangnya, hingga
ia dapat mendahului
suaminya.
Touw Liong Cuncia mengutamakan
Thian Hoa satu orang,
ia tidak menduga atas
datangnya si nyonya, maka bukan main
kagetnya ketika tahu-tahu
lengannya telah tertusuk, hingga
saking sakitnya, ia mesti
melepaskan cekalannya kepada
pedangnya di luar
keinginannya. Tek Seng Siangjin
menyaksikan itu, ia
terperanjat. Justeru itu, ia menjadi
bertambah kaget. Sebab Thian
Hoa, tanpa menghiraukan
gerakan isterinya, terus
menyerang, pedangnya membabat ke
arah kepala lawan. Tabasan ini
ditimpali serangan isterinya.
Dua-dua Tek Seng dan Touw
Liong merasakan sambaran
angin dingin di kepala dan
muka mereka, lekas-lekas
keduanya berkelit sambil
mendak, meski begitu, ketika mereka
869
merabah ke kepala mereka,
nyata rambut mereka telah
terpapas kutung.
Kiupoanpo terkejut, dia
mainkan tongkatnya dengan niat
menolongi kawan-kawannya itu.
Atau dia lantas melihat lari
mendatanginya seorang paderi
yang tubuhnya gemuk,
sembari berlari-lari paderi
itu memperdengarkan suaranya
yang seperti guntur:
"Mari rasai tongkat aku si paderi!"
Itulah murid nomor dua dari
Hian Kie Itsu, ialah Tiauw Im
Hweeshio , yang hebat ilmunya
bagian luar, Gwakang, yang
tongkatnya berat seribu kati.
Maka ketika ia menyerang
Kongsun Bu Houw, kedua tongkat
mereka bentrok keras
sekali, sekejab itu juga,
kedua tongkat sama-sama terkutung
patah!
Tidak kenapa Tiauw Im
kehilangan tongkatnya, karena
tongkat itu tongkat biasa
saja, tidak demikian dengan
Kiupoanpo, yang merasakan
hatinya sakit, lantaran
tongkatnya itu adalah tongkat
dari galih pohon lionghiat yang
tua dari gunung Aylao san,
yang sangat sukar untuk
didapatkannya.
Kiupoanpo beroman luar biasa,
Thian Hoa tidak kenal
padanya, cuma ia pernah
mendengar orang omong tentang
wanita kosen itu, sekarang
menyaksikan si wanita sanggup
mematahkan tongkatnya Tiauw
Im, dapatlah ia menduga,
siapa adanya orang itu. Lantas
saja bangun alisnya, lalu
dengan nyaring ia kata:
"Kongsun Cianpwee, bukannya kau
bersamedhi di Aylao San, kau
justeru bercampur gaul sama ini
segala hantu dan datang
mengacau ke Khong San ini, apakah
sebenarnya maksudmu?"
Tapi Kiupoanpo sedang panas
hatinya.
870
"Hari ini aku hendak
mengadu jiwa sama kamu, bocahbocah
cilik!" sahutnya sengit.
Lalu dengan sisa tongkatnya ia
menyerang dengan tipu silatnya
"Membiak mega
mengendalikan kilat."
Dengan begitu pacuh burung, yang lain
dari tongkatnya lantas
bergerak-gerak menyambar tak
hentinya. Ia menyerang Thian
Hoa dan Eng Eng.
Serangan ini benar-benar luar
biasa, sebab dengan itu
Kiupoanpo pertaruhkan jiwanya.
Menampak orang bagaikan
kalap itu, Tiauw Im terkejut.
Cia Thian Hoa sebaliknya tidak
jeri karenanya.
"Mengingat usiamu yang
sudah tinggi, kau pergilah!"
katanya dingin. Lalu pedangnya
bergerak berbareng
pedangnya Eng Eng, isterinya.
Cuma dua kali sinar-sinar
pedang berkelebat, segera juga
kedua kaki kiri dan kanan
Kongsun Bu Houw tertikam masingmasing
satu kali, sedang tongkatnya
yang buntung mental ke
udara, pacuh burungnya
terbabat kutung, menyusul mana,
tubuhnya sendiri terlempar
beberapa tombak jauhnya,
jatuhnya di jalanan mudun.
Habis itu, tanpa bersuara lagi,
dengan tindakan pincang, dia
terus berjalan turun gunung...
Syukur untuk wanita tua ini,
Cia Thian Hoa masih menaru
belas kasihan terhadapnya,
jikalau tidak, tidak nanti dia dapat
meloloskan jiwanya dari
sepasang pedang yang tergabung
bersatu padu.
Kesudahan berlalunya Kiupoanpo
ini hebat untuk Cie Hee
Toojin. Rata-rata kawannya
telah mendapat luka, mereka itu
lantas pada lari turun gunung.
Maka tinggal ia seorang diri. Ia
tidak mau mengundurkan diri,
ia terkekang oleh
kedudukannya sebagai seorang
tokoh utama. Ia pun malu
untuk kerugiannya ini.
Seumurnya belum pernah pihaknya
871
terkalahkan begini rupa. Di
saat Kiupoanpo roboh, ia
menyerang dengan kipasnya,
dengan pedangnya ke kiri
kepada Eng Eng, ke kanan
kepada Thian Hoa.
Di saat itu, kedua suami
isteri itu belum sempat
mempersatukan pula pedang
mereka. Atas serangan itu,
tubuh mereka limbung. Tidak
terkecuali Cie Hee Toojin sendiri,
si penyerang.
"Siapa kau ?"
menanya Thian Hoa terkejut. Ia tidak kenal
imam ini.
Cie Hee pun menjadi kalap,
tanpa menyahuti, ia
mengulangi serangannya, kipas
dan pedangnya bergerak
hebat.
"Suhu, dialah Cie Hee
Tootiang” Tan Hong lekas
memberitahu.
"Oh..." kata Thian
Hoa, yang suaranya tertahan. Sebab
lagi-lagi Cie Hee menyerang,
tak hentinya.
Thian Hoa menjadi masgul, ia
mengerutkan alisnya.
“Ini orang tidak tahu diri,
adik Eng, jangan kau sungkansungkan
terhadapnya!" ia kata
kepada isterinya. Ia lantas
menyerang. Yap Eng Eng
menurut, maka itu, ia pun
menyerang.
Begitu lekas kedua batang
pedang bersatu, pedang Cie Hee
kena dibikin terpental, tempo
si imam memaksa bertempur
terus, segera terdengar suara
"Traang!" keras dan api meletik
muncrat, sebab senjata mereka
bertiga bentrok keras sekali.
872
Thian Hoa tidak berhenti
sampai di situ, setelah
menyampok kipas lawan,
pedangnya mendahului bergerak
pula, memapas ke kepala orang.
Cie Hee berkelit, tetapi tidak
urung, kopia sucinya kena
terbabat kutung. Ia terkejut,
tapi ia pun penasaran, dengan
kipasnya itu ia membalas
menyerang. Kali ini senjatanya itu
bertemu sama pedangnya Eng
Eng. Celaka untuknya, pedang
si wanita telah membabat
kipasnya hingga terkutung dua
potong tulangnya!
Hebat pengalamannya Cie Hee
Toojin. Tadi ia melayani Tan
Hong seorang, ia sudah
kewalahan, ketika Tan Hong dibantu
Sin Cu sebentaran, ia tidak
bisa berbuat apa-apa, sekarang ia
mesti menghadapi pasangan Cia
Thian Hoa dan Yap Eng Eng,
hatinya terkesiap. Tapi ialah
satu jago tua, kedudukannya
tinggi, dalam murka dan
mendongkolnya, ia melupakan segala
apa, ia menjadi hebat luar
biasa. Ia berkelahi terus seperti
melupai jiwanya sendiri. Ia
ingin biarlah kedua pihak runtuh
bersama...
Sebenarnya, setelah mengetahui
siapa lawannya, Thian
Hoa dan Eng Eng memikir untuk
memberi ampun seperti tadi
mereka memberi ampun kepada
Kiupoanpo Kongsun Bu
Houw, maka sulit untuk mereka,
mereka diserang secara
demikian hebat, oleh karena
terpaksa, mereka melayani sama
kerasnya. Karena ini dapatlah
diduga, sebelum lewat tiga
puluh jurus, kalau tidak
terbinasa, imam itu sedikitnya akan
terluka parah. Di dalam halnya
mereka, tidak ada orang yang
dapat memisahkan mereka
bertiga.
Tan Hong mendongkol tetapi pun
cemas.
"Cie Hee keterlaluan, dia
pantas diajar adat," pikirnya,
"cuma kalau sampai dia
terbinasa atau terluka, permusuhan
kedua pihak tentulah tidak
dapat didamaikan lagi..."
873
Biasanya Tan Hong cepat
berpikir mencari daya akan tetapi
sekarang ia agaknya tidak
berdaya.
Pertempuran berjalan terus
dengan tetap dahsyatnya. Cie
Hee Toojin sudah terkurung
sinar pedang tetapi ia tetap
berkepala batu, ia melawan
terus. Ia terancam bahaya, begitu
juga Thian Hoa dan Eng Eng
asal mereka beralpa. Sebab biar
bagaimana, Cie Hee ada liehay
sekali. Imam ini memang
menghendaki mereka terluka
atau terbinasa bersama.
Pula Tan Hong gelisah karena
tidak dapat ia datang sama
tengah, untuk memisahkan.
Sebabnya adalah, ke satu tenaga
dalamnya tidak cukup, kalau ia
maju, ia sendiri bisa turut
terancam hahaja, dan kedua, ia
tidak berani melanggar
keangkaran gurunya itu. Tentu
sekali, tidak ingin ia kedua
gurunya itu mendapat bahaya.
Dengan mendatangkan suara
nyaring, lagi dua tulang
kipasnya Cie Hee kena ditabas
kutung. Rupanya ini
menyebabkan si imam meluap
darahnya, mendadak ia
menyerang hebat sekali, dengan
jurusnya "Houw Tek
memanah matahari." Inilah
serangan dari kebinasaan.
Thian Hoa dapat mengelakkan
diri dari serangan itu,
bersama Eng Eng, ia tetap
mengurung lawannya yang kosen
itu dengan pedang mereka, yang
sinarnya terus berkilau-kilau
di sekitar tubuh orang. Di
matanya Tan Hong, sang waktu
tinggal ditunggu saja untuk
runtuhnya jago tua itu tatkala
dengan tiba-tiba orang
mendengar satu suara yang dalam,
suaranya seorang tua yang
berpengaruh: "Cie Hee Tooyu, aku
menghaturkan banyak-banyak
terima kasih untuk perhatianmu
sudah memerlukan menjenguk
padaku. Aku minta sukalah kau
tidak melayani segala
anak-anak yang tingkatnya lebih
rendah! Sekarang kau telah
bertemu sama sahabatmu, aku
harap segala urusan dapat
dibikin habis. Tooyu, aku
874
menghaturkan selamat kepada
partaimu, yang telah
memperoleh kemajuan pesat, dan
aku pun menghaturkan
selamat kepadamu sendiri yang
pertapaanmu telah berhasil!
Sekarang ini aku minta sukalah
tooyu pulang kembali ke
gunungmu, harap kau memaafkan
aku si tua, tidak dapat atau
mengantarkan kau sampai di tempat
yang jauh!..."
Menyusul akhirnya kata-kata
itu adalah satu suara yang
nyaring, sebab pedangnya Thian
Hoa, pedangnya Eng Eng,
begitupun pedangnya Cie Hee,
sudah dibikin terlepas dari
cekalan mereka dan semuanya
mental melesat!
Semua orang sudah lantas berpaling
ke arah dari mana
suara itu datang. Untuk
herannya mereka, mereka
mendapatkan pintu rumah batu
yang di belakang itu, yang
katanya dipakai bersamedhi
oleh Hian Kie Itsu bertiga, sudah
terpentang lebar-lebar. Dan di
depan pintu itu, di atas
lapangan rumput, terlihat Hian
Kie Itsu tengah duduk bersila,
di kiri dan kanannya, ia
terapit oleh Siangkoan Thian Ya dan
Siauw Un Lan. Roman mereka itu
tenang tetapi angkar mirib
dengan orang-orang suci yang
telah mencapai pertapaannya.
Orang pun segera mengarti,
adalah sepotong batu yang
ditimpuki Hian Kie Itsu itu
yang membuatnya ketiga batang
pedang dari orang-orang yang
lagi bergulat mengadu jiwa itu
terbang pergi! Bukankah di
situ tidak ada lain orang yang
dapat berbuat demikian itu?
Paras mukanya Cie Hee Toojin
menjadi pucat pasi. Sudah
beberapa puluh tahun ia
menyekap diri, melatih ilmu silatnya,
sekarang terbukti, ia tetap
tidak cukup tangguh untuk
melayani Hian Kie Itsu.
Sekarang barulah ia insaf. Ia
menjemput pedangnya, ia
berpaling kepada tuan rumah,
untuk menjura.
"Terima kasih untuk
pengajaranmu, kiesu," ia berkata.
Lantas ia memutar tubuhnya,
untuk turun dari gunung itu
875
buat pulang ke gunungnya
sendiri, gunung Ouwbong San di
mana selanjutnya ia berdiam
dengan tidak berani lagi
mencampuri segala urusan luar.
Tan Hong semua girang sekali
urusan dapat diselesaikan
secara demikian, sedang kakek
guru itu pun muncul terlebih
siang daripada mestinya.
Dipimpin oleh Cia Thian Hoa,
semua murid dan cucu murid
itu pada datang menghadap guru
dan kakek guru mereka,
untuk memberi hormat.
Sin Cu adalah yang terbelakang
memberi hormatnya.
(bersambung)
CATATAN
3) halaman 331, Siangkoan
Thian Ya melarang Ouw Bong
Hu menikah agar Ouw Bong Hu
dapat mencapai puncak
kesempurnaan dalam ilmu silat,
karena ilmu tenaga dalam
Siangkoan Thian Ya
mengharuskan tubuh jejaka. Setelah Thio
Tan Hong meminjamkan kitab
tenaga dalam warisan Pheng
Hweeshio, masalah itu teratasi
dan Ouw Bong Hu dapat
menikah dengan Lim Sian In.
Kisah ini diceritakan dalam Peng
Cong Hiap Eng (Dua Musuh
Turunan).
4) halaman 334, Siauw Un Lan
adalah tokoh sepantaran
dan seangkatan Hian Kie Itsu
(Tan Hian Kie) dan Siangkoan
Thian Ya. Masa muda mereka
diceritakan dalam cerita Hoan
Kiam Kie Ceng (Sebilah Pedang
Mustika), dan kisah
selanjutnya dapat dibaca dalam
cerita Peng Cong Hiap Eng
(Dua Musuh Turunan)
5) halaman 454, Di Cio Lim
atau Rimba Batu inilah kelak
Thio Tan Hong mengasingkan
diri setelah In Lui meninggal. Di
876
sini pula Thio Tan Hong dan
Hek Pek Moko meninggal.
Sebelum meninggal, Thio Tan
Hong sempat menciptakan
sebuah ilmu pedang baru, dan
diwariskan pada murid
terakhirnya, Tan Ciok Sing,
kejadian ini dapat diikuti dalam
cerita Khong Ling Kiam
(Pendekar Pemetik Harpa). Lama
setelah itu, ilmu pedang tsb
kembali ditemukan oleh Beng Hoa
dalam kisah Anak Pendekar.
877
PENDEKAR WANITA PENJEBAK BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid 3
Dituturkan oleh: Bu Beng Cu
Diterbitkan untuk Masyarakat
Cerita Silat
Surabaya 2008
Hian Kie Itsu bersenyum
menyaksikan semua murid, cucu
murid dan buyut muridnya itu,
ia berkata: "Hari ini aku
menyaksikan ke empat turunan
muridku berkumpul bersama,
aku puas sekali!" Cuma
berhenti sejenak, ia meneruskan:
"Thian Hoa, Eng Eng dan
Tan Hong, ilmu silatmu sudah maju
pesat sekali, aku tidak
menguatikan apa-apa lagi, hanya
hendak aku memberitahukan
padamu, ilmu silat itu ada
bagaikan laut yang luas, dari
itu janganlah kamu lantas sudah
merasa puas."
Dengan berdiri lurus dan
tangan dikasi turun, Thian Hoa
bertiga menghaturkan terima
kasih kepada guru dan kakek
guru itu.
Hian Kie bersenyum, ia berkata
pula: "Kami bertiga merasa
malu sendiri yang kami telah
hidup puluhan tahun di dalam
dunia ini tetapi tidak ada
sesuatu yang kami lakukan yang ada
faedahnya untuk negara atau
sesama rakyat, kami hanya
merasa beruntung bahwa
perbuatan kami tidak sesat dan
sedikit kepandaian kami telah
dapat diwariskan kepada kamu.
Sekarang ini adalah harapan
kami supaya kamu menggunai
kepandaian kamu untuk
memajukan ilmu silat kita serta
878
berbareng melakukan sesuatu
yang ada baiknya untuk
umum!"
Siangkoan Thian Ya pun memberi
pesan kepada Ouw Bong
Hu semua, untuk menganjurkan
mereka menanam kebaikan.
Habis itu, sendirinya Hian Kie
Itsu bersenandung:
"Main-main di antara
manusia beberapa puiuh tahun,
sepatu bobrok dan kopia rusak
menurut wajarnya."
Siangkoan Thian Ya menyambuti:
"Gangguan hati telah
pergi semua, tak ada iagi yang dibuat
pikiran."
Siauw Un Lan pun menyambungi:
"Kitab, pedang dan silat
teiah diwariskan untuk dunia yang
mendatang!"
Habis bersenandung, ketiga
orang itu lalu berduduk diam,
tubuhnya tak bergeming lagi,
mata mereka dirapati. Segera
juga ternyata mereka itu sudah
pulang ke dunia lain yang
langgeng.
Hek Pek Moko me-njura, mereka
berkata: "Ketiga cianpwee
telah mencapai kebahagian dan
usianya, mereka harus dibuat
girang dan diberi
selamat."
Cia Thian Hoa semua turut
menghunjuk hormat mereka,
kemudian mereka masuk ke dalam
guha. Di sana, di empat
penjuru tembok, mereka
mendapatkan penuh tulisan dan
gambar-gambar tentang pelbagai
macam ilmu silat berikut
segala penjelasannya.
879
Thio Tan Hong, mengawasi semua
dengan perhatian, ia
mendapatkan pelbagai
penjelasan terlebih jauh, sebagai
seorang yang cerdas, ia segera
menginsafinya. Maka sambil
tertawa ia kata pada In Lui:
"Dengan adanya semua
penjelasan sucouw ini,
bukankah kita tak usah mencari lagi
segala obat-obatan yang
mustajab?"
In Lui heran, ia melengak.
"Apa kau bilang?" ia
menanya.
"Lihatlah itu ilmu duduk
bersamedhi," kata Tan Hong
menunjuk kepada sebuah gambar.
"Dengan tenaga dalam
yang kakakmu memiliki
sekarang, apabila dia bersamedhi pula
menuruti cara ini, tidak usah
sampai tiga hari, pastilah dia
akan sembuh sendirinya dari
racunnya, tak usah lagi ia makan
obat."
Baru sekarang In Lui mengarti.
"Kalau begitu,"
katanya, "baiklah sebentar kakakku diminta
pindah ke mari untuk ia
sekalian beristirahat beberapa hari."
Tan Hong mengangguk. Lalu ia
memperhatikan lebih jauh
banyak gambar itu. Ketika ia
memeriksa gambar ilmu pedang,
yang terdiri dari tiga puluh
enam buah, nyata pada ilmu
pedang Pekpian Hian Kie
Kiamhoat telah terdapat sejumlah
perubahan dan penambahan,
hanya di akhirnya, ada tembok
yang masih kosong. Ia cuma
berpikir sebentar, lantas ia dapat
membade: Itulah tentu
disebabkan kakek gurunya keluar
lebih cepat satu hari dan
disebabkan datangnya Cie Hee
Toojin, gambar itu belum
sempat dibikin lengkap. Ia merasa,
kalau semua itu lengkap,
pastilah Hian Kie Kiamhoat bakal
menjagoi di kolong langit ini,
bakal tanpa ada tandingannya
lagi.
880
Hian Kie Itsu telah
meninggalkan pesan mengenai tempat
pekuburannya, maka itu Thian
Hoa bersama Bong Hu beramai
sudah lantas mengurus
jenazahnya sekalian juga jenazah
Siangkoan Thian Ya dan Siauw
Un Lan.
Ketika orang tua itu menutup
mata dalam usia
delapanpuluh tahun, meskipun
mereka telah meninggal dunia,
mengingat caranya mereka menutup
mata itu dan pesan
mereka, murid-murid dan cucu
murid mereka tidak terlalu
bersedih.
Selagi orang mengurus jenazah,
angin gunung meniup
keras dan dari laut Jiehay
samar-samar terdengar suara
pertempuran, karena itu,
mengingat keselamatannya onghu ,
Tan Hong lantas minta Hek Pek
Moko pergi turun gunung
untuk melihat.
Ketika itu, Sin Cu seorang
diri pergi ke tepi kali. Sebagai
orang termuda, ia tidak berani
campur bicara dalam urusan
mengurus jenazah Hian Kie
bertiga. Ia telah mendengar suara
samar-samar dari arah laut
itu, dengan sendirinya ia
memikirkan Seng Lim, lalu
hatinya bersemangat berbareng
berkuatir.
Tatkala itu baru saja lewat
tengah hari, matahari telah
melewati gunung dan sinarnya
menuju kepada permukaan air,
memberi lihat cahaya seperti
bianglala. Sin Cu mengawasi itu
sambil ia menyenderkan tubuh
kepada sebuah pohon tayceng
di tepian itu, yang berbayang
di muka air. Karenanya, kembali
ia jadi berpikir. Tiba-tiba
dalam khayalnya, ia melihat
bayangan Keng Sim disusul
bayangannya Seng Lim di antara
sinar layung itu. Tidak tenang
hatinyamenyaksikan bayangan
anak-anak muda itu. Selama dua
hari itu, apa pula sehabis
pertempuran dahsyat itu, ia
sudah dapat melihat jelas
bedanya sifat dari kedua itu
pemuda, akan tetapi dasar anak
dara, ia tidak bisa lantas
mengambil keputusan.
881
Tengah ia berdiri bengong itu,
Sin Cu mendengar suara
batuk-batuk di belakangnya.
Segera ia berpaling. Maka ia
melihat Keng Sim. Dengan
sendirinya, kulit mukanya menjadi
merah.
"Bukan kau pergi menemani
Nona Bhok, kau datang ke
mari, apa perlunya?" ia
menanya.
Keng Sim menghela napas,
agaknya ia masgul.
"Sampai kapankah kau akan
mengarti hatiku?" ia
menyahut, pelahan. "Dia
bukannya seperti kau, yang
sempurna ilmu silatnya, di
waktu pertempuran, aku menerima
titah gurumu untuk melindungi
dia, dengan begitu bisakah aku
tidak menjagai padanya?"
"Apakah aku menyuruh kau
jangan menjagai dia?" Sin Cu
balik menanya. "Kau
anggap aku orang macam apa?"
Habis berkata, nona ini
memutar kepalanya, hatinya penuh
dengan kedukaan. Ia bersangsi
untuk anak muda itu. Ia
merasa ada waktunya Keng Sim
pandai melayani padanya
tetapi pun ada kalanya dia itu
kurang perhatiannya...
Keng Sim menghela napas.
"Kalau tahu
begini..." katanya, masgul, "tidaklah pada
mulanya..."
"Bagaimana sekarang, bagaimana
dulu itu?" si nona
menanya.
"Dulu hari itu di
Tayciu," berkata Keng Sim, "kita berada di
dalam sebuah kubu-kubu,
pergaulan kita erat seperti tangan
dan kaki. Ingatkah ketika kita
berjanji untuk saling melatih?
882
Sekarang matamu sudah terbuka
lebar, di sini kau tidak lagi
melihat orang..."
Sin Cu berdiam.
"Umpama kata kau tidak
ingat persahabatan kita dulu hari
itu, kau pun mesti ingat
bagaimana dari jauh-jauh aku sudah
menyusul kau hingga di
sini..." berkata pula si anak muda.
Hatinya Sin Cu tergerak juga.
Memang, untuk mencari
padanya, untuk meminta
kudanya, Keng Sim itu sudah
menderita di Kok keekhung,
orang berlaku seperti si tolol.
Maka tanpa merasa, ia
berpaling kepada pemuda itu.
Melihat demikian, girang
hatinya Keng Sim. Tapi ia tetap
memperlihatkan roman yang
dapat membangkitkan rasa
kasihan orang. Katanya
pelahan: "Kau lihat, untukmu itu, luka
yang aku terima di Kok
keekhung, masih belum sembuh betul
hingga sekarang ini..."
Ia berkata seraya menggulung lengan
bajunya, atau tiba-tiba ia ingat
luka itu sudah kering, maka ia
lalu menggulungnya dengan
ayal-ayalan, dan diam-diam ia
melirik si nona.
Adalah maksudnya Keng Sim
dengan mengingatkan
kejadian dulu hari itu agar si
nona ingat itu semua, supaya
hatinya menjadi tertarik,
tidak tahunya, itu justeru membuat
nona itu ingat Seng Lim yang
tadi terluka, luka mana
dibanding sama lukanya Keng
Sim ada jauh terlebih parah.
Karena lukanya itu, Seng Lim
belum pernah membanggakan
diri atau mengatakannya itu
kepada lain orang.
"Kau tengah memikirkan apa?"
menanya Keng Sim
menampak orang berdiam saja.
883
"Kau dengar suara
pertempuran sudah berhenti," menyahut
si nona. "Entah bagaimana
kesudahannya. Di sana Yap Toako
bertempur selagi ia
terluka..."
Hatinya Keng Sim dingin
separuhnya. Ia tidak menyangka,
bukan melainkan si nona tidak
sudi melihat bekas lukanya,
bahkan dia justeru memikirkan
Seng Lim. Ia berdiam hanya
sejenak lalu sambil tertawa ia
berkata: "Sebenarnya aku mesti
pergi ke sana tetapi tidak
suka aku berebut jasa dengan
saudara Yap, maka itu aku
membiarkannya pergi sendiri. Ah,
kalau tahu begini, semestinya
lebih baik aku yang pergi!"
Si nona seperti mendapat cium
bau apa-apa, alisnya lantas
berkerut. Di dalam hatinya ia
berkata: "Seng Lim pergi ke
sana, siapa bilang itu untuk
merebut jasa?" Tapi ia tidak
membilang apa-apa.
Keng Sim terus membungkam.
Karena melihat sikap si
nona, yang beda sekali
daripada biasanya, tak tahu ia harus
membilang apa.
Kesunyian di situ segera juga
dipecahkan oleh suara
tindakan kaki yang berisik di
sebelah depan mereka, disusul
sama tertawanya Tamtay Biat
Beng, yang berkata dengan
nyaring:
"Hancur lulunya Yang Cong
Hay kali ini hancur lulu
seluruhnya semua itu
disebabkan kau, saudara Seng Lim,
telah tiba pada waktunya yang
tepat!"
"Ada apakah jasaku?"
terdengar suaranya Seng Lim,
merendah. "Yang Cong Hay
sungguh sangat kosen, jkalau
bukannya kau, Tamtay Ciangkun,
ada siapakah yang mampu
membinasakan dia?"
884
Terdengar lagi suaranya Tamtay
Biat Beng, yang tetap
dipanggil "ciangkun"
atau jenderal: 6) "Di dalam hal berperang
aku sudah banyak melakukannya
hanya berperang di air ini
baru yang pertama kalinya. Kau
tahu, sampai sekarang ini aku
masih merasakan sisa pusingnya
kepala sebab mabuk laut.
Apakah artinya bacokan atau
tikaman aku itu, mana itu dapat
disebutnya jasa? Tetapi kau,
saudara Yap, kepandaian kau
memimpin pasukan perang air,
sungguh itu membuatnya aku
kagum sekali!"
Sampai di situ lalu terdengar
tertawa nyaring dari Hek Pek
Moko.
"Sudah, sudah, jangan
kamu saling merendahkan diri!"
berkata dua saudara itu.
"yang benar adalah semua-mua telah
berjasa! Eh, Sin Cu di
sana?"
Ketika itu mereka sudah muncul
dan Hek Pek Moko segera
mendapat lihat Nona Ie.
Sin Cu lantas bertindak
menghampirkan. Dengan lenyap
kegembiraannya. Keng Sim
bertindak di belakang nona itu.
Sebenarnya ia sangat tidak
puas, maka juga ia berkata di
dalam hatinya: "Jikalau
aku yang pergi, pastilah aku
berperang secara cemerlang
sekali!" Tapi segera ia mendapat
pikiran lain, lantas ia
menunjuk roman gembira, bahkan
dengan mendahulukan lari, dia menghampirkan
Seng Lim
untuk memberi hormatnya.
Seng Lim itu berpakaian tidak
keruan, sebab bajunya robek
di sana-sini dan lengannya
yang kanan mendapat dua goresan
luka, yang darahnya belum
berhenti mengucurnya. Sin Cu
melihat itu, dia kaget.
"Kau kenapa?"
tanyanya, hatinya cemas.
885
"Tidak apa-apa!"
menyahut Seng Lim sambil tertawa. "Yang
Cong Hay telah menikam aku dua
kali! Kau lihat, bukankah
bengkaknya sudah
berkurang?"
Sambil berkata begitu, cuma
memandang sekelebatan
kepada Nona Ie, Seng Lim terus
berkata pada Thio Tan Hong:
"Penyerbuannya Yang Cong
Hay menampak kegagalan akan
tetapi urusan belum berakhir
ante-ronya. Sekarang ini Toan
Ongya tengah menantikan buah
pikiranmu."
"Bagaimana
sebenarnya?" Tan Hong menegaskan.
"Bhok Kokkong sendiri
sudah memimpin pasukan
perangnya, dia sekarang
mendirikan kubu-kubu di tempat tiga
puluh lie dan kota," Seng
Lim menjelaskan. "Baru kita
memukul mundur pada Yang Cong
Hay, lantas kita menerima
surat tantangan perang dari
Bhok Kokkong itu."
"Apa bunyinya surat tantangan
perang itu?" Tan Hong
menanya pula.
"Di dalam surat itu Toan
Ongya dipersalahkan untuk tiga
dosa besar. Yang pertama
katanya ongya menjadi hamba
pemerintah, tidak selayaknya
dia mengangkat dirinya menjadi
raja. Yang kedua ongya
dikatakan tidak pantas sudah
mengusir pembesar yang diutus
pemerintah. Yang ketiga yang
paling aneh. Di sini ongya
ditegur tidak selayaknya mengirim
orang memasuki kota Kunbeng
secara diam-diam untuk
menculik putera dan
puterinya."
Mendengar itu, Tan Hong
tertawa.
"Kalau begitu, Bhok
Kongya datang bersama angkatan
perangnya bukan dengan maksud
sebenar-benarnya untuk
berperang," katanya.
886
Seng Lim tidak mengarti.
"Aku mengharap
keterangan," bilangnya.
"Bunyinya tantangan
perang memang keras tetapi pada itu
bukannya tidak ada jalannya
yang memutar," Tan Hong
memberikan keterangan.
"Umpama itu urusan ongya
mengangkat diri menjadi raja.
Kalau pemerintah sudi
mengakui keangkatan itu dan
lantas di kirim utusan dengan
pengangkatan resmi, urusan itu
dengan gampang dapat
diselesaikan."
"Dapatkah pemerintah
menyetujui itu?"
"Asal Bhok Kokkong ,
tidak menghendaki mengangkat
senjata, apa mungkin
pemerintah sendiri nanti mengirim
sebuah angkatan perang
melakukan perjalanan laksaan lie ke
Tali untuk berperang? Maka di
dalam hal ini kita lihat saja
nanti bagaimana caranya Bhok
Kongya mengirim laporannya.”
"Sebenarnya Toan Ongya
sendiri tidak menginginkan ia
menjadi raja," Seng Lim
pun menjelaskan. "Dia cuma
mengharap supaya suku bangsa
Pek tidak sampai tersiksa
oleh pemerintah."
"Dalam hal ini asal kedua
pihak menghentikan
pertempuran, urusan pemerintah
setempat gampang
didamaikannya. Turut
penglihatanku, yang paling dipentingkan
sekarang ini oleh Bhok Kokkong
adalah urusan putera dan
puterinya, anak Lin dan anak
Yan, maukah kamu pulang
kepada ayahmu?"
Bhok Lin sudah lantas
menggeleng kepala.
"Aku lebih suka turut
suhu," ia bilang.
887
Tan Hong tertawa.
"Dengan begitu kau jadi
tidak pikirkan keselamatannya
rakyat Tali?"
"Kalau begitu, aku suka
mendengar titah suhu."
"Sekarang kamu menulislah
surat kepada ayahmu, di
dalamnya kamu memintakan
perdamaian untuk Toan Ongya"
"Bagaimana surat itu
harus ditulisnya?"
Tan Hong segera mengajarinya.
Bhok Kokkong mesti
memenuhi beberapa syaratnya
Toan Ongya, setelah itu Bhok
Lin dan Bhok Yan akan diantar
pulang. Anak-anak itu pun
mesti menjelaskan sesuatu
supaya rakyat bebas dari ancaman
perang.
Bhok Yan cerdas sekali, cepat
sekali ia telah selesai menulis
surat itu.
"Hanya sekarang tinggal
dibutuhkan seorang yang pandai
bicara," katanya
pelarian. "Dialah yang mesti menyampaikan
surat ini."
Sembari berkata, si nona
berpaling kepada Keng Sim, siapa
sudah lantas menyingkir dari
pandangan mata orang.
Tapi Tan Hong segera terdengar
suaranya: "Dalam hal ini
aku mengharap Keng Sim suka
mencapaikan hati sedikit untuk
membuat satu perjalanan."
"Aku tidak sanggup,"
pemuda she Tiat itu menampik.
"Orang yang pandai bicara
adalah kau," berkata Sin Cu.
"Kenapa kau
menampik?"
888
Bhok Yan tertawa, ia pun
berkata: "Benar! Kalau Tiat
Kongcu yang pergi, itulah
paling bagus!"
Ada suatu penyakitnya Keng
Sim, dan sekarang Sin Cu dan
Bhok Yan bicara demikian rupa,
hatinya menjadi terbuka, ia
menjadi girang.
"Kalau begitu, terpaksa
aku mesti pergi," bilangnya. "Aku
nanti coba saja."
Dengan begitu, dengan membawa
surat yang dibubuhi
tanda tangan Bhok Yan dan Bhok
Lin itu, Keng Sim lantas
berangkat turun gunung.
Besoknya tengah hari, orang
semua berkumpul di onghu
menantikan kembalinya Keng Sim
itu. Sebentar kemudian,
kapan utusan itu sudah
kembali, ia memperlihatkan wajah
berseri-seri. Ketika ia
dimintai keterangannya, jawabannya
adalah bahwa Bhok Kokkong
setuju untuk membuat
pembicaraan damai, hanya
pangeran itu meminta Toan
Ongya mengirim utusan resmi
serta diminta Bhok Lin dan
Bhok Yan diantar pulang dulu
ke markasnya.
Toan Ongya memuji Keng Sim,
yang terus diminta suka
menjadi utusan yang sah itu.
Bhok Yan segera mencari
kesempatan akan menarik Keng
Sim ke samping, untuk
menanyakan dia bagaimana sikap
ayahnya ketika pemuda ini
bertemu sama ayahnya itu.
Keng Sim memberikan
keterangannya. Ada sebabnya yang
istimewa kenapa ia pulang
dengan air muka terang. Sebab itu
ialah Bhok Kokkong mengetahui
ayah Keng Sim adalah
seorang giesu yang jujur, dan
kemudian hertog itu mendapat
kenyataan pemuda ini
terpelajar, luas pengetahuannya,
889
hingga dia telah dipuji-puji.
Tentu sekali bukan main
girangnya Keng Sim atas
sikapnya Bhok Kokkong itu.
Mendengar keterangan si anak
muda, bukan main
girangnya Bhok Yan. Tidak
demikian adalah Bhok Lin, yang
alisnya lantas saja mengkerut.
Sebabnya ialah ini putera
hertog merasa berat untuk
berpisahan dari Tan Hong.
Tan Hong tertawa dan berkata:
"Di kolong langit ini tidak
ada pesta yang tidak bubar!
Apa pula kita, kita bukannya
berpisah untuk nanti tidak
bertemu pula! Anak Lin, buat apa
kau berduka? Kamu berdua,
kakak dan adik, sebenarnya pun
bukan orang kaum Rimba
Persilatan. Tentang ilmu silat yang
aku ajarkan kau dalam beberapa
hari, asal selanjutnya kau
meyakinkannya dengan
sungguh-sungguh, sudah cukup
untukmu!"
"Suhu benar,"
berkata Bhok Lin meringis, "tetapi di sini aku
merdeka sekali, gembira
hatiku, selekasnya aku pulang, aku
bakal dikeram di dalam gedung,
itu sungguh menyebalkan..."
Mendengar itu, Ouw Bong Hu
tertawa berkakak.
"Jadinya kau tidak sudi
pulang sebab kau temahakan
kehidupan merdeka di sini di
mana kau dapat pelesiran
dengan puas!" katanya.
"Baiklah, sebentar malam kita
pelesiran main perahu di laut
Jiehay. Perang telah berakhir,
hal itu harus dirayakan. Kita
main perahu, ke satu untuk
membuatnya hatimu puas, kedua
guna mengasi selamat jalan
kepada kamu. Tan Hong,
bukankah lagi beberapa hari kau
bakal meninggalkan gunung
Khong San?"
Tan Hong menjawab dengan
mengangguk.
Mendengar itu, hatinya Sin Cu
tergerak. Ia dapat
mengingat-ingat sesuatu.
Ketika ia melirik kepada Seng Lim,
890
paras pemuda itu menunjuki
kegirangan, sebaliknya Keng Sim,
pemuda she Tiat itu, agaknya
likat.
"Terang bulan di laut
Jiehay" adalah pemandangan malam
paling kesohor untuk wilayah
Tali. Malam itu orang pesiar di
telaga yang luas itu dengan
memecah diri dalam dua perahu
yang terpajang. Rombongan
pertama terdiri dari suami isteri
Ouw Bong Hu, pasangan Cia
Thian Hoa dan Yap Eng Eng, Hek
Pek Moko berdua, serta Toan
Teng Khong dengan isterinya si
puteri Iran. Rombongan kedua
ialah Thio Tan Hong dan In
Lui, Tiauw Im Hweeshio, Tiat
Keng Sim, Ie Sin Cu, Yap Seng
Lim serta Bhok Yan dan Bhok
Lin.
Sungguh indah permukaan
telaga, yang mirip dengan kaca
bergemirlap, di situ sang
rembulan memain bagaikan sehelai
rantai perak. Luas telaga itu,
di kejauhan tampak layar-layar
seperti bayangan yang sebentar
nampak sebentar hilang dan
kelak-keliknya api dari
perahu-perahu nelayan yang seperti
main-main dengan
bintang-bintang di langit. Telaga pun
tenang dan sunyi sekali, maka
sungguh besar bedanya dengan
dua hari yang baru lalu ketika
terjadi pertempuran mati hidup
di situ akibat penyerbuan
secara membokong oleh
rombongannya Yang Cong Hay.
Di dalam kendaraan, Bhok Yan
mendampingi Keng Sim.
Gembira ia, ia menunjuk sana
dan menunjuk sini. Sin Cu
menyaksikan kelakuannya nona
bangsawan itu, ia mendapat
perasaan aneh, ia seperti
memperoleh firasat, kalau besok
Keng Sim mengantarkan Bhok Yan
dan Bhok Lin itu ke
markasnya Bhok Kokkong , dia
bakal berpisahan dari ia. Entah
kenapa, tiba-tiba ia merasa
berduka...
Keng Sim sendiri hari ini beda
daripada biasanya. Dalam
kegembiraannya, ia mengasi
dengar nyanyiannya, ia mengutib
syairnya Thio Ie Ho. Tidak
menanti sampai orang habis
bernyanyi, Bhok Yan sudah
menepuk tangan dan berkata
891
dalam kegirangannya: “Inilah
nyanyian bagus dari Thio Ie Ho,
yang memuji keindahan malam di
telaga Tongteng ouw, maka
sayang sekali, ia sendiri
belum pernah main perahu di laut
Jiehay ini."
Tan Hong ketarik hatinya.
"Thayouw dan Jiehay ini
mirip dengan See Sie dan Ong
Khong, masing-masing ada
keindahan atau kecantikannya
sendiri-diri," ia
berkata. "Kita semua pernah menyaksikan
kedua-dua telaga, pernah
mengga-danginya di waktu malam,
maka itu dibanding sama
orang-orang dulu itu kita menang
banyak..."
Keng Sim berhenti sebentar,
lalu ia melanjuti nyanyinya itu,
kembali kutiban dari Thio Ie
Ho. Dan kembali Bhok Yan
bertepuk tangan memuji
kepadanya, memuji syair itu. Ia
mengatakan, Thio Ie Ho
beruntung mencapai gelar conggoan,
coba dia si mahasiswa melarat,
pasti tidak dia bersyair
demikian.
Dengan kata-katanya ini diam-diam
si nona menyadarkan
Keng Sim, kalau nanti Keng Sim
bekerja di bawah perintah
ayahnya, dia mesti berdaya
keras mencari jasa dan pangkat.
Sin Cu bisa mengarti maksud
orang, ia membungkam,
melainkan keningnya mengkerut.
Habis bernyanyi, Keng Sim menghirup
araknya, lalu ia
melirik kepada Nona Ie.
Lekas-lekas Sin Cu bertunduk,
mengawasi air yang indah.
Tapi ia mendengar si anak muda
berkata: "Memang indah
malam terang bulan dari Jiehay
ini, kendati begitu, aku lebih
ketarik sama sungai Tiangkang.
Hanya sayang sejak jaman
dulu banyak jago-jago telah
meng-gunainya Tiangkang
892
sebagai medan perang, hingga
ombak menjadi bergelombang
dahsyat, sampai membuatnya
banyak orang cerdik pandai
mensia-siakan keindahan
malamnya sungai itu."
Sembari berkata, acuh tak
acuh, kembali dia melirik Sin Cu.
Nona Ie mengepriki, bajunya
yang kecipratan ombak.
Malam itu benar-benar indah.
Mega memain di tengah
udara berbayang di muka air.
Muncratan air yang diterbitkan
sang gelombang pun memberikan
pemandangan lain.
Maka itu, malam seindah itu,
gampang membangkitkan
pelbagai perasaan orang. Tapi
untuk Sin Cu, kepermaian itu
seperti dirusak nyanyiannya
Keng Sim.
Kecewa pemuda she Tiat itu, ia
menimbulkan halnya sungai
Tiangkang, untuk mengingatkan
si nona kepada pengalaman
mereka baru-baru ini, siapa
tahu sebaliknya, peringatan itu
mendatangkan akibat yang lain.
Selagi si anak muda melirik
nona pujaannya itu, yang terus
membungkam, tiba-tiba
terdengar suaranya Seng Lim, yang
sejak tadi pun berdiam saja.
Berkata ini anak muda she Yap:
"Siapakah yang tak
menyukai malam yang indah permai, yang
meriangkan hati? Hanya sayang
rakyat di Tiangkang itu, di
selatan dan utaranya, semua
tengah menderita lapar tidak ada
yang harus didahar, dingin
tidak ada yang dapat dipakai,
maka itu, aku kuatir mereka
itu tidak ada segembira kau, Tiat
Kong cu."
Tidak senang Keng Sim
mendengar perkataan itu, yang
seperti mengejek padanya.
Bhok Yan sudah lantas datang
sama tengah.
893
"Di malam seindah ini, di
telaga yang begini permai, kita
cuma dapat menenggak arak dan
bicara dari hal yang
menggembirakan!" katanya.
Ia pun mengawasi Keng Sim dan
tertawa, alisnya memain secara
menarik hati. Nona itu seperti
hendak mengatakan kepada si
anak muda itu: "Buat apa kau
adu bicara sama seorang
manusia biasa saja?"
Menuruti hatinya yang panas,
ingin Keng Sim membalas
Seng Lim itu. Akan tetapi
kata-kata si nona dan gerakgeriknya
itu membuatnya dapat menutup
mulut.
Seng Lim tidak memperdulikan
air muka orang, ia melanjuti
dengan kata-katanya:
"Semenjak dulu kala hingga sekarang,
ini, memang ada tak sedikit
jago yang menjagoi dengan
menyiksa rakyat, akan tetapi
pun bukannya tidak ada
pendekar yang bermaksud
mengangkat rakyat dari marah
bahaya!"
"Kata-katamu benar,"
Sin Cu turut bicara. "Dalam segala
apa orang tak dapat menyama
ratakan. Umpama pamanmu,
aku lihat dia tidak mengandung
maksud-maksud pribadi."
Keng Sim menghormati Cong Liu,
mendengar perkataan si
nona, ia diam saja.
"Thio Tayhiap,"
berkata Seng Lim kemudian, menegur Tan
Hong, "di atas udara dari
sungai Tiangkang masih merajalela
mega peperangan, di mana
urusan di sini sudah selesai dan
aman, pamanku di sana
mengharap jawabanmu..."
Tan Hong berpikir. Ketika ia
menjawab, sikapnya tenang
sekali.
"Memang dapat aku kembali
ke Kanglam," demikian,
sahutnya, "hanya untuk
pergi ke sana, aku mesti menanti
894
sampai Tiat Kongcu sudah
bertemu dengan Bhok Kokkong.
Sesudah segala apa beres di
sini, barulah hatiku lega."
"Tiat Kongcu, kau
bagaimana?" Bhok Yan tanya si anak
muda.
"Jikalau aku toh kembali
ke Kanglam, tidak nanti aku
mencampuri diri dengan orang
sebangsa Pit Keng Thian!"
sahut Keng Sim.
"Apakah terhadap Yap
Toako kau pun tidak menghargai
sedikit jua?" Sin Cu
menanya.
"Toako Yap Cong Liu ada
seorang jujur dan manis budi,
aku sangat menghargai
dia," menyahut Keng Sim, "hanya
sayang dia jujur terlalu, aku
kuatir dia nanti kena
dipermainkan orang sebangsa
Pit Keng Thian itu. Aku si orang
she Tiat mana dapat diperintah
pergi datang oleh seorang
kasar?"
"Kau benar!" berkata
Bhok Yan. "Habis kau... kau..."
Nona ini berhenti, tak dapat
ia meneruskan perkataannya
itu.
Sebenarnya ia hendak minta si
anak muda berdiam tetap di
Inlam, apa mau matanya Seng
Lim, Sin Cu dan lainnya
ditujukan kepadanya. Maka ia
cuma bisa bersenyum.
Sin Cu tidak berkesan baik
terhadap Pit Keng Thian akan
tetapi pandangannya Keng Sim
terhadap toaliong-tauw itu pun
hebat sekali, si anak muda
ternyata terlalu mengagungkan diri
sebagai seorang kongcu.
"Turut penglihatanku, Pit
Keng Thian itu tidak ada
celaannya," berkata Tiauw
Im. "Mengapa kamu agaknya tidak
895
puas terhadapnya? Aku tahu dia
sudah mengundang Ciu San
Bin suami isteri datang
berkumpul dengannya. Eh, ya, In Lui,
Cio Cui Hong sangat ingin
bertemu denganmu!"
In Lui tertawa. Tiba-tiba ia
ingat halnya dulu hari ia telah
menyamar sebagai pemuda dan
sudah bergurau dengan Nona
Cio.
"Kalau begitu, biarlah
aku ikut Tan Hong pergi ke sana,"
sahutnya.
"Bagus!" berkata Tan
Hong. "Beginilah kepu-tusan kita.
Sekarang mari kita jangan
timbulkan urusan negara lagi, aku
lihat Nona Bhok tidak gembira!"
"Ah, suhu
main-main!" tertawa murid itu. "Tapi malam ada
begini indah, memang baik kita
menggadanginya..."
Keng Sim melihat orang rada
likat, ia turut tertawa, maka
di lain saat, Nona Bhok itu
telah mendapatkan
kegembiraannya seperti biasa.
Sin Cu sebaliknya tak tentaram
hatinya, hatinya itu terus
berdenyutan. Dengan lewatnya sang
waktu, sang malam, sang
telaga, menjadi tertambah-tambah
indah. Beberapa burung laut
pun beterbangan di sekitar
mereka. Mungkin burung itu
turut menggadangi si puteri
malam atau dia menyangka sang
fajar lagi menyingsing
hingga sudah waktunya dia
keluar dari sarangnya...
Mengawasi burung laut itu, Sin
Cu ingat halnya itu hari ia
meninggalkan kota Tayciu. Itu
hari, pagi, ia telah mengambil
keputusan pasti untuk menjadi
seperti si burung laut, akan
menempuh gelombang, akan
terbang ke udara. Malam ini,
perasaan hatinya sama seperti
pagi itu.
Biar bagaimana, dalam usianya
tujuh belas tahun, Sin Cu
mirip bunga tengah berpusuh,
menanti untuk mekar. Dia tidak
896
bisa mengharap dirinya menjadi
pohon tay-ceng, yang
semakin besar, akarnya masuk
semakin dalam ke dalam tanah
dan menjadi kokoh kuat. Dia
hanya mesti bertahan melawan
gelombang asmara, maka itu
tidaklah heran pikirannya sering
goncang.
Malam itu, Nona ini tidak
dapat tidur nyenyak. Di
hadapannya seperti berbayang
saja Keng Sim dan Seng Lim.
Hanya malam ini beda dari
malam-malam yang telah berlalu.
Kalau dulu pada akhirnya
bayangan
Keng Sim yang menang, bayangan
Seng Lim sirna terlebih
dahulu, kali ini berbareng
sama menembusnya sinar fajar dari
jendelanya, bayangan Seng Lim
itu dapat melenyapkan
bayangannya Keng Sim. Setelah
itu, barulah si nona dapat
tidur nyenyak...
Lewat sesaat, ketika Sin Cu
mendusin dari tidurnya, Keng
Sim sudah berangkat
mengantarkan Bhok Yan dan Bhok Lin.
Siauw Houwcu memberitahukan
kepadanya bahwa Keng Sim
telah datang menjenguk, untuk
meminta diri, tetapi si nona
tengah "bermimpi,"
maka pemuda itu berlalu dengan roman
kecewa.
"Sungguh aneh!"
berkata Siauw Houwcu, menambahkan.
"Perpisahan ini bukan perpisahan
mati atau untuk tak bertemu
pula, tapi aku dapat melihat
dia diam-diam menyusut air
matanya..."
Goncang hatinya Sin Cu.
"Bukankah dia memikir
untuk bicara sama aku, bicara
untuk penghabisan kali?"
ia menduga-duga. "Mungkinkah dia
hendak omong dari lainnya
hal?..."
897
Nona ini pun merasa lebih
pasti itulah "perpisahan untuk
selamanya..."
Lewat dua hari, Keng Sim masih
belum kembali, yang
datang adalah kabar dari Bhok
Kokkong. Pangeran itu
menyatakan akur dengah
syaratnya Toan Ongya, cuma ia
masih mau melapurkan dulu
kepada junjungannya serta
menanti kepu-tusan rajanya
itu. Di sebelah itu Bhok Kokkong
mengusulkan supaya Toan Teng
Khong, menantu raja Iran itu,
memajukan permohonan sendiri
kepada raja untuk
dianugerahkan pangkat. Ia kata
permohonan itu berguna
sekali, sebab Teng Khong
berkedudukan sebagai raja asing
dan isterinya puteri asing
pula. Di akhirnya Bhok Kokkong
menyatakan, segala apa baiklah
ditunggu saja sampai dia
sudah kembali ke Kunbeng...
Sementara itu, hari itu, Tan
Hong panggil Sin Cu datang
padanya. Ketika si nona tiba,
da dapatkan Seng Lim dan
Tiauw Im Hweeshio sudah
berdandan rapi untuk suatu
perjalanan.
"Anak Cu," berkata
si guru, lantas, "Sekarang ini aku belum
dapat berangkat. Aku mesti
menanti dulu kembalinya Keng
Sim. Bagaimana denganmu? Kau
ingin berangkat bersamasama
aku atau hendak berangkat
sekarang juga?"
Sebenarnya Sin Cu hendak
menjawab, "Aku ingin
berangkat bersama suhu,"
tetapi mendengar disebutnya Keng
Sim, ia bersangsi. Ia angkat
kepalanya, lalu ia memberikan
penyahutannya: "Terserah
kepada suhu."
Tan Hong bersenyum.
"Kalau begitu, kau
berangkat sekarang!" katanya. "Aku
telah membuat sebuah peta
Kanglam, kau bawa itu dan
serahkan kepada Yap Cong Liu.
Pesan padanya untuk dia
898
jangan temaha akan jasa,
biarlah buat sementara dia
membelai saja
wilayahnya."
Sin Cu menyambuti peta itu.
Mendadak air matanya
mengembeng.
"Sekarang berangkatlah
kamu!" berkata Tan Hong. "Eh, di
sini ada bibit pohon tay-ceng
yang besar. Seng Lim, kau bawa
ini ke Kanglam, coba lihat, dapat
atau tidak dia tumbuh di
kedua gili-gili sungai
Tiangkang."
Seng Lim tercengang sebentar,
ia menyambuti bibit itu.
Tan Hong tidak
memperdulikannya, dia bahkan tertawa.
Sin Cu menepas air matanya,
segera ia berkemas, segera ia
berkemas, lantas ia mengikuti
Seng Lim dan Tiauw Im
berangkat pergi...
Sungai Tiangkang itu biar ada
angin dan gelombangnya.
Pohon tayceng yang berakar
kuat toh dapat melindungi sang
bunga.
***
Selewatnya tiga bulan Seng Lim
bertiga Tiauw Im Hweeshio
dan Sin Cu sudah melintasi tanah
datar Inlam dan Kwieciu
kedua propinsi, mereka
mengambil jalan ke propinsi Ouwlam,
terus memasuki tanah
pegunungan propinsi Kangsee. Pusat
tentaranya Yap Cong Liu berada
di pesisir ketiga propinsi
Ciatkang, Kangsouw dan
Hokkian, maka itu selewatnya
Kangsee, mereka itu akan sudah
tiba di Ciatkang, di dalam
lingkungan pengaruhnya Cong
Liu itu.
Tan Hong menyayangi muridnya,
ia tetap mengasikan Sin
Cu menunggang Ciauwya Saycu
ma. Kudanya Tiauw Im pun
899
kuda pilihan, melainkan
kudanya Seng Lim kuda biasa, tetapi
kuda ini pun kuda pilihan dari
Tali hadiah dari Toan Ongya.
Maka itu, walaupun perjalanan
sukar, ketiga ekor kuda itu
dapat melakoninya dengan baik.
Tidak usah lagi sepuluh hari,
mereka bertiga akan sudah
masuk dalam wilayah Ciatkang,
maka itu, sesudah berjalan
sepuluh bulan lebih, legalah hati
mereka.
Selama puluhan hari yang
dilewatkan itu, sangat jarang Sin
Cu dan Seng Lim bicara urusan
pribadi, meskipun sebenarnya
mereka siang dan malam terus
berada berhadapan saja.
Sebabnya ialah Seng Lim itu
pendiam, dan di antara mereka
ada Tiauw I m Hweeshio, orang
dari tingkat terlebih tua. Yang
mereka bicarakan kebanyakan
mengenai urusan Rimba
Persilatan. Sedikitpun tak
pernah si nona mengutarakan rasa
hatinya pada si pemuda, siapa
sebaliknya tidak berani
menanyakan sesuatu kendati
juga ia mendapat lihat alis si
pemudi sering-sering berkerut.
Selama si nona diam saja,
Seng Lim pun turut membungkam.
Setahu kenapa, sesudah
berpisah dari Keng Sim, ada
kalanya Sin Cu memikirkan
pemuda itu, pula, kalau ia
sedang bicara sama Seng Lim, suka
bayangannya Keng Sim itu
muncul di depan matanya...
Setibanya di Kangsee, apa yang
dikete-mukan di sepanjang
jalan adalah rakyat jelata
yang berseng-sara, yang lagi pada
mengungsi. Sebabnya ini ialah
tentara pemerintah bersiap
menggencet dari selatan dan
utara, dan ada sebuah pasukan
yang dari propinsi Ouwpak
tengah menuju ke selatan, maka
itu bagian timur laut dari
propinsi Kangsee, yang dekat
dengan medan pertempuran,
rakyatnya mengosongi sembilan
dari sepuluh rumahnya.
Pada suatu hari selewatnya
Engbong, untuk memburu
tempo, mereka berjalan terus,
kesudahannya mereka mengasi
lewat tempat mondok, dari itu,
di waktu magrib mereka tiba di
sebuah desa yang kosong, sebab
setiap rumah ditutup rapat,
900
tidak ada api atau asapnya. Terpaksa
mereka singgah di
sebuah kuil kosong. Hebatnya
untuk mereka, kebetulan saja
rangsum kering mereka habis,
hingga selagi mereka merasa
lapar, mereka pun diserang
bawa dingin. Waktu itu ada di
permulaan musim dingin. Tadi
di tengah jalan mereka tidak
dapat membeli sesuatu untuk
pembekal, tidak ada yang
menjualnya.
"Nanti aku mencoba
mencari," berkata Seng Lim
penasaran. "Mustahil di
sini tidak ada satu rumah juga yang
belum kosong untuk kita
bermalam atau membeli barang
makanan!"
"Biarlah aku yang pergi!"
berkata Tiauw Im tertawa.
"Mencari amal adalah
pekerjaan si paderi."
Ia mengenakan jubahnya, terus
ia bertindak pergi. Seng
Lim mencari setumpuk cabang
kering, ia menyalakan unggun.
Ketika api sudah menyala, ia
melihat Sin Cu muka siapa
merah, entah karena cahayanya
api entah dia lagi memikirkan
apa-apa. Ia heran hingga ia
bengong saja.
"Hawa udara dingin, kita
pun letih habis berjalan jauh,"
katanya kemudian.
“Inilah tidak berarti,"
menyahut Sin Cu. "Aku juga
bukannya satu nona yang tidak
biasa bepergian."
Di mulut si nona mengatakan
demikian, di hati ia lantas
ingat kota Kunbeng di mana ke
empat musim berhawa udara
seperti musim semi, di mana
tentulah Keng Sim tengah minum
arak sambil menggadangi bunga
bwee di dalam taman istana
Bhok Kokkong. Kalau benar,
sungguh beda keadaan mereka
itu dengan ia di sini...
901
"Rasanya lekas juga bakal
terbit peperangan," berkata pula
Seng Lim sejenak kemudian, dan
ia menghela napas. "Setahu
kapan tibanya Thio Tayhiap.
Sekarang ini tentu juga pamanku
lagi sangat bergelisah..."
"Memang, aku pun
mengharap-harap suhu lekas tiba,"
menimpali Sin Cu. "Dengan
ia berada di antara kita, kita
seperti dapat tambah beberapa
kawan..."
Seng Lim mengangkat kepalanya,
melihat wajah si nona. Ia
mendapatkan nona itu cemas,
dia mirip dengan bocah yang
kesasar jalan... Karena tidak
mengarti, ia melengak. Ia lantas
memikirkan kata-kata nona itu.
Sin Cu pun memandang pemuda
itu, lantas ia tunduk
pelahan-lahan. Ia seperti ada
memikirkan sesuatu tetapi ia
terus mengawasi api.
"Ya, aku pun harap Keng
Sim bisa datang bersama Thio
Tayhiap," kata Seng Lim
kemudian. Ia bagaikan kehabisan
pokok soal yang harus
dibicarakan.
"Keng Sim?... oh!"
berkata si nona. "Aku kuatir dia tidak
bisa datang bersama."
"Pamanku menghargai dia
itu," Seng Lim berkata pula.
"Paman bilang dia pandai
ilmu silat dan ilmu surat dan
mengarti juga ilmu perang.
Dalam tentara rakyat kita memang
kekurangan seorang pandai
sebagai dia. Apa yang dikuatirkan
ialah, sebagai putera suatu
menteri, tidak nanti dia kesudian
bercampur baur sama kita
rombongan orang-orang kasar."
Mendengar orang memuji Keng
Sim, Sin Cu menjadi ingat
Keng Sim sebaliknya pernah di
depan ia sendiri menyindir
Seng Lim itu kasar dan tidak
pandai ilmu surat. Sebenarnya,
menurut ia, walaupun Seng Lim
tak sepandai Keng Sim, dia
902
tidaklah demikian buruk
sebagai sindirannya Keng Sim itu.
Karena memikir begini,
tiba-tiba ia mendapat perasaan luar
biasa, ialah meskipun Seng Lim
ada puteranya seorang kuli
tambang, dia toh mirip asal
turunan sasterawan dan
derajatnya masih lebih tinggi
daripada derajatnya Keng Sim si
jumawa itu...
Selama itu cuaca menjadi
semakin gelap, beberapa ekor
kelelawar terbang berseliweran
sambil memperdengarkan
suaranya. Sampai itu waktu,
Tiauw Im masih belum kembali.
"Ah, kenapa dia masih
belum juga balik?" kata Sin Cu
menghela napas,
"Mungkinkah dia menemui sesuatu yang
berbahaya?"
Nona ini mulai memikir yang
tidak-tidak.
"Supeecouw liehay sekali,
mustahil di kampung semacam
ini dia bisa menghadapi
ancaman berbahaya?" Seng Lim
bersangsi.
"Bukannya begitu,"
menerangkan si nona sambil tertawa.
Loojink.ee itu ada rada
sembrono dan dia gemar sekali usil
urusan orang, aku jadi
bukannya menguatirkan dia tertawan
oleh apa yang disebut si
berandal wanita pelangi merah... Aku
berkuatir dia tertahan urusan
lain orang."
Sin Cu menyebut-nyebut
berandal pelangi merah itu sebab
selama di tengah jalan ia
mendengar orang mengatakan di
antara garis pasukan rakyat
dan tentara negeri ada
berkeliaran serombongan
berandal pelangi merah, seorang
berandal perempuan yang tidak
ketahuan namanya, yang
katanya liehay sekali. Karena
itu, ia bergurau menyebutkan
berandal itu.
903
Belum berhenti suaranya si
nona, mendadak terdengar
tertawa Tiauw Im Hweeshio yang
menolak pintu dan bertindak
masuk sambil berkata dengan
nyaring: "Eh kamu berdua
bocah, apa yang kamu omongkan
di belakang orang lain?"
"Tidak," Sin Cu
menyangkal, lekas. Ia lantas mengangkat
kepala, mengawasi paderi itu,
siapa berjalan masuk seraya
memegangi seorang pengemis
yang pakaiannya penuh
tambalan, pengemis mana
tindakannya limbung. Bahkan
untuk herannya ia, ia
mengenali orang adalah Pit Yan Kiong
muridnya Pit Keng Thian.
Pit Yan Kiong itu juga
berlepotan darah dan paras mukanya
hitam, rupanya dia terluka
parah, walaupun demikian, tidak
lenyap romannya yang Jenaka.
Segera dia menepuk sebelah
kakinya, sambil tertawa
haha-hihi dia berkata: "Kakiku si
pengemis telah orang hajar
rusak, karena itu tidak dapat aku
bertekuk lutut terhadap kau,
nona!"
"Sebenarnya apakah telah
terjadi?" Sin Cu menanya.
Belum pengemis itu menyahuti,
Tiauw Im telah rebahkan
padanya, lalu dengan dua jari
tangannya, ia menjepit
mencabut sebatang jarum
panjang lima dim dari pahanya.
"Ya, bagaimana sebenarnya
duduknya perkara?" kemudian
paderi ini pun menanya.
"Kenapa kau boleh terkena jarum
beracun dari Kimciam Sengciu
Han Loopiauwtauw?"
"Panjang untuk aku
menutur," menyahut Pit Yan Kiong.
"Sekarang ini baiklah kau
lekas singkirkan dulu sebelah kakiku
ini..." Ia masih hendak
berkelakar tetapi ia toh meringis, suatu
tanda ia mencoba menahan rasa
sakitnya yang hebat.
Tiauw Im mengerutkan
keningnya.