Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 4
Tiba gilirannya Tjio Keng Ham,
dia ini lain lagi penyambutannya. Dia tidak menekan nenampan, dia tidak
menyambuti, hanya dia mengibas tangan bajunya, atas mana ujung tangan baju dan
penampan beradu, terdengar suara "bret!" perlahan, lalu ujung baju
itu robek sedikit. Meski demikian, penampan toh berhenti berputar.
Dengan begini Giok Houw jadi
mendapat tahu. dalam tenaga dalam, Tjouw Thian Yauw menang banyak daripada Tjio
Keng Ham, bahwa ilmu silat mereka itu berdua berbeda. Pula sekarang terlihat
semakin tegas romannya Keng Ham melibat cangkir teh, tulen dan Thian Yauw
seperti orang Shoatang. Maka adalah luar biasa, dua orang masing-masing dari
suku yang berlainan, satu dari Utara, yang lain dari Selatan, dapat berada dan
bekerja sama.
Dengan tangan bajunya itu,
Keng Ham melibat cangkir teh, untuk diangkat, untuk dia menghirup kering air
tehnya Pada mukanya sama sekali tidak kentara sesuatu perasaan. Ketika ia
mengembalikan cangkir, ia mengibas pula.
Sementara itu Giok Houw telah
melirik kepada dua orang dari pihaknya, dua orang ahli obat-obatan yang
termasuk lootjianpwee. tingkat tertua, ialah Kok Tiok Kin asal propinsi Hoolam,
dan Louw Too In asal propinsi Siamsay. Yang belakangan ini pun pandai dalam
ilmu racun. Ia mendapatkan air muka mereka itu berubah, tandanya mereka
terkejut dan berkuatir, mereka itu pada melirik Keng Ham. Ia menjadi heran.
Pikirnya: "Apakah yang luar biasa dalam kepandaiannya Keng Ham mengibas
nenampan dan melibat cangkir teh hingga mereka begini memperhatikannya?"
Ia memandang dari sudut ilmu silat. Menurut ia, ilmu mengibas Keng Ham itu
masih kalah kalau dibandingkan dengan Tiatsioe Sinkang, ilmu Tangan Baju Besi,
dari Liong Kiam Hong.
Habis menyambuti cawan. Giok
Houw mau mengundurkan diri, justeru itu Tjouw Thian Yauw tertawa terbahak-bahak
seraya terus berkata: "Tjioe Tjeetjoe, sungguh kau terlalu memandang
rendah kepada Thio Siauwhiap, yang kau telah memberi pekerjaan sebagai tukang
menyuguhkan teh! Sikapmu ini membikin malu saja pada aku si orang she
Tjouw." Sembari berkata begitu, ia memberi hormat kepada Giok Houw dengan
setengah kehormatan, tandanya ia membalas hormat.
Giok Houw telah bersiap sedia,
segera ia merasakan dorongan angin ke arah mukanya, lantas ia mempertahankan
diri, tetapi tidak urung, ia mundur dua tindak. Ia menjadi kaget di dalam hati,
bukan melulu liehaynya tetamu ini, juga buat halnya dia mengenali padanya.
Katanya di dalam hatinya: "Kenapa dia kenal aku?"
"Apakah gurumu baik-baik
saja?" Tjouw Thian Yauw meneruskan menanya si pemuda.
Dalam keadaan begitu, tidak
dapat Giok Houw menyangkal, maka ia berdiri dengan hormat, dengan menurunkan
kedua tangannya.
"Terima kasih, guruku
baik!" ia menjawab. "Bolehtah aku mendapat ketahui ada hubungan apa
di antara tuan dengan guruku? Harap dimaafkan atas perbuatanku barusan."
Tjouw Thian Yauw tertawa. "Hubunganku dengan Thio Tan Hong?" katanya,
balik bertanya. "Haha! Kalau nanti kau pulang, kau tanyakan saja gurumu,
nanti kau mendapat ketahui sendiri! Hebat Thio Tan Hong, dia telah mendidik seorang
murid yang jempolan! --- Thio Siauwhiap, terima kasih banyak untuk tehmu
ini!"
Kembali Thian Yauw memanggil
orang siauwhiap, atau jago muda.
Itulah imbangan panggilan atas
Thio Tan Hong, yang disebut tayhiap, jago tua atau "pendekar besar."
Mukanya Giok Houw menjadi merah.
Kata-kata itu bernada mengejek. Tapi segera ia berpikir pula, katanya di dalam
hatinya: "Jikalau dia benar sahabatnya guruku, tidak nanti dia bersikap
begini..."
Sejenak itu, Giok Houw ingat
suatu apa --- ingat halnya satu orang, yang gurunya pernah menyebutnya. Di
propinsi Shoatang ada hidup seorang tabib yang aneh, namanya Tjouw Thay Tjee,
tetapi dia batal menjadi tabib, dia mengubah pelajarannya itu dengan pelajaran
silat. Dia pun aneh tabiatnya, meski dia bertubuh kekar dan romannya kasar,
cara dandannya ialah cara kaum terpelajar. Sebagai senjatanya ialah sebuah
kipas yang panjang, yang diperantikan menotok jalan darah. Ketika dulu hari itu
Tan Hong bersama puteri Iran datang ke kota raja, ia pernah bertemu Tjouw Tay
Tjee di dalam istana, bersama isterinya, dengan menggunai ilmu pedangnya
bersatu padu, Tan Hong telah mengalahkan Tay Tjee dalam tiga jurus dan telah
melukakan orang sampai tujuh lubang.
"Bukankah Tjouw Thian
Yauw ini ialah Tjouw Tay Tjee dulu hari itu?" pikir si anak muda cepat.
"Dulu hari itu dia dapat melayani soehoe dan soebo tiga jurus, dia sudah
luar biasa, maka sekarang ini dia tentulah telah peroleh kemajuan... Siapakah
orang di pihakku yang dapat melayani dia?"
Maka itu, sendirinya ia
menjadi berkuatir.
Tjioe San Bin lantas datang
sama tengah.
"Oh. kiranya Tuan Tjouw
kenal Thio Tayhiap!" demikian katanya. "Dengan begitu maka sekarang
kita jadi dapat berbicara dengan terlebih leluasa lagi. Tuan Tjouw, apakah tuan
ketahui bahwa dalam usaha kami merampas pelbagai bingkisan itu kami telah
memperoleh bantuannya Thio Tayhiap itu?"
"Justeru karena kami
memandang kepada mukanya Thio Tayhiap maka juga kami cuma meminta bagian
separuh saja!" berkata Thian Yauw, menyahuti.
"Aku menumpang
bertanya," berkata pula San Bin, "kedua tuan ini di gunung apa
tuan-tuan mengambil kedudukan dan atas alasan apakah maka tuan-tuan meminta
separuh bagian?"
Tetamu itu tertawa pula.
"Telah lama aku mendengar
bahwa Tjioe Tjeetjoe ialah orang gagah dari jaman ini," ia berkata,
"maka itu kenapa sekarang agaknya tjeetjoe membawa-bawa mata yang
memandang pengaruh? Apakah mungkin, lantaran kami tidak mempunyai gunung atau
benteng, karena kami bukannya suatu pangtjoe atau ketua partai, lantas tjeetjoe
hendak memandang kecil terhadap kami?"
Kata-kata ini mempunyai
artinya sendiri. Dengan itu mau dimaksudkan, Thian Yauw dan Keng Ham ini ialah
bangsa begal tunggal, yang bekerja tanpa modal sendiri, tanpa tempat kediaman
yang tertentu juga. Bahwa mereka berani sekali sudah mengajukan permintaan
kepada suatu perbentengan besar menandakan mereka menggunai aturan Jalan Hitam
yang tak biasanya.
"Maaf, maaf," kata
San Bin dengan suara merendah, "aku si orang she Tjioe cuma mau minta
keterangan tuan-tuan mempunyai keperluan yang sangat bagaimana maka tuan-tuan
sampai perlu meminta separuh bagian?"
Kembali Thian Yauw tertawa.
"Inilah aneh!"
katanya. "Semenjak dulu hingga sekarang belum pernah aku mendengar bahwa
penjahat memerlukan uang dulu baru dia melakukan perampasannya. Bagi kami
ialah: Kamu merampas dari tangannya pelbagai boesoe yang melindungi bingkisan,
karena kamu dapat berbuat demikian, maka itu dapat juga kami pun merampasnya
pula dari tangan kamu, hanya kami meminta cuma separuh dan kami memintanya juga
lebih dulu menggunai aturan, baru kemudian dengan kekerasan. Tidakkah perbuatan
kami ini sangat tepat dan telah memberikan muka kepada kamu? Apakah tjeetjoe
masih hendak menggunai aturan lainnya lagi?"
Begitu rupa Thian Yauw
mendesak, ia membuatnya orang mendongkol dan gusar.
San Bin masih dapat menguasai dirinya.
"Tuan Tjouw, masih ada
apa-apa yang kau belum ketahui," ia berkata, sabar. "Kami merampas
bingkisan itu bukan untuk diri kami sendiri. Di samping kami masih ada Totjoe
Yap Seng Lim di Selatan. Seperti kami, Yap Totjoe juga mempunyai banyak saudara-saudaranya.
Kami di sini bertugas menjaga penyerbuannya bangsa Tatar dan Yap Totj oe di
Selatan itu bertugas menangkis gangguan kawanan perampok kate. Kami kedua pihak
berjumlah besar, untuk hidup kami, tidak membegal atau merampok, kami hidup
atas ichtiar kami yang sah. Sekarang ada itu pelbagai bingkisan. Itulah lain
sifatnya. Maka kami bertindak, kami mengambilnya, untuk kepentingan rangsum
kami. Di dalam usaha kami ini, kami memperoleh bantuan semua orang gagah dari
pelbagai kalangan dan pihak. Mereka itu telah membantu kami tetapi tidak ada
satu saja di antaranya yang menagih bagian."
Tjouw Thian Yauw juga berlaku
tenang. Katanya dengan adem: "Kami tidak mengambil mumat segala urusan
besar dari negara itu. kami cuma tahu bahwa kami menjadi begal dan sebagai
begal kami mesti membegal. Kami ketahui kamu telah memperoleh harta karun yang
besar sekali, dari itu kami menghendakinya! Jikalau kamu tidak membagi
separuhnya kepada kami, maka janganlah kamu mengharap bahwa kami mau sudah
saja!"
Dia bersikap adem akan tetapi
kata-katanya itu keras.
"Tuan-tuan, ingin aku
memberitahu kepada kamu!" berkata San Bin, sekarang suaranya pun keras.
"Di dalam urusan ini, aku tidak dapat berkuasa seorang diri! Semua
bingkisan telah dirampas bukan olehku seorang hanya dengan bantuannya semua
orang gagah, inilah kau harus mengerti. Aku pula hendak memohon tuan-tuan
memandang kepada rakyat yang bersengsara itu, jadi janganlah tuan-tuan cuma
ingat kepentingan diri sendiri!"
Tjouw Thian Yauw melirik tuan
rumahnya, ia tertawa dingin. Ia tidak menjawab tuan rumah, hanya lantas berkata
kepada kawannya: "Tjio Toako, pembicaraanku dengan Tjioe Tjeetjoe ini
tidak mendapatkan kecocokan! Kau dengar sendiri, dia menyebut-nyebut entah Thio
Tayhiap apa, dia membawa-bawa segala orang gagah di kolong langit ini! Di sini
tidak ada soal muka lagi! Bagaimana kau pikir, toako. apakah kita dapat
menerima baik?"
Selagi orang berbicara,
sikapnya Keng Ham tenang seperti biasanya. Dengan tidak mengasi kentara sesuatu
pada romannya, dia menjawab singkat: "Tidak!"
Thian Yauw lantas tertawa.
"Tjioe Tjeetjoe. kau
tidak dapat berkuasa sendiri, begitu juga aku!" dia berkata. "Kau
dengar, Tjio Toako aku ini tidak dapat menerima baik pertimbanganmu itu!"
Sampai di situ. habis sudah
kesabarannya San Bin.
"Sahabat-sahabat, oleh
karena kamu tidak dapat menimbang, kami pun tidak mau meminta apa-apa lagi dari
kamu!" ia berkata, keras. "Bingkisan ini bukan bingkisanku sendiri,
jikalau kamu mau minta aku sendiri yang mengangsurkan dengan kedua tanganku,
sungguh tak dapat! Jikalau tuan-tuan mempunyai kepandaian, nah, pergilah ambil
sendiri!"
Tjouw Thian Yauw tidak gusar,
sebaliknya, dia tertawa lebar.
"Bagus ini baru omong
terus terang!" dia kata. "Jikalau tahu bakal jadi begini, omong
banyak-banyak itu hanya obrolan belaka! Baiklah, sekarang aku si orang she
Tjouw yang bodoh, aku mohon pengajaran dari kau, Tjioe Tjeetjoe!"
Belum lagi San Bin memberikan
jawabannya. Leng In Hong sudah berbangkit untuk terus berkata: "Mengenai
bingkisan ini, aku telah memberikan banyak tenagaku, maka itu jikalau kau
menghendakinya. Tuan Tjouw, silakan kau memintanya kepada pedangku ini!"
Dan ia menunjuki pedangnya.
Giok Houw telah melihat
gelagat, tahulah ia. untuk menghadapi Tjouw Thian Yauw. di pihaknya cuma ada In
Hong satu orang, oleh karena itu diam-diam ia memberikan isyarat kepada Nyonya
Hok Thian Touw. dengan cerdik ia telah memberitahukan nyonya itu tentang siapa
adanya tetamu she Tjouw ini. dari itu, In Hong lantas bertanggung jawab.
Tjouw Thian Yauw berpaling
kepada Nona Leng, ia mengawasi dengan tertawanya yang aneh, lantas dia berkata:
"Oh, kiranya Leng Liehiap dari Thiansan! Kau berdua dengan suamimu, ialah
kamu berdua biasanya sangat saling menyinta, maka itu kenapa sekarang kau
berada sendirian di sini?"
Mendengar itu, Giok Houw
terkejut. Ia tidak menyangka sekali, orang pun mengenali In Hong seperti orang
mengenali ianya. Di lain pihak -- ia menyesal -- ia tidak ketahui jelas tentang
kedua tetamu itu. lebih-lebih tidak tentang Tjio Keng Ham si orang Biauw yang aneh
kelakuannya itu.
In Hong menjadi tidak senang,
sepasang alisnya bangun berdiri.
"Tidak perlu kau omong
yang tidak keruan!" ia menegur.
Thian Yauw tidak gusar,
kembali dia tertawa.
"Kau benar!"
katanya, "benar! Memang sebegitu jauh aku ketahui. Hok Thian Touw ialah
orang yang biasa tak suka mengambil tahu segala urusan sampingan! Cuma aku
tidak mengerti kau, kenapa di sini kau menjadi usilan mau campur urusan lain
orang?"
"Ngaco!" bentak In
Hong gusar, dengan pedangnya dia menuding. "Tidak sempat aku mendengari
ocehanmu! Lekas hunus senjatamu!"
Masih saja Thian Yauw tertawa
-tertawa dingin.
"Apakah kau kira aku cuma
ngoceh saja?" katanya. "Di belakang hari kau nanti mendapat tahu
bahwa sekarang ini aku bermaksud baik terhadapmu! Jikalau kau tetap usilan, kau
bakal tidak dapat mengurus lagi suamimu! Memang kata-kata jujur tidak sedap
untuk telinga, dari itu, jikalau kau tetap tidak mempercayainya, terserah
padamu!"
In Hong gusar hingga mukanya
menjadi merah padam, tanpa mengucap sepatah kata lagi, ia menggeraki pedangnya
menikam orang di depannya itu. Ia menggunai jurus "Pengtjoan kaytong"
atau "Sungai es lumer," maka itu, sebelum pedang meluncur lempang,
lebih dulu sedikit diputar, menanti sampai lawan mengeluarkan senjatanya, ialah
kipas besinya.
"Bagus!" para
hadirin berseru karena kagumnya melihat lincahnya gerakan pedang itu.
"Bagus!" Thian Yauw
pun memuji. "Benar-benar ilmu pedang Thiansan tidak sembarang!"
Sambil berkata itu, dengan kipasnya ia menangkis. Tidak perdu1i serangan itu
sangat berbahaya, dia dapat membebaskan diri. Dia tidak nampak gugup, hingga
orang pun mengaguminya.
Serangan dan tangkisannya itu
mengakibatkan sesuatu yang membuat orang heran, kagum dan kaget. Dengan
tangkisannya itu, Tjouw Thian Yauw memperlihatkan keliehayannya. Bukan
melainkan orang luar, In Hong sendiri pun heran. Ketika kedua senjata bentrok,
pedang lantas seperti tertempel kipas, tempo In Hong menarik, tubuhnya seperti
terbawa terputar, ia bagaikan tidak dapat menancap kakinya.
"Kena!" Thian Yauw
berseru. Dia merangkap kipasnya, dia menusuk ke arah jalan darah hoenboen hiat
dari si nyonya muda.
Kembali orang kaget. Itulah
gerakan sangat bagus dan cepat.
In Hong pun terkejut, tetapi
dengan pedangnya lolos dari tempelan, ia pun dapat bergerak dengan cepat dan
lincah. Menyingkir dari totokan itu, ia menjejak lantai, berlompat mengapungi
diri, ketika tubuhnya turun, ia membarengi menyerang, dari atas kebawah!
Thian Yauw bermata tajam dan
sebat gerakannya, ia telah bisa menduga gerak-gerik si nyonya muda. maka itu,
tanpa ayal, ia berkelit sambil ia menangkis, hingga serangan nyonya itu gagal
dan ia selamat. Ketika si nyonya menaruh kaki di lantai, dia telah memisahkan
dirinya cukup jauh.
Selelah gebrakan ini, kedua
pihak sama-sama mengetahui liehaynya lawan masing-masing, dari itu, keduanya
lantas tidak berani memandang enteng satu pada lain.
Habis itu, mereka hendak mulai
bergebrak pula.
Lebih dulu Thian Yauw mengipas
dua kali, sembari tertawa, dia berkata: "Kiranya cuma sebegini saja ilmu
pedang Thiansan Kiamhoat yang diciptakan Keluarga Hok selama dua turunan!
Benarkah cuma sebegini?"
Itulah ejekan untuk Hok Thian
Touw dan ayahnya. Dengan itu maka telah dihinakan, suami dan pamannya In Hong
itu. Tentu sekali, panas hatinya nyonya muda ini.
"Baiklah, kau sambut lagi
ini ilmu pedang dari Thiansan!" ia membentak seraya menyerang dengan
pedangnya, pedang Tjengkong kiam. Sebab itu ada tipu pedang "Bidadari
melempar torak," maka ujung pedang meluncur ke dada di mana ada jalan
darah soankie hiat.
Serangan In Hong ini berbahaya
akan tetapi Thian Yauw menyambutnya dengan tenang tetapi sebat. Dia seperti
juga telah menduga si nona bakal menyerang secara demikian terhadapnya. Inilah
tidak heran, karena ejekannya itu pun untuk mengundang kemarahan lawannya. Dia
tidak menangkis, hanya sambil mundur sedikit, dia membikin dada dan perutnya
kempes. Dia telah menggunai tipu silat "Menelan dada. menyedot
perut." Dengan begitu, ujung pedang hanya mendekati dadanya kira-kira dua
dim. Adalah setelah itu, atau hampir berbareng, dia melakukan serangan
membalas. Dia mengipas, niatnya menempel pula pedang lawan seperti bermula
tadi.
In Hong juga seperti telah
menduga bahwa orang hendak menempel pula pedangnya, ia telah berjaga-jaga,
ketika pedangnya itu dikipas, ia segera menarik pulang. Hanya ia tidak
menyangka akan kelicikan orang. Thian Yauw masih memain dengan siasatnya.
Mendadak Thian Yauw tertawa
dingin dan berkata: "Biarlah kau pun belajar kenal dengan ilmu
totokku!" Kata-kata ini disusul sama serangannya, dengan totokannyayang
saling susul!
Hebat serangan ini. karena
kipasnya orang she Tjouw ini luar biasa. Yaitu tulang-tulang kipas tajam, di
waktu dipakai menyerang dengan kipas dibeber, ujung tulang itu bekerja seperti
pusut atau tempuling, mencari setiap jalan darah. Jadinya kipas itu, rapat
dapat dipakai menotok, dibeber pun dapat dipakai menotok juga, rapat hanya
satu, dibeber, banyak. Pula tipu menotok itu diberi nama istimewa, yaitu
"Tjoeisian kongtjauw" atau "Dewa mabok mengacau rumput."
Sebenarnya, jalan darah yang di arah ialah tujuh buah.
In Hong terkejut, terpaksa ia
main mundur. Ia berkelit dan menyabet, untuk melindungi dirinya.
Juga Thian Yauw terkejut. Dia
hanya disebabkan kegagalannya menotok si nyonya. Dia tidak menyangka, lawan ini
demikian waspada dan gesit, hingga serangannya yang Iiehay itu tidak memberi
hasil.
Dengan main mundur itu, In
Hong dapat membebaskan diri. setelah berlompat ke samping, ia pun mencoba
membalas menyerang. Dengan demikian, mereka jadi bergebrak pula. Tanpa merasa,
mereka telah melewatkan tiga puluh jurus.
Biar bagaimana, Thian Yauw
nampaknya lebih unggul sedikit, lebih sering dia merangsak, menutup pedang si
nyonya muda. hingga In Hong seperti juga, tidak dapat menggunai pedangnya
dengan merdeka. In Hong dibikin repot dengan gerak-geriknya menyingkirkan diri
dari tempelan kipas besi yang Iiehay itu.
Di waktu bertempur seru itu,
Thian Yauw masih dapat kesempatan untuk kadang-kadang tertawa mengejek.
Demikian satu kali. habis tertawa, dia merangsak seraya berseru:
"Kena!" Kipasnya, yang tadinya dibuka dan dikipas-kipaskan, mendadak
ditutup, dipakai menotok ke kepala di mana ada jalan darah pekhwe hiat.
Thio Giok Houw pun terperanjat
menyaksikan gerakan bagaikan kilat dari orang she Tjouu yang Iiehay itu, ia
berkuatir sekali In Hong nanti kalah hati dan gagal menjaga dirinya.
Selagi terancam bahaya itu,
mendadak In Hong juga berseru: "Kena!" Luar biasa lincahnya ia
berkelit, sangat sulit untuknya lolos dari bahaya, tetapi begitu ia bebas,
begitu ia menyontek, guna satu penyerangan membalas.
Thian Yauw terkejut. Dia
menarik pulang tangannya! Tidak perduli dia bergerak sangat cepat, ujung tangan
bajunya kena juga dirobek ujung pedang!
Para hadirin terpesona, dari
kaget mereka kagum dan heran. Tentu sekali, hati mereka menjadi lega dan
girang, sebab pahlawan mereka selamat dan menang sejurus.
Thian Yauw sendiri heran tak
terhingga. Ia tidak menyangka lawannya bisa lolos. Sedang ia tahu betul, ia
sudah menutup diri dan serangannya itu Iiehay luar biasa. Ia tidak bisa
mengerti, mengapa orang bebas dan akhirnya berhasil dengan pembalasannya itu.
Leng In Hong tidak mau mengasi
ketika orang berpikir. Ia menyerang pula. Ia ingin dapat membalas mendesak.
Thian Yauw menangkis.
Nyonya Thian Touw mengasi
lihat kelincahannya. Baru ia menyerang di kiri, atau segera ia menikam pula
dari sebelah kanan. Luar biasa gesitnya, ia bergerak dari kiri ke kanan itu. Ia
menginsafi, tanpa kegesitan, sukar ia menandingi ini musuh liehay. Di kanan
itu, iamenikamjalan darah tjengtjiok hiat.
"Bagus! Bagus!"
demikian pujian dari beberapa hadirin, yang mengerti baik tentang ilmu pedang.
Mereka kagum bukan main untuk liehay si nyonya muda. Hanya mereka juga tidak
mengerti, bagaimana sebenarnya jalan pikiran nyonya itu maka ia dapat bergerak
demikian indah.
Duduknya hal yang sebenarnya
ialah sederhana untuk In Hong. Ia baru menginsafi satu jurus, yang ia gabung
menjadi satu-dari Thiansan
Kiamhoat dan Hian Kie
Kiamhoat, dan baru sekarang ia pergunakan itu. Nyatanya, percobaannya ini
memberi hasil yang memuaskan. Sayangnya Thian Yauw terlalu gesit, hingga cuma
ujung bajunya yang menjadi kurban.
Selagi In Hong girang atas
hasil jerih payahnya itu, Thian Yauw terkejut untuk liehaynya si nyonya muda,
yang sekian lama ia pandang enteng, sebab ia percaya, meski nyonya itu tangguh,
ia toh akan dapat mengalahkannya Sekarang ia memikir lain, sekarang maulah ia
waspada.
Bertempur selanjutnya, mereka
menjadi berada dalam kedudukan berimbang. Sampai lagi tiga puluh jurus,
kekuatan mereka tidak berbeda. Thian Yauw liehay tenaga dalamnya, yang
latihannya cukup, In Hong menang unggul ringan tubuhnya, yang sekarang dibantu
luar biasanya ilmu pedangnya itu.
Pertempuran yang meminta tempo
lama ini, yang berlarut-larut, hebat untuk In Hong. Ia sudah lantas bermandikan
peluh. Tetapi Thian Yauw juga demikian. Orang she Tjouw itu mengorong napasnya.
Nyonya Hok Thian Touw
berpikir: "Aku tadinya menyangka cuma kipasnya Kiauw Siauw Siauw yang
liehay sekali, yang luar biasa untuk kalangan Rimba Persilatan, siapa
sangkajahanam ini jauh terlebih liehay dari puteranya Kiauw Pak Beng itu.
Syukur aku telah berhasil menginsafi ilmu pedang gabunganku, jikalau tidak,
siang-siang aku mestinya telah roboh di tangan orang ini..."
Pertarungan berjalan terus.
Ujung pedang in Hong, bagaikan torak, tidak pernah berpisah jauh dari
anggauta-anggauta tubuh yang berbahaya dari Thian Yauw. Ujung kipasnya Thian
Yauw, sebaliknya, terus mengintai pelbagai jalan darahnya si nyonya muda. Maka
itu, para penonton menjadi kagum, semua menonton dengan menjublak, tidak ada
yang bersuara.
Sedangnya lain-lain orang
merasa tegang sendirinya, adalah kawannya Thian Yauw, yaitu si orang Biauw she
Tjioe, duduk tenang-tenang saja, berulangkah dia menyedot pipanya. Dia segera
menarik perhatiannya San Bin. Maka tjeetjoe ini lantas memberi kisikan kepada
Louw Too In dan Kok Tiok Kin untuk memasang mata. Ia menjadi bercuriga.
Dua-dua Too In dan Tiok Kin
ahli obat-obatan, bahkan Too In memperhatikan juga segala racun, maka itu,
diam-diam ia mengendus-endus baunya pipa si orang Biauw itu, akan kemudian ia
kata perlahan kepada Tiok Kin: "Baunya asap pipa ini rada luar biasa akan
tetapi aku merasainya seperti tidak ada campuran racun di dalamnya..."
Tiok Kin tidak membilang
apa-apa, tetapi San Bin menjadi sedikit lega.
"Di saat seperti ini,
aneh juga orang dapat menghisap pipanya cara dia ini." pikir ketua itu,
"tetapi dialah tetamu, tidak ada alasan untuk aku melarang dia..."
Meski Too In berbicara
demikian terhadap Tiok Kin, kecurigaannya tidak lenyap. Maka diam-diam ia terus
memasang mata kepada orang Biauw itu.
Pipa Keng Ham besar luar
biasa, dengan begitu isinya pun luar biasa banyak. Ialah tiga lipat dari pipa
biasa. Sudah begitu, Too In memasang mata dengan keheran-heranan. Orang
senantiasa menyedot, menghisap, akan tetapi asap sedotannya itu tidak
dikeluarkan, tidak dikepulkan sebagaimana selayaknya. Asap itu seperti lenyap
di dalam perut.
"Dia benar-benar
aneh," pikir tabib asal Siamsay itu. "Dia dapat makan asap pipanya,
mungkin asapnya itu tidak ada racunnya, kalau toh ada, ialah asap yang hanya
dapat membikin pulas..."
Biar bagaimana, tabib ini
tetap memasang mata, cuma kadang-kadang ia memperhatikan jalannya pertempuran.
Semua hadirin berdiam tetapi ada yang hatinya berdebaran.
Pertempuran itu sangat hebat
-- pedang berkilauan, kipas berkelebatan. Keduanya sudah letih tetapi mereka
bertempur terus, sama-sama mencari ketika untuk merebut kemenangan. Mereka
tidak mau memberikan ketika senjata mereka bentrok, maka itu, suara mereka
sunyi, kecuali berkesiurnya dari gerak-gerik tubuh mereka.
Dalam pada itu, lagi-lagi
terdengar seruannya Thian Yauw, membarengi serangan kipasnya.
Ketika itu In Hong baru
menyerang dengan jurusnya "Hengtjie thian" atau, "Melintang
menuding langit Selatan." Ketika ini dipakai lawannya untuk menyerang,
guna menempel pedangnya itu. Dan lawan itu berhasil. Maka repotlah ia berdaya
ke kiri dan ke kanan, guna meloloskan pedangnya itu.
Juga Thian Yauw tidak berdiam
saja, juga dia membuat senjatanya bergerak ke kiri dan kanan, guna menarik pedang
si nyonya, akan tetapi dia pun tidak berhasil merampas pedang orang, sebab In
Hong dapat mencekel terus dengan keras.
Dari berkutat itu, keduanya
lantas berdiam, berdiam untuk menanti saatnya. Thian Yauw hendak membetot, In
Hong mau mempertahankan diri. Lalu terlihat Thian Yauw menolak. Atas itu, In
Hong mundur satu tindak, kuda-kudanya dipasang. Ketika ia didesak lagi, kembali
ia mundur satu tindak pula.
Giok Houw menyaksikan itu.
"Inilah berbahaya,"
pikirnya. "Kalau entjie In Hong kalah, siapa lagi yang dapat melayani
dia?"
Thian Yauw tidak dapat
menggunai kekerasan, ia lalu mencoba tenaga dalamnya. Ia menolak dengan
kipasnya, untuk menggempur. Tapi In Hong terus bertahan, nyonya itu masih
sanggup membela diri.
Beberapa puluh tahun sudah
Thian Yauw melatih diri, tenaga dalamnya mahir luar biasa, jauh lebih menang
daripada nyonya yang menjadi lawannya itu, maka juga. setelah mencoba terus
menerus, ia dapat memaksa nyonya itu mundur sampai tujuh tindak. Desakannya ini
membikin bingung para hadirin, mereka sangat berkuatir In Hong akhirnya kena
dirobohkan. Sampai itu waktu, sia-sia belaka In Hong mencoba meloloskan
pedangnya.
Tapi desakan itu tidak
berlangsung terus. Nyonya Hok Thian Touw tidak mau sembarang menyerah. Sambil
bertahan, ia memasang mata. ia mengerjakan otaknya. Ia cerdas sekali. Tiba-tiba
ia mendapat akal. Mendadak ia mengendorkan tenaganya, lalu mendadak juga ia
menusuk kaget, ujung pedangnya dikutik sedikit. Dan kutunglah sebatang tulang
kipasnya lawan!
Tipu silat Nyonya Hok Thian Touw
ini ialah yang dinamakan "Pauwteng kaygoe" atau "Koki melepaskan
kerbau." Itulah tipu dari "Hiankong Yauwkoat." Ia mencoba dan ia
berhasil.
Walaupun demikian, In Hong
belum berhasil meloloskan pedangnya. Thian Yauw segera bertahan pula.
Untuk sejenak, orang she Tjouw
itu terkejut. Tahu-tahu sebuah tulang kipasnya putus. Dengan begitu, sudah tiga
buah tulang kipasnya itu yang terputuskan lawannya yang cerdik itu. Karena ini,
ia mulai mendesak pula, hingga lagi-lagi In Hong dipaksa mundur.
San Bin dan Giok Houw
berkuatir sekali. Terang In Hong menjadi makin letih. Berbahaya kalau kipasnya
musuh tidak dapat dikutungkan dan dikutungkan pula, supaya kipas itu tak dapat
terus dipakai mendesak, supaya Thian Yauw tidak bisa menotok lagi. Tapi,
bagaimana? Thian Yauw ada sangat tangguh.
Tengah Giok Houw berkuatir
itu, hingga ia mengeluarkan peluh dingin, mendadak ia mendengar suara berketruk
nyaring, lantas terlihat Tjio Keng Ham berbangkit dan bertindak ke arah
kalangan pertempuran. Orang Biauw itu berjalan dengan kepalanya yang gundul
digoyang-goyang.
"Kami datang kemari untuk
uang, kami bukan menghendaki jiwa!" berkata dia dengan bahasa Han yang
tidak lancar. "Pertempuran ini hebat tetapi tidak ada keputusannya, maka
itu baiklah cara bertempur ini ditukar saja dengan cara lain!"
Kata-kata itu dibarengi sama
goyangan kepala. Mendadak sebelah anting-antingnya melesat, tepat masuk ke
ujung pedang In Hong, atas mana, pedang itu pun dengan tiba-tiba terlepas dari
libatannya kipas Tjouw Thian Yauw. Dengan lolosnya pedangnya itu, si nyonya
merdeka untuk lompat mundur, hanya begitu lekas kakinya menginjak lantai,
sekonyong-konyong tubuhnya terhuyung, terus ia jatuh. Dengan hanya sejenak, ia
merasai kepalanya sangat pusing dan matanya berkunang-kunang.
Semua orang kaget dan heran.
Kenapa In Hong roboh? Kenapa ia tidak lantas bangun pula, untuk berlompat
bangun? Jikalau ia cuma terhuyung, ia pasti dapat mempertahankan diri. Biasa
saja orang terhuyung habis menarik keras lain mendadak yang ditarik itu
terlepas.
Louw Too In pun kaget tetapi
dia lantas berbangkit, untuk mengambil secawan air teh. untuk dibawa kepada
Nyonya Hok Thian Touw.
Thio Giok Houw bergerak lebih
sebat daripada tabib dari Siamsay itu, dengan menghunus goloknya, golok
Biantoo, ia lompat masuk ke dalam gelanggang.
"Bangsat Biauw tidak tahu
malu!" ia berseru. "Bagaimana kau berani main gila dan berlaku rendah
di sini?"
Tjio Keng Ham tertawa berkakak
menyambut tibanya si anak muda, dengan mulutnya dibuka, itu, dari situ mengepul
keluar asap hoentjwee-nya.
Giok Houw telah bersiap sedia
untuk sambutan yang berupa penyerangan mendahului itu, ia hanya tidak menyangka
bahwa ia bakal dipapaki asap. Ia mengibas dengan tangannya yang kiri, ia
menggunai pukulan Pekkhong tjiang. Meski begitu, tidak Semua asap dapat
disampok, ada juga yang mengepul ke hidungnya, hingga ia merasa pusing
kepalanya dan matanya berkunang-kunang, tak tempo lagi, ia terhuyung mundur.
Syukur untuknya ia dapat mempertahankan diri dengan kuda-kudanya yang kokok
kuat.
Itu waktu, Louw Too In juga
sudah tiba kepada In Hong, muka siapa ia sembur dengan air yang ia bawa itu,
atas mana Nyonya Hok Thian Touw lantas berlompat bangun dalam gerakannya Ikan
Gabus Meletik, bahkan untuk segera menikam Keng Ham.
Orang Biauw itu berkelit,
sambil menghadapi Too In, ia berkata dingin: "Ha, kiranya kau pun seorang
ahli! Baiklah, kau rebahlah lebih dulu!"
Lalu dia menyembur pula dengan
asap pipanya!
Too In menduga orang menggunai
asap pulas, ia tidak takut. Untuk melawan itu, ia sudah makan obat pemunahnya.
Maka ia maju, untuk melawan.
Keng Ham benar-benar liehay.
Di samping asap kepulannya itu. diam-diam tangannya menyentil. Di tangannya itu
ia memegang serupa bubuk beracun lain, yang liehay sekali.
Too In kaget sekali dan
kesakitan sangat. Ia merasakan bagaikan puluhan jarum menusuk biji matanya.
Begitu ia menjerit, begitu tubuhnya roboh, sebab Keng Ham telah menyusuli ia
dengan satu serangan tangan kosong!
Atas kejadian itu, yang
membikin orang kaget dan gusar, semua hadirin berlompat bangun, semua maju ke
gelanggang. Mereka sangat penasaran.
"Bagus!" berseru
Keng Ham sambil tertawa. "Kamu mau main keroyok ya? Baiklah, boleh
sekalian saja kamu berkenalan sama aku, Pektok Sinkoen!"
Satu-dua orang di antara
hadirin itu kaget bukan main. Mereka itu pernah tinggal di wilayah Biauwkiang
dan mengetahui nama dari Pektok Sinkoen, si Malaikat Seratus Racun. Mereka
tidak sangka, inilah jago racun itu.
Keng Ham bersuara seraya
membuktikan ancamannya. Ia mengepul-ngepulkan asapnya, hingga ruang Tjiegie
thia penuh dengan asapnya yang berbahaya itu. Sekarang ia mengudal asap yang
tadi ia sedot terus menerus, yang ia bisa simpan di dalam perutnya.
Asap beracun itu luar biasa.
Siapa mahir ilmu menahan napas, ia ketolongan. Obat pemunah yang umum saja
tidak dapat bertahan terhadapnya. Maka itu, dengan bergantian terdengar
blak-bluk dari robohnya tubuh orang ke lantai. Siapa kuat, dia dapat bangun
pula, untuk roboh kembali, siapa tidak kuat, dia roboh terus.
Giok Houw kaget, gusar dan
berkuatir. Ia menutup rapat dirinya. Ia maju kepada Keng Ham sambil saban-saban
menyerang dengan Pekkhong tjiang, Pukulan Udara Kosong, mengusir asap, lalu
setelah datang dekat, ia membacok orang Biauw itu.
Keng Ham pun liehay, atas
datangnya serangan, ia membuat perlawanan. Ia mengangkat pipanya yang panjang,
untuk menangkis. Ia tidak tahu goloknya Giok Houw ialah golok Biantoo, dan Giok
Houw sendiri mengerti Tongtjoe kang, ilmu Jejaka Sejati, sedang tenaga dalamnya
tidak dapat dipandang ringan. Maka kagetlah ia ketika ia mendapat kenyataan,
pemuda itu tidak dirobohkan dengan asap. bahkan pipanya kena terbabat!
Giok Houw girang dengan
hasilnya penyerangannya yang pertama itu. tanpa mengasi ketika ia mengulangi
bacokannya Tapi kali ini, goloknya kena ditangkis Tjouw Thian Yauw, yang berlompat
kepadanya untuk membantui kawannya, hingga ia jadi menempur orang yang liehay
itu.
Baru beberapajurus, Siauw Houw
Tjoe sudah merasai dadanya sesak. Rupanya asap toh dapat nelusup. Ia menahan
terus, tidak berani ia membuka mulut, untuk bernapas. Karena menghadap musuh
tangguh, ia berkelahi dengan keras sekali.
Tiba-tiba terdengar suara di
kuping pemuda ini: "Kau juga rebahlah!"
Itulah suaranya si orang
Biauw. Ia kaget. Berbareng dengan itu, goloknya kena ditahan kipasnya Thian
Yauw, sedang punggungnya, di mana ada jalan darah kwietjhong hiat. kena ditinju
Keng Ham. Tidak ampun lagi, ia roboh tak sadarkan diri.
Ketika itu, asap mulai buyar.
In Hong bersama San Bin maju
menyerang. San Bin dengan Kimtoo, Golok Emas-nya, menyerang Thian Yauw dengan
bacokan "Tokpek Hoasan" --- "Membelah gunung Hoasan." Thian
Yauw menangkis dengan kipasnya. Inilah keras lawan lemas. San Bin mempunyai
latihan dari beberapa puluh tahun, hebat bacokannya itu, maka mau atau tidak,
Than Yauw kena terpukul mundur.
In Hong sendiri maju kepada
Keng Ham, segera ia menikam.
Orang Biauw itu terdesak, dia
berkelit sambil mundur, atas mana si nyonya merangsak, habis membabat, tangan
kirinya menyamber ke pundak, untuk menyengkeram tulang selangka
Biar bagaimana, Keng Ham kalah
gagah dari Thian Yauw, maka itu, menghadap In Hong tanpa perlindungannya orang
she Tjouw itu, ia tidak berdaya. Untung untuknya, nyonya muda itu tidak ingin
lantas meminta jiwanya, jikalau tidak, disebelah hancur tulang selangkanya itu,
jiwanya pasti akan sudah melayang!
Sebenarnya In Hong ingin
menawan hidup-hidup ini musuh yang berkepandaian luar biasa, kesatu ia ingin
mengorek asal-usul orang, dan kedua ia ingin memaksa minta obat pemunahnya guna
menolongi semua kurban asap beracunnya itu. Tapi justru karena keinginannya
ini, ia telah menjadi kurbannya si orang Biauw.
Keng Ham itu, kecuali
persediaan di tangannya, juga seluruh tubuhnya sudah dilabur racun. Begitu
ketika pundaknya kena diraba In Hong, dalam tempo yang cepat sekali, Nyonya
Thian Touw menjadi kaget sekali. Hampir mendadak, ia merasakan tangannya panas
dan sakit, terus tangannya itu sesemutan dan kaku. Itu waktu sia-sia belaka
niatnya menghancurkan tulang selangka si musuh, ia sudah tidak dapat menggunai
tangannya lagi. Keng Ham sebaliknya, sambil memperdengarkan seruan aneh, ia
mengangkat pundaknya, untuk menyundul, maka di lain pihak, tubuh In Hong yang
terpelanting jatuh!
Juga San Bin itu waktu, meski
tangguh tenaga dalamnya, dadanya mulai terasa sesak, hingga ia menjadi merasa
tubuhnya tidak leluasa lagi, kesehatannya seperti terganggu secara mendadak,
tetapi ia terus menguatkan hati. ia terus melawan Thian Yauw yang gagah itu.
Hanya, ketika ia melihat robohnya In Hong, kagetnya tidak terkira, tanpa
merasa, ia berseru! Tepat ia membuka mulutnya, tepat asap beracun menyerang
masuk, maka sedetik itu juga, ia terhuyung!
Thian Yauw menggunai ketikanya
yang baik, dengan kipasnya ia menyampok goloknya raja gunung itu, hingga Kimtoo
terpental, membarengi mana, Keng Ham maju dengan serangannya tangan kosong.
Maka tidak ampun lagi, robohlah tjeetjoe itu!
Thian Yauw lantas tertawa
bergelak-gelak, terus ia kata dengan nyaring: "Bukankah barusan kamu telah
mendengar terang jelas perkataannya Tjio Toako kami ini? Kami menghendaki uang,
bukannya jiwa! Tetapi, jikalau kamu tidak suka memberikan uang yang kami
inginkan itu, kami tidak mempunyai daya lain, terpaksa kami menghendaki
jiwajuga! Sekarang begini: Kami memberi waktu sepuluh hari kepada kamu, jikalau
lewat waktu itu tetap kamu belum menyerahkan separuh bingkisan, maka jiwanya
Tjioe San Bin, Thio Giok Houw dan Leng In Hong ini, jangan kamu harap dapat
hidup pula!"
Selagi Tjouw Thian Yauw
mementang mulutnya ini, Tjio Keng Ham mengambil kesempatan mengisi pula
pipanya, untuk disulut, untuk terus disedot berulang-ulang, maka di lain detik,
ia sudah mengepul-ngepulkan asap lagi, membikin asap yang sudah hampir buyar
habis menjadi banyak dan tebal pula, bagaikan awan mendung!
Semua berkuatir, semua pada
menutup mulut mereka. Tidak ada yang berani membuka mulut, sebab itu artinya
mereka bakal roboh seperti San Bin semua. Meski begitu, mereka bukannya berdiri
diam saja. Dalam murkanya, mereka itu maju menyerang, hingga sinar pelbagai
senjata tajam menjadi berkelebatan.
Dengan memutar kipasnya, Thian
Yauw menyerbu di antara banyak orang itu. Hebat serbuannya ini, sebab itu
saban-saban disusul sama suara robohnya tubuh orang, dibikin tambah berisik
dengan jeritan-jeritan dan berkontrang jatuhnya pelbagai senjata mereka itu.
Mereka itu roboh disebabkan tak tahan tak bernapas, lantaran mereka kena
tertotok, atau karena senjata mereka tersampok terlepas dan jatuh. Siapa yang
kaget dialah yang menjerit.
Di antara pengeroyok itu,
siapa yang ilmu silatnya liehay, dia tidak gampang-gampang kena dirobohkan,
tetapi senjata mereka kena dibikin tidak berdaya, mata mereka mesti keluar air
karena terserang asap yang membikin mata perih dan sakit, hingga akhirnya
mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Di dalam kekalutan itu. Liong
Kiam Hong berlompat menyerang kepada Tjouw Thian Yauw. hingga orang she Tjouw
itu menjadi terkejut, kata dia di dalam hatinya: "Aku tidak sangka nona
muda ini begini liehay tak di bawahnya Thio Giok Houw." Ia lantas mengasi
bergerak kipasnya, untuk membuat perlawanan. Atau segera ia diserang pula dari
kiri dan kanan, hingga ia menjadi kaget sekali. Terpaksa ia berkelit seraya
menangkis.
Gerakannya Thian Yauw ini
menurut gerakan "Poanliong papou," atau, "Naga melingkar
memindah tindakan," akan tetapi ia toh masih kurang sebat, benar ia lolos
dari serangan kiri kanan, tidak urung ujung pedangnya Nona Liong telah
menembuskan ujung bajunya. Syukur untuknya, ia tidak sampai terluka.
Tjio Keng Ham bekerja sama, ia
lantas menyembur ke arah si nona yang gagah itu.
Kiam Hong melihat datangnya
asap, ia lantas berkelit, sambil berkelit, tangannya mengibas. Dengan itu ia
menggunai kepandaiannya Tangan Baju Besi, atau Tiatsioe Sinkang. Inilah tidak
disangka Keng Ham, dia tidak dapat meloloskan diri, tahu-tahu dia merasakan
sakit hingga dia berkaok "Aduh!" Untung untuknya, pedang si nona,
yang menyusuli kibasannya itu, telah kena ditangkis Thian Yauw, siapa pun
menotok nona itu.
Kiam Hong kaget, lekas-lekas
ia membebaskan diri, hingga ia tidak usah roboh karena kepalanya pusing. Ia
lantas lompat mundur, hatinya terus memikirkan Giok Houw, keselamatan siapa ia
kuatirkan.
Thian Yauw dan Keng Ham
melihat tidak ada lagi serangan untuk mereka, mereka lantas mengundurkan diri
dari gumpalan asap, keluar dari Tjiegie thia, di sini dia tertawa lebar dan
berkata nyaring: "Hari ini kami tidak menghendaki jiwa kamu! Maka kamu
ingatlah! Jikalau sampai pada batas waktu yang kami berikan kamu masih tidak
menyerahkan bingkisan, bukan cuma tjeetjoe kamu bakal tidak tertolong lagi
jiwanya, juga gunung kamu ini akan kami bikin habis!"
Lantas berdua mereka
mengangkat kaki tanpa ada yang berani merintangi, kecuali beberapa orang, akan
tetapi mereka ini lantas kena disembur roboh oleh Keng Ham, yang menggunai
jimat asapnya itu.
Di dalam Tjiegie thia, asap
jahat itu sudah lantas buyar, maka tertampaklah segala apa dengan nyata. Kok
Tiok Kin yang telah lantas mementang lebar semua pintu dan jendela, hingga
angin bertiup masuk, la lantas memeriksa orang-orang yang roboh. Tiga belas
orang masih rebah tak sadarkan diri. Ketika ia memeriksa nadi mereka, ia
terkejut. Ia sekarang mendapat tahu, asap itu asap yang dibuat dari kimsie
kiok, atau seruni emas. dari wilayah Biauwkiang. Bunga itu memang beracun,
hidupnya di lembah-lembah, warnanya kuning emas mengkilap dan indah, maka
sayang sekali ada racunnya. Syukurnya, racun dari perantaraan asap, jadi
kurangan hebatnya.
Dengan lantas Tiok Kin
menggunai obat bubuk Hoanhoen San, tetapi ia tidak berani menanggung kesembuhan
seluruhnya. Iakuatir, setelah jiwanya tertolong, kurban-kurban itu bakal mendapat
sakit peparu serta ilmu silatnya sukar terharap terpulihnya. Sekalipun orang
yang dapat menahan napas dan yang mahir tenaga dalamnya, ada kemungkinan dia
jatuh sakit sebelumnya dia sembuh betul.
***
Masih ada enam atau tujuh
orang kurban totokannya Tjouw Thian Yauw. Mereka ini mempunyai dasar tenaga
dalam yang baik, maka mulanya mereka masih dapat bertahan, untuk tidak menyedot
asap beracun, hanya kemudian, sesudah tertotok, buyarlah tenaga melawan mereka,
akhirnya mereka menyedot juga. Syukur untuk mereka, pertolongan datang cepat,
mereka luput dari penyakit peparu. walaupun demikian, mereka mesti roboh sekian
lama juga disebabkan penyakit yang berat akibat keracunan itu. Yang membikin
orang kaget dan berkuatir adalah Tjioe San Bin bertiga Leng In Hong dan Thio
Giok Houw. Muka mereka itu menjadi hitam. Ketika Kok Tiok Kin menekan jalan
darah kwangoan hiat di tubuh mereka masing-masing, kerongkongan mereka mengasi
dengar suaragerijukan, lantas mereka memuntahkan reak kental yang bercampur
darah, sedang mata mereka tetap masih dirapatkan.
"Aneh, aneh!"
berkata Tiok Kin sesudah ia meraba nadi mereka itu.
"Bagaimana?" menanya
Kiam Hong, bergelisah. "Dapatkah mereka ditolong?"
"Mereka keracunan hebat
sekali," menyahut Tiok Kin. "Aku tidak mengetahui racun itu racun
apa. Menurut biasanya, dalam keadaan seperti ini, nadi mereka mesti lemah
sekali, akan tetapi sekarang ternyata nadi mereka berjalan seperti biasa. Aku
percaya, andaikata mereka dapat dibebaskan dari racun ini, juga ilmu silat,
atau tenaga dalam mereka, tidak bakal terganggu karenanya...
"Mungkin mereka dapat
bertahan karena lebih dulu mereka sudah makan Pekleng Tan," Kiam Hong
mengutarakan dugaannya.
"Adakah itu Pekleng Tan
yang terbuat dari soatlian?" Tiok Kin tanya.
"Benar! Ketika entjie Leng
turun gunung, ia membekal belasan butir, sekarang tinggal beberapa butir saja.
Marilah kita mencobanya terhadap mereka itu yang keracunan juga."
"Pantas kalau
begitu!" berkata Tiok Kin girang. "Hanyalah, meskipun Pekleng Tan
tidak dapat membebaskan mereka dari keracunan. Ini menandakan liehaynya racun
itu. Aku kuatir kecuali Tjio Keng Ham. di kolong langit ini tidak ada lain
orang lagi yang dapat menolongnya..."
Mendengar itu, Kiam Hong
menjadi gusar.
"Mungkinkah kita
benar-benar mesti dipengaruhkan dia?" ia berkata. Ia berdiam sejenak, atau
mendadak ia nampaknya kaget, lantas ia berseru: "Ah, luka ini mirip luka
yang disebabkan keracunan Tjit Im Toktjiang!"
"Apakah itu Tjit Im
Toktjiang?" Kok Tiok Kin tanya.
Kiam Hong memberikan
keterangan liehaynya tangan Tjit Im Tjiang, bagaimana dulu hari Tjioe Tjie Hiap
pun pernah mendapatkan luka itu.
"Aku lihat luka mereka
ini mirip lukanya Tjioe Tjie Hiap itu," ia menambahkan kemudian.
"Orang Kaypang mengetahui pengobatan luka semacam ini, mari kita lekas mencari
Pit Keng Thian!..."
Baru si nona berkata begitu
atau ia lantas menunduki kepala dengan roman lesu.
Pit Kheng Thian berada jauh
--- di propinsi Shoatang, di dalam tempo sepuluh hari, mana dapat dia
didatangkan kemari?
"Bagaimana caranya orang
Kaypang mengobatinya?" Tiok Kin tanya.
Belum lagi Kiam Hong menjawab,
di situ telah datang Tjioe Tjie Hiap bersama Tjio Tjoei Hong. Ibu dan anak ini
baru sembuh. San Bin melarang mereka turut dalam perlawanan terhadap musuh,
tetapi ketika musuh sudah berlalu, dari seorang tauwbak yang datang memberi
warta mereka ketahui kesudahannya pertempuran itu, maka mereka lantas datang.
Mereka kaget dan menjadi gusar sekali kapan mereka mendapat kenyataan suami dan
ayah mereka terluka demikian parah.
"Legakan hatimu, saudara
Tjioe," Kiam Hong menghibur. "Coba kau lihat, apa luka ini tidak sama
dengan lukamu dulu?"
Tjie Hiap mengawasi, untuk
meneliti.
"Ya, hampir mirip!"
katanya kemudian, heran. "Darah yang dimuntahkan itu berwarna separuh
merah dan separuh hitam, demikian juga darah yang aku muntahkan."
"Bagus!" berkata si
Nona Liong. "Sekarang bilang, apakah kau masih ingat bagaimana caranya Pit
Keng Thian mengobati padamu?"
"Tentang itu belakangan
Pit Pangtjoe telah memberikan keterangan padaku," menyahut Tjie Hiap.
"Dia telah merendam aku di air hangat, tujuh kali dia menukar air hangat
itu, kemudian ketika penukaran tiga yang paling belakang, aku tersadar. Dia
menggunai beberapa macam obat, yang bukannya obat-obat yang sukar
didapatkannya."
"Kalau begitu, lekas kau
mencatat namanya obat itu," kata Kiam Hong. "Kita mesti menyuruh
orang lekas menyiapkannya!"
"Jangan! Jangan!"
Sekonyong-konyong terdengar teriakan berulang-ulang, yang datangnya dari ujung
rumah.
Itulah suaranya Louw Too In.
Dia berbangkit dengan susah, kedua matanya merah dan bengkak. Dia telah terkena
Kiattjoe hoen, atau pupur kala, oleh Tjio Keng Ham, hingga matanya itu terluka
parah, syukur dia sendiri ahli racun, dengan cepat dia pergi ke tempat terbuka
di mana dia mengobati matanya itu, baru dia kembali ke dalam hingga, sambil
memeramkan mata, ia dapat mendengar pembicaraan orang. Dia mengasi dengar
cegahannya itu ketika dia mengetahui Liong Kiam Hong mau menggunai cara
pengobatannya Pit Keng Thian itu.
"Kenapa tidak
boleh?" tanya Tjio Tjoei Hong, yang mengetahui orang ada ahli obat-obatan
dan juga luas pengalamannya serta banyak pengetahuannya.
"Coba salah seorang
tolong membawa aku kepada Tjioe Tjeetjoe," berkata Too In.
Tjioe Tjie Hiap menghampirkan,
lalu ia memegangi, menuntun orang kepada ayahnya.
Louw Too In meraba nadinya San
Bin. la memegang sekian lama ketika mendadak ia mengasi dengar jeritan kaget
dan ketakutan dan tangannya itu disentak pulang.
Semua orang kaget.
"Kenapakah?" tanya
Tjoei Hong.
Louw Too In tidak menjawab.
Dia lantas mengeluarkan sebatang jarum, dengan itu dia menusuk jeriji tangannya
yang tengah, yang darahnya dia keluarkan dengan dipenceti. kemudian dia mengasi
lihat jari tangannya itu.
Nyatalah tiga jerijinya pada
melepuh seperti bekas tersulut api dan kulitnya hangus. Menyaksikan itu, semua
orang kaget dan heran dan giris hatinya.
"Tjit Im Toktjiang adalah
keracunan yang sifatnya dingin pada seluruh tubuhnya, dingin bagaikan es, maka
juga, meskipun orang dapat diobati dan sembuh, sampai lamanya setengah bulan,
hawa dinginnya masih kadang-kadang timbul pula."
"Benar, itulah
benar." berkata Tjie Hiap. "Demikianlah penyakitku."
"Sekarang ini tubuhnya
Tjioe Tjeetjoe panas." kata Too In pula, "maka itu lukanya bukan
disebabkan Tjit Im Toktjiang."
Tjie Hiap percaya keterangan
ini. Buktinya, dengan cuma meraba saja nadi ayahnya, Too In turut terluka
jerijinya.
"Habis, luka apakah
ini?" tanya Tjoei Hong.
"Mulanya aku tidak
ketahui tentang Tjio Keng Ham," sahut Too In, sampai dia menyebutkan
namanya sendiri serta gelarannya, Pektok Sinkoen. Melihat luka ini, mungkin ini
disebabkan racun Kioeyang Toktjiang."
"Sebenarnya siapa itu
Pektok Sinkoen?"
"Apakah luka Kioeyang
Toktjiang dapat disembuhkan?"
Demikian orang bertanya-tanya.
"Ketika dulu hari aku
keluar dari rumah perguruan," Too In memberikan keterangan, "aku
telah dipesan wanti-wanti oleh guruku, umpama kata aku bertemu sama orang atau
muridnya Kie Hoan dari wilaiah suku bangsa Biauw, aku dianjurkan untuk
menyingkir jauh-jauh. Untuk jaman kita ini, Kie Hoan ialah ahli racun nomor
satu. Dia mempunyai dua orang murid, yang seorang pria, yang seorang lagi
wanita --- yang pria bangsa Biauw, yang wanita bangsa Han. Yang pria itu telah
semenjak lama sudah mendapatkan namanya. Dialah Tjio Keng Ham, yang barusan datang
kemari dan gelarannya ialah Pektok Sinkoen, si Malaikat Seratus Racun. Yang
wanita itu kabarnya berasal murid murtad dari Tjie Hee Toodjin. yang belakangan
berguru pada Keluarga Kie itu. Selama hidupnya Tjie Hee, dia tidak berani
keluar dari wilayah Biauw itu, baru selama dua tahun ini, namanya mulai
terdengar. Dia menyebut dirinya Tjit Im Kauwtjoe. Di dalam ilmu silat, Pektok
Sinkoen kalah, tetapi mengenai racun, dia lebih menang, maka juga kepandaiannya
itu, yaitu Kioeyang Toktjiang, lebih liehay daripada Tjit Im Toktjiang. Siapa
terkena Tjit lm Toktjiang, dia dapat diobati dengan direndam dalam air panas,
guna menyingkirkan racun panasnya itu. tetapi Kioeyang tjiang bersifat panas,
kalau orang yang terluka karenanya direndam di air panas, itu artinya
mempercepat kebinasaannya. Maka juga, meskipun sifatnya kedua luka mirip satu
dengan lain tetapi cara pengobatannya beda."
"Kau mengerti perbedaan
itu, Louw Sinshe, kau tentu dapat mengobatinya, bukan?" Tjoei Hong tanya
kemudian.
Too In menghela napas.
"Luka disebabkan Tjit Im
Toktjiang masih dapat disembuhkan," katanya, "tidak demikian dengan
luka Kioeyang Toktjiang. Untuk itu, kecuali orang keluaran Keluarga Kie itu,
tidak ada yang dapat menolong. Selama sepuluh tahun guruku telah memahamkan
Kioeyang Toktjiang, ia tetap tidak berhasil menemukan obatnya."
Mendengar keterangan itu,
semua orang kaget, hatinya menjadi kecil. Tapi orang bersyukur juga atas adanya
keterangan itu, kalau tidak, mungkin mereka menggunai cara pengobatan yang
keliru, yang akibatnya akan membahayakan.
Tak dapat ditahan lagi, Tjoei
Hong mengalirkan air mata. Tapi ia ada sangat gusar.
"Jikalau begini, bukankah
kita jadi mesti mengasikan diri kita dipengaruhi musuh?" katanya sengit.
"Kalau nanti telah sampai batas waktu sepuluh hari yang diberikan itu maka
haruslah kita menyerahkan separuh bingkisan, untuk dihaturkan dengan kedua
tangan kita sendiri!"
Semua orang berduka dan
bingung, semua tunduk dan lesu. Mereka pun berpikir sama seperti Nyonya Tjioe
itu, ialah mereka mesti menyerah kepada kehendak musuh. Tapi mereka tidak puas.
Tidak sudi mereka menyerahkan bingkisan itu, yang didapatnya bukan tanpa
pengurbanan.
"Syukur Tjioe Tjeetjoe
dan yang lainnya telah makan Pekleng Tan." kata Too In kemudian, suaranya
perlahan dan tenang, "maka di dalam tempo sepuluh hari belum tentu mereka
bakal kehilangan jiwa mereka. Tempo yang diberikan Pektok Sinkoen masih belum
habis, aku pikir, baiklah kita berlaku sabar, perlahan-perlahan saja kita
mendayakannya."
Akan tetapi, daya apa mereka mempunyakan?
Bukankah Too ln sendiri, begitupun Tiok Kin. telah putus asa? Kecuali pihak
Pektok Sinkoen sendiri, siapa dapat menolong? Justeru pertolongannya musuh itu
tidak dikehendaki!
Dengan lesu Tjoei Hong lantas
menempatkan suaminya, In Hong dan Giok Houw, di sebuah kamar masing-masing.
Kiam Hong ada sangat berduka
dan berkuatir. Dengan In Hong ia ada bagaikan kakak dan adik. Terhadap Giok
Houw ia telah menaruh cinta. Sekarang ia menyaksikan mereka itu terluka tanpa
ia bisa berbuat apa-apa. Bagaimana ia tidak menjadi bingung dan kecil hatinya?
Kecuali San Bin. In Hong dan
Giok Houw bertiga, masih ada belasan orang lainnya yang terluka, maka itu, maka
juga, orang semua murung.
Leng In Hong masih mempunyai
sisa tiga butir Pekleng Tan, Kiam Hong ambil itu, ia hancurkan di dalam air,
lantas air obat itu ia bagi rata kepada mereka yang terluka itu. Louw Too In
dan Kok Tiok Kin pun membantu sebisanya, guna mencegah mereka nanti mendapat
gangguan pada peparu mereka.
Besoknya In Hong sadar paling
dulu. Ia memang mempunyai tenaga dalam paling mahir. Ia ditolong oleh obat
masak Yanyang Siokbeng thung buatannya Kok Tiok Kin. Tapi ia tidak boleh banyak
omong, maka itu, dengan suara perlahan dan terputus-putus, ia memberi pesan
pada Kiam Hong. Ialah ia minta Nona Liong pergi ke Thiansan untuk menemui Hok
Thian Touw, guna memberitahukan perihal sakitnya itu, untuk mendapat tahu,
Thian Touw suka datang menjenguknya atau tidak. Ia belum tahu hal lukanya yang
berbahaya itu, yang tidak dapat disembuhkan sekalipun dengan Pekleng Tan,
bahkan ia tidak bakal sanggup bertahan sampai dua puluh hari...
Kiam Hong berduka bukan main.
Ia tidak mau membuka rahasia, ia melainkan menjanjikan. Ia menahan kesedihan
hatinya.
San Bin bersama Giok Houw
masih belum sadar sekalipun di hari ketiga.
Selama tiga hari itu, telah di
kirim banyak orang ke pelbagai penjuru, guna mencari tabib yang pandai di
sekitar tempat seratus lie, akan tetapi ichtiar itu tidak ada hasilnya, semua
tabib yang datang pada tidak berdaya. Hanyalah, karena di kirimnya banyak
orang, di antaranya telah didapat keterangan bahwa didusun Bang keepo di luar
pegunungan Patat Leng telah terlihat Tjit Im Kauwtjoe bersama gadisnya. Kabar
ini justeru menambah kekuatiran orang...
"Tjit Im Kauwtjoe itu
ialah saudara seperguruan dari Pektok Sinkoen," demikian orang berpikir,
"sekarang dia berada di tempat berdekatan mestinya dia datang sebab
diundang kakak seperguruannya itu. Pektok Sinkoen sendiri sudah sukar dilawan.
bagaimana lagi kalau dia
dibantu adik seperguruannya itu yang tidak kurang liehaynya?"
"Apakah kamu tahu di mana
Tjit Im Kauwtjoe itu mengambil tempat mondok?" Kok Tiok Kin tanya beberapa
liauwlo yang membawa kabar itu.
Mereka itu malu sendirinya,
muka mereka menjadi merah. Mereka menggeleng kepala, tandanya mereka tidak
tahu.
Hal yang sebenarnya ialah:
Mereka melihat Tjit Im Kauwtjoe itu dan anak tetapi mereka tidak berani
menghampirkan dan tidak berani juga menyelidiki orang mondok di mana. Sebabnya
ialah mereka jeri terhadap kauwtjoe itu.
"Bang keepo ialah
kepunyaannya Bang Thong," berkata Tjio Tjoei Hong. "Bang
Thonghartawan terbesar di sekitar sini, biasanya jikalau kami membutuhkan uang
dan rangsum. belum pernah dia menampik, maka itu aku percaya dia tidak nanti
berani ketempatan musuh kita."
Pendapat Tjoei Hong ini benar,
hanyalah ia tidak pikir, kalau Tjit Im Kauwtjoe toh singgah di rumah Bang
Thong, mana dapat Bang Thong menampik. Pula. di waktu demikian, mana ada
kesempatan akan menegur Bang Thong itu?
"Baiklah kita jangan
putus asa." berkata Kok Tiok Kin kemudian. "Kita diberi waktu sepuluh
hari, kalau waktunya sudah habis, pasti Pektok Sinkoen bakal datang sendiri.
Bagi kita, tambahnya satu Tjit Im Kauwtjoe tidak berarti apa-apa. Mustahil
mereka bisa membunuh mati kita semua? Bukankah mereka cuma menghendaki
bingkisan. Sekarang masih ada waktu tujuh hari. kita menanti saja...
Semua orang bisa membade
hatinya Tiok Kin. Kalau sang waktu tiba dan mereka tetap tidak berdaya, dia
suka menyerahkan separuh bingkisan yang diminta musuh. Tentu sekali hal itu
membikin semua orang panas hati dan berduka...
Cuma Kiam Hong seorang yang
lantas berpikir: "Tjit Im Kauwtjoe itu aneh, dia pandai menggunai racun,
orang menyebutnya dia kepala agama sesat, meski demikian belum pernah terdengar
dia melakukan sesuatu kejahatan yang berlebihan. Sebenarnya belum lama dia
muncul dalam dunia Kangouw, dia menjadi terkenal karena racunnya. Kenapa aku
tidak mau mencoba berhubungan dengannya? Menurut entjie Sin Tjoe, ia pernah
menolongi Im Sioe Lan, gadisnya Tjit Im Kauwtjoe. Sioe Lan itu katanya jauh
terlebih baik daripada ibunya, dia pernah ditolong entjie Sin Tjoe, mustahil
dia tidak mengingat budi? Bagaimana kalau aku pergi padanya, untuk minta
bantuannya?"
Belum lagi nona ini mengambil
putusan, lantas ia ingat urusan Im Sioe Lan menampik lamarannya Kiauw Siauw
Siauw. Kenapa penampikan itu? Bukankah itu disebabkan Sioe Lan telah jatuh hati
kepada Giok Houw? Bukankah Tjit Im Kauwtjoe pernah melamar Giok Houw sendiri
untuk puterinya itu? Tapi Giok Houw telah menampik dengan getas. Karenanya,
bisakah ia pergi minta bantuannya Sioe Lan? Maka ia menjadi ragu-ragu.
"Coba entjie Sin Tjoe ada
di sini..." pikirnya pula sesaat kemudian. "Tentulah entjie Sin Tjoe
yang pergi, mungkin ada harapan. Kalau aku yang pergi, mungkin aku bakal diusir!
Bagaimana? Tidak dapat aku pergi kalau aku bakal dibikin malu..."
Karenanya, ia menjadi bingung
lagi, hatinya pepat.
Malam itu, setelah minum dua
bungkus obatnya Kok Tiok Kin, San Bin dan Giok Houw mulai mendusin. akan tetapi
mereka belum sadar seluruhnya, mereka cuma merasa lapar dan mengeluh atas nyeri
lukanya, orang di sekitarnya tidak ada yang mereka kenali.
Hati Kiam Hong sakit sekali
karena ia mendengar rintihannya Giok Houw. Ia pula pusing mendengar kasak-kusuk
sejumlah tauwbak, yang mengatakan bahwa bila tiba batas waktu, terpaksa mereka
mesti menyerahkan bingkisan mereka yang didapatnya dengan susah payah.
Tengah ia jalan mundar-mandir
seorang diri dengan rasa tidak keruan, sekonyong-konyong Nona Liong ingat lagi
Sioe Lan, maka pikirnya: "Im Sioe Lan pernah menyintai engko Houw, apa
mustahil dia dapat membiarkan orang yang pernah ia cintai itu mati kecewa?
Memang dia membenci aku, tetapi kalau aku bisa menggabungjodohnya denganjodoh
engko Houw, mustahil dia suka berdiam saja tanpa menolong? Baiklah, biar aku
menebalkan muka, aku pergi minta bantuannya, asal engko Houw
ketolongan..."
Cepat nona ini mengambil
keputusannya, lantas ia pergi pada Tjoei Hong, untuk mengutarakan niatnya
mencari Tjit Im Kauwtjoe, guna meminta obat.
Tjoei Hong terperanjat.
"Itulah berbahaya!" katanya. "Aku kira tidak," Kiam Hong
bilang. "Tjit Im Kauwtjoe ibu dan anak tidaklah sejahat pembilangan orang
banyak. Pernah beberapa kali aku bertempur sama mereka, rasanya meskipun mereka
bangsa sesat, hati mereka masih mengenal rasa kasihan..."
Kiam Hong tidak mau
menjelaskan adanya urusan asmara di antara Sioe Lan dan Giok Houw, asmara segi
tiga karena pada itu dirinya pun tersangkut, ia hanya memberi keterangan halnya
Sin Tjoe pernah membantu Sioe Lan menentang lamarannya pihak Kiauw.
Heran Tjoei Hong mendengar
urusan itu.
"Mereka ibu dan anak
berani menentang Kiauw Pak Beng, itu benar luar biasa," katanya.
"Hanya, biar bagaimana. Tjit Im Kauwtjoe tetap manusia sesal dan dia pun
adik seperguruannya Pektok Sinkoen! Mustahil dia mau bertindak menentang kakak
seperguruannya itu? Bukankah itu berarti berpihak dan menunjang orang luar? Aku
kuatir, jikalau kau pergi kesana. kau mirip orang yang mengantarkan diri ke
dalamjaring..."
"Aku dapat bertindak
dengan melihat gelagat," kata Kiam Hong. "Jikalau salatannya tidak
baik, aku pun tidak akan memaksa memintanya. Aku juga tidak merasa pasti bahwa
mereka, ibu dan anak, suka membantu, hanya aku pikir, untuk kita masih ada
sedikit harapannya. Bukankah ini terlebih baik daripada kita berdiam saja di
sini berpeluk dagu?"
Tetap Tjoei Hong tidak tenang
hatinya, akan tetapi ia toh pikir Nona Liong ada benarnya juga. Di dalam
keadaan seperti itu, mereka mesti berdaya, segala apa mesti dicoba.
"Baiklah," katanya
kemudian. "Jikalau kau tiba di Bang keepo, kau jenguklah Bang Potjoe,
untuk mohon keterangan. Dia bukannya orang golongan kita tetapi aku percaya dia
akan suka memberi muka kepada kita. Nona Liong, kau cerdas, segala apa aku
serahkan kepada kau sendiri!"
Nyonya Tjioe lantas menulis
surat untuk Bang Thong, surat mana ia pesan kalau sampai terpaksa barulah
diserahkan kepada alamatnya.
Kiam Hong lantas bersiap.
Malam itu juga ia berangkat. Pikirannya kacau tetapi hatinya keras, tekadnya
bulat. Hebat ia memikirkan dan menduga-duga sikapnya Im Sioe Lan nanti. Hebat
untuk ia menyerahkan Giok Houw pada Nona Im itu! Apakah Sioe Lan dapat
mempercayai ia? Bagaimana kalau Sioe Lan percaya dan Giok Houw dapat
disembuhkan? Bagaimana sikapnya Giok Houw nanti? Dapatkah Giok Houw menyintai nona
yang menjadi puterinya Kauwtjoe sesat itu?
"Biarlah, segala apa
terserah kepada sang waktu!" kata Kiam Hong akhirnya. "Sekarang aku
pergi pada Sioe Lan, aku minta obat. Kemudian, kalau Giok Houw sudah sembuh,
tentang jodoh terserah kepada mereka sendiri, umpama kata Giok Houw masih
memilih aku, aku bukannya menipu Sioe Lan..." Meski ia berpikir demikian,
mukanya toh merah sendirinya "Tidak, tidak dapat aku menipu Sioe Lan. aku
mesti menyerahkan Giok Houw padanya..."
Hati Nona Liong berpikir,
kedua kakinya bekerja, la berjalan cepat. Besoknya, lewat tengah hari, ia sudah
sampai di Bang kecpo, yang terpisah kira dua ratus lie dari gunung, la berjalan
terus. Lantas ia memasuki dusun. Orang pertama yang ia ketemui' ialah seorang
tua kepada siapa ia minta keterangan hal rumahnya Bang Thong
Orang tua itu mengawasi,
sikapnya tawar sekali.
"Mau apa kau cari
dia?" dia tanya sebelumnya dia menjawab.
"Ada satu urusan kecil
untuk apa aku ingin minta bantuannya," si nona jawab.
"Hm! Kau pergi cari dia
pada Raja Acherat!" kata orang tua itu, dingin. Kiam Hong melengak.
"Apakah artinya perkataanmu ini?" ia tanya. Benar-benar ia tidak
mengerti.
"Orang sudah mampus mana
dapat kau mencarinya di dalam dunia!" kata orang tua itu. tawar.
"Pasti orang mesti cari dia pada Raja Acherat! Inilah maksudnya
perkataanku! Kau mengerti tidak?"
Kembali si nona melengak.
"Benarkah itu?" katanya. "Kapan diamati?"
Kedua matanya orang tua itu
mendelik.
"Raja Acherat ketahui
BangToaya itu seorang baik hatinya, maka itu dia diundang siang-siang untuk
membikin pertemuan!" katanya pula. "Apakah kau menyayangi dia mati
siang-siang? Dia mati kemarin! Nona, kau ketinggalan satu tindak hingga kau
tidak keburu mengambil selamat berpisah daripadanya!"
Habis berkata begitu, lantas
orang tua itu ngeloyor pergi.
Mendongkol Kiam Hong
diperlakukan demikian, tetapi kemudian ia pikir: "Mestinya Bang Thong
jahat dan suka mengganggu sesama penduduk maka orang tua ini sangat membencinya
hingga aku turut dibenci pula! Di atas gunung orang membilang dia orang baik,
mungkin itu disebabkan penyelidikan yang keliru."
Lantas nona ini berjalan lebih
jauh. Ia masih menyangsikan si orang tua, maka waktu ia bertemu orang, ia
menanyakan pula. Ia mendapat jawaban yang serupa ialah benar Bang Thong sudah
mati dan matinya kemarin. Hanya kali ini dia diberitahukan bahwa orang mati
mendadak, matinya secara aneh. Ia juga mendapat kenyataan, orang-orang yang
ditanyakan itu pada menunjuki sikap membenci potjoe dari Bang keepo itu.
Paling belakang Kiam Hong
bertemu sama seorang bocah penggembala, yang suka memberi keterangan jelas
padanya hingga ia dapat tiba di muka pintu pekarangan rumahnya Bang Thong. Di
situ, di pintu besar, ia lantas melihat tergantungnya sepasang teng tanda
berkabung dan di muka pintu ada beberapa orang dengan pakaian putih lagi
melayani tetamu-tetamu yang datang menyatakan duka cita mereka. Ia lantas
diawasi beberapa orang yang berkabung itu, sebab mereka itu heran melihat ia
--- seorang nona --- datang tanpa membawa kertas, hio dan lilin, pula ia bersendirian
dan bajunya dilibat dengan tali pinggang warna merah.
Dengan merasa likat
sendirinya, Kiam Hong lantas berkata: "Aku datang dari tempat yang jauh,
aku tidak tahu bahwa Bang Potjoe telah meninggal dunia..."
"Nona she apa dan nama
apa?" tanya satu orang. "Nona tersangkut apa dengan potjoe kami?
Maaf, nona, kami tidak mengenali kau..."
Dalam likatnya. Kiam Hong
merasa sulit sekali. Pula ia malu hati untuk menggerecoki orang yang lagi dalam
kesusahan itu. Sebaliknya ia berpikir: "Jauh-jauh aku telah datang kemari,
mustahil aku bisa tak memperoleh kabaran dan pulang dengan tangan kosong?"
Maka dengan terpaksa ia kata: "Baiklah, sebentar kita bicara di
dalam." Lantas dengan cepat ia bertindak masuk.
"Ada seorang tetamu yang
tidak sudi memperkenalkan diri datang menghunjuk duka citanya!" berkata
tukang sambut tetamu, yang tidak dapat mencegah orang masuk.
Mendengar perkataan orang itu,
Kiam Hong bercuriga. Kata-kata itu mesti ada maksudnya. Ia rupanya disangka
sebagai musuh, maka orang di dalam rumah itu diberi tanda, diperingatkan untuk
bersiap sedia. Maka itu mau ia menyangka mungkin Bang Thong itu pernah
melakukan sesuatu yang menyalahi lain orang.
Benarlah dugaan itu.
Dari dalam lantas terlihat
munculnya beberapa orang.
antaranya ada anak tuan rumah,
yang mengenakan pakaian berkabung, ada pula tetamu, dan di antaranya ialah
seorang dengan alis gompiok dan mata gede, bahkan dia ini segera membentak:
"Kau siapa? Mau apa kau datang kemari?"
Dalam, keadaan seperti itu,
Kiam Hong mesti omong terus terang.
"Aku datang kemari untuk
bertemu sama potjoe, untuk minta keterangan," ia menjawab. "Aku ingin
menanyakan halnya satu orang. Aku tidak menyangka potjoe telah meninggal
dunia."
"Siapa itu yang kau
hendak tanyakan?" orang itu menanya pula.
"Dialah Tjit Im Kauwtjoe.
Apakah dia pernah datang kemari?"
Begitu mendengar jawaban itu,
semua orang itu kelihatan kaget.
"Kiranya kaulah anak
siluman dari Tjit Im Kauwtjoe!" orang tadi berteriak. "Tjit Im
Kauwtjoe sudah meracuni potjoe kami dan kau sekarang berani datang kemari untuk
menyerep-nyerepi kabar!"
"Terang sekali dia datang
untuk menantang!" berkata seorang lain. "Sudah dia meracuni orang
hingga mati, sekarang dia datang pula untuk menghina kami!"
"Dia tidak dapat
dibiarkan saja!" berseru orang yang ketiga. "Baiklah kita bekuk dulu
dia ini untuk minta ganti jiwa!"
Kiam Hong kaget bukan main.
Jadi Bang Thong mati diracuni dan yang meracuni ialah Tjit Im Kauwtjoe. Mau ia
menyangkal, untuk memberi keterangan, atau ia tidak diberi kesempatan. Beberapa
orang sudah lantas menyerang ia dengan golok! Ia mau menyingkir pun sudah tidak
ada ketikanya. Ia memikir untuk berlalu karena ia tahu setelah tuan rumah mati,
ia tidak bakal memperoleh keterangan yang diinginkan. Tapi ia telah diserang.
Segera ia berkelit.
Beberapa orang itu tidak mau
mengerti. Rupanya mereka sangat gusar, tidak berhasil membacok hanya satu kali,
mereka mengulanginya, mereka lantas mendesak.
Masih Kiam Hong main
mengelakkan diri. Ia mendapat kenyataan sekalian penyerang itu bukan sembarangan
orang dan mereka pun cerdik. Demikian, sesudah gagal beberapa kali, satu orang
merangsak terus dari depan, dua orang berlompat ke kiri dan kanan, untuk
mengepung sambil memegat jalan mundur. Juga caranya mereka menyerang itu rapi
sekali, suatu tanda cara penyerangan itu pernah dilatih.
Demikianlah satu kali, kalau
tidak Nona Liong sangat gesit, pasti kepalanya sudah kena terbacok. Karena ini,
akhirnya ia menjadi gusar. Bukankah ia tidak dapat lolos lagi?
"Pantas semua penduduk
desa ini sangat membenci Bang Thong," pikirnya. "Sampai dia sudah
mampus, orang-orangnya ini masih galak tidak keruan. Maka bisalah dimengerti
kejahatannya semasa hidupnya!"
Karena ini, ketika ia diserang
pula, Kiam Hong lantas membalas menyerang.
"Plok!" demikian
satu suara ketika ia berkelit sambil sebelah tangannya dikasi melayang. Ia
telah menghajar mukanya si penyerang. Ia menggunai "Tiatsioe
Kanghoe," atau ilmu silat "Tangan Baju Besi."
Kurban itu menjerit kesakitan,
mukanya bengap, mulutnya mengeluarkan darah, sebab dua buah giginya copot dan
ikut darahnya lompat keluar.
Yang lain-lainnya menjadi
bertambah gusar, sambil mencaci kalang-kabutan, mereka menyerang terus.
"Aku tidak bermaksud
jahat, siapa suruh kamu menerbitkan onar!" teriak Kiam Hong. Terus ia
menggerak-geraki kedua tangannya, menyampok kesana kemari, menyingkirkan setiap
golok. Di saat ia mau lompat ke pintu, guna lari keluar, mendadak ia merasai
samberan angin ke arah kepalanya. Lekas-lekas ia menangkis ke belakang.
Ketika itu pun maju seorang
lain, ialah orang dengan baju berkabung, dengan tangannya menyekal tangthung,
dengan apa ia menyerang si nona.
"Bagus!" berseru
Kiam Hong, yang segera berkelit sambil tangannya diulur, untuk menangkap
tangannya si penyerang, untuk terus disempar. Maka terjadilah bentrokan
tangthung itu dengan golok si penyerang tadi, hingga kutunglah itu tongkat
tanda berbakti.
Sekarang Kiam Hong dapat
melihat tegas penyerangnya itu, ialah seorang yang tubuhnya besar, yang dandan
sebagai wiesoe, atau pengawal, dalam istana raja, bahkan samar-samar ia
mengenali orang sebagai salah satu wiesoe dengan siapa ia pernah bertempur di
dalam kuil Hianbiauw Koan. Ia menjadi sangat mendongkol, maka ia kata dengan
nyaring: "Baru-baru ini Tayhiap merdekakan kamu, sekarang kau berani
datang kemari untuk mengacau!"
Pengawal itu gusar. Ia pun
lantas mengenali si nona.
"Kiranya kau, bangsat
perempuan!" dia mendamprat. "Mau apa kau datang kemari? Bagaimana kau
berani mengatakan aku mengacau sedang aku datang kemari diundang tuan rumah?
Kau justeru yang datang mengacau dalam rumah orang mati ini! Kau mesti dibekuk
untuk digusur kehadapan pembesar negeri!"
Sembari mementang mulut lebar
itu, wiesoe itu menyerang pula. Dia rupanya menjadi berani sebab di situ dia
melihat banyak kawannya.
Kiam Hong lantas merasa bahwa
pertempuran tidak dapat disudahi dengan begitu saja. Maka terpaksa ia menghunus
pedangnya. Ia berteriak: "Siapa tidak mau mengasi aku lewat, jangan dia
menyesalkan yang pedangku tidak ada matanya!"
Wiesoe itu masih menyerang,
maka itu, ketika ia dilayani, baru beberapa jurus, goloknya sudah kena dibabat
kutung.
"Yang Taydjin, lekas
keluar!" mendadak si wiesoe berteriak.
Kiam Hong terkejut.
"Entah dia memanggil Yang
Taydjin siapa?" pikirnya. Ia sangsi yang dimaksudkan itu ialah Yang Tjong
Hay.
Tak usah nona ini
menduga-duga, bahkan belum berhenti ia berpikir, telinganya sudah mendengar
suara tertawa terbahak-bahak yang dikenalnya, tertawa mana disusul kata-kata
ini yang dikenal juga: "Han Laodjie, jangan takut! Aku datang!"
Segera dari ruang di mana ada
peti mati terlihat satu orang berlompat keluar, ketika Kiam Hong menoleh, ia
mengenali orang itu siapa, ialah Yang Tjong Hay si bekas tjongkoan dari istana.
"Kiranya Nona
Liong!" Tjong Hay kata sambil tertawa pula. "Pantas kamu tidak dapat
membekuknya! Haha-haha! Nona Liong, hari ini kita bertemu pula! Dulu hari kita
bertemu di depan peti matinya Tiat Keng Sim, sekarang di depan peti matinya
Bang Potjoe! Dulu hari itu akulah si orang yang datang menunjuk bela sungkawa,
sekarang kaulah yang menggantikan aku! Sungguh kebetulan! Sungguh menarik hati!
Dulu hari itu kau tidak dapat menahan aku, maka sekarang ingin aku memohon kau
sukalah berdiam di sini!"
Hati Kiam Hong bercekat. Tjong
Hay ada satu di antara empat jago pedang yang berkenamaan. tidak perduli dialah
jago yang terlemah. Sekarang ini dia telah berimbang ketangguhannya dengan Ie
Sin Tjoe dan Leng In Hong. Tentu sekali, dibanding dengan dia, ia kalah unggul.
Karena ini, segera ia berlompat, niatnya untuk menyingkir.
Keluarga Bang itu banyak
orangnya, mereka mengurung dan memegat, tetapi Kiam Hong mencoba menoblos dari
antara mereka. Ia menyerang ke depan, lalu ke kiri dan ke kanan. Dengan cepat
beberapa orang telah kena dilukakan ujung pedang, hingga mereka kesakitan,
roboh di lantai sambil teraduh-aduh dan bergulingan, hingga mereka mengganggu
kepada Yang Tjong Hay, yang mencoba memburu si nona. Sebab dia bagaikan
terintang, orang yang disusul itu berhasil lolos dari pintu besar. Tapi dia
tidak mau mengerti, dia mengejar terus.
"Sekarang tidak ada Thio
Tan Hong sebagai tulang punggungmu!" dia berkata nyaring, tertawa
mengejek. "Tidak nanti kau sanggup lolos dari telapakan tanganku! Maka
baiklah kau berlaku manis, kau lemparkan pedangmu, kau manda aku tangkap,
supaya tak usahlah kau sampai tersiksa!"
Yang Tjong Hay ini liehay, dia
telah mendapat keterangan halnya Thio Tan Hong bersama Ie Sin Tjoe sudah
berangkat pulang ke Selatan, maka dia lantas muncul pula, untuk bekerja.
"Thio Tayhiap berkasihan
terhadapmu, kau diberi ampun. Sekarang kau berani banyak tingkah!" Kiam
Hong membentak. "Kau tahu malu atau tidak?"
Ditanya begitu, Tjong Hay
menjadi gusar sekali, ia justeru mendapat malu besar sebab Tan Hong telah
menotoknya hingga ia mesti tidur sehari semalam dan kejadian itu diketahui oleh
bekas orang-orang sebawahannya. Tanpa berkata-kata lagi ia lompat ke arah si
nona dengan gerakannya "Burung garuda menyamber kelinci," pedangnya
menikam nona itu.
Kiam Hong berlaku cerdik, ia
tidak mau melawan keras dengan keras. Ia tahu musuhnya terlalu liehay untuknya.
Ketika diserang itu. ia berkelit, dan tempo ia didesak, diserang
berulang-ulang, ia melawan selama beberapa jurus, setelah mana ia mengambil
kesempatan untuk berkelit sambil lompat mundur, untuk lari. Bekas tjongkoan
istana itu boleh liehay tetapi dalam berapa gebrakan tidak nanti dia bisa
membekuk nona lawannya itu.
Beruntung buat Kiam Hong. di
dalam halnya ilmu ringan tubuh, ia menang unggul dari jago pedang itu, maka
juga, ia dapat berlari-lari, kalau sudah terdesak, baru ia melayani mengadu
kepandaian. Ia terus menggunai siasatnya ini. lari dan melawan dan lari. Maka
juga Tjong Hay mesti terus mengejar sampai belasan lie tanpa hasil.
Bukan main panasnya hati Tjong
Hay. Dia saban-saban ditinggal lari sejarak beberapa tombak. Kalau dia sudah
paksakan berlari keras dan berlompatan, baru dia dapat menyandak, atau setelah
itu. kembali dia ditinggal lari.
Kiam Hong menang ringan tubuh,
ia kalah tenaga dalam, inilah berbahaya untuknya. Lama-lama, ialah yang menjadi
letih terlebih dulu. Yang Tjong Hay bermata tajam, dia melihatnya, berbareng
mendongkol, dia girang.
"Nona Liong, kau sudah
letih berlari-lari!" katanya sambil tertawa nyaring. "Aku lihat,
baiklah kau beristirahat dulu! Marilah duduk, untuk kita memasang omong! Aku
hendak menanya kau, apa perlunya kau mencari Tjit Im Kauvvtjoe! Kau omonglah
terus terang! Jikalau tidak, apabila sebentar kau terjatuh ke dalam tanganku,
kau nanti menderita!..."
Benar-benar Kiam Hong
menghentikan larinya. Tapi ia membungkam, dan ketika Tjong Hay dapat menyandak
dan berada dekat dengannya, sekonyong-konyong ia menikam!
Tjong Hay terkejut. Ia tidak
menyangka si nona dapat berlaku demikian. Ia berkelit, tidak urung ujung
bajunya kena juga tersontek pedang. Ia menjadi mendongkol.
"Bagus, ya!" teriaknya.
"Kau berani mengadu jiwa denganku!"
Kiam Hong terus membungkam,
terus ia menyerang. Tiga kali saling susul ia menghajar denganjurus-jurus
"Burung walet menggurat pasir," "Bianglala putih menutupi
matahari," dan "Burung garuda emas mementang sayap," setiap
kalinya bertambah hebat. Ia tahu ia bakal kalah tenaga, maka itu daripada kena
ditangkap musuh, baiklah ia berlaku nekat.
Juga di dalam ilmu pedang.
Nona Liong tidak kalah dari Tjong Hay, ia melainkan kalah tenaga dalam, kalah
waktu latihan, maka juga, berselang tiga puluh jurus, dari pihak yang diserang,
Tjong Hay berbalik melakukan penyerangan membalas. Sebab tidak mau dia menjadi
si pembela diri saja. Dengan pedangnya yang panjang, dia lantas menyerang, dia
mendesak.
Kiam Hong menjadi repot. Ia
pun sudah letih. Maka napasnya lantas memburu keras. Terpaksa ia menggunai
siasat tadi, ia berkelit dan lari, melawan pula, lari lagi. Hanya kali ini,
disebabkan keletihannya itu, larinya menjadi kurang pesat, hingga keadaan
mereka menjadi berimbang...
Terus menerus mereka bertempur
sambil berlari-lari, main kejar-kejaran. Tidak lama tibalah mereka di lereng
gunung. Di situ ada sebuah kuil kecil. Yang Tjong Hay tidak mau membikin
terkejut penghuni kuil itu, kuatir penghuni itu keluar, maka dengan mengempos
semangatnya, dia lari keras sekali, lantas dia berlompat mendahulukan, guna
memegat jalan lari si nona. Dengan sikapnya ini juga dia hendak mencegah nona
itu dapat lari ke dalam kuil.
Pertempuran berjalan lagi dari
sepuluh jurus sampai dua puluh jurus. Kiam Hong telah bermandikan keringat.
Sekarang ia lelah bukan main. Sekarang ia cuma dapat menangkis, tidak dapat
membalas menyerang.
Yang Tjong Hay mengetahui itu,
dia tertawa terbahak-bahak.
"Bagaimana?"
tanyanya, mengejek. "Sekarang kau telah mengisafi liehayku, bukan? Maka
tidaklah gunanya kau berlaku nekat juga! Baiklah dengan manis kau letaki
pedangmu! Mari kita berduduk, untuk berbicara? Apakah kau tidak ketahui Tjit Im
Kauwtjoe itu kakak seperguruanku? Mau apa kau mencari dia? Daripada kau menanyakan
keterangannya BangThong, lebih baik kau menanyakan padaku..."
Kiam Hong bagaikan baru sadar.
"Benar!" katanya
dalam hati. "Kenapa aku lupa? Tjit Im Kauwtjoe toh murid yang diusir dari
Tjie Hee Toodjin, maka tetaplah dia menjadi saudara seperguruan dari Yang Tjong
Hay. Kenapa sekarang aku tidak hendak mencoba mengorek keterangan dari mulutnya
bekas tjongkoan ini?" Ia tidak bersangsi untuk mengambil putusan. Ia
lantas berkata: "Aku tidak percaya Tjit Im Kauwtjoe suka berurusan
denganmu! Dia telah meracuni Bang Thong hingga binasa, kau sebaliknya membantu
Bang Thong! Bukankah kamu berdua telah putus perhubungan kamu sebagai
saudara-saudara satu perguruan? Mana bisa kau ketahui tentang di mana adanya
Tjit Im Kauwtjoe sekarang!"
"Haha, kupingmu
tajam!" kata Tjong Hay tertawa. "Nyata kau dapat mengetahui urusan di
kalangan perguruan kami! Kau mendapat tahu demikian banyak, mengapa kau tidak
ketahui juga bahwa kali ini dia datang ke Utara atas undanganku? Kau bilanglah,
perlu apa kau mencari dia? Jikalau kau memberitahukan, nanti aku ajak kau
kepadanya."
Benar licik Tjong Hay. Kiam
Hong hendak memancing dia, sekarang dia yang memancing balik. Tapi Kiam Hong
juga telah berpengalaman, ia tidak sudi mengasi dirinya dipedayakan. -
Kedua orang itu menjadi tidak
mendapat kecocokan, maka kesudahannya, mereka bertempur pula. Kiam Hong
tungkulan bicara, perhatiannya terpecah, lantas iajatuh di bawah angin, hingga
beberapa kali ia menghadapi serangan-serangan yang membahayakan, terus ia kena
didesak.
"Apakah kau masih tidak
mau menyerah kalah?" tanya Tjong Hay kemudian sambil tertawa lebar.
Kata¬kata ini disusuli tabasan yang hebat sekali.
Kiam Hong berdiam, ia cuma
menangkis. Tapi ia terperanjat. Pedangnya kalah dari senjata musuh dan kena
terpapas bercacat.
"Ah, kiranya kaulah Yang
Tjong Hay! Bagus! Memang aku tengah mencari kau!"
Tiba-tiba saja terdengar suara
orang berkata-kata itu, yang nadanya dingin.
Tjong Hay terperanjat. Dia
liehay tetapi dia tidak tahu datangnya orang, yang dengan mendadak sudah berada
dihadapannya. Dia melihat seorang muda dengan baju kuning, usianya mungkin
belum dua puluh tahun. Dia heran, karena dia tidak kenal pemuda itu, dia rasa
dia belum pernah melihatnya. Maka dia lantas mendesak mundur pada si nona,
lantas dia berdiri diam dengan melintangi pedangnya di depan dadanya.
"Kau siapa? Kau murid
siapa?" dia tanya bengis. "Perlu apa kau mencari aku?"
"Aku murid siapa, kau
tidak perlu campur tahu!" menyahut anak muda itu, tetap dingin. "Aku
mau kau segera berlalu dari sini! Dan mulai hari ini, aku larang kau
menggerecoki Tjit Im Kauwtjoe!"
Tjong Hay menjadi mendongkol,
dia gusar sekali.
"Hai, bocah yang bau
susunya belum hilang!" dia membentak.
"Bagaimana kau berani
menguasai aku!"
"Siapa suruh kau biasa
melakukan segala kebusukan!" anak muda itu membaliki. "Paling baik
lekas kau menggelinding pergi dari gunung Ouwbong San ini dan jangan kau selalu
menerbitkan onar pula dalam dunia Kangouw!"
Agaknya pemuda ini, yang
rupanya belum lama masuk dalam dunia Kangouw, mau beraksi sebagai orang Kangouw
ulung, nada suaranya itu seperti nada suaranya seorang tjianpwee, seorang
tertua, yang hendak memberi nasihat kepada seorang houwpwee, seorang muda.
Dengan sekonyong-konyong Yang
Tjong Hay tertawa lebar.
"Anak edan, justeru
akulah yang mau kau menggelinding pergi ke rumah ibumu!" dia berseru.
Itulah ancaman untuk merampas
jiwa orang.
Selama itu Liong Kiam Hong
sudah siap sedia, ia melihat sinar mata tajam bengis dari si orang she Yang, ia
menduga orang mengandung maksud tidak baik, maka itu, ia lantas maju, dengan
maksud menghalangi bekas tjongkoan itu. Tapi Tjong Hay sebat luar biasa,
kata-katanya itu dibarengi gerakan tubuh dan tangannya, maka juga pedangnya
mendahulukan sampai ke dada si anak muda dengan pakaian kuning itu.
Celakalah si anak muda jikalau
ujung pedang mengenai dadanya.
Bukankah ia tungkulan bicara
dan nampaknya tidak bersedia-sedia sama sekali?
"Hati-hati!" berseru
Kiam Hong kaget.
Belum lagi Nona Liong menutup
mulutnya, atau tubuh si anak muda sudah bergerak, menyusul mana terdengarlah
suara "traang!" yang keras dan lelatu api muncrat berhamburan di
antara mereka Sebab luar biasa, anak muda itu sudah mengeluarkan senjatanya,
ialah poankoanpit, alat mirip alat tulis, dengan apa ia menangkis pedang. Luar
biasa gerakannya itu --- berlompat, mencabut poankoanpit dan menangkis! Ia
agaknya lebih gesit daripada bekas tjongkoan itu!
Yang Tjong Hay terperanjat. Ia
lantas mengetahui bahwa di dalam hal tenaga dalam, ia kalah unggul. Bentrokan
itu membuatnya merasa telapakan tangannya sesemutan dan sakit. Sebaliknya si
anak muda pun mundur tiga tindak. Karena dia seorang liehay, dia tidak
menghiraukan sakitnya telapakan tangannya itu, belum lagi si anak muda dapat
berdiri tegak, dia sudah lompat, untuk menyusuli menikam pula.
Kiam Hong melihat itu, ia
tidak berdiam saja. Ia memang sudah bersiap sedia. Maka dengan menggeraki
pedangnya, ia menangkis serangan itu hingga ia dapat menggagalkannya.
Si anak muda benar-benar
berani.
Dialah mirip apa yang disebut
eneng atau gudel, ialah anak kerbau yang tak takut harimau. Dengan sebat luar
biasa, dia maju pula, untuk menyerang: dengan dua batang poankoanpit, dia
menyerang dari kiri dan kanan, untuk menggencet lawannya!
Sebagaimana biasa, poankoanpit
adalah alat peranti menotok jalan darah, demikian si anak muda, tangan kirinya
mengarah ke empat jalan darah hongsie, hoantiauw, kieliauw dan wieyang di
pinggang, dan tangan kanannya mencari ke empat jalan darah koankie, tiongleng,
yauwdjie dan tjongbeng, yang semuanya berbahaya.
Yang Tjong Hay terperanjat.
Dialah seorang jago tetapi dia tidak dapat mengenali pemuda itu murid dari
partai mana, saking luar biasanya ilmu menotoknya itu. Sudah begitu, Kiam Hong
melanjuti serangannya, hingga dia menjadi dikepung berdua. Maka itu, biarnya
dia gagah, dikerubuti dua lawan yang tangguh, dia repot juga.
Sesudah lewat beberapa jurus,
selama mana si anak muda terus membungkam, hanya ia main menyerang saja, bekas
tjongkoan istana kaisar ini menjadi mendongkol dan gusar.
"Sebenarnya kau mau apa?"
dia membentak. "Apakah artinya sikapmu ini? Ada sangkut pautnya apa di
antara kau dan Tjit Im
Kauwtjoe?"
Tjong Hay mau menduga orang
ada muridnya Kie Hoan dan ada hubungannya sama Tjit Im Kauwtjoe, maka itu. dia
berkelahi dengan memasang mata, dia kuatir musuh nanti menggunai senjata
rahasia yang beracun, tetapi selewatnya beberapa jurus itu, dia menyangsikan
dugaannya itu. Ilmu menotok jalan darah bocah itu tidak mirip-miripnya dengan
ilmu silatnya Kie Hoan. Karena itu, dia kurangan kecurigaannya.
Sesudah sekian lama
membungkam, barang sekarang si anak muda membuka mulutnya.
"Perduli apa kau akan
sikapku ini!" demikian katanya, dingin. "Aku cuma mau melarang kau
melakukan perbuatan busuk! Lihatlah perbuatanmu sekarang! Sekarang ini tengah
malam buta rata! Mengapa kau menghina ini nona? Maka aku mesti mencampur tahu,
mesti aku urus padamu!"
Selama bicara itu. tetap si
anak muda melakukan penyerangan-penyerangannya yang mengancam itu, tidak pernah
ia berlaku ayal.
Jikalau pertempuran dilakukan
satu sama satu, baik Liong Kiam Hong maupun si anak muda. mereka masing-masing
bukanlah tandingan Yang Tjong Hay, tetapi mereka mengepung, mereka nampaknya
dapat bekerja sama, mereka menang unggul. Liehay ilmu pedang si nona, ia Cuma
kalah latihan tenaga dalam dengan Tjong Hay, sekarang ia dibantu si anak muda,
ia dapat merangsak. Dengan berani ia mainkan pedangnya guna mendesak lawan.
Mau atau tidak. Yang Tjong Hay
terpaksa main mundur, satu tindak demi satu tindak. Tjong Hay heran hingga ia
berkata di dalam hatinya: "Sepuluh tahun lamanya aku menutup diri, untuk
meyakinkan lebih jauh ilmu silatku, siapa sangka di dalam dunia Kangouw telah
muncul ini anak-anak muda yang liehay sekali! Aku kuatir, lewat lagi beberapa
tahun, bukan saja sulit untukku melindungi nama baikku, mungkin aku bakal kena
dikalahkan mereka..."
Sudah pedangnya Kiam Hong
liehay, tenaga si anak mudajuga tenaga baru, maka dengan poankoanpit-nya itu,
anak muda ini dapat mendesak. Ia belum merasai keletihan seperti si nona.
"Kena!" sekonyong-konyong
si anak muda berseru di waktu pertempuran berjalan sedang hebatnya itu. Dengan
tangan kirinya, yang bergerak sebagai ilmu silat pedang Ngoheng Kiam ia
menyontek pedangnya Tjong Hay dengan jurusnya "Melintang menjaga penglari
emas," berbareng dengan mana, dengan tangan kanan, ia menotok ke arah
dengkul. Poankoanpit-nya ini dengan saling susul menggunai dua jurus
"Menghadap ke langit" dan "Pian Tjhong menikam harimau."
Yang Tjong Hay terkejut.
Karena pedangnya kena disontek, tak sempat dia menariknya pulang. Maka untuk
menolong kakinya, dia mengangkatnya, untuk dikelit. Justeru itu, dia merasakan
betisnya rada kaku. Sebab jalan darah hoantiauw hiat di dengkulnya itu kena
tertotok ujung poankoanpit. Dalam kagetnya, dia juga berseru: "Kena!"
Sebab dia dapat meneruskan menendang, hingga sebelah senjatanya si anak muda
terdupak terlepas dari cekalan dan terpental.
Anak muda itu kaget sekali,
lantaran ia tidak menyangka, meski sudah kenaditotok, orang masih dapat
menggeraki kakinya secara demikian hebat.
Tjong Hay pun tidak berhenti
sampai pada dupakannya itu, dengan pedangnya, yang dia sudah dapat tarik
pulang, dia menabas, guna menghajar poankoanpit yang lain dari lawannya itu.
Saking mendongkol, dia menjadi telengas, hingga dia tidak mau pikir lagi halnya
dia belum tahu si anak muda murid siapa. Di dalam hatinya dia kata: "Aku
mau lihat apa kau masih dapat usilan?"
Akan tetapi di samping si
pemuda ada si pemudi. Kiam Hong melihat ancaman bahaya untuk si pemuda, yang
menjadi penolongnya itu, maka dengan sebat sekali ia menyerang, untuk
menggagalkan serangan itu. Hal ini membuatnya menjadi semakin mendongkol
berbareng menyesal sekali.
Tjong Hay liehay, begitulah
meski dia telah kena ditotok, dia dapat menutup diri, membuatnya totokan tidak
mengenainya secara berbahaya, hanya walaupun demikian, lantaran sesemutan, atau
betisnya kaku, gerak-geriknya tidak lagi segesit semula. Di sebelah itu, si
anak muda tidak menjadi kecil hatinya, ia terus melakukan perlawanan sehebat
tadi.
"Kena!" demikian si
pemuda berseru pula selang beberapa jurus. Kali ini ia menyerang ke arah
pundak. Benar-benar ia berhasil dengan serangannya itu.
Kembali Tjong Hay kaget.
Sekarang ia merasakan separuh tubuhnya kaku, tak lincah lagi. Baru sekarang dia
merasa kuatir. Tanpa ayal lagi, dia berlompat untuk berkelit, untuk terus
membuka langkah panjang!
Si pemuda tidak mengejar,
demikian juga si pemudi. Yang belakangan ini ingin belajar kenal, untuk
mengetahui penolongnya itu siapa adanya. Ketika ia berpaling untuk memandang
pemuda itu, di bawahnya sinar si Puteri Malam, ia menampak muka orang bersemu
merah, hingga ia menjadi heran. Pikirnya: "Mungkinkah dia likat karena dia
menghadapi aku seorang diri ?" Tapi ia tidak berpikir lama.
"Saudara kecil,"
katanya, "aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih padamu! Aku Liong
Kiam
Hong, aku datang dari
Thiansan. Dan kau?"
Sebagai seorang polos, melihat
orang lebih muda usianya, Nona Liong lantas memanggil "adik," bahkan
ia terus menanyakan asal-usul orang..."
Anak muda berjubah kuning itu
mengerutkan alis.
"Nona Liong, dia lantas
berkata cepat, tanpa menjawab, "apakah kau kenal Tjit Im Kauwtjoe?"
Dari nadanya, agaknya si
pemuda menganggap pertanyaannya itu penting sekali.
Kiam Hong heran tetapi ia
menjawab.
"Aku cuma pernah bertemu beberapa
kali dengannya," sahutnya.
"Apakah panggilan di
antara kamu?" tanya pula si anak muda.
"Kita cuma kenal, tidak
ada hubungan di antara kita."
"Habis, perlu apa kau
mencari dia?" si pemuda masih menanya.
"Itu... itulah panjang
urusannya," menyahut Kiam Hong. "Kau sendiri? Ada hubungan apa di
antara kau dan Tjit Im Kauwtjoe?"
Sebagai seorang yang cukup
berpengalaman, tidak mau Kiam Hong lantas membeber tentang dirinya sendiri
sebelum ia mengetahui pihak sana. Ia jujur dan polos tetapi ia dapat melihat
selatan.
"Aku?" menyahut si
anak muda. "Aku pun panjang untuk menutur. Kau... kau... Silakan kau masuk
ke dalam kuilku ini. Aku... aku... ingin meminta sesuatu daripadamu..."
Suaranya pemuda itu lantas
menjadi perlahan dan terputus-putus, kulit mukanya pun menjadi terlebih merah.
Kiam Hong heran, ia terkejut.
"Apakah kau terluka di
dalam?" ia tanya. "Apakah kau sakit?"
Nona Liong menduga pemuda itu
kena pukulan liehay dari Yang Tjong Hay, sembari berkata begitu ia mengulur
tangannya, berniat meraba jidat orang, untuk mengetahui kepala pemuda itu panas
atau tidak.
"Jangan sentuh aku!"
berkata si anak muda, suaranya kaget. Ia pun lompat mundur. Kiam Hong heran.
"Bukankah kau bocah baru
besar?" pikirnya. "Di waktu begini, kenapa kai masih main malu-malu?"
"Aku... aku..."
berkata si anak muda, napasnya memburu tetapi suaranya terputus-putus.
"Aku terkena racun yang sangat berbahaya.. Sekarang racun itu tengah
bekerja... Aku perlu lekas balik ke dalam kuil... Aku... aku... aku mau minta
kau melakukan sesuatu..."
Mendengar itu, kagetnya Kiam
Hong bukan kepalang. Ia lantas menatap. Jadi orang terkena racun dan racun itu
lagi bekerja membuat tubuh orang panas, hingga mukanya menjadi merah sekali.
Jadi orang bukannya malu atau likat.
"Kenapa dia terkena
racun? Yang Tjong Hay bukan tukang main racun?" ia tanya dirinya sendiri.
"Ah, mungkin dia terkena racunnya lain orang. Dia tentu kena terbokong.
Hanya, kenapa dia dibiarkan saja? Taruh kata tadi racun belum bekerja, orang
itu mestinya menguntit. Ke mana perginya dia sekarang? Kenapa dia tidak
munculkan diri?"
Heran nona ini tetapi tak
sempat ia mengasah otak lagi.
Dengan tindakan yang limbung,
anak muda itu sudah bertindak ke arah kuil dan masuk ke dalamnya. Itulah sebuah
kuil tua dan tanpa penghuninya, suasananya sangat sunyi.
Kiam Hong mengikuti. Legajuga
hatinya mengetahui di situ tidak ada lain orang. Ia justeru menguatirkan
bersembunyinya orang jahat.
"Kau terkena racun
apa?" kemudian ia tanya. "Nanti aku pergi mencarikan tabib
untukmu..."
"Racunku bukan racun yang
dapat disembuhkan tabib," berkata si anak muda, "Aku cuma mau minta
kau tolong sesuatu..."
"Baik! Kau
bilanglah!" menjawab Nona Liong cepat.
Suaranya pemuda baju kuning
itu sudah parau, suara itu pun menggetar, sedang air mukanya bertambah tak
mengasih.
"Aku minta..."
katanya, tubuhnya mendadak terhuyung.
Kiam Hong maju. kedua
tangannya diulur, untuk memegang.
"Jangan sentuh aku!"
berseru si anak muda, yang menguatkan dirinya, untuk dapat mempertahankan
tubuhnya.
Kiam Hongmelengak. Belum lagi
ia menarik pulang tangannya, atau anak muda itu roboh. Tentu sekali, ia menjadi
bertambah kaget dan herannya tidak terkira.
Si anak muda berkutat, dia
dapat bangun, untuk berduduk. Dengan lantas dia membuka mulutnya, dia masuki
jeriji tengahnya ke dalam mulutnya itu, untuk digigit. Makajari tangan itu
lantas pecah dan mengeluarkan darah yang hitam.
Kiam Hong tahu itulah cara
pertolongan darurat. Pertolongan itu cuma untuk sementara waktu. Maka ia
menduga, anak muda itu tentu mau merebut waktu, untuk memberikan pesannya yang
terakhir. Ia menjadi bingung sekali, sebab ia tidak berdaya
Habis menggigit jerijinya, si
anak muda menghela napas. Lalu tampaknya dia menjadi lebih ringan. Dia merobek
ujung bajunya, guna membalut luka bekas gigitan itu, habis itu dari dadanya dia
mengeluarkan sebatang hio, yang mana dia lemparkan ke depan si nona, ketika dia
berkata, suaranya menggetar: "Kau tunggu sebentar, lantas kau menolong
menyulut hio ini, terus kau tancap di depan pintu. Aku menyerahkan jiwaku
kepadamu!..."
"Apakah hio ini dapat
mempunahkan racun?" Kiam Hong berpikir. "Kenapa dia menyuruh aku
menancapnya di depan pintu?" Ia mau minta keterangan, atau si anak muda
mendahului ia.
"Nona Liong, aku minta
sukalah kau omong terus terang," berkata dia. "Sebenarnya kau dengan
Tjit Im Kauwtjoe ada hubungannya apa?"
"Di antara dia dan aku
tidak dapat dikatakan adanya persahabatan." Kiam Hong menjawab.
"Untuk seorang sahabat aku hendak mencari dia, guna meminta
bantuannya."
"Bagus!" berkata si
anak muda. "Kau tidak usah mencari dia ke lain tempat. Setelah kau
menyulut hio ini, tidak lama. dia bakal datang sendiri kemari!"
Heran Kiam Hong. Inilah di
luar sangkaannya.
"Baik," katanya,
"sekarang juga aku menyulut hio ini!"
"Tunggu sebentar!"
mencegah si anak muda. "Aku masih hendak bicara."
"Apa itu?" tanya
Kiam Hong. Ia berpaling. Ia baru saja bertindak.
"Jikalau sebentar Tjit Im
Kauwtjoe datang, kau mesti sembunyi," berkata si anak muda. "Jangan
kau kasih dirimu terlihat dia! Paling benar, begitu kau menyulut hio, begitu
kau menyingkir! Sebenarnya aku tidak ingin mendatangkan bahaya untukmu..."
Kembali Kiam Hong heran.
"Jikalau Tjit Im Kauwtjoe
datang, dia bakal bikin apa?" ia tanya.
"Mungkin dia dapat
menolong aku hingga aku sembuh," menjawab si anak muda. "Jikalau itu
sampai terjadi, sesudah aku mendusin, pasti aku akan dapat menolongi kau. Tapi
ada kemungkinan juga dia tidak suka menolong aku, dia bakal menontoni aku putus
jiwa. Apabila itu terjadi, begitu lekas dia mendapat kenyataan di sini ada
orang lain, pasti dia bakal membinasakan kau!..."
Habis berkata, pemuda itu
agaknya kehabisan tenaganya. Sekarang parasnya menjadi pucat abu-abu, pada itu
ada tampak juga hawa hitam. Segera setelah itu, dia rebah sendirinya, kedua
matanya lantas tertutup rapat.
Dalam herannya itu, Kiam Hong
kaget.
"Benar gila!"
katanya di dalam hati. "Serintasan gelombang belum reda, sudah datang
gelombang yang lain! Tjioe Tjeetjoe dan engko Houw lagi menantikan pertolongan,
siapa tahu di sini aku menemukan lain orang yang keracunan juga Bagaimana
hebat! Di jaman ini ahli racun hanya beberapa orang, maka orang yang menyerang
dia ini-mendengar dari kata-katanya barusan- mesti ada
hubungannya sama Tjit Im
Kauwtjoe. Kalau ini keracunan dilakukan Tjit Im Kauwtjoe atau Pektok Sinkoen,
cara bagaimana Tjit Im Kauwtjoe dapat datang kemari?"
Karena menduga-duga demikian,
si nona menjadi menyesal sekali yang ia tidak dapat ketika untuk menanyakan
dulu keterangan si anak muda. Tapi ia ingat pesan orang. Ia anggap, tidaklah
ada halangannya untuk bekerja menuruti pesan itu. Maka itu, lantas ia sulut hio
itu, terus ia bawa ke depan, untuk ditancap di depan pintu. Ia dapat mencium
bau yang harum yang keras. Lantas ia menantikan.
Belum hio itu, yang pendek,
habis separuhnya, segera juga terdengar tindakan kaki mendatangi. Tanpa
bersangsi lagi, Kiam Hong lompat ke atas meja abu, ketika suara tiba di depan
pintu, ia bersembunyi di belakang patung.
"Eh, di sini ada
orang!" begitu terdengar suara seorang nona "Eh, eh, mama, kau
kenapa?"
Lalu terdengar suara dalam
dari seorang wanita tua: "Tidak apa-apa, kau jangan kuatir. Coba kau balik
tubuhnya orang ini, untuk aku lihat.
“Ah, ini hio kayu cendana,
sudah dua puluhan tahun aku tidak dapat mencium baunya..."
Kata-kata yang belakangan itu
diucapkan untuk diri sendiri, suara itu menyatakan terharunya hati.
Di dalam tempatnya
bersembunyi, Kiam Hong kaget berbareng girang.
"Benar-benar Tjit Im
Kauwtjoe datang!" pikirnya. Ia kenali suaranya ketua dari Tjit Im Kauw
itu. Cuma ia tidak dapat melihat itu ibu dan gadisnya. Dari suaranya Tjit Im
Kauwtjoe, ia mau menduga nyonya itu sedang sakit atau mungkin dia baru sembuh.
"Pastilah ini anak
dia!" sekonyong-konyong terdengar lagi suaranya Tjit Im Kauwtjoe. Ketika
itu Kiam Hong lagi menduga-duga. "Lihatlah romannya, sangat mirip!"
"Anak siapa, mama?"
terdengar Sioe Lan menanya. "Apakah mama ketahui tentang dia ini? Jadi
mama datang kemari untuk dia?"
"Anak Lan, kau makanlah
dulu ini obat pemunah racun," berkata si ibu. "Nah, sekarang kau keluarkan
jari tengahmu!"
Sioe Lan heran tetapi ia
mendengar kata ibunya.
"Tjit Im Kauwtjoe
mengeluarkan sebatang jarum perak, dengan itu ia menusuk jari tengah puterinya
itu, terus ia memborehkan obat bubuk warna merah muda.
"Apakah dia bukan terkena
racun Keebeng Ngokouw Toanhoen hio?" Sioe Lan tanya. Hio, atau racun, yang
disebutkan itu ialah racun yang dapat menewaskan jiwa orang di waktu pagi, di
saatnya ayam berkokok jam lima.
"Benar!" sahut sang
ibu. "Hm! Hm! Bukankah dia anak baru besar? Mengapa kau menurunkan tangan
begini jahat terhadapnya?"
Sioe Lan terbenam pula dalam
keheranan. Tak tahu ia, dengan "kau" itu ibunya maksudkan siapa. Ia
menatap ibunya itu, parasnya menunjuki herannya itu, yang menghendaki
keterangan.
Tjit I m Kauwtjoe menumplak
perhatiannya kepada si anak muda yang rebah di depannya itu.
"Sampai detik ini, dia
terkena racun belum ada enam jam lamanya." katanya kemudian. "
l'id.ik sukar untuk menolongnya."
"Tetapi, itu,"
berkata anak gadisnya, "aku pernah dengar bahwa siapa terkena Toanhoen
hio, sebelum lewat dua belas jam, dia tidak nanti terbahayakan racun itu.
Tegasnya, racun itu belum dapat bekerja. Atau asal racun sudah bekerja, si
kurban bakal tidak dapat ditolong lagi. Kenapa dia ini, belum enam jam, dia
sudah roboh?"
"Mungkin inilah
disebabkan dia telah melakukan pertempuran hebat, hingga darahnya menjadi
tegang, hingga bekerjanya racun menjadi cepat luar biasa." sahut si ibu.
Lalu ia meneruskan berkata-kata pula seorang diri: "Ah, mengapa dia
menggunai racun yang bekerjanya sangat lambat ini? Mungkinkah dia mendapat tahu
yang aku bakal dapat datang dan menolongi anak ini?"
Sioe Lan tidak dapat membade,
ia bingung. Kejadian sungguh aneh untuknya. Ia mendapatkan bahwa ibunya menjadi
luar biasa sekali. Maka maulah ia menerka: "Apa mungkin ibu mempunyai
sesuatu urusan, yang ia sembunyikan untukku?"
Mereka berdua, ibu dan anak.
sudah dua puluh tahun hidup bersama, di antara mereka tidak ada urusan yang
tidak dibicarakan, tetapi sekarang si ibu seperti menyimpan sesuatu, dari itu,
Sioe Lan menjadi berduka sendirinya.
Tjit Im Kauwtjoe seperti dapat
nerka hati anaknya itu, tetapi ia terus bekerja. Dengan jarum peraknya itu ia
menusuk beberapa kali kepada si anak muda --- menusuk beberapa jalan darah,
lalu ia membuka mulut orang, untuk kasih makan beberapa butir obat. Baru
sesudah itu, ia berkata: "Anak Lan, mari! Ibumu hendak menanya sesuatu
kepadamu!"
Ada sesuatu yang sang ibu
rasakan berat, Sioe Lan dapat melihatnya, maka itu. mendengar suara ibu itu. ia
berkuatir sendirinya.
"Mama," katanya,
"mama hendak menanyakan apa?"
"Apakah kau masih
memikirkan itu anak she Thio?" tanya si ibu.
Hati Sioe Lan goncang. Inilah
pertanyaan di luar dugaannya. Selang sesaat, ia menghela napas tetapi ia tidak
memberikan jawabannya.
"Ah, kiranya kau masih
selalu ingat padanya," berkata ibu itu, yang pun menghela napas.
"Ibumu seorang berpengalaman, dia dapat mengerti hatimu. Anak tolol,
baiklah kau jangan membikin pusing kepalamu. Dulu hari, orang yang ibumu
menyayanginya, dia pun menyayangi aku. Kesudahannya? Aku bersusah hati secara
kecewa... Laginya orang she Thio itu telah mempunyai buah hatinya, jikalau kau
tidak dapat melegakan hatimu, akhirnya kau bisa menderita terlebih hebat
daripada ibumu. Sebenarnya aku tidak suka kau sampai mendapatkan pengalaman
seperti itu..."
Sioe Lan memang tidak dapat
melupakan Giok Houw. Mendengar ibunya mengatakan Giok Houw mempunyai buah hati,
ia menjadi sangat berduka, tanpa merasa ia mengucurkan air mata. Tapi, setelah
mendengar omongan lebih jauh dari ibunya itu, ia menjadi heran, dengan
sendirinya, kedukaannya itu berkurang.
"Mama, apakah mama bicara
dari hal ayah?" ia tanya. "Ayah sudah menutup mata, maka itu,
menyebut tentang ayah, mama menjadi bersusah hati. Memang lumrah, umur manusia
itu ada yang panjang, ada yang pendek, tetapi tentang kecintaan suami isteri.
biarnya suami isteri satu hari, itu sudah sangat membahagiakan!.
Belum berhenti kata-kata anak
ini, air matanya Tjit Im Kauwtjoe sudah mengalir deras.
"Mama, kenapa?"
tanya Sioe Lan, heran. "Apakah aku omong salah?"
"Tidak, kau tidak
salah," menyahut ibu itu. Hanya sejenak, dia menghela napas panjang.
Lantas dia berkata pula: "Anak Lan, kau pegang tangan ibumu, ibumu hendak
bicara denganmu... Sebenarnya tidak seharusnya aku membicarakan ini kepadamu,
tetapi aku pun tidak dapat tidak mengatakannya. Bukankah kau telah menanya
ibumu, di waktu ibumu masih muda siapakah yang ibu sukai? Sekarang dapat aku
mengatakan kepadamu. Dialah bukannya ayahmu!"
Sioe Lan heran hingga ia
mementang lebar kedua matanya. Ia menatap ibunya itu, hatinya bekerja:
"Bukankah mama pernah membilang bahwa ayah seorang yang baik sekali?
Bukankah dulu hari itu mama dan ayah hidup saling menyintai?" Ia tapinya
tidak menanya.
"Ketika kau masih kecil
aku membilangi kau bahwa ayahmu seorang baik, dengan itu aku mendustai
padamu," berkata pula ibu itu. Ia dapat mengerti keheranan dari anaknya
itu. "Itulah sebab aku tidak ingin kau mendapat tahu bahwa kau mempunyai
ayahmu yang tulen. Aku membilangi kau bahwa orang yang aku sukai itu ialah
ayahmu. Sebenarnya orang itu, sebelumnya kau terlahir, sudah pergi meninggalkan
ibumu. Sebenarnya, aku sangat ingin dapat menjadi suami isteri dengannya, sebab
seperti katamu barusan, dapat menjadi suami isteri satu hari pun bagus sekali!"
Sioe Lan heran berbareng tidak
senang, hatinya panas.
"Mama!" katanya,
"mengapa kau menyebutkan seorang lain sebagai ayahku? Habis, siapakah
ayahku yang benar? Benarkah ayahku itu telah menutup mata?"
"Dua-duanya mereka itu
masih hidup," menjawab sang ibu. "Baiklah kau ketahui, orang yang aku
sukai itu ialah ayahnya ini anak muda berbaju kuning!..."
"Jikalau begitu, bukankah
mama menjadi mempermainkan ayah?" si anak tanya pula.
"Bukan, sebaliknya,
adalah ayahmu yang mempermainkan aku. Ah, kau tidak percaya ibumu?"
Sioe Lan menatap pula ibunya
itu. Mereka berdua hidup bersama semenjak ia masih kecil. Dulu-dulu, kalau
dibilang ia tidak mempercayai ibunya, itulah hal yang tak akan terjadi, akan
tetapi sekarang, benar-benar ia mau memikir demikian. Inilah disebabkan ia
heran untuk perbuatan ibunya ini. Pikirnya: "Ayah masih hidup, mengapa
mama memikirkan lain orang? Kenapa mama mendustai aku bahwa ayah sudah
meninggal dunia? Pasti sekali mama mempermainkan ayah! Cara bagaimana mama
dapat membuatnya aku percaya mama?..."
Tjit Im Kauwtjoe menangis, air
matanya bercucuran.
"Anak Lan, mari dengar,
aku mau menceritakan sebuah dongeng," katanya. "Sesudah kau mendengar
ceriteraku ini, lantas kau boleh memikir dan mengambil keputusan, kau
sebenarnya menghendaki ibumu atau ayah..."
Anak itu menahan napas,
matanya menatap bengong. Di matanya, pada saat itu, ibunya seperti juga berubah
menjadi seorang asing baginya...
Tjit Im Kauwtjoe menghela
napas. Habis itu, ia bicara dengan perlahan.
"Sedari masih kecil aku
telah menjadi yatim-piatu." ia berkata, memulai ceritanya itu. "Siapa
itu ayah dan ibuku, aku tidak mendapat tahu. Aku cuma ketahui merekalah
pengungsi, rakyat yang menyingkir terlunta-lunta dari tempat kediamannya. Aku
dilahirkan di tengah jalan, maka juga ayah dan ibuku tidak dapat merawat aku...
Tepat ketika aku baru berumur satu bulan, kami lewat di kakinya gunung Ouwbong
San. Di atas gunung itu ada sebuah kelenting. Kebetulan imam dari kelenting itu
pergi turun gunung, untuk memungut amal. Dia bertemu dengan kami. Dia merasa
kasihan melihat kesengsaraan kami, maka dia menyatakan suka mengambil dan
merawat aku. Maka itu, dialah imam yang menjadi guruku yang nomor satu. Dialah
Tj ie Hee Toodjin. Dan ceritaku ini, dialah yang menuturkan padaku. Dia cuma
menanya she-ku, yaitu she Im, lainnya dia tidak sempat menanyakan lagi."
Sioe Lan berdiam, tetapi ia
memasang kuping. Terus ia mengawasi ibunya.
"Jikalau mulanya Tjie Hee
Toodjin memperlakukan baik padaku, kemudian sikapnya menjadi buruk, maka juga
sampai sekarang ini, aku masih membenci dia!" berkata Tjit Im Kauwtjoe
melanjuti. "Toh aku mesti mengakui, dia telah merawat aku dengan baik.
sampai aku dewasa. Dialah seorang imam. Seorang imam merawat seorang bayi
sampai besar, itulah bukannya gampang, apapula bayi itu bayi wanita. Maka juga
sedari kecil aku menganggap dia sebagai ayahku sendiri, terhadapnya aku sangat
bersyukur. Selain dipiara, aku pun diajarkan ilmu silat. Sampai aku mulai
besar, dia tetap memperlakukan aku sebagai juga aku seorang anak kecil. Sering
dia memegangi aku dan mengawasinya lama. Ada kalanya, ketika aku mendusin dari
tidurku, aku mendapatkan dia berdiri di depan pembaringan mengawasi aku. Aku
mengira dia sangat menyayang aku. aku tidak perhatikan itu. Melainkan ada
waktunya yang aku merasa jeri."
Sioe Lan terus berdiam, terus
ia memasang kuping.
"Makin lama aku menjadi
makin besar. Dia menyayangi aku, aku pun menyayangi dia. Tjie Hee Toodjin
seorang imam, maka itu dia tinggal dipuncak Kimkee Hong di atas gunung Ouwbong
San. Di sana aku tinggal bersamanya. Itulah tempat yang tidak ditinggali lain
orang kecuali seorang she Ban, yang tinggal di puncak Thianouw Hong, hingga
kita jadi bertetangga. Orang she Ban itu bernama Thian Yoe. Ia dari partai
Tiamtjhong Pay. Ia mempunyai seorang anak laki-laki, yang diberi nama Kee Soe.
Anak itu berumur lebih tua dua tahun daripada aku. Sebagai tetangga, kita
berdua suka bertemu dan bermain-main. Kekal persahabatan kami."
Tjit Im Kauwtjoe berhenti
sejenak, lantas ia meneruskan: "Setelah kami masing-masing menjadi dewasa,
nyata dia menyukai aku dan aku pun menyukai dia. Lalu pada suatu malam, di
bawahnya sinar si Puteri Malam, di bawah pohon cendana, dia mengutarakan
cintanya terhadap aku dan aku menyambutnya. Di situ kami lantas mengikat janji,
kami menggunai tanah sebagai gantinya hio, si Puteri Malam menjadi saksinya.
Kami bersumpah untuk menjadi suami isteri. Setelah itu aku membilangi dia
supaya besok pagi dia mengutus ayahnya datang kepada guruku untuk melamar aku.
Aku sendiri girang bukan main. Aku tahu guruku sangat menyayangi aku. tidak ada
alasan untuknya menolak lamaran itu. Besoknya, belum lagi aku bangun tidur,
telah terbit suatu hal di luar dugaan. Apakah telah terjadi? Sebenarnya guruku
telah mencuri dengar sumpah kami untuk mengikat jodoh. Pagi itu sebelum terang
tanah dia sudah lantas pergi ke puncak Thianouw Hong, dia tuduh Ban Kee Soe
memincuk muridnya, ialah aku, lalu tanpa menanti pihak Ban memberi penjelasan,
dia menyerang Thian Yoe dan Kee Soe hingga mereka terluka, terus dia mengusir
mereka dari Thianouw Hong. Dia mengancam mereka tidak boleh injak lagi Ouwbong
San sekalipun setengah tindak."
Lagi sekali kauwtjoe itu
hening sejenak.
"Ketika aku mendusin, aku
kaget sekali. Guruku berdiri di depan pembaringan, tangannya berlumuran darah.
Dia lantas menegur aku, yang dikatakan tanpa persetujuannya sudah sembarang
berjanji mengikat jodoh dengan lain orang. Dia juga mengancam, kalau dia
mempergoki pula aku berada bersama Ban Kee Soe, dia bakal membunuh kami berdua!
Aku kaget dan menjadi sangat takut. Toh dialah guruku, yang merawat aku sedari
kecil. Dengan terpaksa aku menurut saja. meski hatiku sakit. Aku berjanji tidak
akan menemui pula Ban Kee Soe. Tetapi, di luar sangkaku, kembali terjadi
sesuatu yang membikin aku sangat kaget dan takut..."
Suaranya Tjit I m Kauwtjoe
menjadi bergemetar, dia bergidik. Sudah dua puluh tahun sejak kejadian itu
tetapi sekarang dia masih merasakan takut seperti di masa kejadiannya.
"Ketika itu aku lagi
mendekam di atas pembaringan, menungkuli diri dengan menangis." ia mulai
pula penuturannya. "Tiba-tiba aku merasakan tangan yang meraba pundakku,
rasanya sangat dingin, kemudian lenganku dicekal, tubuhku ditarik, untuk
dikasih bangun. Itulah guruku. Aku lantas mendengar dia berbicara, suaranya,
menggetar. 'Buat apa kau menangis?' katanya. 'Apakah kau tidak dapat melupakan
itu binatang?' Ah! Belum pernah aku mendengar guruku bicara dengan cara dan
suaranya itu. Aku jadi menangis semakin sedih. Aku kata: Aku telah berjanji
tidak akan menemui Ban Kee Soe lagi. biarlah aku menangis!..."
"Mendengar kata-kataku
itu. roman guruku menjadi sangat bengis. Aku takut sekali, aku berhenti
menangis. Tapi guruku berkata, suaranya seram: 'Kau terawat olehku hingga
menjadi besar! Aku larang kau menikah dengannya! Siapa pun aku larang menikah
denganmu! Siapa berani bawa kau kabur dari tanganku, aku bakal merobek-robek
tubuhnya menjadi berkeping-keping!'
"Aku ketakutan sampai aku
tidak bisa berkata-kata. Meski demikian, aku menyangka bahwa sikapnya itu
disebabkan dia sangat menyayang aku. Cuma, kenapa dia melarang aku menikah?
Umpama kata aku anaknya, itulah kesayangan yang tidak pada tempatnya. Sungguh
di luar kebiasaan! Setelah aku berdiam itu, mendadak air mukanya berubah. Dia
menjadi sabar. Dengan lemah lembut, dia kata: 'Oen Giok, aku telah merawat kau
hingga dewasa, dengan cara bagaimana kau hendak membalas budiku itu?'
"Mendengar itu, aku jadi
berpikir. Dengan menahan keluarnya air mata, aku menjawab: 'Soehoe menghendaki
aku jangan meninggalkan soehoe, baiklah, untuk selama-lamanya aku nanti
menemani soehoe. seumurku, aku tidak akan menikah, aku akan merawat kau sebagai
juga akulah anak soehoe."
"Selagi aku mengatakan
demikian, mendadak roman guruku itu berubah pula. Aku melihat kedua matanya
jadi bersorot sangat tajam dan bengis, seperti juga mata itu hendak
menyemburkan api. Sambil mengawasi tajam itu. dia kata: 'Tidak! Aku tidak
menghendaki kau menjadi anakku! Kau dapat menjadi isteriku!'
"Benarlah itu keluar dari
mulut guruku? Aku hampir tidak dapat memikirnya. Itulah bagaikan guntur di
siang hari terang benderang! Kepalaku menjadi pusing, mataku berkunang-kunang.
Aku menatap wajahnya. Seperti barusan kau menatap aku. Sedetik itu aku melihat
orang yang demikian baik terhadap aku seperti juga berubah menjadi binatang
liar yang mementang mulutnya yang bercaling serta membuka kuku-kukunya yang
tajam!
"Lantas aku mendengar
suaranya, perlahan-perlahan: 'Dulu-dulu aku cuma tahu meyakinkan ilmu silat,
belum pernah aku memikirkan tentang pernikahan, sekarang, setelah menahan diri
beberapa puluh tahun, aku tidak dapat menderita terlebih lama pula, aku dapat
kembali menjadi manusia biasa, tak usah menjadi imam terus-terusan, supaya aku
dapat menikah dengan kau. Giok. kenapa kau mengawasi aku begini tajam?
Apakah kau sudah tidak
mengenali aku? Apakah kau tidak sudi? Jiwamu ialah aku yang memberikan, maka
pada dasarnya, kaulah milikku, dari itu, begitu aku menghendaki kau menjadi
isteriku, kau mesti menjadi isteriku!' Lantas dia mementang kedua tangannya,
berniat memeluk aku.
"Mendadak itu waktu, aku
bagaikan sadar. Aku lantas menggigit padanya, terus aku berteriak-teriak:
'Tidak bisa! Tidak bisa". Kau telah memberikan jiwa padaku, kau boleh
ambil pulang jiwa itu! Biarnya mati aku tidak dapat menjadi isterimu!' Aku berontak
sekuat tenagaku, lantas aku kabur turun gunung!
"Entah disebabkan dia
malu, setahu karena dia biasanya menyayangi aku, dia tidak mengejar aku, untuk
mencegah aku lari. Dengan kepandaiannya, jikalau dia mau. dia dapat mengejar
dan menyandak aku. Ketika aku berpaling, aku mendapatkan dia berdiri menjublak
bagaikan patung, wajahnya terlihat tidak mengasih. Biar bagaimana, aku merasa
terharu juga. Tapi aku tidak berani kembali kepadanya, tanpa menoleh lagi, aku
lari terus, aku kabur meninggalkannya. Di luar sangkaku, ketika aku tiba di
kaki gunung, dia mengejar aku..."
Sioe Lan menghela napas lega.
Senang ia mendengar Tjie Hee Toodjin tidak mengejar ibunya. Tapi kapan ia
mendengar keterangan yang paling belakang itu. napasnya menjadi sesak pula,
hatinya sangat tegang dan bergelisah. Dengan keras iamenyekal tangan ibunya.
"Bagaimana
kemudian?" ia tanya. "Apakah mama tak tertawan dia?"
Syukur dia masih mempunyai
sedikit rasa pri kemanusiaan," menyahut sang ibu, "atau mungkin dia
tadi lenyap kesadarannya untuk sesaat, belakangan dia mendusin juga, di
akhirnya, dia membiarkan aku pergi. Hanyalah, dia memberikan tiga syarat.
Pertama-tama aku dilarang menceritakan apa yang terjadi itu. Yang kedua ialah
aku tetap dilarang menikah sama Ban Kee Soe. Yang ketiga yaitu aku mesti
menanti hingga matinya dia baru aku boleh keluar, untuk masuk dalam dunia
Kangouw. Jikalau aku melanggar syarat yang kesatu dan ketiga itu, dia mengancam
untuk membinasakan aku. Dan jikalau aku melanggar syarat yang kedua, bukan cuma
aku, dia juga hendak membinasakan Ban Kee Soe!"
Liong Kiam Hong di tempatnya
bersembunyi bangkit bulu romanya. Dia menggigil tanpa merasa. Hatinya berpikir:
"Tjie Hee Toodjin bermartabat, kedudukannya seimbang dengan kedudukan Hian
Kie Itsoe, aku tidak sangka sekali dia mau melakukan perbuatan binatang semacam
itu! Memang pantas kalau dia melarang Tjit Im Kauwtjoe membeber rahasianya itu.
Dan bahwa dia suka melepaskan muridnya, itu tandanya dia masih dapat berpikir.
Dulu hari Hian Kie Itsoe
memberi ampun padanya, itulah mungkin disebabkan sifatnya ini yang belum rusak
seanteronya."
Tjit Im Kauwtjoe melanjuti
penuturannya: "Begitulah aku terlepas dari tangannya Tjie Hee Toodjin.
Lantas aku merasakan kesulitan. Pertama-tama aku tidak berani mencari Ban Kee
Soe. Kedua, aku juga tidak berani merantau dalam dunia Kangouw. Aku mesti
memenuhi janji. Maka itu setiap hari, setiap malam, aku selalu hidup dalam
impian yang buruk. Lantas aku ingat kepada Toktjioe Sinmo Kie Hoan di wilayah
Biauvvkiang. Dia dijuluki demikian sebab liehaynya dalam kepandaian
mempergunakan racun. Julukannya itu berarti Iblis Tangan Beracun. Dia tidak
takut pada Tjie Hee Toodjin. Aku lantas pergi padanya. Aku ingin mempelajari
ilmu racun, supaya aku tidak usah takuti lagi Tjie Hee. Aku menerima syarat
Tjie Hee pun karena terpaksa. Biar bagaimana, tidak dapat aku melupakan Ban Kee
Soe. Di luar dugaanku, sesudah aku lolos dari tangan guru yangjahat itu, aku
lantas mendapat bahaya yang terlebih hebat pula..."
"Apakah Kie Hoan pun
manusia jahat?" Sioe Lan tanya. Ia kaget dan heran.
"Bukan," menyahut
sang ibu, cepat. "Kie Hoan ialah ahli racun nomor satu di kolong langit
ini tetapi dialah orang pihak lurus, cuma kelakuannya saja yang aneh. Yang
mencelakai aku ialah kakak seperguruanku."
"Ah!" berseru si
anak. "Mama mempunyai kakak seperguruan? Mengapa aku belum pernah
dengar?"
Kiam Hong tahu, sang kakak
seperguruan itu, ialah Pektok Sinkoen. Ia menjadi heran, ia berpikir:
"Namanya Pektok Sinkoen cukup terkenal, mengapa keponakannya ini tidak
mendapat tahu? Inilah aneh! Mengapa Tjit Im Kauwtjoe menyembunyikannya dari
puterinya?"
Tjit Im Kauwtjoe melanjuti
pula keterangannya: "Kakak seperguruanku itu seorang suku bangsa Biauw,
tetapi dia sangat mengagumi bangsa Han, maka dia memakai nama Han. ialah Tjio
Keng Ham. Dia sangat gemar bergaul sama bangsa Han. Dibanding denganku, dia
lebih tua sedikit, akan tetapi karena dia selalu mengikuti soehoe. dalam hal
menggunai racun, dia terlebih pandai daripada aku. Dia sangat menyukai aku.
Begitu aku masuk dalam perguruan, dia ingin menikah denganku. Aku tidak
menyukai dia, kesatu untukku sudah ada Ban Kee Soe, kedua, aku tidak cocok sama
tabiatnya. Dia terus menggerecokaku, sampai satu kali aku mengadu kepada
guruku. Lantas dia ditegur dan didamprat. Aku pun lantas berjaga diri.
Belakangan dia tidak berani lagi mengganggu aku, sampai hatiku mulai lega.
Justeru penjagaanku kurang terliti, justeru aku mengalami peristiwa yang
membuatnya aku celaka..."
Bicara sampai di situ, nyonya
tua ini mengucurkan air mata. Pula daging yang berenjulan di mukanya lantas
pada timbul.
"Sudah, mama, jangan
menangis." Sioe Lan menghibur, "Anakmu berada di sampingmu. Bukankah
kau pernah membilangi aku, asal aku mendampingi kau, kau tidak bakal bersusah
hati?"
Tjit Im Kauwtjoe menepas air
matanya. Ia memeluk erat-erat anaknya itu.
"Syukur dia meninggalkan
kau didampingku, jikalau tidak, pasti aku jadi terlebih membenci dia,"
katanya kemudian. "Telah aku bilang, kakak seperguruan itu gemar bergaul
sama orang Han. Di antara sahabat-sahabatnya ada seorang yang bernama Bang
Thong, yang asalnya seorang penjahat besar. Dia ini nelusup masuk ke wilayah
orang Biauw, dia berniat mencuri emas simpanan bangsa Biauw itu, yang disimpan
di dalam sebuah guha. Diajuga ingin mencuri obat-obatan bangsa Biauw. Di
antaranya, semacam obat yang langka dan mujarab, ialah hosioeouw. Guruku
menanam pohon obat itu. Bang Thong membujuk Tjio Soeheng mencuri pohon obat
tersebut dan dia kena terbujuk. Pada suatu hari aku diperintah soehoe pergi
mencari bahan obat-obatan. Seperginya aku, dia lantas menyusul padaku. Dia
memberitahukan aku bahwa dia salah mengambil putusan akan buron meninggalkan
guru, katanya dia mau ikut Bang Thong untuk mengicipi kebahagiaan di luaran.
Dia mengharap sangat aku suka ikut padanya. Tentu sekali aku tidak terima
ajakannya itu, bahkan aku memberi nasihat supaya dia membatalkan niatnya.
Sebaliknya, diamembujuki aku. Dia kata wilayah Biauwkiang ini sepi, tidak
menarik hati. Dia bilang, di luar, dunia ramai dan menyenangkan. Dia tanya,
mengapa aku tidak ingin mengicipinya? Percuma aku memberi nasihat. Bahkan
sebaliknya, dia menjadi berubah sifatnya. Sembari tertawa bengis, dia kata:
'Apa yang aku katakan sudah masuk ke dalam kupingmu, maka itu, kau suka
mengikut aku atau tidak, kau mesti mengikut juga!" Aku kaget, aku mengerti
bahaya mengancam. Sayang aku terlambat, belum sempat aku lari, dia sudah meniup
aku dengan asap, lantas aku roboh tak sadarkan diri. Selagi aku semaput itu,
dia mengganggu kesucian diriku. Susah-susah aku menjaga diri, akhirnya aku
menjadi kurbannya juga..."
Tubuh Sioe Lan bergemetaran,
kaki tangannya dingin, mukanya pun menjadi sangat pucat.
"Jadinya, dia... dialah
ayahku?" katanya, perlahan.
"Ya, dialah ayahmu,"
sahut sang ibu. "Kau bilanglah sekarang, bagaimana aku tidak membenci
dia?"
Sioe Lan berdiam, hatinya
pepat.
"Habis merusak kesucian
diriku, dia juga mencelakai soehoe," berkata pula Tjit Im Kauwtjoe.
"Soehoe sangat menyayangi dia. dia dipercaya habis. Soehoe lagi tidur
ketika ia kena dibikin celaka. Kakak seperguruan itu membuat bubuk beracun dari
adukan tiga macam obat toohoatjiang, kimyapkiok dan pektjianlo yang sangat
beracun, bubuk itu ditiup masuk ke dalam hidung soehoe. Soehoe dijuluki
Toktjioe Sinmo. hebat kepandaiannya, meski ia telah kena diracuni, begitu sadar
ia sempat menyerang. Sayang karena telah terkena racun, pukulannya tidak
sehebat biasanya, jikalau tidak, tentulah dia terhajar mati ketika juga.
"Selama semua itu
terjadi, aku masih dalam pingsan. Sebenarnya dia hendak bawa aku lari, tetapi
karena dihajar soehoe, dia mengubah pikirannya. Dia takut soehoe tidak mati,
dia tidak berani berdiam lebih lama pula di wilayah Biauwkiang. Malam itu juga
dia kabur. Bang Thong pun kabur dengan membawa pergi hosioeouw milik soehoe.
Ketika kemudian aku mendusin dan aku pergi kepada soehoe untuk mengadukan
pengalamanku, soehoe lagi empas-empis napasnya. Dia meninggal pesan beberapa
kata-kata, diapun menyerahkan kitab Pektok Tjinkeng padaku. Pesannya yang
terakhir ialah supaya aku menuntut balas untuknya. Habis memesan, dia menutup
matanya untuk selama-lamanya Aku bersusah hati, sampai aku ingin tak hidup
lebih lama lagi. Tapi aku ingat pesan soehoe, maka tak dapat aku tak hidup
lebih lama. Yang aku tidak menyangka kemudian ternyata aku berbadan dua, hingga
aku mesti menanti sepuluh bulan untuk melahirkan. Dengan adanya kau, aku
lebih-lebih tidak harus mati."
"Mama. kau
sungguh-sungguh bersengsara," kata Sioe Lan sedih. "Pantas kau tidak
suka membuka rahasia kepadaku. Biarlah ayah apa she dan namanya, tetapi aku
ingin memakai she Im dari mama."
"Penderitaanku masih
belum habis," berkata ibu itu lebih jauh. "Baiklah, hari ini aku
tuturkan segala apa padamu."
Sioe Lan memasang telinga.
"Dengan lahirnya kau,
anak, aku bagaikan mempunyai harapan," berkata Tjit Im Kauwtjoe, mulai
lagi dengan penuturannya. "Kapan aku melihat sepasang matamu yang celi.
hatiku jadi terbuka. Aku membenci luar biasa terhadap ayahmu tetapi aku luar
biasa menyintai kau. Pernah karena kau, aku kata di dalam hatiku : 'Biarlah untuk
kau, anak Lan, aku memberi ampun kepadanya' Telah aku bi lang barusan, pesan
terakhir dari soehoe ialah agar aku membalaskan sakit hatinya itu. Aku tidak
menyangka sama sekali, selagi aku berniat mengasi ampun kepadanya, dia
sebaliknya! Tepat di hari ulangmu satu tahun, ada dua orang datang
padaku..."
"Adakah dia, dia yang
datang?" tanya Sioe Lan, suaranya bergemetar. Ia mau menyebut
"ayah" akan tetapi kata-kata itu tidak mau keluar dari mulutnya,
jadinya ia menyebut "dia."
"Yang bermula datang
bukannya dia!" menyahut sang ibu. Ia pun menyebut 'dia.' "Ialah Ban
Kee Soe, orang yang aku pikirkan siang dan malam! Bagaimana ingin aku menjadi
isterinya. Tapi sekarang, mengharap pun aku tidak berani. Biarnya aku tidak
takuti larangannya Tjie Hee Toodjin. karena kehormatanku telah dinodai, tidak
dapat aku menjadi isterinya. Maka itu untuk memutuskan cintanya, supaya ia pun
jangan jadi kurbannya Tjie Hee Toodjin, aku terpaksa mendustai ia bahwa aku
sudah menikah dan telah mempunyai anak. Aku minta dia mencari lain isteri,
supaya diajangan pikirkan pula padaku. Dia tidak mau percaya aku, sampai dia
melihat kau mirip dengan aku. Setelah mempercayainya, dia berdiri menjublak.
Sampai sekian lama, baru dia dapat membuka mulutnya. Dia kata: 'Kau sudah
bersuami dan mempunyai anak, kau pun hidup beruntung, aku girang sekali. Tapi
melihat roman kau, kau bukannya seperti orang yang hidup berbahagia! Bukankah
kau menyembunyikan kesukaran di dalam hatimu dan kau tidak suka menuturkan itu
padaku?' Aku menahan turunnya air mataku, aku mengertak gigi ketika aku
menyangkal. Dia kata pula: 'Karena kau berbahagia, baiklah, aku tidak mau
mengganggu padamu. Tapi, hendak aku menjelaskan, terhadap kau, aku tetap
seperti dulu, jikalau kau membutuhkan bantuanku, kau boleh pergi ke Ngobie San
mencari aku.' Nyatalah dia, anak dan ayah, sesudah diusir Tjie Hee Toodjin,
telah pindah ke gunung Ngobie San di mana ia menumpang pada paman gurunya. Dia
telah minta bantuan saudara seperguruannya mencari tahu tentang aku. maka itu
diamengetahui aku telah meninggalkan Tjie Hee dan menukar guru kepada Kie Hoan.
Ketika dia mau berpisah, dia menitipkan sebatang hio cendana kepadaku, dia
pesan: 'Jikalau kau tidak suka datang ke rumahku, bolehlah di tempat yang
berdekatan denganku kau menyulut hio ini, aku akan mendapat tahu dan nanti
datang padamu.' Kayu cendana ialah kayu wangi keluaran Ouwbong San. ketika kita
masih kecil dan suka memain, ia biasa membakar itu untuk memanggil aku. Dia
mengasihkan hio itu padaku, sebegitu lama aku simpan saja, belum pernah aku
pakai sampai hari ini. Habis dia memesan, baru dia mau pergi, lantas datang
orang yang lain. Dialah orang... orangyangaku paling tidak sudi menemuinya.
Dialah kakak seperguruanku itu, atau ayah kau.
Tjio Keng Ham! Dia gusar
melihat aku berada bersama Ban Kee Soe, dengan kasar dia kata padaku: 'Kau
menganggap aku tidak berani pulang maka kau berani diam-diam mencari laki-laki
lain?' Hatiku panas sekali, tetapi aku tidak mau mengadu mulut dengannya, untuk
itu pun sudah tidak ada kesempatannya. Aku melihat matanya yang bersorot bengis
ketika dia memandang Ban Kee Soe, aku kuatir dia menurunkan tangan jahat, maka
aku pikir baiklah aku mendahului. Demikian aku hajar dia roboh. Dalam halnya
racun, dia lebih pandai daripada aku, tetapi mengenai ilmu silat, aku lebih
menang. Dia tidak berani menggunai racun terhadap aku. maka itu dia merasakan
tanganku. Kau baru berumur satu tahun, kau belum dapat bicara, melihat aku
berkelahi, kau menangis. Sebenarnya aku ingin hajar mampus padanya tetapi
melihat kau menangis, hatiku menjadi lemah. Selagi begitu, Ban Kee Soe tidak
berani berdiam lama-lama, maka dia kata: 'Lantaran aku, kamu suami isteri jadi
berselisih, aku menyesal sekali, aku sangat menyesal.' Juga kepada Keng Ham ia
memberi keterangan bahwa ia datang cuma sebagai sahabat, lain tidak, dan ia
minta Keng Ham jangan curiga Keng Ham tidak mau percaya, sambil rebah di
lantai, dia mencaci Kee Soe. Aku panas sekali, ingin aku membeber rahasia akan
tetapi selagi dia mencaci, Kee Soe sudah lari pergi. Ah, kalau aku pikir
kelemahanku itu waktu, sampai sekarang aku masih menyesal bukan main. Tidak
dapat aku menguber dia, untuk memberi penjelasan. Kedudukanku itu waktu sangat
sulit. Aku tidak dapat menikah Kee Soe, aku juga takut Tjie Hee mencelakainya.
Tak dapat aku memberi penjelasan kepadanya. Karena itu, aku jadi bersengsara
sendiri seumur hidupku ini."
"Jikalau aku,"
berkata Sioe Lan selagi ibunyahening sejenak, "jikalau ada seorang
demikian menyintai aku, aku, akan tidak perdulikan apa juga, pasti aku turut padanya!"
Selagi mengucap begitu, air
matanya si nona mengetes jatuh. Entah dia berkasihan terhadap ibunya, setahu
dia menyesali nasibnya sendiri.
Tjit Im Kauwtjoe menolong
menyusuti air mata gadisnya itu.
"Aku tahu kesusahan hati
kau. tetapi kesusahan hatiku lebih besar pula," berkata si ibu. "Aku
terpaksa menutur semua ini kepadamu supaya kau mengerti jelas sifatnya ayahmu
itu. Seberlalunya Ban Kee Soe, dia berbangkit, untuk membalut lukanya. Hebat
hajaranku itu, sebelah tangannya salah laku. Dengan mata mendelik dia mengawasi
aku. Selang sekian lama, dengan nyaring dia tanya aku: 'Kau sudah mengambil
putusan atau belum? Kau mau turut aku atau tidak?' Dengan sama nyaringnya aku
menjawab: 'Biarnya mati, aku tidak sudi turut kau!' Dengan bengis dia kata: 'Soehoe
sudah mati, sekarang ini di kolong langit tidak ada orang yang dapat menguasai
diriku! Jikalau aku mau membikin kau mampus, itulah gampang sekali, seperti aku
membaliki tangan saja! Aku justeru tidak ingin membikin kau mati! Tidak dapat
tidak, kau mesti turut aku!' Aku melihat romannya, terang dia mau menggunai
racun atas diriku, maka aku kata: 'Kecuali kau meracuni aku, tidak nanti aku
turut padamu!' Dia rupanya menginsafi, melawan keras padaku dia tak dapat,
mungkin aku membunuh dia, maka itu dengan romannya yang bengis, tetap dia
menatap aku, sambil bersenyum ewah, dia kata: 'Baiklah, kau tidak suka turut
aku, suka aku membiarkan kau! Mengingat perhubungan suami isteri, aku tidak mau
membunuhmu, tetapi jikalau kau memikirkan itu bocah muka klimis, itulah tak
dapat!' Mendadak dia mengayun tangannya kepadaku, lantas aku ketutupan asap
beracun..."
Sioe Lan menjerit bahna kaget.
Selama mendengari penuturan ibunya itu, ia sudah tahu ayahnya seorang busuk,
hanya tidaklah ia pernah menduga, kebusukan itu ada demikian hebat, sampai dia
tak segan menurunkan tangan jahat terhadap orang yang dicintainya.
"Syukur aku telah menduga
bahwa dia bakal menurunkan tangan jahat itu," berkata Tjit Im Kauwtjoe,
meneruskan ceritanya. "Aku telah lantas menutup mataku dan menahan juga
napasku. Aku lantas merasakan mukaku panas sekali, seperti dibakar dengan besi
panas, sakitnya bukan buatan. Di dalam keadaan layap-layap itu, aku dapat
mendengar tertawa nyaring yang nadanya menyeramkan, disusul sama kata-kata
keras: 'Sekarang aku telah membikin kau menjadi jelek tidak keruan, maka hendak
aku melihat, si muka putih itu masih menyukai kau atau tidak!' Selama satu hari
satu malam aku tak sadarkan diri, ketika akhirnya aku mendusin, beginilah roman
mukaku! Dia telah menggunai racun yang merusak muka, meski dia tidak mengambil
jiwaku, dia toh sudah merusak kecantikanku."
Sioe Lan memeluki ibunya, ia
menangis.
"Oh, ayah kejam!"
katanya sengit. "Ibu, kau sungguh bersengsara!" ia pun mengeluh.
"Sesudah terjadi
peristiwa itu, baru hatiku tenang," Tjit Im Kauwtjoe berkata pula.
"Tjio Keng Ham tidak datang pula mencari aku. Adalah Ban Kee Soe, yang
mengirim orang menanyakan hal ichwalku. Hanya, setiap kali aku mendengar
kabaran dari ianya, lantas aku pergi menyingkir, sampai paling belakang aku
mengajak kau menyingkir ke gunung hingga orang tidak dapat mencari pula padaku.
Ban Kee Soe tidak ketahui apa yang terjadi setelah kepergiannya itu. Mungkin ia
tidak ingin mengganggu keakuran rumah tangga orang, rupanya ia lebih suka
menderita seorang diri. tidak mau ia mencari pula aku. Tiga tahun kemudian aku
mendengar kabar ia menikah dengan seorang nona gagah dari partai Tjengshia Pay.
Kemudian aku mendengar pula hanya dia mendapat seorang anak lelaki. Semenjak
kami berpisah, belum pernah aku merasa senang, baru sesudah mendengar hal
pernikahannya itu dan ia mendapat anak, dua kali aku tertawa. Senang hatiku
yang ia telah membangun rumah tangga yang berbahagia. Di samping itu.
kadang-kadang aku mendengar kabar kurang jelas mengenai Tjio Keng Ham. Katanya
dia semakin tersohor di dalam dunia Kangouw, sampai dia memperoleh julukan
Pektok Sinkoen. Pula Bang Thong. orang yang menganjurkan dia berbuat jahat,
yang telah mencuri emas di Biauwkiang dan obat, telah menjadi hartawan besar,
hingga dia menjadi potjoe, tuan dari Bang keepo. Semenjak itu, dia mencuci
tangan, dia tidak lagi melakukan pekerjaannya tanpa modal. Selama beberapa
tahun yang paling belakang ini, kabarnya dia pun mendapat seorang sahabat baru
ialah Tiatsie Sieseng Tjouw Thian Yauw si Pelajar Kipas Besi."
Sioe Lan bagaikan baru
tersadar, dia memotong cerita ibunya itu dengan berkata: "Oh, kiranya
beberapa hari yang lalu mama meracuni Bang Thong untuk membalaskan sakit hati
dulu hari itu! Dialah yang menganjurkan ayahku berbuat jahat, pantas dia
menerima hukumannya itu!"
"Sebenarnya aku tidak
bekerja untuk Bang Thong melulu," berkata si ibu, menjelaskan. "Pada
setengah bulan yang lalu, ayahmu telah mengutus si orang she Tjouw itu untuk
menemui aku secara diam-diam..."
"Mengapa aku tidak
mendapat tahu?" Sioe Lan tanya.
"Orang she Tjouw itu
berkepandaian sangat mahir dalam hal ilmu ringan tubuh," Tjit Im Kauwtjoe
memberi keterangan. "Aku telah dibikin mendusin dengan mendadak pada
tengah malam. Tahu-tahu dia sudah berdiri di depan pembaringanku. Dia
menjelaskan tentang dirinya dan memberitahukan bahwa mereka sudah beruntung
besar. DiakataTjio Keng Ham ingat padaku dan dia tanya, aku suka atau tidak
mengikut padanya. Dia tanya juga, jikalau aku tidak suka ikut dia, apa boleh
anakku diserahkan padanya. Aku menjadi sangat gusar, hingga aku mau membunuh
orang she Tjouw itu, tetapi dia liehay baru aku mau menurunkan tangan, dia
sudah mendahulukan kabur. Sekianlah. Sekarang aku hendak menanya kau, kau lebih
suka terus turut aku atau kau turut pada ayahmu itu?"
"Mania, pasti aku turut
kau" menjawab Sioe Lan tanpa berpikir lagi.
Justeru ketika itu, tubuhnya
si pemuda baju kuning berkutik.
Tjit Im Kauwtjoe mengawasi.
"Hawa hitam di alisnya
sudah mulai berkurang, tidak lama lagi, dia bakal sadar." katanya.
"Hm, kau sungguh kejam, terhadap seorang bocah, yang bau susunya belum
lenyap, kau berlaku begini ganas!"
Sioe Lan dapat menduga, siapa
yang dikatai ibunya itu, tetapi ia masih menanya: "Mama, kau mengatai
siapa?"
"Di dalam dunia ini. berapakah
orang yang pandai menggunai racun?" menyahut ibu itu. "Dia ini telah
dibikin celaka ayahmu, dia terkena asap beracun Keebeng Ngokouw Toanhoen
hio!"
Sembari berkata begitu, Tjit
Im Kauwtjoe mengeluarkan semacam obat bubuk lainnya, yang dikasih masuk ke
dalam liang hidungnya anak muda itu, sambil berbuat begitu, ia menatap muka
orang, ia menghela napas dan mengatakannya: "Sungguh mirip, sungguh
mirip... Dia mirip sekali dengan Kee Soe!..."
Kiam Hong di tempatnya
bersembunyi menghela napas. Katanya di dalam hati: "Tjit Im Kauwtjoe
beroman begini jelek dan nampaknya dia sangat kejam, siapa sangka dia dapat
menyintai orang demikian sangat!"
Kauwtjoe itu masih melanjuti
keterangannya: "Anak Lan. kau tentu mengerti sekarang kenapa ibumu
mendustai kau, bukan? Sebabnya ialah ibumu tidak ingin kau mengetahui yang kau
mempunyai ayah sangat busuk itu. Itu pula sebabnya mengapa aku membilangi kau
bahwa ayahmu ialah Ban Kee Soe, bahwa ayahmu itu telah menutup mata. Sebenarnya
mereka dua-duanya belum mati! Kau tahu, sekarang ini ibumu membenci semua pria
di kolong langit ini kecuali satu Ban Kee Soe. Dan selama beberapa tahun ini
aku berniat membangun satu perkumpulan agama, maksudku tidak lain ialah guna
menolong semua anak perempuan yang menderita kesengsaraan!"
"Jikalau demikian, tidak
heran Tjit Im Kauwtjoe bersikap aneh," pikir Kiam Hong pula. "Kiranya
dia mempunyai penderitaan yang begini hebat. Hanya sayang, walaupun maksudnya
baik, semua itu mirip dengan chayal. Wanita yang bersengsaradi kolong langit
ini besar jumlahnya, dia bersendirian, berapa banyak dia nanti berhasil
menolonginya? Belum-belum sekarang dia sudah dinamakan orang kauwtjoe agama
sesat!"
"Mama, kau memikirkan apa
lagi?" tanya Sioe Lan, yang melihat ibunya berdiam saja paras mukanya pun
muram.
"Aku lagi memikirkan
racun," menjawab ibu itu. "Masih ada beberapa racun lainnya yang
terlebih liehay daripada Keebeng Ngokouw Toanhoen hio ini. Mengapa dia justeru
menggunai racun ini, yang kekuatannya merampas jiwa sesudah lewat dua belas
jam? Apakah mungkin dia sudah menduga yang anak ini bakal mendapat pertolongan
dan dia menggunai caranya ini untuk penyelidikannya mencari aku? Atau
mungkinkah dia mempunyai maksud lain lagi?"
"Ma, sudahlah, tak usah
kau pikirkan pula," kata Sioe Lan. membujuk. "Biarnya benar dia
mengandung maksud itu, meski juga dia datang kemari, tidak nanti aku suka turut
padanya!"
Sepasang alisnya Tjit Im
Kauwtjoe bergerak, dia bersenyum.
"Kalau begitu, anak, hati
ibumu lega" katanya
Kembali Tjit Im Kauwtjoe
meniup obat bubuk ke dalam hidungnya si anak muda, ia mencabut tusuk kondenya,
untuk menusuk jalan darahnya, taytwie hiat dan lengtay hiat.
Mendadak anak muda itu
berbangkis, lalu kedua matanya dibuka dengan perlahan-lahan.
Tjit Im Kauwtjoe memegangi,
untuk mengasi bangun tubuh orang.
"Bagus, anak, kau telah
mendusin," katanya perlahan, halus. "Aku ialah sahabatnya ayahmu,
maka jangan kau takut Dengan adanya aku didampingmu, tidak nanti ada orang yang
berani mencelakai pula padamu!"
Kiam Hong lagi bersembunyi, ia
tidak bisa melihat, tetapi ia dapat menduga Tjit Im Kauwtjoe bersikap terhadap
pemuda itu sebagai juga pemuda itu anaknya sendiri.
Pemuda baju kuning itu duduk.
"Terima kasih,"
katanya perlahan. "Ayah tidak keliru menduga. Benar-benar kau baik sekali
terhadap aku."
"Bagaimana dengan
ayahmu?" Tjit Im Kauwtjoe tanya.
"Ayahku?" balik
tanya anak muda itu, lalu dia nampak sangat berduka. "Ayah... ayah sudah
menutup mata... Pesannya ialah supaya aku pergi mencari kau..."
Wanita tua itu terkejut,
lantas air mukanya menunjuki kedukaan.
"Sudah mati?... Sudah
mati?..." katanya berulang-ulang. "Bagaimana dia... dia...
matinya?..."
Meskipun dia telah
berkeputusan tidak akan menemui lagi Ban Kee Soe, kauwtjoe ini toh senantiasa
ingat kekasihnya itu, maka ia tidak menyangka bahwa sekarang mereka telah
berpisahan untuk selama-lamanya
Sejenak itu, Tjit Im Kauwtjoe
merasakan segala apa gelap dihadapannya. Dia seperti ditinggal pergi arwahnya.
Dalam keadaannya samar-samar itu, telinganya mendengar suara lemah dari si anak
muda: "Ayahku bersama ibuku, semua mereka telah dibikin celaka
orang..."
Kaget kauwtjoe itu, dengan
cepat ia membuka matanya
"Siapakah si
pembunuhnya?" ia tanya keras.
"Si penjahat dua
orang," menyahut si anak muda. "Ayah mengenali satu di antaranya
ialah Tokpie Kengthian Koan Sin Liong dari gunung Aylauw San."
Alisnya Tjit Im Kauwtjoe
bangun.
"Oh, Koan Sin Liong si
tuabangka bercacat yang tidak mau mampus itu!" dia berseru. "Kembali
dia muncul
untuk melakukan kejahatan?-
Siapakah itu yang satu
lagi?"
"Dialah seorang Biauw,
yang tidak ketahuan namanya."
Tubuhnya kauwtjoe itu
menggigil.
"Oh, orang Biauw!"
katanya. "Bagaimana macamnya dia?"
"Dialah seorang bermuka
biru yang perok, sepasang matanya panjang dan dalam, romannya sangat jelek.
Dialah seorang tua."
Tjit Im Kauwtjoe menghela
napas lega
"Aku menyangka dia,
kiranya bukan," katanya perlahan. Tapi ia lantas berpikir: "Di antara
orang Biauw yang liehay. kecuali Tjio Keng Ham, ada siapa lagi?"
Sioe Lan pun lega hatinya
mendengar si pembunuh kejam bukan ayahnya
"Tokpie Kengthian Koan
Sin Liong itu," berkata ini anak kemudian, "apakah dia bukannya itu
orang yang dulu hari mama pernah menyebutnya, ialah si hantu yang sebelah
tangannya telah dibabat kutung oleh Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng?"
"Tidak salah!"
menjawab sang ibu. "Setelah sebelah tangannya dibabat kutung, dia lantas
pergi menyembunyikan diri di gunung Aylauw San itu dan di sana dia menyebut
dirinya Tokpie Kengthian, si Tangan Tunggal Penunjang Langit."
Koan Sin Liong itu ialah keponakannya
Tjie Hee Toodjin, gurunya sudah meninggal dunia dan oleh Tjie Hee dia pernah
diberi petunjuk ilmu silat. Dalam hal umur, dia lebih tua sepuluh tahun lebih
daripada Tjit Im Kauwtjoe, maka itu, selagi Tjit Im masih belajar, dia sudah
keluar dari rumah perguruan dan namanya sudah tersohor. Tjit Im Kauwtjoe masih
ingat, ketika ia berumur tiga belas tahun, Koan Sin Liong sudah merampas uang
kumpulan amal di Shoasay, dia kepergok Yap Eng Eng, sebelah tangannya kena
dibikin kutung. Karena kejadian itu, dia telah datang ke Ouwbong San, untuk
minta bantuan paman gurunya, ialah Tjie Hee Toodjin. Tjie Hee jeri untuk ilmu
pedang Siangkiam happek, ilmu pedang bersatu padu, dari Yap Eng Eng suami
isteri, dia tidak berani membelai keponakannya itu. Setelah itu, Koan Sin Liong
mengeram diri di Aylauw San, untuk meyakinkan lebih jauh ilmu silat pedangnya.
Sampai Tjit Im Kauwtjoe meninggalkan gurunya berdua mereka tidak pernah bertemu
pula, sampai terjadilah peristiwa anak muda berbaju kuning ini hingga Tjit Im
Kauwtjoe mengetahui si Tangan Tunggal Penunjang Langit itu membinasakan orang
tua pemuda itu.
Tjit Im Kauwtjoe heran
mengetahui si pembunuh ialah Koan Sin Liong. Ia berpikir: "Tjie Hee
Toodjin jelus terhadap Ban Kee Soe, dia hendak menyingkirkan saingannya itu.
Tapi kejadian itu sudah lewat banyak tahun. Untuk kehormatannya, pula tidak
nanti Tjie Hee membeber perbuatannya yang buruk itu terhadap orang yang kedua
Sekarang terjadi pembunuhan ini. Bukankah di antara Koan Sin Liong dan Ban Kee
Soe tidak ada sesuatu perhubungannya? Kenapa sekarang dia membunuh Kee
Soe?" Maka ia lantas tanya si anak muda: "Ketika peristiwa terjadi,
apakah kau ada di rumah?"
"Ada," menyahut
pemuda itu. "Bahkan aku masih ingat, hari itu ialah hari kedua sepulangnya
ibuku dari propinsi Koeitjioe."
"Oh, ibumu pergi ke
Koeitjioe?" Tjit Im menegaskan. "Kau ingatkah ketika itu waktu
apa?"
"Itulah kejadian pada
tiga tahun yang lampau," menyahut si anak muda "Waktu itu tinggal
beberapa hari lagi hari raya Tiong Tjioe. Kabarnya itu waktu kau baru mulai
membangun Tjit Im Kauw. Benarkah itu?"
Tjit Im Kauwtjoe heran.
"Cara bagaimana kau dapat mengingat demikian baik?" ia tanya.
"Karena ketika itu ibuku
justeru pergi mencari kau. Sayang dia terlambat beberapa hari. Katanya kau baru
saja meninggalkan wilayah Biauwkiang."
Kauwtjoe itu menjadi bertambah
heran.
"Ah, ibumu pergi ke
Biauwkiang mencari aku?" dia kata. "Sekembalinya dia itu, apa
katanya?"
"Malam itu aku justeru
mendengar ayah dan ibu berbicara di dalam kamarnya, boleh dibilang semalaman
suntuk. Oleh karena mereka bicara di dalam kamar, aku tidak tahu soal apa yang
dibicarakan."
Hati Tjit Im Kauwtjoe goncang.
"Apakah kau tidak
mendengar nyata pembicaraan mereka itu ataukah kau kurang mengerti?" ia
menanya pula
"Kamarku sebelah menyebelah
dengan kamar ayah dan ibuku. Mereka bicara dengan suara keras dan perlahan
bergantian. Aku tidak memperhatikan. Oh, jikalau aku tahu bahwa selanjutnya aku
bakal tidak mendengar pula suara mereka, tentulah aku memasang kuping sampai
pagi..."
Tjit Im Kauwtjoe merasa kurang
enak sendirinya Katanya di dalam hati: "Kee Soe murid partai lurus dan
anaknya ini dengar kata, pasti ini anak tidak dapat mencuri dengar pembicaraan
orangtuanya" Ia merasa ia telah keliru menanya, tetapi sebenarnya ia ingin
sekali mengetahui hal ichwalnya Kee Soe suami isteri itu.
Si anak muda baju kuning
berkata pula: "Tengah malam aku mendusin, aku masih mendengar ayah dan ibu
bicara terus. Lalu aku tidur pula. Aku bangun di waktu mulai terang tanah, itu
waktu aku mendengar pembicaraan ayah dan ibu masih belum berhenti. Aku tidak
mendengar nyata, cuma beberapa kali aku mendapat dengar disebutnya nama-namanya
Pektok Sinkoen dan nona Im Oen Giok..."
"Im Oen Giok itu ialah
aku," Tjit Im Kauwtjoe memotong.
"Pastilah kau telah
menderita banyak," berkata si anak muda "Aku ingat ibuku membilang
bahwa ia merasa berkasihan terhadapmu. Kata ibu, sama sekali ia tidak jelus
atau cemburu terhadap kau, ia sangat ingin dapat mencari padamu, bahkan ibu
ingin sekali yang kau dan ianya tinggal bersama-sama. Ibu mengatakan juga bahwa
ia percaya kau tentu ketahui, dunia bukan selamanya dingin, dunia masih ada
yang hangat. Yang aku tidak mengerti ialah kenapa ibuku, di waktu
menyebut-nyebut kau, membilang juga hal jelus dan cemburu. Ibu toh belum pernah
bertemu sama kau? Apakah yang dibuat jelus dan cemburu? Aku tahu, kau liehay
melebihkan ayah dan ibuku, akan tetapi ibuku bukanlah orang yang cupat
pandangannya, tidak nanti dia jelus untuk kepandaian orang lain yang lebih
tinggi daripada kepandaiannya."
Di waktu bicara anak muda ini
memperlihatkan romannya kekanak-kanakan dan polos. Rupanya pun dia belum tahu
soal hubungan yang ruwet dan memusingkan di antara pria dan wanita.
Parasnya Tjit Im Kauwtjoe
menjadi merah sendirinya. Di dalam hatinya dia berkata: "Ketika pertama
kali aku mendengar pernikahannya Kee Soe itu, di satu pihak aku mendoakan
kebahagaiannya, di lain pihak aku jelus terhadap isterinya. siapa sangka
isterinya itu justeru berpandangan lebih luas daripadaku yang cupat..."
Si anak muda bersedih, air
matanya mengalir turun. Ia menepas itu.
"Begitu lekas langit
sudah terang, sebelum aku turun dari pembaringan, maka datanglah Koan Sin Liong
bersama si orang Biauw itu," ia meneruskan kemudian. "Mendengar suara
kedatangan mereka itu, ayah dan ibu pergi keluar, untuk menemui, guna
menanyakan maksud kedatangan mereka. Mereka itu tidak menjawab, sebaliknya,
dengan mendadak mereka menyerang. Ibu tidak bersiap sedia, ibu yang paling dulu
kena dibunuh mereka. Ayah melakukan perlawanan, ayah dapat melukai mereka itu.
akan tetapi ayah pun terkena senjata rahasia yang berupa tokkielee beracun dari
Koan Sin Liong, hingga ayah cuma bisa mengawasi saja mereka itu mengangkat
kaki. Di waktu mabur. sembari tertawa dingin, Koan Sin Liong kata: 'Jikalau aku
tidak memberi keterangan, kasihan kamu mati tidak keruan, gelap akan duduknya
hal. Aku pun tidak memikir membiarkan kamu menjadi setan-setan, dogol! Baiklah
aku memberitahukannya! Bukankah kamu hendak mencari Tjit Im Kauwtjoe? Nah, Tjit
Im Kauwtjoe mengundang kamu ke istana Giam Lo Ong untuk kamu membuat pertemuan
di muka Raja Acherat itu! Kami ini ialah si pesuruh tukang membetot arwah
manusia yang diutus olehnya!"
Mendengar itu, Tjit Im
Kauwtjoe berduka berbareng gusar sekali, hingga tubuhnya menggigil saking
gusarnya itu.
"Koan Sin Liong sangat
jahat!" katanya nyaring. "Sudah dia membinasakan ayah dan ibumu, dia
juga secara keji memakai namaku! Asal napasku masih ada maka aku bakal menuntut
balas terhadapnya!"
"Jangan gusar,
Kauwtjoe," berkata si anak muda. "Perkataannya Koan Sin Liong itu,
sedikit pun ayah tidak percaya. Ayah memesan aku, katanya: 'Aku tidak tahu
kenapa Koan Sin Liong berbuat demikian jahat mencelakai aku dan ibumu. Kau
masih kecil, bukan saja kau tidak dapat menuntut balas, bahkan kau perlu
menjaga diri supaya kau juga tidak terbinasakan musuh. Aku hendak menyerahkan
kau pada seorang yang aku paling percaya dapat dibuat andalan, dialah orang
satu-satunya yang aku kenal, dia pasti dapat merawat padamu!'"
Dengan "dia," pemuda
itu menyebut dia "wanita."
Air matanya Tjit Im Kauwtjoe
turun dengan deras.
"Oh, Kee Soe, Kee
Soe..." katanya terputus-putus. "Dia... dia membilang begini
kepadamu?"
Si anak muda mengangguk.
"Benar," sahutnya.
"Ayah membilangi aku, orang yang dipercaya itu ialah kau. Kata ayah pula:
'Pergi kau cari Tjit Im Kauwtjoe. Jangan kau mendesak ia untuk membalaskan
sakit hatiku, cukup asal ia suka memperlakukan kau sebagai anak kandungnya
sendiri.'"
Tjit Im Kauwtjoe merangkul
anak muda itu. Ia berduka berbareng bangga Demikian besar kepercayaan
kekasihnya terhadapnya! Ia bersyukur sekali kepada Kee Soe.
"Benarlah apa yang
dikatakan ayahmu itu!" katanya. "Dia memang sahabatku satu-satunya!
Anak yang baik, apakah namamu?"
"Namaku Thian Peng,"
menyahut anak itu, "Ban Thian Peng. Ayah meninggalkan sepucuk surat untuk
kau."
"Oh, setelah terluka dia
masih dapat menulis kepadaku?" kata Tjit Im Kauwtjoe, air matanya mengalir
terus.
"Surat itu ditulis satu
malam di muka," menerangkan si anak muda "setelah ayah terluka, dia
menulis sehelai pula Habis menulis, surat itu ditutup rapat, diserahkan padaku
secara hati-hati sekali. Ayah pun memberikan aku sebatang hio cendana serta
sebutir mutiara yabengtjoe. Ayah memesan untuk mencari kau, supaya di tempat
dekat kau berada, aku memasang hio itu. Mutiara itu pun untuk kau."
"Sungguh sempurna dia
memikirnya" kata Tjit lm Kauwtjoe. Ia menyambuti mutiara yabengtjoe itu,
ialah mutiara yang di waktu malam dapat mengeluarkan sinar terang. Air matanya
bercucuran deras. Itulah mutiara saksi pengikat janji mereka di itu malam, dan
ialah yang memberikan kepada Kee Soe.
Setelah mengawasi sekian lama
mutiara itu, yang ia pegang erat-erat, Tjit Im Kauwtjoe lantas membuka surat
kekasihnya itu, sebuah surat terdiri atas tujuh halaman. Halaman yang terakhir,
suratnya tidak rata dan tidak keruan, bahkan beberapa baris yang terakhir,
hampir tidak dapat dibaca lagi.
Sambil menangis, nyonya yang
menjadi pemimpin Tjit Im Kauw itu membaca surat kekasihnya itu.
Pertama-tama Ban Kee Soe
menulis bahwa ia tidak berniat mengganggu ketenangan dari Tjit Im Kauwtjoe
tetapi ada sebab penting yang membikin ia mesti menulis suratnya ini. Ia telah
mendapat tahu bahwa Pektok Sinkoen yang sedang malang melintang di dalam dunia
Kangouw sebenarnya ialah itu laki-laki yang dulu hari ia telah menemukannya di
rumah Im Oen Giok di Biauwkiang, wilayah suku bangsa Biauw. Katanya meski
Pektok Sinkoen muncul di dalam dunia Kangouw, belum pernah ada yang melihatnya
dia berada bersama-sama Oen Giok, maka itu, meski ia tidak tahu duduknya hal
yang benar, ia percaya Oen Giok tidak rela menikah dengan dia itu. Pula,
beberapa orang yang mengenal Pektok Sinkoen, belum pernah mereka mendengar
Pektok Sinkoen sendiri mengatakan dia telah mempunyai isteri. Justeru sekarang
Pektok Sinkoen dibenci kaum Kangouw, karena ia kuatir Oen Giok nanti
kerembet-rembet, ia mau mengasi ingat agar kekasih ini berlaku waspada.
Yang kedua, Ban Kee Soe
menulis tentang dirinya sendiri. Ia kata ketika ia telah mengetahui Oen Giok
sudah menikah dan mempunyai anak, ia ingin tidak menikah untuk selamanya. Tapi
ialah putera satu-satunya dan ayahnya menghendaki turunan, maka itu, untuk
tidak membikin ayahnya berduka, ia terpaksa menikah, dengan seorang nona gagah
dari partai Tjengshia Pay, namanya Lioe Siang In. Sebelumnya pernikahan
dirayakan, ia bilang, ia sudah berbicara dengan Lioe Siang In tentang
perhubungannya dengan Tjit Im Kauwtjoe. Itulah untuk mencegah terjadinya salah
paham di belakang hari. Nyata Siang In dapat dikasi mengerti, bahkan dia
bersimpati. Ia menulis, ia menikah untuk memenuhi keinginan dan pengharapan
ayahnya, tetapi setelah hidup sebagai suami isteri, ia mendapat kenyataan
isterinya itu sempurna di dalam segala hal. hingga sendirinya ia menjadi
menyintainya. Karena ini ia menginsafi, ia menyesal, Tjit Im Kauwtjoe
sebaliknya telah menikah dengan seorang suami yang tidak tepat. Karena itu
katanya, ia sering mengingat dan memikirkan kekasih itu.
Dalam halaman ketiga, Kee Soe
menerangkan bahwa, setelah ia dapat membaca beberapa buah kitab, ia menginsafi
bahwa hubungan di antara pria dan wanita tidak cuma berbatas pada soal menjadi
suami dan isteri saja Masih ada hubungan lainnya. Ia menulis, karena Tjie Hee
Toodjin sudah menutup mata, Tjit Im Kauwtjoe boleh tak usah menguatirkan siapa
juga, sedang Pektok Sinkoen, jangg seumur hidupnya merantau saja, sama juga
telah mensia-siakan isterinya. Maka ia tanya, kalau Tjit Im Kauwtjoe setuju, ia
dan isterinya senang sekali menyambut dan menerima dia untuk tinggal
bersama-sama di rumahnya Isterinya. katanya, suka memandang dan memperlakukan
dia sebagai kakak. Ia kata, oleh karena sama-sama sudah berusia lanjut, asa)
mereka tinggal bersama dengan memakai aturan sopan santun dan berlaku jujur
satu pada lain. maka tak usahlah mereka memperdul ikannya umpama kata ada
omongan kurang bagus dari pihak orang luar. Ia memberi nasihat supaya dia
jangan berpandangan cupat, hingga dia bisa menjadi terus hidup sepi dan
menderita.
Dalam halaman ke empat. Kee
Soe menuturkan hal isterinya, Lioe Siang In. sudah berangkat untuk mencari dia.
Ia kata, isterinya telah mendapat tahu bahwa ia senantiasa memikirkan dia maka
isterinya itu menyarankan untuk si isteri sendiri pergi mencari dia, untuk
mengajak dia dan anaknya tinggal bersama-sama di gunung Ngobie San. Setelah
memikir masak-masak, ia menerima baik saran isterinya itu, yang lahargakan.
Maka sayang sekali, isterinya telah datang terlambat beberapa hari, ialah Tjit
Im Kauwtjoe keburu pergi meninggalkan Biauwkiang. Terpaksa isteri itu pulang
dengan tangan kosong, sebab tak ketahuan ke mana perginya Kauwtjoe dan anaknya
itu.
Membaca sampai di situ. bukan
main terharunya Tjit Im Kauwtjoe. Ia sangat bersyukur kepada Kee Soe dan Lioe
Siang In. Terutama ia menghargakan dan mengagumi Siang In. yang demikian polos
dan baik hati. Sukardicari isteri yang tidak jelus dan tidak cemburu seperti
Siang In itu.
Halaman ke lima dari suratnya
Kee Soe itu menulis hal isterinya, sehabisnya si isteri pulang dengan tangan
kosong itu. Katanya, Siang In itu, meski tidak berhasil menemui dia, telah
mendengar banyak kabaran mengenai dirinya, terutama mengenai dia telah
dipersakiti Pektok Sinkoen, bahwa dia lagi membangun Tjit Im Kauw. Ia kata ia
bersusah hati mendengar warta itu. Ia menyatakan kekuatiran, karena
kedukaannya, Tjit Im Kauwtjoe nanti menuruti panas hatinya dan nanti tersesat
karenanya. Ia percaya Tjit Im Kauwtjoe bermaksud baik membangun Tjit Im Kauw
tetapi ia kuatir maksud itu nanti salah diterima oleh kaum Rimba Persilatan.
Maka itu, lagi sekali ia minta Oen Giok berlaku hati-hati.
Di dalam halaman ke enam, Kee
Soe menulis sesudah ia sendiri kena dibikin celaka. Huruf-huruf suratnya itu
besar-besar, ditulisnya seperti cara sembarangan saja. Kertasnya itu bertanda
bekas kena darah. Dengan menahan kesedihannya, Tjit Im Kauwtjoe membaca surat
itu. Ia telah mesti mengucurkan air matanya. Di situ Kee Soe menuturkan jelas
bagaimana ia mengalami kecelakaannya itu.
Lantas di halaman yang
terakhir, Kee Soe meminta maaf kepada kekasihnya. Ia menulis, selama beberapa
puluh tahun, ia senantiasa memikirkan kekasihnya itu. Ia menyesal, selagi ia
tidak bisa berbuat apa-apa untuk si kekasih, sekarang ialah yang ingin minta
pertolongan. Ia kata ia percaya Oen Giok suku menilik puteranya, maka tak
usahlah ia menulis banyak-banyak. It mengutarakan kekuatiran bahwa anaknya,
yaitu Thian Peng, nanti terburu napsu hendak menuntut balas. Itulah berbahaya
dan mungkin berarti mengantarkan jiwa secara sia-sia. Karena itu, ia telah
kasih mengerti pada anaknya, sebelum anak ini menuntut balas, untuk si anak
mencari dulu ini kekasih. Maka ia minta Oen Giok suka mengendalikan anaknya
itu. Ia menulis, soal pembalasan ada soal kedua, yang utama ialah agar Thian
Peng dapat dididik menjadi seorang anak yang berharga.
Air matanya Tjit Im Kauwtjoe
membasahkan lembaran-lembaran surat kekasihnya itu. Ia berduka, ia pun
bersyukur kepada Kee Soe, yang tidak saja menyintai ia tapi pun sangat
mempercayainya. Di lain pihak, ia bersyukur kepada Lioe Siang In, isteri Kee
Soe dengan siapa ia belum pernah bertemu. Sungguh baik Siang In itu.
Karena ia menangis dan air
matanya terus mengalir, tiba-tiba Tjit Im Kauwtjoe seperti melihat Ban Kee Soe
berada dihadapannya, atau di lain saat ia melihat si anak muda, ialah Thian
Peng puteranya Kee Soe itu. Ia menyusut air matanya, ia rangkul anak muda itu.
"Anak yang baik!"
katanya, suaranya parau. "Sudah tiga tahun kau mencari aku, akhirnya kau
menemukannya juga. Aku berterima kasih kepada Thian, yang telah mempertemukan
kita ini. Kau telah kehilangan ayah dan ibumu, maka itu, jikalau kau tidak
merasa terhina kau panggillah mama padaku!"
Thian Peng juga bermandikan
air mata. Ia berlutut di depan nyonya itu, untuk paykoei tiga kali, untuk
memanggil: "Mama!" Kemudian dengan menghadapi Im Sioe Lan, ia
memanggil: "Entjie!"
Dengan masing-masing sebelah
tangannya, Tjit Im Kauwtjoe mencekal kedua anak itu, dengan air mata masih
belum kering, ia tertawa, tertawa berduka. Untuk sedetik itu, terbukalah
hatinya
Tengah nyonya ini bersedih
berbareng girang itu, tiba-tiba ia mendengar suara tertawa yang nyaring dan tak
enak nadanya, yang membikin telinganya sakit. Ia pun kaget, sebab ia mengenali
suara tertawa itu. Tanpa merasa, tubuhnya menggigil. Dengan sebal ia berlompat
bangun.
"Kau masih mempunyai muka
untuk bertemu dengan aku?" ia menegur, tajam.
Tidak heran kalau Tjit Im
Kauwtjoe menjadi kaget, hatinya tegang dan bergusar itu. Orang yang tertawa
itu, yang datang secara sekonyong-konyong kepada mereka ialah Pektok Sinkoen.
Im Sioe Lan lantas saja
mengerti apabila ia melihat sikap ibunya itu. Ketika ia masih kecil, ibunya
memuji kepadanya tentang ayahnya seorang baik sekali, bahwa katanya ayahnya itu
sudah lama meninggal dunia. Ia sangat berduka untuk ayahnya itu. Nyata
sekarang, ayahnya itu hanya chayalan ibunya, sebab itu sebenarnya ayah si anak muda
di sisinya ini. Sedang ayahnya yang sejati adalah ini orang yang baru datang,
yang datang-datang mengejek ibunya itu. Maka ia pun, sendirinya tubuhnya
menggigil. Ia sampai tidak berani memandang ayah itu, sedang hatinya ingin
sekali ibunya terus dapat mendustai padanya..
Pula nona ini, tanpa merasa
sudah mencekal keras tangan si anak muda, tangan siapa dingin bagaikan es,
sedang matanya Thian Peng dengan berapi diarahkan kepada Pektok Sinkoen. Mulut
pemuda itu bergerak tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Thian Peng pun segera
mengenali si orang Biauw, yang kemarin ini sudah melukai ia dengan asap obat
"Keebeng Ngokouw Toanhoen hio," hingga ia terluka parah. Ia gusar
bukan kepalang. Tapi, kapan ia melihat sikapnya Tjit Im Kauwtjoe dan puteri, ia
lantas dapat membade duduknya hal. Benar ia tidak dapat mendengar pembicaraan
ibu dan anak tadi-sebab ia tengah tak sadarkan diri --- akan tetapi ia dapat
menerka Pektok Sinkoen ini ialah "suami" --- nya Tjit Im Kauwtjoe
atau "ayah"-nya Im Sioe Lan.
Pektok Sinkoen berdiri
menghadang di ambang pintu. Di situ ia mengasi dengar suaranya yang tak enak
didengar itu, yang menyeramkan. Dengan matanya yang tajam, ia mengawasi ketiga
orang dihadapannya, akan paling belakang memandang tajam kepada Tjit Im
Kauwtjoe.
"Beberapa hari yang lain
aku telah mengutus Tjouw Thian Yauw menemui kau," ia berkata,
"kesudahannya kau usir padanya! Sekarang aku datang sendiri padamu, untuk
menjengukmu! Tentang maksud kedatanganku ini, kau tentunya telah mengerti, bukan?"
Tjit Im Kauwtjoe membungkam,
tetapi dengan matanya, ia mengawasi Pektok. Ketika sinar mata mereka bentrok,
diam-diam, sendirinya, tubuh Pek To menggigil. Dalam murkanya, sinar mata
nyonya itu bengis sekali. Ia menetapkan hati, lantas ia mengalihkan pandangan
matanya ke arah Sioe Lan.
"Dia mirip sekali dengan
kau semasa kau masih muda!" katanya sesaat kemudian. "Ah kalau
diingat urusan dulu-dulu itu, aku menyesal... Sekarang aku mau minta supaya kau
suka memberi maaf padaku." --- Eh, aku ini ialah ayahmu, kau tahu tidak?"
Kata-katanya yang paling belakang ini ia tujukan kepada Sioe Lan kepada siapa
ia berpaling.
Sioe Lan mundur satu tindak,
ia menyingkir dari sinar mata ayahnya itu.
"Aku tidak kenal
kau!" katanya tajam, "Aku tidak mempunyai ayah! Ayahku sudah lama mati!"
Berbareng dengan itu, Tjit Im
Kauwtjoe juga membentak bengis: "Jikalau kau ingin aku mengampunimu, lekas
kau pergi dari sini!"
Muka Pektok Sinkoen menjadi
pucat tapi hanya sejenak, lalu ia tertawa menyeringai. Kali ini sinar matanya
jatuh kepada Ban Thian Peng, yang dipandangnya sekian lama.
"Bocah ini sangat mirip
dengan Ban Kee Soe!" katanya dingin, tertawa mengejek. "Haha! Kamu.
ibu dan anak, agaknya akrab sekali hubungan kamu! Hanya sayang, kau, kau tidak
dapat menjadi ibunya!"
"Kau ngaco!" bentak
Tjit Tm Kauvvtjoe. "Lekas pergi!"
"Hm, kau takut aku
menyebut-nyebut kekasihmu!" kata Pektok Sinkoen. "Anak Ban Kee Soe
sudah sebesar ini, kau takuti apa lagi? Apakah cintamu masih belum padam?
Baiklah! Sekarang hendak aku mengulangi pertanyaanku dari dua puluh tahun yang
lalu itu! Kau sebenarnya ingin mengikuti aku atau mengikuti Ban Kee Soe?"
Amarah Tjit Im Kauwtjoe sampai
dipuncaknya. Ia maju setindak, matanya mendelik seakan-akan hendak meloncat
keluar. "Bukankah Ban Kee Soe mati dibunuh orang atas perintahmu?"
tanyanya.
Pektok Sinkoen agaknya
terkejut.
"Apa? Apakah Ban Kee Soe
sudah mati?" dia balik bertanya.
"Oh, kiranya bocah ini
datang padamu untuk menyampaikan berita!"
"Apakah benar-benar kau
belum tahu?" Tjit Im Kauwtjoe menegas.
"Kau menuduh aku, tidak,
tidak bisa aku mengatakan apa-apa," kata Pektok Sinkoen.
Kauwtjoe itu ragu-ragu. Ia
maju pula selangkah.
"Taruh kata benar bukan
kau yang membunuh Ban Kee Soe," katanya dingin, "tetapi terhadap anak
Kee Soe itu kau menurunkan tangan begini jahat, apakah kau masih dapat dihitung
sebagai manusia?"
"Jikalau aku tidak
memandang mukamu, siang-siang sudah kumampuskan bocah ini!" kata Pektok
Sinkoen sambil tertawa dingin. "Apakah kau tidak mau menerima kebaikan
hatiku ini? Coba kau pikir! Jikalau aku hendak membinasakan dia, dapat aku
menggunakan pukulan Kioeyang Toktjiang! Kenapa aku mesti menggunakan pukulan
ini yang meminta waktu dua belas jam barulah racunnya bekerja?"
Pektok Sinkoen mengetahui,
bahwa Tjit Im Kauwtjoe berada di tempat yang berdekatan tetapi ia belum
mengetahui tempat kediamannya yang pasti, maka ia menggunakan pukulannya itu
yang dapat diperlambat kehebatannya Ia yakin, bahwa selekas Ban Thian Peng
terluka, bocah itu pasti akan membakar hionya guna memohon pertolongan Tjit Im
Kauwtjoe, supaya dengan begitu dapat ia menguntit si bocah, untuk menemui
isterinya itu. Ternyata bahwa siasatnya telah memberikan hasil.
Tjit Im Kauwtjoe berpikir. Ia
pun lantas mengerti.
"Kalau begitu kau jadinya
bersungguh-sungguh hati hendak menemui aku!" katanya. Ia pun tertawa
dingin.
"Benar! Apakah kau masih
tidak percaya?" Pektok Sinkoen menegaskan.
Tjit Im Kauwtjoe tiba-tiba
menudingnya.
"Bagus betul!"
katanya, gusar. "Dengan menggunakan cara busuk ini kau mencari aku dan kau
masih mengharap aku menggubris padamu! Kau mau pergi atau tidak? Jikalau kau
tidak pergi, jangan kau sesalkan aku keterlaluan!"
Pektok Sinkoen juga menjadi
gusar.
"Bagus ya!" katanya
diiringi tertawa dingin. "Ban Kee Soe sudah mampus, sekarang kau masih
kesudian merawat anaknya yang piatu! Sungguh kau harus dikagumi! Kau harus
dipuji! Hanya aku tidak tahu, kau menggunakan hak apa, maka kau hendak menjadi
janda Ban Kee Soe? Baiklah, sekalian saja aku mampuskan bocah ini! Aku hendak
lihat kau dapat bikin apa!"
Menyusul perkataanya itu,
Pektok Sinkoen melompat, tangannya menyamber ke batok kepala Ban Thian Peng.
Tjit Im Kauwtjoe tengah gusar
bukan kepalang, seluruh tubuhnya sampai bergemetar, maka betapa kagetnya ketika
itu, melihat kejadian itu. Ia pun tidak bersedia sama sekali. Ia benar gesit,
hendak ia menolong bocah itu, tetapi ia sudah agak terlambat, maka ia hanya
berpikir: "Jikalau Ban Thian Peng mati di tangannya, aku akan membunuhnya
supaya dia mengganti jiwa!..."
Pada detik yang sangat
berbahaya itu, selagi tangan Pektok Sinkoen hampir mengenai batok kepala Thian
Peng, mendadak dia menjerit hebat, tangannya itu menyamber ke samping, hanya
beda tiga dim atau sasarannya tentu sudah hancur berantakan!
Tepat berbareng dengan itu,
tubuh Tjit Im Kauwtjoe mencelat ke depan, tangannya turut melayang.
Pektok Sinkoen melompat
mundur.
"Sungguh liehay!"
serunya. "Hanya kau lupa, meski benar ilmu silatmu lebih liehay daripada
ilmu silatku tetapi aku masih mempunyai daya lain untuk membikin kau
mampus!"
Ketika Pektok Sinkoen
menyerang Ban Thian Peng, tiba-tiba ia merasakan tangannya sakit seperti
disengat tawon, karenanya, serangannya itu menjadi gagal mengenai sasarannya.
Ia menduga bahwa ia dibokong Tjit Im Kauwtjoe. Ketika ternyata ia bukannya
terkena racun, hatinya menjadi lega. Meski demikian amarahnya tidak jadi
berkurang, maka ia telah mengeluarkan kata-katanya itu.
Juga Tjit Im Kauwtjoe tidak
kurang herannya Sebab bukannya ia yang membokong suaminya itu.
Sesungguhnya ialah Liong Kiam
Hong yang sudah menyerang dengan sebatang jarumnya, jarum Bweehoa tjiam, untuk
menolong jiwa si pemuda she Ban, Sebenarnya, dengan keliehayannya, Tjit Im
Kauwtjoe harus mengetahui itu, tetapi pada saat itu ia tengah memusatkan
perhatiannya kepada Pektok Sinkoen dan Ban Thian Peng, dan menjadi lengah juga.
Ia tidak menyangka bahwa di antara mereka ada Nona Liong itu, yang bersembunyi.
Dalam gusarnya itu, Tjit Im
Kauwtjoe berkata dengan bengis: "Jikalau kau berani mengganggu sehelai
saja rambutnya, jikalau bukannya aku yang mati, tentulah kau yang mampus! --
Sebenarnya tiada niatku membunuhmu dengan tanganku sendiri, tetapi jikalau kau
lagi sekali melakukan perbuatan yang menentang pri kemanusiaan, terpaksa aku
mesti menjalankan pesan terakhir dari soehoe!"
Wajah nyonya ini telah dirusak
Pektok Sinkoen. dari cantik dia menjadi jelek sekali, sekarang dia tengah marah
hebat, romannya yang jelek itu menjadi jelek luar biasa.
Pektok Sinkoen sudah biasa
akan benda atau machluk-machluk yang beracun, hatinya telengas. akan tetapi
sekarang, memandang Tjit Im Kauwtjoe, hatinya gentar juga. Diawasi demikian
bengis oleh Tjit Im Kauwtjoe, ia mundur beberapa tindak. Ia menetapkan hati,
mencoba menyabarkan diri.
"Dua puluh tahun telah
lewat, apakah masih saja kau membenci aku secara begini?" tanyanya.
"Baiklah, anggap saja bahwa dahulu aku telah berbuat tidak selayaknya
terhadapmu, maka sekarang, hendak aku menebus dosa. Kau mau atau tidak
mendengar dahulu kata-kataku?"
"Kau mau bicara apa
lagi?" tanya Tjit Im Kauwtjoe. Marahnya menjadi reda sedikit, mendengar
orang hendak menebus dosa.
"Kimtoo Tjeetjoe telah
merampas bingkisan pelbagai propinsi, perbuatannya itu menggemparkan
dunia." kata Pektok Sinkoen. "Bukankah kaupun telah mengetahui
peristiwa itu?"
"Ada hubungannya apakah
peristiwa itu dengan aku?" Tjit Im Kauwtjoe tanya.
"Kimtoo Tjeetjoe telah
merampas bingkisan itu tetapi dia tidak mempunyai rejeki untuk mengicip
kebahagiaannya!" berkata Pektok Sinkoen tertawa "Lewat lagi sepuluh
hari, semua bingkisan itu bakal berbalik dipersembahkan kepadaku! Dengan
begitu, bagaimana dapal dikatakan tidak ada hubungannya sama kau?"
Tjit Im Kauwtjoe tertawa -==
tertawa dingin.
"Aku memberi selamat
kepadamu yang memperoleh untung besar!" katanya. "Kau telah
memperoleh harta, kenapa kau bukan pergi kepada segala sahabat babi dan taulan
anjingmu untuk mengicipinya bersama-sama? Mengapa kau menyebut-nyebut
aku?"
Pektok Sinkoen tidak menunjuki
kemurkaannya walaupun dia diejek dan dicaci itu. Sebaliknya, dia menunjuki
kebanggaannya. Begitulah dia tertawa besar.
"Aku bukan cuma berharta
luar biasa!" ia kata. "Aku demikian kaya hingga kekayaanku dapat
melawan kekayaan negara! Asal kau suka baik kembali denganku, maka kepunyaanku
kepunyaan kau juga? Mana ada pemisahan di antara kita berdua? Kau tahu, aku berniat
menghaturkan beberapa rupa permata mustika kepada Kiauw Pak Beng si siluman tua
itu, untuk berserikat dengannya. Haha! Jikalau aku telah bersekutu dengannya,
maka dapatlah aku malang melintang di kolong langit ini! Aku hendak memerintah
dunia Kangouw! Tidakkah itu bagus?"
Tjit Im Kauwtjoe menggeleng
kepala. Di dalam hati kecilnya, ia berpikir: "Ketika bermula kali aku
menjadi murid Kie Soehoe, aku melihat dia ini, meskipun dia sangat gemar sama
penghidupan mewah, dia masih dapat dibilang seorang Biauw yang sederhana, maka
di luar dugaan sekali, setelah dia bergaul dengan Bang Thong dan seterunya yang
buruk, dia turut menjadi busuk, hari lewat hari, bathinnya menjadi bertambah
rusak, dan sekarang, karena bujukannya harta dunia, dia menjadi berani melakukan
segala macam kejahatan, hingga dia tidak dapat ditolong lagi... Sungguh
sayang!"
Habis berpikir begitu, Tjit lm
hendak mengejek, tetapi Pektok Sinkoen mendahului ia. Sembari tertawa Pektok
berkata: "Aku dengar kau hendak membangun agama Tjit Im Kauw, dengan
begitu, hartaku ini dapat membantu usahamu itu! Pendek, kau mau uang, uang ada!
Kau mau orang, orang tersedia! Kita suami isteri, kita bekerja sama, sedang di
luar kita, ada Kiauw Laokoay si Siluman Tua sebagai tulang punggung kita!
Apakah dengan begitu kau menguatirkan lagi yang usahamu tidak bakal maju? Kau
lihat, aku bersungguh hati hendak hidup berbahagia denganmu. Apakah kau masih
tidak puas?"
"Terima kasih untuk
kebaikan hati kau ini," berkata Tjit Im Kauwtjoe dingin. "Mengenai
bingkisan itu. baiklah aku omong terus terang bahwa aku pun pernah memikir
untuk memilikinya. Hanya, kalau dengan bingkisan itu kau mengharap keampunan
dari aku, biarnya semua itu kau tumpuk di depanku, hatiku tidak akan tergerak
sedikit juga, mataku tidak akan meliriknya!"
Pektok Sinkoen pernah
mendengar dari Yang Tjong Hay bahwa Tjit Im Kauwtjoe telah menerima ajakannya
Tjong Hay untuk membantu Kiauw Pak Beng merampas bingkisan, meski benar usaha
itu gagal, itu telah menunjuki keinginannya Tjit Tin memiliki bingkisan itu,
karena ini sekarang, sengaja dia menyebut-nyebut soal bingkisan, guna memancing
hati si nyonya, maka adalah di luar sangkaannya, tawarannya itu telah ditolak,
bahkan Tjit Im Kauwtjoe bicara demikian pasti, bagaikan pantek paku! Ia menjadi
melengak, ia mengasi lihat roman lesu.
"Kau tidak mau baik
kembali denganku, aku tidak memaksa," katanya, perlahan. "Sekarang
kau ijinkanlah aku membawa anakku..."
Tjit Im Kauwtjoe tertawa
dingin.
"Kau tanya sendiri
padanya, dia suka turut kau atau tidak!" jawabnya.
Im Sioe Lan menangis mendadak,
ia lari menyelindung di belakang ibunya itu.
"Tidak, ibu, aku tidak
mau berpisah dari kau!" katanya.
"Kau dengar, bukan?"
kata Tjit Im pada laki-laki di depannya. "Anakku ini telah bersatu padu
denganku, dia tidak sudi ikut kau! Maka pergilah kau sendiri!"
Pektok Sinkoen menghela napas.
"Kamu masih belum
mendapat tahu hatiku," katanya menyesal. "Aku hendak mengajak anak
kita untuk kebaikannya kita sendiri! Aku telah mencarikan dia seorang mentua
yang jempolan!"
Mendadak Tjit Tin Kauwtjoe
menjadi gusar.
"Dialah anakku!" dia
membentak. "Kau berani lancang mengatur jodohnya? Tidak, aku tidak man
memberi ijinku!"
"Kau dengar dulu aku
menyebutkan keluarga itu keluarga siapa, baru kau mengambil keputusanmu, masih
belum lambat," kata Pektok Sinkoen. "Kenapa kau lantas main berkeras
saja?"
"Baiklah, kau sebut
keluarga siapa itu!" kata Tjit Im.
"Aku memilihkan dia
puteranya •Kiauw Pak Beng," sahul Pektok Sinkoen. "Kiauw Pak Beng
ialah orang nomor satu, paling gagah di kolong langit ini dan puteranya muda
dan gagah juga! Syukur pula yang dia pun tidak mencela kita! Kau bilang,
keluarga seperti keluarga itu. di mana kau hendak mencarinya lagi?"
Mendengar jawaban itu, Tjit Im
Kauwtjoe mengasi dengar "Hm!" berulang-ulang. Di dalam hatinya, ia
pikir: "Oh, kiranya dia mau gunai anaknya untuk membaiki si siluman tua
she Kiauw itu! Aku tadinya menyangka dia benar-benar menyayangi si Lan. bahwa
dia masih mempunyai kecintaan di antara ayah pada anaknya..." Ia tertawa
dingin.
"Kau tertawakan
apa?" Pektok Sinkoen tanya mengawasi. Dia heran. "Mustahilkah kau
tidak puas terhadap keluarga semacam itu?"
"Si Lan jauh lebih
bersemangat daripada kau!" kata Tjit Im Kauwtjoe, tertawa dingin.
"Kau hendak membaiki si siluman tua she Kiauw itu, kau menganggap anaknya
itu sebagai mustika! Sebaliknya, si Lan tidak memandangnya sebelah mata! Kau
tahu. Le Kong Thian pernah datang sebagai wakil majikannya untuk melamar si
Lan, jikalau aku suka menerima baik, perlu apa aku menunggu sampai sekarang kau
yang membicarakannya?"
Pektok Sinkoen heran dan
mendongkol.
"Ha, jadinya kau telah
menolak dia!" katanya keras.
"Biarnya aku mati, tidak
aku nikah anaknya Kiauw Pak Beng!" berseru Sioe Lan, suaranya tajam.
"Sampaipun namanya, tak sudi aku mendengarnya!"
"Kau telah dengar, bukan?
kata Tjit Im Kauwtjoe, menyambungi puterinya. "Apa lagi kau hendak bilang?
Lekas kau pergi!"
Pektok Sinkoen menjadi sangat
lesu, dia berdiam sekian lama. Sesaat kemudian, mendadak dia tertawa.
"Baiklah," katanya,
"anak ialah kau yang merawat sampai besar, biar kau yang berkuasa atas
dirinya. Tapi dalam satu hal lainnya, kau tidak dapat berkuasa terus. Mari,
mari, kau dengar! Di antara kau dan aku sudah tidak tidak ada soal suami dan
isteri lagi, sudah tidak ada ayah dan anaknya pula, maka itu, mari kita jual
beli dalam lain urusan. Kau setuju, bukan? Urusan ini besar faedahnya
untukmu!"
Tjit Im Kauwtjoe muak akan
tetapi ia menyabarkan diri.
"Coba kulihat apakah
maunya dia?" pikirnya. Kemudian ia tanya: "Urusan apakah itu? Kau
bilang!"
Pektok Sinkoen maju satu
tindak.
"Aku mau bicara dari hal
warisan kitab Pektok Tjinkeng dari guru kita almarhum!" kata ia.
"Bukankah kitab itu berada di dalam tanganmu?"
Mendengar orang menyebut
gurunya, Tjit Im Kauwtjoe sudah gusar bukan main. Tapi ia masih menguasai
dirinya.
"Benar, kitab itu ada di
tanganku," sahutnya tenang. "Kenapa?"
"Menurut pantas, akulah
si murid kepala, sedang kau, kaulah murid yang masuk setengahjalan,"
berkata Pektok Sinkoen, "maka itu, kitab warisan soehoe itu, seharusnya
mesti berada di tanganku. Akan tetapi aku mengingat hubungan kita sebagai suami
isteri, selama dua puluh tahun, tidak pernah aku minta itu dari kau Sekarang
lain! Sekarang kau sudah memutuskan hubungan suami isteri, maka kitab warisan
itu mesti dikembalikan padaku! Tentu sekali, aku tidak suka kau
mengembalikannya dengan tangan kosong! Aku bersedia menyerahkan padamu separuh
dari semua bingkisan yang didapat olehku!"
Sekarang mengertilah Tjit Im
akan maksud sejati dari Pektok Sinkoen. Jadi orang sebenarnya mengarah kitab
warisan itu! Tadinya, meski ia sangat membenci, sebab Pektok bicara sabar dan
menyatakan suka menebus dosa, ia mendapat kesan lain, ia menyangka orang
benar-benar menyesal. Nyatanya semua itu palsu belaka! Dalam murkanya, nyonya
itu tertawa lebar.
"Haha, kau sungguh baik
hati!" katanya. "Kau membilang kitab itu harus dimiliki kau, habis
sekarang kau hendak menukar itu dengan harta besar! Benarkah itu?"
Hebat tertawanya si nyonya,
Pektok Sinkoen merasai telinganya mendengung, dia merasai bulu romanya pada
bangun.
Selagi tertawa itu, Tjit Im
Kauwtjoe maju dua tindak.
"Kau mau apa?"
membentak Pektok Sinkoen, kaget. Dia heran.
Lama Tjit Im Kauwtjoe tertawa,
lantas ia berhenti.
"Aku tidak sangka kau
masih mempunyai muka untuk menagih kitab warisannya soehoe padaku?" ia
berkata dingin. "Bagaimana meninggalnya soehoe? Apakah kau mengira aku
telah melupakannya?"
"Soemoay. perlu apa kau
menyebut-nyebut perkara yang lama itu?" kata Pektok. Dia sekarang
memanggil soemoay – adik seperguruan. "Bukankah soehoe telah menutup mata
selama dua puluh tahun? Aku akan memberikan kau pelbagai batu permata, untuk
seumurmu, kau akan memakainya tidak habisnya! Soehoe sendiri, kebaikan apa dia
dapat memberikan kau?"
"Benar! " berkata si
nyonya. "Benar soehoe telah menutup mata selama dua puluh tahun dulu! Ya,
dua puluh tahun! Tapi pesan soehoe itu, sampai sebegitu jauh, belum aku
melakukannya! Sampai sekarang ini, aku masih ayal-ayalan untuk mewujudkannya.
Jikalau aku ingat itu, hatiku tidak enak..."
"Apakah dia pesan
padamu?" tanya Pektok. mengawasi.
Sinar matanya Tjit Im Kauwtjoe
menembus sinar mata suami itu. Ia menyapu wajah orang. Kemudian ia terus
memandang puterinya. Melihat wajah puteri itu, yang nampak ketakutan, hatinya
menjadi berubah pula.
"Tentang pesan itu, lebih
baik kau tak usah menanyakannya," ia bilang, tawar.
Pektok mengawasi, ia tetap
heran.
"Baik, tak usah
menanyakan ya tak usah menanyakan," ia kata. "Tapi tentang kitab
warisan soehoe itu, perlu aku menanyakannya jelas. Sebenarnya, kau hendak
menyerahkan itu padaku atau tidak?"
Tjit Im Kauwtjoe menjawab
cepat.
"Biarnya kau tumpuk
permata dari kolong langit ini, kitab itu tidak dapat aku serahkan pada
kau!" katanya.
Pektok menjadi gusar pula.
"Benarkah kau tidak sudi
minum arak pemberian selamat hanya lebih suka menenggak arak hukuman?" dia
tanya tegas-tegas. "Kau mengikuti soehoe belum ada satu tahun, maka itu
hak apa kau mempunyai maka kau hendak mengangkangi kitab warisan soehoe? Jangan
kau mengira lantaran kau mendapatkan kitab warisan Pektok Tjinkeng itu, aku
jadi tidak berdaya untuk menguasai dirimu!"
Sepasang alisnya Tjit Im
Kauwtjoe bangkit berdiri. Ia menatap dengan sinar mata tajam dan dingin.
"Biarnya aku berguru
belum satu tahun tetapi akulah murid satu-satunya dari soehoe!" ia kata
nyaring.
"Apa katamu?" Pektok
balas membentak. "Aku masih belum mati!"
Tjit Im Kauwtjoe tidak
menggubris, ia berkata terus: "Ketika soehoe hendak menutup mata dia
meninggalkan pesan untuk membersihkan perguruannya! Sampai sebegitu jauh belum
dapat aku menjalankan pesan itu, maka kalau sekarang kau tidak mari lekas
pergi, aku terpaksa nanti menjalankannya!"
Mukanya Pektok Sinkoen menjadi
merah padam, dia mendelik kepada Tjit Im Kauwtjoe, lantas dia tertawa terbahak.
"Oh, begitu!"
katanya. "Aku menghaturkan terima kasih untuk kebaikan hatimu! Baiklah,
lain kali aku tidak akan datang pula padamu..."
"Begitu paling
baik," berkata Tjit Im seraya menghela napas lega.
Belum lagi nyonya ini menutup
mulutnya, atau mendadak tubuh Pektok Sinkoen berlompat maju, tangannya
melayang, maka dua buah peluru mengenai tepat mukanya. Peluru itu mengeluarkan
suara, lantas pecah meledak, mengeluarkan pula sinar dadu yang berkeredepan.
Berbareng dengan itu, sebelah tangannya Pektok menyamber terus melakukan
penyerangan.
Nyatalah, kelakuannya Pektok
barusan akal muslihat belaka, untuk membikin Tjit Im Kauwtjoe tidak bercuriga
apa-apa, hingga leluasa ia melakukan pembokongannya itu.
Menyusuli itu juga terdengar
suara "Buk!" dan tubuhnya Pektok mental. Hanya, di depan ia, tubuh
Tjit Im Kauwtjoe pun lantas roboh perlahan-perlahan seperti ambruknya pohon
tua.
Dengan tertawanya yang
menyeramkan, Pektok berkata: "Biarkah kau pergi ke dalam tanah untuk
mengadu kepada setan she Kie si tua bangka!"
Di saat itu, belum sempat
Pektok berdiri tegak, Im Sioe Lan dan Ban Thian Peng sudah berlompat menerjang
padanya. Hanyalah, karena pukulan hebat atas diri ibunya itu, gerakan si nona
menjadi kurang gesit, dia kalah sebat dari Thian Peng.
"Lekas mundur!" membentak
Pektok Sinkoen kepada si nona, berbareng dengan mana dua buah anting-antingnya
melesat menyamber.
Berbareng dengan itu, tubuhnya
Tjit Im Kauwtjoe berlompat bangun sambil dia berteriak: "Kau lepaskan ini
dua anak!"
Entah dari mana datangnya
tenaganya, Tjit Im Kauwtjoe dapat berlompat bangun, lalu ia berlompat pula,
tetapi ia toh terlambat. Di depan ia. asap buyar, kedua buah anting-anting
sudah menyamber ke arah mukanya Thian Peng.
Itulah serangan yang membikin
Tjit lm Kauwtjoe kaget dan melakukan tindakannya yang nekat itu. Ia tahu,
anting-anting itu ada racunnya, bahkan adukan dari tiga belas macam racun yang
liehay, hingga siapa terkena itu, jangan harap jiwanya dapat ditolong. Ia
sendiri, karena lukanya itu, tidak dapat segera memberikan pertolongan. Ia
lantas roboh pula, roboh sambil mengeluarkan jeritan yang menyayatkan hati.
Di saat sangat tegang itu.
selagi Ban thian Peng menghadapi bahaya maut, di situ terdengar suara tingtong
dua kali, disusul sama jeritan dahsyat dari Pektok Sinkoen!
Tjit Im Kauwtjoe sudah seperti
pingsan ketika ia mendapat dengar jeritan orang, mendadak ia seperti memperoleh
semangat pula, maka ia dapat membuka matanya. Karena ini juga ia mendapatkan di
depannya berdiri seorang nona yang masih sangat muda dan cantik, sedang Pektok
Sinkoen rebah di dekatnya. Mendadak ia berseru: "Ai, Nona Liong!
Kau?"
"Benar!" sahut si
nona, ialah Kiam Hong, yang muncul sebagai penolong. "Sebenarnya aku
datang untuk minta sesuatu..." -
la lantas mengibas dengan
tangannya, hingga dua kali, untuk membuyarkan asap yang belum sirap anteronya.
lantas tubuhnya terhuyung, terus ia roboh.
Tjit Im Kauwtjoe kaget, ia
menguatkan diri. Ia bangun untuk duduk.
Di atas meja abu, pelita
berkelak-kelik, menyorotkan sinarnya pada pemandangan yang menggiriskan itu.
Tubuh Pektok Sinkoen rebah
meringkuk, dari matanya, dari kupingnya, juga dari hidung dan mulutnya, keluar
darah mengalir. Dia masih dapat berkutik dua kali. lalu terdengar suaranya yang
keras dan seram: "Kau baik! Kau baik! Kalau aku mati, kau juga tidak bakal
hidup!..." Suaranya keras tapi makin lama makin kendor, akan akhirnya ia
memuntahkan pula darah-darah
yang kental bergumpal dan
hitam warnanya. Kali ini dia bergerak untuk tidak bergeming lagi. Cuma suaranya
yang seram itu bagaikan berkumandang...
Dua-dua Ban Thian Peng dan Im
Sioe Lan juga rebah bergelimpangan, Sioe Lan mengeluarkan napas tandanya ia
sangat letih. Tubuh Thian Peng tidak berkutik. Di sisi mereka menggeletak empat
potong anting-anting.
Adalah Liong Kiam Hong, yang membabat
kutung sepasang anting-anting itu. Dia melompat keluar dan tempatnya sembunyi
di belakang patung, dia menyerang kedua perhiasan kuping yang liehay dari
Pektok Sinkoen, membuatnya terkutung dua. Dengan pertolongannya ini. ia
mencegah anting-anting itu menyerang kepada Thian Peng.
Dari empat potong
anting-anting itu, yang sepotong mental balik, tepat mengenakan jidatnya Pektok
Sinkoen tanpa Pektok sempat menghindarkan diri.
Pektok telah menyerang Tjit Im
Kauwtjoe dengan bokongannya itu. Tjit Im masih sempat membalasnya satu kali.
Ketika Tjit Im menyerang, Pektok mencoba menangkis. Di antara mereka berdua,
soeheng dan soemoay, kakak seperguruan laki-laki dan wanita, sang kakak kalah
tenaga dalamnya, maka itu, dia kena terhajar pukulan beracun Tjit Im Toktjiang
dari soemoay-nya itu. Dia mempunyai obat pemunah racun tetapi, dalam keadaannya
seperti itu, dia tidak sempat mengeluarkan obatnya, guna menolong dirinya.
Anting-antingnya sangat beracun, dia pun kena terhajar Tjit Im, karenanya dia
mati dalam sekejab.
Tjit Im Kauwtjoe adalah orang
yang sadar seorang diri. Ia melihat ke sekitarnya. Ia lantas mengerti, Ban
Thian Peng ada orang yang terserang racun paling hebat, dan Kiam Hong bersama
Sioe Lan cuma terkena asap, mereka ini tidak dalam bahaya besar. Kiam Hong
rebah paling dekat dengannya, dengan mengerahkan tenaga, ia merayap pada nona
itu. Yang pertama ia lakukan ialah menggigitjari tengah si nona.
Kiam Hong merasakan sakit, ia
kaget dan mendusin dengan segera. Ia lantas mengerti duduknya hal, lekas-lekas
ia mengempos semangat, untuk memperlurus napasnya. Ia pun lantas mendengar Tjit
Im Kauwtjoe berkata di telinganya: "Lekas kau keluarkan pot kemala hijau
dari sakuku!" Karena ia mengerti bahaya, ia lantas berbuat seperti
diperintahkan.
"Benar!" berbisik
pula Tjit Im Kauwtjoe. "Lekas kau buka pot itu! Paling dulu. kau telan dua
butir!"
Kiam Hong menurut. Ketika obat
masuk ke dalam perutnya, ia merasakan bau yang harum yang disusuli rasa lega di
dadanya, sedang tadi ia merasakan sesak sekali. Dengan lekas, kesegarannya pun
mulai pulih.
"Apakah kau mengerti ilmu
menusuk dengan jarum?" Tjit Im tanya kemudian.
"Tidak," menyahut si
nona seraya menggeleng kepala.
"Tidak apa, nanti aku
mengajari kau. Kau toh kenal pelbagai jalan darah?"
Si nona mengangguk.
"Kenal," sahutnya.
"Kalau begitu, kau ambil
jarum emas dari tubuhku," berkata si nyonya. "Benar, itulah dia!
Sekarang lekas kau tusuk jalan darah kwietjhonghiatdi punggungku. Tusuk
dalamnya tiga hoen. Begitu kau menusuk, begitu kau mencabut pula."
Kiam Hong menurut, ia mencari
jalan darah itu, ia menusuk. Tapi ia belum biasa, ia menusuk kurang dalam.
"Tusukkan lagi!"
Tjit Im memerintah.
Kali ini si nona menggunai
tenaga lebih, ia kena menusuk lewat. Tubuh Tjit Im menggigil, peluhnya keluar.
Tentu sekali ia menjadi kaget. Ia takut.
"Tidak apa," Tjit Im
bilang. "Lain kali kau tusuk sedikit lebih perlahan. Sekarang jarum yang
kedua. Kau tusuk jalan darah koankie hiat, dalamnya lima hoen. Kau tunggu
sampai aku menyuruh, baru kau cabut jarumnya."
Kiam Hong menurut. Sekarang ia
menjadi lebih paham. Menurut petunjuknya si nyonya, ia terus menusuk pelbagai
jalan darah seperti koankie hiat itu, bengboen hiat, yangkwan hiat dan djiekhie
hiat. Semua jalan darah itu yang berhubungan sama nadi. Paling akhir ia menusuk
pekhwee hiat di embun-embunan.
Tjit Im Kauwtjoe meluruskan
napasnya, baru ia bangun untuk berduduk, untuk beristirahat.
"Coba kau pepayang aku,
aku hendak melihat mereka," ia kata pada Kiam Hong. "Mari lihat dulu
bocah she Ban itu."
Kiam Hong memegang tubuh
orang, untuk membantu dia.
Habis memeriksa Thian Peng,
Tjit Im Kauwtjoe kata seraya mengertak gigi: "Tangannya sangat
telengas!" Kemudian ia memeriksa anaknya dan lalu kata: "Terhadap
anaknya, dia masih mempunyai Hangsim sedikit..."
Memang tadi ketika Sioe Lan
dan Thian Peng menerjang, menghadapi mereka itu, Pektok Sinkoen tidak berlaku
sama telengasnya. Sioe Lan cuma terkena asap beracun. Thian Peng, kecuali asap
beracun itu, terkena juga bubuk racun Ngotok San, bubuk mana terbuat dari ramuan
seruni kimyap kiok, teratai heksim lian, bunga tho yang telah direndam di air
racun dan rotan merah dari wilayah Biauw berikut lima macam kutu berbisa. Jadi
racun itu cuma kalah sedikit dari racun dianting-antingnya, yang dinamakan
anting-anting Sengheng Tokhoan.
"Syukur kau telah tabas
kutung anting-antingnya itu," kata Tjit Im Kauwtjoe pada Kiam Hong,
"kalau tidak, bocah ini jadi seperti terkena delapan belas macam racun
hingga aku pun tidak berdaya untuk menolongi dia..."
Sekarang nyonya ini dapat merogoh
sakunya, untuk mengasi keluar lima batang jarum emas. Ia mengeluarkan semacam
obat bubuk, semuajarum itu dibelesaki masuk ke dalam bubuk itu, baru setiap
jarum itu ia pakai menusuk lima jalan darah ditubuhnya Thian Peng, ialah
lengtay hiat, tjieyang hiat, wietoo hiat, liongtauw hiat dan hongbwee hiat. Ia
sebenarnya masih sangat letih, tenaganya belum putih, maka itu, di waktu
menusuk, ia mesti mengerahkan tenaga istimewa, sebab setiap tusukan memerlukan
aksi sendiri-sendiri. Lincah tertampak setiap gerakannya itu. Hanya setelah
itu, embun-embunannya lantas menghembuskan uap putih seperti asap dan peluhnya
pun mengucur keluar. Inilah sebenarnya suatu gerakan yang terpantang sebab ia
terluka parah.
Kiam Hong menyaksikan aksi si
nyonya, ia tidak mengerti ilmu pengobatan, tetapi ia bisa menduga kesukaran
nyonya itu, hanya lantaran tak mengertinya, terpaksa ia berdiam saja, memandang
dengan hatinya gelisah.
Habis menusuk, Tjit Im
Kauwtjoe duduk numprah dengan napasnya mengorong, mukanya pucat sekali, kedua
matanya guram. Tapi ia masih dapat berbicara. Ia berikan Kiam Hong dua butir
pel seraya berkata: "Tolong kau tolongi anakku si Lan itu. Kau berikan ia
dua butir pel ini, setelah itu kau tusuk jalan darahnya kwietjhong. Dia cuma
terkena asap beracun, dia tidak dalam bahaya besar."
Habis berkata, si nyonya
berdiam saja, dia tidak dapat bergerak lagi.
Kiam Hong berlaku sebat untuk
menolongi Sioe Lan.
Memang Sioe Lan yang paling
enteng penderitaannya. Begitu ia menelan dua butir obat ibunya, ia lantas mendusin,
maka Kiam Hong terus memberikan tusukan jarumnya. Begitu darahnyajalan lurus,
ia kembali kesegarannya. Ketika ia membuka mata dan melihat orang yang menolong
padanya, ia heran hingga ia tercengang, la kenali si Nona Liong.
"Syukur ada Nona Liong,
jikalau tidak maka kita bertiga, ibu dan anak, pasti akan berkumpul di dunia
baka," berkata Tjit Im Kauwtjoe kepada puterinya itu.
Sioe Lan jelus terhadap Kiam
Hong, ia bahkan membenci, tapi sekarang, mendengar perkataan ibunya itu, ia
menjadi likat sendiri. Ia malu dan berbareng bersyukur.
"Terima kasih,"
katanya perlahan seraya ia cekal tangan Kiam Hong, untuk ditarik.
"Anak Lan, mari!"
berkata si ibu.
Sioe Lan menurut, ia
menghampirkan, hanya belum lagi datang dekat, ia sudah merasakan hawa panas mengkedus,
hingga ia mengawasi ibunya, yang mukanya merah sekali, sedang di alisnya ada
warna hitam, la kaget.
"Mama!" katanya,
"kau kenapa? Kau terkena racun apa yang demikian jahat!"
"Tidak apa, mungkin aku
tidak bakalan mati," menyahut sang ibu. "Sekarang coba kau geledah
ia, keluarkan segala barang yang ada di tubuhnya..."
Dengan "dia"
teranglah si nyonya maksudkan Pektok Sinkoen.
Sioe Lan berkata di dalam
hatinya: "Ibu belajar bersama-sama dia dan ibu pula mendapatkan kitab
Pektok Tjinkeng dari gurunya, sekarang ibu tidak dapat menolong dirinya
sendiri, ia rupanya masih mau mengandal kepada dia... Oh, Thian, semoga di
tubuh dia ada obat pemunahnya!..."
Anak ini benar. Memang ibunya
tidak dapat menolong dirinya sendiri. Kecuali terkena hajaran Kioeyang
Toktjiang, ia pun terkena bubuk Siauwhoen Sitkoet San, juga racun yang terbuat
dari bunga toh beracun dicampur racun-racun lainnya. Sifat racun itu dingin,
sedang sifatnya Kioeyang Toktj iang panas, makaj uga Pektok Sinkoen telah
menggunakan itu, supaya Tjit Im dapat dibikin mati.
Kioeyang Toktjiang dan Tjit Im
Toktjiang berlainan sifatnya, yang satu panas, yang lain dingin, tetapi
keduanya bisa sama-sama saling mempengaruhi. Umpama kata Tjit Im Kauwtjoe cuma
terserang Kioeyang Toktjiang, ia dapat melawan dengan tenaga dinginnya sendiri,
lantas hawa panas bisa dibuyarkan, tapi karena ia ditambah racun Siauwhoen
Sitkoet San, ia menjadi tidak berdaya.
Sioe Lan mendekati tubuh
Pektok Sinkoen, terus ia membaliknya. Tubuh itu sudah kaku dan dingin hawanya.
Tubuh itu pun melengkung seperti udang, darah keluar dari matanya dan lainnya.
Diamati disebabkan pukulan Tjit Im Toktjiang serta anting-antingnya sendiri.
Sebenarnya si nona sangat membenci, tetapi melihat keadaan orang demikian
hebat, ia menjadi tidak tega untuk mengawasi lama-lama. Lekas-lekas ia memakai
sarung tangan dan menutup matanya, ia mengasi keluar segala barang yang menjadi
isi saku Pektok, seperti pelbagai macam obat beracun serta beberapa peles
kecil.
"Apa sudah tidak ada
lagi?" Tjit Im tanya. Ia mengawasi semua obat itu.
"Tidak," sahut
anaknya. "Tidak bisa jadi! Mesti ada serupa lagi."
Sioe Lan memberanikan hati, ia
menggeledah pula. Lantas tangannya membentur sesuatu di pinggang Pektok.
"Jangan pegang itu dengan
tangan!" Tjit Im berseru, mencegah. "Kutungkan ikat pinggang itu
dengan golok terbang!"
Sioe Lan mengeluarkan tiga
batang pisau belatinya, lantas ia bersiap sedia, mengincar untuk menimpuk.
Tiba-tiba ia bersangsi, tangannya pun menggetar.
"Mari kasihkan pisau itu
padaku," kata Kiam Hong, perlahan. Ia bisa membade hati si nona, yang
kuatir nanti melukai pinggang Pektok.
Tanpa berkata-kata, Nona Im
menyerahkan pisaunya, lantas ia melengos. Memang ia kuatir penyerangannya tidak
tepat dan nanti mengenai perutnya Pektok. Kalau itu terjadi, perut orang bisa
pecah dan ususnya akan keluar. Biar bagaimana, Pektok ialah ayahnya sendiri.
Kiam Hong sudah lantas
bekerja. Dengan menggeraki tangannya, maka ketiga pisau-belati menyamber saling
susul. Hebat penyerangannya itu, ikat pinggang lantas terkutung menjadi tiga
potong hingga terlepas sendirinya. Tidak ada pisau yang mengenai perut atau
kulit.
"Sungguh liehay!"
Tjit Im Kauwtjoe memuji di dalam hati. "Syukur malam ini ada dia, umpama
yang datang kalah pandai, entah apa jadinya!..."
Selagi ikat pinggang
terkutung, ada benda yang berkilauan yang melesat bagaikan bintangjatuh.
Kiam Hong telah berjaga-jaga,
dengan menarik tangannya Sioe Lan, ia berkelit.
Nyata diikat pinggang Pektok
ada pesawat rahasianya. Dengan putusnya ikat pinggang, pesawat rahasia itu
bekerja sendirinya. Maka menyamberlah sejumlah jarum beracun. Coba ikat
pinggang itu ditarik dengan tangan, tentu celakalah orang yang menariknya.
Dari ikat pinggang itu lantas
terjatuh sebuah kotak kemala, yang mungil dan indah. Melihat itu, hatinya Tjit
Im Kauwtjoe lega.
"Anak Lan, mari kotak itu
kasihkan aku!" ia kata pada puterinya.
Sioe Lan menurut.
"Apakah kotak ini berisi
obat pemunah racun itu?" ia tanya.
Tjit Im Kauwtjoe menyambuti.
Dengan telunjuknya ia menekan perlahan pada samping kotak, setelah beberapa
kali, terbukalah tutup kotak itu. Di dalamnya terlihat tiga butir obat pulung
yang warnanya hijau.
Begitu melihat itu obat,
Kauwtjoe bernapas lega. Ia dapat bersenyum getir. Itulah senyuman campur
kedukaan.
"Bagaimana?" Sioe
Lan tanya.
"Tidak apa-apa. Mungkin
ibumu dapat menemani kau lagi beberapa tahun..."
Hati si nona pun lega. Ia
masih hendak menanya ketika ibunya kata: "Kau ambil itu peles kemala yang
lehernya ceking."
Sang anak menurut perintah.
"Benar!" ibunya mengangguk.
"Obat bubuk di dalam peles itu kau keluarkan, kau tiupkan ke dalam
hidungnya adik Peng-mu. Itulah obat untuk memunahkan asap beracun. Tusukan
jarum tadi cuma dapat mencegah mengalirnya racun ke seluruh tubuhnya bagian
dalam, supaya jantungnya tidak terserang..."
"Racun dia itu, kenapa
semuanya demikian liehay?" tanya Sioe Lan. Ia pun menggunai kata-kata
"dia."
"Jikalau tidak demikian,
mana dia dapat memperoleh gelarannya itu, Pektok Sinkoen?" kata sang ibu.
"Benar aku berhasil mendapatkan kitab warisan guruku tetapi aku belum
dapat ketika mempelajari racun seperti dia. Syukurnya ialah di dalam kitab ada
tercatat pelbagai obat untuk memunahkan macam-macam racun. Dia tidak tahu
ketika tadi kita beradu tangan, dia telah terkena racunku yang diberi nama
Sokoet san. Jikalau bukannya begitu, ketika dia menyerang dengan Sengheng
Tokhoan, tenaganya bakal bertambah lebih besar lagi."
Mendengar ini barulah Kiam
Hong mengerti bahwa berhasilnya ia membabat anting-anting Pektok itu disebabkan
bantuan bekerjanya racun Sokoet san itu hingga tenaganya Pektok telah jadi
berkurang.
Ketika itu Sioe Lan sudah
bekerja, obat bubuk ia tiup masuk ke dalam hidungnya Ban Thian Peng.
Thian Peng rupanya merasa
geli, tubuhnya bergerak, meski demikian, ia tidak lantas sadar.
Tjit Im Kauwtjoe menghela
napas.
"Hebat dia terkena
racun," katanya, berduka. "Kelihatannya dia mesti menanti dulu satu
jam baru dia dapat mendusin. Karena ini, dengan dapat rawatan sempurna,
berselang satu bulan barulah kesehatannya dapat pulih seanteronya..." Ia
berhenti sebentar, ia merapatkan kedua matanya. Sekian lama, baru ia melek
pula. Sekarang ia memandang Kiam Hong.
"Nona Liong, tadi kau
mengatakan hendak meminta sesuatu dari aku," tanyanya, "urusan apakah
itu? Sekarang kau dapat berbicara."
"Sebenarnya aku tidak
memikir untuk di waktu begini mengganggu Kauwtjoe." menyahut si nona,
"akan tetapi tugasku penting sekali, pada ini ada tersangkut jiwanya
beberapa orang. Kecuali kau, Kauwtjoe, lain orang tidak dapat menolong, mereka
itu."
"Apakah itu?" tanya
Tjit Im, hatinya terkesiap. "Siapakah itu yang kau hendak minta aku
menolongi jiwanya?"
Kiam Hong mengawasi. Ia lantas
menyebutkan namanya Giok Houw.
"Pula mereka itu terkena
pukulan Kioeyang Toktjiang dari Pektok Sinkoen," ia menambahkan.
Sebenarnya Tjit Im Kauwtjoe
lagi memasuki sebuah obat pulung ke dalam mulutnya, entah bagaimana, mendadak
ia menggigit, membikin obat itu kutung dua, yang separuh ia terus telan, yang
lainnya ia muntahkan, terus ia bungkus dengan rapi seperti tadinya dan dimasuki
pula ke dalam kotaknya.
Sioe Lan heran melihat
kelakuan ibunya itu.
"Mama, apakah obat ini
tidak cocok?" ia tanya.
Ibu itu batuk-batuk.
"Bukan begitu,"
katanya. "Obat ini memang mesti begini cara makannya, ialah satu hari
separuh, lantas tiga hari berselang, sakitnya sembuh."
Sioe Lan percaya itu, ia tidak
kata apa-apa lagi, ia lantas menumbuki punggung ibunya.
Kiam Hong pun mengawasi. Ia
melihat si nyonya berduka tetapi toh dapat bersenyum, hanya ketika dia
berbicara, suaranya sedikit menggetar. Ia heran, ia jadi berpikir: "Kenapa
dia bersenyum sedih? Apakah dia terluka parah dan tidak mau memberitahukan
anaknya?"
Tjit Im Kauwtjoe bernapas
dalam-dalam lalu ia merasa lega sedikit.
"Oh, Thio Giok Houw
terlukakan Kioeyang Toktjiang?" ia tanya kemudian. "Siapa lagi yang
lainnya?"
"Merekalah saudaraku,
entjie Leng In Hong. serta Kimtoo Tjeetjoe," sahut Nona Liong.
"Mereka mendapat pukulan yang serupa."
Mendengar begitu, Tjit Im
Kauwtjoe kata di dalam hatinya: "Pantas di dalam kotak ini cuma ada tiga
butir obat, kiranya itu hendak dipakai menolongi mereka itu bertiga. Teranglah
dia mau memaksa Kimtoo Tjeetjoe menyerahkan bingkisan itu."
Kiam Hong mengawasi, ia tidak
tahu apa yang orang pikir.
"Kauwtjoe," katanya,
berhati-hati. "Kioeyang Toktjiang itu ada ilmu ajarannya guru Kauwtjoe,
tentulah Kauwtjoe ketahui juga obat pemunahnya..."
"Memang, aku tahu obat
pemunahnya," menyahut Tjit Im. Ia henti sejenak, baru ia menambahkan:
"Hanyalah Thio Giok Houw ialah bocah yang terhadapku sangat kurang ajar
dan Leng In Hong serta Tjioe San Bin tidak aku kenal..."
Belum habis perkataan ibu ini,
Sioe Lan sudah memotong, agaknya si nona sangat gelisah: "Mama! Mama!
Kau..." Suaranya pun parau.
Nyonya itu bersenyum.
"Anak Lan, buat apa kau
bergelisah?" katanya. "Ibumu belum bicara habis..."
Tapi anak itu tetap
bergelisah.
"Mama!" katanya
pula, mendesak, "kau... kau sebenarnya mau menolongi mereka itu atau
tidak?"
"Sebenarnya ibumu tidak
berniat menolongi mereka," menyahut ibu itu, "akan tetapi dengan
memandang kepada Nona Liong, biar orang musuh kita, hendak aku menolongnya. Ah,
sudahlah, segala apa yang sudah lewat, harus jangan disebut-sebut pula..."
Nyonya ini bicara demikian
rupa akan tetapi Kiam Hong dapat membade hatinya. Itulah soal Giok Houw yang diberatkan
si nyonya. Tapi ia sudah siap sedia, maka ia lantas berkata.
"Dulu hari itu Giok Houw
belum mengenal sifat Kauwtjoe," demikian katanya, "maka itu beberapa
kali ia sudah berlaku sembrono, akan tetapi belakangan ini ia telah mendengar
omongannya Liehiap Ie Sin Tjoe, yang menjadi kakak seperguruannya, baru setelah
itu ia ketahui siapa kauwtjoe ibu dan anak, terutama ia mengagumi penolakan
Kauwtjoe atas lamarannya Kiauw Pak Beng. Sebelumnya terluka, Giok Houw pernah
menyatakan padaku, kalau nanti urusan bingkisan sudah selesai, ia berniat
mencari Kauwtjoe dan Nona Im untuk menghaturkan maaf."
Sioe Lan membuka lebar
matanya.
"Dia membilangnya
demikian?" ia tanya.
"Mana berani aku
mendustai kau?" Kiam Hong membaliki. "Memang dia mengatakan demikian dan
aku tidak salah ingat, sekalipun sepatah kata."
Nona itu menghela napas.
"Aku juga tidak mengharap
dia menghaturkan maaf padaku." katanya, berduka, "sudah cukup asal
dia mengetahui bahwa aku bukannya orang jahat. Ie Liehiap baik sekali, ketika
dulu hari itu ia menolongi aku, belum sempat aku menghaturkan terima kasih
padanya, maka itu entjie, tolong kau saja yang mewakilkan menghaturkannya.
Tolong bilangjuga buat banyak tahun aku tersesat, setelah mendapatkan
petunjuknya, aku sangat bersyukur. Sekarang ini aku suka mendengar
perkataannya."
"Aku kuatir aku tidak
bakal bertemu pula Ie Liehiap." kata Kiam Hong.
Sioe Lan heran.
"Kenapakah?"
tanyanya.
"Entjie Leng In Hong
dengan aku terhitung guru dan murid," menyahut Nona Liong, "kita pun
ada bagaikan saudara kandung. Entjie Leng bersama suaminya telah
bercita-citakan membangun ilmu silat pedang Thiansan Pay, mengenai itu aku
telah mengangkat sumpah untuk mengikuti mereka selama hidupku. Dengan begitu di
satu pihak hendak aku membalas budinya, di lain pihak aku memang tidak dapat
meninggalkan dia. Kali ini entjie Leng terkena pukulan beracun
KioeyangToktjiang, begitu lekas ia telah sembuh, aku akan turut dia pulang ke
Thiansan, untuk selanjutnya aku tidak mencampur tahu lagi urusan dalam
dunia..."
Sioe Lan tercengang.
"Kau bercita-citakan
demikian?" tanyanya, heran. "Ah, kau yang masih begini muda, kau
dapat tinggal sendirian selama beberapa puluh tahun di gunung yang sepi
sunyi?"
"Aku telah memikir,"
menyahut Kiam Hong, menjelaskan, "asal aku dapat membantu entjie Leng
membangun satu partai maka tidaklah sia-sia hidupku ini. Apakah yang aku
kehendaki lagi?" Ia berhenti sejenak, untuk lantas menambahkan: "Maka
itu aku bakal lekas meninggalkan gunungnya Tjioe Tjeetjoe, karena mana aku
kuatir aku tidak bakal bertemu pula dengan Ie Liehiap. Tentang Giok Houw, aku
bilang memang dia sangat ingin menemui kau, guna menghaturkan maaf. Andaikata
kau tidak menemui dia, di belakang hari, pasti dia bakal mencari kau. Oleh
karena itu sekarang baiklah kau pergi menemui dia. Dialah adik seperguruan dari
Ie Liehiap, jikalau ada apa-apa yang kau hendak perkatakan, kau dapat minta
pertolongannya untuk disampaikan kepada Ie Liehiap itu."
Sempurna sekali Kiam Hong
mengatur kata-katanya hingga Sioe Lan mempercayai dia, hingga hati Nona Im
menjadi kacau.
"Dia mau meninggalkan
Thio Giok Houw?" puterinya Tjit Im Kauwtjoe berkata dalam hatinya.
"Dia berbicara begini sungguh-sungguh, adakah itu benar9 Bagaimana
sekarang, aku pergi menemui dia atau jangan?"
Dengan "dia," Sioe
Lan maksudkan Giok Houw.
Tjit Im Kauwtjoe sendiri
mengawasi tajam kepada Kiam Hong, akhirnya ia mengangguk, kemudian ia berkata
kepada anaknya: "Sioe Lan, benar katanya Nona Liong. Sebentar lagi, kau
pergilah bersama ia. Aku hendak berdiam di kuil tua ini guna merawat diri Aku
akan beritahukan kau tentang obat pemunah itu serta cara untuk menggunakannya,
lantas kau pergi mewakilkan aku."
"Tetapi, mama," kata
anak itu, "kau berdiam seorang diri di sini, hatiku tidak
tenteram..."
Tjit Im Kauwtjoe bersenyum.
"Siapa bilang aku
bersendirian di sini?" katanya. "Bukankah di sini ada Ban Thian Peng?
Tidak lama lagi, dia bakal sadar sendirinya. Diaterlukakan Ngotok San, setelah
ada obatnya, dia bakal mendusin dan akan lekas kembali kesehatannya. Beda kalau
orang terkena Kioeyang Toktjiang, meski telah diberikan obat. untuk
kesembuhannya dia membutuhkan waktu beristirahat sepuluh hari sampai setengah
bulan lagi. Dia berkepandaian cukup, dengan adanya aku di sini, kau jangan
kuatirkan apa-apa lagi." Lantas nyonya ini menoleh kepada Kiam Hong. untuk
menanya: "Sudah berapa lama mereka itu terluka?"
Kiam Hong menekuk-nekuk jari
tangannya.
"Hari ini ialah hari ke
enam," ia menyahut. "Pektok Sinkoen pernah menggertak Kimtoo Tjeetjoe
bahwa mereka mesti mendapat pertolongan di dalam waktu sepuluh hari..."
"Itulah bukan gertakan
belaka," berkata Tjit Im Kauwtjoe. "Kioeyang Toktjiang sangat
berbahaya, racunnya luar biasa, selewatnya sepuluh hari. racun akan bekerja
memasuki tulang-tulang dan sungsum, maka sampai itu waktu, meski ada obat yang
tepat, si kurban toh bakal bercacad seumur hidupnya. Oh, masih ada tempo empat
hari... Aku pikir, untuk pergi ke gunungnya Kimtoo Tjeetjoe, cukup dengan
perjalanan dua atau tiga hari, maka kamu berdua, pergi kamu lekas berangkat!
Anak Lan, mari!"
"Mama hendak memesan
apa?" Sioe Lan tanya. Ia mengira bakal diajarkan caramengobati luka
hajaran KioeyangToktjiang. Maka heranlah ia ketika ibu itu mengeluarkan sejilid
buku seraya terus berkata dengan sungguh-sungguh kepadanya: "Inilah kitab
Pektok Tjinkeng warisan Kie Soetjouw. Kau simpanlah baik-baik."
Sang anak menjadi terlebih
heran pula.
"Mama, mengapa kau
berikan ini padaku?" tanyanya.
"Kaulah anakku, cepat
atau lambat, aku toh mesti memberikan padamu."
"Toh tak usah
sekarang," pikir sang anak. "Apakah karena mama terluka, ia menjadi
tidak tenang hatinya untuk ia yang menyimpannya?" Karena ibunya membilang
demikian, ia terpaksa menerimanya. Ia kata: "Mama, jangan kuatir. Aku ada
bersama entjie Liong, kita juga cuma berjalan beberapa hari, kitab ini tidak
nanti lenyap." Ia masih menyangka ibunya menyerahkan kepadanya untuk ia
yang simpan untuk sementara waktu.
Air mukanya Tjit Im Kauwtjoe
bersungguh-sungguh, ia menanti sampai anaknya sudah menyimpan kitabnya itu, ia
berkata pula per lahan-perlahan: "Aku telah membangun Tjit Im Kau w, untuk
itu aku telah menggunai banyak pikiran dan tenaga dan waktu, kesudahannya orang
menamakannya agama sesat. Akan tetapi aku tidak menghiraukan itu. Aku tahu
bahwa belum pernah aku melakukan sesuatu yang jahat, aku melainkan bekerja
untuk kaum wanita yang terhina. Mungkin sekali, di waktu aku melakukan
pembalasan untuk mereka, ada perbuatanku yang kurang tepat hingga aku
mencelakai banyak orang kaum pria, karena mana orang telah mencaci aku dan
mengatakan agamaku agama sesat. Pendek, biar bagaimana maksudku baik."
"Mama, aku ketahui
itu," kata Sioe Lan.
Kiam Hong sebaliknya berpikir:
"Tjit Im Kauwtjoe bergantian telah diganggu oleh Tjie Hee Toodjin dan
Pektok Sinkoen, nasibnya buruk, tidak heran jikalau dia jadi membenci semua
orang lelaki yang jahat. Oleh karena pembalasannya hebat, tidaklah heran
jikalau oleh kaum lurus dia dipandang sesat, dia tidak dimengerti."
Sioe Lan juga berpikir:
"Kenapakah di saat seperti ini, mama menyebut-nyebut segala hal yang tidak
ada kepentingannya?"
Tjit Im Kauwtjoe menghela
napas, lalu ia menambahkan: "Aku telah membangun Tjit Im Kauw, dengan
begitu selama beberapa tahun ini aku telah menolong dan merawat beberapa puluh
anak perempuan yang tidak punya rumah ke mana mereka dapat pulang. Aku pun
telah mengajari kepandaian kepada mereka. Oleh karena itu, anak, umpama di
belakang hari kau suka menggantikan aku sebagai kauwtjoe dari Tjit Im Kauw, kau
boleh tetap memimpin mereka, sebaliknya, apabila kau tidak sudi, dapat kau
membubarkan mereka itu. Aku memiliki harta, yang sekarang ini disimpan oleh Han
Toaya, hal itu kau ketahui, maka uang itu, dapat kau pakai untuk membubarkan
mereka."
Yang dipanggil Han Toaya itu
ialah si pria yang pernah menyamar menjadi guru sekolah yang bersama Im Sioe
Lan mengatur rencana merampas bingkisan dari tangannya Tjioe Tjie Hiap. Dia
itu, dua anak daranya telah dibikin celaka oleh seorang okpa, ketika Tjit Im
Kauwtjoe membalaskan sakit hatinya, bersama-sama anak-anaknya itu dia masuk
dalam Tjit Im Kauw.
Mendengar perkataan ibunya
ini, Sioe Lan kaget. Kata-kata itu terlalu mirip dengan pesan terakhir, pesan
dari seorang yang hendak meninggalkan dunia yang fana.
"Mama, aku tidak mau
pergi!" katanya mendadak, keras. "Aku akan temani kau!"
Tjit Im Kauwtjoe bersenyum.
"Menolong jiwa orang
itulah urusan sangat perlu," berkata ibu ini. "Perlu apakah aku
ditemani kau? Cukup yang aku ditemani dia! Anak yang baik, jangan kau berkuatir
untukku. Aku masih hendak memesan kau..." Habis berkata begitu, ia mengangkat
tangannya perlahan-perlahan, untuk menunjuk kepada si pemuda baju kuning. Ia
berkata pula: "Tentang penghidupanku, barusan aku telah membilangi kau.
Dia ini ialah anak dari orang yang menjadi sahabat karibku, maka itu aku ingin
kau memandang dia sebagai saudara sendiri. Tahukah kau?"
Sioe Lan mengangguk. Kedua
matanya mengembeng air.
"Mama, aku tahu,"
katanya. Mendadak ia merasakan hatinya senap. Ada suatu perasaan aneh atau
firasat yang menghinggapinya. Ia bertanya dalam hatinya: "Kenapa mama menyerahkan
dia kepadaku? Juga kata-katanya ibu ini tak usah diucapkan sekarang... Ia
menjadi berkuatir, hatinya berdenyutan. Dengan tajam ia mengawasi ibunya itu.
Ia menjublak.
Justeru itu, tubuhnya Thian
Peng berkutik. Dia mulai mendusin.
Tjit Im Kauwtjoe tertawa. Ia
kata: "Anak tolol! Kau telah jadi dewasa begini, apakah kau tidak tega
meninggalkan ibumu? Lihat, adikmu itu sudah sadar, kau angkatlah dia
bangun!"
Ban Thian Peng mementang kedua
matanya. Ia mengawasi ke sekitarnya, hingga ia melihat suasana di dalam ruang
kuil itu. Ia percaya bahwa ia mengerti duduknya hal. Rupanya, untuknya, Tjit Im
Kauwtjoe sudah membinasakan Pektok Sinkoen. Hanya, kapan ia ingat pula
peristiwa barusan, tubuhnya menggigil sendirinya, jantungnya goncang. Tanpa
merasa, ia lantas mengucurkan air mata. Terus ia menekuk lutut di depan Tjit Im
Kauwtjoe.
"Mama!" ia
memanggil.
Tjit Im Kauwtjoe mengangkat
bangun anak muda itu.
"Orang yang mau
mencelakai kau sudah mati," katanya perlahan. "Sekarang ini sudah
aman, tidak ada bahaya apa-apa lagi."
Ban Thian Peng mengangkat
kepalanya, ia menangis terisak.
"Mama, kau baik sekali,
tak tahu aku bagaimana harus aku membalas budimu." katanya.
"Adalah ini Nona Liong
yang menolongi kau, pergi kau menghaturkan terima kasih terhadapnya,"
berkata Tjit Tm Kauwtjoe seraya menunjuk Kiam Hong.
Thian Peng berpaling, ia
mengawasi Nona Liong, nampaknya ia heran sekali.
Kiam Hong lantas berkata
kepada anak muda itu: "Kauwtjoe telah menerima baik permintaanku untuk
menolongi sahabat-sahabatku, maka itu, aku pun harus mengucap terima kasih
padamu."
"Nah, sekarang
sudah!" berkata Tjit Im Kauwtjoe. "Thian Peng sudah mendusin, anak
Lan, pergilah kau lekas, menolongi orang tidak boleh ayal-ayalan!"
"Mama, aku... aku
takut..." sahut sang anak.
"Takut apa. anak?"
"Aku... aku takut
meninggalkan kau, mama... Lebih baik aku terus menemani kau."
"Anak Lan, kau
mengertilah," berkata ibu itu perlahan. "Kau pergilah! Adikmu tidak
mengerti urusan mengobati luka keracunan, sedang pemuda she Thio itu ingin
bertemu denganmu. Kau boleh mewakilkan aku dengan perjalananmu ini..."
"Entjie, kau jangan
kuatir," Thian Peng berkata. "Nanti aku yang merawati mama."
Mendengar suaranya ibu dan
adik itu. Sioe Lan berpikir, la menginsafi bahaya yang mengancam Giok Houw
semua, karena temponya tinggal empat hari lagi.
"Baiklah," katanya
akhirnya. "Mama, mari kasih aku obatnya. Aku akan pergi untuk lekas
kembali. Adik Peng, aku serahkan ibu kepada kau."
Tjit Im Kauwtjoe mengawasi
Liong Kiam Hong.
Nona Liong menyangka ibu itu
hendak berbicara sama anaknya, entah urusan apa, maka ia memutar tubuhnya,
untuk memandang keluar kuil. Ia membawa sikap seperti ia tidak mengetahui
apa-apa.
"Mama, kau hendak memesan
apa lagi?" Sioe Lan tanya.
Mendadak air mukanya nyonya
itu berubah, hingga anaknya kaget.
"Mama, kau kenapa?"
tanya sang anak, hatinya cemas.
Tjit Im Kauwtjoe tidak
menjawab puterinya itu, sebaliknya, ia memanggil: "Nona Liong, mari!"
Kim Hong heran, ia menoleh
dengan cepat.
"Bukankah kau menjanjikan
sahabat yang liehay datang kemari?" tanya kauwtjoe itu. Dia mengawasi
tajam, sedang Kiam Hong mengawasi dengan heran.
"Tidak!" sahut si
nona. melengak.
"Jikalau dia bukannya
sehabatmu, dia tentunya musuh!" berkata kauwtjoe itu. "Nah lekas kamu
bertiga menyembunyikan diri!"
Ketika itu Kiam Hong segera
mendengar suara tindakan kaki mendatangi, cepat sekali, makin lama, suaranya
makin tegas. Karena ini, ia mengagumi liehaynya nyonya itu. Tapi, ia tidak mau
lantas pergi, ia berkuatir untuk nyonya itu.
Tjit Im Kauwtjoe seperti dapat
rmembade hati orang.
"Lekas kamu turut
perkataanku, lekas sembunyi!" berkata dia. "Orang yang datang ini
gagah luar biasa, akan tetapi aku masih mempunyai daya untuk menghadapi dia.
Umpamanya aku tidak berhasil, Nona Liong, kau boleh bertindak seperti tadi. kau
bokong dia!"
Kiam Hong dapat dikasih
mengerti, maka lantas ia ajak Thian Peng dan Sioe Lan pergi ke belakang patung,
untuk bersembunyi sambil mengintai, guna bersiap sedia.
Selagi anaknya bertiga
bersembunyi itu, Tjit Im Kauwtjoe bekerja. Ia menghampirkan mayatnya Pektok
Sinkoen, untuk diangkat, guna dikasih duduk di lantai, setelah mana, ia
bersembunyi di belakang mayat sambil menggunai tangannya menunjang punggung
mayat itu. Baru ia selesai, atau tindakan kaki orang di
luar itu-yang katanya orang
liehay-sudah sampai di depan
pintu, berbareng dengan mana
terdengar suara memanggil nyaring: "Lao Tjio! Lao Tjio! Apakah kamu suami
isterinya sudah selesai bicara?"
Itulah pertanyaan yang
berarti, apa suami isteri sudah akur pula.
Tjit Im Kauwtjoe batuk satu
kali. Itulah kebiasaan Pektok Sinkoen jikalau dia mau bicara. Dan kauwtjoe ini
dapat menirunya dengan baik. Setelah itu, ia kata dengan perlahan: "Keng
Ham. sahabat kekalmu datang."
Tjit Im Kauwtjoe membawa lagak
seperti ia dan suaminya tengah kasak-kusuk tetapi mereka diganggu dengan
datangnya sahabat sang suami.
Di depan pintu itu, orang yang
baru datang itu tertawa terbahak-bahak.
"Selamat! Selamat!"
ia berkata berulang-ulang. "Kamu sudah akur pula satu dengan lain maka
ingin aku minum memberi selamat kepada kamu!" Kata-kata itu dibarengi
dengan tindakan kaki, yang membawa tubuh orang memasuki pintu. Lebar
tindakannya orang itu.
Kiam Hong dari tempatnya
bersembunyi dapat mengintai. Ia lantas mengenali Tjou w Thian Yauw, yang datang
bersama-sama Pektok Sinkoen, yang sudah mengancam kepada Kimtoo Tjeetjoe.
Tjouw Thian Yauw sudah
bertindak masuk, ia tidak mendapat dengar jawabannya Pektok Sinkoen, ia heran
sekali, justeru itu, matanya dapat melihat sahabatnya lagi duduk bercokol, matanya
dirapatkan. Dari heran, ia menjadi kaget.
"Lao Tjio, kau bikin
apa?" dia tanya dalam kaget dan herannya itu. "Eh, mana Tjit Im
Kauwtjoe?"
Belum suara itu berhenti
seanteronya satu suarajawaban yang menyeramkan sudah terdengar: "Aku
berada di sini, apakah matamu buta?" Lantas menyusul itu, tubuhnya Pektok
Sinkoen bergerak, berlompat menubruk!
Tjouw Thian Yauw kaget tidak
terkira, belum sempat ia berbuat apa-apa peluru Tokyam tan yang beracun dari
Tjit Im Kauwtjoe sudah menyerang tepat kepada dadanya.
Begitu mengenai, peluru itu
pecah, apinya lantas membakar sasarannya.
Dalam kagetnya. Tjouw Thian
Yauw menggeraki kedua tangannya. Tepat dia kaget dan tangannya itu bergerak,
tepat dari belakang patung, Liong Kiam Hong berlompat menyerang, menebas.
Thian Yauw tidak berdaya lagi,
sampai berkelit pun ia tidak sanggup, maka lengan kirinya terpapas kutung dan
tubuhnya roboh. Tapi ia gagah, dengan menguatkan diri, dengan gerakan
"Ikan gabus meletik." ia berlompat bangun untuk berdiri.
Berbareng dengan itu terdengar
tertawa, tertawa seram dari Tjit Im Kauwtjoe, yang berkata tajam: "Jikalau
kau bergerak pula. kau bakal tidak bisa hidup lagi satu jam!"
Tjouw Thian Yauw insaf akan
bahaya yang mengancam dirinya, ia tidak berani melakukan perlawanan, hanya dengan
memutar tubuh sangat sebat, ia meloloskan bajunya yang terbakar, baju itu terus
dilemparkan ke arah Liong Kiam Hong. Nona itu berkelit, atas mana, dia
membareng untuk berlompat nerobos, guna lari keluar kuil. Atau di lain saat
terdengar jeritannya yang menyayatkan hati, jeritan yang di keluarkan di tempat
jauh, kira satu lie. Itulah tanda dari mahirnya ilmu ringan tubuh dari orang
she Tjouw itu, yang dapat lari dengan cepat.
Kiam Hong kaget dan tergetar
hatinya menyaksikan kegagahan
Thian Yauw itu. Dia sudah
terbakar dan tangannya telah kena dikutungkan, tetapi dia masih dapat lari
demikian pesat.
Tjit Im Kauwtjoe tertawa
dingin ketika ia berkata. "Biarpun ilmu dalammu sangat mahir, jikalau
tidak mampus, kau bakal bercacad!" Itulah kata-kata yang ditujukan kepada
Thian Yauw. Habis itu, perlahan-perlahan ia menggeraki tubuhnya.
"Kauwtjoe, kau
beristirahatlah!" kata Kiam Hong.
Tjit Im Kauwtjoe menggeleng
kepala. Ia merayap ke depannya mayat Pektok Sinkoen, untuk membenarkannya,
kemudian sambil menghela napas dalam, ia kata: "Dua sahabatmu yang buruk
yang telah membujuki dan memancingmu berbuat jahat telah aku bereskan, maka
itu, bolehlah kau mati dengan mata meram..." Suaranya itu makin lama
menjadi makin lemah. Akhirnya, ia kata pula: "Inilah yang dibilang budi
dan penasaran, yang benar dan tidak benar! Semua itu telah menjadi beres, maka
sekarang aku pun sudah saatnya untuk pergi berlalu..."
Ketika itu Sioe Lan dan Thian
Peng sudah keluar dari tempat mereka bersembunyi, mereka merubungi ibu itu.
Mereka melihat di bibir ibu itu ada tetesan darah, sebaliknya, mukanya pucat
sekali. Dengan sinar matanya, Tjit Im Kauwtjoe mengisyaratkan untuk gadisnya
memasang kuping.
Sioe Lan memegangi tubuh
ibunya itu, telinganya dipasang.
"Yang di dalam kotak
kemala itu ialah obat pemunah racun," berkata Tjit Im Kauwtjoe, suaranya
sangat perlahan, sangat lemah, sedang napasnya memburu.
Meskipun ia memasang telinga,
sukar Sioe Lan mendengarnya. Ia menyodorkan kotak kemala, yang tadi ia dapatkan
dari tubuhnya Pektok Sinkoen. "Ini, mama?" ia tanya.
Ibu itu mengangguk.
Sioe Lan hendak membuka tutup
kotak itu, atau ia melihat ibunya, dengan susah payah mencoba menggeleng
kepala. Kata ibu itu, napasniamendesak: "Bukan... bukan untuk aku yang
makan... Aku sudah tidak berguna lagi... Kau berikan mereka seorang satu butir,
orang yang ketiga, terserah kepada nasibnya..."
Sioe Lan tidak lantas dapat
menangkap arti kata kata ibunya itu, kecuali itu kata-kata: "Aku sudah
tidak berguna lagi..." Ia merasa bagaikan kepalanya ditimpa guntur, hingga
ia berdiam menjublak.
Ban Thian Peng pun berdiri
melengak. Ia tidak dapat dengar perkataannya kauwtjoe itu. akan tetapi matanya
dapat melihat, dan ia mendapatkan romannya Tjit Im Kauwtjoe sama seperti roman
ayahnya di saat ayahnya itu hendak menghembuskan napasnya yang terakhir. Maka
ia lantas memegang keras tangannya nyonya itu.
"Mama, kau kenapa?"
tanyanya, hatinya mencelos. "Ayah menginginkan aku hidup mengandal pada
mama..."
Matanya Tjit Im Kauwtjoe sudah
dirapatkan ketika ia mendengar suara orang, ia lantas membukanya pula. Ia
menghela napas.
"Anak, ibumu tidak dapat
membalaskan sakit hatimu... Untuk kau, kau... kau... Yang Tjong Hay..."
Cuma sebegitu nyonya ini dapat
berbicara pula, lantas napasnya berhenti berjalan. Ia meninggalkan puterinya
sebelum si puteri pergi...
Kauwtjoe ini sebenarnya telah
mendapatkan dua serangan yang berbahaya. Yang pertama tangan Kioeyang
Toktjiang, yang kedua, bubuk Ngotok San. Sedang obat di dalam kotak kemala itu
hanyalah tiga butir obat pemunah Kioeyang Toktjiang. Itulah tiga butir pel,
yang Pektok Sinkoen sediakan untuk menolongi Tjioe San Bin, Leng In Hong dan
Thio Giok Houw andaikata mereka itu bersedia menyerahkan separuh dari semua
bingkisan raja. Tjit Im Kauwtjoe terluka parah, umpamanya ia menelan semua tiga
butir pel itu, cumajiwanya yang bakal ketolongan, kepandaian silatnya tidak
dapat dipertahankan lagi. Maka itu, begitu mendengar halnya Thio Giok Houw
terluka parah, ia batal memakan obat pemunah racun itu. Ia telah lantas
berpikir: "Daripada aku hidup terus sebagai manusia bercacad, yang tidak
mempunyai guna apa-apa lagi. lebih baik aku tolongi mereka itu, supaya dengan
begitu pun perjodohan dari si Lan jadi terangkap..." Satu dari ketiga
butir obat, ia telah makan sepanahnya, sisanya tinggal dua butir setengah, maka
itu ia telah mengatakan: "...orang yang ketiga, terserah kepada
nasibnya..."
Sioe Lan memeluki tubuh ibunya
itu, ia merasakan tubuh sang ibu makin dingin dan makin dingin, lalu
perlahan-perlahan menjadi kaku. Sedang Ban Thian Peng lantas menangis
menggerung-gerung.
Nona itu, atau si anak yatim
piatu sekarang, berdiam saja. matanya melongo. Semenjak dilahirkan, ia cuma
hidup berdua ibunya. Sekarang ia ditinggal pergi ibunya itu, orang satu-satunya
yang ia buat andalan, bagaimana hatinya tidak menjadi mencelos. Hampir ia tidak
percaya bahwa ibunya sudah menutup mata. Tapi tubuh ibu itu sudah dingin dan
kaku.
"Ibu telah menutup mata
sudah menutup mata... Ya benar, ibu telah menutup mata..." katanya
berulang-ulang, perasaannya bagaikan hilang.
Kiam Hong pun mengucurkan air
matanya. Pemandangan itu sangat memilukan hatinya. Ia menolak tubuh Sioe Lan.
"Adik Lan..."
katanya, "kau nangis, kau nangislah!" Sioe Lan melepaskan tangannya,
maka robohlah tubuh ibunya.
Thian Peng lantas menyambar,
untuk memegangi tubuh itu.
Hanya sejenak lagi. lantas
Sioe Lan menjerit menangis, dan ia menangis lama hingga suaranya menjadi serak,
hingga matanya mengeluarkan darah. Selewatnya itu bara ia menjadi sedikit lebih
tenang.
Kiam Hong menahan keluarnya
air matanya, ia mengusap-usap pundaknya Nona Im.
"Adik," katanya
perlahan, "orang yang telah meninggal dunia tidak bakal hidup pula, maka
itu haruslah kau jaga dirimu baik-baik, supaya kau bisa merawat jenazah ibumu
ini."
Dengan sepasang matanya suram,
Sioe Lan mengangkat kepalanya, mengawasi nona dihadapannya itu. la seperti
tidak mengerti perkataan orang, ia agaknya masih kurang percaya bahwa ibunya
sudah menutup mata.
Kiam Hong menguati hati, untuk
tidak menangis terlebih jauh.
"Saudara Ban,"
katanya pada Thian Peng, "kau bantulah adik Sioe Lan mengurus jenazah
ibumu ini. Maafkan aku, aku tidak dapat membantu dan mengantar ibumu
dikubur."
Sioe Lan agaknya kaget.
"Entjie Liong, kau hendak
pergi sekarang?" tanyanya, agaknya ia berpikir keras. Tapi cepat sekali ia
mendusin bahwa Nona Liong perlu lekas pulang untuk menolongi orang, bahwa
ibunya telah memberikan obat guna menolongi Giok Houw semua.
Ia lantas mengeluarkan kotak
kemala, untuk dipegangi. Mendadak saja ia ingat suatu apa, lalu ia pikir:
"Cuma untuk membawa obat pemunah untuk menolongi mereka, lantas racun
Kioeyang Toktj iang bisa disingkirkan, karenanya, kenapa barusan mama
mengharuskan aku turut pergi?"
Nona ini cerdas, hanya karena
pukulan yang hebat ini, pikirannya menjadi kacau. Ia mesti mengingat-ingat
keras untuk dapat memulihkan kesadarannya. Pikirnya pula: "Sebelumnya
Tjouw Thian Yauw datang, ibu tidak mengijinkan adik Peng pergi bersama Nona
Liong, katanya adik Peng tidak mengerti tentang cara pengobatan. Mungkinkah, selainnya
ini obat pemunah, dibutuhkan lain macam obat lagi? Atau adalah lain-lainnya
soal yang mesti diperhatikan? Kalau bukan cuma diperlukan obat pemunah, mengapa
tadinya ibu tidak menyebutkannya?"
Masih Sioe Lan berpikir,
hingga ia mendapat pikiran lebih sadar lagi. Sekarang ia dapat mengerti maksud
ibunya. Tentulah ibu itu bekerja untuk dirinya sendiri, ialah supaya ia sendiri
yang membawa obat itu. untuk ia sendiri juga yang mengobati Giok Houw, supaya
dengan demikian dapatlah jodoh mereka --- jodoh ia dengan jodoh Giok Houw ---
terangkap sempurna. Rupa-rupanya ibu itu, setelah terlukakan Kioeyang
Toktjiang, sudah mendapat firasat yang lukanya tidak bakal sembuh, bahwa ia
telah didustakan ibunya, yang membilang dirinya --- ibu itu --- tidak terancam
bahaya.
Teranglah, dengan mendustakan
ia, ibunya ingin ia pergi dengan pikiran tenteram. Setelah memikir demikian,
mendadak ia merasakan hatinya seperti copot.
"Seumurnya mama
memperhatikan diriku, sampai saat terakhir, ia masih memikirkan
kepentinganku," pikirnya pula. Ia menjadi sangat bersedih, akan tetapi air
matanya sudah habis, air mata itu tidak mau keluar pula.
"Entjie," bertanya
Thian Peng, "Nona Liong mau pergi menolongi orang, entjie mau turut atau
tidak? Tentang mama, entjie serahkan padaku saja."
Sioe Lan tidak menjawab Thian
Peng, hanya sambil menyodorkan kotak kepada Kiam Hong, ia berkata: "Nona
Liong, maafkan aku, aku tidak dapat menemani kau!"
Wajahnya Kiam Hong guram.
Memang, di dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia mengajak nona itu pergi
bersama. Tentu sekali ia sangat berduka. Tapi ia terpaksa mesti lekas pergi.
Maka tiga kali ia paykoei kepada jenazah Tjit Im Kauwtjoe. Ketika ia
berbangkit, ia menarik tangannya Nona Im.
"Seharusnya aku membantu
mengurus dan mengantar pehbo dikubur," katanya, "akan tetapi di sana
ada jiwanya tiga orang, terpaksa aku mesti pergi. Nanti saja, setelah aku
selesai dengan tugasku, aku datang pula untuk mohon maaf..."
"Aku mengerti," kata
Sioe Lan. suaranya parau. "Untuk menolong orang, kau tidak dapat ayal-ayalan,
maka kau pergilah!"
Kiam Hong lantas bertindak
pergi. Tiba di ambang pintu, ia berpaling, ia menghampirkan Sioe Lan, guna
menarik tangannya.
"Adikku, aku tidak tahu
bagaimana harus menghiburimu," katanya, "akan tetapi ada beberapa
kata-kata yang aku ingin bicarakan dengan kau..."
Sampai itu waktu, buyar sudah
sikap bermusuh dari Sioe Lan terhadap Kiam Hong.
"Kau mau bicara apa,
entjie? Silakan!" katanya.
"Tidak beruntung ibumu
telah meninggal dunia sedang saudara ini belum terbalas sakit hatinya,"
kata Kiam Hong, yang menunjuk Thian Peng. "Di samping itu adalah suatu
kenyataan di saat hidupnya, ibumu juga mempunyai banyak musuh. Maka kau,
seorang nona muda, untukmu menghadapi demikian banyak urusan, sungguh kau
membuatnya aku berkuatir. Dari itu, kupikir, selekasnya kau beres
mengurusjenazah ibumu ini, baik kau menyusul aku ke gunungnya Kimtoo Tjeetjoe.
Di sana di mana ada banyak sahabat, dapat kita mendamaikan sesuatu. Tidakkah
kau berkesan aku telah berbicara terlalu berterus terang?"
Sioe Lan mengerti, kata-kata
itu untuk kebaikannya, tetapi pikirannya lagi ruwet, ia bingung sekali. Ia pun
berpikir. "Dia dengan Giok Houw bersahabat erat sekali, dia sekarang
menganjurkan pergi ke gunungnya, sebaliknya, dia sendiri katanya mau pulang ke
Thiansan. Bukankah itu berarti dia berniat merangkap jodohku dengan jodoh Giok
Houw? Jikalau aku menghalang di antara mereka, apa artinya itu?" Maka ia
berpikir keras, akhirnya ia kata: "Entjie, aku mengerti maksud baik dari
kau. Sekarang kau lekas lekaslah pergi, untuk menolongi mereka yang terluka
itu. Tentang lainnya urusan, perlahan-perlahan saja aku nanti pikirkan
pula."
Kiam Hong tidak dapat memaksa,
maka dengan mengucurkan air mata, mereka berpisahan.
Di tengah jalan. Nona Liong
pun kacau pikirannya. Ia mesti berpikir banyak. Bukankah Tjit Im Kauwtjoe telah
berkurban disebabkan dia hendak menolong Giok Houw bertiga? Bukankah Sioe Lan
harus dikasihani karena nasibnya yang buruk itu, sedang terhadap Giok Houw dia
sangat menyinta? Sekarang Siok Lan telah menjadi yatim piatu. Pikirnya:
"Untungku masih lebih baik. Aku mempunyai entjie Leng sebagai orang yang
aku andalkan. Maka baiklah aku jangan bersangsi lagi. Baik aku tetap
menjalankan rencanaku, dan sehabis mengobati engko Houw, aku lantas pergi menyembunyikan
diri di gunung Thiansan, lalu untuk selama-lamanya aku jangan menemukan pula
mereka itu..."
Walaupun ia telah berpikir
demikian dan telah mengambil keputusannya, dalam perjalanan lebih jauh ini,
Kiam Hong tetap tak tenteram hatinya. Ia merasa berat untuk meninggalkan Giok
Houw bila nanti ia sudah mengobati sembuh pemuda itu. Ia menjadi berduka. Ia
tentu masih berpikir terus, kalau tidak kupingnya mendengar suara tindakan kaki
kuda di sebelah depannya. Ketika ia memandang ke depan, ia melihat tiga penunggang
kuda lagi mendatangi dengan cepat, bahkan segera ia mendengar tertawa lebar
dari penunggang kuda terdepan, yang terus berkata nyaring: "Nona Liong,
sungguh tidak disangka-sangka bahwa di sini kita dapat bertemu pula! Kau
berlari-lari begini cepat, apakah perlunya? Baiklah kau beristirahat, untuk
sekalian kita memasang omong!"
Orang itu bukan cuma tertawa
dan mengatakan demikian dengan lagaknya yang kurang ajar, dia pun sudah lantas
lompat turun dari kudanya, guna menghadang di depan si nona.
Untuk terkejutnya Kiam Hong,
ia mengenali Yang Tjong Hay.
Orang she Yang ini mempunyai
hubungan atau kepentingannya dengan halnya Pektok Sinkoen pergi ke gunungnya
Tjioe San Bin untuk meminta bagian separuh dari bingkisan rampasan serta dengan
peristiwa Tjit Im Kauwtjoe itu. Dialah yang pertama kali menganjurkan Tjit Im
Kauwtjoe merampas bingkisan, ketika ternyata Tjit Im Kauwtjoe gagal, ia lantas
mengojok-ojok Pektok Sinkoen kepada siapa juga ia memberitahukan segala sesuatu
mengenai Tjit Im Kauwtjoe. Memangnya Pektok Sinkoen ingin baik pula dengan
kauwtjoe itu. Dalam ini hal, Yang Tjong Hay mencoba memberikan bantuannya.
Itulah untuk kepentingannya. Kalau Pektok Sinkoen dan Tjit Im Kauwtjoe rukun
kembali, sangat besar faedahnya untuknya. Ia hendak membaiki mereka, untuk ia
gunai tenaganya. Berbareng dengan itu, ia juga membaiki Kiauw Pak Beng.
Demikian, sesuai dengan perjanjian, mereka mau berkumpul di rumahnya Bang
Thong. Di luar dugaan Yang Tjong Hay, malam itu Bang Thong terbinasakan Tj it
Im Kauwtjoe. Ketika Tjong Hay tiba di rumah Bang Thong, orang justeru lagi
sibuk mengurus jenazah orang she Bang itu. Lalu setelah itu, datanglah Kiam
Hong, yang mengacau.
Sebagai seorang sangat cerdik,
Yang Tjong Hay lantas membade-bade apa perlunya Nona Liong datang mencari Tjit
Tm Kauwtjoe. Ia sekarang percaya, Tjil Im Kauwtjoe dan Pektok Sinkoen tentu
tidak bakal akur kembali. Oleh karena itu, ia lantas mengajak dua orang
cintengnya keluarga Bang, guna mencari Kiam Hong. Kebetulan untuknya, di tengah
jalan ia berpapasan dengan Tjouw Thian Yauw, yang tengah terluka parah, hingga
ia mendengar peristiwa atau kecelakaannya Thian Yauw itu, yang telah dilukai
Tjit Im Kauwtjoe. Ia menyesal sekali, ia mengeluh. Pikirnya: "Pektok
Sinkoen telah roboh di tangannya Tjit Im Kauwtjoe, itu berarti gagallah
rencanaku, maka kalau Tjit Im Kauwtjoe sampai kena dibaiki Liong Kiam Hong,
untukku menjadi bertambah buruk..."
Maka disatu pihak ia
menitahkan orang mengantarkan Tjouw Thian Yauw pulang ke rumah Bang Thong, di
lain pihak ia lantas mengasah otak, untuk menelurkan akal baru. Paling dulu ia
mau pergi ke kuil, guna melihat keadaan, untuk mengambil tindakan perlawanan.
Menurut ia, Tjit Im Kauwtjoe membinasakan Pektok Sinkoen tentu disebabkan
urusan pribadi. Ia pikir: Tjit Im Kauwtjoe pernah melukakan Tjioe Tjie Hiap,
belum tentu kauwtjoe itu nanti berbalik menjadi membantui Tjioe San Bin.
Sebaliknya ia dengan Tjit Im Kauwtjoe pernah saudara seperguruan, ia sangsi
kauwtjoe itu nanti bentrok dengannya. Maka ia ingin mencoba membujuk kauwtjoe itu
berpihak kepadanya, supaya Liong Kiam Hong dibekuk, la hanya tidak pernah
menyangka. Tjit Im Kauwtjoe telah meninggal dunia. Pula, tidaklah dalam
dugaannya, di tengah jalan ini ia bersomplokan sama Nona Liong. Ia menjadi
girang sekali, dari itu ia telah membawa aksinya itu menghadang si nona!
Sebelumnya memegat itu,
melihat Kiam Hong bersendirian dan tengah berlari-lari keras sekali, Yang Tjong
Hay si cerdik sudah menggunai juga otaknya. Ia bercuriga. Ia lantas
menduga-duga. Pikirnya itu waktu: "Jalan ini memang jalan pegunungan yang
sunyi, tetapi dia wanita dan bersendirian, tanpa ada urusan yang penting, tidak
nanti dia berjalan begini keras. Dia telah menggunai ilmunya ringan tubuh.
Bukankah dia dan Tjit Im Kauwtjoe ada sangkut pautnya? Kenapa kemarin ini di
Bang keepo, dia menyatakan bahwa dia mencari Tjit Im Kauwtjoe untuk memohon
bantuan kauwtjoe itu? Kenapa dia tidak malu untuk minta bantuannya Tjit Im
Kauwtjoe? Bukankah di gunungnya Kimtoo Tjeetjoe ada banyak orang yang liehay?
Kenapa dia masih membutuhkan Tjit Im Kauwtjoe? --- Ah, tidak bisa lain,
tentulah ini ada berhubung sama obat pemunah racun! Dia berjalan begini cepat,
mungkin dia telah berhasil mendapatkan obat itu..." Maka ia lantas
memegat.
Kiam Hong kaget bukan main
menemui Tjong Hay di tempat sepi itu, hingga ia mengeluh dalam hatinya. Dan
belum lagi ia sempat berpikir, Tjong Hay sudah lompat turun dari kudanya, guna
menghalang di .depannya itu. Ia lantas mengerutkan alis, otaknya berputar.
"Kiraku siapa, tak
tahunya Yang Toatjongkoan!" ia berkata. "Aku telah mendapat keakuran
dengan soetjie kau, kenapa kau memegat aku?"
"Apa?" Tjong Hay
tanya. "Kau maksudkan Tjit Im Kauwtjoe?"
Nona itu tertawa.
"Aku menyebut
soetjie-mu!" katanya, "kalau bukannya Tjit Im Kauwtjoe, habis siapa
lagi?"
Tjong Hay sudah lantas
berpikir.
"Di dalam dunia Kangouw
ini, yang mengetahui Tjit Im Kauwtjoe itu kakak seperguruanku sangat
sedikit," pikirnya, "maka budak ini tentu bukannya tengah mendusta.
Ia mestinya diberitahukan sendiri oleh Tjit Im Kauwtjoe..." Maka ia lantas
menanya: "Mana soetjie-ku itu?"
"Dia bersama puterinya
mengambil jalan arah sana." sahut Kiam Hong sambil menunjuk.
"Itu toh jalan untuk kota
raja?" Tjong Hay tanya.
"Tidak salah!"
menjawab si nona. "Kauwtjoe justru mau pergi mencari kau, katanya untuk
menasehati kau agar kau jangan memangku pangkat, supaya kau susul mereka,
mungkin kau masih dapat menyandak!"
Sengaja Nona Liong menunjuk
arah yang bertentangan, supaya Tjong Hay tidak pergi ke arah kuil di mana dia
mungkin menemui mayat kakak seperguruannya itu, hingga bisa kejadian dia nanti
mengganggu Im Sioe Lan.
Tjong Hay tercengang, tapi
hanya sejenak, lantas dia tertawa lebar.
"Dengan soetjie-ku itu,
boleh perlahan perlahan saja aku membuat pertemuan!" katanya. "Kau
telah bertemu sama soetjie-ku itu, kau dapat apakah dari ia? Mari serahkan
barang itu padaku!"
"Aku tidak dapatkan
apa-apa," sahut Kiam Hong, sedang hatinya berdebaran. Ia bergelisah.
"Kau membilang tidak!
Apakah kau berani membiarkan aku menggeledahmu?" tanya Tjong Hay. Sambil
berkata begitu, ia mengulur tangannya yang panjang ke arah si nona, niatnya
untuk menjambak dan menarik nona itu.
Kiam Hong mundur, tangannya
menghunus pedangnya.
"Yang Tjong Hay!" ia
membentak. "Kau berani kurang ajar? Taruh kata benar soetjie-mu itu
memberikan aku sesuatu barang, kau tidak berhak untuk menanyakannya!"
Dengan berkata begitu. Kiam
Hong menggertak. Di luar dugaannya, Tjong Hay tertawa besar.
"Dengan kata-katamu yang
bergula kau mempedayai soetjie-ku!" katanya. "Apakah aku yang menjadi
adik seperguruannya tidak dapat mengurus halnya? Kau telah menipu untuk
mendapatkan obat, guna menolong musuh kami. maka jikalau aku membunuh kau,
soetjie-ku tidak nanti menyesalkan aku!"
Sembari berkata begitu, Yang
Tjong Hay menghunus pedangnya, untuk segera menerjang. Tiga kali beruntun ia
menikam dan menabas.
Kiam Hong main mundur,
sekonyong-konyong ia tertawa.
"Soetjie-mu itu bukan
saja memberikan aku obat pemunah, dia bahkan memberikan juga barang yang sangat
berharga! Tahukah kau itu?" ia menanya. Kelihatannya ia tenang sekali.
Hatinya Tjong Hay tergerak. Ia
lantas memikir: "Mungkinkah itu kitab Pektok Tjinkeng?" Maka ia
lantas menanya: "Apakah itu?"
"Aku tidak mau
mengatakan!" menyahut si nona.
Tjong Hay tertawa dingin, dia
menyeringai.
"Jikalau kau tidak suka
bicara, aku nanti bunuh padamu!" dia mengancam "Dapat aku menggeledah
kau!"
"Jikalau begitu maka
salahlah perbuatanmu!" berkata si nona, tertawa pula. "Barang
demikian berharga, apakah kau kira aku bawa itu pada tubuhku? Aku telah
menyembunyikannya! Nanti, di belakang hari, aku minta bantuannya orang-orang
yang liehay untuk mengambilnya! Hendak aku melihat, kau mempunyai daya apa
untuk merintangi orang-orang liehay itu!"
Tjong Hay bersangsi melihat
sikap orang demikian tenang dan suaranya demikian pasti.
"Sebenarnya barang apakah
itu?" dia tanya, suaranya keras.
"Kau bersikap begini
galak terhadap aku, coba kau pikir, dapatkah aku bicara denganmu?" si
nonamembaliki.
Selama itu Tjong Hay masih
merangsak, sekarang ia memperlahankannya.
"Baiklah!" katanya,
lagu suaranya menjadi lunak. "Sekarang kau serahkanlah barangnya
soetjie-ku itu. Nanti aku memberi ampun padamu."
"Benarkah perkataan kau
ini?" Kim Hong menegaskan.
"Benar!" Tjong Hay
memberikan kepastian.
"Baiklah, ini aku memberikannya!"
Sembari berkata begitu, dengan sebat luar biasa Kiam Hong menikam ke arah
tenggorokan jago itu.
Teranglah nona ini sudah
mengoceh saja. Ia menggunai siasat. Ia menduga, dengan dipedayakan secara
demikian, Tjong Hay bakal menjadi lengah, lantas ketika baik itu ia tidak
sia-siakannya lagi. Ternyatalah ia berhasil dengan tipunya itu. Tjong Hay itu
liehay luar biasa dan jumawa dan dia tidak memandang sebelah mata kepada si
nona.
Di dalam hal ilmu dalam, Kiam
Hong kalah jauh dari orang she Yang itu, tjongkoan besar yang pernah menjadi
salah satu dari ke empat kiamkek, ahli pedang atau jago utama, tetapi mengenai
ilmu pedang, ia menang setingkat, dan sekarang, ia menyerang hebat setelah ia
mencari-cari ketika sekian lama.
Tjong Hay kaget bukan main,
hingga dia berseru: "Celaka!" Dasar dia liehay, dalam saat kematian
itu, ia menghindarkan diri dengan gerakannya "Tiatpoan kio" atau
Jembatan Besi. Diamelengak dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh
kuat, hingga dengan tubuhnya rata bagaikan tidur terlentang, pedang si nona
lewat di atasan dadanya. Menyusul itu, dia segera berlompat, guna menyingkir
lebih jauh, karena dia percaya si nona bakal mengulangi serangannya. Dia pun
menangkis dengan pedangnya.
Dugaan itu tepat. Kiam Hong
menyerang pula. Kali ini, serangannya itu kena ditangkis. Meski demikian, ujung
pedangnya mampir juga di dada lawan hingga dada itu tergores luka sedikit,
kira-kira tiga dim panjangnya.
"Sayang!" si nona
mengeluh di dalam hatinya.
Sebaliknya, Tjong Hay jadi
sangat malu dan panas hatinya. Dialah jago dan dia kena diakali. Dia tidak
terlukakan parah tetapi bagian yang tergores itu justeru bagian yang
berbahaya-di atasan perut --- hingga sakitnya bukan main.
"Hari ini aku mesti ambil
jiwamu, tidak dapat tidak!" dia berteriak. Dan dia lantas menerjang dengan
bengis, bagaikan badai dan hujan lebat.
Kiam Hong lantas kena
terdesak, sampai ia menjadi repot sekali.
Menggunai ketika desakannya
itu, dengan tangan kirinya, Tjong Hay mengeluarkan obatnya, guna segera diborehkan
pada lukanya, supaya luka itu tidak membahayakan jiwanya.
Hati Kiam Hong menjadi kecil.
Ia tidak menyangka sama sekali, setelah terluka itu, Tjong Hay masih demikian
kosen. Bagaikan binatang liar mogok, dengan berseru keras, Tjong Hay melanjuti
desakannya. Tapi Kiam Hong juga nekat, ia mempunyai tugas sangat penting. Ialah
membawa obat pemunah, guna menolongi tigajiwa. Maka ia membesarkan hatinya, ia
mencoba melawan keras tetapi waspada.
Dalam tempo yang singkat, tiga
puluh jurus sudah lewat.
Nona Liong mengeluarkan
kepandaiannya guna melayani musuh yang kalap itu. Benar Tjong Hay merangsak
hebat, akan tetapi dia tidak berhasil merobohkan lawannya, sebaliknya, satu
kali, tangan bajunya kena ditobloskan ujung pedang si nona. Syukur ujung pedang
itu tidak meluncur terus ke perutnya. Dengan menyedot napas, dia membikin dada
dan perutnya ciut. Maka dia menjadi semakin gusar. Hanyalah kali ini, dia dapat
berpikir.
"Baru selang dua hari,
kenapa ilmu pedangnya ia ini menjadi maju begini?" demikian pikirnya. Karena
dapat memikir, ia menjadi kurangan mendongkolnya. Ia lantas ingat, inilah bukan
disebabkan si nona maju hanya ia sendiri, saking murka, menjadi kurang waspada.
Kedua orangnya Bang Thong
heran melihat si nona dapat mendesak jago itu. Mereka jadi berpikir:
"Kiranya ini Yang Toatjongkoan cuma besar namanya saja, sekalipun seorang
nona. dia tidak dapat lawan." Karena itu, mereka lantas menghunus senjata,
berniat memberikan bantuan mereka. Tapi, belum lagi mereka maju, mereka telah
mendengar tertawa nyaring dari tjongkoan besar itu.
"Untuk melawan satu budak
kecil perlu apa mesti main banyakan orang!" berkata tjongkoan itu. Dia
rupanya melihat orang hendak meluruk membantui padanya. "Kamu kucak mata
kamu dan lihat, jikalau dalam tiga puluh jurus aku tidak dapat membekuk budak
ini, kamu boleh tulis terbalik tiga namanya Yang Tjong Hay!"
Belum berhenti kata-katajumawa
itu, gerakan pedang tjongkoan ini sudah berubah.
Kiam Hong menjadi heran. Ia
merasakan pedang musuh itu menjadi berat luar biasa, benar gerakannya tidak
menjadi sebat lagi, bahkan ayal, tetapi ujung pedang itu menjadi berat umpama
kata seribu kati. Dengan lantas ia menjadi terdesak pula.
Tjong Hay sudah menukar
siasat. Ia tahu si nona liehay dan gesit, ia lantas menggunai tenaga dalamnya,
tenaga mana disalurkan kepada pedangnya, membikin pedang itu menjadi berat.
Untuk dapat melayani, guna membela diri. Kiam Hong menjadi tidak dapat berlaku
sebat lagi seperti semula.
"Celaka!" akhirnya
Kiam Hong berseru di dalam hatinya. Lama-lama ia merasakan, kecuali pedang
musuh menjadi berat, pedangnya sendiri bagaikan tertempel, hingga sulit untuk
ia menariknya.
"Haha-haha!" Yang
Tjong Hay tertawa. Dan ini memperbesar tenaga dalamnya itu. Ia menindih makin
berat pedang Tjengkong kiam si nona, setelah mana, tangan kirinya pun bekerja,
dalam ilmu silat "Tangan kosong memasuki senjata putih." Itulah ilmu
untuk dengan tangan kosong merampas senjata musuh.
Biarnya ia lebih liehay ilmu
pedangnya, Kiam Hong akhirnya kewalahan. Ia kalah tenaga dalam, sangat berat
untuk ia melayani, guna bertahan terus menerus. Percuma ia mengerahkan
semangat, guna melawan terus. Ia pun lantas saban-saban kena dibikin kaget.
Tangan kiri musuh itu beberapa kali hampir berhasil menjambret pedangnya untuk
dirampas. Maka selang belasan jurus lagi, ia lantas kena terkurung...
Tengah pertempuran itu
berjalan di saat yang akan memutuskan, di sana terdengar suara nyaring dari
kelenengan kuda disusul suara pertanyaan yang keras: "He! Apakah itu
bukannya Nona Liong?"
Mendengar suara itu, Kiam Hong
menjadi girang mendadak.
"Lauw Tjeetjoe?" ia
berseru menanya.
Pertanyaan itu tidak mendapat
jawaban, sebaliknya, di sana terdengar bentrokan senjata. Itulah disebabkan
orang yang baru datang itu, yang dipanggil Lauw Tjeetjoe, sudah dirintangi kedua
orangnya Bang Thong.
Orang itu Lauw Wan Tat
hoetjeetjoe atau ketua muda dari benteng Kimtoo Tjee dari gunungnya Kimtoo
Tjeetjoe Tjio San Bin. Dia bersenjatakan sebatang golok besar dan tebal, karena
dialah seorang yang bertenaga besar. Keduajago dari Bang keepo liehay tetapi
berat mereka melayani Lauw Tjeetjoe. Di dalam tempo yang pendek, keduanya
lantas terdesak. Setiap kali senjata mereka bertiga bentrok, setiap kali juga
tangan mereka berdua kesemutan dan gemetaran, sakit rasanya, sebab telapakan tangan
mereka berdarah, bahkan yang satu, tombaknya kena dibacok kutung!
Habis itu, Lauw Tjeetjoe maju
kepada Yang Tjong Hay, dan ia lantas membacok.
Tjong Hay lagi mencoba pula
merampas pedang Kiam Hong ketika ia melihat sampainya serangan, terpaksa ia melepaskan
si nona, guna membela dirinya. Ia menangkis senjata musuh. Akibatnya itu ialah
suara berkontrang keras serta muncratnya lelatu api. Keduanya pun menjadi
terkejut. Ternyata, goloknya tjeetjoe itu kena terpapas sedikit, dan pedangnya
Tjong Hay mental dan tangannya terasakan sakit, syukur pedang itu tidak
terlepas dari cekalan.
"Hebat tenaganya orang
ini," pikir Tjong Hay. Ia kaget tetapi tidak takut.
Lauw Wan Tat juga kaget, lalu
tanpa menghiraukan sempoaknya goloknya, ia mengulangi bacokannya yang kedua
kali, di-susul sama yang ketiga.
Kiam Hong sendiri, dengan
datangnya bala bantuan, menjadi mendapat ketika untuk memperbaiki diri. Ia
sebenarnya mau maju terus, guna membantui Wan Tat, tatkala kedua cinteng Bang
keepo datang padanya, menyerang dari kiri dan kanan. Ia dibokong dan digencet
pula. Musuh yang satu bersenjatakan golok, dia menyerang dari bawah, ialah
membacok kaki sambil dia menjatuhkan diri di tanah, untuk maju sambil
bergulingan. Yang satunya pula menyerang dengan tombak kutungnya, ujung
tombaknya mengarah jalan darah soankie hiat. Dia ini tidak memandang sebelah
mata kepada si nona, yang dia anggap sudah letih sekali.
"Kau pun lihat
totokanku!" kata Kiam Hong, yang melihat datangnya dua serangan itu.
Dengan sebat ia telah melirik ke kedua arah, lalu ia maju kepada si musuh yang
menggunai tombak itu. belum lagi ia kena ditusuk, totokannya sudah mendahului
mengenai musuh hingga dia itu lantas saja berdiri diam, kedua tangannya dikasih
turun, mulutnya terbuka menganga.
Yang menyerang di bawah itu
membacok tempat kosong. Sambil maju tadi, Kiam Hong berkelit dari bacokan
kepada kakinya. Dia terkejut karena gagalnya serangannya itu. dia menjadi kaget
pula melihat kawannya kena tertotok hingga menjadi tidak berdaya. Dia pun heran
sebab tadi dia dan kawannya memandang enteng kepada Tjong Hay, yang kena
didesak nona ini. Sekarang dia menginsafi nona itu benar liehay, hanyalah dia
terlambat. Ketika dia mau mengguling tubuh, buat mundur, Kiam Hong mendahului
menendangnya hingga dia terpental dengan tulang iganya patah!
Pertempuran di antara Yang
Tjong Hay dan ,Lauw Wan Tat berjalan terus. Tjong Hay menang liehay, Wan Tat
menang tenaga dan goloknya pun lihay. Maka bekas tjongkoan itu lantas berpikir:
"Sulit untuk dalam tempo pendek merobohkan tjeetjoe itu." Pula, di
samping ia terkejut menyaksikan kedua cinteng Bang keepo telah kena dirobohkan,
di sebelah depan nampak mendatanginya lagi dua penunggang kuda. Atas datangnya
kedua orang itu, Lauw Wan Tat sudah lantas mengasi dengar suaranya yang nyaring,
dalam bahasa rahasia kaumnya: "Kakinya kambing dapat menendang! Pundak
rata maju mengutungi kaki itu!" Itulah berarti: Musuh tangguh, mari kita
kepung dia!
Yang Tjong Hay licik sekali.
Melayani satu Lauw Wan Tat masih satu soal, di sana masih ada Kiam Hong. Lalu
sekarang datang dua orang lagi, yang belum ketahuan liehay atau tidak. Maka ia
pikir, mengangkat kaki ialah paling selamat. Karenanya ia mendesak Wan Tat.
Setelah dua tikaman saling susul, ia memutar tubuhnya, untuk berlompat, guna
membuka langkah seribu.
"Bangsat, kau hendak
lari?" Wan Tat mencaci dengan gusar seraya dia berlompat, guna membacok.
"Kau hendak merintangi
aku?" kata Tjong Hay sambil tertawa menyeringai, tubuhnya mencelat ke
samping, membikin serangan lewat, setelah mana, dia berbalik, untuk membalas
menyerang dengan tikamannya.
Lauw Wan Tat tidak menduga
lawan menggunai tipu dan gerakannya pun demikian gesit. Ia sendiri, benar ia
kuat, tetapi kurang sebat, senjatanya berat dari senjata berat sukar melawan
pedang yang kecil dan enteng, la masih mencoba membela dirinya dengan
melintangi goloknya.
"Traang!"
Pedang Tjong Hay itu kena
ditangkis Kiam Hong, yang maju untuk melindungi kawannya, akan tetapi pedang
telah meluncur demikian rupa. lengan Wan Tat kena juga tergores.
Sambil tertawa dingin, Tjong
Hay kata: "Masihkah kau berani mengatakan aku si kambing?" Ia rupanya
mengerti bahasa rahasianya tjeetjoe muda itu.
Belum berhenti perkataan bekas
tjongkoan ini goloknya Wan Tat sudah menyambar ke arahnya. Wan Tat mendongkol
ia diejek, maka tanpa membilang suatu apa. goloknya yang melintang itu dipakai
menyampok. Tjong Hay kaget tetapi sesudah pedangnya kena tersampok, demikian
keras, hingga lepas dari tangannya dan mental.
Kiam Hong melihat itu, ia
menggunai ketikanya untuk menyerang saling susul, hingga Tjong Hay terdesak,
tak sempat dia berlompat guna menyambar pulang pedangnya itu. Bahkan saking
terpaksa, dia lari terus kepada seekor kuda, untuk lompat naik ke pinggangnya,
guna terus menyingkirkan diri.
Kiam Hong tidak mengejar, ia
menoleh kepada Wan Tat yang terluka itu. Ia berlega hati kapan ia mendapat
kenyataan hoetjeetjoe itu melainkan terluka kulitnya. Tapi dia beradat keras,
dia mendongkol sekali, maka itu dia mencaci musuhnya yang sudah kabur jauh itu.
"Lauw Tjeetjoe," kata
si nona tertawa, "Yang Tjong Hay bekas tjongkoan besar dari istana kaisar,
kau telah bikin dia meninggalkan senjatanya dan kabur, itu saja sudah cukup
untukmu membanggakannya!"
Wan Tat dapat juga dihiburkan.
Ketika itu kedua penunggang
kuda telah tiba kepada mereka. Mereka berdua ialah liauwlo dari gunung, yang di
kirim untuk menyusul. Sebenarnya mereka berdua di kirim berbareng bersama Wan
Tat tetapi mereka berjalan belakangan. Ilmu silat mereka tidak berarti, mereka
hanyalah cerdik, maka itu. setiap kali ia turun gunung, hoetjeetjoe mengajak
mereka. Syukur Tjong Hay tidak ketahui halnya kedua liauwlo ini, kalau tidak,
kalau dia tidak menyingkir, entah bagaimana kesudahannya pertempuran
selanjutnya.
Dari dua orang Bang keepo,
yang tulang rusuknya patah masih dapat melarikan diri, tinggal yang kena
tertotok Kiam Hong, dia tetap berdiri menjublak, tangannya turun, mulutnya
terbuka. Kiam Hong lantas membebaskan dia, untuk ditanya keterangannya. Dia
suka menerangkan bahwa Yang Tjong Hay datang ke Bang keepo bersama dua opsir
Gielimkoen, tibanya baru beberapa hari yang lalu, bahwa sekarang Tjouw Thian
Yauw lagi berobat di rumahnya Bang Thong itu.
Karena dia suka bicara, dia
lantas dimerdekakan.
"Kalau begitu Yang Tjong
Hay dan Pektok Sinkoen ada dari satu golongan," berkata Lauw Wan Tat.
"rupanya mereka bersama hendak mendapatkan bingkisan kita."
Kiam Hong mengangguk.
"Sekarang tak usah kita
kuatirkan Tjong Hay," kata nona ini. "Pektok Sinkoen sudah mati dan
Tjouw Thian Yauw tengah terluka. Seorang diri tentulah dia tidak bisa berbuat
banyak."
Lebih jauh Kiam Hong tuturkan
peristiwa matinya Pektok Sinkoen itu. hingga matinyaTjit Im Kauwtjoe juga.
Lauw Wan Tat berlega hati
mendengar musuh telah terbinasa dan terluka dan obat pemunah racun pun sudah
didapatkan. Karena ia berlega hati itu. kewaspadaannya menjadi berkurang.
Sampai di situ. mereka
melakukan perjalanan pulang. Kiam Hong menggunai kuda rampasan, maka itu,
mereka bersama-sama menunggang kuda. Dengan lekas mereka melalui perjalanan
seratus lie. Ketika hari sudah jadi magrib, mereka tiba di sebuah dusun,
Hoelietjip namanya. Dusun itu masih terpisah kira-kira dua ratus lie dari
gunung mereka.
"Kalau kita berjalan
terus, besok tengah hari kita bisa kembali ke gunung," kata Lauw Wan Tat.
Kiam Hong menekuk-nekuk jari
tangannya, untuk menghitung hari.
Nusa ialah hari ke sembilan
dari terlukanya Giok Houw bertiga. Luka disebabkan tangan Kioeyang Toktjiang,
seperti diterangkan Tjouw Thian Yauw. cuma dapat bertahan sepuluh hari,
selewatnya. celakalah si kurban. Karena masih ada tempo satu hari, hati si nona
lega. suka ia singgah didusun itu. Ia merasa lega juga hatinya, hanya kapan ia
mengingat kematiannya Tjit Im Kauwtjoe, ia berduka. Tapi ia menanyakan dulu
tentang keadaannya Giok Houw bertiga.
"Keadaannya Tjioe
Tjeetjoe yang paling berat," Wan Tat menerangkan. "Leng Liehiap dan
Thio Totjoe mendingan, mereka dapat minum susu dan bisa juga memasang
omong."
Tiba di dalam dusun, sudah
waktunya api dinyalakan, dan di jalanan, sedikit orang yang berlalu lintas.
"Apakah perlu kita
memeriksa dulu, kalau-kalau di sini ada orang-orang yang mencurigakan?"
tanya kedua liauwlo yang cerdik itu.
Lauw Wan Tat tertawa ketika ia
menjawab: "Di tempat ini cuma ada sebuah rumah penginapan, yang dibuka
oleh orang sendiri, baiklah kita langsung pergi ke sana. Segala apa dapat kita
minta keterangan dari pengurusnya. Yang Tjong Hay sudah kabur, apa lagi yang
kita buat kuatir? Kamu sendiri tentu sudah letih, di sana kamu dapat
beristirahat."
Keterangannya hoetjeetjoe ini
benar. Rumah penginapan yang disebutkan itu mempunyai perhubungan sama Tjioe
San Bin. Pemiliknya, seorang she Tjioe, sudah mengusahakan itu sepuluh tahun
lebih, benar dia bukan asal liauwlo tapi dia kenal baik sejumlah tauvvbak
gunung. Juga di dalam pondokan itu ada dua liauwlo, yang tinggal menetap
sebagai pegawai, dengan tugas menjadi mata-mata. Karena ini, atas perkataan
tjeetjoe itu, kedua orangnya tidak membilang apa-apa lagi.
Belum lagi mereka tiba di
pintu depan. Tjioe Tjiangkoei. si pengurus pondokan, sudah keluar dan
menyambut. Ia lantas bicara rahasia dengan Wan Tat, yang menanya kalau-kalau ia
mendapatkan orang-orang yang dicurigai di dusun itu. Ia menerangkan bahwa ia
tidak menyangsikan siapajuga. Maka Wan Tat lantas mengajak kawan-kawannya masuk
ke dalam.
Letih Wan Tat semua. Tjio
Tjiangkoei lantas menjamu mereka, ia duduk menemani. Sembari bersantap, mereka
berbicara. Ia menanyakan hal keadaan di gunung. Biar bagaimana, dia bukannya
anggauta gunung, maka Wan Tat tidak mau memberitahukan hal sakitnya San Bin
karena terlukakan musuh.
Kemudian Wan Tat menanyakan
kedua mata-mata. Ia diberitahu bahwa-mereka itu kebetulan keluar.
Tjioe Tjiangkoei menyuguhkan
arak Tjenglay tjioe rendamannya sendiri. Arak itu berbau wangi menyedak hidung.
Wan Tat girang sekali. Ia memangnya gemar minum air kata-kata.
"Ha, kau masih ingat aku
suka arak ini!' katanya. Ia jujur, dengan Tjioe Tjiangkoei ia kenal baik. tanpa
dianjurkan lagi, ia lantas mengeringkan tiga cawan.
"Arak ini harum tetapi
tidak keras, inilah arak tepat sekali untuk orang habis melakukan perjalanan
jauh," berkata Tjioe Tjiangkoei. "Nona Liong, mari minum! Benar
dengan nona aku baru kenal satu kali ini tetapi dengan Lauw Tjeetjoe aku telah
mengenal lama, maka itu, ijinkanlah aku memberi selamat kepada kau barang satu
cawan!"
"Terima kasih!"
menyahut Kiam Hong. "Ijinkan aku yang memberi selamat lebih dulu kepada
tuan rumah!" Ia lantas menolak balik araknya tjiangkoei itu.
"Nona sungkan
sekali!" kata si orang she Tjioe, tertawa. "Baiklah, aku akan minum
lebih dulu!" Ia lantas menenggak arak itu.
Melihat orang minum araknya,
Kiam Hong turut minum. Ia tidak menaruh curiga lagi.
Kemudian Tjioe Tjiangkoei pun
menganjurkan kedua tau wbak kecil itu turut minum bersama.
"Ah, perutku mulas!"
kata seorang tauwbak, berseru. "Nanti aku ke belakang dulu!" Dan ia
berbangkit, untuk lari ke belakang, rupanya dia mau pergi ke kakus.
"Di tengah jalan tadi dia
minum air dingin terlalu banyak!" kata Wan Tat tertawa.
Tauwbak yang kedua tiba-tiba
melengak.
"Eh, perutku pun
mulas!" kata dia, dan terus dia berbangkit, untuk lari ke belakang.
"Eh, eh!" kata Wan
Tat heran, alisnya mengkerut. "Kau toh tidak minum air dingin tadi?"
Ia baru berkata, tiba-tiba ia pun merasakan perutnya sakit, lantas kepalanya
pusing dan matanya seperti kabur. Ia merasa seperti ia telah minum terlalu
banyak arak. "Aneh, perutku pun sakit!" kemudian ia berseru.
Tepat di saat itu, tauwbak
yang pertama tadi lari ke belakang, muncul dengan tersengal-sengal, dan
berteriak tajam: "Celaka! Tjeetjoe, lekas lari! Di sini ada orang-orang
yang bersembunyi!"
"Ngaco belo!"
membentak Tjioe Tjiangkoei. "Apakah kau sudah sinting?"
Mendadak saja Kiam Hong
berlompat bangun, menyambar tangannya Tjioe Tjiangkoei, untuk dicekuk, akan
tetapi tjiangkoei itu berkelit, ketika si nona maju pula, untuk mengulangi
sambarannya, dengan tubuhnya limbung, dia lolos pula. Nona Liong merasakan
kakinya enteng.
"Ha,orang she
Tjioe!" Lauw Wan
Tat membentak. Sedetik itu.
dia sadar. "Kau main gila ya!" Dan antara meja, ia lantas meninju
tjiangkoei itu. Ialah seorang Gwakee. ahli ilmu luar, gwakang, maka tenaganya
besar luar biasa, di hari-hari biasa, mesti bercelaka Tjioe Tjiangkoei. sebab
dia diserang dengan satu pukulan dari ilmu silat "Pekpou Sinkoen,"
atau "Tinju Seratus Tindak." Tapi ia telah menjadi kurbannya bonghan
yoh, obat pulas, tenaganya telah berkurang, tubuhnya pun terhuyung, maka
tinjunya cuma sampai di tengah jalan, terus mengenakan meja, hingga meja itu
ringsak. Si tjiangkoei sendiri telah lompat berkelit, tetapi tidak urung, dia
terjungkal juga.
Tepat di saat itu, Yang Tjong
Hay muncul dari dalam. Paling dulu terdengar suara tertawanya bergelak-gelak,
disusul sama kata-katanya yang tajam: "Bagus ya! Ke sorga ada jalannya,
kamu tidak pergi ke sana! Noraka tidak ada pintunya, kamu justeru menyerbunya!
Haha! Aku mau lihat, apakah kali ini pun kamu dapat lolos dari tanganku?"
Lauw Wan Tat gusar bukan
kepalang.
"Oh, toatjongkoan yang
gagah perkasa!" ia mengejek. "Tidak malukah kau melakukan ini
perbuatan rendah?" Dalam murkanya itu. ia lompat menyerang. Tapi kepalanya
pusing, matanya tidak dapat melihat nyata, pukulannya tidak mengenakan
sasarannya. Sebaliknya, ketika Tjong Hay habis berkelit terus menggaet kakinya,
ia roboh seketika!
Tauwbak kecil tadi tidak minum
arak bonghan yoh, maka ia menghunus goloknya, menyerang ke kakinya Tjong Hay.
Tentu sekali ia bukannya lawan dari itu bekas tjongkoan besar, maka dengan satu
tendangan kaki yang lain, ia tertendang mental dan roboh terbanting.
"Machluk tolol, bukannya
kabur!" Wan Tat masih dapat berseru. "Kau mau mampus?"
Cuma sebegitu ia dapat membuka
mulutnya, lantas ia rebah pingsan.
Kiam Hong tidak lantas roboh.
Dengan mengandai pada tenaga dalamnya, ia masih bertahan. Tetapi ia juga
merasai kepalanya pusing dan matanya kabur. Mendengar perkataannya Wan Tat itu,
ia mendusin. Segera ia berpikir: "Tidak salah! Pertama-tama obat mesti
dilindungi! Dan kedua, mesti ada orang yang lolos untuk menyampaikan
kabar!" Maka ia lantas menghunus pedangnya, menyerang Yang Tjong Hay. Inilah
siasat guna menolong si tauwbak, agar dia dapat menyingkir.
Tjioe Tjiangkoei tidak berdiam
saja. Ia mengerti juga beberapa jurus ilmu silat. Dengan menyambar bangku
panjang, ia lari ke arah pintu, guna merintangi si tauwbak.
"Pengchianat,
lihat!" berseru si tauwbak gusar, tangannya melayang, melontarkan sebuah
bungkusan.
Tjioe Tjiangkoei menyangka
kepada senjata rahasia, ia mengangkat bangkunya, untuk menangkis, maka
bentroklah bungkusan itu dengan bangku. Benarlah itu senjata rahasia, hanya
senjata rahasia bungkusan terisi abu. Tjiangkoei itu lantas menutup kedua
matanya. Justeru itu si tauwbak kabur, disusul temannya yang pun muncul di
situ.
Tauwbak itu benar-benar
cerdik. Pertama kali masuk ke hotel dan tidak melihat dua kawannya, yang
menjadi mata-mata, ia sudah bercuriga. Untuk membuktikan kecurigaannya, ia
berpura-pura sakit perut dan lari ke dalam. Di pekarangan belakang, ia melihat
kuda tunggangan Yang Tjong Hay, yang ia kenali. Maka ia lantas lari balik. Tapi
ia masih terlambat, Tjioe Tjiangkoei sudah berhasil dengan obat mabuknya. Ia
telah mengambil abu. maka abu itu dapat dipakai menyerang si tjiangkoei yang
menjadi pengchianat itu.
Kiam Hong mengempos semangat,
ia mengerahkan tenaganya, untuk mendesak. Mau atau tidak. Tjong Hay mesti melayani
dengan sungguh-sungguh. Inilah ketika baik untuk kaburnya kedua tauwbak kecil
itu.
Di saat Nona Liong merasa
kedua tauwbak itu sudah menyingkir jauh, ia merasa hatinya lega. tetapi ini
justeru membuat bonghan yoh itu di dalam perutnya bekerja, hingga ia menjadi
semakin lemah. Tjong Hay berbalik mendesak, untuk merampas pedangnya, setelah
mana, ia kena ditotok roboh. Selagi waswas, ia mendengar tertawa seram dari
bekas tjongkoan itu, lantas ia tidak sadarkan diri.
Tidaklah aneh jikalau Tjioe Tjiangkoei
itu berchianat. Ia memang bersanak dengan Bang Thong, pemilik dari Bang keepo.
Isterinya Bang Thong ialah adiknya satu she.
Bang Thong itu sangat pintar
dan licik. Setelah berhasil mengumpul harta besar di wilayah Biauwkiang. ia
pulang ke kampung halamannya itu, untuk mencuci tangan, untuk hidup sebagai
hartawan yang budiman, di antaranya ia mengeluarkan uang untuk membikin
jembatan dan memperbaiki jalan umum, hingga ia menjadi mendapatkan nama baik.
Tjioe San Bin tidak ketahui asal-usul orang, ia bergaul dengannya.
Bang keepo terletak di
perbatasan antara negara Watzu dan Tiongkok, itulah daerah tak bertuan, dan
yang berpengaruh di situ ialah Tjioe San Bin. Bang Thongjeri pada raja gunung
penyinta negara ini, ia berlaku merendah dan menurut saja. Ia pun pandai
mengambil hati, sering ia melakukan sesuatu untuk San Bin. Sebaliknya,
diam-diam ia berkongkol sama pembesar kerajaan. Beberapa kali, di waktu
menempur tentera negeri, San Bin kena dikalahkan. Itulah hasil kecurangannya
sahabat Bang Thong ini. Tentang itu, San Bin tetap tidak mendapat tahu apa-apa.
Demikian juga pemilik pondokan
she Tjioe itu. dia berhubungan dengan San Bin, dia menjadi mata-mata. di lain
pihak, dia berhubungan erat dengan Bang keepo dan selalu memberikan kabar
rahasia kepada Bang Thong. Benar San Bin ada mengutus dua liauwlo buat menjadi
mata-mata di pondokan, tetapi dengan kecerdikannya Tjioe Tjiangkoei, kedua
mata-mata itu dapat dilagukan dan dijual, mereka tidak mendapat tahu bahwa diri
mereka diakali. Pantas Wan Tat mendamprat Tjioe Tjiangkoei sebagai pengchianat,
sebab dia bekerja lebih banyak untuk Bang Thong, dari siapa dia memperoleh
lebih banyak kebaikan.
Yang Tjong Hay seorang sangat
cerdik. Ketika ia kabur meninggalkan Kiam Hong dan Wan Tat, ia tidak puas. Ia
tetap ingin mencegah obat pemunah dapat dibawa ke gunungnya Tjioe San Bin. Maka
ia tidak lantas terus mencari Tjit Im Kauwtjoe hanya ia pergi ke Hoelietjip. Ia
merasa pasti, Wan Tat bakal singgah di pondokannya Tjioe Tjiangkoei, dari itu
ia pergi kepondokan itu, untuk bekerja sama dengan si tjiangkoei. Demikian
mereka menggunai obat mabuk bonghan yoh itu.
Bukan main girangnya Tjong Hay
dapat membekuk Wan Tat dan Kiam Hong. Dengan tertawa besar, ia kata pada Tjioe
Tjiangkoei: "Inilah harta besar yang di kirim oleh Thian! Dengan aku
mendapatkan obat pemunah, tak usah dikuatirkan lagi yang Tjioe San Bin tidak
akan menyerahkan bingkisan itu! Jikalau aku sudah pulang ke Pakkhia di mana aku
menjabat pula pangkatku sebagai Toatjongkoan. kau boleh percaya, kau akan memperoleh
keuntungan bukan kecil!"
Tjiangkoei itu girang sekali
mendapatkan janjinya Tjong Hay itu. Ia justeru lagi menguatirkan tidak lagi
mempunyai tulang punggung berhubung dengan matinya Bang Thong. Ia menghaturkan
terima kasih berulang-ulang.
Yang Tjong Hay lantas bekerja.
Sendirinya ia menggeledah Lauw Wan Tat. Untuk memeriksa tubuh Kiam Hong, ia
menugaskan isterinya Tjioe Tjiangkoei. Sebagai toatjongkoan, ia mau memegang
derajat, ia malu menjamah-jamah tubuh seorang wanita apapula seorang gadis remaja.
Karena ini, Kiam Hong pun jadi lolos dari penghinaan.
Kiam Hong masih tak ingat akan
dirinya ketika ia merasa dingin pada mukanya. Lantas ia mendusin. Ketika ia
membuka matanya, ia melihat seorang nyonya bertubuh jangkung dan kurus, ialah
orang yang membasahkan mukanya dengan air, untuk membikin ia sadar.
"He, rase kecil yang
licin, di mana kau simpan obat pemunah racun?" tanya nyonya itu bengis.
Dialah isterinya si tjiangkoei.
Kiam Hong pun segera melihat
Yang Tjong Hay duduk di depannya.
Di sana tertampak Lauw Wan Tat
terbelenggu seperti ia sendiri. Tjioe Tjiangkoei berdiri di samping, melakukan
penjagaan.
Mereka itu sudah melakukan
penggeledahan tanpa hasil, maka itu. setelah kedua musuh itu diringkus, mereka
dibikin mendusin, untuk didengar keterangannya. Tjong Hay sendiri yang mau
memeriksa si nona.
"Apa kau bilang?"
Nona Liong berpura-pura. "Obat pemunah apa?"
"Jangan berlagak
gila!" kata Tjong Hay, tertawa dingin. Suaranya tidak sedap untuk telinga.
"Sampai ini waktu, percuma kau main gila!"
"Sebenarnya kau
menghendaki obat pemunah apa?" Kiam Hong menegaskan.
"Obat pemunah racun
Kioeyang Toktjiang yang Tjit Im Kauwtjoe serahkan nada kau!" Tjong Hay
menjelaskan.
"Heran!" kata si
nona. "Tjit Im Kauwtjoe bermusuh dengan gunung kami, puterinya pernah
membikin celaka puteranya Tjioe Tjeetjoe! Apakah kau tidak tahu urusan itu?
Bagaimana dia dapat memberikan obat pada kami?"
Alisnya Tjong Hay berkerut,
hatinya berpikir: "Benarkah soetjie tidak memberikan obat pemunah itu
kepada dia ini?"
Keterangannya Kiam Hong itu
beralasan, di dalam keadaan biasa, Tjong Hay tentulah percaya itu. Tapi ia
telah mendengar dari mulutnya Tjouw Thian Yauw sendiri bahwa selama di dalam
kuil, Kiam Hong sudah membantui Tjit Im Kauwtjoe menyerang kepadanya --- pada
Thian Yauw. Pula ia menyaksikan sendiri Kiam Hong berlari-lari pulang ke
gunungnya secara tergesa-gesa. Ia mengeprakmeja.
"Aku tahu kau memang
paling pandai bicara!" bentaknya. "Dapat kau mendustai soetjie-ku
tetapi tidak aku! Obat pemunah racun itu mesti ada di tubuhmu!"
Kiam Hong tertawa mengejek.
"Kau mengukuhi obat itu
ada di tubuhku, nah, kau suruhlah nyonya ini geledah aku!" ia menantang.
Ia tahu yang ia telah digeledah tetapi sengaja ia mengejek Tjong Hay, untuk
membikin panas hati orang, guna mempuaskan hatinya sendiri.
"Aku telah menggeledah
terteliti sekali," berkata si nyonya, "aku telah periksa kaos kaki
dan rambutnya juga, obat itu tidak ada padanya. Mungkin benar dia tidak
menyimpannya..."
Kedua matanya Tjong Hay
terbuka lebar, lain mendelik.
"Aku tidak percaya!"
dia berseru. "Buka semua pakaiannya! Nanti aku memeriksanya sendiri!"
Nyonya itu kaget.
"Itu... itu..."
katanya tertahan.
Tjioe Tjiangkoei cerdik, dapat
ia membade hatinya Tjong Hay, yang rupanya mau menggertak saja. Maka ia lantas
menimbrung, katanya: "Isteriku, kau sudah tua, apakah kau masih merasa
likat? Toh bukannya pakaianmu yang diloloskan?" Ia terus berpaling kepada
Kiam Hong, untuk meneruskan berkata: "Nona, jikalau kau tidak mau mendapat
malu, lekas kau keluarkan obat itu atau kau menyebutkan tempat di mana kau
menyembunyikannya."
"Jangan kamu paksa
aku." katanya kemudian. "Nanti aku bicara..."
Tjong Hay tertawa berkakak.
"Akur!" katanya.
"Seharusnya kau bicara dari tadi, urusan tentu sudah beres."
"Apakah kau kira aku
demikian tolol hingga obat aku simpan di tubuhku?" kata Kiam Hong,
mengejek. "Obat itu aku telah berikan kepada si tauwbak kecil yang barusan
melarikan diri! Siapa suruh tadi kamu tidak merintangi dia?"
Wan Tat heran mendengar
perkataan si nona. Ia kata dalam hati kecilnya: "Kapannya dia menyerahkan
obat kepada tauwbak kecil itu? Kita berjalan bersama-sama, kenapa aku tidak
mendapat lihat?"
Sebagai orang jujur, tjeetjoe
ini tidak dapat membade yang Nona Liong lagi mendusta.
"Lekas kamu kejar tauwbak
itu!" kata pula Kiam Hong. "Mungkin kamu dapat menyandak!"
Tjioe Tjiangkoei heran, ia
mengawasi nona itu.
"Kau berikan obat itu
kepada tauwbak yang mana?" ia tanya. "Kepada yang mukanya persegi
atau yang mukanya panjang itu?"
"Aku memberikan pada
mereka berdua," sahut Kiam Hong. "Aku menitahkan mereka bergantian
membawanya, maka itu sekarang aku tidak tahu ada pada siapa di antara mereka
itu berdua!"
Tjioe Tjiangkoei cerdik juga,
ia berpikir: "Budak ini masih sangat muda tetapi dia cerdik sekali! Terang
kedua tauwbak itu tidak dapat berlari berama-sama. Kalau aku dan Tjong Hay
mengejar dengan berpisahan, itulah berbahaya. Tjong Hay liehay, dia tentu dapat
mengalahkan tauwbak itu, tetapi aku, aku belum tentu..." Maka itu ia mau
menanya pikirannya bekas tjongkoan itu, atau mendadak ia mendengar Tjong Hay
membentak: "Siapa yang kau hendak akali, setan cilik? Jikalau kau tetap
tidak suka memberitahukan, hm, kau lihat, aku berani membuka semua pakaianmu
atau tidak!"
Kata-kata itu dibarengi
tepukan meja dan kedua mata melotot.
Kiam Hong berbicara untuk
menjalankan siasatnya menyerang hati. Ia tahu Tjong Hay sangat cerdik, maka ia
sengaja memberikan pengakuannya itu.
Memang kepercayaannya Tjong
Hay kena dibikin goncang, hingga dia menjadi bersangsi. Dia pikir: "Bocah
ini sangat cerdik, kenapa aku tidak dapat memikir kepada siasatnya itu?"
Dia mengangkat kepalanya, ketika dia memandang muka Wan Tat, dia merasa heran.
Nampaknya Wan Tat itu tercengang.
Kiam Hong melihat orang
menyangsikan ia, ia kata pula: "Aku omong terus terang, kau tidak percaya!
Tidak dapat aku mengarang kedustaan lain lagi!"
Tjong Hay tertawa dingin.
"Jikalau aku tidak
membongkarnya, kau tentu tidak puas!" dia bilang. "Kedustaan kau ini
kau karang sempurna sekali! Hanya sayang pada itu ada kelemahannya! Jikalau kau
ketahui lebih dulu bahwa cuma aku sendiri yang mau merampas obat itu, dapat kau
menyerahkan itu kepada tauwbak yang kau sebutkan itu, aku pun tidak bakal
mencurigakannya, dapat mereka lolos. Akan tetapi kau tidak tahu berapa jumlah
rombonganku, taruh kata kau dapat menduga kami bakal merampasnya, hingga kau
tidak berani menyimpan itu dalam tubuhmu, seharusnya kau menyerahkannya kepada
ini Lauw Tjeetjoe! Bukankah dalam ilmu silat, tjeetjoe ini jauh lebih liehay
daripada kedua tauwbak itu? Kalau tjeetjoe ini bertemu orang-orang yang mau
merampok dia, dia mempunyai lebih banyak ketika untuk meloloskan diri! Maka,
kenapa kau tidak serahkan obat kepadanya hanya kepada dua tauwbak itu? Nah, apa
lagi kau hendak bilang? Enso Tjioe, kau bukai semua pakaiannya, aku mau lihat,
dia hendak membilang apa lagi!"
Kiam Hong terperanjat tetapi
ia tertawa dingin.
"Kami berjumlah empat
tetapi kau berkukuh menuduh obat ada padaku." ia kata, "apa buktinya
sekarang? Bukankah kau telah menggeledah dengan sia-sia? Dan sekarang kau
hendak menggunai cara hina dina. untuk membikin aku malu! Hm! Hm! Apakah di
belakang hari kau masih mempunyai muka untuk menaruh kaki dalam dunia
Kangouw?"
Mukanya Tjong Hay menjadi
merah padam. Hinaan itu tepat mengenai hatinya.
"Dia sudah digeledah,
obatnya tidak kedapatan, memang tidak perlunya untuk membukai pakaiannya,"
pikirnya. "Tapi aku penasaran sekali! Bagaimana harus melampiaskannya? Aku
mesti mendapatkan akal!" Ia tidak berpikir lagi, terus ia mengibaskan
tangannya dan berkata: "Siapkan kuda! Enso Tjioe. kau bantui aku membawa
dia ke Bang keepo! Aku tidak dapat obat, gunungnya Tjioe San Binjuga tidak! Aku
mau lihat, dia ini dapat bertahan berapa hari!..."
Puas rasanya Tjong Hay habis
berkata demikian. Kembali di a tertawa dingin.
"Aku kasih nasihat padamu
baiklah kau bicara!" ia kata pada si nona. "Jikalau kau suka
memberitahukan, aku nanti temani kau pergi ke gunung kamu membawa obat itu.
Tentu sekali, aku tidak dapat mengantarkan kau dengan cuma-cuma. Aku cuma
menghendaki separuh saja dari jumlah semua bingkisan. Mustahilkah tiga jiwanya
Tjioe San Bin, Thio Giok Houw dan Leng In Hong tidak cukup berharga untuk
sedikit bingkisan itu?"
Kiam Hong terkejut pula. Hebat
kata-katanya bekas tjongkoan ini. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar suara
nyaring dari Lauw Wan Tat: "Di dalam gudangnya kaisar bertumpuk segala
emas dan kemala! Sebaliknya kami, kami bersengsara, makan tidak kenyang,
berpakaian tidak hangat bagi tubuh, tetapi kamu memutar otak, kamu hendak
menolongi kaisar mendapatkan pulang barangnya itu! Kau hendak mendapatkan
bingkisan cuma untuk kepentingan dirimu sendiri, supaya kau mendapat pangkat
dan hadiah! Apakah benar-benar kau tidak ingat jiwa kami semua?"
Yang Tjong Hay tertawa.
"Jiwa kamu sekawanan
berandal?" dia berkata, mengejek. "Tentang jiwa kamu, benar-benar aku
tidak perlu mencampur tahu!"
"Kau sendiri tidak tetapi
orang-orang gagah di seluruh negara akan memperhatikannya!" Wan Tat
berteriak pula. "Kau kira, dapat secara begini sajakau merampas harta? Hm!
Tidak, tidak sedemikian mudah!"
"Memang juga. harta yang
didapati orang banyak demikian susah payah, mana dapat itu di haturkan kepada
mereka secara begini saja?" Kiam Hong pun memikir. "Jikalau Tjioe
Tjeetjoe menyayangi jiwanya, siang-siang tentulah ia sudah berdamai dengan
Pektok Sinkoen. Jikalau untuk diriku sendiri aku membiarkan Yang Tjong Hay
mendapatkan obat, untuk dia memaksa memeras bingkisan itu, pastilah engko Giok
Houw tidak bakal memberi maaf kepadaku!"
Maka ia berdiam terus.
Melihat orang berkepala batu,
Tjong Hay tertawa. Tidak tempo lagi, tubuh Wan Tat dan si nona diangkat ke
punggung kuda dan diikat. Ia sendiri membawa Wan Tat dan Nyonya Tjioe membawa
Kiam Hong. Kuda mereka itu dikasih kabur ke arah Bang keepo. Tjioe Tjiangkoei
tidak diajak, dia mesti menjaga hotelnya.
Tjong Hay sangat cerdik. Ia
kuatir Kiam Hong nanti dapat membebaskan diri dari totokan, maka selang enam
jam, ia menotok pula. Totokan itu direncanakan akan diulangi setiap enam jam
kemudian.
Perjalanan dari Hoelietjip ke
Bang keepo membutuhkan waktu satu setengah hari, maka dengan melakukan
perjalanan terus menerus, besoknya tengah hari tibalah sudah mereka di rumahnya
Bang Thong.
Kiam Hong heran kenapa orang
melakukan perjalanan demikian tergesa-gesa. Sudah terang ia tidak mau
menyerahkan obatnya. Karena itu ia mau menduga mungkin bekas tjongkoan itu
hendak menggunai akal muslihat lain.
Ketika itu keluarga Bang sudah
selesai mengurus jenazah. Di muka pintu digantung tengloleng biru. Ketika Tjong
Hay tiba. lantas ada yang mewartakan ke dalam gedung, maka Iantaslah ada orang
yang menyambut sambil lebih dulu terdengar tertawanya yang nyaring, lalu
kata-katanya yang keras: "Yang Tjongkoan, kau sudah pulang? Bagaimana
kesudahannya
pembicaraan di antara Pektok
Sinkoen dan Tjit Im Kauwtjoe?"
Kiam Hong sudah putus harapan
tetapi ketika ia mendengar suara orang itu, ia terkejut. Ia mengenali suara
orang dengan baik sekali. Itulah suaranya Le Kong Thian si pengurus rumah, atau
koankee, dari Kiauw Pak Beng.
"Telah terjadi perubahan
tidak disangka-sangka," Tjong Hay menyahut. "Mari kita bicara di
dalam."
Kong Thian melirik Kiam Hong,
lantas ia tertawa pula.
"Kau tidak dapat
mengundang Tjit Im Kauwtjoe, sebaliknya kau membekuk ini bocah wanita!"
katanya. "Haha! Apakah kau hendak mengambil dia sebagai gantinya Sioe Lan?
Tidak dapat!"
Di dalam urusan ini. Yang
Tjong Hay adalah orang yang memegang peranan. Dialah yang menyuruh Pektok
Sinkoen akur pula dengan Tjit Im Kauwtjoe. Maksudnya yang utama yaitu untuk
mendapatkan Pektok Tjinkeng untuk nanti diserahkan kepada Kiauw Pak Peng.
Justeru untuk mendapatkan kitab tersebut, Kiauw Pak Beng sudah mengutus
pengurus rumah tangganya pergi mengajukan lamaran kepada Tjit Im Kauwtjoe,
untuk mempersatukan jodoh putera dan puteri mereka. Kiauw Pak Beng tidak
terlalu menghiraukan janjinya Pektok Sinkoen mengenai sebagian dari bingkisan,
yang katanya diperuntukkan pesalin puterinya. Karena harta datang sendiri, ia
tentu menerima saja. Kali ini Le Kong Thian muncul untuk mendengar kesudahannya
ichtiarnya Yang Tjong Hay itu.
Kong Thian bangsa sembrono dan
tidak sabaran, setibanya di ruang tetamu, tanpa menanti sampai orang berduduk,
ia sudah lantas menanya pula: "Ada terjadi perubahan apakah? Apakah nenek
itu tidak suka akur pula dengan Pektok Sinkoen?"
"Bukan cuma dia tidak mau
akur pula," menyahut Tjong Hay, "bahkan dia menggunai obat pulas
membuatnya Pektok Sinkoen roboh tak berdaya, lalu hampir dia membunuh mati pada
Tjouw Thian Yauw!"
Kong Thian heran.
"Tjouw Thian Yauw itu
orang macam apa?" dia tanya.
"Dialah yang dulu hari
dikenal sebagai Tiatsie Sieseng Tjouw Tay Tjee yang menjadi begal tunggal di
dalam kedua propinsi Titlee dan Shoatang," Tjong Hay menerangkan.
"Dialah konconya Pektok Sinkoen. Sekarang dia ada di rumah ini lagi
berobat. Apakah kau belum tahu?"
"Aku baru saja
tiba," menyahut Kong Thian. "Aku melihat orang di sini sedang repot
bekerja dan berbicara, aku lantas minta keterangan halnya tuan rumah mati
diracuni. Mereka itu belum beres menjelaskan ketika dikabarkan sampainya kau.
Apakah Tjit Im Kauwtjoe yang meracuni Bang Potjoe?"
"Memang! Dia meracuni
Bang Potjoe sampai binasa, lantas dia membikin Pektok Sinkoen roboh tidak
berdaya, dan akhirnya, dia melukakan Tjouw Thian Yauw. Dia pula telah
menyerahkan obat pemunah racun kepada musuh! Inilah perubahan yang aku tidak
sangka sama sekali!"
Yang Tjong Hay mengatakan
demikian karena ia belum tahu Pektok Sinkoen dan Tjit Im Kauwtjoe telah mati
bersama, tidak demikian, pasti dia bakal menjadi terlebih kaget dan heran pula.
Kong Thian terkejut hingga ia
lompat berjingkrak.
"Dia kasihkan obat itu
kepada siapa?" ia tanya keras. Inilah soal yang paling diperhatikannya.
Ketika itu Liong Kiam Hong
tidak dapat berkutik, tetapi ia sadar, maka itu, ia bisa mendengar nyata
pembicaraannya duajago itu. Ketika itu tepat baru lewat enam jam dari totokan
yang terbelakang, maka diam-diam ia mengerahkan tenaga dalamnya, guna membebaskan
diri. Kalau tadinya ia meram saja, mendadak ia membuka matanya dan terus
mengeluh keras: "Tjit Im Kauwtjoe, kasihan kau mati bersengsara! Yang
Tjong Hay, oh, bangsat! Kaulah manusia dengan peparu anjing dan hati srigala!
Bagaimana kau berani membinasakan soetjie-mu sendiri?"
Kong Thian kaget.
"Eh, apa katamu?"
dia tanya bengis.
Kiam Hong mengawasi manusia
raksasa itu.
"Ah, kau... kau..."
katanya, suaranya dibikin parau. "Hm, kiranya Yang Tjong Hay mempunyai kau
sebagai tulang punggungnya! Pantaslah dia berani membinasakan
soetjie-nya!..."
Pandai sekali Nona Liong
berpura-pura bagaikan orang baru mendusin.
Air mukanya Kong Thian
berubah. Dia kaget dan heran.
"Eh, Lao Yang, bagaimana
ini?" dia tanya Tjong Hay.
"Jangan percaya
obrolannya!" menjawab Tjong Hay cepat.
"Kaulah yang
ngebrahol!" kata Kiam Hong nyaring. "Kau sudah merampas obat
pemunahnya Pektok Sinkoen, kau juga sudah mengambil kitab Pektok Tjinkeng
kepunyaan Tjit Im Kauwtjoe! Biasanya seorang penjahat cuma membutuhkan uang
tetapi tidak menghendaki jiwa orang, kaulah lain! Kau sudah menghendaki banda
orang, kau pun merampas jiwanya, untuk menutup mulutnya! Kau jahat sekali, kau
tidak akan diterima Thian!"
"Tutup bacotmu!"
Tjong Hay berteriak. "Sudah kau mengakali obat pemunah dari Tjit Im
Kauwtjoe, sekarang kau hendak mempermainkan juga Le Toaya! Kau mesti dimampusi
terlebih dulu!"
Habis berkata, Tjong Hay maju
menghampirkan. guna menotok mati pada si nona.
"Tahan!" berseru Le
Kong Thian, yang mencegah secara tiba-tiba. Lalu dia mengawasi nona itu dan
tanya: "Bagaimana kau ketahui semua itu?"
"Aku melihatnya dengan
mataku sendiri!" menjawab si nona. "Aku mendapat perintah untuk
mencuri obat pemunah itu. maka terlebih dulu aku menyembunyikan diri di dalam
kuil itu. Pertama-tama aku melihat Pektok Sinkoen datang kepada Tjit Im
Kauwtjoe meminta obat. Pembicaraan mereka menyatakan mereka seperti suami
isteri. Pektok Sinkoen ingin akur kembali dengan isterinya. Tjit Im Kauwtjoe
menolak. Mereka menjadi bertengkar, akhirnya mereka berkelahi. Keduanya
sama-sama terluka. Sesaat kemudian datanglah Yang Tjong Hay bersama Tjouw Thian
Yauw. Di luar dugaan, mereka itu sangat rendah dan busuk, selagi orang terluka.
mereka membokong. Baru Tjit Im Kauwtjoe bertanya: 'Oh. kau. soetee!' lantas
punggungnya ditikam. Sial Tjouw Thian Yauw, yang bersama Yang Tjong Hay itu
mengepung dari depan dan belakang, dia terlukakan senjata rahasia Tjit Im
Kauwtjoe. Aku mel ihat Yang T j ong Hay menggeledah tubuhnya Tjit Im Kauwtjoe
dari mana ia mendapatkan kitab itu."
"Bagaimana kau bisa
ketahui kitab itu ialah Pektok Tjinkeng?" Kong Thian tanya.
"Sebab aku mendengar Tjit
Im Kauwtjoe, yang mendamprat, mengatakan: 'Kitab Pektok Tjinkeng ini aku hendak
menyerahkannya kepada Kiauw Pak Beng, kau berani mencelakakan aku, apakah kau
tidak takut Kiauw Pak Beng nanti mendapat tahu dan akan membunuhmu?' Tjit Im
baru berkata begitu atau ia lantas ditikam mati oleh Yang Tjong Hay."
Bukan kepalang mendongkolnya
Tjong Hay.
"Menyesal aku tidak
lantas membunuh padamu!" katanya dalam hatinya. Ia cuma bisa mengawasi
dengan bengis pada nona itu. Di saat demikian, ia bukan cuma tidak dapat
membunuh si nona, bahkan memutuskan perkataannya pun tidak. Jikalau ia berbuat
begitu, pasti Kong Thian akan mempercayai nona itu, ia dapat dituduh membunuh
untuk menutup mulut orang. Terpaksa ia
berlagak pilon. ia cuma
tertawa dingin.
Mendengar perkataannya Kiam
Hong, suram romannya Kong Thian.
"Yang Toako, apa
katamu?" dia menanya.
"Budak ini mengoceh
saja!" Tjong Hay jawab. "Dia telah menipu obatnya Tjit Im Kauwtjoe
tetapi dia menuduh aku!"
"Habis, mana itu obat
pemunah?" Kong Thian tanya.
"Entah budak ini
menyembunyikannya di mana! Aku
belum mendapatkannya."
"Benar," berkata
Nyonya Tjioe, yang sedari tadi diam saja. Ia mau membantui kawan itu. "Begitu
Yang Taydjin membekuk budak ini, aku lantas menggeledah tubuhnya, sampai ke
rambut kepalanya, tetapi obat itu tidak kedapatan."
Kiam Hong tertawa dingin.
"Setahu siapa yang ngoceh
tidak keruan!" katanya. "Dapatkah Tjit Im Kauwtjoe menyerahkan obat kepadaku?"
Kong Thian melirik pada Tjong
Hay.
"Yang Taydjin," ia
berkata, "jikalau kau hendak menelan bingkisan, kau ambillah itu obat
pemunah! Akan tetapi kitab Pektok Tjinkeng itu, ialah kitab yang dimaui
majikanku, maka aku minta sukalah kau keluarkan itu!"
Tjong Hay menjadi gusar
sekali.
"Jadinya kau percaya
obrolannya budak ini?" dia tanya.
"Benar, aku percaya
dia!" sahut manusia raksasa itu.
"Jikalau begitu, aku
tidak berdaya lagi," kata Tjong Hay, menyesal, tapi hatinya tetap
mendongkol. "Budak ini mengatakan yang tidak-tidak, apakah yang aku mesti
serahkan padamu?"
"Yang Taydjin, kau
main-main dengan aku!" kata pula Kong Thian keras. "Aku Le Kong
Thian, aku kenal kau, tetapi senjataku ini, tokkak tongdjin, tidak kenal
padamu! Mana obat itu, kau mau serahkan atau tidak?"
Yang Tjong Hay berniat keras
sekali membaiki Kiauw Pak Beng, supaya mereka berdua bisa bekerja sama dan ia
memperoleh hasil, untuk itu ia sudah berlaku sabar luar biasa, bahkan ia
merendah, tetapi ia tetap bekas seorang toatjongkoan. orang kepercayaannya
raja, ia berkepala besar dan jumawa, angkuh adatnya, maka itu tidak dapat ia
terima sikapnya Le Kong Thian ini, sedang Le Kong Thian --- biarpun dia gagah
--- dia cuma pengurus rumah tangganya Kiauw Pak Beng. Maka berkatalah ia dengan
dingin: "Le Koankee, jangan kau main gila terhadap aku! Aku dapat pergi
sendiri kepada majikanmu untuk berbicara!"
Le Kong Thian telah panas
hatinya, mendengar perkataan Tjong Hay itu, ia bagaikan api ditambahkan minyak.
"Yang Tjong Hay. kau
berani tidak melihat sebelah mata padaku?" katanya keras. "Aku bicara
baik-baik dengan kau karena aku masih memandang padamu, jikalau kau tidak
sungkan-sungkan lagi, baiklah, aku juga tidak sudi berlaku sungkan pula
terhadapmu! Jikalau kau tidak menyerahkan kitab Pektok Tjinkeng maka tokkak
tongdjin-ku ini yang akan minta kepadamu!"
"Le Kong Thian, kau
sangat menghina aku!" Tjong Hay berteriak saking gusarnya. "Kau
mempunyai tokkak tongdjin. di tanganku pun ada pedangku!"
Belum berhenti suaranya bekas
tjongkoan itu. maka tokkak tongdjin, ialah senjata yang berupa boneka kuningan,
dari si manusia raksasa, sudah menyambar kepadanya. Ia tidak berayal untuk
menangkis, hingga kedua senjata beradu keras, hingga terdengar suara
"traang" sangat nyaring dan lelatu api pun berpeletikan. Justeru itu.
Tjong Hay merasakan telapakan tangannya sakit.
"Baiklah!" serunya.
"Kau jangan katakan aku tidak memandang persahabatan lagi!"
Kata-kata ini disusuli dengan
serangan pembalasan yang cepat sekali.
Le Kong Thian tidak sempat menarik
pulang bonekanya guna menangkis, dari itu ia cuma berkelit; sebenarnya ia
berkelit dengan sangat sebat akan tetapi, untuk kagetnya, ia merasa rambutnya
kena terbabat pedang lawan. Ia menjadi mencelos hati, kaget dan gusar, maka
sambil berseru, ia menyerang pula.
Tjong Hay melihat orang kalap,
ia berlompat mundur. Di dalam gusarnya, ia kata dalam hati kecilnya: "Kau
yang mulai berlaku kurang ajar, maka itu Kiauw Pak Beng tidaklah nanti menyesal
aku sudah mengemplang anjing tanpa memandang lagi tuannya!" Maka ia lantas
melayani, untuk mana ia mesti mengeluarkan kepandaian ilmu pedangnya.
Pada sepuluh tahun yang lalu
Yang Tjong Hay ini menjadi satu di antara ke empat ki.amkek, meski benar ialah
yang terlemah, ia sudah liehay sekali, dan setelah berselang sepuluh tahun itu,
latihannya bertambah, hingga ia kini jauh terlebih liehay daripada dulu hari
itu. Le Kong Thian boleh tangguh sekali tetapi ia mesti menghadapi seorang yang
lincah, untuk sementara, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ah, benar-benar dia
liehay sekali," kata Yang Tjong Hay dalam hatinya. Ia telah membuktikan
ketangguhannya si manusia raksasa. Ia cuma dapat membela diri. Mulanya ia hanya
ingin mengasi rasa sedikit, lalu perselisihan disudahi dengan damai. Tidak
tahunya, Kong Thian menjadi seperti kalap. Tadi dia kena dipapas rambutnya, itu
rupanya terjadi karena dia alpa.
Juga Kong Thian kagum. Sia-sia
belaka ia mendesak. Baru sekarang ia menginsyafi, orang she Yang ini tidak
dapat dipandang enteng. Tadinya ia tidak takut siapa juga, orang satu-satunya
yang ia hormati ialah Kiauw Pak Beng yang menjadi gurunya berbareng majikannya.
Tapi mereka tidak mau berhenti
berkelahi. Kong Thian ingin mendapatkan Pektok Tjinkeng dan Yang Tjong Hay
hendak memegang derajat sebagai bekas toatjongkoan atau taykiamkek. Dengan
begitu, mereka berkelahi seru sekali. Si manusia raksasa menang tenaga dan
ulat, dan si kiamkek, ahli pedang, menang lincah dan latihan. Hebatnya
pertempuran mereka merusak hebat juga kursi meja dan lainnya dalam ruang itu.
Tjioe Tjiangkoei dan isterinya ketakutan, mereka menyembunyikan diri, sedang
kedua orangnya Bang Thong menyingkir jauh-jauh, tidak berani mereka datang
untuk memisahkan.
Kiam Hong sebaliknya girang
sekali melihat kesudahannya akal muslihatnya mengadu domba itu. Diam-diam ia
mengerahkan tenaga dalamnya, untuk berontak. Tambang yang dipakai mengikatnya
tidak dapat bertahan. Mulanya ia loloskan sebelah tangannya, lalu ia memutuskan
tambang itu. Perbuatannya itu tidak ada yang lihat. Ia menunggu sampai Tjong
Hay dan Kong Thian pindah ke pojok, mendadak ia berlompat bangun, untuk
menolongi memutuskan belengguan atas dirinya Lauw Wan Tat, setelah mana, ia
ajak kawan itu kabur.
Yang Tjong Hay kaget, ia
lompat meninggalkan Kong Thian, untuk mengejar. Ia berlompat sambil berseru.
Atas itu, si manusia raksasa turut memburu.
"Le Kong Thian, perlu apa
kau mengejar aku?" berkata Kiam Hong sambil berlari. "Obat tidak ada
padaku!"
Kong Thian melengak, lalu dia
berteriak: "Yang Taydjin, jangan kau menggunai alasan untuk merat! Kau
serahkan dulu obat dan kitab!"
"Celaka betul!"
Tjong Hay membanting kaki, mendongkolnya bukan kepalang. "Sampai ini waktu
masih kau melibat aku!"
Kiam Hong dan Wan Tat tidak
perduli orang bertengkar, mereka lari terus, keluar dari pintu. Di depan rumah
ada dua ekor kuda, mereka lompat menaiki seorang satu, terus mereka
mengaburkannya.
Yang Tjong Hay mendesak dengan
dua tabasan pergi pulang, hingga ia berhasil mendesak Kong Thian, lantas ia
berteriak: "Mari kita bekuk dulu itu budak! Sebentar kita bertempur pula,
masih belum kasip! Berapa hari juga kau ingin bertarung. Le Toaya. aku si orang
she Yang akan melayanimu!"
Kong Thian beradat keras
tetapi ia masih dapat berpikir.
"Ya, untuk mendapat
kesudahan, kita harus bertempur sedikitnya seribu jurus," pikirnya. Maka
ia memberikan jawabannya: "Baiklah! Mari bekuk dulu itu rase kecil,
sebentar sepulangnya, baru aku berhitungan sama kau, rase tua!"
Kudanya Tjong Hay dan kuda si
nyonya telah dibawa kabur, maka itu terpaksa mereka mengejar sambil berlari-lari.
Keduanya menggunai kepandaian mereka meringankan tubuh. Dalam beberapa lie yang
pertama, mereka dapat mendekati kedua penunggang kuda yang lagi kabur itu.
Sembari kabur, Lauw Wan Tat
memutar tubuhnya ke belakang, sembari mutar ia menimpuk dengan dua butir batu
hoeihong sek. Ia bertenaga besar, ia dapat menimpuk jauh belasan tombak. Tapi
Tjong Hay liehay, meski datangnya batu hebat, dia dapat menanggapi dengan
mengulur tangannya, sembari tertawa mengejek, dia membalas menimpuk. Hanyalah
dia kalah pandai dan kalah tenaga, batu itu jatuh di belakang Wan Tat tanpa
mengenai sasarannya.
"Lihat aku!" berseru
Kong Thian sambil tertawa. Ia lantas mengayun tangannya. Ia bukan menimpuk
dengan batu hanya dua batang anak panah pendek.
Anak panah jauh terlebih enteng
daripada batu tetapi Kong Thian bertenaga besar dari bakatnya, dia menang
berlipat kali daripada Lauw Wan Tat, meskipun dia menyerang dengan senjata yang
enteng itu, meluncurnya anak panah toh sangat pesat, hingga mengeluarkan suara
angin menderu. Kedua anak panah itu bahkan lewat di atasan kepalanya
hoetjeetjoe itu, terus menjurus ke arah Nona Liong.
Kiam Hong mendengar suara dan
melihat datangnya anak-anak panah itu.
"Bagus!" katanya
sambil tertawa, sembari ia menunjuki kepandaiannya Ialah dengan lincah ia
berkelit, selagi anak panah lewat, ia menyambar dengan kedua tangannya,
menangkap itu. Begitu lekas ia sudah duduk tegak pula di punggung kuda, ujung
anak panah ditusukkan ke kempungan kudanya, hingga binatang itu menjadi kaget
dan, kesakitan, terus berjingkrak, untuk berlompat lari larat!
Lauw Wan Tat dapat melihat si
nona, ia segera mencontoh, hanya ia bukan mcnggunai panah tetapi menusuk
kudanya dengan golok, hingga kuda itu kabur keras sekali.
Biar bagaimana, tenaga manusia
tidak dapat melawan tenaga kuda
"Dasar kau!" berkata
Tjong Hay, mendongkol, kepada si manusia raksasa. Dia kewalahan menguber terus.
"Kenapa kau percaya ocehannya bocah licik itu? Lihat sekarang, bebek yang
sudah matang dapat pergi terbang! Bingkisan tidak bakal didapat, kitabmu pun
lenyap!"
"Mana aku tahu dia
mendusta?" kata Kong Thian, melawan. "Eh, bukankah obat dan kitab
padamu?"
"Celaka!" Tjong Hay
berseru. "Apakah kau tetap masih tidak percaya aku? Jikalau bukannya dia
mendusta perlu apa dia merat?"
"Tapi mana dapat Tjit Im
Kauwtjoe memberikan obat kepadanya?" balik menanya si manusia raksasa.
"Kau tidak percaya!"
Mereka bertengkar pula hampir
senjata mereka bentrok lagi. Tjong Hay menahan kemendongkolannya. Dia kata:
"Jikalau kau tetap tidak percaya, mari kita pergi ke gunungnya
TjioeSanBin!"
Kong Thian bersangsi.
"Jangan takut!" kata
Tjong Hay, separuh mengejek. "Thio Tan Hong, le Sin Tjoe dan Hok Thian
Touw, mereka semua tidak ada di gunung!"
"Kenapa aku mesti
takut?" berteriak Kong Thian gusar. "Kau berani, aku juga!"
Meski apa pun jua, mereka ini
berdua memerlukan satu dengan lain, maka itu, mereka menghentikan perselisihan
mereka
Ketika itu Kiam Hong dan Wan
Tat di lain pihak sudah kabur terus. Sangat lega hati mereka, hingga mereka
tertawa geli.
"Aku tidak mengerti,
nona, sebenarnya di mana kau simpan obat itu?" Wan Tat tanya kawannya
"Aku sembunyikan di
tempat yang kau tidak nanti dapat pikir," menyahut si nona "Sudah,
kita jangan omong saja, mari lekas turut aku mengambil pulang obat itu!"
Dan si nona mengaburkan kudanya.
Wan Tat heran tetapi ia
menurut. Ia mendongkol karena perlakuannya Yang Tjong Hay. Pula ia berkuatir
sebab peristiwa itu meminta waktu mereka. Ia takut nanti batas tempo sepuluh
hari keburu lewat. Maka dengan menutup mulut, ia melarikan kudanya mengikuti si
nona. Di tengah jalan itu, dua kali mereka menukar kuda mereka. Di hari kedua,
tengah hari, tibalah mereka kembali di Hoelietjip.
Kiam Hong menghentikan
kudanya, untuk diputar, guna meninggalkan jalan besar, buat mengambil jalan
kecil. Itulah jalan untuk memasuki dusun.
Wan Tat heran. Ia lantas
berkata: "Nona Liong, aku masih mempunyai bekalan rangsum kering, maka tak
usahlah kita bertambat di dalam dusun." Ia menyangka nona mau mencari
makanan untuk bersantap tengah hari.
Kiam Hong tertawa.
"Lauw Tjeetjoe, apakah
kau lupa pada Tjioe Tjiangkoei?" ia tanya.
"Oh. tidak, nona!"
menyahut tjeetjoe itu. "Tapi marilah kita pulang dulu untuk menolongi
orang! Sakit hati itu kita boleh tunda sampai lain hari, tidak nanti menjadi
kasip."
"Tidak!" kata si
nona. "Tidak dapat aku tidak menghajar dia! Aku mesti melampiaskan
kemendongkolanku!" Dan ia melarikan kudanya.
Wan Tat tidak setuju, tetapi
si nona sudah pergi, terpaksa ia mengikuti.
Pondokannya Tjioe Tjiangkoei
sekalian juga menjadi rumah makan. Di waktu tengah hari itu, tamu yang makan
sedang ramainya. Ketika Wan Tat bertindak masuk, Tjioe Tjiangkoei lagi repot
dengan papan hitungnya. Ia kaget hingga mukanya pucat tempo ia mengangkat
kepala dan mendapat lihat raja gunung itu kembali bersama si nona. Tanpa merasa
ia mengeluarkan jeritan, lantas ia mendak, untuk nelusup ke kolong meja.
Kiam Hong menghampirkan sambil
tertawa.
"Tjioe Tjiangkoei,
justeru kau mesti menghitung perhitungan kita, kenapa kau bersembunyi?"
katanya.
Lauw Wan Tat menghampirkan,
dia bukannya menanya, hanya dia membentak bengis, tangannya diulur ke kolong
meja, maka bagaikan tikus diterkam kucing, tubuhnya Tjioe Tjiangkoei ditarik
keluar.
"Tjeetjoe, ampun!"
berkata pemilik pondokan itu, suaranya parau, tubuhnya menggigil ketakutan
sangat.
"Bangsat kau!"
mendamprat Wan Tat. "Aku percaya kau, aku pandang sebagai orang sendiri,
tetapi kau justeru mencelakai aku!"
Kata-kata itu ditutup sama
melayangnya bogem mentah ke arah hidung, maka Tjioe Tjiangkoei lantas mengeluarkan
jeritan tertahan. Hidungnya itu melesak, mengeluarkan darah, bahkan matanya
mengalirkan darah juga.
Atas kejadian itu, semua
tetamu lainnya, yang kaget dan takut, lantas pada mengangkat kaki. Mereka
mengenali tjeetjoe itu, tidak ada yang berani campur tahu.
"Bagus!" berseru
Kiam Hong memuji. "Ketika di jaman dulu Lou Tie Tjim menghajar Tin Kwansee
pun tidak sebagai ini! Hanyajangan-jangan jahanam ini tidak kuat bertahan untuk
dua tiga kali tinju!"
Wan Tat belum puas, ia
menghajar pula. Kali ini ia mengarah punggung. Lagi sekali Tjioe Tjiangkoei
menjerit, tubuhnya lantas roboh terkapar, dari mulutnya menyembur darah hidup.
"Ampun... ampun..."
ia memohon berulang-ulang, seraya kedua tangannya dipakai menutupi kepalanya.
Kali ini ia tidak dihajar keras, kalau tidak, tentulah tubuhnya itu sudah
ringsak dan jiwanya mungkin terbang melayang...
"Dengan memandang Nona
Liong, aku menunda tinjuku yang ketiga!" berkata Wan Tat. "Jikalau
kau kembali berani main gila, hingga kau merugikan pihakku, akan aku ambil jiwa
anjingmu!"
Tjioe Tjiangkoei
mengangguk-angguk menyatakan tidak berani lagi.
"Nona Liong, puaskah
kau?" Wan Tat tanya si nona. "Nah, mari kita pergi!"
"Masih ada lagi!"
berkata Kiam Hong, tertawa.
Hoetjeetjoe itu heran hingga
ia melongo.
"Ada lagi?"
tanyanya. "Apakah kau hendak mengubrak-abrik pondokannya ini?"
"Itulah tidak usah!"
berkata si nona. "Aku minta kau menghajar dan membelah saja mejanya
ini!"
"Buat apakah merusak meja
ini?" tanya Wan Tat, tetap heran.
"Aku melihatnya tidak
puas. Kau hajarlah!"
Wan Tat tetap heran, tetapi
karena si nona menginginkannya, ia menurut. Ia menghunus goloknya, dengan itu
ia membacok meja itu, dan ia mengulangi beberapa kali. hinggameja itu
terbelah-belah. Ia heran ketika ia melihat ada barangjatuh dari meja itu, dan
barang itu bercahaya.
Kiam Hong segera menjumput
barang itu, ialah kotak kemala yang indah.
"Kau toh tidak menyangka
obat pemunah itu disimpan di bawah hidungnya Tjioe Tjiangkoei?" katanya
tertawa.
Wan Tat tercengang.
Benar-benar ia tidak menyangka. Maka ia menjadi kagum bukan main, hatinya
girang sekali.
Itulah hasil kecerdasan dan
kecerdikannya Kiam Hong. Begitu si nona melihat munculnya Yang Tjong Hay, ia
menginsafi ancaman bahaya.
Selagi Wan Tat berbicara sama
bekas tjongkoan itu, dengan diam-diam, tetapi dengan sebat, ia mengeluarkan
kotak kemala itu, untuk disesapkan di bawah meja di mana ada bertumpuk banyak
buku lama yang telah penuh debu. Tjong Hay boleh sangat licin tetapi ia tidak
pernah menduga akan kepintaran si nona.
Melihat kotak kemala itu,
Tjioe Tjiangkoei menjadi sangat menyesal, hingga ia kata di dalam hatinya:
"Sudah sekian lama aku hendak menyingkirkan semua buku tua itu, siapa tahu
selama ini dua hari aku repot terus, hingga sekarang..."
Selagi si pemilik pondokan menyesal
dan berduka. Wan Tat girang bukan main. Dia menunjuki jempolnya, dia tertawa
lebar.
"Nona Liong, hebat
kau!" dia memuji. "Akulah seorang Kangouw ulung tetapi aku mesti
menyerah kalah!"
Di samping mereka ada sebuah
meja, yang telah tersajikan barang makanan, di atas sebuah piring ada dua ekor
ayam panggang, Wan Tat menyambar itu seraya berkata: "Barang santapan
sudah sedia! Mari, kita dahar sembari jalan!"
Kiam Hong menurut. Maka
keduanya pergi keluar, untuk naik pula kuda mereka, buat dikasih lari keras.
Di tengah jalan, Wan Tat
memuji pula si nona. Tapi, di lain pihak, hatinya bergelisah, maka ia tidak
bisa tertawa seperti tadi-tadinya. Ia berkuatir karena hari ke sepuluh sudah
tiba!
Perjalanan dilakukan terus
menerus. Dua kali mereka menukar kuda di perhentian. Malam pun mereka tidak
singgah lagi. Dengan begitu besoknya, lewat tengah hari, tibalah mereka di
gunung. Ketika itu sudah hari yang kesebelas!
Di depan benteng ada paseban
peranti menyambut tetamu yang menj aga di situ Pek Hong Hoan, ketika dia
melihat tibanya dua orang itu, girangnya bukan buatan. Dia lari menyambut,
katanya: "Baru tadi pagi dua tauwbak Thio dan Lie pulang dengan warta
bahwa djiewie telah kena orang akali di Hoelietjip, maka sekarang kami lagi
mendamaikan soal membawa pasukan untuk menyerbu Bang keepo, tidak disangka
djiewie telah kembali dengan lekas!"
Kiam Hong tidak sempat
berbicara.
"Bagaimana dengan Tjioe
Tjeetjoe?" begitu ia tanya.
Mukanya orang she Pek itu
menjadi guram dengan tiba-tiba.
"Sampai kemarin mereka
bertiga masih dapat ber-omong," sahutnya, "tetapi hari ini, beberapa
kali mereka tak sadarkan diri, tubuh mereka sebentar dingin dan sebentar panas,
hingga bubur pun mereka tidak dapat dahar, mereka cuma bisa menghirup sedikit
susu..."
Mendengar itu, hati Kiam Hong
lega.
"Oh, Thian, terima
kasih!" pujinya. "Syukur belum kasip!..."
Lantas nona ini berlari-lari
memasuki benteng.
Di Tjiegie thia, sudah
berkumpul semua tauwbak.
"Jangan kuatir! Jangan
kuatir!" Wan Tat berkata berulang-ulang begitu ia bertindak memasuki ruang
rapat itu. "Nona Liong sudah mendapatkan obat!..."
Baru ia berseru itu, atau
mendadak ia roboh sendirinya, hingga semua orang kaget, tetapi ketika orang
memburu, mendekati ia nyata ia rebah sambil menggeros!
Bukan buatan letihnya Wan Tat
dan KiamHong, mereka pun ngantuk, sebab sudah dua hari dan dua malam mereka
tidak tidur barang sedikit, setelah hatinya lega hoetjeetjoe itu tidak dapat
bertahan lagi, ia roboh untuk terus tidur. Tidak demikianlah si nona, yang
hatinya keras memikirkan Giok Houw.
Di dalam, Kiam Hong disambut
Tjoei Hong, yang merangkul padanya.
"Oh, adikku, kau capai
sekali!" berkata nyonya itu sambil air matanya keluar bercucuran.
"Sebentar kita
bicara!" berkata Kiam Hong. "Mari kita lihat dulu pada
TjioePeehoe!"
"Baiklah kau lihat Giok
Houw dulu!" berkata Nyonya Tjioe.
"Tidak! Tjioe Peehoe
kepala gunung, dia mesti ditolong paling dulu!"
Mendengar begitu, Tjoei Hong
lega hatinya dan kagum juga.
"Baiklah kalau
begitu," katanya "Mari lihat peehoe-mu dulu!"
Semua orang di gunung telah
melihat perhubungan erat di antara Kiam Hong dan Giok Houw. Tjoei Hong tidak
menjadi kecuali, itu sebabnya Nyonya Tjioe mengajak si nona menolong dulu si
anak muda. Tidak tahunya Kiam Hong mengenal keadaan, dia dapat menguasai dirinya
San Bin mendapat kamar
sendiri, tak leluasa untuk orang banyak masuk ke dalam kamarnya itu, maka itu,
yang masuk terus cuma Tjoei Hong bersama Kiam Hong serta Kok Tiok Kin yang
mengerti ilmu ketabiban.
Ketika Kiam Hong tiba di depan
pembaringan, ia lantas melihat muka San Bin bersemu hitam gelap, di alisnya ada
titik-titik, hawanya pun bau seperti bau hangus. Ketika itu, panas tubuhnya
sedang menaik. Maka kagetlah ia.
"Syukur mereka bertiga,
ketika itu hari mereka bertempur, sebelumnya mereka sudah makan pel PeklengTan
yang terbuat dari teratai salju," berkata Tiok Kin. "Jikalau tidak,
tidak nanti mereka sanggup bertahan sampai hari ini..."
Kiam Hong tidak bilang
apa-apa, hanya ia mengeluarkan kotak kemalanya untuk segera membuka tutupnya.
Begitu tutup itu terbuka, rupanya ia menjadi kaget sekali.
Tjoei Hong pun kaget, saking
herannya.
"Apakah isinya ini obat
pemunah racun?" ia menanya perlahan, matanya mengawasi si nona dan obat
bergantian. "Apakah tak salah?"
Isi kotak itu cuma tiga butir
pel warna hijau, yang dua masih utuh, yang ketiga tinggal separuh. Inilah yang
membuatnya Kiam Hong kaget. Ia ingat sekarang, yang separuh itu ada sisa yang
telah dimakan Tjit lm Kauwtjoe, yang melepehkan itu dengan tiba-tiba selagi dia
memakannya. Ia tidak menyahuti Nyonya Tjioe, hanya ia berkata dalam hatinya:
"Kemarin ini Tjit Im Kauwtjoe membutuhkan obat ini guna menolong jiwanya
tetapi dia... dia.. dia hendak menolongi orang yang dicintai puterinya, serta
sahabat-sahabatnya orang itu, maka dia meninggalkan separuh pel ini... Ah,
ketika itu aku tidak sadar bahwa obat yang dibutuhkan kedua pihak adalah obat
yang serupa, ialah obat ini..."
Nona ini ingat benar, ketika
itu ia lagi menjelaskan hal terlukanyaThio Giok Houw oleh pukulan beracun
Kioeyang TokTjiarig, mendadak Tjit Im Kauwtjoe melepehkan sisa obat itu, nyonya
itu telah mendustakan anaknya, hingga ia sendiri turut terpedayakan. Sekarang
ia ingat, pantas Tjit Im Kauwtjoe memesan, obat itu mesti diberikan satu butir
pada satu orang. Habis, bagaimana dengan orang yang ketiga? Cukupkah
kekuatannya itu separuh butir, untuk menyembuhkan orang yang ketiga itu? Pula,
siapakah yang harus dipertaruhkan jiwanya dengan diberikan obat yang sepanahnya
itu?
Pertanyaannya Nyonya Tjioe itu
bernada gelisah, Kiam Hong kena dibikin sadar dari kaget dan ngelamunnya itu.
"Memang, inilah obat
pemunah," ia menjawab.
Meski ia telah memperoleh
jawaban, Tjoei Hong tetap heran.
"Eh, mengapa air matanya
mengalir?" tanyanya di dalam hati. "Kelihatannya itu bukannya air
mata kegirangan..."
Memang juga Kiam Hong tidak
dapat mencegah air matanya mengembeng dan mengalir. Ia rupanya dapat melihat
keheranan nyonya itu, lekas-lekas ia menepas air matanya
"Inilah obat yang ditukar
Tjit Im Kauwtjoe dengan jiwanya sendiri," ia menjelaskan. "Sebentar
sesudahnya menolongi peehoe, nanti aku omong terlebihjauh..."
Cuma sebegitu yang nona ini
dapat terangkan, tidak mau ia menjelaskan bahwa obat itu tinggal dua butir
setengah...
Kulit dan daging di mukanya
San Bin sudah mulai keras, maka untuk mengasi dia makan obat, dia mesti
dicekoki. Tjoei Hong memaksa membuka mulutnya suaminya itu. Obat dikasih masuk
setelah diaduk dengan air hangat. Habis itu, semua orang berdiam, untuk
menantikan bekerjanya obat.
Orang tidak usah menanti lama
akan menyaksikan mukanya ketua gunung itu berubah dari bersemu gelap menjadi
sedikit terang, tandanya mulai lenyaplah hawa yang hitam itu, sedang napasnya
tidak selemah tadi. Bahkan lagi sesaat, dia dapat membuka matanya yang tadinya
terus dimeramkan.
Kok Tiok Kin lantas meraba
nadi tjeetjoe itu, lalu terlihat dia bersenyum.
"Sungguh mustajab obat
pemunah ini!" katanya, memuji. "Nadinya tjeetjoe sudah berjalan pula
seperti biasa lagi. Aku rasa, lewat dua hari, dia akan sudah dapat turun dari
pembaringan..."
San Bin mengawasi semua orang.
Ia melihat Nona Liong. Tahulah ia bahwa si nona yang sudah menolong padanya.
Dengan sinar matanya, ia mengutarakan rasa terima kasihnya pada nona itu. Lalu
ia mengangkat tangannya, menggapai perlahan kepada isterinya.
Tjoei Hong menghampirkan. Ia
pun memasang kupingnya, karena suami itu ingin bicara berbisik. Habis itu ia
mengangguk, terus ia menarik tangannya Nona Liong, katanya: "Peehoe-mu
memikirkan Giok Houw, ia minta kau pergi lekas melihatnya."
San Bin belum dapat bicara
keras, maka itu ia berbisik pada isterinya itu.
Kiam Hong bersyukur berbareng
berduka sekali.
"Suami isteri ini
mengetahui aku, mereka sangat memperhatikannya, tetapi, mereka mana tahu
hatiku?" katanya dalam hatinya. Ia sangat bingung. "Obattinggal satu
setengah... Siapa aku mesti tolong lebih dulu? Entjie In Hong atau Giok
Houw?"
Tjoei Hong masih memegangi
tangan si nona, yang ia tuntun, untuk diajak pergi kepada Giok Houw. Mendadak
Kiam Hong berkata: "Peebo marilah kita lihat entjie In Hong dulu!..."
Untuk sejenak, Tjoei Hong
tercengang, tetapi lantas juga ia tertawa.
"Kau tidak usah malu,
tidak nanti ada orang mentertawaimu," katanya. "Baiklah kau tengok
dulu engko Giok Houw kau itu. Sudah beberapa hari kamu berdua tidak bertemu,
aku tahu kau tentulah memikirkan sangat kepadanya."
"Benar, aku memang
memikirkan dia," menyahut si nona. "Tapi sekarang, aku mesti lihat
entjie In Hong dulu!"
Tjoei Hong heran, tetapi ia
turut si nona.
In Hong masih tak sadarkan
diri, ketika Tjoei Hong dan Kiam Hong bertindak masuk ke dalam kamarnya,
justeru ia lagi berkata-kata ngelindur, suaranya perlahan: "Thian Touw...
Thian Touw... kau datang?... Apakah kau masih menyesalkan aku?..."
Mendengar itu, pedih hati Nona
Liong.
"Pada sepuluh tahun yang
lalu, usiaku belum cukup sepuluh tahun," katanya dalam hatinya.
"Ketika ibu membawa aku lari, hampir aku mati kelaparan di dalam kobakan,
maka syukurlah entjie In Hong telah menolongi kami ibu dan anak, sampai ibuku
menjadi tauwbak di dalam bentengnya. Ketika rombongannya dibubarkan, entjie In
Hong mengajak kami ke gunung Thiansan. Selama sepuluh tahun bukan saja ia
mengajarkan aku ilmu silat, ia pun menganggap aku seperti adik kandungnya, ia
menyuruh aku memanggil entjie padanya, ia larang aku memanggil soehoe. Dan
budinya yang sangat besar itu, belum dapat aku membalasnya... Entjie In Hong
berselisih dengan Hok Toako, sekian lama mereka belum pernah bertemu lagi satu
dengan lain, kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya, pasti entjie mati tak
meram dan Hok Toako juga akan menyesal seumur hidupnya..."
Memikir sampai di situ,
tetaplah pikiran nona ini. Maka ia membuka kotak kemalanya, ia mengeluarkan
sebutir obat pemunahnya, setelah mengaduki obat itu, ia mencekokinya dimulut
itu entjie angkat yang berbudi. Begitu lekas juga ia memutar tubuhnya dan kata
sambil terisak-isak pada Tjoei Hong: "Peebo, tolong kau jagai entjie In
Hong, sekarang aku mau lihat engko Houw!..."
Nyonya Tjioe melihat air mata
orang mengembeng, ia heran bukan main.
"Ah, kenapakah dia?"
pikirnya. "Dia telah mendapatkan obat, kenapa tingkah lakunya jadi berubah
begini?"
Nyonya San Bin ini tidak
mengetahui sakitnya hati Nona Liong itu.
Kiam Hong berjalan cepat
sekali ke kamarnya Giok Houw di dalam hatinya cuma ada ini pujiannya:
"Semoga ini setengah butir obat dapat menolong jiwanya... Jikalau tidak,
bukan saja aku mesti merasa menyesal terhadapnya sendiri, aku mesti menyesal
juga terhadap Tjit Im Kauwtjoe!..."
Ketika ia tiba di dalam kamar
dan melihat mukanya Giok Houw, kagetnya Kiam Hong tidak terkira-kirakan. Pemuda
itu hitam seluruh mukanya, muka itu perok sekali, kedua matanya celong. Ketika
ia menghampirkan, ia merasakan serangan hawa panas dari tubuh si anak muda.
Teranglah, di antara tiga, dialah yang sakitnya paling parah.
Kiam Hong duduk di tepi pembaringan,
di sisi si anak muda, air matanya mengetes jatuh ke muka pemuda itu, akan
tetapi Giok Houw tidak merasakan itu, dia diam saja. Hati si nona memukul
keras. Dengan hati-hati ia membuka mulut anak muda itu, lalu iamenuang adukan
obat.
Habis itu, ia berdiam
mengawasi, menantikan.
Kira lamanya sebakaran
sebatang hio, terlihat tubuh Giok Houw berkutik menggigil, lalu mendadak dia
bergerak, dari mulutnya keluar teriakan: "Aduh, sakit!..."
Nona Liong kaget berbareng
girang.
"Dia merasa sakit,
bagus..." katanya dalam hati.
Setelah itu, tubuh Giok Houw
tidak mau berdiam. Dia bergulak-gulik terus di atas pembaringannya, tubuhnya
itu mengeluarkan banyak keringat. Hanya aneh, keringat itu berwarna merah.
Sebab itulah darah segar. Pula, hawa panas tubuh itu meningkat.
Kiam Hong bingung bukan main.
Tak tahu ia caranya untuk melenyapkan, atau sedikitnya, mengurangi rasa sakit
pemuda itu. Ia berkuatir, ia menyesal, ia merasa hatinya sendiri seperti
disayat-sayat...
Lagi lewat sekian detik,
tiba-tiba Giok Houw membuka matanya. Ia mengawasi Kiam Hong, tangan siapa ia
sambar.
"Kau, entjie Liong?"
tanyanya, agaknya ia heran. "Apakah aku bukannya lagi bermimpi?"
"Benar, engko Houw,
inilah aku!" menyahut si nona, cepat. "Aku baru pulang! Bagaimana kau
rasai dirimu?"
Nampaknya semangat si anak
muda terbangun. Sebenarnya ia merasa sakit tetapi ia tidak merintih atau
mengeluh.
"Katanya kau pergi kepada
Tjit Im Kauwtjoe untuk meminta obat, apakah kau telah berhasil mendapatkan obat
itu?" ia tanya. "Apakah Tjioe Tjeetjoe dan entjie Leng sudah
sembuh?"
"Aku telah mendapatkan
obat pemunah itu dan telah dikasihkan makan pada Tjioe Tjeetjoe dan entjie
Leng," Kiam Hong mengasi keterangan. "Mungkin lagi dua hari mereka
akan sudah sembuh. Hanya... hanya..."
"Bagus!" berkata si
pemuda. "Apa lagi yang kau buat kuatir? Hanya... hanya apakah itu?"
"Sekarang ini aku
menguatirkan kau," sahut si pemudi di dalam hatinya. Tapi ia tidak berani
mengutarakan itu.
Giok Houw memandang tajam pada
nona di depannya itu.
"Mestinya ada apa-apa
yang kau pikirkan?" katanya. "Ah, kenapa kau hendak sembunyikan itu
dari aku?..."
Tanpa dapat ditahan lagi, Kiam
Hong menangis.
"Engko Houw, aku
menyesal..." katanya. "Aku menyesal terhadap kau..."
"Kau bilanglah! Apa juga,
aku tidak nanti sesalkan kau..."
"Tjit Im Kauwtjoe telah
memberikan obatnya, itu sebenarnya untuk menolongi kau," Kiam Hong bilang
dengan terus terang. "Tapi obatnya itu tinggal dua butir setengah... Aku
telah memberikan satu butir kepada Tjioe Tjeetjoe dan sebutir pula kepada
entjie In Hong, tinggal yang setengahnya, aku berikan itu kepada kau... maka
aku membikin kau menderita..."
"Tepat perbuatan kau itu,
entjie Liong!" berkata si anak muda. Sebaliknya dari kaget dan
menyesalkan, ia justeru memuji. "Jikalau kau tidak berbuat demikian,
seumurku, tidak nanti aku memberi maaf kepadamu!"
Kiam Hong mencekal tangan
orang, ia memegang erat-erat.
"Ah, engko Houw, kau baik
sekali!..." katanya terisak.
"Apakah hal ini kau ada
omongkan dengan lain orang?" tanya Giok Houw.
"Tidak."
"Kalau begitu, jangan kau
omong sama lain orang, terutama, jangan sampai mereka mendapat tahu."
Kiam Hong tahu maksudnya
pemuda ini, ialah agar San Bin dan In Hong tidak mengetahui itu, kalau tidak,
tentulah mereka itu menjadi tidak enak hati. Karena ini, ia menjadi bertambah
menyintai ini pemuda gagah, yang rela berkurban untuk kawan-kawan.
Selama itu. tidak ada orang
yang datang pada ini sepasang muda-mudi. Tjoei Hong mendapat pikiran untuk
melongok, tetapi ia menunda niatnya itu. Ia hendak mengasi ketika agar mereka
itu dapat bertemu lama dan bicara banyak. Baru belakangan, setelah ingat si
nona sangat letih dan ngantuk, iamintajugaTiokKin pergi melihat, untuk orang
she Kok ini menggantikan menemani si anak muda.
Akan tetapi Kiam Hong tidak suka
beristirahat. Ia justeru menanyakan Tiok Kin tentang keadaannya San Bin dan In
Hong. Lega hatinya kapan ia memperoleh jawaban bahwa Tjioe Tjeetjoe mendapat
kemajuan baik. Bahkan ia lantas pergi melihat tjeetjoe itu, sekalian ia
menuturkan perbuatannya dan segala kejadian yang berhubung dengan usahanya
mendapatkan obat pemunah racun itu.
Orang pada menepas air mata
kapan mereka sudah mendengar nasibnya Tjit Im Kauwtjoe.
"Siapa sangka Tjit Im
Kauwtjoe ialah orang yang hatinya demikian mulia," kata San Bin menghela
napas. "Ketika baru ini puterinya melukai Tjie Hiap, hatiku sakit dan aku
benci dia sebagai seorang hantu wanita jahat tak berampun. Buat omong dengan
terus terang, syukur aku tidak tahu yang kau, Nona Liong, telah pergi kepadanya
untuk minta obat, jikalau tidak, biarnya aku mati, tidak nanti aku mengijinkan
kau pergi! Ah, sungguh di luar dugaan, ia yang nampaknya demikian sesat, ia
justeru berani mengurbankan jiwa sendiri untuk menolongi jiwa lain orang, dan
jiwaku justeru ditolong oleh orang yang aku tidak pandang mata itu! Sekarang
ini aku harus merasa malu, aku sangat bersyukur terhadapnya..."
"Yang sudah menutup mata
tinggal menutup mata," berkata Tjoei Hong, "sekarang kita harus
membalas budinya Tjit Im Kauwtjoe, ialah kita harus dapat membantu puterinya
yang yatim piatu itu... Oh, ya, masih ada itu anak laki-laki putera
sahabatnya."
"Benar," Kiam Hong
setuju. "Puterinya itu, Sioe Lan, sungguh harus dikasihani. Mereka berdua,
ibu dan anak, hidup saling mengandal, tetapi sekarang, Sioe Lan tinggal
sebatangkara, bahkan dia harus senantiasa berada di dalam kekuatiran, oleh
karena ia harus melindungi kitab Pektok Tjinkeng yang diarah dan hendak
dipunyai oleh Kiauw Pak Beng. Memang benar. Ban Thian Peng pun harus
dikasihani, sebab dia telah menjadi yatim piatu dan sakit hati orang tuanya
belum dapat terbalas. Ketika Tjit Im Kauwtjoe hendak menghembuskan napasnya
yang terakhir, dia menerima anak itu sebagai anaknya sendiri, maka itu, kita
pun harus pandang ia sebagai putera tunggalnya."
San Bin berbangkit untuk
berduduk. Ia membuka lebar kedua matanya.
"Aku akan bertanggung
jawab untuk itu kedua anak-anak," ia berkata, sungguh-sungguh. "Tjie
Hiap, pergi kau memapak dan menyambut mereka datang ke gunung kita ini. Paling
dulu pernahkan dirinya
Nona Im itu, setelah itu kau
mencoba menyelidiki siapa orang yang membunuh ayahnya Thian Peng itu, supaya
kita bisa berdaya untuk menolong membalaskan sakit hatinya."
Tjie Hiap baru saja pulang
habis bertugas menjaga dan meronda di gunung belakang, dia berada di dalam
kamar ayahnya untuk sekalian menemani ayahnya itu, ketika ia mendengar titah
ayahnya, ia nampaknya likat. Ia ingat lelakonnya dengan Sioe Lan.
"Apa?" tanya sang
ayah, yang melihat tingkah lakunya itu. "Apakah kau masih memandang dia
sebagai musuh?"
"Tidak, ayah,"
menyahut sang anak. "Aku akan melakukan titah ayah."
"Nah, begitu baru betul!
Kita bangsa ksatrya, kita harus berbuat baik terhadap siapa juga, jangan kita
mengingat terus kejahatan lain orang! Pula mereka itu, mereka ibu dan anak, telah
melepas budi besar terhadap kita."
"Kemarin ini aku
berangkat kesusu," berkata Kiam Hong, "sayang aku tidak menanya Sioe
Lan hendak pergi ke mana. Pernah aku undang ia untuk datang kesini,
kelihatannya ia kurang setuju. Aku kuatir, setelah mengubur jenazah ibunya, ia
bakal merantau entah ke mana..."
"Tentang itu tak usah
kita terlalu buat kuatir," Tjoei Hong bilang. "Kita mempunyai banyak
orang. Tunggulah lagi dua hari, jikalau ayahnya Tjie Hiap sudah sembuh, kita
nanti mengirim orang, kita minta Tie Hiotjoe dari Kaypang bersama Tjie Hiap
membantu mencarinya. Aku percaya nona itu bakal dapat diketemukan." Ia
hening sejenak, akan menoleh kepada Kiam Hong dan tertawa. Terus ia
menambahkan: "Mari aku temani kau melihat pula Giok Houw, jikalau tidak,
aku kuatir malam ini kau kembali bakal tidak tidur! Kau tahu, kau telah bekerja
keras sekali, sudah seharusnya kau beristirahat."
Biar bagaimana, Kiam Hong toh
merasa likat, tetapi ia turut nyonya itu, untuk kembali ke kamarnya Giok Houw.
Masih saja wajahnya pemuda she
Thio itu hitam gelap, hanya sekarang dia dapat tidur. Kiam Hong meraba
tangannya, ia terkejut. Tangan pemuda itu sangat dingin. Ia berkuatir sekali.
Tjoei Hong sangat heran.
"Bagaimana,"
katanya, "dia makan obat serupa yang dimakan ayahnya Tjie Hiap dan In
Hong, kenapa dia tidak lekas sembuh?"
Kok Tiok Kin pun heran.
"Apakah kau berikan obat
pemunah yang sama?" ia tanya Kiam Hong, perlahan.
"Ya," sahut si nona
singkat, suaranya pun sangat perlahan.
"Apakah kau masih
mempunyai obat itu?" Tiok Kin tanya pula.
"Semuanya cuma tiga butir
itu, didapatnya dari tubuh Pektok Sinkoen yang digeledah," sahut pula si
nona. "Kok Sinshe, bagaimana kau rasa penyakitnya ini? Aku minta kau omong
terus terang."
Tiok Kin mengasi lihat roman
berduka.
"Mungkin dia terluka
hebat luar biasa," sahutnya setelah bersangsi sejenak.
Lukanya Giok Houw memang lebih
hebat tetapi bukanlah luar biasa, Tiok Kin tidak ketahui duduknya hal, pasti ia
heran. Kiam Hong sebaliknya, pedih hatinya.
"Jikalau tenaganya obat
kurang, apakah itu dapat membahayakan?" nona ini tanya. Hatinya telah
menjadi kecil.
"Sukar untuk
dibilang," menyahut orang yang ditanya. "Dia terkena tangan Kioeyang
TokTjiang, racunnya itu hebat sekali, mungkin obatnya yang bersifat sangat
dingin dicampur sama obat lain yang dapat membuyarkan hawa panas, hanya
disebabkan kekuatan obat kurang, hawa panasnya tidak dapat diusir, lalu
sebaliknya, dingin dan panas bentrok, maka telah terjadi si sakit, sebentar dia
kedinginan, sebentar dia kepanasan, hingga dia mesti menderita lebih banyak.
Barusan aku telah berikan dia obat tidur, supaya dia dapat beristirahat, yang
mana pun dapat mengurangkan sedikit penderitaannya itu. Tentang kemudiannya,
aku tidak bisa bilang apa-apa."
Kiam Hong berkuatir bukan
main. Maka malam itu, selagi tidur, ia bermimpi hebat. Ia mimpi Tjit Im
Kauwtjoe datang padanya, menegur ia sebab ia memberikan Giok Houw obat yang
separuh. Lalu ia melihat Giok Houw bersama Sioe Lan, ketika mereka itu melihat
ia, mereka menjauhkan diri. Di lain pihak ia bertemu dengan Leng In Hong
bersama Hok Thian Touw, suami isteri itu menghaturkan terima kasih kepadanya,
hanya di lain saat, suami isteri itu tiba-tiba menghunus pedang mereka dan
bertempur satu dengan lain!
Besoknya, keadaannya Giok Houw
tetap belum berubah menjadi baikan, ia masih diserang panas dan dingin, ia
masih tak sadarkan diri. In Hong dan San Bin sebaliknya sembuh tujuh atau
delapan bagian, mereka sudah dapat turun dari pembaringan, untuk perlahan-lahan
mulai berlatih silat pula. Maka itu, di atas gunung itu, orang bergirang
berbareng berduka. Tidak ada orang yang tidak berduka untuk Giok Houw.
San Bin dan In Hong turut
menjadi heran, dengan hati tidak tenang mereka memikirkan mengapa obat pemunah
itu bekerja dalam dua rupa akibat, hingga mereka mau menyangka, kecuali terkena
Kioeyang TokTjiang, mungkin pemuda itu mendapat lain macam pukulan atau terkena
lain racun...
Beberapa kali Giok Houw
mendusin, saban kali sadar ia mengawasi Kiam Hong dengan sorot mata sangat
bersyukur. Di waktu begitu, ia agaknya menguatkan diri untuk bertahan dari
serangannya hawa dingin dan panas di dalam tubuhnya, sedikitpun ia tidak
mengeluh atau merintih. Tapi justeru ia berbuat demikian, ia membuatnya si nona
semakin sakit hatinya dan semakin berkuatir. Kiam Hong menjadi ingat akan
kebaikannya Tjit Im Kauwtjoe yang memberikan obat itu, bahwa meskipun kauwtjoe
itu sangat Iiehay, dia masih tak tertolong oleh obat separuh butir ...
Dapatkah Giok Houw bertahan
kalau diingat, ia kalah dalam hal tenaga dalam dari Tjit Im Kauwtjoe?
Inilah yang memedihkan hati si
nona. Ia tidak tahu bahwa Tjit Im Kauwtjoe sengaja sudah berkurban. Kauwtjoe
itu terhajar tangan dari Pektok Sinkoen dan keracunan juga bubuk Ngotok San,
dia mengerti, kalau dia makan obat itu, dia cuma dapat menolong jiwanya, tidak
bebas dia dari cacad seumur hidup, maka itu, dia menganggap lebih penting ialah
jodoh puterinya. Dia meninggalkan separuh dari obat pemunah sebab dia percaya,
cuma terkena Kioeyang TokTjiang, Giok Houw bakal ketolongan separuh obat itu,
hanya di luar tahunya, meski si pemuda ketolongan jiwanya, penderitaannya itu
hebat sekali, panas dinginnya sangat menyiksanya.
Kiam Hong tidak dapat tidur
pulas. Ia pun malu malam-malam melihat Giok Houw, yang ditemani Tiok Kin.
Seorang diri ia pergi keluar, terus ke gunung belakang di mana ada pepohonan
bwee. Ia berjalan mundar-mandir, untuk menanti datangnya sang siang, untuk ia
dapat segera pergi menjenguk pula.
Malam itu rembulan indah.
Bunga bwee dan pohon-pohonnya berbayang-bayang. Pemandangan malam menarik hati.
Tapi si nona tidak mempunyai kegembiraan untuk menikmati itu.
"Jikalau jiwanya engko
Giok Houw tidak dapat ditolong," nona ini ngelamun, "bukan saja aku
harus menyesal terhadapnya terutama terhadap Tjit Im Kauwtjoe ibu dan
anak!"
Kiam Hong „lelah mengambil
putusan mengurbankan kepentingan dirinya, ia rela melepaskan Giok Houw untuk
Sioe Lan asal pemuda itu, begitupun San Bin dan In Hong, dapat ditolong. San
Bin telah bersedia menerima kedatangannya Sioe Lan. Maka itu, kalau Giok Houw
tak tertolong, tidakkah pengurbanannya sia-sia belaka?
Malam indah tetapi sunyi.
Justeru itu telinga si nona menangkap suatu suara perlahan. Ialah suara datang
yahengdjin, orang yang biasa keluar malam. Ia menjadi heran.
"Bukankah gunung ini
terjaga kuat?" pikirnya. "Siapakah yahengdjin itu?"
Dengan lantas ia
menyembunyikan diri antara pohon-pohon bwee, matanya mengawasi ke arah dari
mana suara tindakan datang. Ialah arah timur. Ia tidak usah menanti lama akan
melihat dua tubuh, yang gelap bagaikan bayangan. Tapi orang mendatangi terus.
Ia menjadi kaget berbareng girang, hatinya melonjak.
Itulah Sioe Lan diikuti Thian
Peng!
Mau Kiam Hong menyambut mereka
itu, atau di detik itu juga telinganya kembali mendengar bentakan dibarengi
nyaringnya suara anak panah melesat, lantas di udara tertampak api menyala.
Sebab anak panah itu ialah Tjoayam tjian, panah pertandaan yang mengeluarkan
api mirip yanhwee. Terang sudah, tauwbak yang melakukan penjagaan melihat ada
orang asing datang dan lantas memberikan isyaratnya itu.
Sioe Lan berdua menghentikan
tindakan mereka. Tepat itu waktu, di situ muncul lagi dua orang lain, yang
berlari-lari ke arah muda-mudi itu, bahkan yang satunya lantas membentak:
"Dua bocah, perlu apa kamu datang kemari?"
Kiam Hong dapat melihat mereka
itu. ia kaget tidak terkira-kirakan. Ia mengenali baik sekali Yang Tjong Hay
dan Le Kong Thian! Tadinya ia menyangka kepada si tauwbak yang memergoki Sioe
Lan berdua itu. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berdiam terus di tempat
sembunyinya itu, untuk melihat sepak terjangnya Tjong Hay dan si manusia
raksasa itu.
Sioe Lan dan Thian Peng tidak
melarikan diri, maka itu, Tjong Hay lantas dapat berlompat melewati mereka,
untuk segera memutar tubuh, guna memegat. Kong Thian sendiri, dengan melintangi
tokkak tongdjin, bonekanya, mendekati untuk mengurung.
Tjong Hay sudah lantas tertawa
gembira.
"Aku kira siapa, tidak
tahunya keponakan Sioe Lan!" katanya. "Mana ibumu? Dan ini bocah,
siapakah dia?" ia menunjuk Thian Peng. "Ya, perlu apa kamu datang kemari?"
Sioe Lan mengasi lihat roman
sungguh-sungguh.
"Kau tidak dapat
mencampur tahu urusanku!" sahutnya kaku.
Tjong Hay tertawa berkakak
dengan tertawa kelicikannya.-
"Aku yang menjadi
pamanmu, mana bisa aku tidak mencampur tahu urusanmu?" katanya. Ia membawa
tingkah si tertua. "Kau minggat di luar tahu ibumu, kau kepergok aku, maka
mesti aku mewakilkan ayah dan ibumu mengurus kau!"
Sioe Lan mendadak menjadi
gusar, dengan tiba-tiba ia menyerang dengan pakunya yang beracun-Samleng
Touwkoet teng. Sembari
menyerang, ia berkata nyaring: "Siapa mempunyai paman sebagai kau ini?
Kau... kau... kaulah yang memancing datang orang-orang jahat, yang mencelakai
ibuku hingga ibuku mati!"
Atas serangan itu, Tjong Hay
menyampok dengan pedangnya. Itulah tipu silat "Pengtee hongloei" atau
"Angin dan guntur di tanah datar." Maka bebaslah ia dari serangan
paku beracun itu. Kedua senjata bentrok dengan suara tingtong tak hentinya.
Sebab si nona menyerang dengan paku satu genggaman.
Meski ia menangkis, Tjong Hay
kaget sekali.
"Apa? Ibumu telah
meninggal dunia?" tanyanya.
"Kaulah yang membikin
ibuku mati!" Thian Peng membentak. "Kau tahu itu tetapi kau berlagak
pilon, kau masih menanyakannya!"
Pemuda ini sudah mengeluarkan
sepasang poankoan pit, senjatanya yang mirip pena Tionghoa, yang diperantikan
menotok jalan darah, dengan itu ia lantas menyerang ke kiri dan kanan Tjong
Hay, mengarah kedua jalan darah kintjeng hiat.
Tjong Hay pernah menempur
pemuda itu, ia tahu orang belum mahir tenaga dalamnya tetapi sudah sempurna
totokannya, maka itu ia tidak berani memandang enteng. Dengan memindahkan
pedangnya ke tangan kiri, ia menangkis memunahkan totokan itu dengan jurusnya
"Sengliong inhong" atau "Menunggang naga, memancing burung
hong." Di lain pihak, dengan tangan kanannya, dengan tipu silat menangkap
tangan "Taykimnatjioe," ia mencoba menangkap tangan si nona.
Puterinya Tjit Im Kauwtjoe
mengibas dengan goloknya, golok Lioeyap too. Golok itu berkilau, bersinarkan
warna biru marong yang menyilaukan mata.
Yang Tjong Hay kaget. Dialah
seorang ahli. Dia ketahui baik, golok itu beracun. Dengan sebat dia menarik
pulang tangannya, supaya tidak usah sampai ditegur golok dahsyat itu. Berbareng
dengan itu, dia merasai angin menyamber cepat di belakang kepalanya Ketika dia
terus berkelit, dia memutar tubuh ke belakang si nona. Sebagai orang liehay,
dia pun dapat bergerak sangat gesit. Dari sini, dengan goloknya ia mencoba
menotok punggung si nona.
"Jangan celakai
adikku!" Ban Thian Peng berseru seraya dia berlompat maju, menangkis
pedangnya bekas tjongkoan dari istana itu.
Tjong Hay membiarkan pedangnya
ditangkis, tapi ia mengerahkan tenaganya, maka meskipun senjatanya yang
ditangkis, senjatanya itu berbareng bisa membikin sepasang poankoan pit mental
balik.
"Heran, dari mana soetjie-ku
mendapatkan anak laki-laki?" katanya. Lalu dia meneruskan kepada anak muda
itu: "Kau tidak ada yang merawati, baiklah kau akui aku sebagai
ayahmu!"
Thian Peng murka sekali,
kembali ia menyerang. Kali ini serangannyu jauh terlebih hebat. Ia pun terus
merangsak.
Tjong Hay membela dirinya. Ia
melihat sembilan jalan darahnya diarah pemuda itu, yang tidak dapat dipandang
enteng, bahkan semua serangannya sangat berbahaya dan luar biasa. Dialah satu
ahli liehay kecuali masih kurang tenaga dalamnya, disebabkan usianya yang masih
terlalu muda.
Itulah tidak heran oleh karena
Ban Kee Soe, sang ayah, sudah mewariskan ilmu totoknya yang diciptakan sendiri
olehnya. Ilmu itu diberi nama "Kimpeng Sippat Pian" atau "Garuda
Emas Mencipta Diri Delapan Belas Kali."
Dengan mainkan pedangnya,
Tjong Hay menangkis sembilan serangan berbahaya itu, setiap kalinya, senjata
mereka beradu nyaring, maka itu, di akhirnya, tubuh Thian Peng terhuyung. Tak
sanggup ia menahan tolakan tenaga dalam lawan itu, tenaga yang disalurkan
dengan perantaraan pedang.
Ketika itu, dari pelbagai
penjuru, terlihat datangnya kawanan tauwbak. Tanda panah tjoayam tjian tadi
terlihat oleh kawan-kawan, semua mereka lantas memburu.
Yang TjongHay sendiri menuding
si nona. Katanya: "Sioe Lan. apakah kau datang kemari dengan berniat
menghamba kepada musuh? Ibumu sudah mati, maka akulah orang yang menjadi
sanakmu yang terdekat! Jangan kau berubah hati, memihak kepada orang luar!
Bukankah kitab PektokTjinkeng ada padamu? Lekas bilang! Lekas!"
Kata-kata ini dibarengi dengan
serangan.
Tiba-tiba Le Kong Thian
berlompat maju, ia menghalangi Sioe Lan menangkis pedang kawannya itu, sembari
menangkis ia berkata: "Lao Yang, jangan paksa dia! Dialah nyonya majikanku
yang muda! Dia telah kematian ibunya, dia harus
pulang ke rumah suaminya! -
Nona Im," ia meneruskan
kepada si nona, "orang-orang gunung ini telah datang kemari, kau jangan
takut! Mari aku antar kau ke rumah majikanku!"
Sioe Lan gusar, tanpa
menyahut, ia menyerang manusia raksasa itu. Kong Thian menangkis. Maka golok
Lioeyap too saban-saban mengenai boneka kuningan, hingga ia merasakan nyeri
sendirinya pada telapakan tangannya.
Yang Tjong Hay gusar atas
sikap kawan itu.
"Apakah sampai sekarang
ini kau masih mencurigai aku?" dia membentak. "Mari kita ringkus dulu
padanya! Jikalau kitab Pektok Tjinkeng itu ada padanya, itu akan didapatkan
olehmu!"
"Baiklah!" seru Kong
Thian memberikan kata-katanya. "Inilah pembilanganmu sendiri!" Ia
lantas menyerang Sioe Lan, hingga golok si nona mental, setelah mana, ia
mengulur sebelah tangannya guna mencekuk nona itu!
Ban Thian Peng terkejut, dia
lompat menerjang, ke arah lengan manusia raksasa itu.
Kong Thian murka sekali.
"Ah, bocah cilik, kau pun
mencari mampusmu?" katanya.
Akan tetapi liehay ilmu totok
si anak muda, akhirnya Kong Thian melepaskan Sioe Lan, untuk menghadapi dia
secara sungguh-sungguh. Untuk itu, ia mesti mundur dulu. Tepat ketika ia
mengangkat bonekanya, untuk menerjang, ada angin menyambar ke belakang
kepalanya. Ia terkejut, lantas ia mendengar seruan: "Le Kong Thian, kau
jangan kasih dirimu diakali Yang Tjong Hay! Kitab Pektok Tjinkeng ada di tangan
dia! Bukannya kau tanyakan dia, kau justeru tanyakan lain orang! Hm!"
Tjong Hay mendengar itu,
murkanya bukan kepalang. Itulah suaranya Liong Kiam Hong, yang muncul secara
tiba-tiba. Dengan lantas dia menikam kepada nona itu seraya dia membentak:
"Semua inilah bisamu, siluman rase cilik! Kaulah yang mengadu biru! Tidak
dapat tidak, kau mesti dibikin mampus!"
Akan tetapi ilmu pedang Kiam
Hong menang unggul, meski benar dia lebih menang tenaga dalamnya, tidak bisa
dia dengan sekali hajar merobohkan nona itu. Maka dia kecele, menyesal dan
penasaran!
Sioe Lan menggunai ketikanya
itu untuk membantu Ban Thian Peng melawan Le Kong Thian. Ia telah membacok dan
menikam dengan goloknya, golok Lioeyap too yang beracun. Dengan begitu, di situ
terlihatlah berkilauannya pelbagai macam senjata tajam.
Dari empat penjuru tertampak
juga mendatanginya kawanan liauwlo yang bertugas malam.
Le Kong Thian menyaksikan
bahaya yang mengancam itu, kalau ia menempur Sioe Lan lama-lama. Demikian
selang beberapa jurus, mengambil saat habis mendesak Sioe Lan, mendadak manusia
raksasa itu mengirim kemplangan mautnya. Tokkak tongdjin, bonekanya yang besar
dan berat itu, turun bagaikan ambruknya gunung Taysan, mengarah kepalanya
putera dari Ban Kee Soe.
Thian Peng kaget hingga dia
menjerit. Dia tidak dapat berkelit lagi, dengan terpaksa dia mengerahkan semua
tenaganya, untuk menangkis dengan tipu silatnya "Melintangkan penglari
emas," sepasang poankoanpit-nya, diangkat tinggi, dilintangi di atasan
kepalanya. Hebat sekali turunnya bonekanya si manusia raksasa. Belum lagi
boneka itu menghajar, anginnya sudah mendahului menyambar.
Di saat jiwanya Thian Peng
terancam bahaya kematian itu, maka terdengarlah jeritan tajam dari Im Sioe Lan.
Nona itu menjerit sambil tubuhnya bergerak seperti seekor burung terbang
melayang, melayang ke arah boneka.
Le Kong Thian mendengar
jeritan itu dan melihat si nona berlompat ke arahnya, dia terkejut. Tidak dapat
dia membatalkan serangannya yang maha dahsyat itu. Celaka kalau bonekanya
mengenai sasarannya. Sasaran itu ialah si Nona Im, yang seperti menalangi Thian
Peng. Dalam kagetnya itu, dia masih mencoba. Dia bukan menghajar terus turun ke
bawah, hanya meneruskan ke samping. Tidak dapat dia membinasakan si nona, yang
mesti menjadi tunangan dari majikannya yang muda. Apa kata Kiauw Pak Beng atau
Kiauw Siauw Siauwjikalau nona itu terbinasa remuk di bawah bonekanya?
Tepat ketika boneka mengenai
sasaran, maka sebagai akibat dari itu terdengar suara menggabruk yang sangat
keras diikuti jeritan hebat yang menyayatkan hati. Berhasillah si manusia
raksasa menggeser senjatanya, hingga senjata itu menghajar sebuah pohon besar
di samping mereka, hingga pohon itu roboh, roboh menimpa dua tauwbak yang
justeru sampai di bawah pohon, hingga tulang iga mereka itu pada patah!
Beberapa tauwbak lain, yang
datang berbareng, kaget menyaksikan kejadian hebat itu tanpa merasa, mereka
berhenti berlari maju.
Ban Thian Peng kaget hingga ia
menggigil.
"Syukur entjie Lan
datang, kalau tidak, celakalah aku..." pikirnya. "Mana senjataku
dapat menangkis boneka itu? Jikalau tidak lantas mati, sedikitnya aku bakal
terluka parah..."
Beberapa tauwbak itu tidak
berdiam saja. Tidak dapat maju sendiri, mereka ingat untuk mengguna! senjata
rahasia. Demikian dengan satu isyarat, mereka lantas menyerang dengan senjata
rahasia mereka masing-masing, seperti panah tangan, batu hoeihong sek, biji
teratai besi dan jarum.
Le Kong Thian melihat
datangnya serangan berbahaya itu, ia memutar bonekanya dengan cepat, ia
membikin setiap senjata^rahasia terpukul balik, hingga ia dapat menyelamatkan
dirinya.
Ban Thian Peng tidak mau
mundur meskipun ia tahu musuh liehay, ia maju pula. Ia dibantu Sioe Lan.
Kong Thian menjadi mendongkol
dan bergelisah sendirinya. Tidak bisa ia melukai Nona Im, sedang untuk
menangkap hidup nona itu, ia merasakan kesulitan. Dengan si nona senantiasa
melindungi Thian Peng, ia pun sukar merobohkan anak muda itu. Di samping itu,
ia mesti berjaga-jaga untuk golok beracun si nona serta senjata peranti menotok
yang liehay dari si anak muda. Dengan begitu, pertempuran menjadi
berlarut-larut.
Di lain pihak, Liong Kiam Hong
terdesak hebat oleh Yang Tjong Hay. Menang ilmu silat saja tidak berarti kalau
ia sebaliknya kalah latihan, kalah tenaga dalam. Selang dua puluh jurus lebih,
ia terdesak Tjong Hay. Bekas tjongkoan ini justeru benci sekali ianya, ia ingin
bisa ditikam dengan sekali tusuk saja. Tapi ia liehay, tidak dapat menyerang,
ia masih dapat membela diri.
Selagi orang bertempur dalam
dua kalangan itu, mendadak terdengar seruan yang nyaring: "Dua bocah dari
mana berani datang kemari mengacau bentengku? Apakah kamu kira bentengku sudah
tidak ada orangnya?"
Kiam Hong lantas melirik,
segera hatinya menjadi lega. Itulah Kimtoo Tjeetjoe Tjioe San Bin, yang muncul
dengan membawa goloknya yang tersohor, golok Kimpwee too yang tebal dan berat.
Di belakang ketua gunung itu turut Lauw Wan Tat, Louw Too In dan Kok Tiok Kin,
yang diikut pula banyak tauwbak lainnya, juga sejumlah orang gagah.
Dua hari sudah San Bin berobat
atau beristirahat, tenaganya telah pulih seanteronya, maka itu, ketika ia
mendengar gunungnya didatangi penyerbu, ia lantas keluar untuk menyaksikan.
Demikian ia muncul tepat di saat bahaya mengancam Kiam Hong, Sioe Lan dan Thian
Peng.
Yang Tjong Hay terkejut.
"He, tua bangka, kiranya
kau belum mampus?" ia berseru. Terus ia berpaling kepada Le Kong Thian,
untuk menegur: "Kau lihat! Sekarang barulah kau percaya aku, bukan? Tua
bangka itu ialah Kimtoo Tjeetjoe! Kau lihat, mana dia mirip dengan orang yang
lagi sakit? Pasti dia telah mendapat obat pemunah!"
Le Kong Thian juga lantas
mendusin bahwa dia sudah kena ditipu Kiam Hong, maka itu, disesalkan Tjong Hay,
dia menjadi malu dan gusar. Dia lantas meninggalkan Sioe Lan dan Thian Peng,
untuk menerjang Nona Liong, yang dia niat mengemplangnya hingga ringsak!
San Bin gusar melihat orang
demikian telengas.
"Bagus ya!" serunya.
"Kamu hendak membikin aku mati, aku justeru masih hidup! Sekarang aku
hendak membereskan kamu."
Dengan sebat ketua ini maju
sambil menggeraki goloknya yang besar itu. Ia menangkis bonekanya Kong Thian,
guna melindungi Kiam Hong. Maka bentroklah senjata mereka berdua, suara
beradunya sangat nyaring. Lelatu api pun pada meletik karenanya.
San Bin kaget. Ia merasakan
.tangannya sakit dan telapakan tangannya mengucurkan darah.
Kong Thian juga mundur tiga
tindak. Ternyata dia masih lebih unggul sedikit. Tapi dia pun terkejut, hingga
dia berpikir: "Benar-benar Kimtoo Tjeetjoe liehay! Dia baru sembuh dari
sakit berat, dan masih dapat melayani aku! Dilihat begini, malam ini sukarlah
aku memperoleh hasil..."
San Bin menahan rasa sakitnya.
Ia penasaran. Tanpa ayal, ia membacok, la menggunai jurus "Gelombang
menggempur gili-gili." Itulah salah satu jurus utama dari ilmu golok
warisan keluarganya. Hanya kali ini ia menyerang Tjong Hay yang berada di
dekatnya.
Bekas tjongkoan itu tidak mau
menangkis, ia berkelit dengan berlompat. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengadu
tenaga seperti Kong Thian.
Kiam Hong sudah lantas maju
pula. Dengan datangnya San Bin beramai, hatinya menjadi mantap. Dengan pelbagai
jurus dari ilmu pedang "Mengejar Angin," ia mencoba mendesak
musuhnya.
Tjong Hay menjadi repot,
karena ia mesti berjaga-jaga untuk San Bin. Ia berkelahi dengan waspada. Ia pun
mencari ketikanya. Demikian selang sesaat, mendadak ia menyerang Tjeetjoe itu.
Kimtoo Tjeetjoe dapat melihat
datangnya senjata musuh, dengan sebat ia menangkis. Senjata mereka bentrok,
pedang kena dibikin terpental.
Justeru itu, Kiam Hong
menyerang.
Tjong Hay terkejut, dia
berkelit. Masih dia kurang sebat. ujung pedang mengenai juga pundaknya hingga
pundak itu tergores berdarah!
Ketika itu LouwToo In, KokTiok
Kin dan Lauw Wan Tat sudah menyerbu. Karena kedua musuh tangguh, mereka tidak
mau membuang-buang waktu lagi.
Tiok Kin bersilat dengan
pedang, dengan ilmu silat Thaykek Kiamhoat, dan Too In dengan semacam tongkat
yang dinamakan "Galah bambu hijau." Itulah senjata peranti menotok
jalan darah. Maka itu, dengan ilmu silat lunak, mereka melawan ilmu silat
keras. Sebaliknya Lauw Wan Tat adalah jago silat Gwakee, ahli luar, bahkan dia
hampir mencapai puncaknya kemahiran. Tidak heran kalau dia diangkat menjadi
tjeetjoe yang nomor dua, atau ketua muda. Bertiga mereka mengepung Le Kong
Thian.
Pengurus rumah tangga dari
Kiauw Pak Beng boleh liehay sekali tetapi dikeroyok bertiga, dia terdesak,
terpaksa dia main mundur.
Yang Tjong Hay melihat suasana
buruk itu untuk pihaknya Ia lantas menyerukan kawannya: "Saudara Le, kau
telah menyaksikan hal yang sebenarnya, maka itu pergilah kau pulang, untuk
memberi kabar kepada majikanmu! Perlu apa kau masih mengotot berkelahi?"
"Benar!" menjawab
Kong Thian dengan seruannya. "Mari kita pergi!"
Manusia raksasa itu mewujudkan
perkataannya, kebetulan Wan Tat lagi menyerang padanya, ia menangkis dengan
keras goloknya tjeetjoe nomor dua itu, hingga kedua senjata beradu dan golok
mental.
Wan Tat terkejut. Ia biasa
puas dengan tenaganya yang besar, siapa tahu sekarang ia menghadapi lawan yang
luar biasa tangguh itu. Ia lompat mundur, tangannya dirasakan sakit. Seperti
San Bin tadi, telapakan tangannya sak-it-dan mengeluarkan darah, hingga untuk
sekian lama, tangan itu pun sesemutan.
Kong Thian tertawa terbahak,
ia memutar bonekanya, buat membuka jalan, untuk ia turun dari gunung, diturut
oleh Yang Tjong Hay, yang pun dapat meninggalkan lawannya. Hingga di lain saat,
loloslah mereka berdua
San Bin mendongkol sekali, ia
hendak mengejar.
"Jangan, peehoe!"
Kiam Hong mencegah. Nona ini tahu orang baru sembuh, ia kuatir kesehatannya
belum pulih seanteronya. "Nona Im telah datang, baiklah kita menyambut
tetamu kita!"
San Bin suka menurut.
"Aku mendongkol sekali
terhadap mereka!" katanya sambil tertawa, seraya mengurut kumis jenggotnya
"sampai aku alpa menyambut tetamu kita! Nona Im, maaf! Silakan duduk di
dalam!"
Ketika itu Tjio Tjoei Hong,
atau Nyonya Tjioe San Bin, muncul bersama Tjie Hiap, puteranya, ketika ia
melihat Sioe Lan, ia lantas merangkul nona itu.
"Kami terancam bahaya,
syukur ada pertolongan ibumu, nona!" katanya. "Sayang kami tidak
dapat menghaturkan terima kasih kepada ibumu itu. Kami girang sekali atas
kedatanganmu ini! Sebenarnya kami hendak menyambut, tapi kau telah mendahului
datang! Jikalau kau tidak buat celaan, aku minta sukalah kau memandang gunung
kami sebagai rumahmu sendiri."
Sioe Lan menangis dengan
mengucurkan air mata. Ia memberi hormat kepada nyonya yang manis budi itu.
"Aku mengucap terima
kasih kepada tjeetjoe berdua," katanya.
"Sudah, kita jangan
bicarakan soal yang melukai hati," Kiam Hong menyelak. "Entjie Lan,
kau telah datang, inilah bagus sekali! Kami semua memang sangat mengharapi
kedatanganmu!"
Tjoei Hong memegangi tangan si
nona.
"Anak yang baik, aku
minta janganlah kau pandang kami sebagai orang luar," ia berkata pula.
"Aku minta sukalah kami dipandang sebagai sanakmu."
Sioe Lan menepas air matanya.
"Peebo!" katanya,
memanggil bibi pada nyonya itu.
"Tjie Hiap!"
memanggil Tjoei Hong kepada puteranya. "Mari menemui adikmu! Kau
menghaturkan terima kasih yang ayahmu telah ditolongi."
Tjie Hiap menghampirkan,
meskipun likat, ia memanggil: "adik!"
Sioe Lan membalas hormat. Ia
pun jengah.
"Siauwtjeetjoe, maaf
untuk perbuatanku baru-baru ini," katanya.
Tjioe San Bin tertawa
terbahak.
"Tentang peristiwa yang
sudah-sudah, buat apakah ditimbulkan lagi?" katanya. Kemudian ia berpaling
kepada Ban Thian Peng, untuk berkata: "Aku mendengar dari Nona Liong
tentang kau, maka kau tinggallah di sini bersama kami. Kau jangan sungkan-sungkan.
Perihal sakit hatimu itu, nanti kita mendamaikan bersama."
Thian Peng menghaturkan terima
kasih.
Sioe Lan menepas air matanya,
terus ia memandang Kiam Hong.
"Apakah obat pemunah itu
memberikan hasil?" ia menanya perlahan.
Hati Kiam Hong terkesiap, tapi
lekas ia menyahut: "Aku justeru hendak meminta pertolongan kau, entjie.
Tjioe Tjeetjoe dan Leng Tjeetjoe sudah sembuh, melainkan Thio Giok Houw yang
masih sakit, entah apa sebabnya."
"Kalau begitu, aku minta
entjie mengantar aku kepadanya," Sioe Lan minta.
Nona ini bicara perlahan
tetapi Kiam Hong dapat membade dari suaranya bahwa orang ingin sangat segera
menjenguk Giok Houw.
"Baik sekali entjie mau
melihat dia," ia kata.
"Baiklah, pergi kamu
masuk ke dalam!" Tjoei Hong turut berkata. "Sebentar kita bicara
pula."
Kiam Hong lantas memimpin Nona
Im ke dalam, langsung ke kamarnya Giok Houw.
Pemuda she Thio itu rebah
tanpa sadar seluruhnya, mukanya tidak bersemu hitam lagi, cuma di alisnya masih
ada sedikit. Ketika itu, tangan dan kakinya panas luar biasa.
Sioe Lan mengawasi sekian
lama.
"Mungkin belum putus
harapan," katanya sesaat kemudian, perlahan suaranya. "Nanti aku
coba..."
Kiam Hong girang mendengar
perkataan itu.
"Entjie membutuhkan obat
apa?" ia tanya, cepat.
"Tak usah obat,"
sahut Sioe Lan, mukanya lantas menjadi merah. "Cukup dengan ini kamar yang
sunyi."
"Baiklah," Nona
Liong kata. "Maafkan aku, aku tidak mau mengganggu pula pada entjie."
Sioe Lan mengangguk.
Kiam Hong lantas mengundurkan
diri. Pintu kamar ia tutup rapat. Ia berlega hati berbareng berduka, pedih
hatinya. Ia berlega hati karena ia percaya jiwa Giok Houw bakal ketolongan,
akan tetapi, urusannya sendiri?
Sioe Lan berdiri di depan
pembaringan, pikirannya bekerja keras. Pikirannya itu ruwet sekali, la ingat bagaimana
Thio Giok Houw telah menampik lamarannya. Ia ingat pesan ibunya. Ia pun ingat
kata-katanya Kiam Hong bahwa Giok Houw menyesal dan ingin bertemu dengannya.
Sebaliknya ia menyangsikan kata-katanya Kiam Hong yang ingin turut In Hong ke
Thiansan, untuk tinggal bersembunyi sambil meyakinkan ilmu silat pedang.
Sebagai orang cerdas, ia dapat membade hatinya Nona Liong itu. Teranglah nona
itu sengaja hendak merangkap jodoh ia dengan jodohnya Giok Houw. Dan sekarang
seorang diri ia menemui Giok Houw yang lagi sakit berat itu. Ia menyinta, ia
membenci, ia panas hati, ia penasaran, ia pun berkasihan...
Akhirnya ia mengertak gigi dan
kata: "Musuhku, apa juga sikapmu terhadap aku, sekarang aku hendak
menolongi dulu jiwamu!" Ia menyebut musuh sebab ia mau menganggap pemuda
itu seperti musuh...
Tanpa ayal lagi, Sioe Lan
duduk di sisi pembaringan. Dengan hati-hati ia membalik tubuh Giok Houw, untuk
membukai pakaiannya. Selagi bekerja ini, kembali pikirannya bekerja. Ia ingat
bahwa mulanya ia sungkan datang ke gunung ini, ia mengubah pikiran sesudah
penguburan jenazah ibunya dan otaknya menjadi sedikit jernih. Ia lantas ingat
kata-kata ibunya ketika si ibu menyerahkan obat pemunah racun kepadanya:
"Kau berikan mereka seorang sebutir obat, tentang orang yang ketiga terserah
kepada Thian..." Mulanya ia tidak mengerti, kemudian baru ia ingat yang
isinya kotak tinggal dua setengah butir. Obat yang setengah itu ialah sisa obat
yang dimakan ibunya. Sekarang ia mengerti maksud ibunya itu. Kemudian, obat itu
diserahkan kepada Liong Kiam Hong, buat dibawa ke gunung. Apakah yang terjadi
di atas gunung? Bukankah Kiam Hong memberikan Giok Houw obat yang setengah
butir itu? Maka --- ketika itu --- hatinya menjadi tidak tenang. Lalu ia ingat
Ban Thian Peng, yang cukup gagah akan tetapi pengalamannya kurang hingga sulit
untuk dia menuntut balas. Ia percaya, untuk semua itu, mungkin ibunya mati
tanpa mata meram. Jadi, pesan ibunya mesti diwujudkan. Maka akhir-akhirnya,
untuk Giok Houw, untuk Thian Peng, ia berangkat juga ke gunung. Ia tidak
menyangka, Yang Tjong Hay dan Le Kong Thian datang menyerbu, hingga ia
terhalang dan terancam bahaya. Syukur, dengan .munculnya San Bin beramai, musuh
dapat diusir pergi. Dan sekarang, selagi iamendukakan ibunya, ia mesti
menghadapi Giok Houw yang rebah tak berdaya ini.
Hati si nona terkesiap ketika
tangannya kena meraba tubuh si pemuda. Tubuh itu panas luar biasa. Segera ia
bekerja. Ia menaruh kedua belah tangannya di dada pemuda itu, untuk mulai
mengurut dengan perlahan-perlahan.
Sioe Lan pernah mempelajari
Tjit Im Toktjiang, cuma ia baru mendapatkan tiga bagian saja. Tjit Im Toktjiang
itu beda dari Kioeyang Toktjiang yang sifatnya panas. Tjit Im bersifat dingin.
Keduanya, sebenarnya saling mempengaruhi, tinggal bergantung kepada latihan
masing-masing. Ketika itu hari Tjit Im Kauwtjoe terhajar Kioeyang Toktjiang
oleh Pektok Sinkoen, sebenarnya ia dapat menolong diri dengan jalan menggunai
hawa dingin di tubuhnya mengusir hawa panas, apamau di samping terkena pukulan
Kioeyang Toktjiang itu, ia pun ditambah keracunan bubuk Siauwhoen Hongkoet San,
karenanya, ia tidak sanggup mengobati dirinya lagi, sedang obat pemunah yang ia
makan cuma separuh, obat itu tidak cukup kuat untuk menyembuhkannya.
Tenaga dalam Sioe Lan masih
belum berarti, maka itu setelah menguruti Giok Houw sekian lama, ia merasakan
tubuhnya panas. Itulah sebab hawa panas dari si pemuda tersalur pindah ke
tubuhnya sendiri, hawa panas itu telah tersedot hawa dinginnya yang masih
lemah. Tidak demikian, pasti hawa panas itu sudah terusir pergi. Hampir ia
tidak dapat bertahan. Syukur sekali, Giok Houw sudah makan obat Pekleng Tan
dari Thiansan dan separuh obat pemunah itu, maka juga, hawa panasnya sudah
berkurang banyak. Kalau tidak, pasti si pemudi tidak dapat bertahan sama
sekali.
Selagi tak sadarkan diri itu,
Giok Houw merasakan tubuhnya adem, dengan begitu, ia lantas mendusin. Ia
mengulur tangannya, untuk memegang lengannya si nona.
"Adik Hong!" ia
memanggil, lemah. "Adik Hong!"
Mukanya Sioe Lan menjadi merah
sendirinya, hatinya pun pedih. Dengan lantas ia menarik tangannya itu.
Giok Houw membuka matanya,
lantas ia menjadi kaget.
"Ah, Sioe Lan,
kaukah?" katanya.
Segera setelah itu, ia
mendapat tahu bahwa ia tak berpakaian sama sekali.
Tangan yang lain dari Sioe Lan
masih menekan betulan hati si pemuda.
Dalam herannya itu, Giok Houw
bingung bukan main. Di saat ia hendak membuka mulutnya, untuk menanya, si nona
sudah mengerebongi tubuhnya.