Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 6 (Tamat)
Keduanya menyender pada
loneng, mata mereka ditujukan ke telaga.
"Kenapa kau selalu gemar
usilan?" kata suami itu. "Kalau semua-semua kau hendak mencampuri
tahu, mana ada habisnya?"
"Apakah kau tidak mau
berpikir, siapa anak muda itu jikalau bukannya Thio Giok Houw?" sang
isteri membaliki.
Thian Touw berpikir, lantas ia
tertawa.
"Kau benar, memang
mirip!" bilangnya. "Kita mempunyai urusan, kita hendak minta bantuan
gurunya, dari itu pantaslah kalau Thio Giok Houw terancam bahaya dan kita
menolongnya. Tapi, bukankah dia telah dapat menyingkirkan diri?"
"Tetapi masih ada si
tauwbak yang ditahan polisi!" In Hong kata.
"Yap Seng Lim mempunyai
banyak orang kosen, baiklah urusan itu diserahkan kepadanya. Kita dapat
menghemat perhatian kita..."
In Hong tidak setuju, tetapi
ketika ia hendak berbicara pula, ia batal. Tiba-tiba perhatiannya tertarik
sebuah perahu di tengah telaga. Itulah sebuah perahu nelayan, yang menggayuh
seorang laki-laki yang hitam dan dalam perahu ada seorang wanita muda, yang
mukanya terlihat cuma separuh tetapi rasanya dikenal, entah di mana pernah
diketemukannya, sulit ia segera mengingatnya.
Selagi nyonya ini memandang
sambil berpikir, perhatiannya tertarik pula dengan suara tindakan kaki
ditangga, apabila ia berpaling, ia melihat datangnya dua anak muda, pria dan
wanita, yang usianya masing-masing baru delapan atau sembilan belas tahun -- si
pemuda menggantung pedang di pinggangnya, dan si pemudi selain pedang pun ada
menggendol gaetan emas di punggungnya.
Agaknya sepasang muda-mudi ini
sedikit heran melihat Thian Touw suami isteri. Usia mereka muda tetapi mata
mereka tajam, makajuga, lantas mereka menduga Thian Touw berdua bukan sembarang
orang, lantas timbul keinginan mereka untuk belajar kenal, hanya mereka batal
sebab menyaksikan suami isteri itu tengah terpesona kepermaian telaga. Di
akhirnya mereka memilih meja yang berdekatan suami isteri itu.
Muda-mudi itu ialah Tiangsoen
Giok bersama Bouwyong Hoa. Bouwyong Hoa ialah muridnya Ouw Bong Hoe, dan
Tiangsoen Giok muridnya Lim Sian In atau Nyonya Ouw Bong Hoe. Lim Sian In biasa
menggunai gaetan emas, maka dia memperoleh julukannya -- Kimkauw Siantjoe, si
Dewi Gaetan Emas. Gaetan di punggung Tiangsoen Giok itu ialah gaetan emas si
nyonya dengan apa dulu hari dia mengangkat namanya.
Setelah berpisah dari Tjioe
Tjic Hiap di padang rumput muda-mudi ini mentaati pesan guru mereka menjenguk
Kimtoo Tjeetjoe, baru mereka menuju ke Selatan. Mereka telah merencanakan,
habis mengunjungi Yap Seng Lim dan Ie Sin Tjoe suami isteri itu, mereka mau
pergi ke Tali guna menghunjuk hormat mereka kepada Thio Tan Hong. Sebenarnya
mereka membawa sepucuk surat perkenalan dari Kimtoo Tjeetjoe, setibanya di kota
Hangtjioe, mereka mau mencari seorang tauwbak yang bertugas di kota itu, untuk
mencari perahu untuk mulai berlayar. Sayang suasana sedang genting dan
tauwbak-nya Seng Lim itu lagi menyembunyikan diri hingga dia tak dapat dicari.
Karena ini, saking menganggur, mereka pergi ke rumah makan kesohor itu di tepi
telaga, untuk mencari hiburan.
In Hong pernah mendengar
halnya muda-mudi itu dari Tjie Hiap, bahwa murid-muridnya Ouw Bong Hoe dan Lim
Sian In itu pernah mengunjungi San Bin, tetapi karena orang yang bergegaman
gaetan bukan sedikit, ia tidak mau berlaku sembrono, sedang restoran itu
bukanlah tempat di mana mereka dapat berbicara dengan merdeka. Ia jadi hendak
melihat salatan dulu.
Sebagai anak-anak muda yang
baru mulai merantau, dua-dua Tiangsoen Giok dan Bouwyong Hoa tertarik dengan
segala apa yang baru untuk mereka. Mereka memang ingin sangat menemui sesuatu
yang luar biasa. Maka juga begitu melihat teratai besi nancap di tembok, Nona
Tiangsoen lantas berseru: "Lihat, engko Hoa! Hebat kepandaiannya orang
itu! Semua teratai besi itu nancap dalam!
“Ah, dia pun pandai ilmu totok
dengan perantaraannya senjata rahasia! Lihat saja berjejernya semua teratai
besi itu! Bukankah itu mirip pada kedudukan dari ketiga puluh enam jalan darah
di tubuh manusia? Hanya entahlah, dia menyerang berbareng atau saling
susul...!"
Bouwyong Hoa mengawasi
sebentar.
"Orang itu mengunai jurus
yang dinamakan Lauw Hay Say Kim Tjhie," kata dia. "Pasti sekali ini
dilakukan hanya satu kali timpuk saja."
"Jikalau begitu, dia
terlebih liehay daripada kita," kata si nona, yang agaknya polos.
"Engko Hoa, coba kau tolong mencabut barang dua barang, ingin aku melihat
itu benar teratai besi atau bukan..."
Bouwyong Hoa tidak lantas
bekerja, sebaliknya dia melirik dulu kepada Thian Touw dan In Hong. Ia lantas
mendapat kenyataan, si nyonya tengah melirik kepada mereka. Maka berpikirlah ia:
"Mungkinkah teratai besi itu ditimpuki mereka ini?" Mendadak timbul
niatnya mempertontonkan kepandaiannya. Maka sambil tertawa iamenjawab si nona:
"Teratai besi itu nancap dalam, entah aku bisa atau tidak
mencabutnya..."
Ia berkata belum habis,
jarinya yang tengah sudah bekerja, menotok masuk ke dalam tembok, mencongkel
gempur tembok itu, maka sesaat itu juga, sebuah teratai besi telah pindah ke
tangannya. Ia merasa puas, lantas ia ingin memandangi suami isteri itu, untuk
melihat sikap mereka. Atau tiba-tiba terdengarlah suara nyaring di belakangnya:
"Ittjie Siankangyang hebat!"
Itulah pujian untuk kekuatan
jeriji tangan, yang mengerahkan ilmu silat Ittjie Siankang, atau Ilmu Sebuah
Jeriji.
Dengan cepat Bouwyong Hoa
menoleh. Untuk herannya ia mendapatkan orang yang memujinya itu ialah seorang
tua yang romannya sangat jelek, yang tangannya pun tinggal sebelah!
"Orang tua ini mengetahui
Ittjie Siankang, hebat!" pikirnya.
Orang tua bertangan satu itu
memandang tajam kepada si pemuda, matanya yang bundar berputar, setelah itu dua
kali dia tertawa terkekeh, untuk habis itu lantas menanya: "Apakah
panggilanmu terhadap suami isteri Ouw Bong Hoe?"
Bouwyong Hoa menjadi tidak
puas. Roman orang saja sudah menjemukan, itu ditambah lagak jumawanya dan
kelancangan menyebut nama Ouw Bong Hoe tanpa bahasa.
"Kau kata apa? Aku tidak
mengerti!" sahutnya tawar.
Air mukanya si orang tua
berubah, agaknya dia murka, tetapi justeru itu dari arah telaga terdengar suara
berisik yang terbawa angin, maka sambil menperdengarkan suara "Hm!"
tiga kali, dia bertindak maju, dia lewat di sisi si anak muda, terus dia
memandang keluar jendela, ke arah telaga.
Bouwyong Hoa pun ingin ketahui
ada terjadi apa, bersama Tiangsoen Giok ia pergi ke loneng, untuk melihat. Maka
ia lantas menampak itu sebuah perahu nelayan dengan orang-orang yang menumpangi
si pria hitam dan si nyonya muda, meskipun dia seorang tukang tangkap ikan, dia
cantik sekali.
Perahu nelayan itu telah
bentrok dengan sebuah perahu besar. Di atas perahu besar itu berdiri berbaris
serdadu-serdadu yang romannya garang. Di tengah-tengah mereka tampak seorang
opsir. Dia terdengar berteriak: "Kamu bikin apa?Berhenti!
“Lekas geledah!"
Tangannya pun diulapkan.
Dari dalam perahu lantas
dilemparkan beberapa buah gaetan, maka juga perahu kecil itu lantas kena
tergaet.
Teranglah sudah, perahu besar
itu perahu pasukan air pemerintah.
Orang hitam di atas perahu
kecil itu berkata: "Kami tukang tangkap ikan! Kami mohon pertolongan
taydjin supaya perahu kami ini tidak dibikin rusak!"
"Ngaco!" bentak
opsir itu. "Telaga ini telaga indah, kecuali perahu-perahu pesiar, cuma
perahu pembesar negeri yang berada di sini! Mana ada nelayan yang menangkap
ikan kemari?"
"Beberapa hari ini angin
dan gelombang keras," berkata pula si nelayan. "Pula pihak pembesar
negeri tidak ada mengeluarkan pengumuman yang melarang orang menangkap ikan di
sini..."
"Hai, kau masih banyak
bacot!" bentak opsir itu, gusar. "Lihatlah si wanita yang kulitnya
demikian kelimis, tak mirip-miripnya dia dengan nelayan! -- -Mana orang? Bawa
perempuan itu kemari untuk aku yang menggeledah sendiri padanya!"
Mendengar itu, Tiangsoen Giok
menjadi panas hati.
"Opsir itu bangsa hina
dina!" serunya. "Terang dia menghina wanita!"
Si nyonya nelayan tapinya
tertawa.
"Jangan gusar, taydjin!"
dia berkata nyaring. "Buat apa main bawa-bawa? Nanti aku datang sendiri
padamu!"
Kata-kata itu dibarengi dengan
lompatan pesat dan tinggi, maka sebentar saja ia telah sampai di atas perahu
besar, bahkan tangannya terus menyamber si opsir.
Lompatannya itu ialah lompatan
"Burung jenjang menyerbu langit."
Begitu melihat gerakan nyonya
nelayan itu. In Hong lantas ingat.
"Dia toh Tjio Boen Wan
puterinya Tjio Keng To dan adik seperguruannya Tiat Keng Sim?" demikian ia
menduga.
Berbareng dengan samberan si
nyonya muda, terdengar juga samberan angin yang keras, dari atas lauwteng rumah
makan terbang keluar sebuah peluru dengan tengah telaga menjadi sasarannya!
Tepat tangan si nyonya muda
mengenai baju si opsir, dia berteriak dengan tiba-tiba: "Angin keras!
Berhenti!" Teriakannya itu disusul dengan gerakan tubuhnya, yang
jumpalitan balik, nyebur ke telaga, menyusul mana. si pria hitam juga turut
terjun ke dalam air!
"Ah!" seru Tiangsoen
Giok perlahan, lalu dia tertawa dan berkata perlahan juga: "Aku tidak
sangka kau mempunyai kepandaian ini, yang kau sembunyikan terhadap
aku!..."
Bouwyong Hoa melengak, ia
memandang soemoay-nya itu dan berkata seperti pada dirinya sendiri: "Eh,
urusan ini aneh!..."
Belum berhenti suara pemuda
ini, si orang tua yang tangannya sebelah itu mengasi dengar tertawa ejekan yang
menyeramkan. Dia berkata: "Bocah yang baik! Sungguh berani di depan aku si
orang tua kau mempertontonkan kepandaianmu! Kau pernah apa dengan Ouw Bong
Hoe?"
Bouwyong Hoa berbalik dengan
cepat. Ia melihat si orang tua sudah berdiri di depannya, gerakan dia itu cepat
seperti berkelebatnya hantu, tak ada suaranya sama sekali!
Bouwyong Hoa menjadi gusar.
"Mana dapat kau menyebut
lancang nama guruku!" ia membentak.
Orang tua itu tertawa
bergelak.
"Suka aku memandang
kepada Ouw Bong Hoe!" ia berkata. "Lekas kau berlutut dan mengangguk
tiga kali padaku hingga kepalamu membentur batu, nanti aku kasih ampun pada
jiwamu!"
"Bangsat tua, kau,
kau..." teriak Bouwyong Hoa gusar. Tetapi baru sebegitu ia berkata,
tangannya si orang tua sudah menyamber kepadanya.
"Ha, mutiara sebesar
beras pun bercahaya!" katanya, mengejek. "Baiklah kau ketahui
liehayku si orang tua!"
Bouwyong Hoa telah menduga
orang mestinya Iiehay, maka itu waktu ia disamber, dengan lantas ia menyentil.
Ia menggunai ilmu Ittjie Siankang, mementil telapakan tangan orang tua itu.
Untuk kagetnya, ia merasa ia seperti mementil kapas, terus jari tangannya itu
seperti nempel di telapakan tangan yang disentil itu. Jadi Ittjie Siankang yang
Iiehay tidak berdaya. Bahkan menyusul itu, segera ia merasakan juga telapakan
tangan orang tua itu ada tenaga menyedotnya dan menjadi panas, hingga jerijinya
seperti dimasuki ke dalam bara!
Tiangsoen Giok kaget sekali,
dengan cepat ia mengeluarkan gaetannya, hingga ia memegang gaetan di tangan
kiri dan pedang di tangan kanan. Gaetan itu terus diputar dan pedang ditikamkan
ke samping, dengan gaetannya dua kali ia menyerang secara berantai.
Inilah kepandaian yang si nona
dapatkan dari Kimkauw Siantjoe Lim Sian In. gurunya. Ia telah dididik menggunai
dua rupa senjata dengan berbareng dan ia berhasil dapat menguasainya.
Jikalau kedua senjata itu
digunai Lim Sian In sendiri, mungkin si orang tua gentar hatinya. Sekarang
tidak. Tenaga dalam dari Tiangsoen Giok masih kacek terlalu jauh. Tangan kiri
orang tua itu buntung, tangan bajunya meroyot turun. Mendadak tangan bajunya
itu bergerak, dengan lantas gaetan si nona terlibat. Gaetan itu ada
bangkolannya, ujungnya itu lantas bentrok dengan pedangnya, hingga kedua
senjata berbunyi nyaring, keduanya jatuh di tanah, tubuhnya pun mental mundur
beberapa tindak, hampir dia terlempar keluar loteng!
Si orang tua benar-benar
Iiehay, begitu lekas dia melayani si nona, begitu lekas juga dia melayani lagi
Bouwyong Boa. Ia membalik tangannya dan lantas dengan tiga buah jeriji
tangannya memegang nadi si pemuda.
Sekejab saja, Bouwyong Hoa tak
dapat berkutik lagi, seluruh tubuhnya dirasai kaku.
Orang tua itu tertawa dingin.
"Baru sekarang kau
ketahui liehaynya aku si orang tua?" kata dia. "Orang begini tidak
mempunyai guna berani melawan aku!..." Baru ia berkata demikian, lantas
dia berdiam. Dia heran. Dia ingat, kalau benar si anak muda demikian tak
berguna, kenapa tadi senjata rahasianya dapat digagalkan pemuda itu? Maka ia
lantas mau menerka lain orang. Hanya siapakah orang itu? Ia melihat, si
pemudalah yang tadi menyerang dengan biji terate besi..."
Selagi orang tua itu heran,
Hok Thian Touw bersama In Hong bertindak naik mendekati dia. Thian Touw
merangkap kedua tangannya, sembari menjura ia memberi hormat.
"Lootjianpwee, kau keliru
menyangka dia!" ia berkata.
Orang tua tangan sebelah itu
menjadi mendongkol, ia lantas mendelik.
"Jadi kaulah yang
mempermainkan aku?" dia tanya bengis.
"Sebenarnya boanpwee
tidak berani menentang Lootjianpwee," berkata Thian Touw sabar dan hormat.
Iamemangil lootjianpwee — — orang tua tingkat atas, dan menyebut diri boanpwee,
orang tingkat muda. "Perbuatanku barusan disebabkan perasaan kasihanku
yang dipunyai oleh setiap orang. Nelayan wanita itu telah diperhina orang,
sudah begitu mana sanggup dia menerima peluru Lootjianpwee? Maka dengan
terpaksa aku telah menolongi dia."
Leng In Hong mengenali si
wanita Tjio Boen Wan adanya, ia lantas minta suaminya menolongi. Thian Touw
tidak mau usilan, tetapi karena diminta isterinya dan ia pun tetap memiliki
perasaan mulianya --- terutama karena ia tahu siapa si orang tua --- ia
mencampur tangan.
Tatkala Tjio Boen Wan menggunai
ilmu ringan tubuh yang enteng berlompat dari perahu pembesar negeri itu, si
orang tua tangan buntung sebelah menyerang dia dengan biji teratai besi, yaitu
thielian tjie. Thian Touw berkasihan kepada si nona, ia lantas meniup biji
teratai besi itu hingga senjata itu nyimpang dari sasarannya, lewat di depan
jidat si nona. Boen Wan lantas menginsafi musuh liehay, maka itu ia terus
terjun ke air. Tanpa pertolongan Thian Touw, pastilah jalan darah di dadanya,
soankie hiat, bakal terhajar teratai besi itu.
Teratai besi yang kedua
dilepaskan oleh Bouwyong Hoa. Dia hendak menghajar jatuh teratai besinya si
orang tua. Tetapi dia kalah liehay, pula tak tepat waktunya, senjata rahasianya
itu jatuh terlebih dulu sebelum bentrok. Si orang tua cuma melihat dia menyerang,
ia tidak melihat Thian Touw meniup, dari itu ia menyangka dianya. Sekarang baru
ia ketahui penglihatannya keliru, jadi ia salah menerka.
Hok Thian Touw jujur,
pengakuannya itu membuat si orang tua mendongkol sekali. Dia melepaskan
cekalannya terhadap Bouwyong Hoa dengan mendorong keras, terus dia menghadapi
orang dengan garang.
"Kau murid siapa?"
dia tanya dingin. "Tahukah kau siapa aku si orang tua?"
Dengan tenang Thian Touw
memberikanjawabannya: "Bukankah lootjianpwee ialah Tokpie Kengthian Koan
Sin Liong dari Aylao San? Boanpwee ialah Hok Thian Touw dari Thiansan. Belum
berselang lama, selagi boanpwee bertempur dengan Kiauw Pak Beng, boanpwee
mendengar Kiauw Pak Beng itu berserikat dengan lootjianpwee dan itu waktu
boanpwee telah bertemu juga dengan Tonghong Hek, murid lootjianpwee itu."
Orang tua itu, ialah Koan Sin
Liong, terkejut.
"Jadi kaulah Hok Thian
Touw dari Thiansan?" dia menegaskan. "Setelah kau menempur Kiauw Pak
Beng, kau masih dapat pulang dengan masih hidup? Hm!"
Masih Thian Touw berlaku
tenang. Ia kata: "Kami suami isteri menempur Kiauw Pak Beng selama lima
hari, syukurlah kami tidak sampai terlukakan..."
Koan Sin Liong masih tidak
percaya dia tertawa dingin.
"Benar-benarkah
begitu?" dia tanya. "Baiklah, aku si orang tuajuga ingin belajar
kenal dengan ilmu pedang Thiansan Kiamhoat dari kamu!"
"Itulah boanpwee tidak
berani," Thian Touw merendah.
"Kau telah membikin
terlepas perompak besar, biarnya kau tidak berani, kau mesti menempur juga
aku!" kata Koan Sin Liong dingin.
Leng In Hong menjadi gusar.
Semenjak tadi ia memang sudah mendeluh melihat lagaknya orang tua itu.
"Kecewa kau disebut
seorang guru besar!" ia menyelak dengan menghina. "Kau telah
membokong seorang wanita! Tapi baiklah, kami berdua justeru ingin belajar kenal
dengan kepandaianmu yang diperantikan menghina si lemah!"
"Sret!" demikian
satu suara nyaring dan si nyonya muda telah menghunus pedangnya.
"In Hong, sabar,"
berkata Thian Touw pada isterinya. "Dialah lootjianpwee. maka itu kami
berdua harus mengalah selama tiga jurus!" Lantas ia memandang si orang tua
dan berkata dengan hormat: "Koan Lootjianpwee, kau juga silahkan menghunus
pedangmu!"
"Hm!" Tokpie
Kengthian mengasi dengar suara dinginnya. "Bocah yang terkebur! Untuk
menghadapi kau, buat apa... buat apa..." Dia sebenarnya hendak mengatakan,
"Buat apa aku menggunai pedang," tetapi mendadak ia ingat: "Dia
kata barusan dia bertempur seri dengan Kiauw Pak Beng, entahlah itu benar atau
dusta, tetapi pada sepuluh tahun yang lampau, dia benar pernah mempecundangi
Yang Tjong Hay..." Maka itu, ia lantas mengubah kata-katanya. Ia kata:
"Buat apa aku dengan pengalahanmu?" Juga suaranya rada lunak.
"Sebenarnya boanpwee
tidak mempunyai pikiran memandang enteng kepada lootjianpwee," berkata
pula Hok Thian Touw, "hanya adalah kebiasaan dari kami suami isteri buat
kami senantiasa menyambut musuh dengan bekerja sama. Itu sebabnya, meski di
dalamjumlah kamilah yang menang, tetapi di waktu mulai bertempur, suka kami
mengalah dari lootjianpwee buat tiga jurus..."
Koan Sin Liong tertawa
berkakak.
"Di kolong langit
ini," dia kata, nyaring, "kecuali Kiauw Pak Beng, Thio Tan Hong dan
Ouw Bong Hoe suami isteri, siapakah yang setimpal untuk melawan aku satu demi
satu? Nampaknya saja kau sangat merendah, kau sebenarnya manusia
terkebur!"
In Hong tertawa mengejek. Ia
kata: "Sebenarnya siapa yang terkebur. sebentar sehabisnya bertempur, baru
ketahuan! Maka sekarang tak usahlah kita mengeluarkan kata-kata tak perlunya!
Hunus pedangmu!"
Koan Sin Liong gusar hingga
dia membentak: "Baiklah! Kau boleh terima dulu satu tanganku!"
Untuk membela nama baiknya,
jago tua ini tetap menggunai tangan kosong. Dengan kata-katanya itu. diapun
mulai menyerang.
Walaupun dia sangat jumawa,
terhadap Hok Thian Touw, Koan Sin Liong masih jeri juga, maka itu dia lebih
dulu menyerang Leng In Hong, bahkan penyerangannya dengan pengerahan tenaga
delapan bagian.
In Hong terperanjat juga
ketika ia melihat serangan datang, serangan mana diiring dengan suara angin
yang keras. Pikirnya: "Pantas orang menyebut Koan di Selatan dan Kiauw di
Utara, dia benar-benar rada sesat!" Syukur ia pernah menyangkok ilmu silat
"Tjoanhoa Djiauwsoe" dari Ie Sin Tjoe. maka ia lantas berkelit dengan
itu ilmu kelincahan "menembusi bunga mengitari pohon."
Tangannya Koan Sin Liong
hampir mengenai pinggang sasarannya, anginnya itu membikin baju si nona tertiup
keras, tetapi tubuh si nona. bahkan ujung bajunya, tertowel pun tidak!
Justeru itu, Hok Thian Touw
pun maju.
Koan Sin Liong menyambut
dengan satu serangannya.
Thian Touw menggeser pedangnya
ke lain tangan, dengan tangan kosong ia menyambut serangan itu. Dengan begitu
kedua tangan beradu satu pada lain, terdengar suaranya yang tidak nyaring,
lantas terlihat menghembusnya uap putih, uap dari hawa panas.
Itulah pukulan "Tjitsat
Tjiang" dari Koan Sin Liong, karena itu kalau tangannya bentrok dengan
lawan atau benda lainnya, keluarlah hawa panasnya. Syukur Thian Touw jago kelas
satu, waktu ia merasa hawa hangat, lekas-lekas ia menggunai tipu huruf
"Melepaskan." untuk melejit dari serangan luar biasa itu, hingga
taklah kejadian tangannya kena terbakar.
"Hm!" Koan Sin Liong
mengasi dengar pula suara di hidung, sambil ia mengulangi serangannya. Inilah
serangannya yang ketiga, yang luar biasa, sebab di waktu baru dikeluarkan, tak
tegas arah jurusnya, kepada In Hong atau kepada Thian Touw.
Suami isteri itu sudah
terlatih baik, keduanya berdiri berendeng, tidak ada yang mengegos tubuh atau
berkelit, maka tempo serangan tiba, mereka cuma mundur tiga tindak. Dengan
begitu, serangan menjadi meluncur terlalu jauh dan jadi tak sampai kepada
sasarannya.
Mukanya, jago tua bertangan
satu itu menjadi merah. Tiga kali ia sudah menyerang, tiga-tiga kalinya tanpa
hasil. Ia menjadi malu berbareng mendongkol sekali. Tentu sekali ia malu untuk
menyerang pula untuk ke empat kalinya.
Sementara itu diam-diam Thian
Touw terkejut. Tadi tangannya bentrok, ia tidak merasakan apa-apa kecuali hawa
hangat, tetapi sekarang ia merasa panas dan sakit, ketika ia mencuri lihat,
tangannya melepuh melentung beberapa biji. Dengan lantas ia berkata: "Kami
berterima kasih yang lootjianpwee sudah sudi mengalah tiga jurus kepada kami,
maka itu sekarang harap maafkanlah kami untuk kelancangan kami!"
Kata-kata ini ditutup dengan
gerakan pedang, bahkan dua pedang berbareng, maka meluncurlah dua sinar perak
berkilauan.
Koan Sin Liong memperhatikan
terutama Hok Thian Touw, begitu ia melihat sinar pedang berkelebat, begitu ia
bergerak dengan jurusnya "Angin merontokan bunga." Cepat sekali ia
berkelit.
In Hong kalah tenaga dalam
dari suaminya, tetapi ilmu pedangnya lebih luar biasa daripada suaminya itu,
maka itu justeru ia kurang diperhatikan, pedangnya dapat bekerja dengan baik.
Ia pun menyerang ke arah yang tak dapat diduga, dan serangannya hampir
berbareng dengan serangan lawan. Tatkala Koan Sin Liong mendengar samberan
angin, pedang si nyonya sudah menyamber ke arah batok kepalanya. Dia kaget,
sekali. Itulah bahaya.
Maka lupalah dia pada derajat
atau kehormatannya si jago tua, dia menolong diri dengan "Yan Tjeng Sippat
Hoan" atau "Yan Tjeng berguling delapan belas kali," maka juga
ia membuang dirinya untuk terus bergulingan di lantai. Selagi ia berlompat
bangun pula. ia merasa sedikit hawa dingin di batok kepalanya.
Tiangsoen Giok, yang
menyaksikan pertempuran dengan berdiri di pinggiran, lantas tertawa lebar
sambil menepuk-nepuk tangan.
"Hahaha, engko Hoa!"
dia berkata kepada kawannya, "apakah engko pernah melihat hweeshio
separuh?"
Bouwyong Hoa sebaliknya
berulang-ulang berseru menyesal: "Sayang! Sayang!"
Itulah sebab pedangnya In Hong
menyamber cuma rambut orang, yang tertabas kutung, maka juga Tiangsoen Giok
mengatakan separuh hweeshio -- separuh pendeta!
Koan Sin Liong menjadi kaget
berbareng gusar sekali. Justeru itu In Hong dan Thian Touw sudah maju pula. Dalam
murkanya, dia berseru: "Orang rendah, lihat pedang!" Tubuhnya lantas
berlompat, tahu-tahu tangannya sudah mencekal pedang, dengan apa ia menangkis,
hingga pedang mereka beradu keras sekali.
Benar-benar hebat jago tua
ini. Tangkisannya itu membikin pedang In Hong terpental dan pedangnya Thian
Touw tertindih.
Jago Thiansan itu kaget,
tetapi ia tabah, maka itu selagi pedangnya dipaksa turun, ia lantas meneruskan
meluncurkannya. Ia menggunai tipu silat "Yatjo tamhay," atau
"Hantu utusan neraka menjelajah laut." Dengan begitu dengan lantas ia
dapat meloloskan pedangnya.
In Hong sebaliknya bekerja
terus. Pedangnya yang terpental itu diteruskan, ditarik pulang, untuk segera
dipakai menyerang pula, bahkan ia mengulanginya, dengan yang kedua dan ketiga
kali, hingga mau atau tidak, Koan Sin Liong mesti bersungguh-sungguh
melawannya, karena mana, Thian Touw menjadi merdeka benar-benar.
Pedangnya jago tua bertangan
satu dari gunung Aylao San itu ada pedang buatannya sendiri dengan besinya ia
ambil dari pegunungan tanah Biauw, besi itu berat luar biasa, maka itu,
ditambah dengan tenaga dalamnya yang telah mencapai puncak kemahirannya, ia
menjadi hebat sekali. Sudah begitu, dalam panasnya hari, ia juga berkelahi
dengan sungguh-sungguh. Maka saban-saban terdengar kerasnya hembusan angin
pedangnya itu.
Diam-diam Thian Touw menyedot
hawa dingin. Katanya dalam hatinya: "Kalau mulai tadi dia menggunai
pedangnya, pastilah aku tidak mengalah tiga jurus... Nyata sekali dalam tenaga
dalamnya berimbang dengan Kiauw Pak Beng."
Juga Koan Sin Liong heran dan
kagum. Sekarang ia telah mendapatkan bukti dari liehaynya suami isteri itu,
yang perpaduan pedangnya manis dan dahsyat sekali. Ia mesti waspada, ia mesti
mengeluarkan semua kepandaiannya, buktinya mereka sama tangguhnya. Baru
sekarang ia mau percaya Thian Touw berdua dapat melawan Kiauw Pak Beng tanpa
terkalahkan.
Di dalam pertarungan ini,
Thian Touw dan In Hong menang liehaynya ilmu pedang mereka dan Koan Sin Liong
menang mahirnya tenaga dalamnya. Pertempuran itu membikin Bouwyong Hoa dan
Tiangsoen Giok menjadi berdiri menjublak dengan hati mereka berdebaran.
"Engko Hoa, mari kita
maju bersama!" kata si nona kemudian, tangannya mencekal keras gagang
pedangnya. Ia merasa bahwa ia tidak dapat membiarkan kedua penolongnya itu
berkelahi terus berdua saja.
Bouwyong Hoa tertawa.
"Kita masih jauh
ketinggalannya!" ia menjawab. "Pertempuran jago-jago sebagai mereka
ini, dalam seumur kita, sukar untuk kita menemukannya pula, maka baiklah kau
tenang-tenang saja menonton terus!"
Mukanya si nona menjadi merah,
ia jengah.
Tiba-tiba mereka dibikin kaget
oleh suara bergomprangan, ketika mereka melihat, mereka melihat seorang pelayan
membuat terbalik menampan yang terisikan barang-barang makanan. Dia baru naik,
waktu melihat pertempuran itu, dia kaget, menampannya terlepas tanpa dia
merasa, maka hancurlah piring mangkoknya...
Dalam bertempur itu, In Hong
mendapat satu lowongan dan ia menggunai ketikanya itu. Ia membawa pedangnya
dari kanan ke kiri, lalu selagi lawan bingung, ia menikam dengan tipu silat
"Menggaris pecah Sungai Langit." Ia merasa bahwa ia bakal berhasil,
ketika mendadak Koan Sin Liong berseru keras dan pedangnya yang berat meluncur
ke arah pundak si nyonya!
Tapi Hok Thian Touw datang
menolong isterinya dari bahaya, ia menangkis serangan si jago tua, akan tetapi
ia kalah tenaga dalam, ia tertolak hingga ia terhuyung tiga tindak!
In Hong memang berhasil, ia
hanya melupakan lawannya bertangan cuma satu. serangannya itu mengenakan tangan
kiri yang buntung, menjadi yang tertabas ialah tangan baju belaka!
Bouwyong Hoa kaget sekali.
Adalah habis itu, di antara
mereka terdengar tertawa yang nyaring serta kata-kata ini: "Koan Soeheng,
bagus sekali ilmu pedangmu! Dulu hari pedangku telah kena dibikin kutung, maka
untuk membalas sakit hati itu, hari ini aku mengandal pada kau soeheng!"
Orang yang bersuara itu
berdandan sebagai seorang perwira dan dialah Yang Tjong Hay. Gurunya Koan Sin
Liong menjadi soepee, paman guru, dari Tjong Hay, maka itu Tjong Hay memanggil
dia soeheng, kakak seperguruan. Mereka menjadi sama tingkat, sedang
kenyataannya ialah Koan Sin Liong lebih tua dua puluh tahun dan kepandaian Sin
Liong sudah seimbang dengan kepandaian gurunya Tjong Hay ialah Tjie Hee
Toodjin. Bahkan beberapa kali, Tjong Hay pernah mendapat petunjuk soeheng-nya
ini. Tjong Hay tahu diri, ia berlaku hormat kepada soeheng-nya itu. Bahwa
sekarang Sin Liong berada di Hangtjioe ini pun karena undangannya.
Ketika Tjong Hay baru tiba
itu, ia justeru menyaksikan Sin Liong menunjuk keliehayannya, maka ia girang
sekali dan mengasi dengar tertawa dan seruannya itu. Tapi, baru sejenak ia
kegirangan, atau ia sudah menjadi kaget pula.
In Hong dan Thian Touw sudah
lantas melakukan penyerangan pula, serempak dan serentak. Suami isteri ini
penasaran. Bersatu padulah mereka. Koan Sin Liong menangkis. Hebat serangan
jago-jago Thiansan itu, jago dari Aylao San telah kena dipaksa mundur sampai
tiga tindak!
Menyaksikan itu, Tjong Hay
kaget. Dia bahkan menjadi berkuatir. Memang, seumurnya, kecuali Thio Tan Hong
dia, paling jeri terhadap Hok Thian Touw. Tentu sekali, tidak berani dia turun
tangan untuk membantui soeheng-nya, yang dia buat andalan.
Biar bagaimana, kedua pihak
yang bertarung itu tetap seimbang ketangguhannya. Tapi Koan Sin Liong mempunyai
pikirannya sendiri, maka juga lantas ia berkata kepada soetee-nya: "Kau
bekuk itu dua bangsat kecil!"
Dengan kedua
"bangsat" dia maksudkan Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok.
Tiangsoen Giok mengerti, ia
menjadi gusar, dari itu ia mendahului maju menyambut Yang Tjong Hay, yang
mentaati perintah soeheng-nya itu.
Dengan jurus "Mengangkat
obor menyuluhi langit," Tjong Hay tangkis pedang si nona, untuk membikin
terpental pedang itu. akan tetapi nona itu mempunyai gaetan yang liehay, maka
itu, gaetannya itu menyerang. Sang gaetan seperti hendak membalaskan sakit
hatinya sang pedang!
Maka berkelebatlah sinar
gaetan ke arah mukanya musuh.
Bouwyong Hoa kuatir adik
seperguruan itu menghadapi bahaya, ia lantas maju, ia menyerang dari samping,
maka Tjong Hay lantas
dikepung tiga batang
senjata-dua
pedang satu gaetan! Maka juga
mereka bertiga pun merupakan satu rombongan pertempuran lainnya.
Kedua soeheng dan soemoay itu
--- saudara-saudara seperguruan pria dan wanita --- telah mewariskan
kepandaiannya Ouw Bong Hoe suami isteri, apa yang kurang dari mereka ialah
latihannya. Mereka pun masih berusia muda. Menghadapi Koan Sin Liong mereka
tidak berdaya, sekarang melawan Yang Tjong Hay, mereka dapat bertahan. Yang
Tjong Hay liehay dia kewalahan, tidak dapat dia segera membekuk kedua
"bangsat kecil" itu.
Adalah Hok Thian Touw yang
sabar, yang tidak mempunyai keinginan buat berkelahi lama-lama. Ia lantas
melirik kepada isterinya, ia mengedipi mata. Sesudah itu. ia menyerang dengan
terlebih hebat.
In Hong dapat mengerti isyarat
suaminya, ia juga bekerja keras. Segera Koan Sin Liong dipaksa mundur lagi dua
tindak. Justeru itu Thian Touw berseru keras; tubuhnya lompat meleset ke arah
Yang Tjong Hay.
Orang she Yang itu kaget bukan
main, ia lantas lompat, untuk menyingkir ke belakang meja kuasa hotel.
Atas itu, Thian Touw berseru:
"Mari kita pergi!" Lalu dia mendahului mengangkat kaki.
Koan Sin Liong berniat
mengejar, akan tetapi ia bersangsi. Ia berkuatir Yang Tjong Hay kena dilukakan.
Justeru ia bersangsi itu, Bouwyong Hoa bersama Tiangsoen Giok telah turut
mengangkat kaki juga.
In Hong tertawa, ia kata:
"Bangsat tua. jangan terburu napsu! Jikalau kau benar berniat melanjuti
pertempuran kita ini, baiklah, kami menantikan kau di tempatnya Yap
Tjeetjoe!"
Dua-dua pihak jeri sendirinya.
Thian Touw berkuatir Yang Tjong Hay datang dengan bala bantuan, maka itu, tidak
ada napsunya berkelahi lama-lama Koan Sin Liong sebaliknya berkuatir ada
sambutan untuk pihak lawan, maka ia batalkan niatnya mengejar.
In Hong mengangkat kaki paling
belakang, bersama suaminya ia menyusul Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok.
Ketika itu serdadu-serdadu di
dalam perahu sudah mendarat, mereka tidak kenal bahaya, mereka memegat, niatnya
untuk membekuk musuh. In Hong mendongkol, ia meraup batu, ia menimpuk ke arah
mereka itu.
Belasan serdadu lantas saja
terhajar, mereka roboh seketika. Beberapa yang lainnya, yang bisa berkelit,
telah membuang dirinya ke telaga di mana mereka tercebur! Dengan begitu
leluasalah Thian Touw berempat berlalu dari tempat yang berbahaya itu.
In Hong pernah datang ke
Hangtjioe, ia mengenal baik jalanan, maka ialah yang berjalan di muka. Ia
menyingkir dari belakang kuburannya Gak Hoei. Dari sini ia menoleh ke belakang,
ia tidak melihat pengejar. Maka ia tertawa.
"Hari ini kita tidak bisa
bikin mampus si bangsat tua bertangan satu tetapi aku merasa puas juga!"
ia kata. "Toako," ia menambahkan kepada suaminya, "mari kita
minta bantuannyaentjie Sin Tjoe dan saudara Giok Houw buat menyingkirkan
bangsat tua itu, supaya dia dapat dicegah bergabung dengan Kiauw Pak Beng si
siluman tua! Mereka jahat, mereka bisa menjadi harimau tumbuh sayap!"
"Itu berarti kau mau
pergi ke tempatnya Yap Seng Lim," menjawab sang suami. "Itu artinya
memperlambat waktu..."
"Entjie JSin Tjoe
mempunyai urusan, mana dapat kita berdiam saja?" kata isteri itu.
"Kiauw PakBeng mau berserikat dengan Koan Sin Liong, maksud tujuan mereka
menj adi serupa..."
Ketika itu Tiangsoen Giok dan
Bouwyong Hoa ketinggalan oleh suami isteri ini, waktu mereka menyandak, justeru
mereka mendengar kata-kata In Hong yang terakhir. Tiangsoen Giok menjadi
girang, ia lantas berkata: "Apakah djiewie hendak mencari Ie Liehiap?
Kebetulan! Aku Tiangsoen Giok, dan ini soeheng-ku, Bouwyong Hoa. Memang sudah
lama aku mendengar nama besar dari djiewie berdua!"
"Aku pun pernah mendengar
Tjioe Tjie Hiap menyebut nama kamu," kata ln Hong. "Pula belum selang
lama, guru kamu ada bersama kami. Kami justeru hendak menyampaikan kabar kepada
kamu."
Bouwyong Hoa melengak.
"Di mana djiewie menemui guru kami itu?" ia tanya. "Dua bulan
yang sudah kami bertemu dengan Tjioe Tjeetjoe yang muda yang mau mencari Kiauw
Pak Beng, katanya dia mencari guru kami untuk diajak pergi bersama. Apakah dia
telah bertemu dengan guru kami itu? Apakah pesaa guru kami?"
In Hong ingat kebinasaannya
Ouw Bong Hoe, ia sangat berduka.
"Panjang untuk aku
menutur," ia menyahut. "Sekarang mari kita mencari dulu tempat di
mana kita dapat beristirahat, di sana nanti aku omong dengan jelas. Sudah
berapa hari kamu berada di kota Hangtjioe? Apakah kamu sudah bertemu dengan Yap
Tjeetjoe?"
"Belum," menjawab
Bouwyong Hoa. "Selama beberapa hari ini keadaan genting. Tjioe Tjeetjoe
telah membekali kami surat perkenalan dan kami dipesan untuk mencari satu orang
perantara, ketika kami cari orang itu, dia sudah pindah. Karena itu belum
sempat kami pergi berkunjung."
"Tidak apa kalau begitu.
Aku kenal seorang tauwbak tentara rakyat yang bernama Thio Pa, yang tinggalnya
di suatu tempat sepi di Kioekee Sippat Kan, pernah bersama Ie Liehiap aku
tinggal di sana, mungkin dia belum pindah, mari kita pergi padanya."
Bouwyong Hoa suka ikut nyonya
ini.
Hok Thian Touw tetap tidak
suka banyak urusan tetapi karena sekarang ternyata Kiauw Pak Beng sudah
berserikat dengan Koan Sin Liong, ia tidak bisa berbuat lain daripada
mengiringi isterinya, maka itu ia tidak mau banyak omong lagi.
In Hong jalan di depan.
Berselang satu jam. tibalah mereka di tempat yang dituju. Ia lantas mengetuk
pintu menurut isyarat kaum tentara rakyat, mengetuk lima kali, yaitu tiga lama
dan dua pendek.
"Sahabat siapa di
luar?" terdengar suara menanya dari dalam disusul dengan munculnya
orangnya ialah Thio Pa.
Tauwbak ini pada belasan tahun
yang lalu telah mengikuti pamannya Yap Seng Lim yaitu almarhum Yap Tjong Lioe.
ketika pertamakah Ie Sin Tjoe pergi kepada pasukan rakyat, dialah yang
mengemudikan perahu menghantarkannya. Dialah seorang yang gesit, maka juga,
begitu mendengar ketukan pintu berisyarat, ia lari keluar untuk membukai pintu.
In Hong tertawa dan berkata:
"Paman Thio, apakah kau masih mengenali aku?"
Thio Pa mengawasi sejenak,
lantas dia tertawa lebar.
"Kiranya Leng
Liehiap!" katanya riang. "Dan tuan ini?" Ia menunjuk kepada Hok
Thian Touw.
Thian Touw lantas
memperkenalkan dirinya.
"Oh, Hok Tayhiap!"
Thio Pa kata sambil tertawa. "Sudah lama aku mendengar nama besar dari
tayhiap! Sebenarnya sudah aku menduga kau siapa! Leng Liehiap, hari ini kau
harus mengundang aku minum arak kegirangan!"
"Sayang Lauwgwa Lauw
telah diubrak-abrik orang!" berkata In Hong tertawa. "Kami datang
kemari justeru untuk menggerecoki kau lantaran kami tidak dapat lain tempat
lagi!" Lantas ia memperkenalkan Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok.
Kembali Thio Pa tertawa.
"Liehiap menyebut-nyebut
Lauwgwa Lauw," ia kata, "di sini justeru ada orang yang ada sangkut pautnya
dengan rumah makan itu! Mari masuk menemui dia!"
Tuan rumah ini membuka jalan
untuk ke empat tetamunya, maka di dalam mereka melihat si wanita muda, yang
tadi naik perahu sebagai nelayan, menyambut mereka. Dialah Nona Tjioe Boen Wan.
"Kiranya di Lauwgwa Lauw
itu ialah kamu!" berkata dia. "Siapa itu orang tua yang melepas
senjata rahasia? Terima kasih yang aku telah ditolongi, jikalau tidak, entah
bagaimana jadinya dengan aku, mungkin aku tak dapat tiba di sini..."
"Bangsat tua yang
melepaskan senjata rahasia itu ialah Tokpie Kengthian Koan Sin Liong dari Aylao
San," In Hong memberi keterangan.
"Oh!" kataBoen Wan.
"Jadi dialah si tua bangka tak mau mampus yang dulu hari telah dikutungi
sebelah tangannya oleh Hoeithian Lionglie Yap EngEng!" "Itulah benar!"
"Kalau begitu,
sulit!" berkata Boen Wan, masgul. "Dengan adanya dia, sukarlah untuk
membongkar penjara..."
"Sebenarnya, apakah telah
terjadi?" tanya In Hong cepat. "Siapakah itu yang kena ditangkap
pembesar negeri ? Pada tahun yang sudah pernah aku mendengar dari entj ie Sin
Tjoe halnya Yap Toako telah membuat perjanjian dengan soenboe dari Tjiatkang
untuk kedua pihak tidak saling ganggu. Kenapa sekarang pihak pembesar di
Hangtjioe menangkap orang pihak kita?"
Matanya Boen Wan menjadi
merah.
"Sekarang ini telah
terjadi pertukaran orang yang menjadi soenboe," ia menerangkan. "Dan
pertukaran itu belum dapat diketahui oleh pihak kita. Hay San telah menerima
perintahnya Yap Toako pergi ke kantor soenboe untuk membicarakan sesuatu,
ketika dia tiba, dikantor orang justeru menyambut datangnya firman raja dengan
apa soenboe yang lama ditukar dengan yang baru. Celakanya si pembawa firman
ialah Yang Tjong Hay. Dengan begitu datangnya Hay San mirip dengan orang yang
menyerahkan diri ke dalam jaring. Yang Tjong Hay lantas menangkapnya!"
In Hong terkejut, baru
sekarang ia mengerti. Hay San itu --- Seng Hay San --- ialah suaminya Boen Wan,
pantas nyonya muda ini berduka.
Berhubung dengan tahun yang
lalu raja yang baru telah naik di atas tahta dan dari pelbagai propinsi datang
hadiah, pada itu telah terjadi hal yang luar biasa. Semua hadiah kena dirampas
"orang jahat," kecuali kiriman dari dua propinsi Inlam dan Tjiatkang.
Karena itu pihak pengirim yaitu raja muda dari Inlam, Bhok Kokkong, dan soenboe
dari Tjiatkang, Lie Tjoan. telah memperoleh pujian dari raja. Tapi, berbareng
dengan itu, dalam hati rajajuga timbul kesangsian, hingga ia menjadi bercuriga.
Sudah begitu maka timbullah urusannya Tiat Keng Sim serta Bhok Lin yang
ketahuan ada hubungannya dengan pihak tentara rakyat, hingga kejadian Keng Sim
bersandiwara membunuh diri, lantaran mana Thio Tan Hong bersama Ie Sin Tjoe
datang ke kota raja hingga mereka membekuk seratus lebih anggauta Gielimkoen
dan pengawal-pengawal raja, bahkan mereka menemui raja sendiri, sampai raja
tidak berani menarik panjang kejadian itu. Habis itu kemudian raja pun mendapat
tahu sebabnya kenapa, seperti bingkisan dari Inlam, bingkisan dari Tjiat kang
itu tak terganggu, yaitu lantaran adanya perjanjian di antara soenboe dan pihak
Yap Seng Lim dan Tjioe San Bin itu. Raja menjadi tidak senang. Untuk mengambil
tindakan terang-terangan, raja tidak berani, sebab Bhok Kokkong berada jauh di
Inlam dan kekuatan tenteranya besar, dari itu lalu diambil tindakan diam-diam
terhadap soenboe dari Tjiatkang, yaitu, Soenboe Lie Tjoan ditangkap, untuk
ditukar dengan soenboe yang baru.
Tatkala itu Yang Tjong Hay
berada di kota raja, ia lalu bekerja keras untuk mendapatkan pula pangkatnya
yang lama, oleh karena pangkat itu telah dipangku lain orang dan untuk
sementara tak ada pangkat yang cocok untuknya maka Kaisar Tjoe Kian mengangkat
ia menjadi Tjoktjatsoe, pangkat "pembesar tukang tangkap orang
jahat," dengan mana ia diberi kekuasaan menggunai polisi dan lentera di
pelbagai propinsi pesisir, kemudian ia di kirim ke Hangtjioe dengan dua tugas,
yaitu satu untuk menawan Soenboe Lie Tjoan, dan kedua, guna bertindak tentang
Yap Seng Lim dan Tjioe San Bin. Maka kebetulan sekali, Seng Hay San diutus
kepada soenboe, hingga dia dengan gampang kena ditangkap.
Semua rahasia ini diketahui
kemudian oleh mata-mata yang bekerja di kantor soenboe. Sedang halnya Yang
Tjong Hay mengundang Koan Sin Liong, si kakak seperguruan, untuk membantu
padanya, baru diketahui paling belakang itu.
Bingung In Hong mendengar
keterangannya Boen Wan ini. Ia jadi berpikir keras.
"Bagaimana dengan Giok
Houw?" ia tanya. "Bukankah dia yang mengacau di Lauwgwa Lauw
itu?"
"Benar dia. Dia telah
terluka tapi sekarang dia sudah pulang ke benteng air," jawab Boen Wan.
In Hong kaget.
"Dia terluka?" ia
tegaskan. "Bukankah ia terjun ke telaga dan menyingkir dengan berenang?
Bagaimana dia terlukanya?"
"Di gili-gili Souwtee
telah diatur banyak serdadu, yang menghujani anak panah," Boen Wan
menerangkan terlebih jauh, "karena terhalang itu, dia terpaksa pergi ke
selatan bukit Kosan di mana dia mendarat dan menerjang lentera negeri, yang dia
dapat bubarkan."
"Jadi dia terlukakan
panahnya tentera?"
"Bukan. Tentera negeri
tak dapat melukakan dia. Hanya di bukit itu dia bertemu dua lawan yang liehay,
yang satu dapat dia lukakan, yang lain kena memukul dia dengan tangan pasir
besi Tiatsee Tjiang. Syukur mahir tenaga dalamnya, katanya dia tidak terluka
parah."
"Jikalau begitu Yang
Tjong Hay bukan cuma mengajak Koan Sin Liong seorang yang liehay. Syukur Giok
Houw tidak bertemu jago dari Aylao San itu, kalau tidak, entah bagaimana
kesudahannya."
"Memang," kata Boen
Wan, "aku pun tidak tahu Yang Tjong Hay membawa banyak kawan yang liehay
itu. Aku menyamar jadi nelayan dengan niat membekuk beberapa musuh, umpama
komandan muda dari pasukan air negara, supaya dia dapat ditukar dengan Hay San,
aku tidak sangka Koan Sin Liong menghalang-halanginya dari Lauwgwa Lauw. Dia
benar hebat sedang jaraknya dia dari rumah makan itu demikian jauh. Jikalau
bukan kau membantu menghajar biji teratai besinya itu, mungkin aku pun
bercelaka..."
Bouwyong Hoa mendengari saja
orang berbicara, tidak ada kesempatan untuk ia turut mengambil bagian, setelah
mendengar perkataannya Boen Wan itu, baru ia menyelak.
"Leng Liehiap,"
katanya, "bukankah tadi kau bilang kau telah bertemu guru kami? Di manakah
soehoe diketemukannya dan apakah pesannya untuk kami?"
Ditanya begitu, In Hong jadi
berduka.
"Kita bertemu di atas
gunung Koenloen San," ia terpaksa menyahut. "Di situ dengan
bergantian kita menempur Kiauw Pak Beng..."
"Oh, jadi benar-benar
soehoe telah pergi kesana!" kata Bouwyong Hoa. "Bagaimanakah
kesudahannya? Apakah siluman tua she Kiauw itu dapat lolos?"
Bouwyong Hoa sangat
mempercayai gurunya, maka itu, ia bukan menanyakan hal gurunya, justeru hal
Kiauw Pak Beng.
Bukankah di sana pun ada Hok
Thian Touw dan Leng In Hong? Ia mau percaya, jikalau tidak mati sedikitnya Pak
Beng terluka.
Matanya In Hong menjadi merah.
"Jangan kamu
berduka," sahutnya perlahan. "Guru kamu. dia... dia telah menutup
mata... Tapi juga Kiauw Pak Beng, dia telah terluka Ittjie Siankang..."
Bouwyong Hoa dan Tiangsoen
Giok kaget hingga keduanya menjublak.
"Bagaimana
sebenarnya?" keduanya tegaskan kemudian. Mereka bersangsi akan tetapi
sekarang mereka melihat kedua matanya In Hong mengalirkan air.
"Kiauw Pak Beng telah
mulai meningkat ke tingkat delapan dari Sioelo Imsat Kang," Hok Thian Touw
menggantikan isterinya berkata, "karena itu guru kamu cuma dapat melukai
dia. Di jaman ini, kecuali Tayhiap Thio Tan Hong, tidak ada lain orang yang
dapat melukai dia secara demikian..."
Soeheng dan soemoay itu
menjublak pula, baru kemudian keduanya menangis, air mata mereka turun dengan
deras. Kedukaan mereka bukan kepalang.
In Hong menjadi semakin
berduka sedang Thian Touw berduka berbareng merasa tidak tenang hatinya, la
merasa malu sendirinya.
"Apakah pesan guru kami
sebelumnya ia menutup mata?"
kemudian Bouwyong Hoa tanya.
"Guru kamu menghendaki
supaya sebelumnya Kiauw Pak Beng binasa, janganlah kamu pulang dulu." In
Hong kasi tahu. "Gurumu ingin kamu ingat baik-baik pengajarannya, supaya
kamu bekerja sama dengan Tjioe Tjeetjoe atau Yap Tjeetjoe."
Bouwyong Hoa dapat menduga
maksud gurunya, yaitu supaya ia jangan sembrono pergi menuntut balas. Hanya,
karena gurunya telah terbinasakan, apakah ia mesti berdiam saja?
"Bagaimana dengan soenio
dan soetee kami yang kecil?" kemudian Bouwyong Hoa tanya pula. Ia
maksudkan isteri gurunya serta adik seperguruannya. "Pesan soehoe tidak
dapat ditentang, tetapi toh pantas jikalau kami pulang untuk berdamai dengan
soenio? Apakah soenio telah ketahui kejadian ini?"
Untuk sejenak itu, Bouwyong
Hoa masih memikir pulang kepada Lim Sian In, untuk mengabarkan dan berempukan,
guna membicarakan urusan menuntut balas. Ia tidak ingat, kalau gurunya sendiri
sudah tidak berdaya, bagaimana dengan ia dan ibu gurunya itu?
In Hong dapat membade hati
orang.
"Meskipun guru kamu
memesan demikian, kamu harus sabar," ia membujuk. "Baiklah diketahui
saatnya untuk kamu pulang sudah tidak lama lagi. Kau tahu, perjalanan kami ini
justeru ada untuk mengundang Thio Tayhiap guna membalaskan sakit hati guru
kamu. Kami juga berkewajiban membalaskan sakit hati itu. Sekarang ini Kiauw Pak
Beng telah menjadi musuh umum Rimba Persilatan, siapa pun yang membinasakannya,
sama saja. Tentang soenio kamu, ia sudah dikabarkan oleh Hoepangtjoe Tie Goan
dari Kaypang, maka itu ia tentulah lagi menantikan juga Thio Tayhiap untuk
turun tangan bersama."
Bouwyong Hoa berdiam, juga
Tiangsoen Giok.
"Sekarang ini Kiauw Pak Beng
banyak konconya," In Hong menerangkan terlebih jauh, "jadi untuk
membinasakan dia, kita perlu juga menyingkirkan sekalian konconya itu. Umpama
Koan Sin Liong, dialah kawan liehay dari Pak Beng, maka dia ini perlu
disingkirkan terlebih dulu."
Akhirnya soeheng dan soemoay
ini bersyukur. Nyata In Hong telah mengatur untuk pembalasan sakit hatinya itu.
"Kami masih muda, di
dalam segala apa kami menurut saja pada Leng Liehiap," akhirnya Bouwyong
Hoa bilang.
Maka itu lalu ditetapkan,
tindakan mereka yang pertama ialah mencari dulu Yap Seng Lim dan Ie Sin Tjoe.
Thio Pa lantas diminta mengatur untuk keberangkatan mereka.
Malam itu Thian Touw dan In
Hong tak dapat tidur pulas. Mereka sama-sama berpikir keras. Sampai jauh malam
mata mereka masih terbuka saja. Akhirnya In Hong tertawa dan berkata:
"Apakah hatimu tak tenang karena perjalanan kita ini terlambat?"
"Biar bagaimana, kita toh
bakal dapat bertemu dengan Koan Sin Liong, tak apa kita terlambat!"
menjawab suami itu. "Kelambatan ini tak dapat dicegah."
Hati sang isteri lega juga.
"Sekarang dia menjadi
terlebih sabar," pikirnya. "Rupanya dia mulai insaf..."
Thian Touw menghela napas.
"Ya, inilah terpaksa," kata ia. "Kejadian ini tak dapat
dihindarkan. Apa yang aku kuatir ialah, gelombang yang satu belum tenang, yang
lain bakal menyusul... Entah sampai kapan laut menjadi tenteram?..."
Ditanya begitu, sang isteri
berdiam, la pun merasakan demikian.
"Ya, sampai kapan laut
dapat menjadi tenang?" ia pun tanya dirinya sendiri. Ia turut merasa
sukar.
Teranglah sudah Thian Touw
senantiasa mencari ketenangan. Suami itu ingin memperoleh kesempatan untuk
meyakinkan sempurna ilmu pedangnya.
In Hong sebaliknya. Isteri ini
belum memikir untuk duduk diam saja. Di sana umpamanya masih ada le Sin Tjoe
dan Yap Seng Lim, yang belum dapat berhenti berusaha. Tidak dapat ia
mententeramkan diri selagi kawan-kawannya itu menghadapi badai dan gelombang
dahsyat. Belum ia memikir mencari pelabuhan di mana ia bisa berlabuh.
Hati In Hong bercekat kalau ia
ingat mungkin ia bentrok pula dengan suaminya sebab pandangan hidup mereka
masih berlainan...
Tengah isteri ini berpikir
dengan hatinya pepat itu, tiba-tiba telinganya mendengar suara angin yang keras
yang datangnya dari arah rimba.
Thian Touw pun dapat mendengar
itu, bahkan suami ini segera berkata: "Itulah suaranya panah nyaring! Ah,
di atas gunung di sana ada orang lagi bertempur!"
Berkat latihan bersamedhinya,
yang membuat tenaga dalamnya mahir, telinga orang she Hok ini menjadi luar
biasa tajam.
In Hong percaya pendengaran
suaminya itu, ia bangun untuk menyamber pedangnya, buat segera lari keluar.
Melihat demikian. Thian Touw
menghela napas.
"Benarlah, gelombang yang
satu belum tenang, telah menyusul yang lain," pikirnya. "Benarlah
satu kali orang terlibat dalam pertempuran-pertempuran kaum Kangouw, sulit
orang menyingkirkan diri pula, lantas tak ada lagi saat yang tenang..."
Meski begitu, ia menyusul
isterinya itu.
Suami isteri ini berlari-lari
dengan "Lioktee Hoeiteng," atau "Terbang mumbul di atas
tanah." suatu ilmu ringan tubuh yang mahir. Sebentar saja mereka sudah
melalui empat atau lima Iie, lalu di dekat selokan Tjengtiok Kan mereka
menampak berkelebatannya sinar pedang di sana beberapa tubuh manusia lagi
bergerak-gerak dalam sebuah pertempuran.
Setelah datang cukup dekat, In
Hong berhenti berlari, untuk mengawasi. Ia tidak mau bertindak sebelum melihat
nyata mereka itu, siapa lawan siapa kawan.
Yang bertempur itu terdiri
dari lima orang, dengan bantuan sinar rembulan dan bintang, dapat mereka
dikenali. Yang tiga berdandan sebagai opsir, yang dua sebagai rakyat jelata.
Satu opsir ternyata Yang Tjong Hay, yang bersenjatakan pedang. Seorang tua,
yang bersenjata tongkat bambu, ialah jago kenamaan dari PekToo, golongan Jalan
Putih, sebab ialah Sin-ie Kok Tiok Koen si Tabib Sakti. Sedang kawannya tabib
ini, seorang muda, bukan lain daripada Ban Thian Peng.
Kok Tiok Koen menggunai
sebatang tongkat sebagai pedang, ia dapat menikam dan menotok, sedang Thian
Peng memegang sepasang poankoan pit, untuk menotok juga, tetapi dalam
pertempuran ini, mereka repot sekali. Mereka dikepung musuh-musuh yang liehay
dan licik.
Yang Tjong Hay dengan
pedangnya melayani Kok Tiok Koen. Berdua mereka nampak berimbang. Ban Thian
Peng dilibat oleh musuh yang
usianya sudah lanjut, yang berkelahi dengan tangan kosong. Dia rupanya liehay
sekali sebab dia tidak jeri untuk sepasang poankoan pit lawannya, bahkan dia
dapat mendesak.
Yang menyulitkan ialah musuh
yang ketiga, si opsir usia pertengahan. Dia menggunai djoanpian, cambuk atau ruyung
lemas. Dia tidak mengepung salah satu, dia hanya mengambil kedudukan di tengah.
Dia menjadi si pengacau. Dia selalu menanti ketika. Ada kalanya dia menyerang
Tiok Koen, ada waktunya dia membokong Thian Peng. Dia cuma membikin orang
bingung.
Selama In Hong menonton, ia
menyaksikan Tiok Koen kena dibokong satu kali dan Thian Peng tiga kali, hingga
pakaiannya anak muda itu rubat-rabit, hingga dia menjadi repot. Kelihatannya
pemuda she Ban itu telah mendapat luka tak enteng.
Sampai di situ, In Hong tidak
dapat menonton terlebih jauh. Ia berseru dan berlompat maju, untuk
menghampirkan tukang mengacau itu.
Opsir yang bergegaman
djoanpian itu mendengar suara orang dan melihat orang mendatangi, tanpa menegur
lagi, ia menyambut. Ia menimpuk dengan seraup biji teratai besi, hingga
terdengar suara anginnya serangan itu.
In Hong menangkis. Ia
menggunai tipu silat "Naga Sakti keluar dari laut." Maka dengan
menerbitkan suara berisik, semua biji teratai besi itu kena dihajar mental ke
segala penjuru.
Opsir itu terkejut.
In Hong maju terus, ia
menyerang. Ketika ia ditangkis si opsir, ia babat kutung senjatanya opsir itu.
hingga dia menjadi terlebih kaget pula. Tapi pun pedang si nyonya kena
tersampok, dari mana ternyata, opsir itu benar bukanlah sembarang opsir.
Yang Tjong Hay yang bermata
tajam lantas dapat melihat di belakangnya In Hong ada Thian Touw. hatinya
menjadi kecil. Dia memang licik. Dia mengerti bahwa bahaya maut lagi mengancam
padanya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia berseru:""Angin keras!
Berhenti!" Lantas dia menangkis serangannya Kok Tiok Koen, terus dia
memutar tubuh dan lari keras, hingga lekas juga dia sudah pergi jauh.
Si opsir tua dan usia
pertengahan mengerti tanda kawannya, mereka juga mau mengangkat kaki, untuk
menyusul kawan mereka itu. Tapi In Hong.mendesak opsir usia pertengahan itu.
berulang-ulang ia menikam, tatkala si opsir berlompat, ia tikam mata kakinya.
Maka robohlah dia, terguling ke bawah bukit!
Habis itu In Hong menyerang si
tua. Dia itu Iiehay, dia dapat meloloskan diri.
"Sudahlah!" berkata
Thian Touw, yang tidak berniat mengejar musuh. "Paling perlu kita
menolongi orang!"
In Hong dapat dikasih
mengerti.
Ketika itu segera terdengar
suaranya Ban Thian Peng: "Kau, Leng Liehiap? Bagaimana dengan lukanya
Tjioe Tjeetjoe, sudah sembuh seluruhnya atau belum? Apakah liehiap mendengar
halnya Sioe Lan?"
Suara pemuda itu tidak keras,
rupanya selain luka di luar juga ia terluka di dalam.
In Hong menghampirkan pemuda
itu.
Ban Thian Peng bersama Kok
Tiok Koen pergi ke Selatan untuk mencari Im Sioe Lan. Ketika mereka tiba di
Hangtjioe, mereka justeru mendengar kabar hal ada seorang tauwbak-nya Yap Seng
Lim kena tertangkap pembesar negeri dan ditahan di kantor soenboe. Mereka
lantas memikir untuk menolongi. Kok Tiok Koen yang bernapsu sekali, dia yang
mengajaki Thian Peng. Di luar dugaan, mereka bertemu musuh-musuh yang tangguh,
yang menjaga kuat kantor soenboe. Syukur untuk mereka, Koan Sin Liong tidak
turut mengepung, sebab Sin Liong letih bekas melayani Thian Touw. Mereka kabur
terus.
Kawan yang tua dari Yang Tjong
Hay ialah Tjoei Goan Pok dari Tjengtjioe. Dia memang Iiehay, sebab dia pandai
berkelahi dengan tangan kosong, untuk merampas senjata musuh dan kemudian
merobohkannya. Ilmu silatnya, Kimna Tjioe, ilmu menangkap, terdiri dari tujuh
puluh duajurus. Dibanding dengan ilmu Hoenkin Tjokoet Tjioe dari Law Tong Soen,
dia kalah setingkat, tetapi dia toh terkenal sekali. Sedang opsir usia
pertengahan itu bernama Kouw Tok Tjoen, murid nomor dua dari Koan Sin Liong.
Dia telah mewariskan ilmu senjata rahasia dari gurunya. Dialah yang menggunai
teratai besi melukai Thio Giok Houw di luar LauwgwaLauw.
Yang Tjong Hay bertiga terus
mengejar Kok Tiok Koen berdua. Tiok Koen tahu di mana tempatnya Thio Pa, ia
percaya di sana ia bakal dapat bantuan, maka itu ia mengajak Thian Peng lari ke
arah rumah orang she Thio itu, tetapi di dekat selokan mereka tercandak, hingga
di situ mereka mesti berkelahi mati-matian. Mereka dipersulit oleh Tok Tjoen.
Syukurlah In Hong dan Thian Touw keburu tiba, kalau tidak, Thian Peng bisa
celaka.
Ban Thian Peng taat kepada
pesan Tjit Im Kauwtjoe, ia pandang Sioe Lan sebagai adik sendiri, maka juga
begitu melihat In Hong. ia tanyakan hal adik angkat itu.
In Hong lantas menyahuti:
"Tjioe Tjeetjoe sudah sembuh! Im Sioe Lan sudah pulang ke benteng
gunung!"
Thian Peng girang hingga ia
berseru sambil berjingkrak, atau mendadak ia menjerit kesakitan dan roboh
sendirinya.
Kok Tiok Koen lompat untuk
memimpin bangun.
"Syukur, nadimu tidak
kurang suatu apa!" kata tabib itu tertawa.
Selagi mengangkat, ia lantas
pegang nadi orang. "Tapi ingat, jangan lagi kau berseru-seru dan
berlompatan!"
Sebenarnya Thian Peng
terlukakan Tjoei Goan Pok pada jalan darah hiedjie, sedang luka djoanpian tidak
berarti. Tiok Koen merasa pasti, dalam waktu tiga hari ia akan dapat
menyembuhkannya.
Sementara itu Tjio Boen Wan
bersama-sama Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok serta Thio Pa telah datang
menyusul, mereka itu kenal Kok Tiok Koen, maka pertemuan itu menggirangkan
mereka. Lantas bersama-sama mereka balik.
Setelah mengetahui segala apa,
Thio Pa berpikir, terus ia berkata: "Tempat kita ini sudah diketahui
musuh, tidak dapat kita berdiam lebih lama pula di sini. Baiklah besok pagi
kita lantas berangkat!"
Sebenarnya Thio Pa lagi
menyiapkan kendaraan air dan awaknya dan masih belum bersedia, tetapi sekarang,
tak dapat ia menanti lagi. maka ia lantas bekerja.
Malam itu orang tak tidur
lagi. Mereka berjaga-jaga karena kuatir musuh nanti datang pula. Tapi sampai
terang tanah, mereka tidak mendapat gangguan apa-apa.
Itulah disebabkan Kouw Tok
Tjoen terluka. karena dia ditolongi, ketika mereka itu tiba di kantor soenboe,
hari sudah jam lima.
Tiok Koen menggunai jarum
mengobati Thian Peng, untuk membuyarkan darahnya yang bergumpal, maka itu.
meski si anak muda belum sembuh benar, dia sudah dapat berjalan. Pagi itu.
dengan naik perahu, mereka pergi menyingkir.
Di atas kendaraan air, In Hong
memandang jauh ke sekitarnya. Ia melihat ujung air seperti nempel dengan
pangkal langit. Burung-burung beterbangan. Ia merasa hatinya terbuka. Maka ia
berpaling kepada suaminya dan kata sambil tertawa: "Inilah yang dibilang,
laut lebar membikin ikan dapat berlompatan, dan langit terbuka memerdekakan
burung beterbangan. Satu kali orang berada di tengah laut, legalah
hatinya!"
Thian Touw menyeringai.
"Nampaknya kau sangat
mengagumi Sin Tjoe beramai!" katanya masgul. Ia ingat bagaimana pada dua
tahun dulu ia pergi mencari In Hong, ketika itu ia telah minta bantuannya Ie
Sin Tjoe, tetapi sekarang, ia telah terlibat oleh isterinya ini, sekarang ia
mesti ikut isterinya pergi mencari pula Nona Ie...
Tiga hari orang berlayar maka
tibalah mereka di tempatnya Yap Seng Lim. markas di Tanghay, Laut Timur.
Ketika Yap Seng Lim mendengar
siapa yang datang, bersama-sama Ie Sin Tjoe dengan lekas ia pergi menyambut.
Bukan main girangnya Sin Tjoe
dan In Hong dapat bertemu pula satu dengan lain, meskipun belum ada satu tahun
semenjak mereka berpisah, hingga tanpa merasa, In Hong membikin suaminya
menjadi tersampingkan. Thian Touw pun lantas bisa melihat bahwa In Hong itu
benar-benar orang yang sama cita-citanya dengan Sin Tjoe. Dengan begitu, ia
merasa ia seperti orang luar...
Thio Giok Houw sudah sembuh
tujuh atau delapan bagian, maka setelah bicara sebentar, In Hong ajak Sin Tjoe
pergi menjenguknya.
Giok Houw senang mendapat
kunjungan itu apapula kapan ia mendengar halnya In Hong berdua Thian Touw
menempur Kiauw Pak Beng, cuma ia berduka akan mendapat tahu kematiannya Ouw
Bong Hoe. Ia pun berlega hati mendengar halnya Sioe Lan, yang tak usah
dikuatirkan lagi.
"Mana Kiam Hong?"
kemudian In Hong tanya. "Kenapa aku tidak lihat dia? Apakah dia belum
pulang?"
"Bagaimana, eh?" Sin
Tjoe balik menanya. "Bukankah kamu datang kemari bersama Nona Liong?"
"Memang aku bersama ia
tetapi kita berpisah di Thiantjia," sahut In Hong. "Dia naik perahu
bersama-sama Thay Ouw Tjeetjoe Lioe Tek Tjhong dan Tjhio Peng Kin. Tentu dia
sekarang ada di tempatnya Tjhio Tjeetjoe. Kalau dia mendengar Giok Houw
terluka. pasti dia menyesal tidak mempunyai sayap untuk terbang
kemari!..."
Mendengar begitu, hati Sin
Tjoe tidak tenang. Ia percaya, seharusnya Kiam Hong sudah sampai di markasnya
ini.
"Perjalanan di laut sukar
ditentukan," kata Giok Houw. "Jikalau kita menghadapi gangguan angin,
kita dapat terhalang beberapa hari."
Pemuda ini dapat berkata
demikian tetapi hatinya tak tenang. Ia terus memikirkan Kiam Hong.
Dua hari orang
mengharap-harap, perahunya Lioe Tek Tjhong tetap tak kunjung tiba. Di lain
pihak datanglah warta buruk dari Hangtjioe. Mata-mata dapat berita ketenteraan,
ialah bahwa soenboe yang baru, setelah mulai bertugas, lagi rajin mengumpul
pasukan air dari pelbagai tempat, mungkin maksudnya untuk melakukan penyerbuan.
Seng Lim lantas berhimpun,
untuk membicarakan kemungkinan penyerangan tentera negeri itu. Kalau benar,
penyerangan itu mesti dilawan. Mereka juga sekalian merempuki pertolongan untuk
Seng Hay San.
Tengah mereka berunding itu.
datang warta tergesa-gesa lainnya lagi. yaitu katanya perahu peronda telah
dapat menolong seorang yang mendapat kecelakaan di laut.
"Orang apa dia itu?"
Seng Lim tanya. "Kenapa kau agaknya gelisah?"
"Orang itu dikenali
sebagai Lioe Tjeetjoe dari Thay Ouw..."
"Lekas ajak dia
masuk!" berkata
Sin Tjoe cepat. "Aku akan
dengar sendiri keterangannya!"
"Orang itu tidak dapat
didengar keterangannya," berkata pula tauwbak yang datang melapor itu.
"Dia telah dipotong lidahnya hingga dia tidak dapat bicara. Juga setelah
ditolongi, dia mengamuk tak hentinya, lagaknya seperti orang gila."
Seng Lim heran. Ia menyangka
pada kejadian jelek.
"Lekas bawa dia
masuk!" ia menitahkan. Di lain pihak ia menyuruh mengundang Kok Tiok Koen.
Orang yang ditolongi di laut
itu sudah lantas dibawa masuk. Ia pun lantas ada yang kenali sebagai Ong Tiauw
Keng. Dia benar orangnya Lioe Tek Tjhong. Dia tidak mau diam, dia meronta-ronta
dan mulutnya mengasi dengar suara ah-ah~uh-uh. Dia benar mirip orang edan.
Matanya yang je lilitan dan wajahnya yang berkedutan menandakan dia pun tengah
ketakutan. Dia meronta-ronta seperti orang mau lari kabur. Maka ia mesti dibawa
masuk dengan paksa, beberapa orang memeganginya keras-keras.
"Ong Tiauw Keng, apakah
kau masih kenali aku?" Seng Lim tanya.
Tiauw Keng pernah turut Tek
Tjhong datang kepada pemimpin pasukan rakyat ini, atas pertanyaan itu. dia
mengawasi dengan mendelong, agaknya dia memikir tetapi tidak dapat ingat.
"Dia sebenarnya cerdik
sekali, kenapa sekarang dia menjadi begini, seperti orang yang asabatnya sangat
terganggu?" kata Seng Lim. "Dia ditanya, dia tidak bisa menjawab, bagaimana?"
"Nampaknya dia belum
menjadi gila." kata Tiok Koen. "Lihat, dia masih tetap berpikir
keras. Rupanya dia mencoba mengingat-ingat kau. Aku lihat, dia tentu telah
menghadapi kejadian yang sangat menakuti."
"Apakah ada daya untuk
menyadarkan dia?"
"Nanti aku coba."
Lantas Tiauw Keng dicekoki
obat, habis itu dia dibiarkan tidur lama. Begitu dia mendusin, dia lantas
direjang pula, untuk diberikan tusukan jarum di ketiga jalan darahnya, honghoe,
taytwie dan giokheng.
Tidak lama dari bekerjanya
tusukan jarum, Tiauw Keng berlompat bangun sambil berseru-seru pula
ah-ah-uh-uh, lantas air matanya turun bercucuran. Dia menghampirkan Seng Lim
untuk memberi hormat sambil menjura. Rupanya dia sudah mengenali pemimpin
tentara rakyat itu tetapi belum seluruhnya.
Kok Tiok Koen memeriksa tubuh
orang, kecuali lidahnya dipotong, dia itu tidak dapatkan lain luka. Adajuga
luka di luar, yaitu tubuhnya lecet belasan tempat. Diduga itu bekas
terbentur-bentur batu tepian laut.
"Apakah kau hendak minta
sesuatu dari aku?" Seng Lim tanya.
Tiauw Keng mengangkat
kepalanya, ia mengawasi mendelong.
"Telinganya pun sudah
rusak." Tiok Koen memberi tahu. "Agaknya dia sudah ingat banyak.
Nanti aku tanya padanya."
Tabib ini dengan Lioe Tjek
Tjhong telah bersahabat untuk banyak tahun, maka itu tentu sekali Tiauw Keng
mengenali padanya. Ia lantas minta kertas tulis dan pit, ia melukis gambarnya
Tek Tjhong, gambar mana diperlihatkan orang yang terganggu urat syarafnya itu.
Melibat gambar jago tua itu,
Tiauw Keng lantas menangis. Karena lidahnya sudah buntung, ia tetap cuma bisa
ah-ah-uh-uh.
Seng Lim bergelisah. Ia
menghampirkan dekat, ia bicara di telinga orang itu, kedua tangannya dipakai
memetahkan sesuatu. Tanyanya: "Apakah Lioe Tjeetjoe menemui bencana?"
Tiauw Keng mementang kedua
tangannya, ia merangkul beberapa kali.
Seng Lim dapat membade tanda
rangkulan itu, tanda memeluk.
"Di manakah Lioe Tjeetjoe
dikurung orang?" ia menanya pula. Kembali ia memberi tanda.
Tiauw Keng cuma mengangguk
dengan perlahan.
Seng Lim lantas menyodorkan
alat tulis, supaya dia itu menulis, tetapi Tiauw Keng belum sadar betul, habis
menyambut pit, ia patahkan itu, ia nampaknya ketakutan pula. lagi-lagi ia
bersuara ah-ah-uh-uh itu, suaranya sangat menyayatkan.
"Dia belum sadar
seluruhnya, dia cuma ingat kehebatannya peristiwa," kata Tiok Koen.
"Mungkin di antara kawan-kawannya ada yang ditabas pinggangnya..."
"Kiranya ini cukup juga
untuk kita," kata Seng Lim akhirnya. "Aku percaya Nona Liong dan Lioe
Tjeetjoe semua telah kena terkurung di sebuah pulau kosong, tentu mereka itu
mendapat kecelakaan."
"Bagaimana dapat kau
menerka demikian?" tanya Sin Tjoe, sang isteri.
"Bukankah Tiauw Keng
diketemukan di laut?" balik tanya Seng Lim. "Bukankah di tepian
banyak batu-batu tajam? Itulah yang menyebabkan luka di luar dari orang ini.
Aku percaya pulau kosong itu tak jauh jaraknya dari tempat kita ini, paling
jauh seperjalanan tiga hari..." Ia berhenti sebentar, seperti ada yang
dipikirkan, lalu ia menambahkan: "Semua pulau di sekitar sini telah aku
periksa, maka aku menduga kepada kepulauan di tenggara, jauhnya tiga ratus lie.
Di sana ada beberapa pulau kecil. Pernah aku memeriksa pulau-pulau itu. Karena
di sana tidak ada tempat yang bagus untuk dijadikan pelabuhan dan terpisahnya
dari sini jauh juga, aku melepaskannya. Aku mau percaya Lioe Tjeetjoe terkurung
di sana, sebab lainnya pulau tak ada yang kosong. Sayang aku tidak bisa
meninggalkan tempat ini. Maukah kau mewakilkan aku pergi ke sana?"
"Baiklah," menyahut
Sin Tjoe.
Thio Giok Houw dan Ban Thian Peng
menyatakan suka turut pergi. Thian Peng bersyukur kepada Kiam Hong, yang sudah
menolongi Sioe Lan, ia hendak membalas budi.
"Untuk kepergian ini kamu
harus mendapat kawan yang pandai ilmu tabib," kata Seng Lim. "Maka
itu, Kok Lootjianpwee, sukalah kau capai sedikit untuk turut pergi
bersama."
Sudah tentu Tiok Koen suka
membantu.
"Kenapa kau melupai
aku?" In Hong tanya tertawa.
Seng Lim memandang nyonya itu.
"Baiklah," sahutnya,
yang menganggap baik juga orang pergi banyakan. Tetapi Hok Thian Touw diminta j
angan turut. Sebab dikuatir, andaikata Koan Sin Liong datang, tidak ada yang
sanggup melayani dia.
Sin Tjoe lantas menyiapkan
seratus serdadunya yang pandai berenang, mereka di tempatkan dalam dua perahu
besar. Segera mereka berlayar ke arah tenggara seperti ditunjuk Seng Lim.
Benarlah, di hari ketiga magrib, mereka telah tiba di pulau itu, yang kecil,
bahkan di tepiannya telah didapatkan sebuah perahu kandas. Dikenali itulah
perahunya Lioe Tek Tjhong dari Thayouw, sebagaimana benderanya masih terlihat
berkibar-kibar.
Orang lantas mendarat. Paling
dulu mereka memeriksa perahunya Lioe Tek Tjhong itu. yang ternyata sudah rusak,
ialah banyak liangnya. Di lantai perahujuga terlihat tanda-tanda darah. Isi
perahu sudah habis.
"Perahu ini terdampar gelombang,"
kata Tiok Koen, "dia telah melanggar karang. Rupanya telah terjadi
pertempuran setelah terdamparnya itu."
Hati Giok Houw menjadi tidak
tenang.
"Mari kita periksa!"
In Hong mengajak.
Di pesisir situ banyak batu
tajam, itulah bukti dari penderitaannya Ong Tiauw Keng, yang telah kabur dari
daratan.
Giok Houw menggigil sendirinya
kapan ia membayangkan penderitaannya Tiauw Keng itu. Bukankah rombongannya Lioe
Tek Tjhong telah dikurung musuh dan itu telah berjalan beberapa hari lamanya?
Bagaimana dengan mereka? Mereka masih hidup atau sudah mati? Dapatkah mereka
meloloskan diri? Kecelakaannya Tek Tjhong berarti juga kecelakaannya Kiam
Hong...
Tak sanggup Giok Houw memikir
lebih jauh, maka ia lantas mencari terus.
Itulah pulau kosong yang belum
dibuka.
Ketika itu cuaca juga sudah
mulai remeng-remeng dan rimba menjadi gelap sekali, ditambah dengan kesunyian.
suasana dapat mendatangkan rasa segan dan jeri...
Dugaannya Kok Tiok Koen tidak
salah. Perahunya Lioe Tek Tjhong itu telah diserang badai, lalu melanggar
karang, terus terdampar di pesisir. Cuma mereka tak dapat menduga tepat
penderitaan hebat dari Tek Tjhong semua, kecuali mereka menerka-nerka dari
keadaannya Tiauw Keng.
Perahu Tek Tjhong itu diganggu
badai hingga kanyut ke arah pulau kosong itu. lalu membentur karang dan
terdampar. Syukur mereka sendiri tidak mendapat celaka apa-apa. Terpaksa mereka
mendarat. Pikiran mereka ialah untuk memperbaiki dulu kendaraan air mereka itu.
yang mana akan makan tempo beberapa hari. Tidak dapat mereka berdiam terus di
dalam perahu rusak itu, sedang juga ada kemungkinan gangguan air pasang. Maka
mereka mengangkut semua barang makanan dan lainnya yang dibutuhkan, mereka
pergi mencari tempat di mana mereka dapat membuat gubuk darurat.
Begitulah dengan mengajak
belasan awak perahunya, Tek Tjhong bersama Tjhio Peng Kin dan Nona Liong pergi
memeriksa pulau itu. yang tidak luas, melainkan rimbanya benar lebat dan
rumputnya tinggi-tinggi serta banyak pohon rotannya dan oyot lainnya. Sesudah
jalan sekian lama, lantas mereka mendapatkan satu bidang yang lebih datar di
mana ada sebuah benteng tua yang sudah rusak.
"Syukur!" kata Tek
Tjhong tertawa. "Di sini dapat kita menempatkan diri. Hanya entahlah
tempat ini ada penghuninya atau tidak Ia lantas berkata nyaring: "Aku Lioe
Tek Tjhong dan rombongan dari Thayouw kena terdampar angin sampai di sini, maka
itu aku mohon bertemu dengan tuan rumah, untuk minta diberikan tempat menumpang
meneduh!"
Tek Tjhong menduga, kalau
benteng itu ada penghuninya, orang mesti sesama kaum Rimba Persilatan, atau
sedikitnya perompak yang lagi menyembunyikan diri, hingga namanya sebagai ketua
dari benteng Thayouw Tjee mestilah diketahui. Ia juga mengharap memperoleh
beberapa sahabat baru.
Benarlah dugaan jago ini,
benteng ada penghuninya. Suaranya masih belum berhenti, pintu telah dipentang,
dari dalam lantas terlihat keluarnya serombongan orang, hanya melihat mereka
itu, Kiam Hong terkejut, sampai hampir ia tidak mau percaya matanya.
Rombongan itu terdiri dari
beberapa puluh wanita muda, yang menjadi kepala ialah seorang aneh yang
tubuhnya dikerebongi kulit binatang yang berbulu. Dan di antara rombongannya
itu ada beberapa yang nona ini kenali sebagai murid-muridnya Tjit Im Kauwtjoe.
Sebegitu jauh yang Kiam Hong
ketahui, murid-murid Tjit lm Kauwtjoe berkumpul didusun Tang Keepo di gunung
Himdjie San di luar kota Ganboenkwan. Dan gunung Himdjie San itu terpisah dari
pulau ini beberapa ribu lie jauhnya. Maka heran mereka ini diketemukan di sini
dan mereka berada di bawah pimpinan orang aneh itu.
Masih ada satu hal lainnya
yang luar biasa, yang mengejutkan. Di samping si orang aneh ada seorang lain,
yang bercokol di atas sebuah kereta roda satu. Dialah seorang dengan muka
berewokan, tubuhnya tinggi dan besar, dandanannya sebagai seorang pelajar
tetapi tak keruan ragamnya. Dialah Tiatsan Sieseng Tjouw Thian Yauw, si Pelajar
Kipas Besi, orang yang dulu hari di dalam kuil telah dihajar Tjit Im Kauwtjoe
dengan peluruh beracun Tokyam tan serta kemudian oleh Nona Liong ini dibacok
kutung sebelah lengannya!
"Celaka! Itulah
musuh!" Kiam Hong berseru.
Justeru itu Tjouw Thian Yauw
tertawa berkakakan dan kereta roda satunya maju cepat sekali ke arah si nona,
maka tidak ampun lagi Kiam Hong menyambutnya dengan tikaman "Bidadari
menenun," menikam ke arah dada.
Thian Yauw bercokol di atas
keretanya, separuh tubuhnya bagian bawah tak dapat digeraki, si nonajuga
kebetulan berada di tempat yang terlebih tinggi, maka hebatlah dia terancam
bahaya, akan tetapi meski bercacad, dia masih liehay, dengan lantas dia menangkis
dengan kipas besinya begitu rupa. hampir pedang si nona terlepas dari
cekalannya.
Nona Liong terkejut, insaflah
ia akan liehaynya musuh lawas itu. maka ia lantas menyerang pula. Ia pun telah
memperoleh kemajuan setelah sekian lama berada bersama In Hong. Karena ia tahu
liehaynya kipas besi itu, tak mau ia membenturnya pula.
Oleh karena ia duduk di atas
kereta, biar bagaimana juga, Thian Yauvv tak sesebat orang yang kedua kakinya
merdeka, dari itu, dilawan dengan kegesitan oleh si nona. dia menjadi repot,
dia lantas terdesak. Kiam Hong senantiasa mengarah pelbagai jalan darah, maka
dia selalu menutup diri.
Orang aneh berkerebong kulit
itu berseru, dia memburu kepada Lioe Tek Tjhong.
"Tuan, sukakah kau
memberitahukan shc dan namamu yang mulia" tanya jago Thayouw itu.
"Aku ialah Lioe Tek Tjhong dari Thayouw!"
"Aku tahu kau ketua dari
Thayouw!" menyahut orang itu. kasar. "Baiklah, aku akan menerima kau
supaya kau bekerja sebagai budak pelayanku!"
"Kurang ajar!" kata
Tek Tjhong yang menjadi murka. "Kau siapa?
Bagaimana kau berani menghina
kepadaku?"
Orang itu tertawa bergelak.
"Taruh kata aku beritahu
namaku, kau tentu tidak tahu!" dia menjawab, ketus. "Kau tahu, dengan
suka menerima kau sebagai budakku, itu tandanya aku menghargai kau, tua bangka!
Sudah, jangan banyak omong lagi! Kau suka jadi budakku atau tidak? Atau kau
lebih suka mengantarkan jiwamu! Mati atau hidup, kau pilihlah!"
Tek Tjhong tidak dapat
menguasai diri lagi, ia angkat goloknya yang besar dan berat, ia menyerang
sambil membentak: "Manusia terkebur, lihat golokku!"
Orang aneh itu berkelit,
sembari berkelit ia menghajar belakang golok dengan tangannya yang kosong, '
hingga golok itu terpental! Lantas dia tertawa terbahak-bahak dan berkata pula:
"Bagus! Kau nyata liehay juga! Baiklah, boleh aku angkat kau menjadi
kepala budak!"
Tek Tjhong kaget dan heran.
Inilah ia tidak sangka. Ia jadi semakin panas hatinya. Kembali ia membacok.
Kembali ia gagal. Saking penasaran, ia lantas menyerang terus berulang-ulang.
Ia telah mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan kepandaiannya yang telah
terlatih beberapa puluh tahun.
Didesak secara demikian, si
orang aneh mundur juga. Rupanya dia merasa jeri terus melayani dengan tangan
kosong.
Ketika itu Tjhio Peng Kin
turut maju, iamenggunai penggayunyayang berat mengepung si orang aneh. hingga
dia ini menjadi repot. Tapi dia tidak takut, dia kembali tertawa bergelak.
Mendadak dia lompat mundur, untuk terus mencabut sebuah pohon dengan apa dia
membalas menyerang.
Tek Tjhong dan Peng Kin lompat
mundur, sembari mundur jago tua itu membacok, hingga cabang-cabang pohon itu
terbabat kutung.
Di situ juga muncul seorang
lain, yang mukanya potongan segi tiga.
"Soehoe, ini
senjatamu!" dia berteriak, sembari kedua tangannya melemparkan dua benda
yang bersinar kuning emas.
Kemudian ternyata, itulah
sepasang gembolan Tjiekim twie segi delapan.
Si orang aneh berlompat
menyambuti senjatanya itu, lantas dia maju menghampirkan musuhnya, sembari
tertawa dia menanya: "Adakah kamu masih belum mau menyerah? Aku kenal kau tetapi
sepasang gembolanku ini tidak! Jikalau kamu tetap tidak mau menyerah, nanti
kamu menyesal sesudah kasip!"
Tek Tjhong dan Peng Kin tidak
menghiraukan ancaman, keduanya maju menyerang. Tatkala senjata mereka bentrok,
keras, telinga mereka ketulian. Tapi yang mengejutkan ialah tangan mereka
menggetar dan telapakan tangan-nya sakit. Sebab senjata mereka kalah berat,
tenaga mereka pun beda jauh!
Pertempuran itu membikin rimba
berisik. Juga murid-murid Tjit Im Kauw sudah lantas turun tangan menyerang orang-orangnya
Tek Tjhong.
Liong Kiam Hong melihat
suasana buruk, ia berlompat untuk meninggalkan Tjouw Thian Yauw, terus ia lari
mutar. Tapi Tiatsan Sieseng tidak mau sudah, dengan kereta roda satunya dia
mengejar, sambil tertawa dingin dia berkata: "Aku mau lihat kau hendak
lari ke mana?" Habis itu, dia berteriak: "Kie Toako! Jangan kau kasih
lolos budak perempuan ini! Kitab Pektok Tjinkeng ada padanya!"
Kiam Hong lari ke arah
orang-orang Tjit Im Kauw, ia lantas berseru: "Eh, kamu semua dengar! Kamu
masih mengenali aku atau tidak? Kauwtjoe kamu sudah meninggal dunia tetapi Nona
Im Sioe Lan sekarang berada di benteng Kimtoo Tjee, dia sedang mencari kamu!
Dengan Im Sioe Lan aku telah mengangkat saudara! Kenapa kamu ikuti ini kawanan
manusia busuk?"
Kawanan Tjit Im Kauw itu
melengak, hingga mereka berhenti menyerang, tak ada yang membuka suara.
Sekarang Kiam Hong dapat
melihat di antara mereka itu ada seorang yang bertubuh kecil, kate dan kurus
sekali,matanya panjang, roman-nya jelek.
Dialah seorang suku bangsa
Biauw. Semua orang Tjit Im Kauvv itu lantas mengawasi dia, agaknya merekajeri.
Selagi orang pada berdiam itu,
si orang Biauw tertawa dan berkata kepada murid-murid Tjit Im Kauwtjoe itu:
"Kamu suka turut aku atau kamu ingin ikut anak perempuannya Tjit Im
Kauwtjoe si tua untuk kamu angkat menjadi ketua
kamu?-He, apakah kamu sudah
gagu semua? Lekas bilang,
lekas! Jikalau tidak, sekarang juga aku akan bikin kamu semua gagu!"
Sembari berkata begitu, dia
menusuk dengan jari tangannya ke arah dua orang wanita di depannya, hingga
mereka itu kaget, dengan suara bergemetar, mereka lantas berkata: "Kami
suka turut kau, loodjinkee!"
"Jikalau begitu, kenapa
kamu diam saja?" bentak pula si orang Biauw. "Lekas!"
Atas itu, semua anggauta Tjit
Im Kauw itu lantas mulai menyerang pula.
Celaka belasan awak perahu
itu, mereka bukan tandingan anggauta-anggauta Tjit Im Kauw itu, belum lama
mereka sudah lantas kena dikalahkan dan dibekuk.
Kiam Hong jadi sangat
mendongkol, ia serang orang Biauw itu.
Orang itu tertawa dan berkata:
"Ini dia yang dibilang susah dicari tetapi ketemunya gampang! Aku mau cari
kau, kau justeru mengantarkan diri!"
Lantas atas datangnya
serangan, dia mengibas tangannya.
Nona Liong terperanjat.
Kibasan itu menghembuskan bau harum. Ia menyerang terus, masih ia mencium bau
harum itu. Ketika ia menikam untuk ketiga kalinya, tenaganya habis sendirinya,
ia merasa dadanya pepat, tubuhnya kaku, maka kedua tangannya meroyot turun,
pedangnya terlepas dan jatuh ke tanah, diturut oleh tubuhnya. Hanya sejenak, ia
tidak sadarkan diri lagi.
Orang Biauw itu, yang Thian
Yauw panggil Kie Toako, adalah Kie Yoe, anak pungut dari Kie Hoan. Asalnya dia
seorang keponakan, dia diangkat anak sebab dalam usia tinggi, Kie Hoan tidak
mempunyai turunan. Kie Hoan memikir buat mewariskan kepandaiannya kepada anak
pungut ini. Apa celaka, Kie Yoe berbatin buruk, dia kena dibujuk Bang Thong
beramai dan dia membantu Bang Thong berbuat jahat dengan rencananya, ketika
perbuatannya ketahuan, Kie Hoan gusar dan mengusirnya. Tatkala itu, Tjit Im
Kauwtjoe masih belum berguru kepada Kie Hoan.
Murid kepala dari Kie Hoan,
yaitu Pektok Tjinkoen Tjio Keng Ham, masih tetap bergaul dengan Kie Yoe yang
menjadi adik seperguruannya, ketika Tjit Im Kauwtjoe datang berguru, Kie Yoe
sudah merantau jauh, maka juga Tjit Im Kauwtjoe tidak tahu dia dan tak tahu
juga segala hal ichwalnya itu.
Kemudian terjadilah itu
bencana hebat yang menimpa dirinya Kie Hoan, yaitu ia telah dibinasakan Pektok
Tjinkoen, muridnya itu, yang juga menjinakan soemoay-nya, si adik seperguruan.
Meski demikian, kitab Pektok Tjinkeng terjatuh ke dalam tangannya Tjit Im
Kauwtjoe, yang membangun partainya itu, yang maksud tujuannya suci tetapi
jalannya sesat.
Tjio Keng Ham penasaran, ingin
dia mempunyai kitab gurunya itu, maka juga di satu pihak dia pergi kepada Kiauw
Pak Beng, di lain pihak dia menyelidiki di mana adanya Kie Yoe, untuk keduanya
berserikat melawan Tjit Im Kauwtjoe. Maksudnya itu kesampaian, dengan Kie Yoe
dia bertemu, lantas mereka berjanji akan berkumpul di Bang keepoo, hanya belum
lagi mereka dapat bekerja, yaitu sebelum Kie Yoe tiba, Pektok Tjinkoen sudah
mendapat tahu halnya Tjit Im Kauwtjoe, Thian Yauw pergi menyusul lantas dia
mengajak Tjouw kauwtjoe itu. Mereka tidak berjalan bareng, Pektok Tj inkoen
tiba terlebih dulu di kuil, maka dia terbinasa bersama Tjit Im Kauwtjoe dan
Thian Yauw kutung lengannya.
Orang aneh dengan pakaian
kulit itu bersama Sat Lek Hiong. Dialah jago di Mopak, Gurun Utara. Di sana dia
tidak menancap kaki lama lantaran dia bentrok dengan Ouw Bong Hoe yang
mengalahkannya dengan pukulan Ittjie Siankang. hingga musnah tenaga dalamnya.
Tapi dia keras hatinya, dia kabur ke pulau kosong ini di mana dia meyakinkan
Gwakang, tenaga luar, hingga dia menyampaikan puncak kemahiran. Paling belakang
dia disusul oleh Tjouw Thian Yauw, sahabatnya. Thian Yauw kehilangan tempat
meneduh, lantaran Bang Thong sudah mati dan di Bang keepo tidak dapat ia
tinggal lama. Bang keepoo itu terletak dekat benteng Kimtoo Tjee. Maka itu,
waktu Kie Yoe datang, ia minta Kie Yoe mengajak pergi ke pulau kosong, untuk
tinggal bersama Sat Lek Hiong.
Kie Yoe menyambut dengan
senang. Dia girang mendengar kabar Tjit Im Kauwtjoe dan Pektok Tj inkoen telah
mati bersama. Dia lantas mengharap memiliki Pektok Tjinkeng. Bukankah kitab itu
kepunyaan ayah angkatnya, yang merangkap menjadi gurunya? Dia berangan-angan
membangun partai dengan dia menjadi guru besarnya. Dia merasa sayang, belum dia
masuk umur dua puluh tahun, dia sudah diusir ayahnya itu, hingga dia belum
mewariskan semua kepandaian sang ayah. Dia kalah jauh dari Tjit Im Kauwtjoe dan
Pektok Tjinkoen, dari itu rela dia menerima soeheng itu dengan kedudukan
sebagai guru. Begitu lekas dua orang itu mati, terbangunlah semangatnya.
Begitulah dia pergi ke Bang keepoo, di sana dia menakluki semua anggauta Tjit
Im Kauw. Dia kurang pandai menggunai racun tetapi dia masih lebih menang
daripada kebanyakan anggauta itu. Dia dibantu Tjouw Thian Yauw. Kalau perlu,
mereka menggunai kekejaman, hingga semua anggauta itu takut, meski begitu, separuhnya
melarikan diri, hingga kejadian cuma separuh yang dijadikan orang tawanan dan
dibawa ke pulau kosong itu di tempatnya Sat Lek Hiong.
Ketika Koan Sin Liong berada
di Hangtjioe, dengan perantaraan Yang Tjong Hay dia dapat bertemu dengan Sat
Lek Hiong dan Kie Yoe. Koan Sin Liong menuturkan hal perserikatannya dengan
Kiauw Pak Beng dan ia mengajak dua orang itu bekerja sama. Ia berhasil. Kie Yoe
dan Lek Hiong setuju. Lalu ditetapkan Lek Hiong berdiam terus di pulau kosong
itu, guna memupuk tenaga, nanti kalau angkatan laut pemerintah menyerbu Yap
Seng Lim, mereka bakal turun tangan, untuk membantu. Di luar dugaan, sebelum
tentera negeri bergerak, hari itu tibalah Lioe Tek Tjhong dan rombongannya.
Kie Yoe menggunai obat pulas,
dengan itu dia merobohkan. Nona Liong, sebelum Kiam Hong tak sadarkan diri. ia
masih mendengar jeritannya Tek Tjhong dan Peng Kin. Kemudian ketika ia
mendusin. ia merasakan hawa dingin, tempo ia membuka matanya, ia mendapatkan ia
berada di dalam sebuah ruang besar di mana pun ada Tek Tjhong dan Peng Kin,
yang kedua tangannya diringkus ke belakang. Dua jago itu berada di sisinya,
mukanya pucat, matanya merah.
Tek Tjhong dan Peng Kin lagi
melayani Lek Hiong, mereka kaget melihat Nona Liong roboh, lantaran itu.
senjata mereka kena disampok terlepas musuhnya, yang lebih jauh merobohkan
mereka dengan bantingan.
Kiam Hong mengeluh di dalam
hati. Dengan tertawannya kedua tjeetjoe itu, habislah harapan mereka, lajuga
terkejut ketika ia mendapatkan belasan tauwbak atau awak perahu mereka pun
terbekuk semua.
"Budak she Liong!"
Kie Yoe membentak setelah melihat si nona mendusin, "dengan kata-kata
manis kau mengakali kitab Pektok Tjinkeng dari Tjit Im Kauwtjoe, maka sekarang
kau mesti serahkan kitab itu padaku!"
Nona Liong tidak takut, ia tertawa
dingin.
"Kitab itu bukan
kitabmu!" ia kata. "Buat apa aku menyerahkannya padamu?"
Kie Yoe tertawa.
"Apakah kau tidak tahu
bahwa kau telah bertemu pemilik sah kitab itu?" dia tanya.
"Aku tak perduli kau
siapa!" kata si nona keras. "Singkatnya kau bukanlah machluk
baik-baik! Tak sudi aku memberitahukan kau hal kitab itu!"
Kie Yoe tertawa dingin,
suaranya seram. Romannya pun bengis.
"Benarkah kau tidak mau
bicara?" dia menegaskan.
Kiam Hong menutup mulut, ia
tidak melayani bicara.
Kie Yoe memegang sebatang
cambuk kulit.
"Biar bagaimana, tak
dapat kau tidak bicara!" katanya. "Baik kau ketahui, cambuku ini ada
racunnya! Asal tubuhmu terhajar, dagingmu bakal menjadi nowah dan busuk! Lantas
kau bakal terbinasa!..."
Sembari berkata begitu, Kie
Yoe mengayun tangannya, membikin cambuknya menjeter berulang-ulang, suaranya
nyaring dan menggiriskan hati.
"Saudara Kie, tahan
dulu!" berkata Lek Hiong di saat Kie Yoe hendak menghajar tubuh si nona.
"Biarlah budak perempuan ini menyaksikan dulu liehaynya kita!"
Dengan menyingcing kancutnya
kulit harimau, Sat Lek Hiong bertindak ke bawah undakan tangga. Di sana dengan
bengis dia tanya semua awak perahunya Tek Tjhong: "Kamu menyerah atau
tidak? Hayo kamu. satu demi satu, kamu berlutut di depanku dan mengangguk tiga
kali! Kamu mesti bersumpah bahwa seumur hidup kamu, kamu mesti jadi budak
pelayanku. dengan begitu barulah kamu dapat keampunan jiwa kamu!"
Semua orang tawanan itu tidak
kena digertak, belum lagi suara dia sirap, mereka itu sudah mengasi dengar suara
mereka: "Angin busuk! Angin busuk! Kau machluk separuh manusia separuh
binatang, ambillah kaca dan lihatlah cecongormu! Jangan bertingkah di depan
kami!"
"Kami orang-orang kosen
dari Thayouw, kami lebih suka binasa daripada terhina!"
"Jikalau kamu mau bunuh,
bunuhlah! Kami tak takut dihukum picis! Jangan harap kami suka menyerah
padamu!"
Sat Lek Hiong tidak menjadi
gusar, sebaliknya dia tertawa terbahak.
"Kagum! Kagum!"
katanya nyaring. "Aku kagum terhadap kamu! Kiranya kamulah laki-laki
sejati! Kamu membikin aku si orang she Sat kurang hormat terhadap
kamu!..."
Kata-kata itu disusuli tertawa
pula, hanya kali ini tertawa yang menyeramkan, yang membikin bulu roma pada
bangun, sampai semua awak perahu itu pada bungkam. Sekalipun Lioe Tek Tjhong
dan Tjhio Peng Kin serta Liong Kiam Hong, mereka turut terperanjat. Tidak
disangka Lek Hiong mengerti ilmu tenaga dalam kaum sesat yang dinamakan
"Memanggil roh dan arwah."
Berbareng dengan berhentinya
tertawanya itu, tangan kirinya Lek Hiong menyamber seorang tawanan, terus dia
mencekek kerongkong orang, sampai lidahnya orang itu melelet keluar, menyusul
mana tangan kanannya, yang mencabut pisau belati, menyamber ke lidah itu,
hingga sekejab saja, putuslah anggauta mulut yang lemas itu!
Perbuatan ini dilakukan dengan
cepat, hingga orang menjadi kelabakan.
Lek Hiong tidak berhenti
dengan satu kurbannya itu. ia terus mencekal yang lain-lainnya, terus ia
memotong lidah orang, hingga habislah lidahnya belasan awak perahu itu, hingga
selanjutnya cuma terdengar suara mereka yang menyayatkan hati!
Tubuh mereka pada roboh
terbanting, di lantai mereka berkoseran. Dengan tangan terbelenggu, mereka
tidak dapat meronta. Beberapa antaranya lantas mati.
Sat Lek Hiong tertawa pula.
"Sekarang aku mau lihat,
kamu masih dapat mencaci atau tidak?" katanya. "Jikalau kamu tetap
tidak mau menyerah, masih ada lagi caraku yang terlebih hebat! --- Mana orang?
Lekas bekerja! Yang masih hidup boleh dikurung, yang sudah mati boleh lempar
tubuhnya buat dijadikan barang makanan sang serigala!"
Murid-murid Tjit Im Kauwtjoe
pun kaget sekali menyaksikan siksaan itu, tetapi mereka diperintahkan, giris
atau tidak, mereka lantas bekerja menyingkirkan semua orang tawanan itu.
Di luar dugaannya Sat Lek
Hiong, ada seorang awak yang mati berpura-pura, ketika dia sudah dibuang, dia
lantas lari kabur. Dialah Ong Tiauw Keng. yang dengan susah payah tiba di pulau
markasnya Yap Seng Lim dan dapat ditolongi.
Habis melakukan kekejaman itu,
Lek Hiong naik pula diundakan tangga, untuk menghampirkan Lioe Tek Tjhong dan
Tjhio Peng Kin.
"Eh, kamu berdua, apa
kata kamu?" dia tanya, bengis.
Dua jago itu tak berkutik,
sudah mereka terluka parah, tangan dan kaki mereka pun diborgol. Tapi ketika
mereka mendengar pertanyaan itu, yang sangat menghina, serentak mereka
mengeluarkan tenaga mereka, mereka menubruk dengan kepala mereka pada pisau
belati di tangan manusia mirip siluman atau iblis itu!
Lek Hiong kaget dan heran, dia
menarik pulang tangannya. Hanya sejenak, dia tertawa pula.
"Ha, kamu mau cari mati
kamu?" katanya mengejek. "Oh, tak demikian mudah, sahabat!"
Nampaknya Sat Lek Hiong mirip
orang biadab, ia sebenarnya cerdik. Ia tahu siapa Tek Tjhong dan Peng Kin itu,
maka itu ingin ia menunduki mereka. Ia mengharap mendapatkan pasukan airnya
ketua dan ketua muda dari Thayouw Tjee itu. Karena ini, tidak sembarangan ia
mau membinasakan mereka. Ia mau menggunai akal muslihat. Maka ia pikir:
"Mereka ini berkepala batu, sulit untuk membikin mereka tunduk.
Tidak apa, aku membiarkan
mereka hidup terus. Ada faedahnya juga untuk mengurung mereka, untuk dengan
begitu mencoba dapat mempengaruhi anak buah mereka itu..."
Gagal menggunai cara keras, ia
lantas mengambil jalan halus. Lantas ia tertawa pula, sikapnya ramah.
"Djiewie, benarlah kamu
orang-orang gagah yang memandang kematian seperti juga jalan pulang!"
katanya. "Tidak kecewa djiewie menjadi ketua sebuah benteng yang tersohor.
Aku menyesal yang aku telah omong keras terhadap kamu. Djiewie, maukah kamu
menjadi sahabat-sahabatku?"
Tetapi Lioe Tek Tjhong telah
jadi panas hatinya.
"Jikalau kau mau bunuh,
bunuhlah!" katanya keras. "Tak usah kau ngoceh tidak keruan! Kami
orang-orang macam apa? Mana dapat kami menjadi saudara angkat orang sebangsa
iblis sebagai kau?"
Lek Hiong tertawa.
"Lioe Tjeetjoe, tabiatmu
keras sekali!" ia kata, tetap ramah. "Baiklah, sekarang aku mengobati
dulu luka-luka kamu, nanti di belakang hari kamu lihat aku si orang she Sat
pantas menjadi sahabatmu atau tidak. Pok Tjiauw, kau sediakan sebuah kamar yang
bersih dan tenang untuk kedua tjeetjoe ini dan baik-baiklah kau
melayaninya!"
Pok Tjiauw ialah orang yang
mukanya segi tiga. Dialah murid belasan tahun dari Lek Hiong.
Tek Tjhong tengah terluka,
maka itu ia membiarkan ia dan saudara angkatnya dirawati orang she Pok itu.
Sekarang Kie Yoe menghampirkan
Nona Liong.
"Aku tidak baik budi dan
murah hati seperti Sat Tootjoe!" ia kata, dingin. "Kau mau serahkan
atau tidak kitab Pektok Tjinkeng itu? Jikalau kau membelar, tetap kau tidak
sudi menyerahkan, mereka itulah contoh untukmu!"
Ia menunjuk kurban-kurban
cekekan yang lidahnya dikutungi.
"Fui!" Kiam Hong
berludah. "Aku telah lihat kekejamanmu! Tak usah kau lakukan itu terhadap
diriku! Tak usah kau mencapaikan tanganmu! Awas! Lagi setengah tindak kau maju.
aku nanti bikin putus nadiku sendiri! Kitab Pektok Tjinkeng? Hm! Jangan kau
harap!"
Parasnya Kie Yoe menjadi
guram, cambuk di tangannya diangkat. Tetapi dia tidak berani menghajar.
Sat Lek Hiong tertawa lebar.
"Ha, nona manis!"
katanya. "Kau masih begini muda, kau juga tidak menyayangi jiwamu? Bagus,
aku si orang tua memang paling menyukai orang-orang dengan tulang keras! — —
Nah, saudara Kie, sukalah kau memandang mukaku, kau ampunilah dia!"
Apa yang diharapi Kie Yoe
ialah kitab Pektok Tjinkeng, perbuatannya barusan gertakan belaka, maka itu
mendengar perkataannya Lek Hiong itu, ia suka menurut. Ia lantas menyuruh orang
kurung Nona Liong di dalam sebuah kamar dengan dua murid wanitanya ditugaskan
merawati sambil menjagai. Ia juga kuatir si nona nanti benar-benar nekat dan
menghabiskan jiwanya sendiri, ia mengambil tindakan penjagaan. Yaitu di dalam
barang makanan untuk si nona ia mencampuri obat bius Tjiandjit tjoei, yang
kasiatnya membikin Kiam Hong menjadi lenyap tenaganya dan keadaannya mirip
orang lagi mabuk arak, supaya dengan perlahan-lahan ia dapat mengorek
keterangan dari mulutnya.
Kiam Hong keluaran Thiansan
Pay, pihak yang lurus, semangatnya kuat, latihannya sempurna, dari itu, meski
ia telah makan obat bius itu —— obat mabuk seribu hari – ia tidak menjadi mabuk
seperti diharapi Kie Yoe, ia melainkan kehilangan tenaganya, sedang pikirannya
masih tetap sadar, hingga ia dapat membade maksudnya musuh. Ia cerdik, ia
menggunai ketika itu akan berpura-pura linglung, maka kapan ditanya timur, ia
menjawab barat. Selama beberapa hari. apapun dayanya Kie Yoe membujuk ia
bicara, ia membuatnya orang kewalahan. Ia tidak mau menerangkan yang kitab itu
telah terjatuh ke dalam tangannya Kiauw Pak Beng. Kie Yoe menyangka ialah yang
menyimpan, tetapi ia tidak dapat dibunuh atau disiksa. Maka selama ditahan itu,
ia tidak kurang suatu apa kecuali tenaganya habis
Sesudah berhari-hari merasakan
ketenangan, lantas datang satu hari yang Kiam Hong diambil dibawa ke ruang
tengah di mana Kie Yoe berkumpul bersama Sat Lek Hiong dan Tjouw Thian Yauw. Di
sana ada seorang lain. melihat siapa, si nona terkejut. Dialah orang yang ia
pernah ketemukan di gunung Koenloen San --- ialah Tonghong Hek muridnya Koan
Sin Liong.
Lantas terdengar tertawa
nyaring dari orang she Tonghong itu.
"Benar-benar manusia
hidup itu, di tempat mana saja mereka tak dapat bertemu satu dengan lain!"
berkata dia. "Haha, Nona Liong! Ke mana perginya kegagahanmu selama di
gunung Koenloen San itu?"
Kiam Hong terkejut bukan
disebabkan ia takut mati. Hanya melihat Tonghong Hek ia mengerti yang
rahasianya mesti terbuka. Ia mendusta kepada Kie Yoe supaya Kie Yoe tetap
percaya ia tahu di mana adanya kitab itu. Dengan begitu Kie Yoe menjadi tidak
berani, atau bersangsi, untuk membunuh padanya. Sekarang muncul murid Koan Sin
Liong ini, pasti sudah Kie Yoe mengetahui duduknya hal --- ialahtentang kitab
ilmu racun itu.
Tonghong Hek itu, habis
mengejek si nona, lantas berpaling kepada Kie Yoe.
"Tuan Kie, sekarang kan
boleh tak usah berkuatirpula." kata dia. "Kitab Pektok Tjinkeng sudah
berada di dalam tangannya Lootjianpwee Kiauw Pak Beng. Kiauw Lootjianpwee itu
gagah dan cerdas, satu kali saja dia membaca, lantas kitab itu sudah tidak ada
harganya untuknya. Kiauw Lootjianpwee telah memesan kata-kata padaku, untuk
disampaikan kepada kau, ialah dia mengajak kau bekerja sama. Dia bilang nanti
kitab itu bakal dihaturkan kepada kau!"
Kie Yoe bersikap hormat sekali
ketika ia menjawab Tonghong Hek. Katanya: "Sungguh baik sekali Kiauw
Lootjianpwee itu! Jikalau aku si orang she Kie dapat menerima pulang kitab
milik mendiang ayahku itu tentu sekali aku suka bekerja sama-sama
dengannya!" Tapi, habis berkata hormat itu, ia menoleh kepada Kiam Hong
dengau memperlihatkan sikap dan roman bengis, katanya dengan dingin:
"Budak, kau sangat bandel dan licin! Sudah beberapa hari aku bicara
denganmu, sepatah katajuga kau tidak mau keluarkan! Baiklah, kau tidak takut
mati, maka hari ini aku akan menyempurnakan padamu!"
Kie Yoe baru menutup rapat
mulutnya, belum dia beraksi, maka Tjouw Thian Yauw sudah menggelinding maju
dengan keretanya yang beroda tunggal.
"Budak bangsat ini sangat
jahat!" dia berkata sengit. "Jikalau dia dibunuh dengan bacokan saja
yang membikin tubuhnya kutung dua. masih terlalu bagus untuknya! Mari aku babat
dulu sebelah lengannya, supaya hatiku puas!"
Dia lantas menarik pedangnya
si nona, lantas dia menuding.
"Sekarang aku akan
menabas buntung dulu tanganmu yang kiri!" ia bilang, sama sengitnya.
"Hitunglah ini sebagai pembayaran pokoknya! Besok aku akan mengutungi
lenganmu yang kanan, itulah sebagai pembayaran bunganya! Lusa barulah kau boleh
merasai cambuk beracun dari Tuan Kie!"
Lantas dia menghunus pedang
itu, dua kali ia membulang-balingkan di depan si nona, kemudian sambil mengasi
lihat senyuman mengejek, perlahan-lahan ia turunkan ke arah tangan kiri nona
itu, agaknya ia hendak membacok, guna mewujudkan ancamannya mencari balas,
menyiksa, guna memuasi hatinya.
Kiam Hong tidak berdaya.
Pengaruhnya obat Tjiandjit Tjoei membikin ia kehilangan tenaganya. Percuma
niatnya untuk menggeraki tangan dan kakinya. Maka itu ia lantas meram.
*****
Rombongannya Thio Giok Houw
maju terus, setelah melewati rimba mereka sampai di tempat yang tanahnya basah
seperti lumpur. Di sini mereka melihat tapak-tapak kaki. Semuanya lantas
memperhatikannya.
Kok Tiok Koen seorang
berpengalaman.
"Inilah tapak kakinya
tiga orang," ia kata sambil menunjuk, "satu besar dan dua kecil.
Rupanya inilah kakinya seorang pria dan dua orang wanita."
Giok Houw heran.
"Di dalam perahunya Lioe
Tek Tjhong toh cuma Kiam Hong seorang wanita," ia berpikir.
"Diumpamakan tapak kaki yang satu ini tapak kaki Kiam Hong, habis nona
siapakah itu yang lainnya?"
"Benar, inilah tapaknya
seorang pria dan dua orang wanita," kata Sin Tjoe kemudian sambil ia
mengangguk. "Wanita yang satu, ilmu enteng tubuhnya masih jauh dari
sempurna, yang lainnya lebih baik sedikit tetapi dia masih kalah kalau
dibanding dengan Kiam Hong."
Giok Houw memperhatikan pula.
Ia melihat satu tapak kaki kecil dan dalam sekali.
"Tapak-tapak kaki ini
seperti sengaja ditinggalkan," kata pula Tiok Koen, "maka itu marilah
kita coba ikuti."
Pikiran ini mendapat
kesetujuan, maka orang lantas maju dengan mengikuti tapak-tapak kaki itu.
Giok Houw berjalan sambil
berpikir: "Kiam Hong tersesat di pulau ini sudah hampir sepuluh hari,
mungkin ini bukan tapak kakinya..." Karena itu, ia menjadi, bersangsi dan
bingung.
Orang berjalan terus melintasi
tempat basah itu, sampai di ujungnya, mereka melihat di sebelah depan mereka
sebuah bangunan mirip benteng rusak. Justeru itu waktu, mereka mendengar seruan
nyaring dari arah bangunan itu. Teranglah itu suara wanita.
Giok Houw terkejut hingga ia
berjingkrak.
"Ah, aneh!" kata In
Hong. "Itulah bukan suaranya Kiam Hong tetapi suara itu aku mengenalnya!
Siapakah dia?"
Ia berkata demikian sambil
berlari maju, diturut oleh Giok Houw, hingga keduanya lari bagaikan anak panah
meluncur ke benteng tua dan rusak itu.
Di dalam benteng itu, Tjouw
Thian Yauw lagi mengancam Kiam Hong. Ia sengaja main ayal-ayalan untuk membacok
lengannya si nona karena ia ingin siksa bathinnya nona yang ia benci itu. Tepat
di itu waktu, mendadak dari luar ruang terdengar suara menjerujus, lalu
segumpal api yang pun mengeluarkan asap, menyamber masuk ke dalam, ke arah
keretanya.
Bukan main kagetnya si orang
tapa dakpa. Ia lantas mengenali api itu sebagai senjata rahasia yang sangat
berbahaya. Itulah senjata rahasianya Tjit Im Kauwtjoe. yang diberi nama Tokboe
Kimtjiam Hweeyam tan, yaitu peluru api campur jarum emas yang beracun. Dulu
hari di dalam kuil, ia justeru terlukakan senjata rahasia itu hingga ia
bercacad sampai sekarang ini, hingga untuk dapat bergerak dengan leluasa, ia
mesti pakai kereta roda satunya itu.
Pula kagetnya Thian Yauw ini
disebabkan ia menyangka Tjit lm Kauwtjoe itu berpura-pura mati dan sekarang
muncul dengan tiba-tiba untuk merampas jiwanya, guna menuntut balas. Lupa ia
pada Kiam Hong, lantas ia menolak mundur keretanya, hingga ia terlempar jatuh!
Menyusul serangan dengan
senjata rahasia berapi itu. dari luar terdengar suara wanita berteriak:
"Entjie Kiam Hong, aku datang!"
Ketika itu Sat Lek Hiong telah
menyerang dengan pukulan Udara Kosong. Dua kali ia menghajar ke arah peluru
berapi itu, membikin peluru itu jatuh di tangga. Akan tetapi sang asap sudah
lebih dulu melulahan, dan ia kena menyedotnya hingga ia rasai kepalanya pusing.
"Lekas telan ini!"
Kie Yoe berkata kepada kawan itu seraya dia menyodorkan sebutir obat, setelah
mana dia lari ke arah tangga sambil berseru: "Budak liar, aku memang lagi
mau cari kau! Kau telah bertemu dengan paman gurumu, apakah kau masih berani
berlaku kurang ajar?"
Ia lari untuk menghadapi nona
itu, ialah Im Sioe Lan, yang telah datang kesitu bersama-sarna Tjioe Tjie Hiap.
Muda-mudi itu telah pergi ke
Tang Keepoo untuk mengurus jenazahnya Tjit Im Kauwtjoe, di sana mereka bertemu
sejumlah murid Tjit Im Kauw yang pada menyingkirkan diri. dari itu mereka jadi
mendapat tahu apa yang sudah terjadi, bahwa sejumlah murid lebih dari separuh
telah dibawa pergi oleh Kie Yoe. Sioe Lan lantas ajak seorang murid, bersama-sama
Tjie Hiap, ia pergi menyusul hingga mereka berhasil sampai di pulau mencil yang
kosong itu. Tiba di benteng, mereka bertemu penjaga-penjaga benteng, Semua
penjaga itu justeru murid-murid Tjit Im Kauw dan mereka mengenali nonanya,
puteri kauwtjoe mereka, mereka tidak menghalang-halangi. Bahkan mereka tidak
mengasi dengar suara berisik. Sebab ini, Sioe Lan berdua dapat masuk terus ke
dalam. Kebetulan sekali sampai mereka, selagi Kiam Hong terancam bahaya. Tanpa
sangsi lagi, Sioe Lan menyerang dengan peluru berapinya sambil membentak,
hingga berhasillah kejahatannya Thian Yauw dicegah.
Dirintangi Kie Yoe, Sioe Lan
gusar sekali. Ia lantas mengenali orang ini, karena murid-murid Tjit Im Kauw
telah menjelaskan ia potongan tubuh dan romannya pengacau dari Tjit Im Kauw.
"Kau paman apa?" dia
membentak. "Jangan ngaco belo!"
Kie Yoe tertawa bergelak.
"Kau tidak kenal aku, aku
kenal kau!" dia berkata. "Mengingat yang ibumu dan aku berasal satu
perguruan, suka aku memberi ampun padamu! Masih kau tidak mau menggunai aturan
rumah perguruan akan memberi hormat pada orang yang terlebih tua?"
Panas hati si nona.
"Baiklah asal kau berani
terima hormatku!" ia berseru, ia benar-benar mengangguk. Akan tetapi
berbareng dengan itu, ia menyerang dengan tiga batang panah beracunnya, panah
mana bolong bagian tengahnya, dari tempat yang bolong itu menyembur bubuk
beracun!
Kie Yoe mengebut dengan tangan
bajunya, guna menangkis tiga batang panah beracun itu. Berbareng dengan itu,
dari dalam tangan bajunya menyembur keluar asap warna biru. Itu pun racun
tetapi kedua racun sama chasiatnya, dapat saling mempunahkan.
Maka itu mereka berdua
sama-sama tak tercelakakan.
Tjie Hiap sudah lantas maju.
Sambil berlompat ia menyerang. Tiga kali ia membacok saling susul ketika orang
melawan ia dengan main berkelit. Ia liehay dengan ilmu goloknya, dua kali ia
gagal, tetapi karena ia mendesak hebat, bacokannya yang ketiga mengenai pundak
lawan!
Tjouw Thian Yauw telah lantas
dapat melihat, yang datang itu bukannya Tjit Im Kauwtjoe, maka ia lantas naik
pula atas keretanya.
"Kiranya kau. budak
hina!" katanya, mengejek. Ia merasa pasti Kie Yoe dapat melayani Sioe Lan,
dari itu dengan membawa pedangnya ia menghampirkan pula Kiam Hong, untuk
melampiaskan kekejamannya.
Sioe Lan mengerti keadaan.
"Kau jangan perdulikan
aku!" ia berseru kepada kawannya. "Lekas tolongi orang dulu!"
Tjie Hiap mengerti, ia
membiarkan Kie Yoe yang mundur itu, sambil berseru, ia berlompat ke arah Thian
Yauw, untuk menghalangi. Ia terus membacok.
"Eh, bocah, kau mau cari
mampus?" kata Thian Yauw mengejek. Ia menangkis dengan kipas besinya. Ia
berhasil membikin mental golaknya si anak muda, dari itu ia lantas membalas
menyerang, untuk menotok telapakan tangan.
Di dalam ilmu silat, Thian
Yauw menang banyak dari si anak muda, tidak perduli ia bercacad, dari itu,
sesudah beberapa jurus, ia menang unggul, ia dapat mendesak itu tjeetjoe muda
dari benteng Kimtoo Tjee.
Walaupun ia terdesak, Tjie
Hiap tidak takut, hatinya tidak gentar, maka ia dapat menggunai kecerdasannya.
Dengan sekonyong-konyong ia menjatuhkan diri, dengan itu ia lantas bersilat
dengan Koentong Too, yaitu ilmu silat golok sambil bergulingan, maka sambil
berguling, ia membacok keretanya musuh tanpa musuh dapat membacok ia atau
menangkis ke bawah.
Hebat bacokan itu yang
mengenai tepat. Rusaklah kereta roda satu itu dan terus roboh, maka berbareng
dengan itu, roboh juga penumpangnya. Terpaksa Thian Yauw numprah di tanah,
untuk membela dirinya. Tanpa kereta, tidak dapat ia bergerak-gerak atau
mendesak musuh. Ia mesti melindungi dirinya saja.
Menampak demikian, Tjie Hiap
tidak mau menyerang lebih jauh pada musuh ini, ia lantas lari ke arah Kiam
Hong, guna menolongi nona itu.
"Bocah, berhenti!"
mendadak ia mendengar bentakan selagi ia hampir sampai pada Nona Liong ---
tinggal beberapa tindak saja.
Sat Lek Hiong adalah orang
yang membentak itu, yang terus merintang di depan orang. Setelah makan obatnya
Kie Yoe, dia lantas segar pula, hilang pusingnya. Tentu sekali dia tidak mau
mengijinkan si anak muda beraksi.
Belum lagi datang dekat kepada
musuh, Lek Hiong sudah menyerang dengan pukulan Udara Kosong-nya yang liehay.
Segera Tjie Hiap merasai dorongan angin yang keras, hingga mau tak mau, ia
mesti muadur tiga tindak. Justeru itu, Lek Hiong telah berlompat ke arahnya
sambil tangannya menyamber!
Itulah hebat. Tjie Hiap lantas
menangkis dengan goloknya dengan jurus Penglari Emas Melintang.
Benar hebat Sat Lek Hiong.
Mahir sekali ilmu tangkapannya –Kimna Tjioe. Ia disambut selagi ia tengah
berlompat. Tubuhnya turun terus. Ketika golok tiba ia menangkis sambil
menyampok dengan tangan kiri, berbareng dengan itu, tangan kanannya menghajar
ke gagang golok! Ia memang bertenaga sangat besar, sekalipun Lioe Tek Tjhong
tidak dapat benahan terhadapnya, apapula Tjie Hiap.
Anak muda ini lantas merasakan
telapakan tangannya sakit, goloknya terlepas dan terpental, walaupun begitu, ia
tidak menjadi gugup, ketika tangan kanan musuh terus meluncur, guna menangkap
ia ia meloloskan diri dengan tipu silat "Toatpauw kaykah" atau
"Membuka jubah, meloloskan baju lapis."
Sat Lek Hiong mengenali tipu
silat itu. dia tertawa.
"Apakah kau puteranya
Kimtoo Tjeetjoe?" dia tanya. "Baiklah! Dengan memandang kepada ayahmu
itu, suka aku mengambil kau sebagai pengikutku!"
Beruntung bagi Tjie Hiap, Lek
Hiong mengubah sikapnya itu. Ia jadinya mau ditangkap hidup-hidup, supaya
"orang biadab" ini dapat menggunainya sebagai perkakas nanti guna
memeras ayahnya.
Lek Hiong mahir Kimna Tjioe,
dibanding dengan Law Tong Soen, ia masih kalah, tetapi di samping itu, ia mahir
tenaga dalam Gwakee, ahli luar, maka itu, di jurus ke empat. Tjie Hiap lantas
kena ditangkap, tubuhnya lantas dibanting seraya ia tertawa dan berseru:
"Muridku, ringkus dia!..."
Belum berhenti mendengungnya
titah itu, datanglah sambutan suaranya senjata rahasia, di situ terlihat sinar
kuning emas menyambar dengan berkelebat menyilaukan mata, menyamber ke muka
jago pulau kosong itu.
Di lain pihak, belum lagi
tubuh Tjie Hiap jatuh ke tanah, ia sudah ditanggapi oleh seorang tua, hingga
tak usahlah ia jatuh terbanting.
Tepat di saat sangat genting
itu, tibalah rombongannya Thio Giok Houw. Yang melepas senjata rahasia itu Ie
Sin Tjoe dan yang menyambuti Tj ie Hiap ialah Kok Tiok Koen si jago tua.
Sanhoa Liehiap telah menggunai
Kimhoa, bunga emasnya. Lek Hiong awas, ia menangkis dengan sepasang ujung
bajunya. Meski begitu, tubuhnya toh kena terhajar, makajuga baju kulitnya, yang
dilapis baju biasa, pada tertembuskan bunga emas itu. hingga terlihatlah
liang-liang seperti sarang tawon. Ia terhajar tetapi ia tidak terluka parah.
Tubuhnya kedot, tidak mempan senjata tajam.
Sin Tjoe heran dan kagum.
Sebaliknya. Lek Hiong heran dan kaget, hatinya gentar. Dia tidak mempan senjata
tajam, tetapi kali ini dia merasakan aneh. Walaupun dia tidak terluka, dia
merasakan sakit di beberapa tempat jalan darah. Maka itu sambil berseru, dia
mengibas pula, dia berlompat, untuk keluar dari hujan bunga emas itu. Dengan
cepat ia menyamber senjatanya, gembolan segi delapan.
Ie Sin Tjoe tidak mau mengasi
hati walaupun lawan ini sangat tangguh, ia lompat maju, untuk menghampirkan.
Lek Hiong mendapat lecet di
kulit tak berarti, daging tidak terlukakan dalam, otot-ototnya tak terputuskan,
maka itu dengan leluasa ia dapat bersilat dengan gembolannya yang berat itu.
Begitulah bunyi nyaring terdengar waktu dia menangkis tikaman si nyonya.
Bentrokan itu membikin tubuh
Sin Tjoe mencelat. Itulah buah tipu silatnya Nyonya Yap Seng Lim, yang tahu
orang bertenaga raksasa, ia jadi tidak mau menimpali. Ia berlompat mengikuti
bentrokan itu. Ia menggunai ketikanya akan balik menusuk gembolan dan terus
mementalkan dirinya. Ketika ia mau turun ia membarengi menabas ke arah kepala
lawan.
Lek Hiong menangkis pula.
Kembali senjata mereka bentrok. Kembali tubuh si nyonya mental. Kali ini ia turun
di tempat tiga tombak terpisahnya.
Lek Hiong terkejut. Ia merasai
kepalanya sedikit dingin. Lantas ia mendapat tahu bahwa rambutnya sudah
terpapas buntung!
Sin Tjoe juga bukan menang
seluruhnya. Dua kali bentrokan senjata membikin ia merasai kedua lengannya
menggetar dan ngilu, napasnyajuga sedikit memburu.
Lek Hiong gusar dan penasaran,
maka ia segera maju pula, untuk menyerang dengan bengis.
Sin Tjoe tidak mau mengadu
senjata lagi, sementara lengannya masih ngilu, ia melayani dengan ilmu silat
"Tjoanhoa djiauwsie." Maka dengan lincah ia senantiasa berkelit,
menyingkir dan gembolan maut itu.
Ketika itu Tiok Koen sudah
menolongi Tjie Hiap, yang dibebaskan dari totokan dan diuruti juga, hingga dia
dapat kembali tenaganya.
"Orang itu hebat luar biasa,"
Tjie Hiap kata. "Apakah Hok Tayhiap tidak turut datang?" ia merasa
cuma Thian Touw yang dapat melayani manusia biadab itu...
Tiok Koen mengawasi
pertempuran Sin Tjoe dengan Lek Hiong, ia kata pada In Hong: "Orang itu
Taybok Sinmo Sat Lek Hiong, pada tiga puluh tahun dulu dia pernah dikalahkan
Ouw Bong Hoe. Aku kira dia sudah mati, tidak tahunya dia berada di sini. Dia
tak kalah liehay daripada Koan Sin Liong, lama-lama ada kemungkinan Ie Liehiap
nampak kegagalan..."
Sementara itu hati In Hong
kurang enak. Di mana saja, apabila orang menghadapi lawan tangguh, orang
menyebut-nyebut Thian Touw. Demikian kali ini, Tjie Hiap menyebut nama suaminya
itu. Ia puas berbareng malu sendirinya. Ia kata di dalam hatinya: "Thian
Touw, Thian Touw, semua orang sangat menghargai kau, semua mengharapi kau,
mustahilkah kau tidak merasai itu?"
Memikirkan demikian, ia lantas
berlompat bangun.
"Nanti aku mencoba
dia!" katanya. "Apabila aku tidak berhasil, barulah Kok Lootjianpwee
yang maju!"
Baru sekarang Tjie Hiap melihat
In Hong ada bersama, hatinya menjadi tetap.
In Hong maju, lantas ia
menyerang. Tjeng Kong Kiam berkelebat, terus menikam ke ulu hati.
Ketika itu, hati Sat Lek Hiong
tegang sendirinya, dia bergelisah. Di pulau kosong itu ia hidup menyendiri,
meyakinkan lebih jauh ilmu silatnya. Ia merasa bahwa ia telah memperoleh
kemajuan. Ia sudah mengambil keputusan, kapan nanti ia muncul pula dalam dunia
Kangouw, ia akan menempur Ouw Bong Hoe. guna menuntut balas. Siapa tahu
sekarang ia kecele. Bertemu dengan Sin Tjoe, ia dapat berbuat banyak. Sudah
tiga puluh jurus mereka bertarung, takjuga ia bisa merebut kemenangan. Justeru
itu datanglah seorang wanita lain. bahkan ini musuh yang baru menyerang ia
seperti juga ia tidak dipandang mata. Ia menjadi mendongkol.
"Jikalau aku tidak dapat
merobohkan dua orang wanita ini, mana dapat aku bicara dari hal muncul pula
dalam dunia Kangouw?" pikirnya. Maka selagi Sin Tjoe berkelit, ia
menyerang In Hong. Ia telah mengerahkan tenaganya pada sepasang gembolannya. Sasarannya
ialah kedua pempilingan si nyonya. Itulah jurus "Kimkouw Loeibeng,"
atau "Gembreng dan tambur berbunyi laksana guntur." Itu pula satu di
antara tujuh puluh dua jurusnya yang liehay.
In Hong tapinya berlaku
cerdik, kelihatannya ia menyerang ke tengah, tiba saatnya, ia mengubah tujuan.
Sambil berkelit, ia membabat ke samping kepala lawan ke arah telinga. Dan ia
berhasil membikin telinga lawannya itu terlukakan.
Sat Lek Hiong terkejut, dia
berkelit. Baru sekarang dia tidak berani lagi memandang enteng kepada Nyonya
Hok Thian Touw yang dia tidak kenal itu. Walaupun dia sangat mendongkol, dia
berkelahi dengan waspada. Dia menjaga diri tetapi mencoba mendesak. Tiga kali
beruntun dia menghajar.
Terpaksa In Hong main mundur,
dengan begitu selamatlah ia dari ketiga hajaran itu. Di dalam hatinya, ia
terkejut. Sekarang dapat ia membuktikan, Lek Hiong benar gagah. Barusan itu, ia
terdesak melebihkan terdesaknya Sin Tjoe tadi.
Sin Tjoe dapat bernapas karena
datangnya In Hong, lantas ia maju pula.
Lek Hiong lagi menyerang In
Hong dengan gencetan kedua gembolannya tatkala ia merasakan angin menyamber
belakang kepalanya. Itulah serangannya Sin Tjoe. yang bergerak gesit dan lincah
untuk menghampirkan belakang orang, lalu menikam dengan jurus "Ular putih
menyemburkan bisa." Ujung pedang sudah mendekati punggungnya satu dim
ketika Lek Hiong menangkis dengan berhasil. Ia menangkis berbareng ke depan dan
belakang. Secara begini, Sin Tjoe menjadi tak terlalu terdesak lagi.
Lantas In Hong dan Sin Tjoe
menggeraki pedang mereka dengan teratur, mereka mencoba merapatkan musuh yang
tangguh itu.
Sepasang gembolan Lek Hiong
bergerak hebat sekali, akan tetapi tidak pernah terdengar suara bentrokan
senjata kedua pihak. Itulah sebab kedua nyonya itu senantiasa menghindarkannya.
Mereka menyerang hebat tetapi mereka selalu waspada, mereka bergerak dengan
lincah.
In Hong tidak dapat menggunai
pedang bersatu padu seperti kalau ia berkelahi berendeng dengan Hok Thian Touw.
akan tetapi karena ilmu pedang Thian Touw berpokok juga ilmu pedang Thio Tan
Hong, maka Sin Tjoe dapat sedikit mencocokannya. Dengan begitu, mereka bisa
bekerja sama dengan baik.
Tapi Lek Hiong seorang ahli
Gwakee yang luar biasa dia kedot dan kuat sekali, dia ulet, dibanding dengan
Kiauw Pak Beng, dia cuma kalah sedikit. Pak Beng dapat melawan ilmu pedang
bersatu padu dari suami isteri Hok Thian Touw dan Leng In Hong, sekarang
menghadapi In Hong dan Sin Tjoe, dia keteter.
Selagi kedua nyonya cantik dan
gagah itu mengepungjago dari gurun itu, Thio Giok Houw bersama Ban Thian Peng
sudah bergerak untuk memberikan pertolongan mereka masing-masing. Giok Houw
lari pada Liong Kiam Hong, Thian Peng kepada Im Sioe Lan.
Begitu bentrak dengan Kie Yoe,
naiklah darahnya Thian Peng, ia menggigil matanya menyala. Ia juga
mengertakgigi. Ia berteriak: "Bangsat,
kau masih kenali aku? ---
Ayah, —— oh, ayah, hari ini anakmu akan membalaskan sakit hatimu!"
Kata-kata yang terakhir dikeluarkan dalam kesedihan, tetapi meski demikian,
dengan sepasang poankoanpit-nya, ia menyerang hebat sekali!
Ketika dulu hari Koan Sin
Liong pergi membinasakan ayah dan ibunya Ban Thian Peng, orang Biauw yang turut
bersama dia ialah Kie Yoe ini. Koan Sin Liong menjadi keponakan murid Tjie Hee
Toodjin dan Tjie Hee Toodjin memesan ia untuk membunuh Ban Kee Soe. Kie Yoe
membantu Koan Sin Liong, sebabnya ialah kesatu Ban Kee Soe itu sahabat kekal
Tjit
Im Kauwtjoe, dan kedua itulah
jalan untuk dia bekerja sama dengan Sin Liong itu. Peristiwa telah lewat banyak
tahun, dulu hari itu Thian Peng masih kecil, akan tetapi romannya Kie Yoe luar
biasa, roman itu masih berpeta di benak pikirannya, maka sekarang begitu
melihat ia lantas ingat ini musuh turunan.
Tanpa bersangsi pula, Thian
Peng lantas menyerang hebat dengan sepasang senjatanya yang mirip alat tulis
itu. Ia telah mengeluarkan kepandaian ilmu poankoanpit ayahnya. Ujung
senjatanya itu mencari-cari tujuh jalan darah musuh!
Lama-lama Kie Yoe menjadi
repot juga. Maka ia lantas menyemburkan asap putih, guna merobohkan lawannya.
Berbareng dengan itu Im Sioe
Lan menyentil dengan kedua jari tangannya, melontarkan sebutir lahwan, obat
pulung yang terbungkus lilin. Begitu melesat begitu lilin bungkusannya pecah.
Maka tersiarlah bau harum yang halus, yang menyerang asap putih itu.
Kie Yoe menyerang Thian Peng
dengan asapnya yang beracun untuk membikin Thian Peng roboh, dengan begitu dia
akan dapat menghindarkan diri dari bahaya serta ada kemungkinan dapat
membinasakan musuh, tetapi bubuk wangi dari Sioe Lan telah memusnakan itu
hingga dia nampak kegagalan.
Justeru kedua macam bubuk yang
merupakan asap itu bergumul menjadi satu dan belum sempat buyar, di situ
terdengar satu jeritan yang dahsyat yang menyayatkan hati. Itulah jeritannya
Kie Yoe!
Ban Thian Peng tidak mau
mensia-siakan waktunya yang baik. ia menyerang terus secara bengis. Kie Yoe
repot, maka dia kena terhajar sampai lima kali. Ia mengeluarkan jeritan pada
hajaran yang pertama. Tapi dia tidak roboh. Thian Pang rada pusing kepalanya,
ujung pitnya tidak mengenai tepat pada sasarannya.
"Mana orang? Mana
orang?" Kie Yoe berteriak berulang-ulang. Ia minta bantuan murid-muridnya.
Tidak ada muridnya yang
muncul. Mereka itu murid-muridnya Tjit Im Kauwtjoe, mereka turut dia karena
terpaksa, sekarang mereka melihat puterinya kauwtjoe mereka, wajarlah mereka
tidak sudi membantu pula ketua yang ganas itu.
Sat Lek Hiong mendengar
jeritan dan teriakan orang, ingin ia membantu, akan tetapi keinginan itu tidak
dapat diwujudkan. Ia sendiri repot melayani In Hong dan Sin Tjoe, yang
mengepungnya dengan rapat.
Sioe Lan maju terus, dengan
satu bacokan ia membikin Kie Yoe roboh, atas mana Thian Peng menambahkan dengan
satu tusukan, hingga poankoanpit tembus di dada, nancap di lantai yang nempel
dengan punggung orang!
Maka Kie Yoe tak dapat
bernyawa terlebih lama pula.
Thian Peng mencabut
senjatanya.
"Ayah, anakmu telah
berhasil membunuh satu musuh!" ia kata.
Anak ini tertawa, ia mengeluh,
tetapi akhirnya air matanya keluar bercucuran.
Sioe Lan lantas melihat
kelilingan, maka tampak di depannya Thio Giok Houw lagi merangkul Liong Kiam
Hong. Ia girang berbareng berduka Itu artinya ia kehilangan pemuda yang ia
gilai itu. Ketika ia mengawasi terlebih jauh, ia melihat tegas roman bingung
dari Giok Houw dan Kiam Hong tak dapat membuka matanya dengan betul. Ia lantas
dapat menerka sebabnya itu. Pastilah Kiam Hong terkena obat lupa.
"Entjie!" ia
memanggil. Ia telah lantas lari menghampirkan Nona Liong.
Kiam Hong meronta, ia hendak
meloloskan diri dari rangkulan Giok Houw, tetapi ia tidak berdaya. Ia tetap
kehilangan tenaganya Karena ia sadar, ia likat sekali, mukanya menjadi merah.
"Lepaskan aku, aku tidak
apa-apa!" katanya perlahan.
Giok Houw tidak melepaskannya.
Sioe Lan bersenyum.
"Jangan kuatir, tidak
apa-apa," kata ia. "Rupanya entjie Kiam Hong telah kena makan obat
Tjiandjit Tjoei, dia tidak terluka dibagian dalam."
Nona Im lantas mengeluarkan
sebutir obat. yang ia suruh Kiam Hong telan, habis mana, ia terus menguruti
nona itu.
"Terima kasih, Nona Im,
" Giok Houw mengucap.
Sioe Lan tertawa geli.
"Aku mengobati entjie
Kiam Hong, buat apa kau menghaturkan terima kasih padaku?" ia menggoda.
Giok Houw jengah, ia
menyeringai.
Kiam Hong cepat pulih
kesehatannya, mendadak ia berlompat bangun.
"Masih ada satu musuh
yang jahat!" ia berkata. "Kita jangan bergurau saja! Mari kita bantui
entjie Lengdan entjie Ie!"
Sioe Lan dan Giok Houw
bagaikan tersadar, maka keduanya lantas ikut Nona Liong.
Lek Hiong masih terus membuat
perlawanan meskipun ia sudah kalah angin. Ketika ia mendengar jeritannya Kie
Yoe. hatinya gentar, ia bergelisah bukan main. Inilah merugikan dia. Hampir
tanpa berdaya, tiga kali beruntun ia kena tertikam nyonya-nyonya itu. Walaupun
ia kedot, ia merasakan sakit juga, kebingungannya bertambah. Bukankah ia lagi
menghadapi ancaman bahaya?
"Tidak dapat tidak, aku
mesti mengangkat kaki," pikirnya kemudian. Makajuga, tidak menanti Giok
Houw bertiga sampai, ia berseru keras, ia menghajar dengan sekuat tenaganya,
hingga Sin Tjoe mundur dua tindak, atas mana ia berlompat, untuk molos dari
kepungan. Di depannya ada Giok Houw, yang baru tiba, ia menghajar anak muda
itu. Ia memandang enteng pada orang, yang ia anggap masih muda sekali, ia ingin
merobohkannya pingsan, untuk ia mencekuk, supaya ia dapat menggunai si orang
tawanan sebagai manusiajaminan.
Teranglah pandangan itu keliru.
Giok Houw muda sekali tetapi tenaganya besar. Coba Lek Hiong menggunai tenaga
sepenuhnya, mungkin dia berhasil, sekarang dia mengerahkan tenaga lima bagian,
dia kecele. Dengan berani Giok Houw menyambuti gembolan dengan goloknya.
Kesudahannya, gembolan yang berat itu kena terpukul mental. Berbareng dengan
itu, Giok Houw berkelit dengan ilmu yoga. Ia menggunai huruf "licin."
Dengan begitu ia lolos dari tangan besar dan kasar dari si orang she Sat,
tangan mana ia mencoba membangkolnya.
Justeru itu Kiam Hong pun
turun tangan, pedangnya menyambar ke punggung orang, hingga Lek Hiong mendapat
guratan lecet yang panjang!
Kiam Hong menikam dengan
harapan dapat membuat liang di punggung musuh, dan Giok Houw membangkol dengan
niat membikin patah lengan orang, tetapi dua-dua mereka gagal. Lek Hiong
membungkuk, terus nyeruduk ke depan. Diajauh lebih tinggi daripada si anak
muda, mereka rapat satu dengan lain, kepalanya tepat mengenai jidatnya anak
muda itu.
Giok Houw terkejut, dia
merasakan sakit sampai ke uluhatinya. Inilah bisa dimengerti sebab tenaga luar
dari Lek Hiong hebat luar biasa, kepalanya menjadi mirip kepala batu. Karena
kepalanya pusing dan matanya gelap, Giok Houw melepaskan sendirinya
bangkolannya itu, tubuhnya pun terhuyung mundur. Syukur ia mahir tenaga
dalamnya, ia masih sempat menahan diri dengan kuda-kudanya. Hanya sekejab itu
karena kegelapan, tak tahu ia mana timur dan mana barat...
Dengan membungkuk itu, Lek
Hiong juga menyelamatkan diri dari tikaman lebih jauh dari Kiam Hong yang kena
tertikam cuma tulang di punduknya dekat pundak, bunyinya nyaring, seperti ujung
pedang membentur besi. Karena itu, Kiam Hong pun terpental mundur.
Habis itu, Lek Hiong kabur
terus. Ia kuatir nanti disusul In Hong dan Sin Tjoe yang ia malui.
Di muka pintu ada Kok Tiok
Koen. Kapan tabib gagah ini melihat orang mendatangi, ia tolak mundur pada Tjie
Hiap, ia maju dengan tongkatnya, tongkat Tjengtiok thung, untuk menusuk ke arah
dada.
Lek Hiong melihat serangan, ia
mementang kedua tangannya, untuk menangkis.
Jago tua she Kok itu ahli
totok jalan darah, ia tidak suka memberikan tongkatnya disampok mental. Dengan
luar biasa sebat ia menarik pulang.
Gagallah tangkisannya Lek
Hiong itu, terbukalah tubuhnya. Maka tongkat menyamber pula mengenai jalan
darah giokliong di dada. Keras suara beradunya ujung tongkat dengan dada yang
keras seperti batu itu.
"Hm!" bersuara Lek
Hiong yang lantas mengibas pula. berbareng dengan mana kedua kakinya menjejak,
tubuhnya lantas lompat tinggi, lompat melewati Tiok Koen, hingga dia dapat lari
melewati pintu!
Giokliong ialah salah satu
jalan darah yang penting, biasanya siapa tertotokjalan darahnya itu, dia mesti
habis tenaganya dan roboh, tetapi Lek Hiong dapat lari terus.
Tiok Koen heran bukan main.
Orang benar tangguh luar biasa.
Lek Hiong dapat lari, tetapi
bukannya tanpa merasakan hebatnya totokan. Sebenarnya ia merasai dadanya sesak.
Saking takut kecandak Sin Tjoe berdua, ia menguati diri, ia kabur terus. Ia
heran untuk mendapat kenyataan, kali ini musuh-musuh yang datang, baik yang tua
maupun yang muda, semuanya liehay sekali. Maka tak maulah ia ayal-ayalan lagi.
Giok Houw meraba jidatnya,
maka ia kena raba daging lebih. Benjut itu membuatnya sangat mendongkol dan
penasaran. Ia lantas mengejar.
Lek Hiong apal sekali keadaan pulau
itu, ia dapat lari cepat dan leluasa. Ia lari berputaran di antara banyak
pohon.
Sin Tjoe mengejar diikuti In
Hong dan Giok Houw. Sin Tjoe sangat gesit, tetapi ia kewalahan juga. Lek Hiong
gesit, beberapa kali ia kesusul, lalu lolos pula. Karena itu, untuk
menghalang-halangi, beberapa kali Nyonya Yap Seng Lim menimpuk dengan kimhoa.
Lek Hiong repot juga, dia
bingung, dia menjadi terlambat.
Sin Tjoe tetap menguntit, ia
terus berada berdekatan.
Sementara itu In Hong, yang
tadi ketinggalan, mulai menyandak.
Mendadak ada beberapa anak
panah menyerang dari dalam pepohonan lebat, dibarengi dengan seruan-seruan. Sin
Tjoe lantas menoleh, maka ia lihat sedikit di depan, di mana ada gombolan
pohon, ada berkumpul banyak orang dalam rupa sebuah kurungan dan mereka itu
lagi memanah ke tengah-tengah kurungan. Ia lantas mengenali mereka itu sebagai
anak buahnya. Mereka itu melihat ada orang-orang lagi mendatangi, tanpa menanti
kepastian, mereka lantas menyerang. Baru setelah melihat si nyonya,
pemimpinnya, mereka berhenti memanah.
Justeru itu, Lek Hiong berlari
melewati mereka itu.
Dari dalam kurungan segera
terdengar dua orang berteriak saling susul:
"Soehoe, tolong!"
"Saudara Sat,
tolong!"
Sin Tjoe kenal suaranya Pok
Tiauw dan Tjouw Thian Yauw.
"Jangan kasih mereka
lolos!" ia berseru sembari ia terus menimpuk dengan bunga emasnya.
Sat Lek Hiong memutar sepasang
gembolannya, ia mencoba meruntuhkan bunga-bunga emas itu dan juga anak panah,
akan tetapi sekuntum bunga emas lewat di samping lengannya, menggores tangannya
di dekat telapakan. Untuk sejenak dia agak bersangsi, lalu dia membatalkan
niatnya menolongi murid dan kawannya itu, dia lompat melewati kawanan
pengurung, sembari lewat dia menangkap bergantian dua tauwbak, yang dia
lemparkan ke arah Sin Tjoe.
Nyonya Yap takut nanti melukai
orang sendiri, ia tidak menimpuk lagi, sebaliknya, ia menyambut dua tauwbak
itu, untuk ditolongi. Ketika ini digunai Lek Hiong untuk lari mutar, akan
akhirnya nelusup masuk ke dalam sebuah guha.
Sin Tjoe hendak mengejar terus
ketika ia membatalkan niatnya itu. Ia melihat beberapa serdadunya roboh. Ia
lantas maju ke arah kurungan. Di tengah itu ada gombolan rumput tebal, di situ
Tjouw Thian Yauw lagi duduk numprah, di sisinya rebah satu tubuh, yang
tertancapkan beberapa batang jemparing. Dialah Pok Tiauw muridnya Sat Lek
Hiong.
Selama orang bertempur seru,
diam-diam Tjouw Thian Yauw menyingkirkan diri. Ia melihat bahaya mengancam
padanya. Ia merayap keluar dengan menggunai kedua tangannya mewakilkan kedua
kakinya yang gempor. Dengan kedua tangannya, ia dapat mengangkat tubuhnya.
Perbuatannya ini tak dapat dilihat pihak lawan.
Pok Tiauw, muridnya Lek Hiong
itu, bersatu pikiran. Dia meninggalkan gurunya, untuk kabur juga. Tiba di luar,
keduanya ada bersama. Thian Yauw ditolongi, sebab ia tidak bisa terus
berlari-lari dengan tangan menjadi ganti kaki. Ia minta sambil membujuk dan
memaksa. Akhirnya Pok Tiauw suka meluluskan. Dia ini pikir, walaupun Thian Yauw
tapa dakpa, ilmu silatnya masih tetap liehay. Demikian mereka kabur berdua.
Barisannya Sin Tjoe yang
terdiri dari seratus jiwa menanti lama, tidak juga mereka melihat pemimpin
mereka kembali, karena menduga di sana mesti ada musuh, mereka mendarat, untuk
menyusul dan mencari. Kebetulan mereka melihat Pok Tiauw berdua lagi lari,
lantas mereka menyerang dengan panah mereka.
Pok Tiauw kena terpanah, dia
roboh. Karenanya, Thian Yauw terpaksa mendelepok di tanah. Dengan kipasnya ia
membela diri ada kalanya dengan jemparing lawan ia membalas menyerang. Saking
liehay, ia dapat menimpuk dengan jemparing melukai beberapa serdadu, hingga
sekalian pengurungnya tidak berani mendesak merapatkan dia, maka dia terus
dikurung, diserang dari jauh, sampai munculnya rombongan Sin Tjoe yang mengejar
Sat Lek Hiong.
Pok Tiauw belum mati, melihat
gurunya, dia menjerit minta tolong, juga Thian Yauw. Di luar dugaan mereka,
guru atau sahabat itu, meninggalkannya. Ketika itu Pok Tiauw terkena pula anak
panah, yang merampas jiwanya.
Bukan main mendongkolnya Thian
Yauw untuk kelicinan sahabat itu, hingga dia berseru: "Orang she Sat,
bagus sekali sikapmu ya!"
Selagi orang mengeluh itu, Sin
Tjoe menyerang dengan kimhoa, bunga emasnya. Tepat senjata itu masuk ke dalam
mulut, hingga Thian Yauw tak dapat bersuara lagi. Bunga emas itu lewat di
tenggorokannya. Sambil tak bersuara itu, tubuhnya roboh tergelimpang.
Sin Tjoe menghela napas, ia
menyesali kematian orang. Ia kata: "Kau liehay, sayang kau tidak sudi
dengar nasihat guruku, maka beginilah nasibmu sekarang..."
Nyonya Yap masih berkasihan,
ia menyuruh tenteranya menggali liang mengubur mayat mereka berdua.
Setelah itu orang menyusul Sat
Lek Hiong, memasuki guha. Pengejaran ini sia-sia belaka. Guha itu menembus ke
lain ujung, jadi Lek Hiong dapat menyingkirkan diri. Berkat dia kenal tempat,
Lek Hiong berani lari masuk ke dalam guha itu. Lain ujung itu, mulut guha
menghadapi laut di mana biasa disembunyikan sebuah perahu kecil, dengan
menggunai itu, dia kabur di laut. Tempo Sin Tjoe muncul, cuma terlihat perahu
dengan layarnya, yang sudah berlayar jauh ke tengah.
Sambil memperbaiki perahu, Sin
Tjoe semua mesti berdiam beberapa hari di pulau kosong itu, baru mereka
berlayar pulang.
Bukan main girangnya Kiam Hong
yang dapat bertemu dengan Giok Houw. Maka juga di waktu malam, atau di waktu
fajar, biasa mereka duduk berduaan, berendeng di loneng perahu sambil
memandangi gelombang atau menggadangi sang rembulan. Di waktu demikian, mereka
merasa tenang. Sekarang tidak lagi mereka saling memikirkan atau bergelisah.
Sioe Lan sangat berduka
melihat keeratannya sepasang muda mudi itu, di samping itu, ia dapat melegakan
hati karena ia sudah berbuat sesuatu untuk Kiam Hong. Ia pun terhibur karena
Tjioe Tjie Hiap berlaku manis sekali terhadapnya. Mau ia berlaku baik terhadap
anak muda ini, puteranya ketua dari benteng Kimtoo Tjee.
Ban Thian Peng dapat mencari
balas, meski ia tetap berduka, ia puas sekali. Ia berlaku manis pada Sioe Lan,
maka itu, Nona Im jadi semakin terhibur.
Empat hari orang dalam
perlayaran, tibalah mereka kembali di pusat tentara rakyat di Tanghay, laut
Timur. Pulau itu bernama Hok PoTo, nama yang diberikan Seng Lim karena ia
mengagumi Ma Wan alias Hok Po, jenderal kenamaan di jaman Han. Di sinilah dia
memperkuat kedudukan menentang kejahatan perompak-perompak bangsa kate yang
suka menyerbu pesisir selatan dari Tiongkok.
Tiba mereka sampai di tepian,
mereka mendapatkan sebuah perahu besar berlabuh di pesisir. Mereka lantas
mengenali, itulah bukan perahu mereka.
Di pesisir ada tauwbak yang
menjaga, melihat kembalinya Sin Tjoe semua, dia menyambut dengan girang sekali.
Dia kata: "Oh, leTjeetjoe telah kembali! Bagus!"
"Kenapa?" tanya Sin
Tjoe. "Ada apakah?"
"Ada orang datang
menantang," sahut si tauwbak. "Mereka datang dengan mengirim surat
seperti biasanya kaum Kangouw. Tjio Tjeetjoe kenal mereka itu, katanya
merekalah orang-orang yang ada hubungannya dengan tentera pemerintah."
"Berapa banyak jumlah
mereka itu?" Sin Tjoe tanya pula. "Kapan sampainya mereka?"
"Jumlah mereka delapan
orang, yang menjadi pemimpin seorang tua dengan tangan sebelah. Mereka sampai
belum ada setengah jam. Sekarang mereka berkumpul di ruang besar. Katanya
mereka ingin mengadu kepandaian dengan pihak kita."
Sin Tjoe menjadi tidak senang.
Ia lantas ketahui siapa mereka itu.
"Hm! Koan Sin Liong
bernyali sangat besar!" katanya. "Dia berani datang menantang!
Benarkah dia tidak memandang mata pihak kita?"
Maka ia lantas mengajak
rombongannya lekas masuk ke dalam.
Hoetjeetjoe Touw Tjoe Pang.
ketua muda, segera menyambut nyonya ketua itu serta sekalian rombongannya. Dia
kata: "Tjeetjoe semua serta para tetamu sudah pergi ke medan pieboe!"
"Tetamu apa!" kata
Giok Houw sengit. "Si tua bangka tapa dakpa tangannya sebelah ialah orang
undangannya Yang Tjong Hay! Diam-diam dia membantu tentera negeri, dengan
sengaja dia memusuhkan kita!"
Touw Tjoe Peng bersenyum.
"Hal itu telah diketahui
tjeetjoe!" ia berkata. "Karena mereka datang sebagai kaum Kangouw.
tjeetjoe anggap baiklah kita berpura-pura tidak tahu, kita melayani dia seperti
biasa. Lebih baik lagi kita tidak berurusan langsung dengan pihak tentera
negeri. Kita menyambut dia seperti tetamu saja."
"Benar. Aku pun pikir
demikian," kata Sin Tjoe.
Seng Lim membangun tentera
suka rela untuk membela diri saja, menentang perompak untuk menolongi rakyat,
jikalau tidak sangat terpaksa, tak sudi ia bentrok dengan tentera negeri. Itu
sebabnya ia suka membuat perjanjian dengan soenboe yang lama dari propinsi
Tjiatkang. Ia telah menduga, mungkin soenboe yang baru akan tidak mentaati
perjanjian tetapi ia tetap bersikap sabar.
Thio Giok Houw dapat
memahamkan sikapnya Yap Seng Lim. Itu pula sikapnya Tjioe San Bin. Maka ia
kata: "Baiklah! Mereka tidak mau berterus terang, kitajuga berlagak pilon!
Mari kita menyambut mereka dengan cara Kangouwjuga."
Mereka baru sampai di pintu
dari medan pieboe, lantas mereka mendengar suara nyaring dari Koan Sin Liong:
"Aku si orang tua datang kemari memenuhi undangan Hok Tayhiap suami dan
isteri, sayang sekali Leng Liehiap tidak ada di rumah. Oleh karena itu,
pertandingan giliranku baik ditunda saja. Sat Totjoe, baiklah kau membuat
perhitungan dengan Yap Tjeetjoe, untuk membereskannya lebih dulu!"
Mendengar suara itu, Leng In
Hong berlompat maju sambil tertawa, tetapi ia segera didului oleh Lioe Tek
Tjhong, ketua dari Thayouw Tjee, dan Tjhio Peng Kin, ketua mudanya.
Thio Giok Houw juga lantas
melihat Sat Lek Hiong berada dalam rombongan Koan Sin Liong itu, di antara
siapa pun ada dua orang yang melukai ia selama di Hangtjioe. maka itu, panas
hatinya.
Sat Lek Hiong itu, begitu
kabur dari pulaunya, menuju langsung ke kota Hangtjioe di mana dia mencari Koan
Sin Liong, maka itu dapat dia menuturkan kawan serikatnya itu hal kegagalan di
pulaunya sendiri, hingga dia kena terusir.
"Wanita yang menggunai
bunga emas itu ialah isterinya Yap Seng Lim," Koan Sin Liong memberitahu.
"Untuk membalas sakit hati. Seng Lim harus dicari."
Ia lantas mengajak Yang Tjong
Hay berdamai.
Yang Tjong Hay setuju, tetapi
ia kata ia ingin tak memperlihatkan diri dulu.
Sat Lek Hiong seperti mencil
sendirian, dengan terpaksa ia turut rombongannya Koan Sin Liong itu. Sin Liong
mengajak enam kawan lainnya. Dengan lantas mereka berlayar. Jalan yang ditempuh
ialah menantang secara kaum Kangouw itu.
Sin Tjoe semua mesti
membetulkan perahu mereka, lantaran itu, mereka pulang terlambat, hingga Sat
Lek Hiong dapat mendahului tiba di Hangtjioe lalu terus dapat turut Sin Liong.
Melihat jago pulau kosong itu.
bisa dimengarti Tek Tjhong dan Peng Kin gusar sekali. Bukankah selama di pulau
mereka telah diperhina dan disiksa?
Sat Lek Hiong berani, dia
tertawa dingin.
"Kedua tjeetjoe, apakah
kamu masih penasaran?" katanya menentang. "Apakah kamu masih ingin
menempur aku?"
Leng In Hong tidak sudi
didului, ia melombai pula Tek Tjhong dan Peng Kin. Dengan tindakan "Patpou
kansian", atau "Delapan tindak mengejar tonggeret." ia segera
berada di hadapan musuh. Ia kata: "Tuan Koan, kamu telah tiba lebih dulu,
maka maafkanlah yang aku terlambat menyambutmu! Syukur aku masih belum
ketinggalan! Bukankah kau menunjuk kami suami isteri? Lioe Tjeetjoe, maaf,
sukalah kau mengalah dulu! Thian Touw, mari maju!" Kata-kata yang
belakangan ini ditujukan kepada suaminya.
Yap Seng Lim lantas memegang
masing-masing tangannya Lioe Tek Tjhong dan Tjhio Peng Kin seraya dia berkata:
"Djiewie tjeetjoe baru habis berlayar, silahkan beristirahat dulu!"
Tek Tjhong ketua suatu
benteng, dia menginsafi martabatnya, maka itu dapat dia menyabarkan diri. Di
sini pun orang mengunai aturan kaum Kangouw, jadi tak selayaknya dia mengacau.
Dia mengarti, kalau dia melayani Lek Hiong satu lawan satu, sulit dia
melawannya, sebaliknya, kalau dia lantas maju berdua Peng Kin, itu artinya
berlawanan dengan aturan Kangouw. Maka dia mengundurkan diri.
Seng Lim berbisik ketika ia
berkata pula: "Lioe Tjeetjoe, harap sabar. Tak usah tjeetjoe maju sendiri,
kami akan menagih keadilan untuk tjeetjoe."
Hok Thian Touw telah lantas
muncul, ketika ia hendak menghunus pedangnya, tiba-tiba satu orang mendahului
ia sambil orang itu berkata: "Hok Tayhiap. aku minta, sukalah kau bersabar
dulu! Aku mempunyai urusan dengan Tuan Koan. yang mana harus diselesaikan
terlebih dulu!" Setelah mana ia menghadapi Sin Liong untuk menanya:
"Tuan Koan. muridku yaitu Seng Hay San tidak ada hubungannya dengan kau,
kenapa kau menganjuri muridmu menawannya?"
Orang itu tak lain tak bukan
ialah satu di antara Thianhee Soetay
Kiamkek atau Empat Kiamkek --
Ahli Pedang -- di Kolong Langit ini, bahkan dialah kiamkek yang ketiga: Tjio
KengTo, gurunya Seng Hay San.
Menyambut orang she Tjio ini,
Koan Sin Liong tertawa.
"Tuan Tjio, kau
keliru!" katanya, sabar tetapi jumawa. "Muridmu itu ditangkap oleh
orang-orangnya soenboe, denganku tidak ada sangkutannya! Muridku bekerja di
kantor, dia menerima titah seatasannya, dia mesti menjalankan tugasnya! Benar
aku menjadi guru, aku tidak dapat mencampur tahu tugasnya itu! Kenapa kau
memperhitungkan urusan itu denganku? Tetapi Tuan Tjio, apabila kau sudi memberi
pengajaran, aku si orang she Koan pasti suka sekali menemani kau bermain-main!
Siapakah di antara kamu yang hendak maju lebih dulu?"
Cerdik jago tua ini, dia tidak
mau menantang sekaligus.
"Baiklah kita jangan
berebutan!" berkata Thio Giok Houw nyaring. "Sekarang ini akulah yang
maju! — — Eh, imam hidung kerbau yang bau, apakah kau masih tidak hendak
mengajukan dirimu? Aku si orang she Thio mau minta sekalian bunganya dari
kau!"
Kata yang terakhir dari Giok
Houw ini ditujukan kepada seorang imam dengan kopiah kuping yang berada dalam
rombongan Koan Sin
Liong-ialah imam yang melukai
ia di Hangtjioe.
Imam yang ditantang itu
menjadi gusar.
"Bangsat cilik, kau
berani mencaci orang!" bentaknya seraya lantas maju.
Koan Sin Liong tertawa dingin.
Dia menanya: "Apakah kamu mau bertempur secara kacau? Kalau begitu, kamu
tujukanlah itu padaku seorang!"
"Sabar!" Yap Seng
Lim mengajukan diri. "Haraplah kamu mendengar aku! Hari ini baik kita
bertanding dengan memakai aturan, siapa mempunyai perhitungan, dia berurusan
dengan siapa. Masih ada tempo untuk membereskan semua. Sekarang, sebagai yang
pertama, baiklah saudara Thio melawan tooya itu. Kau sendiri, Tuan Koan,
sebagai pemimpin, sebentar datang giliranmu! Aku pun mau minta tuan jangan
kuatir, di sini kamu tetamuku, maka itu tidak nanti kami mengeroyok kamu!"
Suaranya Seng Lim ini diturut
orang banyak, maka semua lantas mundur, hingga di tengah gelanggang tinggal
Thio Giok Houw berdua si imam. yang telah maju ke tengah. Dialah Tay Hiong,
yang kesohor dengan tangannya yang liehay, yaitu Tiatsee tjiang atau Tangan
Pasir Besi. Ketika itu hari dia dapat melukai Giok Houw, kesatu Giok Houw sudah
lelah sekali, kedua dia dibokong muridnya Koan Sin Liong yang ada bersamanya.
Sebenarnya dia jeri ditantang si anak muda akan tetapi di muka umum itu
terpaksa dia memberanikan diri.
"Silahkan mulai!"
kata Giok Houw sesudahnya keduanya berdiri berhadapan dan telah siap sedia.
Tay Hiong mengangkat sebelah
kakinya, menindak dengan menjejak, untuk memutar diri, setelah mana tangan
kirinya diangkat, ditekuk diputar, lalu sembari berseru: "Bangsat cilik,
terimalah kematianmu!" dengan tangan kanannya ia meninju dadanya si anak
muda. Serangannya ini keras sekali.
Giok Houw tidak menjadi gentar
karena aksi orang itu. Itulah tingkah polah belaka untuk membikin ia bingung.
Ia tetap memasang mata kepada kaki dan tangan musuh. Ia malah menggunai akal.
Begitu serangan tiba, ia menjerit seraya tubuhnya terhuyung. Orang melihatnya
ia terhuyung bukan lantaran berkelit. Maka pihaknya Koan Sin Liong lantas
bersorak. Tapi belum berhenti sorak-sorai mereka, mendadak mereka mendengar
suara bergelebuk dan tubuhnya Tay Hiong roboh setombak jauhnya, terbanting
keras.
Giok Houw tahu tangan musuh
berbahaya sekali, ia tidak mau melawan keras dengan keras. Tepat waktunya, ia
membuat tubuhnya limbung menurut ilmu yoga ajarannya Hek Pek Moko, ia
membiarkan lengan kanannya tertinju meleset. Telah mahir kepandaian yoganya
hingga ia dapat membikin dagingnya bergerak sesuka hatinya. Maka itu ia tidak
terhajar celaka.
Tay Hiong tidak ketahui
kepandaiannya lawan ini. dia girang waktu dia merasa tinjunya mengenai, hanya
hampir berbareng dia menjadi heran dan kaget. Tinjunya itu tidak mengenai
hebat, sebaliknya tangannya kena ditangkis dan terbangkol.
Dalam kagetnya dengan sebat
dia memutar tangannya itu, untuk diloloskan. Justeru dia menolong diri itu,
kepalannya Giok Houw menyamber tanpa dia dapat berkelit lagi, hingga tak ampun
pula, tubuhnya terhajar dan terlempar roboh! Tapi dia tidak terluka hebat,
dengan sebat dia meletik bagaikan ikan gabus, untuk bangun berdiri, cuma
mukanya menjadi merah padam saking malu dan mendongkol. Bahna gusarnya, dia
mencabut pedang pendeknya sambil berteriak: "Marilah kita mengadu jiwa di
ujung senjata!"
Giok Houw menyambut dengan
tertawa berkakak.
"Bagus! Bagus!"
serunya. "Hidung kerbau, kau sebutlah keinginanmu! Aku selalu bersiap
untuk menemani kau!"
"Thio Ibako,
hati-hati!" Sioe Lan berseru. "Pedangnya itu pedang beracun!"
Sebagai puterinya Tjit Im
Kauwtjoe, Nona Im lantas dapat melihat pedang orang pedang berbahaya.
"Aku tahu!" menjawab
si anak muda. "Senjata hina dina itu tak
menggentarkan hatiku!"
-Eh,
hidung kerbau, kau mulailah!
Jikalau kau dapat menikam aku, kau benar liehay!"
Tay Hiong mendongkol bukan
main orang membuka rahasia pedangnya itu.
"Bangsat cilik, perduli
apa aku menggunai senjata apa!" bentaknya. "Kau lihat saja!"
Kata-kata ini dibarengi dengan
tikaman, maka berbareng dengan itu berkesiurlah angin yang berbau bacin, suatu
tanda atau bukti bahwa pedang itu benar-benar beracun dan racunnya juga racun
istimewa.
Giok Houw berlaku waspada, la
mendapatkan imam ini tangguh lantaran tadi dia dapat bertahan dari pukulannya,
satu jurus dari Liongkoen -- Kepalan Naga.
Dengan goloknya ia menangkis
serangan itu, hingga senjata mereka bentrok berisik, sedang tubuhnya terhuyung
dua kali.
"Kena!" berseru Tay
Hiong, yang telah mengulangi serangannya tanpa dia mau mengasi ketika orang
sempat memperbaiki diri. Kali ini dia menyerang ke iga lawannya itu.
Giok Houw terhuyung ke samping
si imam. maka itu tepat tubuhnya untuk menyambut tikaman, akan tetapi ia sadar
dan sebat, sembari terhuyung itu --- suatu tipu belaka --- ia berkelit. Dengan
begitu ia membuatnya tikaman lewat, pedang tidak mengenai tubuh atau hanya
bajunya saja.
Kembali Tay Hiong terperanjat.
Dialah seorang yang berpengalaman bertempur, dia tahu apa artinya gerakan lawan
ini. Dari itu dengan cepat dia menyerang pula, untuk mengulangi tikamannya yang
ketiga. Pedangnya itu beracun, untuknya cukup asal dia dapat menggores tubuh
orang. Karenanya, meski dia ketahui Giok Houw liehay, dia mencoba dengan
berani. Dia percaya, kalau dia terbacok, dia cuma akan terluka parah, tetapi
kalau musuh tertikam, musuh bakal terbinasa. Dari itu maka suka dia mengadu
jiwa, dia bersedia berkelahi secara mati-matian.
Giok Houw dapat menerka
pikiran orang. Ia berlaku cerdik. Ia menggunai kelincahan dari ilmu silat
"Tjoanhoa djiauwsoe," atau "Menembusi bunga, mengitari
pohon," hingga tubuhnya menjadi lemas, licin dan gesit.
Begitulah meski tiga kali
sudah Tay Hiong menikam, dia tak memperoleh hasil.
Sebagai kesudahan dari
kegagalannya berulang-ulang itu, hati Tay Hiong menjadi goncang, sendirinya dia
menjadi bingung.
Giok Houw menggunai ketikanya.
Tengah orang berkuatir itu, ia berseru keras, ia membacok.
Tay Hiong menangkis. Dia
menggunai tipu silat "Mengangkat obor menyuluhi langit." Dia
menggunai tenaga sekuatnya. Dia berani berbuat begini sebab dia merasa dalam
hal tenaga, dia menang dari lawannya yang muda itu. Dia memikir, umpama kata
golok lawan tidak kena dibikin terpental, sedikit dia dapat membebaskan diri.
Tapi dia memikir sendirinya.
Giok Houw menggunai akal. Ia
tidak membacok terus. Di saat kedua senjata bakal beradu, ia memutar tangannya,
ia menukar arah serangannya. Untuk itu, ia pun mendak. Cuma sedikit ia mengubah
sasaran, kesudahannya ia dapat memapas kutung jempol serta telunjuk musuh!
Gerakannya pemuda ini adalah
gerakan pedang Hian Kie Kiamhoat yang menjadi gerakan golok, tentu sekali Tay
Hiong tak menyangka sama sekali, hingga dia tidak keburu menarik pulang
pedangnya atau menggelut tangannya itu.
Sekarang ini pihak benteng
airlah yang bersorak riuh.
Hanya, belum lagi orang
berhenti bergembira, atau semuanya menjadi kaget sekali.
Oleh karena kesakitan, gusar
dan mendongkol, Tay Hiong menjadi nekad, tanpa mencaci atau berseru, mendadak
dia menimpuk Giok Houw dengan pedang pendeknya yang berbisa itu! Itulah
timpukan yang dinamakan "Di muka tangsi memanah tombak." Itu pula
suatu tipu untuk "dari kekalahan merebut kemenangan." Musuh diserang
secara tiba-tiba sedang biasanya, setelah satu kemenangan, musuh suka kurang
waspada. Untuk Tay Hiong, cukup asal ujung pedangnya menowel tubuh lawan...
le Sin Tjoe memasang mata, ia
terkejut untuk sepak terjangnya Tay Hiong itu, hingga ia mau menggunai bunga
emasnya guna merintangi pedang yang beracun itu, akan tetapi sebelum sempat ia menimpuk,
ia mendengar jeritan yang menyayatkan, ia lantas melihat satu tubuh roboh ——
bukan Giok Houw hanya tubuh Tay Hiong si imam!
Giok Houw telah berlaku
hati-hati sekali, matanya celi, gerakannya gesit. Ia melihat bagaimana ia
diserang secara separuh membokong itu. Ia tidak mau berkelit, sebaliknya, ia
lantas menangkis. Syukur untuknya, karena tangannya sakit disebabkan dua
jerijinya terluka, serangannya si imam kurang kuat dan kurang tepat. Ia dapat
menangkis dengan tepat, bahkan tangkisannya membikin pedang lawan mental balik,
nancap di pundak lawan tanpa si lawan sempat menghindari diri.
Maka menjeritlah Tay Hiong,
bahna sakit dan kaget.
Menyusul jeritannya imam itu.
dua tubuh berlompat masuk ke dalam gelanggang. Yang satu ialah sahabatnya Tay
Hiong, Poan Kimkong Hoe Tay Goan, si Arhat Terokmok, dan yang lainnya Kok Tiok
Koen, si tabib yang pandai silat. Dan Tiok Koen berlompat kepada Tay Hiong.
untuk segera menotok dada orang beberapa kali!
Hoe Tay Goan menjadi sangat
gusar.
"Kurang ajar!" dia mencaci.
"Kau... kau..."
Baharu sahabat ini menyebut
"kau" itu, ia melihat Tay Hiong bergerak bangun, untuk berduduk, lalu
terus mengangguk kepada si tabib, mengangguk memberi hormat, sedang mukanya
mengasi lihat roman bersyukur, mulutnya yang bergerak sedikit tetapi tak ada
kata-kata yang dapat dikeluarkan. Tapi Tay Goan berada di sisinya, sahabat ini
samar-samar mendengar ucapan terima kasih. Maka segera dia mengarti. Maka dia
membatalkan caciannya, mukanya menjadi merah saking malu sendirinya.
Racunnya Tay Hiong racun
dahsyat, kalau racun itu bercampuran dengan darah dan mengalir melulahan. masuk
ke jantung, tamatlah lelakon hidupnya. Tak ada obat untuk mencegah kematian
itu. Itu artinya mau mencelakai orang berbalik jadi mencelakai diri sendiri.
Untuk menahan napas saja sudah tak ada kesempatannya. Di luar dugaan, Tiok Koen
menotok, menutup jalan darahnya itu, menyusul mana, tabib ini juga memberikan
dia tusukan jarum guna menyedot keluar racunnya itu.
"Bagus!" berkata
Tiok Koen tertawa habis memberikan pertolongannya itu. "Sekarang pergilah
pulang untuk kau merawat dirimu terlebih jauh! Pedangmu ini terlalu jahat, lain
kali baik kau jangan menggunakannya pula."
Selagi Hoe Tay Goan masih
jengah, Tiok Koen memberi hormat terhadapnya seraya berkata: "Sahabatmu
ini sudah ketolongan, silahkanlah kau mengajaknya pergi!"
Tiba-tiba Tay Goan membuka
lebar matanya dan berkata: "Aku sudah turun ke gelanggang ini, mana dapat
aku balik dengan tangan kosong? Tidak lain, terpaksa aku mesti minta pengajaran
kau!..."
Orang semua heran, bukan Tay
Goan menghaturkan terima kasih, dia justeru menantang. Tiok Koen sendiri turut
menjadi heran juga.
Si Arhat Terokmok ini adalah
konconya Tay Hiong Toodjin. Mereka berdua biasa melakukan pekerjaan tanpa modal
di jalan Kamliang. Mereka tidak punya lain kambrat lagi. Cara kerja mereka juga
istimewa. Yaitu mereka biasa "hitam makan hitam." Umpama mereka tahu
serombongan penjahat lain banyak simpanannya mereka minta hasil tiga persen.
Tay Goan liehay ilmu silatnya, Tay Hiong liehay pedang beracunnya, dari itu
orang golongan Hitam jeri terhadap mereka, kalau mereka minta bagian, tidak ada
yang berani tidak meluluskan. Tiok Koen tahu tabiatnya mereka itu, dan ia tahu
juga Tay Hiong belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan,
dari itu suka ia menolongi jiwa imam itu, ia tidak menyangka, Tay Goan sekarang
menantangnya.
Tay Goan sudah lantas
menggeraki kedua tangannya, yang terlihat bercahaya merah, sembari berbuat
begitu, ia berkata: "Sudah lama aku mendengar perihal ilmu totok kau, Tuan
Kok, maka itu sekarang dengan kedua tangan kosong ingin aku menerima pengajaran
dari kau."
"Terima kasih untuk puj
ian kau ini, Hoe Totjoe," kata Tiok Koen. "Aku si orang tua juga
sudah lama mendengar perihal ilmu Koengoan Peklek Tjiang dari totjoe. Baiklah,
tak usah totjoe sungkan-sungkan lagi, silahkan mulai!"
"Koengoan Peklek
Tjiang" itu ialah Tangan Geledek.
Hoe Tay Goan benar-benar
lantas menyerang. Anginnya itu menderu keras, sampai ujung baju Tiok Koen
berkibar karenanya. Tapi si tabib tidak kena diserang. Ia sudah lantas
menggeser diri ke samping dari mana ia membalas menyerang. Dengan tongkat
bambunya, ia menusuk ke arah telapakan tangan lawan.
"Bagus!" Tay Goan
berseru seraya tangannya ditarik pulang. Dia tidak mundur, sebaliknya, sebelah
kakinya diajukan setindak, hingga dia bersikap "Menunggang harimau mendaki
bukit," berbareng dengan mana, dia menyerang pula dengan tangan kirinya.
Dengan ini dia hendak menghajar tongkat si tabib.
Tiok Koen lekas-lekas menarik
pulang tongkatnya, ia turut menggeser tubuh juga, untuk ia terus menusuk ke
pundak penyerangnya itu.
Dengan gerakan "Burung
hong mengangguk." Tay Goan berkelit, ia menyampok tongkat. Secara begitu,
iajadi dua kali meluputkan diri.
Tongkat Kok Tiok Koen, yang dinamakan
tjheetiok kan, atau "galah bambu hijau," panjangnya delapan kaki tiga
dim. Tongkat itu kaku, daya mentalnya keras, dari itu leluasa sekali
digunakannya. Sebagai alat menotok jalan darah, karena panjangnya, tongkat itu
alat yang tepat dan berbahaya. Cacadnya ialah rada sulit untuk dipakai
berkelahi rapat. Alat totok yang umum ialah dua kaki delapan dim.
Pertempuran itu berjalan seru.
para penonton sangat tertarik perhatiannya. Di antaranya cuma Sin Tjoe seorang
yang melihat sikap Tiok Koen luar biasa, ialah alis si tabib tegang dan
parasnya berubah sedikit. Itulah disebabkan Tiok Koen merasa lawannya
benar-benar tangguh, tongkatnya saban-saban kena dibikin tidak berdaya, sedang
dengan tongkat itu ia telah berlatih sempurna. Ia pula dibikin heran, setiap
kali ia terancam, lantas ancaman itu lenyap sendirinya, meski benar ia pun
mendayakan guna menghindarinya. Ia mau membade maksud orang tetapi ia tetap
waspada.
Pertandingan ini tidak
seimbang. Hoe Tay Goan itu bertubuh besar gemuk dan kekar, sebaliknya Kok Tiok
Koen kecil dan kurus. Sebaliknya, kegesitan mereka berimbang, keduanya dapat
maju dan mundur dengan sebat, hingga mata kebanyakan orang kabur menyaksikan
kelincahan mereka berdua.
Habis itu taklah lama
pertempuran berjalan. Mendadak orang melihat keduanya berlompat mencar.
Sebelumnya mereka memisahkan diri, tongkat Tiok Koen mengasi dengar suara
keras, sebab ujung tongkat mengenakan tubuh Hoe Tay Goan, yang lantas
terhuyung, bukannya mundur atau nyamping, justeru terjerunuk ke depan, hingga
dia dapat menyerang lawannya. Hampir berbareng keduanya roboh!
Semua orang menjadi kaget,
tetapi belum sempat mereka mengambil tindakan, mereka menampak kedua lawan itu
sama-sama berlompat bangun, lantas Tay Goan memberi hormat pada musuhnya seraya
berkata: "Tuan Kok, ilmu totokmu sangat liehay, aku si orang she Hoe
takluk padamu!"
Tiok Koen pun memberi hormat
seraya berkata: "Hoe Loosoe, ilmu Koengoan Peklek Tjiang kau ini liehay,
aku pun kagum sekali!"
Tay Goan mengundurkan diri
tanpa membilang apa-apa, dia hanya berkata kepada Koan Sin Liong: "Tuan
Koan, menyesal sekali yang hari ini kami berdua saudara telah menemui kekalahan
kami, hingga kami tidak dapat memberikan bantuan kami sebagaimana layaknya.
Saudara Tay Hiong terluka, dia memerlukan rawatan, dari itu ingin kami
mengundurkan diri." Ia terus menoleh pada Yap Seng Lim, untuk berkata:
"Yap Tjeetjoe, dapatkah aku meminjam sebuah perahu untuk kami berangkat
pulang?"
"Menyambut dan mengantar
tetamu adalah keharusan kami," berkata Seng Lim cepat, "maka itu tak
usahlah sampai tuan memintanya."
Benar-benar tjeetjoe ini
lantas menugaskan seorang tauwbak buat menyiapkan perahu dan mengantarkan kedua
orang itu meninggalkan pulau mereka, untuk pulang ke Hangtjioe.
"Terima kasih untuk
bantuan kamu, sahabat-sahabatku!" berkata Koan Sin Liong sambil tertawa
lebar, kepalanya dilenggaki. Suaranya itu tak sedap didengarnya.
Sebenarnya Hoe Tay Goan sangat
bersyukur yang Kok Tiok Koen sudah menolongi Tay Hiong Toodjin, konconya itu,
kalau ia toh menempur Kok Tiok Koen. itu cuma siasatnya untuk menutupi muka,
guna membikin Koan Sin Liong tidak menjadi kecewa. Dengan menantang Tiok Koen,
ia juga bermaksud menolongi tabib itu. la tahu kawannya Sin Liong liehay semua,
bila Tiok Koen menempur lain orang, dikuatir dia nanti mendapat bahaya. Thio
Giok Houw tidak tahu maksud orang, dari itu ia menganggapnya keliru, ia
menyangka orang tak berbudi. Koan Sin Liong sebaliknya sangat tidak puas atas
kesudahannya pertempuran itu.
Dengan kepandaiannya, umpama
kata Hoe Tay Goan tidak mengalah, untuk mengalahkannya, mungkin Tiok Koen
memerlukan tiga sampai lima ratus jurus. Tay Goan tahu orang liehay, ia
mengalah bukan karena sungkan. Tiok Koen pun kemudian mendapat tahu orang telah
mengalah padanya, jikalau tidak, di saat berbahaya itu, keduanya pasti akan
sama-sama terluka. Kesudahannya ialah mereka seri.
Koan Sin Liong adalah satu
ahli, maka itu beda daripada kebanyakan orang, ia mengarti sandiwaranya Hoe Tay
Goan itu. Itu sebabnya mengapa ia menjadi sangat tidak puas.
Maka juga sambil menghadapi
rombongannya, ia kata: "Sahabat yang ingin mengundurkan diri, dia boleh
mundur sekarang, temponya masih belum kasip! Tak perduli orang membantu atau
tidak, aku si orang she Koan bersyukur karenanya! Tak usahlah orang menggunai
alasan lagi!"
"Biarlah orang she Hoe
itu!" berkata Lek Hiong. "Lain kali sajakita cari dia untuk membuat
perhitungan! Tak usahlah kau bergusar, toako! Hari ini kita akan mendapat tahu
siapa-siapa sahabat sejati! Untukku, biarlah aku maju lebih dulu!"
Lantas jago dari pulau kosong
ini mengajukan diri. Dia membuatnya orang gentar. Dia benar pecundang dari Sin
Tjoe dan In Hong akan tetapi untuk menempur dia satu lawan satu sebenarnya
sulit, melainkan Hok Thian Touw atau Tjio Keng To yang dapat menandinginya. Sulitnya
ialah mereka ini telah berjanji dengan Koan Sin Liong untuk bertempur satu sama
satu dan janji itu tak dapat diubah kecuali kedua pihak berbicara dan
menyetujuinya dulu.
Selagi Tjio KengTo bimbang,
Yap Seng Lim bertindak maju.
"Sudah lama aku mendengar
hal kepandaian luar yang mahir sekali dari Sat Lootjianpwee," ia berkata,
sabar, "meski begitu aku yang rendah tak tahu harga diriku, suka aku
memohon mencobanya untuk beberapa jurus."
Sat Lek Hiong tertawa
bergelak.
"Yap Tjeetjoe sendiri
sudi memberi pengajarannya, sungguh tak ada yang terlebih baik daripada
itu!" ia berkata. "Silahkan!"
Di pihak tuan rumah orang
heran melihat Seng Lim mengajukan diri. Itulah berbahaya. Umumnya hati orang
tak tenang. Seng Lim muridnya Kimkong Tjioe Tang Gak si Tangan Arhat, ia pun
mengutamakan kepandaian luar, -- gwakang, —— ia memang tepat menandingi Lek
Hiong, tetapi ia kepala, sebagai kepala tak selayaknya ia yang lantas maju.
Tapi ia sudah berada di depan, tak dapat ia diminta mengundurkan diri.
"Silahkan lootjianpwee
yang mulai!" berkata Seng Lim merendah. "Aku yang muda tuan rumah dan
lootjianpwee ialah tetamu, tidak berani aku melancangi!"
"Kalau begitu,
maaf!" berkata Lek Hiong seraya lantas ia menggeraki kedua tangannya,
hingga terdengar bersuara meretak pada sambungan tulang-tulangnya, menyusul
mana mendadak sebelah tangannya meluncur.
Lek Hiong bertubuh lebih
tinggi daripada Seng Lim, maka itu ketika ia menyerang ini, tangannya dari atas
turun kebawah, umpama kata seperti gunung Taysan menindih kepala!
Seng Lim pun dengan cepat
menggeraki tangannya. Dengan tangan kiri ia menangkis, dengan tangan kanan ia
membarengi menyerang. Ini dia yang dinamakan keras lawan keras, maka beradulah
tangan mereka. Sebagai kesudahan daripada itu, tubuh Seng Lim mundur tiga
tindak, lantai yang diinjak menjadi celong, bertapakkaki. Tapi juga Lek Hiong
terhuyung dua kali, dia mesti lompat ke kiri satu tombak, baru dapat dia
membikin tubuhnya berdiri tegak pula.
Seng Lim merasa orang
bertenaga seperti raksasa, bahwa ia mungkin tak dapat bertahan, akan tetapi ia
tidak takut, ia tidak kekurangan daya. Beda daripada Lek Hiong, ia mahir
ilmunya tenaga dalam dan tenaga luar, maka untuk melawan musuh tangguh ini, ia
menggunai dua-dua kepandaiannya itu. Ia menangkis dengan tangan kirinya dengan
ilmu pukulan Biantjiang Kanghoe, atau Tangan Kapas, ialah dengan tenaga lunak.
Sebaliknya dengan tangan kanannya ia menghajar dengan Kimkong Tjioe, tenaga
keras. Sayang untuknya, ia belum mencapai puncaknya Biantjiang Kanghoe, kalau
tidak, celakalah Lek Hiong. Itu sebabnya kenapa orang she Sat ini melainkan
terhuyung.
Bentrokan pertama ini
meyakinkan kedua pihak akan liehaynya mereka masing-masing. Yap Seng Lim segera
mengerti bahwa ia perlu menggunai siasat. Lek Hiong sebaliknya kagum karena lawannya
masih muda sekali, usianya baru lebih kurang tiga puluh tahun, dia tidak
menyangka sekali pukulannya itu dapat dilawan secara demikian bagus.
Ketika keduanya maju pula,
lebih dulu mereka berputaran. Habis itu Seng Lim yang merasa terlebih dulu. Ia
menggeraki keduatangannya ke kiri dan kanan, tangan kiri dalam sikap menjaga
atau menangkis, tangan kanan terus menyerang. Dari kepalan, tangan kanan itu
dibuka, untuk jerijinya dipakai menotok ke pinggang di mana ada jalan darah
kwietjheng.
Lek Hiong tidak mundur atau
berkelit, dia menangkis sambil membalas menyerang juga, maka lagi sekali mereka
itu bentrok. Tubuh Seng Lim mundur sambil mencelat tinggi. Lek Hiong mundur
tiga tindak sambil terdengar suaranya, "Hm!"
Nyata mereka kembali tak
menang dan tak kalah.
Penonton dari kedua pihak
sama-sama menyusut peluh tanpa merasa.
Ie Sin Tjoe terkejut berbareng
girang. Ia terkejut untuk hebatnya lawan itu. Ia berkuatir, kalau lama-lama
mereka bertempur, Seng Lim mungkin kalah ulet. Sebaliknya ia girang sebab ia
mendapat bukti Kimkong Tjioe suaminya itu demikian mahir, suami itu memperoleh
kemajuan di luar sangkaannya.
Semua mata lantas mengawasi
dengan tajam.
Kedua pihak lantas maju pula,
untuk melanjuti pertempuran mereka. Bisalah dimengerti jikalau mereka menjadi
sama-sama penasaran, hingga pertempuran berlangsung dengan dahsyat. Penonton
kedua pihak pada mengundurkan diri, untuk menyingkir dari samberan angin mereka
itu.
Lewat sekian lama, orang
melihat Seng Lim mandi keringat sedang Lek Hiong bernapas mengorong. Itulah
bukti kedua pihak sudah mengobral tenaga mereka, hingga mereka menjadi letih
sekali.
Di pihak Seng Lim, bukan cuma
Sin Tjoe sang isteri, juga In Hong dan Giok Houw menguatirkannya, kuatir
kalau-kalau dia salah bergerak...
Tengah bertempur hebat itu
tiba-tiba terdengar bentakannya Sat Lek Hiong, yang tangan kirinya memutar
mengancam dan tangan kanannya menyerang hebat.
Seng Lim menutup dadanya
dengan tangan kanannya tetapi tangan kanan itu kena tertolak ke samping,
tubuhnya turut tertolak mundur juga. Itu berarti tubuhnya telah terbuka, tinj
unya Lek Hiong tinggal menghajar dadanya itu.
Tjio Keng To kaget hingga dia
berteriak "Celaka!" sambil terus lompat maju, untuk melindungi ketua
dari benteng air Hokpo To itu. Tapi belum lagi ia tiba kepada orang-orang yang
lagi mengadu jiwa itu, segera terlihat tubuh Seng Lim bergeser ke samping
kanan, tangan kirinya dipakai menangkis, tangan kanannya yang tertolak
diteruskan dipakai menyamber. Nampaknya ia menggeraki tangan lambat, akan tetapi
akibatnya itu, tubuhnya Lek Hiong yang besar itu kena dibikin terpental. Hanya
habis itu, dengan mengasi dengar suara napas tertahan, tubuh ketua benteng
pulau ini roboh terjengkang!
Majunya Tjio Keng To tepat
sekali, hingga ia dapat menanggapi tubuh ketua itu, hingga tubuh itu tak usah
jatuh terbanting.
Di pihak sana baik Koan Sin
Liong atau lainnya, tidak ada yang keburu menolongi kawannya maka itu Lek Hiong
roboh terjungkal, kedua kakinya menjulang ke langit!
Seng Lim tahu ia terancam
bahaya maka itu ia menggunai kesehatannya untuk berkelit, untuk segera
membarengi menyerang dengan pukulan Tangan Kapas, benar ia agaknya bergerak
lambat tetapi serangannya dahsyat. Buktinya tubuh raksasa musuhnya itu
terpental keras.
Lek Hiong menyerang dengan
bernapsu, ia tidak menyangka lawannya demikian lincah, tetapi walaupun ia
roboh, serangannya mengenai juga, hanya itu tidak tepat, dari itu Seng Lim cuma
kena tertolak dengan napasnya dirasai tertutup.
Coba keduanya sama-sama
terguling, mereka seimbang, pertempuran mereka seri. Tetapi Seng Lim ditolongi
Keng To, dia dapat segera mempertahankan diri. Di lain pihak. Lek Hiong
terhitung tjianpwee, orang dari tingkat terlebih tua dan tinggi, dia keteter
terhadap seorang muda --- siauwpwee --- ia kalah sendirinya karena derajatnya
itu, maka meski mereka seri. ia toh terhitung kalahjuga.
"Terima kasih
lootjianpwee suka mengalah," kata Seng Lim.
Lek Hiong jengah, mukanya
merah.
Ketika itu, dengan pedang
terhunus, seorang mengajukan diri seraya berkata dengan dingin: "Yap
Tjeetjoe, kau benar-benar liehay! Baiklah tunggu sebentar, setelah kau
beristirahat, suka aku si orang she Koan menerima pengajaran dari kau!" Ia
tidak menanti jawaban, ia terus memandang Tjio Keng To, untuk meneruskan:
"Orang tua she Tjio, kau sudah maju ke gelanggang, kau baiklah jangan
mengundurkan diri pula!"
Orang itu ialah Koan Sin
Liong, sebagaimana ia telah menyebut-nyebut she-nya. Ia nampak gusar sekali. Ia
melihat KengTo menolongi Seng Lim. Ia mendongkol tanpa bisa
788
berbuat apa-apa, sebab
perbuatan orang she Tjio itu tak menyalahi aturan Kangouw. Maka ia cuma dapat
di satu pihak menyindir Seng Lim dan di lain pihak menantang Keng To.
"Memang aku telah memikir
untuk tidak pulang!" berkata Keng To sambil tertawa nyaring. "Asal
kau dapat menahan aku maka beberapa potong tulang-tulangku dapatlah dipendam di
sini!"
Kata-kata ini ditutup dengan
dihunusnya pedang yang terus diluncurkan ke depan lawan yang jumawa itu.
Koan Sin Liong sudah lantas
menyambut.
Keng To ahli pedang kaum
lurus, sudah menjadi kebiasaannya walaupun di depan musuh liehay, tak dapat ia
melupai aturan. Begitu ketika ia meluncurkan pedangnya, ia bukan lantas
menyerang, hanya ujung pedangnya itu lantas ditunduki ke bawah. Itulah tanda
menghormat.
Koan Sin Liong bangsa sesat,
dia sebaliknya, dia tidak mengambil mumat aturan kehormatan, begitu melihat
pedang lawan meluncur, begitu dia menyambut. Dia menangkis keras, sambil
menangkis, sebelah kakinya diajukan.
Kedua pedang bentrok satu
dengan lain, pedang Keng To kena dibikin mental, sebaliknya ujung pedang Sin
Liong meluncur terus ke lengan lawan, sebab dia menangkis sambil diteruskan
menikam.
Keng To terkejut. Inilah ia
tidak sangka. Syukur ia lekas mengegosi tangannya itu, jikalau tidak, celakalah
ia hanya dalam sejurus itu.
Gagal serangannya yang licik
itu, Sin Liong mendesak, ia menyerang pula.
Keng To menangkis sambil
mendak. Pedangnya tidak bentrok, karena Sin Liong menarik pulang senjatanya.
Karena ini ia dapat meneruskan membabat ke bawah, ke kaki.
"Bagus!" Sin Liong
berseru memuji seraya tubuhnya mencelat tinggi, berkelit dari ancaman bahaya
itu, hingga pedang lawan lewat di bawahan kakinya. Ia berlompat sambil terus
menjumpaiitkan diri, hingga kakinya berada di atas, kepalanya berada di bawah,
dengan begitu selagi turun itu, ia dapat menggunai ketika meneruskan menyerang.
Keng To cepat-cepat menangkis.
Maka lagi sekali pedang mereka beradu nyaring.
Baru setelah ini keduanya
memisahkan diri.
Keng To menjadi gusar, hampir
pundaknya tertikam, sedang pedangnya sendiri lewat di atasan pundak musuh.
"Kau telengas,
jahanam!" ia mendamprat di dalam hati. "Nyata aku keliru memandang
kau sebagai jago!" Karena ini. ia lantas maju pula untuk menyerang lagi.
Kali ini ia bersilat dengan "KengTo Kiamhoat," ilmu "Pedang Bergelombang,"
yang menjadi peryakinannya. Sekarang ia tidak mau berlaku sungkan lagi.
Tjio Keng To terkenal
berbareng dengan Thio Tan Hong dan Ouw Bong Hoe, ilmu pedangnya itu telah
diyakinkan selama beberapa puluh tahun, maka itu bisa dimengerti serangannya ini
seperti gelombang saling kejar.
Koan Sin Liong bertindak dalam
garis Kioekiong Patkwa. ia main mundur dengan rapi. Ia terdesak tetapi ia tidak
menjadi repot.
Untuk sehirupan teh,
pertempuran berlangsung hebat. Satu menyerang, satu menjaga. Tidak ada pihak
yang terlebih unggul.
Cuma di dalam hatinya, Koan
Sin Liong berkata: "Tua bangka ini benar-benar hebat. Dia terlebih tua
daripada aku. toh dia masih gagah mirip anak muda!" Ia menjadi waspada.
Dalam pertempuran seperti itu,
meski KengTo mendesak, sebenarnya Sin Liong yang mesti mengerahkan tenaga dan
perhatian lebih banyak. Kalah tenaga atau alpa berarti kekalahan. Sin Liong
liehay, dia dapat bertahan.
Mau atau tidak, Keng To mesti
puji lawannya ini. Katanya dalam hati: "Pantas dulu hari, paman gurunya
telah menantang Hian.Kie Itsoe! Ilmu pedangnya ini, untuk kaum sesat, benar
ilmu pedang kelas satu!" Oleh karena ini, ia tidak mau berlaku teledor.
Dengan cepat pertempuran itu
sudah berjalan seratus jurus.
In Hong menonton sambil
berdiri berendeng dengan Sin Tjoe, diam-diam keduanya memuji. Tapi Nyonya Yap
rada berkuatir, ia kata perlahan kepada kawannya: "Tjio Lootjianpwee sudah
berusia lanjut, kalau dia mesti bertempur lama, tenaganya dapat berkurang lebih
cepat. Aku kuatir dia rugi pada tenaganya..."
Baru nyonya ini berkata
demikian, lantas ia melihat satu perubahan yang sangat cepat. Keng To
menyerang, Sin Liong ayal menangkis. Ia menjadi girang. Tapi In Hong berseru:
"Celaka!"
Perubahan telah terjadi dengan
sangat cepat. Bukannya Sin Liong yang terluka, justeru Keng To yang kena
ditikam. Ujung pedang si orang she Koan menggores lengan kiri panjangnya lima
dim!
Keng To pun sependapat dengan
Sin Tjoe. la tidak mau pertempuran mengambil tempo terlalu banyak. Ia menjadi
ingin mengakhirinya siang-siang, lebih cepat daripada semestinya. Karena
berpikir begitu, meski orang dihadapinya, ia seperti lupa Sin Liong itu tidak
ada tangan kirinya Ia menyerang dengan tikaman
"Siangliong
tjoethay"-"Dua ekor
naga keluar dari laut."
Serangan itu mengarah kedua tangan kanan dan kiri dengan bergantian. Hebat ilmu
silat itu.
Akan tetapi Sin Liong
bertangan satu, tak ada lengan kirinya maka itu sia-sia belaka tikaman Keng To
ke lengan kiri. Pedang cuma mengenai tangan baju yang tidak ada lengannya. Baru
setelah mengenai tangan baju itu, KengTo sadar. Tapi sudah kasip. Sin Liong
menggunai ketikanya dengan tepat, pedangnya meluncur. Syukur Keng To masih
cukup gesit, maka ia cuma tergores sedikit. Meski begitu, darahnya lantas
mengalir.
Sin Tjoe terkejut, tapi cuma sebentar.
Cepat luar biasa, perubahan lain sudah mengambil tempat. Perubahan ini menarik
perhatiannya. Sin Liong dan Keng To saling menyerang, pedang mereka beradu.
Luar biasa, habis itu, kedua pedang tak dapat ditarik pulang masing-masing.
Kedua pedang nempel satu pada lain. Dengan begitu, keduanya pun terus tak
bergerak.
Darah di lengannya KengTo
turun tetes demi tetes. Koan Sin Liong sebaliknya, parasnya berubah dan dari
dahinya keluar peluhnya yang sebesar kacang kedele, jatuh tetes demi tetes
juga.
Itulah Keng To yang menempel
pedang lawan. Ia gusar, ia menggunai siasatnya ini. Inilah siasat yang akan
memutuskan, siapa mati dan siapa hidup. Ia telah mengerahkan tenaga dalamnya,
menempel pedang lawan hingga tak dapat ditarik pulang.
Dari mengadu pedang, mereka
menjadi menguji tenaga dalam.
Walaupun sama-sama tak
bergerak, pertandingan ini lebih hebat daripada pertandingan pedang.
Mau atau tidak, pihak
rombongan Sin Tjoe berkuatir. Bukankah Keng To sudah terluka? Tidak dapat jago
itu mengeluarkan terlalu banyak darah. Memang darahnya mengetes perlahan, tapi
bagaimana kalau waktunya berlarut-larut? Sedikit demi sedikit berarti banyak
juga...
Juga Koan Sin Liong berkuatir.
Ia tidak terluka tetapi ia kalah tenaga dalam. Ada kemungkinan sebelum Keng To
letih atau habis tenaga disebabkan darahnya keluar terus menerus, ia akan roboh
terlebih dulu lantaran tenaga dalamnya terkerahkan habis.
Pihak Sin Liong pun turut
berkuatir.
"Thian Touw," kata
In Hong akhirnya pada suaminya, "dapatkah kita berdua memisahkan
mereka?"
Selagi si nyonya berkata
begitu, dari rombongan Sin Liong terlihat seorang bertindak maju ke gelanggang.
Dialah imam yang bernama Tjeng In, yang maju sambil menghunus pedangnya.
Seperti In Hong, diajuga berniat memisahkan keduajago itu.
Cepat Tjeng In bertindak,
begitu tiba begitu ia meluncurkan pedangnya.
"Traang!" suara
beradu terdengar.
Pedangnya Koan Sin Liong
pedang Siongboen Kouwteng kiam, pedang itu tergeser sedikit, akan tetapi kedua
pedang tetap nempel. Sebaliknya pedang Tjeng In mental balik juga tubuhnya.
Justeru itu kembali terdengar
suara "Traang!" terlebih nyaring. Kali ini pedang Thian Touw yang
menyelak di antara pedang kedua jago. Jago dan Thiansan bergerak menyusuli
Tjeng In.
Pedangnya Sin Liong dan KengTo
lantas berpencaran. Atas itu tubuh KengTo roboh terguling, akan tetapi segera
ia lompat bangun pula. Tubuh Sin Liong terhuyung enam atau tujuh tindak, lalu
berputar, habis itu baru dia dapat berdiri tetap.
Tjeng In memisahkan dengan
pikirannya berat sebelah. Di muka umum seperti itu ia tidak berani berlaku
curang dengan menikam langsung pada Keng To. Hanya ketika ia memisahkan,
pedangnya diberatkan kepada pedang musuh kawannya. Kalau ia berhasil, Sin Liong
dapat meneruskan menikam. Tapi dia kalah tenaga dalam, pedangnya terpental dia
terpelanting. Meski begitu, ketika pedang mereka tergerak, Sin Liong dapat juga
meluncurkan terus pedangnya. Akan tetapi dia tidak dapat menikam KengTo. Tepat
di itu waktu, datang serangannya Hok Thian Touw. Tidak ampun lagi, pedang mereka
bercerai-berai.
Tjeng In roboh terguling, dia
tidak mendapat luka tetapi dia malu.
Thian Touw memisahkan secara
jujur akan tetapi ia menyebabkan kemendongkolannya Sin Liong. Jago itu
terhalang maksudnya. Cuma, sebab tidak ada alasan, Sin Liong tidak berani
menegur. Ia pula harus meluruskan napasnya.
Setelah itu In Hong maju ke
gelanggang. Inilah kebetulan buatjago tua itu.
"Kamu suami isteri
kebetulan maju," katanya, "sekarang mari kita memenuhkan janji
kita!"
Dengan berani Sin Liong
menentang.
"Lootjianpwee," kata
Thian Touw tertawa, "apakah kau tidak ingin beristirahat dulu?"
Sin Liong menyedot napasnya.
Ia melihat cuaca, ia berpikir. Ia merasa ia bakal dapat melayani suami isteri
itu sampai dua ratus jurus. Itu berarti ia akan menang tempo. Ia ingin
memperlambat waktu kira-kira setengah jam, lantas harapannya timbul. Sebagai
seorang manusia licik, ia sudah mengatur tipu daya. Ia mempunyai bala bantuan,
yang datangnya lagi ditunggu. Thian Touw sebaliknya tidak berpikir sebagai ia.
"Meski aku bertempur, aku
si orang she Koan tidak menghamburkan tenagaku!" ia kata tertawa, sikapnya
jumawa. "Tak ada perlunya untuk aku beristirahat lagi! HokTayhiap, kau
terlalu memandang enteng kepadaku!"
Thian Touw tidak mau berlaku
curang. Ia melirik kepada Tjeng In, yang lagi berdiri dengan masih memegangi
pedang, matanya imam itu mengawasi ia dengan bengis.
Rupanya dia itu masih
mendongkol dan membenci kepadanya disebabkan dia gagal memisahkan, ia berhasil,
dia roboh dari mendapat malu. Ia lantas tertawa.
"Jikalau begitu,
lootjianpwee." katanya, "baiklah, silahkan tooya itu pun maju
bersama! Kami berdua, lootjianpwee juga berdua, kita jadi seimbang!"
Sin Liong menantang suami
isteri itu, benar ia satu lawan dua, ia anggap itulah pantas. Bukankah ia jago
dan telah terkenal? Bukankah ia lebih tua tingkatnya? Ia malu satu lawan satu.
Tapi sekarang orang meminta sendiri ia maju berdua, diam-diam ia girang. Ini
ada baiknya. Jadi ada ketika lebih baik untuk ia memperlambat waktu. Siapa tahu
kalau ia justeru akan dapat merobohkan suami isteri itu? Biar bagaimana, Tjeng
In tidak dipandang enteng.
"Tooheng, bagaimana
pikiranmu?" ia tanya imam itu. "Mereka ini ialah suami isteri Hok
Thian Touw dari Thiansan yang kesohor untuk ilmu pedangnya Siangkiam Happek
yang bersatu padu, yang pernah bertemur seri dengan Lootjianpwee Kiauw Pak
Beng."
Tjeng In terkejut mendapat
tahu orang ialah jago Thiansan. Ia belum kenal suami isteri itu, ia cuma baru
mendengar namanya. Tapi sudah terlanjur, tidak dapat ia mundur. Maka ia kata:
"Memang telah lama aku mendengar nama besar dari tayhiap suami isteri.
Marilah! Aku pikir, daripada kita bertempur dalam dua rombongan, baik kita
menjadi satu saja!"
Ketika itu Tjio Keng To
berdiri mengawasi dari luar gelanggang. Lukanya luka di kulit, habis diborehkan
obat, darahnya berhenti mengalir. Ia tidak berkuatir melihat Thian Touw
menantang. Bahkan sambil tertawa ia kata pada Sin Tjoe: "Meski tua bangka
itu belum mensia-siakan tenaganya melawan aku, melayani Hok Tayhiap berdua dia
bukannya tandingan! Tapi dia berkepala besar, dia berani menantang! Dia dibantu
si hidung kerbau, kendati begitu, dia cuma akan dapat melawan tiga ratus
jurus!"
Sin Tjoe setuju dengan
pandangannya jago tua ini. Tapi ia heran. Kenapa Sin Liong berani menantang
Thian Touw? Mestinya dia letih, dia perlu beristirahat dulu. Ia menjadi
bercuriga.
Itu waktu ke empat lawan sudah
mengambil kedudukan masing-masing, pedang mereka juga telah disiapkan. Sebelum
mulai. Koan Sin Liong berseru nyaring, baru habis itu, lengan tunggalnya bergerak.
Thian Touw kagum habis
bertempur seru, Sin Liong masih dapat mengeluarkan suara nyaring itu. Itulah
tanda dari tenaga dalam yang sempurna. Karena ini, ia tidak mau memandang
enteng kepada lawannya itu. Ia pikir untuk membela diri dulu, baru membalas
menyerang.
In Hong menerjang Tjeng In
lekas mereka sudah mulai bergerak, ia menabas ke arah lengan. Itulah jurus
"Burung malam menggaris pasir."
Tjeng In pun ahli pedang
tetapi belum pernah ia melihat pembukaan penyerangan cara demikian, ia menjadi
terkejut. Ia tidak menangkis hanya berkelit seraya memutar tubuh, niatnya buat
meneruskan membalas menyerang. Tapi ia kalah sebat, lengannya hampir tergores.
Karena itu, gagal niatnya membalas. In Hong sebaliknya mendesak, gagal
serangannya yang pertama, menyusul yang kedua.
Mendadak terdengar suara
bentrok, nyaring dan lama. In Hong melirik. Sin Liong dan suaminya mengadu
pedang mereka, pedang suaminya itu tertolak ke bawah. Itulah akibat tenaga
dalam Sin Liong lebih unggul.
Menampak demikian, terpaksa In
Hong meninggalkan Tjeng In guna menyerang Sin Liong. Justeru itu, Thian Touw
sudah membalas menyerang. Maka bersatu padulah pedang mereka berdua.
Pedangnya Sin Liong kena
terhajar hingga mental, karena itu terbukalah satu lowongan. Kedua pedang suami
isteri itu meluncur terus, yang satu ke atas. ke mata, yang lainnya ke bawah,
ke dengkul.
Sin Liong tajam matanya dan
gesit tubuhnya. Ia menangkis ke atas sambil lompat membal, dengan begitu dengan
kakinya ia bisa menjejak lengan si nona. Karena tangannya sebelah, tak dapat ia
menangkis ke atas dan ke bawah hanya dengan sebuah lengan. Itulah jejakan
"Kwec Seng tektauw" atau "Kwee Seng menendang bintang."
Memang selama meyakinkan ilmu
pedang dengan tangan sebelah, Sin Liong melatih juga kedua kakinya, untuk bertindak
dengan rapi dan tetap, untuk dapat menendang dan menjejak.
"Bagus!" In Hong
berseru seraya ia menyerang pula ke bawah.
Lagi-lagi Sin Liong berlompat
lagi-lagi ia menjejak, tapi sekarang si nyonya berlaku cerdik, ia memutar
tangannya, dengan mana berarti juga ia memutar pedangnya.
Sin Liong melihat bahaya, ia
menggeraki kedua kakinya berbareng. Ia benar-benar gesit. Ia dapat membikin
pedang lewat tepat di bawah sepatunya. Tidak cuma demikian, ia pun dapat
kesempatan guna meneruskan menjejak pula!
Di dalam keadaan seperti itu,
Nyonya Thian Touw tidak sempat menarik pedangnya, ketika pedangnya itu
terjejak, saking kerasnya jejakan, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak,
hampir pedangnya terlepas dan cekalan.
Koan Sin Liong juga bukan
bebas seluruhnya, ia sudah lantas diserang Hok Thian Touw, hanya saking liehay,
dengan pedangnya ia dapat membebaskan diri pula. Setelah ini ia mengeluarkan
keringat dingin, hatinya cemas.
Hok Thian Touw lantas
mendesak, pedangnya menikam dan menabas berulang-ulang.
Sin Liong menjadi repot. Ia
tidak menyangka suami isteri itu dapat bersatu padu demikian mahir. Ia sudah
pikir akan dapat melayani sampai dua ratus j urus, siapa tahu sekarang, baru
lima puluh jurus, ia sudah keteter.
Lebih buruk lagi ialah Tjeng
In. Imam ini berkelahi lebih banyak berkelit ke belakang kawannya itu, sebab
asal ia berada di depan, ia lantas diserbu kedua lawannya bergantian.
Menyaksikan jalannya
pertandingan itu, pihak Sin Tjoe bergirang.
Tjio KengTo mengurut kumisnya,
sembari tertawa ia kata: "Pantaslah sepuluh tahun dulu Thio Tan Hong telah
memastikan Hok Thian Touw bakal menjadi seorang guru besar, nyata matanya jauh
lebih tajam dari mataku! Tadi aku menyangka, si bangsat tua dibantu si imam
akan dapat bertahan sampai tiga ratus jurus, sekarang ia ternyata, tak usah
sampai seratus jurus, dia bakal kena dirobohkan!"
Walaupun Sin Liong terdesak,
pertempuran berjalan tetap seru. Thian Touw dan In Hong merangsak, tetapi
penjagaan kokoh teguh.
Tiba-tiba terdengar jeritan,
lantas terlihat Tjeng In terhuyung, tubuhnya berlepotan darah, setelah tujuh
tindak, dia roboh terguling, pedangnya terlepas. Pedang itu telah terkutung
dua!
Rombongannya Sin Tjoe lantas
berseru bersorak. Justeru itu terlihat kabur datangnya seekor kuda,
penunggangnya dua orang. Penunggang yang satu sambil mengangkat tinggi sehelai
bendera merah.
Yap Seng Lim lantas mengenali,
orang itu ialah orangnya sendiri, tauwbak yang ditugaskan menjaga menara
pengawasan, namanya Ong Tek. Penunggang yang lain tak nampak nyata, karena dia
kealingan tauwbak ini.
Ong Tek datang seperti kilat,
mestinya dia mempunyai berita penting. Mau atau tidak. Seng Lim heran.
Yang lain-lainnya pun lantas
mengawasi dua penunggang kuda itu.
Segera juga kuda yang
dikaburkan itu sampai di depan Seng Lim, begitu sampai, ke empat kakinya lemas,
dia lantas roboh, sedang dari mulutnya, habis ringkikan, keluar ilar putih yang
berbusa. Kedua penunggangnya turut roboh terguling, hanya lekas merayap bangun,
untuk berlutut di depan ketua itu.
Seng Lim gagah dan
berpengalaman, tetapi kali ini ia kaget. Ia heran hingga ia berpikir:
"Apakah artinya ini? Kabar penting apa mereka bawa? Kenapa agaknya mereka
begini ketakutan? Kenapa berdua mereka naik seekor kuda? Mungkinkah musuh
datang membokong hingga cuma mereka berdua yang lolos?..." Ia lantas
mencoba menenangkan diri.
Ong Tek sudah lantas mengasi
dengar suaranya, tetapi dia bersuara ah-ah uh-uh. Parasnya menunjuki dia
ketakutan dan kesakitan.
Seng Lim tercengang.
"Ong Tek, kau
kenapa?" ia tanya keras, lalu mendadak ia mendupak tauwbak-nya itu. Segera
ia tahu orangnya itu telah orang totok urat gagunya, maka ia mendupak untuk
membebaskannya.
"Tjeetjoe!" Ong Tek
berseru. "Musuh..."
Baru saja dapat membuka mulut,
tauwbak ini tak dapat bicara lancar. Tapi keterangannya itu sudah cukup. Itu
artinya ada musuh.
"Beberapa besar jumlahnya
musuh yang datang?" ia tanya penunggang kuda yang lainnya. Percuma akan
menanya Ong Tek. "Lekas bilang!"
Tauwbak itu tidak lantas
menyahuti, hanya dia berlompat bangun.
"Seng Lim, awas!"
Sin Tjoe berteriak. "Dia!..."
Belum berhenti suaranya isteri
ini, atau tauwbak itu sudah menyerang Seng Lim dengan totokannya.
"Kau!... Kau!..."
berseru Seng Lim. Tapi cuma sebegitu ketua ini dapat membuka mulutnya. Mendadak
ia merasakan hatinya dingin, tubuhnya dingin juga, sedang giginya lantas
bercatrukan, tanpa ia dapat mempertahankan, tubuhnya itu terhuyung mau jatuh.
Tauwbak itu tidak berhenti
dengan hanya serangannya itu, sambil tertawa mengejek, dia maju pula, untuk
mencekal tangannya Seng Lim.
Ketua ini berseru, dengan
tangannya ia mencoba menyerang. Sayang karena tubuhnya beku, tidak dapat ia
mengerahkan tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe, meski begitu penyerangnya itu
tertolak juga mundur dua tindak. Setelah itu, sendirinya ia roboh terguling.
Ketika itu Sin Tjoe sudah
menyerang dengan tiga buah kembang emasnya.
Tauwbak penyerang itu liehay
sekali. Dia menjejak tanah, tubuhnya lantas mencelat tinggi, berkelit dari
serangan senjata rahasia itu, sedang tangannya yang sekarang terlihat memegang
sebatang kipas, menangkis pergi pulang, hingga ketiga bunga emas kena tersampok
runtuh. Dia gesit dan lincah sekali. Lompatannya itu pun lompatan "Angsa
es terbang ke langit." Ketika dia turun pula, tubuhnya meluncur ke
depannya Kiam Hong.
"Kiauw Siauw Siauw!"
Nona Liong berteriak kaget.
"Ya, budak hina!"
tauwbak itu menjawab, tertawa dingin. Dia benarlah puteranya Kiauw Pak Beng.
"Kiranyakau masih
mengenali aku!" Kata-kata tajam itu disusul dengan serangan dengan kipas.
Liong Kiam Hong menangkis,
tetapi pedangnya berbalik kena
disampok, menyusul mana, jari tangan anak muda itu menotok.
Nona Liong terkejut, ia
berkelit, tapi gagal, totokan datang sangat cepat, maka seperti Seng Lim,
tubuhnya terasa dingin, hingga ia menggigil, terus tubuhnya itu roboh!
Sin Tjoe berlompat dengan
lompatan "Patpou kansian," sambil berlompat, ia menyerang. Kiauw
Siauw Siauw tengah menghadapi Kiam Hong, maka punggungnya menjadi sasaran
pedang itu. Akan tetapi dia tahu adanya serangan, dia menangkis ke belakang, terus
dia tertawa berkakak dan berkata nyaring: "Kamu semua ikan-ikan di dalam
kwali! Masihkah kamu bandel?" Perkataan itu disusul dengan suara
bergelegar di kejauhan – suara meriam!
Sin Tjoe terkejut akan tetapi
ia menyerang terus. Tiga kali beruntun pedangnya menikam dan menabas. Dengan
Kiauw Siauw Siauw ia memang seimbang, hanya kali ini ia tengah gusar dan
berkuatir, ia menyerang seperti tanpa pembelaan diri.
Kiauw Siauw Siauw menjadi
repot, sampai tak sempat dia menggunai ilmu silatnya yang liehay jaag baru saja
selesai diyakinkan.
Suara meriam tidak terdengar
cuma satu kali. lantas datang susulannya, suaranya pun makin dahsyat, lalu
terlihat dari pelbagai arah untuk menyampaikan lapangan
pertandingan ada debu
mengepul, ada terdengar seru-seruan. Itulah tanda dari datangnya pasukan
tentera, bahkan yang menjadi pemimpin sudah lantas muncul, sambil tertawa
berkakak dia berkata: "Pecundang dari Tjiatkang Timur dari sepuluh tahun
yang lampau, hari ini kamu tak akan lolos lagi dari jaringan!"
Dialah Yang Tjong Hay si orang
kosen yang licin! Dan dia terlihat diiring Law Tong Soen, Kiok Ya Tjiauw dan
Tonghong Hek!
Sin Tjoe tercengang melihat
datangnya rombongan itu. Justeru itu Siauw Siauw menyampok pedangnya sambil
terus menotok jalan darah kintjeng. Totokan itu didului hawa dingin.
Sin Tjoe berkelit, terus ia
lompat mundur beberapa tombak. Ia menggunai kelincahan dan tipu silat
"Menembusi bunga mengitari pohon." Karena ia ingin menolongi Seng Lim
dan Kiam Hong, ia lantas meninggalkan anaknya Kiauw Pak Beng itu.
Kiauw Siauw Siauw tertawa
pula, lantas dia berlompat maju, untuk menyerang. Dia menyerbu kawanan tauwbak
yang berkumpul menonton pertandingan. Dengan cepat dia merobohkan dua puluh
orang lebih. Dia liehay sekali. Semua tauwbak yang roboh itu pada menggigil dan
merintih, tubuh mereka bergulingan. Mereka seperti diserang demam dingin yang
luar biasa.
Puteranya Kiauw Pak Beng ini
dapat bergerak dengan leluasa karena tangannya yang patah, sudah disambung dan
diobati sembuh oleh ayahnya, bahkan ilmu silatnya menjadi bertambah, sebab dia
telah berhasil mempelajari semacam ilmu silat baru.
Kiauw Pak Beng telah maju
pesat sekali begitu lekas ia sudah mengerti teori dari ilmu tenaga dalam yang
lurus, hingga ia dapat mencampurnya dengan kepandaiannya sendiri dari ilmu
sesat, sudah begitu ia dibantu dengan tenaganya obat-obatan. Tidak lama
sehabisnya pertarungan di Koenloen San, ia telah menyampaikan tingkat ke
sembilan dari Sioelo Imsat Kang.
Kiauw Siauw Siauw belajar
terus akan tetapi dia tidak bisa menyusul atau menyamai ayahnya. Pak Beng
sangat menyayangi puteranya ini, ia mengambil jalan singkat untuk membikin sang
putera menjadi liehay. Demikian ia menciptakan ilmu totok "Hian-im
Tjie" dan mewariskan itu kepada puteranya itu. Liehaynya ilmu itu ialah
sebab digabungnya dengan Sioelo Imsat Kang, hingga setiap totokan diiringi
dengan hawa sangat dingin.
Demikianlah Yap Seng Lim dan
Liong Kiam Hong, karena terdesak, mereka roboh sebagai kurbannya Siauw Siauw.
Siauw Siauw ini dititahkan
ayahnya pergi ke Hangtjioe untuk bergabung dengan Yang Tjong Hay. Tjong Hay
yang pintar lantas mengatur tipu dayanya. Demikian Koan Sin Liong disuruh
menantang berkelahi dengan memakai aturan Rimba Persilatan. Sebaliknya
diam-diam dia mengatur bala bantuan, untuk menyerbu dengan membawa tentera
negeri.
Siauw Siauw diajari harus
menyamar jadi tauwbak, karenanya dia dapat nelusup ke benteng air, hingga Ong
Tek menjadi kurbannya, lalu Ong Tek dipaksa kabur ke gelanggang pertandingan,
sebagaimana kesudahannya Seng Lim kena terbokong.
Di ranggon pengawas, semua
orangnya Seng Lim telah dibunuh mati kecuali Ong Tek seorang, tauwbak ini
ditotok dibikin gagu, supaya dia tak dapat berteriak-teriak dan bicara, lalu
dia dipaksa melarikan kudanya mencari Seng Lim semua, hingga Seng Lim kena
tertipu dan terobohkan Siauw Siauw, yang liehay ilmu totoknya itu.
Yang Tjong Hay bersama Law
Tong Soen dan lainnya telah maju dengan berbareng, hingga mereka menempur
secara kalut pihak benteng air. Kiok YaTjiauw dengan sepasang gembolannya
menghampirkan Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok, dengan murka dia berteriak:
"Bangsat cilik, orang yang menagih barang rampokanmu sudah datang! Jikalau
kamu tidak membayar pulang gembolan emasku, aku menghendaki jiwa kamu!"
Tiangsoen Giok melirik, ia
tertawa terkekeh.
"Kau menghendaki gembolan
emasmu?" ia menegaskan, mengejek. "Maaf! Gembolanmu itu sudah dilebur
sampaikan tainya sudah tidak ada lagi! Eh, gembolanmu ini terbuat dari apa?
Gembolan ini berharga tidak?"
Bouwyong Hoa tertawa dan
berkata: "Adik, jangan menjadi temaha! Gembolan itu gembolan besi, taruh
kata dilebur juga tidak ada harganya lagi, tak cukup untuk dipakai belanj a
kita tiga hari!"
Bukan main mendongkolnya Kiok
Ya Tjiauw. Selama menjadi berandal, ia telah mengumpulkan dan membuat gembolan
emasnya yang berat tujuh puluh dua kati itu, ketika gembolannya dirampas
Bouwyong Hoa berdua, bukan main sakit hatinya, maka itu, tidak tempo lagi, ia
menyerang dengan sengit.
Yang Tjong Hay sendiri maju
langsung ke tempatnya Yap Seng Lim. Dia disambut Ie Sin Tjoe dengan timpukan
kimhoa, senjata rahasia yang berupa bunga emas. Dia menghajarnya hingga kimhoa
itu jatuh.
Dia tertawa dan kata:
"Nona Ie! Kaulah nona dari keluarga berpangkat dari terhormat, mengapa kau
begini berkeras hati menghamba kepada orang jahat? Apakah kau tidak takut nanti
merusak nama baik leluhurmu? Baik kau lekas mengubah pendirianmu, kau menghamba
kepada pemerintah, dengan memandang kepada mendiang ayahmu, mungkin Sri Baginda
nanti memberi keampunan kematian!"
Sin Tjoe gusar dan mendongkol
sekali, tetapi ia mesti melindungi Seng Lim, suaminya, tidak mau ia melayani
orang yang licin itu.
Justeru begitu. Yang Tjong Hay
mendengar suara menggeledek: "Bangsat tidak tahu malu, bagaimana kau
bertingkah! Lihat pedang!" Bentakan itu diikuti suara menyambernya angin.
Dia kaget, tetapi dia tabah, dia segera menangkis ke belakang. Berbareng dengan
itu, dia memutar tubuh, maka di depannya dia melihat Tjio Keng To, si jago tua
yang romannya sangat bengis, sebab orang she Tjio ini murka tak kepalang. Dengan
pedangnya, Keng To menyerang ke tenggorokan.
Di antara soetay kiamkek ---
empat jago pedang terbesar --- Keng To termasuk yang nomor tiga, meski ia sudah
bertempur letih dengan Sat Lek Hiong, ia tetap jauh terlebih liehay daripada
Yang Tjong Hay, maka itu. Tjong Hay menjadi keder dan repot.
Habis menangkis serangan yang
pertama itu, Tjong Hay repot membela diri dari serangan susul menyusul dari
lawannya yang tua itu. dia cuma dapat membela diri, tidak dapat dia membalas
menyerang. Keng To menyerang sengit dengan "Keng To Kiamhoat", ilmu
pedangnya "Gelombang Dahsyat."
LawTong Soen melihat kawannya
terdesak, dia maju untuk membantui. Sebagaimana biasa, dia maju dengan kedua
tangan kosong, sebab dia bersilat dengan ilmu silat "Khongtjioe Djippek
Djin," atau "Tangan kosong menyerbu senjata." Dengan berani dia
hendak merampas pedangnya Ken*7 To.
Sebagai seorang berpengalaman,
KengTo tidak mengijinkan senjatanya dirampas, tetapi karena majunya orang she
Law ini, ia jadi terkepung berdua, maka itu, dari pihak penyerang, ia menjadi
terpaksa mesti membela diri. Liehay ilmu silat "Hoenkin Tjokoet
Tjioe" dari Tong Soen, ilmu silat "Memisah otot, menggeser
tulang." Siapa terkena serangan ini, dia patah tangannya atau sedikitnya
terkeseleo.
Kiauw Siauw Siauw maju terus
tanpa tandingan yang berarti. Sudah kira tiga puluh tauwbak roboh di tangannya,
dari itu dia maju sambil tertawa terbahak-bahak sampai mendadak dia melihat Im
Sioe Lan sedang bertempur bahu membahu dengan Tjioe Tjie Hiap. Dengan jarum
bweehoa tjiam. Nona Im telah merobohkan tak sedikit serdadu negeri. Dia maju
menghampirkan, sambil tertawa besar dia kata: "Inilah namanya keadilan!
Wet Tuhan itu tak ada yang bolong! Akhir-akhirnya kau toh bertemu juga
denganku!"
Belum berhenti suaranya itu,
tubuh Siauw Siauw sudah melesat ke depan si nona.
Sioe Lan berkelit dari
serangan, sembari berkelit dia menimpuk dengan sebatang Tokboe Kimtjiam Hweeyam
Tan, ialah peluru bercampur jarum emas yang beracun yang mengeluarkan asap.
Dengan liehay Siauw Siauw
menangkis dengan kipasnya, membikin peluru mental balik dan pecah, asapnya
terpencar buyar. Dia tertawa dan menanya: "Budak hina dina, kau masih
mempunyai senjata apa lagi? Kau keluarkanlah semua! Semakin kau galak, semakin
ingin aku memberi kau rasa, supaya kau menderita hebat!"
Mulanya Siauw Siauw tampan
sekali akan tetapi ketika ia kena diserang pelurunya Nona Im. separuh mukanya
terbakar hingga menjadi terluka dan rusak, meski benar dia berhasil diobati
hingga sembuh, hanya tetap sebelah mukanya itu berbekas. Karena mukanya menjadi
jelek, dia menjadi sangat gusar dan sakit hatinya dia membenci sangat pada Sioe
Lan. Dia ingin membalas sakit hati, untuk itu. dia mengharap dapat membekuk
hidup pada si nona. guna disiksa.
Kiam Hong tahu Sioe Lan
terancam bahaya hatinya cemas. Ia sendiri sudah tidak berdaya karena totokan
Hian Im Tjie dari Siauw Siauw, benar ia masih merasakan dingin, tetapi
pikirannya sadar seperti biasa. Maka ia kata pada Giok Houw: "Lekas kau
tolongi entjie Sioe Lan!"
Pemuda itu bersangsi. Kalau ia
meninggalkan nona ini, si nona bakal terancam bahaya
"Jikalau kau tidak mau
pergi menolongi, nanti aku yang pergi!" kata Kiam Hong melihat kesangsian
orang.
Thio Giok Houw menghunus
goloknya-golok Biantco.
"Adik Hong, jaga dirimu
baik-baik!" katanya menoleh, lantas ia lompat ke arah Kiauw Siauw Siauw.
Anaknya Pak Beng melihat
datangnya musuh, dia tertawa lebar.
"Bagus!" dia
berseru. "Sekalian saja kamu semua menyerahkan jiwa kamu!"
Kata-kata itu ditutup dengan
gerakan kipasnya, menangkis goloknya Giok Houw.
Di dalam ilmu silat, Giok Houw
kalah seurat dari Siauw Siauw, maka itu tempo goloknya ditangkis, goloknya itu
mental balik, setelah mana Siauw Siauw maju merapatkan diri, untuk menotok!
Hampir Giok Houw menjadi
kurban, syukur dia gesit, dia dapat berkelit. Dia lantas merasakan hawa angin.
Tapi dia tidak takut, dia melawan terus. Dia menggunai ilmu yoga serta ilmu
kelincahan "Tjoanhoa djiauwsie" untuk menyingkir dari setiap totokan,
saban ada ketikanya. seru dia membalas menyerang.
Sioe Lan melawan terus pada
Kiauw Siauw Siauw. Ia segera dihantui Tjioe Tjie Hiap. la bersenjatakan
sepasang golok Lioeyap Siangtoo dan Tjie Hiap golok besarnya. Keduanya
mendesak.
Siauw Siauw melawan dengan
kipasnya, sebab dikepung berdua, dia repot juga. Begitu satu kali, habis
menangkis goloknya Sioe Lan dan Tjie Hiap tengah terdesak itu, pundaknya kena
terhajar tinjunya Tjie Hiap. Tentu sekali dia menjadi sangat mendongkol.
Sementara itu dia melihat Kiam Hong tak jauh daripadanya, mendadak dia ingat cara
keji. Demikian habis menangkis pula goloknya Sioe Lan, dia lompat ke arah Nona
Liong!
Thio Giok Houw terperanjat, ia
lompat menyusul, guna merintangi anak muda itu, dengan begitu mereka jadi
bertempur di dekat Kiam Hong. Inilah berbahaya untuk si nona, yang tak dapat
berkisar dari tempatnya itu.
Sioe Lan dan Tjie Hiap
menyusul, tetapi Siauw Siauw tetap menang di atas angin.
Hok Thian Touw dan In Hong
telah berhasil mengusir Koan Sin Liong tetapi orang-orangnya jago tua itu
mengurung mereka mengurung dari jauh saja lantaran mereka itu jeri.
In Hong melihat suasana buruk
untuk pihaknya, ia mengertak gigi.
"Thian Touw, mari turut
aku!" ia berseru seraya terus ia mengamuk, guna membobol kurungan. Ia
membikin setiap golok dan pedang yang merintang menjadi terpental.
Thian Touw heran, hingga ia
pikir: "Mungkinkah dia mengajak aku menyingkir dari sini! Tak mungkin dia
bersifat demikian!" Tengah ia berpikir itu, ia mendengar isterinya berkata
pula: "Biar bagaimana, kita mesti menangkap hidup-hidup pada Kiauw Siauw
Siauw!"
Tatkala itu matahari sudah
turun ke barat. Tentera negeri sudah berhasil memukul pecah garis pembelaan
pulau dan sedang maju terus ke tengah, ke arah markas. Debu mengepul tinggi,
burung-burung kaget dan terbang serabutan.
Sinar layung seperti
mengutarakan kesedihan.
Dalam keadaan seperti itu, Yap
Seng Lim masih memberikan titah-titahnya untuk pihaknya mundur. Sin Tjoe
bersama Tjio Boen Wan serta beberapa tauwbak yang mewakilkannya. Ia telah mesti
bicara banyak, ia telah mengerahkan sisa tenaganya, maka itu, habis memerintah,
ia letih sampai ia tak dapat bicara lagi.
In Hong dan Thian Touw dapat
keluar dari kepungan, mereka lari ke arah Giok Houw bertiga. Nyonya Hok sudah
lantas berteriak: "Siauw Houw Tjoe, serahkankan bangsat itu padaku! Pergi
kamu melindungi Yap Tjeetjoe mundur dari sini!"
Kiauw Siauw Siauw kaget tidak
terkira mendengar suara In Hong dan melihat orang datang berdua suaminya.
Justeru itu Tjie Hiap membacok padanya lantas ia menutup kipasnya dan menangkis
dengan keras untuk dapat meminjam tenaga Tjie Hiap buat ia berlompat melewati
kepala orang she Tjioe ini, guna menyingkir dari tempat yang berbahaya itu.
"Ke mana kau hendak
lari!" berteriak In Hong sambil ia menyerang ke punggung.
Masih sempat Siauw Siauw
menangkis ke belakang. Kipasnya itu dipakai sebagai pedang dan ia menggunai
tangkisan pedang Ngoheng Kiam.
Tadinya tak beda banyak
kegagahan Siauw Siauw dan In Hong tetapi In Hong telah maju pesat sekali, ia
melombai jauh. maka itu sekarang Siauw Siauw bukanlah tandingannya. Maka itu
juga, walaupun bisa menangkis, dia toh tertolak keras hingga dia
terhuyung-huyung.
Sat Lek Hiong melihat Siauw
Siauw terancam bahaya, dia maju untuk membantui, akan tetapi dia dipegat Hok
Thian Touw, ketika dia menyerang dengan sepasang gembolannya, Thian Touw
menangkis dengan pedangnya. Maka bertempurlah mereka berdua.
Yang Tjong Hay dan Law Tong
Soen pun melihat Siauw Siauw sangat terancam, mereka meninggalkan Tjio Keng To
untuk menolongi. Tapi In Hong mendesak hebat, sesudah berulang kali menikam dan
menabas, akhirnya ujung pedangnya mengenai juga pundak pemuda she Kiauw itu,
hanya syukur karena sebatnya dia berkelit, tulang pipanya tidak terlobangkan.
Habis itu, In Hong
menghampirkan suaminya, guna membantu Thian Touw.
Sat Lek Hiong pecundangnya In
Hong, melihat datangnya si nona, terpaksa dia meninggalkan Thian Touw. seraya
memutar gembolannya, dia berlompat ke samping, guna menyingkir, meski begitu,
dia kaget bukan main sebab pedangnya In Hong berdua menghajar senjatanya itu.
Dia kabur terus tanpa menantikan datangnya Tjong Hay atau Tong Soen.
Habis itu, Thian Touw bersedia
memegat, sedang In Hong mengejar pula Siauw Siauw.
Tjong Hay mengerutkan alis
melihat ancaman bagi Siauw Siauw itu, tetapi ia segera mendapat akal. Ia segera
berteriak-teriak: "Jangan kasih diri kita kena dipedayakan musuh yang
menggunai akal mengurung negara Goei untuk menolongi negara Tio! Lekas semua
kembali pada kedudukan masing-masing! Tangkaplah Yap Seng Lim! Aku bersama Law
Tongnia akan menolongi Kiauw Kongtjoe! Kamu jangan bingung!"
Di mulut Tjong Hay mengatakan
demikian, di hati dia cemas sekali. Dia tahu bersama Tong Soen dia tidak dapat
melawan Thian Touw tetapi dia bakal menang tempo, asal mereka berdua dapat
bertahan sampai lima puluh jurus, tentera negera tentu bakal sampai di situ.
Dengan datangnya pasukan besar, dia percaya, musuh bakal kena diringkus semua.
Pula teriakannya itu ada artinya untuk Siauw Siauw, ialah supaya anaknya Pak
Beng itu lari memapaki tentera negeri!
In Hong mengejar terus. Sebentar
saja ia telah keluar dari sekitar gelanggang pieboe. Ia lari ke ujung timur
laut dari pulaunya di mana ada sebuah gunung kecil. Ke sana Siauw Siauw kabur
sekeras-kerasnya.
Di waktu itu, cuaca sudah
mulai remang-remang.
Suara pertempuran terdengar
hebat sekali. Mungkin tentara rakyat dari markasnya sudah maju semua menyambut
musuh, karena mana buat sementara waktu tentera negeri sukar nerobos
seluruhnya.
Bukit kecil itu menjadi garis
ketiga dari Seng Lim, tentera rakyat di situ sudah ditarik pemimpinnya, maka
itu, di situ keadaannya sunyi dan kosong.
Dengan luka-lukanya, Kiauw
Siauw Siauw menyingkir ke gunung ini. Sebenarnya dia tidak terlukakan parah
akan tetapi luka-lukanya itu menyebabkan dia kurang gesit, sedang yang mengejar
dia ialah In Hong. Makin lama si nyonya menyusul makin dekat. Dia takut bukan
main, dia menjadi bingung.
Di situ mereka tidak cuma
berdua saja -—— Siauw Siauw dan In Hong. Di situ masih ada seorang lain. ialah
Yang Tjong Hay, yang turut berlari-lari karena dia ingin dapat menolongi
puteranya Pak Beng. Tjong Hay berteriak-teriak: "Kiauw Kongtjoe, kau
bertahan terus! Hanya sebentar lagi, ancaman bahaya akan sudah lenyap!"
Sembari lari Siauw Siauw
menoleh, maka ia melihat juga Tjong Hay yang suaranya ia telah dengar. Di belakang
orang she Yang itu terlihat juga Law Tong Soen menyusul. Hanya mereka itu
berdua terpisah kira-kira setengah lie. Tapi ia lega juga hatinya. Maka ia
mengertak gigi dan mendamprat: "Perempuan bangsat, akan aku adu jiwaku
denganmu!" Ia berhenti berlari, hingga segera ia dicandak ln Hong, yang
terus menikam padanya. Dengan nekad ia menangkis.
"Traangg!" demikian
pedang dan kipas bentrok keras.
In Hong tertawa.
"Aku kuatir kau tidak
sudi mengadujiwa denganku!" ia kata pada musuhnya itu. Terus ia berkata
pula: "Thian Touw, kau pegat dua bangsat itu! Sebentar aku pun hendak
membuat perhitungan dengan mereka!"
Memang, Thian Touw pun telah
datang menyusul.
"Baik!" menjawab
suami itu. "Asal kau berhati-hati untuk senjata rahasianya yang
beracun!"
Thian Touw mengatakan demikian
karena ia tidak tahu Siauw Siauw liehay dengan totokannya jeriji Hian Im Tjie.
ia menyangka Seng Lim dan Kiam Hong terkena senjata rahasia beracun hingga
mereka itu kehabisan tenaga mereka. Habis menyahuti isterinya ia lantas mempegat
Tjong Hay dan Tong Soen.
"Yang Toatjongkoan!"
katanya tertawa dingin. "Sudah sepuluh tahun kita berpisah, rasanya sang
tempo lewat cepat sekali!"
Pada sepuluh tahun dulu itu
Thian Touw membuat Tjong Hay kabur dengan meninggalkan pedangnya, hingga dengan
demikian, julukan salah satu soetay kiamkek telah berpindah orang.
Mukanya Tjong Hay menjadi
merah.
"Aku dengar kau berdiam
di gunung Thiansan meyakinkan ilmu pedangmu," ia kata, "mengapa
sekarang kau datang kemari mencampuri urusan usilan ini? Suka aku memberi
nasihat padamu, baik kau jangan turut menyeburkan diri dalam air keruh! Jikalau
kau suka dengar nasihatku ini. aku si orang she Yang akan melupai permusuhan
kita, dari musuh kita menjadi sahabat! Jikalau tidak --- Hm! Jangan kau terlalu
mengandalkan ilmu pedangmu yang liehay! Kau harus mengarti, sang cengcorang tak
dapat melawan kereta! Maka kau pikirlah masak-masak!"
Kata-kata itu tepat mengenai
hati Thian Touw yang tidak usilan, hanya Tjong Hay tidak tahu. di samping
mengutamakan ilmu pedangnya, Thian Touw toh mempunyai keangkuhannya, sedangkah
ini ia telah dibikin mendongkol, hingga tak senang ia mendengar nasihat
diberikuti ancaman.
"Sudah sepuluh tahun kita
tidak bertemu," katanya keras, "aku menyangka kau telah memperoleh
kemajuan, siapa nyana kau masih tetap menjadi si anjing yang mengandalkan
pengaruh orang!"
Kata-kata itu ditutup dengan
serangan pedang Tjengkong Kiam.
"Dengan baik hati aku
memberi nasihat padamu, kau tapinya jadi si anj ing yang menggigit Lu Tong
Pin!" kata Tjong Hay. "Kau tidak kenal..."
Ia mau meneruskan menyebut
"kebaikan orang," tetapi ujung pedang sudah menyerang ke arahnya,
terpaksa ia melintangi pedangnya guna menutup diri, akan tetapi liehay
pedangnya Thian Touw, kelihatannya menyerang ke kiri sebenarnya menikam ke
kanan. Hampir ujung pedang itu mengenai lengan, syukur ia sebat, maka cuma
tangan bajunya yang dibikin berlobang.
Tjong Hay kaget. Sepuluh tahun
ia sudah berlatih pula, siapa tahu ia tetap ketinggalan jauh dari Thian Touw,
yang maju pesat sekali.
Thian Touw bersilat dengan
"Twiehong Lakcapsie Sie." ilmu pedang "Mengejar Angin."
yang terdiri dari enam puluh empat jurus, ialah ilmu pedang yang ia baru
ciptakan. Baru lima jurus Yang Tjong Hay sudah kena dibikin tertutup, sampai dia
tak berdaya Tepat dia lagi terancam tenggorokannya, mendadak Thian Touw
mendengar suara angin. Itulah perbuatan Law Tong Soen si licik, yang baru maju
sesudah lewat beberapa jurus itu.
Diserang secara membokong itu,
Thian Touw terpaksa menarik pulang serangannya dan berbalik menangkis ke
belakang. Tong Soen tidak dapat dipandang enteng, lantaran siapa tertangkap
tangannya olehnya, tangannya itu bisa patah dan ringannya salah urat.
Tong Soen cepat menarik pulang
tangannya. Dengan begitu Tjong Hay ketolongan. Tapi Tjong Hay telah menangkis,
pedangnya bentrok dengan pedangnya Thian Touw, karena mana ia merasakan
telapakan tangannya sakit sekali. Telapakan tangannya itu pecah mengeluarkan
darah.
Sampai di situ, Thian Touw
dikepung berdua. Inilah ada baiknya untuk Yang Tjong Hay. Dia dapat bernapas
hingga mereka jadi sama imbangannya.
In Hong sebaliknya mendesak
hebat kepada Kiauw Siauw Siauw. Tanpa ada yang membantui, puteranya Pak Beng
menjadi kelabakan.
"Lepas tanganmu!"
terdengar si nyonya berseru.
Siauw Siauw kaget, sia-sia
belaka dia mencoba berkelit, lengannya kena tertikam di dekat nadinya, dengan
begitu kipasnya terpaksa dilepaskan, ketika tangan kiri In Hong diluncurkan,
dia kena disamber tulang di pundaknya, sedang ujung pedang mengancam
punggungnya!
Yang Tjong Hay dapat melihat
keadaannya Siauw Siauw. Sembari berkelahi dia turut memasang mata. Dia kaget
hingga dia mengeluarkan seruan tertahan. Ketika itu Thian Touw lagi mendesak
Tong Soen, dia menggunai kesempatan untuk menjejak tanah, guna lompat mencelat ke
samping, hingga dia menjadi bebas, setelah mana, sebelah tangannya lantas
diayun.
Satu sinar terang kuning emas
berkelebat.
"In Hong,
hati-hati!" Thian Touw berseru.
Membarengi seruan itu, di sana
terdengar jeritan yang menyayatkan hati. In Hong pun terhuyung, seperti yang
mau jatuh.
Thian Touw terkejut. Ia
sebenarnya sudah mengundurkan Tong Soen, tapi melihat keadaan isterinya, ia
batal mendesak terus.
Itu waktu Tjong Hay juga
berseru pula: "Angin keras!" Lantas dia melarikan diri, menyusul Tong
Soen, yang kabur terlebih dulu.
Thian Touw lari terus pada
isterinya. la mendapatkan Kiauw Siauw Siauw rebah di tanah, punggungnya
berlepotan darah.
"In Hong, kau
kenapa?" ia tanya isterinya.
"Coba periksa dulu,
bangsat itu terkena senjata apa!" kata In Hong sebelum menjawab suaminya.
Hati Thian Touw lega juga. Itu
berarti yang terkena senjata rahasia ialah puteranya Kiauw Pak Beng. Ia lantas
memeriksa, untuk mana ia mesti merobek bajunya si anak muda. Akhirnya ia
terkejut. Senjata rahasia itu senjata yang tak disangka-sangka sekali.
Itulah kimhoa atau bunga emas.
yang nancap di punggung!
"Ini toh kimhoa-nya Sin
Tjoe?" kata Thian Touw.
"Kecuali Sin Tjoe di sini
di mana ada lain orang yang kedua yang menggunai kimhoa?" kata In Hong
tertawa. Akan tetapi tertawanya itu tak wajar, menggetar.
Yang Tjong Hay sangat licik.
Dia melihat Kiauw Siauvv Siauw telah kena dibekuk In Hong, dia kuatir si nyonya
nanti menggunai anak muda itu sebagai senjata untuk menindih Kiauw Pak Beng,
hingga Pak Beng tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah berbahaya untuk siasatnya
membokong Yap Seng Lim. Lantas timbul pikirannya yang jahat. Dia mau
memindahkan bahaya kepada lain orang. Begitulah dia menimpuk Siauw Siauw.
Senjata rahasia yang dia gunakan ialah kimhoa. bunga emasnya Sin Tjoe, yang
tadi dia pungut ketika dia diserang Nyonya Seng Lim. Dalam hal menggunai
senjata rahasia dia mahir, sedang itu waktu orang pun tidak bersiaga. Siauw
Siauw, yang ditangkap In Hong, lagi membaliki belakang.
Demikian, kalau nanti Kiauw
Pak Beng mengetahui kebinasaan puteranya, dia bakal mendapat tahu puteranya itu
terbinasa di ujung kimhoa, hingga Sin Tjoe yang bakal dituduh!
Thian Touw jujur tetapi segera
ia mengarti akal muslihat keji dari Tjong Hay itu. Mulanya ia terkejut,
akhirnya ia tertawa dingin dan kata: "Sudah, jangan kita takut! Sekarang
ini, biar bagaimana juga, kita tetap bakal bermusuh dengan Kiauw Pak Beng!
Biarlah Tjong Hay menggunai akal kejinya ini!"
In Hong tertawa menyeringai.
"Aku... aku mana
takut?..." katanya sukar, suaranya lebih-lebih menggetar.
Thian Touw kaget, hingga ia
menatap muka isterinya. Ia melihat alis isteri itu mengerut, di situ pun ada
nampak warna hitam.
"Kau terkena Sioelo Imsat
Kang!" katanya, berseru.
"Adakah ini Sioelo Imsat
Kang?" balik tanya In Hong. "Aku cuma merasa aku kena ditotok satu
kali oleh bangsat ini selagi aku mencekuk dia" Totokan Hian Im Tjie dari
Kiauw Siauw Siauw berdasarkan Sioelo Imsat Kang, cuma itu tak sehebat Sioelo
Imsat Kang sendiri, maka itu, In Hong masih dapat bertahan.
Thian Touw periksa nadi
isterinya.
"Melihat pertandanya,
inilah akibat Sioelo Imsat Kang," katanya. "Hanya tenaga dalamnya
Siauw Siauw masih lemah, kau tidak terkena hebat. Sekarang kita mesti lekas
menyingkir dari tempat ini, kita membutuhkan satu tempat yang aman, nanti aku
mencoba menghalau racunnya."
Thian Touw bicara dengan suara
tetap. Ia rupanya percaya betul pada kemahiran tenaga dalamnya. Isteri itu
mengerutkan alis. "Lukaku tidak berarti." katanya, "yang
berbahaya ialah Yap Tjeetjoe. Mana dapat kita mementingkan diri sendiri?"
Tepat itu waktu. Lioe Tek
Tjhong berlari-lari menghampirkan mereka. Jago tua ini datang atas titah Seng
Lim untuk menyambut pasangan suami isteri itu. Ini pun berarti Seng Lim beramai
sudah meninggalkan pulau, tempat kedudukan mereka, yang sudah tidak dapat
dipertahankan itu.
Tanpa ayal lagi Hok Thian Touw
maju di muka, guna membuka jalan In Hong mengikuti bersama Lioe Tek Thjong.
Yang Tjong Hay tidak tahu
Nyonya Hok sudah tidak berdaya lagi, ia tidak berani maju untuk menghadang,
dengan begitu Tek Tjhong dapat membawa suami isteri itu ke tepian selatan di
mana ada sebuah pelabuhan yang sunyi. Di sana terlihat perahunya Seng Lim sudah
meninggalkan tepian. Di sana-sini terlihat perahu-perahu kecil tentera negeri.
Sambil berseru Thian Touw
berlompat ke sebuah perahu kecil, pedangnya-diayun, membikin kutung goloknya
seorang opsir yang berada di atas perahu itu. Ia masih merasa kasihan, kalau
tidak, tentulah jiwa opsir itu telah dirampas. Opsir itu bisa berenang, dia
nyebur ke laut untuk menyelamatkan dirinya. Di dalam perahu itu ada tujuh
serdadu, yang empat kena ditendang roboh ke air. yang lainnya nyebur
sendirinya. Maka perahu itu kena dirampas dan dibawa ke pinggir, untuk dipakai
menolongi In Hong dan Lioe Tek Tjhong.
Sementara itu Tek Tjhong maju
sambil melindungi Nyonya Hok. Tidak ada musuh yang berani menyerang, mereka
cuma mengambil sikap mengurung sejauh belasan tombak.
Thian Touw sampai di tepian,
ia lompat ke darat. Dengan seraup batu ia menyerang pada musuh, hingga banyak
yang terluka borboran darah, hingga mereka itu lari kucar-kacir. Dengan begitu
ia dapat menyambut isterinya naik ke perahu.
Lioe Tek Tjhong ketua dan
benteng air di Thayouw, ia pandai berenang dan mengemudikan perahu, maka ialah
yang lantas menjalankan perahu itu, yang ia gayuh laju sangat pesat.
Pihak tentera negeri berkumpul
pula, mereka lantas mengejar. Mereka pun menyerang dari jauh-jauh, dengan anak
panah.
Thian Touw berdiri di atas
perahu, dengan pedangnya ia menghalau setiap jemparing. Dengan begitu ia
melindungi isterinya dan Tek Tjhong.
Lewat sekian lama, perahu
kecil ini mulai sampai di tengah laut dan pihak pengejar ketinggalan di
belakangnya. Tek Tjhong mengeluarkan napas lega. lantas ia meluncurkan panah
api hweeyam tjian yang warnanya biru.
Cepat sekali, dari kejauhan
terlihat meluncurnya api serupa. Tek Tjhong girang sekali. "Yap Tjeetjoe
sudah lolos!" katanya. "Dia berada di sebelah depan sana!"
Panah api itu ialah isyarat
mereka satu pada lain.
Tengah Tek Tjhong menggayuh
terus, tiba-tiba terdengar suara bersiung di tengah udara. Tajam suara itu. Ia
lantas mengangkat kepalanya atau ia berteriak: "Celaka!"
Sebuah benda hitam menyamber
ke arah perahu mereka. Jago tua itu mengangkat penggayuhnya, untuk menangkis,
maka sebuah batu besar jatuh ke sisinya, membikin rusak pinggiran perahu. Kalau
tidak ditangkis, entah bagaimana hebatnya serangan itu.
Ternyata tentera negeri
menyerang dengan menggunai apa yang dinamai kereta "kietjiong tjia."
Sebuah batu dimuatkan dalam sebuah alat, kalau pesawatnya dikasih bekerja, batu
itu dapat terlempar jauh mirip peluru meriam.
Habis itu, menyusul batu-batu
yang lainnya. Tek Tjhong kewalahan, dia roboh di atas perahu. Thian Touw pun
menyampok beberapa batu, tapi sebuah di antaranya jatuh tepat di tengah-tengah
kendaraan air mereka. Hebat serangan itu, perahu kena dibikin bolong. Syukur
dua batu yang lainnyajatuh di sasaran kosong.
"Itulah perahunya Yap
Tjeetjoe!" kata Tek Tjhong sambil menunjuk ke depan di mana tampak sebuah
perahu dengan benderanya yang besar.
Sementara itu air sudah
memasuki perahu, hingga tubuh perahu sebaliknya mulai masuk ke dalam air.
Ketika itu mereka terpisah dari perahu besar masih sepuluh tombak lebih. Dua
batu lainnyajatuh pula ke pinggir perahu.
Lioe Tek Tjhong menunjuk ke
bendera besar dari perahu di depan.
"Benar perahunya Yap
Tjeetjoe!" ia kata pula.
Selagi jago Thayouw ini
berbicara, air sudah memenuhkan perahu, hingga tenggelamnya perahu itu makin
dalam. Syukur kendaraan itu tidak lantas terbalik karam dan masih dapat maju
sedikit.
Di saat sangat berbahaya itu,
Hok Thian Touw telah mengasi lihat ketabahan hati serta kepandaiannya. Dengan
mendadak ia menyamber tubuh Lioe Tek Tjhong dengan tangan kiri dan In Hong
dengan tangan kanan, kedua kakinya segera menjejak pinggiran perahu. Cepat luar
biasa, tubuhnya lantas lompat terapung. Selagi lompat itu, ia melemparkan tubuh
Lioe Tek Tjhong ke arah perahu besar, tubuhnya sendiri mencelat terus. Meski
begitu, masih ada kira-kira dua tombak terpisahnya ia dari perahu bes"ar
itu.
Di kepala perahu besar ada Kok
Tiok Koen. Tabib jago itu telah menyambuti tubuhnya Lioe Tek Tjhong, habis itu
dengan kesehatan luar biasa, ia menyamber sepotong papan injakan perahu, yang
ia lemparkan ke laut, tepat ketika kakinya Thian Touw hampir mengenai permukaan
air, maka jago dari Thiansan itu dapat menaruh kaki di atas papan itu. yang dia
terus jejak, hingga dia dapat berlompat pula. karena mana di lain saat dia
sudah berada di atas perahu besar!
Kok Tiok Koen seorang jago
tetapi ia ngeri melihat percobaan berbahaya dari Thian Touw itu, maka setelah
menyaksikan orang berhasil menyelamatkan diri, ia menjadi kagum bukan main.
"Apakah Nona Leng
terluka?" ia tanya.
"Ya, tetapi tidak
berarti," menyahut In Hong. "Aku k°na tertotok satu kali oleh si
bangsat, Thian Touw terlalu berhati-hati maka ia melarang aku berlompat
menggunai tenaga. Bagaimana dengan Yap Tjeetjoe?"
"Mari kita lihat,"
sahut Tek Tjhong.
Bersama-sama mereka masuk ke
dalam gubuk perahu.
Yap Seng Lim sedang rebah
begitu juga Liong Kiam Hong, Ie Sin Tjoe dan Thio Giok Houw mendampingi mereka
itu masing-masing. Lukanya Kiam Hong agak lebih ringan. Seng Lim merah mukanya
tetapi waktu diraba, rasanya dingin.
Di antara Yap Seng Lim, Liong
Kiam Hong dan Leng In Hong, Seng Lim adalah yang lukanya paling berat. Inilah
disebabkan, ia habis bertanding hebat dengan Sat Lek Hiong, ia telah menggunai
tenaganya berlebihan, selagi masih letih, ia kena dibokong Kiauw Siauw Siauw.
Sudah begitu, juga hatinya sedang panas sekali lantaran kecurangan musuh. Maka
itu, terluka dan mendongkol, ia menjadi lelah sendirinya.
Mendengar tindakan banyak
kaki, Seng Lim membuka matanya.
"Lioe Tjeetjoe, apakah
anak-anak telah mundur semuanya?" ia tanya.
"Tjio Lootjianpwee yang
mengepalai mereka, meski ada kerusakan tetapi tidak berarti," Tek Tjhong
menjawab.
"Coba tolong pepayang aku
untuk aku melihat." Seng Lim minta.
"Baiklah kau jangan
terlalu banyak berpikir," kata Sin Tjoe.
"Pepayang aku
bangun!" Seng Lim kata, suaranya dalam.
Sin Tjoe heran. Semenjak bersuami
isteri, baru kali ini ia mendengar suara membentak itu. Akan tetapi ia tidak
menjadi tidak senang hati, ia dapat mengarti hati suaminya itu. Maka ia pegangi
suaminya, yang menguatkan tenaga untuk bangun berdiri.
Berdiri di muka perahu. Seng
Lim melihat ke arah pulaunya. Di muka laut terlihat melulu pasukan air tentera
negeri. Dan arah pulaunya tertampak sinar api dan asap bergulung-gulung naik.
Itulah berarti pulaunya, yang dibangun selama sepuluh tahun, telah habis ludas,
maka sakitlah hatinya. Mendadak matanya mendelik, ketika ia menyerukan,
"Oh pemerintah yang bijaksana!" ia lantas muntahkan darah hidup,
tubuhnya roboh dan pingsan.
Sin Tjoe kaget sekali tetapi
ia memeluki suaminya kuat-kuat.
"Jangan kuatir,"
berkata Kok Tiok Koen. "Dia cuma pingsan disebabkan sangat mendeluh. Yang
dikuatirkan ialah racun nanti menyerang ke ulu hatinya..."
"Thian Touw," kata
In Hong pada suaminya, "kenapa kau tidak mau lantas membantui Yap Tjeetjoe
menghalau racunnya itu?"
Thian Touw bersangsi
selekasnya ia berada di dalam perahu besar ini. Ingatannya yang pertama ialah
segera menolongi isterinya. Ia pernah memikir akan menolongi Seng Lim, tetapi
kalau ia berbuat begitu, ia kuatir tenaganya nanti tak cukup lagi untuk
mengobati isterinya itu. Sekarang ia mendengar kata-kata isterinya ini, bahkan
In Hong menatap ia dengan tajam, ia jengah sendirinya. Tanpa menjawab lagi
isterinya itu, segera ia turun tangan.
Tenaga dalam Thian Touw telah
mencapai puncaknya kemahiran, begitu ia memegang punggung Seng Lim, begitu
tenaganya tersalurkan kepada pemimpin besar dari tentera rakyat suka rela itu.
Mulanya ia membuka jalan darah, lalu menolaknya. Dengan begitu ia menolak
racun, yang keluar bersama keringatnya.
Dengan lekas Seng Lim dapat
bernapas pula, dengan begitu juga mukanya yang pucat pasi terlihat bersemu dadu
dengan perlahan-lahan. Melihat demikian, hati Sin Tjoe lega.
In Hong girang hingga ia
bersenyum, ketika ia mengawasi suaminya, sinar matanya bentrok dengan sinar
mata suaminya itu. Thian Touw melihat tegas sinar mata isterinya hidup dan
halus, dari situ ternyata bahwa isterinya itu sangat bersyukur terhadapnya. Hal
ini melegakan hatinya.
Tiba-tiba awak perahu di
belakang berseru: "Perahu bocor!"
Itulah akibatnya gempuran
gelombang.
"Tadi perahu kita terhajar
peluru batu," kata Tiok Koen, untuk menghibur. "Lobang yang bocor itu
sudah disumbat, rupanya sumbatannya lepas. Nanti aku periksa!" Lantas ia
pergi ke belakang.
Sekarang barulah Thian Touw
mendapat tahu bahwa perahunya Seng Lim ini telah dikejar tentera negeri tetapi
dapat lolos di bawah pimpinan Kok Tiok Koen, karena keadaan sangat mendesak,
mereka bertiga terpaksa ditinggal pergi, jikalau tidak, ada kemungkinan Seng
Lim semua kena tertawan.
Kiam Hong telah ditolong Giok
Houw tetapi tenaga dalam pemuda ini masih sangat, berbatas, dia kalah jauh
sekali dari Thian Touw, maka syukurlah lukanya si pemudi tak sehebat luka Seng
Lim, ia jadi dapat dibikin ringan, ketika kemudian ia pulih pula, ia segera
bicara dengan In Hong. Yang pertama kali ia tanyakan ialah ini: "Entjie
Hong, apakah kau dapat melihat adik Sioe Lan? Dia dapat lolos atau tidak?"
"Nona Im dan Ban
Siauwhiap turut Tjio Looenghiong," kata Lioe Tek Tjhong. "Aku rasa
mereka tidak kurang suatu apa."
Kiam Hong mengerutkan alisnya.
"Giok Houw," katanya,
"setelah kita bebas, kau mesti segera pergi mencari tahu tentang adik Sioe
Lan itu."
Mendengar kata-kata orang dan
melihat sampai sebegitu jauh, hati Thian Touw tertarik.
"Kiam Hong dengan In Hong
serupa sifatnya," katanya dalam hati kecilnya. "Selagi menghadapi
ancaman bencana, mereka ingat lebih dulu keselamatan lain orang! Pantas mereka
berdua sangat menyayangi satu dengan lain."
Sementara itu perahu mereka
tak dapat laju tepat. Itulah disebabkan bocor tadi yang perlu segera ditambal
pula. Karena itu mereka kena disusul sebuah perahu tentera negeri. Di atas
perahu pengejar itu, di bagian mukanya, terlihat tiga pemimpinnya, ialah Koan
Sin Liong bersama Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen.
Si orang she Yang sudah lantas
tertawa terbahak-bahak.
"Yap Tjeetjoe, kami
datang berkunjung pula untuk menjenguk kau!" demikian suaranya yang
jumawa.
Law Tong Soen juga berkata
nyaring: "Menurut adat istiadat maka kehormatan itu harus dibalas hormat!
Kami mengucap terima kasih untuk perlayanan kamu tadi, dari itu sekarang kami
hendak mengundang kamu datang ke kota raja untuk pesiar!"
Koan Sin Liong sebaliknya
dengan mengangkat tinggi tangan tunggalnya, berkata dengan suaranya yang seram:
"Hok Tayhiap dua kali kita bertanding, dua-dua kalinya kita terganggu setengah
jalan, dengan begitu menjadi belum terdapat keputusannya! Oleh karena itu
justeru malam ini rembulan permai dan angin sejuk, selagi kita main perahu di
atas laut ini, oleh karena tidak ada daya penghiburnya, aku si orang tua
sengaja datang kemari untuk memohon pengajaran dari kau dan isterimu yang
terhormat!"
Di dalam hatinya Thian Touw
mengeluh. Itu waktu In Hong belum dapat menggunai pedang atau tenaganya. Ia
sendiri saja sukar melawan jago tua itu.
Sedang dua orangnya telah
terluka parah, di pihak sana ada Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen, dua orang
yang tangguh. Dapatkah ia melayani ketiga musuh itu?
Tengah jago Thiansan ini
berpikir, perahu musuh, sebuah perahu kecil dan pesat majunya, telah menyandak.
le Sin Tjoe, yang telah
menghunus pedangnya, berseru dengan sengit: "Adu jiwa dengan mereka!"
Ketika itu, dari kiri pun
menghampirkan sebuah perahu kecil lainnya.
"Hok Toako, kau menjaga
di sana!" Sin Tjoe kata pada Thian Touw. "Jagalah supaya perahu itu
tidak dapat membokong!"
Habis berkata, Nyonya Yap
kedepan, atau ia segera mendengar siulan yang nyaring yang dibarengi lompatnya
satu tubuh ke arah perahunya. Dan itulah tubuhnya Koan Sin Liong.
Tidak ayal lagi, Sin Tjoe
menimpuk dengan dua buah bunga emasnya, menyusul mana, ia menabas. Ia tahu
musuh liehay sekali, maka itu ia menyambut selagi orang belum sempat menaruh
kaki. Ia ingin, kalau tidak dapat ia melukai, ia membuatnya musuh kecebur ke
laut.
Sebat sekali serangannya
Nyonya Yap ini, akan tetapi di pihak sana, Koan Sin Liong yang liehay telah
berlaku lebih sebat pula. Sin Liong dapat mendahului menaruh kaki di pinggiran
perahu. Adalah itu waktu, bunga emas menyamber ke arahnya. Dia lantas mendak,
untuk berkelit, berbareng dengan itu, pedangnya menyambut, menangkis serangan.
Kedua senjata beradu keras.
Sin Tjoe terkejut. Hampir ia membikin terlepas pedangnya --- pedang Tjengbeng
Kiam Ia pun mesti mundur dua tindak karena kerasnya tenaga menolak dari
musuhnya.
Begitu lekas menangkis itu,
Sin Liong lantas membalas menyerang. Ia menggunai jurus "Pekhong
koandjit," atau "Bianglala putih menutupi matahari."
Sementara itu kedua kimhoa
dari Sin Tjoe tadi, yang lewat di atasan kepalanya Koan Sin Liong, sudah menuju
kepada Law Tong Soen yang berada di belakangnya jago bertangan satu itu. Tong
Soen kaget tetapi ia masih sempat menangkis dengan tangan baju. Hampir saja ia
menjadi kurban senjata rahasia itu.
Sin Tjoe menjadi nekad. Tidak
dapat ia mundur, maka ia maju. Tepat ia hendak melakukan serangan yang
berbahaya, yang dapat mengakibatkan mereka berdua terluka bersama, mendadak ia
merasai angin berkesiur dari sampingnya, tubuhnya kena tertarik satu tenaga
besar. Tepat itu waktu, ia mendengar suara kecebur yang nyaring, tubuh perahu
pun guncang. Air laut terlihat muncrat. Ia tidak dapat melihat tegas apa
sebabnya suara kecebur itu, tetapi ia menduga mesti ada orang yang terjun, atau
terpaksa dibikin terjun ke air.
"Tentu Thian Touw yang
membantui aku." pikir nyonya ini. Ia lantas mengawasi.
Sekarang terlihat tegas. Di
sana Hok Thian Touw lagi menempur seorang wanita, dari Koan Sin Liong lagi
bertanding dengan seorang pria usia pertengahan. Ketika ia telah melihat dua
orang itu. ia girang luar biasa.
"Hok Toako, orang
sendiri!" ia berteriak keras.
Thian Touw mendengar itu,
belum suara sirap, ia sudah mundur, untuk memberi jalan kepada nyonya lawannya
itu. Itulah sebab ia melihat si pria usia pertengahan sudah memukul Tong Soen
kecebur kelaut, hingga ia menduga kepada kawan.
Siapa sepasang wanita dan pria
itu? Mengapa Sin Tjoe menjadi demikian girang?
Tak lain tak bukan, merekalah
In Tiong suami isteri! Dan In Tiong itu ialah kakak dari In Loei, guruny Sin
Tjoe. In Tiong menjadi murid kepala dari Kimkong Tjioe Tang Gak. dan Tang Gak
ialah terhitung kakak seperguruan dari gurunya Thio Tan Hong. Kegagahannyaln
Tiong ini jauh melebihkan Yap Seng Lim.
Koan Sin Liong mencoba merebut
kedudukan di atas angin melayani In Tiong akantetapi dia masih terdesak, dengan
sepasang kepalannya yang mirip besi, orang she In itu membikin lawannya mundur
dua tindak.
Si wanita, atau isterinya In
Tiong itu, ialah Tamtay Keng Beng. Ia sudah lantas mendekati suaminya, sembari
tertawa ia kata: "Sudah lama aku tidak pernah menggunai pedangku, bangsat
tua ini agaknya liehay, baik kau serahkan dia padaku! Kau setujukah?"
In Tiong tertawa.
"Ya!" sahutnya.
"Tapi di sana datang pula seorang yang bersenjatakan pedang! Apakah kau
kuatir nanti tidak mendapatkan ketikamu yang baik?"
Tamtay Keng Beng berpaling,
maka ia melihat Yang Tjong Hay tengah berlompat keperahu besar. Ia menjadi
sangat girang. Ia tertawa dan kata: "Oh, YangToakiamkek! Baiklah, lawan
ini lebih baik lagi!"
Ketika itu Yang Tjong Hay
sudah berlompat maju. Tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tamtay Keng Beng menyambut
dia dengan satu tikaman!
Yang Tjong Hay berlompat
menyusuli Law Tong Soen. ia melihat Tong Soen kena dibikin tercebur, ia kaget
sekali. Ia lantas berpikir: "Jadi di perahunya Seng Lim masih ada orang
gagah lainnya? Thian Touw tidak segagah orang itu!..." Ketika itu ia sudah
sampai di perahu, matanya lantas melihat In Tiong. yang ia kenali, kagetnya
bertambah, ia bahkan ketakutan. Tapi ia sudah menaruh kaki, tak sempat ia
berpikir lagi, Nyonya In Tiong sudah menyerang padanya.
Tamtay Keng Beng menyerang ke
bawah. Itulah siasat untuk membikin musuh bingung.
Tjong Hay lantas menangkis.
Karena kaki kirinya belum menginjak tetap, tubuhnya dimiringkan ke kanan.
Tangkisan itu tidak berhasil seluruhnya. Ujung pedang si nona meneroboskan
celananya, hampir mampir di betisnya. Ia menjadi nekad, maka juga ia lantas menyerang.
"Bagus!" berseru
Tamtay Keng Beng. Ia menangkis, habis mana, ia menyerang, bahkan beruntun
hingga tiga kali. Ia mendesak untuk membikin lawan tak sempat memperbaiki
kedudukannya. Itulah serangan seumpama kata badai dan hujan lebat.
Tengah isterinya itu merangsak
Yang Tjong Hay, pertempuran di lain kalangan sudah lantas sampai pada akhirnya.
Dengan pukulan Taylek Kimkong Tjiang, Tangan si Arhat Kuat, In Tiong sudah
menghajar Koan Sin Liong sampai tubuh jago tua bertangan satu itu terlempar tinggi!
Yang Tjong Hay kaget, ia
lantas lompat untuk mengundurkan diri, tetapi Nyonya In Tiong menyusul ia,
menusuk dengkulnya, hingga ia tergores sedikit. Tubuhnya mencelat terus.
Celakajago yang licik ini,
ketika ia baru menaruh kaki, Koan Sin Liong yang terlempar itu justeru jatuh ke
arahnya. Ia kembali kaget. Tapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sin Liong sudah
menaruh kaki di pundaknya, untuk menjejaknya, buat dia berlompat pula
menyingkirkan diri ke perahunya sendiri.
Ia berlaku sebat, ia pun terus
lompat ke perahunya. Hanya sayang, ia tidak sampai, ia kecebur ke laut!
Adalah di lain saat, Koan Sin
Liong sudah mengangkat dua kawan yang basah kuyup itu seperti dua ekor ayam
yang kecebur di air. untuk mereka lekas mengaburkan perahu kecil mereka.
"Sayang! Sayang!"
kata Tamtay Keng Beng menyesal. "Aku sedang bergembira sekali, jahanam itu
kabur dengan meminjam jalan air!"
In Tiong tertawa mendengar
kejenakaan isterinya itu.
Thian Touw lantas
menghampirkan, buat memberi
hormat, untuk memperkenalkan
diri.
"Telah aku mendengar Thio
Tan Hong memuji ilmu pedangmu!" kata Tamtay Keng Beng. "Barusan aku
telah menyaksikan itu, benarlah pujian untuk dirimu itu!"
Yang lainnya pun lantas
menemui sepasang suami isteri itu, setelah mana Sin Tjoe mengajaknya masuk ke
dalam perahu.
Yap Seng Lim sudah mendusin,
mendapatkan datangnya In Tiong berdua, ia girang bukan main.
"Soesiok!" ia
memanggil pada paman gurunya itu seraya ia mau berbangkit.
"Jangan bergerak!"
kataln Tiong. "Nanti aku mengobati dulu padamu!"
In Tiong jauh terlebih mahir
tenaga dalamnya dari pada Hok Thian Touw, dalam waktu yang jauh terlebih
singkat, ia dapat menyembuhkan Seng Lim. Lebih dulu embun-embunannya pemimpin
tentara rakyat suka rela ini menghembuskan uap putih, lantas dia merasakan tubuhnya
nyaman dan segar. Itulah tanda bahwa racun telah diusir habis.
Berbareng dengan itu Tamtay
Keng Beng pun bergantian menolongi Kiam Hong dan In Hong. Karena luka mereka
ini berdua ringan, mereka tertolong lebih cepat lagi. Maka ketiga orang itu menghaturkan
terima kasih mereka yang sudah ditolongi dari ancaman maut.
"Soesiok, kenapa soesiok
datang ke mari?" kemudian Seng Lim menanya. Ia heran paman guru itu berdua
datang dalam waktu yang tepat sekali.
In Tiong tidak menyahuti,
hanya menoleh kepada Sin Tjoe, ia tertawa dan kata: "Gurumu yang
menitahkan kami berdua datang kemari! Sayang sekali kami datang
terlambat..."
Dari suaranya In Tiong ini
teranglah sudah bahwa Thio Tan Hong sudah mendapat tahu dari siang-siang yang
benteng air di pulau Hokpoo To telah terancam bahaya. Hal ini mengherankan Seng
Lim semua..Rata-rata mereka berpikir: "Thio Tan Hong memang pandai melihat
sikap musuh akan tetapi dia tinggal jauh di gunung Tjhongsan di Tali,
terpisahnya dari sini laksaan lie, mungkinkah dia benar-benar pandai ilmu nujum
hingga dia ketahui segala apa yang bakal terjadi? Kalau benar, sungguh dia
liehay luar biasa..."
In Tiong dapat mengerti
keheranan orang banyak itu. Ia tertawa dan kata: "Thio Tan Hong tidak
pandai ilmu meramalkan! Sekarang pun dia sudah tidak tinggal lagi di gunung
Tjhongsan! Raja yang sekarang hendak membikin lunak kemarahan rakyat, dia
terpaksa membikin bersih penasarannya le Kokloo dan mengakui jasanya Kokloo
terhadap negara, begitulah di tepi telaga Seeouw di Hangtjioe ia telah memperbaik
kuburan Kokloo dan membuatkan juga rumah abunya. Bukankah itu kamu telah
mengetahuinya? Oleh karena penasaran Ie Kokloo telah dicuci bersih dan
kehormatannya telah dipulihkan, dengan begitu dengan sendirinya sekalian orang
yang dahulu hari ada sangkut pautnya dengannya menjadi bebas juga, perkara
mereka itu tidak ditarik panjang pula..."
Mendengar sampai di situ, Sin
Tjoe menggeleng kepala. Dia agaknya masgul.
"Apa maksud yang
sebenarnya dari pemerintah, tak dapat kita mengetahuinya," In Tiong menyambungi,
"akan tetapi singkatnya firman raja demikianlah adanya. Oleh karena itu
milik Tan Hong yaitu Thayouw Santjhoeng yang dulu hari telah disita sudah
dikembalikan. Sebenarnya itulah milik dua keluarga Thio dan Tamtay. Sekarang
milik itu dijaga dan dirawat orangnya Keluarga Tamtay. Ketika di musim dingin
yang lalu Tan Hong kembali dari kota raja, sebenarnya ia tidak pulang ke
Tjhongsan, ia hanya lantas tinggal di Thayouw Santjhoeng. Rombongannya Yang
Tjong Hay rupanya tidak menyangka akan kejadian itu, rupanya mereka tidak
menduga Tan Hong demikian bernyali besar, atau mungkin, meski mereka mendapat
tahu tetapi mereka tidak berani menyateroni Tan Hong, maka selama beberapa
bulan berdiam di santjhoeng itu, Tan Hong tidak mendapat gungguan apa-apa. Tatkala
kami berdua mendengar halnya Tan Hong itu, kami juga pulang kesana dan tinggal
bersama. Baru bulan yang sudah kami pindah."
"Kami justeru berniat
pergi ke Tjhongsan," kata Thian Touw, "dengan begini tak usah kami
membuat perjalanan jauh dengan sia-sia belaka."
In Tiong mengangguk, terus ia
melanjuti keterangannya: "Benar Tan Hong berdiam di santjhoeng dari mana
ia tidak pernah ke mana-mana akan tetapi segala peristiwa di luaran, ia
mengetahuinya dengan baik. Paytjoe Pit Keng Thian dari Kaypang, Partai
Pengemis, sebenarnya berada di propinsi Shoatang, ketika dia mendengar kabar
Tan Hong berada di Thayouw, segera dia pergi membuat kunjungan. Dia
menghaturkan terima kasih halnya dia telah diberi ketika untuk mengubah cara
hidupnya yang tersesat. Kebetulan sekali datangnya Pit Keng Thian ini, dia
lantas dipakai tenaganya oleh Tan Hong guna mencari tahu segala kejadian di
luaran. Demikian terdengar selentingan gerak-gerik selama setengah bulan ini
dari rombongannya Koan Sin Liong yang telah berkumpul di kota Hangtjioe, bahwa
soenboe dari propinsi Tjiatkang pun sudah tukar orang. Pula telah dapat
diketahui halnya Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen, dua orang kepercayaannya
raja, sudah berkumpul juga di kota Hangtjioe itu. Mengumpul semua berita itu,
Tan Hong lantas mengambil kesimpulan. Ia percaya pemerintah bakal mengambil
sesuatu tindakan yang pasti tidak baik untuk pihak tentera rakyat, maka kami
berdua lantas diminta berangkat kemari guna memberi kisikan kepada kamu, hanya
sayang Yang Tjong Hay sudah bertindak demikian cepatlcedatangan kami terlambat
sedetik."
"Kenapa soehoe tidak
datang sendiri?" tanya Giok Houw tentang soehoe --- gurunya itu.
Sepasang alisnya In Tiong
terbangun.
"Di sana masih ada suatu
urusan penting yang memerlukan tenaganya sendiri," ia menyahut. "Itu
pula urusan paling penting yang kami hendak sampaikan kepada kamu! Kamu tahu,
Kiauw Pak Beng dan Koan Sin Liong, dua hantu itu, telah hendak mengadakan satu
pertemuan di gunung Laosan..."
Hati Thian Touw bercekat.
"Itulah justeru urusan
untuk mana aku hendak menemui Thio Tayhiap," ia campur bicara.
"Hanya, menurut apa yang aku dengar, waktu pertemuan kedua hantu itu
mungkin di bulan ke delapan nanti..."
"Bukan!" berkata In
Tiong. "Menurut keterangan yang diperoleh Pit Keng Thian, Kiauw Pak Beng
sudah sampai di Laosan di mana dia berdiam di kuil Siangtjeng Kiong. Mereka
telah menggeser maju waktunya pertemuan itu, mungkin itu hendak dibarengi
dengan sepak terjang mereka membasmi tentara rakyat..."
"Jikalau begitu tidaklah
heran Kiauw Siauw Siauw bersama Yang Tjong Hay semua telah muncul di
sini," berkata In Hong. "Pastilah si hantu tua Kiauvv Pak Beng yang
menitahkan mereka bekerja di sini untuk mendirikan pahala yang pertama!"
"Kiauvv Siauw Siauw itu,
anak tunggal kesayangannya Kiauw Pak Beng, baru saja mampus di ujung pedangnya
entjie Leng!" menerangkan Sin Tjoe.
"Bukan!" kata In
Hong tertawa. "Dia justeru terbinasa karena bunga emasmu!"
Sin Tjoe heran.
"Bagaimana, entjie?"
ia tanya.
"Sebabnya begini,
adikku!" sahut In Hong, yang terus menuturkan kematiannya Kiauw Siauw
Siauw disebabkan Yang Tjong Hay hendak memfitnahkan mereka. "Dengan begitu
pasti Kiauw Pak Beng akan sangat membenci kita dan akan berniat keras
membalaskan sakit hati anaknya itu."
"Sungguh keji Yang Tjong
Hay!" kata Sin Tjoe. "Memang benar Kiauw Pak Beng pasti akan
memandang kita sebagai musuh besarnya! Tapi tak apalah, kita justeru hendak
mencari mereka itu!"
Thio Giok Houw gembira sekali.
"Soehoe bakal datang,
hantu itu tak perlu ditakuti lagi!" katanya.
"Siauw Houw Tjoe, kau
benar si anak kerbau yang tak takut harimau!" kata In Tiong tertawa.
"Kau tahu, gurumu justeru sedikit berkuatir. Ketika tahun dulu itu Kiauw
Pak Beng tunduk di ujung pedang gurumu, dia telah bersumpah untuk menuntut
balas, dia telah berjanji, sebelum dia merasa pasti akan dapat mengalahkan
gurumu, tidak nanti dia turun gunung atau muncul pula! Sekarang dia muncul,
maka gurumu percaya dia telah berhasil menyampaikan Sioelo Imsat Kang tingkat
ke sembilan, tingkat terakhir itu, dan pasti sekali dia juga sudah berhasil
meyakinkan dan menggabung kedua ilmu sesat dan lurus."
"Biarnya dia telah
berhasil itu!" kata Giok Houw nyaring, "pasti soehoe tidak jeri
terhadapnya!"
"Itulah pasti!" kata
pula In Tiong, tertawa. "Akan tetapi kau harus ketahui, gurumulah seorang
yang sangat sabar dan terliti. Musuh bakal datang dalam jumlah besar, gurumu
tidak berani memandang enteng pada mereka. Kabarnya Kiauw Pak Beng telah
mengundang banyak orang liehay --- orang-orang dari kaum sesat. Maka itu gurumu
pun melepas undangan kepada banyak kaum lurus dan undangan itu disampaikan oleh
Pit Keng Thian, yang memakai tenaganya anggauta-anggauta Kaypang. Selain
orang-orang gagah dari beberapa propinsi di Kanglam, gurumu mau pergi sendiri
mengundang tjiangboendjin dari Siauwlim Pay di
Siongsan dan Binsan Pay, untuk
minta bantuan mereka itu. Di akhirnya gurumu minta kami menyampaikan dua hal
kepada kamu: Yang pertama yaitu supaya Yap Seng Lim segera mengundurkan diri,
dan yang kedua supaya kamu segera berangkat ke Laosan untuk bertemu nanti di
Siangtjeng Kiong, guna menemui sekalian hantu itu. Sekarang ini markas kamu
sudah musna, soal penarikan mundur bukan soal lagi. Sekarang tinggal yang
kedua, ialah kamu mesti segera berangkat ke Laosan. Siapa yang suka pergi, dia boleh
turut kami berdua!"
Darahnya semua orang menjadi
tegang. Warta itu hebat dan juga menggembirakan. Cuma Yap Seng Lim seorang yang
wajahnya menjadi guram.
Sin Tjoe melihat itu, ia dapat
membade hati suaminya.
"Seng Lim," katanya,
"aku turut pergi, dengan begitu kau seperti turut bersama. Asal musuh itu
dapat disingkirkan, buat apa kau mesti membinasakannya dengan tanganmu
sendiri?"
Sin Tjoe kenal tabiat
suaminya, maka suka ia mewakilkan suami itu. Seng Lim masgul karena ia tidak
dapat turut, karena ia mesti memernahkan rakyatnya. Ia sangat bersakit hati
terhadap Koan Sin Liong bertiga Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen, sebab
merekalah yang memusnakan markasnya itu yang ia telah bangun dengan susah
payah. Tapi sekarang ia mendengar suara isterinya, ia tidak bisa berbuat lain,
dapat juga ia menenangkan hatinya.
Seperti diketahui tentera
rakyat suka rela di Tanghay, laut Timur ini, menguasai tiga belas pulau dan
pusatnya ialah pulau Hokpoo To, tetapi sekarang pusat itu kena dirampas tentera
negeri, telah dimusnahkan, maka untuk mengumpulkan sisa tenteranya, Seng Lim
terpaksa mengambil sebuah pulau kecil di antaranya. Ia mintaLioe Tek Tjhong dan
Tjhio Peng Kin membantu pekerjaannya itu. Yang lainnya semua turut In Tiong dan
Tamtay Keng Beng berangkat ke Laosan.
Berselang setengah bulan
tibalah rombongan itu di kaki gunung yang dituju itu. Di gunung itu bakal
dilakakan satu pertempuran yang dahsyat, tidak heran apabila hati rombongan itu
tegang sekali. Hok Thian Touw merasa tegang sebab berbareng pikirannya ruwet...
Gunung Laosan itu berada di
sebelah belakang Tjeng Too, sebelahnya nempel dengan daratan, sebelah yang lain
berbatas dengan Honghay. Laut Kuning. Dan di laut Honghay itu terdapat pula
sejumlah pulau kecil-kecil. Dilihat dari atas gunung, kepulauan itu mirip suatu
tedeng aling. Di situ terdapat pemandangan alam yang permai. Akan tetapi di
dalam keadaan seperti itu, tidak ada orang yang ketarik untuk pesiar, buat
membuka mata mereka.
"Aku harap inilah badai
dan gelombang yang terakhir untukku," kata Thian Touw dalam hatinya.
"Habis ini aku tidak mau merantau pula dalam dunia Kangouw!" Ia
melirik isterinya, ia mendapatkan In Hong tengah berjalan dengan asyik dengan
Sin Tjoe, mata mereka itu diarahkan ke depan. Melihat sikap isterinya itu,
hatinya menjadi tawar, pikirnya pula: "Di saat ini pastilah In Hong lagi
memikirkan caranya untuk mengalahkan musuh. Ada kemungkinan, sehabisnya ini, ia
tidak bersedia mengikut aku pulang ke Thiansan..."
Thian Touw merasa selama
beberapa bulan ini, meski ia dan Ia Hong menjadi suami isteri tetapi hati In
Hong berada lebih dekat pada Sin Tjoe...
Mereka berjalan terus. Satu
kali angin bertiup ke arah mereka, lantas mereka menjadi heran. Angin itu
membawa datang bau bacin.
"Ah, apakah itu?" In
Hong berseru, terus ia lompat ke sebelah depan di mana ia menyingkap setumpuk
rumput kering.
Untuk kagetnya semua orang, di
situ rebah satu tubuh manusia.
"Ah!" Kok Tiok Koen
berseru, "inilah Thianloei Kiam In Bwee Kok!..."
Jago tua ini mengulur
tangannya meraba tubuh yang rebah itu, ia merasakan tubuh yang dingin sekali.
Ia pun memegang nadinya. Lalu ia berkata, heran: "Inilah aneh! Nadinya
belum berhenti seluruhnya, mengapa tubuhnya sudah kaku begini?"
Ia baru berkata atau ia kaget
hingga ia menggertak pulang tangannya, la merasa hawa dingin dari tubuhnya In
Bwee Kok tersalurkan ke tangannya terus ke tubuhnya sendiri. Tapi segera ia
dapat menduga: Pastilah In Bwee Kok telah menjadi kurbannya Kiauw Pak Beng!
Selagi Tiok Koen terbenam
dalam keheranan itu, yang lain-lainnya pun lantas menemui beberapa kurban lagi,
di antaranya dikenali sebagai Liokhap Tjiang Touw Tjoe Peng, Kioe Koet Gie ahli
pedang dari Boetong Pay, Tjeetjoe Tie Leng Sek dari benteng Imma tjoan dari
Shoatang, dan Tee Lip Ong, guru silat yang telah berusia lanjut dari Hoolam.
Tubuh mereka beku seperti tubuhnya In Bwee Kok itu. Di antaranya, nadi Kioe
Koet Gie masih berdenyut perlahan dan jarang seperti nadi In Bwee Kok.
Semua orang berdiri melengak.
Mereka heran dan bingung. Hati mereka, yang tegang, menjadi bertambah tegang.
Teranglah semua orang itu
orang-orang undangannya Thio Tan Hong, tetapi mereka sampai di situ untuk
menerima nasib celaka secara kecewa. Dan terang pula Kiauw Pak Beng sudah tidak
memakai aturan Kangouw, dia mestinya telah menghajar orang tanpa segan-segan.
Kok Tiok Koen kenal
kurban-kurban itu, saking berduka ia menangis.
"Kiauw Pak Beng, kau
sangat kejam!" katanya sengit.
"Sekarang ini bukan
waktunya berduka," kata Giok Houw. "Mari kita maju terus! Semua harus
waspada, supaya kita jangan sampai kenadibokong."
Kejadian itu pun membuat orang
berpikir bahwa tentulah Thio Tan Hong belum sampai, jikalau tidak, tidak nanti
ia memberi ijin Kiauw Pak Beng menurunkan tangan jahat itu.
Sungguh berbahaya keadaan
mereka semua.
Berjalan lebih jauh, keheranan
mereka bertambah, hati mereka semakin giris. Masih mereka menemui beberapa
kurban lagi. Ketika mereka tiba di puncak Tinhay Hong. ialah puncak yang
ketiga, jumlah kurban yang diketemukan itu tujuh belas buah.
Dari tujuh belas kurban itu, kecuali
In Bwee Kok dan Kioe Koet Gie, ada satu orang lagi yang nadinya masih
berdenyut, ialah Liap Tong Tjeng, pangtjoe atau ketua, dari partai Tinhay Pang
di Kanglam.
Kelihatan nyata semua kurban
itu kurban-kurban baru sekali-baru saja terhajar Kiauw Pak Beng.
Thian Touw mencelos hatinya
menyaksikan peristiwa hebat itu.
"Kiauw Pak Beng dapat
robohkan banyak orang dalam tempo begini singkat, tidak lain pastilah sebab dia
telah berhasil menyampaikan tingkat ke sembilan dari Sioelo Imsat Kang,"
pikirnya.
Kok Tiok Koen lantas bekerja.
Dengan meminta bantuan kawan-kawannya, ia menggotong In Bwee Kok, Kioe Koet Gie
dan Liap Tong Tjeng ke dalam sebuah guha. Kepada Thian Touw ia minta tiga butir
pel. ia kata: "Asal mereka masih ada napasnya, aku akan berbuat apa yang
aku bisa untuk menolongi mereka!"
Itulah kata-kata dari harapan
yang tak ketentuan...
Ie Sin Tjoe menahan keluarnya
air matanya. Ia memerintahkan dua tauwbak yang dapat diandalkan guna membantu
;Tiok Koen. Yang lainnya semua manjat terus.
Tiba di lembah yang sempit, di
mana orang dapat jalan seorang diri, tidak bisa dengan berendeng berdua
sekalipun, sedang di kiri dan kanan ada lamping gunung, orang mendengar siulan
yang panjang dan keras, menyusul itu sebuah batu besar, jatuh bergelinding dari
atas!
In Tiong lantas berteriak, dia
memasang kuda-kudanya dan mengangkat kedua tangannya. Dia mengerahkan tenaga
Taylek Kimkong Tjioe. Ketika batu besar itu tiba, dia menyambuti untuk
dibarengi ditolak keras. Maka jatuhlah batu itu ke dalam lembah hingga tanah
muncrat menjadi debu.
Ie Sin Tjoe pun membarengi
melepaskan tiga buah kimhoa, bunga emasnya, atas mana lantas terdengar tiga
kali suara bentrokan nyaring. Kejadian ini membikin orang tahu, kecuali batu
besar itu, ada pula senjata rahasia yang dipakai menyerang mereka!
Hok Thian Touw bersama Leng In
Hong berlompat maju, untuk menaruh kaki di pinggiran lamping di mana ada batu
munjul keluar, ketika mereka memandang ke atas, di sana terlihat Le Kong Thian
yang justeru mengasi dengar suaranya yang keras: "Siapa naik kemari, dia
bagian mati, dia tak akan hidup lagi!"
In Hong mendongkol sekali. Ia
menjemput dua potong batu dengan apa ia menimpuk manusia bagaikan raksasa itu.
Kong Thian mengangkat boneka
kuningannya, untuk menangkis.
"Aduh!" demikian jeritan
di belakangnya.
Itulah seorang yang sembunyi
di belakang Kong Thian, yang terkena salah satu batu. Dialah orang yang tadi
menimpuk dengan tiga buah bandringan, yang ditangkis bunga emasnya Sin Tjoe.
Dia bertubuh kate dan kecil, maka itu, dengan berdiam di belakang Kong Thian,
dia tak segera terlihat.
Thian Touw semua maju terus.
Sesampainya mereka di atas, Kong Thian dan kawannya itu sudah tidak ada, hanya
terdengar saja helaan napas perlahan dari orang she Le itu.
Kong Thian berkesan baik
terhadap Thian Touw, maka itu ketika tadi dia melemparkan batu besar itu, dia
mendahuluinya dengan siulannya, baru kemudian dia mengasi dengar ancamannya.
Dengan tindakannya itu dia mengharap Thian Touw jangan naik terus ke atas
karena dia tidak ingin orang she Hok ini menjadi korbannya Kiauw Pak Beng,
gurunya itu. seperti tujuh belas orang tadi.
In Tiong telah menjemput salah
satu bandringan itu, ia tertawa dingin dan berkata: "Juga Sintwie Tjoei
Poo San telah datang kemari. Rupa-rupanya Kiauw Pak Beng juga mengundang bala
bantuan yang tak sedikit!"
Tjoei Poo San itu ialah murid
kepala dari Tjio Sam Tay, ahli senjata rahasia di kota Pooteng. Dengan sebelah
tangan. Sam Tay itu dapat melepaskan dua belas potong bandringannya. Poo San
melepaskan hanya tiga buah, mungkin dia menyangka itu pun tak dapat orang
menghindarinya.
Orang maju dengan hati
berdebaran. Mereka masih belum menampak Kiauw Pak Beng. Maka mereka mendaki
terus. Tanpa rintangan mereka sampai di puncak terutama dari gunung Laosan,
maka tak jauh dari situ mereka lantas melihat Siangtjeng Kiong, kuil bangsa
imam (toosoe). Justeru itu mereka mendengar siulan nyaring yang dahsyat sampai
telinga mereka dirasakan ketulian dan nyeri.
Hok Thian Touw terkejut. Ia
tahu itulah suaranya Kiauw Pak Beng.
"Benar-benar hebat
kemajuannya hantu itu!" katanya.
In Tiong ialah seorang ahli,
dari siulan Kiauw Pak Beng ia dapat membedakan nada, maka dengan keheranan ia
kata: "Kiauw Pak Beng mesti lagi menempur lawan yang tak kalah liehaynya
dengannya! Jikalau dia bukannya hongthio dari Siauwlim Sie, mungkin ketua dari
Binsan Pay! Inilah aneh" Ia lantas memasang pula telinganya.
"Bagaimana?" tanya
Sin Tjoe.
"Yang menempur Kiauw Pak
Beng itu bukannya satu orang," kata In Tiong.
Sin Tjoe heran. Kalau orang
ialah ketua Siauwlim Sie atau Binsan Pay, tidak nanti mereka berkelahi sambil
mengeroyok. Hanya, kalau bukan mereka itu, siapa dapat menandingi Kiauw Pak
Beng?
Tapi Siangtjeng Kiong sudah
tertampak, maka tak usahlah orang menduga-duga terlebih lama. Mereka
berlari-lari menghampirkannya. Tidak lama atau mereka lantas melihat,
benar-benar Kiauw Pak Beng tidak menghadapi satu musuh, hanya musuh-musuh itu
bukannya ketua-ketua dari Siauwlim Pay dan Binsan Pay!
Di depan kuil Siangtjeng Kiong
di mana ada pekarangan yang lebar telah penuh dengan banyak orang yang
bertempat di empat penjuru, di tengah-tengah mereka, yang merupakan sebuah
gelanggang, terlihat empat orang lagi bertempur. Atau lebih benar, tiga orang
pendeta tengah mengepung Kiauw Pak Beng si jago Sioelo Imsat Kang. Dari tiga
orang suci itu, yang dua bersenjatakan tongkat Kioehoen Sianthung, dan yang
satunya lagi bergegaman kebutan Hiansie Hoedtim. Kiauw Pak Beng sebaliknya
bertangan kosong. Yang hebat ialah kekebalan Pak Beng. Beberapa kali dia
terhajar lawannya, bukan dia roboh atau terluka, bagian tubuhnya yang terhajar
itu mengasi dengar suara nyaring. Tubuhnya itu seperti juga terdiri dari besi
atau baja!
"Ah, itulah tiga
toasintjeng dari Siauwlim Sie!" kata In Tiong separuh berseru. Karena ia
mengenali mereka, ia menjadi heran sekali.
Toasintjeng itu ialah
pendeta-pendeta yang terhormat.
Ketua dari Siauwlim Sie ialah
Boe Tjoe Siansoe. Ia mempunyai tiga soetee, adik seperguruan, yang paling
liehay, yang masing-masing diberi tugas penting, ialah kamsie, pengawas kuil.
hokkeng, pelindung kitab-kitab, dan hengteng, penjabat pelaksaan hukuman.
Merekalah Boe Sek, Boe Ngo dan Boe Siang. Orang mengatakan mereka bertiga
sangat liehay tetapi kecuali berdiam terus di dalam gereja di mana mereka
menjalankan ibadat dan mengajar murid, belum pernah mereka bertanding dengan
orang luar. dari itu taklah ada orang ketahui sampai di mana keliehayan mereka.
Maka anehlah sekarang mereka berada di gunung Laosan ini, dan berbareng
bertiga, bersama-sama, mengepang Kiauvv Pak Beng.
In Tiong lantas dapat melihat
Boe Siang mengebut dengan kebutannya, yang lantas menjadi buyar ribuan lembar,
hingga tubuh Kiauw Pak Beng seperti ketutupan karenanya. Setiap lembar benang
kebutan itu mencari jalan darah musuh.
Kebutan ialah senjata luar
biasa, siapa tidak mahir tenaga dalamnya, tidak dapat membikin tali kebutan
menjadi kaku sesuka hatinya In Tiong memuji di dalam hati menyaksikan liehaynya
pendeta Siauwlim Sie itu.
Diserang secara berbahaya itu,
Kiauvv Pak Beng berseru, meniup dengan keras, tubuhnya pun mencelat tinggi,
kedua tangannya dipentang. Dengan gerakannya itu, dia membebaskan diri dari
bahaya. Kedua tangannya menangkis tongkatnya Boe Ngo dan Boe Sek, hingga kedua
tongkat mental menghajar pohon kayu di samping mereka sampai kedua pohon tergetar,
daun-daunnya rontok meluruk.
Dari kagum dan girang, In
Tiong terkejut.
"Ketiga pendeta ini
benar-benar liehay," pikirnya. "Hanya heran, mereka toh tidak dapat
berbuat banyak terhadap Kiauvv Pak Beng. Pantaslah Thio Tan Hong telah
memandang hantu itu sebagai musuh yang tangguh..."
Lain keanehan ialah halnya
ketiga pendeta itu. Menurut martabat mereka, mestinya mereka menempur Pak Beng
satu lawan satu. Dengan mengepung bersama, derajat mereka tak berarti lagi.
Akan tetapi sekarang buktinya mereka main keroyok...
Dalam hal ini, In Tiong
melihat hanya satu pihak. Ia seperti melupai Pak Beng dengan Sioelo Imsat Kang,
ilmu silatnya, yang istimewa itu.
Sebenarnya juga terpaksa Boe
Sek bertiga mengepung Pak Beng. Mereka telah didesak turun tangan oleh Sioelo
Imsat Kang dari Pak Beng itu.
Thio Tan Hong telah minta
bantuannya Siauwlim Sie, ia telah mengundang Boe Tjoe Siansoe sendiri.
Kebetulan pendeta kepala itu hendak "menutup diri," maka dia mengirim
Boe Sek bertiga sebagai wakilnya. Tan Hong girang sebab ia percaya mereka itu
akan dapat melebihkan Boa Tjoe seorang diri. Ketiga pendeta tidak berangkat
bareng bersama Tan Hong. Tan Hong masih hendak mengundang ketua Binsan Pay
serta mesti mengurus satu hal lain. Maka ia minta ketiga pendeta berangkat lebih
dulu sekalian untuk menilik kawan-kawan lainnya yang datang membantu.
Nyatalah kesudahannya bantuan
untuk Tan Hong itu masih kurang. Rombongannya In Bwee Kok roboh di tangannya
Kiauw Pak Beng yang telengas itu. Kiauw Pak Beng tidak sudi pakai aturan Kangouw,
dia main rabuh. Orang tiba belum lama, dia memegat dan menyerang. Untuk
mencegah jago itu mengambil lebih banyak kurban, terpaksa Boe Sek bertiga
mengepung dia, hingga dia tidak dapat berpesta dengan pukulan-pukulan Sioelo
Imsat Kang-nya itu.
Kiauw Pak Beng sudah mencapai
tingkat terakhir dari ilmu kepandaiannya itu, dia jadi sangat liehay, hingga
Boe Sek, Boe Ngo dan Boe Siang, tidak dapat berbuat banyak terhadapnya. Bahkan
ketiga pendeta telah terserang hawa dingin sampai keuletan mereka menjadi berkurang.
Karena itu, sambil berkelahi mereka bertiga mesti mengerahkan tenaga dalamnya,
buat mengobati luka di dalam itu sambil terus memperkuat diri. Demikianlah,
untuk sementara, merekajadi sama unggul.
Ketika rombongan Sin Tjoe
tiba, Kiauw Pak Beng lantas dapat melihatnya. Dia mengenali Nyonya Yap Seng
Lim, mendadak napsu amarahnya bangkit.
"Ketiga toasintjeng, kamu
beristirahatlah!" dia berseru. Dia lantas bersiul nyaring, terus dia
berlompat, tangan kirinya menyamber tongkat Boe Sek, tangan kanannya menyamber
tongkatnya Boe Ngo. Dia mengadu kedua tongkat hingga bentrok keras, hingga
muncrat lelatu apinya, lalu dia pinjam tenaga kedua tongkat itu untuk berlompat
lebih jauh. lompat ke arah Sin Tjoe.
Boe Sek dan Boe Ngo kena
tergempur tenaga dalamnya, tubuh mereka terhuyung, terus mereka jatuh duduk,
muka mereka pucat.
Boe Siang kaget, ia lompat
kepada dua saudaranya, untuk menolongi, hingga ia seperti melupai kewajibannya
untuk memegat dan merintangi Kiauw Pak Beng.
Sangat cepat seperti burung
garuda, tubuh Kiauw Pak Beng sudah mencelat ke arah Sin Tjoe.
"Tahan!" berteriak
In Tiong, yang segera lompat menyerang. Dia menggunai dua-dua tangannya. Dia
hendak melindungi Nyonya Yap Seng Lim.
Kiauw fak Beng mesti menoleh,
bahkan ia mesti menangkis serangan itu. Tidak dapat ia berkelit lagi.
Tangan kedua pihak beradu satu
pada lain. keras sekali, hingga terdengar suara beradunya itu. Kiauw Pak Beng
mengasi dengar suara tertahan "Hm!" dan tubuhnya mental dua tombak.
Taylek Kimkong Tjioe dari In
Tiong hebat walaupun Kiauw Pak Beng sudah mempersatukan kemahirannya ilmu sesat
dan ilmu lurus, dia masih terhajar terpental itu. Syukur dia tak tergempur
anggauta tubuhnya bagian dalam.
Di lain pihak In Tiong, oleh
karena bentrokan itu, segera merasakan tangannya dingin dan rasa dingin itu
terus tersalurkan ke tubuhnya. Hawa dingin bagaikan es itu menyerang ke ulu
hatinya. Lantas ia menggigil. Ia sebenarnya mau mengulangi serangannya, apa mau
tenaganya seperti habis, hingga ia tidak dapat melakukan keinginannya itu. Ia
terkejut, hatinya berdebaran. Sungguh liehay orang she Kiauw itu dan sungguh
berbahaya keadaannya apabila musuh menyerang pula padanya.
Kiauw Pak Beng terpental
tetapi tak terluka apa-apa, begitu ia melihat ke arah Sin Tjoe, begitu ia
lompat untuk mengejar. Belum lagi ia lari, dua sinar pedang berkelebat
dihadapannya. Ia dirintangi Thian Touw dan In Hong, yang lompat menghadang di
depannya.
Hanya dalam segebrakan itu,
Kiauw Pak Beng lantas mendapat tahu berapa pesat majunya sepasang suami isteri
itu. Ia bercekat. Maka ia lantas menggunai kepandaiannya untuk melayani kedua
musuh ini. Ketika ia diserang pula, dengan tangan kirinya ia mengibas, dengan
jari tengah tangan kanan ia menyentil. Dengan begitu ia mempunahkan pedangnya
In Hong. pedang pedangnya Thian Touw kena terpentil hingga menerbitkan suara
nyaring.
Thian Touw terkejut, juga jago
tua itu. Jago ini kaget lantaran ujung bajunya kena dirobek pedang si nyonya.
Thian Touw sebaliknya terkejut lantaran pedangnya kena tersentil mental, segera
ia merasakan tangannya dingin luar biasa, sampai hampir-hampir tak dapat ia
mencekal terus pedangnya itu. Mau atau tidak, ia mundur setindak. Dengan
begitu, pedang mereka suami isteri tak dapat bersatu padu dalam sejenak itu.
Kiauw Pak Beng tertawa
berkakak. Dengan adanya lowongan, dia lompat untuk menyingkir dari kepungan.
"Hok Thian Touw!"
dia berkata, nyaring, "ilmu pedang Thiansan Pay kamu benar-benar telah
dapat disempurnakan, maka sebentar aku akan menempur pula kamu!"
Habis berkata, ia memutar
tubuhnya, untuk mengejar pula le Sin Tjoe.
Nyonya Yap Seng Lim telah
memisahkan diri tiga tombak dari si jago tua, ketika ia dikejar pula, ia lari.
In Tiong, juga Thian Touw dan
isterinya, mengejar. Mereka hendak melindungi Sin Tjoe tak perduli jago tua itu
liehay sekali. Hanya ketika itu mereka ketinggalan belasan tombak.
Sin Tjoe cerdik. Ia lari ke
dalam rimba di mana, dengan menggunai ilmu "Tjoanhoa djiauwsie." ia
berputaran di antara pohon-pohon yang tumbuh tak teratur. Ia bergerak dengan
sangat cepat dan lincah.
Sia-sia Kiauw Pak Beng
mengejar, tak dapat ia menghajar tubuh orang. Akhirnya ia menjadi sangat
mendongkol.
"Bayar pulang jiwa
anakku!" ia berteriak, menyusul mana ia menyerang ke arah pohon di
belakang mana Sin Tjoe berlindung.
Hebat serangan itu. Dengan
satu suara berisik, pohon itu roboh.
Sin Tjoe lompat menyingkir. Ia
toh terhalang pohon itu. Justeru begitu, mendadak ada orang berlompat dari
samping rujuk rumput dekatnya, orang mana membarengi menikam dengan pedangnya.
Yang hebat ialah segera dikenali
penyerang itu Koan Sin Liong adanya, yang rupanya telah bersembunyi di dalam
rimba lebat itu.
Sin Tjoe menangkis serangannya
Koan Sin Liong itu. Ia bingung sekali. Ia terkepung oleh Sin Liong dan Pak
Beng, dua-duanya musuh sangat liehay. Habis menangkis ia menjadi kaget sekali.
Tak dapat ia menarik pulang pedangnya, sia-sia belaka ia mencobanya
Sin Liong liehay, ia menyerang
untuk terus menempel pedang si nyonya. Di dalam hal ilmu "Menempel,"
ia liehay luar biasa. Melihat orang tidak dapat lolos, ia tertawa. Sebenarnya,
kalau ia mau, ia bisa meneruskan menikam nyonya itu dan mungkin orang
terlukakan, akan tetapi ia sudah tidak berbuat demikian, ia mau memberi jasa
kepada Kiauw Pak Beng, ia ingin mendapat muka dari jago tua itu, ia mau
membiarkan Pak Beng yang membunuhnya. Pak Beng hendak menuntut balas jiwa
puteranya.
Leng In Hong telah menyusul,
ia kaget. Ia tahu Sin Tjoe terancam bahaya. Oleh karena tidak ada jalan,
sebelum datang dekat, ia menyerang dengan menimpuk dengan pedangnya Ia mengarah
punggung Kiauw Pak Beng, yang sudah lompat ke arah Nyonya Seng Lim.
Pak Beng liehay, ia mendengar
suara angin menyamber. Tanpa menoleh, ia menjejak tanah, untuk berlompat
melewati pohon di samping. Ia tidak ungkulan menangkis timpukan yang sangat
berbahaya itu.
Pedang In Hong meluncur terus,
baru berhenti setelah menancap pada sebuah pohon.
Pak Beng berlompat terus,
hingga ia datang dekat pada Sin Tjoe. Jarak di antara mereka berdua tak ada
tiga tombak lagi.
Juga Koan Sin Liong telah ada
yang serang seperti Pak Beng itu. Ia tertawa belum berhenti ketika serangan itu
datang. Ia merasakan dorongan angin yang keras sekali. Tidak ayal lagi, ia
menyerang ke belakang. Lalu ia terkejut. Serangannya itu seperti serangan pada
tembok kokoh tegar, sasarannya itu tak bergeming.
"Kau rebahlah!"
begitu ia mendengar bentakan habis ia menghajar ke belakang itu. Ia terkejut,
lantas ia tidak berdaya lagi. Ia satu jago tetapi ia dengar kata, tubuhnya
lantas roboh terjengkang!
"Han Lootjianpwee!"
terdengar In Tiong memanggil, suaranya nyaring dan bernada kegirangan.
Penyerangnya Koan Sin Liong
itu ialah Sinkoen Boetek Han Tiat Tjiauw si Kepalan Tak Tandingan,
tjiangboendjin, atau ketua, dari Binsan Pay. Kalau Koan Sin Liong melawan dia
dengan pedang, ia mungkin bisa melayani sampai lima puluh jurus, tapi ia lagi
menempel pedang Sin Tjoe, terpaksa ia menangkis dengan tangan kosong. Maka
tempo ia diserang pula, ia roboh tak ampun lagi.
Ketika itu Kiauw Pak Beng
telah menyandak. Dia telah melihat apa yang sudah terjadi.
"Kau pun roboh!" dia
berteriak padaHan Tiat Tjiauw, yang dia serang dengan pukulan Sioelo Imsat Kang
tingkat ke sembilan. Serangan itu keras sekali dan hawanya pun dingin luar
biasa.
"Kau lihat siapa yang
roboh!" kata Tiat Tjiauw sambil tertawa. Ia tidak takuti serangan orang,
ia segera menangkis.
Ketua Binsan Pay ini telah
berlaku keliru dengan ia mengasi dengar suaranya. Justeru ia membuka mulut,
justeru hawa dinginnya Pak Beng menyerang masuk ke dalam mulutnya itu. Ia kaget
dan gelagapan. Berbareng dengan itulah kedua kepalan beradu satu dengan lain.
Hebat bentrokan itu, Pak Beng
terhuyung mundur tiga tindak. Tiat Tjiauw sebaliknya, kecuali dia
terhuyung-huyung hampir jatuh, tubuhnyajuga menggigil keras.
Kiauw Pak Beng tidak
menggubris perintahnya itu. mau terus mengejar pula Sin Tjoe. Nyonya itu
sembunyi di belakang pohon. Dalam murkanya. Pak Beng menyerang keras kepada
pohon yang menjadi penghalang di depannya itu.
"Bruk!" demikian
pohon itu roboh ambruk.
Habis itu, Pak Beng berlompat.
Sin Tjoe terpegat pohon itu.
Tiat Tjiauw terperanjat, ia
menyamber dengan tangannya. Apamau. ia tak punya tenaga lagi, tangannya tidak
sudi turut perintahnya. Pak Beng tidak kena terjambret.
Syukur Pak Beng lagi mengarah
Sin Tjoe, coba dia menyerang pula, ketua Binsan Pay ini bisa menemui ajalnya.
"Kau masih memikir untuk
lolos?" Pak Beng bentak Sin Tjoe. Ia lompat seraya mengulur tangannya yang
panjang.
Tengah isterinya Seng Lim itu
terancam bahaya maut, di antara mereka terdengar satu siulan yang lama dan
nyaring, di situ cuma ada Sin Tjoe dan Pak Beng berdua tetapi Pak Beng
mendengar suara ini: "Kau membanggakan diri sebagai seorang guru besar
yang tidak ada tandingnya, kau justeru menghina seorang anak perempuan, apakah
kau tidak malu?"
Pak Beng terkejut hingga
tercengang. Dengan begitu dengan sendirinya serangannya kepada Sin Tjoe menjadi
tertunda Ia bukan kaget disebabkan suara itu. yang di kirim menurut ilmu
"Tjoanim djipbit," suara yang dari jauh seperti terbawa angin sampai
di telinganya orang yang dimaksudkan. Ia kaget sebab ia kenali orang yang
mengasi dengar suara itu. Ialah musuh besarnya yang satu-satunya: Thio Tan
Hong!
Benar di saat itu muncullah
Tan Hong itu, yang nerobos di antara pepohonan. Paling nyata ialah pakaiannya
yang putih.
"Soehoe!" Sin Tjoe
berteriak ia telah melihat gurunya itu. Ia girang hingga ia menangis.
Pak Beng mengawasi, ia heran
atas datangnya orang, yang seperti tak terlihat munculnya.
Tan Hong bertindak dengan
sabar, ketika ia berkata kepada muridnya, ia tertawa. Katanya: "Sin Tjoe,
bukankah ini yang pertama kali kau kena dihinakan orang? Baiklah, gurumu akan
mencoba membikin lampias penasaranmu ini!"
Pak Beng tidak takut, sembari
tertawa ia mendahului bicara. Ia tidak mau menunggu sampai ditegor. Ia kata:
"Ketika dulu hari kita bertempur di kuil Hianbiauw Koan di Seesan, aku si
orang she Kiauw telah mendapat kefaedahan yang tak kecil, selama dua tahun, tak
pernah aku melupakannya! Dulu hari itu aku pernah berjanji terhadapmu, yaitu
asal mendapat kemajuan satu dim saja, aku akan membikin kunjungan kepada kau
untuk memohon pengajaran pula dari kepandaian kau yang istimewa, maka syukur
sekali hari ini kau datang kemari tanpa diundang! Inilah ada baiknya untuk aku,
sebab aku jadi dapat menghemat segalanya, tak usah aku pergi membikin
perjalanan jauh ke bukit Tjhongsan! Thio Tan Hong, kau boleh utarakan apa saja
yang kau kehendaki! Aku si orang she Kiauw, aku bersedia menerima baik cara apa
juga! Hanya sebelum kita bergerak, ingin aku memberi penjelasan lebih dulu. Kau
mengatakan aku menghina muridmu! Hm! Hm! Kau hendak melampiaskan penasarannya
muridmu, bagaimana dengan aku? Kau tahu, anakku terbinasa secara kecewa! Apakah
aku si orang she Kiauw tak dapat membalaskan sakit hati anakku?" *
Mendengar itu, Sin Tjoe
tertawa mengejek.
"Siluman tua bangkotan
she Kiauw!" katanya tanpa menanti gurunya menyahuti, "apakah
benar-benar kau menyangka aku yang membinasakan anak mustikamu itu?"
Kiauw Pak Beng mementang kedua
matanya lebar-lebar.
"Jikalau bukannya kau,
siapa?" tanyanya bengis.
"Orangmu sendiri!"
sahut Sin Tjoe. "Dialah Yang Tjong Hay!"
"Ngaco belo!" Pak
Beng berseru. "Mana bisa Yang Tjong Hay membinasakan Siauw Siauw? Laginya
dia terang-terang telah terkena bunga emasmu! Apakah kau tetap
menyangkal?"
Sepasang alisnya Sin Tjoe
terbangun. Dia mendongkol bukan main.
"Jikalau kau tidak
percaya, terserah padamu!" ia berseru. "Anakmu itu memang bagian
mampus! Taruh kata benar aku yang membinasakan, dia pantas menerima bagiannya
itu!"
Matanya Pak Beng menjadi merah
seperti bara, tetapi di depan Tan Hong, ia tidak berani segera menurunkan
tangan jahat terhadap nyonya muda itu.
Thio Tan Hong tidak gusar
menghadapi peristiwa di depannya itu, sebaliknya, ia tertawa, la kata dengan
tawar: "Kiauw Pak Beng, jangan gusar dulu! Coba kau lihat di sana, siapa
itu yang lagi mendatangi?"
Pak Beng lantas menoleh.
Dari dalam rimba terlihat
munculnya empat orang. Tiga yang di sebelah depan ialah Boetong Kiamkek Koet
Kioe Gie. Thianloei Kiam In Bwee Kok dan Pangtjoe Liap Tong Tjeng dari partai Tinhay
Pang dari Kanglam. Yang paling belakang yaitu Sinie Kok Tiok Koen si tabib
pandai. Dan mata mereka itu, selagi mendatangi itu, merah sebagai api, tandanya
mereka gusar tak kepalang kepada si orang she Kiauw.
Bukan main herannya Pak Beng,
hatinya sampai berdebaran. Ia tahu baik, dengan pukulan-pukulan dari
Sioelo Imsat Kang ia telah
menghajar roboh tujuh orang gagah terhitung Koet Kioe Gie bertiga ini, ia
percaya mereka semua sudah terbinasakan, siapa tahu mereka ini bertiga masih
hidup.
"Sayang aku berlaku hemat
dengan tenagaku." pikirnya, menyesal, "aku cuma menyerang dengan
tenaga tingkat ke lima dari Sioelo Imsat Kang..." Tapi segera ia berpikir
lebih jauh: "Dengan tenaga dalam mereka ini bertiga, taruh kata mereka
dapat hidup, mereka mestinya terus-terusan batuk-batuk dan bernapas sesak,
tidak nanti mereka menjadi begini segar bugar seperti sediakala. Kok Tiok Koen
dijulukkan Sinie, tetapi tidak nanti dia dapat menyembuhkan begini cepat! Ah,
tidak bisa lain, mereka tentu ditolong Tan Hong, yang sudah mengusir hawa
beracun dari dalam tubuh mereka. Kalau begini, meskipun aku telah mencapai
Sioelo Imsat Kang tingkat ke sembilan, mungkin aku tidak bisa merebut
kemenangan..."
Thio Tan Hong mengawasi tajam
pada jago Sioelo Imsat Kang itu.
"Muridku ini belum pernah
omong dusta!" katanya nyaring, "tetapi karena kematian anakmu itu
sukar dicari saksinya, tak usahlah aku banyak omong lagi untuk membantahnya.
Baiklah, kau boleh anggap saja anakmu benar dibunuh muridku! Tapi kau dengar!
Dengan tangan dingin kau telah membinasakan empat belas orang Kangouw yang
kenamaan, di antara mereka itu, setiap orangnya tak ada satu yang kurang
berharganya daripada anakmu, bahkan jauh melebihkannya! Oleh karena yang satu
hendak dibikin impas dengan jiwa anakmu, sekarang kau masih berhutang tiga
belas jiwa lagi!"
Pak Beng tidak dapat
menyangkal atau membantah lagi, akan tetapi dia sudah norek, maka sepasang
matanya mendelik.
"Memang aku yang membunuh
mereka itu, habis kau mau apa?" dia kata dingin. "Jangan kata baru tiga
belas jiwa mereka, sekalipun seratus tiga puluh jiwa, aku akan mengakuinya, aku
akan bertanggung jawab atasnya! Jikalau kau dapat menagih jiwa, kau tagihlah!
Thio Tan Hong, apakah sekarang juga kita bertanding?"
Thio Tan Hong menunjuki
sikapnya yang keren dan agung. Ketika iamemberikan jawabannya, ia berlaku
sabar.
"Dulu hari di waktu
bertempur Di kuil Hianbiauw Koan di Seesan, aku tidak mau menang sendiri
daripada kau," sahutnya. "Sekarang begitu juga, tetap aku tidak mau
menang sendiri. Dulu hari itu kau habis menempur hebat Hek Pek Moko, aku
berikan kau pil Siauwhoan Tan untuk kau dapat memulihkan tenagamu. Sekarang pun
kau baru saja melayani ketiga toasintjeng, maka seperti dulu hari itu. suka aku
memberikan sebuah pil lagi, habis makan itu, kau boleh beristirahat secukupnya.
Dengan begitu, setelah menempur aku, andaikata kau mati, kau tidak akan
menyesal dan penasaran!"
Habis berkata, Tan Hong
mengeluarkan peles obat, akan mengambil sebutir obat, sambil disentil dengan
kedua tangannya, ia meluncurkan itu kepada Pak Beng.
Kiauw Pak Beng sekarang
bukannya Kiauw Pak Beng dulu hari itu. Benar dia habis menempur ketiga pendeta
dari Siauwlim Sie tetapi tenaganya yang dia pakai cuma kira-kira tiga bagian,
hingga .itu taklah berarti banyak untuknya. Sebenarnya tak ingin ia menerima
pil itu, tetapi ia mendengar kata-kata terakhir dari Tan Hong, supaya ia mati
"tak menyesal dan penasaran," hatinya menjadi panas, la merasa
kata-kata itu benar. Maka tanpa merasa ia menyambuti obat Siauwhoan Tan itu.
Ia lantas mendengar pula
perkataannya Thio Tan Hong, yang melanjuti bicara dengan setiap kata-katanya
terdengar jelas sekali.
"Dulu hari itu kejahatan
kau masih belum terlihat tegas," kata orang she Thio itu, "maka suka
aku memberi ketika padamu untuk kau mengubah perbuatanmu yang keliru, untuk kau
memperbaiki diri. tetapi sekarang —— kali ini kita bertempur, aku tidak akan
menaruh belas kasihan lagi! Itu artinya, jikalau bukan kau yang mati, tentulah
aku!"
Mukanya jago tua itu menjadi
pucat, tapi hanya sebentar, segera dia tertawa bergelak-gelak.
"Aku si orang she Kiauw
berani muncul pula di muka umum," ia kata, keras, "dan aku berani
menempurpula padamu, sudah pasti aku telah mengambil keputusan untuk kita
bertempur hingga kau hidup atau aku terbinasa! Maka kata-katamu itu tak usahlah
kau sebutkan! Kau telah melepas budi besar padaku dengan kau memberikan obatmu
yang mustajab, untuk itu tidak berani aku menghaturkan terima kasihku. Sebentar
aku si orang she Kiauw pasti akan melawan kau dengan aku akan mengeluarkan
semua tenaga dan kepandaianku, pasti aku tidak bakal membuat kau hilang harapan
dan kecewa! Haha, Thio Tan Hong, kau hebat sekali, pantas orang menyebutmu
sebagai tayhiap, seorang pendekar. Sebentar tak perduli aku terbinasa di
tanganmu atau kau terbinasa di tanganku, terangnya aku telah mengagumimu!"
Benar-benar Kiauw Pak Beng
kagum terhadap lawannya itu. Habis berkata itu, dihadapan orang banyak itu,
yang mengawasi tajam padanya, ia lantas telan obat Siauwhoan Tan dari Tan Hong.
Tatkala itu semua orang sudah
berkumpul, tak terkecuali ketiga toasintjeng, pendeta-pendeta dari Siauwlim
Sie, yang sudah pulih kesehatannya. Mereka menemui Tan Hong sambil mendahului
berkata: "Kami malu sekali..."
Tan Hong sebaliknya lantas
bilang: "Aku telah datang terlambat satu tindak, hampir aku membikin gagal
urusan besar, aku pun telah membikin capai kepada sintjeng bertiga, aku
menyesal sekali. Sintjeng bicara tentang malu, aku terlebih-lebih malu lagi.
Baiklah sintjeng ketahui, hantu ini sudah berhasil meyakinkan Sioelo Imsat Kang
tingkat ke sembilan, sintjeng dapat melayani mereka dengan tidak kurang suatu
apa, itu tandanya tenaga dalam sintjeng sangat mengagumi, kamu membuatnya aku
tunduk!"
Tan Hong tidak bicara
merendah. Sehabisnya menolongi Koet Kioe Gie, In Bwee Kok dan Liap Tjeng Tong
bertiga, benar-benar ia telah mengurbankan tenaga dalamnya tidak sedikit,
karena itu insaflah ia hebatnya Sioelo Imsat Kang tingkat sembilan dari Kiauw
Pak Beng itu.
Thio Tan Hong berlaku jujur
dan sebagai laki-laki sejati ketika ia membagi obat mujarab kepada Kiauw Pak
Beng. Pula perbuatan itu ada baiknya untuknya. Ia membutuhkan waktu sebanyak
bisa untuk ia diam-diam menyalurkan tenaga dalamnya, guna dikumpul pula, guna
membikin ia segar seperti sediakala.
Ketika itu orang-orang gagah
yang hendak menghadiri rapat telah tiba. Tadinya mereka berjalan bersama Thio
Tan Hong, tetapi sebab Tan Hong dan Han Tiat Tjiauw mendengar suara
pertempuran, dua orang ini lantas mendahului, untuk melihat, dengan begitu
mereka jadi ketinggalan.
Kiauw Pak Beng girang
sehabisnya ia makan pil Siauwhoan Tan pemberian Tan Hong. Ia merasa sangat
nyaman. Jalan darahnya tersalur baik sekali, pernapasannya menjadi lega. Maka
ia menduga, untuk menjadi segar seperti sediakala cukup asal ia dapat beristirahat
setengah jam. Karena ini ia lantas berpikir sambil matanya menyapu ke seluruh
arah.
"Thio Tayhiap telah
mengundang begini banyak orang pandai, sungguh kedatangan mereka menambah bukan
sedikit kegembiraan untuk pertemuan ini," katanya kemudian. "Aku si orang
tua juga mempunyai beberapa sahabat Rimba Persilatan, dengan pertempuran kita
ditunda untuk sementara waktu, aku pikir mengecewakan buat membiarkan mereka
duduk menantikan saja, pasti mereka menjadi iseng sekali. Oleh karena itu,
menurut aku, bukankah tidak ada halangannya untuk mereka itu memilih sendiri
tandingannya guna bertempur terlebih dulu? Bagaimana pikiran tayhiap?"
"Benar," Tan Hong
menjawab. "Jikalau sahabat-sahabat Kiauw Loosianseng sudi main-main secara
sahabat, guna melatih diri, tidak ada halangannya apa juga."
Baharu berhenti suaranya Tan
Hong itu maka dari sampingnya Pak Beng muncul seorang dengan tubuh kate dampak,
terus saja dia berkata nyaring: "Sudah lama aku mengagumi julukan Nona Ie
sebagai Sanhoa Liehiap, sekarang aku si orang she Tjoei yang bodoh, suka aku
minta Nona Ie mengadu senjata rahasia!"
Dialah Tjoei Poo San, orang
yang tadi di lereng gunung menggunai pahat terbang melakukan pembokongan.
Diam-diam Kiauw Pak Beng
girang sekali. Orang she Tjoei itu saudara angkat dari Le Kong Thian. Dia sudah
lama mengandung keinginan buat mengangkat ia menjadi guru. Dia tahu ia membenci
Ie Sin Tjoe sebab Nona Ie dituduh sudah membunuh Kiauw Siauw Siauw. maka dia
memikir menggunai ketika baik ini membinasakan Nyonya Yap Seng Lim itu. Dia
sudah pikir baik-baik, setelah dia membinasakan Sin Tjoe, dia akan mengajukan
permintaannya itu. Dia akan minta tunjangannya Kong Thian. Dia menduga pasti ia
tidak bakal menampik. Ia dapat membade hati orang, dari itu ia mengawasi dengan
sinar matanya yang menganjuri aksi orang itu.
Thio Tan Hong tidak
berkeberatan muridnya ditantang, akan tetapi ia kuatir muridnya tidak kenal
siapa penantang itu, maka ia berkata: "Sin Tjoe, kau tahu. di jaman ini.
di kolong langit, ada dua ahli senjata rahasia yang paling kenamaan! Yang satu
yaitu Keluarga Tong di kecamatan Bankoan di propinsi Soetjoan. yang lainnya
Keluarga Tjio di Pooteng. Hoopak. Dan ini Tjoei Boesoe adalah muridnya
Tjhoengtjoe Tjio Sam Tay dari dusun Tjio Keetjhoeng dari Pooteng itu. Sekarang
baik-baiklah kau mohon pengajaran dari Tjoei Boesoe!"
Sin Tjoe tertawa. "Dengan
kepandaiannya Tjoei Boesoe, aku pernah belajar kenal satu atau dua kali!"
katanya, "karena itu tak usahlah soehoe memesan, muridmu tahu bagaimana
harus menemani dia main-main."
Tjoei Poo San mendengar
pembicaraan di antara itu guru dan muridnya, ia menjadi tidak senang. Ia
mendapat kesan orang sangat tidak memandang mata terhadapnya.
"Sebentar kau tahu
rasa!" katanya dalam hati.
Kedua pihak sudah lantas
berdiri berhadapan sejarak tiga tombak satu dengan lain.
"Silahkan, Ie
Liehiap!" kata Poo San hormat.
"Tuan rumah tak
mendahului tetamu, silahkan kau yang mulai, Tjoei Boesoe." sahut Sin Tjoe.
Tjoei Poo San tidak berlaku
sungkan, baru si nona menyahutnya "Silahkan," ia sudah lantas
menyerang. Sebatang pusutnya sudah lantas terbang menyamber. Ia telah tidak
menghiraukan bahwa perbuatannya ini dapat merendahkan dirinya sebagai seorang
kenamaan.
Biar bagaimana, itulah satu
cara membokong. Sedang serangannya itu pun telah dipikir matang dan dengan
inceran.
Sin Tjoe tidak menjadi kaget
karena dibokong dengan cara itu. Ia bahkan tertawa. Sebuah kimhoa, bunga
emasnya, sudah lantas terbang, menyambuti senjata rahasia musuh. Hingga kedua
senjata bentrok di tengah jalan, keduanya lantas jatuh ke tanah, hanya bunga
emas masih melesat ke samping, hinggajatuhnya jadi belakangan.
Kimhoa merupakan senjata
terlebih kecil dan terlebih enteng, tenaganya Tjoei Poo San juga terlebih besar
daripada tenaganya si nyonya muda, akan tetapi kedua senjata bentrok dengan
kesudahan si kecil yang menang, kejadian itu dapat dilihat oleh orang-orang
gagah kedua pihak, mereka lantas mendapat tahu Sin Tjoe menggunai tipu silat
"meminjam tenaga untuk memukul tenaga." Maka itu lantas orang
bersorak memuji.
Air mukanya Poo San tak
berubah, ia pun turut memuji: "Bagus!" Di dalam hati, ia sebenarnya
terkejut dan mendongkol. Sudah kepalang tanggung, ia menyerang pula tanpa mau
memberi ketika pada lawannya. Ia menyerang beruntun dengan tiga potong senjata
rahasianya, masing-masing mengarah jalan darah yangpek di alis. lenghoe di
dada, dan kiauwim di iga. Serangan pun terlebih hebat daripada yang pertama
Sin Tjoe melihat serangan itu,
ia menimpuk dengan enam biji bunga emasnya. Setiap dua buah Kimhoa dipakai
menyambut sebatang senjata lawannya Kali ini ia mengambil sikap tak meruntuhkan
senjata lawannya itu, ia cuma menyambutnya membikin ketiga senjata itu nyasar
dari sasarannya. Ia tahu, lawan tentu menggunai tenaga luar biasa besar.
"Benarlah nama kesohor
dari Sanhoa Liehiap!" Tjoei Poo San berseru memuji. "Nah, sambutlah
lagi sekali!"
Kata-kata itu dibarengi dengan
ulapan tangan, setiap tangan menerbangkan tiga batang, akan tetapi di waktu
menyerang, masing-masing ke atas, ke tengah dan ke bawah, dari itu, Sin Tjoe
diserang dengan masing-masing sepasang pusut. Pula setiap sepasang pusut
terpecah ke kiri dan kanan, hingga ia menjadi terkurung.
Membela diri dari serangan
sangat berbahaya itu, Sin Tjoe menangkis sambi! tubuhnya berlompat tinggi,
dalam gerakan "Cecapung terbang menowel air" atau "Kupu-kupu
menembusi bunga." Ia dapat membebaskan diri, sedang senjata musuh menghantam
tanah, hingga debunya mengepul, hingga pakaiannya kena terkotorkan. Para
penonton kaget dan kagum. Tjoei Poo San tertawa menyeringai, sebelum Sin Tjoe
menaruh kakinya di tanah, dia sudah menyerang pula sambil menyerukan:
"Bagus! Sambutlah pula!" Kali ini tangannya terulapkan dengan
meluncurkan sebuah barang bundar sebesar kepalan, menyambernya pun menerbitkan
suara "swing!" Sasarannya adalah kepala lawannya Akan tetapi, sebelum
mengenai sasarannya, tepat di atasan kepalanya Nyonya Yap. senjata itu lantas
meledak sendirinya hingga meletiklah banyak lelatu seperti kembang api!
Jadinya senjata rahasia itu
senjata yang dicampuri barang meledak seperti peluru.
Sin Tjoe terkejut, dengan
sebat ia lompat melesat ke kanannya. Untuk ini ia memiliki kepandaian ringan
tubuh yang sempurna.
Tjoei Poo San sudah menduga
orang bakal menyingkir ke arah mana, tepat si nona lompat ke samping itu, ia
menimpuk pula. Sekarang ia menggunai Bweehoa tjiam, jarum "Bunga
Bwee," yang halus seperti bulu kerbau. Hingga sulitlah senjata halus itu ditangkisnya
Menampak demikian, Sin Tjoe
lantas menyerang dengan kedua tangannya. Ia menggunai tenaga dalamnya, yang pun
sudah mahir. Ia bukannya menangkis, hanya membarengi menyerang, untuk
mempunahkannya. Maka itu. belum lagi jarum-jarum itu mengenai tubuhnya,
semuanya telah kena tersampok balik, semua jatuh ke tanah.
Di saat si nyonya menyerang
jarumnya itu. hingga orang pun tak nanti sempat menggunai bunga emasnya,
kembali Tjoei Poo San sudah mendahului menyerang terlebih jauh. Dia telah
menggunai dua-dua tangannya, yang diulapkan berbareng. Bahkan kali ini ia
menggunai senjata rahasia paling istimewa dari Keluarga Tjio. yaitu dua belas
batang Tokliong Tjoei, pusut Naga Beracun, sebab semuanya senjata rahasia itu
telah dicelup dalam bisa!
Itulah bukan lagi pertandingan
senjata rahasia untuk mengadu kepandaian, itulah sama dengan percobaan merampas
jiwa, untuk membunuh. Melihat demikian maka beberapa penonton yang keras
tabiatnya lantas mengasi dengar cacian mereka
Dalam pada itu, diserang
secara demikian telengas, Ie Sin Tjoe tidak berdiam saja. Ia berlompat untuk
melindungi dirinya, tubuhnya terapung. Orang terkejut melihat dia seperti
menghampirkan tiga buah pusut yang membawa bahaya maut itu. Hanya ia bukan
memasang dirinya sebagai sasaran, ia justeru berjumpalitan, hingga senjata
rahasia lewat di tempat yang kosong. Itulah suatu tipu dari
"Tjoanhoadjiauwsie," ilmu "Menembusi Bunga Memutari Pohon."
Ia juga bukan cuma main lompat jumpalitan, sembari berjumpalit itu, tangannya
menghunus pedangnya, maka dengan pedang itu ia sekalian menyampok pusut
lainnya. Ia menyampok dengan pukulan "Tianghong Kengthian," atau
"Bianglala Melintang! Langit," sinar pedangnya berwarna hijau. Maka
terdengarlah berulangkali suara nyaring, tandanya pelbagai pusut kena dirabuh
runtuh pedang itu. sedang enam yang lainnya lewat tanpa hasil.
Lantas si nyonya berseru:
"Jikalau ada kunjungan tak dibalas, itu namanya kurang hormat! Kau juga
sambutlah bunga emasku!" Belum lagi ia turun ke bawah, sebelah tangannya
sudah terayun. Itulah timpukan "Thianlie Sanhoa," atau "Bidadari
menyebar bunga." Tidak kepalang tanggung, ia menyebar sama sekali dua
puluh empat buah kimhoa!
Pusutnya Tjoei Poo San,
semuanya berjumlah dua puluh empat potong. Pertama kali ia menyerang, ia
menggunai satu biji, kedua kalinya tiga biji, ketiga kalinya enam biji, lalu ke
empat kalinya dua belas biji, jumlah sudah dua puluh dua, maka itu ia masih
menyimpan sisanya dua potong. Tentu sekali dengan sisa dua potong itu ia tidak
dapat menangkis dua puluh empat kimhoa si nyonya, maka terpaksa ia menggunai
lain macam senjata rahasia ialah tiat poutee atau biji boddhi dari besi. Kali
ini ia cuma mengharap dapat meruntuhkan semua senjata rahasia lawannya, sebab
tak ada kesempatannya guna menyerang pula.
Kelihatannya kimhoa Sin Tjoe
kacau tetapi sebenarnya serangan itu ada sasarannya. Maka juga, ketika kimhoa
kena dihajar tiat poutee, selagi biji boddhi besi itu terus jatuh, kimhoa
mental nyamping menyamber terus!
Tjoei Poo San kaget bukan
main. Untuk menolong diri, lupalah ia bahwa ialah seorang yang berkenamaan.
Tadi pun ia melupakan nama baiknya ketika pertama kali ia menyerang separuh
membokong. Ia tidak mau menangkis lagi dengan senjata rahasianya, hanya ia
menjatuhkan diri untuk terus bergulingan di tanah. Tak malu ia dengan
keadaannya yang menyedihkan itu. Walaupun demikian, meski juga ia sangat gesit,
ia masih tidak dapat membebaskan diri seluruhnya. Ia mengeluarkan jeritan yang
menyayatkan hati ketika tujuh buah kimhoa nancap di tubuhnya, hingga tubuhnya
tak dapat bergulingan terlebih jauh, sebaliknya ia mesti berkoseran!
Kimhoa-nya Sin Tjoe mengenai
otot-otot di tangan dan kaki, putuslah semua otot yang menjadi kurban itu,
benar Poo San tidak sampai terbang nyawanya, tetapi lukanya itu tak dapat
ditolong lagi, yaitu otot-ototnya tidak bisa disambung pula maka selanjutnya
habislah ilmu kepandaiannya
Thio Tan Hong mengurut-urut
kumisnya. Ia bersenyum. Ia kata dalam hatinya: "Sin Tjoe bertindak rada
telengas, tetapi tak apalah, karena jahanam she Tjoei ini telah memulainya,
sedang juga, sebagai muridnya guru silat kenamaan -- dan dia sendiri
berkenamaan juga —— dia sudah membantu orang jahat, jadi dia pantas menerima
ganjarannya ini!"
Tan Hong girang karena ia
mendapat kenyataan kepandaian muridnya ini telah melebihkan isterinya —— In
Loei —— dulu hari itu.
Le Kong Thian sudah lantas
lari ke tengah gelanggang, guna mengangkat pergi saudara angkatnya itu, guna
ditolongi.
Kiauw Pak Beng kaget dan
gusar. Hebat kesudahannya pertandingan itu. Ia. tengah memulihkan kesegarannya,
hampir ia tersesat saking kaget dan murkanya itu. Syukur ia lekas dapat
menenteramkan diri. Ia pun pikir: "Sekarang ini yang paling penting ialah
merobohkan Thio Tan Hong! Buat apa aku perdulikan Tjoei Poo San hidup atau
mati?" Maka ia berdiam terus.
Justeru itu, Tek Seng
Siangdjin mengajukan diri.
"Pada sepuluh tahun
dulu." katanya nyaring, "aku pernah menerima pengajarannya kedua
tayhiap Thio dan In, dan selama sepuluh tahun itu, tak pernah aku melupakan
budi besar itu, maka sekarang, ingin aku membalas budi. Oleh karena Thio
Tayhiap sudah berjanji dengan Kiauw Loosianseng, baiklah, sekarang aku ingin
minta menambah pelajaran dari In Tayhiap, sedikitnya untuk beberapa
jurus!"
Ketika sepuluh tahun dulu Tan
Hong dan In Tiong mengacau di dalam istana, In Tiong telah membinasakan
Tokliong Tjoentjia, sahabatnya Tek Seng Siangdjin. dan Tek Seng sendiri
bertempur seri dengannya, maka juga sekarang orang suci ini berani mengajukan
tantangan. Selama sepuluh tahun ia telah berlatih keras, ia percaya ia sudah memperoleh
kemajuan. Jadi sekarang tepat waktunya untuk ia mencari balas sekalian
membalaskan juga sakit hati sahabatnya itu.
In Tiong tertawa mendengar
tantangan orang.
"Aku pun mengandung
serupa maksud!" katanya. "Dulu hari itu belum terdapat kepastian
siapa kalah, maka hari ini mesti ada hasil kesudahannya! Siangdjin, silahkan
kau maju!"
"Terima kasih!"
mengucap Tek Seng sambil segera ia menyerang dengan "Tek Seng Tjioe,"
pukulan "Memetik Bintang." Ia bergerak sangat cepat dan jitu
incarannya. Selagi menyerang itu, ia membuka lima jari tangannya, guna dipakai
menjambak. Jikalau ia berhasil, ia akan melukai musuh hingga ludaslah tenaga
melawan dari musuhnya itu.
"Bagus!" In Tiong
berseru kapan ia melihat cara menyerangnya si orang suci. Ia bukannya berkelit
atau menangkis, ia justeru meluncurkan tangannya untuk menghajar. Ialah
menyambuti serangan dengan terjangan!
Tek Seng terperanjat. Ia
melihat orang bergerak lambat, akan tetapi kesudahannya, ia merasai penolakan
keras. Dengan lekas ia menarik pulang tangannya, dengan sebat ia berkelit. Tapi
ia gagal. Tangannya In Tiong mampir pada pundaknya, hingga ia merasakan sakit
sampai di ulu hatinya!
Selama sepuluh tahun itu, In
Tiong ada bersama Thio Tan Hong, maka itu latihannya maju secara luar biasa.
Itu artinya, ia punya ilmu Taylek Kimkong Tjioe telah memperoleh tambahan
tenaga dalam yang lurus dari Tan Hong, hingga sekarang ini ia tak usah kalah
dari ketiga toasintjeng, ketiga pendeta dari Siauwlim Sie itu.
Tek Seng menyangka, setelah
digempur Kiauw Pak Beng. tenaganya In Tiong pasti berkurang, atau orang terluka
hawa dingin Sioelo Imsat Kang, siapa tahu, dugaannya itu meleset.
Memang benar, tenaga In Tiong
berkurang dua bagian tetapi sisanya masih cukup untuk menandingi si orang suci.
In Tiong tidak berhenti dengan
serangan yang pertama itu, lalu ia mengulangi buat kedua kalinya, bahkan kali
ini dengan tenaga yang diperlipat besarnya.
Para hadirin telah melihat
tegas, dalam halnya tenaga dalam, In Tiong lebih unggul daripada Tek Seng
Siangdjin, maka itu menyaksikan serangan ulangan itu, mereka menduga si orang
suci tak bakal lolos dari tangannya orang she In itu. Melainkan Tan Hong,
menampak cara menyerangnya ipar itu, ia menggoyang-goyang kepala.
Segera juga orang mendengar
satu suara nyaring. Lantas terlihat tubuh Tek Seng terpental hingga setombak
lebih. Sebaliknya In Tiong, dia terhuyung dua tindak.
Hebat In Tiong. Ia berseru,
tubuhnya teras berlompat. Ia hendak mengulangi lebih jauh serangannya. Ia
seperti tak sudi mengasi hati kepada lawannya.
Dari antara para penonton,
tujuh sampai delapan bagian tak ada yang melihat jelas apa yang terjadi. Mereka
itu menyangka Tek Seng telah terhaj ar hehat. Tapi yang dua bagian, orang-orang
yang terpandai, melihat tegas justeru In Tiong yang terkena tangannya si orang
pertapaan. Maka juga mereka ini menjadi heran dan di pihak In Tiong, orang
terkejut.
Thio Tan Hong pun melihatnya,
tetapi dia aneh, kalau tadi dia menggeleng kepala menampak In Tiong mendesak,
sekarang dia bersenyum. Sama-sama toh ln Tiong yang menerjang pula.
Thio Giok Houw mendampingi
gurunya itu. ia heran akan sikapnya sang guru. Tapi ia mengerti baik sekal i,
tak nanti tak ada sebabnya kenapa guru itu bergirang. Ia tidak berani
mengajukan pertanyaan kepada gurunya, hanya di dalam hati, ia pun girang. Ia
percaya In Tiong bakal mendapat kemenangan.
Sebenarnya, dalam sepuluh
tahun ini, Tek Seng Siangdjin telah memperoleh kemajuan berarti. Dia mengambil
pokok cepat, telengas dan banyak perubahan. Maka mengenai keringanan tubuh,
atau kegesitan, dia menang daripada In Tiong. Demikian hasilnya barusan
disebabkan di saat sangat genting itu ia menunjuki kesehatannya. Dia yang
diterjang tetapi dia yang beruntung dapat menghajar penyerangnya. Itulah
terjadi saking gesitnya iarrfenggeraki tubuhnya guna mementahkan diri.
Hanya karena In Tiong menang
tenaga dalam, kedudukannya jauh terlebih kokoh kuat. In Tiong kena terhajar
sebelah tangan musuh, dia tergempur, tubuhnya terhuyung. Tidak demikian dengan
Tek Seng, meski dia yang berhasil, diajugayang terpental jauh. bahkan telapakan
tangannya terasakan sangat sakit. Karena itu, ln Tiong penasaran, tak mau ia
mensia-siakan tempo, lantas ia menerjang pula
Setelah dua gebrakan itu. Tek
Seng Siangdjin mengerti baik sekali bahwa dia kalah tenaga dalam. Itu berarti
tak cocoklah dugaannya bahwa dengan pukulan Siauw Lioktjhee, atau Enam Bintang
Kecil, dapat ia menggempur pembelaan diri In Tiong. Oleh karena ini, ia menjadi
jeri sendirinya. Tapi ia pun insaf bahwa ia sudah menunggang harimau, tak dapat
ia turun dengan begitu saja. Terpaksa ia mesti menggunai segala kebisaannya
guna melayani terus pada musuh yaug ia tantang itu.
In Tiong terhajar lawan, ia
menerjang pula. Berhubung dengan terhajar itu, ia menggunai pikirannya. Ia kata
dalam hati kecilnya: "Ketika soehoe mengajari aku Kimkong Tjiang, ia
pernah membilangi bahwa ilmu silat itu keras sekali, di waktu dipakai
bertempur, dapat terjadi karena sangat ingin menyerang musuh, pembelaan diri
jadi teralpakan. Itulah satu cacat. Tan Hong juga sering menunjuki aku kelemahan
ini. Aku selalu ingat pengajaran soehoe dan Tan Hong tetapi aneh di waktu
bertanding, kenapa aku melupakannya?"
Oleh karena keinsyafan ini, In
Tiong lantas menukar siasat. Ia maju tapi tak lupa ia pada pembelaan diri.
Demikianlah, hebat serangannya tapi rapat tubuhnya terlindung.
Tek Seng Siangdjin membebaskan
diri dari terjangan barusan, habis itu, ia melakukan penyerangan membalas.
Sekarang ia menghadapi kesukaran. Tidak ada lagi lowongan seperti tadi hingga
walaupun ia diserang, ialah yang berhasil meninju musuh. Sekarang ia seperti
digabruki pintu, sia-sia belaka ia mencoba mendesak.
Di dalam waktu yang singkat,
lima puluh jurus sudah lewat. Segera setelah banyak jurus, hati Tek Seng
menjadi semakin kecil. Tenaganya seperti menentang hatinya. Tak dapat ia
bergerak sebal seperti kehendaknya. Peluhnya lantas mengucur keluar umpama kata
turunnya hujan deras...
"Jikalau begini
terus-terusan, aku dapat mati letih..." pikirnya, bingung. Maka ia
menggigit giginya atas dan bawah, ia menjadi nekad. Dengan berani ia mendesak.
In Tiong melihat desakan
lawan, ia menyambut. Dengan tangan kiri ia membabat ke pinggang, dengan tangan
kanan dari atas ia membacok ke bawah. Itulah pukulan Taylek Kimkong Tjiang yang
liehay.
Tek Seng Siangdjin melawan
juga. Ia menyambut dengan totokan jari tangan kanan, sedang dengan tangan kiri
ia pun membabat, menghajar sikut lawannya itu.
Oleh karena kedua pihak
sama-sama menggunai tenaganya, tangan mereka beradu keras. Akibatnya itu ialah
Tek Seng Siangdjin roboh terguling ke tanah, sedang In Tiong berdiri diam
dengan muka pucat dan peluhnya menetes dalam titik-titik sebesar kacang kedele.
Orang keduapihak kaget,
beberapa di antaranya lompat ke dalam gelanggang, untuk menolongi jago
masing-masing.
Tek Seng Siangdjin menyerang
dengan dua tipu silatnya. "Tjoanin Tjie" atau jari tangan
"Menembusi Mega," dan "Tek Seng Tjioe," atau tangan
"Memetik Bintang." Itulah dua rupa tipu silatnya yang ia harapkan
akan membawa kemenangan untuknya. Kalau ia berhasil, In Tiong dapat dibikin
putus otot-ototnya dan dibetot tulang selangkanya.
Jikalau hal terjadi sebelum In
Tiong insaf dan tak menjaga diri, mungkin si orang pertapaan berhasil. Sayang
waktunya tak tepat lagi. lawannya sudah menukar siasat.
In Tiong melihat musuh
merangsak, ia menduga musuh mesti mengandalkan sesuatu. Ia tidak mau membarengi
menyerang, ia juga tidak mau lantas menangkis. Ia hanya menunggu waktu. Begitu
totokan tiba, ia menyambut dengan cengkeraman. Tenaga jeriji tangannya memang
kuat bagaikan baja. Tek Seng merasakan jepitan sepuluh jari tangan, habislah
tenaganya saking sakitnya, seketika juga dia roboh pingsan. Tapi In Tiong pun
tak bebas seluruhnya. Nadinya kena tersentil juga, benar ototnya tidak putus
tetapi ia terluka dan sakitnya bukan kepalang. Maka lekas-lekas ia menelan
sebutir pil Siauwhoan Tan, hingga dengan perlahan-lahan ia mendapat pulang
kesegarannya.
Kiauw Pak Beng terkejut dan
mendongkol melihat orangnya kembali kena dikalahkan. Ia tidak berani mengumbar
kemarahannya, dari itu. ia mengerutkan alisnya. Ia lantas memikir untuk minta
Koan Sin Liong yang turun tangan. Belum sempat ia membuka mulut, atau ia
melihat pada pihak lawan ada seorang yang bertindak maju. Ia batalkan niatnya.
Ia pun lantas mendengar suara orang pihak sana itu: "Han Tiat Tjiauw dari
Binsan Pay ingin minta pengajaran dari Tiatleng Samsinkoen!"
Tiatleng Samsinkoen itu ialah
tiga Sinkoen, atau Malaikat, dari gunung Tiatleng. Mereka bukan lain daripada
tiga saudara kandung yang telah menjagoi di Kwangwa di tapal batas, dengan pusat
kedudukannya di gunung Tiatleng, Gunung Besi, di tepi sungai Bouwtan Kang.
Untuk Kwangwa, belum pernah ada tandingan untuk mereka karenanya mereka menjadi
kepala besar, mereka menjuluki diri sendiri. Malaikat, singkatnya Tiga
Malaikat.
Malaikat yang tertua memakai
gelaran Tinthian Sinkoen, Malaikat Penunggu Langit. Yang kedua yaitu Hoenthian
Sinkoen, Malaikat Pengacau Langit. Dan yang ketiga si bungsu, ialah Kengthian
Sinkoen, Malaikat Mengagetkan Langit.
Kira belasan tahun yang lalu.
Tinwan Piauwkiok dari Pakkhia, kota raja. telah mengantar dan melindungi piauw
untuk Kwangwa. Itulah pengangkutan yang pertama kali. Di luar dugaan, piauw
itu, yang berharga sejuta tahil perak, dirampas ketiga Malaikat. Kesudahannya
itu, Tinwan Piauwkiok rudin dan mesti ditutup, sedang pemiliknya, atau piauwsoe
kepala, In Bok Ya namanya, terluka parah, sepulangnya ia ke kota raja, karena
luka atau sakitnya itu, tak lama ia meninggal dunia.
In Bok Ya itu sahabatnya Han
Tiat Tjiauw, benar ia tidak meninggal pesan untuk Tiat Tjiauw menuntut balas
untuknya, tetapi sebagai sahabat, orang she Han ini telah memikir untuk
membikin pembalasan. Sekian banyak tahun dilewatkan Tiat Tjiauw, ia belum juga
dapat kesempatan mewujudkan niatnya itu. Sebab yang terutama dari kelambatan
ini, kesatu karena letaknya Kwangwa yang jauh, dan kedua, tak lama Tiat Tj iauw
diangkat menjadi ketua Binsan Pay, partainya itu, hingga tak ada waktunya yang
luang untuk pergi ke Bouwtan Kang. Kali ini Tiat Tjiauw dapat datang juga
karena ia mendapat kabar dari pihak Kaypang, partai Pengemis, bahwa di antara
orang-orang undangannya Kiauw Pak Beng ada Tiatleng Samsinkoen. Warta itu
disampaikan Pit Keng Thian, yang mengutus pesuruh istimewa. Kebetulan sekali
Thio Tan Hong datang mengundang, tidak ayal lagi, Tiat Tjiauw menerima baik
undangan itu.
Tiatleng Samsinkoen tidak
kenal Han Tiat Tjiauw, karena itu, mereka pun tidak ingat urusannya In Bok Ya.
Mereka minta keterangan pada Le Kong Thian, si manusia raksasa.
"Dialah ketua dari Binsan
Pay," Kong Thian menerangkan, "dia yang orang gelarkan Sinkoen Boetek
Han Tiat Tjiauw. Harap saja sinkoen bertiga berhati-hati."
"Hm!" Tin Thian
Sinkoen mengejek, la kata dalam hatinya: "Apa itu Sinkoen Boetek? Bukankah
tadi dia tak sanggup menyambut satu hajaran saja dari Kiauw Pak Beng? Dasar
ahli-ahli silat dari Tionggoan doyan ngepul!"
"Sinkoen Boetek"
berarti "Malaikat Tanpa Lawan." Julukan Sinkoen itu menjadi bentrok
dengan julukan ketiga Malaikat itu.
"Kalau begitu orang she
Han ini ialah seorang yang berkenamaan kosong!" berkata Hoenthian Sinkoen,
memandang enteng. "Hahaha! Kiranya dia pun kenal nama kita Tiatleng
Samsinkoen!"
Saudara yang tua turut
tertawa, juga yang bungsu. Jadi tiga-tiganya mereka memandang tak mala kepada
ketua Binsan Pay itu.
Tinthian Sinkoen lantas dongak
melenggak, bertiga bersama saudaranya ia maju ke tengah gelanggang, lantas
dengan jumawa ia tanya: "Orang she Han, apakah kau sendiri saja?"
"Benar!" sahut Tiat
Tjiauw. "Di sini ini, kecuali aku satu orang, siapa lagi yang kenal
kamu?"
Jawaban itu pun berupa
penghinaan halus.
Hoenthian Sinkoen tertawa
lebar.
"Jadinya kau datang
kemari karena kau mengagumi nama kami?" ia kata, mengejek. "Nah, kami
bertiga saudara berada di sini, sekarang kau bilang, siapa satu di antara kami
yang kau hendak minta tolong memberi pengajaran padamu? Baiklah kau ijinkan aku
memikir dan memilihnya untukmu! Toako kami bukanlah lawan kau, dari itu baiklah
kau main-main dengan aku saja!"
Hoenthian Sinkoen rada tolol,
dia menyangka orang kagum terhadap mereka bertiga.
Han Tiat Tjiauw bersenyum
ewah. Ia kata dingin: "Aku tidak mempunyai kesabaran untuk melayani kamu
satu demi satu, sudah tentu aku mengundang kamu bertiga maju berbareng!"
Ketiga Sinkoen terperanjat,
lantas yang tua menjadi gusar.
"Orang she Han, kau
sangat jumawa!" bentaknya.
Justeru itu terdengar suara
nyaring dari Kiauw Pak Beng: "Han Toatjiangboen seorang diri mau melayani
ketiga Sinkoen, inilah pertandingan yang paling tepat, maka kita semua pastilah
bakal dibuka mata kita!"
Kengthian Sinkoen, Malaikat
yang termuda, adalah orang yang paling berhati-hati di antara tiga saudara itu.
mendengar suaranya Kiauw Pak Beng, ia mengerti itulah pemberian ingat untuk
mereka agar mereka berhati-hati. Maka ia mau menduga.
mungkin benar Tiat Tjiauw liehay.
Karena ini ia lantas kata pada saudaranya: "Toako, karena Han Toaya ini
menantang kita bertiga, baiklah kita menerimanya, jangan kita berlaku kurang
hormat. Mari kita iringi segala kehendaknya!"
Tinthian Sinkoen juga
disadarkan kata-kata Kiauw Pak Beng, tetapi dia mementang kedua matanya dan
kata dengan nyaring: "Baiklah, orang she Han! Kaulah yang cari mampusmu
sendiri, jangan nanti kau sesalkan lain orang! -- Kau humuslah senjatamu!"
Han Tiat Tjiauw memperlihatkan
kedua tangannya yang kosong. Ia tertawa lebar.
"Selama beberapa puluh
tahun, belum pernah ada orang yang menyuruh aku si orang she Han menggunai
senjata!" katanya. "Kecuali sepasang kepalanku aku tidak mengerti
menggunai senjata apa juga!"
Tinthian Sinkoen menjadi
sangat gusar.
"Oh, tua bangka sangat
terkebur!" dia berteriak. "Baiklah, aku mau lihat kau benar Sinkoen
Boetek atau bukan!"
Dengan serentak, tiga saudara
itu menghunus senjatanya masing-masing. Si tua ialah sebatang pedang besi yang
berat, yang kedua golok yang tajam di dua mukanya, dan yang ketiga sepasang
ruyung kuningan.
Di antara tiga saudara itu,
Tinthian Sinkoen yang bertenaga paling besar, pedangnya itu berat empat puluh
tiga kati, maka itu begitu dihunus, terdengar suara menjeredetnya yang nyaring
dan terlihat sinarnya berkilauan.
"Pantas mereka
terjulukkan Sinkoen," pikir Tiat Tjiauw. "iidak aneh In Bok Ya roboh
ditangan mereka." Karena ini, ia mau berlaku waspada. Ketika ia diserang
Tinthian Sinkoen, lantas ia berkelit, sembari berkelit, kedua tangannya terbuka,
yang satu untuk mengimbangi diri. yang lain menyampok!
Hanya segebrak itu, Tinthian
Sinkoen terkejut. Pedangnya telah tersampok mental. Inilah ia tidak sangka.
Samberan angin tangannya lawan pun keras.
Hoenthian Sinkoen lantas
bekerja. Dia membacok dengan goloknya yang bermuka dua itu, dan bacokannya
ialah tipu silat "Menggempur gunung Hoasan."
Han Tiat Tjiauw berlompat ke
samping kiri lawannya itu begitu golok orang mengancam kepalanya, terus dengan
tangan kiri ia menyangga batang golok, sedang dengan tangan kanan ia meninju.
Begitu cepat ia turun tangan, maka menjeritlah lawannya itu, yang dua tulang
iganya kena dibikin patah!
Kengthian Sinkoen memutar
sepasang ruyungnya untuk merangsak, guna mencegah saudaranya kena didesak.
Karena ia maju dari kiri, Tinthian Sinkoen maju dari kanan, untuk menggencet.
Mau atau tidak. Tiat Tjiauw
membatalkan menyerang pula pada Hoenthian Sinkoen. Ia terus mendak seraya
mementang kedua tangannya dalam gerak "Menarik gendewa, memanah
garuda." Dengan begitu dapatlah ia menyampok senjatanya kedua musuh itu.
Hoenthian Sinkoen si sembrono
atau tolol itu berteriak: "Hai, kau hebat, ya! Nyata tenagamu lebih besar
daripada tenagaku! Baiklah, julukan Sinkoen Boetek itu aku serahkan kepada
kau!"
Di antara tiga saudara itu,
Hoenthian paling kuat, maka kalau ia berburu ke atas gunung, biasa ia menempur
biruang dengan tangan kosong, karena tubuhnya kebal, ia tak dapat dilukai cakar
binatang liar itu. Sekarang ia terlukakan Han Tiat Tjiauw ia kaget berbareng
kagum, saking jujurnya, ia suka mengaku kalah. Hanyalah, ia sungkan menyerah,
maka itu bertiga saudaranya, ia maju pula tanpa ia menghiraukan luka di iganya
itu.
Kali ini tiga saudara itu
dapat berkelahi dengan rapi. Dengan berani Hoenthian merangsak. Ia mengandalkan
tenaga kerbaunya. Tinthian menggunai pedangnya dengan sempurna, ia pun cerdik.
Dan Kengthian dengan ruyungnya mengimbangi kedua saudaranya itu.
Han Tiat Tjiauw gagah tetapi
tidak dapat ia membentur senjata tajam dengan tangan kosongnya, dalam
pertempuran dahsyat itu, sering ia terdesak, tetapi lain pihak, ada kalanya ia
merangsak hingga ketiga musuhnya mesti mundur dengan cepat.
Para penonton kagum sekali,
mereka sampai menonton dengan melongo.
Menghadapi musuh-musuh tangguh
itu. Han Tiat Tjiauw mesti menggunai kecerdikannya. Ketika ia berhasil, ia
membuatnya senjata mereka itu beradu keras dan nyaring sekali.
Dengan satu kebutan, Tiat
Tjiauw dapat melibat pedangnya Tinthian Sinkoen. Dengan sebat ia teruskan
menyamber lengan orang, untuk ditarik hingga pedang musuh bentrok dengan
ruyungnya Kengthian. Menang pedang itu, ruyung kena tertabas kutung. Selagi
begitu, ia berkelit lincah ke belakang Hoenthian, maka berhasillah ia mengirim
tinju ke punggung musuh itu.
Hoenthian Sinkoen kedot,
tetapi tak sanggup dia bertahan dari kepalan Sinkoen Boetek, kembali dia
menjerit, mulutnya terus memuntahkan darah hidup, sedang goloknya terlepas dari
cekalannya.
Baru itu waktu Han Tiat Tjiauw
berseru: "Apakah kamu masih ingat Piauwtauw In Bok Ya dari Tinwan
Piauwkiok? Ketika itu tangan kamu semua telah berlumuran darah! Tapi hari ini
aku tidak mau membunuh kamu, cukup asal kamu menggantinya dengan tiga pasang
tangan kamu!"
Kata-kata itu disusul dengan
gerakan yang sangat cepat, belum suaranya berhenti, tangannya sudah bergantian
mematahkan kedua lengannya Tinthian Sinkoen dan Kengthian Sinkoen, setelah mana
menyusul patahnya tangan kanan dari Hoenthian Sinkoen. Kepada si jujur ini ia
kata: "Mengingat kau seorang laki-laki, suka aku meninggalkan sebelah
lenganmu, supaya kau dapat mengurus kedua saudaramu ini!"
Tinthian dan Kengthian telah
roboh pingsan karena dipatahkannya tangan mereka, sedang Hoenthian selain
iganya patah dan muntah darag, dua buah giginya pun rontok hingga dia mesti
mengasi dengar suara dari kesakitannya!
Hebat kekalahan itu untuk
Kiauw Pak Beng. Le Kong Thian lantas menolongi ketiga Sinkoen itu.
Koan Sin Liong mengawasi Kiauw
Pak Beng.
"Tunggulah lagi sebakaran
sebatang hio..." kata jago tua itu perlahan. "Segera setelah tenagaku
pulih, aku akan bertindak. Sekarang kau layanilah mereka untuk satu
giliran..."
Terpaksa Koan Sin Liong
menebalkan kulit mukanya. Dia muncul. Dia menantang Hok Thian Touw dan Leng In
Hong suami isteri.
Ketika itu In Hong berdiri di
sisi Tan Hong.
"Apakah kau merasa
pasti?" tanya jago she Thio itu bersenyum.
"Jikalau aku melawan dia
bersama Thian Touw, belum tentu kami dapat dikalahkan," berkata si nyonya
muda. "hanya untuk merebut kemenangan, aku tidak merasa pasti..."
"Tadi aku telah
menyaksikan ilmu pedangmu, itulah bagus," kata Tan Hong. "Kau telah
menyampaikan puncak tertinggi. Untukmu sekarang tinggal memperhatikan gelagat
dan kecerdikanmu harus digunai!"
Habis berkata, Tan Hong
menunjuki pelbagai kelemahan orang yang tadi ia lihat seraya memberikan
petunjuknya, mendengar mana, In Hong gembira sekali hingga sepasang alisnya
bangun bergerak-gerak.
Koan Sin Liong mendapat lihat
orang berbicara itu, dia tertawa dingin dan berkata mengejek: "Apakah kamu
masih hendak belajar lagi tiga tahun baru kamu mau mengadu pedang pula denganku?"
"Jangan kesusu!"
berkata In Hong bersenyum. "Sebenarnya sudah bagus untukmu yang aku telah
berikan ketika untuk kau hidup lagi sekian lama!"
Habis berkata, berbareng
bersama suaminya, In Hong bertindak maju. Suami isteri yang tampan cantik dan
gagah ini jalan berendeng. Thian Touw maju begitu lekas isterinya meliriknya
habis si isteri bicara dengan Tan Hong.
Koan Sin Liong melihat orang
bersikap tenang, diam-diam hatinya gentarjuga.
Setelah berdiri di hadapan
lawan, In Hong tertawa dan berkata: "Kau ingin lekas-lekas pergi ke lain
dunia untuk menitis pula, kenapa kau tidak mau lantas maju menyerang?"
Sin Liong mendongkol bukan
main, ia menjadi gusar sekali.
"Hari ini jikalau bukan
kau yang mampus tentulah aku yang binasa!" dia berteriak, dan dia
menghunus pedangnya hingga bersuara nyaring, anginnya pun menyamber. Dengan
lantas dia menyerang Thian Touw.
Suaminya In Hong berlaku
sebat. Ia memang sudah siap sedia. Ia menangkis.
Koan Sin Liong menyerang
tetapi tak sudi ia mengadu senjata, begitu musuh menangkis begitu ia menarik
pulang pedangnya seraya tubuhnya berkisar dengan tindakan kaki "Iekiong
hoanwie," ialah "Menukar istana, mengganti kedudukan." Ia
bukannya menyingkir, hanya pedangnya terus ditikamkan ke arah isteri orang!
Bukan melainkan In Hong yang
dapat petunjuk dari Thio Tan Hong, juga Koan Sin Liong dari Kiauw Pak Beng. Pak
Beng pernah menempur suami isteri itu, ia kenal baik ilmu pedang bersatu padu
dari mereka itu, iamengisiki kawannya itu. Ia melihat, In Hong lebih telengas
daripada Thian Touw, sebaliknya Thian Touw terlebih pandai mengurung diri. Ia
melihat juga sifatnya suami isteri itu berlainan: In Hong lebih berani, Thian
Touw lebih tenang. Itu artinya, Thian Touw terlebih lambat, In Hong terlalu
gesit. Itulah sifat yang dapat mengganggu persatu paduan suami isteri itu.
Inilah sebab kenapa hati Sin
Liong menjadi lebih mantap. Ia telah mempunyai rencananya. Begitulah mula-mula
ia menyerang Thian Touw, lalu ia meninggalkannya selagi Thian Touw membalas
menyerang kepadanya, untuk ia meneruskan menyerang In Hong. Tapi In Hong pun
telah mempunyai rencananya. Petunjuk Tan Hong barusan berarti besar sekali
untuknya sekalipun petunjuk itu ringkas dan sambil lalu.
Sama sekali Nyonya Thian Touw
tidak kesusu atas datangnya serangan, ia menunggu sampai pedang lawan sudah
tiba, baru ia menangkis. Ia bersikap tenang tetapi gesit.
Justeru itu, Thian Touw telah
mengambil sikap menyerang, maka ketika isterinya berbalik menyerang juga,
bersatu padulah bekerjanya pedang-pedang mereka, cepat sekali mereka menyerang
berbareng; baru dua kali mereka mengulangi, Sin Liong sudah kelabakan. biarpun
dia berlaku gesit, tidak urung tangan baj unya kiri dan kanan telah kena
dicoblos ujung pedang sepasang suami isteri itu!
Bukan main kagetnya Sin Liong
lantaran hampir-hampir kedua pedang lawan menggores kulit dan dagingnya!
Dia lantas mengeluarkan
keringat dingin.
Mendapatkan hasil itu, Thian
Touw dan In Hong menjadi bersemangat, segera mereka menyerang pula, dalam
gerakan "Djieliong tjhiotjoe," atau "Dua ekor naga berebut
mutiara."
Koan Sin Liong boleh gagah
perkasa tetapi sesaat itu ia telah kena dilibat, tubuhnya terkurung sinar
pedang suami isteri itu. Syukur untuknya, ialah jago mayang berhati tabah dan
berpengalaman, untuk sementara itu tak dapat ia lantas kena dirobohkan. Dapat
ia bertahan dari rangsakan, dapat ia memecahkan setiap serangan, baik dengan
menangkis maupun dengan berkelit. Ia mengambil kedudukan "kioekiong
patkwa" atali garis delapan penjuru.
Thio Giok Houw gembira bukan
main menonton pertempuran itu, dengan sendirinya ia memperoleh banyak
kefaedahan. Maka berkatalah ia sambil tertawa pada Liong Kiam Hong di samping
siapa ia berdiri: "Ilmu pedang entjie In Hong telah merupakan satu cabang
sendiri, meski mungkin ia belum dapat mengalahkan suaminya tapi ia taklah ada
di sebelah bawah! Hm, aku ingin lihat apakah Thian Touw masih memandang tak
mata padanya! Ah, sayang, sayang!"
Ketika itu In Hong sedang
menyerang dengan tipu "Burung hitam menggaris pasir," ia sudah
menyontek ujung bajunya Koan Sin Liong, apamau Thian Touw lambat sedikit, maka
jago tua itu keburu membebaskan diri.
Thian Touw gagal sejurus itu
tetapi dia sangat cerdas, ia lantas menginsafinya. Ia pun memang terlebih
liehay daripada isteriny?. itu. Hanyalah, lantaran In Hong dapat petunjuknya
Tan Hong, kali ini ia ketinggalan. Karena cerdasnya, ia lantas mengadakan
perubahan, maka juga selang tiga puluh jurus, lantas ia dapat mengimbangi
isterinya itu.
Koan Sin Liong lantas terdesak
benar-benar, sia-sia belaka dia berpengalaman dan liehay, dia tidak sanggup
lagi melakukan penyerangan membalas, dia dipaksa mesti selamanya menjaga dan
membela dirinya.
Tan Hong menonton sambil
bersenyum. Ia mengurut kumisnya dan berkata pada Sin Tjoe, murid wanita yang
berada di dampingnya: "Di dalam negara kita bakal ada orang yang baru yang
akan muncul, demikian di kalangan sastera, demikian di kalangan ilmu silat!
Ilmu pedang ciptaan Thian Touw dan In Hong, apabila dibandingkan, dapat
diimbangi dengan syair-syairnya Lie Thay Pek dan Touw Hok! Kelak dikemudian
hari, ilmu silat mereka akan merupakan suatu cabang baru!"
Sin Tjoe mengangguk-angguk. Ia
cocok dengan pendapat gurunya itu. Hanya ketika ia ingin minta keterangan,
mendadak Kok Tiok
Koen datang pada mereka, untuk
melaporkan kepada Tan Hong. katanya: "Kira-kira belasan lie dari kaki
gunung ini rupanya ada sebuah pasukan tentara besar lagi bergerak ke arah
sini!"
"Tidak apa!"
menyahut Tan Hong dengan tenang. Tapi lantas ia menambahkan: "Kok Sinshe,
lihatlah itu! Ilmu pedang semacam itu sungguh sukar untuk dapat dilihat
lagi!"
Dan ia menunjuk kepada
pertempuran Thian Touw bersama In Hong melawan Sin Liong.
Tiok Koen heran berbareng
kagum. Bukankah aneh orang tak bergeming dari warta yang dia anggap penting itu
dan sebaliknya lebih memperhatikan pertempuran perseorangan? Meski begitu, ia
pun mempunyai kepercayaan besar, maka ia kata di dalam hatinya: "Thio
Tayhiap pandai berpikir, jikalau dia bilang tidak apa tentulah tidak ada
halangannya!"
Maka ia pun lantas berdiri
mengawasi ke gelanggang pertempuran.
Ketika itu Thian Touw dan In
Hong tengah menyerang dengan semakin seru, dengan rapi dan keras mereka
mendesak. Thian Touw telah menggunai ketika akan menyerang setelah mengerahkan
tenaganya. Sin Liong membela dirinya. Justeru begitu, In Hong tidak mau mengasi
kesempatan pada lawannya itu
--- ia lantas membarengi menikam! Sin Liong repot menangkis, atau ia pun segera
diserang pula Thian Touw. Begitu cepat serangan ini, datangnya seperti
berbareng dengan serangan si nyonya. Pedang In Hong telah mencari iga kanan,
sedang pedang Thian Touw mengincar ke kiri. Kedua pedang berkilauan sinarnya.
Dua-dua itu mesti ditangkis atau dikelit. Untuk Sin Liong, sulit untuk
menangkisnya. Ia cuma dapat menangkis salah satunya, lantas lengan tunggalnya
bakal terbabat kutung... Di dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia berayal.
Sebenarnya ia telah menggunai otaknya, tapi ia masih kalah cepat.
"Bret!" begitu satu
suara nyaring, tahu-tahu bajunya dibetulan iga telah dirobek pedang In Hong.
Dia kaget dan gusar, maka dia menjerit, pedangnya lantas dilunjurkan. Bisalah
dimengerti jikalau dia telah menggunai tenaga sebesar-besarnya. Dia menangkis
satu kali untuk menghalau kedua pedang, tubuhnya sendiri digeser mundur secepat
kilat!
Ketiga senjata lantas bentrok
keras sekali, kesudahannya itu, pedang Sin Liong terkutung dua!
Bentrokan itu mempunyai tenaga
membal yang keras sekali, walaupun In Hong berhasil, ia toh mesti terhuyung
mundur dua tiga tindak.
Thian Touw dapat bertahan,
tetapi di dalam hatinya ia kata: "Orang ini benarlah seorang guru besar!
Dia sudah kalah, biarlah!"
Memang, di saat ln Hong dapat
berdiri tegak. Koan Sin Liong sudah berlompat jauh untuk terus lari ke dalam
rimba di dekat mereka. Dari dalam rimba itu lantas terdergar suaranya:
"Maafkan aku, aku tidak punya guna. hendak aku berlalu terlebih
dulu!"
Jago tua ini telah menutup
diri, maka itu lukanya tidak parah, hanyalah hatinya sudah lemah. Musuhnya
tangguh semua dan di belakang mereka ada Thio Tan Hong sebagai tulang punggung,
dia menjadi hilang harapan, dengan terpaksa dia meninggalkan kawan.
"Hm!" bersuara Pak
Beng, yang mendengar nyata suara kawan tak setia itu. "Baiklah, kau boleh
pergi biar jauh, supaya selanjutnya tak usah kau bertemu pula denganku!"
Koan Sin Liong sebaliknya
berkata di dalam hatinya: "Jikalau sebentar Thio Tan Hong mengambil
jiwamu, aku kuatir apabila aku ingin menemui kau, kau pun tak dapat melihat aku
lagi!..." Dan tanpa ragu-ragu, dia lari terus!
"Bus!" mendadak
terdengar satu suara meletus, tepat di sisinya jago tua yang licik ini, lalu
api berkobar, beberapa cahaya terang menyamber ke arahnya. Tak ampun lagi dia
menjerit keras, tubuhnya roboh terguling.
Berbareng dengan itu, dari
atas pohon di depannya Sin Liong ini, sepasang muda-mudi terlihat berlompat
turun dengan berbareng, yang pria mendahului lompat lebih jauh, ketika ia
mengayun goloknya, kepalanya jago tua itu terpisah dari tubuhnya sebatas leher,
setelah mana pemuda itu berkata dengan sedih: "Ayah. hari ini anakmu telah
membalas sakit hatimu!"
Itulah Ban Thian Peng dan Im
Sioe Lan, yang datangnya tepat selagi Koan Sin Liong mengangkat kaki, maka
mereka lantas turun tangan. Paling dulu Im Sioe Lan telah menimpuk dengan
Tokboe Kimtjiam Hweeyam tan, peluru apinya yang berupa jarum emas dengan uapnya
yang beracun, karena mana, siapa terkena senjata rahasia itu, selain lukanya
juga napasnya tertutup uap beracun itu, hingga dia mesti roboh pingsan. Sudah
begitu, celakanya untuk Sin Liong, selagi dia roboh itu, Thian Peng telah
membarengi menyerang juga dengan tujuh batang kimpit, senjata rahasia yang
berupa seperti alat tulis, hingga dia terkena jalan darahnya, luka-luka mana
membuatnya tak berdaya lagi, dia roboh tak sadarkan diri dan terus batang
lehernya dipenggal!
Demikianlah akhirnya satu jago
buruk, yang mesti menerima bagiannya dari dua anak muda.
Ketika Liong Kiam Hong
menampak munculnya Nona Im, ia girang bukan kepalang. Ia berseru dan
menggapai-gapai dengan kegirangan.
Im Sioe Lan tahu aturan, lebih
dulu ia menghampirkan Thio Tan Hong, guna memberi hormat seraya mengucapkan
beberapa kata-kata perlahan, habis itu baru ia menemui Nona Liong.
"Bagaimana caranya kau
lolos dari bahaya?" Kiam Hong tanya.
"Panjang untuk menuturkan
itu," sahut Sioe Lan tertawa. "Tidak lama kau bakal ketahui sendiri!
Juga. entjie Liong, sebentar kau akan menyaksikan suatu pertunjukan yang ramai
sekali, maka kau tunggu saja!"
Kiam Hong heran, ia berpikir:
"Dia baru sampai, cara bagaimana dia ketahui Thio Tayhiap bakal bertempur
dengan Kiauw Pak Beng? Apakah mungkin dia bicara dari lain hal yang jauh
terlebih hebat dari pertempuran tayhiap ini?"
Sementara itu Kiauw Pak Beng
telah mengasi lihat wajah yang bermuram durja. Empat kali sudah ia kalah dan
enam jago pilihannya telah roboh, kekalahan itu membikin gentar hati kawan-kawannya.
Dengan suara dalam ia berkata: "Kong Thian, mari, serahkan bonekamu
padaku!"
Le Kong Thian, sang murid,
menyerahkan senjatanya yang luar biasa dan berat itu.
Dengan membawa boneka kuningan
itu. dengan tindakan perlahan, Pak Beng maju ke arah gelanggang.
"Soehoe. inilah
pedang!" berkata Sin Tjoe pada gurunya. Ia melihat musuh membekal senjata,
ia menyerahkan pedang mustikanya, —— pedang Tjengbeng kiam.
Thio Tan Hong tidak membekal
senjata. Ia bersikap tenang. Agaknya ia berpikir. Akhirnya ia kata:
"Baiklah!" Lantas ia menyambuti pedang dari tangan muridnya, dengan
membawa itu, ia pun maju dengan tindakan sabar.
Sudah sepuluh tahun Tan Hong
tidak pernah menggunai senjata, sedang ketika baru ini ia menempur Pak Beng, ia
menggunai pedang biasa saja. Baru sekarang ia membutuhkan gegaman dan justeru
ia mendapatkan pedang mustika.
Dalam sebentar saja, dua orang
musuh sudah berdiri berhadapan di tengah medan adu jiwa. Yang satu ialah
kiamkek atau ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, dan yang lainnya
yaitu hantu nomor satu di dalam dunia. Maka dengan wajar mata para hadirin
diarahkan terhadap dua jago itu.
Kedua jago itu berdiri
berhadapan dengan mata mereka saling memandang tajam. Keduanya tenang, yang
beda ialah Pak Beng suram, wajah Tan Hong sungguh-sungguh.
Thio Tan Hong dapat melihat
sinar mata orang, ia dapat menerka orang yang asal sesat itu telah mendapatkan
pelajaran tenaga dalam yang lurus, hingga sesat dan lurus tergabung menjadi
satu. Sinar mata Pak Beng itu tajam tetapi tidak jernih.
"Sayang! sayang!"
katanya seorang diri. Ia menyayangi i-.i|>m lelah Pak Beng mempelajari kedua
ilmu sesat dan lurus, setelah berhasil, sepak terjangnya tetap sesat.
Mendengar suara itu, cuma Sin
Tjoe yang dapat membade hati gurunya. Guru itu sangat menyayangi kepandaian
orang, maka juga Tan Hong menyesal mesti melayani orang pandai dan kosen yang
bandel itu.
Kiauw Pak Beng, yang pun
mendengar suara orang, berkata dengan tawar: "Jikalau kau terbinasa di
tanganku, kau pun sama harus dikasihani! Di kolong langit ini, ada banyak
sekali urusan yang harus disayangi, dari itu tak usahlah kita membicarakannya
banyak-banyak!"
Tan Hong mencabut pedangnya,
ia mengpngguk.
"Kau benar,"
sahutnya. "Nah, kau majulah!"
Kiauw Pak Beng menggeraki
tokkaktongdjin, boneka kuningannya itu, ia mendorong dengan jurus "Badak
memandangi sang rembulan."
Thio Tan Hong meluncurkan
pedangnya, akan menowel boneka itu,
-perlahan ia menowelnya akan
tetapi kedua senjata bentrok
dengan menerbitkan suara yang nyaring dan lama mengaumnya, bagaikan genta
mengalun. Pula sedikit lelatu kuningan telah meletik buyar!
Sebagai kesudahan terbenturnya
kedua senjata satu dengan lain itu Thio Tan Hong merasakan hawa dingin yang
tersalurkan ke tangannya terus ke nadinya. Ia lantas menghembuskan napas
perlahan, guna mengasi keluar hawa dingin itu.
Atas itu Kiauw Pak Beng
merasai angin dingin bertiup ke mukanya, meski hanya sekelebatan, hawa itu
dingin sekali, baru selewatnya itu, mukanya terasa nyaman. Sebagaijuga iklim
musim dingin ditukar dengan iklim musim bulan tiga!
"Heran!" pikirjago
tua ini. Ia tidak pernah menyangka tenaga dalam Tan Hong sedemikian mahirnya.
Sebaliknya Tan Hong pun
berkata dalam batinya: "Benar-benar dia telah mencapai Sioelo Imsat Kang
tingkat kesembilan!"
Tan Hong menyambuti hawa
dingin yang tersalurkan kepadanya dengan segera ia mengemposnya keluar, karena
hawa dingin itu kembali pada Pak Beng, dia ini merasai dingin dan lantas
nyaman. Hawa nyaman itu ialah hawa asli dari Tan Hong, sedang hawa dingin ialah
hawanya sendiri yang dikembalikan.
Dari kejadian sepintas lalu
itu menjadi ternyata, hawa dinginnya Pak Beng menyerbu Tan Hong sebagaijuga
sebutir batu dilemparkan ke dalam telaga, bukan telaga bergelombang dahsyat
tapi cuma airnya bergoyang sedikit...
Oleh karena percobaan ini,
Thio Tan Hong lantas mengambil keputusannya. Ia tahu berbahaya untuk hanya
bertahan dari hawa dingin musuh. Jadi ia memerlukan pertandingan cepat. Putusan
yang cepat pun akan mencegah kedua-duanya sama-sama mendapat kecelakaan.
Pak Beng juga sependapat
dengan lawannya itu. Habis bentrokan yang pertama itu, ia lantas menyerang
pula, dengan sekeras-kerasnya, hingga bonekanya bergerak-gerak sambil
menghembuskan angin keras.
Thio Tan Hong tidak bersangsi
untuk melayani dengan sama serunya. Maka juga sering sekali terdengar suara
nyaring yang memekakkan telinga. Sebab di mana perlu, tak takut Tan Hong
mengadu pedang yang kecil dan enteng dengan boneka yang besar dan berat.
Sebagai kesudahan dari bentrokan itu, setiap kali beradu, boneka kena dibikin
sedikit bercacat, kuningannya pecah hancur sedikit dan hancurannya itu pada
meletik.
"Hebat!" berseru Pak
Beng di dalam hati.
Tengah bertarung itu, Tan Hong
menyerang dengan tipu silat "Bianglala panjang melintangi langit."
Pedangnya menyambar dari samping.
Kiauw Pak Beng menghindarkan
diri dengan menolak dengan bonekanya. Hebat permainan senjatanya itu, ia
membikin kedua tangan boneka dapat bergerak sebagai tangan manusia hidup,
tangan itu menyamber ke dada untuk menotok jalan darah!
Demikian kalau kedua jago
bertempur, setiap gerakan mereka cepat seperti kilat.
Totokan itu segera tiba pada
dada, segera terdengar suaranya.
Sin Tjoe dan Giok Houw
terperanjat, hampir mereka berseru, akan tetapi setelah berkelebatnya sinar
hijau dari pedang tjengbeng kiam, hati si nyonya muda menjadi lega, dengan
perlahan ia kata pada orang di dampingnya: "Ah, soehoe tidak
terlukai"
Thio Tan Hong telah menangkis
totokan dengan babatan pedangnya, yang membikin kedua jari tangan boneka itu
terpapas kutung!
Habis itu, setelah beberapa
gebrakan, keduanya nampak lambat gerak-geriknya. Kelincahan mereka semula
seperti lenyap secara tiba-tiba. Sebaliknya daripada saling serang dengan cepat
dan bengis, mereka justeru jalan berputaran, mata mereka saling mengawasi tajam,
senjata mereka masing-masing siap sedia.
Setelah lewat banyak detik,
maka Kiauw Pak Beng-lah yang mulai pula dengan penyerangannya. Rupanya dia
telah selesai dengan pengerahan tenaganya. Dia bergerak berbareng dengan
seruannya. Tokkak tongdjin menyerang dari atas ke bawah. Itulah kemplangan
sangat dahsyat.
Atas datangnya serangan itu
Thio Tan Hong bersikap tenang tapi sebat. Ia menangkis menyontek sambil
berkelit sedikit, kaki kirinya diajukan, maka itu tangannya yang kiri dapat
sekalian diluncurkan guna membalas menyerang.
Kedua senjata beradu keras.
Tubuhnya Kiauw Pak Beng seperti terangkat akibat sontekan Tan Hong itu. Dengan
tubuh berada "di tengah udara" itu. selagi turun, ia menyerang dengan
tangan kirinya.
Kedua tangan bentrok, lalu
Kiauw Pak Beng berjumpalitan, mundur hingga tiga tombak jauhnya.
Semua berjalan dengan cepat,
tak terlihat tegas para penonton.
Selagi Pak Beng itu mental
mundur, tubuh Tan Hong, yang berdiri di tempatnya, bergoyang sedikit seperti
juga sebuah perahu kecil di antara gelombang.
Itulah akibat bentrokan tangan
mereka masing-masing. Inilah bentrokan yang terlebih hebat dari bentrokannya
boneka dengan pedang. Teranglah kedua pihak sama-sama tergempur. Terang sudah
Pak Beng kalah unggul, sebab tubuhnya terpental. Tapi Tan Hong pun tak menang
seluruhnya, hingga tubuhnya itu bergoyang-goyang untuk mempertahankannya.
Itulah hawa dingin dari Sioelo Imsat Kang tingkat sembilan, yang menyerang ke
dalam tubuh lawan.
Setelah itu, kedua pihak
sama-sama berdiam, melainkan mata mereka saling memandang tajam. Sama-sama
mereka menenangkan diri, untuk mengumpul tenaga mereka yang barusan
terhamburkan itu. Kiauw Pak Beng nampak mandi peluh, sedang Tan Hong dari
embun-embunannya kelihatan mengepulnya uap putih.
Perlu waktu beberapa menit
untuk mereka mendapat pulih tenaga mereka.
Dalam pada itu, bonekanya
Kiauw Pak Beng telah menjadi tidak "tuh lagi, selain duajerij inya yang
tadi kena terpapas putus, bagian-bagian anggauta yang lainnya pada bercacad
akibat ujung pedang Tan Hong, bahkan kuping dan hidungnya kutung juga-
Kiauw Pak Beng sangat
mendongkol dan berduka dan berkuatir. Kemarahan membuat rambutnya yang kusut
pada bangun berdiri, kumis dan jenggotnya menjadi kaku, sedang otot-ototnya
pada keluar hingga terlihat cahayanya hijau matang. Maka itu, berdiri berendeng
dengan bonekanya itu, dia nampak mirip sepasang hantu yang bengis. Aneh
pemandangannya itu tetapi tidak ada orang yang berani mentertawainya. Semua
hadirin tegang dan cemas hatinya, sesuatunya bergelisah sendirinya.
Selagi kedua pihak
beristirahat sambil mengumpul semangat itu, maka dari kejauhan terdengar suara
bergerak dan meringkiknya kuda-kuda peperangan, begitu juga suara bentroknya
banyak alat senjata, semua itu terbawa angin, mulanya samar-samar, lalu
perlahan-lahan menjadi terang dan nyata sekali. Teranglah itu suara tentera
bertarung di kaki gunung, hingga suasana menjadi terlebih menggelisahkan.
Luar biasa sungguh suasana di
medan adu jiwa ini. Tidak perduli suara pertempuran pasukan perang itu,
meskipun sesuatunya cemas dan bergelisah, mereka tetap memasang mata kepada
Kiauw Pak Beng dan Thio Tan Hong. Mereka seperti tak menghiraukan lagi ancaman
bahaya besar.
Pihaknya Tan Hong mungkin
berpikir: "Perduli apa tentara musuh datang, mereka toh tidak bakal dapat
membinasakan aku tetapi pertempuran ini, inilah tak dapat dikasih lewat atau
orang akan menyesal sampai hari matinya!..."
Juga Tan Hong dan Pak Beng
tidak menghiraukan segala apa di luar gelanggang mereka, bagaikan tuli dan
buta. Mata mereka, perhatian mereka, ditumplak saja satu kepada lain. Sambil
mengumpul tenaga, mereka memasang mata.
Jarak di antara mereka ada
lima atau enam tombak jauhnya.
Segera juga datang saatnya
kedua pihak mulai bergerak lagi. Mereka bertindak menghampirkan satu pada lain.
Ayal tindakan mereka masing-masing.
Setiap tindakannya Kiauw Pak
Beng meninggalkan tapak kaki yang dalam. Itulah bukti dari tegangnya hatinya,
dari hebatnya ia menancap kaki, memasang kuda-kuda.
Tan Hong sebaliknya,
tindakannya tak menyebabkan debu mengepul.
Ie Sin Tjoe dapat melihat
nyata gurunya itu, hatinya menjadi lega.
"Pastilah guru kita bakal
dapat kemenangan," ia kata perlahan pada Giok Houw. "Kau lihat,
bangsat tua she Kiauw itu telah mencapaikan puncak ketegangannya, ia sangat
bergelisah, sebaliknya soehoe tetap tenang, bahkan ia lebih tenang dari
biasanya!..."
Di saat sangat tegang itu maka
terdengarlah suara memanggil nyaring berulangkah : "Thio Tayhiap! Thio
Tayhiap!"
Dengan sendirinya semua
hadirin menoleh ke arah dari mana panggilan datang. Itulah suaranya sepasang
pria dan wanita, yang muncul dari tikungan gunung dibalik sebuah batu besar.
Mereka itu lari mendatangi ke arah gelanggang.
"Ah!" Thio Giok Houw
mengasi dengar suara herannya. Ia menoleh sebentar, lantas ia mengawasi pula
gurunya. Ia tidak mau berlaku alpa.
Liong Kiam Hong sebaliknya
berseru: "Ah. itulah entjie Tjio dan SengToako!"
Di dalam saat sesunyi itu,
suaranya nona itu terdengar mendengung, hingga banyak mata diarahkan ke
arahnya. Agaknya ia jengah sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah. Dengan
lantas ia menoleh pula ke arah Tan Hong.
Kedua pihak, yang maju terus
tanpa memperdulikan segala apa di sekitarnya, sudah mendekati hingga tujuh kaki
satu pada lain. Paras mukanya Pak Beng gelap sekali. Dia diliputi hawa keinginan
membunuh. Sebaliknya Thio Tan Hong bersenyum sabar, ia sangat tenang. Walaupun
demikian, nyata sekali keduanya sama-sama siap sedia...
Sepasang pria dan wanita yang
lari mendatangi itu, yang tadi memanggil-manggil Tan Hong, benar Tjio Boen Wan
dan Seng Hay San adanya. Ketika mereka tiba, mereka lantas berdiri diam, mata
mereka pun mengawasi. Dengan sendirinya mereka terpengaruh ketegangan medan
pertempuran itu.
Kok Tiok Koen menghampirkan
Hay San, untuk menarik lengan orang, buat mengajak dia duduk di sisinya.
Hay Sah lantas berbisik:
"Pasukan tentera negeri telah kita kurung di dalam lembah. Yang Tjong Hay
dan Law Tong Soen ada di dalam barisan pemerintah itu."
Tiok Koen mengangguk tandanya
ia mengerti.
Seng Hay San datang untuk
minta bantuan, tetapi melihat suasana di gelanggang, tidak dapat ia mengajukan
permintaannya itu. Ia turut menjadi ketarik pengaruh yang luar biasa itu.
Di dalam gelanggang, orang tak
dapat berdiam terus lama-lama. Akhir-akhirnya kedua matanya Kiauw Pak Beng
dipentang lebar-lebar begitupun mulutnya. Mendadak dia berseru:
"Jikalau bukan kau yang
mati tentulah aku!" Terus dengan bonekanya ia menghajar dengan bengis
sedang tangan kirinya menyerang juga dengan Pekkhong tjiang, pukulan
"Udara Kosong." Dia telah menggunai tenaga dari Sioelo Imsat Kang
tingkat sembilan, yang baru saja dia kerahkan pula. Dan inilah tenaga
seluruhnya. Jurus yang dia gunakan juga satu durus dari "Hoktjhio
Sinkang," ilmu "Menaklukkan Gajah." Dia hebat sekali sebab dia
dapat menggunai dua-dua tangannya dengan tenaga yang sama besarnya.
Ketiga pendeta dari Siauwlim
Sie, Han Tiat Tjiauw dan yang lainnya, terkejut hingga mereka mengeluarkan
seruan tertahan. Mereka semua ahli tapi mereka toh heran dan terperanjat.
Tan Hong di pihaknya tidak
berdiam saja. Orang menyerang ia dengan dua-dua tangan, ia juga menyambut
dengan dua tangannya. Dengan pedang ia menangkis boneka, dengan tangan kosong
ia menyambut tangan kosong lawan.
Bentrokan hebat terdengar
karenanya. Kali ini pedang Tjengbeng kiam berhasil membabat kutung kedua
lengannya tokkak tongdjin. Sebab pedang itu tak dapat segera ditarik pulang,
sekalian saja rambutnya Pak Beng pun kena terbabat kutung. Syukur jago tua itu
masih sempat berkelit mendak.
Akan tetapi Pak Beng tidak
menjadi gugup, dengan kesehatan luar biasa, ia berkelit terus ke belakang
musuh, maka tempo ia menghajar dengan tinju kirinya, ia berhasil mengenai
punggung musuhnya. Tan Hong terjerunuk karenanya. Tapi jago ini liehay. kakinya
terus menjejak tanah, tubuhnya mencelat balik. Tengah orang masih kaget, ia
sudah membalas menyerang, hingga sinar pedangnya berkelebatan seperti bunga
pedang.
Di antara para hadirin cuma
Boe Siang Siansoe yang dapat melihat tegas serangan Tan Hong ini. Untuk hadiah
satu tinju pada punggungnya, ia membalas dengan tujuh buah tikaman pedangnya,
yang semuanya mengenai tepat kepada sasarannya!
Kiauw Pak Beng berseru keras
sekali, dengan bonekanya ia menimpuk!
Pasti sekali itulah timpukan
dengan setakar tenaganya.
Thio Tan Hong dapat melihat
serangan mati hidup itu. Sekarang ia tidak berani menyambuti dengan menangkis
dengan pedang di tangan. Ia juga menelad contoh. Ia lantas menimpuk juga dengan
pedangnya.
Kedua senjata tepat
masing-masing sasarannya, maka itu di tengah jalan, keduanya beradu. Tjengbeng
kiam yang tajam luar biasa nancap di tubuh boneka kuningan, terus nembus.
Boneka tertahan sedikit lajunya, terus jatuh ke tanah. Pedang sebaliknya
meluncur, nancap di sebuah pohon di sebelah depannya!
Orang semua terkejut, tetapi
cuma sebentar, lantas semuanya sadar.
Pertempuran boneka melawan
pedang itu sudah berhenti tetapi kedua jagonya tidak turut berhenti karenanya.
Keduanya sama-sama maju, untuk melanjuti pertarungan dengan sama-sama bertangan
kosong. Kedua tangan mereka sama-sama diluncurkan, guna saling bertahan, karena
itu, tubuh mereka pun sama-sama diam, hingga mereka mirip dua buah patung
hidup.
Habis terluka dan menimpuk,
Kiauw Pak Beng telah menutup dirinya, maka itu ia dapat mencegah mengalir
keluarnya darah dari liang lukanya akibat tikamam pedang Tan Hong. Ia
mengerahkan tenaganya, ia lompat menerjang musuhnya.
Jikalau ia mau, Tan Hong dapat
menyingkir dari serangan dahsyat itu, akan tetapi ia dapat membade maksudnya
Kiauw Pak Beng, ia bersedia untuk melayani. Pak Beng penasaran, dia menjadi
nekad, maka di detik terakhir ini, dia menyerang dengan Sioelo Imsat Kang
dengan tenaganya yang penghabisan. Ia tahu, kalau ia berkelit, Pak Beng bakal
mati tak puas, dari itu, ingin ia mempuaskan hati orang. Ia pun, dengan begitu,
hendak menguji tenaganya sendiri. Ia menyambut dengan dua-dua tangannya.
Kecuali ketiga pendeta dari
Siauwlim Sie, tidak ada orang lainnya yang ketahui pengerahan tenaga terakhir
dari Pak Beng ini. Meskipun dia telah ditikam tujuh kali, darahnya masih belum
mengucur keluar, cuma mukanya sajayang tampak bengis dan seram, kedua matanya
merah mendelik.
Sin Tjoe percaya gurunya
liehay tetapi ia toh berkuatir juga.
Semua orang menonton dengan
menahan napas.
Tenaganya Pak Beng sudah
disalurkan ke tangannya. Itulah tenaga terakhir tetapi dahsyatnya bukan main.
Benar-benar Sioelo Imsat Kang tak dapat dibuat permainan.
Thio Tan Hong bertahan hingga
terdengar sambungan tulang-tulangnya bersuara meretek. Kecuali kuda-kudanya, ia
pun memusatkan tenaga di tangannya, guna menangkis hawa din|in. Ia merasakan
desaKan" tenaga Pak Beng seperti tak ada habisnya, bagaikan gelombang
mendampar saling susul.
Sayangnya untuk Pak Beng,
meski ia telah berhasil menggabung dua ilmu sesat dan lurus, tempo latihannya
masih terlalu pendek, tak dapat ia menandingi Tan Hong yang lurus seluruhnya.
Umpama kata ia belum ter'nka, masih belum tentu ia dapat melawan terus.
Tepat di saat ia insaf bahwa
ia kalah, habislah tenaganya Pak Beng, tubuhnya menjadi lemah.
Thio Tan Hong merasakan
lenyapnya tolakan keras seperti tadi, ia lalu mendorong dengan perlahan,
sembari berbuat begitu, ia kata sabar: "Kiauw Pak Beng, kau pergilah
baik-baik!"
Pak Beng menghela napas,
segera tubuhnya roboh, begitu tenaganya habis, begitu luka-lukanya mengalirkan
darah. Tak dapat ia menutup diri lagi.
"Kiauw Pak Beng, apa
pesanmu?" tanya Tan Hong, suaranya berduka.
"Aku puas terbinasa di
ujung pedangmu, kebinasaan ini berharga," kata Pak Beng lemah. "Hanya
sayang pelajaranku, yang aku latih seumur hidupku, bakal lenyap dari dunia
ini..."
"Di dalam hal ini, aku
tak berdaya menolongmu," kata Tan Hong, menghela napas.
Orang bengong, orang kagum.
Orang pun terharu.
Itulah pertempuran paling
dahsyat dan luar biasa.
Sampai sekian lama orang masih
berdiam saja, sampai akhirnya mereka disadarkan suaranya satu orang:
"Kiauw Pak Beng sudah mati!"
Mendengar itu rombongannya Pak
Beng pun mendusin, tetapi mereka bukan lantas bertindak menuntut balas, hanya
saking takut, mereka lari serabutan guna menyingkirkan diri, cuma satu yang
lari ke arah Pak Beng, guna mengangkat tubuhnya, buat terus dibawa lari turun
gunung!
Orang itu ialah Le Kong Thian,
muridnya jago Sioelo Imsat Kang itu. Dia bukan lari mendaki gunung, hanya ke
arah jurang.
"Le Kong Thian, kau
hendak kabur ke mana?" membentak Thio Giok Houw, yang terus mencabut golok
—— goloknya Biantoo – dan mengejar.
"Thio Houwtjoe, biarkan
dia pergi!" Tan Hong mencegah.
Murid itu melengak, dia
menghentikan larinya.
Ketika itu cepat sekali Le
Kong Thian sudah sampai di tepi jurang, lantas orang melihat, sambil terus
memanggul tubuhnya Pak Beng, gurunya itu, dia terjun ke dalam jurang, hingga
lantas juga terdengar suara air menjubiar keras. Sebab katanya jurang itu penuh
air yang nembus ke laut...
Orang banyak lantas menduga
tindakannya Le Kong Thian itu ialah tindakan si murid untuk melindungi keutuhan
tubuh gurunya, karenanya dia tak sayang-sayang lagi mengurbankan jiwanya
bersama-sama. Tentu sekali tidak ada orang yang menyangka bahwa itulah tindakan
satu-satunya guna dia mencoba menolongi gurunya itu.
Hal yang sebenarnya ialah
jurang itu berdasarkan air di mana pun terdapat sebuah guha mirip guha
Tjoeiliam Tong, dari guha mana orang bisa merayap keluar ke tempat yang aman.
Le Kong Thian pernah tinggal
selama beberapa bulan di dalam kuil Siangtjeng Kiong di atas gunung Laosan ini.
Imam dari kuil itu, Hay Djiak Toodjin, adalah sahabat kekalnya. Karena pernah
berdiam lama di gunung itu, ia menjadi mendapat tahu tentang jurang itu serta
guhanya Maka itu, ia bukan bawa gurunya lari ke bawah gunung, hanya justeru ke
jurang tersebut. Ia menduga, kalau ia lari turun gunung, orang bakal
mengejarnya. Ia tentu tidak tahu sikap laki-laki dari Tan Hong.
Terjun ke dalam jurang itu,
Kong Thian tidak nampak rintangan oyot pohon atau lainnya, langsung mereka
tercebur ke air, maka di akhirnya berhasillah ia membawa gurunya ke tempat yang
aman. Kiauw Pak Beng belum putus jiwa benar-benar, karena terkena air dan
tertolong muridnya, napasnya bekerja pula, jantungnya berdenyut lagi. Pula dari
kitab Pektok Tjinkeng pernah ia dapat resep dan membuat obat pemunah racun yang
luar biasa, obat mana dapat menguatkan tubuhnya. Ia telah menyiapkan dua rupa
obatnya, ia serahkan itu pada Kong Thian untuk disimpan, guna dipakai di saat
yang tepat, sekarang murid itu telah menggunainya.
Pertolongan Kong Thian inilah
yang mengakibatkan Kiauw Pak Beng selamat jiwanya, hingga kemudian dia
menyingkir ke sebuah pulau mencil, di mana dia melewatkan sisa hidupnya dalam
kesunyian, dan sampai berumur seratus tahun lebih, barulah dia meninggal dunia.
Semua orang menganggap Kiauw
Pak Beng sudah menemui ajalnya, bahkan Thio Tan Hong tak menduga juga.
Ie Sin Tjoe bersama Thio Giok
Houw, Seng Hay San, Tjio Boen Wan dan lainnya lantas menghampirkan Tan Hong.
Mereka mendapatkan sesuatu yang gelap di punggung jago tua itu. Itulah tapak
tangan yang hitam pada kulit tetapi saking tedasnya terlihat nembus di baju
sutera putih yang tipis. Semua menjadi kaget.
Tengah orang heran itu, Thio
Tan Hong berkata, lancar: "Bagus! Kepala penjahatnya sudah disingkirkan,
selanjutnya tak usah aku bekerja sendiri lagi! Sin Tjoe, Giok Houw, pergi kamu
membantui Tjio Lootjianpwee!"
Thio Tan Hong telah bekerja
sempurna sekali. Sebelum turun tangan, ia sudah menyerapi kabar, terus ia
membuat persiapan.
Yang Tjong Hay bersama Law
Tong Soen sudah siap sedia. Mereka kuatir kawanan Tan Hong nanti menyulitkan
dan menggagalkan ichtiar mereka, lantas mereka menyembunyikan tiga ribu
serdadu. Mereka berniat menyapu dari meringkus rombongan Tan Hong, supaya tak
ada seorang jua yang dapat meloloskan diri. Tan Hong sebaliknya mengatur daya
untuk melawan tentera negeri itu. Maka Tjio Keng To diminta membawa datang
semua sisa tentera rakyat dari pulau. Di lain pihak, selagi kota Hangtjioe
kosong. Seng Hay San ditolongi dari dalam penjara, hingga pemimpin tentera
rakyat itu dapat datang bersama
Tindakan Tan Hong ini yang
membikin ia datang sedikit lambat.
"Soehoe, apakah kau tidak
kurang suatu apa?" tanya Giok Houw sebelum pergi.
Guru itu bersenyum.
"Kiauw Pak Beng belum
mempunyai kepandaian cukup untuk mengajak aku pergi bersama-sama dianya!"
sahutnya. "Kau jangan kuatir!"
Giok Houw. begitu juga Sin
Tjoe, sangat cerdas, tetapi mereka tidak dapat menangkap bahwa dalam
kata-katanya Tan Hong itu ada tersembunyi maksud lainnya. Mereka percaya betul
guru mereka tidak kurang suatu apa. Maka pergilah mereka dengan hati tetap,
untuk membekuk Yang Tjong Hay.
Hal yang sebenarnya tidaklah
seperti dikatakan Tan Hong. Kecuali hajaran di punggung itu, ia pun menderita
sangat gempuran Sioelo Imsat Kang dari Kiauw Pak Beng. Ia menyambuti gempuran
itu dengan maksud membikin Pak Beng kalah dengan puas. Ia terluka bukannya
ringan. Syukur untuknya, tenaga dalamnya telah mahir sekali, ia dapat bertahan
hingga orang tidak melihat pada wajahnya tanda-tanda penderitaannya itu.
Menurut latihannya, Tan Hong dapat hidup sedikitnya sampai seratus tahun,
tetapi lukanya ini membikin ia mati sebelum masuk usia enam puluh.
Ie Sin Tjoe semua mengajak
rombongannya turun gunung. Segera mereka mendapat kenyataan satu pasukan
tentera negeri kena dikurung pihaknya. Tentera negeri itu berdiam di dalam
lembah, sebaliknya barisan tentera rakyat di bawah pimpinan Tjio Keng To, meski
jumlahnya lebih kecil, dapat menguasai mereka dari sebelah atas, dari sela-sela
gunung. Sering sekali tentera negeri dihajar dengan batu besar dan balok-balok
yang digelindingkan turun hingga tentera itu, yang tidak berdaya, pada
menjerit-jerit. Untuk kabur, jalan mereka sudah terhalang dan terpegat.
Ie Sin Tjoe maju di muka, ia
berteriak nyaring: "Bangsat tua Kiauw Pak Beng telah terbinasakan! Apakah
kamu masih hendak berkelahi mati-matian tanpa ada perlunya, seperti binatang
yang sudah mogok terkurung?"
Mendengar itu, hati Tjong Hay
mencelos. Dia justeru paling mengharap Kiauw Pak Beng, dan mengharap juga Pak
Beng nanti naik ke gunung, guna memecahkan pengurungan atas diri mereka ini.
Sekarang habislah harapannya. Dia melihat yang datang ialah semuanya musuh.
Maka dia percaya, kalau Pak Beng tidak binasa, Pak Beng tentulah telah kena
dikalahkan. Maka tahulah dia harus mengambil sikap bagaimana.
Law Tong Soen pun tahu
sikapnya. Dia mengibarkan lengkie, bendera perintah, seraya berteriak nyaring
berulang-ulang: "Toblos kurungan!"
Sementara itu rombongannya Sin
Tjoe sudah maju menerjang.
"Apakah kamu masih
berniat kabur?" Sin Tjoe berteriak sambil ia maju terus. Ia nyeplos pergi
datang di antara tentera negeri, guna mencari Yang Tjong Hay. Sama sekali ia
tidak mengganggu tentera negeri itu.
Di pihak musuh, Sat Lek Hiong
masih percaya betul atas ketangguhannya. Ia memutar sepasang gembolannya untuk
menghajar setiap musuh yang menghadang di hadapannya. Ia hendak mentaati titah
Law Tong Soen untuk nerobos dan kabur bersama barisan negeri itu. Ia sudah
merobohkan beberapa tauwbak tentera rakyat ketika ia mendengar bentakan:
"Berhenti!"
Sat Lek Hiong tidak mau
memperdulikan perintah itu, ia menyerang terus secara membabi buta. Tiba-tiba
ia menjadi kaget. Gembolannya itu kena orang tanggapi, untuk ditangkap, sia-sia
belaka ia menggunai seluruh tenaganya untuk menarik pulang, buat dilepaskan.
"Kau masih hendak
berontak?" tanya orang yang menangkap gembolan itu.
Memang Sat Lek Hiong hendak
berontak, akan tetapi belum ia sempat berdaya atau melihat lawannya, tubuhnya
telah kena ditarik. Lantaran ia bertahan, ia tidak dapat melepaskan kedua
senjatanya. Ia pun kalah sebat. Tahu-tahu kedua tangannya sudah dicekal keras,
lantas ia merasa tubuhnya yang besar dan berat itu diangkat, diteruskan
diputar, maka di lain detik, ia sudah dilemparkan! Celaka untuknya, ia jatuh
menimpa seorang opsir tentera negeri yang lagi mengayun goloknya, maka tubuhnya
menimpa golok itu. Ketika ia roboh, ia mandi darah, jiwanya melayang. Di lain
pihak, si opsir pun tertimpa dan tertindih untuk terus mati bersama!
Orang ypng merobohkan Sat Lek
Hiong ialah In Tiong. Tidak perduli Lek Hiong bertenaga raksasa, ia masih kalah
dengan tenaga Taylek Kimkong Tjioe dari orang she In itu, maka gembolannya
ditangkap, tubuhnya disamber dan diangkat, untuk dilemparkan!
Ketika itu Yang Tjong Hay si
licik sudah kabur sampai di mulut selat. Tiba-tiba ia mendengar suara mengaung,
lalu tertampak sinar-sinar terang berkelebatan menyamber ke arahnya. Itulah
senjata rahasia.
Ie Sin Tjoe berhasil mencari
musuhnya. Dia lantas menyerang dengan kimhoa, bunga emasnya, lantaran orang
terlalu licin dan gesit. Dengan menggunai ilmu ringan tubuh, yaitu
"Tjoanhoa djiauwsie" -- "Menembusi bunga, mengitarkan
pohon." ia memegat dan terus menimpuk.
Thio Giok Houw pun terus
mencari, tepat Sin Tjoe merintangi, ia pun tiba di samping Yang Tjong Hay.
Orang licik itu menangkis
serangan Sin Tjoe sambil ia terus menyingkir. Ia tidak mau membuat perlawanan
sebab itu berarti bahaya. Karena di sampingnya ada Giok Houw, ia lari ke lain
arah. Sekarang barulah ia merasa jeri benar-benar. Baru beberapa tindak, In
Hong muncul di depannya.
"Mari, Yang Taydjin!
Mari!" mengundang Nyonya Hok Thian Touw tertawa riang. "Mari aku
belajar kenal pula dengan ilmu pedangmu!"
Di damping In Hong itu ada
suaminya.
Semangat Tjong Hay terbang,
tanpa membilang apa-apa, ia lari ke lain arah. Sudah ia jeri terhadap Sin Tjoe
dan Giok Houw, sekarang ia lebih jeri pula terhadap suami isteri dari Thiansan
itu.
Baru beberapa tindak Tjong Hay
menyingkir dari hadapan In Hong dan Thian Touw, atau ia kaget pula ketika ada
suara meledak dihadapannya, api segera menyamber ke arahnya.
Itulah ledakan Tokboe Kimtjiam
Hweeyam tan. peluru api yang berasap racun dan mengandung jarum emas
kepunyaannya Im Sioe Lan, puterinya Tjit Im Kauwtjoe.
Sioe Lan muncul bersama Tjioe
Tjie Hiap. dia memegat dengan lantas menyerang dengan senjata rahasianya yang
meledak dan beracun itu.
Di hari-hari biasa, walaupun
Sioe Lan liehay, Yang Tjong Hay tidak takut, atau sedikitnya, ia tidak akan
biarkan dirinya terhajar senjata rahasia itu. Tapi sekarang, selagi mogok dan
ketakutan itu, bokongan itu membuatnya tidak berdaya. Begitu senjata rahasia
meledak, begitu jarum emasnya melesat mengenai ia, sedang pernapasannya, juga
matanya, terganggu uap. Tengah ia merasa kepalanya pusing dan matanya kabur,
dari arah belakangnya, datang Tjio Keng To bersama Kok Tiok Koen.
"Biar bagaimana aku
pernah menjadi tjongkoan dari istana, jikalau aku mesti mati tidak nanti aku
mati di tangan kamu!" Tjong Hay berteriak. Dengan pedangnya, ia lantas menikam
tenggorokannya, maka robohlah ia dengan napasnya lantas berhenti jalan! Di situ
ia rebah sebagai mayat yang mandi darah.
"Lepaskan
senjatamu!" Kok Tiok Koen berteriak kepada tentera negeri. "Kamu
boleh berlalu dari sini!"
Tentara negeri itu memang lagi
mati jalan, mendengar suara itu, hampir serempak mereka melemparkan senjata
mereka, lantas semua berlerot ngeloyor pergi, hingga lembah itu menjadi penuh
dengan golok dan tombak mereka.
Semua orang menarik napas lega
karena kemenangan ini, hanya kemudian orang menyesal tidak mendapatkan Law Tong
Soen, yang semenjak tadi tak kelihatan mata hidungnya. Rupanya dia dapat
menyamar sebagai serdadu biasa dan lolos.
Tjio Keng To mengatur barisan
rakyat itu, yang ia serahkan kepada beberapa tauwbak, untuk mereka mengundurkan
diri terlebih dulu, ia sendiri bersama Thio Giok Houw semua mendaki gunung,
guna melihat Thio Tan Hong.
Kelentingnya Hay Djiak Toodjin
luas dan besar serta banyak kamarnya, akan tetapi ketika Thio Tan Hong pergi
kesana, seluruhnya sudah kosong. Hay Djiak menyingkir bersama semua muridnya.
Maka kebetulan sekali, semua orang dapat memakai semua kamar itu.
Tan Hong lagi beristirahat di
dalam sebuah kamar. Keng To tidak berani lantas menemui, dari itu mereka lantas
mengatur persiapan barang hidangan. Di kelenting itu terdapat banyak barang
makanan, yang tadinya disediakan Hay Djiak Toodjin untuk rombongannya Kiauw Pak
Beng, guna Yang Tjong Hay merayakan kemenangan mereka...
Tatkala itu sudah magrib,
orang berkumpul di pekarangan dalam. Perjamuan dilakukan selama rembulan
terang. Semua orang bergembira, kecuali Hok Thian Touw.
Jago Thiansan itu duduk
seorang diri di suatu pojok dari mana ia memandang In Hong, isterinya, lagi
memasang omong dengan asyik dengan Sin Tjoe, Giok Houw, Kiam Hong dan lainnya.
Setelah tiga idaran arak, Tjio
Keng To mengumumkan dua buah berita, yang satu buruk, yang lainnya bagus.
Berita itu ialah tentera negeri, habis merampas Hokpo To, pulau yang menjadi
markas mereka, sudah berhasil merampas beberapa pulau lainnya. Karena itu, Yap
Seng Lim mengajak barisannya mengundurkan diri. Seng Lim tidak mau bentrok
dengan tentera negeri, sebab itu berarti mengurbankan anak buahnya. Meski
begitu, ada sebagian tentera rakyat itu yang ditinggalkan di pesisir di mana
mereka hidup seperti rakyat jelata dengan begitu, kapan perlu, mereka dapat
bersatu menentang perampok-perampok bangsa kate. Yang lainnya semua berangkat
ke Utara, untuk mempersatukan diri dengan barisannya Tjioe San Bin. Dengan
menyatukan diri, mereka itu dapat melanjuti usaha mereka memperkuat diri, untuk
mencapai cita-cita luhur mereka. Ketika itu timbul ancaman dai i suku bangsa
Tartar di Barat Daya serta juga dari suku Nuchen di Manchuria, yang setiap
waktu dapat menyerbu Tionggoan. Pemerintah lagi memperkuat tenteranya tetapi
itu diperuntukan menumpas tentera rakyat.
"Maka itu Tjioe San Bin
membutuhkan bantuan banyak orang," kata Keng To akhirnya.
Semua orang berduka mengetahui
ludasnya markas Seng Lim. sebaliknya mengetahui persiapan San Bin, semua
bergembira. Maka juga pesta ini mereka jadikan sekalian pesta untuk bersumpah
bekerja sama menentang serbuan bangsa asing.
Hok Thian Touw terus
memperhatikan isterinya. Ia melihat In Hong sangat ketarik dengan keterangan
Tjio Keng To, ada kalanya dia mementang mata dan mengertak gigi, ada saatnya
dia bergembira dan bersemangat. Jadi hati isteri itu tetap ada pada gerakan
kebangsaan itu.
"Apa aku mesti
bilang?" pikir jago Thiansan ini. Ia merasa sulit untuk membujuki isteri
itu. bahkan sukar juga untuk membuka mulutnya. Maka ia menjadi masgul dan tawar
hatinya. Ia menjadi merasa sangat kesepian. Ia membayangi: ia dan isterinya
benar-benar berada di dalam dua benua yang terpisah.
Lama setelah memperhatikan
isterinya itu, Thian Touw melihat In Hong berbangkit dan bertindak ke arahnya.
Itulah terjadi sesudah sang isteri celingukan, rupanya untuk mencari padanya.
Ia menduga pasti isteri itu bakal bicara kepadanya. Ia lantas mengawasi isteri
itu, sebagai isyarat, lalu diam-diam ia ngeloyor keluar.
Ketika itu Thio Giok Houw
bersama Liong Kiam Hong juga sudah pergi keluar, menuju ke rimba. Liong Kiam
Hong telah mengambil keputusan untuk berangkat ke Utara. Tadi pun mereka sudah
minum arak sumpah persatuan, hingga tak perlu mereka bicara banyak-banyak lagi.
Sampai itu waktu, sang Puteri
Malam telah naik tinggi dan sinarnya indah permai. Maka di darat terlihat
puncak, di air nampak lautan di mana air dan langit seperti nempel satu pada
lain. Alam di detik itu benar-benar indah sekali. Suara menderunya Laut Kuning
pun terdengar tegas.
Dan hati Kiam Hong dan Giok
Houw berjengut bagaikan ombak itu. Mereka sama-sama berhati muda.
Tiba-tiba mereka mendengar
tertawa yang sangat gembira.
"Dengar, itulah adik Sioe
Lan bersama Tjioe Toako!" kata Kiam Hong.
Giok Houw sedang mendengarnya,
tetapi ia menarik tangan nona didampingnya.
"Mari kita pergi kesana,
jangan kita ganggu mereka!" ia mengajak.
Di lain bagian dari rimba itu
mereka melihat bayangannya dua orang, yang berendeng, yang kepalanya tunduk,
nempel satu dengan lain. Mereka itu tidak tertawa, rupanya keduanya tengah
berbisik.
"Itulah entjie In Hong
dan Hok Toako," kata Giok Houw. "Sungguh mereka erat
hubungannya."
"Ya, mereka beda sekali
dari hari¬-hari yang sudah," kata Kiam Hong heran. "Sekarang mereka
tidak berselisih mulut lagi. Baik, mari kita pergi kesana, supaya mereka jangan
memergokinya, nanti mereka menjadi tak enak hati..."
Keduanya dapat saling
mengerti, maka Giok Houw mengajak isterinya bertindak ke lain jurusan.
Semua orang, habis pesta itu,
seperti pada menggadangi rembulan.
"Ha, langit bakal jadi
terang!'" kata Kiam Hong setelah berselang lama. Ia agaknya terperanjat
menyaksikan sang fajar mulai menyingsing.
Giok Houw pun seperti
tersadar.
Ketika itu terlihat Tjioe Tjie
Hiap dan Im Sioe Lan lagi bertindak pulang.
"Eh, lihat di sana!"
Kiam Hong berkata kemudian, tangannya menunjuk.
Giok Houw menoleh ke arah yang
ditunjuk itu. Di sana, di bawah sebuah pohon besar, terlihat In Hong berjalan
seorang diri. Bersama Kiam Hong, ia segera menghampirkan. Mereka mendapatkan
nyonya itu beroman berduka, air matanya masih mengembeng. Teranglah In Hong dan
Thian Touw telah bentrok pula dan kali ini tak ada jalan untuk mendapatkan pula
kecocokan satu dengan lain. Hanya kali ini mereka tidak bercedera seperti biasanya
beberapa kali yang lalu.
Giok Houw dan Kiam Hong sangat
masgul. Tapi, apa mereka bisa bilang?
Sekian lama In Hong berdiam,
lalu mendadak kedua tangannya menyamber masing-masing sebelah lengannya Kiam
Hong dan Giok Houw seraya ia berkata bernapsu: "Mari kita mengambil jalan
yang sama! Mari kita pulang!"
"Ya, sekarang pun
matahari sudah mulai naik!" kata Giok Houw dan Kiam Hong berbareng!
Demikianlah:
Seekor burung hong terbang sendirian.
Bercerai dari rombongan di saat pertemuan.
Ikatan lama lepas, habis
bagaimana?
Nyali keras, hati lunak,
Keduanya kosong harapannya...
Itulah mirip, Goe Long dengan Tjit Lie,
Si gembala dan si nona tukang tenun.
Di gunung Thiansan, hati putus, nyasar...
T A M A T
Cerita Selanjutnya Pendekar
Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM)