Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 5
"Apakah sekarang kau
merasa enakan?" tanya si pemudi perlahan.
Giok Houw mengawasi. Sekarang
ia sadar benar-benar. Ia melihat Sioe Lan bermandikan peluh, sedang lengannya
berwarna merah bercampurkan sinar hitam. Di saat itu ia mengerti bahwa
sebenarnya si nonalah yang sudah menolong padanya, la terperanjat.
Pemuda ini pernah mendengar
dari
Kiam Hong tentang Tjit Im
Kauwtjoe dan gadisnya ini, ketika itu lenyap kesan buruknya terhadap si nona,
maka sekarang, melihat perbuatan nona itu, sikapnya menjadi lain sekali.
"Nona Im, aku
menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepada kau," katanya perlahan.
"Sekarang ini aku merasa enak banyak. Silahkan kau beristirahat!"
Sioe Lan girang berbareng
pedih hatinya. Tanpa membuka suara, ia mengawasi Giok Houw, kemudian ia
mengeluarkan jarum emasnya, dengan sebat ia menusuk beberapa kali telapakan
tangannya sendiri hingga darah hitam mengalir keluar dari telapakan tangan itu.
Giok Houw menyaksikan itu, dia
terkejut.
"Eh, kau kenapakah?"
tanyanya. "Mungkinkah kau keracunan disebabkan kau menolongi aku?"
"Tidak apa-apa,"
menyahut si nona. "Kau jangan kuatir."
Di mulut Sioe Lan mengatakan
demikian, sebenarnya
pertolongannya itu membawa
akibat rugi besar baginya. Memang, keracunannya barusan tidak ada artinya,
dengan darahnya dikeluarkan, ia sudah selamat. Kerugiannya itu yaitu ia
meyakinkan Tjit Im Toktjiang dari ibunya baru tiga bagian, dengan menolongi
Giok Houw itu, habis kepandaiannya yang belum mahir itu. Ia telah berkurban
untuk menolongi jiwa si anak muda. Tanpa ia memberi penjelasan, melainkan ia
sendirilah yang mengetahui kerugiannya itu.
Giok Houw mengerebongi diri
dengan bajunya, ia duduk dengan menyundang.
"Benar-benar aku merasa
baikan." ia berkata pula.
Sioe Lan tertawa.
"Itulah bagus!"
katanya. "Nanti aku panggil entjie Hong datang kemari. Di dalam mimpimu
kau memanggil-manggil dia!"
Giok Houw melihat bahwa orang
tertawa bagaikan dipaksakan, karenanya, hatinya bercekat. Sioe Lan sendiri
sudah lantas berlari pergi.
Akan tetapi Nona Im tidak dapat
mencari Kiam Hong. Nona itu sengaja sudah menyingkir dari ianya.
Nona itu justeru tengah berada
di gunung belakang, lagi berjalan mundar-mandir dalam rimba bunga bwee. Di
dalam hatinya nona itu, atau lebih benar di depan matanya, lagi berkelebat
bayangannya Giok Houw dan Sioe Lan bergantian, lalu paling belakang tertampak
bayangannya Tjit Im Kauwtjoe. Hingga bayangannya si pemuda kena teralingkan.
"Ah!..." akhirnya ia
menghela napas. "Biar bagaimana. Sioe Lan lebih harus dikasihankan, aku
harus membikin dia dapat mewujudkan angan-angannya!"
Nona ini telah mengambil
keputusannya. Ia memoles secabang bunga bwee. Tapi ia masih berdiri diam,
pikirannya masih bekerja. Tiba¬tiba ia mendengar suara tertawa, yang disusul
dengan pertanyaan: "Adik Hong! Bukannya kau pergi melongok Siauw Houw
Tjoe, kau justeru berada di sini! Kau lagi memikirkan apa?" Kiam Hong
terperanjat. Itulah suaranya In Hong. "Entjie Hong!" ia lantas
berkata, "hari sudah begini malam, kenapa kau masih keluar juga? Apakah
kau sudah sembuh seluruhnya?"
"Sudah!" menjawab In
Hong, tertawa pula. "Aku menghaturkan banyak terima kasih kepada kau, yang
telah pergi mengambilkan obat untukku!"
"Entjie harus mengucapkan
terima kasih kepada Tjit Im Kauwtjoe. Dialah yang telah mengurbankan jiwanya
untuk kita."
Nyonya Thian Touw menghela
napas.
"Mereka ibu dan anak
harus dikasihankan," ia kata. "Baru saja aku melihat Siauw Houw Tjoe,
di sana aku bertemu dengan puterinya Tjit Im Kauwtjoe itu. Dia nampak sangat
berduka."
Diam-diam Kiam Hong menghela
napas, ia membungkam.
"Apakah Giok Houw maju
baik?" ia tanya.
"Maju baik," sahut
In Hong. "Eh. tahukah kau. Nona Im itu tengah mencari kau? Aku menduga kau
berada di hutan ini, benarlah dugaanku. Mari kita sama-sama melihat pula Siauw
Houw Tjoe."
Kiam Hong menolak.
"Tidak, aku belum ingin kembali," katanya.
In Hong mencekal tangan orang.
"Adik Hong, kau memikirkan apa?" ia tanya, lembut.
"Tidak apa-apa. Entjie,
kapan kau hendak pulang?"
"Aku telah bicara dengan
Tjioe Tjcetjoe suami isteri, aku berniat pulang besok."
"Aku akan pulang bersama,
entjie."
In Hong heran.
"Kenapa?" dia tanya. Nona itu tertawa. "Aku berat berpisah
dengan kau!" sahutnya. "Kita datang sama-sama, kita pulang
bersama-sama juga." In Hong tertawa. "Kau tidak tega meninggalkan
aku, apakah kau tega meninggalkan Siauw Houw Tjoe? Kau sekarang telah berusia
dewasa, aku tidak berani menginginkan kau lebih lama lagi..."
Matanya Kiam Hong menjadi
merah.
"Di kolong langit ini
tidak ada pesta yang tidak bubar," bilangnya. "Jikalau aku tidak
pulang, apakah aku mesti berdiam terus di sini untuk selamanya?"
"Ah!" In Hong
bersuara tertahan. "Tidak, kau tentunya ada memikir sesuatu! Lain orang
dapat kau pedayakan, apakah aku juga kau hendak mendustainya?"
"Entjie, aku hendak
meminta sesuatu dari kau." kata Kiam Hong, yang mengegosi kata-kata orang.
"Apakah itu. adik Hong?" "Akulah orang yang dirawat dan dididik
kau, maka selanjutnya aku ingin menemani kau. entjie. Entjie hendak membangun
satu partai persilatan ilmu pedang, meski aku tidak mempunyai guna, dapat juga
aku mengerjakan segala catatan. Inilah permintaanku. Maukah entjie
meluluskannya?" In Hong tertawa. "Di belakang hari pastilah ilmu
pedangku aku turunkan kepada kau," ia berkata. "Ah, kau pasti bukan
memikir soal demikian."
Hati Kiam Hong menjadi pedih.
"Entjie..." katanya perlahan. Cuma sebegitu kata-katanya, atau air
matanya lantas meleleh turun.
In Hong mengawasi, lalu ia
mengangkat kepalanya. Ia berpikir. Tiba-tiba ia ingat.
"Tjit Im Kauwtjoe telah
memberikan obatnya, tidakkah itu hanya untuk Siauw Houw Tjoe?" ia tanya.
"Benar. Itu pun dapat
dikatakan untuk kebaikan puterinya."
"Oh, mengertilah aku
sekarang!"
Cuma sebegitu Nona Leng dapat
berkata, lantas ia berdiam.
"Nona Im harus lebih
dikasihankan daripada aku," berkata Kiam Hong. "Dia juga seorang anak
yang baik, engko Houw dapat menyukai dia..."
Ketika tadi In Hong menjenguk
Giok Houw, mulai dari luar ia sudah mendengar suara orang bicara di dalam kamar
dan ia mengenali, itulah bukan suaranya Kiam Hong. karenanya, ia mengintai dari
jendela. Ia tidak tahu bagaimana caranya Giok Houw harus diobati, ia melihat
bagaimana erat pergaulannya Giok Houw dengan Sioe Lan. Ia batal masuk ke dalam
kamar, bahkan ia menyingkir, setelah Nona Im keluar, untuk mencari Kiam Hong,
baru ia muncul, akan menemui puterinya Tjit Im Kauwtjoe itu. Ketika itu ia
heran dan bercuriga. Sekarang ia melihat sikapnya Kiam Hong dan mendengar
kata-kata nona ini, ia menjadi ingat halnya Giok Houw dan Sioe Lan itu. Ia
berpikir: "Giok Houw mendapat pertolongan besar dari Sioe Lan, karena
pertolongan itu, suatu budi besar, mungkin dia jadi menyukai nona itu. Ini pun
beralasan." Karena ia ingat nasib buruk Nona Im, ia menjadi tidak memikir
untuk menegur nona itu sudah merampas kekasih orang, la bahkan lantas ingat, soal
pemuda dan pemudi sungguh sulit.
Malam itu indah, suasana
tenang sekali, hawa udara pun bagus, akan tetapi mendadak In Hong merasakan
hatinya dingin.
"Aku menyangka jodoh
mereka ialah jodoh yang cocok, tidak tahunya muncul perubahan ini."
pikirnya pula. Ia lantas mengawasi Kiam Hong, roman siapa sangat berduka, sinar
matanya layu, tanpa merasa ia menghela napas.
"Kau suka menemani aku,
inilah yang aku minta pun tidak dapat," ia bilang sesaat kemudian,
"akan tetapi di samping itu aku harus menyayangi kau..."
"Apakah itu.
entjie?" Kiam Hong memotong. "Aku minta apa yang aku rasa cocok
dengan hatiku, jikalau tidak, walaupun aku memperoleh seorang yang aku sukai,
belum tentu itu akan merupakan kebahagiaan. Laginya. di dalam dunia ini. ada
berapakah pasangan yang demikian sempurna seperti pasangan entjie Sin Tjoe
dengan Yap Toako?..."
Tidak niatnya Kiam Hong untuk
menyinggung In Hong, sesudah ia mengucapkan kata-katanya itu, baru ia merasa,
maka ia merasakan hatinya tidak tenteram sendirinya. Ia melihat muka In Hong
menjadi pucat dan tubuhnya bergetar.
"Kata-katamu ada
alasannya," kata Nona Leng. "Memang jodoh yang tepat sangat sedikit.
Dengan tidak menikah seumur hidupnya, orang dapat mengurangi banyak
keruwetan..."
In Hong ingat perjodohannya
dengan Thian Touw. Mereka bersaudara misan, sejak masih kecil, mereka sudah
suka satu pada lain. lantas mereka mengikat janji. Sekian lama pernikahan
mereka terhalang, selama itu keras mereka memikirkan satu kepada lain.
Sebaliknya, Giok Houw dan Kiam Hong hanya bertemu seperti baru sekelebatan,
hubungannya belum lama dan tak seerat hubungan mereka berdua. Tapi, sesudah
mereka menikah, apa jadinya? Setelah hidup bersama, ada pertentangan di antara
mereka. Mereka membawa pikirannya masing-masing. Demikian mereka berpisah...
"Entjie, Hok Toako sangat
mengharapi pulangmu," kata Kiam Hong kemudian. "Jikalau entjie
pulang, meskipun ada kerenggangan itu, entjie dapat menambalnya. Entjie,
baiklah kau jangan bersusah hati."
"Ah, adik Hong, kau tidak
mengerti," In Hong menjawab. "Keadaan kami sulit sekali... Kecuali
aku dapat merubah pikiranku, atau dia yang dapat mengubah pikirannya, maka
pertentangan persesuaian di antara kami sangat sukar untuk
diperpadukannya..."
Kiam Hong mengawasi terus, ia
sangat berduka.
"Kali ini aku
pulang," berkata pula In Hong, "aku tidak bermaksud seperti dia itu,
untuk mengurus diri sendiri saja, untuk berdiam untuk selamanya di atas gunung
Thiansan. Kau telah tinggal sekian lama di sini, kau tentunya telah dapat
melihat. Semua saudara di sini, makannya tidak kenyang, pakaiannya tidak
hangat, sudah mereka digencet tentera negeri dan bangsa asing, mereka juga
mesti melindungi rakyat jelata! Karena itu dapatkah kita mengeram diri di atas
gunung untuk tidak mendengar dan memperhatikan penderitaan mereka itu?"
"Hok Toako sangat
berkukuh kepada peryakinan ilmu pedang," kata Kiam Hong, "dari itu
bukan pada dasarnya yang sifatnya demikian rupa. Aku percaya mungkin sekali
kemudian cita-cita entjie dan Hok Toako yang bertentangan itu akan saling bertemu
juga."
"Sebenarnya aku pun
mengharap demikian," In Hong bilang. "Sudahlah, sekarang sudah tidak
siang lagi, mari kita masuk untuk beristirahat. Besok kita bakal
berangkat."
Malam itu Kiam Hong tidur
gulak-gulik, terus sampai sang pagi muncul, ia tidak dapat tidur barang
sekejab. Kata-katanya In Hong membikin ia berpikir banyak. Keadaan ia dengan
keadaannya Nona Leng itu berlainan. Mengenai Giok Houw, ia kenal baik sifatnya
pemuda itu.
Di mulut Kiam Hong mengatakan
Giok Houw kalah gagah daripada Thian Touw, tetapi sifat mereka lain. Giok Houw
itu, kalau mengerjakan sesuatu, tidak pernah ingat paling dulu kepada
kepentingan pribadi. Ia cocok dengan sifatnya pemuda itu, karenanya, ia merasa
bangga. Tapi sekarang ada sesuatu yang menyelak di antara mereka, maka ia
menjadi sangat berduka. Ia berkasihan untuk nasib buruk dari Im Sioe Lan. Maka
itu, di dalam hatinya, ia mengharap-harap Giok Houw dapat melupakan padanya...
Bersama-sama Kiam Hong. pagi
itu In Hong menemui Tjioe San Bin suami isteri, untuk berpamitan. Tjoei Hong
heran mendapatkan Nona Liong hendak pergi bersama, la hendak menahan nona itu
ketika Kiam Hong mendahului ia berkata: "Aku mempunyai satu urusan untuk
mana aku mesti turut entjie In Hong. Lain kali aku akan kembali ke sini. Aku
telah bicarakan hal ini dengan Thio Giok Houw. Sekarang dia lagi sakit, aku
tidak pamitan lagi dengannya, tetapi di sini ada sepucuk surat, aku minta
tolong disampaikan kepadanya. Segala apa yang aku belum bicarakan, aku telah
tulis di dalam surat ini."
Nona itu benar-benar
menyerahkan suratnya kepada Nyonya San Bin.
Keberangkatan nona itu, Tjoei
Hong merasa, ada apa-apanya yang luar biasa, ia hanya tidak menyangka orang
sebenarnya mau menyingkir dari Giok Houw. Sebagai orang • Kangouw sejati, tidak
dapat ia menanyakan sesuatu kepada si nona, sebab sudah terang nona itu tidak
mau bicara. Kalau sebaliknya, mesti si nona memberi keterangan tanpa diminta
lagi. Setiap orang Kangouw tak seharusnya mencari tahu urusan pribadi lain
orang.
"Nona Liong, inilah
kata-katamu," ia kata, tertawa. "Kau bakal kembali!"
Demikian nyonya ini
mengantarkan nyonya dan nona itu pergi. Kemudian, selagi ia mau pergi kepada
Giok Houw, untuk menyampaikan suratnya Kiam Hong. Sioe Lan muncul mencari nona
itu
"Nona Liong baru saja
berangkat. Apakah kau tidak tahu?" ia tanya Nona Im.
Sioe Lan terkejut.
"Nona Liong pergi?"
dia tanya, mendelong.
"Kenapakah?" balik
tanya Tjoei Hong, heran. "Ada urusan apakah maka kau mencari dia?"
Sioe Lan membikin tenteram
hatinya.
"Giok Houw ingin bicara
dengannya," ia menjawab.
Nyonya San Bin menjadi
bertambah heran.
"Dia membilangi aku bahwa
dia telah bertemu dan berbicara dengan Giok Houw," katanya. "Pula ini
ada suratnya yang harus disampaikan kepada pemuda itu. Apakah barusan kau
bertemu sama Giok Houw?"
"Sebentar barulah aku
hendak melihat pula penyakitnya." Sioe Lan menyahut. "Kemarin sore,
ketika ia mendusin, ia lantas saja minta bertemu dengan Nona Liong. Kenapa dia
pergi?"
Tjoei Hong heran sekali. Ia
menunjuki suratnya si anak muda.
"Mungkinkah kedua bocah
itu bentrok?" ia kata, tertawa. "Karena kau hendak melihat
penyakitnya anak ini, nah. kau saja yang tolong menyampaikan surat ini
padanya."
Tjoei Hong ketahui baik
eratnya pergaulan Giok Houw dengan Kiam Hong. ia tidak percaya mereka itu
berselisih, maka itu, ia tertawa, akan tetapi, melihat romannya Sioe Lan. yang
seperti hilang semangatnya, ia heran. Pikirnya: "Mereka ini, setelah
merasakan kesukaran bersama, sekarang mirip entjie dan adik..."
Nyonya ini menyangka Sioe Lan
memberati kepergian Kiam Hong, tidak tahunya. Nona Im menderita berlipat ganda.
Dengan membawa surat Kiam Hong, dengan hati tertindih, dengan tindakan berat,
ia masuk ke dalam. Ia tahu baik kenapa Nona Liong pergi. Maka ia kata di dalam
hatinya: "Untukku, dia suka meninggalkan orang yang dia sayangi, maka itu,
andaikata aku beruntung menikah Giok Houw, bukankah keberuntungan itu
keberuntungan yang ditukar dengan penderitaannya dia itu?"
Malam itu, setelah memperoleh
cara pengobatannya Sioe Lan, Giok Houw dapat tidur nyenyak. Ketika Sioe Lan
masuk ke dalam kamarnya, baru saja ia mendusin. Segera ia mendapat lihat muka
si nona lesu dan kucai, seperti ada yang dipikirkan.
"Nona Im. karena kau
mengobati aku, kau banyak capai," ia berkata. Agaknya ia menyesal.
"Hari ini aku merasa enakan, maka itu, pergilah kau beristirahat. Nusa
baru kau datang pula untuk mengobati lebih jauh padaku."
Pemuda ini tidak ketahui ilmu
pengobatan, akan tetapi sebagai orang yang mengarti ilmu silat, ia tahu baik
apa akibatnya Im Sioe Lan sudah mengobati ia dengan menggunai kepandaian Tjit
Im Toktjiang -— dengan hawa dingin melawan hawa panas. Tentulah kesehatan si
nona terganggu. Maka ia ingin si nona beristirahat selama dua hari.
Mengetahui bahwa orang sangat
memperhatikan ia, Sioe Lan girang berbareng pedih. Tapi ia memaksakan diri
untuk tertawa.
"Aku tidak letih,"
katanya. "Sakitmu sudah sembuh enam atau tujuh bagian, maka kalau kau
diobati satu kali lagi, kau akan sembuh seanteronya. Bukankah memukul besi
harus selagi masih panas?"
Giok Houw tidak berani
menampik.
"Nona Im," katanya,
"aku tidak tahu bagaimana harus membalas budimu yang besar ini."
Tapi, baru dia berkata begitu, lantas dia menanya: "Mana Kiam Hong? Kenapa
dia tidak datang melihat aku?"
Sioe Lan terdiam. Tapi ia
tahu. tidak dapat ia tidak berbicara.
"Nona Liong... dia... dia
sudah pergi." sahutnya. "Ini suratnya untukmu."
Giok Houw terkejut hingga dia
berseru: "Apa? Dia telah pergi?" Dia lantas menyambuti surat, untuk
segera dibuka.
Hati Sioe Lan berdebaran, ia
mengawasi pemuda di depannya itu. yang ia cintai hingga ia tergila-gila Ia
mendapatkan, sembari membaca, tubuh si pemuda menggigil, mukanya menjadi pucat,
kemudian Giok Houw berseru-seru: "Tidak! Tidak! Inilah tidak bisajadi!
Inilah tidak bisajadi!"
"Thio Totjoe," kata
Sioe Lan. "Kau... kau... kau mau apa?"
Giok Houw berlompat bangun.
"Aku mau pergi kepada
adik Hong!" dia menyahut. "Aku hendak tanyakan sendiri, depan
berdepan!"
Sioe Lan menghalang di depan
pintu.
"Jangan!" ia
berkata. "Kau belum sembuh betul! Laginya Nona Liong sudah pergi
jauh..."
Muka Giok Houw menjadi merah,
lalu merah padam, sebab otot-otot di mukanya pada timbul, nampaknya gelap.
Bagaikan orang yang hilang semangatnya dia menolak dengan kedua tangannya.
"Jangan rintangi
aku!" dia berteriak.
Pedih hati Sioe Lan, ia pun
berkuatir. Saking terpaksa, iamenotok.
Giok Houw boleh gagah dan
menang dari si nona, akan tetapi dalam keadaan seperti kalap itu, ia tidak
bersiaga. Ia pun baru saja mulai sembuh. Maka tanpa dapat berkelit lagi. ia roboh
pingsan.
Sioe Lan menghela napas lega.
Ia pondong tubuh pemuda itu, untuk dengan hati-hati direbahkan di atas
pembaringannya. Dengan lantas ia menggunai jarum, menusuk jari tengah orang,
untuk mengeluarkan darahnya. Barusan ia menotok karena tidak ada jalan lain
lagi. Sisa racun dalam tubuh Giok Houw belum terbasmi semua, karena hatinya
goncang dan dia menggunai tenaga terlalu besar, Giok Houw dapat merusak
kesehatannya yang belum pulih itu, jikalau racun masuk ke jantungnya, maka
sulitlah untuk mengobatinya.
Sinar matahari masuk dari
antara jendela, mensoroti muka Siauw Houw Tjoe. Muka itu pucat. Warna guramnya
tadi telah lenyap tujuh atau delapan bagian. Perlahan-lahan, terlihat sedikit
warna dadu. Walaupun wajah itu perok. di sana masih bersisa roman tampannya.
Berdiri di depan pembaringan,
Sioe Lan mengawasi terus. Inilah orang yang ia gilai, tetapi hati orang tidak
ada padanya... Maka ia bersedih bukan main. Ia bersusah hati tak kalah dengan
susah hatinya si pemuda sebab kepergiannya Kiam Hong itu. Tadinya ia masih
mempunyai sedikit pengharapan, ia mengharap setelah perginya Kiam Hong, hati
Giok Houw dapat berubah perlahan-lahan. Sekarang, sikapnya si pemuda membikin
ludaslah sedikit pengharapannya itu...
Dengan terus mengawasi, Sioe
Lan dapat melihat suratnya Kiam Hong yang tertindih tubuh Giok Houw. Dengan
perlahan ia mengambil itu.
Tidak ada sama sekali niatnya
mencuri lihat surat lain orang, akan tetapi ia terpengaruh rasa herannya, rasa
ingin tahunya, ia toh membaca juga
Nona Liong menulis begini:
"Engko Houw yang baik!
Engko, aku ketahui kau bakal
lekas sembuh seluruhnya aku girang sekali. Tapi, engko, pagi ini ada satu hal
yang memaksa aku mesti lantas berangkat, saking tergesa-gesa tidak dapat aku
pamitan dari kau. Engko lagi sakit dan aku pergi jauh, aku menyesal sekali,
jikalau kau menggusari aku, aku tidak dapat membilang suatu apa Engko, aku
mempunyai kesulitanku sendiri.
Aku ingat bagaimana pada
hari-hari yang lalu kita bersama melakoni perjalanan laksaan lie, bagaimana
kita berpisah tetapi toh berkumpul kembali, bagaimana mempercayai aku, sedang
dalam setiap kesulitan, kita saling membantu. Dalam hidupnya seorang manusia,
kalau dia mendapatkan orang yang mengenal hatinya, apa lagi yang dia harapi?
Tetapi, engko, ada satu hal yang engko belum ketahui dan hari ini tidak dapat
aku tidak memberitahukannya.
Ketika adikmu ini masih kecil
sekali, oleh ibuku aku telah dijodohkan kepada satu anak dari tetangga kami,
kemudian karena pelbagai kekacauan dan kita berpisah, sampai sebegitu jauh di
antara kita tidak ada kabar ceriteranya satu dengan lain, hingga pihak sana itu
tidak diketahui dia masih hidup atau sudah mati, dan pihakku pun tidak
memikirkannya lagi. Akan tetapi di luar dugaan kami kemarin ini entjie Hong
memberitahukan aku bahwa dia itu berada di Kanglam dan ibuku pun telah mendapat
kabar perihalnya. Tentu sekali, ibu tidak dapat menyangkal janjinya, tidak
perduli orang itu melarat atau bagaimana. Maka sekarang aku mesti berangkat ke
Kanglam, aku mesti menurut akan kata ibu, kemudian aku akan ikut ibu pergi ke
Kanglam.
Engko. adikmu harap
selanjutnya janganlah engko pikirkan pula adikmu ini. Adikmu harap engko
merawat diri baik-baik."
Sioe Lan menghela napas.
"Ah, pantaslah Giok Houw
menjadi seperti kalap..." pikirnya. "Tapi, benarkah kata-katanya Kiam
Hong ini?..."
Tidak lama nona ini bersangsi,
lantas ia mengerti, dapat ia membade maksudnya Nona Liong itu.
"Teranglah dengan ini ia
hendak membikin putus pengharapannya Giok Houw," pikirnya. "Sengaja
ia menulis bahwa ia telah ditunangkan itu! Oh, entjie Liong, untukku ini, kau
membuatnya dirimu bersengsara..."
Tanpa merasa mengucurlah air
matanya mengenai surat itu.
Nona Im berjalan
mundar-mandir, pikirannya kusut- Ia ingat maksudnya ibunya memberikan obat
pemudah racun kepada Kiam Hong, ya ingat juga penderitaan ibunya yang mati
bersengsara itu.
"Ibu bernasib buruk, dia
menderita, dia tidak dapat menikah dengan orang yang dia cintai. Seumurnya, ibu
senantiasa memikirkan kekasihnya itu, sampai kakek memaksa dia menikah, hingga
terlahirlah aku. Sampai ajalnya tiba, ibu menyesal dan tersiksa..."
Lantas Sioe Lan ingat
peristiwa sedih dan dahsyat di dalam kuil di mana ibunya terbinasa. Ia
bergidik.
Ibunya itu ialah suatu contoh.
"Jikalau dua hati tidak
saling menyinta, tak luput orang dari akhir yang menyedihkan. Thio Giok Houw
menyintai Liong Kiam Hong, umpama kata toh terjadi juga aku menikah dengannya,
kalau kemudian dia mendapat tahu duduknya hal yang benar, mungkin dia menjadi
seperti ibuku, yang seumurnya terus menyintai kekasihnya, hingga terhadap aku,
mungkin dia mendendam kebencian..."
Mengingat ini, bagaikan orang
baru mendusin dari tidurnya, Sioe Lan sadar, maka itu, meski hatinya sakit,
pikirannya toh terbuka, ia merasa lega. Perlahan-lahan ia membuka jendela,
membiarkan sinar terang masuk ke dalam, untuk menyingkirkan keguraman seperti
keguraman hatinya itu. Hawa segar pun masuklah.
Nona ini melipat pula suratnya
Kiam Hong itu, ia masuki ke dalam sakunya si anak muda, kemudian ia meraba nadi
orang, yang telah pulih seperti biasa. Maka lantas ia menotok, untuk
membebaskannya, untuk membikin orang sadar.
Giok Houw membuka kedua
matanya, terus ia bangun untuk berduduk.
"Ah, mengapa kau mencegah
aku?" ia tanya, perlahan, menghela napas.
Sioe Lan memaksakan bersenyum.
"Kesehatanmu belum pulih,
umpama kata aku membiarkan kau menyusul, kau pun tidak bakal dapat
menyandak." ia kata, sabar.
Giok Houw dapat memikir, ia
merasa kata-kata si nona benar. Maka ia berdiam. Sioe Lan bersenyum ketika ia
berkata pula: "Nona Liong membilang dia mau turut Leng Liehiap pulang ke
Thiansan untuk meyakinkan ilmu silat pedang, bukankah maksudnya itu baik sekali
? Kau agaknya sangat berduka, kenapakah?"
"Apa benar dia membilang
demikian kepada kau?" Giok Houw menegasi.
"Perlu apa aku mendustai
kau?"
"Ah, kau tidak tahu, kau
tidak tahu..." kata si anak muda. Di dalam saat sangat berduka seperti
itu, ingin ia memperoleh satu kawan sehati kepada siapa ia bisa beber
kedukaannya, untuk mengutarakan berapa besar cintanya terhadap Kiam Hong. Tapi
kapan ia ingat ia berhadapan dengan Sioe Lan, ia bersangsi. Demikian
iamerandak.
Sioe Lan sebaliknya tertawa.
"Aku tahu kau menyintai
Nona Liong" katanya, terus terang. "Sebaliknya kau tidak mengetahui,
dia sebenarnya menyintai kau sepuluh lipat lebih besar!"
Giok Houw melengak.
"Bagaimana kau ketahui
itu?" ia tanya. "Apakah ia bicara sendiri dengan kau?"
Sioe Lan tidak menjawab
pertanyaan itu. Sebaliknya, ia menanya: "Tahukah kau bagaimana caranya
Nona Liong ketika ia minta obat untukmu? Tentang itu aku melihat dengan mata
dan mendengar dengan telingaku sendiri, maka perihal hatinya itu, aku tahu baik
sekali."
Meski ia menanya, nona ini toh
lantas menjelaskan segala perbuatan Kiam Hong ketika nona itu datang kepada
ibunya, untuk meminta obat. Ia menuturkan juga bahaya yang ditempuh si nona,
demikian segala hal yang dialami ia dan ibunya sampai ibunya menutup mata.
Semua hal itu, belum pernah Kiam Hong memberitahukan si anak muda. Giok Houw
mendengari dengan perhatian, ia heran dan kagum. Sungguh besar bahaya yang
dihadapi Kiam Hong dan Tjit Im Kauwtjoe semua.
"Kalau begitu,
benar-benar ia menyintai aku lebih daripada ia menyintai dirinya sendiri,"
pikirnya.
"Dialah seorang nona
gagah dan mulia, maka itu, taruh kata benar keterangannya, ia mempunyai jodoh
dengan lain orang, tak usahlah ia tunduk kepada aturan kuno itu..."
Baru saja memikir demikian,
atau Giok Houw sudah memikir lainnya.
"Kita telah berkenalan
lama, tidak ada apa-apa yang ia tidak bicarakan padaku," demikian pikirnya
pula, "kenapa ia tidak pernah omong jodohnya itu? Dan entjie In Hong tidak
pernah mengatakannya juga? Kenapa sekarang Sioe Lan bicara begini rupa?"
Pemuda ini tidak tahu,
alasannya Kiam Hong itu pun alasan yang baru didapat karena kepergiannya yang
mendadak.
Setelah pikirannya makin
sadar, Giok Houw merasakan sikapnya Kiam Hong itu aneh, hanya masih ia belum
dapat menduga dengan tepat sebabnya itu.
Sioe Lan mengawasi anak muda
itu, yang mulai tenang hatinya, maka ia pun merasa lega.
"Mari aku mengobati kau
lagi satu kali," katanya bersenyum manis. "Setelah ini, sesudah sehat
betul, kau boleh pergi susul adik Liong-mu itu."
Giok Houw menurut, ia
merebahkan dirinya. Selagi si nona membukai bajunya, ia kata: "Nona lm,
benar-benar aku tidak tahu bagaimana aku harus menghaturkan terima kasihku
terhadapmu..."
Ia berterima kasih bukan untuk
pertolongan pengobatan saja, juga untuk hiburannya yang membuatnya hatinya
tenang. Dari nona ini pun ia mendapat tahu bagaimana besar Kiam Hong menyintai
ia. Di samping itu, terhadap si nona, ia menjadi ingin bersahahat dengan
sejujurnya. Tentu sekali, ia tidak ketahui, walaupun mulut si nona manis,
senyumannya murah, hatinya sebenarnya sakit dan pedih. Ia, yang dicintai, tidak
ada hatinya terhadapnya..."
Sioe Lan sudah lantas memberikan
pertolongannya, la menggunai waktu setengah jam. Dengan begitu ia bisa
menyingkirkan sisa racun yang terakhir. Dengan begitu, sakitnya Thio Giok Houw
telah disembuhkan. Tapi, dengan begitu juga, habislah semua kepandaiannya ilmu
Tjit Im Toktjiang yang ia baru dapatkan tiga bagian itu.
Hari itu Tjioe San Bin serta
isteri, begitu juga pemimpin-pemimpin lainnya, datang menjenguk si anak muda.
Semua merasa girang akan mendapatkan orang telah pulih kesehatannya, hingga
tinggal kesegaran saja yang harus dikembalikan. Maka itu, San Bin melarang
orang turun gunung dulu.
Sementara itu, di luar dugaan.
Sioe Lan turun gunung dengan diam-diam, tanpa pamit lagi.
Malam itu Nona Im berpikir
keras. Setelah berkutat sekian lama, ia mengambil putusannya. Untuk Giok Houw,
hendak ia pergi menyusul Kiam Hong. Hendak ia menjelaskan kepada Kiam Hong
tentang rahasia hatinya. Untuk San Bin, ia meninggalkan sepucuk surat. Di
tengah malam, diam-diam ia menghampirkan kamarnya Giok Houw. Ia tidak masuk ke
dalam kamar hanya mengawasi dari luar jendela. Di situ ia mengeraskan hatinya,
ia menahan pedih hatinya. Ia memutar tubuhnya, untuk terus turun gunung.
Di hari kedua Giok Houw bangun
pagi-pagi. Ia merasa tubuhnya segar, ia lantas duduk bersamedhi. untuk
menyalurkan pernapasannya. Latihan ilmu dalam itu membuatnya segar sekali. Ia
menduga, lagi lima hari, ia tentu akan sudah dapat turun gunung. Ia merapikan
pakaiannya, untuk keluar dari kamar. Inilah yang pertama kali ia mendapat hawa
luar semenjak sakitnya, ia mendapatkan sinar matahari yang nyaman. Dalam
gembiranya itu, ia pergi mengunjungi San Bin, untuk membikin girang tjeetjoe
itu.
San Bin dan isteri mendapatkan
Giok Houw dapat turun dari pembaringannya, senang hati mereka. Akan tetapi
matanya si anak muda tajam sekali. Pada wajah girang suami isteri itu ada
tersembunyi sesuatu. Maka diam-diam ia berpikir dan matanya mencari-cari.
Lantas ia lihat sepucuk surat di atas meja. Ketika barusan ia datang
ketempatnya suami isteri itu. Tjoei Hong meletaki surat di atas meja.
"Apakah ada terjadi
sesuatu?" ia tanya. Ia melengak. "Surat siapakah itu?"
Tjoei Hong menghela napas. Ia
tidak dapat mendusta.
"Nona Im sudah
pergi," katanya, perlahan. "Inilah suratnya."
Giok Houw terperanjat.
Benar-benar, itulah di luar dugaanya.
"Dia pergi?..."
katanya. Cuma sebegitu ia dapat menanya.
"Benar. Kami ingin
menahan dia. tidak tahunya dia pergi dengan diam-diam."
Nyonya San Bin menyerahkan
suratnya Sioe Lan itu.
Giok Houw membaca. Singkat
suratnya Nona Im. Mulanya ia menghaturkan terima kasih kepada San Bin suami
isteri, akhirnya ia minta tolong agar Ban Thian Peng suka dibantu di mana bisa.
Tentang kepergiannya, ia tidak bilang apa-apa.
"Mungkinkah dia mencela
perlayanan kami?" kata Tjoei Hong. "Inilah aku sangsi. Lebih mungkin
ialah ia mempunyai suatu urusan penting tentang mana ia tidak suka
memberitahukan kita..."
"Apa mungkin dia hendak
mengurus partainya?" kata San Bin. "Ibunya ialah kauwtjoe dari Tjit
Im Kauw. Kalau begitu, kenapa dia pergi tanpa pamit lagi?"
Giok Houw membiarkan suami
isteri itu saling menduga, la sendiri, mengertilah ia sebab kepergiannya si
nona. Ia telah melihatnya dari arah dekat selama dua hari ini.
"Giok Houw, bagaimana kau
pikir?" kemudian Nyonya San Bin menanya si anak muda.
"Ah, aku... aku..."
sahut anak muda itu, masgul. "Aku merasa dia harus dikasihani..."
"Ya, dia memang harus
dikasihani," berkata si nyon>a. "Aku justeru memikir bagaimana
harus mempernahkan dia, tetapi dua hari ini aku terlalu repot. Dia baru datang,
aku tidak menduga dia bakal berlalu dengan begini cepat, hingga belum sempat
aku berbicara dengannya."
"Coba panggil Tjie
Hiap" tiba-tiba San Bin berkata.
"Orang sudah pergi, untuk
apa memanggil Tjie Hiap?" sang isteri kata.
San Bin tidak menyahuti, ia
melainkan bersenyum. Melihat sikap suaminya itu. Tjoei Hong ingat apa-apa,
lantas ia mengerti.
"Benar!" katanya.
"Biar Tjie Hiap diperintah menyusul dia!"
Malamnya yang Sioe Lan tiba di
gunung, San Bin dan isterinya sudah berdamai. Mereka pikirkan daya untuk
membalas kebaikannya Tjit Im Kauwtjoe serta gadisnya. Kesudahannya mereka
setuju untuk mengambil Sioe Lan sebagai nona mantu mereka.
Tak lama. Tjie Hiap muncul. Ia
menanya ada urusan apa.
"Nona Im pergi, tahukah
kau?" sang ayah tanya.
Tjie Hiap heran.
"Kapan perginya?" ia
tanya.
"Tadi malam." sahut
Tjoei Hong. "Mungkin dia belum pergi jauh."
San Bin, dengan roman
sungguh-sungguh, berkata: "Nona itu benar berasal dari kalangan sesat
tetapi dia dan ibunya melempar budi kepada kita. karena itu sudah sepantasnya
jikalau kita tidak membiarkan dia terumbang-ambing dalam
perantauan."
"Lagi pula ia pun sudah
menolong saudaramu, Giok Houw," Tjoei Hong menyambungi. "Turut
penglihatanku, meski ia asal kaum sesat, ia sendiri berhati lurus?"
"Maka itu," San Bin
menambahkan, "aku hendak minta Tie Pangtjoe bersama kau pergi turun
gunung, untuk menyusul nona itu, setelah dapat diketemukan. kau minta ia suka
kembali kemari. Umpama kata ia hendak mengurus dulu urusan partainya, itulah
urusannya sendiri, kamujangan campur. Biar bagaimana, ialah seorang nona dan ia
bersendirian saja hidup dalam perantauan, aku kuatir ia menghadapi bahaya
Setelah bertemu si nona, kau cari tahu dulu sikapnya Apabila karena mengurus
partainya ia tidak dapat segera kembali, kamu bantulah secara diam-diam, untuk
melindungi. Di sini ada Lioklimtjian, kau boleh bawa, andaikata ada perlunya,
dengan ini kau boleh minta bantuannya sekalian paman kaum Rimba
Persilatan."
Tjioe San Bin menjadi
bengtjoe.
kepala perserikatan, kaum
Lioklim atau Rimba Persilatan di wilayah Utara, ia juga berusia tinggi dan
dimalui umum, meski wilayah Selatan bukan masuk lingkungan pengaruhnya kaum
Rimba Persilatan di Selatan itu menghormati ianya dengan adanya Lioklimtjian.
Panah Rimba Persilatan, menjadi pertanda, di mana ia sampai. Tjie Hiap bisa
minta bantuan setempat.
Ketika Giok Houw mendengar
tindakannya San Bin itu. diam-diam ia berlega hati untuk Sioe Lan, sedang
hatinya sendiri turut lega sedikit.
Justeru itu seorang laskar
datang memberitahukan: "Ban Kongtjoe datang minta menghadap Tjeetjoe."
"Bagus! Silakan ia
masuk!" kata San Bin.
Ban Thian Peng datang dengan
roman duka, lantas ia menanya, perlahan: "Katanya entjie-ku pergi,
benarkah?"
"Benar," jawab San
Bin. "Ia meninggalkan surat menghendaki kami minta kau suka terus berdiam
sama kami di sini. Tidak lamajuga ia bakal kembali."
"Tidak, aku ingin pergi
menyusul dia," kata Thian Peng.
"Kami sudah menyuruh
orang pergi menyusul," San Bin kasi tahu.
"Ibunya memandang aku
sebagai anaknya maka itu, ialah entjie-ku." kata Thian Peng pula.
"Sekarang ia merantau seorang diri. hatiku tidak tenteram. Di sebelah itu,
aku mempunyai musuh, maka aku pikir, baiklah aku pergi sekalian mencari musuh
kami itu."
San Bin terdesak, habis
berpikir sebentar, ia kata: "Soal sakit hatimu itu ada satu soal lain.
Nah, baiklah, kau boleh pergi turun gunung! Nanti aku minta Kok Looenghiong
menemani kau, kepadanya aku akan memberikan sebatang Lioklimtjian. Tjie Hiap
yang bakal pergi menyusul Nona Im. maka itu, kamu boleh ambil jalan berpisahan:
dia ke Utara, kau ke Selatan. Mengenai musuhmu, kau juga boleh minta bantuannya
Kok Looenghiong."
Lantas tjeetjoe ini menitahkan
orang mengundang Tie Pa serta Kok Tiok Kin.
Tie Goan itu hoepangtjoe,
ketua muda, dari Kaypang, Partai Pengemis, di Utara, maka itu di mana-mana ia
mempunyai banyak "kuping dan mata," hingga leluasalah ia untuk
mendengar-dengar kabar atau mencari keterangan, sedang Kok Tiok Kin seorang
kenamaan kaum Jalan Putih di Selatan berbareng menjadi tabib, dari itu
pemilihan atas diri mereka sebagai kawan seperjalanan Tjioe Tjie Hiap dan Ban
Thian Peng tepat sekali.
Sementara itu marilah kita
melihat Im Sioe Lan.
Setibanya si nona di kaki
gunung maka pada tauwbak pemimpin pos penjagaan di situ ia minta seekor kuda
yang dapat lari cepat. Ia dikenal sebagai tetamu, tanpa curiga, malah tanpa
menanya apa-apa. tauwbak itu memilihkan dia kuda yang diminta, maka sebentar
saja, ia sudah mulai dengan perjalanannya. Ia menduga Kiam Hong ikut In Hong
pergi ke Thiansan, dan itu ia pun menuju ke Utara. Di hari kedua hampir magrib,
tibalah ia di Hoelietjip.
Masuk kebagian tempat yang
ramai, Nona Im mencari rumah penginapan. Ia lantas mendapatkan satu yang papan
mereknya sudah pecah dan berserakan di tepi jalanan, hotelnya sudah rusak,
bahkan temboknya ada yang gempur, seperti juga belum terlalu lama, hotel ini
telah jadi kurban perang. Inilah tidak heran. Itulah hotelnya si orang she
Tjioe. yang dilabrak Lauw Wan Tat dan Liong Kiam Hong.
Orang hotel terkejut melihat
datangnya nona ini. Mereka tahu, di antara orang-orang yang menyerbu hotel, ada
seorang nona gagah dari atas gunung, meski ini tetamu bukannya Kiam Hong,
mereka toh heran.
Kuasa hotel, yang menyambut,
sudah lantas mengedipi mata seraya berkata: "Nona silakan nona pergi
mencari lain rumah penginapan, hotelku ini sudah penuh."
Sioe Lan tidak mengerti
isyarat kedipan mata itu. Biar bagaimana, ialah bukan orang Kangouw yang
berpengalaman. Maka ia menjadi tidak senang dan berkata: "Apakah kau
berani memandang tidak mata kepada wanita yang berjalan seorang diri?
Apakah kau takut aku nanti
tidak membayar uang sewa hotelmu?"
Cepat-cepat kuasa hotel itu
menggoyangi tangan, terus ia kata dengan perlahan: "Harap jangan gusar,
nona. Bukankah nona datang dari gunung?"
Sioe Lan heran, ia mengawasi.
"Kalau benar,
bagaimana?" ia tanya.
"Di sini ada cucu kuku
garuda!" sahut si kuasa hotel.
Hoelietjip termasuk daerah
pengaruhnya Tjioe San Bin, maka itu, penduduk situ berkesan baik terhadap
rombongan tentara suka rela, mereka lebih suka membantu San Bin daripada pembesar
negeri.
Sioe Lan tidak lantas
mengangkat kaki, sebaliknya, dia memandang ke sekitarnya.
Melihat sikap nona ini, kuasa
hotel itu berkuatir bukan main, hingga tanpa merasa ia mengeluarkan peluh. Ia
menduga-duga mungkin nona ini orang Kangouw yang masih hijau.
Sesudah melihat romannya si
kuasa hotel, Sioe Lan percaya bahwa ia bukan lagi didustakan, maka ia menurut,
hanya selagi ia mau berlalu, mendadak ia mendengar bentakan nyaring:
"Berhenti!" Ia lantas berpaling.
Dari dalam hotel itu muncul
dua opsir, yang satu jangkung, yang lain kate. Yang jangkung itu mendahului
menghampirkan, untuk menghadang di pintu.
"Siapa kau?" dia
tanya, keras. Sioe Lan tidak senang, ia tertawa dingin.
"Aku tidak melanggar
undang-undang negara, mau apa kau usil aku orang apa?" iamembaliki.
"Hm!" si opsir
mengejek. "Kaulah seorang wanita, kau berada seorang diri, kau juga
menyoreng golok, kau pasti bukan wanita baik-baik!" katanya menghina.
Si kate pun maju dan turut
berkata dengan bengis: "Kebanyakan dialah bangsat wanita dari Kimtoo Tjee!
Bukankah kau yang telah menganiaya kuasa she Tjioe dari hotel ini?"
Sioe Lan lantas menjadi gusar
sekali. Memangnya ia lagi pepat pikirannya. Sikapnya si jangkung saja sudah
membikin ia sangat mendongkol. Maka tidak dapat ia mengendalikan diri.
"Bikinlah mulutmu sedikit
bersih!" ia menegur.
Si jangkung tidak
memperdulikan, dia bahkan tertawa.
"Aku tahu asal-usulmu
pasti bukan asal-usul yang benar!" dia kata. "Oleh karena aku melihat
roman kau yang manis, sebenarnya aku sudah berlaku baik hati."
Tanpa menanti orang menutup
mulut, Sioe Lan sudah lantas mengayun sebelah tangannya, maka di situ segera
terlihat menghembusnya segumpal asap bagaikan kabut.
"Celaka!" berteriak
si kate. "Bangsat perempuan ini menggunai asap hio pulas!"
Si jangkung tidak sempat
menyahuti, dia bahkan kaget dan kesakitan. Tanpa merasa, sebelah mukanya
digaplok Sioe Lan hingga terdengar suara nyaring dari tangan mampir di pipi.
Tapi dia liehay, dengan sebat dia meluncurkan tangannya, untuk menangkis sambil
menangkap.
Sioe Lan dapat meloloskan
tangannya, tetapi ia tersampok hingga ia terhuyung, hampir ia roboh. Pula
syukur, karena gumpalan asap itu, si jangkung tidak dapat melihat ia hingga ia
tidak dapat disergap.
Si kate sudah lantas menyerang
dengan Pekkhong Tjiang, pukulan Udara Kosong. Sambaran angin dari pukulan ini
membuat gumpalan asap buyar.
Sioe Lan terperanjat.
"Liehay kedua opsir ini,
mereka tidak dapat dipandang enteng!" pikirnya. Maka ia lantas menghunus
sepasang goloknya.
Si jangkung memainkan
napasnya, lantas ia merasa lega. Ia tidak merasakan kepalanya pusing atau mata
berkunang-kunang. Itulah tanda bahwa asap itu bukan asap obat pulas. Ia segera
meloloskan djoanpian dari pinggangnya, untuk dengan cambuk istimewa itu
menyerang si nona. Ia menggunai tipu silat "Angin puyuh menyapu pohon
yanglioe." bengis serangannya karena ia mendongkol sekali.
Sioe Lan puteri Tjit Im
Kauwtjoe, ia telah mewariskan tiga bagian kepandaian ibunya, dari itu ia sudah
mengerti juga menggunai pelbagai macam obat atau senjata rahasia beracun, meski
demikian, tak sudi ia menggunai asap pulas yang biasa dipakai oleh manusia
rendah. Mulanya ia tidak menyangka kedua opsir itu liehay, ia berniat hanya
mengajar adat dengan gaplokan, dari itu ia sudah melepaskan asapnya itu.
Nyatanya ia keliru menduga. Celaka untuknya, ia segera didesak si jangkung dan
si kate itu, hingga ia tidak sempat lagi menggunai senjata rahasianya. Dengan
lekas ia terkepung rapat.
Opsir kate itu menggunai
gaetan Goatgee kauw. Ia pula nyata terlebih liehay daripada kawannya. Maka
berbahayalah desakannya itu. Gaetan ialah semacam senjata penakluk untuk pelbagai
gegaman lainnya. Maka itu, selang belasanjurus, sebelah golok si nona sudah
kena dipengaruhkan.
Si jangkung hendak
melampiaskan kemendongkolannya, mengimbangi kawannya, dia menyerang hebat
dibagian bawah. Maka, asal sedikit saja si nona alpa atau kurang gesit, kakinya
bakal kena disapu hingga tentulah tubuhnya nanti terguling.
Dalam keadaan terdesak itu,
Sioe Lan menyerang dengan tipu silat "Pektjoa tjoettong." atau
"Ular putih keluar dari liangnya." Golok kirinya memapas gaetan yang
sangat mengganggu padanya.
Si kate tertawa berkakak.
"Bangsat wanita ini
nekad!" katanya. Dan justeru golok tiba, ia menyambuti dengan gaetannya.
hingga golok si nona menjadi tercantel.
Justeru itu si jangkung
menyambar dengan cambuknya. Dia cerdik, biasanya dia menyerang di bawah,
sekarang dari bawah, dia memutar haluan, menyerang terus ke atas. Maka
berhasillah ia.
Lengan Sioe Lan kena terhajar,
dengan lantas cekalan pada goloknya yang tergaet si kate terlepas, hingga
goloknya itu terlepas juga dari tangannya. Dalam kagetnya ia berlompat sambil
berseru: "Ambillah juga ini satu golokku !" Dan ia menimpuk dengan
sebelah goloknya itu.
Si jangkung berani, dia
tertawa dingin, sembari tertawa, dia mengulur tangan kirinya, untuk memapaki
golok itu, di lain pihak, dengan tangan kanannya, ia membarengi menyerang.
Tepat ketika Sioe Lan menaruh
kaki di tanah, cambuk masih menyambar kakinya itu. Tidak ampun lagi ia lantas
terlibat dan tertarik, hingga tubuhnya roboh terguling.
Si jangkung puas sekali, ia
tertawa bergelak-gelak, sambil tertawa dia bertindak maju, tangannya diulur
untuk mencekek si nona.
Mendadak saja terdengar satu
suara nyaring, lantas terlihat menyambarnya serupa benda hitam seperti bola.
Karena selagi mau dicekek itu, Sioe Lan menggeraki sebelah tangannya, menimpuk.
Si jangkung itu tidak
menyangka jelek, jarak di antara mereka dekat sekali, ketika benda hitam itu
tiba. ia tidak sempat berkelit lagi, tetapi ia dapat menggunai tangannya untuk
menangkis dengan menyampok. Ia menduga kepada peluru besi, maka ingin ia
membikin peluru itu mental balik, supaya sebaliknya penyerangnyalah yang
terluka!
Nyatalah senjata rahasia
istimewa dari Sioe Lan ini ada sangat beracun. Tidak apa jikalau ia tidak
mengerjakannya, begitu ia mengasi kerja, maka terdengarlah suara bekerjanya,
segera terlihat melesat menyambarnya bukan main banyaknya peluru-peluru kecil
sebesar kacang kedele.
Namanya senjata rahasia itu
ialah Lianhoan Tjoebo tan, atau Peluru Berantai. Senjata ini tidak dapat
dilawan keras dengan keras, umpamanya ditangkis. Sebab sesuatu pelurunya telah
direndami racun.
Demikian si opsir yang
jangkung, matanya kena disambar peluru, dengan lantas sang racun bekerja, maka
dengan lantas matanya buta.
Opsir yang kate terpisah
sedikit jauh, dia juga berasal seorang begal tunggal dari kalangan Jalan Hitam,
dia banyak pengalamannya, setelah mendengar suara senjata rahasia, dia dapat
menduga senjata rahasia itu mesti berbahaya, dengan lantas dia menjembat sebuah
meja. untuk dijadikan tameng. Dengan demikian, beruntun-runtun meja itu kena
terhajar, semua senjata rahasia itu nancap karenanya.
"Bangsat wanita yang
telengas!" dia lantas mendamprat, menyusul mana dengan mejanya ia
menyerang. Meja itu dilemparkan hingga melesat ke arah Sioe Lan, bagaikan
gunung Taysan menungkrap kepala...
Dengkul Sioe Lan kena dihajar
si opsir jangkung yang bersenjatakan djoanpian itu, tidak sempat dia merayap
bangun, untuk menyingkir dari meja terbang itu. Di saat ia bakal kena tertimpa,
mendadak satu orang melesat dari samping, dengan sebat dan tepat orang itu
menyambuti meja, untuk dipegang, sembari dia berseru: "Lao To,
tahan!"
Opsir itu heran hingga dia
melengak. Justeru itu Sioe Lan menyerang, dengan pisau belati yang dipakai
sebagai senjata rahasia, maka pisau itu menancap di tenggorokannya dan dia
roboh tanpa dia sempat berkelit, menangkis ataupun berteriak.
Baru sekarang si nona dapat
berlompat bangun, untuk mengawasi orang yang menalangi ia menyambuti meja. Ia
mulanya menyangka pada salah seorang dari pihak gunung, nyatanya ia keliru. Di
depan ia berdiri seorang muda yang tampan, yang dandan sebagai seorang pelajar,
yang pakaiannya indah, tangannya mencekal sebatang kipas. Ia menjadi kaget
sekali, hingga ia mengeluh di dalam hatinya...
Pemuda itu, yang mengawasi ia
sambil bersenyum, adalah Kiauw Siauw Siauw!
Anaknya Kiauw Pak Beng itu
datang ke Bang keepo karena sia-sia dia menantikan kembalinya Le Kong Thian,
yang telah pergi selama beberapa hari tanpa kabar-ceritanya.
Sedang kedua opsir itu-dua
orang liehay dari dalam
pasukan Gielimkoen mereka termasuk bekas sebawahan Yang Tjong Hay. Mereka
datang ke Bang keepo ini untuk mencari bekas pemimpinnya itu, untuk sekalian
mewakilkan pemimpin mereka yang sekarang, Tongnia Tjhian Tiang Tjoen, guna
mengajak Tjong Hay bekerja sama. Hanyalah, ketika mereka dan Kiauw Siauw Siauw
tiba di Bang keepo, Yang Tjong Hay bersama Le Kong Thian sudah pergi menyusul
Liong Kiam Hong. hingga kedua pihak tidak dapat bertemu satu dengan lain.
Dengan begitu juga. Kiauw Siauw Siauw pun tidak ketahui Sioe Lan datangnya dari
tempatnya Kimtoo Tjeetjoe.
Menemukan Sioe Lan itu, Siauw
Siauw melirik, ia tertawa haha-hihi. Ia merasa pasti si nona tidak bakal lolos
dari tangannya.
"Sioe Lan," katanya,
"bencana yang kau terbitkan ini hebat bukan main! Tahukah kau siapa dua
orang yang kau binasakan ini? Merekalah opsir-opsir dari pasukan pengiring
raja!"
Sioe Lan tidak takut,
sebaliknya, dengan dingin ia kata: "Kau tangkaplah aku untuk kau pergi
menagih jasa! Buat apa kau banyak omong?"
Pemuda itu tertawa.
"Dengan berkata begini
kau jadinya telah memandang aku sebagai orang luar!" ia bilang. "Mana
dapat aku menangkap kau untuk menagih jasa seperti katamu ini? Syukur kau
bertemu denganku, biar ada perkara bagaimana besar juga, aku akan dapat
bertanggung jawab! Mana ibumu? Aku telah mengutus Le Kong Thian mencari ibumu
itu. Apakah dia telah bertemu dangan kamu?"
Sioe Lan jadi sangat bersedih.
Ia diingatkan akan ibunya
"Pergilah kamu ke alam
baka mencarinya!" sahutnya sengit.
Siauw Siauw terperanjat. Hanya
sejenak, lantas ia mengasi lihat roman berduka.
"Apa?" katanya,
balik bertanya. "Apakah ibu mertuaku telah menutup mata?"
"Jangan ngaco-belo!"
Sioe Lan membentak. "Siapakah ibu mertuamu?"
Siauw-Siauw tidak menggubris
dia dimaki. Dia maju satu tindak.
"Bagaimana dengan Pektok
Tjinkeng?" dia tanya, "ibu mati karena kecelakaan atau lantaran
sakit? Apakah Pektok Tjinkeng ada padamu?"
Kedua matanya Sioe Lan memain.
Ia mendapat akal. Ia lantas mengasi lihat roman gusar.
"Hm, kiranya kau mengarah
Pektok Tjinkeng?" katanya. "Itulah kitab pusaka keluargaku, kau tidak
usah memikirkannya!"
Sengaja si nona seperti
membilangi kitab obat-obatan beracun itu berada padanya.
Kiauw Siauw Siauw percaya itu,
diam-diam ia bergirang. Lantas ia menguras keluar air matanya, sembari sesegukan,
ia kata: "Kasihan ibu mertuaku itu, yang telah meninggal dunia, hingga
aku, menantunya, tidak dapat mengurus dan mengantar dia ke tempat
pekuburannya... Di manakah dikuburnya ibu mertuaku itu? Sioe Lan, aku minta
sukalah kau mengantarkan aku kesana, aku ingin menyembahyanginya..."
"Apakah benar-benar kau
begini berhati baik?" Sioe Lan tanya tawar.
Siauw Siauw mendengar suara
orang dingin, tetapi di dalam situ telah berkurang nada bermusuhnya, hal ini
membuat hatinya lega. Ia menggoyang-goyang kipasnya, ia pun mendekati lagi satu
tindak, lantas ia menunjuki sikap sangat memperhatikan sekali.
"Sioe Lan." katanya,
lembut, "meskipun ibumu belum menerima antar panjar dari keluargaku tetapi
ayahmu sendiri telah menerima baik lamaran pihakku, maka itu, di antara kita
sudah ada kepastiannya ialah kau calon isteriku! Dengan begini, dapatkah aku
tidak memperhatikan kau? Sioe Lan, sekarang ini tidak ada orang kepada siapa
kau dapat mengandalkan diri, maka itu, jikalau kau suka kau boleh anggap
rumahku sebagai rumahmu..."
Si nona berdiam, nampaknya ia
sedang berpikir.
Kembali Siauw Siauw maju satu
tindak.
"Tentang kitab Pektok
Tjinkeng, Sioe Lan, kau salah mengerti." katanya pula. "Ilmu silat
kami Keluarga Kiauw sudah terkenal di kolong langit ini tanpa lawan, maka itu,
mana dapat aku mengarah ilmu kepandaian keluargamu itu? Aku hanya memikir,
orang yang hendak merampas kitab itu bukan sedikit jumlahnya jadi aku berkuatir
untukmu..."
Si nona mengawasi.
"Jikalau benar kau
demikian memperhatikannya, baiklah, akan aku serahkan itu kepada kau untuk kau
yang simpan," ia kata.
Siauw Siauw menjadi girang
sekali.
"Memang," katanya,
"kita memang sudah menjadi seperti satu tubuh! Kau percaya aku. mana dapat
aku menampik? Apakah kitab itu sekarang ada pada kau?"
"Benar," Sine Lan
menjawab pula. "Inilah kitab itu, kau boleh terima!"
Belum berhenti kata-kata
gadisnya Tjit Im Kauwtjoe ini, maka terdengarlah suara menghembus, lantas dari
tangannya menyembur segulung asap. yang terus meledak, mengasi lihat warna api biru,
terus suaranya menjerujus!
Nona ini telah menggunai akal,
sengaja ia bersikap lunak, untuk membikin si pemuda alpa, lantas dia menyerang
dengan senjata rahasianya itu, yang bukan cuma mengeluarkan asap dan api tapi
pun ada jarumnya yang halus umpama kata seperti bulu kerbau, setelah meledak,
jarumnya lantas menyambar.
Kiauw Siauw Siauw menjerit
hebat, dia segera mengipas berulang-ulang, tetapi dia kalah sebat, api telah
lantas membakar bajunya, sebab begitu meledak, lengannya yang kiri kena dibikin
patah. Tapi dasarnya gagah luar biasa, dia masih sempat berlompat mundur satu
tombak, dengan kipasnya dia menangkis berulang-ulang, membikin jarum-jarum
beracun runtuh ke tanah, cuma, dua batang mengenai juga kedua jalan darahnya,
kioktie di lengan kanan dan loktwie di punggung. Dengan cepat dia menutup jalan
darahnya, untuk membikin racun tidak bisa terus mengalir masuk dan menyerang ke
dalam. Pula dengan membanting diri dan bergulingan di tanah, dia membikin api
padam.
Habis menyerang itu, Sioe Lan
lari keluar. Baru ia tiba di luar pintu, ia sudah mendengar angin menyambar di
belakang kepalanya, dan belum sempat ia menoleh atau menangkis, pundaknya sudah
kena disambar, hingga sekejab itu juga, ia tidak bisa berkutik lagi!
"Perempuan hina dina yang
kejam!" kata Siauw Siauw dingin.
Pemuda ini menotokjalan darah
si nona, habis itu ia menggeledah tubuhnya, akan mengasi keluar semua obat
berikut segala macam senjata rahasia, tetapi obat pemunah ada banyak macamnya,
ia tidak tahu yang mana ia butuhkan. Juga ia tidak dapat membedakan, yang mana
obat racun dan yang mana obat pemunah, maka semua itu, ia tidak berani
sekalipun untuk membukanya...
Tubuh Sioe Lan lantas diletaki
di atas tanah, terus dadanya diinjak, segera dia dibentak: "Lekas
keluarkan obat pemunah!"
Nona itu rebah terlentang,
matanya mengawasi tajam. Ia melihat muka orang telah terbakar hangus, maka muka
yang tadinya tampan sekali, sekarang menjadi jelek tidak keruan. Ia menampak
roman orang yang bengis yang menyeramkan.
"Meski kau bunuh aku,
tidak nanti aku memberikan obat padamu!" ia menyahut. Terus ia merapatkan
matanya, tidak mau ia memandang pula wajah orang.
"Hm!" Kiauw Siauw
Siauw mengasi ejekannya. "Membunuh kau? Itulah tidak nanti!" katanya,
dingin. "Kau meminta mampus, aku sebaliknya menghendaki kau hidup terus!
Hendak aku siksa kau perlahan-lahan. Hm. apakah kau kira, tanpa obatmu itu, aku
tidak bakal hidup?"
Habis berkata, Siauw Siauw
merogoh keluar besi berani, dengan itu ia menekan dan menggosok di keduajalan
darahnya, kioktie hiat dan taytoei hiat, sembari menekan ia mengerahkan tenaga
dalamnya. Ia berhasil mencabut keluar dua batang jarum bweehoa tjiam. Hanyalah,
sekitar tempat yang tertusuk itu telah menjadi bengkak dan keras, walaupun
ditekan keras dengan besi berani, tidak terasa sakit lagi. Apa yang terasa
sekarang ialah gatal yang bukan main, yang hampir tak tertahankan.
Bukan kepalang kagetnya putera
Kiauw Pak Beng itu.
"Sebenarnya racun ini
racun ajaib bagaimana?" ia tanya dirinya sendiri.
Memang biasanya, racun yang
tidak memberi rasa sakit ialah racun yang terlebih liehay, sebagaimana
liehaynya racun yang kerjanya lambat. Kiauw Siauw Siauw bukan ahli racun akan
tetapi ia cukup menginsyafinya. Maka itu ia lantas mengerahkan tenaga dalamnya,
untuk menolak keluar desakan racun, berbareng ia menutup tujuh jalan darah,
untuk tak dapat dimasuki, di lain pihak, ia lekas menelan sebutir pel buatan
keluarga Kiauw. obat mana istimewa untuk membasmi racun. Habis menelan itu,
rasa pusingnya kurangan, tetapi gatalnya bertambah.
Semua obat yang ia rampas dari
Sioe Lan, Siauw Siauw masuki ke dalam sakunya, la periksa kitab Pektok
Tjinkeng, yang ia rampasjuga. Ia tertawa dingin.
"Akhir-akhirma toh berada
di tanganku!" katanya. Ia melihat banyak resep obat racun, aneka macam. Di
antaranya, ada juga bagian yang ia tidak mengarti. Ia telah merasa, mesti
penting sekali kitab itu, maka itu, ia mencoba menipu Sioe Lan, supaya si nona
berkesan baik terhadapnya, supaya si nona suka mengajari ia ilmu obat-obatan
racun itu. Tapi sekarang mereka sudah bentrok, tidak dapat ia menggunai akal
muslihat lagi, atau cara lunak. Walaupun demikian, ia ingin melindungi jiwanya
si nona...
Sesudah membalut sebelah
tangannya yang patah, Siauw Siauw perintah pelayan hotel menyiapkan ia sepaso
air, untuk ia mencuci mukanya yang penuh darah. Ia mengacai mukanya, ia melihat
mukanya menjadi jelek. Tadinya ia tampan sekali dan sangat bangga dengan
ketampanannya itu. Maka sekarang ia menjadi sangat gusar. Berulangkah ia
menampar Sioe Lan. Kemudian ia kempit tubuh si nona, untuk dibawa keluar.
Di luar ada sebuah kereta
kuda. yang tuan rumah sediakan untuk menyambut tetamu. Melihat kendaraan itu,
Siauw Siauw menghampirkan ke depannya. Sambil membentak, ia sampok si kusir,
hingga kusir itu roboh, setelah mana, ia menyusuli dengan satu tendangan, maka
terjungkallah kusir itu. Ia sendiri, lantas ia lemparkan Sioe Lan ke dalam
kereta!
"Baik, kau boleh
tertawa!" katanya, sengit. "Meskipun aku menjadi jelek bagaikan
memedi, kau tetap menjadi isteriku! Sekarang kau ikut aku untuk kau memberi
hormat kepada mertuamu!"
Ia lantas lompat naik ke atas
kereta, untuk memegang lesnya, buat menariknya, membikin kudanya berjalan.
Melihat orang demikian galak,
pegawai-pegawai hotel tidak berani mencegah.
Sioe Lan sudah bertekad untuk
binasa bersama, maka itu barusan, meskipun ia dihajar berulangkah, ia tertawa
lebar. Sekarang, mendengar perkataannya Siauw Siauw itu, ia kaget, ia kuatir
sekali. Ia telah ditotok jalan darahnya, tidak dapat ia berkutik, dengan
begitu, meskipun ia mau, ia tidak dapat mati, sedang untuk meminta hidup, ia
tidak sudi. Ia takut ialah kalau ia dipaksa dinikah pemuda ini! Itulah lebih
hebat daripada mati!
Oleh karena Siauw Siauw
mengumbar amarahnya, mendadak ia merasakan kepalanya pusing sekali, dadanya pun
sesak. Ia kaget bukan main. Dengan lekas ia menetapkan hati, terus ia
bersamedhi, untuk meluruskan pernapasannya. Sekian lama, baru ia merasa
mendingan.
Siauw Siauw terluka oleh racun
yang sifatnya lambat. Keracunan semacam itu pantang besar terlalu girang atau
terlalu murka, tidak boleh juga terlalu bersedih, sebaliknya, orang harus
menenangkan diri. lalu orang mengerahkan tenaga dalamnya, nanti bekerjanya
racun dapat ditahan. Tadi, saking gusar, ia sudah melampiaskan kegusarannya.
Meskipun ia benci sangat si
nona, Siauw Siauw tidak berani menyiksa di tengah jalan, untuk menghinanya, la
masih mengandung sedikit harapan, ialah agar Sioe Lan tahu takut, supaya dia
mengeluarkan obat pemunahnya. Semua obat si nona telah ia pindahkan ke dalam
sakunya, dari itu belumlah ia putus asa...
Di sepanjang waktu itu, Sioe
Lan diperhina, disiksa, tetap ia tidak mau menyerah. Ia telah berkeputusan
nekad, bersedia untuk terbinasa. Cuma ia merasa sangat menyesal. Ialah ia belum
dapat bertemu Kiam Hong, untuk membeber rahasia hatinya. Karena itu, biar
bagaimana, ia masih tidak memikir untuk membunuh diri.
Sementara itu Leng In Hong dan
Liong Kiam Hong berada dalam perjalanan mereka. Sangat cocok mereka satu dengan
lain. mereka tidak menjadi kesepian. In Hong telah mengajari ilmu pedangnya
kepada kawannya, ia lakukan itu di waktu siang dan juga malam sebelum mereka
tidur. Setiap waktu mereka pun saling merundingkan, untuk memperoleh kemajuan.
Dalam ilmu pedang, Kiam Hong kalah jauh, tetapi ia cerdas, maka itu
kadang-kadang ia dapat mengutarakan pikiran yang baik, yang menambah keindahan
atau keliehayan ilmu pedang yang sedang diyakinkan itu. Kedua pihak memperoleh
faedah, yang lebih besar dapatnya ialah Kiam Hong.
Demikian selama belasan hari,
In Hong telah mewariskan ilmu pedangnya itu.
Pada suatu hari tibalah mereka
di padang rumput. Hari sudah magrib. Di situ tidak ada tempat singgah, sedang
tadi mereka melewatinya. Sudah mendekati sore, cuaca pun buruk. Mega tebal dan
hitam, tanda dari bakal turunnya air langit. Tidak bisa lain, terpaksa mereka
maju terus, dengan niatan mendaki bukit di depan mereka, untuk mencari guha
guna melindungi diri. Baru saja mereka memasuki lembah, mereka melihat sebuah
kuil di depan mereka.
Kiam Hong tertawa.
"Berterima kasih kepada
Thian, yang tak suka membuat orang putus jalan!" katanya. "Mari kita
pergi kesana, untuk menumpang bermalam."
In Hong pun girang. Keduanya
lekas maju.
Tengah mereka memasuki pintu
kuil, hidung mereka menangkap bau arak, lalu telinga mereka mendengar tertawa
lebar yang disusul dengan kata-kata: "Dengan Koan Lootjianpwee demikian
ternama besar, kenapa Kiauw Laokoay tidak sudi bersahabat dengannya? Haha-haha!
Dua guru besar dari Selatan dan Utara telah bersatu, lalu ditambah dengan Tek
Seng Siangdjin, dengan begitu apa perlu takuti lagi Thio Tan Hong? Kecewa Yang
Tjong Hay lari-larian ke empat penjuru dunia, pahalanya tidak dapat dia tidak
menyerahkannya kepada kita!"
In Hong terkejut. Pula ia
seperti kenali suara itu. Ia lantas menghentikan tindakannya, dengan tangannya,
ia memberi tanda kepada Kiam Hong. Akan tetapi sudah terlambat. Orang di dalam
itu sudah mengetahui kedatangannya.
"Siapa di luar?"
tanya orang itu, suaranya nyaring.
Justeru itu kilat menyamber,
guntur menggelegar, disusul dengan turunnya hujan yang lantas menjadi besar.
"Orang yang menyelindung
dari hujan!" Nona Leng menjawab. Ia tidak takut meskipun ia tahu, orang di
dalam itu ialah musuh. Bersama Kiam Hong, ia lari masuk.
Di depan pendopo ada setumpuk
perapian, di pinggirnya dua orang berduduk sambil minum arak. Orang yang satu
bertubuh kate dan romannya gesit, usianya sudah tinggi, orang yang lain baru
berumur lebih kurang tiga puluh tahun, badannya kasar. Mereka itu nampak heran
melihat datangnya dua nona.
Segera setelah kedua pihak
saling mengawasi, si orang tua kate itu tercengang, lalu dengan cepat dia
tertawa terbahak-bahak.
"Kiranya Leng
Liehiap!" katanya nyaring. "Setelah sepuluh tahun kita tidak bertemu,
tidak disangka-sangka sekarang kita bertemu di sini!"
In Hong menyahuti, dengan suara
dingin: "Sungguh beruntung aku yang LawToatongnia masih mengenali aku!
Apakah gurumu kembali turun gunung?"
"Guruku telah meninggal
dunia pada tahun yang lalu," sahut orang tua itu. "Kabarnya Leng
Liehiap bersama Hok Tayhiap telah bekerja sama di gunung Thiansan memahami
semacam ilmu pedang, sungguh aku si orang tua kagum mendengarnya. Kiranya kamu
suami isteri masih belum melupakan dunia Kangouw! Eh, mana Hok Tayhiap? Kenapa
dia tidak nampak?"
Orang tua itu, yang hidungnya
pun bengkung, adalah Law Tong Soen, bekas tongnia, atau komandan Gielimkoen,
yang dulu hari bekerja sama dengan Yang Tjong Hay. Dialah yang pada sepuluh
tahun dulu, dalam pertempuran di Hangtjioe, telah dihajar Ie Sin Tjoe, tulang
piepee-nya sudah ditoblosi kimhoa, atau bunga emas, tetapi beruntung ia. ia
keburu ditolong gurunya, maka lukanya itu diobati, tulangnya dapat disambung
pula, dengan begitu, ilmu silatnya tidak jadi musna.
Gurunya Law Tong Soen ini,
sebagaimana diketahui, ialah Tjio Hong Po jago Rimba Persilatan yang kenamaan,
hanyalah dia, sebelum terlukanya muridnya itu, pernah dikalahkan oleh suami
isteri Thio Tan Hong. yang menggunai ilmu silat mereka siangkiam happek, pedang
bersatu padu. karenanya, dia malu untuk menaruh kaki lebih lama pula dalam
dunia Kangouw, maka habis mengobati muridnya, ia larang Tong Soen turun gunung.
Ia tidak mau muridnya itu memangku pangkat pula. Tong Soen tidak berani
membantah, ia lantas hidup menyendiri bersama gurunya itu. Selama sepuluh
tahun, ia menahan diri. Ketika Tjio Hong Po menutup mata, Tong Soen bersedih
tiga bagian, bergirang tujuh bagian. Sekarang ia tak usah dikekang lagi
gurunya. Seperti Yang Tjong Hay, ia masih menggemari pangkat dan hidup mewah
dan berpengaruh, maka ingin ia mencarinya pula. Taylwee Tjongkoan telah bertukar
orang menjadi Hoe Koen Tjip dan Gielimkoen Tongnia ialah Tjhian Tiang Tjoen,
itulah tidak menjadi soal bagi Tong Soen. Justeru telah terjadi peristiwa
perampasan bingkisan pelbagai propinsi untuk raja dan ia mendengar perampasan
itu dilakukan muridnya Thio Tan Hong, ia mau bekerja dari ini jurusan. Itulah
jalan pertama untuk membalas sakit hati dan kedua untuk mendapat pangkat.
Sebagai seorang cerdik. Law
Tong Soen tahu bagaimana harus bersiasat. Demikian ia mau menempel orang-orang
kosen yang istimewa, seperti Kiauw Pak Beng, untuk menempur Thio Tan Hong.
Iamerasa pasti, jikalau Thio Tan Hong sudah dapat dirobohkan, maka Yap Seng Lim
di Selatan dan Tjioe San Bin di Utara, akan kehilangan tulang punggungnya,
hingga mereka itu gampang ia yang membereskannya
Orang dengan siapa Tong Soen
berkumpul dan minum arak ini bernama Tonghong Hek. Dia pun seorang yang
berkenamaan. Gurunya ialah Tokpie Khengthian Koan Sin Liong, si Satu Tangan
Menunjang Langit, yang pada tiga puluh tahun dulu sudah dikutungi sebelah tangannya
oleh Hoeithian Lipnglie Yap Eng Eng, sedang Koan Sin Liong itu ialah
keponakannya Tjie Hee Toodjin. Bedanya umur di antara Tjie Hee Toodjin dan Koan
Sin Liong melainkan belasan tahun, karenanya sekarang dia sudah berumur hampir
tujuh puluh, hingga bicara tentang tingkat derajat, dia seimbang dengan Tjit Im
Kauwtjoe dan Yang Tjong Hay. sebaliknya mengenai ilmu silat, dia hampir
menyamakan paman gurunya itu. Tjie Hee Toodjin. Setelah kehilangan sebelah
tangannya, sambil mengeram diri, dia meyakini terlebih jauh ilmu silatnya
selama tiga puluh tahun, hingga dia memperoleh kemajuan. Dia masih ingin
menuntut balas. Hanya sekarang ini, semua murid generasi kedua dari Hian Kie
Itsoe, berikut Yap Eng Eng. sudah pada menutup mata. sedang dari generasi ketiga,
tinggal Thio Tan Hong seorang. Benar dengan Tan Hong dia tidak bermusuh pribadi
tetapi dia menganggapnya demikian. Sekarang dia muncul dan bersahabat dengan
Law Tong Soen.
Tong Soen ketahui urusan Koan
Sin Liong itu, ia menganjurkan Sin Liong bergabung dengan Kiauw Pak Beng.
Sin Liong setuju, dia menyuruh
Tonghong Hek pergi bersama Tong Soen mengunjungi Pak Beng, untuk membicarakan
soal bekerja sama itu. Tidak disangka-sangka di tengah jalan ini, di dalam
kuil, mereka bertemu dengan In Hong dan Kiam Hong. Kedua pihak lantas berlaku
waspada. In Hong tahu Tong Soen liehay dengan ilmunya Hoenkin Tjokoet Tjioe,
dan Tong Soen memalui ilmu pedang Thiansan Kiamhoat.
Tong Soen telah lantas
berpikir: "Aku berdua, mereka juga berdua. In Hong liehay ilmu pedangnya,
inilah aku ketahui. Entah bagaimana dengan kawannya ini, yang pun membawa
pedang dan romannya cantik dan gagah. Rasanya dia berilmu silat tidak rendah.
Kalau kita bentrok, belum tentu pihakku akan menang di atas angin. In Hong ini
tidak pernah berpisah dari Thian Touw, suaminya, sekarang dia ada di sini,
mungkin
Thian Touw ada di belakangnya.
Dalam ilmu pedang. Thian Touw cuma kalah sedikit daripada Thio Tan Hong. Maka
baiklah aku berlaku sabar..." Demikian ia berlaku ramah-tamah, niatnya
untuk mencari tahu maksud Nyonya Hok Thian Touw itu.
Di pihak lain, In Hong pun
tidak mau bentrok, maka ia bersenyum dan berkata: "Law Tongnia juga tidak
dapat, melupakan dunia Kangouw, maka itu, jikalau aku keluar untuk
berjalan-jalan, ada apakah yang aneh? Suamiku mendengar, juga Yang Tjong Hay
telah muncul kembali, ia ingin sekali menemuinya untuk kedua pihak mencoba pula
ilmu silat pedang mereka! Kami tahu Yang Tjong Hay mengambil jalan ini, apakah
Law Tongnia pernah bertemu dengannya?"
Hati Tong Soen bercekat.
"Tidak, tidak,"
sahutnya. "Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu dengan dia." Di
mulut dia mengatakan demikian, dalam hatinya, dia pikir: "Kiranya mereka
lagi mencari Yang Tjong Hay. Kalau begitu, meskipun Hok Than Touw tidak bisa di
sembarang waktu datang kemari, dia mesti ada di dekat-dekat sini. Syukur
barusan aku tidak berlaku sembrono..."
"Jikalau Law Tongnia
tidak pernah bertemu padanya tidak apalah." kata In Hong. "Biarlah
sebentar, kapan hujan sudah berhenti, kami pergi mencari dia."
"Jangan sungkan, nona,
mari di sini kita sama-sama menghangati tubuh!" kata Tong Soen,
mengundang. "Apakah nona-nona mau minum arak?"
"Tidak, kami cuma ingin
beristirahat sebentar saja. Apakah kuil ini ada penghuni pendetanya?"
"Aku tidak melihat
pendeta. Dua kamar di samping itu pun kosong semua."
Memang kuil itu kosong.
Gara-gara peperangan, pendetanya pergi mengungsi.
"Terima kasih," In
Hong mengucap. "Adik Hong, mari kita beristirahat dalam kamar pendeta di
sana."
Kiam Hong menurut. Setelah
berada di dalam kamar dan pintunya sudah dirapatkan, ia menanya perlahan:
"Siapa dua orang itu?"
"Orang yang bicara
denganku bekas komandan Gielimkoen, namanya Law Tong Soen," In Hong
menerangkan, "yang satunya lagi, aku tidak kenal, tetapi Tong Soen
menyebut gurunya Koan Lootjianpwee, dia tentulah muridnya Koan Sin Liong."
Koan Sin Liong itu, Kiam Hong
kenal namanya. Dialah si orangjahat pembunuh ayahnya Ban Thian Peng.
"Mereka berdua bukan
manusia baik-baik, kenapa entjie tidak mau turun tangan untuk menyingkirkan
mereka?" ia tanya.
"Law Tong Soen itu dulu
pernah diberi ampun Thio Tayhiap," In Hong menyahut, "tetapi barusan
mendengar suara mereka, dia rupanya masih membenci tayhiap, karena belum ada
kepastiannya, baik kita bersabar dulu, kitajangan usil padanya."
In Hong mengatakan demikian
karena ia merasa tidak ungkulan dapat mengalahkan dua orang itu, hingga ia sama
dengan Tong Soen, yang merasa jeri terhadapnya.
Tonghong Hek mengawasi orang
berlalu, setelah itu ia memainkan matanya dan sembari tertawa berkata kepada
Law Tong Soen: "Sungguh nona-nona yang cantik manis!"
Tong Soen menggoyangi tangan.
"Bunga mawar ada durinya,
tidak dapat kita petik!" katanya, tertawa. "Yang tuaan itu isterinya
Thiansan Kiamkek Hok Thian Touw!"
Ketika itu hujan turun
bagaikan dituang-tuang, suaranya sangat berisik, jikalau tidak, tidak nanti
bekas komandan Gielimkoen itu berani melayani Tonghong Hek bicara sambil
tertawa-tertawa.
Selagi hujan masih turun
secara besar-besaran itu, di luar kuil terdengar suara kuda meringkik. Tong Soen
lantas saja menjadi kaget.
"Jangan-jangan Hok Thian
Touw datang!" pikirnya.
Segera juga terlihat pintu
pekarangan dibuka dan sebuah kereta kuda masuk ke dalam, sampai di muka kuil.
terus dari dalam kereta kelihatan turunnya seorang laki-laki yang sebelah
mukanya berkulit hitam, tangannya mengempit seorang wanita. Dengan tindakan
lebar dia masuk ke dalam pendopo, sinar matanya yang dingin mengawasi tajam
kepada Tong Soen dan Tonghong Hek.
"Numpang, numpang!"
katanya. "Ajaklah aku menghangatkan diri!"
Orang itu ialah Kiauw Siauw
Siauw serta kurbannya, Im Sioe Lan.
Tonghong Hek tidak kenal
puteranya Kiauw Pak Beng itu, melihat tingkah orang jumawa, ia menjadi tidak
senang, ia bukan saja tidak mau minggir, untuk membagi tempat, dia bahkan
menggeser kedua kakinya, bagaikan menghalang, untuk tidak mengajak orang
menghangatkan diri.
Kiauw Siauw Siauw melihat
lagak orang, ia pun tidak mau berlaku sungkan. Lebih dulu ia menurunkan Sioe
Lan dekat api, habis itu, dengan congkak dia duduk di tengah-tengah-di antara
kedua orang itu sedang dengan sebelah tangannya, ia sengaja menyikut Tonghong
Hek, mulutnya sendiri mengatakan berulang-ulang: "Numpang, numpang!"
Suaranya itu sangat dingin.
Tonghong Hek gusar sekali,
hingga ia tidak dapat mengendalikan diri.
"Eh. kenapa kau tidak
tahu adat?" tegurnya, kedua tangannya bergerak, hendak menangkap tangan
orang, untuk membanting orang itu.
Di luar dugaannya, Kiauw Siauw
Siauw membalik tangannya,
terus mendahulukan menangkap.
"Kau mau berkelahi"
tanyanya sambil tertawa mengejek.
Tonghong Hek gusar sekali,
tetapi dia kalah tenaga, ketika dia meronta, dia tidak dapat melepaskan
tangannya. Dalam gusarnya, dia hendak menendang, atau Law Tong Soen segera
datang sama tengah.
"Orang-orang perantauan
siapa yang tidak gemar mengikat persahabatan?" katanya. "Tuan-tuan,
mengapa untuk urusan sekecil ini kamu menuruti napsu amarah sendiri? Aku minta
sukalah kamu bicara secara baik-baik!"
Mendengar itu, Tonghong Hek
suka memberi muka. Juga Kiauw Siauw Siauw merasa tak enak sendirinya. Maka
keduanya saling melepaskan cekalan mereka.
luga Tonghong Hek lantas
minggir sedikit, untuk memberi tempat agar orang baru itu dapat menghangatkan
tubuhnya.
Pada lebih daripada sepuluh
tahun yang lalu Law Tong Soen pernah diajak gurunya, Tjio Hong Po, mendaki
gunung Koenloen San mengunjungi Kiauw Pak Beng. Karena ini juga tak malu-malu
dia mengajukan diri untuk menjadi orang perantara di antara Koan Sin Liong dan
Kiauw Pak Beng, supaya mereka itu berdua berserikat. Ketika kunjungannya itu.
dia melihat Kiauw Siauw Siauw mendampingi ayahnya. Waktu itu Siauw Siauw baru
berumur empat atau lima belas tahun. Dalam usia semuda itu ia sudah tampan
sekali. Tidak seperti sekarang, ia menjadi jelek luar biasa. Benar sekarang
Tong Soen tidak mengenali Siauw Siauw akan tetapi ia melihat gerakan tangan
orang. Itulah gerakan yang luar biasa, yang tidak dipunyakan oleh ahli-ahli
silat Tionghoa. Maka ia mau menyangka kepada muridnya Le Kong Thian si manusia
raksasa.
Roman Tong Soen tidak berubah,
akan tetapi Kiauw Siauw Siauw tidak mengenali dia. Ketika ia masih muda dan
berada di rumahnya, ayahnya menerima banyak sekali kunjungan, ia tidak ingat
satu demi satu, ia cuma memperhatikan orang-orang yang ternama.
"Tuan she apa?" Tong
Soen tanya setelah orang berduduk.
"She Kiauw!" sahut
Siauw Sianw, ringkas, tanpa menoleh.
Hatinya bekas tongnia
Gielimkoen itu bercekat. Sebenarnya ia ingin menanya pula, akan tetapi karena
orang bersikap demikian angkuh, ia batal, iajengah sendirinya. Ia sekarang
memikir, kalau nanti orang menoleh, baru ia hendak menanya. Maka itu, ia terus
mengawasi.
Habis menghangatkan tubuh,
Siauw Siauw berbangkit, dari pinggangnya dia meloloskan djoanpian, ialah ruyung
lemas yang mirip cambuk. Begitu dia minggir sedikit lantas dia menyabet, ke
arah si nona, yang sedari tadi berdiam saja, tanpa berkutik, tanpa berbicara.
Cambukan itu membebaskan si nona dari totokan urat gagunya, maka sekarang ia
masih tidak bisa menggeraki tubuh, tangan atau kakinya.
Siauw Siauw tidak berhenti
dengan satu cambukan itu, dia mengulangi, dia mengulanginya. Dari itu robeklah
bajunya Sioe Lan bagian depan, hingga dadanya terlihat putih dan halus, hanya
sekarang dada itu balan dan mengeluarkan darah. Begitu memang cara Siauw Siauw
menganiaya si nona, untuk menyiksanya. Dia ditimpa hujan, dia baru saja diejek
Tonghong Hek, sekarang dia melampiaskan kemendongkolannya terhadap nona
tawanannya ini. Dia mengertak gigi, menyambuknya makin keras dan makin keras.
Sioe Lan menahan sakit, ia
menggigit rapat kedua baris giginya, tidak urung ia merintih juga.
Setelah menghajar enam atau
tujuh kali. Siauw Siauw berhenti.
"Sioe Lan, kau mau bicara
atau tidak?" dia tanya.
Belum lagi berhenti pertanyaan
itu, atau Tonghong Hek sudah berseru: "Sungguh tidak tahu malu! Menghina
wanita!" Tangannya pun menjemput sepotong kayu yang menyala dengan apa dia
menimpuk ke muka si anak muda.
Semenjak tadi ia mengeluarkan
cambuknya terus sampai ia mulai menyambuk Sioe Lan, Siauw Siauw sudah
memperhatikan orang di sisinya itu, yang ia lihat mengawasi ia dengan tnata
tajam bersorot gusar, hanya disebabkan orang cuma mengawasi saja, ia tidak
bertindak apa-apa. Ia menyangka orang itu jeri. Sebagai orang jumawa dan tak
takut apa juga, ia terus membawa lagaknya itu. Di luar dugaannya, akhirnya
orang turun tangan juga.
Gurunya Tonghong Hek itu,
yaitu Koan Sin Liong, pernah keponakan dari Tjie Hee Toodjin. Di samping itu,
Tjit Im Kauwtjoe ialah muridnya Tjie Hee Toodjin itu, bahkan dialah murid yang
murtad karena dia telah berganti guru kepada Kie Hoan. Perbuatan menukar guru
itu adalah pantangan besar dalam dunia Rimba Persilatan. Hanyalah Tjit Im
Kauwtjoe dibiarkan oleh Tjie Hee disebabkan guru ini juga bukan seorang manusia
bersih, karena sebagai guru, ia pernah mencoba memperkosa muridnya. Tentang
perbuatannya yang keji itu, Tjie Hee tidak berani memberitahukan siapa juga,
malah ia ingin jangan ada lain orang yang mengetahuinya, juga jangan ada yang
tahu Tjit Im itulah muridnya. Setelah Tjie Hee menutup mata, sebagai
tjiangboendjin, ketua partai ia digantikan Koan Sin Liong. Dia ini tahu Tjit Tm
Kauwtjoe murtad, dia membencinya. Tapi Tjit Im liehay racunnya, dia tidak
berani secara berterang menentangnya, dia tidak berani menghukum, cuma kepada
beberapa muridnya dia telah menerangkan urusan itu, agar semua murid ketahui
Tjit Im itu murid murtad partai mereka, supaya dipasang mata terhadap Tjit Im
apabila ada ketikanya, supaya mereka turun tangan, untuk memberi hukuman.
Karena itu, terang sekali merekajuga ketahui Tjit Im Kauwtjoe mempunyai seorang
anak perempuan yang bernama Im Sioe Lan. Bahkan orang ketahui juga. kitab ilmu
racun Pektok Tjinkeng dari Kie Hoan telah diwariskan pada Tjit Im Kauwtjoe.
Dalam perjalanan Tonghong Hek
mengikuti Law Tong Soen itu untuk mengunjungi Kiauw Pak Beng, mereka pernah
lewat di Bang keepo. Di sana Tonghong Hek telah mendengar kabar hal kematiannya
Tjit Im Kauwtjoe. Coba ia bukan lagi bertugas, tentu ia sudah mencari Im Sioe
Lan, untuk memberi hukuman, siapa tahu sekarang, ia bertemu nona itu secara
begini kebetulan. Begitu ia mendengar Siauw Siauw menyebut Sioe Lan, tahulah
dia siapa si nona. Maka ingin ia membekuk nona itu, untuk sekalian merampas
kitabnya. Ia tidak mau membuka rahasia partainya, dari itu ia lantas beraksi,
berpura-pura hendak membelai nona yang lagi disiksa itu. Ia ingin setelah
membereskan Siauw Siauw lalu menawan Sioe Lan. Ia percaya, kalau ia turun
tangan, Law Tong Soen bakal membantu padanya, dengan begitu pasti ia bakal
dapat mengalahkan pemuda kosen itu.
Sesudah Kiauw Siauw Siauw
mati, ia percaya juga, Sioe Lan bakal berhutang budi padanya, dengan begitu,
dengan cara halus, ia mau bawa si nona pulang ke gunungnya. Atau kalau perlu,
ia tak segan menggunai kekerasan. Dengan begitu juga kitab Pektok Tjinkeng
bakal terjatuh dalam tangannya.
Tidak dapat Kiauw Siauw Siauw
mengelakkan diri dari serangan tiba-tiba itu. Benar ia mencoba berkelit, tangan
kirinya toh terkena juga. Tangan kirinya itu memang masih sakit. Ia terkena
api, ia merasakan sangat sakit dan panas. Balutannya terbakar dan terlepas,
lukanya pun pecah pula. Bukan main gusarnya ia. Ia lantas memadamkan api, ia
menahan rasa nyerinya. Sedangnya ia repot seorang diri itu, Tonghong Hek
bekerja terus. Dia ini berlompat, bergerak untuk merampas cambuk di tangannya.
Berhasillah dia, sebab Siauw Siauw kembali tidak menyangka.
Sekarang, tidak menanti sampai
dia diserang pula, sambil berseru, Siauw Siauw mengeluarkan kipasnya, dengan
itu dia mendahului menyerang, untuk melakukan pembalasan, bahkan dengan bengis
dia mendesak.
Tonghong Hek menjadi repot. Celaka
dia, segera lengannya kena dihajar kipas, hingga tulangnya pecah. Rasa sakit
itu seperti menusuk jantungnya. Dia menjadi sangat gusar, dia berteriak, dia
menghunus pedangnya, untuk menikam!
Sebelum mereka dapat bertempur
terlebih jauh, dua-dua Tonghong Hek dan Kiauw Siauw Siauw merasakan lengannya
masing-masing seperti terjepit besi. Sebab Law Tong Soen sudah berlompat kepada
mereka, menyambar tangan mereka itu. untuk dipisahkan.
Siauw Siauw kaget untuk
liehaynya Tong Soen itu.
"Eh, toako, apa maksudmu?"
Tonghong Hek tanya. Dia heran.
Siauw Siauw sendiri tidak
menanya atau menegur, ia hendak mengerahkan tenaga, untuk berontak, karena mana
mendadak Tong Soen merasakan tangannya dingin sekali, hingga ia lekas-lekas
melepaskan cekatannya Tapi ia sadar, maka ia lantas berseru, menjawab kawannya:
"Tonghong Toako, ini dia yang dibilang air bah menerjang kuil si raja
naga! Tuan ini ialah puteranya Lootjianpwee Kiauw Pak Beng!"
Siauw Siauw menggunai Sioelo
Imsat Kang, ia baru menyampaikan tingkat kedua, ia tidak bisa melukai Tong
Soen. tetapi karena ia menggunai tangan dinginnya itu, si orang she Law lantas
menduga tepat tentang dirinya Sebab di jamannya itu, yang mengerti Sioelo Imsat
Kang cuma Pak Beng ayah dan anak, tidak ada orang yang ke empat. Kalau orang
muda ini bukan Le Kong Thian, pastilah dia anak Pak Beng.
Tonghong Hek melengak, Ia
menjadi bingung.
Justeru itu terdengar Sioe Lan
berseru: "Entjie Liong!"
Itu waktu segera terlihat In
Hong dan Kiam Hong datang memburu: Si nyonya ke arah Siauw Siauw, si nona ke
arah Nona Im.
Sebat sekali Tong Soen
bergerak, untuk menghalangi Nona Liong. Ia tidak kenal Sioe Lan, tak tahu dia
hal ichwalnya, tetapi sebab nona itu menjadi lantaran dari bentroknya Tonghong
Hek dengan Kiauw Siauw Siauw, dia menganggapnya sebagai nona penting. Pula,
dengan rintangan ini, dia hendak memancing kemurkaannya In Hong. Bukankah
sekarang ia dapat mengharap bantuannya Siauw Siauw?
"Minggir!" bentak
Kiam Hong dengan gusar. Ia belum tahu liehaynya si bekas tongnia Gielimkoen. Ia
pun segera menikam.
Tong Soen tertawa, dia
menyambut dengan kepandaiannya berkelahi dengan tangan kosong. Mulanya dia
berkelit, lantas dia mengulur tangannya, dengan berniat menangkap sikut si
nona, guna merampas pedangnya. Ketika itu, Kiam Hong telah menikam tempat
kosong, hingga pedangnya meluncur lewat.
Kiam Hong terkejut. Dengan
cepat ia mengelakkan diri dengan tipu silat "Lioe In Tjioe" atau
"Tangan baju mega hanyut." Ketika tangan Law Tong Soen mengenai
bajunya, tangan itu kena ia sampok. Akan tetapi: "Bret!" demikian
satu suara nyaring, ujung bajunya kena juga kesambar robek. Meski demikian, ia
terus dapat menghalau diri dan pedangnya tak sampai terampas.
Di pihak lain, saking gesit,
In Hong telah segera sampai kepada Kiauw Siauw Siauw, yang terus ia serang.
Pemuda itu menggunai kipasnya yang liehay, untuk menangkis, hingga bebaslah dia
dari bahaya.
In Hong cerdik. Ia telah
melihat luka Siauw Siauw di tangan kiri. ia mengancam ke lengan kanan, di
tengah jalan, ia mengubah tujuannya, terus ia menyerang ke tangan yang luka
itu.
Di saat Siauw Siauw sangat
terancam, hingga lengannya yang luka itu bakal menjadi buntung, maka di situ
terdengarlah suara bentrokan keras, disusul dengan jeritan menyayatkan hati.
Itulah Tonghong Hek, yang hendak membelai anaknya Kiauw Pak Beng, dia sudah
menghadang di depan si nyonya muda, yangtikamannya dia menalangi menangkisnya,
apamau pedang nyonya itu meluncur terus, mengenakan pundaknya. Sebenarnya dia
tidak terluka parah, tetapi dia mengasi dengarjeritan yang luar biasa itu,
sengaja untuk didengar Kiauw Siauw Siauw!
Mendengar demikian, pemuda she
Kiauw itu berkata nyaring: "Bagus! Benarlah kau sahabat baik! Budi ini
biarlah lain kali aku membalasnya!"
Setelah berkata begitu, dia
lari ke arah Sioe Lan.
Law Tong Soen segera berkata
kepada pemuda itu: "Tolong kongtjoe menyampaikan kata-kataku kepada
ayahmu! Bilang bahwa Law Tong Soen muridnya Tjio Hong Po dan Tonghong Hek
muridnya Koan Sin Liong, bakal mendaki gunung untuk memberi selamat!"
Kiauw Siauw Siauw dapat
mendengar kata-kata orang itu, ia menyahuti: "Baiklah. Law Tong Soen! Kamu
menyusullah belakangan!"
Sembari berkata begitu, Kiauw
Siauw Siauw memondong Sioe Lan, untuk dibawa lari. Dia merasa, menyingkir ada
jalan yang paling baik. Di situ ada Law Tong Soen dan Tonghong Hek, yang dapat
merintangi musuh-musuhnya
Sioe Lan masih sempat
berteriak: "Entjie Liong! Entjie Liong! Engko Houw, dia... dia..."
atau segera suaranya berhenti. Sebenarnya ia ingin membilangi: "...Engko
Houw, dia menyintai kau..." tetapi ia telah lantas ditotok Siauw Siauw.
ditotok urat gagunya, hingga tidak dapat ia meneruskannya.
Kiam Hong kaget dan berkuatir,
ia lompat untuk mengejar, akan tetapi ia tidak dapat mewujudkan niatnya itu, ia
lantas dirintangi Law Tong Soen. Bahkan lagi sekali, ujung bajunya kena
dirobek. Tong Soen merupakan tandingan berat.
In Hong menempur Tonghong
Hek. ia dapat mendesak, akan
tetapi kapan ia melihat Kiam Hong terdesak si orang she Law, ia menjadi
berkuatir. Ia tahu liehaynyaTong Soen dengan ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet
Tjioe, siapa kena disambar dia, tulang-tulangnya bisa patah dan otot-ototnya
putus, hingga seumurnya si kurban bakal bercacad, maka itu, ia lantas berlompat
untuk membantui si nona.
Law Tong Soen liehay. dia
lantas mendengar suara sambarannya senjata di belakangnya, sembari tertawa dia
menggeser kakinya, mengelit tubuhnya, hingga dia lolos dari bahaya. Itulah
gerakan bagus dan lincah yang dinamakan "Hoetin pauwgoat" atau
"Mengebut awan, memeluk rembulan." Dia pun tertawa dan berkata:
"Leng Liehiap. kita sama-sama bekerja untuk sahabat kita, sama sekali
tidak ingin aku bentrok, dengan kau!"
"Tapi ingat!" In
Hong membentak. "Apa katamu ketika dulu hari Thio Tayhiap mengampuni
jiwamu? Bukannya kau mengunci pintu dan memikirkan kesalahanmu, mengapa
sekarang kau muncul pula dan berbuat jahat? Aku kenal kau tetapi pedangku
tidak!"
Tong Soen tidak takut, dia
masih tertawa.
"Oh, kau tidak dapat
memaafkan aku?" katanya. "Baiklah, akan aku melayani kau beberapa
jurus, untuk membikin lenyap kemendongkolanmu!"
Meskipun dia bicara demikian
macam, di dalam hatinya. Tong Soen memikir untuk berlaku waspada. Ia percaya
pasti, setelah berselang delapan tahun, entah berapa besar kemajuannya ilmu
pedang dari nyonya muda ini. Dulu hari itu, ia menang unggul, akan tetapi
sekarang, kekuatan mereka agak berimbang.
Dengan begini mereka berempat
menjadi bertukar lawan. Menghadapi In Hong, Tonghong Hek terdesak, sekarang
melayani Liong Kiam Hong, dia seperti dapat semangat. Nyata dia menang tenaga
dalam, sedang si nona menang ilmu pedangnya. Sesudah melewati lima puluh jurus,
mereka masih seri saja.
Law Tong Soen, sambil menjagai
pintu, melayani Leng In Hong. Ia berkelahi sambil menanti waktu. Setelah banyak
jurus, ia merasa bahwa Kiauw Siauw Siauw sudah lari jauh bersama Sioe Lan, maka
mendadak ia tertawa dan berkata: "Leng Liehiap, kau telah tidak mendongkol
pula, bukan? Maafkan aku. tidak dapat aku melayani kau terlebih lama! ---
Sahabat, mari kita pergi!"
Kata-kata yang terakhir
ditujukan kepada Tonghong Hek, habis berkata, ia lantas bersiul, setelah
melakukan satu tangkisan, ia lompat keluar pintu, untuk segera mengangkat kaki.
Tonghong Hek yang cerdik sudah
menurut buat, maka itu, keduanya lantas lari kabur. Tong Soen tidak mau
berkelahi lebih lama, lantaran iakuatir Hok Thian Touw nanti keburu datang...
Ketika itu, meskipun sudah tak
lebat lagi, hujan masih belum berhenti, dan jagat gelap petang.
Ketika mereka datang, In Hong
berdua Kiam Hong menambat kuda mereka di pohon di kiri kuil, ketika Kiam Hong
pergi kesana, untuk melihat kuda mereka, ia mendapatkan dua-dua binatang
tunggang itu lagi rebah sebagai bangkai, sebab ketika tadi Tong Soen lari
keluar, sekalian dia hajar roboh kuda itu dengan pukulan Hoenkin Tjokoet Tjioe.
Tanpa kuda, tidak dapat Kiam
Hong dan In Hong mengejar musuh.
"Sudahlah, adik
Hong!" kata In Hong, mengajak. "Mari kita garang dulu pakaian
kita."
Kiam Hong tidak menyahuti, ia
hanya sangat berduka.
"Entjie Sioe Lan, entjie
Sioe Lan!" katanya sedih. Sia-sia saja ia memanggil Nona Im, tidak ada
jawaban untuknya. Maka ia memeriksa tapak kaki.
In Hong mencekal tangan orang,
untuk ditarik.
"Sudah, tak usah kau
mencari," katanya, menghibur. "Mereka bertiga pergi ke Koenloen San
kepada Kiauw Pak Beng, tidak dapat kita susul mereka."
Di dalam, tabunan masih
menyala. In Hong menambahkan beberapa potong kayu kering. Ia ajak Kiam Hong
berduduk, untuk menggarang diri.
Sekian lama Kiam Hong masih
berdiam, akhirnya ia menghela napas. Ia kata; "Entjie Sioe Lan dibawa
pergi kepada tua bangka she Kiauw itu, entah bagaimanajadinya. Bagaimana
sekarang, apa daya?"
"Siluman tua she Kiauw
itu bukannya tanpa tanding, kenapa tidak ada daya?" berkata In Hong.
"Apakah kita minta
bantuannya Thio Tayhiap?" Kiam Hong tanya. "Itulah seperti air yang
jauh sukar dipakai menolong memadamkan kebakaran yang dekat? Jikalau terjadi
sesuatu atas diri entjie Sioe Lan, bagaimana aku dapat bertanggung jawab
terhadap ibunya?"
"Baiklah kau jangan
terlalu berkuatir," In Hong membujuk. "Aku merasa bahwa Kiauw Siauw
Siauw tidak menghendaki jiwanya Sioe Lan..."
"Tapi tadi kita telah
melihat Siauw Siauw menganiaya entjie Sioe Lan, itulah sungguh
menggiriskan..."
"Itulah tentu disebabkan
hatinya sedang panas. Kita telah melihat, sebelah mukanya Siauw Siauw hangus melepuh
dan sebelahnya lagi hitam guram. Aku mau percaya, dia tentu telah terkena
senjata rahasia yang beracun dari Sioe Lan. Kaum lurus tidak nanti menggunai
senjata rahasia semacam itu."
"Dengan begitu, Siauw
Siauw pasti jadi semakin benci padanya..."
"Benar. Makajuga dia
menganiaya secara tadi itu. Tapi juga benar, karena kebenciannya itu, tidak
nanti dia merampas jiwa Sioe Lan."
Kiam Hong cerdas, dia dapat
dikasih mengerti, dengan begitu, hatinya menjadi sedikit lega.
"Kau benar, entjie,"
katanya mengangguk. "Tentu Siauw Siauw menganiaya dia, untuk memaksa dia
mengeluarkan obat pemunahnya. Atau mungkin itu berhubung dengan kitab racun
Pektok Tjinkeng."
Walaupun ia menduga tepat,
nona ini tidak dapat melegakan hati seluruhnya. Ia sekarang memikirkan, bagaimana
Nona Im dapat ditolong. Apakah ia mesti melakukan perjalanan jauh beribu-ribu
lie ke Selatan untuk memohon bantuan Thio Tan Hong?
In Hong mengawasi kawan itu,
ia dapat membade hati orang.
"Untuk melindungi jiwa
Sioe Lan, ada dayanya!" ia kata tertawa. "Jikalau sekarang kita
menyusul dia tanpa memperhitungkan segala apa, perbuatan kita itu tidak bakal
ada hasilnya. Jangan kata memangnya kita berdua tidak dapat melawan Kiauw Pak
Beng si siluman tua, umpama kata Siauw Siauw bertiga bekerja sama, mana bisa
kita melawan mereka itu? Maka itu, tidak ada keuntungannya untuk kita sekarang
menyusul mereka."
Mukanya Kiam Hong menjadi
merah, iajengah sendirinya. Baru sekarang ia sadar.
"Entjie benar." ia
mengakui. "Saking kerasnya keinginanku menolongi entjie Sioe Lan,
pikiranku menjadi butek..."
"Ketika dulu hari bersama
Thian Touw aku melayani si siluman tua she Kiauw, kekuatan kita hampir
berimbang," berkata In Hong, menjelaskan, "sekarang ilmu pedangku
memperoleh kemajuan, jikalau aku melawan pula dia bersama Thian Touw, mungkin
kita berimbang. Maka di dalam ini hal, baiklah aku mencoba dulu, jikalau aku
gagal, baru terpaksa kita minta bantuannya Thio Tayhiap."
"Benar, lagi delapan atau
sepuluh hari, kita bakal sampai di Thiansan," kata Kiam Hong. "Di
sana ada Hok Toako. mengapa aku tidak dapat mengingatnya?"
In Hong kata dalam hatinya:
"Kau mungkin tidak mengingat dia sebab dia sangat tidak gemar membantui
urusan lain orang, kau cuma ingat Thio Tayhiap saja..."
Tapi, begitu ia memikir
demikian, begitu hatinya nyonya muda ini pepat dan pedih. Ia seperti diliputi
awan gelap. Lantas ia ingat peristiwa di selat Tjheeliong Kiap, tempo orang
menempur Pak Beng ayah dan anak. Walaupun orang sudah keteter dan tinggal
runtuhnya saja, Thian Touw masih tidak berniat memberikan bantuannya. Setelah
ia bicara, hingga ia bentrok dengan suami itu, baru suaminya suka membantu.
"Bukankah untuk dia, Sioe
Lan itu orang luar?" ia berpikir. "Mana dia suka menolongi orang yang
tidak ada hubungannya dengannya?"
Ia menjadi bingung, ia
bersangsi. Dapatkah ia membujuk suaminya itu?
Meskipun kesangsiannya ini, In
Hong tidak mengutarakan itu pada Kiam Hong.
Kiam Hong berduka dan
berkuatir sendirinya. Ia tidak dapat menerka apa yang dipikir dan diberati In
Hong. Ia tidak tahu soalnya Thian Touw. Yang ia pikirkan ialah keselamatannya
Sioe Lan, urusannya Sioe Lan dan Giok Houw. Ia heran kenapa Sioe Lan terjatuh
dalam tangannya Siauw Siauw. Bukankah di tempat Tjioe San Bin ada banyak orang?
Mungkinkah karena Sioe Lan turun gunung maka dia tertawan Siauw Siauw? Kalau
benar dia turun gunung, apakah perlunya? Apakah Giok Houw telah menampik dia?
Atau dia menyadari siasatnya menjauhkan diri dari Giok Houw dan dia tak sudi
menerima itu?
"Kenapa barusan Sioe Lan
memanggil-manggil aku dan menyebut nama Giok Houw?" pikirnya lebih jauh.
"Dia tidak dapat bicara terus, mungkin dia kena ditotok Siauw Siauw.
Apakah yang dia hendak bilang? Kenapakah Giok Houw?"
Kiam Hong cerdas tetapi
sekarang pikirannya gelap. Ia mencoba memikir terus. Rasanya ia dapat menerka.
Tapi ini justeru membuatnya berduka, membikin ia merasa makin berkasihan
terhadap Sioe Lan.
Besoknya kedua kawan ini
meninggalkan kuil tua itu. Mereka berangkat tanpa mensia-siakan waktu, kecuali
di saat singgah atau bersantap. Mereka melintasi gurun pasir dan tanah datar.
Maka selang setengah bulan, tibalah mereka di kaki gunung Thiansan.
Dongak ke atas, memandangi
gunung itu, In Hong menghela napas.
"Thian Touw berada di
atas puncak, dia seperti terpisah dari dunia, dia mana tahu manusia dalam dunia
banyak sekali penderitaannya?" ia kata dalam hatinya.
Sebenarnya tenang penghidupan
di duniayang dinamakan Tho Hoa Goan atau Sumber Bunga Tho tetapi In Hong masih
belum ingin mengicipi penghidupan tenang dan merdeka itu, ia masih mempunyai
cita-citanya yang besar, maka sayanglah Thian Touw, setelah berkenalan demikian
lama dan sudah menjadi suami isteri belasan tahun, dia masih belum dapat
menyelami hati isterinya itu.
Thiansan itu tinggi dan
hawanya dingin. Umumnya orang banyak, dia baru dapat mendaki sesudah tujuh atau
delapan hari. Tidaklah demikian bagi ln Hong dan Kiam Hong, mereka ini telah
mengenal baik gunung itu, tahu di mana bagian yang berbahaya dan mahir ilmu
ringan tubuh mereka. Maka juga di hari ketiga, magrib, tibalah sudah mereka di
puncak, hingga di sini terbukalah mata mereka. Mereka melihat telaga kecil yang
airnya jernih dan bercahaya. Di samping telaga itu In Hong dan Thian Touw telah
membangun beberapa rumah batu, dan In Hong segera dapat melihat rumahnya itu.
Tanpa merasa, hati nyonya muda
ini goncang. Ia telah memikir, lebih suka ia berpisah dari Thian Touw, tak sudi
ia terikat hingga lenyap kemerdekaannya. Toh senantiasa ia memikirkan suaminya
itu. Sekarang, sesudah berada di Thiansan dan segera ia bakal bertemu sang
suami, hatinya menjadi tidak tenang.
"Jikalau sebentar aku
bertemu Thian Touw, apakah kata-katanya yang pertama?" begitu iatanya
dirinya sendiri. "Jikalau Thian Touw tidak terlebih dulu memohon
perdamaian, bagaimana dengan aku?"
Tengah berpikir itu, kaki In
Hong bertindak. Kiam Hong mendampingi ia
Tiba-tiba di dalam
kesunyiannya puncak gunung, In Hong mendengar suara bentrokan senjata. Ia
menjadi heran, hingga ia memasang telinganya, matanya mengawasi ke arah dari
mana suara itu datang, ialah bagian belakang rumahnya.
"Yang satu itu ialah
suara pedangnya Thian Touw..." kata isteri ini dalam hatinya Ia dapat
mengenali suara pedang suaminya itu, sebab ia dapat membayangi gerak-gerik ilmu
silatnya. "Siapakah berada di atas gunung? Kenapa ada bentrokan senjata?
Apakah Thian Touw lagi bertarung? Kalau benar, pihak lawan itu mesti orang
liehay..."
"Tapi Thian Touw hidup
menyendiri," pikir pula isteri ini, herannya tak berkurang. "Kecuali
dulu hari dia mengalahkan Yang Tjong Hay, ia tidak mempunyai lainnya musuh?
Siapakah orang ini? Dia bermusuh atau cuma hendak menguji ilmu silatnya Thian
Touw?"
Setelah mendengar sekian lama,
lega juga hati isteri ini. Ia mendapat kenyataan, yang bertempur itu cuma dua
orang. Itu artinya pertempuran satu lawan satu. Ilmu pedang Thian Touw sudah
mencapai puncak kemahiran, dari itu orang yang dapat mengalahkan dia tak ada
beberapa gelintir lagi. Karena ini. dengan hatinya lega, In Hong tak memikir
lekas-lekas maju membantui, sebaliknya, ia ingin menyaksikan dulu. Maka bersama
Kiam Hong, ia berjalan memutari rumahnya.
Segera juga terlihat, lawannya
Thian Touw ialah seorang pendeta tua yang bertubuh jangkung dan kurus. Tidak
jauh dari mereka itu, ada berdiri seorang umur kira lima puluh tahun, yang
tubuhnya gemuk. Dia berdiri menonton. Si pendeta bergegaman golok Kaytoo, gesit
gerak-geriknya
Hebat pertempuran itu,
walaupun In Hong pandai silat, matanya toh kabur juga menyaksikan
berkelebatannya pedang dan golok mereka yang lagi bertarung itu.
Thian Touw bersilat dengan
ilmu silat "Lioesengkangoat," atau "bintang meteor mengejar
rembulan," suatu ilmu pedang ciptaannya yang paling baru. Ilmu pedang itu
sangat cepat tikamannya saling susul. Mulanya In Hong menduga, si pendeta cuma
akan bertahan dua tiga jurus. Tapi ia menerka keliru. Pendeta itu pun liehay
sekali Dengan goloknya, dia dapat melayani pedang yang berbahaya itu. Tetap
mereka berimbang satu dengan lain. Segera senjata mereka beradu, suaranya
menulikan telinga. Sebagai kesudahan dari itu, keduanya sama-sama lompat mundur.
Si pendeta tertawa lebar dan
berkata: "Si siluman tua she Kiauw nyata tidak memuji secara yang
berlebihan! Di jaman ini benarlah ilmu pedangmu tergolong yang nomor satu!
Tidak kecewa aku telah menjelajah gunung Thiansan ini!"
Hok Thian Touw menahan pedangnya.
"Lootjianpwee," ia
berkata, tenang, "bukankah kau Tek Seng Siangdjin dari Sengsioe Hay,
Koenloen San?"
Pendeta itu tertawa pula.
"Matamu tajam sekali!" katanya. "Dengan melihat ilmu golokku,
kau dapat mengenali aku. Eh, tahukah kau maksud kedatanganku ini?"
"Mengenai itu, aku mohon
pengajaran," sahut Thian Touw.
"Kabarnya kau telah
mengumpul belasan kitab ilmu pedang," berkata Tek Seng Siangdjin.
"kau pula telah menciptakan ilmu pedang Thiansan Kiamhoat. Kau tahu, si
siluman tua she Kiauw sangat memuji kau, aku tidak percaya, maka aku datang
kemari untuk mencoba. Sekarang aku mendapat kenyataan benar ilmu pedangmu luar
biasa Itu artinya, kitab pedangmu itu ada harganya untuk aku pinjam!"
Pendeta ini bicara dengan
merdeka sekali, dia seperti tidak memikir lain orang sudi meminjamkan kitabnya
atau tidak, dia seperti menganggap, kalau dia meminjam barang orang, itu
artinya dia memberi muka kepada orang yang barangnya dipinjam itu!
In Hong mendengar tegas
kata-kata si pendeta, diajadi berpikir: "Kiranya dia inilah Tek Seng
Siangdjin. Katanya dulu hari di dalam istana raja dia dikalahkan Thio Tan Hong,
habis itu dia menyembunyikan diri, siapa sangka sekarang dia datang kemari
untuk mencari gara-gara! Thian Touw memandang kitab ilmu pedangnya sebagai jiwa
raganya, tidak nanti dia sudi gampang-gampang meminjamkannya!"
Benar-benar lantas terdengar
suaranya suami itu --- suara yang menyatakan tak puas hati.
"Lootjianpwee
bergurau!" demikian katanya. "Orang dengan derajat sebagai
lootjianpwee, bagaimana lootjianpwee dapat memikir kitab ilmu pedangku?"
"Aku bukan
menghendakinya," kata Tek Seng. "Aku cuma mau meminjam lihat untuk
satu tahun, nanti aku membayarnya pulang."
"Ilmu pedang Thiansan
Kiamhoat dari aku masih belum sempurna," Thian Touw mengasi keterangan,
"tidak dapat aku memberi pinjam kitabku. Lootjianpwee, maaf, tidak dapat
aku menerima baik perintahmu ini!"
Pendeta itu mementang lebar
kedua matanya.
"Aku sudi pinjam kitabmu,
itu artinya aku menghargai kau!" katanya, lagu suaranya aneh. "Oh,
bocah cilik, mengapa kau begini tidak tahu diri? Kau diberi selamat dengan arak
kegirangan, kau tidak sudi terima, kau sebaliknya lebih suka minum arak
hukuman! Tadi aku cuma mencoba ilmu pedangmu, sekarang aku tidak
sungkan-sungkan lagi!"
Thian Touw habis sabar.
"Aku memandang usiamu
yang tinggi, aku memanggil kau lootjianpwee!" katanya keras.
"Sekarang kau sendiri yang tidak menghargai kehormatan dirimu, maka jangan
kau sesalkan aku tidak memakai adat peradatan lagi!"
Sembari berkata begitu, Thian Touw
bahkan mendahului menyerang. Ia menikam dengan jurus "Guntur dan kilat
saling sambar." Itulah salah satu jurus Thiansan Kiamhoat. Benar sekali,
anginnya tikaman bersuara bergemuruh.
Tek Seng Siangdjin tertawa
terbahak.
"Jikalau aku tidak kasih
rasa padamu, kau belum tahu liehayku!" katanya nyaring. "Apakah kau
sangka karena kepandaian ilmu pedangmu ini aku jadi tidak dapat berbuat suatu
apa atas dirimu? Hm!"
Lantas pendeta ini mengangkat
goloknya, begitu ia berkelit, begitu ia menyerang. Tangan kirinya bergerak
mengikuti goloknya itu. Dengan begitu, golok dan tangannya itu bergerak
bersama-tangannya itu mengarah dada.
Jikalau Thian Touw kena
tertepuk, dia bisa celaka, tidak perduli ilmu dalamnya sudah mahir. Ia lantas
berkelit, perutnya dikasih kosong, dadanya ditarik pulang. Maka itu, tangannya
si pendeta cuma mengenai baju. Lantaran ini. ia jadi kena terdesak.
Tek Seng Siangdjin menjadi
liehay begini karena sejak dikalahkan Thio Tan Hong, dia telah menyekap diri
untuk meyakinkan lebih jauh ilmu silatnya. Dia panas hati. dia ingin mencari
balas. Bersama-sama Kiauw Pak Beng, dia berdiam di gunung Koenloen San,
masing-masing di bagian gunung depan dan belakang, jaraknya satu dari lain
sekira tiga ratus lie. Walaupun mereka terpisah jauh, kadang-kadang mereka
membuat pertemuan. Demikian dari Kiauw Pak Beng, Tek Seng mendapat tahu halnya
Thian Touw liehay. Dia jadi ketarik hati, ingin dia mendapatkan kitab Thian
Touw itu. sekalipun dengan paksa. Dia tahu. dalam tenaga dalam, dia tidak kalah
dari Thio Tan Hong, yang membuatnya dia kalah, ialah ilmu pedang bersatu padu
dari Tan Hong. Dia pikir, kalau dia bisa mempelajari ilmu pedang hingga mahir,
dia boleh menempur pulajago she Thio itu.
Kiauw Pak Beng mendapat tahu
apa yang dipikir si pendeta, dia menganjurkan pendeta itu. Dia sendiri tidak
mau turun gunung karena dia lagi meyakinkan ilmu silatnya yang luar biasa,
yaitu Sioelo Imsat Kang.
Untuk menyateroni Hok Thian
Touw. Tek Seng Siangdjin mengajak sahabat akrabnya ialah si orang tua umur kira
lima puluh tahun itu. namanya Kiok Ya Tjiauw. Bersama-sama mereka mendaki
gunung Thiansan. Ketika In Hong tiba, mereka pun baru sampai. Tanpa banyak
omong, Tek Seng Siangdjin menantang Thian Touw. Inilah berhubung dengan
maksudnya menguji jago Thiansan itu. Sesudah itu, baru ia mengutarakan
maksudnya ingin meminjam kitab pedang, walaupun dengan cara paksa. Ia
menganggap sudah tua dan gagah, ia memangnya jumawa, maka juga ia percaya
dengan ia minta pinjam kitab, ia sudah memberi muka pada Thian Touw!
Tek Seng Siangdjin sudah
berhasil menciptakan ilmu silat yang diberi nama "Tek Seng Tjioe,"
atau "Tangan Memetik Bintang." Tadi dia telah mencoba Thian Touw,
maka selanjutnya, dia hendak menggunai ilmu silatnya ini. Tangan kirinya itu
terlebih hebat dari tangan kanannya, tangan kosongnya seperti lebih unggul
daripada goloknya. Karena dia segera mendesak, baru selang dua puluh jurus, dia
sudah berhasil merangsak hingga lawannya terus main mundur.
Sampai di situ, kembali
pendeta ini tertawa.
"Sekarang kau ketahui
liehayku, bukan?" ejeknya jumawa. "Maka, meski kau tidak sudi mengasi
pinjam kitab pedangmu, aku toh mesti
mendapatkannya juga! - Kiok
Laotee. pergi kau geledah
rumahnya, kau cari kitab ilmu pedangnya, aku sendiri, hendak aku membikin dia
bercacad. supaya habis ilmu silatnya hingga di belakang hari dia tak usah
banyak rewel lagi!"
Perkataan yang belakangan itu
ditujukan kepada kawannya.
Kiok Ya Tjiauw tertawa.
"Aku sudah kata, memang
paling benar kita bertindak begini!" bilangnya. "Kau sendiri yang mau
kebanyakan mulut berbicara dulu dengannya! --- Eh, siapakah itu wanita di
sana?"
Orang she Kiok ini mendapat
lihat In Hong, yang berlompat keluar dari tempatnya sembunyi.
Nyonya muda itu merasa
waktunya sudah sampai untuk keluar. Ia tertawa dan menegur: "Orang tidak
punya muka! Kamu memikir untuk mencuri barang orang? Hm! Lihat, ada aku di sini
yang memasang mata padamu!"
Kata-kata itu disusul dengan
tikaman pedang, yang berkelebat seperti bianglala perak.
Poan Kimkong Kiok Ya Tjiauw,
si Arhat Gemuk, ada orang gagah kelas satu, ilmunya bagian luar, gwakang, telah
mencapai puncak kemahirannya, golok atau pedang biasa, tidak mempan terhadap
tubuhnya, akan tetapi kapan ia melihat datangnya penyerang ini, ia tidak berani
memandang enteng. Ketika tikaman tiba, ia sudah mengeluarkan senjatanya,
sepasang Patkak Kimtjie twie atau gembolan emas merah segi delapan, senjata
yang surup dengan namanya, sebab benar-benar seluruhnya terbuat dari emas merah
tulen dan beratnya tujuh puluh dua kati, harganya sepuluh ribu tail perak.
Asalnya ia begal tunggal, ia berhasil mengumpul uang membeli emas merah, untuk
membikin gembolannya itu. Selama merantau, dengan senjata itu ia menjagoi. Ada
orang-orang yang mengarah senjatanya tapi mereka gagal, mereka roboh ditangan
ini begal tunggal yang gagah. Setelah belasan tahun dan telah mengumpul banyak
uang, ia berhenti bekerja tanpa modal itu, ia hidup aman dan damai. Ia
membangun rumahnya di propinsi Kamsiok, di kaki gunung Kielian San. Baru tiga
bulan yang lalu, ia menghadapi peristiwa hebat. Tiba-tiba ia didatangi sepasang
muda-mudi, ia diserang si pemuda, yang kekosenannya berimbang dengan
kekosenannya, justeru karena itu, selagi ia seperti dilibat si pemuda, si
pemudi sudah menyerbu ke dalam rumahnya, membunuh anggauta-anggauta keluarganya,
juga murid-muridnya, hingga ia kena dikalahkan dan terpaksa mesti kabur, hingga
habislah harta bandanya dirampas muda-mudi itu, cuma senjatanya yang ia bawa
kabur. Kemudian baru ia mendapat keterangan, sepasang pria dan wanita muda itu
ialah murid-muridnya Kiamkek Ouw Bong Hoe, ahli silat pedang kenamaan di Utara,
bahwa mereka itu baru pernah pertama kali masuk dalam dunia Kangouw, apamau,
pertama kali juga mereka turun tangan atas dirinya. Katanya harta rampasan itu
hendak dihadiahkan kepada Kimtoo Tjeetjoe Tjioe San Bin. Ia jeri terhadap Ouw
Bong Hoe dan Tjioe San Bin. Karena Tek Seng Siangdjin itu sahabat kekalnya, ia
pergi ke gunung Koenloen San, mohon bantuan sahabatnya itu. Juga Tek Seng
Siangdjin tidak berani sembarang menempur Ouw Bong Hoe, ia suka membantu kalau
Kiok Ya Tjiauw suka pergi dulu ke Thiansan meminjam kitab pedang Hok Thian
Touw. Demikian mereka pergi ke gunung
Thiansan di mana mereka
bentrok dengan jago dari Thiansan itu, sampai akhirnya tibalah In Hong dan Kiam
Hong.
Kaget juga In Hong ketika
senjata mereka bentrok, tangannya sesemutan. Inilah tidak heran karena pedang
enteng membentur gembolan tebal dan berat.
Kiok Ya Tjiauw sebaliknya
berkata dalam hatinya: "Ah, wanita ini gampang diurusnya!" Ia lantas
memikir menyampok terlebih jauh, untuk membikin pedang lawan terbang. Tapi ia
salah menerka. In Hong tidak dapat dipandang enteng. Justeru pedangnya mental,
si nyonya meneruskan menarik pulang, untuk dipakai menikam ke bawah, tepat
mengenai paha!
Kiok Ya Tjiauw menjerit saking
sakit. Pedang mengenai ototnya. Saking gusar ia menghajar hebat dengan kedua
gembolannya.
In Hong sudah kenal tenaga
orang, ia tidak mau melayani sama kerasnya. Ia berkelit. Ia hanya heran
mendapatkan musuh tertikam tetapi tidak berdarah. Ketika ia mengambil ketika
memeriksa pedangnya, mengertilah ia apa sebabnya. Ujung pedangnya bengkok bekas
bentrokan pertama tadi, pantas musuh tidak terlukakan. Karena ini, ia menggunai
kelincahannya, di satu pihak ia berkelit dari setiap hajaran gembolan, di lain pihak
ia mendesak, ia mengurung lawan dengan pelbagai tikaman dan sabatan, hingga Ya
Tjiauw menjadi repot, terpaksa dia mengurung diri dengan gembolannya itu.
Thian Touw tengah terdesak Tek
Seng Siangdjin ketika ia mendengar suaranya In Hong serta diberikuti munculnya
isteri itu, ia menjadi heran berbareng girang, hingga tanpa merasa ia berseru:
"In Hong, kau datang!"
Dalam pertempuran jago lawan
jago, pantangan ialah jangan pemusatan pikiran terbagi, demikian dengan Thian
Touw ini, lantaran menyapa isterinya, ia ayal sedikit, lantas keayalannya
digunai musuhnya. Tek Seng Siangdjin menyerang hebat sekali. Cuma karena
kelincahannya, ia lolos dari bahaya, cuma bajunya yang kena terbacok robek!
Ketika itu kembali terdengar
bentakan, kali ini Kiam Hong yang muncul sambil memutar pedangnya.
"Bagus!" berseru In
Hong, menyambut kawannya itu. "Bangsat ini aku serahkan pada kau! Tapi
senjatanya berat, kau harus waspada!"
"Aku mengerti!"
menjawab Nona Liong. "Nanti aku bereskan dia!"
Segera Kiam Hong sampai, segera
ia menggantikan In Hong melawan si Arhat Gemuk!
In Hong kata dalam hatinya:
"Bangsat ini kuat, dia menang tenaga dalam dari Kiam Hong, tetapi untuk
dapat mengalahkan si Hong, dia sedikitnya harus berkelahi dulu seratus
jurus." Maka itu, ia berlega hati menyerahkan Kiok Ya Tjiauw untuk dilibat
Kiam Hong. Ia lantas pergi kepada Thian Touw, guna mengepung Tek Seng Siangdj
in.
Pendeta itu lagi mendesak
keras tatkala ia merasakan sambaran angin di belakangnya. Tahulah ia, itulah
serangan gelap. Tidak ayal lagi, ia menangkis ke belakang. Ketika tadi In Hong
menempur Kiok Ya Tjiauw, ia pun diam-diam
memperhatikannya, ia mendapat
kenyataan, nyonya muda itu kalah tenaga dalam dari Thian Touw, dia cuma
mempunyai ilmu silat pedang yang tak dapat dicela. Dari itu, di waktu menangkis
ini, ia menggunai tenaganya, ia percaya si nyonya bakal tidak sanggup bertahan.
Tapi, untuk kagetnya, ia menangkis angin!
In Hong dapat melihat
bagaimana orang menangkis ia, ia membatalkan serangannya, tak sudi ia mengadu
tenaga. Dari hendak menyerang iga, setelah menarik pulang pedangnya, ia
membabat ke atas.
Tek Seng Siangdjin kaget,
hampir kepalanya kena terpapas!
Menampak demikian, Thian Touw
girang sekali. Pikirnya: "Baru beberapa bulan tidak bertemu, ilmu pedang
In Hong maju pesat sekali!" Maka bangunlah semangatnya, lantas ia
menyerang Tek Seng. Sebelum pendeta itu dapat memperbaiki diri.
Tek Seng Siangdjin menjadi
sangat mendongkol, ia menyambut Thian Touw, ia membacok dengan hebat, sedang di
lain pihak, dengan tangan kosong ia menyerang In Hong, yang maju terus
menyusuli ia.
Hebat orang beribadat ini
tetapi ia tidak dapat mencapai maksudnya, bahkan sebaliknya, dengan lantas ia
terdesak mundur, setindak demi setindak. Karena suami isteri itu segera juga
dapat mempersatukan diri, dan ilmu pedangnya bersatu padu, Siangkiam happek,
sudah lantas tergabung. Umpama kata, desakan sepasang pedang berat seperti
gunung.
Tek Seng Siangdjin menjadi
heran sekali. Inilah di luar sangkaannya. Ini pun tidak heran. Thian Touw
sendiri turut dibikin heran karenanya. Nyatalah kemajuan isterinya itu membikin
perpaduan mereka berdua menjadi hebat sekali. Thian Touw telah menduga, kalau
ia berkelahi berendeng dengan isterinya, kekuatannya akan berimbang dengan
kekuatannya Kiauw Pak Beng. Melayani Tek Seng Siangdjin, tentu mereka bakal
menang, tetapi sedikitnya sesudah lima puluh jurus lebih. Sekarang kenyataannya
lain, baru dua jurus, mereka sudah menang unggul!
Bagaikan naga-naga
bermain-main, demikian sepasang suami isteri ini merangsak lawannya. Dengan
lantas mereka membikin Tek Seng cuma bisa menangkis, sama sekali tak dapat dia
membalas menyerang.
Ketika Kiok Ya Tjiauw, yang
lagi menempur Kiam Hong, melirik kawannya itu, ia terperanjat. Dengan terpaksa
ia menyampok tikaman si nona, habis itu ia berlompat meninggalkannya, guna
menghampirkan Tek Seng
Siangdjin, buat memberikan bantuannya.
"Bagus!" In Hong
berseru melihat orang datang padanya. Ia meninggalkan Tek Seng, ia lantas
menyambut Kiok Ya Tjiauw. Begitu ia dihajar gembolan dan ia berkelit, sembari
berkelit itu ia membalas menyerang.
Tek Seng Siangdjin melihat
pedang si nyonya meluncur ke arah Kiok Ya Tjiauw, ia tidak memperdulikan itu,
sebaliknya, dengan mengerahkan tenaga, ia menyerang Thian Touw. Ia anggap bahwa
ia telah diberikan ketika lolos dari kepungan. Lantas ia mencoba menahan pedang
musuh pria ini. Karena ia berada dekat dengan In Hong, selagi si nyonya
melayani Kiok Ya Tjiauw, mendadak ia lompat sambil menyambar dengann tangan
kirinya, guna menjambak punggung orang.
Itulah jambakan yang sangat
berbahaya, yang dibarengi dengan lompatan yang sangat pesat, yaitu lompatan
"leheng hoanwie" atau "Memindahkan wujud, menukar
kedudukan."
Tapi In Hong juga bukan anak
kemarin dulu. Ia menyambuti Kiok Ya Tjiauw bukan berarti menyambut dia belaka,
dia juga memasang mata kepada lawan suaminya. Demikian selagi ia dijambak itu,
mendadak ia menarik pulang pedangnya, untuk dipakai menanggap tangan orang!
Tek Seng Siangdjin kaget tidak
terkira! Baru sekarang ia merasa bahwa ia kena dipedayakan. Dengan kecepatan
luar biasa, ia menarik pulang tangannya, untuk ditolongi dari ancaman mara
bahaya.
Hok Thian Touw tidak berdiam
saja, ia pun maju menyerang!
Tek Seng Siangdjin dapat
menghindarkan diri dari pedang In Hong, yang ia kena sampok, tapi ia terancam
pedangnya Thian Touw. Itu waktu, Kiok Ya Tjiauw pun menyerang, tetapi dengan
berkelitnya In Hong, gembolannya menuju ke arah Tek Seng!
Dalam saat mati atau hidup
itu, Tek Seng yang kaget bukan kepalang telah menggunai tipu silatnya yang
paling mahir, yang mungkin belum perna ia gunakan. Dengan itu ia membuat
dirinya "lolos dari kematian." Ialah dengan terpaksa ia melepaskan
dan menimpukkan golok kaytoo-nya. Sebaliknya dengan kedua tangannya, ia
menyambar tangannya Kiok Ya Tjiauw, yang gembolannya mengarah tubuhnya. Dengan
keras, sedang ia pun berkelit, ia menolak tangan kawannya, untuk dibikin
nyasar, hingga gembolan itu akhirnya bentrok dengan pedang Thian Touw dan In
Hong.
Dengan lompat mencelat, Tek
Seng Siangdjin menyelamatkan dirinya, tetapi ketika ia berlompat, ia meminjam
tenaga lengannya Kiok Ya Tjiauw itu. maka dia ini, terlepas cekalannya pada
gembolannya, hingga senjatanya itu jatuh ke tanah!
Tek Seng Siangdjin melepaskan
goloknya bukan hanya melepaskan dengan begitu saja, ia sembari menimpuk Thian
Touw, selagi ia ini menyerang padanya. Serangan ini dilihat Thian Touw, dia
berkelit. Maka itu, gerakannya sendiri kena terhalang.
Celaka ialah Kiok Ya Tjiauw,
selagi gembolannya ditahan Tek Seng Siangdjin, ujung pedang In Hong mampir di
lengannya, hingga ia merasakan sangat sakit. Inilah sebab utama kenapa
senjatanyajadi terlepas dari tangannya. Sudah begitu, pedang Thian Touw juga
menyambar ke dengkulnya. Syukur dia tertolak Tek Seng, dia terhuyung, maka dia
bebas,dari tikaman itu.
Tek Seng Siangdjin berlompat
berjumpalitan, ketika ia turun menginjak tanah, ia terpisah jauh dari lawannya,
tanpa menoleh lagi, ia kabur terus turun gunung, untuk menyingkirkan diri.
In Hong kagum untuk keliehayan
Tek Seng bisa menyelamatkan diri cara demikian.
Ketika Kiam Hong menghampirkan
In Hong, Kiok Ya Tjiauw pun telah melarikan diri, hanyalah dia bergulingan
turun, terbawa angin terdengar keluhannya: "Gembolan emasku! Gembolan
emasku!" Atas itu terdengar juga suara sengit dari Tek Seng Siangdjin:
"Jikalau gunung hijau masih ada, takut apa tak ada kayu bakar?"
Tegasnya, Tek Seng penasaran
dan ingin menuntut balas kelak di belakang hari.
In Hong tertawa. "Bangsat
terokmok itu rugi besar!" katanya.
Kiam Hong memungut gembolan
orang. Dia tertawa dan berkata: "Bagus kita memperoleh harta karun ini!
Gembolan ini dapat dipakai memelihara saudara-saudara kita di atas gunung
selama setengah bulan!"
Mendengar suara nona itu,
Thian Touw mengerutkan alis. Katanya dalam hatinya: "Baru mereka pulang,
sudah mereka ingat pula gunung mereka..." Tapi isterinya itu sudah pulang,
biar bagaimana, girangnya bukan buatan, sedikit juga tak nampak roman dukanya,
sebab kemasgulannya barusan lantas lenyap seperti disapu angin.
Suami isteri itu lantas
berpegangan tangan erat-erat, mau mereka mengutarakan ribuan kata-kata tetapi
tak satu yang dapat dikeluarkan, tak tahu mereka bagaimana harus mulai bicara.
"In Hong, terima
kasih!" akhirnya kata Thian Touw selang sekian lama. "Jikalau kau
tidak pulang tepat di ini detik, pastilah kitab pedangku kena dirampas dua
manusia jahat itu..."
In Hong tertawa
"Ai," katanya,
"baru beberapa bulan tidak bertemu, kau lantas berlaku sungkan begini! Di
antara suami isteri di mana ada ucapan terima kasih? Mustahilkah, jikalau aku
menghadapi bencana, kau pun akan berdiam saja?"
Thian Touw kagum dan terharu,
ia menatap isterinya
Kiam Hong melihat kelakuan
suami isteri itu, ia girang bukan main. Mereka itu telah akur kembali. Sembari
tertawa, ia kata pada mereka:
"Nanti aku pergi kedalam
untuk mematangi sesuatu, kamu sendiri boleh pasang omong sesuka kamu!"
In Hong bersenyum, kemudian ia
mengawasi suaminya. Tiba-tiba ia melihat alis orang berkerut. Ia heran. Ia
tidak tahu apa yang membikin suami itu masgul, hingga untuk sedetik, ia
tercengang.
"Thian Touw, kau pikirkan
apa?" tanyanya kemudian, memaksakan tertawa.
"In Hong," berkata
sang suami, bukan menyahuti, hanya menanya, "ilmu pedangmu barusan aneh
sekali, adakah itu kau ciptakan sendiri atau kau dapatkan dari lain
orang?"
Sang isteri tidak menjadi
kecil hati sebaliknya, ia tertawa.
"Thio Tayhiap telah
memberikan petunjuk padaku," sahutnya. "Aku pun telah diberi pinjam
Hiankong Yauwkoat. Setelah membaca itu, aku lantas menyadari intisarinya ilmu
silat yang luhur. Tentang tipu silatku tadi, itulah ciptaanku sendiri setelah
aku memikirkannya pulang pergi sekian lama. Tak tahulah aku, tipu itu dapat
dipakai atau tidak..."
"Oh!" seru suami
itu, "rejeki kau, besar sekali, peruntungan kau sangat bagus! Aku girang
kau dapat membaca kitab luar biasa itu! Ayah bersama aku telah bersusah payah
dua turunan, baru kami berhasil menciptakan Thiansan Kiamhoat yang tidak
lengkap, tetapi kau, cuma dalam tempo dua tiga bulan, kau sudah menciptakan
jurusmu itu!"
"Tapi juga ilmu pedangku
itu belum sempurna," berkata In Hong. "Jangan kau terlalu memuji
kepadaku! Kau tahu, berhasilku ini pun ada karena jasamu."
Kata-kata itu membuat Thian
Touw puas, ia bersenyum.
"Mana ada jasaku?"
katanya. "Itulah disebabkan peruntunganmu yang bagus serta
kecerdasanmu!"
"Aku bukannya omong
merendah," kata In Hong pula. "Dengan sebenarnya tipu silatku ini aku
ciptakan karena perubahan Thiansan Kiamhoat kau itu. Bukankah kau pun telah
melihatnya?"
Thian Touw mengangguk.
"Benar," sahutnya.
"Mulanya pun aku sedikit sangsi dan berniat menanyakan kau karena jalannya
mirip dengan ilmu pedangku. Bukankah sifatnya itu selalu kebalikan daripada
tipu silatku?"
"Sedikit pun tidak
salah," jawab In Hong. "Ini juga hasil petunjuknya Thio Tayhiap.
Tayhiap menganjurkan aku jangan berkukuh kepada cara lama, supaya aku berani
mengubah, untuk menciptakan yang baru. Lurus atau aneh, akhirnya toh sama saja,
pokok dasarnya ialah satu. Tayhiap membilang juga, apabila aku telah
menyempurnakannya, maka bersama-sama Thiansan Kiamhoat kau, ilmu pedang kita
menjadi satu lurus dan satu aneh, kita berdua dapat saling mengandal atau
saling bantu, tidak bisa kita saling mengalahkan, sebaliknya jikalau kita
tergabung, faedahnya sangat besar, katanya biar musuh dari partai mana juga,
tidak dapat musuh melawan kita. Tayhiap bahkan kata, juga ilmu pedangnya
sendiri, ilmu pedang bersatu padu —— siangkiam happek --- tidak dapat bertahan.
Semua ini ada kata-katanya Thio Tayhiap, mungkin karena ia hendak menganjuri
aku."
"Tidak nanti Thio Tayhiap
sembarang mengatakan sesuatu," Thian Touw bilang. "Ah, apakah itu
benar-benar?..."
Thian Touw percaya ia sudah
berhasil menciptakan ilmu pedangnya, ilmu yang tidak ada bandingnya, tetapi
sekarang, mendengar perkataan In Hong, isterinya-atau lebih benar kata¬ katanya
Tan Hong --- ia menjadi ragu-ragu. Ia sangsi In Hong benar-benar dapat
berendeng dengannya. Hanya, kata-kata Tan Hong itu tak dapat ia tak
mempercayainya..."
In Hong mengawasi suaminya, ia
dapat menerka hati orang.
"Bagaimanajikalau kita
mencoba-coba?" tanyanya bersenyum. "Kita lihat, benar atau tidak
kata-katanya Thio Tayhiap itu, yaitu bahwa kita sama-sama tak dapat saling
mengalahkan."
Thian Touw berpikir sejenak.
"Kau baru pulang,"
katanya, "kau habis membuat perjalanan jauh berhari-hari, dan barusan baru
saja kau mengeluarkan tenaga banyak, maka marilah kita pulang dulu, habis
beristirahat baru kita mencoba-coba."
Maka suami isteri, yang telah
lama berpisahan itu, berendeng berjalan pulang.
"Lihat pohon bunga bwee
itu," kata sang suami setibanya di dalam pekarangan, tangannya menunjuk,
"oleh karena kau tidak ada di rumah, lantas tidak ada yang rawat."
Inilah kata-kata yang
berputar. Thian Touw mau membilang bahwa ia sangat pikirkan isterinya tetapi
tidak berani mengutarakannya langsung. Dengan ini juga ia dapat mencari tahu
pikiran isterinya itu.
In Hong tertawa. Ia menjawab:
"Bukankah bunga itu mekar indah?"
Isteri ini tahu maksud
suaminya, ia tapinya berlagak pilon.
Tiba di rumah, mereka lantas
duduk bersantap bersama-sama Kiam Hong, yang telah menyiapkan barang hidangan.
Habis itu, setelah beristirahat, sang Puteri Malam tampak sudah memancarkan
sinarnya yang permai.
"Mari, mari kita
mencoba!" In Hong mengajak, bergembira.
Thian Touw lantas menyambut
dengan girang. Ia memang kegilaan ilmu pedang dan semenjak tadi telah
memikirkan bagaimana harus memecahkan ilmu pedang isterinya itu.
"Mari!" katanya.
Setibanya di luar, ia tertawa dan kata: "Kau yang mulai!"
In Hong bersenyum, ia bersiap.
"Sambutlah!"
katanya. Mendadak ia menyerang dengan tipu silat "Burung walet menggaris
pasir." Mulanya pedangnya diputar dulu di depannya.
"Bagus!" sang suami
menyambut sambil tubuhnya mengegos ke samping, dari mana pedangnya diluncurkan
ke nadi sang isteri. la membalas menyerang dengan lantas. Ia melihat serangan
isterinya serupa dengan serangannya sendiri, ia bagaikan telah mengetahui
terlebih dulu ke mana isterinya hendak menyerang. Maka ia berkelit berbareng
menyerang. Ia bahkan memikir, dengan dua tiga gebrak akan membikin isteri itu
melepaskan pedangnya dan menyerah...
Sempurna Thian Touw berpikir,
akan tetapi kenyataannya beda sekali dengan pikirannya itu.
Memang serangan In Hong
serupa, maksud-maksudnya yang bermula —— tetapi habis itu ada ekornya, ekor
yang berlainan, yang di luar dugaan. Seharusnya, setelah diancam nadinya itu,
In Hong mesti menyerah, tetapi ia memikir lain. Dengan gampang ia bisa mengelit
tangannya itu, lalu dengan cepat ia menyerang pula, dengan hebat. Maka
bentroklah pedang mereka dengan menerbitkan suara berisik!
Keduanya lantas memeriksa
pedang masing-masing. Mereka girang untuk mendapatkan pedang mereka tidak
gompal.
Thian Touw heran, ia kagum.
Tapi ia tidak berhenti, dengan sebat ia memutar tubuh, untuk melesat ke samping
isterinya, buat pergi ke belakang isteri itu. Di sini ia menyerang dengan
jurusnya "Asap tunggal di gurun pasir." Itulah jurus yang terbaru,
yang diciptakan sepulangnya ia ke gunungnya. Sembari menyerang ia kata di dalam
hatinya: "Aku hendak lihat, bagaimana kau menangkisnya?"
Kembali In Hong seperti telah
mengetahui ilmu silat suaminya itu, dengan sebat, bagaikan mendadak, ia
menangkis ke belakang, hingga Thian Touw terkejut. Itulah tidak pernah dia
sangka. Dia lantas menarik pulang pedangnya.
"Traang!" kembali
terdengar suara, dari beradunya pedang mereka.
Baru setelah itu, mereka
memisahkan diri.
"Benar-benar rada
aneh!" sang suami berpikir. Tapi ia tidak berpikir lama, lantas ia
menyerang pula. Kali ini ia bersilat dengan ilmu pedang Twiehong Kiamsut, atau
"Pedang Mengejar Angin." yang pun ada jurus-jurus dari Thiansan
Kiamhoat. Saking cepatnya pedang bergerak, sinar pedang sampai berkelebatan.
"Pasti kau terdesak
mundur," pikir Thian Touw.
Lagi sekali dugaan itu
meleset. In Hong tidak mundur, dia bergerak lincah mengikuti pelbagai serangan.
Dia bagaikan bayangan. Dia mirip dengan kata-kata tua: "Suami bernyanyi,
isteri bernyanyi." Tidak perduli berapa cepat pedang Thian Touw meluncur,
tidak pernah ia berhasil mengenai sasarannya, pedang mereka tidak mau bentrok.
Thian Touw kewalahan, lantas
ia menggunai akal, mulanya ia mendesak, lalu mendadak ia berhenti, habis
berhenti sejenak, segera ia menyerang pula.
Inilah akal yang tak
terpikirkan In Hong, lantas pedangnya kena ditempel. Suami itu mengerahkan
tenaga dalamnya, dia menekan. Sang isteri kalah tenaga dalam, pedangnya kena
tertindih.
"Cukup sudah!" kata
Thian Touw tertawa, seraya dia menarik pulang pedangnya. "Benarlah
kata-katanya Tayhiap Thio Tan Hong!"
Kelihatannya Thian Touw
menang, tetapi ia tidak menang seluruhnya, sebab ia baru saja dapat menempel
dan menindih, belum merobohkan. Ia hanya menang tenaga dalam.
In Hong mengerti, ia tertawa.
"Sekarang ini Thian Touw
gemar kemenangan," pikir sang isteri. Sedang sebenarnya, suami itu
bersikap demikian saking girangnya.
Thian Touw pun berpikir:
"Benarlah pedangnya dapat berendeng dengan pedangku! Dengan begini,
kekuranganku dapat dia tambal. Baik selanjutnya aku sering berlatih dengannya,
untuk kita memperoleh kemajuan bersama, supaya Thiansan Kiamhoat lekas
sempurna, agar kita berdua tak ada tandingannya!..."
"Bagaimana
sekarang," tanya In Hong tertawa, "apakah kita berdua bergabung dapat
mengalahkan Kiauw PakBeng?"
"Sedikitnya kita dapat
berimbang dengannya," jawab Thian Touw. "Lewat lagi beberapa tahun,
baru aku merasa pasti akan dapat mengalahkan dia."
"Jikalau begitu, aku
hendak minta bantuanmu," berkata sang isteri. "Apakah itu?"
"Aku minta kau suka
bersama aku pergi ke Koenloen San untuk menemui Kiauw Pak Beng, buat minta satu
orang," sang isteri menjelaskan.
Thian Touw kaget, lenyap senyumannya.
"Ah, kembali kau hendak
main gila dengan iblis itu?" katanya, berseru.
Isteri itu tertawa.
"Apakah kau jeri
terhadapnya?" dia tanya. "Bukankah kau bilang barusan bahwa kalau
kita berdua bergabung, kita dapat melawan dia dengan seimbang?"
Thian Touw mengerutkan alis.
"Aku bukannya
takut," dia menjawab. "Aku hanya pikir, buat apa tidak keruan-keruan
kita mengganggu dia? Bukankah dia tidak mengganggu kita?"
"Memang dia bukan
mengganggu kita tetapi mirip dengan itu," sahut In Hong. "Aku mempunyai
seorang sahabat akrab yang terjatuh ke dalam tangannya, sahabat itu sekarang
tengah menderita. Tidak dapat tidak, aku mesti tolong sahabatku itu. Jadinya
bukan tak keruan-keruan aku mengganggu dia."
"Ah, In Hong, buat apa
kau mencampur banyak urusan luar? Bukankah urusan sangat banyak? Mana dapat kau
mengurusnya semua? Jikalau aku menerima baik kali ini, aku kuatir tidak lama
lagi, lantas datang keruwetan yang kedua... Dengan demikian dapatkah nanti kita
hidup dengan tenteram?"
In Hong menahan hawa
amarahnya. Ketika ia berkata, dingin suaranya.
"Paling benar kalau aku
menutup mata lebih dulu!" katanya, "dengan begitu untuk
selama-lamanya tak usahlah aku membikin kau pusing!"
"Aku cuma menasihati kau
jangan banyak campur urusan orang luar itu," kata Thian Touw sabar,
"dan ini pun untuk kebaikan kau. Mengapa kau bicara begini rupa
kepadaku?"
"Tetapi aku bukannya
gusar," In Hong jawab. "Tanpa sahabat itu, siang-siang aku sudah
mati. Thian Touw, kita telah menikah sepuluh tahun lebih, maka sekarang ingin
aku tanya kau: Jikalau jiwaku terancam, dapat atau tidak kau menolongi
aku?"
"Meski mesti mengurbankan
jiwaku, pasti aku akan menolongi kau," jawab Thian Touw lantas.
"Bagus kalau
begitu." kata sang isteri. "Di sana ada satu orang yang pernah menolong
jiwaku sekarang jiwa dia lagi terancam bahaya kematian, maka itu untuk gunaku,
aku minta sukalah kau tolongi dia!"
Tanpa menanti jawaban, atau
pertanyaan lebih jauh dari suaminya, In Hong lantas menyebutkan bahwa
sahabatnya itu ialah Im Sioe Lan, dan dengan jelas ia menuturkan duduknya
kejadian hingga Tjit Im Kauwtjoe atau Nona Im, telah menolong padanya hingga
jiwanya terampas dari tangan malaikat maut.
Kiam Hong mendengari suami
isteri "adu lidah," tetapi kapan ia mendengar penuturan tentang Im
Sioe Lan itu, ia mengucurkan air mata. Ia berkasihan dan berkuatir untuk
keselamatannya nona yang bernasib malang itu Dia yatim piatu, dia mengandung
sakit hati. dia pun tak terbalas cintanya... dan sekarang dia tengah terancam
bahaya...
Thian Touw berdiri diam, ia
tercengang.
"Tanpa Im Sioe Lan yang
memberikan obat pemunah kepadaku, sudah lama aku tidak hidup lagi hingga
sekarang ini pasti aku tidak dapat bertemu pula denganmu," In Hong berkata
pula "Dengan aku sudah tidak ada dalam dunia ini, buat apakah bicara pula
tentang ilmu pedang? Thian Touw, sekarang ini aku tidak minta kau mengurbankan
jiwamu, aku cuma mohon kau suka menemani aku pergi ke Koenloen San, untuk
menolongi Nona Im dari mulut harimau."
Thian Touw berdiam sekian
lama. baru ia menghela napas.
"Dengan begitu, tidak
dapat tidak, kau mesti menolongi nona itu," katanya. "Baiklah, buat
guna kau lagi sekali aku akan turun gunung! Tapi aku minta dengan sangat, lain
kali janganlah kau ada pula urusan semacam ini..."
Mendengar jawaban itu, Kiam Hong
berhenti menangis, bahkan dia dapat bersenyum dan tertawa. Memang selama
belasan hari ini, ia sangat menguatirkan keselamatannya Sioe Lan. Ia masih
berkuatir, tetapi harapannya timbul, maka itu, ia bisa tertawa!
In Hong sebaliknya tidak dapat
bersenyum atau tertawa. Jawaban Thian Touw cuma membuatnya lega sedikit. Ia
tetap putus asa karena sikap keras dari suaminya ini. Karenanya, ia jadi
berpikir keras sekali.
Thian Touw tidak ketahui
beratnya hati isteri itu, ia juga tidak dapat menerka. Ia mengira, setelah ia
meluluskan permintaan si isteri, beres sudah urusan di antara mereka.
Sendirinya, ia merasa lega, karena ia merasa bahwa ia sudah melakukan suatu
kebaikan. Demikian sambil tersenyum ia menegur isterinya: "In Hong aku
telah menerima baik, apakah kau masih tidak bergembira? Oh, aku mengerti! Kau
tentunya tidak puas karena jawabanku tidak diberikan lantas, mungkin kau
menyangka aku kurang sungguh-sungguh. Hal sebenarnya tidak demikian. Aku tidak
tahu bahwa dia telah menolong jiwamu. Bicara terus terang, jikalau bukan urusan
seperti ini, masih aku tidak suka pergi, dan aku tidak suka juga kau pergi
merantau kembali. Ah, In Hong, lagi sekali ingin aku menasihati kau, janganlah
kau menaruh diri dalam dunia Kangouw lagi. Jikalau kau suka mendengar perkataanku,
pasti tidak kau terancam bahaya seperti itu, hingga juga tak usahlah kau
berhutang budi demikian besar."
In Hong memandang suaminya, ia
menjawab, dengan dingin: "Tabiatku sama dengan tabiatmu, tabiat kita
sama-sama tak dapat diubah! Ah, aku juga mengharap supaya kali ini ialah yang
terakhir aku membikin kau pusing!"
Thian Touw melihat roman orang
tak wajar, ia terperanjat. Tapi ia tidak mengentarakan sesuatu, bahkan ia
tertawa dan kata: "Kita baru bertemu pula habis kita berpisah lama, untuk
bicara, dari hal-hal yang menggirangkan masih kekurangan temponya, kenapa kita
mesti omong dari hal yang tak menyenangi hati?
Ya, semua-semua salahku, aku
membuat kau gusar. Akan tetapi, aku mempunyai pengharapanku, yaitu supaya kita
untuk selama-lamanya tinggal berkumpul, untuk bersama-sama meyakinkan lebih
jauh ilmu pedang kita, agar di jaman kita ini, kita dapat membangun Thiansan
Pay, partai baru yang mengutamakan ilmu silat pedang! Aku menasihati kau
mengurangi mencampuri urusan lainnya, itulah melulu karena pengharapan atau
cita-citaku itu!"
Thian Touw bicara dengan
sabar, bahkan merendah. Selama yang belakangan ini, belum pernah ia bicara
demikian rupa terhadap isterinya itu. Dulu-dulu ia memandang In Hong sebagai
muridnya, atau sebagai adiknya yang membutuhkan perlindungannya, sekarang ia
menganggap sama rata. Ia telah mulai mengenal sifat atau sikap keras dari
isterinya itu, ia pun telah memperoleh pengajaran mereka hampir tercerai berai.
Pula ia telah melihat tegas ilmu pedang In Hong telah maju pesat sekali, hingga
ia merasa ia semakin perlu bantuannya isteri itu untuk melatih ilmu pedangnya
yang bersatu padu. Guna menciptakan ilmu pedangnya dengan sempurna, ia ingin
perhatian In Hong tak terbagi atau terkacau, supaya isteri itu tetap
mendampinginya.
In Hong sebaliknya mengenal
suaminya lebih banyak daripada suaminya itu mengenal ia, maka itu ia dapat
menerka hati sang suami. Karena sikap kukuh dari suaminya itu, ia kurang puas.
Akan tetapi sekarang, mendengar suara halus dari Thian Touw, ia tidak mau
mengumbar suara hatinya. Meski demikian, ketika ia berkata, ia berkata sambil
tertawa tawar: "Thian Touw, kau hendak menyempurnakan ilmu pedangmu, aku
harap kau akan lekas mencapainya! Hanyalah kau nampaknya telah berpikir terlalu
baik! Kau hendak hidup menyendiri, kau ingin menjaga dirimu, supaya kau tidak
mendatangkan gangguan orang, akan tetapi, dengan begitu, benarkah kau akan
berhasil dapat mempelajarinya dengan tenang dan tenteram? Kau lihat sendiri
kali ini! Kau tidak berniat mengganggu orang, sebaliknya orang datang sendiri
mengganggu kau! Hari ini baru datang satu Tek Seng Siangdjin, siapa tahu kalau
kemudian tak datang lain orang yang liehaynya melebihkannya?"
Mukanya Thian Touw menjadi
merah. Ia ingat bagaimana ia mengandal isterinya untuk mengundurkan Tek Seng.
Benar ia tidak dapat menerima baik semua kata-kata isteri itu tetapi ia tidak
mau menyangkalnya. Tegasnya, ia tidak mau mengadu mulut dengan isteri itu.
In Hong berniat berangkat di
hari kedua akan tetapi Thian Touw minta ia berdiam tiga hari, untuk melatih
diri bersama. Ia terima baik permintaan itu.
Dalam ilmu pedang, Thian Touw
menang daripada isterinya, makajuga ia dapat menunjuki pelbagai kelemahan sang
isteri dan memperbaikinya. Dengan bekerja sama, ia juga berhasil menciptakan
beberapa jurus yang baru. Maka itu, selama tiga hari, bukan sedikit penambahan
yang mereka peroleh.
Liong Kiam Hong girang melihat
suami isteri itu mendapat pulang keakurannya. Ia kata: "HokToako ada
cacadnya akan tetapi semangatnya meyakinkan ilmu pedang harus dipuji, lain
orang tak dapat menyamainya! Dia dengan entjie Leng belum mempunyai anak,
biarlah ilmu pedangnya menjadi ganti anak mereka yang nanti mengikat
mengkekalkan cinta mereka, supaya mereka dapat hidup bersama hingga usia lanjut
mereka!"
Oleh karena ia memikirkan
suami isteri itu. Kiam Hong kemudian ingat halnya sendiri serta Thio Giok Houw.
Ia percaya ia dan pemuda itu dapat menjadi suami isteri yang setimpal. Ia
lantas pikirkan lebih jauh, bagaimana nantinya pergaulan mereka. Ia pun berduka
kalau ia ingat halnya ia sebatangkara...
Di hari ke empat Hok Thian
Touw simpan kitab ilmu pedangnya di dalam gua batunya. Bertiga bersama
isterinya dan Kiam Hong, ia turun gunung. Kepada isterinya sembari tertawa ia
kata: "Inilah yang ketiga kali aku meninggalkan gunung Thiansan! Tiga kali
aku melakukannya, semua itu buat guna kau! Yang pertama ialah ketika aku
mencari kau. Itulah peristiwa pada sepuluh tahun yang lampau. Aku ingat
bagaimana kegirangan kita ketika kita berhasil bertemu satu pada lain! Ketika
itu kita tidak menyangka bahwa kita berdua masih sama-sama hidup!"
In Hong menginsafi kebenaran
kata-kata suaminya itu. Ia ingat bagaimana cinta mereka ketika itu. Kalau ia
ingat sekarang, ia merasa ia tengah bermimpi. Maka ia pun tertawa.
"Ketika itu aku masih
menjadi ratu gunung!" katanya. "Kau tentunya tidak menyangka-nyangka,
bukankah?"
Thian Touw mengangguk.
"Buat apakah menimbulkan
hal itu?" ia kata.
"Ketika itu kau turun
gunung," berkata In Hong, "kau telah memperoleh petunjuk ilmu pedang
dari Thio Tayhiap, kau pun telah mengalahkan Yang Tjong Hay hingga kau
mengambil alih kedudukannya menjadi ahli pedang yang nomor empat! Kau lihat,
turun gunungjuga bukannya tidak ada faedahnya!"
"Akan tetapi itulah nama
kosong belaka! Apakah artinya itu?" Thian Touw bilang. "Ketika itu,
yang paling membikin aku puas, ialah aku telah menemukan kau. Siapa tahu,
ketika kedua kalinya aku turun gunung, itulah untuk menyusul dan mencari kau.
Kau pergi membantu mereka merampas entah bingkisan apa, hatiku tak tenang
sekali. Maka syukurlah kau akhirnya telah kembali!..." Ia hening sejenak,
ia bersenyum dan menambahkan: "Sekarang ini untuk ketiga kalinya aku turun
gunung, kali ini kita turun gunung bersama! Aku harap tidak akan terjadi turun
gunung yang ke empat kali!"
"Tentang itu aku tidak
berani memberi jaminan!" kata In Hong tertawa. "Umpama kata kau tidak
turun gunung, aku sendiri mungkin."
Thian Touw nampak menyesal.
"Urusan di belakang hari
baik kita bicarakan di belakang hari saja," katanya memaksa tertawa.
Di sepanjang jalan ini, suami
isteri itu dapat bicara dan tertawa, akan tetapi keasyikan mereka melainkan
keasyikan di luar, di dalam hatinya, mereka tetap tawar. Di antara mereka tetap
ada pertentangan cita-cita, hingga mereka sama-sama mempunyai tujuan sendiri,
yang mereka saling berkelahikan. Thian Touw ingin mencoba menghapuskan
kegemaran merantau dari isterinya, dan In Hong menghendaki sang suami buang
pikirannya untuk hidup menyendiri terus menerus. Jadi di antara mereka tetap
ada perpisahan...
Di padang rumput jarang sekali
terdapat orang, dari itu mereka bertiga dapat berjalan dengan cepat. Dengan
merdeka mereka dapat berlari-lari keras menggunai ilmu ringan tubuh mereka.
Dengan begitu belum sampai dua puluh hari tibalah mereka di kaki gunung Koenloen
San.
Hati Thian Touw lantas menjadi
tegang sendirinya. Dia merasa, bersama isterinya tidak nanti mereka kalah dari
Kiauw Pak Beng, sebaliknya, untuk memperoleh kemenangan, ia ragu-ragu. Ia tahu
baik sekali Pak Beng telah memahamkan sempurna ilmu silatnya yang diutamakan,
yaitu Sioelo Imsat Kang.
"Ilmu pedang bersatu padu
kita maju pesat, tetapi musuh memperoleh kemajuan juga. Juga Le Kong Thian ada
bersama Pak Beng, bukankah itu sulit? Bagaimana mudah akan bicara untuk
menolong orang dari mulut harimau? --- Ah, jikalau kita tidak berhasil, sudah
tentu In Hong tidak bakal mau sudah saja! Jikalau In Hong berkukuh, bagaimana
kesudahannya nanti?"
In Hong sebaliknya memikirkan
Sioe Lan. Ia percaya nona itu menderita hebat, hingga mungkin, dia tak sanggup
bertahan lama. Karenanya, ia menjadi sangat berkuatir, hatinya menjadi tidak
tenteram.
Sementara itu Kiauw Siauw
Siauw telah kabur dari dalam kuil dengan hatinya sangat cemas. Ia terus
bergelisah dan berkuatir. Benar ia bisa membawa lolos pada Im Sioe Lan, akan
tetapi ia telah terluka, sampai sebelah tangannya patah, lepas sambungan
tulangnya, yang mana ditambah luka ujung pedang In Hong, hingga ia semakin
menderita. Di sebelah itu, ia sangat mendongkol dan bergusar. Maka semua itu
ia" tumpahkan atas dirinya Nona Im.
Sesudah lari serintasan, cuaca
nampak sedikit terang. Begitu lekas mendapat kenyataan tidak ada orang yang
mengejarnya, Siauw Siauw menghentikan keretanya. Lantas ia sadarkan Sioe Lan,
untuk segera menghujani cambukan.
Sioe Lan merasakan sakit
hebat, tetapi lebih sakit rasa hatinya karena ia telah bertemu dengan Kiam Hong
tapi gagal berbicara, karena itu, tak tahan lagi, ia lantas menangis.
"Haha-haha!" Siauw
Siauw tertawa. "Aku menyangka kau berkulit tembaga dan bertulang besi,
hingga kau tidak takuti cambukan, kiranya kau juga bisa menangis!"
Puteranya Pak Beng mengejek
tanpa ia ketahui orang menangis disebabkan apa. Ia lagi panas hatinya, semakin
orang menangis, semakin keras ia mencambuki!
Cuaca menjadi semakin terang.
Ketika matahari mulai naik, di padang rumput nampak dua penunggang kuda lagi
mendatangi cepat sekali, hingga lekas juga mereka sampai di depan Kiauw Siauw
Siauw berdua, di depan kuda keretanya jago muda itu.
"He, kenapa kau
menganiaya seorang wanita?" demikian satu penunggang kuda menegur.
"Pernah apakah dia dengan kau?”
Siauw Siauw mengawasi dua
orang itu, muda-mudi umur lebih kurang dua puluh tahun, si pemuda membekal
sebatang pedang, si pemudi sepasang gaetan. Ia percaya merekalah anak-anak
pitik, maka ia tertawa dan kata: "Dia ini isteriku! Tak berhak kamu
mencampur tahu urusan kami! Lekas pergi! Jikalau tidak, aku nanti beri rasa
cambuk kepada kamu!"
Nona muda itu menjadi gusar
sekali.
"Walaupun isterimu
sendiri tidak dapat kau menganiayanya secara begini!" bentaknya. "Aku
tidak takut kau galak, urusan ini aku hendak mencampur tahu!"
"Dia ngaco belo!"
berteriak Im Sioe Lan. "Dia penjahat besar! Dia menculik aku!"
Nona itu tertawa dingin,
lantas ia memegang gagang siangkauw, sepasang gaetannya.
"Benar-benar dia bangsat
besar!" teriaknya. "Bouwyong Soeheng, aku membunuh si penjahat, kau
menolongi orang!"
"Tidak!" menjawab si
anak muda tertawa. "Akulah yang membunuh si penjahat dan kau yang
menolongi orang!"
Nona itu melengak, hanya
sedetik, lantas ia dapat membade pikiran anak muda itu. Maka ia bersenyum.
Orang yang hendak ditolong itu seorang wanita, sudah sepantasnyalah ia yang
menolonginya. Tapi ia membenci, tingkah lakunya Kiauw siauw Siauw, ia toh
memburu kepada anaknya Kiauw Pak Beng.
Siauw Siauw tidak memandang
mata kepada nona ini. Ia pun melihat orang cantik, ingin ia mempermainkannya.
Maka ia lantas memutar cambuknya, hingga ujung cambuk menjadi bundar. Dengan
begitu ingin ia menyambut si nona untuk terus menggulungnya.
Liehay ilmu silat gaetan nona
itu. Ia tidak takut pada cambuk. Ia memang mau menyerang, maka setelah didului
dicambuk, ia lantas menyambut! cambuk dengan senjatanya itu, tatkala cambuk
kena menjadi sasarannya, ia menarik.
Siauw Siauw menarik cambuknya,
ia tidak berhasil membetot si nona, ia juga gagal meloloskan cambuknya.
Cambuk itu lolos sesudah kena
terkutungkan gaetan si nona. Tapi ia tidak takut, bahkan ia tertawa.
"Ilmu silatmu baik,"
katanya. "Baiklah kau turut aku!"
Nona itu mendongkol bukan
main, sepasang alisnya berdiri. Ia lantas menyerang. Ia menggunakan jurus
"Menunjuk langit, menggaris bumi." Maka sepasang gaetannya menjadi
bersilang.
"Bangsat anjing, serahkan
jiwamu!" ia membentak.
Kiauw Siauw Siauw tertawa
dingin.
"Kau menghendaki
jiwaku?" ia mengejek. "Aku rasa tak demikian gampang!"
Ia melepaskan cambuknya, untuk
ditukar dengan kipasnya. Ketika si nona menyerang, ia segera menempel, terus ia
menolak, membikin gaetan kiri nona itu bentrok sendiri dengan gaetan kanannya,
hingga berbunyilah suara "Traang!"
Mau atau tidak, nona itu
mundur sendirinya hingga tiga tindak.
Siauw Siauw tertawa lebar. Di
dalam hatinya ia heran juga, yang ia tidak berhasil menarik terlepas senjatanya
nona itu.
Si anak muda terkejut melihat
kawannya terpukul mundur. Mulanya ia menyangka, culik ini culik biasa saja.
Karena ini ia lantas menghunus pedangnya, ia maju untuk menyerang.
Kiauw Siauw Siauw mendengar
suara angin di belakangnya, ia menangkis ke belakang, membikin terpental pedang
si penyerang.
Justeru itu, datang pula serangan
si nona. Ia ini heran dan penasaran, karena ia pun tidak menduga, lawan ini
gagah.
Siauw Siauw berkelit, setelah
itu sebelah kakinya dipakai mendupak dengkul si nona. Maka nona itu mesti
berlompat mundur untuk menolong dirinya.
Anaknya Kiauw Pak Beng
terluka, tidak dapat ia bergerak leluasa seperti biasanya, tidak dapat ia
mengejar si nona, terpaksa ia memutar tubuh, untuk melayani si anak muda, yang
sudah maju pula.
Si nona memikir untuk
menolongi nona yang diculik itu, atau mendadak kupingnya mendapat dengar satu
suara keras. Ia terkejut. Kiranya si anak muda, yang ia panggil Bouwyong
Soeheng, kakak seperguruan she Bouwyong, telah kena diserang musuhnya,
sebaliknya, baju culik itu kena dirobek pedang sang soeheng. Soeheng itu
terpukul pundaknya.
Melihat musuh demikian gagah,
si nona batal pergi menolongi Sioe Lan. Ia menghampirkan soeheng-nya itu, untuk
membantui. Maka di lain detik, Siauw Siauw sudah dikepung berdua.
Siauw Siauw pun heran yang ia
terobek bajunya. Ia pikir: "Dari mana datangnya muda-mudi ini? Mungkin
mereka murid-muridnya seorang liehay."
Sesaat itu, tidak bisa ia
menerka siapa orang gagah yang bersenjatakan sepasang gaetan. Ia sebenarnya
berniat menanya she dan nama orang serta siapa guru mereka, tetapi ia tidak
diberi kesempatan lagi, mereka itu sudah lantas menyerang hebat padanya. Saking
didesak itu, ia menjadi mendongkol.
"Baiklah, tidak perduli
mereka murid siapa, aku binasakan dulu pada mereka!" pikirnya. Lantas ia
menggunai pesawat rahasia pada kipasnya, membuat terbang sebatang tulang
kipasnya!
Kipas Siauw Siauw ini kipas
istimewa, sudah dalam keadaan biasa bisa dipakai sebagai senjata peranti
menotok jalan darah, juga bila perlu, pesawatnya bisa dipencet, untuk membikin
tulang-tulangnya melesat, menyerang musuh sebagai senjata rahasia mirip anak
panah.
Adalah si pemuda yang disambar
tulang kipas itu. Ia terancam bahaya. Nyata ia liehay. Ketika tulang kipas
tiba, ia menghalau dengan jalan menyentil, hingga tulang itu mental balik.
Tangan kiri Siauw Siauw
terluka, belum tersambung, tangan itu tidak dapat digunakan, sedang tangan
kanannya, yang memegang kipasnya, lagi dipakai menangkis serangan si pemudi,
maka atas kembalinya tulang kipasnya itu, ia terancam bahaya; tidak ada jalan
lain, ia membuka mulutnya, untuk memapakinya. Tulang itu mental keras sekali,
waktu bentrok dengan gigi. dua buah gigi kena terhajar copot!
Bukan main kaget dan gusarnya
Siauw Siauw. Ia merasa sakit dan mulutnya menjadi penuh darah. Ia tidak
menyangka pemuda itu berkepandaian menyentil senjata rahasia demikian hebat.
Karena ini, ia tidak mau menggunai lagi senjata rahasianya itu, ia tetap
melayani bertempur dengan kipasnya, benar ia kalah angin akan tetapi ia tidak
dapat dikalahkan dengan mudah.
Muda-mudi itu menyerang makin
keras. Terutama sepasang gaetan si nona, hebatnya bukan buatan.
Siauw Siauw masih melayani
terus sampai tiba-tiba otaknya bagaikan sadar.
"Apakah kamu
murid-muridnya Ouw Bong Hoe?" ia tanya mereka.
"Kurang ajar!"
berseru si pemuda. "Apakah nama guru kami dapat kau sembarang
menyebutnya?"
Bentakan itu merupakan
jawaban. Siauw Siauw lantas tertawa.
"Saudara, jangan
gusar!" ia berkata. "Akulah Kiauw Siauw Siauw dari Koenloen San.
Gurumu dan ayahku kenal satu dengan lain, boleh dikatakan kita bukanlah orang
lain..."
"Fui!" si nona
berludah. "Kau kiranya anak dari si siluman tua she Kiauw! Kamu ayah dan
anak telah banyak melakukan kejahatan! Kejahatan itu diketahui baik sekali oleh
guru kami, sayang guru kami belum sempat pergi ke Koenloen San untuk membasmi
kamu! Bagus betul ya, kau berani bicara tentang persahabatan!"
Siauw Siauw merasa sangat
terhina. Ia malu sekali, kegusarannya jadi bertambah. Tapi ia tertawa dingin.
"Telah aku memberi muka
kepada kamu, kamu tidak suka menerima!" katanya. "Hm! Sekalipun guru
kamu, dia masih tidak berani banyak lagak di gunung Koenloen San, maka
bagaimana kamu kedua bangsat cilik, kamu berani bertingkah di depan tuan
kecilmu?"
Muda-mudi ini tidak menggubris
apa yang orang kata, setelah mengetahui siapa musuh mereka ini, mereka perhebat
kepungan mereka, masing-masing menyerang dengan dahsyat sekali. Mereka mendesak
hingga mereka membikin Siauw Siauw seperti sukar bernapas.
Sebenarnya juga mereka
murid-muridnya Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In suami isteri. Si anak muda, yang
ber-she Bouwyong, bernama Hoa. Dialah muridnya Ouw Bong Hoe. Dan si pemudi,
bernama Tiangsoen Giok, dialah muridnya Lim Sian In.
Ouw Bong Hoe suami isteri
tinggal di gunung Tangkula, yang terpisah kira seribu lie dari Sengsioe Hay di
gunung Koenloen San. Mereka ini dengan Kiauw Pak Beng jeri satu pada lain,
sebab kedua-dua pihak tidak berani memastikan akan beroleh kemenangan apabila
mereka bentrok, dengan begitu, merekajadi sama-sama hidup tenang.
Pernah satu kali, di waktu
merayakan ulang tahunnya yang ke lima puluh, Kiauw Pak Beng telah mengirim
undangan kepada Ouw Bong Hoe suami isteri. Ketika itu ia tengah meyakinkan
Sioelo Imsat Kang, kepandaian silat yang luar biasa itu, dan tatkala itu. ia
belum terdengar tentang kejahatannya. Ouw Bong Hoe dan isterinya tidak berniat
menghadiri pesta, maka itu, meski mereka tidak menampik, mereka toh mengirim
karcis nama untuk memberi selamat. Hal ini diketahui Siauw Siauw, dari itu
barusan ia menyebut-nyebut tentang persahabatan orang tua mereka kedua belah
pihak. Siauw Siauw mengharap, taruh kata mereka ini tidak mengingat
persahabatan, sedikitnya mereka merasa jeri. Siapa tahil mereka adalah mirip
gudel alias anak kerbau yang tidak takut harimau, bahkan mereka menyerang
sehebat-hebatnya!
Jika Siauw Siauw tidak lagi
terluka, dengan satu melawan dua, dia tentu bisa membikin kekuatan mereka
berimbang, sekarang dia tidak bisa menggunai tangannya yang kiri, karena itu,
dia menjadi terdesak, dia cuma bisa menangkis, tidak bisa menyerang.
Setelah bergebrak pula
beberapa jurus, hampir Siauw Siauw menjerit. Saking sakitnya, ia cuma dapat
mengeluh. Itulah sebab lengan kirinya itu, yang sakit, telah disentuh gaetannya
si nona, hingga dagingnya kena tersontek. Ia menahan napas.
"Biarlah aku adu jiwa
denganmu!" kemudian ia berteriak. Ia pindahkan kipasnya ke tangan kiri,
lantas ia menyerang dengan tangan kanannya.
Tiangsoen Giok terkejut.
Secara tiba-tiba ia merasakan dorongan keras hawa yang dingin sekali, hingga ia
menggigil. Ia heran bukan main.
Bouwyong Hoa juga tidak kurang
herannya. Ia turut merasakan hawa dingin itu. Maka ia lompat ke depan Nona
Tiangsoen, untuk menghadang lawan. Ia menyentil pula begitu lekas ia merasakan
dorongan hawa dingin. Saking kerasnya hawa, ia mundur tiga tindak. Tapi Siauw
Siauw, dia menjerit keras, dia terpental mundur setombak lebih dan roboh.
Anaknya Kiauw Pak Beng
menyerang dengan Sioelo Imsat Kang, yang dia baru dapat pelajarkan hingga di
tingkat kedua, di lain pihak, ilmu menyentil, yaitu Ittjie Siankang dari
Bouwyong Hoa, sudah menyampaikan empat bagian latihan, jadi ia ini dapat
melawan hawa dingin itu. Pula, Sioelo Imsat Kang paling meminta pengurbanan
tenaga dalam, sedang itu waktu, Siauw Siauw lagi kesakitan dan sudah letih
sekali. Maka celakalah dia, tenaga dalamnya itu buyar!
Tiangsoen Giok tertawa dingin.
"Aku mau lihat
sekarang!" katanya. "Bangsat, apakah kau masih dapat
bertingkah?" Ia lantas maju untuk menikam.
"Tunggu, soemoay!"
mencegah Bouwyong Hoa.
"Pergi kau menolongi
orang!" kata si nona. "Kau serahkan jahanam ini padaku!"
Bouwyong Hoa belum tahu Kiauw
Siauw Siauw menggunai ilmu apa, ia tidak kenal Sioelo Imsat Kang dengan hawa
dinginnya yang luar biasa itu, maka ia kuatir ini adik seperguruan nanti
dicelakai musuh. Ia tidak tahu, dengan tenaga dalamnya telah terbuyarkan, Siauw
Siauw tidak dapat menggunai lagi pukulan dinginnya itu. Umpama kata mereka
menyerang terus, pasti sudah jiwa anaknya Pak Beng bakal habis.
Tiangsoen Giok lantas
bergerak, untuk lari kekereta.
Siauw Siauw melihat sikap
orang, ia menekan pula kipasnya, untuk menyerang dengan tiga batang tulang
kipas.
Si nona mendapat lihat
serangan itu, ia menangkis dengan pedangnya.
Justeru itu waktu terdengar
suatu suara yang nyaring: "Di waktu langit terang benderang begini,
siapakah berani merampas dan membunuh orang di sini?"
Bouwyong Hoa mendengar itu. ia
terkejut. Itu waktu ia lagi menggunai tenaga dalamnya mengusir keluar hawa
dingin akibat serangannya Siauw Siauw barusan. Ia lantas menoleh ke arah dari
mana suara itu datang.
Di sana terlihat dua
penunggang kuda lagi mendatangi dengan mengaburkan kuda mereka. Orang yang satu
ialah seorang tua berhidung bengkung seperti patuk burung ulung-ulung, dan yang
lain bertubuh besar dan kekar. Sebentar saja mereka itu sudah sampai.
"Orang itu ialah si
penjahat!" berkata Bouwyong Hoa. "Dia telah merampas seorang nona.
Kami menemuinya dia di tengah jalan ini, kami lantas mencoba menolongi nona
yang dia culik!"
"Hm, kau ngaco
belo!" bentak si orang tua. "Kau yang melukai orang, sekarang kau
menuduh lain orang!" Lantas dia lompat turun dari kudanya, menghampirkan
si anak muda untuk menyerang. Dengan lantas dia menggunai tipu silat Hoenkin
Tjokoet Tjioe.
Bouwyong Hoa terkejut, untuk
membela diri, ia lantas menyentil. Tapi: "Bret!" ia mendengar suara
nyaring. Tahu-tahu, ujung bajunya telah dirobek tangan si orang tua, sedang
tangannya sendiri, yang memegang pedang, terasa panas. Coba ia telah tidak
menyentil, mungkin pedangnya kena dirampas orang tua itu.
Muda-mudi itu tidak kenal
siapa dua orang ini yang sebenarnya ialah Law Tong Soen bersama Tanghong Hek.
Mereka menyusul Kiauw Siauw Siauw dengan mengikuti tapak roda kereta. Selagi
Tong Soen melayani si anak muda, Tonghong Hek menghampirkan si nona.
Bouwyong Hoa hendak memberi
penjelasan pula tetapi Tong Soen terus menyerang kepadanya, ia didesak, hingga
terpaksa ia mesti membuat perlawanan. Baru beberapa jurus, jidatnya sudah kena
tergores kuku lawan hingga keluar darah.
Kiauw Siauw Siauw menonton
pertempuran itu, dia tertawa. Terus dia berseru: "Lao Law, kau boleh
binasakan anak muda itu tetapi si pemudi kau tangkaplah untukku!"
Mendengar itu, muda-mudi itu
terkejut. Baru sekarang mereka mendapat tahu orang ialah satu komplotan.
Tiangsoen Giok repot melayani
Tonghong Hek. yang bersenjatakan pedang besi yang besar dan berat, meskipun
gaetannya ada untuk melawan pelbagai senjata, iajeri juga untuk tenaga besar
dari sang lawan. Syukur untuknya, ia menang ringan tubuh dan lincah, jadi ia
dapat melayani kekerasan dengan kelunakan. Dengan begitu, ia dapat bertahan
hingga keadaan mereka berdua berimbang. Tapi ia dapat melihat soeheng-nya
terdesak Law Tong Soen, terpaksa ia meninggalkan musuh ini, ia lompat kepada
musuh yang satu itu, untuk menerjang.
Tonghong Hek tidak mau
ditinggal pergi, ia menyusul.
Law Tong Soen mendengar angin
menyambar, ia tahu mesti ada barang bokongan, maka ia menyambar ke belakang
seraya ia memutar tubuhnya.
Si nona menyerang tetapi ialah
yang menjadi kaget. Sambaran Tong Soen hebat sekali. Terpaksa ia berkelit.
Tangan Tong Soen sangat
liehay, dia berhasil menjambret ujung baju si nona, hingga ujung baju itu
robek!
Menampak keadaan demikian
rupa, Bouwyong Hoa berseru kepada Sioe Lan, yang ia belum kenal: "Nona,
menyesal, tidak dapat kami menolong kau! Siapakah sanakmu yang terdekat?"
Tiangsoen Giok dapat menduga
hati soeheng-nya, setelah berhenti suara soeheng itu, ia lantas membela diri.
Bouwyong Hoa lagi diserang Law
Tong Soen, ia menangkis dengan sentilannya, setelah itu, berbareng berdua
mereka lompat mundur.
Justeru itu dari dalam kereta
terdengar jawaban: "Akulm Sioe..." Tapi belum habis kata-kata itu
mendadak telah berhenti.
Kiauw Siauw Siauw sudah
kembali ke keretanya, tepat ia menotok Sioe Lan sebelum orang menutup mulut,
hingga puterinya Tjit Im Kauwtjoe menjadi tak dapat bicara terus. Dia tertotok
urat gagunya.
Bouwyong Hoa dan Tiangsoen
Giok lompat naik atas punggung kuda Tonghong Hek lantas menyusul. Dengan lekas
mereka telah kecandak. Sebenarnya mereka menunggang kuda Mongolia, yang larinya
keras, tetapi sekarang kuda itu tidak dapat berlari cepat, nampaknya seperti
ada muatannya yang berat, luar biasa.
Melihat musuhnya menyusul, si
anak muda menjadi gusar. Ia menahan kudanya, untuk diputar balik, terus ia
menyerang dengan pedangnya. Ialah seorang penunggang kuda yang pandai, sebab
selama belajar silat, ia biasa main panah sambil menunggang kuda di tanah datar
di kaki gunung.
Tonghong Hek kaget.
Penyerangan itu di luar dugaannya. Untuk menolong diri, terpaksa ia menjatuhkan
dirinya dari atas kuda, karena mana, kudanya lantas kabur pergi.
"Law Toako, mari kita
bekuk dua bocah ini!" Tonghong Hek memanggil.
"Kau kembali,
hiantee!" Tong Soen menjawab. "Kita perlu melanjuti perjalanan
kita!"
Tonghong Hek berpaling, ia
melihat Tong Soen tengah membalut lukanya Siauw Siauw. Segera ia mengerti, maka
ia kata dalam hatinya: "Kiranya dia lagi membaiki Kiauw Siauw Siauw! Aku
tungkulan mengejar musuh, aku jadi kalah satu tindak..."
Tong Soen itu ahli Hoenkin
Tjokoet Tjioe, tangan atau kaki orang yang baik dapat ia membuatnya patah atau
salah laku. dari itu, gampang saja ia menolong lengannya Kiauw Siauw Siauw,
setelah mana ia memakaikan obat dan membalutnya. Di dalam tempo yang pendek,
penderitaannya anak Kiauw Pak Beng itu menjadi berkurang banyak. Berulang-ulang
Siauw Siauw menghaturkan terima kasih.
Ketika ia telah kembali,
dengan rada jengah, Tonghong Hek kata pada si anak muda: "Apakah kongtjoe
terluka? Maaf kami datang terlambat..."
Siauw Siauw senang mendengar
kata-kata yang merendah, yang sebaliknya berarti mengangkat ia. Ia memang gemar
dipuji-puji dan dihormati. Tapi atas perkataan orang she Tonghong itu, ia
berkata dingin: "Lukaku ini aku dapatkan sebelumnya ini! Dua bocah itu
mana dapat menyusahi aku!..."
Tonghong Hek terkejut. Ia
lantas mengerti, orang merasa kurang puas. Ia menyesal yang ia tidak berpikir
dulu sebelum ia berkata. Tapi ia lantas mengubah sikapnya. Katanya hormat:
"Memang ilmu totok Keluarga Kiauw istimewa sekali, kami sangat
mengaguminya. Tadi malam aku tidak tahu tentang kau, kongtjoe, harap kau suka
maafkan kami."
Siauw Siauw tertawa.
"Siapa tidak tahu. dia
tidak bersalah!" katanya. Sekarang baru ia puas. "Kita sekarang telah
menjadi sahabat, urusan kecil tidak ada artinya. Sudah, jangan timbulkan soal
itu. Kau sebenarnya murid siapa?"
"Guruku ialah Koan Sin
Liong dari Aylauw San," sahut Tonghong Hek.
"Oh kiranya kau muridnya
Tokpie Kengthian Koan Sin Liong!" kata anaknya Kiauw Pak Beng. "Telah
aku mendengar lama nama besar gurumu itu!"
Kiauw Siauw Siauw berkesan tak
manis terhadap Tonghong Hek. akan tetapi sekarang ia berpikir: "Orang ini
bangsa kasar tetapi sikapnya menyenangkan juga." Pula, karena orang ialah
muridnya Koan Sin Liong, ia tidak bersikap dingin lebih lama pula.
Tong Soen senang menyaksikan
sikap anak muda ini.
"Koan Lootjianpwee telah
lama mengagumi ayahmu yang berkenamaan," berkata ia. "Kali ini
Tonghong Toako justeru mau pergi ke gunung Koenloen San untuk menjenguk ayahmu
itu, kongtjoe. Aku girang luar biasa untuk mendapatkan kedua guru besar dari
Selatan dan Utara dapat bersatu padu, maka itu. tak malu aku untuk menganjurkan
diri, untuk mengajak Tonghong Toako membuat kunjungan ini. Sekarang kita
bertemu kongtjoe di sini, sungguh kita girang!"
"Oh, kiranya
begitu!" kata Siauw Siauw tertawa. "Pastilah ayahku bakal menerima
baik!"
"Walaupun demikian, kita
masih mengharap kongtjoe suka membantu kata-kata di depan ayahmu itu,"
kata pula Tong Soen.
"Baiklah," Siauw
Siauw memberikanjanjinya.
Sampai di situ, Tonghong Hek
berkata pu1a. Kata-kata ini ia tunda semenjak tadi.
"Turut penglihatanku di
punggung kudanya dua bocah itu mesti ada uang dan lain barang berharga,"
demikian katanya. "Aku percaya kuda mereka itu tidak dapat lari keras. Law
Toako, kenapa kita tidak mau merampas mereka supaya sekalian saja kita
menghaturkan oleh-oleh untuk Kiauw Lootjianpwee?"
Mendengar itu, Law Tong Soen
tertawa.
"Kiauw Lootjianpwee ada
orang berilmu beda dari manusia kebanyakan dia mana membutuhkan hadiah
pertemuan semacam itu dari kau?" katanya. "Lebih baik kita menemani
Kiauw Kongtjoe pulang! Hitung-hitung kedua bocah itu untungnya bagus!"
Kiauw Siauw Siauw puas
mendengar suaranya Tong Soen itu.
"Tonghong Toako, kau baik
sekali," ia berkata. "Law Toako sebaliknya mengenal sifat manusia.
Saudara-saudara, aku menerima kebaikan kamu berdua!"
Sebenarnya Siauw Siauw juga
tak tabu untuk harta besar atau barang permata mulia, kalau sekarang ia tidak
menghendaki itu, itulah disebabkan ia ingin lekas-lekas tiba di rumahnya
sekalian untuk mengobati luka-lukanya.
Law Tong Soen sebaliknya jeri
kepada pihak Bouwyong Hoa karena.
melihat kepandaian anak muda
itu, ia menduga kepada Ouw Bong Hoe suami isteri. Tentu saja ia tidak suka
menambah musuh dalam dirinya itu suami isteri jago. Inilah bukti dari
kecerdikan dan kelincahannya.
Bouwyong Hoa dan Tiangsoen
Giok telah mengasi kuda mereka lari terus, selama sepuluh lie, mereka tidak
bicara satu dari lain. Setelah itu, baru mereka memperlahankan binatang
tunggangan mereka.
"Soemoay, apakah kau
berduka?" tanya sang soeheng tertawa. "Jangan kau pikirkan itu. Di
dalam pertempuran, menang atau kalah adalah hal biasa”
"Inilah yang kedua kali
kita bertempur semenjak kita turun gunung," sahut adik seperguruan itu,
"dan kali ini kita kena dikalahkan. Tidakkah itu membikin kecewa
pengharapan soehoe? Sudah begitu, kasihan itu nona, kita tidak dapat menolongi
dia. Apakah kau tidak berduka karenanya?"
Bouwyong Hoa mengangguk.
"Mengenai nona itu. aku
menyesal," ia berkata. "Turut penglihatanku, si tua yang pandai ilmu
Hoenkin Tjokoet Tjioe, mungkin dialah orang yang soehoe pernah membilangi kita.
yaitu Law Tong Soen komandan dari pasukan Gielimkoen. Jikalau benar dugaanku,
tidak malu kita tidak dapat mengalahkan dia. Hanya kasihan nona itu..." Ia
berdiam sebentar, seperti yang lagi berpikir, kemudian ia menambahkan:
"Kita sekarang mau pergi kepada Kimtoo Tjeetjoe. Dia luas pergaulannya,
baik kita beritahukan dia tentang urusan ini, mungkin dia kenal si nona. Dengan
begitu, nanti dapat didayakan untuk menolong padanya."
Si nona mengangguk.
Dua saudara seperguruan itu
turun gunung menuruti keinginan guru mereka, untuk menemui orang-orang dari
kaum tertua, supaya kalau nanti mereka merantau, mereka jadi telah mempunyai
banyak kenalan orang-orang kenamaan. Kimtoo Tjeetjoe ialah salah seorang yang
harus dikunjungi. Mereka tahu sepak terjang dari rombongan Kimtoo Tjeetjoe,
yang telah merampas bingkisan pelbagai propinsi untuk raja, mereka menyesal
tidak dapat turut mengambil bagian, maka itu mereka telah merampas harta
bendanya Kiok Ya Tjiauw, untuk dipersembahkan kepada Kimtoo Tjeetjoe. Kebetulan
sekali, di tengah jalan mereka bertemu dengan Kiauw Siauw Siauw dan Im Sioe
Lan, lalu juga dengan Law Tong Soen dan Tonghong Hek.
Tengah berjalan terus,
muda-mudi ini melihat dua orang lagi mendatangi di sebelah depan mereka. Mereka
melihat orang melarikan kudanya masing-masing dengan cepat, dengan sendirinya
mereka jadi ketarik hati, mereka lantas mengawasi.
Dua penunggang kuda itu beda
sekali satu dari lain. Yang satu ialah seorang muda umur lebih kurang dua puluh
tahun, romannya tampan dan gagah, tubuhnya pun dikerebongi mantel kulit rase,
sedang di pinggangnya tergantung golok yang bertaburkan batu permata. Dia
mestinya dari keluarga atasan. Sebaliknya, kawannya, yang telah berusia lima
puluh lebih, yang mukanya berewokan, berpakaian tambalan di sana-sini,
sementara tangannya mencekal sebatang tongkat peranti mengemplang anjing.
Begitu berlainan mereka berdua, tetapi mereka melarikan kuda mereka berendeng.
"Entah mereka dari
kalangan apa," Bouwyong Hoa kata perlahan pada kawannya. "Kita baik
menyingkir dari mereka..."
Tiangsoen Giok
sebaliknyaSangat tertarik perhatiannya, ia justeru melirik si orang tua mirip
pengemis itu.
Orang tua itu melihat
gerak-gerik muda-mudi itu, mendadak dia tertawa.
"Eh, anak-anak, kamu
takut apa?" katanya, riang gembira. "Apakah kamu takut aku si
pengemis tua nanti minta uang dari kamu?"
Bouwyong Hoa tidak mau
melayani bicara, ia menarik les kudanya, untuk menyingkir dari orang tua itu,
tetapi si orang tua telah melarikan kudanya, untuk terus melintangi tongkatnya
di depan orang!
"Ah. dia mau
apakah?" pikir si anak muda heran. "Mungkinkah dia telah melihat
oleh-olehku ini?"
Maka ia lantas meraba gagang
pedangnya.
"Jangan sibuk!"
berkata orang tua itu, kembali tertawa. "Meskipun aku si pengemis tua
tidak mempunyai sekalipun debu, aku masih tidak silau dengan hartamu itu!"
"Sungguh jumawa pengemis
bangkotan ini." pikir Bouwyong Hoa. "Hartanya Kiok Ya Tjiauw ini
sedikitnya berharga beberapa puluh laksa tahil perak tetapi toh katanya dia
tidak lihat mata!" Karena ia belum mendapat tahu maksud orang, ia berlaku
sabar. Ia berkata: "Aku tidak kenal kau lootiang, entah ada pengajaran apa
dari lootiang untukku?"
Tiangsoen Giok tidak ada
sesabar soeheng-nya itu. Iamenghampirkan.
"Kau siapa?" ia
menegur. "Kenapa kau memegat kami? Kami hendak lekas-lekas melanjutkan
perjalanan kami!"
"He, nona, kau galak
sekali!" kata pengemis itu. "Mungkinkah tadi kau kena dikalahkan
orang maka kau sekarang menjadi mendongkol dan mendeluh?"
Nona Tiangsoen heran.
"Eh, mengapa kau ketahui itu?"
tanya dia, yang mukanya lantas menjadi merah sendirinya. Dia telah berlaku
terburu napsu. Dengan menanya demikian, dia menjadi telah membuka rahasia
sendiri. Dia menyesal sudah membuka mulut tanpa dipikir lagi.
Si orang tua bersenyum.
"Dengan siapa kamu telah
bentrok?" tanyanya. "Coba kau tuturkan padaku, barang kali aku si
orang tua dapat membantu kamu."
Bouwyong Hoa beda dari si
soemoay yang tabiatnya sedikit keras, ia mau lantas menduga pengemis ini bukan
sembarang orang, bahkan dia tentunya tidak bermaksud jahat, maka ia lantas
mendahului soemoay itu menjawab.
"Lootiang, baiklah kau
tak usah campur segala urusan luar," ia berkata. "Percuma untuk kami
menuturkannya. Orang dengan siapa kami bentrok tadi, dia tidak dapat dibuat
permainan kecuali dia dihadapkan dengan dua orang tertentu!"
Pengemis itu mengulur
lidahnya.
"Demikian liehay orang
itu?" katanya, matanya pun dibuka lebar-lebar. "Habis siapakah itu
dua orang yang berani mempermainkan dia?"
"Yang satu yaitu Kimtoo
Tjeetjoe Tjioe San Bin, yang lainnya Tayhiap Thio Tan Hong," Bouwyong Hoa
memberitahu. Ia sengaja menyebut nama dua orang itu untuk melihat bagaimana
lagaknya pengemis ini.
"Oh!" si pengemis
berseru, lantas dia tertawa. "Kiranya semua kenalanku!"
Anak muda itu heran.
"Lootjianpwee. kau
siapakah?" ia tanya lekas.
"Nanti, aku tanya kau
lebih dulu!" berkata orang tua itu. "Bukankah sekarang ini kamu lagi
hendak memohon bantuannya Kimtoo Tjeetjoe atau Thio Tayhiap?"
"Memang benar,
lootjianpwee, kami hendak mengunjungi Kimtoo Tjeetjoe," sahut si anak
muda.
Pengemis tua itu tertawa
terbahak.
"Jikalau begitu, marilah
kamu berkenalan dengan siauwtjeetjoe ini!" ia kata. "Tjie Hiap,
mari!" ia menambahkan, kepada anak muda yang menjadi kawannya itu.
Dua orang ini bukan lain
daripada Hoepangtjoe Tie Goan dari Kaypang, partai Pengemis, dan Siauwtjeetjoe
Tjioe Tjie Hiap, Ketua muda, dari Kimtoo Tjee, markas Kimtoo Tjeetjoe. Mereka
tengah berjalan mencari Im Sioe Lan. Tie Goan melihat pakaian muda-mudi itu
robek, lantas ia menduga orang habis berkelahi.
Kedua pihak lantas saling
menghunjuk hormat, buat berkenalan.
"Ayahku pun sering
menyebut nama besar guru saudara-saudara," berkata Tjie Hiap, "dan
aku telah dipesan, apabila kami melewati gunung Tangkula, aku mesti mampir
untuk membuat kunjungan. Sungguh tidak disangka-sangka, kita bertemu
ditengahjalanini!"
"Kami pun telah mendengar
hal kamu sudah merampas bingkisan raja." berkata Bouwyong Hoa.
"Peristiwa itu sangat menggemparkan, kami sangat mengaguminya. Kami
menyesal sekali yang kami tidak dapat turut mengambil bagian. Sekarang ini kami
baru saja mendapatkan sedikit harta karun, niat kami ialah membawa ke gunung
untuk dipersembahkan kepada pihakmu, saudara Tjioe..."
Habis mengucap begitu, muka
Bouwyong Hoa bersemu dadu. la ingat bahua barusan ia telah menyangka jelek pada
Tie Goan.
Hoepangtjoe itu tertawa
tergelak.
"Aku si pengemis tua, aku
tidak membutuhkan uang, untukku, uang itu apa perlunya?" katanya.
"Tapi mengenai saudara-saudara di atas gunung, mereka benar-benar
membutuhkan uang dan rangsum, maka uangmu ini beberapa puluh ribu tahil perak
berharga sekali untuk mereka!"
"Saudara, dengan siapa
tadi kamu bertempur?" Tjie Hiap tanya.
"Dengan anaknya si
siluman tua Kiauw Pak Beng," Bouwyong Hoa memberitahu.
Tjie Hiap terkejut.
"Oh, Kiauw Siauw
Siauw!" serunya. "Untuk urusan apakah?"
"Dia telah menculik
seorang nona muda, di sepanjang jalan dia telah menganiayanya." Tiangsoen
Giok menggantikan soeheng-nya menjawab. "Kami tidak dapat mengawasi saja
perbuatannya yang jahat dan kejam itu!"
Kembali Tjie Hiap terkejut.
"Bukankah nong itu Nona
Im Sioe Lan?" dia tanya.
"Memang, nona itu she
Im," sahut Tiangsoen Giok. "Kau kenal dia?"
"Dia justeru orang yang
melepas budi besar kepada kami," kata Tjie Hiap, "dan sekarang kami
lagi mencari dia. Siapakah itu yang ada bersama Kiauw Siauw Siauw?"
Bouwyong Hoa tidak kenal Law
Tong Soen dan Tonghong Hek, ia cuma menduga-duga komandan Gielimkoen itu, maka
ia menjelaskan potongan tubuh dan roman serta usia mereka juga.
Tie Goan tertawa.
"Benar-benar mereka itu
tidak dapat dibuat permainan!" katanya. "Si hidung bengkung itu pasti
Law Tong Soen!"
"Biarnya begitu, kita toh
mesti seteroni dia!" kata Tjie Hiap. Ia lantas mengangkat cambuknya untuk
mengasi kudanya lari.
"Tahan!" Tie Goan
berseru.
"Kenapa?"
"Sabar. Kita bekerja
mesti jangan menuruti darah panas saja. Mereka itu sudah pergi sekian lama,
taruh kata kita menyusul mereka, belum tentu dapat kita menyandak. Lain dari
itu, umpama kata kita berhasil menyusul mereka, jikalau mesti bertempur, kita
juga bukan tandingan mereka itu. Turut penglihatanku, Kiauw Siauw Siauw pasti
mau pulang ke Koenloen San."
"Jikalau dia dibiarkan
membawa Sioe Lan sampai ke gunungnya, bukankah itu berarti lebih sukar untuk
menolongnya?" tanya Tjie Hiap, yang masih penasaran.
"Itulah benar. Tapi
menurut aku, baiklah kita mengatur begini: Kita minta saudara Bouwyong berdua
melanjuti terus perjalanan mereka ke gunung, di sana mereka boleh sekalian
memberitahukan halnya kita sudah mendapat endusan tentang Nona Sioe Lan. Kita
berdua, kita menguntit terus. Kita dapat memeriksa tapak kereta di sepanjang
jalan. Di mana perlu, kita pun dapat minta bantuannya sahabat-sahabat
setempat."
Tjie Hiap dapat dikasih
mengerti, maka ia dapat menyabarkan diri. Sekarang ia insaf, memang satu Law
Tong Soen saja sudah sukar untuk ditempur. Ia pula menduga, bahaya jiwa
langsung bagi Im Sioe Lan mungkin belum ada, kalau tidak, tidak nanti nona itu
dibawa lari terus menerus.
"Baiklah," katanya
akhirnya.
Tie Goan lantas minta Bouwyong
Hoa dan Tiangsoen Giok pergi terus ke gunung, buat menyerahkan hartanya
sekalian memberitahukan halnya mereka menyusul Kiauw Siauw Siauw dan Im Sioe
Lan.
Bouwyong Hoa berdua setuju.
"Jikalau di tengah jalan
tidak didapatkan kawan untuk membantu," berkata Nona Tiangsoen,
"karena untuk pergi ke Koenloen San gunung Tangkula harus dilewati,
baiklah kamu mampir kepada soehoe dan soenio kami. Bilang bahwa kami telah
diperhinaKiauw Siauw Siauw. Soenio paling menyintai aku, ia tentu bakal membalaskan
sakit hati. untuk melampiaskan kemendongkolanku!"
Tie Goan tertawa.
"Benar!" katanya,
memuji. "Guru kamu itu ialah orang yang ketiga yang berani mempermainkan
Kiauw Pak Beng!"
Sampai di situ, mereka lantas
berpisahan.
Kiauw Siauw Siauw bertiga Law
Tong Soen dan Tonghong Hek, dengan membawa Im Sioe Lan, tiba di rumau dengan
tidak kurang suatu apa. Siauw Siauw mendapatkan, orang yang menyambut ia di
rumahnya itu ialah orang yang ia tidak sangka-sangka. Dialah Le Kong Thian,
yang ada bersama-sama Tek Seng Siangdjin dan Kiok Ya Tjiauw.
Tek Seng dan Ya Tjiauw turut
menyambut, tidak perduli tingkat derajat mereka lebih tinggi daripada Siauw
Siauw. Inilah disebabkan mereka hendak mengambil hati, supaya mereka berhasil
mengikat persahabatan dengan Kiauw Pak Beng.
"Eh, Kong Thian, kenapa
kau sudah pulang?" Siauw Siauw tanya pengurus rumah tangganya itu.
"Buat apa aku tidak
pulang?" Kong Thian membaliki. "Pektok Tjinkoen bersama Tjit Im
Kauwtjoe sudah mati, kitab Pektok Tjinkeng telah dimiliki Im Sioe Lan. Im Sioe Lan
sendiri bernaung di dalam Kimtoo Tjee, aku tidak sanggup menawan dia, terpaksa
aku pulang."
Siauw Siauw tertawa.
"Coba kau lihat di dalam
kereta sana. siapakah orang itu?" ia kata sambil menunjuk ke keretanya.
"Pergilah kau bawa dia masuk!"
Le Kong Thian terperanjat
bahna herannya.
"Im Sioe Lan?"
tanyanya. "Kau berhasil menawan dia?"
"Benar!" sahut Siauw
Siauw bersenyum. "Pektok Tjinkeng juga berada ditanganku! Nah, lekas kau
mengabarkan pada ayahku!"
"Soehoe lagi berlatih
dengan menutup diri," Kong Thian memberitahu. "Besok tengah hari baru
ia akan membuka pintu kamarnya. Tek Seng Siangdjin ini berdua telah datang
semenjak dua hari, mereka pun belum dapat menemukannya."
"Kita jangan
kesusu," berkata Law Tong Soen. "Tidak apa kita menanti satu atau dua
hari."
Tong Soen ini berpandangan
jauh. la telah mengatur rencana, kecuali Kiauw Pak Beng, ia ingin menempel
lain-lain orang liehay dan Tek Seng Siangdj in ini salah seorang yang telah
tercatat dalam daftarnya. Maka sekarang dapatlah ia duduk beromong-omong dengan
Tek Seng dan Kiok Ya Tjiauw, hingga ia mengetahui juga, mereka ini mau minta
bantuannya Kiauw Pak Beng disebabkan kekalahan mereka di Thiansan. Tentu
sekali, mereka lantas dapat bicara dengan asyik dan ia lantas mendapatkan
persetujuannya Tek Seng Siangdjin.
Besoknya benar saja Kiauw Pak
Beng muncul dari kamar latihannya, la menemui sekalian tetamunya. Ketika ia
mendengar laporannya Le Kong Thian, ia menitahkan anaknya untuk Sioe Lan segera
dibawa menghadap padanya.
"Duduk," ia berkata
pada si nona, begitu lekas Nona Im telah dibawa datang. “Katanya ibu dan ayahmu
telah menutup mata, kau sekarang tidak punya andalan lagi, baiklah kau tinggal
di sini bersama aku. Nanti aku pilihkan kau hari yang baik untuk kamu
menikah." Sioe Lan gusar.
"Kau telah mengangkat
dirimu sebagai jago Rimba Persilatan!" katanya keras, "kenapa kau
menghina seorang perempuan muda yatim piatu? Biarnya aku mesti mati. tidak
nanti aku menikah dengan anak mustikamu!"
Ketika ia dibawa masuk, Sioe
Lan telah ditotok bebas oleh Kiauw Siauw Siauw, maka itu, habis berkata keras
itu, terus ia berlompat bangun, untuk membenturkan kepalanya pada tembok.
Kiauw Pak Beng mengulur
tangannya untuk mencegah.
"Mari kita bicara secara
baik-baik," katanya tertawa. "Buat apa bunuh diri?" Sioe Lan
merasakan dorongan tenaga yang kuat bingga ia terpaksa kembali duduk di
kursinya, tenaganya lantas lenyap semua. Ia mengeluh di dalam hati, sebab
sekarang, mau mati pun tidak bisa.
Kiauw Pak Beng memandang
puteranya, lalu ia mengawasi si nona.
"Suami isteri muda
berselisih adalah hal lumrah sekali," ia bilang, sabar. "Tapi, kenapa
kau menggunai racun mencelakai anakku?"
"Dia telah merampas
barangku, dia juga menghina aku!" sahut Sioe Lan. “Aku tahu aku tak bakal
lolos lagi dari genggamanmu, tetapi aku juga mau membikin anakmu tak dapat
hidup lebih lama pula!"
"Oh, kiranya
begitu!" kata Pak Beng. "Siauw Siauw, mari kitab Pektok Tjinkeng itu,
kasih aku lihat!"
Siauw Siauw menyerahkann kitab
rampasannya kepada ayahnya itu.
Pak Beng membeber kitab itu,
ia memeriksa sekian lama.
Siauw Siauw bergelisah, ia
mengawasi ayahnya. Ia tidak berani mengganggu ayah itu.
Setelah berselang sekian lama,
baru mata Pak Beng dialihkan dari kitab tentang pelbagai racun itu.
"Tidak kecewa kau menjadi
puterinya Tjit Im Kauwtjoe!" ia kata pada Nona Im. "Benar hebat
kepandaianmu menggunai racun!"
Mukanya Siauw Siauw menjadi
pucat.
"Ayah, bagaimana?"
ia tanya ayahnya. Ia takut bukan main.
"Apakah kau tidak
dapatkan obat pemunahnya?" si ayah balik menanya.
Hati Siauw Siauw bercekat.
Tahulah ia sekarang, racun dalam tubuhnya itu tak dapat diobati kecuali oleh
Sioe Lan sendiri. Terang ayah itu buntu jalan.
"Semua obatnya telah
dapat dirampas," ia menyahut. "Obat itu ada beberapa puluh macam,
tidak ketahuan yang mana satu obat pemunahnya..."
Habis berkata, ia pun
menyerahkan semua obat rampasannya.
Kiauw Pak Beng lantas memakai
sarung tangan kulit. Ia keluarkan semua obat dari dalam kantungnya, ia
pisah-pisahkan itu.
Melihat caranya orang
memisahkan obat, Sioe Lan kaget. Ia kata dalam hatinya: "Cuma sebentar
saja dia membaca Pektok Tjinkeng, lantas dia dapat memisahkan obat-obatku
begini rupa. Nyata dia jauh terlebih liehay daripada anaknya!"
"Kau tunjuk mana obat
pemunah untuk luka anakku!" kemudian Pak Beng berkata pada Sioe Lan.
Nona lm tertawa dingin.
"Kau boleh bunuh
aku!" katanya nyaring. "Untuk menunjuki obat, tidak nanti!"
"Oh, kiranya begini rupa
kau membenci anakku!" kata Pak Beng. "Baiklah! Kau tidak suka menikah
dengannya, kau tunjuk obat pemunahnya, nanti aku merdekakan kau!"
Hati Sioe Lan tergerak juga.
Akan tetapi kapan ia ingat bagaimana di sepanjang jalan ia disiksa Siauw Siauw.
hatinya menjadi mantap pula. Ia menutup mulutnya.
Pak Beng mengawasi tajam.
"Hm!" terdengar
suaranya. "Kau kira dengan kau tidak menunjuki obat pemunahnya lantas aku
tidak berdaya lagi?" Ia lantas mengangkat pitnya, ia menulis dua helai
surat obat, kemudian ia panggil satu orangnya seraya terus berkata padanya:
"Setiap obat dari surat obat ini kau masak dengan airnya lima belas
mangkok. setelah matang, kau bawa mari!"
Sioe Lan dengar itu. ia kata
dalam hati kecilnya: "Taruh kata kau ketahui caranya membuat obat pemunah,
dalam satu tahun atau sedikitnya setengah tahun, tidak nanti kau dapat
mengumpul semua obat yang dibutuhkan! Aku tidak percaya di dalam rumahmu ini
kau dapat menyimpan obat-obatan demikian lengkap! Pula di dalam Pektok Tjinkeng
tidak ada dimuat resep keracunan tertentu, untuk membuat semacam obat pemunah,
lebih dulu orang mesti mengerti perihal pelbagai macam racun serta sifatnya
setiap obat, baru macam-macam obat itu dicampur menjadi satu!"
Nona ini bersenyum mengejek.
Ia menyangka Pak Beng mengumpul pelbagai racikan, buat membikin obat pemunah
untuk anaknya itu.
Kiauw Pak Beng tidak menggubris
nona itu, ia hanya menyuruh Siauw Siauw mengundang Tek Seng Siangdjin dan Kiok
YaTjiauw datang masuk, untuk ia minta penjelasan perihal pertempuran di gunung
Thiansan itu ketika mereka dikalahkan Hok Thian Touw suami isteri.
"Baik, akan aku
membalaskan sakit hati kamu!" katanya kemudian. "Tapi, Tek Seng
Siangdjin, kau mesti melakukan sesuatu untukku!"
"Asal yang aku sanggup,
pasti aku akan lakukan," Tek Seng Siangdjin memberikan janj inya.
"Itulah gampang sekali.
Kau bawakan aku beberapa biji batu Keehiattjio dari Sengsioe Hay."
Seperti diketahui, Sengsioe
Hay ialah tempat mana Tek Seng Siangdjin tinggal. Batu itu keehiattjio ialah
"batu darah ayam."
Mendengar itu, Tek Seng
Siangdjin tertawa. Perjalanan ke rumahnya dapat dilakukan pulang pergi dalam tiga
hari. Ia kata: "Aku kira kau menghendaki barang apa, kiranya benda itu!
Kau tunggu, aku nanti pergi, lusa malam aku akan sudah kembali kesini!"
Im Sioe Lan ketahui, keehiat
tjio itu ialah semacam bahan obat yang sifatnya panas dan keras. Maka ia kata
pula dalam hatinya: "Jikalau kau pakai batu itu untuk racikan obat, aku
tanggung anakmu bakal mampus dalam waktu terlebih lekas lagi!"
Semundunya Tek Seng Siangdjin
dan Kiok Ya Tjiauw, maka pegawainya Pak Beng telah selesai memasak matang obat
yang dia minta tadi, semuanya dimuatkan dalam dua teeko tembaga yang besar.
"Sekarang pergi kau cari
lima belas ekor anjing yang galak!" dia menitah pula.
Sioe Lan heran, hingga ia
menjadi ingin ketahui apa akan diperbuat siluman tua she Kiauw ini.
Kiauw Pak Beng menuang sedikit
isinya kedua teeko itu ke dalam masing-masing mangkok, lantas ia membuka
sebungkus obat, sedikit obat itu disentilkan masuk ke dalam dua mangkok itu.
"Kau ambil kedua mangkok
ini!" kata ia pada anaknya.
Siauw Siauw heran.
"Adakah ini obat pemunah?" pikirnya. Tapi segera ia mendengar ayahnya
menambahkan: "Kau cekoki ini kepada anjing!"
Baru sekarang Siauw Siauw tahu
itulah bukan obat untuknya.
Pegawai tadi memegangi dua
ekor anjing, dengan memegang lehernya, Siauw Siauw menuang obat ke dalam
mulutnya masing-masing anjing itu.
Cuma sebentar, mendadak anjing
yang seekor menggonggong keras, lantas dia lompat menubruk. Tapi Siauw Siauw
liehay, dengan satu sampokan, ia membikin anjing itu roboh, lantas ngoser di
lantai, lantas darah keluar dari mulut, hidung, mata dan kupingnya, lalu
sejenak kemudian, dia berdiam dan mati.
Anjing yang lainnya
sebaliknya. Dia perangkatkan diri, dia berkuwing, badannya bergemetar seperti
kedinginan, tidak lama, dia berdiam dan mati juga...
Hati Siauw Siauw terkesiap, ia
heran.
Kiauw Pak Beng menggeser ke
samping dua bungkus obat tadi itu, lantas ia mengambil yang lain, yang ia
campurkan ke air obat masakan, yang ia telah tuang ke dalam dua mangkok,
setelah mana, ia menyuruh anaknya mencekoki lagi dua ekor anjing yang membandal
dicekok dengan paksa.
Sebentar kemudian, dua ekor
anjing pun mati.
Kiauw Pak Beng mengulangi
perbuatannya, hingga dua belas ekor anjing pada mati, tinggal yang tiga. Semua
kematian itu berlainan satu dengan lainnya, tetapi dapat digariskan kepada dua
golongan: yang satu menjadi galak dan merangsang, yang lain menjadi lemah tak
bertenaga Yang tiga itu, yang diberi obat juga, terus rebah diam, keadaannya
seperti orang menderita sakit berat.
"Sekarang singkirkan
semua anjing itu!" kata Pak Beng. Terus dia tertawa dan menambahkan:
"Meski aku telah kurbankan lima belas anjing pemburuku, setelah pelbagai
obat dapat diperiksa sifatnya, itu berharga juga!"
Sioe Lan masih berdiam saja ia
tak mengerti maksudnya jago tua itu.
Pak Beng lantas menggeser tiga
bungkusan obat ke depan si nona.
"Tunjukilah yang mana
satu obat pemunahnya!" katanya bengis.
Nona Im kaget. Memang, obat
pemunah itu ialah satu di antara tiga bungkus itu. Ia juga kagum untuk caranya
Pak Beng memeriksa semua obatnya itu.
Dua rupa obat yang dimasak
Kiauw Pak Beng itu terbagi dalam dua rupa sifat, panas dan dingin. Ia belum
tahu cara mengobati keracunan anaknya tetapi dengan memeriksa nadi si anak, ia
tahu juga anaknya itu terserang racun yang sifatnya panas tercampur dingin,
yang bekerjanya lambai, bahwa racunnya lebih banyak bersifat panas, lebih
sedikit bersifat dingin. Dengan meracuni ke lima belas ekor anjing, tahulah ia
perbedaannya pelbagai kurban anjing itu. Anjing yang kalap ialah yang minum
obat panas, dan yang menjadi lemas terkena obat sifat dingin. Tiga anjing yang
terakhir, mati tidak, hidup tidak, dan itu anjing ketiga ekor itu kena minum
obat yang racunnya bekerja lambat.
Sebagai seorang liehay, Pak
Beng juga tidak cuma memeriksa obat-obatan itu dan mengujinya terhadap anjing,
diam-diam dia memperhatikan air mukanya Sioe Lan, untuk membade hati si nona.
Maka akhirnya dia tertawa
lebar dan kata: "Sekarang tinggal ini tiga macam obat, tinggal dipilih
saja! Apakah kau masih hendak memaksa aku memikirkan dan mencobanya lagi?"
Di dalam hati kecilnya, Sioe
Lan kata: "Tiga macam obat ini semua bersifat hampir bersamaan, biarnya
kau pintar luar biasa, tidak nanti kau dapat memilihnya!"
Tjit Im Kauwtjoe cerdik luar
biasa, kepandaiannya mengenai racun sukar tandingannya, sedang Sioe Lan telah
mewariskan kepandaian ibunya itu— — kepandaian menggunai jarum beracun, yang ia
telah pakai menyerang Kiauw Siauw Siauw. Obat pemunah untuk keracunan itu
melainkan satu rupa. sekarang obat ada tiga macam, asal salah pilih, jikalau
Siauw Siauw salah makan, segera dia bakal mati!
Kiauw Pak Beng tertawa dingin
melihat orang membungkam saja.
"Baiklah!" katanya,
bengis. "Kau tidak suka bicara tetapi aku menghendaki kau sendirilah yang
memberitahukan aku!"
Tiba-tiba saja jago tua ini
menyambar tangan si nona, untuk dengan jerijinya menekan nadi. Dengan lain
tangannya ia menjemput sebungkus obat, yang ia terus ulapkan di muka nona itu.
"Ini bukan?" dia
tanya, keras.
Sioe Lan merapatkan giginya,
ia menutup mulutnya.
"Biarnya aku mati, tidak
nanti aku memberitahukan!" pikirnya, nekad.
Siauw Siauw heran atas sikap
ayahnya. Ia berpikir: "Kalau dia suka bicara, tentu dia sudah bicara
siang-siang. Perlu apa untuk menanya begini padanya?"
Kiauw Pak Beng tidak
memperoleh jawaban, dia mengangkat bungkusan obat yang kedua.
"Pasti ini?"
tanyanya pula. Sioe Lan tetap membungkam. Maka jago tua itu mengangkat
bungkusan yang ketiga, yang terakhir.
"Aku tahu!" dia
berseru. "Tentu ini!"
Sioe Lan menguatkan hati, dia
tidak mengasi kentara sikap apa juga.
Kiauw Pak Beng tidak menjadi
gusar yang ia dilawan bungkam, sebaliknya, ia tertawa terbahak. Dari antara
tiga bungkus obat itu, ia ambil satu, terus ia lemparkan itu pada anaknya.
"Dia telah memberitahukan
aku!" katanya. "Ini dia!"
Kiauw Siauw Siauw menyambuti
obat itu, akan tetapi ia ragu-ragu.
"Lekas kau minum!"
kata sang ayah. "Tidak salah!"
Anak itu menganggap nanti
ayahnya mempermainkan jiwanya, maka itu ia lantas makan obat itu.
Memang itulah obat pemunah,
maka juga, Sioe Lan menjadi heran sekali. Bukankah ia telah terus menutup
mulut? Saking berduka, ia jadi mengeluh di dalam hati.
Kiauw Pak Beng benar-benar
liehay. Walaupun si nona membungkam, ia memasang mata tajam. Di lain pihak,
iatelah memegang nadi nona itu. Hati Sioe Lan tegang sendirinya ketika ia
memilih tiga bungkusan itu. dari denyutan nadi dapat ia menerka. Nyata ia
menerka tepat.
Setelah anaknya makan obat,
Pak Beng tertawa dan berkata: "Pektok Tjinkeng telah berada di dalam
tanganku! Obat pemunah juga telah aku kenali! Bagaimana, apakah sekarang kau
masih berani membelar terhadapku?"
Nona Im percaya bahwa ia
adalah bagian mati, maka ia jawab: "Kau namakan dirimu satu guru besar
tetapi kau menghina satu anak muda! Kau tidak tepat, namamu itu tidak
sesuai!"
Kiauw Pak Beng panas hatinya
tetapi ia dapat menguasai dirinya.
"Baik, akan aku
pertunjuki lagi satu kepandaianku untuk kau lihat!" katanya. "Hendak
aku membikin kau puas dan tunduk!" Ia lantas menjemput sebungkus obat
racun. Ia tanya: "Bukankah ini racun yang paling hebat?"
"Kenapa?" tanya si
nona.
"Kau lihat!" kata
Pak Beng, yang terus menitahkan orangnya mengambil semangkok air jernih, lalu
racun itu dituang ke dalam air itu, hingga air itu lantas bergolak-golak.
Itulah bukti hebatnya racun, yang sifatnya panas.
Setelah itu. dengan mementang
mulutnya, Kiauw Pak Beng cegluk habis racun itu.
"Jangan kata baru
kau!" katanya tertawa, "biarnya kakek gurumu, si Raja Racun, dia
tidak nanti dapat berbuat apa-apa atas diriku!" Sioe Lan melengak, dia
berdiam. Sementara itu Siauw Siauw, setelah makan obatnya, tidak merasakan
sesuatu, maka itu, lega hatinya. Ketika ia melihat ayahnya minum racun tanpa
akibat apa-apa, ia berjingkrak.
"Baiklah manusia hina
dina ini dimampuskan saja!" katanya sengit. "Untuk apa dia dikasih
tinggal hidup terus?"
"Dialah bakal nona
mantuku!" kata Pak Beng, menjawab anaknya. "Biarnya dia tidak
berkeperimanusiaan kau sendiri
tidak dapat tidak berlaku bijaksana! Maka itu, asal dia suka menyerah dengan
sesungguhnya hati, dapat dia diberi maaf!"
Sioe Lan telah menjadi nekad,
ia menjadi gusar.
"Siapakah pernah menerima
lamaranmu?" dia berseru. "Ha, kepala hantu, kau pun berani omong
tentang perikemanusiaan dan kebijaksanaan! Tidak, walaupun aku mati, tidak
nanti aku menyerah!"
"Aku justeru tidak
menghendaki kematianmu!" kata Pak Beng tenang. "Siauw Siauw pergi kau
tutup dia! Tunggu sampai dia sudah menyerah benar-benar, baru kau
merdekakan!"
Anak itu tidak berani
membantah ayahnya. Pula ia tetap ketarik kecantikannya nona Im. Pikirnya:
"Baiklah, perlahan-perlahan saja aku siksa dia hingga dia
menyerah..."
Lantas ia bawa Sioe Lan ke
dalam, untuk diserahkan kepada dua gundiknya. Ia pesan agar si nona dijaga
keras.
Segera setelah anaknya keluar
pula. Pak Beng periksa nadinya anak itu.
"Kau terlambat makan
obat, karenanya kau harus merawat diri baik-baik," dia berkata.
"Dalam waktu satu bulan, kau tidak dapat mendekati orang perempuan!"
Ketika itu obat pemunah mulai
bekerja dalam tubuh Siauw Siauw, obat dan racun bentrok satu dengan lain, lantaran
itu Siauw Siauw lantas merasai kepalanya pusing dan matanya kabur, setelah itu,
ia merasai perutnya sakit bagaikan ditusuk-tusuk. Ia tahu, itulah akibatnya
bentrokan obat dan racun, ia tidak takut, akan tetapi ia mesti menahan sakit,
ia mengeluh juga, ia merintih. Karena ini, kapan ia ingat Sioe Lan,
kebenciannya memuncak. Dengan terpaksa ia masuk ke kamarnya, untuk bersemedhi.
Setelah mengurus halnya Sioe
Lan, baru Pak Beng menitahkan orang memanggil Law Tong Soen dan Tonghong Hek.
Ia telah mendapat tahu maksud kedatangannya dua tetamu itu, dengan lantas ia
memberikan persetujuannya, menyatakan kesediaannya akan bekerja sama Koan Sin
Liong. Dengan lantas ditetapkan janji pertemuan di malam Tiong Tjioe lain
tahun, dan tempat pertemuannya ialah kuil Siangfjeng Kiong di atas gunung
Laosan. Kepala kuil itu, Hay Djiak Toodjin, berasal kepala perompak di Tanghay,
laut Timur, oleh karena Yap Seng Lim menduduki tiga belas pulau di laut Timur
itu, dia kehilangan sarangnya, terpaksa dia menyingkir dan hidup sebagai toosoe
atau imam. Dia bersahabat dengan Law Tong Soen, maka itu Tong Soen mengusulkan
kuilnya ini sebagai tempat pertemuan di antara dua hantu dari Selatan dan Utara
itu. Dengan begini, Tong Soen pun mengandung maksud, ialah dia ingin memancing
Yap Seng Lim suami isteri, untuk mereka ini dibekuk, untuk diserahkan kepada
pemerintah, sedang di lain pihak, penangkapan Yap Seng Lim suami isteri itu
akan memperhebat permusuhan di antara kedua hantu itu dan Thio Tan Hong.
Kiauw Pak Beng menerima baik
rencana Tong Soen itu, kemudian ia berbicara dengan Tonghong Hek. Orang she
Tonghong ini lantas diminta bantuannya, ialah kalau nanti dia pergi ke
Siangtjeng Kiong, untuk berkumpul, supaya dia membawa sekalian beberapa rumput
daun obat-obatan asal tanah Biauw. Bukan main girangnya TonghongHek. itu
artinya Pak Beng senang padanya. Ia lantas memberikan janj inya.
Ketika itu dua-dua Tong Soen
dan Tonghong Hek heran. Selagi berbicara dengan Pek Beng, mereka mendapatkan
kulit mukanyajago itu berubah-ubah, sebentar menjadi biru gelap, sebentar
hitam. Walaupun demikian, mereka tidak berani menanyakan sebabnya.
Semundurnya kedua tetamunya
itu, Kiauw Pak Beng kata pada Le Kong Thian: "Sekarang aku hendak menutup
diri lagi. Kali ini waktunya pendek. Yaitu setelah tiga hari, baru pintu
kamarku dapat dibuka. Selama tiga hari itu, tidak perduli terjadi perkara
bagaimana besar, tak dapat aku diganggu. Muridnya Koan Sin Liong dan tetamu she
Law itu, kau layanilah mereka selama beberapa hari ini, nanti setelah aku
membuka pintu, baru mereka diantarkan pergi."
Biasanya, kalau Kiauw Pak Beng
menutup diri, waktunya setengah bulan atau sedikitnya sepuluh hari, maka itu,
kali ini waktu itu luar biasa. Pula luar biasa dia masih menahan tetamunya,
untuk menanti ia beberapa hari. Sama juga si tetamu ditahan untuk membantu
melindungi padanya.
Kong Thian heran tetapi ia
menerima baik pesan itu.
Begitu lekas ia sudah memesan
orang kepercayaannya itu, Kiauw Pak Beng lantas masuk ke dalam kamarnya. Ia
membawa kitab Pektok Tjinkeng, maka kitab itu lantas diperiksa. Habis membaca,
ia tertawa dan berkata seorang diri: "Semenjak dulu hingga sekarang, belum
pernah terdengar ada orang yang dapat meyakinkan Sioelo Imsat Kang sampai di
tingkat ke sembilan! Sekarang adalah aku, Kiauw Pak Beng, yang menjadi orang
pertama!"
Sejak dia dipecundangi Thio
Tan Hong, Kiauw Pak Beng pulang ke gunungnya di mana terus ia meyakinkan
sungguh-sungguh Sioelo Imsat Kang, ilmu kepandaiannya yang istimewa itu. Ia
sudah mencapai tingkat ke tujuh, ia mulai memasuki tingkat ke delapan. Tingkat
delapan ini tingkat yang paling berbahaya, inilah ketika paling gampang untuk
orang tersesat dan bercelaka. Pak Beng mengandalkan tenaga dalamnya yang mahir,
ia mau mencoba.
Setiap tingkat dari Sioelo
Imsat Kang berarti kemajuan, karena sifatnya dingin, hawa dingin itu mesti
dilawan. Benar tenaga dalam Pak Beng sudah mahir tetapi sifat dingin hebat
sekali, dari itu tenaga dalamnya dapat dilampaui. Inilah yang berbahaya.
Ancaman ini ia telah pikirkan dayanya untuk menghindarkannya. Ia melihat dua
jalan, yang dapat membantu padanya. Yang pertama yaitu peryakinan ilmu lurus,
guna melawan kesesatan, supaya lurus dan sesat tergabung menjadi satu. Kalau ia
berhasil, maka ia tidak bakal diganggu pula bahaya kesesatan. Cara yang lainnya
ialah sesat lawan sesat, atau benarnya, racun lawan racun, yaitu ia mesti makan
racun yang hebat dicampur dengan beberapa macam obat lain yang sifatnya keras
juga. Lainnya obat ini akan dipakai melawan sifat dingin. Tegasnya, panas lawan
dingin, dingin dicocokkan dengan panas.
Kiauw Pak Beng tidak berhasil
mendapatkan pelajaran lurus, ia memilih jalan yang kedua, yaitu menggunai
racun. Maka itu, ia berdaya memahamkan racun. Demikian, ia ingat kitab Pektok
Tjinkeng dari Tjit Im Kauwtjoe. Segala daya telah diambil, guna mendapatkan
kitab itu. ia tidak berhasil, sampai kali ini anaknya beruntung mendapatkan
itu. Jadi, ketika ia makan racun di depan Sioe Lan, ia bukan cuma menunjuki
kegagahannya, ia sebenarnya lagi mencoba cara yang kedua itu. Racun telah
tersedia, kitab sudah ada, tak susah-susah lagi ia mencari lain racun. Sioe Lan
tidak tahu maksud orang, tidak heran ia menjadi heran sekali.
Begitulah, habis makan racun,
Kiauw Pak Beng menutup diri. Ia bersamedhi dengan menderita. Di dalam perutnya,
hawa panas dari racun bentrok dengan hawa dinginnya. Sebentar ia kepanasan,
sebentar ia kedinginan. Selama itu, darahnya mengalir diseluruh tubuhnya,
membikin ia mendapatkan suatu perasaan yang ia tidak dapat menyebutnya. Ia
tidak takut, ia bahkan merasa girang. Ia mengerti, penderitaannya ini ialah
ujian untuk lulus mencapai tingkat ke delapan, tiba kepada tingkat terakhir.
Baru di malam kedua Pak Beng
menyekap diri, Hok Thian Touw bersama Leng In Hong dan Liong Kiam Hong telah
tiba di Koenloen San. Mereka terus mendaki. Di waktu malam seperti itu, bisa di
mengerti rumahnya jago itu sunyi sekali.
"Heran, istananya si
hantu seperti tak terjaga," kata Thian Touw. Ia tidak tahu, kesunyian itu
terutama disebabkan tuan rumah lagi menutup diri, Le Kong Thian menjaga di luar
kamar dan Siauw Siauw lagi berobat dalam kamarnya sendiri. Di lain pihak,
lain-lain orang di rumah itu tak ada yang demikian liehay yang bisa menandingi
ilmu ringan tubuh mereka bertiga.
"Tidak ada penjaga,
itulah lebih baik lagi," kata In Hong. "Kita boleh nerobos masuk
langsung menolongi orang!"
"Jangan, kita jangan
bertindak demikian," Thian Touw mencegah. "Baik dan buruk, Kiauw Pak
Beng satu guru besar, maka itu pantas jikalau kita menemui dia dengan memakai
aturan kaum Kangouw, ialah kita bicara dulu. menjelaskan maksud kedatangan
kita."
In Hong suka mendengar
perkataan suaminya ini. Memang, kalau mereka menyerbu, tidak nanti Pak Beng
gampang saja mau membiarkan maksud mereka berhasil. sedikitnya mesti terjadi
pertarungan seru.
"Baiklah," katanya.
"Mari kita menantang secara berterang!"
Suami itu lantas mengerahkan
tenaga dalamnya, terus ia mengasi dengar siulan nyaring dan lama, menyusul
mana, menghadapi rumahnya Kiauvv Pak Beng. yang dipanggil "istana
hantu," ia berkata keras: "Hok Thian Touw dari Thiansan mempunyai
urusan yang hendak dibicarakan, maka itu Kiauw Lootjianpwee, silahkan kau
keluar untuk menemuinya!"
Inilah ilmu tenaga dalam yang
dinamakan "Tjoanim djipbie" atau "penyaluran suara," saking
hebatnya daun-daun pohon dapat rontok karenanya dan burung-burung pada kaget
dan berterbangan, maka itu, meskipun Kiauw Pak Beng berada di dalam, mesti ia
dapat mendengarnya. Akan tetapi, sebaliknya dari dugaan. Pak Beng tidak
menyahuti sama sekali.
"Heran," pikir Thian
Touw setelah menanti sekian lama.
Sebaliknya daripada Kiauw Pak
Beng, atau jawabannya lantas juga terlihat munculnya beberapa orang yang datang
dari pelbagai penjuru. Setelah sampai, mereka itu mengasi dengar cacian mereka:
"Machluk apa berani berteriak-teriak tidak keruan di sini? Apakah kamu
kira kakek guru kami dapat dipanggil dengan cara ini?"
Mereka itu orang-orangnya
Kiauw Pak Beng. mereka tidak kenal Thian Touw. dan karena Thian Touw belum
berusia lanjut, mereka memandang tidak mata.
"Sebenarnya kakek guru
kamu ada di rumah atau tidak?" tanya Thian Touw. "Jikalau dia tidak
ada di rumah, nah, kamu suruh saja tuan muda kamu keluar untuk bicara dengan
kami!"
Thian Touw menanya demikian
karena ia pikir: "Jikalau Kiauw Pak Beng ada di rumah, dengan mendengar
namaku, walaupun dia tidak keluar sendiri menyambut, mestinya dia memberikan
jawabannya. Kenapa dia menyuruh keluar ini segala orang sebawahannya yang hanya
membuat berisik?"
Salah seorang, yang rupanya
menjadi kepala telah tiba di depan pintu. Dia mengawasi Thian Touw beramai
dengan sikapnya yang jumawa. Lantas dia kata: "Sungguh terkebur! Bagaimana
kau berani menghendaki tuan muda kami keluar berbicara dengan kamu! Hm! Kamu
tahu aturan atau tidak? Seharusnya kamu memasuki dulu kartu namamu, lantas
besok kamu datang kemari! Juga, pedang kamu harus ditinggalkan di sini! Kecuali
sanak atau sahabat kekal, atau mereka yang diberikan ijin istimewa, dilarang
membawa senjata datang kemari!"
Lalu seorang lagi, yang
terlebih galak sikapnya, berkata nyaring: "Di mana ada aturan orang datang
meminta bertemu di waktu malam gelap buta rata seperti ini? --- Soeheng,
apaperlunya kau melayani mereka bicara? Orang-orang semacam mereka ini, mana
majikan kita sudi menemuinya? Menurut aku paling benar kita usir mereka turun
gunung!"
Thian Touw tidak sudi melayani
dia. "Maaf!" katanya "Karena majikan kamu tidak keluar, kami
terpaksa mau lancang masuk!"
Orang yang menjadi kepala itu
heran dan kaget, lantas dia menjadi gusar.
"Sungguh besar
nyalimu!" katanya "Kamu mau lancang masuk?
“Baiklah, soetee, aku bersedia
menuruti pikiran kau, mari kita usir mereka turun gunung!"
Belum berhenti suara orang
itu, dua orang sudah berlompat maju, akan tetapi belum sempat mereka menyerang,
tubuh mereka sudah dibikin terpental oleh Thian Touw hingga mereka roboh
terpelanting!
"Kiauw Pak Beng!" In
Hong mengasi dengar suaranya, "kami sudah menggunai aturan, apakah kau
tetap tidak mau keluar? Apakah kau hendak membikin kawanan budak ini
mendatangkan malu? Baiklah!"
Selagi Thian Touw bicara
isteri ini sudah menyiapkan sepotong batu di dalam genggamannya, setelah ia
mengerahkan tenaga dalamnya, batu itu ia membuatnya hancur remuk, maka ketika
ia mengayun tangannya dalam gerakan "Boanthian hoaie" atau
"Hujan bunga di seluruh langit," batu itu menyambar kepada kawanan
orangnya Pak Beng itu. Dalam sekejab, tangan mereka telak terhajar, senjata
mereka pada terlepas jatuh ke tanah!
Justeru itu pintu besar
terpentang, di ambang pintu muncul Le Kong Thian, si manusia raksasa. Dengan
tangan mencekal tokkak tongdjin, gembolannya yang berupa boneka kuningan, ia
kelihatan keren sekali. Baru orang yang menjadi kepala itu mau bicara, untuk
memberi laporan atau mengadu, dia sudah dibentak pengurus rumah ini:
"Kawanan budak tidak punya guna, lekas kamu pergi!"
Thian Touw tertawa.
"Le Koankee, kau tentu
mengenali aku?" ia berkata, menanya.
Kong Thian tidak mengiakan, ia
hanya kata: "Urusan merampas bingkisan sudah habis, guruku sudah bicara
jelas dengan kau, kedua pihak akan melepaskan tangan, untuk tidak mencampur
tahu lagi, maka itu, apa perlunya kau masih datang kemari?"
"Kali ini kami datang
bukan untuk urusan bingkisan," Thian Touw menjawab. "Kami juga tidak
bermaksud buruk. Aku hendak minta satu orang kepada majikanmu. Asal kamu
menyerahkan orang itu, kami pun akan segera berlalu dari sini!"
"Siapakah orang
itu?" tanya Kong Thian. Ia berlagak pilon meskipun ia sudah dapat menduga.
"Anak perempuan dari Tjit
Im Kauwtjoe!" jawab In Hong bengis. "Aku melihat tegas dia diculik
Kiauw Siauw Siauw! Apakah kau masih hendak melindungi majikan mudamu itu?"
Kong Thian bingung.
"Justeru soehoe lagi
menutup diri," pikirnya. "Bagaimana?" Tapi ia mesti lekas
menjawab.
"Urusan majikanku aku tak
tahu menahu," sahutnya.
"Jikalau kau tidak dapat
mengambil keputusan sendiri, kau harus minta majikanmu keluar!" kata Thian
Touw.
"Sekarang ini tengah
malam gelap buta, mana dapat aku mengganggu majikanku?" kata Kong Thian.
"Sekarang baiklah kamu pulang, jikalau ada urusan, besok kamu datang
pula!"
Manusia raksasa ini pikir,
besok gurunya akan keluar dari kamar, dengan begitu besok gurunya pasti dapat
bertindak.
"Sungguh Kiauw Pak Beng
banyak lagaknya!" kata In Hong tertawa dingin. "Dia besar kepala dia
tidak mau menemui kami, nanti kami masuk sendiri!"
"Kenapa kamu kesusu
sekali?" kata Kong Thian, bingung. "Bukankah waktunya tinggal
setengah malaman lagi?"
"Tapi adik Im berada di
dalam sarang hantumu!" kata In Hong. "Kami telah datang di sini, kami
menghendaki dia lantas dimerdekakan! Tak dapat kau melambatkannya!"
Thian Touw pun kata:
"Jikalau gurumu berada di rumah, seharusnya dia sudah mendusin lantaran
kaget! Bukankah baik urusan dapat dibereskan siang-siang? Maka itu aku minta
sukalah dia keluar menemui kami?"
Kong Thian mengerutkan alis,
ia mengasi lihat roman sukar.
"Majikanku telah memesan
bahwa di waktu malam tidak dapat ia menemui orang," ia kata. "Tuan
Hok, kaulah seorang pintar, maka itu mustahilkah kau tidak tahu aturannya untuk
menemui orang dari tingkat terlebih tua? Baiklah kamu pulang dulu, untuk
menulis karcis namamu, lalu besok kamu kembali."
"Jikalau begitu, memang
sengaja Kiauw Pak Beng membawa lagaknya ini..." pikir Thian Touw. Ia tahu,
perbuatannya ini di luar kebiasaan tetapi urusannya sangat penting. Ia pun
mendongkol orang demikian bertingkah. Maka ia kata dingin: "Sebenarnya aku
tidak mempunyai sangkutan apa-apa dengan gurumu, dari itu tak usah kita bicara
dari hal tingkat tua atau muda! Sekarang pun aku datang bukan sebagai orang
tingkat lebih muda! Jikalau dia merdekakan orang yang kami minta, kami lantas
berlalu,jikalau tidak, terpaksa kami mesti masuk untuk lantas memintanya!"
Kong Thian menjadi terdesak.
"Tuan Hok," katanya,
"kau kira tempat ini tempat apa? Kau kira kau dapat main gila di
sini?"
Thian Touw tidak menggubris
lagi, sambil mengasi dengar ejekan "Hm!" ia bertindak maju, untuk
menerobos masuk.
Kong Thian melintang di ambang
pintu, bonekanya digeraki. Atas itu, segera terdengar suara nyaring beberapa
kali, bagaikan genta dipalu. Sebab Thian Touw telah menggunai pedangnya,
menikam beberapa kali.
Kong Thian terdesak, ia main
mundur.
Selagi suaminya maju, In Hong
turut masuk. Ia diikuti Kiam Hong.
Sesampainya mereka di dalam,
di sana terlihat Law Tong Soen dan Tonghong Hek, yang baru datang. Lantas si
orang she Tonghong berseru: "Di dalam dunia di mana ada tetamu begini
jahat! Kita yang menjadi tetamu pun tidak senang melihatnya!" Lantas dia
menghunus pedangnya, untuk menyerang.
Thian Touw menekan boneka Kong
Thian dengan sebelah tangan, dengan tangan kanannya ia memutar pedangnya, yang
menjadi berkelebatan.
Tonghong Hek heran. Belum
pernah ia melihat gerakan pedang semacam itu. Percuma ia menangkis berkelit,
lantas ia kena ditikam enam atau tujuh kali. Syukur untuknya, tikaman itu tidak
melukakan parah, sebab tenaganya jago Thiansan itu dipakai juga mempengaruhi si
manusia raksasa. Dia jadi terluka lecet saja.
Hok Thian Touw bersilat dengan
ilmu pedangnya yang baru berhasil diciptakan olehnya, sekali digeraki, gerakan
itu terus berantai. Maka itu meskipun tangan kirinya menjagai boneka, tangan
kanannya bergerak dengan merdeka. Tapi ia tidak cuma menyerang Tonghong Hek, ia
juga terus menyerang Kong Thian.
Manusia raksasa itu tidak sudi
membiarkan bonekanya ditekan, dia meronta, dia melawan, tetapi justeru itu,
Thian Touw menyerang dia, hingga lantas jugajalan darahnya, jalan darah
soankie, kena ditusuk, sedang Tonghong Hek, kena tertikam jalan darahnya, jalan
darah yang leng.
Kong Thian menangkis dengan
bonekanya. Ia berhasil. Dengan satu bentrokan, pedang Thian Touw dibikin
mental. Tapi inilah yang ditunggu jago Thiansan itu. Menggunai saat pedangnya
mental, Thian Touw terus menikam Tonghong Hek!
Di saat si orang she Tonghong
terancam bahaya, angin menyambar hebat ke arah Thian Touw. Itulah serangan
gelap. Untuk membela diri, ia lantas menyampok ke belakang, kakinya ikut
bergerak dalam gerakan "Naga mendekam mengisar." Maka bebaslah ia
dari sambaran, sebagaimana Tonghong Hek terhindar dari serangannya.
Ternyata penolongnya Tonghong
Hek ialah Law Tong Soen.
"Baru sepuluh tahun kita berpisah,
nyata ilmu pedangmu jadi liehay sekali, tuan!" kata Tong Soen tertawa.
"Kau membuatnya orang sangat kagum!"
"Kepandaianmu Hoen Kin
Tjo Koet Tjioe juga maju pesat sekali!" jawab Thian Touw dingin.
"Apa? Apakah benar kau hendak main-main dengan aku?"
"Tidak, aku tidak
berani!" sahut Tong Soen, tertawa juga. "Tapi aku menjadi tetamu di
sini, tidak dapat aku membiarkan tuan rumahku terganggu pengacau! Saudara Hok,
kaulah seorang terpelajar, kau mesti mengerti keadaan. Aku harap, kau datang
lagi besok, nanti aku mewakilkan tuan rumah melayani kau secara pantas!"
"Menurut kata-katamu,
jadinya malam ini kau hendak merintangi aku?" Thian Touw tegaskan.
Leng In Hong menjadi sangat
gusar.
"Kau berkomplot dengan
Kiauw Siauw Siauw!" ia membentak. "Di dalam halnya Im Sioe Lan
diculik, kau ada bagianmu! Belum lagi aku mencari kau untuk membual
perhitungan, sekarang kau berani menghalang-halangi kami!"
Lantas ia menggeraki
pedangnya, maju berbareng bersama suaminya, untuk membukajalan.
Sebenarnya Tong Soen jeri
terhadap Thian Touw, tetapi sekarang ia lagi mengambil hatinya Kiauw Pak Beng,
maka dalam keadaan seperti sekarang, ingin ia membantu Pak Beng. Ia juga
merasa, di rumah Pak Beng ada kawan-kawannya yang liehay, sekalipun Pak Beng
sendiri tidak keluar, tidak nanti pihaknya dapat dikalahkan suami isteri itu,
maka ia membandel.
"Oleh karena kau tidak
dapat memaafkan, Leng Liehiap, terpaksa aku si orang she Law berlaku kurang
ajar terhadapmu!" katanya. Lalu ia pun menggeraki dua tangannya.
Belum berhenti suaranya Tong
Soen, pedangnya In Hong sudah meluncur ke dadanya. Ia terkejut melihat
berkilaunya sinar pedang itu. Tapi ia tabah, lantas ia mengibas. Ia berhasil
membikin pedang nyasar ke samping, akan tetapi ujung bajunya kena terobek!
Selama di kuil tua, Tong Soen
dapat melayani In Hong sama tangguhnya, dengan di sana ada Le Kong Thian dan
Tonghong Hek. ia percaya dapat Thian Touw dihalangi dua kawan itu, supaya ia
bisa menempur si nyonya dengan satu lawan satu. Akan tetapi ia telah tidak
memperhitungkan ilmu pedang bersatu padu dari suami isteri Hok
Thian Touw-Leng In Hong itu.
Setelah bertempur berendeng,
dengan sendirinya ketangguhan In Hong naik empat lipat dan ketangguhan Thian
Touw tiga lipat.
"Kena!" berseru
Thian Touw selagi mereka bertempur seru, tengah sinar pedang berkelebatan.
Le Kong Thian menangkis dengan
bonekanya, yang dibawa ke depan dadanya. Ia bersiaga untuk pedang si pria. Tapi
di luar dugaannya, pedang si wanita yang meluncur ke arahnya, kesasaran yang ia
tidak sangka sama sekali. Ia baru kaget ketika ujung pedang si nyonya mampir di
dengkulnya, hingga dengkul itu terluka, rasa sakitnya nelusup ke uluhatinya!
Demikian Iiehaynya ilmu pedang
Thian Touw. Seruannya itu ialah seruan untuk isterinya, bukan untuknya sendiri.
Law Tong Soen si licin segera
dapat melihat ancaman bahaya. Ia jeri untuk Iiehaynya musuh suami isteri itu,
hingga segera ia mengambil keputusan tidak mengharapi jasa lagi, cukup asal
dapat lolos dari bahaya. Ia menggunai kelincahannya, ia bergerak dengan cepat,
hingga Thian Touw berdua tidak mau, atau tidak berniat, terlalu mendesaknya,
karenanya dia tidak segera dirangsak.
Le Kong Thian payah benar
karena terlukanya dengkulnya itu, dengan sendirinya tenaganya menjadi
berkurang, saking terpaksa ia bertahan terus.
"Kena!" berseru In
Hong setelah lewat lagi beberapa jurus. Ia mengancam, tetapi bukan pedangnya
yang terus bekerja hanya pedang Thian Touw dan ujung pedang ia ini menyambar
kutung dua jeriji tangannya Tonghong Hek, yang tidak cukup sebat untuk serangan
jago Thiansan itu. In Hong sebaliknya, pedangnya mampir di pundak Kong Thian,
hingga sekarang terpaksa si manusia raksasa berlompat mundur, untuk lari ke
dalam.
Melihat koankee, kuasa rumah,
dari Kiauw Pak Beng lari ke dalam, Tong Soen menurut buat tanpa bersangsi lagi,
tanpa ayal pula.
"Bangsat tua, kali ini
bagian kau!" (n Hong membentak.
Tong Soen kaget. Ia merasakan
hawa dingin menyambar punggungnya. Dengan lantas ia berkelit sambil menjatuhkan
diri, untuk terus bergulingan. Ia menggunai tipu silat "Yan Tjeng Sippat
Koan," atau "Yan Tjeng bergulingan delapan belas kali," hingga
sekejab saja ia telah dapat menyingkir tiga tombak lebih. Meski begitu, ia
tidak dapat melindungi rambutnya, yang kena terbabat kutung selagi ia berkelit
menjatuhkan diri.
Hok Thian Touw mengejar.
"Kiauw Loosianseng!"
ia memanggil. "Kau masih tidak mau keluar, apakah benar kau menghendaki
kami menyerbu masuk?"
Le Kong Thian tidak sempat
menutup pintu, terpaksa ia lari ke taman belakang di mana, di tengah¬-tengah,
ada sebuah rumah besar di dalam mana, dari jendela, di antara sinar rembulan,
terlihat samar-samar bayangannya Kiauw Pak Beng yang lagi duduk bersila.
Melihat demikian, kembali Thian Touw mengasi dengar suaranya: "Kiauw
Loosianseng, silakan keluar!"
Mendadak dari dalam rumah itu
berlompat keluar dua orang. Mereka itu gusar, mereka berseru: "Hok Thian
Touw, nyalimu besar! Bagaimana berani kau telah datang kemari? Tapi ini ada
baiknya! Loolapjadi tak usah membuang waktu lagi akan pergi ke gunungmu!"
Thian Touw lantas mengenali,
dua orang itu ialah Tek Seng Siangdjin serta Kiok Ya Tjiauw.
Tek Seng Siangdjin mentaati
perintahnya Kiauw Pak Beng pergi mengambil batu keehiattjio di Sengsioe Hay,
waktu perjalanan tiga hari dia persingkat menjadi dua hari, maka juga di malam
kedua dari Pak Bengbersemedhi, dia sudah kembali. Karena dia pergi bersama Kiok
Ya Tjiauw, mereka pulang bersama. Saking letih mereka lantas masuk tidur,
sampai suara berisik di luar membuat mereka mendusin. Mereka juga telah dikasih
bangun pelayan mereka. Demikian mereka lantas keluar, sampai mereka menghadapi
musuh lama.
Liong Kiam Hong juga turut
bertempur. Ia menghajar beberapa pelayan, yang hendak mengepung.
Ada beberapa pelayan, yang
melihat musuh-musuh demikian tangguh, mereka bersangsi untuk mengeroyok, mereka
cuma mengawasi saja.
Tek Seng Siangdjin boleh
liehay akan tetapi dia bukan tandingan dari Hok Thian Touw dan In Hong,
ditambah sekarang dia tengah letih, baru belasan jurus dia sudah terdesak. Dia
tadinya mengharap, dengan mengandal pada jumlah yang banyak, dia dapat bertahan
lama. Tidak tahunya, dugaannya itu meleset. Le Kong Thian terluka, ia tidak
dapat berkelahi terlebih jauh. Tonghong Hek sudah "pecah" nyalinya,
berkelahinya aksi saja. Tinggal Kiok Ya Tjiauw dan Law Tong Soen. Tapi Tong Soen
tetap dengan kelicikannya, dia lebih banyak membela diri daripada merangsak.
Kiok Ya Tjiauw pun payah. Dia telah kehilangan gembolannya, dia berkelahi
dengan sebatang toya kuningan, senjata yang tak cocok untuknya.
Selagi bertempur itu, Thian
Touw dapat mendekati Tek Seng Siangdjin, yang ia terus serang. Tek Seng membela
diri, dia menangkis. Justeru dia menangkis, dia pun diserang In Hong. Dia
terancam bahaya, karena mana dia menjadi nekad. Dengan tangan kirinya, dia
menyerang Nyonya Thian Touw. Dia ingin mati bersama! Di dalam halnya tenaga
dalam, dia memang menang dari nyonya itu. Maka kalau In Hong kena terserang,
celakalah ia. Tapi In Hong liehay, ia menunjuki kegesitannya.
Tek Seng melihat si nyonya
menyerang ke kirinya, ke kiri dia mengirim hajarannya. Di luar dugaannya, In
Hong mengubah tujuan. Dengan kepandaian yang mengagumkan, ia menahan
serangannya itu, sebaliknya, di saat tangan orang tiba, ia meneruskan
menyerang!
Bukan main kagetnya Tek Seng
Siangdjin, sia-sia belaka percobaannya menyelamatkan diri, jeriji tangannya
kena juga tersambar buntung!
Menyusul jago dari Sengsioe
Hay ini, Kiok Ya Tjiauw pun menjerit keras dan toya kuningannya jatuh ke tanah.
Sebab ketika Hok Thian Touw gagal menyerang Tek Seng, pedangnya ditarik pulang
sekalian diteruskan kepada orang she Kiok itu, maka lengan dia ditanya pedang,
hingga dia kesakitan, dia menjerit, toyanya dilepas dengan terpaksa!
Law Tong Soen sudah mundur ke
dalam pintu, Tek Seng Siangdjin dan Kiok Ya Tjiauw lari menyusul, untuk masuk
juga. Sekarang ini terpaksa mereka mundur, sebab ternyata, lawan mereka tangguh
sekali.
Le Kong Thian berlaku cerdik,
dengan tenaganya yang kuat, ia melemparkan dua buah meja saling susul, guna
merintangi Thian Touw dan In Hong, menyusul mana dia lompat ke pintu, untuk
digabruki, buat ditutup.
Thian Touw menjadi besar
hatinya melihat ia dapat bekerja erat dengan isterinya, hingga musuh-musuh
tangguh itu dapat dilukai dan dipukul mundur, dengan begitu ia dapat perasaan
tak usahlah ia kuatirkan pula Kiauw Pak Beng yang liehay. Begitulah, melihat
pintu ditutup, dia menembrak dengan kedua tangannya.
Pintu terbuat dari kayu merah,
tebalnya enam atau tujuh dim, tidak dapat itu digempur roboh.
"Baiklah kita cari alat
yang tepat untuk menggempurnya," In Hong mengasi pikiran.
Thian Touw setuju. "Mari
kita gunai pohon itu saja," katanya. Maka ia menghampirkan pohon yang ia
tunjuk, yang berada di depan pintu.
In Hong setuju. Lantas mereka
bekerja sama, mencabut pohon itu. Maka di lain detik, mereka sudah mulai
menggempur daun pintu.
Disebelah dalam, Tek Seng
Siangdjin bertahan bersama-sama Law Tong Soen sekalian. Mereka itu mengerahkan
semua tenaga mereka. Dalam pertempuran mereka kalah dari Thian Touw dan In
Hong, akan tetapi sebenarnya, dalam hal tenaga dalam, Tek Seng menang daripada
jago Thiansan itu, dan Law Soen dan Le Kong Thian menang daripadaNyonya Hok.
Dengan demikian, mereka dapat bertahan dengan baik.
Thian Touw dan In Hong
merasakan tangan mereka nyer-nyeran, tak ada hasil gempuran mereka itu, dengan
terpaksa mereka berhenti sendirinya.
"Siluman tua she Kiauw,
kau sungguh tidak tahu malu!" In Hong mendamprat saking mendongkol.
"Kenapa kau menjadi kura-kura yang menyimpan kepalanya? --- Mari kita
menunggu, mustahil dia tidak keluar seumur hidupnya!"
Thian Touw heran akan sikapnya
Pak Beng itu. Mestinya orang dengan derajat sebagai jago tua itu tidak akan
mengijinkan kehormatannya dinodai secara demikian. Terang terlihat dia berada
di dalam kamar, kenapa dia tetap tidak mau muncul? Ia menduga mungkin Pak Beng
lagi melatih diri, ia hanya tidak menyangka latihan itu ialah latihan istimewa.
Melatih diri dengan bersemedhi
seperti Pak Beng itu, ada bedanya di antara kaum lurus dan kaum sesat. Latihan
menutup diri kaum lurus dapat ditunda, biarpun di saat gentingnya, saat itu tak
lebih lama daripada satu jam atau lebih sedikit. Pada pihak sesat, batas itu
lebih lama dan mesti tepat juga, tidak dapat diganggu meski umpama kata satu
detik. Dalam kalangan kaum sesat itulah yang dibilang saat "bertemunya
naga dengan harimau" atau "jungkir baliknya im dan yang." Itu
artinya, jalannya nadi bertentangan. Di saat bersemedhi begitu, "orang
melihat tak dapat melihat, dan mendengar tak dapat mendengar." Maka juga,
walaupun Hok Thian Touw mengamuk bagaikan "langit ambruk dan bumi
gempa," sedikitpun Pak Beng tak mengetahuinya.
"Si siluman tua tidak mau
ke luar menyambut tantangan kita, apakah kita habis daya karenanya?" In
Hong tanya.
"Kita tidak dapat
menggempur pintunya yang tangguh ini, bagaimana?" Thian Touw balik
menanya. "Memang aneh sekali! Kenapakah Kiauw Pak Beng tidak sudi melayani
kita bertempur?"
"Karena ini, baiklah kita
jangan perdulikan dia," In Hong mengasi pikiran. "Sekarang baik kita
cari dulu Im Sioe Lan guna menolongi dia."
"Tidak nanti Sioe Lan
berada bersama Pak Beng dalam kamarnya itu, baiklah kita mencari di lain
kamar," Kiam Hong menyarankan.
"Kurang tepat tindakan
itu," Thian Touw bilang. "Lawan kita Kiauw Pak Beng, kenapa kita
mesti mengganggu anggauta-anggauta keluarganya?"
Jago Thiansan ini tetap masih
mengukuhi sifatnya, untuk menghormati aturan Rimba Persilatan, supaya tetap ia
berurusan dengan Kiauw Pak Beng seorang.
"Entah sampai kapan
siluman tua she Kiauw itu muncul." berkata In Hong. "Menurut aku
baiklah kita mencari di lain-lain bagian rumah ini. Bicara tentang peri
kepantasan, Kiauw Siauw Siauw sendiri yang mulai menculik orang, yang dia bawa
lari ke atas gunungnya, maka itu dialah yang lebih dulu bersalah. Kiauw Laokoay
tidak mau keluar, dari itu menghadapi Kiauw Siauw Siauw yang jahat itu, perlu
apa kita pakai aturan lagi?"
Thian Touw ketahui, tanpa
berhasil menolongi Im Sioe Lan, isterinya itu tidak nanti mau pulang, maka
terpaksa ia menuruti kehendak isteri itu. Tapi tetapi ia memakai aturan, maka
ia berkata dengan nyaring: "Kiauw Lootjianpwee, jikalau tetap kau tidak
mau keluar, terpaksa kami hendak menggeledah rumahmu ini!"
Berisik suara itu tetapi dari
dalam tidak ada jawabannya.
Melihat kelakuan suaminya itu,
In Hong mendongkol berbareng merasa lucu.
"Dengan kau membikin
banyak berisik ini." katanya tertawa, "pastilah adik Im itu lantas
mereka sembunyikan, hingga dia jadi semakin sukar dicari!"
Tapi mereka berjalan terus.
Baru beberapa tindak, mendadak Thian Touw berhenti.
"Lebih baik aku jangan
mencari..." katanya.
"Eh, kenapakah?"
tanya In Hong heran.
"Kamu yang masuk sendiri,
menggeledah." sahut suami itu. "Jikalau kamu menghadapi musuh
tangguh, baru kamu berteriak memanggil aku. Aku akan berdiam di sini menantikan
Kiauw Pak Beng."
Thian Touw tetap seorang
terhormat, walaupun di rumah musuh, tidak mau ia mengacau aturan sopan santun.
Tidak berani ia lancang masuk ke dalam rumah orang.
In Hong tertawa.
"Kau banyak sekali
pantangannya!" katanya tertawa. "Baiklah, kau berdiam di sini
menantikan Kiauw Pak Beng. Jikalau ada terjadi sesuatu di luar dugaan, kita
saling bersiul sebagai pertanda!"
Lantas In Hong mengajak Kiam
Hong. Mereka berdua pun masih berpisahan. Ia sendiri pergi ke sebelah selatan,
dan Kiam Hong sebelah barat.
Begitu memasuki sebuah lorong
dan mengkol, Kiam Hong membekuk seorang bujang perempuan, yang lagi lari dengan
ketakutan.
"Di mana disembunyikannya
si nona she Im?" ia menegur. "Lekas bicara!"
Dalam takutnya, bujang itu
menggoyangi kepala.
"Aku tidak tahu,"
sahutnya.
"Kiauw Siauw Siauw ada di
kamar mana?" Kiam Hong tanya pula.
"Aku budak yang melayani
Djienio," berkata bujang itu. "Semenjak tuan muda pulang, belum
pernah dia datang ke kamar nyonyaku."
"Baik. sekarang kau bawa
ke kamar nyonyamu itu!" perintahnya.
Bujang itu tidak berani
berbantah, ia lantas mengantari. Tiba di depan sebuah kamar, ia memanggil
dengan suaranya bergemetar: "Djienio!"
Dengan lantas pintu dibuka.
Begitu lekas juga Kiam Hong nerobos masuk dengan pedang terhunus.
Di dalam situ ada seorang
wanita muda dengan dandanan perlente sekali, dia kaget hingga dia berseru
tertahan, setelah mana, dia maju, untuk merampas pedang Nona Liong. Dia
mengerti silat tetapi diakalahjauh dari nona ini, justeru tangannya menyambar,
tangan itu disambar pula. Maka lantas saja dia kena dicekal Kiam Hong, terus
dadanya diancam ujung pedang.
"Mana Siauw Siauw?"
Kiam Hong tanya, bengis. "Lekas bilang!"
Nyonya itu kaget dan
ketakutan. Ujung pedang telah membikin pecah dan melowek baju di dadanya,
hampir kulitnya kena disentuh.
"Di... dia tidak ada padaku
di sini," sahutnya gemetar. "Kalau... kalau kau mau tanya... pergilah
kau tanya si siluman rase!..."
"Siluman rase apa?"
tanya Kiam Hong.
"Dia maksudkan
Samnio," kata si budak.
Kiam Hong segera mengerti,
kedua gundiknya Siauw Siauw pastilah bersaing satu dengan lain, dan yang
berhasil merampas hatinya Siauw Siauw ialah si "siluman rase" itu,
gundik yang nomor tiga. yang dipanggil Samnio itu.
"Bawalah aku kepada
siluman rase itu!" katanya seraya ia telikung Djienio, si gundik yang
kedua.
Gundik itu takut, ia menurut.
Kiauw Siauw Siauw memang
berada di dalam kamarnya Samnio di mana dia mengurung Sioe Lan. Dia tahu
perihal datangnya Hok Thian Touw dan Leng In Hong, dia lantas mengurung diri,
kamarnya dikunci erat-erat. Sementara itu, hatinya makin panas terhadap Nona
Im, maka itu dia totok urat gagunya Sioe Lan, dia menyiksanya.
Sioe Lan sangat menderita
tetapi terus membungkam.
Tiba-tiba terdengar Djienio
mengetuk pintu dan memanggil: "Adik. buka pintu!" Ia memanggil adik
kepada madunya itu.
Kiauw Siauw Siauw gusar
sekali. Ia mengenali suara gundiknya itu.
"Di waktu begini kau
masih menggerecoki aku!" bentaknya. "Baik! Bukakan dia pintu! Hajar
dia!" Dia menyangka sang gundik datang untuk berebut suami.
Pintu segera dibuka oleh
Samnio. Kiam Hong menolak tubuhnya Djienio, maka gundik ini terjerunuk ke
dalam, membentur madunya, hingga mata Samnio berkunang-kunang. Saking gusar,
dia menampar seraya dia mencaci: "Budak tidak tahu malu! Berani kau datang
kemari memperebuti suami?..." Lalu mendadak dia berhenti dengan
tercengang. Menyusul Djienio terlihat Kiam Hong dengan pedang terhunus di
tangan. Dia tidak kenal nona itu, tapi dia kaget dan tercengang karenanya.
Kiam Hong tidak mensia-siakan
waktu. Ia lompat masuk sambil terus menikam Siauw Siauw.
Anaknya Kiauw Pak Beng pun
kaget, tetapi dia tabah, dengan sebelah tangan mengempit tubuh Sioe Lan, tangan
kanannya menyambar tjiaktay, tempat menancap lilin, untuk menangkis.
Kiam Hong menyontek, membikin
tjiaktay mental ke samping, lalu terus ia menikam pula. Ia mengincar
tenggorokannya si anak muda.
Siauw Siauw cerdik dan
telengas sekali. Dia bukan berkelit, hanya dia menangkis. Dia bukan menggunai
tjiaktay ditangan kanan, dia justeru mengajukan tubuhnya Sioe Lan, untuk
dijadikan semacam tameng.
"Baik, kau
tikamlah!" dia mengejek, tertawa dingin. "Kau tikamlah!"
Syukur Kiam Hong gesit. Ia
batal menyerang. Sambil dengan pedangnya ia mengancam, dengan tangan kirinya ia
menyambar tubuh Sioe Lan.
Siauw Siauw cerdik, dia
menarik pulang. Hanya ketika dia didesak, kupingnya kena digaplok dua kali!
Samnio berada di belakang Nona
Liong, mendadak ia menyerang dengan pisau belati di tangan. Ia juga mengerti
sedikit ilmu silat seperti Djienio, bahkan ia terlebih liehay.
Kiam Hong ketahui ada
bokongan, ia menyabet ke belakang dengan pedangnya.
Samnio berkelit seraya
membungkuk, lalu ia meneruskan menikam ke kaki nona kita.
Nona Liong menjadi mendongkol.
Ia mengelit kakinya seraya lantas diteruskan, untuk mendupak tangan si gundik,
hingga pisaunya terlepas dan jatuh. Sebaliknya, ujung sepatu bergerak, mampir
di jidat, hingga jidat itu borboran darah. Baru setelah itu, kaget dan sakit,
Samnio berlompat minggir.
Ketika itu Siauw Siauw sudah
lompat mundur ke belakang, tubuhnya nempel pada tembok.
"Budak hina, akan aku
ingat baik-baik dua gaplokanmu ini!" dia kata sengit. "Nanti setelah
lukaku sembuh, akan aku membikin perhitungan denganmu!" Lantas tangannya
meraba ke tembok di belakangnya itu, atas mana maka terpentanglah sebuah pintu
rahasia ke dalam mana ia nyeplos masuk sambil membawa Sioe Lan. Cuma sedikit,
pintu lantas tertutup rapat pula!
Kiam Hong tercengang, lalu ia
menjadi gusar. Ia maju, ia menolak pintu itu. Tidak ada hasilnya! Pintu keras,
tak dapat dibuka dengan melainkan ditolak. Bukan main menyesalnya ia. Maka
ketika ia membalik tubuh, ia menuding Samnio.
"Lekas buka pintu
ini!" ia membentak. "Jikalau Siauw Siauw tidak dapat dibekuk, aku
nanti rampas jiwamu!"
"Pintu rahasia ini tidak
dapat dibuka lagi," sahut Samnio. "Dia telah menutupnya dari sebelah
dalam di mana ada jalannya dalam tanah! Kau bunuh saja aku..."
"Jikalau ada jalanan
dalam tanah tentu ada jalanan keluarnya!" kata Nona Liong. "Lekas
bawa aku ke itu jalanan keluar!"
"Jalanan keluar di dalam
tanah cuma diketahui dia dan ayahnya bersama Le Kong Thian," Samnio
mengasi keterangan. "Biarnya aku dibunuh, tidak ada gunanya!"
Kiam Hong sudah mengangkat
pedangnya, akhirnya tak tega ia membunuh gundik orang itu, maka untuk
melampiaskan
kemendongkolannya, ia
menggaplok beberapa kali. Sampai di situ, ia kembali keluar. Ia menemui In Hong
berada bersama bujang-bujang.
Nyonya Thian Touw juga mencari
dengan sia-sia dalam kamar-kamar di sebelah barat itu, di sana adalah
kamar-kamar bujang-bujang, maka ia menggiring mereka itu keluar, untuk
memeriksa mereka satu demi satu, guna mendapat tahu di mana Sioe Lan
disembunyikannya.
"Sudahlah, tak usah
memeriksa mereka lagi," berkata Kiam Hong. "Adik Sioe Lan sudah
dibawa pergi oleh Siauw Siauw, yang dari pintu rahasia masuk ke dalam jalan
dalam tanah di dalam rumahnya ini!" Dan ia menuturkan pengalamannya
barusan. Mulanya In Hong melengak, lantas ia tertawa. Matanya pun memain.
"Dia membawa Sioe Lan
lari ke dalam jalan rahasia" katanya "kita dapat pakai jalan rahasia
itu untuk terus menghajar Kiauw Pak Beng!"
"Mereka tidak tahujalanan
rahasia itu," Kiam Hong bilang.
"Tidak apa. Kita suruh
mereka ini menggali sampai ke jalan dalam tanah itu!"
Ketika itu cuaca sudah terang.
"Kiauw
Lootjianpwee!" berkata Thian Touw nyaring. Ia seperti tidak memperdulikan
kata-katanya isterinya itu. "Bukankah sekarang dapat kau menemui
tetamu-tetamumu?"
Dari dalam tetap tidak ada
suara jawaban.
"Tentang maksud
kedatangan kami, lootjianpwee sudah mendapat tahu," berkata pula Thian
Touw, "maka itu andaikata tetap kau tidak mau menemukan kami, aku minta
supaya Nona Im Sioe Lan diserahkan pada kami!"
Tetap tidak ada suara dari
dalam rumah itu.
Baru sekarang jago Thiansan
itu menjadi gusar.
"Kau tidak sudi menemui
kami, kau juga tidak suka menyerahkan Nona Im!" katanya sengit. "Maka
janganlah kau mengatakan kami tidak tahu aturan! Kami hendak membongkar rumahmu
ini!"
Dalam murkanya itu, Thian Touw
memutar tubuh kepada isterinya.
"Tidak ada jalan damai
lagi!" ia berseru. Terus ia memerintahkan: "Kamu galilah!"
In Hong dan Kiam Hong juga
memberikan perintahnya, maka itu, kawanan bujang itu lantas bekerja. Mereka
menggunai golok dan pedang untuk membongkar lantai, buat menggali tanah.
Kiam Hong geli sendiriannya,
sembari tertawa ia kata: "Aku sungguh tidak menyangka si siluman tua she
Kiauw tidak berani muncul! Sekarang kita jadi dapat ketika untuk beristirahat.
Mari kita mencari barang makanan!"
Usul ini diterima baik, lantas
mereka bergiliran menjaga dan mengepalai kawanan bujang itu, untuk mereka
bergantian masuk ke dalam, untuk berdahar. Ketika Kiam Hong muncul, dia membawa
beberapa buah pacul untuk dipakai oleh kuli-kuli sembatan itu, hingga pekerjaan
mereka menjadi terlebih cepat.
Mendekati tengah hari, orang
telah menggali liang dalamnya tiga tombak. Mendadak kawanan bujang itu berhenti
bekerja, terus mereka mengangkat seorang wakil, untuk memberitahukan:
"Masih ada tanah sekira satu kaki, setelah itu digali maka akan terdapat
jalan dalam tanah itu. Kami minta kamulah yang menggali meneruskan."
"Kenapa begitu?"
tanya In Hong gusar.
"Mungkin mereka takut
pada majikan mereka" kata Thian Touw yang sabar. "Mereka sudah
bekerja berat, tidak apa mereka boleh dikasih ampun." Ia benar-benar
membubarkan mereka, setelah mana iamenyambuti pacul, untuk masuk ke dalam lubang
galian itu. Ia memacul tak lama lantas di atasan mereka terlihat sebuah
lowongan mirip guha.
"Hati-hati!" ia
berseru selagi In Hong dan Kiam Hong mau lompat memasuki lubang itu. Tapi belum
berhenti suaranya itu, dari atas telah jatuh dua biji bola besi. Syukur ia celi
matanya dan sebat, ia menyambuti setiap bola itu, untuk segera ditimpukkan ke
atas, sesudah mana ia menghunus pedangnya, berbarengan bersama In Hong, ia
berlompat naik, gerakan mereka itu ialah yang dinamakan "Yantjoe
tjoanlian," atau "Burung walet terbang menembusi kere."
Begitu lekas mereka berada di
atas, mereka disambut pelbagai macam senjata rahasia maka mereka terus memutar
pedang mereka, untuk menyapu semua itu.
Paling belakang mereka
menangkis golok dan gembolannya Tek Seng Siangdjin dan Kiok YaTjiauw!
Segera setelah sampai di atas,
suami isteri ini mendapatkan sebuah ruangan yang besar di mana terlihat Tek
Seng Siangdjin dan Kiok Ya Tjiauw berkumpul bersama-sama Le Kong Thian dan Law
Tong Soen. Mereka itu mengambil sikap mengurung.
Kawanan bujang tadi cerdik.
Mereka bukan menggali tanah ke arah kamar di mana Kiauw Pak Beng lagi
bersamedhi meyakini ilmu kepandaiannya, mereka sengaja ambil arah ruangan
tengah yang besar itu. Inilah bagus buat Kiauw Pak Beng, kalau tidak, mungkin dia
bercelaka. Sebelum sampai batas waktu samedhinya, dia tetap tidak dapat
bergerak, dia tak dapat membuat perlawanan.
"Kiauw Pak Beng!"
Thian Touw berkata "apakah sampai ini waktu kau tetap tidak mau
keluar?"
"Hok Thian Touw, kau
kurarg ajar," Le Kong Thian menegur. "Sebentar kau nanti tahu
rasa."
Untuk membelai majikannya,
koankee ini menjadi nekad, dengan bonekanya ia lantas menyerang jago Thiansan
itu.
Thian Touw heran bukan main.
Entah kenapa Kiauw Pak Beng dengan sikapnya yang aneh itu. Ia berpikir:
"Le Kong Thian ini muridnya yang dia paling sayang, Le Kong Thian sudah
terluka parah, mengapa dia membiarkannya saja dia tetap tidak mau keluar
menyambut! tantangan? Mungkinkah dia tega mengantapkan muridnya ini
terbinasa?"
Tengah ia berpikir itu,
serangan datang, tetapi In Hong yang mewakilkan menangkis, setelah mana, si
nyonya terus membalas menyerang.
Sekonyong-konyong Thian Touw
menahan serangan isterinya.
In Hong heran.
Justru itu, Tek Seng Siangdjin
maju menyerang. Thian Touw menangkis dengan pedangnya membikin golok
penyerangnya itu mental, la lantas kata: "Kitatunggu lagi setengahjam,
jikalau tetap Kiauw Pak Beng tidak muncul, itu waktu baru kita membuka
pantangan membunuh!"
Mendengar demikian, Le Kong
Thian mengangkat boneka kuningannya dan berkata dingin: "Lagi setengahjam?
Apakah kamu kira itu waktu kamu masih memiliki jiwamu? Lebih baik siangrsiang
saja kau menyingkirkan diri!"
Sebenarnya itu tengah hari
adalah batas waktu penghabisan dari selesainya peryakinan ilmu atau penutupan
diri Kiauw Pak Beng, sengaja Le Kong Thian mengatakan demikian sebab --- biar
bagaimana --- ia bersyukur yang Thian Touw sudah tidak membinasakan padanya.
Dengan itu ia jadinya hendak memberi kisikan.
Hati Thian Touw bercekat,
hanya sebentar, lantas dia tertawa lebar dan kata nyaring: "Kami datang
dari tempat yang jauh! Tanpa kami menemui majikanmu, mana dapat kami lantas
kembali pulang? Maka janganlah kau berkuatir untuk kami, jikalau kamu mempunyai
kepandaian, kamu keluarkanlah semuanya!"
In Hong dapat melihat kamar
bersamedhi Kiauw Pak Beng.
"Untuk sementara waktu
dapat kita menunda pantangan membunuh," ia kata pada suaminya,
"tetapi perlu apa kita menanti sampai setengah jam? Sekarang juga kita
boleh gusur keluar siluman tua she Kiauw itu!"
Thian Touw kena terdesak
isterinya, maka bersama sang isteri, ia lantas maju ke arah kamarnya si jago
tua.
Le Kong Thian menjadi mata
merah, dengan bonekanya ia mencegah.
Tek Seng Siangdjin, Law Tong
Soen dan Kiok Ya Tjiauw pun menjadi bergelisah, terpaksa mereka maju mengepung
guna merintangi sepak terjangnya sepasang suami isteri itu. Karena ini, mereka
jadi bentrok, dua melawan empat.
Biar bagaimana, ke empat orang
itu ialah orang-orang yang liehay, maka rangsakannya In Hong dan Thian Touw
kena juga terhalang.
Kiam Hong muncul paling
belakang dari lubang bongkaran, ia lantas menceburkan diri dalam pertempuran
kacau itu. Ia memilih Kiok Ya Tjiauw yang paling lemah di antara ke empat
musuh.
Sekarang ini Kiok Ya Tjiauw
menggunai sepasang gembolan besi, meskipun itu tak sama dengan gembolan
emasnya, toh masih lumayan dibanding dengan toya. Maka itu dapat ia melayani si
nona dengan sama tangguhnya.
Tek Seng bertiga Kong Thian
dan Tong Soen mengepung suami isteri itu. Kong Thian telah terluka parah. Tek Seng
sendiri sudah sapat dua jeriji tangannya. Cuma Tong Soen, yang tidak terluka.
Tetapi, dengan mengambil waktu, mereka bertiga kena j uga terdesak.
In Hong sangat jemu terhadap
si orang she Law, ia mendesak luar biasa hebat.
Tengah bertarung seru itu, mendadak
Hok Thian Touw berseru: "Kena!" Itulah isyaratnya. Ia menyerang si
orang she Law. Isterinya segera menyambut pertanda itu.
Dalam sekejab saja, Tong Soen
sudah tertikam tujuh atau delapan kali, sia-sia belaka ia membela diri.
Untungnya ia dapat membuang diri dengan bergulingan ke pojok ruangan di mana ia
lantas menyenderkan diri. napasnya mengorong. Ia telah berubah menjadi seorang
orang darah!
Setelah mereka tinggal berdua,
juga Le Kong Thian dan Tek Seng Siangdjin telah mesti merasai ujung pedangnya
suami isteri itu, rangsakan siapa mereka tak dapat cegah, hingga hebatlah
keadaan mereka.
Kong Thian terluka hebat, di
dada, di punggung, di tangan dan dikaki. Lukanya itu berlubang atau melintang.
Dia menjadi tak gesit lagi gerak-gerakannya, sukar untuk berlompatan secara
lincah. Tapi meski dia telah mandi darah, dia tidak mau mundur!
In Hong berpikir: "Le
Kong Thian jahat tetapi dia sangat setia kepada gurunya, jaranglah orang
sebagai dia!" Karena ini, ia tidak mendesak hebat seperti semula. Hanya untuk
melukai lebih jauh, itulah sukar. Sebab si manusia raksasa masih selalu bisa
membela dirinya dengan bonekanya.
Tepat tengah mereka bertarung
seru dari dalam kamarnya Kiauw Pak Beng terdengar seruannya orang she Kiauw
itu. Seruan itu keras, mirip dengan "naga mengalun di laut besar atau
harimau menderum di lembah kosong." Tanpa disengaja, Thian Touw dan In
Hong menghentikan penyerangannya.
Lantas suara itu disusul
dengan suara gempuran pintu.
Le Kong Thian terkejut
berbareng girang, tetapi toh dia berkata pada jago dari Thiansan: "Hok
Thian Touw, apakah kau masih tidak mau pergi menyingkirkan dirimu?"
Perlahan suaranya, seperti suatu pemberian ingat.
Thian Tonw seorang ahli,
mendengar suara itu, --- suaranya Kiauw Pak Beng, --- mengertilah ia bahwa Pak
Beng telah menyelesaikan peryakinannya atas suatu ilmu tenaga dalam. Ia
berpikir: "Dia telah berseru, lantas dia berdiam, sekarang tentulah telah
tiba saatnya dia menemui orang."
Benarlah dugaan itu, dengan
tergempurnya pintu, Kiauw Pak
Beng sudah lantas lompat
keluar dari kamarnya. Dengan selesainya samedhinya, dia sadar, maka dia dapat
melihat dan mendengar, hingga dia dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia
menjadi gusar sekali.
Wajah jago Sioelo Imsat Kang
ini bercahaya dan bengis, sepasang matanya tajam berpengaruh. Dari Thian Touw
dan In Hong, dengan matanya itu ia menyapu kepada Le Kong Thian. Kemudian ia
ambil bonekanya itu pengurus rumah tangga atau muridnya untuk mengulapkan
tangan dan berkata: "Di sini tidak ada urusan kamu lagi! Kamu semua
mundurlah!"
Kong Thian dapat membade
maksud gurunya itu. Dia terluka, gurunya murka, lantas guru itu hendak menuntut
balas untuknya untuk itu si guru hendak menggunai senjatanya Tapi dia ingat
budinya Thian Touw, dia berkuatir untuk jago Thiansan itu. Biar bagaimana dia
tidak dapat minta keampunan dari gurunya untuk Thian Touw, terpaksa dia
mengundurkan diri juga.
Tek Seng Siangdjin bertiga Law
Tong Soen dan Kiok Ya Tjiauw, turut mundur juga. Mereka jalan dengan pincang
dan terhuyung, untuk pergi ke belakang, buat mengobati diri.
Kiauw Pak Beng lantas melirik.
"Sungguh gagah!"
katanya kemudian, perlahan. "Hok Thian Touw, kau rupanya telah selesai
dengan penciptaan ilmu pedangmu?"
"Aku bukanlah itu orang
yang berani banyak tingkah mempertontonkan kejelekan diri," menyahut jago
Thiansan, tenang. "Sebenarnya kami datang kemari untuk minta bertemu
dengan kau, apamau muridmu dan sahabat-sahabatmu telah merintangi kami maka
terpaksa kami menerobos masuk kemari."
"Hra!" mengejek Pak
Beng, suaranya dingin. "Kamu suami isteri sudah melukai orang, apakah di
mata kamu masih ada Kiauw Pak Beng lagi? Aku mau lihat apakah benar dengan
mengandalkan pedang kamu, dapat kamu malang melintang di kolong langit
ini!"
In Hong sengit maka ia
berseru: "Kamu berdua ayah dan anak, kamu sudah menculik Im Sioe Lan, yang
kamu bawa lari ke atas gunung kamu ini, kamu pun menyiksa dia, maka cara
bagaimana kau berani berbalik mengatakan kami?"
Thian Touw pun kata, sabar:
"Kiauw Loosianseng, kau serahkanlah Nona Im Sioe Lan kepada kami, untuk
kami mengajaknya pulang, nanti aku si orang she Hok memberi hormat kepadamu dan
menghaturkan maaf."
"Mantu ialah mantuku
sendiri, apakah dapat kamu mengurus dia?" Kiauw Pak Beng tanya.
"Muka tebal!" In
Hong membentak. "Kau bawa Im Sioe Lan kemari, kau tanya dia di depan kita,
dia kesudian atau tidak menjadi nona mantumu?"
"Kiauw Loosianseng,"
Thian Touw pun berkata pula "apakah kau berkukuh tidak sudi menyerahkan
nona itu kepada kami?"
Kiauw Pak Beng mengangkat
boneka kuningannya.
"Jangan banyak
omong!" katanya seram. "Majulah!"
In Hong habis sabar, maka ia
lantas maju dengan tikamannya.
Kiauw Pak Beng menggeraki
bonekanya, melihat mana Thian Touw kaget, maka ia pun lantas maj u. Dari itu
segera terdengar dua kali suara bentrokan keras dua batang pedang mengenai
anak-anakan yang terbuat dari kuningan itu. Sebagai akibatnya itu, ketiganya
kaget masing-masing, mereka pada berpisah. In Hong merasakan tangannya sakit
dan nyer-nyaran, dan Kiauw Pak Beng terpaksa mundur beberapa tindak.
"Bagus," berseru Pak
Beng seraya dia maju pula, menyapu dengan bonekanya.
In Hong dan Thian Touw
berlompat berkelit, terus mereka maju merangsak, untuk menyerang, karena
senjata mereka bentrok pula hingga berulang-ulang. Thian Touw hebat, selagi
orang mundur, ia mendesak, pedangnya bekerja ke bawah, sedang In Hong menyerang
ke atas, ke mata!
Hebat serangan sepasang suami
isteri ini, yang pedangnya telah bersatu padu.
Kiam Hong menonton, sendirinya
hatinya berdebaran. Ia percaya pedangnya Thian Touw itu bakal berhasil, tetapi
siapa tahu Pak Beng dapat memukulnya hingga mental!
"Sayang!" katanya
dalam hati.
Thian Touw kagum. Tidak ia
sangka, dalam waktu demikian pendek, cuma satu tahun Kiauw Pak Beng telah
memperoleh kemajuan begitu pesat.
Di pihak lain, Pak Beng tidak
kurang kagumnya. Ia merasakan hebatnya ilmu pedang sepasang suami isteri itu.
Oleh karena ini, kedua pihak
tidak berani berlaku sembrono, lantas mereka bertarung pula dengan waspada,
masing-masing
mengeluarkan tipu-tipu silat
mereka yang istimewa. Maka beterbanganlah boneka dan berkilauanlah sepasang
pedang...
Tengah bertarung lebih jauh,
tiba-tiba Hok Thian Touw merasakan hawa dingin sekali, yang tersalurkan dari
pedangnya sampai kepada telapakan tangannya, hingga tanpa merasa ia menggigil.
Ia lantas ingat kepada Sioelo Imsat Kang dari lawannya itu. Memang, di waktu
mau mendaki gunung, bersama isterinya ia sudah makan Pekleng Tan, pel yang
terbuat dari soatlian, teratai salju. Obat itu bukan obat yang tepat tetapi
chasiatnya soatlian yaitu melawan pelbagai macam racun, karenanya diharap
sedikitnya dapatlah rasa dingin Sioelo Imsat Kang dilawan, agar tenaga dalam
mereka tak sembarangan tergempur. Siapa tahu, hebat ilmunya Kiauw Pak Beng,
yang sudah mencapai tingkat ke delapan.
Syukur untuk suami isteri ini,
ilmu pedang mereka sudah mencapai puncaknya kemahiran, dibantu perlawanan
soatlian, mereka dapat bertahan hingga Sioelo Imsat Kang tak dapat digunai
sepenuhnya, sebab Kiauw Pak Beng pun mesti waspada luar biasa.
Cara menyerangnya jago tua she
Kiauw itu ialah "Kekboet toankong" --- menyerang memakai benda
sebagai saluran atau perantaraan —— maka itu juga, hawa dinginnya tersalurkan
pedangnya Thian Touw, tetapi lantaran kokohnya tenaga dalam Thian Touw, dia
tidak lantas dapat berbuat banyak.
In Hong kalah mahir tenaga
dalamnya dibanding dengan suaminya, akan tetapi di samping kekurangan itu, ia
pernah memperoleh petunjuk dari Thio Tan Hong dan juga pernah membaca kitab
"Hiankong Yauwkoat" pemberian jago she Thio itu, karena itu, ia pun
telah mendapat kemajuan yang berarti, hingga meskipun ia merasa dingin seperti
dirasakan suaminya ia turut dapat bertahan.
Di dalam hatinya Kiauw Pak
Beng heran dan kagum terutama terhadap In Hong. Ia tidak pernah menduga bahwa
juga nyonya ini telah maju bagus sekali. Oleh karena ini, ia lantas menggunai
siasat: Satu waktu ia perkeras desakannya, di lain ketika ia memperlunaknya, ia
membikin kendor. Dengan ini ia memancing sambutan dari suami isteri itu.
Sioelo Imsat Kang berarti
tenaga disusun, setingkat demi setingkat, tenaganya semakin besar, oleh karena
itu, tidak perduli liehay ilmu pedang suami isteri dari Thiansan itu, setelah
bertempur sekian lama, lama-lama mereka kalah angin juga. Hanya luar biasa
tampaknya: Di luar, Kiauw Pak Beng seperti terdesak. Di dalam, Thian Touw dan
In Hong yang terdesak.
Le Kong Thian datang menonton
pertempuran sesudah ia membalut lukanya ia muncul dengan membawa sebatang
tongkat. Ia kaget ketika mula-mula ia menyaksikan rangsakan pedang Thian Touw
dan In Hong, tetapi selang sekian lama, ia lantas dapat melihat tegas adalah
sepasang suami isteri itu yang mulai letih. Ia bahkan mau menduga, selang lagi
setengah jam, gurunya bakal mendapatkan kemenangan sepenuhnya...
"Jikalau mereka tidak
mati lantas, mereka tentulah akan sakit merojan," pikir Le Kong Thian. Dia
pernah mempelajari pokoknya Sioelo Imsat Kang, dia ketahui liehaynyailmu silat
Pak Beng itu. Dia menghela napas berduka, katanya pula dalam hatinya: "Hok
Thian Touw, Hok Thian Touw, siapa suruh kau tidak sudi dengar nasihatku?
Sekarang ini tidak ada lain jalan bagiku daripada bersedia untuk nanti mengubur
jenazah kau sepasang suami isteri. untuk membalas budi kamu telah tidak
membinasakan aku...
Selagi Kong Thian masgul itu,
medadak ia mendengar gurunya tertawa terbahak dan berkata nyaring:
"Tahan!" Guru itu terus lompat keluar kalangan, untuk menghentikan
pertempuran. Ia menjadi heran, ia lantas mengawasi, untuk mengetahui apa
maksudnya guru itu, atau apa yang menyebabkan sikap aneh itu.
Hok Thian Touw dan In Hong
yang tengah terdesak itu, turut menjadi heran. Mereka pun mengawasi.
Kiauw Pak Beng tertawa pula
kali ini untuk berkata: "Benarlah peribahasa, gelombang sunga Tiangkang
yang di belakang mendorong yang di depan, dan orang baru menggantikan orang
lama. Tidak disangka olehku si orang tua, di sampingnya Thio Tan Hong sekarang
aku menemui lawan-lawan tangguh! Hok Laotee, kau sudah berhasil menciptakan
Thiansan Kiamhoat, sungguh luar biasa! Hok Laotee. kau harus di puji dan diberi
selamat!"
Biar bagaimana, Kiauw Pak Beng
ialah seorang ahli silat terbesar, maka itu, dipuji oleh jago tua itu, hati
Thian Touw puas karenanya ia menjadi terlebih sungkan lagi terhadap lawannya
ini.
"Kiauw Loosianseng,
kepandaianmu pun luar biasa, aku yang muda kagum terhadapmu!" ia membalas
memuji.
Leng In Hong sebaliknya
mengerutkan alisnya.
"Kiauw Pak Beng!" ia
tanya, "kau hendak melanjuti pertempuran ini atau kau suka menyerahkan Im
Sioe Lan?"
"Ya, benar," berkata
Thian Touw, seperti disadarkan. "Sekarang lebih dulu kita bereskan urusan kita
setelah itu baru kita omong tentang ilmu silat."
Kiauw Pak Beng menggeleng
kepala.
"Menurut pikiranku, lebih
baik kita bicara dulu tentang ilmu silat!" katanya. "Habis kita
bertanding baru kita bicarakan urusan kita!"
Jawaban itu membuat Thian Touw
mengerutkan alisnya Segera ia berdiri berendeng dengan isterinya. Pedang mereka
pun lantas disiapkan.
"Kalau begitu, baik kita
menggunai aturan Kangouw!" jago Thiansan ini berkata. "Loosianseng,
silakan kau memberi petunjuk kepada kami!"
Kiauw Pak Beng tertawa, ia
menggoyang-goyang tangannya.
"Sabar, jangan
kesusu," katanya. "Hari ini kita sudah bertempur lama kita sudah
letih. Bagaimana jikalau dilanjuti besok?" Kamu pun sudah melakukan satu
pertempuran hebat sekali, dari itu, tidak sudi aku mengambil keuntungan dari
keletihan kamu itu." Ia sengaja mengeluarkan napas capai, ia kata pula:
"Bicara terus-terang. aku pun sudah merasa letih sedikit, tenagaku tidak
dapat menuruti hatiku! Baiklah kita sama-sama beristirahat, setelah segar dan
bersemangat, baru kita dapat mengeluarkan kepandaian kita! Setujukah
kamu?"
In Hong menjadi heran sekali.
"Loosianseng benar."
kata Thian Touw seraya menyimpan pedangnya. "Karena loosianseng suka
memakai aturan Kangouw, baiklah, aku menerima dengan senang."
Pak Beng bersenyum.
"Kong Thian!" ia
memerintahkan murid atau penguasa rumahnya, "pergi kau menyediakan dua
buah kamar yang bersih untuk tetamu-tetamu kita ini, lantas kau melayaninya
baik-baik."
Kong Thian terima tugasnya
itu. Diam-diam ia bersyukur untuk Thian Touw. Ia lantas pergi bekerja, setelah
mana ia mengajak ketiga tetamunya masuk ke dalam kedua kamar yang disediakan
itu. Kiam Hong dapat kamar sendirian, yang bertetangga dengan kamar Thian Touw
dan In Hong.
Thian Touw tertawa, ia
berkata: "Kiauw Pak Beng melayani kita baik sekali."
In Hong tapinya tetap heran.
"Sebenarnya apakah yang dipikir Pak Beng?" ia tanya. Iabercuriga.
"Aneh," Kiam Hong pun berkata: "nampaknya tadi kamu bakal
menang, kenapa kamu kesudian mendengar kata-katanya itu?"
"Kau keliru melihat!"
kata Thian Touw, menyeringai, "yang bakal menang itu ialah dia!"
Kiam Hong melengak.
"Hok Toako tidak salah
""mengatakan," berkata In Hong. "Dia benar!"
Nona Liong heran, tetapi
sekarang ia percaya.
"Perduli apa Kiauw Pak
Beng hendak melakukan apa juga!" berkata In Hong kemudian.
"Beristirahat bagi kita ada baiknya. Sekarang kita berpikir, besok kita
melayani pula padanya!"
Sore itu, di waktunya
bersantap, Le Kong Thian telah mengirim orang menyuguhkan barang hidangan
terpilih.
"Awas, nanti ada
racunnya," Kiam Hong memberi ingat.
"Jikalau Kiauw Pak Beng
hendak mengambil jiwa kita, tadi ada ketikanya yang baik." bilang Thian
Touw. "Buat apakah dia menunggu sampai sekarang dan dengan menggunai
racun?" Ia lantas mendahului mencobai barang hidangan itu, sembari tertawa
ia berkata pula: "Jangan takut, daharlah!"
In Hong percaya suaminya itu.
Mereka pun mempunyai pel Pekieng Tan, tak usah mereka takut. Meski begitu,
mengetahui barang makanan itu tidak ada racunnya, ia menjadi semakin heran.
Thian Touw pun tidak dapat
menerka maksudnya Pak Beng. yang tidak hendak menurunkan tangan jahat itu. Pak
Beng sebenarnya memikir sesuatu yang di luar sangkaan mereka. Pak Beng mencapai
tingkat ke delapan dari Soelo Imsat Kang karena ia mengandal bantuannya obat.
Ia sekarang ingin mencapai tingkat ke
sembilan-tingkat terakhir.
Kali
ini ia tidak dapat
mengandalkan obat pula. Itulah berbahaya. Ia terancam kesesatan. Yang ia
butuhkan ialah pelajaran yang lurus. Untuk ini ia tidak dapat berguru kepada
lain orang, ia mesti mencari sendiri. Kebetulan ia dapat bertempur dengan Thian
Touw dan In Hong. Ia lantas memikir untuk meminjam kepandaiannya sepasang suami
isteri itu --- meminjam dengan memperhatikan dan menelad mereka itu. Begitulah
tadi, ia melayani musuh dengan keras dan perlahan bergantian. Dengan itu jalan
ia menguji mereka, ia mencoba-coba. Dari perlawanan mereka itu, ia akan dapat
melihat dan menyangkok. Untuknya sedikit kesadaran ada banyak artinya. Tapi itu
tidak cukup hanya dengan satu pertempuran, maka dengan menggunai kelincahannya,
ia menundanya, ia ingin bertempur hingga beberapa kali. Ia membutuhkan
pertempuran selama bisa.
Demikian besoknya pagi, orang
berkumpul di lianboe thia, ruangan peranti berlatih silat. Sekarang In Hong
menyaksikan hadirnya Tek Seng Siangdjin, Law Tong Soen. Kiok Ya Tjiauw dan
Tonghong Hek serta lainnya. Mereka itu. setelah lewat satu malam, dapat berobat
dan beristirahat, meskipun belum sembuh seluruhnya, mereka sudah dapat
bergerak.
"Jikalau mereka membantu
Pak Beng dan meluruk, pastilah seorang diri adik Kiam Hong tidak dapat melawan
mereka," kata In Hong dalam hati. Mau atau tidak, ia bercuriga, ia
berkuatir. Ia menduga, setelah kemarin kena dilabrak --- dengan adanya Kiauw
Pak Beng —— pastilah mereka itu berkeinginan keras untuk menuntut balas. Mereka
tinggal menanti waktunya saja buat turun tangan...
Sebelum pertandingan dimulai,
mendadak Kiauw Pak Beng berkata, nyaring: "Hari ini aku berurusan dengan
suami isteri Hok Thian Touw sendiri dan kita menggunai aturan Kangouw, maka
itu, aku melarang siapajuga mencampuri tangan! Nona Liong telah tiba di rumahku
ini, ia pun tetamuku yang terhormat! Kong Thian, baik-baiklah kau mewakilkan
aku melayani tetamuku!"
Mendengar itu. Tek Seng
Siangdjin heran bukan buatan. Ia berpikir: "Kiauw Pak Beng bicara hal
aturan Kangouw, sungguh aneh!"
Perasaan aneh itu pun didapat
Tong Soen semua, tetapi karena tuan rumah telah mengatakan demikian, mereka
cuma bisa heran saja terpaksa mereka berdiam saja untuk menonton.
Setelah itu. Pak Beng
mengundang kedua lawannya untuk mulai hertempur pula. la tetap menggunai
bonekanya Kong Thian.
Thian Touw dan In Hong berlaku
waspada. Setelah beristirahat, mereka telah dapat pulang kesegaran mereka. Maka
itu, mereka dapat bertahan untuk serangan hawa dingin dari Sioelo ImsatKang.
Selagi bertarung, diam-diam
Kiauw Pak Beng bergirang. Ia kata dalam hatinya: "Ilmu dalam yang lurus
dari mereka ini benar-benar hebat. Sebenarnya mereka masih kalah dari aku
tetapi sebagai pihak yang lemah mereka masih dapat melawan yang kuat. Rupanya
tenaga mereka dapat digunai setiap waktu dan sesuka hati mereka untuk bertahan.
Asal aku dapat menyangkok mereka ini maka tak usahlah aku takut lagi bahwa aku
akan tersesat..."
Hari itu. pertarungan dahsyat
itu mendatangkan kemajuan terhadap Thian Touw dan In Hong. Persatu paduan
mereka jadi semakin erat, hingga lancarlah segala gerak-gerik mereka. Di lain
pihak, Kiauw Pak Beng pun memperoleh keuntungan. Sesudah dua kali pertempuran
itu, perlahan-perlahan ia mendapatkan keinsafan. Mendekati magrib, barulah Pak
Beng mendesak seperti kemarinnya, dia membikin kedua lawannya kewalahan, tetapi
justeru mereka itu repot, mendadak ia menunda pertempuran itu.
"Marilah kita
beristirahat dulu," katanya. "Besok kita nanti main-main pula. Hari
ini kita tetap seri."
Thian Touw dan In Hong
menerima baik. Itulah ada faedahnya untuk mereka, hingga mereka tak usah
dirobohkan. Tapi tetap mereka merasa heran, masih belum bisa mereka menerka apa
yang dipikir j ago tua itu.
Lalu di hari ketiga dan ke
empat, pertarungan dilanjuti seperti hari pertama dan hari kedua itu, ialah di
saat genting. Pak Beng kembali menunda-nunda. Thian Touw dan In Hong tetap
memperoleh kemajuan, tetapi pun Pak Beng, keinsyafannya makin bertambah, ia
mulai menyadari jalannya ilmu tenaga dalam dari kedua lawannya. Itulah
pelajaran tenaga dalam yang lurus yang ia butuhkan.
Sampai di hari ke lima, sore,
In Hong seperti kelelap dengan keheranannya.
"Dibanding dengan tahun
dulu, Sioelo Imsat Kang Kiauw Pak Beng maju berlipat ganda" ia kata pada
suaminya. "Dapatkah kau merasakan itu?"
"Benar!" sahut Thian
Touw. "Bahkan selama beberapa hari, dia pun maju terus!"
"Mulanya aku sangka,
dengan berhasilnya ilmu pedang ciptaan kita kita dapat mengalahkan Kiauw Pak
Beng, " In Hong berkata
pula. "tidak dinyana sekali, dia telah mendapatkan kemajuan pesat begini
rupa. Aku lihat, kalau pertempuran berlanjut terus, sampai sepuluh hari atau
setengah bulan, mungkin kita tetap berada di bawah angin."
"Kau benar," sang
suami bilang. "Pertempuran ini membuatnya aku heran. Kenapa Pak Beng
melibat kita? Kenapa dia seperti ini memperpanjang pertempuran ini?"
"Biar bagaimana, tidak
nanti dia mengandung maksud baik!" menyatakan sang isteri. "Kegagahan
saja tak berarti, itu perlu didampingi kecerdikan. Maka itu, aku rasa, perlu
kita menggunai pikiran kita. Setelah ternyata kita tidak dapat merobohkan dia,
apa perlunya untuk melanjuti pertarungan ini? Baiklah kita lekas turun gunung.
Kita berlalu saja secara diam-diam. Kita mesti minta bantuannya Lootjianpwee
Ouw Bong Hoe."
Thian Touw berpikir.
"Pertarungan ini
dilakukan dengan perjanjian kaum Kangouw," katanya selang sesaat,
"kita datang secara berterang, perginya mesti berterang juga. Tak bagus
untuk berlalu secara diam-diam. Aku pikir begini saja. Besok kita melayani pula
dia satu hari. apabila tetap keadaan seri. lantas kita menjanjikan suatu waktu
yang lain. Setelah berjanji begitu, baru kita pergi. Dengan demikian, orang
tidak dapat mencela kita."
"Terhadap satu hantu yang
tak ada kejahatan yang tak dilakukan, buat apa kita pakai segala aturan bau
itu?" kata In Hong. Isteri ini mulai sengit.
"Bukan begitu,"
sahut sang suami, sabar. "Memang baik dia tidak memakai aturan. Tapi
sekarang dia memakainya, mana dapat kita tidak mentaati?"
In Hong tidak dapat membantah
suaminya itu, terpaksa ia menurut. Tapi ia memberi pikiran, besok jangan
ditunggu sampai mereka sudah letih baru mereka bicara, untuk menunda
pertempuran sampai lain waktu. Mereka perlu menjaga tenaga mereka supaya,
andaikata Pak Beng menghalangi, mereka bisa memaksa menyingkir dari gunung itu.
Setelah ada kecocokan, maka di
hari kedua, Thian Touw bersama In Hong menempur pula Kiauw Pak Beng. Sesudah
bertarung seru beberapa hari. Pak Beng berhasil mencuri cara-cara pelajaran
tenaga dalam kaum lurus. Karena kecerdasannya, dapat ia menyangkok dari suami
isteri itu. Thian Touw pun memperoleh kemajuan tak sedikit untuk ilmu pedang
baru yang ia ciptakan, bahkan ia dapat menciptakan lagi beberapa jurus
terbaharu. Maka itu ia merasa sayang yang ia berniat menunda pertempuran
selanjutnya sampai salah satu pihak kena dikalahkan.
"Lawan seperti Kiauw Pak
Beng ini," pikirnya, "dalam seumur hidupku sukar dicari tandingannya.
Coba aku tidak mesti berjaga-jaga terhadap akal muslihatnya, ingin sekali aku
melayani dia untuk lagi sepuluh hari!"
Selagi mereka bertempur seru
itu, In Hong mengedipi mata pada suaminya.
Thian Touw agaknya berat untuk
turun tangan. Ia ingin masih mencoba jurusnya yang terbaru, supaya itu jadi
bersatu padu dengan isterinya. Tapi ia tidak dapat bersangsi terus. Maka ia
paksa mencoba juga. Kebetulan terasakan tekanannya Pak Beng sedikit kendor,
mendadak ia bersiul panjang, terus ia menggeraki pedangnya berputar arahnya,
ujung pedang menuju kepada dadanya sendiri.
Kiauw Pak Beng menyaksikan
gerakan lawan itu, ia heran, justeru ia merasa heran, pedang Thian Touw
meluncur ke arahnya, dengan caranya yang ia tidak sangka sekali. Tahu-tahu ia
telah menjadi kaget. Pedang lawan itu sudah menegur pundaknya! Tapi ia pun
tidak berdiam saja.
Mendadak tubuh Thian Touw
terpental roboh. Inilah sebab, meski ia dapat menikam dengan baik, hubungannya
dengan In Hong tidak ada, maka itu. sebelum In Hong menyerang, Pak Beng sudah
mendahulukan membalasnya.
In Hong kaget bukan kepalang.
Tapi Thian Touw, begitu
tubuhnya jatuh, begitu ia mencelat bangun, terus dengan air muka guram ia
memberi hormat pada Pak Beng seraya berkata: "Lootjianpwee, kau liehay
sekali, sekarang aku tunduk! Biarlah lagi tiga bulan aku datang pula untuk
menerima pula pengajaranmu!"
In Hong mendengar suara
suaminya hatinya menjadi lega. Dari suara itu ia mendapat tahu, suami itu
mendapat luka sedikit pada tenaga dalamnya luka itu tidak berbahaya.
Kiauw Pak Beng tertawa lebar.
"Kau terlalu merendahkan
diri laotee!" katanya. "Pertempuran ini pun pertempuran seri, kenapa
kau lantas mengaku kalah?"
"Lootjianpwee cuma
terluka bajumu, aku sendiri, aku dibikin terpental roboh," berkata Thian
Touw. "Mana berani aku bertempur lebih jauh? Maka itu baiklah kita menanti
lagi tiga bulan baru kita main-main pula!"
Pak Beng bergerak sangat
gesit, untuk menghalang di depan orang. Ia tertawa manis.
"Kau keliru, kau
keliru!" katanya.
"Bagaimana?" In Hong
tanya. "Apakah kau tidak mengijinkan kami pergi?"
"Bukan begitu
maksudku," sahut Pak Beng. "Hok Laotee, kalau tetap kau mengaku kalah
secara begitu, tidak dapat aku menghargai kau. Aku minta kau suka dengar lebih
jauh perkataanku."
Biar bagaimana senang Thian
Touw mendengar suara orang itu.
"Lootjianpwee,"
katanya, "kau berkepandaian sangat tinggi, andaikata lootjianpwee melihat
sesuatu yang tak tepat padaku, tolong kau beri petunjukmu."
"Dibanding dengan kau,
laotee, usiaku lebih tua tiga puluh tahun," berkata Pak Beng, sabar,
"oleh karena itu sudah sepantasnya saja tenaga dalamku ada lebih menang
daripada kau, hingga pula sudah wajar apabila kau kena kubikin terpental. Mana
bisa itu dianggap sebagai suatu kekalahan?"
"Dengan ilmu pedangku
tidak dapat aku melukai kau, lootjianpwee," berkata Thian Touw, "oleh
karena itu, kalau kita bertempur terus, tetap aku bakal kalah."
"Jikalau begitu,
bagaimanajikalau kita menukar caranya bertanding?" Pak Beng mengajukan
saran. "Kita menggunai cara yang sama rata?"
"Bagaimanakah itu?"
"Aku mau mengundang kau
duduk memasang omong, bagaimana?" Pak Beng tanya.
"Pembicaraan apakah
itu?" In Hong menyelak.
Kiauw Pak Beng tertawa.
"Untuk membicarakan cara
yang sama rata itu!" sahutnya.
Thian Touw kena dibikin malu
hati oleh sikap ramah tamannya Pak Beng ini. Mana bisa ia menggunai kekerasan?
Ia pun jadi ketarik hati, ia ingin mengetahui cara yang dikatakan "sama
rata" itu.
"Bagaimana cara itu,
tolong lootjianpwee jelaskan," ia minta.
"Bertanding dengan
menggunai tangan, tak bisa kita tidak menggunai tenaga dalam," kata Pak
Beng, "dengan begitu. Hok Laotee, aku jadi berlaku tidak adil terhadapmu.
Lagi pula, meski kita belum mencapai puncak kemahiran, buat apa kita mencari
keputusan dengan mengadu tenaga? Bukankah terlebih baik kita berunding saja
secara mendalam? Jikalau aku kalah, aku akan mengakuinya, aku akan menyerah ——
tegasnya, aku bersedia untuk menuruti segala titahmu!"
Thian Touw sangat kegilaan
ilmu silat, sekarang Kiauw Pak Beng mengajak berunding, ia ketarik hati, ia
seperti kegatalan. Ia kata di dalam hatinya: "Aku mengerti ilmu dalam
pelbagai partai, begitupun ilmu luar, aku tidak percaya kau dapat mengalahkan
aku!" Maka tanpa berpikir, ia menjawab: "Aku telah mendengar tentang
pengetahuan yang luas dari lootjianpwee, sekarang kau sudi memberikan pelajaran
padaku, inilah hal yang aku minta pun tidak berani. Baiklah asal lootjianpwee
jangan nanti mentertawakan aku!"
Kiauw Pak Beng tertawa riang.
"Hok Laotee, usiamu muda
kau pun telah berhasil membangun suatu partai baru," ia kata,
"jikalau kau terus main merendahkan diri, itu artinya kau tidak memandang
mata kepada aku si orang she Kiauw!"
In Hong diam-diam menggenggam
tangan suaminya atas mana Thian Touw pun diam-diam menggerak-geraki
telunjuknya, untuk menulis: "Aku mengerti, kau jangan kuatir." Dalam
gembiranya suami ini tidak mengambil mumat pemberian ingat isterinya itu.
Bahkan segera ia ikut Pak Beng masuk ke dalam kamar, ia membiarkan isterinya
menanti di luar, hingga hati In Hong jadi tidak tenang.
Di dalam kamarnya, Pak Beng
mengajak Thian Touw duduk berhadapan, di depan mereka ada sebuah meja persegi
yang penuh debu.
"Hok Laotee, silakan kau
mulai!" berkata tuan rumah, manis budi.
Thian Touw mengangkat
tangannya mengebut membikin debu terkibas bersih, terus ia memberi hormat
seraya berkata: "Aku tidak berani melewatkan lootjianpwee."
Kiauw Pak Beng tertawa dengan
mendadak, tangannya dengan tiba-tiba menghajar meja di depannya, hingga meja
itu ringsak. Setelah itu, ia menitahkan orangnya lekas menukarnya dengan meja
yang baru. Ia membalas hormat, ia berkata: "Nampaknya pengertian kita
tentang ilmu silat beda sekali!"
Gerak-gerik mereka berdua
barusan menunjuki sifat mereka masing-masing. Thian Touw dengan mengebut bersih
debu di meja berarti, buat belajar silat, orang mesti mulai dari dasarnya
membuang yang lama mengatur yang baru. Kiauw Pak Beng dengan merusak meja
bermaksud, dasarnya mesti di mulai dari baru.
Kata Thian Touw: "Aku
mengebut debunya, mejanya tetap mejanya."
Kiauw Pak Beng berkata:
"Jikalau yang tua tidak dirusaki, mana dapat ada yang baru? Meja yang baru
jauh lebih baik daripada meja yang tua!"
"Agaknya tak dapat dipadu
manusia dengan meja!" kata pula Thian Touw.
"Hal itu mesti dilihat
dari sifatnya. Aku lihat dalam tempo tak sampai sepuluh tahun, pasti akan ada
perubahannya!" kata lagi Pak Beng.
Kata-kata mereka itu berarti
Pak Beng hendak menggunai cara-cara sesat yang keras, bagaikan jago memaksakan
sesuatu. Dengan cara keras dia hendak mendapatkan kesempurnaan tenaga dalam.
Thian Touw sebaliknya, karenanya ia terdesak. Tapi seperti telah diketahui, ia
kegilaan ilmu silat, maka itu, makin terdesak, ia menjadi makin bernapsu,
semangatnya makin terbangun. Maka ia melayani terus Pak Beng mengadu bicara
atau berunding itu, hingga tanpa merasa, dari pagi, sang waktu merayap terus,
tahu-tahu sudah magrib. Justeru itu Pak Beng mengajukan soal yang sulit, hingga
sukar ia lantas menjawabnya hingga ia pikir: "In Hong pernah membaca kitab
Hiankong Yauwkoat entah soal ini ada disebut atau tidak dalam kitab itu. Itulah
kitab yang istimewa." Justeru ia ingat isterinya, baru ia melihat cuaca
mulai gelap, maka ia kata dalam hatinya: "Pasti In Hong sudah tak sabaran,
mungkin ia pun berkuatir. Ah, mesti aku lihat dia!" Dari itu, ia lantas
berkata: "Lootjianpwee, lagi sekali pengetahuanmu, tak dapat aku melawannya
oleh karena itu biarlah malam ini aku memikirkannya, besok aku nanti menerima
pula pelajaran dari kau. Bagaimana?"
Kiauw Pak Bang tertawa lebar.
Tetapi ia berlaku ramah-tamah.
"Orang di jaman dahulu
ada yang karena belajar sampai lupa dahar dan tidur, hari ini kita berunding,
hampir saja aku lupa akan sang waktu! Sekarang sudah gelap, memang sekarang
telah tiba waktunya untuk beristirahat! Hok Laotee, persilakan!"
Segera juga In Hong mendengar
tindakan kaki, ia lantas menyambut suaminya.
"Ah, bagus kau ingat pulang!"
katanya, mendeluh. "Aku kira kau kena disesatkan si hantu tua!"
Thian Touw tertawa.
"Benar-benar aku hampir
disesatkan!" sahutnya. "Aku tidak sangka pengetahuan Kiauw Pak Beng
dalam sekali, hampir tak dapat aku menjawab dia! Dengan berbicara lama
dengannya, aku memperoleh kefaedahan bukan sedikit."
"Aku kuatir dia
mendapatkan lebih banyak pula!" kata si isteri, yang tidak puas.
In Hong senantiasa bercuriga.
Thian Touw melengak sejenak,
lantas ia tertawa pula dan berkata: "Pengetahuan Kiauw Pak Beng berada di
atasan kita, apa mungkin dia hendak mencuri dari kita?"
"Coba pikir, habis apa
perlunya dia mengajak kau berunding?" In Hong tanya.
Thian Touw pun berpikir.
"Memang ada bagian-bagian
di mana aku dapat mengalahkan dia." katanya, "cuma hari ini kita
membicarakan saja sifat yang berlainan dari pandangan kita berdua pihak, kita
belum bicara hal ilmu pedang dan tidakjuga hal ilmu dalam. Ada apakah
halangannya?"
"Apa saj a yang ia
tanyakan kau?" In Hong tanya.
"Aku justeru hendak
menanyakan kau," sahut Thian Touw. Dan ia mengulangi pertanyaannya Kiauw
Pak Beng, yang tak dapat ia jawab lantas itu. "Mungkin itu ada disebut
dalam Hiankong Yauwkoat..."
In Hong terkejut.
"Kenapa kau bicara
dengannya dari hal itu?" dia tanya. "Itu justeru ada hubungannya
dengan lweekang simhoat!"
Thian Touw tertawa pula.
"Ah, kau gampang
kaget!" katanya. "Kita cuma saling bertanya, sepantasnya saja kalau
ada bagian-bagian yang sulit. Sama sekali aku tidak mengajari dia lweekang
simhoat. Pula dia dan kita berlainan sifat dan caranya, dia telah mendahului
kita, aku pikir, tidak nanti dia membuang apa yang dia telah punyai, untuk
ditukar dengan kepunyaan kita."
Thian Touw tidak menginsafi,
inilah justeru pokok dasar yang dicari Pak Beng, supaya pelajaran sesat dapat
disatu padukan dengan pelajaran lurus, atau kalau perlu, yang sesat itu dibuang
seluruhnya, guna ditukar dengan yang lurus, supaya dia berhasil dengan
peryakinannya Sioelo Imsat Kang!
Leng In Hong juga tidak tahu
bahwa Sioelo Imsat Kang, apabila telah diyakinkan sampai tingkat ke delapan,
ada bahayanya untuk orang menjadi tersesat, ia cuma merasa bahwa suasana buruk
sekali. Maka ia kata pada suaminya: "Jangan kita omong banyak lagi, inilah
berbahaya. Pihak sana tetap musuh kau. Lebih baik kita berlalu siang-siang dari
sini, kita pergi mengundang Tjianpwee Ouw Bong Hoe, setelah mana baru kita
datang pula."
"Jikalau bukan sudah tiba
pada saat terpaksa, tidak sudi aku memohon bantuan lain orang," menjawab
suami yang keras kepala itu. "Bukankah Kiauw Pak Beng telah berjanji,
apabila aku dapat merobohkan dia, dia akan suka menyerahkan Nona Im kepada
kita?"
In Hong tertawa dingin.
"Jadi kau menaruh
kepercayaan kepadanya?" tanyanya.
"Dengan kedudukannya itu,
tidak nanti Kiauw Pak Beng mempedayakan aku," kata Thian Touw, yang
berkukuh kepada kepercayaannya. "Hanya sayang, dalam perundingan
dengannya, aku tidak mempunyai pegangan untuk memperoleh kemenangan..."
"Kau percaya dia, aku
tidak!" kata sang isteri. "Jikalau besok kau tidak pergi, aku akan
pergi sendiri!"
In Hong habis sabar pula.
"Biar bagaimana, aku
mesti dapat menjawab pertanyaannya itu," Thian Touw bilang. "Jikalau
tidak, mana aku mempunyai muka? In Hong, kau telah membaca Hiankong Yauwkoat,
jikalau ada bagiannya yang kau ketahui, dapatkah kau membilangi aku?"
Isteri ini menjadi kewalahan.
"Baiklah!" sahutnya
setelah ia berpikir. "Besok kita berdua menghadapi Kiauw Pak Beng, kapan
kejadian kau tidak dapat menjawab, akulah yang akan menggantikan kau!"
Thian Touw kurang setuju,
sebab itu berarti satu lawan dua. tetapi isterinya telah menerima baik
permintaannya hatinya lega juga. Maka dengan girang ia berkata: "Begini
pun baik. Di waktu kita bertempur, memang telah dijanjikan kita berdua melawan
dia sendiri!"
Demikian besoknya Thian Touw
mengajak isterinya pergi ke kamar istirahatnya Kiauw Pak Beng. Jago itu
terperanjat mendapatkan orang muncul berdua, hingga ia tercengang sejenak. Ia
tahu baik, In Hong jauh lebih cerdas daripada suaminya, maka itu ia berkuatir
si nyonya nanti dapat membade maksud hatinya. Tak dapat ia tampik nyonya itu.
Terpaksa ia menyambut sambil tertawa.
"Bagus kamu datang
berdua!" katanya, manis. "Inilah hal yang minta pun aku tidak berani.
Hari ini aku si orang tua jadi dapat meminta lebih banyak pelajaran."
"Sebenarnya apakah itu
yang Kiauw Sianseng kehendaki?" In Hong mewakilkan suaminya bertanya.
"Pokoknya ialah mencuci
bulu dan membersihkan sungsum," sahut Pak Beng.
"Jikalau begitu," In
Hong menjawab, "aku minta agar kau suka mengubah muka dan mencuci
hati!"
Parasnya Pak Beng berubah.
Hebat jawaban itu. Cuma sejenak, dia lantas tertawa bergelak.
"Bagus! Bagus!"
katanya. "Liehiap, bagus kata-katamu ini! Meskipun jawabanmu bertentangan
dengan pemikiranku, aku toh mengagumi kau, aku mesti puji padamu. Sekarang,
dengan dasar kedua paham yang berlainan itu, aku minta kau suka memberi
penegasan."
In Hong berbangkit.
"Aku cuma minta kau
mencuci muka dan membersihkan hati!" jawabnya dingin. "Segala hal
lainnya tak usahlah kau tanya banyak-banyak lagi!"
Nyonya ini mengibaskan
tangannya, untuk terus menepuk Thian Touw, untuk lantas bertindak pergi dari
kamarnya Pak Beng itu!
Kiauw Pak Beng membuat satu
gerakan luar biasa. Kedua tangannya menekan pinggiran kursinya dan kedua
kakinya menjejak lantai, atas manatubuhnya mencelat tinggi, hingga di lain saat
ia sudah berada di depan pintu, hingga ia dapat menghadang. Ia lantas berkata:
"Leng Liehiap, apakah kau datang kemari sengaja untuk mempermainkan aku si
orang tua?"
"Kau menanya aku pokoknya
peryakinan ilmu silat dan aku telah
memberikan jawabanku!"
sahut In Hong. “Itulah: muka harus dirubah, hati harus dicuci! Apakah ini
berarti mempermainkan? Coba kau pikir masak-masak. Mungkin itu besar faedahnya
untukmu!"
"Benar begitu!"
Thian Touw campur bicara. "Di antara kita memangnya ada pokok dasarnya
yang berlainan, karena itu, buat apa lootjianpwee menjadi kurang senang?
Jikalau loosianseng berkukuh. berbicara lebih jauh pun tidak bakal ada
hasilnya, maka itu aku yang rendah meminta diri saja!"
Thian Touw mengerti maksud
isterinya itu, yang menyindir Pak Beng. Benar ia tidak dapat menyetujui sikap
getas dari sang isteri, akan tetapi di dalam keadaan seperti itu, ia terpaksa
mesti berdiri di pihak isterinya.
"Hok Thian Touw!"
berkata Pak Beng murka. "Kau telah datang ke tempatku ini. aku layani kau
dengan hormat, kenapa sekarang kamu sedikitpun tidak memandang mata kepada aku?
Dapatkah kamu berlalu dengan cara begini saja?"
Thian Touw yang sabar pun
berubah air mukanya.
"Kau berusia lebih
lanjut, aku menghormatimu dengan memanggil kau tjianpwee." ia menjawab.
"Itu sudah cukup! Apakah kau menghendaki aku berlutut dan
mengangguk-angguk terhadapmu? Habis, mau apakah kau?"
Pak Beng dapat menjadi sabar
pula, ia menyahut dingin: “Aku mau lihat kamu mempunyai kepandaian apa untuk
keluar dari kamarku ini!"
In Hong tidak melayani bicara
pula.
"Thian Touw!"
katanya, "sekarang tak perlu bicara lagi! Mari kita pergi!"
Dengan lantas sepasang suami
isteri itu menghunus pedang mereka, yang bercahaya berkilauan, dan dengan
lantas juga mereka menyerang, untuk membuka jalan.
"Bagus!" berseru
Kiauw Pak Beng. "Ilmu pedang yang bagus!" Ia lantas mengibas dengan
tangan bajunya, untuk menyentil dengan jari tangannya.
Pedang In Hong kena disampok
miring, terus disentil, hingga terdengar suaranya yang nyaring beruntun, sedang
pedang Thian Touw tersampok sampai orang she Hok ini merasa telapakan tangannya
kesemutan!
"Hebat jago tua
ini!" pikir Thian Touw, yang merasa heran. "Cara bagaimana dia
melatihnya? Kenapa dia maju begini pesat hanya dalam tempo satu hari?" Ia
tidak menyangka bahwa justeru ialah yang mengajarinya tanpa ia mendusin!
Syukur Kiauw Pak Beng tidak
memegang senjata, dia masib ragu-ragu, jikalau tidak, entah bagaimana
kehebatannya lebih jauh.
Bentrokan pertama itu membuat
In Hong dan suaminya mundur tiga tindak, setelah itu barulah mereka maju pula
Kali ini mereka bisa mendesak sampai lawannya mundur dua tindak.
Tepat pertandingan hendak
memasuki babak yang dahsyat, di luar kamar terdengar suara pertempuran yang
berisik disusul dengan teriakannya Le Kong Thian berulang-ulang: "Soehoe!
Soehoe!"
Dengan satu jejakan, Kiauw Pak
Beng membikin pintu terbuka terpentang.
"Bocah yang baik!"
dia berseru. "Aku tidak sangka sama sekali kamu datang dengan
kawan-kawanmu! Baiklah, sebentar aku akan membuat perhitungan denganmu!"
Jago tua ini menyangka,
pertempuran di luar itu dilakukan oleh kawan-kawannya Hok Thian Touw.
Sebaliknya, Thian Touw dan In Hong juga heran sekali. Bahkan Thian Touw kata
dalam hatinya: "Kecuali aku berdua, siapakah sudah berani datang kemari
untuk menarik-narik kumis harimau dari Kiauw Pak Beng?"
Lantas suami isteri ini
menyusul keluar, akan mengikuti Pak Beng. Tatkala mereka tiba di ruangan
latihan, di sana tampak pertempuran kacau, karena orang-orangnya Pak Beng tengah
mengepung tiga orang. Le Kong Thian yang mengepalai pihak tuan rumah.
Tiga orang itu ialah yang satu
seorang tua dengan muka berewokan, yang kedua seorang pengemis yang pakaiannya
banyak tambalannya, dan
gagah yang pakaiannya rapi.
Melihat mereka itu, In Hong girang bukan kepalang.
Si orang tua bukan lain
daripada Ouw Bong Hoe. yang nomor dua di antara Empat Jago Pedang, sedang si
pengemis ialah Tie Goan, Hoepangtjoe atau ketua muda dari Kaypang, Partai
Pengemis. Si anak muda bukan lain daripada Tjioe Tjie Hiap, puteranya Kimtoo
Tjeefjoe Tjioe San Bin.
Tidak dapat Thian Touw dan In
Hong lantas menduga duduknya hal, sedang sebenarnya Ouw Bong Hoe datang atas
permintaannya Tjie Hiap. Bong Hoe datang walaupun ia tidak merasa pasti akan
dapat mengalahkan Kiauw Pak Beng. Ia datang karena urusan ialah urusan yang
menyangkut San Bin dan yang mengundangnya ialah muridnya sendiri.
Pada mulanya Ouw Bong Hoe
memikir untuk berbicara dulu dengan baik. apabila terpaksa barulah ia hendak
menggunai kekerasan, akan tetapi mereka ditolak dengan getas oleh pengawal
pintu, siapa taat kepada pesan Pak Beng bahwa dalam beberapa hari ini tuan
rumah menampik tetamu siapa juga. Belum Bong Hoe menyebutkan namanya, ia sudah
lantas diusir. Tjie Hiap tidak tahan sabar, dia lantas menyerang.
Kemudian muncullah Le Kong
Thian bersama Law Tong Soen. Kong Thian mengenali jago she Ouw itu, dia
terperanjat. Dia menyangka Bong Hoe datang bukan dengan maksud baik, bahwa
mungkin orang ada kambratnya In Hong dan Thian Touw.
"Serang saja!" Tong
Soen menganjurkan koankee dari tuan rumah. Dia membenci Ouw Bong Hoe, yang
pernah menghajar padanya.
Kong Thian kena dibujuk, ia
maju.
Mulanya Ouw Bong Hoe tidak mau
turun tangan, ia percaya cukup Tjie Hiap berdua Tie Goan, setelah melihat Kong
Thian, terpaksa ia menempur koankee itu.
Kong Thian boleh gagah akan
tetapi menghadapi Ouw Bong Hoe, baru sepuluh jurus ia sudah terdesak mundur,
oleh karena itu terpaksa ia main mundur ke dalam, untuk meneriaki gurunya, buat
memberi isyarat. Demikian datanglah Kiauw
Pak Beng. Melihat gurunya Kong
Thian jadi mantap hatinya, segera ia melakukan perlawanan sengit, ia mencoba
menyerang membalas, untuk mendesak musuh yang tangguh itu.
Law Tong Soen di lain pihak
menghampirkan Tjioe Tjie Hiap, dengan jurus-jurus Hoenkin Tjokoet Tjioe, ia
mencoba menangkap, untuk dibikin patah atau salah laku, tangannya jago muda
dari Kimtoo Tjee.
Ouw Bong Hoe gusar atas
sikapnya Le Kong Thian. Atas datangnya boneka yang besar dan berat itu, ia
menyambut dengan Ittjie Siankang. Ia menyentil nadinya manusia raksasa itu.
Tidak dapat Kong Thian mengelit tangannya. Begitu tersentil, begitu cekalannya
terlepas, lantas bonekanya jatuh.
Malang dua pegawainya Kiauw
Pak Beng, selagi mereka mengepung Tjie Hiap, mereka ketimpa boneka itu, terus
mereka roboh.
Setelah itu Ouw Bong Hoe
memutar tubuh, buat menghampirkan Tong Soen, tetapi orang she Law ini licik dan
matanya tajam, siang-siang dia mendahului menyingkir sebab hatinya mencelos
menyaksikan Kong Thian terpecundangkan dalam satu gebrakan.
Adalah di saat itu, Kiauw Pak
Beng muncul. Dia gusar melihat muridnya terlukakan. Segera dia menyerukan
orang-orangnya mundur, dia sendiri terus maju menghadapi Ouw Bong Hoe, siapa
belum pernah melihat tuan rumah, hanya dari roman dan sikapnya saja ia dapat
menduga dari itu ia lantas berhenti menyerang.
Ouw Bong Hoe menjadi orang
berkenamaan, walaupun ia sedang murka, Kiauw Pak Beng tidak berani berlaku
kasar, dengan paksakan diri, setelah mengawasi orang, ia bersenyum dan berkata:
"Aku kira siapa, tak tahunya Ouw Loosianseng! Sebenarnya aku si orang she
Kiauw berdahaga untuk menemui, sudah beberapa kali aku mengirim undangan untuk
mengundang tetapi Loosianseng malas untuk membuat kunjungan! Maka itu kenapakah
hari ini, tanpa diundang Loosianseng datang sendiri?"
Ouw Bong Hoe bangsa jujur, ia
menyahut dengan terus terang: "Apabila tidak ada urusan, tidak nanti aku
datang berkunjung. Aku telah diminta tolong oleh Kimtoo Tjeetjoe, untuk memohon
satu orang dari kau, Kiauw Sianseng. Sayang murid-muridmu tidak mau membukai
pintu, lantaran itu terpaksa aku melayani mereka hingga tanpa disengaja aku
melukai muridmu. Sekarang aku minta kau suka menyerahkan puterinya Tjit Im
Kauwtjoe, untuk kami mengajak pulang, setelah itu aku nanti menghaturkan maaf
kepada kamu guru dan murid."
"Menghaturkan maaf?"
kata Kiauw Pak Beng dingin. "Itulah aku tidak berani terima! Muridku yang
buruk tidak mengenali gunung Thaysan, aku mengucap terima kasih yang kau telah
memberi pelajaran padanya! Jadi kau datang untuk meminta orang? Inilah mudah!
Tapi, Loosianseng telah datang kemari, inilah yang aku mintanya pun sukar, dari
itu aku ingin menggunai ketika ini untuk memohon pengajaran dari kau ---
pelajaran Ittjie Siankang yang Iiehay! Loosianseng tidak sungkan memberi
pengajaran pada muridku, maka juga pastilah Loosianseng akan meluluskan
permintaanku ini!"
Mendengar suaranya tuan rumah,
Ouw Bong Hoe merasa tidak enak di hati. Memang ia merasa tidak pantas ia
melukai orang dari tingkat lebih muda. walaupun itu sangat terpaksa.
"Kepandaianku kepandaian
tidak berarti," ia menyahut merendah, "aku malu akan mendapat
disebutnya itu sebagai kepandaian yang Iiehay. Yang tepat ialah Sioelo Imsat
Kang dari kau sendiri, Kiauw Sianseng! Aku telah kesalahan melukai murid
sianseng, baik nanti belakangan saja aku menghaturkan maafku, sekarang aku
minta sianseng tidak buat kecil hati..."
Kiauw Pak Beng mengebut
tangannya, untuk mencegah tetamunya bicara lebih jauh. Ia tertawa dan berkata:
"Sianseng, kata-katamu ini membuat aku putus asa. Bukankah mencoba
kepandaian ada hal yang umum? Apakah sianseng menganggap aku tidak pantas
memohon pengajaran dari kau? Atau memangnya Ittjie Siankang dipakai istimewa
untuk anak-anak muda?"
Hebat kata-kata itu untuk Ouw
Bong Hoe. Jikalau iamenolak. ia bakal terhina. Ia menjadi dapat menyabarkan
diri lagi. Ia pun, seumurnya, belum pernah tunduk kepada lain orang kecuali
gurunya dan Thio Tan Hong. Maka ia menjawab: "Jikalau begitu. Kiauw
Sianseng, baiklah, akan aku gunai ketika ini untuk belajar kenal dengan Sioelo
Imsat Kang yang luar biasa dahsyat itu! Oleh karena tetamu tidak dapat
mendahului tuan rumah, silakan sianseng yang mulai memberikan
pelajaranmu!"
Kiauw Pak Beng tidak menyahut
lagi, ia pun tidak mengangguk, hanya segera sebelah tangannya digeraki, untuk
dipakai menepuk.
Ouw Bong Hoe heran. Ia tidak
merasakan sambaran angin dingin. Hanya sedetik, lantas ia mengerti maksudnya
Kiauw Pak Beng. Nyata tuan rumah tidak mau menggunai ketikanya untuk menyerang
terlebih dulu. Lantaran orang berlaku sungkan, ia lantas bergerak. Lebih dulu
tangan kirinya dibawa ke dada, untuk menjaga diri. menyusul itu tangan kanannya
--- dengan jari tengah —-— menotok ke atas.
Kiauw Pak Beng tertawa.
"Ouw Sianseng, kau nyata
tak mau ketinggalan!" katanya. Kali ini ia terus menyerang dengan
sungguh-sungguh, maka juga, di situ lantas terdengar suara angin tinjunya yang
hebat.
Thian Touw kaget. Ia tidak
pernah menyangka Pak Beng demikian telengas. Ia pun tidak menduga Pak Beng
liehay sekali dengan ilmunya yang istimewa itu, yang paling meminta tenaga
dalam, tetapi sekarang dia dapat menggunainya sembarang waktu.
Selagi jago Thiansan ini
terkejut, air mukanya Ouw Bong Hoe pun berubah sedikit. Akan tetapi ia
mengangkat tangannya, ia menyentil dengan jari tengahnya untuk melawan serangan
Pak Beng itu. Tepat ia mengenai tengah-tengahnya telapakan tangan jago she
Kiauw itu, hingga terdengar suaranya.
Hampir berbareng kedua jago
memisahkan diri masing-masing. Ouw Bong Hoe mundur hingga tiga tindak, tubuhnya
menggigil. Kiauw Pak Beng terhuyung dua kali, dari mulutnya terdengar suara
perlahan: "Aaah!..."
Hawa dingin dari Pak Beng
tersalurkan ke dalam tubuh Ouw Bong Hoe dengan jalan jerijinya itu, menyerang
uluhatinya, tetapi dengan tenaga dalamnya yang mahir, ia dapat mengusir pergi.
Setelah itu, ia menjadi heran. Pernah ia mendengar dari Tjie Hiap halnya Pak
Beng dikalahkan Tan Hong. ia menduga Pak Beng baru sampai di tingkat ke tujuh,
jadi ia percaya, dengan sentilannya, ia pun bakal dapat kemenangan, atau
sedikitnya ia tidak akan terkalahkan, tidak disangka-sangka, sekarang Pak Beng
beda daripada sangkaan, bahkan tenaga dalamnya itu berdasarkan tenaga dalam
yang lurus, beda daripada tenaga dalam kaum sesat. Mungkin inilah gabungan
lurus dan sesat yang bakal menjadi sempurna.
Lantas terdengar Kiauw Pak
Beng tertawa.
"Benar-benar Ittjie
Siankang sangat liehay!" katanya. "Sekarang mari, aku si orang she
Kiauw ingin minta pengajaran pula!"
Kata-kata itu di akhiri dengan
serangan, yang bertambah dahsyat.
Ouw Bong Hoe ketahui baik
sekali Kiauw Pak Beng hendak merobohkan dia atau kalau bisa, dia hendak dibikin
binasa maka itu. ia bertekad untuk melawan, dan tetap dengan Ittjie Siankang.
Lainnya kepandaian tidak dapat digunakan! Cuma ia memasang kuda-kudanya dengan
"Tjian Kin Twie" atau "Jatuh seribu kati."
Kembali terdengar suara
nyaring begitu lekas kedua pihak saling bentrok. Ouw Bong Hoe tidak kena
terpukul mundur seperti semula, melainkan tubuhnya bergoyang beberapa kali,
bajunya turut bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras.
Di lain pihak, Kiauw Pak Beng
tidak dapat lantas merangsak pula.
Setelah bentrokan itu, yang
hebat luar biasa, mukanya Ouw Bong Hoe nampak sedikit pucat, sebaliknya muka
Kiauw Pak Beng seperti keturunan warna ungu muda dan peluhnya turun menetes
dari dahinya!
Thian Touw menyaksikan dengan
hati mereka berdenyutan, begitupun Le Kong Thian. Mereka sama-sama merasakan
hebatnya pertempuran itu --- pertempuran mati atau hidup.
Sulit untuk mereka
memisahkannya, andaikata mereka memikir demikian. Dari keduajago itu, salah
satu mesti dihajar, baru mereka dapat sudah. Kong Thian pernah memikir
demikian, tetapi di situ ada Thian Touw, diajeri. Bahkan dia sekarang berkuatir
Thian Touw yang nanti turun tangan menghajar guru atau majikannya itu...
Memang, asal Thian Touw turun
tangan, maka Kiauw Pak Beng bakal kena ditabas batang lehernya tanpa dia
berdaya. Sebenarnya pernah berkelebat dalam otaknya jago Thiansan itu, untuk
menyerang Pak Beng, guna segera mengakhiri pertandingan, tetapi di lain saat,
ia berpikir pula: "Aku orang macam apa? Mana dapat aku berlaku demikian
rendah membokong seorang yang lagi tidak berdaya?"
Lewat sekian lama maka
terlihatlah pada jidatnya Ouw Bong Hoe tanda dari bangunnya otot-ototnya, yaitu
warna biru gelap, sedang kedua tangannya ditekuk ke belakang. Itulah mirip
tanda tak bertahan.
"Apakah aku mesti
menonton saja Ouw Lootjianpwee terbinasa ditangannyaKiauw Pak Beng?" Thian
Touw kata dalam hati kecilnya. Ia bersangsi, hingga merandak ketika ia sudah
maju dua tindak dan tangannya telah meraba gagang pedangnya. Ketika itu Ouw
Bong Hoe, dengan sinar mata tajam, pun mengawasi padanya, itulah tandajago tua
itu tidak menghendaki bantuan untuknya. Ia berpikir keras sekali, sampai
tiba-tiba ia sadar: "Benar! Ouw Loosianseng tidak ingin aku merusak nama
baiknya!" Maka ia lantas berdiam terus.
Thian Touw tidak usah menanti
lama akan menyaksikan perubahan yang menyusulnya.
Kiauw Pak Beng mengasi dengar
siulan yang aneh sedang Ouw Bong Hoe bersuara "Hm!" menyusul mana
tubuh mereka berdua bersama-sama mencelat tinggi!
Dua-dua Thian Touw dan Kong
Thian terkejut, dua-duanya lantas lompat menyusul. Ketika Kong Thian sampai
kepada gurunya, tubuh guru itu sudah turun ke tanah. Ia berniat memegangnya,
untuk mempepayang. Tapi tubuh sang guru berputaran, ketika bajunya kena
terpegang, baju itu berkibar keras, tak kuat murid ini mempertahankan diri, dia
tertolak mundur hingga roboh!
"Lekas panggil
adikmu!" terdengar suara keras dari Pak Beng.
Kong Thian bangun dengan muka
bengap, tetapi ia girang, sebab pikirnya: "Rupanya luka soehoe tidak
parah..." Maka ia lantas menurut perintah.
Ketika Thian Touw sampai
kepada Ouw Bong Hoe, jago itu sudah berdiri dengan tegak, bahkan segera
terdengar suaranya yang nyaring: "Kiauw Pak Beng, kita sudah saling
belajar kenal! Apakah katamu?"
Mendengar suara itu, tenanglah
hati Thian Touw.
Kiauw Pak Beng menutup kedua
matanya ketika ia memerintahkan Kong Thian, mendengar pertanyaan Bong Hoe, ia
membuka matanya, terus ia mengawasi lawannya itu. Ia ingin melihat atau mencari
sesuatu pada tubuh lawan, karenanya ia tidak segera memberikan jawabannya.
Thian Touw sendiri lantas
menjadi terperanjat. Ketika ia berpaling ke sisinya, ia tidak mendapatkan
isterinya serta Kiam Hong, si nona yang semenjak tadi terlihat berdiri diam
saja menonton pertempuran yang dahsyat itu. Tengah ia heran itu, mendadak ia
mendengar teriakannya Kiauw Siauw Siauw: "Ayah! Ayah!"
Itulah teriakan dari
ketakutan, yang disusul dengan munculnya si anak muda.
Untuk heran dan kagetnya semua
orang, Kiauw Siauw Siauw muncul sambil berlari-lari dengan pakaiannya
berlumuran darah, dan di belakang ia tampak Leng In Hong bersama Liong Kiam
Hong lari mengejarnya!
Sebenarnya Siauw Siauw telah
dapat beristirahat. Ia telah mendengar hal ayahnya bersama Hok Thian Touw
merundingkan tentang ilmu silat, ia hanya tidak ketahui maksud yang dikandung
ayahnya itu. Karena ini, ia memikir untuk menganjurkan ayahnya membinasakan
saja In Hong semua. Untuk ini, ia pergi keluar. Ia baru sampai di luar pintu
tatkala ia melihat ayahnya dan Ouw Bong Hoe lagi bertarung, sedang Thian Touw
dan isterinya berdiri menonton. Ia menjadi jeri, lekas-lekas ia menyingkir dari
depan pintu.
Kiauw Pak Beng dan Hok Thian
Touw lagi bertarung, mereka berdua sama-sama tidak melihat Siauw Siauw
mengintai, dan tidak mengetahui juga berlalunya In Hong dan Kiam Hong.
Nyonya Thian Touw sangat
cerdik, di sampingnya menonton dan memperhatikan suaminya, matanya juga dipakai
melirik kelilingan dan telinganya dipasang terang-terang. Begitu Siauw Siauw
muncul, begitu ia mendapat lihat, dan ketika tuan rumah yang muda itu ngelepot
seperti kepala kura-kura, ia menarik tangannya Kiam Hong, untuk diajak pergi.
Ia telah memikir, cukup Thian Touw seorang menjagai Ouw Bong Hoe. Bahkan ia
tertawa dalam hati melihat suaminya seperti tersengsam menonton pertarungan
seru tetapi luar biasa itu.
Kong Thian semua juga
memusatkan perhatiannya seperti Thian Touw, dari itu mereka tidak melihat
ketika In Hong dan Kiam
Hong berlalu dengan diam-diam.
In Hong dan Kiam Hong menyusul
Siauw Siauw. Pemuda itu kena dicandak, maka tanpa banyak omong lagi, mereka
jadi bertempur. In Hong membiarkan ia dihantui Kiam Hong, sebab ia tidak mau
mencontoh Thian Touw yang terlalu menghormati undang-undang kaum Kangouw.
Menghadapi orang muda yang telengas itu. ia tidak sudi mengasi hati lagi.
Sekarang ini, setelah ia
mencapai perpaduan ilmu pedangnya. In Hong menang jauh daripada Siauw Siauw,
maka itu dibantui Kiam Hong, baru sepuluh jurus lebih, si pemuda sudah
terlukakan beberapa tikaman. Untungnya bagi Siauw Siauw. nyonya dan nona itu
telah termufakat untuk membekuk dia hidup-hidup, untuk dipakai sebagai alat
penukaran guna mendapatkan Im Sioe Lan.
Kiauw Siauw Siauw cerdik, dia
bisa menangkap maksudnya kedua lawan ini. Sebenarnya diajeri terhadap Ouw Bong
Hoe dan Hok Thian Touw, tetapi saking terpaksa, dia lari juga keluar sambil
berteriak-teriak, untuk minta tolong dari ayahnya.
Kong Thian kaget, dia lantas
maju untuk menolongi majikan muda itu. Tepat ia datang dekat, tepat In Hong
menikam majikannya. Ia lantas menggunai bonekanya guna menalangi menangkis.
In Hong liehay sekali. Ketika
pedangnya bentrok dengan boneka sebab ia ditangkis itu, ia lantas menggunai
ketika itu, ialah dengan pedang ia menekan boneka, terus tubuhnya berlompat
tinggi melewati senjatanya si manusia raksasa. Hingga ia dapat menyusul pula si
anak muda. Ia mau menikam jalan darah lengtay di punggung anak muda itu, untuk
tetap dapat menawan hidup-hidup.
Kiauw Siauw Siauw mendapat
ketika yang baik karena bantuannya Le Kong Thian itu. Ia pun tidak mau mandah
kena dibinasakan musuhnya, ia hendak mencari balas. Ia lantas bersiap dengan
kipasnya yang liehay itu, ia ingin menyerang dengan senjata rahasianya. Akan
tetapi ia terlambat. Baru ia mengangkat tangannya setelah ia berkelit dari tikaman,
belum lagi jeriji tangannya memencet alat rahasia pada kipasnya itu, lengannya
sudah terbabat pedang In Hong. Sambil membabat itu, si nyonya berkelit. Maka
juga senjata rahasia Siauw Siauw, yang toh terpencet juga, menyambar ke arah
bonekanya Kong Thian.
Sebagai kesudahan dari tabasan
In Hong itu, anaknya Kiauw Pak Beng menjerit keras sekali, tubuhnya terhuyung
ke depan ayahnya itu dan roboh terbanting, akan tetapi ia masih sempat
merangkul kaki orang tuanya itu, untuk mengasi dengar suaranya yang mempilukan:
"Ayah, balaskanlah sakit hati anakmu!..."
Tatkala itu Tek Seng Siangdjin
bersama-sama Law Tong Soen dan
Tonghong Hek beramai telah
hadir di gelanggang pertempuran itu. Mereka telah mendengar hal pertandingan di
antara Kiauw Pak Beng dan Ouw Bong Hoe, mereka ingin menonton. Justeru
kebetulan sekali, mereka menyaksikan peristiwa tersebut.
Thian Touw terkejut, dalam
hatinya ia kata: "Cade! Cade! Pedangnya In Hong membuat Kiauw Siauw Siauw
menjadi bercacad! Mana Kiauw Pak Beng mau mengerti? Di sini mesti akan terjadi
pertempuran mati dan hidup!..."
Di luar dugaan, setelah Pak
Beng memandang anaknya, dia berlaku tenang.
"Kong Thian," kata
dia pada muridnya, "kau dukung soetee-mu ini ke ruang belakang dan kau
obati dan balut lukanya." Dia terus menoleh kepada seorang pegawainya
untuk memberikan titahnya terlebih jauh: "Kau pergi ke dalam dan undang
Nona Im keluar!"
Bukan melainkan Thian Touw
yang heran tetapi juga Kong Thian. Sungguh itulah di luar dugaan! Maka murid
merangkap koankee ini kata dalam hati-kecilnya: "Soehoe sudah berhasil
mempelajari Sioelo Imsat Kang sampai di tingkat ke delapan, meskipun benar Ouw
Bong Hoe liehay ilmunya Ittjie Siankang, agaknya dia bukanlah tandingan soehoe,
kenapa sekarang tampaknya soehoe jeri terhadap mereka itu?"
Kiauw Pak Beng mempunyai Siauw
Siauw sebagai anak satu-satunya, bahkan anak laki-laki, yang akan menyambung
turunannya, sedang anak itu adalah anak mustika, yang disayang sama seperti
jiwanya sendiri, sekarang Siauw Siauw ditabas kutung sebelah tangannya oleh
Leng In Hong, kenapa dia tidak menjadi gusar? Maka juga pantaslah Thian Touw
dan Kong Thian heran sekali.
Lantas terdengar Pak Beng
berkata: "Di dalam satu pertempuran sukar dicegah seorang luput dari
bahaya terlukakan, maka itu anakku, yang ilmu silatnya tidak mahir, terlukanya
itu wajar dan karena itu, siapajuga tidak dapat dipersalahkan. Aku si orang tua
telah berhari-hari dapat berunding ilmu dengan saudara Hok dan hari ini aku
belajar kenal juga dengan Ittjie Siankang dari Tuan Ouw, kejadian ini ialah
soal yang paling menggirangkan seumur hidupku, maka itu, dengan memandang
kepada saudara Hok dan Tuan Ouw, sukalah aku membikin habis segala urusan yang
sudah-sudah, dan Nona Im, silakan saudara Hok membawanya pulang. Jikalau kau
bertemu Kimtoo Tjeetjoe, saudara Hok, tolong kau mewakilkan aku menyampaikan
hormatku kepadanya."
Mendengar itu, Thian Touw
girang bukan kepalang. Ia lantas memberi hormat.
"Nyata lootjianpwee
mengerti segala apa!" katanya. "Terima kasih!" Tetapi In Hong
kata dalam
hatinya: "Siapa bilang
tua bangka ini mengerti segala apa? Terang-terang tua bangka ini memandang
enteng kepada yang lemah dan sebaliknya takut pada yang kuat!"
Sementara itu si pegawai yang
dititahkan Pak Beng tadi sudah muncul bersama-sama Im Sioe Lan, yang telah
sangat tersiksa oleh Siauw Siauw, hingga dia tampak lemah sekali. Kiam Hong
lantas menghampirkan, untuk mempepayang.
Sioe Lan membuka kedua
matanya. Ia sangat lemah tetapi matanya itu bersinar tajam. Dengan cahaya
sangat bermusuh, ia mengawasi Kiauw Pak Beng.
Pak Beng tertawa, ia kata
sabar: "Nona Im, Siauw Siauw memperlakukan tidak baik terhadapmu, aku
sangat menyesal. Bukankah kau sangat membenci dia? Bukankah barusan sambil
lewat kau telah melihat anakku itu? Dia telah menerima ajaran dari Leng
Liehiap, sebelah tangannya sudah ditabas kutung! Bukankah karenanya,
penasaranmu telah dapat dilampiaskan?"
Biarnya jago ini bicara dengan
tenang akan tetapi kata-katanya yang terakhir itu bernadakan kemurkaan yang
tertahan.
Biar bagaimana, senang Thian
Touw dengan kesudahan itu. Itulah hal yang ia minta pun tidak dapat. Karenanya
iaberkuatir sekali, "kalau sang malam panjang, sang impian menjadi
banyak." Maka lantas ia berkata: "Kami semua datang kemari untuk Nona
lm, sekarang urusan sudah beres, aku yang muda memohon diri!"
Kiauw Pak Beng tertawa
terbahak.
"Dengan kedatangan kau
ini, saudara Hok, bukan sedikit kefaedahan yang diperolehku!" katanya.
"Sampai kita bertemu pula!" Matanya lantas menyapu. Melihat Ouw Bong
Hoe, yang ia awasi tajam, ia menambahkan: "Tuan Ouw, baik-baiklah kau
merawat dirimu! Di jaman ini, orang-orang tua yang menjadi ahli silat sudah
tinggal tak seberapa orang lagi! Bukankah itu harus disayangi?"
Mendengar perkataan jago itu,
Thian Touw terkejut, lekas-lekas ia mengawasi Ouw Bong Hoe. Ia mendapat
kenyataan Bong Hoe bersikap sebagaimana biasa, kecuali air mukanya mirip orang
yang telah menenggak beberapa cawan air kata-kata, ialah bersemu dadu. Ia
menganggap biasa siapa habis •bertempur hebat, hingga orang menjadi telah mengeluarkan
banyak tenaga, kesegarannya tak segera pulih kembali. Tapi ia tetap heran.
Kenapa Pak Beng mengatakan demikian? Pikirnya: "Kenapa terhadapku Pak Beng
membilang sampai bertemu pula sebaliknya terhadap Ouw Bong Hoe, nada suaranya
tak sedap? Itulah kata-kata yang beralamat jelek? Kenapakah?"
Ouw Bong Hoe dingin nadanya
ketika ia menyahuti: "Kiauw Pak Beng. apakah kau merasakan apa-apa yang
luar biasa pada nadimu? Kau juga harus baik-baik merawat dirimu!" Setelah
itu ia memutar tubuhnya, untuk bertindak pergi.
Kembali Thian Touw menjadi
heran, maka ia melirik Pak Beng. muka siapa ia dapatkan telah berubah sedikit.
Meski demikian, tuan rumah yang kosen itu tertawa --- dengan suara tertawanya
yang aneh --- dan berkata pula: "Ouw Bong Hoe. kau baik-baiklah jalan!
Maafkan aku, tidak dapat aku mengantarkan kau!" Lantas ia mengibaskan
tangannya dan memutar tubuhnya, untuk masuk ke dalam.
Thian Touw dan isterinya serta
Tie Goan berdua lantas mengikuti Ouw Bong Hoe berlalu. Kiam Hong ada bersama
Sioe Lan. Thian Touw terus memperhatikan jago tua itu. Setelah meninggalkan
pintu rumah Pak Beng, mukanya Bong Hoe berubah menjadi suram, dengan
membungkam, ia berjalan terus. Ia tetap heran, ia tidak mengerti.
In Hong lantas mendapat
firasat buruk.
Kiam Hong dan Sioe Lan turut
mendapat lihat roman luar biasa dari Bong Hoe, karena itu, meski mereka ingin
omong banyak, mereka turut bungkam.
Sampai di kaki gunung,
romannya Ouw Bong Hoe makin berubah.
"Mari kita
beristirahat," kata In Hong. "Ouw Lootjianpwee. barusan kita
mengandal lootjianpwee mengalahkan Kiauw Pak Beng, maka aku percaya, tidak
nanti dia berani menyusul kita karena mana kitapun tak usahlah berjalan dengan
tergesa-gesa..."
Nyonya Hok ini menyangka,
sebab bertempur sangat hebat dan mengeluarkan tenaga terlalu banyak, Bong Hoe
menjadi sangat letih dan ia perlu beristirahat. Tapi keadaan orang she Ouw itu
beda daripada terkaan itu.
Ouw Bong Hoe mengangkat
kepalanya, memandang ke atas gunung, habis itu dengan perlahan ia menyahuti:
"Benar, aku benar harus beristirahat!" Lagu suaranya itu tawar
sekali!
Hati In Hong terkesiap, ia
kaget.
"In Hong, apakah kau
mengira aku telah dapat mengalahkan Kiauw Pak Beng?" Ouw Bong Hoe tanya,
perlahan.
"Aku menduga dia telah
terhajar Ittjie Siankang dari lootjianpwee," si nyonya menjawab.
"Jikalau tidak, kenapa dia tidak menjadi gusar meskipun aku telah membabat
sebelah lengan anaknya? Benarkah dia dapat sudah saja?"
"Tidak salah," kata
Bong Hoe, "tidak salah tadi dia telah terlukakan olehku, tetapi sebabnya
kenapa ia suka berhenti sampai di sini itulah lantaran diajeri terhadap kamu
suami isteri..."
In Hong melengak, begitupun
Thian Touw.
"Lootjianpwee." kata
si orang she Hok, "mana dapat kami menerima pujian lootjianpwee ini? Kami
menempur dia sudah lima hari, buat omong terus terang, kami berdua benar-benar
bukanlah tandingan dia!"
"Dia telah terluka, yang
paling penting untuknya ialah mendapatkan tempo untuk menyalurkan napasnya,
untuk mengobati diri sendiri," berkata Ouw Bong Hoe, "oleh karena
itu, mana dia berani menempur pula kamu berdua? Sioelo Imsat Kang dari Kiauw
Pak Beng demikian liehay, sungguh itulah di luarsangkaanku..."
Mendadak dia menjatuhkan diri
berduduk di tanah, napasnya pun mulai sesak.
Orang semua terperanjat. Dalam
ilmu dalam, di jaman itu, kecuali Thio Tan Hong. tidak ada lain orang lagi yang
sanggup melawan jago she Ouw ini. Maka heran yang dia dapat tergempur Kiauw Pak
Beng.
"Lootjianpwee," kata
Thian Touw, yang hatinya menjadi kecil, "aku mempunyai teratai salju dari
Thiansan..."
"Teratai itu simpanlah
untuk kamu pakai sendiri," Ouw Bong Hoe memotong. "Aku tidak
membutuhkan itu..."
Jago tua itu tertawa tetapi
sedih tertawanya.
Thian Touw dan In Hong menduga
orang telah terluka parah di bagian dalam, mereka hanya tidak menyangka luka itu
demikian hebat hingga Ouw Bong Hoe mirip pelita yang telah kekeringan minyak,
bahwa jiwanya segera bakal tak tertolong pula.
Ouw Bong Hoe menentang hebat
Sioelo Imsat Kang dari Kiauw Pak Beng, selama itu hawa dingin telah menyerang
masuk ke dalam tubuhnya, syukur untuknya, saking mahirnya tenaga dalamnya, dia
masih dapat bertahan demikian lama. Ini sebabnya kenapa sampai sekian lama
suami isteri itu tidak dapat melihatnya. Bahkan Kiauw Pak Beng sendiri tidak
dapat membade lawannya itu terluka sampai di batas mana, karena mana, di
samping jeri terhadap pada Thian Touw dan In Hong, dia jadi tidak berani
menuntut balas untuk anaknya. Pak Beng terluka pada nadinya yang dinamakan
Samim meh, luka itu jauh lebih enteng daripada luka lawannya, andaikata dia mesti
menempur pula Thian Touw dan In Hong, ada kemungkinan dia dapat bertahan atau
sedikitnya kedua pihak bakal terluka parah bersama. Di mana di sana ada
rombongannya Tek Seng Siangdjin, apabila benar terjadi pertarungan mati hidup,
mungkin sekali rombongan In Hong tak akan ada yang pulang hidup...
Hati In Hong menjadi kecil
mendengar suaranya Ouw Bong Hoe, tetapi ia tidak lantas menjadi putus asa, ia
malah berpikir keras, untuk mencari jalan guna menolongnya. Penolakannya Ouw
Bong Hoe memakan soatlian atau teratai salju membuatnya menyangka Bong Hoe
ingin bertahan dengan tenaga dalamnya. Ia mau membujuki ketika jago itu berkata
pula dengan lemah: "Sang tempo sudah tidak banyak lagi, aku ada beberapa
pesan untuk kamu, harap kamu suka lekas mengerj akannya."
"Silakan,
lootjianpwee," kata Thian Touw dan In Hong bareng.
"Yang pertama yaitu kamu
mesti lekas berangkat ke Tali untuk mengundang Thio Tan Hong," berkata
Bong Hoe. "Sekarang ini tenaga dalam dari Kiauw Pak Beng sudah teryakinkan
hingga dia berada di antara kelurusan dan kesesatan, jikalau dia diberi
kesempatan menyampaikan tingkat ke sembilan, sekalipun Thio Tan Hoag belum
tentu dapat menundukkan dia. Sekarang dia tengah memerlukan tempo untuk dapat
menggabung sempurna kedua pelajaran lurus dan sesat itu, di dalam tempo satu
tahun, Tan Hong dapat menang unggul daripadanya. Selewatnya satu tahun,
sukarlah untuk dibilang..."
Thian Touw terkejut. Di dalam
hatinya segera timbul pertanyaan: "Dari mana Kiauw Pak Beng mendapatkan
pelajaran lurus itu?" Tengah ia terbengong, In Hong mengawasi ia dengan
tajam. Hanya isteri ini pun tercengang seperti ianya.
Melainkan sinar mata sang
isteri bagaikan menegur atau menyesali ia. Ia menjadi berkuatir, ia menjadi
berduka. Ia menjadi bergelisah ketika ia lantas ingat: "Pastilah Kiauw Pak
Beng memperoleh pelajaran lurus dari selama diajak berunding
dengannya!..."
Matanya Ouw Bong Hoe digeser
kepada Hok Thian Touw. Ia tidak mendapat tahu halnyajago Thiansan ini sudah
ditantang berunding oleh Kiauw Pak Beng yang licin itu, maka itu, beda daripada
In Hong, dia tidak menegur atau menyesalkan. Tapi Thian Touw sendiri
bersengsara hati tidak kepalang, sinar matanya Bong Hoe tajam sebagai anak
panah menusuk hatinya!
Ouw Bong Hoe tahu orang she
Hok itu menyesal dan berduka, ia menduga orang menyesal dan berduka untuknya,
maka dengan tawar ia kata: "Di kolong langit ini tidak ada perjamuan yang
tidak bubar dan sekarang bukan saatnya untuk bersusah hati. Apakah yang hendak
ditangisi. Sekarang soal yang kedua. Inilah mengenai diri kamu berdua suami
isteri. Mari kamu dengari perkataanku!"
Hati Thian Touw bercekat. Hal
yang mengenai diri mereka suami isteri? Maka dengan penuh perhatian ia memasang
telinganya. Demikianpun In Hong.
Ouw Bong Hoe melanjuti
berkata: "Kamu berdua jangan berdiam terus di gunung Thiansan! Kiauw Pak
Beng telah terluka tetapi mengandal pada tenaga dalamnya paling lama dalam
tempo satu bulan, dia akan sudah sembuh dan pulih kesehatannya seperti
sediakala. Menurut nada suaranya tadi. dia pastilah tidak sudi melepaskan kamu
berdua, sesudah sembuh, tentu dia akan pergi mencari kamu! Maka itu paling
benar kamu segera pergi ke Tali, untuk mengundang Thio Tan Hong, atau kamu
menyingkir ke lain tempat!"
Thian Touw mengasi dengar
ejekan: "Hm!" Ia mendongkol sekali yang ia sudah terpedayakan Pak
Beng, hingga selagi berunding, ilmu tenaga dalamnya sudah tercuri oleh jago
Sioelo Imsat Kang yang licik itu.
"Dia tidak mau melepaskan
aku, aku juga tidak mau melepaskan dia!" ia kata sengit.
"Bagus, kau
bersemangat!" Ouw Bong Hoe memuji. "Di kalangan muda, kaulah orang
satu-satunya yang nomor satu! Aku percaya di belakang hari, ilmu silatmu bakal
berada di atasan Kiauw Pak Beng, cuma sekarang belum tiba saatnya untuk kau
menempur dia! Kau harus menyayangi diri, kamu harus tetap hidup untuk nanti
kamu membalaskan sakit hatiku ini!"
Thian Touw kaget dan bingung.
"Lootjianpwee, kau
kenapa?" ia bertanya.
Bong Hoe menyahuti perlahan:
"Sebenarnya aku memikir untuk pulang ke rumah untuk berbicara dengan
isteriku. untuk berpisahan. tetapi sekarang aku anggap tak usahlah aku memikir
banyak-banyak, supaya kedua pihak tak usah bersusah hati lagi. Ada kamu yang
bakal mewakilkan aku menyampaikan kabar, itu pun sama saja. Aku asal bangsa
Kazakh. maka menurut aturan bangsaku, setelah seorang menutup mata, mayatnya
lantas dibakar menjadi abu, untuk mana tak usah orang menyiapkan ini dan itu.
Upacara kematian bangsaku jauh lebih hemat daripada upacara kamu bangsa Han.
Setelah kamu membakar mayatku, lantas abunya tolong kamu bawa pulang buat diserahkan
pada isteriku, sedang kepada isteriku itu kamu membilangi supaya dia lekas
pergi ke tempat yang kedua. Kiauw Pak Beng keras hati dan telengas, aku kuatir
apabila dia menerima kabar dari kematianku, dia nanti timbul ingatannya untuk
membakar rumput sekalian membongkar akarnya! Artinya, mungkin dia bakal
menurunkan tangan jahat atas diri isteriku! Kamu mengirim seorang yang pandai
bicara untuk membujukinya, dan kamu membujuki sesudah datangnya Thio Tan Hong
baru ia mewujudkan pembalasannya!"
Orang semua merasakan firasat
tidak enak. Siapa tahu Ouw Bong Hoe lantas dengan getas membicarakan soal
kematiannya. Inilah hebat, hati mereka menjadi mencelos.
ln Hong maju mendekati, untuk
mengangkat bangun jago tua itu.
Ouw Bong Hoe berdiam saja ia
bersenyum sedih, lantas kedua matanya dirapatkan. Sebab seketika itu juga
berhentilah napasnya.
Sebenarnya Ouw Bong Hoe masih
dapat bertahan beberapa hari, tetapi itu berarti penderitaannya bertambah tiap
hari, maka juga ia mengambil putusan baiklah ia mati lantas, maka itu
diam-diam, dengan sisa tenaga yang masih berada di dalam dirinya, ia memutuskan
nadinya sendiri. Inilah sebabnya, di saat terakhir itu ia masih bisa berlaku
tenang, tak miripnya orang yang mau putus jiwa...
Thian Touw tidak percaya orang
sudah berhenti bernapas, ia memegang tangannya, hingga ia merasa nadi sudah
tidak bekerja pula dan tangan itu terasa mulai dingin. Ia jadi demikian berduka
hingga ia berdiri menjublak saja kedua tangannya memondong tubuh jago tua itu.
Matanya menjadi merah tetapi air matanya tidak mengucur keluar!
In Hong mengalirkan air mata
deras.
"Sekarang ini menyesal
pun sudah kasip..." katanya perlahan. "Aku harap kau janganlah
mensia-siakan pesan Ouw Lootjianpwee ini."
Thian Touw mencabut pedangnya,
dengan itu ia menabas sebuah pohon ditepi jalan, terus ia kata dengan suara
dalam: "Ouw Lootjianpwee, kau berangkatlah dengan tenang! Kami pasti akan
menuntut balas untukmu!"
Baru sekarang, habis
mengucapkan sumpahnya itu, dia dapat menangis menggerung-gerung!
Lega hati In Hong mendapatkan
suaminya bisa menangis. Ia kata dalam hatinya: "Syukur dia dapat
menangis... Setelah memperoleh pelajaran ini, mungkin dia bakal merubah
tabiatnya... Hanya jangan-jangan harga yang dia bakal minta akan jadi terlalu
besar!..."
In Hong berduka berbareng
merasa lega. Tanpa merasa ia mencekal tangan suaminya, yang sebaliknya pun
mencekal ianya. Sejak keretakan di antara mereka baru sekarang ia merasa bahwa
ia berada dekat sekali dengan suaminya ini...
"Benar, sekarang bukan
lagi waktunya berduka," berkata Tie Goan akhirnya. "Mari lekas kita
bekerja menurut pesan Ouw Lootjianpwee, untuk mengurus jenazahnya."
Orang suka mendengar kata-kata
itu. maka itu. sembari menangis mereka mengumpulkan kayu, untuk terus membakar
tubuh Ouw Bong Hoe, untuk kemudian, sesudah selesai, abunya dibungkus dengan
rapi.
"Biarlah tugas ini
diserahkan padaku." berkata Tie Goan kemudian.
Sebagai ketua muda dari Partai
Pengemis, Tie Goan seimbang umur dan derajatnya dengan Ouw Bong Hoe suami dan
isteri, iapun sahabat dari suami isteri itu. maka itu dialah orang yang paling
tepat untuk mengantarkan abu Bong Hoe kepada Nyonya Ouw yaitu Kimkauw Siantjoe
Lim Sian In.
"Thian Touw," In
Hong berkata pada suaminya, "mari kita berdua pergi ke Tali untuk
mengundang Thio Tayhiap."
Thian Touw paling sungkan
terlibat urusan dunia Kangouw akan tetapi sekarang ia telah terlibat juga, maka
sekalipun ia ingin menyingkir, tak dapat ia menyingkirkan diri, dari itu tanpa
menjawab isterinya, ia mengangguk. Cuma di dalam hatinya ia kata: "Aku
telah terjebak Kiauw Pak Beng, maka tak dapat aku menghindarkan diri dari tugas
menuntut balas untuk Ouw Lootjianpwee! Hanya, setelah terlibat ini, sampai
kapan aku dapat memperoleh pula ketenanganku untuk aku melanjuti cita-citaku
memahamkan ilmu pedangku?..."
Oleh karena memikir demikian,
jago Thiansan ini menyesal juga yang ia telah mengikuti isterinya mendaki
Koenloen San hingga mereka jadi bermusuh dengan Kiauw Pak Beng.
Ketika itu, Tjioe Tjie Hiap
berkata pada Im Sioe Lan: "Nona Im, sangat besar budimu terhadap kami,
budi itu belum dapat kami balas, karenanya hati ayahku menjadi tidak tenteram.
Maka itu aku minta dengan sangat sukalah kau datang pula ke gunung kami."
Selagi bicara itu, Tjie Hiap
rada likat, sebab ia tahu. dengan meminta Sioe Lan datang ke gunungnya,
sebenarnya ayah dan ibunya ingin sangat merangkapkan jodoh si nona dengan
jodohnya sendiri.
Sioe Lan seorang yang cerdik,
melihat sikap si pemuda, ia dapat menduga beberapa bagian. Maka berpikirlah ia:
"Kimtoo Tjeetjoe berlaku sangat baik padaku, kebaikannya itu membuatnya
aku bersyukur, dan sekarang untuk menolongj aku, dia telah bekerja keras, maka
itu, dapat atau tidak aku menerima baik cita-citanya itu, yang penting ialah
aku mesti pergi menemui mereka, untuk menghaturkan terima kasihku. Hanya, kalau
aku tiba di gunung dan aku bertemu Giok Houw, bagaimanakah?"
Selagi memikir demikian, si
nona kembali mendengar perkataannya Tj ie Hiap: "Setelah nona meninggalkan
gunung kami, semua orang sangat memikirkan kau. Saudara Ban Thian Peng bersama
aku sudah lantas turun gunung, kita pergi ke Selatan, untuk mencari. Juga
saudara Thio, sesudah sakitnya sembuh, ia bakal berangkat mencari kau, maka
itu, mungkin ia sekarang sudah tidak berada di gunung."
Mendengar itu, tertarik
hatinya Sioe Lan. Maka ia lantas mengambil keputusannya.
Tjie Hiap belum pernah bergaul
erat dengan bangsa nona-nona dari itu berdiri di depan Sioe Lan, hatinya tidak
tenteram, ia likat sendirinya.
Nona Im melihat muka orang, ia
dapat menduga lebih jauh.
"Tjioe Tjeetjoe baik
sekali terhadap aku. aku sangat bersyukur," ia kata sedikitpun tidak
likat, "maka itu, aku sebenarnya ingin sekali tidak mendatangkan kesulitan
apa-apa kepada pihakmu."
Kata-kata si nona membuatnya
si pemuda bingung.
"Nona... Nona Im..."
katanya, tak lancar, "nona membilang apa? Justeru nona yang telah melepas
budi besar terhadap kami hingga kami tidak ketahui bagaimana harus membalasnya.
Dengan mengatakan demikian, apakah nona bukannya memandang asing kepada
kami?"
"Jangan gelisah!"
Kiam Hong campur bicara, sembari tertawa ia pandang si anak muda. "Kau
dengari, Nona Im masih ada kata-katanya terlebih jauh!"
Tjie Hiap melirik Nona Im,
benarlah ia mendapatkan bibir orang bergerak. Jadi nona itu berhenti bicara
karena ia memotong barusan. Sendirinya mukanya menjadi bersemu dadu.
"Aku telah terjatuh ke
dalam sarang hantu tetapi aku telah ditolongi kamu," benar-benar Sioe Lan
melanjuti omongannya, "maka itu budi kamu yang besar itu, entah sampai
kapan aku dapat membalasnya. Aku bersyukur kepada Tjioe Tjeetjoe yang dalam
kerepotannya masih dapat memikirkan aku, karenanya aku harus pergi ke gunung
untuk menghaturkan terima kasih."
Mendengar suara yang terakhir
ini, lega hati Tjie Hiap.
"Sebenarnya terhadap
kongtjoe, aku juga belum menghaturkan terima kasihku," Sioe Lan berkata
pula. "Ketika itu..."
Tjie Hiap memotong:
"Urusan yang sudah lewat buat apa disebut-sebut pula?"
Sioe Lan bersenyum.
"Jadi benar-benar kamu
tidak menyesalkan aku?" tanyanya.
"Kau dan ibumu telah
membantu banyak pada kami, kamu telah menolongi jiwa ayahku," kata Tjie
Hiap, "untuk itu kami bersyukur tidak habisnya!"
Kembali Sioe Lan bersenyum.
Demikian mereka berbicara.
Karena sikap Sioe Lan yang polos, lama-lama Tjie Hiap menjadi hilang likatnya.
Kiam Hong, dapat melihat itu, ia girang. Tapi masih ada sedikit kesangsiannya
terhadap Sioe Lan, maka ia pikir: "Apakah benar-benar dia dapat begini
cepat melupai Giok Houw?"
Mereka berjalan terus. Cepat
mereka berjalan, sebab di antara mereka tidak terjadi sesuatu yang
menghalang-halanginya. Lewat setengah bulan, tiba sudah mereka di gunung, dalam
benteng Kimtoo Tjee.
San Bin dan isterinya mendapat
kabar pulangnya rombongan itu, mereka girang sekali, dengan lantas mereka pergi
keluar untuk menyambut. Tjoei Hong yang polos, begitu dia melihat Sioe Lan. tak
dapat dia menyembunyikan kegirangannya. Dia lantas cekal keras tangan Nona Im
seraya berkata: "Oh, anakku yang baik, akhir-akhirnya kau kembali! Kali
ini aku larang kau pergi pula! Jikalau kau tidak buat celaan, kau anggaplah
rumahku ini sebagai rumahmu sendiri! Tjie Hiap, kau mesti mewakilkan ibumu
melayani baik-baik pada Nona Im!"
"Terima kasih,
peebo," berkata Sioe Lan. "Sebenarnya, selang dua hari, aku ingin
turun gunung dulu..."
Tjoei Hong heran hingga ia
mementang lebar matanya.
"Apa? Kembali kau hendak
pergi?" tanyanya. "Tjie Hiap, apakah kau berbuat salah terhadap Nona
Im?"
Sioe Lan tertawa, ia
mendahului si anak muda menyahut.
"Selama di sepanjang
jalan Tjioe Toako perlakukan aku baik sekali," bilangnya, "bahkan
toako membilangi aku bahwa di sini hendak dibangun pasukan wanita, hingga aku
ingat warisan agama Tjit Im Kauw dari marhum ibuku. Pasukan wanita yang menjadi
murid-murid atau pengikutnya ibuku itu, sampai sekarang ini masih berkumpul di
rumah Keluarga Tang di Himdjie San dan mereka itu masih belum ketahui yang
Kauwtjoe mereka sudah meninggal dunia. Ibuku memang telah memesan aku agar aku
terus melanjuti usahanya memupuk Tjit Im Kauw."
Mendengar demikian, Tjoei Hong
berpikir.
"Jadi kau berniat
menggantikan menjadi Kauwtjoe?" ia tanya.
"Tidak, aku tidak memikir
untuk menjadi Kauwtjoe," Sioe Lan menerangkan, "hanya mereka itu
harus diurus dan dipernahkan, supaya mereka jangan bubar dan nanti membahayakan
chalayak ramai. Kebanyakan dari mereka ialah anak-anak perempuan yang sudah
tidak punya rumah tangga lagi. Ingin aku bicara dengan mereka itu. Siapa yang
masih mempunyai rumah atau sanak yang dapat ditumpangi, atau siapa yang berniat
berusaha sendiri, akan aku berikan kemerdekaan kepada mereka. Siapa tidak punya
sanak atau andalan, yang suka turut aku, ingin aku ajak datang kemari, hanya
untuk itu lebih dulu aku harus mendapat persetujuan peehoe dan peebo."
"Oh, begitu? Aku tadinya
. menyangka kau hendak meninggalkan kami. Kami memang membutuhkan pasukan
wanita, maksudmu baik sekali. Sekarang kau beristirahat dulu sedikitnya dua
hari, nanti aku menyuruh Tjie Hiap, dan dua tauwbak menemani kau pergi mengurus
tenteramu itu."
Malam itu diadakan perjamuan,
walaupun orang berduka untuk kematiannya Ouw Bong Hoe. Habis berjamu, Tjoei
Hong ajak Sioe Lan memasang omong di dalam kamar. Kiam Hong serta In Hong dan
Thian Touw pun diantar ke masing-masing kamarnya.
Otak Kiam Hong penuh dengan
pelbagai pikiran selagi ia melewati kamar di mana Giok Houw pernah dirawat. Ia
berpikir: "Untuk Sioe Lan sudah ada kepastiannya. Semoga dia dapat hidup
berbahagia dengan Tjie Hiap. Hanyalah engko Giok, entah dia pergi dan berada di
mana sekarang..."
Selagi Nona Liong berpikir
itu, mendadak ia mendengar suaranya Sioe Lan: "Entjie Liong!" Dan
lantas Nona Im menghampirkannya. Ia heran, tetapi ia tertawa dan tanya:
"Aku lihat Tjioe peebo seperti hendak bicara banyak dengan kau, kenapa
begini lekas kau sudah keluar lagi?"
Sioe Lan bersenyum. Ia kata:
"Orang memikirkan kau, kau justeru menggodai orang! Eh, entjie Liong,
habis ini kau berniat pergi ke mana?"
"Aku belum mengambil
keputusan," Kiam Hong menjawab. "Mungkin aku akan turut Entjie In
Hong dan Hok Toako pergi ke Tali atau Tanghay mencari entjie Sin Tjoe."
"Aku pikir lebih baik
entjie pergi pada entjie Sin Tjoe," Sioe Lan mengasi pikiran. "Aku
dengar dari Tjioe Peeboe, begitu dia sembuh, Thio Giok Houw lantas turun
gunung, maksudnya mencari kau, atau mungkin sekali dia pergi kepada kakak
seperguruannya itu." Ia berhenti sejenak, baru ia menambahkan:
"Entjie Liong, kau kejam! Itu hari sebelum Giok Houw sembuh, tanpa bicara
apa-apa dengannya, kau lantas turun gunung dengan diam-diam! 1 ahukah kau
bagaimana dia menjadi bergelisah karenanya?"
Mukanya Kiam Hong menjadi
merah.
"Baru saja kau mengatakan
aku menggodamu, sekarang kaulah yang menggodai aku!" katanya.
"Sedikitpun aku tidak
menggodai kau, entjie!" berkata Sioe Lan sungguh-sungguh. "Dua hari
lamanya aku merawati Giok Houw sakit, selagi dia tidur aku mendengar dengan
telingaku sendiri dia saban-saban menyebut-nyebut entjie, sedikitnya beberapa
puluh kali!"
Mendengar itu, hati Kiam Hong
tergerak. Ia berdiam.
"Dia sangat menyintai
kau, entjie, untuk itu tidak ada lain orang yang dapat menggantikanmu."
kata pula Sioe Lan, "maka itu baiklah kau lekas-lekas menemui padanya.
Tjie Hiap pun mengharap-harap agar kamu berdua lekas kembali untuk bertemu pula
dengan kami di sini! Ya, lebih lekas lebih baik!"
Sengaja Sioe Lan
menyebut-nyebut Tjie Hiap dan "kami" itu.
Hati Kiam Hong lantas saja terbuka.
Setelah beberapa bulan awan bergumpal, maka di detik ini, langit menjadi cerah.
Katanya dalam hati: "Benar-benar Sioe Lan menyukai Tjie
Hiap!" Karena ini, selagi
mulanya ia berniat menggodai nona itu, ia lantas membatalkannya. Sebaliknya, ia
ingat Giok Houw.
"Malam ini baiklah entjie
beristirahat siang-siang," Sioe Lan berkata pula, "supaya besok
entjie dapat berangkat pagi-pagi!"
Kiam Hong tertawa.
"Kau seperti juga sudah
mewakilkan Tjioe Peeboe menjadi nyonya rumah!" katanya. "Jadi
sekarang kau hendak mengusir aku?"
Nona Im pun tertawa.
"Bukannya aku mengusir
kau, entjie!" sahutnya. "Adalah Thio Giok Houw yang memaksa kau lekas
pergi!" Dan lantas dia berangkat.
Senang Kiam Hong dapat
mengantarkan si nona pergi. Di dalam hatinya, ia kata: "Kesudahan ini baik
sekali! Dia menjadi ada ketentuannya dan aku pun boleh tak usah berpisah lagi
dari engko Houw!..."
Akan tetapi Nona Liong ini
tidak ketahui, setelah melengos, air mata Sioe Lan lantas mengembeng dan tak
dapat terbendung mengalir keluarnya. Sebab dia berbuat demikian tadi dengan
sengaja, buat guna ianya, dengan paksakan diri mau dia bersikap manis terhadap
Tjie Hiap...
Besoknya pagi, Hok Thian Touw
dan Leng In Hong meminta diri dari San Bin sekalian, untuk mereka berangkat,
sedang Kiam Hong mengutarakan niatnya pergi ke Tanghay, laut Timur, untuk
mengunjungi Ie Sin Tjoe.
Tjio Tjoei Hong tertawa dan
berkata: "Sebenarnya aku ingin menahan kau untuk beberapa hari lagi, akan
tetapi aku lebih mengharap kau dan Thio Giok Houw kembali siang-siang, untuk
menjenguk kami! Maka baiklah, kau boleh pergi!"
Kiam Hong likat tetapi hatinya
girang. Ia pula berangkat bukan seorang diri, ia berkawan dengan Lioe Tek
Tjhong dan Tjhio Peng Kin, kerua dan ketua muda dari benteng Thayouw Tjee.
Waktu jago tua ini datang
membantui San Bin ketika dilakukan perampasan pelbagai bingkisan untuk kota
raja, lantaran San Bin terluka, mereka terus berdiam di atas gunung, sekarang
setelah San Bin sembuh dan gunung aman, mereka mau berangkat pulang. Maka itu,
San Bin menganjurkan Nona Liong berangkat bersama mereka Mulai dari Thiantjin,
mereka akan naik perahu untuk berlayar di laut.
Kiam Hong membawa dua
budaknya, Tjoen Tho dan Hee Hoo. Mereka itu untuk sekian lama dititipkan di
atas gunung. Dua yang lain, yaitu Tjioe Kiok dan Tong Bwee, diserahkan kepada
Sioe Lan.
Thian Touw dan nyonya mau
pergi ke Tali. Ada dua jalan yang mereka dapat ambil. Yang pertama ialah dari
Barat daya lewat Siamsay memasuki Soetjoan terus ke Inlam, dan yang lainnya
dari Tenggara mengikuti pesisir melewati Hokkian mutar ke Kwietang dan Kwiesay,
baru dari Koeitjioe tiba di Inlam. Kedua jalan itu membutuhkan tempo yang tak
beda jauh selisihnya. Tapi In Hong tak dapat segera berpisah dari Kiam Hong,
dari itu ia suka menemani si nona. untuk setibanya di Thiantjin barulah mereka
berpisahan. Di sana Kiam Hong naik perahu besar dari Lioe Tek Tjhong memasuki
lautan, sedang In Hong dan suaminya menyewa perahu lain menuju ke selat
Hangtjioe.
In Hong dengan Sin Tjoe sangat
erat perhubungannya, sebenarnya In Hong ingin turut Kiam Hong pergi menemui
sabahat karib itu, apamau ia terhalang oleh suaminya. Thian Touw tidak setuju.
Sebabnya ialah suami ini ingin lekas-lekas membereskan tugas menuntut balas
untuk Ouw Bong Hoe, supaya mereka bisa lekas pulang, guna memulai lagi
peryakinan ilmu pedang mereka yang belum sempurna itu. Jadi Thian Touw tidak
ingin berayal-ayalan di tengah jalan.
Pada suatu hari tibalah suami
isteri itu di kota Hangtjioe. In Hong lantas ingat Sin Tjoe. Di sini dahulu
hari mereka berdiam bersama sekian lama. Ia bicarakan halnya itu dengan
suaminya.
"Kau selalu ingat
lelakonmu selama perantauan dulu hari itu," kata Thian Touw bersenyum duka
"Kalau begini maka ada kemungkinan setelah selesai pembalasan sakit hati
Lootjianpwee Ouw Bong Hoe, kau nanti tak dapat berdiam tenang di atas gunung
meyakinkan ilmu pedang kita..."
In Hong mengerutkan alis.
Itulah perbedaan faham di antara mereka. Itulah bibit yang dapat menyebabkan
bentrokan mereka. Tapi ia ingat bahwa baru saja ia akur pula dengan suaminya
itu --- baru selang beberapa hari. Maka ia ingin agar tidak terjadi bentrokan
pula. Terpaksa ia mengiringi kehendak suaminya.
Lantas suami isteri ini pergi
ke restoran Lauwgwa Lauw di tepinya telaga Seeouw. Mereka berdahagadan lapar.
Begitu mereka naik di lauwteng, mereka menjadi heran.
Ini yang yang dibilang:
"Pohon itu hendak berdiam tenang tetapi sang angin tak berhenti
meniupnya."
Rumah makan yang besar itu
kosong dari tetamu! Sedang rumah makan itu sangat kesohor untuk kota Hangtjioe,
pernahnya di tepi telaga, di kaki gunung Kosan --- ialah di tempat dengan
pemandangan alam yang indah. Biasanya restoran itu penuh dengan tetamu, hingga
sukar untuk memilih tempat yang mencocoki hati. Siapa sangka hari ini, sunyi
senyap keadaannya. Baru sekarang mereka pun sadar bahwa tadi, selama di tepi
telaga dan di luar restoran, suasana pun sepi, orang-orang yang berlalu lintas
hanya beberapa gelintir.
Selagi suami isteri ini
keheranan dan memandang sekitarnya, maka mereka bentrok dengan sesuatu pada tembok.
Kebetulan mereka mengangkat kepala mereka, lantas pada tembok itu nampak nancap
berbaris banyak senjata rahasia yang dinamakan biji teratai besi, yaitu
thielian tjie. Pastilah itu buah pekerjaan seorang ahli silat.
Seorang pelayan yang menampak
tetamu-tetamunya merasa aneh, lantas menghampirkan.
"Apakah djiewie asal
orang lain kota?" ia bertanya. "Djiewie menghendaki barang santapan
apa?"
In Hong memesan ikan gabus dan
ayam tim serta beberapa masakan lainnya, yang tersohor untuk kota Hangtjioe, kemudian
sembari tertawa ia tanya pelayan itu: "Apakah hari ini ada suatu hari
pantangan? Kenapa aku tidak melihat lain-lainnya tetamu yang pesiar kemari?
Kenapa rumah makanmu begini sepi?"
"Bukan, bukan hari
pantangan, nyonya!" sahutnya lekas, bibirnya dijebikan. "Tetamu
sendiri yang tidak mau datang kemari, apakah kami dapat bikin?"
"Itu tembok yang putih
bersih, kenapa itu dibikin jadi tidak keruan?" In Hong tanya pula.
"Barang apakah itu yang bergerumutan seperti sarang lebah? Apakah itu
semacam barang periasan rumah yang istimewa untuk Hangtjioe ini?"
Sengaja ia berpura-pura tak
kenal thielian tjie, untuk memancing si pelayan suka membuka mulut.
Agaknya pelayan itu mendeluh,
ketika ia menyahuti, suaranya keras.
"Siapa kesudian barang
perhiasan semacam itu?" demikian jawabnya. "Hm! Hm! Sungguh sial!
Tembok kami ini baru saja tiga hari yang berselang disapu kapur!"
"Sebenarnya apakah telah
terjadi?" In Hong menegasi.
Pelayan itu melihat
kelilingan, lantas ia menggeleng kepala.
"Ah, kejadian
ini..." katanya, menghela napas. "Nyonya, lebih baik kau tidak usah
menanyakannya..."
In Hong cerdik, ia lantas
mengeluarkan sepotong perak seharga sepuluh tahil.
"Beginilah
tabiatku," katanya. "Jikalau ada suatu kejadian, yang aku tidak
ketahui jelas, sebelum mengarti jelas, tak puas hatiku. Kau ambil uang ini,
untuk segala pembayaranku, kelebihannya kau boleh ambil semua untuk kau
sendiri!"
Mulanya si pelayan heran,
lantas •dia menjadi girang. Untuknya, uang sepuluh tahil perak cukup buat biaya
serumah-tangganya selama sebulan. Keluarganya cuma terdiri dari tiga jiwa.
Sembari menyimpan uang itu, ia melihat lagi ke sekitarnya.
"Di sini tidak ada lain
orang, baiklah, aku nanti memberikan keteranganku," kemudian katanya
perlahan. "Ah, tahun ini benar tahun tak bagus untuk kami. Kemarin dulu,
kita kedatangan banyak tetamu, suasana ramai sekali. Di jendela timur sana
berduduk seorang muda, dia kuat makannya, dia sampai minta tambah lagi ayam tim
dan arak. Tengah dia bersantap seorang diri, tiba-tiba datang serombongan orang
polisi, terus dia dituding, dituduh menjadi perampok besar, lantas dia diserang
kalang kabutan dengan piauw dan panah tangan. Seorang polisi, yang liehay,
telah menyerang dia dengan seraup entah benda apa. Jarak di antara mereka
berdua terhalang beberapa buah meja. Itulah barang-barang sebesar kacang
kedele, yang nancap di tembok. Itulah barangnya!"
Dia menunjuk kepada
"perhiasan" di tembok itu.
In Hong menunjuki roman kaget,
ia berseru.
"Apakah anak muda itu
kena terserang?" ia tanya, gelisah.
"Anak muda itu sendiri
tidak, adalah beberapa tetamu kami yang kesalahan terhajar luka."
"Kalau begitu, benarlah
kata-kata, kalau pintu kota kebakaran, pengempang ikan turut nampak
bencana," kata In Hong pula. "Eh, mari, mari duduk. Coba kau omong
lebih jauh, kemudian bagaimana?"
Pelayan itu gembira
berceritera, tanpa sungkan lagi. ia duduk di kursi, bahkan ia menghirup air teh
guna membasahkan kerongkongannya.
"Memang!" katanya.
"Setelah polisi mengacau, perusahaan kami ini mandek. Kerusakan tembok itu
urusan kecil, tidak demikian dengan dua tetamu, yang terluka parah, ialah yang
satu buntung sebelah tangannya, yang satu lagi melowak dadanya hingga katanya
malam itu juga, sebelum tiba di rumahnya, dia telah putus jiwanya! Seorang
tetamu lagi lebih menyedihkan, ialah kedua matanya terhajar itu biji-biji
seperti kacang kedele hingga menjadi buta! Setelah kerusuhan itu, yang meminta
kurban-kurban jiwa dan luka hebat itu, mana ada lagi tetamu yang kesudian
pesiar kemari? Sudah begitu, pembesar negeri pun melarang kita berhenti
berusaha! Coba pikir, celaka atau tidak?"
In Hong tertawa melihat
caranya orang bicara.
"Kau masih belum omong
hal pokoknya kejadian!" ia kata. "Anak muda itu tidak terluka,
rupanya dia dapat menyingkirkan diri. bukan?"
"Anak muda itu
liehay!" menjawab si pelayan. "Dengan bacokan-bacokan goloknya,
bergantian ia melukakan dua orang polisi! Ah, lupa aku memberitahukan kau! Anak
muda itu rada sesat! Ketika ia baru datang, lantaran makannya kuat itu, aku
menjadi menaruh perhatian terhadapnya, aku tidak melihat dia membawa senjata
tajam, akan tetapi semunculnya orang-orang polisi, lantas tangannya mencekal
golok! Itu mirip sulapan! Dan goloknya, mungkin mustika! Dengan dua kali
bacokan ia melukakan dua orang polisi, ia sekalian membacok kutung thietjio
dari kedua orang polisi itu! Lalu datanglah seorang polisi tua, yang menimpuk
padanya! la lantas berlompat berkelit, cepatnya melebihkan peluru, ketika
goloknya berkelebat, putuslah jeruji jendela berukiran! Lihat, sampai sekarang
jendela itu belum dibikin betul! Dari jendela itu ia menyingkirkan diri,
bagaikan panah ia melesat ke telaga! Orang polisi tua itu juga bukan sembarang
orang, ketika tangannya menyamber, dia berhasil menyamber sebelah sepatunya si
anak muda!"
Dalam hatinya In Hong segera
berkelebat pikiran: "Bukankah dia Thio Giok Houw? Goloknya Giok Houw,
golok Biantoo, memang dapat diiibat di pinggang seperti sabuk, pantas pelayan
ini tidak melihatnya." Makin memikir, ia makin menduga pasti, maka ia
tanya: "Berapa kira usianya anak muda itu? Tahukah kau bagaimana romannya
dia?"
"Paling banyak dia baru
berusia dua puluh tahun," sahut pelayan itu. "Dia tampan sekali,
tidak mirip-miripnya dia dengan orang jahat. Sesudah kejadian itu aku mendengar
orang polisi mengatakan, dia... dia..." Mendadak ia pertahankan suaranya:
"Suka aku memberitahukan, asal kamu jangan membocorkan... Orang polisi itu
bersanak dengan majikanku, menurut dia, anak muda itu sebawahannya Yap
Tjeetjoe. Tahukah kau Yap Tjeetjoe dari Tanghay Capsha Too?"
Yap Seng Lim berkedudukan di
tiga belas kepulauan laut Tanghay di mana ia menentang kawanan perompak,
penduduk wanita dan anak-anak semua mengenalnya, maka itu tak usah In Hong
berpura-pura tak tahu. Maka ia mengangguk.
"Katanya ada seorang
tauwbak dari Yap Tjeetjoe ditahan di kantor polisi." si pelayan melanjuti
keterangannya, "dan pemuda itu, katanya, datang untuk menolongi tauwbak
itu, hanyalah di luar dugaan dia, begitu dia memasuki kota, dia lantas dikenali
dan dikuntit. Dasar kami yang sial dia bukannya pergi ke lain restoran,
diajusteru minum makan di sini. Tentang namanya pemuda itu, orang polisi
tersebut tidak mau menyebutkannya, hanya dia bilang, kedudukannya dia itu tak
kalah dengan kedudukannya Yap Tjeetjoe sendiri!"
"Pastilah dia Thio Giok
Houw!" kata In Hong dalam hatinya. "Dia mempunyai golok wasiat, dia
pun pandai berenang, tepatlah keterangannya pelayan ini. Hanyalah entah siapa
tauwbak yang tertawan itu, yang hendak ditolongi. Kota Hangtjioe mempunyai
orang polisi demikian liehay, kota ini tidak dapat dipandang enteng!"
Habis menutur itu, si pelayan
berkata pula, perlahan: "Tuan dan nyonya membawa-bawa pedang, mungkin kamu
juga orang Kangouw, maka itu, justeru selama beberapa hari ini keadaan genting,
andaikata kamu bertemu orang polisi, kamu dapat dicurigai..."
"Kami tidak takut!"
berkata Thian Touw. "Kami ini tidak berbuat jahat, pedang kami cuma untuk
membela diri!"
Pelayan itu tertawa.
"Meski begitu,
tuan", katanya, "orang polisi tidak nanti mau mengadu bicara
denganmu. Ya, barang santapan tuan dan nyonya sudah matang, nanti aku
menyajikannya! Sebentar, setelah dahar cukup, aku pikir baiklah kamu lekas
berlalu dari kota ini..."
Setelah mendapat upah sepuluh
tail perak itu, pelayan ini jadi suka berbuat baik terhadap kedua tetamunya.
"Terima kasih!" In
Hong mengucap. Kemudian, setelah orang pergi, ia tertawa dan berkata pada
suaminya: "Kita datang untuk pesiar, siapa sangka kita menghadapi urusan
yang mengecewakan ini. Toako, mari kita memandang telaga saja, telaga pun cukup
indah!"
Thian Touw tertawa.
"Hari ini kau gembira
sekali!" katanya.
"Toako, tak dapat kita
tidak mengurus perkara ini," kata In Hong perlahan pada suaminya sebelum
pelayan kembali.
Thian Touw melengak sejenak.
Tahulah ia sekarang, isterinya menggunai alasan keindahannya telaga Seeouw
untuk dapat berbicara tanpa mencurigai pelayan itu.