Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 8

Liang Ie Shen, Seri Thian San-03: Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 8 Sin Cu ketarik, ia kagumi pemuda yang berkurban itu. Hanya, pikirnya kemudian, di dalam dunia tidak ada semacam pemuda...
 
Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 8
Sin Cu ketarik, ia kagumi pemuda yang berkurban itu.
Hanya, pikirnya kemudian, di dalam dunia tidak ada semacam
pemuda... Memikir begini, mendadak bayangan Tiat Keng Sim
berpeta di hadapan matanya. Ia lantas tunduk, akan
mengawasi telaga Thiantie itu (yang pun disebut Kunbeng
ouw, telaga Kunbeng). Ia melihat banyak kapu-kapu, yang
tertiup sang angin, sedang lembaran-lembaran bunga di muka
air pun beterbangan buyar...
Semua itu membuat si nona menjadi berduka sendirinya.
"Dengar! Di bawah seperti ada orang berbicara!" Siauw
Houwcu tiba-tiba berkata, suaranya pelahan.
Selama mengikuti In Lui meyakinkan senjata rahasia
kimhoa atau bunga emas, Sin Cu berbareng diajari latihan
kuping untuk pendengarannya jadi terang dan mengarti suara.
Itulah ilmu "mendekam di tanah mendengari suara." maka ia
sudah lantas menempelkan kupingnya di batu gunung.
Sudah dibilang, lorong Liongbun berliku-liku, maka sejarak
beberapa tindak saja, orang tidak dapat melihat satu pada
lain. Tapi suara yang didengar si bocah dapat terdengar nyata
oleh si nona.
Terdengarlah seorang, yang suaranya dalam: "Ong
Ciangkun memesan wanti-wanti, surat ini sangat penting,
maka kau mesti dapat menyampaikan ke kota raja!"
Seorang lain menyahuti, menanyakan kepada siapa surat
itu dialamatkan.
"Kau mesti serahkan kepada Tayiwee Congkoan Yang Cong
Hay," menerangkan suara yang pertama. "Kalau Yang Cong
Hay tidak ada, kau sampaikan kepada Gielimkun Congciehui

651
Law Tong Sun. Umpama kata dua-dua tidak ada, kau
serahkan saja kepada Ong Kongkong di dalam istana."
Orang yang kedua menyahuti, "Aku mengarti." Hanya
selang sejenak, ia menanya pula: "Seandai kata di tengah
jalan aku bertemu orangnya Bhok Kong tia?"
"Jikalau kau dapat melawan, lawanlah, kalau tidak, lantas
lari. Umpama kau mati jalan, kau telan saja suratnya.
Tegasnya, surat ini tidak boleh terjatuh dalam tangan lain
orang siapa juga!"
"Aha, inilah tugas menjual jiwa!" seru orang yang kedua
itu.
"Kalau begitu, tidak dapat tidak, aku mesti pulang dulu,
untuk pamitan dari isteriku..."
"Thio Lootoa, kenapa kau begini takut mati?" tanya orang
yang suaranya dalam itu. "Kau mesti berangkat malam ini
juga, tentang enso, aku yang nanti urus, kau jangan buat
kuatir."
Sampai di situ, berhenti sudah pembicaraan itu, yang lalu
disusul sama suara tindakan kaki mereka.
Hati Sin Cu bercekat.
"Ong Ciangkun itu tentulah perwira tadi di Senghong bio,"
ia berpikir. "Hebat, dalam waktu sebentar saja, dia sudah
menulis surat rahasianya ini! Pastilah bunyinya surat tak baik
bunyinya untuk Bhok Kongtia." Ia lantas tarik tangannya
Siauw Houwcu. "Kita sudah pesiar cukup, sudah waktunya
kita pulang!"

652
Si bocah menurut. Ketika tiba di lorong, mereka bertemu
dua orang ialah dua orang yang tadi berbicara. Kedua orang
itu terkejut mendengar ada suara orang lain, akan tetapi
setelah melihat hanya satu nona dan satu bocah hati mereka
lega. Di lain pihak, Thio Lootoa sudah lantas maju ke lorong
yang sempit.
"Hihi-hihi!" dia tertawa. "Nona, jalanan ini sukar dan
berbahaya, maukah aku tuntun padamu?"
"Minggir!" membentak Siauw Houwcu sambil ia berlompat
maju. Ia bertindak tanpa menanti encie-nya menjawab orang
ceriwis itu. Ia membentur dengan pundaknya, tangan kirinya
turut bergerak, karena ia berniat menggunakan pukulan Naga.
Berbareng dengan itu, Sin Cu menarik kawannya itu.
Dibentur Siauw Houwcu, Thio Lootoa miringkan tubuh,
lantas dia hendak menangkap bocah itu dengan niat
dibanting. Justeru itu, hidungnya dapat mencium bau harum,
sebab Sin Cu dan Siauw Houwcu segera lewati dia. Hendak dia
menjambret tetapi sudah tidak keburu. Sahabatnya pun
menarik padanya.
"Thio Lootoa, jangan main-main!" ia mengasih nasihat.
Orang ceriwis ini kecele, dia jadi meggerutu: "Hm kerbau
cilik! Coba hari ini aku tidak punya pekerjaan penting, tentu
aku sudah hajar padamu!"
Siauw Houwcu menoleh, ia menjawab:
"Bagus! Tuan kecilmu memang hendak berkelahi!"

653
Sin Cu tarik kawan itu, sembari tertawa, ia kata kepada dua
orang itu: "Adikku ini sedikit aseran, aku minta paduka berdua
tidak buat kecil hati."
Senang si ceriwis mendengar suara orang yang halus dan
manis.
"Oh, nona kecil, kau baik sekali" katanya tertawa. "Apakah
namamu, nona?"
Sin Cu berpura-pura tidak mendengar, selagi orang
berkata-kata, ia tarik tangannya Siauw Houwcu untuk diajak
keluar dari lorong.
Bocah itu tidak puas.
"Makhluk itu kurang ajar, dia menghina kau, kenapa kau
mencegah aku menghajarnya?" ia tanya.
"Kalau dia hendak dihajar, apa kau kira aku tidak bisa
menghajarnya?" si nona menyahuti. "Lekas!"
Siauw Houwcu tidak berani membangkang, walaupun
hatinya masih panas, ia jalan dengan cepat, terus lari.
Dua orang itu tapinya mengejar. Belum lagi Sin Tu berdua
tiba di ranggon Samceng Kok, napas mereka itu sudah
memburu, tetapi mereka memaki: "Dua bangsat cilik,
berhenti!"
Nyatalah tadi selagi melewati Thio Lootoa, Sin Cu sudah
keluarkan kepandaiannya memindah isi saku orang, ia telah
samber suratnya Ong Ciangkun , karena mana ia lantas lari.
Kepandaian itu ia peroleh dari Thio Tan Hong, siapa ketika
dulu hari pertama kali bertemu sama In Lui, telah curi bersih
uang orang. Sebenarnya Tan Hong tidak niat menurunkan

654
kepandaian itu tetapi Sin Cu meminta dengan mendesak
sebab nona ini ketarik mendengar suhu itu menggoda subonya.
Thio Lootoa sadar dengan cepat. Katanya: "Kenapa satu
bocah bisa membentur pundakku hingga aku merasa sakit?"
Kemudian ia merabah ke sakunya, ia jadi kaget bukan
main. Surat itu lenyap tidak keruan paran. Ia jadi menyangka
si nona, maka itu ia ajak kawannya mengejar.
Sin Cu berdua Siauw Houwcu tidak ambil jalan langsung,
mereka mengitarkan Samceng Kok, lalu terus lari mendaki
bukit. Melihat larinya mereka itu Thio Lootoa tawar hatinya. Ia
mengarti orang melebihi ia dalam hal ilmu lari cepat.
Thio Lootoa ini sebenarnya adalah seorang siewie,
pengawal kaisar, namanya Tay Hong. Dia ditugaskan di
Kunbeng, untuk mengawasi sepak terjang Bhok Kokkong.
Supaya orang tidak mencurigai, dia datang dengan menyamar
sebagai rakyat jelata dengan mengajak juga anak isterinya.
Kawannya itu bernama Ong Kim Piauw, orang kepercayaan
Cengiam Hu-ciangkun Ong Tin Lam. Dia pun seorang siewie
dan ikut Ong Tin Lam untuk juga menilik Bhok Kokkong.
Bhok Kokkong ada menteri setia turun temurun, kaisar
mempercayainya, tetapi adalah aturan pemerintah yang telah
berjalan lama, kaisar mesti mengirim orang untuk mengawasi
semua menteri yang ditugaskan di pelbagai propinsi, maka
propinsi Inlam tidak menjadi kecuali. Sudah sepuluh tahun
lebih Ong Huciang tinggal di Kunbeng, belum pernah ia
mendapatkan apa-apa yang mencurigai pada pihak Bhok
Kokkong. Sampai timbullah urusan Ie Kiam dijadikan
Senghong atau malaikat kota oleh siauwkongtia.

655
Dua-dua Thio Tay Hong dan Ong Kim Piauw memang tidak
puas dengan kedudukannya, keamanan kota Kunbeng
membikin mereka tidak dapat ketika untuk berbuat jasa, guna
mendapat kenaikan pangkat, kebetulan ada perbuatannya
siauwkongtia ini, lantas mereka ambil ini sebagai alasan.
Mereka berdamai sama Ong Huciang, lantas perwira itu
menulis laporan rahasianya, Ong Kim Piauw dititahkan
menyampaikannya kepada Thio Tay Hong untuk dibawa ke
kota raja, apa mau mereka bertemu Ie Sin Cu dan suratnya
lenyap.
Mereka penasaran maka itu mereka mengejar terus.
Sin Cu pandai lari, ia tidak menjadi soal. Tidak demikian
dengan Siauw Houwcu. Bocah ini pandai silat tetapi dalam hal
ringan tubuh, ia kurang latihan. Tidak lama, larinya mulai
kendor, hingga Sin Cu terpaksa lari pelahan menantikan dia.
Thio Tay Hong mengejar hingga lagi kira tiga tombak, ia
lantas menimpuk Siauw Houwcu dengan dua biji kongpiauw.
Dalam hal menggunai kongpiauw, ia mempunyai latihan
belasan tahun. Tapi kuping si bocah terang, dia dapat
mendengar suara samberan angin, lantas dia men-dak dan
lompat masuk ke dalam rujuk. Dengan bersuara nyaring,
kedua kongpiauw menghajar batu.
"Tidak kena!" mengejek si bocah sambil ia keluar dari
tempatnya berkelit. Ia pun mengejek dengan buat main jeriji
tangannya di mukanya. Tapi karena ini, ia telah kena susul
hingga tinggal satu tombak.
"Kau masih berniat lari, bangsat kecil?" berseru siewie itu
seraya dia lantas berlompat menubruk dalam gerakan "Ngo
Kim Na" atau "Tangan Menangkap Lima" dari kaum Keluarga
Gak di Hoopak.

656
Ketika itu Sin Cu terpisah kira sepuluh tombak dari Siauw
Houwcu, sulit untuk ia menolongi. Sedang Tay Hong pernah
dengan tangannya itu melukai tak sedikit orang.
Siauw Houwcu tidak takut melihat ancaman bahaya itu,
bahkan dia tertawa haha-hihi dan berkata: "Kau
menggerembengi tuan kecilmu meminta-minta, tidak bisa lain,
terpaksa tuan kecilmu menderma kepadamu semua sisa uang
beberapa khie lagi!"
Kata-kata itu disusuli suara menggen-tring, lalu tiga biji
tangkhie melesat ke arah Tay Hong. Bocah ini menggunai itu
sebagai senjata rahasia kimkhie piauw, untuk menyerang
ketiga jalan darah thayyang hiat di kepala, soankie hiat di
dada dan yongcoan hiat di kaki.
Thio Tay Hong tengah berlompat, ia terkejut. Dengan
kedua tangannya ia dapat menyambar dua biji piauw, yang
satunya lagi tidak keburu, maka tepat kakinya kena terhajar,
terus dia roboh terbanting, saking sakitnya, dia mengeluarkan
air mata.
"Haha!" tertawa Siauw Houwcu. "Aku tidak niat membunuh
padamu, perlu apa kau menangis? Tubuhmu tinggi seperti
kerbau dan besar seperti kuda, kau meluberkan air mata,
apakah kau tidak malu?"
Siapa kena dilukai jalan darahnya yong-coan hiat, dia mesti
mengeluarkan air mata. Siauw Houwcu mengetahui itu tetapi
sengaja ia mengejek.
Ketika itu Ong Kim Piauw telah dapat menyandak, ia
melihat semua, maka ia menjadi mendongkol sekali.
Sambil berlompat, untuk menerjang, dia berseru: "Bocah
yang baik, mari!"

657
Ia menggunai sebatang poankoan pit, ialah senjata
semacam alat tulis untuk menotok jalan darah. Ia pun pandai
menyambuti senjata rahasia.
"Celaka!" mengeluh Siauw Houwcu.
"Uangku sudah habis, kenapa kau mengemis padaku?
Encie, kau tolongi aku mengusir dia!"
Ia bebas dari totokan pertama, ia lantas diserang berulangulang,
hingga ia menjadi terancam bahaya.
"Baik, aku nanti menderma emas kepadanya!" terdengar
suaranya Sin Cu, yang habis berkata begitu terus tertawa.
Ong Kim Piauw lantas saja terkejut. Di depan matanya
berkelebat sinar kuning emas. Segera ia menangkis pergi
pulang dergan senjatanya, maka dua kali terdengar suara
"traang." Ia berhasil membuat terbang dua biji bunga emas.
Ia hendak membuka mulutnya, akan menegur penyerangnya,
ketika bunga emas itu berbalik menyambar pula, hingga ia
menjadi gugup hendak ia menangkis pula, sudah kasep. Duadua
bunga emas itu mengenai sasarannya, ia lantas roboh
terguling dengan pingsan.
Siauw Houwcu tertawa.
"Dia mana sanggup menerima amal emasmu, encie."
katanya Jenaka.
Walaupun baru lolos dari bahaya, bocah ini sudah bergurau
pula. Ia pungut kedua bunga emas, sembari melewati Thio
Tay Hong, ia dupak jalan darah joanma hiat dari siewie itu,
habis mana bersama kawannya itu ia nge-loyor pergi. Sin Cu
cuma bersenyum saja.

658
Nona Ie gembira sekali. Ia berhasil meniru cara menimpuk
dari Ismet, yang pandai menggunakan senjata rahasia yang
merupakan bola emas.
Habis itu mereka pulang ke rumah penginapan. Segera Sin
Cu mengunci pintu kamarnya, untuk terus merobek surat
rampasannya. Membaca laporan rahasia itu, ia berduka. Di
situ dibeber perbuatan siauwkongtia mengangkat Ie Kiam
menjadi malaikat kota. Pada itu ditambahkan usul supaya
siauwkongtia dipanggil ke kota raja, untuk dipecat menjadi
rakyat biasa, supaya dia diganti oleh lain putera atau
keponakan Bhok Kokkong . Tentang Bhok Kokkong sendiri
diusulkan mencabut segala kekuasaannya.
Bagus kesannya Sin Cu terhadap Bhok Lin, yang
menghormati ayahnya, maka itu, ingin ia menolongi pangeran
muda itu. Dengan cara bagaimana? Inilah yang menyulitkan
ia. Hek Pek Moko belum tiba ia tidak dapat kawan untuk diajak
berdamai. Saking masgul, habis bersantap ia terus
merebahkan diri. Ia sampai tidak mempedulikan ketika Siauw
Houwcu mengi-jang mengajaki ia pergi menonton keramaian
tengloleng.
Malam itu selagi Ie Sin Cu belum tidur, pemilik hotel datang
padanya, mengasi tahu di luar ada orang mencari si nona.
"Orang macam apa dia itu?" tanya Sin Cu.
"Seorang muda yang romannya tampan," sahut pemilik
hotel.
Nona Ie heran. Ia mulanya menyangka Hek Pek Moko.
Kalau Toan Teng Khong, tidak nanti dia datang sendirian.
"Kenapa di sini ada orang mengenal aku?" pikirnya setelah
berdiam sejenak.

659
"Orang muda itu kelihatannya sebagai orang baik-baik.
Apakah nona ingin menemui dia?" pemilik hotel menanya.
Di Inlam, pergaulan wanita dengan pria tak terlalu keras,
tetapi seorang pria mengunjungi seorang wanita di hotel di
waktu malam buta rata, tidaklah biasa. Tapi tuan hotel itu
telah mendapat presen dari si pemuda, maka itu, ia bicara
baik tentang pemuda itu.
"Baiklah, silahkan ia masuk!" kata Sin Cu kemudian.
Seberlalunya tuan rumah, Siauw Houwcu tertawa
menghadapi kawannya.
"Seorang muda yang tampan!" katanya. "Hihi! Kiranya
kekasih encie ada di sini!"
"Ngaco!" membentak si nona, "Nanti aku robek mulutmu!"
Lalu dengan roman sungguh, ia menambahkan:
"Orang datang tengah malam, dia mesti mempunyai urusan
penting sekali. Pergi kau bersembunyi."
"Ah, kau tidak sukai aku berada di dalam kamar!" kata si
nakal. "Malu?"
Sin Cu mendelik terhadap bocah itu, atas mana dengan
mengulur lidah dan jalan berindap-indap dia pergi ke
kamarnya sendiri, yang sebelah menyebelah, maka itu lantas
ia manjat tembok, untuk memasang kuping...
Sin Cu lagi berpikir, ia tidak perhatikan bocah nakal itu.
Pula ia segera dengar suara tuan rumah di luar kamar:
"Tetamu sudah datang!" Ia lantas membukai pintu.

660
Seorang muda, yang benar tampan, bertindak masuk. Ia
mengenakan mantel bulu rase putih. Ia bertindak dengan
pelahan.
Sin Cu mengawasi, ia heran. Ia merasa seperti pernah lihat
orang ini, entah di mana. Ia lantas menanyakan she dan nama
orang serta maksud kedatangannya malam-malam itu.
Tetamu itu mengawasi ke sekitar kamar. Selama itu, tuan
rumah sudah mengundurkan diri. Tiba-tiba ia tertawa, terus ia
mengunci pintu.
Sin Cu terkejut. "Kau mau apa?" tegurnya.
Pemuda itu tertawa, halus suaranya, maka Nona Ie menjadi
curiga.
Setelah tertawa, pemuda itu membuka kopianya, maka
terlihatlah rambutnya yang bagus. Ketika Sin Cu mengawasi,
ia segera kenali budak keluarga Bhok yang tadi ia lihat di
Senghong bio tengah mengiringin Nona Bhok, ia menjadi
tertawa sendirinya.
Sudah dua tahun ia biasa menyamar, ia tidak dapat
mengenali orang.
"Maaf, Nona!" berkata si budak kemudian.
"Kenapa kau ketahui she dan namaku dan aku tinggal di
sini?" Sin Cu menanya. Ia heran.
Budak itu tidak menjawab, hanya ia berkata pula: "Nonaku
mengundang nona. Sebentar nona akan mengetahui sendiri."
Sin Cu menjadi bertambah heran.

661
"Aku minta nona berangkat sekarang juga," berkata lagi si
budak. "Nonaku lagi mengalami perkara sulit sekali, ia mau
minta pikiran nona."
"Mungkinkah urusan yang ada sangkutannya dengan
laporan rahasia ini?" Sin Cu lantas menduga-duga. "Kalau
benar, baiklah surat ini kau berikan kepada Nona Bhok itu..."
"Nona Ie, mari lekas!" mendesak pula si budak. "Sekarang
sudah jam dua lewat, sele-watnya jam tiga, nanti orang
mencurigai kita."
Sin Cu melihat roman orang yang bergelisah.
"Baik," katanya. "Tunggu sebentar..." Ia sebenarnya
hendak memesan apa-apa kepada Siauw Houwcu, atau
mendadak seorang lompat turun dari atas tembok. Ia terkejut.
Syukur ia segera mengenalinya.
"Encie, aku di sini!" berkata orang itu ialah si bocah nakal
Siauw Houwcu.
"Adikku nakal, kau tentu kaget?" katanya pada budak Nona
Bhok.
"Oh, tidak," sahut si budak. "Adikmu liehay, nona, guru silat
di istanaku tak sepandai dia." Dia mengatakan tidak kaget,
sebenarnya hatinya memukul.
Sin Cu lantas kata pada Siauw Houwcu: "Kedua gurumu
bakal datang besok, umpama aku belum pulang, kau
beritahukan aku pergi ke Bhok Konghu."
"Aku mengarti."
"Sebelum aku pulang, kau jangan pergi ke luar."

662
"Apa kau kira aku bocah cilik hingga perlu dipesan lagi?" si
nakal menyahuti.
"Kau mesti jagai kudaku, jangan sampai orang curi!" pesan
pula si nona.
"Kuda itu ada kesayanganmu, aku pun menyukainya, kalau
ada yang curi, aku nanti adu jiwaku!"
"Siapa bisa mencuri kuda itu, dia mesti liehay sekali. Kau
mungkin bukan tandingannya..."
"Kalau begitu, apa perlunya kau pesan aku?" si nakal
membaliki.
"Kuda itu kenal aku, kalau kau yang menaikinya, dia tidak
nanti membangkang. Tidak demikian terhadap orang lain.
Kalau ada yang mencuri dan kau tidak sanggup melawan, kau
kabur bersama kuda itu..."
"Sudah, sudah, kau pergilah!" si nakal jadi habis sabar.
"Selembar saja kuda itu lenyap bulunya, aku bertanggung
jawab."
Sin Cu lantas berlalu bersama si budak. Di jalan besar
tinggal sedikit orang-orang yang berlalu lintas. Ia diajak pergi
ke pintu yang kecil dari kota timur, dekat dengan luar kota.
Suasana di situ sunyi sekali. Rembulan pun guram karena baru
tanggal tiga bulan delapan. Hanya angin bersiur-siur. Ia tidak
bergembira.
Selagi mendekati pintu kota, tiba-tiba terdengar satu suara
angin dibarengi berkele-batnya bayangan orang di atas
tembok kota. Ia lantas lompat mencelat, karena ia tahu ia
tengah dibokong. Ia sudah siap dengan bunga emasnya tetapi

663
ia tidak segera membalas menyerang. Hanya ia tampak tubuh
si budak terangkat naik.
Ia menjadi kaget sekali, tanpa ayal lagi, ia menimpuk
dengan panah Coayam cian pengasi Hek Moko, maka panah
itu meluncur ke udara dengan mengasi dengar suara tajam
dan terus mengeluarkan api bersinar biru.
Sekarang Nona Ie melihat seorang yang berpakaian hitam
yang memakai topeng, dengan tali bandering dia mengangkat
tubuh si budak naik ke atas tembok. Ia segera menyerang
dengan dua buah bunga emasnya.
Tembok kota tinggi tiga tombak. sedang orang itu gesit
sekali, belum lagi ia terserang, sudah ia lompat turun ke luar
kota. Sin Cu bergelisah, ia hunus pedangnya, sambil lompat, ia
tancap itu ke tembok kota, untuk dipakai menahan tubuhnya,
maka di lain saat ia sudah berada di atas tembok. Ia melihat
ke bawah, ia dapatkan orang sudah lari puluhan tombak
jauhnya. Sinar rembulan yang guram membikin ia tidak dapat
melihat tegas. Ia cuma tahu orang dapat lari keras. Terpaksa
ia lompat turun, untuk mengejar. Sekian lama, ia melainkan
bisa mendekati sepuluh tombak lebih. Tiga kali ia menimpuk,
semuanya gagal. Maka ia mengejar terus.
Orang itu lari ke lembah, di sana dia lenyap. Sebaliknya, Sin
Cu melihat sebuah rumah besar dari mana terlihat sinar api.
Itulah rumah satu-satunya, maka si nona menyangka orang
lari ke rumah itu. Dengan berani ia bertindak menghampi-kan.
Ia lihat pintu seperti cuma dirapatkan, ia lantas mencoba
menolak. Kedua daun pintu sudah lantas menjeblak.
"Mungkinkah pintu tidak dikunci untuk memancing aku?" si
nona berpikir. Ia perlu menolongi orang, ia lantas bertindak
masuk. Baru ia jalan belasan tindak, mendadak pintu di
belakangnya bersuara nyaring, tertutup sendirinya. Ia jadi

664
kaget berbareng gusar, hingga ia mengasi dengar suaranya:
"Aku akan memasukinya walaupun ini sarang naga atau guha
harimau!"
Dari sebelah dalam terdengar suara tertawa samar-samar.
Mengikuti itu, Sin Cu membuka tindakannya. Ia melintasi
beberapa pintu, yang hanya dirapatkan, terus sampai di
sebuah ruang besar. Di sana terlihat satu perwira tengah
berduduk di kursi dan di depannya ada si budak, yang
tubuhnya terbelenggu.
"Ha, kiranya kau!" Sin Cu berseru. "Kau menjadi Tayiwee
Congkoan tapi tengah malam buta rata kau menculik gadis
orang! Tahukah apa dosamu?"
Perwira itu, ialah Yang Cong Hay, lantas tertawa.
"Nona Ie," dia berkata, "tahukah kau akan dosamu di siang
hari bolong melukai orang?" dia balik menanya. Dia rupanya
sudah ketahui perbuatan si nona tadi siang.
"Kau tahu siapa dia ini?" Sin Cu menanya tanpa perdulikan
perkataan orang.
Yang Cong Hay tertawa.
"Lain orang jeri terhadap Bhok Kokkong, aku tidak!"
katanya. Terus dia mengeprak meja. "Budak cilik, lekas
serahkan suratmu!" Dia membentak si budak perempuan.
"Surat apa?" budak itu tanya.
"Surat rahasia dari Ong Ciangkun1."
"Ong Ciangkun yang mana?"

665
"Jangan kau berlagak gila! Nonamu suruh kau malammalam
mencari Nona Ie, apakah perlunya? Jikalau tidak
serahkan itu, terpaksa aku berbuat kurang ajar! Lihat, aku
berani atau tidak menggeledah kau!" Mendadak dia usir
tangannya menyambar baju si budak.
"Hai, kau berani menghina hambanya kongya?" budak itu
membentak. Nyata dia berani.
Tapi Yang Cong Hay melawan tertawa, sedang kedua
tangannya bekerja. Dengan bersuara "Bret!" baju si budak
terbelah dua, maka terlihatlah baju dalamnya yang merah.
Sin Cu menjadi mendongkol sekali.
"Surat itu ada di tanganku!" ia berseru. "Kau menghina
satu budak, sungguh tidak tahu malu!"
Inilah tipunya Yang Cong Hay, untuk memaksa orang
membuka rahasia. Maka ia tertawa pula.
"Kenapa kau tidak mengatakannya siang-siang?" katanya.
"Serahkan surat itu padaku, perkara habis! Kalau tidak, jangan
harap kau bisa keluar dari sini!"
"Jikalau kau bisa, kau ambillah!" si nona menantang. Malah
segera ia mendahului menyerang dengan pedangnya.
Yang Cong Hay mencelat dari kursinya, tapi tangannya
menyambar, untuk mencoba merampas pedang
penyerangnya itu. Tapi ia gagal, ia lantas diserang pula.
Dengan lekas lewat sudah beberapa jurus. "Sungguh pesat
kemajuannya satu anak muda!" berkata Cong Hay, yang
lihat si nona menjadi terlebih gagah. "Tapi, hm, untuk
melayani aku, kau masih beda jauh!"

666
Ia terus menyerang dengana kedua tangannya, dengan
tipu silat "Naga terbang ke langit," hingga Sin Cu mesti lompat
mundur dua tindak. Ketika ini dipakai si perwira untuk
menghunus pedangnya.
Mengetahui ia terancam di mulut harimau, Sin Cu bersedia
mengadu jiwa. Ia keluarkan kepandaiannya menggunai
pedangnya. Maka sembari berkelahi ia sempat mengsontek
putus belengguannya si budak, hingga dia ini menjadi kaget
dan lemas, tidak dapat dia berlari.
"Lekas lari, jangan pedulikan aku!" Sin Cu memberi ingat.
Yang Cong Hay tertawa lebar.
"Sesudah sampai di sini kau memikir untuk lari? Hm! Kau
mimpi?" katanya.
Nyata di pintu ada mengandang beberapa orang, di
antaranya siewie Thio Tay Hong yang tadi siang dirobohkan
Siauw Houwcu. Dia tidak tahu tabiatnya Yang Cong Hay, yang
suka berkelahi satu sama satu, selagi yang lainnya berdiam
saja, dia maju untuk membalas sakit hati.
Sin Cu murka, ia berbalik sambil menangkis, berbareng
dengan itu, tangan kirinya terayun, maka bunga emasnya
membuat liang di dahinya orang she Thio itu.
Yang Cong Hay mendongkol.
"Gotong dia pergi!" ia menitah. "Kamu menjaga di luar
pintu, jaga kalau ada yang nyelundup! Siapa pun tak boleh
masuk ke dalam rumah ini!"

667
Yang Cong Hay mendongkol sebab tidak sempat ia
mencegah serangan si nona. Ia pun tidak menyangka bahwa
tidak gampang untuknya membekuk nona itu. Justeru ia
berkata, mendadak si nona sudah bergerak dengan, tipunya
"Menembusi bunga, mengitari pohon." Segera dia bergerak
cepat sekali, berlari-lari ke empat penjuru, berputar-putar.
Yang Cong Hay menyusul dan menikam, beberapa kali,
tetapi ia gagal, meski nampaknya ia akan berhasil mengenai
sasarannya.
"Yang Cong Hay liehay!" begitu memuji orang-orang di
ambang pintu, untuk menjilat-jilat.
Cong Hay tetap gagal dengan penyerangannya, gagal
dengan beberapa puluh tika-mannya, hingga selain ia menjadi
jengah, pujian pun berhenti sendirinya, sebab semua
orangnya menjadi heran sekali.
Dalam mendongkolnya, Cong Hay tertawa dingin.
"Bagus muridnya Thio Tan Hong, sejurus juga dia tidak
berani menangkis!" ia mengobor. Ia tidak tahu, karena kalah
tenaga dalam, Sin Cu tidak dapat bertahan terlalu lama
dengan ilmunya
"Menembusi bunga, mengitari pohon" itu. Nona itu
memang tengah bergelisah, tetapi dapat ia mengendalikan
diri. Ia mengerling, lalu ia pun tertawa dingin, untuk
membalas mengejek. "Sambut!" serunya tiba-tiba, segera
pedangnya berkelebat, menyusuli mana, dua bunga emasnya,
melesat dari bawah pedangnya itu.
Dua kali terdengar suara nyaring, segera terlihat Yang Cong
Hay mundur beberapa tindak. Di luar dugaannya, pedangnya

668
kena dihajar bunga emas si nona. Syukur, dia masih sempat
menangkis.
Sin Cu tidak berhenti sampai di situ. Bunga emasnya yang
ketiga dan ke empat menyerang pula saling susul.
Dengan pedangnya, Cong Hay punahkan dua senjata
rahasia itu, terus ia tertawa,
"Mutiara sebesar beras pun bersinar!" dia mengejek. Tapi
dia dihujani bunga emas yang ke lima, ke enam, ke tujuh dan
ke delapan. Untuk menjual lagak, dia berlompatan, pedangnya
berkelebatan. Maka runtuhlah ke empat bunga emas si nona.
Nyaring suara beradunya kedua rupa senjata itu. Bukan
kepalang puasnya orang she Yang ini, hingga ia tertawa
terbahak-bahak. Di luar dugaannya, beberapa bunga emas
yang tersampok mental itu tiba-tiba berbalik menyambar pula,
mengarah jalan darahnya. Ia kaget, lekas-lekas ia membela
dirinya. Ia melihat bagai-mana senjata rahasia itu mempunyai
tenaga menyambar balik. Ia heran sekali.
"Aneh senjata rahasianya budak ini..." ia berpikir.
Sin Cu tidak mau mengarti, ia menyerang terus dengan
bunga emasnya, ia menggunai hingga delapan belas biji, maka
mau atau tidak, Yang Cong Hay menjadi gentar juga nyalinya.
Terpaksa congkoan ini mengurung diri dengan pedangnya.
Sayangnya untuk Sin Cu, belum sempurna latihannya
menimpuk menurut cara Ismet itu dan belum sempurna
latihan tenaga dalamnya, karenanya, bunga emasnya masih
kurang cepat untuk Cong Hay.
Dalam murkanya, perwira itu berseru, atas mana empat
pintu di ruang itu lantas tertutup rapat.

669
Itu artinya sudah tertutup jalan keluar si nona, maka ia pun
menjadi nekat. Penerangan dalam ruang itu padam, sebagai
gantinya terlihat sinarnya bunga emas, yang berkilauan di
sana-sini.
Yang Cong Hay berkelahi sambil berseru, ia mencoba
menjatuhkan semua bunga emas. Ia pun berbareng
menggunai Pekkong ciang, ialah serangan tangan kosong,
yang anginnya saja yang menyampok keras.
Sin Cu heran untuk liehaynya orang ini, tetapi ia pun tidak
takut, bahkan ia merangsak.
Cong Hay lebih gagah tapi dia repot, mana mesti menjaga
bunga emas, mana mesti menangkis pedang si nona. Pula ia
jeri untuk pedang mustika nona itu. Mau atau tidak, sekarang
ia terdesak juga.
Didalam hatinya, Cong Hay mengeluh. Untuk menawan si
nona, ia sebenarnya mempunyai daya lain tetapi tadi ia telah
pentang mulut hendak bertempur satu sama satu dan ia malu
untuk menarik pulang perkataannya itu.
Sementara itu telah terdengar keruyuknya ayam dan sinar
fajar memasuki ruang rumah. Rupanya sang waktu tiba pada
jam empat.
Tentu sekali, bertele-telenya pertempuran membuat kedua
pihak sama-sama lelah. Si nona disebabkan kalah latihan
tenaga dalam, Cong Hay lantaran terlalu banyak menggunai
tenaga untuk menyingkir dari bunga emas dan tajamnya
pedang mustika.
Mereka yang menanti di luar ruang pun heran dan cemas
hatinya. Mereka tetap membungkam, sebab mereka tidak

670
berani membuka mulut untuk pemimpinnya itu menyudahi
pertempuran satu sama satu itu.
Lagi sejenak, suara napas Sin Cu terdengar nyata. Di lain
pihak, dahi Cong Hay bermandikan keringat. Jago ini
mendongkol berbareng bergelisah. Ia mesti terus menjagai
keselamatan dirinya. Ia insaf, sedikit saja lambat, ia bisa
celaka.
Sebentar kemudian, dari jendela masuk sinar terang sang
pagi.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara nyaring: "Yang Tayjin,
Ong Ciangkun mengundang!"
Inilah yang diharap Cong Hay. Kali ini ia tidak menjadi
gusar. Lantas ia mencoba mendesak si nona, hingga nona itu
mundur dua tindak.
"Budak cilik, aku membiarkan kau hidup lagi beberapa
jam!" kata perwira itu. "Sebentar aku datang pula untuk
membereskanmu!"
"Congkoan yang maha agung hendak melarikan diri?" si
nona mengejek.
Habis berkata Cong Hay mencelat tinggi, dia menyerbu
genteng hingga berlobang dan tubuhnya keluar dari situ.
Sin Cu berniat menyusul lawannya itu ketika mendadak ia
merasakan rumah goyak bagaikan bumi gempa, berbareng
dengan itu ia juga mendengar suaranya si budak perempuan:
"Nona Ie! Nona Ie! Kau di mana?" Budak itu sembunyikan diri
di antara meja marmer yang besar.

671
"Jangan takut, aku di sini!" si nona lekas menyahuti, lantas
dia lompat, akan menyambar budak itu. Tapi berbareng
dengan itu, tubuhnya terjeblos tanpa dia berdaya lagi, hingga
di lain saat dia berada di tempat gelap hingga dia tak dapat
melihat lima jari tangannya di depan matanya. Dia
mendongkol hingga dia mengutuk Cong Hay sebagai manusia
tak terhormat.
***
Selagi nona itu mementang mulut, kupingnya mendengar
menderunya air seperti air banjir dan berbareng tubuhnya
dirasai dingin. Dari atas liang pun terdengar suara orang:
"Yang Congkoan menitahkan kau menyerahkan pedang serta
surat, kalau tidak, jangan sesalkan kita tidak mengenal
kasihan, terpaksa kau akan direndam mati!"
"Baiklah, kau buka pintu!" Sin Cu menyahuti.
Di atas lantas tertampak sinar terang, tandanya liang
dibuka. Sin Cu segera mencelat naik, tiga bunganya pun
ditimpuki sekalian. Ia tidak memikirkan, berapa tingginya pintu
itu. Belum lagi ia sampai di atas, tutup sudah dirapatkan pula.
Dari atas itu dengar tertawa dan kata-kata ejekan.
Sin Cu mendongkol sekali. Budak itu pun terdengar giginya
bercatrukan. Air sudah merendam mereka hingga di lutut.
"Apakah kau takut?" Sin Cu tanya. Ia memeluki tubuh
orang.
"Sebenarnya aku takut, tapi ada bersama nona, sekarang
tidak lagi." sahut budak itu.
"Kenapa?" Sin Cu tanya. Ia bersenyum.

672
"Karena kau ada puterinya menteri setia nomor satu di
dalam kerajaan kita." menjawab pula budak itu. "Dahulu hari
ayahmu tidak takut mati, untuk membela negara ia telah
berkurban, maka itu, kenapa mesti takut untuk penderitaan
begini?"
Sin Cu terharu, hingga ia berdiam saja. Ayahnya itu
memang setia dan telah berkurban.
"Nona Ie," berkata pula si budak. "Aku dapat melihat dan
bertemu denganmu, tidaklah sia-sia hidupku ini. Nonaku pun
sangat mengagumi kau."
"Aku pun bersyukur kepada tuanmu yang muda dan
nonamu itu," kata Sin Cu. "Apa namamu?"
"Aku Touw Kim Go, nona. Aku ada dari suku bangsa Pek di
Tali dan sedari kecil aku melayani Siocia."
"Dari mana kau ketahui halku?"
"Nona majikanku yang membilangi. Siocia pun ketahui kau
sudah melukai Thio Tay Hong dan Ong Kim Piauw."
"Bagaimana dia ketahui kejadian itu?"
"Kemarin mereka di-ketemukan serdadu peronda, mereka
lantas digotong pulang. Kebetulan Bhok Kongya tidak ada di
rumah, kami semua pergi keluar untuk melihat. Siocia kenali
Ong Kim Piauww sebagai sebawahan Ong Ciangkun. Siocia
menanya kenapa mereka terluka, Ong Kim Piauw tidak mau
memberi keterangan. Kemudian mereka diambil Ong
Ciangkun. Nonaku lantas keluar sebentar, sekembalinya, ia
menyuruh aku mencari kau di rumah penginapan."
"Kenapa nonamu ketahui aku?"

673
“Itulah sebab bunga emasmu, yang Siocia kenal. Katanya di
kolong langit ini, kecuali isteri Thio Tayhiap dan kau, tidak lain
orang yang menggunai senjata rahasia semacam itu."
Sin Cu heran bukan main.
"Nona itu kelihatan lemah, kenapa dia tahu tentang senjata
rahasia kaum Rimba Persilatan?" ia berpikir. "Pula, kenapa dia
tahu hotelku?"
Memikir begini, ia jadi sangat ingin segera menemui nona
Bhok itu. Maka ia menyesal sekali, sekarang dirinya terkurung
dan ia tidak mempunyai sayap untuk terbang pergi.
Si budak kedinginan dan kelaparan, hampir dia tidak dapat
bicara. Sin Cu memeluki dan mengangkat, untuk mencegah
orang kerendam. Ia sendiri pun mulai lapar juga.
Tiba-tiba terlihat sinar terang dari atas, lalu sebuah
bungkusan jatuh. Sin Cu dapat lihat itu, ia menanggapi.
Menyusul itu, sinar terang lenyap lagi.
Memeriksa bungkusan, Sin Cu dapatkan itu adalah nasi
yang terbungkus dengan daun teratai, baunya nasi dan
harumnya teratai tercampur menjadi satu, membangkitkan
selera orang.
"Sungguh wangi!" kata si budak.
Sin Cu sendiri heran bukan main, hingga ia menjadi curiga.
"Bukankah tadi mereka mengancam aku? Kenapa sekarang
mereka memberikan nasi? Mungkinkah nasi ini dicampuri
racun?"

674
Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar suara pelahan dan halus:
"Jangan takut, jangan takut! Makanlah!"
Si nona terkejut dan heran. Ia rasa kenal suara itu, yang
datangnya dari sebelah tembok. Sukar akan dicari orang yang
dapat bicara seperti orang itu. Ia terkejut, karena kalau orang
sudah sedemikian liehay tenaga dalamnya, sebenarnya tak
susah untuk orang itu membekuk ia.
"Aku lapar, aku lapar sekali... Barang apa itu, nona?" si
budak bertanya, suaranya lemah.
"Nasi pepes daun teratai," si nona menyahuti. Ia lantas
pecah dua nasi itu, separuh ia kasi si budak, separuhnya untuk
ia sendiri. Berdua mereka berdahar dengan bernapsu, lezad
sekali nasi itu!
Kejadian luar biasa lainnya segera menyusul. Air yang naik
semakin dekat, mendadak surut, surut hingga habis. Sin Cu
heran berbareng girang.
"Apa artinya ini?" si nona menanya dirinya sendiri. "Dia
musuh atau kawan?" Ia maksudkan orang yang mengantarkan
nasi pepes itu.
Si bujang, yang lelah sekali, setelah bersantap, lantas tidur
pulas. Sin Cu tidak mau mengganggu, ia hanya diam berpikir.
Lagi selang sekian lama, di atas terdengar suara beradunya
senjata, selang sekian lama, suara itu lenyap. Habis itu
mendadak terlihat sinar terang.
"Encie Kim Go, kita ketolongan!" berseru Sin Cu.
"Apa?" si budak mendusin kaget. Ia mengucak-ngucak
matanya.

675
"Kau peluk aku erat-erat, jangan takut, aku akan bawa kau
naik."
Nona Ie membalas memeluk dengan tangan kiri, tangan
kanannya memegang pedangnya, terus ia mencelat naik.
Untuk tiba di atas, ia mesti beberapa kali menancap pedang di
tembokan liang itu. Setibanya di atas, ia berdiri menjublak.
Belasan orang laki-laki tampak di situ, dengan pelbagai
sikapnya, seperti orang disihir. Ada yang lagi menikam dengan
pedang, ada yang membungkuk untuk memanah, ada yang
lagi membacok dan lainnya. Mata mereka itu berjelilatan,
seperti mereka ketakutan dan tengah menderita.
Sin Cu sadar setelah ia ingat orang tentu telah terkena
totokan, akibat pertempuran tadi. Ia coba menotok bebas
salah satu orang, untuk ditanyai keterangannya, tetapi ia tidak
berhasil. Istimewa totokan orang yang tidak dikenal itu.
"Apakah Hek Pek Moko yang datang atas tanda panahku?"
kemudian Sin Cu menduga-duga. Ia lari keluar. Sunyi di
sekitarnya, di situ tidak ada lain orang. Matahari sudah
bersinar layung. Tanpa merasa, sudah lohor lagi. Ia jadi
bertambah heran. Hek Pek Moko tidak bakal meninggalkan
padanya.
"Nona Ie, di sini seram, mari kita lekas pergi!" si budak
mengajak. "Satu malam aku tidak pulang, nonaku tentu
berkuatir sekali."
"Baik," kata Sin Cu, yang masih memeriksa rumah itu, yang
semua pintunya terpentang, penghuninya semua masih
berdiam bagaikan patung-patung. Ia pergi ke belakang, ia
melihat beberapa ekor kuda. Ia memilih dua ekor, dengan itu
berdua Touw Kim Go ia kabur ke dalam kota, terus ke gedung
Bhok Kokkong, tidak jauh dari pintu kecil bahagian timur.

676
Tiba di sana, orang sudah pasang lampu.
Kim Go ajak Nona Ie masuk dari belakang. Di dalam tidak
ada orang merintangi ia. Di depan sebuah kamar indah, ia
mengetok pintu, ia berkata: "Siocia, Nona Ie sudah datang!"
Dari dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa.
"Ah, ke mana siocia pergi?" pikir budak ini.
Selang sekian lama, baru pintu dibuka, seorang budak lain
muncul.
"Eh, Kim Go, kenapa baru sekarang kau pulang?" tanya dia,
ialah Gin Kui, pelayan lain dari Bhok Siocia.
"Panjang untuk aku menutur. Mana siocia?"
"Siocia sudah pergi."
"Pergi? Pergi ke mana?"
"Entahlah! Siocia pergi tadi magrib, keluarnya dari taman.
Romannya kesusu sekali. Aku tidak berani menyapa."

Sembari berkata, budak itu menyilahkan Sin Cu masuk ke dalam kamar.

Segera setibanya di dalam, Nona Ie heran atas sebuah pigura yang bermuatkan tulisan melulu. Ia mengenali baik sekali tulisan gurunya, Thio Tan Hong. Ia tidak mengarti, kenapa tulisan gurunya ada di situ.

Gin Kui sendiri sudah lantas berkata: "Malam ini kongya menjamu tetamu, yang katanya datang dari kota raja danpangkatnya entah congkoan apa. Kongya pesan siocia untukmenilik siauwya, katanya sebentar habis pesta, kongya hendak berbicara. Siapa tahu, siocia sudah lantas pergi."

"Congkoan?" Sin Cu berpikir. "Diakah Yang Cong Hay?" Ia lantas menanya, kenapa Bhok siocia yang disuruh menilik siauwkongtia.

Gin Kui bersangsi.

“Inilah Nona Ie, yang diundang nona kita, kau boleh omong segala apa," Kim Go beritahu.

"Setahu kenapa, kemarin kongtia gusar, siauwya dikurung di kamar," menerangkan Gin Kui. "Karena tidak ada pahlawan yang menjaga, siocia yang diberi tugas..."

Sin Cu menduga tentulah pangeran tua memarahi puteranya urusan Senghong. Itu waktu terdengar suara kuda kereta.

"Nah, tetamu itu datang!" berkata Gin Kui.

"Di mana pestanya dibikin?" Sin Cu tanya.

"Di dalam taman sebelah barat."

"Mari kau ajak aku melihat."

Gin Kui kaget, dia ketakutan.

"Mari aku yang mengantari," kata Kim Go tertawa. "Kita dapat bersembunyi di belakang gunung palsu di tepi pengempang. Kalau orang pergoki kita, bilang saja kita lagi main petak, kongya tentu tidak marah."



Budak ini lantas cari makanan buat Sin Cu dan ia sendiri, kemudian mereka salin pakaian mereka yang basah. Secara diam-diam mereka pergi ke taman. Kebetulan perjamuan baru

di mulai. Dari tempat sembunyi, Sin Cu dapat melihat nyata sekali.

Di kursi pertama duduk seorang berpangkat besar, mukanya putih tanpa kumis. Yang duduk di kursi kedua benarlah Yang Cong Hay. Yang ketiga Sin Cu kenal sebagai Ong Ciangkun. Di sisi tuan rumah ada seorang imam. Bhok Kongya panjang jenggotnya dan nampak agung.

"Heran, kenapa kongya mengundang imam?" Kim Go berbisik.

Itu waktu si pembesar pangkat tinggi terlihat bicara. Kim Go tidak dapat mendengar suaranya. Sin Cu lekas menempelkan kupingnya di batu gunung, ia mendapat mendengar dengan nyata.

"Kabarnya si bocah suku bangsa Pek di Tali hendak berontak, yang mengepalai ialah keluarga Toan, semua pembesar pemerintah hendak diusir pergi. Adakah itu benar?"

Suara pembesar ini kecil, mirip suara wanita.

"Memang ada gerakan memberontak itu," Bhok Kokkong menyahuti. "Cuma menurut pengumuman mereka, mereka bukan berontak, mereka tidak menghendaki tanah daerah orang Han. Rupanya mereka mau mengangkat diri menjadi raja."

"Hm, mengangkat diri menjadi raja!" mengejek si pembesar

tinggi. "Bukankah itu pemberontakan? Budi pemerintah kepada Keluarga Toan bukannya tipis. Ketika dulu leluhurmu, Kimlengong, memusnahhkan negara Tali, untuk turun temurun keluarga Toan diangkat menjadi pengciangsu di Tali.

Kenapa keluarga itu tidak kenal cukup?"

"Memang. Tentang itu aku pun sudah mengirim laporan kepada Sri Baginda. Kebetulan Lauw Kongkong datang, inilah terlebih baik pula. Lauw Kongkong senantiasa mendampingi Sri Baginda, justeru Kongkong ada orang Inlam, ingin aku menanya pikiran pikiranmu."

Mendengar panggilan "kongkong" itu, Sin Cu baru tahu bahwa orang ada seorang kebiri dari istana kaisar.

Semenjak Kaisar Beng Thay Couw mendirikan kerajaannya dia melarang orang kebiri (thaykam) mencampuri urusan pemerintahan, larangan ini berjalan beberapa turunan, lalu menjadi longgar, maka juga sering terjadi kaisar angkat seorang kebiri menjadi utusannya. Contoh nyata yaitu Kaisar Beng Seng Couw mengirim Thaykam The Hoo ke luar negeri hingga tujuh kali.

Orang kebiri jaman Beng banyak terdiri dari orang propinsi Inlam, The Hoo tak terkecuali, ada yang pandai, ada juga yang buruk. Dan ini thaykam she Lauw, mendengar suaranya, ada orang Inlam.

Senang dia mendengar Bhok Kokkong memohon pikirannya, ia bersenyum.

"Kongtia sampai menanyakan, mana berani aku tidak mengutarakan segala apa-apa," kata dia. "Menurut aku, mesti kongtia lekas mengirim pasukan perang untukmenindas. Sri Baginda pun memesan aku akan menyampaikan kepada kongtia untuk mengawasi sepak terjang mereka itu, setelah sekarang terang ada tandatandanya pemberontakannya, tidak bisa lain, mereka harus ditindas!"

Bhok Kokkong berpikir.

"Mengangkat senjata bukankah itu mencelakai rakyat jelata?" katanya.



Mendengar ini, Lauw Kongkong tidak puas. Tapi Keluarga Bhok besar kekuasaannya, raja pun memberi muka, ia tidak berani sembarang bicara. Ia tertawa.

"Kongtia mulia hati dan welas asih, tidak kecewa kau menjadi ibu bapak rakyat," ia berkata. "Cuma di jaman kalut, orang mesti menggunai hukuman, tanpa mengangkat senjata,

pemberontakan mana dapat ditindes? Sekarang bagaimana pikiran kongtia?"

Bhok Kokkong bersenyum.

"Hari ini ada dua tetamu jauh akan datang ke Kunbeng," ia berkata, "dengan menggunai mereka aku memikir suatu tindakan yang lunak, hanya entahlah, aku bakal berhasil atau

tidak. Baiklah, sebelum aku menyampaikan itu kepada Sri Baginda, lebih dulu aku mengutarakan kepada kongkong."

"Silahkan bicara, kongtia," kata si orang kebiri seraya meletaki cangkirnya.

"Siapa kedua tetamu itu?" Yang Cong Hay menanya.

Di dalam hatinya ia kata: "Kenapa orang-orangku tidak ketahui ini? Mestinya mereka orang luar biasa..."

Bhok Kokkong menyahuti: "Mereka ada puteri Iran serta suaminya."

Semua hadirin heran. Cong Hay lantas menanya: "Ada apa hubungan antara puteri Iran itu serta pemberontakan di Tali?"

"Suami puteri itu bernama Toan Teng Khong," Bhok Kokkong menjawab. "Telah aku dapat keterangan pasti, dialah turunan dari Toan Pengciangsu dari Tali itu, kakeknya pernah

turut tentara Goan menyerang ke Barat, dia ketinggalan di Iran setahu bagaimana, dia mendapat jodohnya, menjadi menantu raja Iran. Rupanya dia rindu akan kampung

halamannya, dari tempat jauh itu dia pulang ke mari."

"Datangnya tetamu jauh menandakan kebesarannya raja kita," berkata Lauw Kongkong . "Sekarang aku ingin tanya kongtia, caya bagaimana kongtia hendak menggunai mereka

itu untuk siasatmu yang lunak?"

"Dia itu dapat dianggap sederajat dengan pengciangsu yang sekarang ini di Tali," berkata Bhok Kokkong, "maka aku hendak memohon Sri Baginda mengangkat dia menjadi pengciangsu."

"Dapatkah itu mencegah pemberontakan?"

“Inilah yang diharap. Sebenarnya namanya saja dia diangkat jadi pengciangsu, dia kita tempatkan di Kunbeng sini.

Aku percaya dia dapat mempengaruhi bangsanya di Tali itu.

Dengan memberi pangkat ini, kita memberi muka pada keluarga Toan itu. Andaikata mereka berontak juga, ada alasan untuk kita menghukum mereka, untuk menghabiskan kekuasaannya turun-temurun itu."

Mendengar penjelasan itu, Lauw Kongkong berpikir. Justeru itu muncul budak perempuan pelayan Bhok Hujin.

"Tidak tahu aturan!" Bhok Kongya menegur. "Aku tidak panggil kau, perlu apa kau datang ke mari?"

"Sio... siocia..." sahut budak itu gugup.

"Siocia apa?" bentak pula kongtia.

"Siocia lari..." budak itu akhirnya memberitahu.



Bhok Hujin tidak melihat puterinya, ia menjadi bingung.

Memang, karena sakitan, ia memuja sang Buddha saja, ia tidak campur urusan di luar. Malah dengan kongtia, ia bertemu hanya beberapa hari sekali. Begitupun hari ini, ia tidak tahu suaminya lagi mengadakan pesta, ia lantas mengirim budaknya itu.

"Ngaco belo!" bentak kongtia, yang air mukanya berubah.

"Aku yang suruh siocia pergi kepada Keluarga Yo untuk menyambut bibinya, mungkin bibinya menahan dia. Kenapa kau sibuk tidak keruan?"

Kongtia berpura-pura saja. Tentu dia malu kalau orang luar ketahui puterinya buron, sedang puteri itu tinggi kedudukannya.

Budak itu melengak karena heran. Kalau siocia pergi ke rumah keluarga Yo, mestinya ibunya mendapat tahu. Ia ditegur, ia penasaran.

"Hu... hujin..." katanya pula.

"Pergilah kau!" kongtia mengusir. "Suruh hujin matangi yan-oh ”

Budak itu berlalu dengan air mata mengembeng.

Huciangkun Ong Tin Lam heran, hingga ia jadi bercuriga. Kemarin toh ia lihat sendiri siocia itu, Bhok Yan, telah pergi ke Senghong bio.

Kongtia sendiri tak tenang hatinya. Heran ia puterinya buron. Ia lantas ingat kepada perbuatan puteranya, Bhok Lin, maka ia menyangka mungkin ada hubungannya.



Sampai di situ, Lauw Kongkong timbulkan pula pembicaraan mereka tadi.

"Siasat lunak itu baik tetapi persiapan untuk menghukum tidak boleh diabaikan," katanya. "Tidakkah begitu, kongtia?"

"Memang."

"Kapan Toan Teng Khong dan puteri Iran itu akan tiba di sini?" Yang Cong Hay tanya. "Cara bagaimana dia hendak diinsafkan akan kebaikan kongtia?"

Bhok Kokkong tertawa.

"Aku sudah mengirim orang memapak mereka," sahutnya.

Terus ia menoleh, akan memberikan titahnya: "Coba lihat, Pui Tongieng sudah pulang atau belum?"

"Pui Tongieng kembali sejak satu jam yang lalu," menyahut satu hamba. "Dia bilang tidak dapat dia lantas menghadap Kokkong."

Kongtia melengak sejenak, lantas dia tertawa.

"Di antara orang sendiri, kenapa dia malu-malu? Di sini ada

Yang Congkoan, dia boleh sekalian memohon petunjuk. Lekas suruh dia datang menghadap!"

"Pui Tongieng itu apa bukannya Pui Tee Kong yang menjadi orang kosen kenamaan di Inlam Selatan?" tanya Cong Hay.

"Telah aku dengar dengan tangan kosong dia sudah menaklukkan delapan belas tongcu di Lee Kang. Aku yang rendah mengagumi dia, jadi tak tepat untuk dia mendapat petunjuk dari aku..."

Bhok Kokkong senang mendengar sebawahannya dipuji.



Tidak lama, Pui Tongieng muncul bersama empat pahlawan. Melihat mereka itu, semua orang terkejut bahna heran. Empat pahlawan itu matang biru mukanya dan dibalut di sana-sini, mereka lesuh sekali. Tongieng sendiri berdarah pundaknya.

"Apakah artinya ini?" tanya Bhok Kokkong, yang pun tercengang.

"Kami pergi menyambut puteri Iran serta suaminya," menerangkan Pui Tongieng. "Mereka itu bukan cuma tidak sudi menerima kebaikan kongtia,mereka malah menyerang kami."

"Dari mana Toan Teng Khong mendapat barisan serdadu?"

Kongtia tanya. Dia heran sebab dia tahu kegagahannya tongieng ini serta empat pahlawannya itu, mereka dapat melawan seratus musuh.

"Mereka cuma, berdua," sahut Pui Tee Kong tunduk.

Kongtia heran berbareng gusar.

"Apa? Cuma berdua?" dia menegasi, "Apakah kamu tahangtahang nasi saja?"

"Bagaimana macamnya dua orang itu?" Cong Hay turut bicara.

"Mereka dua orang India, yang satu hitam, yang lainnya putih."

Mendengar itu, Cong Hay tertawa.



"Jangan sesalkan mereka ini, kongtia." ia kata kepada tuan rumah. "Dua orang itu bernama Hek Pek Moko, merekalah pencuri-pencuri mustika. Pada belasan tahun yang sudah, mereka sudah mencuri di istana di kota raja. Tayiwee Congkoan Kong Tiauw Hay kena mereka kalahkan, aku sendiri pun ragu-ragu. Hm, hm! Pui Tongieng sendiri dapat luka enteng, dia malah harus dipuji dan dihadiahkan!"

Dia lantas menyuguhkan secawan arak pada tongieng itu.

Heran Bhok Kokkong mendengar Cong Hay membilang musuh demikian kosen, kegusarannya pun lantas lenyap.

"Mungkinkah kamu bicara kurang jelas?" Lauw Thaykam tanya. "Jangan-jangan Toan Teng Khong sangsikan kau diutus oleh kongtia."

Pui Tee Kong menyahuti dengan penasaran: "Aku telah menyerahkan surat yang ditulis kongtia sendiri, sampulnya pun ada capnya Bhok Kokkong. Tanpa membaca lagi, mereka lantas merobek-robek. Kalau tidak, tidak nanti kami serang mereka itu."

Toan Teng Khong telah terpedaya di Kuiciu oleh si hoan ong palsu, maka itu ia suruh Hek Pek Moko jangan mengasi hati lagi kepada tongieng itu.

"Lihat!" berkata Lauw Kongkong, tertawa. "Begitu bertemu muka mereka main hajar, itu tandanya mereka tidak memandang mata! Bagaimana sekarang dengan siasat lunak

kongtia?"

Bhok Cong murka.

"Toan Teng Khong tidak tahu diri, hm, tidak ada bicara lainnya lagi!" serunya. "Di harian tentaraku menindas pemberontakan, aku tawan dan hukum dia!"



"Nah, begitu baru betul!" Lauw Kongkong tertawa pula.

"Dengan orang liar bagaimana kita dapat omong pakai aturan?

Pui Tongieng, kamu terluka karena tugasmu, mari duduk bersama dan minum arak!"

Thaykam ini dan Cong Hay membaiki tongieng itu dengan maksud mengambil orang berada di pihaknya. Bhok Kokkong cerdik, ia bisa menerka hati orang, ia menjadi tidak puas.

"Hek Pek Moko begitu liehay, Yang Tayjin tidak bisa berdiam lama di Kunbeng, habis siapa sanggup melawan mereka?" kemudian pangeran ini menanya.

Yang Cong Hay tertawa.

"Biarpun Hek Pek Moko liehay, asal paman guruku turun tangan, mereka akan kena dibekuk!" katanya.

"Cong Hay, kau terlalu memandang enteng kepada musuh!" berkata si imam, yang baru sekarang membuka mulut. "Kalau gurumu yang datang, Hek Pek Moko tidak bakal sanggup melawan satu gebrak saja! Tapi aku, mungkin aku mesti menggunai seratus jurus baru aku bisa membikin mereka takluk..."

"Kalau begitu aku mengandal kepada too tiang saja!" kata Bhok Kokkong girang.

"Apakah too tiang ada Hong Giam Tootiang ?" tanya Tee Kong. "Maaf, maaf!" Ia pun berbangkit, akan mengisikan cangkir imam itu.

Cie Hee Toojin mempunyai cuma satu adik perguruan ialah Hong Giam Toojin ini. Dia ini kalah tersohor tetapi kalangan Rimba Persilatan tidak ada yang tidak tahu dia.



Dengan temberang Hong Giam minum kering arak suguhan Tee Kong itu.

"Cong Hay mengajak aku datang ke Inlam ini sebenarnya untuk aku menghadapi musuh yang terlebih liehay daripada Hek Pek Moko itu," katanya kemudian.

Bhok Cong heran.

"Siapa musuh itu?" dia bertanya.

"Dialah Thio Tan Hong!" Hong Giam omong terus terang.

"Katanya dia telah nelusup ke Inlam dan sekarang ini sudah tiba di Tali. Apakah kongtia tidak mendapat tahu?"

Bhok Kokkong terperanjat. Ia tahu dulu hari itu Thio Tan Hong telah membantu Ie Kiam mengalahkan Essen dan bersama In Tiong masuk ke negeri Watzu menyambut raja

pulang ke negeri.

" Too tiang bermusuh bagaimana dengan Thio Tan Hong itu?" ia tanya.

"Thio Tan Hong itu konconya Ie Kiam," Cong Hay sambil tertawa menalangi menyahut. "Apakah kongtia tidak mengetahui itu? Dialah yang Sri Baginda hendak menawannya! Dia luas pergaulannya, pandai dia mendengar kabar, untuk membekuk dia, kita tidak boleh banyak omong."

Bho Kokkong berpikir: “Ie Kiam setia, dia mati secara menyedihkan. Hal itu membuat aku tidak puas. Sekarang, Sri Baginda mencari Tan Hong. Bukankah itu budi dibalas jahat?"

Ia berpikir begitu tetapi ia tidak berani kentarakan di air mukanya. Ia hanya kata: "Kiranya Yang Congkoan mengundang tootiang untuk membekuk pemberontak. Inilah untuk Sri Baginda, kamu harus dipuji!"

Hong Giam Tootiang tertawa terbahak.

"Thio Tan Hong malang melintang di Tionggoan, dia dapat julukan ahli pedang nomor satu," katanya, "maka itu kalau bukan aku, mungkin tidak ada lain orang yang sanggup

menawan dia!"

Sin Cu di tempat sembunyinya mendengari semua pembicaraan itu, untuk mulut besar si imam, ia mengasi dengar ejekannya di hidung. Di hatinya ia kata: "Kalau si hidung kerbau ini bertemu guruku, kalau hidungnya tidak dipapas, sungguh sayang!"

Ia memang sangat memuja gurunya, saking mendongkol, ingin ia keluar untuk menghajar

imam itu. Tapi ia tahu salatan.

"Thio Tan Hong itu bagaimana romannya?" Bhok Kokkong menanya. "Apakah Yang Tayjin pernah melihat dia?"

"Melihat belum tetapi aku ada membawa beberapa helai gambarnya," Cong Hay menyahut. "Nah ini satu untuk kongtia, tolong nanti kongtia menjaga agar dia tidak masuk ke

Kunbeng."

Bhok Cong menyambuti gambar, untuk dibeber. Ia kaget hingga air mukanya berubah.

"Kenapakah, kongtia ?" tanya Cong Hay heran.

Cepat sekali pangeran itu bersenyum.

"Aku mengira Thio Tan Hong berkepala tiga bertangan enam, tidak tahunya dia cuma seorang mahasiswa yang lemah!" katanya.



"Memang begitulah romannya, tidak heran kongtia terperanjat," kata Cong Hay.

Habis menenggak dua cawan pula, Lauw Kongkong berkata:

"Katanya siauwkongtia tampan dan cerdik sekali, pula dia mengarti ilmu surat dan ilmu silat, kenapa dia tidak diundang hadir di sini?"

"Anakku justeru bandel, mana aku berani terima pujian kongkong ?" menyahut Bhok Kokkong. "Sekarang ini aku justeru menyuruh dia menyimpan diri dalam kamar tulisnya untuk memahamkan kitab-kitab, dari itu aku tidak berani menitah dia menemui tetamu-tetamu agung."

"Kongtia terlalu merendah," berkata Cong Hay. "Bukankah peri bahasa tua membilang, yang tahu anak hanyalah ayahnya! Siauwkongtia pintar, itulah berkat ajaran kongtial"

Bhok Cong pikirkan perkataan congkoan itu, ia menyangsikan ada maksudnya yang lain. Justeru itu, Lauw Kongkong berkata pula: "Ya, kabarnya kemarin dulu siauwkongtia mengepalai upacara pembukaan kuil Senghong bio, hal itu menggemparkan seluruh kota ini. Dia masih muda sekali tapi sudah pandai bekerja, di belakang hari kemajuannya tak ada batasnya! Aku minta sukalah kongtia mengundang dia keluar menemui kami."

Bhok Kokkong cuma berdiam sebentar, lantas dia suruh hambanya mengundang puteranya. Dia sudah pikir untuk berpura-pura pilon, sebentar di muka mereka ini, hendak ia menegur puteranya itu sekalian menyuruh membongkar pula kuil Senghong itu.



Tidak lama, hamba itu balik sambil berlari tersipu-sipu dan gugup romannya.

Ia bersendirian saja.

"Kenapa siauwkongtia tidak datang bersama?" Bhok Cong tanya, hatinya berdebaran. "Apakah dia lagi salin pakaian?"

Hamba itu bersangsi, tapi ia toh menyahuti: "Siauw... siauwkongtia... minggat!..."

Bhok Kokkong kaget bukan main, sakit hatinya. Ia mempunyai cuma dua putera puteri itu, sekarang dua-dua anak itu buron.

Lauw Kongkong memperlihatkan roman kaget dan heran.

"Kenapa siauwkongtia minggat?" dia menanya. "Dia toh tidak berbuat salah, bukan? Ah, tentulah itu disebabkan pendidikan keras dari kongtia..."

Kokkong menenangkan diri tetapi punggungnya mandi keringat. Ia lantas mengikuti salatan. Katanya: "Sudah kukatakan, anak itu bandel, sekarang kembali dia menerbitkan gara-gara, sungguh memalukan!"

"Bagaimana sebenarnya?" Cong Hay turut menanya. Dia sengaja memancing, untuk melihat pangeran ini menyebut urusan Senghong bio atau tidak.

Tapi Kokkong dengan gusar sekali berseru: "Dia tidak suka belajar! Sekarang tentu dia membolos melihat pesta tengloleng!"

"Memang biasanya anak-anak gemar memain," Lauw Kongkong menghibur. Sebenarnya ia mengejek.

"Anak itu memang bandel sekali," kata kokkong pula.
"Umpama dalam urusan pendirian Senghong bio itu, dia telah berbuat tidak selayaknya. Itulah perbuatan orang tolol!
Malaikat kota malaikat tidak berarti, kenapa dia memasangi hio dan mengangguk-angguk di depan patungnya? Bukankah itu memalukan?"
"Hanya aku dengar patung malaikat kota itu beda dari yang
lainnya," Cong Hay mengatakan.
"Siapa tahu dari mana dia dapatkan boneka itu!" kata
Kokkong. "Benar-benar dia membuat aku malu! Besok aku
perintah orang membongkar kuil itu dan bakar bonekanya,
kemudian aku nanti cari dia untuk dihajar!"
Sekarang si thaykam memperlihatkan senyumnya.
"Pasti siauwkongtia kena orang bujuki maka ia membangun
kuil dan menghormati malaikat kota," katanya. "Aku minta
baiklah kongtia jangan hukum dia, asal boneka itu dihajar tiga
ratus rotan, sesudah itu baru dibakar! Dengan begitu tidaklah
penduduk tolol kena dilagui lagi."
"Memang," Cong Hay campur bicara pula. "Boneka itu
mesti dihajar hancur lebur dulu baru dibakar menjadi abu!..."
Belum berhenti suaranya congkoan ini, di situ muncul
seorang nona. Sangat gesit gerak-geriknya si nona, dia datang
tanpa ketahuan lagi.
Bhok Cong lihat orang mengenakan pakaian yang biasa
dipakai puterinya, orang lebih muda dua tahun dari puterinya
itu, sedang tadinya ia menyangka budaknya. Nona ini cantik
sekali, melebihkan puterinya sendiri. Yang mengherankan,
nona ini nampak agung dan keren, cuma keningnya lancip,

692
seperti dia lagi murka. Dengan sepasang mata tajam, nona itu
menyapu para hadirin.
Kalau lain orang heran, Cong Hay terkejut. Dia kenali Ie Sin
Cu yang dia kurung di liang jebakan yang terisi air. Kenapa
nona ini bisa keluar pula dengan selamat? Saking heran, dia
jadi tidak berani sembarang bergerak. Sunyi sekali itu waktu.
"Kau siapa?" Bhok Kongtia tanya akhirnya.
"Ayahku dijunjung berlaksa rakyat, dihormati bagaikan
malaikat!" berkata Sin Cu dengan berani, suaranya dingin.
"Dan kamu kamu makhluk apa maka kamu hendak membakar
patung ayahku?"
Semua orang heran dan kaget, kokkong bahkan
berjingkrak.
"Apa kau bilang?" tanyanya.
"Aku bilang aku larang kamu merusak patung ayahku!"
jawab Sin Cu nyaring.
"Siapakah ayahmu?" kokkong menanya pula.
"Ayahku ialah Lwee-kok Tayhaksu merangkap Pengpou
Siangsie Ie Kiam!" si nona menjawab terus terang.
Muka Bhok Cong pucat bagaikan mayat.
"Kau ngaco-belo" membentak Cong Hay. "Bekuk siluman
ini!"
"Kau benar tidak tahu langit tinggi dan bumi tebal!" Bhok
Cong pun membentak.

693
"Bagaimana kau berani mengaku menjadi anaknya
pengkhianat? Mustahil puteraku membuat patung ayahmu?
Kau ngaco belo, lekas pergi keluar!"
***
Bhok Kokkong kuatir sekali si nona benar-benar ada
puterinya Ie Kiam, kalau ia menawan dan memeriksa,
pengakuannya nona itu mungkin nanti merembet-rembet
puteranya, dari itu ia mengusirnya, supaya orang lekas pergi.
Pun dengan begitu diam-diam ia seperti menunjuki jalan lolos
untuk nona itu.
Yang Cong Hay tahu pasti orang ada puteranya Ie Kiam
tetapi malang kepada mukanya orang bangsawan itu, ia tidak
berani bertindak sembrono.
Sin Cu sebaliknya seperti mengerti maksud orang
bangsawan itu, ia tidak memperdulikan bahwa ia dituduh
memalsu, demikian dengan alisnya yang lantik bangun berdiri,
ia berkata dengan nyaring: "Ayahku membela kerajaan Beng,
dia sangat setia! Dengan mempunyai ayah semacam itu, aku
justeru mesti bangga sekali, maka kenapa aku mesti malu
mengakui ialah ayahku? Beda adalah kamu, yang tidak
menggubris penderitaan rakyat, yang cuma pandai bermukamuka
kepada raja! Sebenarnya malu kamu terhadap ayahku
itu!"
Bhok Cong membungkam. Ia memang menghargakan Ie
Kiam dan kata-kata si nona ini sangat menusuk hatinya yang
agung. Sekalipun Yang Cong Hay dan konco-konconya, wajah
mereka menjadi pucat.
"Hm!" Sin Cu memperdengarkan pula suaranya.
"Sebenarnya kamu semua yang hadir di sini, siapakah di

694
antara kamu yang tidak mengetahui, bahwa patung Senghong
itu patung ayahku? Nah, kamu lihatlah surat ini!"
Si nona mengeluarkan surat rahasia dari Ong Tin Lam
untuk raja, ia serahkan itu pada Bhok Kokkong.
Muka Tin Lam menjadi pucat sekali, tubuhnya bergerak
bangun. Mungkin dia hendak merampas pulang suratnya itu.
Berbareng dengan gerakannya itu, satu bayangan berkelebat
kepadanya, lalu tubuhnya roboh terguling. Sebab Sin Cu
sudah rabuh kakinya, setelah mana, dengan pedang terhunus,
si nona berdiri di samping Bhok Kokkong , sembari bersenyum
ewah, dia menanya: "Berani kamu mencegah Bhok Kokkong
membaca surat ini?"
Hong Giam Toojin dan Yang Cong Hay dapat melayani nona
berkelahi tetapi kata-kata orang sudah mempengaruhi mereka
hingga mereka mesti berdiam saja. Maka di saat itu, suasana
menjadi sangat tegang. Rata-rata orang melirik atau
mengawasi Bhok Kokkong.
Cepat sekali orang bangsawan itu membaca surat Ong Tin
Lam, ia kaget tercampur murka. Baru sekarang ia mengetahui
sikap raja terhadapnya, bahwa Ong Huciang inilah mata-mata
raja untuk mengawasi tindak-tanduknya. Ia murka karena Tin
Lam secara diam-diam hendak mencelakakan padanya. Tapi ia
adalah seorang yang banyak pengalamannya, lekas sekali ia
dapat menenangkan diri, hingga ia tidak kentarakan rasa
hatinya itu. Dengan tawar ia kata pada Tin Lam: "Ong
Huciangkun, coba kau lihat surat ini! Ada orang yang telah
memalsukan tulisanmu dan menulis ngaco belo! Sungguh
gila!"
Lega hati Tin Lam dan Cong Hay mendengar perkataan
pangeran ini. Teranglah si pangeran masih memberi muka.
Maka juga perwira itu, yang telah merayap bangun, berkata

695
dengan nyaring: ”Kongtia, terima kasih untuk kepercayaanmu
terhadapku. Surat itu boleh tak usah dibaca lagi, baik robek
saja! Tentulah ini siluman wanita cilik yang telah memalsu
tulisanku, yang tidak keruan-ruan menerbitkan gelombang!
Aku percaya di belakang dia mesti ada penganjurnya, maka itu
tolong kongtia menyelidikinya!"
Juga perwira ini hendak melindungi Bhok Kokkong
sekaliania menolong mukanya sendiri, maka itu ia damprat Sin
Cu sebagai siluman, tidak berani ia menunjuk si nona sebagai
puterinya Ie Kiam.
Sin Cu gusar bukan main, ia tertawa dingin, sikapnya
sangat mengejek.
"Benar, perkara ini harus dicari tahu," kata kongya
kemudian pelahan-lahan. Tapi inilah kata-kata yang ditunggutunggu
Yang Cong Hay. Maka dia sudah lantas lompat ke
depan.
"Perempuan siluman, lekas kau mengaku!" ia membentak.
"Siapakah penganjurmu?"
Tapi itu bukan bentakan belaka, bentakan diikuti sambaran
dahsyat.
Sin Cu sudah nekat, ia sudah bersedia. Atas datangnya
serangan itu, pedangnya berkelebat, tiga potong bunga
emasnya pun menyambar!
Hong Giam Toojin lompat mencelat ke depan Cong Hay,
tangan bajunya yang gerombongan dikebaskan. Maka juga
ketiga bunga emas itu kena ia masuki ke dalam tangan
bajunya itu. Ia tertawa dan berkata: "Sungguh ilmu pedang
yang bagus!" Dengan dua batang sumpitnya ia menjepit

696
pedang si nona itu, dibawa ke arah meja, dengan begitu
pedang itu nancap di meja itu.
Sin Cu kaget dan mendongkol, ia kerahkan tenaganya
untuk mencabut pedangnya itu. Si imam mempertahankan, ia
menekan, maka sia-sia saja percobaan si nona, pedangnya itu
tidak dapat dicabut. Inilah menandakan tenaga dalam yang
hebat dari imam itu.
"Siluman perempuan, kau bukalah matamu!" berkata si
imam, yang tidak mau lantas turun tangan terlebih jauh. Ia
tertawa lebar. "Kau menyerah atau tidak? Lekas kau bilang,
siapa itu yang berdiri di belakangmu?"
Sin Cu tidak menjawab, sebaliknya jawaban datang dari
luar, dalam rupa tertawa yang nyaring dan panjang,
seumpama kata "mengalunnya naga" atau "menderum-nya
harimau," suara mana seperti mengaung di kuping orang.
Mendengar itu, Hong Giam Toojin terkesiap hatinya.
Segera juga terlihat orang yang terdengar suara
tertawanya itu. Dialah seorang mahasiswa. Sembari bertindak
maju, dia bersenandung:
"Seribu martil selaksa gempur, keluar dari dalam gunung,
apinya yang berkobar membakar bukan buatan hebatnya!
Tulang terbakar, tubuh hancur lebur, tak dibuat takut, asal
dapat meninggalkan nama putih bersih di dalam dunia ini!"
Itulah bunyinya salah sebuah syair paling terkenal dari Ie
Kiam, yang telah dinyanyikan di seluruh negeri, tetapi di
bawah senandung mahasiswa itu, bukan main bekerjanya
pengaruhnya, hingga membikin orang malu sendirinya dan
jerih hatinya.
"Kau siapa?" Hong Giam menegur.

697
Si mahasiswa tertawa.
"Aku ialah orang di belakang layar yang kau tengah
mencari tahu!" jawabnya tenang.
Tanpa merasa, imam itu membuatnya kendor jepitan
sumpitnya, maka juga Sin Cu segera dapat menarik pulang
pedangnya. Ia pun sudah lantas berseru: "Suhul"
Mahasiswa itu bukan lain orang daripada orang yang
namanya kesohor di empat penjuru lautan, yang kaum Rimba
Persilatan mengakuinya sebagai ahli pedang nomor satu di
kolong langit ini, ialah Thio Tan Hong! Inilah di luar dugaan
siapa juga, maka sunyilah di sekitar situ, umpama jarum jatuh,
mungkin suaranya dapat terdengar nyata.
Air mukanya Bhok Kokkong lantas berubah, ia mengangkat
tangannya memberi hormat.
"Thio Sinshe datang, ada apakah pengajaranmu?" dia
bertanya.
"Aku datang karena mendengar kabar kau hendak
menegur kongcu," sahut Tan Hong yang dipanggil sinshe itu
guru, sedang dengan kongcu ia maksudkan puteranya si
orang bangsawan.
"Turut penglihatanku, perbuatannya itu membuat
patungnya Ie Kiam adalah tepat sekali! Laginya, akulah yang
menyuruh kongcu membuatnya, dari itu sekarang sengaja aku
datang untuk memohonkan ampun, jikalau kongtia hendak
menegurnya, baiklah kongtia tegur aku!"
"Sinshe bergurau!" kata Bhok Kokkong tertawa. Lalu lekaslekas
ia kata pada si thaykam she Lauw: “Inilah Thio Sinshe

698
yang pernah menjadi gurunya anakku. Benar tak lebih dari
satu bulan Thio Sinshe mengajar tetapi kepandaiannya aku
sangat mengaguminya. Thio Sinshe ini paling gemar bergurau,
dari itu haraplah Lauw Kongkong sudi memaklumkannya..."
Baru sekarang Sin Cu mengarti kenapa di kamarnya Nona
Bhok ada tergantung pigura tulisan gurunya itu, kiranya
gurunya itu juga menjadi gurunya siauwkongtia. Ia tertawa
dalam hatinya untuk kejenakaannya guru ini.
Memang, ketika Tan Hong lewat di Kunbeng ini, kebetulan
ia lihat Bhok Lin yang bagus bakatnya, ia suka bocah itu,
dengan sendirinya ia ajukan diri sebagai guru, ia ambil orang
sebagai calon murid. Ia tahu tentang keruwetan di antara
pemerintah dan suku bangsa Pek dari Tali, dengan mengambil
Bhok Lin sebagai murid, ia mengandung sesuatu maksud.
Bhok Kokkong sendiri tidak ketahui, guru puteranya itu adalah
Thio Tan Hong yang kenamaan itu, ia cuma ketahui orang
terpelajar dan halus budi pekertinya. Cuma satu bulan Tan
Hong berdiam sama muridnya itu, ia pergi dengan tergesagesa,
hingga Bhok Kongtia menyayanginya. Kongtia mengenali
Tan Hong setelah Yang Cong Hay tunjuki dia gambar orang.
Mulanya ia kaget dan merasa sulit. Ia bersangsi untuk
mengakui Tan Hong itu, sebaliknya, untuk menyangkal, ia
juga tidak berani, sebab ia kuatir Tan Hong nanti tertawan
Cong Hay dan anaknya pastilah akan terembet-rembet. Untuk
sementara, ia mengambil putusan akan mengitungi dulu hal
Tan Hong itu. Ia mengharap-harap Tan Hong tidak akan
memperkenalkan diri, dengan begitu ia percaya Cong Hay
tentu akan memandang kepada mukanya. Di luar dugaannya,
sekarang Tan Hong munculkan dirinya.
Tan Hong menyentil dengan jari tangannya, matanya
melirik ke arah si orang kebiri.

699
"Lauw Kongkong," tegurnya, "semenjak kita berpisahan,
apakah kau ada banyak baik? Kota Kunbeng bagaikan musim
semi seluruh tahun, di sini meminum arak sambil memandangi
sang bunga, sungguh menarik hati, beda seperti langit dengan
bumi dengan negara Ouw yang banyak saljunya!..."
Orang kebiri she Lauw ini memanglah si thaykam yang
tempo hari kaisar Kie Tin ditahan di Tobokpo ada bersama
kaisarnya itu, maka bersama-sama rajanya pernah ia merasai
penderitaan di negara asing. Itu juga sebabnya kenapa dia
sekarang dapat kepercayaannya Kie Tin. Tentu sekali ia kenal
baik si mahasiswa.
"Sebenarnya apakah maksudmu, Thio Sinshe ?" dia
bertanya.
"Sri Baginda pelupaan, aku tidak sangka kongkong
pelupaan juga!" berkata Tan Hong. "Lauw Kongkong, kalau
nanti kau pulang ke kota raja, tolong kau tanya Sri Baginda, ia
masih ingat atau tidak pembilanganku terhadapnya tempo kita
masih berada di negara Watzu. Aku maksudkan itu jubah kulit
rase? Mungkin Sri Baginda sudah membuang jubah itu..."
Selama Kie Tin dalam penjara, Tan Hong pernah
menjenguknya dan ia dihadiahkan baju kulit itu untuk
melawan hawa dingin. Ketika baju dipersembahkan, Lauw
Thaykam melihatnya sendiri, dia menjadi saksi utama.
Sekarang, mendengar perkataannya Tan Hong, dia bungkam.
"Ah, Thio Sinshe sudah mabuk!" berkata Bhok Kongtia,
yang masih hendak bersandiwara.
Tan Hong mengangkat satu cawan besar, ia menenggak
isinya, terus ia tertawa.

700
"Di dalam Li Sao-nya, Khut Goan menyesali diri, siapa tahu,
dunia melupai segala apa, cuma sendirilah yang tetap sadar!"
katanya melenggak, "Haha! Aku kuatir, yang mabuk itu
bukannya aku hanya Sri Baginda sendiri begitu-pun kamu
sekalian!"
Kata-kata ini membuatnya orang kaget, hingga muka
mereka berubah, tetapi Tan Hong sendiri, dia tetap tenangtenang
saja. Dia bicara secara wajar sekali. Katanya pula:
"Aku kuatir Sri Baginda dan Lauw Kongkong telah
melupakan semua-mua! Sebenarnya peristiwa lama itu tak
selayaknya ditimbulkan pula akan tetapi menyebutkan itu pula
sungguh besar faedahnya! Aku ingat dahulu hari itu tatkala Sri
Baginda mengutus In Conggoan bersama aku menyambut Sri
Baginda pulang ke negeri, itu waktu Sri Baginda telah
mengangkat sumpah bahwa asal dia dapat kembali naik di
atas takhta, ingin dia menjadi kaisar bijaksana seperti Kaisarkaisar
Giauw dan Sun. Maka sungguh tidak disangka sekali, Sri
Baginda mendapatkan kembali takhtanya belum sepuluh hari,
dia sudah lantas menghukum mati pada Ie Kokloo. Orang
yang dengan sendirinya menggempur Tembok Besar, siapa
berani tanggung dia tidak akan mengalami penderitaan yang
kedua kali di Tobokpo? Tidakkah dengan begitu dia
membuatnya dingin hatinya menteri-menteri setia serta orangorang
gagah perkasa? Haha, Bhok Kokkong, bukannya aku
bergurau! Siauwkongtia telah membangun kuil menghormati
Ie Kokfoo, tentang itu bukanlah aku yang merencanakan, itu
disebabkan dia telah mendengar ceritaku tentang riwayat Ie
Kokfoo itu, dia menjadi sangat ketarik hatinya, dia
membuatnya itu! Cobalah kamu menanya dirimu sendiri,
orang setia dan besar nyali sebagai Ie Kokloo itu, menteri
besar yang membangun negara, setelah dia menutup mata,
tak tepatkah dia menjadi malaikat ? Maka jikalau kamu berani
membongkar kuilnya dan merusak patungnya, yang hendak
dibakar, aku kuatir sekali, langit dan bumi nanti tak dapat

701
menem-patkanmu dan manusia dan malaikat-malaikat bakal
bergusar karena-nya”
Hatinya Bhok Kongtia berdebaran, kaki tangannya
bergemetaran. Hebat kata-kata itu, yang membuatnya cemas
hatinya. Di sebelah itu, semangatnya pun terbangun
sendirinya. Memang, perbuatannya raja menghukum mati
kepada Ie Kiam sudah me n dat angk a n penasaran dan
gusarnya semua menteri setia, cumalah mereka tidak berdaya.
Maka kata-katanya Tan Hong ini seperti mewakilkan mereka
mengutarakan penasarannya yang terpendam itu.
Selang sekian lama barulah Lauw Kongkong dapat
menetapkan hatinya.
"Kata-kata menghasut!" gerutunya.
Bhok Kokkong pun berkata: "Lekas pimpin Thio Sinshe
keluar, tolongi dia supaya diperiksa kesehatannya oleh
thabib!"
Tan Hong bersenyum ewah.
"Ya, kata-kata menghasut!" katanya nyaring. "Ketahui
olehmu, jikalau sekarang ini kamu tidak mengijinkan aku
mengucapkan kata-kataku, maka siapa berani menyentuh
tubuhku sekali saja, jangan menyesalkan aku apabila aku tidak
memandang-mandang lagi!"
Tapi Hong Giam Toojin gusar.
"Kau makhluk apa?" tegurnya. "Berani kau kurang ajar di
sini?"
"Kau sendiri makhluk apa?' Tan Hong balik menegur. Dia
tertawa lebar. "Raja sendiri tidak nanti berani menegurku

702
secara begini! Kau berani berlaku kurang ajar? Aku Thio Tan
Hong, tidak pernah aku mengubah she dan namaku!
Sekarang, mau apa kau?'
Bhok Kokkong kaget sekali mendengar orang
memperkenalkan diri, mukanya menjadi
sangat pucat. "Celaka, celaka..." Ia mengeluh dalam
hatinya.
Selagi raja muda ini bingung bukan main. Yang Cong Hay
sebaliknya tertawa berkakak.
"Yang Congkoan, kenapa kau tertawa?" tanya Bhok Kongtia
heran, hatinya cemas.
"Hawa hari ini buruk, mungkin Thio Sinshe ini terganggu
urat syarafnya!" kata orang yang ditanya. "Thio Tan Hong itu
bersama-sama aku adalah dua di antara ke empat ahli pedang
terbesar di jaman ini, bagaimana hebat ilmu kepandaiannya!
Tapi sinshe ini adalah cuma seorang mahasiswa yang lemah
gemulai haha! bagaimana dia berani aku diri sebagai Thio
Tan Hong? Tidakkah ini sangat lucu?"
Sengaja Cong Hay berkata begini. Ia tahu siapa Tan Hong
tetapi ia menelad Bhok Kongya , hendak ia membantu
melindungi orang bangsawan ini. Jadi perbuatannya itu sama
dengan perbuatan Bhok Kongya melindungi Sin Cu.
Tan Hong berpaling kepada congkoan itu, matanya dibuka
lebar.
"Kaukah Yang Cong Hay?" tanyanya tertawa dingin.
"Memang ialah Yang Tay jin congkoan dari istana," Bhok
Kokkong mendahului menjawab.

703
"Aku tidak peduli congkoan bukan congkoan!" kata Tan
Hong keras. "Yang Cong Hay, hendak aku tanya kau, siapa
gelarkan kau kiamkek?"
"Kiamkek" ialah ahli pedang. Cong Hay termasuk satu di
antara empat kiamkek terbesar.
"Ah," sahut congkoan itu, “Itulah gelaran yang diberikan
kaum kangouw yang melihat mata padaku. Thio Sinshe,
pertanyaan ini barulah pantas kalau dimajukan oleh Thio Tan
Hong."
Tan Hong tertawa lebar.
"Tidak salah!" katanya. "Aku justeru hendak menanyakan,
kau ada mempunyai kepandaian apa? Apakah kau tepat untuk
direndengkan denganku sebagai salah satu dari empat
kiamkek terbesar? Haha! Aku lihat kaulah si kiamkek tetiron!"
"Kau masih hendak memalsukan dirimu Thio Tan Hong?"
menegaskan Cong Hay. Ia tidak takut. Ia lawan ejekan
dengan ejekan.
"Baiklah! Karena kau mengaku dirimu Thio Tan Hong, kau
mesti memperlihatkan satu atau dua jurus kepandaian silatmu
dengan pedang!"
"Tidak salah!" Hong Giam Toojin menimbrung. "Jikalau kau
dapat mengalahkan pedang di tanganku barulah suka aku
mengakui kau sebagai Thio Tan Hong!"
Imam ini membantui keponakan muridnya itu mengejek.
"Haha, jangan repot, jangan repot!" Tan Hong tertawa. Ia
ada sabar luar biasa hingga ia tidak mempan ejekan. "Aku

704
mesti mengajar adat dulu kepada ini kiamkek tetiron si
manusia tidak tahu malu! Yang Cong Hay, jikalau kau bisa
melayani aku sepuluh jurus banyaknya, aku nanti membiarkan
kau dipandang sebagai salah satu kiamkek terbesar!"
Cong Hay tidak takut. Ia mengandal kepada paman
gurunya itu, yang ada bersama dengannya, cuma ia menyesal,
siasatnya gagal. Sebenarnya ia ingin paman gurunya itu yang
segera turun tangan, siapa tahu, Tan Hong desak ia hingga di
pojok. Mau atau tidak, ia berkuatir juga. Tapi ia dapat
menungkuli diri. "Biarnya Thio Tan Hong sangat liehay,
mustahil aku tidak dapat melayani ia selama sepuluh jurus?"
Maka ia menebalkan kulitnya.
"Baiklah!" sahutnya. "Silahkan sinshe yang turun tangan
lebih dulu! Sinshe adalah guru sekolah di istana kokkong ini,
aku pun paling menghormati anak sekolah, karena sinshe
mempunyai kegembiraanmu, suka aku menemaninya. Hanya
hendak aku menegaskan, batas kita adalah batas saling towel
saja, supaya kita tak usah menyebabkan hati kongtia menjadi
tidak aman..."
Cong Hay seperti mengalah, ia seperti tetap memandang
orang adalah guru sekolah yang terhormat, sedang
sebenarnya ia mencoba untuk mengikat persahabatan...
"Sudah, jangan ngoceh sajah!" Tan Hong membentak.
"Hunuslah pedangmu!"
Cong Hay sudah lantas menghunus pedanguja, ia lompat
ke gelanggang.
Sin Cu segera menghunus juga pedangnya, pedang
Cengbeng kiam, untuk diangsurkan kepada gurunya. "Suhu,
pedangmu!" katanya.

705
Guru itu tertawa.
"Untuk melayani binatang ini perlu apa menggunai
pedang?" sahutnya. Ia bertindak ke tepi pengempang di mana
ada beberapa pohon yangliu, dari sebatang cabangnya yang
meroyot turun, ia potes satu tangkai, kemudian ia balik
kembali, tindakannya tenang.
"Yang Toacongkoan, inilah ketikanya yang paling baik
untuk kau mengangkat namamu!" ia berkata. Sekarang ia
menyebut-nyebut pangkat orang. "Asal kau dapat melayani
cabang yangliu-ku ini sepuluh jurus, pastilah sudah kau dapat
menduduki terus tempatmu sebagai salah satu dari empat
kiamkek terbesar!"
Semua hadirin terperanjat saking heran, dan semua
pahlawannya Bhok Kokkong mementang lebar-lebar mata
mereka. Umumnya mereka mendapat kesan Thio Tan Hong
terlalu jumawa.
Bhok Kokkong tidak tenang hatinya karena ia melihat
wajahnya Yang Cong Hay seperti diliputi hawa pembunuhan,
tangannya yang memegang pedang bergerak-gerak
bergemetaran. Ia berpikir: "Bukankah Thio Tan Hong lagi
hendak mengantarkan jiwanya?" Ia merasa berkasihan
terhadap guru puteranya itu. Tapi ia tetap membungkam.
Karena Cong Hay hendak melindungi padanya, ia anggap
biarlah ia tidak campur bicara lagi.
Ketika itu kedua jago sudah berdiri berhadapan, Tan Hong
angkat cabang yangliu-nya dengan apa ia mengebuti debu di
pakaiannya.
"Sin Cu, kau tolongi aku menghitung!" kata ia pada
muridnya itu. Ia bicara sambil tertawa.

706
"Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," kata pula Tang
Hong. "Yang pertama ialah 'Memecah Bunga Mengebut
Yangliu1, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua
ialah 'Phang Ie Memukul Tambur, untuk mengarah
tenggorokanmu. Yang ketiga ialah 'Bianglala Putih Menutupi
Matahari', langsung menikam dadamu!"
Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan
muridnya, Tan Hong mulai penyerangannya dengan
menggunai cabang pohon yangliu.
Cong Hay mendongkol bukan main. Biar bagaimana, untuk
belasan tahun ia telah menerima baik gelaran salah satu
empat kiamkek besar. Pula ia adalah congkoan dari istana
kaisar. Tapi sekarang ia dipandang tak mata oleh Tan Hong.
Maka kegusarannya membikin ia melupakan jeri hatinya.
Walaupun Tan Hong mencekal Cengbeng kiam, ia masih tidak
takut, hendak ia mengadu jiwa, apapula sekarang orang
memegang hanya sebatang yangliu. Mendadak ia menggeraki
pedangnya, dengan jurusnya "Membiak mega untuk
mengendalikan kilat." Menggetar dan berbunyi pedangnya itu
disebabkan bekerjanya tenaga dalamnya.
"Cuma luarnya saja, dalamnya tak terisi!" kata Tan Hong
tertawa, Dan ia tidak menggeraki kakinya untuk menyingkir
dari tikaman yang nampaknya sangat dahsyat itu, ia
melainkan menggeser sedikit tubuhnya, hingga ujung pedang
lewat di tempat yang kosong. Selagi tubuhnya menggeser,
tangannya tidak berdiam saja, cabang yangliu diangkat,
dipakai menikam ke depan, ke arah muka si penyerang.
Aneh cabang yang lemas itu, karena dikerahkan, lantas
menjadi lempang dan kaku dan juga mengasi dengar suara
keras.

707
Yang Cong Hay kaget tidak kepalang, mau atau tidak, ia
berkelit mundur. Untuk pertama kali ia merasakan liehaynya
lawan ini.
"Jurus yang pertama!" Sin Cu berteriak, nyaring tapi halus.
Dia pun mengasi dengar tertawa yang empuk.
Cong Hay mundur sambil menangkis, habis itu ia
memperbaiki dirinya. Segera ia didesak, datanglah jurus yang
kedua. Ia menjadi repot sekali, lagi-lagi ia berkelit. Belum
sempat ia membalas, datang pula jurus yang ketiga. Dan Sin
Cu saban-saban membacakan itu dengan keras.
Biar bagaimana, congkoan ini ada satu jago. Di jurus ketiga
itu, habis membela diri. Ia mencoba membalas menyerang. Ia
tetap ada muridnya satu guru yang liehay, tidak terlalu
gampang untuk merobohkan dia.
Menghindarkan diri dari penyerangan pembalasan itu, Tan
Hong tidak berkelit, ia hanya menyingkirkan ujung pedang
lawan dengan mengetok belakang pedang orang hingga Cong
Hay merasakan telapak tangannya tergetar dan sakit,
pedangnya pun terpental, syukur tidak sampai terlepas dari
cekalan-nya.
"Kali ini boleh juga," kata Tan Hong sambil tertawa,
"melainkan penjagaannya, walaupun rapat tetapi masih ada
lowongannya, maka ini tak dapat disebut jurus yang liehay.
Sekarang kau lihatlah lanjutannya tiga jurusku lagi!"
Ketika itu Sin Cu sudah menghitung hingga jurus yang ke
lima.
"Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," berkata pula Tan
Hong. "yang pertama ialah Memecah Bunga Mengebut
Yangliu, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua

708
ialah Phang Ie Memukul Tambur, unuk mengarah
tenggorokanmu. Yang ketiga ialah Bianglala Putih Menutupi
Matahari, langsung menikam dadamu!"
Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan
muridnya, Tan Hong mulai dengan penyerangannya. Cong Hay
boleh merasa beruntung yang ia telah diberi petunjuk dulu.
Serangan yang pertama dapat ia halau, begitu-pun yang
kedua. Ia menggunakan tipu silat "Secara main-main
membagi emas" dan "Tapalan pintu besi." Untuk ini ia
menggunakan kecepatan dan tenaganya yang besar. Untuk
yang ketiga, karena tidak dapat memikirkan jalan lain, ia
menggunakan tipu silat "Kilat dan guntur saling menyambar."
Inilah serangannya yang terhebat, dengan maksudnya
membabat putus senjata cabang yangliu di tangan lawan itu.
Untuk ini ia bersedia bersama-sama rugi andaikata lawan
dapat menggunakan siasat lain.
Sin Cu pun dengan beruntun menyebutkannya: "Ke enam!
Ke tujuh! Ke delapan! Ah, sayang, sayang! Coba suhu tidak
menyebutkannya lebih dulu, pasti dia tidak dapat
menyambutinya... Sekarang tinggal dua jurus lagi, maka kalau
Yang Cong Hay berlaku nekat, tidak nanti dia dapat
dirobohkan dalam sepuluh jurus ..."
Selagi nona ini melamun, mendadak ia berhenti dengan
kaget. Tiba-tiba saja ia mendengar suara sangat keras, dari
terdobrak-nya jendela, di mana terlihat melayangnya satu
tubuh manusia, kaca jendela pecah hancur, air empang
berbunyi berdeburan, airnya muncrat ke segala penjuru.
Sebab tubuh Congkoan dari istana yang besar itu telah
tercebur, mandi di pengempang itu!
Dengan menggunakan pukulannya "Kilat dan guntur saling
menyambar," Yang Cong Hay sudah mengerahkan tenaganya
sepenuhnya. Di luar dugaannya, ia menyabet tempat kosong.

709
Cabang yangliu lawan seperti lenyap tidak keruan paran. Atau
tahu-tahu tubuhnya terlibat cabang itu, lalu terangkat,
kemudian di luar segala kesadarannya, tubuhnya itu
terlempar, mendobrak jendela, terus nyemplung di air!
Tan Hong lantas tertawa.
"Dapat melepas dapat menarik, itu namanya mendekati
Tao!" ia berkata. "Begitu juga ilmu silat! Eh, Sin Cu, jurus ini
jurus yang ke berapa?"
"Jurus yang ke sembilan!" sahut Sin Cu setelah ia
mengeluarkan napas lega. Sungguh-sungguh ia tidak
menyangka.
Tan Hong menghampirkan jendela, untuk berkata: "Yang
Cong Hay, kau dengar! Semenjak hari ini dan seterusnya, aku
melarang kau menyebut lagi dirimu kiamkek yang terbesar!"
Hong Giam Toojin merasakan tubuhnya dingin tidak
keruan, tetapi ia majukan dirinya. Ia berlompat.
"Mari aku belajar kenal dengan Hian Kie Kiamhoat!" ia
berkata. Ia melihat kehebatan orang tetapi ia penasaran.
Bahkan segera ia menggunakan sepasang sumpit di
tangannya untuk menjepit cabang yangliu di tangan Tan Hong
itu.
Hong Giam ini ada sutee, yaitu adik seperguruan, dari Cie
Seng Cu. Dipadu umurnya dengan Hian Kie Itsu, ia ada
terlebih muda dua puluh tahun, akan tetapi bicara tentang
tingkat atau derajat, dia seimbang sama Hian Kie Itsu itu,
maka dipadu dengan Tan Hong, ia lebih tinggi dua tingkat,
karenanya, malu ia melawan orang dari tingkat lebih muda
dengan menggunai pedang. Bahwa ia telah menggunai

710
sepasang sumpit, itu pun karena ia ingin menguji tenaga
dalam dari orang she Thio ini.
Tan Hong tertawa.
"Yang muda tidak maju, yang tua muncul?" katanya
menggoda. Ia menggeraki tubuhnya, ia menggeser cabang
yangliu-nya.
Hong Giam Toojin menyangka orang hendak menyingkirkan
diri, ia menjepit pula, untuk mana ia mengerahkan tenaganya.
Justeru itu, Tan Hong berseru: "Tukarlah dengan pedang!"
Sin Cu tidak melihat, tipu apa yang gurunya gunakan, tahutahu
ia tampak sepasang sumpit di tangannya Hong Giam
sudah terlepas dari tangannya dan mencelat ke luar jendela,
jatuh di empang!
Tenaga dalam dari Tan Hong seimbang dengan tenaga
dalam dari si imam, kalau ia toh dapat mempermainkan imam
itu, inilah disebabkan setelah pertempurannya sama Yang
Cong Hay, ia dapat mengenal baik ilmu silatnya lawan ini dan
kebetulan saja, si lawan temberang, maka ia menggunai cacad
orang itu untuk keuntungannya.
Ketika itu Cong Hay sudah merayap naik dari empang,
pakaiannya kuyup basah. Ia meng-hampirkan paman gurunya
untuk segera mengangsurkan pedangnya. Ia kata: ” Susiok,
silahkan pakai pedang ini!"
Bahwa Cong Hay hebat, itu telah terbukti. Walaupun ia
terlempar dan tercebur, pedangnya tak lepas dari cekalannya
itu. Jikalau ia ada orang lain, entah ke mana sudah
terbangnya senjatanya itu.

711
Hong Giam berdiri menyeringai. Ia telah menganggap
derajatnya sudah tinggi sekali, sudah semenjak berberapa
tahun ini ia tidak pernah menggunai pedang, maka adalah di
luar dugaannya, sepasang sumpitnya kena diterbangkan orang
malah orang yang tingkat derajatnya jauh terlebih rendah itu.
"Silahkan menggunai pedang, susiok." Cong Hay berkata
pula.
Walaupun ia mengasi dengar ejekan "Hm!" imam ini toh
menyambuti pedang keponakan muridnya itu. Ketika ia
mengawasi kepada Tan Hong, ia dapatkan orang tengah
menggunai cabang yangliunya mengebuti pakaiannya,
sikapnya tenang sekali. Ia menjadi mendongkol, ia merasakan
kulit mukanya panas.
"Tan Hong, kau menukarlah dengan pedang!" katanya.
Inilah yang pertama kali si imam menyebut nama Tan
Hong, maka itu, berubah wajah Bhok Kokkong yang
mendengar panggilan orang itu.
"Bagus!" Tan Hong tertawa. "Sekarang kau tidak lagi
mengatakannya aku telah memalsu nama orang! Sin Cu, kau
tolongi aku memotes lagi setangkai cabang yangliu!"
Si murid lincah sekali, cepat ia mengerjakan titah gurunya
itu.
Dengan menyekal sepasang cabang yangliu, Tan Hong
bersenyum.
"Hong Giam Toojin ," ia berkata, tenang, "kau adalah
sutee-nya Cie Seng Cu, jikalau aku menggunakan cuma
sebatang yangliu, itulah kurang hormat dari pihakku, maka
sekarang aku memakai sepasang batang untuk melayani

712
pedangmu yang panjang. Dengan begini kita menjadi tidak
kipa!"
Dengan kata-katanya itu, Tan Hong cuma main resmiresmian.
Cabang yangliu mana dapat dibanding dengan
pedang? Sengaja ia mau angkat dirinya tetapi pun berbareng
mengangkat juga si imam...
Hong Giam berdiam, cuma hatinya tegang sekali. Ia mesti
dapat menguasai dirinya. Tapi toh ia tak dapat bungkam lamalama.
"Bocah, kau tidak tahu aturan! Lihat pedang!" ia
membentak berbareng menikam.
Thio Tan Hong tertawa.
"Loocianpwee, tikamanmu ini tidak kecelaannya!" katanya.
"Dibanding dengan keponakan muridmu, kau ada terlebih
tinggi satu tingkat!"
Itulah pujian tercampur sindiran. Dan kata-kata itu
dikeluarkan berbareng dengan gerakan cabang yangliu di kiri
dan kanan, dilintangkan satu dengan lain.
Hong Giam terperanjat. Sederhana nampaknya serangan
lawan ini tetapi sebenarnya berbahaya. Kalau ia membabat
yangliu yang kiri, iga kanannya sendiri lowong, kalau
sebaliknya, iga kirinya yang kosong. Karena itu terpaksa ia
mengundurkan dirinya, untuk membuat pembelaan saja.
Tentu sekali ia dapat membela diri dengan baik sekali, karena
tidak percuma ia telah dididik kakak seperguruannya.
“Loocianpwee," kata pula Tan Hong, tetap sambil tertawa,
"dengan ini satu gebrak saja maka terlihatlah sudah hasilnya
latihanmu beberapa puluh tahun. Kau telah memperoleh

713
rahasianya kemahiran ilmu silat, hanya sayang, kau baru saja
masuk sampai di ruang pendopo, kau belum lagi masuk ke
dalam kamar, maka baiklah kau pulang untuk belajar terlebih
jauh dengan kakak seperguruanmu, mungkin kau nanti dapat
men-ciptakan suatu partai tersendiri! Sungguh, loocianpwee,
aku menaruh pengharapan besar terhadapmu!"
Kembali pujian yang terselip ejekan yang terlebih hebat,
mirip dengan guru yang tengah mengorek-ngorek kesalahan
dalam buah kalam muridnya.
Hong Giam merasakan dadanya hampir meledak, sebisabisa
ia mengendalikan diri.
Sebagai satu jago, satu ahli, ia menginsafinya baik-baik, di
waktu bertanding, tidak boleh ia mengumbar hawa marahnya.
Ia berlaku waspada sekali terhadap sepasang batang yangliu
lawannya ini, yang tidak dapat dipandang ringan.
Sebentar saja, tiga puluh jurus sudah berlalu. Sepasang
cabang yangliu-nya Tan Hong bergerak-gerak lincah mirip
sepasang naga tengah bermain-main, setiap serangannya
senantiasa di luar dugaan. Hong Giam menggunai sebatang
pedang yang panjang, ia masih kewalahan, ia cuma dapat
menangkis, tidak bisa ia membalas menyerang, dari itu
dengan sendirinya pengaruh lingkaran pedangnya itu makin
lama menjadi makin ringkas, hingga dengan sendirinya si
imam bagaikan kehilangan pengaruhnya.
Menyaksikan kepandaian gurunya itu, Sin Cu sadar. Ia
barulah insaf kefaedahan dari Siangkiam Happek, gabungan
sepasang pedang dari Hian Kie Kiamhoat. Ilmu itu nyata dapat
digunakan tidak cuma oleh satu pasangan, wanita dan pria,
juga dapat oleh satu orang sendiri yang mengandal kepada
kedua tangannya. Pula ini membuktikan liehaynya Tan Hong.

714
Mungkin Hian Kie Itsu sendiri tidak sanggup menciptakan ilmu
permainan sendiri itu.
Ketika dulu hari Hian Kie Itsu menurunkan ilmu silat
pedangnya itu, ia cuma mewariskan kepada dua muridnya
tersayang, Cia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, yang masingmasing
diajarkan sebagian, separuh saja, kemudian Thian Hoa
mewariskan pada Tan Hong dan Eng Eng kepada In Lui, juga
seorang separuh, supaya mereka dapat menggabungkan itu,
murid dan cucu murid itu berempat telah terbukti, tidak ada
tandingannya. Sekarang, Tan Hong mainkan itu sendiri saja.
Inilah hasil kecerdasan dan keulatannya sesudah ia menikah
sama In Lui, karena seorang diri terus ia melatih diri dan
memahamkan. Maka tidak sia-sialah cape lelahnya itu. Ini pula
sebab kenapa Tan Hong berani melayani Hong Giam yang
bersenjatakan pedang dengan dua batang yangliu.
Lagi kira tiga puluh jurus, Hong Giam tetap cuma mampu
membela diri. Hanya sekarang, napasnya mulai memburu
keras, sampai itu dapat didengar oleh para hadirin.
Yang Cong Hay senantiasa memasang mata, ia dapat
mengarti suasana yang buruk itu untuk pihaknya. Kalau ia
tidak segera bertindak, mungkin paman gurunya itu
menghadapi bahaya. Maka lantas ia bekerja. Paling dulu ia
merampas sebatang pedang dari tangannya satu pahlawan,
setelah itu, ia berseru: "Si penghianat telah terbukti
kesalahannya, maka hayolah bekuk dia, jangan membuangbuang
tempo lagi!"
Menimpali seruan itu, dari luar ruang muncul belasan orang
dengan senjata mereka lengkap, pakaian mereka tak rata, ada
yang sebagai pahlawan, ada yang seperti imam. Sebab
mereka ada murid-muridnya Cie Seng Pay yang dipimpin Hong
Giam Toojin. Sengaja mereka di tempatkan di luar ruang, oleh
karena mereka dianggap tidak berderajat untuk duduk

715
bersama Bhok Kokkong. Mereka cuma dipesan untuk selalu
siap sedia, buat maju begitu lekas ada pertanda. Di luar,
mereka ditemani oleh sejumlah pahlawannya tuan rumah,
Semuncul-nya mereka, lantas mereka memernahkan diri,
hingga ruang jadi terkurung rapat.
Bhok Kokkong tidak puas tetapi ia tidak bisa berbuat suatu
apa, terpaksa ia berdiam saja, menonton sambil ia dilindungi
beberapa pahlawannya.
Yang Cong Hay pun memberi tanda kepada orangorangnya
itu, untuk bersiap sedia. Kemudian Hong Giam
Toojin berlompat maju, untuk mengambil kedudukannya di
tengah-tengah.
Tan Hong bersenyum, kembali ia menggunai cabang
yangliu-nya untuk mengebuti bajunya. Kemudian dengan
sabar barulah ia berkata: "Sudah lama aku mendengar kabar
perihal barisan pedang dari Cie Seng Pay, bahwa barisan itu
liehay sekali, baru sekarang aku dapat menyaksikannya,
sungguh aku merasa sangat berbahagia!"
Yang Cong Hay berdiam saja walaupun ia diejek. Ia hanya
menantikan tanda dari paman gurunya untuk turun tangan
mengepung musuhnya itu.
Tan Hong pun tidak memperdulikannya lebih jauh, ia hanya
menoleh kepada muridnya. Ia tertawa ketika ia berkata:
"Pertempuran kali ini sedikitnya akan memakan waktu
setengah jam, karena tidak ada perlunya untuk kau berdiam di
sini, pergi kau berangkat lebih dulu. Jikalau kau bertemu sama
Hek Pek Moko, sampaikanlah pengharapanku agar mereka tak
kurang suatu apa! Kau tidak usah menantikan aku, jangan kau
mencari, hanya kau boleh berangkat lebih dulu ke Tali. Paling
lambat selang satu dua hari aku akan dapat susul kamu!"

716
Tenang bicaranya Tan Hong, meskipun barisan musuh
berbahaya, ia seperti tak memperdulikannya.
Sin Cu menjadi serba salah. Sebenarnya tidak puas ia
meninggalkan gurunya, sedikitnya ingin ia menyaksikan
pertempuran guru itu. Tapi ia cerdas, mesti ada perlunya
kenapa gurunya menitah ia pergi. Di sana pun ada Hek Pek
Moko, dan ia perlu mencari mereka itu untuk diajak pulang
bersama. Maka ia terpaksa menurut. Katanya: "Baiklah, suhu,
muridmu akan berangkat lebih dulu."
Ia menghunus pedangnya, untuk berlalu. Orang semua siap
sedia, ia pun ingin bersiap. Tapi Tan Hong tertawa.
"Kau simpan pedangmu, anak!" katanya.
"Jangan kau membuatnya mereka kaget hingga nanti
mengganggu barisan pedang mereka ini."
Dengan barisan pedang itu dimaksudkan " kiam tin."
Sin Cu heran hingga ia melengak. Bukankah hebat
pengurungan musuh itu? Mungkinkah, kapan ia
mengundurkan diri, mereka itu tidak akan menghalanghalangi?
Dengan bertangan kosong, mana dapat ia melawan
belasan musuh itu? Tapi ia percaya gurunya, maka ia masuki
pedangnya ke dalam sarungnya, dengan berani tetapi tenang,
ia bertindak keluar, matanya diam-diam dipasang.
Benarlah kesudahannya, tidak ada satu jua murid Cie Seng
Pay yang berani merintangi, mereka berdiri diam pada
kedudukannya masing-masing, maka ia dapat keluar tanpa
halangan. Umpama kata orang menggaploknya mereka itu,
tentu mereka berdiam terus kecuali ada tanda dari Hong Giam
atau Cong Hay...

717
Tan Hong ketahui liehaynya musuh, ia tidak takut, tetapi ia
tahu, ia mesti menaruh perhatian, maka itu, supaya ia tidak
usah repot memikirkan Sin Cu, ia suruh muridnya itu
mengangkat kaki terlebih dulu. Ia sudah menduga tidak nanti
muridnya itu dihalang-halangi musuh.
Baru saja Sin Cu tiba di gili-gili empang, ia sudah lantas
dengar riuhnya suara bentrokan senjata. Itulah tanda yang
gurunya sudah turun tangan. Ia merandak, ia menoleh, ingin
ia menyaksikan, tetapi di akhirnya, ia mendengar kata, ia
berjalan terus. Dengan siurannya angin, ia merasa hatinya
terbuka. Selama dua hari ia menderita, tetapi bertemu
gurunya, ia girang bukan main. Ia percaya, itulah gurunya
yang sudah menolongi padanya. Sebenarnya ia ingin minta
keterangan pada gurunya itu tetapi ia sudah memasuki kota
dan berada dekat hotelnya.
"Entah bagaimana Siauw Houwcu memikirkan aku,"
pikirnya.
Setahu bagaimana dengan Hek Pek Moko, mereka sudah
tiba atau belum... Ia berjalan terus. Di tembok luar, ia
dapatkan pertandaannya masih ada. Ketika ia masuk ke
dalam, ia bertindak cepat.
"Siauw Houwcu! Siauw Houwcu!" ia memanggil, gembira.
”Suhu datang!"
Dari dalam kamar tidak ada penyahutan. Ia lantas mulai tak
senang.
"Kenapa Siauw Houwcu gemar sekali memain?" katanya.
"Menantikan dua hari saja dia tidak cukup sabar! Dia harus
diajar adat!..."

718
Ia mau menyangka si bocah pesiar ke dalam kota. Ketika ia
menolak daun pintu dan tiba di dalam, ia tercengang. Ia
mendapatkan seperei kusut, tanda seperti Siauw Houwcu
turun dari pembaringan secara kelabakan. Karena tidak mau
memikir banyak-banyak, ia lantas teriaki pelayan rumah
penginapan.
Ketakutan nampaknya ketika si pelayan muncul, belum lagi
ditanya, ia sudah bicara, suaranya tidak lancar. Katanya:
"Kami dari pihak rumah penginapan, kami cuma mengurus
tempat tinggal dan makanan tetamu, kalau ada barang yang
hilang, kami tidak bertang-gungjawab..."
"Apa? Barang hilang?" tanya Sin Cu heran.
"Di kota Kunbeng ini sudah lama tidak ada perampok atau
pencuri," berkata si pelayan, menyahuti tak langsung, "maka
sungguh lacur, kali ini kejadian justeru pada pemondokan
kami ini. Inilah di luar dugaan. Apakah nona ingin majikan
kami turut nona pergi mengajukan laporan kepada pembesar
negeri?"
Sin Cu jadi heran sekali.
"Sudah, jangan banyak omong!" meme-gatnya. "Penjahat
sudah curi barang apa kepunyaanku?"
"Penjahat telah curi kuda putihmu, nona..."
Nona Ie kaget bukan main.
"Orang telah curi kudaku?" ia menegaskan.
"Benar, nona. Sekarang adikmu tengah mengejar penjahat
itu..."

719
Tanpa menanya lagi, bagaikan angin puyuh, Sin Cu lari ke
istal. Di sana tidak ada Ciauwya Saycu ma, kudanya yang
jempolan itu. Ia lari keluar, lari terus hingga beberapa lie. Ia
mendapat kenyataan, tapak kaki kudanya lenyap di luar kota
itu. Ia berdiri diam sekian lama, lalu lekas-lekas ia kembali ke
hotel. Pelayan penginapan masih berdiri menanti di istal,
hatinya berkuatir. Ia takut nanti dimintai penggantian kerugian
kuda jempolan itu...
"Orang macam apa pencuri itu?" si nona menanya
kemudian.
Pelayan itu menggeleng kepala.
"Kejadian tadi malam jam empat kira-kira," ia berkata.
"Tiba-tiba kami mendapat dengar teriakannya tuan kecil,
tatkala kami memburu keluar, tuan kecil sudah pergi menyusul
si pencuri kuda, dia lari keras hingga kami tidak dapat
menyusul. Kami cuma tahu tuan kecil tidak sampat merapikan
pakaiannya lagi. Sebentar saja dia lenyap dari pandangan
mata kami."
Sin Cu mencoba menyabarkan diri.
“Inilah heran," pikirnya. "Kudaku itu cuma mendengar
perintahnya suhu dan subo serta aku bertiga. Lain orang
jangan harap dapat menungganginya, tidak segala pencuri
biasa! Mungkinkah dia liehay sekali? Tidak, tidak! Tidak nanti
Ciauwya Saycu ma menyerah kepada siapa pun! Buktinya,
larinya pun tidak kacau? Mustahilkah subo yang datang
sendiri? Tapi tidak nanti subo bergurau denganku! Suhu pun
tak mungkin, suhu berada di kokkonghu. Siapa orang di
kolong langit ini mampu mencuri kudaku itu dan dapat
membikin kuda itu menurut saja?"

720
Pecah rasanya otak si nona, tidak juga ia dapat menerka
jitu.
"Nona Ie, kau berniat mengajukan pengaduan atau tidak?"
pelayan penginapan mengulangi pertanyaannya tadi.
"Apa yang hendak diadukan?" sahut si nona, mendongkol.
"Hanya, aku lagi pikirkan, bagaimana caranya untuk
mengejar si pencuri itu..."
"Tetapi, nona, jangan kau gelisah," kata pelayan itu, "Benar
kau kehilangan kudamu
tetapi ada seorang yang meninggalkan kuda lain
untukmu..."
Sin Cu heran. "Apa kau bilang?" tanyanya. "Siapa orang
itu?"
"Dua orang bangsa asing," sahut si jongos. "Mereka ada
pria dan wanita, pakaiannya mewah, bicaranya dengan lidah
Inlam. Mereka berlalu belum lama. Mereka mengatakan kenal
kau, nona, waktu mereka dengar nona kehilangan kuda,
mereka lantas menitipkan kudanya itu."
Sin Cu lantas menduga pada Toan Teng Khong dan puteri
Iran.
"Siapa lagi yang turut mereka?" ia menanya.
"Mereka cuma berdua. Agaknya mereka dalam kesusu.
Begitu mendapat tahu nona tidak ada di sini, mereka
meninggalkan kudanya dan berangkat dengan lantas."

721
"Mereka dirintangi orang-orangnya kokkonghu, pantas
mereka tidak mau berdiam lama-lama di kota Kunbeng ini,"
Sin Cu kata dalam hatinya. "Kuda yang mereka tinggalkan ada
kuda dari Arabia, inilah lumayan."
Maka ia lantas suruh si pelayan tuntun kuda itu, kemudian
ia lantas lompat menaikinya.
"Ke mana kaburnya si penjahat?" ia tanya.
"Melihat mengejarnya tuan muda, ke selatan," sahut
pelayan itu.
Tanpa membilang apa-apa lagi, Sin Cu kaburkan kudanya
ke arah yang disebutkan itu. Tentu saja ia membuatnya si
pelayan ini heran dan gegetun. Pelayan ini berlega hati bukan
main, sedang tadinya ia ketakutan, kepalanya pun pusing,
takut nanti disuruh mengganti harganya kuda jempolan itu.
Sin Cu mengaburkan kudanya walaupun ia tahu tidak nanti
ia dapat menyandak Ciauwya Saycu ma. Ia mengharap-harap
nanti menemukannya di tengah jalan. Bukankah kudanya itu
tidak suka menurut kecuali terhadap majikannya?
Sore itu ia menumpang bermalam di rumah seorang petani,
besoknya pagi-pagi ia kabur pula. Di tengah jalan ia menemui
beberapa orang, yang gerak-geriknya mencurigai, tetapi
mereka tidak ada bersama Ciauwya Saycu ma, ia
membiarkannya saja. Ia terus kaburkan kudanya sampai satu
kali ia dengar tindakan kaki kuda nyaring di sebelah
belakangnya, apabila ia sudah menoleh, ia dapatkan seorang
penunggang kuda yang muda usianya, matanya besar, alisnya
gompiok, pakaiannya dari cita kasar, romannya mirip petani
yang polos. Dia nampaknya likat dan wajahnya bersemu dadu
ketika si nona mengawasi padanya.

722
"Apakah nona bersendirian saja?" ia menanya.
"Kenapa?" Sin Cu balik bertanya. Ia tidak menyahuti.
"Aku juga bersendirian," kata pemuda itu. "Perjalanan dari
sini ke Inlam Selatan ada tidak aman, aku pikir baiklah kita
jalan bersama, jadi kalau perlu dapat kita saling melindungi.
Bagaimana pikiranmu?"
Sin Cu tidak puas, coba orang tidak bersikap polos, pasti ia
sudah mencambuk.
"Biasanya tak senang aku berjalan bersama-sama lain
orang," sahutnya tawar.
"Terima kasih!" Dan ia jeterkan cambuknya, membuat
kudanya berlompat lari, hingga sesaat kemudian anak muda
itu tak nampak lagi.
"Sungguh aneh," nona kita pikir, ia tertawa di dalam hati.
"Pemuda itu seperti tidak membawa barang berharga, biarnya
tempat tidak aman, dia takuti apa? Mungkinkah romannya
saja polos tetapi sebenarnya dia orang jahat? Fui! Biar dia
jahat, kalau dia tidak ganggu, apa aku perduli?"
Sin Cu kabur terus. Sampai magrib ia masih belum melihat
kudanya. Hatinya mulai dingin. Ia merasa bahwa cara
mencarinya ini tidak tepat.
"Sekarang baik aku menuju langsung ke Tali akan
menantikan suhu di sana," pikirnya kemudian. Ia angkat
kepalanya, memandang ke depan. Ia melihat banyak puncak
bukit.
"Orang bilang tempat yang indah ialah Kuilim, siapa tahu
Inlam pun tidak kalah," ia ngelamun. Ia pernah baca banyak

723
buku dan mengenal ilmu bumi, mendadak ia ingat, bukankah
pemandangan di depannya itu ada dari "Cio Lim" atau Rimba
Batu yang tersohor keindahan dan keanehannya (thian kay ek
keng)? Ia ingat benar, Cio Lim berada di kecamatan Louwlam
di Inlam.5)
Ia lantas melarikan kudanya mendekati rimba batu itu.
Maka ia lihatlah sepotong batu besar yang bagaikan
tergantung di udara dengan empat hurufnya warna merah:
"Thian Kay Ek Keng," di samping mana ada beberapa pujian
umpama "Pemandangan aneh buatan alam" dan "Buah
kerjaan sakti dari kampak hantu." Karena ini ia jadi ingin
pesiar ke dalam rimba batu itu meskipun ia tahu, rimba
istimewa itu katanya mirip dengan barisan Pattin Touw dari
Cukat Bu Houw, ialah keletakan dan jalanannya yang dapat
menyesatkan orang, bisa masuk tak bisa keluar. Ia pikir,
pesiar dulu, baru melanjuti perjalanannya ke Tali. Begitulah ia
mencari rumah satu penduduk, untuk menumpang singgah.
Penduduk situ ada suku bangsa Ie yang ramah tamah,
yang senang mendapat kunjungan tetamu, maka itu, Sin Cu
disambut dengan manis dan dilayani dengan telaten, hingga ia
disajikan makanan yang istimewa yaitu "lengsan," barang
makanan terbuat dari campuran susu kambing atau susu
kerbau. Makanan itu berbau amis tapi Sin Cu paksa dahar juga
beberapa potong. Habis bersantap sore, ia menanya kalaukalau
tuan rumah kenal baik jalanan di dalam rimba batu itu.
"Aku tahu, aku tahu, cuma sekarang jalanan itu tak dapat
dilalui," berkata tuan rumah.
Sin Cu heran, ia menanyakan sebabnya.
"Sebab sekarang di dalam rimba itu berdiam kawanan
penjahat," menerangkan tuan rumah. "Umpama tahun yang
lalu, dua orang Tionghoa masuk ke dalam rimba, selanjutnya

724
mereka tidak pernah keluar pula. Karena itu, kami di sini tidak
ada yang berani memasukinya."
"Begitu?" kata si nona gusar. "Tempat begini luar biasa
menarik, mana dapat penjahat dibiarkan mendudukinya? Kau
antari aku ke sana, nanti aku singkirkan manusia-manusia
jahat itu!"
Tuan rumah menggeleng-geleng kepala dan menggoyanggoyangi
tangannya.
"Tidak bisa, nona," katanya. "Jangan kata nona seorang
diri, sepasukan tentara pun tidak nanti berhasil membasmi
mereka.
Mereka kenal jalanan. Kalau lain orang dia dapat masuk tak
dapat kembali."
Sin Cu mendongkol, tapi sebab tuan rumah takut, ia tidak
mau memaksa.
Malam itu bulan muda baru muncul, Sin Cu keluar dari
rumah untuk menggadanginya. Tuan rumah hendak
menemani, ia menampik. Ia berjalan seorang diri. Ia cuma
dipesan jangan pergi jauh-jauh.
Di luar kampung itu ada sebuah telaga kecil, di tepi situ
pun ada banyak batunya yang munjul tinggi, berbayang di
permukaan air. Juga pemandangan ini cukup merawankan
hati.
Nona ini ingat pembilangan hal adanya Kiam Tie,
Pangempang Pedang, di dalam Cio Lim, maka ia anggap,
pangempang itu pastilah indah sekali. Karena ini tanpa merasa
ia bertindak, berniat memasuki rimba batu itu.

725
Mendadak ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang
belasan tombak di depannya. Ia heran. Di sana ada tanah
datar yang berumput, di sana pun ada beberapa batu munjul
itu. Ke sana dua bayangan itu masuk, akan kemudian disusul
dua yang lain. Dari heran, ia menjadi mencurigai orang jahat.
Maka ia lari ke sana, untuk mengintai. Untuk menyembunyikan
diri, ia naik di atas puncak. Ia lihat beberapa orang, di
antaranya seorang wanita.
"Tang Lootoa, apakah kau merasa pasti?" terdengar
seorang. "Benarkah si titik itu seorang diri?"
Si "titik" ada kata-kata rahasia kaum penjahat,
dimaksudkan orang yang di arah.
"Benar-benar mereka penjahat yang hendak mencelakai
orang," pikir Sin Cu. Maka terus ia mengintai, memasang mata
dan kupingnya.
"Aku tidak salah, dia seorang diri!", jawab si Tang Lootoa
itu.
Sin Cu terus memasang kupingnya, sampai ia terkejut.
"Kalau dia benar bersendirian, jangan kita alpa," terdengar
suara seorang tua, yang nadanya dalam. "Tidak sembarang
orang berani jalan sendirian untuk ribuan lie jauhnya."
Herannya Sin Cu ialah ia seperti mengenal baik suara itu.
Maka ia mengingat-ingat.
"Ah, dialah Lie Ham Cin," si nona akhirnya ingat. Lie Ham
Cin ialah salah satu dari tujuh pahlawan dari istana kaisar,
yang pernah menyateroni Thayouw Sankhung. Dialah yang
dapat lolos dari tangannya Hek Pek Moko, sedang yang
lainnya telah mendapat bagiannya.

726
“Inilah aneh," Sin Cu berpikir lebih jauh. "Aku menyangka
kepada orang-orang jahat biasa, siapa tahu di sini ada turut
campur hamba negeri..."
Tentu sekali, ia menjadi semakin ketarik hati.
"Jangan kuatir, looyacu," kata si wanita. "Kita jangan lawan
dia berterang, kita pancing dia masuk ke dalam rimba batu.
Dia bersendirian, biarnya dia liehay dan mempunyai sayap
untuk terbang, tidak nanti dia lolos!"
"Apakah kau merasa pasti?" Lie Ham Cin menegaskan.
"Tentu! Dengan satu akal, dia pasti bakal kena terpancing."
Sin Cu ingin dengar akal itu, tetapi mereka itu hanya kasakkusuk.
"Benar bagus!" kata Lie Ham Cin tertawa,
"Habis membereskan si titik ini, kita barulah membereskan
juga si budak perempuan!"
"Apakah budak perempuan itu pun si titik yang tangguh?"
si wanita menanya.
"Turut katanya Yang Congkoan, dia telah mewariskan ilmu
pedang gurunya dan senjata rahasianya yang berupa bunga
emas liehay luar biasa," menyahut si orang she Lie.
"Sebenarnya, setiap muridnya Thio Tan Hong pastilah tak
dapat dicelah, pasti dia liehay."
Sin Cu kaget sekali. Jadi ia pun lagi di arah. Hampir ia
merabuh dengan bunga emasnya untuk menghajar
rombongan itu. Baiknya ia dapat menyabarkan diri. Ia

727
menduga-duga, siapa itu si titik, ingin ia mencari tahu. Untuk
ini, ia mesti mengawasi terus gerak-gerik rombongan itu.
"Budak itu mengambil satu jalan bersama si titik, jikalau
kita ketemui mereka berbareng, terhadap siapa kita mesti
turun tangan terlebih dulu?" menanya si wanita.
"Tentu saja si titik lebih dulu!" sahut Lie Ham Cin.
"Mereka tak dapat dikumpul bersama. Sekarang mari kita
bersiap sedia!"
Sin Cu lekas-lekas mengundurkan diri, untuk mengawasi
terlebih jauh. Ia memernahkan diri di tempat tersembunyi di
tepian empang.
Belum terlalu lama, ia melihat gerakan serupa bayangan
memasuki Cio Lim.
"Siapa titik itu?" si nona menduga-duga. "Lie Ham Cin
liehay dan kawannya banyak, mereka masih tidak berani
menempur secara terang-terangan... Mungkin dia terlebih
penting daripadaku..."
Setelah itu, ia berjalan pulang, akan besoknya fajar, belum
langit terang, ia sudah pamitan dari tuan rumah, yang ia beri
alasan hendak lekas-lekas melanjuti perjalanannya. Tapi
sebenarnya ia menyembunyikan diri di luar rimba batu itu.
Ketika matahari sudah naik tinggi, beberapa orang
kelihatan masuk ke dalam rimba, terus mereka lenyap, tidak
terdengar juga suara apa-apa dari mereka. Ia menjadi
bersangsi si titik datang hari itu.
Hampir nona ini meninggalkan tempat sembunyinya tatkala
kupingnya mendengar tindakan kaki kuda, lalu tak lama

728
kemudian, muncullah si penunggang, yang ternyata adalah si
anak muda kemarin, yang mengajak ia jalan bersama. Dia pun
rupanya tertarik keindahan rimba batu itu, dia turun dari
kudanya, sambil menggendong tangan, dia mengangkat
kepala, melihat langit dan sekitarnya.
"Dia nampaknya tolol tetapi dia ketarik sama keindahan
alam," berpikir si nona. Ia mengagumi juga pemuda itu, yang
terang berperasaan halus.
Justeru itu, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita.
Si anak muda kaget, dia berpaling ke arah dari mana jeritan
itu datang. Dia tampak seorang pria, yang romannya bengis,
membawa lari seorang wanita masuk ke dalam rimba. Wanita
itu menjerit-jerit terus dan meronta-ronta kaki dan tangan.
"Culik! Tolong! Culik! Tolong!" demikian teriakan si wanita
berulang-ulang.
Pemuda itu kaget, lalu dia menjadi gusar, maka dia lari
untuk mengubar.
Semua itu terkilas di matanya Sin Cu. Untuk sesaat ia
berdiam, segera ia sadar, si titik itu pastilah ini anak muda.
Karena ini ia berteriak-teriak:
"Jangan kejar! Jangan kejar! Itulah akal belaka!"
Sia-sia saja teriakan ini, si anak muda sudah mengejar
masuk ke dalam rimba batu. Tapi keras keinginannya si nona
untuk menolong, maka ia hunus pedangnya, ia memburu.
Segera ia dengar suara bentrokan senjata. Ia lari terus, hingga
ia menyaksikan si anak muda lagi dikepung beberapa orang, di
antaranya seorang tua, ialah Lie Ham Cin si pahlawan kaisar.
Pula si "culik" dan wanita yang terculik itu ada bersama,

729
bahakan kebetulan sekali, wanita lagi berkata-kata sambil
tertawa: "Lihat, looyacu, bagus tidak akalku?"
Hebat si anak muda. Ia gempur seorang musuhnya, hingga
dia terdampar ke sebuah batu sampai kepalanya borboran
darah. Pukulan itu membuatnya si nona heran. Ia kenali itulah
jurus dari ilmu silat Kimkongciang Toasut payciu, hajaran
Tangan Arhat.
Lie Ham Cin mengasi dengar ejekan "Hm!" terus ia rangsak
si anak muda. Dia menggunai ilmu silat Thaykek kun, untuk
memecahkan tipu silatnya pemuda itu. Si anak muda benar
hebat, walaupun dia gagah, Lie Ham Cin tak dapat berbuat
banyak. Bahkan habis itu, kembali satu musuh dibikin
terdampar roboh.
Si wanita lantas berteriak: "Looyacu, jangan melayani dia
mati-matian! Biarkan dia merasakan aku punya Cubo
Lianhoan Ouwtiap piauw!"
Itulah piauw yang berupa kupu-kupu.
Sin Cu gusar hingga ia tak tahan sabar lagi. Ia lompat
keluar dari tempatnya sembunyi sambil berseru, ia mengayun
tangannya menyebar bunga emasnya, akan meruntuhkan
setiap piauw kupu-kupu itu.
Aneh senjata rahasia si wanita, sesudah runtuh, lalu terlihat
menyambarnya banyak jarum. Karena ini Sin Cu segera
nyerbu dengan putar tubuhnya berikut pedangnya, buat
melindungi diri sambil menangkis.
"Hati-hati!" si anak muda berseru, memperingati si nona,
lalu ia mengebas dengan sebelah tangannya, atas mana
banyak jarum itu tersampok ke samping mengenai batu
sedang semua orang, kawan dan lawan, pada menyingkir.

730
"Buka!" berseru Lie Ham Cin si orang tua.
Itulah tanda rahasia, mendengar mana kawan-kawannya
yang mengepung si anak muda, lantas kabur berpencaran.
Si anak muda, be-gitupun Sin Cu, tidak perdulikan yang
lain-lain, mereka mengejar si pahlawan raja, yang pun turut
melarikan diri, telasap-telusup di antara batu-batu munjul itu.
Sembari mengejar Sin Cu sesalkan si anak muda: "Kenapa
kau tidak dengar perkataanku? Terang-terang ada harimau
tapi kau justeru lari hampirkan harimau itu? Memangnya kau
tidak dengar teriakanku?"
Si anak muda menyeringai, ia menyahuti: "Aku dengar
suaramu tetapi aku ingin sekali menolongi wanita itu, yang
suaranya menyayatkan hati. Siapa tahu..."
"Rupanya kau tidak perdulikan aku, kau tidak
mempercayainya, kau menyangka aku manusia jahat!"
Merah mukanya si anak muda.
"Tidak, tidak," ia menyangkal.
Melihat roman orang, Sin Cu mendongkol berbareng lucu.
Ia pun lantas mengingat bahwa mereka tidak kenal satu pada
lain, bahwa ada wajar saja orang berkasihan terhadap wanita
yang diculik itu, malah ini menandakan kemuliaan hati si anak
muda. Karena ini, tanpa merasa muncullah kesannya yang
baik.
"Masuk gampang, keluar sukar," kata ia kemudian. "Mari
kita lihat."

731
Si anak muda mengangguk.
Mereka lantas mencari jalan keluar. Hati-hati mereka
memeriksa tanda-tanda. Akhirnya mereka kembali ke tempat
semula. Artinya, benar-benar mereka sudah tersesat jalan. Si
nona lantas duduk di batu, nampaknya ia letih.
Selama itu terus si anak muda membungkam saja. Baru
Sekarang ia mengeluarkan rangsum keringnya, ia membagi
pada si nona.
"Nona, kau tentu sudah lapar, kau daharlah," ia berkata.
"Kau membekal berapa banyak rangsum?" Sin Cu tanya.
"Hari ini dapat dilewatkan. Bagaimana besok? Bagaimana
lusa? Kita sukar keluar dari sini, apa daya?"
Sin Cu tidak bisa membilang lainnya. Sekarang mereka
bersama-sama seperti duduk sebuah perahu, tidak dapat ia
menyesalkan pula si anak muda. Agaknya si anak muda terus
tidak tenang hatinya. Mendelong ia mengawasi si nona.
"Menyesal, aku telah mencelakai kau, nona," katanya
kemudian.
"Nona tahu ke sini orang dapat masuk tetapi tidak dapat
keluar, mengapa kau masuk juga?"
"Habis mana bisa aku mengawasi saja kau bercelaka?" si
nona membaliki.
"Nona baik sekali!" kata si pemuda. Ia memuji, ia pun
mengucap terima kasih. Ia menjura dengan dalam.
Melihat begitu, Sin Cu tertawa. Karena ini, tidak lama
kemudian, lenyaplah kemendongkolannya.

732
"Sekarang kita berada di sini, marilah kita sekalian melihat
keindahannya rimba batu ini!" katanya kemudian. Ia benarbenar
melupai bahaya yang tengah mengancam dirinya,
dengan menyekal pedang terhunus, ia bertindak jalan.
Anak muda itu mengikuti. Sekarang, dengan hati lega,
dapat mereka memperhatikan batu-batu yang berdiri lempang
itu bagaikan pepohonan. Itulah yang menyebabkan
didapatnya nama Cio Lim atau Rimba Batu itu. Ada tempat
yang sempit hingga memuat hanya satu tubuh, ada juga yang
lebar di mana dapat orang bersilat.
Ketika mereka tiba pada suatu tempat di mana dua buah
puncak seperti saling menggencet, mendadak ada anak panah
menyambar, suaranya nyaring. Dengan pedangnya si nona
menangkis anak panah itu. Habis itu, sunyi sirap. Adalah
sesaat kemudian, datang timpukan piauw.
Gusar Sin Cu, sambil berkelit, ia berlompat, matanya
mengawasi ke tempat dari mana senjata gelap itu datang.
Sebat luar biasa, ia mengayun tangannya, lalu di sana
terdengar suara jeritan, suatu tanda si pelepas piauw itu
menjadi sasaran bunga emas.
Lalu terdengar suara orang. "Budak itu liehay bunga
emasnya, jangan layani dia! Biarkan saja dia kelaparan
beberapa hari, baru kita bereskan padanya!..."
Dalam mendongkolnya, Sin Cu menimpuk pula dua kali
tetapi kali ini tanpa hasilnya, bunganya itu terdengar
mengenakan batu. Karena ini, kegembiraannya menjadi
lenyap.
"Nona, legakan hatimu, kau memandangilah segala apa
dengan gembira," berkata si anak muda tertawa. "Kalau ada

733
lagi tikus-tikus yang mengganggu padamu, nanti aku yang
mengusirnya!"
Benar saja, tidak jauh dari situ, terlihat berkelebatnya satu
bayangan orang. Tanpa menanti si nona menyerang, si anak
muda sudah menyentil jari tangannya. Ia menyentil sebutir
batu.
"Aduh!" terdengar jeritan di sana, disusul sama tindakan
kaki kabur.
“Inilah ilmu Tancie Sinthong yang liehay!" berkata si nona
dengan pujiannya. Itulah ilmu menyentil batu. Karena ini, ia
jadi berpikir. Ia tahu, di dalam ilmu semacam itu, orang
terliehay adalah Tang Gak, yang menjadi supehcouw-nya,
Tang Gak itu ada supeh atau paman seperguruan dari Tan
Hong, gurunya sendiri. Cuma supehcouw itu berada jauh di
gurun pasir. Hanya pada sepuluh tahun yang lampau, pernah
supehcouw itu datang ke Tionggoan. Pemuda ini bicara
dengan lagu suara Kanglam, maka aneh dia mempunyai ilmu
menyentil itu. Ia menjadi menanya dirinya sendiri:
"Mungkinkah pengalamanku yang cupat hingga aku tidak
ketahui di sebelah Supehcouw Tang Gak ada lagi lain orang
yang pandai ilmu ini?"
Sin Cu memikir untuk menanyakan keterangan pada si anak
muda, tapi sementara itu, mereka berjalan terus, hingga di
depan mereka tertampak sebuah telaga kecil. Di tepi telaga itu
ada tumbuh banyak pohon bunga, yang harumnya semerbak.
Di lamping bukit pun ada ukiran dua huruf besar, bunyinya:
"Kiam Hong," artinya, "Puncak Pedang." Maka tidak salah lagi,
itulah telaga yang dinamakan Kiam Tie, artinya Pangempang
Pedang. Di permukaan air itu berkacalah sang puncak serta
pepohonan lainnya, yang mendatangkan pemandangan yang
menajubkan. Maka terbukalah hati pepat dari Sin Cu, hingga
dapat ia bersenandung.

734
"Sungguh tepat syairnya Lim Hoo Ceng dipadukan dengan
keindahan di sini!" berkata si anak muda. "Hanya dunia
sedang kacau, mana dapat kita main bersenang-senang saja?"
Terkejut Sin Cu mendengar si anak muda.
"Dia mirip seorang desa tolol tetapi toh dia mengarti Lim
Hoo Ceng..." pikirnya. Maka dengan sendirinya bertambahlah
kesannya yang baik terhadap ini anak muda atau kawan baru
yang didapatnya secara kebetulan sekali. Berdiri di tepian, Sin
Cu bagaikan ngelamun.
"Coba suhu berada di sini, pastilah dia dapat bersyair..."
pikirnya pula. Atau mendadak ia ingat Tiat Keng Sim. Pemuda
she Tiat itu pastilah akan ketarik juga dengan keindahan
pengempang ini.
"Sebenarnya kau bernama apa?" sekonyong-konyong ia
tanya si anak muda kepada siapa ia menoleh dan
memandanginya. Sesudah berselang lama, baru ia ingat
menanyakan nama orang.
"Aku she Yap dan namaku Seng Lim," menyahut pemuda
itu.
"Apakah kau orang Kanglam?” Sin Cu menanya pula.
"Tidak salah. Aku asal Sekhun di Ciatkang Barat."
“Itu artinya kau melakukan perjalanan ribuan lie! Untuk apa
kau datang ke Inlam ini?"
Yap Seng Lim ragu-ragu, ia mengawasi si nona.

735
"Aku hendak pergi ke Tali untuk mencari satu orang,"
sahutnya kemudian.
"Untuk pergi ke Tali, inilah bukan jalanannya." Sin Cu
beritahu. "Jalanan untuk ke Tali ada sebalikannya."
Wajahnya pemuda itu menjadi merah.
"Aku tidak menyangka kau pandai ilmu silat, nona,
bahkan kau liehay sekali," sahutnya, tak langsung.
"Ah!" bersuara si pemudi. "Aku menanya kau kenapa kau
justeru mengambil ini jalanan? Tentang ini toh tidak ada
hubungannya dengan aku mengarti silat atau tidak?"
Seng Lim likat.
"Aku lihat kau berjalan seorang diri, nona, dan jalanan tak
aman, aku... aku..."
Sin Cu tertawa lebar.
"Oh kiranya kau berkuatir untuk diriku, kau jadi hendak
melindungi..." katanya. "Pantaslah kau mengajak aku jalan
bersama-sama."
"Mendengar lagu suaramu, nona, kau pun orang Kanglam,"
berkata si pemuda, yang memutar haluan. "Aku numpang
menanya kenapa nona juga membuat perjalanan ke Inlam
ini?"
"Aku juga hendak pergi ke Tali!" sahut si nona tertawa.
"Tapi, jangan kau kesusu menanya aku! Hendak aku menanya
terlebih dulu! Hendak mencari siapakah kau maka kau mau
pergi ke Tali?"

736
"Kau ada orang satu kaum, nona, tidak halangannya untuk
aku memberitahukan," sahut si anak muda. "Aku hendak
mencari ahli pedang nomor satu di jaman ini yaitu Kiamkek
Thio Tan Hong."
Sin Cu berjingkrak. Tak dapat ia menguasai dirinya lagi.
"Oh, kiranya kau hendak mencari guruku!" serunya.
Sekarang adalah Seng Lim yang terkejut.
"Apa?" katanya. "Thio Tan Hong itu gurumu?" Mendadak ia
menjura kepada si nona dan menambahkan: "Kalau begitu
kaulah sucie-ku"
“Sucie" ialah kakak seperguruan yang wanita.
"Siapa gurumu itu?" Sin Cu menanya. Ia seperti tak
menggubris kata-kata orang.
"Guruku ialah Su Teng San," menyahut Seng Lim.
Su Teng San ada muridnya Tang Gak, belum pernah Sin Cu
bertemu dengannya, ia hanya ingat ia mempunyai seorang
paman guru yang pernah merantau di selatan dan utara
sungai besar dan hidup sebagai tabib penolong rakyat jelata.
"Sekarang ini berapa usiamu?" ia menanya. Tiba-tiba saja
ia tertawa.
Ditanya begitu, Seng Lim melengak.
"Sekarang ini baru dua puluh dua tahun," sahutnya polos.
Kembali si nona tertawa.

737
"Usiaku baru tujuh belas, cara bagaimana kau memanggil
sucie padaku?" bilangnya.
Kembali Seng Lim menjadi likat, tetapi akhirnya, dia pun
tertawa.
"Sumoay!" ia memanggil. Sumoay ialah adik seperguruan
yang wanita.
"Untuk apa kau mencari guruku?"
Sin Cu seperti tak pernah kehabisan pertanyaan.
"Aku diperintah pamanku," menyahut Seng Lim.
"Siapa itu pamanmu?" si nona menyerocos.
"Pamanku itu ialah Yap Cong Liu."
"Oh kiranya Yap Toakol" Sin Cu berteriak tanpa merasa.
Di dalam kalangan tentara rakyat, orang semua menyebut
Cong Liu sebagai toako, karenanya si nona ini menuruti
kebiasaan itu, hingga tak dapat ia gampang-gampang
mengubah panggilannya itu, Kemudian ia jengah sendirinya.
Orang ini dan ia ada suheng dan sumoay, maka paman orang
itu mana dapat ia panggil toako, kakak.
"Memang, semua orang memanggil toako pada pamanku
itu," berkata Seng Lim. "Ah, apakah kau bukannya Nona Ie?"
ia balik menanya.
"Kenapa?" tanya Sin Cu heran.

738
"Pamanku pernah memberitahukannya bahwa kau pernah
membantu banyak padanya. Paman mengatakan kaulah
wanita gagah perkasa di jaman ini!"
Wajahnya si nona menjadi bersemuh dadu. Terang sudah
Cong Liu telah membuka rahasia penyamarannya kepada
keponakannya ini.
"Kenapa selama berada dalam tentara rakyat tak pernah
aku melihat kau?" ia menanya, untuk menyimpangi.
“Itulah karena aku datang terlambat. Tatkala aku dengar
paman mengumpulkan tentara untuk melawan perompak kate
(pendek), aku lantas pamitan dari guruku, tetapi ketika aku
sampai ke tempat paman, kawanan perompak itu sudah diusir
ke laut. Aku menyesal dan malu sudah ketinggalan..."
"Ada urusan penting apa itu maka pamanmu menyuruh kau
pergi ke Tali?" masih si nona menanya tak hentinya. "Perlu
apa kau hendak mencari guruku?"
"Sesudah pamanku mengusir perompak, lantas dia
menjunjung Pit Kheng Thian menjadi Toaliongtauw, yaitu
pemimpin pusat dari rombongan dari delapan belas
propinsie..."
"Hm!" Sin Cu perdengarkan suara dingin. "Tidak puas
menjadi toaliongtauw dari lima propinsi Utara, sekarang dia
mau menjadi juga toaliongtauw dari delapan belas propinsi!"
Seng Lim heran, ia melengak.
"Pit Toaliongtauw itu pintar dan gagah," katanya,
"kedudukan itu pamanku yang mengalah dan
menyerahkannya padanya."

739
"Baiklah, kita jangan bicara tentang Pit Kheng Thian itu.
Mari kita bicara tentang pamanmu."
"Pit Kheng Thian hendak menghimpunkan semua tentara
rakyat, untuk mengerek bendera, buat merobohkan kerajaan
Beng guna membangun suatu pemerintah baru..."
"Dari siang-siang memang aku telah ketahui dia hendak
mengangkat dirinya menjadi kaisar! Ah, mengapa kau masih
membicarakan halnya dia itu?"
"Tanpa membicarakan hal dia, tidak dapat kita bicara
jelas."
Heran ini anak muda, mengapa agaknya si nona membenci
Kheng Thian.
"Baiklah, kau boleh omong terus."
"Sekarang ini angkatan perang rakyat itu tengah
menantikan waktunya saja untuk bergerak," Seng Lim
menjelaskan. "Kheng Thian bilang gurumu ada mempunyai
sebuah peta, dengan mendapatkan itu, besar faedahnya untuk
pergerakan tentara itu. Kheng Thian ketahui aku adalah
keponakannya gurumu, dia minta pamanku mengutus aku
kepada gurumu untuk meminjam peta itu."
"Tentang itu sudah beberapa kali Kheng Thian bicara
denganku, aku tidak melayaninya," kata Sin Cu, "sekarang
rupanya dia hendak pinjam mukanya pamanmu itu!"
"Soal peta ada soal yang nomor dua," Seng Lim
melanjuti,"yang utama itulah soal menjungkalkan pemerintah
Beng. Seumurnya pamanku paling menjunjung Thio Tayhiap,
karenanya ia mau minta pikiran tayhiap dapatkan dia
bertindak merobohkan pemerintah.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar