Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 5

Liang Ie Shen, Seri Thian San-04: Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 5 "Apakah sekarang kau merasa enakan?" tanya si pemudi perlahan.
 
Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 5
"Apakah sekarang kau merasa enakan?" tanya si pemudi perlahan.

Giok Houw mengawasi. Sekarang ia sadar benar-benar. Ia melihat Sioe Lan bermandikan peluh, sedang lengannya berwarna merah bercampurkan sinar hitam. Di saat itu ia mengerti bahwa sebenarnya si nonalah yang sudah menolong padanya, la terperanjat.

Pemuda ini pernah mendengar dari

Kiam Hong tentang Tjit Im Kauwtjoe dan gadisnya ini, ketika itu lenyap kesan buruknya terhadap si nona, maka sekarang, melihat perbuatan nona itu, sikapnya menjadi lain sekali.

"Nona Im, aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepada kau," katanya perlahan. "Sekarang ini aku merasa enak banyak. Silahkan kau beristirahat!"

Sioe Lan girang berbareng pedih hatinya. Tanpa membuka suara, ia mengawasi Giok Houw, kemudian ia mengeluarkan jarum emasnya, dengan sebat ia menusuk beberapa kali telapakan tangannya sendiri hingga darah hitam mengalir keluar dari telapakan tangan itu.

Giok Houw menyaksikan itu, dia terkejut.

"Eh, kau kenapakah?" tanyanya. "Mungkinkah kau keracunan disebabkan kau menolongi aku?"

"Tidak apa-apa," menyahut si nona. "Kau jangan kuatir."

Di mulut Sioe Lan mengatakan demikian, sebenarnya

pertolongannya itu membawa akibat rugi besar baginya. Memang, keracunannya barusan tidak ada artinya, dengan darahnya dikeluarkan, ia sudah selamat. Kerugiannya itu yaitu ia meyakinkan Tjit Im Toktjiang dari ibunya baru tiga bagian, dengan menolongi Giok Houw itu, habis kepandaiannya yang belum mahir itu. Ia telah berkurban untuk menolongi jiwa si anak muda. Tanpa ia memberi penjelasan, melainkan ia sendirilah yang mengetahui kerugiannya itu.

Giok Houw mengerebongi diri dengan bajunya, ia duduk dengan menyundang.

"Benar-benar aku merasa baikan." ia berkata pula.

Sioe Lan tertawa.

"Itulah bagus!" katanya. "Nanti aku panggil entjie Hong datang kemari. Di dalam mimpimu kau memanggil-manggil dia!"

Giok Houw melihat bahwa orang tertawa bagaikan dipaksakan, karenanya, hatinya bercekat. Sioe Lan sendiri sudah lantas berlari pergi.

Akan tetapi Nona Im tidak dapat mencari Kiam Hong. Nona itu sengaja sudah menyingkir dari ianya.

Nona itu justeru tengah berada di gunung belakang, lagi berjalan mundar-mandir dalam rimba bunga bwee. Di dalam hatinya nona itu, atau lebih benar di depan matanya, lagi berkelebat bayangannya Giok Houw dan Sioe Lan bergantian, lalu paling belakang tertampak bayangannya Tjit Im Kauwtjoe. Hingga bayangannya si pemuda kena teralingkan.

"Ah!..." akhirnya ia menghela napas. "Biar bagaimana. Sioe Lan lebih harus dikasihankan, aku harus membikin dia dapat mewujudkan angan-angannya!"

Nona ini telah mengambil keputusannya. Ia memoles secabang bunga bwee. Tapi ia masih berdiri diam, pikirannya masih bekerja. Tiba¬tiba ia mendengar suara tertawa, yang disusul dengan pertanyaan: "Adik Hong! Bukannya kau pergi melongok Siauw Houw Tjoe, kau justeru berada di sini! Kau lagi memikirkan apa?" Kiam Hong terperanjat. Itulah suaranya In Hong. "Entjie Hong!" ia lantas berkata, "hari sudah begini malam, kenapa kau masih keluar juga? Apakah kau sudah sembuh seluruhnya?"

"Sudah!" menjawab In Hong, tertawa pula. "Aku menghaturkan banyak terima kasih kepada kau, yang telah pergi mengambilkan obat untukku!"

"Entjie harus mengucapkan terima kasih kepada Tjit Im Kauwtjoe. Dialah yang telah mengurbankan jiwanya untuk kita."

Nyonya Thian Touw menghela napas.

"Mereka ibu dan anak harus dikasihankan," ia kata. "Baru saja aku melihat Siauw Houw Tjoe, di sana aku bertemu dengan puterinya Tjit Im Kauwtjoe itu. Dia nampak sangat berduka."

Diam-diam Kiam Hong menghela napas, ia membungkam.

"Apakah Giok Houw maju baik?" ia tanya.

"Maju baik," sahut In Hong. "Eh. tahukah kau. Nona Im itu tengah mencari kau? Aku menduga kau berada di hutan ini, benarlah dugaanku. Mari kita sama-sama melihat pula Siauw Houw Tjoe."

Kiam Hong menolak. "Tidak, aku belum ingin kembali," katanya.

In Hong mencekal tangan orang. "Adik Hong, kau memikirkan apa?" ia tanya, lembut.

"Tidak apa-apa. Entjie, kapan kau hendak pulang?"

"Aku telah bicara dengan Tjioe Tjcetjoe suami isteri, aku berniat pulang besok."

"Aku akan pulang bersama, entjie."

In Hong heran. "Kenapa?" dia tanya. Nona itu tertawa. "Aku berat berpisah dengan kau!" sahutnya. "Kita datang sama-sama, kita pulang bersama-sama juga." In Hong tertawa. "Kau tidak tega meninggalkan aku, apakah kau tega meninggalkan Siauw Houw Tjoe? Kau sekarang telah berusia dewasa, aku tidak berani menginginkan kau lebih lama lagi..."

Matanya Kiam Hong menjadi merah.

"Di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak bubar," bilangnya. "Jikalau aku tidak pulang, apakah aku mesti berdiam terus di sini untuk selamanya?"

"Ah!" In Hong bersuara tertahan. "Tidak, kau tentunya ada memikir sesuatu! Lain orang dapat kau pedayakan, apakah aku juga kau hendak mendustainya?"

"Entjie, aku hendak meminta sesuatu dari kau." kata Kiam Hong, yang mengegosi kata-kata orang. "Apakah itu. adik Hong?" "Akulah orang yang dirawat dan dididik kau, maka selanjutnya aku ingin menemani kau. entjie. Entjie hendak membangun satu partai persilatan ilmu pedang, meski aku tidak mempunyai guna, dapat juga aku mengerjakan segala catatan. Inilah permintaanku. Maukah entjie meluluskannya?" In Hong tertawa. "Di belakang hari pastilah ilmu pedangku aku turunkan kepada kau," ia berkata. "Ah, kau pasti bukan memikir soal demikian."

Hati Kiam Hong menjadi pedih. "Entjie..." katanya perlahan. Cuma sebegitu kata-katanya, atau air matanya lantas meleleh turun.

In Hong mengawasi, lalu ia mengangkat kepalanya. Ia berpikir. Tiba-tiba ia ingat.

"Tjit Im Kauwtjoe telah memberikan obatnya, tidakkah itu hanya untuk Siauw Houw Tjoe?" ia tanya.

"Benar. Itu pun dapat dikatakan untuk kebaikan puterinya."

"Oh, mengertilah aku sekarang!"

Cuma sebegitu Nona Leng dapat berkata, lantas ia berdiam.

"Nona Im harus lebih dikasihankan daripada aku," berkata Kiam Hong. "Dia juga seorang anak yang baik, engko Houw dapat menyukai dia..."

Ketika tadi In Hong menjenguk Giok Houw, mulai dari luar ia sudah mendengar suara orang bicara di dalam kamar dan ia mengenali, itulah bukan suaranya Kiam Hong. karenanya, ia mengintai dari jendela. Ia tidak tahu bagaimana caranya Giok Houw harus diobati, ia melihat bagaimana erat pergaulannya Giok Houw dengan Sioe Lan. Ia batal masuk ke dalam kamar, bahkan ia menyingkir, setelah Nona Im keluar, untuk mencari Kiam Hong, baru ia muncul, akan menemui puterinya Tjit Im Kauwtjoe itu. Ketika itu ia heran dan bercuriga. Sekarang ia melihat sikapnya Kiam Hong dan mendengar kata-kata nona ini, ia menjadi ingat halnya Giok Houw dan Sioe Lan itu. Ia berpikir: "Giok Houw mendapat pertolongan besar dari Sioe Lan, karena pertolongan itu, suatu budi besar, mungkin dia jadi menyukai nona itu. Ini pun beralasan." Karena ia ingat nasib buruk Nona Im, ia menjadi tidak memikir untuk menegur nona itu sudah merampas kekasih orang, la bahkan lantas ingat, soal pemuda dan pemudi sungguh sulit.

Malam itu indah, suasana tenang sekali, hawa udara pun bagus, akan tetapi mendadak In Hong merasakan hatinya dingin.

"Aku menyangka jodoh mereka ialah jodoh yang cocok, tidak tahunya muncul perubahan ini." pikirnya pula. Ia lantas mengawasi Kiam Hong, roman siapa sangat berduka, sinar matanya layu, tanpa merasa ia menghela napas.

"Kau suka menemani aku, inilah yang aku minta pun tidak dapat," ia bilang sesaat kemudian, "akan tetapi di samping itu aku harus menyayangi kau..."

"Apakah itu. entjie?" Kiam Hong memotong. "Aku minta apa yang aku rasa cocok dengan hatiku, jikalau tidak, walaupun aku memperoleh seorang yang aku sukai, belum tentu itu akan merupakan kebahagiaan. Laginya. di dalam dunia ini. ada berapakah pasangan yang demikian sempurna seperti pasangan entjie Sin Tjoe dengan Yap Toako?..."

Tidak niatnya Kiam Hong untuk menyinggung In Hong, sesudah ia mengucapkan kata-katanya itu, baru ia merasa, maka ia merasakan hatinya tidak tenteram sendirinya. Ia melihat muka In Hong menjadi pucat dan tubuhnya bergetar.

"Kata-katamu ada alasannya," kata Nona Leng. "Memang jodoh yang tepat sangat sedikit. Dengan tidak menikah seumur hidupnya, orang dapat mengurangi banyak keruwetan..."

In Hong ingat perjodohannya dengan Thian Touw. Mereka bersaudara misan, sejak masih kecil, mereka sudah suka satu pada lain. lantas mereka mengikat janji. Sekian lama pernikahan mereka terhalang, selama itu keras mereka memikirkan satu kepada lain. Sebaliknya, Giok Houw dan Kiam Hong hanya bertemu seperti baru sekelebatan, hubungannya belum lama dan tak seerat hubungan mereka berdua. Tapi, sesudah mereka menikah, apa jadinya? Setelah hidup bersama, ada pertentangan di antara mereka. Mereka membawa pikirannya masing-masing. Demikian mereka berpisah...

"Entjie, Hok Toako sangat mengharapi pulangmu," kata Kiam Hong kemudian. "Jikalau entjie pulang, meskipun ada kerenggangan itu, entjie dapat menambalnya. Entjie, baiklah kau jangan bersusah hati."

"Ah, adik Hong, kau tidak mengerti," In Hong menjawab. "Keadaan kami sulit sekali... Kecuali aku dapat merubah pikiranku, atau dia yang dapat mengubah pikirannya, maka pertentangan persesuaian di antara kami sangat sukar untuk diperpadukannya..."

Kiam Hong mengawasi terus, ia sangat berduka.

"Kali ini aku pulang," berkata pula In Hong, "aku tidak bermaksud seperti dia itu, untuk mengurus diri sendiri saja, untuk berdiam untuk selamanya di atas gunung Thiansan. Kau telah tinggal sekian lama di sini, kau tentunya telah dapat melihat. Semua saudara di sini, makannya tidak kenyang, pakaiannya tidak hangat, sudah mereka digencet tentera negeri dan bangsa asing, mereka juga mesti melindungi rakyat jelata! Karena itu dapatkah kita mengeram diri di atas gunung untuk tidak mendengar dan memperhatikan penderitaan mereka itu?"

"Hok Toako sangat berkukuh kepada peryakinan ilmu pedang," kata Kiam Hong, "dari itu bukan pada dasarnya yang sifatnya demikian rupa. Aku percaya mungkin sekali kemudian cita-cita entjie dan Hok Toako yang bertentangan itu akan saling bertemu juga."

"Sebenarnya aku pun mengharap demikian," In Hong bilang. "Sudahlah, sekarang sudah tidak siang lagi, mari kita masuk untuk beristirahat. Besok kita bakal berangkat."

Malam itu Kiam Hong tidur gulak-gulik, terus sampai sang pagi muncul, ia tidak dapat tidur barang sekejab. Kata-katanya In Hong membikin ia berpikir banyak. Keadaan ia dengan keadaannya Nona Leng itu berlainan. Mengenai Giok Houw, ia kenal baik sifatnya pemuda itu.

Di mulut Kiam Hong mengatakan Giok Houw kalah gagah daripada Thian Touw, tetapi sifat mereka lain. Giok Houw itu, kalau mengerjakan sesuatu, tidak pernah ingat paling dulu kepada kepentingan pribadi. Ia cocok dengan sifatnya pemuda itu, karenanya, ia merasa bangga. Tapi sekarang ada sesuatu yang menyelak di antara mereka, maka ia menjadi sangat berduka. Ia berkasihan untuk nasib buruk dari Im Sioe Lan. Maka itu, di dalam hatinya, ia mengharap-harap Giok Houw dapat melupakan padanya...

Bersama-sama Kiam Hong. pagi itu In Hong menemui Tjioe San Bin suami isteri, untuk berpamitan. Tjoei Hong heran mendapatkan Nona Liong hendak pergi bersama, la hendak menahan nona itu ketika Kiam Hong mendahului ia berkata: "Aku mempunyai satu urusan untuk mana aku mesti turut entjie In Hong. Lain kali aku akan kembali ke sini. Aku telah bicarakan hal ini dengan Thio Giok Houw. Sekarang dia lagi sakit, aku tidak pamitan lagi dengannya, tetapi di sini ada sepucuk surat, aku minta tolong disampaikan kepadanya. Segala apa yang aku belum bicarakan, aku telah tulis di dalam surat ini."

Nona itu benar-benar menyerahkan suratnya kepada Nyonya San Bin.

Keberangkatan nona itu, Tjoei Hong merasa, ada apa-apanya yang luar biasa, ia hanya tidak menyangka orang sebenarnya mau menyingkir dari Giok Houw. Sebagai orang • Kangouw sejati, tidak dapat ia menanyakan sesuatu kepada si nona, sebab sudah terang nona itu tidak mau bicara. Kalau sebaliknya, mesti si nona memberi keterangan tanpa diminta lagi. Setiap orang Kangouw tak seharusnya mencari tahu urusan pribadi lain orang.

"Nona Liong, inilah kata-katamu," ia kata, tertawa. "Kau bakal kembali!"

Demikian nyonya ini mengantarkan nyonya dan nona itu pergi. Kemudian, selagi ia mau pergi kepada Giok Houw, untuk menyampaikan suratnya Kiam Hong. Sioe Lan muncul mencari nona itu

"Nona Liong baru saja berangkat. Apakah kau tidak tahu?" ia tanya Nona Im.

Sioe Lan terkejut.

"Nona Liong pergi?" dia tanya, mendelong.

"Kenapakah?" balik tanya Tjoei Hong, heran. "Ada urusan apakah maka kau mencari dia?"

Sioe Lan membikin tenteram hatinya.

"Giok Houw ingin bicara dengannya," ia menjawab.

Nyonya San Bin menjadi bertambah heran.

"Dia membilangi aku bahwa dia telah bertemu dan berbicara dengan Giok Houw," katanya. "Pula ini ada suratnya yang harus disampaikan kepada pemuda itu. Apakah barusan kau bertemu sama Giok Houw?"

"Sebentar barulah aku hendak melihat pula penyakitnya." Sioe Lan menyahut. "Kemarin sore, ketika ia mendusin, ia lantas saja minta bertemu dengan Nona Liong. Kenapa dia pergi?"

Tjoei Hong heran sekali. Ia menunjuki suratnya si anak muda.

"Mungkinkah kedua bocah itu bentrok?" ia kata, tertawa. "Karena kau hendak melihat penyakitnya anak ini, nah. kau saja yang tolong menyampaikan surat ini padanya."

Tjoei Hong ketahui baik eratnya pergaulan Giok Houw dengan Kiam Hong. ia tidak percaya mereka itu berselisih, maka itu, ia tertawa, akan tetapi, melihat romannya Sioe Lan. yang seperti hilang semangatnya, ia heran. Pikirnya: "Mereka ini, setelah merasakan kesukaran bersama, sekarang mirip entjie dan adik..."

Nyonya ini menyangka Sioe Lan memberati kepergian Kiam Hong, tidak tahunya. Nona Im menderita berlipat ganda. Dengan membawa surat Kiam Hong, dengan hati tertindih, dengan tindakan berat, ia masuk ke dalam. Ia tahu baik kenapa Nona Liong pergi. Maka ia kata di dalam hatinya: "Untukku, dia suka meninggalkan orang yang dia sayangi, maka itu, andaikata aku beruntung menikah Giok Houw, bukankah keberuntungan itu keberuntungan yang ditukar dengan penderitaannya dia itu?"

Malam itu, setelah memperoleh cara pengobatannya Sioe Lan, Giok Houw dapat tidur nyenyak. Ketika Sioe Lan masuk ke dalam kamarnya, baru saja ia mendusin. Segera ia mendapat lihat muka si nona lesu dan kucai, seperti ada yang dipikirkan.

"Nona Im. karena kau mengobati aku, kau banyak capai," ia berkata. Agaknya ia menyesal. "Hari ini aku merasa enakan, maka itu, pergilah kau beristirahat. Nusa baru kau datang pula untuk mengobati lebih jauh padaku."

Pemuda ini tidak ketahui ilmu pengobatan, akan tetapi sebagai orang yang mengarti ilmu silat, ia tahu baik apa akibatnya Im Sioe Lan sudah mengobati ia dengan menggunai kepandaian Tjit Im Toktjiang -— dengan hawa dingin melawan hawa panas. Tentulah kesehatan si nona terganggu. Maka ia ingin si nona beristirahat selama dua hari.

Mengetahui bahwa orang sangat memperhatikan ia, Sioe Lan girang berbareng pedih. Tapi ia memaksakan diri untuk tertawa.

"Aku tidak letih," katanya. "Sakitmu sudah sembuh enam atau tujuh bagian, maka kalau kau diobati satu kali lagi, kau akan sembuh seanteronya. Bukankah memukul besi harus selagi masih panas?"

Giok Houw tidak berani menampik.

"Nona Im," katanya, "aku tidak tahu bagaimana harus membalas budimu yang besar ini." Tapi, baru dia berkata begitu, lantas dia menanya: "Mana Kiam Hong? Kenapa dia tidak datang melihat aku?"

Sioe Lan terdiam. Tapi ia tahu. tidak dapat ia tidak berbicara.

"Nona Liong... dia... dia sudah pergi." sahutnya. "Ini suratnya untukmu."

Giok Houw terkejut hingga dia berseru: "Apa? Dia telah pergi?" Dia lantas menyambuti surat, untuk segera dibuka.

Hati Sioe Lan berdebaran, ia mengawasi pemuda di depannya itu. yang ia cintai hingga ia tergila-gila Ia mendapatkan, sembari membaca, tubuh si pemuda menggigil, mukanya menjadi pucat, kemudian Giok Houw berseru-seru: "Tidak! Tidak! Inilah tidak bisajadi! Inilah tidak bisajadi!"

"Thio Totjoe," kata Sioe Lan. "Kau... kau... kau mau apa?"

Giok Houw berlompat bangun.

"Aku mau pergi kepada adik Hong!" dia menyahut. "Aku hendak tanyakan sendiri, depan berdepan!"

Sioe Lan menghalang di depan pintu.

"Jangan!" ia berkata. "Kau belum sembuh betul! Laginya Nona Liong sudah pergi jauh..."

Muka Giok Houw menjadi merah, lalu merah padam, sebab otot-otot di mukanya pada timbul, nampaknya gelap. Bagaikan orang yang hilang semangatnya dia menolak dengan kedua tangannya.

"Jangan rintangi aku!" dia berteriak.

Pedih hati Sioe Lan, ia pun berkuatir. Saking terpaksa, iamenotok.

Giok Houw boleh gagah dan menang dari si nona, akan tetapi dalam keadaan seperti kalap itu, ia tidak bersiaga. Ia pun baru saja mulai sembuh. Maka tanpa dapat berkelit lagi. ia roboh pingsan.

Sioe Lan menghela napas lega. Ia pondong tubuh pemuda itu, untuk dengan hati-hati direbahkan di atas pembaringannya. Dengan lantas ia menggunai jarum, menusuk jari tengah orang, untuk mengeluarkan darahnya. Barusan ia menotok karena tidak ada jalan lain lagi. Sisa racun dalam tubuh Giok Houw belum terbasmi semua, karena hatinya goncang dan dia menggunai tenaga terlalu besar, Giok Houw dapat merusak kesehatannya yang belum pulih itu, jikalau racun masuk ke jantungnya, maka sulitlah untuk mengobatinya.

Sinar matahari masuk dari antara jendela, mensoroti muka Siauw Houw Tjoe. Muka itu pucat. Warna guramnya tadi telah lenyap tujuh atau delapan bagian. Perlahan-lahan, terlihat sedikit warna dadu. Walaupun wajah itu perok. di sana masih bersisa roman tampannya.

Berdiri di depan pembaringan, Sioe Lan mengawasi terus. Inilah orang yang ia gilai, tetapi hati orang tidak ada padanya... Maka ia bersedih bukan main. Ia bersusah hati tak kalah dengan susah hatinya si pemuda sebab kepergiannya Kiam Hong itu. Tadinya ia masih mempunyai sedikit pengharapan, ia mengharap setelah perginya Kiam Hong, hati Giok Houw dapat berubah perlahan-lahan. Sekarang, sikapnya si pemuda membikin ludaslah sedikit pengharapannya itu...

Dengan terus mengawasi, Sioe Lan dapat melihat suratnya Kiam Hong yang tertindih tubuh Giok Houw. Dengan perlahan ia mengambil itu.

Tidak ada sama sekali niatnya mencuri lihat surat lain orang, akan tetapi ia terpengaruh rasa herannya, rasa ingin tahunya, ia toh membaca juga

Nona Liong menulis begini:

"Engko Houw yang baik!

Engko, aku ketahui kau bakal lekas sembuh seluruhnya aku girang sekali. Tapi, engko, pagi ini ada satu hal yang memaksa aku mesti lantas berangkat, saking tergesa-gesa tidak dapat aku pamitan dari kau. Engko lagi sakit dan aku pergi jauh, aku menyesal sekali, jikalau kau menggusari aku, aku tidak dapat membilang suatu apa Engko, aku mempunyai kesulitanku sendiri.

Aku ingat bagaimana pada hari-hari yang lalu kita bersama melakoni perjalanan laksaan lie, bagaimana kita berpisah tetapi toh berkumpul kembali, bagaimana mempercayai aku, sedang dalam setiap kesulitan, kita saling membantu. Dalam hidupnya seorang manusia, kalau dia mendapatkan orang yang mengenal hatinya, apa lagi yang dia harapi? Tetapi, engko, ada satu hal yang engko belum ketahui dan hari ini tidak dapat aku tidak memberitahukannya.

Ketika adikmu ini masih kecil sekali, oleh ibuku aku telah dijodohkan kepada satu anak dari tetangga kami, kemudian karena pelbagai kekacauan dan kita berpisah, sampai sebegitu jauh di antara kita tidak ada kabar ceriteranya satu dengan lain, hingga pihak sana itu tidak diketahui dia masih hidup atau sudah mati, dan pihakku pun tidak memikirkannya lagi. Akan tetapi di luar dugaan kami kemarin ini entjie Hong memberitahukan aku bahwa dia itu berada di Kanglam dan ibuku pun telah mendapat kabar perihalnya. Tentu sekali, ibu tidak dapat menyangkal janjinya, tidak perduli orang itu melarat atau bagaimana. Maka sekarang aku mesti berangkat ke Kanglam, aku mesti menurut akan kata ibu, kemudian aku akan ikut ibu pergi ke Kanglam.

Engko. adikmu harap selanjutnya janganlah engko pikirkan pula adikmu ini. Adikmu harap engko merawat diri baik-baik."

Sioe Lan menghela napas.

"Ah, pantaslah Giok Houw menjadi seperti kalap..." pikirnya. "Tapi, benarkah kata-katanya Kiam Hong ini?..."

Tidak lama nona ini bersangsi, lantas ia mengerti, dapat ia membade maksudnya Nona Liong itu.

"Teranglah dengan ini ia hendak membikin putus pengharapannya Giok Houw," pikirnya. "Sengaja ia menulis bahwa ia telah ditunangkan itu! Oh, entjie Liong, untukku ini, kau membuatnya dirimu bersengsara..."

Tanpa merasa mengucurlah air matanya mengenai surat itu.

Nona Im berjalan mundar-mandir, pikirannya kusut- Ia ingat maksudnya ibunya memberikan obat pemudah racun kepada Kiam Hong, ya ingat juga penderitaan ibunya yang mati bersengsara itu.

"Ibu bernasib buruk, dia menderita, dia tidak dapat menikah dengan orang yang dia cintai. Seumurnya, ibu senantiasa memikirkan kekasihnya itu, sampai kakek memaksa dia menikah, hingga terlahirlah aku. Sampai ajalnya tiba, ibu menyesal dan tersiksa..."

Lantas Sioe Lan ingat peristiwa sedih dan dahsyat di dalam kuil di mana ibunya terbinasa. Ia bergidik.

Ibunya itu ialah suatu contoh.

"Jikalau dua hati tidak saling menyinta, tak luput orang dari akhir yang menyedihkan. Thio Giok Houw menyintai Liong Kiam Hong, umpama kata toh terjadi juga aku menikah dengannya, kalau kemudian dia mendapat tahu duduknya hal yang benar, mungkin dia menjadi seperti ibuku, yang seumurnya terus menyintai kekasihnya, hingga terhadap aku, mungkin dia mendendam kebencian..."

Mengingat ini, bagaikan orang baru mendusin dari tidurnya, Sioe Lan sadar, maka itu, meski hatinya sakit, pikirannya toh terbuka, ia merasa lega. Perlahan-lahan ia membuka jendela, membiarkan sinar terang masuk ke dalam, untuk menyingkirkan keguraman seperti keguraman hatinya itu. Hawa segar pun masuklah.

Nona ini melipat pula suratnya Kiam Hong itu, ia masuki ke dalam sakunya si anak muda, kemudian ia meraba nadi orang, yang telah pulih seperti biasa. Maka lantas ia menotok, untuk membebaskannya, untuk membikin orang sadar.

Giok Houw membuka kedua matanya, terus ia bangun untuk berduduk.

"Ah, mengapa kau mencegah aku?" ia tanya, perlahan, menghela napas.

Sioe Lan memaksakan bersenyum.

"Kesehatanmu belum pulih, umpama kata aku membiarkan kau menyusul, kau pun tidak bakal dapat menyandak." ia kata, sabar.

Giok Houw dapat memikir, ia merasa kata-kata si nona benar. Maka ia berdiam. Sioe Lan bersenyum ketika ia berkata pula: "Nona Liong membilang dia mau turut Leng Liehiap pulang ke Thiansan untuk meyakinkan ilmu silat pedang, bukankah maksudnya itu baik sekali ? Kau agaknya sangat berduka, kenapakah?"

"Apa benar dia membilang demikian kepada kau?" Giok Houw menegasi.

"Perlu apa aku mendustai kau?"

"Ah, kau tidak tahu, kau tidak tahu..." kata si anak muda. Di dalam saat sangat berduka seperti itu, ingin ia memperoleh satu kawan sehati kepada siapa ia bisa beber kedukaannya, untuk mengutarakan berapa besar cintanya terhadap Kiam Hong. Tapi kapan ia ingat ia berhadapan dengan Sioe Lan, ia bersangsi. Demikian iamerandak.

Sioe Lan sebaliknya tertawa.

"Aku tahu kau menyintai Nona Liong" katanya, terus terang. "Sebaliknya kau tidak mengetahui, dia sebenarnya menyintai kau sepuluh lipat lebih besar!"

Giok Houw melengak.

"Bagaimana kau ketahui itu?" ia tanya. "Apakah ia bicara sendiri dengan kau?"

Sioe Lan tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia menanya: "Tahukah kau bagaimana caranya Nona Liong ketika ia minta obat untukmu? Tentang itu aku melihat dengan mata dan mendengar dengan telingaku sendiri, maka perihal hatinya itu, aku tahu baik sekali."

Meski ia menanya, nona ini toh lantas menjelaskan segala perbuatan Kiam Hong ketika nona itu datang kepada ibunya, untuk meminta obat. Ia menuturkan juga bahaya yang ditempuh si nona, demikian segala hal yang dialami ia dan ibunya sampai ibunya menutup mata. Semua hal itu, belum pernah Kiam Hong memberitahukan si anak muda. Giok Houw mendengari dengan perhatian, ia heran dan kagum. Sungguh besar bahaya yang dihadapi Kiam Hong dan Tjit Im Kauwtjoe semua.

"Kalau begitu, benar-benar ia menyintai aku lebih daripada ia menyintai dirinya sendiri," pikirnya.

"Dialah seorang nona gagah dan mulia, maka itu, taruh kata benar keterangannya, ia mempunyai jodoh dengan lain orang, tak usahlah ia tunduk kepada aturan kuno itu..."

Baru saja memikir demikian, atau Giok Houw sudah memikir lainnya.

"Kita telah berkenalan lama, tidak ada apa-apa yang ia tidak bicarakan padaku," demikian pikirnya pula, "kenapa ia tidak pernah omong jodohnya itu? Dan entjie In Hong tidak pernah mengatakannya juga? Kenapa sekarang Sioe Lan bicara begini rupa?"

Pemuda ini tidak tahu, alasannya Kiam Hong itu pun alasan yang baru didapat karena kepergiannya yang mendadak.

Setelah pikirannya makin sadar, Giok Houw merasakan sikapnya Kiam Hong itu aneh, hanya masih ia belum dapat menduga dengan tepat sebabnya itu.

Sioe Lan mengawasi anak muda itu, yang mulai tenang hatinya, maka ia pun merasa lega.

"Mari aku mengobati kau lagi satu kali," katanya bersenyum manis. "Setelah ini, sesudah sehat betul, kau boleh pergi susul adik Liong-mu itu."

Giok Houw menurut, ia merebahkan dirinya. Selagi si nona membukai bajunya, ia kata: "Nona lm, benar-benar aku tidak tahu bagaimana aku harus menghaturkan terima kasihku terhadapmu..."

Ia berterima kasih bukan untuk pertolongan pengobatan saja, juga untuk hiburannya yang membuatnya hatinya tenang. Dari nona ini pun ia mendapat tahu bagaimana besar Kiam Hong menyintai ia. Di samping itu, terhadap si nona, ia menjadi ingin bersahahat dengan sejujurnya. Tentu sekali, ia tidak ketahui, walaupun mulut si nona manis, senyumannya murah, hatinya sebenarnya sakit dan pedih. Ia, yang dicintai, tidak ada hatinya terhadapnya..."

Sioe Lan sudah lantas memberikan pertolongannya, la menggunai waktu setengah jam. Dengan begitu ia bisa menyingkirkan sisa racun yang terakhir. Dengan begitu, sakitnya Thio Giok Houw telah disembuhkan. Tapi, dengan begitu juga, habislah semua kepandaiannya ilmu Tjit Im Toktjiang yang ia baru dapatkan tiga bagian itu.

Hari itu Tjioe San Bin serta isteri, begitu juga pemimpin-pemimpin lainnya, datang menjenguk si anak muda. Semua merasa girang akan mendapatkan orang telah pulih kesehatannya, hingga tinggal kesegaran saja yang harus dikembalikan. Maka itu, San Bin melarang orang turun gunung dulu.

Sementara itu, di luar dugaan. Sioe Lan turun gunung dengan diam-diam, tanpa pamit lagi.

Malam itu Nona Im berpikir keras. Setelah berkutat sekian lama, ia mengambil putusannya. Untuk Giok Houw, hendak ia pergi menyusul Kiam Hong. Hendak ia menjelaskan kepada Kiam Hong tentang rahasia hatinya. Untuk San Bin, ia meninggalkan sepucuk surat. Di tengah malam, diam-diam ia menghampirkan kamarnya Giok Houw. Ia tidak masuk ke dalam kamar hanya mengawasi dari luar jendela. Di situ ia mengeraskan hatinya, ia menahan pedih hatinya. Ia memutar tubuhnya, untuk terus turun gunung.

Di hari kedua Giok Houw bangun pagi-pagi. Ia merasa tubuhnya segar, ia lantas duduk bersamedhi. untuk menyalurkan pernapasannya. Latihan ilmu dalam itu membuatnya segar sekali. Ia menduga, lagi lima hari, ia tentu akan sudah dapat turun gunung. Ia merapikan pakaiannya, untuk keluar dari kamar. Inilah yang pertama kali ia mendapat hawa luar semenjak sakitnya, ia mendapatkan sinar matahari yang nyaman. Dalam gembiranya itu, ia pergi mengunjungi San Bin, untuk membikin girang tjeetjoe itu.

San Bin dan isteri mendapatkan Giok Houw dapat turun dari pembaringannya, senang hati mereka. Akan tetapi matanya si anak muda tajam sekali. Pada wajah girang suami isteri itu ada tersembunyi sesuatu. Maka diam-diam ia berpikir dan matanya mencari-cari. Lantas ia lihat sepucuk surat di atas meja. Ketika barusan ia datang ketempatnya suami isteri itu. Tjoei Hong meletaki surat di atas meja.

"Apakah ada terjadi sesuatu?" ia tanya. Ia melengak. "Surat siapakah itu?"

Tjoei Hong menghela napas. Ia tidak dapat mendusta.

"Nona Im sudah pergi," katanya, perlahan. "Inilah suratnya."

Giok Houw terperanjat. Benar-benar, itulah di luar dugaanya.

"Dia pergi?..." katanya. Cuma sebegitu ia dapat menanya.

"Benar. Kami ingin menahan dia. tidak tahunya dia pergi dengan diam-diam."

Nyonya San Bin menyerahkan suratnya Sioe Lan itu.

Giok Houw membaca. Singkat suratnya Nona Im. Mulanya ia menghaturkan terima kasih kepada San Bin suami isteri, akhirnya ia minta tolong agar Ban Thian Peng suka dibantu di mana bisa. Tentang kepergiannya, ia tidak bilang apa-apa.

"Mungkinkah dia mencela perlayanan kami?" kata Tjoei Hong. "Inilah aku sangsi. Lebih mungkin ialah ia mempunyai suatu urusan penting tentang mana ia tidak suka memberitahukan kita..."

"Apa mungkin dia hendak mengurus partainya?" kata San Bin. "Ibunya ialah kauwtjoe dari Tjit Im Kauw. Kalau begitu, kenapa dia pergi tanpa pamit lagi?"

Giok Houw membiarkan suami isteri itu saling menduga, la sendiri, mengertilah ia sebab kepergiannya si nona. Ia telah melihatnya dari arah dekat selama dua hari ini.

"Giok Houw, bagaimana kau pikir?" kemudian Nyonya San Bin menanya si anak muda.

"Ah, aku... aku..." sahut anak muda itu, masgul. "Aku merasa dia harus dikasihani..."

"Ya, dia memang harus dikasihani," berkata si nyon>a. "Aku justeru memikir bagaimana harus mempernahkan dia, tetapi dua hari ini aku terlalu repot. Dia baru datang, aku tidak menduga dia bakal berlalu dengan begini cepat, hingga belum sempat aku berbicara dengannya."

"Coba panggil Tjie Hiap" tiba-tiba San Bin berkata.

"Orang sudah pergi, untuk apa memanggil Tjie Hiap?" sang isteri kata.

San Bin tidak menyahuti, ia melainkan bersenyum. Melihat sikap suaminya itu. Tjoei Hong ingat apa-apa, lantas ia mengerti.

"Benar!" katanya. "Biar Tjie Hiap diperintah menyusul dia!"

Malamnya yang Sioe Lan tiba di gunung, San Bin dan isterinya sudah berdamai. Mereka pikirkan daya untuk membalas kebaikannya Tjit Im Kauwtjoe serta gadisnya. Kesudahannya mereka setuju untuk mengambil Sioe Lan sebagai nona mantu mereka.

Tak lama. Tjie Hiap muncul. Ia menanya ada urusan apa.

"Nona Im pergi, tahukah kau?" sang ayah tanya.

Tjie Hiap heran.

"Kapan perginya?" ia tanya.

"Tadi malam." sahut Tjoei Hong. "Mungkin dia belum pergi jauh."

San Bin, dengan roman sungguh-sungguh, berkata: "Nona itu benar berasal dari kalangan sesat tetapi dia dan ibunya melempar budi kepada kita. karena itu sudah sepantasnya jikalau kita tidak membiarkan dia terumbang-ambing dalam

perantauan."

"Lagi pula ia pun sudah menolong saudaramu, Giok Houw," Tjoei Hong menyambungi. "Turut penglihatanku, meski ia asal kaum sesat, ia sendiri berhati lurus?"

"Maka itu," San Bin menambahkan, "aku hendak minta Tie Pangtjoe bersama kau pergi turun gunung, untuk menyusul nona itu, setelah dapat diketemukan. kau minta ia suka kembali kemari. Umpama kata ia hendak mengurus dulu urusan partainya, itulah urusannya sendiri, kamujangan campur. Biar bagaimana, ialah seorang nona dan ia bersendirian saja hidup dalam perantauan, aku kuatir ia menghadapi bahaya Setelah bertemu si nona, kau cari tahu dulu sikapnya Apabila karena mengurus partainya ia tidak dapat segera kembali, kamu bantulah secara diam-diam, untuk melindungi. Di sini ada Lioklimtjian, kau boleh bawa, andaikata ada perlunya, dengan ini kau boleh minta bantuannya sekalian paman kaum Rimba Persilatan."

Tjioe San Bin menjadi bengtjoe.

kepala perserikatan, kaum Lioklim atau Rimba Persilatan di wilayah Utara, ia juga berusia tinggi dan dimalui umum, meski wilayah Selatan bukan masuk lingkungan pengaruhnya kaum Rimba Persilatan di Selatan itu menghormati ianya dengan adanya Lioklimtjian. Panah Rimba Persilatan, menjadi pertanda, di mana ia sampai. Tjie Hiap bisa minta bantuan setempat.

Ketika Giok Houw mendengar tindakannya San Bin itu. diam-diam ia berlega hati untuk Sioe Lan, sedang hatinya sendiri turut lega sedikit.

Justeru itu seorang laskar datang memberitahukan: "Ban Kongtjoe datang minta menghadap Tjeetjoe."

"Bagus! Silakan ia masuk!" kata San Bin.

Ban Thian Peng datang dengan roman duka, lantas ia menanya, perlahan: "Katanya entjie-ku pergi, benarkah?"

"Benar," jawab San Bin. "Ia meninggalkan surat menghendaki kami minta kau suka terus berdiam sama kami di sini. Tidak lamajuga ia bakal kembali."

"Tidak, aku ingin pergi menyusul dia," kata Thian Peng.

"Kami sudah menyuruh orang pergi menyusul," San Bin kasi tahu.

"Ibunya memandang aku sebagai anaknya maka itu, ialah entjie-ku." kata Thian Peng pula. "Sekarang ia merantau seorang diri. hatiku tidak tenteram. Di sebelah itu, aku mempunyai musuh, maka aku pikir, baiklah aku pergi sekalian mencari musuh kami itu."

San Bin terdesak, habis berpikir sebentar, ia kata: "Soal sakit hatimu itu ada satu soal lain. Nah, baiklah, kau boleh pergi turun gunung! Nanti aku minta Kok Looenghiong menemani kau, kepadanya aku akan memberikan sebatang Lioklimtjian. Tjie Hiap yang bakal pergi menyusul Nona Im. maka itu, kamu boleh ambil jalan berpisahan: dia ke Utara, kau ke Selatan. Mengenai musuhmu, kau juga boleh minta bantuannya Kok Looenghiong."

Lantas tjeetjoe ini menitahkan orang mengundang Tie Pa serta Kok Tiok Kin.

Tie Goan itu hoepangtjoe, ketua muda, dari Kaypang, Partai Pengemis, di Utara, maka itu di mana-mana ia mempunyai banyak "kuping dan mata," hingga leluasalah ia untuk mendengar-dengar kabar atau mencari keterangan, sedang Kok Tiok Kin seorang kenamaan kaum Jalan Putih di Selatan berbareng menjadi tabib, dari itu pemilihan atas diri mereka sebagai kawan seperjalanan Tjioe Tjie Hiap dan Ban Thian Peng tepat sekali.

Sementara itu marilah kita melihat Im Sioe Lan.

Setibanya si nona di kaki gunung maka pada tauwbak pemimpin pos penjagaan di situ ia minta seekor kuda yang dapat lari cepat. Ia dikenal sebagai tetamu, tanpa curiga, malah tanpa menanya apa-apa. tauwbak itu memilihkan dia kuda yang diminta, maka sebentar saja, ia sudah mulai dengan perjalanannya. Ia menduga Kiam Hong ikut In Hong pergi ke Thiansan, dan itu ia pun menuju ke Utara. Di hari kedua hampir magrib, tibalah ia di Hoelietjip.

Masuk kebagian tempat yang ramai, Nona Im mencari rumah penginapan. Ia lantas mendapatkan satu yang papan mereknya sudah pecah dan berserakan di tepi jalanan, hotelnya sudah rusak, bahkan temboknya ada yang gempur, seperti juga belum terlalu lama, hotel ini telah jadi kurban perang. Inilah tidak heran. Itulah hotelnya si orang she Tjioe. yang dilabrak Lauw Wan Tat dan Liong Kiam Hong.

Orang hotel terkejut melihat datangnya nona ini. Mereka tahu, di antara orang-orang yang menyerbu hotel, ada seorang nona gagah dari atas gunung, meski ini tetamu bukannya Kiam Hong, mereka toh heran.

Kuasa hotel, yang menyambut, sudah lantas mengedipi mata seraya berkata: "Nona silakan nona pergi mencari lain rumah penginapan, hotelku ini sudah penuh."

Sioe Lan tidak mengerti isyarat kedipan mata itu. Biar bagaimana, ialah bukan orang Kangouw yang berpengalaman. Maka ia menjadi tidak senang dan berkata: "Apakah kau berani memandang tidak mata kepada wanita yang berjalan seorang diri?

Apakah kau takut aku nanti tidak membayar uang sewa hotelmu?"

Cepat-cepat kuasa hotel itu menggoyangi tangan, terus ia kata dengan perlahan: "Harap jangan gusar, nona. Bukankah nona datang dari gunung?"

Sioe Lan heran, ia mengawasi.

"Kalau benar, bagaimana?" ia tanya.

"Di sini ada cucu kuku garuda!" sahut si kuasa hotel.

Hoelietjip termasuk daerah pengaruhnya Tjioe San Bin, maka itu, penduduk situ berkesan baik terhadap rombongan tentara suka rela, mereka lebih suka membantu San Bin daripada pembesar negeri.

Sioe Lan tidak lantas mengangkat kaki, sebaliknya, dia memandang ke sekitarnya.

Melihat sikap nona ini, kuasa hotel itu berkuatir bukan main, hingga tanpa merasa ia mengeluarkan peluh. Ia menduga-duga mungkin nona ini orang Kangouw yang masih hijau.

Sesudah melihat romannya si kuasa hotel, Sioe Lan percaya bahwa ia bukan lagi didustakan, maka ia menurut, hanya selagi ia mau berlalu, mendadak ia mendengar bentakan nyaring: "Berhenti!" Ia lantas berpaling.

Dari dalam hotel itu muncul dua opsir, yang satu jangkung, yang lain kate. Yang jangkung itu mendahului menghampirkan, untuk menghadang di pintu.

"Siapa kau?" dia tanya, keras. Sioe Lan tidak senang, ia tertawa dingin.

"Aku tidak melanggar undang-undang negara, mau apa kau usil aku orang apa?" iamembaliki.

"Hm!" si opsir mengejek. "Kaulah seorang wanita, kau berada seorang diri, kau juga menyoreng golok, kau pasti bukan wanita baik-baik!" katanya menghina.

Si kate pun maju dan turut berkata dengan bengis: "Kebanyakan dialah bangsat wanita dari Kimtoo Tjee! Bukankah kau yang telah menganiaya kuasa she Tjioe dari hotel ini?"

Sioe Lan lantas menjadi gusar sekali. Memangnya ia lagi pepat pikirannya. Sikapnya si jangkung saja sudah membikin ia sangat mendongkol. Maka tidak dapat ia mengendalikan diri.

"Bikinlah mulutmu sedikit bersih!" ia menegur.

Si jangkung tidak memperdulikan, dia bahkan tertawa.

"Aku tahu asal-usulmu pasti bukan asal-usul yang benar!" dia kata. "Oleh karena aku melihat roman kau yang manis, sebenarnya aku sudah berlaku baik hati."

Tanpa menanti orang menutup mulut, Sioe Lan sudah lantas mengayun sebelah tangannya, maka di situ segera terlihat menghembusnya segumpal asap bagaikan kabut.

"Celaka!" berteriak si kate. "Bangsat perempuan ini menggunai asap hio pulas!"

Si jangkung tidak sempat menyahuti, dia bahkan kaget dan kesakitan. Tanpa merasa, sebelah mukanya digaplok Sioe Lan hingga terdengar suara nyaring dari tangan mampir di pipi. Tapi dia liehay, dengan sebat dia meluncurkan tangannya, untuk menangkis sambil menangkap.

Sioe Lan dapat meloloskan tangannya, tetapi ia tersampok hingga ia terhuyung, hampir ia roboh. Pula syukur, karena gumpalan asap itu, si jangkung tidak dapat melihat ia hingga ia tidak dapat disergap.

Si kate sudah lantas menyerang dengan Pekkhong Tjiang, pukulan Udara Kosong. Sambaran angin dari pukulan ini membuat gumpalan asap buyar.

Sioe Lan terperanjat.

"Liehay kedua opsir ini, mereka tidak dapat dipandang enteng!" pikirnya. Maka ia lantas menghunus sepasang goloknya.

Si jangkung memainkan napasnya, lantas ia merasa lega. Ia tidak merasakan kepalanya pusing atau mata berkunang-kunang. Itulah tanda bahwa asap itu bukan asap obat pulas. Ia segera meloloskan djoanpian dari pinggangnya, untuk dengan cambuk istimewa itu menyerang si nona. Ia menggunai tipu silat "Angin puyuh menyapu pohon yanglioe." bengis serangannya karena ia mendongkol sekali.

Sioe Lan puteri Tjit Im Kauwtjoe, ia telah mewariskan tiga bagian kepandaian ibunya, dari itu ia sudah mengerti juga menggunai pelbagai macam obat atau senjata rahasia beracun, meski demikian, tak sudi ia menggunai asap pulas yang biasa dipakai oleh manusia rendah. Mulanya ia tidak menyangka kedua opsir itu liehay, ia berniat hanya mengajar adat dengan gaplokan, dari itu ia sudah melepaskan asapnya itu. Nyatanya ia keliru menduga. Celaka untuknya, ia segera didesak si jangkung dan si kate itu, hingga ia tidak sempat lagi menggunai senjata rahasianya. Dengan lekas ia terkepung rapat.

Opsir kate itu menggunai gaetan Goatgee kauw. Ia pula nyata terlebih liehay daripada kawannya. Maka berbahayalah desakannya itu. Gaetan ialah semacam senjata penakluk untuk pelbagai gegaman lainnya. Maka itu, selang belasanjurus, sebelah golok si nona sudah kena dipengaruhkan.

Si jangkung hendak melampiaskan kemendongkolannya, mengimbangi kawannya, dia menyerang hebat dibagian bawah. Maka, asal sedikit saja si nona alpa atau kurang gesit, kakinya bakal kena disapu hingga tentulah tubuhnya nanti terguling.

Dalam keadaan terdesak itu, Sioe Lan menyerang dengan tipu silat "Pektjoa tjoettong." atau "Ular putih keluar dari liangnya." Golok kirinya memapas gaetan yang sangat mengganggu padanya.

Si kate tertawa berkakak.

"Bangsat wanita ini nekad!" katanya. Dan justeru golok tiba, ia menyambuti dengan gaetannya. hingga golok si nona menjadi tercantel.

Justeru itu si jangkung menyambar dengan cambuknya. Dia cerdik, biasanya dia menyerang di bawah, sekarang dari bawah, dia memutar haluan, menyerang terus ke atas. Maka berhasillah ia.

Lengan Sioe Lan kena terhajar, dengan lantas cekalan pada goloknya yang tergaet si kate terlepas, hingga goloknya itu terlepas juga dari tangannya. Dalam kagetnya ia berlompat sambil berseru: "Ambillah juga ini satu golokku !" Dan ia menimpuk dengan sebelah goloknya itu.

Si jangkung berani, dia tertawa dingin, sembari tertawa, dia mengulur tangan kirinya, untuk memapaki golok itu, di lain pihak, dengan tangan kanannya, ia membarengi menyerang.

Tepat ketika Sioe Lan menaruh kaki di tanah, cambuk masih menyambar kakinya itu. Tidak ampun lagi ia lantas terlibat dan tertarik, hingga tubuhnya roboh terguling.

Si jangkung puas sekali, ia tertawa bergelak-gelak, sambil tertawa dia bertindak maju, tangannya diulur untuk mencekek si nona.

Mendadak saja terdengar satu suara nyaring, lantas terlihat menyambarnya serupa benda hitam seperti bola. Karena selagi mau dicekek itu, Sioe Lan menggeraki sebelah tangannya, menimpuk.

Si jangkung itu tidak menyangka jelek, jarak di antara mereka dekat sekali, ketika benda hitam itu tiba. ia tidak sempat berkelit lagi, tetapi ia dapat menggunai tangannya untuk menangkis dengan menyampok. Ia menduga kepada peluru besi, maka ingin ia membikin peluru itu mental balik, supaya sebaliknya penyerangnyalah yang terluka!

Nyatalah senjata rahasia istimewa dari Sioe Lan ini ada sangat beracun. Tidak apa jikalau ia tidak mengerjakannya, begitu ia mengasi kerja, maka terdengarlah suara bekerjanya, segera terlihat melesat menyambarnya bukan main banyaknya peluru-peluru kecil sebesar kacang kedele.

Namanya senjata rahasia itu ialah Lianhoan Tjoebo tan, atau Peluru Berantai. Senjata ini tidak dapat dilawan keras dengan keras, umpamanya ditangkis. Sebab sesuatu pelurunya telah direndami racun.

Demikian si opsir yang jangkung, matanya kena disambar peluru, dengan lantas sang racun bekerja, maka dengan lantas matanya buta.

Opsir yang kate terpisah sedikit jauh, dia juga berasal seorang begal tunggal dari kalangan Jalan Hitam, dia banyak pengalamannya, setelah mendengar suara senjata rahasia, dia dapat menduga senjata rahasia itu mesti berbahaya, dengan lantas dia menjembat sebuah meja. untuk dijadikan tameng. Dengan demikian, beruntun-runtun meja itu kena terhajar, semua senjata rahasia itu nancap karenanya.

"Bangsat wanita yang telengas!" dia lantas mendamprat, menyusul mana dengan mejanya ia menyerang. Meja itu dilemparkan hingga melesat ke arah Sioe Lan, bagaikan gunung Taysan menungkrap kepala...

Dengkul Sioe Lan kena dihajar si opsir jangkung yang bersenjatakan djoanpian itu, tidak sempat dia merayap bangun, untuk menyingkir dari meja terbang itu. Di saat ia bakal kena tertimpa, mendadak satu orang melesat dari samping, dengan sebat dan tepat orang itu menyambuti meja, untuk dipegang, sembari dia berseru: "Lao To, tahan!"

Opsir itu heran hingga dia melengak. Justeru itu Sioe Lan menyerang, dengan pisau belati yang dipakai sebagai senjata rahasia, maka pisau itu menancap di tenggorokannya dan dia roboh tanpa dia sempat berkelit, menangkis ataupun berteriak.

Baru sekarang si nona dapat berlompat bangun, untuk mengawasi orang yang menalangi ia menyambuti meja. Ia mulanya menyangka pada salah seorang dari pihak gunung, nyatanya ia keliru. Di depan ia berdiri seorang muda yang tampan, yang dandan sebagai seorang pelajar, yang pakaiannya indah, tangannya mencekal sebatang kipas. Ia menjadi kaget sekali, hingga ia mengeluh di dalam hatinya...

Pemuda itu, yang mengawasi ia sambil bersenyum, adalah Kiauw Siauw Siauw!

Anaknya Kiauw Pak Beng itu datang ke Bang keepo karena sia-sia dia menantikan kembalinya Le Kong Thian, yang telah pergi selama beberapa hari tanpa kabar-ceritanya.

Sedang kedua opsir itu-dua

orang liehay dari dalam pasukan Gielimkoen mereka termasuk bekas sebawahan Yang Tjong Hay. Mereka datang ke Bang keepo ini untuk mencari bekas pemimpinnya itu, untuk sekalian mewakilkan pemimpin mereka yang sekarang, Tongnia Tjhian Tiang Tjoen, guna mengajak Tjong Hay bekerja sama. Hanyalah, ketika mereka dan Kiauw Siauw Siauw tiba di Bang keepo, Yang Tjong Hay bersama Le Kong Thian sudah pergi menyusul Liong Kiam Hong. hingga kedua pihak tidak dapat bertemu satu dengan lain. Dengan begitu juga. Kiauw Siauw Siauw pun tidak ketahui Sioe Lan datangnya dari tempatnya Kimtoo Tjeetjoe.

Menemukan Sioe Lan itu, Siauw Siauw melirik, ia tertawa haha-hihi. Ia merasa pasti si nona tidak bakal lolos dari tangannya.

"Sioe Lan," katanya, "bencana yang kau terbitkan ini hebat bukan main! Tahukah kau siapa dua orang yang kau binasakan ini? Merekalah opsir-opsir dari pasukan pengiring raja!"

Sioe Lan tidak takut, sebaliknya, dengan dingin ia kata: "Kau tangkaplah aku untuk kau pergi menagih jasa! Buat apa kau banyak omong?"

Pemuda itu tertawa.

"Dengan berkata begini kau jadinya telah memandang aku sebagai orang luar!" ia bilang. "Mana dapat aku menangkap kau untuk menagih jasa seperti katamu ini? Syukur kau bertemu denganku, biar ada perkara bagaimana besar juga, aku akan dapat bertanggung jawab! Mana ibumu? Aku telah mengutus Le Kong Thian mencari ibumu itu. Apakah dia telah bertemu dangan kamu?"

Sioe Lan jadi sangat bersedih. Ia diingatkan akan ibunya

"Pergilah kamu ke alam baka mencarinya!" sahutnya sengit.

Siauw Siauw terperanjat. Hanya sejenak, lantas ia mengasi lihat roman berduka.

"Apa?" katanya, balik bertanya. "Apakah ibu mertuaku telah menutup mata?"

"Jangan ngaco-belo!" Sioe Lan membentak. "Siapakah ibu mertuamu?"

Siauw-Siauw tidak menggubris dia dimaki. Dia maju satu tindak.

"Bagaimana dengan Pektok Tjinkeng?" dia tanya, "ibu mati karena kecelakaan atau lantaran sakit? Apakah Pektok Tjinkeng ada padamu?"

Kedua matanya Sioe Lan memain. Ia mendapat akal. Ia lantas mengasi lihat roman gusar.

"Hm, kiranya kau mengarah Pektok Tjinkeng?" katanya. "Itulah kitab pusaka keluargaku, kau tidak usah memikirkannya!"

Sengaja si nona seperti membilangi kitab obat-obatan beracun itu berada padanya.

Kiauw Siauw Siauw percaya itu, diam-diam ia bergirang. Lantas ia menguras keluar air matanya, sembari sesegukan, ia kata: "Kasihan ibu mertuaku itu, yang telah meninggal dunia, hingga aku, menantunya, tidak dapat mengurus dan mengantar dia ke tempat pekuburannya... Di manakah dikuburnya ibu mertuaku itu? Sioe Lan, aku minta sukalah kau mengantarkan aku kesana, aku ingin menyembahyanginya..."

"Apakah benar-benar kau begini berhati baik?" Sioe Lan tanya tawar.

Siauw Siauw mendengar suara orang dingin, tetapi di dalam situ telah berkurang nada bermusuhnya, hal ini membuat hatinya lega. Ia menggoyang-goyang kipasnya, ia pun mendekati lagi satu tindak, lantas ia menunjuki sikap sangat memperhatikan sekali.

"Sioe Lan." katanya, lembut, "meskipun ibumu belum menerima antar panjar dari keluargaku tetapi ayahmu sendiri telah menerima baik lamaran pihakku, maka itu, di antara kita sudah ada kepastiannya ialah kau calon isteriku! Dengan begini, dapatkah aku tidak memperhatikan kau? Sioe Lan, sekarang ini tidak ada orang kepada siapa kau dapat mengandalkan diri, maka itu, jikalau kau suka kau boleh anggap rumahku sebagai rumahmu..."

Si nona berdiam, nampaknya ia sedang berpikir.

Kembali Siauw Siauw maju satu tindak.

"Tentang kitab Pektok Tjinkeng, Sioe Lan, kau salah mengerti." katanya pula. "Ilmu silat kami Keluarga Kiauw sudah terkenal di kolong langit ini tanpa lawan, maka itu, mana dapat aku mengarah ilmu kepandaian keluargamu itu? Aku hanya memikir, orang yang hendak merampas kitab itu bukan sedikit jumlahnya jadi aku berkuatir untukmu..."

Si nona mengawasi.

"Jikalau benar kau demikian memperhatikannya, baiklah, akan aku serahkan itu kepada kau untuk kau yang simpan," ia kata.

Siauw Siauw menjadi girang sekali.

"Memang," katanya, "kita memang sudah menjadi seperti satu tubuh! Kau percaya aku. mana dapat aku menampik? Apakah kitab itu sekarang ada pada kau?"

"Benar," Sine Lan menjawab pula. "Inilah kitab itu, kau boleh terima!"

Belum berhenti kata-kata gadisnya Tjit Im Kauwtjoe ini, maka terdengarlah suara menghembus, lantas dari tangannya menyembur segulung asap. yang terus meledak, mengasi lihat warna api biru, terus suaranya menjerujus!

Nona ini telah menggunai akal, sengaja ia bersikap lunak, untuk membikin si pemuda alpa, lantas dia menyerang dengan senjata rahasianya itu, yang bukan cuma mengeluarkan asap dan api tapi pun ada jarumnya yang halus umpama kata seperti bulu kerbau, setelah meledak, jarumnya lantas menyambar.

Kiauw Siauw Siauw menjerit hebat, dia segera mengipas berulang-ulang, tetapi dia kalah sebat, api telah lantas membakar bajunya, sebab begitu meledak, lengannya yang kiri kena dibikin patah. Tapi dasarnya gagah luar biasa, dia masih sempat berlompat mundur satu tombak, dengan kipasnya dia menangkis berulang-ulang, membikin jarum-jarum beracun runtuh ke tanah, cuma, dua batang mengenai juga kedua jalan darahnya, kioktie di lengan kanan dan loktwie di punggung. Dengan cepat dia menutup jalan darahnya, untuk membikin racun tidak bisa terus mengalir masuk dan menyerang ke dalam. Pula dengan membanting diri dan bergulingan di tanah, dia membikin api padam.

Habis menyerang itu, Sioe Lan lari keluar. Baru ia tiba di luar pintu, ia sudah mendengar angin menyambar di belakang kepalanya, dan belum sempat ia menoleh atau menangkis, pundaknya sudah kena disambar, hingga sekejab itu juga, ia tidak bisa berkutik lagi!

"Perempuan hina dina yang kejam!" kata Siauw Siauw dingin.

Pemuda ini menotokjalan darah si nona, habis itu ia menggeledah tubuhnya, akan mengasi keluar semua obat berikut segala macam senjata rahasia, tetapi obat pemunah ada banyak macamnya, ia tidak tahu yang mana ia butuhkan. Juga ia tidak dapat membedakan, yang mana obat racun dan yang mana obat pemunah, maka semua itu, ia tidak berani sekalipun untuk membukanya...

Tubuh Sioe Lan lantas diletaki di atas tanah, terus dadanya diinjak, segera dia dibentak: "Lekas keluarkan obat pemunah!"

Nona itu rebah terlentang, matanya mengawasi tajam. Ia melihat muka orang telah terbakar hangus, maka muka yang tadinya tampan sekali, sekarang menjadi jelek tidak keruan. Ia menampak roman orang yang bengis yang menyeramkan.

"Meski kau bunuh aku, tidak nanti aku memberikan obat padamu!" ia menyahut. Terus ia merapatkan matanya, tidak mau ia memandang pula wajah orang.

"Hm!" Kiauw Siauw Siauw mengasi ejekannya. "Membunuh kau? Itulah tidak nanti!" katanya, dingin. "Kau meminta mampus, aku sebaliknya menghendaki kau hidup terus! Hendak aku siksa kau perlahan-lahan. Hm. apakah kau kira, tanpa obatmu itu, aku tidak bakal hidup?"

Habis berkata, Siauw Siauw merogoh keluar besi berani, dengan itu ia menekan dan menggosok di keduajalan darahnya, kioktie hiat dan taytoei hiat, sembari menekan ia mengerahkan tenaga dalamnya. Ia berhasil mencabut keluar dua batang jarum bweehoa tjiam. Hanyalah, sekitar tempat yang tertusuk itu telah menjadi bengkak dan keras, walaupun ditekan keras dengan besi berani, tidak terasa sakit lagi. Apa yang terasa sekarang ialah gatal yang bukan main, yang hampir tak tertahankan.

Bukan kepalang kagetnya putera Kiauw Pak Beng itu.

"Sebenarnya racun ini racun ajaib bagaimana?" ia tanya dirinya sendiri.

Memang biasanya, racun yang tidak memberi rasa sakit ialah racun yang terlebih liehay, sebagaimana liehaynya racun yang kerjanya lambat. Kiauw Siauw Siauw bukan ahli racun akan tetapi ia cukup menginsyafinya. Maka itu ia lantas mengerahkan tenaga dalamnya, untuk menolak keluar desakan racun, berbareng ia menutup tujuh jalan darah, untuk tak dapat dimasuki, di lain pihak, ia lekas menelan sebutir pel buatan keluarga Kiauw. obat mana istimewa untuk membasmi racun. Habis menelan itu, rasa pusingnya kurangan, tetapi gatalnya bertambah.

Semua obat yang ia rampas dari Sioe Lan, Siauw Siauw masuki ke dalam sakunya, la periksa kitab Pektok Tjinkeng, yang ia rampasjuga. Ia tertawa dingin.

"Akhir-akhirma toh berada di tanganku!" katanya. Ia melihat banyak resep obat racun, aneka macam. Di antaranya, ada juga bagian yang ia tidak mengarti. Ia telah merasa, mesti penting sekali kitab itu, maka itu, ia mencoba menipu Sioe Lan, supaya si nona berkesan baik terhadapnya, supaya si nona suka mengajari ia ilmu obat-obatan racun itu. Tapi sekarang mereka sudah bentrok, tidak dapat ia menggunai akal muslihat lagi, atau cara lunak. Walaupun demikian, ia ingin melindungi jiwanya si nona...

Sesudah membalut sebelah tangannya yang patah, Siauw Siauw perintah pelayan hotel menyiapkan ia sepaso air, untuk ia mencuci mukanya yang penuh darah. Ia mengacai mukanya, ia melihat mukanya menjadi jelek. Tadinya ia tampan sekali dan sangat bangga dengan ketampanannya itu. Maka sekarang ia menjadi sangat gusar. Berulangkah ia menampar Sioe Lan. Kemudian ia kempit tubuh si nona, untuk dibawa keluar.

Di luar ada sebuah kereta kuda. yang tuan rumah sediakan untuk menyambut tetamu. Melihat kendaraan itu, Siauw Siauw menghampirkan ke depannya. Sambil membentak, ia sampok si kusir, hingga kusir itu roboh, setelah mana, ia menyusuli dengan satu tendangan, maka terjungkallah kusir itu. Ia sendiri, lantas ia lemparkan Sioe Lan ke dalam kereta!

"Baik, kau boleh tertawa!" katanya, sengit. "Meskipun aku menjadi jelek bagaikan memedi, kau tetap menjadi isteriku! Sekarang kau ikut aku untuk kau memberi hormat kepada mertuamu!"

Ia lantas lompat naik ke atas kereta, untuk memegang lesnya, buat menariknya, membikin kudanya berjalan.

Melihat orang demikian galak, pegawai-pegawai hotel tidak berani mencegah.

Sioe Lan sudah bertekad untuk binasa bersama, maka itu barusan, meskipun ia dihajar berulangkah, ia tertawa lebar. Sekarang, mendengar perkataannya Siauw Siauw itu, ia kaget, ia kuatir sekali. Ia telah ditotok jalan darahnya, tidak dapat ia berkutik, dengan begitu, meskipun ia mau, ia tidak dapat mati, sedang untuk meminta hidup, ia tidak sudi. Ia takut ialah kalau ia dipaksa dinikah pemuda ini! Itulah lebih hebat daripada mati!

Oleh karena Siauw Siauw mengumbar amarahnya, mendadak ia merasakan kepalanya pusing sekali, dadanya pun sesak. Ia kaget bukan main. Dengan lekas ia menetapkan hati, terus ia bersamedhi, untuk meluruskan pernapasannya. Sekian lama, baru ia merasa mendingan.

Siauw Siauw terluka oleh racun yang sifatnya lambat. Keracunan semacam itu pantang besar terlalu girang atau terlalu murka, tidak boleh juga terlalu bersedih, sebaliknya, orang harus menenangkan diri. lalu orang mengerahkan tenaga dalamnya, nanti bekerjanya racun dapat ditahan. Tadi, saking gusar, ia sudah melampiaskan kegusarannya.

Meskipun ia benci sangat si nona, Siauw Siauw tidak berani menyiksa di tengah jalan, untuk menghinanya, la masih mengandung sedikit harapan, ialah agar Sioe Lan tahu takut, supaya dia mengeluarkan obat pemunahnya. Semua obat si nona telah ia pindahkan ke dalam sakunya, dari itu belumlah ia putus asa...

Di sepanjang waktu itu, Sioe Lan diperhina, disiksa, tetap ia tidak mau menyerah. Ia telah berkeputusan nekad, bersedia untuk terbinasa. Cuma ia merasa sangat menyesal. Ialah ia belum dapat bertemu Kiam Hong, untuk membeber rahasia hatinya. Karena itu, biar bagaimana, ia masih tidak memikir untuk membunuh diri.

Sementara itu Leng In Hong dan Liong Kiam Hong berada dalam perjalanan mereka. Sangat cocok mereka satu dengan lain. mereka tidak menjadi kesepian. In Hong telah mengajari ilmu pedangnya kepada kawannya, ia lakukan itu di waktu siang dan juga malam sebelum mereka tidur. Setiap waktu mereka pun saling merundingkan, untuk memperoleh kemajuan. Dalam ilmu pedang, Kiam Hong kalah jauh, tetapi ia cerdas, maka itu kadang-kadang ia dapat mengutarakan pikiran yang baik, yang menambah keindahan atau keliehayan ilmu pedang yang sedang diyakinkan itu. Kedua pihak memperoleh faedah, yang lebih besar dapatnya ialah Kiam Hong.

Demikian selama belasan hari, In Hong telah mewariskan ilmu pedangnya itu.

Pada suatu hari tibalah mereka di padang rumput. Hari sudah magrib. Di situ tidak ada tempat singgah, sedang tadi mereka melewatinya. Sudah mendekati sore, cuaca pun buruk. Mega tebal dan hitam, tanda dari bakal turunnya air langit. Tidak bisa lain, terpaksa mereka maju terus, dengan niatan mendaki bukit di depan mereka, untuk mencari guha guna melindungi diri. Baru saja mereka memasuki lembah, mereka melihat sebuah kuil di depan mereka.

Kiam Hong tertawa.

"Berterima kasih kepada Thian, yang tak suka membuat orang putus jalan!" katanya. "Mari kita pergi kesana, untuk menumpang bermalam."

In Hong pun girang. Keduanya lekas maju.

Tengah mereka memasuki pintu kuil, hidung mereka menangkap bau arak, lalu telinga mereka mendengar tertawa lebar yang disusul dengan kata-kata: "Dengan Koan Lootjianpwee demikian ternama besar, kenapa Kiauw Laokoay tidak sudi bersahabat dengannya? Haha-haha! Dua guru besar dari Selatan dan Utara telah bersatu, lalu ditambah dengan Tek Seng Siangdjin, dengan begitu apa perlu takuti lagi Thio Tan Hong? Kecewa Yang Tjong Hay lari-larian ke empat penjuru dunia, pahalanya tidak dapat dia tidak menyerahkannya kepada kita!"

In Hong terkejut. Pula ia seperti kenali suara itu. Ia lantas menghentikan tindakannya, dengan tangannya, ia memberi tanda kepada Kiam Hong. Akan tetapi sudah terlambat. Orang di dalam itu sudah mengetahui kedatangannya.

"Siapa di luar?" tanya orang itu, suaranya nyaring.

Justeru itu kilat menyamber, guntur menggelegar, disusul dengan turunnya hujan yang lantas menjadi besar.

"Orang yang menyelindung dari hujan!" Nona Leng menjawab. Ia tidak takut meskipun ia tahu, orang di dalam itu ialah musuh. Bersama Kiam Hong, ia lari masuk.

Di depan pendopo ada setumpuk perapian, di pinggirnya dua orang berduduk sambil minum arak. Orang yang satu bertubuh kate dan romannya gesit, usianya sudah tinggi, orang yang lain baru berumur lebih kurang tiga puluh tahun, badannya kasar. Mereka itu nampak heran melihat datangnya dua nona.

Segera setelah kedua pihak saling mengawasi, si orang tua kate itu tercengang, lalu dengan cepat dia tertawa terbahak-bahak.

"Kiranya Leng Liehiap!" katanya nyaring. "Setelah sepuluh tahun kita tidak bertemu, tidak disangka-sangka sekarang kita bertemu di sini!"

In Hong menyahuti, dengan suara dingin: "Sungguh beruntung aku yang LawToatongnia masih mengenali aku! Apakah gurumu kembali turun gunung?"

"Guruku telah meninggal dunia pada tahun yang lalu," sahut orang tua itu. "Kabarnya Leng Liehiap bersama Hok Tayhiap telah bekerja sama di gunung Thiansan memahami semacam ilmu pedang, sungguh aku si orang tua kagum mendengarnya. Kiranya kamu suami isteri masih belum melupakan dunia Kangouw! Eh, mana Hok Tayhiap? Kenapa dia tidak nampak?"

Orang tua itu, yang hidungnya pun bengkung, adalah Law Tong Soen, bekas tongnia, atau komandan Gielimkoen, yang dulu hari bekerja sama dengan Yang Tjong Hay. Dialah yang pada sepuluh tahun dulu, dalam pertempuran di Hangtjioe, telah dihajar Ie Sin Tjoe, tulang piepee-nya sudah ditoblosi kimhoa, atau bunga emas, tetapi beruntung ia. ia keburu ditolong gurunya, maka lukanya itu diobati, tulangnya dapat disambung pula, dengan begitu, ilmu silatnya tidak jadi musna.

Gurunya Law Tong Soen ini, sebagaimana diketahui, ialah Tjio Hong Po jago Rimba Persilatan yang kenamaan, hanyalah dia, sebelum terlukanya muridnya itu, pernah dikalahkan oleh suami isteri Thio Tan Hong. yang menggunai ilmu silat mereka siangkiam happek, pedang bersatu padu. karenanya, dia malu untuk menaruh kaki lebih lama pula dalam dunia Kangouw, maka habis mengobati muridnya, ia larang Tong Soen turun gunung. Ia tidak mau muridnya itu memangku pangkat pula. Tong Soen tidak berani membantah, ia lantas hidup menyendiri bersama gurunya itu. Selama sepuluh tahun, ia menahan diri. Ketika Tjio Hong Po menutup mata, Tong Soen bersedih tiga bagian, bergirang tujuh bagian. Sekarang ia tak usah dikekang lagi gurunya. Seperti Yang Tjong Hay, ia masih menggemari pangkat dan hidup mewah dan berpengaruh, maka ingin ia mencarinya pula. Taylwee Tjongkoan telah bertukar orang menjadi Hoe Koen Tjip dan Gielimkoen Tongnia ialah Tjhian Tiang Tjoen, itulah tidak menjadi soal bagi Tong Soen. Justeru telah terjadi peristiwa perampasan bingkisan pelbagai propinsi untuk raja dan ia mendengar perampasan itu dilakukan muridnya Thio Tan Hong, ia mau bekerja dari ini jurusan. Itulah jalan pertama untuk membalas sakit hati dan kedua untuk mendapat pangkat.

Sebagai seorang cerdik. Law Tong Soen tahu bagaimana harus bersiasat. Demikian ia mau menempel orang-orang kosen yang istimewa, seperti Kiauw Pak Beng, untuk menempur Thio Tan Hong. Iamerasa pasti, jikalau Thio Tan Hong sudah dapat dirobohkan, maka Yap Seng Lim di Selatan dan Tjioe San Bin di Utara, akan kehilangan tulang punggungnya, hingga mereka itu gampang ia yang membereskannya

Orang dengan siapa Tong Soen berkumpul dan minum arak ini bernama Tonghong Hek. Dia pun seorang yang berkenamaan. Gurunya ialah Tokpie Khengthian Koan Sin Liong, si Satu Tangan Menunjang Langit, yang pada tiga puluh tahun dulu sudah dikutungi sebelah tangannya oleh Hoeithian Lipnglie Yap Eng Eng, sedang Koan Sin Liong itu ialah keponakannya Tjie Hee Toodjin. Bedanya umur di antara Tjie Hee Toodjin dan Koan Sin Liong melainkan belasan tahun, karenanya sekarang dia sudah berumur hampir tujuh puluh, hingga bicara tentang tingkat derajat, dia seimbang dengan Tjit Im Kauwtjoe dan Yang Tjong Hay. sebaliknya mengenai ilmu silat, dia hampir menyamakan paman gurunya itu. Tjie Hee Toodjin. Setelah kehilangan sebelah tangannya, sambil mengeram diri, dia meyakini terlebih jauh ilmu silatnya selama tiga puluh tahun, hingga dia memperoleh kemajuan. Dia masih ingin menuntut balas. Hanya sekarang ini, semua murid generasi kedua dari Hian Kie Itsoe, berikut Yap Eng Eng. sudah pada menutup mata. sedang dari generasi ketiga, tinggal Thio Tan Hong seorang. Benar dengan Tan Hong dia tidak bermusuh pribadi tetapi dia menganggapnya demikian. Sekarang dia muncul dan bersahabat dengan Law Tong Soen.

Tong Soen ketahui urusan Koan Sin Liong itu, ia menganjurkan Sin Liong bergabung dengan Kiauw Pak Beng.

Sin Liong setuju, dia menyuruh Tonghong Hek pergi bersama Tong Soen mengunjungi Pak Beng, untuk membicarakan soal bekerja sama itu. Tidak disangka-sangka di tengah jalan ini, di dalam kuil, mereka bertemu dengan In Hong dan Kiam Hong. Kedua pihak lantas berlaku waspada. In Hong tahu Tong Soen liehay dengan ilmunya Hoenkin Tjokoet Tjioe, dan Tong Soen memalui ilmu pedang Thiansan Kiamhoat.

Tong Soen telah lantas berpikir: "Aku berdua, mereka juga berdua. In Hong liehay ilmu pedangnya, inilah aku ketahui. Entah bagaimana dengan kawannya ini, yang pun membawa pedang dan romannya cantik dan gagah. Rasanya dia berilmu silat tidak rendah. Kalau kita bentrok, belum tentu pihakku akan menang di atas angin. In Hong ini tidak pernah berpisah dari Thian Touw, suaminya, sekarang dia ada di sini, mungkin

Thian Touw ada di belakangnya. Dalam ilmu pedang. Thian Touw cuma kalah sedikit daripada Thio Tan Hong. Maka baiklah aku berlaku sabar..." Demikian ia berlaku ramah-tamah, niatnya untuk mencari tahu maksud Nyonya Hok Thian Touw itu.

Di pihak lain, In Hong pun tidak mau bentrok, maka ia bersenyum dan berkata: "Law Tongnia juga tidak dapat, melupakan dunia Kangouw, maka itu, jikalau aku keluar untuk berjalan-jalan, ada apakah yang aneh? Suamiku mendengar, juga Yang Tjong Hay telah muncul kembali, ia ingin sekali menemuinya untuk kedua pihak mencoba pula ilmu silat pedang mereka! Kami tahu Yang Tjong Hay mengambil jalan ini, apakah Law Tongnia pernah bertemu dengannya?"

Hati Tong Soen bercekat.

"Tidak, tidak," sahutnya. "Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu dengan dia." Di mulut dia mengatakan demikian, dalam hatinya, dia pikir: "Kiranya mereka lagi mencari Yang Tjong Hay. Kalau begitu, meskipun Hok Than Touw tidak bisa di sembarang waktu datang kemari, dia mesti ada di dekat-dekat sini. Syukur barusan aku tidak berlaku sembrono..."

"Jikalau Law Tongnia tidak pernah bertemu padanya tidak apalah." kata In Hong. "Biarlah sebentar, kapan hujan sudah berhenti, kami pergi mencari dia."

"Jangan sungkan, nona, mari di sini kita sama-sama menghangati tubuh!" kata Tong Soen, mengundang. "Apakah nona-nona mau minum arak?"

"Tidak, kami cuma ingin beristirahat sebentar saja. Apakah kuil ini ada penghuni pendetanya?"

"Aku tidak melihat pendeta. Dua kamar di samping itu pun kosong semua."

Memang kuil itu kosong. Gara-gara peperangan, pendetanya pergi mengungsi.

"Terima kasih," In Hong mengucap. "Adik Hong, mari kita beristirahat dalam kamar pendeta di sana."

Kiam Hong menurut. Setelah berada di dalam kamar dan pintunya sudah dirapatkan, ia menanya perlahan: "Siapa dua orang itu?"

"Orang yang bicara denganku bekas komandan Gielimkoen, namanya Law Tong Soen," In Hong menerangkan, "yang satunya lagi, aku tidak kenal, tetapi Tong Soen menyebut gurunya Koan Lootjianpwee, dia tentulah muridnya Koan Sin Liong."

Koan Sin Liong itu, Kiam Hong kenal namanya. Dialah si orangjahat pembunuh ayahnya Ban Thian Peng.

"Mereka berdua bukan manusia baik-baik, kenapa entjie tidak mau turun tangan untuk menyingkirkan mereka?" ia tanya.

"Law Tong Soen itu dulu pernah diberi ampun Thio Tayhiap," In Hong menyahut, "tetapi barusan mendengar suara mereka, dia rupanya masih membenci tayhiap, karena belum ada kepastiannya, baik kita bersabar dulu, kitajangan usil padanya."

In Hong mengatakan demikian karena ia merasa tidak ungkulan dapat mengalahkan dua orang itu, hingga ia sama dengan Tong Soen, yang merasa jeri terhadapnya.

Tonghong Hek mengawasi orang berlalu, setelah itu ia memainkan matanya dan sembari tertawa berkata kepada Law Tong Soen: "Sungguh nona-nona yang cantik manis!"

Tong Soen menggoyangi tangan.

"Bunga mawar ada durinya, tidak dapat kita petik!" katanya, tertawa. "Yang tuaan itu isterinya Thiansan Kiamkek Hok Thian Touw!"

Ketika itu hujan turun bagaikan dituang-tuang, suaranya sangat berisik, jikalau tidak, tidak nanti bekas komandan Gielimkoen itu berani melayani Tonghong Hek bicara sambil tertawa-tertawa.

Selagi hujan masih turun secara besar-besaran itu, di luar kuil terdengar suara kuda meringkik. Tong Soen lantas saja menjadi kaget.

"Jangan-jangan Hok Thian Touw datang!" pikirnya.

Segera juga terlihat pintu pekarangan dibuka dan sebuah kereta kuda masuk ke dalam, sampai di muka kuil. terus dari dalam kereta kelihatan turunnya seorang laki-laki yang sebelah mukanya berkulit hitam, tangannya mengempit seorang wanita. Dengan tindakan lebar dia masuk ke dalam pendopo, sinar matanya yang dingin mengawasi tajam kepada Tong Soen dan Tonghong Hek.

"Numpang, numpang!" katanya. "Ajaklah aku menghangatkan diri!"

Orang itu ialah Kiauw Siauw Siauw serta kurbannya, Im Sioe Lan.

Tonghong Hek tidak kenal puteranya Kiauw Pak Beng itu, melihat tingkah orang jumawa, ia menjadi tidak senang, ia bukan saja tidak mau minggir, untuk membagi tempat, dia bahkan menggeser kedua kakinya, bagaikan menghalang, untuk tidak mengajak orang menghangatkan diri.

Kiauw Siauw Siauw melihat lagak orang, ia pun tidak mau berlaku sungkan. Lebih dulu ia menurunkan Sioe Lan dekat api, habis itu, dengan congkak dia duduk di tengah-tengah-di antara kedua orang itu sedang dengan sebelah tangannya, ia sengaja menyikut Tonghong Hek, mulutnya sendiri mengatakan berulang-ulang: "Numpang, numpang!" Suaranya itu sangat dingin.

Tonghong Hek gusar sekali, hingga ia tidak dapat mengendalikan diri.

"Eh. kenapa kau tidak tahu adat?" tegurnya, kedua tangannya bergerak, hendak menangkap tangan orang, untuk membanting orang itu.

Di luar dugaannya, Kiauw Siauw

Siauw membalik tangannya, terus mendahulukan menangkap.

"Kau mau berkelahi" tanyanya sambil tertawa mengejek.

Tonghong Hek gusar sekali, tetapi dia kalah tenaga, ketika dia meronta, dia tidak dapat melepaskan tangannya. Dalam gusarnya, dia hendak menendang, atau Law Tong Soen segera datang sama tengah.

"Orang-orang perantauan siapa yang tidak gemar mengikat persahabatan?" katanya. "Tuan-tuan, mengapa untuk urusan sekecil ini kamu menuruti napsu amarah sendiri? Aku minta sukalah kamu bicara secara baik-baik!"

Mendengar itu, Tonghong Hek suka memberi muka. Juga Kiauw Siauw Siauw merasa tak enak sendirinya. Maka keduanya saling melepaskan cekalan mereka.

luga Tonghong Hek lantas minggir sedikit, untuk memberi tempat agar orang baru itu dapat menghangatkan tubuhnya.

Pada lebih daripada sepuluh tahun yang lalu Law Tong Soen pernah diajak gurunya, Tjio Hong Po, mendaki gunung Koenloen San mengunjungi Kiauw Pak Beng. Karena ini juga tak malu-malu dia mengajukan diri untuk menjadi orang perantara di antara Koan Sin Liong dan Kiauw Pak Beng, supaya mereka itu berdua berserikat. Ketika kunjungannya itu. dia melihat Kiauw Siauw Siauw mendampingi ayahnya. Waktu itu Siauw Siauw baru berumur empat atau lima belas tahun. Dalam usia semuda itu ia sudah tampan sekali. Tidak seperti sekarang, ia menjadi jelek luar biasa. Benar sekarang Tong Soen tidak mengenali Siauw Siauw akan tetapi ia melihat gerakan tangan orang. Itulah gerakan yang luar biasa, yang tidak dipunyakan oleh ahli-ahli silat Tionghoa. Maka ia mau menyangka kepada muridnya Le Kong Thian si manusia raksasa.

Roman Tong Soen tidak berubah, akan tetapi Kiauw Siauw Siauw tidak mengenali dia. Ketika ia masih muda dan berada di rumahnya, ayahnya menerima banyak sekali kunjungan, ia tidak ingat satu demi satu, ia cuma memperhatikan orang-orang yang ternama.

"Tuan she apa?" Tong Soen tanya setelah orang berduduk.

"She Kiauw!" sahut Siauw Sianw, ringkas, tanpa menoleh.

Hatinya bekas tongnia Gielimkoen itu bercekat. Sebenarnya ia ingin menanya pula, akan tetapi karena orang bersikap demikian angkuh, ia batal, iajengah sendirinya. Ia sekarang memikir, kalau nanti orang menoleh, baru ia hendak menanya. Maka itu, ia terus mengawasi.

Habis menghangatkan tubuh, Siauw Siauw berbangkit, dari pinggangnya dia meloloskan djoanpian, ialah ruyung lemas yang mirip cambuk. Begitu dia minggir sedikit lantas dia menyabet, ke arah si nona, yang sedari tadi berdiam saja, tanpa berkutik, tanpa berbicara. Cambukan itu membebaskan si nona dari totokan urat gagunya, maka sekarang ia masih tidak bisa menggeraki tubuh, tangan atau kakinya.

Siauw Siauw tidak berhenti dengan satu cambukan itu, dia mengulangi, dia mengulanginya. Dari itu robeklah bajunya Sioe Lan bagian depan, hingga dadanya terlihat putih dan halus, hanya sekarang dada itu balan dan mengeluarkan darah. Begitu memang cara Siauw Siauw menganiaya si nona, untuk menyiksanya. Dia ditimpa hujan, dia baru saja diejek Tonghong Hek, sekarang dia melampiaskan kemendongkolannya terhadap nona tawanannya ini. Dia mengertak gigi, menyambuknya makin keras dan makin keras.

Sioe Lan menahan sakit, ia menggigit rapat kedua baris giginya, tidak urung ia merintih juga.

Setelah menghajar enam atau tujuh kali. Siauw Siauw berhenti.

"Sioe Lan, kau mau bicara atau tidak?" dia tanya.

Belum lagi berhenti pertanyaan itu, atau Tonghong Hek sudah berseru: "Sungguh tidak tahu malu! Menghina wanita!" Tangannya pun menjemput sepotong kayu yang menyala dengan apa dia menimpuk ke muka si anak muda.

Semenjak tadi ia mengeluarkan cambuknya terus sampai ia mulai menyambuk Sioe Lan, Siauw Siauw sudah memperhatikan orang di sisinya itu, yang ia lihat mengawasi ia dengan tnata tajam bersorot gusar, hanya disebabkan orang cuma mengawasi saja, ia tidak bertindak apa-apa. Ia menyangka orang itu jeri. Sebagai orang jumawa dan tak takut apa juga, ia terus membawa lagaknya itu. Di luar dugaannya, akhirnya orang turun tangan juga.

Gurunya Tonghong Hek itu, yaitu Koan Sin Liong, pernah keponakan dari Tjie Hee Toodjin. Di samping itu, Tjit Im Kauwtjoe ialah muridnya Tjie Hee Toodjin itu, bahkan dialah murid yang murtad karena dia telah berganti guru kepada Kie Hoan. Perbuatan menukar guru itu adalah pantangan besar dalam dunia Rimba Persilatan. Hanyalah Tjit Im Kauwtjoe dibiarkan oleh Tjie Hee disebabkan guru ini juga bukan seorang manusia bersih, karena sebagai guru, ia pernah mencoba memperkosa muridnya. Tentang perbuatannya yang keji itu, Tjie Hee tidak berani memberitahukan siapa juga, malah ia ingin jangan ada lain orang yang mengetahuinya, juga jangan ada yang tahu Tjit Im itulah muridnya. Setelah Tjie Hee menutup mata, sebagai tjiangboendjin, ketua partai ia digantikan Koan Sin Liong. Dia ini tahu Tjit Tm Kauwtjoe murtad, dia membencinya. Tapi Tjit Im liehay racunnya, dia tidak berani secara berterang menentangnya, dia tidak berani menghukum, cuma kepada beberapa muridnya dia telah menerangkan urusan itu, agar semua murid ketahui Tjit Im itu murid murtad partai mereka, supaya dipasang mata terhadap Tjit Im apabila ada ketikanya, supaya mereka turun tangan, untuk memberi hukuman. Karena itu, terang sekali merekajuga ketahui Tjit Im Kauwtjoe mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Im Sioe Lan. Bahkan orang ketahui juga. kitab ilmu racun Pektok Tjinkeng dari Kie Hoan telah diwariskan pada Tjit Im Kauwtjoe.

Dalam perjalanan Tonghong Hek mengikuti Law Tong Soen itu untuk mengunjungi Kiauw Pak Beng, mereka pernah lewat di Bang keepo. Di sana Tonghong Hek telah mendengar kabar hal kematiannya Tjit Im Kauwtjoe. Coba ia bukan lagi bertugas, tentu ia sudah mencari Im Sioe Lan, untuk memberi hukuman, siapa tahu sekarang, ia bertemu nona itu secara begini kebetulan. Begitu ia mendengar Siauw Siauw menyebut Sioe Lan, tahulah dia siapa si nona. Maka ingin ia membekuk nona itu, untuk sekalian merampas kitabnya. Ia tidak mau membuka rahasia partainya, dari itu ia lantas beraksi, berpura-pura hendak membelai nona yang lagi disiksa itu. Ia ingin setelah membereskan Siauw Siauw lalu menawan Sioe Lan. Ia percaya, kalau ia turun tangan, Law Tong Soen bakal membantu padanya, dengan begitu pasti ia bakal dapat mengalahkan pemuda kosen itu.

Sesudah Kiauw Siauw Siauw mati, ia percaya juga, Sioe Lan bakal berhutang budi padanya, dengan begitu, dengan cara halus, ia mau bawa si nona pulang ke gunungnya. Atau kalau perlu, ia tak segan menggunai kekerasan. Dengan begitu juga kitab Pektok Tjinkeng bakal terjatuh dalam tangannya.

Tidak dapat Kiauw Siauw Siauw mengelakkan diri dari serangan tiba-tiba itu. Benar ia mencoba berkelit, tangan kirinya toh terkena juga. Tangan kirinya itu memang masih sakit. Ia terkena api, ia merasakan sangat sakit dan panas. Balutannya terbakar dan terlepas, lukanya pun pecah pula. Bukan main gusarnya ia. Ia lantas memadamkan api, ia menahan rasa nyerinya. Sedangnya ia repot seorang diri itu, Tonghong Hek bekerja terus. Dia ini berlompat, bergerak untuk merampas cambuk di tangannya. Berhasillah dia, sebab Siauw Siauw kembali tidak menyangka.

Sekarang, tidak menanti sampai dia diserang pula, sambil berseru, Siauw Siauw mengeluarkan kipasnya, dengan itu dia mendahului menyerang, untuk melakukan pembalasan, bahkan dengan bengis dia mendesak.

Tonghong Hek menjadi repot. Celaka dia, segera lengannya kena dihajar kipas, hingga tulangnya pecah. Rasa sakit itu seperti menusuk jantungnya. Dia menjadi sangat gusar, dia berteriak, dia menghunus pedangnya, untuk menikam!

Sebelum mereka dapat bertempur terlebih jauh, dua-dua Tonghong Hek dan Kiauw Siauw Siauw merasakan lengannya masing-masing seperti terjepit besi. Sebab Law Tong Soen sudah berlompat kepada mereka, menyambar tangan mereka itu. untuk dipisahkan.

Siauw Siauw kaget untuk liehaynya Tong Soen itu.

"Eh, toako, apa maksudmu?" Tonghong Hek tanya. Dia heran.

Siauw Siauw sendiri tidak menanya atau menegur, ia hendak mengerahkan tenaga, untuk berontak, karena mana mendadak Tong Soen merasakan tangannya dingin sekali, hingga ia lekas-lekas melepaskan cekatannya Tapi ia sadar, maka ia lantas berseru, menjawab kawannya: "Tonghong Toako, ini dia yang dibilang air bah menerjang kuil si raja naga! Tuan ini ialah puteranya Lootjianpwee Kiauw Pak Beng!"

Siauw Siauw menggunai Sioelo Imsat Kang, ia baru menyampaikan tingkat kedua, ia tidak bisa melukai Tong Soen. tetapi karena ia menggunai tangan dinginnya itu, si orang she Law lantas menduga tepat tentang dirinya Sebab di jamannya itu, yang mengerti Sioelo Imsat Kang cuma Pak Beng ayah dan anak, tidak ada orang yang ke empat. Kalau orang muda ini bukan Le Kong Thian, pastilah dia anak Pak Beng.

Tonghong Hek melengak, Ia menjadi bingung.

Justeru itu terdengar Sioe Lan berseru: "Entjie Liong!"

Itu waktu segera terlihat In Hong dan Kiam Hong datang memburu: Si nyonya ke arah Siauw Siauw, si nona ke arah Nona Im.

Sebat sekali Tong Soen bergerak, untuk menghalangi Nona Liong. Ia tidak kenal Sioe Lan, tak tahu dia hal ichwalnya, tetapi sebab nona itu menjadi lantaran dari bentroknya Tonghong Hek dengan Kiauw Siauw Siauw, dia menganggapnya sebagai nona penting. Pula, dengan rintangan ini, dia hendak memancing kemurkaannya In Hong. Bukankah sekarang ia dapat mengharap bantuannya Siauw Siauw?

"Minggir!" bentak Kiam Hong dengan gusar. Ia belum tahu liehaynya si bekas tongnia Gielimkoen. Ia pun segera menikam.

Tong Soen tertawa, dia menyambut dengan kepandaiannya berkelahi dengan tangan kosong. Mulanya dia berkelit, lantas dia mengulur tangannya, dengan berniat menangkap sikut si nona, guna merampas pedangnya. Ketika itu, Kiam Hong telah menikam tempat kosong, hingga pedangnya meluncur lewat.

Kiam Hong terkejut. Dengan cepat ia mengelakkan diri dengan tipu silat "Lioe In Tjioe" atau "Tangan baju mega hanyut." Ketika tangan Law Tong Soen mengenai bajunya, tangan itu kena ia sampok. Akan tetapi: "Bret!" demikian satu suara nyaring, ujung bajunya kena juga kesambar robek. Meski demikian, ia terus dapat menghalau diri dan pedangnya tak sampai terampas.

Di pihak lain, saking gesit, In Hong telah segera sampai kepada Kiauw Siauw Siauw, yang terus ia serang. Pemuda itu menggunai kipasnya yang liehay, untuk menangkis, hingga bebaslah dia dari bahaya.

In Hong cerdik. Ia telah melihat luka Siauw Siauw di tangan kiri. ia mengancam ke lengan kanan, di tengah jalan, ia mengubah tujuannya, terus ia menyerang ke tangan yang luka itu.

Di saat Siauw Siauw sangat terancam, hingga lengannya yang luka itu bakal menjadi buntung, maka di situ terdengarlah suara bentrokan keras, disusul dengan jeritan menyayatkan hati. Itulah Tonghong Hek, yang hendak membelai anaknya Kiauw Pak Beng, dia sudah menghadang di depan si nyonya muda, yangtikamannya dia menalangi menangkisnya, apamau pedang nyonya itu meluncur terus, mengenakan pundaknya. Sebenarnya dia tidak terluka parah, tetapi dia mengasi dengarjeritan yang luar biasa itu, sengaja untuk didengar Kiauw Siauw Siauw!

Mendengar demikian, pemuda she Kiauw itu berkata nyaring: "Bagus! Benarlah kau sahabat baik! Budi ini biarlah lain kali aku membalasnya!"

Setelah berkata begitu, dia lari ke arah Sioe Lan.

Law Tong Soen segera berkata kepada pemuda itu: "Tolong kongtjoe menyampaikan kata-kataku kepada ayahmu! Bilang bahwa Law Tong Soen muridnya Tjio Hong Po dan Tonghong Hek muridnya Koan Sin Liong, bakal mendaki gunung untuk memberi selamat!"

Kiauw Siauw Siauw dapat mendengar kata-kata orang itu, ia menyahuti: "Baiklah. Law Tong Soen! Kamu menyusullah belakangan!"

Sembari berkata begitu, Kiauw Siauw Siauw memondong Sioe Lan, untuk dibawa lari. Dia merasa, menyingkir ada jalan yang paling baik. Di situ ada Law Tong Soen dan Tonghong Hek, yang dapat merintangi musuh-musuhnya

Sioe Lan masih sempat berteriak: "Entjie Liong! Entjie Liong! Engko Houw, dia... dia..." atau segera suaranya berhenti. Sebenarnya ia ingin membilangi: "...Engko Houw, dia menyintai kau..." tetapi ia telah lantas ditotok Siauw Siauw. ditotok urat gagunya, hingga tidak dapat ia meneruskannya.

Kiam Hong kaget dan berkuatir, ia lompat untuk mengejar, akan tetapi ia tidak dapat mewujudkan niatnya itu, ia lantas dirintangi Law Tong Soen. Bahkan lagi sekali, ujung bajunya kena dirobek. Tong Soen merupakan tandingan berat.

In Hong menempur Tonghong

Hek. ia dapat mendesak, akan tetapi kapan ia melihat Kiam Hong terdesak si orang she Law, ia menjadi berkuatir. Ia tahu liehaynyaTong Soen dengan ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet Tjioe, siapa kena disambar dia, tulang-tulangnya bisa patah dan otot-ototnya putus, hingga seumurnya si kurban bakal bercacad, maka itu, ia lantas berlompat untuk membantui si nona.

Law Tong Soen liehay. dia lantas mendengar suara sambarannya senjata di belakangnya, sembari tertawa dia menggeser kakinya, mengelit tubuhnya, hingga dia lolos dari bahaya. Itulah gerakan bagus dan lincah yang dinamakan "Hoetin pauwgoat" atau "Mengebut awan, memeluk rembulan." Dia pun tertawa dan berkata: "Leng Liehiap. kita sama-sama bekerja untuk sahabat kita, sama sekali tidak ingin aku bentrok, dengan kau!"

"Tapi ingat!" In Hong membentak. "Apa katamu ketika dulu hari Thio Tayhiap mengampuni jiwamu? Bukannya kau mengunci pintu dan memikirkan kesalahanmu, mengapa sekarang kau muncul pula dan berbuat jahat? Aku kenal kau tetapi pedangku tidak!"

Tong Soen tidak takut, dia masih tertawa.

"Oh, kau tidak dapat memaafkan aku?" katanya. "Baiklah, akan aku melayani kau beberapa jurus, untuk membikin lenyap kemendongkolanmu!"

Meskipun dia bicara demikian macam, di dalam hatinya. Tong Soen memikir untuk berlaku waspada. Ia percaya pasti, setelah berselang delapan tahun, entah berapa besar kemajuannya ilmu pedang dari nyonya muda ini. Dulu hari itu, ia menang unggul, akan tetapi sekarang, kekuatan mereka agak berimbang.

Dengan begini mereka berempat menjadi bertukar lawan. Menghadapi In Hong, Tonghong Hek terdesak, sekarang melayani Liong Kiam Hong, dia seperti dapat semangat. Nyata dia menang tenaga dalam, sedang si nona menang ilmu pedangnya. Sesudah melewati lima puluh jurus, mereka masih seri saja.

Law Tong Soen, sambil menjagai pintu, melayani Leng In Hong. Ia berkelahi sambil menanti waktu. Setelah banyak jurus, ia merasa bahwa Kiauw Siauw Siauw sudah lari jauh bersama Sioe Lan, maka mendadak ia tertawa dan berkata: "Leng Liehiap, kau telah tidak mendongkol pula, bukan? Maafkan aku. tidak dapat aku melayani kau terlebih lama! --- Sahabat, mari kita pergi!"

Kata-kata yang terakhir ditujukan kepada Tonghong Hek, habis berkata, ia lantas bersiul, setelah melakukan satu tangkisan, ia lompat keluar pintu, untuk segera mengangkat kaki.

Tonghong Hek yang cerdik sudah menurut buat, maka itu, keduanya lantas lari kabur. Tong Soen tidak mau berkelahi lebih lama, lantaran iakuatir Hok Thian Touw nanti keburu datang...

Ketika itu, meskipun sudah tak lebat lagi, hujan masih belum berhenti, dan jagat gelap petang.

Ketika mereka datang, In Hong berdua Kiam Hong menambat kuda mereka di pohon di kiri kuil, ketika Kiam Hong pergi kesana, untuk melihat kuda mereka, ia mendapatkan dua-dua binatang tunggang itu lagi rebah sebagai bangkai, sebab ketika tadi Tong Soen lari keluar, sekalian dia hajar roboh kuda itu dengan pukulan Hoenkin Tjokoet Tjioe.

Tanpa kuda, tidak dapat Kiam Hong dan In Hong mengejar musuh.

"Sudahlah, adik Hong!" kata In Hong, mengajak. "Mari kita garang dulu pakaian kita."

Kiam Hong tidak menyahuti, ia hanya sangat berduka.

"Entjie Sioe Lan, entjie Sioe Lan!" katanya sedih. Sia-sia saja ia memanggil Nona Im, tidak ada jawaban untuknya. Maka ia memeriksa tapak kaki.

In Hong mencekal tangan orang, untuk ditarik.

"Sudah, tak usah kau mencari," katanya, menghibur. "Mereka bertiga pergi ke Koenloen San kepada Kiauw Pak Beng, tidak dapat kita susul mereka."

Di dalam, tabunan masih menyala. In Hong menambahkan beberapa potong kayu kering. Ia ajak Kiam Hong berduduk, untuk menggarang diri.

Sekian lama Kiam Hong masih berdiam, akhirnya ia menghela napas. Ia kata; "Entjie Sioe Lan dibawa pergi kepada tua bangka she Kiauw itu, entah bagaimanajadinya. Bagaimana sekarang, apa daya?"

"Siluman tua she Kiauw itu bukannya tanpa tanding, kenapa tidak ada daya?" berkata In Hong.

"Apakah kita minta bantuannya Thio Tayhiap?" Kiam Hong tanya. "Itulah seperti air yang jauh sukar dipakai menolong memadamkan kebakaran yang dekat? Jikalau terjadi sesuatu atas diri entjie Sioe Lan, bagaimana aku dapat bertanggung jawab terhadap ibunya?"

"Baiklah kau jangan terlalu berkuatir," In Hong membujuk. "Aku merasa bahwa Kiauw Siauw Siauw tidak menghendaki jiwanya Sioe Lan..."

"Tapi tadi kita telah melihat Siauw Siauw menganiaya entjie Sioe Lan, itulah sungguh menggiriskan..."

"Itulah tentu disebabkan hatinya sedang panas. Kita telah melihat, sebelah mukanya Siauw Siauw hangus melepuh dan sebelahnya lagi hitam guram. Aku mau percaya, dia tentu telah terkena senjata rahasia yang beracun dari Sioe Lan. Kaum lurus tidak nanti menggunai senjata rahasia semacam itu."

"Dengan begitu, Siauw Siauw pasti jadi semakin benci padanya..."

"Benar. Makajuga dia menganiaya secara tadi itu. Tapi juga benar, karena kebenciannya itu, tidak nanti dia merampas jiwa Sioe Lan."

Kiam Hong cerdas, dia dapat dikasih mengerti, dengan begitu, hatinya menjadi sedikit lega.

"Kau benar, entjie," katanya mengangguk. "Tentu Siauw Siauw menganiaya dia, untuk memaksa dia mengeluarkan obat pemunahnya. Atau mungkin itu berhubung dengan kitab racun Pektok Tjinkeng."

Walaupun ia menduga tepat, nona ini tidak dapat melegakan hati seluruhnya. Ia sekarang memikirkan, bagaimana Nona Im dapat ditolong. Apakah ia mesti melakukan perjalanan jauh beribu-ribu lie ke Selatan untuk memohon bantuan Thio Tan Hong?

In Hong mengawasi kawan itu, ia dapat membade hati orang.

"Untuk melindungi jiwa Sioe Lan, ada dayanya!" ia kata tertawa. "Jikalau sekarang kita menyusul dia tanpa memperhitungkan segala apa, perbuatan kita itu tidak bakal ada hasilnya. Jangan kata memangnya kita berdua tidak dapat melawan Kiauw Pak Beng si siluman tua, umpama kata Siauw Siauw bertiga bekerja sama, mana bisa kita melawan mereka itu? Maka itu, tidak ada keuntungannya untuk kita sekarang menyusul mereka."

Mukanya Kiam Hong menjadi merah, iajengah sendirinya. Baru sekarang ia sadar.

"Entjie benar." ia mengakui. "Saking kerasnya keinginanku menolongi entjie Sioe Lan, pikiranku menjadi butek..."

"Ketika dulu hari bersama Thian Touw aku melayani si siluman tua she Kiauw, kekuatan kita hampir berimbang," berkata In Hong, menjelaskan, "sekarang ilmu pedangku memperoleh kemajuan, jikalau aku melawan pula dia bersama Thian Touw, mungkin kita berimbang. Maka di dalam ini hal, baiklah aku mencoba dulu, jikalau aku gagal, baru terpaksa kita minta bantuannya Thio Tayhiap."

"Benar, lagi delapan atau sepuluh hari, kita bakal sampai di Thiansan," kata Kiam Hong. "Di sana ada Hok Toako. mengapa aku tidak dapat mengingatnya?"

In Hong kata dalam hatinya: "Kau mungkin tidak mengingat dia sebab dia sangat tidak gemar membantui urusan lain orang, kau cuma ingat Thio Tayhiap saja..."

Tapi, begitu ia memikir demikian, begitu hatinya nyonya muda ini pepat dan pedih. Ia seperti diliputi awan gelap. Lantas ia ingat peristiwa di selat Tjheeliong Kiap, tempo orang menempur Pak Beng ayah dan anak. Walaupun orang sudah keteter dan tinggal runtuhnya saja, Thian Touw masih tidak berniat memberikan bantuannya. Setelah ia bicara, hingga ia bentrok dengan suami itu, baru suaminya suka membantu.

"Bukankah untuk dia, Sioe Lan itu orang luar?" ia berpikir. "Mana dia suka menolongi orang yang tidak ada hubungannya dengannya?"

Ia menjadi bingung, ia bersangsi. Dapatkah ia membujuk suaminya itu?

Meskipun kesangsiannya ini, In Hong tidak mengutarakan itu pada Kiam Hong.

Kiam Hong berduka dan berkuatir sendirinya. Ia tidak dapat menerka apa yang dipikir dan diberati In Hong. Ia tidak tahu soalnya Thian Touw. Yang ia pikirkan ialah keselamatannya Sioe Lan, urusannya Sioe Lan dan Giok Houw. Ia heran kenapa Sioe Lan terjatuh dalam tangannya Siauw Siauw. Bukankah di tempat Tjioe San Bin ada banyak orang? Mungkinkah karena Sioe Lan turun gunung maka dia tertawan Siauw Siauw? Kalau benar dia turun gunung, apakah perlunya? Apakah Giok Houw telah menampik dia? Atau dia menyadari siasatnya menjauhkan diri dari Giok Houw dan dia tak sudi menerima itu?

"Kenapa barusan Sioe Lan memanggil-manggil aku dan menyebut nama Giok Houw?" pikirnya lebih jauh. "Dia tidak dapat bicara terus, mungkin dia kena ditotok Siauw Siauw. Apakah yang dia hendak bilang? Kenapakah Giok Houw?"

Kiam Hong cerdas tetapi sekarang pikirannya gelap. Ia mencoba memikir terus. Rasanya ia dapat menerka. Tapi ini justeru membuatnya berduka, membikin ia merasa makin berkasihan terhadap Sioe Lan.

Besoknya kedua kawan ini meninggalkan kuil tua itu. Mereka berangkat tanpa mensia-siakan waktu, kecuali di saat singgah atau bersantap. Mereka melintasi gurun pasir dan tanah datar. Maka selang setengah bulan, tibalah mereka di kaki gunung Thiansan.

Dongak ke atas, memandangi gunung itu, In Hong menghela napas.

"Thian Touw berada di atas puncak, dia seperti terpisah dari dunia, dia mana tahu manusia dalam dunia banyak sekali penderitaannya?" ia kata dalam hatinya.

Sebenarnya tenang penghidupan di duniayang dinamakan Tho Hoa Goan atau Sumber Bunga Tho tetapi In Hong masih belum ingin mengicipi penghidupan tenang dan merdeka itu, ia masih mempunyai cita-citanya yang besar, maka sayanglah Thian Touw, setelah berkenalan demikian lama dan sudah menjadi suami isteri belasan tahun, dia masih belum dapat menyelami hati isterinya itu.

Thiansan itu tinggi dan hawanya dingin. Umumnya orang banyak, dia baru dapat mendaki sesudah tujuh atau delapan hari. Tidaklah demikian bagi ln Hong dan Kiam Hong, mereka ini telah mengenal baik gunung itu, tahu di mana bagian yang berbahaya dan mahir ilmu ringan tubuh mereka. Maka juga di hari ketiga, magrib, tibalah sudah mereka di puncak, hingga di sini terbukalah mata mereka. Mereka melihat telaga kecil yang airnya jernih dan bercahaya. Di samping telaga itu In Hong dan Thian Touw telah membangun beberapa rumah batu, dan In Hong segera dapat melihat rumahnya itu.

Tanpa merasa, hati nyonya muda ini goncang. Ia telah memikir, lebih suka ia berpisah dari Thian Touw, tak sudi ia terikat hingga lenyap kemerdekaannya. Toh senantiasa ia memikirkan suaminya itu. Sekarang, sesudah berada di Thiansan dan segera ia bakal bertemu sang suami, hatinya menjadi tidak tenang.

"Jikalau sebentar aku bertemu Thian Touw, apakah kata-katanya yang pertama?" begitu iatanya dirinya sendiri. "Jikalau Thian Touw tidak terlebih dulu memohon perdamaian, bagaimana dengan aku?"

Tengah berpikir itu, kaki In Hong bertindak. Kiam Hong mendampingi ia

Tiba-tiba di dalam kesunyiannya puncak gunung, In Hong mendengar suara bentrokan senjata. Ia menjadi heran, hingga ia memasang telinganya, matanya mengawasi ke arah dari mana suara itu datang, ialah bagian belakang rumahnya.

"Yang satu itu ialah suara pedangnya Thian Touw..." kata isteri ini dalam hatinya Ia dapat mengenali suara pedang suaminya itu, sebab ia dapat membayangi gerak-gerik ilmu silatnya. "Siapakah berada di atas gunung? Kenapa ada bentrokan senjata? Apakah Thian Touw lagi bertarung? Kalau benar, pihak lawan itu mesti orang liehay..."

"Tapi Thian Touw hidup menyendiri," pikir pula isteri ini, herannya tak berkurang. "Kecuali dulu hari dia mengalahkan Yang Tjong Hay, ia tidak mempunyai lainnya musuh? Siapakah orang ini? Dia bermusuh atau cuma hendak menguji ilmu silatnya Thian Touw?"

Setelah mendengar sekian lama, lega juga hati isteri ini. Ia mendapat kenyataan, yang bertempur itu cuma dua orang. Itu artinya pertempuran satu lawan satu. Ilmu pedang Thian Touw sudah mencapai puncak kemahiran, dari itu orang yang dapat mengalahkan dia tak ada beberapa gelintir lagi. Karena ini. dengan hatinya lega, In Hong tak memikir lekas-lekas maju membantui, sebaliknya, ia ingin menyaksikan dulu. Maka bersama Kiam Hong, ia berjalan memutari rumahnya.

Segera juga terlihat, lawannya Thian Touw ialah seorang pendeta tua yang bertubuh jangkung dan kurus. Tidak jauh dari mereka itu, ada berdiri seorang umur kira lima puluh tahun, yang tubuhnya gemuk. Dia berdiri menonton. Si pendeta bergegaman golok Kaytoo, gesit gerak-geriknya

Hebat pertempuran itu, walaupun In Hong pandai silat, matanya toh kabur juga menyaksikan berkelebatannya pedang dan golok mereka yang lagi bertarung itu.

Thian Touw bersilat dengan ilmu silat "Lioesengkangoat," atau "bintang meteor mengejar rembulan," suatu ilmu pedang ciptaannya yang paling baru. Ilmu pedang itu sangat cepat tikamannya saling susul. Mulanya In Hong menduga, si pendeta cuma akan bertahan dua tiga jurus. Tapi ia menerka keliru. Pendeta itu pun liehay sekali Dengan goloknya, dia dapat melayani pedang yang berbahaya itu. Tetap mereka berimbang satu dengan lain. Segera senjata mereka beradu, suaranya menulikan telinga. Sebagai kesudahan dari itu, keduanya sama-sama lompat mundur.

Si pendeta tertawa lebar dan berkata: "Si siluman tua she Kiauw nyata tidak memuji secara yang berlebihan! Di jaman ini benarlah ilmu pedangmu tergolong yang nomor satu! Tidak kecewa aku telah menjelajah gunung Thiansan ini!"

Hok Thian Touw menahan pedangnya.

"Lootjianpwee," ia berkata, tenang, "bukankah kau Tek Seng Siangdjin dari Sengsioe Hay, Koenloen San?"

Pendeta itu tertawa pula. "Matamu tajam sekali!" katanya. "Dengan melihat ilmu golokku, kau dapat mengenali aku. Eh, tahukah kau maksud kedatanganku ini?"

"Mengenai itu, aku mohon pengajaran," sahut Thian Touw.

"Kabarnya kau telah mengumpul belasan kitab ilmu pedang," berkata Tek Seng Siangdjin. "kau pula telah menciptakan ilmu pedang Thiansan Kiamhoat. Kau tahu, si siluman tua she Kiauw sangat memuji kau, aku tidak percaya, maka aku datang kemari untuk mencoba. Sekarang aku mendapat kenyataan benar ilmu pedangmu luar biasa Itu artinya, kitab pedangmu itu ada harganya untuk aku pinjam!"

Pendeta ini bicara dengan merdeka sekali, dia seperti tidak memikir lain orang sudi meminjamkan kitabnya atau tidak, dia seperti menganggap, kalau dia meminjam barang orang, itu artinya dia memberi muka kepada orang yang barangnya dipinjam itu!

In Hong mendengar tegas kata-kata si pendeta, diajadi berpikir: "Kiranya dia inilah Tek Seng Siangdjin. Katanya dulu hari di dalam istana raja dia dikalahkan Thio Tan Hong, habis itu dia menyembunyikan diri, siapa sangka sekarang dia datang kemari untuk mencari gara-gara! Thian Touw memandang kitab ilmu pedangnya sebagai jiwa raganya, tidak nanti dia sudi gampang-gampang meminjamkannya!"

Benar-benar lantas terdengar suaranya suami itu --- suara yang menyatakan tak puas hati.

"Lootjianpwee bergurau!" demikian katanya. "Orang dengan derajat sebagai lootjianpwee, bagaimana lootjianpwee dapat memikir kitab ilmu pedangku?"

"Aku bukan menghendakinya," kata Tek Seng. "Aku cuma mau meminjam lihat untuk satu tahun, nanti aku membayarnya pulang."

"Ilmu pedang Thiansan Kiamhoat dari aku masih belum sempurna," Thian Touw mengasi keterangan, "tidak dapat aku memberi pinjam kitabku. Lootjianpwee, maaf, tidak dapat aku menerima baik perintahmu ini!"

Pendeta itu mementang lebar kedua matanya.

"Aku sudi pinjam kitabmu, itu artinya aku menghargai kau!" katanya, lagu suaranya aneh. "Oh, bocah cilik, mengapa kau begini tidak tahu diri? Kau diberi selamat dengan arak kegirangan, kau tidak sudi terima, kau sebaliknya lebih suka minum arak hukuman! Tadi aku cuma mencoba ilmu pedangmu, sekarang aku tidak sungkan-sungkan lagi!"

Thian Touw habis sabar.

"Aku memandang usiamu yang tinggi, aku memanggil kau lootjianpwee!" katanya keras. "Sekarang kau sendiri yang tidak menghargai kehormatan dirimu, maka jangan kau sesalkan aku tidak memakai adat peradatan lagi!"

Sembari berkata begitu, Thian Touw bahkan mendahului menyerang. Ia menikam dengan jurus "Guntur dan kilat saling sambar." Itulah salah satu jurus Thiansan Kiamhoat. Benar sekali, anginnya tikaman bersuara bergemuruh.

Tek Seng Siangdjin tertawa terbahak.

"Jikalau aku tidak kasih rasa padamu, kau belum tahu liehayku!" katanya nyaring. "Apakah kau sangka karena kepandaian ilmu pedangmu ini aku jadi tidak dapat berbuat suatu apa atas dirimu? Hm!"

Lantas pendeta ini mengangkat goloknya, begitu ia berkelit, begitu ia menyerang. Tangan kirinya bergerak mengikuti goloknya itu. Dengan begitu, golok dan tangannya itu bergerak bersama-tangannya itu mengarah dada.

Jikalau Thian Touw kena tertepuk, dia bisa celaka, tidak perduli ilmu dalamnya sudah mahir. Ia lantas berkelit, perutnya dikasih kosong, dadanya ditarik pulang. Maka itu, tangannya si pendeta cuma mengenai baju. Lantaran ini. ia jadi kena terdesak.

Tek Seng Siangdjin menjadi liehay begini karena sejak dikalahkan Thio Tan Hong, dia telah menyekap diri untuk meyakinkan lebih jauh ilmu silatnya. Dia panas hati. dia ingin mencari balas. Bersama-sama Kiauw Pak Beng, dia berdiam di gunung Koenloen San, masing-masing di bagian gunung depan dan belakang, jaraknya satu dari lain sekira tiga ratus lie. Walaupun mereka terpisah jauh, kadang-kadang mereka membuat pertemuan. Demikian dari Kiauw Pak Beng, Tek Seng mendapat tahu halnya Thian Touw liehay. Dia jadi ketarik hati, ingin dia mendapatkan kitab Thian Touw itu. sekalipun dengan paksa. Dia tahu. dalam tenaga dalam, dia tidak kalah dari Thio Tan Hong, yang membuatnya dia kalah, ialah ilmu pedang bersatu padu dari Tan Hong. Dia pikir, kalau dia bisa mempelajari ilmu pedang hingga mahir, dia boleh menempur pulajago she Thio itu.

Kiauw Pak Beng mendapat tahu apa yang dipikir si pendeta, dia menganjurkan pendeta itu. Dia sendiri tidak mau turun gunung karena dia lagi meyakinkan ilmu silatnya yang luar biasa, yaitu Sioelo Imsat Kang.

Untuk menyateroni Hok Thian Touw. Tek Seng Siangdjin mengajak sahabat akrabnya ialah si orang tua umur kira lima puluh tahun itu. namanya Kiok Ya Tjiauw. Bersama-sama mereka mendaki gunung Thiansan. Ketika In Hong tiba, mereka pun baru sampai. Tanpa banyak omong, Tek Seng Siangdjin menantang Thian Touw. Inilah berhubung dengan maksudnya menguji jago Thiansan itu. Sesudah itu, baru ia mengutarakan maksudnya ingin meminjam kitab pedang, walaupun dengan cara paksa. Ia menganggap sudah tua dan gagah, ia memangnya jumawa, maka juga ia percaya dengan ia minta pinjam kitab, ia sudah memberi muka pada Thian Touw!

Tek Seng Siangdjin sudah berhasil menciptakan ilmu silat yang diberi nama "Tek Seng Tjioe," atau "Tangan Memetik Bintang." Tadi dia telah mencoba Thian Touw, maka selanjutnya, dia hendak menggunai ilmu silatnya ini. Tangan kirinya itu terlebih hebat dari tangan kanannya, tangan kosongnya seperti lebih unggul daripada goloknya. Karena dia segera mendesak, baru selang dua puluh jurus, dia sudah berhasil merangsak hingga lawannya terus main mundur.

Sampai di situ, kembali pendeta ini tertawa.

"Sekarang kau ketahui liehayku, bukan?" ejeknya jumawa. "Maka, meski kau tidak sudi mengasi pinjam kitab pedangmu, aku toh mesti

mendapatkannya juga! - Kiok

Laotee. pergi kau geledah rumahnya, kau cari kitab ilmu pedangnya, aku sendiri, hendak aku membikin dia bercacad. supaya habis ilmu silatnya hingga di belakang hari dia tak usah banyak rewel lagi!"

Perkataan yang belakangan itu ditujukan kepada kawannya.

Kiok Ya Tjiauw tertawa.

"Aku sudah kata, memang paling benar kita bertindak begini!" bilangnya. "Kau sendiri yang mau kebanyakan mulut berbicara dulu dengannya! --- Eh, siapakah itu wanita di sana?"

Orang she Kiok ini mendapat lihat In Hong, yang berlompat keluar dari tempatnya sembunyi.

Nyonya muda itu merasa waktunya sudah sampai untuk keluar. Ia tertawa dan menegur: "Orang tidak punya muka! Kamu memikir untuk mencuri barang orang? Hm! Lihat, ada aku di sini yang memasang mata padamu!"

Kata-kata itu disusul dengan tikaman pedang, yang berkelebat seperti bianglala perak.

Poan Kimkong Kiok Ya Tjiauw, si Arhat Gemuk, ada orang gagah kelas satu, ilmunya bagian luar, gwakang, telah mencapai puncak kemahirannya, golok atau pedang biasa, tidak mempan terhadap tubuhnya, akan tetapi kapan ia melihat datangnya penyerang ini, ia tidak berani memandang enteng. Ketika tikaman tiba, ia sudah mengeluarkan senjatanya, sepasang Patkak Kimtjie twie atau gembolan emas merah segi delapan, senjata yang surup dengan namanya, sebab benar-benar seluruhnya terbuat dari emas merah tulen dan beratnya tujuh puluh dua kati, harganya sepuluh ribu tail perak. Asalnya ia begal tunggal, ia berhasil mengumpul uang membeli emas merah, untuk membikin gembolannya itu. Selama merantau, dengan senjata itu ia menjagoi. Ada orang-orang yang mengarah senjatanya tapi mereka gagal, mereka roboh ditangan ini begal tunggal yang gagah. Setelah belasan tahun dan telah mengumpul banyak uang, ia berhenti bekerja tanpa modal itu, ia hidup aman dan damai. Ia membangun rumahnya di propinsi Kamsiok, di kaki gunung Kielian San. Baru tiga bulan yang lalu, ia menghadapi peristiwa hebat. Tiba-tiba ia didatangi sepasang muda-mudi, ia diserang si pemuda, yang kekosenannya berimbang dengan kekosenannya, justeru karena itu, selagi ia seperti dilibat si pemuda, si pemudi sudah menyerbu ke dalam rumahnya, membunuh anggauta-anggauta keluarganya, juga murid-muridnya, hingga ia kena dikalahkan dan terpaksa mesti kabur, hingga habislah harta bandanya dirampas muda-mudi itu, cuma senjatanya yang ia bawa kabur. Kemudian baru ia mendapat keterangan, sepasang pria dan wanita muda itu ialah murid-muridnya Kiamkek Ouw Bong Hoe, ahli silat pedang kenamaan di Utara, bahwa mereka itu baru pernah pertama kali masuk dalam dunia Kangouw, apamau, pertama kali juga mereka turun tangan atas dirinya. Katanya harta rampasan itu hendak dihadiahkan kepada Kimtoo Tjeetjoe Tjioe San Bin. Ia jeri terhadap Ouw Bong Hoe dan Tjioe San Bin. Karena Tek Seng Siangdjin itu sahabat kekalnya, ia pergi ke gunung Koenloen San, mohon bantuan sahabatnya itu. Juga Tek Seng Siangdjin tidak berani sembarang menempur Ouw Bong Hoe, ia suka membantu kalau Kiok Ya Tjiauw suka pergi dulu ke Thiansan meminjam kitab pedang Hok Thian Touw. Demikian mereka pergi ke gunung

Thiansan di mana mereka bentrok dengan jago dari Thiansan itu, sampai akhirnya tibalah In Hong dan Kiam Hong.

Kaget juga In Hong ketika senjata mereka bentrok, tangannya sesemutan. Inilah tidak heran karena pedang enteng membentur gembolan tebal dan berat.

Kiok Ya Tjiauw sebaliknya berkata dalam hatinya: "Ah, wanita ini gampang diurusnya!" Ia lantas memikir menyampok terlebih jauh, untuk membikin pedang lawan terbang. Tapi ia salah menerka. In Hong tidak dapat dipandang enteng. Justeru pedangnya mental, si nyonya meneruskan menarik pulang, untuk dipakai menikam ke bawah, tepat mengenai paha!

Kiok Ya Tjiauw menjerit saking sakit. Pedang mengenai ototnya. Saking gusar ia menghajar hebat dengan kedua gembolannya.

In Hong sudah kenal tenaga orang, ia tidak mau melayani sama kerasnya. Ia berkelit. Ia hanya heran mendapatkan musuh tertikam tetapi tidak berdarah. Ketika ia mengambil ketika memeriksa pedangnya, mengertilah ia apa sebabnya. Ujung pedangnya bengkok bekas bentrokan pertama tadi, pantas musuh tidak terlukakan. Karena ini, ia menggunai kelincahannya, di satu pihak ia berkelit dari setiap hajaran gembolan, di lain pihak ia mendesak, ia mengurung lawan dengan pelbagai tikaman dan sabatan, hingga Ya Tjiauw menjadi repot, terpaksa dia mengurung diri dengan gembolannya itu.

Thian Touw tengah terdesak Tek Seng Siangdjin ketika ia mendengar suaranya In Hong serta diberikuti munculnya isteri itu, ia menjadi heran berbareng girang, hingga tanpa merasa ia berseru: "In Hong, kau datang!"

Dalam pertempuran jago lawan jago, pantangan ialah jangan pemusatan pikiran terbagi, demikian dengan Thian Touw ini, lantaran menyapa isterinya, ia ayal sedikit, lantas keayalannya digunai musuhnya. Tek Seng Siangdjin menyerang hebat sekali. Cuma karena kelincahannya, ia lolos dari bahaya, cuma bajunya yang kena terbacok robek!

Ketika itu kembali terdengar bentakan, kali ini Kiam Hong yang muncul sambil memutar pedangnya.

"Bagus!" berseru In Hong, menyambut kawannya itu. "Bangsat ini aku serahkan pada kau! Tapi senjatanya berat, kau harus waspada!"

"Aku mengerti!" menjawab Nona Liong. "Nanti aku bereskan dia!"

Segera Kiam Hong sampai, segera ia menggantikan In Hong melawan si Arhat Gemuk!

In Hong kata dalam hatinya: "Bangsat ini kuat, dia menang tenaga dalam dari Kiam Hong, tetapi untuk dapat mengalahkan si Hong, dia sedikitnya harus berkelahi dulu seratus jurus." Maka itu, ia berlega hati menyerahkan Kiok Ya Tjiauw untuk dilibat Kiam Hong. Ia lantas pergi kepada Thian Touw, guna mengepung Tek Seng Siangdj in.

Pendeta itu lagi mendesak keras tatkala ia merasakan sambaran angin di belakangnya. Tahulah ia, itulah serangan gelap. Tidak ayal lagi, ia menangkis ke belakang. Ketika tadi In Hong menempur Kiok Ya Tjiauw, ia pun diam-diam

memperhatikannya, ia mendapat kenyataan, nyonya muda itu kalah tenaga dalam dari Thian Touw, dia cuma mempunyai ilmu silat pedang yang tak dapat dicela. Dari itu, di waktu menangkis ini, ia menggunai tenaganya, ia percaya si nyonya bakal tidak sanggup bertahan. Tapi, untuk kagetnya, ia menangkis angin!

In Hong dapat melihat bagaimana orang menangkis ia, ia membatalkan serangannya, tak sudi ia mengadu tenaga. Dari hendak menyerang iga, setelah menarik pulang pedangnya, ia membabat ke atas.

Tek Seng Siangdjin kaget, hampir kepalanya kena terpapas!

Menampak demikian, Thian Touw girang sekali. Pikirnya: "Baru beberapa bulan tidak bertemu, ilmu pedang In Hong maju pesat sekali!" Maka bangunlah semangatnya, lantas ia menyerang Tek Seng. Sebelum pendeta itu dapat memperbaiki diri.

Tek Seng Siangdjin menjadi sangat mendongkol, ia menyambut Thian Touw, ia membacok dengan hebat, sedang di lain pihak, dengan tangan kosong ia menyerang In Hong, yang maju terus menyusuli ia.

Hebat orang beribadat ini tetapi ia tidak dapat mencapai maksudnya, bahkan sebaliknya, dengan lantas ia terdesak mundur, setindak demi setindak. Karena suami isteri itu segera juga dapat mempersatukan diri, dan ilmu pedangnya bersatu padu, Siangkiam happek, sudah lantas tergabung. Umpama kata, desakan sepasang pedang berat seperti gunung.

Tek Seng Siangdjin menjadi heran sekali. Inilah di luar sangkaannya. Ini pun tidak heran. Thian Touw sendiri turut dibikin heran karenanya. Nyatalah kemajuan isterinya itu membikin perpaduan mereka berdua menjadi hebat sekali. Thian Touw telah menduga, kalau ia berkelahi berendeng dengan isterinya, kekuatannya akan berimbang dengan kekuatannya Kiauw Pak Beng. Melayani Tek Seng Siangdjin, tentu mereka bakal menang, tetapi sedikitnya sesudah lima puluh jurus lebih. Sekarang kenyataannya lain, baru dua jurus, mereka sudah menang unggul!

Bagaikan naga-naga bermain-main, demikian sepasang suami isteri ini merangsak lawannya. Dengan lantas mereka membikin Tek Seng cuma bisa menangkis, sama sekali tak dapat dia membalas menyerang.

Ketika Kiok Ya Tjiauw, yang lagi menempur Kiam Hong, melirik kawannya itu, ia terperanjat. Dengan terpaksa ia menyampok tikaman si nona, habis itu ia berlompat meninggalkannya, guna

menghampirkan Tek Seng Siangdjin, buat memberikan bantuannya.

"Bagus!" In Hong berseru melihat orang datang padanya. Ia meninggalkan Tek Seng, ia lantas menyambut Kiok Ya Tjiauw. Begitu ia dihajar gembolan dan ia berkelit, sembari berkelit itu ia membalas menyerang.

Tek Seng Siangdjin melihat pedang si nyonya meluncur ke arah Kiok Ya Tjiauw, ia tidak memperdulikan itu, sebaliknya, dengan mengerahkan tenaga, ia menyerang Thian Touw. Ia anggap bahwa ia telah diberikan ketika lolos dari kepungan. Lantas ia mencoba menahan pedang musuh pria ini. Karena ia berada dekat dengan In Hong, selagi si nyonya melayani Kiok Ya Tjiauw, mendadak ia lompat sambil menyambar dengann tangan kirinya, guna menjambak punggung orang.

Itulah jambakan yang sangat berbahaya, yang dibarengi dengan lompatan yang sangat pesat, yaitu lompatan "leheng hoanwie" atau "Memindahkan wujud, menukar kedudukan."

Tapi In Hong juga bukan anak kemarin dulu. Ia menyambuti Kiok Ya Tjiauw bukan berarti menyambut dia belaka, dia juga memasang mata kepada lawan suaminya. Demikian selagi ia dijambak itu, mendadak ia menarik pulang pedangnya, untuk dipakai menanggap tangan orang!

Tek Seng Siangdjin kaget tidak terkira! Baru sekarang ia merasa bahwa ia kena dipedayakan. Dengan kecepatan luar biasa, ia menarik pulang tangannya, untuk ditolongi dari ancaman mara bahaya.

Hok Thian Touw tidak berdiam saja, ia pun maju menyerang!

Tek Seng Siangdjin dapat menghindarkan diri dari pedang In Hong, yang ia kena sampok, tapi ia terancam pedangnya Thian Touw. Itu waktu, Kiok Ya Tjiauw pun menyerang, tetapi dengan berkelitnya In Hong, gembolannya menuju ke arah Tek Seng!

Dalam saat mati atau hidup itu, Tek Seng yang kaget bukan kepalang telah menggunai tipu silatnya yang paling mahir, yang mungkin belum perna ia gunakan. Dengan itu ia membuat dirinya "lolos dari kematian." Ialah dengan terpaksa ia melepaskan dan menimpukkan golok kaytoo-nya. Sebaliknya dengan kedua tangannya, ia menyambar tangannya Kiok Ya Tjiauw, yang gembolannya mengarah tubuhnya. Dengan keras, sedang ia pun berkelit, ia menolak tangan kawannya, untuk dibikin nyasar, hingga gembolan itu akhirnya bentrok dengan pedang Thian Touw dan In Hong.

Dengan lompat mencelat, Tek Seng Siangdjin menyelamatkan dirinya, tetapi ketika ia berlompat, ia meminjam tenaga lengannya Kiok Ya Tjiauw itu. maka dia ini, terlepas cekalannya pada gembolannya, hingga senjatanya itu jatuh ke tanah!

Tek Seng Siangdjin melepaskan goloknya bukan hanya melepaskan dengan begitu saja, ia sembari menimpuk Thian Touw, selagi ia ini menyerang padanya. Serangan ini dilihat Thian Touw, dia berkelit. Maka itu, gerakannya sendiri kena terhalang.

Celaka ialah Kiok Ya Tjiauw, selagi gembolannya ditahan Tek Seng Siangdjin, ujung pedang In Hong mampir di lengannya, hingga ia merasakan sangat sakit. Inilah sebab utama kenapa senjatanyajadi terlepas dari tangannya. Sudah begitu, pedang Thian Touw juga menyambar ke dengkulnya. Syukur dia tertolak Tek Seng, dia terhuyung, maka dia bebas,dari tikaman itu.

Tek Seng Siangdjin berlompat berjumpalitan, ketika ia turun menginjak tanah, ia terpisah jauh dari lawannya, tanpa menoleh lagi, ia kabur terus turun gunung, untuk menyingkirkan diri.

In Hong kagum untuk keliehayan Tek Seng bisa menyelamatkan diri cara demikian.

Ketika Kiam Hong menghampirkan In Hong, Kiok Ya Tjiauw pun telah melarikan diri, hanyalah dia bergulingan turun, terbawa angin terdengar keluhannya: "Gembolan emasku! Gembolan emasku!" Atas itu terdengar juga suara sengit dari Tek Seng Siangdjin: "Jikalau gunung hijau masih ada, takut apa tak ada kayu bakar?"

Tegasnya, Tek Seng penasaran dan ingin menuntut balas kelak di belakang hari.

In Hong tertawa. "Bangsat terokmok itu rugi besar!" katanya.

Kiam Hong memungut gembolan orang. Dia tertawa dan berkata: "Bagus kita memperoleh harta karun ini! Gembolan ini dapat dipakai memelihara saudara-saudara kita di atas gunung selama setengah bulan!"

Mendengar suara nona itu, Thian Touw mengerutkan alis. Katanya dalam hatinya: "Baru mereka pulang, sudah mereka ingat pula gunung mereka..." Tapi isterinya itu sudah pulang, biar bagaimana, girangnya bukan buatan, sedikit juga tak nampak roman dukanya, sebab kemasgulannya barusan lantas lenyap seperti disapu angin.

Suami isteri itu lantas berpegangan tangan erat-erat, mau mereka mengutarakan ribuan kata-kata tetapi tak satu yang dapat dikeluarkan, tak tahu mereka bagaimana harus mulai bicara.

"In Hong, terima kasih!" akhirnya kata Thian Touw selang sekian lama. "Jikalau kau tidak pulang tepat di ini detik, pastilah kitab pedangku kena dirampas dua manusia jahat itu..."

In Hong tertawa

"Ai," katanya, "baru beberapa bulan tidak bertemu, kau lantas berlaku sungkan begini! Di antara suami isteri di mana ada ucapan terima kasih? Mustahilkah, jikalau aku menghadapi bencana, kau pun akan berdiam saja?"

Thian Touw kagum dan terharu, ia menatap isterinya

Kiam Hong melihat kelakuan suami isteri itu, ia girang bukan main. Mereka itu telah akur kembali. Sembari tertawa, ia kata pada mereka:

"Nanti aku pergi kedalam untuk mematangi sesuatu, kamu sendiri boleh pasang omong sesuka kamu!"

In Hong bersenyum, kemudian ia mengawasi suaminya. Tiba-tiba ia melihat alis orang berkerut. Ia heran. Ia tidak tahu apa yang membikin suami itu masgul, hingga untuk sedetik, ia tercengang.

"Thian Touw, kau pikirkan apa?" tanyanya kemudian, memaksakan tertawa.

"In Hong," berkata sang suami, bukan menyahuti, hanya menanya, "ilmu pedangmu barusan aneh sekali, adakah itu kau ciptakan sendiri atau kau dapatkan dari lain orang?"

Sang isteri tidak menjadi kecil hati sebaliknya, ia tertawa.

"Thio Tayhiap telah memberikan petunjuk padaku," sahutnya. "Aku pun telah diberi pinjam Hiankong Yauwkoat. Setelah membaca itu, aku lantas menyadari intisarinya ilmu silat yang luhur. Tentang tipu silatku tadi, itulah ciptaanku sendiri setelah aku memikirkannya pulang pergi sekian lama. Tak tahulah aku, tipu itu dapat dipakai atau tidak..."

"Oh!" seru suami itu, "rejeki kau, besar sekali, peruntungan kau sangat bagus! Aku girang kau dapat membaca kitab luar biasa itu! Ayah bersama aku telah bersusah payah dua turunan, baru kami berhasil menciptakan Thiansan Kiamhoat yang tidak lengkap, tetapi kau, cuma dalam tempo dua tiga bulan, kau sudah menciptakan jurusmu itu!"

"Tapi juga ilmu pedangku itu belum sempurna," berkata In Hong. "Jangan kau terlalu memuji kepadaku! Kau tahu, berhasilku ini pun ada karena jasamu."

Kata-kata itu membuat Thian Touw puas, ia bersenyum.

"Mana ada jasaku?" katanya. "Itulah disebabkan peruntunganmu yang bagus serta kecerdasanmu!"

"Aku bukannya omong merendah," kata In Hong pula. "Dengan sebenarnya tipu silatku ini aku ciptakan karena perubahan Thiansan Kiamhoat kau itu. Bukankah kau pun telah melihatnya?"

Thian Touw mengangguk.

"Benar," sahutnya. "Mulanya pun aku sedikit sangsi dan berniat menanyakan kau karena jalannya mirip dengan ilmu pedangku. Bukankah sifatnya itu selalu kebalikan daripada tipu silatku?"

"Sedikit pun tidak salah," jawab In Hong. "Ini juga hasil petunjuknya Thio Tayhiap. Tayhiap menganjurkan aku jangan berkukuh kepada cara lama, supaya aku berani mengubah, untuk menciptakan yang baru. Lurus atau aneh, akhirnya toh sama saja, pokok dasarnya ialah satu. Tayhiap membilang juga, apabila aku telah menyempurnakannya, maka bersama-sama Thiansan Kiamhoat kau, ilmu pedang kita menjadi satu lurus dan satu aneh, kita berdua dapat saling mengandal atau saling bantu, tidak bisa kita saling mengalahkan, sebaliknya jikalau kita tergabung, faedahnya sangat besar, katanya biar musuh dari partai mana juga, tidak dapat musuh melawan kita. Tayhiap bahkan kata, juga ilmu pedangnya sendiri, ilmu pedang bersatu padu —— siangkiam happek --- tidak dapat bertahan. Semua ini ada kata-katanya Thio Tayhiap, mungkin karena ia hendak menganjuri aku."

"Tidak nanti Thio Tayhiap sembarang mengatakan sesuatu," Thian Touw bilang. "Ah, apakah itu benar-benar?..."

Thian Touw percaya ia sudah berhasil menciptakan ilmu pedangnya, ilmu yang tidak ada bandingnya, tetapi sekarang, mendengar perkataan In Hong, isterinya-atau lebih benar kata¬ katanya Tan Hong --- ia menjadi ragu-ragu. Ia sangsi In Hong benar-benar dapat berendeng dengannya. Hanya, kata-kata Tan Hong itu tak dapat ia tak mempercayainya..."

In Hong mengawasi suaminya, ia dapat menerka hati orang.

"Bagaimanajikalau kita mencoba-coba?" tanyanya bersenyum. "Kita lihat, benar atau tidak kata-katanya Thio Tayhiap itu, yaitu bahwa kita sama-sama tak dapat saling mengalahkan."

Thian Touw berpikir sejenak.

"Kau baru pulang," katanya, "kau habis membuat perjalanan jauh berhari-hari, dan barusan baru saja kau mengeluarkan tenaga banyak, maka marilah kita pulang dulu, habis beristirahat baru kita mencoba-coba."

Maka suami isteri, yang telah lama berpisahan itu, berendeng berjalan pulang.

"Lihat pohon bunga bwee itu," kata sang suami setibanya di dalam pekarangan, tangannya menunjuk, "oleh karena kau tidak ada di rumah, lantas tidak ada yang rawat."

Inilah kata-kata yang berputar. Thian Touw mau membilang bahwa ia sangat pikirkan isterinya tetapi tidak berani mengutarakannya langsung. Dengan ini juga ia dapat mencari tahu pikiran isterinya itu.

In Hong tertawa. Ia menjawab: "Bukankah bunga itu mekar indah?"

Isteri ini tahu maksud suaminya, ia tapinya berlagak pilon.

Tiba di rumah, mereka lantas duduk bersantap bersama-sama Kiam Hong, yang telah menyiapkan barang hidangan. Habis itu, setelah beristirahat, sang Puteri Malam tampak sudah memancarkan sinarnya yang permai.

"Mari, mari kita mencoba!" In Hong mengajak, bergembira.

Thian Touw lantas menyambut dengan girang. Ia memang kegilaan ilmu pedang dan semenjak tadi telah memikirkan bagaimana harus memecahkan ilmu pedang isterinya itu.

"Mari!" katanya. Setibanya di luar, ia tertawa dan kata: "Kau yang mulai!"

In Hong bersenyum, ia bersiap.

"Sambutlah!" katanya. Mendadak ia menyerang dengan tipu silat "Burung walet menggaris pasir." Mulanya pedangnya diputar dulu di depannya.

"Bagus!" sang suami menyambut sambil tubuhnya mengegos ke samping, dari mana pedangnya diluncurkan ke nadi sang isteri. la membalas menyerang dengan lantas. Ia melihat serangan isterinya serupa dengan serangannya sendiri, ia bagaikan telah mengetahui terlebih dulu ke mana isterinya hendak menyerang. Maka ia berkelit berbareng menyerang. Ia bahkan memikir, dengan dua tiga gebrak akan membikin isteri itu melepaskan pedangnya dan menyerah...

Sempurna Thian Touw berpikir, akan tetapi kenyataannya beda sekali dengan pikirannya itu.

Memang serangan In Hong serupa, maksud-maksudnya yang bermula —— tetapi habis itu ada ekornya, ekor yang berlainan, yang di luar dugaan. Seharusnya, setelah diancam nadinya itu, In Hong mesti menyerah, tetapi ia memikir lain. Dengan gampang ia bisa mengelit tangannya itu, lalu dengan cepat ia menyerang pula, dengan hebat. Maka bentroklah pedang mereka dengan menerbitkan suara berisik!

Keduanya lantas memeriksa pedang masing-masing. Mereka girang untuk mendapatkan pedang mereka tidak gompal.

Thian Touw heran, ia kagum. Tapi ia tidak berhenti, dengan sebat ia memutar tubuh, untuk melesat ke samping isterinya, buat pergi ke belakang isteri itu. Di sini ia menyerang dengan jurusnya "Asap tunggal di gurun pasir." Itulah jurus yang terbaru, yang diciptakan sepulangnya ia ke gunungnya. Sembari menyerang ia kata di dalam hatinya: "Aku hendak lihat, bagaimana kau menangkisnya?"

Kembali In Hong seperti telah mengetahui ilmu silat suaminya itu, dengan sebat, bagaikan mendadak, ia menangkis ke belakang, hingga Thian Touw terkejut. Itulah tidak pernah dia sangka. Dia lantas menarik pulang pedangnya.

"Traang!" kembali terdengar suara, dari beradunya pedang mereka.

Baru setelah itu, mereka memisahkan diri.

"Benar-benar rada aneh!" sang suami berpikir. Tapi ia tidak berpikir lama, lantas ia menyerang pula. Kali ini ia bersilat dengan ilmu pedang Twiehong Kiamsut, atau "Pedang Mengejar Angin." yang pun ada jurus-jurus dari Thiansan Kiamhoat. Saking cepatnya pedang bergerak, sinar pedang sampai berkelebatan.

"Pasti kau terdesak mundur," pikir Thian Touw.

Lagi sekali dugaan itu meleset. In Hong tidak mundur, dia bergerak lincah mengikuti pelbagai serangan. Dia bagaikan bayangan. Dia mirip dengan kata-kata tua: "Suami bernyanyi, isteri bernyanyi." Tidak perduli berapa cepat pedang Thian Touw meluncur, tidak pernah ia berhasil mengenai sasarannya, pedang mereka tidak mau bentrok.

Thian Touw kewalahan, lantas ia menggunai akal, mulanya ia mendesak, lalu mendadak ia berhenti, habis berhenti sejenak, segera ia menyerang pula.

Inilah akal yang tak terpikirkan In Hong, lantas pedangnya kena ditempel. Suami itu mengerahkan tenaga dalamnya, dia menekan. Sang isteri kalah tenaga dalam, pedangnya kena tertindih.

"Cukup sudah!" kata Thian Touw tertawa, seraya dia menarik pulang pedangnya. "Benarlah kata-katanya Tayhiap Thio Tan Hong!"

Kelihatannya Thian Touw menang, tetapi ia tidak menang seluruhnya, sebab ia baru saja dapat menempel dan menindih, belum merobohkan. Ia hanya menang tenaga dalam.

In Hong mengerti, ia tertawa.

"Sekarang ini Thian Touw gemar kemenangan," pikir sang isteri. Sedang sebenarnya, suami itu bersikap demikian saking girangnya.

Thian Touw pun berpikir: "Benarlah pedangnya dapat berendeng dengan pedangku! Dengan begini, kekuranganku dapat dia tambal. Baik selanjutnya aku sering berlatih dengannya, untuk kita memperoleh kemajuan bersama, supaya Thiansan Kiamhoat lekas sempurna, agar kita berdua tak ada tandingannya!..."

"Bagaimana sekarang," tanya In Hong tertawa, "apakah kita berdua bergabung dapat mengalahkan Kiauw PakBeng?"

"Sedikitnya kita dapat berimbang dengannya," jawab Thian Touw. "Lewat lagi beberapa tahun, baru aku merasa pasti akan dapat mengalahkan dia."

"Jikalau begitu, aku hendak minta bantuanmu," berkata sang isteri. "Apakah itu?"

"Aku minta kau suka bersama aku pergi ke Koenloen San untuk menemui Kiauw Pak Beng, buat minta satu orang," sang isteri menjelaskan.

Thian Touw kaget, lenyap senyumannya.

"Ah, kembali kau hendak main gila dengan iblis itu?" katanya, berseru.

Isteri itu tertawa.

"Apakah kau jeri terhadapnya?" dia tanya. "Bukankah kau bilang barusan bahwa kalau kita berdua bergabung, kita dapat melawan dia dengan seimbang?"

Thian Touw mengerutkan alis.

"Aku bukannya takut," dia menjawab. "Aku hanya pikir, buat apa tidak keruan-keruan kita mengganggu dia? Bukankah dia tidak mengganggu kita?"

"Memang dia bukan mengganggu kita tetapi mirip dengan itu," sahut In Hong. "Aku mempunyai seorang sahabat akrab yang terjatuh ke dalam tangannya, sahabat itu sekarang tengah menderita. Tidak dapat tidak, aku mesti tolong sahabatku itu. Jadinya bukan tak keruan-keruan aku mengganggu dia."

"Ah, In Hong, buat apa kau mencampur banyak urusan luar? Bukankah urusan sangat banyak? Mana dapat kau mengurusnya semua? Jikalau aku menerima baik kali ini, aku kuatir tidak lama lagi, lantas datang keruwetan yang kedua... Dengan demikian dapatkah nanti kita hidup dengan tenteram?"

In Hong menahan hawa amarahnya. Ketika ia berkata, dingin suaranya.

"Paling benar kalau aku menutup mata lebih dulu!" katanya, "dengan begitu untuk selama-lamanya tak usahlah aku membikin kau pusing!"

"Aku cuma menasihati kau jangan banyak campur urusan orang luar itu," kata Thian Touw sabar, "dan ini pun untuk kebaikan kau. Mengapa kau bicara begini rupa kepadaku?"

"Tetapi aku bukannya gusar," In Hong jawab. "Tanpa sahabat itu, siang-siang aku sudah mati. Thian Touw, kita telah menikah sepuluh tahun lebih, maka sekarang ingin aku tanya kau: Jikalau jiwaku terancam, dapat atau tidak kau menolongi aku?"

"Meski mesti mengurbankan jiwaku, pasti aku akan menolongi kau," jawab Thian Touw lantas.

"Bagus kalau begitu." kata sang isteri. "Di sana ada satu orang yang pernah menolong jiwaku sekarang jiwa dia lagi terancam bahaya kematian, maka itu untuk gunaku, aku minta sukalah kau tolongi dia!"

Tanpa menanti jawaban, atau pertanyaan lebih jauh dari suaminya, In Hong lantas menyebutkan bahwa sahabatnya itu ialah Im Sioe Lan, dan dengan jelas ia menuturkan duduknya kejadian hingga Tjit Im Kauwtjoe atau Nona Im, telah menolong padanya hingga jiwanya terampas dari tangan malaikat maut.

Kiam Hong mendengari suami isteri "adu lidah," tetapi kapan ia mendengar penuturan tentang Im Sioe Lan itu, ia mengucurkan air mata. Ia berkasihan dan berkuatir untuk keselamatannya nona yang bernasib malang itu Dia yatim piatu, dia mengandung sakit hati. dia pun tak terbalas cintanya... dan sekarang dia tengah terancam bahaya...

Thian Touw berdiri diam, ia tercengang.

"Tanpa Im Sioe Lan yang memberikan obat pemunah kepadaku, sudah lama aku tidak hidup lagi hingga sekarang ini pasti aku tidak dapat bertemu pula denganmu," In Hong berkata pula "Dengan aku sudah tidak ada dalam dunia ini, buat apakah bicara pula tentang ilmu pedang? Thian Touw, sekarang ini aku tidak minta kau mengurbankan jiwamu, aku cuma mohon kau suka menemani aku pergi ke Koenloen San, untuk menolongi Nona Im dari mulut harimau."

Thian Touw berdiam sekian lama. baru ia menghela napas.

"Dengan begitu, tidak dapat tidak, kau mesti menolongi nona itu," katanya. "Baiklah, buat guna kau lagi sekali aku akan turun gunung! Tapi aku minta dengan sangat, lain kali janganlah kau ada pula urusan semacam ini..."

Mendengar jawaban itu, Kiam Hong berhenti menangis, bahkan dia dapat bersenyum dan tertawa. Memang selama belasan hari ini, ia sangat menguatirkan keselamatannya Sioe Lan. Ia masih berkuatir, tetapi harapannya timbul, maka itu, ia bisa tertawa!

In Hong sebaliknya tidak dapat bersenyum atau tertawa. Jawaban Thian Touw cuma membuatnya lega sedikit. Ia tetap putus asa karena sikap keras dari suaminya ini. Karenanya, ia jadi berpikir keras sekali.

Thian Touw tidak ketahui beratnya hati isteri itu, ia juga tidak dapat menerka. Ia mengira, setelah ia meluluskan permintaan si isteri, beres sudah urusan di antara mereka. Sendirinya, ia merasa lega, karena ia merasa bahwa ia sudah melakukan suatu kebaikan. Demikian sambil tersenyum ia menegur isterinya: "In Hong aku telah menerima baik, apakah kau masih tidak bergembira? Oh, aku mengerti! Kau tentunya tidak puas karena jawabanku tidak diberikan lantas, mungkin kau menyangka aku kurang sungguh-sungguh. Hal sebenarnya tidak demikian. Aku tidak tahu bahwa dia telah menolong jiwamu. Bicara terus terang, jikalau bukan urusan seperti ini, masih aku tidak suka pergi, dan aku tidak suka juga kau pergi merantau kembali. Ah, In Hong, lagi sekali ingin aku menasihati kau, janganlah kau menaruh diri dalam dunia Kangouw lagi. Jikalau kau suka mendengar perkataanku, pasti tidak kau terancam bahaya seperti itu, hingga juga tak usahlah kau berhutang budi demikian besar."

In Hong memandang suaminya, ia menjawab, dengan dingin: "Tabiatku sama dengan tabiatmu, tabiat kita sama-sama tak dapat diubah! Ah, aku juga mengharap supaya kali ini ialah yang terakhir aku membikin kau pusing!"

Thian Touw melihat roman orang tak wajar, ia terperanjat. Tapi ia tidak mengentarakan sesuatu, bahkan ia tertawa dan kata: "Kita baru bertemu pula habis kita berpisah lama, untuk bicara, dari hal-hal yang menggirangkan masih kekurangan temponya, kenapa kita mesti omong dari hal yang tak menyenangi hati?

Ya, semua-semua salahku, aku membuat kau gusar. Akan tetapi, aku mempunyai pengharapanku, yaitu supaya kita untuk selama-lamanya tinggal berkumpul, untuk bersama-sama meyakinkan lebih jauh ilmu pedang kita, agar di jaman kita ini, kita dapat membangun Thiansan Pay, partai baru yang mengutamakan ilmu silat pedang! Aku menasihati kau mengurangi mencampuri urusan lainnya, itulah melulu karena pengharapan atau cita-citaku itu!"

Thian Touw bicara dengan sabar, bahkan merendah. Selama yang belakangan ini, belum pernah ia bicara demikian rupa terhadap isterinya itu. Dulu-dulu ia memandang In Hong sebagai muridnya, atau sebagai adiknya yang membutuhkan perlindungannya, sekarang ia menganggap sama rata. Ia telah mulai mengenal sifat atau sikap keras dari isterinya itu, ia pun telah memperoleh pengajaran mereka hampir tercerai berai. Pula ia telah melihat tegas ilmu pedang In Hong telah maju pesat sekali, hingga ia merasa ia semakin perlu bantuannya isteri itu untuk melatih ilmu pedangnya yang bersatu padu. Guna menciptakan ilmu pedangnya dengan sempurna, ia ingin perhatian In Hong tak terbagi atau terkacau, supaya isteri itu tetap mendampinginya.

In Hong sebaliknya mengenal suaminya lebih banyak daripada suaminya itu mengenal ia, maka itu ia dapat menerka hati sang suami. Karena sikap kukuh dari suaminya itu, ia kurang puas. Akan tetapi sekarang, mendengar suara halus dari Thian Touw, ia tidak mau mengumbar suara hatinya. Meski demikian, ketika ia berkata, ia berkata sambil tertawa tawar: "Thian Touw, kau hendak menyempurnakan ilmu pedangmu, aku harap kau akan lekas mencapainya! Hanyalah kau nampaknya telah berpikir terlalu baik! Kau hendak hidup menyendiri, kau ingin menjaga dirimu, supaya kau tidak mendatangkan gangguan orang, akan tetapi, dengan begitu, benarkah kau akan berhasil dapat mempelajarinya dengan tenang dan tenteram? Kau lihat sendiri kali ini! Kau tidak berniat mengganggu orang, sebaliknya orang datang sendiri mengganggu kau! Hari ini baru datang satu Tek Seng Siangdjin, siapa tahu kalau kemudian tak datang lain orang yang liehaynya melebihkannya?"

Mukanya Thian Touw menjadi merah. Ia ingat bagaimana ia mengandal isterinya untuk mengundurkan Tek Seng. Benar ia tidak dapat menerima baik semua kata-kata isteri itu tetapi ia tidak mau menyangkalnya. Tegasnya, ia tidak mau mengadu mulut dengan isteri itu.

In Hong berniat berangkat di hari kedua akan tetapi Thian Touw minta ia berdiam tiga hari, untuk melatih diri bersama. Ia terima baik permintaan itu.

Dalam ilmu pedang, Thian Touw menang daripada isterinya, makajuga ia dapat menunjuki pelbagai kelemahan sang isteri dan memperbaikinya. Dengan bekerja sama, ia juga berhasil menciptakan beberapa jurus yang baru. Maka itu, selama tiga hari, bukan sedikit penambahan yang mereka peroleh.

Liong Kiam Hong girang melihat suami isteri itu mendapat pulang keakurannya. Ia kata: "HokToako ada cacadnya akan tetapi semangatnya meyakinkan ilmu pedang harus dipuji, lain orang tak dapat menyamainya! Dia dengan entjie Leng belum mempunyai anak, biarlah ilmu pedangnya menjadi ganti anak mereka yang nanti mengikat mengkekalkan cinta mereka, supaya mereka dapat hidup bersama hingga usia lanjut mereka!"

Oleh karena ia memikirkan suami isteri itu. Kiam Hong kemudian ingat halnya sendiri serta Thio Giok Houw. Ia percaya ia dan pemuda itu dapat menjadi suami isteri yang setimpal. Ia lantas pikirkan lebih jauh, bagaimana nantinya pergaulan mereka. Ia pun berduka kalau ia ingat halnya ia sebatangkara...

Di hari ke empat Hok Thian Touw simpan kitab ilmu pedangnya di dalam gua batunya. Bertiga bersama isterinya dan Kiam Hong, ia turun gunung. Kepada isterinya sembari tertawa ia kata: "Inilah yang ketiga kali aku meninggalkan gunung Thiansan! Tiga kali aku melakukannya, semua itu buat guna kau! Yang pertama ialah ketika aku mencari kau. Itulah peristiwa pada sepuluh tahun yang lampau. Aku ingat bagaimana kegirangan kita ketika kita berhasil bertemu satu pada lain! Ketika itu kita tidak menyangka bahwa kita berdua masih sama-sama hidup!"

In Hong menginsafi kebenaran kata-kata suaminya itu. Ia ingat bagaimana cinta mereka ketika itu. Kalau ia ingat sekarang, ia merasa ia tengah bermimpi. Maka ia pun tertawa.

"Ketika itu aku masih menjadi ratu gunung!" katanya. "Kau tentunya tidak menyangka-nyangka, bukankah?"

Thian Touw mengangguk.

"Buat apakah menimbulkan hal itu?" ia kata.

"Ketika itu kau turun gunung," berkata In Hong, "kau telah memperoleh petunjuk ilmu pedang dari Thio Tayhiap, kau pun telah mengalahkan Yang Tjong Hay hingga kau mengambil alih kedudukannya menjadi ahli pedang yang nomor empat! Kau lihat, turun gunungjuga bukannya tidak ada faedahnya!"

"Akan tetapi itulah nama kosong belaka! Apakah artinya itu?" Thian Touw bilang. "Ketika itu, yang paling membikin aku puas, ialah aku telah menemukan kau. Siapa tahu, ketika kedua kalinya aku turun gunung, itulah untuk menyusul dan mencari kau. Kau pergi membantu mereka merampas entah bingkisan apa, hatiku tak tenang sekali. Maka syukurlah kau akhirnya telah kembali!..." Ia hening sejenak, ia bersenyum dan menambahkan: "Sekarang ini untuk ketiga kalinya aku turun gunung, kali ini kita turun gunung bersama! Aku harap tidak akan terjadi turun gunung yang ke empat kali!"

"Tentang itu aku tidak berani memberi jaminan!" kata In Hong tertawa. "Umpama kata kau tidak turun gunung, aku sendiri mungkin."

Thian Touw nampak menyesal.

"Urusan di belakang hari baik kita bicarakan di belakang hari saja," katanya memaksa tertawa.

Di sepanjang jalan ini, suami isteri itu dapat bicara dan tertawa, akan tetapi keasyikan mereka melainkan keasyikan di luar, di dalam hatinya, mereka tetap tawar. Di antara mereka tetap ada pertentangan cita-cita, hingga mereka sama-sama mempunyai tujuan sendiri, yang mereka saling berkelahikan. Thian Touw ingin mencoba menghapuskan kegemaran merantau dari isterinya, dan In Hong menghendaki sang suami buang pikirannya untuk hidup menyendiri terus menerus. Jadi di antara mereka tetap ada perpisahan...

Di padang rumput jarang sekali terdapat orang, dari itu mereka bertiga dapat berjalan dengan cepat. Dengan merdeka mereka dapat berlari-lari keras menggunai ilmu ringan tubuh mereka. Dengan begitu belum sampai dua puluh hari tibalah mereka di kaki gunung Koenloen San.

Hati Thian Touw lantas menjadi tegang sendirinya. Dia merasa, bersama isterinya tidak nanti mereka kalah dari Kiauw Pak Beng, sebaliknya, untuk memperoleh kemenangan, ia ragu-ragu. Ia tahu baik sekali Pak Beng telah memahamkan sempurna ilmu silatnya yang diutamakan, yaitu Sioelo Imsat Kang.

"Ilmu pedang bersatu padu kita maju pesat, tetapi musuh memperoleh kemajuan juga. Juga Le Kong Thian ada bersama Pak Beng, bukankah itu sulit? Bagaimana mudah akan bicara untuk menolong orang dari mulut harimau? --- Ah, jikalau kita tidak berhasil, sudah tentu In Hong tidak bakal mau sudah saja! Jikalau In Hong berkukuh, bagaimana kesudahannya nanti?"

In Hong sebaliknya memikirkan Sioe Lan. Ia percaya nona itu menderita hebat, hingga mungkin, dia tak sanggup bertahan lama. Karenanya, ia menjadi sangat berkuatir, hatinya menjadi tidak tenteram.

Sementara itu Kiauw Siauw Siauw telah kabur dari dalam kuil dengan hatinya sangat cemas. Ia terus bergelisah dan berkuatir. Benar ia bisa membawa lolos pada Im Sioe Lan, akan tetapi ia telah terluka, sampai sebelah tangannya patah, lepas sambungan tulangnya, yang mana ditambah luka ujung pedang In Hong, hingga ia semakin menderita. Di sebelah itu, ia sangat mendongkol dan bergusar. Maka semua itu ia" tumpahkan atas dirinya Nona Im.

Sesudah lari serintasan, cuaca nampak sedikit terang. Begitu lekas mendapat kenyataan tidak ada orang yang mengejarnya, Siauw Siauw menghentikan keretanya. Lantas ia sadarkan Sioe Lan, untuk segera menghujani cambukan.

Sioe Lan merasakan sakit hebat, tetapi lebih sakit rasa hatinya karena ia telah bertemu dengan Kiam Hong tapi gagal berbicara, karena itu, tak tahan lagi, ia lantas menangis.

"Haha-haha!" Siauw Siauw tertawa. "Aku menyangka kau berkulit tembaga dan bertulang besi, hingga kau tidak takuti cambukan, kiranya kau juga bisa menangis!"

Puteranya Pak Beng mengejek tanpa ia ketahui orang menangis disebabkan apa. Ia lagi panas hatinya, semakin orang menangis, semakin keras ia mencambuki!

Cuaca menjadi semakin terang. Ketika matahari mulai naik, di padang rumput nampak dua penunggang kuda lagi mendatangi cepat sekali, hingga lekas juga mereka sampai di depan Kiauw Siauw Siauw berdua, di depan kuda keretanya jago muda itu.

"He, kenapa kau menganiaya seorang wanita?" demikian satu penunggang kuda menegur. "Pernah apakah dia dengan kau?”

Siauw Siauw mengawasi dua orang itu, muda-mudi umur lebih kurang dua puluh tahun, si pemuda membekal sebatang pedang, si pemudi sepasang gaetan. Ia percaya merekalah anak-anak pitik, maka ia tertawa dan kata: "Dia ini isteriku! Tak berhak kamu mencampur tahu urusan kami! Lekas pergi! Jikalau tidak, aku nanti beri rasa cambuk kepada kamu!"

Nona muda itu menjadi gusar sekali.

"Walaupun isterimu sendiri tidak dapat kau menganiayanya secara begini!" bentaknya. "Aku tidak takut kau galak, urusan ini aku hendak mencampur tahu!"

"Dia ngaco belo!" berteriak Im Sioe Lan. "Dia penjahat besar! Dia menculik aku!"

Nona itu tertawa dingin, lantas ia memegang gagang siangkauw, sepasang gaetannya.

"Benar-benar dia bangsat besar!" teriaknya. "Bouwyong Soeheng, aku membunuh si penjahat, kau menolongi orang!"

"Tidak!" menjawab si anak muda tertawa. "Akulah yang membunuh si penjahat dan kau yang menolongi orang!"

Nona itu melengak, hanya sedetik, lantas ia dapat membade pikiran anak muda itu. Maka ia bersenyum. Orang yang hendak ditolong itu seorang wanita, sudah sepantasnyalah ia yang menolonginya. Tapi ia membenci, tingkah lakunya Kiauw siauw Siauw, ia toh memburu kepada anaknya Kiauw Pak Beng.

Siauw Siauw tidak memandang mata kepada nona ini. Ia pun melihat orang cantik, ingin ia mempermainkannya. Maka ia lantas memutar cambuknya, hingga ujung cambuk menjadi bundar. Dengan begitu ingin ia menyambut si nona untuk terus menggulungnya.

Liehay ilmu silat gaetan nona itu. Ia tidak takut pada cambuk. Ia memang mau menyerang, maka setelah didului dicambuk, ia lantas menyambut! cambuk dengan senjatanya itu, tatkala cambuk kena menjadi sasarannya, ia menarik.

Siauw Siauw menarik cambuknya, ia tidak berhasil membetot si nona, ia juga gagal meloloskan cambuknya.

Cambuk itu lolos sesudah kena terkutungkan gaetan si nona. Tapi ia tidak takut, bahkan ia tertawa.

"Ilmu silatmu baik," katanya. "Baiklah kau turut aku!"

Nona itu mendongkol bukan main, sepasang alisnya berdiri. Ia lantas menyerang. Ia menggunakan jurus "Menunjuk langit, menggaris bumi." Maka sepasang gaetannya menjadi bersilang.

"Bangsat anjing, serahkan jiwamu!" ia membentak.

Kiauw Siauw Siauw tertawa dingin.

"Kau menghendaki jiwaku?" ia mengejek. "Aku rasa tak demikian gampang!"

Ia melepaskan cambuknya, untuk ditukar dengan kipasnya. Ketika si nona menyerang, ia segera menempel, terus ia menolak, membikin gaetan kiri nona itu bentrok sendiri dengan gaetan kanannya, hingga berbunyilah suara "Traang!"

Mau atau tidak, nona itu mundur sendirinya hingga tiga tindak.

Siauw Siauw tertawa lebar. Di dalam hatinya ia heran juga, yang ia tidak berhasil menarik terlepas senjatanya nona itu.

Si anak muda terkejut melihat kawannya terpukul mundur. Mulanya ia menyangka, culik ini culik biasa saja. Karena ini ia lantas menghunus pedangnya, ia maju untuk menyerang.

Kiauw Siauw Siauw mendengar suara angin di belakangnya, ia menangkis ke belakang, membikin terpental pedang si penyerang.

Justeru itu, datang pula serangan si nona. Ia ini heran dan penasaran, karena ia pun tidak menduga, lawan ini gagah.

Siauw Siauw berkelit, setelah itu sebelah kakinya dipakai mendupak dengkul si nona. Maka nona itu mesti berlompat mundur untuk menolong dirinya.

Anaknya Kiauw Pak Beng terluka, tidak dapat ia bergerak leluasa seperti biasanya, tidak dapat ia mengejar si nona, terpaksa ia memutar tubuh, untuk melayani si anak muda, yang sudah maju pula.

Si nona memikir untuk menolongi nona yang diculik itu, atau mendadak kupingnya mendapat dengar satu suara keras. Ia terkejut. Kiranya si anak muda, yang ia panggil Bouwyong Soeheng, kakak seperguruan she Bouwyong, telah kena diserang musuhnya, sebaliknya, baju culik itu kena dirobek pedang sang soeheng. Soeheng itu terpukul pundaknya.

Melihat musuh demikian gagah, si nona batal pergi menolongi Sioe Lan. Ia menghampirkan soeheng-nya itu, untuk membantui. Maka di lain detik, Siauw Siauw sudah dikepung berdua.

Siauw Siauw pun heran yang ia terobek bajunya. Ia pikir: "Dari mana datangnya muda-mudi ini? Mungkin mereka murid-muridnya seorang liehay."

Sesaat itu, tidak bisa ia menerka siapa orang gagah yang bersenjatakan sepasang gaetan. Ia sebenarnya berniat menanya she dan nama orang serta siapa guru mereka, tetapi ia tidak diberi kesempatan lagi, mereka itu sudah lantas menyerang hebat padanya. Saking didesak itu, ia menjadi mendongkol.

"Baiklah, tidak perduli mereka murid siapa, aku binasakan dulu pada mereka!" pikirnya. Lantas ia menggunai pesawat rahasia pada kipasnya, membuat terbang sebatang tulang kipasnya!

Kipas Siauw Siauw ini kipas istimewa, sudah dalam keadaan biasa bisa dipakai sebagai senjata peranti menotok jalan darah, juga bila perlu, pesawatnya bisa dipencet, untuk membikin tulang-tulangnya melesat, menyerang musuh sebagai senjata rahasia mirip anak panah.

Adalah si pemuda yang disambar tulang kipas itu. Ia terancam bahaya. Nyata ia liehay. Ketika tulang kipas tiba, ia menghalau dengan jalan menyentil, hingga tulang itu mental balik.

Tangan kiri Siauw Siauw terluka, belum tersambung, tangan itu tidak dapat digunakan, sedang tangan kanannya, yang memegang kipasnya, lagi dipakai menangkis serangan si pemudi, maka atas kembalinya tulang kipasnya itu, ia terancam bahaya; tidak ada jalan lain, ia membuka mulutnya, untuk memapakinya. Tulang itu mental keras sekali, waktu bentrok dengan gigi. dua buah gigi kena terhajar copot!

Bukan main kaget dan gusarnya Siauw Siauw. Ia merasa sakit dan mulutnya menjadi penuh darah. Ia tidak menyangka pemuda itu berkepandaian menyentil senjata rahasia demikian hebat. Karena ini, ia tidak mau menggunai lagi senjata rahasianya itu, ia tetap melayani bertempur dengan kipasnya, benar ia kalah angin akan tetapi ia tidak dapat dikalahkan dengan mudah.

Muda-mudi itu menyerang makin keras. Terutama sepasang gaetan si nona, hebatnya bukan buatan.

Siauw Siauw masih melayani terus sampai tiba-tiba otaknya bagaikan sadar.

"Apakah kamu murid-muridnya Ouw Bong Hoe?" ia tanya mereka.

"Kurang ajar!" berseru si pemuda. "Apakah nama guru kami dapat kau sembarang menyebutnya?"

Bentakan itu merupakan jawaban. Siauw Siauw lantas tertawa.

"Saudara, jangan gusar!" ia berkata. "Akulah Kiauw Siauw Siauw dari Koenloen San. Gurumu dan ayahku kenal satu dengan lain, boleh dikatakan kita bukanlah orang lain..."

"Fui!" si nona berludah. "Kau kiranya anak dari si siluman tua she Kiauw! Kamu ayah dan anak telah banyak melakukan kejahatan! Kejahatan itu diketahui baik sekali oleh guru kami, sayang guru kami belum sempat pergi ke Koenloen San untuk membasmi kamu! Bagus betul ya, kau berani bicara tentang persahabatan!"

Siauw Siauw merasa sangat terhina. Ia malu sekali, kegusarannya jadi bertambah. Tapi ia tertawa dingin.

"Telah aku memberi muka kepada kamu, kamu tidak suka menerima!" katanya. "Hm! Sekalipun guru kamu, dia masih tidak berani banyak lagak di gunung Koenloen San, maka bagaimana kamu kedua bangsat cilik, kamu berani bertingkah di depan tuan kecilmu?"

Muda-mudi ini tidak menggubris apa yang orang kata, setelah mengetahui siapa musuh mereka ini, mereka perhebat kepungan mereka, masing-masing menyerang dengan dahsyat sekali. Mereka mendesak hingga mereka membikin Siauw Siauw seperti sukar bernapas.

Sebenarnya juga mereka murid-muridnya Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In suami isteri. Si anak muda, yang ber-she Bouwyong, bernama Hoa. Dialah muridnya Ouw Bong Hoe. Dan si pemudi, bernama Tiangsoen Giok, dialah muridnya Lim Sian In.

Ouw Bong Hoe suami isteri tinggal di gunung Tangkula, yang terpisah kira seribu lie dari Sengsioe Hay di gunung Koenloen San. Mereka ini dengan Kiauw Pak Beng jeri satu pada lain, sebab kedua-dua pihak tidak berani memastikan akan beroleh kemenangan apabila mereka bentrok, dengan begitu, merekajadi sama-sama hidup tenang.

Pernah satu kali, di waktu merayakan ulang tahunnya yang ke lima puluh, Kiauw Pak Beng telah mengirim undangan kepada Ouw Bong Hoe suami isteri. Ketika itu ia tengah meyakinkan Sioelo Imsat Kang, kepandaian silat yang luar biasa itu, dan tatkala itu. ia belum terdengar tentang kejahatannya. Ouw Bong Hoe dan isterinya tidak berniat menghadiri pesta, maka itu, meski mereka tidak menampik, mereka toh mengirim karcis nama untuk memberi selamat. Hal ini diketahui Siauw Siauw, dari itu barusan ia menyebut-nyebut tentang persahabatan orang tua mereka kedua belah pihak. Siauw Siauw mengharap, taruh kata mereka ini tidak mengingat persahabatan, sedikitnya mereka merasa jeri. Siapa tahil mereka adalah mirip gudel alias anak kerbau yang tidak takut harimau, bahkan mereka menyerang sehebat-hebatnya!

Jika Siauw Siauw tidak lagi terluka, dengan satu melawan dua, dia tentu bisa membikin kekuatan mereka berimbang, sekarang dia tidak bisa menggunai tangannya yang kiri, karena itu, dia menjadi terdesak, dia cuma bisa menangkis, tidak bisa menyerang.

Setelah bergebrak pula beberapa jurus, hampir Siauw Siauw menjerit. Saking sakitnya, ia cuma dapat mengeluh. Itulah sebab lengan kirinya itu, yang sakit, telah disentuh gaetannya si nona, hingga dagingnya kena tersontek. Ia menahan napas.

"Biarlah aku adu jiwa denganmu!" kemudian ia berteriak. Ia pindahkan kipasnya ke tangan kiri, lantas ia menyerang dengan tangan kanannya.

Tiangsoen Giok terkejut. Secara tiba-tiba ia merasakan dorongan keras hawa yang dingin sekali, hingga ia menggigil. Ia heran bukan main.

Bouwyong Hoa juga tidak kurang herannya. Ia turut merasakan hawa dingin itu. Maka ia lompat ke depan Nona Tiangsoen, untuk menghadang lawan. Ia menyentil pula begitu lekas ia merasakan dorongan hawa dingin. Saking kerasnya hawa, ia mundur tiga tindak. Tapi Siauw Siauw, dia menjerit keras, dia terpental mundur setombak lebih dan roboh.

Anaknya Kiauw Pak Beng menyerang dengan Sioelo Imsat Kang, yang dia baru dapat pelajarkan hingga di tingkat kedua, di lain pihak, ilmu menyentil, yaitu Ittjie Siankang dari Bouwyong Hoa, sudah menyampaikan empat bagian latihan, jadi ia ini dapat melawan hawa dingin itu. Pula, Sioelo Imsat Kang paling meminta pengurbanan tenaga dalam, sedang itu waktu, Siauw Siauw lagi kesakitan dan sudah letih sekali. Maka celakalah dia, tenaga dalamnya itu buyar!

Tiangsoen Giok tertawa dingin.

"Aku mau lihat sekarang!" katanya. "Bangsat, apakah kau masih dapat bertingkah?" Ia lantas maju untuk menikam.

"Tunggu, soemoay!" mencegah Bouwyong Hoa.

"Pergi kau menolongi orang!" kata si nona. "Kau serahkan jahanam ini padaku!"

Bouwyong Hoa belum tahu Kiauw Siauw Siauw menggunai ilmu apa, ia tidak kenal Sioelo Imsat Kang dengan hawa dinginnya yang luar biasa itu, maka ia kuatir ini adik seperguruan nanti dicelakai musuh. Ia tidak tahu, dengan tenaga dalamnya telah terbuyarkan, Siauw Siauw tidak dapat menggunai lagi pukulan dinginnya itu. Umpama kata mereka menyerang terus, pasti sudah jiwa anaknya Pak Beng bakal habis.

Tiangsoen Giok lantas bergerak, untuk lari kekereta.

Siauw Siauw melihat sikap orang, ia menekan pula kipasnya, untuk menyerang dengan tiga batang tulang kipas.

Si nona mendapat lihat serangan itu, ia menangkis dengan pedangnya.

Justeru itu waktu terdengar suatu suara yang nyaring: "Di waktu langit terang benderang begini, siapakah berani merampas dan membunuh orang di sini?"

Bouwyong Hoa mendengar itu. ia terkejut. Itu waktu ia lagi menggunai tenaga dalamnya mengusir keluar hawa dingin akibat serangannya Siauw Siauw barusan. Ia lantas menoleh ke arah dari mana suara itu datang.

Di sana terlihat dua penunggang kuda lagi mendatangi dengan mengaburkan kuda mereka. Orang yang satu ialah seorang tua berhidung bengkung seperti patuk burung ulung-ulung, dan yang lain bertubuh besar dan kekar. Sebentar saja mereka itu sudah sampai.

"Orang itu ialah si penjahat!" berkata Bouwyong Hoa. "Dia telah merampas seorang nona. Kami menemuinya dia di tengah jalan ini, kami lantas mencoba menolongi nona yang dia culik!"

"Hm, kau ngaco belo!" bentak si orang tua. "Kau yang melukai orang, sekarang kau menuduh lain orang!" Lantas dia lompat turun dari kudanya, menghampirkan si anak muda untuk menyerang. Dengan lantas dia menggunai tipu silat Hoenkin Tjokoet Tjioe.

Bouwyong Hoa terkejut, untuk membela diri, ia lantas menyentil. Tapi: "Bret!" ia mendengar suara nyaring. Tahu-tahu, ujung bajunya telah dirobek tangan si orang tua, sedang tangannya sendiri, yang memegang pedang, terasa panas. Coba ia telah tidak menyentil, mungkin pedangnya kena dirampas orang tua itu.

Muda-mudi itu tidak kenal siapa dua orang ini yang sebenarnya ialah Law Tong Soen bersama Tanghong Hek. Mereka menyusul Kiauw Siauw Siauw dengan mengikuti tapak roda kereta. Selagi Tong Soen melayani si anak muda, Tonghong Hek menghampirkan si nona.

Bouwyong Hoa hendak memberi penjelasan pula tetapi Tong Soen terus menyerang kepadanya, ia didesak, hingga terpaksa ia mesti membuat perlawanan. Baru beberapa jurus, jidatnya sudah kena tergores kuku lawan hingga keluar darah.

Kiauw Siauw Siauw menonton pertempuran itu, dia tertawa. Terus dia berseru: "Lao Law, kau boleh binasakan anak muda itu tetapi si pemudi kau tangkaplah untukku!"

Mendengar itu, muda-mudi itu terkejut. Baru sekarang mereka mendapat tahu orang ialah satu komplotan.

Tiangsoen Giok repot melayani Tonghong Hek. yang bersenjatakan pedang besi yang besar dan berat, meskipun gaetannya ada untuk melawan pelbagai senjata, iajeri juga untuk tenaga besar dari sang lawan. Syukur untuknya, ia menang ringan tubuh dan lincah, jadi ia dapat melayani kekerasan dengan kelunakan. Dengan begitu, ia dapat bertahan hingga keadaan mereka berdua berimbang. Tapi ia dapat melihat soeheng-nya terdesak Law Tong Soen, terpaksa ia meninggalkan musuh ini, ia lompat kepada musuh yang satu itu, untuk menerjang.

Tonghong Hek tidak mau ditinggal pergi, ia menyusul.

Law Tong Soen mendengar angin menyambar, ia tahu mesti ada barang bokongan, maka ia menyambar ke belakang seraya ia memutar tubuhnya.

Si nona menyerang tetapi ialah yang menjadi kaget. Sambaran Tong Soen hebat sekali. Terpaksa ia berkelit.

Tangan Tong Soen sangat liehay, dia berhasil menjambret ujung baju si nona, hingga ujung baju itu robek!

Menampak keadaan demikian rupa, Bouwyong Hoa berseru kepada Sioe Lan, yang ia belum kenal: "Nona, menyesal, tidak dapat kami menolong kau! Siapakah sanakmu yang terdekat?"

Tiangsoen Giok dapat menduga hati soeheng-nya, setelah berhenti suara soeheng itu, ia lantas membela diri.

Bouwyong Hoa lagi diserang Law Tong Soen, ia menangkis dengan sentilannya, setelah itu, berbareng berdua mereka lompat mundur.

Justeru itu dari dalam kereta terdengar jawaban: "Akulm Sioe..." Tapi belum habis kata-kata itu mendadak telah berhenti.

Kiauw Siauw Siauw sudah kembali ke keretanya, tepat ia menotok Sioe Lan sebelum orang menutup mulut, hingga puterinya Tjit Im Kauwtjoe menjadi tak dapat bicara terus. Dia tertotok urat gagunya.

Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok lompat naik atas punggung kuda Tonghong Hek lantas menyusul. Dengan lekas mereka telah kecandak. Sebenarnya mereka menunggang kuda Mongolia, yang larinya keras, tetapi sekarang kuda itu tidak dapat berlari cepat, nampaknya seperti ada muatannya yang berat, luar biasa.

Melihat musuhnya menyusul, si anak muda menjadi gusar. Ia menahan kudanya, untuk diputar balik, terus ia menyerang dengan pedangnya. Ialah seorang penunggang kuda yang pandai, sebab selama belajar silat, ia biasa main panah sambil menunggang kuda di tanah datar di kaki gunung.

Tonghong Hek kaget. Penyerangan itu di luar dugaannya. Untuk menolong diri, terpaksa ia menjatuhkan dirinya dari atas kuda, karena mana, kudanya lantas kabur pergi.

"Law Toako, mari kita bekuk dua bocah ini!" Tonghong Hek memanggil.

"Kau kembali, hiantee!" Tong Soen menjawab. "Kita perlu melanjuti perjalanan kita!"

Tonghong Hek berpaling, ia melihat Tong Soen tengah membalut lukanya Siauw Siauw. Segera ia mengerti, maka ia kata dalam hatinya: "Kiranya dia lagi membaiki Kiauw Siauw Siauw! Aku tungkulan mengejar musuh, aku jadi kalah satu tindak..."

Tong Soen itu ahli Hoenkin Tjokoet Tjioe, tangan atau kaki orang yang baik dapat ia membuatnya patah atau salah laku. dari itu, gampang saja ia menolong lengannya Kiauw Siauw Siauw, setelah mana ia memakaikan obat dan membalutnya. Di dalam tempo yang pendek, penderitaannya anak Kiauw Pak Beng itu menjadi berkurang banyak. Berulang-ulang Siauw Siauw menghaturkan terima kasih.

Ketika ia telah kembali, dengan rada jengah, Tonghong Hek kata pada si anak muda: "Apakah kongtjoe terluka? Maaf kami datang terlambat..."

Siauw Siauw senang mendengar kata-kata yang merendah, yang sebaliknya berarti mengangkat ia. Ia memang gemar dipuji-puji dan dihormati. Tapi atas perkataan orang she Tonghong itu, ia berkata dingin: "Lukaku ini aku dapatkan sebelumnya ini! Dua bocah itu mana dapat menyusahi aku!..."

Tonghong Hek terkejut. Ia lantas mengerti, orang merasa kurang puas. Ia menyesal yang ia tidak berpikir dulu sebelum ia berkata. Tapi ia lantas mengubah sikapnya. Katanya hormat: "Memang ilmu totok Keluarga Kiauw istimewa sekali, kami sangat mengaguminya. Tadi malam aku tidak tahu tentang kau, kongtjoe, harap kau suka maafkan kami."

Siauw Siauw tertawa.

"Siapa tidak tahu. dia tidak bersalah!" katanya. Sekarang baru ia puas. "Kita sekarang telah menjadi sahabat, urusan kecil tidak ada artinya. Sudah, jangan timbulkan soal itu. Kau sebenarnya murid siapa?"

"Guruku ialah Koan Sin Liong dari Aylauw San," sahut Tonghong Hek.

"Oh kiranya kau muridnya Tokpie Kengthian Koan Sin Liong!" kata anaknya Kiauw Pak Beng. "Telah aku mendengar lama nama besar gurumu itu!"

Kiauw Siauw Siauw berkesan tak manis terhadap Tonghong Hek. akan tetapi sekarang ia berpikir: "Orang ini bangsa kasar tetapi sikapnya menyenangkan juga." Pula, karena orang ialah muridnya Koan Sin Liong, ia tidak bersikap dingin lebih lama pula.

Tong Soen senang menyaksikan sikap anak muda ini.

"Koan Lootjianpwee telah lama mengagumi ayahmu yang berkenamaan," berkata ia. "Kali ini Tonghong Toako justeru mau pergi ke gunung Koenloen San untuk menjenguk ayahmu itu, kongtjoe. Aku girang luar biasa untuk mendapatkan kedua guru besar dari Selatan dan Utara dapat bersatu padu, maka itu. tak malu aku untuk menganjurkan diri, untuk mengajak Tonghong Toako membuat kunjungan ini. Sekarang kita bertemu kongtjoe di sini, sungguh kita girang!"

"Oh, kiranya begitu!" kata Siauw Siauw tertawa. "Pastilah ayahku bakal menerima baik!"

"Walaupun demikian, kita masih mengharap kongtjoe suka membantu kata-kata di depan ayahmu itu," kata pula Tong Soen.

"Baiklah," Siauw Siauw memberikanjanjinya.

Sampai di situ, Tonghong Hek berkata pu1a. Kata-kata ini ia tunda semenjak tadi.

"Turut penglihatanku di punggung kudanya dua bocah itu mesti ada uang dan lain barang berharga," demikian katanya. "Aku percaya kuda mereka itu tidak dapat lari keras. Law Toako, kenapa kita tidak mau merampas mereka supaya sekalian saja kita menghaturkan oleh-oleh untuk Kiauw Lootjianpwee?"

Mendengar itu, Law Tong Soen tertawa.

"Kiauw Lootjianpwee ada orang berilmu beda dari manusia kebanyakan dia mana membutuhkan hadiah pertemuan semacam itu dari kau?" katanya. "Lebih baik kita menemani Kiauw Kongtjoe pulang! Hitung-hitung kedua bocah itu untungnya bagus!"

Kiauw Siauw Siauw puas mendengar suaranya Tong Soen itu.

"Tonghong Toako, kau baik sekali," ia berkata. "Law Toako sebaliknya mengenal sifat manusia. Saudara-saudara, aku menerima kebaikan kamu berdua!"

Sebenarnya Siauw Siauw juga tak tabu untuk harta besar atau barang permata mulia, kalau sekarang ia tidak menghendaki itu, itulah disebabkan ia ingin lekas-lekas tiba di rumahnya sekalian untuk mengobati luka-lukanya.

Law Tong Soen sebaliknya jeri kepada pihak Bouwyong Hoa karena.

melihat kepandaian anak muda itu, ia menduga kepada Ouw Bong Hoe suami isteri. Tentu saja ia tidak suka menambah musuh dalam dirinya itu suami isteri jago. Inilah bukti dari kecerdikan dan kelincahannya.

Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok telah mengasi kuda mereka lari terus, selama sepuluh lie, mereka tidak bicara satu dari lain. Setelah itu, baru mereka memperlahankan binatang tunggangan mereka.

"Soemoay, apakah kau berduka?" tanya sang soeheng tertawa. "Jangan kau pikirkan itu. Di dalam pertempuran, menang atau kalah adalah hal biasa”

"Inilah yang kedua kali kita bertempur semenjak kita turun gunung," sahut adik seperguruan itu, "dan kali ini kita kena dikalahkan. Tidakkah itu membikin kecewa pengharapan soehoe? Sudah begitu, kasihan itu nona, kita tidak dapat menolongi dia. Apakah kau tidak berduka karenanya?"

Bouwyong Hoa mengangguk.

"Mengenai nona itu. aku menyesal," ia berkata. "Turut penglihatanku, si tua yang pandai ilmu Hoenkin Tjokoet Tjioe, mungkin dialah orang yang soehoe pernah membilangi kita. yaitu Law Tong Soen komandan dari pasukan Gielimkoen. Jikalau benar dugaanku, tidak malu kita tidak dapat mengalahkan dia. Hanya kasihan nona itu..." Ia berdiam sebentar, seperti yang lagi berpikir, kemudian ia menambahkan: "Kita sekarang mau pergi kepada Kimtoo Tjeetjoe. Dia luas pergaulannya, baik kita beritahukan dia tentang urusan ini, mungkin dia kenal si nona. Dengan begitu, nanti dapat didayakan untuk menolong padanya."

Si nona mengangguk.

Dua saudara seperguruan itu turun gunung menuruti keinginan guru mereka, untuk menemui orang-orang dari kaum tertua, supaya kalau nanti mereka merantau, mereka jadi telah mempunyai banyak kenalan orang-orang kenamaan. Kimtoo Tjeetjoe ialah salah seorang yang harus dikunjungi. Mereka tahu sepak terjang dari rombongan Kimtoo Tjeetjoe, yang telah merampas bingkisan pelbagai propinsi untuk raja, mereka menyesal tidak dapat turut mengambil bagian, maka itu mereka telah merampas harta bendanya Kiok Ya Tjiauw, untuk dipersembahkan kepada Kimtoo Tjeetjoe. Kebetulan sekali, di tengah jalan mereka bertemu dengan Kiauw Siauw Siauw dan Im Sioe Lan, lalu juga dengan Law Tong Soen dan Tonghong Hek.

Tengah berjalan terus, muda-mudi ini melihat dua orang lagi mendatangi di sebelah depan mereka. Mereka melihat orang melarikan kudanya masing-masing dengan cepat, dengan sendirinya mereka jadi ketarik hati, mereka lantas mengawasi.

Dua penunggang kuda itu beda sekali satu dari lain. Yang satu ialah seorang muda umur lebih kurang dua puluh tahun, romannya tampan dan gagah, tubuhnya pun dikerebongi mantel kulit rase, sedang di pinggangnya tergantung golok yang bertaburkan batu permata. Dia mestinya dari keluarga atasan. Sebaliknya, kawannya, yang telah berusia lima puluh lebih, yang mukanya berewokan, berpakaian tambalan di sana-sini, sementara tangannya mencekal sebatang tongkat peranti mengemplang anjing. Begitu berlainan mereka berdua, tetapi mereka melarikan kuda mereka berendeng.

"Entah mereka dari kalangan apa," Bouwyong Hoa kata perlahan pada kawannya. "Kita baik menyingkir dari mereka..."

Tiangsoen Giok sebaliknyaSangat tertarik perhatiannya, ia justeru melirik si orang tua mirip pengemis itu.

Orang tua itu melihat gerak-gerik muda-mudi itu, mendadak dia tertawa.

"Eh, anak-anak, kamu takut apa?" katanya, riang gembira. "Apakah kamu takut aku si pengemis tua nanti minta uang dari kamu?"

Bouwyong Hoa tidak mau melayani bicara, ia menarik les kudanya, untuk menyingkir dari orang tua itu, tetapi si orang tua telah melarikan kudanya, untuk terus melintangi tongkatnya di depan orang!

"Ah. dia mau apakah?" pikir si anak muda heran. "Mungkinkah dia telah melihat oleh-olehku ini?"

Maka ia lantas meraba gagang pedangnya.

"Jangan sibuk!" berkata orang tua itu, kembali tertawa. "Meskipun aku si pengemis tua tidak mempunyai sekalipun debu, aku masih tidak silau dengan hartamu itu!"

"Sungguh jumawa pengemis bangkotan ini." pikir Bouwyong Hoa. "Hartanya Kiok Ya Tjiauw ini sedikitnya berharga beberapa puluh laksa tahil perak tetapi toh katanya dia tidak lihat mata!" Karena ia belum mendapat tahu maksud orang, ia berlaku sabar. Ia berkata: "Aku tidak kenal kau lootiang, entah ada pengajaran apa dari lootiang untukku?"

Tiangsoen Giok tidak ada sesabar soeheng-nya itu. Iamenghampirkan.

"Kau siapa?" ia menegur. "Kenapa kau memegat kami? Kami hendak lekas-lekas melanjutkan perjalanan kami!"

"He, nona, kau galak sekali!" kata pengemis itu. "Mungkinkah tadi kau kena dikalahkan orang maka kau sekarang menjadi mendongkol dan mendeluh?"

Nona Tiangsoen heran.

"Eh, mengapa kau ketahui itu?" tanya dia, yang mukanya lantas menjadi merah sendirinya. Dia telah berlaku terburu napsu. Dengan menanya demikian, dia menjadi telah membuka rahasia sendiri. Dia menyesal sudah membuka mulut tanpa dipikir lagi.

Si orang tua bersenyum.

"Dengan siapa kamu telah bentrok?" tanyanya. "Coba kau tuturkan padaku, barang kali aku si orang tua dapat membantu kamu."

Bouwyong Hoa beda dari si soemoay yang tabiatnya sedikit keras, ia mau lantas menduga pengemis ini bukan sembarang orang, bahkan dia tentunya tidak bermaksud jahat, maka ia lantas mendahului soemoay itu menjawab.

"Lootiang, baiklah kau tak usah campur segala urusan luar," ia berkata. "Percuma untuk kami menuturkannya. Orang dengan siapa kami bentrok tadi, dia tidak dapat dibuat permainan kecuali dia dihadapkan dengan dua orang tertentu!"

Pengemis itu mengulur lidahnya.

"Demikian liehay orang itu?" katanya, matanya pun dibuka lebar-lebar. "Habis siapakah itu dua orang yang berani mempermainkan dia?"

"Yang satu yaitu Kimtoo Tjeetjoe Tjioe San Bin, yang lainnya Tayhiap Thio Tan Hong," Bouwyong Hoa memberitahu. Ia sengaja menyebut nama dua orang itu untuk melihat bagaimana lagaknya pengemis ini.

"Oh!" si pengemis berseru, lantas dia tertawa. "Kiranya semua kenalanku!"

Anak muda itu heran.

"Lootjianpwee. kau siapakah?" ia tanya lekas.

"Nanti, aku tanya kau lebih dulu!" berkata orang tua itu. "Bukankah sekarang ini kamu lagi hendak memohon bantuannya Kimtoo Tjeetjoe atau Thio Tayhiap?"

"Memang benar, lootjianpwee, kami hendak mengunjungi Kimtoo Tjeetjoe," sahut si anak muda.

Pengemis tua itu tertawa terbahak.

"Jikalau begitu, marilah kamu berkenalan dengan siauwtjeetjoe ini!" ia kata. "Tjie Hiap, mari!" ia menambahkan, kepada anak muda yang menjadi kawannya itu.

Dua orang ini bukan lain daripada Hoepangtjoe Tie Goan dari Kaypang, partai Pengemis, dan Siauwtjeetjoe Tjioe Tjie Hiap, Ketua muda, dari Kimtoo Tjee, markas Kimtoo Tjeetjoe. Mereka tengah berjalan mencari Im Sioe Lan. Tie Goan melihat pakaian muda-mudi itu robek, lantas ia menduga orang habis berkelahi.

Kedua pihak lantas saling menghunjuk hormat, buat berkenalan.

"Ayahku pun sering menyebut nama besar guru saudara-saudara," berkata Tjie Hiap, "dan aku telah dipesan, apabila kami melewati gunung Tangkula, aku mesti mampir untuk membuat kunjungan. Sungguh tidak disangka-sangka, kita bertemu ditengahjalanini!"

"Kami pun telah mendengar hal kamu sudah merampas bingkisan raja." berkata Bouwyong Hoa. "Peristiwa itu sangat menggemparkan, kami sangat mengaguminya. Kami menyesal sekali yang kami tidak dapat turut mengambil bagian. Sekarang ini kami baru saja mendapatkan sedikit harta karun, niat kami ialah membawa ke gunung untuk dipersembahkan kepada pihakmu, saudara Tjioe..."

Habis mengucap begitu, muka Bouwyong Hoa bersemu dadu. la ingat bahua barusan ia telah menyangka jelek pada Tie Goan.

Hoepangtjoe itu tertawa tergelak.

"Aku si pengemis tua, aku tidak membutuhkan uang, untukku, uang itu apa perlunya?" katanya. "Tapi mengenai saudara-saudara di atas gunung, mereka benar-benar membutuhkan uang dan rangsum, maka uangmu ini beberapa puluh ribu tahil perak berharga sekali untuk mereka!"

"Saudara, dengan siapa tadi kamu bertempur?" Tjie Hiap tanya.

"Dengan anaknya si siluman tua Kiauw Pak Beng," Bouwyong Hoa memberitahu.

Tjie Hiap terkejut.

"Oh, Kiauw Siauw Siauw!" serunya. "Untuk urusan apakah?"

"Dia telah menculik seorang nona muda, di sepanjang jalan dia telah menganiayanya." Tiangsoen Giok menggantikan soeheng-nya menjawab. "Kami tidak dapat mengawasi saja perbuatannya yang jahat dan kejam itu!"

Kembali Tjie Hiap terkejut.

"Bukankah nong itu Nona Im Sioe Lan?" dia tanya.

"Memang, nona itu she Im," sahut Tiangsoen Giok. "Kau kenal dia?"

"Dia justeru orang yang melepas budi besar kepada kami," kata Tjie Hiap, "dan sekarang kami lagi mencari dia. Siapakah itu yang ada bersama Kiauw Siauw Siauw?"

Bouwyong Hoa tidak kenal Law Tong Soen dan Tonghong Hek, ia cuma menduga-duga komandan Gielimkoen itu, maka ia menjelaskan potongan tubuh dan roman serta usia mereka juga.

Tie Goan tertawa.

"Benar-benar mereka itu tidak dapat dibuat permainan!" katanya. "Si hidung bengkung itu pasti Law Tong Soen!"

"Biarnya begitu, kita toh mesti seteroni dia!" kata Tjie Hiap. Ia lantas mengangkat cambuknya untuk mengasi kudanya lari.

"Tahan!" Tie Goan berseru.

"Kenapa?"

"Sabar. Kita bekerja mesti jangan menuruti darah panas saja. Mereka itu sudah pergi sekian lama, taruh kata kita menyusul mereka, belum tentu dapat kita menyandak. Lain dari itu, umpama kata kita berhasil menyusul mereka, jikalau mesti bertempur, kita juga bukan tandingan mereka itu. Turut penglihatanku, Kiauw Siauw Siauw pasti mau pulang ke Koenloen San."

"Jikalau dia dibiarkan membawa Sioe Lan sampai ke gunungnya, bukankah itu berarti lebih sukar untuk menolongnya?" tanya Tjie Hiap, yang masih penasaran.

"Itulah benar. Tapi menurut aku, baiklah kita mengatur begini: Kita minta saudara Bouwyong berdua melanjuti terus perjalanan mereka ke gunung, di sana mereka boleh sekalian memberitahukan halnya kita sudah mendapat endusan tentang Nona Sioe Lan. Kita berdua, kita menguntit terus. Kita dapat memeriksa tapak kereta di sepanjang jalan. Di mana perlu, kita pun dapat minta bantuannya sahabat-sahabat setempat."

Tjie Hiap dapat dikasih mengerti, maka ia dapat menyabarkan diri. Sekarang ia insaf, memang satu Law Tong Soen saja sudah sukar untuk ditempur. Ia pula menduga, bahaya jiwa langsung bagi Im Sioe Lan mungkin belum ada, kalau tidak, tidak nanti nona itu dibawa lari terus menerus.

"Baiklah," katanya akhirnya.

Tie Goan lantas minta Bouwyong Hoa dan Tiangsoen Giok pergi terus ke gunung, buat menyerahkan hartanya sekalian memberitahukan halnya mereka menyusul Kiauw Siauw Siauw dan Im Sioe Lan.

Bouwyong Hoa berdua setuju.

"Jikalau di tengah jalan tidak didapatkan kawan untuk membantu," berkata Nona Tiangsoen, "karena untuk pergi ke Koenloen San gunung Tangkula harus dilewati, baiklah kamu mampir kepada soehoe dan soenio kami. Bilang bahwa kami telah diperhinaKiauw Siauw Siauw. Soenio paling menyintai aku, ia tentu bakal membalaskan sakit hati. untuk melampiaskan kemendongkolanku!"

Tie Goan tertawa.

"Benar!" katanya, memuji. "Guru kamu itu ialah orang yang ketiga yang berani mempermainkan Kiauw Pak Beng!"

Sampai di situ, mereka lantas berpisahan.

Kiauw Siauw Siauw bertiga Law Tong Soen dan Tonghong Hek, dengan membawa Im Sioe Lan, tiba di rumau dengan tidak kurang suatu apa. Siauw Siauw mendapatkan, orang yang menyambut ia di rumahnya itu ialah orang yang ia tidak sangka-sangka. Dialah Le Kong Thian, yang ada bersama-sama Tek Seng Siangdjin dan Kiok Ya Tjiauw.

Tek Seng dan Ya Tjiauw turut menyambut, tidak perduli tingkat derajat mereka lebih tinggi daripada Siauw Siauw. Inilah disebabkan mereka hendak mengambil hati, supaya mereka berhasil mengikat persahabatan dengan Kiauw Pak Beng.

"Eh, Kong Thian, kenapa kau sudah pulang?" Siauw Siauw tanya pengurus rumah tangganya itu.

"Buat apa aku tidak pulang?" Kong Thian membaliki. "Pektok Tjinkoen bersama Tjit Im Kauwtjoe sudah mati, kitab Pektok Tjinkeng telah dimiliki Im Sioe Lan. Im Sioe Lan sendiri bernaung di dalam Kimtoo Tjee, aku tidak sanggup menawan dia, terpaksa aku pulang."

Siauw Siauw tertawa.

"Coba kau lihat di dalam kereta sana. siapakah orang itu?" ia kata sambil menunjuk ke keretanya. "Pergilah kau bawa dia masuk!"

Le Kong Thian terperanjat bahna herannya.

"Im Sioe Lan?" tanyanya. "Kau berhasil menawan dia?"

"Benar!" sahut Siauw Siauw bersenyum. "Pektok Tjinkeng juga berada ditanganku! Nah, lekas kau mengabarkan pada ayahku!"

"Soehoe lagi berlatih dengan menutup diri," Kong Thian memberitahu. "Besok tengah hari baru ia akan membuka pintu kamarnya. Tek Seng Siangdjin ini berdua telah datang semenjak dua hari, mereka pun belum dapat menemukannya."

"Kita jangan kesusu," berkata Law Tong Soen. "Tidak apa kita menanti satu atau dua hari."

Tong Soen ini berpandangan jauh. la telah mengatur rencana, kecuali Kiauw Pak Beng, ia ingin menempel lain-lain orang liehay dan Tek Seng Siangdj in ini salah seorang yang telah tercatat dalam daftarnya. Maka sekarang dapatlah ia duduk beromong-omong dengan Tek Seng dan Kiok Ya Tjiauw, hingga ia mengetahui juga, mereka ini mau minta bantuannya Kiauw Pak Beng disebabkan kekalahan mereka di Thiansan. Tentu sekali, mereka lantas dapat bicara dengan asyik dan ia lantas mendapatkan persetujuannya Tek Seng Siangdjin.

Besoknya benar saja Kiauw Pak Beng muncul dari kamar latihannya, la menemui sekalian tetamunya. Ketika ia mendengar laporannya Le Kong Thian, ia menitahkan anaknya untuk Sioe Lan segera dibawa menghadap padanya.

"Duduk," ia berkata pada si nona, begitu lekas Nona Im telah dibawa datang. “Katanya ibu dan ayahmu telah menutup mata, kau sekarang tidak punya andalan lagi, baiklah kau tinggal di sini bersama aku. Nanti aku pilihkan kau hari yang baik untuk kamu menikah." Sioe Lan gusar.

"Kau telah mengangkat dirimu sebagai jago Rimba Persilatan!" katanya keras, "kenapa kau menghina seorang perempuan muda yatim piatu? Biarnya aku mesti mati. tidak nanti aku menikah dengan anak mustikamu!"

Ketika ia dibawa masuk, Sioe Lan telah ditotok bebas oleh Kiauw Siauw Siauw, maka itu, habis berkata keras itu, terus ia berlompat bangun, untuk membenturkan kepalanya pada tembok.

Kiauw Pak Beng mengulur tangannya untuk mencegah.

"Mari kita bicara secara baik-baik," katanya tertawa. "Buat apa bunuh diri?" Sioe Lan merasakan dorongan tenaga yang kuat bingga ia terpaksa kembali duduk di kursinya, tenaganya lantas lenyap semua. Ia mengeluh di dalam hati, sebab sekarang, mau mati pun tidak bisa.

Kiauw Pak Beng memandang puteranya, lalu ia mengawasi si nona.

"Suami isteri muda berselisih adalah hal lumrah sekali," ia bilang, sabar. "Tapi, kenapa kau menggunai racun mencelakai anakku?"

"Dia telah merampas barangku, dia juga menghina aku!" sahut Sioe Lan. “Aku tahu aku tak bakal lolos lagi dari genggamanmu, tetapi aku juga mau membikin anakmu tak dapat hidup lebih lama pula!"

"Oh, kiranya begitu!" kata Pak Beng. "Siauw Siauw, mari kitab Pektok Tjinkeng itu, kasih aku lihat!"

Siauw Siauw menyerahkann kitab rampasannya kepada ayahnya itu.

Pak Beng membeber kitab itu, ia memeriksa sekian lama.

Siauw Siauw bergelisah, ia mengawasi ayahnya. Ia tidak berani mengganggu ayah itu.

Setelah berselang sekian lama, baru mata Pak Beng dialihkan dari kitab tentang pelbagai racun itu.

"Tidak kecewa kau menjadi puterinya Tjit Im Kauwtjoe!" ia kata pada Nona Im. "Benar hebat kepandaianmu menggunai racun!"

Mukanya Siauw Siauw menjadi pucat.

"Ayah, bagaimana?" ia tanya ayahnya. Ia takut bukan main.

"Apakah kau tidak dapatkan obat pemunahnya?" si ayah balik menanya.

Hati Siauw Siauw bercekat. Tahulah ia sekarang, racun dalam tubuhnya itu tak dapat diobati kecuali oleh Sioe Lan sendiri. Terang ayah itu buntu jalan.

"Semua obatnya telah dapat dirampas," ia menyahut. "Obat itu ada beberapa puluh macam, tidak ketahuan yang mana satu obat pemunahnya..."

Habis berkata, ia pun menyerahkan semua obat rampasannya.

Kiauw Pak Beng lantas memakai sarung tangan kulit. Ia keluarkan semua obat dari dalam kantungnya, ia pisah-pisahkan itu.

Melihat caranya orang memisahkan obat, Sioe Lan kaget. Ia kata dalam hatinya: "Cuma sebentar saja dia membaca Pektok Tjinkeng, lantas dia dapat memisahkan obat-obatku begini rupa. Nyata dia jauh terlebih liehay daripada anaknya!"

"Kau tunjuk mana obat pemunah untuk luka anakku!" kemudian Pak Beng berkata pada Sioe Lan.

Nona lm tertawa dingin.

"Kau boleh bunuh aku!" katanya nyaring. "Untuk menunjuki obat, tidak nanti!"

"Oh, kiranya begini rupa kau membenci anakku!" kata Pak Beng. "Baiklah! Kau tidak suka menikah dengannya, kau tunjuk obat pemunahnya, nanti aku merdekakan kau!"

Hati Sioe Lan tergerak juga. Akan tetapi kapan ia ingat bagaimana di sepanjang jalan ia disiksa Siauw Siauw. hatinya menjadi mantap pula. Ia menutup mulutnya.

Pak Beng mengawasi tajam.

"Hm!" terdengar suaranya. "Kau kira dengan kau tidak menunjuki obat pemunahnya lantas aku tidak berdaya lagi?" Ia lantas mengangkat pitnya, ia menulis dua helai surat obat, kemudian ia panggil satu orangnya seraya terus berkata padanya: "Setiap obat dari surat obat ini kau masak dengan airnya lima belas mangkok. setelah matang, kau bawa mari!"

Sioe Lan dengar itu. ia kata dalam hati kecilnya: "Taruh kata kau ketahui caranya membuat obat pemunah, dalam satu tahun atau sedikitnya setengah tahun, tidak nanti kau dapat mengumpul semua obat yang dibutuhkan! Aku tidak percaya di dalam rumahmu ini kau dapat menyimpan obat-obatan demikian lengkap! Pula di dalam Pektok Tjinkeng tidak ada dimuat resep keracunan tertentu, untuk membuat semacam obat pemunah, lebih dulu orang mesti mengerti perihal pelbagai macam racun serta sifatnya setiap obat, baru macam-macam obat itu dicampur menjadi satu!"

Nona ini bersenyum mengejek. Ia menyangka Pak Beng mengumpul pelbagai racikan, buat membikin obat pemunah untuk anaknya itu.

Kiauw Pak Beng tidak menggubris nona itu, ia hanya menyuruh Siauw Siauw mengundang Tek Seng Siangdjin dan Kiok YaTjiauw datang masuk, untuk ia minta penjelasan perihal pertempuran di gunung Thiansan itu ketika mereka dikalahkan Hok Thian Touw suami isteri.

"Baik, akan aku membalaskan sakit hati kamu!" katanya kemudian. "Tapi, Tek Seng Siangdjin, kau mesti melakukan sesuatu untukku!"

"Asal yang aku sanggup, pasti aku akan lakukan," Tek Seng Siangdjin memberikan janj inya.

"Itulah gampang sekali. Kau bawakan aku beberapa biji batu Keehiattjio dari Sengsioe Hay."

Seperti diketahui, Sengsioe Hay ialah tempat mana Tek Seng Siangdjin tinggal. Batu itu keehiattjio ialah "batu darah ayam."

Mendengar itu, Tek Seng Siangdjin tertawa. Perjalanan ke rumahnya dapat dilakukan pulang pergi dalam tiga hari. Ia kata: "Aku kira kau menghendaki barang apa, kiranya benda itu! Kau tunggu, aku nanti pergi, lusa malam aku akan sudah kembali kesini!"

Im Sioe Lan ketahui, keehiat tjio itu ialah semacam bahan obat yang sifatnya panas dan keras. Maka ia kata pula dalam hatinya: "Jikalau kau pakai batu itu untuk racikan obat, aku tanggung anakmu bakal mampus dalam waktu terlebih lekas lagi!"

Semundunya Tek Seng Siangdjin dan Kiok Ya Tjiauw, maka pegawainya Pak Beng telah selesai memasak matang obat yang dia minta tadi, semuanya dimuatkan dalam dua teeko tembaga yang besar.

"Sekarang pergi kau cari lima belas ekor anjing yang galak!" dia menitah pula.

Sioe Lan heran, hingga ia menjadi ingin ketahui apa akan diperbuat siluman tua she Kiauw ini.

Kiauw Pak Beng menuang sedikit isinya kedua teeko itu ke dalam masing-masing mangkok, lantas ia membuka sebungkus obat, sedikit obat itu disentilkan masuk ke dalam dua mangkok itu.

"Kau ambil kedua mangkok ini!" kata ia pada anaknya.

Siauw Siauw heran. "Adakah ini obat pemunah?" pikirnya. Tapi segera ia mendengar ayahnya menambahkan: "Kau cekoki ini kepada anjing!"

Baru sekarang Siauw Siauw tahu itulah bukan obat untuknya.

Pegawai tadi memegangi dua ekor anjing, dengan memegang lehernya, Siauw Siauw menuang obat ke dalam mulutnya masing-masing anjing itu.

Cuma sebentar, mendadak anjing yang seekor menggonggong keras, lantas dia lompat menubruk. Tapi Siauw Siauw liehay, dengan satu sampokan, ia membikin anjing itu roboh, lantas ngoser di lantai, lantas darah keluar dari mulut, hidung, mata dan kupingnya, lalu sejenak kemudian, dia berdiam dan mati.

Anjing yang lainnya sebaliknya. Dia perangkatkan diri, dia berkuwing, badannya bergemetar seperti kedinginan, tidak lama, dia berdiam dan mati juga...

Hati Siauw Siauw terkesiap, ia heran.

Kiauw Pak Beng menggeser ke samping dua bungkus obat tadi itu, lantas ia mengambil yang lain, yang ia campurkan ke air obat masakan, yang ia telah tuang ke dalam dua mangkok, setelah mana, ia menyuruh anaknya mencekoki lagi dua ekor anjing yang membandal dicekok dengan paksa.

Sebentar kemudian, dua ekor anjing pun mati.

Kiauw Pak Beng mengulangi perbuatannya, hingga dua belas ekor anjing pada mati, tinggal yang tiga. Semua kematian itu berlainan satu dengan lainnya, tetapi dapat digariskan kepada dua golongan: yang satu menjadi galak dan merangsang, yang lain menjadi lemah tak bertenaga Yang tiga itu, yang diberi obat juga, terus rebah diam, keadaannya seperti orang menderita sakit berat.

"Sekarang singkirkan semua anjing itu!" kata Pak Beng. Terus dia tertawa dan menambahkan: "Meski aku telah kurbankan lima belas anjing pemburuku, setelah pelbagai obat dapat diperiksa sifatnya, itu berharga juga!"

Sioe Lan masih berdiam saja ia tak mengerti maksudnya jago tua itu.

Pak Beng lantas menggeser tiga bungkusan obat ke depan si nona.

"Tunjukilah yang mana satu obat pemunahnya!" katanya bengis.

Nona Im kaget. Memang, obat pemunah itu ialah satu di antara tiga bungkus itu. Ia juga kagum untuk caranya Pak Beng memeriksa semua obatnya itu.

Dua rupa obat yang dimasak Kiauw Pak Beng itu terbagi dalam dua rupa sifat, panas dan dingin. Ia belum tahu cara mengobati keracunan anaknya tetapi dengan memeriksa nadi si anak, ia tahu juga anaknya itu terserang racun yang sifatnya panas tercampur dingin, yang bekerjanya lambai, bahwa racunnya lebih banyak bersifat panas, lebih sedikit bersifat dingin. Dengan meracuni ke lima belas ekor anjing, tahulah ia perbedaannya pelbagai kurban anjing itu. Anjing yang kalap ialah yang minum obat panas, dan yang menjadi lemas terkena obat sifat dingin. Tiga anjing yang terakhir, mati tidak, hidup tidak, dan itu anjing ketiga ekor itu kena minum obat yang racunnya bekerja lambat.

Sebagai seorang liehay, Pak Beng juga tidak cuma memeriksa obat-obatan itu dan mengujinya terhadap anjing, diam-diam dia memperhatikan air mukanya Sioe Lan, untuk membade hati si nona.

Maka akhirnya dia tertawa lebar dan kata: "Sekarang tinggal ini tiga macam obat, tinggal dipilih saja! Apakah kau masih hendak memaksa aku memikirkan dan mencobanya lagi?"

Di dalam hati kecilnya, Sioe Lan kata: "Tiga macam obat ini semua bersifat hampir bersamaan, biarnya kau pintar luar biasa, tidak nanti kau dapat memilihnya!"

Tjit Im Kauwtjoe cerdik luar biasa, kepandaiannya mengenai racun sukar tandingannya, sedang Sioe Lan telah mewariskan kepandaian ibunya itu— — kepandaian menggunai jarum beracun, yang ia telah pakai menyerang Kiauw Siauw Siauw. Obat pemunah untuk keracunan itu melainkan satu rupa. sekarang obat ada tiga macam, asal salah pilih, jikalau Siauw Siauw salah makan, segera dia bakal mati!

Kiauw Pak Beng tertawa dingin melihat orang membungkam saja.

"Baiklah!" katanya, bengis. "Kau tidak suka bicara tetapi aku menghendaki kau sendirilah yang memberitahukan aku!"

Tiba-tiba saja jago tua ini menyambar tangan si nona, untuk dengan jerijinya menekan nadi. Dengan lain tangannya ia menjemput sebungkus obat, yang ia terus ulapkan di muka nona itu.

"Ini bukan?" dia tanya, keras.

Sioe Lan merapatkan giginya, ia menutup mulutnya.

"Biarnya aku mati, tidak nanti aku memberitahukan!" pikirnya, nekad.

Siauw Siauw heran atas sikap ayahnya. Ia berpikir: "Kalau dia suka bicara, tentu dia sudah bicara siang-siang. Perlu apa untuk menanya begini padanya?"

Kiauw Pak Beng tidak memperoleh jawaban, dia mengangkat bungkusan obat yang kedua.

"Pasti ini?" tanyanya pula. Sioe Lan tetap membungkam. Maka jago tua itu mengangkat bungkusan yang ketiga, yang terakhir.

"Aku tahu!" dia berseru. "Tentu ini!"

Sioe Lan menguatkan hati, dia tidak mengasi kentara sikap apa juga.

Kiauw Pak Beng tidak menjadi gusar yang ia dilawan bungkam, sebaliknya, ia tertawa terbahak. Dari antara tiga bungkus obat itu, ia ambil satu, terus ia lemparkan itu pada anaknya.

"Dia telah memberitahukan aku!" katanya. "Ini dia!"

Kiauw Siauw Siauw menyambuti obat itu, akan tetapi ia ragu-ragu.

"Lekas kau minum!" kata sang ayah. "Tidak salah!"

Anak itu menganggap nanti ayahnya mempermainkan jiwanya, maka itu ia lantas makan obat itu.

Memang itulah obat pemunah, maka juga, Sioe Lan menjadi heran sekali. Bukankah ia telah terus menutup mulut? Saking berduka, ia jadi mengeluh di dalam hati.

Kiauw Pak Beng benar-benar liehay. Walaupun si nona membungkam, ia memasang mata tajam. Di lain pihak, iatelah memegang nadi nona itu. Hati Sioe Lan tegang sendirinya ketika ia memilih tiga bungkusan itu. dari denyutan nadi dapat ia menerka. Nyata ia menerka tepat.

Setelah anaknya makan obat, Pak Beng tertawa dan berkata: "Pektok Tjinkeng telah berada di dalam tanganku! Obat pemunah juga telah aku kenali! Bagaimana, apakah sekarang kau masih berani membelar terhadapku?"

Nona Im percaya bahwa ia adalah bagian mati, maka ia jawab: "Kau namakan dirimu satu guru besar tetapi kau menghina satu anak muda! Kau tidak tepat, namamu itu tidak sesuai!"

Kiauw Pak Beng panas hatinya tetapi ia dapat menguasai dirinya.

"Baik, akan aku pertunjuki lagi satu kepandaianku untuk kau lihat!" katanya. "Hendak aku membikin kau puas dan tunduk!" Ia lantas menjemput sebungkus obat racun. Ia tanya: "Bukankah ini racun yang paling hebat?"

"Kenapa?" tanya si nona.

"Kau lihat!" kata Pak Beng, yang terus menitahkan orangnya mengambil semangkok air jernih, lalu racun itu dituang ke dalam air itu, hingga air itu lantas bergolak-golak. Itulah bukti hebatnya racun, yang sifatnya panas.

Setelah itu. dengan mementang mulutnya, Kiauw Pak Beng cegluk habis racun itu.

"Jangan kata baru kau!" katanya tertawa, "biarnya kakek gurumu, si Raja Racun, dia tidak nanti dapat berbuat apa-apa atas diriku!" Sioe Lan melengak, dia berdiam. Sementara itu Siauw Siauw, setelah makan obatnya, tidak merasakan sesuatu, maka itu, lega hatinya. Ketika ia melihat ayahnya minum racun tanpa akibat apa-apa, ia berjingkrak.

"Baiklah manusia hina dina ini dimampuskan saja!" katanya sengit. "Untuk apa dia dikasih tinggal hidup terus?"

"Dialah bakal nona mantuku!" kata Pak Beng, menjawab anaknya. "Biarnya dia tidak

berkeperimanusiaan kau sendiri tidak dapat tidak berlaku bijaksana! Maka itu, asal dia suka menyerah dengan sesungguhnya hati, dapat dia diberi maaf!"

Sioe Lan telah menjadi nekad, ia menjadi gusar.

"Siapakah pernah menerima lamaranmu?" dia berseru. "Ha, kepala hantu, kau pun berani omong tentang perikemanusiaan dan kebijaksanaan! Tidak, walaupun aku mati, tidak nanti aku menyerah!"

"Aku justeru tidak menghendaki kematianmu!" kata Pak Beng tenang. "Siauw Siauw pergi kau tutup dia! Tunggu sampai dia sudah menyerah benar-benar, baru kau merdekakan!"

Anak itu tidak berani membantah ayahnya. Pula ia tetap ketarik kecantikannya nona Im. Pikirnya: "Baiklah, perlahan-perlahan saja aku siksa dia hingga dia menyerah..."

Lantas ia bawa Sioe Lan ke dalam, untuk diserahkan kepada dua gundiknya. Ia pesan agar si nona dijaga keras.

Segera setelah anaknya keluar pula. Pak Beng periksa nadinya anak itu.

"Kau terlambat makan obat, karenanya kau harus merawat diri baik-baik," dia berkata. "Dalam waktu satu bulan, kau tidak dapat mendekati orang perempuan!"

Ketika itu obat pemunah mulai bekerja dalam tubuh Siauw Siauw, obat dan racun bentrok satu dengan lain, lantaran itu Siauw Siauw lantas merasai kepalanya pusing dan matanya kabur, setelah itu, ia merasai perutnya sakit bagaikan ditusuk-tusuk. Ia tahu, itulah akibatnya bentrokan obat dan racun, ia tidak takut, akan tetapi ia mesti menahan sakit, ia mengeluh juga, ia merintih. Karena ini, kapan ia ingat Sioe Lan, kebenciannya memuncak. Dengan terpaksa ia masuk ke kamarnya, untuk bersemedhi.

Setelah mengurus halnya Sioe Lan, baru Pak Beng menitahkan orang memanggil Law Tong Soen dan Tonghong Hek. Ia telah mendapat tahu maksud kedatangannya dua tetamu itu, dengan lantas ia memberikan persetujuannya, menyatakan kesediaannya akan bekerja sama Koan Sin Liong. Dengan lantas ditetapkan janji pertemuan di malam Tiong Tjioe lain tahun, dan tempat pertemuannya ialah kuil Siangfjeng Kiong di atas gunung Laosan. Kepala kuil itu, Hay Djiak Toodjin, berasal kepala perompak di Tanghay, laut Timur, oleh karena Yap Seng Lim menduduki tiga belas pulau di laut Timur itu, dia kehilangan sarangnya, terpaksa dia menyingkir dan hidup sebagai toosoe atau imam. Dia bersahabat dengan Law Tong Soen, maka itu Tong Soen mengusulkan kuilnya ini sebagai tempat pertemuan di antara dua hantu dari Selatan dan Utara itu. Dengan begini, Tong Soen pun mengandung maksud, ialah dia ingin memancing Yap Seng Lim suami isteri, untuk mereka ini dibekuk, untuk diserahkan kepada pemerintah, sedang di lain pihak, penangkapan Yap Seng Lim suami isteri itu akan memperhebat permusuhan di antara kedua hantu itu dan Thio Tan Hong.

Kiauw Pak Beng menerima baik rencana Tong Soen itu, kemudian ia berbicara dengan Tonghong Hek. Orang she Tonghong ini lantas diminta bantuannya, ialah kalau nanti dia pergi ke Siangtjeng Kiong, untuk berkumpul, supaya dia membawa sekalian beberapa rumput daun obat-obatan asal tanah Biauw. Bukan main girangnya TonghongHek. itu artinya Pak Beng senang padanya. Ia lantas memberikan janj inya.

Ketika itu dua-dua Tong Soen dan Tonghong Hek heran. Selagi berbicara dengan Pek Beng, mereka mendapatkan kulit mukanyajago itu berubah-ubah, sebentar menjadi biru gelap, sebentar hitam. Walaupun demikian, mereka tidak berani menanyakan sebabnya.

Semundurnya kedua tetamunya itu, Kiauw Pak Beng kata pada Le Kong Thian: "Sekarang aku hendak menutup diri lagi. Kali ini waktunya pendek. Yaitu setelah tiga hari, baru pintu kamarku dapat dibuka. Selama tiga hari itu, tidak perduli terjadi perkara bagaimana besar, tak dapat aku diganggu. Muridnya Koan Sin Liong dan tetamu she Law itu, kau layanilah mereka selama beberapa hari ini, nanti setelah aku membuka pintu, baru mereka diantarkan pergi."

Biasanya, kalau Kiauw Pak Beng menutup diri, waktunya setengah bulan atau sedikitnya sepuluh hari, maka itu, kali ini waktu itu luar biasa. Pula luar biasa dia masih menahan tetamunya, untuk menanti ia beberapa hari. Sama juga si tetamu ditahan untuk membantu melindungi padanya.

Kong Thian heran tetapi ia menerima baik pesan itu.

Begitu lekas ia sudah memesan orang kepercayaannya itu, Kiauw Pak Beng lantas masuk ke dalam kamarnya. Ia membawa kitab Pektok Tjinkeng, maka kitab itu lantas diperiksa. Habis membaca, ia tertawa dan berkata seorang diri: "Semenjak dulu hingga sekarang, belum pernah terdengar ada orang yang dapat meyakinkan Sioelo Imsat Kang sampai di tingkat ke sembilan! Sekarang adalah aku, Kiauw Pak Beng, yang menjadi orang pertama!"

Sejak dia dipecundangi Thio Tan Hong, Kiauw Pak Beng pulang ke gunungnya di mana terus ia meyakinkan sungguh-sungguh Sioelo Imsat Kang, ilmu kepandaiannya yang istimewa itu. Ia sudah mencapai tingkat ke tujuh, ia mulai memasuki tingkat ke delapan. Tingkat delapan ini tingkat yang paling berbahaya, inilah ketika paling gampang untuk orang tersesat dan bercelaka. Pak Beng mengandalkan tenaga dalamnya yang mahir, ia mau mencoba.

Setiap tingkat dari Sioelo Imsat Kang berarti kemajuan, karena sifatnya dingin, hawa dingin itu mesti dilawan. Benar tenaga dalam Pak Beng sudah mahir tetapi sifat dingin hebat sekali, dari itu tenaga dalamnya dapat dilampaui. Inilah yang berbahaya. Ancaman ini ia telah pikirkan dayanya untuk menghindarkannya. Ia melihat dua jalan, yang dapat membantu padanya. Yang pertama yaitu peryakinan ilmu lurus, guna melawan kesesatan, supaya lurus dan sesat tergabung menjadi satu. Kalau ia berhasil, maka ia tidak bakal diganggu pula bahaya kesesatan. Cara yang lainnya ialah sesat lawan sesat, atau benarnya, racun lawan racun, yaitu ia mesti makan racun yang hebat dicampur dengan beberapa macam obat lain yang sifatnya keras juga. Lainnya obat ini akan dipakai melawan sifat dingin. Tegasnya, panas lawan dingin, dingin dicocokkan dengan panas.

Kiauw Pak Beng tidak berhasil mendapatkan pelajaran lurus, ia memilih jalan yang kedua, yaitu menggunai racun. Maka itu, ia berdaya memahamkan racun. Demikian, ia ingat kitab Pektok Tjinkeng dari Tjit Im Kauwtjoe. Segala daya telah diambil, guna mendapatkan kitab itu. ia tidak berhasil, sampai kali ini anaknya beruntung mendapatkan itu. Jadi, ketika ia makan racun di depan Sioe Lan, ia bukan cuma menunjuki kegagahannya, ia sebenarnya lagi mencoba cara yang kedua itu. Racun telah tersedia, kitab sudah ada, tak susah-susah lagi ia mencari lain racun. Sioe Lan tidak tahu maksud orang, tidak heran ia menjadi heran sekali.

Begitulah, habis makan racun, Kiauw Pak Beng menutup diri. Ia bersamedhi dengan menderita. Di dalam perutnya, hawa panas dari racun bentrok dengan hawa dinginnya. Sebentar ia kepanasan, sebentar ia kedinginan. Selama itu, darahnya mengalir diseluruh tubuhnya, membikin ia mendapatkan suatu perasaan yang ia tidak dapat menyebutnya. Ia tidak takut, ia bahkan merasa girang. Ia mengerti, penderitaannya ini ialah ujian untuk lulus mencapai tingkat ke delapan, tiba kepada tingkat terakhir.

Baru di malam kedua Pak Beng menyekap diri, Hok Thian Touw bersama Leng In Hong dan Liong Kiam Hong telah tiba di Koenloen San. Mereka terus mendaki. Di waktu malam seperti itu, bisa di mengerti rumahnya jago itu sunyi sekali.

"Heran, istananya si hantu seperti tak terjaga," kata Thian Touw. Ia tidak tahu, kesunyian itu terutama disebabkan tuan rumah lagi menutup diri, Le Kong Thian menjaga di luar kamar dan Siauw Siauw lagi berobat dalam kamarnya sendiri. Di lain pihak, lain-lain orang di rumah itu tak ada yang demikian liehay yang bisa menandingi ilmu ringan tubuh mereka bertiga.

"Tidak ada penjaga, itulah lebih baik lagi," kata In Hong. "Kita boleh nerobos masuk langsung menolongi orang!"

"Jangan, kita jangan bertindak demikian," Thian Touw mencegah. "Baik dan buruk, Kiauw Pak Beng satu guru besar, maka itu pantas jikalau kita menemui dia dengan memakai aturan kaum Kangouw, ialah kita bicara dulu. menjelaskan maksud kedatangan kita."

In Hong suka mendengar perkataan suaminya ini. Memang, kalau mereka menyerbu, tidak nanti Pak Beng gampang saja mau membiarkan maksud mereka berhasil. sedikitnya mesti terjadi pertarungan seru.

"Baiklah," katanya. "Mari kita menantang secara berterang!"

Suami itu lantas mengerahkan tenaga dalamnya, terus ia mengasi dengar siulan nyaring dan lama, menyusul mana, menghadapi rumahnya Kiauvv Pak Beng. yang dipanggil "istana hantu," ia berkata keras: "Hok Thian Touw dari Thiansan mempunyai urusan yang hendak dibicarakan, maka itu Kiauw Lootjianpwee, silahkan kau keluar untuk menemuinya!"

Inilah ilmu tenaga dalam yang dinamakan "Tjoanim djipbie" atau "penyaluran suara," saking hebatnya daun-daun pohon dapat rontok karenanya dan burung-burung pada kaget dan berterbangan, maka itu, meskipun Kiauw Pak Beng berada di dalam, mesti ia dapat mendengarnya. Akan tetapi, sebaliknya dari dugaan. Pak Beng tidak menyahuti sama sekali.

"Heran," pikir Thian Touw setelah menanti sekian lama.

Sebaliknya daripada Kiauw Pak Beng, atau jawabannya lantas juga terlihat munculnya beberapa orang yang datang dari pelbagai penjuru. Setelah sampai, mereka itu mengasi dengar cacian mereka: "Machluk apa berani berteriak-teriak tidak keruan di sini? Apakah kamu kira kakek guru kami dapat dipanggil dengan cara ini?"

Mereka itu orang-orangnya Kiauw Pak Beng. mereka tidak kenal Thian Touw. dan karena Thian Touw belum berusia lanjut, mereka memandang tidak mata.

"Sebenarnya kakek guru kamu ada di rumah atau tidak?" tanya Thian Touw. "Jikalau dia tidak ada di rumah, nah, kamu suruh saja tuan muda kamu keluar untuk bicara dengan kami!"

Thian Touw menanya demikian karena ia pikir: "Jikalau Kiauw Pak Beng ada di rumah, dengan mendengar namaku, walaupun dia tidak keluar sendiri menyambut, mestinya dia memberikan jawabannya. Kenapa dia menyuruh keluar ini segala orang sebawahannya yang hanya membuat berisik?"

Salah seorang, yang rupanya menjadi kepala telah tiba di depan pintu. Dia mengawasi Thian Touw beramai dengan sikapnya yang jumawa. Lantas dia kata: "Sungguh terkebur! Bagaimana kau berani menghendaki tuan muda kami keluar berbicara dengan kamu! Hm! Kamu tahu aturan atau tidak? Seharusnya kamu memasuki dulu kartu namamu, lantas besok kamu datang kemari! Juga, pedang kamu harus ditinggalkan di sini! Kecuali sanak atau sahabat kekal, atau mereka yang diberikan ijin istimewa, dilarang membawa senjata datang kemari!"

Lalu seorang lagi, yang terlebih galak sikapnya, berkata nyaring: "Di mana ada aturan orang datang meminta bertemu di waktu malam gelap buta rata seperti ini? --- Soeheng, apaperlunya kau melayani mereka bicara? Orang-orang semacam mereka ini, mana majikan kita sudi menemuinya? Menurut aku paling benar kita usir mereka turun gunung!"

Thian Touw tidak sudi melayani dia. "Maaf!" katanya "Karena majikan kamu tidak keluar, kami terpaksa mau lancang masuk!"

Orang yang menjadi kepala itu heran dan kaget, lantas dia menjadi gusar.

"Sungguh besar nyalimu!" katanya "Kamu mau lancang masuk?

“Baiklah, soetee, aku bersedia menuruti pikiran kau, mari kita usir mereka turun gunung!"

Belum berhenti suara orang itu, dua orang sudah berlompat maju, akan tetapi belum sempat mereka menyerang, tubuh mereka sudah dibikin terpental oleh Thian Touw hingga mereka roboh terpelanting!

"Kiauw Pak Beng!" In Hong mengasi dengar suaranya, "kami sudah menggunai aturan, apakah kau tetap tidak mau keluar? Apakah kau hendak membikin kawanan budak ini mendatangkan malu? Baiklah!"

Selagi Thian Touw bicara isteri ini sudah menyiapkan sepotong batu di dalam genggamannya, setelah ia mengerahkan tenaga dalamnya, batu itu ia membuatnya hancur remuk, maka ketika ia mengayun tangannya dalam gerakan "Boanthian hoaie" atau "Hujan bunga di seluruh langit," batu itu menyambar kepada kawanan orangnya Pak Beng itu. Dalam sekejab, tangan mereka telak terhajar, senjata mereka pada terlepas jatuh ke tanah!

Justeru itu pintu besar terpentang, di ambang pintu muncul Le Kong Thian, si manusia raksasa. Dengan tangan mencekal tokkak tongdjin, gembolannya yang berupa boneka kuningan, ia kelihatan keren sekali. Baru orang yang menjadi kepala itu mau bicara, untuk memberi laporan atau mengadu, dia sudah dibentak pengurus rumah ini: "Kawanan budak tidak punya guna, lekas kamu pergi!"

Thian Touw tertawa.

"Le Koankee, kau tentu mengenali aku?" ia berkata, menanya.

Kong Thian tidak mengiakan, ia hanya kata: "Urusan merampas bingkisan sudah habis, guruku sudah bicara jelas dengan kau, kedua pihak akan melepaskan tangan, untuk tidak mencampur tahu lagi, maka itu, apa perlunya kau masih datang kemari?"

"Kali ini kami datang bukan untuk urusan bingkisan," Thian Touw menjawab. "Kami juga tidak bermaksud buruk. Aku hendak minta satu orang kepada majikanmu. Asal kamu menyerahkan orang itu, kami pun akan segera berlalu dari sini!"

"Siapakah orang itu?" tanya Kong Thian. Ia berlagak pilon meskipun ia sudah dapat menduga.

"Anak perempuan dari Tjit Im Kauwtjoe!" jawab In Hong bengis. "Aku melihat tegas dia diculik Kiauw Siauw Siauw! Apakah kau masih hendak melindungi majikan mudamu itu?"

Kong Thian bingung.

"Justeru soehoe lagi menutup diri," pikirnya. "Bagaimana?" Tapi ia mesti lekas menjawab.

"Urusan majikanku aku tak tahu menahu," sahutnya.

"Jikalau kau tidak dapat mengambil keputusan sendiri, kau harus minta majikanmu keluar!" kata Thian Touw.

"Sekarang ini tengah malam gelap buta, mana dapat aku mengganggu majikanku?" kata Kong Thian. "Sekarang baiklah kamu pulang, jikalau ada urusan, besok kamu datang pula!"

Manusia raksasa ini pikir, besok gurunya akan keluar dari kamar, dengan begitu besok gurunya pasti dapat bertindak.

"Sungguh Kiauw Pak Beng banyak lagaknya!" kata In Hong tertawa dingin. "Dia besar kepala dia tidak mau menemui kami, nanti kami masuk sendiri!"

"Kenapa kamu kesusu sekali?" kata Kong Thian, bingung. "Bukankah waktunya tinggal setengah malaman lagi?"

"Tapi adik Im berada di dalam sarang hantumu!" kata In Hong. "Kami telah datang di sini, kami menghendaki dia lantas dimerdekakan! Tak dapat kau melambatkannya!"

Thian Touw pun kata: "Jikalau gurumu berada di rumah, seharusnya dia sudah mendusin lantaran kaget! Bukankah baik urusan dapat dibereskan siang-siang? Maka itu aku minta sukalah dia keluar menemui kami?"

Kong Thian mengerutkan alis, ia mengasi lihat roman sukar.

"Majikanku telah memesan bahwa di waktu malam tidak dapat ia menemui orang," ia kata. "Tuan Hok, kaulah seorang pintar, maka itu mustahilkah kau tidak tahu aturannya untuk menemui orang dari tingkat terlebih tua? Baiklah kamu pulang dulu, untuk menulis karcis namamu, lalu besok kamu kembali."

"Jikalau begitu, memang sengaja Kiauw Pak Beng membawa lagaknya ini..." pikir Thian Touw. Ia tahu, perbuatannya ini di luar kebiasaan tetapi urusannya sangat penting. Ia pun mendongkol orang demikian bertingkah. Maka ia kata dingin: "Sebenarnya aku tidak mempunyai sangkutan apa-apa dengan gurumu, dari itu tak usah kita bicara dari hal tingkat tua atau muda! Sekarang pun aku datang bukan sebagai orang tingkat lebih muda! Jikalau dia merdekakan orang yang kami minta, kami lantas berlalu,jikalau tidak, terpaksa kami mesti masuk untuk lantas memintanya!"

Kong Thian menjadi terdesak.

"Tuan Hok," katanya, "kau kira tempat ini tempat apa? Kau kira kau dapat main gila di sini?"

Thian Touw tidak menggubris lagi, sambil mengasi dengar ejekan "Hm!" ia bertindak maju, untuk menerobos masuk.

Kong Thian melintang di ambang pintu, bonekanya digeraki. Atas itu, segera terdengar suara nyaring beberapa kali, bagaikan genta dipalu. Sebab Thian Touw telah menggunai pedangnya, menikam beberapa kali.

Kong Thian terdesak, ia main mundur.

Selagi suaminya maju, In Hong turut masuk. Ia diikuti Kiam Hong.

Sesampainya mereka di dalam, di sana terlihat Law Tong Soen dan Tonghong Hek, yang baru datang. Lantas si orang she Tonghong berseru: "Di dalam dunia di mana ada tetamu begini jahat! Kita yang menjadi tetamu pun tidak senang melihatnya!" Lantas dia menghunus pedangnya, untuk menyerang.

Thian Touw menekan boneka Kong Thian dengan sebelah tangan, dengan tangan kanannya ia memutar pedangnya, yang menjadi berkelebatan.

Tonghong Hek heran. Belum pernah ia melihat gerakan pedang semacam itu. Percuma ia menangkis berkelit, lantas ia kena ditikam enam atau tujuh kali. Syukur untuknya, tikaman itu tidak melukakan parah, sebab tenaganya jago Thiansan itu dipakai juga mempengaruhi si manusia raksasa. Dia jadi terluka lecet saja.

Hok Thian Touw bersilat dengan ilmu pedangnya yang baru berhasil diciptakan olehnya, sekali digeraki, gerakan itu terus berantai. Maka itu meskipun tangan kirinya menjagai boneka, tangan kanannya bergerak dengan merdeka. Tapi ia tidak cuma menyerang Tonghong Hek, ia juga terus menyerang Kong Thian.

Manusia raksasa itu tidak sudi membiarkan bonekanya ditekan, dia meronta, dia melawan, tetapi justeru itu, Thian Touw menyerang dia, hingga lantas jugajalan darahnya, jalan darah soankie, kena ditusuk, sedang Tonghong Hek, kena tertikam jalan darahnya, jalan darah yang leng.

Kong Thian menangkis dengan bonekanya. Ia berhasil. Dengan satu bentrokan, pedang Thian Touw dibikin mental. Tapi inilah yang ditunggu jago Thiansan itu. Menggunai saat pedangnya mental, Thian Touw terus menikam Tonghong Hek!

Di saat si orang she Tonghong terancam bahaya, angin menyambar hebat ke arah Thian Touw. Itulah serangan gelap. Untuk membela diri, ia lantas menyampok ke belakang, kakinya ikut bergerak dalam gerakan "Naga mendekam mengisar." Maka bebaslah ia dari sambaran, sebagaimana Tonghong Hek terhindar dari serangannya.

Ternyata penolongnya Tonghong Hek ialah Law Tong Soen.

"Baru sepuluh tahun kita berpisah, nyata ilmu pedangmu jadi liehay sekali, tuan!" kata Tong Soen tertawa. "Kau membuatnya orang sangat kagum!"

"Kepandaianmu Hoen Kin Tjo Koet Tjioe juga maju pesat sekali!" jawab Thian Touw dingin. "Apa? Apakah benar kau hendak main-main dengan aku?"

"Tidak, aku tidak berani!" sahut Tong Soen, tertawa juga. "Tapi aku menjadi tetamu di sini, tidak dapat aku membiarkan tuan rumahku terganggu pengacau! Saudara Hok, kaulah seorang terpelajar, kau mesti mengerti keadaan. Aku harap, kau datang lagi besok, nanti aku mewakilkan tuan rumah melayani kau secara pantas!"

"Menurut kata-katamu, jadinya malam ini kau hendak merintangi aku?" Thian Touw tegaskan.

Leng In Hong menjadi sangat gusar.

"Kau berkomplot dengan Kiauw Siauw Siauw!" ia membentak. "Di dalam halnya Im Sioe Lan diculik, kau ada bagianmu! Belum lagi aku mencari kau untuk membual perhitungan, sekarang kau berani menghalang-halangi kami!"

Lantas ia menggeraki pedangnya, maju berbareng bersama suaminya, untuk membukajalan.

Sebenarnya Tong Soen jeri terhadap Thian Touw, tetapi sekarang ia lagi mengambil hatinya Kiauw Pak Beng, maka dalam keadaan seperti sekarang, ingin ia membantu Pak Beng. Ia juga merasa, di rumah Pak Beng ada kawan-kawannya yang liehay, sekalipun Pak Beng sendiri tidak keluar, tidak nanti pihaknya dapat dikalahkan suami isteri itu, maka ia membandel.

"Oleh karena kau tidak dapat memaafkan, Leng Liehiap, terpaksa aku si orang she Law berlaku kurang ajar terhadapmu!" katanya. Lalu ia pun menggeraki dua tangannya.

Belum berhenti suaranya Tong Soen, pedangnya In Hong sudah meluncur ke dadanya. Ia terkejut melihat berkilaunya sinar pedang itu. Tapi ia tabah, lantas ia mengibas. Ia berhasil membikin pedang nyasar ke samping, akan tetapi ujung bajunya kena terobek!

Selama di kuil tua, Tong Soen dapat melayani In Hong sama tangguhnya, dengan di sana ada Le Kong Thian dan Tonghong Hek. ia percaya dapat Thian Touw dihalangi dua kawan itu, supaya ia bisa menempur si nyonya dengan satu lawan satu. Akan tetapi ia telah tidak memperhitungkan ilmu pedang bersatu padu dari suami isteri Hok

Thian Touw-Leng In Hong itu.

Setelah bertempur berendeng, dengan sendirinya ketangguhan In Hong naik empat lipat dan ketangguhan Thian Touw tiga lipat.

"Kena!" berseru Thian Touw selagi mereka bertempur seru, tengah sinar pedang berkelebatan.

Le Kong Thian menangkis dengan bonekanya, yang dibawa ke depan dadanya. Ia bersiaga untuk pedang si pria. Tapi di luar dugaannya, pedang si wanita yang meluncur ke arahnya, kesasaran yang ia tidak sangka sama sekali. Ia baru kaget ketika ujung pedang si nyonya mampir di dengkulnya, hingga dengkul itu terluka, rasa sakitnya nelusup ke uluhatinya!

Demikian Iiehaynya ilmu pedang Thian Touw. Seruannya itu ialah seruan untuk isterinya, bukan untuknya sendiri.

Law Tong Soen si licin segera dapat melihat ancaman bahaya. Ia jeri untuk Iiehaynya musuh suami isteri itu, hingga segera ia mengambil keputusan tidak mengharapi jasa lagi, cukup asal dapat lolos dari bahaya. Ia menggunai kelincahannya, ia bergerak dengan cepat, hingga Thian Touw berdua tidak mau, atau tidak berniat, terlalu mendesaknya, karenanya dia tidak segera dirangsak.

Le Kong Thian payah benar karena terlukanya dengkulnya itu, dengan sendirinya tenaganya menjadi berkurang, saking terpaksa ia bertahan terus.

"Kena!" berseru In Hong setelah lewat lagi beberapa jurus. Ia mengancam, tetapi bukan pedangnya yang terus bekerja hanya pedang Thian Touw dan ujung pedang ia ini menyambar kutung dua jeriji tangannya Tonghong Hek, yang tidak cukup sebat untuk serangan jago Thiansan itu. In Hong sebaliknya, pedangnya mampir di pundak Kong Thian, hingga sekarang terpaksa si manusia raksasa berlompat mundur, untuk lari ke dalam.

Melihat koankee, kuasa rumah, dari Kiauw Pak Beng lari ke dalam, Tong Soen menurut buat tanpa bersangsi lagi, tanpa ayal pula.

"Bangsat tua, kali ini bagian kau!" (n Hong membentak.

Tong Soen kaget. Ia merasakan hawa dingin menyambar punggungnya. Dengan lantas ia berkelit sambil menjatuhkan diri, untuk terus bergulingan. Ia menggunai tipu silat "Yan Tjeng Sippat Koan," atau "Yan Tjeng bergulingan delapan belas kali," hingga sekejab saja ia telah dapat menyingkir tiga tombak lebih. Meski begitu, ia tidak dapat melindungi rambutnya, yang kena terbabat kutung selagi ia berkelit menjatuhkan diri.

Hok Thian Touw mengejar.

"Kiauw Loosianseng!" ia memanggil. "Kau masih tidak mau keluar, apakah benar kau menghendaki kami menyerbu masuk?"

Le Kong Thian tidak sempat menutup pintu, terpaksa ia lari ke taman belakang di mana, di tengah¬-tengah, ada sebuah rumah besar di dalam mana, dari jendela, di antara sinar rembulan, terlihat samar-samar bayangannya Kiauw Pak Beng yang lagi duduk bersila. Melihat demikian, kembali Thian Touw mengasi dengar suaranya: "Kiauw Loosianseng, silakan keluar!"

Mendadak dari dalam rumah itu berlompat keluar dua orang. Mereka itu gusar, mereka berseru: "Hok Thian Touw, nyalimu besar! Bagaimana berani kau telah datang kemari? Tapi ini ada baiknya! Loolapjadi tak usah membuang waktu lagi akan pergi ke gunungmu!"

Thian Touw lantas mengenali, dua orang itu ialah Tek Seng Siangdjin serta Kiok Ya Tjiauw.

Tek Seng Siangdjin mentaati perintahnya Kiauw Pak Beng pergi mengambil batu keehiattjio di Sengsioe Hay, waktu perjalanan tiga hari dia persingkat menjadi dua hari, maka juga di malam kedua dari Pak Bengbersemedhi, dia sudah kembali. Karena dia pergi bersama Kiok Ya Tjiauw, mereka pulang bersama. Saking letih mereka lantas masuk tidur, sampai suara berisik di luar membuat mereka mendusin. Mereka juga telah dikasih bangun pelayan mereka. Demikian mereka lantas keluar, sampai mereka menghadapi musuh lama.

Liong Kiam Hong juga turut bertempur. Ia menghajar beberapa pelayan, yang hendak mengepung.

Ada beberapa pelayan, yang melihat musuh-musuh demikian tangguh, mereka bersangsi untuk mengeroyok, mereka cuma mengawasi saja.

Tek Seng Siangdjin boleh liehay akan tetapi dia bukan tandingan dari Hok Thian Touw dan In Hong, ditambah sekarang dia tengah letih, baru belasan jurus dia sudah terdesak. Dia tadinya mengharap, dengan mengandal pada jumlah yang banyak, dia dapat bertahan lama. Tidak tahunya, dugaannya itu meleset. Le Kong Thian terluka, ia tidak dapat berkelahi terlebih jauh. Tonghong Hek sudah "pecah" nyalinya, berkelahinya aksi saja. Tinggal Kiok Ya Tjiauw dan Law Tong Soen. Tapi Tong Soen tetap dengan kelicikannya, dia lebih banyak membela diri daripada merangsak. Kiok Ya Tjiauw pun payah. Dia telah kehilangan gembolannya, dia berkelahi dengan sebatang toya kuningan, senjata yang tak cocok untuknya.

Selagi bertempur itu, Thian Touw dapat mendekati Tek Seng Siangdjin, yang ia terus serang. Tek Seng membela diri, dia menangkis. Justeru dia menangkis, dia pun diserang In Hong. Dia terancam bahaya, karena mana dia menjadi nekad. Dengan tangan kirinya, dia menyerang Nyonya Thian Touw. Dia ingin mati bersama! Di dalam halnya tenaga dalam, dia memang menang dari nyonya itu. Maka kalau In Hong kena terserang, celakalah ia. Tapi In Hong liehay, ia menunjuki kegesitannya.

Tek Seng melihat si nyonya menyerang ke kirinya, ke kiri dia mengirim hajarannya. Di luar dugaannya, In Hong mengubah tujuan. Dengan kepandaian yang mengagumkan, ia menahan serangannya itu, sebaliknya, di saat tangan orang tiba, ia meneruskan menyerang!

Bukan main kagetnya Tek Seng Siangdjin, sia-sia belaka percobaannya menyelamatkan diri, jeriji tangannya kena juga tersambar buntung!

Menyusul jago dari Sengsioe Hay ini, Kiok Ya Tjiauw pun menjerit keras dan toya kuningannya jatuh ke tanah. Sebab ketika Hok Thian Touw gagal menyerang Tek Seng, pedangnya ditarik pulang sekalian diteruskan kepada orang she Kiok itu, maka lengan dia ditanya pedang, hingga dia kesakitan, dia menjerit, toyanya dilepas dengan terpaksa!

Law Tong Soen sudah mundur ke dalam pintu, Tek Seng Siangdjin dan Kiok Ya Tjiauw lari menyusul, untuk masuk juga. Sekarang ini terpaksa mereka mundur, sebab ternyata, lawan mereka tangguh sekali.

Le Kong Thian berlaku cerdik, dengan tenaganya yang kuat, ia melemparkan dua buah meja saling susul, guna merintangi Thian Touw dan In Hong, menyusul mana dia lompat ke pintu, untuk digabruki, buat ditutup.

Thian Touw menjadi besar hatinya melihat ia dapat bekerja erat dengan isterinya, hingga musuh-musuh tangguh itu dapat dilukai dan dipukul mundur, dengan begitu ia dapat perasaan tak usahlah ia kuatirkan pula Kiauw Pak Beng yang liehay. Begitulah, melihat pintu ditutup, dia menembrak dengan kedua tangannya.

Pintu terbuat dari kayu merah, tebalnya enam atau tujuh dim, tidak dapat itu digempur roboh.

"Baiklah kita cari alat yang tepat untuk menggempurnya," In Hong mengasi pikiran.

Thian Touw setuju. "Mari kita gunai pohon itu saja," katanya. Maka ia menghampirkan pohon yang ia tunjuk, yang berada di depan pintu.

In Hong setuju. Lantas mereka bekerja sama, mencabut pohon itu. Maka di lain detik, mereka sudah mulai menggempur daun pintu.

Disebelah dalam, Tek Seng Siangdjin bertahan bersama-sama Law Tong Soen sekalian. Mereka itu mengerahkan semua tenaga mereka. Dalam pertempuran mereka kalah dari Thian Touw dan In Hong, akan tetapi sebenarnya, dalam hal tenaga dalam, Tek Seng menang daripada jago Thiansan itu, dan Law Soen dan Le Kong Thian menang daripadaNyonya Hok. Dengan demikian, mereka dapat bertahan dengan baik.

Thian Touw dan In Hong merasakan tangan mereka nyer-nyeran, tak ada hasil gempuran mereka itu, dengan terpaksa mereka berhenti sendirinya.

"Siluman tua she Kiauw, kau sungguh tidak tahu malu!" In Hong mendamprat saking mendongkol. "Kenapa kau menjadi kura-kura yang menyimpan kepalanya? --- Mari kita menunggu, mustahil dia tidak keluar seumur hidupnya!"

Thian Touw heran akan sikapnya Pak Beng itu. Mestinya orang dengan derajat sebagai jago tua itu tidak akan mengijinkan kehormatannya dinodai secara demikian. Terang terlihat dia berada di dalam kamar, kenapa dia tetap tidak mau muncul? Ia menduga mungkin Pak Beng lagi melatih diri, ia hanya tidak menyangka latihan itu ialah latihan istimewa.

Melatih diri dengan bersemedhi seperti Pak Beng itu, ada bedanya di antara kaum lurus dan kaum sesat. Latihan menutup diri kaum lurus dapat ditunda, biarpun di saat gentingnya, saat itu tak lebih lama daripada satu jam atau lebih sedikit. Pada pihak sesat, batas itu lebih lama dan mesti tepat juga, tidak dapat diganggu meski umpama kata satu detik. Dalam kalangan kaum sesat itulah yang dibilang saat "bertemunya naga dengan harimau" atau "jungkir baliknya im dan yang." Itu artinya, jalannya nadi bertentangan. Di saat bersemedhi begitu, "orang melihat tak dapat melihat, dan mendengar tak dapat mendengar." Maka juga, walaupun Hok Thian Touw mengamuk bagaikan "langit ambruk dan bumi gempa," sedikitpun Pak Beng tak mengetahuinya.

"Si siluman tua tidak mau ke luar menyambut tantangan kita, apakah kita habis daya karenanya?" In Hong tanya.

"Kita tidak dapat menggempur pintunya yang tangguh ini, bagaimana?" Thian Touw balik menanya. "Memang aneh sekali! Kenapakah Kiauw Pak Beng tidak sudi melayani kita bertempur?"

"Karena ini, baiklah kita jangan perdulikan dia," In Hong mengasi pikiran. "Sekarang baik kita cari dulu Im Sioe Lan guna menolongi dia."

"Tidak nanti Sioe Lan berada bersama Pak Beng dalam kamarnya itu, baiklah kita mencari di lain kamar," Kiam Hong menyarankan.

"Kurang tepat tindakan itu," Thian Touw bilang. "Lawan kita Kiauw Pak Beng, kenapa kita mesti mengganggu anggauta-anggauta keluarganya?"

Jago Thiansan ini tetap masih mengukuhi sifatnya, untuk menghormati aturan Rimba Persilatan, supaya tetap ia berurusan dengan Kiauw Pak Beng seorang.

"Entah sampai kapan siluman tua she Kiauw itu muncul." berkata In Hong. "Menurut aku baiklah kita mencari di lain-lain bagian rumah ini. Bicara tentang peri kepantasan, Kiauw Siauw Siauw sendiri yang mulai menculik orang, yang dia bawa lari ke atas gunungnya, maka itu dialah yang lebih dulu bersalah. Kiauw Laokoay tidak mau keluar, dari itu menghadapi Kiauw Siauw Siauw yang jahat itu, perlu apa kita pakai aturan lagi?"

Thian Touw ketahui, tanpa berhasil menolongi Im Sioe Lan, isterinya itu tidak nanti mau pulang, maka terpaksa ia menuruti kehendak isteri itu. Tapi tetapi ia memakai aturan, maka ia berkata dengan nyaring: "Kiauw Lootjianpwee, jikalau tetap kau tidak mau keluar, terpaksa kami hendak menggeledah rumahmu ini!"

Berisik suara itu tetapi dari dalam tidak ada jawabannya.

Melihat kelakuan suaminya itu, In Hong mendongkol berbareng merasa lucu.

"Dengan kau membikin banyak berisik ini." katanya tertawa, "pastilah adik Im itu lantas mereka sembunyikan, hingga dia jadi semakin sukar dicari!"

Tapi mereka berjalan terus. Baru beberapa tindak, mendadak Thian Touw berhenti.

"Lebih baik aku jangan mencari..." katanya.

"Eh, kenapakah?" tanya In Hong heran.

"Kamu yang masuk sendiri, menggeledah." sahut suami itu. "Jikalau kamu menghadapi musuh tangguh, baru kamu berteriak memanggil aku. Aku akan berdiam di sini menantikan Kiauw Pak Beng."

Thian Touw tetap seorang terhormat, walaupun di rumah musuh, tidak mau ia mengacau aturan sopan santun. Tidak berani ia lancang masuk ke dalam rumah orang.

In Hong tertawa.

"Kau banyak sekali pantangannya!" katanya tertawa. "Baiklah, kau berdiam di sini menantikan Kiauw Pak Beng. Jikalau ada terjadi sesuatu di luar dugaan, kita saling bersiul sebagai pertanda!"

Lantas In Hong mengajak Kiam Hong. Mereka berdua pun masih berpisahan. Ia sendiri pergi ke sebelah selatan, dan Kiam Hong sebelah barat.

Begitu memasuki sebuah lorong dan mengkol, Kiam Hong membekuk seorang bujang perempuan, yang lagi lari dengan ketakutan.

"Di mana disembunyikannya si nona she Im?" ia menegur. "Lekas bicara!"

Dalam takutnya, bujang itu menggoyangi kepala.

"Aku tidak tahu," sahutnya.

"Kiauw Siauw Siauw ada di kamar mana?" Kiam Hong tanya pula.

"Aku budak yang melayani Djienio," berkata bujang itu. "Semenjak tuan muda pulang, belum pernah dia datang ke kamar nyonyaku."

"Baik. sekarang kau bawa ke kamar nyonyamu itu!" perintahnya.

Bujang itu tidak berani berbantah, ia lantas mengantari. Tiba di depan sebuah kamar, ia memanggil dengan suaranya bergemetar: "Djienio!"

Dengan lantas pintu dibuka. Begitu lekas juga Kiam Hong nerobos masuk dengan pedang terhunus.

Di dalam situ ada seorang wanita muda dengan dandanan perlente sekali, dia kaget hingga dia berseru tertahan, setelah mana, dia maju, untuk merampas pedang Nona Liong. Dia mengerti silat tetapi diakalahjauh dari nona ini, justeru tangannya menyambar, tangan itu disambar pula. Maka lantas saja dia kena dicekal Kiam Hong, terus dadanya diancam ujung pedang.

"Mana Siauw Siauw?" Kiam Hong tanya, bengis. "Lekas bilang!"

Nyonya itu kaget dan ketakutan. Ujung pedang telah membikin pecah dan melowek baju di dadanya, hampir kulitnya kena disentuh.

"Di... dia tidak ada padaku di sini," sahutnya gemetar. "Kalau... kalau kau mau tanya... pergilah kau tanya si siluman rase!..."

"Siluman rase apa?" tanya Kiam Hong.

"Dia maksudkan Samnio," kata si budak.

Kiam Hong segera mengerti, kedua gundiknya Siauw Siauw pastilah bersaing satu dengan lain, dan yang berhasil merampas hatinya Siauw Siauw ialah si "siluman rase" itu, gundik yang nomor tiga. yang dipanggil Samnio itu.

"Bawalah aku kepada siluman rase itu!" katanya seraya ia telikung Djienio, si gundik yang kedua.

Gundik itu takut, ia menurut.

Kiauw Siauw Siauw memang berada di dalam kamarnya Samnio di mana dia mengurung Sioe Lan. Dia tahu perihal datangnya Hok Thian Touw dan Leng In Hong, dia lantas mengurung diri, kamarnya dikunci erat-erat. Sementara itu, hatinya makin panas terhadap Nona Im, maka itu dia totok urat gagunya Sioe Lan, dia menyiksanya.

Sioe Lan sangat menderita tetapi terus membungkam.

Tiba-tiba terdengar Djienio mengetuk pintu dan memanggil: "Adik. buka pintu!" Ia memanggil adik kepada madunya itu.

Kiauw Siauw Siauw gusar sekali. Ia mengenali suara gundiknya itu.

"Di waktu begini kau masih menggerecoki aku!" bentaknya. "Baik! Bukakan dia pintu! Hajar dia!" Dia menyangka sang gundik datang untuk berebut suami.

Pintu segera dibuka oleh Samnio. Kiam Hong menolak tubuhnya Djienio, maka gundik ini terjerunuk ke dalam, membentur madunya, hingga mata Samnio berkunang-kunang. Saking gusar, dia menampar seraya dia mencaci: "Budak tidak tahu malu! Berani kau datang kemari memperebuti suami?..." Lalu mendadak dia berhenti dengan tercengang. Menyusul Djienio terlihat Kiam Hong dengan pedang terhunus di tangan. Dia tidak kenal nona itu, tapi dia kaget dan tercengang karenanya.

Kiam Hong tidak mensia-siakan waktu. Ia lompat masuk sambil terus menikam Siauw Siauw.

Anaknya Kiauw Pak Beng pun kaget, tetapi dia tabah, dengan sebelah tangan mengempit tubuh Sioe Lan, tangan kanannya menyambar tjiaktay, tempat menancap lilin, untuk menangkis.

Kiam Hong menyontek, membikin tjiaktay mental ke samping, lalu terus ia menikam pula. Ia mengincar tenggorokannya si anak muda.

Siauw Siauw cerdik dan telengas sekali. Dia bukan berkelit, hanya dia menangkis. Dia bukan menggunai tjiaktay ditangan kanan, dia justeru mengajukan tubuhnya Sioe Lan, untuk dijadikan semacam tameng.

"Baik, kau tikamlah!" dia mengejek, tertawa dingin. "Kau tikamlah!"

Syukur Kiam Hong gesit. Ia batal menyerang. Sambil dengan pedangnya ia mengancam, dengan tangan kirinya ia menyambar tubuh Sioe Lan.

Siauw Siauw cerdik, dia menarik pulang. Hanya ketika dia didesak, kupingnya kena digaplok dua kali!

Samnio berada di belakang Nona Liong, mendadak ia menyerang dengan pisau belati di tangan. Ia juga mengerti sedikit ilmu silat seperti Djienio, bahkan ia terlebih liehay.

Kiam Hong ketahui ada bokongan, ia menyabet ke belakang dengan pedangnya.

Samnio berkelit seraya membungkuk, lalu ia meneruskan menikam ke kaki nona kita.

Nona Liong menjadi mendongkol. Ia mengelit kakinya seraya lantas diteruskan, untuk mendupak tangan si gundik, hingga pisaunya terlepas dan jatuh. Sebaliknya, ujung sepatu bergerak, mampir di jidat, hingga jidat itu borboran darah. Baru setelah itu, kaget dan sakit, Samnio berlompat minggir.

Ketika itu Siauw Siauw sudah lompat mundur ke belakang, tubuhnya nempel pada tembok.

"Budak hina, akan aku ingat baik-baik dua gaplokanmu ini!" dia kata sengit. "Nanti setelah lukaku sembuh, akan aku membikin perhitungan denganmu!" Lantas tangannya meraba ke tembok di belakangnya itu, atas mana maka terpentanglah sebuah pintu rahasia ke dalam mana ia nyeplos masuk sambil membawa Sioe Lan. Cuma sedikit, pintu lantas tertutup rapat pula!

Kiam Hong tercengang, lalu ia menjadi gusar. Ia maju, ia menolak pintu itu. Tidak ada hasilnya! Pintu keras, tak dapat dibuka dengan melainkan ditolak. Bukan main menyesalnya ia. Maka ketika ia membalik tubuh, ia menuding Samnio.

"Lekas buka pintu ini!" ia membentak. "Jikalau Siauw Siauw tidak dapat dibekuk, aku nanti rampas jiwamu!"

"Pintu rahasia ini tidak dapat dibuka lagi," sahut Samnio. "Dia telah menutupnya dari sebelah dalam di mana ada jalannya dalam tanah! Kau bunuh saja aku..."

"Jikalau ada jalanan dalam tanah tentu ada jalanan keluarnya!" kata Nona Liong. "Lekas bawa aku ke itu jalanan keluar!"

"Jalanan keluar di dalam tanah cuma diketahui dia dan ayahnya bersama Le Kong Thian," Samnio mengasi keterangan. "Biarnya aku dibunuh, tidak ada gunanya!"

Kiam Hong sudah mengangkat pedangnya, akhirnya tak tega ia membunuh gundik orang itu, maka untuk melampiaskan

kemendongkolannya, ia menggaplok beberapa kali. Sampai di situ, ia kembali keluar. Ia menemui In Hong berada bersama bujang-bujang.

Nyonya Thian Touw juga mencari dengan sia-sia dalam kamar-kamar di sebelah barat itu, di sana adalah kamar-kamar bujang-bujang, maka ia menggiring mereka itu keluar, untuk memeriksa mereka satu demi satu, guna mendapat tahu di mana Sioe Lan disembunyikannya.

"Sudahlah, tak usah memeriksa mereka lagi," berkata Kiam Hong. "Adik Sioe Lan sudah dibawa pergi oleh Siauw Siauw, yang dari pintu rahasia masuk ke dalam jalan dalam tanah di dalam rumahnya ini!" Dan ia menuturkan pengalamannya barusan. Mulanya In Hong melengak, lantas ia tertawa. Matanya pun memain.

"Dia membawa Sioe Lan lari ke dalam jalan rahasia" katanya "kita dapat pakai jalan rahasia itu untuk terus menghajar Kiauw Pak Beng!"

"Mereka tidak tahujalanan rahasia itu," Kiam Hong bilang.

"Tidak apa. Kita suruh mereka ini menggali sampai ke jalan dalam tanah itu!"

Ketika itu cuaca sudah terang.

"Kiauw Lootjianpwee!" berkata Thian Touw nyaring. Ia seperti tidak memperdulikan kata-katanya isterinya itu. "Bukankah sekarang dapat kau menemui tetamu-tetamumu?"

Dari dalam tetap tidak ada suara jawaban.

"Tentang maksud kedatangan kami, lootjianpwee sudah mendapat tahu," berkata pula Thian Touw, "maka itu andaikata tetap kau tidak mau menemukan kami, aku minta supaya Nona Im Sioe Lan diserahkan pada kami!"

Tetap tidak ada suara dari dalam rumah itu.

Baru sekarang jago Thiansan itu menjadi gusar.

"Kau tidak sudi menemui kami, kau juga tidak suka menyerahkan Nona Im!" katanya sengit. "Maka janganlah kau mengatakan kami tidak tahu aturan! Kami hendak membongkar rumahmu ini!"

Dalam murkanya itu, Thian Touw memutar tubuh kepada isterinya.

"Tidak ada jalan damai lagi!" ia berseru. Terus ia memerintahkan: "Kamu galilah!"

In Hong dan Kiam Hong juga memberikan perintahnya, maka itu, kawanan bujang itu lantas bekerja. Mereka menggunai golok dan pedang untuk membongkar lantai, buat menggali tanah.

Kiam Hong geli sendiriannya, sembari tertawa ia kata: "Aku sungguh tidak menyangka si siluman tua she Kiauw tidak berani muncul! Sekarang kita jadi dapat ketika untuk beristirahat. Mari kita mencari barang makanan!"

Usul ini diterima baik, lantas mereka bergiliran menjaga dan mengepalai kawanan bujang itu, untuk mereka bergantian masuk ke dalam, untuk berdahar. Ketika Kiam Hong muncul, dia membawa beberapa buah pacul untuk dipakai oleh kuli-kuli sembatan itu, hingga pekerjaan mereka menjadi terlebih cepat.

Mendekati tengah hari, orang telah menggali liang dalamnya tiga tombak. Mendadak kawanan bujang itu berhenti bekerja, terus mereka mengangkat seorang wakil, untuk memberitahukan: "Masih ada tanah sekira satu kaki, setelah itu digali maka akan terdapat jalan dalam tanah itu. Kami minta kamulah yang menggali meneruskan."

"Kenapa begitu?" tanya In Hong gusar.

"Mungkin mereka takut pada majikan mereka" kata Thian Touw yang sabar. "Mereka sudah bekerja berat, tidak apa mereka boleh dikasih ampun." Ia benar-benar membubarkan mereka, setelah mana iamenyambuti pacul, untuk masuk ke dalam lubang galian itu. Ia memacul tak lama lantas di atasan mereka terlihat sebuah lowongan mirip guha.

"Hati-hati!" ia berseru selagi In Hong dan Kiam Hong mau lompat memasuki lubang itu. Tapi belum berhenti suaranya itu, dari atas telah jatuh dua biji bola besi. Syukur ia celi matanya dan sebat, ia menyambuti setiap bola itu, untuk segera ditimpukkan ke atas, sesudah mana ia menghunus pedangnya, berbarengan bersama In Hong, ia berlompat naik, gerakan mereka itu ialah yang dinamakan "Yantjoe tjoanlian," atau "Burung walet terbang menembusi kere."

Begitu lekas mereka berada di atas, mereka disambut pelbagai macam senjata rahasia maka mereka terus memutar pedang mereka, untuk menyapu semua itu.

Paling belakang mereka menangkis golok dan gembolannya Tek Seng Siangdjin dan Kiok YaTjiauw!

Segera setelah sampai di atas, suami isteri ini mendapatkan sebuah ruangan yang besar di mana terlihat Tek Seng Siangdjin dan Kiok Ya Tjiauw berkumpul bersama-sama Le Kong Thian dan Law Tong Soen. Mereka itu mengambil sikap mengurung.

Kawanan bujang tadi cerdik. Mereka bukan menggali tanah ke arah kamar di mana Kiauw Pak Beng lagi bersamedhi meyakini ilmu kepandaiannya, mereka sengaja ambil arah ruangan tengah yang besar itu. Inilah bagus buat Kiauw Pak Beng, kalau tidak, mungkin dia bercelaka. Sebelum sampai batas waktu samedhinya, dia tetap tidak dapat bergerak, dia tak dapat membuat perlawanan.

"Kiauw Pak Beng!" Thian Touw berkata "apakah sampai ini waktu kau tetap tidak mau keluar?"

"Hok Thian Touw, kau kurarg ajar," Le Kong Thian menegur. "Sebentar kau nanti tahu rasa."

Untuk membelai majikannya, koankee ini menjadi nekad, dengan bonekanya ia lantas menyerang jago Thiansan itu.

Thian Touw heran bukan main. Entah kenapa Kiauw Pak Beng dengan sikapnya yang aneh itu. Ia berpikir: "Le Kong Thian ini muridnya yang dia paling sayang, Le Kong Thian sudah terluka parah, mengapa dia membiarkannya saja dia tetap tidak mau keluar menyambut! tantangan? Mungkinkah dia tega mengantapkan muridnya ini terbinasa?"

Tengah ia berpikir itu, serangan datang, tetapi In Hong yang mewakilkan menangkis, setelah mana, si nyonya terus membalas menyerang.

Sekonyong-konyong Thian Touw menahan serangan isterinya.

In Hong heran.

Justru itu, Tek Seng Siangdjin maju menyerang. Thian Touw menangkis dengan pedangnya membikin golok penyerangnya itu mental, la lantas kata: "Kitatunggu lagi setengahjam, jikalau tetap Kiauw Pak Beng tidak muncul, itu waktu baru kita membuka pantangan membunuh!"

Mendengar demikian, Le Kong Thian mengangkat boneka kuningannya dan berkata dingin: "Lagi setengahjam? Apakah kamu kira itu waktu kamu masih memiliki jiwamu? Lebih baik siangrsiang saja kau menyingkirkan diri!"

Sebenarnya itu tengah hari adalah batas waktu penghabisan dari selesainya peryakinan ilmu atau penutupan diri Kiauw Pak Beng, sengaja Le Kong Thian mengatakan demikian sebab --- biar bagaimana --- ia bersyukur yang Thian Touw sudah tidak membinasakan padanya. Dengan itu ia jadinya hendak memberi kisikan.

Hati Thian Touw bercekat, hanya sebentar, lantas dia tertawa lebar dan kata nyaring: "Kami datang dari tempat yang jauh! Tanpa kami menemui majikanmu, mana dapat kami lantas kembali pulang? Maka janganlah kau berkuatir untuk kami, jikalau kamu mempunyai kepandaian, kamu keluarkanlah semuanya!"

In Hong dapat melihat kamar bersamedhi Kiauw Pak Beng.

"Untuk sementara waktu dapat kita menunda pantangan membunuh," ia kata pada suaminya, "tetapi perlu apa kita menanti sampai setengah jam? Sekarang juga kita boleh gusur keluar siluman tua she Kiauw itu!"

Thian Touw kena terdesak isterinya, maka bersama sang isteri, ia lantas maju ke arah kamarnya si jago tua.

Le Kong Thian menjadi mata merah, dengan bonekanya ia mencegah.

Tek Seng Siangdjin, Law Tong Soen dan Kiok Ya Tjiauw pun menjadi bergelisah, terpaksa mereka maju mengepung guna merintangi sepak terjangnya sepasang suami isteri itu. Karena ini, mereka jadi bentrok, dua melawan empat.

Biar bagaimana, ke empat orang itu ialah orang-orang yang liehay, maka rangsakannya In Hong dan Thian Touw kena juga terhalang.

Kiam Hong muncul paling belakang dari lubang bongkaran, ia lantas menceburkan diri dalam pertempuran kacau itu. Ia memilih Kiok Ya Tjiauw yang paling lemah di antara ke empat musuh.

Sekarang ini Kiok Ya Tjiauw menggunai sepasang gembolan besi, meskipun itu tak sama dengan gembolan emasnya, toh masih lumayan dibanding dengan toya. Maka itu dapat ia melayani si nona dengan sama tangguhnya.

Tek Seng bertiga Kong Thian dan Tong Soen mengepung suami isteri itu. Kong Thian telah terluka parah. Tek Seng sendiri sudah sapat dua jeriji tangannya. Cuma Tong Soen, yang tidak terluka. Tetapi, dengan mengambil waktu, mereka bertiga kena j uga terdesak.

In Hong sangat jemu terhadap si orang she Law, ia mendesak luar biasa hebat.

Tengah bertarung seru itu, mendadak Hok Thian Touw berseru: "Kena!" Itulah isyaratnya. Ia menyerang si orang she Law. Isterinya segera menyambut pertanda itu.

Dalam sekejab saja, Tong Soen sudah tertikam tujuh atau delapan kali, sia-sia belaka ia membela diri. Untungnya ia dapat membuang diri dengan bergulingan ke pojok ruangan di mana ia lantas menyenderkan diri. napasnya mengorong. Ia telah berubah menjadi seorang orang darah!

Setelah mereka tinggal berdua, juga Le Kong Thian dan Tek Seng Siangdjin telah mesti merasai ujung pedangnya suami isteri itu, rangsakan siapa mereka tak dapat cegah, hingga hebatlah keadaan mereka.

Kong Thian terluka hebat, di dada, di punggung, di tangan dan dikaki. Lukanya itu berlubang atau melintang. Dia menjadi tak gesit lagi gerak-gerakannya, sukar untuk berlompatan secara lincah. Tapi meski dia telah mandi darah, dia tidak mau mundur!

In Hong berpikir: "Le Kong Thian jahat tetapi dia sangat setia kepada gurunya, jaranglah orang sebagai dia!" Karena ini, ia tidak mendesak hebat seperti semula. Hanya untuk melukai lebih jauh, itulah sukar. Sebab si manusia raksasa masih selalu bisa membela dirinya dengan bonekanya.

Tepat tengah mereka bertarung seru dari dalam kamarnya Kiauw Pak Beng terdengar seruannya orang she Kiauw itu. Seruan itu keras, mirip dengan "naga mengalun di laut besar atau harimau menderum di lembah kosong." Tanpa disengaja, Thian Touw dan In Hong menghentikan penyerangannya.

Lantas suara itu disusul dengan suara gempuran pintu.

Le Kong Thian terkejut berbareng girang, tetapi toh dia berkata pada jago dari Thiansan: "Hok Thian Touw, apakah kau masih tidak mau pergi menyingkirkan dirimu?" Perlahan suaranya, seperti suatu pemberian ingat.

Thian Tonw seorang ahli, mendengar suara itu, --- suaranya Kiauw Pak Beng, --- mengertilah ia bahwa Pak Beng telah menyelesaikan peryakinannya atas suatu ilmu tenaga dalam. Ia berpikir: "Dia telah berseru, lantas dia berdiam, sekarang tentulah telah tiba saatnya dia menemui orang."

Benarlah dugaan itu, dengan tergempurnya pintu, Kiauw Pak

Beng sudah lantas lompat keluar dari kamarnya. Dengan selesainya samedhinya, dia sadar, maka dia dapat melihat dan mendengar, hingga dia dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia menjadi gusar sekali.

Wajah jago Sioelo Imsat Kang ini bercahaya dan bengis, sepasang matanya tajam berpengaruh. Dari Thian Touw dan In Hong, dengan matanya itu ia menyapu kepada Le Kong Thian. Kemudian ia ambil bonekanya itu pengurus rumah tangga atau muridnya untuk mengulapkan tangan dan berkata: "Di sini tidak ada urusan kamu lagi! Kamu semua mundurlah!"

Kong Thian dapat membade maksud gurunya itu. Dia terluka, gurunya murka, lantas guru itu hendak menuntut balas untuknya untuk itu si guru hendak menggunai senjatanya Tapi dia ingat budinya Thian Touw, dia berkuatir untuk jago Thiansan itu. Biar bagaimana dia tidak dapat minta keampunan dari gurunya untuk Thian Touw, terpaksa dia mengundurkan diri juga.

Tek Seng Siangdjin bertiga Law Tong Soen dan Kiok Ya Tjiauw, turut mundur juga. Mereka jalan dengan pincang dan terhuyung, untuk pergi ke belakang, buat mengobati diri.

Kiauw Pak Beng lantas melirik.

"Sungguh gagah!" katanya kemudian, perlahan. "Hok Thian Touw, kau rupanya telah selesai dengan penciptaan ilmu pedangmu?"

"Aku bukanlah itu orang yang berani banyak tingkah mempertontonkan kejelekan diri," menyahut jago Thiansan, tenang. "Sebenarnya kami datang kemari untuk minta bertemu dengan kau, apamau muridmu dan sahabat-sahabatmu telah merintangi kami maka terpaksa kami menerobos masuk kemari."

"Hra!" mengejek Pak Beng, suaranya dingin. "Kamu suami isteri sudah melukai orang, apakah di mata kamu masih ada Kiauw Pak Beng lagi? Aku mau lihat apakah benar dengan mengandalkan pedang kamu, dapat kamu malang melintang di kolong langit ini!"

In Hong sengit maka ia berseru: "Kamu berdua ayah dan anak, kamu sudah menculik Im Sioe Lan, yang kamu bawa lari ke atas gunung kamu ini, kamu pun menyiksa dia, maka cara bagaimana kau berani berbalik mengatakan kami?"

Thian Touw pun kata, sabar: "Kiauw Loosianseng, kau serahkanlah Nona Im Sioe Lan kepada kami, untuk kami mengajaknya pulang, nanti aku si orang she Hok memberi hormat kepadamu dan menghaturkan maaf."

"Mantu ialah mantuku sendiri, apakah dapat kamu mengurus dia?" Kiauw Pak Beng tanya.

"Muka tebal!" In Hong membentak. "Kau bawa Im Sioe Lan kemari, kau tanya dia di depan kita, dia kesudian atau tidak menjadi nona mantumu?"

"Kiauw Loosianseng," Thian Touw pun berkata pula "apakah kau berkukuh tidak sudi menyerahkan nona itu kepada kami?"

Kiauw Pak Beng mengangkat boneka kuningannya.

"Jangan banyak omong!" katanya seram. "Majulah!"

In Hong habis sabar, maka ia lantas maju dengan tikamannya.

Kiauw Pak Beng menggeraki bonekanya, melihat mana Thian Touw kaget, maka ia pun lantas maj u. Dari itu segera terdengar dua kali suara bentrokan keras dua batang pedang mengenai anak-anakan yang terbuat dari kuningan itu. Sebagai akibatnya itu, ketiganya kaget masing-masing, mereka pada berpisah. In Hong merasakan tangannya sakit dan nyer-nyaran, dan Kiauw Pak Beng terpaksa mundur beberapa tindak.

"Bagus," berseru Pak Beng seraya dia maju pula, menyapu dengan bonekanya.

In Hong dan Thian Touw berlompat berkelit, terus mereka maju merangsak, untuk menyerang, karena senjata mereka bentrok pula hingga berulang-ulang. Thian Touw hebat, selagi orang mundur, ia mendesak, pedangnya bekerja ke bawah, sedang In Hong menyerang ke atas, ke mata!

Hebat serangan sepasang suami isteri ini, yang pedangnya telah bersatu padu.

Kiam Hong menonton, sendirinya hatinya berdebaran. Ia percaya pedangnya Thian Touw itu bakal berhasil, tetapi siapa tahu Pak Beng dapat memukulnya hingga mental!

"Sayang!" katanya dalam hati.

Thian Touw kagum. Tidak ia sangka, dalam waktu demikian pendek, cuma satu tahun Kiauw Pak Beng telah memperoleh kemajuan begitu pesat.

Di pihak lain, Pak Beng tidak kurang kagumnya. Ia merasakan hebatnya ilmu pedang sepasang suami isteri itu.

Oleh karena ini, kedua pihak tidak berani berlaku sembrono, lantas mereka bertarung pula dengan waspada, masing-masing

mengeluarkan tipu-tipu silat mereka yang istimewa. Maka beterbanganlah boneka dan berkilauanlah sepasang pedang...

Tengah bertarung lebih jauh, tiba-tiba Hok Thian Touw merasakan hawa dingin sekali, yang tersalurkan dari pedangnya sampai kepada telapakan tangannya, hingga tanpa merasa ia menggigil. Ia lantas ingat kepada Sioelo Imsat Kang dari lawannya itu. Memang, di waktu mau mendaki gunung, bersama isterinya ia sudah makan Pekleng Tan, pel yang terbuat dari soatlian, teratai salju. Obat itu bukan obat yang tepat tetapi chasiatnya soatlian yaitu melawan pelbagai macam racun, karenanya diharap sedikitnya dapatlah rasa dingin Sioelo Imsat Kang dilawan, agar tenaga dalam mereka tak sembarangan tergempur. Siapa tahu, hebat ilmunya Kiauw Pak Beng, yang sudah mencapai tingkat ke delapan.

Syukur untuk suami isteri ini, ilmu pedang mereka sudah mencapai puncaknya kemahiran, dibantu perlawanan soatlian, mereka dapat bertahan hingga Sioelo Imsat Kang tak dapat digunai sepenuhnya, sebab Kiauw Pak Beng pun mesti waspada luar biasa.

Cara menyerangnya jago tua she Kiauw itu ialah "Kekboet toankong" --- menyerang memakai benda sebagai saluran atau perantaraan —— maka itu juga, hawa dinginnya tersalurkan pedangnya Thian Touw, tetapi lantaran kokohnya tenaga dalam Thian Touw, dia tidak lantas dapat berbuat banyak.

In Hong kalah mahir tenaga dalamnya dibanding dengan suaminya, akan tetapi di samping kekurangan itu, ia pernah memperoleh petunjuk dari Thio Tan Hong dan juga pernah membaca kitab "Hiankong Yauwkoat" pemberian jago she Thio itu, karena itu, ia pun telah mendapat kemajuan yang berarti, hingga meskipun ia merasa dingin seperti dirasakan suaminya ia turut dapat bertahan.

Di dalam hatinya Kiauw Pak Beng heran dan kagum terutama terhadap In Hong. Ia tidak pernah menduga bahwa juga nyonya ini telah maju bagus sekali. Oleh karena ini, ia lantas menggunai siasat: Satu waktu ia perkeras desakannya, di lain ketika ia memperlunaknya, ia membikin kendor. Dengan ini ia memancing sambutan dari suami isteri itu.

Sioelo Imsat Kang berarti tenaga disusun, setingkat demi setingkat, tenaganya semakin besar, oleh karena itu, tidak perduli liehay ilmu pedang suami isteri dari Thiansan itu, setelah bertempur sekian lama, lama-lama mereka kalah angin juga. Hanya luar biasa tampaknya: Di luar, Kiauw Pak Beng seperti terdesak. Di dalam, Thian Touw dan In Hong yang terdesak.

Le Kong Thian datang menonton pertempuran sesudah ia membalut lukanya ia muncul dengan membawa sebatang tongkat. Ia kaget ketika mula-mula ia menyaksikan rangsakan pedang Thian Touw dan In Hong, tetapi selang sekian lama, ia lantas dapat melihat tegas adalah sepasang suami isteri itu yang mulai letih. Ia bahkan mau menduga, selang lagi setengah jam, gurunya bakal mendapatkan kemenangan sepenuhnya...

"Jikalau mereka tidak mati lantas, mereka tentulah akan sakit merojan," pikir Le Kong Thian. Dia pernah mempelajari pokoknya Sioelo Imsat Kang, dia ketahui liehaynyailmu silat Pak Beng itu. Dia menghela napas berduka, katanya pula dalam hatinya: "Hok Thian Touw, Hok Thian Touw, siapa suruh kau tidak sudi dengar nasihatku? Sekarang ini tidak ada lain jalan bagiku daripada bersedia untuk nanti mengubur jenazah kau sepasang suami isteri. untuk membalas budi kamu telah tidak membinasakan aku...

Selagi Kong Thian masgul itu, medadak ia mendengar gurunya tertawa terbahak dan berkata nyaring: "Tahan!" Guru itu terus lompat keluar kalangan, untuk menghentikan pertempuran. Ia menjadi heran, ia lantas mengawasi, untuk mengetahui apa maksudnya guru itu, atau apa yang menyebabkan sikap aneh itu.

Hok Thian Touw dan In Hong yang tengah terdesak itu, turut menjadi heran. Mereka pun mengawasi.

Kiauw Pak Beng tertawa pula kali ini untuk berkata: "Benarlah peribahasa, gelombang sunga Tiangkang yang di belakang mendorong yang di depan, dan orang baru menggantikan orang lama. Tidak disangka olehku si orang tua, di sampingnya Thio Tan Hong sekarang aku menemui lawan-lawan tangguh! Hok Laotee, kau sudah berhasil menciptakan Thiansan Kiamhoat, sungguh luar biasa! Hok Laotee. kau harus di puji dan diberi selamat!"

Biar bagaimana, Kiauw Pak Beng ialah seorang ahli silat terbesar, maka itu, dipuji oleh jago tua itu, hati Thian Touw puas karenanya ia menjadi terlebih sungkan lagi terhadap lawannya ini.

"Kiauw Loosianseng, kepandaianmu pun luar biasa, aku yang muda kagum terhadapmu!" ia membalas memuji.

Leng In Hong sebaliknya mengerutkan alisnya.

"Kiauw Pak Beng!" ia tanya, "kau hendak melanjuti pertempuran ini atau kau suka menyerahkan Im Sioe Lan?"

"Ya, benar," berkata Thian Touw, seperti disadarkan. "Sekarang lebih dulu kita bereskan urusan kita setelah itu baru kita omong tentang ilmu silat."

Kiauw Pak Beng menggeleng kepala.

"Menurut pikiranku, lebih baik kita bicara dulu tentang ilmu silat!" katanya. "Habis kita bertanding baru kita bicarakan urusan kita!"

Jawaban itu membuat Thian Touw mengerutkan alisnya Segera ia berdiri berendeng dengan isterinya. Pedang mereka pun lantas disiapkan.

"Kalau begitu, baik kita menggunai aturan Kangouw!" jago Thiansan ini berkata. "Loosianseng, silakan kau memberi petunjuk kepada kami!"

Kiauw Pak Beng tertawa, ia menggoyang-goyang tangannya.

"Sabar, jangan kesusu," katanya. "Hari ini kita sudah bertempur lama kita sudah letih. Bagaimana jikalau dilanjuti besok?" Kamu pun sudah melakukan satu pertempuran hebat sekali, dari itu, tidak sudi aku mengambil keuntungan dari keletihan kamu itu." Ia sengaja mengeluarkan napas capai, ia kata pula: "Bicara terus-terang. aku pun sudah merasa letih sedikit, tenagaku tidak dapat menuruti hatiku! Baiklah kita sama-sama beristirahat, setelah segar dan bersemangat, baru kita dapat mengeluarkan kepandaian kita! Setujukah kamu?"

In Hong menjadi heran sekali.

"Loosianseng benar." kata Thian Touw seraya menyimpan pedangnya. "Karena loosianseng suka memakai aturan Kangouw, baiklah, aku menerima dengan senang."

Pak Beng bersenyum.

"Kong Thian!" ia memerintahkan murid atau penguasa rumahnya, "pergi kau menyediakan dua buah kamar yang bersih untuk tetamu-tetamu kita ini, lantas kau melayaninya baik-baik."

Kong Thian terima tugasnya itu. Diam-diam ia bersyukur untuk Thian Touw. Ia lantas pergi bekerja, setelah mana ia mengajak ketiga tetamunya masuk ke dalam kedua kamar yang disediakan itu. Kiam Hong dapat kamar sendirian, yang bertetangga dengan kamar Thian Touw dan In Hong.

Thian Touw tertawa, ia berkata: "Kiauw Pak Beng melayani kita baik sekali."

In Hong tapinya tetap heran. "Sebenarnya apakah yang dipikir Pak Beng?" ia tanya. Iabercuriga. "Aneh," Kiam Hong pun berkata: "nampaknya tadi kamu bakal menang, kenapa kamu kesudian mendengar kata-katanya itu?"

"Kau keliru melihat!" kata Thian Touw, menyeringai, "yang bakal menang itu ialah dia!"

Kiam Hong melengak.

"Hok Toako tidak salah ""mengatakan," berkata In Hong. "Dia benar!"

Nona Liong heran, tetapi sekarang ia percaya.

"Perduli apa Kiauw Pak Beng hendak melakukan apa juga!" berkata In Hong kemudian. "Beristirahat bagi kita ada baiknya. Sekarang kita berpikir, besok kita melayani pula padanya!"

Sore itu, di waktunya bersantap, Le Kong Thian telah mengirim orang menyuguhkan barang hidangan terpilih.

"Awas, nanti ada racunnya," Kiam Hong memberi ingat.

"Jikalau Kiauw Pak Beng hendak mengambil jiwa kita, tadi ada ketikanya yang baik." bilang Thian Touw. "Buat apakah dia menunggu sampai sekarang dan dengan menggunai racun?" Ia lantas mendahului mencobai barang hidangan itu, sembari tertawa ia berkata pula: "Jangan takut, daharlah!"

In Hong percaya suaminya itu. Mereka pun mempunyai pel Pekieng Tan, tak usah mereka takut. Meski begitu, mengetahui barang makanan itu tidak ada racunnya, ia menjadi semakin heran.

Thian Touw pun tidak dapat menerka maksudnya Pak Beng. yang tidak hendak menurunkan tangan jahat itu. Pak Beng sebenarnya memikir sesuatu yang di luar sangkaan mereka. Pak Beng mencapai tingkat ke delapan dari Soelo Imsat Kang karena ia mengandal bantuannya obat. Ia sekarang ingin mencapai tingkat ke

sembilan-tingkat terakhir. Kali

ini ia tidak dapat mengandalkan obat pula. Itulah berbahaya. Ia terancam kesesatan. Yang ia butuhkan ialah pelajaran yang lurus. Untuk ini ia tidak dapat berguru kepada lain orang, ia mesti mencari sendiri. Kebetulan ia dapat bertempur dengan Thian Touw dan In Hong. Ia lantas memikir untuk meminjam kepandaiannya sepasang suami isteri itu --- meminjam dengan memperhatikan dan menelad mereka itu. Begitulah tadi, ia melayani musuh dengan keras dan perlahan bergantian. Dengan itu jalan ia menguji mereka, ia mencoba-coba. Dari perlawanan mereka itu, ia akan dapat melihat dan menyangkok. Untuknya sedikit kesadaran ada banyak artinya. Tapi itu tidak cukup hanya dengan satu pertempuran, maka dengan menggunai kelincahannya, ia menundanya, ia ingin bertempur hingga beberapa kali. Ia membutuhkan pertempuran selama bisa.

Demikian besoknya pagi, orang berkumpul di lianboe thia, ruangan peranti berlatih silat. Sekarang In Hong menyaksikan hadirnya Tek Seng Siangdjin, Law Tong Soen. Kiok Ya Tjiauw dan Tonghong Hek serta lainnya. Mereka itu. setelah lewat satu malam, dapat berobat dan beristirahat, meskipun belum sembuh seluruhnya, mereka sudah dapat bergerak.

"Jikalau mereka membantu Pak Beng dan meluruk, pastilah seorang diri adik Kiam Hong tidak dapat melawan mereka," kata In Hong dalam hati. Mau atau tidak, ia bercuriga, ia berkuatir. Ia menduga, setelah kemarin kena dilabrak --- dengan adanya Kiauw Pak Beng —— pastilah mereka itu berkeinginan keras untuk menuntut balas. Mereka tinggal menanti waktunya saja buat turun tangan...

Sebelum pertandingan dimulai, mendadak Kiauw Pak Beng berkata, nyaring: "Hari ini aku berurusan dengan suami isteri Hok Thian Touw sendiri dan kita menggunai aturan Kangouw, maka itu, aku melarang siapajuga mencampuri tangan! Nona Liong telah tiba di rumahku ini, ia pun tetamuku yang terhormat! Kong Thian, baik-baiklah kau mewakilkan aku melayani tetamuku!"

Mendengar itu. Tek Seng Siangdjin heran bukan buatan. Ia berpikir: "Kiauw Pak Beng bicara hal aturan Kangouw, sungguh aneh!"

Perasaan aneh itu pun didapat Tong Soen semua, tetapi karena tuan rumah telah mengatakan demikian, mereka cuma bisa heran saja terpaksa mereka berdiam saja untuk menonton.

Setelah itu. Pak Beng mengundang kedua lawannya untuk mulai hertempur pula. la tetap menggunai bonekanya Kong Thian.

Thian Touw dan In Hong berlaku waspada. Setelah beristirahat, mereka telah dapat pulang kesegaran mereka. Maka itu, mereka dapat bertahan untuk serangan hawa dingin dari Sioelo ImsatKang.

Selagi bertarung, diam-diam Kiauw Pak Beng bergirang. Ia kata dalam hatinya: "Ilmu dalam yang lurus dari mereka ini benar-benar hebat. Sebenarnya mereka masih kalah dari aku tetapi sebagai pihak yang lemah mereka masih dapat melawan yang kuat. Rupanya tenaga mereka dapat digunai setiap waktu dan sesuka hati mereka untuk bertahan. Asal aku dapat menyangkok mereka ini maka tak usahlah aku takut lagi bahwa aku akan tersesat..."

Hari itu. pertarungan dahsyat itu mendatangkan kemajuan terhadap Thian Touw dan In Hong. Persatu paduan mereka jadi semakin erat, hingga lancarlah segala gerak-gerik mereka. Di lain pihak, Kiauw Pak Beng pun memperoleh keuntungan. Sesudah dua kali pertempuran itu, perlahan-perlahan ia mendapatkan keinsafan. Mendekati magrib, barulah Pak Beng mendesak seperti kemarinnya, dia membikin kedua lawannya kewalahan, tetapi justeru mereka itu repot, mendadak ia menunda pertempuran itu.

"Marilah kita beristirahat dulu," katanya. "Besok kita nanti main-main pula. Hari ini kita tetap seri."

Thian Touw dan In Hong menerima baik. Itulah ada faedahnya untuk mereka, hingga mereka tak usah dirobohkan. Tapi tetap mereka merasa heran, masih belum bisa mereka menerka apa yang dipikir j ago tua itu.

Lalu di hari ketiga dan ke empat, pertarungan dilanjuti seperti hari pertama dan hari kedua itu, ialah di saat genting. Pak Beng kembali menunda-nunda. Thian Touw dan In Hong tetap memperoleh kemajuan, tetapi pun Pak Beng, keinsyafannya makin bertambah, ia mulai menyadari jalannya ilmu tenaga dalam dari kedua lawannya. Itulah pelajaran tenaga dalam yang lurus yang ia butuhkan.

Sampai di hari ke lima, sore, In Hong seperti kelelap dengan keheranannya.

"Dibanding dengan tahun dulu, Sioelo Imsat Kang Kiauw Pak Beng maju berlipat ganda" ia kata pada suaminya. "Dapatkah kau merasakan itu?"

"Benar!" sahut Thian Touw. "Bahkan selama beberapa hari, dia pun maju terus!"

"Mulanya aku sangka, dengan berhasilnya ilmu pedang ciptaan kita kita dapat mengalahkan Kiauw Pak

Beng, " In Hong berkata pula. "tidak dinyana sekali, dia telah mendapatkan kemajuan pesat begini rupa. Aku lihat, kalau pertempuran berlanjut terus, sampai sepuluh hari atau setengah bulan, mungkin kita tetap berada di bawah angin."

"Kau benar," sang suami bilang. "Pertempuran ini membuatnya aku heran. Kenapa Pak Beng melibat kita? Kenapa dia seperti ini memperpanjang pertempuran ini?"

"Biar bagaimana, tidak nanti dia mengandung maksud baik!" menyatakan sang isteri. "Kegagahan saja tak berarti, itu perlu didampingi kecerdikan. Maka itu, aku rasa, perlu kita menggunai pikiran kita. Setelah ternyata kita tidak dapat merobohkan dia, apa perlunya untuk melanjuti pertarungan ini? Baiklah kita lekas turun gunung. Kita berlalu saja secara diam-diam. Kita mesti minta bantuannya Lootjianpwee Ouw Bong Hoe."

Thian Touw berpikir.

"Pertarungan ini dilakukan dengan perjanjian kaum Kangouw," katanya selang sesaat, "kita datang secara berterang, perginya mesti berterang juga. Tak bagus untuk berlalu secara diam-diam. Aku pikir begini saja. Besok kita melayani pula dia satu hari. apabila tetap keadaan seri. lantas kita menjanjikan suatu waktu yang lain. Setelah berjanji begitu, baru kita pergi. Dengan demikian, orang tidak dapat mencela kita."

"Terhadap satu hantu yang tak ada kejahatan yang tak dilakukan, buat apa kita pakai segala aturan bau itu?" kata In Hong. Isteri ini mulai sengit.

"Bukan begitu," sahut sang suami, sabar. "Memang baik dia tidak memakai aturan. Tapi sekarang dia memakainya, mana dapat kita tidak mentaati?"

In Hong tidak dapat membantah suaminya itu, terpaksa ia menurut. Tapi ia memberi pikiran, besok jangan ditunggu sampai mereka sudah letih baru mereka bicara, untuk menunda pertempuran sampai lain waktu. Mereka perlu menjaga tenaga mereka supaya, andaikata Pak Beng menghalangi, mereka bisa memaksa menyingkir dari gunung itu.

Setelah ada kecocokan, maka di hari kedua, Thian Touw bersama In Hong menempur pula Kiauw Pak Beng. Sesudah bertarung seru beberapa hari. Pak Beng berhasil mencuri cara-cara pelajaran tenaga dalam kaum lurus. Karena kecerdasannya, dapat ia menyangkok dari suami isteri itu. Thian Touw pun memperoleh kemajuan tak sedikit untuk ilmu pedang baru yang ia ciptakan, bahkan ia dapat menciptakan lagi beberapa jurus terbaharu. Maka itu ia merasa sayang yang ia berniat menunda pertempuran selanjutnya sampai salah satu pihak kena dikalahkan.

"Lawan seperti Kiauw Pak Beng ini," pikirnya, "dalam seumur hidupku sukar dicari tandingannya. Coba aku tidak mesti berjaga-jaga terhadap akal muslihatnya, ingin sekali aku melayani dia untuk lagi sepuluh hari!"

Selagi mereka bertempur seru itu, In Hong mengedipi mata pada suaminya.

Thian Touw agaknya berat untuk turun tangan. Ia ingin masih mencoba jurusnya yang terbaru, supaya itu jadi bersatu padu dengan isterinya. Tapi ia tidak dapat bersangsi terus. Maka ia paksa mencoba juga. Kebetulan terasakan tekanannya Pak Beng sedikit kendor, mendadak ia bersiul panjang, terus ia menggeraki pedangnya berputar arahnya, ujung pedang menuju kepada dadanya sendiri.

Kiauw Pak Beng menyaksikan gerakan lawan itu, ia heran, justeru ia merasa heran, pedang Thian Touw meluncur ke arahnya, dengan caranya yang ia tidak sangka sekali. Tahu-tahu ia telah menjadi kaget. Pedang lawan itu sudah menegur pundaknya! Tapi ia pun tidak berdiam saja.

Mendadak tubuh Thian Touw terpental roboh. Inilah sebab, meski ia dapat menikam dengan baik, hubungannya dengan In Hong tidak ada, maka itu. sebelum In Hong menyerang, Pak Beng sudah mendahulukan membalasnya.

In Hong kaget bukan kepalang.

Tapi Thian Touw, begitu tubuhnya jatuh, begitu ia mencelat bangun, terus dengan air muka guram ia memberi hormat pada Pak Beng seraya berkata: "Lootjianpwee, kau liehay sekali, sekarang aku tunduk! Biarlah lagi tiga bulan aku datang pula untuk menerima pula pengajaranmu!"

In Hong mendengar suara suaminya hatinya menjadi lega. Dari suara itu ia mendapat tahu, suami itu mendapat luka sedikit pada tenaga dalamnya luka itu tidak berbahaya.

Kiauw Pak Beng tertawa lebar.

"Kau terlalu merendahkan diri laotee!" katanya. "Pertempuran ini pun pertempuran seri, kenapa kau lantas mengaku kalah?"

"Lootjianpwee cuma terluka bajumu, aku sendiri, aku dibikin terpental roboh," berkata Thian Touw. "Mana berani aku bertempur lebih jauh? Maka itu baiklah kita menanti lagi tiga bulan baru kita main-main pula!"

Pak Beng bergerak sangat gesit, untuk menghalang di depan orang. Ia tertawa manis.

"Kau keliru, kau keliru!" katanya.

"Bagaimana?" In Hong tanya. "Apakah kau tidak mengijinkan kami pergi?"

"Bukan begitu maksudku," sahut Pak Beng. "Hok Laotee, kalau tetap kau mengaku kalah secara begitu, tidak dapat aku menghargai kau. Aku minta kau suka dengar lebih jauh perkataanku."

Biar bagaimana senang Thian Touw mendengar suara orang itu.

"Lootjianpwee," katanya, "kau berkepandaian sangat tinggi, andaikata lootjianpwee melihat sesuatu yang tak tepat padaku, tolong kau beri petunjukmu."

"Dibanding dengan kau, laotee, usiaku lebih tua tiga puluh tahun," berkata Pak Beng, sabar, "oleh karena itu sudah sepantasnya saja tenaga dalamku ada lebih menang daripada kau, hingga pula sudah wajar apabila kau kena kubikin terpental. Mana bisa itu dianggap sebagai suatu kekalahan?"

"Dengan ilmu pedangku tidak dapat aku melukai kau, lootjianpwee," berkata Thian Touw, "oleh karena itu, kalau kita bertempur terus, tetap aku bakal kalah."

"Jikalau begitu, bagaimanajikalau kita menukar caranya bertanding?" Pak Beng mengajukan saran. "Kita menggunai cara yang sama rata?"

"Bagaimanakah itu?"

"Aku mau mengundang kau duduk memasang omong, bagaimana?" Pak Beng tanya.

"Pembicaraan apakah itu?" In Hong menyelak.

Kiauw Pak Beng tertawa.

"Untuk membicarakan cara yang sama rata itu!" sahutnya.

Thian Touw kena dibikin malu hati oleh sikap ramah tamannya Pak Beng ini. Mana bisa ia menggunai kekerasan? Ia pun jadi ketarik hati, ia ingin mengetahui cara yang dikatakan "sama rata" itu.

"Bagaimana cara itu, tolong lootjianpwee jelaskan," ia minta.

"Bertanding dengan menggunai tangan, tak bisa kita tidak menggunai tenaga dalam," kata Pak Beng, "dengan begitu. Hok Laotee, aku jadi berlaku tidak adil terhadapmu. Lagi pula, meski kita belum mencapai puncak kemahiran, buat apa kita mencari keputusan dengan mengadu tenaga? Bukankah terlebih baik kita berunding saja secara mendalam? Jikalau aku kalah, aku akan mengakuinya, aku akan menyerah —— tegasnya, aku bersedia untuk menuruti segala titahmu!"

Thian Touw sangat kegilaan ilmu silat, sekarang Kiauw Pak Beng mengajak berunding, ia ketarik hati, ia seperti kegatalan. Ia kata di dalam hatinya: "Aku mengerti ilmu dalam pelbagai partai, begitupun ilmu luar, aku tidak percaya kau dapat mengalahkan aku!" Maka tanpa berpikir, ia menjawab: "Aku telah mendengar tentang pengetahuan yang luas dari lootjianpwee, sekarang kau sudi memberikan pelajaran padaku, inilah hal yang aku minta pun tidak berani. Baiklah asal lootjianpwee jangan nanti mentertawakan aku!"

Kiauw Pak Beng tertawa riang.

"Hok Laotee, usiamu muda kau pun telah berhasil membangun suatu partai baru," ia kata, "jikalau kau terus main merendahkan diri, itu artinya kau tidak memandang mata kepada aku si orang she Kiauw!"

In Hong diam-diam menggenggam tangan suaminya atas mana Thian Touw pun diam-diam menggerak-geraki telunjuknya, untuk menulis: "Aku mengerti, kau jangan kuatir." Dalam gembiranya suami ini tidak mengambil mumat pemberian ingat isterinya itu. Bahkan segera ia ikut Pak Beng masuk ke dalam kamar, ia membiarkan isterinya menanti di luar, hingga hati In Hong jadi tidak tenang.

Di dalam kamarnya, Pak Beng mengajak Thian Touw duduk berhadapan, di depan mereka ada sebuah meja persegi yang penuh debu.

"Hok Laotee, silakan kau mulai!" berkata tuan rumah, manis budi.

Thian Touw mengangkat tangannya mengebut membikin debu terkibas bersih, terus ia memberi hormat seraya berkata: "Aku tidak berani melewatkan lootjianpwee."

Kiauw Pak Beng tertawa dengan mendadak, tangannya dengan tiba-tiba menghajar meja di depannya, hingga meja itu ringsak. Setelah itu, ia menitahkan orangnya lekas menukarnya dengan meja yang baru. Ia membalas hormat, ia berkata: "Nampaknya pengertian kita tentang ilmu silat beda sekali!"

Gerak-gerik mereka berdua barusan menunjuki sifat mereka masing-masing. Thian Touw dengan mengebut bersih debu di meja berarti, buat belajar silat, orang mesti mulai dari dasarnya membuang yang lama mengatur yang baru. Kiauw Pak Beng dengan merusak meja bermaksud, dasarnya mesti di mulai dari baru.

Kata Thian Touw: "Aku mengebut debunya, mejanya tetap mejanya."

Kiauw Pak Beng berkata: "Jikalau yang tua tidak dirusaki, mana dapat ada yang baru? Meja yang baru jauh lebih baik daripada meja yang tua!"

"Agaknya tak dapat dipadu manusia dengan meja!" kata pula Thian Touw.

"Hal itu mesti dilihat dari sifatnya. Aku lihat dalam tempo tak sampai sepuluh tahun, pasti akan ada perubahannya!" kata lagi Pak Beng.

Kata-kata mereka itu berarti Pak Beng hendak menggunai cara-cara sesat yang keras, bagaikan jago memaksakan sesuatu. Dengan cara keras dia hendak mendapatkan kesempurnaan tenaga dalam. Thian Touw sebaliknya, karenanya ia terdesak. Tapi seperti telah diketahui, ia kegilaan ilmu silat, maka itu, makin terdesak, ia menjadi makin bernapsu, semangatnya makin terbangun. Maka ia melayani terus Pak Beng mengadu bicara atau berunding itu, hingga tanpa merasa, dari pagi, sang waktu merayap terus, tahu-tahu sudah magrib. Justeru itu Pak Beng mengajukan soal yang sulit, hingga sukar ia lantas menjawabnya hingga ia pikir: "In Hong pernah membaca kitab Hiankong Yauwkoat entah soal ini ada disebut atau tidak dalam kitab itu. Itulah kitab yang istimewa." Justeru ia ingat isterinya, baru ia melihat cuaca mulai gelap, maka ia kata dalam hatinya: "Pasti In Hong sudah tak sabaran, mungkin ia pun berkuatir. Ah, mesti aku lihat dia!" Dari itu, ia lantas berkata: "Lootjianpwee, lagi sekali pengetahuanmu, tak dapat aku melawannya oleh karena itu biarlah malam ini aku memikirkannya, besok aku nanti menerima pula pelajaran dari kau. Bagaimana?"

Kiauw Pak Bang tertawa lebar. Tetapi ia berlaku ramah-tamah.

"Orang di jaman dahulu ada yang karena belajar sampai lupa dahar dan tidur, hari ini kita berunding, hampir saja aku lupa akan sang waktu! Sekarang sudah gelap, memang sekarang telah tiba waktunya untuk beristirahat! Hok Laotee, persilakan!"

Segera juga In Hong mendengar tindakan kaki, ia lantas menyambut suaminya.

"Ah, bagus kau ingat pulang!" katanya, mendeluh. "Aku kira kau kena disesatkan si hantu tua!"

Thian Touw tertawa.

"Benar-benar aku hampir disesatkan!" sahutnya. "Aku tidak sangka pengetahuan Kiauw Pak Beng dalam sekali, hampir tak dapat aku menjawab dia! Dengan berbicara lama dengannya, aku memperoleh kefaedahan bukan sedikit."

"Aku kuatir dia mendapatkan lebih banyak pula!" kata si isteri, yang tidak puas.

In Hong senantiasa bercuriga.

Thian Touw melengak sejenak, lantas ia tertawa pula dan berkata: "Pengetahuan Kiauw Pak Beng berada di atasan kita, apa mungkin dia hendak mencuri dari kita?"

"Coba pikir, habis apa perlunya dia mengajak kau berunding?" In Hong tanya.

Thian Touw pun berpikir.

"Memang ada bagian-bagian di mana aku dapat mengalahkan dia." katanya, "cuma hari ini kita membicarakan saja sifat yang berlainan dari pandangan kita berdua pihak, kita belum bicara hal ilmu pedang dan tidakjuga hal ilmu dalam. Ada apakah halangannya?"

"Apa saj a yang ia tanyakan kau?" In Hong tanya.

"Aku justeru hendak menanyakan kau," sahut Thian Touw. Dan ia mengulangi pertanyaannya Kiauw Pak Beng, yang tak dapat ia jawab lantas itu. "Mungkin itu ada disebut dalam Hiankong Yauwkoat..."

In Hong terkejut.

"Kenapa kau bicara dengannya dari hal itu?" dia tanya. "Itu justeru ada hubungannya dengan lweekang simhoat!"

Thian Touw tertawa pula.

"Ah, kau gampang kaget!" katanya. "Kita cuma saling bertanya, sepantasnya saja kalau ada bagian-bagian yang sulit. Sama sekali aku tidak mengajari dia lweekang simhoat. Pula dia dan kita berlainan sifat dan caranya, dia telah mendahului kita, aku pikir, tidak nanti dia membuang apa yang dia telah punyai, untuk ditukar dengan kepunyaan kita."

Thian Touw tidak menginsafi, inilah justeru pokok dasar yang dicari Pak Beng, supaya pelajaran sesat dapat disatu padukan dengan pelajaran lurus, atau kalau perlu, yang sesat itu dibuang seluruhnya, guna ditukar dengan yang lurus, supaya dia berhasil dengan peryakinannya Sioelo Imsat Kang!

Leng In Hong juga tidak tahu bahwa Sioelo Imsat Kang, apabila telah diyakinkan sampai tingkat ke delapan, ada bahayanya untuk orang menjadi tersesat, ia cuma merasa bahwa suasana buruk sekali. Maka ia kata pada suaminya: "Jangan kita omong banyak lagi, inilah berbahaya. Pihak sana tetap musuh kau. Lebih baik kita berlalu siang-siang dari sini, kita pergi mengundang Tjianpwee Ouw Bong Hoe, setelah mana baru kita datang pula."

"Jikalau bukan sudah tiba pada saat terpaksa, tidak sudi aku memohon bantuan lain orang," menjawab suami yang keras kepala itu. "Bukankah Kiauw Pak Beng telah berjanji, apabila aku dapat merobohkan dia, dia akan suka menyerahkan Nona Im kepada kita?"

In Hong tertawa dingin.

"Jadi kau menaruh kepercayaan kepadanya?" tanyanya.

"Dengan kedudukannya itu, tidak nanti Kiauw Pak Beng mempedayakan aku," kata Thian Touw, yang berkukuh kepada kepercayaannya. "Hanya sayang, dalam perundingan dengannya, aku tidak mempunyai pegangan untuk memperoleh kemenangan..."

"Kau percaya dia, aku tidak!" kata sang isteri. "Jikalau besok kau tidak pergi, aku akan pergi sendiri!"

In Hong habis sabar pula.

"Biar bagaimana, aku mesti dapat menjawab pertanyaannya itu," Thian Touw bilang. "Jikalau tidak, mana aku mempunyai muka? In Hong, kau telah membaca Hiankong Yauwkoat, jikalau ada bagiannya yang kau ketahui, dapatkah kau membilangi aku?"

Isteri ini menjadi kewalahan.

"Baiklah!" sahutnya setelah ia berpikir. "Besok kita berdua menghadapi Kiauw Pak Beng, kapan kejadian kau tidak dapat menjawab, akulah yang akan menggantikan kau!"

Thian Touw kurang setuju, sebab itu berarti satu lawan dua. tetapi isterinya telah menerima baik permintaannya hatinya lega juga. Maka dengan girang ia berkata: "Begini pun baik. Di waktu kita bertempur, memang telah dijanjikan kita berdua melawan dia sendiri!"

Demikian besoknya Thian Touw mengajak isterinya pergi ke kamar istirahatnya Kiauw Pak Beng. Jago itu terperanjat mendapatkan orang muncul berdua, hingga ia tercengang sejenak. Ia tahu baik, In Hong jauh lebih cerdas daripada suaminya, maka itu ia berkuatir si nyonya nanti dapat membade maksud hatinya. Tak dapat ia tampik nyonya itu. Terpaksa ia menyambut sambil tertawa.

"Bagus kamu datang berdua!" katanya, manis. "Inilah hal yang minta pun aku tidak berani. Hari ini aku si orang tua jadi dapat meminta lebih banyak pelajaran."

"Sebenarnya apakah itu yang Kiauw Sianseng kehendaki?" In Hong mewakilkan suaminya bertanya.

"Pokoknya ialah mencuci bulu dan membersihkan sungsum," sahut Pak Beng.

"Jikalau begitu," In Hong menjawab, "aku minta agar kau suka mengubah muka dan mencuci hati!"

Parasnya Pak Beng berubah. Hebat jawaban itu. Cuma sejenak, dia lantas tertawa bergelak.

"Bagus! Bagus!" katanya. "Liehiap, bagus kata-katamu ini! Meskipun jawabanmu bertentangan dengan pemikiranku, aku toh mengagumi kau, aku mesti puji padamu. Sekarang, dengan dasar kedua paham yang berlainan itu, aku minta kau suka memberi penegasan."

In Hong berbangkit.

"Aku cuma minta kau mencuci muka dan membersihkan hati!" jawabnya dingin. "Segala hal lainnya tak usahlah kau tanya banyak-banyak lagi!"

Nyonya ini mengibaskan tangannya, untuk terus menepuk Thian Touw, untuk lantas bertindak pergi dari kamarnya Pak Beng itu!

Kiauw Pak Beng membuat satu gerakan luar biasa. Kedua tangannya menekan pinggiran kursinya dan kedua kakinya menjejak lantai, atas manatubuhnya mencelat tinggi, hingga di lain saat ia sudah berada di depan pintu, hingga ia dapat menghadang. Ia lantas berkata: "Leng Liehiap, apakah kau datang kemari sengaja untuk mempermainkan aku si orang tua?"

"Kau menanya aku pokoknya peryakinan ilmu silat dan aku telah

memberikan jawabanku!" sahut In Hong. “Itulah: muka harus dirubah, hati harus dicuci! Apakah ini berarti mempermainkan? Coba kau pikir masak-masak. Mungkin itu besar faedahnya untukmu!"

"Benar begitu!" Thian Touw campur bicara. "Di antara kita memangnya ada pokok dasarnya yang berlainan, karena itu, buat apa lootjianpwee menjadi kurang senang? Jikalau loosianseng berkukuh. berbicara lebih jauh pun tidak bakal ada hasilnya, maka itu aku yang rendah meminta diri saja!"

Thian Touw mengerti maksud isterinya itu, yang menyindir Pak Beng. Benar ia tidak dapat menyetujui sikap getas dari sang isteri, akan tetapi di dalam keadaan seperti itu, ia terpaksa mesti berdiri di pihak isterinya.

"Hok Thian Touw!" berkata Pak Beng murka. "Kau telah datang ke tempatku ini. aku layani kau dengan hormat, kenapa sekarang kamu sedikitpun tidak memandang mata kepada aku? Dapatkah kamu berlalu dengan cara begini saja?"

Thian Touw yang sabar pun berubah air mukanya.

"Kau berusia lebih lanjut, aku menghormatimu dengan memanggil kau tjianpwee." ia menjawab. "Itu sudah cukup! Apakah kau menghendaki aku berlutut dan mengangguk-angguk terhadapmu? Habis, mau apakah kau?"

Pak Beng dapat menjadi sabar pula, ia menyahut dingin: “Aku mau lihat kamu mempunyai kepandaian apa untuk keluar dari kamarku ini!"

In Hong tidak melayani bicara pula.

"Thian Touw!" katanya, "sekarang tak perlu bicara lagi! Mari kita pergi!"

Dengan lantas sepasang suami isteri itu menghunus pedang mereka, yang bercahaya berkilauan, dan dengan lantas juga mereka menyerang, untuk membuka jalan.

"Bagus!" berseru Kiauw Pak Beng. "Ilmu pedang yang bagus!" Ia lantas mengibas dengan tangan bajunya, untuk menyentil dengan jari tangannya.

Pedang In Hong kena disampok miring, terus disentil, hingga terdengar suaranya yang nyaring beruntun, sedang pedang Thian Touw tersampok sampai orang she Hok ini merasa telapakan tangannya kesemutan!

"Hebat jago tua ini!" pikir Thian Touw, yang merasa heran. "Cara bagaimana dia melatihnya? Kenapa dia maju begini pesat hanya dalam tempo satu hari?" Ia tidak menyangka bahwa justeru ialah yang mengajarinya tanpa ia mendusin!

Syukur Kiauw Pak Beng tidak memegang senjata, dia masib ragu-ragu, jikalau tidak, entah bagaimana kehebatannya lebih jauh.

Bentrokan pertama itu membuat In Hong dan suaminya mundur tiga tindak, setelah itu barulah mereka maju pula Kali ini mereka bisa mendesak sampai lawannya mundur dua tindak.

Tepat pertandingan hendak memasuki babak yang dahsyat, di luar kamar terdengar suara pertempuran yang berisik disusul dengan teriakannya Le Kong Thian berulang-ulang: "Soehoe! Soehoe!"

Dengan satu jejakan, Kiauw Pak Beng membikin pintu terbuka terpentang.

"Bocah yang baik!" dia berseru. "Aku tidak sangka sama sekali kamu datang dengan kawan-kawanmu! Baiklah, sebentar aku akan membuat perhitungan denganmu!"

Jago tua ini menyangka, pertempuran di luar itu dilakukan oleh kawan-kawannya Hok Thian Touw. Sebaliknya, Thian Touw dan In Hong juga heran sekali. Bahkan Thian Touw kata dalam hatinya: "Kecuali aku berdua, siapakah sudah berani datang kemari untuk menarik-narik kumis harimau dari Kiauw Pak Beng?"

Lantas suami isteri ini menyusul keluar, akan mengikuti Pak Beng. Tatkala mereka tiba di ruangan latihan, di sana tampak pertempuran kacau, karena orang-orangnya Pak Beng tengah mengepung tiga orang. Le Kong Thian yang mengepalai pihak tuan rumah.

Tiga orang itu ialah yang satu seorang tua dengan muka berewokan, yang kedua seorang pengemis yang pakaiannya banyak tambalannya, dan

gagah yang pakaiannya rapi. Melihat mereka itu, In Hong girang bukan kepalang.

Si orang tua bukan lain daripada Ouw Bong Hoe. yang nomor dua di antara Empat Jago Pedang, sedang si pengemis ialah Tie Goan, Hoepangtjoe atau ketua muda dari Kaypang, Partai Pengemis. Si anak muda bukan lain daripada Tjioe Tjie Hiap, puteranya Kimtoo Tjeefjoe Tjioe San Bin.

Tidak dapat Thian Touw dan In Hong lantas menduga duduknya hal, sedang sebenarnya Ouw Bong Hoe datang atas permintaannya Tjie Hiap. Bong Hoe datang walaupun ia tidak merasa pasti akan dapat mengalahkan Kiauw Pak Beng. Ia datang karena urusan ialah urusan yang menyangkut San Bin dan yang mengundangnya ialah muridnya sendiri.

Pada mulanya Ouw Bong Hoe memikir untuk berbicara dulu dengan baik. apabila terpaksa barulah ia hendak menggunai kekerasan, akan tetapi mereka ditolak dengan getas oleh pengawal pintu, siapa taat kepada pesan Pak Beng bahwa dalam beberapa hari ini tuan rumah menampik tetamu siapa juga. Belum Bong Hoe menyebutkan namanya, ia sudah lantas diusir. Tjie Hiap tidak tahan sabar, dia lantas menyerang.

Kemudian muncullah Le Kong Thian bersama Law Tong Soen. Kong Thian mengenali jago she Ouw itu, dia terperanjat. Dia menyangka Bong Hoe datang bukan dengan maksud baik, bahwa mungkin orang ada kambratnya In Hong dan Thian Touw.

"Serang saja!" Tong Soen menganjurkan koankee dari tuan rumah. Dia membenci Ouw Bong Hoe, yang pernah menghajar padanya.

Kong Thian kena dibujuk, ia maju.

Mulanya Ouw Bong Hoe tidak mau turun tangan, ia percaya cukup Tjie Hiap berdua Tie Goan, setelah melihat Kong Thian, terpaksa ia menempur koankee itu.

Kong Thian boleh gagah akan tetapi menghadapi Ouw Bong Hoe, baru sepuluh jurus ia sudah terdesak mundur, oleh karena itu terpaksa ia main mundur ke dalam, untuk meneriaki gurunya, buat memberi isyarat. Demikian datanglah Kiauw

Pak Beng. Melihat gurunya Kong Thian jadi mantap hatinya, segera ia melakukan perlawanan sengit, ia mencoba menyerang membalas, untuk mendesak musuh yang tangguh itu.

Law Tong Soen di lain pihak menghampirkan Tjioe Tjie Hiap, dengan jurus-jurus Hoenkin Tjokoet Tjioe, ia mencoba menangkap, untuk dibikin patah atau salah laku, tangannya jago muda dari Kimtoo Tjee.

Ouw Bong Hoe gusar atas sikapnya Le Kong Thian. Atas datangnya boneka yang besar dan berat itu, ia menyambut dengan Ittjie Siankang. Ia menyentil nadinya manusia raksasa itu. Tidak dapat Kong Thian mengelit tangannya. Begitu tersentil, begitu cekalannya terlepas, lantas bonekanya jatuh.

Malang dua pegawainya Kiauw Pak Beng, selagi mereka mengepung Tjie Hiap, mereka ketimpa boneka itu, terus mereka roboh.

Setelah itu Ouw Bong Hoe memutar tubuh, buat menghampirkan Tong Soen, tetapi orang she Law ini licik dan matanya tajam, siang-siang dia mendahului menyingkir sebab hatinya mencelos menyaksikan Kong Thian terpecundangkan dalam satu gebrakan.

Adalah di saat itu, Kiauw Pak Beng muncul. Dia gusar melihat muridnya terlukakan. Segera dia menyerukan orang-orangnya mundur, dia sendiri terus maju menghadapi Ouw Bong Hoe, siapa belum pernah melihat tuan rumah, hanya dari roman dan sikapnya saja ia dapat menduga dari itu ia lantas berhenti menyerang.

Ouw Bong Hoe menjadi orang berkenamaan, walaupun ia sedang murka, Kiauw Pak Beng tidak berani berlaku kasar, dengan paksakan diri, setelah mengawasi orang, ia bersenyum dan berkata: "Aku kira siapa, tak tahunya Ouw Loosianseng! Sebenarnya aku si orang she Kiauw berdahaga untuk menemui, sudah beberapa kali aku mengirim undangan untuk mengundang tetapi Loosianseng malas untuk membuat kunjungan! Maka itu kenapakah hari ini, tanpa diundang Loosianseng datang sendiri?"

Ouw Bong Hoe bangsa jujur, ia menyahut dengan terus terang: "Apabila tidak ada urusan, tidak nanti aku datang berkunjung. Aku telah diminta tolong oleh Kimtoo Tjeetjoe, untuk memohon satu orang dari kau, Kiauw Sianseng. Sayang murid-muridmu tidak mau membukai pintu, lantaran itu terpaksa aku melayani mereka hingga tanpa disengaja aku melukai muridmu. Sekarang aku minta kau suka menyerahkan puterinya Tjit Im Kauwtjoe, untuk kami mengajak pulang, setelah itu aku nanti menghaturkan maaf kepada kamu guru dan murid."

"Menghaturkan maaf?" kata Kiauw Pak Beng dingin. "Itulah aku tidak berani terima! Muridku yang buruk tidak mengenali gunung Thaysan, aku mengucap terima kasih yang kau telah memberi pelajaran padanya! Jadi kau datang untuk meminta orang? Inilah mudah! Tapi, Loosianseng telah datang kemari, inilah yang aku mintanya pun sukar, dari itu aku ingin menggunai ketika ini untuk memohon pengajaran dari kau --- pelajaran Ittjie Siankang yang Iiehay! Loosianseng tidak sungkan memberi pengajaran pada muridku, maka juga pastilah Loosianseng akan meluluskan permintaanku ini!"

Mendengar suaranya tuan rumah, Ouw Bong Hoe merasa tidak enak di hati. Memang ia merasa tidak pantas ia melukai orang dari tingkat lebih muda. walaupun itu sangat terpaksa.

"Kepandaianku kepandaian tidak berarti," ia menyahut merendah, "aku malu akan mendapat disebutnya itu sebagai kepandaian yang Iiehay. Yang tepat ialah Sioelo Imsat Kang dari kau sendiri, Kiauw Sianseng! Aku telah kesalahan melukai murid sianseng, baik nanti belakangan saja aku menghaturkan maafku, sekarang aku minta sianseng tidak buat kecil hati..."

Kiauw Pak Beng mengebut tangannya, untuk mencegah tetamunya bicara lebih jauh. Ia tertawa dan berkata: "Sianseng, kata-katamu ini membuat aku putus asa. Bukankah mencoba kepandaian ada hal yang umum? Apakah sianseng menganggap aku tidak pantas memohon pengajaran dari kau? Atau memangnya Ittjie Siankang dipakai istimewa untuk anak-anak muda?"

Hebat kata-kata itu untuk Ouw Bong Hoe. Jikalau iamenolak. ia bakal terhina. Ia menjadi dapat menyabarkan diri lagi. Ia pun, seumurnya, belum pernah tunduk kepada lain orang kecuali gurunya dan Thio Tan Hong. Maka ia menjawab: "Jikalau begitu. Kiauw Sianseng, baiklah, akan aku gunai ketika ini untuk belajar kenal dengan Sioelo Imsat Kang yang luar biasa dahsyat itu! Oleh karena tetamu tidak dapat mendahului tuan rumah, silakan sianseng yang mulai memberikan pelajaranmu!"

Kiauw Pak Beng tidak menyahut lagi, ia pun tidak mengangguk, hanya segera sebelah tangannya digeraki, untuk dipakai menepuk.

Ouw Bong Hoe heran. Ia tidak merasakan sambaran angin dingin. Hanya sedetik, lantas ia mengerti maksudnya Kiauw Pak Beng. Nyata tuan rumah tidak mau menggunai ketikanya untuk menyerang terlebih dulu. Lantaran orang berlaku sungkan, ia lantas bergerak. Lebih dulu tangan kirinya dibawa ke dada, untuk menjaga diri. menyusul itu tangan kanannya --- dengan jari tengah —-— menotok ke atas.

Kiauw Pak Beng tertawa.

"Ouw Sianseng, kau nyata tak mau ketinggalan!" katanya. Kali ini ia terus menyerang dengan sungguh-sungguh, maka juga, di situ lantas terdengar suara angin tinjunya yang hebat.

Thian Touw kaget. Ia tidak pernah menyangka Pak Beng demikian telengas. Ia pun tidak menduga Pak Beng liehay sekali dengan ilmunya yang istimewa itu, yang paling meminta tenaga dalam, tetapi sekarang dia dapat menggunainya sembarang waktu.

Selagi jago Thiansan ini terkejut, air mukanya Ouw Bong Hoe pun berubah sedikit. Akan tetapi ia mengangkat tangannya, ia menyentil dengan jari tengahnya untuk melawan serangan Pak Beng itu. Tepat ia mengenai tengah-tengahnya telapakan tangan jago she Kiauw itu, hingga terdengar suaranya.

Hampir berbareng kedua jago memisahkan diri masing-masing. Ouw Bong Hoe mundur hingga tiga tindak, tubuhnya menggigil. Kiauw Pak Beng terhuyung dua kali, dari mulutnya terdengar suara perlahan: "Aaah!..."

Hawa dingin dari Pak Beng tersalurkan ke dalam tubuh Ouw Bong Hoe dengan jalan jerijinya itu, menyerang uluhatinya, tetapi dengan tenaga dalamnya yang mahir, ia dapat mengusir pergi. Setelah itu, ia menjadi heran. Pernah ia mendengar dari Tjie Hiap halnya Pak Beng dikalahkan Tan Hong. ia menduga Pak Beng baru sampai di tingkat ke tujuh, jadi ia percaya, dengan sentilannya, ia pun bakal dapat kemenangan, atau sedikitnya ia tidak akan terkalahkan, tidak disangka-sangka, sekarang Pak Beng beda daripada sangkaan, bahkan tenaga dalamnya itu berdasarkan tenaga dalam yang lurus, beda daripada tenaga dalam kaum sesat. Mungkin inilah gabungan lurus dan sesat yang bakal menjadi sempurna.

Lantas terdengar Kiauw Pak Beng tertawa.

"Benar-benar Ittjie Siankang sangat liehay!" katanya. "Sekarang mari, aku si orang she Kiauw ingin minta pengajaran pula!"

Kata-kata itu di akhiri dengan serangan, yang bertambah dahsyat.

Ouw Bong Hoe ketahui baik sekali Kiauw Pak Beng hendak merobohkan dia atau kalau bisa, dia hendak dibikin binasa maka itu. ia bertekad untuk melawan, dan tetap dengan Ittjie Siankang. Lainnya kepandaian tidak dapat digunakan! Cuma ia memasang kuda-kudanya dengan "Tjian Kin Twie" atau "Jatuh seribu kati."

Kembali terdengar suara nyaring begitu lekas kedua pihak saling bentrok. Ouw Bong Hoe tidak kena terpukul mundur seperti semula, melainkan tubuhnya bergoyang beberapa kali, bajunya turut bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras.

Di lain pihak, Kiauw Pak Beng tidak dapat lantas merangsak pula.

Setelah bentrokan itu, yang hebat luar biasa, mukanya Ouw Bong Hoe nampak sedikit pucat, sebaliknya muka Kiauw Pak Beng seperti keturunan warna ungu muda dan peluhnya turun menetes dari dahinya!

Thian Touw menyaksikan dengan hati mereka berdenyutan, begitupun Le Kong Thian. Mereka sama-sama merasakan hebatnya pertempuran itu --- pertempuran mati atau hidup.

Sulit untuk mereka memisahkannya, andaikata mereka memikir demikian. Dari keduajago itu, salah satu mesti dihajar, baru mereka dapat sudah. Kong Thian pernah memikir demikian, tetapi di situ ada Thian Touw, diajeri. Bahkan dia sekarang berkuatir Thian Touw yang nanti turun tangan menghajar guru atau majikannya itu...

Memang, asal Thian Touw turun tangan, maka Kiauw Pak Beng bakal kena ditabas batang lehernya tanpa dia berdaya. Sebenarnya pernah berkelebat dalam otaknya jago Thiansan itu, untuk menyerang Pak Beng, guna segera mengakhiri pertandingan, tetapi di lain saat, ia berpikir pula: "Aku orang macam apa? Mana dapat aku berlaku demikian rendah membokong seorang yang lagi tidak berdaya?"

Lewat sekian lama maka terlihatlah pada jidatnya Ouw Bong Hoe tanda dari bangunnya otot-ototnya, yaitu warna biru gelap, sedang kedua tangannya ditekuk ke belakang. Itulah mirip tanda tak bertahan.

"Apakah aku mesti menonton saja Ouw Lootjianpwee terbinasa ditangannyaKiauw Pak Beng?" Thian Touw kata dalam hati kecilnya. Ia bersangsi, hingga merandak ketika ia sudah maju dua tindak dan tangannya telah meraba gagang pedangnya. Ketika itu Ouw Bong Hoe, dengan sinar mata tajam, pun mengawasi padanya, itulah tandajago tua itu tidak menghendaki bantuan untuknya. Ia berpikir keras sekali, sampai tiba-tiba ia sadar: "Benar! Ouw Loosianseng tidak ingin aku merusak nama baiknya!" Maka ia lantas berdiam terus.

Thian Touw tidak usah menanti lama akan menyaksikan perubahan yang menyusulnya.

Kiauw Pak Beng mengasi dengar siulan yang aneh sedang Ouw Bong Hoe bersuara "Hm!" menyusul mana tubuh mereka berdua bersama-sama mencelat tinggi!

Dua-dua Thian Touw dan Kong Thian terkejut, dua-duanya lantas lompat menyusul. Ketika Kong Thian sampai kepada gurunya, tubuh guru itu sudah turun ke tanah. Ia berniat memegangnya, untuk mempepayang. Tapi tubuh sang guru berputaran, ketika bajunya kena terpegang, baju itu berkibar keras, tak kuat murid ini mempertahankan diri, dia tertolak mundur hingga roboh!

"Lekas panggil adikmu!" terdengar suara keras dari Pak Beng.

Kong Thian bangun dengan muka bengap, tetapi ia girang, sebab pikirnya: "Rupanya luka soehoe tidak parah..." Maka ia lantas menurut perintah.

Ketika Thian Touw sampai kepada Ouw Bong Hoe, jago itu sudah berdiri dengan tegak, bahkan segera terdengar suaranya yang nyaring: "Kiauw Pak Beng, kita sudah saling belajar kenal! Apakah katamu?"

Mendengar suara itu, tenanglah hati Thian Touw.

Kiauw Pak Beng menutup kedua matanya ketika ia memerintahkan Kong Thian, mendengar pertanyaan Bong Hoe, ia membuka matanya, terus ia mengawasi lawannya itu. Ia ingin melihat atau mencari sesuatu pada tubuh lawan, karenanya ia tidak segera memberikan jawabannya.

Thian Touw sendiri lantas menjadi terperanjat. Ketika ia berpaling ke sisinya, ia tidak mendapatkan isterinya serta Kiam Hong, si nona yang semenjak tadi terlihat berdiri diam saja menonton pertempuran yang dahsyat itu. Tengah ia heran itu, mendadak ia mendengar teriakannya Kiauw Siauw Siauw: "Ayah! Ayah!"

Itulah teriakan dari ketakutan, yang disusul dengan munculnya si anak muda.

Untuk heran dan kagetnya semua orang, Kiauw Siauw Siauw muncul sambil berlari-lari dengan pakaiannya berlumuran darah, dan di belakang ia tampak Leng In Hong bersama Liong Kiam Hong lari mengejarnya!

Sebenarnya Siauw Siauw telah dapat beristirahat. Ia telah mendengar hal ayahnya bersama Hok Thian Touw merundingkan tentang ilmu silat, ia hanya tidak ketahui maksud yang dikandung ayahnya itu. Karena ini, ia memikir untuk menganjurkan ayahnya membinasakan saja In Hong semua. Untuk ini, ia pergi keluar. Ia baru sampai di luar pintu tatkala ia melihat ayahnya dan Ouw Bong Hoe lagi bertarung, sedang Thian Touw dan isterinya berdiri menonton. Ia menjadi jeri, lekas-lekas ia menyingkir dari depan pintu.

Kiauw Pak Beng dan Hok Thian Touw lagi bertarung, mereka berdua sama-sama tidak melihat Siauw Siauw mengintai, dan tidak mengetahui juga berlalunya In Hong dan Kiam Hong.

Nyonya Thian Touw sangat cerdik, di sampingnya menonton dan memperhatikan suaminya, matanya juga dipakai melirik kelilingan dan telinganya dipasang terang-terang. Begitu Siauw Siauw muncul, begitu ia mendapat lihat, dan ketika tuan rumah yang muda itu ngelepot seperti kepala kura-kura, ia menarik tangannya Kiam Hong, untuk diajak pergi. Ia telah memikir, cukup Thian Touw seorang menjagai Ouw Bong Hoe. Bahkan ia tertawa dalam hati melihat suaminya seperti tersengsam menonton pertarungan seru tetapi luar biasa itu.

Kong Thian semua juga memusatkan perhatiannya seperti Thian Touw, dari itu mereka tidak melihat ketika In Hong dan Kiam

Hong berlalu dengan diam-diam.

In Hong dan Kiam Hong menyusul Siauw Siauw. Pemuda itu kena dicandak, maka tanpa banyak omong lagi, mereka jadi bertempur. In Hong membiarkan ia dihantui Kiam Hong, sebab ia tidak mau mencontoh Thian Touw yang terlalu menghormati undang-undang kaum Kangouw. Menghadapi orang muda yang telengas itu. ia tidak sudi mengasi hati lagi.

Sekarang ini, setelah ia mencapai perpaduan ilmu pedangnya. In Hong menang jauh daripada Siauw Siauw, maka itu dibantui Kiam Hong, baru sepuluh jurus lebih, si pemuda sudah terlukakan beberapa tikaman. Untungnya bagi Siauw Siauw. nyonya dan nona itu telah termufakat untuk membekuk dia hidup-hidup, untuk dipakai sebagai alat penukaran guna mendapatkan Im Sioe Lan.

Kiauw Siauw Siauw cerdik, dia bisa menangkap maksudnya kedua lawan ini. Sebenarnya diajeri terhadap Ouw Bong Hoe dan Hok Thian Touw, tetapi saking terpaksa, dia lari juga keluar sambil berteriak-teriak, untuk minta tolong dari ayahnya.

Kong Thian kaget, dia lantas maju untuk menolongi majikan muda itu. Tepat ia datang dekat, tepat In Hong menikam majikannya. Ia lantas menggunai bonekanya guna menalangi menangkis.

In Hong liehay sekali. Ketika pedangnya bentrok dengan boneka sebab ia ditangkis itu, ia lantas menggunai ketika itu, ialah dengan pedang ia menekan boneka, terus tubuhnya berlompat tinggi melewati senjatanya si manusia raksasa. Hingga ia dapat menyusul pula si anak muda. Ia mau menikam jalan darah lengtay di punggung anak muda itu, untuk tetap dapat menawan hidup-hidup.

Kiauw Siauw Siauw mendapat ketika yang baik karena bantuannya Le Kong Thian itu. Ia pun tidak mau mandah kena dibinasakan musuhnya, ia hendak mencari balas. Ia lantas bersiap dengan kipasnya yang liehay itu, ia ingin menyerang dengan senjata rahasianya. Akan tetapi ia terlambat. Baru ia mengangkat tangannya setelah ia berkelit dari tikaman, belum lagi jeriji tangannya memencet alat rahasia pada kipasnya itu, lengannya sudah terbabat pedang In Hong. Sambil membabat itu, si nyonya berkelit. Maka juga senjata rahasia Siauw Siauw, yang toh terpencet juga, menyambar ke arah bonekanya Kong Thian.

Sebagai kesudahan dari tabasan In Hong itu, anaknya Kiauw Pak Beng menjerit keras sekali, tubuhnya terhuyung ke depan ayahnya itu dan roboh terbanting, akan tetapi ia masih sempat merangkul kaki orang tuanya itu, untuk mengasi dengar suaranya yang mempilukan: "Ayah, balaskanlah sakit hati anakmu!..."

Tatkala itu Tek Seng Siangdjin bersama-sama Law Tong Soen dan

Tonghong Hek beramai telah hadir di gelanggang pertempuran itu. Mereka telah mendengar hal pertandingan di antara Kiauw Pak Beng dan Ouw Bong Hoe, mereka ingin menonton. Justeru kebetulan sekali, mereka menyaksikan peristiwa tersebut.

Thian Touw terkejut, dalam hatinya ia kata: "Cade! Cade! Pedangnya In Hong membuat Kiauw Siauw Siauw menjadi bercacad! Mana Kiauw Pak Beng mau mengerti? Di sini mesti akan terjadi pertempuran mati dan hidup!..."

Di luar dugaan, setelah Pak Beng memandang anaknya, dia berlaku tenang.

"Kong Thian," kata dia pada muridnya, "kau dukung soetee-mu ini ke ruang belakang dan kau obati dan balut lukanya." Dia terus menoleh kepada seorang pegawainya untuk memberikan titahnya terlebih jauh: "Kau pergi ke dalam dan undang Nona Im keluar!"

Bukan melainkan Thian Touw yang heran tetapi juga Kong Thian. Sungguh itulah di luar dugaan! Maka murid merangkap koankee ini kata dalam hati-kecilnya: "Soehoe sudah berhasil mempelajari Sioelo Imsat Kang sampai di tingkat ke delapan, meskipun benar Ouw Bong Hoe liehay ilmunya Ittjie Siankang, agaknya dia bukanlah tandingan soehoe, kenapa sekarang tampaknya soehoe jeri terhadap mereka itu?"

Kiauw Pak Beng mempunyai Siauw Siauw sebagai anak satu-satunya, bahkan anak laki-laki, yang akan menyambung turunannya, sedang anak itu adalah anak mustika, yang disayang sama seperti jiwanya sendiri, sekarang Siauw Siauw ditabas kutung sebelah tangannya oleh Leng In Hong, kenapa dia tidak menjadi gusar? Maka juga pantaslah Thian Touw dan Kong Thian heran sekali.

Lantas terdengar Pak Beng berkata: "Di dalam satu pertempuran sukar dicegah seorang luput dari bahaya terlukakan, maka itu anakku, yang ilmu silatnya tidak mahir, terlukanya itu wajar dan karena itu, siapajuga tidak dapat dipersalahkan. Aku si orang tua telah berhari-hari dapat berunding ilmu dengan saudara Hok dan hari ini aku belajar kenal juga dengan Ittjie Siankang dari Tuan Ouw, kejadian ini ialah soal yang paling menggirangkan seumur hidupku, maka itu, dengan memandang kepada saudara Hok dan Tuan Ouw, sukalah aku membikin habis segala urusan yang sudah-sudah, dan Nona Im, silakan saudara Hok membawanya pulang. Jikalau kau bertemu Kimtoo Tjeetjoe, saudara Hok, tolong kau mewakilkan aku menyampaikan hormatku kepadanya."

Mendengar itu, Thian Touw girang bukan kepalang. Ia lantas memberi hormat.

"Nyata lootjianpwee mengerti segala apa!" katanya. "Terima kasih!" Tetapi In Hong kata dalam

hatinya: "Siapa bilang tua bangka ini mengerti segala apa? Terang-terang tua bangka ini memandang enteng kepada yang lemah dan sebaliknya takut pada yang kuat!"

Sementara itu si pegawai yang dititahkan Pak Beng tadi sudah muncul bersama-sama Im Sioe Lan, yang telah sangat tersiksa oleh Siauw Siauw, hingga dia tampak lemah sekali. Kiam Hong lantas menghampirkan, untuk mempepayang.

Sioe Lan membuka kedua matanya. Ia sangat lemah tetapi matanya itu bersinar tajam. Dengan cahaya sangat bermusuh, ia mengawasi Kiauw Pak Beng.

Pak Beng tertawa, ia kata sabar: "Nona Im, Siauw Siauw memperlakukan tidak baik terhadapmu, aku sangat menyesal. Bukankah kau sangat membenci dia? Bukankah barusan sambil lewat kau telah melihat anakku itu? Dia telah menerima ajaran dari Leng Liehiap, sebelah tangannya sudah ditabas kutung! Bukankah karenanya, penasaranmu telah dapat dilampiaskan?"

Biarnya jago ini bicara dengan tenang akan tetapi kata-katanya yang terakhir itu bernadakan kemurkaan yang tertahan.

Biar bagaimana, senang Thian Touw dengan kesudahan itu. Itulah hal yang ia minta pun tidak dapat. Karenanya iaberkuatir sekali, "kalau sang malam panjang, sang impian menjadi banyak." Maka lantas ia berkata: "Kami semua datang kemari untuk Nona lm, sekarang urusan sudah beres, aku yang muda memohon diri!"

Kiauw Pak Beng tertawa terbahak.

"Dengan kedatangan kau ini, saudara Hok, bukan sedikit kefaedahan yang diperolehku!" katanya. "Sampai kita bertemu pula!" Matanya lantas menyapu. Melihat Ouw Bong Hoe, yang ia awasi tajam, ia menambahkan: "Tuan Ouw, baik-baiklah kau merawat dirimu! Di jaman ini, orang-orang tua yang menjadi ahli silat sudah tinggal tak seberapa orang lagi! Bukankah itu harus disayangi?"

Mendengar perkataan jago itu, Thian Touw terkejut, lekas-lekas ia mengawasi Ouw Bong Hoe. Ia mendapat kenyataan Bong Hoe bersikap sebagaimana biasa, kecuali air mukanya mirip orang yang telah menenggak beberapa cawan air kata-kata, ialah bersemu dadu. Ia menganggap biasa siapa habis •bertempur hebat, hingga orang menjadi telah mengeluarkan banyak tenaga, kesegarannya tak segera pulih kembali. Tapi ia tetap heran. Kenapa Pak Beng mengatakan demikian? Pikirnya: "Kenapa terhadapku Pak Beng membilang sampai bertemu pula sebaliknya terhadap Ouw Bong Hoe, nada suaranya tak sedap? Itulah kata-kata yang beralamat jelek? Kenapakah?"

Ouw Bong Hoe dingin nadanya ketika ia menyahuti: "Kiauw Pak Beng. apakah kau merasakan apa-apa yang luar biasa pada nadimu? Kau juga harus baik-baik merawat dirimu!" Setelah itu ia memutar tubuhnya, untuk bertindak pergi.

Kembali Thian Touw menjadi heran, maka ia melirik Pak Beng. muka siapa ia dapatkan telah berubah sedikit. Meski demikian, tuan rumah yang kosen itu tertawa --- dengan suara tertawanya yang aneh --- dan berkata pula: "Ouw Bong Hoe. kau baik-baiklah jalan! Maafkan aku, tidak dapat aku mengantarkan kau!" Lantas ia mengibaskan tangannya dan memutar tubuhnya, untuk masuk ke dalam.

Thian Touw dan isterinya serta Tie Goan berdua lantas mengikuti Ouw Bong Hoe berlalu. Kiam Hong ada bersama Sioe Lan. Thian Touw terus memperhatikan jago tua itu. Setelah meninggalkan pintu rumah Pak Beng, mukanya Bong Hoe berubah menjadi suram, dengan membungkam, ia berjalan terus. Ia tetap heran, ia tidak mengerti.

In Hong lantas mendapat firasat buruk.

Kiam Hong dan Sioe Lan turut mendapat lihat roman luar biasa dari Bong Hoe, karena itu, meski mereka ingin omong banyak, mereka turut bungkam.

Sampai di kaki gunung, romannya Ouw Bong Hoe makin berubah.

"Mari kita beristirahat," kata In Hong. "Ouw Lootjianpwee. barusan kita mengandal lootjianpwee mengalahkan Kiauw Pak Beng, maka aku percaya, tidak nanti dia berani menyusul kita karena mana kitapun tak usahlah berjalan dengan tergesa-gesa..."

Nyonya Hok ini menyangka, sebab bertempur sangat hebat dan mengeluarkan tenaga terlalu banyak, Bong Hoe menjadi sangat letih dan ia perlu beristirahat. Tapi keadaan orang she Ouw itu beda daripada terkaan itu.

Ouw Bong Hoe mengangkat kepalanya, memandang ke atas gunung, habis itu dengan perlahan ia menyahuti: "Benar, aku benar harus beristirahat!" Lagu suaranya itu tawar sekali!

Hati In Hong terkesiap, ia kaget.

"In Hong, apakah kau mengira aku telah dapat mengalahkan Kiauw Pak Beng?" Ouw Bong Hoe tanya, perlahan.

"Aku menduga dia telah terhajar Ittjie Siankang dari lootjianpwee," si nyonya menjawab. "Jikalau tidak, kenapa dia tidak menjadi gusar meskipun aku telah membabat sebelah lengan anaknya? Benarkah dia dapat sudah saja?"

"Tidak salah," kata Bong Hoe, "tidak salah tadi dia telah terlukakan olehku, tetapi sebabnya kenapa ia suka berhenti sampai di sini itulah lantaran diajeri terhadap kamu suami isteri..."

In Hong melengak, begitupun Thian Touw.

"Lootjianpwee." kata si orang she Hok, "mana dapat kami menerima pujian lootjianpwee ini? Kami menempur dia sudah lima hari, buat omong terus terang, kami berdua benar-benar bukanlah tandingan dia!"

"Dia telah terluka, yang paling penting untuknya ialah mendapatkan tempo untuk menyalurkan napasnya, untuk mengobati diri sendiri," berkata Ouw Bong Hoe, "oleh karena itu, mana dia berani menempur pula kamu berdua? Sioelo Imsat Kang dari Kiauw Pak Beng demikian liehay, sungguh itulah di luarsangkaanku..."

Mendadak dia menjatuhkan diri berduduk di tanah, napasnya pun mulai sesak.

Orang semua terperanjat. Dalam ilmu dalam, di jaman itu, kecuali Thio Tan Hong. tidak ada lain orang lagi yang sanggup melawan jago she Ouw ini. Maka heran yang dia dapat tergempur Kiauw Pak Beng.

"Lootjianpwee," kata Thian Touw, yang hatinya menjadi kecil, "aku mempunyai teratai salju dari Thiansan..."

"Teratai itu simpanlah untuk kamu pakai sendiri," Ouw Bong Hoe memotong. "Aku tidak membutuhkan itu..."

Jago tua itu tertawa tetapi sedih tertawanya.

Thian Touw dan In Hong menduga orang telah terluka parah di bagian dalam, mereka hanya tidak menyangka luka itu demikian hebat hingga Ouw Bong Hoe mirip pelita yang telah kekeringan minyak, bahwa jiwanya segera bakal tak tertolong pula.

Ouw Bong Hoe menentang hebat Sioelo Imsat Kang dari Kiauw Pak Beng, selama itu hawa dingin telah menyerang masuk ke dalam tubuhnya, syukur untuknya, saking mahirnya tenaga dalamnya, dia masih dapat bertahan demikian lama. Ini sebabnya kenapa sampai sekian lama suami isteri itu tidak dapat melihatnya. Bahkan Kiauw Pak Beng sendiri tidak dapat membade lawannya itu terluka sampai di batas mana, karena mana, di samping jeri terhadap pada Thian Touw dan In Hong, dia jadi tidak berani menuntut balas untuk anaknya. Pak Beng terluka pada nadinya yang dinamakan Samim meh, luka itu jauh lebih enteng daripada luka lawannya, andaikata dia mesti menempur pula Thian Touw dan In Hong, ada kemungkinan dia dapat bertahan atau sedikitnya kedua pihak bakal terluka parah bersama. Di mana di sana ada rombongannya Tek Seng Siangdjin, apabila benar terjadi pertarungan mati hidup, mungkin sekali rombongan In Hong tak akan ada yang pulang hidup...

Hati In Hong menjadi kecil mendengar suaranya Ouw Bong Hoe, tetapi ia tidak lantas menjadi putus asa, ia malah berpikir keras, untuk mencari jalan guna menolongnya. Penolakannya Ouw Bong Hoe memakan soatlian atau teratai salju membuatnya menyangka Bong Hoe ingin bertahan dengan tenaga dalamnya. Ia mau membujuki ketika jago itu berkata pula dengan lemah: "Sang tempo sudah tidak banyak lagi, aku ada beberapa pesan untuk kamu, harap kamu suka lekas mengerj akannya."

"Silakan, lootjianpwee," kata Thian Touw dan In Hong bareng.

"Yang pertama yaitu kamu mesti lekas berangkat ke Tali untuk mengundang Thio Tan Hong," berkata Bong Hoe. "Sekarang ini tenaga dalam dari Kiauw Pak Beng sudah teryakinkan hingga dia berada di antara kelurusan dan kesesatan, jikalau dia diberi kesempatan menyampaikan tingkat ke sembilan, sekalipun Thio Tan Hoag belum tentu dapat menundukkan dia. Sekarang dia tengah memerlukan tempo untuk dapat menggabung sempurna kedua pelajaran lurus dan sesat itu, di dalam tempo satu tahun, Tan Hong dapat menang unggul daripadanya. Selewatnya satu tahun, sukarlah untuk dibilang..."

Thian Touw terkejut. Di dalam hatinya segera timbul pertanyaan: "Dari mana Kiauw Pak Beng mendapatkan pelajaran lurus itu?" Tengah ia terbengong, In Hong mengawasi ia dengan tajam. Hanya isteri ini pun tercengang seperti ianya.

Melainkan sinar mata sang isteri bagaikan menegur atau menyesali ia. Ia menjadi berkuatir, ia menjadi berduka. Ia menjadi bergelisah ketika ia lantas ingat: "Pastilah Kiauw Pak Beng memperoleh pelajaran lurus dari selama diajak berunding dengannya!..."

Matanya Ouw Bong Hoe digeser kepada Hok Thian Touw. Ia tidak mendapat tahu halnyajago Thiansan ini sudah ditantang berunding oleh Kiauw Pak Beng yang licin itu, maka itu, beda daripada In Hong, dia tidak menegur atau menyesalkan. Tapi Thian Touw sendiri bersengsara hati tidak kepalang, sinar matanya Bong Hoe tajam sebagai anak panah menusuk hatinya!

Ouw Bong Hoe tahu orang she Hok itu menyesal dan berduka, ia menduga orang menyesal dan berduka untuknya, maka dengan tawar ia kata: "Di kolong langit ini tidak ada perjamuan yang tidak bubar dan sekarang bukan saatnya untuk bersusah hati. Apakah yang hendak ditangisi. Sekarang soal yang kedua. Inilah mengenai diri kamu berdua suami isteri. Mari kamu dengari perkataanku!"

Hati Thian Touw bercekat. Hal yang mengenai diri mereka suami isteri? Maka dengan penuh perhatian ia memasang telinganya. Demikianpun In Hong.

Ouw Bong Hoe melanjuti berkata: "Kamu berdua jangan berdiam terus di gunung Thiansan! Kiauw Pak Beng telah terluka tetapi mengandal pada tenaga dalamnya paling lama dalam tempo satu bulan, dia akan sudah sembuh dan pulih kesehatannya seperti sediakala. Menurut nada suaranya tadi. dia pastilah tidak sudi melepaskan kamu berdua, sesudah sembuh, tentu dia akan pergi mencari kamu! Maka itu paling benar kamu segera pergi ke Tali, untuk mengundang Thio Tan Hong, atau kamu menyingkir ke lain tempat!"

Thian Touw mengasi dengar ejekan: "Hm!" Ia mendongkol sekali yang ia sudah terpedayakan Pak Beng, hingga selagi berunding, ilmu tenaga dalamnya sudah tercuri oleh jago Sioelo Imsat Kang yang licik itu.

"Dia tidak mau melepaskan aku, aku juga tidak mau melepaskan dia!" ia kata sengit.

"Bagus, kau bersemangat!" Ouw Bong Hoe memuji. "Di kalangan muda, kaulah orang satu-satunya yang nomor satu! Aku percaya di belakang hari, ilmu silatmu bakal berada di atasan Kiauw Pak Beng, cuma sekarang belum tiba saatnya untuk kau menempur dia! Kau harus menyayangi diri, kamu harus tetap hidup untuk nanti kamu membalaskan sakit hatiku ini!"

Thian Touw kaget dan bingung.

"Lootjianpwee, kau kenapa?" ia bertanya.

Bong Hoe menyahuti perlahan: "Sebenarnya aku memikir untuk pulang ke rumah untuk berbicara dengan isteriku. untuk berpisahan. tetapi sekarang aku anggap tak usahlah aku memikir banyak-banyak, supaya kedua pihak tak usah bersusah hati lagi. Ada kamu yang bakal mewakilkan aku menyampaikan kabar, itu pun sama saja. Aku asal bangsa Kazakh. maka menurut aturan bangsaku, setelah seorang menutup mata, mayatnya lantas dibakar menjadi abu, untuk mana tak usah orang menyiapkan ini dan itu. Upacara kematian bangsaku jauh lebih hemat daripada upacara kamu bangsa Han. Setelah kamu membakar mayatku, lantas abunya tolong kamu bawa pulang buat diserahkan pada isteriku, sedang kepada isteriku itu kamu membilangi supaya dia lekas pergi ke tempat yang kedua. Kiauw Pak Beng keras hati dan telengas, aku kuatir apabila dia menerima kabar dari kematianku, dia nanti timbul ingatannya untuk membakar rumput sekalian membongkar akarnya! Artinya, mungkin dia bakal menurunkan tangan jahat atas diri isteriku! Kamu mengirim seorang yang pandai bicara untuk membujukinya, dan kamu membujuki sesudah datangnya Thio Tan Hong baru ia mewujudkan pembalasannya!"

Orang semua merasakan firasat tidak enak. Siapa tahu Ouw Bong Hoe lantas dengan getas membicarakan soal kematiannya. Inilah hebat, hati mereka menjadi mencelos.

ln Hong maju mendekati, untuk mengangkat bangun jago tua itu.

Ouw Bong Hoe berdiam saja ia bersenyum sedih, lantas kedua matanya dirapatkan. Sebab seketika itu juga berhentilah napasnya.

Sebenarnya Ouw Bong Hoe masih dapat bertahan beberapa hari, tetapi itu berarti penderitaannya bertambah tiap hari, maka juga ia mengambil putusan baiklah ia mati lantas, maka itu diam-diam, dengan sisa tenaga yang masih berada di dalam dirinya, ia memutuskan nadinya sendiri. Inilah sebabnya, di saat terakhir itu ia masih bisa berlaku tenang, tak miripnya orang yang mau putus jiwa...

Thian Touw tidak percaya orang sudah berhenti bernapas, ia memegang tangannya, hingga ia merasa nadi sudah tidak bekerja pula dan tangan itu terasa mulai dingin. Ia jadi demikian berduka hingga ia berdiri menjublak saja kedua tangannya memondong tubuh jago tua itu. Matanya menjadi merah tetapi air matanya tidak mengucur keluar!

In Hong mengalirkan air mata deras.

"Sekarang ini menyesal pun sudah kasip..." katanya perlahan. "Aku harap kau janganlah mensia-siakan pesan Ouw Lootjianpwee ini."

Thian Touw mencabut pedangnya, dengan itu ia menabas sebuah pohon ditepi jalan, terus ia kata dengan suara dalam: "Ouw Lootjianpwee, kau berangkatlah dengan tenang! Kami pasti akan menuntut balas untukmu!"

Baru sekarang, habis mengucapkan sumpahnya itu, dia dapat menangis menggerung-gerung!

Lega hati In Hong mendapatkan suaminya bisa menangis. Ia kata dalam hatinya: "Syukur dia dapat menangis... Setelah memperoleh pelajaran ini, mungkin dia bakal merubah tabiatnya... Hanya jangan-jangan harga yang dia bakal minta akan jadi terlalu besar!..."


In Hong berduka berbareng merasa lega. Tanpa merasa ia mencekal tangan suaminya, yang sebaliknya pun mencekal ianya. Sejak keretakan di antara mereka baru sekarang ia merasa bahwa ia berada dekat sekali dengan suaminya ini...

"Benar, sekarang bukan lagi waktunya berduka," berkata Tie Goan akhirnya. "Mari lekas kita bekerja menurut pesan Ouw Lootjianpwee, untuk mengurus jenazahnya."

Orang suka mendengar kata-kata itu. maka itu. sembari menangis mereka mengumpulkan kayu, untuk terus membakar tubuh Ouw Bong Hoe, untuk kemudian, sesudah selesai, abunya dibungkus dengan rapi.

"Biarlah tugas ini diserahkan padaku." berkata Tie Goan kemudian.

Sebagai ketua muda dari Partai Pengemis, Tie Goan seimbang umur dan derajatnya dengan Ouw Bong Hoe suami dan isteri, iapun sahabat dari suami isteri itu. maka itu dialah orang yang paling tepat untuk mengantarkan abu Bong Hoe kepada Nyonya Ouw yaitu Kimkauw Siantjoe Lim Sian In.

"Thian Touw," In Hong berkata pada suaminya, "mari kita berdua pergi ke Tali untuk mengundang Thio Tayhiap."

Thian Touw paling sungkan terlibat urusan dunia Kangouw akan tetapi sekarang ia telah terlibat juga, maka sekalipun ia ingin menyingkir, tak dapat ia menyingkirkan diri, dari itu tanpa menjawab isterinya, ia mengangguk. Cuma di dalam hatinya ia kata: "Aku telah terjebak Kiauw Pak Beng, maka tak dapat aku menghindarkan diri dari tugas menuntut balas untuk Ouw Lootjianpwee! Hanya, setelah terlibat ini, sampai kapan aku dapat memperoleh pula ketenanganku untuk aku melanjuti cita-citaku memahamkan ilmu pedangku?..."

Oleh karena memikir demikian, jago Thiansan ini menyesal juga yang ia telah mengikuti isterinya mendaki Koenloen San hingga mereka jadi bermusuh dengan Kiauw Pak Beng.

Ketika itu, Tjioe Tjie Hiap berkata pada Im Sioe Lan: "Nona Im, sangat besar budimu terhadap kami, budi itu belum dapat kami balas, karenanya hati ayahku menjadi tidak tenteram. Maka itu aku minta dengan sangat sukalah kau datang pula ke gunung kami."

Selagi bicara itu, Tjie Hiap rada likat, sebab ia tahu. dengan meminta Sioe Lan datang ke gunungnya, sebenarnya ayah dan ibunya ingin sangat merangkapkan jodoh si nona dengan jodohnya sendiri.

Sioe Lan seorang yang cerdik, melihat sikap si pemuda, ia dapat menduga beberapa bagian. Maka berpikirlah ia: "Kimtoo Tjeetjoe berlaku sangat baik padaku, kebaikannya itu membuatnya aku bersyukur, dan sekarang untuk menolongj aku, dia telah bekerja keras, maka itu, dapat atau tidak aku menerima baik cita-citanya itu, yang penting ialah aku mesti pergi menemui mereka, untuk menghaturkan terima kasihku. Hanya, kalau aku tiba di gunung dan aku bertemu Giok Houw, bagaimanakah?"

Selagi memikir demikian, si nona kembali mendengar perkataannya Tj ie Hiap: "Setelah nona meninggalkan gunung kami, semua orang sangat memikirkan kau. Saudara Ban Thian Peng bersama aku sudah lantas turun gunung, kita pergi ke Selatan, untuk mencari. Juga saudara Thio, sesudah sakitnya sembuh, ia bakal berangkat mencari kau, maka itu, mungkin ia sekarang sudah tidak berada di gunung."

Mendengar itu, tertarik hatinya Sioe Lan. Maka ia lantas mengambil keputusannya.

Tjie Hiap belum pernah bergaul erat dengan bangsa nona-nona dari itu berdiri di depan Sioe Lan, hatinya tidak tenteram, ia likat sendirinya.

Nona Im melihat muka orang, ia dapat menduga lebih jauh.

"Tjioe Tjeetjoe baik sekali terhadap aku. aku sangat bersyukur," ia kata sedikitpun tidak likat, "maka itu, aku sebenarnya ingin sekali tidak mendatangkan kesulitan apa-apa kepada pihakmu."

Kata-kata si nona membuatnya si pemuda bingung.

"Nona... Nona Im..." katanya, tak lancar, "nona membilang apa? Justeru nona yang telah melepas budi besar terhadap kami hingga kami tidak ketahui bagaimana harus membalasnya. Dengan mengatakan demikian, apakah nona bukannya memandang asing kepada kami?"

"Jangan gelisah!" Kiam Hong campur bicara, sembari tertawa ia pandang si anak muda. "Kau dengari, Nona Im masih ada kata-katanya terlebih jauh!"

Tjie Hiap melirik Nona Im, benarlah ia mendapatkan bibir orang bergerak. Jadi nona itu berhenti bicara karena ia memotong barusan. Sendirinya mukanya menjadi bersemu dadu.

"Aku telah terjatuh ke dalam sarang hantu tetapi aku telah ditolongi kamu," benar-benar Sioe Lan melanjuti omongannya, "maka itu budi kamu yang besar itu, entah sampai kapan aku dapat membalasnya. Aku bersyukur kepada Tjioe Tjeetjoe yang dalam kerepotannya masih dapat memikirkan aku, karenanya aku harus pergi ke gunung untuk menghaturkan terima kasih."

Mendengar suara yang terakhir ini, lega hati Tjie Hiap.

"Sebenarnya terhadap kongtjoe, aku juga belum menghaturkan terima kasihku," Sioe Lan berkata pula. "Ketika itu..."

Tjie Hiap memotong: "Urusan yang sudah lewat buat apa disebut-sebut pula?"

Sioe Lan bersenyum.

"Jadi benar-benar kamu tidak menyesalkan aku?" tanyanya.

"Kau dan ibumu telah membantu banyak pada kami, kamu telah menolongi jiwa ayahku," kata Tjie Hiap, "untuk itu kami bersyukur tidak habisnya!"

Kembali Sioe Lan bersenyum.

Demikian mereka berbicara. Karena sikap Sioe Lan yang polos, lama-lama Tjie Hiap menjadi hilang likatnya. Kiam Hong, dapat melihat itu, ia girang. Tapi masih ada sedikit kesangsiannya terhadap Sioe Lan, maka ia pikir: "Apakah benar-benar dia dapat begini cepat melupai Giok Houw?"

Mereka berjalan terus. Cepat mereka berjalan, sebab di antara mereka tidak terjadi sesuatu yang menghalang-halanginya. Lewat setengah bulan, tiba sudah mereka di gunung, dalam benteng Kimtoo Tjee.

San Bin dan isterinya mendapat kabar pulangnya rombongan itu, mereka girang sekali, dengan lantas mereka pergi keluar untuk menyambut. Tjoei Hong yang polos, begitu dia melihat Sioe Lan. tak dapat dia menyembunyikan kegirangannya. Dia lantas cekal keras tangan Nona Im seraya berkata: "Oh, anakku yang baik, akhir-akhirnya kau kembali! Kali ini aku larang kau pergi pula! Jikalau kau tidak buat celaan, kau anggaplah rumahku ini sebagai rumahmu sendiri! Tjie Hiap, kau mesti mewakilkan ibumu melayani baik-baik pada Nona Im!"

"Terima kasih, peebo," berkata Sioe Lan. "Sebenarnya, selang dua hari, aku ingin turun gunung dulu..."

Tjoei Hong heran hingga ia mementang lebar matanya.

"Apa? Kembali kau hendak pergi?" tanyanya. "Tjie Hiap, apakah kau berbuat salah terhadap Nona Im?"

Sioe Lan tertawa, ia mendahului si anak muda menyahut.

"Selama di sepanjang jalan Tjioe Toako perlakukan aku baik sekali," bilangnya, "bahkan toako membilangi aku bahwa di sini hendak dibangun pasukan wanita, hingga aku ingat warisan agama Tjit Im Kauw dari marhum ibuku. Pasukan wanita yang menjadi murid-murid atau pengikutnya ibuku itu, sampai sekarang ini masih berkumpul di rumah Keluarga Tang di Himdjie San dan mereka itu masih belum ketahui yang Kauwtjoe mereka sudah meninggal dunia. Ibuku memang telah memesan aku agar aku terus melanjuti usahanya memupuk Tjit Im Kauw."

Mendengar demikian, Tjoei Hong berpikir.

"Jadi kau berniat menggantikan menjadi Kauwtjoe?" ia tanya.

"Tidak, aku tidak memikir untuk menjadi Kauwtjoe," Sioe Lan menerangkan, "hanya mereka itu harus diurus dan dipernahkan, supaya mereka jangan bubar dan nanti membahayakan chalayak ramai. Kebanyakan dari mereka ialah anak-anak perempuan yang sudah tidak punya rumah tangga lagi. Ingin aku bicara dengan mereka itu. Siapa yang masih mempunyai rumah atau sanak yang dapat ditumpangi, atau siapa yang berniat berusaha sendiri, akan aku berikan kemerdekaan kepada mereka. Siapa tidak punya sanak atau andalan, yang suka turut aku, ingin aku ajak datang kemari, hanya untuk itu lebih dulu aku harus mendapat persetujuan peehoe dan peebo."

"Oh, begitu? Aku tadinya . menyangka kau hendak meninggalkan kami. Kami memang membutuhkan pasukan wanita, maksudmu baik sekali. Sekarang kau beristirahat dulu sedikitnya dua hari, nanti aku menyuruh Tjie Hiap, dan dua tauwbak menemani kau pergi mengurus tenteramu itu."

Malam itu diadakan perjamuan, walaupun orang berduka untuk kematiannya Ouw Bong Hoe. Habis berjamu, Tjoei Hong ajak Sioe Lan memasang omong di dalam kamar. Kiam Hong serta In Hong dan Thian Touw pun diantar ke masing-masing kamarnya.

Otak Kiam Hong penuh dengan pelbagai pikiran selagi ia melewati kamar di mana Giok Houw pernah dirawat. Ia berpikir: "Untuk Sioe Lan sudah ada kepastiannya. Semoga dia dapat hidup berbahagia dengan Tjie Hiap. Hanyalah engko Giok, entah dia pergi dan berada di mana sekarang..."

Selagi Nona Liong berpikir itu, mendadak ia mendengar suaranya Sioe Lan: "Entjie Liong!" Dan lantas Nona Im menghampirkannya. Ia heran, tetapi ia tertawa dan tanya: "Aku lihat Tjioe peebo seperti hendak bicara banyak dengan kau, kenapa begini lekas kau sudah keluar lagi?"

Sioe Lan bersenyum. Ia kata: "Orang memikirkan kau, kau justeru menggodai orang! Eh, entjie Liong, habis ini kau berniat pergi ke mana?"

"Aku belum mengambil keputusan," Kiam Hong menjawab. "Mungkin aku akan turut Entjie In Hong dan Hok Toako pergi ke Tali atau Tanghay mencari entjie Sin Tjoe."

"Aku pikir lebih baik entjie pergi pada entjie Sin Tjoe," Sioe Lan mengasi pikiran. "Aku dengar dari Tjioe Peeboe, begitu dia sembuh, Thio Giok Houw lantas turun gunung, maksudnya mencari kau, atau mungkin sekali dia pergi kepada kakak seperguruannya itu." Ia berhenti sejenak, baru ia menambahkan: "Entjie Liong, kau kejam! Itu hari sebelum Giok Houw sembuh, tanpa bicara apa-apa dengannya, kau lantas turun gunung dengan diam-diam! 1 ahukah kau bagaimana dia menjadi bergelisah karenanya?"

Mukanya Kiam Hong menjadi merah.

"Baru saja kau mengatakan aku menggodamu, sekarang kaulah yang menggodai aku!" katanya.

"Sedikitpun aku tidak menggodai kau, entjie!" berkata Sioe Lan sungguh-sungguh. "Dua hari lamanya aku merawati Giok Houw sakit, selagi dia tidur aku mendengar dengan telingaku sendiri dia saban-saban menyebut-nyebut entjie, sedikitnya beberapa puluh kali!"

Mendengar itu, hati Kiam Hong tergerak. Ia berdiam.

"Dia sangat menyintai kau, entjie, untuk itu tidak ada lain orang yang dapat menggantikanmu." kata pula Sioe Lan, "maka itu baiklah kau lekas-lekas menemui padanya. Tjie Hiap pun mengharap-harap agar kamu berdua lekas kembali untuk bertemu pula dengan kami di sini! Ya, lebih lekas lebih baik!"

Sengaja Sioe Lan menyebut-nyebut Tjie Hiap dan "kami" itu.

Hati Kiam Hong lantas saja terbuka. Setelah beberapa bulan awan bergumpal, maka di detik ini, langit menjadi cerah. Katanya dalam hati: "Benar-benar Sioe Lan menyukai Tjie

Hiap!" Karena ini, selagi mulanya ia berniat menggodai nona itu, ia lantas membatalkannya. Sebaliknya, ia ingat Giok Houw.

"Malam ini baiklah entjie beristirahat siang-siang," Sioe Lan berkata pula, "supaya besok entjie dapat berangkat pagi-pagi!"

Kiam Hong tertawa.

"Kau seperti juga sudah mewakilkan Tjioe Peeboe menjadi nyonya rumah!" katanya. "Jadi sekarang kau hendak mengusir aku?"

Nona Im pun tertawa.

"Bukannya aku mengusir kau, entjie!" sahutnya. "Adalah Thio Giok Houw yang memaksa kau lekas pergi!" Dan lantas dia berangkat.

Senang Kiam Hong dapat mengantarkan si nona pergi. Di dalam hatinya, ia kata: "Kesudahan ini baik sekali! Dia menjadi ada ketentuannya dan aku pun boleh tak usah berpisah lagi dari engko Houw!..."

Akan tetapi Nona Liong ini tidak ketahui, setelah melengos, air mata Sioe Lan lantas mengembeng dan tak dapat terbendung mengalir keluarnya. Sebab dia berbuat demikian tadi dengan sengaja, buat guna ianya, dengan paksakan diri mau dia bersikap manis terhadap Tjie Hiap...

Besoknya pagi, Hok Thian Touw dan Leng In Hong meminta diri dari San Bin sekalian, untuk mereka berangkat, sedang Kiam Hong mengutarakan niatnya pergi ke Tanghay, laut Timur, untuk mengunjungi Ie Sin Tjoe.

Tjio Tjoei Hong tertawa dan berkata: "Sebenarnya aku ingin menahan kau untuk beberapa hari lagi, akan tetapi aku lebih mengharap kau dan Thio Giok Houw kembali siang-siang, untuk menjenguk kami! Maka baiklah, kau boleh pergi!"

Kiam Hong likat tetapi hatinya girang. Ia pula berangkat bukan seorang diri, ia berkawan dengan Lioe Tek Tjhong dan Tjhio Peng Kin, kerua dan ketua muda dari benteng Thayouw Tjee.

Waktu jago tua ini datang membantui San Bin ketika dilakukan perampasan pelbagai bingkisan untuk kota raja, lantaran San Bin terluka, mereka terus berdiam di atas gunung, sekarang setelah San Bin sembuh dan gunung aman, mereka mau berangkat pulang. Maka itu, San Bin menganjurkan Nona Liong berangkat bersama mereka Mulai dari Thiantjin, mereka akan naik perahu untuk berlayar di laut.

Kiam Hong membawa dua budaknya, Tjoen Tho dan Hee Hoo. Mereka itu untuk sekian lama dititipkan di atas gunung. Dua yang lain, yaitu Tjioe Kiok dan Tong Bwee, diserahkan kepada Sioe Lan.

Thian Touw dan nyonya mau pergi ke Tali. Ada dua jalan yang mereka dapat ambil. Yang pertama ialah dari Barat daya lewat Siamsay memasuki Soetjoan terus ke Inlam, dan yang lainnya dari Tenggara mengikuti pesisir melewati Hokkian mutar ke Kwietang dan Kwiesay, baru dari Koeitjioe tiba di Inlam. Kedua jalan itu membutuhkan tempo yang tak beda jauh selisihnya. Tapi In Hong tak dapat segera berpisah dari Kiam Hong, dari itu ia suka menemani si nona. untuk setibanya di Thiantjin barulah mereka berpisahan. Di sana Kiam Hong naik perahu besar dari Lioe Tek Tjhong memasuki lautan, sedang In Hong dan suaminya menyewa perahu lain menuju ke selat Hangtjioe.

In Hong dengan Sin Tjoe sangat erat perhubungannya, sebenarnya In Hong ingin turut Kiam Hong pergi menemui sabahat karib itu, apamau ia terhalang oleh suaminya. Thian Touw tidak setuju. Sebabnya ialah suami ini ingin lekas-lekas membereskan tugas menuntut balas untuk Ouw Bong Hoe, supaya mereka bisa lekas pulang, guna memulai lagi peryakinan ilmu pedang mereka yang belum sempurna itu. Jadi Thian Touw tidak ingin berayal-ayalan di tengah jalan.

Pada suatu hari tibalah suami isteri itu di kota Hangtjioe. In Hong lantas ingat Sin Tjoe. Di sini dahulu hari mereka berdiam bersama sekian lama. Ia bicarakan halnya itu dengan suaminya.

"Kau selalu ingat lelakonmu selama perantauan dulu hari itu," kata Thian Touw bersenyum duka "Kalau begini maka ada kemungkinan setelah selesai pembalasan sakit hati Lootjianpwee Ouw Bong Hoe, kau nanti tak dapat berdiam tenang di atas gunung meyakinkan ilmu pedang kita..."

In Hong mengerutkan alis. Itulah perbedaan faham di antara mereka. Itulah bibit yang dapat menyebabkan bentrokan mereka. Tapi ia ingat bahwa baru saja ia akur pula dengan suaminya itu --- baru selang beberapa hari. Maka ia ingin agar tidak terjadi bentrokan pula. Terpaksa ia mengiringi kehendak suaminya.

Lantas suami isteri ini pergi ke restoran Lauwgwa Lauw di tepinya telaga Seeouw. Mereka berdahagadan lapar. Begitu mereka naik di lauwteng, mereka menjadi heran.

Ini yang yang dibilang: "Pohon itu hendak berdiam tenang tetapi sang angin tak berhenti meniupnya."

Rumah makan yang besar itu kosong dari tetamu! Sedang rumah makan itu sangat kesohor untuk kota Hangtjioe, pernahnya di tepi telaga, di kaki gunung Kosan --- ialah di tempat dengan pemandangan alam yang indah. Biasanya restoran itu penuh dengan tetamu, hingga sukar untuk memilih tempat yang mencocoki hati. Siapa sangka hari ini, sunyi senyap keadaannya. Baru sekarang mereka pun sadar bahwa tadi, selama di tepi telaga dan di luar restoran, suasana pun sepi, orang-orang yang berlalu lintas hanya beberapa gelintir.

Selagi suami isteri ini keheranan dan memandang sekitarnya, maka mereka bentrok dengan sesuatu pada tembok. Kebetulan mereka mengangkat kepala mereka, lantas pada tembok itu nampak nancap berbaris banyak senjata rahasia yang dinamakan biji teratai besi, yaitu thielian tjie. Pastilah itu buah pekerjaan seorang ahli silat.

Seorang pelayan yang menampak tetamu-tetamunya merasa aneh, lantas menghampirkan.

"Apakah djiewie asal orang lain kota?" ia bertanya. "Djiewie menghendaki barang santapan apa?"

In Hong memesan ikan gabus dan ayam tim serta beberapa masakan lainnya, yang tersohor untuk kota Hangtjioe, kemudian sembari tertawa ia tanya pelayan itu: "Apakah hari ini ada suatu hari pantangan? Kenapa aku tidak melihat lain-lainnya tetamu yang pesiar kemari? Kenapa rumah makanmu begini sepi?"

"Bukan, bukan hari pantangan, nyonya!" sahutnya lekas, bibirnya dijebikan. "Tetamu sendiri yang tidak mau datang kemari, apakah kami dapat bikin?"

"Itu tembok yang putih bersih, kenapa itu dibikin jadi tidak keruan?" In Hong tanya pula. "Barang apakah itu yang bergerumutan seperti sarang lebah? Apakah itu semacam barang periasan rumah yang istimewa untuk Hangtjioe ini?"

Sengaja ia berpura-pura tak kenal thielian tjie, untuk memancing si pelayan suka membuka mulut.

Agaknya pelayan itu mendeluh, ketika ia menyahuti, suaranya keras.

"Siapa kesudian barang perhiasan semacam itu?" demikian jawabnya. "Hm! Hm! Sungguh sial! Tembok kami ini baru saja tiga hari yang berselang disapu kapur!"

"Sebenarnya apakah telah terjadi?" In Hong menegasi.

Pelayan itu melihat kelilingan, lantas ia menggeleng kepala.

"Ah, kejadian ini..." katanya, menghela napas. "Nyonya, lebih baik kau tidak usah menanyakannya..."

In Hong cerdik, ia lantas mengeluarkan sepotong perak seharga sepuluh tahil.

"Beginilah tabiatku," katanya. "Jikalau ada suatu kejadian, yang aku tidak ketahui jelas, sebelum mengarti jelas, tak puas hatiku. Kau ambil uang ini, untuk segala pembayaranku, kelebihannya kau boleh ambil semua untuk kau sendiri!"

Mulanya si pelayan heran, lantas •dia menjadi girang. Untuknya, uang sepuluh tahil perak cukup buat biaya serumah-tangganya selama sebulan. Keluarganya cuma terdiri dari tiga jiwa. Sembari menyimpan uang itu, ia melihat lagi ke sekitarnya.

"Di sini tidak ada lain orang, baiklah, aku nanti memberikan keteranganku," kemudian katanya perlahan. "Ah, tahun ini benar tahun tak bagus untuk kami. Kemarin dulu, kita kedatangan banyak tetamu, suasana ramai sekali. Di jendela timur sana berduduk seorang muda, dia kuat makannya, dia sampai minta tambah lagi ayam tim dan arak. Tengah dia bersantap seorang diri, tiba-tiba datang serombongan orang polisi, terus dia dituding, dituduh menjadi perampok besar, lantas dia diserang kalang kabutan dengan piauw dan panah tangan. Seorang polisi, yang liehay, telah menyerang dia dengan seraup entah benda apa. Jarak di antara mereka berdua terhalang beberapa buah meja. Itulah barang-barang sebesar kacang kedele, yang nancap di tembok. Itulah barangnya!"

Dia menunjuk kepada "perhiasan" di tembok itu.

In Hong menunjuki roman kaget, ia berseru.

"Apakah anak muda itu kena terserang?" ia tanya, gelisah.

"Anak muda itu sendiri tidak, adalah beberapa tetamu kami yang kesalahan terhajar luka."

"Kalau begitu, benarlah kata-kata, kalau pintu kota kebakaran, pengempang ikan turut nampak bencana," kata In Hong pula. "Eh, mari, mari duduk. Coba kau omong lebih jauh, kemudian bagaimana?"

Pelayan itu gembira berceritera, tanpa sungkan lagi. ia duduk di kursi, bahkan ia menghirup air teh guna membasahkan kerongkongannya.

"Memang!" katanya. "Setelah polisi mengacau, perusahaan kami ini mandek. Kerusakan tembok itu urusan kecil, tidak demikian dengan dua tetamu, yang terluka parah, ialah yang satu buntung sebelah tangannya, yang satu lagi melowak dadanya hingga katanya malam itu juga, sebelum tiba di rumahnya, dia telah putus jiwanya! Seorang tetamu lagi lebih menyedihkan, ialah kedua matanya terhajar itu biji-biji seperti kacang kedele hingga menjadi buta! Setelah kerusuhan itu, yang meminta kurban-kurban jiwa dan luka hebat itu, mana ada lagi tetamu yang kesudian pesiar kemari? Sudah begitu, pembesar negeri pun melarang kita berhenti berusaha! Coba pikir, celaka atau tidak?"

In Hong tertawa melihat caranya orang bicara.

"Kau masih belum omong hal pokoknya kejadian!" ia kata. "Anak muda itu tidak terluka, rupanya dia dapat menyingkirkan diri. bukan?"

"Anak muda itu liehay!" menjawab si pelayan. "Dengan bacokan-bacokan goloknya, bergantian ia melukakan dua orang polisi! Ah, lupa aku memberitahukan kau! Anak muda itu rada sesat! Ketika ia baru datang, lantaran makannya kuat itu, aku menjadi menaruh perhatian terhadapnya, aku tidak melihat dia membawa senjata tajam, akan tetapi semunculnya orang-orang polisi, lantas tangannya mencekal golok! Itu mirip sulapan! Dan goloknya, mungkin mustika! Dengan dua kali bacokan ia melukakan dua orang polisi, ia sekalian membacok kutung thietjio dari kedua orang polisi itu! Lalu datanglah seorang polisi tua, yang menimpuk padanya! la lantas berlompat berkelit, cepatnya melebihkan peluru, ketika goloknya berkelebat, putuslah jeruji jendela berukiran! Lihat, sampai sekarang jendela itu belum dibikin betul! Dari jendela itu ia menyingkirkan diri, bagaikan panah ia melesat ke telaga! Orang polisi tua itu juga bukan sembarang orang, ketika tangannya menyamber, dia berhasil menyamber sebelah sepatunya si anak muda!"

Dalam hatinya In Hong segera berkelebat pikiran: "Bukankah dia Thio Giok Houw? Goloknya Giok Houw, golok Biantoo, memang dapat diiibat di pinggang seperti sabuk, pantas pelayan ini tidak melihatnya." Makin memikir, ia makin menduga pasti, maka ia tanya: "Berapa kira usianya anak muda itu? Tahukah kau bagaimana romannya dia?"

"Paling banyak dia baru berusia dua puluh tahun," sahut pelayan itu. "Dia tampan sekali, tidak mirip-miripnya dia dengan orang jahat. Sesudah kejadian itu aku mendengar orang polisi mengatakan, dia... dia..." Mendadak ia pertahankan suaranya: "Suka aku memberitahukan, asal kamu jangan membocorkan... Orang polisi itu bersanak dengan majikanku, menurut dia, anak muda itu sebawahannya Yap Tjeetjoe. Tahukah kau Yap Tjeetjoe dari Tanghay Capsha Too?"

Yap Seng Lim berkedudukan di tiga belas kepulauan laut Tanghay di mana ia menentang kawanan perompak, penduduk wanita dan anak-anak semua mengenalnya, maka itu tak usah In Hong berpura-pura tak tahu. Maka ia mengangguk.

"Katanya ada seorang tauwbak dari Yap Tjeetjoe ditahan di kantor polisi." si pelayan melanjuti keterangannya, "dan pemuda itu, katanya, datang untuk menolongi tauwbak itu, hanyalah di luar dugaan dia, begitu dia memasuki kota, dia lantas dikenali dan dikuntit. Dasar kami yang sial dia bukannya pergi ke lain restoran, diajusteru minum makan di sini. Tentang namanya pemuda itu, orang polisi tersebut tidak mau menyebutkannya, hanya dia bilang, kedudukannya dia itu tak kalah dengan kedudukannya Yap Tjeetjoe sendiri!"

"Pastilah dia Thio Giok Houw!" kata In Hong dalam hatinya. "Dia mempunyai golok wasiat, dia pun pandai berenang, tepatlah keterangannya pelayan ini. Hanyalah entah siapa tauwbak yang tertawan itu, yang hendak ditolongi. Kota Hangtjioe mempunyai orang polisi demikian liehay, kota ini tidak dapat dipandang enteng!"

Habis menutur itu, si pelayan berkata pula, perlahan: "Tuan dan nyonya membawa-bawa pedang, mungkin kamu juga orang Kangouw, maka itu, justeru selama beberapa hari ini keadaan genting, andaikata kamu bertemu orang polisi, kamu dapat dicurigai..."

"Kami tidak takut!" berkata Thian Touw. "Kami ini tidak berbuat jahat, pedang kami cuma untuk membela diri!"

Pelayan itu tertawa.

"Meski begitu, tuan", katanya, "orang polisi tidak nanti mau mengadu bicara denganmu. Ya, barang santapan tuan dan nyonya sudah matang, nanti aku menyajikannya! Sebentar, setelah dahar cukup, aku pikir baiklah kamu lekas berlalu dari kota ini..."

Setelah mendapat upah sepuluh tail perak itu, pelayan ini jadi suka berbuat baik terhadap kedua tetamunya.

"Terima kasih!" In Hong mengucap. Kemudian, setelah orang pergi, ia tertawa dan berkata pada suaminya: "Kita datang untuk pesiar, siapa sangka kita menghadapi urusan yang mengecewakan ini. Toako, mari kita memandang telaga saja, telaga pun cukup indah!"

Thian Touw tertawa.

"Hari ini kau gembira sekali!" katanya.

"Toako, tak dapat kita tidak mengurus perkara ini," kata In Hong perlahan pada suaminya sebelum pelayan kembali.

Thian Touw melengak sejenak. Tahulah ia sekarang, isterinya menggunai alasan keindahannya telaga Seeouw untuk dapat berbicara tanpa mencurigai pelayan itu.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar