Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 4

Liang Ie Shen, Seri Thian San-04: Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 4 Tiba gilirannya Tjio Keng Ham, dia ini lain lagi penyambutannya. Dia tidak menekan nenampan, dia tidak menyambuti,
 
Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 4
Tiba gilirannya Tjio Keng Ham, dia ini lain lagi penyambutannya. Dia tidak menekan nenampan, dia tidak menyambuti, hanya dia mengibas tangan bajunya, atas mana ujung tangan baju dan penampan beradu, terdengar suara "bret!" perlahan, lalu ujung baju itu robek sedikit. Meski demikian, penampan toh berhenti berputar.

Dengan begini Giok Houw jadi mendapat tahu. dalam tenaga dalam, Tjouw Thian Yauw menang banyak daripada Tjio Keng Ham, bahwa ilmu silat mereka itu berdua berbeda. Pula sekarang terlihat semakin tegas romannya Keng Ham melibat cangkir teh, tulen dan Thian Yauw seperti orang Shoatang. Maka adalah luar biasa, dua orang masing-masing dari suku yang berlainan, satu dari Utara, yang lain dari Selatan, dapat berada dan bekerja sama.

Dengan tangan bajunya itu, Keng Ham melibat cangkir teh, untuk diangkat, untuk dia menghirup kering air tehnya Pada mukanya sama sekali tidak kentara sesuatu perasaan. Ketika ia mengembalikan cangkir, ia mengibas pula.

Sementara itu Giok Houw telah melirik kepada dua orang dari pihaknya, dua orang ahli obat-obatan yang termasuk lootjianpwee. tingkat tertua, ialah Kok Tiok Kin asal propinsi Hoolam, dan Louw Too In asal propinsi Siamsay. Yang belakangan ini pun pandai dalam ilmu racun. Ia mendapatkan air muka mereka itu berubah, tandanya mereka terkejut dan berkuatir, mereka itu pada melirik Keng Ham. Ia menjadi heran. Pikirnya: "Apakah yang luar biasa dalam kepandaiannya Keng Ham mengibas nenampan dan melibat cangkir teh hingga mereka begini memperhatikannya?" Ia memandang dari sudut ilmu silat. Menurut ia, ilmu mengibas Keng Ham itu masih kalah kalau dibandingkan dengan Tiatsioe Sinkang, ilmu Tangan Baju Besi, dari Liong Kiam Hong.

Habis menyambuti cawan. Giok Houw mau mengundurkan diri, justeru itu Tjouw Thian Yauw tertawa terbahak-bahak seraya terus berkata: "Tjioe Tjeetjoe, sungguh kau terlalu memandang rendah kepada Thio Siauwhiap, yang kau telah memberi pekerjaan sebagai tukang menyuguhkan teh! Sikapmu ini membikin malu saja pada aku si orang she Tjouw." Sembari berkata begitu, ia memberi hormat kepada Giok Houw dengan setengah kehormatan, tandanya ia membalas hormat.

Giok Houw telah bersiap sedia, segera ia merasakan dorongan angin ke arah mukanya, lantas ia mempertahankan diri, tetapi tidak urung, ia mundur dua tindak. Ia menjadi kaget di dalam hati, bukan melulu liehaynya tetamu ini, juga buat halnya dia mengenali padanya. Katanya di dalam hatinya: "Kenapa dia kenal aku?"

"Apakah gurumu baik-baik saja?" Tjouw Thian Yauw meneruskan menanya si pemuda.

Dalam keadaan begitu, tidak dapat Giok Houw menyangkal, maka ia berdiri dengan hormat, dengan menurunkan kedua tangannya.

"Terima kasih, guruku baik!" ia menjawab. "Bolehtah aku mendapat ketahui ada hubungan apa di antara tuan dengan guruku? Harap dimaafkan atas perbuatanku barusan." Tjouw Thian Yauw tertawa. "Hubunganku dengan Thio Tan Hong?" katanya, balik bertanya. "Haha! Kalau nanti kau pulang, kau tanyakan saja gurumu, nanti kau mendapat ketahui sendiri! Hebat Thio Tan Hong, dia telah mendidik seorang murid yang jempolan! --- Thio Siauwhiap, terima kasih banyak untuk tehmu ini!"

Kembali Thian Yauw memanggil orang siauwhiap, atau jago muda.

Itulah imbangan panggilan atas Thio Tan Hong, yang disebut tayhiap, jago tua atau "pendekar besar."

Mukanya Giok Houw menjadi merah. Kata-kata itu bernada mengejek. Tapi segera ia berpikir pula, katanya di dalam hatinya: "Jikalau dia benar sahabatnya guruku, tidak nanti dia bersikap begini..."

Sejenak itu, Giok Houw ingat suatu apa --- ingat halnya satu orang, yang gurunya pernah menyebutnya. Di propinsi Shoatang ada hidup seorang tabib yang aneh, namanya Tjouw Thay Tjee, tetapi dia batal menjadi tabib, dia mengubah pelajarannya itu dengan pelajaran silat. Dia pun aneh tabiatnya, meski dia bertubuh kekar dan romannya kasar, cara dandannya ialah cara kaum terpelajar. Sebagai senjatanya ialah sebuah kipas yang panjang, yang diperantikan menotok jalan darah. Ketika dulu hari itu Tan Hong bersama puteri Iran datang ke kota raja, ia pernah bertemu Tjouw Tay Tjee di dalam istana, bersama isterinya, dengan menggunai ilmu pedangnya bersatu padu, Tan Hong telah mengalahkan Tay Tjee dalam tiga jurus dan telah melukakan orang sampai tujuh lubang.

"Bukankah Tjouw Thian Yauw ini ialah Tjouw Tay Tjee dulu hari itu?" pikir si anak muda cepat. "Dulu hari itu dia dapat melayani soehoe dan soebo tiga jurus, dia sudah luar biasa, maka sekarang ini dia tentulah telah peroleh kemajuan... Siapakah orang di pihakku yang dapat melayani dia?"

Maka itu, sendirinya ia menjadi berkuatir.

Tjioe San Bin lantas datang sama tengah.

"Oh. kiranya Tuan Tjouw kenal Thio Tayhiap!" demikian katanya. "Dengan begitu maka sekarang kita jadi dapat berbicara dengan terlebih leluasa lagi. Tuan Tjouw, apakah tuan ketahui bahwa dalam usaha kami merampas pelbagai bingkisan itu kami telah memperoleh bantuannya Thio Tayhiap itu?"

"Justeru karena kami memandang kepada mukanya Thio Tayhiap maka juga kami cuma meminta bagian separuh saja!" berkata Thian Yauw, menyahuti.

"Aku menumpang bertanya," berkata pula San Bin, "kedua tuan ini di gunung apa tuan-tuan mengambil kedudukan dan atas alasan apakah maka tuan-tuan meminta separuh bagian?"

Tetamu itu tertawa pula.

"Telah lama aku mendengar bahwa Tjioe Tjeetjoe ialah orang gagah dari jaman ini," ia berkata, "maka itu kenapa sekarang agaknya tjeetjoe membawa-bawa mata yang memandang pengaruh? Apakah mungkin, lantaran kami tidak mempunyai gunung atau benteng, karena kami bukannya suatu pangtjoe atau ketua partai, lantas tjeetjoe hendak memandang kecil terhadap kami?"

Kata-kata ini mempunyai artinya sendiri. Dengan itu mau dimaksudkan, Thian Yauw dan Keng Ham ini ialah bangsa begal tunggal, yang bekerja tanpa modal sendiri, tanpa tempat kediaman yang tertentu juga. Bahwa mereka berani sekali sudah mengajukan permintaan kepada suatu perbentengan besar menandakan mereka menggunai aturan Jalan Hitam yang tak biasanya.

"Maaf, maaf," kata San Bin dengan suara merendah, "aku si orang she Tjioe cuma mau minta keterangan tuan-tuan mempunyai keperluan yang sangat bagaimana maka tuan-tuan sampai perlu meminta separuh bagian?"

Kembali Thian Yauw tertawa.

"Inilah aneh!" katanya. "Semenjak dulu hingga sekarang belum pernah aku mendengar bahwa penjahat memerlukan uang dulu baru dia melakukan perampasannya. Bagi kami ialah: Kamu merampas dari tangannya pelbagai boesoe yang melindungi bingkisan, karena kamu dapat berbuat demikian, maka itu dapat juga kami pun merampasnya pula dari tangan kamu, hanya kami meminta cuma separuh dan kami memintanya juga lebih dulu menggunai aturan, baru kemudian dengan kekerasan. Tidakkah perbuatan kami ini sangat tepat dan telah memberikan muka kepada kamu? Apakah tjeetjoe masih hendak menggunai aturan lainnya lagi?"

Begitu rupa Thian Yauw mendesak, ia membuatnya orang mendongkol dan gusar.

San Bin masih dapat menguasai dirinya.

"Tuan Tjouw, masih ada apa-apa yang kau belum ketahui," ia berkata, sabar. "Kami merampas bingkisan itu bukan untuk diri kami sendiri. Di samping kami masih ada Totjoe Yap Seng Lim di Selatan. Seperti kami, Yap Totjoe juga mempunyai banyak saudara-saudaranya. Kami di sini bertugas menjaga penyerbuannya bangsa Tatar dan Yap Totj oe di Selatan itu bertugas menangkis gangguan kawanan perampok kate. Kami kedua pihak berjumlah besar, untuk hidup kami, tidak membegal atau merampok, kami hidup atas ichtiar kami yang sah. Sekarang ada itu pelbagai bingkisan. Itulah lain sifatnya. Maka kami bertindak, kami mengambilnya, untuk kepentingan rangsum kami. Di dalam usaha kami ini, kami memperoleh bantuan semua orang gagah dari pelbagai kalangan dan pihak. Mereka itu telah membantu kami tetapi tidak ada satu saja di antaranya yang menagih bagian."

Tjouw Thian Yauw juga berlaku tenang. Katanya dengan adem: "Kami tidak mengambil mumat segala urusan besar dari negara itu. kami cuma tahu bahwa kami menjadi begal dan sebagai begal kami mesti membegal. Kami ketahui kamu telah memperoleh harta karun yang besar sekali, dari itu kami menghendakinya! Jikalau kamu tidak membagi separuhnya kepada kami, maka janganlah kamu mengharap bahwa kami mau sudah saja!"

Dia bersikap adem akan tetapi kata-katanya itu keras.

"Tuan-tuan, ingin aku memberitahu kepada kamu!" berkata San Bin, sekarang suaranya pun keras. "Di dalam urusan ini, aku tidak dapat berkuasa seorang diri! Semua bingkisan telah dirampas bukan olehku seorang hanya dengan bantuannya semua orang gagah, inilah kau harus mengerti. Aku pula hendak memohon tuan-tuan memandang kepada rakyat yang bersengsara itu, jadi janganlah tuan-tuan cuma ingat kepentingan diri sendiri!"

Tjouw Thian Yauw melirik tuan rumahnya, ia tertawa dingin. Ia tidak menjawab tuan rumah, hanya lantas berkata kepada kawannya: "Tjio Toako, pembicaraanku dengan Tjioe Tjeetjoe ini tidak mendapatkan kecocokan! Kau dengar sendiri, dia menyebut-nyebut entah Thio Tayhiap apa, dia membawa-bawa segala orang gagah di kolong langit ini! Di sini tidak ada soal muka lagi! Bagaimana kau pikir, toako. apakah kita dapat menerima baik?"

Selagi orang berbicara, sikapnya Keng Ham tenang seperti biasanya. Dengan tidak mengasi kentara sesuatu pada romannya, dia menjawab singkat: "Tidak!"

Thian Yauw lantas tertawa.

"Tjioe Tjeetjoe. kau tidak dapat berkuasa sendiri, begitu juga aku!" dia berkata. "Kau dengar, Tjio Toako aku ini tidak dapat menerima baik pertimbanganmu itu!"

Sampai di situ. habis sudah kesabarannya San Bin.

"Sahabat-sahabat, oleh karena kamu tidak dapat menimbang, kami pun tidak mau meminta apa-apa lagi dari kamu!" ia berkata, keras. "Bingkisan ini bukan bingkisanku sendiri, jikalau kamu mau minta aku sendiri yang mengangsurkan dengan kedua tanganku, sungguh tak dapat! Jikalau tuan-tuan mempunyai kepandaian, nah, pergilah ambil sendiri!"

Tjouw Thian Yauw tidak gusar, sebaliknya, dia tertawa lebar.

"Bagus ini baru omong terus terang!" dia kata. "Jikalau tahu bakal jadi begini, omong banyak-banyak itu hanya obrolan belaka! Baiklah, sekarang aku si orang she Tjouw yang bodoh, aku mohon pengajaran dari kau, Tjioe Tjeetjoe!"

Belum lagi San Bin memberikan jawabannya. Leng In Hong sudah berbangkit untuk terus berkata: "Mengenai bingkisan ini, aku telah memberikan banyak tenagaku, maka itu jikalau kau menghendakinya. Tuan Tjouw, silakan kau memintanya kepada pedangku ini!" Dan ia menunjuki pedangnya.

Giok Houw telah melihat gelagat, tahulah ia. untuk menghadapi Tjouw Thian Yauw. di pihaknya cuma ada In Hong satu orang, oleh karena itu diam-diam ia memberikan isyarat kepada Nyonya Hok Thian Touw. dengan cerdik ia telah memberitahukan nyonya itu tentang siapa adanya tetamu she Tjouw ini. dari itu, In Hong lantas bertanggung jawab.

Tjouw Thian Yauw berpaling kepada Nona Leng, ia mengawasi dengan tertawanya yang aneh, lantas dia berkata: "Oh, kiranya Leng Liehiap dari Thiansan! Kau berdua dengan suamimu, ialah kamu berdua biasanya sangat saling menyinta, maka itu kenapa sekarang kau berada sendirian di sini?"

Mendengar itu, Giok Houw terkejut. Ia tidak menyangka sekali, orang pun mengenali In Hong seperti orang mengenali ianya. Di lain pihak -- ia menyesal -- ia tidak ketahui jelas tentang kedua tetamu itu. lebih-lebih tidak tentang Tjio Keng Ham si orang Biauw yang aneh kelakuannya itu.

In Hong menjadi tidak senang, sepasang alisnya bangun berdiri.

"Tidak perlu kau omong yang tidak keruan!" ia menegur.

Thian Yauw tidak gusar, kembali dia tertawa.

"Kau benar!" katanya, "benar! Memang sebegitu jauh aku ketahui. Hok Thian Touw ialah orang yang biasa tak suka mengambil tahu segala urusan sampingan! Cuma aku tidak mengerti kau, kenapa di sini kau menjadi usilan mau campur urusan lain orang?"

"Ngaco!" bentak In Hong gusar, dengan pedangnya dia menuding. "Tidak sempat aku mendengari ocehanmu! Lekas hunus senjatamu!"

Masih saja Thian Yauw tertawa -tertawa dingin.

"Apakah kau kira aku cuma ngoceh saja?" katanya. "Di belakang hari kau nanti mendapat tahu bahwa sekarang ini aku bermaksud baik terhadapmu! Jikalau kau tetap usilan, kau bakal tidak dapat mengurus lagi suamimu! Memang kata-kata jujur tidak sedap untuk telinga, dari itu, jikalau kau tetap tidak mempercayainya, terserah padamu!"

In Hong gusar hingga mukanya menjadi merah padam, tanpa mengucap sepatah kata lagi, ia menggeraki pedangnya menikam orang di depannya itu. Ia menggunai jurus "Pengtjoan kaytong" atau "Sungai es lumer," maka itu, sebelum pedang meluncur lempang, lebih dulu sedikit diputar, menanti sampai lawan mengeluarkan senjatanya, ialah kipas besinya.

"Bagus!" para hadirin berseru karena kagumnya melihat lincahnya gerakan pedang itu.

"Bagus!" Thian Yauw pun memuji. "Benar-benar ilmu pedang Thiansan tidak sembarang!" Sambil berkata itu, dengan kipasnya ia menangkis. Tidak perdu1i serangan itu sangat berbahaya, dia dapat membebaskan diri. Dia tidak nampak gugup, hingga orang pun mengaguminya.

Serangan dan tangkisannya itu mengakibatkan sesuatu yang membuat orang heran, kagum dan kaget. Dengan tangkisannya itu, Tjouw Thian Yauw memperlihatkan keliehayannya. Bukan melainkan orang luar, In Hong sendiri pun heran. Ketika kedua senjata bentrok, pedang lantas seperti tertempel kipas, tempo In Hong menarik, tubuhnya seperti terbawa terputar, ia bagaikan tidak dapat menancap kakinya.

"Kena!" Thian Yauw berseru. Dia merangkap kipasnya, dia menusuk ke arah jalan darah hoenboen hiat dari si nyonya muda.

Kembali orang kaget. Itulah gerakan sangat bagus dan cepat.

In Hong pun terkejut, tetapi dengan pedangnya lolos dari tempelan, ia pun dapat bergerak dengan cepat dan lincah. Menyingkir dari totokan itu, ia menjejak lantai, berlompat mengapungi diri, ketika tubuhnya turun, ia membarengi menyerang, dari atas kebawah!

Thian Yauw bermata tajam dan sebat gerakannya, ia telah bisa menduga gerak-gerik si nyonya muda. maka itu, tanpa ayal, ia berkelit sambil ia menangkis, hingga serangan nyonya itu gagal dan ia selamat. Ketika si nyonya menaruh kaki di lantai, dia telah memisahkan dirinya cukup jauh.

Selelah gebrakan ini, kedua pihak sama-sama mengetahui liehaynya lawan masing-masing, dari itu, keduanya lantas tidak berani memandang enteng satu pada lain.

Habis itu, mereka hendak mulai bergebrak pula.

Lebih dulu Thian Yauw mengipas dua kali, sembari tertawa, dia berkata: "Kiranya cuma sebegini saja ilmu pedang Thiansan Kiamhoat yang diciptakan Keluarga Hok selama dua turunan! Benarkah cuma sebegini?"

Itulah ejekan untuk Hok Thian Touw dan ayahnya. Dengan itu maka telah dihinakan, suami dan pamannya In Hong itu. Tentu sekali, panas hatinya nyonya muda ini.

"Baiklah, kau sambut lagi ini ilmu pedang dari Thiansan!" ia membentak seraya menyerang dengan pedangnya, pedang Tjengkong kiam. Sebab itu ada tipu pedang "Bidadari melempar torak," maka ujung pedang meluncur ke dada di mana ada jalan darah soankie hiat.

Serangan In Hong ini berbahaya akan tetapi Thian Yauw menyambutnya dengan tenang tetapi sebat. Dia seperti juga telah menduga si nona bakal menyerang secara demikian terhadapnya. Inilah tidak heran, karena ejekannya itu pun untuk mengundang kemarahan lawannya. Dia tidak menangkis, hanya sambil mundur sedikit, dia membikin dada dan perutnya kempes. Dia telah menggunai tipu silat "Menelan dada. menyedot perut." Dengan begitu, ujung pedang hanya mendekati dadanya kira-kira dua dim. Adalah setelah itu, atau hampir berbareng, dia melakukan serangan membalas. Dia mengipas, niatnya menempel pula pedang lawan seperti bermula tadi.

In Hong juga seperti telah menduga bahwa orang hendak menempel pula pedangnya, ia telah berjaga-jaga, ketika pedangnya itu dikipas, ia segera menarik pulang. Hanya ia tidak menyangka akan kelicikan orang. Thian Yauw masih memain dengan siasatnya.

Mendadak Thian Yauw tertawa dingin dan berkata: "Biarlah kau pun belajar kenal dengan ilmu totokku!" Kata-kata ini disusul sama serangannya, dengan totokannyayang saling susul!

Hebat serangan ini. karena kipasnya orang she Tjouw ini luar biasa. Yaitu tulang-tulang kipas tajam, di waktu dipakai menyerang dengan kipas dibeber, ujung tulang itu bekerja seperti pusut atau tempuling, mencari setiap jalan darah. Jadinya kipas itu, rapat dapat dipakai menotok, dibeber pun dapat dipakai menotok juga, rapat hanya satu, dibeber, banyak. Pula tipu menotok itu diberi nama istimewa, yaitu "Tjoeisian kongtjauw" atau "Dewa mabok mengacau rumput." Sebenarnya, jalan darah yang di arah ialah tujuh buah.

In Hong terkejut, terpaksa ia main mundur. Ia berkelit dan menyabet, untuk melindungi dirinya.

Juga Thian Yauw terkejut. Dia hanya disebabkan kegagalannya menotok si nyonya. Dia tidak menyangka, lawan ini demikian waspada dan gesit, hingga serangannya yang Iiehay itu tidak memberi hasil.

Dengan main mundur itu, In Hong dapat membebaskan diri. setelah berlompat ke samping, ia pun mencoba membalas menyerang. Dengan demikian, mereka jadi bergebrak pula. Tanpa merasa, mereka telah melewatkan tiga puluh jurus.

Biar bagaimana, Thian Yauw nampaknya lebih unggul sedikit, lebih sering dia merangsak, menutup pedang si nyonya muda. hingga In Hong seperti juga, tidak dapat menggunai pedangnya dengan merdeka. In Hong dibikin repot dengan gerak-geriknya menyingkirkan diri dari tempelan kipas besi yang Iiehay itu.

Di waktu bertempur seru itu, Thian Yauw masih dapat kesempatan untuk kadang-kadang tertawa mengejek. Demikian satu kali. habis tertawa, dia merangsak seraya berseru: "Kena!" Kipasnya, yang tadinya dibuka dan dikipas-kipaskan, mendadak ditutup, dipakai menotok ke kepala di mana ada jalan darah pekhwe hiat.

Thio Giok Houw pun terperanjat menyaksikan gerakan bagaikan kilat dari orang she Tjouu yang Iiehay itu, ia berkuatir sekali In Hong nanti kalah hati dan gagal menjaga dirinya.

Selagi terancam bahaya itu, mendadak In Hong juga berseru: "Kena!" Luar biasa lincahnya ia berkelit, sangat sulit untuknya lolos dari bahaya, tetapi begitu ia bebas, begitu ia menyontek, guna satu penyerangan membalas.

Thian Yauw terkejut. Dia menarik pulang tangannya! Tidak perduli dia bergerak sangat cepat, ujung tangan bajunya kena juga dirobek ujung pedang!

Para hadirin terpesona, dari kaget mereka kagum dan heran. Tentu sekali, hati mereka menjadi lega dan girang, sebab pahlawan mereka selamat dan menang sejurus.

Thian Yauw sendiri heran tak terhingga. Ia tidak menyangka lawannya bisa lolos. Sedang ia tahu betul, ia sudah menutup diri dan serangannya itu Iiehay luar biasa. Ia tidak bisa mengerti, mengapa orang bebas dan akhirnya berhasil dengan pembalasannya itu.

Leng In Hong tidak mau mengasi ketika orang berpikir. Ia menyerang pula. Ia ingin dapat membalas mendesak.

Thian Yauw menangkis.

Nyonya Thian Touw mengasi lihat kelincahannya. Baru ia menyerang di kiri, atau segera ia menikam pula dari sebelah kanan. Luar biasa gesitnya, ia bergerak dari kiri ke kanan itu. Ia menginsafi, tanpa kegesitan, sukar ia menandingi ini musuh liehay. Di kanan itu, iamenikamjalan darah tjengtjiok hiat.

"Bagus! Bagus!" demikian pujian dari beberapa hadirin, yang mengerti baik tentang ilmu pedang. Mereka kagum bukan main untuk liehay si nyonya muda. Hanya mereka juga tidak mengerti, bagaimana sebenarnya jalan pikiran nyonya itu maka ia dapat bergerak demikian indah.

Duduknya hal yang sebenarnya ialah sederhana untuk In Hong. Ia baru menginsafi satu jurus, yang ia gabung

menjadi satu-dari Thiansan

Kiamhoat dan Hian Kie Kiamhoat, dan baru sekarang ia pergunakan itu. Nyatanya, percobaannya ini memberi hasil yang memuaskan. Sayangnya Thian Yauw terlalu gesit, hingga cuma ujung bajunya yang menjadi kurban.

Selagi In Hong girang atas hasil jerih payahnya itu, Thian Yauw terkejut untuk liehaynya si nyonya muda, yang sekian lama ia pandang enteng, sebab ia percaya, meski nyonya itu tangguh, ia toh akan dapat mengalahkannya Sekarang ia memikir lain, sekarang maulah ia waspada.

Bertempur selanjutnya, mereka menjadi berada dalam kedudukan berimbang. Sampai lagi tiga puluh jurus, kekuatan mereka tidak berbeda. Thian Yauw liehay tenaga dalamnya, yang latihannya cukup, In Hong menang unggul ringan tubuhnya, yang sekarang dibantu luar biasanya ilmu pedangnya itu.

Pertempuran yang meminta tempo lama ini, yang berlarut-larut, hebat untuk In Hong. Ia sudah lantas bermandikan peluh. Tetapi Thian Yauw juga demikian. Orang she Tjouw itu mengorong napasnya.

Nyonya Hok Thian Touw berpikir: "Aku tadinya menyangka cuma kipasnya Kiauw Siauw Siauw yang liehay sekali, yang luar biasa untuk kalangan Rimba Persilatan, siapa sangkajahanam ini jauh terlebih liehay dari puteranya Kiauw Pak Beng itu. Syukur aku telah berhasil menginsafi ilmu pedang gabunganku, jikalau tidak, siang-siang aku mestinya telah roboh di tangan orang ini..."

Pertarungan berjalan terus. Ujung pedang in Hong, bagaikan torak, tidak pernah berpisah jauh dari anggauta-anggauta tubuh yang berbahaya dari Thian Yauw. Ujung kipasnya Thian Yauw, sebaliknya, terus mengintai pelbagai jalan darahnya si nyonya muda. Maka itu, para penonton menjadi kagum, semua menonton dengan menjublak, tidak ada yang bersuara.

Sedangnya lain-lain orang merasa tegang sendirinya, adalah kawannya Thian Yauw, yaitu si orang Biauw she Tjioe, duduk tenang-tenang saja, berulangkah dia menyedot pipanya. Dia segera menarik perhatiannya San Bin. Maka tjeetjoe ini lantas memberi kisikan kepada Louw Too In dan Kok Tiok Kin untuk memasang mata. Ia menjadi bercuriga.

Dua-dua Too In dan Tiok Kin ahli obat-obatan, bahkan Too In memperhatikan juga segala racun, maka itu, diam-diam ia mengendus-endus baunya pipa si orang Biauw itu, akan kemudian ia kata perlahan kepada Tiok Kin: "Baunya asap pipa ini rada luar biasa akan tetapi aku merasainya seperti tidak ada campuran racun di dalamnya..."

Tiok Kin tidak membilang apa-apa, tetapi San Bin menjadi sedikit lega.

"Di saat seperti ini, aneh juga orang dapat menghisap pipanya cara dia ini." pikir ketua itu, "tetapi dialah tetamu, tidak ada alasan untuk aku melarang dia..."

Meski Too In berbicara demikian terhadap Tiok Kin, kecurigaannya tidak lenyap. Maka diam-diam ia terus memasang mata kepada orang Biauw itu.

Pipa Keng Ham besar luar biasa, dengan begitu isinya pun luar biasa banyak. Ialah tiga lipat dari pipa biasa. Sudah begitu, Too In memasang mata dengan keheran-heranan. Orang senantiasa menyedot, menghisap, akan tetapi asap sedotannya itu tidak dikeluarkan, tidak dikepulkan sebagaimana selayaknya. Asap itu seperti lenyap di dalam perut.

"Dia benar-benar aneh," pikir tabib asal Siamsay itu. "Dia dapat makan asap pipanya, mungkin asapnya itu tidak ada racunnya, kalau toh ada, ialah asap yang hanya dapat membikin pulas..."

Biar bagaimana, tabib ini tetap memasang mata, cuma kadang-kadang ia memperhatikan jalannya pertempuran. Semua hadirin berdiam tetapi ada yang hatinya berdebaran.

Pertempuran itu sangat hebat -- pedang berkilauan, kipas berkelebatan. Keduanya sudah letih tetapi mereka bertempur terus, sama-sama mencari ketika untuk merebut kemenangan. Mereka tidak mau memberikan ketika senjata mereka bentrok, maka itu, suara mereka sunyi, kecuali berkesiurnya dari gerak-gerik tubuh mereka.

Dalam pada itu, lagi-lagi terdengar seruannya Thian Yauw, membarengi serangan kipasnya.

Ketika itu In Hong baru menyerang dengan jurusnya "Hengtjie thian" atau, "Melintang menuding langit Selatan." Ketika ini dipakai lawannya untuk menyerang, guna menempel pedangnya itu. Dan lawan itu berhasil. Maka repotlah ia berdaya ke kiri dan ke kanan, guna meloloskan pedangnya itu.

Juga Thian Yauw tidak berdiam saja, juga dia membuat senjatanya bergerak ke kiri dan kanan, guna menarik pedang si nyonya, akan tetapi dia pun tidak berhasil merampas pedang orang, sebab In Hong dapat mencekel terus dengan keras.

Dari berkutat itu, keduanya lantas berdiam, berdiam untuk menanti saatnya. Thian Yauw hendak membetot, In Hong mau mempertahankan diri. Lalu terlihat Thian Yauw menolak. Atas itu, In Hong mundur satu tindak, kuda-kudanya dipasang. Ketika ia didesak lagi, kembali ia mundur satu tindak pula.

Giok Houw menyaksikan itu.

"Inilah berbahaya," pikirnya. "Kalau entjie In Hong kalah, siapa lagi yang dapat melayani dia?"

Thian Yauw tidak dapat menggunai kekerasan, ia lalu mencoba tenaga dalamnya. Ia menolak dengan kipasnya, untuk menggempur. Tapi In Hong terus bertahan, nyonya itu masih sanggup membela diri.

Beberapa puluh tahun sudah Thian Yauw melatih diri, tenaga dalamnya mahir luar biasa, jauh lebih menang daripada nyonya yang menjadi lawannya itu, maka juga. setelah mencoba terus menerus, ia dapat memaksa nyonya itu mundur sampai tujuh tindak. Desakannya ini membikin bingung para hadirin, mereka sangat berkuatir In Hong akhirnya kena dirobohkan. Sampai itu waktu, sia-sia belaka In Hong mencoba meloloskan pedangnya.

Tapi desakan itu tidak berlangsung terus. Nyonya Hok Thian Touw tidak mau sembarang menyerah. Sambil bertahan, ia memasang mata. ia mengerjakan otaknya. Ia cerdas sekali. Tiba-tiba ia mendapat akal. Mendadak ia mengendorkan tenaganya, lalu mendadak juga ia menusuk kaget, ujung pedangnya dikutik sedikit. Dan kutunglah sebatang tulang kipasnya lawan!

Tipu silat Nyonya Hok Thian Touw ini ialah yang dinamakan "Pauwteng kaygoe" atau "Koki melepaskan kerbau." Itulah tipu dari "Hiankong Yauwkoat." Ia mencoba dan ia berhasil.

Walaupun demikian, In Hong belum berhasil meloloskan pedangnya. Thian Yauw segera bertahan pula.

Untuk sejenak, orang she Tjouw itu terkejut. Tahu-tahu sebuah tulang kipasnya putus. Dengan begitu, sudah tiga buah tulang kipasnya itu yang terputuskan lawannya yang cerdik itu. Karena ini, ia mulai mendesak pula, hingga lagi-lagi In Hong dipaksa mundur.


San Bin dan Giok Houw berkuatir sekali. Terang In Hong menjadi makin letih. Berbahaya kalau kipasnya musuh tidak dapat dikutungkan dan dikutungkan pula, supaya kipas itu tak dapat terus dipakai mendesak, supaya Thian Yauw tidak bisa menotok lagi. Tapi, bagaimana? Thian Yauw ada sangat tangguh.

Tengah Giok Houw berkuatir itu, hingga ia mengeluarkan peluh dingin, mendadak ia mendengar suara berketruk nyaring, lantas terlihat Tjio Keng Ham berbangkit dan bertindak ke arah kalangan pertempuran. Orang Biauw itu berjalan dengan kepalanya yang gundul digoyang-goyang.

"Kami datang kemari untuk uang, kami bukan menghendaki jiwa!" berkata dia dengan bahasa Han yang tidak lancar. "Pertempuran ini hebat tetapi tidak ada keputusannya, maka itu baiklah cara bertempur ini ditukar saja dengan cara lain!"

Kata-kata itu dibarengi sama goyangan kepala. Mendadak sebelah anting-antingnya melesat, tepat masuk ke ujung pedang In Hong, atas mana, pedang itu pun dengan tiba-tiba terlepas dari libatannya kipas Tjouw Thian Yauw. Dengan lolosnya pedangnya itu, si nyonya merdeka untuk lompat mundur, hanya begitu lekas kakinya menginjak lantai, sekonyong-konyong tubuhnya terhuyung, terus ia jatuh. Dengan hanya sejenak, ia merasai kepalanya sangat pusing dan matanya berkunang-kunang.

Semua orang kaget dan heran. Kenapa In Hong roboh? Kenapa ia tidak lantas bangun pula, untuk berlompat bangun? Jikalau ia cuma terhuyung, ia pasti dapat mempertahankan diri. Biasa saja orang terhuyung habis menarik keras lain mendadak yang ditarik itu terlepas.

Louw Too In pun kaget tetapi dia lantas berbangkit, untuk mengambil secawan air teh. untuk dibawa kepada Nyonya Hok Thian Touw.

Thio Giok Houw bergerak lebih sebat daripada tabib dari Siamsay itu, dengan menghunus goloknya, golok Biantoo, ia lompat masuk ke dalam gelanggang.

"Bangsat Biauw tidak tahu malu!" ia berseru. "Bagaimana kau berani main gila dan berlaku rendah di sini?"

Tjio Keng Ham tertawa berkakak menyambut tibanya si anak muda, dengan mulutnya dibuka, itu, dari situ mengepul keluar asap hoentjwee-nya.

Giok Houw telah bersiap sedia untuk sambutan yang berupa penyerangan mendahului itu, ia hanya tidak menyangka bahwa ia bakal dipapaki asap. Ia mengibas dengan tangannya yang kiri, ia menggunai pukulan Pekkhong tjiang. Meski begitu, tidak Semua asap dapat disampok, ada juga yang mengepul ke hidungnya, hingga ia merasa pusing kepalanya dan matanya berkunang-kunang, tak tempo lagi, ia terhuyung mundur. Syukur untuknya ia dapat mempertahankan diri dengan kuda-kudanya yang kokok kuat.

Itu waktu, Louw Too In juga sudah tiba kepada In Hong, muka siapa ia sembur dengan air yang ia bawa itu, atas mana Nyonya Hok Thian Touw lantas berlompat bangun dalam gerakannya Ikan Gabus Meletik, bahkan untuk segera menikam Keng Ham.

Orang Biauw itu berkelit, sambil menghadapi Too In, ia berkata dingin: "Ha, kiranya kau pun seorang ahli! Baiklah, kau rebahlah lebih dulu!"

Lalu dia menyembur pula dengan asap pipanya!

Too In menduga orang menggunai asap pulas, ia tidak takut. Untuk melawan itu, ia sudah makan obat pemunahnya. Maka ia maju, untuk melawan.

Keng Ham benar-benar liehay. Di samping asap kepulannya itu. diam-diam tangannya menyentil. Di tangannya itu ia memegang serupa bubuk beracun lain, yang liehay sekali.

Too In kaget sekali dan kesakitan sangat. Ia merasakan bagaikan puluhan jarum menusuk biji matanya. Begitu ia menjerit, begitu tubuhnya roboh, sebab Keng Ham telah menyusuli ia dengan satu serangan tangan kosong!

Atas kejadian itu, yang membikin orang kaget dan gusar, semua hadirin berlompat bangun, semua maju ke gelanggang. Mereka sangat penasaran.

"Bagus!" berseru Keng Ham sambil tertawa. "Kamu mau main keroyok ya? Baiklah, boleh sekalian saja kamu berkenalan sama aku, Pektok Sinkoen!"

Satu-dua orang di antara hadirin itu kaget bukan main. Mereka itu pernah tinggal di wilayah Biauwkiang dan mengetahui nama dari Pektok Sinkoen, si Malaikat Seratus Racun. Mereka tidak sangka, inilah jago racun itu.

Keng Ham bersuara seraya membuktikan ancamannya. Ia mengepul-ngepulkan asapnya, hingga ruang Tjiegie thia penuh dengan asapnya yang berbahaya itu. Sekarang ia mengudal asap yang tadi ia sedot terus menerus, yang ia bisa simpan di dalam perutnya.

Asap beracun itu luar biasa. Siapa mahir ilmu menahan napas, ia ketolongan. Obat pemunah yang umum saja tidak dapat bertahan terhadapnya. Maka itu, dengan bergantian terdengar blak-bluk dari robohnya tubuh orang ke lantai. Siapa kuat, dia dapat bangun pula, untuk roboh kembali, siapa tidak kuat, dia roboh terus.

Giok Houw kaget, gusar dan berkuatir. Ia menutup rapat dirinya. Ia maju kepada Keng Ham sambil saban-saban menyerang dengan Pekkhong tjiang, Pukulan Udara Kosong, mengusir asap, lalu setelah datang dekat, ia membacok orang Biauw itu.

Keng Ham pun liehay, atas datangnya serangan, ia membuat perlawanan. Ia mengangkat pipanya yang panjang, untuk menangkis. Ia tidak tahu goloknya Giok Houw ialah golok Biantoo, dan Giok Houw sendiri mengerti Tongtjoe kang, ilmu Jejaka Sejati, sedang tenaga dalamnya tidak dapat dipandang ringan. Maka kagetlah ia ketika ia mendapat kenyataan, pemuda itu tidak dirobohkan dengan asap. bahkan pipanya kena terbabat!

Giok Houw girang dengan hasilnya penyerangannya yang pertama itu. tanpa mengasi ketika ia mengulangi bacokannya Tapi kali ini, goloknya kena ditangkis Tjouw Thian Yauw, yang berlompat kepadanya untuk membantui kawannya, hingga ia jadi menempur orang yang liehay itu.

Baru beberapajurus, Siauw Houw Tjoe sudah merasai dadanya sesak. Rupanya asap toh dapat nelusup. Ia menahan terus, tidak berani ia membuka mulut, untuk bernapas. Karena menghadap musuh tangguh, ia berkelahi dengan keras sekali.

Tiba-tiba terdengar suara di kuping pemuda ini: "Kau juga rebahlah!"

Itulah suaranya si orang Biauw. Ia kaget. Berbareng dengan itu, goloknya kena ditahan kipasnya Thian Yauw, sedang punggungnya, di mana ada jalan darah kwietjhong hiat. kena ditinju Keng Ham. Tidak ampun lagi, ia roboh tak sadarkan diri.

Ketika itu, asap mulai buyar.

In Hong bersama San Bin maju menyerang. San Bin dengan Kimtoo, Golok Emas-nya, menyerang Thian Yauw dengan bacokan "Tokpek Hoasan" --- "Membelah gunung Hoasan." Thian Yauw menangkis dengan kipasnya. Inilah keras lawan lemas. San Bin mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, hebat bacokannya itu, maka mau atau tidak, Than Yauw kena terpukul mundur.

In Hong sendiri maju kepada Keng Ham, segera ia menikam.

Orang Biauw itu terdesak, dia berkelit sambil mundur, atas mana si nyonya merangsak, habis membabat, tangan kirinya menyamber ke pundak, untuk menyengkeram tulang selangka

Biar bagaimana, Keng Ham kalah gagah dari Thian Yauw, maka itu, menghadap In Hong tanpa perlindungannya orang she Tjouw itu, ia tidak berdaya. Untung untuknya, nyonya muda itu tidak ingin lantas meminta jiwanya, jikalau tidak, disebelah hancur tulang selangkanya itu, jiwanya pasti akan sudah melayang!

Sebenarnya In Hong ingin menawan hidup-hidup ini musuh yang berkepandaian luar biasa, kesatu ia ingin mengorek asal-usul orang, dan kedua ia ingin memaksa minta obat pemunahnya guna menolongi semua kurban asap beracunnya itu. Tapi justru karena keinginannya ini, ia telah menjadi kurbannya si orang Biauw.

Keng Ham itu, kecuali persediaan di tangannya, juga seluruh tubuhnya sudah dilabur racun. Begitu ketika pundaknya kena diraba In Hong, dalam tempo yang cepat sekali, Nyonya Thian Touw menjadi kaget sekali. Hampir mendadak, ia merasakan tangannya panas dan sakit, terus tangannya itu sesemutan dan kaku. Itu waktu sia-sia belaka niatnya menghancurkan tulang selangka si musuh, ia sudah tidak dapat menggunai tangannya lagi. Keng Ham sebaliknya, sambil memperdengarkan seruan aneh, ia mengangkat pundaknya, untuk menyundul, maka di lain pihak, tubuh In Hong yang terpelanting jatuh!

Juga San Bin itu waktu, meski tangguh tenaga dalamnya, dadanya mulai terasa sesak, hingga ia menjadi merasa tubuhnya tidak leluasa lagi, kesehatannya seperti terganggu secara mendadak, tetapi ia terus menguatkan hati. ia terus melawan Thian Yauw yang gagah itu. Hanya, ketika ia melihat robohnya In Hong, kagetnya tidak terkira, tanpa merasa, ia berseru! Tepat ia membuka mulutnya, tepat asap beracun menyerang masuk, maka sedetik itu juga, ia terhuyung!

Thian Yauw menggunai ketikanya yang baik, dengan kipasnya ia menyampok goloknya raja gunung itu, hingga Kimtoo terpental, membarengi mana, Keng Ham maju dengan serangannya tangan kosong. Maka tidak ampun lagi, robohlah tjeetjoe itu!

Thian Yauw lantas tertawa bergelak-gelak, terus ia kata dengan nyaring: "Bukankah barusan kamu telah mendengar terang jelas perkataannya Tjio Toako kami ini? Kami menghendaki uang, bukannya jiwa! Tetapi, jikalau kamu tidak suka memberikan uang yang kami inginkan itu, kami tidak mempunyai daya lain, terpaksa kami menghendaki jiwajuga! Sekarang begini: Kami memberi waktu sepuluh hari kepada kamu, jikalau lewat waktu itu tetap kamu belum menyerahkan separuh bingkisan, maka jiwanya Tjioe San Bin, Thio Giok Houw dan Leng In Hong ini, jangan kamu harap dapat hidup pula!"

Selagi Tjouw Thian Yauw mementang mulutnya ini, Tjio Keng Ham mengambil kesempatan mengisi pula pipanya, untuk disulut, untuk terus disedot berulang-ulang, maka di lain detik, ia sudah mengepul-ngepulkan asap lagi, membikin asap yang sudah hampir buyar habis menjadi banyak dan tebal pula, bagaikan awan mendung!

Semua berkuatir, semua pada menutup mulut mereka. Tidak ada yang berani membuka mulut, sebab itu artinya mereka bakal roboh seperti San Bin semua. Meski begitu, mereka bukannya berdiri diam saja. Dalam murkanya, mereka itu maju menyerang, hingga sinar pelbagai senjata tajam menjadi berkelebatan.

Dengan memutar kipasnya, Thian Yauw menyerbu di antara banyak orang itu. Hebat serbuannya ini, sebab itu saban-saban disusul sama suara robohnya tubuh orang, dibikin tambah berisik dengan jeritan-jeritan dan berkontrang jatuhnya pelbagai senjata mereka itu. Mereka itu roboh disebabkan tak tahan tak bernapas, lantaran mereka kena tertotok, atau karena senjata mereka tersampok terlepas dan jatuh. Siapa yang kaget dialah yang menjerit.

Di antara pengeroyok itu, siapa yang ilmu silatnya liehay, dia tidak gampang-gampang kena dirobohkan, tetapi senjata mereka kena dibikin tidak berdaya, mata mereka mesti keluar air karena terserang asap yang membikin mata perih dan sakit, hingga akhirnya mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Di dalam kekalutan itu. Liong Kiam Hong berlompat menyerang kepada Tjouw Thian Yauw. hingga orang she Tjouw itu menjadi terkejut, kata dia di dalam hatinya: "Aku tidak sangka nona muda ini begini liehay tak di bawahnya Thio Giok Houw." Ia lantas mengasi bergerak kipasnya, untuk membuat perlawanan. Atau segera ia diserang pula dari kiri dan kanan, hingga ia menjadi kaget sekali. Terpaksa ia berkelit seraya menangkis.

Gerakannya Thian Yauw ini menurut gerakan "Poanliong papou," atau, "Naga melingkar memindah tindakan," akan tetapi ia toh masih kurang sebat, benar ia lolos dari serangan kiri kanan, tidak urung ujung pedangnya Nona Liong telah menembuskan ujung bajunya. Syukur untuknya, ia tidak sampai terluka.

Tjio Keng Ham bekerja sama, ia lantas menyembur ke arah si nona yang gagah itu.

Kiam Hong melihat datangnya asap, ia lantas berkelit, sambil berkelit, tangannya mengibas. Dengan itu ia menggunai kepandaiannya Tangan Baju Besi, atau Tiatsioe Sinkang. Inilah tidak disangka Keng Ham, dia tidak dapat meloloskan diri, tahu-tahu dia merasakan sakit hingga dia berkaok "Aduh!" Untung untuknya, pedang si nona, yang menyusuli kibasannya itu, telah kena ditangkis Thian Yauw, siapa pun menotok nona itu.

Kiam Hong kaget, lekas-lekas ia membebaskan diri, hingga ia tidak usah roboh karena kepalanya pusing. Ia lantas lompat mundur, hatinya terus memikirkan Giok Houw, keselamatan siapa ia kuatirkan.

Thian Yauw dan Keng Ham melihat tidak ada lagi serangan untuk mereka, mereka lantas mengundurkan diri dari gumpalan asap, keluar dari Tjiegie thia, di sini dia tertawa lebar dan berkata nyaring: "Hari ini kami tidak menghendaki jiwa kamu! Maka kamu ingatlah! Jikalau sampai pada batas waktu yang kami berikan kamu masih tidak menyerahkan bingkisan, bukan cuma tjeetjoe kamu bakal tidak tertolong lagi jiwanya, juga gunung kamu ini akan kami bikin habis!"

Lantas berdua mereka mengangkat kaki tanpa ada yang berani merintangi, kecuali beberapa orang, akan tetapi mereka ini lantas kena disembur roboh oleh Keng Ham, yang menggunai jimat asapnya itu.

Di dalam Tjiegie thia, asap jahat itu sudah lantas buyar, maka tertampaklah segala apa dengan nyata. Kok Tiok Kin yang telah lantas mementang lebar semua pintu dan jendela, hingga angin bertiup masuk, la lantas memeriksa orang-orang yang roboh. Tiga belas orang masih rebah tak sadarkan diri. Ketika ia memeriksa nadi mereka, ia terkejut. Ia sekarang mendapat tahu, asap itu asap yang dibuat dari kimsie kiok, atau seruni emas. dari wilayah Biauwkiang. Bunga itu memang beracun, hidupnya di lembah-lembah, warnanya kuning emas mengkilap dan indah, maka sayang sekali ada racunnya. Syukurnya, racun dari perantaraan asap, jadi kurangan hebatnya.

Dengan lantas Tiok Kin menggunai obat bubuk Hoanhoen San, tetapi ia tidak berani menanggung kesembuhan seluruhnya. Iakuatir, setelah jiwanya tertolong, kurban-kurban itu bakal mendapat sakit peparu serta ilmu silatnya sukar terharap terpulihnya. Sekalipun orang yang dapat menahan napas dan yang mahir tenaga dalamnya, ada kemungkinan dia jatuh sakit sebelumnya dia sembuh betul.

***

Masih ada enam atau tujuh orang kurban totokannya Tjouw Thian Yauw. Mereka ini mempunyai dasar tenaga dalam yang baik, maka mulanya mereka masih dapat bertahan, untuk tidak menyedot asap beracun, hanya kemudian, sesudah tertotok, buyarlah tenaga melawan mereka, akhirnya mereka menyedot juga. Syukur untuk mereka, pertolongan datang cepat, mereka luput dari penyakit peparu. walaupun demikian, mereka mesti roboh sekian lama juga disebabkan penyakit yang berat akibat keracunan itu. Yang membikin orang kaget dan berkuatir adalah Tjioe San Bin bertiga Leng In Hong dan Thio Giok Houw. Muka mereka itu menjadi hitam. Ketika Kok Tiok Kin menekan jalan darah kwangoan hiat di tubuh mereka masing-masing, kerongkongan mereka mengasi dengar suaragerijukan, lantas mereka memuntahkan reak kental yang bercampur darah, sedang mata mereka tetap masih dirapatkan.

"Aneh, aneh!" berkata Tiok Kin sesudah ia meraba nadi mereka itu.

"Bagaimana?" menanya Kiam Hong, bergelisah. "Dapatkah mereka ditolong?"

"Mereka keracunan hebat sekali," menyahut Tiok Kin. "Aku tidak mengetahui racun itu racun apa. Menurut biasanya, dalam keadaan seperti ini, nadi mereka mesti lemah sekali, akan tetapi sekarang ternyata nadi mereka berjalan seperti biasa. Aku percaya, andaikata mereka dapat dibebaskan dari racun ini, juga ilmu silat, atau tenaga dalam mereka, tidak bakal terganggu karenanya...

"Mungkin mereka dapat bertahan karena lebih dulu mereka sudah makan Pekleng Tan," Kiam Hong mengutarakan dugaannya.

"Adakah itu Pekleng Tan yang terbuat dari soatlian?" Tiok Kin tanya.

"Benar! Ketika entjie Leng turun gunung, ia membekal belasan butir, sekarang tinggal beberapa butir saja. Marilah kita mencobanya terhadap mereka itu yang keracunan juga."

"Pantas kalau begitu!" berkata Tiok Kin girang. "Hanyalah, meskipun Pekleng Tan tidak dapat membebaskan mereka dari keracunan. Ini menandakan liehaynya racun itu. Aku kuatir kecuali Tjio Keng Ham. di kolong langit ini tidak ada lain orang lagi yang dapat menolongnya..."

Mendengar itu, Kiam Hong menjadi gusar.

"Mungkinkah kita benar-benar mesti dipengaruhkan dia?" ia berkata. Ia berdiam sejenak, atau mendadak ia nampaknya kaget, lantas ia berseru: "Ah, luka ini mirip luka yang disebabkan keracunan Tjit Im Toktjiang!"

"Apakah itu Tjit Im Toktjiang?" Kok Tiok Kin tanya.

Kiam Hong memberikan keterangan liehaynya tangan Tjit Im Tjiang, bagaimana dulu hari Tjioe Tjie Hiap pun pernah mendapatkan luka itu.

"Aku lihat luka mereka ini mirip lukanya Tjioe Tjie Hiap itu," ia menambahkan kemudian. "Orang Kaypang mengetahui pengobatan luka semacam ini, mari kita lekas mencari Pit Keng Thian!..."

Baru si nona berkata begitu atau ia lantas menunduki kepala dengan roman lesu.

Pit Kheng Thian berada jauh --- di propinsi Shoatang, di dalam tempo sepuluh hari, mana dapat dia didatangkan kemari?

"Bagaimana caranya orang Kaypang mengobatinya?" Tiok Kin tanya.

Belum lagi Kiam Hong menjawab, di situ telah datang Tjioe Tjie Hiap bersama Tjio Tjoei Hong. Ibu dan anak ini baru sembuh. San Bin melarang mereka turut dalam perlawanan terhadap musuh, tetapi ketika musuh sudah berlalu, dari seorang tauwbak yang datang memberi warta mereka ketahui kesudahannya pertempuran itu, maka mereka lantas datang. Mereka kaget dan menjadi gusar sekali kapan mereka mendapat kenyataan suami dan ayah mereka terluka demikian parah.

"Legakan hatimu, saudara Tjioe," Kiam Hong menghibur. "Coba kau lihat, apa luka ini tidak sama dengan lukamu dulu?"

Tjie Hiap mengawasi, untuk meneliti.

"Ya, hampir mirip!" katanya kemudian, heran. "Darah yang dimuntahkan itu berwarna separuh merah dan separuh hitam, demikian juga darah yang aku muntahkan."

"Bagus!" berkata si Nona Liong. "Sekarang bilang, apakah kau masih ingat bagaimana caranya Pit Keng Thian mengobati padamu?"

"Tentang itu belakangan Pit Pangtjoe telah memberikan keterangan padaku," menyahut Tjie Hiap. "Dia telah merendam aku di air hangat, tujuh kali dia menukar air hangat itu, kemudian ketika penukaran tiga yang paling belakang, aku tersadar. Dia menggunai beberapa macam obat, yang bukannya obat-obat yang sukar didapatkannya."

"Kalau begitu, lekas kau mencatat namanya obat itu," kata Kiam Hong. "Kita mesti menyuruh orang lekas menyiapkannya!"

"Jangan! Jangan!" Sekonyong-konyong terdengar teriakan berulang-ulang, yang datangnya dari ujung rumah.

Itulah suaranya Louw Too In. Dia berbangkit dengan susah, kedua matanya merah dan bengkak. Dia telah terkena Kiattjoe hoen, atau pupur kala, oleh Tjio Keng Ham, hingga matanya itu terluka parah, syukur dia sendiri ahli racun, dengan cepat dia pergi ke tempat terbuka di mana dia mengobati matanya itu, baru dia kembali ke dalam hingga, sambil memeramkan mata, ia dapat mendengar pembicaraan orang. Dia mengasi dengar cegahannya itu ketika dia mengetahui Liong Kiam Hong mau menggunai cara pengobatannya Pit Keng Thian itu.

"Kenapa tidak boleh?" tanya Tjio Tjoei Hong, yang mengetahui orang ada ahli obat-obatan dan juga luas pengalamannya serta banyak pengetahuannya.

"Coba salah seorang tolong membawa aku kepada Tjioe Tjeetjoe," berkata Too In.

Tjioe Tjie Hiap menghampirkan, lalu ia memegangi, menuntun orang kepada ayahnya.

Louw Too In meraba nadinya San Bin. la memegang sekian lama ketika mendadak ia mengasi dengar jeritan kaget dan ketakutan dan tangannya itu disentak pulang.

Semua orang kaget.

"Kenapakah?" tanya Tjoei Hong.

Louw Too In tidak menjawab. Dia lantas mengeluarkan sebatang jarum, dengan itu dia menusuk jeriji tangannya yang tengah, yang darahnya dia keluarkan dengan dipenceti. kemudian dia mengasi lihat jari tangannya itu.

Nyatalah tiga jerijinya pada melepuh seperti bekas tersulut api dan kulitnya hangus. Menyaksikan itu, semua orang kaget dan heran dan giris hatinya.

"Tjit Im Toktjiang adalah keracunan yang sifatnya dingin pada seluruh tubuhnya, dingin bagaikan es, maka juga, meskipun orang dapat diobati dan sembuh, sampai lamanya setengah bulan, hawa dinginnya masih kadang-kadang timbul pula."

"Benar, itulah benar." berkata Tjie Hiap. "Demikianlah penyakitku."

"Sekarang ini tubuhnya Tjioe Tjeetjoe panas." kata Too In pula, "maka itu lukanya bukan disebabkan Tjit Im Toktjiang."

Tjie Hiap percaya keterangan ini. Buktinya, dengan cuma meraba saja nadi ayahnya, Too In turut terluka jerijinya.

"Habis, luka apakah ini?" tanya Tjoei Hong.

"Mulanya aku tidak ketahui tentang Tjio Keng Ham," sahut Too In, sampai dia menyebutkan namanya sendiri serta gelarannya, Pektok Sinkoen. Melihat luka ini, mungkin ini disebabkan racun Kioeyang Toktjiang."

"Sebenarnya siapa itu Pektok Sinkoen?"

"Apakah luka Kioeyang Toktjiang dapat disembuhkan?"

Demikian orang bertanya-tanya.

"Ketika dulu hari aku keluar dari rumah perguruan," Too In memberikan keterangan, "aku telah dipesan wanti-wanti oleh guruku, umpama kata aku bertemu sama orang atau muridnya Kie Hoan dari wilaiah suku bangsa Biauw, aku dianjurkan untuk menyingkir jauh-jauh. Untuk jaman kita ini, Kie Hoan ialah ahli racun nomor satu. Dia mempunyai dua orang murid, yang seorang pria, yang seorang lagi wanita --- yang pria bangsa Biauw, yang wanita bangsa Han. Yang pria itu telah semenjak lama sudah mendapatkan namanya. Dialah Tjio Keng Ham, yang barusan datang kemari dan gelarannya ialah Pektok Sinkoen, si Malaikat Seratus Racun. Yang wanita itu kabarnya berasal murid murtad dari Tjie Hee Toodjin. yang belakangan berguru pada Keluarga Kie itu. Selama hidupnya Tjie Hee, dia tidak berani keluar dari wilayah Biauw itu, baru selama dua tahun ini, namanya mulai terdengar. Dia menyebut dirinya Tjit Im Kauwtjoe. Di dalam ilmu silat, Pektok Sinkoen kalah, tetapi mengenai racun, dia lebih menang, maka juga kepandaiannya itu, yaitu Kioeyang Toktjiang, lebih liehay daripada Tjit Im Toktjiang. Siapa terkena Tjit lm Toktjiang, dia dapat diobati dengan direndam dalam air panas, guna menyingkirkan racun panasnya itu. tetapi Kioeyang tjiang bersifat panas, kalau orang yang terluka karenanya direndam di air panas, itu artinya mempercepat kebinasaannya. Maka juga, meskipun sifatnya kedua luka mirip satu dengan lain tetapi cara pengobatannya beda."

"Kau mengerti perbedaan itu, Louw Sinshe, kau tentu dapat mengobatinya, bukan?" Tjoei Hong tanya kemudian.

Too In menghela napas.

"Luka disebabkan Tjit Im Toktjiang masih dapat disembuhkan," katanya, "tidak demikian dengan luka Kioeyang Toktjiang. Untuk itu, kecuali orang keluaran Keluarga Kie itu, tidak ada yang dapat menolong. Selama sepuluh tahun guruku telah memahamkan Kioeyang Toktjiang, ia tetap tidak berhasil menemukan obatnya."

Mendengar keterangan itu, semua orang kaget, hatinya menjadi kecil. Tapi orang bersyukur juga atas adanya keterangan itu, kalau tidak, mungkin mereka menggunai cara pengobatan yang keliru, yang akibatnya akan membahayakan.

Tak dapat ditahan lagi, Tjoei Hong mengalirkan air mata. Tapi ia ada sangat gusar.

"Jikalau begini, bukankah kita jadi mesti mengasikan diri kita dipengaruhi musuh?" katanya sengit. "Kalau nanti telah sampai batas waktu sepuluh hari yang diberikan itu maka haruslah kita menyerahkan separuh bingkisan, untuk dihaturkan dengan kedua tangan kita sendiri!"

Semua orang berduka dan bingung, semua tunduk dan lesu. Mereka pun berpikir sama seperti Nyonya Tjioe itu, ialah mereka mesti menyerah kepada kehendak musuh. Tapi mereka tidak puas. Tidak sudi mereka menyerahkan bingkisan itu, yang didapatnya bukan tanpa pengurbanan.

"Syukur Tjioe Tjeetjoe dan yang lainnya telah makan Pekleng Tan." kata Too In kemudian, suaranya perlahan dan tenang, "maka di dalam tempo sepuluh hari belum tentu mereka bakal kehilangan jiwa mereka. Tempo yang diberikan Pektok Sinkoen masih belum habis, aku pikir, baiklah kita berlaku sabar, perlahan-perlahan saja kita mendayakannya."

Akan tetapi, daya apa mereka mempunyakan? Bukankah Too ln sendiri, begitupun Tiok Kin. telah putus asa? Kecuali pihak Pektok Sinkoen sendiri, siapa dapat menolong? Justeru pertolongannya musuh itu tidak dikehendaki!

Dengan lesu Tjoei Hong lantas menempatkan suaminya, In Hong dan Giok Houw, di sebuah kamar masing-masing.

Kiam Hong ada sangat berduka dan berkuatir. Dengan In Hong ia ada bagaikan kakak dan adik. Terhadap Giok Houw ia telah menaruh cinta. Sekarang ia menyaksikan mereka itu terluka tanpa ia bisa berbuat apa-apa. Bagaimana ia tidak menjadi bingung dan kecil hatinya?

Kecuali San Bin. In Hong dan Giok Houw bertiga, masih ada belasan orang lainnya yang terluka, maka itu, maka juga, orang semua murung.

Leng In Hong masih mempunyai sisa tiga butir Pekleng Tan, Kiam Hong ambil itu, ia hancurkan di dalam air, lantas air obat itu ia bagi rata kepada mereka yang terluka itu. Louw Too In dan Kok Tiok Kin pun membantu sebisanya, guna mencegah mereka nanti mendapat gangguan pada peparu mereka.

Besoknya In Hong sadar paling dulu. Ia memang mempunyai tenaga dalam paling mahir. Ia ditolong oleh obat masak Yanyang Siokbeng thung buatannya Kok Tiok Kin. Tapi ia tidak boleh banyak omong, maka itu, dengan suara perlahan dan terputus-putus, ia memberi pesan pada Kiam Hong. Ialah ia minta Nona Liong pergi ke Thiansan untuk menemui Hok Thian Touw, guna memberitahukan perihal sakitnya itu, untuk mendapat tahu, Thian Touw suka datang menjenguknya atau tidak. Ia belum tahu hal lukanya yang berbahaya itu, yang tidak dapat disembuhkan sekalipun dengan Pekleng Tan, bahkan ia tidak bakal sanggup bertahan sampai dua puluh hari...

Kiam Hong berduka bukan main. Ia tidak mau membuka rahasia, ia melainkan menjanjikan. Ia menahan kesedihan hatinya.

San Bin bersama Giok Houw masih belum sadar sekalipun di hari ketiga.

Selama tiga hari itu, telah di kirim banyak orang ke pelbagai penjuru, guna mencari tabib yang pandai di sekitar tempat seratus lie, akan tetapi ichtiar itu tidak ada hasilnya, semua tabib yang datang pada tidak berdaya. Hanyalah, karena di kirimnya banyak orang, di antaranya telah didapat keterangan bahwa didusun Bang keepo di luar pegunungan Patat Leng telah terlihat Tjit Im Kauwtjoe bersama gadisnya. Kabar ini justeru menambah kekuatiran orang...

"Tjit Im Kauwtjoe itu ialah saudara seperguruan dari Pektok Sinkoen," demikian orang berpikir, "sekarang dia berada di tempat berdekatan mestinya dia datang sebab diundang kakak seperguruannya itu. Pektok Sinkoen sendiri sudah sukar dilawan.

bagaimana lagi kalau dia dibantu adik seperguruannya itu yang tidak kurang liehaynya?"

"Apakah kamu tahu di mana Tjit Im Kauwtjoe itu mengambil tempat mondok?" Kok Tiok Kin tanya beberapa liauwlo yang membawa kabar itu.

Mereka itu malu sendirinya, muka mereka menjadi merah. Mereka menggeleng kepala, tandanya mereka tidak tahu.

Hal yang sebenarnya ialah: Mereka melihat Tjit Im Kauwtjoe itu dan anak tetapi mereka tidak berani menghampirkan dan tidak berani juga menyelidiki orang mondok di mana. Sebabnya ialah mereka jeri terhadap kauwtjoe itu.

"Bang keepo ialah kepunyaannya Bang Thong," berkata Tjio Tjoei Hong. "Bang Thonghartawan terbesar di sekitar sini, biasanya jikalau kami membutuhkan uang dan rangsum. belum pernah dia menampik, maka itu aku percaya dia tidak nanti berani ketempatan musuh kita."

Pendapat Tjoei Hong ini benar, hanyalah ia tidak pikir, kalau Tjit Im Kauwtjoe toh singgah di rumah Bang Thong, mana dapat Bang Thong menampik. Pula. di waktu demikian, mana ada kesempatan akan menegur Bang Thong itu?

"Baiklah kita jangan putus asa." berkata Kok Tiok Kin kemudian. "Kita diberi waktu sepuluh hari, kalau waktunya sudah habis, pasti Pektok Sinkoen bakal datang sendiri. Bagi kita, tambahnya satu Tjit Im Kauwtjoe tidak berarti apa-apa. Mustahil mereka bisa membunuh mati kita semua? Bukankah mereka cuma menghendaki bingkisan. Sekarang masih ada waktu tujuh hari. kita menanti saja...

Semua orang bisa membade hatinya Tiok Kin. Kalau sang waktu tiba dan mereka tetap tidak berdaya, dia suka menyerahkan separuh bingkisan yang diminta musuh. Tentu sekali hal itu membikin semua orang panas hati dan berduka...

Cuma Kiam Hong seorang yang lantas berpikir: "Tjit Im Kauwtjoe itu aneh, dia pandai menggunai racun, orang menyebutnya dia kepala agama sesat, meski demikian belum pernah terdengar dia melakukan sesuatu kejahatan yang berlebihan. Sebenarnya belum lama dia muncul dalam dunia Kangouw, dia menjadi terkenal karena racunnya. Kenapa aku tidak mau mencoba berhubungan dengannya? Menurut entjie Sin Tjoe, ia pernah menolongi Im Sioe Lan, gadisnya Tjit Im Kauwtjoe. Sioe Lan itu katanya jauh terlebih baik daripada ibunya, dia pernah ditolong entjie Sin Tjoe, mustahil dia tidak mengingat budi? Bagaimana kalau aku pergi padanya, untuk minta bantuannya?"

Belum lagi nona ini mengambil putusan, lantas ia ingat urusan Im Sioe Lan menampik lamarannya Kiauw Siauw Siauw. Kenapa penampikan itu? Bukankah itu disebabkan Sioe Lan telah jatuh hati kepada Giok Houw? Bukankah Tjit Im Kauwtjoe pernah melamar Giok Houw sendiri untuk puterinya itu? Tapi Giok Houw telah menampik dengan getas. Karenanya, bisakah ia pergi minta bantuannya Sioe Lan? Maka ia menjadi ragu-ragu.

"Coba entjie Sin Tjoe ada di sini..." pikirnya pula sesaat kemudian. "Tentulah entjie Sin Tjoe yang pergi, mungkin ada harapan. Kalau aku yang pergi, mungkin aku bakal diusir! Bagaimana? Tidak dapat aku pergi kalau aku bakal dibikin malu..."

Karenanya, ia menjadi bingung lagi, hatinya pepat.

Malam itu, setelah minum dua bungkus obatnya Kok Tiok Kin, San Bin dan Giok Houw mulai mendusin. akan tetapi mereka belum sadar seluruhnya, mereka cuma merasa lapar dan mengeluh atas nyeri lukanya, orang di sekitarnya tidak ada yang mereka kenali.

Hati Kiam Hong sakit sekali karena ia mendengar rintihannya Giok Houw. Ia pula pusing mendengar kasak-kusuk sejumlah tauwbak, yang mengatakan bahwa bila tiba batas waktu, terpaksa mereka mesti menyerahkan bingkisan mereka yang didapatnya dengan susah payah.

Tengah ia jalan mundar-mandir seorang diri dengan rasa tidak keruan, sekonyong-konyong Nona Liong ingat lagi Sioe Lan, maka pikirnya: "Im Sioe Lan pernah menyintai engko Houw, apa mustahil dia dapat membiarkan orang yang pernah ia cintai itu mati kecewa? Memang dia membenci aku, tetapi kalau aku bisa menggabungjodohnya denganjodoh engko Houw, mustahil dia suka berdiam saja tanpa menolong? Baiklah, biar aku menebalkan muka, aku pergi minta bantuannya, asal engko Houw ketolongan..."

Cepat nona ini mengambil keputusannya, lantas ia pergi pada Tjoei Hong, untuk mengutarakan niatnya mencari Tjit Im Kauwtjoe, guna meminta obat.

Tjoei Hong terperanjat. "Itulah berbahaya!" katanya. "Aku kira tidak," Kiam Hong bilang. "Tjit Im Kauwtjoe ibu dan anak tidaklah sejahat pembilangan orang banyak. Pernah beberapa kali aku bertempur sama mereka, rasanya meskipun mereka bangsa sesat, hati mereka masih mengenal rasa kasihan..."

Kiam Hong tidak mau menjelaskan adanya urusan asmara di antara Sioe Lan dan Giok Houw, asmara segi tiga karena pada itu dirinya pun tersangkut, ia hanya memberi keterangan halnya Sin Tjoe pernah membantu Sioe Lan menentang lamarannya pihak Kiauw.

Heran Tjoei Hong mendengar urusan itu.

"Mereka ibu dan anak berani menentang Kiauw Pak Beng, itu benar luar biasa," katanya. "Hanya, biar bagaimana. Tjit Im Kauwtjoe tetap manusia sesal dan dia pun adik seperguruannya Pektok Sinkoen! Mustahil dia mau bertindak menentang kakak seperguruannya itu? Bukankah itu berarti berpihak dan menunjang orang luar? Aku kuatir, jikalau kau pergi kesana. kau mirip orang yang mengantarkan diri ke dalamjaring..."

"Aku dapat bertindak dengan melihat gelagat," kata Kiam Hong. "Jikalau salatannya tidak baik, aku pun tidak akan memaksa memintanya. Aku juga tidak merasa pasti bahwa mereka, ibu dan anak, suka membantu, hanya aku pikir, untuk kita masih ada sedikit harapannya. Bukankah ini terlebih baik daripada kita berdiam saja di sini berpeluk dagu?"

Tetap Tjoei Hong tidak tenang hatinya, akan tetapi ia toh pikir Nona Liong ada benarnya juga. Di dalam keadaan seperti itu, mereka mesti berdaya, segala apa mesti dicoba.

"Baiklah," katanya kemudian. "Jikalau kau tiba di Bang keepo, kau jenguklah Bang Potjoe, untuk mohon keterangan. Dia bukannya orang golongan kita tetapi aku percaya dia akan suka memberi muka kepada kita. Nona Liong, kau cerdas, segala apa aku serahkan kepada kau sendiri!"

Nyonya Tjioe lantas menulis surat untuk Bang Thong, surat mana ia pesan kalau sampai terpaksa barulah diserahkan kepada alamatnya.

Kiam Hong lantas bersiap. Malam itu juga ia berangkat. Pikirannya kacau tetapi hatinya keras, tekadnya bulat. Hebat ia memikirkan dan menduga-duga sikapnya Im Sioe Lan nanti. Hebat untuk ia menyerahkan Giok Houw pada Nona Im itu! Apakah Sioe Lan dapat mempercayai ia? Bagaimana kalau Sioe Lan percaya dan Giok Houw dapat disembuhkan? Bagaimana sikapnya Giok Houw nanti? Dapatkah Giok Houw menyintai nona yang menjadi puterinya Kauwtjoe sesat itu?

"Biarlah, segala apa terserah kepada sang waktu!" kata Kiam Hong akhirnya. "Sekarang aku pergi pada Sioe Lan, aku minta obat. Kemudian, kalau Giok Houw sudah sembuh, tentang jodoh terserah kepada mereka sendiri, umpama kata Giok Houw masih memilih aku, aku bukannya menipu Sioe Lan..." Meski ia berpikir demikian, mukanya toh merah sendirinya "Tidak, tidak dapat aku menipu Sioe Lan. aku mesti menyerahkan Giok Houw padanya..."

Hati Nona Liong berpikir, kedua kakinya bekerja, la berjalan cepat. Besoknya, lewat tengah hari, ia sudah sampai di Bang kecpo, yang terpisah kira dua ratus lie dari gunung, la berjalan terus. Lantas ia memasuki dusun. Orang pertama yang ia ketemui' ialah seorang tua kepada siapa ia minta keterangan hal rumahnya Bang Thong

Orang tua itu mengawasi, sikapnya tawar sekali.

"Mau apa kau cari dia?" dia tanya sebelumnya dia menjawab.

"Ada satu urusan kecil untuk apa aku ingin minta bantuannya," si nona jawab.

"Hm! Kau pergi cari dia pada Raja Acherat!" kata orang tua itu, dingin. Kiam Hong melengak. "Apakah artinya perkataanmu ini?" ia tanya. Benar-benar ia tidak mengerti.

"Orang sudah mampus mana dapat kau mencarinya di dalam dunia!" kata orang tua itu. tawar. "Pasti orang mesti cari dia pada Raja Acherat! Inilah maksudnya perkataanku! Kau mengerti tidak?"

Kembali si nona melengak. "Benarkah itu?" katanya. "Kapan diamati?"

Kedua matanya orang tua itu mendelik.

"Raja Acherat ketahui BangToaya itu seorang baik hatinya, maka itu dia diundang siang-siang untuk membikin pertemuan!" katanya pula. "Apakah kau menyayangi dia mati siang-siang? Dia mati kemarin! Nona, kau ketinggalan satu tindak hingga kau tidak keburu mengambil selamat berpisah daripadanya!"

Habis berkata begitu, lantas orang tua itu ngeloyor pergi.

Mendongkol Kiam Hong diperlakukan demikian, tetapi kemudian ia pikir: "Mestinya Bang Thong jahat dan suka mengganggu sesama penduduk maka orang tua ini sangat membencinya hingga aku turut dibenci pula! Di atas gunung orang membilang dia orang baik, mungkin itu disebabkan penyelidikan yang keliru."

Lantas nona ini berjalan lebih jauh. Ia masih menyangsikan si orang tua, maka waktu ia bertemu orang, ia menanyakan pula. Ia mendapat jawaban yang serupa ialah benar Bang Thong sudah mati dan matinya kemarin. Hanya kali ini dia diberitahukan bahwa orang mati mendadak, matinya secara aneh. Ia juga mendapat kenyataan, orang-orang yang ditanyakan itu pada menunjuki sikap membenci potjoe dari Bang keepo itu.

Paling belakang Kiam Hong bertemu sama seorang bocah penggembala, yang suka memberi keterangan jelas padanya hingga ia dapat tiba di muka pintu pekarangan rumahnya Bang Thong. Di situ, di pintu besar, ia lantas melihat tergantungnya sepasang teng tanda berkabung dan di muka pintu ada beberapa orang dengan pakaian putih lagi melayani tetamu-tetamu yang datang menyatakan duka cita mereka. Ia lantas diawasi beberapa orang yang berkabung itu, sebab mereka itu heran melihat ia --- seorang nona --- datang tanpa membawa kertas, hio dan lilin, pula ia bersendirian dan bajunya dilibat dengan tali pinggang warna merah.

Dengan merasa likat sendirinya, Kiam Hong lantas berkata: "Aku datang dari tempat yang jauh, aku tidak tahu bahwa Bang Potjoe telah meninggal dunia..."

"Nona she apa dan nama apa?" tanya satu orang. "Nona tersangkut apa dengan potjoe kami? Maaf, nona, kami tidak mengenali kau..."

Dalam likatnya. Kiam Hong merasa sulit sekali. Pula ia malu hati untuk menggerecoki orang yang lagi dalam kesusahan itu. Sebaliknya ia berpikir: "Jauh-jauh aku telah datang kemari, mustahil aku bisa tak memperoleh kabaran dan pulang dengan tangan kosong?" Maka dengan terpaksa ia kata: "Baiklah, sebentar kita bicara di dalam." Lantas dengan cepat ia bertindak masuk.

"Ada seorang tetamu yang tidak sudi memperkenalkan diri datang menghunjuk duka citanya!" berkata tukang sambut tetamu, yang tidak dapat mencegah orang masuk.

Mendengar perkataan orang itu, Kiam Hong bercuriga. Kata-kata itu mesti ada maksudnya. Ia rupanya disangka sebagai musuh, maka orang di dalam rumah itu diberi tanda, diperingatkan untuk bersiap sedia. Maka itu mau ia menyangka mungkin Bang Thong itu pernah melakukan sesuatu yang menyalahi lain orang.

Benarlah dugaan itu.

Dari dalam lantas terlihat munculnya beberapa orang.

antaranya ada anak tuan rumah, yang mengenakan pakaian berkabung, ada pula tetamu, dan di antaranya ialah seorang dengan alis gompiok dan mata gede, bahkan dia ini segera membentak: "Kau siapa? Mau apa kau datang kemari?"

Dalam, keadaan seperti itu, Kiam Hong mesti omong terus terang.

"Aku datang kemari untuk bertemu sama potjoe, untuk minta keterangan," ia menjawab. "Aku ingin menanyakan halnya satu orang. Aku tidak menyangka potjoe telah meninggal dunia."

"Siapa itu yang kau hendak tanyakan?" orang itu menanya pula.

"Dialah Tjit Im Kauwtjoe. Apakah dia pernah datang kemari?"

Begitu mendengar jawaban itu, semua orang itu kelihatan kaget.

"Kiranya kaulah anak siluman dari Tjit Im Kauwtjoe!" orang tadi berteriak. "Tjit Im Kauwtjoe sudah meracuni potjoe kami dan kau sekarang berani datang kemari untuk menyerep-nyerepi kabar!"

"Terang sekali dia datang untuk menantang!" berkata seorang lain. "Sudah dia meracuni orang hingga mati, sekarang dia datang pula untuk menghina kami!"

"Dia tidak dapat dibiarkan saja!" berseru orang yang ketiga. "Baiklah kita bekuk dulu dia ini untuk minta ganti jiwa!"

Kiam Hong kaget bukan main. Jadi Bang Thong mati diracuni dan yang meracuni ialah Tjit Im Kauwtjoe. Mau ia menyangkal, untuk memberi keterangan, atau ia tidak diberi kesempatan. Beberapa orang sudah lantas menyerang ia dengan golok! Ia mau menyingkir pun sudah tidak ada ketikanya. Ia memikir untuk berlalu karena ia tahu setelah tuan rumah mati, ia tidak bakal memperoleh keterangan yang diinginkan. Tapi ia telah diserang. Segera ia berkelit.

Beberapa orang itu tidak mau mengerti. Rupanya mereka sangat gusar, tidak berhasil membacok hanya satu kali, mereka mengulanginya, mereka lantas mendesak.

Masih Kiam Hong main mengelakkan diri. Ia mendapat kenyataan sekalian penyerang itu bukan sembarangan orang dan mereka pun cerdik. Demikian, sesudah gagal beberapa kali, satu orang merangsak terus dari depan, dua orang berlompat ke kiri dan kanan, untuk mengepung sambil memegat jalan mundur. Juga caranya mereka menyerang itu rapi sekali, suatu tanda cara penyerangan itu pernah dilatih.

Demikianlah satu kali, kalau tidak Nona Liong sangat gesit, pasti kepalanya sudah kena terbacok. Karena ini, akhirnya ia menjadi gusar. Bukankah ia tidak dapat lolos lagi?

"Pantas semua penduduk desa ini sangat membenci Bang Thong," pikirnya. "Sampai dia sudah mampus, orang-orangnya ini masih galak tidak keruan. Maka bisalah dimengerti kejahatannya semasa hidupnya!"

Karena ini, ketika ia diserang pula, Kiam Hong lantas membalas menyerang.

"Plok!" demikian satu suara ketika ia berkelit sambil sebelah tangannya dikasi melayang. Ia telah menghajar mukanya si penyerang. Ia menggunai "Tiatsioe Kanghoe," atau ilmu silat "Tangan Baju Besi."

Kurban itu menjerit kesakitan, mukanya bengap, mulutnya mengeluarkan darah, sebab dua buah giginya copot dan ikut darahnya lompat keluar.

Yang lain-lainnya menjadi bertambah gusar, sambil mencaci kalang-kabutan, mereka menyerang terus.

"Aku tidak bermaksud jahat, siapa suruh kamu menerbitkan onar!" teriak Kiam Hong. Terus ia menggerak-geraki kedua tangannya, menyampok kesana kemari, menyingkirkan setiap golok. Di saat ia mau lompat ke pintu, guna lari keluar, mendadak ia merasai samberan angin ke arah kepalanya. Lekas-lekas ia menangkis ke belakang.

Ketika itu pun maju seorang lain, ialah orang dengan baju berkabung, dengan tangannya menyekal tangthung, dengan apa ia menyerang si nona.

"Bagus!" berseru Kiam Hong, yang segera berkelit sambil tangannya diulur, untuk menangkap tangannya si penyerang, untuk terus disempar. Maka terjadilah bentrokan tangthung itu dengan golok si penyerang tadi, hingga kutunglah itu tongkat tanda berbakti.

Sekarang Kiam Hong dapat melihat tegas penyerangnya itu, ialah seorang yang tubuhnya besar, yang dandan sebagai wiesoe, atau pengawal, dalam istana raja, bahkan samar-samar ia mengenali orang sebagai salah satu wiesoe dengan siapa ia pernah bertempur di dalam kuil Hianbiauw Koan. Ia menjadi sangat mendongkol, maka ia kata dengan nyaring: "Baru-baru ini Tayhiap merdekakan kamu, sekarang kau berani datang kemari untuk mengacau!"

Pengawal itu gusar. Ia pun lantas mengenali si nona.

"Kiranya kau, bangsat perempuan!" dia mendamprat. "Mau apa kau datang kemari? Bagaimana kau berani mengatakan aku mengacau sedang aku datang kemari diundang tuan rumah? Kau justeru yang datang mengacau dalam rumah orang mati ini! Kau mesti dibekuk untuk digusur kehadapan pembesar negeri!"

Sembari mementang mulut lebar itu, wiesoe itu menyerang pula. Dia rupanya menjadi berani sebab di situ dia melihat banyak kawannya.

Kiam Hong lantas merasa bahwa pertempuran tidak dapat disudahi dengan begitu saja. Maka terpaksa ia menghunus pedangnya. Ia berteriak: "Siapa tidak mau mengasi aku lewat, jangan dia menyesalkan yang pedangku tidak ada matanya!"

Wiesoe itu masih menyerang, maka itu, ketika ia dilayani, baru beberapa jurus, goloknya sudah kena dibabat kutung.

"Yang Taydjin, lekas keluar!" mendadak si wiesoe berteriak.

Kiam Hong terkejut.

"Entah dia memanggil Yang Taydjin siapa?" pikirnya. Ia sangsi yang dimaksudkan itu ialah Yang Tjong Hay.

Tak usah nona ini menduga-duga, bahkan belum berhenti ia berpikir, telinganya sudah mendengar suara tertawa terbahak-bahak yang dikenalnya, tertawa mana disusul kata-kata ini yang dikenal juga: "Han Laodjie, jangan takut! Aku datang!"

Segera dari ruang di mana ada peti mati terlihat satu orang berlompat keluar, ketika Kiam Hong menoleh, ia mengenali orang itu siapa, ialah Yang Tjong Hay si bekas tjongkoan dari istana.

"Kiranya Nona Liong!" Tjong Hay kata sambil tertawa pula. "Pantas kamu tidak dapat membekuknya! Haha-haha! Nona Liong, hari ini kita bertemu pula! Dulu hari kita bertemu di depan peti matinya Tiat Keng Sim, sekarang di depan peti matinya Bang Potjoe! Dulu hari itu akulah si orang yang datang menunjuk bela sungkawa, sekarang kaulah yang menggantikan aku! Sungguh kebetulan! Sungguh menarik hati! Dulu hari itu kau tidak dapat menahan aku, maka sekarang ingin aku memohon kau sukalah berdiam di sini!"

Hati Kiam Hong bercekat. Tjong Hay ada satu di antara empat jago pedang yang berkenamaan. tidak perduli dialah jago yang terlemah. Sekarang ini dia telah berimbang ketangguhannya dengan Ie Sin Tjoe dan Leng In Hong. Tentu sekali, dibanding dengan dia, ia kalah unggul. Karena ini, segera ia berlompat, niatnya untuk menyingkir.

Keluarga Bang itu banyak orangnya, mereka mengurung dan memegat, tetapi Kiam Hong mencoba menoblos dari antara mereka. Ia menyerang ke depan, lalu ke kiri dan ke kanan. Dengan cepat beberapa orang telah kena dilukakan ujung pedang, hingga mereka kesakitan, roboh di lantai sambil teraduh-aduh dan bergulingan, hingga mereka mengganggu kepada Yang Tjong Hay, yang mencoba memburu si nona. Sebab dia bagaikan terintang, orang yang disusul itu berhasil lolos dari pintu besar. Tapi dia tidak mau mengerti, dia mengejar terus.

"Sekarang tidak ada Thio Tan Hong sebagai tulang punggungmu!" dia berkata nyaring, tertawa mengejek. "Tidak nanti kau sanggup lolos dari telapakan tanganku! Maka baiklah kau berlaku manis, kau lemparkan pedangmu, kau manda aku tangkap, supaya tak usahlah kau sampai tersiksa!"

Yang Tjong Hay ini liehay, dia telah mendapat keterangan halnya Thio Tan Hong bersama Ie Sin Tjoe sudah berangkat pulang ke Selatan, maka dia lantas muncul pula, untuk bekerja.

"Thio Tayhiap berkasihan terhadapmu, kau diberi ampun. Sekarang kau berani banyak tingkah!" Kiam Hong membentak. "Kau tahu malu atau tidak?"

Ditanya begitu, Tjong Hay menjadi gusar sekali, ia justeru mendapat malu besar sebab Tan Hong telah menotoknya hingga ia mesti tidur sehari semalam dan kejadian itu diketahui oleh bekas orang-orang sebawahannya. Tanpa berkata-kata lagi ia lompat ke arah si nona dengan gerakannya "Burung garuda menyamber kelinci," pedangnya menikam nona itu.

Kiam Hong berlaku cerdik, ia tidak mau melawan keras dengan keras. Ia tahu musuhnya terlalu liehay untuknya. Ketika diserang itu. ia berkelit, dan tempo ia didesak, diserang berulang-ulang, ia melawan selama beberapa jurus, setelah mana ia mengambil kesempatan untuk berkelit sambil lompat mundur, untuk lari. Bekas tjongkoan istana itu boleh liehay tetapi dalam berapa gebrakan tidak nanti dia bisa membekuk nona lawannya itu.

Beruntung buat Kiam Hong. di dalam halnya ilmu ringan tubuh, ia menang unggul dari jago pedang itu, maka juga, ia dapat berlari-lari, kalau sudah terdesak, baru ia melayani mengadu kepandaian. Ia terus menggunai siasatnya ini. lari dan melawan dan lari. Maka juga Tjong Hay mesti terus mengejar sampai belasan lie tanpa hasil.

Bukan main panasnya hati Tjong Hay. Dia saban-saban ditinggal lari sejarak beberapa tombak. Kalau dia sudah paksakan berlari keras dan berlompatan, baru dia dapat menyandak, atau setelah itu. kembali dia ditinggal lari.

Kiam Hong menang ringan tubuh, ia kalah tenaga dalam, inilah berbahaya untuknya. Lama-lama, ialah yang menjadi letih terlebih dulu. Yang Tjong Hay bermata tajam, dia melihatnya, berbareng mendongkol, dia girang.

"Nona Liong, kau sudah letih berlari-lari!" katanya sambil tertawa nyaring. "Aku lihat, baiklah kau beristirahat dulu! Marilah duduk, untuk kita memasang omong! Aku hendak menanya kau, apa perlunya kau mencari Tjit Im Kauvvtjoe! Kau omonglah terus terang! Jikalau tidak, apabila sebentar kau terjatuh ke dalam tanganku, kau nanti menderita!..."

Benar-benar Kiam Hong menghentikan larinya. Tapi ia membungkam, dan ketika Tjong Hay dapat menyandak dan berada dekat dengannya, sekonyong-konyong ia menikam!

Tjong Hay terkejut. Ia tidak menyangka si nona dapat berlaku demikian. Ia berkelit, tidak urung ujung bajunya kena juga tersontek pedang. Ia menjadi mendongkol.

"Bagus, ya!" teriaknya. "Kau berani mengadu jiwa denganku!"

Kiam Hong terus membungkam, terus ia menyerang. Tiga kali saling susul ia menghajar denganjurus-jurus "Burung walet menggurat pasir," "Bianglala putih menutupi matahari," dan "Burung garuda emas mementang sayap," setiap kalinya bertambah hebat. Ia tahu ia bakal kalah tenaga, maka itu daripada kena ditangkap musuh, baiklah ia berlaku nekat.

Juga di dalam ilmu pedang. Nona Liong tidak kalah dari Tjong Hay, ia melainkan kalah tenaga dalam, kalah waktu latihan, maka juga, berselang tiga puluh jurus, dari pihak yang diserang, Tjong Hay berbalik melakukan penyerangan membalas. Sebab tidak mau dia menjadi si pembela diri saja. Dengan pedangnya yang panjang, dia lantas menyerang, dia mendesak.

Kiam Hong menjadi repot. Ia pun sudah letih. Maka napasnya lantas memburu keras. Terpaksa ia menggunai siasat tadi, ia berkelit dan lari, melawan pula, lari lagi. Hanya kali ini, disebabkan keletihannya itu, larinya menjadi kurang pesat, hingga keadaan mereka menjadi berimbang...

Terus menerus mereka bertempur sambil berlari-lari, main kejar-kejaran. Tidak lama tibalah mereka di lereng gunung. Di situ ada sebuah kuil kecil. Yang Tjong Hay tidak mau membikin terkejut penghuni kuil itu, kuatir penghuni itu keluar, maka dengan mengempos semangatnya, dia lari keras sekali, lantas dia berlompat mendahulukan, guna memegat jalan lari si nona. Dengan sikapnya ini juga dia hendak mencegah nona itu dapat lari ke dalam kuil.

Pertempuran berjalan lagi dari sepuluh jurus sampai dua puluh jurus. Kiam Hong telah bermandikan keringat. Sekarang ia lelah bukan main. Sekarang ia cuma dapat menangkis, tidak dapat membalas menyerang.

Yang Tjong Hay mengetahui itu, dia tertawa terbahak-bahak.

"Bagaimana?" tanyanya, mengejek. "Sekarang kau telah mengisafi liehayku, bukan? Maka tidaklah gunanya kau berlaku nekat juga! Baiklah dengan manis kau letaki pedangmu! Mari kita berduduk, untuk berbicara? Apakah kau tidak ketahui Tjit Im Kauwtjoe itu kakak seperguruanku? Mau apa kau mencari dia? Daripada kau menanyakan keterangannya BangThong, lebih baik kau menanyakan padaku..."

Kiam Hong bagaikan baru sadar.

"Benar!" katanya dalam hati. "Kenapa aku lupa? Tjit Im Kauwtjoe toh murid yang diusir dari Tjie Hee Toodjin, maka tetaplah dia menjadi saudara seperguruan dari Yang Tjong Hay. Kenapa sekarang aku tidak hendak mencoba mengorek keterangan dari mulutnya bekas tjongkoan ini?" Ia tidak bersangsi untuk mengambil putusan. Ia lantas berkata: "Aku tidak percaya Tjit Im Kauwtjoe suka berurusan denganmu! Dia telah meracuni Bang Thong hingga binasa, kau sebaliknya membantu Bang Thong! Bukankah kamu berdua telah putus perhubungan kamu sebagai saudara-saudara satu perguruan? Mana bisa kau ketahui tentang di mana adanya Tjit Im Kauwtjoe sekarang!"

"Haha, kupingmu tajam!" kata Tjong Hay tertawa. "Nyata kau dapat mengetahui urusan di kalangan perguruan kami! Kau mendapat tahu demikian banyak, mengapa kau tidak ketahui juga bahwa kali ini dia datang ke Utara atas undanganku? Kau bilanglah, perlu apa kau mencari dia? Jikalau kau memberitahukan, nanti aku ajak kau kepadanya."

Benar licik Tjong Hay. Kiam Hong hendak memancing dia, sekarang dia yang memancing balik. Tapi Kiam Hong juga telah berpengalaman, ia tidak sudi mengasi dirinya dipedayakan. -

Kedua orang itu menjadi tidak mendapat kecocokan, maka kesudahannya, mereka bertempur pula. Kiam Hong tungkulan bicara, perhatiannya terpecah, lantas iajatuh di bawah angin, hingga beberapa kali ia menghadapi serangan-serangan yang membahayakan, terus ia kena didesak.

"Apakah kau masih tidak mau menyerah kalah?" tanya Tjong Hay kemudian sambil tertawa lebar. Kata¬kata ini disusuli tabasan yang hebat sekali.

Kiam Hong berdiam, ia cuma menangkis. Tapi ia terperanjat. Pedangnya kalah dari senjata musuh dan kena terpapas bercacat.

"Ah, kiranya kaulah Yang Tjong Hay! Bagus! Memang aku tengah mencari kau!"

Tiba-tiba saja terdengar suara orang berkata-kata itu, yang nadanya dingin.

Tjong Hay terperanjat. Dia liehay tetapi dia tidak tahu datangnya orang, yang dengan mendadak sudah berada dihadapannya. Dia melihat seorang muda dengan baju kuning, usianya mungkin belum dua puluh tahun. Dia heran, karena dia tidak kenal pemuda itu, dia rasa dia belum pernah melihatnya. Maka dia lantas mendesak mundur pada si nona, lantas dia berdiri diam dengan melintangi pedangnya di depan dadanya.

"Kau siapa? Kau murid siapa?" dia tanya bengis. "Perlu apa kau mencari aku?"

"Aku murid siapa, kau tidak perlu campur tahu!" menyahut anak muda itu, tetap dingin. "Aku mau kau segera berlalu dari sini! Dan mulai hari ini, aku larang kau menggerecoki Tjit Im Kauwtjoe!"

Tjong Hay menjadi mendongkol, dia gusar sekali.

"Hai, bocah yang bau susunya belum hilang!" dia membentak.

"Bagaimana kau berani menguasai aku!"

"Siapa suruh kau biasa melakukan segala kebusukan!" anak muda itu membaliki. "Paling baik lekas kau menggelinding pergi dari gunung Ouwbong San ini dan jangan kau selalu menerbitkan onar pula dalam dunia Kangouw!"

Agaknya pemuda ini, yang rupanya belum lama masuk dalam dunia Kangouw, mau beraksi sebagai orang Kangouw ulung, nada suaranya itu seperti nada suaranya seorang tjianpwee, seorang tertua, yang hendak memberi nasihat kepada seorang houwpwee, seorang muda.

Dengan sekonyong-konyong Yang Tjong Hay tertawa lebar.

"Anak edan, justeru akulah yang mau kau menggelinding pergi ke rumah ibumu!" dia berseru.

Itulah ancaman untuk merampas jiwa orang.

Selama itu Liong Kiam Hong sudah siap sedia, ia melihat sinar mata tajam bengis dari si orang she Yang, ia menduga orang mengandung maksud tidak baik, maka itu, ia lantas maju, dengan maksud menghalangi bekas tjongkoan itu. Tapi Tjong Hay sebat luar biasa, kata-katanya itu dibarengi gerakan tubuh dan tangannya, maka juga pedangnya mendahulukan sampai ke dada si anak muda dengan pakaian kuning itu.

Celakalah si anak muda jikalau ujung pedang mengenai dadanya.

Bukankah ia tungkulan bicara dan nampaknya tidak bersedia-sedia sama sekali?

"Hati-hati!" berseru Kiam Hong kaget.

Belum lagi Nona Liong menutup mulutnya, atau tubuh si anak muda sudah bergerak, menyusul mana terdengarlah suara "traang!" yang keras dan lelatu api muncrat berhamburan di antara mereka Sebab luar biasa, anak muda itu sudah mengeluarkan senjatanya, ialah poankoanpit, alat mirip alat tulis, dengan apa ia menangkis pedang. Luar biasa gerakannya itu --- berlompat, mencabut poankoanpit dan menangkis! Ia agaknya lebih gesit daripada bekas tjongkoan itu!

Yang Tjong Hay terperanjat. Ia lantas mengetahui bahwa di dalam hal tenaga dalam, ia kalah unggul. Bentrokan itu membuatnya merasa telapakan tangannya sesemutan dan sakit. Sebaliknya si anak muda pun mundur tiga tindak. Karena dia seorang liehay, dia tidak menghiraukan sakitnya telapakan tangannya itu, belum lagi si anak muda dapat berdiri tegak, dia sudah lompat, untuk menyusuli menikam pula.

Kiam Hong melihat itu, ia tidak berdiam saja. Ia memang sudah bersiap sedia. Maka dengan menggeraki pedangnya, ia menangkis serangan itu hingga ia dapat menggagalkannya.

Si anak muda benar-benar berani.

Dialah mirip apa yang disebut eneng atau gudel, ialah anak kerbau yang tak takut harimau. Dengan sebat luar biasa, dia maju pula, untuk menyerang: dengan dua batang poankoanpit, dia menyerang dari kiri dan kanan, untuk menggencet lawannya!

Sebagaimana biasa, poankoanpit adalah alat peranti menotok jalan darah, demikian si anak muda, tangan kirinya mengarah ke empat jalan darah hongsie, hoantiauw, kieliauw dan wieyang di pinggang, dan tangan kanannya mencari ke empat jalan darah koankie, tiongleng, yauwdjie dan tjongbeng, yang semuanya berbahaya.

Yang Tjong Hay terperanjat. Dialah seorang jago tetapi dia tidak dapat mengenali pemuda itu murid dari partai mana, saking luar biasanya ilmu menotoknya itu. Sudah begitu, Kiam Hong melanjuti serangannya, hingga dia menjadi dikepung berdua. Maka itu, biarnya dia gagah, dikerubuti dua lawan yang tangguh, dia repot juga.

Sesudah lewat beberapa jurus, selama mana si anak muda terus membungkam, hanya ia main menyerang saja, bekas tjongkoan istana kaisar ini menjadi mendongkol dan gusar.

"Sebenarnya kau mau apa?" dia membentak. "Apakah artinya sikapmu ini? Ada sangkut pautnya apa di antara kau dan Tjit Im

Kauwtjoe?"

Tjong Hay mau menduga orang ada muridnya Kie Hoan dan ada hubungannya sama Tjit Im Kauwtjoe, maka itu. dia berkelahi dengan memasang mata, dia kuatir musuh nanti menggunai senjata rahasia yang beracun, tetapi selewatnya beberapa jurus itu, dia menyangsikan dugaannya itu. Ilmu menotok jalan darah bocah itu tidak mirip-miripnya dengan ilmu silatnya Kie Hoan. Karena itu, dia kurangan kecurigaannya.

Sesudah sekian lama membungkam, barang sekarang si anak muda membuka mulutnya.

"Perduli apa kau akan sikapku ini!" demikian katanya, dingin. "Aku cuma mau melarang kau melakukan perbuatan busuk! Lihatlah perbuatanmu sekarang! Sekarang ini tengah malam buta rata! Mengapa kau menghina ini nona? Maka aku mesti mencampur tahu, mesti aku urus padamu!"

Selama bicara itu. tetap si anak muda melakukan penyerangan-penyerangannya yang mengancam itu, tidak pernah ia berlaku ayal.

Jikalau pertempuran dilakukan satu sama satu, baik Liong Kiam Hong maupun si anak muda. mereka masing-masing bukanlah tandingan Yang Tjong Hay, tetapi mereka mengepung, mereka nampaknya dapat bekerja sama, mereka menang unggul. Liehay ilmu pedang si nona, ia Cuma kalah latihan tenaga dalam dengan Tjong Hay, sekarang ia dibantu si anak muda, ia dapat merangsak. Dengan berani ia mainkan pedangnya guna mendesak lawan.

Mau atau tidak. Yang Tjong Hay terpaksa main mundur, satu tindak demi satu tindak. Tjong Hay heran hingga ia berkata di dalam hatinya: "Sepuluh tahun lamanya aku menutup diri, untuk meyakinkan lebih jauh ilmu silatku, siapa sangka di dalam dunia Kangouw telah muncul ini anak-anak muda yang liehay sekali! Aku kuatir, lewat lagi beberapa tahun, bukan saja sulit untukku melindungi nama baikku, mungkin aku bakal kena dikalahkan mereka..."

Sudah pedangnya Kiam Hong liehay, tenaga si anak mudajuga tenaga baru, maka dengan poankoanpit-nya itu, anak muda ini dapat mendesak. Ia belum merasai keletihan seperti si nona.

"Kena!" sekonyong-konyong si anak muda berseru di waktu pertempuran berjalan sedang hebatnya itu. Dengan tangan kirinya, yang bergerak sebagai ilmu silat pedang Ngoheng Kiam ia menyontek pedangnya Tjong Hay dengan jurusnya "Melintang menjaga penglari emas," berbareng dengan mana, dengan tangan kanan, ia menotok ke arah dengkul. Poankoanpit-nya ini dengan saling susul menggunai dua jurus "Menghadap ke langit" dan "Pian Tjhong menikam harimau."

Yang Tjong Hay terkejut. Karena pedangnya kena disontek, tak sempat dia menariknya pulang. Maka untuk menolong kakinya, dia mengangkatnya, untuk dikelit. Justeru itu, dia merasakan betisnya rada kaku. Sebab jalan darah hoantiauw hiat di dengkulnya itu kena tertotok ujung poankoanpit. Dalam kagetnya, dia juga berseru: "Kena!" Sebab dia dapat meneruskan menendang, hingga sebelah senjatanya si anak muda terdupak terlepas dari cekalan dan terpental.

Anak muda itu kaget sekali, lantaran ia tidak menyangka, meski sudah kenaditotok, orang masih dapat menggeraki kakinya secara demikian hebat.

Tjong Hay pun tidak berhenti sampai pada dupakannya itu, dengan pedangnya, yang dia sudah dapat tarik pulang, dia menabas, guna menghajar poankoanpit yang lain dari lawannya itu. Saking mendongkol, dia menjadi telengas, hingga dia tidak mau pikir lagi halnya dia belum tahu si anak muda murid siapa. Di dalam hatinya dia kata: "Aku mau lihat apa kau masih dapat usilan?"

Akan tetapi di samping si pemuda ada si pemudi. Kiam Hong melihat ancaman bahaya untuk si pemuda, yang menjadi penolongnya itu, maka dengan sebat sekali ia menyerang, untuk menggagalkan serangan itu. Hal ini membuatnya menjadi semakin mendongkol berbareng menyesal sekali.

Tjong Hay liehay, begitulah meski dia telah kena ditotok, dia dapat menutup diri, membuatnya totokan tidak mengenainya secara berbahaya, hanya walaupun demikian, lantaran sesemutan, atau betisnya kaku, gerak-geriknya tidak lagi segesit semula. Di sebelah itu, si anak muda tidak menjadi kecil hatinya, ia terus melakukan perlawanan sehebat tadi.

"Kena!" demikian si pemuda berseru pula selang beberapa jurus. Kali ini ia menyerang ke arah pundak. Benar-benar ia berhasil dengan serangannya itu.

Kembali Tjong Hay kaget. Sekarang ia merasakan separuh tubuhnya kaku, tak lincah lagi. Baru sekarang dia merasa kuatir. Tanpa ayal lagi, dia berlompat untuk berkelit, untuk terus membuka langkah panjang!

Si pemuda tidak mengejar, demikian juga si pemudi. Yang belakangan ini ingin belajar kenal, untuk mengetahui penolongnya itu siapa adanya. Ketika ia berpaling untuk memandang pemuda itu, di bawahnya sinar si Puteri Malam, ia menampak muka orang bersemu merah, hingga ia menjadi heran. Pikirnya: "Mungkinkah dia likat karena dia menghadapi aku seorang diri ?" Tapi ia tidak berpikir lama.

"Saudara kecil," katanya, "aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih padamu! Aku Liong Kiam

Hong, aku datang dari Thiansan. Dan kau?"

Sebagai seorang polos, melihat orang lebih muda usianya, Nona Liong lantas memanggil "adik," bahkan ia terus menanyakan asal-usul orang..."

Anak muda berjubah kuning itu mengerutkan alis.

"Nona Liong, dia lantas berkata cepat, tanpa menjawab, "apakah kau kenal Tjit Im Kauwtjoe?"

Dari nadanya, agaknya si pemuda menganggap pertanyaannya itu penting sekali.

Kiam Hong heran tetapi ia menjawab.

"Aku cuma pernah bertemu beberapa kali dengannya," sahutnya.

"Apakah panggilan di antara kamu?" tanya pula si anak muda.

"Kita cuma kenal, tidak ada hubungan di antara kita."

"Habis, perlu apa kau mencari dia?" si pemuda masih menanya.

"Itu... itulah panjang urusannya," menyahut Kiam Hong. "Kau sendiri? Ada hubungan apa di antara kau dan Tjit Im Kauwtjoe?"

Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, tidak mau Kiam Hong lantas membeber tentang dirinya sendiri sebelum ia mengetahui pihak sana. Ia jujur dan polos tetapi ia dapat melihat selatan.

"Aku?" menyahut si anak muda. "Aku pun panjang untuk menutur. Kau... kau... Silakan kau masuk ke dalam kuilku ini. Aku... aku... ingin meminta sesuatu daripadamu..."

Suaranya pemuda itu lantas menjadi perlahan dan terputus-putus, kulit mukanya pun menjadi terlebih merah.

Kiam Hong heran, ia terkejut.

"Apakah kau terluka di dalam?" ia tanya. "Apakah kau sakit?"

Nona Liong menduga pemuda itu kena pukulan liehay dari Yang Tjong Hay, sembari berkata begitu ia mengulur tangannya, berniat meraba jidat orang, untuk mengetahui kepala pemuda itu panas atau tidak.

"Jangan sentuh aku!" berkata si anak muda, suaranya kaget. Ia pun lompat mundur. Kiam Hong heran.

"Bukankah kau bocah baru besar?" pikirnya. "Di waktu begini, kenapa kai masih main malu-malu?"

"Aku... aku..." berkata si anak muda, napasnya memburu tetapi suaranya terputus-putus. "Aku terkena racun yang sangat berbahaya.. Sekarang racun itu tengah bekerja... Aku perlu lekas balik ke dalam kuil... Aku... aku... aku mau minta kau melakukan sesuatu..."

Mendengar itu, kagetnya Kiam Hong bukan kepalang. Ia lantas menatap. Jadi orang terkena racun dan racun itu lagi bekerja membuat tubuh orang panas, hingga mukanya menjadi merah sekali. Jadi orang bukannya malu atau likat.

"Kenapa dia terkena racun? Yang Tjong Hay bukan tukang main racun?" ia tanya dirinya sendiri. "Ah, mungkin dia terkena racunnya lain orang. Dia tentu kena terbokong. Hanya, kenapa dia dibiarkan saja? Taruh kata tadi racun belum bekerja, orang itu mestinya menguntit. Ke mana perginya dia sekarang? Kenapa dia tidak munculkan diri?"

Heran nona ini tetapi tak sempat ia mengasah otak lagi.

Dengan tindakan yang limbung, anak muda itu sudah bertindak ke arah kuil dan masuk ke dalamnya. Itulah sebuah kuil tua dan tanpa penghuninya, suasananya sangat sunyi.

Kiam Hong mengikuti. Legajuga hatinya mengetahui di situ tidak ada lain orang. Ia justeru menguatirkan bersembunyinya orang jahat.

"Kau terkena racun apa?" kemudian ia tanya. "Nanti aku pergi mencarikan tabib untukmu..."

"Racunku bukan racun yang dapat disembuhkan tabib," berkata si anak muda, "Aku cuma mau minta kau tolong sesuatu..."

"Baik! Kau bilanglah!" menjawab Nona Liong cepat.

Suaranya pemuda baju kuning itu sudah parau, suara itu pun menggetar, sedang air mukanya bertambah tak mengasih.

"Aku minta..." katanya, tubuhnya mendadak terhuyung.

Kiam Hong maju. kedua tangannya diulur, untuk memegang.

"Jangan sentuh aku!" berseru si anak muda, yang menguatkan dirinya, untuk dapat mempertahankan tubuhnya.

Kiam Hongmelengak. Belum lagi ia menarik pulang tangannya, atau anak muda itu roboh. Tentu sekali, ia menjadi bertambah kaget dan herannya tidak terkira.

Si anak muda berkutat, dia dapat bangun, untuk berduduk. Dengan lantas dia membuka mulutnya, dia masuki jeriji tengahnya ke dalam mulutnya itu, untuk digigit. Makajari tangan itu lantas pecah dan mengeluarkan darah yang hitam.

Kiam Hong tahu itulah cara pertolongan darurat. Pertolongan itu cuma untuk sementara waktu. Maka ia menduga, anak muda itu tentu mau merebut waktu, untuk memberikan pesannya yang terakhir. Ia menjadi bingung sekali, sebab ia tidak berdaya

Habis menggigit jerijinya, si anak muda menghela napas. Lalu tampaknya dia menjadi lebih ringan. Dia merobek ujung bajunya, guna membalut luka bekas gigitan itu, habis itu dari dadanya dia mengeluarkan sebatang hio, yang mana dia lemparkan ke depan si nona, ketika dia berkata, suaranya menggetar: "Kau tunggu sebentar, lantas kau menolong menyulut hio ini, terus kau tancap di depan pintu. Aku menyerahkan jiwaku kepadamu!..."

"Apakah hio ini dapat mempunahkan racun?" Kiam Hong berpikir. "Kenapa dia menyuruh aku menancapnya di depan pintu?" Ia mau minta keterangan, atau si anak muda mendahului ia.

"Nona Liong, aku minta sukalah kau omong terus terang," berkata dia. "Sebenarnya kau dengan Tjit Im Kauwtjoe ada hubungannya apa?"

"Di antara dia dan aku tidak dapat dikatakan adanya persahabatan." Kiam Hong menjawab. "Untuk seorang sahabat aku hendak mencari dia, guna meminta bantuannya."

"Bagus!" berkata si anak muda. "Kau tidak usah mencari dia ke lain tempat. Setelah kau menyulut hio ini, tidak lama. dia bakal datang sendiri kemari!"

Heran Kiam Hong. Inilah di luar sangkaannya.

"Baik," katanya, "sekarang juga aku menyulut hio ini!"

"Tunggu sebentar!" mencegah si anak muda. "Aku masih hendak bicara."

"Apa itu?" tanya Kiam Hong. Ia berpaling. Ia baru saja bertindak.

"Jikalau sebentar Tjit Im Kauwtjoe datang, kau mesti sembunyi," berkata si anak muda. "Jangan kau kasih dirimu terlihat dia! Paling benar, begitu kau menyulut hio, begitu kau menyingkir! Sebenarnya aku tidak ingin mendatangkan bahaya untukmu..."

Kembali Kiam Hong heran.

"Jikalau Tjit Im Kauwtjoe datang, dia bakal bikin apa?" ia tanya.

"Mungkin dia dapat menolong aku hingga aku sembuh," menjawab si anak muda. "Jikalau itu sampai terjadi, sesudah aku mendusin, pasti aku akan dapat menolongi kau. Tapi ada kemungkinan juga dia tidak suka menolong aku, dia bakal menontoni aku putus jiwa. Apabila itu terjadi, begitu lekas dia mendapat kenyataan di sini ada orang lain, pasti dia bakal membinasakan kau!..."

Habis berkata, pemuda itu agaknya kehabisan tenaganya. Sekarang parasnya menjadi pucat abu-abu, pada itu ada tampak juga hawa hitam. Segera setelah itu, dia rebah sendirinya, kedua matanya lantas tertutup rapat.

Dalam herannya itu, Kiam Hong kaget.

"Benar gila!" katanya di dalam hati. "Serintasan gelombang belum reda, sudah datang gelombang yang lain! Tjioe Tjeetjoe dan engko Houw lagi menantikan pertolongan, siapa tahu di sini aku menemukan lain orang yang keracunan juga Bagaimana hebat! Di jaman ini ahli racun hanya beberapa orang, maka orang yang menyerang dia ini-mendengar dari kata-katanya barusan- mesti ada

hubungannya sama Tjit Im Kauwtjoe. Kalau ini keracunan dilakukan Tjit Im Kauwtjoe atau Pektok Sinkoen, cara bagaimana Tjit Im Kauwtjoe dapat datang kemari?"

Karena menduga-duga demikian, si nona menjadi menyesal sekali yang ia tidak dapat ketika untuk menanyakan dulu keterangan si anak muda. Tapi ia ingat pesan orang. Ia anggap, tidaklah ada halangannya untuk bekerja menuruti pesan itu. Maka itu, lantas ia sulut hio itu, terus ia bawa ke depan, untuk ditancap di depan pintu. Ia dapat mencium bau yang harum yang keras. Lantas ia menantikan.

Belum hio itu, yang pendek, habis separuhnya, segera juga terdengar tindakan kaki mendatangi. Tanpa bersangsi lagi, Kiam Hong lompat ke atas meja abu, ketika suara tiba di depan pintu, ia bersembunyi di belakang patung.

"Eh, di sini ada orang!" begitu terdengar suara seorang nona "Eh, eh, mama, kau kenapa?"

Lalu terdengar suara dalam dari seorang wanita tua: "Tidak apa-apa, kau jangan kuatir. Coba kau balik tubuhnya orang ini, untuk aku lihat.

“Ah, ini hio kayu cendana, sudah dua puluhan tahun aku tidak dapat mencium baunya..."

Kata-kata yang belakangan itu diucapkan untuk diri sendiri, suara itu menyatakan terharunya hati.

Di dalam tempatnya bersembunyi, Kiam Hong kaget berbareng girang.

"Benar-benar Tjit Im Kauwtjoe datang!" pikirnya. Ia kenali suaranya ketua dari Tjit Im Kauw itu. Cuma ia tidak dapat melihat itu ibu dan gadisnya. Dari suaranya Tjit Im Kauwtjoe, ia mau menduga nyonya itu sedang sakit atau mungkin dia baru sembuh.

"Pastilah ini anak dia!" sekonyong-konyong terdengar lagi suaranya Tjit Im Kauwtjoe. Ketika itu Kiam Hong lagi menduga-duga. "Lihatlah romannya, sangat mirip!"

"Anak siapa, mama?" terdengar Sioe Lan menanya. "Apakah mama ketahui tentang dia ini? Jadi mama datang kemari untuk dia?"

"Anak Lan, kau makanlah dulu ini obat pemunah racun," berkata si ibu. "Nah, sekarang kau keluarkan jari tengahmu!"

Sioe Lan heran tetapi ia mendengar kata ibunya.

"Tjit Im Kauwtjoe mengeluarkan sebatang jarum perak, dengan itu ia menusuk jari tengah puterinya itu, terus ia memborehkan obat bubuk warna merah muda.

"Apakah dia bukan terkena racun Keebeng Ngokouw Toanhoen hio?" Sioe Lan tanya. Hio, atau racun, yang disebutkan itu ialah racun yang dapat menewaskan jiwa orang di waktu pagi, di saatnya ayam berkokok jam lima.

"Benar!" sahut sang ibu. "Hm! Hm! Bukankah dia anak baru besar? Mengapa kau menurunkan tangan begini jahat terhadapnya?"

Sioe Lan terbenam pula dalam keheranan. Tak tahu ia, dengan "kau" itu ibunya maksudkan siapa. Ia menatap ibunya itu, parasnya menunjuki herannya itu, yang menghendaki keterangan.

Tjit I m Kauwtjoe menumplak perhatiannya kepada si anak muda yang rebah di depannya itu.

"Sampai detik ini, dia terkena racun belum ada enam jam lamanya." katanya kemudian. " l'id.ik sukar untuk menolongnya."

"Tetapi, itu," berkata anak gadisnya, "aku pernah dengar bahwa siapa terkena Toanhoen hio, sebelum lewat dua belas jam, dia tidak nanti terbahayakan racun itu. Tegasnya, racun itu belum dapat bekerja. Atau asal racun sudah bekerja, si kurban bakal tidak dapat ditolong lagi. Kenapa dia ini, belum enam jam, dia sudah roboh?"

"Mungkin inilah disebabkan dia telah melakukan pertempuran hebat, hingga darahnya menjadi tegang, hingga bekerjanya racun menjadi cepat luar biasa." sahut si ibu. Lalu ia meneruskan berkata-kata pula seorang diri: "Ah, mengapa dia menggunai racun yang bekerjanya sangat lambat ini? Mungkinkah dia mendapat tahu yang aku bakal dapat datang dan menolongi anak ini?"

Sioe Lan tidak dapat membade, ia bingung. Kejadian sungguh aneh untuknya. Ia mendapatkan bahwa ibunya menjadi luar biasa sekali. Maka maulah ia menerka: "Apa mungkin ibu mempunyai sesuatu urusan, yang ia sembunyikan untukku?"

Mereka berdua, ibu dan anak. sudah dua puluh tahun hidup bersama, di antara mereka tidak ada urusan yang tidak dibicarakan, tetapi sekarang si ibu seperti menyimpan sesuatu, dari itu, Sioe Lan menjadi berduka sendirinya.

Tjit Im Kauwtjoe seperti dapat nerka hati anaknya itu, tetapi ia terus bekerja. Dengan jarum peraknya itu ia menusuk beberapa kali kepada si anak muda --- menusuk beberapa jalan darah, lalu ia membuka mulut orang, untuk kasih makan beberapa butir obat. Baru sesudah itu, ia berkata: "Anak Lan, mari! Ibumu hendak menanya sesuatu kepadamu!"

Ada sesuatu yang sang ibu rasakan berat, Sioe Lan dapat melihatnya, maka itu. mendengar suara ibu itu. ia berkuatir sendirinya.

"Mama," katanya, "mama hendak menanyakan apa?"

"Apakah kau masih memikirkan itu anak she Thio?" tanya si ibu.

Hati Sioe Lan goncang. Inilah pertanyaan di luar dugaannya. Selang sesaat, ia menghela napas tetapi ia tidak memberikan jawabannya.

"Ah, kiranya kau masih selalu ingat padanya," berkata ibu itu, yang pun menghela napas. "Ibumu seorang berpengalaman, dia dapat mengerti hatimu. Anak tolol, baiklah kau jangan membikin pusing kepalamu. Dulu hari, orang yang ibumu menyayanginya, dia pun menyayangi aku. Kesudahannya? Aku bersusah hati secara kecewa... Laginya orang she Thio itu telah mempunyai buah hatinya, jikalau kau tidak dapat melegakan hatimu, akhirnya kau bisa menderita terlebih hebat daripada ibumu. Sebenarnya aku tidak suka kau sampai mendapatkan pengalaman seperti itu..."

Sioe Lan memang tidak dapat melupakan Giok Houw. Mendengar ibunya mengatakan Giok Houw mempunyai buah hati, ia menjadi sangat berduka, tanpa merasa ia mengucurkan air mata. Tapi, setelah mendengar omongan lebih jauh dari ibunya itu, ia menjadi heran, dengan sendirinya, kedukaannya itu berkurang.

"Mama, apakah mama bicara dari hal ayah?" ia tanya. "Ayah sudah menutup mata, maka itu, menyebut tentang ayah, mama menjadi bersusah hati. Memang lumrah, umur manusia itu ada yang panjang, ada yang pendek, tetapi tentang kecintaan suami isteri. biarnya suami isteri satu hari, itu sudah sangat membahagiakan!.

Belum berhenti kata-kata anak ini, air matanya Tjit Im Kauwtjoe sudah mengalir deras.

"Mama, kenapa?" tanya Sioe Lan, heran. "Apakah aku omong salah?"

"Tidak, kau tidak salah," menyahut ibu itu. Hanya sejenak, dia menghela napas panjang. Lantas dia berkata pula: "Anak Lan, kau pegang tangan ibumu, ibumu hendak bicara denganmu... Sebenarnya tidak seharusnya aku membicarakan ini kepadamu, tetapi aku pun tidak dapat tidak mengatakannya. Bukankah kau telah menanya ibumu, di waktu ibumu masih muda siapakah yang ibu sukai? Sekarang dapat aku mengatakan kepadamu. Dialah bukannya ayahmu!"

Sioe Lan heran hingga ia mementang lebar kedua matanya. Ia menatap ibunya itu, hatinya bekerja: "Bukankah mama pernah membilang bahwa ayah seorang yang baik sekali? Bukankah dulu hari itu mama dan ayah hidup saling menyintai?" Ia tapinya tidak menanya.

"Ketika kau masih kecil aku membilangi kau bahwa ayahmu seorang baik, dengan itu aku mendustai padamu," berkata pula ibu itu. Ia dapat mengerti keheranan dari anaknya itu. "Itulah sebab aku tidak ingin kau mendapat tahu bahwa kau mempunyai ayahmu yang tulen. Aku membilangi kau bahwa orang yang aku sukai itu ialah ayahmu. Sebenarnya orang itu, sebelumnya kau terlahir, sudah pergi meninggalkan ibumu. Sebenarnya, aku sangat ingin dapat menjadi suami isteri dengannya, sebab seperti katamu barusan, dapat menjadi suami isteri satu hari pun bagus sekali!"

Sioe Lan heran berbareng tidak senang, hatinya panas.

"Mama!" katanya, "mengapa kau menyebutkan seorang lain sebagai ayahku? Habis, siapakah ayahku yang benar? Benarkah ayahku itu telah menutup mata?"

"Dua-duanya mereka itu masih hidup," menjawab sang ibu. "Baiklah kau ketahui, orang yang aku sukai itu ialah ayahnya ini anak muda berbaju kuning!..."

"Jikalau begitu, bukankah mama menjadi mempermainkan ayah?" si anak tanya pula.

"Bukan, sebaliknya, adalah ayahmu yang mempermainkan aku. Ah, kau tidak percaya ibumu?"

Sioe Lan menatap pula ibunya itu. Mereka berdua hidup bersama semenjak ia masih kecil. Dulu-dulu, kalau dibilang ia tidak mempercayai ibunya, itulah hal yang tak akan terjadi, akan tetapi sekarang, benar-benar ia mau memikir demikian. Inilah disebabkan ia heran untuk perbuatan ibunya ini. Pikirnya: "Ayah masih hidup, mengapa mama memikirkan lain orang? Kenapa mama mendustai aku bahwa ayah sudah meninggal dunia? Pasti sekali mama mempermainkan ayah! Cara bagaimana mama dapat membuatnya aku percaya mama?..."


Tjit Im Kauwtjoe menangis, air matanya bercucuran.

"Anak Lan, mari dengar, aku mau menceritakan sebuah dongeng," katanya. "Sesudah kau mendengar ceriteraku ini, lantas kau boleh memikir dan mengambil keputusan, kau sebenarnya menghendaki ibumu atau ayah..."

Anak itu menahan napas, matanya menatap bengong. Di matanya, pada saat itu, ibunya seperti juga berubah menjadi seorang asing baginya...

Tjit Im Kauwtjoe menghela napas. Habis itu, ia bicara dengan perlahan.

"Sedari masih kecil aku telah menjadi yatim-piatu." ia berkata, memulai ceritanya itu. "Siapa itu ayah dan ibuku, aku tidak mendapat tahu. Aku cuma ketahui merekalah pengungsi, rakyat yang menyingkir terlunta-lunta dari tempat kediamannya. Aku dilahirkan di tengah jalan, maka juga ayah dan ibuku tidak dapat merawat aku... Tepat ketika aku baru berumur satu bulan, kami lewat di kakinya gunung Ouwbong San. Di atas gunung itu ada sebuah kelenting. Kebetulan imam dari kelenting itu pergi turun gunung, untuk memungut amal. Dia bertemu dengan kami. Dia merasa kasihan melihat kesengsaraan kami, maka dia menyatakan suka mengambil dan merawat aku. Maka itu, dialah imam yang menjadi guruku yang nomor satu. Dialah Tj ie Hee Toodjin. Dan ceritaku ini, dialah yang menuturkan padaku. Dia cuma menanya she-ku, yaitu she Im, lainnya dia tidak sempat menanyakan lagi."

Sioe Lan berdiam, tetapi ia memasang kuping. Terus ia mengawasi ibunya.

"Jikalau mulanya Tjie Hee Toodjin memperlakukan baik padaku, kemudian sikapnya menjadi buruk, maka juga sampai sekarang ini, aku masih membenci dia!" berkata Tjit Im Kauwtjoe melanjuti. "Toh aku mesti mengakui, dia telah merawat aku dengan baik. sampai aku dewasa. Dialah seorang imam. Seorang imam merawat seorang bayi sampai besar, itulah bukannya gampang, apapula bayi itu bayi wanita. Maka juga sedari kecil aku menganggap dia sebagai ayahku sendiri, terhadapnya aku sangat bersyukur. Selain dipiara, aku pun diajarkan ilmu silat. Sampai aku mulai besar, dia tetap memperlakukan aku sebagai juga aku seorang anak kecil. Sering dia memegangi aku dan mengawasinya lama. Ada kalanya, ketika aku mendusin dari tidurku, aku mendapatkan dia berdiri di depan pembaringan mengawasi aku. Aku mengira dia sangat menyayang aku. aku tidak perhatikan itu. Melainkan ada waktunya yang aku merasa jeri."

Sioe Lan terus berdiam, terus ia memasang kuping.

"Makin lama aku menjadi makin besar. Dia menyayangi aku, aku pun menyayangi dia. Tjie Hee Toodjin seorang imam, maka itu dia tinggal dipuncak Kimkee Hong di atas gunung Ouwbong San. Di sana aku tinggal bersamanya. Itulah tempat yang tidak ditinggali lain orang kecuali seorang she Ban, yang tinggal di puncak Thianouw Hong, hingga kita jadi bertetangga. Orang she Ban itu bernama Thian Yoe. Ia dari partai Tiamtjhong Pay. Ia mempunyai seorang anak laki-laki, yang diberi nama Kee Soe. Anak itu berumur lebih tua dua tahun daripada aku. Sebagai tetangga, kita berdua suka bertemu dan bermain-main. Kekal persahabatan kami."

Tjit Im Kauwtjoe berhenti sejenak, lantas ia meneruskan: "Setelah kami masing-masing menjadi dewasa, nyata dia menyukai aku dan aku pun menyukai dia. Lalu pada suatu malam, di bawahnya sinar si Puteri Malam, di bawah pohon cendana, dia mengutarakan cintanya terhadap aku dan aku menyambutnya. Di situ kami lantas mengikat janji, kami menggunai tanah sebagai gantinya hio, si Puteri Malam menjadi saksinya. Kami bersumpah untuk menjadi suami isteri. Setelah itu aku membilangi dia supaya besok pagi dia mengutus ayahnya datang kepada guruku untuk melamar aku. Aku sendiri girang bukan main. Aku tahu guruku sangat menyayangi aku. tidak ada alasan untuknya menolak lamaran itu. Besoknya, belum lagi aku bangun tidur, telah terbit suatu hal di luar dugaan. Apakah telah terjadi? Sebenarnya guruku telah mencuri dengar sumpah kami untuk mengikat jodoh. Pagi itu sebelum terang tanah dia sudah lantas pergi ke puncak Thianouw Hong, dia tuduh Ban Kee Soe memincuk muridnya, ialah aku, lalu tanpa menanti pihak Ban memberi penjelasan, dia menyerang Thian Yoe dan Kee Soe hingga mereka terluka, terus dia mengusir mereka dari Thianouw Hong. Dia mengancam mereka tidak boleh injak lagi Ouwbong San sekalipun setengah tindak."

Lagi sekali kauwtjoe itu hening sejenak.

"Ketika aku mendusin, aku kaget sekali. Guruku berdiri di depan pembaringan, tangannya berlumuran darah. Dia lantas menegur aku, yang dikatakan tanpa persetujuannya sudah sembarang berjanji mengikat jodoh dengan lain orang. Dia juga mengancam, kalau dia mempergoki pula aku berada bersama Ban Kee Soe, dia bakal membunuh kami berdua! Aku kaget dan menjadi sangat takut. Toh dialah guruku, yang merawat aku sedari kecil. Dengan terpaksa aku menurut saja. meski hatiku sakit. Aku berjanji tidak akan menemui pula Ban Kee Soe. Tetapi, di luar sangkaku, kembali terjadi sesuatu yang membikin aku sangat kaget dan takut..."

Suaranya Tjit I m Kauwtjoe menjadi bergemetar, dia bergidik. Sudah dua puluh tahun sejak kejadian itu tetapi sekarang dia masih merasakan takut seperti di masa kejadiannya.

"Ketika itu aku lagi mendekam di atas pembaringan, menungkuli diri dengan menangis." ia mulai pula penuturannya. "Tiba-tiba aku merasakan tangan yang meraba pundakku, rasanya sangat dingin, kemudian lenganku dicekal, tubuhku ditarik, untuk dikasih bangun. Itulah guruku. Aku lantas mendengar dia berbicara, suaranya, menggetar. 'Buat apa kau menangis?' katanya. 'Apakah kau tidak dapat melupakan itu binatang?' Ah! Belum pernah aku mendengar guruku bicara dengan cara dan suaranya itu. Aku jadi menangis semakin sedih. Aku kata: Aku telah berjanji tidak akan menemui Ban Kee Soe lagi. biarlah aku menangis!..."

"Mendengar kata-kataku itu. roman guruku menjadi sangat bengis. Aku takut sekali, aku berhenti menangis. Tapi guruku berkata, suaranya seram: 'Kau terawat olehku hingga menjadi besar! Aku larang kau menikah dengannya! Siapa pun aku larang menikah denganmu! Siapa berani bawa kau kabur dari tanganku, aku bakal merobek-robek tubuhnya menjadi berkeping-keping!'

"Aku ketakutan sampai aku tidak bisa berkata-kata. Meski demikian, aku menyangka bahwa sikapnya itu disebabkan dia sangat menyayang aku. Cuma, kenapa dia melarang aku menikah? Umpama kata aku anaknya, itulah kesayangan yang tidak pada tempatnya. Sungguh di luar kebiasaan! Setelah aku berdiam itu, mendadak air mukanya berubah. Dia menjadi sabar. Dengan lemah lembut, dia kata: 'Oen Giok, aku telah merawat kau hingga dewasa, dengan cara bagaimana kau hendak membalas budiku itu?'

"Mendengar itu, aku jadi berpikir. Dengan menahan keluarnya air mata, aku menjawab: 'Soehoe menghendaki aku jangan meninggalkan soehoe, baiklah, untuk selama-lamanya aku nanti menemani soehoe. seumurku, aku tidak akan menikah, aku akan merawat kau sebagai juga akulah anak soehoe."

"Selagi aku mengatakan demikian, mendadak roman guruku itu berubah pula. Aku melihat kedua matanya jadi bersorot sangat tajam dan bengis, seperti juga mata itu hendak menyemburkan api. Sambil mengawasi tajam itu. dia kata: 'Tidak! Aku tidak menghendaki kau menjadi anakku! Kau dapat menjadi isteriku!'

"Benarlah itu keluar dari mulut guruku? Aku hampir tidak dapat memikirnya. Itulah bagaikan guntur di siang hari terang benderang! Kepalaku menjadi pusing, mataku berkunang-kunang. Aku menatap wajahnya. Seperti barusan kau menatap aku. Sedetik itu aku melihat orang yang demikian baik terhadap aku seperti juga berubah menjadi binatang liar yang mementang mulutnya yang bercaling serta membuka kuku-kukunya yang tajam!

"Lantas aku mendengar suaranya, perlahan-perlahan: 'Dulu-dulu aku cuma tahu meyakinkan ilmu silat, belum pernah aku memikirkan tentang pernikahan, sekarang, setelah menahan diri beberapa puluh tahun, aku tidak dapat menderita terlebih lama pula, aku dapat kembali menjadi manusia biasa, tak usah menjadi imam terus-terusan, supaya aku dapat menikah dengan kau. Giok. kenapa kau mengawasi aku begini tajam?

Apakah kau sudah tidak mengenali aku? Apakah kau tidak sudi? Jiwamu ialah aku yang memberikan, maka pada dasarnya, kaulah milikku, dari itu, begitu aku menghendaki kau menjadi isteriku, kau mesti menjadi isteriku!' Lantas dia mementang kedua tangannya, berniat memeluk aku.

"Mendadak itu waktu, aku bagaikan sadar. Aku lantas menggigit padanya, terus aku berteriak-teriak: 'Tidak bisa! Tidak bisa". Kau telah memberikan jiwa padaku, kau boleh ambil pulang jiwa itu! Biarnya mati aku tidak dapat menjadi isterimu!' Aku berontak sekuat tenagaku, lantas aku kabur turun gunung!

"Entah disebabkan dia malu, setahu karena dia biasanya menyayangi aku, dia tidak mengejar aku, untuk mencegah aku lari. Dengan kepandaiannya, jikalau dia mau. dia dapat mengejar dan menyandak aku. Ketika aku berpaling, aku mendapatkan dia berdiri menjublak bagaikan patung, wajahnya terlihat tidak mengasih. Biar bagaimana, aku merasa terharu juga. Tapi aku tidak berani kembali kepadanya, tanpa menoleh lagi, aku lari terus, aku kabur meninggalkannya. Di luar sangkaku, ketika aku tiba di kaki gunung, dia mengejar aku..."

Sioe Lan menghela napas lega. Senang ia mendengar Tjie Hee Toodjin tidak mengejar ibunya. Tapi kapan ia mendengar keterangan yang paling belakang itu. napasnya menjadi sesak pula, hatinya sangat tegang dan bergelisah. Dengan keras iamenyekal tangan ibunya.

"Bagaimana kemudian?" ia tanya. "Apakah mama tak tertawan dia?"

Syukur dia masih mempunyai sedikit rasa pri kemanusiaan," menyahut sang ibu, "atau mungkin dia tadi lenyap kesadarannya untuk sesaat, belakangan dia mendusin juga, di akhirnya, dia membiarkan aku pergi. Hanyalah, dia memberikan tiga syarat. Pertama-tama aku dilarang menceritakan apa yang terjadi itu. Yang kedua ialah aku tetap dilarang menikah sama Ban Kee Soe. Yang ketiga yaitu aku mesti menanti hingga matinya dia baru aku boleh keluar, untuk masuk dalam dunia Kangouw. Jikalau aku melanggar syarat yang kesatu dan ketiga itu, dia mengancam untuk membinasakan aku. Dan jikalau aku melanggar syarat yang kedua, bukan cuma aku, dia juga hendak membinasakan Ban Kee Soe!"

Liong Kiam Hong di tempatnya bersembunyi bangkit bulu romanya. Dia menggigil tanpa merasa. Hatinya berpikir: "Tjie Hee Toodjin bermartabat, kedudukannya seimbang dengan kedudukan Hian Kie Itsoe, aku tidak sangka sekali dia mau melakukan perbuatan binatang semacam itu! Memang pantas kalau dia melarang Tjit Im Kauwtjoe membeber rahasianya itu. Dan bahwa dia suka melepaskan muridnya, itu tandanya dia masih dapat berpikir.

Dulu hari Hian Kie Itsoe memberi ampun padanya, itulah mungkin disebabkan sifatnya ini yang belum rusak seanteronya."

Tjit Im Kauwtjoe melanjuti penuturannya: "Begitulah aku terlepas dari tangannya Tjie Hee Toodjin. Lantas aku merasakan kesulitan. Pertama-tama aku tidak berani mencari Ban Kee Soe. Kedua, aku juga tidak berani merantau dalam dunia Kangouw. Aku mesti memenuhi janji. Maka itu setiap hari, setiap malam, aku selalu hidup dalam impian yang buruk. Lantas aku ingat kepada Toktjioe Sinmo Kie Hoan di wilayah Biauvvkiang. Dia dijuluki demikian sebab liehaynya dalam kepandaian mempergunakan racun. Julukannya itu berarti Iblis Tangan Beracun. Dia tidak takut pada Tjie Hee Toodjin. Aku lantas pergi padanya. Aku ingin mempelajari ilmu racun, supaya aku tidak usah takuti lagi Tjie Hee. Aku menerima syarat Tjie Hee pun karena terpaksa. Biar bagaimana, tidak dapat aku melupakan Ban Kee Soe. Di luar dugaanku, sesudah aku lolos dari tangan guru yangjahat itu, aku lantas mendapat bahaya yang terlebih hebat pula..."

"Apakah Kie Hoan pun manusia jahat?" Sioe Lan tanya. Ia kaget dan heran.

"Bukan," menyahut sang ibu, cepat. "Kie Hoan ialah ahli racun nomor satu di kolong langit ini tetapi dialah orang pihak lurus, cuma kelakuannya saja yang aneh. Yang mencelakai aku ialah kakak seperguruanku."

"Ah!" berseru si anak. "Mama mempunyai kakak seperguruan? Mengapa aku belum pernah dengar?"

Kiam Hong tahu, sang kakak seperguruan itu, ialah Pektok Sinkoen. Ia menjadi heran, ia berpikir: "Namanya Pektok Sinkoen cukup terkenal, mengapa keponakannya ini tidak mendapat tahu? Inilah aneh! Mengapa Tjit Im Kauwtjoe menyembunyikannya dari puterinya?"


Tjit Im Kauwtjoe melanjuti pula keterangannya: "Kakak seperguruanku itu seorang suku bangsa Biauw, tetapi dia sangat mengagumi bangsa Han, maka dia memakai nama Han. ialah Tjio Keng Ham. Dia sangat gemar bergaul sama bangsa Han. Dibanding denganku, dia lebih tua sedikit, akan tetapi karena dia selalu mengikuti soehoe. dalam hal menggunai racun, dia terlebih pandai daripada aku. Dia sangat menyukai aku. Begitu aku masuk dalam perguruan, dia ingin menikah denganku. Aku tidak menyukai dia, kesatu untukku sudah ada Ban Kee Soe, kedua, aku tidak cocok sama tabiatnya. Dia terus menggerecokaku, sampai satu kali aku mengadu kepada guruku. Lantas dia ditegur dan didamprat. Aku pun lantas berjaga diri. Belakangan dia tidak berani lagi mengganggu aku, sampai hatiku mulai lega. Justeru penjagaanku kurang terliti, justeru aku mengalami peristiwa yang membuatnya aku celaka..."

Bicara sampai di situ, nyonya tua ini mengucurkan air mata. Pula daging yang berenjulan di mukanya lantas pada timbul.

"Sudah, mama, jangan menangis." Sioe Lan menghibur, "Anakmu berada di sampingmu. Bukankah kau pernah membilangi aku, asal aku mendampingi kau, kau tidak bakal bersusah hati?"

Tjit Im Kauwtjoe menepas air matanya. Ia memeluk erat-erat anaknya itu.

"Syukur dia meninggalkan kau didampingku, jikalau tidak, pasti aku jadi terlebih membenci dia," katanya kemudian. "Telah aku bilang, kakak seperguruan itu gemar bergaul sama orang Han. Di antara sahabat-sahabatnya ada seorang yang bernama Bang Thong, yang asalnya seorang penjahat besar. Dia ini nelusup masuk ke wilayah orang Biauw, dia berniat mencuri emas simpanan bangsa Biauw itu, yang disimpan di dalam sebuah guha. Diajuga ingin mencuri obat-obatan bangsa Biauw. Di antaranya, semacam obat yang langka dan mujarab, ialah hosioeouw. Guruku menanam pohon obat itu. Bang Thong membujuk Tjio Soeheng mencuri pohon obat tersebut dan dia kena terbujuk. Pada suatu hari aku diperintah soehoe pergi mencari bahan obat-obatan. Seperginya aku, dia lantas menyusul padaku. Dia memberitahukan aku bahwa dia salah mengambil putusan akan buron meninggalkan guru, katanya dia mau ikut Bang Thong untuk mengicipi kebahagiaan di luaran. Dia mengharap sangat aku suka ikut padanya. Tentu sekali aku tidak terima ajakannya itu, bahkan aku memberi nasihat supaya dia membatalkan niatnya. Sebaliknya, diamembujuki aku. Dia kata wilayah Biauwkiang ini sepi, tidak menarik hati. Dia bilang, di luar, dunia ramai dan menyenangkan. Dia tanya, mengapa aku tidak ingin mengicipinya? Percuma aku memberi nasihat. Bahkan sebaliknya, dia menjadi berubah sifatnya. Sembari tertawa bengis, dia kata: 'Apa yang aku katakan sudah masuk ke dalam kupingmu, maka itu, kau suka mengikut aku atau tidak, kau mesti mengikut juga!" Aku kaget, aku mengerti bahaya mengancam. Sayang aku terlambat, belum sempat aku lari, dia sudah meniup aku dengan asap, lantas aku roboh tak sadarkan diri. Selagi aku semaput itu, dia mengganggu kesucian diriku. Susah-susah aku menjaga diri, akhirnya aku menjadi kurbannya juga..."

Tubuh Sioe Lan bergemetaran, kaki tangannya dingin, mukanya pun menjadi sangat pucat.

"Jadinya, dia... dialah ayahku?" katanya, perlahan.

"Ya, dialah ayahmu," sahut sang ibu. "Kau bilanglah sekarang, bagaimana aku tidak membenci dia?"

Sioe Lan berdiam, hatinya pepat.

"Habis merusak kesucian diriku, dia juga mencelakai soehoe," berkata pula Tjit Im Kauwtjoe. "Soehoe sangat menyayangi dia. dia dipercaya habis. Soehoe lagi tidur ketika ia kena dibikin celaka. Kakak seperguruan itu membuat bubuk beracun dari adukan tiga macam obat toohoatjiang, kimyapkiok dan pektjianlo yang sangat beracun, bubuk itu ditiup masuk ke dalam hidung soehoe. Soehoe dijuluki Toktjioe Sinmo. hebat kepandaiannya, meski ia telah kena diracuni, begitu sadar ia sempat menyerang. Sayang karena telah terkena racun, pukulannya tidak sehebat biasanya, jikalau tidak, tentulah dia terhajar mati ketika juga.

"Selama semua itu terjadi, aku masih dalam pingsan. Sebenarnya dia hendak bawa aku lari, tetapi karena dihajar soehoe, dia mengubah pikirannya. Dia takut soehoe tidak mati, dia tidak berani berdiam lebih lama pula di wilayah Biauwkiang. Malam itu juga dia kabur. Bang Thong pun kabur dengan membawa pergi hosioeouw milik soehoe. Ketika kemudian aku mendusin dan aku pergi kepada soehoe untuk mengadukan pengalamanku, soehoe lagi empas-empis napasnya. Dia meninggal pesan beberapa kata-kata, diapun menyerahkan kitab Pektok Tjinkeng padaku. Pesannya yang terakhir ialah supaya aku menuntut balas untuknya. Habis memesan, dia menutup matanya untuk selama-lamanya Aku bersusah hati, sampai aku ingin tak hidup lebih lama lagi. Tapi aku ingat pesan soehoe, maka tak dapat aku tak hidup lebih lama. Yang aku tidak menyangka kemudian ternyata aku berbadan dua, hingga aku mesti menanti sepuluh bulan untuk melahirkan. Dengan adanya kau, aku lebih-lebih tidak harus mati."

"Mama. kau sungguh-sungguh bersengsara," kata Sioe Lan sedih. "Pantas kau tidak suka membuka rahasia kepadaku. Biarlah ayah apa she dan namanya, tetapi aku ingin memakai she Im dari mama."

"Penderitaanku masih belum habis," berkata ibu itu lebih jauh. "Baiklah, hari ini aku tuturkan segala apa padamu."

Sioe Lan memasang telinga.

"Dengan lahirnya kau, anak, aku bagaikan mempunyai harapan," berkata Tjit Im Kauwtjoe, mulai lagi dengan penuturannya. "Kapan aku melihat sepasang matamu yang celi. hatiku jadi terbuka. Aku membenci luar biasa terhadap ayahmu tetapi aku luar biasa menyintai kau. Pernah karena kau, aku kata di dalam hatiku : 'Biarlah untuk kau, anak Lan, aku memberi ampun kepadanya' Telah aku bi lang barusan, pesan terakhir dari soehoe ialah agar aku membalaskan sakit hatinya itu. Aku tidak menyangka sama sekali, selagi aku berniat mengasi ampun kepadanya, dia sebaliknya! Tepat di hari ulangmu satu tahun, ada dua orang datang padaku..."

"Adakah dia, dia yang datang?" tanya Sioe Lan, suaranya bergemetar. Ia mau menyebut "ayah" akan tetapi kata-kata itu tidak mau keluar dari mulutnya, jadinya ia menyebut "dia."

"Yang bermula datang bukannya dia!" menyahut sang ibu. Ia pun menyebut 'dia.' "Ialah Ban Kee Soe, orang yang aku pikirkan siang dan malam! Bagaimana ingin aku menjadi isterinya. Tapi sekarang, mengharap pun aku tidak berani. Biarnya aku tidak takuti larangannya Tjie Hee Toodjin. karena kehormatanku telah dinodai, tidak dapat aku menjadi isterinya. Maka itu untuk memutuskan cintanya, supaya ia pun jangan jadi kurbannya Tjie Hee Toodjin, aku terpaksa mendustai ia bahwa aku sudah menikah dan telah mempunyai anak. Aku minta dia mencari lain isteri, supaya diajangan pikirkan pula padaku. Dia tidak mau percaya aku, sampai dia melihat kau mirip dengan aku. Setelah mempercayainya, dia berdiri menjublak. Sampai sekian lama, baru dia dapat membuka mulutnya. Dia kata: 'Kau sudah bersuami dan mempunyai anak, kau pun hidup beruntung, aku girang sekali. Tapi melihat roman kau, kau bukannya seperti orang yang hidup berbahagia! Bukankah kau menyembunyikan kesukaran di dalam hatimu dan kau tidak suka menuturkan itu padaku?' Aku menahan turunnya air mataku, aku mengertak gigi ketika aku menyangkal. Dia kata pula: 'Karena kau berbahagia, baiklah, aku tidak mau mengganggu padamu. Tapi, hendak aku menjelaskan, terhadap kau, aku tetap seperti dulu, jikalau kau membutuhkan bantuanku, kau boleh pergi ke Ngobie San mencari aku.' Nyatalah dia, anak dan ayah, sesudah diusir Tjie Hee Toodjin, telah pindah ke gunung Ngobie San di mana ia menumpang pada paman gurunya. Dia telah minta bantuan saudara seperguruannya mencari tahu tentang aku. maka itu diamengetahui aku telah meninggalkan Tjie Hee dan menukar guru kepada Kie Hoan. Ketika dia mau berpisah, dia menitipkan sebatang hio cendana kepadaku, dia pesan: 'Jikalau kau tidak suka datang ke rumahku, bolehlah di tempat yang berdekatan denganku kau menyulut hio ini, aku akan mendapat tahu dan nanti datang padamu.' Kayu cendana ialah kayu wangi keluaran Ouwbong San. ketika kita masih kecil dan suka memain, ia biasa membakar itu untuk memanggil aku. Dia mengasihkan hio itu padaku, sebegitu lama aku simpan saja, belum pernah aku pakai sampai hari ini. Habis dia memesan, baru dia mau pergi, lantas datang orang yang lain. Dialah orang... orangyangaku paling tidak sudi menemuinya. Dialah kakak seperguruanku itu, atau ayah kau.

Tjio Keng Ham! Dia gusar melihat aku berada bersama Ban Kee Soe, dengan kasar dia kata padaku: 'Kau menganggap aku tidak berani pulang maka kau berani diam-diam mencari laki-laki lain?' Hatiku panas sekali, tetapi aku tidak mau mengadu mulut dengannya, untuk itu pun sudah tidak ada kesempatannya. Aku melihat matanya yang bersorot bengis ketika dia memandang Ban Kee Soe, aku kuatir dia menurunkan tangan jahat, maka aku pikir baiklah aku mendahului. Demikian aku hajar dia roboh. Dalam halnya racun, dia lebih pandai daripada aku, tetapi mengenai ilmu silat, aku lebih menang. Dia tidak berani menggunai racun terhadap aku. maka itu dia merasakan tanganku. Kau baru berumur satu tahun, kau belum dapat bicara, melihat aku berkelahi, kau menangis. Sebenarnya aku ingin hajar mampus padanya tetapi melihat kau menangis, hatiku menjadi lemah. Selagi begitu, Ban Kee Soe tidak berani berdiam lama-lama, maka dia kata: 'Lantaran aku, kamu suami isteri jadi berselisih, aku menyesal sekali, aku sangat menyesal.' Juga kepada Keng Ham ia memberi keterangan bahwa ia datang cuma sebagai sahabat, lain tidak, dan ia minta Keng Ham jangan curiga Keng Ham tidak mau percaya, sambil rebah di lantai, dia mencaci Kee Soe. Aku panas sekali, ingin aku membeber rahasia akan tetapi selagi dia mencaci, Kee Soe sudah lari pergi. Ah, kalau aku pikir kelemahanku itu waktu, sampai sekarang aku masih menyesal bukan main. Tidak dapat aku menguber dia, untuk memberi penjelasan. Kedudukanku itu waktu sangat sulit. Aku tidak dapat menikah Kee Soe, aku juga takut Tjie Hee mencelakainya. Tak dapat aku memberi penjelasan kepadanya. Karena itu, aku jadi bersengsara sendiri seumur hidupku ini."

"Jikalau aku," berkata Sioe Lan selagi ibunyahening sejenak, "jikalau ada seorang demikian menyintai aku, aku, akan tidak perdulikan apa juga, pasti aku turut padanya!"

Selagi mengucap begitu, air matanya si nona mengetes jatuh. Entah dia berkasihan terhadap ibunya, setahu dia menyesali nasibnya sendiri.

Tjit Im Kauwtjoe menolong menyusuti air mata gadisnya itu.

"Aku tahu kesusahan hati kau. tetapi kesusahan hatiku lebih besar pula," berkata si ibu. "Aku terpaksa menutur semua ini kepadamu supaya kau mengerti jelas sifatnya ayahmu itu. Seberlalunya Ban Kee Soe, dia berbangkit, untuk membalut lukanya. Hebat hajaranku itu, sebelah tangannya salah laku. Dengan mata mendelik dia mengawasi aku. Selang sekian lama, dengan nyaring dia tanya aku: 'Kau sudah mengambil putusan atau belum? Kau mau turut aku atau tidak?' Dengan sama nyaringnya aku menjawab: 'Biarnya mati, aku tidak sudi turut kau!' Dengan bengis dia kata: 'Soehoe sudah mati, sekarang ini di kolong langit tidak ada orang yang dapat menguasai diriku! Jikalau aku mau membikin kau mampus, itulah gampang sekali, seperti aku membaliki tangan saja! Aku justeru tidak ingin membikin kau mati! Tidak dapat tidak, kau mesti turut aku!' Aku melihat romannya, terang dia mau menggunai racun atas diriku, maka aku kata: 'Kecuali kau meracuni aku, tidak nanti aku turut padamu!' Dia rupanya menginsafi, melawan keras padaku dia tak dapat, mungkin aku membunuh dia, maka itu dengan romannya yang bengis, tetap dia menatap aku, sambil bersenyum ewah, dia kata: 'Baiklah, kau tidak suka turut aku, suka aku membiarkan kau! Mengingat perhubungan suami isteri, aku tidak mau membunuhmu, tetapi jikalau kau memikirkan itu bocah muka klimis, itulah tak dapat!' Mendadak dia mengayun tangannya kepadaku, lantas aku ketutupan asap beracun..."

Sioe Lan menjerit bahna kaget. Selama mendengari penuturan ibunya itu, ia sudah tahu ayahnya seorang busuk, hanya tidaklah ia pernah menduga, kebusukan itu ada demikian hebat, sampai dia tak segan menurunkan tangan jahat terhadap orang yang dicintainya.

"Syukur aku telah menduga bahwa dia bakal menurunkan tangan jahat itu," berkata Tjit Im Kauwtjoe, meneruskan ceritanya. "Aku telah lantas menutup mataku dan menahan juga napasku. Aku lantas merasakan mukaku panas sekali, seperti dibakar dengan besi panas, sakitnya bukan buatan. Di dalam keadaan layap-layap itu, aku dapat mendengar tertawa nyaring yang nadanya menyeramkan, disusul sama kata-kata keras: 'Sekarang aku telah membikin kau menjadi jelek tidak keruan, maka hendak aku melihat, si muka putih itu masih menyukai kau atau tidak!' Selama satu hari satu malam aku tak sadarkan diri, ketika akhirnya aku mendusin, beginilah roman mukaku! Dia telah menggunai racun yang merusak muka, meski dia tidak mengambil jiwaku, dia toh sudah merusak kecantikanku."

Sioe Lan memeluki ibunya, ia menangis.

"Oh, ayah kejam!" katanya sengit. "Ibu, kau sungguh bersengsara!" ia pun mengeluh.

"Sesudah terjadi peristiwa itu, baru hatiku tenang," Tjit Im Kauwtjoe berkata pula. "Tjio Keng Ham tidak datang pula mencari aku. Adalah Ban Kee Soe, yang mengirim orang menanyakan hal ichwalku. Hanya, setiap kali aku mendengar kabaran dari ianya, lantas aku pergi menyingkir, sampai paling belakang aku mengajak kau menyingkir ke gunung hingga orang tidak dapat mencari pula padaku. Ban Kee Soe tidak ketahui apa yang terjadi setelah kepergiannya itu. Mungkin ia tidak ingin mengganggu keakuran rumah tangga orang, rupanya ia lebih suka menderita seorang diri. tidak mau ia mencari pula aku. Tiga tahun kemudian aku mendengar kabar ia menikah dengan seorang nona gagah dari partai Tjengshia Pay. Kemudian aku mendengar pula hanya dia mendapat seorang anak lelaki. Semenjak kami berpisah, belum pernah aku merasa senang, baru sesudah mendengar hal pernikahannya itu dan ia mendapat anak, dua kali aku tertawa. Senang hatiku yang ia telah membangun rumah tangga yang berbahagia. Di samping itu. kadang-kadang aku mendengar kabar kurang jelas mengenai Tjio Keng Ham. Katanya dia semakin tersohor di dalam dunia Kangouw, sampai dia memperoleh julukan Pektok Sinkoen. Pula Bang Thong. orang yang menganjurkan dia berbuat jahat, yang telah mencuri emas di Biauwkiang dan obat, telah menjadi hartawan besar, hingga dia menjadi potjoe, tuan dari Bang keepo. Semenjak itu, dia mencuci tangan, dia tidak lagi melakukan pekerjaannya tanpa modal. Selama beberapa tahun yang paling belakang ini, kabarnya dia pun mendapat seorang sahabat baru ialah Tiatsie Sieseng Tjouw Thian Yauw si Pelajar Kipas Besi."

Sioe Lan bagaikan baru tersadar, dia memotong cerita ibunya itu dengan berkata: "Oh, kiranya beberapa hari yang lalu mama meracuni Bang Thong untuk membalaskan sakit hati dulu hari itu! Dialah yang menganjurkan ayahku berbuat jahat, pantas dia menerima hukumannya itu!"

"Sebenarnya aku tidak bekerja untuk Bang Thong melulu," berkata si ibu, menjelaskan. "Pada setengah bulan yang lalu, ayahmu telah mengutus si orang she Tjouw itu untuk menemui aku secara diam-diam..."

"Mengapa aku tidak mendapat tahu?" Sioe Lan tanya.

"Orang she Tjouw itu berkepandaian sangat mahir dalam hal ilmu ringan tubuh," Tjit Im Kauwtjoe memberi keterangan. "Aku telah dibikin mendusin dengan mendadak pada tengah malam. Tahu-tahu dia sudah berdiri di depan pembaringanku. Dia menjelaskan tentang dirinya dan memberitahukan bahwa mereka sudah beruntung besar. DiakataTjio Keng Ham ingat padaku dan dia tanya, aku suka atau tidak mengikut padanya. Dia tanya juga, jikalau aku tidak suka ikut dia, apa boleh anakku diserahkan padanya. Aku menjadi sangat gusar, hingga aku mau membunuh orang she Tjouw itu, tetapi dia liehay baru aku mau menurunkan tangan, dia sudah mendahulukan kabur. Sekianlah. Sekarang aku hendak menanya kau, kau lebih suka terus turut aku atau kau turut pada ayahmu itu?"

"Mania, pasti aku turut kau" menjawab Sioe Lan tanpa berpikir lagi.

Justeru ketika itu, tubuhnya si pemuda baju kuning berkutik.

Tjit Im Kauwtjoe mengawasi.

"Hawa hitam di alisnya sudah mulai berkurang, tidak lama lagi, dia bakal sadar." katanya. "Hm, kau sungguh kejam, terhadap seorang bocah, yang bau susunya belum lenyap, kau berlaku begini ganas!"

Sioe Lan dapat menduga, siapa yang dikatai ibunya itu, tetapi ia masih menanya: "Mama, kau mengatai siapa?"

"Di dalam dunia ini. berapakah orang yang pandai menggunai racun?" menyahut ibu itu. "Dia ini telah dibikin celaka ayahmu, dia terkena asap beracun Keebeng Ngokouw Toanhoen hio!"

Sembari berkata begitu, Tjit Im Kauwtjoe mengeluarkan semacam obat bubuk lainnya, yang dikasih masuk ke dalam liang hidungnya anak muda itu, sambil berbuat begitu, ia menatap muka orang, ia menghela napas dan mengatakannya: "Sungguh mirip, sungguh mirip... Dia mirip sekali dengan Kee Soe!..."

Kiam Hong di tempatnya bersembunyi menghela napas. Katanya di dalam hati: "Tjit Im Kauwtjoe beroman begini jelek dan nampaknya dia sangat kejam, siapa sangka dia dapat menyintai orang demikian sangat!"

Kauwtjoe itu masih melanjuti keterangannya: "Anak Lan. kau tentu mengerti sekarang kenapa ibumu mendustai kau, bukan? Sebabnya ialah ibumu tidak ingin kau mengetahui yang kau mempunyai ayah sangat busuk itu. Itu pula sebabnya mengapa aku membilangi kau bahwa ayahmu ialah Ban Kee Soe, bahwa ayahmu itu telah menutup mata. Sebenarnya mereka dua-duanya belum mati! Kau tahu, sekarang ini ibumu membenci semua pria di kolong langit ini kecuali satu Ban Kee Soe. Dan selama beberapa tahun ini aku berniat membangun satu perkumpulan agama, maksudku tidak lain ialah guna menolong semua anak perempuan yang menderita kesengsaraan!"

"Jikalau demikian, tidak heran Tjit Im Kauwtjoe bersikap aneh," pikir Kiam Hong pula. "Kiranya dia mempunyai penderitaan yang begini hebat. Hanya sayang, walaupun maksudnya baik, semua itu mirip dengan chayal. Wanita yang bersengsaradi kolong langit ini besar jumlahnya, dia bersendirian, berapa banyak dia nanti berhasil menolonginya? Belum-belum sekarang dia sudah dinamakan orang kauwtjoe agama sesat!"

"Mama, kau memikirkan apa lagi?" tanya Sioe Lan, yang melihat ibunya berdiam saja paras mukanya pun muram.

"Aku lagi memikirkan racun," menjawab ibu itu. "Masih ada beberapa racun lainnya yang terlebih liehay daripada Keebeng Ngokouw Toanhoen hio ini. Mengapa dia justeru menggunai racun ini, yang kekuatannya merampas jiwa sesudah lewat dua belas jam? Apakah mungkin dia sudah menduga yang anak ini bakal mendapat pertolongan dan dia menggunai caranya ini untuk penyelidikannya mencari aku? Atau mungkinkah dia mempunyai maksud lain lagi?"

"Ma, sudahlah, tak usah kau pikirkan pula," kata Sioe Lan. membujuk. "Biarnya benar dia mengandung maksud itu, meski juga dia datang kemari, tidak nanti aku suka turut padanya!"

Sepasang alisnya Tjit Im Kauwtjoe bergerak, dia bersenyum.

"Kalau begitu, anak, hati ibumu lega" katanya

Kembali Tjit Im Kauwtjoe meniup obat bubuk ke dalam hidungnya si anak muda, ia mencabut tusuk kondenya, untuk menusuk jalan darahnya, taytwie hiat dan lengtay hiat.

Mendadak anak muda itu berbangkis, lalu kedua matanya dibuka dengan perlahan-lahan.

Tjit Im Kauwtjoe memegangi, untuk mengasi bangun tubuh orang.

"Bagus, anak, kau telah mendusin," katanya perlahan, halus. "Aku ialah sahabatnya ayahmu, maka jangan kau takut Dengan adanya aku didampingmu, tidak nanti ada orang yang berani mencelakai pula padamu!"

Kiam Hong lagi bersembunyi, ia tidak bisa melihat, tetapi ia dapat menduga Tjit Im Kauwtjoe bersikap terhadap pemuda itu sebagai juga pemuda itu anaknya sendiri.

Pemuda baju kuning itu duduk.

"Terima kasih," katanya perlahan. "Ayah tidak keliru menduga. Benar-benar kau baik sekali terhadap aku."

"Bagaimana dengan ayahmu?" Tjit Im Kauwtjoe tanya.

"Ayahku?" balik tanya anak muda itu, lalu dia nampak sangat berduka. "Ayah... ayah sudah menutup mata... Pesannya ialah supaya aku pergi mencari kau..."

Wanita tua itu terkejut, lantas air mukanya menunjuki kedukaan.

"Sudah mati?... Sudah mati?..." katanya berulang-ulang. "Bagaimana dia... dia... matinya?..."

Meskipun dia telah berkeputusan tidak akan menemui lagi Ban Kee Soe, kauwtjoe ini toh senantiasa ingat kekasihnya itu, maka ia tidak menyangka bahwa sekarang mereka telah berpisahan untuk selama-lamanya

Sejenak itu, Tjit Im Kauwtjoe merasakan segala apa gelap dihadapannya. Dia seperti ditinggal pergi arwahnya. Dalam keadaannya samar-samar itu, telinganya mendengar suara lemah dari si anak muda: "Ayahku bersama ibuku, semua mereka telah dibikin celaka orang..."

Kaget kauwtjoe itu, dengan cepat ia membuka matanya

"Siapakah si pembunuhnya?" ia tanya keras.

"Si penjahat dua orang," menyahut si anak muda. "Ayah mengenali satu di antaranya ialah Tokpie Kengthian Koan Sin Liong dari gunung Aylauw San."

Alisnya Tjit Im Kauwtjoe bangun.

"Oh, Koan Sin Liong si tuabangka bercacat yang tidak mau mampus itu!" dia berseru. "Kembali dia muncul

untuk melakukan kejahatan?-

Siapakah itu yang satu lagi?"

"Dialah seorang Biauw, yang tidak ketahuan namanya."

Tubuhnya kauwtjoe itu menggigil.

"Oh, orang Biauw!" katanya. "Bagaimana macamnya dia?"

"Dialah seorang bermuka biru yang perok, sepasang matanya panjang dan dalam, romannya sangat jelek. Dialah seorang tua."

Tjit Im Kauwtjoe menghela napas lega

"Aku menyangka dia, kiranya bukan," katanya perlahan. Tapi ia lantas berpikir: "Di antara orang Biauw yang liehay. kecuali Tjio Keng Ham, ada siapa lagi?"

Sioe Lan pun lega hatinya mendengar si pembunuh kejam bukan ayahnya

"Tokpie Kengthian Koan Sin Liong itu," berkata ini anak kemudian, "apakah dia bukannya itu orang yang dulu hari mama pernah menyebutnya, ialah si hantu yang sebelah tangannya telah dibabat kutung oleh Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng?"

"Tidak salah!" menjawab sang ibu. "Setelah sebelah tangannya dibabat kutung, dia lantas pergi menyembunyikan diri di gunung Aylauw San itu dan di sana dia menyebut dirinya Tokpie Kengthian, si Tangan Tunggal Penunjang Langit."

Koan Sin Liong itu ialah keponakannya Tjie Hee Toodjin, gurunya sudah meninggal dunia dan oleh Tjie Hee dia pernah diberi petunjuk ilmu silat. Dalam hal umur, dia lebih tua sepuluh tahun lebih daripada Tjit Im Kauwtjoe, maka itu, selagi Tjit Im masih belajar, dia sudah keluar dari rumah perguruan dan namanya sudah tersohor. Tjit Im Kauwtjoe masih ingat, ketika ia berumur tiga belas tahun, Koan Sin Liong sudah merampas uang kumpulan amal di Shoasay, dia kepergok Yap Eng Eng, sebelah tangannya kena dibikin kutung. Karena kejadian itu, dia telah datang ke Ouwbong San, untuk minta bantuan paman gurunya, ialah Tjie Hee Toodjin. Tjie Hee jeri untuk ilmu pedang Siangkiam happek, ilmu pedang bersatu padu, dari Yap Eng Eng suami isteri, dia tidak berani membelai keponakannya itu. Setelah itu, Koan Sin Liong mengeram diri di Aylauw San, untuk meyakinkan lebih jauh ilmu silat pedangnya. Sampai Tjit Im Kauwtjoe meninggalkan gurunya berdua mereka tidak pernah bertemu pula, sampai terjadilah peristiwa anak muda berbaju kuning ini hingga Tjit Im Kauwtjoe mengetahui si Tangan Tunggal Penunjang Langit itu membinasakan orang tua pemuda itu.

Tjit Im Kauwtjoe heran mengetahui si pembunuh ialah Koan Sin Liong. Ia berpikir: "Tjie Hee Toodjin jelus terhadap Ban Kee Soe, dia hendak menyingkirkan saingannya itu. Tapi kejadian itu sudah lewat banyak tahun. Untuk kehormatannya, pula tidak nanti Tjie Hee membeber perbuatannya yang buruk itu terhadap orang yang kedua Sekarang terjadi pembunuhan ini. Bukankah di antara Koan Sin Liong dan Ban Kee Soe tidak ada sesuatu perhubungannya? Kenapa sekarang dia membunuh Kee Soe?" Maka ia lantas tanya si anak muda: "Ketika peristiwa terjadi, apakah kau ada di rumah?"

"Ada," menyahut pemuda itu. "Bahkan aku masih ingat, hari itu ialah hari kedua sepulangnya ibuku dari propinsi Koeitjioe."

"Oh, ibumu pergi ke Koeitjioe?" Tjit Im menegaskan. "Kau ingatkah ketika itu waktu apa?"

"Itulah kejadian pada tiga tahun yang lampau," menyahut si anak muda "Waktu itu tinggal beberapa hari lagi hari raya Tiong Tjioe. Kabarnya itu waktu kau baru mulai membangun Tjit Im Kauw. Benarkah itu?"

Tjit Im Kauwtjoe heran. "Cara bagaimana kau dapat mengingat demikian baik?" ia tanya.

"Karena ketika itu ibuku justeru pergi mencari kau. Sayang dia terlambat beberapa hari. Katanya kau baru saja meninggalkan wilayah Biauwkiang."

Kauwtjoe itu menjadi bertambah heran.

"Ah, ibumu pergi ke Biauwkiang mencari aku?" dia kata. "Sekembalinya dia itu, apa katanya?"

"Malam itu aku justeru mendengar ayah dan ibu berbicara di dalam kamarnya, boleh dibilang semalaman suntuk. Oleh karena mereka bicara di dalam kamar, aku tidak tahu soal apa yang dibicarakan."

Hati Tjit Im Kauwtjoe goncang.

"Apakah kau tidak mendengar nyata pembicaraan mereka itu ataukah kau kurang mengerti?" ia menanya pula

"Kamarku sebelah menyebelah dengan kamar ayah dan ibuku. Mereka bicara dengan suara keras dan perlahan bergantian. Aku tidak memperhatikan. Oh, jikalau aku tahu bahwa selanjutnya aku bakal tidak mendengar pula suara mereka, tentulah aku memasang kuping sampai pagi..."

Tjit Im Kauwtjoe merasa kurang enak sendirinya Katanya di dalam hati: "Kee Soe murid partai lurus dan anaknya ini dengar kata, pasti ini anak tidak dapat mencuri dengar pembicaraan orangtuanya" Ia merasa ia telah keliru menanya, tetapi sebenarnya ia ingin sekali mengetahui hal ichwalnya Kee Soe suami isteri itu.

Si anak muda baju kuning berkata pula: "Tengah malam aku mendusin, aku masih mendengar ayah dan ibu bicara terus. Lalu aku tidur pula. Aku bangun di waktu mulai terang tanah, itu waktu aku mendengar pembicaraan ayah dan ibu masih belum berhenti. Aku tidak mendengar nyata, cuma beberapa kali aku mendapat dengar disebutnya nama-namanya Pektok Sinkoen dan nona Im Oen Giok..."

"Im Oen Giok itu ialah aku," Tjit Im Kauwtjoe memotong.

"Pastilah kau telah menderita banyak," berkata si anak muda "Aku ingat ibuku membilang bahwa ia merasa berkasihan terhadapmu. Kata ibu, sama sekali ia tidak jelus atau cemburu terhadap kau, ia sangat ingin dapat mencari padamu, bahkan ibu ingin sekali yang kau dan ianya tinggal bersama-sama. Ibu mengatakan juga bahwa ia percaya kau tentu ketahui, dunia bukan selamanya dingin, dunia masih ada yang hangat. Yang aku tidak mengerti ialah kenapa ibuku, di waktu menyebut-nyebut kau, membilang juga hal jelus dan cemburu. Ibu toh belum pernah bertemu sama kau? Apakah yang dibuat jelus dan cemburu? Aku tahu, kau liehay melebihkan ayah dan ibuku, akan tetapi ibuku bukanlah orang yang cupat pandangannya, tidak nanti dia jelus untuk kepandaian orang lain yang lebih tinggi daripada kepandaiannya."

Di waktu bicara anak muda ini memperlihatkan romannya kekanak-kanakan dan polos. Rupanya pun dia belum tahu soal hubungan yang ruwet dan memusingkan di antara pria dan wanita.

Parasnya Tjit Im Kauwtjoe menjadi merah sendirinya. Di dalam hatinya dia berkata: "Ketika pertama kali aku mendengar pernikahannya Kee Soe itu, di satu pihak aku mendoakan kebahagaiannya, di lain pihak aku jelus terhadap isterinya. siapa sangka isterinya itu justeru berpandangan lebih luas daripadaku yang cupat..."

Si anak muda bersedih, air matanya mengalir turun. Ia menepas itu.

"Begitu lekas langit sudah terang, sebelum aku turun dari pembaringan, maka datanglah Koan Sin Liong bersama si orang Biauw itu," ia meneruskan kemudian. "Mendengar suara kedatangan mereka itu, ayah dan ibu pergi keluar, untuk menemui, guna menanyakan maksud kedatangan mereka. Mereka itu tidak menjawab, sebaliknya, dengan mendadak mereka menyerang. Ibu tidak bersiap sedia, ibu yang paling dulu kena dibunuh mereka. Ayah melakukan perlawanan, ayah dapat melukai mereka itu. akan tetapi ayah pun terkena senjata rahasia yang berupa tokkielee beracun dari Koan Sin Liong, hingga ayah cuma bisa mengawasi saja mereka itu mengangkat kaki. Di waktu mabur. sembari tertawa dingin, Koan Sin Liong kata: 'Jikalau aku tidak memberi keterangan, kasihan kamu mati tidak keruan, gelap akan duduknya hal. Aku pun tidak memikir membiarkan kamu menjadi setan-setan, dogol! Baiklah aku memberitahukannya! Bukankah kamu hendak mencari Tjit Im Kauwtjoe? Nah, Tjit Im Kauwtjoe mengundang kamu ke istana Giam Lo Ong untuk kamu membuat pertemuan di muka Raja Acherat itu! Kami ini ialah si pesuruh tukang membetot arwah manusia yang diutus olehnya!"

Mendengar itu, Tjit Im Kauwtjoe berduka berbareng gusar sekali, hingga tubuhnya menggigil saking gusarnya itu.

"Koan Sin Liong sangat jahat!" katanya nyaring. "Sudah dia membinasakan ayah dan ibumu, dia juga secara keji memakai namaku! Asal napasku masih ada maka aku bakal menuntut balas terhadapnya!"

"Jangan gusar, Kauwtjoe," berkata si anak muda. "Perkataannya Koan Sin Liong itu, sedikit pun ayah tidak percaya. Ayah memesan aku, katanya: 'Aku tidak tahu kenapa Koan Sin Liong berbuat demikian jahat mencelakai aku dan ibumu. Kau masih kecil, bukan saja kau tidak dapat menuntut balas, bahkan kau perlu menjaga diri supaya kau juga tidak terbinasakan musuh. Aku hendak menyerahkan kau pada seorang yang aku paling percaya dapat dibuat andalan, dialah orang satu-satunya yang aku kenal, dia pasti dapat merawat padamu!'"

Dengan "dia," pemuda itu menyebut dia "wanita."

Air matanya Tjit Im Kauwtjoe turun dengan deras.

"Oh, Kee Soe, Kee Soe..." katanya terputus-putus. "Dia... dia membilang begini kepadamu?"

Si anak muda mengangguk.

"Benar," sahutnya. "Ayah membilangi aku, orang yang dipercaya itu ialah kau. Kata ayah pula: 'Pergi kau cari Tjit Im Kauwtjoe. Jangan kau mendesak ia untuk membalaskan sakit hatiku, cukup asal ia suka memperlakukan kau sebagai anak kandungnya sendiri.'"

Tjit Im Kauwtjoe merangkul anak muda itu. Ia berduka berbareng bangga Demikian besar kepercayaan kekasihnya terhadapnya! Ia bersyukur sekali kepada Kee Soe.

"Benarlah apa yang dikatakan ayahmu itu!" katanya. "Dia memang sahabatku satu-satunya! Anak yang baik, apakah namamu?"

"Namaku Thian Peng," menyahut anak itu, "Ban Thian Peng. Ayah meninggalkan sepucuk surat untuk kau."

"Oh, setelah terluka dia masih dapat menulis kepadaku?" kata Tjit Im Kauwtjoe, air matanya mengalir terus.

"Surat itu ditulis satu malam di muka," menerangkan si anak muda "setelah ayah terluka, dia menulis sehelai pula Habis menulis, surat itu ditutup rapat, diserahkan padaku secara hati-hati sekali. Ayah pun memberikan aku sebatang hio cendana serta sebutir mutiara yabengtjoe. Ayah memesan untuk mencari kau, supaya di tempat dekat kau berada, aku memasang hio itu. Mutiara itu pun untuk kau."

"Sungguh sempurna dia memikirnya" kata Tjit lm Kauwtjoe. Ia menyambuti mutiara yabengtjoe itu, ialah mutiara yang di waktu malam dapat mengeluarkan sinar terang. Air matanya bercucuran deras. Itulah mutiara saksi pengikat janji mereka di itu malam, dan ialah yang memberikan kepada Kee Soe.

Setelah mengawasi sekian lama mutiara itu, yang ia pegang erat-erat, Tjit Im Kauwtjoe lantas membuka surat kekasihnya itu, sebuah surat terdiri atas tujuh halaman. Halaman yang terakhir, suratnya tidak rata dan tidak keruan, bahkan beberapa baris yang terakhir, hampir tidak dapat dibaca lagi.

Sambil menangis, nyonya yang menjadi pemimpin Tjit Im Kauw itu membaca surat kekasihnya itu.

Pertama-tama Ban Kee Soe menulis bahwa ia tidak berniat mengganggu ketenangan dari Tjit Im Kauwtjoe tetapi ada sebab penting yang membikin ia mesti menulis suratnya ini. Ia telah mendapat tahu bahwa Pektok Sinkoen yang sedang malang melintang di dalam dunia Kangouw sebenarnya ialah itu laki-laki yang dulu hari ia telah menemukannya di rumah Im Oen Giok di Biauwkiang, wilayah suku bangsa Biauw. Katanya meski Pektok Sinkoen muncul di dalam dunia Kangouw, belum pernah ada yang melihatnya dia berada bersama-sama Oen Giok, maka itu, meski ia tidak tahu duduknya hal yang benar, ia percaya Oen Giok tidak rela menikah dengan dia itu. Pula, beberapa orang yang mengenal Pektok Sinkoen, belum pernah mereka mendengar Pektok Sinkoen sendiri mengatakan dia telah mempunyai isteri. Justeru sekarang Pektok Sinkoen dibenci kaum Kangouw, karena ia kuatir Oen Giok nanti kerembet-rembet, ia mau mengasi ingat agar kekasih ini berlaku waspada.

Yang kedua, Ban Kee Soe menulis tentang dirinya sendiri. Ia kata ketika ia telah mengetahui Oen Giok sudah menikah dan mempunyai anak, ia ingin tidak menikah untuk selamanya. Tapi ialah putera satu-satunya dan ayahnya menghendaki turunan, maka itu, untuk tidak membikin ayahnya berduka, ia terpaksa menikah, dengan seorang nona gagah dari partai Tjengshia Pay, namanya Lioe Siang In. Sebelumnya pernikahan dirayakan, ia bilang, ia sudah berbicara dengan Lioe Siang In tentang perhubungannya dengan Tjit Im Kauwtjoe. Itulah untuk mencegah terjadinya salah paham di belakang hari. Nyata Siang In dapat dikasi mengerti, bahkan dia bersimpati. Ia menulis, ia menikah untuk memenuhi keinginan dan pengharapan ayahnya, tetapi setelah hidup sebagai suami isteri, ia mendapat kenyataan isterinya itu sempurna di dalam segala hal. hingga sendirinya ia menjadi menyintainya. Karena ini ia menginsafi, ia menyesal, Tjit Im Kauwtjoe sebaliknya telah menikah dengan seorang suami yang tidak tepat. Karena itu katanya, ia sering mengingat dan memikirkan kekasih itu.

Dalam halaman ketiga, Kee Soe menerangkan bahwa, setelah ia dapat membaca beberapa buah kitab, ia menginsafi bahwa hubungan di antara pria dan wanita tidak cuma berbatas pada soal menjadi suami dan isteri saja Masih ada hubungan lainnya. Ia menulis, karena Tjie Hee Toodjin sudah menutup mata, Tjit Im Kauwtjoe boleh tak usah menguatirkan siapa juga, sedang Pektok Sinkoen, jangg seumur hidupnya merantau saja, sama juga telah mensia-siakan isterinya. Maka ia tanya, kalau Tjit Im Kauwtjoe setuju, ia dan isterinya senang sekali menyambut dan menerima dia untuk tinggal bersama-sama di rumahnya Isterinya. katanya, suka memandang dan memperlakukan dia sebagai kakak. Ia kata, oleh karena sama-sama sudah berusia lanjut, asa) mereka tinggal bersama dengan memakai aturan sopan santun dan berlaku jujur satu pada lain. maka tak usahlah mereka memperdul ikannya umpama kata ada omongan kurang bagus dari pihak orang luar. Ia memberi nasihat supaya dia jangan berpandangan cupat, hingga dia bisa menjadi terus hidup sepi dan menderita.

Dalam halaman ke empat. Kee Soe menuturkan hal isterinya, Lioe Siang In. sudah berangkat untuk mencari dia. Ia kata, isterinya telah mendapat tahu bahwa ia senantiasa memikirkan dia maka isterinya itu menyarankan untuk si isteri sendiri pergi mencari dia, untuk mengajak dia dan anaknya tinggal bersama-sama di gunung Ngobie San. Setelah memikir masak-masak, ia menerima baik saran isterinya itu, yang lahargakan. Maka sayang sekali, isterinya telah datang terlambat beberapa hari, ialah Tjit Im Kauwtjoe keburu pergi meninggalkan Biauwkiang. Terpaksa isteri itu pulang dengan tangan kosong, sebab tak ketahuan ke mana perginya Kauwtjoe dan anaknya itu.

Membaca sampai di situ. bukan main terharunya Tjit Im Kauwtjoe. Ia sangat bersyukur kepada Kee Soe dan Lioe Siang In. Terutama ia menghargakan dan mengagumi Siang In. yang demikian polos dan baik hati. Sukardicari isteri yang tidak jelus dan tidak cemburu seperti Siang In itu.

Halaman ke lima dari suratnya Kee Soe itu menulis hal isterinya, sehabisnya si isteri pulang dengan tangan kosong itu. Katanya, Siang In itu, meski tidak berhasil menemui dia, telah mendengar banyak kabaran mengenai dirinya, terutama mengenai dia telah dipersakiti Pektok Sinkoen, bahwa dia lagi membangun Tjit Im Kauw. Ia kata ia bersusah hati mendengar warta itu. Ia menyatakan kekuatiran, karena kedukaannya, Tjit Im Kauwtjoe nanti menuruti panas hatinya dan nanti tersesat karenanya. Ia percaya Tjit Im Kauwtjoe bermaksud baik membangun Tjit Im Kauw tetapi ia kuatir maksud itu nanti salah diterima oleh kaum Rimba Persilatan. Maka itu, lagi sekali ia minta Oen Giok berlaku hati-hati.

Di dalam halaman ke enam, Kee Soe menulis sesudah ia sendiri kena dibikin celaka. Huruf-huruf suratnya itu besar-besar, ditulisnya seperti cara sembarangan saja. Kertasnya itu bertanda bekas kena darah. Dengan menahan kesedihannya, Tjit Im Kauwtjoe membaca surat itu. Ia telah mesti mengucurkan air matanya. Di situ Kee Soe menuturkan jelas bagaimana ia mengalami kecelakaannya itu.

Lantas di halaman yang terakhir, Kee Soe meminta maaf kepada kekasihnya. Ia menulis, selama beberapa puluh tahun, ia senantiasa memikirkan kekasihnya itu. Ia menyesal, selagi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk si kekasih, sekarang ialah yang ingin minta pertolongan. Ia kata ia percaya Oen Giok suku menilik puteranya, maka tak usahlah ia menulis banyak-banyak. It mengutarakan kekuatiran bahwa anaknya, yaitu Thian Peng, nanti terburu napsu hendak menuntut balas. Itulah berbahaya dan mungkin berarti mengantarkan jiwa secara sia-sia. Karena itu, ia telah kasih mengerti pada anaknya, sebelum anak ini menuntut balas, untuk si anak mencari dulu ini kekasih. Maka ia minta Oen Giok suka mengendalikan anaknya itu. Ia menulis, soal pembalasan ada soal kedua, yang utama ialah agar Thian Peng dapat dididik menjadi seorang anak yang berharga.

Air matanya Tjit Im Kauwtjoe membasahkan lembaran-lembaran surat kekasihnya itu. Ia berduka, ia pun bersyukur kepada Kee Soe, yang tidak saja menyintai ia tapi pun sangat mempercayainya. Di lain pihak, ia bersyukur kepada Lioe Siang In, isteri Kee Soe dengan siapa ia belum pernah bertemu. Sungguh baik Siang In itu.

Karena ia menangis dan air matanya terus mengalir, tiba-tiba Tjit Im Kauwtjoe seperti melihat Ban Kee Soe berada dihadapannya, atau di lain saat ia melihat si anak muda, ialah Thian Peng puteranya Kee Soe itu. Ia menyusut air matanya, ia rangkul anak muda itu.

"Anak yang baik!" katanya, suaranya parau. "Sudah tiga tahun kau mencari aku, akhirnya kau menemukannya juga. Aku berterima kasih kepada Thian, yang telah mempertemukan kita ini. Kau telah kehilangan ayah dan ibumu, maka itu, jikalau kau tidak merasa terhina kau panggillah mama padaku!"

Thian Peng juga bermandikan air mata. Ia berlutut di depan nyonya itu, untuk paykoei tiga kali, untuk memanggil: "Mama!" Kemudian dengan menghadapi Im Sioe Lan, ia memanggil: "Entjie!"

Dengan masing-masing sebelah tangannya, Tjit Im Kauwtjoe mencekal kedua anak itu, dengan air mata masih belum kering, ia tertawa, tertawa berduka. Untuk sedetik itu, terbukalah hatinya

Tengah nyonya ini bersedih berbareng girang itu, tiba-tiba ia mendengar suara tertawa yang nyaring dan tak enak nadanya, yang membikin telinganya sakit. Ia pun kaget, sebab ia mengenali suara tertawa itu. Tanpa merasa, tubuhnya menggigil. Dengan sebal ia berlompat bangun.

"Kau masih mempunyai muka untuk bertemu dengan aku?" ia menegur, tajam.

Tidak heran kalau Tjit Im Kauwtjoe menjadi kaget, hatinya tegang dan bergusar itu. Orang yang tertawa itu, yang datang secara sekonyong-konyong kepada mereka ialah Pektok Sinkoen.

Im Sioe Lan lantas saja mengerti apabila ia melihat sikap ibunya itu. Ketika ia masih kecil, ibunya memuji kepadanya tentang ayahnya seorang baik sekali, bahwa katanya ayahnya itu sudah lama meninggal dunia. Ia sangat berduka untuk ayahnya itu. Nyata sekarang, ayahnya itu hanya chayalan ibunya, sebab itu sebenarnya ayah si anak muda di sisinya ini. Sedang ayahnya yang sejati adalah ini orang yang baru datang, yang datang-datang mengejek ibunya itu. Maka ia pun, sendirinya tubuhnya menggigil. Ia sampai tidak berani memandang ayah itu, sedang hatinya ingin sekali ibunya terus dapat mendustai padanya..

Pula nona ini, tanpa merasa sudah mencekal keras tangan si anak muda, tangan siapa dingin bagaikan es, sedang matanya Thian Peng dengan berapi diarahkan kepada Pektok Sinkoen. Mulut pemuda itu bergerak tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.

Thian Peng pun segera mengenali si orang Biauw, yang kemarin ini sudah melukai ia dengan asap obat "Keebeng Ngokouw Toanhoen hio," hingga ia terluka parah. Ia gusar bukan kepalang. Tapi, kapan ia melihat sikapnya Tjit Im Kauwtjoe dan puteri, ia lantas dapat membade duduknya hal. Benar ia tidak dapat mendengar pembicaraan ibu dan anak tadi-sebab ia tengah tak sadarkan diri --- akan tetapi ia dapat menerka Pektok Sinkoen ini ialah "suami" --- nya Tjit Im Kauwtjoe atau "ayah"-nya Im Sioe Lan.

Pektok Sinkoen berdiri menghadang di ambang pintu. Di situ ia mengasi dengar suaranya yang tak enak didengar itu, yang menyeramkan. Dengan matanya yang tajam, ia mengawasi ketiga orang dihadapannya, akan paling belakang memandang tajam kepada Tjit Im Kauwtjoe.

"Beberapa hari yang lain aku telah mengutus Tjouw Thian Yauw menemui kau," ia berkata, "kesudahannya kau usir padanya! Sekarang aku datang sendiri padamu, untuk menjengukmu! Tentang maksud kedatanganku ini, kau tentunya telah mengerti, bukan?"

Tjit Im Kauwtjoe membungkam, tetapi dengan matanya, ia mengawasi Pektok. Ketika sinar mata mereka bentrok, diam-diam, sendirinya, tubuh Pek To menggigil. Dalam murkanya, sinar mata nyonya itu bengis sekali. Ia menetapkan hati, lantas ia mengalihkan pandangan matanya ke arah Sioe Lan.

"Dia mirip sekali dengan kau semasa kau masih muda!" katanya sesaat kemudian. "Ah kalau diingat urusan dulu-dulu itu, aku menyesal... Sekarang aku mau minta supaya kau suka memberi maaf padaku." --- Eh, aku ini ialah ayahmu, kau tahu tidak?" Kata-katanya yang paling belakang ini ia tujukan kepada Sioe Lan kepada siapa ia berpaling.

Sioe Lan mundur satu tindak, ia menyingkir dari sinar mata ayahnya itu.

"Aku tidak kenal kau!" katanya tajam, "Aku tidak mempunyai ayah! Ayahku sudah lama mati!"

Berbareng dengan itu, Tjit Im Kauwtjoe juga membentak bengis: "Jikalau kau ingin aku mengampunimu, lekas kau pergi dari sini!"

Muka Pektok Sinkoen menjadi pucat tapi hanya sejenak, lalu ia tertawa menyeringai. Kali ini sinar matanya jatuh kepada Ban Thian Peng, yang dipandangnya sekian lama.

"Bocah ini sangat mirip dengan Ban Kee Soe!" katanya dingin, tertawa mengejek. "Haha! Kamu. ibu dan anak, agaknya akrab sekali hubungan kamu! Hanya sayang, kau, kau tidak dapat menjadi ibunya!"

"Kau ngaco!" bentak Tjit Tm Kauvvtjoe. "Lekas pergi!"

"Hm, kau takut aku menyebut-nyebut kekasihmu!" kata Pektok Sinkoen. "Anak Ban Kee Soe sudah sebesar ini, kau takuti apa lagi? Apakah cintamu masih belum padam? Baiklah! Sekarang hendak aku mengulangi pertanyaanku dari dua puluh tahun yang lalu itu! Kau sebenarnya ingin mengikuti aku atau mengikuti Ban Kee Soe?"

Amarah Tjit Im Kauwtjoe sampai dipuncaknya. Ia maju setindak, matanya mendelik seakan-akan hendak meloncat keluar. "Bukankah Ban Kee Soe mati dibunuh orang atas perintahmu?" tanyanya.

Pektok Sinkoen agaknya terkejut.

"Apa? Apakah Ban Kee Soe sudah mati?" dia balik bertanya.

"Oh, kiranya bocah ini datang padamu untuk menyampaikan berita!"

"Apakah benar-benar kau belum tahu?" Tjit Im Kauwtjoe menegas.

"Kau menuduh aku, tidak, tidak bisa aku mengatakan apa-apa," kata Pektok Sinkoen.

Kauwtjoe itu ragu-ragu. Ia maju pula selangkah.

"Taruh kata benar bukan kau yang membunuh Ban Kee Soe," katanya dingin, "tetapi terhadap anak Kee Soe itu kau menurunkan tangan begini jahat, apakah kau masih dapat dihitung sebagai manusia?"

"Jikalau aku tidak memandang mukamu, siang-siang sudah kumampuskan bocah ini!" kata Pektok Sinkoen sambil tertawa dingin. "Apakah kau tidak mau menerima kebaikan hatiku ini? Coba kau pikir! Jikalau aku hendak membinasakan dia, dapat aku menggunakan pukulan Kioeyang Toktjiang! Kenapa aku mesti menggunakan pukulan ini yang meminta waktu dua belas jam barulah racunnya bekerja?"

Pektok Sinkoen mengetahui, bahwa Tjit Im Kauwtjoe berada di tempat yang berdekatan tetapi ia belum mengetahui tempat kediamannya yang pasti, maka ia menggunakan pukulannya itu yang dapat diperlambat kehebatannya Ia yakin, bahwa selekas Ban Thian Peng terluka, bocah itu pasti akan membakar hionya guna memohon pertolongan Tjit Im Kauwtjoe, supaya dengan begitu dapat ia menguntit si bocah, untuk menemui isterinya itu. Ternyata bahwa siasatnya telah memberikan hasil.

Tjit Im Kauwtjoe berpikir. Ia pun lantas mengerti.

"Kalau begitu kau jadinya bersungguh-sungguh hati hendak menemui aku!" katanya. Ia pun tertawa dingin.

"Benar! Apakah kau masih tidak percaya?" Pektok Sinkoen menegaskan.

Tjit Im Kauwtjoe tiba-tiba menudingnya.

"Bagus betul!" katanya, gusar. "Dengan menggunakan cara busuk ini kau mencari aku dan kau masih mengharap aku menggubris padamu! Kau mau pergi atau tidak? Jikalau kau tidak pergi, jangan kau sesalkan aku keterlaluan!"

Pektok Sinkoen juga menjadi gusar.

"Bagus ya!" katanya diiringi tertawa dingin. "Ban Kee Soe sudah mampus, sekarang kau masih kesudian merawat anaknya yang piatu! Sungguh kau harus dikagumi! Kau harus dipuji! Hanya aku tidak tahu, kau menggunakan hak apa, maka kau hendak menjadi janda Ban Kee Soe? Baiklah, sekalian saja aku mampuskan bocah ini! Aku hendak lihat kau dapat bikin apa!"

Menyusul perkataanya itu, Pektok Sinkoen melompat, tangannya menyamber ke batok kepala Ban Thian Peng.

Tjit Im Kauwtjoe tengah gusar bukan kepalang, seluruh tubuhnya sampai bergemetar, maka betapa kagetnya ketika itu, melihat kejadian itu. Ia pun tidak bersedia sama sekali. Ia benar gesit, hendak ia menolong bocah itu, tetapi ia sudah agak terlambat, maka ia hanya berpikir: "Jikalau Ban Thian Peng mati di tangannya, aku akan membunuhnya supaya dia mengganti jiwa!..."

Pada detik yang sangat berbahaya itu, selagi tangan Pektok Sinkoen hampir mengenai batok kepala Thian Peng, mendadak dia menjerit hebat, tangannya itu menyamber ke samping, hanya beda tiga dim atau sasarannya tentu sudah hancur berantakan!

Tepat berbareng dengan itu, tubuh Tjit Im Kauwtjoe mencelat ke depan, tangannya turut melayang.

Pektok Sinkoen melompat mundur.

"Sungguh liehay!" serunya. "Hanya kau lupa, meski benar ilmu silatmu lebih liehay daripada ilmu silatku tetapi aku masih mempunyai daya lain untuk membikin kau mampus!"

Ketika Pektok Sinkoen menyerang Ban Thian Peng, tiba-tiba ia merasakan tangannya sakit seperti disengat tawon, karenanya, serangannya itu menjadi gagal mengenai sasarannya. Ia menduga bahwa ia dibokong Tjit Im Kauwtjoe. Ketika ternyata ia bukannya terkena racun, hatinya menjadi lega. Meski demikian amarahnya tidak jadi berkurang, maka ia telah mengeluarkan kata-katanya itu.

Juga Tjit Im Kauwtjoe tidak kurang herannya Sebab bukannya ia yang membokong suaminya itu.

Sesungguhnya ialah Liong Kiam Hong yang sudah menyerang dengan sebatang jarumnya, jarum Bweehoa tjiam, untuk menolong jiwa si pemuda she Ban, Sebenarnya, dengan keliehayannya, Tjit Im Kauwtjoe harus mengetahui itu, tetapi pada saat itu ia tengah memusatkan perhatiannya kepada Pektok Sinkoen dan Ban Thian Peng, dan menjadi lengah juga. Ia tidak menyangka bahwa di antara mereka ada Nona Liong itu, yang bersembunyi.

Dalam gusarnya itu, Tjit Im Kauwtjoe berkata dengan bengis: "Jikalau kau berani mengganggu sehelai saja rambutnya, jikalau bukannya aku yang mati, tentulah kau yang mampus! -- Sebenarnya tiada niatku membunuhmu dengan tanganku sendiri, tetapi jikalau kau lagi sekali melakukan perbuatan yang menentang pri kemanusiaan, terpaksa aku mesti menjalankan pesan terakhir dari soehoe!"

Wajah nyonya ini telah dirusak Pektok Sinkoen. dari cantik dia menjadi jelek sekali, sekarang dia tengah marah hebat, romannya yang jelek itu menjadi jelek luar biasa.

Pektok Sinkoen sudah biasa akan benda atau machluk-machluk yang beracun, hatinya telengas. akan tetapi sekarang, memandang Tjit Im Kauwtjoe, hatinya gentar juga. Diawasi demikian bengis oleh Tjit Im Kauwtjoe, ia mundur beberapa tindak. Ia menetapkan hati, mencoba menyabarkan diri.

"Dua puluh tahun telah lewat, apakah masih saja kau membenci aku secara begini?" tanyanya. "Baiklah, anggap saja bahwa dahulu aku telah berbuat tidak selayaknya terhadapmu, maka sekarang, hendak aku menebus dosa. Kau mau atau tidak mendengar dahulu kata-kataku?"

"Kau mau bicara apa lagi?" tanya Tjit Im Kauwtjoe. Marahnya menjadi reda sedikit, mendengar orang hendak menebus dosa.

"Kimtoo Tjeetjoe telah merampas bingkisan pelbagai propinsi, perbuatannya itu menggemparkan dunia." kata Pektok Sinkoen. "Bukankah kaupun telah mengetahui peristiwa itu?"

"Ada hubungannya apakah peristiwa itu dengan aku?" Tjit Im Kauwtjoe tanya.

"Kimtoo Tjeetjoe telah merampas bingkisan itu tetapi dia tidak mempunyai rejeki untuk mengicip kebahagiaannya!" berkata Pektok Sinkoen tertawa "Lewat lagi sepuluh hari, semua bingkisan itu bakal berbalik dipersembahkan kepadaku! Dengan begitu, bagaimana dapal dikatakan tidak ada hubungannya sama kau?"

Tjit Im Kauwtjoe tertawa -== tertawa dingin.

"Aku memberi selamat kepadamu yang memperoleh untung besar!" katanya. "Kau telah memperoleh harta, kenapa kau bukan pergi kepada segala sahabat babi dan taulan anjingmu untuk mengicipinya bersama-sama? Mengapa kau menyebut-nyebut aku?"

Pektok Sinkoen tidak menunjuki kemurkaannya walaupun dia diejek dan dicaci itu. Sebaliknya, dia menunjuki kebanggaannya. Begitulah dia tertawa besar.

"Aku bukan cuma berharta luar biasa!" ia kata. "Aku demikian kaya hingga kekayaanku dapat melawan kekayaan negara! Asal kau suka baik kembali denganku, maka kepunyaanku kepunyaan kau juga? Mana ada pemisahan di antara kita berdua? Kau tahu, aku berniat menghaturkan beberapa rupa permata mustika kepada Kiauw Pak Beng si siluman tua itu, untuk berserikat dengannya. Haha! Jikalau aku telah bersekutu dengannya, maka dapatlah aku malang melintang di kolong langit ini! Aku hendak memerintah dunia Kangouw! Tidakkah itu bagus?"

Tjit Im Kauwtjoe menggeleng kepala. Di dalam hati kecilnya, ia berpikir: "Ketika bermula kali aku menjadi murid Kie Soehoe, aku melihat dia ini, meskipun dia sangat gemar sama penghidupan mewah, dia masih dapat dibilang seorang Biauw yang sederhana, maka di luar dugaan sekali, setelah dia bergaul dengan Bang Thong dan seterunya yang buruk, dia turut menjadi busuk, hari lewat hari, bathinnya menjadi bertambah rusak, dan sekarang, karena bujukannya harta dunia, dia menjadi berani melakukan segala macam kejahatan, hingga dia tidak dapat ditolong lagi... Sungguh sayang!"

Habis berpikir begitu, Tjit lm hendak mengejek, tetapi Pektok Sinkoen mendahului ia. Sembari tertawa Pektok berkata: "Aku dengar kau hendak membangun agama Tjit Im Kauw, dengan begitu, hartaku ini dapat membantu usahamu itu! Pendek, kau mau uang, uang ada! Kau mau orang, orang tersedia! Kita suami isteri, kita bekerja sama, sedang di luar kita, ada Kiauw Laokoay si Siluman Tua sebagai tulang punggung kita! Apakah dengan begitu kau menguatirkan lagi yang usahamu tidak bakal maju? Kau lihat, aku bersungguh hati hendak hidup berbahagia denganmu. Apakah kau masih tidak puas?"

"Terima kasih untuk kebaikan hati kau ini," berkata Tjit Im Kauwtjoe dingin. "Mengenai bingkisan itu. baiklah aku omong terus terang bahwa aku pun pernah memikir untuk memilikinya. Hanya, kalau dengan bingkisan itu kau mengharap keampunan dari aku, biarnya semua itu kau tumpuk di depanku, hatiku tidak akan tergerak sedikit juga, mataku tidak akan meliriknya!"

Pektok Sinkoen pernah mendengar dari Yang Tjong Hay bahwa Tjit Im Kauwtjoe telah menerima ajakannya Tjong Hay untuk membantu Kiauw Pak Beng merampas bingkisan, meski benar usaha itu gagal, itu telah menunjuki keinginannya Tjit Tin memiliki bingkisan itu, karena ini sekarang, sengaja dia menyebut-nyebut soal bingkisan, guna memancing hati si nyonya, maka adalah di luar sangkaannya, tawarannya itu telah ditolak, bahkan Tjit Im Kauwtjoe bicara demikian pasti, bagaikan pantek paku! Ia menjadi melengak, ia mengasi lihat roman lesu.

"Kau tidak mau baik kembali denganku, aku tidak memaksa," katanya, perlahan. "Sekarang kau ijinkanlah aku membawa anakku..."

Tjit Im Kauwtjoe tertawa dingin.

"Kau tanya sendiri padanya, dia suka turut kau atau tidak!" jawabnya.

Im Sioe Lan menangis mendadak, ia lari menyelindung di belakang ibunya itu.

"Tidak, ibu, aku tidak mau berpisah dari kau!" katanya.

"Kau dengar, bukan?" kata Tjit Im pada laki-laki di depannya. "Anakku ini telah bersatu padu denganku, dia tidak sudi ikut kau! Maka pergilah kau sendiri!"

Pektok Sinkoen menghela napas.

"Kamu masih belum mendapat tahu hatiku," katanya menyesal. "Aku hendak mengajak anak kita untuk kebaikannya kita sendiri! Aku telah mencarikan dia seorang mentua yang jempolan!"

Mendadak Tjit Tin Kauwtjoe menjadi gusar.

"Dialah anakku!" dia membentak. "Kau berani lancang mengatur jodohnya? Tidak, aku tidak man memberi ijinku!"

"Kau dengar dulu aku menyebutkan keluarga itu keluarga siapa, baru kau mengambil keputusanmu, masih belum lambat," kata Pektok Sinkoen. "Kenapa kau lantas main berkeras saja?"

"Baiklah, kau sebut keluarga siapa itu!" kata Tjit Im.

"Aku memilihkan dia puteranya •Kiauw Pak Beng," sahul Pektok Sinkoen. "Kiauw Pak Beng ialah orang nomor satu, paling gagah di kolong langit ini dan puteranya muda dan gagah juga! Syukur pula yang dia pun tidak mencela kita! Kau bilang, keluarga seperti keluarga itu. di mana kau hendak mencarinya lagi?"

Mendengar jawaban itu, Tjit Im Kauwtjoe mengasi dengar "Hm!" berulang-ulang. Di dalam hatinya, ia pikir: "Oh, kiranya dia mau gunai anaknya untuk membaiki si siluman tua she Kiauw itu! Aku tadinya menyangka dia benar-benar menyayangi si Lan. bahwa dia masih mempunyai kecintaan di antara ayah pada anaknya..." Ia tertawa dingin.

"Kau tertawakan apa?" Pektok Sinkoen tanya mengawasi. Dia heran. "Mustahilkah kau tidak puas terhadap keluarga semacam itu?"

"Si Lan jauh lebih bersemangat daripada kau!" kata Tjit Im Kauwtjoe, tertawa dingin. "Kau hendak membaiki si siluman tua she Kiauw itu, kau menganggap anaknya itu sebagai mustika! Sebaliknya, si Lan tidak memandangnya sebelah mata! Kau tahu. Le Kong Thian pernah datang sebagai wakil majikannya untuk melamar si Lan, jikalau aku suka menerima baik, perlu apa aku menunggu sampai sekarang kau yang membicarakannya?"

Pektok Sinkoen heran dan mendongkol.

"Ha, jadinya kau telah menolak dia!" katanya keras.

"Biarnya aku mati, tidak aku nikah anaknya Kiauw Pak Beng!" berseru Sioe Lan, suaranya tajam. "Sampaipun namanya, tak sudi aku mendengarnya!"

"Kau telah dengar, bukan? kata Tjit Im Kauwtjoe, menyambungi puterinya. "Apa lagi kau hendak bilang? Lekas kau pergi!"

Pektok Sinkoen menjadi sangat lesu, dia berdiam sekian lama. Sesaat kemudian, mendadak dia tertawa.

"Baiklah," katanya, "anak ialah kau yang merawat sampai besar, biar kau yang berkuasa atas dirinya. Tapi dalam satu hal lainnya, kau tidak dapat berkuasa terus. Mari, mari, kau dengar! Di antara kau dan aku sudah tidak tidak ada soal suami dan isteri lagi, sudah tidak ada ayah dan anaknya pula, maka itu, mari kita jual beli dalam lain urusan. Kau setuju, bukan? Urusan ini besar faedahnya untukmu!"

Tjit Im Kauwtjoe muak akan tetapi ia menyabarkan diri.

"Coba kulihat apakah maunya dia?" pikirnya. Kemudian ia tanya: "Urusan apakah itu? Kau bilang!"

Pektok Sinkoen maju satu tindak.

"Aku mau bicara dari hal warisan kitab Pektok Tjinkeng dari guru kita almarhum!" kata ia. "Bukankah kitab itu berada di dalam tanganmu?"

Mendengar orang menyebut gurunya, Tjit Im Kauwtjoe sudah gusar bukan main. Tapi ia masih menguasai dirinya.

"Benar, kitab itu ada di tanganku," sahutnya tenang. "Kenapa?"

"Menurut pantas, akulah si murid kepala, sedang kau, kaulah murid yang masuk setengahjalan," berkata Pektok Sinkoen, "maka itu, kitab warisan soehoe itu, seharusnya mesti berada di tanganku. Akan tetapi aku mengingat hubungan kita sebagai suami isteri, selama dua puluh tahun, tidak pernah aku minta itu dari kau Sekarang lain! Sekarang kau sudah memutuskan hubungan suami isteri, maka kitab warisan itu mesti dikembalikan padaku! Tentu sekali, aku tidak suka kau mengembalikannya dengan tangan kosong! Aku bersedia menyerahkan padamu separuh dari semua bingkisan yang didapat olehku!"

Sekarang mengertilah Tjit Im akan maksud sejati dari Pektok Sinkoen. Jadi orang sebenarnya mengarah kitab warisan itu! Tadinya, meski ia sangat membenci, sebab Pektok bicara sabar dan menyatakan suka menebus dosa, ia mendapat kesan lain, ia menyangka orang benar-benar menyesal. Nyatanya semua itu palsu belaka! Dalam murkanya, nyonya itu tertawa lebar.

"Haha, kau sungguh baik hati!" katanya. "Kau membilang kitab itu harus dimiliki kau, habis sekarang kau hendak menukar itu dengan harta besar! Benarkah itu?"

Hebat tertawanya si nyonya, Pektok Sinkoen merasai telinganya mendengung, dia merasai bulu romanya pada bangun.

Selagi tertawa itu, Tjit Im Kauwtjoe maju dua tindak.

"Kau mau apa?" membentak Pektok Sinkoen, kaget. Dia heran.

Lama Tjit Im Kauwtjoe tertawa, lantas ia berhenti.

"Aku tidak sangka kau masih mempunyai muka untuk menagih kitab warisannya soehoe padaku?" ia berkata dingin. "Bagaimana meninggalnya soehoe? Apakah kau mengira aku telah melupakannya?"

"Soemoay. perlu apa kau menyebut-nyebut perkara yang lama itu?" kata Pektok. Dia sekarang memanggil soemoay – adik seperguruan. "Bukankah soehoe telah menutup mata selama dua puluh tahun? Aku akan memberikan kau pelbagai batu permata, untuk seumurmu, kau akan memakainya tidak habisnya! Soehoe sendiri, kebaikan apa dia dapat memberikan kau?"

"Benar! " berkata si nyonya. "Benar soehoe telah menutup mata selama dua puluh tahun dulu! Ya, dua puluh tahun! Tapi pesan soehoe itu, sampai sebegitu jauh, belum aku melakukannya! Sampai sekarang ini, aku masih ayal-ayalan untuk mewujudkannya. Jikalau aku ingat itu, hatiku tidak enak..."

"Apakah dia pesan padamu?" tanya Pektok. mengawasi.

Sinar matanya Tjit Im Kauwtjoe menembus sinar mata suami itu. Ia menyapu wajah orang. Kemudian ia terus memandang puterinya. Melihat wajah puteri itu, yang nampak ketakutan, hatinya menjadi berubah pula.

"Tentang pesan itu, lebih baik kau tak usah menanyakannya," ia bilang, tawar.

Pektok mengawasi, ia tetap heran.

"Baik, tak usah menanyakan ya tak usah menanyakan," ia kata. "Tapi tentang kitab warisan soehoe itu, perlu aku menanyakannya jelas. Sebenarnya, kau hendak menyerahkan itu padaku atau tidak?"

Tjit Im Kauwtjoe menjawab cepat.

"Biarnya kau tumpuk permata dari kolong langit ini, kitab itu tidak dapat aku serahkan pada kau!" katanya.

Pektok menjadi gusar pula.

"Benarkah kau tidak sudi minum arak pemberian selamat hanya lebih suka menenggak arak hukuman?" dia tanya tegas-tegas. "Kau mengikuti soehoe belum ada satu tahun, maka itu hak apa kau mempunyai maka kau hendak mengangkangi kitab warisan soehoe? Jangan kau mengira lantaran kau mendapatkan kitab warisan Pektok Tjinkeng itu, aku jadi tidak berdaya untuk menguasai dirimu!"

Sepasang alisnya Tjit Im Kauwtjoe bangkit berdiri. Ia menatap dengan sinar mata tajam dan dingin.

"Biarnya aku berguru belum satu tahun tetapi akulah murid satu-satunya dari soehoe!" ia kata nyaring.

"Apa katamu?" Pektok balas membentak. "Aku masih belum mati!"

Tjit Im Kauwtjoe tidak menggubris, ia berkata terus: "Ketika soehoe hendak menutup mata dia meninggalkan pesan untuk membersihkan perguruannya! Sampai sebegitu jauh belum dapat aku menjalankan pesan itu, maka kalau sekarang kau tidak mari lekas pergi, aku terpaksa nanti menjalankannya!"

Mukanya Pektok Sinkoen menjadi merah padam, dia mendelik kepada Tjit Im Kauwtjoe, lantas dia tertawa terbahak.

"Oh, begitu!" katanya. "Aku menghaturkan terima kasih untuk kebaikan hatimu! Baiklah, lain kali aku tidak akan datang pula padamu..."

"Begitu paling baik," berkata Tjit Im seraya menghela napas lega.

Belum lagi nyonya ini menutup mulutnya, atau mendadak tubuh Pektok Sinkoen berlompat maju, tangannya melayang, maka dua buah peluru mengenai tepat mukanya. Peluru itu mengeluarkan suara, lantas pecah meledak, mengeluarkan pula sinar dadu yang berkeredepan. Berbareng dengan itu, sebelah tangannya Pektok menyamber terus melakukan penyerangan.

Nyatalah, kelakuannya Pektok barusan akal muslihat belaka, untuk membikin Tjit Im Kauwtjoe tidak bercuriga apa-apa, hingga leluasa ia melakukan pembokongannya itu.

Menyusuli itu juga terdengar suara "Buk!" dan tubuhnya Pektok mental. Hanya, di depan ia, tubuh Tjit Im Kauwtjoe pun lantas roboh perlahan-perlahan seperti ambruknya pohon tua.

Dengan tertawanya yang menyeramkan, Pektok berkata: "Biarkah kau pergi ke dalam tanah untuk mengadu kepada setan she Kie si tua bangka!"

Di saat itu, belum sempat Pektok berdiri tegak, Im Sioe Lan dan Ban Thian Peng sudah berlompat menerjang padanya. Hanyalah, karena pukulan hebat atas diri ibunya itu, gerakan si nona menjadi kurang gesit, dia kalah sebat dari Thian Peng.

"Lekas mundur!" membentak Pektok Sinkoen kepada si nona, berbareng dengan mana dua buah anting-antingnya melesat menyamber.

Berbareng dengan itu, tubuhnya Tjit Im Kauwtjoe berlompat bangun sambil dia berteriak: "Kau lepaskan ini dua anak!"

Entah dari mana datangnya tenaganya, Tjit Im Kauwtjoe dapat berlompat bangun, lalu ia berlompat pula, tetapi ia toh terlambat. Di depan ia. asap buyar, kedua buah anting-anting sudah menyamber ke arah mukanya Thian Peng.

Itulah serangan yang membikin Tjit lm Kauwtjoe kaget dan melakukan tindakannya yang nekat itu. Ia tahu, anting-anting itu ada racunnya, bahkan adukan dari tiga belas macam racun yang liehay, hingga siapa terkena itu, jangan harap jiwanya dapat ditolong. Ia sendiri, karena lukanya itu, tidak dapat segera memberikan pertolongan. Ia lantas roboh pula, roboh sambil mengeluarkan jeritan yang menyayatkan hati.

Di saat sangat tegang itu. selagi Ban thian Peng menghadapi bahaya maut, di situ terdengar suara tingtong dua kali, disusul sama jeritan dahsyat dari Pektok Sinkoen!

Tjit Im Kauwtjoe sudah seperti pingsan ketika ia mendapat dengar jeritan orang, mendadak ia seperti memperoleh semangat pula, maka ia dapat membuka matanya. Karena ini juga ia mendapatkan di depannya berdiri seorang nona yang masih sangat muda dan cantik, sedang Pektok Sinkoen rebah di dekatnya. Mendadak ia berseru: "Ai, Nona Liong! Kau?"

"Benar!" sahut si nona, ialah Kiam Hong, yang muncul sebagai penolong. "Sebenarnya aku datang untuk minta sesuatu..." -

la lantas mengibas dengan tangannya, hingga dua kali, untuk membuyarkan asap yang belum sirap anteronya. lantas tubuhnya terhuyung, terus ia roboh.

Tjit Im Kauwtjoe kaget, ia menguatkan diri. Ia bangun untuk duduk.

Di atas meja abu, pelita berkelak-kelik, menyorotkan sinarnya pada pemandangan yang menggiriskan itu.

Tubuh Pektok Sinkoen rebah meringkuk, dari matanya, dari kupingnya, juga dari hidung dan mulutnya, keluar darah mengalir. Dia masih dapat berkutik dua kali. lalu terdengar suaranya yang keras dan seram: "Kau baik! Kau baik! Kalau aku mati, kau juga tidak bakal hidup!..." Suaranya keras tapi makin lama makin kendor, akan akhirnya ia memuntahkan pula darah-darah

yang kental bergumpal dan hitam warnanya. Kali ini dia bergerak untuk tidak bergeming lagi. Cuma suaranya yang seram itu bagaikan berkumandang...

Dua-dua Ban Thian Peng dan Im Sioe Lan juga rebah bergelimpangan, Sioe Lan mengeluarkan napas tandanya ia sangat letih. Tubuh Thian Peng tidak berkutik. Di sisi mereka menggeletak empat potong anting-anting.

Adalah Liong Kiam Hong, yang membabat kutung sepasang anting-anting itu. Dia melompat keluar dan tempatnya sembunyi di belakang patung, dia menyerang kedua perhiasan kuping yang liehay dari Pektok Sinkoen, membuatnya terkutung dua. Dengan pertolongannya ini. ia mencegah anting-anting itu menyerang kepada Thian Peng.

Dari empat potong anting-anting itu, yang sepotong mental balik, tepat mengenakan jidatnya Pektok Sinkoen tanpa Pektok sempat menghindarkan diri.

Pektok telah menyerang Tjit Im Kauwtjoe dengan bokongannya itu. Tjit Im masih sempat membalasnya satu kali. Ketika Tjit Im menyerang, Pektok mencoba menangkis. Di antara mereka berdua, soeheng dan soemoay, kakak seperguruan laki-laki dan wanita, sang kakak kalah tenaga dalamnya, maka itu, dia kena terhajar pukulan beracun Tjit Im Toktjiang dari soemoay-nya itu. Dia mempunyai obat pemunah racun tetapi, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak sempat mengeluarkan obatnya, guna menolong dirinya. Anting-antingnya sangat beracun, dia pun kena terhajar Tjit Im, karenanya dia mati dalam sekejab.

Tjit Im Kauwtjoe adalah orang yang sadar seorang diri. Ia melihat ke sekitarnya. Ia lantas mengerti, Ban Thian Peng ada orang yang terserang racun paling hebat, dan Kiam Hong bersama Sioe Lan cuma terkena asap, mereka ini tidak dalam bahaya besar. Kiam Hong rebah paling dekat dengannya, dengan mengerahkan tenaga, ia merayap pada nona itu. Yang pertama ia lakukan ialah menggigitjari tengah si nona.

Kiam Hong merasakan sakit, ia kaget dan mendusin dengan segera. Ia lantas mengerti duduknya hal, lekas-lekas ia mengempos semangat, untuk memperlurus napasnya. Ia pun lantas mendengar Tjit Im Kauwtjoe berkata di telinganya: "Lekas kau keluarkan pot kemala hijau dari sakuku!" Karena ia mengerti bahaya, ia lantas berbuat seperti diperintahkan.

"Benar!" berbisik pula Tjit Im Kauwtjoe. "Lekas kau buka pot itu! Paling dulu. kau telan dua butir!"

Kiam Hong menurut. Ketika obat masuk ke dalam perutnya, ia merasakan bau yang harum yang disusuli rasa lega di dadanya, sedang tadi ia merasakan sesak sekali. Dengan lekas, kesegarannya pun mulai pulih.

"Apakah kau mengerti ilmu menusuk dengan jarum?" Tjit Im tanya kemudian.

"Tidak," menyahut si nona seraya menggeleng kepala.

"Tidak apa, nanti aku mengajari kau. Kau toh kenal pelbagai jalan darah?"

Si nona mengangguk.

"Kenal," sahutnya.

"Kalau begitu, kau ambil jarum emas dari tubuhku," berkata si nyonya. "Benar, itulah dia! Sekarang lekas kau tusuk jalan darah kwietjhonghiatdi punggungku. Tusuk dalamnya tiga hoen. Begitu kau menusuk, begitu kau mencabut pula."

Kiam Hong menurut, ia mencari jalan darah itu, ia menusuk. Tapi ia belum biasa, ia menusuk kurang dalam.

"Tusukkan lagi!" Tjit Im memerintah.

Kali ini si nona menggunai tenaga lebih, ia kena menusuk lewat. Tubuh Tjit Im menggigil, peluhnya keluar. Tentu sekali ia menjadi kaget. Ia takut.

"Tidak apa," Tjit Im bilang. "Lain kali kau tusuk sedikit lebih perlahan. Sekarang jarum yang kedua. Kau tusuk jalan darah koankie hiat, dalamnya lima hoen. Kau tunggu sampai aku menyuruh, baru kau cabut jarumnya."

Kiam Hong menurut. Sekarang ia menjadi lebih paham. Menurut petunjuknya si nyonya, ia terus menusuk pelbagai jalan darah seperti koankie hiat itu, bengboen hiat, yangkwan hiat dan djiekhie hiat. Semua jalan darah itu yang berhubungan sama nadi. Paling akhir ia menusuk pekhwee hiat di embun-embunan.

Tjit Im Kauwtjoe meluruskan napasnya, baru ia bangun untuk berduduk, untuk beristirahat.

"Coba kau pepayang aku, aku hendak melihat mereka," ia kata pada Kiam Hong. "Mari lihat dulu bocah she Ban itu."

Kiam Hong memegang tubuh orang, untuk membantu dia.

Habis memeriksa Thian Peng, Tjit Im Kauwtjoe kata seraya mengertak gigi: "Tangannya sangat telengas!" Kemudian ia memeriksa anaknya dan lalu kata: "Terhadap anaknya, dia masih mempunyai Hangsim sedikit..."

Memang tadi ketika Sioe Lan dan Thian Peng menerjang, menghadapi mereka itu, Pektok Sinkoen tidak berlaku sama telengasnya. Sioe Lan cuma terkena asap beracun. Thian Peng, kecuali asap beracun itu, terkena juga bubuk racun Ngotok San, bubuk mana terbuat dari ramuan seruni kimyap kiok, teratai heksim lian, bunga tho yang telah direndam di air racun dan rotan merah dari wilayah Biauw berikut lima macam kutu berbisa. Jadi racun itu cuma kalah sedikit dari racun dianting-antingnya, yang dinamakan anting-anting Sengheng Tokhoan.

"Syukur kau telah tabas kutung anting-antingnya itu," kata Tjit Im Kauwtjoe pada Kiam Hong, "kalau tidak, bocah ini jadi seperti terkena delapan belas macam racun hingga aku pun tidak berdaya untuk menolongi dia..."

Sekarang nyonya ini dapat merogoh sakunya, untuk mengasi keluar lima batang jarum emas. Ia mengeluarkan semacam obat bubuk, semuajarum itu dibelesaki masuk ke dalam bubuk itu, baru setiap jarum itu ia pakai menusuk lima jalan darah ditubuhnya Thian Peng, ialah lengtay hiat, tjieyang hiat, wietoo hiat, liongtauw hiat dan hongbwee hiat. Ia sebenarnya masih sangat letih, tenaganya belum putih, maka itu, di waktu menusuk, ia mesti mengerahkan tenaga istimewa, sebab setiap tusukan memerlukan aksi sendiri-sendiri. Lincah tertampak setiap gerakannya itu. Hanya setelah itu, embun-embunannya lantas menghembuskan uap putih seperti asap dan peluhnya pun mengucur keluar. Inilah sebenarnya suatu gerakan yang terpantang sebab ia terluka parah.

Kiam Hong menyaksikan aksi si nyonya, ia tidak mengerti ilmu pengobatan, tetapi ia bisa menduga kesukaran nyonya itu, hanya lantaran tak mengertinya, terpaksa ia berdiam saja, memandang dengan hatinya gelisah.

Habis menusuk, Tjit Im Kauwtjoe duduk numprah dengan napasnya mengorong, mukanya pucat sekali, kedua matanya guram. Tapi ia masih dapat berbicara. Ia berikan Kiam Hong dua butir pel seraya berkata: "Tolong kau tolongi anakku si Lan itu. Kau berikan ia dua butir pel ini, setelah itu kau tusuk jalan darahnya kwietjhong. Dia cuma terkena asap beracun, dia tidak dalam bahaya besar."

Habis berkata, si nyonya berdiam saja, dia tidak dapat bergerak lagi.

Kiam Hong berlaku sebat untuk menolongi Sioe Lan.

Memang Sioe Lan yang paling enteng penderitaannya. Begitu ia menelan dua butir obat ibunya, ia lantas mendusin, maka Kiam Hong terus memberikan tusukan jarumnya. Begitu darahnyajalan lurus, ia kembali kesegarannya. Ketika ia membuka mata dan melihat orang yang menolong padanya, ia heran hingga ia tercengang, la kenali si Nona Liong.

"Syukur ada Nona Liong, jikalau tidak maka kita bertiga, ibu dan anak, pasti akan berkumpul di dunia baka," berkata Tjit Im Kauwtjoe kepada puterinya itu.

Sioe Lan jelus terhadap Kiam Hong, ia bahkan membenci, tapi sekarang, mendengar perkataan ibunya itu, ia menjadi likat sendiri. Ia malu dan berbareng bersyukur.

"Terima kasih," katanya perlahan seraya ia cekal tangan Kiam Hong, untuk ditarik.

"Anak Lan, mari!" berkata si ibu.

Sioe Lan menurut, ia menghampirkan, hanya belum lagi datang dekat, ia sudah merasakan hawa panas mengkedus, hingga ia mengawasi ibunya, yang mukanya merah sekali, sedang di alisnya ada warna hitam, la kaget.

"Mama!" katanya, "kau kenapa? Kau terkena racun apa yang demikian jahat!"

"Tidak apa, mungkin aku tidak bakalan mati," menyahut sang ibu. "Sekarang coba kau geledah ia, keluarkan segala barang yang ada di tubuhnya..."

Dengan "dia" teranglah si nyonya maksudkan Pektok Sinkoen.

Sioe Lan berkata di dalam hatinya: "Ibu belajar bersama-sama dia dan ibu pula mendapatkan kitab Pektok Tjinkeng dari gurunya, sekarang ibu tidak dapat menolong dirinya sendiri, ia rupanya masih mau mengandal kepada dia... Oh, Thian, semoga di tubuh dia ada obat pemunahnya!..."

Anak ini benar. Memang ibunya tidak dapat menolong dirinya sendiri. Kecuali terkena hajaran Kioeyang Toktjiang, ia pun terkena bubuk Siauwhoen Sitkoet San, juga racun yang terbuat dari bunga toh beracun dicampur racun-racun lainnya. Sifat racun itu dingin, sedang sifatnya Kioeyang Toktj iang panas, makaj uga Pektok Sinkoen telah menggunakan itu, supaya Tjit Im dapat dibikin mati.

Kioeyang Toktjiang dan Tjit Im Toktjiang berlainan sifatnya, yang satu panas, yang lain dingin, tetapi keduanya bisa sama-sama saling mempengaruhi. Umpama kata Tjit Im Kauwtjoe cuma terserang Kioeyang Toktjiang, ia dapat melawan dengan tenaga dinginnya sendiri, lantas hawa panas bisa dibuyarkan, tapi karena ia ditambah racun Siauwhoen Sitkoet San, ia menjadi tidak berdaya.

Sioe Lan mendekati tubuh Pektok Sinkoen, terus ia membaliknya. Tubuh itu sudah kaku dan dingin hawanya. Tubuh itu pun melengkung seperti udang, darah keluar dari matanya dan lainnya. Diamati disebabkan pukulan Tjit Im Toktjiang serta anting-antingnya sendiri. Sebenarnya si nona sangat membenci, tetapi melihat keadaan orang demikian hebat, ia menjadi tidak tega untuk mengawasi lama-lama. Lekas-lekas ia memakai sarung tangan dan menutup matanya, ia mengasi keluar segala barang yang menjadi isi saku Pektok, seperti pelbagai macam obat beracun serta beberapa peles kecil.

"Apa sudah tidak ada lagi?" Tjit Im tanya. Ia mengawasi semua obat itu.

"Tidak," sahut anaknya. "Tidak bisa jadi! Mesti ada serupa lagi."

Sioe Lan memberanikan hati, ia menggeledah pula. Lantas tangannya membentur sesuatu di pinggang Pektok.

"Jangan pegang itu dengan tangan!" Tjit Im berseru, mencegah. "Kutungkan ikat pinggang itu dengan golok terbang!"

Sioe Lan mengeluarkan tiga batang pisau belatinya, lantas ia bersiap sedia, mengincar untuk menimpuk. Tiba-tiba ia bersangsi, tangannya pun menggetar.

"Mari kasihkan pisau itu padaku," kata Kiam Hong, perlahan. Ia bisa membade hati si nona, yang kuatir nanti melukai pinggang Pektok.

Tanpa berkata-kata, Nona Im menyerahkan pisaunya, lantas ia melengos. Memang ia kuatir penyerangannya tidak tepat dan nanti mengenai perutnya Pektok. Kalau itu terjadi, perut orang bisa pecah dan ususnya akan keluar. Biar bagaimana, Pektok ialah ayahnya sendiri.

Kiam Hong sudah lantas bekerja. Dengan menggeraki tangannya, maka ketiga pisau-belati menyamber saling susul. Hebat penyerangannya itu, ikat pinggang lantas terkutung menjadi tiga potong hingga terlepas sendirinya. Tidak ada pisau yang mengenai perut atau kulit.

"Sungguh liehay!" Tjit Im Kauwtjoe memuji di dalam hati. "Syukur malam ini ada dia, umpama yang datang kalah pandai, entah apa jadinya!..."

Selagi ikat pinggang terkutung, ada benda yang berkilauan yang melesat bagaikan bintangjatuh.

Kiam Hong telah berjaga-jaga, dengan menarik tangannya Sioe Lan, ia berkelit.

Nyata diikat pinggang Pektok ada pesawat rahasianya. Dengan putusnya ikat pinggang, pesawat rahasia itu bekerja sendirinya. Maka menyamberlah sejumlah jarum beracun. Coba ikat pinggang itu ditarik dengan tangan, tentu celakalah orang yang menariknya.

Dari ikat pinggang itu lantas terjatuh sebuah kotak kemala, yang mungil dan indah. Melihat itu, hatinya Tjit Im Kauwtjoe lega.

"Anak Lan, mari kotak itu kasihkan aku!" ia kata pada puterinya.

Sioe Lan menurut.

"Apakah kotak ini berisi obat pemunah racun itu?" ia tanya.

Tjit Im Kauwtjoe menyambuti. Dengan telunjuknya ia menekan perlahan pada samping kotak, setelah beberapa kali, terbukalah tutup kotak itu. Di dalamnya terlihat tiga butir obat pulung yang warnanya hijau.

Begitu melihat itu obat, Kauwtjoe bernapas lega. Ia dapat bersenyum getir. Itulah senyuman campur kedukaan.

"Bagaimana?" Sioe Lan tanya.

"Tidak apa-apa. Mungkin ibumu dapat menemani kau lagi beberapa tahun..."

Hati si nona pun lega. Ia masih hendak menanya ketika ibunya kata: "Kau ambil itu peles kemala yang lehernya ceking."

Sang anak menurut perintah.

"Benar!" ibunya mengangguk. "Obat bubuk di dalam peles itu kau keluarkan, kau tiupkan ke dalam hidungnya adik Peng-mu. Itulah obat untuk memunahkan asap beracun. Tusukan jarum tadi cuma dapat mencegah mengalirnya racun ke seluruh tubuhnya bagian dalam, supaya jantungnya tidak terserang..."

"Racun dia itu, kenapa semuanya demikian liehay?" tanya Sioe Lan. Ia pun menggunai kata-kata "dia."

"Jikalau tidak demikian, mana dia dapat memperoleh gelarannya itu, Pektok Sinkoen?" kata sang ibu. "Benar aku berhasil mendapatkan kitab warisan guruku tetapi aku belum dapat ketika mempelajari racun seperti dia. Syukurnya ialah di dalam kitab ada tercatat pelbagai obat untuk memunahkan macam-macam racun. Dia tidak tahu ketika tadi kita beradu tangan, dia telah terkena racunku yang diberi nama Sokoet san. Jikalau bukannya begitu, ketika dia menyerang dengan Sengheng Tokhoan, tenaganya bakal bertambah lebih besar lagi."

Mendengar ini barulah Kiam Hong mengerti bahwa berhasilnya ia membabat anting-anting Pektok itu disebabkan bantuan bekerjanya racun Sokoet san itu hingga tenaganya Pektok telah jadi berkurang.

Ketika itu Sioe Lan sudah bekerja, obat bubuk ia tiup masuk ke dalam hidungnya Ban Thian Peng.

Thian Peng rupanya merasa geli, tubuhnya bergerak, meski demikian, ia tidak lantas sadar.

Tjit Im Kauwtjoe menghela napas.

"Hebat dia terkena racun," katanya, berduka. "Kelihatannya dia mesti menanti dulu satu jam baru dia dapat mendusin. Karena ini, dengan dapat rawatan sempurna, berselang satu bulan barulah kesehatannya dapat pulih seanteronya..." Ia berhenti sebentar, ia merapatkan kedua matanya. Sekian lama, baru ia melek pula. Sekarang ia memandang Kiam Hong.

"Nona Liong, tadi kau mengatakan hendak meminta sesuatu dari aku," tanyanya, "urusan apakah itu? Sekarang kau dapat berbicara."

"Sebenarnya aku tidak memikir untuk di waktu begini mengganggu Kauwtjoe." menyahut si nona, "akan tetapi tugasku penting sekali, pada ini ada tersangkut jiwanya beberapa orang. Kecuali kau, Kauwtjoe, lain orang tidak dapat menolong, mereka itu."

"Apakah itu?" tanya Tjit Im, hatinya terkesiap. "Siapakah itu yang kau hendak minta aku menolongi jiwanya?"

Kiam Hong mengawasi. Ia lantas menyebutkan namanya Giok Houw.

"Pula mereka itu terkena pukulan Kioeyang Toktjiang dari Pektok Sinkoen," ia menambahkan.

Sebenarnya Tjit Im Kauwtjoe lagi memasuki sebuah obat pulung ke dalam mulutnya, entah bagaimana, mendadak ia menggigit, membikin obat itu kutung dua, yang separuh ia terus telan, yang lainnya ia muntahkan, terus ia bungkus dengan rapi seperti tadinya dan dimasuki pula ke dalam kotaknya.

Sioe Lan heran melihat kelakuan ibunya itu.

"Mama, apakah obat ini tidak cocok?" ia tanya.

Ibu itu batuk-batuk.

"Bukan begitu," katanya. "Obat ini memang mesti begini cara makannya, ialah satu hari separuh, lantas tiga hari berselang, sakitnya sembuh."

Sioe Lan percaya itu, ia tidak kata apa-apa lagi, ia lantas menumbuki punggung ibunya.

Kiam Hong pun mengawasi. Ia melihat si nyonya berduka tetapi toh dapat bersenyum, hanya ketika dia berbicara, suaranya sedikit menggetar. Ia heran, ia jadi berpikir: "Kenapa dia bersenyum sedih? Apakah dia terluka parah dan tidak mau memberitahukan anaknya?"

Tjit Im Kauwtjoe bernapas dalam-dalam lalu ia merasa lega sedikit.

"Oh, Thio Giok Houw terlukakan Kioeyang Toktjiang?" ia tanya kemudian. "Siapa lagi yang lainnya?"

"Merekalah saudaraku, entjie Leng In Hong. serta Kimtoo Tjeetjoe," sahut Nona Liong. "Mereka mendapat pukulan yang serupa."

Mendengar begitu, Tjit Im Kauwtjoe kata di dalam hatinya: "Pantas di dalam kotak ini cuma ada tiga butir obat, kiranya itu hendak dipakai menolongi mereka itu bertiga. Teranglah dia mau memaksa Kimtoo Tjeetjoe menyerahkan bingkisan itu."

Kiam Hong mengawasi, ia tidak tahu apa yang orang pikir.

"Kauwtjoe," katanya, berhati-hati. "Kioeyang Toktjiang itu ada ilmu ajarannya guru Kauwtjoe, tentulah Kauwtjoe ketahui juga obat pemunahnya..."

"Memang, aku tahu obat pemunahnya," menyahut Tjit Im. Ia henti sejenak, baru ia menambahkan: "Hanyalah Thio Giok Houw ialah bocah yang terhadapku sangat kurang ajar dan Leng In Hong serta Tjioe San Bin tidak aku kenal..."

Belum habis perkataan ibu ini, Sioe Lan sudah memotong, agaknya si nona sangat gelisah: "Mama! Mama! Kau..." Suaranya pun parau.

Nyonya itu bersenyum.

"Anak Lan, buat apa kau bergelisah?" katanya. "Ibumu belum bicara habis..."

Tapi anak itu tetap bergelisah.

"Mama!" katanya pula, mendesak, "kau... kau sebenarnya mau menolongi mereka itu atau tidak?"

"Sebenarnya ibumu tidak berniat menolongi mereka," menyahut ibu itu, "akan tetapi dengan memandang kepada Nona Liong, biar orang musuh kita, hendak aku menolongnya. Ah, sudahlah, segala apa yang sudah lewat, harus jangan disebut-sebut pula..."

Nyonya ini bicara demikian rupa akan tetapi Kiam Hong dapat membade hatinya. Itulah soal Giok Houw yang diberatkan si nyonya. Tapi ia sudah siap sedia, maka ia lantas berkata.

"Dulu hari itu Giok Houw belum mengenal sifat Kauwtjoe," demikian katanya, "maka itu beberapa kali ia sudah berlaku sembrono, akan tetapi belakangan ini ia telah mendengar omongannya Liehiap Ie Sin Tjoe, yang menjadi kakak seperguruannya, baru setelah itu ia ketahui siapa kauwtjoe ibu dan anak, terutama ia mengagumi penolakan Kauwtjoe atas lamarannya Kiauw Pak Beng. Sebelumnya terluka, Giok Houw pernah menyatakan padaku, kalau nanti urusan bingkisan sudah selesai, ia berniat mencari Kauwtjoe dan Nona Im untuk menghaturkan maaf."

Sioe Lan membuka lebar matanya.

"Dia membilangnya demikian?" ia tanya.

"Mana berani aku mendustai kau?" Kiam Hong membaliki. "Memang dia mengatakan demikian dan aku tidak salah ingat, sekalipun sepatah kata."

Nona itu menghela napas.

"Aku juga tidak mengharap dia menghaturkan maaf padaku." katanya, berduka, "sudah cukup asal dia mengetahui bahwa aku bukannya orang jahat. Ie Liehiap baik sekali, ketika dulu hari itu ia menolongi aku, belum sempat aku menghaturkan terima kasih padanya, maka itu entjie, tolong kau saja yang mewakilkan menghaturkannya. Tolong bilangjuga buat banyak tahun aku tersesat, setelah mendapatkan petunjuknya, aku sangat bersyukur. Sekarang ini aku suka mendengar perkataannya."

"Aku kuatir aku tidak bakal bertemu pula Ie Liehiap." kata Kiam Hong.

Sioe Lan heran.

"Kenapakah?" tanyanya.

"Entjie Leng In Hong dengan aku terhitung guru dan murid," menyahut Nona Liong, "kita pun ada bagaikan saudara kandung. Entjie Leng bersama suaminya telah bercita-citakan membangun ilmu silat pedang Thiansan Pay, mengenai itu aku telah mengangkat sumpah untuk mengikuti mereka selama hidupku. Dengan begitu di satu pihak hendak aku membalas budinya, di lain pihak aku memang tidak dapat meninggalkan dia. Kali ini entjie Leng terkena pukulan beracun KioeyangToktjiang, begitu lekas ia telah sembuh, aku akan turut dia pulang ke Thiansan, untuk selanjutnya aku tidak mencampur tahu lagi urusan dalam dunia..."

Sioe Lan tercengang.

"Kau bercita-citakan demikian?" tanyanya, heran. "Ah, kau yang masih begini muda, kau dapat tinggal sendirian selama beberapa puluh tahun di gunung yang sepi sunyi?"

"Aku telah memikir," menyahut Kiam Hong, menjelaskan, "asal aku dapat membantu entjie Leng membangun satu partai maka tidaklah sia-sia hidupku ini. Apakah yang aku kehendaki lagi?" Ia berhenti sejenak, untuk lantas menambahkan: "Maka itu aku bakal lekas meninggalkan gunungnya Tjioe Tjeetjoe, karena mana aku kuatir aku tidak bakal bertemu pula dengan Ie Liehiap. Tentang Giok Houw, aku bilang memang dia sangat ingin menemui kau, guna menghaturkan maaf. Andaikata kau tidak menemui dia, di belakang hari, pasti dia bakal mencari kau. Oleh karena itu sekarang baiklah kau pergi menemui dia. Dialah adik seperguruan dari Ie Liehiap, jikalau ada apa-apa yang kau hendak perkatakan, kau dapat minta pertolongannya untuk disampaikan kepada Ie Liehiap itu."

Sempurna sekali Kiam Hong mengatur kata-katanya hingga Sioe Lan mempercayai dia, hingga hati Nona Im menjadi kacau.

"Dia mau meninggalkan Thio Giok Houw?" puterinya Tjit Im Kauwtjoe berkata dalam hatinya. "Dia berbicara begini sungguh-sungguh, adakah itu benar9 Bagaimana sekarang, aku pergi menemui dia atau jangan?"

Dengan "dia," Sioe Lan maksudkan Giok Houw.

Tjit Im Kauwtjoe sendiri mengawasi tajam kepada Kiam Hong, akhirnya ia mengangguk, kemudian ia berkata kepada anaknya: "Sioe Lan, benar katanya Nona Liong. Sebentar lagi, kau pergilah bersama ia. Aku hendak berdiam di kuil tua ini guna merawat diri Aku akan beritahukan kau tentang obat pemunah itu serta cara untuk menggunakannya, lantas kau pergi mewakilkan aku."

"Tetapi, mama," kata anak itu, "kau berdiam seorang diri di sini, hatiku tidak tenteram..."

Tjit Im Kauwtjoe bersenyum.

"Siapa bilang aku bersendirian di sini?" katanya. "Bukankah di sini ada Ban Thian Peng? Tidak lama lagi, dia bakal sadar sendirinya. Diaterlukakan Ngotok San, setelah ada obatnya, dia bakal mendusin dan akan lekas kembali kesehatannya. Beda kalau orang terkena Kioeyang Toktjiang, meski telah diberikan obat. untuk kesembuhannya dia membutuhkan waktu beristirahat sepuluh hari sampai setengah bulan lagi. Dia berkepandaian cukup, dengan adanya aku di sini, kau jangan kuatirkan apa-apa lagi." Lantas nyonya ini menoleh kepada Kiam Hong. untuk menanya: "Sudah berapa lama mereka itu terluka?"

Kiam Hong menekuk-nekuk jari tangannya.

"Hari ini ialah hari ke enam," ia menyahut. "Pektok Sinkoen pernah menggertak Kimtoo Tjeetjoe bahwa mereka mesti mendapat pertolongan di dalam waktu sepuluh hari..."

"Itulah bukan gertakan belaka," berkata Tjit Im Kauwtjoe. "Kioeyang Toktjiang sangat berbahaya, racunnya luar biasa, selewatnya sepuluh hari. racun akan bekerja memasuki tulang-tulang dan sungsum, maka sampai itu waktu, meski ada obat yang tepat, si kurban toh bakal bercacad seumur hidupnya. Oh, masih ada tempo empat hari... Aku pikir, untuk pergi ke gunungnya Kimtoo Tjeetjoe, cukup dengan perjalanan dua atau tiga hari, maka kamu berdua, pergi kamu lekas berangkat! Anak Lan, mari!"

"Mama hendak memesan apa?" Sioe Lan tanya. Ia mengira bakal diajarkan caramengobati luka hajaran KioeyangToktjiang. Maka heranlah ia ketika ibu itu mengeluarkan sejilid buku seraya terus berkata dengan sungguh-sungguh kepadanya: "Inilah kitab Pektok Tjinkeng warisan Kie Soetjouw. Kau simpanlah baik-baik."

Sang anak menjadi terlebih heran pula.

"Mama, mengapa kau berikan ini padaku?" tanyanya.

"Kaulah anakku, cepat atau lambat, aku toh mesti memberikan padamu."

"Toh tak usah sekarang," pikir sang anak. "Apakah karena mama terluka, ia menjadi tidak tenang hatinya untuk ia yang menyimpannya?" Karena ibunya membilang demikian, ia terpaksa menerimanya. Ia kata: "Mama, jangan kuatir. Aku ada bersama entjie Liong, kita juga cuma berjalan beberapa hari, kitab ini tidak nanti lenyap." Ia masih menyangka ibunya menyerahkan kepadanya untuk ia yang simpan untuk sementara waktu.

Air mukanya Tjit Im Kauwtjoe bersungguh-sungguh, ia menanti sampai anaknya sudah menyimpan kitabnya itu, ia berkata pula per lahan-perlahan: "Aku telah membangun Tjit Im Kau w, untuk itu aku telah menggunai banyak pikiran dan tenaga dan waktu, kesudahannya orang menamakannya agama sesat. Akan tetapi aku tidak menghiraukan itu. Aku tahu bahwa belum pernah aku melakukan sesuatu yang jahat, aku melainkan bekerja untuk kaum wanita yang terhina. Mungkin sekali, di waktu aku melakukan pembalasan untuk mereka, ada perbuatanku yang kurang tepat hingga aku mencelakai banyak orang kaum pria, karena mana orang telah mencaci aku dan mengatakan agamaku agama sesat. Pendek, biar bagaimana maksudku baik."

"Mama, aku ketahui itu," kata Sioe Lan.

Kiam Hong sebaliknya berpikir: "Tjit Im Kauwtjoe bergantian telah diganggu oleh Tjie Hee Toodjin dan Pektok Sinkoen, nasibnya buruk, tidak heran jikalau dia jadi membenci semua orang lelaki yang jahat. Oleh karena pembalasannya hebat, tidaklah heran jikalau oleh kaum lurus dia dipandang sesat, dia tidak dimengerti."

Sioe Lan juga berpikir: "Kenapakah di saat seperti ini, mama menyebut-nyebut segala hal yang tidak ada kepentingannya?"

Tjit Im Kauwtjoe menghela napas, lalu ia menambahkan: "Aku telah membangun Tjit Im Kauw, dengan begitu selama beberapa tahun ini aku telah menolong dan merawat beberapa puluh anak perempuan yang tidak punya rumah ke mana mereka dapat pulang. Aku pun telah mengajari kepandaian kepada mereka. Oleh karena itu, anak, umpama di belakang hari kau suka menggantikan aku sebagai kauwtjoe dari Tjit Im Kauw, kau boleh tetap memimpin mereka, sebaliknya, apabila kau tidak sudi, dapat kau membubarkan mereka itu. Aku memiliki harta, yang sekarang ini disimpan oleh Han Toaya, hal itu kau ketahui, maka uang itu, dapat kau pakai untuk membubarkan mereka."

Yang dipanggil Han Toaya itu ialah si pria yang pernah menyamar menjadi guru sekolah yang bersama Im Sioe Lan mengatur rencana merampas bingkisan dari tangannya Tjioe Tjie Hiap. Dia itu, dua anak daranya telah dibikin celaka oleh seorang okpa, ketika Tjit Im Kauwtjoe membalaskan sakit hatinya, bersama-sama anak-anaknya itu dia masuk dalam Tjit Im Kauw.

Mendengar perkataan ibunya ini, Sioe Lan kaget. Kata-kata itu terlalu mirip dengan pesan terakhir, pesan dari seorang yang hendak meninggalkan dunia yang fana.

"Mama, aku tidak mau pergi!" katanya mendadak, keras. "Aku akan temani kau!"

Tjit Im Kauwtjoe bersenyum.

"Menolong jiwa orang itulah urusan sangat perlu," berkata ibu ini. "Perlu apakah aku ditemani kau? Cukup yang aku ditemani dia! Anak yang baik, jangan kau berkuatir untukku. Aku masih hendak memesan kau..." Habis berkata begitu, ia mengangkat tangannya perlahan-perlahan, untuk menunjuk kepada si pemuda baju kuning. Ia berkata pula: "Tentang penghidupanku, barusan aku telah membilangi kau. Dia ini ialah anak dari orang yang menjadi sahabat karibku, maka itu aku ingin kau memandang dia sebagai saudara sendiri. Tahukah kau?"

Sioe Lan mengangguk. Kedua matanya mengembeng air.

"Mama, aku tahu," katanya. Mendadak ia merasakan hatinya senap. Ada suatu perasaan aneh atau firasat yang menghinggapinya. Ia bertanya dalam hatinya: "Kenapa mama menyerahkan dia kepadaku? Juga kata-katanya ibu ini tak usah diucapkan sekarang... Ia menjadi berkuatir, hatinya berdenyutan. Dengan tajam ia mengawasi ibunya itu. Ia menjublak.

Justeru itu, tubuhnya Thian Peng berkutik. Dia mulai mendusin.

Tjit Im Kauwtjoe tertawa. Ia kata: "Anak tolol! Kau telah jadi dewasa begini, apakah kau tidak tega meninggalkan ibumu? Lihat, adikmu itu sudah sadar, kau angkatlah dia bangun!"

Ban Thian Peng mementang kedua matanya. Ia mengawasi ke sekitarnya, hingga ia melihat suasana di dalam ruang kuil itu. Ia percaya bahwa ia mengerti duduknya hal. Rupanya, untuknya, Tjit Im Kauwtjoe sudah membinasakan Pektok Sinkoen. Hanya, kapan ia ingat pula peristiwa barusan, tubuhnya menggigil sendirinya, jantungnya goncang. Tanpa merasa, ia lantas mengucurkan air mata. Terus ia menekuk lutut di depan Tjit Im Kauwtjoe.

"Mama!" ia memanggil.

Tjit Im Kauwtjoe mengangkat bangun anak muda itu.

"Orang yang mau mencelakai kau sudah mati," katanya perlahan. "Sekarang ini sudah aman, tidak ada bahaya apa-apa lagi."

Ban Thian Peng mengangkat kepalanya, ia menangis terisak.

"Mama, kau baik sekali, tak tahu aku bagaimana harus aku membalas budimu." katanya.

"Adalah ini Nona Liong yang menolongi kau, pergi kau menghaturkan terima kasih terhadapnya," berkata Tjit Tm Kauwtjoe seraya menunjuk Kiam Hong.

Thian Peng berpaling, ia mengawasi Nona Liong, nampaknya ia heran sekali.

Kiam Hong lantas berkata kepada anak muda itu: "Kauwtjoe telah menerima baik permintaanku untuk menolongi sahabat-sahabatku, maka itu, aku pun harus mengucap terima kasih padamu."

"Nah, sekarang sudah!" berkata Tjit Im Kauwtjoe. "Thian Peng sudah mendusin, anak Lan, pergilah kau lekas, menolongi orang tidak boleh ayal-ayalan!"

"Mama, aku... aku takut..." sahut sang anak.

"Takut apa. anak?"

"Aku... aku takut meninggalkan kau, mama... Lebih baik aku terus menemani kau."

"Anak Lan, kau mengertilah," berkata ibu itu perlahan. "Kau pergilah! Adikmu tidak mengerti urusan mengobati luka keracunan, sedang pemuda she Thio itu ingin bertemu denganmu. Kau boleh mewakilkan aku dengan perjalananmu ini..."

"Entjie, kau jangan kuatir," Thian Peng berkata. "Nanti aku yang merawati mama."

Mendengar suaranya ibu dan adik itu. Sioe Lan berpikir, la menginsafi bahaya yang mengancam Giok Houw semua, karena temponya tinggal empat hari lagi.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Mama, mari kasih aku obatnya. Aku akan pergi untuk lekas kembali. Adik Peng, aku serahkan ibu kepada kau."

Tjit Im Kauwtjoe mengawasi Liong Kiam Hong.

Nona Liong menyangka ibu itu hendak berbicara sama anaknya, entah urusan apa, maka ia memutar tubuhnya, untuk memandang keluar kuil. Ia membawa sikap seperti ia tidak mengetahui apa-apa.

"Mama, kau hendak memesan apa lagi?" Sioe Lan tanya.

Mendadak air mukanya nyonya itu berubah, hingga anaknya kaget.

"Mama, kau kenapa?" tanya sang anak, hatinya cemas.

Tjit Im Kauwtjoe tidak menjawab puterinya itu, sebaliknya, ia memanggil: "Nona Liong, mari!"

Kim Hong heran, ia menoleh dengan cepat.

"Bukankah kau menjanjikan sahabat yang liehay datang kemari?" tanya kauwtjoe itu. Dia mengawasi tajam, sedang Kiam Hong mengawasi dengan heran.

"Tidak!" sahut si nona. melengak.

"Jikalau dia bukannya sehabatmu, dia tentunya musuh!" berkata kauwtjoe itu. "Nah lekas kamu bertiga menyembunyikan diri!"

Ketika itu Kiam Hong segera mendengar suara tindakan kaki mendatangi, cepat sekali, makin lama, suaranya makin tegas. Karena ini, ia mengagumi liehaynya nyonya itu. Tapi, ia tidak mau lantas pergi, ia berkuatir untuk nyonya itu.

Tjit Im Kauwtjoe seperti dapat rmembade hati orang.

"Lekas kamu turut perkataanku, lekas sembunyi!" berkata dia. "Orang yang datang ini gagah luar biasa, akan tetapi aku masih mempunyai daya untuk menghadapi dia. Umpamanya aku tidak berhasil, Nona Liong, kau boleh bertindak seperti tadi. kau bokong dia!"

Kiam Hong dapat dikasih mengerti, maka lantas ia ajak Thian Peng dan Sioe Lan pergi ke belakang patung, untuk bersembunyi sambil mengintai, guna bersiap sedia.

Selagi anaknya bertiga bersembunyi itu, Tjit Im Kauwtjoe bekerja. Ia menghampirkan mayatnya Pektok Sinkoen, untuk diangkat, guna dikasih duduk di lantai, setelah mana, ia bersembunyi di belakang mayat sambil menggunai tangannya menunjang punggung mayat itu. Baru ia selesai, atau tindakan kaki orang di

luar itu-yang katanya orang

liehay-sudah sampai di depan

pintu, berbareng dengan mana terdengar suara memanggil nyaring: "Lao Tjio! Lao Tjio! Apakah kamu suami isterinya sudah selesai bicara?"

Itulah pertanyaan yang berarti, apa suami isteri sudah akur pula.

Tjit Im Kauwtjoe batuk satu kali. Itulah kebiasaan Pektok Sinkoen jikalau dia mau bicara. Dan kauwtjoe ini dapat menirunya dengan baik. Setelah itu, ia kata dengan perlahan: "Keng Ham. sahabat kekalmu datang."

Tjit Im Kauwtjoe membawa lagak seperti ia dan suaminya tengah kasak-kusuk tetapi mereka diganggu dengan datangnya sahabat sang suami.

Di depan pintu itu, orang yang baru datang itu tertawa terbahak-bahak.

"Selamat! Selamat!" ia berkata berulang-ulang. "Kamu sudah akur pula satu dengan lain maka ingin aku minum memberi selamat kepada kamu!" Kata-kata itu dibarengi dengan tindakan kaki, yang membawa tubuh orang memasuki pintu. Lebar tindakannya orang itu.

Kiam Hong dari tempatnya bersembunyi dapat mengintai. Ia lantas mengenali Tjou w Thian Yauw, yang datang bersama-sama Pektok Sinkoen, yang sudah mengancam kepada Kimtoo Tjeetjoe.

Tjouw Thian Yauw sudah bertindak masuk, ia tidak mendapat dengar jawabannya Pektok Sinkoen, ia heran sekali, justeru itu, matanya dapat melihat sahabatnya lagi duduk bercokol, matanya dirapatkan. Dari heran, ia menjadi kaget.

"Lao Tjio, kau bikin apa?" dia tanya dalam kaget dan herannya itu. "Eh, mana Tjit Im Kauwtjoe?"

Belum suara itu berhenti seanteronya satu suarajawaban yang menyeramkan sudah terdengar: "Aku berada di sini, apakah matamu buta?" Lantas menyusul itu, tubuhnya Pektok Sinkoen bergerak, berlompat menubruk!

Tjouw Thian Yauw kaget tidak terkira, belum sempat ia berbuat apa-apa peluru Tokyam tan yang beracun dari Tjit Im Kauwtjoe sudah menyerang tepat kepada dadanya.

Begitu mengenai, peluru itu pecah, apinya lantas membakar sasarannya.

Dalam kagetnya. Tjouw Thian Yauw menggeraki kedua tangannya. Tepat dia kaget dan tangannya itu bergerak, tepat dari belakang patung, Liong Kiam Hong berlompat menyerang, menebas.

Thian Yauw tidak berdaya lagi, sampai berkelit pun ia tidak sanggup, maka lengan kirinya terpapas kutung dan tubuhnya roboh. Tapi ia gagah, dengan menguatkan diri, dengan gerakan "Ikan gabus meletik." ia berlompat bangun untuk berdiri.

Berbareng dengan itu terdengar tertawa, tertawa seram dari Tjit Im Kauwtjoe, yang berkata tajam: "Jikalau kau bergerak pula. kau bakal tidak bisa hidup lagi satu jam!"

Tjouw Thian Yauw insaf akan bahaya yang mengancam dirinya, ia tidak berani melakukan perlawanan, hanya dengan memutar tubuh sangat sebat, ia meloloskan bajunya yang terbakar, baju itu terus dilemparkan ke arah Liong Kiam Hong. Nona itu berkelit, atas mana, dia membareng untuk berlompat nerobos, guna lari keluar kuil. Atau di lain saat terdengar jeritannya yang menyayatkan hati, jeritan yang di keluarkan di tempat jauh, kira satu lie. Itulah tanda dari mahirnya ilmu ringan tubuh dari orang she Tjouw itu, yang dapat lari dengan cepat.

Kiam Hong kaget dan tergetar hatinya menyaksikan kegagahan

Thian Yauw itu. Dia sudah terbakar dan tangannya telah kena dikutungkan, tetapi dia masih dapat lari demikian pesat.

Tjit Im Kauwtjoe tertawa dingin ketika ia berkata. "Biarpun ilmu dalammu sangat mahir, jikalau tidak mampus, kau bakal bercacad!" Itulah kata-kata yang ditujukan kepada Thian Yauw. Habis itu, perlahan-perlahan ia menggeraki tubuhnya.

"Kauwtjoe, kau beristirahatlah!" kata Kiam Hong.

Tjit Im Kauwtjoe menggeleng kepala. Ia merayap ke depannya mayat Pektok Sinkoen, untuk membenarkannya, kemudian sambil menghela napas dalam, ia kata: "Dua sahabatmu yang buruk yang telah membujuki dan memancingmu berbuat jahat telah aku bereskan, maka itu, bolehlah kau mati dengan mata meram..." Suaranya itu makin lama menjadi makin lemah. Akhirnya, ia kata pula: "Inilah yang dibilang budi dan penasaran, yang benar dan tidak benar! Semua itu telah menjadi beres, maka sekarang aku pun sudah saatnya untuk pergi berlalu..."

Ketika itu Sioe Lan dan Thian Peng sudah keluar dari tempat mereka bersembunyi, mereka merubungi ibu itu. Mereka melihat di bibir ibu itu ada tetesan darah, sebaliknya, mukanya pucat sekali. Dengan sinar matanya, Tjit Im Kauwtjoe mengisyaratkan untuk gadisnya memasang kuping.

Sioe Lan memegangi tubuh ibunya itu, telinganya dipasang.

"Yang di dalam kotak kemala itu ialah obat pemunah racun," berkata Tjit Im Kauwtjoe, suaranya sangat perlahan, sangat lemah, sedang napasnya memburu.

Meskipun ia memasang telinga, sukar Sioe Lan mendengarnya. Ia menyodorkan kotak kemala, yang tadi ia dapatkan dari tubuhnya Pektok Sinkoen. "Ini, mama?" ia tanya.

Ibu itu mengangguk.

Sioe Lan hendak membuka tutup kotak itu, atau ia melihat ibunya, dengan susah payah mencoba menggeleng kepala. Kata ibu itu, napasniamendesak: "Bukan... bukan untuk aku yang makan... Aku sudah tidak berguna lagi... Kau berikan mereka seorang satu butir, orang yang ketiga, terserah kepada nasibnya..."

Sioe Lan tidak lantas dapat menangkap arti kata kata ibunya itu, kecuali itu kata-kata: "Aku sudah tidak berguna lagi..." Ia merasa bagaikan kepalanya ditimpa guntur, hingga ia berdiam menjublak.

Ban Thian Peng pun berdiri melengak. Ia tidak dapat dengar perkataannya kauwtjoe itu. akan tetapi matanya dapat melihat, dan ia mendapatkan romannya Tjit Im Kauwtjoe sama seperti roman ayahnya di saat ayahnya itu hendak menghembuskan napasnya yang terakhir. Maka ia lantas memegang keras tangannya nyonya itu.

"Mama, kau kenapa?" tanyanya, hatinya mencelos. "Ayah menginginkan aku hidup mengandal pada mama..."

Matanya Tjit Im Kauwtjoe sudah dirapatkan ketika ia mendengar suara orang, ia lantas membukanya pula. Ia menghela napas.

"Anak, ibumu tidak dapat membalaskan sakit hatimu... Untuk kau, kau... kau... Yang Tjong Hay..."

Cuma sebegitu nyonya ini dapat berbicara pula, lantas napasnya berhenti berjalan. Ia meninggalkan puterinya sebelum si puteri pergi...

Kauwtjoe ini sebenarnya telah mendapatkan dua serangan yang berbahaya. Yang pertama tangan Kioeyang Toktjiang, yang kedua, bubuk Ngotok San. Sedang obat di dalam kotak kemala itu hanyalah tiga butir obat pemunah Kioeyang Toktjiang. Itulah tiga butir pel, yang Pektok Sinkoen sediakan untuk menolongi Tjioe San Bin, Leng In Hong dan Thio Giok Houw andaikata mereka itu bersedia menyerahkan separuh dari semua bingkisan raja. Tjit Im Kauwtjoe terluka parah, umpamanya ia menelan semua tiga butir pel itu, cumajiwanya yang bakal ketolongan, kepandaian silatnya tidak dapat dipertahankan lagi. Maka itu, begitu mendengar halnya Thio Giok Houw terluka parah, ia batal memakan obat pemunah racun itu. Ia telah lantas berpikir: "Daripada aku hidup terus sebagai manusia bercacad, yang tidak mempunyai guna apa-apa lagi. lebih baik aku tolongi mereka itu, supaya dengan begitu pun perjodohan dari si Lan jadi terangkap..." Satu dari ketiga butir obat, ia telah makan sepanahnya, sisanya tinggal dua butir setengah, maka itu ia telah mengatakan: "...orang yang ketiga, terserah kepada nasibnya..."

Sioe Lan memeluki tubuh ibunya itu, ia merasakan tubuh sang ibu makin dingin dan makin dingin, lalu perlahan-perlahan menjadi kaku. Sedang Ban Thian Peng lantas menangis menggerung-gerung.

Nona itu, atau si anak yatim piatu sekarang, berdiam saja. matanya melongo. Semenjak dilahirkan, ia cuma hidup berdua ibunya. Sekarang ia ditinggal pergi ibunya itu, orang satu-satunya yang ia buat andalan, bagaimana hatinya tidak menjadi mencelos. Hampir ia tidak percaya bahwa ibunya sudah menutup mata. Tapi tubuh ibu itu sudah dingin dan kaku.

"Ibu telah menutup mata sudah menutup mata... Ya benar, ibu telah menutup mata..." katanya berulang-ulang, perasaannya bagaikan hilang.

Kiam Hong pun mengucurkan air matanya. Pemandangan itu sangat memilukan hatinya. Ia menolak tubuh Sioe Lan.

"Adik Lan..." katanya, "kau nangis, kau nangislah!" Sioe Lan melepaskan tangannya, maka robohlah tubuh ibunya.

Thian Peng lantas menyambar, untuk memegangi tubuh itu.

Hanya sejenak lagi. lantas Sioe Lan menjerit menangis, dan ia menangis lama hingga suaranya menjadi serak, hingga matanya mengeluarkan darah. Selewatnya itu bara ia menjadi sedikit lebih tenang.

Kiam Hong menahan keluarnya air matanya, ia mengusap-usap pundaknya Nona Im.

"Adik," katanya perlahan, "orang yang telah meninggal dunia tidak bakal hidup pula, maka itu haruslah kau jaga dirimu baik-baik, supaya kau bisa merawat jenazah ibumu ini."

Dengan sepasang matanya suram, Sioe Lan mengangkat kepalanya, mengawasi nona dihadapannya itu. la seperti tidak mengerti perkataan orang, ia agaknya masih kurang percaya bahwa ibunya sudah menutup mata.

Kiam Hong menguati hati, untuk tidak menangis terlebih jauh.

"Saudara Ban," katanya pada Thian Peng, "kau bantulah adik Sioe Lan mengurus jenazah ibumu ini. Maafkan aku, aku tidak dapat membantu dan mengantar ibumu dikubur."

Sioe Lan agaknya kaget.

"Entjie Liong, kau hendak pergi sekarang?" tanyanya, agaknya ia berpikir keras. Tapi cepat sekali ia mendusin bahwa Nona Liong perlu lekas pulang untuk menolongi orang, bahwa ibunya telah memberikan obat guna menolongi Giok Houw semua.

Ia lantas mengeluarkan kotak kemala, untuk dipegangi. Mendadak saja ia ingat suatu apa, lalu ia pikir: "Cuma untuk membawa obat pemunah untuk menolongi mereka, lantas racun Kioeyang Toktj iang bisa disingkirkan, karenanya, kenapa barusan mama mengharuskan aku turut pergi?"

Nona ini cerdas, hanya karena pukulan yang hebat ini, pikirannya menjadi kacau. Ia mesti mengingat-ingat keras untuk dapat memulihkan kesadarannya. Pikirnya pula: "Sebelumnya Tjouw Thian Yauw datang, ibu tidak mengijinkan adik Peng pergi bersama Nona Liong, katanya adik Peng tidak mengerti tentang cara pengobatan. Mungkinkah, selainnya ini obat pemunah, dibutuhkan lain macam obat lagi? Atau adalah lain-lainnya soal yang mesti diperhatikan? Kalau bukan cuma diperlukan obat pemunah, mengapa tadinya ibu tidak menyebutkannya?"

Masih Sioe Lan berpikir, hingga ia mendapat pikiran lebih sadar lagi. Sekarang ia dapat mengerti maksud ibunya. Tentulah ibu itu bekerja untuk dirinya sendiri, ialah supaya ia sendiri yang membawa obat itu. untuk ia sendiri juga yang mengobati Giok Houw, supaya dengan demikian dapatlah jodoh mereka --- jodoh ia dengan jodoh Giok Houw --- terangkap sempurna. Rupa-rupanya ibu itu, setelah terlukakan Kioeyang Toktjiang, sudah mendapat firasat yang lukanya tidak bakal sembuh, bahwa ia telah didustakan ibunya, yang membilang dirinya --- ibu itu --- tidak terancam bahaya.

Teranglah, dengan mendustakan ia, ibunya ingin ia pergi dengan pikiran tenteram. Setelah memikir demikian, mendadak ia merasakan hatinya seperti copot.

"Seumurnya mama memperhatikan diriku, sampai saat terakhir, ia masih memikirkan kepentinganku," pikirnya pula. Ia menjadi sangat bersedih, akan tetapi air matanya sudah habis, air mata itu tidak mau keluar pula.

"Entjie," bertanya Thian Peng, "Nona Liong mau pergi menolongi orang, entjie mau turut atau tidak? Tentang mama, entjie serahkan padaku saja."

Sioe Lan tidak menjawab Thian Peng, hanya sambil menyodorkan kotak kepada Kiam Hong, ia berkata: "Nona Liong, maafkan aku, aku tidak dapat menemani kau!"

Wajahnya Kiam Hong guram. Memang, di dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia mengajak nona itu pergi bersama. Tentu sekali ia sangat berduka. Tapi ia terpaksa mesti lekas pergi. Maka tiga kali ia paykoei kepada jenazah Tjit Im Kauwtjoe. Ketika ia berbangkit, ia menarik tangannya Nona Im.

"Seharusnya aku membantu mengurus dan mengantar pehbo dikubur," katanya, "akan tetapi di sana ada jiwanya tiga orang, terpaksa aku mesti pergi. Nanti saja, setelah aku selesai dengan tugasku, aku datang pula untuk mohon maaf..."

"Aku mengerti," kata Sioe Lan. suaranya parau. "Untuk menolong orang, kau tidak dapat ayal-ayalan, maka kau pergilah!"

Kiam Hong lantas bertindak pergi. Tiba di ambang pintu, ia berpaling, ia menghampirkan Sioe Lan, guna menarik tangannya.

"Adikku, aku tidak tahu bagaimana harus menghiburimu," katanya, "akan tetapi ada beberapa kata-kata yang aku ingin bicarakan dengan kau..."

Sampai itu waktu, buyar sudah sikap bermusuh dari Sioe Lan terhadap Kiam Hong.

"Kau mau bicara apa, entjie? Silakan!" katanya.

"Tidak beruntung ibumu telah meninggal dunia sedang saudara ini belum terbalas sakit hatinya," kata Kiam Hong, yang menunjuk Thian Peng. "Di samping itu adalah suatu kenyataan di saat hidupnya, ibumu juga mempunyai banyak musuh. Maka kau, seorang nona muda, untukmu menghadapi demikian banyak urusan, sungguh kau membuatnya aku berkuatir. Dari itu, kupikir, selekasnya kau beres mengurusjenazah ibumu ini, baik kau menyusul aku ke gunungnya Kimtoo Tjeetjoe. Di sana di mana ada banyak sahabat, dapat kita mendamaikan sesuatu. Tidakkah kau berkesan aku telah berbicara terlalu berterus terang?"

Sioe Lan mengerti, kata-kata itu untuk kebaikannya, tetapi pikirannya lagi ruwet, ia bingung sekali. Ia pun berpikir. "Dia dengan Giok Houw bersahabat erat sekali, dia sekarang menganjurkan pergi ke gunungnya, sebaliknya, dia sendiri katanya mau pulang ke Thiansan. Bukankah itu berarti dia berniat merangkap jodohku dengan jodoh Giok Houw? Jikalau aku menghalang di antara mereka, apa artinya itu?" Maka ia berpikir keras, akhirnya ia kata: "Entjie, aku mengerti maksud baik dari kau. Sekarang kau lekas lekaslah pergi, untuk menolongi mereka yang terluka itu. Tentang lainnya urusan, perlahan-perlahan saja aku nanti pikirkan pula."

Kiam Hong tidak dapat memaksa, maka dengan mengucurkan air mata, mereka berpisahan.

Di tengah jalan. Nona Liong pun kacau pikirannya. Ia mesti berpikir banyak. Bukankah Tjit Im Kauwtjoe telah berkurban disebabkan dia hendak menolong Giok Houw bertiga? Bukankah Sioe Lan harus dikasihani karena nasibnya yang buruk itu, sedang terhadap Giok Houw dia sangat menyinta? Sekarang Siok Lan telah menjadi yatim piatu. Pikirnya: "Untungku masih lebih baik. Aku mempunyai entjie Leng sebagai orang yang aku andalkan. Maka baiklah aku jangan bersangsi lagi. Baik aku tetap menjalankan rencanaku, dan sehabis mengobati engko Houw, aku lantas pergi menyembunyikan diri di gunung Thiansan, lalu untuk selama-lamanya aku jangan menemukan pula mereka itu..."

Walaupun ia telah berpikir demikian dan telah mengambil keputusannya, dalam perjalanan lebih jauh ini, Kiam Hong tetap tak tenteram hatinya. Ia merasa berat untuk meninggalkan Giok Houw bila nanti ia sudah mengobati sembuh pemuda itu. Ia menjadi berduka. Ia tentu masih berpikir terus, kalau tidak kupingnya mendengar suara tindakan kaki kuda di sebelah depannya. Ketika ia memandang ke depan, ia melihat tiga penunggang kuda lagi mendatangi dengan cepat, bahkan segera ia mendengar tertawa lebar dari penunggang kuda terdepan, yang terus berkata nyaring: "Nona Liong, sungguh tidak disangka-sangka bahwa di sini kita dapat bertemu pula! Kau berlari-lari begini cepat, apakah perlunya? Baiklah kau beristirahat, untuk sekalian kita memasang omong!"

Orang itu bukan cuma tertawa dan mengatakan demikian dengan lagaknya yang kurang ajar, dia pun sudah lantas lompat turun dari kudanya, guna menghadang di depan si nona.

Untuk terkejutnya Kiam Hong, ia mengenali Yang Tjong Hay.

Orang she Yang ini mempunyai hubungan atau kepentingannya dengan halnya Pektok Sinkoen pergi ke gunungnya Tjioe San Bin untuk meminta bagian separuh dari bingkisan rampasan serta dengan peristiwa Tjit Im Kauwtjoe itu. Dialah yang pertama kali menganjurkan Tjit Im Kauwtjoe merampas bingkisan, ketika ternyata Tjit Im Kauwtjoe gagal, ia lantas mengojok-ojok Pektok Sinkoen kepada siapa juga ia memberitahukan segala sesuatu mengenai Tjit Im Kauwtjoe. Memangnya Pektok Sinkoen ingin baik pula dengan kauwtjoe itu. Dalam ini hal, Yang Tjong Hay mencoba memberikan bantuannya. Itulah untuk kepentingannya. Kalau Pektok Sinkoen dan Tjit Im Kauwtjoe rukun kembali, sangat besar faedahnya untuknya. Ia hendak membaiki mereka, untuk ia gunai tenaganya. Berbareng dengan itu, ia juga membaiki Kiauw Pak Beng. Demikian, sesuai dengan perjanjian, mereka mau berkumpul di rumahnya Bang Thong. Di luar dugaan Yang Tjong Hay, malam itu Bang Thong terbinasakan Tj it Im Kauwtjoe. Ketika Tjong Hay tiba di rumah Bang Thong, orang justeru lagi sibuk mengurus jenazah orang she Bang itu. Lalu setelah itu, datanglah Kiam Hong, yang mengacau.

Sebagai seorang sangat cerdik, Yang Tjong Hay lantas membade-bade apa perlunya Nona Liong datang mencari Tjit Tm Kauwtjoe. Ia sekarang percaya, Tjil Im Kauwtjoe dan Pektok Sinkoen tentu tidak bakal akur kembali. Oleh karena itu, ia lantas mengajak dua orang cintengnya keluarga Bang, guna mencari Kiam Hong. Kebetulan untuknya, di tengah jalan ia berpapasan dengan Tjouw Thian Yauw, yang tengah terluka parah, hingga ia mendengar peristiwa atau kecelakaannya Thian Yauw itu, yang telah dilukai Tjit Im Kauwtjoe. Ia menyesal sekali, ia mengeluh. Pikirnya: "Pektok Sinkoen telah roboh di tangannya Tjit Im Kauwtjoe, itu berarti gagallah rencanaku, maka kalau Tjit Im Kauwtjoe sampai kena dibaiki Liong Kiam Hong, untukku menjadi bertambah buruk..."

Maka disatu pihak ia menitahkan orang mengantarkan Tjouw Thian Yauw pulang ke rumah Bang Thong, di lain pihak ia lantas mengasah otak, untuk menelurkan akal baru. Paling dulu ia mau pergi ke kuil, guna melihat keadaan, untuk mengambil tindakan perlawanan. Menurut ia, Tjit Im Kauwtjoe membinasakan Pektok Sinkoen tentu disebabkan urusan pribadi. Ia pikir: Tjit Im Kauwtjoe pernah melukakan Tjioe Tjie Hiap, belum tentu kauwtjoe itu nanti berbalik menjadi membantui Tjioe San Bin. Sebaliknya ia dengan Tjit Im Kauwtjoe pernah saudara seperguruan, ia sangsi kauwtjoe itu nanti bentrok dengannya. Maka ia ingin mencoba membujuk kauwtjoe itu berpihak kepadanya, supaya Liong Kiam Hong dibekuk, la hanya tidak pernah menyangka. Tjit Im Kauwtjoe telah meninggal dunia. Pula, tidaklah dalam dugaannya, di tengah jalan ini ia bersomplokan sama Nona Liong. Ia menjadi girang sekali, dari itu ia telah membawa aksinya itu menghadang si nona!

Sebelumnya memegat itu, melihat Kiam Hong bersendirian dan tengah berlari-lari keras sekali, Yang Tjong Hay si cerdik sudah menggunai juga otaknya. Ia bercuriga. Ia lantas menduga-duga. Pikirnya itu waktu: "Jalan ini memang jalan pegunungan yang sunyi, tetapi dia wanita dan bersendirian, tanpa ada urusan yang penting, tidak nanti dia berjalan begini keras. Dia telah menggunai ilmunya ringan tubuh. Bukankah dia dan Tjit Im Kauwtjoe ada sangkut pautnya? Kenapa kemarin ini di Bang keepo, dia menyatakan bahwa dia mencari Tjit Im Kauwtjoe untuk memohon bantuan kauwtjoe itu? Kenapa dia tidak malu untuk minta bantuannya Tjit Im Kauwtjoe? Bukankah di gunungnya Kimtoo Tjeetjoe ada banyak orang yang liehay? Kenapa dia masih membutuhkan Tjit Im Kauwtjoe? --- Ah, tidak bisa lain, tentulah ini ada berhubung sama obat pemunah racun! Dia berjalan begini cepat, mungkin dia telah berhasil mendapatkan obat itu..." Maka ia lantas memegat.

Kiam Hong kaget bukan main menemui Tjong Hay di tempat sepi itu, hingga ia mengeluh dalam hatinya. Dan belum lagi ia sempat berpikir, Tjong Hay sudah lompat turun dari kudanya, guna menghalang di .depannya itu. Ia lantas mengerutkan alis, otaknya berputar.

"Kiraku siapa, tak tahunya Yang Toatjongkoan!" ia berkata. "Aku telah mendapat keakuran dengan soetjie kau, kenapa kau memegat aku?"

"Apa?" Tjong Hay tanya. "Kau maksudkan Tjit Im Kauwtjoe?"

Nona itu tertawa.

"Aku menyebut soetjie-mu!" katanya, "kalau bukannya Tjit Im Kauwtjoe, habis siapa lagi?"

Tjong Hay sudah lantas berpikir.

"Di dalam dunia Kangouw ini, yang mengetahui Tjit Im Kauwtjoe itu kakak seperguruanku sangat sedikit," pikirnya, "maka budak ini tentu bukannya tengah mendusta. Ia mestinya diberitahukan sendiri oleh Tjit Im Kauwtjoe..." Maka ia lantas menanya: "Mana soetjie-ku itu?"

"Dia bersama puterinya mengambil jalan arah sana." sahut Kiam Hong sambil menunjuk.

"Itu toh jalan untuk kota raja?" Tjong Hay tanya.

"Tidak salah!" menjawab si nona. "Kauwtjoe justru mau pergi mencari kau, katanya untuk menasehati kau agar kau jangan memangku pangkat, supaya kau susul mereka, mungkin kau masih dapat menyandak!"

Sengaja Nona Liong menunjuk arah yang bertentangan, supaya Tjong Hay tidak pergi ke arah kuil di mana dia mungkin menemui mayat kakak seperguruannya itu, hingga bisa kejadian dia nanti mengganggu Im Sioe Lan.

Tjong Hay tercengang, tapi hanya sejenak, lantas dia tertawa lebar.

"Dengan soetjie-ku itu, boleh perlahan perlahan saja aku membuat pertemuan!" katanya. "Kau telah bertemu sama soetjie-ku itu, kau dapat apakah dari ia? Mari serahkan barang itu padaku!"

"Aku tidak dapatkan apa-apa," sahut Kiam Hong, sedang hatinya berdebaran. Ia bergelisah.

"Kau membilang tidak! Apakah kau berani membiarkan aku menggeledahmu?" tanya Tjong Hay. Sambil berkata begitu, ia mengulur tangannya yang panjang ke arah si nona, niatnya untuk menjambak dan menarik nona itu.

Kiam Hong mundur, tangannya menghunus pedangnya.

"Yang Tjong Hay!" ia membentak. "Kau berani kurang ajar? Taruh kata benar soetjie-mu itu memberikan aku sesuatu barang, kau tidak berhak untuk menanyakannya!"

Dengan berkata begitu. Kiam Hong menggertak. Di luar dugaannya, Tjong Hay tertawa besar.

"Dengan kata-katamu yang bergula kau mempedayai soetjie-ku!" katanya. "Apakah aku yang menjadi adik seperguruannya tidak dapat mengurus halnya? Kau telah menipu untuk mendapatkan obat, guna menolong musuh kami. maka jikalau aku membunuh kau, soetjie-ku tidak nanti menyesalkan aku!"

Sembari berkata begitu, Yang Tjong Hay menghunus pedangnya, untuk segera menerjang. Tiga kali beruntun ia menikam dan menabas.

Kiam Hong main mundur, sekonyong-konyong ia tertawa.

"Soetjie-mu itu bukan saja memberikan aku obat pemunah, dia bahkan memberikan juga barang yang sangat berharga! Tahukah kau itu?" ia menanya. Kelihatannya ia tenang sekali.

Hatinya Tjong Hay tergerak. Ia lantas memikir: "Mungkinkah itu kitab Pektok Tjinkeng?" Maka ia lantas menanya: "Apakah itu?"

"Aku tidak mau mengatakan!" menyahut si nona.

Tjong Hay tertawa dingin, dia menyeringai.

"Jikalau kau tidak suka bicara, aku nanti bunuh padamu!" dia mengancam "Dapat aku menggeledah kau!"

"Jikalau begitu maka salahlah perbuatanmu!" berkata si nona, tertawa pula. "Barang demikian berharga, apakah kau kira aku bawa itu pada tubuhku? Aku telah menyembunyikannya! Nanti, di belakang hari, aku minta bantuannya orang-orang yang liehay untuk mengambilnya! Hendak aku melihat, kau mempunyai daya apa untuk merintangi orang-orang liehay itu!"

Tjong Hay bersangsi melihat sikap orang demikian tenang dan suaranya demikian pasti.

"Sebenarnya barang apakah itu?" dia tanya, suaranya keras.

"Kau bersikap begini galak terhadap aku, coba kau pikir, dapatkah aku bicara denganmu?" si nonamembaliki.

Selama itu Tjong Hay masih merangsak, sekarang ia memperlahankannya.

"Baiklah!" katanya, lagu suaranya menjadi lunak. "Sekarang kau serahkanlah barangnya soetjie-ku itu. Nanti aku memberi ampun padamu."

"Benarkah perkataan kau ini?" Kim Hong menegaskan.

"Benar!" Tjong Hay memberikan kepastian.

"Baiklah, ini aku memberikannya!" Sembari berkata begitu, dengan sebat luar biasa Kiam Hong menikam ke arah tenggorokan jago itu.

Teranglah nona ini sudah mengoceh saja. Ia menggunai siasat. Ia menduga, dengan dipedayakan secara demikian, Tjong Hay bakal menjadi lengah, lantas ketika baik itu ia tidak sia-siakannya lagi. Ternyatalah ia berhasil dengan tipunya itu. Tjong Hay itu liehay luar biasa dan jumawa dan dia tidak memandang sebelah mata kepada si nona.

Di dalam hal ilmu dalam, Kiam Hong kalah jauh dari orang she Yang itu, tjongkoan besar yang pernah menjadi salah satu dari ke empat kiamkek, ahli pedang atau jago utama, tetapi mengenai ilmu pedang, ia menang setingkat, dan sekarang, ia menyerang hebat setelah ia mencari-cari ketika sekian lama.

Tjong Hay kaget bukan main, hingga dia berseru: "Celaka!" Dasar dia liehay, dalam saat kematian itu, ia menghindarkan diri dengan gerakannya "Tiatpoan kio" atau Jembatan Besi. Diamelengak dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, hingga dengan tubuhnya rata bagaikan tidur terlentang, pedang si nona lewat di atasan dadanya. Menyusul itu, dia segera berlompat, guna menyingkir lebih jauh, karena dia percaya si nona bakal mengulangi serangannya. Dia pun menangkis dengan pedangnya.

Dugaan itu tepat. Kiam Hong menyerang pula. Kali ini, serangannya itu kena ditangkis. Meski demikian, ujung pedangnya mampir juga di dada lawan hingga dada itu tergores luka sedikit, kira-kira tiga dim panjangnya.

"Sayang!" si nona mengeluh di dalam hatinya.

Sebaliknya, Tjong Hay jadi sangat malu dan panas hatinya. Dialah jago dan dia kena diakali. Dia tidak terlukakan parah tetapi bagian yang tergores itu justeru bagian yang berbahaya-di atasan perut --- hingga sakitnya bukan main.

"Hari ini aku mesti ambil jiwamu, tidak dapat tidak!" dia berteriak. Dan dia lantas menerjang dengan bengis, bagaikan badai dan hujan lebat.

Kiam Hong lantas kena terdesak, sampai ia menjadi repot sekali.

Menggunai ketika desakannya itu, dengan tangan kirinya, Tjong Hay mengeluarkan obatnya, guna segera diborehkan pada lukanya, supaya luka itu tidak membahayakan jiwanya.

Hati Kiam Hong menjadi kecil. Ia tidak menyangka sama sekali, setelah terluka itu, Tjong Hay masih demikian kosen. Bagaikan binatang liar mogok, dengan berseru keras, Tjong Hay melanjuti desakannya. Tapi Kiam Hong juga nekat, ia mempunyai tugas sangat penting. Ialah membawa obat pemunah, guna menolongi tigajiwa. Maka ia membesarkan hatinya, ia mencoba melawan keras tetapi waspada.

Dalam tempo yang singkat, tiga puluh jurus sudah lewat.

Nona Liong mengeluarkan kepandaiannya guna melayani musuh yang kalap itu. Benar Tjong Hay merangsak hebat, akan tetapi dia tidak berhasil merobohkan lawannya, sebaliknya, satu kali, tangan bajunya kena ditobloskan ujung pedang si nona. Syukur ujung pedang itu tidak meluncur terus ke perutnya. Dengan menyedot napas, dia membikin dada dan perutnya ciut. Maka dia menjadi semakin gusar. Hanyalah kali ini, dia dapat berpikir.

"Baru selang dua hari, kenapa ilmu pedangnya ia ini menjadi maju begini?" demikian pikirnya. Karena dapat memikir, ia menjadi kurangan mendongkolnya. Ia lantas ingat, inilah bukan disebabkan si nona maju hanya ia sendiri, saking murka, menjadi kurang waspada.

Kedua orangnya Bang Thong heran melihat si nona dapat mendesak jago itu. Mereka jadi berpikir: "Kiranya ini Yang Toatjongkoan cuma besar namanya saja, sekalipun seorang nona. dia tidak dapat lawan." Karena itu, mereka lantas menghunus senjata, berniat memberikan bantuan mereka. Tapi, belum lagi mereka maju, mereka telah mendengar tertawa nyaring dari tjongkoan besar itu.

"Untuk melawan satu budak kecil perlu apa mesti main banyakan orang!" berkata tjongkoan itu. Dia rupanya melihat orang hendak meluruk membantui padanya. "Kamu kucak mata kamu dan lihat, jikalau dalam tiga puluh jurus aku tidak dapat membekuk budak ini, kamu boleh tulis terbalik tiga namanya Yang Tjong Hay!"

Belum berhenti kata-katajumawa itu, gerakan pedang tjongkoan ini sudah berubah.

Kiam Hong menjadi heran. Ia merasakan pedang musuh itu menjadi berat luar biasa, benar gerakannya tidak menjadi sebat lagi, bahkan ayal, tetapi ujung pedang itu menjadi berat umpama kata seribu kati. Dengan lantas ia menjadi terdesak pula.

Tjong Hay sudah menukar siasat. Ia tahu si nona liehay dan gesit, ia lantas menggunai tenaga dalamnya, tenaga mana disalurkan kepada pedangnya, membikin pedang itu menjadi berat. Untuk dapat melayani, guna membela diri. Kiam Hong menjadi tidak dapat berlaku sebat lagi seperti semula.

"Celaka!" akhirnya Kiam Hong berseru di dalam hatinya. Lama-lama ia merasakan, kecuali pedang musuh menjadi berat, pedangnya sendiri bagaikan tertempel, hingga sulit untuk ia menariknya.

"Haha-haha!" Yang Tjong Hay tertawa. Dan ini memperbesar tenaga dalamnya itu. Ia menindih makin berat pedang Tjengkong kiam si nona, setelah mana, tangan kirinya pun bekerja, dalam ilmu silat "Tangan kosong memasuki senjata putih." Itulah ilmu untuk dengan tangan kosong merampas senjata musuh.

Biarnya ia lebih liehay ilmu pedangnya, Kiam Hong akhirnya kewalahan. Ia kalah tenaga dalam, sangat berat untuk ia melayani, guna bertahan terus menerus. Percuma ia mengerahkan semangat, guna melawan terus. Ia pun lantas saban-saban kena dibikin kaget. Tangan kiri musuh itu beberapa kali hampir berhasil menjambret pedangnya untuk dirampas. Maka selang belasan jurus lagi, ia lantas kena terkurung...

Tengah pertempuran itu berjalan di saat yang akan memutuskan, di sana terdengar suara nyaring dari kelenengan kuda disusul suara pertanyaan yang keras: "He! Apakah itu bukannya Nona Liong?"

Mendengar suara itu, Kiam Hong menjadi girang mendadak.

"Lauw Tjeetjoe?" ia berseru menanya.

Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban, sebaliknya, di sana terdengar bentrokan senjata. Itulah disebabkan orang yang baru datang itu, yang dipanggil Lauw Tjeetjoe, sudah dirintangi kedua orangnya Bang Thong.

Orang itu Lauw Wan Tat hoetjeetjoe atau ketua muda dari benteng Kimtoo Tjee dari gunungnya Kimtoo Tjeetjoe Tjio San Bin. Dia bersenjatakan sebatang golok besar dan tebal, karena dialah seorang yang bertenaga besar. Keduajago dari Bang keepo liehay tetapi berat mereka melayani Lauw Tjeetjoe. Di dalam tempo yang pendek, keduanya lantas terdesak. Setiap kali senjata mereka bertiga bentrok, setiap kali juga tangan mereka berdua kesemutan dan gemetaran, sakit rasanya, sebab telapakan tangan mereka berdarah, bahkan yang satu, tombaknya kena dibacok kutung!

Habis itu, Lauw Tjeetjoe maju kepada Yang Tjong Hay, dan ia lantas membacok.

Tjong Hay lagi mencoba pula merampas pedang Kiam Hong ketika ia melihat sampainya serangan, terpaksa ia melepaskan si nona, guna membela dirinya. Ia menangkis senjata musuh. Akibatnya itu ialah suara berkontrang keras serta muncratnya lelatu api. Keduanya pun menjadi terkejut. Ternyata, goloknya tjeetjoe itu kena terpapas sedikit, dan pedangnya Tjong Hay mental dan tangannya terasakan sakit, syukur pedang itu tidak terlepas dari cekalan.

"Hebat tenaganya orang ini," pikir Tjong Hay. Ia kaget tetapi tidak takut.

Lauw Wan Tat juga kaget, lalu tanpa menghiraukan sempoaknya goloknya, ia mengulangi bacokannya yang kedua kali, di-susul sama yang ketiga.

Kiam Hong sendiri, dengan datangnya bala bantuan, menjadi mendapat ketika untuk memperbaiki diri. Ia sebenarnya mau maju terus, guna membantui Wan Tat, tatkala kedua cinteng Bang keepo datang padanya, menyerang dari kiri dan kanan. Ia dibokong dan digencet pula. Musuh yang satu bersenjatakan golok, dia menyerang dari bawah, ialah membacok kaki sambil dia menjatuhkan diri di tanah, untuk maju sambil bergulingan. Yang satunya pula menyerang dengan tombak kutungnya, ujung tombaknya mengarah jalan darah soankie hiat. Dia ini tidak memandang sebelah mata kepada si nona, yang dia anggap sudah letih sekali.

"Kau pun lihat totokanku!" kata Kiam Hong, yang melihat datangnya dua serangan itu. Dengan sebat ia telah melirik ke kedua arah, lalu ia maju kepada si musuh yang menggunai tombak itu. belum lagi ia kena ditusuk, totokannya sudah mendahului mengenai musuh hingga dia itu lantas saja berdiri diam, kedua tangannya dikasih turun, mulutnya terbuka menganga.

Yang menyerang di bawah itu membacok tempat kosong. Sambil maju tadi, Kiam Hong berkelit dari bacokan kepada kakinya. Dia terkejut karena gagalnya serangannya itu. dia menjadi kaget pula melihat kawannya kena tertotok hingga menjadi tidak berdaya. Dia pun heran sebab tadi dia dan kawannya memandang enteng kepada Tjong Hay, yang kena didesak nona ini. Sekarang dia menginsafi nona itu benar liehay, hanyalah dia terlambat. Ketika dia mau mengguling tubuh, buat mundur, Kiam Hong mendahului menendangnya hingga dia terpental dengan tulang iganya patah!

Pertempuran di antara Yang Tjong Hay dan ,Lauw Wan Tat berjalan terus. Tjong Hay menang liehay, Wan Tat menang tenaga dan goloknya pun lihay. Maka bekas tjongkoan itu lantas berpikir: "Sulit untuk dalam tempo pendek merobohkan tjeetjoe itu." Pula, di samping ia terkejut menyaksikan kedua cinteng Bang keepo telah kena dirobohkan, di sebelah depan nampak mendatanginya lagi dua penunggang kuda. Atas datangnya kedua orang itu, Lauw Wan Tat sudah lantas mengasi dengar suaranya yang nyaring, dalam bahasa rahasia kaumnya: "Kakinya kambing dapat menendang! Pundak rata maju mengutungi kaki itu!" Itulah berarti: Musuh tangguh, mari kita kepung dia!

Yang Tjong Hay licik sekali. Melayani satu Lauw Wan Tat masih satu soal, di sana masih ada Kiam Hong. Lalu sekarang datang dua orang lagi, yang belum ketahuan liehay atau tidak. Maka ia pikir, mengangkat kaki ialah paling selamat. Karenanya ia mendesak Wan Tat. Setelah dua tikaman saling susul, ia memutar tubuhnya, untuk berlompat, guna membuka langkah seribu.

"Bangsat, kau hendak lari?" Wan Tat mencaci dengan gusar seraya dia berlompat, guna membacok.

"Kau hendak merintangi aku?" kata Tjong Hay sambil tertawa menyeringai, tubuhnya mencelat ke samping, membikin serangan lewat, setelah mana, dia berbalik, untuk membalas menyerang dengan tikamannya.

Lauw Wan Tat tidak menduga lawan menggunai tipu dan gerakannya pun demikian gesit. Ia sendiri, benar ia kuat, tetapi kurang sebat, senjatanya berat dari senjata berat sukar melawan pedang yang kecil dan enteng, la masih mencoba membela dirinya dengan melintangi goloknya.

"Traang!"

Pedang Tjong Hay itu kena ditangkis Kiam Hong, yang maju untuk melindungi kawannya, akan tetapi pedang telah meluncur demikian rupa. lengan Wan Tat kena juga tergores.

Sambil tertawa dingin, Tjong Hay kata: "Masihkah kau berani mengatakan aku si kambing?" Ia rupanya mengerti bahasa rahasianya tjeetjoe muda itu.

Belum berhenti perkataan bekas tjongkoan ini goloknya Wan Tat sudah menyambar ke arahnya. Wan Tat mendongkol ia diejek, maka tanpa membilang suatu apa. goloknya yang melintang itu dipakai menyampok. Tjong Hay kaget tetapi sesudah pedangnya kena tersampok, demikian keras, hingga lepas dari tangannya dan mental.

Kiam Hong melihat itu, ia menggunai ketikanya untuk menyerang saling susul, hingga Tjong Hay terdesak, tak sempat dia berlompat guna menyambar pulang pedangnya itu. Bahkan saking terpaksa, dia lari terus kepada seekor kuda, untuk lompat naik ke pinggangnya, guna terus menyingkirkan diri.

Kiam Hong tidak mengejar, ia menoleh kepada Wan Tat yang terluka itu. Ia berlega hati kapan ia mendapat kenyataan hoetjeetjoe itu melainkan terluka kulitnya. Tapi dia beradat keras, dia mendongkol sekali, maka itu dia mencaci musuhnya yang sudah kabur jauh itu.

"Lauw Tjeetjoe," kata si nona tertawa, "Yang Tjong Hay bekas tjongkoan besar dari istana kaisar, kau telah bikin dia meninggalkan senjatanya dan kabur, itu saja sudah cukup untukmu membanggakannya!"

Wan Tat dapat juga dihiburkan.

Ketika itu kedua penunggang kuda telah tiba kepada mereka. Mereka berdua ialah liauwlo dari gunung, yang di kirim untuk menyusul. Sebenarnya mereka berdua di kirim berbareng bersama Wan Tat tetapi mereka berjalan belakangan. Ilmu silat mereka tidak berarti, mereka hanyalah cerdik, maka itu. setiap kali ia turun gunung, hoetjeetjoe mengajak mereka. Syukur Tjong Hay tidak ketahui halnya kedua liauwlo ini, kalau tidak, kalau dia tidak menyingkir, entah bagaimana kesudahannya pertempuran selanjutnya.

Dari dua orang Bang keepo, yang tulang rusuknya patah masih dapat melarikan diri, tinggal yang kena tertotok Kiam Hong, dia tetap berdiri menjublak, tangannya turun, mulutnya terbuka. Kiam Hong lantas membebaskan dia, untuk ditanya keterangannya. Dia suka menerangkan bahwa Yang Tjong Hay datang ke Bang keepo bersama dua opsir Gielimkoen, tibanya baru beberapa hari yang lalu, bahwa sekarang Tjouw Thian Yauw lagi berobat di rumahnya Bang Thong itu.

Karena dia suka bicara, dia lantas dimerdekakan.

"Kalau begitu Yang Tjong Hay dan Pektok Sinkoen ada dari satu golongan," berkata Lauw Wan Tat. "rupanya mereka bersama hendak mendapatkan bingkisan kita."

Kiam Hong mengangguk.

"Sekarang tak usah kita kuatirkan Tjong Hay," kata nona ini. "Pektok Sinkoen sudah mati dan Tjouw Thian Yauw tengah terluka. Seorang diri tentulah dia tidak bisa berbuat banyak."

Lebih jauh Kiam Hong tuturkan peristiwa matinya Pektok Sinkoen itu. hingga matinyaTjit Im Kauwtjoe juga.

Lauw Wan Tat berlega hati mendengar musuh telah terbinasa dan terluka dan obat pemunah racun pun sudah didapatkan. Karena ia berlega hati itu. kewaspadaannya menjadi berkurang.

Sampai di situ. mereka melakukan perjalanan pulang. Kiam Hong menggunai kuda rampasan, maka itu, mereka bersama-sama menunggang kuda. Dengan lekas mereka melalui perjalanan seratus lie. Ketika hari sudah jadi magrib, mereka tiba di sebuah dusun, Hoelietjip namanya. Dusun itu masih terpisah kira-kira dua ratus lie dari gunung mereka.

"Kalau kita berjalan terus, besok tengah hari kita bisa kembali ke gunung," kata Lauw Wan Tat.

Kiam Hong menekuk-nekuk jari tangannya, untuk menghitung hari.

Nusa ialah hari ke sembilan dari terlukanya Giok Houw bertiga. Luka disebabkan tangan Kioeyang Toktjiang, seperti diterangkan Tjouw Thian Yauw. cuma dapat bertahan sepuluh hari, selewatnya. celakalah si kurban. Karena masih ada tempo satu hari, hati si nona lega. suka ia singgah didusun itu. Ia merasa lega juga hatinya, hanya kapan ia mengingat kematiannya Tjit Im Kauwtjoe, ia berduka. Tapi ia menanyakan dulu tentang keadaannya Giok Houw bertiga.

"Keadaannya Tjioe Tjeetjoe yang paling berat," Wan Tat menerangkan. "Leng Liehiap dan Thio Totjoe mendingan, mereka dapat minum susu dan bisa juga memasang omong."

Tiba di dalam dusun, sudah waktunya api dinyalakan, dan di jalanan, sedikit orang yang berlalu lintas.

"Apakah perlu kita memeriksa dulu, kalau-kalau di sini ada orang-orang yang mencurigakan?" tanya kedua liauwlo yang cerdik itu.

Lauw Wan Tat tertawa ketika ia menjawab: "Di tempat ini cuma ada sebuah rumah penginapan, yang dibuka oleh orang sendiri, baiklah kita langsung pergi ke sana. Segala apa dapat kita minta keterangan dari pengurusnya. Yang Tjong Hay sudah kabur, apa lagi yang kita buat kuatir? Kamu sendiri tentu sudah letih, di sana kamu dapat beristirahat."

Keterangannya hoetjeetjoe ini benar. Rumah penginapan yang disebutkan itu mempunyai perhubungan sama Tjioe San Bin. Pemiliknya, seorang she Tjioe, sudah mengusahakan itu sepuluh tahun lebih, benar dia bukan asal liauwlo tapi dia kenal baik sejumlah tauvvbak gunung. Juga di dalam pondokan itu ada dua liauwlo, yang tinggal menetap sebagai pegawai, dengan tugas menjadi mata-mata. Karena ini, atas perkataan tjeetjoe itu, kedua orangnya tidak membilang apa-apa lagi.

Belum lagi mereka tiba di pintu depan. Tjioe Tjiangkoei. si pengurus pondokan, sudah keluar dan menyambut. Ia lantas bicara rahasia dengan Wan Tat, yang menanya kalau-kalau ia mendapatkan orang-orang yang dicurigai di dusun itu. Ia menerangkan bahwa ia tidak menyangsikan siapajuga. Maka Wan Tat lantas mengajak kawan-kawannya masuk ke dalam.

Letih Wan Tat semua. Tjio Tjiangkoei lantas menjamu mereka, ia duduk menemani. Sembari bersantap, mereka berbicara. Ia menanyakan hal keadaan di gunung. Biar bagaimana, dia bukannya anggauta gunung, maka Wan Tat tidak mau memberitahukan hal sakitnya San Bin karena terlukakan musuh.

Kemudian Wan Tat menanyakan kedua mata-mata. Ia diberitahu bahwa-mereka itu kebetulan keluar.

Tjioe Tjiangkoei menyuguhkan arak Tjenglay tjioe rendamannya sendiri. Arak itu berbau wangi menyedak hidung. Wan Tat girang sekali. Ia memangnya gemar minum air kata-kata.

"Ha, kau masih ingat aku suka arak ini!' katanya. Ia jujur, dengan Tjioe Tjiangkoei ia kenal baik. tanpa dianjurkan lagi, ia lantas mengeringkan tiga cawan.

"Arak ini harum tetapi tidak keras, inilah arak tepat sekali untuk orang habis melakukan perjalanan jauh," berkata Tjioe Tjiangkoei. "Nona Liong, mari minum! Benar dengan nona aku baru kenal satu kali ini tetapi dengan Lauw Tjeetjoe aku telah mengenal lama, maka itu, ijinkanlah aku memberi selamat kepada kau barang satu cawan!"

"Terima kasih!" menyahut Kiam Hong. "Ijinkan aku yang memberi selamat lebih dulu kepada tuan rumah!" Ia lantas menolak balik araknya tjiangkoei itu.

"Nona sungkan sekali!" kata si orang she Tjioe, tertawa. "Baiklah, aku akan minum lebih dulu!" Ia lantas menenggak arak itu.

Melihat orang minum araknya, Kiam Hong turut minum. Ia tidak menaruh curiga lagi.

Kemudian Tjioe Tjiangkoei pun menganjurkan kedua tau wbak kecil itu turut minum bersama.

"Ah, perutku mulas!" kata seorang tauwbak, berseru. "Nanti aku ke belakang dulu!" Dan ia berbangkit, untuk lari ke belakang, rupanya dia mau pergi ke kakus.

"Di tengah jalan tadi dia minum air dingin terlalu banyak!" kata Wan Tat tertawa.

Tauwbak yang kedua tiba-tiba melengak.

"Eh, perutku pun mulas!" kata dia, dan terus dia berbangkit, untuk lari ke belakang.

"Eh, eh!" kata Wan Tat heran, alisnya mengkerut. "Kau toh tidak minum air dingin tadi?" Ia baru berkata, tiba-tiba ia pun merasakan perutnya sakit, lantas kepalanya pusing dan matanya seperti kabur. Ia merasa seperti ia telah minum terlalu banyak arak. "Aneh, perutku pun sakit!" kemudian ia berseru.

Tepat di saat itu, tauwbak yang pertama tadi lari ke belakang, muncul dengan tersengal-sengal, dan berteriak tajam: "Celaka! Tjeetjoe, lekas lari! Di sini ada orang-orang yang bersembunyi!"

"Ngaco belo!" membentak Tjioe Tjiangkoei. "Apakah kau sudah sinting?"

Mendadak saja Kiam Hong berlompat bangun, menyambar tangannya Tjioe Tjiangkoei, untuk dicekuk, akan tetapi tjiangkoei itu berkelit, ketika si nona maju pula, untuk mengulangi sambarannya, dengan tubuhnya limbung, dia lolos pula. Nona Liong merasakan kakinya enteng.

"Ha,orang she Tjioe!" Lauw Wan

Tat membentak. Sedetik itu. dia sadar. "Kau main gila ya!" Dan antara meja, ia lantas meninju tjiangkoei itu. Ialah seorang Gwakee. ahli ilmu luar, gwakang, maka tenaganya besar luar biasa, di hari-hari biasa, mesti bercelaka Tjioe Tjiangkoei. sebab dia diserang dengan satu pukulan dari ilmu silat "Pekpou Sinkoen," atau "Tinju Seratus Tindak." Tapi ia telah menjadi kurbannya bonghan yoh, obat pulas, tenaganya telah berkurang, tubuhnya pun terhuyung, maka tinjunya cuma sampai di tengah jalan, terus mengenakan meja, hingga meja itu ringsak. Si tjiangkoei sendiri telah lompat berkelit, tetapi tidak urung, dia terjungkal juga.

Tepat di saat itu, Yang Tjong Hay muncul dari dalam. Paling dulu terdengar suara tertawanya bergelak-gelak, disusul sama kata-katanya yang tajam: "Bagus ya! Ke sorga ada jalannya, kamu tidak pergi ke sana! Noraka tidak ada pintunya, kamu justeru menyerbunya! Haha! Aku mau lihat, apakah kali ini pun kamu dapat lolos dari tanganku?"

Lauw Wan Tat gusar bukan kepalang.

"Oh, toatjongkoan yang gagah perkasa!" ia mengejek. "Tidak malukah kau melakukan ini perbuatan rendah?" Dalam murkanya itu. ia lompat menyerang. Tapi kepalanya pusing, matanya tidak dapat melihat nyata, pukulannya tidak mengenakan sasarannya. Sebaliknya, ketika Tjong Hay habis berkelit terus menggaet kakinya, ia roboh seketika!

Tauwbak kecil tadi tidak minum arak bonghan yoh, maka ia menghunus goloknya, menyerang ke kakinya Tjong Hay. Tentu sekali ia bukannya lawan dari itu bekas tjongkoan besar, maka dengan satu tendangan kaki yang lain, ia tertendang mental dan roboh terbanting.

"Machluk tolol, bukannya kabur!" Wan Tat masih dapat berseru. "Kau mau mampus?"

Cuma sebegitu ia dapat membuka mulutnya, lantas ia rebah pingsan.

Kiam Hong tidak lantas roboh. Dengan mengandai pada tenaga dalamnya, ia masih bertahan. Tetapi ia juga merasai kepalanya pusing dan matanya kabur. Mendengar perkataannya Wan Tat itu, ia mendusin. Segera ia berpikir: "Tidak salah! Pertama-tama obat mesti dilindungi! Dan kedua, mesti ada orang yang lolos untuk menyampaikan kabar!" Maka ia lantas menghunus pedangnya, menyerang Yang Tjong Hay. Inilah siasat guna menolong si tauwbak, agar dia dapat menyingkir.

Tjioe Tjiangkoei tidak berdiam saja. Ia mengerti juga beberapa jurus ilmu silat. Dengan menyambar bangku panjang, ia lari ke arah pintu, guna merintangi si tauwbak.

"Pengchianat, lihat!" berseru si tauwbak gusar, tangannya melayang, melontarkan sebuah bungkusan.

Tjioe Tjiangkoei menyangka kepada senjata rahasia, ia mengangkat bangkunya, untuk menangkis, maka bentroklah bungkusan itu dengan bangku. Benarlah itu senjata rahasia, hanya senjata rahasia bungkusan terisi abu. Tjiangkoei itu lantas menutup kedua matanya. Justeru itu si tauwbak kabur, disusul temannya yang pun muncul di situ.

Tauwbak itu benar-benar cerdik. Pertama kali masuk ke hotel dan tidak melihat dua kawannya, yang menjadi mata-mata, ia sudah bercuriga. Untuk membuktikan kecurigaannya, ia berpura-pura sakit perut dan lari ke dalam. Di pekarangan belakang, ia melihat kuda tunggangan Yang Tjong Hay, yang ia kenali. Maka ia lantas lari balik. Tapi ia masih terlambat, Tjioe Tjiangkoei sudah berhasil dengan obat mabuknya. Ia telah mengambil abu. maka abu itu dapat dipakai menyerang si tjiangkoei yang menjadi pengchianat itu.

Kiam Hong mengempos semangat, ia mengerahkan tenaganya, untuk mendesak. Mau atau tidak. Tjong Hay mesti melayani dengan sungguh-sungguh. Inilah ketika baik untuk kaburnya kedua tauwbak kecil itu.

Di saat Nona Liong merasa kedua tauwbak itu sudah menyingkir jauh, ia merasa hatinya lega. tetapi ini justeru membuat bonghan yoh itu di dalam perutnya bekerja, hingga ia menjadi semakin lemah. Tjong Hay berbalik mendesak, untuk merampas pedangnya, setelah mana, ia kena ditotok roboh. Selagi waswas, ia mendengar tertawa seram dari bekas tjongkoan itu, lantas ia tidak sadarkan diri.

Tidaklah aneh jikalau Tjioe Tjiangkoei itu berchianat. Ia memang bersanak dengan Bang Thong, pemilik dari Bang keepo. Isterinya Bang Thong ialah adiknya satu she.

Bang Thong itu sangat pintar dan licik. Setelah berhasil mengumpul harta besar di wilayah Biauwkiang. ia pulang ke kampung halamannya itu, untuk mencuci tangan, untuk hidup sebagai hartawan yang budiman, di antaranya ia mengeluarkan uang untuk membikin jembatan dan memperbaiki jalan umum, hingga ia menjadi mendapatkan nama baik. Tjioe San Bin tidak ketahui asal-usul orang, ia bergaul dengannya.

Bang keepo terletak di perbatasan antara negara Watzu dan Tiongkok, itulah daerah tak bertuan, dan yang berpengaruh di situ ialah Tjioe San Bin. Bang Thongjeri pada raja gunung penyinta negara ini, ia berlaku merendah dan menurut saja. Ia pun pandai mengambil hati, sering ia melakukan sesuatu untuk San Bin. Sebaliknya, diam-diam ia berkongkol sama pembesar kerajaan. Beberapa kali, di waktu menempur tentera negeri, San Bin kena dikalahkan. Itulah hasil kecurangannya sahabat Bang Thong ini. Tentang itu, San Bin tetap tidak mendapat tahu apa-apa.

Demikian juga pemilik pondokan she Tjioe itu. dia berhubungan dengan San Bin, dia menjadi mata-mata. di lain pihak, dia berhubungan erat dengan Bang keepo dan selalu memberikan kabar rahasia kepada Bang Thong. Benar San Bin ada mengutus dua liauwlo buat menjadi mata-mata di pondokan, tetapi dengan kecerdikannya Tjioe Tjiangkoei, kedua mata-mata itu dapat dilagukan dan dijual, mereka tidak mendapat tahu bahwa diri mereka diakali. Pantas Wan Tat mendamprat Tjioe Tjiangkoei sebagai pengchianat, sebab dia bekerja lebih banyak untuk Bang Thong, dari siapa dia memperoleh lebih banyak kebaikan.

Yang Tjong Hay seorang sangat cerdik. Ketika ia kabur meninggalkan Kiam Hong dan Wan Tat, ia tidak puas. Ia tetap ingin mencegah obat pemunah dapat dibawa ke gunungnya Tjioe San Bin. Maka ia tidak lantas terus mencari Tjit Im Kauwtjoe hanya ia pergi ke Hoelietjip. Ia merasa pasti, Wan Tat bakal singgah di pondokannya Tjioe Tjiangkoei, dari itu ia pergi kepondokan itu, untuk bekerja sama dengan si tjiangkoei. Demikian mereka menggunai obat mabuk bonghan yoh itu.

Bukan main girangnya Tjong Hay dapat membekuk Wan Tat dan Kiam Hong. Dengan tertawa besar, ia kata pada Tjioe Tjiangkoei: "Inilah harta besar yang di kirim oleh Thian! Dengan aku mendapatkan obat pemunah, tak usah dikuatirkan lagi yang Tjioe San Bin tidak akan menyerahkan bingkisan itu! Jikalau aku sudah pulang ke Pakkhia di mana aku menjabat pula pangkatku sebagai Toatjongkoan. kau boleh percaya, kau akan memperoleh keuntungan bukan kecil!"

Tjiangkoei itu girang sekali mendapatkan janjinya Tjong Hay itu. Ia justeru lagi menguatirkan tidak lagi mempunyai tulang punggung berhubung dengan matinya Bang Thong. Ia menghaturkan terima kasih berulang-ulang.

Yang Tjong Hay lantas bekerja. Sendirinya ia menggeledah Lauw Wan Tat. Untuk memeriksa tubuh Kiam Hong, ia menugaskan isterinya Tjioe Tjiangkoei. Sebagai toatjongkoan, ia mau memegang derajat, ia malu menjamah-jamah tubuh seorang wanita apapula seorang gadis remaja. Karena ini, Kiam Hong pun jadi lolos dari penghinaan.

Kiam Hong masih tak ingat akan dirinya ketika ia merasa dingin pada mukanya. Lantas ia mendusin. Ketika ia membuka matanya, ia melihat seorang nyonya bertubuh jangkung dan kurus, ialah orang yang membasahkan mukanya dengan air, untuk membikin ia sadar.

"He, rase kecil yang licin, di mana kau simpan obat pemunah racun?" tanya nyonya itu bengis. Dialah isterinya si tjiangkoei.

Kiam Hong pun segera melihat Yang Tjong Hay duduk di depannya.

Di sana tertampak Lauw Wan Tat terbelenggu seperti ia sendiri. Tjioe Tjiangkoei berdiri di samping, melakukan penjagaan.

Mereka itu sudah melakukan penggeledahan tanpa hasil, maka itu. setelah kedua musuh itu diringkus, mereka dibikin mendusin, untuk didengar keterangannya. Tjong Hay sendiri yang mau memeriksa si nona.

"Apa kau bilang?" Nona Liong berpura-pura. "Obat pemunah apa?"

"Jangan berlagak gila!" kata Tjong Hay, tertawa dingin. Suaranya tidak sedap untuk telinga. "Sampai ini waktu, percuma kau main gila!"

"Sebenarnya kau menghendaki obat pemunah apa?" Kiam Hong menegaskan.

"Obat pemunah racun Kioeyang Toktjiang yang Tjit Im Kauwtjoe serahkan nada kau!" Tjong Hay menjelaskan.

"Heran!" kata si nona. "Tjit Im Kauwtjoe bermusuh dengan gunung kami, puterinya pernah membikin celaka puteranya Tjioe Tjeetjoe! Apakah kau tidak tahu urusan itu? Bagaimana dia dapat memberikan obat pada kami?"

Alisnya Tjong Hay berkerut, hatinya berpikir: "Benarkah soetjie tidak memberikan obat pemunah itu kepada dia ini?"

Keterangannya Kiam Hong itu beralasan, di dalam keadaan biasa, Tjong Hay tentulah percaya itu. Tapi ia telah mendengar dari mulutnya Tjouw Thian Yauw sendiri bahwa selama di dalam kuil, Kiam Hong sudah membantui Tjit Im Kauwtjoe menyerang kepadanya --- pada Thian Yauw. Pula ia menyaksikan sendiri Kiam Hong berlari-lari pulang ke gunungnya secara tergesa-gesa. Ia mengeprakmeja.

"Aku tahu kau memang paling pandai bicara!" bentaknya. "Dapat kau mendustai soetjie-ku tetapi tidak aku! Obat pemunah racun itu mesti ada di tubuhmu!"

Kiam Hong tertawa mengejek.

"Kau mengukuhi obat itu ada di tubuhku, nah, kau suruhlah nyonya ini geledah aku!" ia menantang. Ia tahu yang ia telah digeledah tetapi sengaja ia mengejek Tjong Hay, untuk membikin panas hati orang, guna mempuaskan hatinya sendiri.

"Aku telah menggeledah terteliti sekali," berkata si nyonya, "aku telah periksa kaos kaki dan rambutnya juga, obat itu tidak ada padanya. Mungkin benar dia tidak menyimpannya..."

Kedua matanya Tjong Hay terbuka lebar, lain mendelik.

"Aku tidak percaya!" dia berseru. "Buka semua pakaiannya! Nanti aku memeriksanya sendiri!"

Nyonya itu kaget.

"Itu... itu..." katanya tertahan.

Tjioe Tjiangkoei cerdik, dapat ia membade hatinya Tjong Hay, yang rupanya mau menggertak saja. Maka ia lantas menimbrung, katanya: "Isteriku, kau sudah tua, apakah kau masih merasa likat? Toh bukannya pakaianmu yang diloloskan?" Ia terus berpaling kepada Kiam Hong, untuk meneruskan berkata: "Nona, jikalau kau tidak mau mendapat malu, lekas kau keluarkan obat itu atau kau menyebutkan tempat di mana kau menyembunyikannya."

"Jangan kamu paksa aku." katanya kemudian. "Nanti aku bicara..."

Tjong Hay tertawa berkakak.

"Akur!" katanya. "Seharusnya kau bicara dari tadi, urusan tentu sudah beres."

"Apakah kau kira aku demikian tolol hingga obat aku simpan di tubuhku?" kata Kiam Hong, mengejek. "Obat itu aku telah berikan kepada si tauwbak kecil yang barusan melarikan diri! Siapa suruh tadi kamu tidak merintangi dia?"

Wan Tat heran mendengar perkataan si nona. Ia kata dalam hati kecilnya: "Kapannya dia menyerahkan obat kepada tauwbak kecil itu? Kita berjalan bersama-sama, kenapa aku tidak mendapat lihat?"

Sebagai orang jujur, tjeetjoe ini tidak dapat membade yang Nona Liong lagi mendusta.

"Lekas kamu kejar tauwbak itu!" kata pula Kiam Hong. "Mungkin kamu dapat menyandak!"

Tjioe Tjiangkoei heran, ia mengawasi nona itu.

"Kau berikan obat itu kepada tauwbak yang mana?" ia tanya. "Kepada yang mukanya persegi atau yang mukanya panjang itu?"

"Aku memberikan pada mereka berdua," sahut Kiam Hong. "Aku menitahkan mereka bergantian membawanya, maka itu sekarang aku tidak tahu ada pada siapa di antara mereka itu berdua!"

Tjioe Tjiangkoei cerdik juga, ia berpikir: "Budak ini masih sangat muda tetapi dia cerdik sekali! Terang kedua tauwbak itu tidak dapat berlari berama-sama. Kalau aku dan Tjong Hay mengejar dengan berpisahan, itulah berbahaya. Tjong Hay liehay, dia tentu dapat mengalahkan tauwbak itu, tetapi aku, aku belum tentu..." Maka itu ia mau menanya pikirannya bekas tjongkoan itu, atau mendadak ia mendengar Tjong Hay membentak: "Siapa yang kau hendak akali, setan cilik? Jikalau kau tetap tidak suka memberitahukan, hm, kau lihat, aku berani membuka semua pakaianmu atau tidak!"

Kata-kata itu dibarengi tepukan meja dan kedua mata melotot.

Kiam Hong berbicara untuk menjalankan siasatnya menyerang hati. Ia tahu Tjong Hay sangat cerdik, maka ia sengaja memberikan pengakuannya itu.

Memang kepercayaannya Tjong Hay kena dibikin goncang, hingga dia menjadi bersangsi. Dia pikir: "Bocah ini sangat cerdik, kenapa aku tidak dapat memikir kepada siasatnya itu?" Dia mengangkat kepalanya, ketika dia memandang muka Wan Tat, dia merasa heran. Nampaknya Wan Tat itu tercengang.

Kiam Hong melihat orang menyangsikan ia, ia kata pula: "Aku omong terus terang, kau tidak percaya! Tidak dapat aku mengarang kedustaan lain lagi!"

Tjong Hay tertawa dingin.

"Jikalau aku tidak membongkarnya, kau tentu tidak puas!" dia bilang. "Kedustaan kau ini kau karang sempurna sekali! Hanya sayang pada itu ada kelemahannya! Jikalau kau ketahui lebih dulu bahwa cuma aku sendiri yang mau merampas obat itu, dapat kau menyerahkan itu kepada tauwbak yang kau sebutkan itu, aku pun tidak bakal mencurigakannya, dapat mereka lolos. Akan tetapi kau tidak tahu berapa jumlah rombonganku, taruh kata kau dapat menduga kami bakal merampasnya, hingga kau tidak berani menyimpan itu dalam tubuhmu, seharusnya kau menyerahkannya kepada ini Lauw Tjeetjoe! Bukankah dalam ilmu silat, tjeetjoe ini jauh lebih liehay daripada kedua tauwbak itu? Kalau tjeetjoe ini bertemu orang-orang yang mau merampok dia, dia mempunyai lebih banyak ketika untuk meloloskan diri! Maka, kenapa kau tidak serahkan obat kepadanya hanya kepada dua tauwbak itu? Nah, apa lagi kau hendak bilang? Enso Tjioe, kau bukai semua pakaiannya, aku mau lihat, dia hendak membilang apa lagi!"

Kiam Hong terperanjat tetapi ia tertawa dingin.

"Kami berjumlah empat tetapi kau berkukuh menuduh obat ada padaku." ia kata, "apa buktinya sekarang? Bukankah kau telah menggeledah dengan sia-sia? Dan sekarang kau hendak menggunai cara hina dina. untuk membikin aku malu! Hm! Hm! Apakah di belakang hari kau masih mempunyai muka untuk menaruh kaki dalam dunia Kangouw?"

Mukanya Tjong Hay menjadi merah padam. Hinaan itu tepat mengenai hatinya.

"Dia sudah digeledah, obatnya tidak kedapatan, memang tidak perlunya untuk membukai pakaiannya," pikirnya. "Tapi aku penasaran sekali! Bagaimana harus melampiaskannya? Aku mesti mendapatkan akal!" Ia tidak berpikir lagi, terus ia mengibaskan tangannya dan berkata: "Siapkan kuda! Enso Tjioe. kau bantui aku membawa dia ke Bang keepo! Aku tidak dapat obat, gunungnya Tjioe San Binjuga tidak! Aku mau lihat, dia ini dapat bertahan berapa hari!..."

Puas rasanya Tjong Hay habis berkata demikian. Kembali di a tertawa dingin.

"Aku kasih nasihat padamu baiklah kau bicara!" ia kata pada si nona. "Jikalau kau suka memberitahukan, aku nanti temani kau pergi ke gunung kamu membawa obat itu. Tentu sekali, aku tidak dapat mengantarkan kau dengan cuma-cuma. Aku cuma menghendaki separuh saja dari jumlah semua bingkisan. Mustahilkah tiga jiwanya Tjioe San Bin, Thio Giok Houw dan Leng In Hong tidak cukup berharga untuk sedikit bingkisan itu?"

Kiam Hong terkejut pula. Hebat kata-katanya bekas tjongkoan ini. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar suara nyaring dari Lauw Wan Tat: "Di dalam gudangnya kaisar bertumpuk segala emas dan kemala! Sebaliknya kami, kami bersengsara, makan tidak kenyang, berpakaian tidak hangat bagi tubuh, tetapi kamu memutar otak, kamu hendak menolongi kaisar mendapatkan pulang barangnya itu! Kau hendak mendapatkan bingkisan cuma untuk kepentingan dirimu sendiri, supaya kau mendapat pangkat dan hadiah! Apakah benar-benar kau tidak ingat jiwa kami semua?"

Yang Tjong Hay tertawa.

"Jiwa kamu sekawanan berandal?" dia berkata, mengejek. "Tentang jiwa kamu, benar-benar aku tidak perlu mencampur tahu!"

"Kau sendiri tidak tetapi orang-orang gagah di seluruh negara akan memperhatikannya!" Wan Tat berteriak pula. "Kau kira, dapat secara begini sajakau merampas harta? Hm! Tidak, tidak sedemikian mudah!"

"Memang juga. harta yang didapati orang banyak demikian susah payah, mana dapat itu di haturkan kepada mereka secara begini saja?" Kiam Hong pun memikir. "Jikalau Tjioe Tjeetjoe menyayangi jiwanya, siang-siang tentulah ia sudah berdamai dengan Pektok Sinkoen. Jikalau untuk diriku sendiri aku membiarkan Yang Tjong Hay mendapatkan obat, untuk dia memaksa memeras bingkisan itu, pastilah engko Giok Houw tidak bakal memberi maaf kepadaku!"

Maka ia berdiam terus.

Melihat orang berkepala batu, Tjong Hay tertawa. Tidak tempo lagi, tubuh Wan Tat dan si nona diangkat ke punggung kuda dan diikat. Ia sendiri membawa Wan Tat dan Nyonya Tjioe membawa Kiam Hong. Kuda mereka itu dikasih kabur ke arah Bang keepo. Tjioe Tjiangkoei tidak diajak, dia mesti menjaga hotelnya.

Tjong Hay sangat cerdik. Ia kuatir Kiam Hong nanti dapat membebaskan diri dari totokan, maka selang enam jam, ia menotok pula. Totokan itu direncanakan akan diulangi setiap enam jam kemudian.

Perjalanan dari Hoelietjip ke Bang keepo membutuhkan waktu satu setengah hari, maka dengan melakukan perjalanan terus menerus, besoknya tengah hari tibalah sudah mereka di rumahnya Bang Thong.

Kiam Hong heran kenapa orang melakukan perjalanan demikian tergesa-gesa. Sudah terang ia tidak mau menyerahkan obatnya. Karena itu ia mau menduga mungkin bekas tjongkoan itu hendak menggunai akal muslihat lain.

Ketika itu keluarga Bang sudah selesai mengurus jenazah. Di muka pintu digantung tengloleng biru. Ketika Tjong Hay tiba. lantas ada yang mewartakan ke dalam gedung, maka Iantaslah ada orang yang menyambut sambil lebih dulu terdengar tertawanya yang nyaring, lalu kata-katanya yang keras: "Yang Tjongkoan, kau sudah pulang? Bagaimana kesudahannya

pembicaraan di antara Pektok Sinkoen dan Tjit Im Kauwtjoe?"

Kiam Hong sudah putus harapan tetapi ketika ia mendengar suara orang itu, ia terkejut. Ia mengenali suara orang dengan baik sekali. Itulah suaranya Le Kong Thian si pengurus rumah, atau koankee, dari Kiauw Pak Beng.

"Telah terjadi perubahan tidak disangka-sangka," Tjong Hay menyahut. "Mari kita bicara di dalam."

Kong Thian melirik Kiam Hong, lantas ia tertawa pula.

"Kau tidak dapat mengundang Tjit Im Kauwtjoe, sebaliknya kau membekuk ini bocah wanita!" katanya. "Haha! Apakah kau hendak mengambil dia sebagai gantinya Sioe Lan? Tidak dapat!"

Di dalam urusan ini. Yang Tjong Hay adalah orang yang memegang peranan. Dialah yang menyuruh Pektok Sinkoen akur pula dengan Tjit Im Kauwtjoe. Maksudnya yang utama yaitu untuk mendapatkan Pektok Tjinkeng untuk nanti diserahkan kepada Kiauw Pak Peng. Justeru untuk mendapatkan kitab tersebut, Kiauw Pak Beng sudah mengutus pengurus rumah tangganya pergi mengajukan lamaran kepada Tjit Im Kauwtjoe, untuk mempersatukan jodoh putera dan puteri mereka. Kiauw Pak Beng tidak terlalu menghiraukan janjinya Pektok Sinkoen mengenai sebagian dari bingkisan, yang katanya diperuntukkan pesalin puterinya. Karena harta datang sendiri, ia tentu menerima saja. Kali ini Le Kong Thian muncul untuk mendengar kesudahannya ichtiarnya Yang Tjong Hay itu.

Kong Thian bangsa sembrono dan tidak sabaran, setibanya di ruang tetamu, tanpa menanti sampai orang berduduk, ia sudah lantas menanya pula: "Ada terjadi perubahan apakah? Apakah nenek itu tidak suka akur pula dengan Pektok Sinkoen?"

"Bukan cuma dia tidak mau akur pula," menyahut Tjong Hay, "bahkan dia menggunai obat pulas membuatnya Pektok Sinkoen roboh tak berdaya, lalu hampir dia membunuh mati pada Tjouw Thian Yauw!"

Kong Thian heran.

"Tjouw Thian Yauw itu orang macam apa?" dia tanya.

"Dialah yang dulu hari dikenal sebagai Tiatsie Sieseng Tjouw Tay Tjee yang menjadi begal tunggal di dalam kedua propinsi Titlee dan Shoatang," Tjong Hay menerangkan. "Dialah konconya Pektok Sinkoen. Sekarang dia ada di rumah ini lagi berobat. Apakah kau belum tahu?"

"Aku baru saja tiba," menyahut Kong Thian. "Aku melihat orang di sini sedang repot bekerja dan berbicara, aku lantas minta keterangan halnya tuan rumah mati diracuni. Mereka itu belum beres menjelaskan ketika dikabarkan sampainya kau. Apakah Tjit Im Kauwtjoe yang meracuni Bang Potjoe?"

"Memang! Dia meracuni Bang Potjoe sampai binasa, lantas dia membikin Pektok Sinkoen roboh tidak berdaya, dan akhirnya, dia melukakan Tjouw Thian Yauw. Dia pula telah menyerahkan obat pemunah racun kepada musuh! Inilah perubahan yang aku tidak sangka sama sekali!"

Yang Tjong Hay mengatakan demikian karena ia belum tahu Pektok Sinkoen dan Tjit Im Kauwtjoe telah mati bersama, tidak demikian, pasti dia bakal menjadi terlebih kaget dan heran pula.

Kong Thian terkejut hingga ia lompat berjingkrak.

"Dia kasihkan obat itu kepada siapa?" ia tanya keras. Inilah soal yang paling diperhatikannya.

Ketika itu Liong Kiam Hong tidak dapat berkutik, tetapi ia sadar, maka itu, ia bisa mendengar nyata pembicaraannya duajago itu. Ketika itu tepat baru lewat enam jam dari totokan yang terbelakang, maka diam-diam ia mengerahkan tenaga dalamnya, guna membebaskan diri. Kalau tadinya ia meram saja, mendadak ia membuka matanya dan terus mengeluh keras: "Tjit Im Kauwtjoe, kasihan kau mati bersengsara! Yang Tjong Hay, oh, bangsat! Kaulah manusia dengan peparu anjing dan hati srigala! Bagaimana kau berani membinasakan soetjie-mu sendiri?"

Kong Thian kaget.

"Eh, apa katamu?" dia tanya bengis.

Kiam Hong mengawasi manusia raksasa itu.

"Ah, kau... kau..." katanya, suaranya dibikin parau. "Hm, kiranya Yang Tjong Hay mempunyai kau sebagai tulang punggungnya! Pantaslah dia berani membinasakan soetjie-nya!..."

Pandai sekali Nona Liong berpura-pura bagaikan orang baru mendusin.

Air mukanya Kong Thian berubah. Dia kaget dan heran.

"Eh, Lao Yang, bagaimana ini?" dia tanya Tjong Hay.

"Jangan percaya obrolannya!" menjawab Tjong Hay cepat.

"Kaulah yang ngebrahol!" kata Kiam Hong nyaring. "Kau sudah merampas obat pemunahnya Pektok Sinkoen, kau juga sudah mengambil kitab Pektok Tjinkeng kepunyaan Tjit Im Kauwtjoe! Biasanya seorang penjahat cuma membutuhkan uang tetapi tidak menghendaki jiwa orang, kaulah lain! Kau sudah menghendaki banda orang, kau pun merampas jiwanya, untuk menutup mulutnya! Kau jahat sekali, kau tidak akan diterima Thian!"

"Tutup bacotmu!" Tjong Hay berteriak. "Sudah kau mengakali obat pemunah dari Tjit Im Kauwtjoe, sekarang kau hendak mempermainkan juga Le Toaya! Kau mesti dimampusi terlebih dulu!"

Habis berkata, Tjong Hay maju menghampirkan. guna menotok mati pada si nona.

"Tahan!" berseru Le Kong Thian, yang mencegah secara tiba-tiba. Lalu dia mengawasi nona itu dan tanya: "Bagaimana kau ketahui semua itu?"

"Aku melihatnya dengan mataku sendiri!" menjawab si nona. "Aku mendapat perintah untuk mencuri obat pemunah itu. maka terlebih dulu aku menyembunyikan diri di dalam kuil itu. Pertama-tama aku melihat Pektok Sinkoen datang kepada Tjit Im Kauwtjoe meminta obat. Pembicaraan mereka menyatakan mereka seperti suami isteri. Pektok Sinkoen ingin akur kembali dengan isterinya. Tjit Im Kauwtjoe menolak. Mereka menjadi bertengkar, akhirnya mereka berkelahi. Keduanya sama-sama terluka. Sesaat kemudian datanglah Yang Tjong Hay bersama Tjouw Thian Yauw. Di luar dugaan, mereka itu sangat rendah dan busuk, selagi orang terluka. mereka membokong. Baru Tjit Im Kauwtjoe bertanya: 'Oh. kau. soetee!' lantas punggungnya ditikam. Sial Tjouw Thian Yauw, yang bersama Yang Tjong Hay itu mengepung dari depan dan belakang, dia terlukakan senjata rahasia Tjit Im Kauwtjoe. Aku mel ihat Yang T j ong Hay menggeledah tubuhnya Tjit Im Kauwtjoe dari mana ia mendapatkan kitab itu."

"Bagaimana kau bisa ketahui kitab itu ialah Pektok Tjinkeng?" Kong Thian tanya.

"Sebab aku mendengar Tjit Im Kauwtjoe, yang mendamprat, mengatakan: 'Kitab Pektok Tjinkeng ini aku hendak menyerahkannya kepada Kiauw Pak Beng, kau berani mencelakakan aku, apakah kau tidak takut Kiauw Pak Beng nanti mendapat tahu dan akan membunuhmu?' Tjit Im baru berkata begitu atau ia lantas ditikam mati oleh Yang Tjong Hay."

Bukan kepalang mendongkolnya Tjong Hay.

"Menyesal aku tidak lantas membunuh padamu!" katanya dalam hatinya. Ia cuma bisa mengawasi dengan bengis pada nona itu. Di saat demikian, ia bukan cuma tidak dapat membunuh si nona, bahkan memutuskan perkataannya pun tidak. Jikalau ia berbuat begitu, pasti Kong Thian akan mempercayai nona itu, ia dapat dituduh membunuh untuk menutup mulut orang. Terpaksa ia

berlagak pilon. ia cuma tertawa dingin.

Mendengar perkataannya Kiam Hong, suram romannya Kong Thian.

"Yang Toako, apa katamu?" dia menanya.

"Budak ini mengoceh saja!" Tjong Hay jawab. "Dia telah menipu obatnya Tjit Im Kauwtjoe tetapi dia menuduh aku!"

"Habis, mana itu obat pemunah?" Kong Thian tanya.

"Entah budak ini

menyembunyikannya di mana! Aku belum mendapatkannya."

"Benar," berkata Nyonya Tjioe, yang sedari tadi diam saja. Ia mau membantui kawan itu. "Begitu Yang Taydjin membekuk budak ini, aku lantas menggeledah tubuhnya, sampai ke rambut kepalanya, tetapi obat itu tidak kedapatan."

Kiam Hong tertawa dingin.

"Setahu siapa yang ngoceh tidak keruan!" katanya. "Dapatkah Tjit Im Kauwtjoe menyerahkan obat kepadaku?"

Kong Thian melirik pada Tjong Hay.

"Yang Taydjin," ia berkata, "jikalau kau hendak menelan bingkisan, kau ambillah itu obat pemunah! Akan tetapi kitab Pektok Tjinkeng itu, ialah kitab yang dimaui majikanku, maka aku minta sukalah kau keluarkan itu!"

Tjong Hay menjadi gusar sekali.

"Jadinya kau percaya obrolannya budak ini?" dia tanya.

"Benar, aku percaya dia!" sahut manusia raksasa itu.

"Jikalau begitu, aku tidak berdaya lagi," kata Tjong Hay, menyesal, tapi hatinya tetap mendongkol. "Budak ini mengatakan yang tidak-tidak, apakah yang aku mesti serahkan padamu?"

"Yang Taydjin, kau main-main dengan aku!" kata pula Kong Thian keras. "Aku Le Kong Thian, aku kenal kau, tetapi senjataku ini, tokkak tongdjin, tidak kenal padamu! Mana obat itu, kau mau serahkan atau tidak?"

Yang Tjong Hay berniat keras sekali membaiki Kiauw Pak Beng, supaya mereka berdua bisa bekerja sama dan ia memperoleh hasil, untuk itu ia sudah berlaku sabar luar biasa, bahkan ia merendah, tetapi ia tetap bekas seorang toatjongkoan. orang kepercayaannya raja, ia berkepala besar dan jumawa, angkuh adatnya, maka itu tidak dapat ia terima sikapnya Le Kong Thian ini, sedang Le Kong Thian --- biarpun dia gagah --- dia cuma pengurus rumah tangganya Kiauw Pak Beng. Maka berkatalah ia dengan dingin: "Le Koankee, jangan kau main gila terhadap aku! Aku dapat pergi sendiri kepada majikanmu untuk berbicara!"

Le Kong Thian telah panas hatinya, mendengar perkataan Tjong Hay itu, ia bagaikan api ditambahkan minyak.

"Yang Tjong Hay. kau berani tidak melihat sebelah mata padaku?" katanya keras. "Aku bicara baik-baik dengan kau karena aku masih memandang padamu, jikalau kau tidak sungkan-sungkan lagi, baiklah, aku juga tidak sudi berlaku sungkan pula terhadapmu! Jikalau kau tidak menyerahkan kitab Pektok Tjinkeng maka tokkak tongdjin-ku ini yang akan minta kepadamu!"

"Le Kong Thian, kau sangat menghina aku!" Tjong Hay berteriak saking gusarnya. "Kau mempunyai tokkak tongdjin. di tanganku pun ada pedangku!"

Belum berhenti suaranya bekas tjongkoan itu. maka tokkak tongdjin, ialah senjata yang berupa boneka kuningan, dari si manusia raksasa, sudah menyambar kepadanya. Ia tidak berayal untuk menangkis, hingga kedua senjata beradu keras, hingga terdengar suara "traang" sangat nyaring dan lelatu api pun berpeletikan. Justeru itu. Tjong Hay merasakan telapakan tangannya sakit.

"Baiklah!" serunya. "Kau jangan katakan aku tidak memandang persahabatan lagi!"

Kata-kata ini disusuli dengan serangan pembalasan yang cepat sekali.

Le Kong Thian tidak sempat menarik pulang bonekanya guna menangkis, dari itu ia cuma berkelit; sebenarnya ia berkelit dengan sangat sebat akan tetapi, untuk kagetnya, ia merasa rambutnya kena terbabat pedang lawan. Ia menjadi mencelos hati, kaget dan gusar, maka sambil berseru, ia menyerang pula.

Tjong Hay melihat orang kalap, ia berlompat mundur. Di dalam gusarnya, ia kata dalam hati kecilnya: "Kau yang mulai berlaku kurang ajar, maka itu Kiauw Pak Beng tidaklah nanti menyesal aku sudah mengemplang anjing tanpa memandang lagi tuannya!" Maka ia lantas melayani, untuk mana ia mesti mengeluarkan kepandaian ilmu pedangnya.

Pada sepuluh tahun yang lalu Yang Tjong Hay ini menjadi satu di antara ke empat ki.amkek, meski benar ialah yang terlemah, ia sudah liehay sekali, dan setelah berselang sepuluh tahun itu, latihannya bertambah, hingga ia kini jauh terlebih liehay daripada dulu hari itu. Le Kong Thian boleh tangguh sekali tetapi ia mesti menghadapi seorang yang lincah, untuk sementara, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Ah, benar-benar dia liehay sekali," kata Yang Tjong Hay dalam hatinya. Ia telah membuktikan ketangguhannya si manusia raksasa. Ia cuma dapat membela diri. Mulanya ia hanya ingin mengasi rasa sedikit, lalu perselisihan disudahi dengan damai. Tidak tahunya, Kong Thian menjadi seperti kalap. Tadi dia kena dipapas rambutnya, itu rupanya terjadi karena dia alpa.

Juga Kong Thian kagum. Sia-sia belaka ia mendesak. Baru sekarang ia menginsyafi, orang she Yang ini tidak dapat dipandang enteng. Tadinya ia tidak takut siapa juga, orang satu-satunya yang ia hormati ialah Kiauw Pak Beng yang menjadi gurunya berbareng majikannya.

Tapi mereka tidak mau berhenti berkelahi. Kong Thian ingin mendapatkan Pektok Tjinkeng dan Yang Tjong Hay hendak memegang derajat sebagai bekas toatjongkoan atau taykiamkek. Dengan begitu, mereka berkelahi seru sekali. Si manusia raksasa menang tenaga dan ulat, dan si kiamkek, ahli pedang, menang lincah dan latihan. Hebatnya pertempuran mereka merusak hebat juga kursi meja dan lainnya dalam ruang itu. Tjioe Tjiangkoei dan isterinya ketakutan, mereka menyembunyikan diri, sedang kedua orangnya Bang Thong menyingkir jauh-jauh, tidak berani mereka datang untuk memisahkan.

Kiam Hong sebaliknya girang sekali melihat kesudahannya akal muslihatnya mengadu domba itu. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalamnya, untuk berontak. Tambang yang dipakai mengikatnya tidak dapat bertahan. Mulanya ia loloskan sebelah tangannya, lalu ia memutuskan tambang itu. Perbuatannya itu tidak ada yang lihat. Ia menunggu sampai Tjong Hay dan Kong Thian pindah ke pojok, mendadak ia berlompat bangun, untuk menolongi memutuskan belengguan atas dirinya Lauw Wan Tat, setelah mana, ia ajak kawan itu kabur.

Yang Tjong Hay kaget, ia lompat meninggalkan Kong Thian, untuk mengejar. Ia berlompat sambil berseru. Atas itu, si manusia raksasa turut memburu.

"Le Kong Thian, perlu apa kau mengejar aku?" berkata Kiam Hong sambil berlari. "Obat tidak ada padaku!"

Kong Thian melengak, lalu dia berteriak: "Yang Taydjin, jangan kau menggunai alasan untuk merat! Kau serahkan dulu obat dan kitab!"

"Celaka betul!" Tjong Hay membanting kaki, mendongkolnya bukan kepalang. "Sampai ini waktu masih kau melibat aku!"

Kiam Hong dan Wan Tat tidak perduli orang bertengkar, mereka lari terus, keluar dari pintu. Di depan rumah ada dua ekor kuda, mereka lompat menaiki seorang satu, terus mereka mengaburkannya.

Yang Tjong Hay mendesak dengan dua tabasan pergi pulang, hingga ia berhasil mendesak Kong Thian, lantas ia berteriak: "Mari kita bekuk dulu itu budak! Sebentar kita bertempur pula, masih belum kasip! Berapa hari juga kau ingin bertarung. Le Toaya. aku si orang she Yang akan melayanimu!"

Kong Thian beradat keras tetapi ia masih dapat berpikir.

"Ya, untuk mendapat kesudahan, kita harus bertempur sedikitnya seribu jurus," pikirnya. Maka ia memberikan jawabannya: "Baiklah! Mari bekuk dulu itu rase kecil, sebentar sepulangnya, baru aku berhitungan sama kau, rase tua!"

Kudanya Tjong Hay dan kuda si nyonya telah dibawa kabur, maka itu terpaksa mereka mengejar sambil berlari-lari. Keduanya menggunai kepandaian mereka meringankan tubuh. Dalam beberapa lie yang pertama, mereka dapat mendekati kedua penunggang kuda yang lagi kabur itu.

Sembari kabur, Lauw Wan Tat memutar tubuhnya ke belakang, sembari mutar ia menimpuk dengan dua butir batu hoeihong sek. Ia bertenaga besar, ia dapat menimpuk jauh belasan tombak. Tapi Tjong Hay liehay, meski datangnya batu hebat, dia dapat menanggapi dengan mengulur tangannya, sembari tertawa mengejek, dia membalas menimpuk. Hanyalah dia kalah pandai dan kalah tenaga, batu itu jatuh di belakang Wan Tat tanpa mengenai sasarannya.

"Lihat aku!" berseru Kong Thian sambil tertawa. Ia lantas mengayun tangannya. Ia bukan menimpuk dengan batu hanya dua batang anak panah pendek.

Anak panah jauh terlebih enteng daripada batu tetapi Kong Thian bertenaga besar dari bakatnya, dia menang berlipat kali daripada Lauw Wan Tat, meskipun dia menyerang dengan senjata yang enteng itu, meluncurnya anak panah toh sangat pesat, hingga mengeluarkan suara angin menderu. Kedua anak panah itu bahkan lewat di atasan kepalanya hoetjeetjoe itu, terus menjurus ke arah Nona Liong.

Kiam Hong mendengar suara dan melihat datangnya anak-anak panah itu.

"Bagus!" katanya sambil tertawa, sembari ia menunjuki kepandaiannya Ialah dengan lincah ia berkelit, selagi anak panah lewat, ia menyambar dengan kedua tangannya, menangkap itu. Begitu lekas ia sudah duduk tegak pula di punggung kuda, ujung anak panah ditusukkan ke kempungan kudanya, hingga binatang itu menjadi kaget dan, kesakitan, terus berjingkrak, untuk berlompat lari larat!

Lauw Wan Tat dapat melihat si nona, ia segera mencontoh, hanya ia bukan mcnggunai panah tetapi menusuk kudanya dengan golok, hingga kuda itu kabur keras sekali.

Biar bagaimana, tenaga manusia tidak dapat melawan tenaga kuda

"Dasar kau!" berkata Tjong Hay, mendongkol, kepada si manusia raksasa. Dia kewalahan menguber terus. "Kenapa kau percaya ocehannya bocah licik itu? Lihat sekarang, bebek yang sudah matang dapat pergi terbang! Bingkisan tidak bakal didapat, kitabmu pun lenyap!"

"Mana aku tahu dia mendusta?" kata Kong Thian, melawan. "Eh, bukankah obat dan kitab padamu?"

"Celaka!" Tjong Hay berseru. "Apakah kau tetap masih tidak percaya aku? Jikalau bukannya dia mendusta perlu apa dia merat?"

"Tapi mana dapat Tjit Im Kauwtjoe memberikan obat kepadanya?" balik menanya si manusia raksasa. "Kau tidak percaya!"

Mereka bertengkar pula hampir senjata mereka bentrok lagi. Tjong Hay menahan kemendongkolannya. Dia kata: "Jikalau kau tetap tidak percaya, mari kita pergi ke gunungnya TjioeSanBin!"

Kong Thian bersangsi.

"Jangan takut!" kata Tjong Hay, separuh mengejek. "Thio Tan Hong, le Sin Tjoe dan Hok Thian Touw, mereka semua tidak ada di gunung!"

"Kenapa aku mesti takut?" berteriak Kong Thian gusar. "Kau berani, aku juga!"

Meski apa pun jua, mereka ini berdua memerlukan satu dengan lain, maka itu, mereka menghentikan perselisihan mereka

Ketika itu Kiam Hong dan Wan Tat di lain pihak sudah kabur terus. Sangat lega hati mereka, hingga mereka tertawa geli.

"Aku tidak mengerti, nona, sebenarnya di mana kau simpan obat itu?" Wan Tat tanya kawannya

"Aku sembunyikan di tempat yang kau tidak nanti dapat pikir," menyahut si nona "Sudah, kita jangan omong saja, mari lekas turut aku mengambil pulang obat itu!" Dan si nona mengaburkan kudanya.

Wan Tat heran tetapi ia menurut. Ia mendongkol karena perlakuannya Yang Tjong Hay. Pula ia berkuatir sebab peristiwa itu meminta waktu mereka. Ia takut nanti batas tempo sepuluh hari keburu lewat. Maka dengan menutup mulut, ia melarikan kudanya mengikuti si nona. Di tengah jalan itu, dua kali mereka menukar kuda mereka. Di hari kedua, tengah hari, tibalah mereka kembali di Hoelietjip.

Kiam Hong menghentikan kudanya, untuk diputar, guna meninggalkan jalan besar, buat mengambil jalan kecil. Itulah jalan untuk memasuki dusun.

Wan Tat heran. Ia lantas berkata: "Nona Liong, aku masih mempunyai bekalan rangsum kering, maka tak usahlah kita bertambat di dalam dusun." Ia menyangka nona mau mencari makanan untuk bersantap tengah hari.

Kiam Hong tertawa.

"Lauw Tjeetjoe, apakah kau lupa pada Tjioe Tjiangkoei?" ia tanya.

"Oh. tidak, nona!" menyahut tjeetjoe itu. "Tapi marilah kita pulang dulu untuk menolongi orang! Sakit hati itu kita boleh tunda sampai lain hari, tidak nanti menjadi kasip."

"Tidak!" kata si nona. "Tidak dapat aku tidak menghajar dia! Aku mesti melampiaskan kemendongkolanku!" Dan ia melarikan kudanya.

Wan Tat tidak setuju, tetapi si nona sudah pergi, terpaksa ia mengikuti.

Pondokannya Tjioe Tjiangkoei sekalian juga menjadi rumah makan. Di waktu tengah hari itu, tamu yang makan sedang ramainya. Ketika Wan Tat bertindak masuk, Tjioe Tjiangkoei lagi repot dengan papan hitungnya. Ia kaget hingga mukanya pucat tempo ia mengangkat kepala dan mendapat lihat raja gunung itu kembali bersama si nona. Tanpa merasa ia mengeluarkan jeritan, lantas ia mendak, untuk nelusup ke kolong meja.

Kiam Hong menghampirkan sambil tertawa.

"Tjioe Tjiangkoei, justeru kau mesti menghitung perhitungan kita, kenapa kau bersembunyi?" katanya.

Lauw Wan Tat menghampirkan, dia bukannya menanya, hanya dia membentak bengis, tangannya diulur ke kolong meja, maka bagaikan tikus diterkam kucing, tubuhnya Tjioe Tjiangkoei ditarik keluar.

"Tjeetjoe, ampun!" berkata pemilik pondokan itu, suaranya parau, tubuhnya menggigil ketakutan sangat.

"Bangsat kau!" mendamprat Wan Tat. "Aku percaya kau, aku pandang sebagai orang sendiri, tetapi kau justeru mencelakai aku!"

Kata-kata itu ditutup sama melayangnya bogem mentah ke arah hidung, maka Tjioe Tjiangkoei lantas mengeluarkan jeritan tertahan. Hidungnya itu melesak, mengeluarkan darah, bahkan matanya mengalirkan darah juga.

Atas kejadian itu, semua tetamu lainnya, yang kaget dan takut, lantas pada mengangkat kaki. Mereka mengenali tjeetjoe itu, tidak ada yang berani campur tahu.

"Bagus!" berseru Kiam Hong memuji. "Ketika di jaman dulu Lou Tie Tjim menghajar Tin Kwansee pun tidak sebagai ini! Hanyajangan-jangan jahanam ini tidak kuat bertahan untuk dua tiga kali tinju!"

Wan Tat belum puas, ia menghajar pula. Kali ini ia mengarah punggung. Lagi sekali Tjioe Tjiangkoei menjerit, tubuhnya lantas roboh terkapar, dari mulutnya menyembur darah hidup.

"Ampun... ampun..." ia memohon berulang-ulang, seraya kedua tangannya dipakai menutupi kepalanya. Kali ini ia tidak dihajar keras, kalau tidak, tentulah tubuhnya itu sudah ringsak dan jiwanya mungkin terbang melayang...

"Dengan memandang Nona Liong, aku menunda tinjuku yang ketiga!" berkata Wan Tat. "Jikalau kau kembali berani main gila, hingga kau merugikan pihakku, akan aku ambil jiwa anjingmu!"

Tjioe Tjiangkoei mengangguk-angguk menyatakan tidak berani lagi.

"Nona Liong, puaskah kau?" Wan Tat tanya si nona. "Nah, mari kita pergi!"

"Masih ada lagi!" berkata Kiam Hong, tertawa.

Hoetjeetjoe itu heran hingga ia melongo.

"Ada lagi?" tanyanya. "Apakah kau hendak mengubrak-abrik pondokannya ini?"

"Itulah tidak usah!" berkata si nona. "Aku minta kau menghajar dan membelah saja mejanya ini!"

"Buat apakah merusak meja ini?" tanya Wan Tat, tetap heran.

"Aku melihatnya tidak puas. Kau hajarlah!"

Wan Tat tetap heran, tetapi karena si nona menginginkannya, ia menurut. Ia menghunus goloknya, dengan itu ia membacok meja itu, dan ia mengulangi beberapa kali. hinggameja itu terbelah-belah. Ia heran ketika ia melihat ada barangjatuh dari meja itu, dan barang itu bercahaya.

Kiam Hong segera menjumput barang itu, ialah kotak kemala yang indah.

"Kau toh tidak menyangka obat pemunah itu disimpan di bawah hidungnya Tjioe Tjiangkoei?" katanya tertawa.

Wan Tat tercengang. Benar-benar ia tidak menyangka. Maka ia menjadi kagum bukan main, hatinya girang sekali.

Itulah hasil kecerdasan dan kecerdikannya Kiam Hong. Begitu si nona melihat munculnya Yang Tjong Hay, ia menginsafi ancaman bahaya.

Selagi Wan Tat berbicara sama bekas tjongkoan itu, dengan diam-diam, tetapi dengan sebat, ia mengeluarkan kotak kemala itu, untuk disesapkan di bawah meja di mana ada bertumpuk banyak buku lama yang telah penuh debu. Tjong Hay boleh sangat licin tetapi ia tidak pernah menduga akan kepintaran si nona.

Melihat kotak kemala itu, Tjioe Tjiangkoei menjadi sangat menyesal, hingga ia kata di dalam hatinya: "Sudah sekian lama aku hendak menyingkirkan semua buku tua itu, siapa tahu selama ini dua hari aku repot terus, hingga sekarang..."

Selagi si pemilik pondokan menyesal dan berduka. Wan Tat girang bukan main. Dia menunjuki jempolnya, dia tertawa lebar.

"Nona Liong, hebat kau!" dia memuji. "Akulah seorang Kangouw ulung tetapi aku mesti menyerah kalah!"

Di samping mereka ada sebuah meja, yang telah tersajikan barang makanan, di atas sebuah piring ada dua ekor ayam panggang, Wan Tat menyambar itu seraya berkata: "Barang santapan sudah sedia! Mari, kita dahar sembari jalan!"

Kiam Hong menurut. Maka keduanya pergi keluar, untuk naik pula kuda mereka, buat dikasih lari keras.

Di tengah jalan, Wan Tat memuji pula si nona. Tapi, di lain pihak, hatinya bergelisah, maka ia tidak bisa tertawa seperti tadi-tadinya. Ia berkuatir karena hari ke sepuluh sudah tiba!

Perjalanan dilakukan terus menerus. Dua kali mereka menukar kuda di perhentian. Malam pun mereka tidak singgah lagi. Dengan begitu besoknya, lewat tengah hari, tibalah mereka di gunung. Ketika itu sudah hari yang kesebelas!

Di depan benteng ada paseban peranti menyambut tetamu yang menj aga di situ Pek Hong Hoan, ketika dia melihat tibanya dua orang itu, girangnya bukan buatan. Dia lari menyambut, katanya: "Baru tadi pagi dua tauwbak Thio dan Lie pulang dengan warta bahwa djiewie telah kena orang akali di Hoelietjip, maka sekarang kami lagi mendamaikan soal membawa pasukan untuk menyerbu Bang keepo, tidak disangka djiewie telah kembali dengan lekas!"

Kiam Hong tidak sempat berbicara.

"Bagaimana dengan Tjioe Tjeetjoe?" begitu ia tanya.

Mukanya orang she Pek itu menjadi guram dengan tiba-tiba.

"Sampai kemarin mereka bertiga masih dapat ber-omong," sahutnya, "tetapi hari ini, beberapa kali mereka tak sadarkan diri, tubuh mereka sebentar dingin dan sebentar panas, hingga bubur pun mereka tidak dapat dahar, mereka cuma bisa menghirup sedikit susu..."

Mendengar itu, hati Kiam Hong lega.

"Oh, Thian, terima kasih!" pujinya. "Syukur belum kasip!..."

Lantas nona ini berlari-lari memasuki benteng.

Di Tjiegie thia, sudah berkumpul semua tauwbak.

"Jangan kuatir! Jangan kuatir!" Wan Tat berkata berulang-ulang begitu ia bertindak memasuki ruang rapat itu. "Nona Liong sudah mendapatkan obat!..."

Baru ia berseru itu, atau mendadak ia roboh sendirinya, hingga semua orang kaget, tetapi ketika orang memburu, mendekati ia nyata ia rebah sambil menggeros!

Bukan buatan letihnya Wan Tat dan KiamHong, mereka pun ngantuk, sebab sudah dua hari dan dua malam mereka tidak tidur barang sedikit, setelah hatinya lega hoetjeetjoe itu tidak dapat bertahan lagi, ia roboh untuk terus tidur. Tidak demikianlah si nona, yang hatinya keras memikirkan Giok Houw.

Di dalam, Kiam Hong disambut Tjoei Hong, yang merangkul padanya.

"Oh, adikku, kau capai sekali!" berkata nyonya itu sambil air matanya keluar bercucuran.

"Sebentar kita bicara!" berkata Kiam Hong. "Mari kita lihat dulu pada TjioePeehoe!"

"Baiklah kau lihat Giok Houw dulu!" berkata Nyonya Tjioe.

"Tidak! Tjioe Peehoe kepala gunung, dia mesti ditolong paling dulu!"

Mendengar begitu, Tjoei Hong lega hatinya dan kagum juga.

"Baiklah kalau begitu," katanya "Mari lihat peehoe-mu dulu!"

Semua orang di gunung telah melihat perhubungan erat di antara Kiam Hong dan Giok Houw. Tjoei Hong tidak menjadi kecuali, itu sebabnya Nyonya Tjioe mengajak si nona menolong dulu si anak muda. Tidak tahunya Kiam Hong mengenal keadaan, dia dapat menguasai dirinya

San Bin mendapat kamar sendiri, tak leluasa untuk orang banyak masuk ke dalam kamarnya itu, maka itu, yang masuk terus cuma Tjoei Hong bersama Kiam Hong serta Kok Tiok Kin yang mengerti ilmu ketabiban.

Ketika Kiam Hong tiba di depan pembaringan, ia lantas melihat muka San Bin bersemu hitam gelap, di alisnya ada titik-titik, hawanya pun bau seperti bau hangus. Ketika itu, panas tubuhnya sedang menaik. Maka kagetlah ia.

"Syukur mereka bertiga, ketika itu hari mereka bertempur, sebelumnya mereka sudah makan pel PeklengTan yang terbuat dari teratai salju," berkata Tiok Kin. "Jikalau tidak, tidak nanti mereka sanggup bertahan sampai hari ini..."

Kiam Hong tidak bilang apa-apa, hanya ia mengeluarkan kotak kemalanya untuk segera membuka tutupnya. Begitu tutup itu terbuka, rupanya ia menjadi kaget sekali.

Tjoei Hong pun kaget, saking herannya.

"Apakah isinya ini obat pemunah racun?" ia menanya perlahan, matanya mengawasi si nona dan obat bergantian. "Apakah tak salah?"

Isi kotak itu cuma tiga butir pel warna hijau, yang dua masih utuh, yang ketiga tinggal separuh. Inilah yang membuatnya Kiam Hong kaget. Ia ingat sekarang, yang separuh itu ada sisa yang telah dimakan Tjit lm Kauwtjoe, yang melepehkan itu dengan tiba-tiba selagi dia memakannya. Ia tidak menyahuti Nyonya Tjioe, hanya ia berkata dalam hatinya: "Kemarin ini Tjit Im Kauwtjoe membutuhkan obat ini guna menolong jiwanya tetapi dia... dia.. dia hendak menolongi orang yang dicintai puterinya, serta sahabat-sahabatnya orang itu, maka dia meninggalkan separuh pel ini... Ah, ketika itu aku tidak sadar bahwa obat yang dibutuhkan kedua pihak adalah obat yang serupa, ialah obat ini..."

Nona ini ingat benar, ketika itu ia lagi menjelaskan hal terlukanyaThio Giok Houw oleh pukulan beracun Kioeyang TokTjiarig, mendadak Tjit Im Kauwtjoe melepehkan sisa obat itu, nyonya itu telah mendustakan anaknya, hingga ia sendiri turut terpedayakan. Sekarang ia ingat, pantas Tjit Im Kauwtjoe memesan, obat itu mesti diberikan satu butir pada satu orang. Habis, bagaimana dengan orang yang ketiga? Cukupkah kekuatannya itu separuh butir, untuk menyembuhkan orang yang ketiga itu? Pula, siapakah yang harus dipertaruhkan jiwanya dengan diberikan obat yang sepanahnya itu?

Pertanyaannya Nyonya Tjioe itu bernada gelisah, Kiam Hong kena dibikin sadar dari kaget dan ngelamunnya itu.

"Memang, inilah obat pemunah," ia menjawab.

Meski ia telah memperoleh jawaban, Tjoei Hong tetap heran.

"Eh, mengapa air matanya mengalir?" tanyanya di dalam hati. "Kelihatannya itu bukannya air mata kegirangan..."

Memang juga Kiam Hong tidak dapat mencegah air matanya mengembeng dan mengalir. Ia rupanya dapat melihat keheranan nyonya itu, lekas-lekas ia menepas air matanya

"Inilah obat yang ditukar Tjit Im Kauwtjoe dengan jiwanya sendiri," ia menjelaskan. "Sebentar sesudahnya menolongi peehoe, nanti aku omong terlebihjauh..."

Cuma sebegitu yang nona ini dapat terangkan, tidak mau ia menjelaskan bahwa obat itu tinggal dua butir setengah...

Kulit dan daging di mukanya San Bin sudah mulai keras, maka untuk mengasi dia makan obat, dia mesti dicekoki. Tjoei Hong memaksa membuka mulutnya suaminya itu. Obat dikasih masuk setelah diaduk dengan air hangat. Habis itu, semua orang berdiam, untuk menantikan bekerjanya obat.

Orang tidak usah menanti lama akan menyaksikan mukanya ketua gunung itu berubah dari bersemu gelap menjadi sedikit terang, tandanya mulai lenyaplah hawa yang hitam itu, sedang napasnya tidak selemah tadi. Bahkan lagi sesaat, dia dapat membuka matanya yang tadinya terus dimeramkan.

Kok Tiok Kin lantas meraba nadi tjeetjoe itu, lalu terlihat dia bersenyum.

"Sungguh mustajab obat pemunah ini!" katanya, memuji. "Nadinya tjeetjoe sudah berjalan pula seperti biasa lagi. Aku rasa, lewat dua hari, dia akan sudah dapat turun dari pembaringan..."

San Bin mengawasi semua orang. Ia melihat Nona Liong. Tahulah ia bahwa si nona yang sudah menolong padanya. Dengan sinar matanya, ia mengutarakan rasa terima kasihnya pada nona itu. Lalu ia mengangkat tangannya, menggapai perlahan kepada isterinya.

Tjoei Hong menghampirkan. Ia pun memasang kupingnya, karena suami itu ingin bicara berbisik. Habis itu ia mengangguk, terus ia menarik tangannya Nona Liong, katanya: "Peehoe-mu memikirkan Giok Houw, ia minta kau pergi lekas melihatnya."

San Bin belum dapat bicara keras, maka itu ia berbisik pada isterinya itu.

Kiam Hong bersyukur berbareng berduka sekali.

"Suami isteri ini mengetahui aku, mereka sangat memperhatikannya, tetapi, mereka mana tahu hatiku?" katanya dalam hatinya. Ia sangat bingung. "Obattinggal satu setengah... Siapa aku mesti tolong lebih dulu? Entjie In Hong atau Giok Houw?"

Tjoei Hong masih memegangi tangan si nona, yang ia tuntun, untuk diajak pergi kepada Giok Houw. Mendadak Kiam Hong berkata: "Peebo marilah kita lihat entjie In Hong dulu!..."

Untuk sejenak, Tjoei Hong tercengang, tetapi lantas juga ia tertawa.

"Kau tidak usah malu, tidak nanti ada orang mentertawaimu," katanya. "Baiklah kau tengok dulu engko Giok Houw kau itu. Sudah beberapa hari kamu berdua tidak bertemu, aku tahu kau tentulah memikirkan sangat kepadanya."

"Benar, aku memang memikirkan dia," menyahut si nona. "Tapi sekarang, aku mesti lihat entjie In Hong dulu!"

Tjoei Hong heran, tetapi ia turut si nona.

In Hong masih tak sadarkan diri, ketika Tjoei Hong dan Kiam Hong bertindak masuk ke dalam kamarnya, justeru ia lagi berkata-kata ngelindur, suaranya perlahan: "Thian Touw... Thian Touw... kau datang?... Apakah kau masih menyesalkan aku?..."

Mendengar itu, pedih hati Nona Liong.

"Pada sepuluh tahun yang lalu, usiaku belum cukup sepuluh tahun," katanya dalam hatinya. "Ketika ibu membawa aku lari, hampir aku mati kelaparan di dalam kobakan, maka syukurlah entjie In Hong telah menolongi kami ibu dan anak, sampai ibuku menjadi tauwbak di dalam bentengnya. Ketika rombongannya dibubarkan, entjie In Hong mengajak kami ke gunung Thiansan. Selama sepuluh tahun bukan saja ia mengajarkan aku ilmu silat, ia pun menganggap aku seperti adik kandungnya, ia menyuruh aku memanggil entjie padanya, ia larang aku memanggil soehoe. Dan budinya yang sangat besar itu, belum dapat aku membalasnya... Entjie In Hong berselisih dengan Hok Toako, sekian lama mereka belum pernah bertemu lagi satu dengan lain, kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya, pasti entjie mati tak meram dan Hok Toako juga akan menyesal seumur hidupnya..."

Memikir sampai di situ, tetaplah pikiran nona ini. Maka ia membuka kotak kemalanya, ia mengeluarkan sebutir obat pemunahnya, setelah mengaduki obat itu, ia mencekokinya dimulut itu entjie angkat yang berbudi. Begitu lekas juga ia memutar tubuhnya dan kata sambil terisak-isak pada Tjoei Hong: "Peebo, tolong kau jagai entjie In Hong, sekarang aku mau lihat engko Houw!..."

Nyonya Tjioe melihat air mata orang mengembeng, ia heran bukan main.

"Ah, kenapakah dia?" pikirnya. "Dia telah mendapatkan obat, kenapa tingkah lakunya jadi berubah begini?"

Nyonya San Bin ini tidak mengetahui sakitnya hati Nona Liong itu.

Kiam Hong berjalan cepat sekali ke kamarnya Giok Houw di dalam hatinya cuma ada ini pujiannya: "Semoga ini setengah butir obat dapat menolong jiwanya... Jikalau tidak, bukan saja aku mesti merasa menyesal terhadapnya sendiri, aku mesti menyesal juga terhadap Tjit Im Kauwtjoe!..."

Ketika ia tiba di dalam kamar dan melihat mukanya Giok Houw, kagetnya Kiam Hong tidak terkira-kirakan. Pemuda itu hitam seluruh mukanya, muka itu perok sekali, kedua matanya celong. Ketika ia menghampirkan, ia merasakan serangan hawa panas dari tubuh si anak muda. Teranglah, di antara tiga, dialah yang sakitnya paling parah.

Kiam Hong duduk di tepi pembaringan, di sisi si anak muda, air matanya mengetes jatuh ke muka pemuda itu, akan tetapi Giok Houw tidak merasakan itu, dia diam saja. Hati si nona memukul keras. Dengan hati-hati ia membuka mulut anak muda itu, lalu iamenuang adukan obat.

Habis itu, ia berdiam mengawasi, menantikan.

Kira lamanya sebakaran sebatang hio, terlihat tubuh Giok Houw berkutik menggigil, lalu mendadak dia bergerak, dari mulutnya keluar teriakan: "Aduh, sakit!..."

Nona Liong kaget berbareng girang.

"Dia merasa sakit, bagus..." katanya dalam hati.

Setelah itu, tubuh Giok Houw tidak mau berdiam. Dia bergulak-gulik terus di atas pembaringannya, tubuhnya itu mengeluarkan banyak keringat. Hanya aneh, keringat itu berwarna merah. Sebab itulah darah segar. Pula, hawa panas tubuh itu meningkat.

Kiam Hong bingung bukan main. Tak tahu ia caranya untuk melenyapkan, atau sedikitnya, mengurangi rasa sakit pemuda itu. Ia berkuatir, ia menyesal, ia merasa hatinya sendiri seperti disayat-sayat...

Lagi lewat sekian detik, tiba-tiba Giok Houw membuka matanya. Ia mengawasi Kiam Hong, tangan siapa ia sambar.

"Kau, entjie Liong?" tanyanya, agaknya ia heran. "Apakah aku bukannya lagi bermimpi?"

"Benar, engko Houw, inilah aku!" menyahut si nona, cepat. "Aku baru pulang! Bagaimana kau rasai dirimu?"

Nampaknya semangat si anak muda terbangun. Sebenarnya ia merasa sakit tetapi ia tidak merintih atau mengeluh.

"Katanya kau pergi kepada Tjit Im Kauwtjoe untuk meminta obat, apakah kau telah berhasil mendapatkan obat itu?" ia tanya. "Apakah Tjioe Tjeetjoe dan entjie Leng sudah sembuh?"

"Aku telah mendapatkan obat pemunah itu dan telah dikasihkan makan pada Tjioe Tjeetjoe dan entjie Leng," Kiam Hong mengasi keterangan. "Mungkin lagi dua hari mereka akan sudah sembuh. Hanya... hanya..."

"Bagus!" berkata si pemuda. "Apa lagi yang kau buat kuatir? Hanya... hanya apakah itu?"

"Sekarang ini aku menguatirkan kau," sahut si pemudi di dalam hatinya. Tapi ia tidak berani mengutarakan itu.

Giok Houw memandang tajam pada nona di depannya itu.

"Mestinya ada apa-apa yang kau pikirkan?" katanya. "Ah, kenapa kau hendak sembunyikan itu dari aku?..."

Tanpa dapat ditahan lagi, Kiam Hong menangis.

"Engko Houw, aku menyesal..." katanya. "Aku menyesal terhadap kau..."

"Kau bilanglah! Apa juga, aku tidak nanti sesalkan kau..."

"Tjit Im Kauwtjoe telah memberikan obatnya, itu sebenarnya untuk menolongi kau," Kiam Hong bilang dengan terus terang. "Tapi obatnya itu tinggal dua butir setengah... Aku telah memberikan satu butir kepada Tjioe Tjeetjoe dan sebutir pula kepada entjie In Hong, tinggal yang setengahnya, aku berikan itu kepada kau... maka aku membikin kau menderita..."

"Tepat perbuatan kau itu, entjie Liong!" berkata si anak muda. Sebaliknya dari kaget dan menyesalkan, ia justeru memuji. "Jikalau kau tidak berbuat demikian, seumurku, tidak nanti aku memberi maaf kepadamu!"

Kiam Hong mencekal tangan orang, ia memegang erat-erat.

"Ah, engko Houw, kau baik sekali!..." katanya terisak.

"Apakah hal ini kau ada omongkan dengan lain orang?" tanya Giok Houw.

"Tidak."

"Kalau begitu, jangan kau omong sama lain orang, terutama, jangan sampai mereka mendapat tahu."

Kiam Hong tahu maksudnya pemuda ini, ialah agar San Bin dan In Hong tidak mengetahui itu, kalau tidak, tentulah mereka itu menjadi tidak enak hati. Karena ini, ia menjadi bertambah menyintai ini pemuda gagah, yang rela berkurban untuk kawan-kawan.

Selama itu. tidak ada orang yang datang pada ini sepasang muda-mudi. Tjoei Hong mendapat pikiran untuk melongok, tetapi ia menunda niatnya itu. Ia hendak mengasi ketika agar mereka itu dapat bertemu lama dan bicara banyak. Baru belakangan, setelah ingat si nona sangat letih dan ngantuk, iamintajugaTiokKin pergi melihat, untuk orang she Kok ini menggantikan menemani si anak muda.

Akan tetapi Kiam Hong tidak suka beristirahat. Ia justeru menanyakan Tiok Kin tentang keadaannya San Bin dan In Hong. Lega hatinya kapan ia memperoleh jawaban bahwa Tjioe Tjeetjoe mendapat kemajuan baik. Bahkan ia lantas pergi melihat tjeetjoe itu, sekalian ia menuturkan perbuatannya dan segala kejadian yang berhubung dengan usahanya mendapatkan obat pemunah racun itu.

Orang pada menepas air mata kapan mereka sudah mendengar nasibnya Tjit Im Kauwtjoe.

"Siapa sangka Tjit Im Kauwtjoe ialah orang yang hatinya demikian mulia," kata San Bin menghela napas. "Ketika baru ini puterinya melukai Tjie Hiap, hatiku sakit dan aku benci dia sebagai seorang hantu wanita jahat tak berampun. Buat omong dengan terus terang, syukur aku tidak tahu yang kau, Nona Liong, telah pergi kepadanya untuk minta obat, jikalau tidak, biarnya aku mati, tidak nanti aku mengijinkan kau pergi! Ah, sungguh di luar dugaan, ia yang nampaknya demikian sesat, ia justeru berani mengurbankan jiwa sendiri untuk menolongi jiwa lain orang, dan jiwaku justeru ditolong oleh orang yang aku tidak pandang mata itu! Sekarang ini aku harus merasa malu, aku sangat bersyukur terhadapnya..."

"Yang sudah menutup mata tinggal menutup mata," berkata Tjoei Hong, "sekarang kita harus membalas budinya Tjit Im Kauwtjoe, ialah kita harus dapat membantu puterinya yang yatim piatu itu... Oh, ya, masih ada itu anak laki-laki putera sahabatnya."

"Benar," Kiam Hong setuju. "Puterinya itu, Sioe Lan, sungguh harus dikasihani. Mereka berdua, ibu dan anak, hidup saling mengandal, tetapi sekarang, Sioe Lan tinggal sebatangkara, bahkan dia harus senantiasa berada di dalam kekuatiran, oleh karena ia harus melindungi kitab Pektok Tjinkeng yang diarah dan hendak dipunyai oleh Kiauw Pak Beng. Memang benar. Ban Thian Peng pun harus dikasihani, sebab dia telah menjadi yatim piatu dan sakit hati orang tuanya belum dapat terbalas. Ketika Tjit Im Kauwtjoe hendak menghembuskan napasnya yang terakhir, dia menerima anak itu sebagai anaknya sendiri, maka itu, kita pun harus pandang ia sebagai putera tunggalnya."

San Bin berbangkit untuk berduduk. Ia membuka lebar kedua matanya.

"Aku akan bertanggung jawab untuk itu kedua anak-anak," ia berkata, sungguh-sungguh. "Tjie Hiap, pergi kau memapak dan menyambut mereka datang ke gunung kita ini. Paling dulu pernahkan dirinya

Nona Im itu, setelah itu kau mencoba menyelidiki siapa orang yang membunuh ayahnya Thian Peng itu, supaya kita bisa berdaya untuk menolong membalaskan sakit hatinya."

Tjie Hiap baru saja pulang habis bertugas menjaga dan meronda di gunung belakang, dia berada di dalam kamar ayahnya untuk sekalian menemani ayahnya itu, ketika ia mendengar titah ayahnya, ia nampaknya likat. Ia ingat lelakonnya dengan Sioe Lan.

"Apa?" tanya sang ayah, yang melihat tingkah lakunya itu. "Apakah kau masih memandang dia sebagai musuh?"

"Tidak, ayah," menyahut sang anak. "Aku akan melakukan titah ayah."

"Nah, begitu baru betul! Kita bangsa ksatrya, kita harus berbuat baik terhadap siapa juga, jangan kita mengingat terus kejahatan lain orang! Pula mereka itu, mereka ibu dan anak, telah melepas budi besar terhadap kita."

"Kemarin ini aku berangkat kesusu," berkata Kiam Hong, "sayang aku tidak menanya Sioe Lan hendak pergi ke mana. Pernah aku undang ia untuk datang kesini, kelihatannya ia kurang setuju. Aku kuatir, setelah mengubur jenazah ibunya, ia bakal merantau entah ke mana..."

"Tentang itu tak usah kita terlalu buat kuatir," Tjoei Hong bilang. "Kita mempunyai banyak orang. Tunggulah lagi dua hari, jikalau ayahnya Tjie Hiap sudah sembuh, kita nanti mengirim orang, kita minta Tie Hiotjoe dari Kaypang bersama Tjie Hiap membantu mencarinya. Aku percaya nona itu bakal dapat diketemukan." Ia hening sejenak, akan menoleh kepada Kiam Hong dan tertawa. Terus ia menambahkan: "Mari aku temani kau melihat pula Giok Houw, jikalau tidak, aku kuatir malam ini kau kembali bakal tidak tidur! Kau tahu, kau telah bekerja keras sekali, sudah seharusnya kau beristirahat."

Biar bagaimana, Kiam Hong toh merasa likat, tetapi ia turut nyonya itu, untuk kembali ke kamarnya Giok Houw.

Masih saja wajahnya pemuda she Thio itu hitam gelap, hanya sekarang dia dapat tidur. Kiam Hong meraba tangannya, ia terkejut. Tangan pemuda itu sangat dingin. Ia berkuatir sekali.

Tjoei Hong sangat heran.

"Bagaimana," katanya, "dia makan obat serupa yang dimakan ayahnya Tjie Hiap dan In Hong, kenapa dia tidak lekas sembuh?"

Kok Tiok Kin pun heran.

"Apakah kau berikan obat pemunah yang sama?" ia tanya Kiam Hong, perlahan.

"Ya," sahut si nona singkat, suaranya pun sangat perlahan.

"Apakah kau masih mempunyai obat itu?" Tiok Kin tanya pula.

"Semuanya cuma tiga butir itu, didapatnya dari tubuh Pektok Sinkoen yang digeledah," sahut pula si nona. "Kok Sinshe, bagaimana kau rasa penyakitnya ini? Aku minta kau omong terus terang."

Tiok Kin mengasi lihat roman berduka.

"Mungkin dia terluka hebat luar biasa," sahutnya setelah bersangsi sejenak.

Lukanya Giok Houw memang lebih hebat tetapi bukanlah luar biasa, Tiok Kin tidak ketahui duduknya hal, pasti ia heran. Kiam Hong sebaliknya, pedih hatinya.

"Jikalau tenaganya obat kurang, apakah itu dapat membahayakan?" nona ini tanya. Hatinya telah menjadi kecil.

"Sukar untuk dibilang," menyahut orang yang ditanya. "Dia terkena tangan Kioeyang TokTjiang, racunnya itu hebat sekali, mungkin obatnya yang bersifat sangat dingin dicampur sama obat lain yang dapat membuyarkan hawa panas, hanya disebabkan kekuatan obat kurang, hawa panasnya tidak dapat diusir, lalu sebaliknya, dingin dan panas bentrok, maka telah terjadi si sakit, sebentar dia kedinginan, sebentar dia kepanasan, hingga dia mesti menderita lebih banyak. Barusan aku telah berikan dia obat tidur, supaya dia dapat beristirahat, yang mana pun dapat mengurangkan sedikit penderitaannya itu. Tentang kemudiannya, aku tidak bisa bilang apa-apa."

Kiam Hong berkuatir bukan main. Maka malam itu, selagi tidur, ia bermimpi hebat. Ia mimpi Tjit Im Kauwtjoe datang padanya, menegur ia sebab ia memberikan Giok Houw obat yang separuh. Lalu ia melihat Giok Houw bersama Sioe Lan, ketika mereka itu melihat ia, mereka menjauhkan diri. Di lain pihak ia bertemu dengan Leng In Hong bersama Hok Thian Touw, suami isteri itu menghaturkan terima kasih kepadanya, hanya di lain saat, suami isteri itu tiba-tiba menghunus pedang mereka dan bertempur satu dengan lain!

Besoknya, keadaannya Giok Houw tetap belum berubah menjadi baikan, ia masih diserang panas dan dingin, ia masih tak sadarkan diri. In Hong dan San Bin sebaliknya sembuh tujuh atau delapan bagian, mereka sudah dapat turun dari pembaringan, untuk perlahan-lahan mulai berlatih silat pula. Maka itu, di atas gunung itu, orang bergirang berbareng berduka. Tidak ada orang yang tidak berduka untuk Giok Houw.

San Bin dan In Hong turut menjadi heran, dengan hati tidak tenang mereka memikirkan mengapa obat pemunah itu bekerja dalam dua rupa akibat, hingga mereka mau menyangka, kecuali terkena Kioeyang TokTjiang, mungkin pemuda itu mendapat lain macam pukulan atau terkena lain racun...

Beberapa kali Giok Houw mendusin, saban kali sadar ia mengawasi Kiam Hong dengan sorot mata sangat bersyukur. Di waktu begitu, ia agaknya menguatkan diri untuk bertahan dari serangannya hawa dingin dan panas di dalam tubuhnya, sedikitpun ia tidak mengeluh atau merintih. Tapi justeru ia berbuat demikian, ia membuatnya si nona semakin sakit hatinya dan semakin berkuatir. Kiam Hong menjadi ingat akan kebaikannya Tjit Im Kauwtjoe yang memberikan obat itu, bahwa meskipun kauwtjoe itu sangat Iiehay, dia masih tak tertolong oleh obat separuh butir ...

Dapatkah Giok Houw bertahan kalau diingat, ia kalah dalam hal tenaga dalam dari Tjit Im Kauwtjoe?

Inilah yang memedihkan hati si nona. Ia tidak tahu bahwa Tjit Im Kauwtjoe sengaja sudah berkurban. Kauwtjoe itu terhajar tangan dari Pektok Sinkoen dan keracunan juga bubuk Ngotok San, dia mengerti, kalau dia makan obat itu, dia cuma dapat menolong jiwanya, tidak bebas dia dari cacad seumur hidup, maka itu, dia menganggap lebih penting ialah jodoh puterinya. Dia meninggalkan separuh dari obat pemunah sebab dia percaya, cuma terkena Kioeyang TokTjiang, Giok Houw bakal ketolongan separuh obat itu, hanya di luar tahunya, meski si pemuda ketolongan jiwanya, penderitaannya itu hebat sekali, panas dinginnya sangat menyiksanya.

Kiam Hong tidak dapat tidur pulas. Ia pun malu malam-malam melihat Giok Houw, yang ditemani Tiok Kin. Seorang diri ia pergi keluar, terus ke gunung belakang di mana ada pepohonan bwee. Ia berjalan mundar-mandir, untuk menanti datangnya sang siang, untuk ia dapat segera pergi menjenguk pula.

Malam itu rembulan indah. Bunga bwee dan pohon-pohonnya berbayang-bayang. Pemandangan malam menarik hati. Tapi si nona tidak mempunyai kegembiraan untuk menikmati itu.

"Jikalau jiwanya engko Giok Houw tidak dapat ditolong," nona ini ngelamun, "bukan saja aku harus menyesal terhadapnya terutama terhadap Tjit Im Kauwtjoe ibu dan anak!"

Kiam Hong „lelah mengambil putusan mengurbankan kepentingan dirinya, ia rela melepaskan Giok Houw untuk Sioe Lan asal pemuda itu, begitupun San Bin dan In Hong, dapat ditolong. San Bin telah bersedia menerima kedatangannya Sioe Lan. Maka itu, kalau Giok Houw tak tertolong, tidakkah pengurbanannya sia-sia belaka?

Malam indah tetapi sunyi. Justeru itu telinga si nona menangkap suatu suara perlahan. Ialah suara datang yahengdjin, orang yang biasa keluar malam. Ia menjadi heran.

"Bukankah gunung ini terjaga kuat?" pikirnya. "Siapakah yahengdjin itu?"

Dengan lantas ia menyembunyikan diri antara pohon-pohon bwee, matanya mengawasi ke arah dari mana suara tindakan datang. Ialah arah timur. Ia tidak usah menanti lama akan melihat dua tubuh, yang gelap bagaikan bayangan. Tapi orang mendatangi terus. Ia menjadi kaget berbareng girang, hatinya melonjak.

Itulah Sioe Lan diikuti Thian Peng!

Mau Kiam Hong menyambut mereka itu, atau di detik itu juga telinganya kembali mendengar bentakan dibarengi nyaringnya suara anak panah melesat, lantas di udara tertampak api menyala. Sebab anak panah itu ialah Tjoayam tjian, panah pertandaan yang mengeluarkan api mirip yanhwee. Terang sudah, tauwbak yang melakukan penjagaan melihat ada orang asing datang dan lantas memberikan isyaratnya itu.

Sioe Lan berdua menghentikan tindakan mereka. Tepat itu waktu, di situ muncul lagi dua orang lain, yang berlari-lari ke arah muda-mudi itu, bahkan yang satunya lantas membentak: "Dua bocah, perlu apa kamu datang kemari?"

Kiam Hong dapat melihat mereka itu. ia kaget tidak terkira-kirakan. Ia mengenali baik sekali Yang Tjong Hay dan Le Kong Thian! Tadinya ia menyangka kepada si tauwbak yang memergoki Sioe Lan berdua itu. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berdiam terus di tempat sembunyinya itu, untuk melihat sepak terjangnya Tjong Hay dan si manusia raksasa itu.

Sioe Lan dan Thian Peng tidak melarikan diri, maka itu, Tjong Hay lantas dapat berlompat melewati mereka, untuk segera memutar tubuh, guna memegat. Kong Thian sendiri, dengan melintangi tokkak tongdjin, bonekanya, mendekati untuk mengurung.

Tjong Hay sudah lantas tertawa gembira.

"Aku kira siapa, tidak tahunya keponakan Sioe Lan!" katanya. "Mana ibumu? Dan ini bocah, siapakah dia?" ia menunjuk Thian Peng. "Ya, perlu apa kamu datang kemari?"

Sioe Lan mengasi lihat roman sungguh-sungguh.

"Kau tidak dapat mencampur tahu urusanku!" sahutnya kaku.

Tjong Hay tertawa berkakak dengan tertawa kelicikannya.-

"Aku yang menjadi pamanmu, mana bisa aku tidak mencampur tahu urusanmu?" katanya. Ia membawa tingkah si tertua. "Kau minggat di luar tahu ibumu, kau kepergok aku, maka mesti aku mewakilkan ayah dan ibumu mengurus kau!"

Sioe Lan mendadak menjadi gusar, dengan tiba-tiba ia menyerang dengan pakunya yang beracun-Samleng

Touwkoet teng. Sembari menyerang, ia berkata nyaring: "Siapa mempunyai paman sebagai kau ini? Kau... kau... kaulah yang memancing datang orang-orang jahat, yang mencelakai ibuku hingga ibuku mati!"

Atas serangan itu, Tjong Hay menyampok dengan pedangnya. Itulah tipu silat "Pengtee hongloei" atau "Angin dan guntur di tanah datar." Maka bebaslah ia dari serangan paku beracun itu. Kedua senjata bentrok dengan suara tingtong tak hentinya. Sebab si nona menyerang dengan paku satu genggaman.

Meski ia menangkis, Tjong Hay kaget sekali.

"Apa? Ibumu telah meninggal dunia?" tanyanya.

"Kaulah yang membikin ibuku mati!" Thian Peng membentak. "Kau tahu itu tetapi kau berlagak pilon, kau masih menanyakannya!"

Pemuda ini sudah mengeluarkan sepasang poankoan pit, senjatanya yang mirip pena Tionghoa, yang diperantikan menotok jalan darah, dengan itu ia lantas menyerang ke kiri dan kanan Tjong Hay, mengarah kedua jalan darah kintjeng hiat.

Tjong Hay pernah menempur pemuda itu, ia tahu orang belum mahir tenaga dalamnya tetapi sudah sempurna totokannya, maka itu ia tidak berani memandang enteng. Dengan memindahkan pedangnya ke tangan kiri, ia menangkis memunahkan totokan itu dengan jurusnya "Sengliong inhong" atau "Menunggang naga, memancing burung hong." Di lain pihak, dengan tangan kanannya, dengan tipu silat menangkap tangan "Taykimnatjioe," ia mencoba menangkap tangan si nona.

Puterinya Tjit Im Kauwtjoe mengibas dengan goloknya, golok Lioeyap too. Golok itu berkilau, bersinarkan warna biru marong yang menyilaukan mata.

Yang Tjong Hay kaget. Dialah seorang ahli. Dia ketahui baik, golok itu beracun. Dengan sebat dia menarik pulang tangannya, supaya tidak usah sampai ditegur golok dahsyat itu. Berbareng dengan itu, dia merasai angin menyamber cepat di belakang kepalanya Ketika dia terus berkelit, dia memutar tubuh ke belakang si nona. Sebagai orang liehay, dia pun dapat bergerak sangat gesit. Dari sini, dengan goloknya ia mencoba menotok punggung si nona.

"Jangan celakai adikku!" Ban Thian Peng berseru seraya dia berlompat maju, menangkis pedangnya bekas tjongkoan dari istana itu.

Tjong Hay membiarkan pedangnya ditangkis, tapi ia mengerahkan tenaganya, maka meskipun senjatanya yang ditangkis, senjatanya itu berbareng bisa membikin sepasang poankoan pit mental balik.

"Heran, dari mana soetjie-ku mendapatkan anak laki-laki?" katanya. Lalu dia meneruskan kepada anak muda itu: "Kau tidak ada yang merawati, baiklah kau akui aku sebagai ayahmu!"

Thian Peng murka sekali, kembali ia menyerang. Kali ini serangannyu jauh terlebih hebat. Ia pun terus merangsak.

Tjong Hay membela dirinya. Ia melihat sembilan jalan darahnya diarah pemuda itu, yang tidak dapat dipandang enteng, bahkan semua serangannya sangat berbahaya dan luar biasa. Dialah satu ahli liehay kecuali masih kurang tenaga dalamnya, disebabkan usianya yang masih terlalu muda.

Itulah tidak heran oleh karena Ban Kee Soe, sang ayah, sudah mewariskan ilmu totoknya yang diciptakan sendiri olehnya. Ilmu itu diberi nama "Kimpeng Sippat Pian" atau "Garuda Emas Mencipta Diri Delapan Belas Kali."

Dengan mainkan pedangnya, Tjong Hay menangkis sembilan serangan berbahaya itu, setiap kalinya, senjata mereka beradu nyaring, maka itu, di akhirnya, tubuh Thian Peng terhuyung. Tak sanggup ia menahan tolakan tenaga dalam lawan itu, tenaga yang disalurkan dengan perantaraan pedang.

Ketika itu, dari pelbagai penjuru, terlihat datangnya kawanan tauwbak. Tanda panah tjoayam tjian tadi terlihat oleh kawan-kawan, semua mereka lantas memburu.

Yang TjongHay sendiri menuding si nona. Katanya: "Sioe Lan. apakah kau datang kemari dengan berniat menghamba kepada musuh? Ibumu sudah mati, maka akulah orang yang menjadi sanakmu yang terdekat! Jangan kau berubah hati, memihak kepada orang luar! Bukankah kitab PektokTjinkeng ada padamu? Lekas bilang! Lekas!"

Kata-kata ini dibarengi dengan serangan.

Tiba-tiba Le Kong Thian berlompat maju, ia menghalangi Sioe Lan menangkis pedang kawannya itu, sembari menangkis ia berkata: "Lao Yang, jangan paksa dia! Dialah nyonya majikanku yang muda! Dia telah kematian ibunya, dia harus

pulang ke rumah suaminya! -

Nona Im," ia meneruskan kepada si nona, "orang-orang gunung ini telah datang kemari, kau jangan takut! Mari aku antar kau ke rumah majikanku!"

Sioe Lan gusar, tanpa menyahut, ia menyerang manusia raksasa itu. Kong Thian menangkis. Maka golok Lioeyap too saban-saban mengenai boneka kuningan, hingga ia merasakan nyeri sendirinya pada telapakan tangannya.

Yang Tjong Hay gusar atas sikap kawan itu.

"Apakah sampai sekarang ini kau masih mencurigai aku?" dia membentak. "Mari kita ringkus dulu padanya! Jikalau kitab Pektok Tjinkeng itu ada padanya, itu akan didapatkan olehmu!"

"Baiklah!" seru Kong Thian memberikan kata-katanya. "Inilah pembilanganmu sendiri!" Ia lantas menyerang Sioe Lan, hingga golok si nona mental, setelah mana, ia mengulur sebelah tangannya guna mencekuk nona itu!

Ban Thian Peng terkejut, dia lompat menerjang, ke arah lengan manusia raksasa itu.

Kong Thian murka sekali.

"Ah, bocah cilik, kau pun mencari mampusmu?" katanya.

Akan tetapi liehay ilmu totok si anak muda, akhirnya Kong Thian melepaskan Sioe Lan, untuk menghadapi dia secara sungguh-sungguh. Untuk itu, ia mesti mundur dulu. Tepat ketika ia mengangkat bonekanya, untuk menerjang, ada angin menyambar ke belakang kepalanya. Ia terkejut, lantas ia mendengar seruan: "Le Kong Thian, kau jangan kasih dirimu diakali Yang Tjong Hay! Kitab Pektok Tjinkeng ada di tangan dia! Bukannya kau tanyakan dia, kau justeru tanyakan lain orang! Hm!"

Tjong Hay mendengar itu, murkanya bukan kepalang. Itulah suaranya Liong Kiam Hong, yang muncul secara tiba-tiba. Dengan lantas dia menikam kepada nona itu seraya dia membentak: "Semua inilah bisamu, siluman rase cilik! Kaulah yang mengadu biru! Tidak dapat tidak, kau mesti dibikin mampus!"

Akan tetapi ilmu pedang Kiam Hong menang unggul, meski benar dia lebih menang tenaga dalamnya, tidak bisa dia dengan sekali hajar merobohkan nona itu. Maka dia kecele, menyesal dan penasaran!

Sioe Lan menggunai ketikanya itu untuk membantu Ban Thian Peng melawan Le Kong Thian. Ia telah membacok dan menikam dengan goloknya, golok Lioeyap too yang beracun. Dengan begitu, di situ terlihatlah berkilauannya pelbagai macam senjata tajam.

Dari empat penjuru tertampak juga mendatanginya kawanan liauwlo yang bertugas malam.

Le Kong Thian menyaksikan bahaya yang mengancam itu, kalau ia menempur Sioe Lan lama-lama. Demikian selang beberapa jurus, mengambil saat habis mendesak Sioe Lan, mendadak manusia raksasa itu mengirim kemplangan mautnya. Tokkak tongdjin, bonekanya yang besar dan berat itu, turun bagaikan ambruknya gunung Taysan, mengarah kepalanya putera dari Ban Kee Soe.

Thian Peng kaget hingga dia menjerit. Dia tidak dapat berkelit lagi, dengan terpaksa dia mengerahkan semua tenaganya, untuk menangkis dengan tipu silatnya "Melintangkan penglari emas," sepasang poankoanpit-nya, diangkat tinggi, dilintangi di atasan kepalanya. Hebat sekali turunnya bonekanya si manusia raksasa. Belum lagi boneka itu menghajar, anginnya sudah mendahului menyambar.

Di saat jiwanya Thian Peng terancam bahaya kematian itu, maka terdengarlah jeritan tajam dari Im Sioe Lan. Nona itu menjerit sambil tubuhnya bergerak seperti seekor burung terbang melayang, melayang ke arah boneka.

Le Kong Thian mendengar jeritan itu dan melihat si nona berlompat ke arahnya, dia terkejut. Tidak dapat dia membatalkan serangannya yang maha dahsyat itu. Celaka kalau bonekanya mengenai sasarannya. Sasaran itu ialah si Nona Im, yang seperti menalangi Thian Peng. Dalam kagetnya itu, dia masih mencoba. Dia bukan menghajar terus turun ke bawah, hanya meneruskan ke samping. Tidak dapat dia membinasakan si nona, yang mesti menjadi tunangan dari majikannya yang muda. Apa kata Kiauw Pak Beng atau Kiauw Siauw Siauwjikalau nona itu terbinasa remuk di bawah bonekanya?

Tepat ketika boneka mengenai sasaran, maka sebagai akibat dari itu terdengar suara menggabruk yang sangat keras diikuti jeritan hebat yang menyayatkan hati. Berhasillah si manusia raksasa menggeser senjatanya, hingga senjata itu menghajar sebuah pohon besar di samping mereka, hingga pohon itu roboh, roboh menimpa dua tauwbak yang justeru sampai di bawah pohon, hingga tulang iga mereka itu pada patah!

Beberapa tauwbak lain, yang datang berbareng, kaget menyaksikan kejadian hebat itu tanpa merasa, mereka berhenti berlari maju.

Ban Thian Peng kaget hingga ia menggigil.

"Syukur entjie Lan datang, kalau tidak, celakalah aku..." pikirnya. "Mana senjataku dapat menangkis boneka itu? Jikalau tidak lantas mati, sedikitnya aku bakal terluka parah..."

Beberapa tauwbak itu tidak berdiam saja. Tidak dapat maju sendiri, mereka ingat untuk mengguna! senjata rahasia. Demikian dengan satu isyarat, mereka lantas menyerang dengan senjata rahasia mereka masing-masing, seperti panah tangan, batu hoeihong sek, biji teratai besi dan jarum.

Le Kong Thian melihat datangnya serangan berbahaya itu, ia memutar bonekanya dengan cepat, ia membikin setiap senjata^rahasia terpukul balik, hingga ia dapat menyelamatkan dirinya.

Ban Thian Peng tidak mau mundur meskipun ia tahu musuh liehay, ia maju pula. Ia dibantu Sioe Lan.

Kong Thian menjadi mendongkol dan bergelisah sendirinya. Tidak bisa ia melukai Nona Im, sedang untuk menangkap hidup nona itu, ia merasakan kesulitan. Dengan si nona senantiasa melindungi Thian Peng, ia pun sukar merobohkan anak muda itu. Di samping itu, ia mesti berjaga-jaga untuk golok beracun si nona serta senjata peranti menotok yang liehay dari si anak muda. Dengan begitu, pertempuran menjadi berlarut-larut.

Di lain pihak, Liong Kiam Hong terdesak hebat oleh Yang Tjong Hay. Menang ilmu silat saja tidak berarti kalau ia sebaliknya kalah latihan, kalah tenaga dalam. Selang dua puluh jurus lebih, ia terdesak Tjong Hay. Bekas tjongkoan ini justeru benci sekali ianya, ia ingin bisa ditikam dengan sekali tusuk saja. Tapi ia liehay, tidak dapat menyerang, ia masih dapat membela diri.

Selagi orang bertempur dalam dua kalangan itu, mendadak terdengar seruan yang nyaring: "Dua bocah dari mana berani datang kemari mengacau bentengku? Apakah kamu kira bentengku sudah tidak ada orangnya?"

Kiam Hong lantas melirik, segera hatinya menjadi lega. Itulah Kimtoo Tjeetjoe Tjioe San Bin, yang muncul dengan membawa goloknya yang tersohor, golok Kimpwee too yang tebal dan berat. Di belakang ketua gunung itu turut Lauw Wan Tat, Louw Too In dan Kok Tiok Kin, yang diikut pula banyak tauwbak lainnya, juga sejumlah orang gagah.

Dua hari sudah San Bin berobat atau beristirahat, tenaganya telah pulih seanteronya, maka itu, ketika ia mendengar gunungnya didatangi penyerbu, ia lantas keluar untuk menyaksikan. Demikian ia muncul tepat di saat bahaya mengancam Kiam Hong, Sioe Lan dan Thian Peng.

Yang Tjong Hay terkejut.

"He, tua bangka, kiranya kau belum mampus?" ia berseru. Terus ia berpaling kepada Le Kong Thian, untuk menegur: "Kau lihat! Sekarang barulah kau percaya aku, bukan? Tua bangka itu ialah Kimtoo Tjeetjoe! Kau lihat, mana dia mirip dengan orang yang lagi sakit? Pasti dia telah mendapat obat pemunah!"

Le Kong Thian juga lantas mendusin bahwa dia sudah kena ditipu Kiam Hong, maka itu, disesalkan Tjong Hay, dia menjadi malu dan gusar. Dia lantas meninggalkan Sioe Lan dan Thian Peng, untuk menerjang Nona Liong, yang dia niat mengemplangnya hingga ringsak!


San Bin gusar melihat orang demikian telengas.

"Bagus ya!" serunya. "Kamu hendak membikin aku mati, aku justeru masih hidup! Sekarang aku hendak membereskan kamu."

Dengan sebat ketua ini maju sambil menggeraki goloknya yang besar itu. Ia menangkis bonekanya Kong Thian, guna melindungi Kiam Hong. Maka bentroklah senjata mereka berdua, suara beradunya sangat nyaring. Lelatu api pun pada meletik karenanya.

San Bin kaget. Ia merasakan .tangannya sakit dan telapakan tangannya mengucurkan darah.

Kong Thian juga mundur tiga tindak. Ternyata dia masih lebih unggul sedikit. Tapi dia pun terkejut, hingga dia berpikir: "Benar-benar Kimtoo Tjeetjoe liehay! Dia baru sembuh dari sakit berat, dan masih dapat melayani aku! Dilihat begini, malam ini sukarlah aku memperoleh hasil..."

San Bin menahan rasa sakitnya. Ia penasaran. Tanpa ayal, ia membacok, la menggunai jurus "Gelombang menggempur gili-gili." Itulah salah satu jurus utama dari ilmu golok warisan keluarganya. Hanya kali ini ia menyerang Tjong Hay yang berada di dekatnya.

Bekas tjongkoan itu tidak mau menangkis, ia berkelit dengan berlompat. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengadu tenaga seperti Kong Thian.

Kiam Hong sudah lantas maju pula. Dengan datangnya San Bin beramai, hatinya menjadi mantap. Dengan pelbagai jurus dari ilmu pedang "Mengejar Angin," ia mencoba mendesak musuhnya.

Tjong Hay menjadi repot, karena ia mesti berjaga-jaga untuk San Bin. Ia berkelahi dengan waspada. Ia pun mencari ketikanya. Demikian selang sesaat, mendadak ia menyerang Tjeetjoe itu.

Kimtoo Tjeetjoe dapat melihat datangnya senjata musuh, dengan sebat ia menangkis. Senjata mereka bentrok, pedang kena dibikin terpental.

Justeru itu, Kiam Hong menyerang.

Tjong Hay terkejut, dia berkelit. Masih dia kurang sebat. ujung pedang mengenai juga pundaknya hingga pundak itu tergores berdarah!

Ketika itu LouwToo In, KokTiok Kin dan Lauw Wan Tat sudah menyerbu. Karena kedua musuh tangguh, mereka tidak mau membuang-buang waktu lagi.

Tiok Kin bersilat dengan pedang, dengan ilmu silat Thaykek Kiamhoat, dan Too In dengan semacam tongkat yang dinamakan "Galah bambu hijau." Itulah senjata peranti menotok jalan darah. Maka itu, dengan ilmu silat lunak, mereka melawan ilmu silat keras. Sebaliknya Lauw Wan Tat adalah jago silat Gwakee, ahli luar, bahkan dia hampir mencapai puncaknya kemahiran. Tidak heran kalau dia diangkat menjadi tjeetjoe yang nomor dua, atau ketua muda. Bertiga mereka mengepung Le Kong Thian.

Pengurus rumah tangga dari Kiauw Pak Beng boleh liehay sekali tetapi dikeroyok bertiga, dia terdesak, terpaksa dia main mundur.

Yang Tjong Hay melihat suasana buruk itu untuk pihaknya Ia lantas menyerukan kawannya: "Saudara Le, kau telah menyaksikan hal yang sebenarnya, maka itu pergilah kau pulang, untuk memberi kabar kepada majikanmu! Perlu apa kau masih mengotot berkelahi?"

"Benar!" menjawab Kong Thian dengan seruannya. "Mari kita pergi!"

Manusia raksasa itu mewujudkan perkataannya, kebetulan Wan Tat lagi menyerang padanya, ia menangkis dengan keras goloknya tjeetjoe nomor dua itu, hingga kedua senjata beradu dan golok mental.

Wan Tat terkejut. Ia biasa puas dengan tenaganya yang besar, siapa tahu sekarang ia menghadapi lawan yang luar biasa tangguh itu. Ia lompat mundur, tangannya dirasakan sakit. Seperti San Bin tadi, telapakan tangannya sak-it-dan mengeluarkan darah, hingga untuk sekian lama, tangan itu pun sesemutan.

Kong Thian tertawa terbahak, ia memutar bonekanya, buat membuka jalan, untuk ia turun dari gunung, diturut oleh Yang Tjong Hay, yang pun dapat meninggalkan lawannya. Hingga di lain saat, loloslah mereka berdua

San Bin mendongkol sekali, ia hendak mengejar.

"Jangan, peehoe!" Kiam Hong mencegah. Nona ini tahu orang baru sembuh, ia kuatir kesehatannya belum pulih seanteronya. "Nona Im telah datang, baiklah kita menyambut tetamu kita!"

San Bin suka menurut.

"Aku mendongkol sekali terhadap mereka!" katanya sambil tertawa, seraya mengurut kumis jenggotnya "sampai aku alpa menyambut tetamu kita! Nona Im, maaf! Silakan duduk di dalam!"

Ketika itu Tjio Tjoei Hong, atau Nyonya Tjioe San Bin, muncul bersama Tjie Hiap, puteranya, ketika ia melihat Sioe Lan, ia lantas merangkul nona itu.

"Kami terancam bahaya, syukur ada pertolongan ibumu, nona!" katanya. "Sayang kami tidak dapat menghaturkan terima kasih kepada ibumu itu. Kami girang sekali atas kedatanganmu ini! Sebenarnya kami hendak menyambut, tapi kau telah mendahului datang! Jikalau kau tidak buat celaan, aku minta sukalah kau memandang gunung kami sebagai rumahmu sendiri."

Sioe Lan menangis dengan mengucurkan air mata. Ia memberi hormat kepada nyonya yang manis budi itu.

"Aku mengucap terima kasih kepada tjeetjoe berdua," katanya.

"Sudah, kita jangan bicarakan soal yang melukai hati," Kiam Hong menyelak. "Entjie Lan, kau telah datang, inilah bagus sekali! Kami semua memang sangat mengharapi kedatanganmu!"

Tjoei Hong memegangi tangan si nona.

"Anak yang baik, aku minta janganlah kau pandang kami sebagai orang luar," ia berkata pula. "Aku minta sukalah kami dipandang sebagai sanakmu."

Sioe Lan menepas air matanya.

"Peebo!" katanya, memanggil bibi pada nyonya itu.

"Tjie Hiap!" memanggil Tjoei Hong kepada puteranya. "Mari menemui adikmu! Kau menghaturkan terima kasih yang ayahmu telah ditolongi."

Tjie Hiap menghampirkan, meskipun likat, ia memanggil: "adik!"

Sioe Lan membalas hormat. Ia pun jengah.

"Siauwtjeetjoe, maaf untuk perbuatanku baru-baru ini," katanya.

Tjioe San Bin tertawa terbahak.

"Tentang peristiwa yang sudah-sudah, buat apakah ditimbulkan lagi?" katanya. Kemudian ia berpaling kepada Ban Thian Peng, untuk berkata: "Aku mendengar dari Nona Liong tentang kau, maka kau tinggallah di sini bersama kami. Kau jangan sungkan-sungkan. Perihal sakit hatimu itu, nanti kita mendamaikan bersama."

Thian Peng menghaturkan terima kasih.

Sioe Lan menepas air matanya, terus ia memandang Kiam Hong.

"Apakah obat pemunah itu memberikan hasil?" ia menanya perlahan.

Hati Kiam Hong terkesiap, tapi lekas ia menyahut: "Aku justeru hendak meminta pertolongan kau, entjie. Tjioe Tjeetjoe dan Leng Tjeetjoe sudah sembuh, melainkan Thio Giok Houw yang masih sakit, entah apa sebabnya."

"Kalau begitu, aku minta entjie mengantar aku kepadanya," Sioe Lan minta.

Nona ini bicara perlahan tetapi Kiam Hong dapat membade dari suaranya bahwa orang ingin sangat segera menjenguk Giok Houw.

"Baik sekali entjie mau melihat dia," ia kata.

"Baiklah, pergi kamu masuk ke dalam!" Tjoei Hong turut berkata. "Sebentar kita bicara pula."

Kiam Hong lantas memimpin Nona Im ke dalam, langsung ke kamarnya Giok Houw.

Pemuda she Thio itu rebah tanpa sadar seluruhnya, mukanya tidak bersemu hitam lagi, cuma di alisnya masih ada sedikit. Ketika itu, tangan dan kakinya panas luar biasa.

Sioe Lan mengawasi sekian lama.

"Mungkin belum putus harapan," katanya sesaat kemudian, perlahan suaranya. "Nanti aku coba..."

Kiam Hong girang mendengar perkataan itu.

"Entjie membutuhkan obat apa?" ia tanya, cepat.

"Tak usah obat," sahut Sioe Lan, mukanya lantas menjadi merah. "Cukup dengan ini kamar yang sunyi."

"Baiklah," Nona Liong kata. "Maafkan aku, aku tidak mau mengganggu pula pada entjie."

Sioe Lan mengangguk.

Kiam Hong lantas mengundurkan diri. Pintu kamar ia tutup rapat. Ia berlega hati berbareng berduka, pedih hatinya. Ia berlega hati karena ia percaya jiwa Giok Houw bakal ketolongan, akan tetapi, urusannya sendiri?

Sioe Lan berdiri di depan pembaringan, pikirannya bekerja keras. Pikirannya itu ruwet sekali, la ingat bagaimana Thio Giok Houw telah menampik lamarannya. Ia ingat pesan ibunya. Ia pun ingat kata-katanya Kiam Hong bahwa Giok Houw menyesal dan ingin bertemu dengannya. Sebaliknya ia menyangsikan kata-katanya Kiam Hong yang ingin turut In Hong ke Thiansan, untuk tinggal bersembunyi sambil meyakinkan ilmu silat pedang. Sebagai orang cerdas, ia dapat membade hatinya Nona Liong itu. Teranglah nona itu sengaja hendak merangkap jodoh ia dengan jodohnya Giok Houw. Dan sekarang seorang diri ia menemui Giok Houw yang lagi sakit berat itu. Ia menyinta, ia membenci, ia panas hati, ia penasaran, ia pun berkasihan...

Akhirnya ia mengertak gigi dan kata: "Musuhku, apa juga sikapmu terhadap aku, sekarang aku hendak menolongi dulu jiwamu!" Ia menyebut musuh sebab ia mau menganggap pemuda itu seperti musuh...

Tanpa ayal lagi, Sioe Lan duduk di sisi pembaringan. Dengan hati-hati ia membalik tubuh Giok Houw, untuk membukai pakaiannya. Selagi bekerja ini, kembali pikirannya bekerja. Ia ingat bahwa mulanya ia sungkan datang ke gunung ini, ia mengubah pikiran sesudah penguburan jenazah ibunya dan otaknya menjadi sedikit jernih. Ia lantas ingat kata-kata ibunya ketika si ibu menyerahkan obat pemunah racun kepadanya: "Kau berikan mereka seorang sebutir obat, tentang orang yang ketiga terserah kepada Thian..." Mulanya ia tidak mengerti, kemudian baru ia ingat yang isinya kotak tinggal dua setengah butir. Obat yang setengah itu ialah sisa obat yang dimakan ibunya. Sekarang ia mengerti maksud ibunya itu. Kemudian, obat itu diserahkan kepada Liong Kiam Hong, buat dibawa ke gunung. Apakah yang terjadi di atas gunung? Bukankah Kiam Hong memberikan Giok Houw obat yang setengah butir itu? Maka --- ketika itu --- hatinya menjadi tidak tenang. Lalu ia ingat Ban Thian Peng, yang cukup gagah akan tetapi pengalamannya kurang hingga sulit untuk dia menuntut balas. Ia percaya, untuk semua itu, mungkin ibunya mati tanpa mata meram. Jadi, pesan ibunya mesti diwujudkan. Maka akhir-akhirnya, untuk Giok Houw, untuk Thian Peng, ia berangkat juga ke gunung. Ia tidak menyangka, Yang Tjong Hay dan Le Kong Thian datang menyerbu, hingga ia terhalang dan terancam bahaya. Syukur, dengan .munculnya San Bin beramai, musuh dapat diusir pergi. Dan sekarang, selagi iamendukakan ibunya, ia mesti menghadapi Giok Houw yang rebah tak berdaya ini.

Hati si nona terkesiap ketika tangannya kena meraba tubuh si pemuda. Tubuh itu panas luar biasa. Segera ia bekerja. Ia menaruh kedua belah tangannya di dada pemuda itu, untuk mulai mengurut dengan perlahan-perlahan.

Sioe Lan pernah mempelajari Tjit Im Toktjiang, cuma ia baru mendapatkan tiga bagian saja. Tjit Im Toktjiang itu beda dari Kioeyang Toktjiang yang sifatnya panas. Tjit Im bersifat dingin. Keduanya, sebenarnya saling mempengaruhi, tinggal bergantung kepada latihan masing-masing. Ketika itu hari Tjit Im Kauwtjoe terhajar Kioeyang Toktjiang oleh Pektok Sinkoen, sebenarnya ia dapat menolong diri dengan jalan menggunai hawa dingin di tubuhnya mengusir hawa panas, apamau di samping terkena pukulan Kioeyang Toktjiang itu, ia pun ditambah keracunan bubuk Siauwhoen Hongkoet San, karenanya, ia tidak sanggup mengobati dirinya lagi, sedang obat pemunah yang ia makan cuma separuh, obat itu tidak cukup kuat untuk menyembuhkannya.

Tenaga dalam Sioe Lan masih belum berarti, maka itu setelah menguruti Giok Houw sekian lama, ia merasakan tubuhnya panas. Itulah sebab hawa panas dari si pemuda tersalur pindah ke tubuhnya sendiri, hawa panas itu telah tersedot hawa dinginnya yang masih lemah. Tidak demikian, pasti hawa panas itu sudah terusir pergi. Hampir ia tidak dapat bertahan. Syukur sekali, Giok Houw sudah makan obat Pekleng Tan dari Thiansan dan separuh obat pemunah itu, maka juga, hawa panasnya sudah berkurang banyak. Kalau tidak, pasti si pemudi tidak dapat bertahan sama sekali.

Selagi tak sadarkan diri itu, Giok Houw merasakan tubuhnya adem, dengan begitu, ia lantas mendusin. Ia mengulur tangannya, untuk memegang lengannya si nona.

"Adik Hong!" ia memanggil, lemah. "Adik Hong!"

Mukanya Sioe Lan menjadi merah sendirinya, hatinya pun pedih. Dengan lantas ia menarik tangannya itu.

Giok Houw membuka matanya, lantas ia menjadi kaget.

"Ah, Sioe Lan, kaukah?" katanya.

Segera setelah itu, ia mendapat tahu bahwa ia tak berpakaian sama sekali.

Tangan yang lain dari Sioe Lan masih menekan betulan hati si pemuda.

Dalam herannya itu, Giok Houw bingung bukan main. Di saat ia hendak membuka mulutnya, untuk menanya, si nona sudah mengerebongi tubuhnya.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar