Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 6 (Tamat)

Liang Ie Shen, Seri Thian San-04: Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 6 (Tamat) Keduanya menyender pada loneng, mata mereka ditujukan ke telaga.
 
Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 6 (Tamat)
Keduanya menyender pada loneng, mata mereka ditujukan ke telaga.

"Kenapa kau selalu gemar usilan?" kata suami itu. "Kalau semua-semua kau hendak mencampuri tahu, mana ada habisnya?"

"Apakah kau tidak mau berpikir, siapa anak muda itu jikalau bukannya Thio Giok Houw?" sang isteri membaliki.

Thian Touw berpikir, lantas ia tertawa.

"Kau benar, memang mirip!" bilangnya. "Kita mempunyai urusan, kita hendak minta bantuan gurunya, dari itu pantaslah kalau Thio Giok Houw terancam bahaya dan kita menolongnya. Tapi, bukankah dia telah dapat menyingkirkan diri?"

"Tetapi masih ada si tauwbak yang ditahan polisi!" In Hong kata.

"Yap Seng Lim mempunyai banyak orang kosen, baiklah urusan itu diserahkan kepadanya. Kita dapat menghemat perhatian kita..."

In Hong tidak setuju, tetapi ketika ia hendak berbicara pula, ia batal. Tiba-tiba perhatiannya tertarik sebuah perahu di tengah telaga. Itulah sebuah perahu nelayan, yang menggayuh seorang laki-laki yang hitam dan dalam perahu ada seorang wanita muda, yang mukanya terlihat cuma separuh tetapi rasanya dikenal, entah di mana pernah diketemukannya, sulit ia segera mengingatnya.

Selagi nyonya ini memandang sambil berpikir, perhatiannya tertarik pula dengan suara tindakan kaki ditangga, apabila ia berpaling, ia melihat datangnya dua anak muda, pria dan wanita, yang usianya masing-masing baru delapan atau sembilan belas tahun -- si pemuda menggantung pedang di pinggangnya, dan si pemudi selain pedang pun ada menggendol gaetan emas di punggungnya.

Agaknya sepasang muda-mudi ini sedikit heran melihat Thian Touw suami isteri. Usia mereka muda tetapi mata mereka tajam, makajuga, lantas mereka menduga Thian Touw berdua bukan sembarang orang, lantas timbul keinginan mereka untuk belajar kenal, hanya mereka batal sebab menyaksikan suami isteri itu tengah terpesona kepermaian telaga. Di akhirnya mereka memilih meja yang berdekatan suami isteri itu.

Muda-mudi itu ialah Tiangsoen Giok bersama Bouwyong Hoa. Bouwyong Hoa ialah muridnya Ouw Bong Hoe, dan Tiangsoen Giok muridnya Lim Sian In atau Nyonya Ouw Bong Hoe. Lim Sian In biasa menggunai gaetan emas, maka dia memperoleh julukannya -- Kimkauw Siantjoe, si Dewi Gaetan Emas. Gaetan di punggung Tiangsoen Giok itu ialah gaetan emas si nyonya dengan apa dulu hari dia mengangkat namanya.

Setelah berpisah dari Tjioe Tjic Hiap di padang rumput muda-mudi ini mentaati pesan guru mereka menjenguk Kimtoo Tjeetjoe, baru mereka menuju ke Selatan. Mereka telah merencanakan, habis mengunjungi Yap Seng Lim dan Ie Sin Tjoe suami isteri itu, mereka mau pergi ke Tali guna menghunjuk hormat mereka kepada Thio Tan Hong. Sebenarnya mereka membawa sepucuk surat perkenalan dari Kimtoo Tjeetjoe, setibanya di kota Hangtjioe, mereka mau mencari seorang tauwbak yang bertugas di kota itu, untuk mencari perahu untuk mulai berlayar. Sayang suasana sedang genting dan tauwbak-nya Seng Lim itu lagi menyembunyikan diri hingga dia tak dapat dicari. Karena ini, saking menganggur, mereka pergi ke rumah makan kesohor itu di tepi telaga, untuk mencari hiburan.

In Hong pernah mendengar halnya muda-mudi itu dari Tjie Hiap, bahwa murid-muridnya Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In itu pernah mengunjungi San Bin, tetapi karena orang yang bergegaman gaetan bukan sedikit, ia tidak mau berlaku sembrono, sedang restoran itu bukanlah tempat di mana mereka dapat berbicara dengan merdeka. Ia jadi hendak melihat salatan dulu.

Sebagai anak-anak muda yang baru mulai merantau, dua-dua Tiangsoen Giok dan Bouwyong Hoa tertarik dengan segala apa yang baru untuk mereka. Mereka memang ingin sangat menemui sesuatu yang luar biasa. Maka juga begitu melihat teratai besi nancap di tembok, Nona Tiangsoen lantas berseru: "Lihat, engko Hoa! Hebat kepandaiannya orang itu! Semua teratai besi itu nancap dalam!

“Ah, dia pun pandai ilmu totok dengan perantaraannya senjata rahasia! Lihat saja berjejernya semua teratai besi itu! Bukankah itu mirip pada kedudukan dari ketiga puluh enam jalan darah di tubuh manusia? Hanya entahlah, dia menyerang berbareng atau saling susul...!"

Bouwyong Hoa mengawasi sebentar.

"Orang itu mengunai jurus yang dinamakan Lauw Hay Say Kim Tjhie," kata dia. "Pasti sekali ini dilakukan hanya satu kali timpuk saja."

"Jikalau begitu, dia terlebih liehay daripada kita," kata si nona, yang agaknya polos. "Engko Hoa, coba kau tolong mencabut barang dua barang, ingin aku melihat itu benar teratai besi atau bukan..."

Bouwyong Hoa tidak lantas bekerja, sebaliknya dia melirik dulu kepada Thian Touw dan In Hong. Ia lantas mendapat kenyataan, si nyonya tengah melirik kepada mereka. Maka berpikirlah ia: "Mungkinkah teratai besi itu ditimpuki mereka ini?" Mendadak timbul niatnya mempertontonkan kepandaiannya. Maka sambil tertawa iamenjawab si nona: "Teratai besi itu nancap dalam, entah aku bisa atau tidak mencabutnya..."

Ia berkata belum habis, jarinya yang tengah sudah bekerja, menotok masuk ke dalam tembok, mencongkel gempur tembok itu, maka sesaat itu juga, sebuah teratai besi telah pindah ke tangannya. Ia merasa puas, lantas ia ingin memandangi suami isteri itu, untuk melihat sikap mereka. Atau tiba-tiba terdengarlah suara nyaring di belakangnya: "Ittjie Siankangyang hebat!"

Itulah pujian untuk kekuatan jeriji tangan, yang mengerahkan ilmu silat Ittjie Siankang, atau Ilmu Sebuah Jeriji.

Dengan cepat Bouwyong Hoa menoleh. Untuk herannya ia mendapatkan orang yang memujinya itu ialah seorang tua yang romannya sangat jelek, yang tangannya pun tinggal sebelah!

"Orang tua ini mengetahui Ittjie Siankang, hebat!" pikirnya.

Orang tua bertangan satu itu memandang tajam kepada si pemuda, matanya yang bundar berputar, setelah itu dua kali dia tertawa terkekeh, untuk habis itu lantas menanya: "Apakah panggilanmu terhadap suami isteri Ouw Bong Hoe?"

Bouwyong Hoa menjadi tidak puas. Roman orang saja sudah menjemukan, itu ditambah lagak jumawanya dan kelancangan menyebut nama Ouw Bong Hoe tanpa bahasa.

"Kau kata apa? Aku tidak mengerti!" sahutnya tawar.

Air mukanya si orang tua berubah, agaknya dia murka, tetapi justeru itu dari arah telaga terdengar suara berisik yang terbawa angin, maka sambil menperdengarkan suara "Hm!" tiga kali, dia bertindak maju, dia lewat di sisi si anak muda, terus dia memandang keluar jendela, ke arah telaga.

Bouwyong Hoa pun ingin ketahui ada terjadi apa, bersama Tiangsoen Giok ia pergi ke loneng, untuk melihat. Maka ia lantas menampak itu sebuah perahu nelayan dengan orang-orang yang menumpangi si pria hitam dan si nyonya muda, meskipun dia seorang tukang tangkap ikan, dia cantik sekali.

Perahu nelayan itu telah bentrok dengan sebuah perahu besar. Di atas perahu besar itu berdiri berbaris serdadu-serdadu yang romannya garang. Di tengah-tengah mereka tampak seorang opsir. Dia terdengar berteriak: "Kamu bikin apa?Berhenti!

“Lekas geledah!" Tangannya pun diulapkan.

Dari dalam perahu lantas dilemparkan beberapa buah gaetan, maka juga perahu kecil itu lantas kena tergaet.

Teranglah sudah, perahu besar itu perahu pasukan air pemerintah.

Orang hitam di atas perahu kecil itu berkata: "Kami tukang tangkap ikan! Kami mohon pertolongan taydjin supaya perahu kami ini tidak dibikin rusak!"

"Ngaco!" bentak opsir itu. "Telaga ini telaga indah, kecuali perahu-perahu pesiar, cuma perahu pembesar negeri yang berada di sini! Mana ada nelayan yang menangkap ikan kemari?"

"Beberapa hari ini angin dan gelombang keras," berkata pula si nelayan. "Pula pihak pembesar negeri tidak ada mengeluarkan pengumuman yang melarang orang menangkap ikan di sini..."

"Hai, kau masih banyak bacot!" bentak opsir itu, gusar. "Lihatlah si wanita yang kulitnya demikian kelimis, tak mirip-miripnya dia dengan nelayan! -- -Mana orang? Bawa perempuan itu kemari untuk aku yang menggeledah sendiri padanya!"

Mendengar itu, Tiangsoen Giok menjadi panas hati.

"Opsir itu bangsa hina dina!" serunya. "Terang dia menghina wanita!"

Si nyonya nelayan tapinya tertawa.

"Jangan gusar, taydjin!" dia berkata nyaring. "Buat apa main bawa-bawa? Nanti aku datang sendiri padamu!"

Kata-kata itu dibarengi dengan lompatan pesat dan tinggi, maka sebentar saja ia telah sampai di atas perahu besar, bahkan tangannya terus menyamber si opsir.

Lompatannya itu ialah lompatan "Burung jenjang menyerbu langit."

Begitu melihat gerakan nyonya nelayan itu. In Hong lantas ingat.

"Dia toh Tjio Boen Wan puterinya Tjio Keng To dan adik seperguruannya Tiat Keng Sim?" demikian ia menduga.

Berbareng dengan samberan si nyonya muda, terdengar juga samberan angin yang keras, dari atas lauwteng rumah makan terbang keluar sebuah peluru dengan tengah telaga menjadi sasarannya!

Tepat tangan si nyonya muda mengenai baju si opsir, dia berteriak dengan tiba-tiba: "Angin keras! Berhenti!" Teriakannya itu disusul dengan gerakan tubuhnya, yang jumpalitan balik, nyebur ke telaga, menyusul mana. si pria hitam juga turut terjun ke dalam air!

"Ah!" seru Tiangsoen Giok perlahan, lalu dia tertawa dan berkata perlahan juga: "Aku tidak sangka kau mempunyai kepandaian ini, yang kau sembunyikan terhadap aku!..."

Bouwyong Hoa melengak, ia memandang soemoay-nya itu dan berkata seperti pada dirinya sendiri: "Eh, urusan ini aneh!..."

Belum berhenti suara pemuda ini, si orang tua yang tangannya sebelah itu mengasi dengar tertawa ejekan yang menyeramkan. Dia berkata: "Bocah yang baik! Sungguh berani di depan aku si orang tua kau mempertontonkan kepandaianmu! Kau pernah apa dengan Ouw Bong Hoe?"

Bouwyong Hoa berbalik dengan cepat. Ia melihat si orang tua sudah berdiri di depannya, gerakan dia itu cepat seperti berkelebatnya hantu, tak ada suaranya sama sekali!

Bouwyong Hoa menjadi gusar.

"Mana dapat kau menyebut lancang nama guruku!" ia membentak.

Orang tua itu tertawa bergelak.

"Suka aku memandang kepada Ouw Bong Hoe!" ia berkata. "Lekas kau berlutut dan mengangguk tiga kali padaku hingga kepalamu membentur batu, nanti aku kasih ampun pada jiwamu!"

"Bangsat tua, kau, kau..." teriak Bouwyong Hoa gusar. Tetapi baru sebegitu ia berkata, tangannya si orang tua sudah menyamber kepadanya.

"Ha, mutiara sebesar beras pun bercahaya!" katanya, mengejek. "Baiklah kau ketahui liehayku si orang tua!"

Bouwyong Hoa telah menduga orang mestinya Iiehay, maka itu waktu ia disamber, dengan lantas ia menyentil. Ia menggunai ilmu Ittjie Siankang, mementil telapakan tangan orang tua itu. Untuk kagetnya, ia merasa ia seperti mementil kapas, terus jari tangannya itu seperti nempel di telapakan tangan yang disentil itu. Jadi Ittjie Siankang yang Iiehay tidak berdaya. Bahkan menyusul itu, segera ia merasakan juga telapakan tangan orang tua itu ada tenaga menyedotnya dan menjadi panas, hingga jerijinya seperti dimasuki ke dalam bara!

Tiangsoen Giok kaget sekali, dengan cepat ia mengeluarkan gaetannya, hingga ia memegang gaetan di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Gaetan itu terus diputar dan pedang ditikamkan ke samping, dengan gaetannya dua kali ia menyerang secara berantai.

Inilah kepandaian yang si nona dapatkan dari Kimkauw Siantjoe Lim Sian In. gurunya. Ia telah dididik menggunai dua rupa senjata dengan berbareng dan ia berhasil dapat menguasainya.

Jikalau kedua senjata itu digunai Lim Sian In sendiri, mungkin si orang tua gentar hatinya. Sekarang tidak. Tenaga dalam dari Tiangsoen Giok masih kacek terlalu jauh. Tangan kiri orang tua itu buntung, tangan bajunya meroyot turun. Mendadak tangan bajunya itu bergerak, dengan lantas gaetan si nona terlibat. Gaetan itu ada bangkolannya, ujungnya itu lantas bentrok dengan pedangnya, hingga kedua senjata berbunyi nyaring, keduanya jatuh di tanah, tubuhnya pun mental mundur beberapa tindak, hampir dia terlempar keluar loteng!

Si orang tua benar-benar Iiehay, begitu lekas dia melayani si nona, begitu lekas juga dia melayani lagi Bouwyong Boa. Ia membalik tangannya dan lantas dengan tiga buah jeriji tangannya memegang nadi si pemuda.

Sekejab saja, Bouwyong Hoa tak dapat berkutik lagi, seluruh tubuhnya dirasai kaku.

Orang tua itu tertawa dingin.

"Baru sekarang kau ketahui liehaynya aku si orang tua?" kata dia. "Orang begini tidak mempunyai guna berani melawan aku!..." Baru ia berkata demikian, lantas dia berdiam. Dia heran. Dia ingat, kalau benar si anak muda demikian tak berguna, kenapa tadi senjata rahasianya dapat digagalkan pemuda itu? Maka ia lantas mau menerka lain orang. Hanya siapakah orang itu? Ia melihat, si pemudalah yang tadi menyerang dengan biji terate besi..."

Selagi orang tua itu heran, Hok Thian Touw bersama In Hong bertindak naik mendekati dia. Thian Touw merangkap kedua tangannya, sembari menjura ia memberi hormat.

"Lootjianpwee, kau keliru menyangka dia!" ia berkata.

Orang tua tangan sebelah itu menjadi mendongkol, ia lantas mendelik.

"Jadi kaulah yang mempermainkan aku?" dia tanya bengis.

"Sebenarnya boanpwee tidak berani menentang Lootjianpwee," berkata Thian Touw sabar dan hormat. Iamemangil lootjianpwee — — orang tua tingkat atas, dan menyebut diri boanpwee, orang tingkat muda. "Perbuatanku barusan disebabkan perasaan kasihanku yang dipunyai oleh setiap orang. Nelayan wanita itu telah diperhina orang, sudah begitu mana sanggup dia menerima peluru Lootjianpwee? Maka dengan terpaksa aku telah menolongi dia."

Leng In Hong mengenali si wanita Tjio Boen Wan adanya, ia lantas minta suaminya menolongi. Thian Touw tidak mau usilan, tetapi karena diminta isterinya dan ia pun tetap memiliki perasaan mulianya --- terutama karena ia tahu siapa si orang tua --- ia mencampur tangan.

Tatkala Tjio Boen Wan menggunai ilmu ringan tubuh yang enteng berlompat dari perahu pembesar negeri itu, si orang tua tangan buntung sebelah menyerang dia dengan biji teratai besi, yaitu thielian tjie. Thian Touw berkasihan kepada si nona, ia lantas meniup biji teratai besi itu hingga senjata itu nyimpang dari sasarannya, lewat di depan jidat si nona. Boen Wan lantas menginsafi musuh liehay, maka itu ia terus terjun ke air. Tanpa pertolongan Thian Touw, pastilah jalan darah di dadanya, soankie hiat, bakal terhajar teratai besi itu.

Teratai besi yang kedua dilepaskan oleh Bouwyong Hoa. Dia hendak menghajar jatuh teratai besinya si orang tua. Tetapi dia kalah liehay, pula tak tepat waktunya, senjata rahasianya itu jatuh terlebih dulu sebelum bentrok. Si orang tua cuma melihat dia menyerang, ia tidak melihat Thian Touw meniup, dari itu ia menyangka dianya. Sekarang baru ia ketahui penglihatannya keliru, jadi ia salah menerka.

Hok Thian Touw jujur, pengakuannya itu membuat si orang tua mendongkol sekali. Dia melepaskan cekalannya terhadap Bouwyong Hoa dengan mendorong keras, terus dia menghadapi orang dengan garang.

"Kau murid siapa?" dia tanya dingin. "Tahukah kau siapa aku si orang tua?"

Dengan tenang Thian Touw memberikanjawabannya: "Bukankah lootjianpwee ialah Tokpie Kengthian Koan Sin Liong dari Aylao San? Boanpwee ialah Hok Thian Touw dari Thiansan. Belum berselang lama, selagi boanpwee bertempur dengan Kiauw Pak Beng, boanpwee mendengar Kiauw Pak Beng itu berserikat dengan lootjianpwee dan itu waktu boanpwee telah bertemu juga dengan Tonghong Hek, murid lootjianpwee itu."

Orang tua itu, ialah Koan Sin Liong, terkejut.

"Jadi kaulah Hok Thian Touw dari Thiansan?" dia menegaskan. "Setelah kau menempur Kiauw Pak Beng, kau masih dapat pulang dengan masih hidup? Hm!"

Masih Thian Touw berlaku tenang. Ia kata: "Kami suami isteri menempur Kiauw Pak Beng selama lima hari, syukurlah kami tidak sampai terlukakan..."

Koan Sin Liong masih tidak percaya dia tertawa dingin.

"Benar-benarkah begitu?" dia tanya. "Baiklah, aku si orang tuajuga ingin belajar kenal dengan ilmu pedang Thiansan Kiamhoat dari kamu!"

"Itulah boanpwee tidak berani," Thian Touw merendah.

"Kau telah membikin terlepas perompak besar, biarnya kau tidak berani, kau mesti menempur juga aku!" kata Koan Sin Liong dingin.

Leng In Hong menjadi gusar. Semenjak tadi ia memang sudah mendeluh melihat lagaknya orang tua itu.

"Kecewa kau disebut seorang guru besar!" ia menyelak dengan menghina. "Kau telah membokong seorang wanita! Tapi baiklah, kami berdua justeru ingin belajar kenal dengan kepandaianmu yang diperantikan menghina si lemah!"

"Sret!" demikian satu suara nyaring dan si nyonya muda telah menghunus pedangnya.

"In Hong, sabar," berkata Thian Touw pada isterinya. "Dialah lootjianpwee. maka itu kami berdua harus mengalah selama tiga jurus!" Lantas ia memandang si orang tua dan berkata dengan hormat: "Koan Lootjianpwee, kau juga silahkan menghunus pedangmu!"

"Hm!" Tokpie Kengthian mengasi dengar suara dinginnya. "Bocah yang terkebur! Untuk menghadapi kau, buat apa... buat apa..." Dia sebenarnya hendak mengatakan, "Buat apa aku menggunai pedang," tetapi mendadak ia ingat: "Dia kata barusan dia bertempur seri dengan Kiauw Pak Beng, entahlah itu benar atau dusta, tetapi pada sepuluh tahun yang lampau, dia benar pernah mempecundangi Yang Tjong Hay..." Maka itu, ia lantas mengubah kata-katanya. Ia kata: "Buat apa aku dengan pengalahanmu?" Juga suaranya rada lunak.

"Sebenarnya boanpwee tidak mempunyai pikiran memandang enteng kepada lootjianpwee," berkata pula Hok Thian Touw, "hanya adalah kebiasaan dari kami suami isteri buat kami senantiasa menyambut musuh dengan bekerja sama. Itu sebabnya, meski di dalamjumlah kamilah yang menang, tetapi di waktu mulai bertempur, suka kami mengalah dari lootjianpwee buat tiga jurus..."

Koan Sin Liong tertawa berkakak.

"Di kolong langit ini," dia kata, nyaring, "kecuali Kiauw Pak Beng, Thio Tan Hong dan Ouw Bong Hoe suami isteri, siapakah yang setimpal untuk melawan aku satu demi satu? Nampaknya saja kau sangat merendah, kau sebenarnya manusia terkebur!"

In Hong tertawa mengejek. Ia kata: "Sebenarnya siapa yang terkebur. sebentar sehabisnya bertempur, baru ketahuan! Maka sekarang tak usahlah kita mengeluarkan kata-kata tak perlunya! Hunus pedangmu!"

Koan Sin Liong gusar hingga dia membentak: "Baiklah! Kau boleh terima dulu satu tanganku!"

Untuk membela nama baiknya, jago tua ini tetap menggunai tangan kosong. Dengan kata-katanya itu. diapun mulai menyerang.

Walaupun dia sangat jumawa, terhadap Hok Thian Touw, Koan Sin Liong masih jeri juga, maka itu dia lebih dulu menyerang Leng In Hong, bahkan penyerangannya dengan pengerahan tenaga delapan bagian.

In Hong terperanjat juga ketika ia melihat serangan datang, serangan mana diiring dengan suara angin yang keras. Pikirnya: "Pantas orang menyebut Koan di Selatan dan Kiauw di Utara, dia benar-benar rada sesat!" Syukur ia pernah menyangkok ilmu silat "Tjoanhoa Djiauwsoe" dari Ie Sin Tjoe. maka ia lantas berkelit dengan itu ilmu kelincahan "menembusi bunga mengitari pohon."

Tangannya Koan Sin Liong hampir mengenai pinggang sasarannya, anginnya itu membikin baju si nona tertiup keras, tetapi tubuh si nona. bahkan ujung bajunya, tertowel pun tidak!

Justeru itu, Hok Thian Touw pun maju.

Koan Sin Liong menyambut dengan satu serangannya.

Thian Touw menggeser pedangnya ke lain tangan, dengan tangan kosong ia menyambut serangan itu. Dengan begitu kedua tangan beradu satu pada lain, terdengar suaranya yang tidak nyaring, lantas terlihat menghembusnya uap putih, uap dari hawa panas.

Itulah pukulan "Tjitsat Tjiang" dari Koan Sin Liong, karena itu kalau tangannya bentrok dengan lawan atau benda lainnya, keluarlah hawa panasnya. Syukur Thian Touw jago kelas satu, waktu ia merasa hawa hangat, lekas-lekas ia menggunai tipu huruf "Melepaskan." untuk melejit dari serangan luar biasa itu, hingga taklah kejadian tangannya kena terbakar.

"Hm!" Koan Sin Liong mengasi dengar pula suara di hidung, sambil ia mengulangi serangannya. Inilah serangannya yang ketiga, yang luar biasa, sebab di waktu baru dikeluarkan, tak tegas arah jurusnya, kepada In Hong atau kepada Thian Touw.

Suami isteri itu sudah terlatih baik, keduanya berdiri berendeng, tidak ada yang mengegos tubuh atau berkelit, maka tempo serangan tiba, mereka cuma mundur tiga tindak. Dengan begitu, serangan menjadi meluncur terlalu jauh dan jadi tak sampai kepada sasarannya.

Mukanya, jago tua bertangan satu itu menjadi merah. Tiga kali ia sudah menyerang, tiga-tiga kalinya tanpa hasil. Ia menjadi malu berbareng mendongkol sekali. Tentu sekali ia malu untuk menyerang pula untuk ke empat kalinya.

Sementara itu diam-diam Thian Touw terkejut. Tadi tangannya bentrok, ia tidak merasakan apa-apa kecuali hawa hangat, tetapi sekarang ia merasa panas dan sakit, ketika ia mencuri lihat, tangannya melepuh melentung beberapa biji. Dengan lantas ia berkata: "Kami berterima kasih yang lootjianpwee sudah sudi mengalah tiga jurus kepada kami, maka itu sekarang harap maafkanlah kami untuk kelancangan kami!"

Kata-kata ini ditutup dengan gerakan pedang, bahkan dua pedang berbareng, maka meluncurlah dua sinar perak berkilauan.

Koan Sin Liong memperhatikan terutama Hok Thian Touw, begitu ia melihat sinar pedang berkelebat, begitu ia bergerak dengan jurusnya "Angin merontokan bunga." Cepat sekali ia berkelit.

In Hong kalah tenaga dalam dari suaminya, tetapi ilmu pedangnya lebih luar biasa daripada suaminya itu, maka itu justeru ia kurang diperhatikan, pedangnya dapat bekerja dengan baik. Ia pun menyerang ke arah yang tak dapat diduga, dan serangannya hampir berbareng dengan serangan lawan. Tatkala Koan Sin Liong mendengar samberan angin, pedang si nyonya sudah menyamber ke arah batok kepalanya. Dia kaget, sekali. Itulah bahaya.

Maka lupalah dia pada derajat atau kehormatannya si jago tua, dia menolong diri dengan "Yan Tjeng Sippat Hoan" atau "Yan Tjeng berguling delapan belas kali," maka juga ia membuang dirinya untuk terus bergulingan di lantai. Selagi ia berlompat bangun pula. ia merasa sedikit hawa dingin di batok kepalanya.

Tiangsoen Giok, yang menyaksikan pertempuran dengan berdiri di pinggiran, lantas tertawa lebar sambil menepuk-nepuk tangan.

"Hahaha, engko Hoa!" dia berkata kepada kawannya, "apakah engko pernah melihat hweeshio separuh?"

Bouwyong Hoa sebaliknya berulang-ulang berseru menyesal: "Sayang! Sayang!"

Itulah sebab pedangnya In Hong menyamber cuma rambut orang, yang tertabas kutung, maka juga Tiangsoen Giok mengatakan separuh hweeshio -- separuh pendeta!

Koan Sin Liong menjadi kaget berbareng gusar sekali. Justeru itu In Hong dan Thian Touw sudah maju pula. Dalam murkanya, dia berseru: "Orang rendah, lihat pedang!" Tubuhnya lantas berlompat, tahu-tahu tangannya sudah mencekal pedang, dengan apa ia menangkis, hingga pedang mereka beradu keras sekali.

Benar-benar hebat jago tua ini. Tangkisannya itu membikin pedang In Hong terpental dan pedangnya Thian Touw tertindih.

Jago Thiansan itu kaget, tetapi ia tabah, maka itu selagi pedangnya dipaksa turun, ia lantas meneruskan meluncurkannya. Ia menggunai tipu silat "Yatjo tamhay," atau "Hantu utusan neraka menjelajah laut." Dengan begitu dengan lantas ia dapat meloloskan pedangnya.

In Hong sebaliknya bekerja terus. Pedangnya yang terpental itu diteruskan, ditarik pulang, untuk segera dipakai menyerang pula, bahkan ia mengulanginya, dengan yang kedua dan ketiga kali, hingga mau atau tidak, Koan Sin Liong mesti bersungguh-sungguh melawannya, karena mana, Thian Touw menjadi merdeka benar-benar.

Pedangnya jago tua bertangan satu dari gunung Aylao San itu ada pedang buatannya sendiri dengan besinya ia ambil dari pegunungan tanah Biauw, besi itu berat luar biasa, maka itu, ditambah dengan tenaga dalamnya yang telah mencapai puncak kemahirannya, ia menjadi hebat sekali. Sudah begitu, dalam panasnya hari, ia juga berkelahi dengan sungguh-sungguh. Maka saban-saban terdengar kerasnya hembusan angin pedangnya itu.

Diam-diam Thian Touw menyedot hawa dingin. Katanya dalam hatinya: "Kalau mulai tadi dia menggunai pedangnya, pastilah aku tidak mengalah tiga jurus... Nyata sekali dalam tenaga dalamnya berimbang dengan Kiauw Pak Beng."

Juga Koan Sin Liong heran dan kagum. Sekarang ia telah mendapatkan bukti dari liehaynya suami isteri itu, yang perpaduan pedangnya manis dan dahsyat sekali. Ia mesti waspada, ia mesti mengeluarkan semua kepandaiannya, buktinya mereka sama tangguhnya. Baru sekarang ia mau percaya Thian Touw berdua dapat melawan Kiauw Pak Beng tanpa terkalahkan.

Di dalam pertarungan ini, Thian Touw dan In Hong menang liehaynya ilmu pedang mereka dan Koan Sin Liong menang mahirnya tenaga dalamnya. Pertempuran itu membikin Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok menjadi berdiri menjublak dengan hati mereka berdebaran.

"Engko Hoa, mari kita maju bersama!" kata si nona kemudian, tangannya mencekal keras gagang pedangnya. Ia merasa bahwa ia tidak dapat membiarkan kedua penolongnya itu berkelahi terus berdua saja.

Bouwyong Hoa tertawa.

"Kita masih jauh ketinggalannya!" ia menjawab. "Pertempuran jago-jago sebagai mereka ini, dalam seumur kita, sukar untuk kita menemukannya pula, maka baiklah kau tenang-tenang saja menonton terus!"

Mukanya si nona menjadi merah, ia jengah.

Tiba-tiba mereka dibikin kaget oleh suara bergomprangan, ketika mereka melihat, mereka melihat seorang pelayan membuat terbalik menampan yang terisikan barang-barang makanan. Dia baru naik, waktu melihat pertempuran itu, dia kaget, menampannya terlepas tanpa dia merasa, maka hancurlah piring mangkoknya...

Dalam bertempur itu, In Hong mendapat satu lowongan dan ia menggunai ketikanya itu. Ia membawa pedangnya dari kanan ke kiri, lalu selagi lawan bingung, ia menikam dengan tipu silat "Menggaris pecah Sungai Langit." Ia merasa bahwa ia bakal berhasil, ketika mendadak Koan Sin Liong berseru keras dan pedangnya yang berat meluncur ke arah pundak si nyonya!

Tapi Hok Thian Touw datang menolong isterinya dari bahaya, ia menangkis serangan si jago tua, akan tetapi ia kalah tenaga dalam, ia tertolak hingga ia terhuyung tiga tindak!

In Hong memang berhasil, ia hanya melupakan lawannya bertangan cuma satu. serangannya itu mengenakan tangan kiri yang buntung, menjadi yang tertabas ialah tangan baju belaka!

Bouwyong Hoa kaget sekali.

Adalah habis itu, di antara mereka terdengar tertawa yang nyaring serta kata-kata ini: "Koan Soeheng, bagus sekali ilmu pedangmu! Dulu hari pedangku telah kena dibikin kutung, maka untuk membalas sakit hati itu, hari ini aku mengandal pada kau soeheng!"

Orang yang bersuara itu berdandan sebagai seorang perwira dan dialah Yang Tjong Hay. Gurunya Koan Sin Liong menjadi soepee, paman guru, dari Tjong Hay, maka itu Tjong Hay memanggil dia soeheng, kakak seperguruan. Mereka menjadi sama tingkat, sedang kenyataannya ialah Koan Sin Liong lebih tua dua puluh tahun dan kepandaian Sin Liong sudah seimbang dengan kepandaian gurunya Tjong Hay ialah Tjie Hee Toodjin. Bahkan beberapa kali, Tjong Hay pernah mendapat petunjuk soeheng-nya ini. Tjong Hay tahu diri, ia berlaku hormat kepada soeheng-nya itu. Bahwa sekarang Sin Liong berada di Hangtjioe ini pun karena undangannya.

Ketika Tjong Hay baru tiba itu, ia justeru menyaksikan Sin Liong menunjuk keliehayannya, maka ia girang sekali dan mengasi dengar tertawa dan seruannya itu. Tapi, baru sejenak ia kegirangan, atau ia sudah menjadi kaget pula.

In Hong dan Thian Touw sudah lantas melakukan penyerangan pula, serempak dan serentak. Suami isteri ini penasaran. Bersatu padulah mereka. Koan Sin Liong menangkis. Hebat serangan jago-jago Thiansan itu, jago dari Aylao San telah kena dipaksa mundur sampai tiga tindak!

Menyaksikan itu, Tjong Hay kaget. Dia bahkan menjadi berkuatir. Memang, seumurnya, kecuali Thio Tan Hong dia, paling jeri terhadap Hok Thian Touw. Tentu sekali, tidak berani dia turun tangan untuk membantui soeheng-nya, yang dia buat andalan.

Biar bagaimana, kedua pihak yang bertarung itu tetap seimbang ketangguhannya. Tapi Koan Sin Liong mempunyai pikirannya sendiri, maka juga lantas ia berkata kepada soetee-nya: "Kau bekuk itu dua bangsat kecil!"

Dengan kedua "bangsat" dia maksudkan Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok.

Tiangsoen Giok mengerti, ia menjadi gusar, dari itu ia mendahului maju menyambut Yang Tjong Hay, yang mentaati perintah soeheng-nya itu.

Dengan jurus "Mengangkat obor menyuluhi langit," Tjong Hay tangkis pedang si nona, untuk membikin terpental pedang itu. akan tetapi nona itu mempunyai gaetan yang liehay, maka itu, gaetannya itu menyerang. Sang gaetan seperti hendak membalaskan sakit hatinya sang pedang!

Maka berkelebatlah sinar gaetan ke arah mukanya musuh.

Bouwyong Hoa kuatir adik seperguruan itu menghadapi bahaya, ia lantas maju, ia menyerang dari samping, maka Tjong Hay lantas

dikepung tiga batang senjata-dua

pedang satu gaetan! Maka juga mereka bertiga pun merupakan satu rombongan pertempuran lainnya.

Kedua soeheng dan soemoay itu --- saudara-saudara seperguruan pria dan wanita --- telah mewariskan kepandaiannya Ouw Bong Hoe suami isteri, apa yang kurang dari mereka ialah latihannya. Mereka pun masih berusia muda. Menghadapi Koan Sin Liong mereka tidak berdaya, sekarang melawan Yang Tjong Hay, mereka dapat bertahan. Yang Tjong Hay liehay dia kewalahan, tidak dapat dia segera membekuk kedua "bangsat kecil" itu.

Adalah Hok Thian Touw yang sabar, yang tidak mempunyai keinginan buat berkelahi lama-lama. Ia lantas melirik kepada isterinya, ia mengedipi mata. Sesudah itu. ia menyerang dengan terlebih hebat.

In Hong dapat mengerti isyarat suaminya, ia juga bekerja keras. Segera Koan Sin Liong dipaksa mundur lagi dua tindak. Justeru itu Thian Touw berseru keras; tubuhnya lompat meleset ke arah Yang Tjong Hay.

Orang she Yang itu kaget bukan main, ia lantas lompat, untuk menyingkir ke belakang meja kuasa hotel.

Atas itu, Thian Touw berseru: "Mari kita pergi!" Lalu dia mendahului mengangkat kaki.

Koan Sin Liong berniat mengejar, akan tetapi ia bersangsi. Ia berkuatir Yang Tjong Hay kena dilukakan. Justeru ia bersangsi itu, Bouwyong Hoa bersama Tiangsoen Giok telah turut mengangkat kaki juga.

In Hong tertawa, ia kata: "Bangsat tua. jangan terburu napsu! Jikalau kau benar berniat melanjuti pertempuran kita ini, baiklah, kami menantikan kau di tempatnya Yap Tjeetjoe!"

Dua-dua pihak jeri sendirinya. Thian Touw berkuatir Yang Tjong Hay datang dengan bala bantuan, maka itu, tidak ada napsunya berkelahi lama-lama Koan Sin Liong sebaliknya berkuatir ada sambutan untuk pihak lawan, maka ia batalkan niatnya mengejar.

In Hong mengangkat kaki paling belakang, bersama suaminya ia menyusul Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok.

Ketika itu serdadu-serdadu di dalam perahu sudah mendarat, mereka tidak kenal bahaya, mereka memegat, niatnya untuk membekuk musuh. In Hong mendongkol, ia meraup batu, ia menimpuk ke arah mereka itu.

Belasan serdadu lantas saja terhajar, mereka roboh seketika. Beberapa yang lainnya, yang bisa berkelit, telah membuang dirinya ke telaga di mana mereka tercebur! Dengan begitu leluasalah Thian Touw berempat berlalu dari tempat yang berbahaya itu.

In Hong pernah datang ke Hangtjioe, ia mengenal baik jalanan, maka ialah yang berjalan di muka. Ia menyingkir dari belakang kuburannya Gak Hoei. Dari sini ia menoleh ke belakang, ia tidak melihat pengejar. Maka ia tertawa.

"Hari ini kita tidak bisa bikin mampus si bangsat tua bertangan satu tetapi aku merasa puas juga!" ia kata. "Toako," ia menambahkan kepada suaminya, "mari kita minta bantuannyaentjie Sin Tjoe dan saudara Giok Houw buat menyingkirkan bangsat tua itu, supaya dia dapat dicegah bergabung dengan Kiauw Pak Beng si siluman tua! Mereka jahat, mereka bisa menjadi harimau tumbuh sayap!"

"Itu berarti kau mau pergi ke tempatnya Yap Seng Lim," menjawab sang suami. "Itu artinya memperlambat waktu..."

"Entjie JSin Tjoe mempunyai urusan, mana dapat kita berdiam saja?" kata isteri itu. "Kiauw PakBeng mau berserikat dengan Koan Sin Liong, maksud tujuan mereka menj adi serupa..."

Ketika itu Tiangsoen Giok dan Bouwyong Hoa ketinggalan oleh suami isteri ini, waktu mereka menyandak, justeru mereka mendengar kata-kata In Hong yang terakhir. Tiangsoen Giok menjadi girang, ia lantas berkata: "Apakah djiewie hendak mencari Ie Liehiap? Kebetulan! Aku Tiangsoen Giok, dan ini soeheng-ku, Bouwyong Hoa. Memang sudah lama aku mendengar nama besar dari djiewie berdua!"

"Aku pun pernah mendengar Tjioe Tjie Hiap menyebut nama kamu," kata ln Hong. "Pula belum selang lama, guru kamu ada bersama kami. Kami justeru hendak menyampaikan kabar kepada kamu."

Bouwyong Hoa melengak. "Di mana djiewie menemui guru kami itu?" ia tanya. "Dua bulan yang sudah kami bertemu dengan Tjioe Tjeetjoe yang muda yang mau mencari Kiauw Pak Beng, katanya dia mencari guru kami untuk diajak pergi bersama. Apakah dia telah bertemu dengan guru kami itu? Apakah pesaa guru kami?"

In Hong ingat kebinasaannya Ouw Bong Hoe, ia sangat berduka.

"Panjang untuk aku menutur," ia menyahut. "Sekarang mari kita mencari dulu tempat di mana kita dapat beristirahat, di sana nanti aku omong dengan jelas. Sudah berapa hari kamu berada di kota Hangtjioe? Apakah kamu sudah bertemu dengan Yap Tjeetjoe?"

"Belum," menjawab Bouwyong Hoa. "Selama beberapa hari ini keadaan genting. Tjioe Tjeetjoe telah membekali kami surat perkenalan dan kami dipesan untuk mencari satu orang perantara, ketika kami cari orang itu, dia sudah pindah. Karena itu belum sempat kami pergi berkunjung."

"Tidak apa kalau begitu. Aku kenal seorang tauwbak tentara rakyat yang bernama Thio Pa, yang tinggalnya di suatu tempat sepi di Kioekee Sippat Kan, pernah bersama Ie Liehiap aku tinggal di sana, mungkin dia belum pindah, mari kita pergi padanya."

Bouwyong Hoa suka ikut nyonya ini.

Hok Thian Touw tetap tidak suka banyak urusan tetapi karena sekarang ternyata Kiauw Pak Beng sudah berserikat dengan Koan Sin Liong, ia tidak bisa berbuat lain daripada mengiringi isterinya, maka itu ia tidak mau banyak omong lagi.

In Hong jalan di depan. Berselang satu jam. tibalah mereka di tempat yang dituju. Ia lantas mengetuk pintu menurut isyarat kaum tentara rakyat, mengetuk lima kali, yaitu tiga lama dan dua pendek.

"Sahabat siapa di luar?" terdengar suara menanya dari dalam disusul dengan munculnya orangnya ialah Thio Pa.

Tauwbak ini pada belasan tahun yang lalu telah mengikuti pamannya Yap Seng Lim yaitu almarhum Yap Tjong Lioe. ketika pertamakah Ie Sin Tjoe pergi kepada pasukan rakyat, dialah yang mengemudikan perahu menghantarkannya. Dialah seorang yang gesit, maka juga, begitu mendengar ketukan pintu berisyarat, ia lari keluar untuk membukai pintu.

In Hong tertawa dan berkata: "Paman Thio, apakah kau masih mengenali aku?"

Thio Pa mengawasi sejenak, lantas dia tertawa lebar.

"Kiranya Leng Liehiap!" katanya riang. "Dan tuan ini?" Ia menunjuk kepada Hok Thian Touw.

Thian Touw lantas memperkenalkan dirinya.

"Oh, Hok Tayhiap!" Thio Pa kata sambil tertawa. "Sudah lama aku mendengar nama besar dari tayhiap! Sebenarnya sudah aku menduga kau siapa! Leng Liehiap, hari ini kau harus mengundang aku minum arak kegirangan!"

"Sayang Lauwgwa Lauw telah diubrak-abrik orang!" berkata In Hong tertawa. "Kami datang kemari justeru untuk menggerecoki kau lantaran kami tidak dapat lain tempat lagi!" Lantas ia memperkenalkan Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok.

Kembali Thio Pa tertawa.

"Liehiap menyebut-nyebut Lauwgwa Lauw," ia kata, "di sini justeru ada orang yang ada sangkut pautnya dengan rumah makan itu! Mari masuk menemui dia!"

Tuan rumah ini membuka jalan untuk ke empat tetamunya, maka di dalam mereka melihat si wanita muda, yang tadi naik perahu sebagai nelayan, menyambut mereka. Dialah Nona Tjioe Boen Wan.

"Kiranya di Lauwgwa Lauw itu ialah kamu!" berkata dia. "Siapa itu orang tua yang melepas senjata rahasia? Terima kasih yang aku telah ditolongi, jikalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan aku, mungkin aku tak dapat tiba di sini..."

"Bangsat tua yang melepaskan senjata rahasia itu ialah Tokpie Kengthian Koan Sin Liong dari Aylao San," In Hong memberi keterangan.

"Oh!" kataBoen Wan. "Jadi dialah si tua bangka tak mau mampus yang dulu hari telah dikutungi sebelah tangannya oleh Hoeithian Lionglie Yap EngEng!" "Itulah benar!"

"Kalau begitu, sulit!" berkata Boen Wan, masgul. "Dengan adanya dia, sukarlah untuk membongkar penjara..."

"Sebenarnya, apakah telah terjadi?" tanya In Hong cepat. "Siapakah itu yang kena ditangkap pembesar negeri ? Pada tahun yang sudah pernah aku mendengar dari entj ie Sin Tjoe halnya Yap Toako telah membuat perjanjian dengan soenboe dari Tjiatkang untuk kedua pihak tidak saling ganggu. Kenapa sekarang pihak pembesar di Hangtjioe menangkap orang pihak kita?"

Matanya Boen Wan menjadi merah.

"Sekarang ini telah terjadi pertukaran orang yang menjadi soenboe," ia menerangkan. "Dan pertukaran itu belum dapat diketahui oleh pihak kita. Hay San telah menerima perintahnya Yap Toako pergi ke kantor soenboe untuk membicarakan sesuatu, ketika dia tiba, dikantor orang justeru menyambut datangnya firman raja dengan apa soenboe yang lama ditukar dengan yang baru. Celakanya si pembawa firman ialah Yang Tjong Hay. Dengan begitu datangnya Hay San mirip dengan orang yang menyerahkan diri ke dalam jaring. Yang Tjong Hay lantas menangkapnya!"

In Hong terkejut, baru sekarang ia mengerti. Hay San itu --- Seng Hay San --- ialah suaminya Boen Wan, pantas nyonya muda ini berduka.

Berhubung dengan tahun yang lalu raja yang baru telah naik di atas tahta dan dari pelbagai propinsi datang hadiah, pada itu telah terjadi hal yang luar biasa. Semua hadiah kena dirampas "orang jahat," kecuali kiriman dari dua propinsi Inlam dan Tjiatkang. Karena itu pihak pengirim yaitu raja muda dari Inlam, Bhok Kokkong, dan soenboe dari Tjiatkang, Lie Tjoan. telah memperoleh pujian dari raja. Tapi, berbareng dengan itu, dalam hati rajajuga timbul kesangsian, hingga ia menjadi bercuriga. Sudah begitu maka timbullah urusannya Tiat Keng Sim serta Bhok Lin yang ketahuan ada hubungannya dengan pihak tentara rakyat, hingga kejadian Keng Sim bersandiwara membunuh diri, lantaran mana Thio Tan Hong bersama Ie Sin Tjoe datang ke kota raja hingga mereka membekuk seratus lebih anggauta Gielimkoen dan pengawal-pengawal raja, bahkan mereka menemui raja sendiri, sampai raja tidak berani menarik panjang kejadian itu. Habis itu kemudian raja pun mendapat tahu sebabnya kenapa, seperti bingkisan dari Inlam, bingkisan dari Tjiat kang itu tak terganggu, yaitu lantaran adanya perjanjian di antara soenboe dan pihak Yap Seng Lim dan Tjioe San Bin itu. Raja menjadi tidak senang. Untuk mengambil tindakan terang-terangan, raja tidak berani, sebab Bhok Kokkong berada jauh di Inlam dan kekuatan tenteranya besar, dari itu lalu diambil tindakan diam-diam terhadap soenboe dari Tjiatkang, yaitu, Soenboe Lie Tjoan ditangkap, untuk ditukar dengan soenboe yang baru.

Tatkala itu Yang Tjong Hay berada di kota raja, ia lalu bekerja keras untuk mendapatkan pula pangkatnya yang lama, oleh karena pangkat itu telah dipangku lain orang dan untuk sementara tak ada pangkat yang cocok untuknya maka Kaisar Tjoe Kian mengangkat ia menjadi Tjoktjatsoe, pangkat "pembesar tukang tangkap orang jahat," dengan mana ia diberi kekuasaan menggunai polisi dan lentera di pelbagai propinsi pesisir, kemudian ia di kirim ke Hangtjioe dengan dua tugas, yaitu satu untuk menawan Soenboe Lie Tjoan, dan kedua, guna bertindak tentang Yap Seng Lim dan Tjioe San Bin. Maka kebetulan sekali, Seng Hay San diutus kepada soenboe, hingga dia dengan gampang kena ditangkap.

Semua rahasia ini diketahui kemudian oleh mata-mata yang bekerja di kantor soenboe. Sedang halnya Yang Tjong Hay mengundang Koan Sin Liong, si kakak seperguruan, untuk membantu padanya, baru diketahui paling belakang itu.

Bingung In Hong mendengar keterangannya Boen Wan ini. Ia jadi berpikir keras.

"Bagaimana dengan Giok Houw?" ia tanya. "Bukankah dia yang mengacau di Lauwgwa Lauw itu?"

"Benar dia. Dia telah terluka tapi sekarang dia sudah pulang ke benteng air," jawab Boen Wan.

In Hong kaget.

"Dia terluka?" ia tegaskan. "Bukankah ia terjun ke telaga dan menyingkir dengan berenang? Bagaimana dia terlukanya?"

"Di gili-gili Souwtee telah diatur banyak serdadu, yang menghujani anak panah," Boen Wan menerangkan terlebih jauh, "karena terhalang itu, dia terpaksa pergi ke selatan bukit Kosan di mana dia mendarat dan menerjang lentera negeri, yang dia dapat bubarkan."

"Jadi dia terlukakan panahnya tentera?"

"Bukan. Tentera negeri tak dapat melukakan dia. Hanya di bukit itu dia bertemu dua lawan yang liehay, yang satu dapat dia lukakan, yang lain kena memukul dia dengan tangan pasir besi Tiatsee Tjiang. Syukur mahir tenaga dalamnya, katanya dia tidak terluka parah."

"Jikalau begitu Yang Tjong Hay bukan cuma mengajak Koan Sin Liong seorang yang liehay. Syukur Giok Houw tidak bertemu jago dari Aylao San itu, kalau tidak, entah bagaimana kesudahannya."

"Memang," kata Boen Wan, "aku pun tidak tahu Yang Tjong Hay membawa banyak kawan yang liehay itu. Aku menyamar jadi nelayan dengan niat membekuk beberapa musuh, umpama komandan muda dari pasukan air negara, supaya dia dapat ditukar dengan Hay San, aku tidak sangka Koan Sin Liong menghalang-halanginya dari Lauwgwa Lauw. Dia benar hebat sedang jaraknya dia dari rumah makan itu demikian jauh. Jikalau bukan kau membantu menghajar biji teratai besinya itu, mungkin aku pun bercelaka..."

Bouwyong Hoa mendengari saja orang berbicara, tidak ada kesempatan untuk ia turut mengambil bagian, setelah mendengar perkataannya Boen Wan itu, baru ia menyelak.

"Leng Liehiap," katanya, "bukankah tadi kau bilang kau telah bertemu guru kami? Di manakah soehoe diketemukannya dan apakah pesannya untuk kami?"

Ditanya begitu, In Hong jadi berduka.

"Kita bertemu di atas gunung Koenloen San," ia terpaksa menyahut. "Di situ dengan bergantian kita menempur Kiauw Pak Beng..."

"Oh, jadi benar-benar soehoe telah pergi kesana!" kata Bouwyong Hoa. "Bagaimanakah kesudahannya? Apakah siluman tua she Kiauw itu dapat lolos?"

Bouwyong Hoa sangat mempercayai gurunya, maka itu, ia bukan menanyakan hal gurunya, justeru hal Kiauw Pak Beng.

Bukankah di sana pun ada Hok Thian Touw dan Leng In Hong? Ia mau percaya, jikalau tidak mati sedikitnya Pak Beng terluka.

Matanya In Hong menjadi merah.

"Jangan kamu berduka," sahutnya perlahan. "Guru kamu. dia... dia telah menutup mata... Tapi juga Kiauw Pak Beng, dia telah terluka Ittjie Siankang..."

Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok kaget hingga keduanya menjublak.

"Bagaimana sebenarnya?" keduanya tegaskan kemudian. Mereka bersangsi akan tetapi sekarang mereka melihat kedua matanya In Hong mengalirkan air.

"Kiauw Pak Beng telah mulai meningkat ke tingkat delapan dari Sioelo Imsat Kang," Hok Thian Touw menggantikan isterinya berkata, "karena itu guru kamu cuma dapat melukai dia. Di jaman ini, kecuali Tayhiap Thio Tan Hong, tidak ada lain orang yang dapat melukai dia secara demikian..."

Soeheng dan soemoay itu menjublak pula, baru kemudian keduanya menangis, air mata mereka turun dengan deras. Kedukaan mereka bukan kepalang.

In Hong menjadi semakin berduka sedang Thian Touw berduka berbareng merasa tidak tenang hatinya, la merasa malu sendirinya.

"Apakah pesan guru kami sebelumnya ia menutup mata?"

kemudian Bouwyong Hoa tanya.

"Guru kamu menghendaki supaya sebelumnya Kiauw Pak Beng binasa, janganlah kamu pulang dulu." In Hong kasi tahu. "Gurumu ingin kamu ingat baik-baik pengajarannya, supaya kamu bekerja sama dengan Tjioe Tjeetjoe atau Yap Tjeetjoe."

Bouwyong Hoa dapat menduga maksud gurunya, yaitu supaya ia jangan sembrono pergi menuntut balas. Hanya, karena gurunya telah terbinasakan, apakah ia mesti berdiam saja?

"Bagaimana dengan soenio dan soetee kami yang kecil?" kemudian Bouwyong Hoa tanya pula. Ia maksudkan isteri gurunya serta adik seperguruannya. "Pesan soehoe tidak dapat ditentang, tetapi toh pantas jikalau kami pulang untuk berdamai dengan soenio? Apakah soenio telah ketahui kejadian ini?"

Untuk sejenak itu, Bouwyong Hoa masih memikir pulang kepada Lim Sian In, untuk mengabarkan dan berempukan, guna membicarakan urusan menuntut balas. Ia tidak ingat, kalau gurunya sendiri sudah tidak berdaya, bagaimana dengan ia dan ibu gurunya itu?

In Hong dapat membade hati orang.

"Meskipun guru kamu memesan demikian, kamu harus sabar," ia membujuk. "Baiklah diketahui saatnya untuk kamu pulang sudah tidak lama lagi. Kau tahu, perjalanan kami ini justeru ada untuk mengundang Thio Tayhiap guna membalaskan sakit hati guru kamu. Kami juga berkewajiban membalaskan sakit hati itu. Sekarang ini Kiauw Pak Beng telah menjadi musuh umum Rimba Persilatan, siapa pun yang membinasakannya, sama saja. Tentang soenio kamu, ia sudah dikabarkan oleh Hoepangtjoe Tie Goan dari Kaypang, maka itu ia tentulah lagi menantikan juga Thio Tayhiap untuk turun tangan bersama."

Bouwyong Hoa berdiam, juga Tiangsoen Giok.

"Sekarang ini Kiauw Pak Beng banyak konconya," In Hong menerangkan terlebih jauh, "jadi untuk membinasakan dia, kita perlu juga menyingkirkan sekalian konconya itu. Umpama Koan Sin Liong, dialah kawan liehay dari Pak Beng, maka dia ini perlu disingkirkan terlebih dulu."

Akhirnya soeheng dan soemoay ini bersyukur. Nyata In Hong telah mengatur untuk pembalasan sakit hatinya itu.

"Kami masih muda, di dalam segala apa kami menurut saja pada Leng Liehiap," akhirnya Bouwyong Hoa bilang.

Maka itu lalu ditetapkan, tindakan mereka yang pertama ialah mencari dulu Yap Seng Lim dan Ie Sin Tjoe. Thio Pa lantas diminta mengatur untuk keberangkatan mereka.

Malam itu Thian Touw dan In Hong tak dapat tidur pulas. Mereka sama-sama berpikir keras. Sampai jauh malam mata mereka masih terbuka saja. Akhirnya In Hong tertawa dan berkata: "Apakah hatimu tak tenang karena perjalanan kita ini terlambat?"

"Biar bagaimana, kita toh bakal dapat bertemu dengan Koan Sin Liong, tak apa kita terlambat!" menjawab suami itu. "Kelambatan ini tak dapat dicegah."

Hati sang isteri lega juga.

"Sekarang dia menjadi terlebih sabar," pikirnya. "Rupanya dia mulai insaf..."

Thian Touw menghela napas. "Ya, inilah terpaksa," kata ia. "Kejadian ini tak dapat dihindarkan. Apa yang aku kuatir ialah, gelombang yang satu belum tenang, yang lain bakal menyusul... Entah sampai kapan laut menjadi tenteram?..."

Ditanya begitu, sang isteri berdiam, la pun merasakan demikian.

"Ya, sampai kapan laut dapat menjadi tenang?" ia pun tanya dirinya sendiri. Ia turut merasa sukar.

Teranglah sudah Thian Touw senantiasa mencari ketenangan. Suami itu ingin memperoleh kesempatan untuk meyakinkan sempurna ilmu pedangnya.

In Hong sebaliknya. Isteri ini belum memikir untuk duduk diam saja. Di sana umpamanya masih ada le Sin Tjoe dan Yap Seng Lim, yang belum dapat berhenti berusaha. Tidak dapat ia mententeramkan diri selagi kawan-kawannya itu menghadapi badai dan gelombang dahsyat. Belum ia memikir mencari pelabuhan di mana ia bisa berlabuh.

Hati In Hong bercekat kalau ia ingat mungkin ia bentrok pula dengan suaminya sebab pandangan hidup mereka masih berlainan...

Tengah isteri ini berpikir dengan hatinya pepat itu, tiba-tiba telinganya mendengar suara angin yang keras yang datangnya dari arah rimba.

Thian Touw pun dapat mendengar itu, bahkan suami ini segera berkata: "Itulah suaranya panah nyaring! Ah, di atas gunung di sana ada orang lagi bertempur!"

Berkat latihan bersamedhinya, yang membuat tenaga dalamnya mahir, telinga orang she Hok ini menjadi luar biasa tajam.

In Hong percaya pendengaran suaminya itu, ia bangun untuk menyamber pedangnya, buat segera lari keluar.

Melihat demikian. Thian Touw menghela napas.

"Benarlah, gelombang yang satu belum tenang, telah menyusul yang lain," pikirnya. "Benarlah satu kali orang terlibat dalam pertempuran-pertempuran kaum Kangouw, sulit orang menyingkirkan diri pula, lantas tak ada lagi saat yang tenang..."

Meski begitu, ia menyusul isterinya itu.

Suami isteri ini berlari-lari dengan "Lioktee Hoeiteng," atau "Terbang mumbul di atas tanah." suatu ilmu ringan tubuh yang mahir. Sebentar saja mereka sudah melalui empat atau lima Iie, lalu di dekat selokan Tjengtiok Kan mereka menampak berkelebatannya sinar pedang di sana beberapa tubuh manusia lagi bergerak-gerak dalam sebuah pertempuran.

Setelah datang cukup dekat, In Hong berhenti berlari, untuk mengawasi. Ia tidak mau bertindak sebelum melihat nyata mereka itu, siapa lawan siapa kawan.

Yang bertempur itu terdiri dari lima orang, dengan bantuan sinar rembulan dan bintang, dapat mereka dikenali. Yang tiga berdandan sebagai opsir, yang dua sebagai rakyat jelata. Satu opsir ternyata Yang Tjong Hay, yang bersenjatakan pedang. Seorang tua, yang bersenjata tongkat bambu, ialah jago kenamaan dari PekToo, golongan Jalan Putih, sebab ialah Sin-ie Kok Tiok Koen si Tabib Sakti. Sedang kawannya tabib ini, seorang muda, bukan lain daripada Ban Thian Peng.

Kok Tiok Koen menggunai sebatang tongkat sebagai pedang, ia dapat menikam dan menotok, sedang Thian Peng memegang sepasang poankoan pit, untuk menotok juga, tetapi dalam pertempuran ini, mereka repot sekali. Mereka dikepung musuh-musuh yang liehay dan licik.

Yang Tjong Hay dengan pedangnya melayani Kok Tiok Koen. Berdua mereka nampak berimbang. Ban Thian

Peng dilibat oleh musuh yang usianya sudah lanjut, yang berkelahi dengan tangan kosong. Dia rupanya liehay sekali sebab dia tidak jeri untuk sepasang poankoan pit lawannya, bahkan dia dapat mendesak.

Yang menyulitkan ialah musuh yang ketiga, si opsir usia pertengahan. Dia menggunai djoanpian, cambuk atau ruyung lemas. Dia tidak mengepung salah satu, dia hanya mengambil kedudukan di tengah. Dia menjadi si pengacau. Dia selalu menanti ketika. Ada kalanya dia menyerang Tiok Koen, ada waktunya dia membokong Thian Peng. Dia cuma membikin orang bingung.

Selama In Hong menonton, ia menyaksikan Tiok Koen kena dibokong satu kali dan Thian Peng tiga kali, hingga pakaiannya anak muda itu rubat-rabit, hingga dia menjadi repot. Kelihatannya pemuda she Ban itu telah mendapat luka tak enteng.

Sampai di situ, In Hong tidak dapat menonton terlebih jauh. Ia berseru dan berlompat maju, untuk menghampirkan tukang mengacau itu.

Opsir yang bergegaman djoanpian itu mendengar suara orang dan melihat orang mendatangi, tanpa menegur lagi, ia menyambut. Ia menimpuk dengan seraup biji teratai besi, hingga terdengar suara anginnya serangan itu.

In Hong menangkis. Ia menggunai tipu silat "Naga Sakti keluar dari laut." Maka dengan menerbitkan suara berisik, semua biji teratai besi itu kena dihajar mental ke segala penjuru.

Opsir itu terkejut.

In Hong maju terus, ia menyerang. Ketika ia ditangkis si opsir, ia babat kutung senjatanya opsir itu. hingga dia menjadi terlebih kaget pula. Tapi pun pedang si nyonya kena tersampok, dari mana ternyata, opsir itu benar bukanlah sembarang opsir.

Yang Tjong Hay yang bermata tajam lantas dapat melihat di belakangnya In Hong ada Thian Touw. hatinya menjadi kecil. Dia memang licik. Dia mengerti bahwa bahaya maut lagi mengancam padanya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia berseru:""Angin keras! Berhenti!" Lantas dia menangkis serangannya Kok Tiok Koen, terus dia memutar tubuh dan lari keras, hingga lekas juga dia sudah pergi jauh.

Si opsir tua dan usia pertengahan mengerti tanda kawannya, mereka juga mau mengangkat kaki, untuk menyusul kawan mereka itu. Tapi In Hong.mendesak opsir usia pertengahan itu. berulang-ulang ia menikam, tatkala si opsir berlompat, ia tikam mata kakinya. Maka robohlah dia, terguling ke bawah bukit!

Habis itu In Hong menyerang si tua. Dia itu Iiehay, dia dapat meloloskan diri.

"Sudahlah!" berkata Thian Touw, yang tidak berniat mengejar musuh. "Paling perlu kita menolongi orang!"

In Hong dapat dikasih mengerti.

Ketika itu segera terdengar suaranya Ban Thian Peng: "Kau, Leng Liehiap? Bagaimana dengan lukanya Tjioe Tjeetjoe, sudah sembuh seluruhnya atau belum? Apakah liehiap mendengar halnya Sioe Lan?"

Suara pemuda itu tidak keras, rupanya selain luka di luar juga ia terluka di dalam.

In Hong menghampirkan pemuda itu.

Ban Thian Peng bersama Kok Tiok Koen pergi ke Selatan untuk mencari Im Sioe Lan. Ketika mereka tiba di Hangtjioe, mereka justeru mendengar kabar hal ada seorang tauwbak-nya Yap Seng Lim kena tertangkap pembesar negeri dan ditahan di kantor soenboe. Mereka lantas memikir untuk menolongi. Kok Tiok Koen yang bernapsu sekali, dia yang mengajaki Thian Peng. Di luar dugaan, mereka bertemu musuh-musuh yang tangguh, yang menjaga kuat kantor soenboe. Syukur untuk mereka, Koan Sin Liong tidak turut mengepung, sebab Sin Liong letih bekas melayani Thian Touw. Mereka kabur terus.

Kawan yang tua dari Yang Tjong Hay ialah Tjoei Goan Pok dari Tjengtjioe. Dia memang Iiehay, sebab dia pandai berkelahi dengan tangan kosong, untuk merampas senjata musuh dan kemudian merobohkannya. Ilmu silatnya, Kimna Tjioe, ilmu menangkap, terdiri dari tujuh puluh duajurus. Dibanding dengan ilmu Hoenkin Tjokoet Tjioe dari Law Tong Soen, dia kalah setingkat, tetapi dia toh terkenal sekali. Sedang opsir usia pertengahan itu bernama Kouw Tok Tjoen, murid nomor dua dari Koan Sin Liong. Dia telah mewariskan ilmu senjata rahasia dari gurunya. Dialah yang menggunai teratai besi melukai Thio Giok Houw di luar LauwgwaLauw.

Yang Tjong Hay bertiga terus mengejar Kok Tiok Koen berdua. Tiok Koen tahu di mana tempatnya Thio Pa, ia percaya di sana ia bakal dapat bantuan, maka itu ia mengajak Thian Peng lari ke arah rumah orang she Thio itu, tetapi di dekat selokan mereka tercandak, hingga di situ mereka mesti berkelahi mati-matian. Mereka dipersulit oleh Tok Tjoen. Syukurlah In Hong dan Thian Touw keburu tiba, kalau tidak, Thian Peng bisa celaka.

Ban Thian Peng taat kepada pesan Tjit Im Kauwtjoe, ia pandang Sioe Lan sebagai adik sendiri, maka juga begitu melihat In Hong. ia tanyakan hal adik angkat itu.

In Hong lantas menyahuti: "Tjioe Tjeetjoe sudah sembuh! Im Sioe Lan sudah pulang ke benteng gunung!"

Thian Peng girang hingga ia berseru sambil berjingkrak, atau mendadak ia menjerit kesakitan dan roboh sendirinya.

Kok Tiok Koen lompat untuk memimpin bangun.

"Syukur, nadimu tidak kurang suatu apa!" kata tabib itu tertawa.

Selagi mengangkat, ia lantas pegang nadi orang. "Tapi ingat, jangan lagi kau berseru-seru dan berlompatan!"

Sebenarnya Thian Peng terlukakan Tjoei Goan Pok pada jalan darah hiedjie, sedang luka djoanpian tidak berarti. Tiok Koen merasa pasti, dalam waktu tiga hari ia akan dapat menyembuhkannya.

Sementara itu Tjio Boen Wan bersama-sama Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok serta Thio Pa telah datang menyusul, mereka itu kenal Kok Tiok Koen, maka pertemuan itu menggirangkan mereka. Lantas bersama-sama mereka balik.

Setelah mengetahui segala apa, Thio Pa berpikir, terus ia berkata: "Tempat kita ini sudah diketahui musuh, tidak dapat kita berdiam lebih lama pula di sini. Baiklah besok pagi kita lantas berangkat!"

Sebenarnya Thio Pa lagi menyiapkan kendaraan air dan awaknya dan masih belum bersedia, tetapi sekarang, tak dapat ia menanti lagi. maka ia lantas bekerja.

Malam itu orang tak tidur lagi. Mereka berjaga-jaga karena kuatir musuh nanti datang pula. Tapi sampai terang tanah, mereka tidak mendapat gangguan apa-apa.

Itulah disebabkan Kouw Tok Tjoen terluka. karena dia ditolongi, ketika mereka itu tiba di kantor soenboe, hari sudah jam lima.

Tiok Koen menggunai jarum mengobati Thian Peng, untuk membuyarkan darahnya yang bergumpal, maka itu. meski si anak muda belum sembuh benar, dia sudah dapat berjalan. Pagi itu. dengan naik perahu, mereka pergi menyingkir.

Di atas kendaraan air, In Hong memandang jauh ke sekitarnya. Ia melihat ujung air seperti nempel dengan pangkal langit. Burung-burung beterbangan. Ia merasa hatinya terbuka. Maka ia berpaling kepada suaminya dan kata sambil tertawa: "Inilah yang dibilang, laut lebar membikin ikan dapat berlompatan, dan langit terbuka memerdekakan burung beterbangan. Satu kali orang berada di tengah laut, legalah hatinya!"

Thian Touw menyeringai.

"Nampaknya kau sangat mengagumi Sin Tjoe beramai!" katanya masgul. Ia ingat bagaimana pada dua tahun dulu ia pergi mencari In Hong, ketika itu ia telah minta bantuannya Ie Sin Tjoe, tetapi sekarang, ia telah terlibat oleh isterinya ini, sekarang ia mesti ikut isterinya pergi mencari pula Nona Ie...

Tiga hari orang berlayar maka tibalah mereka di tempatnya Yap Seng Lim. markas di Tanghay, Laut Timur.

Ketika Yap Seng Lim mendengar siapa yang datang, bersama-sama Ie Sin Tjoe dengan lekas ia pergi menyambut.

Bukan main girangnya Sin Tjoe dan In Hong dapat bertemu pula satu dengan lain, meskipun belum ada satu tahun semenjak mereka berpisah, hingga tanpa merasa, In Hong membikin suaminya menjadi tersampingkan. Thian Touw pun lantas bisa melihat bahwa In Hong itu benar-benar orang yang sama cita-citanya dengan Sin Tjoe. Dengan begitu, ia merasa ia seperti orang luar...

Thio Giok Houw sudah sembuh tujuh atau delapan bagian, maka setelah bicara sebentar, In Hong ajak Sin Tjoe pergi menjenguknya.

Giok Houw senang mendapat kunjungan itu apapula kapan ia mendengar halnya In Hong berdua Thian Touw menempur Kiauw Pak Beng, cuma ia berduka akan mendapat tahu kematiannya Ouw Bong Hoe. Ia pun berlega hati mendengar halnya Sioe Lan, yang tak usah dikuatirkan lagi.

"Mana Kiam Hong?" kemudian In Hong tanya. "Kenapa aku tidak lihat dia? Apakah dia belum pulang?"

"Bagaimana, eh?" Sin Tjoe balik menanya. "Bukankah kamu datang kemari bersama Nona Liong?"

"Memang aku bersama ia tetapi kita berpisah di Thiantjia," sahut In Hong. "Dia naik perahu bersama-sama Thay Ouw Tjeetjoe Lioe Tek Tjhong dan Tjhio Peng Kin. Tentu dia sekarang ada di tempatnya Tjhio Tjeetjoe. Kalau dia mendengar Giok Houw terluka. pasti dia menyesal tidak mempunyai sayap untuk terbang kemari!..."

Mendengar begitu, hati Sin Tjoe tidak tenang. Ia percaya, seharusnya Kiam Hong sudah sampai di markasnya ini.

"Perjalanan di laut sukar ditentukan," kata Giok Houw. "Jikalau kita menghadapi gangguan angin, kita dapat terhalang beberapa hari."

Pemuda ini dapat berkata demikian tetapi hatinya tak tenang. Ia terus memikirkan Kiam Hong.

Dua hari orang mengharap-harap, perahunya Lioe Tek Tjhong tetap tak kunjung tiba. Di lain pihak datanglah warta buruk dari Hangtjioe. Mata-mata dapat berita ketenteraan, ialah bahwa soenboe yang baru, setelah mulai bertugas, lagi rajin mengumpul pasukan air dari pelbagai tempat, mungkin maksudnya untuk melakukan penyerbuan.

Seng Lim lantas berhimpun, untuk membicarakan kemungkinan penyerangan tentera negeri itu. Kalau benar, penyerangan itu mesti dilawan. Mereka juga sekalian merempuki pertolongan untuk Seng Hay San.

Tengah mereka berunding itu. datang warta tergesa-gesa lainnya lagi. yaitu katanya perahu peronda telah dapat menolong seorang yang mendapat kecelakaan di laut.

"Orang apa dia itu?" Seng Lim tanya. "Kenapa kau agaknya gelisah?"

"Orang itu dikenali sebagai Lioe Tjeetjoe dari Thay Ouw..."

"Lekas ajak dia masuk!" berkata

Sin Tjoe cepat. "Aku akan dengar sendiri keterangannya!"

"Orang itu tidak dapat didengar keterangannya," berkata pula tauwbak yang datang melapor itu. "Dia telah dipotong lidahnya hingga dia tidak dapat bicara. Juga setelah ditolongi, dia mengamuk tak hentinya, lagaknya seperti orang gila."

Seng Lim heran. Ia menyangka pada kejadian jelek.

"Lekas bawa dia masuk!" ia menitahkan. Di lain pihak ia menyuruh mengundang Kok Tiok Koen.

Orang yang ditolongi di laut itu sudah lantas dibawa masuk. Ia pun lantas ada yang kenali sebagai Ong Tiauw Keng. Dia benar orangnya Lioe Tek Tjhong. Dia tidak mau diam, dia meronta-ronta dan mulutnya mengasi dengar suara ah-ah~uh-uh. Dia benar mirip orang edan. Matanya yang je lilitan dan wajahnya yang berkedutan menandakan dia pun tengah ketakutan. Dia meronta-ronta seperti orang mau lari kabur. Maka ia mesti dibawa masuk dengan paksa, beberapa orang memeganginya keras-keras.

"Ong Tiauw Keng, apakah kau masih kenali aku?" Seng Lim tanya.

Tiauw Keng pernah turut Tek Tjhong datang kepada pemimpin pasukan rakyat ini, atas pertanyaan itu. dia mengawasi dengan mendelong, agaknya dia memikir tetapi tidak dapat ingat.

"Dia sebenarnya cerdik sekali, kenapa sekarang dia menjadi begini, seperti orang yang asabatnya sangat terganggu?" kata Seng Lim. "Dia ditanya, dia tidak bisa menjawab, bagaimana?"

"Nampaknya dia belum menjadi gila." kata Tiok Koen. "Lihat, dia masih tetap berpikir keras. Rupanya dia mencoba mengingat-ingat kau. Aku lihat, dia tentu telah menghadapi kejadian yang sangat menakuti."

"Apakah ada daya untuk menyadarkan dia?"

"Nanti aku coba."

Lantas Tiauw Keng dicekoki obat, habis itu dia dibiarkan tidur lama. Begitu dia mendusin, dia lantas direjang pula, untuk diberikan tusukan jarum di ketiga jalan darahnya, honghoe, taytwie dan giokheng.

Tidak lama dari bekerjanya tusukan jarum, Tiauw Keng berlompat bangun sambil berseru-seru pula ah-ah-uh-uh, lantas air matanya turun bercucuran. Dia menghampirkan Seng Lim untuk memberi hormat sambil menjura. Rupanya dia sudah mengenali pemimpin tentara rakyat itu tetapi belum seluruhnya.

Kok Tiok Koen memeriksa tubuh orang, kecuali lidahnya dipotong, dia itu tidak dapatkan lain luka. Adajuga luka di luar, yaitu tubuhnya lecet belasan tempat. Diduga itu bekas terbentur-bentur batu tepian laut.

"Apakah kau hendak minta sesuatu dari aku?" Seng Lim tanya.

Tiauw Keng mengangkat kepalanya, ia mengawasi mendelong.

"Telinganya pun sudah rusak." Tiok Koen memberi tahu. "Agaknya dia sudah ingat banyak. Nanti aku tanya padanya."

Tabib ini dengan Lioe Tjek Tjhong telah bersahabat untuk banyak tahun, maka itu tentu sekali Tiauw Keng mengenali padanya. Ia lantas minta kertas tulis dan pit, ia melukis gambarnya Tek Tjhong, gambar mana diperlihatkan orang yang terganggu urat syarafnya itu.

Melibat gambar jago tua itu, Tiauw Keng lantas menangis. Karena lidahnya sudah buntung, ia tetap cuma bisa ah-ah-uh-uh.

Seng Lim bergelisah. Ia menghampirkan dekat, ia bicara di telinga orang itu, kedua tangannya dipakai memetahkan sesuatu. Tanyanya: "Apakah Lioe Tjeetjoe menemui bencana?"

Tiauw Keng mementang kedua tangannya, ia merangkul beberapa kali.

Seng Lim dapat membade tanda rangkulan itu, tanda memeluk.

"Di manakah Lioe Tjeetjoe dikurung orang?" ia menanya pula. Kembali ia memberi tanda.

Tiauw Keng cuma mengangguk dengan perlahan.

Seng Lim lantas menyodorkan alat tulis, supaya dia itu menulis, tetapi Tiauw Keng belum sadar betul, habis menyambut pit, ia patahkan itu, ia nampaknya ketakutan pula. lagi-lagi ia bersuara ah-ah-uh-uh itu, suaranya sangat menyayatkan.

"Dia belum sadar seluruhnya, dia cuma ingat kehebatannya peristiwa," kata Tiok Koen. "Mungkin di antara kawan-kawannya ada yang ditabas pinggangnya..."

"Kiranya ini cukup juga untuk kita," kata Seng Lim akhirnya. "Aku percaya Nona Liong dan Lioe Tjeetjoe semua telah kena terkurung di sebuah pulau kosong, tentu mereka itu mendapat kecelakaan."

"Bagaimana dapat kau menerka demikian?" tanya Sin Tjoe, sang isteri.

"Bukankah Tiauw Keng diketemukan di laut?" balik tanya Seng Lim. "Bukankah di tepian banyak batu-batu tajam? Itulah yang menyebabkan luka di luar dari orang ini. Aku percaya pulau kosong itu tak jauh jaraknya dari tempat kita ini, paling jauh seperjalanan tiga hari..." Ia berhenti sebentar, seperti ada yang dipikirkan, lalu ia menambahkan: "Semua pulau di sekitar sini telah aku periksa, maka aku menduga kepada kepulauan di tenggara, jauhnya tiga ratus lie. Di sana ada beberapa pulau kecil. Pernah aku memeriksa pulau-pulau itu. Karena di sana tidak ada tempat yang bagus untuk dijadikan pelabuhan dan terpisahnya dari sini jauh juga, aku melepaskannya. Aku mau percaya Lioe Tjeetjoe terkurung di sana, sebab lainnya pulau tak ada yang kosong. Sayang aku tidak bisa meninggalkan tempat ini. Maukah kau mewakilkan aku pergi ke sana?"

"Baiklah," menyahut Sin Tjoe.

Thio Giok Houw dan Ban Thian Peng menyatakan suka turut pergi. Thian Peng bersyukur kepada Kiam Hong, yang sudah menolongi Sioe Lan, ia hendak membalas budi.

"Untuk kepergian ini kamu harus mendapat kawan yang pandai ilmu tabib," kata Seng Lim. "Maka itu, Kok Lootjianpwee, sukalah kau capai sedikit untuk turut pergi bersama."

Sudah tentu Tiok Koen suka membantu.

"Kenapa kau melupai aku?" In Hong tanya tertawa.

Seng Lim memandang nyonya itu.

"Baiklah," sahutnya, yang menganggap baik juga orang pergi banyakan. Tetapi Hok Thian Touw diminta j angan turut. Sebab dikuatir, andaikata Koan Sin Liong datang, tidak ada yang sanggup melayani dia.

Sin Tjoe lantas menyiapkan seratus serdadunya yang pandai berenang, mereka di tempatkan dalam dua perahu besar. Segera mereka berlayar ke arah tenggara seperti ditunjuk Seng Lim. Benarlah, di hari ketiga magrib, mereka telah tiba di pulau itu, yang kecil, bahkan di tepiannya telah didapatkan sebuah perahu kandas. Dikenali itulah perahunya Lioe Tek Tjhong dari Thayouw, sebagaimana benderanya masih terlihat berkibar-kibar.

Orang lantas mendarat. Paling dulu mereka memeriksa perahunya Lioe Tek Tjhong itu. yang ternyata sudah rusak, ialah banyak liangnya. Di lantai perahujuga terlihat tanda-tanda darah. Isi perahu sudah habis.

"Perahu ini terdampar gelombang," kata Tiok Koen, "dia telah melanggar karang. Rupanya telah terjadi pertempuran setelah terdamparnya itu."

Hati Giok Houw menjadi tidak tenang.

"Mari kita periksa!" In Hong mengajak.

Di pesisir situ banyak batu tajam, itulah bukti dari penderitaannya Ong Tiauw Keng, yang telah kabur dari daratan.

Giok Houw menggigil sendirinya kapan ia membayangkan penderitaannya Tiauw Keng itu. Bukankah rombongannya Lioe Tek Tjhong telah dikurung musuh dan itu telah berjalan beberapa hari lamanya? Bagaimana dengan mereka? Mereka masih hidup atau sudah mati? Dapatkah mereka meloloskan diri? Kecelakaannya Tek Tjhong berarti juga kecelakaannya Kiam Hong...

Tak sanggup Giok Houw memikir lebih jauh, maka ia lantas mencari terus.

Itulah pulau kosong yang belum dibuka.

Ketika itu cuaca juga sudah mulai remeng-remeng dan rimba menjadi gelap sekali, ditambah dengan kesunyian. suasana dapat mendatangkan rasa segan dan jeri...

Dugaannya Kok Tiok Koen tidak salah. Perahunya Lioe Tek Tjhong itu telah diserang badai, lalu melanggar karang, terus terdampar di pesisir. Cuma mereka tak dapat menduga tepat penderitaan hebat dari Tek Tjhong semua, kecuali mereka menerka-nerka dari keadaannya Tiauw Keng.

Perahu Tek Tjhong itu diganggu badai hingga kanyut ke arah pulau kosong itu. lalu membentur karang dan terdampar. Syukur mereka sendiri tidak mendapat celaka apa-apa. Terpaksa mereka mendarat. Pikiran mereka ialah untuk memperbaiki dulu kendaraan air mereka itu. yang mana akan makan tempo beberapa hari. Tidak dapat mereka berdiam terus di dalam perahu rusak itu, sedang juga ada kemungkinan gangguan air pasang. Maka mereka mengangkut semua barang makanan dan lainnya yang dibutuhkan, mereka pergi mencari tempat di mana mereka dapat membuat gubuk darurat.

Begitulah dengan mengajak belasan awak perahunya, Tek Tjhong bersama Tjhio Peng Kin dan Nona Liong pergi memeriksa pulau itu. yang tidak luas, melainkan rimbanya benar lebat dan rumputnya tinggi-tinggi serta banyak pohon rotannya dan oyot lainnya. Sesudah jalan sekian lama, lantas mereka mendapatkan satu bidang yang lebih datar di mana ada sebuah benteng tua yang sudah rusak.

"Syukur!" kata Tek Tjhong tertawa. "Di sini dapat kita menempatkan diri. Hanya entahlah tempat ini ada penghuninya atau tidak Ia lantas berkata nyaring: "Aku Lioe Tek Tjhong dan rombongan dari Thayouw kena terdampar angin sampai di sini, maka itu aku mohon bertemu dengan tuan rumah, untuk minta diberikan tempat menumpang meneduh!"

Tek Tjhong menduga, kalau benteng itu ada penghuninya, orang mesti sesama kaum Rimba Persilatan, atau sedikitnya perompak yang lagi menyembunyikan diri, hingga namanya sebagai ketua dari benteng Thayouw Tjee mestilah diketahui. Ia juga mengharap memperoleh beberapa sahabat baru.

Benarlah dugaan jago ini, benteng ada penghuninya. Suaranya masih belum berhenti, pintu telah dipentang, dari dalam lantas terlihat keluarnya serombongan orang, hanya melihat mereka itu, Kiam Hong terkejut, sampai hampir ia tidak mau percaya matanya.

Rombongan itu terdiri dari beberapa puluh wanita muda, yang menjadi kepala ialah seorang aneh yang tubuhnya dikerebongi kulit binatang yang berbulu. Dan di antara rombongannya itu ada beberapa yang nona ini kenali sebagai murid-muridnya Tjit Im Kauwtjoe.

Sebegitu jauh yang Kiam Hong ketahui, murid-murid Tjit lm Kauwtjoe berkumpul didusun Tang Keepo di gunung Himdjie San di luar kota Ganboenkwan. Dan gunung Himdjie San itu terpisah dari pulau ini beberapa ribu lie jauhnya. Maka heran mereka ini diketemukan di sini dan mereka berada di bawah pimpinan orang aneh itu.

Masih ada satu hal lainnya yang luar biasa, yang mengejutkan. Di samping si orang aneh ada seorang lain, yang bercokol di atas sebuah kereta roda satu. Dialah seorang dengan muka berewokan, tubuhnya tinggi dan besar, dandanannya sebagai seorang pelajar tetapi tak keruan ragamnya. Dialah Tiatsan Sieseng Tjouw Thian Yauw, si Pelajar Kipas Besi, orang yang dulu hari di dalam kuil telah dihajar Tjit Im Kauwtjoe dengan peluruh beracun Tokyam tan serta kemudian oleh Nona Liong ini dibacok kutung sebelah lengannya!

"Celaka! Itulah musuh!" Kiam Hong berseru.

Justeru itu Tjouw Thian Yauw tertawa berkakakan dan kereta roda satunya maju cepat sekali ke arah si nona, maka tidak ampun lagi Kiam Hong menyambutnya dengan tikaman "Bidadari menenun," menikam ke arah dada.

Thian Yauw bercokol di atas keretanya, separuh tubuhnya bagian bawah tak dapat digeraki, si nonajuga kebetulan berada di tempat yang terlebih tinggi, maka hebatlah dia terancam bahaya, akan tetapi meski bercacad, dia masih liehay, dengan lantas dia menangkis dengan kipas besinya begitu rupa. hampir pedang si nona terlepas dari cekalannya.

Nona Liong terkejut, insaflah ia akan liehaynya musuh lawas itu. maka ia lantas menyerang pula. Ia pun telah memperoleh kemajuan setelah sekian lama berada bersama In Hong. Karena ia tahu liehaynya kipas besi itu, tak mau ia membenturnya pula.

Oleh karena ia duduk di atas kereta, biar bagaimana juga, Thian Yauvv tak sesebat orang yang kedua kakinya merdeka, dari itu, dilawan dengan kegesitan oleh si nona. dia menjadi repot, dia lantas terdesak. Kiam Hong senantiasa mengarah pelbagai jalan darah, maka dia selalu menutup diri.

Orang aneh berkerebong kulit itu berseru, dia memburu kepada Lioe Tek Tjhong.

"Tuan, sukakah kau memberitahukan shc dan namamu yang mulia" tanya jago Thayouw itu. "Aku ialah Lioe Tek Tjhong dari Thayouw!"

"Aku tahu kau ketua dari Thayouw!" menyahut orang itu. kasar. "Baiklah, aku akan menerima kau supaya kau bekerja sebagai budak pelayanku!"

"Kurang ajar!" kata Tek Tjhong yang menjadi murka. "Kau siapa?

Bagaimana kau berani menghina kepadaku?"

Orang itu tertawa bergelak.

"Taruh kata aku beritahu namaku, kau tentu tidak tahu!" dia menjawab, ketus. "Kau tahu, dengan suka menerima kau sebagai budakku, itu tandanya aku menghargai kau, tua bangka! Sudah, jangan banyak omong lagi! Kau suka jadi budakku atau tidak? Atau kau lebih suka mengantarkan jiwamu! Mati atau hidup, kau pilihlah!"

Tek Tjhong tidak dapat menguasai diri lagi, ia angkat goloknya yang besar dan berat, ia menyerang sambil membentak: "Manusia terkebur, lihat golokku!"

Orang aneh itu berkelit, sembari berkelit ia menghajar belakang golok dengan tangannya yang kosong, ' hingga golok itu terpental! Lantas dia tertawa terbahak-bahak dan berkata pula: "Bagus! Kau nyata liehay juga! Baiklah, boleh aku angkat kau menjadi kepala budak!"

Tek Tjhong kaget dan heran. Inilah ia tidak sangka. Ia jadi semakin panas hatinya. Kembali ia membacok. Kembali ia gagal. Saking penasaran, ia lantas menyerang terus berulang-ulang. Ia telah mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan kepandaiannya yang telah terlatih beberapa puluh tahun.

Didesak secara demikian, si orang aneh mundur juga. Rupanya dia merasa jeri terus melayani dengan tangan kosong.

Ketika itu Tjhio Peng Kin turut maju, iamenggunai penggayunyayang berat mengepung si orang aneh. hingga dia ini menjadi repot. Tapi dia tidak takut, dia kembali tertawa bergelak. Mendadak dia lompat mundur, untuk terus mencabut sebuah pohon dengan apa dia membalas menyerang.

Tek Tjhong dan Peng Kin lompat mundur, sembari mundur jago tua itu membacok, hingga cabang-cabang pohon itu terbabat kutung.

Di situ juga muncul seorang lain, yang mukanya potongan segi tiga.

"Soehoe, ini senjatamu!" dia berteriak, sembari kedua tangannya melemparkan dua benda yang bersinar kuning emas.

Kemudian ternyata, itulah sepasang gembolan Tjiekim twie segi delapan.

Si orang aneh berlompat menyambuti senjatanya itu, lantas dia maju menghampirkan musuhnya, sembari tertawa dia menanya: "Adakah kamu masih belum mau menyerah? Aku kenal kau tetapi sepasang gembolanku ini tidak! Jikalau kamu tetap tidak mau menyerah, nanti kamu menyesal sesudah kasip!"

Tek Tjhong dan Peng Kin tidak menghiraukan ancaman, keduanya maju menyerang. Tatkala senjata mereka bentrok, keras, telinga mereka ketulian. Tapi yang mengejutkan ialah tangan mereka menggetar dan telapakan tangan-nya sakit. Sebab senjata mereka kalah berat, tenaga mereka pun beda jauh!

Pertempuran itu membikin rimba berisik. Juga murid-murid Tjit Im Kauw sudah lantas turun tangan menyerang orang-orangnya Tek Tjhong.

Liong Kiam Hong melihat suasana buruk, ia berlompat untuk meninggalkan Tjouw Thian Yauw, terus ia lari mutar. Tapi Tiatsan Sieseng tidak mau sudah, dengan kereta roda satunya dia mengejar, sambil tertawa dingin dia berkata: "Aku mau lihat kau hendak lari ke mana?" Habis itu, dia berteriak: "Kie Toako! Jangan kau kasih lolos budak perempuan ini! Kitab Pektok Tjinkeng ada padanya!"

Kiam Hong lari ke arah orang-orang Tjit Im Kauw, ia lantas berseru: "Eh, kamu semua dengar! Kamu masih mengenali aku atau tidak? Kauwtjoe kamu sudah meninggal dunia tetapi Nona Im Sioe Lan sekarang berada di benteng Kimtoo Tjee, dia sedang mencari kamu! Dengan Im Sioe Lan aku telah mengangkat saudara! Kenapa kamu ikuti ini kawanan manusia busuk?"

Kawanan Tjit Im Kauw itu melengak, hingga mereka berhenti menyerang, tak ada yang membuka suara.

Sekarang Kiam Hong dapat melihat di antara mereka itu ada seorang yang bertubuh kecil, kate dan kurus sekali,matanya panjang, roman-nya jelek.

Dialah seorang suku bangsa Biauw. Semua orang Tjit Im Kauvv itu lantas mengawasi dia, agaknya merekajeri.

Selagi orang pada berdiam itu, si orang Biauw tertawa dan berkata kepada murid-murid Tjit Im Kauwtjoe itu: "Kamu suka turut aku atau kamu ingin ikut anak perempuannya Tjit Im Kauwtjoe si tua untuk kamu angkat menjadi ketua

kamu?-He, apakah kamu sudah

gagu semua? Lekas bilang, lekas! Jikalau tidak, sekarang juga aku akan bikin kamu semua gagu!"

Sembari berkata begitu, dia menusuk dengan jari tangannya ke arah dua orang wanita di depannya, hingga mereka itu kaget, dengan suara bergemetar, mereka lantas berkata: "Kami suka turut kau, loodjinkee!"

"Jikalau begitu, kenapa kamu diam saja?" bentak pula si orang Biauw. "Lekas!"

Atas itu, semua anggauta Tjit Im Kauw itu lantas mulai menyerang pula.

Celaka belasan awak perahu itu, mereka bukan tandingan anggauta-anggauta Tjit Im Kauw itu, belum lama mereka sudah lantas kena dikalahkan dan dibekuk.

Kiam Hong jadi sangat mendongkol, ia serang orang Biauw itu.

Orang itu tertawa dan berkata: "Ini dia yang dibilang susah dicari tetapi ketemunya gampang! Aku mau cari kau, kau justeru mengantarkan diri!"

Lantas atas datangnya serangan, dia mengibas tangannya.

Nona Liong terperanjat. Kibasan itu menghembuskan bau harum. Ia menyerang terus, masih ia mencium bau harum itu. Ketika ia menikam untuk ketiga kalinya, tenaganya habis sendirinya, ia merasa dadanya pepat, tubuhnya kaku, maka kedua tangannya meroyot turun, pedangnya terlepas dan jatuh ke tanah, diturut oleh tubuhnya. Hanya sejenak, ia tidak sadarkan diri lagi.

Orang Biauw itu, yang Thian Yauw panggil Kie Toako, adalah Kie Yoe, anak pungut dari Kie Hoan. Asalnya dia seorang keponakan, dia diangkat anak sebab dalam usia tinggi, Kie Hoan tidak mempunyai turunan. Kie Hoan memikir buat mewariskan kepandaiannya kepada anak pungut ini. Apa celaka, Kie Yoe berbatin buruk, dia kena dibujuk Bang Thong beramai dan dia membantu Bang Thong berbuat jahat dengan rencananya, ketika perbuatannya ketahuan, Kie Hoan gusar dan mengusirnya. Tatkala itu, Tjit Im Kauwtjoe masih belum berguru kepada Kie Hoan.

Murid kepala dari Kie Hoan, yaitu Pektok Tjinkoen Tjio Keng Ham, masih tetap bergaul dengan Kie Yoe yang menjadi adik seperguruannya, ketika Tjit Im Kauwtjoe datang berguru, Kie Yoe sudah merantau jauh, maka juga Tjit Im Kauwtjoe tidak tahu dia dan tak tahu juga segala hal ichwalnya itu.

Kemudian terjadilah itu bencana hebat yang menimpa dirinya Kie Hoan, yaitu ia telah dibinasakan Pektok Tjinkoen, muridnya itu, yang juga menjinakan soemoay-nya, si adik seperguruan. Meski demikian, kitab Pektok Tjinkeng terjatuh ke dalam tangannya Tjit Im Kauwtjoe, yang membangun partainya itu, yang maksud tujuannya suci tetapi jalannya sesat.

Tjio Keng Ham penasaran, ingin dia mempunyai kitab gurunya itu, maka juga di satu pihak dia pergi kepada Kiauw Pak Beng, di lain pihak dia menyelidiki di mana adanya Kie Yoe, untuk keduanya berserikat melawan Tjit Im Kauwtjoe. Maksudnya itu kesampaian, dengan Kie Yoe dia bertemu, lantas mereka berjanji akan berkumpul di Bang keepoo, hanya belum lagi mereka dapat bekerja, yaitu sebelum Kie Yoe tiba, Pektok Tjinkoen sudah mendapat tahu halnya Tjit Im Kauwtjoe, Thian Yauw pergi menyusul lantas dia mengajak Tjouw kauwtjoe itu. Mereka tidak berjalan bareng, Pektok Tj inkoen tiba terlebih dulu di kuil, maka dia terbinasa bersama Tjit Im Kauwtjoe dan Thian Yauw kutung lengannya.

Orang aneh dengan pakaian kulit itu bersama Sat Lek Hiong. Dialah jago di Mopak, Gurun Utara. Di sana dia tidak menancap kaki lama lantaran dia bentrok dengan Ouw Bong Hoe yang mengalahkannya dengan pukulan Ittjie Siankang. hingga musnah tenaga dalamnya. Tapi dia keras hatinya, dia kabur ke pulau kosong ini di mana dia meyakinkan Gwakang, tenaga luar, hingga dia menyampaikan puncak kemahiran. Paling belakang dia disusul oleh Tjouw Thian Yauw, sahabatnya. Thian Yauw kehilangan tempat meneduh, lantaran Bang Thong sudah mati dan di Bang keepo tidak dapat ia tinggal lama. Bang keepoo itu terletak dekat benteng Kimtoo Tjee. Maka itu, waktu Kie Yoe datang, ia minta Kie Yoe mengajak pergi ke pulau kosong, untuk tinggal bersama Sat Lek Hiong.

Kie Yoe menyambut dengan senang. Dia girang mendengar kabar Tjit Im Kauwtjoe dan Pektok Tj inkoen telah mati bersama. Dia lantas mengharap memiliki Pektok Tjinkeng. Bukankah kitab itu kepunyaan ayah angkatnya, yang merangkap menjadi gurunya? Dia berangan-angan membangun partai dengan dia menjadi guru besarnya. Dia merasa sayang, belum dia masuk umur dua puluh tahun, dia sudah diusir ayahnya itu, hingga dia belum mewariskan semua kepandaian sang ayah. Dia kalah jauh dari Tjit Im Kauwtjoe dan Pektok Tjinkoen, dari itu rela dia menerima soeheng itu dengan kedudukan sebagai guru. Begitu lekas dua orang itu mati, terbangunlah semangatnya. Begitulah dia pergi ke Bang keepoo, di sana dia menakluki semua anggauta Tjit Im Kauw. Dia kurang pandai menggunai racun tetapi dia masih lebih menang daripada kebanyakan anggauta itu. Dia dibantu Tjouw Thian Yauw. Kalau perlu, mereka menggunai kekejaman, hingga semua anggauta itu takut, meski begitu, separuhnya melarikan diri, hingga kejadian cuma separuh yang dijadikan orang tawanan dan dibawa ke pulau kosong itu di tempatnya Sat Lek Hiong.

Ketika Koan Sin Liong berada di Hangtjioe, dengan perantaraan Yang Tjong Hay dia dapat bertemu dengan Sat Lek Hiong dan Kie Yoe. Koan Sin Liong menuturkan hal perserikatannya dengan Kiauw Pak Beng dan ia mengajak dua orang itu bekerja sama. Ia berhasil. Kie Yoe dan Lek Hiong setuju. Lalu ditetapkan Lek Hiong berdiam terus di pulau kosong itu, guna memupuk tenaga, nanti kalau angkatan laut pemerintah menyerbu Yap Seng Lim, mereka bakal turun tangan, untuk membantu. Di luar dugaan, sebelum tentera negeri bergerak, hari itu tibalah Lioe Tek Tjhong dan rombongannya.

Kie Yoe menggunai obat pulas, dengan itu dia merobohkan. Nona Liong, sebelum Kiam Hong tak sadarkan diri. ia masih mendengar jeritannya Tek Tjhong dan Peng Kin. Kemudian ketika ia mendusin. ia merasakan hawa dingin, tempo ia membuka matanya, ia mendapatkan ia berada di dalam sebuah ruang besar di mana pun ada Tek Tjhong dan Peng Kin, yang kedua tangannya diringkus ke belakang. Dua jago itu berada di sisinya, mukanya pucat, matanya merah.

Tek Tjhong dan Peng Kin lagi melayani Lek Hiong, mereka kaget melihat Nona Liong roboh, lantaran itu. senjata mereka kena disampok terlepas musuhnya, yang lebih jauh merobohkan mereka dengan bantingan.

Kiam Hong mengeluh di dalam hati. Dengan tertawannya kedua tjeetjoe itu, habislah harapan mereka, lajuga terkejut ketika ia mendapatkan belasan tauwbak atau awak perahu mereka pun terbekuk semua.

"Budak she Liong!" Kie Yoe membentak setelah melihat si nona mendusin, "dengan kata-kata manis kau mengakali kitab Pektok Tjinkeng dari Tjit Im Kauwtjoe, maka sekarang kau mesti serahkan kitab itu padaku!"

Nona Liong tidak takut, ia tertawa dingin.

"Kitab itu bukan kitabmu!" ia kata. "Buat apa aku menyerahkannya padamu?"

Kie Yoe tertawa.

"Apakah kau tidak tahu bahwa kau telah bertemu pemilik sah kitab itu?" dia tanya.

"Aku tak perduli kau siapa!" kata si nona keras. "Singkatnya kau bukanlah machluk baik-baik! Tak sudi aku memberitahukan kau hal kitab itu!"

Kie Yoe tertawa dingin, suaranya seram. Romannya pun bengis.

"Benarkah kau tidak mau bicara?" dia menegaskan.

Kiam Hong menutup mulut, ia tidak melayani bicara.

Kie Yoe memegang sebatang cambuk kulit.

"Biar bagaimana, tak dapat kau tidak bicara!" katanya. "Baik kau ketahui, cambuku ini ada racunnya! Asal tubuhmu terhajar, dagingmu bakal menjadi nowah dan busuk! Lantas kau bakal terbinasa!..."

Sembari berkata begitu, Kie Yoe mengayun tangannya, membikin cambuknya menjeter berulang-ulang, suaranya nyaring dan menggiriskan hati.

"Saudara Kie, tahan dulu!" berkata Lek Hiong di saat Kie Yoe hendak menghajar tubuh si nona. "Biarlah budak perempuan ini menyaksikan dulu liehaynya kita!"

Dengan menyingcing kancutnya kulit harimau, Sat Lek Hiong bertindak ke bawah undakan tangga. Di sana dengan bengis dia tanya semua awak perahunya Tek Tjhong: "Kamu menyerah atau tidak? Hayo kamu. satu demi satu, kamu berlutut di depanku dan mengangguk tiga kali! Kamu mesti bersumpah bahwa seumur hidup kamu, kamu mesti jadi budak pelayanku. dengan begitu barulah kamu dapat keampunan jiwa kamu!"

Semua orang tawanan itu tidak kena digertak, belum lagi suara dia sirap, mereka itu sudah mengasi dengar suara mereka: "Angin busuk! Angin busuk! Kau machluk separuh manusia separuh binatang, ambillah kaca dan lihatlah cecongormu! Jangan bertingkah di depan kami!"

"Kami orang-orang kosen dari Thayouw, kami lebih suka binasa daripada terhina!"

"Jikalau kamu mau bunuh, bunuhlah! Kami tak takut dihukum picis! Jangan harap kami suka menyerah padamu!"

Sat Lek Hiong tidak menjadi gusar, sebaliknya dia tertawa terbahak.

"Kagum! Kagum!" katanya nyaring. "Aku kagum terhadap kamu! Kiranya kamulah laki-laki sejati! Kamu membikin aku si orang she Sat kurang hormat terhadap kamu!..."

Kata-kata itu disusuli tertawa pula, hanya kali ini tertawa yang menyeramkan, yang membikin bulu roma pada bangun, sampai semua awak perahu itu pada bungkam. Sekalipun Lioe Tek Tjhong dan Tjhio Peng Kin serta Liong Kiam Hong, mereka turut terperanjat. Tidak disangka Lek Hiong mengerti ilmu tenaga dalam kaum sesat yang dinamakan "Memanggil roh dan arwah."

Berbareng dengan berhentinya tertawanya itu, tangan kirinya Lek Hiong menyamber seorang tawanan, terus dia mencekek kerongkong orang, sampai lidahnya orang itu melelet keluar, menyusul mana tangan kanannya, yang mencabut pisau belati, menyamber ke lidah itu, hingga sekejab saja, putuslah anggauta mulut yang lemas itu!

Perbuatan ini dilakukan dengan cepat, hingga orang menjadi kelabakan.

Lek Hiong tidak berhenti dengan satu kurbannya itu. ia terus mencekal yang lain-lainnya, terus ia memotong lidah orang, hingga habislah lidahnya belasan awak perahu itu, hingga selanjutnya cuma terdengar suara mereka yang menyayatkan hati!

Tubuh mereka pada roboh terbanting, di lantai mereka berkoseran. Dengan tangan terbelenggu, mereka tidak dapat meronta. Beberapa antaranya lantas mati.

Sat Lek Hiong tertawa pula.

"Sekarang aku mau lihat, kamu masih dapat mencaci atau tidak?" katanya. "Jikalau kamu tetap tidak mau menyerah, masih ada lagi caraku yang terlebih hebat! --- Mana orang? Lekas bekerja! Yang masih hidup boleh dikurung, yang sudah mati boleh lempar tubuhnya buat dijadikan barang makanan sang serigala!"

Murid-murid Tjit Im Kauwtjoe pun kaget sekali menyaksikan siksaan itu, tetapi mereka diperintahkan, giris atau tidak, mereka lantas bekerja menyingkirkan semua orang tawanan itu.

Di luar dugaannya Sat Lek Hiong, ada seorang awak yang mati berpura-pura, ketika dia sudah dibuang, dia lantas lari kabur. Dialah Ong Tiauw Keng. yang dengan susah payah tiba di pulau markasnya Yap Seng Lim dan dapat ditolongi.

Habis melakukan kekejaman itu, Lek Hiong naik pula diundakan tangga, untuk menghampirkan Lioe Tek Tjhong dan Tjhio Peng Kin.

"Eh, kamu berdua, apa kata kamu?" dia tanya, bengis.

Dua jago itu tak berkutik, sudah mereka terluka parah, tangan dan kaki mereka pun diborgol. Tapi ketika mereka mendengar pertanyaan itu, yang sangat menghina, serentak mereka mengeluarkan tenaga mereka, mereka menubruk dengan kepala mereka pada pisau belati di tangan manusia mirip siluman atau iblis itu!

Lek Hiong kaget dan heran, dia menarik pulang tangannya. Hanya sejenak, dia tertawa pula.

"Ha, kamu mau cari mati kamu?" katanya mengejek. "Oh, tak demikian mudah, sahabat!"

Nampaknya Sat Lek Hiong mirip orang biadab, ia sebenarnya cerdik. Ia tahu siapa Tek Tjhong dan Peng Kin itu, maka itu ingin ia menunduki mereka. Ia mengharap mendapatkan pasukan airnya ketua dan ketua muda dari Thayouw Tjee itu. Karena ini, tidak sembarangan ia mau membinasakan mereka. Ia mau menggunai akal muslihat. Maka ia pikir: "Mereka ini berkepala batu, sulit untuk membikin mereka tunduk.

Tidak apa, aku membiarkan mereka hidup terus. Ada faedahnya juga untuk mengurung mereka, untuk dengan begitu mencoba dapat mempengaruhi anak buah mereka itu..."

Gagal menggunai cara keras, ia lantas mengambil jalan halus. Lantas ia tertawa pula, sikapnya ramah.

"Djiewie, benarlah kamu orang-orang gagah yang memandang kematian seperti juga jalan pulang!" katanya. "Tidak kecewa djiewie menjadi ketua sebuah benteng yang tersohor. Aku menyesal yang aku telah omong keras terhadap kamu. Djiewie, maukah kamu menjadi sahabat-sahabatku?"

Tetapi Lioe Tek Tjhong telah jadi panas hatinya.

"Jikalau kau mau bunuh, bunuhlah!" katanya keras. "Tak usah kau ngoceh tidak keruan! Kami orang-orang macam apa? Mana dapat kami menjadi saudara angkat orang sebangsa iblis sebagai kau?"

Lek Hiong tertawa.

"Lioe Tjeetjoe, tabiatmu keras sekali!" ia kata, tetap ramah. "Baiklah, sekarang aku mengobati dulu luka-luka kamu, nanti di belakang hari kamu lihat aku si orang she Sat pantas menjadi sahabatmu atau tidak. Pok Tjiauw, kau sediakan sebuah kamar yang bersih dan tenang untuk kedua tjeetjoe ini dan baik-baiklah kau melayaninya!"

Pok Tjiauw ialah orang yang mukanya segi tiga. Dialah murid belasan tahun dari Lek Hiong.

Tek Tjhong tengah terluka, maka itu ia membiarkan ia dan saudara angkatnya dirawati orang she Pok itu.

Sekarang Kie Yoe menghampirkan Nona Liong.

"Aku tidak baik budi dan murah hati seperti Sat Tootjoe!" ia kata, dingin. "Kau mau serahkan atau tidak kitab Pektok Tjinkeng itu? Jikalau kau membelar, tetap kau tidak sudi menyerahkan, mereka itulah contoh untukmu!"

Ia menunjuk kurban-kurban cekekan yang lidahnya dikutungi.

"Fui!" Kiam Hong berludah. "Aku telah lihat kekejamanmu! Tak usah kau lakukan itu terhadap diriku! Tak usah kau mencapaikan tanganmu! Awas! Lagi setengah tindak kau maju. aku nanti bikin putus nadiku sendiri! Kitab Pektok Tjinkeng? Hm! Jangan kau harap!"

Parasnya Kie Yoe menjadi guram, cambuk di tangannya diangkat. Tetapi dia tidak berani menghajar.

Sat Lek Hiong tertawa lebar.

"Ha, nona manis!" katanya. "Kau masih begini muda, kau juga tidak menyayangi jiwamu? Bagus, aku si orang tua memang paling menyukai orang-orang dengan tulang keras! — — Nah, saudara Kie, sukalah kau memandang mukaku, kau ampunilah dia!"

Apa yang diharapi Kie Yoe ialah kitab Pektok Tjinkeng, perbuatannya barusan gertakan belaka, maka itu mendengar perkataannya Lek Hiong itu, ia suka menurut. Ia lantas menyuruh orang kurung Nona Liong di dalam sebuah kamar dengan dua murid wanitanya ditugaskan merawati sambil menjagai. Ia juga kuatir si nona nanti benar-benar nekat dan menghabiskan jiwanya sendiri, ia mengambil tindakan penjagaan. Yaitu di dalam barang makanan untuk si nona ia mencampuri obat bius Tjiandjit tjoei, yang kasiatnya membikin Kiam Hong menjadi lenyap tenaganya dan keadaannya mirip orang lagi mabuk arak, supaya dengan perlahan-lahan ia dapat mengorek keterangan dari mulutnya.

Kiam Hong keluaran Thiansan Pay, pihak yang lurus, semangatnya kuat, latihannya sempurna, dari itu, meski ia telah makan obat bius itu —— obat mabuk seribu hari – ia tidak menjadi mabuk seperti diharapi Kie Yoe, ia melainkan kehilangan tenaganya, sedang pikirannya masih tetap sadar, hingga ia dapat membade maksudnya musuh. Ia cerdik, ia menggunai ketika itu akan berpura-pura linglung, maka kapan ditanya timur, ia menjawab barat. Selama beberapa hari. apapun dayanya Kie Yoe membujuk ia bicara, ia membuatnya orang kewalahan. Ia tidak mau menerangkan yang kitab itu telah terjatuh ke dalam tangannya Kiauw Pak Beng. Kie Yoe menyangka ialah yang menyimpan, tetapi ia tidak dapat dibunuh atau disiksa. Maka selama ditahan itu, ia tidak kurang suatu apa kecuali tenaganya habis

Sesudah berhari-hari merasakan ketenangan, lantas datang satu hari yang Kiam Hong diambil dibawa ke ruang tengah di mana Kie Yoe berkumpul bersama Sat Lek Hiong dan Tjouw Thian Yauw. Di sana ada seorang lain. melihat siapa, si nona terkejut. Dialah orang yang ia pernah ketemukan di gunung Koenloen San --- ialah Tonghong Hek muridnya Koan Sin Liong.

Lantas terdengar tertawa nyaring dari orang she Tonghong itu.

"Benar-benar manusia hidup itu, di tempat mana saja mereka tak dapat bertemu satu dengan lain!" berkata dia. "Haha, Nona Liong! Ke mana perginya kegagahanmu selama di gunung Koenloen San itu?"

Kiam Hong terkejut bukan disebabkan ia takut mati. Hanya melihat Tonghong Hek ia mengerti yang rahasianya mesti terbuka. Ia mendusta kepada Kie Yoe supaya Kie Yoe tetap percaya ia tahu di mana adanya kitab itu. Dengan begitu Kie Yoe menjadi tidak berani, atau bersangsi, untuk membunuh padanya. Sekarang muncul murid Koan Sin Liong ini, pasti sudah Kie Yoe mengetahui duduknya hal --- ialahtentang kitab ilmu racun itu.

Tonghong Hek itu, habis mengejek si nona, lantas berpaling kepada Kie Yoe.

"Tuan Kie, sekarang kan boleh tak usah berkuatirpula." kata dia. "Kitab Pektok Tjinkeng sudah berada di dalam tangannya Lootjianpwee Kiauw Pak Beng. Kiauw Lootjianpwee itu gagah dan cerdas, satu kali saja dia membaca, lantas kitab itu sudah tidak ada harganya untuknya. Kiauw Lootjianpwee telah memesan kata-kata padaku, untuk disampaikan kepada kau, ialah dia mengajak kau bekerja sama. Dia bilang nanti kitab itu bakal dihaturkan kepada kau!"

Kie Yoe bersikap hormat sekali ketika ia menjawab Tonghong Hek. Katanya: "Sungguh baik sekali Kiauw Lootjianpwee itu! Jikalau aku si orang she Kie dapat menerima pulang kitab milik mendiang ayahku itu tentu sekali aku suka bekerja sama-sama dengannya!" Tapi, habis berkata hormat itu, ia menoleh kepada Kiam Hong dengau memperlihatkan sikap dan roman bengis, katanya dengan dingin: "Budak, kau sangat bandel dan licin! Sudah beberapa hari aku bicara denganmu, sepatah katajuga kau tidak mau keluarkan! Baiklah, kau tidak takut mati, maka hari ini aku akan menyempurnakan padamu!"

Kie Yoe baru menutup rapat mulutnya, belum dia beraksi, maka Tjouw Thian Yauw sudah menggelinding maju dengan keretanya yang beroda tunggal.

"Budak bangsat ini sangat jahat!" dia berkata sengit. "Jikalau dia dibunuh dengan bacokan saja yang membikin tubuhnya kutung dua. masih terlalu bagus untuknya! Mari aku babat dulu sebelah lengannya, supaya hatiku puas!"

Dia lantas menarik pedangnya si nona, lantas dia menuding.

"Sekarang aku akan menabas buntung dulu tanganmu yang kiri!" ia bilang, sama sengitnya. "Hitunglah ini sebagai pembayaran pokoknya! Besok aku akan mengutungi lenganmu yang kanan, itulah sebagai pembayaran bunganya! Lusa barulah kau boleh merasai cambuk beracun dari Tuan Kie!"

Lantas dia menghunus pedang itu, dua kali ia membulang-balingkan di depan si nona, kemudian sambil mengasi lihat senyuman mengejek, perlahan-lahan ia turunkan ke arah tangan kiri nona itu, agaknya ia hendak membacok, guna mewujudkan ancamannya mencari balas, menyiksa, guna memuasi hatinya.

Kiam Hong tidak berdaya. Pengaruhnya obat Tjiandjit Tjoei membikin ia kehilangan tenaganya. Percuma niatnya untuk menggeraki tangan dan kakinya. Maka itu ia lantas meram.



*****



Rombongannya Thio Giok Houw maju terus, setelah melewati rimba mereka sampai di tempat yang tanahnya basah seperti lumpur. Di sini mereka melihat tapak-tapak kaki. Semuanya lantas memperhatikannya.

Kok Tiok Koen seorang berpengalaman.

"Inilah tapak kakinya tiga orang," ia kata sambil menunjuk, "satu besar dan dua kecil. Rupanya inilah kakinya seorang pria dan dua orang wanita."

Giok Houw heran.

"Di dalam perahunya Lioe Tek Tjhong toh cuma Kiam Hong seorang wanita," ia berpikir. "Diumpamakan tapak kaki yang satu ini tapak kaki Kiam Hong, habis nona siapakah itu yang lainnya?"

"Benar, inilah tapaknya seorang pria dan dua orang wanita," kata Sin Tjoe kemudian sambil ia mengangguk. "Wanita yang satu, ilmu enteng tubuhnya masih jauh dari sempurna, yang lainnya lebih baik sedikit tetapi dia masih kalah kalau dibanding dengan Kiam Hong."

Giok Houw memperhatikan pula. Ia melihat satu tapak kaki kecil dan dalam sekali.

"Tapak-tapak kaki ini seperti sengaja ditinggalkan," kata pula Tiok Koen, "maka itu marilah kita coba ikuti."

Pikiran ini mendapat kesetujuan, maka orang lantas maju dengan mengikuti tapak-tapak kaki itu.

Giok Houw berjalan sambil berpikir: "Kiam Hong tersesat di pulau ini sudah hampir sepuluh hari, mungkin ini bukan tapak kakinya..." Karena itu, ia menjadi, bersangsi dan bingung.

Orang berjalan terus melintasi tempat basah itu, sampai di ujungnya, mereka melihat di sebelah depan mereka sebuah bangunan mirip benteng rusak. Justeru itu waktu, mereka mendengar seruan nyaring dari arah bangunan itu. Teranglah itu suara wanita.

Giok Houw terkejut hingga ia berjingkrak.

"Ah, aneh!" kata In Hong. "Itulah bukan suaranya Kiam Hong tetapi suara itu aku mengenalnya! Siapakah dia?"

Ia berkata demikian sambil berlari maju, diturut oleh Giok Houw, hingga keduanya lari bagaikan anak panah meluncur ke benteng tua dan rusak itu.

Di dalam benteng itu, Tjouw Thian Yauw lagi mengancam Kiam Hong. Ia sengaja main ayal-ayalan untuk membacok lengannya si nona karena ia ingin siksa bathinnya nona yang ia benci itu. Tepat di itu waktu, mendadak dari luar ruang terdengar suara menjerujus, lalu segumpal api yang pun mengeluarkan asap, menyamber masuk ke dalam, ke arah keretanya.

Bukan main kagetnya si orang tapa dakpa. Ia lantas mengenali api itu sebagai senjata rahasia yang sangat berbahaya. Itulah senjata rahasianya Tjit Im Kauwtjoe. yang diberi nama Tokboe Kimtjiam Hweeyam tan, yaitu peluru api campur jarum emas yang beracun. Dulu hari di dalam kuil, ia justeru terlukakan senjata rahasia itu hingga ia bercacad sampai sekarang ini, hingga untuk dapat bergerak dengan leluasa, ia mesti pakai kereta roda satunya itu.

Pula kagetnya Thian Yauw ini disebabkan ia menyangka Tjit lm Kauwtjoe itu berpura-pura mati dan sekarang muncul dengan tiba-tiba untuk merampas jiwanya, guna menuntut balas. Lupa ia pada Kiam Hong, lantas ia menolak mundur keretanya, hingga ia terlempar jatuh!

Menyusul serangan dengan senjata rahasia berapi itu. dari luar terdengar suara wanita berteriak: "Entjie Kiam Hong, aku datang!"

Ketika itu Sat Lek Hiong telah menyerang dengan pukulan Udara Kosong. Dua kali ia menghajar ke arah peluru berapi itu, membikin peluru itu jatuh di tangga. Akan tetapi sang asap sudah lebih dulu melulahan, dan ia kena menyedotnya hingga ia rasai kepalanya pusing.

"Lekas telan ini!" Kie Yoe berkata kepada kawan itu seraya dia menyodorkan sebutir obat, setelah mana dia lari ke arah tangga sambil berseru: "Budak liar, aku memang lagi mau cari kau! Kau telah bertemu dengan paman gurumu, apakah kau masih berani berlaku kurang ajar?"

Ia lari untuk menghadapi nona itu, ialah Im Sioe Lan, yang telah datang kesitu bersama-sarna Tjioe Tjie Hiap.

Muda-mudi itu telah pergi ke Tang Keepoo untuk mengurus jenazahnya Tjit Im Kauwtjoe, di sana mereka bertemu sejumlah murid Tjit Im Kauw yang pada menyingkirkan diri. dari itu mereka jadi mendapat tahu apa yang sudah terjadi, bahwa sejumlah murid lebih dari separuh telah dibawa pergi oleh Kie Yoe. Sioe Lan lantas ajak seorang murid, bersama-sama Tjie Hiap, ia pergi menyusul hingga mereka berhasil sampai di pulau mencil yang kosong itu. Tiba di benteng, mereka bertemu penjaga-penjaga benteng, Semua penjaga itu justeru murid-murid Tjit Im Kauw dan mereka mengenali nonanya, puteri kauwtjoe mereka, mereka tidak menghalang-halangi. Bahkan mereka tidak mengasi dengar suara berisik. Sebab ini, Sioe Lan berdua dapat masuk terus ke dalam. Kebetulan sekali sampai mereka, selagi Kiam Hong terancam bahaya. Tanpa sangsi lagi, Sioe Lan menyerang dengan peluru berapinya sambil membentak, hingga berhasillah kejahatannya Thian Yauw dicegah.

Dirintangi Kie Yoe, Sioe Lan gusar sekali. Ia lantas mengenali orang ini, karena murid-murid Tjit Im Kauw telah menjelaskan ia potongan tubuh dan romannya pengacau dari Tjit Im Kauw.

"Kau paman apa?" dia membentak. "Jangan ngaco belo!"

Kie Yoe tertawa bergelak.

"Kau tidak kenal aku, aku kenal kau!" dia berkata. "Mengingat yang ibumu dan aku berasal satu perguruan, suka aku memberi ampun padamu! Masih kau tidak mau menggunai aturan rumah perguruan akan memberi hormat pada orang yang terlebih tua?"

Panas hati si nona.

"Baiklah asal kau berani terima hormatku!" ia berseru, ia benar-benar mengangguk. Akan tetapi berbareng dengan itu, ia menyerang dengan tiga batang panah beracunnya, panah mana bolong bagian tengahnya, dari tempat yang bolong itu menyembur bubuk beracun!

Kie Yoe mengebut dengan tangan bajunya, guna menangkis tiga batang panah beracun itu. Berbareng dengan itu, dari dalam tangan bajunya menyembur keluar asap warna biru. Itu pun racun tetapi kedua racun sama chasiatnya, dapat saling mempunahkan.

Maka itu mereka berdua sama-sama tak tercelakakan.

Tjie Hiap sudah lantas maju. Sambil berlompat ia menyerang. Tiga kali ia membacok saling susul ketika orang melawan ia dengan main berkelit. Ia liehay dengan ilmu goloknya, dua kali ia gagal, tetapi karena ia mendesak hebat, bacokannya yang ketiga mengenai pundak lawan!

Tjouw Thian Yauw telah lantas dapat melihat, yang datang itu bukannya Tjit Im Kauwtjoe, maka ia lantas naik pula atas keretanya.

"Kiranya kau. budak hina!" katanya, mengejek. Ia merasa pasti Kie Yoe dapat melayani Sioe Lan, dari itu dengan membawa pedangnya ia menghampirkan pula Kiam Hong, untuk melampiaskan kekejamannya.

Sioe Lan mengerti keadaan.

"Kau jangan perdulikan aku!" ia berseru kepada kawannya. "Lekas tolongi orang dulu!"

Tjie Hiap mengerti, ia membiarkan Kie Yoe yang mundur itu, sambil berseru, ia berlompat ke arah Thian Yauw, untuk menghalangi. Ia terus membacok.

"Eh, bocah, kau mau cari mampus?" kata Thian Yauw mengejek. Ia menangkis dengan kipas besinya. Ia berhasil membikin mental golaknya si anak muda, dari itu ia lantas membalas menyerang, untuk menotok telapakan tangan.

Di dalam ilmu silat, Thian Yauw menang banyak dari si anak muda, tidak perduli ia bercacad, dari itu, sesudah beberapa jurus, ia menang unggul, ia dapat mendesak itu tjeetjoe muda dari benteng Kimtoo Tjee.

Walaupun ia terdesak, Tjie Hiap tidak takut, hatinya tidak gentar, maka ia dapat menggunai kecerdasannya. Dengan sekonyong-konyong ia menjatuhkan diri, dengan itu ia lantas bersilat dengan Koentong Too, yaitu ilmu silat golok sambil bergulingan, maka sambil berguling, ia membacok keretanya musuh tanpa musuh dapat membacok ia atau menangkis ke bawah.

Hebat bacokan itu yang mengenai tepat. Rusaklah kereta roda satu itu dan terus roboh, maka berbareng dengan itu, roboh juga penumpangnya. Terpaksa Thian Yauw numprah di tanah, untuk membela dirinya. Tanpa kereta, tidak dapat ia bergerak-gerak atau mendesak musuh. Ia mesti melindungi dirinya saja.

Menampak demikian, Tjie Hiap tidak mau menyerang lebih jauh pada musuh ini, ia lantas lari ke arah Kiam Hong, guna menolongi nona itu.

"Bocah, berhenti!" mendadak ia mendengar bentakan selagi ia hampir sampai pada Nona Liong --- tinggal beberapa tindak saja.

Sat Lek Hiong adalah orang yang membentak itu, yang terus merintang di depan orang. Setelah makan obatnya Kie Yoe, dia lantas segar pula, hilang pusingnya. Tentu sekali dia tidak mau mengijinkan si anak muda beraksi.

Belum lagi datang dekat kepada musuh, Lek Hiong sudah menyerang dengan pukulan Udara Kosong-nya yang liehay. Segera Tjie Hiap merasai dorongan angin yang keras, hingga mau tak mau, ia mesti muadur tiga tindak. Justeru itu, Lek Hiong telah berlompat ke arahnya sambil tangannya menyamber!

Itulah hebat. Tjie Hiap lantas menangkis dengan goloknya dengan jurus Penglari Emas Melintang.

Benar hebat Sat Lek Hiong. Mahir sekali ilmu tangkapannya –Kimna Tjioe. Ia disambut selagi ia tengah berlompat. Tubuhnya turun terus. Ketika golok tiba ia menangkis sambil menyampok dengan tangan kiri, berbareng dengan itu, tangan kanannya menghajar ke gagang golok! Ia memang bertenaga sangat besar, sekalipun Lioe Tek Tjhong tidak dapat benahan terhadapnya, apapula Tjie Hiap.

Anak muda ini lantas merasakan telapakan tangannya sakit, goloknya terlepas dan terpental, walaupun begitu, ia tidak menjadi gugup, ketika tangan kanan musuh terus meluncur, guna menangkap ia ia meloloskan diri dengan tipu silat "Toatpauw kaykah" atau "Membuka jubah, meloloskan baju lapis."

Sat Lek Hiong mengenali tipu silat itu. dia tertawa.

"Apakah kau puteranya Kimtoo Tjeetjoe?" dia tanya. "Baiklah! Dengan memandang kepada ayahmu itu, suka aku mengambil kau sebagai pengikutku!"

Beruntung bagi Tjie Hiap, Lek Hiong mengubah sikapnya itu. Ia jadinya mau ditangkap hidup-hidup, supaya "orang biadab" ini dapat menggunainya sebagai perkakas nanti guna memeras ayahnya.

Lek Hiong mahir Kimna Tjioe, dibanding dengan Law Tong Soen, ia masih kalah, tetapi di samping itu, ia mahir tenaga dalam Gwakee, ahli luar, maka itu, di jurus ke empat. Tjie Hiap lantas kena ditangkap, tubuhnya lantas dibanting seraya ia tertawa dan berseru: "Muridku, ringkus dia!..."

Belum berhenti mendengungnya titah itu, datanglah sambutan suaranya senjata rahasia, di situ terlihat sinar kuning emas menyambar dengan berkelebat menyilaukan mata, menyamber ke muka jago pulau kosong itu.

Di lain pihak, belum lagi tubuh Tjie Hiap jatuh ke tanah, ia sudah ditanggapi oleh seorang tua, hingga tak usahlah ia jatuh terbanting.

Tepat di saat sangat genting itu, tibalah rombongannya Thio Giok Houw. Yang melepas senjata rahasia itu Ie Sin Tjoe dan yang menyambuti Tj ie Hiap ialah Kok Tiok Koen si jago tua.

Sanhoa Liehiap telah menggunai Kimhoa, bunga emasnya. Lek Hiong awas, ia menangkis dengan sepasang ujung bajunya. Meski begitu, tubuhnya toh kena terhajar, makajuga baju kulitnya, yang dilapis baju biasa, pada tertembuskan bunga emas itu. hingga terlihatlah liang-liang seperti sarang tawon. Ia terhajar tetapi ia tidak terluka parah. Tubuhnya kedot, tidak mempan senjata tajam.

Sin Tjoe heran dan kagum. Sebaliknya. Lek Hiong heran dan kaget, hatinya gentar. Dia tidak mempan senjata tajam, tetapi kali ini dia merasakan aneh. Walaupun dia tidak terluka, dia merasakan sakit di beberapa tempat jalan darah. Maka itu sambil berseru, dia mengibas pula, dia berlompat, untuk keluar dari hujan bunga emas itu. Dengan cepat ia menyamber senjatanya, gembolan segi delapan.

Ie Sin Tjoe tidak mau mengasi hati walaupun lawan ini sangat tangguh, ia lompat maju, untuk menghampirkan.

Lek Hiong mendapat lecet di kulit tak berarti, daging tidak terlukakan dalam, otot-ototnya tak terputuskan, maka itu dengan leluasa ia dapat bersilat dengan gembolannya yang berat itu. Begitulah bunyi nyaring terdengar waktu dia menangkis tikaman si nyonya.

Bentrokan itu membikin tubuh Sin Tjoe mencelat. Itulah buah tipu silatnya Nyonya Yap Seng Lim, yang tahu orang bertenaga raksasa, ia jadi tidak mau menimpali. Ia berlompat mengikuti bentrokan itu. Ia menggunai ketikanya akan balik menusuk gembolan dan terus mementalkan dirinya. Ketika ia mau turun ia membarengi menabas ke arah kepala lawan.

Lek Hiong menangkis pula. Kembali senjata mereka bentrok. Kembali tubuh si nyonya mental. Kali ini ia turun di tempat tiga tombak terpisahnya.

Lek Hiong terkejut. Ia merasai kepalanya sedikit dingin. Lantas ia mendapat tahu bahwa rambutnya sudah terpapas buntung!

Sin Tjoe juga bukan menang seluruhnya. Dua kali bentrokan senjata membikin ia merasai kedua lengannya menggetar dan ngilu, napasnyajuga sedikit memburu.

Lek Hiong gusar dan penasaran, maka ia segera maju pula, untuk menyerang dengan bengis.

Sin Tjoe tidak mau mengadu senjata lagi, sementara lengannya masih ngilu, ia melayani dengan ilmu silat "Tjoanhoa djiauwsie." Maka dengan lincah ia senantiasa berkelit, menyingkir dan gembolan maut itu.

Ketika itu Tiok Koen sudah menolongi Tjie Hiap, yang dibebaskan dari totokan dan diuruti juga, hingga dia dapat kembali tenaganya.

"Orang itu hebat luar biasa," Tjie Hiap kata. "Apakah Hok Tayhiap tidak turut datang?" ia merasa cuma Thian Touw yang dapat melayani manusia biadab itu...

Tiok Koen mengawasi pertempuran Sin Tjoe dengan Lek Hiong, ia kata pada In Hong: "Orang itu Taybok Sinmo Sat Lek Hiong, pada tiga puluh tahun dulu dia pernah dikalahkan Ouw Bong Hoe. Aku kira dia sudah mati, tidak tahunya dia berada di sini. Dia tak kalah liehay daripada Koan Sin Liong, lama-lama ada kemungkinan Ie Liehiap nampak kegagalan..."

Sementara itu hati In Hong kurang enak. Di mana saja, apabila orang menghadapi lawan tangguh, orang menyebut-nyebut Thian Touw. Demikian kali ini, Tjie Hiap menyebut nama suaminya itu. Ia puas berbareng malu sendirinya. Ia kata di dalam hatinya: "Thian Touw, Thian Touw, semua orang sangat menghargai kau, semua mengharapi kau, mustahilkah kau tidak merasai itu?"

Memikirkan demikian, ia lantas berlompat bangun.

"Nanti aku mencoba dia!" katanya. "Apabila aku tidak berhasil, barulah Kok Lootjianpwee yang maju!"

Baru sekarang Tjie Hiap melihat In Hong ada bersama, hatinya menjadi tetap.

In Hong maju, lantas ia menyerang. Tjeng Kong Kiam berkelebat, terus menikam ke ulu hati.

Ketika itu, hati Sat Lek Hiong tegang sendirinya, dia bergelisah. Di pulau kosong itu ia hidup menyendiri, meyakinkan lebih jauh ilmu silatnya. Ia merasa bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Ia sudah mengambil keputusan, kapan nanti ia muncul pula dalam dunia Kangouw, ia akan menempur Ouw Bong Hoe. guna menuntut balas. Siapa tahu sekarang ia kecele. Bertemu dengan Sin Tjoe, ia dapat berbuat banyak. Sudah tiga puluh jurus mereka bertarung, takjuga ia bisa merebut kemenangan. Justeru itu datanglah seorang wanita lain. bahkan ini musuh yang baru menyerang ia seperti juga ia tidak dipandang mata. Ia menjadi mendongkol.

"Jikalau aku tidak dapat merobohkan dua orang wanita ini, mana dapat aku bicara dari hal muncul pula dalam dunia Kangouw?" pikirnya. Maka selagi Sin Tjoe berkelit, ia menyerang In Hong. Ia telah mengerahkan tenaganya pada sepasang gembolannya. Sasarannya ialah kedua pempilingan si nyonya. Itulah jurus "Kimkouw Loeibeng," atau "Gembreng dan tambur berbunyi laksana guntur." Itu pula satu di antara tujuh puluh dua jurusnya yang liehay.

In Hong tapinya berlaku cerdik, kelihatannya ia menyerang ke tengah, tiba saatnya, ia mengubah tujuan. Sambil berkelit, ia membabat ke samping kepala lawan ke arah telinga. Dan ia berhasil membikin telinga lawannya itu terlukakan.

Sat Lek Hiong terkejut, dia berkelit. Baru sekarang dia tidak berani lagi memandang enteng kepada Nyonya Hok Thian Touw yang dia tidak kenal itu. Walaupun dia sangat mendongkol, dia berkelahi dengan waspada. Dia menjaga diri tetapi mencoba mendesak. Tiga kali beruntun dia menghajar.

Terpaksa In Hong main mundur, dengan begitu selamatlah ia dari ketiga hajaran itu. Di dalam hatinya, ia terkejut. Sekarang dapat ia membuktikan, Lek Hiong benar gagah. Barusan itu, ia terdesak melebihkan terdesaknya Sin Tjoe tadi.

Sin Tjoe dapat bernapas karena datangnya In Hong, lantas ia maju pula.

Lek Hiong lagi menyerang In Hong dengan gencetan kedua gembolannya tatkala ia merasakan angin menyamber belakang kepalanya. Itulah serangannya Sin Tjoe. yang bergerak gesit dan lincah untuk menghampirkan belakang orang, lalu menikam dengan jurus "Ular putih menyemburkan bisa." Ujung pedang sudah mendekati punggungnya satu dim ketika Lek Hiong menangkis dengan berhasil. Ia menangkis berbareng ke depan dan belakang. Secara begini, Sin Tjoe menjadi tak terlalu terdesak lagi.

Lantas In Hong dan Sin Tjoe menggeraki pedang mereka dengan teratur, mereka mencoba merapatkan musuh yang tangguh itu.

Sepasang gembolan Lek Hiong bergerak hebat sekali, akan tetapi tidak pernah terdengar suara bentrokan senjata kedua pihak. Itulah sebab kedua nyonya itu senantiasa menghindarkannya. Mereka menyerang hebat tetapi mereka selalu waspada, mereka bergerak dengan lincah.

In Hong tidak dapat menggunai pedang bersatu padu seperti kalau ia berkelahi berendeng dengan Hok Thian Touw. akan tetapi karena ilmu pedang Thian Touw berpokok juga ilmu pedang Thio Tan Hong, maka Sin Tjoe dapat sedikit mencocokannya. Dengan begitu, mereka bisa bekerja sama dengan baik.

Tapi Lek Hiong seorang ahli Gwakee yang luar biasa dia kedot dan kuat sekali, dia ulet, dibanding dengan Kiauw Pak Beng, dia cuma kalah sedikit. Pak Beng dapat melawan ilmu pedang bersatu padu dari suami isteri Hok Thian Touw dan Leng In Hong, sekarang menghadapi In Hong dan Sin Tjoe, dia keteter.

Selagi kedua nyonya cantik dan gagah itu mengepungjago dari gurun itu, Thio Giok Houw bersama Ban Thian Peng sudah bergerak untuk memberikan pertolongan mereka masing-masing. Giok Houw lari pada Liong Kiam Hong, Thian Peng kepada Im Sioe Lan.

Begitu bentrak dengan Kie Yoe, naiklah darahnya Thian Peng, ia menggigil matanya menyala. Ia juga mengertakgigi. Ia berteriak: "Bangsat,

kau masih kenali aku? --- Ayah, —— oh, ayah, hari ini anakmu akan membalaskan sakit hatimu!" Kata-kata yang terakhir dikeluarkan dalam kesedihan, tetapi meski demikian, dengan sepasang poankoanpit-nya, ia menyerang hebat sekali!

Ketika dulu hari Koan Sin Liong pergi membinasakan ayah dan ibunya Ban Thian Peng, orang Biauw yang turut bersama dia ialah Kie Yoe ini. Koan Sin Liong menjadi keponakan murid Tjie Hee Toodjin dan Tjie Hee Toodjin memesan ia untuk membunuh Ban Kee Soe. Kie Yoe membantu Koan Sin Liong, sebabnya ialah kesatu Ban Kee Soe itu sahabat kekal Tjit

Im Kauwtjoe, dan kedua itulah jalan untuk dia bekerja sama dengan Sin Liong itu. Peristiwa telah lewat banyak tahun, dulu hari itu Thian Peng masih kecil, akan tetapi romannya Kie Yoe luar biasa, roman itu masih berpeta di benak pikirannya, maka sekarang begitu melihat ia lantas ingat ini musuh turunan.

Tanpa bersangsi pula, Thian Peng lantas menyerang hebat dengan sepasang senjatanya yang mirip alat tulis itu. Ia telah mengeluarkan kepandaian ilmu poankoanpit ayahnya. Ujung senjatanya itu mencari-cari tujuh jalan darah musuh!

Lama-lama Kie Yoe menjadi repot juga. Maka ia lantas menyemburkan asap putih, guna merobohkan lawannya.

Berbareng dengan itu Im Sioe Lan menyentil dengan kedua jari tangannya, melontarkan sebutir lahwan, obat pulung yang terbungkus lilin. Begitu melesat begitu lilin bungkusannya pecah. Maka tersiarlah bau harum yang halus, yang menyerang asap putih itu.

Kie Yoe menyerang Thian Peng dengan asapnya yang beracun untuk membikin Thian Peng roboh, dengan begitu dia akan dapat menghindarkan diri dari bahaya serta ada kemungkinan dapat membinasakan musuh, tetapi bubuk wangi dari Sioe Lan telah memusnakan itu hingga dia nampak kegagalan.

Justeru kedua macam bubuk yang merupakan asap itu bergumul menjadi satu dan belum sempat buyar, di situ terdengar satu jeritan yang dahsyat yang menyayatkan hati. Itulah jeritannya Kie Yoe!

Ban Thian Peng tidak mau mensia-siakan waktunya yang baik. ia menyerang terus secara bengis. Kie Yoe repot, maka dia kena terhajar sampai lima kali. Ia mengeluarkan jeritan pada hajaran yang pertama. Tapi dia tidak roboh. Thian Pang rada pusing kepalanya, ujung pitnya tidak mengenai tepat pada sasarannya.

"Mana orang? Mana orang?" Kie Yoe berteriak berulang-ulang. Ia minta bantuan murid-muridnya.

Tidak ada muridnya yang muncul. Mereka itu murid-muridnya Tjit Im Kauwtjoe, mereka turut dia karena terpaksa, sekarang mereka melihat puterinya kauwtjoe mereka, wajarlah mereka tidak sudi membantu pula ketua yang ganas itu.

Sat Lek Hiong mendengar jeritan dan teriakan orang, ingin ia membantu, akan tetapi keinginan itu tidak dapat diwujudkan. Ia sendiri repot melayani In Hong dan Sin Tjoe, yang mengepungnya dengan rapat.

Sioe Lan maju terus, dengan satu bacokan ia membikin Kie Yoe roboh, atas mana Thian Peng menambahkan dengan satu tusukan, hingga poankoanpit tembus di dada, nancap di lantai yang nempel dengan punggung orang!

Maka Kie Yoe tak dapat bernyawa terlebih lama pula.

Thian Peng mencabut senjatanya.

"Ayah, anakmu telah berhasil membunuh satu musuh!" ia kata.

Anak ini tertawa, ia mengeluh, tetapi akhirnya air matanya keluar bercucuran.

Sioe Lan lantas melihat kelilingan, maka tampak di depannya Thio Giok Houw lagi merangkul Liong Kiam Hong. Ia girang berbareng berduka Itu artinya ia kehilangan pemuda yang ia gilai itu. Ketika ia mengawasi terlebih jauh, ia melihat tegas roman bingung dari Giok Houw dan Kiam Hong tak dapat membuka matanya dengan betul. Ia lantas dapat menerka sebabnya itu. Pastilah Kiam Hong terkena obat lupa.

"Entjie!" ia memanggil. Ia telah lantas lari menghampirkan Nona Liong.

Kiam Hong meronta, ia hendak meloloskan diri dari rangkulan Giok Houw, tetapi ia tidak berdaya. Ia tetap kehilangan tenaganya Karena ia sadar, ia likat sekali, mukanya menjadi merah.

"Lepaskan aku, aku tidak apa-apa!" katanya perlahan.

Giok Houw tidak melepaskannya.

Sioe Lan bersenyum.

"Jangan kuatir, tidak apa-apa," kata ia. "Rupanya entjie Kiam Hong telah kena makan obat Tjiandjit Tjoei, dia tidak terluka dibagian dalam."

Nona Im lantas mengeluarkan sebutir obat. yang ia suruh Kiam Hong telan, habis mana, ia terus menguruti nona itu.

"Terima kasih, Nona Im, " Giok Houw mengucap.

Sioe Lan tertawa geli.

"Aku mengobati entjie Kiam Hong, buat apa kau menghaturkan terima kasih padaku?" ia menggoda.

Giok Houw jengah, ia menyeringai.

Kiam Hong cepat pulih kesehatannya, mendadak ia berlompat bangun.

"Masih ada satu musuh yang jahat!" ia berkata. "Kita jangan bergurau saja! Mari kita bantui entjie Lengdan entjie Ie!"

Sioe Lan dan Giok Houw bagaikan tersadar, maka keduanya lantas ikut Nona Liong.

Lek Hiong masih terus membuat perlawanan meskipun ia sudah kalah angin. Ketika ia mendengar jeritannya Kie Yoe. hatinya gentar, ia bergelisah bukan main. Inilah merugikan dia. Hampir tanpa berdaya, tiga kali beruntun ia kena tertikam nyonya-nyonya itu. Walaupun ia kedot, ia merasakan sakit juga, kebingungannya bertambah. Bukankah ia lagi menghadapi ancaman bahaya?

"Tidak dapat tidak, aku mesti mengangkat kaki," pikirnya kemudian. Makajuga, tidak menanti Giok Houw bertiga sampai, ia berseru keras, ia menghajar dengan sekuat tenaganya, hingga Sin Tjoe mundur dua tindak, atas mana ia berlompat, untuk molos dari kepungan. Di depannya ada Giok Houw, yang baru tiba, ia menghajar anak muda itu. Ia memandang enteng pada orang, yang ia anggap masih muda sekali, ia ingin merobohkannya pingsan, untuk ia mencekuk, supaya ia dapat menggunai si orang tawanan sebagai manusiajaminan.

Teranglah pandangan itu keliru. Giok Houw muda sekali tetapi tenaganya besar. Coba Lek Hiong menggunai tenaga sepenuhnya, mungkin dia berhasil, sekarang dia mengerahkan tenaga lima bagian, dia kecele. Dengan berani Giok Houw menyambuti gembolan dengan goloknya. Kesudahannya, gembolan yang berat itu kena terpukul mental. Berbareng dengan itu, Giok Houw berkelit dengan ilmu yoga. Ia menggunai huruf "licin." Dengan begitu ia lolos dari tangan besar dan kasar dari si orang she Sat, tangan mana ia mencoba membangkolnya.

Justeru itu Kiam Hong pun turun tangan, pedangnya menyambar ke punggung orang, hingga Lek Hiong mendapat guratan lecet yang panjang!

Kiam Hong menikam dengan harapan dapat membuat liang di punggung musuh, dan Giok Houw membangkol dengan niat membikin patah lengan orang, tetapi dua-dua mereka gagal. Lek Hiong membungkuk, terus nyeruduk ke depan. Diajauh lebih tinggi daripada si anak muda, mereka rapat satu dengan lain, kepalanya tepat mengenai jidatnya anak muda itu.

Giok Houw terkejut, dia merasakan sakit sampai ke uluhatinya. Inilah bisa dimengerti sebab tenaga luar dari Lek Hiong hebat luar biasa, kepalanya menjadi mirip kepala batu. Karena kepalanya pusing dan matanya gelap, Giok Houw melepaskan sendirinya bangkolannya itu, tubuhnya pun terhuyung mundur. Syukur ia mahir tenaga dalamnya, ia masih sempat menahan diri dengan kuda-kudanya. Hanya sekejab itu karena kegelapan, tak tahu ia mana timur dan mana barat...

Dengan membungkuk itu, Lek Hiong juga menyelamatkan diri dari tikaman lebih jauh dari Kiam Hong yang kena tertikam cuma tulang di punduknya dekat pundak, bunyinya nyaring, seperti ujung pedang membentur besi. Karena itu, Kiam Hong pun terpental mundur.

Habis itu, Lek Hiong kabur terus. Ia kuatir nanti disusul In Hong dan Sin Tjoe yang ia malui.

Di muka pintu ada Kok Tiok Koen. Kapan tabib gagah ini melihat orang mendatangi, ia tolak mundur pada Tjie Hiap, ia maju dengan tongkatnya, tongkat Tjengtiok thung, untuk menusuk ke arah dada.

Lek Hiong melihat serangan, ia mementang kedua tangannya, untuk menangkis.

Jago tua she Kok itu ahli totok jalan darah, ia tidak suka memberikan tongkatnya disampok mental. Dengan luar biasa sebat ia menarik pulang.

Gagallah tangkisannya Lek Hiong itu, terbukalah tubuhnya. Maka tongkat menyamber pula mengenai jalan darah giokliong di dada. Keras suara beradunya ujung tongkat dengan dada yang keras seperti batu itu.

"Hm!" bersuara Lek Hiong yang lantas mengibas pula. berbareng dengan mana kedua kakinya menjejak, tubuhnya lantas lompat tinggi, lompat melewati Tiok Koen, hingga dia dapat lari melewati pintu!

Giokliong ialah salah satu jalan darah yang penting, biasanya siapa tertotokjalan darahnya itu, dia mesti habis tenaganya dan roboh, tetapi Lek Hiong dapat lari terus.

Tiok Koen heran bukan main. Orang benar tangguh luar biasa.

Lek Hiong dapat lari, tetapi bukannya tanpa merasakan hebatnya totokan. Sebenarnya ia merasai dadanya sesak. Saking takut kecandak Sin Tjoe berdua, ia menguati diri, ia kabur terus. Ia heran untuk mendapat kenyataan, kali ini musuh-musuh yang datang, baik yang tua maupun yang muda, semuanya liehay sekali. Maka tak maulah ia ayal-ayalan lagi.

Giok Houw meraba jidatnya, maka ia kena raba daging lebih. Benjut itu membuatnya sangat mendongkol dan penasaran. Ia lantas mengejar.

Lek Hiong apal sekali keadaan pulau itu, ia dapat lari cepat dan leluasa. Ia lari berputaran di antara banyak pohon.

Sin Tjoe mengejar diikuti In Hong dan Giok Houw. Sin Tjoe sangat gesit, tetapi ia kewalahan juga. Lek Hiong gesit, beberapa kali ia kesusul, lalu lolos pula. Karena itu, untuk menghalang-halangi, beberapa kali Nyonya Yap Seng Lim menimpuk dengan kimhoa.

Lek Hiong repot juga, dia bingung, dia menjadi terlambat.

Sin Tjoe tetap menguntit, ia terus berada berdekatan.

Sementara itu In Hong, yang tadi ketinggalan, mulai menyandak.

Mendadak ada beberapa anak panah menyerang dari dalam pepohonan lebat, dibarengi dengan seruan-seruan. Sin Tjoe lantas menoleh, maka ia lihat sedikit di depan, di mana ada gombolan pohon, ada berkumpul banyak orang dalam rupa sebuah kurungan dan mereka itu lagi memanah ke tengah-tengah kurungan. Ia lantas mengenali mereka itu sebagai anak buahnya. Mereka itu melihat ada orang-orang lagi mendatangi, tanpa menanti kepastian, mereka lantas menyerang. Baru setelah melihat si nyonya, pemimpinnya, mereka berhenti memanah.

Justeru itu, Lek Hiong berlari melewati mereka itu.

Dari dalam kurungan segera terdengar dua orang berteriak saling susul:

"Soehoe, tolong!"

"Saudara Sat, tolong!"

Sin Tjoe kenal suaranya Pok Tiauw dan Tjouw Thian Yauw.

"Jangan kasih mereka lolos!" ia berseru sembari ia terus menimpuk dengan bunga emasnya.

Sat Lek Hiong memutar sepasang gembolannya, ia mencoba meruntuhkan bunga-bunga emas itu dan juga anak panah, akan tetapi sekuntum bunga emas lewat di samping lengannya, menggores tangannya di dekat telapakan. Untuk sejenak dia agak bersangsi, lalu dia membatalkan niatnya menolongi murid dan kawannya itu, dia lompat melewati kawanan pengurung, sembari lewat dia menangkap bergantian dua tauwbak, yang dia lemparkan ke arah Sin Tjoe.

Nyonya Yap takut nanti melukai orang sendiri, ia tidak menimpuk lagi, sebaliknya, ia menyambut dua tauwbak itu, untuk ditolongi. Ketika ini digunai Lek Hiong untuk lari mutar, akan akhirnya nelusup masuk ke dalam sebuah guha.

Sin Tjoe hendak mengejar terus ketika ia membatalkan niatnya itu. Ia melihat beberapa serdadunya roboh. Ia lantas maju ke arah kurungan. Di tengah itu ada gombolan rumput tebal, di situ Tjouw Thian Yauw lagi duduk numprah, di sisinya rebah satu tubuh, yang tertancapkan beberapa batang jemparing. Dialah Pok Tiauw muridnya Sat Lek Hiong.

Selama orang bertempur seru, diam-diam Tjouw Thian Yauw menyingkirkan diri. Ia melihat bahaya mengancam padanya. Ia merayap keluar dengan menggunai kedua tangannya mewakilkan kedua kakinya yang gempor. Dengan kedua tangannya, ia dapat mengangkat tubuhnya. Perbuatannya ini tak dapat dilihat pihak lawan.

Pok Tiauw, muridnya Lek Hiong itu, bersatu pikiran. Dia meninggalkan gurunya, untuk kabur juga. Tiba di luar, keduanya ada bersama. Thian Yauw ditolongi, sebab ia tidak bisa terus berlari-lari dengan tangan menjadi ganti kaki. Ia minta sambil membujuk dan memaksa. Akhirnya Pok Tiauw suka meluluskan. Dia ini pikir, walaupun Thian Yauw tapa dakpa, ilmu silatnya masih tetap liehay. Demikian mereka kabur berdua.

Barisannya Sin Tjoe yang terdiri dari seratus jiwa menanti lama, tidak juga mereka melihat pemimpin mereka kembali, karena menduga di sana mesti ada musuh, mereka mendarat, untuk menyusul dan mencari. Kebetulan mereka melihat Pok Tiauw berdua lagi lari, lantas mereka menyerang dengan panah mereka.

Pok Tiauw kena terpanah, dia roboh. Karenanya, Thian Yauw terpaksa mendelepok di tanah. Dengan kipasnya ia membela diri ada kalanya dengan jemparing lawan ia membalas menyerang. Saking liehay, ia dapat menimpuk dengan jemparing melukai beberapa serdadu, hingga sekalian pengurungnya tidak berani mendesak merapatkan dia, maka dia terus dikurung, diserang dari jauh, sampai munculnya rombongan Sin Tjoe yang mengejar Sat Lek Hiong.

Pok Tiauw belum mati, melihat gurunya, dia menjerit minta tolong, juga Thian Yauw. Di luar dugaan mereka, guru atau sahabat itu, meninggalkannya. Ketika itu Pok Tiauw terkena pula anak panah, yang merampas jiwanya.

Bukan main mendongkolnya Thian Yauw untuk kelicinan sahabat itu, hingga dia berseru: "Orang she Sat, bagus sekali sikapmu ya!"

Selagi orang mengeluh itu, Sin Tjoe menyerang dengan kimhoa, bunga emasnya. Tepat senjata itu masuk ke dalam mulut, hingga Thian Yauw tak dapat bersuara lagi. Bunga emas itu lewat di tenggorokannya. Sambil tak bersuara itu, tubuhnya roboh tergelimpang.

Sin Tjoe menghela napas, ia menyesali kematian orang. Ia kata: "Kau liehay, sayang kau tidak sudi dengar nasihat guruku, maka beginilah nasibmu sekarang..."

Nyonya Yap masih berkasihan, ia menyuruh tenteranya menggali liang mengubur mayat mereka berdua.

Setelah itu orang menyusul Sat Lek Hiong, memasuki guha. Pengejaran ini sia-sia belaka. Guha itu menembus ke lain ujung, jadi Lek Hiong dapat menyingkirkan diri. Berkat dia kenal tempat, Lek Hiong berani lari masuk ke dalam guha itu. Lain ujung itu, mulut guha menghadapi laut di mana biasa disembunyikan sebuah perahu kecil, dengan menggunai itu, dia kabur di laut. Tempo Sin Tjoe muncul, cuma terlihat perahu dengan layarnya, yang sudah berlayar jauh ke tengah.

Sambil memperbaiki perahu, Sin Tjoe semua mesti berdiam beberapa hari di pulau kosong itu, baru mereka berlayar pulang.

Bukan main girangnya Kiam Hong yang dapat bertemu dengan Giok Houw. Maka juga di waktu malam, atau di waktu fajar, biasa mereka duduk berduaan, berendeng di loneng perahu sambil memandangi gelombang atau menggadangi sang rembulan. Di waktu demikian, mereka merasa tenang. Sekarang tidak lagi mereka saling memikirkan atau bergelisah.

Sioe Lan sangat berduka melihat keeratannya sepasang muda mudi itu, di samping itu, ia dapat melegakan hati karena ia sudah berbuat sesuatu untuk Kiam Hong. Ia pun terhibur karena Tjioe Tjie Hiap berlaku manis sekali terhadapnya. Mau ia berlaku baik terhadap anak muda ini, puteranya ketua dari benteng Kimtoo Tjee.

Ban Thian Peng dapat mencari balas, meski ia tetap berduka, ia puas sekali. Ia berlaku manis pada Sioe Lan, maka itu, Nona Im jadi semakin terhibur.

Empat hari orang dalam perlayaran, tibalah mereka kembali di pusat tentara rakyat di Tanghay, laut Timur. Pulau itu bernama Hok PoTo, nama yang diberikan Seng Lim karena ia mengagumi Ma Wan alias Hok Po, jenderal kenamaan di jaman Han. Di sinilah dia memperkuat kedudukan menentang kejahatan perompak-perompak bangsa kate yang suka menyerbu pesisir selatan dari Tiongkok.

Tiba mereka sampai di tepian, mereka mendapatkan sebuah perahu besar berlabuh di pesisir. Mereka lantas mengenali, itulah bukan perahu mereka.

Di pesisir ada tauwbak yang menjaga, melihat kembalinya Sin Tjoe semua, dia menyambut dengan girang sekali. Dia kata: "Oh, leTjeetjoe telah kembali! Bagus!"

"Kenapa?" tanya Sin Tjoe. "Ada apakah?"

"Ada orang datang menantang," sahut si tauwbak. "Mereka datang dengan mengirim surat seperti biasanya kaum Kangouw. Tjio Tjeetjoe kenal mereka itu, katanya merekalah orang-orang yang ada hubungannya dengan tentera pemerintah."

"Berapa banyak jumlah mereka itu?" Sin Tjoe tanya pula. "Kapan sampainya mereka?"

"Jumlah mereka delapan orang, yang menjadi pemimpin seorang tua dengan tangan sebelah. Mereka sampai belum ada setengah jam. Sekarang mereka berkumpul di ruang besar. Katanya mereka ingin mengadu kepandaian dengan pihak kita."

Sin Tjoe menjadi tidak senang. Ia lantas ketahui siapa mereka itu.

"Hm! Koan Sin Liong bernyali sangat besar!" katanya. "Dia berani datang menantang! Benarkah dia tidak memandang mata pihak kita?"

Maka ia lantas mengajak rombongannya lekas masuk ke dalam.

Hoetjeetjoe Touw Tjoe Pang. ketua muda, segera menyambut nyonya ketua itu serta sekalian rombongannya. Dia kata: "Tjeetjoe semua serta para tetamu sudah pergi ke medan pieboe!"

"Tetamu apa!" kata Giok Houw sengit. "Si tua bangka tapa dakpa tangannya sebelah ialah orang undangannya Yang Tjong Hay! Diam-diam dia membantu tentera negeri, dengan sengaja dia memusuhkan kita!"

Touw Tjoe Peng bersenyum.

"Hal itu telah diketahui tjeetjoe!" ia berkata. "Karena mereka datang sebagai kaum Kangouw. tjeetjoe anggap baiklah kita berpura-pura tidak tahu, kita melayani dia seperti biasa. Lebih baik lagi kita tidak berurusan langsung dengan pihak tentera negeri. Kita menyambut dia seperti tetamu saja."

"Benar. Aku pun pikir demikian," kata Sin Tjoe.

Seng Lim membangun tentera suka rela untuk membela diri saja, menentang perompak untuk menolongi rakyat, jikalau tidak sangat terpaksa, tak sudi ia bentrok dengan tentera negeri. Itu sebabnya ia suka membuat perjanjian dengan soenboe yang lama dari propinsi Tjiatkang. Ia telah menduga, mungkin soenboe yang baru akan tidak mentaati perjanjian tetapi ia tetap bersikap sabar.

Thio Giok Houw dapat memahamkan sikapnya Yap Seng Lim. Itu pula sikapnya Tjioe San Bin. Maka ia kata: "Baiklah! Mereka tidak mau berterus terang, kitajuga berlagak pilon! Mari kita menyambut mereka dengan cara Kangouwjuga."

Mereka baru sampai di pintu dari medan pieboe, lantas mereka mendengar suara nyaring dari Koan Sin Liong: "Aku si orang tua datang kemari memenuhi undangan Hok Tayhiap suami dan isteri, sayang sekali Leng Liehiap tidak ada di rumah. Oleh karena itu, pertandingan giliranku baik ditunda saja. Sat Totjoe, baiklah kau membuat perhitungan dengan Yap Tjeetjoe, untuk membereskannya lebih dulu!"

Mendengar suara itu, Leng In Hong berlompat maju sambil tertawa, tetapi ia segera didului oleh Lioe Tek Tjhong, ketua dari Thayouw Tjee, dan Tjhio Peng Kin, ketua mudanya.

Thio Giok Houw juga lantas melihat Sat Lek Hiong berada dalam rombongan Koan Sin Liong itu, di antara siapa pun ada dua orang yang melukai ia selama di Hangtjioe. maka itu, panas hatinya.

Sat Lek Hiong itu, begitu kabur dari pulaunya, menuju langsung ke kota Hangtjioe di mana dia mencari Koan Sin Liong, maka itu dapat dia menuturkan kawan serikatnya itu hal kegagalan di pulaunya sendiri, hingga dia kena terusir.

"Wanita yang menggunai bunga emas itu ialah isterinya Yap Seng Lim," Koan Sin Liong memberitahu. "Untuk membalas sakit hati. Seng Lim harus dicari."

Ia lantas mengajak Yang Tjong Hay berdamai.

Yang Tjong Hay setuju, tetapi ia kata ia ingin tak memperlihatkan diri dulu.

Sat Lek Hiong seperti mencil sendirian, dengan terpaksa ia turut rombongannya Koan Sin Liong itu. Sin Liong mengajak enam kawan lainnya. Dengan lantas mereka berlayar. Jalan yang ditempuh ialah menantang secara kaum Kangouw itu.

Sin Tjoe semua mesti membetulkan perahu mereka, lantaran itu, mereka pulang terlambat, hingga Sat Lek Hiong dapat mendahului tiba di Hangtjioe lalu terus dapat turut Sin Liong.

Melihat jago pulau kosong itu. bisa dimengarti Tek Tjhong dan Peng Kin gusar sekali. Bukankah selama di pulau mereka telah diperhina dan disiksa?

Sat Lek Hiong berani, dia tertawa dingin.

"Kedua tjeetjoe, apakah kamu masih penasaran?" katanya menentang. "Apakah kamu masih ingin menempur aku?"

Leng In Hong tidak sudi didului, ia melombai pula Tek Tjhong dan Peng Kin. Dengan tindakan "Patpou kansian", atau "Delapan tindak mengejar tonggeret." ia segera berada di hadapan musuh. Ia kata: "Tuan Koan, kamu telah tiba lebih dulu, maka maafkanlah yang aku terlambat menyambutmu! Syukur aku masih belum ketinggalan! Bukankah kau menunjuk kami suami isteri? Lioe Tjeetjoe, maaf, sukalah kau mengalah dulu! Thian Touw, mari maju!" Kata-kata yang belakangan ini ditujukan kepada suaminya.

Yap Seng Lim lantas memegang masing-masing tangannya Lioe Tek Tjhong dan Tjhio Peng Kin seraya dia berkata: "Djiewie tjeetjoe baru habis berlayar, silahkan beristirahat dulu!"

Tek Tjhong ketua suatu benteng, dia menginsafi martabatnya, maka itu dapat dia menyabarkan diri. Di sini pun orang mengunai aturan kaum Kangouw, jadi tak selayaknya dia mengacau. Dia mengarti, kalau dia melayani Lek Hiong satu lawan satu, sulit dia melawannya, sebaliknya, kalau dia lantas maju berdua Peng Kin, itu artinya berlawanan dengan aturan Kangouw. Maka dia mengundurkan diri.

Seng Lim berbisik ketika ia berkata pula: "Lioe Tjeetjoe, harap sabar. Tak usah tjeetjoe maju sendiri, kami akan menagih keadilan untuk tjeetjoe."

Hok Thian Touw telah lantas muncul, ketika ia hendak menghunus pedangnya, tiba-tiba satu orang mendahului ia sambil orang itu berkata: "Hok Tayhiap. aku minta, sukalah kau bersabar dulu! Aku mempunyai urusan dengan Tuan Koan. yang mana harus diselesaikan terlebih dulu!" Setelah mana ia menghadapi Sin Liong untuk menanya: "Tuan Koan. muridku yaitu Seng Hay San tidak ada hubungannya dengan kau, kenapa kau menganjuri muridmu menawannya?"

Orang itu tak lain tak bukan ialah satu di antara Thianhee Soetay

Kiamkek atau Empat Kiamkek -- Ahli Pedang -- di Kolong Langit ini, bahkan dialah kiamkek yang ketiga: Tjio KengTo, gurunya Seng Hay San.

Menyambut orang she Tjio ini, Koan Sin Liong tertawa.

"Tuan Tjio, kau keliru!" katanya, sabar tetapi jumawa. "Muridmu itu ditangkap oleh orang-orangnya soenboe, denganku tidak ada sangkutannya! Muridku bekerja di kantor, dia menerima titah seatasannya, dia mesti menjalankan tugasnya! Benar aku menjadi guru, aku tidak dapat mencampur tahu tugasnya itu! Kenapa kau memperhitungkan urusan itu denganku? Tetapi Tuan Tjio, apabila kau sudi memberi pengajaran, aku si orang she Koan pasti suka sekali menemani kau bermain-main! Siapakah di antara kamu yang hendak maju lebih dulu?"

Cerdik jago tua ini, dia tidak mau menantang sekaligus.

"Baiklah kita jangan berebutan!" berkata Thio Giok Houw nyaring. "Sekarang ini akulah yang maju! — — Eh, imam hidung kerbau yang bau, apakah kau masih tidak hendak mengajukan dirimu? Aku si orang she Thio mau minta sekalian bunganya dari kau!"

Kata yang terakhir dari Giok Houw ini ditujukan kepada seorang imam dengan kopiah kuping yang berada dalam rombongan Koan Sin

Liong-ialah imam yang melukai ia di Hangtjioe.

Imam yang ditantang itu menjadi gusar.

"Bangsat cilik, kau berani mencaci orang!" bentaknya seraya lantas maju.

Koan Sin Liong tertawa dingin. Dia menanya: "Apakah kamu mau bertempur secara kacau? Kalau begitu, kamu tujukanlah itu padaku seorang!"

"Sabar!" Yap Seng Lim mengajukan diri. "Haraplah kamu mendengar aku! Hari ini baik kita bertanding dengan memakai aturan, siapa mempunyai perhitungan, dia berurusan dengan siapa. Masih ada tempo untuk membereskan semua. Sekarang, sebagai yang pertama, baiklah saudara Thio melawan tooya itu. Kau sendiri, Tuan Koan, sebagai pemimpin, sebentar datang giliranmu! Aku pun mau minta tuan jangan kuatir, di sini kamu tetamuku, maka itu tidak nanti kami mengeroyok kamu!"

Suaranya Seng Lim ini diturut orang banyak, maka semua lantas mundur, hingga di tengah gelanggang tinggal Thio Giok Houw berdua si imam. yang telah maju ke tengah. Dialah Tay Hiong, yang kesohor dengan tangannya yang liehay, yaitu Tiatsee tjiang atau Tangan Pasir Besi. Ketika itu hari dia dapat melukai Giok Houw, kesatu Giok Houw sudah lelah sekali, kedua dia dibokong muridnya Koan Sin Liong yang ada bersamanya. Sebenarnya dia jeri ditantang si anak muda akan tetapi di muka umum itu terpaksa dia memberanikan diri.

"Silahkan mulai!" kata Giok Houw sesudahnya keduanya berdiri berhadapan dan telah siap sedia.

Tay Hiong mengangkat sebelah kakinya, menindak dengan menjejak, untuk memutar diri, setelah mana tangan kirinya diangkat, ditekuk diputar, lalu sembari berseru: "Bangsat cilik, terimalah kematianmu!" dengan tangan kanannya ia meninju dadanya si anak muda. Serangannya ini keras sekali.

Giok Houw tidak menjadi gentar karena aksi orang itu. Itulah tingkah polah belaka untuk membikin ia bingung. Ia tetap memasang mata kepada kaki dan tangan musuh. Ia malah menggunai akal. Begitu serangan tiba, ia menjerit seraya tubuhnya terhuyung. Orang melihatnya ia terhuyung bukan lantaran berkelit. Maka pihaknya Koan Sin Liong lantas bersorak. Tapi belum berhenti sorak-sorai mereka, mendadak mereka mendengar suara bergelebuk dan tubuhnya Tay Hiong roboh setombak jauhnya, terbanting keras.

Giok Houw tahu tangan musuh berbahaya sekali, ia tidak mau melawan keras dengan keras. Tepat waktunya, ia membuat tubuhnya limbung menurut ilmu yoga ajarannya Hek Pek Moko, ia membiarkan lengan kanannya tertinju meleset. Telah mahir kepandaian yoganya hingga ia dapat membikin dagingnya bergerak sesuka hatinya. Maka itu ia tidak terhajar celaka.

Tay Hiong tidak ketahui kepandaiannya lawan ini. dia girang waktu dia merasa tinjunya mengenai, hanya hampir berbareng dia menjadi heran dan kaget. Tinjunya itu tidak mengenai hebat, sebaliknya tangannya kena ditangkis dan terbangkol.

Dalam kagetnya dengan sebat dia memutar tangannya itu, untuk diloloskan. Justeru dia menolong diri itu, kepalannya Giok Houw menyamber tanpa dia dapat berkelit lagi, hingga tak ampun pula, tubuhnya terhajar dan terlempar roboh! Tapi dia tidak terluka hebat, dengan sebat dia meletik bagaikan ikan gabus, untuk bangun berdiri, cuma mukanya menjadi merah padam saking malu dan mendongkol. Bahna gusarnya, dia mencabut pedang pendeknya sambil berteriak: "Marilah kita mengadu jiwa di ujung senjata!"

Giok Houw menyambut dengan tertawa berkakak.

"Bagus! Bagus!" serunya. "Hidung kerbau, kau sebutlah keinginanmu! Aku selalu bersiap untuk menemani kau!"

"Thio Ibako, hati-hati!" Sioe Lan berseru. "Pedangnya itu pedang beracun!"

Sebagai puterinya Tjit Im Kauwtjoe, Nona Im lantas dapat melihat pedang orang pedang berbahaya.

"Aku tahu!" menjawab si anak muda. "Senjata hina dina itu tak

menggentarkan hatiku!" -Eh,

hidung kerbau, kau mulailah! Jikalau kau dapat menikam aku, kau benar liehay!"

Tay Hiong mendongkol bukan main orang membuka rahasia pedangnya itu.

"Bangsat cilik, perduli apa aku menggunai senjata apa!" bentaknya. "Kau lihat saja!"

Kata-kata ini dibarengi dengan tikaman, maka berbareng dengan itu berkesiurlah angin yang berbau bacin, suatu tanda atau bukti bahwa pedang itu benar-benar beracun dan racunnya juga racun istimewa.

Giok Houw berlaku waspada, la mendapatkan imam ini tangguh lantaran tadi dia dapat bertahan dari pukulannya, satu jurus dari Liongkoen -- Kepalan Naga.

Dengan goloknya ia menangkis serangan itu, hingga senjata mereka bentrok berisik, sedang tubuhnya terhuyung dua kali.

"Kena!" berseru Tay Hiong, yang telah mengulangi serangannya tanpa dia mau mengasi ketika orang sempat memperbaiki diri. Kali ini dia menyerang ke iga lawannya itu.

Giok Houw terhuyung ke samping si imam. maka itu tepat tubuhnya untuk menyambut tikaman, akan tetapi ia sadar dan sebat, sembari terhuyung itu --- suatu tipu belaka --- ia berkelit. Dengan begitu ia membuatnya tikaman lewat, pedang tidak mengenai tubuh atau hanya bajunya saja.

Kembali Tay Hiong terperanjat. Dialah seorang yang berpengalaman bertempur, dia tahu apa artinya gerakan lawan ini. Dari itu dengan cepat dia menyerang pula, untuk mengulangi tikamannya yang ketiga. Pedangnya itu beracun, untuknya cukup asal dia dapat menggores tubuh orang. Karenanya, meski dia ketahui Giok Houw liehay, dia mencoba dengan berani. Dia percaya, kalau dia terbacok, dia cuma akan terluka parah, tetapi kalau musuh tertikam, musuh bakal terbinasa. Dari itu maka suka dia mengadu jiwa, dia bersedia berkelahi secara mati-matian.

Giok Houw dapat menerka pikiran orang. Ia berlaku cerdik. Ia menggunai kelincahan dari ilmu silat "Tjoanhoa djiauwsoe," atau "Menembusi bunga, mengitari pohon," hingga tubuhnya menjadi lemas, licin dan gesit.

Begitulah meski tiga kali sudah Tay Hiong menikam, dia tak memperoleh hasil.

Sebagai kesudahan dari kegagalannya berulang-ulang itu, hati Tay Hiong menjadi goncang, sendirinya dia menjadi bingung.

Giok Houw menggunai ketikanya. Tengah orang berkuatir itu, ia berseru keras, ia membacok.

Tay Hiong menangkis. Dia menggunai tipu silat "Mengangkat obor menyuluhi langit." Dia menggunai tenaga sekuatnya. Dia berani berbuat begini sebab dia merasa dalam hal tenaga, dia menang dari lawannya yang muda itu. Dia memikir, umpama kata golok lawan tidak kena dibikin terpental, sedikit dia dapat membebaskan diri. Tapi dia memikir sendirinya.

Giok Houw menggunai akal. Ia tidak membacok terus. Di saat kedua senjata bakal beradu, ia memutar tangannya, ia menukar arah serangannya. Untuk itu, ia pun mendak. Cuma sedikit ia mengubah sasaran, kesudahannya ia dapat memapas kutung jempol serta telunjuk musuh!

Gerakannya pemuda ini adalah gerakan pedang Hian Kie Kiamhoat yang menjadi gerakan golok, tentu sekali Tay Hiong tak menyangka sama sekali, hingga dia tidak keburu menarik pulang pedangnya atau menggelut tangannya itu.

Sekarang ini pihak benteng airlah yang bersorak riuh.

Hanya, belum lagi orang berhenti bergembira, atau semuanya menjadi kaget sekali.

Oleh karena kesakitan, gusar dan mendongkol, Tay Hiong menjadi nekad, tanpa mencaci atau berseru, mendadak dia menimpuk Giok Houw dengan pedang pendeknya yang berbisa itu! Itulah timpukan yang dinamakan "Di muka tangsi memanah tombak." Itu pula suatu tipu untuk "dari kekalahan merebut kemenangan." Musuh diserang secara tiba-tiba sedang biasanya, setelah satu kemenangan, musuh suka kurang waspada. Untuk Tay Hiong, cukup asal ujung pedangnya menowel tubuh lawan...

le Sin Tjoe memasang mata, ia terkejut untuk sepak terjangnya Tay Hiong itu, hingga ia mau menggunai bunga emasnya guna merintangi pedang yang beracun itu, akan tetapi sebelum sempat ia menimpuk, ia mendengar jeritan yang menyayatkan, ia lantas melihat satu tubuh roboh —— bukan Giok Houw hanya tubuh Tay Hiong si imam!

Giok Houw telah berlaku hati-hati sekali, matanya celi, gerakannya gesit. Ia melihat bagaimana ia diserang secara separuh membokong itu. Ia tidak mau berkelit, sebaliknya, ia lantas menangkis. Syukur untuknya, karena tangannya sakit disebabkan dua jerijinya terluka, serangannya si imam kurang kuat dan kurang tepat. Ia dapat menangkis dengan tepat, bahkan tangkisannya membikin pedang lawan mental balik, nancap di pundak lawan tanpa si lawan sempat menghindari diri.

Maka menjeritlah Tay Hiong, bahna sakit dan kaget.

Menyusul jeritannya imam itu. dua tubuh berlompat masuk ke dalam gelanggang. Yang satu ialah sahabatnya Tay Hiong, Poan Kimkong Hoe Tay Goan, si Arhat Terokmok, dan yang lainnya Kok Tiok Koen, si tabib yang pandai silat. Dan Tiok Koen berlompat kepada Tay Hiong. untuk segera menotok dada orang beberapa kali!

Hoe Tay Goan menjadi sangat gusar.

"Kurang ajar!" dia mencaci. "Kau... kau..."

Baharu sahabat ini menyebut "kau" itu, ia melihat Tay Hiong bergerak bangun, untuk berduduk, lalu terus mengangguk kepada si tabib, mengangguk memberi hormat, sedang mukanya mengasi lihat roman bersyukur, mulutnya yang bergerak sedikit tetapi tak ada kata-kata yang dapat dikeluarkan. Tapi Tay Goan berada di sisinya, sahabat ini samar-samar mendengar ucapan terima kasih. Maka segera dia mengarti. Maka dia membatalkan caciannya, mukanya menjadi merah saking malu sendirinya.

Racunnya Tay Hiong racun dahsyat, kalau racun itu bercampuran dengan darah dan mengalir melulahan. masuk ke jantung, tamatlah lelakon hidupnya. Tak ada obat untuk mencegah kematian itu. Itu artinya mau mencelakai orang berbalik jadi mencelakai diri sendiri. Untuk menahan napas saja sudah tak ada kesempatannya. Di luar dugaan, Tiok Koen menotok, menutup jalan darahnya itu, menyusul mana, tabib ini juga memberikan dia tusukan jarum guna menyedot keluar racunnya itu.

"Bagus!" berkata Tiok Koen tertawa habis memberikan pertolongannya itu. "Sekarang pergilah pulang untuk kau merawat dirimu terlebih jauh! Pedangmu ini terlalu jahat, lain kali baik kau jangan menggunakannya pula."

Selagi Hoe Tay Goan masih jengah, Tiok Koen memberi hormat terhadapnya seraya berkata: "Sahabatmu ini sudah ketolongan, silahkanlah kau mengajaknya pergi!"

Tiba-tiba Tay Goan membuka lebar matanya dan berkata: "Aku sudah turun ke gelanggang ini, mana dapat aku balik dengan tangan kosong? Tidak lain, terpaksa aku mesti minta pengajaran kau!..."

Orang semua heran, bukan Tay Goan menghaturkan terima kasih, dia justeru menantang. Tiok Koen sendiri turut menjadi heran juga.

Si Arhat Terokmok ini adalah konconya Tay Hiong Toodjin. Mereka berdua biasa melakukan pekerjaan tanpa modal di jalan Kamliang. Mereka tidak punya lain kambrat lagi. Cara kerja mereka juga istimewa. Yaitu mereka biasa "hitam makan hitam." Umpama mereka tahu serombongan penjahat lain banyak simpanannya mereka minta hasil tiga persen. Tay Goan liehay ilmu silatnya, Tay Hiong liehay pedang beracunnya, dari itu orang golongan Hitam jeri terhadap mereka, kalau mereka minta bagian, tidak ada yang berani tidak meluluskan. Tiok Koen tahu tabiatnya mereka itu, dan ia tahu juga Tay Hiong belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan, dari itu suka ia menolongi jiwa imam itu, ia tidak menyangka, Tay Goan sekarang menantangnya.

Tay Goan sudah lantas menggeraki kedua tangannya, yang terlihat bercahaya merah, sembari berbuat begitu, ia berkata: "Sudah lama aku mendengar perihal ilmu totok kau, Tuan Kok, maka itu sekarang dengan kedua tangan kosong ingin aku menerima pengajaran dari kau."

"Terima kasih untuk puj ian kau ini, Hoe Totjoe," kata Tiok Koen. "Aku si orang tua juga sudah lama mendengar perihal ilmu Koengoan Peklek Tjiang dari totjoe. Baiklah, tak usah totjoe sungkan-sungkan lagi, silahkan mulai!"

"Koengoan Peklek Tjiang" itu ialah Tangan Geledek.

Hoe Tay Goan benar-benar lantas menyerang. Anginnya itu menderu keras, sampai ujung baju Tiok Koen berkibar karenanya. Tapi si tabib tidak kena diserang. Ia sudah lantas menggeser diri ke samping dari mana ia membalas menyerang. Dengan tongkat bambunya, ia menusuk ke arah telapakan tangan lawan.

"Bagus!" Tay Goan berseru seraya tangannya ditarik pulang. Dia tidak mundur, sebaliknya, sebelah kakinya diajukan setindak, hingga dia bersikap "Menunggang harimau mendaki bukit," berbareng dengan mana, dia menyerang pula dengan tangan kirinya. Dengan ini dia hendak menghajar tongkat si tabib.

Tiok Koen lekas-lekas menarik pulang tongkatnya, ia turut menggeser tubuh juga, untuk ia terus menusuk ke pundak penyerangnya itu.

Dengan gerakan "Burung hong mengangguk." Tay Goan berkelit, ia menyampok tongkat. Secara begitu, iajadi dua kali meluputkan diri.

Tongkat Kok Tiok Koen, yang dinamakan tjheetiok kan, atau "galah bambu hijau," panjangnya delapan kaki tiga dim. Tongkat itu kaku, daya mentalnya keras, dari itu leluasa sekali digunakannya. Sebagai alat menotok jalan darah, karena panjangnya, tongkat itu alat yang tepat dan berbahaya. Cacadnya ialah rada sulit untuk dipakai berkelahi rapat. Alat totok yang umum ialah dua kaki delapan dim.

Pertempuran itu berjalan seru. para penonton sangat tertarik perhatiannya. Di antaranya cuma Sin Tjoe seorang yang melihat sikap Tiok Koen luar biasa, ialah alis si tabib tegang dan parasnya berubah sedikit. Itulah disebabkan Tiok Koen merasa lawannya benar-benar tangguh, tongkatnya saban-saban kena dibikin tidak berdaya, sedang dengan tongkat itu ia telah berlatih sempurna. Ia pula dibikin heran, setiap kali ia terancam, lantas ancaman itu lenyap sendirinya, meski benar ia pun mendayakan guna menghindarinya. Ia mau membade maksud orang tetapi ia tetap waspada.

Pertandingan ini tidak seimbang. Hoe Tay Goan itu bertubuh besar gemuk dan kekar, sebaliknya Kok Tiok Koen kecil dan kurus. Sebaliknya, kegesitan mereka berimbang, keduanya dapat maju dan mundur dengan sebat, hingga mata kebanyakan orang kabur menyaksikan kelincahan mereka berdua.

Habis itu taklah lama pertempuran berjalan. Mendadak orang melihat keduanya berlompat mencar. Sebelumnya mereka memisahkan diri, tongkat Tiok Koen mengasi dengar suara keras, sebab ujung tongkat mengenakan tubuh Hoe Tay Goan, yang lantas terhuyung, bukannya mundur atau nyamping, justeru terjerunuk ke depan, hingga dia dapat menyerang lawannya. Hampir berbareng keduanya roboh!

Semua orang menjadi kaget, tetapi belum sempat mereka mengambil tindakan, mereka menampak kedua lawan itu sama-sama berlompat bangun, lantas Tay Goan memberi hormat pada musuhnya seraya berkata: "Tuan Kok, ilmu totokmu sangat liehay, aku si orang she Hoe takluk padamu!"

Tiok Koen pun memberi hormat seraya berkata: "Hoe Loosoe, ilmu Koengoan Peklek Tjiang kau ini liehay, aku pun kagum sekali!"

Tay Goan mengundurkan diri tanpa membilang apa-apa, dia hanya berkata kepada Koan Sin Liong: "Tuan Koan, menyesal sekali yang hari ini kami berdua saudara telah menemui kekalahan kami, hingga kami tidak dapat memberikan bantuan kami sebagaimana layaknya. Saudara Tay Hiong terluka, dia memerlukan rawatan, dari itu ingin kami mengundurkan diri." Ia terus menoleh pada Yap Seng Lim, untuk berkata: "Yap Tjeetjoe, dapatkah aku meminjam sebuah perahu untuk kami berangkat pulang?"

"Menyambut dan mengantar tetamu adalah keharusan kami," berkata Seng Lim cepat, "maka itu tak usahlah sampai tuan memintanya."

Benar-benar tjeetjoe ini lantas menugaskan seorang tauwbak buat menyiapkan perahu dan mengantarkan kedua orang itu meninggalkan pulau mereka, untuk pulang ke Hangtjioe.

"Terima kasih untuk bantuan kamu, sahabat-sahabatku!" berkata Koan Sin Liong sambil tertawa lebar, kepalanya dilenggaki. Suaranya itu tak sedap didengarnya.

Sebenarnya Hoe Tay Goan sangat bersyukur yang Kok Tiok Koen sudah menolongi Tay Hiong Toodjin, konconya itu, kalau ia toh menempur Kok Tiok Koen. itu cuma siasatnya untuk menutupi muka, guna membikin Koan Sin Liong tidak menjadi kecewa. Dengan menantang Tiok Koen, ia juga bermaksud menolongi tabib itu. la tahu kawannya Sin Liong liehay semua, bila Tiok Koen menempur lain orang, dikuatir dia nanti mendapat bahaya. Thio Giok Houw tidak tahu maksud orang, dari itu ia menganggapnya keliru, ia menyangka orang tak berbudi. Koan Sin Liong sebaliknya sangat tidak puas atas kesudahannya pertempuran itu.

Dengan kepandaiannya, umpama kata Hoe Tay Goan tidak mengalah, untuk mengalahkannya, mungkin Tiok Koen memerlukan tiga sampai lima ratus jurus. Tay Goan tahu orang liehay, ia mengalah bukan karena sungkan. Tiok Koen pun kemudian mendapat tahu orang telah mengalah padanya, jikalau tidak, di saat berbahaya itu, keduanya pasti akan sama-sama terluka. Kesudahannya ialah mereka seri.

Koan Sin Liong adalah satu ahli, maka itu beda daripada kebanyakan orang, ia mengarti sandiwaranya Hoe Tay Goan itu. Itu sebabnya mengapa ia menjadi sangat tidak puas.

Maka juga sambil menghadapi rombongannya, ia kata: "Sahabat yang ingin mengundurkan diri, dia boleh mundur sekarang, temponya masih belum kasip! Tak perduli orang membantu atau tidak, aku si orang she Koan bersyukur karenanya! Tak usahlah orang menggunai alasan lagi!"

"Biarlah orang she Hoe itu!" berkata Lek Hiong. "Lain kali sajakita cari dia untuk membuat perhitungan! Tak usahlah kau bergusar, toako! Hari ini kita akan mendapat tahu siapa-siapa sahabat sejati! Untukku, biarlah aku maju lebih dulu!"

Lantas jago dari pulau kosong ini mengajukan diri. Dia membuatnya orang gentar. Dia benar pecundang dari Sin Tjoe dan In Hong akan tetapi untuk menempur dia satu lawan satu sebenarnya sulit, melainkan Hok Thian Touw atau Tjio Keng To yang dapat menandinginya. Sulitnya ialah mereka ini telah berjanji dengan Koan Sin Liong untuk bertempur satu sama satu dan janji itu tak dapat diubah kecuali kedua pihak berbicara dan menyetujuinya dulu.

Selagi Tjio KengTo bimbang, Yap Seng Lim bertindak maju.

"Sudah lama aku mendengar hal kepandaian luar yang mahir sekali dari Sat Lootjianpwee," ia berkata, sabar, "meski begitu aku yang rendah tak tahu harga diriku, suka aku memohon mencobanya untuk beberapa jurus."

Sat Lek Hiong tertawa bergelak.

"Yap Tjeetjoe sendiri sudi memberi pengajarannya, sungguh tak ada yang terlebih baik daripada itu!" ia berkata. "Silahkan!"

Di pihak tuan rumah orang heran melihat Seng Lim mengajukan diri. Itulah berbahaya. Umumnya hati orang tak tenang. Seng Lim muridnya Kimkong Tjioe Tang Gak si Tangan Arhat, ia pun mengutamakan kepandaian luar, -- gwakang, —— ia memang tepat menandingi Lek Hiong, tetapi ia kepala, sebagai kepala tak selayaknya ia yang lantas maju. Tapi ia sudah berada di depan, tak dapat ia diminta mengundurkan diri.

"Silahkan lootjianpwee yang mulai!" berkata Seng Lim merendah. "Aku yang muda tuan rumah dan lootjianpwee ialah tetamu, tidak berani aku melancangi!"

"Kalau begitu, maaf!" berkata Lek Hiong seraya lantas ia menggeraki kedua tangannya, hingga terdengar bersuara meretak pada sambungan tulang-tulangnya, menyusul mana mendadak sebelah tangannya meluncur.

Lek Hiong bertubuh lebih tinggi daripada Seng Lim, maka itu ketika ia menyerang ini, tangannya dari atas turun kebawah, umpama kata seperti gunung Taysan menindih kepala!

Seng Lim pun dengan cepat menggeraki tangannya. Dengan tangan kiri ia menangkis, dengan tangan kanan ia membarengi menyerang. Ini dia yang dinamakan keras lawan keras, maka beradulah tangan mereka. Sebagai kesudahan daripada itu, tubuh Seng Lim mundur tiga tindak, lantai yang diinjak menjadi celong, bertapakkaki. Tapi juga Lek Hiong terhuyung dua kali, dia mesti lompat ke kiri satu tombak, baru dapat dia membikin tubuhnya berdiri tegak pula.

Seng Lim merasa orang bertenaga seperti raksasa, bahwa ia mungkin tak dapat bertahan, akan tetapi ia tidak takut, ia tidak kekurangan daya. Beda daripada Lek Hiong, ia mahir ilmunya tenaga dalam dan tenaga luar, maka untuk melawan musuh tangguh ini, ia menggunai dua-dua kepandaiannya itu. Ia menangkis dengan tangan kirinya dengan ilmu pukulan Biantjiang Kanghoe, atau Tangan Kapas, ialah dengan tenaga lunak. Sebaliknya dengan tangan kanannya ia menghajar dengan Kimkong Tjioe, tenaga keras. Sayang untuknya, ia belum mencapai puncaknya Biantjiang Kanghoe, kalau tidak, celakalah Lek Hiong. Itu sebabnya kenapa orang she Sat ini melainkan terhuyung.

Bentrokan pertama ini meyakinkan kedua pihak akan liehaynya mereka masing-masing. Yap Seng Lim segera mengerti bahwa ia perlu menggunai siasat. Lek Hiong sebaliknya kagum karena lawannya masih muda sekali, usianya baru lebih kurang tiga puluh tahun, dia tidak menyangka sekali pukulannya itu dapat dilawan secara demikian bagus.

Ketika keduanya maju pula, lebih dulu mereka berputaran. Habis itu Seng Lim yang merasa terlebih dulu. Ia menggeraki keduatangannya ke kiri dan kanan, tangan kiri dalam sikap menjaga atau menangkis, tangan kanan terus menyerang. Dari kepalan, tangan kanan itu dibuka, untuk jerijinya dipakai menotok ke pinggang di mana ada jalan darah kwietjheng.

Lek Hiong tidak mundur atau berkelit, dia menangkis sambil membalas menyerang juga, maka lagi sekali mereka itu bentrok. Tubuh Seng Lim mundur sambil mencelat tinggi. Lek Hiong mundur tiga tindak sambil terdengar suaranya, "Hm!"

Nyata mereka kembali tak menang dan tak kalah.

Penonton dari kedua pihak sama-sama menyusut peluh tanpa merasa.

Ie Sin Tjoe terkejut berbareng girang. Ia terkejut untuk hebatnya lawan itu. Ia berkuatir, kalau lama-lama mereka bertempur, Seng Lim mungkin kalah ulet. Sebaliknya ia girang sebab ia mendapat bukti Kimkong Tjioe suaminya itu demikian mahir, suami itu memperoleh kemajuan di luar sangkaannya.

Semua mata lantas mengawasi dengan tajam.

Kedua pihak lantas maju pula, untuk melanjuti pertempuran mereka. Bisalah dimengerti jikalau mereka menjadi sama-sama penasaran, hingga pertempuran berlangsung dengan dahsyat. Penonton kedua pihak pada mengundurkan diri, untuk menyingkir dari samberan angin mereka itu.

Lewat sekian lama, orang melihat Seng Lim mandi keringat sedang Lek Hiong bernapas mengorong. Itulah bukti kedua pihak sudah mengobral tenaga mereka, hingga mereka menjadi letih sekali.

Di pihak Seng Lim, bukan cuma Sin Tjoe sang isteri, juga In Hong dan Giok Houw menguatirkannya, kuatir kalau-kalau dia salah bergerak...

Tengah bertempur hebat itu tiba-tiba terdengar bentakannya Sat Lek Hiong, yang tangan kirinya memutar mengancam dan tangan kanannya menyerang hebat.

Seng Lim menutup dadanya dengan tangan kanannya tetapi tangan kanan itu kena tertolak ke samping, tubuhnya turut tertolak mundur juga. Itu berarti tubuhnya telah terbuka, tinj unya Lek Hiong tinggal menghajar dadanya itu.

Tjio Keng To kaget hingga dia berteriak "Celaka!" sambil terus lompat maju, untuk melindungi ketua dari benteng air Hokpo To itu. Tapi belum lagi ia tiba kepada orang-orang yang lagi mengadu jiwa itu, segera terlihat tubuh Seng Lim bergeser ke samping kanan, tangan kirinya dipakai menangkis, tangan kanannya yang tertolak diteruskan dipakai menyamber. Nampaknya ia menggeraki tangan lambat, akan tetapi akibatnya itu, tubuhnya Lek Hiong yang besar itu kena dibikin terpental. Hanya habis itu, dengan mengasi dengar suara napas tertahan, tubuh ketua benteng pulau ini roboh terjengkang!

Majunya Tjio Keng To tepat sekali, hingga ia dapat menanggapi tubuh ketua itu, hingga tubuh itu tak usah jatuh terbanting.

Di pihak sana baik Koan Sin Liong atau lainnya, tidak ada yang keburu menolongi kawannya maka itu Lek Hiong roboh terjungkal, kedua kakinya menjulang ke langit!

Seng Lim tahu ia terancam bahaya maka itu ia menggunai kesehatannya untuk berkelit, untuk segera membarengi menyerang dengan pukulan Tangan Kapas, benar ia agaknya bergerak lambat tetapi serangannya dahsyat. Buktinya tubuh raksasa musuhnya itu terpental keras.

Lek Hiong menyerang dengan bernapsu, ia tidak menyangka lawannya demikian lincah, tetapi walaupun ia roboh, serangannya mengenai juga, hanya itu tidak tepat, dari itu Seng Lim cuma kena tertolak dengan napasnya dirasai tertutup.

Coba keduanya sama-sama terguling, mereka seimbang, pertempuran mereka seri. Tetapi Seng Lim ditolongi Keng To, dia dapat segera mempertahankan diri. Di lain pihak. Lek Hiong terhitung tjianpwee, orang dari tingkat terlebih tua dan tinggi, dia keteter terhadap seorang muda --- siauwpwee --- ia kalah sendirinya karena derajatnya itu, maka meski mereka seri. ia toh terhitung kalahjuga.

"Terima kasih lootjianpwee suka mengalah," kata Seng Lim.

Lek Hiong jengah, mukanya merah.

Ketika itu, dengan pedang terhunus, seorang mengajukan diri seraya berkata dengan dingin: "Yap Tjeetjoe, kau benar-benar liehay! Baiklah tunggu sebentar, setelah kau beristirahat, suka aku si orang she Koan menerima pengajaran dari kau!" Ia tidak menanti jawaban, ia terus memandang Tjio Keng To, untuk meneruskan: "Orang tua she Tjio, kau sudah maju ke gelanggang, kau baiklah jangan mengundurkan diri pula!"

Orang itu ialah Koan Sin Liong, sebagaimana ia telah menyebut-nyebut she-nya. Ia nampak gusar sekali. Ia melihat KengTo menolongi Seng Lim. Ia mendongkol tanpa bisa

788

berbuat apa-apa, sebab perbuatan orang she Tjio itu tak menyalahi aturan Kangouw. Maka ia cuma dapat di satu pihak menyindir Seng Lim dan di lain pihak menantang Keng To.

"Memang aku telah memikir untuk tidak pulang!" berkata Keng To sambil tertawa nyaring. "Asal kau dapat menahan aku maka beberapa potong tulang-tulangku dapatlah dipendam di sini!"

Kata-kata ini ditutup dengan dihunusnya pedang yang terus diluncurkan ke depan lawan yang jumawa itu.

Koan Sin Liong sudah lantas menyambut.

Keng To ahli pedang kaum lurus, sudah menjadi kebiasaannya walaupun di depan musuh liehay, tak dapat ia melupai aturan. Begitu ketika ia meluncurkan pedangnya, ia bukan lantas menyerang, hanya ujung pedangnya itu lantas ditunduki ke bawah. Itulah tanda menghormat.

Koan Sin Liong bangsa sesat, dia sebaliknya, dia tidak mengambil mumat aturan kehormatan, begitu melihat pedang lawan meluncur, begitu dia menyambut. Dia menangkis keras, sambil menangkis, sebelah kakinya diajukan.

Kedua pedang bentrok satu dengan lain, pedang Keng To kena dibikin mental, sebaliknya ujung pedang Sin Liong meluncur terus ke lengan lawan, sebab dia menangkis sambil diteruskan menikam.

Keng To terkejut. Inilah ia tidak sangka. Syukur ia lekas mengegosi tangannya itu, jikalau tidak, celakalah ia hanya dalam sejurus itu.

Gagal serangannya yang licik itu, Sin Liong mendesak, ia menyerang pula.

Keng To menangkis sambil mendak. Pedangnya tidak bentrok, karena Sin Liong menarik pulang senjatanya. Karena ini ia dapat meneruskan membabat ke bawah, ke kaki.

"Bagus!" Sin Liong berseru memuji seraya tubuhnya mencelat tinggi, berkelit dari ancaman bahaya itu, hingga pedang lawan lewat di bawahan kakinya. Ia berlompat sambil terus menjumpaiitkan diri, hingga kakinya berada di atas, kepalanya berada di bawah, dengan begitu selagi turun itu, ia dapat menggunai ketika meneruskan menyerang.

Keng To cepat-cepat menangkis. Maka lagi sekali pedang mereka beradu nyaring.

Baru setelah ini keduanya memisahkan diri.

Keng To menjadi gusar, hampir pundaknya tertikam, sedang pedangnya sendiri lewat di atasan pundak musuh.

"Kau telengas, jahanam!" ia mendamprat di dalam hati. "Nyata aku keliru memandang kau sebagai jago!" Karena ini. ia lantas maju pula untuk menyerang lagi. Kali ini ia bersilat dengan "KengTo Kiamhoat," ilmu "Pedang Bergelombang," yang menjadi peryakinannya. Sekarang ia tidak mau berlaku sungkan lagi.

Tjio Keng To terkenal berbareng dengan Thio Tan Hong dan Ouw Bong Hoe, ilmu pedangnya itu telah diyakinkan selama beberapa puluh tahun, maka itu bisa dimengerti serangannya ini seperti gelombang saling kejar.

Koan Sin Liong bertindak dalam garis Kioekiong Patkwa. ia main mundur dengan rapi. Ia terdesak tetapi ia tidak menjadi repot.

Untuk sehirupan teh, pertempuran berlangsung hebat. Satu menyerang, satu menjaga. Tidak ada pihak yang terlebih unggul.

Cuma di dalam hatinya, Koan Sin Liong berkata: "Tua bangka ini benar-benar hebat. Dia terlebih tua daripada aku. toh dia masih gagah mirip anak muda!" Ia menjadi waspada.

Dalam pertempuran seperti itu, meski KengTo mendesak, sebenarnya Sin Liong yang mesti mengerahkan tenaga dan perhatian lebih banyak. Kalah tenaga atau alpa berarti kekalahan. Sin Liong liehay, dia dapat bertahan.

Mau atau tidak, Keng To mesti puji lawannya ini. Katanya dalam hati: "Pantas dulu hari, paman gurunya telah menantang Hian.Kie Itsoe! Ilmu pedangnya ini, untuk kaum sesat, benar ilmu pedang kelas satu!" Oleh karena ini, ia tidak mau berlaku teledor.

Dengan cepat pertempuran itu sudah berjalan seratus jurus.

In Hong menonton sambil berdiri berendeng dengan Sin Tjoe, diam-diam keduanya memuji. Tapi Nyonya Yap rada berkuatir, ia kata perlahan kepada kawannya: "Tjio Lootjianpwee sudah berusia lanjut, kalau dia mesti bertempur lama, tenaganya dapat berkurang lebih cepat. Aku kuatir dia rugi pada tenaganya..."

Baru nyonya ini berkata demikian, lantas ia melihat satu perubahan yang sangat cepat. Keng To menyerang, Sin Liong ayal menangkis. Ia menjadi girang. Tapi In Hong berseru: "Celaka!"

Perubahan telah terjadi dengan sangat cepat. Bukannya Sin Liong yang terluka, justeru Keng To yang kena ditikam. Ujung pedang si orang she Koan menggores lengan kiri panjangnya lima dim!

Keng To pun sependapat dengan Sin Tjoe. la tidak mau pertempuran mengambil tempo terlalu banyak. Ia menjadi ingin mengakhirinya siang-siang, lebih cepat daripada semestinya. Karena berpikir begitu, meski orang dihadapinya, ia seperti lupa Sin Liong itu tidak ada tangan kirinya Ia menyerang dengan tikaman

"Siangliong tjoethay"-"Dua ekor

naga keluar dari laut." Serangan itu mengarah kedua tangan kanan dan kiri dengan bergantian. Hebat ilmu silat itu.

Akan tetapi Sin Liong bertangan satu, tak ada lengan kirinya maka itu sia-sia belaka tikaman Keng To ke lengan kiri. Pedang cuma mengenai tangan baju yang tidak ada lengannya. Baru setelah mengenai tangan baju itu, KengTo sadar. Tapi sudah kasip. Sin Liong menggunai ketikanya dengan tepat, pedangnya meluncur. Syukur Keng To masih cukup gesit, maka ia cuma tergores sedikit. Meski begitu, darahnya lantas mengalir.

Sin Tjoe terkejut, tapi cuma sebentar. Cepat luar biasa, perubahan lain sudah mengambil tempat. Perubahan ini menarik perhatiannya. Sin Liong dan Keng To saling menyerang, pedang mereka beradu. Luar biasa, habis itu, kedua pedang tak dapat ditarik pulang masing-masing. Kedua pedang nempel satu pada lain. Dengan begitu, keduanya pun terus tak bergerak.

Darah di lengannya KengTo turun tetes demi tetes. Koan Sin Liong sebaliknya, parasnya berubah dan dari dahinya keluar peluhnya yang sebesar kacang kedele, jatuh tetes demi tetes juga.

Itulah Keng To yang menempel pedang lawan. Ia gusar, ia menggunai siasatnya ini. Inilah siasat yang akan memutuskan, siapa mati dan siapa hidup. Ia telah mengerahkan tenaga dalamnya, menempel pedang lawan hingga tak dapat ditarik pulang.

Dari mengadu pedang, mereka menjadi menguji tenaga dalam.

Walaupun sama-sama tak bergerak, pertandingan ini lebih hebat daripada pertandingan pedang.

Mau atau tidak, pihak rombongan Sin Tjoe berkuatir. Bukankah Keng To sudah terluka? Tidak dapat jago itu mengeluarkan terlalu banyak darah. Memang darahnya mengetes perlahan, tapi bagaimana kalau waktunya berlarut-larut? Sedikit demi sedikit berarti banyak juga...

Juga Koan Sin Liong berkuatir. Ia tidak terluka tetapi ia kalah tenaga dalam. Ada kemungkinan sebelum Keng To letih atau habis tenaga disebabkan darahnya keluar terus menerus, ia akan roboh terlebih dulu lantaran tenaga dalamnya terkerahkan habis.

Pihak Sin Liong pun turut berkuatir.

"Thian Touw," kata In Hong akhirnya pada suaminya, "dapatkah kita berdua memisahkan mereka?"

Selagi si nyonya berkata begitu, dari rombongan Sin Liong terlihat seorang bertindak maju ke gelanggang. Dialah imam yang bernama Tjeng In, yang maju sambil menghunus pedangnya. Seperti In Hong, diajuga berniat memisahkan keduajago itu.

Cepat Tjeng In bertindak, begitu tiba begitu ia meluncurkan pedangnya.

"Traang!" suara beradu terdengar.

Pedangnya Koan Sin Liong pedang Siongboen Kouwteng kiam, pedang itu tergeser sedikit, akan tetapi kedua pedang tetap nempel. Sebaliknya pedang Tjeng In mental balik juga tubuhnya.

Justeru itu kembali terdengar suara "Traang!" terlebih nyaring. Kali ini pedang Thian Touw yang menyelak di antara pedang kedua jago. Jago dan Thiansan bergerak menyusuli Tjeng In.

Pedangnya Sin Liong dan KengTo lantas berpencaran. Atas itu tubuh KengTo roboh terguling, akan tetapi segera ia lompat bangun pula. Tubuh Sin Liong terhuyung enam atau tujuh tindak, lalu berputar, habis itu baru dia dapat berdiri tetap.

Tjeng In memisahkan dengan pikirannya berat sebelah. Di muka umum seperti itu ia tidak berani berlaku curang dengan menikam langsung pada Keng To. Hanya ketika ia memisahkan, pedangnya diberatkan kepada pedang musuh kawannya. Kalau ia berhasil, Sin Liong dapat meneruskan menikam. Tapi dia kalah tenaga dalam, pedangnya terpental dia terpelanting. Meski begitu, ketika pedang mereka tergerak, Sin Liong dapat juga meluncurkan terus pedangnya. Akan tetapi dia tidak dapat menikam KengTo. Tepat di itu waktu, datang serangannya Hok Thian Touw. Tidak ampun lagi, pedang mereka bercerai-berai.

Tjeng In roboh terguling, dia tidak mendapat luka tetapi dia malu.

Thian Touw memisahkan secara jujur akan tetapi ia menyebabkan kemendongkolannya Sin Liong. Jago itu terhalang maksudnya. Cuma, sebab tidak ada alasan, Sin Liong tidak berani menegur. Ia pula harus meluruskan napasnya.

Setelah itu In Hong maju ke gelanggang. Inilah kebetulan buatjago tua itu.

"Kamu suami isteri kebetulan maju," katanya, "sekarang mari kita memenuhkan janji kita!"

Dengan berani Sin Liong menentang.

"Lootjianpwee," kata Thian Touw tertawa, "apakah kau tidak ingin beristirahat dulu?"

Sin Liong menyedot napasnya. Ia melihat cuaca, ia berpikir. Ia merasa ia bakal dapat melayani suami isteri itu sampai dua ratus jurus. Itu berarti ia akan menang tempo. Ia ingin memperlambat waktu kira-kira setengah jam, lantas harapannya timbul. Sebagai seorang manusia licik, ia sudah mengatur tipu daya. Ia mempunyai bala bantuan, yang datangnya lagi ditunggu. Thian Touw sebaliknya tidak berpikir sebagai ia.

"Meski aku bertempur, aku si orang she Koan tidak menghamburkan tenagaku!" ia kata tertawa, sikapnya jumawa. "Tak ada perlunya untuk aku beristirahat lagi! HokTayhiap, kau terlalu memandang enteng kepadaku!"

Thian Touw tidak mau berlaku curang. Ia melirik kepada Tjeng In, yang lagi berdiri dengan masih memegangi pedang, matanya imam itu mengawasi ia dengan bengis.

Rupanya dia itu masih mendongkol dan membenci kepadanya disebabkan dia gagal memisahkan, ia berhasil, dia roboh dari mendapat malu. Ia lantas tertawa.

"Jikalau begitu, lootjianpwee." katanya, "baiklah, silahkan tooya itu pun maju bersama! Kami berdua, lootjianpwee juga berdua, kita jadi seimbang!"

Sin Liong menantang suami isteri itu, benar ia satu lawan dua, ia anggap itulah pantas. Bukankah ia jago dan telah terkenal? Bukankah ia lebih tua tingkatnya? Ia malu satu lawan satu. Tapi sekarang orang meminta sendiri ia maju berdua, diam-diam ia girang. Ini ada baiknya. Jadi ada ketika lebih baik untuk ia memperlambat waktu. Siapa tahu kalau ia justeru akan dapat merobohkan suami isteri itu? Biar bagaimana, Tjeng In tidak dipandang enteng.

"Tooheng, bagaimana pikiranmu?" ia tanya imam itu. "Mereka ini ialah suami isteri Hok Thian Touw dari Thiansan yang kesohor untuk ilmu pedangnya Siangkiam Happek yang bersatu padu, yang pernah bertemur seri dengan Lootjianpwee Kiauw Pak Beng."

Tjeng In terkejut mendapat tahu orang ialah jago Thiansan. Ia belum kenal suami isteri itu, ia cuma baru mendengar namanya. Tapi sudah terlanjur, tidak dapat ia mundur. Maka ia kata: "Memang telah lama aku mendengar nama besar dari tayhiap suami isteri. Marilah! Aku pikir, daripada kita bertempur dalam dua rombongan, baik kita menjadi satu saja!"

Ketika itu Tjio Keng To berdiri mengawasi dari luar gelanggang. Lukanya luka di kulit, habis diborehkan obat, darahnya berhenti mengalir. Ia tidak berkuatir melihat Thian Touw menantang. Bahkan sambil tertawa ia kata pada Sin Tjoe: "Meski tua bangka itu belum mensia-siakan tenaganya melawan aku, melayani Hok Tayhiap berdua dia bukannya tandingan! Tapi dia berkepala besar, dia berani menantang! Dia dibantu si hidung kerbau, kendati begitu, dia cuma akan dapat melawan tiga ratus jurus!"

Sin Tjoe setuju dengan pandangannya jago tua ini. Tapi ia heran. Kenapa Sin Liong berani menantang Thian Touw? Mestinya dia letih, dia perlu beristirahat dulu. Ia menjadi bercuriga.

Itu waktu ke empat lawan sudah mengambil kedudukan masing-masing, pedang mereka juga telah disiapkan. Sebelum mulai. Koan Sin Liong berseru nyaring, baru habis itu, lengan tunggalnya bergerak.

Thian Touw kagum habis bertempur seru, Sin Liong masih dapat mengeluarkan suara nyaring itu. Itulah tanda dari tenaga dalam yang sempurna. Karena ini, ia tidak mau memandang enteng kepada lawannya itu. Ia pikir untuk membela diri dulu, baru membalas menyerang.

In Hong menerjang Tjeng In lekas mereka sudah mulai bergerak, ia menabas ke arah lengan. Itulah jurus "Burung malam menggaris pasir."

Tjeng In pun ahli pedang tetapi belum pernah ia melihat pembukaan penyerangan cara demikian, ia menjadi terkejut. Ia tidak menangkis hanya berkelit seraya memutar tubuh, niatnya buat meneruskan membalas menyerang. Tapi ia kalah sebat, lengannya hampir tergores. Karena itu, gagal niatnya membalas. In Hong sebaliknya mendesak, gagal serangannya yang pertama, menyusul yang kedua.

Mendadak terdengar suara bentrok, nyaring dan lama. In Hong melirik. Sin Liong dan suaminya mengadu pedang mereka, pedang suaminya itu tertolak ke bawah. Itulah akibat tenaga dalam Sin Liong lebih unggul.

Menampak demikian, terpaksa In Hong meninggalkan Tjeng In guna menyerang Sin Liong. Justeru itu, Thian Touw sudah membalas menyerang. Maka bersatu padulah pedang mereka berdua.

Pedangnya Sin Liong kena terhajar hingga mental, karena itu terbukalah satu lowongan. Kedua pedang suami isteri itu meluncur terus, yang satu ke atas. ke mata, yang lainnya ke bawah, ke dengkul.

Sin Liong tajam matanya dan gesit tubuhnya. Ia menangkis ke atas sambil lompat membal, dengan begitu dengan kakinya ia bisa menjejak lengan si nona. Karena tangannya sebelah, tak dapat ia menangkis ke atas dan ke bawah hanya dengan sebuah lengan. Itulah jejakan "Kwec Seng tektauw" atau "Kwee Seng menendang bintang."

Memang selama meyakinkan ilmu pedang dengan tangan sebelah, Sin Liong melatih juga kedua kakinya, untuk bertindak dengan rapi dan tetap, untuk dapat menendang dan menjejak.

"Bagus!" In Hong berseru seraya ia menyerang pula ke bawah.

Lagi-lagi Sin Liong berlompat lagi-lagi ia menjejak, tapi sekarang si nyonya berlaku cerdik, ia memutar tangannya, dengan mana berarti juga ia memutar pedangnya.

Sin Liong melihat bahaya, ia menggeraki kedua kakinya berbareng. Ia benar-benar gesit. Ia dapat membikin pedang lewat tepat di bawah sepatunya. Tidak cuma demikian, ia pun dapat kesempatan guna meneruskan menjejak pula!

Di dalam keadaan seperti itu, Nyonya Thian Touw tidak sempat menarik pedangnya, ketika pedangnya itu terjejak, saking kerasnya jejakan, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak, hampir pedangnya terlepas dan cekalan.

Koan Sin Liong juga bukan bebas seluruhnya, ia sudah lantas diserang Hok Thian Touw, hanya saking liehay, dengan pedangnya ia dapat membebaskan diri pula. Setelah ini ia mengeluarkan keringat dingin, hatinya cemas.

Hok Thian Touw lantas mendesak, pedangnya menikam dan menabas berulang-ulang.

Sin Liong menjadi repot. Ia tidak menyangka suami isteri itu dapat bersatu padu demikian mahir. Ia sudah pikir akan dapat melayani sampai dua ratus j urus, siapa tahu sekarang, baru lima puluh jurus, ia sudah keteter.

Lebih buruk lagi ialah Tjeng In. Imam ini berkelahi lebih banyak berkelit ke belakang kawannya itu, sebab asal ia berada di depan, ia lantas diserbu kedua lawannya bergantian.

Menyaksikan jalannya pertandingan itu, pihak Sin Tjoe bergirang.

Tjio KengTo mengurut kumisnya, sembari tertawa ia kata: "Pantaslah sepuluh tahun dulu Thio Tan Hong telah memastikan Hok Thian Touw bakal menjadi seorang guru besar, nyata matanya jauh lebih tajam dari mataku! Tadi aku menyangka, si bangsat tua dibantu si imam akan dapat bertahan sampai tiga ratus jurus, sekarang ia ternyata, tak usah sampai seratus jurus, dia bakal kena dirobohkan!"

Walaupun Sin Liong terdesak, pertempuran berjalan tetap seru. Thian Touw dan In Hong merangsak, tetapi penjagaan kokoh teguh.

Tiba-tiba terdengar jeritan, lantas terlihat Tjeng In terhuyung, tubuhnya berlepotan darah, setelah tujuh tindak, dia roboh terguling, pedangnya terlepas. Pedang itu telah terkutung dua!

Rombongannya Sin Tjoe lantas berseru bersorak. Justeru itu terlihat kabur datangnya seekor kuda, penunggangnya dua orang. Penunggang yang satu sambil mengangkat tinggi sehelai bendera merah.

Yap Seng Lim lantas mengenali, orang itu ialah orangnya sendiri, tauwbak yang ditugaskan menjaga menara pengawasan, namanya Ong Tek. Penunggang yang lain tak nampak nyata, karena dia kealingan tauwbak ini.

Ong Tek datang seperti kilat, mestinya dia mempunyai berita penting. Mau atau tidak. Seng Lim heran.

Yang lain-lainnya pun lantas mengawasi dua penunggang kuda itu.

Segera juga kuda yang dikaburkan itu sampai di depan Seng Lim, begitu sampai, ke empat kakinya lemas, dia lantas roboh, sedang dari mulutnya, habis ringkikan, keluar ilar putih yang berbusa. Kedua penunggangnya turut roboh terguling, hanya lekas merayap bangun, untuk berlutut di depan ketua itu.

Seng Lim gagah dan berpengalaman, tetapi kali ini ia kaget. Ia heran hingga ia berpikir: "Apakah artinya ini? Kabar penting apa mereka bawa? Kenapa agaknya mereka begini ketakutan? Kenapa berdua mereka naik seekor kuda? Mungkinkah musuh datang membokong hingga cuma mereka berdua yang lolos?..." Ia lantas mencoba menenangkan diri.

Ong Tek sudah lantas mengasi dengar suaranya, tetapi dia bersuara ah-ah uh-uh. Parasnya menunjuki dia ketakutan dan kesakitan.

Seng Lim tercengang.

"Ong Tek, kau kenapa?" ia tanya keras, lalu mendadak ia mendupak tauwbak-nya itu. Segera ia tahu orangnya itu telah orang totok urat gagunya, maka ia mendupak untuk membebaskannya.

"Tjeetjoe!" Ong Tek berseru. "Musuh..."

Baru saja dapat membuka mulut, tauwbak ini tak dapat bicara lancar. Tapi keterangannya itu sudah cukup. Itu artinya ada musuh.

"Beberapa besar jumlahnya musuh yang datang?" ia tanya penunggang kuda yang lainnya. Percuma akan menanya Ong Tek. "Lekas bilang!"

Tauwbak itu tidak lantas menyahuti, hanya dia berlompat bangun.

"Seng Lim, awas!" Sin Tjoe berteriak. "Dia!..."

Belum berhenti suaranya isteri ini, atau tauwbak itu sudah menyerang Seng Lim dengan totokannya.

"Kau!... Kau!..." berseru Seng Lim. Tapi cuma sebegitu ketua ini dapat membuka mulutnya. Mendadak ia merasakan hatinya dingin, tubuhnya dingin juga, sedang giginya lantas bercatrukan, tanpa ia dapat mempertahankan, tubuhnya itu terhuyung mau jatuh.

Tauwbak itu tidak berhenti dengan hanya serangannya itu, sambil tertawa mengejek, dia maju pula, untuk mencekal tangannya Seng Lim.

Ketua ini berseru, dengan tangannya ia mencoba menyerang. Sayang karena tubuhnya beku, tidak dapat ia mengerahkan tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe, meski begitu penyerangnya itu tertolak juga mundur dua tindak. Setelah itu, sendirinya ia roboh terguling.

Ketika itu Sin Tjoe sudah menyerang dengan tiga buah kembang emasnya.

Tauwbak penyerang itu liehay sekali. Dia menjejak tanah, tubuhnya lantas mencelat tinggi, berkelit dari serangan senjata rahasia itu, sedang tangannya yang sekarang terlihat memegang sebatang kipas, menangkis pergi pulang, hingga ketiga bunga emas kena tersampok runtuh. Dia gesit dan lincah sekali. Lompatannya itu pun lompatan "Angsa es terbang ke langit." Ketika dia turun pula, tubuhnya meluncur ke depannya Kiam Hong.

"Kiauw Siauw Siauw!" Nona Liong berteriak kaget.

"Ya, budak hina!" tauwbak itu menjawab, tertawa dingin. Dia benarlah puteranya Kiauw Pak Beng.

"Kiranyakau masih mengenali aku!" Kata-kata tajam itu disusul dengan serangan dengan kipas.

Liong Kiam Hong menangkis,

tetapi pedangnya berbalik kena disampok, menyusul mana, jari tangan anak muda itu menotok.

Nona Liong terkejut, ia berkelit, tapi gagal, totokan datang sangat cepat, maka seperti Seng Lim, tubuhnya terasa dingin, hingga ia menggigil, terus tubuhnya itu roboh!

Sin Tjoe berlompat dengan lompatan "Patpou kansian," sambil berlompat, ia menyerang. Kiauw Siauw Siauw tengah menghadapi Kiam Hong, maka punggungnya menjadi sasaran pedang itu. Akan tetapi dia tahu adanya serangan, dia menangkis ke belakang, terus dia tertawa berkakak dan berkata nyaring: "Kamu semua ikan-ikan di dalam kwali! Masihkah kamu bandel?" Perkataan itu disusul dengan suara bergelegar di kejauhan – suara meriam!

Sin Tjoe terkejut akan tetapi ia menyerang terus. Tiga kali beruntun pedangnya menikam dan menabas. Dengan Kiauw Siauw Siauw ia memang seimbang, hanya kali ini ia tengah gusar dan berkuatir, ia menyerang seperti tanpa pembelaan diri.

Kiauw Siauw Siauw menjadi repot, sampai tak sempat dia menggunai ilmu silatnya yang liehay jaag baru saja selesai diyakinkan.

Suara meriam tidak terdengar cuma satu kali. lantas datang susulannya, suaranya pun makin dahsyat, lalu terlihat dari pelbagai arah untuk menyampaikan lapangan

pertandingan ada debu mengepul, ada terdengar seru-seruan. Itulah tanda dari datangnya pasukan tentera, bahkan yang menjadi pemimpin sudah lantas muncul, sambil tertawa berkakak dia berkata: "Pecundang dari Tjiatkang Timur dari sepuluh tahun yang lampau, hari ini kamu tak akan lolos lagi dari jaringan!"

Dialah Yang Tjong Hay si orang kosen yang licin! Dan dia terlihat diiring Law Tong Soen, Kiok Ya Tjiauw dan Tonghong Hek!

Sin Tjoe tercengang melihat datangnya rombongan itu. Justeru itu Siauw Siauw menyampok pedangnya sambil terus menotok jalan darah kintjeng. Totokan itu didului hawa dingin.

Sin Tjoe berkelit, terus ia lompat mundur beberapa tombak. Ia menggunai kelincahan dan tipu silat "Menembusi bunga mengitari pohon." Karena ia ingin menolongi Seng Lim dan Kiam Hong, ia lantas meninggalkan anaknya Kiauw Pak Beng itu.

Kiauw Siauw Siauw tertawa pula, lantas dia berlompat maju, untuk menyerang. Dia menyerbu kawanan tauwbak yang berkumpul menonton pertandingan. Dengan cepat dia merobohkan dua puluh orang lebih. Dia liehay sekali. Semua tauwbak yang roboh itu pada menggigil dan merintih, tubuh mereka bergulingan. Mereka seperti diserang demam dingin yang luar biasa.

Puteranya Kiauw Pak Beng ini dapat bergerak dengan leluasa karena tangannya yang patah, sudah disambung dan diobati sembuh oleh ayahnya, bahkan ilmu silatnya menjadi bertambah, sebab dia telah berhasil mempelajari semacam ilmu silat baru.

Kiauw Pak Beng telah maju pesat sekali begitu lekas ia sudah mengerti teori dari ilmu tenaga dalam yang lurus, hingga ia dapat mencampurnya dengan kepandaiannya sendiri dari ilmu sesat, sudah begitu ia dibantu dengan tenaganya obat-obatan. Tidak lama sehabisnya pertarungan di Koenloen San, ia telah menyampaikan tingkat ke sembilan dari Sioelo Imsat Kang.

Kiauw Siauw Siauw belajar terus akan tetapi dia tidak bisa menyusul atau menyamai ayahnya. Pak Beng sangat menyayangi puteranya ini, ia mengambil jalan singkat untuk membikin sang putera menjadi liehay. Demikian ia menciptakan ilmu totok "Hian-im Tjie" dan mewariskan itu kepada puteranya itu. Liehaynya ilmu itu ialah sebab digabungnya dengan Sioelo Imsat Kang, hingga setiap totokan diiringi dengan hawa sangat dingin.

Demikianlah Yap Seng Lim dan Liong Kiam Hong, karena terdesak, mereka roboh sebagai kurbannya Siauw Siauw.

Siauw Siauw ini dititahkan ayahnya pergi ke Hangtjioe untuk bergabung dengan Yang Tjong Hay. Tjong Hay yang pintar lantas mengatur tipu dayanya. Demikian Koan Sin Liong disuruh menantang berkelahi dengan memakai aturan Rimba Persilatan. Sebaliknya diam-diam dia mengatur bala bantuan, untuk menyerbu dengan membawa tentera negeri.

Siauw Siauw diajari harus menyamar jadi tauwbak, karenanya dia dapat nelusup ke benteng air, hingga Ong Tek menjadi kurbannya, lalu Ong Tek dipaksa kabur ke gelanggang pertandingan, sebagaimana kesudahannya Seng Lim kena terbokong.

Di ranggon pengawas, semua orangnya Seng Lim telah dibunuh mati kecuali Ong Tek seorang, tauwbak ini ditotok dibikin gagu, supaya dia tak dapat berteriak-teriak dan bicara, lalu dia dipaksa melarikan kudanya mencari Seng Lim semua, hingga Seng Lim kena tertipu dan terobohkan Siauw Siauw, yang liehay ilmu totoknya itu.

Yang Tjong Hay bersama Law Tong Soen dan lainnya telah maju dengan berbareng, hingga mereka menempur secara kalut pihak benteng air. Kiok YaTjiauw dengan sepasang gembolannya menghampirkan Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok, dengan murka dia berteriak: "Bangsat cilik, orang yang menagih barang rampokanmu sudah datang! Jikalau kamu tidak membayar pulang gembolan emasku, aku menghendaki jiwa kamu!"

Tiangsoen Giok melirik, ia tertawa terkekeh.

"Kau menghendaki gembolan emasmu?" ia menegaskan, mengejek. "Maaf! Gembolanmu itu sudah dilebur sampaikan tainya sudah tidak ada lagi! Eh, gembolanmu ini terbuat dari apa? Gembolan ini berharga tidak?"

Bouwyong Hoa tertawa dan berkata: "Adik, jangan menjadi temaha! Gembolan itu gembolan besi, taruh kata dilebur juga tidak ada harganya lagi, tak cukup untuk dipakai belanj a kita tiga hari!"

Bukan main mendongkolnya Kiok Ya Tjiauw. Selama menjadi berandal, ia telah mengumpulkan dan membuat gembolan emasnya yang berat tujuh puluh dua kati itu, ketika gembolannya dirampas Bouwyong Hoa berdua, bukan main sakit hatinya, maka itu, tidak tempo lagi, ia menyerang dengan sengit.

Yang Tjong Hay sendiri maju langsung ke tempatnya Yap Seng Lim. Dia disambut Ie Sin Tjoe dengan timpukan kimhoa, senjata rahasia yang berupa bunga emas. Dia menghajarnya hingga kimhoa itu jatuh.

Dia tertawa dan kata: "Nona Ie! Kaulah nona dari keluarga berpangkat dari terhormat, mengapa kau begini berkeras hati menghamba kepada orang jahat? Apakah kau tidak takut nanti merusak nama baik leluhurmu? Baik kau lekas mengubah pendirianmu, kau menghamba kepada pemerintah, dengan memandang kepada mendiang ayahmu, mungkin Sri Baginda nanti memberi keampunan kematian!"

Sin Tjoe gusar dan mendongkol sekali, tetapi ia mesti melindungi Seng Lim, suaminya, tidak mau ia melayani orang yang licin itu.

Justeru begitu. Yang Tjong Hay mendengar suara menggeledek: "Bangsat tidak tahu malu, bagaimana kau bertingkah! Lihat pedang!" Bentakan itu diikuti suara menyambernya angin. Dia kaget, tetapi dia tabah, dia segera menangkis ke belakang. Berbareng dengan itu, dia memutar tubuh, maka di depannya dia melihat Tjio Keng To, si jago tua yang romannya sangat bengis, sebab orang she Tjio ini murka tak kepalang. Dengan pedangnya, Keng To menyerang ke tenggorokan.

Di antara soetay kiamkek --- empat jago pedang terbesar --- Keng To termasuk yang nomor tiga, meski ia sudah bertempur letih dengan Sat Lek Hiong, ia tetap jauh terlebih liehay daripada Yang Tjong Hay, maka itu. Tjong Hay menjadi keder dan repot.

Habis menangkis serangan yang pertama itu, Tjong Hay repot membela diri dari serangan susul menyusul dari lawannya yang tua itu. dia cuma dapat membela diri, tidak dapat dia membalas menyerang. Keng To menyerang sengit dengan "Keng To Kiamhoat", ilmu pedangnya "Gelombang Dahsyat."

LawTong Soen melihat kawannya terdesak, dia maju untuk membantui. Sebagaimana biasa, dia maju dengan kedua tangan kosong, sebab dia bersilat dengan ilmu silat "Khongtjioe Djippek Djin," atau "Tangan kosong menyerbu senjata." Dengan berani dia hendak merampas pedangnya Ken*7 To.

Sebagai seorang berpengalaman, KengTo tidak mengijinkan senjatanya dirampas, tetapi karena majunya orang she Law ini, ia jadi terkepung berdua, maka itu, dari pihak penyerang, ia menjadi terpaksa mesti membela diri. Liehay ilmu silat "Hoenkin Tjokoet Tjioe" dari Tong Soen, ilmu silat "Memisah otot, menggeser tulang." Siapa terkena serangan ini, dia patah tangannya atau sedikitnya terkeseleo.

Kiauw Siauw Siauw maju terus tanpa tandingan yang berarti. Sudah kira tiga puluh tauwbak roboh di tangannya, dari itu dia maju sambil tertawa terbahak-bahak sampai mendadak dia melihat Im Sioe Lan sedang bertempur bahu membahu dengan Tjioe Tjie Hiap. Dengan jarum bweehoa tjiam. Nona Im telah merobohkan tak sedikit serdadu negeri. Dia maju menghampirkan, sambil tertawa besar dia kata: "Inilah namanya keadilan! Wet Tuhan itu tak ada yang bolong! Akhir-akhirnya kau toh bertemu juga denganku!"

Belum berhenti suaranya itu, tubuh Siauw Siauw sudah melesat ke depan si nona.

Sioe Lan berkelit dari serangan, sembari berkelit dia menimpuk dengan sebatang Tokboe Kimtjiam Hweeyam Tan, ialah peluru bercampur jarum emas yang beracun yang mengeluarkan asap.

Dengan liehay Siauw Siauw menangkis dengan kipasnya, membikin peluru mental balik dan pecah, asapnya terpencar buyar. Dia tertawa dan menanya: "Budak hina dina, kau masih mempunyai senjata apa lagi? Kau keluarkanlah semua! Semakin kau galak, semakin ingin aku memberi kau rasa, supaya kau menderita hebat!"

Mulanya Siauw Siauw tampan sekali akan tetapi ketika ia kena diserang pelurunya Nona Im. separuh mukanya terbakar hingga menjadi terluka dan rusak, meski benar dia berhasil diobati hingga sembuh, hanya tetap sebelah mukanya itu berbekas. Karena mukanya menjadi jelek, dia menjadi sangat gusar dan sakit hatinya dia membenci sangat pada Sioe Lan. Dia ingin membalas sakit hati, untuk itu. dia mengharap dapat membekuk hidup pada si nona. guna disiksa.

Kiam Hong tahu Sioe Lan terancam bahaya hatinya cemas. Ia sendiri sudah tidak berdaya karena totokan Hian Im Tjie dari Siauw Siauw, benar ia masih merasakan dingin, tetapi pikirannya sadar seperti biasa. Maka ia kata pada Giok Houw: "Lekas kau tolongi entjie Sioe Lan!"

Pemuda itu bersangsi. Kalau ia meninggalkan nona ini, si nona bakal terancam bahaya

"Jikalau kau tidak mau pergi menolongi, nanti aku yang pergi!" kata Kiam Hong melihat kesangsian orang.

Thio Giok Houw menghunus goloknya-golok Biantco.

"Adik Hong, jaga dirimu baik-baik!" katanya menoleh, lantas ia lompat ke arah Kiauw Siauw Siauw.

Anaknya Pak Beng melihat datangnya musuh, dia tertawa lebar.

"Bagus!" dia berseru. "Sekalian saja kamu semua menyerahkan jiwa kamu!"

Kata-kata itu ditutup dengan gerakan kipasnya, menangkis goloknya Giok Houw.

Di dalam ilmu silat, Giok Houw kalah seurat dari Siauw Siauw, maka itu tempo goloknya ditangkis, goloknya itu mental balik, setelah mana Siauw Siauw maju merapatkan diri, untuk menotok!

Hampir Giok Houw menjadi kurban, syukur dia gesit, dia dapat berkelit. Dia lantas merasakan hawa angin. Tapi dia tidak takut, dia melawan terus. Dia menggunai ilmu yoga serta ilmu kelincahan "Tjoanhoa djiauwsie" untuk menyingkir dari setiap totokan, saban ada ketikanya. seru dia membalas menyerang.

Sioe Lan melawan terus pada Kiauw Siauw Siauw. Ia segera dihantui Tjioe Tjie Hiap. la bersenjatakan sepasang golok Lioeyap Siangtoo dan Tjie Hiap golok besarnya. Keduanya mendesak.

Siauw Siauw melawan dengan kipasnya, sebab dikepung berdua, dia repot juga. Begitu satu kali, habis menangkis goloknya Sioe Lan dan Tjie Hiap tengah terdesak itu, pundaknya kena terhajar tinjunya Tjie Hiap. Tentu sekali dia menjadi sangat mendongkol. Sementara itu dia melihat Kiam Hong tak jauh daripadanya, mendadak dia ingat cara keji. Demikian habis menangkis pula goloknya Sioe Lan, dia lompat ke arah Nona Liong!

Thio Giok Houw terperanjat, ia lompat menyusul, guna merintangi anak muda itu, dengan begitu mereka jadi bertempur di dekat Kiam Hong. Inilah berbahaya untuk si nona, yang tak dapat berkisar dari tempatnya itu.

Sioe Lan dan Tjie Hiap menyusul, tetapi Siauw Siauw tetap menang di atas angin.

Hok Thian Touw dan In Hong telah berhasil mengusir Koan Sin Liong tetapi orang-orangnya jago tua itu mengurung mereka mengurung dari jauh saja lantaran mereka itu jeri.

In Hong melihat suasana buruk untuk pihaknya, ia mengertak gigi.

"Thian Touw, mari turut aku!" ia berseru seraya terus ia mengamuk, guna membobol kurungan. Ia membikin setiap golok dan pedang yang merintang menjadi terpental.

Thian Touw heran, hingga ia pikir: "Mungkinkah dia mengajak aku menyingkir dari sini! Tak mungkin dia bersifat demikian!" Tengah ia berpikir itu, ia mendengar isterinya berkata pula: "Biar bagaimana, kita mesti menangkap hidup-hidup pada Kiauw Siauw Siauw!"

Tatkala itu matahari sudah turun ke barat. Tentera negeri sudah berhasil memukul pecah garis pembelaan pulau dan sedang maju terus ke tengah, ke arah markas. Debu mengepul tinggi, burung-burung kaget dan terbang serabutan.

Sinar layung seperti mengutarakan kesedihan.

Dalam keadaan seperti itu, Yap Seng Lim masih memberikan titah-titahnya untuk pihaknya mundur. Sin Tjoe bersama Tjio Boen Wan serta beberapa tauwbak yang mewakilkannya. Ia telah mesti bicara banyak, ia telah mengerahkan sisa tenaganya, maka itu, habis memerintah, ia letih sampai ia tak dapat bicara lagi.

In Hong dan Thian Touw dapat keluar dari kepungan, mereka lari ke arah Giok Houw bertiga. Nyonya Hok sudah lantas berteriak: "Siauw Houw Tjoe, serahkankan bangsat itu padaku! Pergi kamu melindungi Yap Tjeetjoe mundur dari sini!"

Kiauw Siauw Siauw kaget tidak terkira mendengar suara In Hong dan melihat orang datang berdua suaminya. Justeru itu Tjie Hiap membacok padanya lantas ia menutup kipasnya dan menangkis dengan keras untuk dapat meminjam tenaga Tjie Hiap buat ia berlompat melewati kepala orang she Tjioe ini, guna menyingkir dari tempat yang berbahaya itu.

"Ke mana kau hendak lari!" berteriak In Hong sambil ia menyerang ke punggung.

Masih sempat Siauw Siauw menangkis ke belakang. Kipasnya itu dipakai sebagai pedang dan ia menggunai tangkisan pedang Ngoheng Kiam.

Tadinya tak beda banyak kegagahan Siauw Siauw dan In Hong tetapi In Hong telah maju pesat sekali, ia melombai jauh. maka itu sekarang Siauw Siauw bukanlah tandingannya. Maka itu juga, walaupun bisa menangkis, dia toh tertolak keras hingga dia terhuyung-huyung.

Sat Lek Hiong melihat Siauw Siauw terancam bahaya, dia maju untuk membantui, akan tetapi dia dipegat Hok Thian Touw, ketika dia menyerang dengan sepasang gembolannya, Thian Touw menangkis dengan pedangnya. Maka bertempurlah mereka berdua.

Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen pun melihat Siauw Siauw sangat terancam, mereka meninggalkan Tjio Keng To untuk menolongi. Tapi In Hong mendesak hebat, sesudah berulang kali menikam dan menabas, akhirnya ujung pedangnya mengenai juga pundak pemuda she Kiauw itu, hanya syukur karena sebatnya dia berkelit, tulang pipanya tidak terlobangkan.

Habis itu, In Hong menghampirkan suaminya, guna membantu Thian Touw.

Sat Lek Hiong pecundangnya In Hong, melihat datangnya si nona, terpaksa dia meninggalkan Thian Touw. seraya memutar gembolannya, dia berlompat ke samping, guna menyingkir, meski begitu, dia kaget bukan main sebab pedangnya In Hong berdua menghajar senjatanya itu. Dia kabur terus tanpa menantikan datangnya Tjong Hay atau Tong Soen.

Habis itu, Thian Touw bersedia memegat, sedang In Hong mengejar pula Siauw Siauw.

Tjong Hay mengerutkan alis melihat ancaman bagi Siauw Siauw itu, tetapi ia segera mendapat akal. Ia segera berteriak-teriak: "Jangan kasih diri kita kena dipedayakan musuh yang menggunai akal mengurung negara Goei untuk menolongi negara Tio! Lekas semua kembali pada kedudukan masing-masing! Tangkaplah Yap Seng Lim! Aku bersama Law Tongnia akan menolongi Kiauw Kongtjoe! Kamu jangan bingung!"

Di mulut Tjong Hay mengatakan demikian, di hati dia cemas sekali. Dia tahu bersama Tong Soen dia tidak dapat melawan Thian Touw tetapi dia bakal menang tempo, asal mereka berdua dapat bertahan sampai lima puluh jurus, tentera negera tentu bakal sampai di situ. Dengan datangnya pasukan besar, dia percaya, musuh bakal kena diringkus semua. Pula teriakannya itu ada artinya untuk Siauw Siauw, ialah supaya anaknya Pak Beng itu lari memapaki tentera negeri!

In Hong mengejar terus. Sebentar saja ia telah keluar dari sekitar gelanggang pieboe. Ia lari ke ujung timur laut dari pulaunya di mana ada sebuah gunung kecil. Ke sana Siauw Siauw kabur sekeras-kerasnya.

Di waktu itu, cuaca sudah mulai remang-remang.

Suara pertempuran terdengar hebat sekali. Mungkin tentara rakyat dari markasnya sudah maju semua menyambut musuh, karena mana buat sementara waktu tentera negeri sukar nerobos seluruhnya.

Bukit kecil itu menjadi garis ketiga dari Seng Lim, tentera rakyat di situ sudah ditarik pemimpinnya, maka itu, di situ keadaannya sunyi dan kosong.

Dengan luka-lukanya, Kiauw Siauw Siauw menyingkir ke gunung ini. Sebenarnya dia tidak terlukakan parah akan tetapi luka-lukanya itu menyebabkan dia kurang gesit, sedang yang mengejar dia ialah In Hong. Makin lama si nyonya menyusul makin dekat. Dia takut bukan main, dia menjadi bingung.

Di situ mereka tidak cuma berdua saja -—— Siauw Siauw dan In Hong. Di situ masih ada seorang lain. ialah Yang Tjong Hay, yang turut berlari-lari karena dia ingin dapat menolongi puteranya Pak Beng. Tjong Hay berteriak-teriak: "Kiauw Kongtjoe, kau bertahan terus! Hanya sebentar lagi, ancaman bahaya akan sudah lenyap!"

Sembari lari Siauw Siauw menoleh, maka ia melihat juga Tjong Hay yang suaranya ia telah dengar. Di belakang orang she Yang itu terlihat juga Law Tong Soen menyusul. Hanya mereka itu berdua terpisah kira-kira setengah lie. Tapi ia lega juga hatinya. Maka ia mengertak gigi dan mendamprat: "Perempuan bangsat, akan aku adu jiwaku denganmu!" Ia berhenti berlari, hingga segera ia dicandak ln Hong, yang terus menikam padanya. Dengan nekad ia menangkis.

"Traangg!" demikian pedang dan kipas bentrok keras.

In Hong tertawa.

"Aku kuatir kau tidak sudi mengadujiwa denganku!" ia kata pada musuhnya itu. Terus ia berkata pula: "Thian Touw, kau pegat dua bangsat itu! Sebentar aku pun hendak membuat perhitungan dengan mereka!"

Memang, Thian Touw pun telah datang menyusul.

"Baik!" menjawab suami itu. "Asal kau berhati-hati untuk senjata rahasianya yang beracun!"

Thian Touw mengatakan demikian karena ia tidak tahu Siauw Siauw liehay dengan totokannya jeriji Hian Im Tjie. ia menyangka Seng Lim dan Kiam Hong terkena senjata rahasia beracun hingga mereka itu kehabisan tenaga mereka. Habis menyahuti isterinya ia lantas mempegat Tjong Hay dan Tong Soen.

"Yang Toatjongkoan!" katanya tertawa dingin. "Sudah sepuluh tahun kita berpisah, rasanya sang tempo lewat cepat sekali!"

Pada sepuluh tahun dulu itu Thian Touw membuat Tjong Hay kabur dengan meninggalkan pedangnya, hingga dengan demikian, julukan salah satu soetay kiamkek telah berpindah orang.

Mukanya Tjong Hay menjadi merah.

"Aku dengar kau berdiam di gunung Thiansan meyakinkan ilmu pedangmu," ia kata, "mengapa sekarang kau datang kemari mencampuri urusan usilan ini? Suka aku memberi nasihat padamu, baik kau jangan turut menyeburkan diri dalam air keruh! Jikalau kau suka dengar nasihatku ini. aku si orang she Yang akan melupai permusuhan kita, dari musuh kita menjadi sahabat! Jikalau tidak --- Hm! Jangan kau terlalu mengandalkan ilmu pedangmu yang liehay! Kau harus mengarti, sang cengcorang tak dapat melawan kereta! Maka kau pikirlah masak-masak!"

Kata-kata itu tepat mengenai hati Thian Touw yang tidak usilan, hanya Tjong Hay tidak tahu. di samping mengutamakan ilmu pedangnya, Thian Touw toh mempunyai keangkuhannya, sedangkah ini ia telah dibikin mendongkol, hingga tak senang ia mendengar nasihat diberikuti ancaman.

"Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu," katanya keras, "aku menyangka kau telah memperoleh kemajuan, siapa nyana kau masih tetap menjadi si anjing yang mengandalkan pengaruh orang!"

Kata-kata itu ditutup dengan serangan pedang Tjengkong Kiam.

"Dengan baik hati aku memberi nasihat padamu, kau tapinya jadi si anj ing yang menggigit Lu Tong Pin!" kata Tjong Hay. "Kau tidak kenal..."

Ia mau meneruskan menyebut "kebaikan orang," tetapi ujung pedang sudah menyerang ke arahnya, terpaksa ia melintangi pedangnya guna menutup diri, akan tetapi liehay pedangnya Thian Touw, kelihatannya menyerang ke kiri sebenarnya menikam ke kanan. Hampir ujung pedang itu mengenai lengan, syukur ia sebat, maka cuma tangan bajunya yang dibikin berlobang.

Tjong Hay kaget. Sepuluh tahun ia sudah berlatih pula, siapa tahu ia tetap ketinggalan jauh dari Thian Touw, yang maju pesat sekali.

Thian Touw bersilat dengan "Twiehong Lakcapsie Sie." ilmu pedang "Mengejar Angin." yang terdiri dari enam puluh empat jurus, ialah ilmu pedang yang ia baru ciptakan. Baru lima jurus Yang Tjong Hay sudah kena dibikin tertutup, sampai dia tak berdaya Tepat dia lagi terancam tenggorokannya, mendadak Thian Touw mendengar suara angin. Itulah perbuatan Law Tong Soen si licik, yang baru maju sesudah lewat beberapa jurus itu.

Diserang secara membokong itu, Thian Touw terpaksa menarik pulang serangannya dan berbalik menangkis ke belakang. Tong Soen tidak dapat dipandang enteng, lantaran siapa tertangkap tangannya olehnya, tangannya itu bisa patah dan ringannya salah urat.

Tong Soen cepat menarik pulang tangannya. Dengan begitu Tjong Hay ketolongan. Tapi Tjong Hay telah menangkis, pedangnya bentrok dengan pedangnya Thian Touw, karena mana ia merasakan telapakan tangannya sakit sekali. Telapakan tangannya itu pecah mengeluarkan darah.

Sampai di situ, Thian Touw dikepung berdua. Inilah ada baiknya untuk Yang Tjong Hay. Dia dapat bernapas hingga mereka jadi sama imbangannya.

In Hong sebaliknya mendesak hebat kepada Kiauw Siauw Siauw. Tanpa ada yang membantui, puteranya Pak Beng menjadi kelabakan.

"Lepas tanganmu!" terdengar si nyonya berseru.

Siauw Siauw kaget, sia-sia belaka dia mencoba berkelit, lengannya kena tertikam di dekat nadinya, dengan begitu kipasnya terpaksa dilepaskan, ketika tangan kiri In Hong diluncurkan, dia kena disamber tulang di pundaknya, sedang ujung pedang mengancam punggungnya!

Yang Tjong Hay dapat melihat keadaannya Siauw Siauw. Sembari berkelahi dia turut memasang mata. Dia kaget hingga dia mengeluarkan seruan tertahan. Ketika itu Thian Touw lagi mendesak Tong Soen, dia menggunai kesempatan untuk menjejak tanah, guna lompat mencelat ke samping, hingga dia menjadi bebas, setelah mana, sebelah tangannya lantas diayun.

Satu sinar terang kuning emas berkelebat.

"In Hong, hati-hati!" Thian Touw berseru.

Membarengi seruan itu, di sana terdengar jeritan yang menyayatkan hati. In Hong pun terhuyung, seperti yang mau jatuh.

Thian Touw terkejut. Ia sebenarnya sudah mengundurkan Tong Soen, tapi melihat keadaan isterinya, ia batal mendesak terus.

Itu waktu Tjong Hay juga berseru pula: "Angin keras!" Lantas dia melarikan diri, menyusul Tong Soen, yang kabur terlebih dulu.

Thian Touw lari terus pada isterinya. la mendapatkan Kiauw Siauw Siauw rebah di tanah, punggungnya berlepotan darah.

"In Hong, kau kenapa?" ia tanya isterinya.

"Coba periksa dulu, bangsat itu terkena senjata apa!" kata In Hong sebelum menjawab suaminya.

Hati Thian Touw lega juga. Itu berarti yang terkena senjata rahasia ialah puteranya Kiauw Pak Beng. Ia lantas memeriksa, untuk mana ia mesti merobek bajunya si anak muda. Akhirnya ia terkejut. Senjata rahasia itu senjata yang tak disangka-sangka sekali.

Itulah kimhoa atau bunga emas. yang nancap di punggung!

"Ini toh kimhoa-nya Sin Tjoe?" kata Thian Touw.

"Kecuali Sin Tjoe di sini di mana ada lain orang yang kedua yang menggunai kimhoa?" kata In Hong tertawa. Akan tetapi tertawanya itu tak wajar, menggetar.

Yang Tjong Hay sangat licik. Dia melihat Kiauw Siauvv Siauw telah kena dibekuk In Hong, dia kuatir si nyonya nanti menggunai anak muda itu sebagai senjata untuk menindih Kiauw Pak Beng, hingga Pak Beng tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah berbahaya untuk siasatnya membokong Yap Seng Lim. Lantas timbul pikirannya yang jahat. Dia mau memindahkan bahaya kepada lain orang. Begitulah dia menimpuk Siauw Siauw. Senjata rahasia yang dia gunakan ialah kimhoa. bunga emasnya Sin Tjoe, yang tadi dia pungut ketika dia diserang Nyonya Seng Lim. Dalam hal menggunai senjata rahasia dia mahir, sedang itu waktu orang pun tidak bersiaga. Siauw Siauw, yang ditangkap In Hong, lagi membaliki belakang.

Demikian, kalau nanti Kiauw Pak Beng mengetahui kebinasaan puteranya, dia bakal mendapat tahu puteranya itu terbinasa di ujung kimhoa, hingga Sin Tjoe yang bakal dituduh!

Thian Touw jujur tetapi segera ia mengarti akal muslihat keji dari Tjong Hay itu. Mulanya ia terkejut, akhirnya ia tertawa dingin dan kata: "Sudah, jangan kita takut! Sekarang ini, biar bagaimana juga, kita tetap bakal bermusuh dengan Kiauw Pak Beng! Biarlah Tjong Hay menggunai akal kejinya ini!"

In Hong tertawa menyeringai.

"Aku... aku mana takut?..." katanya sukar, suaranya lebih-lebih menggetar.

Thian Touw kaget, hingga ia menatap muka isterinya. Ia melihat alis isteri itu mengerut, di situ pun ada nampak warna hitam.

"Kau terkena Sioelo Imsat Kang!" katanya, berseru.

"Adakah ini Sioelo Imsat Kang?" balik tanya In Hong. "Aku cuma merasa aku kena ditotok satu kali oleh bangsat ini selagi aku mencekuk dia" Totokan Hian Im Tjie dari Kiauw Siauw Siauw berdasarkan Sioelo Imsat Kang, cuma itu tak sehebat Sioelo Imsat Kang sendiri, maka itu, In Hong masih dapat bertahan.

Thian Touw periksa nadi isterinya.

"Melihat pertandanya, inilah akibat Sioelo Imsat Kang," katanya. "Hanya tenaga dalamnya Siauw Siauw masih lemah, kau tidak terkena hebat. Sekarang kita mesti lekas menyingkir dari tempat ini, kita membutuhkan satu tempat yang aman, nanti aku mencoba menghalau racunnya."

Thian Touw bicara dengan suara tetap. Ia rupanya percaya betul pada kemahiran tenaga dalamnya. Isteri itu mengerutkan alis. "Lukaku tidak berarti." katanya, "yang berbahaya ialah Yap Tjeetjoe. Mana dapat kita mementingkan diri sendiri?"

Tepat itu waktu. Lioe Tek Tjhong berlari-lari menghampirkan mereka. Jago tua ini datang atas titah Seng Lim untuk menyambut pasangan suami isteri itu. Ini pun berarti Seng Lim beramai sudah meninggalkan pulau, tempat kedudukan mereka, yang sudah tidak dapat dipertahankan itu.

Tanpa ayal lagi Hok Thian Touw maju di muka, guna membuka jalan In Hong mengikuti bersama Lioe Tek Thjong.

Yang Tjong Hay tidak tahu Nyonya Hok sudah tidak berdaya lagi, ia tidak berani maju untuk menghadang, dengan begitu Tek Tjhong dapat membawa suami isteri itu ke tepian selatan di mana ada sebuah pelabuhan yang sunyi. Di sana terlihat perahunya Seng Lim sudah meninggalkan tepian. Di sana-sini terlihat perahu-perahu kecil tentera negeri.

Sambil berseru Thian Touw berlompat ke sebuah perahu kecil, pedangnya-diayun, membikin kutung goloknya seorang opsir yang berada di atas perahu itu. Ia masih merasa kasihan, kalau tidak, tentulah jiwa opsir itu telah dirampas. Opsir itu bisa berenang, dia nyebur ke laut untuk menyelamatkan dirinya. Di dalam perahu itu ada tujuh serdadu, yang empat kena ditendang roboh ke air. yang lainnya nyebur sendirinya. Maka perahu itu kena dirampas dan dibawa ke pinggir, untuk dipakai menolongi In Hong dan Lioe Tek Tjhong.

Sementara itu Tek Tjhong maju sambil melindungi Nyonya Hok. Tidak ada musuh yang berani menyerang, mereka cuma mengambil sikap mengurung sejauh belasan tombak.

Thian Touw sampai di tepian, ia lompat ke darat. Dengan seraup batu ia menyerang pada musuh, hingga banyak yang terluka borboran darah, hingga mereka itu lari kucar-kacir. Dengan begitu ia dapat menyambut isterinya naik ke perahu.

Lioe Tek Tjhong ketua dan benteng air di Thayouw, ia pandai berenang dan mengemudikan perahu, maka ialah yang lantas menjalankan perahu itu, yang ia gayuh laju sangat pesat.

Pihak tentera negeri berkumpul pula, mereka lantas mengejar. Mereka pun menyerang dari jauh-jauh, dengan anak panah.

Thian Touw berdiri di atas perahu, dengan pedangnya ia menghalau setiap jemparing. Dengan begitu ia melindungi isterinya dan Tek Tjhong.

Lewat sekian lama, perahu kecil ini mulai sampai di tengah laut dan pihak pengejar ketinggalan di belakangnya. Tek Tjhong mengeluarkan napas lega. lantas ia meluncurkan panah api hweeyam tjian yang warnanya biru.

Cepat sekali, dari kejauhan terlihat meluncurnya api serupa. Tek Tjhong girang sekali. "Yap Tjeetjoe sudah lolos!" katanya. "Dia berada di sebelah depan sana!"

Panah api itu ialah isyarat mereka satu pada lain.

Tengah Tek Tjhong menggayuh terus, tiba-tiba terdengar suara bersiung di tengah udara. Tajam suara itu. Ia lantas mengangkat kepalanya atau ia berteriak: "Celaka!"

Sebuah benda hitam menyamber ke arah perahu mereka. Jago tua itu mengangkat penggayuhnya, untuk menangkis, maka sebuah batu besar jatuh ke sisinya, membikin rusak pinggiran perahu. Kalau tidak ditangkis, entah bagaimana hebatnya serangan itu.

Ternyata tentera negeri menyerang dengan menggunai apa yang dinamai kereta "kietjiong tjia." Sebuah batu dimuatkan dalam sebuah alat, kalau pesawatnya dikasih bekerja, batu itu dapat terlempar jauh mirip peluru meriam.

Habis itu, menyusul batu-batu yang lainnya. Tek Tjhong kewalahan, dia roboh di atas perahu. Thian Touw pun menyampok beberapa batu, tapi sebuah di antaranya jatuh tepat di tengah-tengah kendaraan air mereka. Hebat serangan itu, perahu kena dibikin bolong. Syukur dua batu yang lainnyajatuh di sasaran kosong.

"Itulah perahunya Yap Tjeetjoe!" kata Tek Tjhong sambil menunjuk ke depan di mana tampak sebuah perahu dengan benderanya yang besar.

Sementara itu air sudah memasuki perahu, hingga tubuh perahu sebaliknya mulai masuk ke dalam air. Ketika itu mereka terpisah dari perahu besar masih sepuluh tombak lebih. Dua batu lainnyajatuh pula ke pinggir perahu.

Lioe Tek Tjhong menunjuk ke bendera besar dari perahu di depan.

"Benar perahunya Yap Tjeetjoe!" ia kata pula.

Selagi jago Thayouw ini berbicara, air sudah memenuhkan perahu, hingga tenggelamnya perahu itu makin dalam. Syukur kendaraan itu tidak lantas terbalik karam dan masih dapat maju sedikit.

Di saat sangat berbahaya itu, Hok Thian Touw telah mengasi lihat ketabahan hati serta kepandaiannya. Dengan mendadak ia menyamber tubuh Lioe Tek Tjhong dengan tangan kiri dan In Hong dengan tangan kanan, kedua kakinya segera menjejak pinggiran perahu. Cepat luar biasa, tubuhnya lantas lompat terapung. Selagi lompat itu, ia melemparkan tubuh Lioe Tek Tjhong ke arah perahu besar, tubuhnya sendiri mencelat terus. Meski begitu, masih ada kira-kira dua tombak terpisahnya ia dari perahu bes"ar itu.

Di kepala perahu besar ada Kok Tiok Koen. Tabib jago itu telah menyambuti tubuhnya Lioe Tek Tjhong, habis itu dengan kesehatan luar biasa, ia menyamber sepotong papan injakan perahu, yang ia lemparkan ke laut, tepat ketika kakinya Thian Touw hampir mengenai permukaan air, maka jago dari Thiansan itu dapat menaruh kaki di atas papan itu. yang dia terus jejak, hingga dia dapat berlompat pula. karena mana di lain saat dia sudah berada di atas perahu besar!

Kok Tiok Koen seorang jago tetapi ia ngeri melihat percobaan berbahaya dari Thian Touw itu, maka setelah menyaksikan orang berhasil menyelamatkan diri, ia menjadi kagum bukan main.

"Apakah Nona Leng terluka?" ia tanya.

"Ya, tetapi tidak berarti," menyahut In Hong. "Aku k°na tertotok satu kali oleh si bangsat, Thian Touw terlalu berhati-hati maka ia melarang aku berlompat menggunai tenaga. Bagaimana dengan Yap Tjeetjoe?"

"Mari kita lihat," sahut Tek Tjhong.

Bersama-sama mereka masuk ke dalam gubuk perahu.

Yap Seng Lim sedang rebah begitu juga Liong Kiam Hong, Ie Sin Tjoe dan Thio Giok Houw mendampingi mereka itu masing-masing. Lukanya Kiam Hong agak lebih ringan. Seng Lim merah mukanya tetapi waktu diraba, rasanya dingin.

Di antara Yap Seng Lim, Liong Kiam Hong dan Leng In Hong, Seng Lim adalah yang lukanya paling berat. Inilah disebabkan, ia habis bertanding hebat dengan Sat Lek Hiong, ia telah menggunai tenaganya berlebihan, selagi masih letih, ia kena dibokong Kiauw Siauw Siauw. Sudah begitu, juga hatinya sedang panas sekali lantaran kecurangan musuh. Maka itu, terluka dan mendongkol, ia menjadi lelah sendirinya.

Mendengar tindakan banyak kaki, Seng Lim membuka matanya.

"Lioe Tjeetjoe, apakah anak-anak telah mundur semuanya?" ia tanya.

"Tjio Lootjianpwee yang mengepalai mereka, meski ada kerusakan tetapi tidak berarti," Tek Tjhong menjawab.

"Coba tolong pepayang aku untuk aku melihat." Seng Lim minta.

"Baiklah kau jangan terlalu banyak berpikir," kata Sin Tjoe.

"Pepayang aku bangun!" Seng Lim kata, suaranya dalam.

Sin Tjoe heran. Semenjak bersuami isteri, baru kali ini ia mendengar suara membentak itu. Akan tetapi ia tidak menjadi tidak senang hati, ia dapat mengarti hati suaminya itu. Maka ia pegangi suaminya, yang menguatkan tenaga untuk bangun berdiri.

Berdiri di muka perahu. Seng Lim melihat ke arah pulaunya. Di muka laut terlihat melulu pasukan air tentera negeri. Dan arah pulaunya tertampak sinar api dan asap bergulung-gulung naik. Itulah berarti pulaunya, yang dibangun selama sepuluh tahun, telah habis ludas, maka sakitlah hatinya. Mendadak matanya mendelik, ketika ia menyerukan, "Oh pemerintah yang bijaksana!" ia lantas muntahkan darah hidup, tubuhnya roboh dan pingsan.

Sin Tjoe kaget sekali tetapi ia memeluki suaminya kuat-kuat.

"Jangan kuatir," berkata Kok Tiok Koen. "Dia cuma pingsan disebabkan sangat mendeluh. Yang dikuatirkan ialah racun nanti menyerang ke ulu hatinya..."

"Thian Touw," kata In Hong pada suaminya, "kenapa kau tidak mau lantas membantui Yap Tjeetjoe menghalau racunnya itu?"

Thian Touw bersangsi selekasnya ia berada di dalam perahu besar ini. Ingatannya yang pertama ialah segera menolongi isterinya. Ia pernah memikir akan menolongi Seng Lim, tetapi kalau ia berbuat begitu, ia kuatir tenaganya nanti tak cukup lagi untuk mengobati isterinya itu. Sekarang ia mendengar kata-kata isterinya ini, bahkan In Hong menatap ia dengan tajam, ia jengah sendirinya. Tanpa menjawab lagi isterinya itu, segera ia turun tangan.

Tenaga dalam Thian Touw telah mencapai puncaknya kemahiran, begitu ia memegang punggung Seng Lim, begitu tenaganya tersalurkan kepada pemimpin besar dari tentera rakyat suka rela itu. Mulanya ia membuka jalan darah, lalu menolaknya. Dengan begitu ia menolak racun, yang keluar bersama keringatnya.

Dengan lekas Seng Lim dapat bernapas pula, dengan begitu juga mukanya yang pucat pasi terlihat bersemu dadu dengan perlahan-lahan. Melihat demikian, hati Sin Tjoe lega.

In Hong girang hingga ia bersenyum, ketika ia mengawasi suaminya, sinar matanya bentrok dengan sinar mata suaminya itu. Thian Touw melihat tegas sinar mata isterinya hidup dan halus, dari situ ternyata bahwa isterinya itu sangat bersyukur terhadapnya. Hal ini melegakan hatinya.

Tiba-tiba awak perahu di belakang berseru: "Perahu bocor!"

Itulah akibatnya gempuran gelombang.

"Tadi perahu kita terhajar peluru batu," kata Tiok Koen, untuk menghibur. "Lobang yang bocor itu sudah disumbat, rupanya sumbatannya lepas. Nanti aku periksa!" Lantas ia pergi ke belakang.

Sekarang barulah Thian Touw mendapat tahu bahwa perahunya Seng Lim ini telah dikejar tentera negeri tetapi dapat lolos di bawah pimpinan Kok Tiok Koen, karena keadaan sangat mendesak, mereka bertiga terpaksa ditinggal pergi, jikalau tidak, ada kemungkinan Seng Lim semua kena tertawan.

Kiam Hong telah ditolong Giok Houw tetapi tenaga dalam pemuda ini masih sangat, berbatas, dia kalah jauh sekali dari Thian Touw, maka syukurlah lukanya si pemudi tak sehebat luka Seng Lim, ia jadi dapat dibikin ringan, ketika kemudian ia pulih pula, ia segera bicara dengan In Hong. Yang pertama kali ia tanyakan ialah ini: "Entjie Hong, apakah kau dapat melihat adik Sioe Lan? Dia dapat lolos atau tidak?"

"Nona Im dan Ban Siauwhiap turut Tjio Looenghiong," kata Lioe Tek Tjhong. "Aku rasa mereka tidak kurang suatu apa."

Kiam Hong mengerutkan alisnya.

"Giok Houw," katanya, "setelah kita bebas, kau mesti segera pergi mencari tahu tentang adik Sioe Lan itu."

Mendengar kata-kata orang dan melihat sampai sebegitu jauh, hati Thian Touw tertarik.

"Kiam Hong dengan In Hong serupa sifatnya," katanya dalam hati kecilnya. "Selagi menghadapi ancaman bencana, mereka ingat lebih dulu keselamatan lain orang! Pantas mereka berdua sangat menyayangi satu dengan lain."

Sementara itu perahu mereka tak dapat laju tepat. Itulah disebabkan bocor tadi yang perlu segera ditambal pula. Karena itu mereka kena disusul sebuah perahu tentera negeri. Di atas perahu pengejar itu, di bagian mukanya, terlihat tiga pemimpinnya, ialah Koan Sin Liong bersama Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen.

Si orang she Yang sudah lantas tertawa terbahak-bahak.

"Yap Tjeetjoe, kami datang berkunjung pula untuk menjenguk kau!" demikian suaranya yang jumawa.

Law Tong Soen juga berkata nyaring: "Menurut adat istiadat maka kehormatan itu harus dibalas hormat! Kami mengucap terima kasih untuk perlayanan kamu tadi, dari itu sekarang kami hendak mengundang kamu datang ke kota raja untuk pesiar!"

Koan Sin Liong sebaliknya dengan mengangkat tinggi tangan tunggalnya, berkata dengan suaranya yang seram: "Hok Tayhiap dua kali kita bertanding, dua-dua kalinya kita terganggu setengah jalan, dengan begitu menjadi belum terdapat keputusannya! Oleh karena itu justeru malam ini rembulan permai dan angin sejuk, selagi kita main perahu di atas laut ini, oleh karena tidak ada daya penghiburnya, aku si orang tua sengaja datang kemari untuk memohon pengajaran dari kau dan isterimu yang terhormat!"

Di dalam hatinya Thian Touw mengeluh. Itu waktu In Hong belum dapat menggunai pedang atau tenaganya. Ia sendiri saja sukar melawan jago tua itu.

Sedang dua orangnya telah terluka parah, di pihak sana ada Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen, dua orang yang tangguh. Dapatkah ia melayani ketiga musuh itu?

Tengah jago Thiansan ini berpikir, perahu musuh, sebuah perahu kecil dan pesat majunya, telah menyandak.

le Sin Tjoe, yang telah menghunus pedangnya, berseru dengan sengit: "Adu jiwa dengan mereka!"

Ketika itu, dari kiri pun menghampirkan sebuah perahu kecil lainnya.

"Hok Toako, kau menjaga di sana!" Sin Tjoe kata pada Thian Touw. "Jagalah supaya perahu itu tidak dapat membokong!"

Habis berkata, Nyonya Yap kedepan, atau ia segera mendengar siulan yang nyaring yang dibarengi lompatnya satu tubuh ke arah perahunya. Dan itulah tubuhnya Koan Sin Liong.

Tidak ayal lagi, Sin Tjoe menimpuk dengan dua buah bunga emasnya, menyusul mana, ia menabas. Ia tahu musuh liehay sekali, maka itu ia menyambut selagi orang belum sempat menaruh kaki. Ia ingin, kalau tidak dapat ia melukai, ia membuatnya musuh kecebur ke laut.

Sebat sekali serangannya Nyonya Yap ini, akan tetapi di pihak sana, Koan Sin Liong yang liehay telah berlaku lebih sebat pula. Sin Liong dapat mendahului menaruh kaki di pinggiran perahu. Adalah itu waktu, bunga emas menyamber ke arahnya. Dia lantas mendak, untuk berkelit, berbareng dengan itu, pedangnya menyambut, menangkis serangan.

Kedua senjata beradu keras. Sin Tjoe terkejut. Hampir ia membikin terlepas pedangnya --- pedang Tjengbeng Kiam Ia pun mesti mundur dua tindak karena kerasnya tenaga menolak dari musuhnya.

Begitu lekas menangkis itu, Sin Liong lantas membalas menyerang. Ia menggunai jurus "Pekhong koandjit," atau "Bianglala putih menutupi matahari."

Sementara itu kedua kimhoa dari Sin Tjoe tadi, yang lewat di atasan kepalanya Koan Sin Liong, sudah menuju kepada Law Tong Soen yang berada di belakangnya jago bertangan satu itu. Tong Soen kaget tetapi ia masih sempat menangkis dengan tangan baju. Hampir saja ia menjadi kurban senjata rahasia itu.

Sin Tjoe menjadi nekad. Tidak dapat ia mundur, maka ia maju. Tepat ia hendak melakukan serangan yang berbahaya, yang dapat mengakibatkan mereka berdua terluka bersama, mendadak ia merasai angin berkesiur dari sampingnya, tubuhnya kena tertarik satu tenaga besar. Tepat itu waktu, ia mendengar suara kecebur yang nyaring, tubuh perahu pun guncang. Air laut terlihat muncrat. Ia tidak dapat melihat tegas apa sebabnya suara kecebur itu, tetapi ia menduga mesti ada orang yang terjun, atau terpaksa dibikin terjun ke air.

"Tentu Thian Touw yang membantui aku." pikir nyonya ini. Ia lantas mengawasi.

Sekarang terlihat tegas. Di sana Hok Thian Touw lagi menempur seorang wanita, dari Koan Sin Liong lagi bertanding dengan seorang pria usia pertengahan. Ketika ia telah melihat dua orang itu. ia girang luar biasa.

"Hok Toako, orang sendiri!" ia berteriak keras.

Thian Touw mendengar itu, belum suara sirap, ia sudah mundur, untuk memberi jalan kepada nyonya lawannya itu. Itulah sebab ia melihat si pria usia pertengahan sudah memukul Tong Soen kecebur kelaut, hingga ia menduga kepada kawan.

Siapa sepasang wanita dan pria itu? Mengapa Sin Tjoe menjadi demikian girang?

Tak lain tak bukan, merekalah In Tiong suami isteri! Dan In Tiong itu ialah kakak dari In Loei, guruny Sin Tjoe. In Tiong menjadi murid kepala dari Kimkong Tjioe Tang Gak. dan Tang Gak ialah terhitung kakak seperguruan dari gurunya Thio Tan Hong. Kegagahannyaln Tiong ini jauh melebihkan Yap Seng Lim.

Koan Sin Liong mencoba merebut kedudukan di atas angin melayani In Tiong akantetapi dia masih terdesak, dengan sepasang kepalannya yang mirip besi, orang she In itu membikin lawannya mundur dua tindak.

Si wanita, atau isterinya In Tiong itu, ialah Tamtay Keng Beng. Ia sudah lantas mendekati suaminya, sembari tertawa ia kata: "Sudah lama aku tidak pernah menggunai pedangku, bangsat tua ini agaknya liehay, baik kau serahkan dia padaku! Kau setujukah?"

In Tiong tertawa.

"Ya!" sahutnya. "Tapi di sana datang pula seorang yang bersenjatakan pedang! Apakah kau kuatir nanti tidak mendapatkan ketikamu yang baik?"

Tamtay Keng Beng berpaling, maka ia melihat Yang Tjong Hay tengah berlompat keperahu besar. Ia menjadi sangat girang. Ia tertawa dan kata: "Oh, YangToakiamkek! Baiklah, lawan ini lebih baik lagi!"

Ketika itu Yang Tjong Hay sudah berlompat maju. Tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tamtay Keng Beng menyambut dia dengan satu tikaman!

Yang Tjong Hay berlompat menyusuli Law Tong Soen. ia melihat Tong Soen kena dibikin tercebur, ia kaget sekali. Ia lantas berpikir: "Jadi di perahunya Seng Lim masih ada orang gagah lainnya? Thian Touw tidak segagah orang itu!..." Ketika itu ia sudah sampai di perahu, matanya lantas melihat In Tiong. yang ia kenali, kagetnya bertambah, ia bahkan ketakutan. Tapi ia sudah menaruh kaki, tak sempat ia berpikir lagi, Nyonya In Tiong sudah menyerang padanya.

Tamtay Keng Beng menyerang ke bawah. Itulah siasat untuk membikin musuh bingung.

Tjong Hay lantas menangkis. Karena kaki kirinya belum menginjak tetap, tubuhnya dimiringkan ke kanan. Tangkisan itu tidak berhasil seluruhnya. Ujung pedang si nona meneroboskan celananya, hampir mampir di betisnya. Ia menjadi nekad, maka juga ia lantas menyerang.

"Bagus!" berseru Tamtay Keng Beng. Ia menangkis, habis mana, ia menyerang, bahkan beruntun hingga tiga kali. Ia mendesak untuk membikin lawan tak sempat memperbaiki kedudukannya. Itulah serangan seumpama kata badai dan hujan lebat.

Tengah isterinya itu merangsak Yang Tjong Hay, pertempuran di lain kalangan sudah lantas sampai pada akhirnya. Dengan pukulan Taylek Kimkong Tjiang, Tangan si Arhat Kuat, In Tiong sudah menghajar Koan Sin Liong sampai tubuh jago tua bertangan satu itu terlempar tinggi!

Yang Tjong Hay kaget, ia lantas lompat untuk mengundurkan diri, tetapi Nyonya In Tiong menyusul ia, menusuk dengkulnya, hingga ia tergores sedikit. Tubuhnya mencelat terus.

Celakajago yang licik ini, ketika ia baru menaruh kaki, Koan Sin Liong yang terlempar itu justeru jatuh ke arahnya. Ia kembali kaget. Tapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sin Liong sudah menaruh kaki di pundaknya, untuk menjejaknya, buat dia berlompat pula menyingkirkan diri ke perahunya sendiri.

Ia berlaku sebat, ia pun terus lompat ke perahunya. Hanya sayang, ia tidak sampai, ia kecebur ke laut!

Adalah di lain saat, Koan Sin Liong sudah mengangkat dua kawan yang basah kuyup itu seperti dua ekor ayam yang kecebur di air. untuk mereka lekas mengaburkan perahu kecil mereka.

"Sayang! Sayang!" kata Tamtay Keng Beng menyesal. "Aku sedang bergembira sekali, jahanam itu kabur dengan meminjam jalan air!"

In Tiong tertawa mendengar kejenakaan isterinya itu.

Thian Touw lantas menghampirkan, buat memberi

hormat, untuk memperkenalkan diri.

"Telah aku mendengar Thio Tan Hong memuji ilmu pedangmu!" kata Tamtay Keng Beng. "Barusan aku telah menyaksikan itu, benarlah pujian untuk dirimu itu!"

Yang lainnya pun lantas menemui sepasang suami isteri itu, setelah mana Sin Tjoe mengajaknya masuk ke dalam perahu.

Yap Seng Lim sudah mendusin, mendapatkan datangnya In Tiong berdua, ia girang bukan main.

"Soesiok!" ia memanggil pada paman gurunya itu seraya ia mau berbangkit.

"Jangan bergerak!" kataln Tiong. "Nanti aku mengobati dulu padamu!"

In Tiong jauh terlebih mahir tenaga dalamnya dari pada Hok Thian Touw, dalam waktu yang jauh terlebih singkat, ia dapat menyembuhkan Seng Lim. Lebih dulu embun-embunannya pemimpin tentara rakyat suka rela ini menghembuskan uap putih, lantas dia merasakan tubuhnya nyaman dan segar. Itulah tanda bahwa racun telah diusir habis.

Berbareng dengan itu Tamtay Keng Beng pun bergantian menolongi Kiam Hong dan In Hong. Karena luka mereka ini berdua ringan, mereka tertolong lebih cepat lagi. Maka ketiga orang itu menghaturkan terima kasih mereka yang sudah ditolongi dari ancaman maut.

"Soesiok, kenapa soesiok datang ke mari?" kemudian Seng Lim menanya. Ia heran paman guru itu berdua datang dalam waktu yang tepat sekali.

In Tiong tidak menyahuti, hanya menoleh kepada Sin Tjoe, ia tertawa dan kata: "Gurumu yang menitahkan kami berdua datang kemari! Sayang sekali kami datang terlambat..."

Dari suaranya In Tiong ini teranglah sudah bahwa Thio Tan Hong sudah mendapat tahu dari siang-siang yang benteng air di pulau Hokpoo To telah terancam bahaya. Hal ini mengherankan Seng Lim semua..Rata-rata mereka berpikir: "Thio Tan Hong memang pandai melihat sikap musuh akan tetapi dia tinggal jauh di gunung Tjhongsan di Tali, terpisahnya dari sini laksaan lie, mungkinkah dia benar-benar pandai ilmu nujum hingga dia ketahui segala apa yang bakal terjadi? Kalau benar, sungguh dia liehay luar biasa..."

In Tiong dapat mengerti keheranan orang banyak itu. Ia tertawa dan kata: "Thio Tan Hong tidak pandai ilmu meramalkan! Sekarang pun dia sudah tidak tinggal lagi di gunung Tjhongsan! Raja yang sekarang hendak membikin lunak kemarahan rakyat, dia terpaksa membikin bersih penasarannya le Kokloo dan mengakui jasanya Kokloo terhadap negara, begitulah di tepi telaga Seeouw di Hangtjioe ia telah memperbaik kuburan Kokloo dan membuatkan juga rumah abunya. Bukankah itu kamu telah mengetahuinya? Oleh karena penasaran Ie Kokloo telah dicuci bersih dan kehormatannya telah dipulihkan, dengan begitu dengan sendirinya sekalian orang yang dahulu hari ada sangkut pautnya dengannya menjadi bebas juga, perkara mereka itu tidak ditarik panjang pula..."

Mendengar sampai di situ, Sin Tjoe menggeleng kepala. Dia agaknya masgul.

"Apa maksud yang sebenarnya dari pemerintah, tak dapat kita mengetahuinya," In Tiong menyambungi, "akan tetapi singkatnya firman raja demikianlah adanya. Oleh karena itu milik Tan Hong yaitu Thayouw Santjhoeng yang dulu hari telah disita sudah dikembalikan. Sebenarnya itulah milik dua keluarga Thio dan Tamtay. Sekarang milik itu dijaga dan dirawat orangnya Keluarga Tamtay. Ketika di musim dingin yang lalu Tan Hong kembali dari kota raja, sebenarnya ia tidak pulang ke Tjhongsan, ia hanya lantas tinggal di Thayouw Santjhoeng. Rombongannya Yang Tjong Hay rupanya tidak menyangka akan kejadian itu, rupanya mereka tidak menduga Tan Hong demikian bernyali besar, atau mungkin, meski mereka mendapat tahu tetapi mereka tidak berani menyateroni Tan Hong, maka selama beberapa bulan berdiam di santjhoeng itu, Tan Hong tidak mendapat gungguan apa-apa. Tatkala kami berdua mendengar halnya Tan Hong itu, kami juga pulang kesana dan tinggal bersama. Baru bulan yang sudah kami pindah."

"Kami justeru berniat pergi ke Tjhongsan," kata Thian Touw, "dengan begini tak usah kami membuat perjalanan jauh dengan sia-sia belaka."

In Tiong mengangguk, terus ia melanjuti keterangannya: "Benar Tan Hong berdiam di santjhoeng dari mana ia tidak pernah ke mana-mana akan tetapi segala peristiwa di luaran, ia mengetahuinya dengan baik. Paytjoe Pit Keng Thian dari Kaypang, Partai Pengemis, sebenarnya berada di propinsi Shoatang, ketika dia mendengar kabar Tan Hong berada di Thayouw, segera dia pergi membuat kunjungan. Dia menghaturkan terima kasih halnya dia telah diberi ketika untuk mengubah cara hidupnya yang tersesat. Kebetulan sekali datangnya Pit Keng Thian ini, dia lantas dipakai tenaganya oleh Tan Hong guna mencari tahu segala kejadian di luaran. Demikian terdengar selentingan gerak-gerik selama setengah bulan ini dari rombongannya Koan Sin Liong yang telah berkumpul di kota Hangtjioe, bahwa soenboe dari propinsi Tjiatkang pun sudah tukar orang. Pula telah dapat diketahui halnya Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen, dua orang kepercayaannya raja, sudah berkumpul juga di kota Hangtjioe itu. Mengumpul semua berita itu, Tan Hong lantas mengambil kesimpulan. Ia percaya pemerintah bakal mengambil sesuatu tindakan yang pasti tidak baik untuk pihak tentera rakyat, maka kami berdua lantas diminta berangkat kemari guna memberi kisikan kepada kamu, hanya sayang Yang Tjong Hay sudah bertindak demikian cepatlcedatangan kami terlambat sedetik."

"Kenapa soehoe tidak datang sendiri?" tanya Giok Houw tentang soehoe --- gurunya itu.

Sepasang alisnya In Tiong terbangun.

"Di sana masih ada suatu urusan penting yang memerlukan tenaganya sendiri," ia menyahut. "Itu pula urusan paling penting yang kami hendak sampaikan kepada kamu! Kamu tahu, Kiauw Pak Beng dan Koan Sin Liong, dua hantu itu, telah hendak mengadakan satu pertemuan di gunung Laosan..."

Hati Thian Touw bercekat.

"Itulah justeru urusan untuk mana aku hendak menemui Thio Tayhiap," ia campur bicara. "Hanya, menurut apa yang aku dengar, waktu pertemuan kedua hantu itu mungkin di bulan ke delapan nanti..."

"Bukan!" berkata In Tiong. "Menurut keterangan yang diperoleh Pit Keng Thian, Kiauw Pak Beng sudah sampai di Laosan di mana dia berdiam di kuil Siangtjeng Kiong. Mereka telah menggeser maju waktunya pertemuan itu, mungkin itu hendak dibarengi dengan sepak terjang mereka membasmi tentara rakyat..."

"Jikalau begitu tidaklah heran Kiauw Siauw Siauw bersama Yang Tjong Hay semua telah muncul di sini," berkata In Hong. "Pastilah si hantu tua Kiauvv Pak Beng yang menitahkan mereka bekerja di sini untuk mendirikan pahala yang pertama!"

"Kiauvv Siauw Siauw itu, anak tunggal kesayangannya Kiauw Pak Beng, baru saja mampus di ujung pedangnya entjie Leng!" menerangkan Sin Tjoe.

"Bukan!" kata In Hong tertawa. "Dia justeru terbinasa karena bunga emasmu!"

Sin Tjoe heran.

"Bagaimana, entjie?" ia tanya.

"Sebabnya begini, adikku!" sahut In Hong, yang terus menuturkan kematiannya Kiauw Siauw Siauw disebabkan Yang Tjong Hay hendak memfitnahkan mereka. "Dengan begitu pasti Kiauw Pak Beng akan sangat membenci kita dan akan berniat keras membalaskan sakit hati anaknya itu."

"Sungguh keji Yang Tjong Hay!" kata Sin Tjoe. "Memang benar Kiauw Pak Beng pasti akan memandang kita sebagai musuh besarnya! Tapi tak apalah, kita justeru hendak mencari mereka itu!"

Thio Giok Houw gembira sekali.

"Soehoe bakal datang, hantu itu tak perlu ditakuti lagi!" katanya.

"Siauw Houw Tjoe, kau benar si anak kerbau yang tak takut harimau!" kata In Tiong tertawa. "Kau tahu, gurumu justeru sedikit berkuatir. Ketika tahun dulu itu Kiauw Pak Beng tunduk di ujung pedang gurumu, dia telah bersumpah untuk menuntut balas, dia telah berjanji, sebelum dia merasa pasti akan dapat mengalahkan gurumu, tidak nanti dia turun gunung atau muncul pula! Sekarang dia muncul, maka gurumu percaya dia telah berhasil menyampaikan Sioelo Imsat Kang tingkat ke sembilan, tingkat terakhir itu, dan pasti sekali dia juga sudah berhasil meyakinkan dan menggabung kedua ilmu sesat dan lurus."

"Biarnya dia telah berhasil itu!" kata Giok Houw nyaring, "pasti soehoe tidak jeri terhadapnya!"

"Itulah pasti!" kata pula In Tiong, tertawa. "Akan tetapi kau harus ketahui, gurumulah seorang yang sangat sabar dan terliti. Musuh bakal datang dalam jumlah besar, gurumu tidak berani memandang enteng pada mereka. Kabarnya Kiauw Pak Beng telah mengundang banyak orang liehay --- orang-orang dari kaum sesat. Maka itu gurumu pun melepas undangan kepada banyak kaum lurus dan undangan itu disampaikan oleh Pit Keng Thian, yang memakai tenaganya anggauta-anggauta Kaypang. Selain orang-orang gagah dari beberapa propinsi di Kanglam, gurumu mau pergi sendiri mengundang tjiangboendjin dari Siauwlim Pay di

Siongsan dan Binsan Pay, untuk minta bantuan mereka itu. Di akhirnya gurumu minta kami menyampaikan dua hal kepada kamu: Yang pertama yaitu supaya Yap Seng Lim segera mengundurkan diri, dan yang kedua supaya kamu segera berangkat ke Laosan untuk bertemu nanti di Siangtjeng Kiong, guna menemui sekalian hantu itu. Sekarang ini markas kamu sudah musna, soal penarikan mundur bukan soal lagi. Sekarang tinggal yang kedua, ialah kamu mesti segera berangkat ke Laosan. Siapa yang suka pergi, dia boleh turut kami berdua!"

Darahnya semua orang menjadi tegang. Warta itu hebat dan juga menggembirakan. Cuma Yap Seng Lim seorang yang wajahnya menjadi guram.

Sin Tjoe melihat itu, ia dapat membade hati suaminya.

"Seng Lim," katanya, "aku turut pergi, dengan begitu kau seperti turut bersama. Asal musuh itu dapat disingkirkan, buat apa kau mesti membinasakannya dengan tanganmu sendiri?"

Sin Tjoe kenal tabiat suaminya, maka suka ia mewakilkan suami itu. Seng Lim masgul karena ia tidak dapat turut, karena ia mesti memernahkan rakyatnya. Ia sangat bersakit hati terhadap Koan Sin Liong bertiga Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen, sebab merekalah yang memusnakan markasnya itu yang ia telah bangun dengan susah payah. Tapi sekarang ia mendengar suara isterinya, ia tidak bisa berbuat lain, dapat juga ia menenangkan hatinya.

Seperti diketahui tentera rakyat suka rela di Tanghay, laut Timur ini, menguasai tiga belas pulau dan pusatnya ialah pulau Hokpoo To, tetapi sekarang pusat itu kena dirampas tentera negeri, telah dimusnahkan, maka untuk mengumpulkan sisa tenteranya, Seng Lim terpaksa mengambil sebuah pulau kecil di antaranya. Ia mintaLioe Tek Tjhong dan Tjhio Peng Kin membantu pekerjaannya itu. Yang lainnya semua turut In Tiong dan Tamtay Keng Beng berangkat ke Laosan.

Berselang setengah bulan tibalah rombongan itu di kaki gunung yang dituju itu. Di gunung itu bakal dilakakan satu pertempuran yang dahsyat, tidak heran apabila hati rombongan itu tegang sekali. Hok Thian Touw merasa tegang sebab berbareng pikirannya ruwet...

Gunung Laosan itu berada di sebelah belakang Tjeng Too, sebelahnya nempel dengan daratan, sebelah yang lain berbatas dengan Honghay. Laut Kuning. Dan di laut Honghay itu terdapat pula sejumlah pulau kecil-kecil. Dilihat dari atas gunung, kepulauan itu mirip suatu tedeng aling. Di situ terdapat pemandangan alam yang permai. Akan tetapi di dalam keadaan seperti itu, tidak ada orang yang ketarik untuk pesiar, buat membuka mata mereka.

"Aku harap inilah badai dan gelombang yang terakhir untukku," kata Thian Touw dalam hatinya. "Habis ini aku tidak mau merantau pula dalam dunia Kangouw!" Ia melirik isterinya, ia mendapatkan In Hong tengah berjalan dengan asyik dengan Sin Tjoe, mata mereka itu diarahkan ke depan. Melihat sikap isterinya itu, hatinya menjadi tawar, pikirnya pula: "Di saat ini pastilah In Hong lagi memikirkan caranya untuk mengalahkan musuh. Ada kemungkinan, sehabisnya ini, ia tidak bersedia mengikut aku pulang ke Thiansan..."

Thian Touw merasa selama beberapa bulan ini, meski ia dan Ia Hong menjadi suami isteri tetapi hati In Hong berada lebih dekat pada Sin Tjoe...

Mereka berjalan terus. Satu kali angin bertiup ke arah mereka, lantas mereka menjadi heran. Angin itu membawa datang bau bacin.

"Ah, apakah itu?" In Hong berseru, terus ia lompat ke sebelah depan di mana ia menyingkap setumpuk rumput kering.

Untuk kagetnya semua orang, di situ rebah satu tubuh manusia.

"Ah!" Kok Tiok Koen berseru, "inilah Thianloei Kiam In Bwee Kok!..."

Jago tua ini mengulur tangannya meraba tubuh yang rebah itu, ia merasakan tubuh yang dingin sekali. Ia pun memegang nadinya. Lalu ia berkata, heran: "Inilah aneh! Nadinya belum berhenti seluruhnya, mengapa tubuhnya sudah kaku begini?"

Ia baru berkata atau ia kaget hingga ia menggertak pulang tangannya, la merasa hawa dingin dari tubuhnya In Bwee Kok tersalurkan ke tangannya terus ke tubuhnya sendiri. Tapi segera ia dapat menduga: Pastilah In Bwee Kok telah menjadi kurbannya Kiauw Pak Beng!

Selagi Tiok Koen terbenam dalam keheranan itu, yang lain-lainnya pun lantas menemui beberapa kurban lagi, di antaranya dikenali sebagai Liokhap Tjiang Touw Tjoe Peng, Kioe Koet Gie ahli pedang dari Boetong Pay, Tjeetjoe Tie Leng Sek dari benteng Imma tjoan dari Shoatang, dan Tee Lip Ong, guru silat yang telah berusia lanjut dari Hoolam. Tubuh mereka beku seperti tubuhnya In Bwee Kok itu. Di antaranya, nadi Kioe Koet Gie masih berdenyut perlahan dan jarang seperti nadi In Bwee Kok.

Semua orang berdiri melengak. Mereka heran dan bingung. Hati mereka, yang tegang, menjadi bertambah tegang.

Teranglah semua orang itu orang-orang undangannya Thio Tan Hong, tetapi mereka sampai di situ untuk menerima nasib celaka secara kecewa. Dan terang pula Kiauw Pak Beng sudah tidak memakai aturan Kangouw, dia mestinya telah menghajar orang tanpa segan-segan.

Kok Tiok Koen kenal kurban-kurban itu, saking berduka ia menangis.

"Kiauw Pak Beng, kau sangat kejam!" katanya sengit.

"Sekarang ini bukan waktunya berduka," kata Giok Houw. "Mari kita maju terus! Semua harus waspada, supaya kita jangan sampai kenadibokong."

Kejadian itu pun membuat orang berpikir bahwa tentulah Thio Tan Hong belum sampai, jikalau tidak, tidak nanti ia memberi ijin Kiauw Pak Beng menurunkan tangan jahat itu.

Sungguh berbahaya keadaan mereka semua.

Berjalan lebih jauh, keheranan mereka bertambah, hati mereka semakin giris. Masih mereka menemui beberapa kurban lagi. Ketika mereka tiba di puncak Tinhay Hong. ialah puncak yang ketiga, jumlah kurban yang diketemukan itu tujuh belas buah.

Dari tujuh belas kurban itu, kecuali In Bwee Kok dan Kioe Koet Gie, ada satu orang lagi yang nadinya masih berdenyut, ialah Liap Tong Tjeng, pangtjoe atau ketua, dari partai Tinhay Pang di Kanglam.

Kelihatan nyata semua kurban itu kurban-kurban baru sekali-baru saja terhajar Kiauw Pak Beng.

Thian Touw mencelos hatinya menyaksikan peristiwa hebat itu.

"Kiauw Pak Beng dapat robohkan banyak orang dalam tempo begini singkat, tidak lain pastilah sebab dia telah berhasil menyampaikan tingkat ke sembilan dari Sioelo Imsat Kang," pikirnya.

Kok Tiok Koen lantas bekerja. Dengan meminta bantuan kawan-kawannya, ia menggotong In Bwee Kok, Kioe Koet Gie dan Liap Tong Tjeng ke dalam sebuah guha. Kepada Thian Touw ia minta tiga butir pel. ia kata: "Asal mereka masih ada napasnya, aku akan berbuat apa yang aku bisa untuk menolongi mereka!"

Itulah kata-kata dari harapan yang tak ketentuan...

Ie Sin Tjoe menahan keluarnya air matanya. Ia memerintahkan dua tauwbak yang dapat diandalkan guna membantu ;Tiok Koen. Yang lainnya semua manjat terus.

Tiba di lembah yang sempit, di mana orang dapat jalan seorang diri, tidak bisa dengan berendeng berdua sekalipun, sedang di kiri dan kanan ada lamping gunung, orang mendengar siulan yang panjang dan keras, menyusul itu sebuah batu besar, jatuh bergelinding dari atas!

In Tiong lantas berteriak, dia memasang kuda-kudanya dan mengangkat kedua tangannya. Dia mengerahkan tenaga Taylek Kimkong Tjioe. Ketika batu besar itu tiba, dia menyambuti untuk dibarengi ditolak keras. Maka jatuhlah batu itu ke dalam lembah hingga tanah muncrat menjadi debu.

Ie Sin Tjoe pun membarengi melepaskan tiga buah kimhoa, bunga emasnya, atas mana lantas terdengar tiga kali suara bentrokan nyaring. Kejadian ini membikin orang tahu, kecuali batu besar itu, ada pula senjata rahasia yang dipakai menyerang mereka!

Hok Thian Touw bersama Leng In Hong berlompat maju, untuk menaruh kaki di pinggiran lamping di mana ada batu munjul keluar, ketika mereka memandang ke atas, di sana terlihat Le Kong Thian yang justeru mengasi dengar suaranya yang keras: "Siapa naik kemari, dia bagian mati, dia tak akan hidup lagi!"

In Hong mendongkol sekali. Ia menjemput dua potong batu dengan apa ia menimpuk manusia bagaikan raksasa itu.

Kong Thian mengangkat boneka kuningannya, untuk menangkis.

"Aduh!" demikian jeritan di belakangnya.

Itulah seorang yang sembunyi di belakang Kong Thian, yang terkena salah satu batu. Dialah orang yang tadi menimpuk dengan tiga buah bandringan, yang ditangkis bunga emasnya Sin Tjoe. Dia bertubuh kate dan kecil, maka itu, dengan berdiam di belakang Kong Thian, dia tak segera terlihat.

Thian Touw semua maju terus. Sesampainya mereka di atas, Kong Thian dan kawannya itu sudah tidak ada, hanya terdengar saja helaan napas perlahan dari orang she Le itu.

Kong Thian berkesan baik terhadap Thian Touw, maka itu ketika tadi dia melemparkan batu besar itu, dia mendahuluinya dengan siulannya, baru kemudian dia mengasi dengar ancamannya. Dengan tindakannya itu dia mengharap Thian Touw jangan naik terus ke atas karena dia tidak ingin orang she Hok ini menjadi korbannya Kiauw Pak Beng, gurunya itu. seperti tujuh belas orang tadi.

In Tiong telah menjemput salah satu bandringan itu, ia tertawa dingin dan berkata: "Juga Sintwie Tjoei Poo San telah datang kemari. Rupa-rupanya Kiauw Pak Beng juga mengundang bala bantuan yang tak sedikit!"

Tjoei Poo San itu ialah murid kepala dari Tjio Sam Tay, ahli senjata rahasia di kota Pooteng. Dengan sebelah tangan. Sam Tay itu dapat melepaskan dua belas potong bandringannya. Poo San melepaskan hanya tiga buah, mungkin dia menyangka itu pun tak dapat orang menghindarinya.

Orang maju dengan hati berdebaran. Mereka masih belum menampak Kiauw Pak Beng. Maka mereka mendaki terus. Tanpa rintangan mereka sampai di puncak terutama dari gunung Laosan, maka tak jauh dari situ mereka lantas melihat Siangtjeng Kiong, kuil bangsa imam (toosoe). Justeru itu mereka mendengar siulan nyaring yang dahsyat sampai telinga mereka dirasakan ketulian dan nyeri.

Hok Thian Touw terkejut. Ia tahu itulah suaranya Kiauw Pak Beng.

"Benar-benar hebat kemajuannya hantu itu!" katanya.

In Tiong ialah seorang ahli, dari siulan Kiauw Pak Beng ia dapat membedakan nada, maka dengan keheranan ia kata: "Kiauw Pak Beng mesti lagi menempur lawan yang tak kalah liehaynya dengannya! Jikalau dia bukannya hongthio dari Siauwlim Sie, mungkin ketua dari Binsan Pay! Inilah aneh" Ia lantas memasang pula telinganya.

"Bagaimana?" tanya Sin Tjoe.

"Yang menempur Kiauw Pak Beng itu bukannya satu orang," kata In Tiong.

Sin Tjoe heran. Kalau orang ialah ketua Siauwlim Sie atau Binsan Pay, tidak nanti mereka berkelahi sambil mengeroyok. Hanya, kalau bukan mereka itu, siapa dapat menandingi Kiauw Pak Beng?

Tapi Siangtjeng Kiong sudah tertampak, maka tak usahlah orang menduga-duga terlebih lama. Mereka berlari-lari menghampirkannya. Tidak lama atau mereka lantas melihat, benar-benar Kiauw Pak Beng tidak menghadapi satu musuh, hanya musuh-musuh itu bukannya ketua-ketua dari Siauwlim Pay dan Binsan Pay!

Di depan kuil Siangtjeng Kiong di mana ada pekarangan yang lebar telah penuh dengan banyak orang yang bertempat di empat penjuru, di tengah-tengah mereka, yang merupakan sebuah gelanggang, terlihat empat orang lagi bertempur. Atau lebih benar, tiga orang pendeta tengah mengepung Kiauw Pak Beng si jago Sioelo Imsat Kang. Dari tiga orang suci itu, yang dua bersenjatakan tongkat Kioehoen Sianthung, dan yang satunya lagi bergegaman kebutan Hiansie Hoedtim. Kiauw Pak Beng sebaliknya bertangan kosong. Yang hebat ialah kekebalan Pak Beng. Beberapa kali dia terhajar lawannya, bukan dia roboh atau terluka, bagian tubuhnya yang terhajar itu mengasi dengar suara nyaring. Tubuhnya itu seperti juga terdiri dari besi atau baja!

"Ah, itulah tiga toasintjeng dari Siauwlim Sie!" kata In Tiong separuh berseru. Karena ia mengenali mereka, ia menjadi heran sekali.

Toasintjeng itu ialah pendeta-pendeta yang terhormat.

Ketua dari Siauwlim Sie ialah Boe Tjoe Siansoe. Ia mempunyai tiga soetee, adik seperguruan, yang paling liehay, yang masing-masing diberi tugas penting, ialah kamsie, pengawas kuil. hokkeng, pelindung kitab-kitab, dan hengteng, penjabat pelaksaan hukuman. Merekalah Boe Sek, Boe Ngo dan Boe Siang. Orang mengatakan mereka bertiga sangat liehay tetapi kecuali berdiam terus di dalam gereja di mana mereka menjalankan ibadat dan mengajar murid, belum pernah mereka bertanding dengan orang luar. dari itu taklah ada orang ketahui sampai di mana keliehayan mereka. Maka anehlah sekarang mereka berada di gunung Laosan ini, dan berbareng bertiga, bersama-sama, mengepang Kiauvv Pak Beng.

In Tiong lantas dapat melihat Boe Siang mengebut dengan kebutannya, yang lantas menjadi buyar ribuan lembar, hingga tubuh Kiauw Pak Beng seperti ketutupan karenanya. Setiap lembar benang kebutan itu mencari jalan darah musuh.

Kebutan ialah senjata luar biasa, siapa tidak mahir tenaga dalamnya, tidak dapat membikin tali kebutan menjadi kaku sesuka hatinya In Tiong memuji di dalam hati menyaksikan liehaynya pendeta Siauwlim Sie itu.

Diserang secara berbahaya itu, Kiauvv Pak Beng berseru, meniup dengan keras, tubuhnya pun mencelat tinggi, kedua tangannya dipentang. Dengan gerakannya itu, dia membebaskan diri dari bahaya. Kedua tangannya menangkis tongkatnya Boe Ngo dan Boe Sek, hingga kedua tongkat mental menghajar pohon kayu di samping mereka sampai kedua pohon tergetar, daun-daunnya rontok meluruk.

Dari kagum dan girang, In Tiong terkejut.

"Ketiga pendeta ini benar-benar liehay," pikirnya. "Hanya heran, mereka toh tidak dapat berbuat banyak terhadap Kiauvv Pak Beng. Pantaslah Thio Tan Hong telah memandang hantu itu sebagai musuh yang tangguh..."

Lain keanehan ialah halnya ketiga pendeta itu. Menurut martabat mereka, mestinya mereka menempur Pak Beng satu lawan satu. Dengan mengepung bersama, derajat mereka tak berarti lagi. Akan tetapi sekarang buktinya mereka main keroyok...

Dalam hal ini, In Tiong melihat hanya satu pihak. Ia seperti melupai Pak Beng dengan Sioelo Imsat Kang, ilmu silatnya, yang istimewa itu.

Sebenarnya juga terpaksa Boe Sek bertiga mengepung Pak Beng. Mereka telah didesak turun tangan oleh Sioelo Imsat Kang dari Pak Beng itu.

Thio Tan Hong telah minta bantuannya Siauwlim Sie, ia telah mengundang Boe Tjoe Siansoe sendiri. Kebetulan pendeta kepala itu hendak "menutup diri," maka dia mengirim Boe Sek bertiga sebagai wakilnya. Tan Hong girang sebab ia percaya mereka itu akan dapat melebihkan Boa Tjoe seorang diri. Ketiga pendeta tidak berangkat bareng bersama Tan Hong. Tan Hong masih hendak mengundang ketua Binsan Pay serta mesti mengurus satu hal lain. Maka ia minta ketiga pendeta berangkat lebih dulu sekalian untuk menilik kawan-kawan lainnya yang datang membantu.

Nyatalah kesudahannya bantuan untuk Tan Hong itu masih kurang. Rombongannya In Bwee Kok roboh di tangannya Kiauw Pak Beng yang telengas itu. Kiauw Pak Beng tidak sudi pakai aturan Kangouw, dia main rabuh. Orang tiba belum lama, dia memegat dan menyerang. Untuk mencegah jago itu mengambil lebih banyak kurban, terpaksa Boe Sek bertiga mengepung dia, hingga dia tidak dapat berpesta dengan pukulan-pukulan Sioelo Imsat Kang-nya itu.

Kiauw Pak Beng sudah mencapai tingkat terakhir dari ilmu kepandaiannya itu, dia jadi sangat liehay, hingga Boe Sek, Boe Ngo dan Boe Siang, tidak dapat berbuat banyak terhadapnya. Bahkan ketiga pendeta telah terserang hawa dingin sampai keuletan mereka menjadi berkurang. Karena itu, sambil berkelahi mereka bertiga mesti mengerahkan tenaga dalamnya, buat mengobati luka di dalam itu sambil terus memperkuat diri. Demikianlah, untuk sementara, merekajadi sama unggul.

Ketika rombongan Sin Tjoe tiba, Kiauw Pak Beng lantas dapat melihatnya. Dia mengenali Nyonya Yap Seng Lim, mendadak napsu amarahnya bangkit.

"Ketiga toasintjeng, kamu beristirahatlah!" dia berseru. Dia lantas bersiul nyaring, terus dia berlompat, tangan kirinya menyamber tongkat Boe Sek, tangan kanannya menyamber tongkatnya Boe Ngo. Dia mengadu kedua tongkat hingga bentrok keras, hingga muncrat lelatu apinya, lalu dia pinjam tenaga kedua tongkat itu untuk berlompat lebih jauh. lompat ke arah Sin Tjoe.

Boe Sek dan Boe Ngo kena tergempur tenaga dalamnya, tubuh mereka terhuyung, terus mereka jatuh duduk, muka mereka pucat.

Boe Siang kaget, ia lompat kepada dua saudaranya, untuk menolongi, hingga ia seperti melupai kewajibannya untuk memegat dan merintangi Kiauw Pak Beng.

Sangat cepat seperti burung garuda, tubuh Kiauw Pak Beng sudah mencelat ke arah Sin Tjoe.

"Tahan!" berteriak In Tiong, yang segera lompat menyerang. Dia menggunai dua-dua tangannya. Dia hendak melindungi Nyonya Yap Seng Lim.

Kiauw fak Beng mesti menoleh, bahkan ia mesti menangkis serangan itu. Tidak dapat ia berkelit lagi.

Tangan kedua pihak beradu satu pada lain. keras sekali, hingga terdengar suara beradunya itu. Kiauw Pak Beng mengasi dengar suara tertahan "Hm!" dan tubuhnya mental dua tombak.

Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong hebat walaupun Kiauw Pak Beng sudah mempersatukan kemahirannya ilmu sesat dan ilmu lurus, dia masih terhajar terpental itu. Syukur dia tak tergempur anggauta tubuhnya bagian dalam.

Di lain pihak In Tiong, oleh karena bentrokan itu, segera merasakan tangannya dingin dan rasa dingin itu terus tersalurkan ke tubuhnya. Hawa dingin bagaikan es itu menyerang ke ulu hatinya. Lantas ia menggigil. Ia sebenarnya mau mengulangi serangannya, apa mau tenaganya seperti habis, hingga ia tidak dapat melakukan keinginannya itu. Ia terkejut, hatinya berdebaran. Sungguh liehay orang she Kiauw itu dan sungguh berbahaya keadaannya apabila musuh menyerang pula padanya.

Kiauw Pak Beng terpental tetapi tak terluka apa-apa, begitu ia melihat ke arah Sin Tjoe, begitu ia lompat untuk mengejar. Belum lagi ia lari, dua sinar pedang berkelebat dihadapannya. Ia dirintangi Thian Touw dan In Hong, yang lompat menghadang di depannya.

Hanya dalam segebrakan itu, Kiauw Pak Beng lantas mendapat tahu berapa pesat majunya sepasang suami isteri itu. Ia bercekat. Maka ia lantas menggunai kepandaiannya untuk melayani kedua musuh ini. Ketika ia diserang pula, dengan tangan kirinya ia mengibas, dengan jari tengah tangan kanan ia menyentil. Dengan begitu ia mempunahkan pedangnya In Hong. pedang pedangnya Thian Touw kena terpentil hingga menerbitkan suara nyaring.

Thian Touw terkejut, juga jago tua itu. Jago ini kaget lantaran ujung bajunya kena dirobek pedang si nyonya. Thian Touw sebaliknya terkejut lantaran pedangnya kena tersentil mental, segera ia merasakan tangannya dingin luar biasa, sampai hampir-hampir tak dapat ia mencekal terus pedangnya itu. Mau atau tidak, ia mundur setindak. Dengan begitu, pedang mereka suami isteri tak dapat bersatu padu dalam sejenak itu.

Kiauw Pak Beng tertawa berkakak. Dengan adanya lowongan, dia lompat untuk menyingkir dari kepungan.

"Hok Thian Touw!" dia berkata, nyaring, "ilmu pedang Thiansan Pay kamu benar-benar telah dapat disempurnakan, maka sebentar aku akan menempur pula kamu!"

Habis berkata, ia memutar tubuhnya, untuk mengejar pula le Sin Tjoe.

Nyonya Yap Seng Lim telah memisahkan diri tiga tombak dari si jago tua, ketika ia dikejar pula, ia lari.

In Tiong, juga Thian Touw dan isterinya, mengejar. Mereka hendak melindungi Sin Tjoe tak perduli jago tua itu liehay sekali. Hanya ketika itu mereka ketinggalan belasan tombak.

Sin Tjoe cerdik. Ia lari ke dalam rimba di mana, dengan menggunai ilmu "Tjoanhoa djiauwsie." ia berputaran di antara pohon-pohon yang tumbuh tak teratur. Ia bergerak dengan sangat cepat dan lincah.

Sia-sia Kiauw Pak Beng mengejar, tak dapat ia menghajar tubuh orang. Akhirnya ia menjadi sangat mendongkol.

"Bayar pulang jiwa anakku!" ia berteriak, menyusul mana ia menyerang ke arah pohon di belakang mana Sin Tjoe berlindung.

Hebat serangan itu. Dengan satu suara berisik, pohon itu roboh.

Sin Tjoe lompat menyingkir. Ia toh terhalang pohon itu. Justeru begitu, mendadak ada orang berlompat dari samping rujuk rumput dekatnya, orang mana membarengi menikam dengan pedangnya.

Yang hebat ialah segera dikenali penyerang itu Koan Sin Liong adanya, yang rupanya telah bersembunyi di dalam rimba lebat itu.

Sin Tjoe menangkis serangannya Koan Sin Liong itu. Ia bingung sekali. Ia terkepung oleh Sin Liong dan Pak Beng, dua-duanya musuh sangat liehay. Habis menangkis ia menjadi kaget sekali. Tak dapat ia menarik pulang pedangnya, sia-sia belaka ia mencobanya

Sin Liong liehay, ia menyerang untuk terus menempel pedang si nyonya. Di dalam hal ilmu "Menempel," ia liehay luar biasa. Melihat orang tidak dapat lolos, ia tertawa. Sebenarnya, kalau ia mau, ia bisa meneruskan menikam nyonya itu dan mungkin orang terlukakan, akan tetapi ia sudah tidak berbuat demikian, ia mau memberi jasa kepada Kiauw Pak Beng, ia ingin mendapat muka dari jago tua itu, ia mau membiarkan Pak Beng yang membunuhnya. Pak Beng hendak menuntut balas jiwa puteranya.

Leng In Hong telah menyusul, ia kaget. Ia tahu Sin Tjoe terancam bahaya. Oleh karena tidak ada jalan, sebelum datang dekat, ia menyerang dengan menimpuk dengan pedangnya Ia mengarah punggung Kiauw Pak Beng, yang sudah lompat ke arah Nyonya Seng Lim.

Pak Beng liehay, ia mendengar suara angin menyamber. Tanpa menoleh, ia menjejak tanah, untuk berlompat melewati pohon di samping. Ia tidak ungkulan menangkis timpukan yang sangat berbahaya itu.

Pedang In Hong meluncur terus, baru berhenti setelah menancap pada sebuah pohon.

Pak Beng berlompat terus, hingga ia datang dekat pada Sin Tjoe. Jarak di antara mereka berdua tak ada tiga tombak lagi.

Juga Koan Sin Liong telah ada yang serang seperti Pak Beng itu. Ia tertawa belum berhenti ketika serangan itu datang. Ia merasakan dorongan angin yang keras sekali. Tidak ayal lagi, ia menyerang ke belakang. Lalu ia terkejut. Serangannya itu seperti serangan pada tembok kokoh tegar, sasarannya itu tak bergeming.

"Kau rebahlah!" begitu ia mendengar bentakan habis ia menghajar ke belakang itu. Ia terkejut, lantas ia tidak berdaya lagi. Ia satu jago tetapi ia dengar kata, tubuhnya lantas roboh terjengkang!

"Han Lootjianpwee!" terdengar In Tiong memanggil, suaranya nyaring dan bernada kegirangan.

Penyerangnya Koan Sin Liong itu ialah Sinkoen Boetek Han Tiat Tjiauw si Kepalan Tak Tandingan, tjiangboendjin, atau ketua, dari Binsan Pay. Kalau Koan Sin Liong melawan dia dengan pedang, ia mungkin bisa melayani sampai lima puluh jurus, tapi ia lagi menempel pedang Sin Tjoe, terpaksa ia menangkis dengan tangan kosong. Maka tempo ia diserang pula, ia roboh tak ampun lagi.

Ketika itu Kiauw Pak Beng telah menyandak. Dia telah melihat apa yang sudah terjadi.

"Kau pun roboh!" dia berteriak padaHan Tiat Tjiauw, yang dia serang dengan pukulan Sioelo Imsat Kang tingkat ke sembilan. Serangan itu keras sekali dan hawanya pun dingin luar biasa.

"Kau lihat siapa yang roboh!" kata Tiat Tjiauw sambil tertawa. Ia tidak takuti serangan orang, ia segera menangkis.

Ketua Binsan Pay ini telah berlaku keliru dengan ia mengasi dengar suaranya. Justeru ia membuka mulut, justeru hawa dinginnya Pak Beng menyerang masuk ke dalam mulutnya itu. Ia kaget dan gelagapan. Berbareng dengan itulah kedua kepalan beradu satu dengan lain.

Hebat bentrokan itu, Pak Beng terhuyung mundur tiga tindak. Tiat Tjiauw sebaliknya, kecuali dia terhuyung-huyung hampir jatuh, tubuhnyajuga menggigil keras.

Kiauw Pak Beng tidak menggubris perintahnya itu. mau terus mengejar pula Sin Tjoe. Nyonya itu sembunyi di belakang pohon. Dalam murkanya. Pak Beng menyerang keras kepada pohon yang menjadi penghalang di depannya itu.

"Bruk!" demikian pohon itu roboh ambruk.

Habis itu, Pak Beng berlompat. Sin Tjoe terpegat pohon itu.

Tiat Tjiauw terperanjat, ia menyamber dengan tangannya. Apamau. ia tak punya tenaga lagi, tangannya tidak sudi turut perintahnya. Pak Beng tidak kena terjambret.

Syukur Pak Beng lagi mengarah Sin Tjoe, coba dia menyerang pula, ketua Binsan Pay ini bisa menemui ajalnya.

"Kau masih memikir untuk lolos?" Pak Beng bentak Sin Tjoe. Ia lompat seraya mengulur tangannya yang panjang.

Tengah isterinya Seng Lim itu terancam bahaya maut, di antara mereka terdengar satu siulan yang lama dan nyaring, di situ cuma ada Sin Tjoe dan Pak Beng berdua tetapi Pak Beng mendengar suara ini: "Kau membanggakan diri sebagai seorang guru besar yang tidak ada tandingnya, kau justeru menghina seorang anak perempuan, apakah kau tidak malu?"

Pak Beng terkejut hingga tercengang. Dengan begitu dengan sendirinya serangannya kepada Sin Tjoe menjadi tertunda Ia bukan kaget disebabkan suara itu. yang di kirim menurut ilmu "Tjoanim djipbit," suara yang dari jauh seperti terbawa angin sampai di telinganya orang yang dimaksudkan. Ia kaget sebab ia kenali orang yang mengasi dengar suara itu. Ialah musuh besarnya yang satu-satunya: Thio Tan Hong!

Benar di saat itu muncullah Tan Hong itu, yang nerobos di antara pepohonan. Paling nyata ialah pakaiannya yang putih.

"Soehoe!" Sin Tjoe berteriak ia telah melihat gurunya itu. Ia girang hingga ia menangis.

Pak Beng mengawasi, ia heran atas datangnya orang, yang seperti tak terlihat munculnya.

Tan Hong bertindak dengan sabar, ketika ia berkata kepada muridnya, ia tertawa. Katanya: "Sin Tjoe, bukankah ini yang pertama kali kau kena dihinakan orang? Baiklah, gurumu akan mencoba membikin lampias penasaranmu ini!"

Pak Beng tidak takut, sembari tertawa ia mendahului bicara. Ia tidak mau menunggu sampai ditegor. Ia kata: "Ketika dulu hari kita bertempur di kuil Hianbiauw Koan di Seesan, aku si orang she Kiauw telah mendapat kefaedahan yang tak kecil, selama dua tahun, tak pernah aku melupakannya! Dulu hari itu aku pernah berjanji terhadapmu, yaitu asal mendapat kemajuan satu dim saja, aku akan membikin kunjungan kepada kau untuk memohon pengajaran pula dari kepandaian kau yang istimewa, maka syukur sekali hari ini kau datang kemari tanpa diundang! Inilah ada baiknya untuk aku, sebab aku jadi dapat menghemat segalanya, tak usah aku pergi membikin perjalanan jauh ke bukit Tjhongsan! Thio Tan Hong, kau boleh utarakan apa saja yang kau kehendaki! Aku si orang she Kiauw, aku bersedia menerima baik cara apa juga! Hanya sebelum kita bergerak, ingin aku memberi penjelasan lebih dulu. Kau mengatakan aku menghina muridmu! Hm! Hm! Kau hendak melampiaskan penasarannya muridmu, bagaimana dengan aku? Kau tahu, anakku terbinasa secara kecewa! Apakah aku si orang she Kiauw tak dapat membalaskan sakit hati anakku?" *

Mendengar itu, Sin Tjoe tertawa mengejek.

"Siluman tua bangkotan she Kiauw!" katanya tanpa menanti gurunya menyahuti, "apakah benar-benar kau menyangka aku yang membinasakan anak mustikamu itu?"

Kiauw Pak Beng mementang kedua matanya lebar-lebar.

"Jikalau bukannya kau, siapa?" tanyanya bengis.

"Orangmu sendiri!" sahut Sin Tjoe. "Dialah Yang Tjong Hay!"

"Ngaco belo!" Pak Beng berseru. "Mana bisa Yang Tjong Hay membinasakan Siauw Siauw? Laginya dia terang-terang telah terkena bunga emasmu! Apakah kau tetap menyangkal?"

Sepasang alisnya Sin Tjoe terbangun. Dia mendongkol bukan main.

"Jikalau kau tidak percaya, terserah padamu!" ia berseru. "Anakmu itu memang bagian mampus! Taruh kata benar aku yang membinasakan, dia pantas menerima bagiannya itu!"

Matanya Pak Beng menjadi merah seperti bara, tetapi di depan Tan Hong, ia tidak berani segera menurunkan tangan jahat terhadap nyonya muda itu.

Thio Tan Hong tidak gusar menghadapi peristiwa di depannya itu, sebaliknya, ia tertawa, la kata dengan tawar: "Kiauw Pak Beng, jangan gusar dulu! Coba kau lihat di sana, siapa itu yang lagi mendatangi?"

Pak Beng lantas menoleh.

Dari dalam rimba terlihat munculnya empat orang. Tiga yang di sebelah depan ialah Boetong Kiamkek Koet Kioe Gie. Thianloei Kiam In Bwee Kok dan Pangtjoe Liap Tong Tjeng dari partai Tinhay Pang dari Kanglam. Yang paling belakang yaitu Sinie Kok Tiok Koen si tabib pandai. Dan mata mereka itu, selagi mendatangi itu, merah sebagai api, tandanya mereka gusar tak kepalang kepada si orang she Kiauw.

Bukan main herannya Pak Beng, hatinya sampai berdebaran. Ia tahu baik, dengan pukulan-pukulan dari

Sioelo Imsat Kang ia telah menghajar roboh tujuh orang gagah terhitung Koet Kioe Gie bertiga ini, ia percaya mereka semua sudah terbinasakan, siapa tahu mereka ini bertiga masih hidup.

"Sayang aku berlaku hemat dengan tenagaku." pikirnya, menyesal, "aku cuma menyerang dengan tenaga tingkat ke lima dari Sioelo Imsat Kang..." Tapi segera ia berpikir lebih jauh: "Dengan tenaga dalam mereka ini bertiga, taruh kata mereka dapat hidup, mereka mestinya terus-terusan batuk-batuk dan bernapas sesak, tidak nanti mereka menjadi begini segar bugar seperti sediakala. Kok Tiok Koen dijulukkan Sinie, tetapi tidak nanti dia dapat menyembuhkan begini cepat! Ah, tidak bisa lain, mereka tentu ditolong Tan Hong, yang sudah mengusir hawa beracun dari dalam tubuh mereka. Kalau begini, meskipun aku telah mencapai Sioelo Imsat Kang tingkat ke sembilan, mungkin aku tidak bisa merebut kemenangan..."

Thio Tan Hong mengawasi tajam pada jago Sioelo Imsat Kang itu.

"Muridku ini belum pernah omong dusta!" katanya nyaring, "tetapi karena kematian anakmu itu sukar dicari saksinya, tak usahlah aku banyak omong lagi untuk membantahnya. Baiklah, kau boleh anggap saja anakmu benar dibunuh muridku! Tapi kau dengar! Dengan tangan dingin kau telah membinasakan empat belas orang Kangouw yang kenamaan, di antara mereka itu, setiap orangnya tak ada satu yang kurang berharganya daripada anakmu, bahkan jauh melebihkannya! Oleh karena yang satu hendak dibikin impas dengan jiwa anakmu, sekarang kau masih berhutang tiga belas jiwa lagi!"

Pak Beng tidak dapat menyangkal atau membantah lagi, akan tetapi dia sudah norek, maka sepasang matanya mendelik.

"Memang aku yang membunuh mereka itu, habis kau mau apa?" dia kata dingin. "Jangan kata baru tiga belas jiwa mereka, sekalipun seratus tiga puluh jiwa, aku akan mengakuinya, aku akan bertanggung jawab atasnya! Jikalau kau dapat menagih jiwa, kau tagihlah! Thio Tan Hong, apakah sekarang juga kita bertanding?"

Thio Tan Hong menunjuki sikapnya yang keren dan agung. Ketika iamemberikan jawabannya, ia berlaku sabar.

"Dulu hari di waktu bertempur Di kuil Hianbiauw Koan di Seesan, aku tidak mau menang sendiri daripada kau," sahutnya. "Sekarang begitu juga, tetap aku tidak mau menang sendiri. Dulu hari itu kau habis menempur hebat Hek Pek Moko, aku berikan kau pil Siauwhoan Tan untuk kau dapat memulihkan tenagamu. Sekarang pun kau baru saja melayani ketiga toasintjeng, maka seperti dulu hari itu. suka aku memberikan sebuah pil lagi, habis makan itu, kau boleh beristirahat secukupnya. Dengan begitu, setelah menempur aku, andaikata kau mati, kau tidak akan menyesal dan penasaran!"

Habis berkata, Tan Hong mengeluarkan peles obat, akan mengambil sebutir obat, sambil disentil dengan kedua tangannya, ia meluncurkan itu kepada Pak Beng.

Kiauw Pak Beng sekarang bukannya Kiauw Pak Beng dulu hari itu. Benar dia habis menempur ketiga pendeta dari Siauwlim Sie tetapi tenaganya yang dia pakai cuma kira-kira tiga bagian, hingga .itu taklah berarti banyak untuknya. Sebenarnya tak ingin ia menerima pil itu, tetapi ia mendengar kata-kata terakhir dari Tan Hong, supaya ia mati "tak menyesal dan penasaran," hatinya menjadi panas, la merasa kata-kata itu benar. Maka tanpa merasa ia menyambuti obat Siauwhoan Tan itu.

Ia lantas mendengar pula perkataannya Thio Tan Hong, yang melanjuti bicara dengan setiap kata-katanya terdengar jelas sekali.

"Dulu hari itu kejahatan kau masih belum terlihat tegas," kata orang she Thio itu, "maka suka aku memberi ketika padamu untuk kau mengubah perbuatanmu yang keliru, untuk kau memperbaiki diri. tetapi sekarang —— kali ini kita bertempur, aku tidak akan menaruh belas kasihan lagi! Itu artinya, jikalau bukan kau yang mati, tentulah aku!"

Mukanya jago tua itu menjadi pucat, tapi hanya sebentar, segera dia tertawa bergelak-gelak.

"Aku si orang she Kiauw berani muncul pula di muka umum," ia kata, keras, "dan aku berani menempurpula padamu, sudah pasti aku telah mengambil keputusan untuk kita bertempur hingga kau hidup atau aku terbinasa! Maka kata-katamu itu tak usahlah kau sebutkan! Kau telah melepas budi besar padaku dengan kau memberikan obatmu yang mustajab, untuk itu tidak berani aku menghaturkan terima kasihku. Sebentar aku si orang she Kiauw pasti akan melawan kau dengan aku akan mengeluarkan semua tenaga dan kepandaianku, pasti aku tidak bakal membuat kau hilang harapan dan kecewa! Haha, Thio Tan Hong, kau hebat sekali, pantas orang menyebutmu sebagai tayhiap, seorang pendekar. Sebentar tak perduli aku terbinasa di tanganmu atau kau terbinasa di tanganku, terangnya aku telah mengagumimu!"

Benar-benar Kiauw Pak Beng kagum terhadap lawannya itu. Habis berkata itu, dihadapan orang banyak itu, yang mengawasi tajam padanya, ia lantas telan obat Siauwhoan Tan dari Tan Hong.

Tatkala itu semua orang sudah berkumpul, tak terkecuali ketiga toasintjeng, pendeta-pendeta dari Siauwlim Sie, yang sudah pulih kesehatannya. Mereka menemui Tan Hong sambil mendahului berkata: "Kami malu sekali..."

Tan Hong sebaliknya lantas bilang: "Aku telah datang terlambat satu tindak, hampir aku membikin gagal urusan besar, aku pun telah membikin capai kepada sintjeng bertiga, aku menyesal sekali. Sintjeng bicara tentang malu, aku terlebih-lebih malu lagi. Baiklah sintjeng ketahui, hantu ini sudah berhasil meyakinkan Sioelo Imsat Kang tingkat ke sembilan, sintjeng dapat melayani mereka dengan tidak kurang suatu apa, itu tandanya tenaga dalam sintjeng sangat mengagumi, kamu membuatnya aku tunduk!"

Tan Hong tidak bicara merendah. Sehabisnya menolongi Koet Kioe Gie, In Bwee Kok dan Liap Tjeng Tong bertiga, benar-benar ia telah mengurbankan tenaga dalamnya tidak sedikit, karena itu insaflah ia hebatnya Sioelo Imsat Kang tingkat sembilan dari Kiauw Pak Beng itu.

Thio Tan Hong berlaku jujur dan sebagai laki-laki sejati ketika ia membagi obat mujarab kepada Kiauw Pak Beng. Pula perbuatan itu ada baiknya untuknya. Ia membutuhkan waktu sebanyak bisa untuk ia diam-diam menyalurkan tenaga dalamnya, guna dikumpul pula, guna membikin ia segar seperti sediakala.

Ketika itu orang-orang gagah yang hendak menghadiri rapat telah tiba. Tadinya mereka berjalan bersama Thio Tan Hong, tetapi sebab Tan Hong dan Han Tiat Tjiauw mendengar suara pertempuran, dua orang ini lantas mendahului, untuk melihat, dengan begitu mereka jadi ketinggalan.

Kiauw Pak Beng girang sehabisnya ia makan pil Siauwhoan Tan pemberian Tan Hong. Ia merasa sangat nyaman. Jalan darahnya tersalur baik sekali, pernapasannya menjadi lega. Maka ia menduga, untuk menjadi segar seperti sediakala cukup asal ia dapat beristirahat setengah jam. Karena ini ia lantas berpikir sambil matanya menyapu ke seluruh arah.

"Thio Tayhiap telah mengundang begini banyak orang pandai, sungguh kedatangan mereka menambah bukan sedikit kegembiraan untuk pertemuan ini," katanya kemudian. "Aku si orang tua juga mempunyai beberapa sahabat Rimba Persilatan, dengan pertempuran kita ditunda untuk sementara waktu, aku pikir mengecewakan buat membiarkan mereka duduk menantikan saja, pasti mereka menjadi iseng sekali. Oleh karena itu, menurut aku, bukankah tidak ada halangannya untuk mereka itu memilih sendiri tandingannya guna bertempur terlebih dulu? Bagaimana pikiran tayhiap?"

"Benar," Tan Hong menjawab. "Jikalau sahabat-sahabat Kiauw Loosianseng sudi main-main secara sahabat, guna melatih diri, tidak ada halangannya apa juga."

Baharu berhenti suaranya Tan Hong itu maka dari sampingnya Pak Beng muncul seorang dengan tubuh kate dampak, terus saja dia berkata nyaring: "Sudah lama aku mengagumi julukan Nona Ie sebagai Sanhoa Liehiap, sekarang aku si orang she Tjoei yang bodoh, suka aku minta Nona Ie mengadu senjata rahasia!"

Dialah Tjoei Poo San, orang yang tadi di lereng gunung menggunai pahat terbang melakukan pembokongan.

Diam-diam Kiauw Pak Beng girang sekali. Orang she Tjoei itu saudara angkat dari Le Kong Thian. Dia sudah lama mengandung keinginan buat mengangkat ia menjadi guru. Dia tahu ia membenci Ie Sin Tjoe sebab Nona Ie dituduh sudah membunuh Kiauw Siauw Siauw. maka dia memikir menggunai ketika baik ini membinasakan Nyonya Yap Seng Lim itu. Dia sudah pikir baik-baik, setelah dia membinasakan Sin Tjoe, dia akan mengajukan permintaannya itu. Dia akan minta tunjangannya Kong Thian. Dia menduga pasti ia tidak bakal menampik. Ia dapat membade hati orang, dari itu ia mengawasi dengan sinar matanya yang menganjuri aksi orang itu.

Thio Tan Hong tidak berkeberatan muridnya ditantang, akan tetapi ia kuatir muridnya tidak kenal siapa penantang itu, maka ia berkata: "Sin Tjoe, kau tahu. di jaman ini. di kolong langit, ada dua ahli senjata rahasia yang paling kenamaan! Yang satu yaitu Keluarga Tong di kecamatan Bankoan di propinsi Soetjoan. yang lainnya Keluarga Tjio di Pooteng. Hoopak. Dan ini Tjoei Boesoe adalah muridnya Tjhoengtjoe Tjio Sam Tay dari dusun Tjio Keetjhoeng dari Pooteng itu. Sekarang baik-baiklah kau mohon pengajaran dari Tjoei Boesoe!"

Sin Tjoe tertawa. "Dengan kepandaiannya Tjoei Boesoe, aku pernah belajar kenal satu atau dua kali!" katanya, "karena itu tak usahlah soehoe memesan, muridmu tahu bagaimana harus menemani dia main-main."

Tjoei Poo San mendengar pembicaraan di antara itu guru dan muridnya, ia menjadi tidak senang. Ia mendapat kesan orang sangat tidak memandang mata terhadapnya.

"Sebentar kau tahu rasa!" katanya dalam hati.

Kedua pihak sudah lantas berdiri berhadapan sejarak tiga tombak satu dengan lain.

"Silahkan, Ie Liehiap!" kata Poo San hormat.

"Tuan rumah tak mendahului tetamu, silahkan kau yang mulai, Tjoei Boesoe." sahut Sin Tjoe.

Tjoei Poo San tidak berlaku sungkan, baru si nona menyahutnya "Silahkan," ia sudah lantas menyerang. Sebatang pusutnya sudah lantas terbang menyamber. Ia telah tidak menghiraukan bahwa perbuatannya ini dapat merendahkan dirinya sebagai seorang kenamaan.

Biar bagaimana, itulah satu cara membokong. Sedang serangannya itu pun telah dipikir matang dan dengan inceran.

Sin Tjoe tidak menjadi kaget karena dibokong dengan cara itu. Ia bahkan tertawa. Sebuah kimhoa, bunga emasnya, sudah lantas terbang, menyambuti senjata rahasia musuh. Hingga kedua senjata bentrok di tengah jalan, keduanya lantas jatuh ke tanah, hanya bunga emas masih melesat ke samping, hinggajatuhnya jadi belakangan.

Kimhoa merupakan senjata terlebih kecil dan terlebih enteng, tenaganya Tjoei Poo San juga terlebih besar daripada tenaganya si nyonya muda, akan tetapi kedua senjata bentrok dengan kesudahan si kecil yang menang, kejadian itu dapat dilihat oleh orang-orang gagah kedua pihak, mereka lantas mendapat tahu Sin Tjoe menggunai tipu silat "meminjam tenaga untuk memukul tenaga." Maka itu lantas orang bersorak memuji.

Air mukanya Poo San tak berubah, ia pun turut memuji: "Bagus!" Di dalam hati, ia sebenarnya terkejut dan mendongkol. Sudah kepalang tanggung, ia menyerang pula tanpa mau memberi ketika pada lawannya. Ia menyerang beruntun dengan tiga potong senjata rahasianya, masing-masing mengarah jalan darah yangpek di alis. lenghoe di dada, dan kiauwim di iga. Serangan pun terlebih hebat daripada yang pertama

Sin Tjoe melihat serangan itu, ia menimpuk dengan enam biji bunga emasnya. Setiap dua buah Kimhoa dipakai menyambut sebatang senjata lawannya Kali ini ia mengambil sikap tak meruntuhkan senjata lawannya itu, ia cuma menyambutnya membikin ketiga senjata itu nyasar dari sasarannya. Ia tahu, lawan tentu menggunai tenaga luar biasa besar.

"Benarlah nama kesohor dari Sanhoa Liehiap!" Tjoei Poo San berseru memuji. "Nah, sambutlah lagi sekali!"

Kata-kata itu dibarengi dengan ulapan tangan, setiap tangan menerbangkan tiga batang, akan tetapi di waktu menyerang, masing-masing ke atas, ke tengah dan ke bawah, dari itu, Sin Tjoe diserang dengan masing-masing sepasang pusut. Pula setiap sepasang pusut terpecah ke kiri dan kanan, hingga ia menjadi terkurung.

Membela diri dari serangan sangat berbahaya itu, Sin Tjoe menangkis sambi! tubuhnya berlompat tinggi, dalam gerakan "Cecapung terbang menowel air" atau "Kupu-kupu menembusi bunga." Ia dapat membebaskan diri, sedang senjata musuh menghantam tanah, hingga debunya mengepul, hingga pakaiannya kena terkotorkan. Para penonton kaget dan kagum. Tjoei Poo San tertawa menyeringai, sebelum Sin Tjoe menaruh kakinya di tanah, dia sudah menyerang pula sambil menyerukan: "Bagus! Sambutlah pula!" Kali ini tangannya terulapkan dengan meluncurkan sebuah barang bundar sebesar kepalan, menyambernya pun menerbitkan suara "swing!" Sasarannya adalah kepala lawannya Akan tetapi, sebelum mengenai sasarannya, tepat di atasan kepalanya Nyonya Yap. senjata itu lantas meledak sendirinya hingga meletiklah banyak lelatu seperti kembang api!

Jadinya senjata rahasia itu senjata yang dicampuri barang meledak seperti peluru.

Sin Tjoe terkejut, dengan sebat ia lompat melesat ke kanannya. Untuk ini ia memiliki kepandaian ringan tubuh yang sempurna.

Tjoei Poo San sudah menduga orang bakal menyingkir ke arah mana, tepat si nona lompat ke samping itu, ia menimpuk pula. Sekarang ia menggunai Bweehoa tjiam, jarum "Bunga Bwee," yang halus seperti bulu kerbau. Hingga sulitlah senjata halus itu ditangkisnya


Menampak demikian, Sin Tjoe lantas menyerang dengan kedua tangannya. Ia menggunai tenaga dalamnya, yang pun sudah mahir. Ia bukannya menangkis, hanya membarengi menyerang, untuk mempunahkannya. Maka itu. belum lagi jarum-jarum itu mengenai tubuhnya, semuanya telah kena tersampok balik, semua jatuh ke tanah.

Di saat si nyonya menyerang jarumnya itu. hingga orang pun tak nanti sempat menggunai bunga emasnya, kembali Tjoei Poo San sudah mendahului menyerang terlebih jauh. Dia telah menggunai dua-dua tangannya, yang diulapkan berbareng. Bahkan kali ini ia menggunai senjata rahasia paling istimewa dari Keluarga Tjio. yaitu dua belas batang Tokliong Tjoei, pusut Naga Beracun, sebab semuanya senjata rahasia itu telah dicelup dalam bisa!

Itulah bukan lagi pertandingan senjata rahasia untuk mengadu kepandaian, itulah sama dengan percobaan merampas jiwa, untuk membunuh. Melihat demikian maka beberapa penonton yang keras tabiatnya lantas mengasi dengar cacian mereka

Dalam pada itu, diserang secara demikian telengas, Ie Sin Tjoe tidak berdiam saja. Ia berlompat untuk melindungi dirinya, tubuhnya terapung. Orang terkejut melihat dia seperti menghampirkan tiga buah pusut yang membawa bahaya maut itu. Hanya ia bukan memasang dirinya sebagai sasaran, ia justeru berjumpalitan, hingga senjata rahasia lewat di tempat yang kosong. Itulah suatu tipu dari "Tjoanhoadjiauwsie," ilmu "Menembusi Bunga Memutari Pohon." Ia juga bukan cuma main lompat jumpalitan, sembari berjumpalit itu, tangannya menghunus pedangnya, maka dengan pedang itu ia sekalian menyampok pusut lainnya. Ia menyampok dengan pukulan "Tianghong Kengthian," atau "Bianglala Melintang! Langit," sinar pedangnya berwarna hijau. Maka terdengarlah berulangkali suara nyaring, tandanya pelbagai pusut kena dirabuh runtuh pedang itu. sedang enam yang lainnya lewat tanpa hasil.

Lantas si nyonya berseru: "Jikalau ada kunjungan tak dibalas, itu namanya kurang hormat! Kau juga sambutlah bunga emasku!" Belum lagi ia turun ke bawah, sebelah tangannya sudah terayun. Itulah timpukan "Thianlie Sanhoa," atau "Bidadari menyebar bunga." Tidak kepalang tanggung, ia menyebar sama sekali dua puluh empat buah kimhoa!

Pusutnya Tjoei Poo San, semuanya berjumlah dua puluh empat potong. Pertama kali ia menyerang, ia menggunai satu biji, kedua kalinya tiga biji, ketiga kalinya enam biji, lalu ke empat kalinya dua belas biji, jumlah sudah dua puluh dua, maka itu ia masih menyimpan sisanya dua potong. Tentu sekali dengan sisa dua potong itu ia tidak dapat menangkis dua puluh empat kimhoa si nyonya, maka terpaksa ia menggunai lain macam senjata rahasia ialah tiat poutee atau biji boddhi dari besi. Kali ini ia cuma mengharap dapat meruntuhkan semua senjata rahasia lawannya, sebab tak ada kesempatannya guna menyerang pula.

Kelihatannya kimhoa Sin Tjoe kacau tetapi sebenarnya serangan itu ada sasarannya. Maka juga, ketika kimhoa kena dihajar tiat poutee, selagi biji boddhi besi itu terus jatuh, kimhoa mental nyamping menyamber terus!

Tjoei Poo San kaget bukan main. Untuk menolong diri, lupalah ia bahwa ialah seorang yang berkenamaan. Tadi pun ia melupakan nama baiknya ketika pertama kali ia menyerang separuh membokong. Ia tidak mau menangkis lagi dengan senjata rahasianya, hanya ia menjatuhkan diri untuk terus bergulingan di tanah. Tak malu ia dengan keadaannya yang menyedihkan itu. Walaupun demikian, meski juga ia sangat gesit, ia masih tidak dapat membebaskan diri seluruhnya. Ia mengeluarkan jeritan yang menyayatkan hati ketika tujuh buah kimhoa nancap di tubuhnya, hingga tubuhnya tak dapat bergulingan terlebih jauh, sebaliknya ia mesti berkoseran!

Kimhoa-nya Sin Tjoe mengenai otot-otot di tangan dan kaki, putuslah semua otot yang menjadi kurban itu, benar Poo San tidak sampai terbang nyawanya, tetapi lukanya itu tak dapat ditolong lagi, yaitu otot-ototnya tidak bisa disambung pula maka selanjutnya habislah ilmu kepandaiannya

Thio Tan Hong mengurut-urut kumisnya. Ia bersenyum. Ia kata dalam hatinya: "Sin Tjoe bertindak rada telengas, tetapi tak apalah, karena jahanam she Tjoei ini telah memulainya, sedang juga, sebagai muridnya guru silat kenamaan -- dan dia sendiri berkenamaan juga —— dia sudah membantu orang jahat, jadi dia pantas menerima ganjarannya ini!"

Tan Hong girang karena ia mendapat kenyataan kepandaian muridnya ini telah melebihkan isterinya —— In Loei —— dulu hari itu.

Le Kong Thian sudah lantas lari ke tengah gelanggang, guna mengangkat pergi saudara angkatnya itu, guna ditolongi.

Kiauw Pak Beng kaget dan gusar. Hebat kesudahannya pertandingan itu. Ia. tengah memulihkan kesegarannya, hampir ia tersesat saking kaget dan murkanya itu. Syukur ia lekas dapat menenteramkan diri. Ia pun pikir: "Sekarang ini yang paling penting ialah merobohkan Thio Tan Hong! Buat apa aku perdulikan Tjoei Poo San hidup atau mati?" Maka ia berdiam terus.

Justeru itu, Tek Seng Siangdjin mengajukan diri.

"Pada sepuluh tahun dulu." katanya nyaring, "aku pernah menerima pengajarannya kedua tayhiap Thio dan In, dan selama sepuluh tahun itu, tak pernah aku melupakan budi besar itu, maka sekarang, ingin aku membalas budi. Oleh karena Thio Tayhiap sudah berjanji dengan Kiauw Loosianseng, baiklah, sekarang aku ingin minta menambah pelajaran dari In Tayhiap, sedikitnya untuk beberapa jurus!"

Ketika sepuluh tahun dulu Tan Hong dan In Tiong mengacau di dalam istana, In Tiong telah membinasakan Tokliong Tjoentjia, sahabatnya Tek Seng Siangdjin. dan Tek Seng sendiri bertempur seri dengannya, maka juga sekarang orang suci ini berani mengajukan tantangan. Selama sepuluh tahun ia telah berlatih keras, ia percaya ia sudah memperoleh kemajuan. Jadi sekarang tepat waktunya untuk ia mencari balas sekalian membalaskan juga sakit hati sahabatnya itu.

In Tiong tertawa mendengar tantangan orang.

"Aku pun mengandung serupa maksud!" katanya. "Dulu hari itu belum terdapat kepastian siapa kalah, maka hari ini mesti ada hasil kesudahannya! Siangdjin, silahkan kau maju!"

"Terima kasih!" mengucap Tek Seng sambil segera ia menyerang dengan "Tek Seng Tjioe," pukulan "Memetik Bintang." Ia bergerak sangat cepat dan jitu incarannya. Selagi menyerang itu, ia membuka lima jari tangannya, guna dipakai menjambak. Jikalau ia berhasil, ia akan melukai musuh hingga ludaslah tenaga melawan dari musuhnya itu.

"Bagus!" In Tiong berseru kapan ia melihat cara menyerangnya si orang suci. Ia bukannya berkelit atau menangkis, ia justeru meluncurkan tangannya untuk menghajar. Ialah menyambuti serangan dengan terjangan!

Tek Seng terperanjat. Ia melihat orang bergerak lambat, akan tetapi kesudahannya, ia merasai penolakan keras. Dengan lekas ia menarik pulang tangannya, dengan sebat ia berkelit. Tapi ia gagal. Tangannya In Tiong mampir pada pundaknya, hingga ia merasakan sakit sampai di ulu hatinya!

Selama sepuluh tahun itu, In Tiong ada bersama Thio Tan Hong, maka itu latihannya maju secara luar biasa. Itu artinya, ia punya ilmu Taylek Kimkong Tjioe telah memperoleh tambahan tenaga dalam yang lurus dari Tan Hong, hingga sekarang ini ia tak usah kalah dari ketiga toasintjeng, ketiga pendeta dari Siauwlim Sie itu.

Tek Seng menyangka, setelah digempur Kiauw Pak Beng. tenaganya In Tiong pasti berkurang, atau orang terluka hawa dingin Sioelo Imsat Kang, siapa tahu, dugaannya itu meleset.

Memang benar, tenaga In Tiong berkurang dua bagian tetapi sisanya masih cukup untuk menandingi si orang suci.

In Tiong tidak berhenti dengan serangan yang pertama itu, lalu ia mengulangi buat kedua kalinya, bahkan kali ini dengan tenaga yang diperlipat besarnya.

Para hadirin telah melihat tegas, dalam halnya tenaga dalam, In Tiong lebih unggul daripada Tek Seng Siangdjin, maka itu menyaksikan serangan ulangan itu, mereka menduga si orang suci tak bakal lolos dari tangannya orang she In itu. Melainkan Tan Hong, menampak cara menyerangnya ipar itu, ia menggoyang-goyang kepala.

Segera juga orang mendengar satu suara nyaring. Lantas terlihat tubuh Tek Seng terpental hingga setombak lebih. Sebaliknya In Tiong, dia terhuyung dua tindak.

Hebat In Tiong. Ia berseru, tubuhnya teras berlompat. Ia hendak mengulangi lebih jauh serangannya. Ia seperti tak sudi mengasi hati kepada lawannya.

Dari antara para penonton, tujuh sampai delapan bagian tak ada yang melihat jelas apa yang terjadi. Mereka itu menyangka Tek Seng telah terhaj ar hehat. Tapi yang dua bagian, orang-orang yang terpandai, melihat tegas justeru In Tiong yang terkena tangannya si orang pertapaan. Maka juga mereka ini menjadi heran dan di pihak In Tiong, orang terkejut.

Thio Tan Hong pun melihatnya, tetapi dia aneh, kalau tadi dia menggeleng kepala menampak In Tiong mendesak, sekarang dia bersenyum. Sama-sama toh ln Tiong yang menerjang pula.

Thio Giok Houw mendampingi gurunya itu. ia heran akan sikapnya sang guru. Tapi ia mengerti baik sekal i, tak nanti tak ada sebabnya kenapa guru itu bergirang. Ia tidak berani mengajukan pertanyaan kepada gurunya, hanya di dalam hati, ia pun girang. Ia percaya In Tiong bakal mendapat kemenangan.

Sebenarnya, dalam sepuluh tahun ini, Tek Seng Siangdjin telah memperoleh kemajuan berarti. Dia mengambil pokok cepat, telengas dan banyak perubahan. Maka mengenai keringanan tubuh, atau kegesitan, dia menang daripada In Tiong. Demikian hasilnya barusan disebabkan di saat sangat genting itu ia menunjuki kesehatannya. Dia yang diterjang tetapi dia yang beruntung dapat menghajar penyerangnya. Itulah terjadi saking gesitnya iarrfenggeraki tubuhnya guna mementahkan diri.

Hanya karena In Tiong menang tenaga dalam, kedudukannya jauh terlebih kokoh kuat. In Tiong kena terhajar sebelah tangan musuh, dia tergempur, tubuhnya terhuyung. Tidak demikian dengan Tek Seng, meski dia yang berhasil, diajugayang terpental jauh. bahkan telapakan tangannya terasakan sangat sakit. Karena itu, ln Tiong penasaran, tak mau ia mensia-siakan tempo, lantas ia menerjang pula

Setelah dua gebrakan itu. Tek Seng Siangdjin mengerti baik sekali bahwa dia kalah tenaga dalam. Itu berarti tak cocoklah dugaannya bahwa dengan pukulan Siauw Lioktjhee, atau Enam Bintang Kecil, dapat ia menggempur pembelaan diri In Tiong. Oleh karena ini, ia menjadi jeri sendirinya. Tapi ia pun insaf bahwa ia sudah menunggang harimau, tak dapat ia turun dengan begitu saja. Terpaksa ia mesti menggunai segala kebisaannya guna melayani terus pada musuh yaug ia tantang itu.

In Tiong terhajar lawan, ia menerjang pula. Berhubung dengan terhajar itu, ia menggunai pikirannya. Ia kata dalam hati kecilnya: "Ketika soehoe mengajari aku Kimkong Tjiang, ia pernah membilangi bahwa ilmu silat itu keras sekali, di waktu dipakai bertempur, dapat terjadi karena sangat ingin menyerang musuh, pembelaan diri jadi teralpakan. Itulah satu cacat. Tan Hong juga sering menunjuki aku kelemahan ini. Aku selalu ingat pengajaran soehoe dan Tan Hong tetapi aneh di waktu bertanding, kenapa aku melupakannya?"

Oleh karena keinsyafan ini, In Tiong lantas menukar siasat. Ia maju tapi tak lupa ia pada pembelaan diri. Demikianlah, hebat serangannya tapi rapat tubuhnya terlindung.

Tek Seng Siangdjin membebaskan diri dari terjangan barusan, habis itu, ia melakukan penyerangan membalas. Sekarang ia menghadapi kesukaran. Tidak ada lagi lowongan seperti tadi hingga walaupun ia diserang, ialah yang berhasil meninju musuh. Sekarang ia seperti digabruki pintu, sia-sia belaka ia mencoba mendesak.

Di dalam waktu yang singkat, lima puluh jurus sudah lewat. Segera setelah banyak jurus, hati Tek Seng menjadi semakin kecil. Tenaganya seperti menentang hatinya. Tak dapat ia bergerak sebal seperti kehendaknya. Peluhnya lantas mengucur keluar umpama kata turunnya hujan deras...

"Jikalau begini terus-terusan, aku dapat mati letih..." pikirnya, bingung. Maka ia menggigit giginya atas dan bawah, ia menjadi nekad. Dengan berani ia mendesak.

In Tiong melihat desakan lawan, ia menyambut. Dengan tangan kiri ia membabat ke pinggang, dengan tangan kanan dari atas ia membacok ke bawah. Itulah pukulan Taylek Kimkong Tjiang yang liehay.

Tek Seng Siangdjin melawan juga. Ia menyambut dengan totokan jari tangan kanan, sedang dengan tangan kiri ia pun membabat, menghajar sikut lawannya itu.

Oleh karena kedua pihak sama-sama menggunai tenaganya, tangan mereka beradu keras. Akibatnya itu ialah Tek Seng Siangdjin roboh terguling ke tanah, sedang In Tiong berdiri diam dengan muka pucat dan peluhnya menetes dalam titik-titik sebesar kacang kedele.

Orang keduapihak kaget, beberapa di antaranya lompat ke dalam gelanggang, untuk menolongi jago masing-masing.

Tek Seng Siangdjin menyerang dengan dua tipu silatnya. "Tjoanin Tjie" atau jari tangan "Menembusi Mega," dan "Tek Seng Tjioe," atau tangan "Memetik Bintang." Itulah dua rupa tipu silatnya yang ia harapkan akan membawa kemenangan untuknya. Kalau ia berhasil, In Tiong dapat dibikin putus otot-ototnya dan dibetot tulang selangkanya.

Jikalau hal terjadi sebelum In Tiong insaf dan tak menjaga diri, mungkin si orang pertapaan berhasil. Sayang waktunya tak tepat lagi. lawannya sudah menukar siasat.

In Tiong melihat musuh merangsak, ia menduga musuh mesti mengandalkan sesuatu. Ia tidak mau membarengi menyerang, ia juga tidak mau lantas menangkis. Ia hanya menunggu waktu. Begitu totokan tiba, ia menyambut dengan cengkeraman. Tenaga jeriji tangannya memang kuat bagaikan baja. Tek Seng merasakan jepitan sepuluh jari tangan, habislah tenaganya saking sakitnya, seketika juga dia roboh pingsan. Tapi In Tiong pun tak bebas seluruhnya. Nadinya kena tersentil juga, benar ototnya tidak putus tetapi ia terluka dan sakitnya bukan kepalang. Maka lekas-lekas ia menelan sebutir pil Siauwhoan Tan, hingga dengan perlahan-lahan ia mendapat pulang kesegarannya.

Kiauw Pak Beng terkejut dan mendongkol melihat orangnya kembali kena dikalahkan. Ia tidak berani mengumbar kemarahannya, dari itu. ia mengerutkan alisnya. Ia lantas memikir untuk minta Koan Sin Liong yang turun tangan. Belum sempat ia membuka mulut, atau ia melihat pada pihak lawan ada seorang yang bertindak maju. Ia batalkan niatnya. Ia pun lantas mendengar suara orang pihak sana itu: "Han Tiat Tjiauw dari Binsan Pay ingin minta pengajaran dari Tiatleng Samsinkoen!"

Tiatleng Samsinkoen itu ialah tiga Sinkoen, atau Malaikat, dari gunung Tiatleng. Mereka bukan lain daripada tiga saudara kandung yang telah menjagoi di Kwangwa di tapal batas, dengan pusat kedudukannya di gunung Tiatleng, Gunung Besi, di tepi sungai Bouwtan Kang. Untuk Kwangwa, belum pernah ada tandingan untuk mereka karenanya mereka menjadi kepala besar, mereka menjuluki diri sendiri. Malaikat, singkatnya Tiga Malaikat.

Malaikat yang tertua memakai gelaran Tinthian Sinkoen, Malaikat Penunggu Langit. Yang kedua yaitu Hoenthian Sinkoen, Malaikat Pengacau Langit. Dan yang ketiga si bungsu, ialah Kengthian Sinkoen, Malaikat Mengagetkan Langit.

Kira belasan tahun yang lalu. Tinwan Piauwkiok dari Pakkhia, kota raja. telah mengantar dan melindungi piauw untuk Kwangwa. Itulah pengangkutan yang pertama kali. Di luar dugaan, piauw itu, yang berharga sejuta tahil perak, dirampas ketiga Malaikat. Kesudahannya itu, Tinwan Piauwkiok rudin dan mesti ditutup, sedang pemiliknya, atau piauwsoe kepala, In Bok Ya namanya, terluka parah, sepulangnya ia ke kota raja, karena luka atau sakitnya itu, tak lama ia meninggal dunia.

In Bok Ya itu sahabatnya Han Tiat Tjiauw, benar ia tidak meninggal pesan untuk Tiat Tjiauw menuntut balas untuknya, tetapi sebagai sahabat, orang she Han ini telah memikir untuk membikin pembalasan. Sekian banyak tahun dilewatkan Tiat Tjiauw, ia belum juga dapat kesempatan mewujudkan niatnya itu. Sebab yang terutama dari kelambatan ini, kesatu karena letaknya Kwangwa yang jauh, dan kedua, tak lama Tiat Tj iauw diangkat menjadi ketua Binsan Pay, partainya itu, hingga tak ada waktunya yang luang untuk pergi ke Bouwtan Kang. Kali ini Tiat Tjiauw dapat datang juga karena ia mendapat kabar dari pihak Kaypang, partai Pengemis, bahwa di antara orang-orang undangannya Kiauw Pak Beng ada Tiatleng Samsinkoen. Warta itu disampaikan Pit Keng Thian, yang mengutus pesuruh istimewa. Kebetulan sekali Thio Tan Hong datang mengundang, tidak ayal lagi, Tiat Tjiauw menerima baik undangan itu.

Tiatleng Samsinkoen tidak kenal Han Tiat Tjiauw, karena itu, mereka pun tidak ingat urusannya In Bok Ya. Mereka minta keterangan pada Le Kong Thian, si manusia raksasa.

"Dialah ketua dari Binsan Pay," Kong Thian menerangkan, "dia yang orang gelarkan Sinkoen Boetek Han Tiat Tjiauw. Harap saja sinkoen bertiga berhati-hati."

"Hm!" Tin Thian Sinkoen mengejek, la kata dalam hatinya: "Apa itu Sinkoen Boetek? Bukankah tadi dia tak sanggup menyambut satu hajaran saja dari Kiauw Pak Beng? Dasar ahli-ahli silat dari Tionggoan doyan ngepul!"

"Sinkoen Boetek" berarti "Malaikat Tanpa Lawan." Julukan Sinkoen itu menjadi bentrok dengan julukan ketiga Malaikat itu.

"Kalau begitu orang she Han ini ialah seorang yang berkenamaan kosong!" berkata Hoenthian Sinkoen, memandang enteng. "Hahaha! Kiranya dia pun kenal nama kita Tiatleng Samsinkoen!"

Saudara yang tua turut tertawa, juga yang bungsu. Jadi tiga-tiganya mereka memandang tak mala kepada ketua Binsan Pay itu.

Tinthian Sinkoen lantas dongak melenggak, bertiga bersama saudaranya ia maju ke tengah gelanggang, lantas dengan jumawa ia tanya: "Orang she Han, apakah kau sendiri saja?"

"Benar!" sahut Tiat Tjiauw. "Di sini ini, kecuali aku satu orang, siapa lagi yang kenal kamu?"

Jawaban itu pun berupa penghinaan halus.

Hoenthian Sinkoen tertawa lebar.

"Jadinya kau datang kemari karena kau mengagumi nama kami?" ia kata, mengejek. "Nah, kami bertiga saudara berada di sini, sekarang kau bilang, siapa satu di antara kami yang kau hendak minta tolong memberi pengajaran padamu? Baiklah kau ijinkan aku memikir dan memilihnya untukmu! Toako kami bukanlah lawan kau, dari itu baiklah kau main-main dengan aku saja!"

Hoenthian Sinkoen rada tolol, dia menyangka orang kagum terhadap mereka bertiga.

Han Tiat Tjiauw bersenyum ewah. Ia kata dingin: "Aku tidak mempunyai kesabaran untuk melayani kamu satu demi satu, sudah tentu aku mengundang kamu bertiga maju berbareng!"

Ketiga Sinkoen terperanjat, lantas yang tua menjadi gusar.

"Orang she Han, kau sangat jumawa!" bentaknya.

Justeru itu terdengar suara nyaring dari Kiauw Pak Beng: "Han Toatjiangboen seorang diri mau melayani ketiga Sinkoen, inilah pertandingan yang paling tepat, maka kita semua pastilah bakal dibuka mata kita!"

Kengthian Sinkoen, Malaikat yang termuda, adalah orang yang paling berhati-hati di antara tiga saudara itu. mendengar suaranya Kiauw Pak Beng, ia mengerti itulah pemberian ingat untuk mereka agar mereka berhati-hati. Maka ia mau menduga.

mungkin benar Tiat Tjiauw liehay. Karena ini ia lantas kata pada saudaranya: "Toako, karena Han Toaya ini menantang kita bertiga, baiklah kita menerimanya, jangan kita berlaku kurang hormat. Mari kita iringi segala kehendaknya!"

Tinthian Sinkoen juga disadarkan kata-kata Kiauw Pak Beng, tetapi dia mementang kedua matanya dan kata dengan nyaring: "Baiklah, orang she Han! Kaulah yang cari mampusmu sendiri, jangan nanti kau sesalkan lain orang! -- Kau humuslah senjatamu!"

Han Tiat Tjiauw memperlihatkan kedua tangannya yang kosong. Ia tertawa lebar.

"Selama beberapa puluh tahun, belum pernah ada orang yang menyuruh aku si orang she Han menggunai senjata!" katanya. "Kecuali sepasang kepalanku aku tidak mengerti menggunai senjata apa juga!"

Tinthian Sinkoen menjadi sangat gusar.

"Oh, tua bangka sangat terkebur!" dia berteriak. "Baiklah, aku mau lihat kau benar Sinkoen Boetek atau bukan!"

Dengan serentak, tiga saudara itu menghunus senjatanya masing-masing. Si tua ialah sebatang pedang besi yang berat, yang kedua golok yang tajam di dua mukanya, dan yang ketiga sepasang ruyung kuningan.

Di antara tiga saudara itu, Tinthian Sinkoen yang bertenaga paling besar, pedangnya itu berat empat puluh tiga kati, maka itu begitu dihunus, terdengar suara menjeredetnya yang nyaring dan terlihat sinarnya berkilauan.

"Pantas mereka terjulukkan Sinkoen," pikir Tiat Tjiauw. "iidak aneh In Bok Ya roboh ditangan mereka." Karena ini, ia mau berlaku waspada. Ketika ia diserang Tinthian Sinkoen, lantas ia berkelit, sembari berkelit, kedua tangannya terbuka, yang satu untuk mengimbangi diri. yang lain menyampok!

Hanya segebrak itu, Tinthian Sinkoen terkejut. Pedangnya telah tersampok mental. Inilah ia tidak sangka. Samberan angin tangannya lawan pun keras.

Hoenthian Sinkoen lantas bekerja. Dia membacok dengan goloknya yang bermuka dua itu, dan bacokannya ialah tipu silat "Menggempur gunung Hoasan."

Han Tiat Tjiauw berlompat ke samping kiri lawannya itu begitu golok orang mengancam kepalanya, terus dengan tangan kiri ia menyangga batang golok, sedang dengan tangan kanan ia meninju. Begitu cepat ia turun tangan, maka menjeritlah lawannya itu, yang dua tulang iganya kena dibikin patah!

Kengthian Sinkoen memutar sepasang ruyungnya untuk merangsak, guna mencegah saudaranya kena didesak. Karena ia maju dari kiri, Tinthian Sinkoen maju dari kanan, untuk menggencet.

Mau atau tidak. Tiat Tjiauw membatalkan menyerang pula pada Hoenthian Sinkoen. Ia terus mendak seraya mementang kedua tangannya dalam gerak "Menarik gendewa, memanah garuda." Dengan begitu dapatlah ia menyampok senjatanya kedua musuh itu.

Hoenthian Sinkoen si sembrono atau tolol itu berteriak: "Hai, kau hebat, ya! Nyata tenagamu lebih besar daripada tenagaku! Baiklah, julukan Sinkoen Boetek itu aku serahkan kepada kau!"

Di antara tiga saudara itu, Hoenthian paling kuat, maka kalau ia berburu ke atas gunung, biasa ia menempur biruang dengan tangan kosong, karena tubuhnya kebal, ia tak dapat dilukai cakar binatang liar itu. Sekarang ia terlukakan Han Tiat Tjiauw ia kaget berbareng kagum, saking jujurnya, ia suka mengaku kalah. Hanyalah, ia sungkan menyerah, maka itu bertiga saudaranya, ia maju pula tanpa ia menghiraukan luka di iganya itu.

Kali ini tiga saudara itu dapat berkelahi dengan rapi. Dengan berani Hoenthian merangsak. Ia mengandalkan tenaga kerbaunya. Tinthian menggunai pedangnya dengan sempurna, ia pun cerdik. Dan Kengthian dengan ruyungnya mengimbangi kedua saudaranya itu.

Han Tiat Tjiauw gagah tetapi tidak dapat ia membentur senjata tajam dengan tangan kosongnya, dalam pertempuran dahsyat itu, sering ia terdesak, tetapi lain pihak, ada kalanya ia merangsak hingga ketiga musuhnya mesti mundur dengan cepat.

Para penonton kagum sekali, mereka sampai menonton dengan melongo.

Menghadapi musuh-musuh tangguh itu. Han Tiat Tjiauw mesti menggunai kecerdikannya. Ketika ia berhasil, ia membuatnya senjata mereka itu beradu keras dan nyaring sekali.

Dengan satu kebutan, Tiat Tjiauw dapat melibat pedangnya Tinthian Sinkoen. Dengan sebat ia teruskan menyamber lengan orang, untuk ditarik hingga pedang musuh bentrok dengan ruyungnya Kengthian. Menang pedang itu, ruyung kena tertabas kutung. Selagi begitu, ia berkelit lincah ke belakang Hoenthian, maka berhasillah ia mengirim tinju ke punggung musuh itu.

Hoenthian Sinkoen kedot, tetapi tak sanggup dia bertahan dari kepalan Sinkoen Boetek, kembali dia menjerit, mulutnya terus memuntahkan darah hidup, sedang goloknya terlepas dari cekalannya.

Baru itu waktu Han Tiat Tjiauw berseru: "Apakah kamu masih ingat Piauwtauw In Bok Ya dari Tinwan Piauwkiok? Ketika itu tangan kamu semua telah berlumuran darah! Tapi hari ini aku tidak mau membunuh kamu, cukup asal kamu menggantinya dengan tiga pasang tangan kamu!"

Kata-kata itu disusul dengan gerakan yang sangat cepat, belum suaranya berhenti, tangannya sudah bergantian mematahkan kedua lengannya Tinthian Sinkoen dan Kengthian Sinkoen, setelah mana menyusul patahnya tangan kanan dari Hoenthian Sinkoen. Kepada si jujur ini ia kata: "Mengingat kau seorang laki-laki, suka aku meninggalkan sebelah lenganmu, supaya kau dapat mengurus kedua saudaramu ini!"

Tinthian dan Kengthian telah roboh pingsan karena dipatahkannya tangan mereka, sedang Hoenthian selain iganya patah dan muntah darag, dua buah giginya pun rontok hingga dia mesti mengasi dengar suara dari kesakitannya!

Hebat kekalahan itu untuk Kiauw Pak Beng. Le Kong Thian lantas menolongi ketiga Sinkoen itu.

Koan Sin Liong mengawasi Kiauw Pak Beng.

"Tunggulah lagi sebakaran sebatang hio..." kata jago tua itu perlahan. "Segera setelah tenagaku pulih, aku akan bertindak. Sekarang kau layanilah mereka untuk satu giliran..."

Terpaksa Koan Sin Liong menebalkan kulit mukanya. Dia muncul. Dia menantang Hok Thian Touw dan Leng In Hong suami isteri.

Ketika itu In Hong berdiri di sisi Tan Hong.

"Apakah kau merasa pasti?" tanya jago she Thio itu bersenyum.

"Jikalau aku melawan dia bersama Thian Touw, belum tentu kami dapat dikalahkan," berkata si nyonya muda. "hanya untuk merebut kemenangan, aku tidak merasa pasti..."

"Tadi aku telah menyaksikan ilmu pedangmu, itulah bagus," kata Tan Hong. "Kau telah menyampaikan puncak tertinggi. Untukmu sekarang tinggal memperhatikan gelagat dan kecerdikanmu harus digunai!"

Habis berkata, Tan Hong menunjuki pelbagai kelemahan orang yang tadi ia lihat seraya memberikan petunjuknya, mendengar mana, In Hong gembira sekali hingga sepasang alisnya bangun bergerak-gerak.

Koan Sin Liong mendapat lihat orang berbicara itu, dia tertawa dingin dan berkata mengejek: "Apakah kamu masih hendak belajar lagi tiga tahun baru kamu mau mengadu pedang pula denganku?"

"Jangan kesusu!" berkata In Hong bersenyum. "Sebenarnya sudah bagus untukmu yang aku telah berikan ketika untuk kau hidup lagi sekian lama!"

Habis berkata, berbareng bersama suaminya, In Hong bertindak maju. Suami isteri yang tampan cantik dan gagah ini jalan berendeng. Thian Touw maju begitu lekas isterinya meliriknya habis si isteri bicara dengan Tan Hong.

Koan Sin Liong melihat orang bersikap tenang, diam-diam hatinya gentarjuga.

Setelah berdiri di hadapan lawan, In Hong tertawa dan berkata: "Kau ingin lekas-lekas pergi ke lain dunia untuk menitis pula, kenapa kau tidak mau lantas maju menyerang?"

Sin Liong mendongkol bukan main, ia menjadi gusar sekali.

"Hari ini jikalau bukan kau yang mampus tentulah aku yang binasa!" dia berteriak, dan dia menghunus pedangnya hingga bersuara nyaring, anginnya pun menyamber. Dengan lantas dia menyerang Thian Touw.

Suaminya In Hong berlaku sebat. Ia memang sudah siap sedia. Ia menangkis.

Koan Sin Liong menyerang tetapi tak sudi ia mengadu senjata, begitu musuh menangkis begitu ia menarik pulang pedangnya seraya tubuhnya berkisar dengan tindakan kaki "Iekiong hoanwie," ialah "Menukar istana, mengganti kedudukan." Ia bukannya menyingkir, hanya pedangnya terus ditikamkan ke arah isteri orang!

Bukan melainkan In Hong yang dapat petunjuk dari Thio Tan Hong, juga Koan Sin Liong dari Kiauw Pak Beng. Pak Beng pernah menempur suami isteri itu, ia kenal baik ilmu pedang bersatu padu dari mereka itu, iamengisiki kawannya itu. Ia melihat, In Hong lebih telengas daripada Thian Touw, sebaliknya Thian Touw terlebih pandai mengurung diri. Ia melihat juga sifatnya suami isteri itu berlainan: In Hong lebih berani, Thian Touw lebih tenang. Itu artinya, Thian Touw terlebih lambat, In Hong terlalu gesit. Itulah sifat yang dapat mengganggu persatu paduan suami isteri itu.

Inilah sebab kenapa hati Sin Liong menjadi lebih mantap. Ia telah mempunyai rencananya. Begitulah mula-mula ia menyerang Thian Touw, lalu ia meninggalkannya selagi Thian Touw membalas menyerang kepadanya, untuk ia meneruskan menyerang In Hong. Tapi In Hong pun telah mempunyai rencananya. Petunjuk Tan Hong barusan berarti besar sekali untuknya sekalipun petunjuk itu ringkas dan sambil lalu.

Sama sekali Nyonya Thian Touw tidak kesusu atas datangnya serangan, ia menunggu sampai pedang lawan sudah tiba, baru ia menangkis. Ia bersikap tenang tetapi gesit.

Justeru itu, Thian Touw telah mengambil sikap menyerang, maka ketika isterinya berbalik menyerang juga, bersatu padulah bekerjanya pedang-pedang mereka, cepat sekali mereka menyerang berbareng; baru dua kali mereka mengulangi, Sin Liong sudah kelabakan. biarpun dia berlaku gesit, tidak urung tangan baj unya kiri dan kanan telah kena dicoblos ujung pedang sepasang suami isteri itu!

Bukan main kagetnya Sin Liong lantaran hampir-hampir kedua pedang lawan menggores kulit dan dagingnya!

Dia lantas mengeluarkan keringat dingin.

Mendapatkan hasil itu, Thian Touw dan In Hong menjadi bersemangat, segera mereka menyerang pula, dalam gerakan "Djieliong tjhiotjoe," atau "Dua ekor naga berebut mutiara."

Koan Sin Liong boleh gagah perkasa tetapi sesaat itu ia telah kena dilibat, tubuhnya terkurung sinar pedang suami isteri itu. Syukur untuknya, ialah jago mayang berhati tabah dan berpengalaman, untuk sementara itu tak dapat ia lantas kena dirobohkan. Dapat ia bertahan dari rangsakan, dapat ia memecahkan setiap serangan, baik dengan menangkis maupun dengan berkelit. Ia mengambil kedudukan "kioekiong patkwa" atali garis delapan penjuru.

Thio Giok Houw gembira bukan main menonton pertempuran itu, dengan sendirinya ia memperoleh banyak kefaedahan. Maka berkatalah ia sambil tertawa pada Liong Kiam Hong di samping siapa ia berdiri: "Ilmu pedang entjie In Hong telah merupakan satu cabang sendiri, meski mungkin ia belum dapat mengalahkan suaminya tapi ia taklah ada di sebelah bawah! Hm, aku ingin lihat apakah Thian Touw masih memandang tak mata padanya! Ah, sayang, sayang!"

Ketika itu In Hong sedang menyerang dengan tipu "Burung hitam menggaris pasir," ia sudah menyontek ujung bajunya Koan Sin Liong, apamau Thian Touw lambat sedikit, maka jago tua itu keburu membebaskan diri.

Thian Touw gagal sejurus itu tetapi dia sangat cerdas, ia lantas menginsafinya. Ia pun memang terlebih liehay daripada isteriny?. itu. Hanyalah, lantaran In Hong dapat petunjuknya Tan Hong, kali ini ia ketinggalan. Karena cerdasnya, ia lantas mengadakan perubahan, maka juga selang tiga puluh jurus, lantas ia dapat mengimbangi isterinya itu.

Koan Sin Liong lantas terdesak benar-benar, sia-sia belaka dia berpengalaman dan liehay, dia tidak sanggup lagi melakukan penyerangan membalas, dia dipaksa mesti selamanya menjaga dan membela dirinya.

Tan Hong menonton sambil bersenyum. Ia mengurut kumisnya dan berkata pada Sin Tjoe, murid wanita yang berada di dampingnya: "Di dalam negara kita bakal ada orang yang baru yang akan muncul, demikian di kalangan sastera, demikian di kalangan ilmu silat! Ilmu pedang ciptaan Thian Touw dan In Hong, apabila dibandingkan, dapat diimbangi dengan syair-syairnya Lie Thay Pek dan Touw Hok! Kelak dikemudian hari, ilmu silat mereka akan merupakan suatu cabang baru!"

Sin Tjoe mengangguk-angguk. Ia cocok dengan pendapat gurunya itu. Hanya ketika ia ingin minta keterangan, mendadak Kok Tiok

Koen datang pada mereka, untuk melaporkan kepada Tan Hong. katanya: "Kira-kira belasan lie dari kaki gunung ini rupanya ada sebuah pasukan tentara besar lagi bergerak ke arah sini!"

"Tidak apa!" menyahut Tan Hong dengan tenang. Tapi lantas ia menambahkan: "Kok Sinshe, lihatlah itu! Ilmu pedang semacam itu sungguh sukar untuk dapat dilihat lagi!"

Dan ia menunjuk kepada pertempuran Thian Touw bersama In Hong melawan Sin Liong.

Tiok Koen heran berbareng kagum. Bukankah aneh orang tak bergeming dari warta yang dia anggap penting itu dan sebaliknya lebih memperhatikan pertempuran perseorangan? Meski begitu, ia pun mempunyai kepercayaan besar, maka ia kata di dalam hatinya: "Thio Tayhiap pandai berpikir, jikalau dia bilang tidak apa tentulah tidak ada halangannya!"

Maka ia pun lantas berdiri mengawasi ke gelanggang pertempuran.

Ketika itu Thian Touw dan In Hong tengah menyerang dengan semakin seru, dengan rapi dan keras mereka mendesak. Thian Touw telah menggunai ketika akan menyerang setelah mengerahkan tenaganya. Sin Liong membela dirinya. Justeru begitu, In Hong tidak mau mengasi

kesempatan pada lawannya itu --- ia lantas membarengi menikam! Sin Liong repot menangkis, atau ia pun segera diserang pula Thian Touw. Begitu cepat serangan ini, datangnya seperti berbareng dengan serangan si nyonya. Pedang In Hong telah mencari iga kanan, sedang pedang Thian Touw mengincar ke kiri. Kedua pedang berkilauan sinarnya. Dua-dua itu mesti ditangkis atau dikelit. Untuk Sin Liong, sulit untuk menangkisnya. Ia cuma dapat menangkis salah satunya, lantas lengan tunggalnya bakal terbabat kutung... Di dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia berayal. Sebenarnya ia telah menggunai otaknya, tapi ia masih kalah cepat.

"Bret!" begitu satu suara nyaring, tahu-tahu bajunya dibetulan iga telah dirobek pedang In Hong. Dia kaget dan gusar, maka dia menjerit, pedangnya lantas dilunjurkan. Bisalah dimengerti jikalau dia telah menggunai tenaga sebesar-besarnya. Dia menangkis satu kali untuk menghalau kedua pedang, tubuhnya sendiri digeser mundur secepat kilat!

Ketiga senjata lantas bentrok keras sekali, kesudahannya itu, pedang Sin Liong terkutung dua!

Bentrokan itu mempunyai tenaga membal yang keras sekali, walaupun In Hong berhasil, ia toh mesti terhuyung mundur dua tiga tindak.

Thian Touw dapat bertahan, tetapi di dalam hatinya ia kata: "Orang ini benarlah seorang guru besar! Dia sudah kalah, biarlah!"

Memang, di saat ln Hong dapat berdiri tegak. Koan Sin Liong sudah berlompat jauh untuk terus lari ke dalam rimba di dekat mereka. Dari dalam rimba itu lantas terdergar suaranya: "Maafkan aku, aku tidak punya guna. hendak aku berlalu terlebih dulu!"

Jago tua ini telah menutup diri, maka itu lukanya tidak parah, hanyalah hatinya sudah lemah. Musuhnya tangguh semua dan di belakang mereka ada Thio Tan Hong sebagai tulang punggung, dia menjadi hilang harapan, dengan terpaksa dia meninggalkan kawan.

"Hm!" bersuara Pak Beng, yang mendengar nyata suara kawan tak setia itu. "Baiklah, kau boleh pergi biar jauh, supaya selanjutnya tak usah kau bertemu pula denganku!"

Koan Sin Liong sebaliknya berkata di dalam hatinya: "Jikalau sebentar Thio Tan Hong mengambil jiwamu, aku kuatir apabila aku ingin menemui kau, kau pun tak dapat melihat aku lagi!..." Dan tanpa ragu-ragu, dia lari terus!

"Bus!" mendadak terdengar satu suara meletus, tepat di sisinya jago tua yang licik ini, lalu api berkobar, beberapa cahaya terang menyamber ke arahnya. Tak ampun lagi dia menjerit keras, tubuhnya roboh terguling.

Berbareng dengan itu, dari atas pohon di depannya Sin Liong ini, sepasang muda-mudi terlihat berlompat turun dengan berbareng, yang pria mendahului lompat lebih jauh, ketika ia mengayun goloknya, kepalanya jago tua itu terpisah dari tubuhnya sebatas leher, setelah mana pemuda itu berkata dengan sedih: "Ayah. hari ini anakmu telah membalas sakit hatimu!"

Itulah Ban Thian Peng dan Im Sioe Lan, yang datangnya tepat selagi Koan Sin Liong mengangkat kaki, maka mereka lantas turun tangan. Paling dulu Im Sioe Lan telah menimpuk dengan Tokboe Kimtjiam Hweeyam tan, peluru apinya yang berupa jarum emas dengan uapnya yang beracun, karena mana, siapa terkena senjata rahasia itu, selain lukanya juga napasnya tertutup uap beracun itu, hingga dia mesti roboh pingsan. Sudah begitu, celakanya untuk Sin Liong, selagi dia roboh itu, Thian Peng telah membarengi menyerang juga dengan tujuh batang kimpit, senjata rahasia yang berupa seperti alat tulis, hingga dia terkena jalan darahnya, luka-luka mana membuatnya tak berdaya lagi, dia roboh tak sadarkan diri dan terus batang lehernya dipenggal!

Demikianlah akhirnya satu jago buruk, yang mesti menerima bagiannya dari dua anak muda.

Ketika Liong Kiam Hong menampak munculnya Nona Im, ia girang bukan kepalang. Ia berseru dan menggapai-gapai dengan kegirangan.

Im Sioe Lan tahu aturan, lebih dulu ia menghampirkan Thio Tan Hong, guna memberi hormat seraya mengucapkan beberapa kata-kata perlahan, habis itu baru ia menemui Nona Liong.

"Bagaimana caranya kau lolos dari bahaya?" Kiam Hong tanya.

"Panjang untuk menuturkan itu," sahut Sioe Lan tertawa. "Tidak lama kau bakal ketahui sendiri! Juga. entjie Liong, sebentar kau akan menyaksikan suatu pertunjukan yang ramai sekali, maka kau tunggu saja!"

Kiam Hong heran, ia berpikir: "Dia baru sampai, cara bagaimana dia ketahui Thio Tayhiap bakal bertempur dengan Kiauw Pak Beng? Apakah mungkin dia bicara dari lain hal yang jauh terlebih hebat dari pertempuran tayhiap ini?"

Sementara itu Kiauw Pak Beng telah mengasi lihat wajah yang bermuram durja. Empat kali sudah ia kalah dan enam jago pilihannya telah roboh, kekalahan itu membikin gentar hati kawan-kawannya. Dengan suara dalam ia berkata: "Kong Thian, mari, serahkan bonekamu padaku!"

Le Kong Thian, sang murid, menyerahkan senjatanya yang luar biasa dan berat itu.

Dengan membawa boneka kuningan itu. dengan tindakan perlahan, Pak Beng maju ke arah gelanggang.

"Soehoe. inilah pedang!" berkata Sin Tjoe pada gurunya. Ia melihat musuh membekal senjata, ia menyerahkan pedang mustikanya, —— pedang Tjengbeng kiam.

Thio Tan Hong tidak membekal senjata. Ia bersikap tenang. Agaknya ia berpikir. Akhirnya ia kata: "Baiklah!" Lantas ia menyambuti pedang dari tangan muridnya, dengan membawa itu, ia pun maju dengan tindakan sabar.

Sudah sepuluh tahun Tan Hong tidak pernah menggunai senjata, sedang ketika baru ini ia menempur Pak Beng, ia menggunai pedang biasa saja. Baru sekarang ia membutuhkan gegaman dan justeru ia mendapatkan pedang mustika.

Dalam sebentar saja, dua orang musuh sudah berdiri berhadapan di tengah medan adu jiwa. Yang satu ialah kiamkek atau ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, dan yang lainnya yaitu hantu nomor satu di dalam dunia. Maka dengan wajar mata para hadirin diarahkan terhadap dua jago itu.

Kedua jago itu berdiri berhadapan dengan mata mereka saling memandang tajam. Keduanya tenang, yang beda ialah Pak Beng suram, wajah Tan Hong sungguh-sungguh.

Thio Tan Hong dapat melihat sinar mata orang, ia dapat menerka orang yang asal sesat itu telah mendapatkan pelajaran tenaga dalam yang lurus, hingga sesat dan lurus tergabung menjadi satu. Sinar mata Pak Beng itu tajam tetapi tidak jernih.

"Sayang! sayang!" katanya seorang diri. Ia menyayangi i-.i|>m lelah Pak Beng mempelajari kedua ilmu sesat dan lurus, setelah berhasil, sepak terjangnya tetap sesat.

Mendengar suara itu, cuma Sin Tjoe yang dapat membade hati gurunya. Guru itu sangat menyayangi kepandaian orang, maka juga Tan Hong menyesal mesti melayani orang pandai dan kosen yang bandel itu.

Kiauw Pak Beng, yang pun mendengar suara orang, berkata dengan tawar: "Jikalau kau terbinasa di tanganku, kau pun sama harus dikasihani! Di kolong langit ini, ada banyak sekali urusan yang harus disayangi, dari itu tak usahlah kita membicarakannya banyak-banyak!"

Tan Hong mencabut pedangnya, ia mengpngguk.

"Kau benar," sahutnya. "Nah, kau majulah!"

Kiauw Pak Beng menggeraki tokkaktongdjin, boneka kuningannya itu, ia mendorong dengan jurus "Badak memandangi sang rembulan."

Thio Tan Hong meluncurkan pedangnya, akan menowel boneka itu,

-perlahan ia menowelnya akan

tetapi kedua senjata bentrok dengan menerbitkan suara yang nyaring dan lama mengaumnya, bagaikan genta mengalun. Pula sedikit lelatu kuningan telah meletik buyar!

Sebagai kesudahan terbenturnya kedua senjata satu dengan lain itu Thio Tan Hong merasakan hawa dingin yang tersalurkan ke tangannya terus ke nadinya. Ia lantas menghembuskan napas perlahan, guna mengasi keluar hawa dingin itu.

Atas itu Kiauw Pak Beng merasai angin dingin bertiup ke mukanya, meski hanya sekelebatan, hawa itu dingin sekali, baru selewatnya itu, mukanya terasa nyaman. Sebagaijuga iklim musim dingin ditukar dengan iklim musim bulan tiga!

"Heran!" pikirjago tua ini. Ia tidak pernah menyangka tenaga dalam Tan Hong sedemikian mahirnya.

Sebaliknya Tan Hong pun berkata dalam batinya: "Benar-benar dia telah mencapai Sioelo Imsat Kang tingkat kesembilan!"

Tan Hong menyambuti hawa dingin yang tersalurkan kepadanya dengan segera ia mengemposnya keluar, karena hawa dingin itu kembali pada Pak Beng, dia ini merasai dingin dan lantas nyaman. Hawa nyaman itu ialah hawa asli dari Tan Hong, sedang hawa dingin ialah hawanya sendiri yang dikembalikan.

Dari kejadian sepintas lalu itu menjadi ternyata, hawa dinginnya Pak Beng menyerbu Tan Hong sebagaijuga sebutir batu dilemparkan ke dalam telaga, bukan telaga bergelombang dahsyat tapi cuma airnya bergoyang sedikit...

Oleh karena percobaan ini, Thio Tan Hong lantas mengambil keputusannya. Ia tahu berbahaya untuk hanya bertahan dari hawa dingin musuh. Jadi ia memerlukan pertandingan cepat. Putusan yang cepat pun akan mencegah kedua-duanya sama-sama mendapat kecelakaan.

Pak Beng juga sependapat dengan lawannya itu. Habis bentrokan yang pertama itu, ia lantas menyerang pula, dengan sekeras-kerasnya, hingga bonekanya bergerak-gerak sambil menghembuskan angin keras.

Thio Tan Hong tidak bersangsi untuk melayani dengan sama serunya. Maka juga sering sekali terdengar suara nyaring yang memekakkan telinga. Sebab di mana perlu, tak takut Tan Hong mengadu pedang yang kecil dan enteng dengan boneka yang besar dan berat. Sebagai kesudahan dari bentrokan itu, setiap kali beradu, boneka kena dibikin sedikit bercacat, kuningannya pecah hancur sedikit dan hancurannya itu pada meletik.

"Hebat!" berseru Pak Beng di dalam hati.

Tengah bertarung itu, Tan Hong menyerang dengan tipu silat "Bianglala panjang melintangi langit." Pedangnya menyambar dari samping.

Kiauw Pak Beng menghindarkan diri dengan menolak dengan bonekanya. Hebat permainan senjatanya itu, ia membikin kedua tangan boneka dapat bergerak sebagai tangan manusia hidup, tangan itu menyamber ke dada untuk menotok jalan darah!

Demikian kalau kedua jago bertempur, setiap gerakan mereka cepat seperti kilat.

Totokan itu segera tiba pada dada, segera terdengar suaranya.

Sin Tjoe dan Giok Houw terperanjat, hampir mereka berseru, akan tetapi setelah berkelebatnya sinar hijau dari pedang tjengbeng kiam, hati si nyonya muda menjadi lega, dengan perlahan ia kata pada orang di dampingnya: "Ah, soehoe tidak terlukai"

Thio Tan Hong telah menangkis totokan dengan babatan pedangnya, yang membikin kedua jari tangan boneka itu terpapas kutung!

Habis itu, setelah beberapa gebrakan, keduanya nampak lambat gerak-geriknya. Kelincahan mereka semula seperti lenyap secara tiba-tiba. Sebaliknya daripada saling serang dengan cepat dan bengis, mereka justeru jalan berputaran, mata mereka saling mengawasi tajam, senjata mereka masing-masing siap sedia.

Setelah lewat banyak detik, maka Kiauw Pak Beng-lah yang mulai pula dengan penyerangannya. Rupanya dia telah selesai dengan pengerahan tenaganya. Dia bergerak berbareng dengan seruannya. Tokkak tongdjin menyerang dari atas ke bawah. Itulah kemplangan sangat dahsyat.

Atas datangnya serangan itu Thio Tan Hong bersikap tenang tapi sebat. Ia menangkis menyontek sambil berkelit sedikit, kaki kirinya diajukan, maka itu tangannya yang kiri dapat sekalian diluncurkan guna membalas menyerang.

Kedua senjata beradu keras. Tubuhnya Kiauw Pak Beng seperti terangkat akibat sontekan Tan Hong itu. Dengan tubuh berada "di tengah udara" itu. selagi turun, ia menyerang dengan tangan kirinya.

Kedua tangan bentrok, lalu Kiauw Pak Beng berjumpalitan, mundur hingga tiga tombak jauhnya.

Semua berjalan dengan cepat, tak terlihat tegas para penonton.

Selagi Pak Beng itu mental mundur, tubuh Tan Hong, yang berdiri di tempatnya, bergoyang sedikit seperti juga sebuah perahu kecil di antara gelombang.

Itulah akibat bentrokan tangan mereka masing-masing. Inilah bentrokan yang terlebih hebat dari bentrokannya boneka dengan pedang. Teranglah kedua pihak sama-sama tergempur. Terang sudah Pak Beng kalah unggul, sebab tubuhnya terpental. Tapi Tan Hong pun tak menang seluruhnya, hingga tubuhnya itu bergoyang-goyang untuk mempertahankannya. Itulah hawa dingin dari Sioelo Imsat Kang tingkat sembilan, yang menyerang ke dalam tubuh lawan.

Setelah itu, kedua pihak sama-sama berdiam, melainkan mata mereka saling memandang tajam. Sama-sama mereka menenangkan diri, untuk mengumpul tenaga mereka yang barusan terhamburkan itu. Kiauw Pak Beng nampak mandi peluh, sedang Tan Hong dari embun-embunannya kelihatan mengepulnya uap putih.

Perlu waktu beberapa menit untuk mereka mendapat pulih tenaga mereka.

Dalam pada itu, bonekanya Kiauw Pak Beng telah menjadi tidak "tuh lagi, selain duajerij inya yang tadi kena terpapas putus, bagian-bagian anggauta yang lainnya pada bercacad akibat ujung pedang Tan Hong, bahkan kuping dan hidungnya kutung juga-

Kiauw Pak Beng sangat mendongkol dan berduka dan berkuatir. Kemarahan membuat rambutnya yang kusut pada bangun berdiri, kumis dan jenggotnya menjadi kaku, sedang otot-ototnya pada keluar hingga terlihat cahayanya hijau matang. Maka itu, berdiri berendeng dengan bonekanya itu, dia nampak mirip sepasang hantu yang bengis. Aneh pemandangannya itu tetapi tidak ada orang yang berani mentertawainya. Semua hadirin tegang dan cemas hatinya, sesuatunya bergelisah sendirinya.

Selagi kedua pihak beristirahat sambil mengumpul semangat itu, maka dari kejauhan terdengar suara bergerak dan meringkiknya kuda-kuda peperangan, begitu juga suara bentroknya banyak alat senjata, semua itu terbawa angin, mulanya samar-samar, lalu perlahan-lahan menjadi terang dan nyata sekali. Teranglah itu suara tentera bertarung di kaki gunung, hingga suasana menjadi terlebih menggelisahkan.

Luar biasa sungguh suasana di medan adu jiwa ini. Tidak perduli suara pertempuran pasukan perang itu, meskipun sesuatunya cemas dan bergelisah, mereka tetap memasang mata kepada Kiauw Pak Beng dan Thio Tan Hong. Mereka seperti tak menghiraukan lagi ancaman bahaya besar.

Pihaknya Tan Hong mungkin berpikir: "Perduli apa tentara musuh datang, mereka toh tidak bakal dapat membinasakan aku tetapi pertempuran ini, inilah tak dapat dikasih lewat atau orang akan menyesal sampai hari matinya!..."

Juga Tan Hong dan Pak Beng tidak menghiraukan segala apa di luar gelanggang mereka, bagaikan tuli dan buta. Mata mereka, perhatian mereka, ditumplak saja satu kepada lain. Sambil mengumpul tenaga, mereka memasang mata.

Jarak di antara mereka ada lima atau enam tombak jauhnya.

Segera juga datang saatnya kedua pihak mulai bergerak lagi. Mereka bertindak menghampirkan satu pada lain. Ayal tindakan mereka masing-masing.

Setiap tindakannya Kiauw Pak Beng meninggalkan tapak kaki yang dalam. Itulah bukti dari tegangnya hatinya, dari hebatnya ia menancap kaki, memasang kuda-kuda.

Tan Hong sebaliknya, tindakannya tak menyebabkan debu mengepul.

Ie Sin Tjoe dapat melihat nyata gurunya itu, hatinya menjadi lega.

"Pastilah guru kita bakal dapat kemenangan," ia kata perlahan pada Giok Houw. "Kau lihat, bangsat tua she Kiauw itu telah mencapaikan puncak ketegangannya, ia sangat bergelisah, sebaliknya soehoe tetap tenang, bahkan ia lebih tenang dari biasanya!..."

Di saat sangat tegang itu maka terdengarlah suara memanggil nyaring berulangkah : "Thio Tayhiap! Thio Tayhiap!"

Dengan sendirinya semua hadirin menoleh ke arah dari mana panggilan datang. Itulah suaranya sepasang pria dan wanita, yang muncul dari tikungan gunung dibalik sebuah batu besar. Mereka itu lari mendatangi ke arah gelanggang.

"Ah!" Thio Giok Houw mengasi dengar suara herannya. Ia menoleh sebentar, lantas ia mengawasi pula gurunya. Ia tidak mau berlaku alpa.

Liong Kiam Hong sebaliknya berseru: "Ah. itulah entjie Tjio dan SengToako!"

Di dalam saat sesunyi itu, suaranya nona itu terdengar mendengung, hingga banyak mata diarahkan ke arahnya. Agaknya ia jengah sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah. Dengan lantas ia menoleh pula ke arah Tan Hong.

Kedua pihak, yang maju terus tanpa memperdulikan segala apa di sekitarnya, sudah mendekati hingga tujuh kaki satu pada lain. Paras mukanya Pak Beng gelap sekali. Dia diliputi hawa keinginan membunuh. Sebaliknya Thio Tan Hong bersenyum sabar, ia sangat tenang. Walaupun demikian, nyata sekali keduanya sama-sama siap sedia...

Sepasang pria dan wanita yang lari mendatangi itu, yang tadi memanggil-manggil Tan Hong, benar Tjio Boen Wan dan Seng Hay San adanya. Ketika mereka tiba, mereka lantas berdiri diam, mata mereka pun mengawasi. Dengan sendirinya mereka terpengaruh ketegangan medan pertempuran itu.

Kok Tiok Koen menghampirkan Hay San, untuk menarik lengan orang, buat mengajak dia duduk di sisinya.

Hay Sah lantas berbisik: "Pasukan tentera negeri telah kita kurung di dalam lembah. Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen ada di dalam barisan pemerintah itu."

Tiok Koen mengangguk tandanya ia mengerti.

Seng Hay San datang untuk minta bantuan, tetapi melihat suasana di gelanggang, tidak dapat ia mengajukan permintaannya itu. Ia turut menjadi ketarik pengaruh yang luar biasa itu.

Di dalam gelanggang, orang tak dapat berdiam terus lama-lama. Akhir-akhirnya kedua matanya Kiauw Pak Beng dipentang lebar-lebar begitupun mulutnya. Mendadak dia berseru:

"Jikalau bukan kau yang mati tentulah aku!" Terus dengan bonekanya ia menghajar dengan bengis sedang tangan kirinya menyerang juga dengan Pekkhong tjiang, pukulan "Udara Kosong." Dia telah menggunai tenaga dari Sioelo Imsat Kang tingkat sembilan, yang baru saja dia kerahkan pula. Dan inilah tenaga seluruhnya. Jurus yang dia gunakan juga satu durus dari "Hoktjhio Sinkang," ilmu "Menaklukkan Gajah." Dia hebat sekali sebab dia dapat menggunai dua-dua tangannya dengan tenaga yang sama besarnya.

Ketiga pendeta dari Siauwlim Sie, Han Tiat Tjiauw dan yang lainnya, terkejut hingga mereka mengeluarkan seruan tertahan. Mereka semua ahli tapi mereka toh heran dan terperanjat.

Tan Hong di pihaknya tidak berdiam saja. Orang menyerang ia dengan dua-dua tangan, ia juga menyambut dengan dua tangannya. Dengan pedang ia menangkis boneka, dengan tangan kosong ia menyambut tangan kosong lawan.

Bentrokan hebat terdengar karenanya. Kali ini pedang Tjengbeng kiam berhasil membabat kutung kedua lengannya tokkak tongdjin. Sebab pedang itu tak dapat segera ditarik pulang, sekalian saja rambutnya Pak Beng pun kena terbabat kutung. Syukur jago tua itu masih sempat berkelit mendak.

Akan tetapi Pak Beng tidak menjadi gugup, dengan kesehatan luar biasa, ia berkelit terus ke belakang musuh, maka tempo ia menghajar dengan tinju kirinya, ia berhasil mengenai punggung musuhnya. Tan Hong terjerunuk karenanya. Tapi jago ini liehay. kakinya terus menjejak tanah, tubuhnya mencelat balik. Tengah orang masih kaget, ia sudah membalas menyerang, hingga sinar pedangnya berkelebatan seperti bunga pedang.

Di antara para hadirin cuma Boe Siang Siansoe yang dapat melihat tegas serangan Tan Hong ini. Untuk hadiah satu tinju pada punggungnya, ia membalas dengan tujuh buah tikaman pedangnya, yang semuanya mengenai tepat kepada sasarannya!

Kiauw Pak Beng berseru keras sekali, dengan bonekanya ia menimpuk!

Pasti sekali itulah timpukan dengan setakar tenaganya.

Thio Tan Hong dapat melihat serangan mati hidup itu. Sekarang ia tidak berani menyambuti dengan menangkis dengan pedang di tangan. Ia juga menelad contoh. Ia lantas menimpuk juga dengan pedangnya.

Kedua senjata tepat masing-masing sasarannya, maka itu di tengah jalan, keduanya beradu. Tjengbeng kiam yang tajam luar biasa nancap di tubuh boneka kuningan, terus nembus. Boneka tertahan sedikit lajunya, terus jatuh ke tanah. Pedang sebaliknya meluncur, nancap di sebuah pohon di sebelah depannya!

Orang semua terkejut, tetapi cuma sebentar, lantas semuanya sadar.

Pertempuran boneka melawan pedang itu sudah berhenti tetapi kedua jagonya tidak turut berhenti karenanya. Keduanya sama-sama maju, untuk melanjuti pertarungan dengan sama-sama bertangan kosong. Kedua tangan mereka sama-sama diluncurkan, guna saling bertahan, karena itu, tubuh mereka pun sama-sama diam, hingga mereka mirip dua buah patung hidup.

Habis terluka dan menimpuk, Kiauw Pak Beng telah menutup dirinya, maka itu ia dapat mencegah mengalir keluarnya darah dari liang lukanya akibat tikamam pedang Tan Hong. Ia mengerahkan tenaganya, ia lompat menerjang musuhnya.

Jikalau ia mau, Tan Hong dapat menyingkir dari serangan dahsyat itu, akan tetapi ia dapat membade maksudnya Kiauw Pak Beng, ia bersedia untuk melayani. Pak Beng penasaran, dia menjadi nekad, maka di detik terakhir ini, dia menyerang dengan Sioelo Imsat Kang dengan tenaganya yang penghabisan. Ia tahu, kalau ia berkelit, Pak Beng bakal mati tak puas, dari itu, ingin ia mempuaskan hati orang. Ia pun, dengan begitu, hendak menguji tenaganya sendiri. Ia menyambut dengan dua-dua tangannya.

Kecuali ketiga pendeta dari Siauwlim Sie, tidak ada orang lainnya yang ketahui pengerahan tenaga terakhir dari Pak Beng ini. Meskipun dia telah ditikam tujuh kali, darahnya masih belum mengucur keluar, cuma mukanya sajayang tampak bengis dan seram, kedua matanya merah mendelik.

Sin Tjoe percaya gurunya liehay tetapi ia toh berkuatir juga.

Semua orang menonton dengan menahan napas.

Tenaganya Pak Beng sudah disalurkan ke tangannya. Itulah tenaga terakhir tetapi dahsyatnya bukan main. Benar-benar Sioelo Imsat Kang tak dapat dibuat permainan.

Thio Tan Hong bertahan hingga terdengar sambungan tulang-tulangnya bersuara meretek. Kecuali kuda-kudanya, ia pun memusatkan tenaga di tangannya, guna menangkis hawa din|in. Ia merasakan desaKan" tenaga Pak Beng seperti tak ada habisnya, bagaikan gelombang mendampar saling susul.

Sayangnya untuk Pak Beng, meski ia telah berhasil menggabung dua ilmu sesat dan lurus, tempo latihannya masih terlalu pendek, tak dapat ia menandingi Tan Hong yang lurus seluruhnya. Umpama kata ia belum ter'nka, masih belum tentu ia dapat melawan terus.

Tepat di saat ia insaf bahwa ia kalah, habislah tenaganya Pak Beng, tubuhnya menjadi lemah.

Thio Tan Hong merasakan lenyapnya tolakan keras seperti tadi, ia lalu mendorong dengan perlahan, sembari berbuat begitu, ia kata sabar: "Kiauw Pak Beng, kau pergilah baik-baik!"

Pak Beng menghela napas, segera tubuhnya roboh, begitu tenaganya habis, begitu luka-lukanya mengalirkan darah. Tak dapat ia menutup diri lagi.

"Kiauw Pak Beng, apa pesanmu?" tanya Tan Hong, suaranya berduka.

"Aku puas terbinasa di ujung pedangmu, kebinasaan ini berharga," kata Pak Beng lemah. "Hanya sayang pelajaranku, yang aku latih seumur hidupku, bakal lenyap dari dunia ini..."

"Di dalam hal ini, aku tak berdaya menolongmu," kata Tan Hong, menghela napas.

Orang bengong, orang kagum. Orang pun terharu.

Itulah pertempuran paling dahsyat dan luar biasa.

Sampai sekian lama orang masih berdiam saja, sampai akhirnya mereka disadarkan suaranya satu orang: "Kiauw Pak Beng sudah mati!"

Mendengar itu rombongannya Pak Beng pun mendusin, tetapi mereka bukan lantas bertindak menuntut balas, hanya saking takut, mereka lari serabutan guna menyingkirkan diri, cuma satu yang lari ke arah Pak Beng, guna mengangkat tubuhnya, buat terus dibawa lari turun gunung!

Orang itu ialah Le Kong Thian, muridnya jago Sioelo Imsat Kang itu. Dia bukan lari mendaki gunung, hanya ke arah jurang.

"Le Kong Thian, kau hendak kabur ke mana?" membentak Thio Giok Houw, yang terus mencabut golok —— goloknya Biantoo – dan mengejar.

"Thio Houwtjoe, biarkan dia pergi!" Tan Hong mencegah.

Murid itu melengak, dia menghentikan larinya.

Ketika itu cepat sekali Le Kong Thian sudah sampai di tepi jurang, lantas orang melihat, sambil terus memanggul tubuhnya Pak Beng, gurunya itu, dia terjun ke dalam jurang, hingga lantas juga terdengar suara air menjubiar keras. Sebab katanya jurang itu penuh air yang nembus ke laut...

Orang banyak lantas menduga tindakannya Le Kong Thian itu ialah tindakan si murid untuk melindungi keutuhan tubuh gurunya, karenanya dia tak sayang-sayang lagi mengurbankan jiwanya bersama-sama. Tentu sekali tidak ada orang yang menyangka bahwa itulah tindakan satu-satunya guna dia mencoba menolongi gurunya itu.

Hal yang sebenarnya ialah jurang itu berdasarkan air di mana pun terdapat sebuah guha mirip guha Tjoeiliam Tong, dari guha mana orang bisa merayap keluar ke tempat yang aman.

Le Kong Thian pernah tinggal selama beberapa bulan di dalam kuil Siangtjeng Kiong di atas gunung Laosan ini. Imam dari kuil itu, Hay Djiak Toodjin, adalah sahabat kekalnya. Karena pernah berdiam lama di gunung itu, ia menjadi mendapat tahu tentang jurang itu serta guhanya Maka itu, ia bukan bawa gurunya lari ke bawah gunung, hanya justeru ke jurang tersebut. Ia menduga, kalau ia lari turun gunung, orang bakal mengejarnya. Ia tentu tidak tahu sikap laki-laki dari Tan Hong.

Terjun ke dalam jurang itu, Kong Thian tidak nampak rintangan oyot pohon atau lainnya, langsung mereka tercebur ke air, maka di akhirnya berhasillah ia membawa gurunya ke tempat yang aman. Kiauw Pak Beng belum putus jiwa benar-benar, karena terkena air dan tertolong muridnya, napasnya bekerja pula, jantungnya berdenyut lagi. Pula dari kitab Pektok Tjinkeng pernah ia dapat resep dan membuat obat pemunah racun yang luar biasa, obat mana dapat menguatkan tubuhnya. Ia telah menyiapkan dua rupa obatnya, ia serahkan itu pada Kong Thian untuk disimpan, guna dipakai di saat yang tepat, sekarang murid itu telah menggunainya.

Pertolongan Kong Thian inilah yang mengakibatkan Kiauw Pak Beng selamat jiwanya, hingga kemudian dia menyingkir ke sebuah pulau mencil, di mana dia melewatkan sisa hidupnya dalam kesunyian, dan sampai berumur seratus tahun lebih, barulah dia meninggal dunia.

Semua orang menganggap Kiauw Pak Beng sudah menemui ajalnya, bahkan Thio Tan Hong tak menduga juga.

Ie Sin Tjoe bersama Thio Giok Houw, Seng Hay San, Tjio Boen Wan dan lainnya lantas menghampirkan Tan Hong. Mereka mendapatkan sesuatu yang gelap di punggung jago tua itu. Itulah tapak tangan yang hitam pada kulit tetapi saking tedasnya terlihat nembus di baju sutera putih yang tipis. Semua menjadi kaget.

Tengah orang heran itu, Thio Tan Hong berkata, lancar: "Bagus! Kepala penjahatnya sudah disingkirkan, selanjutnya tak usah aku bekerja sendiri lagi! Sin Tjoe, Giok Houw, pergi kamu membantui Tjio Lootjianpwee!"

Thio Tan Hong telah bekerja sempurna sekali. Sebelum turun tangan, ia sudah menyerapi kabar, terus ia membuat persiapan.

Yang Tjong Hay bersama Law Tong Soen sudah siap sedia. Mereka kuatir kawanan Tan Hong nanti menyulitkan dan menggagalkan ichtiar mereka, lantas mereka menyembunyikan tiga ribu serdadu. Mereka berniat menyapu dari meringkus rombongan Tan Hong, supaya tak ada seorang jua yang dapat meloloskan diri. Tan Hong sebaliknya mengatur daya untuk melawan tentera negeri itu. Maka Tjio Keng To diminta membawa datang semua sisa tentera rakyat dari pulau. Di lain pihak, selagi kota Hangtjioe kosong. Seng Hay San ditolongi dari dalam penjara, hingga pemimpin tentera rakyat itu dapat datang bersama

Tindakan Tan Hong ini yang membikin ia datang sedikit lambat.

"Soehoe, apakah kau tidak kurang suatu apa?" tanya Giok Houw sebelum pergi.

Guru itu bersenyum.

"Kiauw Pak Beng belum mempunyai kepandaian cukup untuk mengajak aku pergi bersama-sama dianya!" sahutnya. "Kau jangan kuatir!"

Giok Houw. begitu juga Sin Tjoe, sangat cerdas, tetapi mereka tidak dapat menangkap bahwa dalam kata-katanya Tan Hong itu ada tersembunyi maksud lainnya. Mereka percaya betul guru mereka tidak kurang suatu apa. Maka pergilah mereka dengan hati tetap, untuk membekuk Yang Tjong Hay.

Hal yang sebenarnya tidaklah seperti dikatakan Tan Hong. Kecuali hajaran di punggung itu, ia pun menderita sangat gempuran Sioelo Imsat Kang dari Kiauw Pak Beng. Ia menyambuti gempuran itu dengan maksud membikin Pak Beng kalah dengan puas. Ia terluka bukannya ringan. Syukur untuknya, tenaga dalamnya telah mahir sekali, ia dapat bertahan hingga orang tidak melihat pada wajahnya tanda-tanda penderitaannya itu. Menurut latihannya, Tan Hong dapat hidup sedikitnya sampai seratus tahun, tetapi lukanya ini membikin ia mati sebelum masuk usia enam puluh.

Ie Sin Tjoe semua mengajak rombongannya turun gunung. Segera mereka mendapat kenyataan satu pasukan tentera negeri kena dikurung pihaknya. Tentera negeri itu berdiam di dalam lembah, sebaliknya barisan tentera rakyat di bawah pimpinan Tjio Keng To, meski jumlahnya lebih kecil, dapat menguasai mereka dari sebelah atas, dari sela-sela gunung. Sering sekali tentera negeri dihajar dengan batu besar dan balok-balok yang digelindingkan turun hingga tentera itu, yang tidak berdaya, pada menjerit-jerit. Untuk kabur, jalan mereka sudah terhalang dan terpegat.

Ie Sin Tjoe maju di muka, ia berteriak nyaring: "Bangsat tua Kiauw Pak Beng telah terbinasakan! Apakah kamu masih hendak berkelahi mati-matian tanpa ada perlunya, seperti binatang yang sudah mogok terkurung?"

Mendengar itu, hati Tjong Hay mencelos. Dia justeru paling mengharap Kiauw Pak Beng, dan mengharap juga Pak Beng nanti naik ke gunung, guna memecahkan pengurungan atas diri mereka ini. Sekarang habislah harapannya. Dia melihat yang datang ialah semuanya musuh. Maka dia percaya, kalau Pak Beng tidak binasa, Pak Beng tentulah telah kena dikalahkan. Maka tahulah dia harus mengambil sikap bagaimana.

Law Tong Soen pun tahu sikapnya. Dia mengibarkan lengkie, bendera perintah, seraya berteriak nyaring berulang-ulang: "Toblos kurungan!"

Sementara itu rombongannya Sin Tjoe sudah maju menerjang.

"Apakah kamu masih berniat kabur?" Sin Tjoe berteriak sambil ia maju terus. Ia nyeplos pergi datang di antara tentera negeri, guna mencari Yang Tjong Hay. Sama sekali ia tidak mengganggu tentera negeri itu.

Di pihak musuh, Sat Lek Hiong masih percaya betul atas ketangguhannya. Ia memutar sepasang gembolannya untuk menghajar setiap musuh yang menghadang di hadapannya. Ia hendak mentaati titah Law Tong Soen untuk nerobos dan kabur bersama barisan negeri itu. Ia sudah merobohkan beberapa tauwbak tentera rakyat ketika ia mendengar bentakan: "Berhenti!"

Sat Lek Hiong tidak mau memperdulikan perintah itu, ia menyerang terus secara membabi buta. Tiba-tiba ia menjadi kaget. Gembolannya itu kena orang tanggapi, untuk ditangkap, sia-sia belaka ia menggunai seluruh tenaganya untuk menarik pulang, buat dilepaskan.

"Kau masih hendak berontak?" tanya orang yang menangkap gembolan itu.

Memang Sat Lek Hiong hendak berontak, akan tetapi belum ia sempat berdaya atau melihat lawannya, tubuhnya telah kena ditarik. Lantaran ia bertahan, ia tidak dapat melepaskan kedua senjatanya. Ia pun kalah sebat. Tahu-tahu kedua tangannya sudah dicekal keras, lantas ia merasa tubuhnya yang besar dan berat itu diangkat, diteruskan diputar, maka di lain detik, ia sudah dilemparkan! Celaka untuknya, ia jatuh menimpa seorang opsir tentera negeri yang lagi mengayun goloknya, maka tubuhnya menimpa golok itu. Ketika ia roboh, ia mandi darah, jiwanya melayang. Di lain pihak, si opsir pun tertimpa dan tertindih untuk terus mati bersama!

Orang ypng merobohkan Sat Lek Hiong ialah In Tiong. Tidak perduli Lek Hiong bertenaga raksasa, ia masih kalah dengan tenaga Taylek Kimkong Tjioe dari orang she In itu, maka gembolannya ditangkap, tubuhnya disamber dan diangkat, untuk dilemparkan!

Ketika itu Yang Tjong Hay si licik sudah kabur sampai di mulut selat. Tiba-tiba ia mendengar suara mengaung, lalu tertampak sinar-sinar terang berkelebatan menyamber ke arahnya. Itulah senjata rahasia.

Ie Sin Tjoe berhasil mencari musuhnya. Dia lantas menyerang dengan kimhoa, bunga emasnya, lantaran orang terlalu licin dan gesit. Dengan menggunai ilmu ringan tubuh, yaitu "Tjoanhoa djiauwsie" -- "Menembusi bunga, mengitarkan pohon." ia memegat dan terus menimpuk.

Thio Giok Houw pun terus mencari, tepat Sin Tjoe merintangi, ia pun tiba di samping Yang Tjong Hay.

Orang licik itu menangkis serangan Sin Tjoe sambil ia terus menyingkir. Ia tidak mau membuat perlawanan sebab itu berarti bahaya. Karena di sampingnya ada Giok Houw, ia lari ke lain arah. Sekarang barulah ia merasa jeri benar-benar. Baru beberapa tindak, In Hong muncul di depannya.

"Mari, Yang Taydjin! Mari!" mengundang Nyonya Hok Thian Touw tertawa riang. "Mari aku belajar kenal pula dengan ilmu pedangmu!"

Di damping In Hong itu ada suaminya.

Semangat Tjong Hay terbang, tanpa membilang apa-apa, ia lari ke lain arah. Sudah ia jeri terhadap Sin Tjoe dan Giok Houw, sekarang ia lebih jeri pula terhadap suami isteri dari Thiansan itu.

Baru beberapa tindak Tjong Hay menyingkir dari hadapan In Hong dan Thian Touw, atau ia kaget pula ketika ada suara meledak dihadapannya, api segera menyamber ke arahnya.

Itulah ledakan Tokboe Kimtjiam Hweeyam tan. peluru api yang berasap racun dan mengandung jarum emas kepunyaannya Im Sioe Lan, puterinya Tjit Im Kauwtjoe.

Sioe Lan muncul bersama Tjioe Tjie Hiap. dia memegat dengan lantas menyerang dengan senjata rahasianya yang meledak dan beracun itu.

Di hari-hari biasa, walaupun Sioe Lan liehay, Yang Tjong Hay tidak takut, atau sedikitnya, ia tidak akan biarkan dirinya terhajar senjata rahasia itu. Tapi sekarang, selagi mogok dan ketakutan itu, bokongan itu membuatnya tidak berdaya. Begitu senjata rahasia meledak, begitu jarum emasnya melesat mengenai ia, sedang pernapasannya, juga matanya, terganggu uap. Tengah ia merasa kepalanya pusing dan matanya kabur, dari arah belakangnya, datang Tjio Keng To bersama Kok Tiok Koen.

"Biar bagaimana aku pernah menjadi tjongkoan dari istana, jikalau aku mesti mati tidak nanti aku mati di tangan kamu!" Tjong Hay berteriak. Dengan pedangnya, ia lantas menikam tenggorokannya, maka robohlah ia dengan napasnya lantas berhenti jalan! Di situ ia rebah sebagai mayat yang mandi darah.

"Lepaskan senjatamu!" Kok Tiok Koen berteriak kepada tentera negeri. "Kamu boleh berlalu dari sini!"

Tentara negeri itu memang lagi mati jalan, mendengar suara itu, hampir serempak mereka melemparkan senjata mereka, lantas semua berlerot ngeloyor pergi, hingga lembah itu menjadi penuh dengan golok dan tombak mereka.

Semua orang menarik napas lega karena kemenangan ini, hanya kemudian orang menyesal tidak mendapatkan Law Tong Soen, yang semenjak tadi tak kelihatan mata hidungnya. Rupanya dia dapat menyamar sebagai serdadu biasa dan lolos.

Tjio Keng To mengatur barisan rakyat itu, yang ia serahkan kepada beberapa tauwbak, untuk mereka mengundurkan diri terlebih dulu, ia sendiri bersama Thio Giok Houw semua mendaki gunung, guna melihat Thio Tan Hong.

Kelentingnya Hay Djiak Toodjin luas dan besar serta banyak kamarnya, akan tetapi ketika Thio Tan Hong pergi kesana, seluruhnya sudah kosong. Hay Djiak menyingkir bersama semua muridnya. Maka kebetulan sekali, semua orang dapat memakai semua kamar itu.

Tan Hong lagi beristirahat di dalam sebuah kamar. Keng To tidak berani lantas menemui, dari itu mereka lantas mengatur persiapan barang hidangan. Di kelenting itu terdapat banyak barang makanan, yang tadinya disediakan Hay Djiak Toodjin untuk rombongannya Kiauw Pak Beng, guna Yang Tjong Hay merayakan kemenangan mereka...

Tatkala itu sudah magrib, orang berkumpul di pekarangan dalam. Perjamuan dilakukan selama rembulan terang. Semua orang bergembira, kecuali Hok Thian Touw.

Jago Thiansan itu duduk seorang diri di suatu pojok dari mana ia memandang In Hong, isterinya, lagi memasang omong dengan asyik dengan Sin Tjoe, Giok Houw, Kiam Hong dan lainnya.

Setelah tiga idaran arak, Tjio Keng To mengumumkan dua buah berita, yang satu buruk, yang lainnya bagus. Berita itu ialah tentera negeri, habis merampas Hokpo To, pulau yang menjadi markas mereka, sudah berhasil merampas beberapa pulau lainnya. Karena itu, Yap Seng Lim mengajak barisannya mengundurkan diri. Seng Lim tidak mau bentrok dengan tentera negeri, sebab itu berarti mengurbankan anak buahnya. Meski begitu, ada sebagian tentera rakyat itu yang ditinggalkan di pesisir di mana mereka hidup seperti rakyat jelata dengan begitu, kapan perlu, mereka dapat bersatu menentang perampok-perampok bangsa kate. Yang lainnya semua berangkat ke Utara, untuk mempersatukan diri dengan barisannya Tjioe San Bin. Dengan menyatukan diri, mereka itu dapat melanjuti usaha mereka memperkuat diri, untuk mencapai cita-cita luhur mereka. Ketika itu timbul ancaman dai i suku bangsa Tartar di Barat Daya serta juga dari suku Nuchen di Manchuria, yang setiap waktu dapat menyerbu Tionggoan. Pemerintah lagi memperkuat tenteranya tetapi itu diperuntukan menumpas tentera rakyat.

"Maka itu Tjioe San Bin membutuhkan bantuan banyak orang," kata Keng To akhirnya.

Semua orang berduka mengetahui ludasnya markas Seng Lim. sebaliknya mengetahui persiapan San Bin, semua bergembira. Maka juga pesta ini mereka jadikan sekalian pesta untuk bersumpah bekerja sama menentang serbuan bangsa asing.

Hok Thian Touw terus memperhatikan isterinya. Ia melihat In Hong sangat ketarik dengan keterangan Tjio Keng To, ada kalanya dia mementang mata dan mengertak gigi, ada saatnya dia bergembira dan bersemangat. Jadi hati isteri itu tetap ada pada gerakan kebangsaan itu.

"Apa aku mesti bilang?" pikir jago Thiansan ini. Ia merasa sulit untuk membujuki isteri itu. bahkan sukar juga untuk membuka mulutnya. Maka ia menjadi masgul dan tawar hatinya. Ia menjadi merasa sangat kesepian. Ia membayangi: ia dan isterinya benar-benar berada di dalam dua benua yang terpisah.

Lama setelah memperhatikan isterinya itu, Thian Touw melihat In Hong berbangkit dan bertindak ke arahnya. Itulah terjadi sesudah sang isteri celingukan, rupanya untuk mencari padanya. Ia menduga pasti isteri itu bakal bicara kepadanya. Ia lantas mengawasi isteri itu, sebagai isyarat, lalu diam-diam ia ngeloyor keluar.

Ketika itu Thio Giok Houw bersama Liong Kiam Hong juga sudah pergi keluar, menuju ke rimba. Liong Kiam Hong telah mengambil keputusan untuk berangkat ke Utara. Tadi pun mereka sudah minum arak sumpah persatuan, hingga tak perlu mereka bicara banyak-banyak lagi.

Sampai itu waktu, sang Puteri Malam telah naik tinggi dan sinarnya indah permai. Maka di darat terlihat puncak, di air nampak lautan di mana air dan langit seperti nempel satu pada lain. Alam di detik itu benar-benar indah sekali. Suara menderunya Laut Kuning pun terdengar tegas.

Dan hati Kiam Hong dan Giok Houw berjengut bagaikan ombak itu. Mereka sama-sama berhati muda.

Tiba-tiba mereka mendengar tertawa yang sangat gembira.

"Dengar, itulah adik Sioe Lan bersama Tjioe Toako!" kata Kiam Hong.

Giok Houw sedang mendengarnya, tetapi ia menarik tangan nona didampingnya.

"Mari kita pergi kesana, jangan kita ganggu mereka!" ia mengajak.

Di lain bagian dari rimba itu mereka melihat bayangannya dua orang, yang berendeng, yang kepalanya tunduk, nempel satu dengan lain. Mereka itu tidak tertawa, rupanya keduanya tengah berbisik.

"Itulah entjie In Hong dan Hok Toako," kata Giok Houw. "Sungguh mereka erat hubungannya."

"Ya, mereka beda sekali dari hari¬-hari yang sudah," kata Kiam Hong heran. "Sekarang mereka tidak berselisih mulut lagi. Baik, mari kita pergi kesana, supaya mereka jangan memergokinya, nanti mereka menjadi tak enak hati..."

Keduanya dapat saling mengerti, maka Giok Houw mengajak isterinya bertindak ke lain jurusan.

Semua orang, habis pesta itu, seperti pada menggadangi rembulan.

"Ha, langit bakal jadi terang!'" kata Kiam Hong setelah berselang lama. Ia agaknya terperanjat menyaksikan sang fajar mulai menyingsing.

Giok Houw pun seperti tersadar.

Ketika itu terlihat Tjioe Tjie Hiap dan Im Sioe Lan lagi bertindak pulang.

"Eh, lihat di sana!" Kiam Hong berkata kemudian, tangannya menunjuk.

Giok Houw menoleh ke arah yang ditunjuk itu. Di sana, di bawah sebuah pohon besar, terlihat In Hong berjalan seorang diri. Bersama Kiam Hong, ia segera menghampirkan. Mereka mendapatkan nyonya itu beroman berduka, air matanya masih mengembeng. Teranglah In Hong dan Thian Touw telah bentrok pula dan kali ini tak ada jalan untuk mendapatkan pula kecocokan satu dengan lain. Hanya kali ini mereka tidak bercedera seperti biasanya beberapa kali yang lalu.

Giok Houw dan Kiam Hong sangat masgul. Tapi, apa mereka bisa bilang?

Sekian lama In Hong berdiam, lalu mendadak kedua tangannya menyamber masing-masing sebelah lengannya Kiam Hong dan Giok Houw seraya ia berkata bernapsu: "Mari kita mengambil jalan yang sama! Mari kita pulang!"

"Ya, sekarang pun matahari sudah mulai naik!" kata Giok Houw dan Kiam Hong berbareng!

Demikianlah:

Seekor burung hong terbang sendirian.
Bercerai dari rombongan di saat pertemuan.
Ikatan lama lepas, habis
bagaimana?
Nyali keras, hati lunak,
Keduanya kosong harapannya...
Itulah mirip, Goe Long dengan Tjit Lie,
Si gembala dan si nona tukang tenun.
Di gunung Thiansan, hati putus, nyasar...

T A M A T

Cerita Selanjutnya Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar