Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 1

Liang Ie Shen, Seri Thian San-04: Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 1
 
 Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 1
I
Kabar penting

Itulah kira-kira jam tiga pagi ketika sang Puteri Malam, yang sudah doyong ke arah barat, masih menyinari sebuah bangunan yang berukiran dengan jendela-jendela hijau dan pintu-pintu merah indah. Sang malam pun sunyi sekali. Gedung itu ialah yang dikenal sebagai Koenmahoe, gedung menantu Bhok Kokkong.

Malam sudah larut demikian rupa akan tetapi sampai itu waktu di dalam istana itu, di atas lauwteng, ada seseorang yang masih belum tidur, dia bahkan --- sambil menyender kepada loneng –tengah memandangi sebilah pedang dengan pikirannya bergelombang.

Siapakah dia?

Tak lain tak bukan, dialah Koenma, menantu yang manis, dari Bhok Kokkong-ialah Tiat Keng Sim.

Keluarga Bhok itu bertugas melindungi keselamatan dan kesejahteraan propinsi Inlam, sebuah wilayah di tapal batas, dan telah turun temurun kedudukannya adalah sebagai kokkong atau hertog.

Semenjak Kaisar Beng Thaytjouw yang bernama Tjoe Goan Tjiang, Bhok Eng telah dianugerahkan gelaran raja muda Kimleng Ong, lalu puteranya, yang menjadi generasi kedua, memperoleh gelaran kokkong itu, terus turun temurun. Hingga tiba pada kokkong yang sekarang ini, sudah berjalan tujuh turunan. Hertog yang sekarang bernama Tjong dan ia memangku pangkatnya itu sudah dua puluh tahun.

Bhok Tjong telah berulangkali mendirikan jasa, hingga dia dihargakan rajanya. Sebab raja pun hendak mengambil hatinya, walaupun kedudukannya sebagai hertog belum dinaiki, disebabkan leluhurnya pernah menjadi raja muda (ong), dia diperkenankan menggunai tata cara sebagai raja muda itu.

Bhok Tjong ini mempunyai dua orang anak, satu laki-laki, satu lagi wanita. Sang putera diberi namaLin, dan sang puteri, Yan. Dan Tiat Keng Sim telah menikah sama Bhok Yan. Maka itu. menurut tata krama kaum pangeran (ong), dia menjadi koenma.

Adalah wajar, siapa menjadi koenma. mestinya dia berbahagia sekali. Dia berkedudukan mulia, makan pakainya melebihkan segala kecukupan. Bahkan untuk Keng Sim ada kelebihannya lagi, ialah isterinya cantik dan sangat menyinta padanya. Kenyataannya tapinya tidaklah demikian. Dia merasakan suatu kekurangan dan karenanya dia seperti kehilangan kegembiraannya.

Kenapakah? Adakah dia mencelah isterinya?

Tidak!

Bhok Yan cantik dan manis bagaikan bidadari, ia mengarti ilmu surat dan ilmu silat, ia sembabat bila dibanding sama Keng Sim. Sifat mereka pun hampir bersamaan. Dapat mereka menabu khim di bawah sinar rembulan atau main catur di ranggon mereka, ataupun bersama-sama melukis gambar di dalam taman. Lebih daripada itu, mereka pun saling menyintai. Tapi justeru segala kecukupan itu, semua penghidupan yang manis itu, yang mengganggu hatinya. Ia merasa, oleh karena hidup bahagia dan mewah itu, hidup tenteram tetapi menganggur, cita-citanya yang luhur, semangatnya yang menyala-nyala seperti mendapat rintangan.

Demikianlah seorang diri itu, di malam yang indah tetapi sunyi itu, ia seperti menggadangi si Puteri Malam. Ia pun mengawasi pohon-pohon bunga. Sambil menghela napas, ia berkata seorang diri: "Dengan tahun ini maka sudah tujuh musim semi aku lalui di dalam istana Koenmahoe ini... Selama tujuh tahun itu, kecuali membuat syair dan karangan, ada apakah lagi?"

Maka terkenanglah ia kepada masanya ia masih merdeka, bagaimana ia mundar-mandir dalam dunia kangouw, bagaimana itu menggembirakannya.

Tengah ia ngelamun itu, tiba-tiba di otaknya berbayang wajahnya seorang nona. Maka menyeringailah dia. Katanya di dalam hatinya: "Sin Tjoe menyamakan aku dengan bunga mawar di Kanglam. Sekarang ini benar bukannya di Kanglam. tetapi dengan berdiam di dalam istana kokkong, bukankah aku seperti bunga mawar juga?"

Masih koenma ini ngelamun tatkala ia merasakan hidungnya mengendus bau yang harum, hingga dengan sebat ia memutar tubuhnya, berbalik ke belakang, karena dari belakang datangnya bau semerbak itu. Maka itu melihatlah ia isterinya yang berdiri dengan wajah tersenyum manis serta mata mengawasi kepadanya.

"Ah, adik Yan," ia menanya, "kenapa kau masih belum tidur?"

Bhok Yan tertawa.

"Karena aku memikirkan kau!" sahutnya, bunga hatinya. "Sekarang sudah jam tiga, mengapa kau masih menggadangi rembulan? Eh ya, apakah kau mendapat suatu ilham untuk membuat sebuah syair yang indah?"

Keng Sim menyeringai.

"Selama yang belakangan ini aku merasakan kemunduranku," ia menyahut. "Apa yang telah aku tulis, aku sendiri melihatnya muak. Mana bisa aku mendapat ilham?"

Bhok Yan mengawasi suaminya itu.

"Keng Sim, adakah sesuatu yang kau pikirkan?" tanyanya sesaat kemudian. Ia menghela napas perlahan.

"Ada kau yang menemani aku seumur hidupku, ada apa lagi yang membuatnya aku tidak puas?" si suami balik menanya.

Bhok Yan masih mengawasi, tajam. Ia tertawa.

"Keng Sim, jangan kau dustai aku!" katanya.

"Adik Yan. siapa... siapakah yang tidak mengagumi kita sebagai keluarga yang sangat berbahagia?" tanya Keng Sim. "Aku... aku mana mempunyai pikiran lain?"

Isteri itu tertawa.

"Keng Sim, kau salah mendengar aku!" katanya. "Aku bukannya membilang hatimu berubah. Hanya selama beberapa tahun ini. kau ada sangat kesepian. Cuma ada aku seorang yang menemani kau. cuma aku seorang yang dapat berbicara denganmu... Tanpa kau mengutarakannya, aku sudah tahu kesepian dalam hatimu itu. Kau tunggu sampai lewat hari raya Tjengbeng nanti, aku akan menemani kau pergi ke Tali, untuk pesiar, di sana kau nanti dapat pasang omong dengan guruku sekalian kau mencari tahu tentang sahabat-sahabatmu."

Kiamkek. yaitu ahli pedang, nomor satu di jaman itu, Thio Tan Hong, pernah mengajarkan ilmu silat selama tiga bulan kepada Bhok Yan, benar ia tidak diterima resmi sebagai murid, tetapi puteri pangeran itu selalu memanggil guru kepada gurunya itu. ia menyebut guru baik di depan maupun di belakang, Tan Hong menjadi Tayhiap, orang gagah dan penyinta negara juga. akan tetapi waktu itu, kedudukannya beda daripada yang sudah-sudah. Saking terpaksa, pernah ia mengacau di istana hingga karenanya dia hendak ditawan raja, karena mana, disebabkan tak dapat menaruh kaki lagi di Kanglam, dia pergi ke Tali di mana dia menetap di gunung Tjhongsan. Ketika itu wilayah Tali berada di bawah kekuasaannya Toan Teng Tjhong, kepala suku Pek. Namanya saja Teng Tjhong menghamba kepada kerajaan Beng, nyatanya ia berdiri sendiri. Tan Hong bersahabat kekal dengan Teng Tjhong, dia tinggal di Tjhongsan itu, sebenarnya, atas permintaannya "raja" Tali itu.

Keng Sim ketahui baik tentang Thio Tan Hong itu, makajuga hatinya bercekat mendengar perkataan isterinya itu, hingga ia mau menduga apa isteri itu tengah memancing penyahutannya. Ia berdiam sekian lama, baru ia menyahuti.

"Thio Tayhiap itu tak bergaul rapat dengan aku," jawabnya bersenyum. "Laginya. ayahmu menjadi kokkong yang melindungi wilayah Inlam ini. dari itu kuranglah bagus kalau kita berkunjung ke Tali. Tentang pesiar ini baiklah belakangan saja kita bicarakan pula."

Di mulut Keng Sim mengatakan demikian, di hatinya ia berpikir lain. Tak dapat dicegah yang pikirannya itu melayang pada peristiwa tahun dulu itu di kaki gunung Tjhongsan atau di telaga besar yang dinamakan "laut" Djie Haj. Di telaga itu, pada suatu malam terang bulan, ia telah bermain perahu bersama-sama Sin Tjoe. Seng Lim dan lainnya. Adalah di malam itu yang ia memperoleh kenyataan Sin Tjoe diam-diam menyiniai Seng Lim sedang Nona Bhok Yan jatuh hati kepadanya.

"Aku tahu kau tidak puas," berkata pula Bhok Yan sambil tertawa. "Aku tahu guruku itu sangat menghargai Yap Seng Lim. sebaliknya dengan kau ia kurang perhatian. Sebenarnya mana dapat Seng Lim nempil denganmu? Seruas syair pun belum tentu ia mengarti? Aneh adalah entjie Sin Tjoe, ia bolehnya penujui dia!"

Keng Sim merasakan kulit mukanya panas dan hatinya berdenyutan. Biasanya, kalau ia bicara sama Bhok Yan, ia selalu menjauhkan diri dari pembicaraan mengenai Sin Tjoe. tak ingin ia menyebut namanya Nona Ie, siapa tahu kali ini bicara hal niat pesiar ke Tali itu. justeru Bhok Yan yang menyebutkannya. Tapi hatinya lega juga melihat isteri itu bicara wajar, bukannya dengan niat menyinggung atau mengejek padanya.

"Sesuatu orang ada jodohnya sendiri." ia menyahut sembarangan.

"Benarkah itu?" tanya Bhok Yan bersenyum. Ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan. "Sayang entjie Sin Tjoe tidak berada di Tjhongsan. Kabarnya, habis menikah, ia turut suaminya pesiar tanpa tujuan, bahkan sampai sekarang ini belum ketentuan tempat tinggalnya lagi juga tidak ada kabar ceritanya Kau tahu. pada bulan yang lalu adik Lin telah pergi secara diam-diam ke Tali. untuk menemui soehoe, baru beberapa hari yang lalu ia kembali. Aku belum sempat menanya dia. hingga belum diketahui ia dapat mendengar kabar atau tidak tentang entjie Sin Tjoe itu."

Baru si nyonya menutup mulutnya, atau terlihat datangnya seorang ke arah mereka dan datangnya secara tergesa-gesa.

Keng Sim dapat melihat orang itu, ia tertawa.

"Baru kita menyebut Tjo Tjoh atau Tjo Tjoh telah datang!" katanya. "Kau lihat, apakah itu bukannya adik Lin?"

Bhok Yan heran.

"Tengah malam buta rata dia datang ke mari. apakah perlunya?" bilangnya.

Yang datang itu benar Bhok Lin. Setibanya di taman, ia lantas berlari-lari naik ke lauwteng. Pula segera terdengar suaranya yang nyaring, yang penuh dengan kegembiraan: "Entjie! Tjiehoe! Ada warta sangat penting untukmu!"

"Memang biasa kau berisik tidak keruan!" kata Bhok Yan sang entjie, tertawa. "Ah sampai kapankah kau bisa buang tabiatmu yang kekanak-kanakan ini?"

Mukanya Bhok Lin bersemu merah.

"Kali ini aku tidak mendustai kau, entjie!" katanya rada jengah. "Inilah benar satu kabar sangat penting yang di luar dugaan!"

"Apakah ayah telah menegurmu?" tanya Bhok Yan.

"Entjie, kau selamanya suka menggoda aku!" kata sang adik, tidak puas.

"Kau mencuri pergi ke Tali, apakah ayah tidak memarahi kau?"

"Memang ayah tidak senang tetapi ia tidak mengatai aku. Apakah entjie kira aku tetap bocah cilik? Sudah, entjie, jangan kau, memotong perkataanku. Kabar ini benar-benar kabar sangat penting."

Bhok Yan tertawa.

"Nah kau bilanglah, kabar sangat penting bagaimana itu!"

"Kabar sangat penting, sangat besar, hingga menggemparkan dunia!"

Kakak itu menjadi ragu-ragu.

"Mari masuk, duduk di dalam!" ia panggil adiknya itu. "Baik, sekarang kau bicaralah, hendak aku mendengar, kabar apa itu yang menggemparkan dunia..."

"Entjie tahu, raja yang sekarang telah wafat pada bulan yang baru lalu," Bhok Lin memberitahu.

Mendengar itu, Bhok Yan tertawa geli.

"Matinya seorang raja, apakah artinya?" katanya. "Itu bukanlah kejadian sangat penting, tak usah kau kelabakan tidak keruan!" Tapi ia menoleh kepada suaminya dan membilang: "Hanya kalau kabar ini sampai kepada entjie Sin Tjoe. dia tentulah akan bergirang luar biasa."

Ayah Sin Tjoe adalah Ie Kiam, menteri yang pintar, setia dan berjasa, pernah dia menolongi kerajaan Beng dari keruntuhan, tetapi bukan raja menghargai jasanya itu ia justeru dihukum mati. Inilah sebabnya kenapa Bhok Yan mengatakan demikian.

Mukanya Bhok Lin merah.

"Entjie, kau belum mendengar habis omonganku!" ia menegur.

"Nah, kau bicaralah!" kata entjie itu, acuh tak acuh. Ia mengeringi cawan tehnya.

"Setelah raja wafat, putera mahkota segera naik di singgasana kerajaan," sang adik berkata pula, meneruskan kabar yang dia katakan sangat penting itu hingga menggemparkan dunia. "Putera mahkota ini, sebagai raja baru, lantas mengubah tahun kerajaan menjadi tahun Senghoa, maka mulai tahun ini ialah tahun Senghoa yang pertama."

Bhok Yan menganggap kabar itu sangat lucu hingga ia kesimpatan air tehnya, yang ia terus semburkan, sembari tertawa, dia berkata: "Kalau raja yang lama wafat, sudah tentu mesti ada raja yang baru yang naik di tahta setelah raja yang baru naik di tahta, sudah tentu dia akan mengubah nama tahun kerajaannya. Nah, apakah yang aneh dengan kabarmu yang sangat penting ini? Sebenarnya apakah yang menggemparkan dunia?"

"Tapi aku belum bicara habis entjie!" sang adik berseru. "Jikalau kau tetap main potong omonganku, aku tidak hendak bicara lagi!..."

Sang entjie menukar lain cawannya, ia menghirup pula tehnya itu.

"Adikku, apakah aku tidak kena menyembur bajumu hingga basah?" katanya. "Baiklah, aku tidak akan memotong lagi omonganmu. Hayo. kau bicara, kau bicaralah!"

"Tentang raja yang baru naik di tahta, kabarannya baru kemarin sampai di sini," Bhok Lin melanjuti.

"Tempat kita ini jauh di selatan, di tapal batas, jalannya banyak gunungnya dan sangat sukar, perhubungan jadi sulit," menjelaskan Bhok Yan. "Kabar dari kota raja sampai di sini dalam tempo satu bulan lebih, itu pun sudah lekas sekali."

"Aku bukan bicara dari hal kecepatan," kata adik itu. "Kau dengar!"

"Memangaku mendengari!" sang kakak tertawa.

"Kau benar, entjie, akan membilang perjalanan sukar dan sulit, tetapi aku tidak maksudkan itu. Aku hanya mau mengatakan, di Tionggoan sendiri, pelbagai propinsi telah menerima pelbagai laporan."

"Itulah wajar. Semua propinsi itu, setiap gubernurnya, ada mempunyai wakilnya di kota raja, Pakkhia. Bahkan mungkin, sebelum tibanya laporan resmi, mereka sudah mengetahui terlebih dulu. Mereka dapat mengirimkan kabar istimewa cepat."

"Benar! Satu hari kaisar, satu hari menteri! Siapakah yang tidak hendak mendapat muka dari rajanya yang baru? Demikian, begitu maklumat diumumkan, gubernur pelbagai propinsi sudah lantas berlomba mengirimkan pemberian selamat mereka serta bingkisan pula. bingkisan yang mereka mengumpulinya dengan susah payah, dalam rupa barang-barang berharga atau batu permata."

Bhok Yan mengangguk.

"Itu pun sudah wajar," ia membenarkan. "Tak usahlah itu dibuat heran."

"Tak usah dibuat heran?" kata Bhok Lin, separuh berseru. "Justeru di sinilah keheranannya! Semua bingkisan dari pelbagai propinsi itu. sebelumnya semua tiba di kota raja. sudah kena orang rampas!"

Bhok Yan terperanjat.

Keng Sim berdiam saja semenjak tadi, ia cuma bersenyum-senyum menontoni itu kakak dan adik mengadu mulut, akan tetapi, mendengar kata-kata yang paling belakang ini, ia pun terperanjat.

"Begitu?" ia bertanya.

Bhok Lin menunjuki romannya sangat puas. Ia sudah menang!

"Nah. bilanglah, apakah ini bukannya urusan sangat besar yang menggemparkan dunia?" ia tanya. "Sampai sebegitu jauh yang telah diketahui, bingkisan yang telah dirampas itu ada barang-barang dari sembilan propinsi Shoasay, Siamsay. Kamsiok, Hoolam, Hoopak. Shoatang, Ouwpak, Anhoei dan Tjiatkang. Yang dari lain-lain propinsi masih dalam perjalanan, apa semua itu juga telah dibega! atau tidak, masih belum diketahui..."

"Siapakah perampas itu?" tanya Keng Sim, "Adakah dia pria atau wanita?"

"Tentang pria atau wanita, inilah tidak jelas bagiku. Warta itu datangnya dari kota raja, di kirim sebagai warta kilat yang dinamakan 'kaburnya kuda delapan ratus lie.' Maka juga warta itu tiba berbareng sama maklumat naik di tahtanya raja yang baru. Yang dicurigakan pemerintah ialah guru kita, karena mana ayah telah diberikan titah rahasia untuk secara diam-diam menyelidiki gerak-gerik soehoe, terutama untuk dicari tahu, benar atau tidak soehoe telah meninggalkan Tali. Pada setengah bulan yang lalu itu aku masih melihat soehoe di Tjhongsan. kalau dihitung-hitung dengan saatnya, terang sudah ada hadiah dari beberapa propinsi yang kena dirampas, dengan begitu nyatalah perampasan itu bukan pekerjaan soehoe. Karena itu aku telah memberitahukan ayah agar ayah tak usah mencapaikan hati lagi menyelidikinya soehoe. Memang aku mencuri pergi ke Tali tanpa perkenan ayah, akan tetapi kebetulan sekali, aku jadi dapat memberikan keterangan yang berarti, dari itu walaupun ayah tidak puas. ayah toh tidak menegur atau mendamprat aku."

Bhok Lin berhenti sebentar, lalu dia menambahkan: "Gubernur dari Hoolam, Hoopak, Shoatang dan Tjiatkang adalah sahabat-sahabat ayah, mereka itu pun pada mengirimkan kabar kilat, kabaran mereka itu terlebih jelas daripada kabar dari pihak pemerintah itu. Hadiah dari Siamsay, Shoasay dan Kamsiok, dirampasnya di Louwkauwkio. Hadiah-hadiah dari Shoatang. Hoolam dan Hoopak, dibegalnya di Pootong. Dan hadiah dari Tjiatkang, Ouwpak dan Anhoei, dikerjakannya di Tjio keetjhoeng. Dalam tempo tiga hari, dan di tiga tempat berbareng, telah dilakukan perampasan atas barang-barang dari sembilan propinsi itu, maka kabar dari semua kejadian itu tidak melainkan membikin gempar kota raja juga membuatnya semua gubernur dari pelbagai propinsi itu jadi kaget dan kelabakan, bingung bukan buatan!"

Bhok Yan tertawa cekikikan.

"Apakah kau melihatnya sendiri mereka kelabakan, bingung bukan buatan?" ia menanya, menggoda. "Sungguh hebat caramu bicara ini!"

Bhok Lin tidak mengambil mumat yang ia digodai. Ia hanya kata: "Aku berada di kamar tulis ayah, aku melihatnya sendiri ayah mundar-mandir seraya menghela napas panjang pendek. Ayah mengatakan, karena raja baru naik di tahta, hadiah itu ialah hadiah yang tak dapat ditiadakan, bahkan kita. yang menjadi kokkong turun temurun. sudah layaknya kita mengirim hadiah yang terlebih banyak daripada propinsi-propinsi lainnya. Tetapi telah terjadi perampasan itu, ayah menjadi bingung sekali. Bagaimana kalau hadiah kita pun dibegal di tengah jalan? Maka kau lihat, entjie, apakah aku omong berlebihan? Ayah pernah mengalami pelbagai ancaman bencana, ayah toh masih berkuatir. apalagi itu segala gubernur, bagaimana mereka tidak menjadi kelabakan dan bingung bukan buatan?"

Sang kakak itu tertawa pula. "Agaknya kau girang akan ancaman bahaya itu?" katanya.

Sementara itu, Keng Sim berpikir: "Memang inilah kabar penting yang menggemparkan dunia. Pada sepuluh tahun yang lalu Pit Kheng Thian telah merampas uang negara sejumlah tiga puluh laksa tail. uang dari Ouwlam dan Ouwpak, perampasan itu menerbitkan badai dan gelombang dahsyat, tetapi kalau itu dibanding sama perampasan sekarang ini. sungguh tidak ada artinya. Sebenarnya siapakah yang telah makan hati serigala dan nyali harimau maka dia berani melakukan perampasan yang menggemparkan dunia ini?"

Tengah ia berpikir demikian, Keng Sim ditanya iparnya: "Tjiehoe, aku hendak memohon sesuatu kepadamu!" Ia menjadi heran, hingga ia tercengang. "Engkoe, kau menghendaki apa?"

Bhok Lin menyahuti dengan lantas. Katanya. "Hadiah dari ayah bakal lekas diberangkatkan ke kota raja, maka itu. aku pikir, hendak aku meminta tugas untuk mengantarkan itu."

Keng Sim heran, sedang Bhok Yan tertawa lebar.

"Jangan kau ngimpi!" kata kakak ini. "Mana ayah akan memberikan ijinnya untuk kau satu Toasiauwya yang manja pergi ke kota raja menempuh bahaya?"

"Ini pun sebabnya kenapa aku hendak minta bantuan tjiehoe. supaya tjiehoe yang membicarakannya sama ayah!" sang adik menjelaskan. "Biasanya ayah mendengar katanya tjiehoe. Di samping itu, bukankah ilmu silatku melebihi segala guru silat atau pahlawan yang berada di dalam kantor ayah? Cuma kau sendiri yang menyebutnya aku Toasiauwya yang dimanjakan! Mereka itu sebaliknya membilang, orang dengan ilmu silat semacamku ini. untuk dunia kangouw sudah langka." Entjie itu menutupi mulutnya untuk mencegah tertawanya, saking geli ia sampai terbungkuk-bungkuk.

"Entjie. kau selalu memandang enteng padaku!" kata adik itu.

"Mana aku berani, mana aku berani..." berkata entjie itu. "Apakah kau menginginkan aku memuji kau seperti itu segala guru silat? Baiklah. Nah. kau dengarlah! Di dalam kokkonghoe. jikalau semua pintu dikunci, kaulah si orang gagah nomor satu di kolong langit ini, tetapi di sini, di koenmahoe. kau ialah..."

"Tentunya orang gagah nomor dua di kolong langit ini!" Bhok Lin menambahkan, tertawa. Tapi ia tertawa hanya sebentaran. lantas ia mengasi lihat roman sungguh-sungguh. Ia berkata: "Memang benar ilmu silatku tak dapat dibandingkan dengan ilmu silat tjiehoe. akan tetapi di dalam dunia kangouw, orang dengan kepandaian sebagai tjiehoe ini, bukankah tak seberapa gelintir? Di samping itu, selama aku pergi ke Tjhongsan secara diam-diam itu, di sana pun soehoe telah mengajari aku semacam ilmu silat pedang. Entjie, kau bukannya seorang pria. kau tidak dapat mengarti. Cita-citanya seorang laki-laki ialah di empat penjuru dunia! Maka itu kau ijinkanlah aku pergi keluar, untuk merantau, guna mendapatkan pengalaman!"

"Ah!" seru si kakak sambil tertawa. "Jadinya kau juga hendak minta bantuanku untuk bicara sama ayah?"

Di mulut puteri pangeran ini mengatakan demikian, di hatinya ia berpikir lain. Ia jadi ingat sikap suaminya. Pikirnya: "Ya. cita-citanya seorang laki-laki ialah di empat penjuru dunia! Bukankah adik I in pun mengatakan aku tidak tahu hatinya seorang laki-laki? Keng Sim senantiasa lenyap kegembiraannya, mungkinkah itu disebabkan dia selalu seperti disekap di dalam rumah?"

Tengah isteri ini ngelamun demikian itu. Keng Sim menekan meja sambil ia berbangkit berdiri.

"Adik Yan, aku pun hendak memohon sesuatu dari kau." katanya.

Isteri itu terkejut. Tapi ia rasanya dapat menerka. Maka ia tertawa.

"Bilanglah." katanya. "Asal yang aku sanggup, tentu aku bersedia untuk menerimanya dengan baik."

"Bingkisan ayahmu itu tidak dapat tidak diantar," berkata Keng Sim. "Tapi sekarang telah terjadi itu pelbagai perampasan, sungguh itu suatu ancaman bahaya besar dan sangat menyulitkan kita. Aku berterima kasih kepada ayahmu, yang menghargai aku. maka itu, mana dapat aku tidak memikirkan soal itu? Ingin aku membagi kesulitannya itu..."

Bhok Yan tunduk.

"Kiranya kau, seperti adikku, ingin aku menjadi juru bicaramu." katanya perlahan. "Benarkah?"

"Oleh karena di sini tidak ada lain orang yang terlebih cocok," berkata pula Keng Sim, "maka biarlah aku yang pergi mengantarkan, untuk ini satu kali saja."

Bhok Lin lantas menepuk-nepuk tangan, ia tertawa.

"Bagus!" katanya. "Kalau tjiehoe yang pergi mengantar sendiri, pasti ayah akan meluluskan! Tjiehoe. kaulah pemimpin pengantar itu dan aku wakilmu!"

Selagi sang adik girang bukan kepalang. kakaknya sendiri mengerutkan kening, landanya ia masgul. Sekian lama ia berdiam saja. kemudian dengan perlahan ia kata: "Keng Sim, karena kau telah berkeputusan tetap, baiklah, aku tidak mau menghalang-halangi kau."


"Kau pun tak usah berkuatir, adik," kata Keng Sim juga perlahan.

"Asal di dalam hatimu ada aku. mustahil aku berkuatir?" kata isteri itu.

Keng Sim sebenarnya hendak mengutarakan berbahayanya penghidupan dalam dunia Sungai Telaga, tetapi mendengar perkataan islerinya itu. ia membatalkan itu. Ia kata perlahan: "Asal hatimu ditukar menjadi hatiku, kita pasti akan menginsafinya dengan baik. Suami isteri ada bagaikan satu tubuh, dua hati menjadi satu. dari itu. apa perlunya hati kita ditukar lagi?"

Bhok Lin sudah membuka mulutnya, hampir tertawa, baiknya kakaknya keburu mendelik mata kepadanya. Ia jadi berdiam.

"Kau telah pergi ke Tjhongsan dan dapat menemui soehoe." berkata Bhok Yan. "habis kau dengar kabar apa lagi?"

"Baru tahun yang lalu. Siauw Houw Tjoe telah keluar dari rumah perguruan." sang adik menyahut.

"Dia lelah merantau, katanya dia sudah mulai mendapat nama..." "Ada apa lagi?"

"Ouw Bong Hoe suami isteri sudah kembali dari Kanglam. selama di Hayleng mereka lelah melihat Yap Seng Lim bersama Ie Sin Tjoe berada di antara orang banyak tengah menonton gelombang laut."

"Sungguh besar nyali mereka!" kata Keng Sim tanpa merasa, saking heran.

"Memang mereka terlalu berani!" Bhok Yan tertawa. "Umpama kata mereka ketahuan dan kena ditawan, bukankah mereka bakal membualnya capai hati pada Tiat Kongtjoe yang mesti pergi menolonginya?"

Keng Sim bersenyum. Ia tahu ia tengah digodai isteri itu tetapi ia tidak menjadi gusar atau kurang senang. Pada tujuh tahun dulu pernah ia menolongi Seng Lim.



II

Keluar pula



Bhok Lin tidak berdiam lama bersama kakak dan iparnya itu. dengan lekas ia mengundurkan dari, maka itu Bhok Yan dan Keng Sim kembali berada berduaan. Di antara sinar api. mereka saling pandang.

Setelah tujuh tahun hidup bersama, rukun dan manis, sekarang datang saatnya untuk berpisahan. walaupun itu bukanlah perpisahan untuk selama-lamanya, meskipun benar sang suami mungkin akan menerjang bahaya..."

Mengamar piauw bukannya suatu pekerjaan ringan. Maka itu. mereka berpikir masing-masing.

Beberapa saat pula lewat ketika Bhok Yan berkata dengan perlahan: "Kau hendak membikin perjalanan, baiklah. Orang dulu pun membilang, membaca kitab selaksa jilid tak sama dengan membuat perjalanan selaksa lie. Aku harap sedikitnya kau akan memperoleh bahan untuk membuat syair!"

"Adik Yan, sungguh kau baik sekali." kata Keng Sim dengan terharu. "Bagaimana aku beruntung mempunyai isteri semacam kau!"

Isteri itu tertawa dan berkata: "Ya, sekarang ini mulutmu manis sekali, aku kuatir. setelah berada di luaran, kau nanti bertemu entah Liehiap siapa..."

"Ah, adik Yan!" Keng Sim memotong. "Kenapa kau mengucap begini. Apakah kau tidak percaya aku?..."

Bhok Yan mengulur tangannya membekap mulut suaminya ilu.

"Aku cuma main-main," katanya. "Mustahil aku tidak percaya kau? Nah, sekarang pergilah kau tidur, aku akan mempersiapkan segala keperluanmu."

Suami itu mengangguk.

"Biarlah aku pergi berlatih samedhi." kata dia. "Hendak aku lihat apakah aku telah tidak menterlantarkan latihanku..."

Isteri itu mengangguk, walaupun sebenarnya, hatinya kurang tenteram.

Keng Sim pergi ke kamar latihannya, di sana ia duduk bersamedhi, seperti isterinya, hatinya pun berpikir. Mereka bakal berpisahan, entah untuk berapa lama, dari itu, sulit untuknya mententeramkan hatinya. Ia juga memikirkan soal perampasan hadiah untuk kaisar itu.

"Hadiah pelbagai propinsi kena dirampas di tengah jalan, benarlah ini ada soal yang menggemparkan seluruh negeri," demikian pikirnya. "Apakah Ie Sin Tjoe dan Yap Seng Lim ambil bagian dalam urusan ini? Dan bagaimana dengan guruku, yang tidak ketahuan di mana adanya? Apakah soehoe pun ada sangkut pautnya? Pada tiga puluh tahun dulu, soehoe pernah mencuri pedang di istana kaisar..."

Dengan memikirkan Sin Tjoe, koenma ini jadi ngelamun.

"Entah Sin Tjoe masih memikirkan aku atau tidak..." demikian otaknya kacau. Karena ini. latihan jadi terganggu. Sudah tujuh tahun ia seperti terkeram di dalam koenmahoe, tidak heran kalau ia seperti putus hubungannya dengan dunia luar. Maka itu sekarang yang ia bakal keluar pula. hatinya ruwet berbareng berguncang, bergoncang karena kegembiraan. Ia mengharap nanti dapat bertemu sama Sin Tjoe..."

Tengah ia berpikir banyak itu, Keng Sim mendapat dengar suara berkelisik di atas genteng, di atas wuwungan.

"Inilah orang yang membuat perjalanan malam." pikirnya. "Ah. ia berkepandaian tak rendah... Siapakah ia? Mau apa ia datang ke mari?"

Kaget dan heran. Keng Sim bersedia untuk berbangkit. Hendak ia pergi keluar, untuk melihat orang itu. Adakah dia orang jahat atau orang yang dikenal? Demikian ia berpikir terus.

Di saat menantu hertog ini hendak berlompat ke luar jendela, tiba-tiba ia mendengar satu suara sambaran senjata rahasia, disusul sama senjata rahasianya sendiri, yang mengasi lihat cahaya gemirlap, lalu disusul pula dengan suaranya senjata itu nancap di meja!

Segera Keng Sim maju untuk mencabut senjata itu, ialah sebuah pisau b^ti, yang ujungnya diberikutkan sehelai kertas.

"Siapakah main-main sama aku?" ia berpikir. Inilah kebiasaan orang kangouw mengirim surat dengan perantaraan pisau belati...

Tanpa memperhatikan dulu kertas itu. Keng Sim menjejak dengan kakinya, untuk mencelat ke jendela, guna berlompat keluar, maksudnya ialah buat melihat, siapa orang itu. Ketika ia tiba di luar. ia hanya dapat melihat suatu bayangan tubuh, yang melesat melintasi gunung-gunungan.

Samar-samar ia menampak punggungnya seorang perempuan, mungkin seorang wanita muda.

"Sin Tjoe!" demikian hendak ia berseru atau di saat yang tepat, ia dapat membatalkan niatnya memanggil itu. Ia mendapat kenyataan, bayangan itu bertubuh kecil dan kurus, tak miripnya dengan potongan tubuhnya Nona Ie.

"Ah. benar-benar aku gila!" sejenak kemudian ia berpikir pula. Rupanya karena aku sangat memikirkan dia. lantas aku menduga sembarangan...

"Tetapi, siapakah dia? Apa perlunya dia mengirim surat secara begini padaku?" ia berpikir lagi, menerka-nerka itu surat dan pisaunya. Ia mengingat-ingat wanita, yang mirip dengan bayangan itu, tetapi ia tidak berhasil mengingatnya siapa juga. Karena ini, ia lantas lari ke arah gunung-gunung itu, untuk menyusul.

"Aku mesti lewati dia," pikirnya lebih jauh selagi ia mendekati. Ia hendak pegat orang itu. Atau mendadak ia mendengar:

"Keng Sim! Keng Sim!"

Itulah suara panggilannya Bhok Yan. sang isteri. Suara datangnya dari atas lauwteng dan agaknya puteri kokkong itu dalam keadaan kaget.

"Ya!" ia menyahuti, lekas dan keras.

Justeru itu bayangan yang ia kejar itu terlihat mencelat naik ke atas batu Thayouw tjio di sebelah depan, gerakannya sangat lincah, lantas dia naik di tembok dari mana terdengar suara tertawanya, tertawa geli.

"Heran," kata Keng Sim di dalam hatinya. Sekarang ia dapat melihat terlebih tegas. Paling banyak dia baru berumur lima belas tahun, kenapa ilmu ringan tubuhnya sudah begini mahir?... Baru beberapa tahun aku menyekap diri, tidak tahunya dalam dunia kangouw telah muncul orang-orang baru..."

Ketika itu bayangan itu telah lenyap, maka Keng Sim. yang tidak mengejar lebih jauh. bahkan ia pun tidak lantas menghampirkan isterinya, lantas periksa pisau belati di tangannya, untuk melihat suratnya.

Di kertas itu ada kedapatan enam baris huruf. Dengan suara tak terdengar, Keng Sim membaca:

"Harimau mengaling, macan tutul menderum

Burung hong berbunyi di lembah sunyi

Mulut harimau berbelas kasihan

Macan tutul keramat mendeliki mata

Kalau lancang memasuki dunia

Sungai Telaga

Menoleh kembali itu artinva

bahagia..."

Dua baris yang paling belakang itu terang berarti nasihat untuk Keng Sim. supaya ia jangan sembarangan memasuki dunia Sungai Telaga, dunia kangouw. atau lebih tegas lagi, ia dilarang mengantar piauw yang berupa hadiah bingkisan untuk kaisar. Hanya tentang dua baris paling atas. di mana ada disebut-sebut harimau, macan tutul dan burung hong, entahlah itu diartikan tiga orang atau bukan. Dan. apa artinya dua baris yang di tengah itu? Kenapa disebut "mulut harimau berbelas kasihan" dan "Macan tutul mendeliki mata?"

Karena mesti berpikir, Keng Sim berdiri diam, hingga ia tidak segera pergi kepada isterinya. Di lain pihak, Bhok Yan sudah lantas tiba padanya.

"Keng Sim, ada terjadi apakah?" tanya isteri itu. lagu suaranya menandakan hatinya berkuatir.

"Tidak apa-apa," sang suami menyahut sambil bersenyum. Surat dan pisau belati itu ia telah lantas simpan. "Habis bersamedhi, aku mencoba berlatih berlari pesat."

Seingatnya belum pernah Keng Sini mendustai isterinya, inilah yang pertama kali dan ia lakukannya pun dengan terpaksa. Kalau Bhok Yan ketahui tentang adanya si orang-orang jalan malam, tidak banyak sedikit mesti isteri itu berkuatir, bahkan bisa terjadi. ia bakal dicegah keberangkatannya. Walaupun ada itu "nasihat." ia tidak memikir untuk membatalkan niatnya.

Mendengar jawaban suaminya, isteri yang manis itu tertawa.

"Kau tidak mengabaikan ilmumu ringan tubuh, aku sebaliknya, hatiku jadi semakin kecil!" katanya. "Maka itu ingatlah olehmu, nanti di waktu kau mengantar bingkisan ke kota raja. umpama kata di tengah jalan kau bertemu orang jahat, jikalau jumlah mereka lebih besar, jangan kau lawan mereka itu. lebih baik barang hilang daripada kau menempuh bahaya."

"Itulah urusan kaum kangouw. adikku," sahut Keng Sim menghibur. "Aku tahu apajang aku harus lakukan, kau baiklah jangan kuatir, kau tetapkan saja hatimu."

Bhok Yan percaya suaminya ini, maka ia tidak membilang apa-apa lagi hanya ia ajak sang suami pulang.

Besoknya pagi, Kcng Sim pergi menemui Bhok Kokkong, mentuanya. Ia sudah menduga, ada kemungkinan ia mesti omong banyak, untuk membujuki mentua itu. Di luar dugaannya, ia menghadapi kejadian yang melegakan hatinya. Dengan segala senang hati. mentuanya itu memberikan perkenannya.

Nyatanya ialah tadi pagi-pagi. Bhok Lin sudah menghadap ayahnya itu, untuk membicarakan urusan mengantar bingkisan itu. Ia minta supaya tjiehoe-nya. yaitu Keng Sim, diijinkan pergi melindungi, dengan ia turut bersama. Memang mulanya Bhok Kokkong berkeberatan, tetapi setelah ia ingat, bingkisan toh mesti di kirim, ia tidak menentangi lagi puteranya itu. Ia tahu Keng Sim gagah, karena mana, ia mendapat serupa harapan. Bagaimana bagus andaikata

Keng Sim berhasil tiba di kota raja dengan tidak kurang suatu apa. Tentu raja melihatnya dan akan menghargai menantunya itu. Pula, setelah puteranya mulai meningkat usianya, pantaslah putera ini membuat perjalanan, guna mencari pengalaman. Bhok Lin adalah putera satu-satunya, yang di belakang hari bakal mewariskan kedudukannya sebagai Kokkong. Sudah selayaknya saja apabila sang putera dapat menghadap kaisar. Lain ketika baik sebagai ini sukar dicarinya Satu hal lain lagi iaiah Kokkong ini tidak menguatirkan keselamatan puteranya itu. Bukankah, sebegitu jauh diketahui, penjahat cuma merampas bingkisan, tidak mengganggu jiwa? Ada baiknya sang putera bisa tiba di kota raja. Syukur kalau bingkisan sampai dengan selamat, kalau tidak, tidak apa hilang barang berharga, ia toh tidak bakal dipersalahkan. Bukankah ia sudah mengirim bingkisan? Ini saja sudah bukti kuat yang ia menjunjung dan menghargai junjungannya itu. Oleh karena ia berpikir begini, Bhok Kokkong jadi bersependapat dengan puterinya, bingkisan boleh hilang asal diri selamat.

Demikian, setelah memberikan ijinnya, Bhok Kokkong lantas memberi pesan dan nasihatnya pada mantunya. Ia bilang bahwa bingkisan sudah disiapkan rapi, dari itu besok dapat mantu dan puteranya itu mulai berangkat.

Keng Sim girang bukan main. habis mengucap terima kasih, ia lantas mengundurkan diri. katanya untuk siap sedia. Di luar ia bertemu Bhok Lin. Sang ipar sudah lantas menarik ia ke samping.

"Tjiehoe, tadi malam aku menemui kejadian yang aneh!" demikian kata-katanya yang pertama. Dan tanpa menantikan orang menanya jelas, ia merogo ke sakunya akan menarik keluar sebatang pisau belati pada mana ada terlampir sehelai kertas. Ia angsurkan itu.

Keng Sim menyambuti. Ia tidak usah memeriksa lama akan mendapatkan pisau itu sama dengan pisau belati yang semalam ia terima.

"Kiranya tadi malam kau bertemu seorang nona muda belia yang meninggalkan kau pisau belati ini berikut surat," katanya.

Bhok Lin terkejut.

"Apa, tjiehoe?" tanyanya. "Kenapa kau ketahui itu? Benarkah nona itu seorang yang masih muda belia? Cantikkah dia?"

Memang, pengalaman putera Kokkong itu tadi malam sama dengan pengalamannya Keng Sim, ia pun sudah lari-lari keluar untuk mengejar, tetapi karena ia kalah lincah, tidak dapat ia menyandak, ia melainkan melihat punggung orang, bayangan orang itu lenyap di tempat gelap, hingga tak dapat ia mengenali, orang pria atau wanita.

"Cantik, sungguh cantik!" menyahut Keng Sim, untuk menggoda.

Agaknya Bhok Lin girang sekali.

"Ia pun meninggalkan syair" katanya pula.

"Aku tahu," kata Keng Sim, memotong. "Tidak usah kau keluarkan, aku sudah tahu bunyinya" Dan ia membacakan syair itu, yang ia ingat di luar kepala.

Putera Kokkong itu tercengang.

"Ha!" seru ia sesaat kemudian. "Kau pun tentunya menerima pisau dan surat sama seperti aku!"

Keng Sim mengangguk.

"Ya. Dan ia menasihati aku untuk jangan membuat perjalanan mengantar bingkisan itu." ia menerangkan. "Adik Lin. kau takut atau tidak?"

"Sungguh menarik! Sungguh menarik!" berseni orang yang ditanya, yang tidak menjawab apa yang ditanyakan.

"Apakah yang menarik hati?" menanya Keng Sim, tertawa. Ia menduga orang tergila-gila si nona tukang keluar malam itu...

"Sebab si perampas piauw hadiah untuk kaisar itu, suatu hal yang menggemparkan dunia adalah seorang nona!" sahut si anak muda. "Atau, kalau toh si perampas bukannya dia, dia mesti salah satu orang yang turut ambil bagian! Tidakkah menarik yang satu nona dapat merobohkan orang-orang kosen pilihan dari pelbagai propinsi itu?"

Mendengar begitu, Keng Sim tertawa.

"Ha, kau lupa satu hal, engkoe yang baik!" ia berkata. "Kau lupa bahwa semua perampasan telah terjadi di dalam wilayah propinsi Hoopak! Umpama benar nona itu turut di dalam perampasan itu, bagaimana dia dapat dengan begini lekas tiba di Inlam sini untuk mengirimkan nasihatnya itu yang berupa pisau belati dan syair? Lagi pula. sebenarnya hal itu tidak perlu sama sekali."

Bhok Lin berdiam. Ia berpikir.

"Habis," katanya kemudian, "apa artinya ia mengirim surat menasihati kitajangan mengantar piauw itu?"

"Aku tidak dapat berlaku sebagai kau," ada jawabannya sang tjiehoe, "kau main duga-duga saja. Aku tidak dapat membade pikiran orang..."

Mukanya putera Kokkong itu menjadi merah. Tapi tidak lama, ia tertawa pula.

"Sungguh aneh!" katanya. "Belum lagi kita berangkat, kita sudah menghadapi kejadian aneh ini. maka itu di belakang hari, sesudah merantau, entah kita bakal menemui berapa banyak orang aneh dan urusan yang tidak-tidak! Walaupun demikian, aku percaya, seandai kita tidak dapat mengantar barang sampai di kota raja, sedikitnya mata kita bakal terbuka! Tidakkah itu akan jadi sangat menarik hati?"

Sifatnya putera Kokkong ini beda dengan sifat kakaknya, kalau sang kakak puas akan kedudukannya yang sekarang ini. cukup segala apa, penghidupan tak kekurangan, derajat tinggi, sang adik bercita-cita, ia dapat berchayal, tak suka diam saja, bahkan ia ketarik sama segala apa yang aneh. Ini pun sebabnya kenapa sebagai siauwkongtia. ialah Kokkong cilik, ia minta ayahnya mengijinkan ia pergi ke kota raja, bahkan ia tak jerikan kisikan pisau belati dan syair dari nona yang tidak dikenal itu.

Keng Sim tidak dapat menemani lama-lama iparnya itu, maka sampai di situ mereka berpisahan. Ia balik dengan lekas kepada isterinya. untuk menyampaikan kabar girang yang Kokkong sudah meluluskan permintaannya, guna bersiap terlebih jauh.

Juga Bhok Lin perlu berkemas.

Besoknya, Bhok Kokkong benar telah menyiapkan bingkisannya untuk raja, ialah sebuah giokdjieie, dua belas butir mutiara yabengtjoe serta sepotong batu marmer yang atasnya ada lukisannya yang wajar, seperti juga ukirannya orang pandai. Batu semacam ini, dalam beberapa ratus, tak ada sebuah juga, dari itu dapat dimengarti harganya yang tak terkirakan, sebagaimana harga giokdjieie dan mutiara itu pun mirip dengan harganya sebuah kota...

Untuk berlaku hati-hati, Bhok Kokkong titahkan rombongan pengantar bingkisan ini bukan berangkat seperti kantor piauwkiok lagi mengantar piauw yang berharga, hanya Keng Sim dan Bhok Lin, puteranya itu, diperintah menyamar sebagai mahasiswa yang hendak pergi ke kota raja untuk turut dalam ujian ilmu surat. Dua guru silat, atau pahlawan, dimestikan menyamar sebagai budak atau kacungnya dua mahasiswa itu, dan mereka mesti memikul peti yang termuatkan pakaian dan buku. Ketiga barang berharga itu dicampur di dalam peti buku. Kedua pahlawan itu ialah Thio Po dan Yo Gie, mereka tidak liehay tetapi luas pengetahuannya mengenai dunia kangouw.

Demikianlah Keng Sim berempat pamitan dari Kokkong semua, untuk meninggalkan kota Koenbeng, guna memulai dengan perjalanannya ke kota raja. Jalanan yang diambil bukan jalanan yang memasuki propinsi Soetjoan terus ke Siamsay, terus lagi ke Hoolam, akan tiba di Hoopak hanyajalanan lain. ialah jalanan dari propinsi Koeitjioe ke Kwiesay dan Kwietang. sepanjang pesisir laut, sampai di propinsi Hoopak. Jalanan yang diambil itu ada banyak pegunungannya tetapi di situ telah disiapkan sesuatu untuk menggampangi perjalanan.

Di sepanjang jalan Bhok Lin nampak gembira sekali. Ia tidak kenal takut, bahkan ia bersedia andaikata ada orang jahat yang hendak memegat, untuk merampas bingkisan di bawah perlindungannya itu. Hari lewat hari, ia tetap bergembira. Selama sepuluh hari, jangan kata begal besar, begal kecil pun tak ada di tengah jalan itu. Setelah ini, selagi kedua pahlawan girang bukan main, Bhok Lin sebaliknya menjadi lenyap kegembiraannya...

Pada suatu hari tibalah mereka di tapal batas Inlam dan Koeitjioe, di tempat yang disebut kecamatan Thianngo. Di situ Yo Gie, yang menghela napas lega, berkata: "Untuk Koeitjioe, jalanan di sini paling sukar, banyak orang jahatnya. Di sini termasuk wilayah suku bangsa Biauw. Syukur sampai sebegitu jauh kita tidak nampak halangan apa-apa. Selewatnya Kwiesay, kita akan sampai di Kwietang. Di Kwietang ini. gubernur jenderalnya adalah sahabat kongtia. Di harian kita mau berangkat, gubernur jenderal itu telah mengasi warta pada kongtia bahwa bingkisan dari Koeitjioe dan Kwiesay sudah sampai di Kwietjioe dan tengah menantikan rombongan dari Inlam ini, untuk nanti dari Kwietjioe mereka berangkat bersama menuju lebih jauh ke kota raja. Kitalah yang diminta suka berangkat bersama-sama. Dari itu, tinggal sedikit lagi. maka ke empat rombongan akan bertemu dan berkumpul. Dengan jalan bersama, kita tak usah takuti lagi segala orang jahat."

"Fui!" Bhok Ling mengasi dengar suaranya apabila ia telah mendengar perkataannya pahlawan itu. "Kenapa kamu bernyali kecil sekali? Kenapa kamu mau mengharapi bantuan tenaga lain orang?"

"Oh. siauwkongtia," kata Thio Po. tertawa. "Untuk kami. kami cuma mengharapi barang sampai di kota raja dengan tidak kurang suatu apa. dengan begitu kau bakal jadi si Enghiong kecil. Selama di dalam perjalanan, kami minta dengan sangat janganlah Siauwkongtia membawa tingkah temberang..."

Anak muda itu lagi tidak gembira, la tidak mau melayani bicara.

Maka mereka berjalan terus.

Di waktu magrib, mereka sudah mendekati kota kecamatan tinggal kira-kira enam puluh lie lebih. Kedua pahlawan mengusulkan untuk singgah, supaya mereka tak usah jalan malam. Usul itu diterima baik. Begitulah mereka mondok di sebuah dusun di situ di mana ada pondokan dengan tiga kamar atas. kamar yang satu sudah ada penyewanya.

Bhok Lin mengajaki Keng Sim mengambil sebuah kamar, sebuah kamar lagi buat kedua pahlawan, tetapi mereka ini menyamar sebagai budak, mereka pun ingin leluasa menjagai piauw, mereka mengalah, dari itu mereka minta sebuah kamar bawah saja.

Habis bersantap sore, orang hendak lantas beristirahat. Justeru itu, di luar terdengar berisiknya suara kuda meringkik dan orang bicara, kemudian terlihat masuknya serombongan orang yang membawa bendera dari kantor soenboe propinsi Koeitjioe. Mereka itu hendak menumpang bermalam, jumlah mereka belasan. Orang yang menjadi kepala ialah seorang Biauw asli, tubuhnya tinggi dan besar, dandanannya ialah seragam militer kelas empat. Kelihatannya ia keren dan garang. Begitulah setibanya di dalam, ia mengasi dengar suaranya yang nyaring: "Pemilik pondokan, lekas bersihkan kamar atas untuk kami beramai!"

Pemilik pondokan muncul dengan lantas, terus dia menekuk lututnya.

"Kamar kami cuma tiga, dua sudah ada yang isi, tinggal yang satu lagi." ia berkata, menerangkan. "Hamba mohon Taydjin suka maklum saja."

Pembesar Biauw itu benar-benar garang.

"Perduli apa aku dengan tetamu-tetamu itu!" bentaknya, "Suruh mereka pergi!"

"Hebat ini pembesar cilik!" kata Bhok Lin.

Keng Sim tidak membilang apa-apa, hanya ia mengintai di sela pintu. Ia terkejut setelah ia melihat si pembesar bangsa Biauw itu, sebab ia kenali orang adalah Poan Thian Lo murid kepala dari Tjie Hee Toodjin. Ia tahu dia gagah, sedang pada belasan tahun yang lalu bahkan Yang Tjong Hay, adik seperguruannya, terhitung satu di antara soetay kiamkek. empat ahli silat pedang yang terbesar, yang namanya sama kesohornya seperti nama Thio Tan Hong, Ouw Bong Hoe dan Tjio Keng To. Sebagai kakak seperguruan, orang bilang, dia lebih liehay daripada Yang Tjong Hay Ia pernah ketemu Poan Thian Lo ini di gunung Tjiat Hee Nia di Hangtjioe. ketika dia membantui Yang Tjong Hay dan rombongannya hendak menangkap Yap Seng Lim, itu waktu dia telah dua kali digaplok Siauw Houw Tjoe, siapa berbuat begitu atas titahnya Thio Tan Hong. Tentu sekali. Poan Thian Lo sebaliknya tidak mengenali ianya.

Melihat murid Tjie Hee ini. Keng Sim jadi heran sekali.

"Kenapa jahanam ini memangku pangkat militer?" ia tanya dirinya sendiri. "Dengan mengandali pengaruh adik seperguruannya, dia dapat menjadi pahlawan kelas satu di dalam istana, kenapa sekarang dia lebih suka jadi opsir kelas empat, menjadi orang sebawahan di kantor soenboe di Koeitjioe?"

Di belakang Poan Thian Lo ada seorang yang romannya luar biasa, macamnya seperti orang asing akan tetapi dandanannya seperti orang Biauw, sedang di kedua lengannya ada digantungi lima buah kelenengan perak, selagi dia berjalan, kelenengan itu berbunyi memperdengarkan suaranya.

"Dialah tentu Bong Goan Tjoe, adik seperguruan dari Poan Thian Lo," kata Keng Sim dalam hatinya. Ia telah mendengar dari Sin Tjoe halnya Siauw

Houw Tjoe di wilayah orang Biauw ditipu hingga menikah sebab muridnya Tjie Hee Toodjin ingin mempelajari ilmu yoga dari bocah itu. Bong Goan Tjoe ini ber-ibu orang Biauw dan berbapak orang asing, maka juga demikian macamnya dan dandanannya.

Di belakang Bong Goan Tjoe ada dua opsir kelas tujuh, sebagaimana ternyata dari seragam mereka. Mereka ini masing-masing memondong sebuah peti besi ukuran sekaki persegi, rupanya peti itu berat sekali, sebab jalannya mereka seperti setindak demi setindak.


Keng Sim lantas menduga, isinya peti mesti logam sebangsa emas dan jumlahnya banyak.

"Dia berpangkat rendah tetapi tugasnya pasti sama dengan tugas kita," kata si anak muda kepada Bhok Lin. Iabicara perlahaa sambil tertawa.

Putera Kokkong itu tidak mengarti maksud orang.

"Siapa sejalan dengannya?" katanya. "Apakah kau artikan mereka pun hendak pergi ke kota raja?"

Keng Sim tertawa, ia tidak menyahuti. Ia lebih memperhatikan suasana di luar. Ia ingat pada kejadian sepuluh tahun dulu ketika Tjie Hee Toodjin dan kawan-kawannya pergi ke Tjhongsan di Tali di mana dia hendak mengadu pedang dengan Hian Kie Itsoe tetapi dia dikalahkan murid-muridnya Hian Kie. sedang setahun kemudian, Yang Tjong Hay, kena dipecundangi Hok Thian Touw, ahli pedang dari Thiansan. hingga Tjong Hay kehilangan juga pedangnya, karena mana saking malu orang she Yang ini meletaki jabatannya sebagai tjongkoan istana kaisar dan ikut guru dan kakak seperguruannya pulang ke gunungnya untuk belajar lebih jauh. Adalah sekarang, setelah lewat beberapa tahun, mereka itu mulai bergerak pula. Kebetulan sekali soenboe dari Koeitjioe hendak mengantar bingkisan untuk kaisar dan lagi mencari orang kosen sebagai pengantarnya. Tjong Hay ketahui hal itu. tetapi kesehatannya belum pulih, maka ia ajukan Poan Thian Lo.

Poan Thian Lo ada orang Biauw, orang Biauw biasanya tidak suka memangku pangkal, tetapi Thian Lo beda. dari kebanyakan orang bangsanya itu, sudah kurang pikir, ia pun ingin sekali menjabat pangkat, tidak heran, dengan datangnya ini saat baik. ia lantas terima usulnya Tjong Hay, hingga kejadian ia bekerja pada soenboe. Sebagai permulaan, iadikasi kedudukan tingkat ke empat. Ia percaya, dengan kepandaiannya itu, ia bakal tiba dengan selamat di kota raja bersama harta yang berada di bawah perlindungannya itu. Ia telah membayangi, bagaimana namanya jadi kesohor setibanya ia di kota raja, bagaimana ia akan naik pangkat. Untuk kepergiannya ini. ia ajak Bong Goan Tjoe bersama. Hanya, dasar orang kurang pikir, di sepanjang jalan dia berlaku temberang Demikian sudah terjadi, di tempat penginapan ini dia bersikap bengis terhadap pemilik pondokan.

"Aku tidak perduli mereka siapa!" katanya keren. "Suruh mereka pergi!"

"Tetapi, Taydjin," kata tuan rumah sambil berlutut dan mengangguk-angguk, suaranya pun menggetar, "bagi kami pemilik pondokan, tetamu ada bagaikan ayah dan ibu kami, yang memberi kami makan dan pakai. Ini... ini..."

"Hm!" bersuara Poan Thian Lo, yang tidak perdulikan keberatan orang, bahkan kakinya lantas melayang kepada tuan rumah itu. Dia pun berseru: "Anak kamu boleh turun tangan sendiri!"

Bhok Lin mendongkol sekali. Justeru itu. pintu kamarnya menjeblak dan dua orang serdadu nerobos masuk, la menjadi gusar bukan main. Ia menyambuti mereka, setelah mencekal, ia lemparkan mereka ke luar kamar!

Bong Goan Tjoe. yang mengikuti kedua serdadu itu, mendapat lihat mereka dilemparkan terpelanting, ia jadi murka. Lantas ia lompat maju. Tapi ia segera menjadi heran. Sebab di depannya ia melihat seorang muda belia yang cakap romannya, yang dandan sebagai anak sekolah, melainkan wajah orang nampak keren.

"Apakah di sini orang dapat main gila! Mana wet negara?" demikian suara si anak muda, ialah Bhok Lin, habis dia melontarkan dua serdadu itu. Sebagai siauwkongtia, hertog cilik, dia mempunyai juga keangkarannya seorang pangeran.

Bong Goan Tjoe tercengang. Tapi ia berada di depan orang-orangnya, ia malu kalau ia tidak beraksi terus. Ia pun sudah biasa berlaku galak dan garang. Maka ia kata dengan tertawa dingin: "Di sini wet negara ----- padaku!" Sambil berkata, ia menggeraki kedua tangannya, diulur ke arah si anak muda, untuk menyambar anak muda itu.

Bhok Lin berontak untuk meloloskan dirinya. Ia menggunai tipu silat "Melepaskan bunga, meloloskan pakaian perang." Ia pernah belajar silat dari Tan Hong, ilmu silatnya itu tidak sembarang, tetapi dibanding sama Bong Goan Tjoe. ia masih kalah jauh. Maka itu, tak dapat ia meronta meloloskan dirinya. Cekalan lawan kuat bagaikan jepitan besi.

Tiat Keng Sim menyaksikan itu, ia bersenyum, sembari bersenyum, ia bertindak keluar. Terus ia menjura kepada Bong Goan Tjoe seraya berkata: "Seorang budiman, dia menggeraki mulutnya, tidak tangannya, jikalau taydjin hendak ada bicara silahkan bicara dengan baik-baik. Segala macam urusan masih dapat didamaikan..."

Belum lagi perkataan ini diucapkan habis, mendadak Bong Goan Tjoe menjerit, cekalannya terlepas.

menyusul mana, Bhok Lin sudah lantas mengayun tinjunya ke arah muka lawannya itu, mengeluarkan tangan kirinya, untuk mencegah, sedang dengan tangan kanannya, ia menahan Bong Goan Tjoe.

"Segala apa dapat dibicarakan dengan baik-baik," katanya pula, bersenyum. "Dengan memandang mukaku, aku minta tuan berdua sudilah menahan tangan kamu." Ia bicara kepada dua Goan Tjoe dan Bhok Lin.

Goan Tjoe mendorong orang yang menghalanginya itu, ia tidak dapat menolak tangan orang, tubuh siapa pun tidak bergeming. Ia juga merasakan tangannya sakit. Lekas-lekas ia tunduk, untuk melihatnya. Di luar tahunya, telapakan tangannya telah terluka tergores. Ia tidak merasa bahwa tadi, selagi Keng Sim menjura kepadanya, tangan si anak muda telah menyentuh tangannya itu, kukunya menggoresnya. Ia menjadi kaget berbareng gusar.

"Kau siapa?" ia membentak.

Sementara itu Poan Thian Lo kaget di dalam hatinya. Ia rada sembrono tetapi ia lebih liehay daripada adik seperguruannya itu, dengan matanya yang tajam ia bisa melihat Keng Sim mestinya liehay, cuma romannya saja Keng Sim seperti anak sekolah yang lemah. Ia pikir. "Rasanya aku pun belum tentu dapat mengalahkan dia..."

Tengah Poan Thian Lo bersangsi, Keng Sim sudah tak menghalangi lagi tangannya Bong Goan Tjoe. Ia membungkuk dan berkata pula: "Aku adalah sioetjay miskin yang mau pergi ke kota raja untuk turut dalam ujian, kalau sekarang taydjin mengusir aku, celakalah aku ini. Aku tidak punya uang untuk menyewa kamar di lain pondokan, bahkan mungkin aku bakal tidak mendapati lainnya pondokan lagi. Di samping itu aku bangsa anak sekolah, tidak dapat aku tidur di udara terbuka, maka itu, aku minta sukalah taydjin mengasihani aku dan memaafkannya."

Poan Thian Lo melirik si anak muda, lalu mendahului Goan Tjoe, ia berkata: "Dengan memandang kau satu sioetjay, baiklah, kami tidak usir padamu." ia terus menoleh kepada dua opsir rendah lainnya, ia kata: "Lekas bereskan itu dua kamar, sore ini biarlah kita tidur sedapatnya."

Bhok Lin mengawasi orang dengan mata mendelik tandanya ia masih panas hatinya.

"Adik Lin, jangan kita menerbitkan gara-gara." Keng Sim membujuk, perlahan, la menarik tangan orang, untuk diajak masuk. Meski begitu, ia tidak merapati pintu, untuk melihat apa yang masih dapat terjadi.

Bong Goan Tjoe masih mendongkol, ia menghampirkan kamar yang kedua dan menendangnya, setelah pintu menjeblak. dua opsir rendahan yang dititahkan Poan Thian Lo lantas saja nerobos masuk tanpa perdulikan siapa yang berada di dalam kamar itu.

Tiba-tiba dari dalam kamar itu terdengar suara plak-plok beruntun-runtun. kemudian terlihat dua nona muda belia berlompat keluar, gerakannya sangat sebat. belum orang sempat mengawasi padanya, mereka sudah sampai kepada Bong Goan Tjoe, lalu tahu-tahu "Plakplok! Plakplok!" terdengarlah suara nyaring, atau si orang galak itu kena digaplok empat kali oleh mereka itu. mengenai kupingnya, menyusul mana, mereka memutar tubuh, untuk menendang kedua opsir rendah itu. hingga keduanya terpelanting setombak jauhnya.

Keng Sim melihat itu semua, ia kaget dan heran. Kedua nona muda itu dandan serupa, baju mereka berwarna kuning gading, rambut di kedua pinggirannya dibikin model kupu-kupu. Mereka bertubuh kurus. Satu di antaranya, mirip dengan potongan tubuh si nona yang meninggalkan pisau belati berikut surat...

Bong Goan Tjoe bukanlah seorang lemah, akan tetapi datangnya serangan sangat mendadak dan cepat luar biasa, maka itu ia menjadi kurban gaplokan berantai itu. Tentu sekali ia menjadi murka bukan buatan. Dalam murkanya segera ia menyerang dengan pukulannya ilmu silat Toasoet paytjioe. Bahwa pukulan ini hebat sudah bisa diduga dari menyambarnya angin yang keras sekali.

Kedua nona itu tidak takut, bahkan mereka saling memandang dan tertawa. Kata yang satunya: "Apakah kau hendak menghina orang dengan mengandali saja tenaga kerbaumu? Hm!"

Diserang hebat, mereka lantas perlihatkan kelincahan mereka. Senantiasa mereka main berkelit indah gerakannya, bagaikan kupu-kupu selang-seling di antara bunga-bunga atau cecapung memain di air. Ruang sempit dan di situ pun ada kursi meja akan tetapi mereka masih dapat bergerak dengan leluasa. Mereka tidak mau berada berduaan saja, selalu mereka memisahkan diri, tubuh mereka licin seperti ikan berenang pergi datang di dalam air. Sia-sia belaka Bong Goan Tjoe mengeluarkan Seantero kepandaiannya, ia tidak memperoleh hasil, bahkan melanggar saja ujung baju si nona-nona, ia tidak mampu. Celakanya ialah kalau ia diserang berbareng dari kiri dan kanan. Saking sengitnya, ia tendang kursi meja hingga jadi jumpalitan, dengan begitu ia membuatnya ruang jadi lebih lega sedikit, tetapi juga sekarang ini, ia tidak berhasil menghajar nona-nona itu, yang tetap berlaku lincah, hingga akhirnya ialah yang matanya kabur dan kepalanya pusing...

Poan Thian Lo menyaksikan itu dengan masgul.

"Soetee, kau mundur!" akhirnya ia berkata.

Kakak seperguruan ini belum menutup mulutnya, atau kupingnya mendengar suara plak plok dua kali, suaranya nyaring-nyaring halus. Sebab Bong Goan Tjoe kembali kena digaplok di kiri dan kanan!

"Siapa guru kamu?" Poan Thian Lo menanya nyaring.

"Apakah orang berkelahi mesti mencari gurunya?" balik tanya nona yang di sebelah kiri.

Nona yang di kanan tertawa, ia berkata: "Apakah kau hendak memperdayai kami supaya kami mencari guru kami, supaya kamu dapat ketika untuk lari mengangkat kaki? Haha! Jikalau kau tidak berani, ya sudah saja, cukup asal kamu menghaturkan maaf sambil berlutut dan mengangguk-angguk tiga kali. Ingat, kamu mesti membungkuk hingga kepalamu mengenai batu dan berbunyi nyaring!"

Po Thian Lo tidak niat memancing nona-nona itu, ia hanya hendak mengetahui guru orang, guru yang liehay mestinya. Dengan mengajukan pertanyaan, ia tidak berbuat sembrono, ia bisa menyingkirkan keruwetan di belakang hari. Maka adalah di luar sangkaannya, ia pun dipermainkan nona-nona itu. hingga ia menjadi gusar. Dengan lantas ia mengulur kedua tangannya, semua sepuluh jarinya dibuka, untuk menjambak. Kuat sepuluh jarinya itu, kuat seperti gaetan

Dengan satu gerakan "Burung Hong menggoyang kepala", nona yang di kiri lompat ke samping, lalu dari situ ia maju untuk menggaplok. Ia berkelit lincah sekali, ia pun menyerang dengan dahsyat. Ia percaya dengan kelitannya itu ia akan berhasil menyelamatkan dirinya. Dan ia benar-benar berhasil. Hanya ketika ia membalas menyerang, kesudahannya ia kaget luar biasa. Selagi ia menduga, musuh tidak bakal bisa menyambar pula padanya, sekonyong-konyong tangan lawan sampai kepadanya. Aneh gerakannya Poan Thian Lo. tangannya seperti terulur lebih panjang daripada semestinya. Pasti si nona tidak ketahui kepandaian orang itu, kepandaian yang menjadi warisan istimewa dari Tjie HeeToodjin. Itulah yang dinamakan "Thongpek Wankang," atau ilmu silat "Orang hutan tangan panjang."

Syukur untuk si nona. ia tidak menjadi gugup, ia lantas menyingkirkan diri, sedang kawannya, si nona di sebelah kanan, membarengi meny erang dengan "Dewi mengantar anak." yang disusul sama serangan "Bidadari melemparkan torak." Tangan dan jari tangannya menyerang berbareng.

Poan Thiau Lo repot juga, dari itu tak sempat ia menyerang terus pada si nona di sebelah kiri itu. hingga nona itu dapat membebaskan diri!

Kedua nona itu, setelah bebas dari ancaman berbahaya, pada tertawa.

"Kau nyata terlebih pandai daripada si tolol dan gerubuk itu!" kata mereka, menggoda, sikapnya Jenaka. Hanya meski demikian, selanjutnya mereka tidak mau alpa seperti tadinya. Menghadapi lawan yang kosen, mereka berlaku waspada. Kembali mereka menggunai kelincahan tubuh mereka, kelit sana dan kelit sini.

Mulanya Poan Thian Lo menelad adik seperguruannya, ia menggunai kekerasan, ia menggunai tenaga dari Toasoet paytjioe, habis itu, ia mengubah itu, ia menggunai jurus-jurus dari Kimnahoat, untuk dapat menangkap kedua nona itu. Ia menang tenaga dalam dari Bong Goan Tjoe, ia bisa berkelahi dengan ulat. Demikian sudah terjadi, kedua nona kena didesak, hingga mereka dapat membela diri, tidak bisa mereka melakukan penyerangan membalas...

Pikirannya Tiat Keng Sim bersamaan dengan pikirannya Poan Thian Lo. Yang paling penting ialah melindungi bingkisan hingga di kota raja dengan tidak kurang suatu apa. Di belakang hari, di kota raja. mereka toh bakal bertemu pula. Jadi dia tidak ingin berkelahi. Maka dia memikir untuk memperkenalkan diri, untuk menyudahi perselisihan itu. Siapa tahu, Poan Thian Lo itu si gerubuk, karena murkanya, ia telah menantang, omongannya tidak menyedapkan telinga yang mendengarnya. Di sebelah itu. dia dibuatnya panas oleh kata-katanya kedua nona itu.

Terpaksa dia menghunus pedangnya.

"Kalau begitu," berkata Keng Sim, tertawa, "aku harus tidak mengenal diriku, aku mohon pengajaran dari Poan Taydjin, untuk beberapa jurus saja. Aku mohon sukalah Taydjin berlaku murah hati."

Poan Thian Lo sebaliknya membentak.

"Boleh jikalau kita tidak turun tangan, kalau kita turun tangan juga, tidak ada soal murah hati lagi!" demikian suaranya yang katak. "Siapa kesudian berdamai denganmu?"

Dia menyangka benar-benar Keng Sim jeri. Tapi dia telah melihatnya orang memperlihatkan

kepandaiannya tadi, dia mengetahui orang bukanlah musuh yang ringan. Maka dia geraki cambuknya, menyerang ke bawah dengan jurusnya "Laosoe poankin" atau Pohon tua gempur akarnya," Bahkan dia membulang-baling terus tiga kali, hingga benar-benar dia tidak mau berlaku murah hati.

Mau atau tidak, Keng Sim mendongkol juga. Tentu sekali, iajuga ingin mempertunjuki kepandaiannya. Maka ketika cambuk hampir mengenai kakinya, sesudah ia berkelit beruntun dua kali. ia membabat ke bawah, memapaki cambuk itu.

Keng Sim menggunai pedangnya Tjio Keng To, gurunya, pedang curian dari istana kaisar, yang diberi nama Tjiehong kiam atau Pedang Bianglala, pedang yang tajam luar biasa, dapat menahas besi dan memutuskan rambut yang ditiupkan ke arah tajamnya. Dari itu, ketika kedua senjata bentrok, terdengarlah suara "Sret! Sret!" sedang sinarnya berkelebatan.

Kesudahan dari bentrokan itu membuatnya Poan Thian Lo kaget dan akhirnya menjadi gusar sekali. Ia bukannya berhasil menyapu orang, hanya gigi-gigi mirip gergaji dari cambuknya itu kena dipapas putus. Sambil menjerit, ia menyerang pula dengan hebat, dengan tipu silatnya "Angin puyu membuatnya pohon lioe menari." cepatnya bagaikan hujan angin dahsyat.

Keng Sim tidak perdulikan hebatnya serangan lawan, ia melawan dengan tidak kalah bengisnya. Ia menggunakan jurus "Hujan angin di empat penjuru," salah sebuah tipu silat dari Keng To Kiamhoat, ilmu pedang "Keng To" (Gelombang). Di antara sinarnya yang berkilauan, terdengarlah suara nyaring berirama.

Kedua nona tadi lantas tertawa, tangannya ditepuk-tepuk.

"Merdu suara tetabuan ini, sungguh sedep didengarnya!" mereka memuji.

Suara itu ialah suara pedang yang tajam membabat giginya cambuk, si nona-nona menganggap suara itu merdu...

Untuk Poan Thian Lo, suara itu sebaliknya mengiris hati.

"Sungguh celaka!" dia menjerit dalam murkanya yang sangat. Sebab hanya dalam beberapa jurus, habis sudah semua gigi cambuknya itu. semua habis terpapas pedang lawan. Tj iehong kiam tidak mengasi hati pada gigi-gigi itu.

Tiat Keng Sim sebaliknya tertawa.

"Poan Taydjin, suka kau berlaku murah, bukan?" katanya.

Poan Thian Lo sebaliknya menjadi seperti kalap.

"Akan aku mengadu jiwa denganmu!" bentaknya. Dan ia menyerang pula, dengan hebat sekali, dengan cambuknya yang sudah tidak bergigi lagi. Hebat serangan ini. sebab dalam ilmu kepandaian, si Taydjin memang tak ada di bawahan Keng Sim.

Keng Sim juga tidak berani memandang enteng, dengan gigih ia membuat perlawanan, cuma sekarang ia tidak bisa berbuat seperti tadi. dengan cepat meruntuhkan semua gigi cambuk. Sekarang cambuk itu, yang dimainkan dengan lincah, tak gampang untuk dibabat kutung. Cambuk itu memang terbuat dan otot-otot harimau, keras bisa keraskan lempang bagaikan toya, lunak bisa dilunakkan hingga dapat dililitkan di pinggang. Pula celaka siapa kena dihajar atau dilibat.

Keng Sim seperti dipaksa menggunai ilmu silat pedangnya, Keng To Kiamhoat itu, maka ia membikin pedangnya itu benar-benar seperti "gelombang yang mengagetkan" (kengto). Karena Tjio

Keng To terhitung salah satu dari empat kiamkek, ahli silat terbesar, bisa dimengarti dia hanya berada di bawahan Thio Tan Hong.

Sebagai murid, Keng Sim telah paham ilmu pedang itu. ditambah sama latihannya sudah tujuh atau delapan tahun, ia dapat mempergunakannya dengan mahir. Ia pun murid yang paling disayang.

Di mana dua orang bagaikan berkelahi mati-matian, tidak heran pertempuran merekajadi seru sekali, keadaan mereka pun berimbang. Maka sampai sekian lama, mereka masih sama tangguhnya, tidak ada yang mau menyerah kalah.

Kedua nona nonton perkelahian belum lama, keduanya mendaki bukit, lalu mereka duduk berendeng di atas sebuah batu besar. Dari atas dengan leluasa mereka dapat memandang ke bawah, sikap mereka tenang Mereka lalu merundingkan tentang dua orang yang lagi mengadu jiwa itu. suara tertawa mereka saban-saban dibawa angin gunung hingga ke kupingnya si anak muda.

Keng Sim menjadi tidak senang hati.

"Aku berkelahi untuk mereka, mereka justeru menjauhkan diri," katanya di dalam hati. "Aku bukannya mengharap bantuan mereka, hanya aku tidak puas untuk sikapnya. Kenapa mereka menganggapnya enteng sekali kepada orang yang menolongi mereka?"

Poan Thian Lo sendiri sudah mulai bingung. Sia-sia belaka desakannya itu, ia tidak berhasil mengalahkan lawannya ini, yang tadinya ia tidak pandang terlalu tinggi.

Juga Keng Sim, ia mulai mendongkol.

"Dia tidak mengenal salatan, buat apa aku menaruh belas kasihan terhadapnya?" ia berpikir. Maka ia berseru, ia menggeraki pedangnya hebat sekali. Ia melawan keras dengan keras. "Kena!" ia berseru kemudian. Ia bukannya membabat cambuk, hanya setelah cambuk lewat di atasan kepalanya, untuk mana ia mendak, selagi bangun berdiri pedangnya diarahkan ke dada orang, di jalan darah Tantiong hiat.

Tidak ampun lagi, Poan Thian Lo menjerit keras, lalu tubuhnya roboh.

Habis merobohkan musuhnya, yang membuatnya lega hati. Keng Sim mengangkat kepala, melihat ke atas bukit. Ia menampak kedua nona tertawa seraya bertepuk-tepuk tangan.

"Terima kasih!" terdengar suara mereka itu, nyaring tetapi halus.

"Inilah tidak berarti!" berkata Keng Sim. "Orang Biauw galak ini telah aku robohkan, kamu boleh turun sekarang!"

"Terima kasih yang kau telah menolongi kami merobohkan dia!" berkata satu nona. ia tertawa begitu pun kawannya. "Kedua entjie-ku mungkin sudah berhasil dengan pekerjaan mereka, kami hendak pergi menyambut mereka itu. dari itu tidak dapat kami menemanimu lebih lama pula..."

Mendengar itu. Keng Sim terkejut.

"Oh, jadi benar kamu berkomplot untuk merampas bingkisan!" katanya.

Dua nona itu kembali tertawa.

"Orang membilangnya Tiat Kongtjoe cerdas, benarlah dugaanmu itu!" kata mereka.

Keng Sim kaget bukan main. Hebat jawaban itu, yang melebihkan cacian, la menganggapnya dirinya pintar, ia toh kena dipermainkan kedua nona-nona itu. Ia telah dipancing dengan tipu daya. "Memancing harimau turun dari gunung." Bukankah mereka memincuk Poan Thian Lo keluar dari pondokan, lalu ia pergi menolongi mereka, dengan begitu pondokan jadi kosong, lalu bekerjalah koncoh mereka? Siapa bisa melawan mereka itu?

Anak muda ini menjadi serba salah. Ingin ia mengubar ke atas, kepada kedua nona itu, ia kuatir barangnya sendiri nanti hilang. Selagi ia diam mengawasi, nona-nona itu tertawa pula, tertawa geli sekali. Sembari mengulap-ulapkan tangannya, mereka berkata: "Di dalam gudangnya si raja ada bertumpuk emas dan kumala, segala macam permata pun ada, toh kamu masih hendak menghadiahkan kepadanya! Maka kalau kami mengambil bingkisan ini. tidak ada artinya, bukan?"

Segera setelah ucapannya itu, mereka mengangkat kaki. lari naik semakin tinggi ke atas bukit, hingga sebentar kemudian, mereka sudah melewati bukit itu.

Karena tidak ada harapan untuk mengejar. Kcng Sim lari balik ke hotel. Selagi mendekatin, kupingnya sudah mendengar suara berisik sekali dari arah hotelnya. Ia heran dan kaget, maka ia berlari-lari keras.

"Rupanya kawanan perampas belum mengangkat kaki," ia menduga-duga.

Dengan cepat pemuda ini sampai di depan hotel, di mana ia menampak segala apa kalang kabutan. Serdadu-serdadu pengiring pada roboh menggelalakan, bekas dihajar perampas. Bong Goan Tjoe, dengan mulut berkaokan, lagi melayani satu nona muda belia, sedang seorang nona lainnya lagi menggerayangi kedua peti besi yang memuat bingkisan.

Kedua peti kecil tetapi berat, sebagai ia mengetahuinya, dua opsir rendahan. yang membawa itu, telah termege-mege karena mesti menggunai tenaga berlebihan setiap peti itu beratnya mungkin seratus kati. Sebaliknya nona itu, memegang peti dengan masing-masing tangannya, dia seperti tidak menggunai tenaga.

Dua-dua nona itu berumur masing-masing baru empat atau lima belas tahun, mereka mirip dengan dua yang tadi. hingga mulanya Keng Sim menduga mereka itulah yang telah mendahului ia tiba di hotel, setelah ia mengawasi, ia mendapat kenyataan mereka ini lebih gemuk sedikit, cuma pakaian mereka berempat sama. ialah warna kuning gading dan di kepala mereka ada kupu-kupunya. Juga senjata mereka serupa yaitu golok pendek dengan kepala naga-nagaan.

Kemudian si nona yang merampas bingkisan itu tertawa dan berkata sendirinya: "Aku mengira benda apa y ang berharga luar biasa, kiranya cuma dua patung Buddha dari emas!" Suaranya itu menyatakan ia sangat tidak memandang mata kepada dua patung emas itu.

Sebenarnya pada waktu itu. Koeitjioe ialah sebuah propinsi yang miskin, sampai ada pepatah yang berbunyi: "Langit tidak ada tiga hari yang terang jernih, di bumi tidak ada tiga hari yang aman tenteram, dan di antara manusia, tak ada yang mempunyai emas tiga hoen saja." Toh telah terbukti, soenboe dari Koeitjioe telah berhasil membuat tiga patung Buddha yang berat itu, dari itu dapat dimengarti bagaimana dia sudah memeras rakyatnya.

Bong Goan Tjoe mencaci kalang-kabutan, tetapi dia menggunai bahasa liiauw.

Keng Sim melihat ke sekitarnya. Di mana si nona cuma ada berdua, ia mau percaya barangnya sendiri belum sampai kena dirampas, karena itu. hatinya menjadi sedikit lega. Karenanya, ia merasa lucu juga mendengar ocehannya Bong Goan Tjoe itu. Meski begitu, ia beragu-ragu. Ia memikir-mikir, apa baik ia membantui Bong Goan Tjoe merampas pulang kedua patung emas itu.

Pertempuran berlangsung terus, selagi Keng Sim mengawasinya, mendadak ia melihat si nona telah menggores jidatnya Bong Goan Tjoe, hingga darahnya lantas keluar, mengalir turun.

Atas kejadian itu, yang membikin ia merasa sakit dan semakin gusar, Bong Goan Tjoe menggeraki kedua belah tangannya, melontarkan sepuluh gelang perak di lengannya itu. Sebab gelang-gelang itu adalah senjata rahasia suku bangsa Biauw.

Hebat menyambarnya senjata rahasia itu, sampai hati Keng Sim terkesiap, karena ia sekarang menguatirkan keselamatannya si nona tanggung itu...

Si nona kecil tidak menjadi bingung. Ia mengayunkan tangannya menerbangkan dua batang pisau belati. Segera terdengar menyusulnya suara tangtingtong, suara yang tak hentinya.

Ternyata sembilan gelang dari Poan Thian Lo telah terpapas kutung menjadi dua potong, belum lagi buyar, sudah kena dihajar pisau belati itu. semuanya menjadi kacau tujuannya, menjadi saling bentrok sendiri. Tidak ada sebuah pecahan juga yang mengenai tubuh si nona. yang main berkelit dengan lincah.

Nona yang lainnya telah menyambar kedua peti besi itu, untuk dibawa lari dengan pesat. Diajusteru lari lewat di sampingnya Keng Sim. Kalau ia mau, Keng Sim bisa mengulur tangannya, menyambar, merampas peti besi itu, atau ia hanya memegat, untuk merintangi. Belum dia sempat berpikir, si nona sudah berkata dengan perlahan: "Masing-masing baiklah menyapui saja salju di depan rumahnya sendiri, jangan perdulikan es di genting rumah lain orang!"

Tercengang Keng Sim mendengar suara itu. ialah pemberian ingat untuk ia jangan usilan, supaya ia jangan mencampuri sepak terjangnya nona-nona itu.

Justeru itu terdengar teriakan berulang-ulang dari Bhok Lin dari pondokannya: "Tjiehoe, lekas! Lekas ke mari!" Sebab ipar itu pun telah melihat sesuatu.

Oleh karena menguatirkan barang yang dilindunginya sendiri nanti lenyap, Keng Sim lantas lari pulang. Dengan begitu ia menjadi membiarkan si nona lari terus. Ketika ia tiba di muka pondokan, dengan sekali melirik saja, ia telah melihat muka Bong Goan Tjoe mandi darah, karena dia telah dihajar roboh si nona cilik.

Di rumah penginapan itu orang pada bersembunyi dengan tubuh mereka bergemetaran. Tidak ada seorang juga yang berani mengasi dengar suaranya. Cuma Bhok Lin yang gembira sekali, ia memegang tangan tjiehoe-nya untuk ditarik masuk ke dalam kamar.

"Tjiehoe," katanya tertawa setibanya di dalam, "banyak pengalamanmu dalam dunia kangouw tetapi kali ini kau salah mata, justeru terkaankulah yang benar! Nona-nona itu benarlah orang-orang yang merampas bingkisan untuk kaisar! Dan terhadap kita, mereka itu memandang mata, mereka melepas budi!"

Keng Sim menutup pintu kamar.

"Kenapa mereka melepas budi?" ia tanya iparnya itu.

"Kau lihat!" sahut Bhok Lin, tangannya menunjuk.

Keng Sim segera memandang ke arah yang ditunjuk itu, ialah peti buku mereka di dalam mana disimpan bingkisan mereka. Di situ menancap sebatang pisau belati, yang ditusukkan sehelai kertas. Tidak usah ditanya lagi, pastilah itu kertas dan pisau belati dari si nona-nona.

"Mereka itu, begitu mereka masuk, lantas plak mereka menimpuk dengan pisau belati mereka," Bhok Lin menerangkan, "dan mereka mengatakannya supaya kita jangan usilan. Sebenarnya aku berniat menempur mereka, akan tetapi karena mereka sudah lantas memakai cara kaum kangouw, aku membatalkan niatku itu, aku membiarkan mereka merdeka. Bukankah suatu keharusan, jikalau orang menghormati kita satu kaki, kita membalasnya hormat itu dengan satu tombak?"

Keng Sim tertawa dan mengatakannya. "Aku kuatir justeru lain oranglah yang membiarkan kau!"

Lantas pemuda ini mencabut pisau belati itu. untuk mengambil suratnya. Di situ ada coretan beberapa huruf yang tak keruan, bunyinya begini: "Kamu membelai apa yang tak adil, kami suka berbuat baik. Jikalau kamu tidak kenal salatan. ketahuilah, bingkisanmu sukar sampai di kota raja!"

Habis membaca, Keng Sim berkata: "Mana ini pemberian muka untuk berlaku baik kepada kita? Inilah ancaman belaka!"

"Bukankah barang kita tak disentuh sama sekali?" tanya Bhok Lin.

"Mereka hanya membilang, kali ini mereka tidak merampas, lain kali mereka akan mengulurkan tangan mereka," Keng Sim menjelaskan.

"Tapi kita tidak takut!" berkata Bhok Lin, berani. "Kita empat orang dewasa, mustahil kita tidak dapat melawan empat orang nona bocah itu?"

Keng Sim berpikir. Melihat kepandaian si nona, dengan sebatang pedangnya, ia sanggup melayani mereka itu, ia percaya, ia tidak bakal dikalahkan, tetapi yang ia kuatirkan ialah orang-orang di belakang nona-nona cerdik itu, mereka itu mestinya orang-orang yang liehay. Kalau mereka tidak liehay, cara bagaimana mereka berani merampas bingkisan hadiah untuk raja?

"Tjiehoe, kau pikirkan apa?" Bhok Lin menanya, melihat tjiehoe itu diam saja. "Apakah benar-benar kau kasi dirimu kena digertak mereka? Benarkah kau takut?"

Keng Sim tertawa.

"Aku bukannya takuti mereka itu," ia menyahut, "aku hanya kuatir Poan Thian Lo sadar dan datang ke mari hingga dia melihat kita. Mana enak menghadapi pertemuan itu? Maka baiklah kita lekas berangkat!"

Benar-benar orang she Tiat ini bertindak. Ia menyuruh kedua boesoe siap sedia, ia sendiri melakukan pembayaran kepada pemilik rumah penginapan. Maka di lain saat mereka sudah mulai dengan keberangkatan mereka.



III

Ketemu "Harimau Kumala."

Melihat "Naga Sakti."



Perjalanan dilakukan Keng Sim selekas bisa. Ia menginsafi ancaman bahaya di sepanjang jalan itu. Bhok Lin sebaliknya, dia bahkan gembira sekali membicarakan urusan perampasan itu. Agaknya dia menyesal yang dia tidak dapat ketika akan mencoba-coba dengan ke empat nona cilik itu.

"Ah, siauwkongtia-ku yang baik." berkata Thio Po si guru silat yang usianya sudah lanjut, "untuk kita paling benar kitajangan bertemu pula dengan mereka itu!"

Di perjalanan itu mereka tidak menemui sesuatu, maka itu setelah melewati dua puluh hari lebih, mereka sudah melalui batas propinsi Kwiesay dan sudah memasuki wilayah propinsi Kwietang. Juga di sini mereka umpama kata tidak bertemu sama "setengah penjahat" jua.

Kedua guru silat mentaati pesan Bhok Kokkong, mereka minta Tiat Keng Sim menghadap tjongtok dari Liangkong, dari propinsi Kwiesay dan Kwietang, yang gubernur jenderalnya hanya satu orang, supaya mereka dapat menggabungkan diri dan berjalan bersama-sama rombongan dari Kwiesay ---- Kwietang itu, dengan begitu jumlah mereka jadi banyakan, tenaga mereka pun bertambah kuat.

Bhok Lin tidak senang dengan usul itu, akan tetapi itu adalah titah ayahnya, ia tidak berani membantahnya. Dengan terpaksa ia pergi menjumpai Liangkong tjongtok. Dengan mengunjungi tjongtok itu, mereka menjadi mendapat tahu rombongan pengantar bingkisan dari Kwiesay sudah tiba beberapa hari lebih dulu dan mereka itu bahkan tengah menantikan mereka ini.

Tjongtok menyambut dan melayani Keng Sim dan Bhok Lin dengan manis budi, karena ia mengetahui mereka itu, yang satu ialah menantunya Bhok Kokkong dan yang lainnya putera hertog itu. Sebaliknya ialah sikap dari boesoe atau guru-guru silat yang melindungi bingkisan dari kedua propinsi itu, di depan mereka menunjuki hormat mereka, di belakang mereka memandang enteng, hal mana ternyata dari air muka mereka.

Boesoe dari dua propinsi itu adalah ahli-ahli silat yang kenamaan, di mata mereka itu Keng Sim dan Bhok Lin adalah dua kongtjoe belaka, yang pasti tidak punya guna dan melainkan bertingkah saja, untuk menjual lagak. Sebaliknya mereka mau percaya si kedua guru silat pengantarnya barulah orang-orang yang berarti, maka itu senang mereka bergaul dengan dua boesoe ini, yang mereka anggap ada sesamanya, gembira mereka memasang omong.

Keng Sim berdua Bhok Lin singgah dua hari di kantor tjongtok, lantas mereka pamitan untuk melanjuti perjalanan. Mereka menjadi tiga rombongan yang menjadi satu. jumlah pengatarnya atau boesoe ada tujuh delapan orang dan pengiringnya empat atau lima puluh serdadu. Dengan jumlah yang besar, mereka itu nampaknya mentereng sekali.

Melihat itu. Keng Sim kurang puas. Itulah terlalu mencolok mata.

Boesoe yang mengepalai rombongan dari Kwietang bernama Tjoa Hok Tjiang, dialah keluaran Siauwlim Sie, di masa mudanya pernah dia pesiar ke Utara, ke kota raja. di mana dia pernah bertempur sama guru-guru silat dari barisan pahlawan Kimiewie, beruntun dalam satu hari dia berhasil mengalahkan tujuh guru silat. Sekarang dalam usia mendekati enam puluh, dia nampaknya masih gagah.

Guru silat dari Kwiesay ialah Wie Kok Tjeng, umurnya lebih kurang empat puluh tahun, kedudukannya sebagai tjongpiuwtauw, kepala sersi dari kantor soenboe. Ia pandai bersilat di atas kuda dan menggunai panah, sedang senjatanya sendiri ialah toya tjiebiekoen. Dalam kalangan Boelim atau Rimba Persilatan di Kwiesay, ia berkenamaan.

Di sepanjang jalan dua guru silat ini gembira sekali membicarakan urusan ilmu silat, tentang hidup mereka. Kelihatan nyata mereka sama-sama memamerkan diri sendiri. Bhok Lin tidak senang mendengar suara orang, kalau bukannya Keng Sim mencegah, tentulah ia sudah memukul sindir mereka itu.

Pada suatu hari rombongan yang besar ini tiba di Tjiauwleng, tapal batas propinsi Hokkian. Di sini mereka memasuki daerah pegunungan, maka dengan sendirinya mereka berlaku tambah berhati-hati.

Di waktu tengah hari, selagi Sang Surya ada di tengah-tengah langit, karena panas terik, manusia letih dan kuda lelah dan berdahaga, mereka mampir di tepi jalan di mana ada sebuah warung teh. Tjoa Hok Tjiang memberi ijin akan semua pengiring beristirahat, ia sendiri mengajak Keng Sim semua masuk ke dalam warung akan duduk berkumpul di dua buah meja.

Wie Kok 'Tjeng, guru silat dari Kwiesay, ada membekal panah, senjata itu tidak pernah lepas dari tangannya, selalu ia bawa-bawa. demikian memasuki warung teh, ia terus bawa busurnya itu. Bhok Lin jail, ia pegang busur itu, untuk mencoba-coba beratnya.

"Hati-hati, siauwkongtia!" berkata Kok Tjeng, tergesa, "jaga jangan kau merusak kesehatanmu!"

Bhok Lin tertawa haha-hihi, ia mengangkatnya.

"Mungkin busur ini beratnya lima atau enam puluh kati. " katanya. "Untuk mementang busur yang sangat besar ini, mesti diperlukan tenaga yang besar!"

Wie Kok Tjeng heran mendapatkan si hertog muda kuat mengangkat busurnya itu.

"Ah, tak usah juga memakai tenaga besar!" katanya kemudian, tertawa. "Busurku ini ialah dinamakan ngotjio kiangkong. asal kedua lengan tangan mempunyai tenaga lima enam ratus kati juga sudah kuat untuk menggunainya!"

Yang disebut ngotjio kiangkong, atau busur yang berat lima karung adalah busur nomor satu, sengaja Wie Kok Tjeng menyebut itu, guna membanggakan dirinya bertenaga besar.

Keng Sim bersenyum mendengar perkataan orang itu.

"Mempunyai tenaga lima atau enam ratus kati sudah bukannya terhitung tenaga kecil lagi!" berkata Bhok Lin, yang seperti tak tahu apa-apa.

Wie Kok Tjeng agak tercengang.

"Hertog muda ini besar mulut," pikirnya. "Tenaga lima enam ratus kati katanya bukan kecil lagi..." Tapi ia tertawa dan berkata, "Tenaga memanah adalah yang kedua, yang paling penting yaitu tepatnya incaran. Ada satu waktu yang aku memasuki sebuah gunung mengejar serombongan berandal, mereka berjumlah sembilan belas orang, panahku ada delapan belas batang. Satu demi satu anak panahku itu menemui sasarannya, delapan belas berandal roboh karenanya. Yang ke sembilan belas lari kabur. Dia beruntung tidak sampai binasa. Kemudian aku mendapat tahu dialah kepala dari kawanan berandal yang bertempat di selatan Kwiesay. Semenjak itu bubarlah rombongannya, tidak lagi dia berani melakukan usaha tanpa modal itu!"

Di sebelah meja mereka ada sebuah meja lain di mana ada berkumpul beberapa tetamu lainnya, mereka itu mendengar perkataannya guru silat ini, mereka agaknya heran dan kagum, hingga kedengaran pujian mereka, hanya nadanya bercampur sama penyesalan.

Tjoa Hok Tjiang luas pengalamannya, mendengar suara mereka itu, ia merasa hatinya tidak tenang, tetapi ia dapat mengusai diri, ia tidak menuruti Kok Tjeng bicara besar itu, ia bahkan sengaja menghela napas. Ia mengangkat cawan tehnya.

"Hebat, hebat!" katanya. "Mendengar perbuatan gagah itu, marilah dengan secawan teh ini menggantikan arak aku memberi selamat!"

Ia lantas mengeringi air tehnya itu, kemudian ia menurunkan cawannya dengan separuh dibanting, mulutnya masih mengasi dengar pujiannya: "Hebat, hebat!"

Warung teh ini memakai cawan bukan dari gelas hanya dari logam, yaitu tembaga, sebabnya ialah agar cawannya tak gampang pecah. Hok Tjiang membanting cawannya itu, maka tempo ia mengangkatnya pula, di meja ada bekas melesaknya tiga dim.

"Ah!..." katanya, ketika ia melihat meja celong itu, "aku melupakan diriku hingga aku membuatnya meja ini rusak, aku menyesal."

Ia lantas merogo sakunya, mengeluarkan uang dua renceng, katanya sebagai pengganti kerugian.

Wie Kok Tjeng melihat perbuatannya Tjoa Hok Tjiang ini, diam-diam ia merasa yang rekannya itu bertenaga lebih besar daripadanya, tetapi ia tidak takut, bahkan ia memikir nanti satu waktu mencari ketika untuk mempertontonkan ilmu panahnya yang liehay itu, yang menganggapnya tanpa tandingan. Ingin ia membikin Hok Tjiang turun derajat...

Orang-orang di meja satunya itu pada bungkam, sesaat kemudian barulah terdengar seorang mengatakan, "Di dalam dunia ini ada kepandaian demikian liehay, sunggah kita si orang-orang desa bisa mati kaget..."

Tapi meskipun mereka mengatakan demikian, nada mereka mengandung sindiran.

TjoaHok Tjiang lantas melirik. Ia dapat kenyataan, orang yang berbicara itu adalah seorang muda dengan sepasang alis gompiok dan bermata besar, sedang tiga yang lain mirip dengan petani-petani. Habis minum teh, mereka itu berlalu lekas-lekas.

Wie Kok Tjeng mendapat lihat kelakuan orang itu, ia menjadi curiga, tetapi ia tidak takut, memandangi belakang orang, ia kata sambil tertawa dingin: "Jikalau aku ketemu orang jahat, akan aku kasih rasa mereka anak-anak panahku!" Ia bicara dengan suara keras, ia sengaja supaya mereka itu mendapat dengar.

Sesudah dapat beristirahat, rombongan pengantar bingkisan ini mulai pula dengan perjalanan mereka.

Wie Kok Tjeng sengaja jalan di paling depan, tangannya memegang busurnya, sikapnya gagah.

Keng Sim bersama Bhok Lin jalan di sebelah belakang boesoe itu, sikap mereka biasa saja.

TjoaHok Tjiang jalan di belakang, selaku pengiring atau pembantu.

Segera juga mereka telah melalui perjalanan belasan lie. Justeru itu mereka mulai memasuki mulut sebuah gunung. Mendadak terdengar seman di sebelah depan, lalu seorang penunggang kuda nampak lari mendatangi ke arah rombongan mereka itu. Dia mendatangi sembari tertawa berkakak, kepalanya dilenggakkan. Nyata dialah si anak muda alis gompiok dan mata besar yang di warung teh tadi.

"Eh, kau bikin apa?" Wie Kok Tjeng menegur. "Jikalau kau tidak lekas turun dari kudamu, nanti aku panah padamu!"

Anak muda itu tertawa pula, ia tidak turun dari kudanya.

"Aku justeru hendak mencoba panahmu!" katanya menantang. "Kau ada membawa berapa batang anak panah?"

Menyusuli berhentinya perkataan si anak muda, yang suaranya keras, dari lamping gunung lantas terdengar suara berisik sekali, lalu tertampak munculnya serombongan orang jahat. Mereka itu rupanya telah menyembunyikan diri semenjak tadi.

Keng Sim mengawasi, ia melihat sejumlah empat atau lima puluh orang. Ia lantas berpikir: "Melihat jumlah kita adalah berimbang, hanya aku kuatir ini beberapa boesoe bukannya lawan mereka itu..."

Wie Kok Tjeng gusar bukan main sampai napasnya menghembus dari hidungnya.

"Ini hari tuan besarmu membawa anak panah cukup untuk kamu menerimanya, satu orang satu!" katanya nyaring. "Kau juga ada bagianmu!"

Kata-kata ini disusul sama persiapan, tangan kiri memegang kayu busur, tangan kanan bersama anak panah menarik talinya, hingga busur itu tertarik melengkung sebagai bulan purnama. Melihat sikapnya itu, benarlah dia seorang ahli panah. Lantas saja terdengar suara menjepret dan anak panah itu meluncur ke depan, ke arah tenggorokan si anak muda penunggang kuda itu.

Luar biasa si anak muda, ia tertawa dengan tubuhnya tak bergeming. Ketika anak panah hampir pada sasarannya, barulah sebelah tangannya digeraki. Luar biasa sebat gerakan tangan itu, belum lagi Kok Tjeng tahu apa-apa, anak panahnya itu telah kena ditangkap si anak muda, untuk diteruskan dipatahkan!

"Ilmu panah semacam ini mau dipertontonkan, hm!" mengejek anak muda itu, yang tertawa seraya menggeleng-geleng kepalanya.

Wie Kok Tjeng jumawa, maka bisalah dimengarti kalau hatinya jadi panas sekali diperhina secara demikian. Tanpa mengatakan apa-apa, ia melepaskan anak panahnya yang kedua, disusul sama yang ketiga!

Bhok Lin menyaksikan cara orang menggunai panah itu. ia kata dalam hatinya: "Pantas dia jumawa, dia benar ada mempunyai kepandaian!"

Cepat memanahnya Kok Tjeng, sebat tangannya si anak muda. Dua batang anak panah itu kena disambuti. kena terus dibikin patah.

Dalam penasarannya. Kok Tjeng memanah terus menerus.

"Satu! dua tiga! empat! lima!" si anak muda berseru-seru selagi ia menyambuti tiap anak panah itu. "Enam! tujuh! delapan! sembilan! sepuluh'"

Dan ia masih menghitung terus sebab VVie Kok Tjeng juga memanah dia tak hentinya, dengan kesehatannya yang luar biasa. Hingga sebentar kemudian ia sudah menghitung hingga tiga puluh enam, yang mana berarti juga tiga puluh enam batang anak panah telah disanggapi dan dibikin patah!

Muka dan kupingnya VVie Kok Tjeng menjadi merah. Ia serba salah.

Anak muda itu tertawa berkakak.

"Masih ada berapa batang lagi?" ia menanya, sikapnya menantang.

Dalam murkanya yang sangat. Kok Tjeng menarik pula tali besarnya, menjepretkan tiga batang anak panahnya yang terakhir. Ia mengerahkan tenaganya, ia mengincar dengan tepat, bahkan ia melepaskan berbareng tiga batang panah itu. Inilah kepandaiannya yang istimewa. Meski dilepaskan berbareng, anak panah itu tetapi menjurus ketiga tempat, ialah tenggorokan, dada dan pusar.

Selagi dipanah, anak muda itu tertawa dan berkata: "Demikian anak panah telah dilepaskan, ini tiga yang terakhir boleh juga!" Kalau tadi dia bertubuh tegak, secara gampang saja dia menghalau ancaman bahaya, kali ini dia menggeraki tubuhnya. Selagi dia memutar tubuh, tangannya digeraki berputar juga. Tepat sekali, ketiga batang anak panah kena dia sambar dan cekal semuanya!

"Apakah kau telah memanah habis?" bertanya anak muda itu, tertawa. "Jikalau ada kedatangan tidak ada kepergian. itulah namanya bukan kehormatan, maka itu tiga batang anak panah ini dengan segala kehormatan aku membayarnya kembali!" Dan ia segera menggeraki tangannya, bagaikan orang membandering.

Tiga batang anak panah itu meluncur ke arah pemiliknya.

Wie Kok Tjeng terkejut, tetapi ia masih sempat berkelit dengan kelitannya "Menyembunyikan diri di dalam pelana." Meski begitu, ia cuma dapat lolos dari sebatang panah, dua yang lain terus mengancam padanya. Di saat ia tidak berdaya itu, mendadak "traang triing!" maka kedua batang panah itu kacau dari tujuannya, melewati perut kuda, jatuh di tanah.

Kok Tjeng tidak tahu bahwa secara diam-diam Keng Sim sudah membantu meloloskan jiwanya dari marah bahaya, karenanya ia mendongkol sekali kepada si anak muda. Setelah duduk pula tetap di atas kudanya, ia menarik toyanya, toya tjiebiekoen yang terbuat dari tembaga, ia menyerang si anak muda sambil ia berlompat turun dari kudanya, setelah kudanya itu ia kasih maju mendekati lawannya. Ia menghajar kepala orang.

Si anak muda mengangkat tangannya sambil tertawa dan berkata: "Toya ini banyak lebih susah dibekuknya daripada anak panah..." Dengan sebat tangannya itu menanggapi toya, yang terus ia cekal keras dan menarik sambil berseru: "Lepaslah!"

Gagal serangannya Kok Tjeng itu, toyanya kena dipegang lawan, ketika ia menahan tarikan keras itu, hampir ia menjerit. Ia kesakitan karena telapakan tangannya itu terluka. Dengan bandel ia pegang erat-erat toyanya itu, tidak perduli tangannya borboran darah.

Masih si anak muda tertawa.

"Mustika apakah ini hingga kau sayang melepasnya?" katanya tertawa terus. Ia tidak menarik lagi seperti tadi, hanya ia kerahkan tenaga dari dua tangannya, maka selagi Kok Tjeng menahan, toyanya itu lantas perlahan-lahan mulai bengkok melengkung.

Mukanya Kok Tjeng menjadi merah. Dengan paksakan diri, ia memegang terus dengan keras toyanya itu. Matanya lantas menjadi berkunang dan kepalanya pusing. Ia tahu, ia bakal roboh tak sadarkan diri, bahwa ia bakal terluka di dalam, tetapi kepala besarnya sungkan mengalah, terus ia bertahan. Ia lebih suka terbinasa daripada mendapat malu, maka ia cekal keras mati-matian toyanya itu.

Keng Sim menjadi bersangsi walaupun sebenarnya ia hendak maju untuk menolongi boesoe itu. Justeru itu Tjoa HokTjiang menghampirkan ia untuk memberi hormat sambil menjura seraya berkata: "Tiat Kongtjoe, pandai kau membawa dirimu, akan tetapi kali ini barang-barang hadiah ini cuma mengandal kau seorang untuk melindunginya! Di dalam rombongan begal itu mesti ada orang-orang yang liehay lainnya, dari itu aku mohon sukalah kau melindungi, nanti aku si orang tua pergi melayani mereka itu."

Ketika tadi Keng Sim menolongi Kok Tjeng dengan menimpuk panah dengan butir-butir batu kecil, ia dapat mengelabuhi semua orang lainnya tetapi tidak boesoe she Tjoa itu seorang. Karena Hok Tjiang merasa pasti, Keng Sim ada jauh terlebih liehay daripada mereka semua, ia menjadi sudah minta bantuannya itu.

Keng Sim melihat bahaya mengancam, ia mengangguk. Ia merasa Tjoa Hok Tj iang cukup tangguh akan melayani musuh, maka untuk mencegah ada penjahat yang membokong, ia terpaksa memikul tanggung jawab atas keselamatannya semua bingkisan berharga itu.

Ketika itu toyanya Wie Kok Tjeng sudah melengkung betul-betul, jiwanya si boesoe yang berkepala batu itu sudah terancam bahaya maut, tetapi justeru si anak muda tertawa dan berkata kepadanya: "Melihat kepada kebandalanmu ini, suka aku mengasih ampun. Nah, kau pergilah!"

Selagi anak muda itu berkata, dari rombongan boesoe maju dua orang dengan gerakan tubuh mereka gesit sekali. Itulah Tjoa Hok Tjiang, yang dibarengi Bhok Lin si hertog muda. Putera Bhok Kokkong ini penasaran untuk tingkah laku si berandal muda itu.

Di antara dua orang ini, Bhok Lin adalah yang sampai terlebih dulu, maka berkelebatlah pedangnya, bagaimana bianglala panjang, menyambar tenggorokan si berandal. Putera hertog ini belum liehay tetapi tusukan pedangnya itu ada buah pengajarannya Thio Tan Hong, maka itu. hebat penyerangannya itu.

"Traang!" demikian satu suara nyaring. Sebab dengan mengangkat toya musuh yang bengkok itu, si anak muda telah menangkis tikaman pedang. Dengan begitu juga, Wie Kok Tjeng menjadi tertolong dari ancaman bahaya. Hanya celaka untuk ia, tanpa pegangan toya lagi, tubuhnya menjadi limbung, sambil terhuyung ia memuntahkan darah hidup. Meski begitu, ia tetap masih mencekal toyanya. Ia tahu Bhok Lin yang menolongi padanya, ia lantas menjura kepada putera hertog itu seraya berkata. "Siauwkongtia, terima kasih!"

Biarpun kalah, boesoe ini tidak mendapat malu besar, sebab senjatanya tak terampas musuh, ia masih memegangnya erat-erat.

Ketika itu Bhok Lin dan si penjahat muda sudah bertempur hingga tiga jurus, dan pertempuran mereka masih dilanjuti.

Tjoa Kok Tjiang tidak terus maju untuk membantu si hertog muda. ia hanya mempepayang Wie Kok Tjeng, untuk diajak balik ke dalam rombongan mereka. Ia kaget berbareng girang. Kaget sebab ia tidak menyangka musuh liehay sekali. Ia girang karena ia tidak menduga putera hertog itu, yang masih begitu muda nyata gagah perkasa. Demikian juga Tiat Keng Sim. Tadinya ia melihatnya cuma dua anak sekolah yang lemah.

Tjoa Hok Tjiang menyaksikan pertempuran itu.

Si berandal muda melayani dengan sepasang tangan kosong. Benar Bhok Lin bersenjatakan pedang, setelah beberapa jurus, ternyata ia tidak dapat berbuat banyak, Tjoa Hok Tjiang mendapat kenyataan, meski hertog muda itu lebih gesit daripada dia ia masih kurang latihan, kurang pengalaman. Karena ini, boesoe ini menjadi berkuatir. Bagaimana kalau si hertog muda terlukakan penjahat? Maka terpaksa dia mengambil putusannya Tapi, selagi dia hendak maju, Tiat Keng Sim menarik lengannya

Kalau Hok Tjiang berkuatir Bhok Lin nanti terluka Keng Sim sendiri terbenam dalam kesangsian, hingga ia menjadi heran dan curiga. Ia pun dapat melihat Bhok Lin tidak bisa berbuat apa-apa terhadap musuh muda dan liehay itu, hertog muda ini kalah di dalam segala hal. Tapi anehlah si anak muda. Di saat dia mendapat menahan pedang Bhok Lin ---- yang mana terjadi beberapa kali ----bukannya dia terus membalas menyerang, untuk menurunkan tangan jahat, hanya dia menyerang depan berdepan, menurut cara yang biasa Di mata orang biasa, bisa disangka si anak muda takut menghadapi pedang, di matanya Keng Sim adalah lain. Maka Keng Sim tidak mengarti, kenapa orang agaknya menaruh belas kasihan kepada kawannya itu.

Bhok Lin sendiri tidak dapat melihat musuh melayani ia secara separuh bermain-main itu, tetapi ia menginsafi yang ia menemukan lawan yang tangguh, karena hatinya lantas saja memukul, karena ia menjadi berkuatir. Tapi ia berkepala besar, di depan orang banyak itu, tidak suka ia mengalah, maka ia berkelahi terus dengan sengit sekali. Ia menggunai semua kepandaiannya ia mengarah segala bagian anggauta yang berbahaya di tubuhnya si anak muda

Sembari berkelahi, si anak muda bersenyum. Ia terus melayani dengan tenang tetapi gesit. Sekarang ia berdaya untuk dapat merampas pedangnya si putera hertog.

Bhok Lin bertambah bingung, serangannya menjadi terlebih cepat. Biar bagaimana ia berdaya, tetap ia tidak berhasil menikam lawannya itu. Orang ada lincah sekali bagaikan naga tubuhnya seperti berputaran di depannya. Saking bingung, ia menjadi mulai kacau permainan pedangnya.

Sekarang hertog muda ini kena didesak lawan, saking bingung, ia menjadi nekat, maka menyeranglah ia dengan tipu silatnya, "Menarik gelang berantai." Ia mengarah dada lawannya tanpa ia menghiraukan lagi pembelaan diri.

Tjoa Hok Tjiang kaget melihat kenekatannya si hertog muda, lupa pada cegahannya Tiat Keng Sim, ia lompat untuk memberikan bantuannya.

Si anak muda tapinya tertawa. Ia bukannya membalas menyerang, ia hanya berkelit dari tikaman dahsyat. Dengan gampang ia membebaskan dirinya dengan tipu silatnya, "Angin besar meniup rontok bunga." Tiga kali ia berkelit, lalu mendadak ia merapatkan diri. kedua tangannya bergerak berbareng, ke sikut lawan, ke arah gagang pedang.

"Lepas!" ia pun berseru.

Hampir di saat itu juga, pedang terlepas dari tangan Bhok Lin, pindah ke tangan lawannya, siapa kembali tertawa. Tapi juga menyusul itu, pedangnya itu diangsurkan ke arahnya.

Bhok Lin kaget dan bingung, saking tidak mengarti, la terdiri menjublak.

Tjoa Hok Tjiang, yang baru tiba di dekat mereka, pun heran, hingga ia tercengang. Cuma sebentar saja. ia lantas maju.

"Siauwkongtia. silahkan balik," ia berkata. Sambil mengucap itu, ia berlompat maju kepada si anak muda, tangan kanannya mengancam, mulutnya bersuara: "Tuan, kau liehay sekali! Sukalah aku si orang tua menerima pengajaran dari kau!"

Pukulan itu ada pukulan Siauwlim Sie, walaupun itu hanya ancaman belaka, si anak muda telah melihatnya, maka itu sikapnya segera menjadi lain.

"Pantaslah, jahe makin tua makin panas!" ia berkata. "Tjoa Soehoe, karena kau yang meminta, baiklah, aku mengiringinya "

Sembari berkata, ia melesat ke samping Bhok Lin, sebelum anak hertog ini tahu apa-apa, pedangnya sudah dikasih masuk ke dalam sarungnya!

Melihat orang berlompat, Hok Tjiang kaget. Itulah lompatan yang gesit luar biasa. Karena ini ia lantas menyerang, maksudnya untuk menolongi Bhok Lin.

Si anak muda memutar tubuhnya, untuk menghadapi boesoe itu. Ia membuka kedua tangannya, tangan kiri untuk menangkis, tangan kanan untuk menghantam lengan si anak muda. Anak muda itu sebaliknya berkelit, untuk terus membalas menotok ke nadi. Atas itu Hok Tjiang menarik tangannya, lalu ia mengajukan dua-duanya, untuk kembali menyerang.

Siauwlim Koen, yaitu ilmu silat Siauwlim, dipecah dalam enam bagian, yaitu kesatu Tjim Siauwlim, kedua Teklouw Siauwlim, ketiga Boen Siauwlim, ke empat Yauwpou Siauwlim, ke lima Boe Siauwlim, dan ke enam, Sinhoa Siauwlim. Di antara itu, yang pertama yang paling tangguh, ialah Tjim Siauwlim, artinya "Serbuan Siauwlim." Ilmu ini terdiri daripada tiga puluh tujuh jurus, dan jurus yang pertama yaitu "Tjhiongthian pauw" atau "Terjangan meriam." Maka itu si bandit muda tidak berani lawan keras dengan keras, ia berkelit seraya memutar tubuhnya, sambil mendak juga. tempo ia berbalik, sebelah tangannya bagaikan angin cepatnya membabat ke lutut lawannya. Itu dia yang dinamakan pukulan Harimau Mendekam.

Tjoa Hok Tjiang melonjorkan lutut kiri seraya menekuk lutut kanan, dengan begitu ia bebas dari babatan lawannya, berbareng dengan itu, ia pun menyerang. Dengan cara ini. berkelit sambil menyerang, ia bisa menghalau ancaman bahaya itu.

Ketika itu Bhok Lin telah kembali ke damping Keng Sim. Ia lesu dan tunduk.

"Jangan kecil hati." sang ipar menghibur. "Inilah pertempuranmu yang pertama kali, biarpun kesudahannya begini rupa, ialah orang mengalah terhadapmu, lumayan untukmu."

Bhok Lin heran dan bertambah malu mendengar sang tjiehoe membilangnya bahwa orang mengalah terhadapnya.

"Sebenarnya ilmu silatmu tidak buruk," kata pula sang tjiehoe tertawa. "Hanya tadinya kau cuma berlatih sendirian, itu mirip orang bicara tentang taktik perang di atas kertas, sekalinya orang berperang, segera ternyata banyak kekosongannya Satu atau dua kali orang gagal, nanti setelah delapan atau sepuluh kali, orang akan jadi berpengalaman. Jangan kau berduka. Nah, kau lihat itu Tjoa Soehoe, dia bersilat dengan ilmu silat Siauwlim Koen yang umum, tetapi tenaganya mantap, dia membuatnya Kimnatjioe dari si anak muda kewalahan."

Ketika itu Siauwlim Koen tersiar luas. hampir tak ada orang yang tak mengetahuinya, cuma banyak orang yang mengenal luarnya saja, baru belajar beberapa j urus, sudah banyak tingkah. Tidak demikian dengan Tjoa Hok Tjiang. Dia benar telah memahamkan Siauwlim Koen bagian Tjim Siauwlim itu, latihannya sudah sepuluh tahun lebih, ia mahir sebenar¬benarnya.

Tiat Keng Sim juga pernah meyakinkan Tjim Siauwlim itu, maka untuk menghibur terus pada Bhok Lin, sang engkoe atau ipar, selagi Hok Tjiang bertempur terus, ia memecahkan artinya beberapa jurus yang telah digunakan.

Bhok Lin memasang mata, saban-saban ia menyaksikan tepatnya petunjuk tjiehoe-nya itu. ia jadi menginsafi sarinya ilmu silat itu, bahwa ia sendirinya baru mengarti kulitnya, belum isinya.

Keng Sim pun menonton dengan perhatian, maka kemudian ia merasa, sebab kedua pihak berkelahi secara demikian hati-hati, entah kapan akhirnya perkelahian mereka itu.

Itu waktu, sang matahari turun terus tanpa memperhatikan mereka yang lagi bertarung, turunnya makin rendah, hingga datanglah sang magrib. Perubahan sang waktu ini membuatnya semua boesoe menjadi bingung. Kalau sang malam datang, bukankah keadaan mereka jadi semakin berbahaya?

Juga Tjoa Hok Tjiang, dia sendiri bergelisah. Ia menang di atas angin tetapi ia tidak sanggup lantas merobohkan lawannya itu. Lawan muda itu, lama-lama ia bisa kalah ulat, ia nanti keburu letih. Di sana pun masih ada banyak kawannya si begal, mereka itu telah pada mengambil kedudukan mereka dan ada juga yang sudah menyiapkan anak panah, tinggal dilepaskan saja.

"Tahan!" tiba-tiba ia berseru seraya lompat keluar dari dalam gelanggang.

"Ada apa, Tjoa Soehoe?" tanya si begal muda sembari tertawa, sikapnya sangat tenang.

"Kita ada orang-orang terhormat, kita tidak usah omong dusta," berkata Hok Tjiang. "Tentang tugas kami ini, tuan-tuan telah mengetahuinya dengan jelas. Juga aku si orang tua, aku kiranya dapat membade maksud tuan-tuan."

Begal itu tertawa lebar.

"Karena kita kedua pihak sudah sama-sama mengarti, maka baiklah kitajangan omong mutar-mutar lagi!" katanya. "Kamu melindungi barang bingkisan untuk kaisar, kami hendak merampasnya, untuk menyingkirkan pertempuran, silahkan bingkisan untuk kaisar itu kamu serahkan pada kami. Untuk kami, sebegitu saja cukup!"

"Melihat kepandaian kau, laotee, tidak dapat aku tidak mengasi muka kepadamu," kata Hok Tjiang, yang menahan sabar, "cumalah dalam urusan ini, aku tidak dapat berkuasa sendiri."

Pemuda itu tertawa.

"Bicara pergi pulaug. kita toh mesti bertempur juga!" katanya.

"Jikalau tuan-tuan paksa hendak merampasnya," kata Hok Tjiang, "kami sebagai orang-orang kangouw sejati, tidak berani kami turun tangan, tetapi karena tuan-tuan memaksa, mari kita mengambil suatu cara."

"Bagaimana itu?" si begal muda tanya.

"Hari ini kita bertempur di sini untuk suatu keputusan," berkata Hok Tjiang, "mari kita bertempur satu sama satu. Dengan kesetujuan kedua pihak, kita menetapkan beberapa giliran. Kalau apa untung kami yang menang, kami minta tuan-tuan menaruh belas kasihan untuk membiarkan kami lewat di sini."

Si begal muda tertawa nyaring. "Jikalau kamu yang kalah?" ia tegaskan.

Hok Tjiang tertawa menyeringai. Katanya, "Jiwa kami sudah dipertanggungkan kepada bingkisan yang kami lindungi ini, maka kalau kami yang kalah, terserah kepada keputusan kamu!"

Tjoa Hok Tjiang telah memikir dalam ketika ia mengajukan usulnya ini. Ia tidak menghendaki pertempuran kacau. Kalau satu sama satu, ia harap ia memperoleh kemenangan dan Tiat Keng Sim pun menang. Beberapa boesoe pun gagah, kalau satu sama satu, mungkin mereka tidak sampai kalah.

Keng Sim memuji di dalam hati kepada Tjoa Hok Tjiang, yang ternyata sangat sabar dan pandai memikir jauh. Permintaan itu pantas sekali, cocok dengan kebiasaan kaum kangouw. permintaan itu lazimnya tak dapat ditolak.

Memang, kalau mereka berkelahi secara kacau, gampang saja bingkisan dibawa lari kawanan begal itu.

"Ha, begitu?" kata si begal muda, tertawa. "Percuma kau menjelaskannya itu padaku. Sebenarnya aku hanya satu kacung!"

Mendengar itu, Hok Tjiang heran, hingga ia melengak. Pemuda itu demikian gagah tetapi dia menyebut dirinya cuma seorang kacung. Siapa sangka bahwa di samping dia masih ada orang lainnya?

Di antara rombongan berandal terdengar seorang berseru: "Sang waktu sudah tidak siang lagi, kenapa mesti banyak omong saja? Kalau orang bertempur satu sama satu, sampai kapan itu habisnya? Pihak pembesar tentera banyak akal muslihatnya, jangan kamu kena dipedayakan mereka!"

Penjahat yang berbicara itu pun bergelisah sendirinya karena si anak muda tidak memperoleh kemenangan, ia kuatir pihak sana tentu keburu datang bala bantuannya, dari itu ia pikir baiklah mereka meluruk saja.

Mendengar itu, Tjoa Hok Tjiang tertawa saja.

"Aku menyangka tuan-tuan adalah orang-orang Rimba Hijau yang kenamaan, siapa sangka kamu sebenarnya segala kurcaci!" katanya mengejek. "Baiklah, kalau kamu main keroyok, aku pun tidak takut! Nah, kamu majulah sebagai tawon gerumutan!"

Kawanan berandal jadi gusar sekali, mereka merasa dihinakan. Lantas mereka menghunus senjata mereka.

Pihak boesoe pun siap sedia untuk menyambut serbuan.

Di saat sangat genting itu, dari atas gunung terdengar teriakan: "Tjongtotjoe datang! Saudara-saudara, sabar!"

Begitu mendengar teriakan itu, semua berandal menghentikan tindakannya, sedang si begal muda lompat keluar dari gelanggang, dengan mengasi turun kedua tangannya, ia berdiri di samping untuk menyambut dengan hormat pada pemimpinnya itu. Pihak berandal lantas jadi sunyi senyap.

Semua boesoe dan pengiringnya berdiri diam, dengan mata dibuka lebar mereka memandang ke depan, untuk mendapat ketahui siapa itu si kepala penjahat, yang nampaknya demikian dihormati.

Segera juga nampak kabur mendatanginya tiga penunggang kuda, dua yang di depan sambil membawa sebuah bendera besar, di bendera mana ada dilukiskan seekor harimau loreng yang bengis romannya. Bendera itu berkibar-kibar dengan angkatnya.

Melihat bendera itu. hati Keng Sim bercekat. Mendadak ia ingat kepada ceritera tentang "Sin Liong Giok Houw," artinya "Naga Sakti dan Harimau Kumala." Ia lantas menduga kepada Giok Houw, si Harimau Kumala.

Penunggang kuda yang di tengah itu segera sampai bersama dua pelopornya itu. si pembawa bendera. Begitu melihat dia. semua boesoe menjadi heran. Mereka menyangka kepala berandal mestinya bertubuh tinggi besar dan keren romannya. Tidak tahunya, dialah seorang muda belia, umurnya belum lebih daripada dua puluh tahun, romannya seperti kekanak-kanakan, cuma dia benar tampan.

Begitu sampai kepala berandal itu, yang dipanggil tjongtotjoe. atau pemimpin besar, lantas mengangkat tinggi tangannya dan diulapkan.

"Aku datang terlambat!" katanya nyaring. "Tjioe Djieko, apakah kamu sudah berhasil? Semua itu bingkisan dari propinsi-propinsi mana?"

Melihat si pemimpin, Bhok Lin tercengang, hingga ia berseru, "Oh!" Tadinya ia hendak membuka mulut lebih jauh, atau mendadak Keng Sim menotok urat gagunya hingga suaranya berhenti tertahan.

Siapakah si pemimpin berandal yang muda itu? Dialah orang yang dikenal Bhok Lin dan Keng Sim. maka juga si hertog muda kaget. Baiknya Keng Sim sabar, ia dapat mengambil sikapnya yang tenang, ia mencegah kongtia muda itu membuka mulutnya.

Penunggang kuda yang muda itu, yang baru tiba. adalah Siauw Houw Tjoe. Dialah putera dari bekas Gielimkoen Tongnia Thio Hong Hoe.

Karena Thio Hong Hoe tidak sudi membantu Kaisar Kie Tin. yaitu Kaisar EngTjong. ia telah dibinasakan secara kecewa dan kejam. Mulanya Siauw Houw Tjoe berguru kepada Hek Moko dan Pek Moko, kedua orang India yang berilmu silat tinggi, yang umumnya dikenal sebagai Hek Pek Moko, baru kemudian ia menjadi muridnya Thio Tan Hong. Pada tujuh atau delapan tahun yang lalu. Bhok Lin melihat Siauw Houw Tjoe di gunung Tjhongsan di Tali, di saat mereka bertemu sama guru mereka. Ketika itu Siauw Houw Tjoe baru berumur tiga atau empat belas tahun, usianya itu berimbang sama usia ini putera Bhok Kokkong. Sebenarnya Bhok Lin berusia dua tahun terlebih tua, akan tetapi menurut peraturan rumah perguruan silat, ia masuk runtunan lebih muda, maka ia mesti memanggil siauwsoeko. yaitu kakak seperguruan yang kecil. Sama-sama mereka berdua bergaul, main-main. mereka akrab sekali satu dengan lain. Semenjak mereka berpisahan, Bhok Lin sangat mengharap-harap soeko cilik itu, siapa sangka di sini, dalam cara luar biasa ini. mereka dapat bertemu satu dengan lain, tidak heran ia menjadi heran dan lantas berseru memanggil. Tapi Keng Sim berpikir lain, dia lantas mencegah dengan totokannya itu pada urat gagu. Totokan ini tak diketahui yang lainnya, sebab perhatian orang lagi ditujukan kepada si kepala berandal yang muda dan tampan itu. Bhok Lin sebaliknya mendongkol, tapi selagi ia bergusar, Keng Sim membisiki kupingnya: "Adik Lin. ingat kedudukanmu! Kaulah hertog muda dan pula tengah mengantar bingkisan ke kota raja, sebaliknya di sana, Siauw Houw Tjoe kepala berandal yang hendak merampas bingkisan ini! Mana dapat kamu saling memperkenalkan diri? Jikalau hal ini diketahui umum, ayahmu bisa celaka!"

Hertog muda ini dapat dikasih mengarti, ia mengangguk, lenyaplah kegusarannya.

Sampai di situ. Keng Sim menotok bebas urat gagu iparnya itu. Karena ia masih berkuatir, ia memesan pula: "Kelihatannya Siauw Houw Tjoe masih memandang kepada kau, maka kalau sebentar kita bertempur, aku nanti maju merintangi dia, kau sendiri menyingkir dengan barang bingkisan kita."

Sementara itu si berandal muda sudah cecatur kepada pemimpinnya.

"Inilah bingkisan ketiga propinsi Kwietang, Kwiesav dan Inlam." katanya. Dan itu Toasoehoe menantang buat bertempur menurut aturan kaum kangouw. yaitu bertempur satu demi satu. Bagaimana pendapat tjongtotjoe?"

Si pemimpin muda tertawa terbahak.

"Ah. mengapakah begitu rumit?" katanya, lantang. "Baiklah setiap propinsi mengajukan satu wakilnya, dia boleh menempur aku, siapa dapat menyambut seranganku sepuluh jurus, aku akan lepaskan dia lewat di sini!"

Di waktu ia berusia muda, Tjoa Hok Tjiang beradat keras, setelah sekarang sudah tua, ia sabar sekali, tidak gampang ia dibangkitkan hawa amarahnya, akan tetapi mendengar suara jumawa si anak muda, ia jadi berpikir: "Kau begini muda, berapa tinggi kepandaianmu? Walaupun kau banyak lipat lebih tangguh dari si berandal tadi, mungkinkah kau dapat merobohkan aku dalam sepuluh jurus?" Ia tetap berlaku tenang, ia merangkap kedua tangannya. Katanya, "Benarlah, gelombang yang di belakang mendampar gelombang yang di depan, orang gagah itu asalnya anak muda, aku sendiri sudah tua tidak berdaya, tetapi biarlah, dengan mengadu tulang-tulangku yang sudah tua ini, aku menyambut sepuluh jurusmu!"

Kata-kata itu halus tetapi sebenarnya menunjuki ketekadan, kepercayaan atas diri sendiri. Siauw Houw Tjoe ketahui itu. tetapi ia pun pikir dalam hatinya, "Mustahilkah kau dapat melayani aku sampai sepuluh jurus?"

Segera juga Tjoa Hok Tjiang memperlihatkan sikap siap sedianya. Lebih dulu ia angkat tangan kirinya, lima jarinya separuh dikepal, lama jari itu dimadapi ke atas. Inilah tanda menghormat. Menyusul itu ia mengepal tangan kanannya, diangkat dengan sikap "tangan mempersilahkan." tanda pembukaan dari ilmu silat Siauwlim Pay, sembari berbuat mana, mulutnya mengucap, "Silahkan!"

Di dalam Siauwlim Pay, gerakan tangan kiri itu dinamakan "siantjioe." atau "tangan baik." dan tangan kanan itu "oktjioe," atau "tangan jahat." Hok Tjiang berlaku hormat begini, di satu pihak ia menghormati lawan, di lain pihak ia mau menunjuki ialah orang dari tingkat lebih tua. dari itu ia mengundang pihak lawan, ialah Siauw Houw Tjoe, turun tangan terlebih dulu.

Siauw Houw Tjoe bersenyum.

"Maaf!" katanya seraya kedua tangannya diadu bagaikan orang bertepuk tangan. Perlahan gerakannya itu, agaknya acuh tak acuh, akan tetapi menyusuli tepukan itu, mendadak tangan yang satu meluncur ke depan, anginnya mendesir, jari tangannya menyambar ke muka atau ke dada ke arah jalan darah soankiehiat. Sudah gerakan ini aneh. itu terus dibarengi sama gerakan tangan kiri, yang menuju ke rusuk di mana ada jalan darah kieboen hiat.

Tjoa Hok Tjiang tangguh dan berpengalaman. menyaksikan serangan lawan itu. ia bingung juga, tak dapat ia menduga, lawan sebenarnya hendak menyerang ia di jurus yang mana

Sebetulnya Siauw Houw Tjoe telah mempergunakan ilmu pedang "Pekpian Hian Kie Kiamhoat," ialah ilmu pedang Hian Kie Itsoe. yang mempunyai seratus perubahan, hanya ini kali ia tidak menggunai pedang, ia ubah itu menjadi ilmu silat, bertangan kosong, tanpa senjata. Sudah tentu Hok Tjiang menjadi bingung karenanya. Syukur ia berpengalaman, ia lantas melayani dengan ketenangan. Ia menekuk tangan kanan ke dalam, tangan kiri ke luar, kakinya menindak dengan "Hankee pouhoat." yaitu tindakan "Ayam kedinginan." lalu ia membebaskan diri dengan tipu

"Pekhoo liangtjie" --- "Burung ho mementang sayap." Itulah gerakan membebaskan diri sambil membela diri juga, sambil separuh menyerang.

"Bagus!" memuji Siauw Houw Tjoe. yang sambil berseru sambil menyerang, atau "Plak! plak! plak!" terdengar tiga kali suara tangan yang mengenai tubuh, tahu-tahu ahli silat yang telah berusia tua itu kena disambar tiga kali beruntun.

Hok Tjiang kaget dan mendongkol, sambil berseru keras, ia menyerang dengan "Tjiongkoen," ialah pukulan rangsakan yang dahsyat sekali.

Apa yang barusan terjadi itu membuatnya semua boesoe terperanjat. Siapa sangka sekejap saja, Hok Tjiang kena diserang, hingga boesoe ini jadi seperti kalap.

Siauw Houw Tjoe pun kagum.

Serangannya barusan mengenai lawannya tetapi tidak secara yang membahayakan, karena serangan itu diperingan oleh perlawanan. "Pekho liangtjie." Karena ini, ia berlaku waspada dan gesit.

Tjoa Hok Tjiang sabar tetapi sekarang ia tidak mau mengandali kesabarannya itu. Ia menginsafi musuhnya ini muda tetapi liehay, dari itu daripada membela diri. pikirnya, ia lebih baik mendesak. Demikian ia sudah merangsak hebat, hingga sebentar saja sudah lewat tiga jurus.

Segera datangnya serangan dahsyat dari Hok Tjiang, yang terus berkelahi dengan bengis.

Menurut kebiasaan, Siauw Houw Tjoe mesti menyambuti, untuk keras melawan keras. Untuk berkelit, itulah sulit. Hanya aneh Hok Tjiang merasakan, selagi ia menyerang itu, mendadak ada berkelebat sesuatu di depan matanya, disusul sama desiran angin. Yang aneh, yang berkelebat di depan, angin menyambar dari belakang, sebab sambil dengan kesehatannya mendahului mengancam, si begal muda sudah melejit ke samping terus belakang!

Keng Sim melihat gerakan begal liehay itu, ia pun terkejut.

Kali ini Siauw How Tjoe telah menggunai ilmu silat ajarannya In Loei, yaitu "Tjoanhoa kiauwsoe." atau. "Menembusi bunga, menyiram pohon." Itulah ilmu kegesitan tubuh yang luar biasa. Keng Sim ketahui ini ketika dulu, untuk pertama kali ia bertemu dan bertempur sama Ie Sin Tjoe. si nona telah mempermainkan ia dengan itu ilmu silat yang membuatnya kewalahan. Karena ini. ia pun menjadi ingat si nona...

Bhok Lin menonton pertempuran dengan mata terbuka lebar dan mulut menganga. Ia kagum bukan main menyaksikan Siauw Houw Tjoe begitu gesit dan liehay, hampir-hampir ia memperdengarkan seruan dari pujiannya, syukur Keng Sim keburu mencegahnya.

Selagi menonton terus, Keng Sim dan Bhok Lin melihat sebelah tangan Tjoa Hok Tjiang melayang, akan tetapi sebelum hertog muda itu melihat tegas, mendadak ia mendengar Hok Tjiang berseru keras dengan tubuhnya terhuyung hingga tiga tindak.

Kali ini Siauw Houw Tjoe menggunai tipu silat "Ittjie Siankang." atau "Tusukan Sebuah Jari Tangan," yang ia memperolehnya dari Ouw Bong Hoe. Ia memapaki serangan Hok Tjiang, ia menusuk telapakan tangan penyerangnya itu. Hok Tjiang tidak menyangka, ia kalah sebat, telapakan tangannya itu kena tertusuk, maka dia menjadi kesakitan dan kaget, hingga dia mesti mundur. Yang hebat sebelah tangannya itu menjadi seperti mati, tidak dapat dia menggerakinya pula. Sedang itu waktu barulah jurus yang ke lima.

Hok Tjiang penasaran sekali, mukanya merah, romannya sangat gusar, setelah kakinya terpasang tetap, dia mengawasi dengan bengis.

Siauw Houw Tjoe melenggak, melihat langit, lalu ia tertawa lebar.

"Sebenarnya hari sudah malam tetapi masih ada sisa lima jurus lagi." ia berkata, tenang-tenang saja. "Karena kita sudah menggunai banyak tempo, baiklah, aku memberikan ketika untuk kau beristirahat dulu, sebentar kita mulai pula. Apakah kau sudi aku menguruti tanganmu."

Hok Tjiang melengak. Ia mendongkol kepada lawan muda ini tetapi ia toh mengagumi untuk hati besarnya dia itu, untuk sifat laki-lakinya.

"Tidak, tidak berani aku membuatnya kau capai," katanya menyeringai. "Asal kau dapat menyambut lima seranganku. maka ini bingkisan dari propinsi Kwietang bolehlah kau bawa pergi!"

"Aku kuatir kau nanti tak usah menggunai lima jurusmu itu," berkata Siauw Houw Tjoe, menyahuti.

Hok Tjiang tidak menjawab, ia hanya mengerahkan tenaganya sambil mengusut-usut tangannya yang kaku itu, ia meluruskan jalan darahnya. Selagi berbuat begitu, dengan mendadak ia menyerang kepada si anak muda, dengan jurus yang dinamakan Kepalan Meriam Kiri. Itulah serangan dengan sepenuhnya tenaga, dengan tangan kiri yang tidak terluka, serangan itu dibarengi desirannya angin keras.

"Luar biasa!" Siauw Houw Tjoe mengasi dengar pujiannya. Ia bukannya mundur, ia bukannya berkelit juga, hanya ia mengangsurkan kepalannya, menyambut kepalan lawan itu, maka kepalan lawan kepalan: "Duk!"

Itulah namanya adu tenaga, bukan mengadu tipu daya maka siapa yang terlebih kuat dialah yang seharusnya menang.

Hok Tjiang kaget bukan main. Ia merasakan sakit pada kepalannya itu, sebab ia seperti bukan memukul tangan lawan hanya menghajar besi yang berupa martil, sakitnya tidak cuma di lima jeriji tangan tetapi meresap ke ulu hati, sedang tangannya itu sendiri lantas mengeluarkan darah. Akan tetapi ia menahan sakit, tanpa menanti lagi, ia menyerang pula, dengan tangan kanannya yang kaku tadi. Untuk ini ia sampai mengertak giginya. Ia telah menggunai jurus "Lianhoan twie," atau "Martil berantai."

Siauw Houw Tjoe seperti juga tidak menyangka-nyangka bakal diteruskan dihajar secara demikian rupa, dadanya kena terhajar "Buk!" dan mulutnya mengeluarkan suara tertahan. Sebab telak sekali serangan itu mengenai sasarannya.

Bhok Lin tadi melihat tegas sambutan Siauw Houw Tjoe kepada serangannya Tjoa Hok Tjiang, ia kenali namanya jurus sambutan itu. ialah "Liongkoen" atau "Kepalan Naga" dari ilmu silat "Loohan Ngoheng Sinkoen" atau Koentauw Arhat. Ilmu silat itu si anak muda memperolehnya dari Hek Pek Moko, dan selama mereka berdiam di Tjhongsan, Siauw Houw Tjoe pernah mengajarinya padanya. Maka itu. bukannya cuma kaget untuk Hok Tjiang, ia pun diam-diam memuji siauwsoeko-nya itu.

Tidak demikian dengan Tiat Keng Sim "Celaka Tjoa Hok Tjiang!" keluhnya kaget.

Semua boesoe bersorak. Nyata sekali mereka melihat telaknya serangan Hok Tjiang, jago mereka itu. Tapi hanya sejenak, lantas mereka berdiri diam, mata mereka melongo, mulut mereka terbuka. Sunyi mereka semua

Apakah yang telah terjadi?

Tjoa Hok Tjiang memukul telak ke dada Siauw Houw Tjoe, hanya aneh, kepalannya itu lantas seperti tak dapat ditarik pulang, tubuhnya pun terjerunuk ke depan, sebagai kena terbetot, maka itu leluasa saja kepalan Siauw Houw Tjoe melayang ke pinggangnya hingga segera dia roboh berlutut.

Beda daripada tadi-tadinya, sekarang Siauw Houw Tjoe menggunai ilmu yoga dari India, ia membuatnya tubuhnya, yaitu kulit dan dagingnya ngelepot ke dalam dan jadi licin, maski kena dihajar, kenanya tidak berbahaya. Bahkan dengan itu ia memancing lawan hingga tubuhnya maju ke depan, supaya merdeka ia membalas menyerang.

Demikian di jurus ke delapan, robohlah boesoe yang tangguh itu.

Siauw Houw Tjoe memandang ke arah pihak lawan.

"Siapa lagi yang hendak melawan aku sepuluh jurus?" ia menantang.

Keng Sim menghunus pedangnya ia maju. Tapi justeru itu, ia dibarengi Wie Kok Tjeng. Boesoe ini menjerit sambil berlompat maju mengajak kawan-kawannya maksudnya untuk menerjang keluar.

Kawanan boesoe itu menginsafi tanggung jawab besar dari mereka di balik itu, merekajeri terhadap musuh ini yang tangguh. Bukankah Tjoa Hok Tjiang yang liehay itu roboh secara gampang? Maka itu mereka pun menyangsikan kesanggupannya Tiat Keng Sim si anak sekolah. Atau taruh kata Keng Sim dapat bertahan, dia pasti cuma bisa melindungi bingkisannya sendiri, bingkisan lainnya tak nanti terjamin olehnya. Maka serentak mereka berpikiran, selagi Keng Sim bertempur, mereka mau nerobos keluar, membawa kabur bingkisan mereka..

Wie Kok Tjeng maju di depan, panahnya dikasih bekerja. Dua begal sudah lantas kena dirobohkan.

Siauw Houw Tjoe melihat aksinya kawanan boesoe itu, ia berlaku tenang. Ketika Kok Tjeng memanah pula ia mengayun tangannya menerbangkan sebatang golok terbang, maka di lain saat. biang panah si boesoe lantas saja terpapas kutung.

Menampak kesudahan itu. Siauw Houw Tjoe berkata sambil tertawa. "Tjioe Djieko, kau bereskanlah ini kawanan ikan yang mau molos dari dalam jaring! Jaga baik-baik supaya kau tidak mencelakai jiwa orang..." Kemudian ia memutar tubuhnya, akan menghadapi Tiat Keng Sim.

"Kau ini dari propinsi mana?" ia menanya. "Nyalimu bukan kecil eh?"

Sengaja Siauw Houw Tjoe menanya demikian dan Keng Sim yang cerdik mengetahui itu. Inilah semacam sandiwara agar orang tidak ketahui yang mereka kenal baik satu dengan lain, agar di belakang hari tak usahlah Keng Sim dan Bhok Lin menjadi menampak kesulitan.

Keng Sim berterima kasih tetapi di dalam hatinya ia berkata: "Dengan kepandaianku ini, aku tidak percaya yang aku bakal kalah denganmu! Apa perlunya aku menerima budimu?" Karena ini, ia lantas mengulapkan pedangnya.

"Totjoe, silahkan kau menghunus senjatamu!" katanya nyaring. "Aku Tiat Keng Sim, ingin aku belajar kenal denganmu, tak usah dibataskan sampai sepuluh jurus, asal kau dapat mengalahkan aku maka bingkisan dari lnlam ini akan akupeserahkan dengan kedua belah tanganku!"

Siauw Houw Tjoe tertawa dengan di dalam hatinya ia kata: "Pantas kakak seperguruanku tidak menyenangi dia, kiranya setelah berselang beberapa tahun, dia tetap jumawa, sedikit juga tak ada perubahannya." Maka dengan kedua mata memandang langit, ia menyahuti dengan tawar: "Hari sudah sore. tak usahlah kita mengubah batas sepuluh jurus tadi! Kau boleh menggunai pedangmu, aku tetap dengan sepasang tangan kosongku!"

Keng Sim heran berbareng mendongkol. Ia tidak menyangka yang Siauw Houw Tjoe lebih temberang daripadanya sendiri. Karenanya, ia menjadi tertawa sendirinya.

"Kau memberi batas sepuluh jurus, ingat, itulah bukan keinginanku!" ia kata. Lantas ia menyerang, dengan jurusnya "Naga sakti masuk ke laut," atau "Sinliongdjiphay." Serangan ini berantai tiga kali, ialah setelah yang pertama gagal, menyusul yang kedua, lalu yang ketiga. Sembari menyerang, ia kata di dalam hatinya: "Sebenarnya aku menyayangi kau bagaimana sukarnya kau belajar silat, tetapi anak bau, di depanku kau banyak tingkah!" Maka hebatlah serangannya itu.

Keng Sim menganggap ia sudah bergerak dengan sebat sekali, di luar terkaannya, ia masih kalah sebat. Dengan gesit sekali Siauw Houw Tjoe berkelit, menghalau diri dari ancaman bahaya itu, setelah mana, ia menunjuki kelincahannya terlebih jauh. untuk mencoba menyerang sambil mendesak. Setelah memecahkan tikaman-tikaman pedang, ia berbal ik merangsak. Lincah sekali ia bergerak ke empat penjuru.

Segera Keng Sim heran dan kaget, hingga ia terkesiap. Inilah ia tidak pernah menduga. Terpaksa ia perlihatkan ilmu silat pedangnya, Keng To Kiamhoat, hingga pedangnya bergemirlapan di depannya bagaikan bianglala perak. Ia hendak membataskan desakannya Siauw Houw Tjoe. Gerakannya ini adalah perubahan dari jurusnya tadi, "Sinliong djiphay," namanya yaitu "Poyong Kimsan" atau "Gelombang merendam kuil Kimsan Sie."

Dalam ilmu silat pedang, Tiat Keng Sim telah mewariskan KengTo Kiamhoat, yaitu ilmu silatnya Tjio Keng To, gurunya, maka itu ia membuatnya pedangnya itu bagaikan gelombang pedang.

"Bagus!" memuji Siauw Houw Tjoe. Ia dirangsak tetapi ia tidak membiarkan dirinya kena terdesak. Untuk membuat perlawanan, ia keluarkan ilmu kelincahannya. "Tjoanhoa djiauwsie," atau "Menembusi bunga, melibat pohon." Begitu lekas ia dapat membebaskan diri dari serbuan gelombang pedang itu, ia membalas dengan totokan Ittjiesian, mengarah lengannya lawan.

Keng Sim tidak mengenal ilmu totok Ittjie Siankang itu, akau tetapi ia selalu waspada, maka itu ketika ia ketahui ia ditotok. ia tertawa dingin, pedangnya dipakai menahas jeriji tangan orang. Hebat serangannya ini hingga Siauw Houw Tjoe mesti lekas-lekas menarik pulang tangannya itu. Ia menjadi girang sekali, sebab ia telah berhasil. Adalah di luar sangkaannya, bahwa dengan tabasannya ini di lain pihak ia telah membuat lowongan tanpa disengaja.

Siauw Houw Tjoe melihat nyata bagaimana ia ditabas, maka ia mengelit tangannya dengan cepat, begitu lekas tabasan lewat, ia maju, merangsak dengan serangan membalasnya, sebelum lawan keburu membalik atau menarik pedangnya itu. Dan ini dilakukan dengan gencar, satu tinjuan dengan satu tinjuan. untuk membuat lawannya itu repot.

Benar-benar Keng Sim kena dibikin, hingga dia kewalahan membela diri.

Siauw Houw Tjoe menyerang bertubi-tubi bukan dengan tinjunya yang serupa, hanya pelbagai macam, pelbagai cara. Kecuali langsung dari gurunya, dari beberapa sahabat gurunya pun ia telah memperoleh pelbagai petunjuk yang berharga. Memang benar, selama tujuh tahun tidak pernah Keng Sim mengabaikan ilmu silatnya tetapi pun benar bagi Houw Tjoe, yang juga telah memperoleh kemajuan pesat. Maka kemajuannya bocah ini, oleh Keng Sim diimpikan pun tidak. Segera dia merasa. Siauw Houw Tjoe sekarang beda jauh dengan Siauw Houw Tjoe yang bengal dan nakal tujuh tahun yang lampau, pula beda daripada Sin Tjoe.

Dengan beruntun Siauw Houw Tjoe mcnggunai serangan-serangan dari Liongkoen. Hokoen. Tjoakoen. Pekpian Hian Kie Tjianghoat. Ittjie Siankang. Taylek Kimkong Tjiang dan yoga, ia membuatnya Keng Sim mundur terus, setelah mana sambil berseru, ia mengirim serangannya yang terakhir, yang memutuskan, tubuhnya bergerak begitu cepat hingga mata Keng Sim berkunang, baru ia angkat pedangnya, untuk menutup diri. atau ia merasakan lengannya sakit sekali bagaikan dibacok. Adalah di itu waktu, sambil tertawa nyaring. Siauw Houw Tjoe telah dapat merampas pedang orang, pedang Tjiehong kiam!

Heran dan kaget, Keng Sim berdiri menjublak.

Siauw Houw Tjoe mengawasi lawannya itu, lantas ia berkata, "Aku membilang satu, satu, aku mengatakan dua, dua, tidak hendak aku memperdaya kau!"

"Pergilah kau ambil bingkisan itu. tak guna kau banyak omong!" kata Keng Sim setelah sadar. Ia malu dan putus asa, ia pun mendongkol. Ia pikir, "Aku menyangka dia masih ingat persahabatan sama adik Lin. siapa tahu setelah menjadi kepala berandal, dia tidak sungkan-sungkan lagi!"

Siauw Houw Tjoe menggeleng kepala. Ia membalik pedang rampasanny a, gagangnya ia angsurkan kepada lawannya itu.

"Tidak!" katanya tertawa. "Mana dapat aku mengambil bingkisanmu itu? Kau tahu. kau telah dapat melawan aku hingga sebelas jurus!"

Keng Sim tidak ingat lagi pertempuran telah berjalan berapa banyak jurus. Ia terdesak hebat hingga ia merasa kepalanya pusing dan matanya kabur. Setelah mendengar perkataan orang, baru ia ingat janjinya Siauw Houw Tjoe itu serta perkataannya sendiri, la sendiri tidak menghendaki batas sepuluh jurus. Ia malu tetapi ia menyambuti pedangnya itu, lalu tanpa membilang suatu apa, ia memutar tubuh untuk mengangkat kaki.

Ketika itu pertempuran kacau sudah sampai di akhirnya, pihak boesoe telah dikalahkan. Keng Sim pun tidak melihat Bhok Lin, maka tanpa pikir lagi, ia lari keluar dari lembah.

"Tjiehoe. mari!" tiba-tiba ia mendengar panggilannya Bhok Lin. "Syukur, Tjiehoe. bingkisan kita tidak lenyap!"

Keng Sim berpaling. Ia melihat Bhok Lin, iparnya itu. di tepi jalan, tangannya mengangkat bingkisan yang mereka lindungi. Sambil berlari-lari, dia itu menghampirkan Tjiehoe-nya.

"Sungguh berbahaya tadi!" katanya pula ipar ini sambil tertawa. "Aku telah nerobos di antara orang-orang jahat itu. hampir aku kena dibacok hingga dua kali. Syukur tidak kena!..."

"Sebenarnya kawanan itu memandang kepada kepalanya." kata Keng Sim, yang dapat menduga. "Apakah kau kira kau benar mempunyai kepandaian menerobos kepungan mereka itu?" Bhok Lin tertawa pula. "Sama-sama tahu saja!" katanya. "Siauw Houw Tjoe pun berbuat baik terhadapmu! Kalau tidak, kau pun mana bisa nerobos keluar hingga kau tiba di sini?"

Keng Sim jengah. Ia malu akan memberitahukan iparnya ini duduknya hal yang sebenar-benarnya.

"Sudahlah!" kata Bhok Lin. lagi-lagi tertawa, "kita jangan perdulikan dia berbuat baik atau tidak, sekarang kita sudah lolos dari bahaya. Sayangnya untukku, aku tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan Siauw Houw Tjoe!"

Belum lagi berhenti suaranya Hertog muda ini atau di sana terdengar suara nyaring dari kelenengan kuda, ketika ia menoleh, ia melihat seekor kuda lagi dikasih lari larat ke arahnya. "Ah, Siauw Houw Tjoe!" serunya. Siauw Houw Tjoe. si penunggang kuda, tiba dengan segera, la tertawa berkakak, tubuhnya mencelat jumpalitan dari atas kudanya, tiba di depan Hertog muda itu. Nampak nyata kebinalannya seperti dulu hari. Dia lantas memeluk erat-erat.

"Aku kira," katanya, tertawa.

"Setelah menjadi Hertog muda, kau tidak memperdulikan pula padaku!"

"Ah. Siauw Houw Tjoe!" Bhok Lin pun berkata. "Sungguh kau kosen sekali tadi! Aku mengira, sesudah menjadi tjongtotjoc. kau tidak kenal aku lagi! Haha, syukur kau masih mengenal persahabatan!"

Keduanya tertawa bergelak.

Keng Sim berdiri menjublak di pinggiran, ia serba salah, menanya salah, tidak menanya salah. Orang pun seperti melupakan padanya. Tapi sedangnya ia likat itu. Siauw Houw Tjoe berpaling padanya.

"Tiat Kongtjoe, maaf, tadi aku telah berbuat salah terhadapmu!" katanya.

Keng Sim malu dan mendongkol, mukanya menjadi merah.

"Di sana ada barang bingkisan, pergilah kau ambil!" katanya, mengambul.

Siauw I Iouw Tjoe tertawa. Ia tidak gusar.

"Apakah kau tidak hendak memberi ketika padaku untuk pasang omong dengan Siauwkongtia yang menjadi sahabatku?" tanyanya. "Laginya mana dapat aku menelan pula perkataanku? Kau toh telah dikalahkan sesudah jurus yang ke sebelas! Tidak. aku tidak menghendaki barang bingkisan, sebaliknya, hendak aku mengundang kamu naik ke gunungku berdiam sedikitnya dua hari!"

Keng Sim berdiam. Kembali ia malu. Mestikah ia menampik undangan itu? Atau pantaskah ia berkeras terus?

Bhok Lin segera datang sama tengah. Dia bertepuk-tepuk tangan.

"Bagus! Bagus!" katanya. Ia menerima baik undangan itu.

"Laginya," berkata pula Siauw Houw Tjoe. "kedua boesoe kamu sudah ada di atas gunungku! Tentunya tidak baik untuk kamu meninggalkan mereka, bukan? Tiat Kongtjoe, jikalau kau masih hendak mempersalahkan aku, baiklah, di sini aku menghaturkan maaf kepadamu!"

"T'iehoe." kata Bhok Lin sebelum orang sempat membilang sesuatu, "kau telah dapat melayani sampai sepuluh jurus, itulah bagus, kau telah menang banyak daripada Wie Kok Tjeng dan Tjoa Hok Tjiang!"

Keng Sim dapat menggunai otaknya, maka di akhirnya, ia tertawa.

"Memang untuk kalangan Kangouw, menang atau kalah tak ada artinya." demikian katanya. "Kalau aku menampik undanganmu ini, nanti orang mengatakan aku cupat pandanganku!"

Siauw Houw Tjoe girang, begitupun Bhok Lin. Tjongtotjoe itu lantas bersiul panjang dan nyaring, itulah isyaratnya untuk orangnya membawa datang kuda tunggangan.

"Sungguh aku tidak menyangka kaulah si perampas pelbagai barang bingkisan dari sembilan propinsi!" kata pula Bhok Lin kemudian sambil tertaw a.

"Dengan bersendirian saja, aku pun tidak sanggup melakukan itu!" Siauw Houw Tjoe mengaku. Dia juga tertawa.

Ketika itu terlihat orang datang dengan membawa kuda. Lekas-lekas Siauw Houw Tjoe berdiri berendeng sama Bhok Lin, sembari berbuat begitu, ia kata dengan perlahan-lahan: "Siauw Bhok, kau perhatikan! Di sini kau boleh panggil aku Siauw Houw Tjoe, tidak ada halangannya, tetapi sebentar, setibanya di atas gunung, aku minta kau memanggil aku dengan namaku saja. Aku bernama Thio Giok Houw!"

Bhok Lin tertawa. Bagus nama kawan ini. Giok Houw berarti Harimau Kumala.

"Benar!" katanya. "Kau sekarang ialah Tjongtotjoe! Baiklah, di depan orang banyak, aku tidak akan panggil Siauw Houw Tjoe padamu!"

Siauw Houw Tjoe bersenyum.

Tidak lama dari itu, mereka mulai mendaki gunung. Keng Sim mendapatkan perkemahan kawanan berandal ini buruk sekali. Itu hanya belasan petak rumah yang terbuat dari atap, yang rupanya dibangun secara darurat.

"Siauw... Siauw... eh. engko Houw," berkata Bhok Lin, "rupanya cuma untuk merampas barang-barang bingkisan maka kau telah membangun perkemahanmu ini?"

"Sedikitpun tidak salah," Thio Giok Houw menyahuti. "Kali ini kau membuat perjalanan, kau lantas mengarti tak sedikit segala sesuatu mengenai kaum Kangouw! Lewat lagi dua hari, aku bakal meninggalkan tempat ini, aku mesti pergi merampas pula barang bingkisan dari lain-lain propinsi."

Malam itu Siauw Houw Tjoe menjamu Bhok Lin dan Keng Sim. I ladir di antara mereka si anak muda she Tjioe, sebagai kawan.

Setelah menenggak beberapa cawan arak. Siauw Houw Tjoe tertawa dan berkata: "Sebenarnya sayang sekali barang bingkisan kamu dihaturkan kepada raja si iblis tua itu! Itu artinya mengilas-ilas barang yang sangat berharga! Coba kami mengambil itu, faedahnya bukan main besarnya! Bhok Lin, dapat kau memikir kefaedahannya itu?"

"Cobalah kau menjelaskannya." meminta Bhok Lin.

Kembali Siauw Houw Tjoe tertawa.

"Siauw Bhok, kau ingatkah Yap Seng Lim Yap Toako?" ia tanya.

"Kenapa tidak? Kecuali kau, dialah yang aku paling ingat! Ya. mana dia entjie Sin Tjoe? Apakah ia ada bersama-sama Yap Toako?"

"Sabar." kata Giok Houw. tersenyum, "nanti aku menjelaskannya."

Ia menuang pula araknya dan mencegluk itu.

"Kami merampas pelbagai barang bingkisan itu, sebagian untuk Yap Toako." katanya kemudian.

Mendengar itu, hati Keng Sim bercekat. Ia lantas berkata di dalam hatinya: "Dahulu hari aku telah menasihati Sin Tjoe supaya sekali-sekali jangan dia hidup dalam dunia Kangouw. Buktinya Seng Lim itu, dia tetap tidak dapat mengubah cara hidupnya. Menurut suaranya Siauw Houw Tjoe ini. terang Seng Lim telah menjadi kepala berandal! Dengan begitu sayang adik Sin Tjoe, dialah sekuntum bunga segar ditancap di antara najis..."

Bhok Lin sementara itu heran.

"Jadinya Yap Toako yang menitahkan kau merampas barang-barang bingkisan?" ia tanya.

"Bukan. Dia bahkan tidak tahu menahu!" sahut Siauw Houw Tjoe. "Siauw Bhok, jangan kau memotong omenganku." Lalu dia meneruskan. "Dan sebagian lagi. itulah untuk orang tua dari Tjioe Djieko ini." Ia menunjuk pada si pemuda she Tjioe. "Kamu dengan saudara Tjioe ini baharu pernah bertemu, sebaliknya soehoe dan soebo adalah sahabat keluarganya turun temurun. Tahukah kamu ia siapa? Kakeknya adalah orang yang pernah menggemparkan wilayah asing dan Tionggoan ialah Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian! Dan ayahnya ialah kepala ikatan kaum Rimba Hijau di wilayah Utara sekarang ini yakni Bengtjoe Tjioe San Bin! Dia bernama Tjie Hiap, yang sekarang ini dikenal di dalam kalangan kangouw sebagai Kimtoo Siauwhiap. Sayang hari ini kamu belum sempat melihat kepandaiaanya dalam ilmu golok Kimtoo..."

"Sudahlah!" berkata Tjioc Tjie Hiap tertawa. "Tjongtotjoe, jangan kau mengangkat-angkat aku!" Kemudian ia berpaling kepada Keng Sim, akan menambahkan: "Tentang Tiat Kongtjoe ini, telah lama aku mendengar namanya yang besar yang menulikan kuping."

Keng Sim senang diangkat-angkat itu, akan tetapi ia merendahkan diri.

"Itulah pujian yang tidak berani aku terima," katanya. "Sebenarnya sudah lama aku mengundurkan diri dari kalangan kangouw, maka aku tidak menyangka masih saja ada orang-orang yang menyebut-nyebut namaku!"

Ia merendah tetapi ia masih mengutarakan kebanggaannya

"Ketika aku pertama kali bertemu sama Toako Yap Seng Lim," berkata Tjie Hiap, "kita telah merundingkan tentang orang-orang gagah di zaman ini, dan yang pertama disebut oleh Yap Toako itu ialah kau, kongtjoe, Yap Toako mengatakan bahwa kau pernah membantunya dengan menempuh bahaya."

Ketika itu Keng Sim membantui Seng Lim sebenarnya untuk Sin Tjoe, tetapi yang sekarang peristiwa itu ditimbuli, hal itu membuat hatinya senang juga.

"Itulah urusan kecil, tidak ada artinya!" katanya. "Aku tidak nyana urusan dari tujuh atau delapan tahun yang lampau itu masih disebut mereka suami isteri."

Dari kata-katanya ini, nyata Keng Sim tak bersikap memusuhkan terus pada Seng Lim.

Siauw Houw Tjoe menenggak pula araknya, kemudian ia berkata lagi: "Sekarang ini bangsa Manchu tengah membangun di timur laut, sedang bangsa Tartar belum lagi nampak kelemahannya. Keadaan kita pun mempunyai sifatnya yang lain. Kakek dari Tjioe Djieko ini telah lama menutup mata, usahanya itu dilanjuti oleh ayahnya. Sekarang Peehoe Tjioe San Bin mempunyai kekuatan beberapa laksa serdadu, ia tidak berani dipandang enteng oleh pemerintah, juga oleh bangsa Manchu dan bangsa Tartar itu. Di timur laut, di barat daya di tempat seluas beberapa ribu lie. Tjioe Peehoe malang melintang, ia membuatnya bangsa asing tidak berani pergi menggembala ke selatan. Maka itu meskipun benar Tjioe Peehoe menentang pemerintah, sebaliknya benar juga nyatanya ia membantu kaizar Beng melindungi negara bantuan itu lebih berharga daripada pembelaannya tenteranya yang di tempatkan di tapal batas."

"Kalau begitu," berkata Bhok Lin, "sudah sepantasnya kalau pemerintah mengangkat Tjioe Peehoe menjadi pangeran!"

"Aha, siauwkongtia kami!" tertawa Siauw Houw Tjoe alias Thio Giok Houw, "sayang Tjioe Djieko tidak berejeki besar seperti kau, sebab ayahnya itu bukan saja tidak menerima anugerah bahkan dia sering-sering diserang tentera pemerintah. Sudah begitu, ada lagi hal yang menyedihkan. Sekarang ini di perbatasan tanah belukar adanya, rangsum sulit dikumpulkannya maka juga sering kejadian tenteranya Tjioe Peehoe berperang dengan perut mereka kosong!"

Bhok Lin mementang lebar matanya. Dalam soal begini, ia tak tahu banyak.

"Oleh karena itu orang-orang gagah telah berhimpun," berkata Thio Giok Houw terlebih jauh. "mereka itu telah merundingkan soal memberi bantuan kepada Tjioe Peehoe. Mengenai itu akulah yang mengajukan usul untuk merampas saja barang-barang bingkisan dari pelbagai propinsi. Bukankah raja naik di tahta dan pelbagai propinsi akan menghadiahkan sesuatu kepadanya? Maka inilah ketika kita yang paling baik. Kita telah mendapat kesetujuan, separuh dari hasil rampasan itu bakal diserahkan kepada Tjioe Peehoe itu dan yang separuhnya lagi untuk Toako Yap Seng Lim. Sebab paman dari Yap Toako, ialah Siokhoe Yap Ijong Lioe, seperti Tjioe Peehoe, sedang berkumpul di ketiga belas kepulauan di Tanghay, di sana Yap Siokhoe telah menghimpun orang-orang gagah serta nelayan-nelayan yang melarat di sepanjang pesisir untuk menentang perompak-perompak bangsa kate. Benar perompak kate itu pernah dilabrak pada sepuluh tahun yang lalu akan tetapi golongannya kaum ronin besar jumlahnya mereka itu mengumpul diri menjadi perompak pula, mereka bergerak kembali. Yap Toako adalah pembantu berharga dari Yap Siokhoe, dia sering bekerja samaentjie Sin Tjoe, bekerja sama di pesisir."

Setelah memberikan keterangannya itu, Giok Houw menenggak pula tiga cawan, terus ia memandang Bhok Lin dan tertawa, menanya. "Nah, Siauw Bhok, kau bilanglah, pantas atau tidak perampasan kami ini atas barang-barang bingkisan untuk raja itu?"

"Pantas! Pantas!" sahut Hertog muda itu tanpa berpikir lagi.

Keng Sim kaget, ia bergelisah. Ia melirik tajam pada iparnya itu. Di lain pihak, tidak berani ia mengawasi Siauw Houw Tjoe. Bukankah ia sendiri lagi bertugas mengantar bingkisan untuk raja?

Thio Giok Houw mengarti keadaan orang. Ia tertawa dan berkata: "Sebenarnya aku pun hendak merampas barang bingkisan kamu, akan tetapi Yap Toako membilangi aku, mengingat yang Tiat Kongtjoe pernah membantu meloloskan tentera rakyat dari bahaya, baiklah kau jangan diganggu."

Mendengar ini, Keng Sim berlega hati, hingga kembali kejumawaannya.

"Dia toh memandang kepadaku!" pikirnya. Tapi ia tidak memikir terlebih jauh. walaupun adanya pesan dari Seng Lim itu, jikalau dia bukan berada bersama Bhok Lin, tentulah Siauw Houw Tjoe tidak ragu-ragu untuk merampasnya juga.

"Di dalam rapat itu juga telah lantas diambil keputusan," berkata pula Thio Giok Houw, melanjuti, "karena usul keluar dari aku, akulah yang diminta bekerja. Demikian untuk pertama kali di dekat kota raja, di luar dugaan mereka itu. aku telah merampas barang bingkisan dari sembilan propinsi. Berhubung dengan kejadian itu, sekarang di sekitar beberapa ratus lie di kota raja itu telah di tempatkan pasukan-pasukan tentera. Tentu saja, karena itu, kami pun tidak turun tangan dengan menanti barang-barang sudah tiba di wilayah kota raja. Pelbagai propinsi terpisah jauh dari kota raja, kalau ada bingkisan di kirim, tentu sekali pengiriman itu tidak dapat diiring oleh pasukan besar, tentulah hanya dipilih pelindung-pelindung yang kosen. Oleh karena sikap pemerintah itu, aku lantas merubah rencanaku, ialah aku minta bantuan orang-orang gagah di pelbagai tempat, untuk mereka memegat dan merampasnya di wilayah mereka masing-masing. Siauw Bhok, hari ini aku mengundang kau ke gunungku ini, untukmu ada faedahnya yang besar, kalau tidak, meskipun kau berhasil lewat di daerahku ini, tidak nanti kau bebas dari wilayah lainnya."

Sembari berkata Siauw Houw Tjoe mengeluarkan sehelai bendera kecil, ia terus menyerahkan itu pada si Hertog muda.

"Kau bawalah benderaku ini." katanya. "Bendera ini ada lebih menang daripada seratus boesoe pengiring! Dengan aku tanggung, di tengah jalan tidak bakal ada orang yang berani mengganggu bingkisanmu itu."

Keng Sim melihat bendera itu di mana ada disulamkan gambar seekor harimau. Itulah benderanya Siauw Houw Tjoe.

Bhok Lin menyambuti itu bendera, lalu ia kasihkan pada Keng Sim.

"Tjiehoe," katanya, "kaulah pengiring bingkisan kita, maka itu bendera ini baiklah kau yang bawa."

Tapi Keng Sim tidak senang, ia bahkan mendongkol.

"Siauw Houw Tjoe ini machluk apa?" katanya dalam hatinya. "Kenapa aku mesti berlindung di bawah pengaruhnya?" Tapi cuma sejenak ia berpikir demikian, atau segera ia ingat: "Asal aku sampai dengan selamat di kota raja, apakah artinya urusan sekecil ini?" Maka ia menyambuti bendera itu.

"Ada beberapa nona-nona kecil, adakah mereka itu sebawahanmu?" kemudian Bhok Lin menanya. Ia ingat nona-nona pengirim surat memakai pisau. "Kenapa sekarang aku tidak melihat mereka itu?"

Semenjak mulai mendaki gunung, Bhok Lin sudah ingat halnya nona-nona itu dan hendak ia menanyakannya, barang sekarang datang ketikanya.

Ditanya begitu, Siauw Houw Tjoe melengak.

"Nona-nona macam apakah itu?" ia menanya.

Bhok Lin memberi keterangan halnya semasa di Koenbeng ia menerima surat budek yang ditancapkan pisau belati di waktu malam serta perampasan barang bingkisan propinsi Koeitjioe oleh beberapa nona-nona.

Thio Giok Houw heran mendengar keterangan itu akan tetapi pada paras mukanya ia tidak mengentarakan keheranannya itu.

"Engko Houw," berkata pula Bhok Lin habis berceritera, "ilmu silatnya nona-nona itu tidak dapat dicela, akan tetapi meski begitu, aku tidak mengarti kenapa kau berlega hati membiarkan mereka menghadapi Poan Thian Lo? Jikalau bukannya tjiehoe memberikan bantuannya, mungkin dua nona kecil yang datang paling dulu bercelaka di bawah cambuk gergajinya Poan Thian Lo..."

"Oh begitu?" kata Siauw Houw Tjoe tertawa, "Tiat Kongtjoe, kalau begitu aku mesti menghaturkan terima kasih padamu walaupun aku tidak

kenal mereka itu." Bhok Lin heran.

"Apa? Kau tidak kenal mereka?" tanyanya. "Jadi mereka itu bukan sebawahanmu?"

"Aku telah minta bantuannya orang-orang gagah di pelbagai tempat," sahut Thio Giok Houw menjelaskan, "mereka itu dapat bekerja sendiri-sendiri, dari itu mungkin nona-nona itu adalah anak-anak gadis mereka"

Siauw Houw Tjoe mengatakan demikian meskipun ia tahu siapa-siapa yang ia mintakan bantuannya dan mengetahui keadaan keluarga mereka tentang nona-nona itu ia tidak tahu sama sekali, maka ia cuma dapat menduga, mereka mestinya dari suatu rombongan lain. Hanya, rombongan siapakah itu? Kenapa rombongan itu bernyali demikian besar berani merampas sendiri barang bingkisan? Bukankah untuk perampasan itu, keputusannya telah diambil oleh suatu rapat umum dan pelaksanaannya diserahkan kepadanya sendiri? Seharusnya, siapa hendak membantu, ia mesti ketahui, dan siapa yang ia tak kenal dan hendak membantu juga, mesti mohon perkenan dulu daripadanya. Maka itu dari mana munculnya itu beberapa nona-nona?

Tentu sekali Siauw Houw Tjoe tidak dapat menampakkan segala apa pada Bhok Lin, oleh karena itu setelah menahan Bhok Lin dua hari di atas gunungnya, ia antarkan sahabat itu bersama Tiat Keng Sim turun gunung. Bersama mereka pun dibebaskan kedua boesoe yang ditahan, bahkan mereka diberikan kuda tunggang yang baru.

Dengan adanya bendera kecil dari Siauw Houw Tjoe itu, perjalanan dapat dilakukan dengan aman. Lima hari kemudian mereka sudah tiba di wilayah gunung Boeie San, setelah nanti melintasi Hoentjoeikwan di bukit itu, mereka akan sudah berada di perbatasan kedua propinsi Kangsee dan Tjiatkang dan memasuki propinsi yang belakangan itu. Di situlah terletak kampung halamannya Tiat Keng Sim. Sekian lama Keng Sim masgul dan mendongkol karena ia dikalahkan Siauw Houw Tjoe, baru sekarang ia dapat melegakan hati.

Boeie San adalah sebuah gunung yang kenamaan dari Tiongkok. Di situ ada terdapat tiga puluh enam puncak serta tujuh puluh dua karangnya yang curam, ada kalinya yang berliku-liku hingga disebut "Boeie Kioekiok," atau Sembilan Tikungan, karena mana, gunung itu ada kalinya, kali ada gunungnya Maka siapa keluar dari propinsi Hokkian, di mana gunung Boeie San terletak, di mana adanya Hoentjoeikwan, yang merupakan sebagai pintu kota di segala penjuru nampak pemandangan-pemandangan alam indah permai. Ada sangat melegakan hari dan menyenangi untuk bertunggang kuda sambil jalan perlahan-lahan di situ menikmati semua pemandangan itu. Maka tempat ini tepat untuk orang sebagai Keng Sim. yang di samping ilmu silat paham juga ilmu surat, hingga ia pun adalah seorang sasterawan. Boeie San tak terpisah jauh dari kampung halamannya tetapi belum pernah ia datang ke gunung ini, maka ia menjadi kagum sekali.

"Jikalau bukannya lagi mengantar bingkisan, pasti aku akan berdiam beberapa hari di sini," katanya sambil tertawa. Senang ia dengan ini gunung terkenal, yang mengeluarkan teh Tiongkok paling terkenal (bohea tea).

Bhok Lin pun gembira sekali. Ia bertepuk tangan dan berkata: "Kita mempunyai benderanya Siauw Houw Tjoe, kita aman di perjalanan, aku lihat tidak ada halangannya untuk berdiam di sini barang dua hari."

Kedua boesoe pengantar sebaliknya tidak setuju. Mereka menganggap tugas mengantar bingkisan ada tugas berat, yang tidak boleh dialpakan.

"Kamu tidak gemar pesiar," berkata Bhok Lin, "baiklah kamu berangkat lebih dulu mengatur pondokan di Siangdjiauw, di sana kamu boleh menantikan kami. Umpama kata kita bertemu sama orang jahat, kamu toh tidak dapat membantui kami..."

Kedua boesoe itu menjadi jengah sekali.

"Ya baiklah Djiewie pergi dulu ke Siangdjiauw untuk beristirahat dua hari di sana," Keng Sim pun berkata. "Kedua kuda kami pun Djiew ie bawa bersama. Tentang barang bingkisan, biarlah kami yang membawanya. Kami ada membawa benderanya Siauw Houw Tjoe, mungkin tak ada orang jahat yang merampasny a. Di kolong langit itu ada berapakah Siauw Houw Tjoe?"

Mendengar suaranya Keng Sim itu, kedua boesoe tersebut tidak berani membantah, maka itu dengan membawa kuda Keng Sim dan Bhok Lin, mereka berangkat lebih dulu ke Siangdjiauw.

Setelah berada berduaan, Bhok Lin dan Keng Sim masuk jauh ke pedalaman gunung. Di atas itu ada hawa salju, puncak-puncak bagaikan ketutupan, maka tongkrongannya mirip dengan naga melingkar atau harimau mendekam. Keindahan pun ditambah sama air mancur dan kali yang berlugat legot.

Mereka melintasi tikungan pertama (kiok kesatu) yang disebut Lhio Sian Giam, tikungan kedua Tiat Poan Tjiang, lalu tikungan yang ketiga Siauw Tjhong Hong. Di sini ada sepotong papan, yang menjulang ke atas. Menurut dongeng maka di jaman kerajaan Tjin di sana ada seorang dewa yang bernama Boe Ie Koen yang selama hari raya Tiongtjioe, pertengahan musim rontok, sudah mengadakan pesta di antara dewa-dewa, habis berpesta diciptakan bianglala menjadi jembatan untuk masuk ke guha makajadi adalah sisa peninggalan itu.

Mereka pun pergi ke tikungan yang ke empat, Tay Tjhong Hong, di bawah mana ada Go Liong Tam atau muara Naga Tidur. Di samping muara itu, di atas batu. ada ukir-ukiran empat huruf "Lioe Hee Hoei Tjoei" dari Tjoe Hie, sasterawan jaman Song.

"Tjoe Hie sasterawan tetapi ia mengenal baik keindahan alam," kata Keng Sim sambil tertawa pada Bhok Lin. "Pernahkah kau baca syairnya yang memuji keindahan Boeie Kioekiokini?"

"Aku tidak terpelajar sebagai kau," sahut sang ipar. "Coba kau bacakan."

Keng Sim menurut, ia membacakan syair pujian itu. Baru ia mengapal sampai di pujian tikungan yang ke empat, mendadak ada terdengar suara bagaikan kumandang: "Kalau bukannya sasterawan, mana dia lancang dapat menjelaskan begini rupa? Hebat, hebat!"

Mendengar suara itu, Keng Sim menjadi tidak senang. Ia merasa dirinya diejek. Maka ia lantas lari ke arah dari mana suara itu datang, dari dalam rimba untuk mencari orangnya. Akan tetapi ia tidak menemukan siapa juga di dalam rimba atau gunung yang luas itu.

"Sudahlah!" berkata Bhok Lin tertawa. "Kalau nanti kita pulang, tjiehoe tolongi saja aku menulis syair keindahan gunung ini. Lihat puncak itu, romannya aneh, mari kita mendakinya."

Ia menunjuk sebuah puncak di hadapan mereka.

Keng Sim mendongak, untuk mengawasi. Ia mendapatkan sebuah puncak yang atasnya besar dan bawahnya kecil, mirip dengan pusut, maka anehlah puncak itu. Di atas itu pun ada sebuah batu besar. Luasnya puncak itu mungkin sepuluh bauw lebih dan tingginya dua sampai tiga puluh tombak. Untuk naik ke atas, di tengah-tengah ada renggangan yang ada tangganya, tangga kayu, tangga mana pasti disediakan untuk orang pesiar naik.

Keng Sim berdua Bhok Lin lantas naik di tangga itu, yang terdiri dari tujuh undakan, yang berliku-liku. Baru mereka sampai di tingkat ketiga,, kembali mereka mendapat dengar suara tertawa manis seperti yang tadi.

"Mesti orang itu berada di atasan dua undak," Keng Sim menerka. Ia mendapat kenyataan, suara datang dari atasan mereka. Ia lantas naik terus, karena di situ tidak dapat orang mengejar seperti di tanah datar. Karena itu, hatinya tegang sendirinya.

Tiba-tiba terdengar pula suara, kali ini pertanyaan: "Eh, Tjoe Heng, Hee Lian, orang macam apa itu yang mengantar barang bingkisan dari propinsi Hokkian!"

"Dialah seorang piauwsoe tua," terdengar suara jawaban, suaranya seorang nona diuga. "Entjie Hee Lian telah bergurau dengan dia itu, yang kumisnya telah dicabuti! Bingkisan itulah yang paling gampang dirampasnya"

Kata-kata ini disusuli dengan tertawa geli.

"Hee Lian, inilah kekeliruanmu!" berkata suara nona yang pertama. "Sudah cukup yang barangnya dirampas. Kenapa kau pun menghina dia?"

"Tetapi nona tidak tahu," berkata nona yang dipanggil Hee Lian itu. "Piauwsoe tua itu sangat bertingkah, sudah dia tidak memandang pada kami. kami pun dipermainkan, diganggu olehnya. Karena aku sangat mendongkol, aku cabut kumisnya supaya dia tahu rasa!"

Keng Sim terkejut. Teranglah Tjoen Heng dan Hee Lian ini ada kedua nona yang di Koeitjioe telah mempermainkan Poan Thian Lo. Mendengar suaranya, mestinya merekalah budaknya nona yang suaranya terdengar paling dulu itu. Inilah heran! Mereka berdua sudah liehay, entah bagaimana nona majikannya itu! Siapakah ini nona majikan?

Lalu terdengar pula suaranya si nona, yang tertawa.

"Kamu tidak mengecewakan aku yang telah mengajari silat beberapa tahun pada kamu!" demikian katanya. "Satu kali saja kamu turun tangan, kamu telah berhasil merampas barang bingkisan dari beberapa propinsi! Hanya kenapa kamu mengasi lewat barang bingkisan dari propinsi Inlam?"

"Harap nona ketahui." terdengar jawabannya Hee Lian, "bingkisan itu diantar oleh putera dan menantunya Bhok Kokkong sendiri..."

"Kalau Bhok Kokkong kenapa?" si nona tanya.

"Tidak kenapa-napa, nona," menyahut Hee Lian. "Mustahilkah kita takut akan pengaruh kekuasaannya? Hanya... hanya..."

"Hanya kenapa?" menegaskan si nona.

"Bocah itu berhati baik. Menantunya Bhok Kokkong juga pernah membantui kami."

"Tapi sebenarnya dia bukannya bersungguh-sungguh hati membantui kami!" berkata Tjoen Heng. "Sebenarnya ialah entjie Hee Lian menggunai tipu daya memancing harimau meninggalkan gunungnya."

Lantas mereka itu tertawa. Sebab Tjoen Heng itu menjelaskannya terlebih jauh.

Keng Sim menjadi mendongkol sekali.

"Aku telah membantu mereka tetapi sekarang aku ternyata dipermainkan sebagai si tolol!" pikirnya panas.

"Eh, Hee Lian," menanya pula si nona, "sebenarnya kenapa kau mengasihani mereka itu?"

"Bukan, nona," si Hee Lian menyangkal. "Kami cuma bekerja menuruti aturan kaum kangouw.

Kami memberi ampun satu kali."

"Bagus!" seru si nona. "Kau telah melepaskan mereka, kalau nanti untuk kedua kalinya kau menemukan mereka itu, pastilah sulit."

"Harta yang sudah dituliskan tidak nanti lenyap, nona!" kata Hee Lian, suaranya pasti. "Siapa tahu kalau mereka justeru mengantarkannya sendiri?"

Hati Keng Sim terkesiap. Menurut suaranya Hee Lian, mungkin mereka itu sudah ketahui yang ia berdua Bhok Lin berada di dekat mereka, dan mereka merasa pasti sekali akan berhasil mendapatkan barang bingkisan yang dilindunginya itu

Selagi menantu hertog ini mendongkol, mendadak matanya melihat sinar terang.

Kiranya mereka telah sampai di batu renggangan, maka itu mereka dapat melihat ke atas. Di situ. di atas sebuah batu tawas yang besar, terlihat lima nona tengah berkumpul sambil berdiri. Empat di antaranya ada nona-nona berumur tak lebih daripada lima atau enam belas tahun. Dan merekalah nona-nona tanggung yang diketemukan di tengah jalan di propinsi Koeitjioe. Nona yang ke lima berusia lebih tua tetapi lebih kurang baru dua puluh tahun. Ia berdiri di tengah, bajunya berwarna kuning gading. Ia cantik sekali, dalam kecantikannya itu ada pengaruh kegagahan.

"Selamat bertemu! Selamat bertemu!" berkata Keng Sim lantas seraja ia tertawa. "Ketika itu hari kita bertemu di Koeitjioe. sebenarnya hatiku tak tenang!"

Sengaja ia mengucap begitu karena ia mendongkol terhadap si nona. Tapi ia bicara kepada ke empat nona yang ia kenali itu.

Hee Lian adalah nona yang terjangkung. ia pun paling lincah, bahkan ia segera dapat membade nada suaranya si anak muda menantu Bhok Kokkong itu.

"Oh. Tiat Kongtjoe!" katanya tertawa "Sebenarnya kongtjoe. kami belum menghaturkan terima kasih kepadamu. Jikalau bukannya kau yang menghalau Poan Thian Lo, meskipun mungkin kami tidak bakal terluka cambuk gergajinya itu, teranglah tak gampang-gampang dapat kami berhasil dengan usaha kami."

Mendengar itu Keng Sim berkata: "Sebenarnya kamu masih mesti belajar silat lagi beberapa tahun, baru kamu boleh masuk dalam dunia kangouw. Aku tidak mengarti kenapa nona kamu demikian tega membiarkan kamu keluar untuk melakukan pekerjaan yang sangat berbahaya itu?..."

Satu nona yang ternyata bernama Hee Ho. berkata sembari tertawa geli: "Aku juga tidak mengarti, selagi di dalam istana Bhok Kokkong ada banyak sekali sebawahannya yang pandai, kenapa ia justeru mengutus kamu beberapa anak sekolah yang tidak tahu apa-apa?"


"Aku mohon menanya," berkata Bhok Lin. "kenapa kita dibilang tidak tahu apa-apa?"

"Sebab beberapa kali kami sudah mengasi nasihat supaya kamu kembali, kamu tidak sudi dengar nasihat itu." menyahut nona yang bernamaTjoen Heng. "Kenapa kamu masih hendak mengantarkan barang bingkisaa ke kota raja? Bukankah itu berarti bahwa kamu hendak membikin dirimu jatuh sendirinya?"

Keng Sim tertawa sambil melenggak.

"Aku kira tidak sedemikian gampang!" katanya jumawa. "Jikalau kamu tidak percaya, nah, kamu coba-cobalah!"

Si nona yang sedari tadi berdiam saja mendadak mengibas tangannya.

"Kamu semua mundur!" katanya. Terus ia berpaling pada Keng Sim, untuk mengatakan: "Ajaranmu benar sekali! Memang mereka masih harus belajar lebih jauh beberapa tahun! Cuma mereka itu biasanya nakal, mereka gemar bergurau, tidak senang mereka jikalau mereka tidak membuat keramaian. Aku sendiri tidak sanggup melarang mereka. Syukur untuk mereka, selama mereka bekerja, mereka belum pernah menemui lawan yang liehay. karenanya mereka jadi jumawa. di depan matanya seperti tidak ada orang lainnya lagi!"

Kata-kata ini ada mengandung sindiran. Di antara orang-orang yang Hee Lian berempat pernah ketemui di dalam pekerjaan mereka, Keng Sim terhitung satu di antaranya, dengan begitu, Keng Sim pun tak masuk dalam hitungan orang yang liehay itu. Terdengarnya si nona menegur budak-budaknya tetapi sebenarnya. Keng Sim disindir untuk kejumawaannya itu. Tentu sekali Keng Sim mengarti maksud orang. Ia menjadi tidak senang. Ia hendak membuka mulutnya atau si nona sudah berkata pula.

"Kamu berempat benar-benar tidak tahu diri!" katanya menegur empat budaknya itu, "Kenapa kamu berani mau menempurTiat Kongtjoe? Kamu masuk dalam dunia Kangouw. kamu mesti mengetahui aturan kaum Kangouw! Tahukah kau apakah aturan Kangouw yang nomor satu? Tong Bwee. kaulah yang bicara!"

"Di dalam dunia Kangouw, yang diutamakan ialah bertempur satu lawan satu," menyahut budak yang dipanggil Tong Bwee itu, yang berdiri di paling belakang. "Kalau kita mengutamakan orang banyak, artinya main keroyok, menang pun tidak ada artinya, itu menang tak gemilang."

"Entjie Tong Bwee, keteranganmu belum lengkap, ada satu yang kelupaan!" berkata Hee Ho. tertawa. "Jikalau tingkat derajat orang tak sama. atau usianya terlalu lanjut atau terlalu muda. bedanya sangat jauh, maka itulah tak masuk hitungan."

"Nona benar." Tong Bwee berkata lagi, "dengan Tiat Kongtjoe mempunyai pedang di pinggangnya itu. di antara kami berempat, tidak satu jua yang dapat melayani dan memperoleh kemenangan."

Keng Sim bukan main mendongkol. Teranglah itu nona dan budak-budaknya lagi mempermainkan ianya Ke empat budak itu pun mau mengatakan, kalau mereka meluruk berbareng mustahil mereka tidak menang.

"Aku menghaturkan banyak terima kasih yang kamu menghargai aku." ia kata sambil tertawa lebar. "Aku juga bukannya orang tukang menghina! Hanya aku ketahui, di bawahnya panglima yang kosen tidak ada serdadu yang lemah. Seperti di dalam halnya kamu. budaknya saja sudah berani merampas barang bingkisan untuk kaizar. maka itu. tentang si nona sudah dapat diduga sendiri! Baiklah, aku si orang she Tiat, aku tidak mengukur diriku sendiri, ingin aku meminta pengajaran dari nona kamu!"

Nona itu melihat orang gusar, ia tapinya bersenyum. Ia lantas memotes secabang pohon lioe di sampingnya, ia menekuk itu hingga berkelung bundar.

"Apa?" kata Keng Sim mendongkol. "Apakah aku si orang she Tiat tidak tepat untuk memohon pengajaran dari kau?"

Selagi si nona belum menyahuti.

Tong Bwee sudah berkata: "Tiat Kongtjoe, aku minta sukalah kau serahkan peti bukumu yang kecil itu kepada Siauwkongtia!"

Mendengar itu. Keng Sim melengak.

Tong Bwee tidak

menghiraukannya, ia tertawa dan berkata pula: "Kalau sampai rusak mustika di dalam peti itu, bukankah sia-sia belaka nona kami meletihkan dirinya?"

Kata-kata ini berarti kepastian bahwa ia bakal kalah, maka juga Keng Sim menjadi bertambah murka. Tapi ia pun ingat, memang celaka kalau sampai isinya peti itu rusak. Maka itu, ia menahan sabar. Ia lantas menyerahkan peti buku itu kepada Bhok Lin.

"Baiklah!" katanya seraya terus ia memberi hormat kepada si nona. "Dengan begini kita sama-sama boleh melegakan hati. Jikalau kau menang, nona, aku akan persembahkan mustika di dalam peti itu kepadamu!"

Melihat suasana genting itu, Bhok Lin lompat maju.

"Tjiehoe, kau pun melupakan aturan kangouw!" ia berkata.

"Kau tahu apa?" kata tjiehoe itu muram.

"Benderanya Siauw Houw Tjoe!" Bhok Lin memperingati. Lantas dia mengasi hormat kepada si nona seraya meneruskan berkata: "Seorang sahabatku telah memberikan kami selembar bendera kecil, aku ingin untuk memperlihatkan dulu itu kepada nona Jikalau kedua pihak kenal satu pada lain. kalau kerukunan kita terganggu, bukankah itu tidak bagus? Mana kita bisa enak hati? Nona, sahabatku itu bernama Thio Giok Houvv! Nona. apakah she dan namamu yang mulia?"

"Benar, dalam dunia kangouw memang ada itu aturan!" Hee Ho menyeletuk. "Siauwkongtia, kali ini kau mengenal aturan. Nona kami she Liong!"

Bhok Lin terperanjat, tanpa merasa mulutnya mengasi dengar suara perlahan: "Mulut harimau melepas budi, naga sakti mendelik matanya! ---- Ah, nona kamu she Liong!"

Hertog muda ini ingin mendamaikan, siapa tahu ia lantas ingat pada bunyinya kata-kata surat peringatan yang ditancapkan dengan pisau belati. Maka ia menjadi tidak enak hati.

Si nona she Liong tertawa.

"Tolonglah keluarkan bendera itu!" katanya nyaring.

Mulanya Keng Sim tidak niat mengasi lihat bendera Siauw Houw Tjoe itu, tetapi sejenak kemudian, ia mengambil putusan lain. Ia ingin melihat sikap orang. Ia lantas merogo sakunya, untuk terus mengibarkan bendera bersulam harimau itu. Ia berkata dengan tawar: "Sahabatku ini adalah orang yang baru muncul dalam dunia kangouw, maka jikalau kamu tidak kenal bendera ini, harap kamu tidak mentertawakannya." Ia mengatakan demikian sedang di hatinya ia pikir: "Siauw Houw Tjoe ialah pemimpin dari kaum Rimba Persilatan yang mengepalai perampasan barang bingkisan, kamu beberapa budak bukankah di bawah pimpinan dia?"

Keng Sim bukannya mau menggunai pengaruh Siauw Houw Tjoe, ia hanya hendak menjengeki supaya orang menjadi jengah.

Tapi si nona pun berlaku tawar.

"Benar-benar aku belum pernah mendengar orang semacam ini dalam dunia kangouw!" demikian katanya. Ia nampak tenang sekali, tetapi mendadak ia menggeraki tangannya, cabang yanglioe menyambar, lalu di lain detik, bendera itu kena tergaet dan terampas, terus saja ia robek menjadi dua potong, robekannya dibuang ke tanah! Setelah berbuat begitu, ia tertawa dan kata pula dengan nyaring: "Aku tidak mengambil perduli Kalangan Putih atau Kalangan Hitam! Serahkanlah itu bingkisan dari propinsi Inlam!"

Keng Sim bukan sembarang orang, tetapi bendera di tangannya dapat dirampas secara demikian gampang, maka mau atau tidak, ia terkejut juga. Bhok Lin kaget bukan main "Kau... kau..." serunya, "kau merusak bendera ini?"

Si nona tidak menggubris hertog muda itu. ia mengawasi Keng Sim seraya tertawa.

"Apakah kau pernah bertempur sama Siauw Houvv Tjoe?" ia menanya.

"Kenapa?" tanya Keng Sim tanpa merasa.

"Dalam berapa jurus dia mengalahkan kau?" si nona tanya pula.

"Hai, orang perempuan, buat apa kau banyak rewel!" membentak Keng Sim, yang menjadi panas, "Sebenarnya kau mau atau tidak mengadu pedang denganku?"

Bhok Lin pun mendongkol.tanpa pikir lagi, ia berkata: "Siauw Houw Tjoe mengalahkan dia dalam jurus yang ke sebelas! Untuk apa kau menanyakan itu?"

Nona itu tertawa manis.

"Aku menanya saja, tidak ada maksudnya!" sahutnya.

Bhok Lin berdiam, atau mendadak ia berseru: "Aku mengarti sekarang! Secara begini dengan diam-diam kau hendak mengadu kepandaian sama engko Siauw Houw Tjoe kami itu! Dia mengalahkan orang dalam sebelas jurus, sekarang aku mau lihat kau menggunai berapajurus!"

"Sungguh kau cerdik!" Hee Ho kata tertawa. "Dengan sekali menerka saja kau dapat membade hati nona kami!"

Nona itu tidak menyangkal atau mengaku benar, ia memandang si Hertog muda sambil bersenyum. Lalu ia menanya pula: "Engko Siauw Houw Tjoe dari kamu itu menggunai senjata apa?"

Mendengar itu, darahnya Keng Sim meluap. Maka juga ia berlompat maju, kedua tangannya disilangkan, matanya mendelik.

"Pembicaraan kamu ini ada waktunya habis atau tidak?" ia tanya, bengis. Dengan gerakannya ini, ia hendak membikin kabur matanya si nona, sebab ia tidak berani datang-datang menerjang dengan pedangnya. Maksudnya pun untuk menghentikan kata-kata orang.

Si nona Liong seperti dapat menebak maksud orang, ia tidak berkelit, cuma kepalanya dimiringkan.

"Aku cuma menanya sepatah kata saja!" katanya pula. "Lekas bilang dia menggunai senjata atau tidak?"

Bhok Lin lantas menyahuti: "Dia tidak menggunai senjata! Adalah Tjiehoe-ku yang menggunai pedang mustika yang dapat menabas besi seperti menabas lumpur!" Ia mengatakan demikian sedang di hatinya ia berpikir: "Aku mau lihat kau berani atau tidak berkelahi dengan tangan kosong..."

Segera ia mendengar pula suara si nona, yang lebih dulu tertawa bergelak.

"Baiklah, aku sudah tahu!" demikian katanya Lalu dia mengawasi Keng Sim, tangannya menuding, mulutnya membentak: "Masih kau tidak hendak menghunus pedangmu! Kau hendak menantikan apa lagi?"

Keng Sim tidak dapat menguasai lagi dirinya, maka ia maju menyerang dengan kedua tangannya. Ia tidak perduli lagi bahwa ia lagi berhadapan sama seorang wanita, bahkan satu nona, jerij i tangannya mencari kedua mata sebagai sasaran!

Serangan ini menjadi lebih hebat karena mereka berada dekat sekali satu dengan lain.

Di waktu menyerang, Keng Sim lupa diri, tetapi ketika sudah menyerang, mendadak ia sadar, ia lantas menjadi menyesal sendirinya. Tapi ia sudah menyerang, ia tidak dapat membatalkan nya.

Di luar dugaan, si nona sangat celi matanya dan sangat gesit tubuhnya. Hanya dengan satu kaki bergerak, dia dapat berkelit, tubuhnya melesat ke samping!

Keng Sim kaget bukan main. Ia kuatiryang ia nanti dibokong. Ia lantas menggeser kakinya, ia menggeraki lebih jauh kedua tangannya, untuk menutup diri. Ia tapinya kalah gesit. Si nona sudah berkelebat pula dan segera berada di depannya lagi. tangannya tambah serupa barang yang berkeredepan! Sebab itulah pedangnya yang telah terhunus! Pedang Tjiehong kiam!

Ke empat budak wanita itu lantas serempak menepuk tangan dan bersorak.

"Bagus!" pujinya

Mukanya Keng Sim menjadi bersemu merah. Ia lantas mengulur tangan kirinya, lima buah jarinya dibuka, untuk menyengkeram pedang, guna dirampas. Itulah gerakan "Kimpa tamdjiauw," atau "Macan tutul emas menyengkeram."

"Memangnya pedang ini hendak aku berikan kepada kau, kenapakah kau tergesa-gesa?" kata si nona tertawa. Dan dengan memutar pedang itu, ia menyodorkan gagangnya kepada si anak muda, untuk disesapkan ke dalam telapakan tangan!

Dalam sekejab itu, Keng Sim sadar. Ia mengarti, karena ia tidak dapat menarik pedang itu. si nona sengaja membuatnya demikian, supaya ia dapat menarik itu, seperti juga ialah yang menariknya sendiri. Ia menganggap itulah penghinaan untuk dirinya, yang dipandang terlalu enteng. Sebenarnya, menurut keangkuhannya, tidak sudi ia menerima pedang itu, akan tetapi buktinya, ia mengertak diri, dengan mendadak ia membetot keras, sesudah mana ia menghunusnya cepat sekali. Terhadap Siauw Houw Tjoe itu hari, ia cuma mengharap mendapat kemenangan, tetapi terhadap si nona sekarang, ia bagaikan hendak mengadu jiwa. Ketika ia mencabut pedangnya itu terdengar suaranya "Ser!" keras sekali, sebab gerakannya dibarengi sama serangannya, ialah jurus "Hoankang tohay" atau "Membalik sungai, menumpakan laut." Itulah salah satu jurus terliehay dari Keng To Kiamhoat. Sinar pedangnya pun berkelebat berkilauan.

"Sungguh satu pedang mustika!" berseru si nona. Agaknya dia terperanjat, tetapi tubuhnya mencelat ke samping, kedua belah tangannya dikibaskan, mengebut dengan tangan bajunya, hingga tangan baju itu bagaikan gerakan menari. Tangan baju yang kiri menyambar ke kanan, dan tangan baju yang kanan bagaikan menggulung ke kiri.

Tiat Keng Sim heran menyaksikan gerakan itu. Di dalam hatinya ia menjerit kaget dan kagum ketika tangan baju itu berkelebat di depan matanya, sedang gerakan pedangnya sendiri tidak mengasi hasil apa-apa. Dengan sebat ia menarik pedangnya itu. untuk sebaliknya dipakai menutup diri. guna melindungi tubuhnya, sesudah mana barulah ia menyerang pula. Ia tidak sudi terus menjadi si pembela diri.

Nona Liong menginsafi tajamnya pedang mustika orang, ia tidak mau berlaku sembrono. Ia mengarti baik sekali, salah sedikit saja, tangan bajunya bakal terpapas kutung, la lantas mengasi lihat kelincahannya, untuk senantiasa menyingkir dari papasan atau tikaman pedang. Maka biarnya Keng Sim bergerak dengan sangat cepat, ia tidak dapat melanggar saja baju si nona.

"Sungguh ilmu pedang bukan sembarang!" berkata si nona tertawa.

Tidak enak Keng Sim mendengar pujian itu, sebab nadanya rada mengandung sindiran. Di dalam keadaan seperti biasa, tentunya ia sudah melepaskan pedangnya itu, guna melawan dengan tangan kosong, tetapi sekarang, tidak dapat ia berbuat demikian. Lawannya ini. walaupun hanya seorang nona, ada liehay luar biasa. Di sini ada bergantung kehormatannya. Sedang bingkisan yang ia lindungi itu pun istimewa.

Habis tertawa, si nona bergerak lebih jauh.

Keng Sim penasaran, ia membabat ke arah pinggang si nona.

Nona itu berkelit, lincah gerakan pinggangnya, sebat sampokan tangan bajunya. Dan pedang suaminya Bhok Yan kena di bikin terpental nyamping!

Bukan main herannya Keng Sim. Ia menjadi kaget ketika ujung tangan baju hampir melanggar nadinya. Syukur ia cepat menghalau lengannya itu.

"Bagus! Bagus!" si nona memuji pula, sambil tertawa. "Dengan beruntun kau dapat membebaskan diri dari tiga j urusku!"

Mendadak tubuhnya nona itu mencelat, kedua ujung bajunya dikibaskan pula. Ia lantas mendesak.

Agaknya sia-sia belaka Keng Sim bersenjatakan pedang, ia kena dirangsak si nona. Ia repot membela diri hingga tidak ada ketikanya untuk ia mencoba melakukan penyerangan membalas. Saban-saban pedangnya itu kena disampok mental.

Segera juga datang satu serangan, yang mengenakan pundak si anak muda, hingga ia terhuyung, tetapi saking sehatnya, dapat ia membalas menabas kutung sedikit dari ujung baju nona itu, ujung baju yang kanan. Biar bagaimana, dengan bersenjatakan pedang tajam, sedang ia sebenarnya pun sangat gesit, pemuda ini tidak selamanya jatuh di bawah angin.

Adalah di luar sangkaan si nona yang ujung bajunya itu kena dilabas kutung. Pula Keng Sim sendiri tidak menyangka yang ia bakal berhasil itu.

Segera setelah itu, anak muda ini kembali didesak lawannya. Ia bagaikan tidak hendak diberikan ketika untuk bernapas.

Bhok Lin menonton dengan melongo. Hebat gerakan pedang tjiehoe-nya tetapi tak kurang hebatnya ujung baju menyambar-nyambar. Ujung baju itu dapat dibikin lemas dan kaku sekehendak si nona. Saking kagum, ia mengharap-harap pertandingan itu nanti berlangsung lama...

Lama-lama, hati Keng Sim menjadi ciut. Ia mendapat kenyataan yang ia telah terdesak hebat sekali. Si nona sebaliknya tetap lincah. Kalau keadaan terus berlangsung demikian, setelah letih, mana sanggup ia melayani terlebih jauh? Oleh karena ini, ia terpaksa mengubah pula ilmu silatnya Keng To Kiamhoat memang bukan sembarang ilmu pedang. Kalau tidak, gurunya tidak akan tersohor sekali. Kali ini ia mengambil sikap, daripada kalah baiklah bercelaka berdua!

Karena ini, ia menjadi seperti mendapat tenaga baru.

Sesudah menonton sekian lama Bhok Lin dapat melihat kenyataan. Dalam tenaga dalam, nona itu kalah dari Siauw Houw Tjoe, sebaliknya dalam ringan tubuh, si nona menang daripada Keng Sim. Dalam halnya gerakan yang luar biasa, nona itu seperti terlebih liehay daripada Siauw Houw Tjoe. Mungkin si nona tak kalah dengan Sin Tjoe yang pandai dalam ilmu "Tjoanhoa Djiauwsie." Kemenangan Keng Sim adalah berkat pedang mustikanya itu.

Lantas saja Bhok Lin mendapat serupa pikiran: "Kalau nona ini bertempur sama Siauw Houw Tjoe, alangkah menariknya! Tentu sekali mereka sama unggulnya..."

Tidak lama Keng Sim mengasi lihat perubahan pedangnya. Sebab ia telah keluarkan jurus "Samhoa kayteng," atau "Tiga kuntum bunga menutupi batok kepala." Pedangnya itu seperti saling susun menyerang si nona.

Bhok Lin kaget dan berkuatir. Kasihan sekali kalau si nona, yang demikian cantik, mesti roboh di ujung pedang. Kalau dia tidak terbinasa, mestinya dia bercacad. Sungguh sayang... Di lain pihak, kalau sang tjiehoe yang kalah, hilanglah barang bingkisan itu! Bagaimana dengan tanggungjawabnya nanti? Bukankah akan gagal kepergian mereka ke kota raja?

Tengah Bhok Lin bingung, kupingnya mendengar tertawanya si pelayan yang bernama Tjioe Kiok, yang pun berseru: "Sungguh indah itu jurus "Tangan baju terbang mega melayang"!"

Pula si pelayan Tong Bwee, yang turut tertawa, juga berkata: "Kau lihat gerakan nona! Bukankah indah jurusnya Tangan Baju Besi itu?"

Baru saja berhenti suaranya pelayan itu atau Keng Sim sudah mengasi dengar seruan tertahan. Dengan tiba-tiba saja pedangnya terlepas dari cekalannya pedang itu mencelat ke tinggi, seperti terbang ke tengah udara!

Sebab berhasillah si nona dengan jurusnya "Tangan baju besi" itu dengan apa ia mengetok nadi si anak muda, hingga dia ini terkejut dan tanpa merasa kendorlah cekelan pada pedangnya, hingga ketika kena disampok ujung baju, lantas pedang itu terbawa terbang tinggi. Hanya syukur, habis serangannya itu yang berhasil nona itu tidak mengulanginya menyerang pula.

Keng Sim berdiri menjublak, tak keruan rasanya, wajahnya pun pucat. Ia kaget dan malu.

Bhok Lin juga berdiam, ia menyesal bukan main.

Tapi aneh juga si nona, sesudah menang, dia tidak tertawa, atau bersenyum, dia tidak bergirang, sebaliknya, dia menghela napas...

Hertog muda itu heran.

"Dia menang secara cemerlang, kenapa dia justeru bersusah hati?" pikirnya.

Itu waktu lantas terdengar tertawanya Hee Ho. yang berkata: "Walaupun nona mesti menggunai dua jurus lebih banyak tetapi itulah karena perbedaannya ilmu silat, maka itu belumlah dapat dipastikan yang Sin Liong kalah dari Giok Houw!"

Mendengar ini barulah Bhok Lin mengarti. "Sin Liong" atau si Naga Sakti ialah si nona, dan "Giok Houw" atau Harimau Kumala, ialah si anak muda atau Siauw Houw Tjoe, dan mereka itu telah menggunai jurus yang berlainan. Nona itu memperoleh kemenangan sesudah jurusnya yang ketiga belas.

Setelah berdiam sebentar, nona itu mengibaskan tangannya seraya berkata dengan tawar: "Ambillah barang bingkisannya itu!"

Hee Ho tertawa, dia menghampirkan Bhok Lin.

"Siauwkongtia, maaf!" katanya seraya tangannya menjambret ke punggung si Herlog muda, mengambil itu kotak buku yang berwarna merah, sesudah mana ia berlalu bersama tiga kawannya, mengikuti nonanya.

Bhok Lin tercengang.

Jalan belum terlalu jauh, Hee Ho menoleh ke belakang kepada pengiring atau pelindung barang bingkisan itu, sambil tertawa, ia mengacungkan barang rampasannya, kemudian ia melanjuti perjalanannya.

Ketika itu tengah hari tepat. Air mantjur tertampak indah tertojoh sinar matahari, bagaikan bianglala. Di seluruh gunung itu terlihat daun-daun hijau dari pohon teh, yang menghembuskan bau harum yang halus.

Keng Sim berdiri menyender pada sebuah pohon teh, ia mirip seorang sakit, yang telah kehabisan tenaganya.

"Tjiehoe, pedangmu!" berkata Bhok Lin.

Hertog ini memungut pedang iparnya itu, untuk dikembalikan.

Keng Sim mengawasi air mancur, ia seperti mendengar dan tidak melihat. bahkan ia bersenandung perlahan:

"Bagaikan perahu menggeser ke muara,

satu muara lewat lain muara,

bertambah sukar,

demikian habisnya sinar pedang...

Kalau air mancur mengalir terus,

maka bayangan matahari telah membeku..."

Anak muda ini berduka, hingga ia ingat itu pembilangan, gelombang yang di depan digempur ombak yang di belakang, bahwa benda itu senantiasa bertukar, sebagai juga anak muda terus muncul. Rasanya baru beberapa tahun ia hidup merantau, atau sekarang sudah ada orang yang melomba... Entah masih ada berapa banyak lagi orang yang jauh terlebih pandai daripadanya..."

"Itulah kejumawaan!" berkata Bhok Lin tertawa.

Keng Sim berdiam, ia jengah sekali.

Bhok Lin terus menggoda, dia tertawa pula.

"Jangan ngaco!" kemudian ipar itu membentak.

"Sudahlah, mari lekas kita menuju ke Siangdjiauw," kata Bhok Lin yang masih dapat tertawa. "Kalau sebentar sang sore datang dan angin dingin meniup keras, hawa bakal menjadi bertambah dingin!"

Hatinya Keng Sim benar-benar tawar, akan tetapi ia masih ingat yang kedua guru silat yang menjadi kawannya tentu tengah menantikan di Siangdjiauw. maka itu, umpama kata ia mesti kembali ke Koenbeng, dua orang itu mesti diberitahu dulu.

"Baiklah," katanya terpaksa.

Maka dengan lesu keduanya berangkat.

Tiba di Siangdjiauw, hari sudah gelap. Keng Sim mencari hotel yang paling besar. Selagi ia menanya kalau-kalau di situ ada menumpang dua guru silatnya, si guru silat sendiri sudah lantas muncul. Mereka ini memang tengah menantikan, sebab habis bersantap malam mereka belum melihat datangnya si Hertog muda dan menantunya Bhok Kokkong itu.

Heran kedua boesoe itu menyaksikan roman kucel dari si menantu Hertog.

"Apakah sudah terjadi?" diam-diam Yo Po menanya Bhok Lin.

"Jangan banyak omong!" Keng Sim membentak. "Mari kita bicara di dalam!"

"Ya," sahut guru silat yang kedua. "Kamar sudah disediakan. Di kamar sebelah selatan ada seorang tetamu tengah menantikan..."

Bhok Lin heran.

"Siapakah dia?" ia menanya. "Kalau Siauwkongtia sudah menemui dia, nanti kau ketahui sendiri."

Bhok Lin mengawasi guru silat itu. yang tertawa secara aneh, hingga ia jadi bertambah heran.

"Di sini di mana aku mempunyai kenalan?" pikirnya.

Mereka lantas masuk ke dalam.

"Tetamu itu ada di sini." berkata si guru silat tadi. "Katanya dia mau bicarakan urusan penting sama Siauwkongtia, karenanya tidak usah kami turut masuk."

Keng Sim mendongkol.

"Siapakah yang main gila!" katanya. Dengan keras ia menolak daun pintu kamar sebelah selatan itu.

Pintu tidak dikunci, maka itu, karena ditolak keras, daunnya lantas menjeblak. Hampir si anak muda terjerunuk ke dalam karena ia telah menggunai tenaga besar.

Di dalam kamar lantas terdengar tertawa dingin.

Itulah Siauw Houw Tjoe, yang tengah duduk bercokol, mukanya tersungging senyuman.

Mau atau tidak, Keng Sim menjadi melengak.

Bhok Lin lompat masuk.

"Siauw Houw Tjoe!" katanya berteriak. "Kau bikin kami celaka!..."

Hertog muda ini mendongkol, maka ia lantas menyerang sahabatnya itu.

Siauw Houw Tjoe menangkap tangan orang, ia menekan.

"Kenapa aku membikin kau celaka?" tanyanya.

"Benderamu itu!" kata si anak muda. "Begitu aku mengasi lihat benderamu, bendera itu lantas disobek! Barang bingkisan kita juga dirampas! Kalau tidak ada benderamu itu, mungkin orang masih menimbang-nimbang! Hm!"

"Ha!" bersuara sahabat itu. "Jadi benar terjadi perampasan! Jadi benarlah, selama dua hari. mereka sudah merampas barang bingkisan dari Hokkian dan Inlam!"

Memang, baru tadi Siauw Houw Tjoe mendengar kabar hal bingkisan dari Hokkian telah ada yang rampas di tengah jalan. Ia datang dengan cepat, maksudnya untuk melindungi Keng Sim dan Bhok Lin ini, siapa sangka, ia ketinggalan, sebab perampasan sudah terjadi di Boeie San.

Bhok Lin sudah lantas tuturkan terjadinya perampasan itu.

Siauw Houw Tjoe mendengar dengan sabar, kemudian ia pentang kedua matanya.

"Sekarang pergilah kamu terus ke kota raja!" katanya kemudian.

"Untuk apakah?" kata Siauwkongtia "Apakah untuk orang tertawakan?"

"Bukan. hanya untuk memperlihatkan muka terang!" kata Siauw Houw Tjoe. "Tentang bingkisan dari Inlam itu kau serahkan padaku, nanti aku yang merampas pulang! Asal kamu telah tiba di kota raja. aku ada mempunyai jalan untuk menyerahkan itu kepada kamu!"

"Benarkah itu?" tanya Bhok Lin. Dia lantas menjadi girang.

"Mustahil aku bicara main-main?" Siauw Houw Tjoe membaliki.

"Bagus!" Bhok Lin berkata pula. "Kau seperti membagi aku obat untuk menenteramkan pikiran! Kau tahu, dia telah merobohkan Tjiehoe dalam jurusnya yang ketiga belas! Aku percaya asal kau dapat cari dia kau bakal menang dengan hanya separuh jurus itu!"

Siauw Houw Tjoe tertawa

"Aku mengarti!" katanya. Lantas dia tertawa, sambil tertawa, dia lompat menembrak jendela, maka di lain saat. menghilanglah dia!



III

Harimau Kumala ketemu Naga Sakti



Seberlalunya dari hotel, Siauw Houw Tjoe alias Thio Giok Houw telah melangsungkan terus perjalanan-nya maka di hari kedua tengah hari, tibalah ia sudah di Sianhee Leng, gunung yang menjadi perbatasan tiga propinsi Tjiatkang, Kangsee dan Hokkian.

Semasa jaman ahala Tong, di sana pemberontak Hong Tjauw (Oey Tjauw) telah membuka jalanan gunung panjangnya tujuh ratus lie hingga sampai di Thongtjioe. maka setelah diadakannya sebuah kota, Sianheekwan namanya itulah jalanan untuk kedua propinsi Tjiatkang dan Kangsee (Kangsay).

Thio Giok Houw mengatakan hendak menolongi Bhok Lin mendapati pulang barang bingkisan, sebenarnya di dalam hatinya ia bingung, la mesti meraba-raba! Siapakah nona she Liong itu? Kenapa si nona seperti menyaterukannya? Apakah maksud si nona merampas barang bingkisan itu?

Sia-sia Giok Houw coba mencari keterangan. Sebaliknya, ia memperoleh endusan, bahwa kiriman bingkisan tiga propinsi Ouwlam, Kangsee dan Ouwpak, bakal lewat dalam beberapa hari ini. Maka berpikirlah ia. Ia menerka, sesudah kepalang si Nona Liong tentunya akan merampasjuga barang bingkisan ketiga propinsi ini.

Oleh karena ini ia menitahkan Tjioe Tjie Hiap, pembantunya itu, pergi ke Tjiatkang, untuk memimpin perampasan pada barang bingkisan dari Kanglam. ia sendiri hendak mencari Nona Liong itu, yang sepak terjangnya bagaikan naga sakti, yang nampak kepalanya, tidak ekornya...

Jalanan pegunungan ini adalah jalanan penting di antara kedua propinsi Tjiatkang dan Kangsee, maka itu, di situ tak sedikit orang yang berlalu lintas, hanya di antara mereka itu. tidak ada yang Thio Giok Houw melihatnya mencurigai. Bukan saja ia tidak melihat si Nona Liong, pula tidak ada seorang hamba negeri yang bisa disangka sebagai pelindung atau pengiring barang bingkisan.

Sampai tengah hari Giok Houw berjalan, tibalah ia di sebuah lembah di mana pun ada air mengalir. Di sini, orang yang berlalu lintas menjadi jarang sekali, la lantas mempercepat jalannya, sampai mendadak kupingnya mendengar suara bentakan di sebelah depannya. Ia lantas mengangkat kepalanya, memandang ke depan itu, hingga ia nampak sesuatu yang mendatangkan keheranannya.

Di depan itu ada berjalan dua orang yang dari kepala hingga di kakinya dibungkus dengan kain minyak. Mereka itu berjalan sambil berlompat berjingkrak, setiap lompatannya sama dengan dua tindakan orang biasa, hanya lompatnya perlahan. Di belakang mereka mengikuti dua orang dengan pakaian serba hitam, yang tangannya mencekal cambuk, yang saban-saban diayun. Mereka ini berdualah yang terdengar suara bentakannya itu, seperti orang lagi menggebah, menyuruh orangjalan cepat. Mereka ini pula menunjuki roman tawar...

"Bukankah ini yang dinamakan mayat hidup yang jalan selaksa lie?" Thdo Giok Houw menduga-duga. Ia memang pernah mendengar bahwa di Ouwlam Barat ada semacam kebiasaan. Ialah kalau ada orang asing, artinya orang dari lain kampung atau propinsi mati. karena sukarnya pengangkutan mayat, maka digunailah "ilmu" yang membikin mayat itu bisa berjalan, ada orang atau dukunnya yang mengantar, yang dapat memerintahkan mayat itu berjalan atau berhenti sekehendaknya si dukun. Sampai belasan hari, mayat itu tidak akan berbau busuk. Hanya ilmu itu adalah ilmu yang dirahasiakan dan juga banyak pantangannya. Ada dibilang, kalau orang menemui mayat hidup itu, dia mesti lekas menjauhkan dirinya, terutama jangan berbicara sama si pengiring mayat itu.

Orang Kangouw hampir tak ada yang tak tahu hal kegaiban itu. Thio Giok Houw tidak menjadi kecuali, tetapi ia barulah kali ini melihatnya dengan mata sendiri. Tentu sekali ia menjadi heran dan bercuriga, tapi ia berhati besar, ia tidak takut, bahkan karena rasa ingin tahunya, ia lantas menguntit.

Sesudah mengintil sekian lama. Giok Houw melihat di sebelah depan ada seorang yang bercokol tepat di tengah jalan sekali. Orang itu mestinya mengetahui di situ ada mayat hidup tengah berlewat tapi dia tidak menghiraukannya, dia tidak mau minggir juga. Dia membawa sikap seperti dia tidak melihatnya.

Juga kedua pengiring mayat hidup itu seperti tidak melihat ada orang mengandang di tengah jalan itu. seperti biasa mereka jalan terus, cambuknya tetap sering diayun, bentak-bentakannya saban-saban terdengar.

Thio Gok Houw mengawasi pada orang di tengah jalan itu.

"Ah, rasanya aku seperti mengenal dia..." pikirnya. "Di mana pernah aku menemukannya? Dia bernyali besar sekali. Coba aku lihat, apa bakal terjadi..."

Segera juga kedua mayat hidup sudah berlompat sampai di depan orang itu. Mendadak dia berlompat bangun, terus dia menegur kepada si kedua pengiring: "Eh, apakah kamu berjalan tanpa membawa mata kamu? Kenapa kamu membiarkan dua machluk sial ini melanggar aku?" Te guran ini diikuti sama serangan sebelah tangannya!

Dua pengiring itu tetap tidak meladeni, air mukanya pun tidak berubah sedikit juga. Mereka seperti manusia yang tak berperasaan, mirip dengan si mayat hidup, yang tidak perdulikan segala apa.

Tepat di saat tangan menyerang itu mengenai baju mayat hidup, mendadak dia berteriak keras, bagaikan orang kalap, dia terus berlompat berjingkrakan seperti mayat hidup itu, lompatnya lebih tinggi lagi. Dia masih berjingkrakan terus sampai mendadak kakinya terpeleset, tubuhnya roboh terguling. Celaka untuknya, diatergulingketepi jalanan di mana ada jurang, tidak ampun lagi, tubuhnya jatuh ke tempat yang dalam kira seratus tombak. Berbareng dengan jatuhnya itu terdengar jeritannya yang menyayatkan hati.

Thio G:ok Houw bernyali besar akan tetapi mendengar jeritan itu, ia bergidik, hatinya berdenyutan. Selagi ia heran, karena ia tidak tahu kenapa orang itu menjerit dan berjingkrakan, mayat hidup itu berserta pengiringnya terus berjalan maju seperti biasa, si mayat hidup berjingkrakan, dua pengiringnya membentak-bentak...

"Apakah benar ada mayat hidup?" Thio Giok Houw berpikir keras. "Benarkah di kolong langit ini ada keanehan ini?"

Ia lantas lari ke tepi jurang, akan melongok ke bawah. Ia melihat orang tadi terbawa hanyut air solokan yang deras, tubuhnya nyangsang di sebuah batu besar. Solokan itu pun berair dangkal. Untuk dapat menolongi, ia lari ke hilir itu, terus turun ke bawah. Kemudian dengan lompat jumpalitan, ia menaruh kaki di batu besar itu, tangannya menjambret tubuh orang, untuk diangkat dan dibawa lompat lebih jauh pula. Maka kembalilah ia ke tepian bersama orang itu. Ia lantas meletakinya di tanah, untuk menatap muka orang, jang pakaiannya telah basah semua. Mendadak ia terkejut.

"Eh, kaukah Lo Toako?" tanyanya.

Ia tidak memperoleh jawaban. Orang itu sudah berhenti bernapas. Sekarang ia mengenali betul, si Lo Toako ini ---- kakak she Lo ---- adalah Lo Tjeng, pemimpin kedua dari kawanan dari benteng Tjayhong Tjee di gunung Sianhee Nia. Kawanan dari Tjayhong Tjee ialah salah satu yang bertugas turut memegat dan merampas barang bingkisan pelbagai propinsi untuk raja di kota raja. Ia memang berniat pergi ke benteng Tjayhong Tjee itu, untuk menanyakan keterangan hasil mereka siapa tahu di sini ia menemui pemimpinnya yang kedua yang menerima ajalnya secara aneh dan hebat sekali.

Selagi bengong mengawasi mayat orang sedang pikirannya bekerja tiba-tiba Thio Giok Houw merasakan tangannya gatal-gatal. Ia menjadi heran dan bercuriga, dengan lantas ia merobek baju Lo Tjeng di betulan dadanya. Maka sekarang ia melihat tubuh orang matang biru seperti terkena racun.

"Ah!" ia berseru seorang diri. Lantas ia mengeluarkan senjatanya dengan apa ia menusuk jeriji tengahnya, untuk memeras keluar darahnya, habis mana ia merogoh saku untuk mengambil obatnya peranti memunahkan racun, obat mana ia telan dengan cepat. Ia tahu yang ia telah keracunan karena memegang tubuh Lo Tjeng itu. Sukur untuknya karena kecebur di air dan terhanyutkan, racun di baju Lo Tjeng itu sudah hampir habis, maka ia cuma merasa gatal. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya, la pun lantas bersamedhi, guna meluruskan pernapasannya.

Tidak lama, dengan menguatkan hati, Thio Giok Houw meninggalkan mayat Lo Tjeng itu. Dengan merayap ia mendaki jurang. Ia bertambah heran dan curiga, ia jadi ingin mengetahui duduknya hal, maka ia berlari-lari, akan menyusul mayat-mayat hidup itu serta dua pengiringnya yang aneh. Syukur, belum terlalu lama, ia telah melihat punggung mereka itu. Maka ia lantas menguntit pula.

Ketika itu sudah magrib, cuaca telah berubah menjadi guram. Kuping Thio Giok Houw mendengar bentakan-bentakan yang serupa tadi, dan matanya menampak kedua mayat hidup berjingkrakan, tanpa merasa, ia merasa seram sendirinya. Mereka sekarang berada di tanah pegunungan yang sunyi sekali.

"Biarnya kamu mayat hidup tulen, akan aku mencari tahu terus," Thio Giok Houw telah mengambil putusan. Maka ia mengikuti, terus sampai di sebuah kuil tua. Sekarang ini jagat sudah mulai gelap. Ia pergi ke belakang kuil, hatinya bekerja.

"Tidak bisa salah lagi, Lo Tjeng itu mesti terkena tangan jahat kedua mayat hidup itu," pikirnya. "Tapi kaki dan tangan mereka tertutup kain minyak, cara bagaimana mereka menurunkan tangannya? Aku tidak melihat gerakan mereka itu... Kenapa mereka menyamar sebagai mayat hidup dan begitu bertemu orang lantas menyerang hebat? Baik di kalangan Hitam maupun di kalangan Putih, belum pernah aku mendengar ada orang demikian ganas..."

Tidak lama lagi sang Puteri Malam mulai menaik tinggi, maka itu. Giok Houw lantas melompati tembok masuk ke pekarangan dalam dari mana dengan hati-hati ia pergi ke depan. Ia masuk ke dalam pendopo. Di sini ia bersembunyi di belakang sebuah tihang yang besar. Ia mendapat keleluasaan akan melihat ruang pendopo itu. Segala apa sudah tua dan rusak di dalam pendopo itu.

Di atas meja ada patungnya Sang Buddha. Di atas meja itu pun ada pelita, yang apinya berkelak-kelik. Kelambu patung pun sudah tinggal separuh.

Kedua pengiring mayat hidup duduk bersila, dan kedua mayat hidup bersender di tihang. Maka suasana di dalam kuil itu sungguh menjerikan hati.

Selagi Giok Houw terus mengawasi, mendadak ia mendengar kedua pengiring mayat hidup itu mengasi dengar suara kaget sendirinya.

"Ah, di sini seperti ada suara napasnya orang hidup!" berkata satu di antaranya.

Giok Houw terkejut, ia tercengang.

"Benarkah orang telah mendengar aku?" pikirnya. Ia heran sekali. Kenapa orang mendapat dengar suara napas?

Sebagai juga jawaban untuk pengiring mayat itu, mereka lantas mendapat dengar suara tertawa geli di dalam ruang itu juga. Mereka menjadi kaget, keduanya lantas berpaling.

"Siapa?" mereka menegur. "Perlu apa di sini kau main gila seperti malaikat atau iblis?"

Tiba-tiba kelambu patung tersingkap, maka di atas meja nampak duduk bercokol seorang nona.

Selain dua orang itu, juga Giok Houw heran bukan main. Tidak ia pernah menyangka bahwa di situ ada seorang lainnya lagi. Dua pengiring itu tercengang.

Nona itu tertawa terkekeh.

"Aku justeru hendak mencari tahu siapa yang sebenarnya main gila seperti malaikat atau iblis!" katanya, mengejek.

Belum nona itu bicara habis, di situ telah terdengar bunyi menyambarnya senjata rahasia. Ia lantas mengibaskan tangan bajunya. Dua batang senjata rahasia menyambar ke arahnya. Itulah serangan kedua pengiring mayat itu, yang menggunai pusut beracun.

Sesudah menangkis, nona itu bercokol, tangannya menghunus pedang. Ia berlompat ke depan salah satu mayat hidup, yang terus ia tikam!

Thio Giok Houw melihat nyata gerakan si nona, ia kagum sekali. Caranya dia menangkis senjata rahasia, berlompat seraya menghunus pedang dan menikam, sebat luar biasa.

Seorang pengiring mayat hidup berseru: "Di sini ada mayat hidup, orang hidup tidak boleh datang dekat! Kau mencari mampusmu sendiri?" Tapi belum dia menutup mulutnya, pedang si nona sudah mengenai baju minyak dari si mayat hidup. Berbareng dengan itu terdengarlah suara pedang mengenai batu atau kayu keras, bukannya mengenai tubuh yang berdarah daging. Dan membarengi tikaman itu, di situ menghembus asap berwarna kuning!

Giok Houw kaget bukan main, dengan sebat ia menahan napas dan memasuki obat pemunah ke dalam mulutnya.

Selagi asap kuning itu berkebul, di situ pun terus terdengar suara beradunya senjata tajam. Asap itu tidak berdiam lama, ketika dari luar ada angin bertiup masuk, buyarlah semua.

Thio Giok Houw lantas melihat suatu sinar terang berkelebat, atau tertampak robohnya dua orang-orangan kayu disusuli serta jatuh belarakannya batu-batu permata di lantai pendopo itu. Di situ pun lantas tertampak si nona mulai dikepung oleh dua orang, melihat siapa, hati bisa berdenyutan keras. Luar biasa dua orang itu. Di leher mereka tergantung rencengan uang-uangan kertas, baju mereka ialah baju berkabung, sedang langan mereka memegang senjata yang berupa tangthung. Dilihat seluruhnya, mereka mirip dengan mayat.

Menyaksikan itu semua, hatinya Giok Houw berdenyutan. Ia pernah mengikuti Hek Pek Moko dan pernah melihat banyak macam barang permata tetapi ini yang bergeletakan di depan matanya benar-benar istimewa, beberapa di antaranya berharga seharganya sebuah kota. Jadi itu bukanlah barangnya sembarang saudagar permata.

Di antara itu pun ada satu amplop besar yang tersegel. Dengan matanya yang awas, Giok Houw melihat ceplokan cap dari pembesar negeri, yang warnanya merah. Adalah setelah melihat surat itu, ia lantas mengarti duduknya hal.

Teranglah permata itu ada barang bingkisan dari propinsi Ouwlam dan kedua mayat hidup itu serta kedua pengiringnya adalah si pelindung. Di dalam kain minyak dari mayat hidup itu ada disimpan juga dua orang-orangan kayu itu. Sungguh suatu pikiran bagus akan menyamar menjadi mayat hidup. Memang, siapa berani mengganggu mayat hidup, sedang untuk melanggar saja orang takut? Siapa akan menduga, barang bingkisan itu bisa berada di tubuh si mayat hidup itu?

Tapi sekarang ini yang menarik sangat perhatiannya Thio Giok Houw bukan lagi barang-barang permata atau upeti yang berharga besar sekali itu hanya si nona yang lagi menempur kedua mayat hidup. Ia lantas menduga kepada nona yang disebutkan Bhok Lin. Dia ini tentulah si Nona Liong itu. Ia berdiam terus, ingin ia menyaksikan kesudahannya pertempuran itu.

Kedua mayat hidup itu berkelahi dengan tetap berjingkrakan, gerakan tangthung mereka luar biasa, itulah bukan ilmu silat tongkat atau toya yang biasa.

Sudah kira-kira tiga puluh jurus mereka bertempur, lalu mendadak si nona berseru: "Apakah kamu masih tidak mau mengasi lihat wajah kamu yang sebenarnya? Kamu hendak menunggu sampai kapan lagi?" Terus pedangnya berkelebatan cepat sekali, menikam ke kiri, membabat ke kanan.

Kedua mayat hidup itu nyata bukannya orang-orang lemah, mereka melawan dengan tidak kurang hebatnya. Mereka pula dapat memainkan tangthung mereka dengan sempurna Demikian selagi dirangsek si nona, mendadak mereka menghajar dengan berbareng.

Kelihatannya si nona sudah sangat terdesak, untuknya seperti tidak ada ketika lagi buat menangkis atau berkelit. Benar-benar dia liehay sekali, tubuhnya sangat lincah. Hanya sedetik saja, dia dapat mengelit diri, kedua tangthung lewat di sampingnya. Sebaliknya, selagi senjata lawan jatuh di tempat kosong, pedangnya bekerja terus. Celaka mayat hidup yang di kanan, dia kena tertusuk.

Mayat hidup yang kiri mencoba menutup diri. ia pakai senjatanya untuk berlindung. Ia berhasil dengan tangkisannya, hanya berbareng dengan itu, gegamannya itu beradu dengan pedang, tertabas putus seketika juga.

"Bagus!" berseru Giok Houw di dalam hatinya memuji ilmu pedang si nona.

Mayat hidup yang di kanan itu tidak roboh, berbareng sama kawannya, yang tangthungnya putus, dia tertawa terbahak. Sebab menyusuli kutungnya senjata itu, semacam tongkat hauwlam atau anak berbakti selama waktu upacara penguburan orang yang menjadi ayah atau ibunya, dari kutungan senjata menghembus hawa kuning bagaikan asap!

Giok Houw melihat hawa itu, dia kaget sekali. Tubuh si nona yang lemas menggeliat, lantas dia roboh terguling!

Mayat hidup yang di kanan itu tertawa pula, tangthungnya menyusuli menyerang.

Hebat serangan ini, dengan suara nyaring senjata luar biasa itu mengenai lantai. Oleh karena si nona yang gesit sekali, telah menggulingkan tubuhnya jauh kira-kira satu tombak.

"Ah!" Giok Houw menghela napas lega. Si nona syukur tidak terkena hawa beracun itu.

Satu bencana baru lewat, atau lain bencana menyusul. Nona itu menggulingkan diri justeru ke arah kedua pengiring mayat hidup itu. yang semenjak tadi berdiri menonton saja. Mereka ini melihat ketikanya yang baik, dengan lantas mereka menyambuti, menghajar nona itu dengan cambuk mereka. Itulah cambuk kulit bukan sembarang cambuk.

Lagi-lagi Giok Houw terkejut, hanya kali ini ia terus turun tangan. Ia menganggap si nona berada dalam ancaman bahaya Tanpa bersangsi lagi, ia menimpuk dengan dua batang jarumnyajarum Bweehoatjiam, yang ia telah siapkan di dalam telapakan tangannya.

Si nona terancam bahaya tetapi mendadak dia tertawa panjang, tubuhnya mencelat dari tanah, menyingkir dari cambuk. Bagaikan terbang, dia melewati atasan kepalanya dua penyerangnya itu, yang menghajar ia sambil tubuhnya sedikit membungkuk. Si dua penyerang sebaliknya kaget dan kesakitan, hingga mereka berkaok. Lengan mereka terkena jarum. Lantaran ini, cambuk mereka pun nyasar dari sasarannya, terus mengenakan hiolouw hingga abu hio jadi muncrat berhamburan!

"Ah!" kata Giok Houw di dalam hatinya, kalau tahu dia begini liehay, tak perlu aku membantu dia dengan jarumku..."

Sementara itu. gerakan si nona berlangsung terus. Kembali terdengar tertawanya yang panjang. Kali ini disebabkan dia berhasil bergantian menyontek mukanya kedua mayat hidup, yang memakai topeng, hingga tertampaklah wajah mereka yang asli.

"Haha!" demikian tertawanya si nona. "Aku menyangka siapa, kiranya kamulah kedua Tjiok Toaya dari Kiangsie Boen dari Sintjioe!"

Kedua mayat hidup itu melengak sejenak. Mereka memanglah Tjiok Tjiat dan Tjiok Hoe, dua saudara kembar dari Sintjioe di propinsi Ouwlam. Sintjioe adalah kota di mana terdapat ilmu gaib, tempatnya dukun-dukun yang biasa disebut tjiokyoeko. Kiangsie Boen berarti partai Mayat Kaku, atau lebih benar, mayat hidup. Segala keanehan di sana, yang bersifat tahayul, tentu dilakukan dua saudara ini atau murid-muridnya. Karena ilmu sesat mereka itu, kaum Rimba Persilatan juga malui mereka. Soenboe dari Ouwlam hendak mengirim bingkisan ke kota raja, untuk menjamin keselamatan, tanpa merasa hina diri, ia mengundang dua saudara Tjiok itu, untuk membantu ia melindungi bingkisannya itu. Mereka ini, yang umumnya disebut tiangloo, atau ketua, menerima tugas itu. Untuk namanya keselamatan, mereka dapat memikir akalnya itu yang liehay. Dua pengiringnya itu ialah murid-murid mereka yang dapat diandali. Mereka sendiri berparas sebagai mayat, karena mereka selalu membawa dan mengenakan topeng.

"Hai, kedua machluk aneh, untuk apa kamu melotot saja?" tanya si nona tertawa. "Siapa yang takut kepada kamu?"

Dua saudara kembar itu menjadi gusar sekali.

"Oh, nona cilik yang tak tahu mampus!" membentak mereka yang terus terseru: "Mari!" Maka bersama kedua murid mereka, mereka mengurung nona itu.

Si nona benar bernyali besar. Ia tidak menjadi jeri meskipun ia menghadapi empat musuh yang mempunyai senjata rahasia beracun itu. Ia bahkan tertawa. Dengan tiba-tiba ia membalingkan pedangnya.

Tjiok Tjiat berempat merasakan sambarannya hawa dingin dari pedang itu, seperti juga ujung pedang nempel di muka mereka. Hampir berbareng mereka berlompat mundur. Kemudian baru mereka maju menyerang. Mereka tidak mendesak tetapi mereka bisa mengepung dengan baik. karena mereka menggunai senjata panjang terutama kedua murid itu dengan cambuk mereka.

Nona itu melayani dengan baik. cuma sebab musuh berjumlah banyak dan tidak dapat dipandang ringan, pertempuran mengambil tempo yang lama. Dengan cepat telah berlangsung seratus jurus tetapi mereka masih sama unggulnya.

Thio Giok Houw menonton dengan kekaguman. Sekarang ia melihat tegas ilmu silat si nona adalah ilmu silat suatu partai tersendiri, sedang kelincahan tubuhnya tidak usah kalah dengan kelincahannya sendiri yang didapat dari ilmu "Tjoanhoa djiauwsie," atau "Menembusi bunga, mengitari pohon."

Tengah mereka berkutat seru, sekonyong-konyong tubuh si nona mencelat ke belakang dari si kedua pengiring, yang berbaju hitam. Mereka ini lantas menyambuk ke belakang tanpa memutar tubuh lagi.

Si nona berkelit seraya kakinya terus menyambar, membikin belasan mutiara di lantai bergerak bergelindingan.

Semenjak tadi semua mutiara itu terletak di tanah, tidak ada seorang yang berani menginjaknya. Barang bundar dan licin, siapa menginjak itu, dia bisa terpeleset. Sekarang si nona menendangnya.

"He, kau bikin apa?" membentak si kedua pengiring. Mereka berlompat, akan menyingkir dari butir-butir mutiara itu.

Di luar dugaan, nona itu menyapu dengan kakinya dengan sengaja menyapu belasan butir mutiara itu yang besar-besar ke arah mereka.

Sebenarnya mutiara itu. kalau baru satu kali keinjak, tidak nanti pecah, akan tetapi mereka, yang mengiringi barang bingkisan, cuma memikirkan barang-barang yang dilindunginya itu tidak rusak, maka itu, tak sempat mereka berpikir, justeru mereka berkelit, justeru mereka kena melanggar mutiara itu. begitu kakinya menginjak, dua di antaranya lantas roboh terguling, ke empat kaki mereka menjulang ke atas!

Segera setelah itu, si nona maju sambil pedangnya berkelebat.

Tjiok Tjiat mengangkat senjatanya, tongkat koksong pang ialah semacam tangthung. untuk menangkis. Karena tangkisannya ini, kedua senjata beradu dengan menerbitkan suara. Kesudahannya, ia kaget sekali. Tongkatnya itu kena terbabat pedang dan kutung!

Menyaksikan itu, Thio Giok Houw berpikir: "Hebat nona ini, dia baru dipedayakan atau dia telah bertindak pula!"

Tongkat Tjiok Tjiat yang putus itu lantas menyemburkan satu sinar terang serta segumpal hawa hitam, menyusul itu Tjiok Tjiat sendiri mengayun tangannya, untuk menerbangkan songboen teng, paku rahasianya yang liehay, yang ada racunnya. Ia pun menimpuk dengan beberapa batang dalam sekali pukul.

Berbareng sama menyemburnya sinar terang dan hawa hitam itu, si nona mengibaskan tangannya yang panjang, hingga anginnya menghembus keras. Maka itu sinar dan hawa hitam itu lantas tersampok balik ke arah Tjiok Tjiat.

Atas itu, tanpa bersuara lagi, Tjiok Tjiat roboh terguling tak sadarkan diri. sedang tiga barang paku beracunnya juga berbalik menancap di badannya setiap lawan itu.

Menyaksikan itu barulah Thio Giok Houw sadar. Jadinya nona itu sudah siap sedia, dia menangkis serangan beracun itu dengan sampokan Tiatsioe Sinkang, yaitu ilmu silat Tangan Baju Besi yang langka

Si nona sendiri lantas tertawa terbahak seraya mengatakan: "Kamu main gila kamu cari mampus sendiri! Jangan kamu sesalkan aku!"

Dua orang dengan baju hitam merayap bangun, dengan mata mendelik saking bencinya, ia mengawasi si nona, akan tetapi setelah mendapat kenyataan nona itu tidak hendak turun tangan terhadap mereka, lekas-lekas mereka mengangkat tubuh guru mereka, untuk digendong, buat segera dibawa lari ke luar kuil itu!

Hebat tetapi tak terdugalah kesudahannya pertempuran ini, sebab pihak Kiangsie Boen, partai Mayat Kaku, telah terbinasa dua guru dan dua muridnya.

Habis itu si nona menepuk tangannya dengan perlahan.

"Karena barang toh barang hanyut, sukalah aku berlaku sedikit dermawan!" ia kata. "Mengingat kepada kedua batang jarum Bweehoa tjiam itu, sukalah aku membagi dua bagian!"

Teranglah dengan kata-katanya itu si nona memaksudkan Thio Giok Houw, yang ia ketahui bersembunyi di luar kuil dan telah mengguna! jarum rahasianya membantu secara diam-diam kepadanya.

Thio Giok Houw tertawa, ia bertindak keluar dari tempat sembunyinya la masuk ke dalam kuil.

"Aku datang ke mari bukannya dengan maksud meminta bagian dari kau!" katanya terus terang. "Nona bukankah kau she Liong? Aku numpang tanya, gurumu itu ialah Tjianpwee yang mana?"

Nona Liong tertawa terkekeh.

"Jadinya kau bukan datang untuk mendapat bagian!" katanya. "Sang tempo masih banyak, maka itu kau tunggulah sebentar, hendak aku membereskan dulu barang-barang ini!"

Ia lantas bertindak, untuk mengangkat sambil menyontek dua lembar kain minyak yang ada gambarnya Mayat Kaku yang terletak di tanah. Ia masih jalan dua tindak lagi ketika ia menoleh dan berkata sambil tertawa manis: "Aku membuat capai kepada kau! Sukakah kau menolongi aku membenahkan itu?"

Sembari berkata, tangan kirinya merogoh ke sakunya, akan mengeluarkan sebuah kantung kulit, yang terus ia lemparkan kepada Giok Houw sambil ia berkata pula: "Ouwlam ialah sebuah propinsi yang makmur, barang bingkisannya bukan sedikit! Kau tolong masuki itu ke dalam kantung ini. Palangan pit dari batu itu serta mutiara dan kopiah Hongkhoa, tolong kau pisah-p i sahkan!"

Setelah itu, masih ada aksi yang menyusul dari si nona. Tangannya menyentilkan sebutir obat pulung yang berwarna merah dadu ke arah pemuda she Thio itu seraya ia berkata pula: "Kalau sebentar kau merasa dadamu penuh dan muak, aku minta sukalah kau makan obat ini!"

Giok Houw melengak, tetapi ia menyambuti obat itu Di dalam hatinya ia berkata: "Pertemuan ini ada pertemuan yang pertama kali di antara kita berdua, dia sudah menaruh kepercayaan begini besar kepadaku, sama sekali dia tidak takut aku menyembunyikan sesuatu!..."

Untuk membuka kantung itu, supaya terbuka lebar, ia meniup ke mulut kantung. Segera ia mendapatkan, di dalam situ ada beberapa lapisannya, yang merupakan kantung rahasia, yang terbuat dari kulit rase yang lemas. Maka itu, kantung itu saja sudah bukan sembarang kantung. Lantas ia bekerja, memungut dan memasuki barang-barang permata itu ke dalam kantung. Ia bekerja dengan terliti. seperti juga ia kuatir nanti membuatnya ada yang hilang.

Nona Liong sendiri pergi ke luar kuil. ia tumpuk dua helai kain minyak itu di bawah sebuah pohon, lantas ia menyalakan api untuk menyulutnya buat membakar itu. Begitu api telah bekerja di sana tersiar bau bacin, bau mana terbawa angin masuk ke dalam kuil. Giok Houw membaui itu, lekas-lekas ia memasuki obatnya si nona ke dalam mulutnya untuk ditelan. Cepat sekali ia merasakan hawa harum, yang seperti segera masuk ke dalam peparunya, makajuga lenyaplah bau bacin itu yang tak sedap.

Dengan begini tahulah Giok Houw yang kain minyak itu telah direndam di air racun, menjadi tidak heran yang pemimpin kedua dari Tjiehong Tjee, karena kesentuh sedikit saja kain itu, telah mesti mengantarkan jiwanya.

Setelah api padam. Nona Liong menggali sebuah lubang di dekat tempat pembakaran itu, di situ ia pendam abunya kain minyak yang beracun itu, kemudian baru ia masuk pula ke dalam kuil di mana ia mendapatkan Thio Giok Houw sudah selesai bekerja.

"Terima kasih! Terima kasih!" katanya tertawa seraya mengulur tangannya, guna menyambuti kantungnya.

Akan tetapi Thio Giok Houw berkata: "Kantung ini tidak dapat lantas dikembalikan kepadamu!"

"He, kenapakah?" si nona menanya heran. "Bukankah katanya seorang ksatriya ada sebagai kuda jempolan diberikan satu cambukan? Bukankah kau telah mengatakan padaku bahwa kau tidak mengharapi barang bingkisan ini? Haha! Jikalau benar kau tak segan melanggar janjimu, baiklah, barang bingkisan ini suka aku menghadiahkan padamu!"

"Aku bukan menghendaki barang bingkisanmu ini," menerangkan Thio Giok Houw. "Aku cuma ingin menanya kau, kenapa kau merampas ini barang bingkisan?"

Nona itu mengawasi.

"Bukankah dua hari yang lalu kaulah yang merampas barang bingkisan dari dua propinsi Kwietang dan Kwiesay?" ia menanya.

"Tidak salah!" menjawab Giok Houw terus terang. "Bahkan pada bulan yang sudah aku telah merampas juga barang bingkisan dari sembilan propinsi!"

"Nah, kau lihatlah!" berkata si nona. "Kau dapat merampas kenapa aku tidak? Sekarang aku mohon kau sudi memberikan alasannya!"

Giok Houw berdiam, karena ia bersangsi.

"Tentang asal-usulnya dia ini aku masih belum tahu." pikirnya, "pantaskah kalau aku menjelaskan kepadanya bahwa perampasan barang-barang bingkisan itu ada untuk mengumpulkan rangsum untuk Tjioe Peehoe dan Yap Peehoe?"

Masih anak muda ini berdiam sekian lama, baru akhirnya ia menyahuti juga.

"Nona," katanya, "ada apa-apa yang kau masih belum tahu. Aku merampas barang bingkisan itu bukannya untukku sendiri."

"Habis, untuk apakah itu?" si nona menanya, mendesak.

"Di dalam ini hal aku minta nona sukalah percaya aku." Giok Houw menyahut pula. "Pendeknya, barang bingkisan yang aku rampas itu. sedikit juga bukan untuk keperluan diriku sendiri."

Nona itu tertawa.

"Jadi kau maksudkan itu untuk orang banyak?" tanyanya.

"Benar," jawab Giok Houw cepat. "Nona Liong, maafkan aku omong terus terang. Kita berdua bukannya manusia-manusia yang kemaruk harta benda maka itu jikalau barang-barang rampasan ini kau tidak dapat menyerahkan kepada pihak yang sangat membutuhkannya, baiklah kau serahkan saja padaku."

"Apakah dapat aku mengandal hanya kepada kata-katamu ini?" si nona menegaskan.

Pemuda itu mulai menjadi tidak senang.

"Jikalau kau tidak percaya aku, aku tidak perlu banyak bicara lagi!" ia bilang. "Sekarang aku hendaktanya singkat padamu Barang ini kau suka serahkan padaku atau tidak?"

Nona Liong itu mendadak tertawa geli.

"Kita baru bertemu kali ini, kau lantas menghendaki barang-barang yang demikian berharga supaya diserahkan padamu!" katanya. "Ha! Umpamakan aku percaya kau dan aku pun tidak menanyakan kau, kau hendak gunai itu untuk apa. Tapi... tapi..."

"Tapi apa nona?"

Nona itu tertawa pula.

"Aku ingin ketahui dengan cara apa kau dapat membuktikan kepadaku bahwa kau tidak mementingkan dirimu sendiri?" ia tanya.

Giok Houw menjadi gusar.

"Pulang pergi, nyatanya kau tidak percaya aku!" katanya keras. "Sekarang ini aku tidak berdaya untuk menerangkannya tetapi lain kali kau bakal ketahui sendiri!"

Sedang lain orang panas hatinya dan menjadi gusar, si nona tetap sabar, bahkan lagi-lagi ia tertawa geli.

"Perlu apa menanti hingga di lain kali?" katanya. "Sekarang juga aku sudah tahu!"

"Kau tahu apa?" Giok Houw heran.

"Tahu bahwa kau benar-benar memenangkan dirimu sendiri!"

Parasnya si anak muda menjadi pucat, tangannya meraba gagang pedangnya.

"Apakah kau sengaja hendak menghinai aku?" ia menanya, suaranya dalam.

"Mana aku berani? Mana aku berani?" sahut si nona. "Aku hanya memikir untuk menanyakan satu hal padamu..."

"Silahkan!"

"Menurut kata-kata kau.

merampas barang-barang bingkisan karena ada keperluannya yang besar," berkata si nona. "Dan itu pun bukan untuk kepentingan pribadimu sendiri. Kalau begitu, maka semua barang bingkisan di kolong langit ini pastilah kau hendak merampasnya, bukan? Bukankah itu artinya cuma kau yang diijinkan merampas dan lain orang tidak boleh?"

"Tidak salah, nona. Memang semua barang bingkisan hendak aku merampasnya. Lain orang bukannya tidak boleh turut merampas, hanya perampasan itu mesti aku ketahui terlebih dulu!"

"Jikalau kau terlebih dulu tidak mendapat tahu?"

"Kalau sampai terjadi begitu maka teranglah sebab-sebab dari perampasan itu tidak sama dengan sebab-sebab perampasanku. Kalau begitu, tidak dapat aku tidak mencampurinya tahu! Nona, aku tidak tahu apa perlunya kau merampas barang-barang bingkisan itu, akan tetapi rasanya perlu aku memberitahukan kau, dengan perbuatanmu ini kau bakal membangkitkan amarahnya semua orang gagah di seluruh negeri!"

Nona itu masih tetap dengan sikapnya yang tenang. Ia tertawa pula

"Jangan kau menggertak aku!" katanya. "Aku tidak takut digertak! Umpama kata benar semua orang gagah di seluruh negara telah memilih dan mengangkat kau menjadi kepala perampasan bingkisan ini. itu masih belum dapat membuat aku puas!"

"Bagaimana, eh? Cobalah kau omong biar jelas! Sebenarnya di bagian manakah yang aku mementingkan diriku sendiri? Dan bagaimana caranya supaya aku dapat membikin kau puas?"

Nona itu tertawa tawar.

"Kau bilang kau hendak merampas semua barang bingkisan dari semua propinsi. Baik! Sekarang aku hendak tanya kau, kenapa kau bersikap lain terhadap barang bingkisan dari propinsi Inlam? Kenapa kau melepaskannya? Bahkan kenapa kau memberikan orang sehelai bendera sebagai perlindungan untuk barang bingkisan itu?"

Ditanya begitu, Giok Houw bungkam.

"Di antara aku dengan Keng Sim dan Bhok Lin ada hubungan yang sulit, mana dapat di dalam satu saat seperti ini aku menjelaskannya semua?" pikirnya

Nona Liong tertawa terbahak.

"Bagaimana? Bukankah pertanyaanku tepat? Nah. cukup sudah! Aku tidak mau memperdulikan kau, maka kau juga jangan memperdulikan aku! Siapa yang mempunyai kepandaian, dialah yang

merampas!-Eh, eh, dengar itu!

Kembali ada langganan datang mengantarkan diri! Bagaimana sekarang, kau yang merampas atau aku?"

Giok Houw memasang kuping. Benar di luar kuil terdengar tindakan kaki orang. Ia segera melirik kepada si nona.

"Kita melihat dulu biar terang, baru kita bicara lagi!" sahutnya. Sembari berkata, ia berlompat ke gorden malaikat di dalam mana ia menyembunyikan dirinya, la mengambil tempat di belakang patung. Di dalam hatinya, ia kata: "Kenapa di dalam satu malam beruntun ada datang dua rombongan barang bingkisan dari dua propinsi? Laginya di dalam kalangan Kangouw cuma ada satu partai Kiangsie Boen yang sesat itu! Apakah mungkin pengantar-pengantar dari lain-lain propinsi mau berlaku sebagai partai ini yang mondok justeru di dalam sebuah kuil tua?"

Giok Houw pun berpikir lebih jauh, karena si Nona Liong tidak mempercayai ia, ia juga sungkan mempercayai nona itu. Tengah ia berpikir itu, mendadak hidungnya terhembuskan bau yang harum, hingga ia terperanjat. Ia lantas mendapat tahu yang si Nona Liong pun turut menyembunyikan diri di belakang patung malaikat itu!

Tubuh patung bukannya kecil, akan tetapi dua orang mesti bersembunyi di situ, itulah lain. Dengan begitu, tidak dapat orang tidak berdiri berendeng dan hampir nempel rambut di samping kuping dengan rambut di samping kuping!

Hati Giok Houw berdenyutan. mukanya pun dirasakan panas. Dengan lantas ia menggeser sedikit tubuhnya, atau si nona segera berbisik di kupingnya: "Orang yang datang ini mungkin bukan sembarang orang. Aku hendak melihat dulu dengan jelas, baru kita bicara pula."

Adalah di itu waktu, dua orang terlihat bertindak masuk.

Kapan Thio Giok Houw telah melihat tegas dua orang itu, ia sedikit terkesiap. Ia tahu mereka itu, seorang toosoe atau imam, dan seorang mahasiswa usia pertengahan, ialah Ko In Toodjin serta Koet Kioe Gie. Memang mereka bukan sembarang orang, merekalah murid-murid paling kesohor dari Boetong Pay. Tjiangboendjin, atau ketua dari partai itu, Kioe Djie Tootiang, sudah berusia lanjut, kalau ada urusan, selamanya dua muridnya ini yang mengurusnya. Lebih-lebih si orang she Koet itu, dia paling dipercaya ketuanya, atau gurunya, hingga dia mirip dengan wakil ketua. Hinggadi dalam kalangan Rimba Persilatan ada sebutan, "Ingin menghadap Kioe Djie, bertemu dulu Kioe Gie."

Setibanya di dalam, Ko In Toodjin memperdengarkan seruan kaget perlahan.

"Koet Soetee. lihat!" katanya. "Bukankah mereka ini orang-orangan kayu dari Tj iok Tiangloo dari Kiangsie Boen? Mungkinkah sulap hantu mereka telah ada orang yang pecahkan?"

Mendengar itu. Nona Liong menoleh kepada Thio Giok Houw, ia mengasi lihat roman Jenaka, lidahnya pun diulur. Ialah yang menghajar dua orang itu. Sekarang ia merasa bahwa pengetahuan atau pengalamannya tentang dunia kangouw masih berbatas, karena kedua mayat itu ia tidak sempat membereskannya dulu.

Koet Kioe Gie tertawa lebar.

"Permainan sulap kena dipecahkan masih tidak apa!" katanya. "Hanya dua manusia kayu ini telah kena didodet perutnya, dengan hilang jantungnya, itulah hebat!"

Memang barang bingkisan dari propinsi Ouwlam telah disembunyikan di dalam itu manusia kayu, tentulah si orang she Koet itu maksudkan barang bingkisannya yang berharga besar seumpama kata seharga sebuah kota.

Thio Giok Houw hampir tertawa mendengar kata-kata si mahasiswa she Koet itu. Ia kata di dalam hatinya "Perkataannya Kioe Gie ini menarik hati! Sama-sama mahasiswa tetapi dia tidak memuakkan seperti Tiat Keng Sim!"

Ketika itu, air mukanya Ko In Toodjin lantas berubah.

"Soetee, mari kita pergi!" katanya keras. Agaknya perasaannya tegang sendirinya.

"Eh. soeheng, apakah artinya ini?" tanya Kioe Gie.

"Apakah kau telah melupakan urusan yang dijanjikan kita dengan si dua orang she Tjiok dari Kiangsie Boen itu?" menanya soeheng itu. si kakak seperguruan.

"Biarlah mereka itu jalan di muka, untuk menolongi kita membuka jalan," sahut Kioe Gie tenang, "Kita harus membantu mereka, untuk saling membantu, benar begitu, bukan?"

"Tidak salah!" berkata Ko In. "Sekarang ini barang bingkisan mereka telah kena orang rampas, rupa-rupanya si perampas masih belum pergi jauh, maka mungkin sekali, sedikitnya, kita dapat menyusul mereka. Umpama kata kita tidak dapat menyandak mereka, kita pasti akan bertemu sama kedua si Tjiok itu, kepada mereka kita menjadi boleh meminta penjelasan."

"Apakah soeheng memikir untuk merampas pulang barang bingkisan itu?" Kioe Gie menanya kakak seperguruannya itu. "Harus diingat dengan si Tjiok tua kita tidak membuat itu macam perjanjian. Mereka itu menggunakan sulap hantu dari mayat hidup mereka, untuk melakukan perjalanan selaksa lie, kalau mereka kehilangan barang bingkisan yang dilindungi mereka, pantas saja!"

"Ah, soetee, tidak dapat kau bicara secara demikian," berkata Ko In. "Benar partai Kiangsie Boen itu tidak disukai kaum Rimba Persilatan, akan tetapi karena bersama-sama mereka kita terhitung orang-orang yang melindunginya, setelah kita memberikan janji bantuan kita ---- walaupun sebelumnya tidak ada dibikin perjanjian ---- tanggung jawab toh kita mesti menanggungnya bersama."

"Kedua si Tjiok itu bukannya orang-orang lemah," berkata Kioe Gie, "mereka pun mempunyai senjata mereka yang beracun, bahkan mereka diiring pula dua murid kepala mereka, maka kalau mereka toh sampai kena dirampas, pastilah si perampas mempunyai kepandaian yang tak di sebawahan kepandaian kita..."

"Kita perduli apa siapa mereka?" kata Ko In, suaranya tetap. "Kita tidak dapat tidak memegang janji kita sebagai laki-laki, tidak perduli terhadap pihak Kiangsie Boen. Kalau kita melenyapkan kepercayaan, mana dapat kami disebut partai Boetong Pay?"

Sebenarnya Kioe Gie masih hendak bicara pula, tetapi melihat ketegakan soeheng itu, ia terpaksa mengalah.

"Jikalau pikiran soeheng sudah tetap, baiklah, aku menurut," katanya.

Giok Houw kaget juga. Benarlah mereka ini ada pelindung-pelindung yang diundang untuk barang bingkisan propinsi Ouwpak itu. Hanya aneh mereka. Kecuali pedang mereka, mereka kelihatan tidak membawa barang lainnya, dan pakaian mereka juga tidak mencurigakan ---- ditubuh mereka tidak ada sesuatu yang munjul. Maka itu, bingkisan itu terdiri dari barang apa dan di manakah disembunyikannya?

"Bagus, soetee!" berkata Ko In Toodjin. "Asal kita berdua bersatu hati dan bersatu tenaga, tidak perduli musuh bagaimana tangguh, belum tentu mereka sanggup menindih kita. Maka, apakah yang kita buat takut? Nah, mari kita berpisahan, kita mencari si perampas itu. Siapa yang melihat musuh, dia mesti memberi isyarat dengan bersiul panjang!"

Kioe Gie tertawa lebar.

"Buat apa kita mencari jauh-jauh?" katanya. "Aku kuatir sahabat-sahabat perampas barang bingkisan itu masih berada di dalam kuil ini..." Dan lantas dia berseru nyaring: "Sahabat-sahabat, entah sahabat-sahabat dari kalangan mana, silahkan keluar untuk bertemu sama kita!"

Tidak heran kalau orang she Koet ini berseru demikian. Giok Houw dan si Nona Liong berdesakan tanpa mereka merasa, mereka membikin gorden bergerak sedikit, dan Kioe Gie yang waspada dan matanya jeli lantas saja melihatnya dan menjadi bercuriga.

Hampir berbareng sama seruan orang itu, tuhuhnya Giok Houw berlompat keluar dengan pesat sekali.

"Sungguh dia sangat gesit!" pikir Ko In Toodjin dengan kagum. Tapi, setelah melihat rupa orang. Ia agaknya tercengang. Ia seperti mengenali anak muda ini tetapi tidak lantas mengingatnya.

Tidak demikian dengan Koet Kioe Gie, yang menjadi keheran-heranan.

"Kau! Kau Siauw Houw Tjoe?" tegurnya.

Kioe Gie berotak terang sekali, ingatannya kuat, dari itu segera ia kenali pemuda itu.

Kira-kira enam atau tujuh tahun dulu, tengah membuat perjalanan, Thio Tan Hong lewat di gunung Boetong San. Ketika itu ia ada bersama Siauw Houw Tjoe, yang ia ajak, maka ia ajak muridnya itu mampir di itu gunung menjenguk Kioe Djie Tootiang, ketua Boetong Pay. Ko In dan Kioe Gie -senantiasa mendampingi guru mereka, mereka melihat Siauw Houw Tjoe, maka itu, setelah tercengang sejenak, Kioe Gie segera mengenalinya.

Thio Giok Houw merangkap kedua tangannya memberi hormat.

"Sudah lama kita tidak pernah bertemu, harap dua saudara baik-baik saja!" katanya sambil tertawa. "Benar akulah Siauw Houw Tjoe yang dulu itu."

Ko In membalas hormat.

"Sekarang ini lootjianpwee Thio Tayhiap ada di mana?" ia menanya.

Ketika itu usianya Thia Tan Hong baru empat puluh kurang lebih, dia ada terlebih muda beberapa tahun dari ini imam, akan tetapi nama Tan Hong sangat terkenal dan dalam tingkat derajat, dia seimbang dengan Kioe Djie Tootiang, gurunya, dari itu, Ko In memanggil lootjianpwee terhadapnya.

"Guruku masih ada di Tjhongsan di Tali," sahut Giok Houvv. "Selama beberapa tahun ini soehoe tidak pergi ke mana-mana."

"Eh, Thio Siauwhiap, mengapa kau bersembunyi di sini?" kemudian Ko In menanya pula. "Bukankah tadi telah terjadi perampasan barang-barang yang dilindungi oleh Tjiok Tjiat dan Tjiok Hoe?"

"Benar," Giok Houw menjawab.

"Apakah kau melihatnya jelas?" Kioe Gie pun bertanya.

"Dari mula hingga di akhirnya, semua aku melihat tegas sekali," jawab Giok Houw pula.

Mendengar begitu. Ko In Toodjin berpikir: "Perampas barang bingkisan itu mungkin liehay luar biasa, Siauw Houw Tjoe ini kebetulan saja melihatnya, karena kaget dia menjadi menyembunyikan diri..."

Kioe Gie sebaliknya girang.

"Saudara kecil, kau jadinya telah melihat semua!" katanya. "Nah, siapakah perampas itu? Kau kenal dia atau tidak?"

Nona Long masih sembunyi di belakang patung, ia mendengar nyata semua pembicaraan itu, ia terperanjat juga, maka sambil menggigit giginya, ia kata dalam hatinya: "Kau boleh sebut namaku, aku tidak takut! Hm, hm, aku tidak menyangka yang kau bakal membantui mereka menyaterukan aku!"

Lalu terdengar tertawa nyaring dari Giok Houw. "Aku kenal dia, kenal sekali!" sahutnya.

"Siapakah dia?" tanya Ko In cepat.

Siauw Houw Tjoe menunjuk pada hidungnya.

"Dialah aku sendiri!" sahutnya pula.

Ko In dan soetee-nya, si adik seperguruan, tercengang. Hanya sedetik, ia lantas tertawa lebar.

"Siauw Houw Tjoe, kau lagi bergurau!" katanya. "Baiklah kau lekas mengantarkan aku pergi menyusul perampas itu!"

"Eh, eh, siapa bergurau denganmu?" berkata si anak muda. "Apakah artinya ini dua machluk aneh dari partai Kiangsie Boen? Buat bicara terus terang kepada kamu: Semua barang dari pelbagai propinsi pun aku yang rampas!"

Imam itu menjadi bersangsi. Benarkah orang omong terus terang?

"Jikalau benar barang bingkisan itu kau yang rampas," katanya kemudian, sabar, "aku minta sukalah kau memandang aku, kau kembalikan barang itu kepada mereka."

"Itulah tidak dapat!" menjawab Giok Houw terus terang.

"Eh, anak, janganlah kau tidak tahu salatan," berkata Ko In. "Kau berlakulah baik. kau pulangi itu kepadaku. Suka aku membantu kau merahasiakan perbuatan kau ini, aku tidak mungkin memberitahukarnya kepada gurumu."

"Walaupun kau mohon bantuannya guruku, tidak dapat aku menyerahkan barang bangkisan itu kepada kau!" kata pula Giok Houw.

Hilang sabarnya si imam.

"Bagus betul!" serunya. "Nama Thio Tan Hong terkenal di seluruh negara, aku tidak menyangka dia mempunyai murid semacam kau ini!"

"Eh, aku kenapakah?" Giok Houw tanya.

"Kau berbuat sembarangan saja, kau tidak dapat membedakan apa yang baik apa yang buruk!" berkata Ko In. "Apakah kau menyangka aku tidak berani mewakilkan Thio Tan Hong untuk memberi ajaran kepadamu?"

"Tunggu dulu, tunggu!" berkata Giok Houw tertawa. "Aku masih ada bicara!"

Imam itu menyangka orang jeri.

"Baiklah!" katanya. "Asal kau bisa membedakan yang baik dari yang buruk, aku tidak akan berlaku keterlaluan terhadapmu!"

"Mari aku tanya!" berkata Giok Houw tanpa memperdulikan sikap orang. "Bukankah barang bingkisan yang kamu lindungi itu barang bingkisan dari propinsi Ouwpak? Sebenarnya barang itu barang apakah dan di mana kamu menyembunyikannya?"

Kembali Ko In menjadi gusar.

"Perlu apa kau menanyakan itu?" ia menegur.

"Maaf!" berkata si anak muda. "Dengan memandang persahabatan di antara guru-guru kita, aku minta sukalah kamu mengeluarkan barang bingkisan itu untuk diserahkan padaku. Dengan begini tak usahlah keakuran kita menjadi terganggu..."

Kemurkaannya Ko In Toodjin tak kepalang.

"Apa?" teriaknya. "Juga barang yang dilindungi kami kau hendak rampas?"

"Terang terang itu ada semacam upeti untuk raja si bocah, kenapa kau membilangnya itu kepunyaan kamu?" berkata Siauw Houw Tjoe yang lagaknyajenaka itu. "Sebenarnya, raja pun tidak terlalu menghargakan barang bingkisan dari sebuah propinsimu itu! Untuk aku. itu justeru ada besar faedahnya! Kau begini ngotot membelai raja, bagaimanakah kau masih omong tentang persahabatan denganku?"

Ko In Toodjin menjadi sangat gusar.

"Ha, Siauw Houw Tjoe!" serunya. "Berapa banyak tahun sudah latihanmu maka kau begini berani main gila terhadap aku?" Ia mencabut pedangnya dan lantas menikam.

"Baiklah!" jawab Thio Giok Houw, secara menantang. "Dengan memandang kau adalah pihak yang terlebih tua, suka aku mengalah untuk tiga jurusmu!"

Dengan satu gerakan "Hongtiamtauw," atau "Burung hong mengangguk." pemuda ini membebaskan diri dari tikaman si imam.

Karena serangannya gagal. Ko In Toodjin maju dengan tindakannya "Tujuh buah bintang menaik," pedangnya turut bergerak juga, dengan sabetan dua kali pergi dan pulang. Untuk partai Boetong Pay. serangan ini serangan sangat berbahaya Itulah salah satu jurus simpanan.

"Soeheng, jangan!" berseru Koet Kioe Gic. menasihati. Ia melihat kakak seperguruannya itu naik darah dan ia mencegah orang lantas menurunkan tangan kematian.

Ko ln sedang murka, tidak dapat ia menarik pulang serangannya itu. Ia pun percaya serangannya tidak nanti gagal.

Akan tetapi Siauw Houw Tjoe dapat menyelamatkan dirinya. Dengan gesit ia berkelit seraya terus menggunai tipu silat enteng tubuh "Tjoanhoa djiauwsie." ialah ilmu "Menembusi bunga, mengitari pohon." Itulah ilmu tubuh lincah yang menjadi keistimewaan ln Loei, yang telah diwariskan kepada Ie Sin Tjoe dan pemuda ini pun dapat mempelajarinya.

Kemurkaannya Ko In menjadi bertambah-tambah, bagaikan lupa diri. ia mengulangi serangannya bertubi-tubi. Ia menjadi sangat mendongkol dan penasaran sekali.

"Sudah cukup tiga jurus!" berkata Thio Giok Houw sambil tertawa, selama mana ia terus main berkelit. "Maafkan aku yang aku tidak dapat mengalah pula!..."

Kata-kata ini dibuktikan dengan segera. Pemuda ini segera menggunai sentilan Ittjie Siankang!

Ko In Toodjin terkejut, dengan sebat ia menarik pulang, pedangnya, untuk menutup diri. Tapi "Traang!" maka pedangnya itu telah kena disentil, suaranya pedang lantas mengalun. Yang hebat, si imam merasai telapakan tangannya sakit. Tapi dasarnya liehay, ia tidak menghiraukan itu, dengan bengis ia lantas menyerang pula.

Siauw Houw Tjoe tidak jeri untuk serangan ini, tidak perduli itu sangat berbahaya. Ia bahkan menyambutinya dengan satu pukulan Taylek Kimkong Tjiang atau Tangan Arhat yang ia diajarkan In Tiong. Dengan sambutan ini ia membuatnya pedang lawan itu menjadi kacau sasarannya. Ia tidak berhenti sampai di situ. Ia membarengi maju satu tindak, guna meninju langsung ke dada orang. Kali ini ia menggunai tinju Liongkoen atau koentauw Naga ajarannya Hek Pek Moko.

Kembali terjadi bentrokan di antara pedang dan tangan kosong, kali ini telah terdengar suara yang jauh lebih nyaring daripada sentilan tadi. Kesudahannya pun terlebih hebat pula. Tubuh Siauw Houw Tjoe limbung karenanya Tapi lebih hebat adalah si imam, dia tergolek mundur tiga tindak!

Sampai di situ. Thio Giok Houw hendak membuka mulutnya, untuk bicara, atau mendadak ia menampak berkelebatnya satu sinar hijau. Sebab Koet Kioe Gie telah maju menyerang secara tiba-tiba. Pula ia terperanjat akan melihat gerakan pedang, yang tak ketentuan tujuannya, ke kiri atau kanan.

"Ah, dia lebih liehay daripada kakak seperguruannya," ia berpikir. Ia sempat berkelit dengan tipunya "Tjoanhoa djiauwsie". Sekarang ia tidak mau memandang ringan lagi, dengan lantas ia menghunus senjatanya, golok mustika yang menjadi golok pusaka. Dengan menggunai golok ini, tempo Kioe Gie menyerang pula ianya dengan jurus "Hoensim kiam" atau "Memecah Perhatian," ia dapat menghalaunya sambil terus menghalau juga tikamannya Ko In, yang maju menyusuli soetee-nya. Pedangnya imam itu lantas kena dibikin terpental!

Thio Tan Hong liehay sekali dengan ilmu pedangnya, tetapi ialah seorang cerdas, karena Siauw Houw Tjoe, muridnya itu, bersenjatakan golok, ia lantas menciptakan Hian Kie Toohoat," ilmu silat "Golok Hian Kie," yang dasarnya iaambil dari Hian Kie Kiamhoat. "Ilmu Pedang Hian Kie."

Biar bagaimana, dengan menggunai pedang, Ie Sin Tjoe ada terlebih liehay daripada Siauw Houw Tjoe. Bahkan dia pun menang dalam ilmu ringan tubuh dan kepandaian menggunai senjata rahasia. Kemenangan Siauw Houw Tjoe atas soetjie, atau kakak seperguruannya itu. ialah dalam halnya tenaga, yang jauh lebih kuat dan beberapa pukulan istimewa ajarannya Hek Pek Moko dan juga ilmu yoganya.

Pertempuran itu, satu lawan dua, atau dua mengepung satu, dengan lantas menjadi seru. Karena di samping Siauw Houw Tjoe liehay. Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie tidak boleh dipandang enteng, sebab merekalah jago-jago Boetong Pay dari generasi kedua, orang-orang yang paling liehay di antara sepantarannya. Kioe Gie sangat mahir dalam Lianhoan Toatbeng Kiam. atau ilmu pedang berantai "Merampas Jiwa," yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Inilah ilmu yang ia keluarkan untuk melawan muridnya Thio Tan Hong.

Selagi bertempur itu, Thio Giok Houw tertawa lebar dan berkata dengan nyaring: "Setelah merampas barang bingkisan belasan propinsi, baru ini hari aku bertemu sama dua orang yang benar-benar mempunyai kepandaian berarti! Haha! Inilah pertempuran yang paling menggembirakan, yang paling mempuaskan!"

"Sungguh satu mulut yang besar!" kata Kioe Gie, sambil ia menyerang.

Itulah serangan sangat berbahaya, sebab sasarannya adalah tiga anggauta tubuh.

Siauw Houw Tjoe tidak takut, bahkan dengan berani ia melawan keras dengan keras. Ialah ia menyambut serangan dengan tangkisan goloknya.

Begitu lekas kedua senjata beradu hingga menerbitkan suara berisik, begitu lekas juga Koet Kioe Gie menjadi terkejut. Ia mendapatkan telapakan tangannya sakit sekali dan nyer-nyaran dan pedangnya pun meninggalkan sebuah cacad. Oleh karena ini, ia menjadi terlebih waspada.

Pertempuran berlangsung terus, Siauw Houw Tjoe tetap dikerubuti berdua. Tanpa merasa mereka melalui seratus jurus tanpa ada kesudahannya.

Koet Kioe Gie tahu, sebagai muridnya Thio Tan Hong, Siauw Houw Tjoe mestinya liehay, hanya ia tidak menyangka orang ada liehay demikian rupa. la menjadi penasaran. Ia berpikir: "Kita berdua, kalau kita tidak dapat mengalahkan satu bocah, sungguh' inilah suatu malu bagai perguruan kami!" Karena ini, ia mulai menyerang dengan menggunai pelbagai jurus dari ilmu pedangnya itu.

Siauw Houw Tjoe tahu orang mendesak keras, ia berlaku sabar dan tenang. Ke mana juga pedang panjang dari Kioe Gie menuju, ke sana golok pusakanya menangkis. Kelihatannya gerakan goloknya itu tidak ada yang luar biasanya tetapi hasilnya tidak pernah gagal. Goloknya itu pun selalu menghalau pedangnya Ko In Toodjin.

Di matanya Kioe Gie, Siauw Houw Tjoe bergerak sangat lincah seperti tidak menggunai senjata akan tetapi kenyataannya anak muda itu mesti bersilat dengan sungguh-sungguh dan mengeluarkan banyak tenaga, sedang matanya dipentang awas dan kupingnya mendengari dengan saksama.

Lagi seratus jurus telah lewat.

"Inilah hebat," akhirnya Siauw Houw Tjoe berpikir. "Siapa sangka mereka ini benar-benar liehay sekali. Sayang tadi aku sudah lantas memunculkan diri, kalau kesudahannya aku tidak bisa mengalahkan mereka ini, tidakkah aku bakal ditertawai Nona Liong?"

Selagi Thio Giok Houw berpikir, Koet Kioe Gie melirik kepada soeheng-nya, si kakak seperguruan, terus ia berseru keras, pedangnya dipakai menyontek ke perut lawannya itu. Berbareng dengan itu Ko In Toodjin juga membacok, dari atas ke bawah. Maka juga kedua pedang dua saudara ini bergerak dengan sama cepatnya.

Hebat ancaman bahaya itu yang bisa merobek perut atau memapas kepala atau pundak. Akan tetapi orang yang dikepung itu tidak takut bahkan dia tertawa. Sambil berkelit Giok Houw menangkis pedangnya Kioe Gie. Dengan satu suara nyaring, pedang itu kena dibikin mental.

Pedangnya Ko In membacok terus. Pedang ini tidak ada yang mencegahnya, pundaknya yang diarah si imam.

Giok Houw berkelit dengan mengeluarkan ilmu yoga ajarannya Hek Pek Moko. Ia tidak menyingkirkan diri, ia cuma menggeraki tubuhnya. Ia membuatnya dagingnya melesak. Maka ketika bacokan tiba, melainkan bajunya yang menjadi sasaran, jangan kata dagingnya, kulitnya pun tidak lecet.

Melihat kesudahan bacokannya itu, Ko In kaget sekali.

"Marilah upeti itu!" sekonyong-konyong Giok Houw berseru. Ia membarengi melonjorkan tangannya yang kiri. Kali ini ia menggunai jurus Houwdjiauw Kimna ajaran Tantai Biat Beng --- Tangkapan Kuku Harimau.

Ko In terancam bahaya. Kalau dia kena disambar, celakalah dia, sedang Kioe Gie. yang pedangnya mental, tidak dapat menolongi padanya. Karena ini, ia telah mengeluh di dalam hatinya, semangatnya bagaikan terbang.

Di saat imam itu hampir menerima nasibnya, mendadak terdengar suara tertawa nyaring halus dari belakang patung, lantas satu nona berlompat keluar, tangan kanannya diulur, mencegah sambaran Giok Houw, tangan kirinya dikibaskan, untuk menangkis pedangnya Kioe Gie, yang mencoba untuk menolongi soeheng-nya sambil menyerang lawannya.

Itulah Nona Liong, yang munculnya membuat dua-dua pihak heran. Giok Houw sampai melengak.

Si nona tertawa tanpa memperdulikan keheranan orang.

"Eh, dua telur dungu, apakah kau masih tidak mau kabur?" kata nona itu. "Apakah kamu hendak menunggu sampai orang dapat merampas barang antaran kamu?"

Ko In tersadar, ia mengeluarkan seman perlahan, habis mana dia lantas lari kabur.

Kioe Gie tapinya masih membuka mulutnya.

"Kami kaum Boctorig Pay, kalau ada budi kami membalas budi, kalau ada sakit hati kami membalas sakit hati!" katanya. "Aku mohon tanya she dan namamu, nona!"

"Aku melepas budi tanpa mengharapi pembalasan budi!" sahut si nona. "Apakah kau tidak mau lantas menyusul kakak seperguruanmu itu? Apakah kau masih hendak menerima dua bacokan dari ini orang yang derajatnya lebih tua daripada kamu?"

Selagi berkata begitu, si nona sendiri berkelahi terus, tiga kali ia menangkis serangan Giok Houvv, sebab pemuda ini menyerang kepada lawan yang belum mau menyingkir itu.

Belum pernah Kioe Gie mendapat ini macam penghinaan, ia jadi panas hati. Terhadap si nona, ia gusar berbareng bersyukur. Karena sangat terpaksa, dengan sengit ia kata: "Baiklah, hitunglah hari ini aku roboh!" Terus ia lompat, lari keluar dari kuil rusak itu.

Giok Houw tidak mengejar tetapi ia lompat ke samping.

"Apakah artinya ini?" ia tanya si nona, matanya bersorot gusar.

Nona Liong tertawa.

"Bukankah kau telah melihatnya jelas sekali?" sahutnya, membaliki. "Bukankah aku telah melepaskan dua orang barusan?"

"Aku hanya hendak menanya kau, kenapa kau melepaskan mereka itu," tegaskan si pemuda.

"Dengan itu barang bingkisan dari Ouwlam aku mau melepas budi kepada murid-murid Boetong Pay," si nona menjawab.

Giok Houw mendongkol sekali.

"Aku tidak dapat melepas budi tetapi kau dapat!" katanya. "Apakah hubunganmu dengan partai Boetong Pay itu?"

Si nona tertawa.

"Hubungan itu pasti tidak ada terlebih erat daripada hubunganmu itu!" sahutnya. "Sikapku ialah, bertemu yang lebih tinggi memberi hormat, bertemu yang lebih rendah, menginjak. Aku merasa dua orang itu mempunyai pengaruh besar dalam Boetong Pay, aku pikir, pantas kalau aku melepas budi. maka itu, aku telah melakukannya!"

Giok Houw gusar bukan kepalang.

"Kalau begitu, marilah kita main-main!" ia menantang.

Nona itu tidak gusar, dia bahkan tertawa terpinhkal-pingkal, hingga pinggangnya melengking.

"Kau bergusar tanpa alasan!" katanya. "Apakah cuma kau yang diijinkan melepas budi dan aku dilarang? Aku menjual muka kepada Boetong Pay, ini jauh terlebih bagus daripada kau menjual muka kepada Bhok Kokkong!"

Giok Houw mendongkol tetapi sekarang barulah ia mengarti maksud perkataannya si nona barusan, yang menyindir padanya.

"Kau tahu apa?" katanya, keras. "Aku benar melepaskan bingkisan dari Inlam tetapi itu bukannya untuk Bhok Kokkong!"

"Aku tidak perduli itu untuk siapa," berkata si nona. "Kau tidak sudi memberi keterangan, aku juga tidak mempunyai tempo untuk mendengarinya! Maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau!..."

Nona itu menjejak dengan kakinya, lantas tubuhnya lompat ke luar jendela, selagi keluar, dia berpaling, tertawa kepada si anak muda, tangannya pun diangkat. Nyata di tangannya itu ada kantung bingkisan dari Ouwlam!

"Eh, kau pakai aturan atau tidak?" Giok Houw tanya. "Berhenti dulu, berhenti! Kita mesti omong jelas!" Ia lantas lari mengejar.

Sambil lari. Nona Liong tertawa.

"Ah, kau sangat rewel!" katanya. "Di waktu begini, siapa mempunyai kesabaran akan mendengarimu?"

Giok Houw tidak menyahuti ia mengejar terus. Ia dalam hatinya, ia kata: "Biar aku mengejar dulu, bicara belakangan!"

Boleh dibilang hampir berbareng dengan itu, terbawa oleh angin gunung, terdengar caciannya Ko In Toodjin: "Budak mau mampus! Budak mau mampus! Oh, kau bikin aku mati mendelu!..."

Mendengar itu, Giok Houw heran hingga ia melengak.

"Dia menolong mereka, kenapa sekarang mereka mendamprat dia?" tanya ia di dalam hatinya. Selagi berpikir, ia dengar suara kaki berlari-lari keras, disusul sama suaranya Koet KioeGie: "Sudah! Buat apa mengejar terus padanya? Seorang laki-laki, dia dapat bengkok dan dapat lempang! Biarlah bocah yang masih berambut kuning itu puas sekarang! Biarlah kita bicara pula setelah nanti kita ketahui tentang asal usulnya!"

"Heran!" pikir pula Giok Houw. "Jadi dia pun telah merampas bingkisan propinsi Ouwpak itu? Kenapa aku tidak dapat melihatnya?"

Itu waktu kembali terdengar suara tertawa terkekeh nyaring dari si nona, yang bayangannya berkelebat di satu tikungan bukit, karena mana. Giok Houw berlompat untuk mengejar supaya ia tidak sampai kehilangan nona itu.

Mereka berdua liehay ilmunya enteng tubuh, dari itu, cepat sekali lari mereka, hingga di lain saat jauh sudah mereka meninggalkan Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie. Di situ pun ada banyak pepohonan di kedua samping.

Nona Liong seperti juga mengandung maksud sengaja mengadu ilmu lari keras dengan Thio Giok Houw, biar bagaimana anak muda itu memanggil padanya, ia lari terus, tidak mau ia berhenti. Karena itu, terpaksa Giok Houw mengeluarkan tenaganya untuk dapat mengejar terus.

Mereka berlari-lari terus hingga sang fajar menyingsing. Baru sekarang nona itu memperlahankan tindakannya.

"Kali ini kita mengadu ilmu ringan tubuh, kita seri!" katanya tertawa, seraya menoleh. "Kau letih tidak?"

Giok Houw melihat ke sekitarnya. Tanpa ia merasa, mereka sudah melewati kota Sianheekwan. Jadi sedikitnya mereka sudah melalui dua ratus lie lebih. Sendirinya, hatinya bercekat. Kapan ia mengawasi nona itu, ia mendongkol berbareng kagum. Nona itu tenang-tenang saja sedang ia sendiri, dahinya mengeluarkan sedikit keringat.

Nona itu tertawa, ia berkata pula: "Ada pepatah yang membilang, 'Mengantar tuan sampai seribu lie. akhirnya toh mesti berpisah,' maka itu selagi kita adalah sahabat-sahabat yang baru berkenalan, sedang kau telah mengantari aku beberapa ratus lie, tidak berani aku membikin kau bercapai lelah lagi. Mengapa kau tidak memberi selamat berpisah? Apakah kau masih hendak mengantar aku lagi satu rintasan?"

"Sudah, jangan bergurau!" sahut Giok Houw. "Mari serahkan upeti itu!"

"Upeti dari propinsi yang mana?" si nona menegasi. Tapi tanpa menanti jawaban, sambil tertawa, ia mendahului sendirinya. "Benar! Upeti dari Ouwpak itu aku sendiri belum melihatnya tegas barang apa! Tunggu sebentar, aku lihat dulu, jikalau itu tak cocok dengan hatiku, nanti aku serahkan pada kau..."

Ia merogoh ke sakunya, ia mengeluarkan sehelai ikat pinggang yang bertaburkan kumala ikat emas. Melihat itu, Giok Houw heran.

"Ikat pinggang itu memang berharga tetapi bukannya mustika." pikirnya. "Mustahilkah upeti dari Ouwpak cuma barang semacam ini?"

Sambil berpikir, pemuda ini terus mengawasi. Si nona memencet pada ikat pinggang itu, yang lebih dulu ia awasi. Nyata di situ ada dipasangi pesawat rahasia. Begitu dipencet, ikat pinggang itu terbuka, maka dari situ keluarlah sinar mencorong berkilauan. Sekarang terlihat tegas, isinya ikat pinggang adalah mutiara-mutiara yabengtjoe yang bundar-bundar dan besar-besar!

"Bagus!" berkata si nona tertawa.

matanya pun memain. "Kiranya barang bingkisan dari Ouwpak ini jauh lebih berharga daripada kepunyaan Ouwlam. Di sini ada semuanya tiga puluh enam butir, kalau ini dijual, aku lihat sebutirnya mungkin berharga sedikitnya sepuluh laksa tail perak! Pantaslah soenboe dari Ouwpak telah mengganggu murid-murid dari Boetong Pay untuk melindunginya..."

Sekarang Giok Houw bisa menduga. Rupanya selama di kuil tua itu, berbareng menolongi orang, nona ini sudah meloloskan ikat pinggang itu yang berada di pinggangnya Ko In Toodjin. Pantas imam itu jadi demikian gusar.

Sebagai muridnya Hek Pek Moko, Giok Houw pun tahu harga barang. Benar seperti katanya si nona setiap mutiara mustika itu berharga sepuluh laksa tail perak.

Nona Liong merapikan pula ikat pinggang itu.

"Semua mutiara ini cocok sama hatiku." katanya, tertawa, "dari itu tidak dapat aku menyerahkannya kepada kau. Tentang upeti dari Ouwlam, jikalau kau menghendakinya, suka aku membagi dua."

"Siapa main tawar menawar denganmu?" kata Giok Houw gusar. "Semua barang yang kau rampas, tidak perduli dari propinsi yang mana, ingin aku mendapati semuanya!"

"Aha!" berseru si nona. "Sungguh suara yang besar! Bagaimana dapat aku serahkan itu padamu! Mana orang! Tolong! Siang hari bolong ada orang hendak membegal!"

Giok Houw melengak. Ia masih belum sadar ketika dari samping, di mana ada rimba lebat, ia mendengar suara jawaban: "Ya, nona, kami datang!"

"Bagus betul!" teriak Giok Houw. "Kiranya di sini kau menyembunyikan kawanmu! Kau memanggil kawan, apakah kau kira aku takut?"

Belum habis si anak muda berbicara, dari dalam rimba sudah muncul dua nona, yang usianya rata-rata baru empat-atau lima belas tahun. Melihat mereka itu, ia heran hingga ia tercengang.

Si nona tidak memperdulikan orang heran.

"Mana Tjoen Heng dan Tong Bwee?" ia menanya dua nona itu.

Nona yang di sebelah kiri menyahuti: "Entjie Tjoen Heng dan Tong Bwee pergi merampas upeti dari Kangsee. Katanya, setelah berhasil, mereka akan menanti siotjia di Tjiatkang."

"Bagus!" menjawab nona itu, yang dipanggil siotjia --- jadi ialah nona majikan. "Upeti dari dua propinsi Ouwlam dan Ouwpak ada padaku sekarang, aku letih, pergilah kamu yang bawa. Kamu juga menantikan aku di Tjiatkang."

Giok Houw tercengang. Ia ingat keterangannya Bhok Lin. Jadi inilah kedua nona, atau budak, yang telah merampas upeti dari dua propinsi Inlam dan Koeitjioe.

Selagi anak muda in; berpikir, kupingnya mendengar suara angin "Ser!" lalu matanya melihat gerakan kedua tangan si nona. Tangan kirinya melemparkan kantung upeti dari Ouwlam kepada budaknya yang satu, tangannya yang lain menimpukkan sabuk upeti dari Ouwpak kepada budaknya yang lainnya.

Karena sangat mendongkol, Giok Houw menjejak tanah, ia lompat ke arah budak yang mau menyambuti upeti dari Ouwpak itu. Itulah lompatan "Burung menyambar kelinci."

Si budak kaget, dia berteriak.

"Jangan takut, Hee Ho!" berseru si nona. "Tidak nanti ada orang dapat merampas barangmu!"

Kata-kata ini dibarengi sama lompatnya si nona, yang berbareng pun mengibaskan tangan bajunya, maka itu belum sempat si pemuda dan si pemudi turun di tanah, tangan mereka sudah bentrok. Nona itu menggunai kebutan dengan ilmu silatnya "Tiatsioe kang" atau Tangan Baju Besi," lengan Giok Houw kena dikibas, meski si anak muda tidak terluka, dia toh merasakan sakit, sedang si anak muda telah menggaet robek ujung bajunya si pemudi. Maka itu, kesudahannya mereka seri, cuma Giok Houw gagal merampas sabuk mutiara itu.

Kedua budak itu sangat cerdik dan tubuh mereka pun sangat enteng dan lincah, selagi muda-mudi itu "bertempur" keduanya sudah lantas lari kabur, hingga di lain detik, bayangan mereka juga sudah tidak nampak.

Si nona tertawa geli.

"Semua barang bingkisan sudah dibawa pergi!" katanya. "Apakah kau masih ingin main-main denganku?"

"Aku cuma mau minta dari kau!" sahut Giok Houw kaku.

"Ah," kata si nona menghela napas, "benar aku lagi malang... Kenapa aku justeru bertemu sama kau? Sebenarnya pernah aku mendengar di kalangan Kangouw suka terjadi golongan Hitam makan golongan Hitam, tetapi belum pernah aku mendapatkan orang sebengis kau ini!"

Bukan main mendongkolnya si anak muda.

"Kau mau serahkan atau tidak?" dia menanya singkat. "Aku tidak mempunyai tempo untuk kau gerembengi!"

"Eh, kau aneh sekali!" si nona tertawa. "Sebenarnya, kau yang menggerembengi aku atau aku yang menggerembengi kau? Kau sudah merampas upeti dari belasan propinsi dan aku tidak minta suatu apa dari kau!"

"Sudah, sudah!" kata si anak muda, jang kewalahan mengadu omong. "Kita jangan banyak omong lagi, mari kita lihat siapa menang siapa kalah!"

Nona itu mengawasi, tenang.

"Bicara dari hal peri kepantasan, kau tidak dapat melawan aku," katanya, "maka kau jadi hendak bertempur! Benarkah? Baiklah! Kau bicara tentang bertempur, aku bersedia! Bagaimana? Kau membilang hendak bertempur, kenapa kau tidak mau lantas turun tangan?"

"Aku seorang laki-laki, tidak dapat aku menghina wanita!" sahut Giok Houw. "Kau maju lebih dulu!"

"Kalau pria, bagaimana sih?" tanya si nona. "Aku toh berdiri di sini! Mana dapat dikatakan kau menghina aku?"

Nona ini membuat main tangan bajunya, matanya melirik. Dia telah siap sedia, tetapi selama Giok Houw tidak bergerak, dia pun berdiam saja.

Pemuda itu kewalahan, terpaksa ia tidak mau pakai aturan kaum Kangouw lagi.

"Awas!" ia berseru seraya terus menyerang, dengan tipu silatnya "Tujuh bintang menembusi bunga," yang menggertak berbareng menyerang benar-benar, datangnya dari samping. Ia menyerang tetapi tidak dengan Seantero tenaganya dan gerakannya juga rada lambat. Ia mau bersedia untuk perlawanan si nona.

Selagi anak muda ini menyerang setengah hati itu, mendadak dua tangan baju si nona sudah bergerak saling susul, ia pun berteriak: "Awas!" Kedua tangan bajunya itu panjang, yang kiri dibikin menggulung, yang kanan menyerang.

Giok Houw tidak menyangka, hampir saja tangannya kena digulung. Ia berkelit dengan menggunai satu jurus dari Tjoanhoa Djiauwsie. Dengan tangannya terhindar dari bahaya, ia tidak bisa menolong pundaknya, yang disambar ujung baju, tapi ia tidak mendapat bahaya, karena dengan ilmu yoganya, ia masih dapat berkelit. Ia segera membalas menyerang, hanya sasarannya ada tempat kosong, sebab si nona menghalau diri dengan gesit.

"Terima kasih untuk mengalahmu!" berkata nona itu, suaranya perlahan. Kata-katanya itu diikuti tertawanya yang merdu. Nyata Giok Houw mendengar suara itu di kupingnya. Ia menguasai diri, untuk berlaku tenang. Dengan sebat ia menyambar ke samping dengan cengkeramannya. Tapi kembali ia menyambar sasaran kosong.

"Hebat nona ini," pikirnya. "Kelihatannya dalam ilmu ringan tubuh ia tak kalah dengan entjie Sin Tjoe." Sedang ia berpikir, kembali ia diserang si nona, yang kedua tangan bajunya menyambar-nyambar pula.

Giok Houw mempunyai banyak guru, pelajarannya pelbagai macam, tetapi menghadapi Nona Liong ini, ia heran sekali. Tidak bisa ia menduga orang ada dari partai mana. Belum pernah ia melihat ilmu silat orang ini.

Dalam tempo yang pendek, dua puluh jurus sudah lewat. Pertandingan ini rada kipa. Benar mereka bersama-sama bertangan kosong tetapi si nona menang karena tangan bajunya terlebih panjang dan tangan bajunya itu merupakan semacam senjata. Dengan begitu, kedua tangan si anak muda menjadi seperti terlebih pendek. Beberapa kali hampir ia kena dihajar.

"Apakah selanjutnya kau masih berani memandang enteng kepada bangsa wanita?" berkata di pemudi sambil tertawa geli.

Giok Houw mendongkol sekali.

"Apakah kau menyangka benar aku tidak sanggup melawan kau?" katanya sengit.

Dengan tiba-tiba ia menyerang hebat sekali, sampai suara anginnya bersiur keras. Ia telah menggunai satu pukulan dari Taylek kimkong tjioe. Meski begitu, ia cuma menggunai tenaga lima bagian.

Benar-benar gesit si nona. Diserang demikian hebat, ia masih bisa menghalau dirinya, bahkan habis berkelit itu, ia membalas menyerang dengan sebat.

"Ah, tidak, seberapa liehay!" katanya tertawa. Lalu kedua tangannya menyerang, pula saling susul, mengarah dada si pemuda.

Giok Houw menjadi penasaran, setelah berkelit, ia melanjuti serangannya. Ia terus menambah tenaganya atas setiap serangannya itu, seperti juga ia tidak mengenal kasihan lagi.

Si nona melayani dengan air muka terus tersungging senyuman, tetapi di dalam hati, sebenarnya ia terperanjat. Mulanya, hatinya terkesiap. Ia tidak menyangka orang sebenarnya demikian liehay.

Sesudah mendesak hingga enam belas jurus. Nona Liong nampak main mundur saja. meskipun tangan bajunya yang panjang terus bergerak, ia seperti cuma dapat menangkis tetapi tidak dapat membalas menyerang. Toh kelihatan tegas lincahnya tubuh dan tangannya serta tindakan kakinya. Ia dapat mengimbangi serangan-serangan dahsyat itu. Tidak pernah si anak muda dapat menyerang dengan berhasil.

"Dalam tenaga dalam, ia kalah dari aku," akhirnya Giok Houw berpikir, "hanya dalam ilmu ringan tubuh, aku benar harus menyerah."

Lantas pemuda ini mengguna siasat. Mendadak saja ia menarik pulang tangannya, yang baru dipakai menyerang hebat itu.

Nona Liong merasakan kekosongan, karena lenyapnya desakan, tanpa merasa, tubuhnya terjerunuk ke depan. Ia kehilangan keseimbangan dirinya. Justeru itu, si pemuda mengubah cara menyerangnya. Telapakan tangannya yang terbuka lantas ditekuk tiga buah jerijinya, yang sepasang lagi ia pakai menyerang dengan ilmu silat Tiattjiekang jurus Tiattjiehoei atau Sampokan Jeriji Besi. Ia menyambar tangan bajunya si pemudi, ketika ia menggores, "Bret!" terdengar suara nyaring. Tangan baju itu pecah terbelah dua, hingga nampak lengan yang putih halus dari nona itu!

Mukanya Nona Liong menjadi merah, ia jengah sekali.

Giok Houw menjadi tidak enak hati. Ia menang satu jurus sesudah ia bekerja keras. Ia sebenarnya mau menghaturkan maaf atau si nona sudah mendahului ia. Mulanya nona itu memperlihat roman sungguh-sungguh, habis itu dia tertawa dan kata dengan tampan: "Tidak apa! Benar kau menggunai akal tetapi tetap kau menang satu jurus! Baiklah, sekarang aku mau belajar kenal dengan sen j atamu." Ia tidak menanti jawaban, ia mendahulukan mencabut pedangnya yang berkeredepan.

"Tunggu, tunggu dulu!" berkata Giok Houw. "Kita harus omong dulu biar jelas. Umpama kata kau kalah, bagaimana? Kalau kita main merabu saja, itulah tidak ada artinya."

"Baiklah." menyahut si nona. "Mari kita bertaruh."

"Taruhan apakah itu?" Giok Houw menanya.

"Kita bertaruh dengan semua barang bingkisan dari semua propinsi," jawab si nona.

Mendengar itu, Giok Houw tertawa bergelak.

"Taruhan ini cocok dengan hatiku!" katanya. "Kalau aku kalah, maka semua bingkisan dari belasan propinsi pun akan aku serahkan padamu!"

Akan tetapi si nona menggeleng kepala

"Aku tidak menghendaki kepunyaanmu itu," katanya.

"Bagaimana?" kata Giok Houw heran. "Kau tidak menghendaki kepunyaanku sebaliknya aku menginginkan kepunyaanmu! Kalau begini, apakah artinya taruhan kita ini?"

"Kau dengar dulu aku," berkata si nona sabar. "Sebenarnya malam ini kita sudah melakukan dua rintasan. Yang pertama itu ialah mengadu ilmu enteng tubuh. Mulanya dalam seratus lie lebih, kau ketinggalan, kau tidak dapat mengejar aku, kemudian lagi seratus lie lebih, aku mulai kesusul. Coba kita tidak berhenti untuk beristirahat, setelah lari-larian lagi seratus lie, ada kemungkinan kau bakal melombakan aku. Maka itu, aku mau anggap kita seri. Coba bilang, pertimbanganku ini adil atau tidak?"

Giok Houw berpikir. Sebenarnya ia kalah cepat, kalau ia toh dapat menyusul, itu disebabkan tenaga dalamnya yang menang, ia lebih ulet.

"Adil!" ia menyahut, menyeringai. Biar bagaimana ia rada likat. "Hanya akulah seorang lelaki, di dalam halnya tenaga, aku menang unggul. Sebenarnya aku malu."

Tapi nona itu tertawa dingin.

"Kalau aku tidak akan menyebut-nyebut perbedaan di antara pria dan wanita!" katanya. "Hm, hm! Apakah benar pria selamanya lebih menang dari wanita?" Ia hening sejenak, lantas ia menambahkan: "Barusan kau menggunai akal, biar begitu, aku menganggapnya kau yang menang. Maka sekarang tinggal rintasan yang ketiga, umpama kata aku kalah, aku jadi kalah dua kali, aku tidak akan membilang apa-apa lagi, semua barang bingkisan dari sembilan propinsi, yang aku telah rampas, semua akan aku serahkan padamu. Andaikata kau yang kalah, kita anggap kita seri. Itu artinya, aku tidak menghendaki barangmu, kau jangan menghendaki barangku. Beginilah cara pertaruhan kita. Apakah kau puas?"

Pertaruhan itu ada menguntungi Giok Houw, meski begitu, anak muda ini toh berpikir.

"Sudah terang nona ini ada terlebih kepala gede daripada aku. Bukankah ia sengaja hendak mengalah?" demikian pikirnya.

Melihat orang berdiam saja, nona itu menuding dengan pedangnya.

"Kau akur atau tidak?" dia tanya, sikapnya j umawa. Tapi dia tertawa.

Giok Houw menghunus golok mustikanya. Ia pun tertawa.

"Akur!" sahutnya. "Hanyahendak aku memberitahukan kau, golokku ini golok mustika!"

"Aku sudah tahu!" jawab si nona. "Kau mulailah!"

Nona ini demikian jumawa hingga ia tak menghiraukan golok mustika.

"Tadi aku yang mulai, sekarang giliranmu." kata si pemuda. "Aku tidak dapat menang sendiri."

"Baiklah!" kata si nona tanpa sungkan lagi. Ia membalingkan pedangnya, pedang Tjengkong kiam, habis mana ia menikam dengan jurus "Bintang mengejar rembulan." Ia mengarah muka.

Di dalam hatinya. Giok Houw tertawa.

"Baru sekarang kau menggunai kekerasan," pikirnya. "Baik aku melayani dengan tenang."

Akan tetapi si nona menggunai akal. ia cuma menggertak, sebelum ujung pedangnya mengenai sasarannya, mendadak ia mengubahnya menjadi "Mega melintang di atas puncak Tjin Na."

Serangan ini hebat akan tetapi Giok Houw tidak terlalu menghiraukannya.

"Ah, kiranya dia pun dari Boetong Pay..." pikirnya.

Serangan si nona itu mestinya menyambar ke kiri, untuk membabat lengan kanan dari lawanan. Giok Houw menggunai belakang goloknya, untuk menyampok. Tapi nona itu berlaku cerdik dan sebat, ia mengubah tujuannya, dari kiri ke kanan, terus ia menikam ke nadi. Tentu sekali si anak muda menjadi terkejut, repot dia membela diri. Serangan ini membikin dia mengeluarkan keringat dingin. Dengan sukar saja dia dapat melindungi nadinya itu.

Setelah itu, si nona mendesak, menyusuli serangan yang kedua, lalu datang yang ketiga. Yang kedua kali itu ada jurus dari ilmu silat Khongtong Pay yang dinamakan "Bengto tjianlie," atau "Unta lari seribu lie," ujung pedang menikam ke bawah, mencari dengkul. Giok Houw tidak mengarti banyak tentang ilmu silat Khongtong Pay, meski ia kenali jurus ini, ia tidak berani berlaku alpa. Ia melindungi dengkulnya dengan jurus, "Memindahkan gunung menguruk lautan."

Aneh ilmu silat si nona setelah bekerja, tikaman itu bukan lagi tikaman Khongtong Pay. Sebab datanglah serangan yang ketiga itu, yang berantai. Kali ini Giok Houw mengenali "Hokmo Kiamhoat," ilmu pedang "Menakluki Siluman" dari JSiauwlim Pay Utara Itulah jurus "Wie To hangmo," atau "Malaikat Wie To menakluki hantu." Ujung pedang membabat ke bawah.

Untuk membela dirinya, Giok Houw menangkis dengan jurus "Dengan sebuah tihang menahan langit."

Kali ini, pemudi itu cuma menggertak, pedangnya ditangkis tetapi lolos.

Giok Houw menangkis sambil memutar tubuh, lalu ia merasakan hawa dingin di bebokongnya. maka lekas-lekas ia berkelit pula. Hampir saja tulang punggungnya kena disontek pecah!

Si nona tertawa seraya berkata: "Kalau harimau galak tidak ditaklukkan sekarang, hendak menanti sampai kapan lagi?"

Tentu sekali ia menjadi gusar, sebab ia telah dipermainkan. Segera ia menyerang secara bengis, sambil menyerang ia kata dengan dingin: "Marilah lihat, aku dapat membekuk naga atau kau dapat mencekuk harimau!"

Giok Houw menang tenaga daripada si Nona Liong, ia hanya kalah enteng tubuh dan belum mengenal ilmu silat pedang orang yang luar biasa itu, tetapi sebagai seorang yang. cerdas, setelah banyak jurus dilewatkan, ia bisa lantas mengambil keputusan. Pikirnya: "Aku boleh tak usah perdulikan lagi dia dari partai mana, cukup asal aku melayani dia dengan ilmu golok Hian Kie Toohoat. Pula tidak perlu aku mencapaikan hati untuk memecah setiap serangannya itu, hanya baiklah aku tonton dia mempunyai berapa banyak macam jurusnya yang aneh-aneh itu."

Putusan ini lantas diwujudkan.

Hian Kie Toohoat meminta tenaga besar tetapi Giok Houw dapat melayani itu, maka itu belum lama, kedua pihak menjadi sebanding. Sama-sama mereka bisa menyerang dan membela diri. Kedudukan Giok Houw menjadi teguh, bahkan kadangkala dengan golok mustikanya itu ia dapat mencoba untuk membentur pedang si nona.

Sembilan belasjurus telah dikasih lewat, selama itu Nona Liong sudah menggunai juga sembilan belas macam jurus yang berlainan, yang terang ada dari sembilan belas partai, maka itu Giok Houw heran sekali.

"Nona ini berusia tak berbedajauh daripada usiaku, kenapa dia dapat menggunai ilmu silat dari demikian banyak partai dan bahkan banyak pula perubahannya?" ia menanya dirinya sendiri.

Habis sembilan belas jurus itu. Nona Liong masih dapat membuat perubahannya.

Giok Houw berpikir keras sekali.

"Ah!" katanya pula dalam hatinya. "Sekarang aku ingat, ini macam ilmu silat pedang campuran pernah aku melihatnya, hanya entah di mana..."

Oleh karena mengingat demikian, ia berpikir lebih jauh. "Hok Thian Touw!" pikirnya tiba-tiba. "Ya, Hok Thian Touw! Ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Thian Touw sudah dapat mengumpul ilmu pedang dari tiga belas partai, kemudian setelah dia memperoleh petunjuk dari guruku, hingga dia menginsafi sarinya Hian Kie Kiamhoat, dia dapat pula ilmu silatnya empat partai lain. Dengan begitu, sama sekali, dia telah dapat mencangkok pelajaran dari tujuh belas partai. Dan tahun yang baru lalu, menurut entjie Sin Tjoe, Tjio Keng To pun telah memberi pinjam kitab ilmu pedangnya, sedang Tjeng Yang Tjoe telah memberikan dia salinan kitab pedang Tjengshia Pay. Dengan begitu, semua-semua dia telah mendapatkan pelajaran dari sembilan belas partai. Maka itu, mungkinkah dia ini ada hubungannya sama Hok Thian Touw?"

Sampai di situ, pemuda ini dibuatnya ragu-ragu. Ia ingat satu hal lain.

"Nampaknya tak cocok," demikian pikirnya pula. "Selama diadakan rapat besar, Hok Thian Touw suami isteri telah diminta bantuannya, dan mengenai urusan merampas barang-barang bingkisan pelbagai prooinsi, mereka juga telah memberikan janjinya. Kalau nona ini ada hubungan sama mereka suami isteri, kenapa sekarang dia menentangi aku?"

Selama itu pertandingan berjalan terus. Nona Liong, yang menang gesit, menang juga kedudukan. Dengan kecerdikannya, dia mengambil tempat yang membelakangi matahari, yang dari fajar telah menaik tinggi. Dengan pedangnya, dengan kesehatannya dia menyerang berulang-ulang. Di sesebelahnya, Giok Houw berlaku tenang. Ia menangkis setiap kali ia diserang. Ia tetap membawa sikap membela diri, ia berlaku waspada agar tak sampai salah tangan. Kalau sewaktu-waktu ia berhasil membentur pedang si nona. ia membuatnya tangan nona itu sakit dan sesemutan, nyer-nyeran.

Lama-lama kedua pihak saling mengetahui kelebihan atau kekurangan mereka tapi umumnya si nona yang kalah imbangan. maka kalau dia bukannya membelakangi matahari, tentulah dia sudah kalah.

Giok Houw bisa melihat orang mulai kalah unggul, ia terus melawan dengan tenang tetapi dengan semangat terlebih mantap. Adalah si nona yang gede kepala, penasaran kalau dia sampai kalah, maka dia mencoba untuk merubah keadaan kipa itu. Dia mengeluarkan pula pelbagai jurusnya yang aneh-aneh.

Dengan begitu, banyak jurus telah dilewatkan pula. Nona Liong mulai bernapas sengal-sengal. Ia telah memaksakan tenaganya, maka itu keringan tubuhnya tidak dapat menolong terus padanya.

Inilah benar pertarungan "Naga berebutan, Harimau bergulat." She nona itu, Liong, berarti "naga," dan namanya si pemuda Houw, berarti "harimau."

Biar bagaimana. Giok Houw mengagumi lawannya ini. Semenjak dia muncul dalam dunia Kangouw, inilah lawannya satu-satunya yang paling tangguh.

Selama melayani itu, untuk berlaku waspada, Giok Houw beberapa kali melepaskan ketikanya yang baik, adalah kemudian, mendadak ia berseru keras, goloknya menyambar ke kiri ke arah mana si nona berkelit. Itulah serangan dari jurus "Memegat pedang hijau," dan sasarannya ialah ujung pedang.

Nona Liong itu berkelit seraya terus mengelit juga pedangnya, setelah itu ia membalas, ia berbalik menikam jalan darah djiekie hiat di rusuk kiri si pemuda. Ia menggunai jurusnya "Jarum emas menusuki benang."

Biarnya serangan ada sangat Iiehay, si Nona Liong masih bisa menghindarkan dirinya. Karena ini, lagi sekali Giok Houw maju, tangan kirinya menjambak, tangan kanannya membacok. Itulah bacokan "Burung bangau mementang sayap." Ia percaya, kali ini ia tidak bakal gagal lagi.

Sudah lama mereka bertanding. Giok Houw mulai mengarti ilmu silat si nona, maka itu ia telah cari ketikanya yang baik itu.

Mendadak saja si nona menjerit, tubuhnya terhuyung ke depan, seperti mau roboh.

Giok Houw kaget.

"Ah, dia tak kenal jurusku ini!" pikirnya. "Benarkah golokku ini melukai dia?"

"Tentu sekali ia merasa sayang kalau lengan si nona cantik itu sampai terbabat kutung...

Kejadian itu ada cepat sekali, bagaikan kilat berkelebat.

Dalam kagetnya, Giok Houw segera menarik pulang goloknya. Belum sempat ia melihat, si nona terluka di mana, mendadak nona itu tertawa haha-hihi, tubuhnya bangun berdiri, pedangnya menyambar! Dan belum sempat Giok Houw mengetahui apa, ujung ikat kepalanya telah terpapas kutung. Tentu sekali ia kaget bukan main.

"Terima kasih, kau telah mengalah!" berkata si nona perlahan, kembali tertawa.

"Apa artinya ini?" tanya Giok Houw setelah dia sadar.

"Maaf, kali ini akulah yang menang!" berkata si nona, tertawa. "Selanjutnya kita merampas masing-masing, aku larang kau mengganggu aku pula!"

Giok Houw melongo mengawasi nona itu. Ia kalah karena diakali, tapi apa ia bisa bikin! Di dalam pertempuran, orang tidak dapat dilarang menggunai tipu daya. Percuma ia penasaran.

"Aku tahu kau tentulah tidak puas!" berkata nona itu. "Maka aku akan berikan kau ketika sekali lagi! Mari, mari, kita berjanji dengan menepuk tangan!"

"Apakah artinya itu?"

Si pemuda mendongkol tetapi ia menanya juga.

Si pemudi tertawa.

"Kau jangan marah, bisakah?" ia kata, sabar. "Dengan sikapmu ini, kau mensia-siakan maksud baik orang... Ah, benarkah ini yang disebut, 'Anjing menggigit Lu Tong Pin karena tak tahu hati baik manusia'?"

"Baiklah!" kata Giok Houw akhirnya. "Kau bicaralah!"

"Kita menetapkan tempo tiga bulan, nanti kita bertemu pula di Pakkhia!" berkata si nona. "Sampai itu waktu kita nanti membuat perhitungan, kita melihat barang rampasan upeti siapa yang terlebih banyak..."

"Jadi kau tetap hendak bertaruh denganku?" tanya Giok Houw panas.

"Apakah itu tetap atau tidak tetap?" kata si nona bersenyum. "Apakah kau masih hendak memaksa aku. melarang aku merampas upeti?"

"Sebenarnya apa maksudnya pertaruhanmu ini?"

"Aku artikan, siapa yang merampas lebih banyak upeti dialah yang menang!"

Giok Houw mendongkol. Kata ia dalam hatinya: "Bukankah dengan begini kau hendak mempersulit aku? Kau sudah dapat merampas banyak, masih kau hendak merampas lebih jauh! Bagaimana aku nanti dapat memberikan pertanggungan jawabku kepada semua orang gagah yang menghadiri rapat?"

Hampir pemuda ini tak dapat menguasai dirinya lagi. Baiknya si nona lantas berkata pula setelah dia tertawa cekikikan.

"Aku lihat kau kelabakan tidak keruan, maka itu aku hendak bertaruh lagi denganmu..." katanya. "Aku hendak memberi ketika satu kali lagi. Kalau barang rampasanmu lebih banyak daripada barang rampasanku, maka semua barang rampasan itu akan aku serahkan pada kau. Sebaliknya demikian juga!"

Giok Houw mengawasi nona itu. Ia seperti tidak mau mempercayai kupingnya sendiri.

"Benarkah itu?" ia menegaskan.

"Jikalau kau tidak percaya, marilah kita bersumpah dengan menepuk tangan!" berkata si nona.

"Mari memastikan dulu!" kata Giok Houw. "Kita menetapkan dari harganya semua upeti atau dari banyaknya setiap propinsi?"

"Dari banyaknya setiap propinsi!"

Giok Houw pikir, pertaruhan itu menguntungi pihaknya.

"Bagaimana? Kau masih memikirkan apa?" tanya si pemudi, mendesak. "Apakah kau takut keok hingga kedua tanganmu menjadi kosong melongpong? Ah, aku tidak menyangka, kau sangat menghargai barang sampiran melebihkan segala apa!"

"Aku hanya meminta penetapan," Giok Houw menerangkan. "Aku tidak mau menang unggul..."

"Nah, kau bicaralah!"

"Aku mempunyai banyak kawan dan barang rampasannya itu termasuk atas namaku."

"Siang-siang aku telah mengetahui itu! Aku sendiri mempunyai empat budak dan semua barang rampasan mereka terhitung rampasanku juga. Aku hanya kuatir budak-budakku yang kasar itu belum tentu kalah dari orang-orang gagahmu itu!..."

"Baiklah!" kata Giok Houw cepat.

"Seorang ksatria tidak omong main-main! Mari kita berjanji dengan menepuk tangan! Apakah kata-katanya janji itu?"

Si pemudi melonjorkan kedua tangannya, sembari tertawa ia kata: "Kata-kata itu ialah: Menang senang, kalah puas, tak menyesal selama-lamanya!"

Giok Houw menepuk satu kali, ia menyebutkan janji itu.

Kemudian, memenuhkan tepukan tangan, mereka saling menepuk tiga kali lagi. Selama tangan mereka beradu, Giok Houw merasakan ada hawa hangat yang pindah bersalur ke tangannya terus ke seluruh tubuhnya hingga hatinya goncang.

"Bagus!" berkata si nona. "Sekarang aku hendak lekas pergi merampas barang-barang bingkisan beberapa propinsi di Kanglam, kita masing-masing mengeluarkan kepandaian sendiri-sendiri! Kau jangan ikuti aku ya!"

Ia tertawa, selagi tertawa tubuhnya berlari pergi, hingga kelihatan bajunya saja berkibar-kibar.

Giok Houw berdiri di atas batu yang tinggi, mengawasi orang berlalu. Ia bingung, ia tidak tahu ia mesti berdongkol atau bergirang terhadap nona itu...

Tidak lama, pemuda ini pun berangkat, menuju kc propinsi Tjiatkang. Di sepanjang jalan ia masih terus ingat si nona. Ia mengharap-harap di Tjiatkang akan bertemu pula dengan dia itu. Karena ini, urusan merampas upeti jadi seperti urusan yang nomor dua...



IV

Gelombang di Laut Timur.



Beberapa hari kemudian maka di tepian telaga Seeouw di Hangtjioe telah terlihat munculnya seorang muda yang pakaiannya sederhana mirip seorang tani, hanya biar bagaimana, dandanan itu tidak dapat melenyapkan romannya yang gagah. Sebab ialah Siauw Houw Tjoe alias Thio Giok Houw yang tengah bertaruh sama Nona Liong, bertaruh siapa lebih banyak dapat merampas barang bingkisan propinsi untuk kaisar...

Di kota Hangtjioe ini Giok Houw telah mengatur orangnya hidup bersembunyi guna mencari tahu halnya upeti propinsi Tjiatkang dan sekarang ia datang untuk menemui pembantunya itu. Ia ingin ketahui, upeti sudah diberangkatkan atau belum dan siapa pengantarnya. Ia ingin mendahului Nona Liong merampasnya.

Ketika itu ada di pertengahan musim semi, di mana-mana di telaga Seeouw itu, bunga-bunga bwee dan lie sedang mekar dan bunga bwee belum lagi rontok. Maka indahlah pemandangan alam di situ. Tapi Giok Houw tengah berpikir, ia tidak menghiraukan pemandangan itu, ia berjalan terus melewati beberapa tempat kesohor, terus menuju ke barat sampai di bukit Samtay San. Tengah ia berjalan itu, ia mendengar tertawanya orang-orang yang lagi pesiar.

Seorang yang dandan sebagai seorang mahasiswa, berkata: "Tahun ini telaga Seeouw tambah satu tempat kesohor, yang menambahkan bukan sedikit keindahannya telaga."

"Apakah kau maksudkan kuburannya Ie Kiam?" tanya seorang. "Itukah tepat! Ie Kokloo paling menyukai Seeouw, maka ia memesan supaya dikubur di sini, untuk ia menemani kuburan Gak Hoei. Mari kita menjenguk ke sana!"

Setelah matinya Ie Kiam, karena tahu rakyat tak puas, kaisar Eng Tjong mengijinkan Tjo Thaykam menguburkannya dengan baik di tepi telaga Seeouw itu. Kemudian setelah tukar kaizar, kaizar yang baru mencuci penasarannya Ie Kiam itu, dia dianggap berjasa dan dihormati dan anak angkat Ie Kiam diperkenankan mendirikan rumah abu untuk Ie Kiam itu, rumah abu yang diberi nama Sengkong Sie. Maka di samping kuburannya pula ada rumah abunya.

Mendengar itu, Giok Houw mengingat suatu apa, maka ia kata dalam hatinya: "Meski penasaran Ie Kokloo dilampiaskan, sekarang toh anak dan menantunya masih terlunta-lunta, maka itu perbuatan raja ini masih palsu juga!"

Mahasiswa itu lalu bersenandungkan syairnya Ie Kokloo yang memuji keindahan Seeouw, sedang kawannya berkata pula: "Setelah menutup mata, Ie Kokloo dapat bersemayam di Seeouw ini, ia tentu legajuga hatinya."

Diam-diam Giok Houw mengikuti dua orang itu sampai di kuburan Ie Kiam dan rumah abunya, di depan itu, yang merupakan lapangan, ada berkerumun banyak orang, entah apa yang dilihat. Supaya tidak menarik kecurigaan orang. Giok Houw tidak pergi menghunjuk hormat ke kuburan IeKiam itu. iacumamemuji di dalam hati, ia terus menghampiri orang banyak itu, yang ternyata lagi menonton tukang jual silat, rupanya kakak dan adiknya wanita. Mereka itu mau bertanding dengan tangan kosong merebut golok.

Girang Giok Houw melihat dua orang itu, ialah orang-orang yang ia justeru lagi cari. Mereka itu bernama Tjoe Poo dan Tjoe Leng. Mereka pun lantas melihat dia tetapi mereka berlagak pilon.

Dua orang itu memang asal tukang menjual silat, maka bisa sekali mereka berbicara rapi dan hormat, untuk menyenangkan para penonton. Tjoe Poo kata, kalau pertunjukannya bagus dilihat, ia minat dibagi sedikit uang, kalau jelek, ia minta dimaafkan. Setelah itu. ia membacok kepala Tjoe Leng, adiknya.

"Aduh, engko!" si nona menjerit.

"Tega kau membacok aku!..." Tapi ia berkelit sebat sekali, hingga bunga bwee saja yang ditancap di rambutnya ini yang kena terbabat.

Orang banyak kagum, sedang mereka yang mengarti silat, bersenyum, sebab itu dua sedang bergurau.

Lantas keduanya bertempur terus, dengan seru.

"Ah, engko, kau kejam sekali!" kemudian kata pula si nona, si adik, yang terus mencoba merampas golok orang.

Tjoe Poo melawan, ia meloloskan diri.

Mereka bertempur puluhan jurus, sampai banyak mata penonton kabur.

Kembali terdengar si nona menjerit, sebab goloknya sang kakak mengancam, hanya kali ini berkesudahan golok itu kena dirampas nona itu. Nona itu berkata: "Kau tidak berhasil membacok aku!" Ia terus tertawa.

Dan penonton pun pada tertawa, bersorak memuji.

Sambil tertawa Tjoe Poo lantas menghadapi orang banyak, untuk memberi hormat dan mengucap terima kasih.

"Semua tuan memuji kau, lekas kau menghatur terima kasih!" kemudian katanya pada adiknya kepada siapa ia berpaling.

Tjoe Leng melepaskan sepasang goloknya, ia mengambil tetampan sebagai gantinya, sambil membawa itu kepada para penonton, kepada siapa ia pun memberi hormat, ia kata dengan manis: "Terima kasih! Terima kasih!"

Beberapa penonton melemparkan uang ke dalam tetampan itu.

Selagi ucapan terima kasih si nona masih terdengar terus, mendadak seorang yang tubuhnya besar lompat masuk ke dalam gelanggang, untuk menegur Tjoe Poo: "Kan bernyali besar! Kau berani melanggar undang-undang!"

Tjoe Poo heran.

"Undang-undang apakah itu tuan? Benarkah orang dilarang menjual silat?" ia tanya.

"Kita di Hangtjioe melarang itu!" membentak orang itu.

"Tapi sudah beberapa kali kami membuka pertunjukan di sini," kata pula Tjoe Poo. "Banyak penonton di sini yang mengenali kami. Belum pernah aku mendengar ada larangan. Tuan, kau..."

"Perduli apa kau terhadapku!" bentak orang itu. "Akulah yang mengurus kau! Mungkin kau tidak ketahui larangan itu, yang baru diumumkan hari ini!"

"Oh, begitu? Maaf, aku tidak tahu..."

"Tapi dapat kau lantas diberi ampun! Kamu berdua turut aku ke kantor!"

Menduga orang ada orang polisi, Tjoe Poo berkata pula: "Baru hari ini kami datang pula ke mari, benar-benar kami tidak tahu larangan itu, maka itu, Toako, tolong kau maafkan kami..."

"Ya, siapa tidak tahu dia tidak bersalah," kata beberapa penonton. "Toako, kau maafkanlah mereka"

"Tidak bisa!" membentak orang itu.

"Benar-benarkah Toako mau paksa membawa kami ke kantor?" tanya Tjoe Poo. "Kau lihat, kami belum dapat sebanyak satu tail perak! Apa guna membawa kami ke sana? Baik begini saja, uang ini Toako ambil untuk minum teh!..."

Tjoe Poo menunjuk uang saweran.

"Hm, siapakesudian uangmu itu!" kata orang itu, tetap galak. Tapi mendadak dia menyengir dan menambahkan: "Memandang kepada itu nona, baiklah, aku ampunkan kau kali ini! Dengan apa kau akan membalas budi?"

"Budimu ini yang besar tidak nanti kita lupakan." kata Tjoe Poo terpaksa. Bukan main ia menahan sabar.

"Siapa kesudian ucapan terima kasih kosong!"

"Habis Toako menghendaki apa?"

"Aku ingin supaya adikmu ini menjadi budakku selama tiga bulan. Namanya saja budak, sebenarnya tidak nanti aku sia-sia dia! Kau jangan takut! Nona, sukakah kau mengikut aku?" Lalu dengan ceriwis ia ulur tangannya untuk mencolek pipi si nona.

"Plok!" demikian suara keras, dari tangan Tjoe Leng yang melayang ke pipi orang itu, hingga dia kaget dan kesakitan dan menjadi gusar sekali.

"Budak kurang ajar!" teriaknya. "Kau berani memukul aku!" Dia mementang kedua tangannya, menubruk ke arah si nona.

Tjoe Poo tak ingin berselisih, toh ia habis sabar.

"Kurang ajar! Kau berani menghina adikku?" katanya gusar. Dengan tangan kiri menolak tubuh adiknya, dengan tangan kanan ia meninju.

Orang itu menangkis, hingga dua-duanya sama-sama mundur tiga tindak.

"Kurang ajar!" dia mendamprat, terus dia menyerang dengan jurusnya "Harimau hitam mencuri jantung."

Tjoe Poo menangkis dengan jurus "Djie Long memanggul gunung." lalu menyerang pula dengan "Tangan mementil piepee." Tapi orang itu masih dapat berkelit, kembali dia menyerang. Maka itu, mereka jadi bertarung.

Giok Houw menonton, ia heran.

"Kenapa Tjoe Poo tidak dapat mengalahkan orang ini?" pikirnya. "Jangan-jangan orang ini bukan sembarang orang polisi..."

Di tempat ramai itu, tidak dapat Giok Houw sembarang memperlihatkan diri.

Lagi beberapa jurus, pundak Tjoe Poo kena tertinju. Tjoe Leng jadi penasaran, ia mau maju membantu kakaknya itu. Atau ada orang yang mendahului ia. Dari luar kalangan orang itu berlompat masuk, terus dia kata: "Lepas tukang silat ini! Mari bersamaku pergi menghadap soenboe!"

Orang itu muda, giginya putih, bibirnya merah, romannya tampan. Melihat dia itu, Giok Houw girang. Orang adalah Bhok Lin. Pantas dia segera mengajak pergi pada soenboe yaitu gubernur.

"Bhok Lin biasa tidak dapat mencegah mulutnya, aku tak boleh terlihat dia," pikir Siauw Houw Tjoe. Maka ia mencoba menyembunyikan diri.

"Kau siapa, tuan? Kelihatannya mulutmu besar sekali!" kata si orang bertubuh besar itu, yang serangannya gagal. Ia mendongkol.

"Perlu apa kau tahu diriku siapa?" Bhok Lin membaliki. "Kau mau melepaskan orang ini atau kita menghadap soenboe?"

"Hm! Aku justeru menerima titah soenboe untuk menangkap dia!" seru orang itu. "Kau jangan usilan!"

"Jadi kau menerima titah soenboe untuk menghina wanita muda?" kata Bhok Lin tertawa. "Haha! Kalau begitu, tidak dapat aku tidak mengurusnya!"

Orang itu penasaran, ia menyambar pula ke si nona.

Bhok Lin pun tidak tinggal diam saja ia melindungi si nona dengan satu totokannya. Tepat ia mengenai sasarannya, hingga orang itu terkejut. Inilah dia tidak sangka, sebab dia mengira orang muda ini lemah. Dia sengaja menggertak tapi orang tidak kena digertak. Lekas-lekas dia membebaskan sendiri totokan itu. Selagi dia berbuat begitu, tangannya si anak muda melayang ke kupingnya, hingga dia merasakan sakit, kupingnya lantas bengap. Dia pun memuntahkan darah, karena dua giginya rontok. Hajaran ini lebih hebat daripada gamparan Tjoe Leng tadi.

Bukan main gusarnya orang bertubuh besar ini. Ia memang guru silat di kantor soenboe. Tidak tempo lagi, ia menyerang pula. Tangannya yang dijaga Bhok Lin ia telah mendahulukan menarik pulang.

Bhok Lin menghalau serangan itu.

Tjoe Poo hendak membantui tapi Bhok Lin, yang melihatnya, lantas berkata: "Tjoe Toako. jangan kau merusak aturan kaum kangouw! Kalau kita mengepung dia, dia kalah tak puas!"

Mendengar ini, Giok Houw tertawa dalam hatinya: "Baru ia dapat beberapajurus dari soehoe, sekarang dia coba muncul di dunia kangouw. Ah, dia bakal merasakan banyak pahit getir!..."

Mereka lantas bertempur. Benar seperti dugaan Siauw Houw Tjoe, putera Hertog dari Inlam itu lantas keteter. Guru silat dari soenboe ternyata liehay, kalau tadi dia kena digaplok, itulah sebab dia seperti dibokong.

Selagi keadaan kipa itu, orang bertubuh besar itu menyerang semakin hebat. Dia mendesak sangat kepada bagian yang lemah dari hertog muda itu. Ketika kemudian dia menghajar bergantian dengan tangan kiri dan kanan, dan itu disusuli sama satu tendangan, Bhok Lin menjadi kelabakan. Baru dengan menggunai tipu berkelit "Tjoanhoa djiauwsie" ajarannya Sin Tjoe, bisa juga ia meloloskan diri dari rangkain itu di bagian atas, sedang di bagian bawah, ia terus terancam bahaya.

Adalah di saat sangat berbahaya untuk si hertog muda, ada terdengar seruan: "Pouw Loodjie, jangan kurang ajar!"

Seruan itu disusul sama berlompat masuknya satu orang ke dalam kalangan. Dia melompati kepala banyak penonton. Tepat dia menaruh kaki di antara Bhok Lin dan penyerangnya itu, ketika dia menolak, si penyerang lantas roboh terlentang!

Giok Houw heran atas kejadian itu. Orang yang datang sama tengah itu justeru Seng Hay San, adik seperguruan dari Tiat Keng Sim. Tapi yang terlebih aneh lagi adalah munculnyaTjio Boen Wan, isterinya Hay San itu, bersama seorang opsir kelas tiga.

"Toako," kata isteri itu, yang menyesali suaminya, "kenapa kau begini sembrono? Tidak dapatkah kau memisahkan saja? Kenapa kau lantas membuatnya orang roboh?"

Hay San menyeringai, kulit mukanya merah.

"Menyesal, aku terpaksa." sahutnya. "Aku melihat soehoe ini hebat sekali, aku kuatir Bhok Kongtjoe terluka, terpaksa aku menggunai tenaga sedikit besar. Aku tidak menyangka dia tidak, dia tidak..."

Ia tidak meneruskan perkataannya itu, sebenarnya hendak dia meneruskan: "...punya guna."

Orang bertubuh besar itu bangun dengan berlompat. Ia menjadi gusar sekali.

"Kelinci dari mana berani menghina Pouw Toaya?" katanya nyaring, dan ia mengawasi dengan bengis kepada Haj' San. Justeru itu, matanya bentrok sama si opsir kelas tiga, yang berdiri mendampingi Hay San, maka hatinya jadi terkesiap. Dia mengenali orang itu adalah Ong Tjiauw, guru silat di kantor soenboe yang berbareng menjadi tongleng atau komandan dari barisan serdadu pengiringnya soenboe sendiri. Dia bukan sebawahan opsir itu tetapi dia dapat diperintah ia itu. Pula ialah yang tadi menyerukan dia jangan kurang ajar.

Untuk sekejab, Ong Tjiauw memandang bengis kepada sersi itu, habis itu dia tertawa dan mengulurkan tangannya akan mengusap-usap bajunya Bhok Lin, yang penuh debu.

"He, kau bikin apa?" ia menanya.

"Bhok Kongtjoe, kau kaget!" kata Ong Tjiauw tetap tertawa.

Bhok Lin heran.

"Aku tidak kalah, aku kaget kenapa?" ia menanya pula.

Karena tidak dapat muka, Ong Tjiauw memandang pula si orang she Pouw.

"Eh, Pouw Loodjie, tahukah kau siapa tuan muda ini?" ia menanya suaranya bengis. "Dialah Bhok Siauwkongtia, putera dari Bhok Kokkong dari Inlam! Kau tidak mau lekas-lekas menghaturkan maaf?"

Sersi itu menjadi ketakutan, maka juga ketika ia berbicara, suaranya menggetar: "Maaf. Aku yang rendah Pouw Eng, aku mempunyai mata tetapi tidak mengenali gunung Taysan. Siauwkongtia, maaf."

"Aku tidak mau mempersalahkan kau," kata Bhok Lin. "Aku hanya mau minta ini saudara dan adiknya dimerdekakan."

"Boleh, boleh!" berkata Pouw Eng, yang terus memberi hormat pada Tjoe Poo berdua, sedang di atas tetampannya Tjoe Leng ia meletaki sepotong uang perak.

Nona itu tertawa

"Aku toh tak usah lagi menjadi budakmu, bukan? Terima kasih!" katanya jenaka.

Tjoe Poo lantas membenahkan segala alat pertunjukkannya, yang ia gendol di pundaknya.

Melihat pertunjukan sudah berhenti, orang banyak lantas bubaran.

Tjoe Poo tidak membuang tempo, bersama adiknya dia berlalu dengan cepat. Mereka ambil jalan tanah pegunungan. Selagi lewat di samping Thio Giok Houw tadi, ia mengangkat pikulannya tiga kali, memberi tanda rahasianya, tandanya ia berada di Samthian Tiok.

Bhok Lin sendiri sudah lantas belajar kenal dengan Seng Hay San. Ia kata: "Bagus sekali gerakan tanganmu barusan. Bolehkah aku mengetahui she dan namamu yang besar?"

Putera Kokkong ini belum tahu Hay San ialah soetee, adik seperguruan, dari Keng Sim.

"Namaku tidak berharga, tak usahlah dipikirkan." sahut Hay San.

"Inilah Seng Toako," si opsir mengajar kenal. "Ya, ya, ialah sahabatku."

Meski begitu, ia tidak mau menyebutkan namanya Hay San.

Giok Houw heran.

"Seng Hay San dan isterinya adalah pembantu yang diandalkan Yap Toako," pikirnya. "Kenapa mereka berada di kota Hangtjioe ini dan menunjuki diri di tempat umum bahkan bergaul sama opsir tentera kelas tiga? Inilah heran..."

Tentu sekali, di waktu begitu, ia tidak dapat menemui Hay San. untuk minta keterangan, bahkan ia lantas menyingkir dari orang she Seng itu. Ia pergi ke Sengkong Sie, di situ ia pinjam pit dan kertas dari biokong, penjaga rumah abu itu, kemudian ia lekas keluar lagi. Ia melihat Hay San belum jalanjauh. Lekas-lekas ia menulis alamatnya, terus ia meletaki pitnya, kemudian dengan melesaki kopiahnya hingga mukanya tak nampak nyata, ia menyusul dengan larinya limbung, tetapi lekas. Tepat selagi lewat di samping Hay San, hingga tubuh mereka saling bentur perlahan, ia selipkan kertasnya di tangan orang.

"He, kau jalan tanpa mata?" membentak si opsir kelas tiga. Ia melihat orang jalan terhuyung-huyung dan melanggar sahabatnya.

Giok Houw tidak meladeni, sekejab saja ia sudah pergi jauhi menikung di tikungan gunung, hingga opsir itu menjadi heran. Orang bergerak bagaikan bayangan.

"Eh, orang itu seperti aku kenal!" mendadak Bhok Lin berseru. Ia pun melihat orang lewat.

"Tidak bisa jadi!" kata si opsir. "Dia orang tani, mana Siauwkongtia kenal dia?"

Meski begitu, ia agaknya curiga.

Bhok Lin lantas tertawa. Ia ingat sekarang.

"Ya, mataku kabur!" katanya. "Dia mirip budakku. Tentu saja budakku tak dapat datang ke mari."

"Hanya orang dusun itu cepat sekali jalannya..." kata si opsir, yang masih curiga

Giok Houw sendiri melintasi Lengin Sie, dari barat ia mendaki bukit, untuk pergi ke Thianboen San, di mana di sekitarnya banyak puncak, yang umumnya disebut gunung Thiantiok San. Itulah gunung yang menjadi pusat dari dua cabang gunung selatan dan utara dari pegunungan di Seeouw itu.

Samthian Tiok adalah nama gabungan dari Siangthian Tiok, Tiongthian Tiok dan Heethian Tiok, ketiga kuil yang berada terpisah di dalam rimba lebat di gunung Thiantiok San. Tjoe Poo mengangkat pikulannya tiga kali, yang dua kali rendah, yang satu kali tinggi, itulah isyarat hahwa ia tinggal di dekat kuil Tiongthian Tiok. Mulai dari kuil Lengin Sie, ke sana Giok Houw menuju. Ia mendaki gunung, melintasi puncak Hoatin Hong, naik pula di bukit Hongsie Nia, terus ke puncak Tiongin Hong, sampai di Heethian Tiok. Dari sini ia jalan kira seratus lie, baru tibalah ia di Tiongthian Tiok, atau kuil Thiantiok Sie Tengah. Di tanah pegunungan ini, pepohonan tinggi-tinggi,

pemandangan alam indah. Dari depan Tiongthian Tiok dapat dipandang puncak Goatkoei Hong dari mana tersiar harumnya bunga koei, sedang bunga-bunga liar tersebar di sana sini.

Menyaksikan keindahan alam yang mentakjubkan itu. Giok Houw pikir: "Hangtjioe benarlah daerah yang indah permai, dialah sorga di muka bumi. Pantas Ie Kokloo telah memesan untuk dikubur di tepinya telaga Seeouw."

Giok Houw berjalan di rimba di belakang kuil, tidak lama ia menemui sebuah rumah yang di tembok tanahnya ada dilukiskan sebuah bundaran. Ia menghampirkan rumah itu. Baru ia hendak mengetok pintu atau Tjoe Poo berdua adiknya sudah muncul.

"Tadi hampir terbit onar!" kata kawan ini tertawa. "Apakah Totjoe tidak terlihat siapa juga?"

"Tidak," sahut orang yang ditanya, yang sebelumnya bertindak masuk menggusak dulu tanda bundaran itu.

Setelah berduduk, mereka memasang omong. Nyatalah Tjoe Poo dan adiknya telah mendapat tahu adanya larangan dari wedana dari Hangtjioe, yang dilarang bukan cuma pertunjukan silat hanya segala macam pertunjukan lainnya dari orang kaum kangouw sampaipun segala tukang sulap dan lainnya lagi. Tjoe Poo tahu Giok Houw bakal sampai, dia memilih muka kuburan Ie Kokloo untuk membuka pertunjukannya itu. Dia sengaja tidak memperdulikan larangan itu.

Giok Houw heran atas larangan itu.

"Kenapa kota Hangtjioe mengadakan larangan sekeras ini?" pikirnya. "Kenapa orang kangouw dijaga begini keras? Apakah telah terjadi sesuatu? Aku mesti memperhatikannya."

Lantas ia menanyakan halnya bingkisan dari Tjiatkang.

"Untuk itu telah diundang dua guru silat kenamaan," sahut Tjoe Poo. "Cuma sampai sekarang, barang belum diberangkatkan, entah apa sebabnya."

"Siapakah kedua pelindung itu?"

"Yang satu ialah Djitgoat Loen Touw Kong dan yang lainnya Imyang Tjioe Tie Pa," menyahut Tjoe Poo.

"Untuk dunia kangouw, mereka itu tergolong kelas satu," berkata Giok Houw. "Kalau soenboe telah mengundang mereka, kenapa keberangkatannya bingkisan diperlambat? Ah, jangan-jangan dia menggunai akal. Terangnya jalan di Tjiantoo, diam-diamnya

menyeberang di Tintjhong.' Dia sengaja mengundang kedua guru silat itu sebagai pelabi, agar orang mengetahui merekalah si pelindung, tetapi sebenarnya dia telah memakai lain orang dan barangnya sudah diberangkatkan..."

"Ini tidak mungkin," menjelaskan Tjoe Poo. "Aku telah mengunjungi pangtjoe dari ketiga partai Hayyang Pang, Tjengko Pang dan Tjiehoay Pang, mereka itu banyak kupingnya, semua perahu dan kereta di dalam dan di luar kota Hangtjioe merekalah yang menguasainya tetapi mereka tidak pernah melihat orang yang mencurigai meninggalkan kota Hangtjioe. Juga menurut Pangtjoe dari Tjiehoay Pang, di antara barang hadiah itu ada sebuah sekosol kumala untuk mengukir mana baru dua hari yang lalu soenboe mengundang beberapa tukang ukir yang pandai untuk mengerjakannya."

"Raja naik di tahta sudah hampir tiga bulan, cara bagaimana hadiahnya masih belum di kirimkan?" kata Giok Houw. "Kalau begitu, terpaksa kita mesti menanti tibanya dua sahabatku untuk minta keterangan dari mereka, mungkin tahu apa-apa mereka tentang ini."

"Siapakah itu yang dijanjikan. Totjoe?"

"Dialah yang tadi memisahkan pertempuran. Dialah adik seperguruannyaTiat Keng Sim."

Tidak adajalan lain, mereka lantas menantikan. Sampai magrib, orang yang ditunggu itu belum juga muncul. Kemudian ada terdengar siulan halus.

Giok Houw segera membukai pintu.

"Kenapa baru sekarang kamu datang?" ia menanya.

Itulah SengHay San dan isterinya. Mereka menemui dulu Tjoe Poo kakak beradik.

"Siauwkongtiaitu lucu," kataHay San. "Dia menanyakan aku panjang lebar, dia malah minta aku memberi petunjuk tentang ilmu silat. Maka itu, aku memerlukan waktu untuk dapat meloloskan diri."

"Memang begitu adatnya Siauwkongtia!" kata Giok Houw tertawa. "Kalau, tidak begitu, aku pun tidak nanti menjadi sahabatnya."

Lantas mereka berduduk.

"Siauw Houw Tjoe," kata Tjio Boen Wan. "Eh, salah, sekarang kaulah Tjongtotjoe! Ketika pertama kali aku bertemu denganmu, kaulah seorang kacung yang nakal sekali. Sekarang?

Kaulah si pemimpin utama perampasan barang-barang hadiah untuk raja! Sungguh, seorang Enghiong asalnya ialah si orang muda! Tidak kecewa kau menjadi adik seperguruan dari entjie Ie kami!"

"Apakah entjie Ie baik?" Giok Houw tanya.

"Baik! Ia bersama Yap Toako ketahui kau mengusahakan perampasan barang bingkisan itu, mereka berterima kasih, kepadamu. Hanya sayang bingkisan dari Tjiatkang, tidak dapat kau merampasnya."

Giok Houw heran.

"Kenapa?" dia menanya. "Apakah mereka hendak turun tangan sendiri?"

"Bukan, mereka hanya tidak mau merampas. Bahkan melarang lain orang merampasnya."

Giok Houw menjadi bertambah heran.

"Tidakkah dengan begitu mereka menjadi pelindungnya soenboe dari Tjiatkang?"

"Begitulah kira-kiranya. Hanya ada satu batasnya, ialah batas laut Tanghay."

"Ah, mengapa begitu?" Giok Houw tanya untuk ke sekian kalinya

"Kau dengar keteranganku," berkata Seng Hay San. "Selama beberapa tahun ini, pekerjaan kita sulit sekali. Di satu pihak kita mesti menangkis perompak kate, di lain pihak kita mesti juga melayani tentera air dari pemerintah. Bukankah kau pun ketahui itu? Tapi paling belakang ini Thio Soenboe dari Tjiatkang itu secara rahasia telah mengutus orangnya kepada kami, mengajaki membuat suatu perjanjian."

"Inilah aneh!" Giok Houw tertawa "Bukankah soenboe itu hendak melakukan suatu tukar menukar dengan kita? Perdagangan apakah itu?"

"Memang! Mulanya kita pun heran. Kemudian ternyata dia minta supaya kita melindungi barang bingkisannya sampai di kota raja dengan selamat. Untuk itu dia berjanji, selama satu tahun dia tidak bakal menyerang kita."

Giok Houw menggeleng kepala.

"Cuma satu tahun?" tanyanya. "Hm! Jual beli itu tidak dapat dilakukan!"

"Tetapi Yap Toako kami telah menerimanya!" berkata Seng Hay San.

"Yap Toako terlalu jujur, kali ini ia salah menghitung!" kata Giok Houw.

"Yap Toako mempunyai hitungan lain," Hay San menerangkan. "Ia kata kita setiap tahun telah dipaksa bertempur dengan tentera negeri, dari kedua pihak mesti ada yang binasa imbangannya yaitu kita satu. pihak tentera sepuluh. Itulah imbangan setiap kali bertempur. Kalau dijumlah satu tahun, kematian dikedua pihak ialah beberapa ribujiwa. Menurut Yap Toako. kematian mereka itu sangat kecewa!"

"Mereka itu?" Giok Houw mengulangi. "Kau hendak mengatakan..."

"Benar! Dengan mereka itu Yap Toako maksudkan orang pihak kita berikut tentera negeri itu. Menurut toako serdadu negeri juga ada sama-sama bangsa kita Kita saling bunuh di antara bangsa sendiri, itulah terlalu menyedihkan. Setiap tahun telah terbinasa beberapa ribu jiwa. Alangkah baiknya jikalau mereka itu dapat dicegah kematiannya dan tenaganya dipakai untuk bersama-sama menangkis penghinaan dari luar?"

Giok Houw tertawa dingin.

"Tetapi pihak pembesar negeri tidak berpikir secara demikian! Mereka memandangnya dari sudut lain!"

"Yap Toako membilang juga, umpama kata mereka tidak dapat dipakai menangkis penghinaan dari luar, asal jiwa mereka dapat diselamatkan, itu masih lebih menang daripada mereka membuang jiwa secara sia-sia. Laginya dengan bertempur sama tentera negeri, meski juga perbandingan kerugiannya ada satu lawan sepuluh, di pihak kita tetap ada yang berkurban jiwa. Itu artinya kerugian yang sangat tidak berarti! Makajuga Yap Toako kata kalau pihak pembesar mau berjanji tidak berperang selama satu tahun, artinya mereka tidak, datang menyerang, itu berarti kita mendapat keringanan tak kehilangan beberapa ribu jiwa. Barang permata ada harganya, jiwa manusia tidak! Jiwa manusia tak tertaksirkan harganya! Kita memberi pinjam jalanan, kita membiarkan pengangkatan barang bingkisan lewat di wilayah kita. Dengan memberi jalan, kerugian kita cuma beberapa laksa tahil perak harganya barang-barang bingkisan itu. sebaliknya kita dapat menolong beberapa ribu jiwa manusia. Nah, bagaimana kau bisa bilang sikap kita ini tak dapat diambil?"

Giok Houw berdiam sekian lama, lantas dia menepuk meja.

" Yap Toako sangat mulia hatinya, aku kalah!" serunya, "Dialah baru satu orang gagah yang budiman! Nyatalah kalau begini bagaimana cupatnya pandanganku."

"Kalau begitu Thio Siauwhiap," menegaskan Hay San, "kau toh meluluskan, berjanji tidak akan merampas barang-barang bingkisan negara itu?"

Anak muda itu tertawa

"Aku masih akan merampasnya!" jawabnya.

Hay San heran hingga ia mementang lebar matanya.

Giok Houw tertawa.

"Tetapi aku tidak akan membikin sulit pada Yap Toako," ia menambahkan. "Bukankah kan telah membilang bahwa Yap Toako cuma memberikan tanggungannya selama barang hadiah itu masih berada di dalam bilangan laut Tanghay?"

"Benar. Karena daerah itu ialah daerah laut di mana kita dapat berkuasa. Selewatnya Laut Kuning maka itu ialah bilangannya beberapa rombongan bajak lainnya, tidak leluasa untuk pihak kita turut mencampurinya. Sebenarnya Soenboe dari Tjiatkang itu mempunyai hitungannya sendiri yang dia jerikan adalah Yap Toako. Pihaknya beberapa rombongan bajak itu tidak dilihat mata. Soenboe pun telah mengundang dua piauwsoe yang ilmu silatnya liehay..."

"Aku sudah tahu," berkata Giok Houw. "Kedua piauwsoe itu ialah Djitgoat Loen Touw Kong si Roda Matahari Rembulan serta Kimkong Tjioe Tie Pa si Tangan Arhat."

"Touw Kong bersama Tie Pa itu bukan melainkan ilmu silatnya liehay juga mereka pandai berenang dan selulup," Seng Hay San menjelaskan. "Untuk membawa bingkisan itu. soenboe telah menggunai sebuah perahu perang besar yang dia ambil dari pasukan laut negara. Katanya anak buah perahu perang itu terdiri dari tiga ratus tukang panah pilihan serta perahu perangnya diperlengkapi dengan meriam panah. Maka cobalah pikir, mana kawanan perompak biasa dapat mendekati mereka?"

"Kapankah keberangkatannya perahu perang itu?"

"Sebentar malam jam empat. Mungkin setelah terang tanah, dia akan sudah muncul di permukaan laut. Thio Soenboe sangat berhati-hati.

Teluk Hangtjioe termasuk wilayah angkatan lautnya tetapi karena kuatir nanti ada bahaya, ia mau keluar dari wilayahnya itu sebelum fajar."

"Malam ini jam empat aku menghendaki sebuah perahu." kata Giok Houw pada Tjoe Poo. "Apakah di antara tukang-tukang perahu di Seeouw ada orang kita?"

"Ada." menjawab Tjoe Poo. "Dari tepi jembatan Seeleng Kio. kalau kita maju ke kiri, kita menghitung pohon yanglioe yang ketiga, perahu di bawah pohon itu ialah perahu orang kita. Anak buahnya bernama Thio Hek. Dia kata dia kenal totjoe."

"Bagus, aku menghendaki perahunya dia itu!"

"Eh, Thio Siauwhiap," tanya Seng Hay San, "apakah benar-benar kau hendak merampas perahu bingkisan itu? Ada situ hal yang aku belum memberitahukan kepada kau. Yap Toako bilang, karena semua bingkisan dari pelbagai propinsi hendak dirampas menurut keputusan rapat umum orang-orang gagah, mengenai itu ia telah memikirnya. Ia mengerti, karena ia melindungi bingkisan dari Tjiatkang ini pihak kamu tentulah tidak merasa puas, sebaiknya, apabila kamu berhasil, sebagian dari hasil usaha kamu pasti bakal dibagi separuh kepadanya berhubung dengan itu. ia hendak memberi penjelasan, katanya sekarang juga ia menganggapnya ia sudah menerima bagiannya itu untuk mana ia menghaturkan terima kasihnya. Mengenai ini Yap Toako sudah omong jelas dengan semua saudara kita dan semua saudara menginsafinya dan rela akan tidak menerima bagian beberapa laksa tail itu. bahwa mereka relajuga hidup lebih menderita dari sebagaimana seharusnya asal tidak usahlah terjadi kehilangan beberapa ribu jiwa manusia. Thio Siauwhiap, Yap Toako telah memikir demikian jauh, dapatkah kau memberi sedikit muka kepadanya?"

Thio Giok Houw tertawa.

"Di samping itu kau harus ketahui, umpamakan aku tidak merampasnya, ada lain orang yang akan merampas juga. Tapi kau jangan kuatir, tetapkan hatimu! Telah aku bilang bahwa aku tidak bakal membikin sulit Yap Toako, inilah aku akan jaga baik-baik. Aku memikirnya merampas sebelumnya perahu pengangkut itu keluar dari teluk Hangtjioe. Atau jikalau perahu itu sudah keburu lewat, aku akan menyusulnya aku nanti turun tangan sesudah dia keluar dari wilayah laut Tanghay."

Seng Hay San berpikir. Kemudian ia kata: "Dengan begitu, meskipun pihak pembesar negeri tidak dapat menyesalkan Yap Toako, peristiwa toh menjadi peristiwa juga!"

"Tidak!" kata Giok Houw. "Baiklah kau mengerti, kalau aku berhasil merampasnya, bingkisan itu tetap aku akan peserahkan kepada Yap Toako. hingga ada terdapat alasan bahwa Yap Toako sudah merampasnya kembali. Bahkan dengan begitu, usaha kau ini jadi berharga lebih besar lagi. kau dapat menaiki harga, umpama pihak pembesar negeri itu dipaksa supaya dia tidak menyerang Yap Toako selama tiga tahun!"

Hay San mendengar alasan orang itu dan keputusannya pun telah menjadi keputusan, setelah berpikir sebentar, ia tidak mau mencegah lagi. Ia hanya tanya: "Kabarnya semua bingkisan dari propinsi Tiangkang ke selatannya kaulah yang mengepalai perampasannya, benarkah itu?"

Giok Houw tertawa ketika ia memberikan penyahutannya: "Juga yang di Tiangkang dan utaranya, sampai di wilayah sungai Honghoo, aku hendak merampasnya. Tugas yang diberikan hanya tugas belaka berlebihan sedikit tidak ada soalnya. Umpama kata Kimtoo Tjeetjoe Tjioe San Bin hendak pergi merampas bingkisan ke Selatan, mustahil aku dapat tidak mengijinkannya?"

"Kimtoo Tjeetjoe mana ada tempo luang untuk pergi merampas ke Selatan?" kata Hay San. "Kau barusan membilang, jikalau kau tidak merampas, ada lain orang yang bakal merampasnya. Pasti orang itu bukannya Kimtoo Tjeetjoe, bukan?"

"Pasti bukan!"

Hay San menjadi heran.

"Siapakah dia?" tanya ia. "Benarkah dia bukannya orang dari pihakmu?"

"Adakah kau kenal satu nona semacam begini?" Giok Houw balik menanya. Ia melukiskan potongan nona itu, tinggi dan romannya, la menanya halnya si Nona Liong.

"Aku tidak kenal dia. Ah. mungkin kakakmu seperguruan mengenalnya. Dalam satu dua hari ini kakak seperguruanmu itu bakal tiba di sini, baiklah kau menantikan dia, untak minta keterangannya."

"Tidak dapat aku menunggu dia!" kata Giok Houw tertawa. "Biarlah nanti, habis merampas, aku datang menemui kakakku itu."

Habis bersantap malam, setelah beristirahat sebentar, belum lagi jam tiga. anak muda ini sudah pamitan, untuk berlalu dengan cepat.

Hay San dan isterinya tidak turut, mereka berdiam terus di rumah Tjoe Poo.

Belum Lama Thio Giok Houw sudah sampai di tepi Seeouw atau Telaga Barat. Ia dongak melihat langit, ia mendapatkan rembulan ada di tengah-tengah, menjadi masih ada waktu untuknya.

"Aku belum pergi menyambangi kuburan le Kokloo, untuk mengunjuk hormatku." ia berpikir. "Justeru masih ada tempo dan malam sunyi, baik aku pergi ke sana dulu".

Oleh karena ini. ia tidak lantas mencari perahu dulu hanya pergi ke bukit Samtay San di mana berada kuburannya Ie Kiam.

Malam itu rembulan indah sekali. Justeru itu di otaknya Giok Houw berpeta romannya Nona Liong yang cantik, yang sepak terjangnya membuat ia heran dan kagum. Ia mengelamun: "Coba aku bisa berdiam bersama ia dengan memain perahu di malam indah seperti ini, bagaimana menariknya..."

Di malam seperti itu, di tep'ian Telaga Barat itu pula ada seorang lain yang keisengan seperti pemuda she Thio ini. Dialah Tiat Keng Sim, koenma atau menantunya Bhok Kokkong dari Inlam. Bahkan dia kelelap lebih dalam daripada Giok Houw, ia lagi memikirkan peristiwa-peristiwa yang telah lalu...

Rumah tua dari Keng Sim ini berada di tepian telaga itu. Mengenai rumahnya itu, ada satu urusan yang ia sukar untuk melupakannya. Itulah bukan sebab di rumah itu ia telah melewatkan masa kanak-kanaknya yang menggembirakan, juga bukan karena itulah rumah tua warisan ayahnya, hingga ia dapat teringat kepada ayahnya yang jujur, hanya di rumahnya itu pernah satu malam Ie Sin Tjoe menumpangnya. Dan adalah malam itu, oleh karena Sin Tjoe mendapat tahu ia telah membocorkan rahasia tentera rakyat, si nona berlalu dengan diam-diam dengan cuma meninggalkan surat...

Malam itu, untuk Keng Sim. dirasai pahit-pahit manis. Sudah tujuh tahun ia menikah tetapi peristiwa itu belum pernah lenyap dari otaknya, ia masih merasa tersiksa karenanya Ini sebabnya, dalam perjalanan ke Pakkhia ini bersama Bhok Lin. sang engkoe atau iparnya itu, mesti ia mau singgah di kota Hangtjioe ini, supaya ia bisa tinggal dua malam di rumahnya, supaya ia dapat memimpikan pula peristiwa yang berkesan dalam itu. Ia seperti ingin mengicipi pula impian yang getir tetapi manis itu, yang telah lenyap...

Semenjak Keng Sim pergi ke Koenbeng di mana iamenjadi koenma, menantu hertog, rumah tuanya ini telah dipercayakan kepada satu bujang tua yang jujur. Segala apa di rumah itu masih tetap seperti dulu hari itu, tidak ada satu yang dirobah. Kamar tulis tidak kacau, tamannya terawat baik, bunga mawarnya seperti musim-musim semi terdahulu, tetap berpusu. Begitu ia sampai di rumahnya, lantas ia ingat suratnya Sin Tjoe. Sekarang ia kembali berada di rumahnya ini.

Demikian di dalam dua hari. Keng Sim terus seperti tenggelam dalam kenang-kenangannyayang lama, yang manis tetapi juga pahit, kecuali satu kali bersama Bhok Lin ia pergi menyambangi Thio Kie, soenboe dari Tjiatkang. ia lebih banyak mengeram diri di dalam rumah. Telaga Barat berada di dampingnya, ia tidak ketarik untuk melihatnya. Ia telah kehilangan kegembiraannya.

Bhok Lin tidak puas dengan sikap tjiehoe-nja itu, ia tidak mau terus menerus menemaninya, maka itu seharian suntuk, ia pergi seorang diri pesiar, maiah ada kalanya ia pulang sampai malam. Dengan begitu, selama dua hari, ia telah menjelajah telaga yang kesohor itu.

Demikian malam itu-sudah jauh malam-ia pulang untuk memberitahukan Keng Sim bahwa tadi siang ia telah menghadapi peristiwa di depan kuburannya Ie Kiam itu di mana ia telah menolong! dua tukang jual silat, kakak dan adiknya perempuan. Ia pun melukiskan roman dan potongan tubuhnya orang yang malang sama tengah, untuk mendamaikan peristiwa itu.

"Apakah dia bukannya Seng Hay San. adik seperguruanku?" Keng Sim menduga-duga

Begitu ia ingat Hay San, begitu ia ingat Sin Tjoe, maka kembali ia berduka Tanpa merasa ia menarik napas.

Bhok Lin heran.

"Kenapa kau berduka, tjiehoe?" tanya ini ipar.

"Tidak apa-apa," menyahut tjiehoe itu. "Untukku susah akan pulang ke rumahku ini. sekarang kita berada di sini, mengingat bahwa aku bakal lantas meninggalkannya pula, aku terharu sendiri...

Ipar itu mau percaya keterangan itu. Ia tertawa.

"Kalau entjie ketahui lagakmu ini, entjie bisa menegur kau, kau tahu?" katanya. "Apakah rumah kita bukan rumahmujuga?"

Keng Sim mengangguk.

"Begitu memang benar." sahutnya.

"Sekarang aku mempunyai satu kabar yang bagus." sang ipar berkata pula, "maka tak usahlah tjiehoe saban-saban menghela napas.

"Kabar apakah itu?"

"Soenboe mempunyai sebuah perahu yang bakal berangkat ke Thiantjin, dia telah menyanggupi untuk mengajak kita menumpang di atas perahu itu. Seumurku, aku belum pernah melihat laut, maka itu kali ini aku memperoleh ketika untuk memandangnya. Dengan begini juga kita menjadi menghimat waktu."

"Kapankah perahu itu bakal berangkat?"

"Sebentarjam empat. Sebelum jam tiga akan ada orang yang memapak kita."

Keng Sim berpikir sebentar.

"Naik perahu pun baik." katanya singkat. Ia tunduk pula, ia berpikir lagi.

"Tak tega meninggalkan rumah?" kata Bhok Lin tertawa.

"Tidak, hanya aku tidak sangka bahwa kita bakal berangkat begini cepat..." sahut tjiehoe itu. "Biar aku melihat dulu telaga, hendak aku pergi ke bukit Kouwsan untuk memetik dua tangkai bunga bwee."

"Aku turut!"

"Kau sudah keluar satu harian, baiklah kau beristirahat," kata sang tjiehoe tertawa. "Sekarang sudah jam dua lewat. Bukankah kau bilang Thio Soenboe akan menyambut jam tiga? Maka itu baiklah kau menantikan di sini."

"Tjiehoe, kau aneh sekali!" kata ipar itu. "Sekian lama kau mengeram diri di dalam rumah, tiba saatnya hendak berangkat kau lantas ingin memandangi telaga! Baiklah, karena aku sudah pesiar cukup, biar aku berdiam di rumah, biar kau menggantikan aku keluar!"

Keng Sim lantas bertindak keluar. Ia tidak pergi ke Kouwsan untuk memetik bunga seperti keterangannya tadi hanya langsung ia menuju ke kuburan dari Ie Kiam. Ia kata dalam hatinya: "Aku telah pulang ke Hangtjioe ini, sudah selayaknya aku menyambangi kuburan ayahnya..."

Berjalan di tepi telaga, Keng Sim mendapatkan air telaga tenang sekali dan jernih, indah dengan cahayanya si Puteri Malam. Maka itu ingatlah ia pada saatnya ia bersama Sin Tjoe bermain perahu di sungai yang disebut laut Djiehay di Tali. Ia merasa, selama ini beberapa tabun, hidupnya sendiri mirip dengan air telaga Seeouw ini, yang tenang, indah dan manis, hanya toh, ada sesuatu kekurangannya...

Tanpa merasa tibalah Keng Sim di bukit Samtay San. Segera ia mendekati kuburannya le Kokloo. Tiba-tiba ia merandek. Ia mendengar tangisan yang perlahan. Ia lantas memasang mata.

Di depan kuburan Ie Kokloo ada mendekam seorang wanita. Dialah yang lagi menangis itu. Tetapi dia berkuping tajam, dia mendengar suara tindakan orang, segera dia menoleh.

Sinar mata mereka berdua lantas bentrok satu dengan lain.

Hampir Keng Sim tidak percaya kepada matanya sendiri. Nona itu ialah Ie Sin Tjoe, yang justeru ia buat kenang-kenangan...

Keduanya saling berdiam hingga sekian lama, hati si koenma berdebaran.

"Ah!" Sin Tjoe mulai bicara "Aku tidak menduga akan bertemu denganmu di sini! Apakah selama beberapa tahun ini kau baik-baik saja?"

"Baik!" sahut Keng Sim singkat. "Kau sendiri?"

Sin Tjoe tertawa.

"Di dalam beberapa tahun ini aku terus bertempur di dalam gelombang," sahutnya. "Bukankah kau telah melihatnya bahwa kulit mukaku telah menjadi sedikit hitam?"

Keng Sim mengawasi. Benar katanya nona itu-ah, si nyonya muda...

"Penghidupanku pastilah tidak akan ada sedamai penghidupanmu," kata pula Sin Tjoe. "Hanya, tentang penghidupan senang atau tidak, itulah bergantung sama pandangan setiap orang, yang mempunyai pengl ihatannya masing-masing..."

Keng Sim berdiam sekian lama.

"Kau benar." bilangnya sesaat kemudian. "Memang pandangan hidupmu beda dengan pandanganku."

Sin Tjoe menyusut air matanya. Ia bersenyum.

Keng Sim menghela napas.

"Dengan berani kau datang ke mari. adakah itu cuma untuk menyambangi kuburan ayahmu?" ia tanya.

Sin Tjoe tertawa sebelumnya ia menyahuti.

"Mustahilkah untuk hanya memandangi keindahan sang malam dari Seeouw?" sahutnya. "Sekarang ini, setelah usia bertambah, aku tidak ada seperti kau, kau tetap masih mempunyai sifatmu yang gemar bersyair."

Sin Tjoe ada mempunyai lainnya urusan, tetapi ia tidak hendak memberitahukannya kepada itu menantu dari raja muda dari Inlam.

Semasa belum bertemu sama Nona Ie, Keng Sim berkeinginan keras untuk dapat menemuinya dan ia telah memikir, banyak yang ia hendak bicarakan atau utarakan kepada nona itu, akan tetapi sekarang, setelah ia berhadapan sama orangnya sendiri —— dalam ini cara tiba-tiba --- semua itu seperti lenyap sendirinya. Ia merasa bahwa ia dan Sin Tjoe asing satu dengan lain, hingga tidak dapat ia bicara dengan merdeka. Maka itu, ia lebih banyak berdiam.

Sin Tjoe sebaliknya, ia agaknya biasa saja.

"Dan kau?" ia menanya sambil bersenyum. "Apakah kau datang ke mari sengaja untuk menyambangi kuburan ayahku ini?"

Mukanya koenma itu menjadi merah.

"Aku ini tengah mengantar barang bingkisan dari Inlam," ia menjawab terus terang. "Sekalian lewat di Hangtjioe ini, aku mampir, aku datang ke mari untuk menghunjuk hormat kepada arwah ayahmu."

"Oh, begitu!" kata Sin Tjoe agak terperanjat. "Kiranya kau pembesar yang berpangkat tinggi yang lagi mengantar barang bingkisan! Sungguh pertemuan kita ini pertemuan yang kebetulan!"

Keng Sim menyeringai.

"Hanya sayang," katanya, "aku berangkat belum ada setengah jalan, barang bingkisanku itu telah dirampas orang!"

Sin Tjoe nampak heran.

"Mustahilkah Siauw Houw Tjoe tidak memandang muka sedikit juga kepadamu" tanyanya. "Habis, kau gusar atau tidak? Apakah kau menghendaki aku membantu padamu?"

Sebenarnya Sin Tjoe dan Yap Seng Lim telah memesan kepada Siauw Houw Tjoe. kalau pengantar barang bingkisan propinsi Inlam itu Keng Sim adanya koenma ini boleh dikasi lewat, maka itu sekarang Sin Tjoe heran, menyangka Siauw Houw Tjoe tidak mentaati pesan mereka

"Jikalau Siauw Houw Tjoe yang merampas, itu masih ada harganya," kata Keng Sim, menyahuti. "Sayang bukannya."

Sin Tjoe benar-benar heran. "Apakah artinya ini?" ia menanya "Aku tahu bahwa dia merampas itu, sebagian untuk kamu," berkata Keng Sim. "Sebenarnya, sampai di saat ini, aku kurang menyetujui sepak terjang kamu itu, tetapi toh aku mengarti, barang berharga itu bukan untuk kamu pribadi. Kamu menginginkan itu, apa aku bisa bilang? Maka kalau barang itu jatuh di tanganmu, aku bilang ada harganya juga"

Alisnya Sin Tjoe memain.

"Pandangannya Keng Sim ini sudah berubah sedikit," pikirnya. Lantas ia menanya: "Habis, siapakah itu yang merampas barangmu?"

"Seorang wanita," Keng Sim menjawab. Dan ia mempetakan romannya nona perampas itu, si Nona Liong.

"Oh, kembali dunia kangouw mempunyai seorang nona yang demikian gagah?" kata Sin Tjoe heran. "Sungguh, buruk sekali pendengaranku..."

Mendengar perkataan nyonya muda ini, Keng Sim masgul sekali. Ia percaya, seperti kepercayaannya Siauw Houw Tjoe, Sin Tjoe akan kenal atau mengetahui Nona Liong itu, siapa nyana, dia tidak tahu. Maka ia menjadi putus asa.

Selang sesaat. Sin Tjoe menanya:

"Sudah beberapa tahun kau tinggal di Inlam, apa selama itu pernah kau melihat guruku?"

"Belum. Adalah Bhok Lin, yang secara diam-diam pernah pergi satu kali ke Tali."

"Aku sampai melupakan kedudukanmu!" berkata Sin Tjoe tertawa. "Kaulah menantu Bhok Kokkong, dengan begitu tidaklah cocok untukmu pergi ke gunung Tjhongsan untuk menemui guruku."

Mukanya Keng Sim menjadi merah pula

"Dengan sebenarnya, aku kangen dengan Tali." katanya "Ketika dulu hari kita main perahu di laut Djiehay, kenang-kenangannya sekarang masih seperti berpeta di depan mararEh, aku sampai lupa! Apakah Yap Toako baik-baik?"

"Terima kasih, ia baik," menjawab Sin Tjoe. "Dia tetap seperti dulu, setiap hari repot dan tidak mau beristirahat. Kau ketahui sendiri, gelombang dari laut Tanghay jauh lebih besar daripada gelombangnya laut Djiehay."

"Yap Toako itu sungguh beruntung!" berkata Keng Sim. "Dengan adanya kau membantu dia biarnya angin dan gelombang lebih besar lagi, dia tentu dapat menghadapinya dengan gembira."

"Kau benar juga," Sin Tjoe bersenyum. "Memang dia sendiri dapat melayaninya, akan tetapi kalau ada lebih banyak orang bekerja sama dengannya, itulah terlebih baik lagi, dia pasti lebih berani pula. Kau pun beruntung, di sana ada entjie Bhok Yan yang sangat baik terhadapmu."

Keng Sim agaknya likat.

"Memang Bhok Yan baik sekali terhadap aku," ia menyahut kemudian. "Mulanya aku menyangka dia tidak bakal mengijinkan aku melakukan perjalananku ini. tetapi dia membiarkannyajuga. Dia pun sangat kangen kepadamu."

"Begitu?" Sin Tjoe kata. "Sayang, aku kuatir aku tidak bakal mempunyai ketika untuk melihat dia. Kau saja tolong menyampaikan teri ma kasihku yang dia memikirkan aku."

Keng Sim mengangguk, hatinya tidak keruan rasa. Benar-benar ia ingin bicara banyak akan tetapi tidak dapat, ia seperti kehabisan omongan. Tapi ia masih memikir dengan cara bagaimana ia dapat mencegah bekas kekasih itu nanti berlalu dari hadapannya ini. Justeru itu mendadak Sin Tjoe membungkuk, mulutnya mengeluarkan bentakan dan tangannya terayun, menyambarkan dua bunga emasnya, atau kimhoa, yang mana disusul sama suara seperti tubuh orangjatuh terbanting.

"Ada pembokong!" Keng Sim berseru seraya lantas lari ke arah dari mana datang suara roboh itu. hingga di sana ia melihat seorang boesoe. atau guru silat, rebah pingsan di tanah, alis dan kumisnya bangun berdiri. Tidak ada tandanya bahwa orang itu terluka.


"Heran!" kata Sin Tjoe. yang matanya mendelong.

Keng Sim mengikuti tujuan sinar mata wanita muda itu. Di kakinya orang yang roboh itu ada menggeletak sebuah bunga emas. Sekarangpun terlihat baju orang robek di betulan pinggang, seperti bekas terobek bunga emas, hingga terlihat senjatanya ialah sepasang Djitgoat loen atau roda matahari rembulan.

Lagi sekali Keng Sira memeriksa, ia tetap tidak mendapatkan luka apa-apa. Maka itu ia menjadi heran dan hatinya tegang sendirinya. Terang bunga emas Sin Tjoe mengenai senjata model matahari dan rempulan itu dan jatuh sendirinya. Kalau bunga emas tidak melakukannya habis siapa yang menghajar roboh boesoe itu?

Sin Tjoe tidak berkata suatu apa hanya matanya mencari, maka juga lekas ia menemui bunga emasnya yang lainnya, yang menggeletak dekat sebuah thielian tjie atau biji teratai besi. Setelah itu barulah ia berkata: "Orang ini dapat menggunai senjata yang langka di dalam kalangan kangouw, ialah sepasang Djitgoat loen, mestinya kepandaiannya tidak sembarang. Kenapa tidak keruan-keruan dia membokong kita?" Baru dia kata begitu atau sambil memandang ke popohonan lebat di sampingnya ia kata dengan nyaring: "Orang pandai siapa telah membantu aku secara diam-diam. aku minta sukalah datang ke mari untuk kita bertemu!"

Tidak ada jawaban untuk perkataan itu, melainkan angin halus mendesis membuatnya cabang-cabang bunga bergoyang.

Di dalam halnya ilmu kepandaian senjata rahasia, Ie Sin Tjoe telah menyampaikan tarap dari seorang liehay kelas satu, maka itu. biarpun suaranya sangat perlahan, ia mendapat tahu serangan dengan teratai besi itu, maka juga ia lantas menggunai dua bunga emasnya, yang satu untuk menangkis serangan, yang lainnya guna terus menyerang jalan darah djoanmoa hiat dari penyerang itu. Maka ia heran, ada orang yang telah mendahulukan padanya. Ini dia yang dibilang, tonggeret menangkap bambung, di belakangnya ada burung gereja. Dari perbuatannya itu, nyata sekali orang itu sangat liehay.

Mulanya Keng Sim menduga Nona Liong, kemudian ia lepaskan dugaan itu karena ia menyangsikan nona itu dapat menyamai Sin Tjoe.

"Berhubung dengan terjadinya peristiwa aneh ini. tidak dapat aku berdiam lama-lama di sini," kemudian Sin Tjoe berkata kepada Keng Sim. "Orang ini terserang jalan darahnya yang membikin dia pingsan, sebentar kau boleh menotoknya mendusin. Nah aku pergi!"

"Apakah kau hendak menyusul orang yang membantu kau secara diam-diam itu?" Keng Sim tanya

"Benar. Aku pun mempunyai urusan lain. Jangan lupa menyampaikan hormatku kepada entjie Bhok Yan!"

Keng Sim tidak sempat menyahuti, ia pun terbenam dalam kedukaan. Ia cuma bisa melihat orang menghilang di antara pohon yanglioe dan bunga-bunga, di antara remang-remangnya sinar rembulan yang tidak dapat menembusi pepohonan. Lalu ia menghela napas.

"Melihat dia tetapi seperti tidak melihat, aku cuma dapat mencari cintaku di dalam impian..." pikirnya. Ia tidak dapat melupakan bekas kekasihnya itu. Kemudian ia menotok si boesoe, di dalam hatinya ia kata: "Dasar kau. binatang, tidak keruan-keruan kau membokong hingga entjie Sin Tjoe pergi!..."

Menuruti pesan Sin Tjoe, Keng Sim menotok jalan darah tjengpek hiat di bawahan pinggang, maka orang itu lantas menjerit, begitu sadar, begitu dia berlompat bangun, rupanya dia ingat baik sekali kejadian barusan. Tapi dia terkejut akan mengenali orang muda itu.

"Ah, kiranya kau, Tiat Kongtjoe!" dia berseru. "Aku disuruh Thio Soenboe memapak kau untuk naik perahu."

Keng Sim pun terperanjat. Melihat senjata orang, ia ingat orang ini

"Adakah kau Djitgoat Loen Touw Kong boesoe kenamaan dari Tjiatkang Timur?" ia tanya, atas mana, ia memperoleh jawaban yang membenarkan.

Ketika Keng Sim mengunjungi Thio Soenboe, Touw Kong ada di antara orang-orangnya soenboe itu. boesoe ini melihat dia dan mengenalinya, ia sendiri tidak memperhatikan orang lain, dari itu ia tidak kenal boesoe ini.

Touw Kong memandang ke sekitarnya, matanya mencari sesuatu.

"Barusan aku melihat satu nona di sini?" katanya.

"Kau telah membuatnya dia kabur!" sahut Keng Sim mendelu.

"Dia... dia..." kata Touw Kong gugup.

"Dialah kenalanku!" sahut Keng Sim, masih mendongkol. "Kau mau menyelidiki tentang dia?"

Touw Kong likat, ia menyeringai.

"Tidak, tidak," sahutnya gugup. "Atas titahnya soenboe aku datang ke mari buat mengundang kongtjoe dan Bhok Kongtjoe naik perahu, selagi lewat di kuburan Ie Kiam ini, aku melihat ada orang, aku menduga dialah puterinya Ie Kiam, yang datang menyambangi kuburan orang tuanya, aku menggunai thielian tjie untuk mencoba mendapat kepastian. Aku tidak sangka bahwa aku telah keliru menyerang orang... Kongtjoe. harap kau suka memberi maaf padaku."

Biarnya mulutnya mengatakan demikian, Touw Kong tetap menyangka pada Ie Sin Tjoe. karena malang kepada orang muda ini, ia tidak berani omong terus terang. Ia pun tidak mau memperpanjang urusan itu.

Juga Keng Sim kuatir boesoe ini nanti tetap mau mencari tahu halnya Sin Tjoe, maka itu ia telah mengasi dengar suaranya barusan, melihat orang mengalah, ia pun mengalah, hanya ia masih berkata: "Kalau lain kali kau membokong orang, kau harus memakai matamu. Syukur kau bertemu aku, kalau kau bertemu sama lain orang, mungkin kau bakal tidur di sini sampai besok tengah hari bolong! Tidakkah itu bakal menggagalkan keberangkatannya perahu?"

"Kongtjoe benar." menyahut Touw Kong, yang paksa tertawa. "Aku mengucap terima kasih yang kongtjoe telah menotok sadar padaku. Hanya aku heran sekali. Tiat Kongtjoe, kepada kau... kau berada di kuburannya Ie Kiam ini?"

"Apa?" tanya si anak muda tajam. "Apakah itu suatu kedosaan untuk menjenguk kuburannya Ie Kokloo? Bukankah sri baginda yang sekarang telah mencuci nama baiknya dan telah mendirikan rumah abunya juga? Apakah Thio Soenboe melarang orang datang menjenguk kuburan ini?"

"Bukan begitu, kongtjoe. aku hanya tidak menduga sama sekali kongtjoe datang ke mari. Ie Kokloo itu setia kepada negara, aku pun mengagumi dia." Tapi di dalam hatinya, ia kata dengan sengit: "Jikalau bukannya aku kenal kau sebagai menantu Bhok Kokkong, pasti aku akan memandang kau sebagai suami isteri Yap Seng Lim!"

Keng Sim menarik napas lega.

"Sekarang sudah malam, mari kita cari Bhok Kongtjoe!" ia mengajak.

Touw Kong mengikut, ia memuji si anak muda gagah. Dengan jalan memutar ia menanya siapa yang barusan menotok padanya hingga ia roboh.

Keng Sim tidak mau memberi keterangan, ia pun sengaja membiarkan orang menduga-duga sendirinya.

Tidak lama dari berlalunya Tiat Keng Sim dan Touw Kong itu, di bukit Samtay San itu muncul satu orang lain, ialah Thio Giok Houw, yang mempunyai maksud serupa yaitu, sebelum melanjuti perjalanannja, ia mau menghunjuk hormatnya kepada Ie Kiam. Ia datang ke belakangan, maka itu ia cuma dapat melihat beberapa tapak kaki, di antaranya tapak kaki wanita. Ia tidak tahu wanita itu Sin Tjoe, kakak seperguruannya, ia menjadi heran.

"Mungkinkah dia pun datang ke mari?" ia tanya dirinya sendiri. Dengan "dia," ia maksudkan Nona Liong, si nona yang mendapat perhatiannya sepenuhnya.

Ketika ia melihat langit, Giok Houw mendapatkan sang rembulan telah melintasi garis tengah, ia menjadi tidak berani ayal-ayalan. Ia lantas memberi hormatnya kepada arwah Ie Kiam. Sebagai gantinya hio, ia memulung tanah lempung. Ia berlutut dan mengangguk tiga kali. Dengan perlahan ia memuji: "Ie Peehoe, semoga peehoe memayungi aku agar aku berhasil merampas barang bingkisan dari Propinsi Tjiatkang, supaya tidak ada orang yang mendahuluinya.."

Baru ia selesai memuji, mendadak ia mendengar suara tertawa di belakangnya, hingga terkejut. Dengan cepat ia lompat bangun. Dari belakang kuburan ia menampak berkelebatnya satu bayangan, disusul sama terlihat nyatanya sebuah tubuh yang langsing berikut roman yang eilok. Untuk herannya, ia mengenali orang itu.

Dialah si Nona Liong, yang berdiri sambil bersenyum.

"Ah, benar-benar kau!" ia lantas berkata. "Baiklah, mari kita lihat malam ini siapa yang bakal menang dan siapa yang kalah!"

Nona itu tertawa.

"Sebenarnya aku berkuatir yang kali ini aku bakal kalah!" katanya. "Tapi mendengar puji kau barusan, kiranya aku masih mempunyai harapan! Hanya, aku tidak mengarti kau. Guru silat undangan dari Thio Soenboe telah kau robohkan, kenapa bukannya kau lantas bekerja merampas bingkisan yang berada di bawah perlindungannya itu, kau justeru kembali ke mari?"

"Apa kau bilang?" si anak muda bertanya. Ia heran sekali. "Siapakah yang memukul roboh guru silatnya Thio Soenboe itu."

Nona Liong mengawasi sinar mata orang, ia pun menjadi heran.

Giok Houw mengawasi, bahkan ia hendak menanya pula.

"Kalau bukannya kau, sudahlah!" berkata si nona, tertawa. Ia lantas dapat menenangkan diri. "Kapan kau hendak naik perahu?"

"Lekas!" menyahut Giok Houw, yang terlepasan mulut. Pertanyaan itu terlalu mendadak untuknya.

Nona Liong tertawa.

"Bagus!" katanya. "Kau maafkan aku, aku hendak berangkat lebih dulu, aku tidak dapat menantikan kau!"

Kapan nona ini memutar tubuh, lekas sekali ia menghilang dari hadapan si anak muda.

Nona Liong pun baru tiba. Di tengah jalan ia bertemu sama Keng Sim dan Touw Kong, yang membicarakan peristiwa barusan. Ia berlaku hati-hati, tubuhnya pun ringan sekali, ia membuatnya dua orang itu tidak mengetahui yang ia mencuri dengar pembicaraan mereka. Ia tidak percaya Keng Sim dapat merobohkan Touw Kong secara demikian luar biasa. Dari pembicaraan mereka. Touw Kong seperti mau mencurigai menantu Bhok Kokkong itu. Karena ini. si nona mau menduga kepada Thio Giok Houw. Karena ia juga mendengar selentingan, barang bingkisan dari Tjiatkang mau diberangkatkan dengan perahu, dari itu ia memancing Giok Houw. Ia heran, ia memikirkan siapa sebenarnya penyerangnya Touw Kong itu. Di lain pihak, ia girang akan mendapat tahu tentang keberangkatannya perahu bingkisan itu. Maka lantas ia mengangkat kaki.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar