Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 3

Liang Ie Shen, Seri Thian San-04: Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 3 Thian Touw gelisah bukan main. Ia melompat ke depan seraya mementang kedua tangannya.
 
Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 3
Thian Touw gelisah bukan main. Ia melompat ke depan seraya mementang kedua tangannya.

"Kau pergi seorang diri, apakah kau hendak mengantarkan jiwamu?" tanyanya.

"Daripada kabur meninggalkan kawan-kawan, lebih baik mati di tangan musuh!" berkata isteri itu. "Thian Touw, pergilah baik-baik kau meyakinkan ilmu pedangmu, jikalau nanti kau telah merampungkan itu, hingga di kolong langit ini tidak ada tandinganmu, baru kau membuatkan aku sebuah kuburan di mana kau boleh menarahkan batu nisan dengan ukiran kata-kata 'Isterinya ahli pedang nomor satu di kolong langit,' supaya orang-orang gagah di jaman belakangan dapat mengetahui bahwa ahli pedang nomor satu di kolong langit ini masih tidak sanggup melindungi isterinya!"

Mukanya Thian Touw menjadi merah, ia likat sekali.

"Baiklah!" katanya "Aku justeru paling takut pada mulutmu ini! Mari kita turun bersama!"

In Hong girang bukan main.

"Mari kita bekuk dulu si bangsat cilik she Kiauw itu!" katanya. "Setelah itu baru kita tempur si hantu tua!"

Thian Touw mengerutkan alis. "Sudah cukup kita mengusir Kiauw Pak Beng si siluman tua, untuk apa kita membekuk puteranya?" katanya. "Bukankah dengan begitu kita menjadi menanam bibit permusuhan besar?"

"Kau belum tahu, tua bangka itu telah menawan lima atau enam orang pihak kita," menerangkan sang isteri. "Kita membekuk anaknya supaya anak itu dapat ditukar dengan kemerdekaan mereka itu. Kau suka pergi atau tidak?"

Thian Touw kalah didesak, la tertawa.

"Baiklah, hari ini aku mendengar perkataan kau!" katanya. "Tapi ingat, habis ini kaulah yang mesti mendengar perkataanku!"

In Hong tertawa.

"Di dalam hal itu harus dilihat dulu. apa yang kau akan katakan itu." jawabnya. "Ah, sudahlah, jangan banyak omong lagi! Mari lekas!"

Inilah sebab matanya In Hong liehay, sekali dan ia melihat si pelajar muda lagi mengejar Giok Houw. Habis berkata begitu, ia berlompat menyusul Giok Houw itu, lalu terus tanpa membilang apa-apa, ia menyerang si pelajar, guna merintangi dia melancarkan serangan terhadap Siauw Houw Tjoe.

Pelajar muda itu mengenali nyonya muda ini, yang tadi bertempur seruh sama Le Kong Thian. karena ia merasa terlebih liehay, ia tidak menjadi takut, ia lantas melawan. Bahkan ia terus saja mendesak dengan pelbagai pukulan dan totokannya yang liehay.

In Hong terdesak hingga ia kewalahan.

"Sayang." berkata pelajar she Kiauw itu tertawa lebar. "Kau begini cantik, kau pun begini liehay. kenapa kau kesudian ikut berandal? Jikalau kau suka mengubah kelakuanmu, suka aku menggabung jodoh dengan jodohmu!"

Baru saja pemuda ini menutup mulutnya atau satu serangan dahsyat diluncurkan kepadanya, itulah serangannya Hok Thian Touw, yang sambil berseru telah berlompat melesat ke arahnya. Dan hebatnya, kipas besinya yang liehay itu telah terbabat kutung menjadi dua potong!

Sebenarnya pelajar ini, yang liehay, telah berkelit dengan sebat sekali, akan tetapi sia-sia belaka, kelitannya itu tidak menolong. Maka ia menjadi kaget sekarang apapula tahu-tahu ujung pedang telah mengancam kepadanya.

"Jangan bergerak!" Thian Touw mengancam.

Selagi mata orang dipentang melongo dan tubuhnya berdiri diam bagaikan patung. Giok Houw telah berlompat maju akan menotok lawannya itu, hingga dia benar-benar mati kutunya. Ia tertawa, begitu juga In Hong.

Isteri ini memang liehay. tetapi dengan kepandaiannya, dia masih dapat bertahan lama melawan si pelajar, kalau barusan ia kena terdesak, itulah karena ia sengaja berbuat demikian. guna memancing bangunnya hawa amarahnya Thian Touw, suaminya itu.

Si orang tua melihat puteranya kena tertawan, ia kaget sekali.

"Lekas pegat mereka!" ia berseru kepada Kong Thian, si tjongkoan atau kuasa rumah, yang berlaku sebagai seekor kuda tunggangan...

Kong Thian baru lari dua tindak atau In Hong dan suaminya telah datang padanya, maka kedua pihak segera datang dekat satu sama lain. Si orang tua segera mengerjakan rantainya, sedang sepasang suami isteri itu juga menyerang dengan pedang mereka yang bersatu padu. Akibatnya itu ialah bentrokan yang nyaring serta meletiknya kembang api di depan mereka bertiga. Ujung rantai mental balik sampai hampir mengenai jidatnya Kong Thian.

Thian Touw tidak berhenti bergerak karena bentrokan dahsyat itu. Dengan memindahkan kaki dengan "Tindakan Naga," ia maju untuk merangsak. guna mengulangi serangannya, di dalam hal mana dengan serempak serangannya itu ditelad isterinya. Karena suami isteri ini telah menggunakan ilmu pedangnya yang tergabung menjadi satu, maka hebat sekali daya serangan mereka.

Oleh karena rangsakan kedua lawan itu, gerak-geriknya Kiauw Pak Beng menjadi kurang merdeka.

Rantainya itu menghendaki pertempuran renggang, Thian Touw berdua sebaliknya merangsak, untuk merapat. Biar ia berada di atas pundak Kong Thian, hingga ia jadi berada di sebelah atas, tetap jago tua itu kurang leluasa. Pula, setiap kali ia menyerang, setiap kali serangannya itu dipunahkan kedua batang pedang bersatu padu itu.

Setiap jurus dari Thian Touw adalah jurus yang berlainan, atau jurus-jurus yang ia telah mencampurkannya menjadi satu, cuma sekarang ia belum dapat menyempurnakannya. Gerakan mereka ini juga berbareng menyulitkan tindakannya Kong Thian, yang harus bisa membawa diri, agar di antara ia dan majikannya itu terdapat kerja sama yang erat. Beberapa kali ia menyerang dengan bonekanya, saban-saban ia gagal, bahkan sebaliknya, gembolannya lecet atau kentop bekas terkena pedang. Biar bagaimana, ia pun dapat mengganggu juga rantai majikannya itu, yang menjadi kurang merdeka.

Leng In Hong melihat Kong Thian kena terpengaruhkan Thian Touw. ia lantas mendesak, untuk dapat membabat kakinya si orang tua.

Oleh karena rantainya tidak dapat dipakai berkelahi rapat, si orang tua menjadi repot, dari repot dia menjadi mendongkol. Dia mesti menggunai tangannya guna menghalau setiap serangan si nona.

"Menyingkir" akhirnyajago tua itu berteriak dalam murkanya. Dia menekan pundaknya Kong Thian, menyusul itu tubuhnya terangkat, mencelat tinggi.

Atas tekanan majikannya, Kong Thian lantas berkelit.

Dengan mencelat, si orang tua bermuka merah dapat menggunai pula rantainya. Dengan hebat ia menyerang suami isteri lawannya itu.

Thian Touw dan In Hong menggunai ilmu silatnya pedang bersatu padu. mereka menangkis. Kali ini hebat serangan rantai, mereka sampai terhuyung mundur beberapa tindak.

Si orang tua sendiri, tubuhnya lantas turun ke bawah. Mulanya dia mengulur sebelah tangannya, untuk memegang tanah, guna menjaga dirinya, setelah berputar, dia duduk bersila. Sekarang terlihat tegas matinya kedua kakinya itu. Begitu ia duduk numprah, begitu ia memutar rantainya, hingga sekarang ia dapat berkelahi seperti tadi waktu ia bercokol di atas kereta atau di pundaknya Kong Thian, melainkan tak dapat lagi dia maju atau mundur seperti waktu dibantu Kong Thian itu.

Thian Touw dan In Hong tidak bisa mendesak pula. Serangan rantai terlalu hebat untuk dapat dirangsak.

Kong Thian mundur ke samping, di waktu ia memeriksa bonekanya, ia mendapatkan boneka itu "terluka" lecet dan berlubang kecil-kecil bekas papasan dan tikaman pedang. Itulah bukti dari liehaynya pedang dan ilmu pedang Hok Thian Touw, maka itu, mengingat kekosenan si anak muda, raksasa itu menggigil sendirinya. Coba ia tidak kosen dan senjatanya berat luar biasa, pastilah ia sudah terbinasa di tangannya lawan ini. Di samping itu, ia berkuatir sekali untuk majikannya yang muda. yang lagi dijagai Thio Giok Houw. Tidak saja si pelajar muda telah mati kutunya akibat totokan Siauw Houw Tjoe, dia pun terus diancam golok yang tajam, yang ujungnya diarahkan ke punggungnya, hingga setiap saat dia dapat ditikam! Kong Thian merasa dia dapat mengalahkan Giok Houw tetapi suasana membuatnya ia jeri.

Seteiah menyaksikan Thian Touw dan isterinya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap si orang tua muka merah, Thio Giok Houw berkata kepada dia itu, nyaring: "Eh, siluman tua she Kiauw, kau masih menghendaki anakmu atau tidak?"

Orang tua itu berhenti bersilat, ia tertawa dingin.

"Kamu yang menamakan diri murid-murid perguruan kenamaan," sahutnya, mengejek, "sekarang kamu bersikap begini rupa! Jadi kamu hendak memaksa aku?"

"Siluman tua she Kiauw, jangan kau terlalu berkepala besar!" kata In Hong, yang juga tertawa dingin. "Siapakah yang jeri terhadapmu? Sekarang ini baiklah kita bicara dulu dari hal perdagangan, setelah itu baru kita melakukan pertempuran yang memutuskan!"

Perdagangan macam apa itu?" tanya Kiauw Pak Beng. Masih ia tertawa mengejek.

"Kau telah menangkap beberapa orang pihakku," berkata Giok Houw, yang mendahului si nyonya muda, "bukankah kau hendak menggunai mereka sebagai alat memaksa kita agar kita jangan merampas barang bingkisan?"

Mendengar itu, orang tua itu tertawa lebar.

"Bocah, kau sangat berkepala besar!" katanya. "Kenapa kau tidak mau kalah bicara? Aku menawan orang-orang di pihakmu untuk menghajar adat saja. bukannya untuk mempengaruhi kepada kamu, bukannya untuk menggencet!"

"Jikalau begitu, mengapa kau marah-marah tidak keruan?" In Hong berkata, membaliki. "Kami membekuk anakmu yang kau sayangi bagaikan mustika juga untuk membalas hormatmu itu! Ada budi harus dibalas, bukan?"

Orang tua itu mendongkol bukan main.

"Baiklah!" sahutnya. "Mari kita omong dengan singkat saja! Kamu lepaskan dulu anakku, nanti aku menitahkan mereka memerdekakan kawan-kawanmu! Bukankah kamu puas dengan ini macam jual beli?"

"Mana dapat kita menjadi demikian dogol?" kata Siauw Houw Tjoe tertawa mengejek. "Mana dapat kita melepaskan dulu anakmu?"

"Kau tahu apa?" kata si orang tua. "Kawan-kawanmu itu telah tertotok ilmuku yang istimewa, kecuali aku dan anakku berdua, lain orang siapa juga tidak nanti dapat membebaskan mereka!"

"Lootjianpwee ini adalah orang tua gagahjaman sekarang, dialah guru silat terbesar, tidak nanti dia menpedayakan anak-anak muda," berkata Hok Thian Touw. "Adik Houw. kau lepaskanlah Kiauw Kongtjoe!"

Giok Houw berpikir: "Kau benar liehay ilmu silatmu tetapi tentang kelicikan kaum kangouw kau tidak tahu banyak..." Tapi matanya memain dan ia tertawa. "Baiklah, aku mempunyai dayaku!" katanya. Lantas ia menotok pelajar muda itu. Ia menggunai ilmu totok ajarannya Hek Pek Moko. dan sasarannya ialah jalan darah hiathay.

"Kau mempunyai ilmu totok yang istimewa, aku juga!" ia berkata kepada si orang tua. "Sebentar setelah kau membebaskan kawan-kawanku, aku pun akan membebaskan anakmu ini. Jikalau kau main gila, di dalam tempo satu jam, anakmu ini bakal bercacad seluruhnya hingga dia menjadi orang tanpa daksa!"

Mukanya si orang tua menjadi matang biru. Ia gusar sekali bahwa Giok Houw tidak mau mempercayainya.

Hok Thian Touw juga menganggap Giok Houw bersikap keterlaluan, akan tetapi ia terpaksa berdiam saja, sedang Giok Houw sendiri tidak sudi mengambil mumat, hanya lantas ia menggiring si Kiauw muda ke kereta.

Tjhian Tiang Tjoen menjaga di kereta itu, melihat keadaan demikian rupa, ia terpaksa mengeluarkan orang-orang tawanannya, maka si pelajar lantas menotok bebas mereka itu, atas mana Giok Houw pun tidak berayal akan membebaskan anak muda ini.

Sebenarnya pelajar ini sangat membenci Giok Houw, yang ia awasi dengan bengis. Lantaran ia baru bebas dan Giok Houw pun didampingi Sin Tjoe, terpaksa ia menahan sabar, ia tidak berani menggeraki kaki tangan atau membuka bacotnya.

Si orang tua sementara itu berpikir cepat. Ia heran Hok Thian Touw mengenal padanya dan sikap Thian Touw pun halus. Ia lantas berkata: "Aku telah mendengar kabar perihal seorang she Hok yang ayah dan anak, di dalam dua turunan, telah meyakinkan ilmu pedang di atas gunung Thiansan. sekarang melihat ilmu pedangmu ini beda daripada yang kebanyakan, bukankah kau puteranya HokTiong Heng?"

"Benar," menjawab Thian Touw. "Ayahku pun pernah menyebut-nyebut nama lootjianpwee. Ayahku itu telah menutup mata pada sepuluh tahun yang sudah."

"Sayang, sayang," berkata si orang tua. "Dengan ayahmu itu aku cuma pernah bertemu satu kali akan tetapi tujuan kita adalah sama, kita cuma mau meyakinkan ilmu silat, untuk memperoleh kemajuan, kita tidak menghendaki mendapat nama..."

Mendengar itu. In Hong mengerutkan alis dan kata di dalam hatinya: "Kau cuma omong saja. Selama ilmu silatmu belum mahir, kau tetap menyembunyikan diri, tetapi selama yang belakangan ini, sepak terjangmu buruk! Mana dapat cita-cita pamanku disamakan denganmu?"

Meskipun dia memikir demikian, menyaksikan suaminya berlaku hormat kepada orang tua itu, ia tidak berani membilang apa-apa. Kalau bukan lagi berada di depan musuh, yang demikian liehay, pastilah ia tidak mau mengerti mengenai sikap suaminya ini...

Orang tua muka merah ini, yang bernama Kiauw Pak Beng, dan anaknya yang diberi nama Kiauw Siauw, memang gemar meyakinkan ilmu silat, sama seperti kegemarannya Hok Tiong Heng dan putera, setelah sampai pada saat ia menjadi orang cacad, baru ia memperoleh kemajuan, hanyalah dia dari kalangan sesat. Benar seperti dugaannya In Hong, dia sekarang menjadi pelindung angkutan barang bingkisan cuma dengan maksud dapat mengangkat nama. Sebenarnya, tujuannya ialah mencari

Thio Tan Hong, untuk menguji kepandaiannya itu, ia tidak sangka di sini ia akan bertemu sama Thian Touw suami isteri dan kesudahannya mereka sama tangguhnya.

Setelah pertukaran orang tawanan itu beres, Kiauw Pak Beng berpikir sebentar, terus ia kata pada Hok Thian Touw: "Kau dapat meyakinkan ilmu pedangmu begini rupa, itulah pelajaran yang sukar didapatkannya, hanya, jikalau kau memikir untuk mengalahkan aku, itulah tidak dapat, sekali-kali tidak! Umpama kata kau sebaliknya terlukakan olehku, pasti habislah semua kepandaianmu itu. Aku menghargai ayahmu, dari itu tidak sudi aku membuat peryakinan kau selama sepuluh tahun menjadi musnah di dalam tempo satu hari. Maka aku pikir, baiklah kau pergi pulang saja!"

Thian Touw bersangsi. Memang, di dalam ilmu pedang, ia masih kalah dari orang tua ini.

Leng In Hong dapat menduga kesangsian suaminya, ia mendahului menyahut.

"Jikalau kau menghendaki kami pulang ke Thiansan. itulah gampang!" demikian katanya. "Kau pergi, lantas kita pergi, semua urusan di sini, kita sama-sama tidak menggubrisnya!"

Kiauw Pak Beng tertawa melenggak.

"Jadi kau menghendaki aku mengangkat kaki?" tanyanya.

"Apakah yang dianggap lucu!" kata In Hong. "Bukankah kau menginginkan kami pergi dari sini?"

Kiauw Pak Beng menjadi tidak senang.

"Telah begini tua usiaku, belum pernah aku menemui orang yang berani menentang kehendakku!" katanya. "Maka itu, anak-anak muda, bagaimana kamu berani menyuruh aku mengangkat kaki?"

"Jikalau kau tidak pergi, kami juga tidak mau pergi!" In Hong membelar. "Siapa juga tidak dapat menggertak kami!"

Kiauw Pak Beng tertawa dingin.

"Kalau begitu, kamu jadi hendak dapat menggertak kami!" bilangnya. Ia lantas menatap pada Hok Thian Touw.

Anak muda itu membalas mengawasi.

"Jikalau lootjianpwee tidak dapat memaafkan kami. terpaksa kami suami isteri akan melayaninya!" sahutnya.

Terpaksa Thian Touw mengatakan demikian. Sikap isterinya itu membuatnya tidak mempunyai pilihan lain.

Dengan sekonyong-konyong Kiauw Pak Beng tertawa nyaring. Ia juga mengibas rantainya.

"Baiklah kalau begitu!" serunya. "Mari kamu maju!"

Thian Touw menggeraki pedangnya sambil ia berkelit, untuk menyelamatkan diri dari ujung rantai yang bercengkeraman itu, sebaliknya In Hong dengan berani merangsak maju.

"Bagus!" berseru Kiauw Pak Beng seraya dia menyamber pula.

In Hong mesti mundur dengan terhuyung dari serangan ini, sedang Thian Touw, yang sudah bersiap, menangkis, hingga dua senjata itu bentrok dengan nyaring.

Demikian mereka bertarung pula. Dengan lekas telah berjalan tujuh atau delapan jurus. Pak Beng hebat sekali, dengan rantainya ia seperti mengurung suami isteri itu.

Biar bagaimana, Thian Touw jeri juga melihat liehaynya si jago tua, maka ia berlaku hati-hati sekali.

In Hong melihat sikap suaminya, ia menjadi tidak sabaran, lagi-lagi ia maju. Atau baru tiga empat jurus, ia mesti mundur pula. Hampir-hampir iadilanggarujung rantai besi itu.

Thian Touw melirik isterinya, mukanya menjadi merah sendirinya. Ia lantas pikir: "In Hong tidak takut, kenapa aku jeri? Biar aku mengadu jiwaku, supaya dia jangan memandang tidak mata padaku!"

Benar saja, anak muda ini lantas maju. Diamenggunai ilmu pedangnya dengan cara sungguh-sungguh. Ilmu pedang Thiansan Kiamhoat liehay sekali, meski dia kalah tenaga dalam, karena dia tidak takut sedang dia pun bersatu padu dengan isterinya dia merasa, meskipun tidak menang, tidak nanti dia kalah.

Karena pertempuran ini, pertarungan lain pihak telah berhenti semuanya. Semua mata diarahkan ke gelanggang ini. Segala apa sunyi kecuali suara anginnya ketiga senjata, atau kapan terjadi ---bentrokan senjata mereka itu. Baik pedang maupun rantai, kedua-duanya berkilau di cahaya sinar layung.

Siapa yang berdiri dekat telah lantas mundur sedikit, supaya mereka tidak usah dimampirkan rantai yang panjang. Mereka rata-rata mendelong saking kagum untuk kegagahannya ketiga orang itu.

Selagi hebatnya mereka bertempur, mendadak terdengar seman Kiauw Pak Beng, seruan yang nyaring sekali. Dan ujung rantainya, di waktu berbalik, mencari punggungnya Hok Thian Touw.

Anak muda ini tidak berani keras melawan keras. Ia menangkis secara tidak langsung, meski begitu, ketika pedang nempel sama rantai, ia lantas merasakan tindihan yang berat, yang membikin ia terkejut. Tidak dapat ia menarik pulang pedangnya, yang secara luar biasa cepat lantas terlilit rantai.

Juga Leng In Hong menjadi, terkejut. Ia telah membarengi suaminya itu, guna menangkis senjata musuh, atau pedangnya pun terlihat bersama tanpa ia keburu menariknya pulang.

Kiauw Pak Beng liehay matanya serta liehay juga otaknya, dengan kecerdasannya, sesudah melayani orang sekian lama, ia dapat menyelami pokok ilmu silat pedang tergabung itu, maka itu, ia lantas memikirkan tipu silat apa ia dapat gunakan untuk merobohkan kedua musuh itu. Begitulah, begitu tiba saatnya, ia mencoba menempel terus menggulung senjata kedua musuhnya itu.

Hok Thian Touw menjadi bingung. Sia-sia belaka percobaannya akan meloloskan pedangnya. Ketika ia melirik isterinya, In Hong pun tidak dapat melepaskan senjatanya dan dahi isteri itu sudah mulai mengeluarkan peluh. Benar isteri itu tidak nampak takut, ia toh berkuatir sendiri. Maka ia lantas mengempos semangatnya, untuk berontak, la mengerahkan tenaganya, lantas ia menyontek pedangnya.

Percobaannya ini membikin In Hong dapat mengangkat pundaknya.

Hanya sejenak, Kiauw Pak Beng terlihat bersenyum. Tadi dia berseru, dia mengerahkan tenaganya. Sekarang dia meletaki ujung rantainya di dua-dua kakinya.

Thian Touw heran dan menduga-duga. Tengah ia berpikir itu, ia merasakan ada persentuhan di antara tenaga dalam mereka. Pak Beng tidak menyerang pula, tenaganya agak berkurang. Kemudian lagi, ia merasakan tenaga dalamnya seperti terbetot jago tua itu. Ia mau menyangka bahwa ia lagi dipancing, ia tidak berani berlaku alpa.

Kiauw Pak Beng ada maksudnya kenapa dia membawa sikapnya ini yang luar biasa. Karena sesatnya, kedua kakinya menjadi kurban, cacad itu mendukakan kepadanya. Tentu sekali ia ingin mengobatinya. Setelah kakinya itu membeku dan kaku, ia percaya, obatnya ialah emposan tenaga dalam sejati dan yang mahir pula. Jikalau tidak, tidak ada harapan cacadnya itu dapat dilenyapkan. Di antara sahabat-sababatnya tidak ada yang dapat menolong. Maka kebetulan sekali, sekarang ia menghadapi musuh dalam dirinya ini sepasang suami isteri. Selagi menyalurkan tenaga dalam orang itu, hatinya berdebaran. Ia kuatir mereka mendusin bahwa tenaga dalam mereka lagi dicuri...

Semua penonton tetap berdiam. Mereka tidak tahu duduknya hal. mereka menyangka orang tengah saling menguji tenaga dalam. Mereka menonton terus.

Tidak lama nampak Kiauw Pak Beng mengeluarkan keringat dan hawa putih keluar dari embun-embunannya. Sebaliknya Thian Touw dan isterinya tinggal tenang saja. Pihak San Bin bergirang, mereka menyangka kawannya menang.

Giok Houw juga mengeluarkan napas lega, hanya dasar cerdik dan berpengalaman, ia menonton dengan saban-saban melepas mata ke sekitarnya, terutama ke arah rombongan musuh. Ia heran ketika tahu-tahu ia tidak melihat Kiauw

Siauw, si pemuda pelajar, demikian juga Nona Liong. Dari heran, ia menjadi bercuriga. Ia telah menanyakan beberapa kawannya, mereka itu menggeleng kepala. Saking curiga, tanpa sangsi lagi, ia lantas menyingkir dari selat.

Pertandingan tenaga dalam itu masih berlangsung terus. Sekarang Thian Touw dan isterinya merasa tenaga lawan telah menjadi sangat lemah, lalu tidak lama, lawan seperti kehabisan tenaganya. Turut biasa, sampai itu waktu, Kiauw Pak Beiij* mesti kehabisan tenaga dan roboh sendirinya, hanya ia tidak, dia tetap duduk bersila tak bergeming, tidak roboh.

Selagi Thian Touw heran itu, sekonyong-konyong si orang tua bermuka merah tertawa tiga kali, nyaring tertawanya, habis itu, sambil menarik pulang rantainya, dia berlompat bangun, untuk berdiri, seraya dia berkata keras: "Mengingat peryakinanmu yang lama dan sukar, aku si orang tua tidak niat mencelakai kamu, maka itu sekarang aku memberi ampun satu kali kepada kamu, akan tetapi di belakang hari, jikalau kamu berani main gila, aku nanti datang mencari untuk membikin perhitungan! Mengenai barang bingkisan ini aku beri ingat kepadamu, baiklah kamu jangan campur tangan lagi! Cukup telah aku bicara, maka maulah aku pergi!"

Kiauw Pak Beng lantas berjalan pergi, benar tindakannya perlahan, ia toh bisa jalan dengan tetap, sedang tadinya ialah seorang lumpuh. Sebenarnya, kaki kirinya belum tersalurkan benar, tetapi ia perlu lekas-lekas menyingkir. Kalau ada orang yang ketahui rahasianya itu, di dalam keadaan seperti itu, ia tidak berdaya, ia belum pulih tenaganya.

Di antara kawan-kawan Tjioe San Bin, ada beberapa yang heran dan bercuriga, akan tetapi karena mereka tahu, orang tua itu sangat liehay, mereka tidak berani maju untuk menegur. Sudah begitu, mereka pun berdiam saja, tidak ada yang hendak mengutarakan kecurigaannya itu pada Thian Touw dan In Hong.

Sebentar kemudian Kiauw Pak Beng sudah keluar dari selat. Ia diturut oleh Le Kong Thian dan Tjhian Tiang Tjoen juga. Tanpa mengatakan apa-apa, komandan Gielimkoen ini turut pergi dengan meninggalkan rombongannya.

Tjioe San Bin lantas bertindak. Ia mengapalai orang-orangnya untuk merampas kereta. Kepada semua pelindung bingkisan itu, San Bin kata dengan bengis: "Letaki senjata kamu, semua boleh pergi!"

Bagaikan mendengar keampunan, semua serdadu dan atasannya melempar-lemparkan senjata mereka, hanya sebelum mereka dibiarkan pergi, lebih dulu mereka digeledah satu demi satu. Dari mereka itu tidak kedapatan apa-apa. Ketika mereka telah pergi semua, rembulan sudah berada tinggi.

San Bin menjadi heran. Dari barisannya, yang memeniksa kereta-kereta, diterima laporan nihil. Tidak ada kedapatan barang bingkisan. Yang ada hanya rangsum serta beberapa rupa barang lain ialah hasil bumi wilayah barat daya.

"Hai, ke mana perginya bingkisan?" demikian orang saling bertanya. Semua heran dan penasaran. Bukankah mereka telah berkelahi lama dan hebat, ada yang terluka dan terbinasa? "Mungkinkah itu dibawa Kiauw Pak Beng dan Le Kong Thian?" Dugaan ini disangsikan. Kiauw Pak Beng orang kenamaan dan dia pun mengatakan tidak hendak mencampuri lagi urusan bingkisan itu.

"Tapi kalau benar dia membawanya sendiri ke Pakkhia, bukankah itu bakal menambah besar namanya?" kata In Hong. Nyonya ini masih sangsi.

Thian Touw ragu-ragu. Tidak nanti Pak Beng dan Kong Thian membawa barang tanpa terlihat. Biasanya barang bingkisan berjumlah besar dan berat. Anggapan ini dibenarkan oleh beberapa yang lain.

Habis, mana dia barang bingkisan itu? Ke mana perginya?

Semua orang berpikir keras.

Segera In Hong ingat, di antara mereka tidak nampak Giok Houw. dan Kiam Hong. Ia tanya, ke mana perginya mereka itu berdua. Semua orang menggeleng kepala. Tadi tidak ada yang memperhatikan muda-mudi itu.

Sekarang ternyata, anak Kiauw Pak Beng pun tidak ada.

"Pastilah bingkisan itu dibawa kabur Kiauw Siauw!" kata In Hong. "Mari kita menyusul! Mungkin Giok Houw lagi mengejar dia!"

Kali ini dugaan Nyonya Hok Thian Touw tepat. Memang Giok Houw menyangka Kiauw Siauw yang membawa bingkisan, maka itu ia lantas menyusul. Di tengah jalan ia bertemu orang ronda, yang menerangkan benar ada orang seperti si pemuda pelajar yang kabur pergi dengan kudanya tanpa dia dapat dicegah. Setelah ditunjuki arah yang diambil Kiauw Siauw, Giok Houw menyusul sambil berlari keras. Setengahjam sudah ia lari cepat, lantas kupingnya mendengar suara senjata beradu. Maka ia perkeras larinya. Untuk girangnya, ia melihat di sebelah depan, di bawah lereng, ke empat budaknya Nona Liong lagi mengepung Kiauw Siauw, si nona sendiri ada bersama mereka. Sebenarnya ke empat budak itu bukan tandingan si pemuda pelajar dan dengan gampang mereka dapat dikalahkan, kalau sekarang mereka bisa mengurung, itulah disebabkan mereka berempat telah melatih semacam ilmu berkelahi yang berupa pengepungan, sedang sekarang mereka dibantu nonanya sendiri. Biar dia gagah, pemuda itu tidak bisa lantas meloloskan diri.

Hati Giok Houw menjadi lega. Ia lari menghampirkan. sambil tertawa dan dengan suara tegas, ia kata: "Nona Liong, harap saja semangkok air ini kita minum bersama!"

Itulah kata-kata rahasia kaum kangouw dan artinya meminta pembagian sama rata.

Kiauw Siauw mengerti bahasa rahasia itu, dia tertawa.

"Air masih belum diminum!" dia berkata mengejek. "Jikalau kau ingin menjilat darah di atas golok, nah kau majulah!"

Hebat pemuda pelajar ini, selagi mulutnya mengoceh demikian, kipasnya dikasi bekerja, tepat mengenai satu budaknya Kiam Hong, hingga budak itu lantas roboh!

Nona Liong mendongkol, ia mendesak. Dengan jurus "Puteri naga menusuk benang," ia menikam jalan darah djiekhie hiat lawannya itu.

Kiauw Siauw Siauw berani dan sebat sekali. Ia membebaskan diri justeru sambil maju, hingga ia bisa mendekati Hee Hoo dan Tong Bwee, pedang siapa ia ketok jatuh. Lalu sambil tertawa, ia menjambret punggungnya budak yang ke empat, niatnya untuk ditarik dan ditangkap, agar budak itu dapat dijadikan tameng.

Giok Houw tiba di saat si budak terancam itu, dengan goloknya, dia membacok.

Kembali Kiauw Siauw Siauw mengasi lihat kepandaiannya. Ia membebaskan diri dengan gerakan kedua tangannya berbareng. Dengan kipasnya ia punahkan tikaman si nona, dengan tangkapan "Tay Kimna," ia membikin Giok Houw menarik pulang serangannya itu.



CATATAN



1) Hal Law Tong Soen memaksa Tiat Keng Sim untuk menyerahkan pedang Tjio Keng To sehingga Keng To mengusir Keng Sim dari perguruaannya dapat diikuti dalam cerita Sanhoa Liehiap atau Pendekar Wanita Penyebar Bunga.

2) Peristiwa penyerbuan Tjie Hee Toodjin dan kawan-kawannya pada saat ulang tahun ke delapan puluh Hian Kie Itsoe dapat dibaca di cerita Sanhoa Liehiap atau Pendekar Wanita Penyebar Bunga.



Giok Houw tidak mundur, ia maju terus. Sekarang ia menggantikan ke empat budak itu, untuk bersama Kiam Hong melawan pemuda kosen itu. hingga mereka jadi bertarung seruh sekali.

Sesudah lima puluh jurus ternyata, perpaduan di antara Giok Houw dan Kiam Hong menjadi bertambah erat. Kiauw Siauw Siauw melihat itu, ia menjadi berpikir: "Melihat begini, meski aku tidak bakal kalah, aku toh sukar merebut kemenangan, jikalau datang bantuan untuk mereka, aku bisa susah..."

Kekuatiran ini beralasan. Bahkan asal ke empat budak turut maju, ia bisa terkurung dan terkalahkan. Ke empat budak itu tidak bisa lantas maju karena yang satunya masih belum pulih kesegarannya.

Kiauw Siauw Siauw lantas bertindak. Ingin ia lekas kabur. Ia mencoba memapas jeriji tangannya Giok Houw yang memegang golok. Pemuda ini mengelakkan tangannya. Siauvv Siauw tidak mendesaknya lagi, ia berbalik menyerang nona Liong.

"Kau mau kabur?" Giok Houw membentak. Ia melihat sikapnya lawan ini. Lantas ia berlompat maju. membacok ke arah nadi orang. Ia menggunai jurus "Matahari putih menutupi matahari."

Kiam Hong mendengar suaranya Giok Houw. mendadak ia sadar. Siauw Siauw hendak mengancam padanya, supaya kalau ia mundur, dia pun bukan maju terus, hanya hendak mundur, guna berlompat lari. Maka itu ia membalas menyerang dengan kebutan ujung bajunya. Tepat kebutannya ini mengenai kipas besi, sedang pedangnya menikam, menembusi tangan baju orang.

Siauw Siauw terkejut. Ia jadi berlaku waspada. Karena barusan gagal, ia lantas memikir lain akal. Mendadak ia bersiul nyaring. Dari lereng gunung lantas terlihat munculnya seekor kuda. Itulah kuda tunggangannya, yang tadi ia tinggalkan untuk bisa melayani Kiam Hong berlima. Kuda itu jinak dan telah terlatih baik, benar kaki depannya terpanah Nona Liong tetapi sekarang dia dapat berlari seperti biasa, tadi dia berdiam saja. setelah dipanggil, baru dia menghampirkan majikannya.

Terkejut juga Giok Houw melihat munculnya kuda itu. Justeru begitu. Siauw Siauw mengancam mukanya Nona Liong, meneruskan mana, ia menyampok goloknya si anak muda.

Giok Houw kaget, telapakan tangannya nyeri, goloknya hampir terlepas. Syukur untuknya, belum sempat ia bersiap itu, Kiam Hong sudah mendahului menyerang, hingga si pelajar tidak bisa mengulangi serangannya terhadapnya.

Siauw Siauw memang berniat kabur, maka itu selagi ditikam si nona, setelah berkelit, ia meneruskan lari kabur. Hanya apa yang aneh, ia lari dengan bertentangan tujuan dengan kudanya.

Giok Houw heran, segera ia dapat membade. Semenjak tadi pun ia telah perhatikan tubuh musuh dan tidak ada tanda-tandanya musuh ini menyembunyikan barang berharga. Sekarang kuda itu kabur ke selatan. Siauw Siauw sendiri ke utara. Maka ia tidak mengejar si pelajar, hanya lari ke arah kuda, dengan hoeitoo, golok rahasianya, ia menimpuk kuda itu, tepat kena kempolannya.

"Kejar kuda itu!" ia pun berseru.

Kiam Hong melengak. sejenak, lantas dia pun sadar.

"Benar!" serunya. "Bingkisan tidak ada pada Siauw Siauw, tentu ada pada kudanya!"

Hanya kuda itu. kecuali selanya, tidak membawa barang lainnya.

"Jangan kita dijual!" kata Giok Houw. "Kenapa kuda dan orang lari berlainan jurusan? Kuda itu terdidik dan majikannya licin, si majikan tentu hendak memancing kita mengejar dia. Mari!"

Kuda itu lari keras sekali Panahnya si nona dan golok terbang si pemuda membuatnya sangat kesakitan, maka dia kabur sekerasnya. Giok Houw berdua Kiam Hong berlari keras tetapi tidak bisa lantas menyandak, terpaksa mereka mengikuti saja. Mereka percaya, setelah habis tenaganya, kuda itu mesti roboh sendirinya atau dia keburu kecandak.

Benar juga, selang setengah jam, kudanya Siauw Siauw terlihat lari semakin kendor.

Selagi muda-mudi ini mengejar terus, tiba-tiba kuping mereka mendengar suara mengaungnya anak panah, yang keluar dari rimba di tepi jalan.

"Sahabat mana di sana?" Giok Houw menegur. Tapi ia belum mendapat jawaban ketika terdengar suara kuda meringkik keras, lantas kuda Siauw Siauw roboh untuk tidak bergerak lagi.

"Orang itu dapat memanah kuda sekali mati, dia liehay," pikir Giok Houw.

Segera juga dari dalam rimba muncul sebarisan terdiri dari kira-kira tiga puluh orang, semuanya wanita, sedang yang berada di muka ialah seorang wanita tua. siapa terus tertawa lebar dan berkata nyaring: "Bagus! Kiranya kau!"

Giok Houw terperanjat. Ia lantas mengenali Tjit Im Kauwtjoe, yang bercokol di atas kudanya. Pula itu waktu, satu nona lari kepada kuda yang roboh, untuk mengambil selanya.

Nona itu ialah Im Sioe Lan, gadisnya kauwtjoe itu. Ketika dia mengangkat sela, untuk dibawa pergi, tubuhnya sedikit terhuyung, seperti dia memakai tenaga besar.

"Selamat bertemu, kauwtjoe!" berkata Giok Houw seraya memberi hormat. "Aku merasa beruntung sekali dengan pertemuan ini!"

"Mungkin kau sendiri hendak mengatakan tidak beruntung!" kata Tjit Im Kauwtjoe, yang tertawa mengejek. "Hm! Kiranya kau masih mengenali aku!"

"Sabar, kauwtjoe," berkata Giok Houw. "Di antara kita memang ada perselisihan paham tetapi kau harus ingat, di dalam urusanmu dengan kaum Kaypang. aku telah membantu pihakmu. Tidakkah urusan kita dapat dihabiskankan?"

Giok Houw pernah menampik lamaran kauwtjoe itu dan sekarang ia menyebut-nyebut urusan dengan kaum Kaypang, yang menyakiti hati si kauwtjoe. tidak heran nyonya tua itu menjadi gusar. Berulangkah dia tertawa dingin dan mengatakan: "Hm! Hm!"

"Sudah, ibu!" kata Sioe Lan. "Dia tidak mau bicara tentang persahabatan, kita ambil jalan masing-masing, supaya ibu tidak usah mendongkol."

Sengaja Sioe Lan mengatakan demikian sebab ia kuatir ibunya nanti menyerang si anak muda. Dengan begitu ia mau melepas budi pada anak muda itu.

Tjit Im Kauwtjoe dapat membade hati puterinya, ia menjadi sedikit sabar. Ia kata dengan dingin: "Bocah yang baik. awas lain kali, jangan kau bentrok pula denganku!"

Habis berkata, nyonya itu memutar kudanya untuk berlalu. Giok Houw bergelisah sendirinya.

"Tunggu!" ia berkata.

Tjit Im Kauwtjoe menoleh. "Aku telah lepaskan kau, apakah kau masih mau banyak rewel" dia menegur.

"Kita tidak mengganggu, kita mengambil jalan masing-masing, itu memang paling baik," kata si anak muda. "Aku cuma minta kauwtjoe suka menyerahkan sela kuda itu padaku, lantas aku pergi dari sini."

"Sela ini selamu?" tanya kauwtjoe itu, tertawa mengejek.

"Adalah kuda itu yang aku kejar-kejar," menjawab Giok Houw. "Lihat di kempolan kuda ada goloknya, itulah golokku."

Kauwtjoe itu tetap tertawa dingin.

"Kuda ini kudamu?" dia tanya pula.

"Itulah kuda orang jahat, yang penjahatnya telah aku usir," menyahut Giok Houw. "Karena itu menurut aturan kangouw, kuda ini kepunyaanku."

"Aturan apa? Segala aturan Jalan Hitam?" kata si nyonya tua, dingin. "Jadi kamu pun penjahat? Baiklah, begini saja. Kita turut aturan Jalan Hitam itu. Kuda ini aku yang panah, maka selanya menjadi milikku!"

Kata-katanya nyonya tua ini ada benarnya. Menurut aturan Jalan

Hitam, barang itu --- sela --- harus dibagi dua. Hanya sela satu. Apakah sela itu mesti dibelah dua?

Giok Houw terdesak tapi ia masih bicara pula. Ia berlaku sabar.

"Baiklah aku omong terus terang." katanya. "Pemilik kuda ini bermusuh kamu asyik sekali!"

Kali ini Kiam Hong jengah juga. In Hong tertawa pula.

"Siauw Houw Tjoe!" katanya. "Kau tahu. adikku ini sudah sejak siang-siang ingin sekali belajar kenal dengan kau!"

Thio Giok Houw merasakan hatinya berdenyut, ia jengah berbareng girang sekali.

"Benarkah?" ia tanya, perlahan.

"Dia sering mendengar aku menyebut-nyebut kau," berkata pula In Hong. "Aku mengatakan kau cerdik, jenakadan liehay ilmu silatmu, dia tertarik hatinya. Ketika aku menerima undangan Kimtoo Tjeetjoe dan mengetahui kau mengepalai perampasan barang-barang hadiah di wilayah Selatan, dia tidak dapat mengendalikan hati lagi, dia lantas berangkat untuk dengan diam-diam menguji kepandaianmu!"

"Nah, ini dia yang dikata. gelombang sungai Tiangkang yang belakang mendorong yang depan, dan di dalam dunia itu, yang baru menggantikan orang lama!" berkata Sin Tjoe bersenyum. "Ya, sejaman demi sejaman, orang bertambah gagah. Mereka ini berdua masih muda tetapi mereka sudah dapat melakukan sesuatu yang menggemparkan seluruh negara, mereka jauh terlebih gagah daripada kita semasa muda kita. Sebenarnya aku bicara tentang Nona Liong tetapi dengan sendirinya soetee-ku ini turut kesebut-sebut. Syukur kau bukannya orang luar, entjie Leng, maka tidak usahlah aku merasa malu!"

In Hong tertawa.

"Aku memang hendak memuji adik Hong-ku ini liehay!" ia bilang.

"Entjie Leng!" berkata Kiam Hong. menyelak. "Jikalau kau masih menggodai aku. hendak aku pergi!"

"Ya, mari kita bicara tentang urusan yang penting" berkata juga Giok Houw. "Barang hadiah telah orang merampasnya secara enak sekali..."

"Begitu?" tanya Sin Tjoe. "Siapakah yang melakukan itu?"

"Tjit lm Kauwtjoe!" Giok Houw memberitahukan. la lantas menuturkan perbuatan kauwtjoe itu. yang memegat kuda dan merampas pelananya tanpa ia dan Kiam Hong berhasil merampasnya, karena kauwtjoe itu liehay dan cerdik, dia sudah lantas mengangkat kaki.

"Kalau begitu, pada si pemuda she Kiauw itu tidak ada barang hadiahnya," berkata Sin Tjoe. "Menurut kau ini, pastilah di dalam pelana itu ada tersembunyi barang hadiah itu. Ah, urusan menjadi ruwet..."

"Bagaimana kepandaiannya Tjit Im Kauwtjoe itu?" In Hong tanya.

"Dibanding dengan kami berdua, dia lebih liehay sedikit" menyahut Kiam Hong. "Dibanding dengan entjie berdua, dia kalah jauh."

"Habis, apakah yang menjadikan ruwet?" In Hong tanya pula.

"Sebab keluarga Kiauw mempunyai keinginan berbesan sama Tjit Im Kauwtjoe," menyahut Giok Houw. "Apabila mereka berdua bergabung menjadi satu, untuk mendapatkan pulang bingkisan itu. tidakkah kita bakal melakukan pertempuran dahsyat?"

Mendengar itu, Kiam Hong tertawa geli.

"Kau omong kurang jelas, mari aku yang mewakilkan!" katanya. "Kiauw Pak Beng ingin mengambil puteri Tjit lm Kauwtjoe sebagai nona mantu, untuk itu dia telah mengirim comblangnya, ialah Le Kong Thian. akan tetapi Nona Im itu, yang dia sukai ialah ini Siauw Houw Tjoe!"

Giok Houw likat, ia berdiam.

"Oh, begitu!" kata In Hong. "Ya. ini ruwet juga!"

"Menurut apa yang aku dengar, kelakuannya Tjit Im Kauwtjoe tidak terlalu buruk," berkata Sin Tjoe, "maka itu lebih baik jikalau kita tidak usah menggunakan senjata terhadapnya. Hanya untuk mendapatkan barang hadiah, itu benar-benar sukar jikalau keluarga Kiauw bekerja sama dengannya. Perlu kita mencari pembantu yang liehay."

"Lebih perlu daripada itu. kita mesti segera mengetahui di mana Tjil Im Kauwtjoe menempatkan diri," Giok Houw memberi ingat. "Kita mesti bekerja sebat sekali. Dari sini ke Pakkhia. perjalanan hanya tiga atau empat hari, apabila mereka itu keburu membawa barang bingkisan sampai di kota raja, itu artinya lebih sulit lagi!" Kiam Hong tertawa. "Jikalau barang bingkisan itu terjatuh dalam tangannya Tjit Im Kauwtjoe," katanya, "aku percaya belum tentu dia akan mengantarkannya kepada raja, kebanyakan dia akan menahannya sendiri, untuk dijadikan pesaiin puterinya! Dan aku mau lihat nantinya, Kiauw Siauw Siauw yang bakal makan umpan atau kau yang akan kena dipancing!"

"Ah, kembali kau bergurau!" kata Giok Houw. "Mari kita lekas memikirkan dayanya!"

In Hong dan Sin Tjoe berdiam. "Yang berada bersama Thian Touw itu apa bukan orang dari Kaypang?" In Hong tanya.

"Benar. Dialah Hoepangtjoe Tie Goan," menjawab Sin Tjoe.

Ketika Tjioe San Bin memecah rombongan akan mencari Giok Houw, ia mengatur setiap rombongan terdiri daripada dua orang. In Hong dan Sin fjoe sangat akrab pergaulannya, maka itu, mereka merupakan satu rombongan. Memang mereka berdua sudah lama tidak bertemu. San Bin kuatir Thian Touw kurang kenal jalanan, ia minta Tie Goan sebagai kawannya. Demikian, ketua muda Kaypang ada bersama jago Thiansan itu. Sin Tjoe lantas mengerti maksud orang setelah ia ditanya In Hong. "Benar, kita membutuhkan dengan orang-orang gagah, maka itu, jikalau kau menghendakinya, aku kuatir mereka itu tidak mau mengerti."

Tjit Im Kauwtjoe membuka matanya lebar-lebar, sepasang alisnya bangun.

"Hm, kau menggertak aku dengari orang-orang gagah!" katanya, tertawa dingin. "Aku tidak takut!"

"Apakah artinya sebuah pelana?" Im Sioe Lan turut bicara. "Kau bicaralah baik-baik, mungkin kami nanti bersikap bersahabat denganmu!"

"Benar." berkata Tjit Im Kauwtjoe, yang mengubah lagu suaranya. "Jikalau kau menghendaki pelana ini, mari turut aku pulang, nanti aku suka bicara secara baik-baik denganmu. Jikalau kau tidak sudi memakai aturan, akulah leluhurmu yang tidak mengenal aturan!"

Liong Kiam Hong mendengar semua itu, ia tertawa terkekeh-kekeh.

"Jadi kamu menghendaki dia seorang saja?" ia menanya.

Sioe Lan menjadi mendongkol. "Siapa bicara sama kau, wanita penjahat?" dia mendamprat. Sebelah tangannya lantas diayunkan dan dua buah cincinnya yang beracun terbang menyamber.

Kiam Hong berlaku celi dan sebat, ia kelit itu.

"Bicaralah dengan baik, kenapa mesti menggerakkan tangan?" Giok Houw menegur. "Sekarang serahkan dulu pelana itu. lain kali pasti aku akan datang berkunjung bersama Kimloo Tjeetjoe untuk menghaturkan terima kasih kami!"

"Bocah ini tidak bersungguh hati," kata Tjit Im Kauwtjoe. "Anak Lan. kau berangkatlah lebih dulu!..."

"Perlahan!" Giok Houw berseru, lantas dia menyusul.

Tjit im Kauwtjoe tertawa dingin, sepuluh jeriji tangannya lantas digerakkan.

"Minggir!" dia berteriak seraya tertawa dingin.

Thio Giok Houw tahu bahwa jeriji tangannya nyonya tua itu ada bisanya, ia berkelit.

Liong Kiam Hong menghunus pedangnya, untuk bergerak, atau Tjit Im Kauwtjoe mendahului berlompat menubruk, tangannya menyamber.

Nona Liong tidak takut, setelah berkelit, ia meneruskan menikam dengan jurusnya "Bianglala melintasi langit."

Tjit Im Kauwtjoe tidak melayani, dengan mengisar kaki, ia membawa tubuhnya mendekati Giok Houw pula, untuk menyerang anak muda itu. Maka kejadianlah ia menjadi melayani muda-mudi itu. yang ia tidak menempurnya sungguh-sungguh, ia hanya merintangi saja. Dengan begitu sebentar kemudian, Sioe Lan dapat menjauhkan diri, terus berlalu pergi.

Si anak muda mendongkol sekali yang ia telah dipermainkan, dalam sengitnya ia menyerang berulang-ulang.

Tjit Im Kauwtjoe melayani dengan tidak kurang hebatnya, hanya habis itu, sambil tertawa nyaring, ia memutar tubuh untuk mengangkat langkah panjang, guna meninggalkan pemuda itu.

Giok Houw penasaran, ia mengejar, diikuti Kiam Hong.

Ketiganya ada ahli-ahli ilmu ringan tubuh, dari itu bisa dimengerti yang larinya mereka pesat luar biasa.

Tidak lama, Tjit Im Kauwtjoe berhasil menyandak rombongannya, ia lantas lompat naik atas punggung kuda sambil berseru memerintah: "Lepas panah!"

Perintah itu ditaati. Hujan anak panah lantas menyamber Giok Houw dan Kiam Hong. Sembari mengawasi, sambil tertawa, kauwtjoe itu kata dengan nyaring: "Inilah panah yang ada racunnya, yang dapat menutup jalan darah di kerongkongan! Siapa yang tidak takut mampus, mari mengejar!"

Giok Houw dan Kiam Hong repot menangkis hujan anak panah itu. sambil membela diri, mereka mengawasi rombongan musuh. Di sana tidak ada Sioe Lan. Mungkin nona itu, dengan menunggang kuda. sudah mendahului kabur. Terpaksa mereka tidak mengejar terus, maka di lain saat. Tjit Im Kauwtjoe dan rombongannya lelah pergi jauh.

"Aku tidak menyangka akan datangnya gangguan ini," kata si pemuda kemudian.

Kiam Hong tertawa. Ia bukannya masgul atau mendongkol, ia justeru menggoda.

"Ah, kau masih bergurau!" kata Giok Houw masgul.

"Siapakah yang main-main?" tertawa si nona. "Bukankah orang ada demikian manis budi mengundang kau menjadi tetamunya?"

"Kalau aku man pergi, aku akan pergi bersama kau!" kata si anak muda. Lagi-lagi nona itu tertawa. "Orang tidak mengundang aku!" katanya, "Aku tidak mempunyai muka terang sebagai kau!"

Siauw Houw Tjoe kewalahan. "Kiranya kau bukan cuma ilmu silatmu liehay!" katanya akhirnya. "Nyata aku pun tidak dapat melawan bibirmu yang bagaikan tombak dan lidahmu yang seperti pedang!"

Kiam Hong tentu telah menjawab si pemuda kalau itu waktu tidak terdengar suara panggilan: "Siauw Houw Tjoe!" dan "Adik Hong!"

Giok Houw segera berpaling, maka ia melihat Ie Sin Tjoe datang bersama Leng In Hong.

"Kiranya kamu berdua telah mengenal satu pada lain?" In Hong kata tertawa.

"Bukan melainkan kenal bahkan golok dan pedang kita entah berapa kali sudah saling gempur!" berkata si nona yangjenaka, yang gemar sekali bergurau. Ia digoda tetapi ia tidak menjadi likat.

"Begitu?" kata In Hong. "Sungguh bantuan mereka," ia bilang. "Kapan tiba saatnya, kau bersama Thian Touw boleh melayani itu ayah dan anak she Kiauw. Untuk mencari tahu halnya Tjit Im Kauvvtjoe. kita mesti minta bantuannya Tie Goan. Syukur bagian selatan dari gunung di mana penyelidikan harus dilakukan tidak jauh terpisahnya dari sini."

Sampai di situ. mereka mendaki bukit. Tiba di atas. Lcng In Hong mengasi dengar siulannya yang nyaring halus, yang terdengar sampai di tempat jauh.

Sin Tjoe tertawa.

"Baru delapan tahun kita tidak bertemu, entjie, tenaga dalammu maju pesat jauh melebihkan aku!" ia memuji.

Tidak antara lama. dari tempat jauh terdengar siulan serupa, yang menjadi jawaban siulan si nyonya muda. Suara itu tidak tinggi, tetapi halus dan jelas. Itulah tanda dari ilmu tenaga dalam yang mahir. Itulah jawaban dari Thian Touw. "Urusan ini membikin repot kamu suami isteri," berkata Sin Tjoe.

"Kenapa kau menjadi sungkan terhadapku, adikku?" tanya In Hong. "Ah. sungguh memusingkan kepala. Kau tahu. kalau bukan untuk aku. tidak nanti Thian Touw sudi turun gunung."

"Ya, aku justeru hendak memberitahukan kau. Thian Touw pernah datang ke tempatku, dia meninggalkan surat dengan apa dia minta kami membujuki kau pulang. Sebenarnya soal apa yang kamu pertengkarkan?"

Mukanya In Hong bersemu merah, agaknya ia malu.

"Sebenarnyaaku mengagumi kau dan toako Seng Lim," katanya perlahan.

Nyonya Yap Seng Lim tertawa.

"Kamu justeru pasangan yang setimpal, pasangan dewa-dewi," katanya. "Kenapa sebaliknya kau mengagumi penghidupan kita. penghidupan kaum kangouw?"

Nyonya Hok Thian Touw menghela napas.

"Adik." katanya, "baru beberapa tahun kita tidak bertemu, kau lantas berlaku sungkan terhadapku..."

Sin Tjoe menggengam keras tangan kawan itu. ia tertawa.

"Apakah Thian Touw menghina kau?" ia tanya.

"Sampai sebegitu jauh, tidak," menyahut In Hong.

"Habis, kenapakah kamu berselisih paham?"

"Aku justeru ingin berselisih hebat dengannya!" kata In Hong sengit.

Sin Tjoe tertawa.

"Dia justeru tidak mau melayani kau! Benarkah? Di antara suami isteri. ada urusan apa juga. itu harus didamaikan, kedua pihak mesti saling mengerti. Kalau dapat, janganlah orang berselisih!"

"Hanya dia, dia sangat kurang memperhatikan lain orang!

Sebenarnya dia melarang aku turun gunung! Ketika aku menerima undangan, aku pergi dengan diam-diam. Dia tidak senang atas kepergianku ini. Demikian tadi. ketika aku mengajak dia mengepung si siluman tua. dia kurang setuju."

Dari suratnya Thian Touw. Sin Tjoe sudah tahu di antara Thian Touw dan In Hong terbit perselisihan paham, hanya ia tidak menyangka bahwa sampai di saat seperti ini. Thian Touw masih tidak setuju membantu mereka.

"Kalau begitu," katanya, "scselesainya urusan ini. baiklah kau pulang. Jikalau kamu dapat menciptakan suatu partai baru. itulah bagus sekali."

In Hong menyeringai. "Dengan begitu aku bukan lagi burung hong yang terbang di mega hanya burung hong di dalam sangkar!" berkata ia. berduka. "Untuk apakah orang mempelajari ilmu pedang? Thian Touw tidak mau memikirkan atau menginsafi itu. dia seperti juga cuma ketahui, bahwa demi ilmu maka barulah orang meyakinkan ilmu silat pedang itu. Karenanya, dia seperti hendak mengasingkan diri! Aku? Tidak biasa aku dengan itu macam penghidupan! Setiap tengah malam, di waktu sangat sumi. dia melatih sendiri ilmu pedangnya. Aku sendiri, adik. aku memikirkan kau. aku memikirkan itu hari-hari ketika kita berada di antara pasukan tentera rakyat!"

"Begitu, entjie? Aku berterima kasih untuk perhatianmu itu!" kata Sm Tjoe tertawa.

"Lagi pula dia sangat angkuh!"

"Begitu? Inilah aku tidak lihat."

"Memang itu tidak kentara pada wajahnya. Sekarang ini dia belum mencapai puncak latihannya, dia sudah menempatkan diri sebagai pendiri suatu partai. Dia tidak melihat mata kepada siapa juga. Sekalipun Thio Tayhiap. dia cuma mengagumi sedikit. Dia berani mengatakan Thio Tayhiap bukannya orang yang tekun mencari ilmu kepandaian, dia kata Thio Tayhiap sering perhatiannya oleh banyak urusan luaran, bahwa sikap Thio Tayhiap itu mengganggu kemajuan dirinya sendiri. Maka dia berpendapat, di akhirnya Thio Tayhiap melainkan menjadi satu tayhiap yang menggemparkan negara, tayhiap kekurangan kesempurnaan sebagai seorang yang membangun. Dia pun sering mentertawakan aku dan mengatakan, jikalau aku tetap sering ikut kamu merantau, kalau aku menjadi muridnya, aku mesti belajar silat mulai dari permulaannya lagi! Memangnya dia menganggap aku sebagai muridnya, di dalam hatinya belum pernah dia memandang aku sebagai isterinya yang sederajat dengannya."

"Memang, pendapat atau pandangan orang banyak yang tidak sama," kata Sin Tjoe, "hanya di antara suami isteri. pandangan bahwa diri sendiri yang tertinggi, itulah kurang tepat. Pandangannya itu perlu diichtiarkan perubahannya."

"Karena sikapnya itu. aku suka tidak mempelajari ilmu silat ajarannya," berkata In Hong. "Sayang aku bebal, jikalau tidak, aku juga ingin membangun suatu partai persilatan sendiri, untuk dapat menempur dia!"

Thio Giok Houw tidak puas mendengar Thian Touw mencela pandangan gurunya, maka itu, mendengar perkataan In Hong yang terakhir ini, ia campur bicara.

"Entjie Leng, kami semua kangen padamu, dari itu, baiklah kau perlambat beberapa tahun pulangmu ke gunung!" katanya. "Mari bersama soetjie Sin Tjoe kita meyakinkan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat hingga sempurna. Semua kitabnya Thian Touw telah kau lihat, sedang ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat juga ada gabungan dari pelbagai ilmu silat lainnya, jikalau kita yakinkan, mungkin kita dapat menciptakan suatu ilmu pedang baru yang dapat menandingi peryakinannya Thian Touw itu! Sampai itu waktu maka kaulah yang justeru menyuruh dia menjadi muridmu!"

Sin Tjoe tertawa geli.

"Eh, Siauw Houw Tjoe, tabiatmu sungguh tabiatnya satu bocah! Apakah kau hendak mencerai beraikan mereka, suami isteri?"

Giok Houw jengah.

"Bukan maksudku begitu," katanya. Mukanya pun bersemu dadu.

Sepasang alisnya In Hong bangun.

"Aku paling senang dengan tabiat jujur Siauw Houw Tjoe ini!" katanya. "Memang benar pikirannya itu. Kita dapat meyakinkan ilmu bersama, untuk menciptakan suatu ilmu silat baru. untuk di belakang hari dipakai menguji kepandaiannya Thian Touw, agar dia mengetahui, bahwa dengan hidup di dalam dunia kangouw juga orang dapat menciptakan sesuatu!"

"Sudahlah!" Sin Tjoe tertawa. "Apakah gampang untuk menciptakan suatu ilmu silat baru atau membangun partai yang lainnya lagi?"

"Tetapi, adikku," membantah In Hong, "ada pepatah yang mengujarkan: tiga orang tukang kulit yang bau dapat mengalahkan satu Tjoekat Liang! Kita bertiga bukannya si tukang-tukang kulit yang bau itu! Mustahil kita kalah?"

Nyonya muda ini berbicara dengan bersemangat hingga tampak gagah sekali.

"Bagus, bagus!" Sin Tjoe tertawa. "Kamu suami isteri yang lagi membawa adat, lantas kamu menyeret-nyeret kami! Ingat, jikalau Thian Touw mengetahui ini, dia dapat mengatakan kami membantu berbuat jahat!"

Kiam Hong berdiam saja sekian lama, tapi sekarang mendadak ia bersuara.

"Ah, Hok Toako datang!" katanya.

Memang benar, segerajuga terlihat Thian Touw mendatangi bersama seorang pengemis tua.

Thian Touw melihat mereka berempat. Dia tertawa.

"Kiranya Siauw Houw Tjoe dan Nona Liong ada di sini!" katanya. "Bagaimana, apakah hadiah itu telah dapat dirampas pulang?"

"Terima kasih untuk perhatianmu, Hok Toako," kata Siauw Houw Tjoe tawar.

"Kami justeru hendak mencari kamu berdua untuk memohon bantuan kamu," menjawab Sin Tjoe.

Tie Goan menjura dalam.

"Silahkan kau menitahkan, Ie Liehiap." katanya merendah. "Aku si pengemis tua pasti akan memberikan bantuan sebisaku."

"Hanya sayang," berkata Thian Touw, "mungkin aku tidak dapat membantu apa-apa. Mengenai urusan kaum kangouw, apa pun aku tidak mengerti."

Dia bicara merendah, tapi hatinya tak gembira.

"Tie Pangtjoe, aku justeru hendak memohon bantuanmu." berkata Sin Tjoe. "Entjie Leng, hari ini kami membikin letih kamu suami isteri, maka itu pergilah kamu berdua beristirahat. Tentang yang barusan kita bicarakan, baik juga sekalian kau omongkan dengan HokToako."

Thian Touw merasa tidak enak. Ia tidak tahu urusan apa itu. Ia melihat roman isterinya tidak wajar.

"Baiklah," katanya. "Aku memang ingin bicara sama In Hong."

Suami isteri ini bicara sebentar, lantas keduanya masuk ke dalam rimba.

Siauw Houw Tjoe dan Liong Kiam Hong, seperti sudah berjanji, juga lantas mengundurkan diri bersama-sama.

Tidak lama dari dalam rimba lantas terdengar suaranya Thian Touw dan In Hong, kadang-kadang perlahan, tempo-tempo keras.

Kiam Hong mendengar itu, dia tertawa.

"Benar-benar mereka sepasang musuh!" katanya. "Sebentar mereka rapat sekali, sebentar seperti es dan arang yang tidak dapat nempel bersatu! Kau dengar, mungkin mereka lagi berkelahi!"

Nona ini mengatakan demikian, karena ia mendengar jelas suara orang, yang berselisih paham, hingga kecuali salah satu mengubah sikap, mereka bisa menjadi bertempur, atau sulit untuk mendamaikannya...

Giok Houw berduka. Ia merasa berkasihan untuk In Hong.

"Sudahlah, kita jangan mencuri dengar suami isteri itu berselisih!" katanya kemudian. "Mari kita pergi ke rimba sana."

Kiam Hong memperlihatkan roman tidak puas.

"Kalau menurut kau, aku jadi lagi mencuri mendengar perselisihan orang!" katanya, "Sebenarnya aku pun malas mendengarnya! Kalau mau pergi, mari kita pergi!"

Giok Houw tertawa.

"Ingat, kita jangan bercedera dulu!"

Mukanya si nona menjadi merah, hatinya panas, mau ia menghentikan tindakannya, atau tanpa merasa, ia berjalan terus, mengikuti Giok Houw pergi ke lain bagian dari rimba itu.

Ketika itu langit baru terang, angin pagi membawa haaimnya bunga, yang membuat hati mereka menjadi terbuka dan lega.

"Selama berada di gunung Thiansan, cuma di antara waktu kedua musim semi dan panas baru aku melihat bunga-bunga mekar," berkata Kiam Hong. "Di sana itu cuma teratai salju yang kedapatan selama empat musim, bunga apa juga tidak dapat melawannya. Sangat sukar untuk melihat bunga itu."

"Aku telah menanti setengah tahun, baru hari ini untuk pertama kali aku mendengar asal-usulmu," berkata Giok Houw. Si nona baru menyebutkan dia asal gunung Thiansan.

Nona itu tertawa.

"Tadinya kau menganggap aku orang apa?"

"Mukanya aku menyangka kau puterinya satu keluarga kaum persilatan, yang membawa-bawa budak pergi merantau."

"Apakah aku mirip dengan puterinya satu keluarga persilatan seperti kau sebutkan?"

"Hanya belakangan aku melihat kau tidak mempunyai gerak-gerik seorang nona hartawan. Lantas dugaanku berubah. Aku menyangka kau puterinya seorang raja gunung. Tetapi kau tidak sebebas puteri gunung yang kebanyakan. Kau cerdas sekali, sikapmu terus terang, aku menjadi berpikir lain. Aku sampai tidak dapat menerka-nerka kau sebenarnya orang dari golongan mana. Adalah kemudian lagi, setelah melihat ilmu pedangmu, aku menduga kepada Entjie Leng. Ya. sifatmu pun hampir mirip sifat entjie Leng itu."

Kiam Hong tertawa, ia menutup mulutnya.

"Segala apa kau telah gunai untuk melukiskan roman dan sifatku!" katanya. "Syukur di sini tidak ada lain orang yang mendengarnya, kalau tidak, orang tentunya tertawa hingga sukar untuk menutup mulutnya! Baiklah kau ketahui, Tjoen Heng berempat itu bukannya budak-budakku. Sebenarnya dulu hari, ibuku pernah menjadi salah seorang tauwbak wanita, sedang ibu mereka berempat itu ialah serdadu-serdadunya entjie Leng."

Memang, selama Leng In Hong masih menjadi berandal, ibunya Kiam Hong menjadi salah satu pembantunya yang dipercaya, sayang di dalam satu pertempuran, nyonya itu telah terbinasa, maka Kiam Hong dirawat In Hong. dipandang sebagai adik, dididik dalam ilmu silat. Kemudian lagi. ketika In Hong menikah dengan Thian Touw. bukan saja Kiam Hong turut terus, juga beberapa serdadu wanitanya, yang berat berpisah dengannya, hanya kawanan serdadu wanita itu tidak dapat tinggal sama-sama di atas gunung, mereka mendirikan semacam perkampungan di kaki gunung itu. hingga mereka dapat tinggal tetap berkumpul bersama. In Hong memilih empat anak bekas serdadunya, untuk dijadikan kawan bermain Kiam Hong. dan merekalah Tjoen Heng berempat itu.

"Kalau begitu, entjie Leng ialah entjie-mu berbareng gurumu juga," berkata Giok Houw.

"Memang. Aku diajari silat semenjak aku masih kecil, hanya karena beda usia kami tidak ada sepuluh tahun, kami berbahasa kakak dan adik. Mengenai urusan merampas bingkisan ini. Hok Toako tidak setuju, dia melarang entjie Leng. Tapi dia tidak dapat melarang aku, maka itu aku pergi dengan mengajak Tjoen Heng beramai. terpaksa aku membikin mereka mirip budak."

"Sungguh aku tidak menyangka, baru ini pertama kali kau muncul di dalam dunia kangouw. sepak terjangmu sudah mirip dengan seorang yang telah berpengalaman!"

"Jangan kau lupa bahwa aku terlahir di jaman huruharadan hidup di dalam dunia kangouw! Aku menjadi besar di dalam pasukan suka rela!"

"Secara demikian, di antara kita banyak yang mirip satu dengan lain. Sedari masih kecil, aku telah kehilangan kasih sayang orang tuaku. Aku pun menjadi besar dalam dunia kangouw, di jaman huruhara. Perlakuan entjie Sin Tjoe terhadap aku mirip sama perlakuan entjie Leng terhadapmu."

"Tentang asal-usulmu aku telah mengetahuinya dari siang-siang dari entjie Leng," Kiam Hong memberitahukan, "maka juga sebelumnya aku bertemu sama kau, semenjak aku masih kecil sekali, kau sudah jadi seperti sahabatku."

"Sayang untukku, sebelumnya ini, aku tidak tahu apa-apa tentang kau. Cuma ada satu hal yang sama di antara kita. Yaitu ketika pertama kali aku bertemu sama kau, aku merasa aku seperti sudah pemah melihat kau, aku merasa seperti aku pernah kenal padamu. Ya, inilah aneh! Toh ketika pertama kali kita bertemu, kaulah musuhku, tetapi aku telah memandangnya sebagai sahabat!"

"Benarkah itu?" tanya Kiam Hong perlahan.

"Benar." sahutnya, perlahan juga.

Tanpa merasa mereka saling menjabat tangan erat-erat..

Selagi sepasang muda-mudi ini menikmati persahabatan mereka, Thian Touw dan In Hong lagi berselisih. Thian Touw menganggap bahwa urusan telah selesai dan ia mengajak istcrinya pulang ke gunung. Sebaliknya In Hong mengatakan belum, ln Hongjustru mengajak suami itu pergi mencari Tjit Im Kauwtjoe. untuk mendapatkan bingkisan yang dibawa pergi kauwtjoe itu.

"Aku mengira cukup setelah dia dikalahkan itu waktu, aku tidak menyangka bahwa dia mesti dikalahkan menurut keteranganmu ini!..."

"Membantu sahabat harus membantu sampai di akhirnya!" In Hong memotong. "Mana dapat kita berhenti di tengah jalan?"

"Hm!" suami itu bersuara di hidung. "Jikalau kita tidak bersungguh-sungguh hati meyakinkan ilmu silat pedang kita maka seumur hidup kita ini juga, aku kuatir. kita tidak mempunyai pengharapan untuk mengalahkan orang she Kiauw itu!"

"Akan tetapi sedikitnya kita dapat juga mencegah dia terus-terusan •berlaku jahat!" sang isteri masih tidak mau mengalah. "Secara begitu dapat kita mencegah sahabat-sahabat kita dicelakai dia! Bukankah tadi kita telah mencoba padanya? Asal kau tidak takut, umpama kata kita dapat mengalahkan dia, sedikitnya kita akan dapat mempertahankan diri. Berimbang kekuatan kita kedua belah pihak. Secara demikian pun kita menjadi sudah dapat membantu banyak kepada Tj ioe Toako beramai!"

Thian Touw mengangkat kepalanya, memandangi langit. Ia nampak hilang kegembiraannya.

"Aku menyiksa diri mempelajari ilmu pedang, harapanku ialah agar aku berhasil membangun satu partai baru." katanya dingin, "kau sebaliknya menghendaki aku menjadi tukang pukulnya Kimtoo tjeetjoe! Adakah aku berbakat menjadi seorang tukang pukul saja?"

Meluap pula darahnya ln Hong.

"Aku tidak mengerti kau!" katanya. "Kau diundang, diminta membantu, kau sebaliknya memandang dirimu dihina! Inilah aneh! Dengan membantu Tjioe Toako merampas bingkisan untuk kaisar, itu artinya kita membantu tentera rakyat, supaya tentera itu berpakai hangat dan makan kenyang, supaya di utara mereka dapat menjaga serangannya bangsa Tartar dan Boantjioe, dan di Laut Timur melawan gangguan perompak-perompak kate! Apakah dengan menjadi tukang pukul demikian tidak berharga?"

"Aku tidak memikir untuk menjadi seorang enghiong atau hookiat," kata Thian Touw, "maka itu, urusan besar ini untuk membela negara dan menyelamatkan rakyat, jangan kau damaikan denganku."

In Hong tertawa dingin.

"Aku mengerti kau memandang enteng kepada orang-orang yang disebut enghiong atau hookiat di satu jaman." katanya. "Kau sebaliknya hendak menjadi guru besar dari suatu partai, supaya kau dapat dan meninggalkan nama untuk laksaan tahun. Sekarang hendak aku menanya kau, umpama kata kau berhasil berdiam di atas gunung Thiansan tanpa gangguan, akan tetapi di depan matamu kau melihat rakyat di seluruh negara ini menderita siksaan, lalu meskipun kau bisa meyakinkan ilmu pedang hingga kau menjadi kiamsian, atau dewa pedang, apakah artinya itu? Apakah artinya kepandaian dan nama besarmu jikalau kita toh menjadi rakyat taklukan?"

Thian Touw berdiam.

"Pula harus diingat, yang ada di sini ialah semua sahabat kita," berkata pula In Hong, "Guru dari entjie Sin Tjoe, Tayhiap Thio Tan Hong, pernah membantu kau dengan memberi petunjuk berharga kepadamu, dengan petunjuknya itu dalam beberapa tahun ini kau berhasil mendapatkan kemajuan besar. Memang, biar bagaimana, semua itu telah terjadi berkat ketekunanmu. akan tetapi kendati demikian, petunjuk Thio Tayhiap tidak dapat dilenyapkan dengan begitu saja! Sekarang ini dua muridnya Thio Tayhiap ada di sini, apa mungkin kau tega hati tak sudi membantu pada mereka? Apakah kau senang membiarkan mereka dihajar mampus oleh si siluman tua she Kiauw? Kalau benar begitu, sudahlah, tidak usah aku omong banyak kepadamu, hanya hendak aku mengatakan, terang kau telah berbuat tak selayaknya terhadap Thio Tayhiap!"

In Hong mengawasi tajam akan tetapi Thian Touw menyingkir dari sepasang mata isterinya itu.

"Sudahlah, tidak usah kau bicara banyak-banyak," ia bilang. "Kau hendak membantu mereka itu. Baik! Sekarang aku tanya, apakah pada itu ada batasnya? Apakah kau ingin aku terus-terusan mengikuti mereka merantau dalam dunia kangouw? Hingga akhir-akhirnya aku tidak memperoleh apa juga?"

"Setiap orang ada cita-citanya, mana dapat aku memaksanya?" menjawab sang isteri. "Demikianpun aku, aku tidak dapat memaksa kau! Hanyalah aku berpikir, di dalam halnya kita ini, sedikitnya kita harus dapat membantu mereka hingga di akhirnya! Aku artikan, kita harus membantu mereka hingga mereka berhasil merampas semua bingkisan di Utara, sesudah itu baru kita pulang ke Thiansan."

"Aku kuatir, sampai itu waktu, nanti muncul pula urusan lainnya, urusan yang bakal melibat aku!"

Mendengar itu, tiba-tiba In Hong merasakan sesuatu ketawaran, hingga ia menjadi sangat berduka, hingga air mukanya menjadi guram. Ia mengawasi suaminya.

"Oh, Thian Touw." katanya, "kau kiranya menganggap aku sebagai tambang yang melibat kakimu... Kalau demikian, kau boleh legakan hati. Aku hanya meminta untuk ini satu kali saja!"

Thian Touw melengak. Ia lantas mengawasi isteri itu, tangan siapa ia cekal keras.

"In Hong, apakah artinya perkataanmu ini?” tanyanya.

"Tidak ada artinya," sahut isteri itu. "Aku cuma tidak ingin menjadi tambang yang melibat kakimu itu..."

"In Hong" kata suami itu. "kitalah suami isteri yang pernah menderita, kita harus menjadi pasangan yang kekal abadi, bahwa aku menghendaki kau lekas-lekas pulang ke Thiansan, itu melulu karena aku memikir kebaikanmu..."

"Ya, aku mengerti, terima kasih..." sahut In Hong.

"Baiklah, kali ini suka aku mendengar kau!" kata suami itu akhirnya. "Sebentar aku turut kau pergi kepada mereka itu. Bukankah kau senang sekarang?"

"Thian Touw. aku bukan lagi anak kecil, maka tak usahlah kau 'perlakukan aku seperti semasa kita anak-anak. sebentar kau godai aku hingga aku marah, lalu sebentar lagi kau baiki aku. Kali ini kau suka membantu aku. aku sangat bersyukur terhadapmu. Tentang lainnya, baiklah di belakang hari saja kita omongkan pula perlahan-perlahan."

Di mulut Thian Touw mengatakan demikian, di hati ia merasa tidak enak. hatinya kurang tenteram. Ia melihat ketawarannya isteri itu. meskipun sang isteri sangat berterima kasih padanya. Ia menjadi seperti melihat bayangan dari suatu perpisahan...

Berbareng sama pembicaraannya ini sepasang suami isteri. yang menghadapi saat-saat sangat tegang, di lain bagian dari rimba itu juga terjadi pembicaraan di antara sepasang muda-mudi, hanyalah mereka ini berbicara dengan asyik dan gembira. Mereka ini bagaikan burung-burung berbisik atau bunga-bunga menghembuskan baunya yang harum.

Merekalah Liong Kiam Hong dan Thio Giok Houw.

"Ilmu silat Hok Thian Touw." kata si anak muda. "untuk jaman ini, kecuali guruku, tidak ada yang melebihkannya. Sebenarnya, berhubung dengan itu. aku bergirang sekali untuk entjie In Hong. Sayang sekarang ternyata cita-cita mereka berlainan, pandangan mereka berbeda satu dari lain."

Kiam Hong tertawa.

"Toh ada kamu yang menunjang entjie In Hong! Mana berani Thian Touw menghina dia?" kata nona ini.

"Itulah bukan soalnya. Kami juga bukannya menganjurkan bentroknya mereka sebagai suami isteri. Kami cuma ingin memberi sedikit rasa pada Thian Touw, supaya dia jangan terlalu berkepala besar."

Nona Liong tertawa pula.

"Ya. kita memang lagi bergurau." katanya. "Siapa yang menghendaki suami isteri itu bentrok? Kau bermaksud baik. Sungguh bagus jikalau entjie In Hong dapat membangun suatu cabang persilatan baru. Untuk kalangan ilmu silat, itu bagus sekali".

"Demikian juga kita," berkata Giok Houw kemudian, "kalau nanti telah selesai urusan di sini, kita berdua juga baiklah saling melatih diri. untuk mencari tahu bagian-bagian apa yang dapat dipakai untuk memperoleh kemajuan terlebih jauh."

"Memang benar katamu. Hanya semoga kita jangan menjadi seperti mereka itu. Kita mesti betul-betul melatih diri, untuk mendapat kemajuan, jangan diam-diam, kita sebenarnya lagi mengadu kepandaian..."

Baru ia mengucap demikian, nona ini merasa ia telah terlepasan bicara, maka sendirinya mukanya menjadi merah.

Ketika itu Sin Tjoe telah mendengar cukup segala keterangan yang dia kehendaki dari Tie Goan, maka itu sambil tertawa, ia berkata dengan nyaring: "He, kamu dua pasang bocah cilik, pembicaraan kamu telah selesai atau belum?"

Hok Thian Touw dan Leng In Hong muncul dari dalam rimba sebelah kiri, dari sebelah kanan, Thio Giok Houw keluar bersama Liong Kiam Hong. Mereka mendengar suaranya Nona Ie, mereka menyangka lagi digodai, semua merasa likat sendirinya. Di lain pihak, Sin Tjoe sudah lantas melihat wajah orang, maka ia menduga di antara In Hong dan Thian Touw telah terjadi sesuatu, ia menjadi masgul sendirinya. Biar bagaimana In Hong tidak tampak riang gembira, sedang Thian Touw tenang saja. Adalah Kiam Hong dan Giok Houw, yang air mukanya terang.

"Mereka sekarang berada di utara Himnie San, di Tang keepo, ialah rumahnya keluarga Tang!" ia lantas menambahkan. "Tempat itu terpisah dari sini enam atau tujuh puluh lie."

"Bukankah Tang keepo itu tempat kediamannya Toksee Tjioe Tang Bok si Tangan Pasir Beracun?" Giok Houw menegaskan.

"Benar! jawab Sin Tjoe. "Tjit Im Kauwtjoe ialah ahli racun, mungkin Tang Bok ingin belajar daripadanya, maka ia menyambut kauwtjoe itu dengan baik. Hanya aku mau percaya, tidak nanti Tang Bok berani menentang kita. Dari itu. berhubung dengan kepergian kita ini ke sana. lebih dulu kita harus memberi muka kepadanya."

"Jikalau begitu, tidak dapat kita berayal lagi," bilang In Hong. "Entjie, silahkan kau memberikan titah-titahmu."

Sin Tjoe manggut. "Hok Toako, terima kasih untuk bantuan kau ini," ia berkata kepada Thian Touw. "Syukur untuk kita, saudara-saudara dari Kaypang pandai sekali mencari segala sesuatu, maka mengenai Tang keepo. Tie Hiotjoe telah menutur segala apa jelas sekali kepada kita. Seperti aku bilang barusan, pertama kita pergi dengan memakai aturan, jikalau terpaksa baru kita menggunai kekerasan. Lagi satu hal hendak aku jelaskan, jikalau si siluman tua she Kiauvv tidak muncul, aku mengharap Hok Toako tidak usah turut turun tangan."

Mendengar perkataannya Sin Tjoe ini, lega hatinya Thian Touw. la menganggap bantuannya diminta agar supaya ia menjadi "tukang pukul." maka kalau ia bakal dihadapkan kepada Kiauw Pak Beng satu orang, kedudukannya sebagai tukang pukul itu setimpal juga, tidaklah ia terhina. Karena ini, tidak berpikir banyak lagi.

Sementara itu Im Sioe Lan. yang telah mendapatkan pelana, bersama-sama ibunya sudah lantas pulang ke Tang keepo Selama di perjalanan, nona itu berpikir keras. Di satu pihak dia penasaran terhadap Thio Giok Houw, yang tidak sudi menyinta kepadanya, di pihak lain dia berkuatir terhadap keluarga Kiauw. Dia takut Kiauw Siauw Siauw nanti memaksa ingin menikah padanya.

Setibanya di rumah, Tjit Im Kauwtjoe menyambuti pelana dari tangan gadisnya.

"Pelana ini berat sekali, dalamnya tentu ada barang bingkisannya!" katanya.

"Apakah perlunya kita merampas bingkisan?" sang anak tanya

"Kita hendak membangun Tjit Im Kauw. maka bingkisan ini perlu sekali untuk segala biayanya," menyahut Tjit Im Kauw Tjoe. "Kemudian kita dapat membangun sebuah kuil yang besar di dalam mana kita bisa menerima semua anak-anak perempuan yang yatim piatu dan bersengsara."

Memang aneh sifatnya kauwtjoe ini, yang sangat mengandalkan kepada racunnya, maka juga, walaupun dia muncul belum lama. dia lantas terkenal sebagai kaum agama sesat.

"Aku kuatir dengan mendapatkan ini. kemudian kita bakal tidak dapat merasakan ketenteraman," berkata Sioe Lan, yang seperti memperoleh firasat jelek.

"Ya, kau benarjuga!" kata sang ibu, yang mendadak ingat sesuatu. "Kuda yang kita binasakan itu kuda asal Ferghana, mungkin itulah kudanya keluarga Kiauw. Thio Giok Houw tidak usah dibuat kuatir, tidak demikian dengan keluarga itu. sedang baru-baru ini Le Kong Thian telah datang sebagai orang perantara mengajukan lamaran. Memang bisa jadi nanti terbit keruwetan..."

Sioe Lan telah memikir untuk membujuki ibunya membayar pulang pelana itu kepada Giok Houw akan tetapi dia "membenci" pemuda itu, dia menjadi bersangsi, tetapi sekarang, mendengar perkataannya si ibu, dia singkirkan pikirannya itu.

Nyata ibunya jeri kepada keluarga Kiauw.

Tjit Im Kauwtjoe mengawasi anaknya.

"Sioe Lan," katanya, perlahan, "kau baiklah menerima baik lamarannya keluarga Kiauw itu. Mereka, ayah dan anak, kosen sekali, sedang perjodohan itu, aku lihat tidak dapat dicela. Sekarang ini kau sudah berusia delapan belas tahun, dengan menikah siang-siang, tentu dirimu telah ada ketentuannya."

Muka si nona menjadi merah.

"Ibu, terang kau jeri kepada siluman she Kiauw yang tua itu, kau tidak menyayang dan menjual, anak perempuanmu," katanya. "Kenapa kau menyatakan perjodohan itu tidak ada kecelaannya? Bocah she Kiauw itu justeru penggemar si rambut licin dan pipi berpupur, sedang di rumahnya, dia telah mempunyai dua gundik. Laki-laki semacam dia itu benarkah machluk baik-baik?"

"Soal gundik, itulah gampang. Mereka dapat disuruh pergi."

Sioe Lan mendadak menjadi gusar.

"Orang semacam dia, dapatkah diharap dia nanti tidak mengambil pula yang baru?" katanya sengit. "Urusan gundik ada urusan kecil, tak usah itu dikuatirkan, tetapi yang penting ialah, ayah dan anak berdua itu biasa berbuat sewenang-wenang, mereka dasarnya bukan manusia baik-baik! Tidak, ibu. tidak dapat aku menikah sama keluarga itu!"

"Mereka biasa berbuat sewenang-wenang, bukankah itu tidak ada sangkut pautnya dengan kita?" tanya si ibu. "Memang mereka bukannya bangsa koentjoe akan tetapi kita sendiri, orang menyebut kita kaum sesat..."

"Jadi menurut ibu, kita kedua pihak setimpal betul?" kata Sioe Lan tertawa dingin. Ia melampiaskan kemendongkolannya dengan mengejek.

"Sedikitnya ilmu silat mereka itu tak ada tandingannya di kolong langit ini," berkata sang ibu, mengegos.

"Ilmu silat tinggi saja apa artinya?" tanya si anak. "Bukankah dulu hari itu ilmu silat guru ibu tidak jelek? Habis kenapa ibu sering-sering mengutuk dan mencacinya?"

Terperanjat hati Tjit Im Kauwtjoe mendengar suara puterinya ini. Dialah muridnya Tjie Hee Toodjin. Ketika usia mudanya, hampir dia diganggu kehormatan dirinya oleh sang guru. Karena itu. dia menyingkir dari rumah gurunya itu. Kejadian itu membuatnya sakit hati dan mendongkol hingga sepuluh tahun lamanya, karenanya, sering dia mengutuk dan mencaci gurunya itu. Di luar sangkaannya, anaknya ini telah mendapat dengar kutukan dan cacian itu. Dan di luar dugaannya, sekarang anak ini berani menyebutnya itu di hadapannya. Maka menceloslah hatinya, hingga parasnya menjadi pucat pasi.

"Baik. baik!" kalanya nyaring, tetapi suaranya menggetar, "mulai sekarang ini hingga selanjutnya, aku tak akan tahu menahu lagi urusan pernikahanmu!"

Mendadak Sioe Lan menjerit menangis, ia menubruk ke rangkulan ibunya.

"Ibu, aku salah omong..." katanya sambil menangis. "Dasar kita yang malang, kita selalu menjadi penghinaan pihak laki-laki!..."

Ibu itu menjadi sabar pula. ia mengusap-usap rambut anaknya.

"Aku tahu di dalam hatimu sudah ada seorang lain." katanya, perlahan. "Aku pun menginsafi, keluarga Kiauw bukan saja mendesak bahkan memaksa kita. Hanya sayang, sayang sekali, orang lain ada muridnya kaum lurus bersih dan kita. kita tidak mencapai tingkat dia..."

Ibu itu menghendaki anaknya melupai Thio Giok Houvv.

Mendengar perkataannya sang ibu. Sioe Lan menjadi malu dan " menyesal, ia berduka sekali, hingga air matanya lantas mengucur pula dengan deras. Dia menolak tangan ibunya dan berkata dengan keras: "Memang aku tidak setimpal terhadap siapa juga! Untuk seumurku, aku tidak akan menikah!"

"Anak Lan. jangan kau berduka demikian" Tjit Im Kauwtjoe membujuk. "Orang yang menjadi ibu. tidak ada yang tidak memikirkan kebaikan anaknya. Hanya mengenai kita ini. kedudukan ibumu benar-benar sukar. Apakah kau tidak dapat mengerti ibumu? Baiklah, hari ini kita menunda urusan perjodohanmu. Sekarang kau bantulah memikirkan, tindakan apa kita harus ambil untuk menentang keluarga Kiauw itu?"

Pikirannya Sioe Lan kusut sekali, tak tahu ia mesti memikirkan apa. Ia menangis. Lagi sekali ia nelusup di dada ibunya.

"Ibu!" katanya.

Tengah ibu dan anak ini tidak berdaya, seorang bujang datang dengan wartanya bahwa "Si Tuan Le telah datang pula memohon bertemu!"

Tjit Im Kauwtjoe melengak.

"Anak Lan. pergi kau ke kamarmu," ia kata perlahan. "Kau boleh beristirahat. Kau bawa pelana ini dan simpan."

Sioe Lan menurut, ia berlalu bersama pelana rampasannya itu.

Belum lama dari berlalunya nona ini. Kong Thian muncul dengan senjata bonekanya di tangannya, sembari tertawa lebar dia berkata: "Kauwtjoe, aku datang untuk menyampaikan kabar girang!"

Tjit Im Kauwtjoe menyambut dengan terpaksa.

"Kabar girang apakah itu?" tanyanya, sedang hatinya tidak tenteram.

"Aku datang untuk mengantar panjar!" kata Kong Thian. tetap n> aring.

" Tentang itu baiklah, baiklah dibicarakan... perlahan-perlahan..." kata nyonya rumah, yang hatinya sangat kusut, hingga dia menjadi bingung sekali.

"Tentang barang antar panjar itu hendak aku menjelaskan," kata Kong Thian, yang tidak mengambil mumat keberatan orang. "Itulah barang yang di kolong langit ini tidak ada tandingannya! Bahkan seorang tjhiakiong nionio, permaisuri raja, tidak akan menerima pesalin demikian macam!"

"Tetapi kami tidak mengharapi yang terlalu istimewa," kata Tjit Im Kauwtjoe. "Laginya, tunggulah sampai selesainya pembicaraan, baru itu diantarkan, itu waktu masih belum terlambat..."

Akan tetapi Le Kong Thian. si comblang istimewa, tertawa pula lebar-lebar.

"Pesalin itu sudah Kauwtjoe terima!" katanya nyaring. "Kita adalah orang baik-baik. tidak dapat kita main gila! Apakah Kauwtjoe hendak membatalkan perjodohan ini?"

Mendengar itu, Tjit Im Kauwtjoe terkejut.

"Apakah itu?" diaa tanya. Tapi segera ia mendusin. Hendak ia bicara, atau Le Kong Thian sudah mendahului.

"Tadi malam majikan kami yang muda kehilangan seekor kuda tunggang." demikian katanya si manusia raksasa "Tentang kuda yang hilang itu, sekarang telah didapat keterangannya, ialah Kauwtjoe yang mendapatkannya."

"Maafkan aku. kuda itu telah terbinasakan." kata nyonya rumah. "Mulanya aku tidak tahu kuda itu kepunyaan siapa..."

"Kuda itu tidak berarti apa-apa" kata Kong Thian. "Adalah pelananya yang penting! Pelana itu memuat bingkisan dari propinsi-propinsi Utara!"

"Mengenai ini, ingin aku memberi penjelasan," berkata Tjit lm Kauwtjoe. "Datangnya kami ke Utara ini memang dengan niat kami membantui kamu. untuk membantu melindungi bingkisan, maka itu kebetulan sekali, tanpa disengaja, aku mendapatkan bingkisan itu. Tentu sekali tidak berani aku mengangkangi itu. Maka lain hari saja aku sendiri yang akan mengantarkan pulang."

Kauwtjoe ini berlaku terus terang. Ia pun mengharap, dengan memulangi pelana itu, ialah bingkisan tersebut, ia bakal tidak nanti dipaksa menikahkan puterinya kepada keluarga Kiauw. Sebenarnya, berat ia akan menyerahkan harta besar itu...

Le Kong Thian menggoyangi tangan.

"Majikanku telah mengubah pikirannya," kata ia. "Dia bilang, daripada dipersembahkan kepada kaisar, lebih baik dihaturkan kepada besannya. Maka itu, kauwtjoe, begitu kau terima pesalin ini, lantas kau menjadi hartawan besar yang nomor satu di kolong langit ini! Hal yang demikian baik, ke mana lagi hendak dicari? Hanya aku si orang perantaraan, aku ingin omong juga terus terang. Ialah begitu kau menerima ini, kau harus mengirim balasannya. Aturan pergi dan pulang, bukankah?"

Demikian rupa si raksasa ini bicara, hingga sebagai comblang, ia seperti merasa pembicaraan telah matang dan pasti, sebagai juga ia tidak memberikan ketika lagi akan Tjit Im Kauwtjoe menolak.

Kauwtjoe dari Tjit Im Kauw itu menjadi mendongkol berbareng jeri. Dalam sejenak itu saja, pelbagai pikiran telah menyandingi ia. semua itu berubah pergi datang disebabkan ragu-ragunya. lantaran sulit untuknya segera mengambil keputusan. Ia telah pikir: "Jikalau aku terima pesalin ini, itu berarti aku bersanak sama seorang besan jagoan, untuk pihakku, inilah tidak ada jeleknya." Tapi ia pun memikir: "Hanyalah dengan begini, apa aku bukan seperti telah menjual anak darahku? Pula si Lan tidak sudi nikah anaknya itu!"

Oleh karena ia harus memberikan jawabannya, di dalam kesangsianaja itu. kauwijoe ini lantas berkata: "Tuan Le. aku mengucap terima kasih kepadamu sebagai orang perantaraan, hanya sayang kami. si janda sebatangkara dan si anak piatu, kami dari keluarga kecil, kami tidak dapat menyiapkan pesalin. Habis, bagaimana Tuan Le hendak menyuruh aku mengaturnya?"

Le Kong Thian tertawa lebar.

"Majikanku dapat mengantar panjar dengan bingkisan dari lima propinsi Utara, mustahil karenanya dia masih mengharap mendapatkan pesalin luar biasa dari pihak kau?" ia berkata. "Untuk kauwijoe, pesalinmu adalah yang wajar, yang telah siap sedia! Silahkan kauwtjoe membuat salinan dari Pektok Pitpoen dan lantas mengirimkan itu, semua lantas sudah beres!"

"Pektok Pitpoen" itu ialah kitab dari pelbagai macam racun, kitab pusaka Tjit Im Kauw, maka mendengar kata-kata orang itu, Tjit Im Kauwtjoe kata di dalam hatinya: "Kiranya si siluman tua she Kiauw ini mengilar dan mengarah kitab pusakaku itu! Aku tadinya menyangka dia benar-benar bermaksud baik berbesan denganku..."

Le Kong Thian mengawasi orang, yang berdiam sekian lama itu.

"Majikanku lagi menantikan jawaban, bagaimana pikiran kauwtjoe?" ia mendesak.

"Sukalah Tuan Le mengasi ketika untuk aku berbicara dulu dengan anakku," berkata kauwtjoe itu dengan jawabannya. "Dapatkah kau menantikan?"

"Majikanku bakal lekas datang ke mari." kata Kong Thian. "maka itu tidak berani kami membuatnya kauwtjoe menggeser kaki kemala dari kauwtjoe Kita harus berlaku terus terang, jikalau kauwtjoe menghendaki berbicara sendiri sama majikanku itu, nanti aku pergi mengundangnya!"

Kembali inilah desakan dari si raksasa.

Tjit Im Kauwtjoe terperanjat. Ia menjadi bergelisah.

"Tunggu dulu!..." katanya bingung.

Le Kong Thian berlaku tenang, dia tertawa gembira.

"Kamu berdua besan, lambat laun kamu bakal bertemu juga!" katanya pula. "Maka itu daripada lambat lebih baik cepat sedikit!"

"Biar bagaimana, aku mesti juga mendengar pikirannya anakku," kata Tjit Im Kauwtjoe, yang mesti menyabarkan diri. "Inilah urusan untuk seumur hidupnya, kami yang menjadi ayah ibu seharusnya berbicara dulu dengannya..."

Sampai di situ. Kong Thian memperlihatkan wajah tidak puas. Ia tertawa dingin.

"Anakku itu ialah anak semengga-mengganya," berkata Tjit Im Kauwtjoe pula, "di dalam segala hal, tidak mau aku mengambil keputusan yang bertentangan dengan rasa hatinya. Pula anak itu telah aku biasakan sangat menyayanginya. Aku kuatir dia nanti menerbitkan tertawanya Kiauw Toaya!"

Mendengar demikian, Le Kong Thian tidak sampai hati untuk mengejek terus. Akan tetapi ia tetap mendesak.

"Jikalau begitu, baiklah, silahkan minta si nona keluar," katanya. "Sesama kaum kangouw, tak usahlah ia main malu-malu. biar ia bicara terus terang di depan kita."

Oleh karena terdesak sangat, Tjit Im Kauwtjoe pikir: "Setelah urusan maju begini jauh, baiklah aku mendengar pikiran anakku saja. Umpama kata ia tetap menampik, apa boleh buat bencana bagaimana besar juga harus dilawan!" Maka ia lantas menitahkan seorang budaknya perempuan memanggil puterinya itu.

Im Sioe Lan sendiri masuk ke dalam kamarnya untuk lantas menyimpan pelana yang dipandang berharga itu, kemudian ia memikirkan nasibnya sendiri. Ia menjadi sangat berduka. Setelah mengunci pintu, ia menangis sedih.

"Lebih baik aku minggat, supaya ibu tidak menjadi bersusah hati," pikirnya kemudian. Akan tetapi kapan ia ingat kecintaan ibunya terhadapnya, ia merasa berat, ia menjadi bersangsi. Dengan ibunya itu ia saling mengandal, ia berat untuk berpisahan. Ia pun ragu-ragu untuk merantau seorang diri. Ia ingat halnya ibunya mempunyai banyak musuh, jikalau ia keluar sendirian dan ada yang mengenali, ia bisa diganggu.

Kacau pikirannya nona ini. Justeru ia lagi bingung itu, tiba-tiba telinganya mendengar ketukan tiga kali pada daun jendela. Suara itu perlahan tetapi ia mendengar.

"Siapa?" ia tanya.

"Aku..." demikian suara jawaban, yang halus tetapi terang.

Sioe Lan ragu-ragu. Suara itu ia rada kenal tetapi lupa. Tapi ia tidak dapat bersangsi terus, maka ia membukai pintu.

Orang di luar itu, seorang wanita, lantas bertindak masuk. Gesit gerakannya. Setibanya di dalam, ia terus menutup pintu.

"Nona Im tentunya masih mengenal aku?" kata dia bersenyum.

Sioe Lan tercengang, air mukanya berubah, la mengenali le Sin Tjoe, soetjie atau kakak seperguruan dari Thio Giok Houw. Ia mau lantas menghunus golok di pinggangnya atau ia melihat nyonya muda itu menjatuhkan diri duduk di kursi di depannya, sikapnya tenang, air mukanya ramai.

"Kebetulan kau berada sendirian dalam kamarmu ini. Nona Im," berkata Sanhoa Liehiap, si nona Penyebar Bunga. "Aku memang ingin bicara berdua saja."

Sioe Lan masuki pula goloknya, yang ia sudah cabut separuh. Wanita di depannya itu tidak menunjuki sikap bermusuh, bahkan sebaliknya manis budi.

"Kau ingin bicara apa padaku?" ia tanya, dingin

Sin Tjoe tidak menjawab, hanya ia balik menanya

"Le Kong Thian ada di luar rumah ini, tahukah kau?" demikian tanyanya.

Air mukanya nona ini berubah-ubah. Ia mendongkol berbareng malu dan berduka. Ia memegang erat-erat gagang goloknya.

"Biarpun kepandaianku rendah, tidak dapat orang perhina aku!" katanya. "Nona le, adakah datangmu ini untuk mengejek aku?"

"Nona Im, jangan kau pikir yang tidak-tidak." kata Sin Tjoe. "Aku justeru datang untuk membantu kau."

"Kau hendak membantu aku?" berkata Sioe Lan, tertawa dingin, "Aku yang telah mengganggu pihakmu? Bukankah kami telah merampas bingkisan yang diarah olehmu? Kau tidak membenci aku, sebaliknya kau hendak membantu? Hm! Hm! Jikalau kau hendak turun tangan, nah, kau bunuhlah aku! Untuk apa kau bicara manis begini?"

Sin Tjoe tertawa.

"Urusan yang kau sebutkan itu, semua itulah sudah berlalu!" katanya. "Lagi pula aku telah mengetahui jelas, semua itu adalah gara-garanya pihak she Kiauw itu, yang mencoba menggunai ibumu selaku alat. Maka, untuk apa aku membencimu? Aku justeru tidak menghendaki kau menjadi kurban, maka sekarang aku datang untuk membantu kau. Seandainya kau tidak percaya aku, terserahlah!"

Sioe Lan menatap matanya nyonya muda di depannya itu, ia merasa sinar mata orang halus dan pemurah, maka itu, ia lantas mengambil tempat duduknya. Ia tidak lagi bersikap kaku atau bengis seperti tadi. Hanya tidak dapat ia segera mengubah suaranya.

"Baiklah," katanya, nadanya masih rada bermusuh, "baiklah aku anggap kau bukanlah lawanku, aku mau percaya kau tidak membenci aku. Toh aku tetap musuhmu, habis apa perlunya kau hendak membantui aku?"

Nyonya Yap Seng Lim tertawa pula.

"Aku tidak menganggap kau sebagai musuhku!" katanya ramah. "Sebaliknya, aku ingin menjadi sahabatmu."

Sioe Lan tertawa dingin.

"Kamu dari bangsa sejati!" katanya. "Kamu pendekar-pendekar wanita yang kenamaan! Kamu memandang mata pada kami kaum sesat? Sudah, jangan kau mendustakan aku! Kau toh datang untuk pelana, bukan?"

"Aku datang pertama-tama untuk dirimu sendiri, baru untuk pelana itu."

Sioe Lan tertawa pula dingin.

Ia seperti mau mengatakan: "Tepat dugaanku!"

Sin Tjoe tidak mengambil mumat sindiran itu.

"Adik kecil, jadinya kau pun menginsafi perbedaan antara si sejati dan si sesat?" katanya manis. "Cobalah kau bilang, apa itu yang sejati, yang benar? Dan apa itu yang sesat?"

Sebenarnya juga, belum pernah Sioe Lan memahamkan perbedaan antara yang sejati dan yang sesat itu, maka ditanya demikian rupa, ia melengak.

"Kamu yang dinamakan kaum benar, kamulah kaum sejati." sahutnya kemudian.

Sin Tjoe tertawa.

"Baiklah kau mengerti, perbedaan di antara sejati dan sesat itu tidak dapat dilihat dari diri orang," ia berkata, "bukan dari asal-usulnya, hanya dari perbuatannya, dari sepak terjangnya! Siapa yang melakukan apa-apa yang ada faedahnya untuk chalayak ramai, dialah orang kaum benar, kaum sejati. Siapa yang merusak atau mencelakai umum, dialah kaum sesat. Umpama urusan merampas bingkisan pelbagai propinsi ini. Kami merampas itu buat guna tentara rakyat, yang membutuhkan makanan dan pakaian, supaya mereka dapat melawan penyerangan bangsa Tartar dan perampok, supaya bangsa asing dan perampok itu tidak dapat mengilas-ilas sawah ladang rakyat jelata, agar mereka tidak merampas jiwanya rakyat negeri. Jadi inilah tindakan untuk kebaikan umum. Tidak demikian dengan keluarga Kiauw itu. Pihak Kiauw merampas bingkisan untuk dibawa ke kota raja supaya dengan begitu dia dapat mengangkat namanya di empat penjuru laut. maksudnya guna menindih kaum Rimba Persilatan sejati. Sepak terjangnya itu ada baiknya untuk raja, ada pentingnya untuk mereka sendiri, sebaliknya untuk rakyat, mereka tidak berarti! Nah. di sinilah beda yang tedas dari apa yang sejati, apa yang benar, daripada yang sesat. Mengertikah kau sekarang?"

Seumurnya, Im Sioe Lan belum pernah mendengar orang bicara begini rupa terhadapnya. Maka itu ia lantas saja duduk menjublak, pikirannya menjadi kacau.

"Maka itu, benar atau sesat, orang lihatlah perbuatannya sendiri!" Sin rjoe berkata pula. matanya mengawasi nona itu. "Sekarang pikirlah tentang pelana itu: Kau suka menyerahkannya itu pada kami, pada pihak Kiauw atau kaum sendiri yang menghendakinya?"

"Aku tidak mentemahai itu tetapi juga pasti aku tidak akan menyerahkannya pada pihak Kiauw!" menjawab Sioe Lan.

"Orang yang mempedayakan kau ialah si siluman tua she Kiauw itu, bukannya kami, mengertikah kau?" tanya Sin Tjoe perlahan.

Nona Im menjadi sangat bersusah hati. lantas saja ia menangis.

Sin Tjoe menghampirkan. ia mengusap-usap rambut orang

"Marilah kau turut pihakku," bujuknya. "Dengan pergi pada pihak kami, kau tidak usah takut lagi terhadap mereka itu."

Sioe Lan mengangkat kepalanya. "Tidak, aku tidak mau pergi pada pihakmu." katanya. "Baiklah, pelana itu aku serahkan pada kau. Kau tidak usah memperdulikan pula padaku. Aku telah mengambil ketetapan untuk pergi merantau seorang diri!"

Nona ini malu kepada Giok Houw, yang memperlakukan ia dengan dingin. Sebenarnya ia ketarik akan kata-katanya Sin Tjoe itu.

Untuk sejenak Nyonya Yap heran, atau segera ia sadar.

"Baiklah." katanya kemudian. "Baiklah kalau untuk sementara waktu kau berpisah dari ibumu, supaya dia pun menjadi tidak terlalu sulit." Ia mengeluarkan sehelai bendera kecil dan menyerahkan pada nona itu. "Inilah bendera lengkie dari Kimtoo Tjeetjoe. setiap orang kaum sesat di dunia kangouw yang melihat ini akan memandangmu sebagai sahabat. Kau simpanlah baik-baik."

Sioe Lan lantas mempercayai nyonya muda ini, ia menerima baik bendera itu. Ia lantas ingat yang ia pernah melukakan anaknya Kimtoo Tjeetjoe, ia menjadi menyesal, lantas ia mengucurkan air mata.

Ketika itu di luar, Le Kong Thian telah mengunjuki kemurkaannya. Sekian lama ia menantikan, ia tidak mendapatkan Nona Im muncul.

"Aku tidak cukup bermuka terang untuk mengundang keluar puterimu!" katanya dingin, saking mendongkol.

"Baiklah, aku nanti minta majikanku sendiri yang datang ke mari. untuk kamu berbicara berduaan!"

Habis berkata, raksasa ini memperdengarkan suitan panjang.

Tjit Im Kauwtjoe kaget berbareng mendongkol. Tidak sempat ia mencegah tindakan comblang ini. Ia mendongkol karena orang mendesak demikian rupa. Dan ia kaget sebab ia ketahui baik sekali, apabila pihak Kiauw ayah dan anak sampai datang padanya, bagaimana ia harus melayani mereka itu? Ia tidak menyangka, dalam kedudukan sebagai budak, Kong Thian menggunai pengaruh majikannya begitu macam. Bukankah ia, biar bagaimana juga ada kauwtjoe, seorang ketua agama?

Panjang siulannya Kong Thian, baru suara itu berhenti lalu terganti suara tertawa yang nyaring, yang datangnya dari pojok taman.

Tjit Im Kauwtjoe mendongkol hingga ia bermuram durja.

Kong Thian agaknya heran. Katanya: "Kenapa datangnya begini cepat?" Ia pikir, umpama kata majikannya berada di gunung di dekat situ, datangnya tidak nanti secepat itu. Hanya sejenak, lantas ia menjadi kaget. Sekarang ia dapat membedakan suara tertawa itu. Tapi sekarang ia kaget pun sudah kasip. Orang yang tertawa itu sudah lantas muncul. Ia melengak kapan ia mengenali, Hok Thian Touw suami isteri dan mereka itu dikawani Thio Giok Houw serta

Liong Kiam Hong. Sedang suara tertawa itu nyata dikeluarkan oleh Giok Houw.

Tjit Im Kauwtjoe heran akan tetapi ia bernapas lega. Ia lantas mengerti, karena orang kedua pihak telah datang, urusan pasti bakal menjadi hebat, sulit untuk mengurusnya- Ia heran mengapa orang datang dengan demikian merdeka seperti juga taman keluarga Tang tidak ada orangnya. Bukankah Tang Bok bukan sembarang orang dan murid-muridnya serta orangnya tidak sedikit jumlahnya? Kenapa empat orang ini dapat datang langsung tanpa terpergok atau terintang?

Melihat datangnya Kiam Hong dan Giok Houw, Le Kong Thian merasa heran, hatinya tidak berpikir banyak. Adalah kemudian, tatkala ia menampak Hok Thian Touw suami isteri, yang muncul belakangan, baru hatinya goncang. Inilah ia tidak sangka sama sekali.

Tidak pernah Kong Thian menerka bahwa Sin Tjoe dan rombongannya Thian Touw ini telah bersepakat dan bekerja sama bahwa Thian Touw dan kawan-kawannya tidak bakal muncul apabila Kiauw Pak Beng tidak memperlihatkan diri.

"Syukur kalau aku dapat memperlambat waktu." kemudian Kong Thian pikir. Ia tahu liehaynya Thian Touw dan ia jeri. "Asal majikanku datang, aku tidak usah takuti apa juga..."

Thio Giok Houw menghampirkan dengan tindakan lebar dan tertawa bergelak.

"Le Kong Thian, kau pun ada di sini?" dia tanya. "Bukankah kau datang untuk minta pelana?"

Kong Thian dapat menenangkan dirinya. Ia mengangkat kedua tangannya untuk memberi hormat.

"Di dalam tempo beberapa bulan telah tiga kali kita bertemu, sungguh kita berjodoh!" katanya. "Kau bicara tentang pelana-pelana apakah itu?"

Raksasa ini mulai dengan siasatnya, untuk mengulur tempo.

"Fui!" Giok Houw mengasi dengar suaranya, lalu terus ia tertawa mengejek. Ia kata: "Benar! Memang kita sangat berjodoh! Nah. mari, mari! Mari kita bertempur pula!"

Kong Thian berlaku tenang.

"Kamu baru sampai, kamu beristirahatlah dulu!" katanya tertawa lebar.

"Marilah kita mengurus pekerjaan kita," berkata In Hong, menyelak. "Sebentar kita bertaruh dengannya!" Lantas ia mengeluarkan sebuah kotak kehormatan, yang mana ia haturkan kepada Tjit Im Kauwtjoe seraya ia berkata: "Dengan memandang mukanya Kimtoo Tjeetjoe, kami minta Kauwtjoe sukalah membayar pulang itu pelana!"

Kedua matanya nyonya rumah menyapu dari kiri ke kanan, mulai dari mukanya ln Hong berhenti sampai pada Giok Houw. atas mana bocah tanggung itu mengangkat kedua tangannya, dirangkap, untuk memberi hormat seraya berkata: "Kemarin aku berbuat salah, aku mohon Kauwtjoe tidak buat kecil hati."

Tjit Im Kauwtjoe tidak berani lantas menerima kotak kehormatan itu. Ia menjadi bingung sekali. Orang telah memakai aturan kaum kangouw. membuat kunjungan kehormatan atas nama Kimtoo Tjeetjoe. menghaturkan maaf seraya meminta pelana...

"Hm! Hm!" Le Kong Thian mengasi dengar ejekannya melihat sikapnya In Hong dan Giok Houw itu. "Kami datang untuk meminta sesuatu dengan sikapmu yang keras ini, benar-benar di mata kamu sudah tidak ada orang lainnya lagi! Kauwtjoe, jangan takuti mereka, pasti sekali kami tidak dapat membiarkan kau terhinakan!"

Sengaja Kong Thian mengatakan demikian walaupun ia ketahui orang datang dengan hormat dan Kimtoo Tjeetjoe telah berlaku merendah dan mentaati aturan kangouw. la tetap mengulur tempo sambil berbareng mencoba memancing kemarahannya Tjit Im Kauwtjoe.

Nyonya itu mengerti duduknya hal tetapi ia masih terpengaruh oleh ketangguhannya si siluman tua she Kiauw dan anaknya, karena mana tetap ia terbenam dalam kesangsian.

Giok Houw menjadi habis sabar.

"Baiklah", serunya. "Mari aku membuat perhitungan lebih dulu denganmu!" Ia menikam dengan golok Biantoo kepada raksasa she Le itu. Ia menggunai tikaman "Si kuda tunggang mendadak melonjak."

Liong Kiam Hong berdiam semenjak tadi tetapi tangannya sudah menghunus pedangnya, pedang Tjengkong kiam, maka melihat kawannya menyerang, ia segera maju menyerang pula, untuk bertempur bersama mengepung musuh yang tangguh itu.

Le Kong Thian menggeraki tangannya, untuk dengan tokkak tongdjin. bonekanya, menangkis serangan kedua muda-mudi itu. Mulanya ia menyampok golok Biantoo. hingga senjata mereka beradu keras, suaranya nyaring, lelatu apinya muncrat ke empat penjuru. Tangkisan itu membuatnya si anak muda mundur tiga tindak.

Adalah itu waktu, pedangnya Kiam Hong bekerja.

Giok Houw bukannya kalah, ia maju pula, ia merangsak dengan mainkan goloknya bersatu padu dengan pedang si nona.

Kong Thian liehay dan bonekanya hebat akan tetapi segera juga dia kena didesak hingga lantas dia berada di bawah angin.

Giok Houw kalah tenaga tetapi ia bernyali besar, ia tidak takut si raksasa bertenaga luar biasa itu, jikalau perlu, ia berani melawan keras dengan keras. Ia telah mempunyakan latihan yang tujuh bagian sudah menyampaikan puncaknya kemahiran. Maka itu, dengan si nona sangat lincah, nona itu dapat mempergunakan kelincahannya untuk mendesak dengan licin. Hanya sayang, dia kalah tenaga terlalu jauh, tempo Kong Thian menggunai kekerasan, dia kena terdesak mundur tiga tindak.

"Bocah cilik, kamu main mengepung" membentak Kong Thian, yang mendongkol bukan kepalang. "Baiklah, mari kita main keroyok-keroyokan!"

Kata-katanya si raksasa yang belakangan ini ditujukan kepada Tjit Im Kauwtjoe, yang ia pancing kemarahannya, supaya kauwtjoe itu turun tangan. Ia percaya, kalau pihak Tjit Im Kauw membantu padanya, sedikitnya pertempuran itu menjadi berimbang hingga berhasillah siasatnya mengulur tempo, untuk menanti munculnya Kiauw Pak Beng ayah dan anak. Ia percaya Tjit Im Kauwtjoe dan orang-orangnya bisa melibat Hok Thian Touw dan Leng In Hong...

Akan tetapi raksasa ini tidak mencapai maksudnya yang licik itu. Di luar dugaannya, Tjit Im Kauwtjoe tidak turun tangan. Kauwtjoe itu tidak turun tangan sendiri, orangnya juga tidak dititahkan maju untuk mengepung. Ia hanya berdiri menonton...

"Kauwtjoe," berkata In Hong. "haraplah kau terima kotak kehormatan kami ini. habis itu kita boleh membuat pembicaraan."

"Sabar dulu" menyahut Tjit Im Kauwtjoe.

Tepat sama suaranya nyonya rumah itu, satu benda datang menyamber. tidak perduli In Hong liehay, kotak di tangannya kena tersamber hingga terdengarlah suara yang nyaring, menyusul mana sebuah besi thielian tjie jatuh ke tanah!

Nyonya Hok Thian Touw terkesiap hatinya, karena ia ketahui baik siapa yang datang, yang kedatangannya didului dengan serangan gelap itu.

Benar, lantas juga terdengar suara nyaring dari Kiauw Pak Beng: "Kauwtjoe, sukalah kau menanti sebentar, hendak aku mengusir dulu ini beberapa bocah dari tingkatan muda! Sebentar nanti kita memasang omong! Siauw Siauw. lekas kau memberi hormat pada peebo-mu!" Kata-kata ini lantas disusul sama tertawa terbahak-bahak dan kata-kata susulannya: "Hok Thian Touw. kau tidak pulang ke Thiansan, kau kiranya masih mau usilan di sini!"

Thian Touw heran dan tergempur nyalinya. Ia melihatnya Kiauw Pak Beng telah dapat berjalan dan agaknya orang menjadi sehat sekali. Tapi ia ingat akan janjinya terhadap isterinya, ia tidak mau mundur. Ia kata: "Baiklah kita memegang kata-kata kita! Silahkan lootjianpwee pulang dulu ke Koenloen San. nanti kami pun tidak suka usilan lagi!"

Pak Beng tertawa dingin.

"Thian Touw, kau tidak kenal salatan!" katanya. "Maka hari ini aku si tua tidak dapat berlaku sungkan-sungkan lagi terhadapmu! Baiklah, mari aku menyaksikan pula ilmu pedang Siangkiam happek dari kamu suami isteri!"

Jago tua ini segera menggeraki kaki kirinya, yang masih pincang, karena kaki itu belum sembuh seluruhnya. Dengan tongkat besinya ia menekan pada tanah, maka majulah tubuhnya, setelah mana ia mulai dengan serangannya. "Naga naik ke langit." Sasarannya ialah pusar dari Hok Thian Touw.

Thian Touw menghalau serangan itu, atas mana In Hong lompat ke sampingnya, dengan begitu berdua mereka menjadi berdiri bersama menghadapi lawan yang tangguh itu, pedang mereka berkilauan, suara anginnya menderu-deru. suara bentrokannya nyaring dan berisik, sebab mereka berani membentur tongkatnya jago tua itu.

Kiauw Pak Beng memainkan tongkatnya hebat sekali, ia mendesak mundur sepasang suami isteri itu sampai empat atau lima tindak. Tetapi mereka hanya mundur seketika, lalu mereka maju secara teratur, sebagaimana mundurnya pun tidak kalut. Bahkan mereka berhasil mendesak si orang she Kiauw juga mundur dua tiga tindak.

Dengan begitu mereka kedua pihak bergantian saling merangsak. hingga sebentar saja mereka telah menghabiskan belasan jurus.

Kiauw Siauw Siauw mengawasi pertempuran itu, lantas hatinya menjadi tenang. Ia percaya pihaknyalah yang bakal menang. Maka ia mentaati titah ayahnya. Sambil mengipas-ngipas, ia bertindak perlahan menghampirkan nyonya rumah, untuk mengunjuk hormatnya.

"Sudah lama sekali siauwtit memikir untuk datang berkunjung, hari ini barulah maksudku itu terwujud," katanya dengan manis, "hal ini membikin siauwtit sangat bersyukur. Ayahku mengutus kuasa kami, Le Koanke, untuk menyampaikan maksud hati kami, maka itu sekarang siauwtit memohon petunjuk dari peebo. petunjuk yang akan membuatnya siauwtit merasa beruntung sekali."

Tjit Im Kauwtjoe lantas berkesan baik terhadap ini anak muda. yang romannya tampan, yang sikapnya hormat dan gerak-geriknya halus omongannya pun rapi. Lantas ia berpikir: "Thio Giok Houw itu benar murid kaum sejati dan usianya sepantar dengan anakku, tetapi sayang dia jumawa dan terhadap anakku juga dia tidak meny inta, maka itu baiklah aku mengikat tali persanakan dengan keluarga Kiauw ini." Akan tetapi kapan ia ingat si tua bangka she Kiauw yang aneh gerak¬geriknya, yang telengas, hatinya mundur pula. Ia pun ingat yang Sioe Lan telah bersumpah tak sudi menikah dengan si pemuda she Kiauw. Akhirnya ia menjadi ragu-ragu.

"Jangan menggunai banyak adat peradaban, hiantit," ia berkata. "Koankee-mu telah dua kali datang berkunjung ke mari, aku sendiri belum membalasnya, aku malu, aku malu sekali. Hiantit. silahkan duduk!"

Siauw Siauw tidak puas mendapatkan nyonya itu tidak mau menimbulkan soal, lantas ia tidak mau berlaku sungkan lagi.

"Apakah adik Sioe Lan ada di rumah?" ia bertanya. "Bolehtah siauwtit menemui dia?"

Sejak tadi Tjit Im Kauwtjoe sudah menitahkan budaknya memanggil puterinya itu. sampai sekian lama sangputeri belumjuga muncul. Karena terjadinya pertempuran itu. ia seperti lupa hal puterinya itu, tetapi sekarang perkataannya si pemuda membuatnya bagaikan sadar.

"Aneh! Kenapa dia belum juga keluar?" pikirnya. "Tua bangka she Kiauw ini aneh dan telengas tetapi anaknya ini agaknya beda daripada dia. benar anak ini telah memelihara dua gundik, tetapi itulah bukannya soal besar. Bukankan aku pun dipanggil kaum kangouw sebagai kaum sesat, karenanya, apa mungkin Sioe Lan akan menikah sama bangsa sejati, bangsa budiman? Maka baiklah aku menyuruh dia keluar akan menemui pemuda ini, akan melihatnya, mungkin setelah itu. pikirannya akan berubah." Karena ini ia lekas menyahuti pemuda itu, katanya: "Tunggulah sebentar, hiantit!" Ia pun menitahkan seorang muridnya: "Pergi kau panggil Sioe Lan keluar! Sekalian suruh ia membawa pelana bersama!"

Mendengar perkataan nyonya itu, senang hatinya Siauw Siauw.

"Andaikata pernikahan gagal, pelana itu toh aku akan dapat kembali," demikian ia pikir.

Lewat lagi sekian lama, Sioe Lan tetap belum keluar juga.

Siauw Siauw turun ke tangga lorak, dari situ ia melihat pertempuran di antara dua rombongan berjalan seru di kedua paseban. Thian Touw dan In Hong hebat sekali permainan pedangnya, gerakannya lincah dan tepat, sepasang pedang mereka bagaikan bianglala. Di depan mereka, Kiauw Pak Beng juga Iiehay luar biasa, tongkat besinya bergerak-gerak bagaikan siluman ular atau naga berbisa, anginnya selalu menghembus-hembus keras. Liehay pedangnya suami isteri itu tetapi mereka tidak sanggup menembus "bentengan" tongkat itu, yang sebaliknya saban-sabanjuga menerjang dahsyat sekali.

Di lain rombongan, Kong Thian pula tetap dikepung berdua muda-mudi, Thio Giok Houw dan Liong Kiam Hong. Seperti In Hong dan Thian Touw. pasangan muda ini dapat mempersatukan golok dan pedang mereka dengan begitu mereka menjadi sanggup melayani boneka besar dan berat dari si manusia raksasa. Juga inilah pertempuran mereka yang ketiga kalinya, maka itu. perpaduan muda-mudi itu menjadi terlebih-lebih tepat, sebab mereka bagaikan sudah terlatih cukup.

Le Kong Thian kuat dan gagah, tetapi ia repot melayani kedua lawannya ini. Di dalam pertempuran yang pertama kali, ia bisa berkelahi sampai tiga ratus jurus, baru ia kena dikalahkan, akan tetapi kali ini. belum sampai seratus jurus, ia sudah merasakan sulit, maka juga bonekanya bagaikan dililit pedang dan golok.

Giok Houw seperti biasa berani keras melawan keras, tidak demikian dengan Kiam Hong, yang menggunai kelincahannya, menyingkir dari bahaya berbareng mengancam musuh, ia mendesak hingga ia bagaikan berada di sekitar raksasa itu.

Kiauw Siauw Siauw mengawasi Kong Thian, si koankee atau pengurus rumah tangganya di dalam tempo yang pendek, ia mendapatkan orangnya itu sudah tujuh atau delapan kali menghadapi ancaman, hingga ia menjadi berpikir: "Ayahku dapat menandingi suami isteri Thian Touw. tidak demikian dengan Kong Thian. Perlu aku bantu dia. "

Pemuda ini berpikir demikian berbareng dengan keinginannya untuk mempertontonkan kepandaiannya di hadapan Jjit Im Kauwtjoe. si calon mentua. Ia lantas merapihkan pakaiannya, ia terus menutup rapat kipasnya.

"Kawanan manusia ini mengganggu rumah orang, mereka sangat tidak tahu aturan!" katanya bersenyum. "Peebo, biarlah siauwtit bekuk mereka untuk peebo nanti yang menghukumnya sekalian ini dapat dipakai bingkisan kehormatanku yang hari ini siauwtit telah menjenguk peebo."

Begitu lekas ia berhenti bicara, Siauw Siauw lompat ke arah rombongannya Kong Thian, tanpa membilang apa-apa, ia menyerang Thio Giok Houw. Itulah si pemuda yang ia benci, kepada siapa ia hendak melampiaskan kebenciannya. Kemarin ini ketika ia dibekuk Thian Touw, di saat dilakukan penukaran orang tawanan, Giok Houw telah menotok padanya, hingga ia menderita dan malu. Maka sekarang iatidak mengenal kasihan lagi. tak sudi ia main pandang-pandang, lantas ia menurunkan tangan telengas, menotok jalan darah tjietong hiat di punggung pemuda itu.

Giok Houw melihat datangnya serangan, sembari memutar tangannya ia menangkis ke belakang dengan jurusnya "Koaybong hoansin." atau "Siluman ular naga berjumpalitan." Jurus ini tidak cuma menangkis tetapi pun berbareng membabat lengan lawan.

Kiauw Siauw Siauw seperti telah menduga musuh bakal membela diri sambil menyerang itu, ia tidak melanjuti serangannya hanya sebaliknya ia menyambuti babatan itu. Ia menotok golok si anak muda sambil ia berseru: "Kena!" Setelah itu, ujung kipasnya meluncur pula terus ke punggung!

Hebat ancaman itu untuk Giok Houw. Dengan kena ditotok kipas, goloknya kena terintangkan, dan dengan goloknya terhalau, punggungnya kembali menghadapi ancaman bencana!

Di dalam saat ia sangat terancam ini. Giok Houw memperoleh pertolongan dari Kiam Hong yang gesit dan matanya tajam. Nona ini menyaksikan musuh mendapat bantuan, bahkan pemuda she Kiauw itu yang liehay, ia waspada. Demikian, ketika Giok Houw dibokong dan ujung kipas Siauw Siauw mengancam itu, ia meninggalkan Kong Thian. ia lompat kepada anaknya Kiauw Pak Beng, untuk menikam pempilingannya. Dengan begitu ia bukan menolongi kawan dengan menangkis hanya dengan menyerang. Di waktu ia meninggalkan Kong Thian. ia mengibas dengan tangan bajunya hingga mata si raksasa manusia bagaikan kelilipan.

Kiauw Siauw Siauw mengarah tjietong hiat Giok Houw, jalan darah yang berbahaya itu. sedang begitu, ia juga terancam bagian anggauta tubuhnya yang tak kurang berbahayanya ia menjadi terperanjat. Meneruskan menikam Giok Houw berarti ia manda ditusuk pempilingannya itu, maka itu, mungkin ia berhasil, mungkin juga ia sendiri bercelaka... Ia menyayangi jiwanya, ia mesti mengambil putusan. Demikian, batal totokannya, ia menggunai kipasnya menangkis pedang si nona hingga ia bebas dari kematian atau luka parah.

Giok Houw bebas tetapi ia tidak berhenti bergerak, justeru itu Kong Thian maju untuk mengejar Nona Liong, ia lantas pegat musuh ini, untuk dirintangi. Ia menangkis bonekanya koankee keluarga Kiauw itu sambil ia mengeluh di dalam hatinya: "Sungguh berbahaya!"

Segera setelah itu, rombongan ini juga memperlihatkan perubahan. Dengan Kong Thian dibantu Siauw Siauw, tuan mudanya ia tidak lagi terjatuh di bawah angin, bahkan berdua mereka lantas menjadi lebih unggul. Mereka berdua kuat dan liehay masing-masing, mereka dapat mengimbangi Kiam Hong dan Giok Houw. Untung bagi si pemuda she Thio. ilmu silatnya banyak ragamnya ia dapat menggunai itu akan mempertahankan diri. Maka juga meski ia dan Kiam Hong kalah unggul, mereka tidak bisa lantas dikalahkan. Mereka melawan dua musuh tetapi tetap mereka bisa menggunai ilmu silat mereka yang bersatu padu.

Tjit Im Kauwtjoe menyaksikan pertempuran itu. Ia merasa kagum untuk keliehayan Siauw Siauw, akan tetapi di samping itu, herannya bersusun tindih. Sioe Lan, puterinya tetap tidak kunjung tiba! Dari heran, ia menjadi bercuriga hingga timbul niatannya untuk masuk sendiri ke dalam, untuk melihat anaknya itu. Kenapakah si anak dara?

Hampir nyonya jago ini bertindak masuk atau matanya melihat munculnya seorang muridnya hanya dia itu bukannya murid yang tadi dititahkan memanggil anaknya.

"Apakah kau melihat Sioe Lan?" ia mendahulukan menegur.

"Aku tidak melihat soetjie." menyahut murid itu. "Aku datang atas namanya Tang Toaya..."

Kembali Tjit Im Kauwtjoe menjadi heran. Ia meminjam tempatnya Tang Bok, musuh telah tiba, Tang Bok sendiri tidak muncul, atau sekarang muridnya membawa warta tentang Tang Bok itu.

"Apakah katanya?" ia tanya muridnya itu.

"Tang Toaya memberitahu bahwa ia tidak berani mendapat salah dari Keluarga Kiauw berbareng juga tidak mau mendapat salah dari Kimtoo Tjeetjoe. maka itu ia telah pergi meninggalkan rumahnya. Untuk itu ia mohon Kauwtjoe memaafkannya."

"Hm, dia sungguh licik!" kata kauwtjoe itu. mendongkol, la mengatakan demikian sedang sebenarnya ia sendiri pun ingin sangat lolos dari kesulitannya ini, ia hanya tidak memperoleh ketika atau jalannya. Ia menjadi semakin kusut pikirannya kapan ia menyaksikan keunggulan di pihak Kiauw itu, yang lagi melayani musuh dengan hebat.

Selagi bertempur itu dengan perlahan-perlahan Kiauw Siauw Siauw mempergunakan ilmu totok dengan kipasnya, yaitu Tiatsie Sinkang, dengan itu ia membuat Giok Houw kelabakan. melihat mana. ia merasa puas sekali. Begitulah ia tertawa dan berkata kepada lawannya: "Bangsat cilik, kau lihat apakah kau masih sanggup lolos dari telapakan tanganku!"

Tepat pemuda she Kiauw ini mengeluarkan ejekan atau kata-katanya yang jumawa itu, di sana terdengar jeritan tertahan dari Tjit Im Kauwtjoe. Sebab tengah dia bingung itu, nyonya ini mendadak melihat munculnya Ie Sin Tjoe. yang muncul dari dalam rumah, dengan di pundaknya nyonya muda itu tergemblok Im Sioe Lan, puterinya dan puterinya itu terpanggul terkulai, tak ada tanda-tandanya bahwa ia melakukan perlawanan, hingga dia menjadi heran sekali dan menduga-duga apa yang Sin Tjoe telah perbuat pada anaknya itu. Di lain pihak, Sin Tjoe, yang sebelah tangannya menenteng pelana dengan tangannya yang lain sudah menghamburkan tujuh batang kimhoa atau bunga emasnya dalam tipu silatnya "Thianlie Sanhoa" atau "Bidadari menyebar bunga."

Serangan senjata rahasia itu diarahkan kepada Kiauw Pak Beng, ketika kimhoa hampir mengenakan sasaran, dengan sendirinya ke tujuh senjata itu bentrok satu dengan lain hingga menerbitkan suara nyaring, lantas semuanya mencar sendirinya, mengarah ke tujuh tempat sasaran. Ialah yang tiga mencari jalan darah soankie. tionghoe dan lengkioe di dada yang empat lainnya menuju ke empat jalan darah lengthay, tjieyang, bengboen dan yangkwan di punggung. Jadi serangan menuju menggencat ke depan dan belakang.

Di dalam kalangan kaum sesat, atau di antara kawanan hantu. Kiauw Pak Beng menjadi jago yang nomor satu. di dalam keadaan biasa dia pasti tidak menghiraukan senjata rahasianya Nona Ie, akan tetapi sekarang keadaan lain. Sekarang ia lagi memusatkan perhatiannya kepada Hok Thian Touw dan Leng In Hong, ilmu pedang siapa yang bersatu padu, tengah mempersulit padanya walaupun latihannya sepasang suami isteri itu belum menyampaikan puncaknya kemahiran. Tidak berani ia lengah, atau ia bakal mendapat susah dan nama baiknya bakal tercemar. Ia pun tidak berani menangkis atau berkelit, maka dengan sangat terpaksa, ia menutup dirinya, ialah tubuhnya. Maka ketika semua bunga emas mengenai sasarannya, ia tidak terluka, ia tidak bergeming! Semua kimhoa seperti mengenai kulit kerbau yang tebal, kenanya dengan menerbitkan suara nyaring berulang-ulang, lantas semuanya meluruk jatuh ke tanah!

Sin Tjoe kaget menyaksikan kegagalannya bunga emasnya itu. ia menyangka Kiauw Pak Beng mempunyai ilmu kebal yang luar biasa, dari itu tanpa ayal lagi ia melanjutkan larinya, untuk menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Ia kabur dengan terus menggendong Im Sioe Lan.

Tjit Im Kauwtjoe kaget dan menjublak sebentar, lantas dia menjerit tajam sekali, lantas dia berlompal lari, untuk mengejar Nyonya Yap Seng Lim, guna menolongi puterinya itu.

Kiauw Siauw Siauw tengah berkelahi tetapi ia pun mendapat lihat Sin Tjoe dan Sioe Lan, ia telah menyaksikan serangannya Nona Ie kepada ayahnya, tetapi yang menyadarkan padanya ialah jeritannya calon mentuanya disebabkan kaburnya Sin Tjoe itu. Tentu sekali, ia menjadi tak tenang hatinya. Bukankah dua-dua Sioe Lan dan pelana itu menjadi tujuannya datang kepada Tjit Im Kauwtjoe? Ia lantas mendesak Giok Houw dan Kiam Hong, ketika si anak muda mundur, ia lompat mundur, untuk memutar tubuh, guna terus menyusul Sin Tjoe.

Dalam ilmu ringan tubuh atau lari keras, Sin Tjoe menang satu tingkat daripada Kiauw Siauw Siauw dan Kiauw Pak Beng, benar sekarang ia lagi menggendong Im Sioe Lan, tubuh si nona Im tidak menjadikan halangan untuknya untuk berlari pesat dan cepat. Ia pun memperoleh keuntungan dari kaburnya Tang Bok dan orang-orangnya, maka menyingkirnya itu tidak ada yang menghalang-halangi. Begitu lekas ia tiba di luar, ia lantas lompat naik atas kudanya, yang sudah menantikan padanya. Lalu, dari punggung binatang tunggangannya itu, ia berpaling sambil tertawa dan berkata manis: "Kauwtjoe, maafkan aku untuk perbuatanku yang tidak memakai aturan ini, yang aku lakukan saking terpaksa! Aku minta biarlah puterimu ini menemani aku barang serintasan!"

Tjit Im Kauwtjoe putus asa

"Tinggallah anakku!" serunya. "Pergi kau bawa pelana itu!" Ia rela kehilangan pelana asal anaknya tidak dibawa pergi.

"Pelana pun tidak dapat dia bawa pergi!" teriak Kiauw Siauw Siauw sebaliknya. Ia lari kepada seekor kuda, ia lompat naik, terus ia mengepraknya, untuk mengaburkan binatang itu, guna mengubar.

Menampak demikian, Tjit Im Kauwtjoe juga lompat naik atas seekor kuda lain, untuk turut mengejar.

Pelana di tangan Sin Tjoe itu bukan sembarang pelana. Timbangannya itu berat sekali. Ialah seratus kati lebih. Sebab di dalam pelana itu ada tersembunyikan bingkisan lima propinsi Barat daya. Maka, ditambah pula tubuhnya Im Sioe Lan, Sin Tjoe-atau lebih benar kudanya --- mesti membawa timbangan seberat tiga ratus kati. Karena ini, walaupun kuda itu kuda jempolan, dia merasakan bebannya yang tidak enteng itu.

Demikian, setelah belasan lie, Kiauw Siauw Siauw dapat menyandak. Anaknya Kiauw Pak Beng ini murka hingga ia tidak pikir-pikir lagi. Ia menuding dengan kipasnya, jari tangannya menggeraki pesawat rahasianya, maka dua di antara tulang-tulang kipas lantas terbuka, dari situ menyamber panah rahasianya yang ukurannya pendek.

Tjit Im Kauwtjoe seperti mendampingi Siauw Siauw, ia melihat perbuatannya si anak muda, ia kaget dan berteriak: "Jangan melepaskan senjata rahasia! Si Lan berada di punggung kuda!"

Kiauw Siauw Siauw tidak memperdulikan cegahannya itu. Dua panah pendeknya telah menyamber, segera itu disusul dengan dua batang yang lainnya. Adalah keinginan pemuda ini untuk memanah mampus kepada Sin Tjoe!

Sin Tjoe bukan melainkan pandai melepaskan bunga emasnya, ia juga telah melatih diri dalam hal menangkap pelbagai senjata rahasia, dari itu, ia bagaikan mempunyai mata di belakangnya. Ia tahu ia diserang dengan senjata rahasia, ia memutar sebelah tangannya ke belakang, ia menyambuti dua batang panah pendek yang pertama, ketika menyusul dua yang lain, ia menyampok itu hingga jatuh ke tanah. Nyaring suara beradunya panah itu.

Sementara itu, kedua kuda telah datang dekat satu pada lain, tinggal hanya dua tiga tombak. Sin Tjoe berpaling ke belakang, ia tertawa terbahak, lalu ia berkata nyaring: "Manusia mati karena harta, burung mampus karena makanan! Kau menghendaki pelana kuda, nah inilah, aku berikan padamu!" Kata-kata ini disusul dengan lamparan pelana yang berat seratus kati itu kepada si pengejar!

Kiauw Siauw Siauw pun tertawa.

"Apakah kau mengira aku tidak dapat menyambuti?" katanya jumawa. Ia baru mau mengulur tangannya atau iaterkejut bukan main. Berbareng bersama pelana itu terlihat suatu sinar berkelebat, sinar kuning emas.

Panah pendek dari si anak muda seperti memancing bunga emasnya Sin Tjoe. Sembari melemparkan pelana, nyonya muda itu berbareng menyerang dengan senjata rahasianya, untuk membalas budi. Sama sekali ia melepaskan tiga biji kimhoa.

Pelana itu besar dan matanya Kiauw Siauw Siauw terutama ditujukan terhadap itu. ia tidak mengira si nona juga berlaku cerdik, maka kagetlah ia ketika matanya bentrok sama sinar kuning emas dari ketiga bunga emas itu. akan tetapi dasar ia liehay dan nyalinya besar, ia tidak menjadi gugup. Dengan satu kelitan. ia membebaskan diri dari kimhoa yang pertama, sedang yang kedua ia pukul jatuh dengan kipasnya. Hanyalah kimhoa yang ketiga luar biasa. Ketika kimhoa ini hendak disampokpula, mendadak tujuannya berubah, bukan langsung mengarah si anak muda, hanya turun ke bawah dan "Bias!" nancaplah dia di perut kuda!

Binatang itu kaget tetapi tidak dapat berlompat, sebaliknya ke empat kakinya lantas menjadi lemas, ke empat kaki itu tertekuk, membawa tubuhnya roboh.

Siauw Siauw kaget bukan main, tetapi ia tetap tabah, maka itu, belum lagi ia turut roboh, ia mengenjot diri, untuk berlompat pergi dari punggung kuda. Saking liehaynya. ia bukan lompat ke lain tempat hanya ke arah ke mana pelana dilemparkan si nyonya muda tadi!

Le Sin Tjoe dapat melihat aksi orang itu. ia tertawa lebar, tubuhnya mencelat dari kudanya, berlompat ke arah pelanajuga.

Menampak si nyonya datang padanya, Siauw Siauw tidak sempat lagi menjumput pelana itu, ia memutar tubuhnya, guna memegat nyonya muda itu. untuk menyerang padanya.

Kuda putih dari Sin Tjoe telah berlari terus. Dengan tidak adanya pelana dan tubuh Nona Ie. binatang itu dapat berlari keras. Yang ada sekarang ialah Sioe Lan, yang tergemblok di punggungnya itu. yang dia bawa kabur.

Tjit Im Kauwtjoe kaget dan bergelisah, cemas hatinya. Agaknya sembarang waktu tubuh Sioe Lan bisa terlempar jatuh! Ia juga cemas sebab ia tidak mengerti kenapa puterinya itu berdiam saja. Adakah anak itu terluka?

Kauwtjoe ini melirik pada Siauw Siauw, yang lagi melayani Sin Tjoe berkelahi, di dalam hatinya ia berkata: "Kau tidak memperdulikan Sioe Lan lagi aku juga tidak perlu memperdulikan padamu!" Tentu sekali ia menganggap puterinya lebih berharga dari pelana, maka walaupun ia dapat memungut pelana itu, ia toh meninggalkannya, ia melarikan kudanya guna menyusul anaknya itu.

Tjit Im Kauwtjoe tidak menduga sama sekali yang ia telah dipermainkan Sin Tjoe dan Sioe Lan, puterinya itu Mereka ini telah bersepakat dan memainkan semacam sandiwara. Ialah Sioe Lan berpura-pura ditawan Sin Tjoe hingga ia menjadi tidak berdaya. Dengan begitu ia jadi dapat dibawa lari Nyonya Yap. Dengan begitu juga, ibu itu kenadiabui dan dipancing, sebab dalam kekuatirannya, si ibu tidak sempat menggunai otaknya, dia cuma cemas, dia tidak menyangka jelek. Demikian dia melainkan ingat anaknya itu dan lalu mengejarnya

Perginya si nyonya menyusul anaknya, itulah harapannya Sin Tjoe. la menjadi kurang satu musuh, ia menjadi dapat melayani Siauw Siauw dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya Coba Tjit Im Kauwtjoe membantu anak muda she Kiauw ini. pastilah ia repot dan pelananya bakal terbang.

Bertempur satu sama satu, pertempuran menjadi ramai dan jenaka. Sin Tjoe kalah liehay tetapi ia menang gesit. Perhatiannya Siauw Siauw terpecah dua Ia tetap mengarah pelana yang berharga itu. Dua tiga kali ia berlompat untuk meninggalkan lawannya guna menyamber pelana, saban-saban Sin Tjoe merintangi. Sin Tjoe lebih beruntung, di samping kegesitannya itu. dalam ilmu pedang, ia lebih pandai dari si anak muda Kiauw Siauw Siauw cuma menang latihan, tenaganya lebih besar dan ulat dan ia pun kalah dalam halnya senjata rahasia meskipun panah pendeknya yang disembunyikan di dalam kipas, liehay sekali.

Tiga puluh jurus sudah mereka berkelahi. Siauw Siauw kalah di bawah angin, hingga dia menjadi bergelisah. Tidak dapat ia bertempur dalam keadaan tak selayaknya itu, bisa-bisa ia benar-benar nanti kena dikalahkan. Maka itu. di akhirnya ia mengasi dengar siulannya yang nyaring dan lama, untuk meminta bantuan ayahnya

"Biarnya.kau menjadi hantu juga tidak ada gunanya!" Sin Tjoe tertawa menggoda, serangannya terus diperhebat

Dalam gelisahnya itu, Siauw Siauw menjadi kalah hati, maka ia kena terdesak, sampai ia kelabakan. Ia telah berpikir keras: "Kenapa ayah masih belum muncul juga? Kenapa ayah tidak memberikan jawaban?"

Pemuda ini ulet dan besar tenaganya di dalam hal tenaga dalam, ia masih kalah daripada ayahnya. Benar ia dapat bersuara nyaring tetapi suara itu belum dapat mencapai tarap, sedang juga ketika ia mengeluarkan itu, tenaga dalamnya tak dapat terkumpul sempurna disebabkan Sin Tjoe tengah mendesak padanya Pula ada sebab lainnya kenapa Kiauw Pak Beng tidak muncul...

Siulan Siauw Siauw tidak menyebabkan datangnya ayahnya, sebaliknya, yang muncul ialah beberapa pengemis dari pihak Kaypang. Dari lereng gunung segera juga terdengar nyanyian lagu keistimewaan bangsa pengemis, yaitu "Lian Hoa Lok," atau "Daun Teratai Rontok."

"Sekuntum, setangkai bunga teratai

Satu iblis cilik berteriak-teriak!

Menampak harta sukar didapatkan,

Pantaslah kalau dia mendongkol!

Ayo, ayo, aku menasihati.

Baiklah kau pulang ke rumah ibumu..."

Demikian nyanyian itu, yang berbau ejekan.

Ketika itu terlihat tiga pengemis lagi menghampirkan. yang satu tua, yang dua muda Segera ternyata, yang tua itu ialah Tie Goan. hoepangtjoe atau ketua muda dari Kaypang, Partai Pengemis dari Pahkhia, dan yang lainnya murid-muridnya atau anggauta biasa dari Kaypang. Mereka ini muncul menuruti rencananya Sin Tjoe. Lebih dulu daripada itu, Tie Goan telah di kirim ke rumahnya Tang Bok. untuk membujuki Toksee Tjiang Tang Bok jangan kasih dirinya terbawa-bawa dalam urusan perampasan bingkisan itu.

Tie Goan dan dua kawannya itu bertindak langsung menghampirkan pelana, untuk terus diangkat dan dibawa pergi. Masih saja mereka bersikap tenang sekali.

Siauw Siauw menyaksikan pelana itu dibawa pergi tanpa rintangan. Ia hendak merintanginya tetapi ia dihalang-halangi Sin Tjoe, yang tidak dapat ia pukul mundur. Kalau ia mendesak, si nyonya mundur, atau sebaliknya, ialah yang dirabuh. Bahkan karena hatinya panas, mendongkol dan masgul, perhatiannya menjadi terpecah, satu kali, pedangnya Nyonya Yap menggores lengannya, yang terus bercucuran darah. Syukur luka itu tidak mengenai tulang sebab ia keburu berkelit. Sampai di situ. ia penasaran tetapi berbareng putus asa, terpaksa ia memutar tubuh, untuk lari kabur.

Sin Tjoe tidak mengejar, ia membiarkan orang pergi, lalu bersama Tie Goan beramai, ia membawa pergi pelana yang menjadi barang rebutan itu.

Kiauw Pak Beng mendengar siulannya Siauw Siauw tetapi ia tidak sempat pergi menghampirkan anaknya itu. Ia telah terkena tujuh bunga emasnya Sin Tjoe. benar ia tidak terluka, tetapi sebab ia melawan serangan itu. ia membuatnya tenaga dalamnya menjadi berkurang. Sudah begitu, ia mesti melayani hebat Thian Touw dan In Hong, ia menjadi repot, dari menang di atas angin, ia menjadi kalah unggul.

Di lain rombongan. Le Kong Thian telah kena didesak Giok Houw dan Kiam Hong. Kong Thian mengharapi bantuannya Tjit Im Kauwtjoe, harapan itu ludas. Siauw Siauw meninggalkan ia dan Pak Beng tidak dapat membantui. Semua anggauta Tjit Im Kauw pula. dengan kaburnya Tjit Im Kauwtjoe, lantas pada menyingkirkan diri, sebab mereka telah dikisiki Sioe Lan untuk jangan membantui pihak Kiauw itu.

Dalam pertempuran itu. Giok Houw dan Kiam Hong dapat bekerja sama secara erat sekali, maka juga, mereka dapat mendesak lawannya, tidak perduli bonekanya si manusia raksasa hebat sekali, mereka dapat menimpali. Giok Houw bersedia keras melawan keras. Maka di akhirnya, dari dapat menyerang, Kong Thian menjadi repot menangkis atau berkelit saja.

Kiauw Pak Beng segera melihat salatan. Suasana menjadi memburuk untuk pihaknya. Mendadak ia berseru dan tubuhnya mencelat, dengan menempuh bahaya, ia menyerang hebat sekali.

In Hong melawan, ia menyerang. Thian Touw pun beraksi, menimpali isterinya membalas menyerang. Kesudahannya ini hebat. Tidak saja Pak Beng gagal dengan serangannya yang dahsyat itu, bahkan dengkulnya dimampiri ujung pedangnya Thian Touw. Syukur untuknya, Thian Touw jeri, si anak muda menyerang setengah hati. kalau tidak pastilah lukanya parah.

"Sayang!" berseru In Hong. Ia berlompat, untuk mengulangi serangannya, akan tetapi Pak Beng sempat berlompat keluar dari kalangan, hingga ia menyerang sasaran kosong.

Tapi jago tua itu bukannya lari. Dia mencelat pula ke arah Le Kong Thian, untuk menyerang hebat kepada Kiam Hong dan Giok Houw. Inilah penyerangan yang serupa yang digunakan terhadap In Hong dan Thian Touw barusan.

Kiam Hong mengerti ancaman bahaya, ia lantas berkelit. Tidak demikian dengan Giok Houw. Pemuda itu tidak sempat berkelit, terpaksa ia menangkis. Maka bentroklah senjata mereka. Hebat Giok Houw merasakan, hati dan isi perutnya kena tergempur bagaikan terbalik. Tapi syukur ia mengerti ilmu yoga dan ia ingat untuk menggunai, maka berbareng ia berlompat jumpalitan, setelah mana dengan ilmu yoga juga ia lekas-lekas memperbaiki saluran napasnya hingga ia menjadi bebas dari luka di dalam.

Selagi Pak Beng memukul mundur Kiam Hong dan Giok Houw, In Hong dan Thian Touw lompat menyusul, karena mereka tiba di depan Le Kong Thian, mereka menyerang si manusia raksasa. Kong Thian dapat menangkis pedang si nyonya muda, ia tidak lolos dari pedang Thian Touw, maka tertikamlah jalan darah yangleng hiat di betisnya, hingga lantas saja kaki kanannya menjadi kaku.

Pak Beng mau menolongi Kong Thian, sekarang ia melihat hambanya itu justeru terluka, ia menjadi bingung berbareng gusar sekali. Ketika itu, In Hong telah maju kepadanya terus menyerang. Ia menangkis, sembari menangkis, ia mendekati Kong Thian, siapa, dengan tangan kirinya ia tepuk jalan darahnya, jalan darah djiekhie hiat di punggung. Sambil menangkis musuh, ia bentak hambanya itu: "Makhluk tak berguna, pergilah kau mabur lebih dulu!"

Begitu ditepuk, Kong Thian merasakan kaki kanannya dapat digeraki pula seperti biasa, maka legalah hatinya, kepada majikannya itu. ia sangat bersyukur. Ia mentaati titah, lantas saja ia lari kabur.

Giok Houw baru menyalurkan napasnya, ia tidak dapat memegal. Kiam Hong sendirian juga jeri merintangi, dari itu, loloslah si manusia raksasa ini.

Kiauw Pak Beng menolongi orangnya, habis itu ia juga hendak mengangkat kaki, hanya lacur untuknya, ia tidak bisa mewujudkan niat itu. In Hong dan Thian Touw telah lantas menyerang pula, bahkan Giok Houw, sesudah beristirahat sebentar, lantas maju, untuk mengepung. Tentu sekali, begitu ia ini maju. Liong Kiam _ Hong turut maju juga.

Maka kesudahannya, repotlah jago tua itu. Sekarang ia dikepung berempat!

Kiauw Pak Beng lantas berpikir: "Jikalau aku tidak berlaku nekat, mungkinlah perahu bakal karam di dalam solokan!" Maka ia lantas berteriak keras, tubuhnya dikasih maju. tongkat besinya dikasih bekerja, menyerang ke timur dan barat, merabuh ke selatan dan utara.

Kiam Hong kalah tenaga, hampir saja ia terdesak hingga sukar bernapas, maka syukur ia mahir ilmunya enteng tubuh, ia menggunai itu untuk senantiasa meloloskan diri, akan sebaliknya, setiap ada ketikanya, ia juga membalas menyerang jago tua itu.

Di antara mereka berempat, Hok Thian Touw yang paling kuat dan pandai, tetapi ia telah terpengaruhkan kegagahannya jago she Kiauw itu, hatinya jeri, hingga ia tidak dapat melayani musuh dengan hati sama mantapnya.

Tidak demikian adalah Giok Houw. yang berani sekali.

"Bangsat tua ini sudah tidak berdaya, jangan takuti dia!" demikian ia berteriak, dan dengan berani ia mendesak.

Leng In Hong juga bertempur dengan berani, hanya seperti Liong Kiam Hong, ia pun berbareng menggunai kelincahannya untuk dapat menyingkir dari kegarangannya si jago tua.

Tengah pertarungan seru itu, dari kejauhan terdengar siulan dari Kiauw Siauw Siauw. Pak Beng mendengar itu. tidak berani ia menyahuti. Kalau ia menyambut, perhatiannya menjadi terpecah, pemusatannya menjadi kabur, dan ia bisa dapat susah dari ke empat pengepungnya ini. Ia menjadi bingung dan berkuatir. Karena ini. ia menjadi nekat. Ia mengertak gigi, ia menahan hawa amarahnya hingga mendadak mukanya menjadi berubah, pada parasnya yang merah nampak samar-samar cahaya hitam!

Melihat itu, Thian Touw lantas menyerukan kawan-kawannya: "Hati-hati!" Hanyalah, belum berhenti pemberian ingatnya itu. atau Kiauw Pak Beng sudah berseru keras sekali sambil menyerang dengan tongkat besinya!

Thian Touw yang memberi peringatan tetapi ia sendiri yang menjadi kurban. Tongkat lawan itu menyerang kepadanya, hingga ia mesti menangkis. Akibatnya itu ialah suaranya nyaring dan pedangnya terpatah dua, ujung patahannya mental jatuh!

Justeru itu Leng In Hong bukannya mundur hanya menyerang, tepat selagi Kiauw Pak Beng menghajar pedang Thian Touw. tepat ujung pedangnya mampir di pinggang jago tua itu, di jalan darah wietoo hiat.

Thian Touw patah pedangnya, ia tidak berani maju pula, ketika ini tidak disia-siakan lawannya yang tangguh itu. Kiauw Pak Beng lantas lompat, untuk kabur ke arah dari mana tadi datang siulannya Siauw Siauw.

Leng In Hong semua tidak mengejar, sedang Thian Touw lantas mengeluarkan Thiansan soatlian, ialah teratai salju dari gunung Thiansan, yang ia pecah empat untuk dibagi rata di antara mereka, buat mereka itu terus memakannya.

"Sungguh berbahaya!" kemudian katanya sambil menyusuti peluhnya.

Giok Houw merasakan seluruh tubuhnya dingin luar biasa, habis makan teratai salju itu. ia merasai lega seperti biasa pula. Ia heran bukan main.

"Ilmu apa itu yang si bangsat tua gunakan?" ia tanya Thian Touw.

"Itulah ilmu Sioelo Imsat Kang yang Kiauw Pak Beng memperolehnya dari kitab Lama Agama Putih," menyahut si orang she Hok. "Syukur dia meyakininya belum sempurna, kalau tidak, tadi, dalam satu gebrakan saja. sukar kita melawan dia."

Baru sekarang Giok Houw mengerti. Memang dari Hek Pek Moko ia pemah mendengar tentang ilmu itu. semacam ilmu sesat yang liehay sekali, yang asalnya dari India, dari sana terbawa ke Thibet. setelah dipahami seorang Lama Putih, lalu menjadi sempurna, dapat melukai orang hingga orang mati dalam sekejab. Nama "Sioelo Imsat Kang" itu diambil dari kata-kata sioelo, salinan kata-kata asura bahasa Sangsekerta yang berarti "hantu jahat." Tidak disangka sekali, Kiauw Pak Beng telah mempelajari ilmu liehay itu, dan pantas tadi, setiap mengibas, kibasannya mendatangkan angin dingin yang beda daripada biasanya.

"Singkatnya ialah kau mengangkat musuh dan merendahkan pihak sendiri!" berkata In Hong sambil tertawa. "Memang Sioelo Imsat Kang itu liehay tetapi itu paling gampang merusak tenaga wajar dari tubuh sendiri, selagi Kiauw Pak Beng belum menyampaikan kesempurnaannya, dia tidak dapat menggunai itu dengan baik. Kita terkena sampokan anginnya, paling juga kita mendapat sakit berat, tetapi dia telah kena kutikam jalan darahnya wie-too-hiat, kalau tadi kau berani mengadu jiwa, kau hajar terus dia dengan pukulan Taylek Kimkong Tjioe, andaikata dia tidak mati lantas, sedikitnya dia bakal termusna semua kepandaiannya!"

Thian Touw menggeleng kepala dan tertawa.

"Isteriku yang baik, kau bicara enak saja!" katanya "Bagaimana kau hendak membiarkan aku sakit berat? Aku bukannya pengecut tetapi aku harus menjaga diriku baik-baik untuk aku menciptakan ilmu silat pedang Thiansan Kiamhoat!"

In Hong berniat menggoda suaminya itu, tetapi sebab Kiauw Pak Beng sudah kabur, ia dapat mengubah .pikirannya, mendengar perkataan si suami, ia kata di dalam hatinya: "Apakah kau mengira aku tidak menyintai padamu? Jikalau kau bisa membikin musnah ilmu silatnya Kiauw Pak Beng. biarnya kau rebah dengan sakit berat, pasti aku akan mendampingi dan merawatmu dengan sungguh-sungguh hati..." Ia tidak mengucapkan itu akan tetapi, dengan matanya yang menyinta, ia memandang suaminya..

Thian Touw puas, ia tertawa pula.

"Akhir-akhirnya keluarga Kiauw ayah dan anak itu dapat kita usir kabur! Sekarang, apa lagi kau hendak bilang?" ia tanya isterinya.

In Hong dapat membade hatinya Thian Touw. ialah ia mau diajak pulang ke Thiansan. Ia pun tertawa

"Kenapa kau terburu napsu?" sahutnya. "Untuk pulang juga kita harus menemui dulu entjie Sin Tjoe!"

Ketika itu Sin Tjoe sendiri bergirang luar biasa. Sehabisnya ia memukul mundur pada Kiauw Siiauw Siauw, ia mendapat ketika memegang pelana kuda, yang ia rasakan berat, maka mengertilah ia bahwa di dalam pelana itu tersimpannya harta besar. Ia lantas mengajak Tie Goan semua kembali ke rumah keluarga Tang. Karena ini. di tengah jalan mereka bertemu sama rombongannya In Hong, yang pergi menyusul padanya.

Giok Houw girang tidak kepalang melihat Nona Ie memegangi pelana, hingga ia berjingkrakan. Ia lari memapaki. Atas itu, Nyonya Yap Seng Lim melemparkan pelana itu kepadanya.

"Siauw Houw Tjoe, kau dapat menyelesaikan tugasmu!" kata si nyonya muda tertawa, yang terus memandang Hok Thian Touw dan berkata: "Hok Toako, hari ini kami telah menerima bantuanmu yang besar dan berharga. Mari kita bersama pergi kepada Kimtoo Tjeetjoe untuk berjamu!"

Sepasang alisnya Thian Touw mengkerut. hendak ia menampik, tetapi In Hong telah mendahulukannya.

"Tentang jasa kami tidak berani menerimanya!" berkata si nyonya, tertawa, "tetapi pesta tak dapat kami tidak menghadirinya! Katanya, isteri dari Kimtoo Tjeetjoe ialah sahabat kekal dari soebo-mu. dia itu wanita gagah di jaman ini, dengan dia aku belum berkenalan, maka sekarang aku ingin menemuinya Baiklah, mari kita pergi bersama!"

Thian Touw boleh tidak puas tetapi isterinya telah mengatakan demikian, ia tidak bisa berbuat lain daripada mengikut pergi, hanya ia telah memikir, sehabisnya pesta itu. In Hong mesti turut ia pulang ke Thiansan!

Kimtoo Tjeetjoe Tjioe San Bin sudah lantas menerima laporan perihal pertempuran rombongan Sin Tjoe itu serta kembalinya mereka, ia memerintahkan mementang pintu perkubuan, ia sendiri keluar untuk menyambut.

Sin Tjoe dan Giok Houw memberi hormat sebagai orang-orang tingkat muda. Kata mereka: "Mana berani kami membuatnya paman yang menyambut sendiri?"

San Bin tertawa dan menyahuti: "Aku bukannya menyambut kamu, kedua keponakanku, aku menyambut mereka yang berjasa, yang telah dapat merampas bingkisan! Sayang guru kamu tidak hadir di sini. kalau ia ketahui jasa kamu ini, entah bagaimana girangnya dia!"

Sin Tjoe bersenyum.

"Aku bersama Siauw Houw Tjoe cuma tukang ikut lari-larian saja!" ia berkata. "Orang-orang yang berjasa yang merampas bingkisan ialah Hok Toako bersama entjie Leng!"

San Bin lantas menyambut Thian Touw, yang memangnya ia telah kenal. Ia memuji suami isteri itu. ia menghaturkan terima kasih.

Hanya luar biasa adalah Thian Touw, dia bersikap tawar, dia tidak gembira untuk berbicara banyak.

"Oh, Nona Ie sudah datang!" tiba-tiba terdengar suaranya seorang wanita sambil tertawa. "Ah. makin lama kau menjadi makin manis! Kenapa soebo-mu tidak turut datang?"

Kata-kata itu disusul sama munculnya orangnya, ialah Nona Tjio Tjoei Hong atau Nyonya Tjioe San Bin. Dia lantas mendekati Sin Tjoe, untuk menarik tangan orang, untuk ditanya panjang pendek, menandakan bagaimana girangnya dia

Sin Tjoe lantas mengajar kenal Tjoei Hong kepada Leng In Hong dan Liong Kiam Hong.

"Memang, telah lama aku mendengar nama besar dari Nona Leng!" kata Nyonya Tjioe yang terus bergembira. "Kamu, nona-nona, sungguh kamu hebat! Lebih-lebih aku girang, kamu hidup rukun bagaikan saudara satu dengan lain! Kamu telah datang kemari, maka kamu harus tinggal lamaan pada kami di sini!"

"Guruku pun sering sekali menyebut-nyebut loodjinkee!" Sin Tjoe tertawa. Sebagai gantinya "kau," ia menyebut loodjinkee. atau orang tua yang dihormati. "Bukankah loodjinkee dan guruku hidup seperti saudarajuga?"

Tjoei Hong tertawa.

"Bahkan bukan sebagai saudara saja!" katanya. "Dialah suamiku yang pertama!"

Sin Tjoe semua tertawa. Memang mereka telah ketahui lelakonnya Nyonya Tjioe San Bin ini di saat mudanya, dia telah menikah sama In Loei, isterinya Thio Tan Hong, karena ketika itu In Loei, atau gurunya Sin Tjoe, tengah menyamar sebagai seorang pemuda.3>

Nyonya Tjioe tidak menjadi likat, malah dia berkata pula: "Sampai sekarang aku masih dapat membayangi saatnya aku dan gurumu minum arak pengantin! Tanpa terasa dua puluh tahun telah berlalu! Kau memanggil aku loodjinkee, mendengar itu, hatiku rasanya tak enak! Sungguh, jalannya sang waktu cepat sekali, tahu-tahu kamu semua telah menjadi besar!"

"Peebo, siapa membilang kau sudah lanjut usiamu?" berkata Sin Tjoe. "Peebo masih sama cantiknya seperti di saat kau menjadi nona pengantin!"

"Hai. setan cilik, bisa sekali kau bicara!" kata si nyonya tertawa. "Apakah kau pernah melihat saatku menjadi kemantin itu? Ketika itu kau masih menyusu!"

"Aku tidak melihat tetapi aku mendengar cerita guruku." sahut Sin Tjoe. "Guruku pun membilang, sayang ia bukannya pria. jikalau tidak, tidak nanti ia suka menyerahkan kau kepada Paman Tjioe!"

Lagi-lagi Tjoei Hong tertawa, maka ramailah mereka bergurau.

Ketika itu mereka telah tiba di Tjiegie thia. ruang besar peranti berkumpul. Di sana sudah berada semua kawan orang gagah. Mereka menyambut dengan riang gembira dan hangat, karena mereka telah mendengar bagaimana Hok Thian Touw sudah mengalahkan keluarga Kiauw ayah dan anak.

"Sekarang marilah kita periksa apakah yang tersimpan di dalam pelana ini," kemudian San Bin berkata. "Benarkah itu bingkisan untuk kota raja?"

Sin Tjoe sudah lantas menghunus pedangnya dengan sekali bacok ia membuatnya pelana terbelah pecah, maka silaulah mata para hadirin. Isinya itu ada barang-barang permata mulia, yang setiapnya berharga mahal.

San Bin lantas mengundang para hadirin berduduk.

"Semua bingkisan pelbagai propinsi telah dirampas, maka itu sekarang lebih dulu aku hendak menghaturkan terima kasihku kepada semua saudara" ia berkata. "Sukalah saudara-saudara mengeringkan masing-masing tiga cawan!"

Dan ia yang mulai mnghirup araknya.

"Di dalam halnya perampasan ini." ia melanjuti, "terutama aku hendak menghaturkan terima kasih kepada tiga orang gagah yang berjasa, ialah pertama Thio Giok Houw, kedua Nona Leng In Hong dan ketiga Nona Liong Kiam Hong. Jasa merekalah yang paling besar. Akan tetapi istimewa aku hendak menghaturkan terima kasih ialah kepada Hok Tayhiap!"

Semua orang minum, semua bersorak.

Lalu Thianloei Kiam In Bwee Kok, orang yang mengumpuli barang-barang bingkisan rampasan itu, berkata: "Jumlah semua barang yang dirampas terdiri dari kepunyaannya dua puluh dua propinsi berikut bingkisan dari Mongolia dan Hweekiang. Menurut perincian, tujuh bagian ada rampasannya Thio Giok Houw. tujuh bagian lagi rampasannya Nona Liong Kiam Hong: Mungkin saudara-saudara belum melihat bingkisannya itu! Semua itu telah di kirim dengan perantaraannya budak-budaknya. Baiklah saudara-saudara ketahui. Nona Liong ialah saudara angkat dari Leng Liehiap. sedang Leng Liehiap sendiri mengepalai perampasan bagian Barat daya. Yang paling belakang ini kita semua mengandal pada Leng Liehiap suami isteri, yang telah berhasil menghajar kabur kepada itu siluman tua she Kiauw!"

Mendengar keterangan itu, semua orang bersorak. Mereka lantas memberi selamat pada Thian Touw dan isteri.

Kembali mereka mengeringkan arak mereka.

Thio Giok Houw bersenyum kepada Kiam Hong terhadap siapa ia berpaling.

"Hendak aku bicara tentang pertaruhan kita!" katanya. "Nyatanya siapa pun tidak ada yang menang, siapa pun tidak ada yang kalah!"

Nona Liong pun tertawa.

"Sekarang ada satu hal yang ingin aku memberitahukan kepada semua saudara," berkata Sin Tjoe kemudian. "Inilah mengenai bingkisan dari propinsi Inlam. Bingkisan itu tidak dirampas dan itu dilakukan dengan sengaja oleh aku dan suamiku. Sebabnya ialah, pelindung dari bingkisan itu Tiat Keng Sim sendiri, orang yang baru-baru ini telah berjasa besar membantu pada tentera suka rela. Aku ingin hal ini dicatat atas nama kami berdua, supaya kalau nanti diadakan pembagian, bagian kami boleh dikurangkan."

Kebanyakan hadirin ketahui baik jasanya Tiat Keng Sim itu. maka itu. justeru di dalam ini hal yang tersangkut ialah Yap Seng Lim dan le Sin Tjoe, mereka semua tidak mengutarakan sesuatu keberatan

Kemudian Tjioe San Bin berkata sambil tertawa: "Aku tahu Tiat Keng Sim, dia paling menghargai nama. Maka itu, dengan perbuatan kita ini, kita boleh dibilang telah membalas budinya itu. Sebenarnya, aku pribadi, aku tidak setujui cara pembalasan budi ini, akan tetapi karena dia telah dikasi lewat, sudah saja." Ia hening sejenak, lalu ia melanjuti: "Perampasan telah selesai dilakukan. Semua bingkisan telah dirampas, kecuali bagian propinsi Inlam itu. Artinya semua sudah beres. Akan tetapi, saudara-saudara, pada ini ada ekornya. Jadi urusan tidak selesai seluruhnya. Sekarang tinggal keruwetannya!"

Mendengar perkataannya Kimtoo Tjeetjoe, semua orang heran. Mereka justeru lagi memikir untuk berangkat pulang masing-masing.

"Siluman tua she Kiauw itu telah dihajar kabur, tentera negeri pun sudah mundur, ada apakah keruwetannya?" mereka pada bertanya.

"Keruwetan itu bukan ditimbulkan karena kita mengasi orang lewat," berkata San Bin. menerangkan. "Datangnya itu ialah dari pihak sahabat-sahabat Rimba Persilatan..."

Orang tidak mengerti, mereka bertambah heran.

Lioe Tek Tjhong, ketua dari Thayouw, atau Thayouw Tjee, lantas berkata: "Dapatkah mereka itu. yang menimbulkan keruwetan kepada kita, dipandang sebagai sahabat-sahabat?" San Bin tertawa.

"Soalnya bukan demikian," katanya. Ia hening pula, lalu ia memandang Sin Tjoe, terus ia berkata: "Ie Liehiap, aku bukan bicara dari hal kau. aku minta sukalah kau tidak merasa tersinggung. Aku bilang, bingkisan dari Inlam adalah kecualian. Sebenarnya dari pelbagai propinsi yang bingkisannya telah dirampas telah datang utusan-utusannya, yang meminta pertolongan kita, bahkan ada beberapa yang telah datang sendiri, di antaranya ada orang Rimba Persilatan yang tua dan kenamaan. Aku pikir tak usahlah aku menyebutkan nama mereka itu. Sekarang aku hanya ingin menanya pikiran saudara-saudara, bagaimana kita harus bertindak."

Boesoe tua dari Hoolam. Hoan Tjoe Peng, yang tabiatnya paling keras, lantas berkata nyaring: "Semua pelindung bingkisan pelbagai propinsi itu memanglah orang-orang yang ada namanya, semua orang kangouw. dari itu, bicara tentang persahabatan, kita memang kenal satu dengan lain. Tapi sekarang aku hendak menanya: Kenapa mereka kesudian mengeluarkan tenaga mereka untuk raja? Baru karena terjadi peristiwa, mereka datang untuk minta pertolongan! Adakah itu pantas? Kalau semua pada minta bingkisannya dikasi pulang, baiklah kembalikan semua saja! Apakah perlunya kita telah melakukan pekerjaan yang mempertaruhkan jiwa kita itu?"

Tjhio Peng Kin, tjeetjoe atau ketua dari Angtek Ouw, juga berkata: "Tidak salah! Memang, untuk apakah maka kita sudah bekerja mempertaruhkan jiwa kita? Apakah barang-barang permata mulia di kolong langit ini cuma dapat dibuat mempuaskan raja satu orang saja? Apakah saudara-saudara kita boleh tidak gegares? Apakah kita mesti hidup tanpa berpakaian? Tidak dapat orang mengiri kepada Tiat Keng Sim, sebab Tiat Keng Sim pernah membantu kepada kita! Mereka itu disebut tertua-tertua dari Rimba Persilatan, mengapa mereka sampai sebegitu jauh berdiam saja, tidak ada yang sudi mencampuri usaha kita? Sekarang mereka minta ditolongi! Hm! Hm! Sebenarnya, mereka itu tahu malu atau tidak?"

Tiangloo dari Boetong Pay, yaitu Tjit Seng Tjoe. ada hadir bersama. Mengingat bahwa kedua keponakan muridnya, ialah Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie, yang melindungi bingkisan propinsi Ouwpak, kena juga dirampas Thio Giok Houw, ia berniat mengajukan permintaan. Akan tetapi, menampak suasana demikian rupa, dan setiap kata-kata ada bagaikan anak panah tajam menusuk padanya, mukanya menjadi merah padam. Pikirnya: "Syukur aku mendengar nasehatnya Ie Sin Tjoe. aku belum mengucapkan permintaanku kepada Kimtoo Tjeetjoe, jikalau tidak, hari ini entah ke mana aku mesti menaruh mukaku?..."

Hok Thian Touw, yang duduk di sebuah pojokan bersama Leng In Hong, berkata dengan berbisik kepada isterinya itu: "Lihatlah sikap mereka itu yang berteriak-teriak tidak keruan, mereka seperti menganggapnya pekerjaan merekalah yang nomor satu penting di kolong langit ini, siapa yang mememahkan dirinya di luar garis, semua pasti akan ditertawakan mereka! Syukur aku pernah mengeluarkan juga sedikit tenagaku, jikalau tidak, pasti aku tidak berani turut duduk di sini."

In Hong mendengar suaranya suami itu tawar luar biasa, sejenak itu ia merasakan sang suami bagaikan seorang asing sekali Ia lantas menguasai dirinya, untuk mencegah meluapnya kemendongkolan nya. Ia kata dengan dingin: "Jadinya di pandangan matamu adalah ilmu silatmu, Thiansan Kiamhoat, yang paling nomor satu penting di kolong langit ini?"

Thian Touw berduka mendengar kata-kata isterinya ini.

"Apakah kau menghendaki aku kalap seperti mereka itu baru kau menganggap aku sebagai orang gagah yang kau cita-citakan?" ia tanya.

"Apakah artinya orang gagah semacam itu? Jikalau nanti mereka sudah meninggal dunia, barang apakah yang mereka dapat wariskan kepada jaman belakangan? In Hong. benar-benar tidaklah selayaknya kau bercampuran pula dengan mereka itu! Jikalau kau tetap bercampuran dengan mereka, kau menjadi mirip dengan seekor kuda di tanah datar, gampang dilepaskan, sukar dikendalikan... Jikalau kau kemaruk dengan sebutan liehiap, wanitagagah perkasa, jikalau kau hanya merantau saja dalam dunia kangouw, niscaya akhirnya kau tidak dapat melakukan sesuatu!"

Belum lagi berhenti suara suami itu, In Hong telah berpaling ke lain arah. Dia bagaikan tidak sudi mendengar perkataannya sang suami.

Menyaksikan sikap isterinya ini, hati Thian Touw panas hingga tubuhnya menggigil saking hebatnya ia mencoba mengendalikan diri. Jikalau mereka bukan lagi berada di ruang di mana ada terdapat banyak orang, mestilah mereka sudah berselisih hebat.

Selagi suara ramai dan berisik itu. Ie Sin Tjoe berbangkit berdiri.

"Sekalian enghiong, sudilah mendengar perkataanku!" ia berkata, nyaring. "Perampasan bingkisan ini ialah perampasan untuk kehidupan tentera suka rela, jadi inilah beda sekali dari perampasan yang umum dilakukan kaum kangouw. Mengenai ini ada beberapa orang yang hendak menggunai kebiasan kaum kangouw, untuk minta bantuannya satu atau lebih orang tertua dari Rimba Persilatan, untuk mengajukan permohonan padaku. Permohonan itu, sebenarnya, tidak dapat dibicarakan. Kecuali permohonan itu ada faedahnya untuk tentara rakyat suka rela. Artinya kecuali permohonan itu untuk kepentingan yang melebihkan kepentingannya usaha tentara rakyat!"

Mendengar itu, Lioe Tek Tjhong mementang matanya lebar-lebar.

"Ie Liehiap, perbuatan kau dan suamimu, semua itu biasanya membuat aku kagum!" katanya. "Hanya kali ini. kata-katamu ini aku tidak mengerti jelas."

"Baiklah, aku akan memberikan penjelasanku," berkata Sin Tjoe. "Ada sebabnya kenapa kami tidak merampas bingkisan dari Inlam. Itulah bukan disebabkan Tiat Keng Sim telah melepas budi pada tentera rakyat dan juga bukan karena Tiat Keng Sim itu menantu dari Bhok Kokkong. Sebab itu ialah begini: Toan Teng Tjhong dari Tali, Inlam, sudah sedari siang-siang telah mengangkat dirinya seperti raja. Dia menyetujui sepak terjang tentera rakyat. Maka di belakang hari, jikalau negara menjadi kacau, kami pasti dapat menaruh kaki kami di salah satu pojokan dan wilayah Tali. Maka itu perlu kita mempunyai perhubungan sama Bhok Kokkong, supaya Bhok Kokkong tidak menggeraki angkatan perangnya menyerbu Tali. Karena itu, buat bisa berhubungan sama Bhok Kokkong, kita sudah mengasi lewat pada Tiat Keng Sim, kita tidak merampas bingkisan yang berada di bawah perlindungannya.

Demikianlah."

Tjioe San Bin berdiam sekian lama mendengar penjelasan itu.

"Jikalau demikian adanya, benarlah gurumu yang pandangannya jauh," berkata ia selang sesaat. "Nona Ie, tadi aku menyatakan tidak setuju kepada kau, sekarang aku menarik pulang kata-kataku itu. Apakah ada lain penjelasan pula?"

"Bingkisan dari Tjiatkang pun aku minta agar dibayar pulang," berkata Sin Tjoe pula. "Dengan soenboe dari Tjiatkang kami sudah membuat perjanjian yang selama tiga tahun dia tidak bakal menyerbu kami. Penghentian permusuhan tiga tahun itu berarti bahwa kita bebas dari luka dan binasanya tentera kita, dan itu berarti lebih banyak daripada harganya bingkisan propinsi Tjiatkang itu."

Mukanya San Bin menjadi merah bahna likat, tetapi ia toh berkata: "Bingkisan dari Tjiatkang itu sebenarnya diberikuti lengkie kamu. adalah aku yang kurang jelas dan menyangka lengkie itu dimiliki mereka dari pencurian, maka aku menitahkannya merampas juga. Aku tidak menyangka bahwa di dalam situ ada sebab musabab begini."

Piauwsoe yang menjadi pelindung bingkisan dari Tjiatkang itu, Touw Kong dan Tie Pa, telah ditawan San Bin ketika terjadi perampasan bingkisan itu. Sebabnya ialah sangkaan San Bin tersebut dan San Bin berniat menanyakan keterangannya biar jelas, sesudah itu, baru mereka hendak dibebaskan. Jadi San Bin bertindak demikian rupa adalah di luar kebiasaannya. Sekarang, mendengar keterangan Sin Tjoe ini, ia lantas menanyakan pendapat umum, dari yang mana, tujuh atau delapan bagian setuj u dengan pikiran Nona Ie. Maka tidak ayal lagi, ia perintahkan mengeluarkan bingkisan itu serta Touw Kong dan Tie Pa dimerdekakan.

Kedua piauwsoe itu girang bukan main. Mereka lantas memberi hormat dan menghaturkan terima kasih kepada San Bin dan Sin Tjoe, setelah mana, mereka meminta diri.

San Bin pun berlaku ramah sekali. Ia menitahkan orangnya mengantarkan kedua piauwsoe itu turun gunung.

Setelah itu sambil tertawa San Bin berkata: "Sin Tjoe, kau hendak mengajukan permohonan apa lagi?"

Sin Tjoe memandang kelilingan. lalu ia menyahut, sungguh-sungguh: "Aku masih hendak meminta sesuatu untuk sejumlah orang lagi!"

Mendengar itu, semua orang tercengang.

Menampak demikian, Nyonya Yap Seng Lim tertawa.

"Tuan-tuan, tetapkan hatimu!" ia berkata nyaring. "Permohonanku ini beda dengan permohonan dari pelbagai tertua Rimba Persilatan tadi. beda besar sekali! Aku juga tidak bakal meminta pula Tjioe Tjeetjoe melepaskan atau membayar pulang bingkisan sesuatu propinsi lainnya lagi!"

San Bin heran.

"Habis, apakah itu?" tanyanya. "Tadi aku telah bilang," berkata Sin Tjoe. "perampasan kami ini atas barang-barang bingkisan beda sekali dari perampasan kaum kangouw seumumnya. Di dalam halnya kita ini. tidak bisa orang membawa-bawa urusan pribadi, untuk minta pulang bingkisan yang dirampas."

"Benar begitu! Akur!" berseru banyak orang.

"Tentera rakyat kami ialah tentera suka rela," Sin Tjoe berkata pula, "walaupun demikian, di mana yang bisa, kami harus menyingkir dari perbuatan merugikan dan mencelakai orang, bahkan kami harus memandang dan memikirkan kepentingannya lain orang itu."

"Benar! Benar begitu!" kembali sejumlah orang berteriak.

"Kali ini ada banyak piauwsoe yang telah menerima permintaan pelbagai propinsi untuk mereka melindungi bingkisan," berkata Sin Tjoe, melanjuti. "Piauwsoe-piauwsoe itu pastilah bukannya orang-orang jahat dan pasti juga bukannya dengan sengaja berniat menyeterukan kami, hanya apa lacur, oleh karena bertemu sama kita, mereka itu menjadi menampak kesukarannya..."

"Tetapi itulah karena terpaksa, apa boleh buat!" kata beberapa suara.

Sin Tjoe berdiam sebentar, baru ia meneruskan: "Sekarang kita membicarakan itu pelbagai tertua Rimba Persilatan, yang datang dengan permohonan mereka kepada kita. Aku mengerti mereka. Mereka itu datang bukan melulu disebabkan soal hilang muka. lebih penting daripada itu ialah keselamatan diri serta rumah tangganya sekalian piauwsoe itu. Dengan hilangnya bingkisan, yang mereka lindungi, dapatkah mereka memberi tanggungjawab? Dengan apa dan dengan cara bagaimana mereka dapat mengganti kerugian?"

Soal ini diketahui baik oleh semua hadirin, di antara mereka pula ada yang erat perhubungannya sama si piauwsoe yang bersangkutan, tetapi seperti sudah dijelaskan Sin Tjoe, perampasan itu untuk tentera rakyat, yang cita-citanya luhur, dari itu mereka ini tidak berani menyatakan sesuatu. Melainkan Lioe Tek Tjhong seorang yang menjadi sangat tidak puas.

"le Liehiap!" katanya nyaring, "benarkah, karena untuk melindungi jiwanya sendiri serta keselamatan rumah tangga mereka, maka kami pun harus membayar pulang bingkisan yang dilindungi mereka yang telah kita rampas?"

Sin Tjoe menggoyangi tangan. "Pasti sekali tidak dapat dibayar pulang!" jawabnya. "Aku masih mempunyai daya yang ada kebaikannya untuk kedua belah pihak. Untuk itu tidak usah dikerahkan tenaganya orang banyak, cukup asal ada beberapa orang yang ilmu silatnya mahir serta nyalinya besar. Asal mereka ini suka turut aku berangkat ke kota raja, di sana aku mempunyai jalan untuk membuatnya kaisar tidak berani memperpanjang perkara perampasan bingkisan ini!"

Kata-kata itu membuat semua hadirin menjadi heran. Tentu sekali semua menjadi ketarik hatinya.

"Apakah kita memainkan sandiwara mengirim surat diberikuti senjata tajam?" tanya satu orang. "Apakah kita hendak menggertak raja hingga dia tidak berani membuka mulut seperti si gagu?" "Aha!" berseru yang lain. "Dapatkah istana dianggap sebagai rumah rakyat jelata? Itulah sandiwara yang tidak dapat dipentaskan!" kata yang lain lagi.

"Jangan kata pergi ke kota raja!" berkata orang yang ketiga. "Kita sudah merampas bingkisan, dengan pergi ke kota raja, apa bukan kita seperti ikan mengantarkan diri ke dalam jaring?"

Maka gemparlah suara orang banyak itu saking herannya mereka, "Sandiwaraku ini bukanlah sandiwara mengirim surat diberikuti

senjata tajam!" berkata Sin Tjoe tenang. "Buat sementara tidak dapat aku menjelaskan, untuk mencegah terjadinya kebocoran, hanya dapat aku terangkan, bahayanya tidak kalah dengan bahayajikalau kita mengirim surat diberikuti senjata tajam itu! Inilah sebabnya mengapa aku menyebut halnya beberapa orang yang mahir ilmu silatnya serta besar nyalinya!"

Segera setelah penjelasan itu, Tjit Seng Tjoe berseru: "Aku turut!"

"Kami pun turut!" berseru Siauw Houw Tjoe berdua Liong Kiam Hong.

Beberapa orang lagi menyatakan suka turut pergi.

In Hong berdiam saja, melainkan matanya diarahkan kepada suaminya. Mendadak Thian Touw tertawa. "Apakah kau menginginkan aku turut?" tanyanya dingin.

"Pergi atau tidak, terserah kepadamu!" menjawab sang isteri. "Aku tidak ingin meminta itu dari kau!"

"Bilanglah, bukankah kau mengharapi aku turut pergi?" Thian Touw tanya pula "Bukankah kau mengharap agar aku turut kau pergi bersama?"

"Benar, aku ingin pergi," In Hong menjawab. "Jikalau kau dapat turut, itulah paling baik, jikalau tidak, kau boleh pulang lebih dulu ke Thiansan."

Thian Touw menghela napas.

"Kau hampir melupakan bahwa akulah suamimu." bilangnya.

"Oleh karena kau suamiku maka aku mengharap orang nanti memuji kau," berkata isteri itu tenang. "Bukan saja kau dipuji untuk ilmu pedangmu yang liehay juga tentang kemuliaan hatimu. Jikalau aku mendengar orang memanggil kau Hok Tayhiap maka berapa terangnya mukaku. Lagi pula. entjie Sin Tjoe bersama aku ada bagaikan saudara kandung, dia sedang memerlukan orang gagah membantu padanya, maka itu tenangkah hatimu membiarkan dia sendiri saja menempuh bahaya?"

Thian Touw tertawa dingin.

"Di sini semua ada tayhiap. siauwhiap. enghiong dan hookiat. apa masih perlukah aku?" dia bertanya. "Di waktu tidak ada urusan, kau mentertawakan aku, di waktu ada urusan, kau meminta bantuanku! Hm! Berapatah harganya seorang enghiong? Aku tidak percaya kau, setelah berdiam menyendiri sekian tahun di Thiansan, sekarang pandanganmu tetap masih pandangan • manusia biasa? Kau harus ketahui, di kolong langit ini banyak orang gagah akan tetapi mengenai ilmu pedang Thiansan Kiamhoat, cumalah aku satu keluarga!"

In Hong mendongkol hingga mukanya menjadi merah padam.

Ketika itu yang lain-lainnya masih membuat banyak berisik dengan pernyataan mereka: "Aku turut! Aku turut!" lusteru orang membuat banyak berisik dengan semangat yang berkobar-kobar itu, In Hong mendadak merasa hatinya tawar, ia kesepian, ia ruwet sekali, hingga ia menjadi berduka. Hingga karenanya, kemendongkolannya terhadap Thian Touw, suaminya itu, buyar dalam sejenak. Dia menjadi jeri sendirinya kapan ia ingat bahwa dia telah berputus asa dan bersedih...

"Kenapa aku menjadi tidak bergusar kepada Thian Touw?" ia tanya dirinya sendiri.

Di dalam halnya suami isteri, kemurkaan di antara mereka, juga perselisihan, tidak dikuatirkan, yang ditakuti ialah sikap dingin satu pada lain atau putus asa. Itulah perasaan yang biasanya sukar ditarik pulang...

Thian Touw berbuat dengan sengaja. Dalam mendongkolnya, ia mengundang kemarahannya In Hong. Maka adalah di luar dugaannya, sebaliknya daripada melayani atau bergusar. In Hong berdiam. Iamenjadi tercengang. Tanpa merasa ia kata bagaikan mendumal: "Aku tidak mau pergi! Aku juga melarang kau pergi! Baru satu gelombang tenang, lain gelombang datang! Mana dapat kita mengurusnya semua itu? In Hong. aku bertindak untuk kebaikan kau. maka jikalau kau masih mengingat cinta kita suami isteri mari kau turut aku pulang..."

In Hong benar-benar menjadi sangat tenang.

"Thian Touw," katanya, sabar, "sekarang benar-benar aku mesti memikir baik-baik. Baiklah sebentar malam kita bicara dengan saksama. Sekarang kitajangan bicarakan urusan ini, agar orang tidak mentertawai kita..."

Suara berisik di dalam ruang mulai menjadi reda.

"Ada tujuh belas saudara yang ingin pergi bersamamu," berkataTjioe San Bin. "Sin Tjoe, apakah kau membutuhkan demikian banyak orang?"

"Tidak, tidak demikian banyak," menyahut si nyonya muda.

"Kalau begitu, silahkankau sendiri yang memilihnya!" berkata San Bin pula.

"Oleh karena kita berangkat besok, biarlah malam ini aku memikirkannya dulu." kata Nyonya Yap. "Besok aku akan memberitahukan, berapa banyak bantuan yang aku perlukan dan siapa-siapa yang aku akan minta suka turut padaku."

Sampai di situ, rapat dibubarkan, untuk diganti dengan pesta.

Tjit Seng Tjoe menghampirkan Sin Tjoe.

"Ie Liehiap," katanya, "aku mesti turut, tak dapat tidak. Masih ada dua keponakan muridku di tangan Tjhian Tiang Tjoen."

Sebelumnya menyahuti. Sin Tjoe tertawa.

"Aku, justeru membutuhkan bantuan tjianpwee!" katanya. "Pastilah tjianpwee bakal turut!"

Girang imam itu. Kemudian ia pergi kepada San Bin.

Sin Tjoe lantas mencari Thian Touw dan In Hong. Suami isteri itu berada di satu pojok. Sebenarnya Sin Tjoe heran akan sikapnya In Hong. Menurut ia. mestinya Nona Leng memaksa akan pergi. Kemudian, setelah menampak sikap suami isteri itu, ia lantas dapat menduga.

"Hok Toako," ia menegur setelah ia mendekati suami isteri itu, "kenapa kau tidak pergi minum bersama Kimtoo Tjeetjoe?"

Thian Touw menyahuti, dengan dingin.

"Aku bukannya enghiong atau hookiat. Tadi saja aku minum karena sangat terpaksa, bagaimana sekarang aku dapat bergumulan dengan mereka itu?"

Sin Tjoe tertawa.

"Hok Toako, jangan mengucap begini!" katanya. "Tadi pun Kimtoo Tjeetjoe telah menegaskan pula, berhasilnya kita merampas bingkisan ini, semua itu mengandal kepada bantuanmu yang sangat berharga."

"Itulah jasanya In Hong, denganku tidak ada sangkut pautnya. Aku cuma mendengar segala titahnya."

Sin Tjoe tertawa pula.

"Suami isteri artinya satu tubuh, satu hatinya," ia berkata. "Dengan pedang bersatu padu kamu melavvan lawan liehay bagaikan iblis, ilmu pedang kamu membangun jasa bersama, maka itu, mengapa masih menyebut jasa aku atau jasa dia! Hok Toako, kau tidak sudi minum arak kegirangan, baiklah, tidak apa, akan tetapi kau harus minum arak pemberian selamat untuk keberangkatanku! Maukah kau? Besok aku bakal berangkat ke kota raja, maka di lain kali setahu sampai kapan kita bakal bertemu pula dengan kamu! Bukankah kamu hendak lekas berangkat pulang ke Thiansan? Maka itu, aku pun boleh sekalian memberi selamat jalan kepada kamu! Di sini ada arak yang harum, mari kita mengeringi cawan masing-masing!"

In Hong mendengari orang bicara, matanya merah. Hendak ia bicara tetapi batal sendirinya. Sebenarnya hatinya tengah berkutat hebat.

"Entjie, aku mengerti kau. maka itu, aku sangat bersyukur kepadamu," Sin Tjoe kata pada kawan itu. "Aku telah dapat cukup orang, dari itu aku tidak berani membikin pusing pula pada kamu berdua."

Hatinya Thiai Touw lega tiba-tiba. la berkuatir sangat Sin Tjoe nanti meminta bantuannya. Kalau begitu, sulit untuk ia menjawabnya. Sekarang ia tidak usah menghadapi kesukaran lagi. Sambil tertawa ia kata pada isterinya: "Sungguh Sin Tjoe mengerti kau! Maka kau harus menghormati dan menghaturkan terima kasih padanya, kau harus memujikan agar ia berhasil!"

In Hong tidak membilang apa-apa. ia mengangkat cawannya dan mengeringkan itu.

Sin Tjoe menuang arak pula. "Hok Toako. ini satu cangkir untuk memujikan kau lekas berhasil dengan Thiansan Kiamhoat ciptaanmu!" ia berkata dengan doanya.

Thian Touw berlega hati. ia minum kering arak itu, lalu ia membalas dengan satu cawan. Ia kata: "Aku mohon tolong disampaikan kepada gurumu, aku mengirim hormat dan menghaturkan terima kasih untuk petunjuknya, dan aku mengharap bahwa aku tidak akan mensia-siakan pengharapannya."

Sin Tjoe menuang lagi tiga cawan. Ia tertawa.

"Dan dengan ini aku memujikan semoga kamu sepasang suami isteri hidup rukun dan manis hingga seratus tahun!" demikian doanya pula.

Thian Touw menerima pujian itu. ia menghirup pula.

Adalah In Hong yang tidak menyambuti cangkir araknya.

"Eh, entjie Leng, kau kenapa?" tanya Sin Tjoe. Ia tahu tetapi ia berpura-pura.

"Aku tidak kenapa-napa, aku melainkan merasa sedikit kurang sehat," menyahut sahabat ini, yang hatinya ruwet.

"Biarnya kau kurang enak badan, cangkir ini harus diminum!" berkata Sin Tjoe membujuk. Itulah desakan manis.

"Baik." kataln Hong. "Harap saja terjadi seperti katamu." Ia lantas minum kering araknya. Tapi, setelah meminum itu, ia mengeluh: "Ah, aku tidak menyangka arak ini arak pahit!..."

Thian Touw lagi bergembira, ia tidak mendengar nada isterinya itu.

"Kalau begitu, kau perlu pergi pada tabib!" katanya tertawa. "Arak begini harum, mengapa sampai di mulutmu, lantas berubah menjadi pahit?" Sin Tjoe lagi-lagi menuang arak. "Inilah cawan yang kedua," katanya, "dengan ini aku mengharap agar di belakang hari masih ada harinya yang kita bakal dapat bertemu pula satu dengan lain!"

Kali ini In Hong segera minum kering arak itu.

"Sekarang aku merasa enakan sedikit!" katanya cepat. "Memang, arak ini harum!"

Thian Touw sebenarnya tidak ingin minum arak ini tetapi ia meminumnya juga.

Malam itu pesta berjalan sampai jam tiga pagi. Hanya Thian Touw dan In Hong, tidak sampai akhirnya pesta, sudah ngeloyor pergi. Menurut Thio Giok Houw, ketika malam itu ia keluar bersama Kiam Hong. untukjalan-jalan di dalam rimba, mereka mendengar suami isteri itu berselisih mulut...

Kapan telah datang hari kedua. Ie Sin Tjoe sudah siap sedia. Ia sudah menjanjikan Giok Houw untuk mengambil selamat berpisah dari Kimtoo Tjeetjoe. Ia bilang ia mau melihat In Hong dan Thian Touw, atau San Bin menyampaikan kepadanya halnya Thian Touw telah meninggalkan sepucuk surat, bahwa karena kuatir nanti terjadi banyak pusing lagi. Thian Touw pergi tanpa berpamitan pula.

"Bagaimana dengan entjie In Hong?" tanya Sin Tjoe.

San Bin tertawa.

"Buat apa ditanyakan lagi?" sahutnya. "Suaminya pergi, dia tentu ikut pergi juga!"

Sin Tjoe menjadi heran, ia berduka.

"Entjie In Hong bukanlah itu orang yang orang mengatakannya, kawin sama ayam ikut ayam atau kawin sama anjing ikut anjing," katanya. "Melihat tabiatnya, aku justeru berkuatir dia bentrok keras dengan suaminya. Adalah di luar dugaanku, sudah dia tidak mengatakan padaku hendak turut pergi ke Pakkhia, dia justeru turut suaminya pergi dan perginya juga secara diam-diam... Ah, mustahilkah di dalam ini ada sesuatu yang luar. biasa?"

Tapi karena itulah urusan suami isteri orang, Sin Tjoe merasa likat untuk membicarakan itu dengan San Bin. Ia menjadi menduga-duga di dalam hati saja.

Nyatalah untuk kepergiannya ke Pakkhia ini. Nyonya Yap Seng Lim cuma membutuhkan tiga pembantu. Yang satu ialah Thio Giok Houw, yang satu lagi Liong Kiam Hong, dan yang ketiga Tjit Seng Tjoe. Ia membutuhkan seorang pembantu istimewa, guna mengatur sesuatu di Pakkhia, maka ia minta bantuannya Tie Goan, hoepangtjoe dari Kaypang di Pakkhia itu. Bahkan hoepangtjoe ini diminta berangkat terlebih dulu. Maka mereka jadi berangkat dalam dua rombongan.

Tjio Tjoei Hong berat dengan perpisahan ini, ia mengantar turun gunung, la pun memesan kata-kata untuk In Loei. Di lain pihak ia sesalkan In Hong, yang dikatakan cuma berdiam satu hari dan pergi tanpa pamitan lagi!

Giok Houw dan Kiam Hong juga heran atas sikapnya In Hong itu.

"Sebenarnya aku berkuatir untuk entjie In Hong," Kiam Hong mengaku. "Kalau dia benar turut Hok Toako pulang ke Thiansan, dia bisa mati lantaran djengkel. Tapi, kalau dia tidak pulang, aku kuatir mereka bentrok hebat..."

Karena ini, bertiga mereka jadi tidak gembira. Mereka tidak menghendaki ln Hong dan Thian Touw bentrok, sebaliknya, mereka tidak ingin juga In Hong bagaikan burung di dalam sangkar, yang hilang kemerdekaannya Toh mereka tidak mempunyai daya untuk memecahkan kesulitannya suami isteri itu. Pasangan itu menyinta satu dengan lain --- tadinya mereka sangat menderita ---- tetapi sekarang mereka terhalang oleh pandangan masing-masing.

Perjalanan ke kota raja ini, bukan perjalanan pelesiran, di tengah jalan mungkin ada gangguan, akan tetapi selama dua hari. mereka tidak menemukan sesuatu, bahkan tiada juga orang atau orang-orang yang sikapnya mencurigai.

Di hari ketiga, tengah hari, selagi mereka berempat melarikan kuda merekadi jalan besar, telinga mereka mendengar suara roda-roda kereta disebelah belakang, suara mana dicampur sama tindakan dan ringkik kuda.

Siauw Houw Tjoe lantas meraba gagang goloknya.

"Siauw Houw Tjoe, jangan sembrono!" Sin Tjoe memberi ingat. "Lihat dulu mereka hamba negeri atau bukan..."

Ketika itu kereta di belakang datang semakin dekat, suaranya pun berisik sekali. Itulah sebab kendaraan dikasih jalan cepat. Kereta kuda itu, di kiri dan kanannya ada masing-masing pengiringnya dua penunggang kuda. Maka terlihatlah abu mengepul naik.

Segera dapat dilihat nyata, dua pengiring yang di kiri adalah dua orang oppas, dan yang di kanan dua boosoe, guru silat atau pahlawan, yang dandan sebagai bangsa Boan. Yang bercokol di atas adalah seorang pembesar berpangkat tinggi bangsa Boantjioe. Rupanya pembesar itu sedang bergembira, duduk di atas keretanya itu dia bernyanyi dengan nada tinggi. Nyanyiannya ialah nyanyian ketenteraan Boan.

Giok Houw menjadi panas hati. Justeru di belakang dia. salah satu opas berkata dengan nyaring: "Utusan Boantjioe telah tiba, mengapa kamu tidak lekas-lekas minggir?"

Kata-kata ini dibarengi sama sampainya rombongan kereta dan penunggang-penunggang kuda itu, kawanan penunggang kuda menggunai cambuknya.

Bukan main gusarnya Giok Houw, maka sebelah tangannya lantas menyamber ke belakang. Ia ingin menangkap cambuk orang, guna ditarik dengan keras. Hanya saja, baru tangannya bergerak, ia sudah dibentur Sin Tjoe, demikian keras, hingga ia terjungkal dari kudanya.

Boesoe Boantjioe itu mengira orang kaget dan jatuh karena menyingkirnya terlalu terburu napsu, mereka tertawa berkakakan.

Ketika Giok Houw bangun berdiri, ia mendapatkan kereta dan ke empat penunggang kuda sudah lewat jauh.

Sin Tjoe tertawa. "Siauw Houw Tjoe, jangan kau sesalkan aku!" katanya. "Aku tidak menghendaki kau membangkitkan keruwetan!"

"Tapi orang Boantjioe itu serta segala boesoe-nya sangat jumawa!" kata Giok Houw. "Tidak puas aku melihat tingkah polanya itu! Bukankah mereka berada di dalam negara kita?"

"Memang bangsa Boantjioe itu sering mengganggu tapal batas." berkata Sin Tjoe, "akan tetapi di antara kedua negeri belum dimaklumkan perang, sedangjuga. mereka ini adalah utusan yang resmi, tidak dapat kita berlaku kasar. Apakah kau kira dapat kita melabrak mereka itu?"

"Kau benarjuga," kata Giok Houw setelah berpikir. "Hanya aku tetap tidak puas! Lagaknya kedua oppas itu terlalu menjilat-jilat bangsa asing, mereka cuma pandai menghina bangsa sendiri!"

Sin Tjoe tertawa pula. "Buat apa bergusar tak perlunya?" katanya. "Mari kita berangkat!" Giok Houw menahan hati. Setelah jalan serintasan. di depan terlihat pula kereta dan kuda tunggang. Keretanya tidak nampak mentereng dan agung seperti kereta si utusan Boantjioe tetapi toh indah, bahkan kedua ekor penariknya ada binatang-binatang yang tubuhnya tinggi dan besar, pelananya tersulam, hingga menjadi menarik perhatian. Yang duduk di atas kereta ialah seorang usia pertengahan, kepalanya besar, kupingnya lebar, tubuhnya terkerebong baju bulu. Hingga dengan sekali lihat saja tahulah orang bahwa dia seorang hartawan. Dia menoleh ketika dia mendengar tindakan kaki kuda di belakangnya.

Melihat muka orang itu. Sin Tjoe melengak. Ia merasa mengenali, entah di mana pernah ia bertemu dengan dia itu.

Orang itu pun heran melihat rombongannya Sin Tjoe, ia menahan keretanya dan mengawasi, atau segera ia lompat turun dari kudanya, untuk menghampirkan.

"Kau... kau toh Nona le?..." katanya.

Baru sekarang Nyonya Yap ingat, maka ia tertawa

"Khoan Taydjin. kiranya kau!" katanya.

Muka orang itu menjadi merah, dia nampak jengah.

"Aku telab kehilangan pangkatku." katanya malu-malu. "Tidak dapat aku menerima panggilanmu ini!"

Sin Tjoc kenal hartawan ini, Khoan Kie namanya, yang pada belasan tahun yang lalu menjadi Yamoensoe, pembesar pengurus garam dari kedua propinsi Ouwpak dan Ouwlam, karena dia dibegal Pit Keng Thian untuk seharga tiga puluh laksa tail perak, dia dipecat dari pangkatnya. Ayahnya bernama • Khoan Tiong. ialah Khoan Tiong saudara angkatnya Thio Hong Hoe. ayahnya Siauw Houw Tjoe. Bersama-sama, Khoan Tiong dan Hong Hoe menjadi opsir Gielimkoen dari Kaisar Eng Tjong di tahun Tjeng-tong, dan bersama-sama Hoan Tiong, merekalah yang dikenal sebagai Kengtouw Samtoa Khotjioe. ialah tiga jago kota raja. Ketika Khoan Tiong terbegal itu. dia pernah minta Hoan Tiong memohonkan bantuannya Thio Hong

Hoe, hanya ketika Hoan Eng. anaknya Hoan Tiong. tibadi rumah Thio Hong Hoe. Hong Hoe tengah ngalami kecelakaan dan terbinasa karenanya, maka Hong Hoe tidak dapat membantu dia. Kemudian Hoan Eng toh pergi kepada Pit Keng Thian tetapi Keng Thian cuma mengembalikan separuh, yang separahnya Keng Thian suruh Khoan Tiong mengodol sakunya sendiri menggantinya. Selama Sin Tjoe merantau, dia bertemu sama Khoan Tiong ini, ialah di tempatnya Pit Keng Thian itu. Ketika itu Hoan Eng pun ada bersama. 4>

Muak Sin Tjoe terhadap bekas pembesar ini. Dia telah locot pangkatnya tetapi sekarang nampak dia hidup mewah. Lalu sambil tertawa mengejek, ia berkata: "Perkara pangkat ada soal kecil! Bukankah sekarang raja baru telah naik di tahta? Nah, sekaranglah saatnya untuk Khoan Taydjin berbangkit pula! Bukankah taydjin lagi menuju ke kota raja untuk mencari pangkat? Raja baru justeru memerlukan menteri-menteri pintar yang pandai mengurus keuangan negara!"

Cepat sekali Khoan Kie berkata: "Aku baru saja mengalami badai dan gelombang, mana berani aku menjabat pangkat pula? Begitulah selama belasan tahun ini, setelah melepas kepangkatan, aku belajar menjadi orang dagang, mencampurkan diri di dalam pasar. Untukku sekarang asal cukup makan dan tubuh hangat, itu saja sudah cukup, sama sekali aku tidak berani pula mengandung semangat yang besar..."

Mendengar pembicaraan orang, Thio Giok Houw merasa sebal, maka ingin ia mengajak kakak seperguruannya untuk melanjuti perjalanan. Justeru itu, matanya Khoan Kie bersinar mengawasi kepadanya.

Sin Tjoe melihat perhatiannya si bekas pembesar yang telah menjadi saudagar itu.

"Siauw Houw Tjoe, mari!" ia memanggil sang soetee, si adik seperguruan. "Mari menemui Khoan Taydjin!"

"Sudahlah," berkata si anak muda, "kami bangsa semut, kami tak dapat naik tinggi..."

Khoan Kie sendiri terperanjat mendengar disebutnya nama Siauw Houw Tjoe, hanya sejenak, dia lantas tertawa terbahak.

"Ah. kiranya Thio Sieheng telah menjadi begini besar!" katanya, kagum. "Aku ialah Khoan Kie. Ayahku dan ayah sieheng adalah saudara-saudara angkat."

Mengetahui orang itu siapa adanya muak atau tidak, Houw Tjoe mesti menemuinya. Ia menghampirkan sambil mengulur tangannya untuk berjabatan. Khoan Kie menyambutnya.

Puteranya Khoan Tiong mengerti juga ilmu silat, akan tetapi tatkala tangannya berjabatan sama tangannya Siauw Houw Tjoe. dia berjengit. hampir dia mengeluarkan air mata. Karena sengaja Giok Houw mengerahkan tenaganya tiga bagian. Dengan lekas dia menarik pulang tangannya itu, dia pun paksakan tertawa.

"Tidak kecewa puteranya panglima perang!" ia memuji. "Saudaraku, saudaramu sangat mengagumimu!"

"Sekarang ini Khoan Taydjin hendak pergi ke mana?" Sin Tjoe tanya kemudian. Ia terus memanggil taydjin atau tuan besar.

"Aku mau pergi kekecamatan Thongkoan." menyahut Khoan Kie. "Apakah nona dan Thio Sieheng lagi menuju ke kota raja?"

"Benar!" sahut Sin Tjoe, lancar.

"Maukah nona meninggalkan alamatmu di kota raja?" Khoan Kie minta. "Jikalau lain kali aku pergi kesana, pasti aku akan pergi menjenguk."

Sin Tjoe tertawa.

"Kami tidak mempunyai kenalan di kota raja, kami akan menyewa kamar hotel saja" demikian sahutnya

"Aku sendiri ada mempunyai beberapa kenalan di kota raja sana" Khoan Kie mengasi tahu.

"Terima kasih, aku tidak berani mengganggu sahabat-sahabat taydjin itu," kata Sin Tjoe. "Ya kebetulan taydjin menyebut-nyebut sahabat, aku mohon tanya tentang satu orang."

"Sahabat yang mana itu, nona?" Khoan Kie segera menanya.

"Hoan Eng," menjawab Nyonya Yap Seng Lim.

"Oh, Hoan Toako!" kata saudagar bekas pembesar itu. "Sayang, dengan Hoan Toako itu sudah belasan tahun aku tidak pernah bertemu."

"Kalau begitu, tak apalah," berkata Sin Tjoe, yang tidak menanyakan apa-apa lagi, makajuga, kedua pihak lantas berpisahan. untuk mengambil jalannya masing-masing. Khoan Kie berangkat lebih dulu.

"Sungguh apes, bertemu sama orang macam demikian!" kata Giok Houw sesudah mereka berpisah jauh. "Lebih celaka, kita pun mengaku kakak dan adik!"

"Setelah hilang pangkatnya, dia menjadi saudagar, lumayan juga," bilang Sin Tjoe. "Maka tidak dapat kita bersikap keterlaluan terhadapnya. Memang benar ayahmu dengan ayahnya telah mengangkat saudara."

"Telah lama aku mendengar lelakonnya kehilangan pangkat," kata Siauw Houw Tjoe. "Hoan Toako telah melepas budi banyak kepadanya tetapi toh dia tidak memperdulikan Hoan Toako itu, sampai dia tidak mengetahui alamatnya juga! Aku melihat matanya tidak pernah mau berdiam, dia mestinya bukan satu manusia baik!"

"Tidak dapat kita memastikan orang menurut caramu ini," Sin Tjoe bilang. "Peribahasa tua pun bilang, kalau kesalahan dapat dirubah. diperbaiki, itulah baik sekali. Memang dulu dia kemaruk pangkat dan harta, benar selama sepuluh tahun ini kita tidak ketahui sepak terjangnya, tetapi bahwa dia telah tidak mencari pangkat pula. itulah sudah baik." Siauw Houw Tjoe tertawa. "Soetjie, selamanya kau berpendapat begini tentang manusia, sungguh aku tidak dapat menelad kau!" katanya.

Sampai di situ, mereka berhenti membicarakan Khoan Kie. sebab semua muak kepada orang she Khoan itu yang pandai menjilat. Mereka melanjuti perjalanan dengan tak rintangan, maka selang dua hari, sampailah mereka di luar kota Pakkhia. Di situ mereka langsung mencari kelenteng Hianbiauw Koan, karena koantjoe, atau imam, yang mendiami kelenteng itu. ialah Hian Eng Toodjin. sahabatnya Tjit Seng Tjoe, sedang Sin Tjoe pun mengenal dia.

Hian Eng menyambut tetamu-tetamunya dengan manis, bahkan dia senang menerima permintaan Tjit Seng Tjoe beramai ingin menumpang di kelentengnya itu.

Sin Tjoe mengambil keputusan menumpang di Hianbiauw Koan ini, yang letaknya di gunung Seesan, di luar kota Pakkhia itu, mengingat Khoan Kie telah menanyakan alamat mereka di kota raja. Bahwa ia tidak suka memberi keterangan, itulah bukti yang ia tidak percaya orang she Khoan itu.

Segera setelah mendapat kepastian akan berdiamnya dikelenteng itu, Sin Tjoe ingat akan maksudnya datang ke kota raja ini. Tindakannya yang pertama ialah mencari tahu tentang "fiat Keng Sim karena ia telah memikir untuk menggunakan Keng Sim sebagai jembatan, supaya Keng Sim mendayakan hingga ia dapat bertemu sama kaisar.

Thio Giok Houw tidak berkesan manis terhadap Keng Sim, akan tetapi karena Sin Tjoe sudah mengatur rencananya, ia tidak dapat mencegah, ia menurut saja.

Mencari keterangan perihal Tiat Keng Sim itu bukanlah pekerjaan sukar. Tie Goan, hoepangtjoe atau ketua muda, dari Kaypang, Partai Pengemis di Pakkhia, kota raja, yang telah sampai terlebih dulu di kota raja ini. sudah membuat penyelidikan terlebih dahulu. Demikian, di hari ketiga, pemimpin pengemis ini lantas menjenguk Sin Tjoe di Hianbiauw Koan.

"Sekarang ini Tiat Keng Sim si bocah telah naik namanya!" demikian berkata Tie Goan. "Dari seluruh negara datang bingkisan untuk kota raja tetapi yang tiba dengan selamat cuma dia seorang, ialah bingkisan dari propinsi Inlam. Kejadian itu membuatnya kaisar sangat girang dan menyukai dia, apapula dialah menantunya Bhok Kokkong. Maka juga kecuali dia dihadiahkan pangkat kehormatan turun temurun Liongkie Touwoet, dia pun merangkap Hoetongnia. yaitu komandan muda, dari pasukan Gielimkocn. Bahkan dia pun dihadiahkan sebuah gedung baru yang pernahnya di depan gedungnya Gielimkoen Tongnia Tjhian Tiang Tjoen. Maka sekarang ialah seorang besar!"

Mendengar itu, Sin Tjoe menghela napas.

"Harap saja dia tidak melupakan dirinya cuma disebabkan kedudukannya yang mulia ini." katanya. "Haraplah dia pun tidak melupakan juga asal dirinya sebagai seorang pelajar..."

Sekarang Sin Tjoe memikirkan jalan untuk dapat bertemu sama Keng Sim.

Memang juga, Keng STm telah mendapat kedudukannya yang mulia itu. yang membuatnya girang bukan kepalang. Sebenarnya dia tidak gila kepangkatan, sedang kemuliaan ini ia terimanya secara di luar dugaan. Semua orang, dari raja sampai kepada menteri-menteri, semua memuji padanya, hingga ia menerima kehormatan melebihkan seorang yang berpangkat besar sekali. Demikian, beberapa hari setelah keangkatannya itu. tak sempat ia pergi ke kantor Gielimkoen, untuk bertugas. Senantiasa ia repot menyambut pelbagai kunjungan kehormatan, sampai akhirnya ia menjadi kewalahan sendiri dan mulai merasa sebal.

Demikian itu hari, pagi-pagi, kebetulan senggang, ia pergi ke tamannya. Seorang diri ia mengawasi bujang kebun tengah mengurusi bunga-bunga. Ia segera teringat kepada Bhok Yan, isterinya. Pikirnya: "Jikalau aku menyambut Bhok Yan kemari, pasti dia dapat mengatur taman ini menjadi indah sekali..."Hanya, begitu ia ingat Bhok Yan. kontan ia ingat Sin Tjoe. Hingga ia menjadi berdiri menjublak saja.

Justeru begitu, seorang kimie wiesoe, ialah pahlawan yang berbaju sulam, muncul di dalam taman itu. Ia segera mengenalinya. Pahlawan itu ialah seorang anggauta Gielimkoen, yang ia pernah lihat digedungnya Tjhian Tiang Tjoen.

Dengan hormat sekali, pahlawan itu menghaturkan surat undangan.

"Tjhian Taydjin mengundang Tiat Touwoet berkunjung untuk bersantap bersama." katanya. "Sekarang Tjhian Taydjin tengah menantikan Touwoet."

Oleh karena Tjhian Tiang Tjoen itu Toatongniadari Gielimkoen. ialah komandan kepala, yang menjadi seatasannya, Keng Sim lantas menduga bahwa ia tentulah hendak diajak membicarakan sesuatu mengenai Gielimkoen, pasukan tentara kerajaan, yang berada di bawah pimpinan mereka berdua

"Adakah itu untuk bersantap tengah hari?" ia menegaskan.

"Benar," menyahut si pahlawan. "Hanyalah Tjhian Taydjin minta Touwoet suka datang lebih cepat, sebab katanya ada urusan penting yang hendak didamaikan."

"Ah, benar saja!" pikir Keng Sim, yang terus memberikan jawabannya: "Baiklah, aku sudah tahu. Silahkan kau pulang terlebih dulu, aku hendak menyalin pakaian. Kita tinggal depan berdepan, inilah menggampangi kita" Pahlawan itu memberi hormat untuk mengundurkan diri.

"Apakah siauwkongtia sudah kembali!" tanya Keng Sim kepada si tukang kebun seberlalunya orang suruhan Tjhian Tiang Tjoen itu.

"Siauwkongtia keluar dari pagi-pagi, sampai sekarang ia masih belum kembali," sahut orang yang ditanya. Keng Sim mengerutkan alis. "Dasar bocah!" katanya di dalam hati. "Adik Lin tidak bisa lantas membuang sifat kekanak-kanakannya, dia sangat gemar memain, begitu sampai di kota raja ini, dia menjadi mirip kuda liar!"

Memang juga senang Bhok Lin setelah tibanya ia di kota raja. Raja pun suka kepadanya. Raja ingin mengambil hatinya Bhok Kokkong. Dua kali hertog, atau raja muda, yang muda ini, diundang ke istana, sedang beberapa raja muda dan menteri mengundangnya untuk main-main. Karena sikapnya sekalian raja muda dan menteri itu, walaupun ia girang, Keng Sim pun repot, hingga ia memohon maaf dari mereka itu disebabkan iparnya ini, yang masih muda, dikuatir nanti melakukan sesuatu yang di luar tata sopan santun. Semua raja muda dan menteri itu sebaliknya mengatakan tidak apa, katanya mereka pun tahu Bhok Lin masih seorang bocah...

Habis memberikan jawabannya, si tukang kebun melanjuti tugasnya. Taman itu luas, ketika itu pun dimusim rontok bulan sembilan, bunga seruni sedang pada mekar, hingga taman itu bagaikan tertabur bunga tersebut itu.

Puas Keng Sim memandang taman itu, hingga pikirannya melayang.

"Tidak kusangka hari ini aku memperoleh ini kedudukan mulia..." demikian lamunannya. "Tanpa mengandal Bhok Kokkong, aku juga dapat bangun atas kaki sendiri! Untukku, kemuliaan tak berarti seberapa hanya sekarang di dalam tanganku telah tergenggam kekuasaan atas angkatan perang. Haha! Thio Tan Hong sangat menghargai Yap Seng Lim, dimata dia. Yap Seng Lim jauh terlebih pandai dari pada aku, akan tetapi sekarang --- Haha! --- Yap Seng Lim tak lebih tak kurang cuma pemimpin gerombolan, sedang aku, akulah pemimpin nomor dua dari pasukan pribadi Sri Baginda Raja! Dengan kedudukanku sekarang, dengan Sri Baginda sangat menghargai aku. kenapa kemudian aku tidak bakal memegang kekuasaan paling besar atas angkatan perang negara?"

Baru menantu Bhok Kokkong ini melayangkan pikirannya demikian macam, atau tiba-tiba ia menginsafi bahwa sebenar-benarnya kedudukan ini hadiah dari Yap Seng Lim suami isteri. Tanpa pertolongan Sin Tjoe, mana bisa bingkisannya tiba dengan selamat di kota raja?

Mengingat demikian, hati Keng Sim menjadi tawar, ia kecele sendirinya

Untuk sekelebatan, Keng Sim seperti melihat bayangannya Seng Lim di depan matanya. Cuma sekelebatan, bayangan itu lantas digantikan bayangannya Sin Tjoe, yang cantik dan manis, yang menarik hati. Hanyalah mata Nona Ie yang tajam dan jeli itu bersinar bagaikan lagi menegurnya.

"Jikalau aku tamak akan pangkat tinggi dan penghidupan mewah ini, mungkin aku bakal terpisah jauh dengannya..." pikirnya sekonyong-konyong.

Entah kenapa, walaupun masing-masing sudah menikah dan waktu pun telah lewat tahunan, kata-katanya Sin Tjoe masih teringat baik sekali oleh Keng Sim. Tidak selamanya ia menyetujui si nona, bahkan ada kalanya ia membuat nona itu gusar, akan tetapi, tetap ia ingat Nona Ie. Maka kalau ia hendak melakukan sesuatu, ia berlaku hati-hati.

"Entjie Sin Tjoe," katanya dalam hati. "kau boleh melegakan hati, meski juga aku telah peroleh pangkatku ini, tidak nanti aku membiarkan diriku kanyut tanpa tujuan. Aku Tiat Keng Sim. aku tetap Tiat Keng Sim dulu hari!"

Segera setelah ingatannya itu, Keng Sim pulang ke dalam gedungnya, naik ke lauwteng, untuk menyalin pakaian, la baru selesai dandan ketika seorang keeteng, atau pegawainya, datang menghampirkan seraya berkata: "Ada Yang Taydj in, ia mohon bertemu sama taydjin."

Heran orang muda ini. Ia tidak kenal orang she Yang di kota raja.

"Yang Taydj in yang mana itu?" ia tanya.

"Ialah Yang Taydjin yang dulu hari pernah menjadi Taylwee Tjongkoan," sahut si keeteng.

Keng Sim terkejut, alisnya pun mengkerut.

"Kiranya Yang Tjong Hay!" katanya. Inilah ia tidak pernah menyangka. Ia sebal dan jemu terhadap Tjong Hay. Akan tetapi, ia bisa lantas menggunai otaknya. "Sekarang lain daripada dulu hari. Dulu aku seorang pelajar, tanpa pangkat tanpa kedudukan, boleh aku tidak memperdulikan dia. Sekarang aku memangku pangkat, bahkan Hoetongniadari Gielimkoen. Di dalam pasukan raja ini, siapa yang menjadi orang lama, dia pasti bekas sebawahannya Yang Tjong Hay.

Maka haruslah aku ingat itu pepatah, 'Lebih baik bersalah terhadap seorang koentjoe daripada terhadap satu manusia rendah!..."

Oleh karena ini. ia segera mengambil keputusannya.

"Silahkan ia masuk!" ia memberi titah. Ia mencoba menguasai diri.

Kapan Yang Tjong Hay menampak Keng Sim, ia mengunjuki roman manis buatan, ia bersenyum bikinan, kedua tangannya diangkat tinggi.

"Kionghie. Tiat Taydjin!" ia berkata dengan pemberian selamatnya.

Keng Sim membalas hormat secara wajar.

"Yang Taydjin adalah seorang tjianpwee. aku justeru perlu memohon pengajaran dari taydjin," ia berkata.

Tjong Hay tertawa terbahak.

"Tiat Taydjin muda dan tampan, pandai ilmu surat dan ilmu silat." ia berkata, "dan dengan taydjin memperoleh tunjangan Bhok Kokkong bagaikan gunung es, pasti kau bakal manjat tinggi! Hari kemudian taydjin ada demikian penuh pengharapan, untuk bersahabat saja denganmu, aku kuatir aku tidak mampu, dari itu mana berani aku memernahkan diri sebagai seorang tjianpwee?"

Muak Keng Sim mendengar kata-kata menjilat itu. Ia paksakan diri tertawa.

"Yang Taydjin guyon saja!" katanya.

Tiba-tiba air mukanya Yang Tjong Hay berubah menjadi sungguh-sungguh.

"Tidak. Tiat Taydjin. sama sekali aku si orang she Yang tidak bergurau." katanya. "Memang benar-benar aku datang untuk meminta pengajaran dari kau!"

Hati Keng Sim terkesiap. Heran ia menyaksikan lagak-luguk bekas tjongkoan dari istana kaisar ini. Ia lantas memberi hormat.

"Yang Taydjin, ada pengajaran apakah dari kau untukku?" ia tanya.

Yang Tjong Hay memandang tajam tuan rumahnya, sinar matanya itu memain.

"Selama beberapa tahun ini entah taydjin telah meyakinkan ilmu silat apa yang liehay?" tanyanya. Ia masih mengawasi.

Kembali Keng Sim terkesiap.

"Apakah Yang Taydjin datang dengan niatan menguji aku?" ia tanya. Ia lantas membalas memandang tajam.

"Tidak, tidak! Mana aku berani?" menyahut Tjong Hay, sambil tertawa, nadanya mengejek. "Sri Baginda Raja kita baru saja naik di atas tahta kerajaan, maka dari pelbagai propinsi telah datang masing-masing bingkisannya yang dilindungi oleh orang-orang yang pandai, akan tetapi kesudahannya melainkan bingkisan yang dilindungi taydjin saja yang tiba di kota raja ini dengan selamat. Jikalau ilmu silat taydjin tidak luar biasa, mana bisa terjadi demikian? Haha! Sungguh aku tidak menduga, baru beberapa tahun kita tidak bertemu, ilmu silat taydjin telah maju demikian pesat! Sungguh taydjin pantas diberi selamat!"

Keng Sim seorang cerdas maka tahulah ia maksudnya bekas tjongkoan ini. Ia ingat bagaimana dulu hari. sebelum menjadi menantu Bhok Kokkong, beberapa kali ia pernah bertempur sama si tjongkoan. Tentu saja ketika itu ia bukanlah tandingannya Tjong Hay. Sekarang orang datang untuk menguji padanya. Ia menjadi mendongkol sekali. Meski demikian, tidak bisa ia melampiaskan kemendongkolannya ini. Dengan menguasai diri, ia berpura-pura tenang.

"Yang Taydjin terlalu memuji aku!" ia berkata. "Kepandaianku rendah sekali, bahwa kali ini aku telah berhasil, semua itu aku mengandal kepada rejeki Sri Baginda Raja yang sangat besar."

Kembali Yang Tjong Hay tertawa berkakak.

"Jangan terlalu merendahkan diri. Tiat Taydjin." katanya pula. "Aku kuatir kau bukannya telah mengandal i rejeki Sri Baginda Raja! Hanya Tiat Taydjin mengandal pada muka terang taydjin sendiri! Haha! Tiat Taydjin mempunyai pergaulan yang luas sekali, pergaulan yang membuatnya lain orang mengiri dan kagum!"

Tidak senang Keng Sim mendengar kata-kata orang itu, air mukanya sampai berubah.

"Yang Taydjin, apakah maksudnya kata-katamu ini?" ia kata keras.

Tjong Hay tidak kalah desak.

"Tiat Taydjin," ia berkata, "kau bukan saja bersahabat dengan sekalian menteri boen dan boe di dalam istana juga kau bersahabat dengan orang-orang yang melakukan perampasan itu! Bukankah aku tidak keliru menyebut tentang pergaulanmu yang luas itu?"

Keng Sim menjadi gusar sekali.

"Bagus!" teriaknya. "Jadi kau sengaja hendak mencari gara-gara! Biarnya kau menyembur dengan darah, aku tidak takut!"

Yang Tjong Hay tertawa bergelak.

"Tiat Taydjin, kau keliru!" kata ia habis tertawa. "Segala sesuatu tak meninggalkan kenyataan, mana bisa kau menyebutnya aku menyembur dengan darah? Tidak, aku bukannya memfitnahmu! Kali ini orang-orang yang melakukan perampasan bingkisan itu ialah murid-muridnya si pembrontak Thio Tan Hong! Bukankah kau bersahabat kekal dengan le Sin Tjoe? Thio Giok Houw telah mengalahkan kau tetapi dia sengaja melepaskan kau pergi! Bahkan le Sin Tjoe telah memberikan kau sehelai bendera Rimba Persilatan! Bukankah semua ini bukannya dibuat-buat? Tiat Taydjin, kau telah kenyang membaca Kitab Syair, maka aku pikir tidaklah nanti kau berani menyangkal ini!"

Paras mukanya Keng Sim menjadi merah padam, ia lantas berbangkit sambil mengangkat cawan tehnya

"Yang Tjong Hay, pergilah menghadap Sri Baginda untuk mengadui aku!" ia berkata keras. "Kau lihatlah, aku takut atau tidak!"

"Tiat Taydjin, aku masih hendak bicara pula!" kata Tjong Hay membandel. "Aku masih belum memikir untuk berlalu! Kenapa kau mengangkat cawanmu untuk mengantar tetamumu pergi? Apakah kau takut mendengar perkataanku?"

Keng Sim bergusar hingga seluruh tubuhnya gemetaran. Jikalau ia tidak ingat kepada kehormatan dirinya, tentulah ia sudah mementang bacol untuk mendamprat tetamu yang kurang ajar ini.

Yang Tjong Hay lantas tertawa dan berkata: "Tiat Taydjin, kau salah menampa maksud kedatanganku ini! Sebenarnya aku bermaksud baik terhadap dirimu! Sebenarnya aku datang untuk mengantarkan kopia kepangkatan kepadamu! Apakah kau tidak memikir untuk mendapatkan pangkat yang besar?"

Keng Sim heran hingga ia mendelong. Inilah di luar terkaannya "Yang Tjong Hay, apakah maksudmu?" ia bilang. "Mengapa kau mengaco belo?"

Tjong Hay kembali tertawa terbahak-bahak.

"Tiat Taydjin, mengapa kau mengatakan aku mengaco belo?" kata dia. "Apakah kau menganggap aku ialah orang yang telah dicopot pangkatnya hingga aku tidak dapat membantu kau naik pangkat? Terus terang aku bilang padamu, aku dapat mencopot pangkatmu, aku juga dapat membuat kau manjat terus! Maka sekarang terserah kepada kau, kau hendak memilih yang mana, keagungan atau kehinaan!"

Keng Sim ingin ketahui maksud orang, ia mencoba mengendalikan diri. Ia lantas berduduk pula.

"Baiklah." ujarnya. "Sekarang kau bicara, aku ingin mendengar."

Yang Tjong Hay menghirup tehnya dengan sikapnya tenang sekali.

"Menurut apa yang aku dengar." ia mulai berkata, suaranya ditekan perlahan, "le Sin Tjoe dan Thio Giok Houw telah datang ke kota raja ini. Merekalah orang-orang utama yang melakukan perampasan bingkisan. Mengingat persahabatan mereka dengan kau, ada kemungkinan mereka itu nanti mencari padamu. Atau andaikata mereka tidak datang mencari, aku mempunyai daya untuk mempertemukan kau dengan mereka itu. Hm! Tiat Taydjin, kaulah seorang yang berotak terang, maka kau niscaya telah ketahui bagaimana kau harus bertindak, tidak usah sampai aku mengajari lagi!"

Keng Sim girang berbareng kaget mendengar datangnya Sin Tjoe dan Giok Houw ke kota raja.

"Tiat Taydjin." berkata pula Tjong Hay tanpa memperdulikan sikap orang, "seperti aku telah bilang barusan, keagungan atau kehinaan, terserah padamu untuk memilihnya! Itu hanya sebuah kata-kata! Apakah kau sudah memikir9"

"Apa katamu?" menegaskan Keng Sim, yang masih terpengaruh kegirangan dan herannya.

"Aku minta Tiat Taydjin menginsafi kata-kata tua," berkata Tjong Hay, "ialah 'Tay gie biat tjin'! Di dalam ini hal, untuk negara orang dapat membinasakan orang tuanya! Apapula Sin Tjoe itu bukannya sanakmu. Kau bekuk dia bersama-sama Thio Giok Houw! Bukankah itu berarti kenaikan pangkat?"

Mendengar penjelasan itu, Keng Sim tertawa dingin.

"Kiranya demikianlah maksudmu!" bilangnya.

"Apakah kau tidak dapat meninggalkan le Sin Tjoe?" Tjong Hay menegaskan.

"Angin busuk!" membentak Keng Sim menggcprak meja

Tjong Hay mengawasi tajam. "Mengapa kau gusar tidak keruan?" tanyanya tertawa dingin. "Karena persahabatan dengan seorang penjahat wanita, kau bersedia mengurbankan hari depanmu yang gilang gemilang? Kau pikirlah pula baik-baik! Jikalau kau turut perkataanku, semua-semua ada baiknya, artinya, kau akan naik pangkat dan aku akan memperoleh kembali pangkatku! Jikalau kau tidak suka dengar padaku, nah, maafkan saja, terpaksa aku mesti mendakwa kau!"

Baru sekarang Keng Sim ketahui maksud orang yang sebenarnya, bahwa kunjungannya ini ialah tindakan untuk dia memperoleh pulang pangkatnya. Jadi ia hendak digunai sebagai alat! Tentu saja ia menjadi mendongkol.

"Yang Tjong Hay. silahkan kau pergi keluar!" ia kata. "Pergi kau menghadap Sri Baginda Raja untuk mendakwa aku!"

Yang Tjong Hay tertawa. "Apakah kau menyangka aku tidak dapat mendakwa roboh padamu?" ia kata, mengejek. "Hm! Gurumu ialah Tjio Keng To! Pedangmu di atas tembok itu ialah pedang istana! Kau telah berkongkol sama kawanan perampas bingkisan! Semua itu telah berada di dalam genggamanku, maka jikalau aku mengadu kepada Sri Baginda, mungkin sekali Bhok Kokkong juga tidak bakal sanggup melindungi kau!"

Tiat Keng Sim berbangkit bangun. "Yang Tjong Hay, kau mau pergi atau tidak?" dia berseru. "Benarkah kau menghendaki aku mengusirmu?"

Yang Tjong Hay tertawa bergelak-gelak.

"Hari ini kau sedang murka, kau tidak dapat memikir masak-masak!" katanya. "Sekarang aku minta kau suka memikirkan berulang-ulang, nanti tiga hari kemudian, aku akan datang pula mendengar keputusanmu!"

"Jikalau kau datang pula. aku akan mengunci pintu, aku tidak bakal menyambut kau!" kata Keng Sim sengit.

Lagi-lagi Tjong Hay tertawa.

"Hanya aku kuatir," dia berkata, "sampai itu waktu, mungkin kau yang mempunyai urusan dan akan meminta sesuatu kepadaku! Apakah kau menganggap pangkat copot lantas sudah saja? Baiklah, hari ini kita bicara sampai di sini, tanpa kau mengeluarkan titahmu mengusir, aku akan berangkat pergi!"

Setelah orang berlalu, selang sesaat, barulah kemendongkolannya Keng Sim menjadi sedikit reda. Ia menjadi dapat menggunai otaknya dalam ketenangan. Mau tidak mau. hatinya menjadi tidak tenteram. Ia tidak takut kehilangan pangkatnya. Hanyalah, kalau rahasianya itu benar terbuka, ia tidak cuma hilang pangkatnya itu. ia juga malu untuk nama baiknya. Pasti sekali Yang Tjong Hay bakal membeber nama baik itu yang didapat bukan dengan cara yang layak. Bisa sekali menjadi semua orang gagah pelindung bingkisan pelbagai propinsi bakal menuding padanya seraya berkata: "Kiranya kau bukan mengandalkan kepandaianmu tetapi karena orang jahat memandang persahabatan di antara kamu! Bangsat merampas barang kita, barangmu tidak, melainkan kau sendiri yang lolos, bagaimanakau gagah!" Kalau sampai terjadi begitu, ia akan menjadi sasaran panah. Dan kalau ia tidak mengangkat kaki. raja pasti bakal menanya ia, kenapa bingkisan lain dirampas, bingkisannya sendiri tidak. Memang ia bersalah besar, apapula kalau ia dituduh berkongkol sama kawanan perampas itu. Umpama kata raja memandang Bhok Kokkong, ia tidak dihukum mati, sedikitnya ia bakal dipenjarakan seumur hidup! Bagaimana kalau ia meninggalkan pangkat nya, sekarang ia buron? Kalau ia buron, ke mana buronnya? Pulang ke Inlam, ke istana Bhok Kokkong? Belum tentu hertog itu bakal melindunginya. Bhok Kokkong tentu tidak dapat melindungi, bahkan tak mau melindungi ia Habis, apa ia mesti pergi pada Sin Tjoe, masuk dalam rombongan "penjahat"? Inilah ia tidak menghendaki. Dan dulupun ia tidak menghendakinya. Pula ia memang tidak puas terhadap Yap Seng Lim. Apakah ia mesti merantau seorang diri, hidup seumurnya dalam dunia kangouw? Inilah agaknya jalan satu-satunya Dengan begitu ia kehilangan pangkat dan rumah tangga. Bagaimana dengan isterinya yang cantik manis, yang lemah lembut itu? Bukankah ia bercita-cita luhur tetapi karena buron, cita-citanya bakal menjadi kanyut hilang?

Ruwet pikiran Keng Sim memikirkan urusannya ini. Benarkah di dalam dunia yang luas ini tidak ada tempat untuknya memernahkan diri? Jadi, apakah ia mesti menuruti ajarannya Yang Tjong Hay, menipu dan membekuk Ie Sin Tjoe dan Thio Giok Houw, untuk menyerahkan mereka itu kepada raja? Inilah hebat! Hal itu tak pernah ada dalam benak pikirannya.

Akhirnya Keng Sim mengertak gigi dan diam-diam bersumpah sendirinya: "Biarnya tubuhku hancur lebur dan pangkatku musnah, biar aku bakal termusnah serumah tangga, sekali-kali tak nanti aku melakukan tindakan yang mencelakakan entjie Sin Tjoe!"

Sekarang Keng Sim mesti mengambil putusan. Menangkap Sin Tjoe, ia sungkan! Buron, ia tidak menghendakinya. Maka ia menghiburi dirinya sendiri dengan memikir: "Belum tentu Sri Baginda bakal mempercayai laporannya Yang Tjong Hay! Katanya Thio Giok Houw melepaskan aku, mengasi aku lewat. Bukti apa dia punya? Tentang pedang guruku, dapat aku, menerangkan pada Sri Baginda ketika aku menerima itu. aku tidak tahu jelas tentang pedang itu. Sri Baginda menyayangi orang gagah dan orang pandai, mustahil karena sebatang pedang ia nanti menghukum aku? Pula Yang Tjong Hay telah memberi tempo tiga hari padaku, kenapa aku tidak mau bersabar? Siapa tahu selama tiga hari itu akan terjadi sesuatu yang akan dapat merubah malapetaka menjadi keselamatan atau kebaikan?"

Demikian Keng Sim mengambil keputusannya akan "tidak menjual" Sin Tjoe. Ia lantas menjadi lega hati. Ketika ia memandang ke jendela, matahari sudah mencorong masuk. Lantas ia ingat undangannya Tjhian Tiang Tjoen, sepnya itu. Maka ia lantas menenangkan diri, terus ia dandan, terus ia berlalu dari gedungnya, menuju ke gedung sep itu, yang berada di depan gedungnya sendiri. Hanya, selagi mau keluar, ia menanya pengawalnya apa Bhok Lin sudah pulang atau belum. Ia diberi jawaban, bahwa iparnya itu belum juga kembali.

Tatkala tiba di gedung Tjhian Tiang Tjoen dan mengasikan karcis namanya. Keng Sim disambut oleh Tiang Tjoen sendiri, yang mementang pintu tengah. Tuan rumah lantas tertawa berkakak.

"Sungguh inilah yang dibilang, orang besar pelupaan!" katanya riang gembira. "Aku justeru hendak menyuruh orang untuk menyusuli kau!"

Keng Sim turut tertawa. Ia menghaturkan maaf karena terlambat datangnya ini.

Kemudian orang masuk ke dalam ke ruang besar di mana sudah berkumpul banyak orang, bahkan mereka semua pada berbangkit untuk menyambut.

Keng Sim datang dengan pikirannya sudah terang, melihat banyak orang, ia merasa senang, akan tetapi setelah melihat tegas orang banyak itu. ia menjadi heran dan ketenangan dirinya kembali terganggu. Ia melihat banyak wajah yang dikenal olehnya hingga ia terperanjat.

Di situ ada Tjoa Hok Tjiang, boesoe dari Kwietang, ada Wie Kok Tjeng dari Kwiesay. ada kedua tiangloo dari Kiangsie Boen dari Sin-tjioe, Ouwlam, ialah dua saudara Tjiok --- Tjiok Hoe dan Tjiok Tjiat. Pula ada Lim Kim Goan. piauwsoe tua dari propinsi Hokkian. Dan yang lain-lainnya lagi. pelindung-pelindung bingkisan dari pelbagai propinsi, yang bingkisannya dirampas Thio Giok Houw atau Liong Kiam Hong. Sungguh ia tidak menyangka atas beradanya mereka itu di kota raja, bahkan di tempatnya pemimpin utama pasukan Gielimkoen ini. Tanyanya dalam hati: "Kenapa mereka semua datang kemari? Mungkinkah mereka semua mengetahui rahasiaku? Mungkinkah mereka menjadi mengiri akan pangkatku ini dan mereka datang untuk meruntuhkannya?"

Tjoa Hok Tjiang menyambut sambil memberi hormat dan berkata: "Sungguh malu, sungguh malu, tak ada muka aku si orang tua menemui kongtjoe! Syukur itu hari kongtjoe telah menangkis musuh hingga aku dapat meloloskan jiwaku, hingga cuma bingkisan yang dilindungiku yang lenyap..."

Keng Sim mengetahui kejadian itu.

"Kejadian itu tak usahlah dibuat pikiran," katanya, menghibur.

Tapi Wie Kok Tjeng mencampur bicara, katanya nyaring: "Jikalau kongtjoe yang kehilangan bingkisan, mungkin tidak ada halangannya, tidak demikian dengan kami yang tidak mempunyai tulang punggung, hilangnya bingkisan berarti diri kita terancam bahaya! Mana dapat kami bertenang diri?"

"Maka itu juga sekarang kami, dengan menebali muka. ingin mohon bantuan kongtjoe," menambahkan Lim Kim Goan.

Keng Sim bingung. Sungguh ia tidak tahu maksud orang.

"Tuan-tuan terlalu mengangkat padaku," ia berkata. "Di dalam peristiwa itu, aku bersyukur kepada Thian yang aku dapat melindungi diriku. Kalau aku memikirnya, aku pun jeri bukan main."

Sampai di situ, Tjhian Tiang Tjoen datang sama tengah.

"Tiat Kongtjoe, silahkan duduk!" ia berkata. "Sebentar kita bicara pula."

Keng Sim mengangguk. Diam-diam ia memperhatikan wajah orang. Semua nampak berduka, tidak ada yang memandang rendah atau mengejek padanya Biar bagaimana, hal itu melegakan juga sedikit hatinya.

Mereka pergi ke ruang tetamu di mana sudah ada orang lain.

Tjhian Tiang Tjoen lantas mengajar kenal. Katanya: "Tuan ini ialah sahabat kami, maka kamu berdua, tuan-tuan. silahkan kamu mengikat persahabatan!"

Keng Sim melihat tetamu itu berumur kira tiga puluh tahun, romannya tampan, mirip dengan seorang pelajar. Orang itu memberi kesan baik terhadapnya. Maka ia mengulur tangannya untuk berjabatan.

"Siauwtee Tiat Keng Sim," ia berkata. "Siauwtee mohon menanya she mulia dan nama besar dari saudara."

"Siauwtee Kiauw Siauw Siauw," menyahut orang itu. "Baru saja siauwtee tiba di kota raja ini, Siauwtee bersyukur sekali jikalau saudara suka memberi pengajaran padaku."

Berbareng dengan perkataan "memberi pengajaran" itu mendadak Keng Sim merasai tangannya tergenggam keras, telapakan tangannya terdesak suatu tenaga kuat, hingga ia menjadi kaget sekali, maka lekas-lekas ia mengerahkan tenaganya untuk mempertahankan diri. Justeru ia menggunai tenaganya, tenaga pihak sana lenyap dengan tiba-tiba, hingga tanpa merasa --- tanpa ia berdaya --- tubuhnya terjerunuk ke depan.

Ia mesti menahan diriniasebisa-bisa, kalau tidak, tentulah ia bakal menubruk lantai. Ia menjadi sangat mendongkol, di dalam hatinya, ia kata. "Kiranya kau sengaja menguji aku!" Ia sebenarnya hendak menegur, tapi Tjhian Tiang Tjoen telah maju untuk memegangi ia.

"Lantai baru dicuci, harap tuan-tuan berdua berhati-hati!" katanya tertawa.

Keng Sim masih melihat tubuh si orang she Kiauw terhuyung, seperti juga dia baru mempertahankan diri. Ia menjadi heran.

Pikirnya: "Aku terjerunuk, mengapa dia pun terhuyung?" Tapi segera ia insaf. Teranglah, orang itu jauh terlebih liehay dari padanya! Bahwa orang sengaja terhuyung, berpura-pura untuk menutupi malunya.

Memang juga ada orang-orang yang melihat mereka ini mengadu kepandaian secara diam-diam. Itulah hal umum di dalam dunia Rimba Persilatan. Maka pun ada orang yang berseru dengan pujiannya: "Tuan-tuan, kamu liehay sekali!"

Tanpa disengaja, karena masing-masing mengerahkan tenaganya, kaki Keng Sim dan Siauw Siauw meninggalkan bekas atau tapak di 'lantai, hingga kecuali Keng Sim sendiri, semua orang menyangka kepandaian mereka, berdua berimbang.

Keng Sim menjadi bingung. Iatidak tahu Kiauw Siauw Siauw ini orang macam apa. Ia tidak mengerti kenapa tidak keruan-keruan orang menguji padanya. Ia tidak puas. Akan tetapi, melihat orang toh melindungi mukanya ia tidak jadi mengubar hawa amarahnya itu.

"Maaf." berkata Siauw Siauw sambil bersenyum. "Ilmu silat Tiat Taydjin liehay sekali, pantaslah di antara bingkisan-bingkisan dari seluruh negara, cuma bingkisan Taydjin seorang yang dapat dilindungi dengan selamat sampai di kota raja"

Keng Sim tidak menduga bahwa perbuatannya Siauw Siauw itu dilakukan atas anjurannya Tjhian Tiang Tjoen. Maka sekarang, mengetahui kepandaian Keng Sim cuma sebegitu. Tiang Tjoen dan si penguji itu. Siauw Siauw. menjadi heran. Di dalam hatinya, mereka kata: "Kepandaian Tiat Kongtjoe ini tidak dapat dibandingkan dengan kepandaian Thio Giok Houw, lebih-lebih tidak terhadap Sin Ijoe. heran, kenapa dia dapat melindungi bingkisannya sampai di kota raja dengan selamat? Mungkinkah benar apa yang teruwar di luaran?"


Tjhian Tiang Tjoen berpengalaman luas, mengingat kedudukan teguh dari Keng Sim, walaupun ia bercuriga ia tidak mengasi kentara kecurigaannya itu.

Segera setelah orang pada berduduk. Keng Sim mulai dengan perkataannya.

"Hari ini Tjhian Taydjin memanggil aku. entah ada urusan apakah?" demikian ia tanya.

"Tugas dalam Gielimkoen besar dan berat sekali," menyahut sep itu. "maka dengan aku memperoleh bantuan Tiat Taydjin, aku merasa sangat bersyukur. Tiat Taydjin, cap kebesaranmu telah selesai dibikin, dari itu aku minta sukalah ini hari kau menerimanya, supaya besok Taydjin dapat lantas mulai menjabat pangkatmu dan bekerja"

Keng Sim bersangsi.

"Kalau ini ditunda sampai lain hari. tidak ada halangannya bukan?" tanyanya.

Tjhian Tiang Tjoen tertawa.

"Tiat Taydjin," katanya manis, "sudah belasan hari semenjak Taydjin tiba di kota raja ini, maka itu tentang adat kebiasaan menyambut dan melayani pelbagai tetamu dapatkah Taydjin kurangkan sedikit! Titah dari Sri Baginda Raja sudah keluar, maka itu jikalau bukannya ada urusan yang istimewa, aku minta sukalah Taydjin mulai bekerja lebih siang!"

Tiat Keng Simjusteru mempunyai "urusan yang istimewa." Karena urusan itu, ia ingin menunda menjabat pangkatnya itu. Tapi, bagaimana ia dapat menjelaskannya? Alasan apa ia mempunyai untuk menunda?

Dalam keadaan sulit itu. terpaksa ia menyambut cap kebesarannya.

Dengan serempak semua hadirin bertempik sorak, setiap orang memberi selamat kepada ini hoetongnia yang baru dari pasukan Gielimkoen.

Teranglah sudah bahwa semua ini telah diatur terlebih dulu oleh Tjhian Tiang Tjoen, guna dia dapat menyambut pembantunya secara terbuka dan terhormat itu.

Tiat Keng Sim mengerti juga urusan di dalam dunia pembesar negeri, ia menjadi memikir apa-apa, maka ia kata di dalam hatinya: "Aku telah menerima cap kebesaranku, ini artinya aku telah menerima dengan resmi pangkatku. Sebenarnya aku dapat menerima cap berbareng di hari mulai bekerja, sekarang dia menerimakannya dulu cap ini, dan dia pula mengatur ini pesta, apakah maksudnya? Apakah dengan begini dia sengaja menghormati aku? Menghendaki menetapkan dulu secara resmi pangkat dan kedudukanku ini, agar aku tidak dapat menampik lagi? Ah, mungkin dia hendak lantas memberikan sesuatu tugas padaku..."

Terkaan Keng Sim yang belakangan ini --- ialah bahwa dia bakal diserahi tugas --- telah terbadek itu.

Lantas terdengar Tjhian Tiang Tjoen tertawa riang.

"Tiat Taydjin," dia berkata, "Taydjin telah menerima cap kebesaranmu, hatiku lega separahnya!" Dia berhenti sebentar, lalu dia meneruskan dengan sungguh-sungguh: "Taydjin, pertemuan hari ini sebenarnya ialah pertama aku mengundang kau untuk menerima cap kebesaranmu ini dan kedua ialah ada urusan yang aku hendak damaikan bersama Taydjin."

Keng Sim sudah menerima capnya menyesal pun sudah kasip. Maka ia kata: "Siapa makan gaji Junjungannya, dia mesti mengicip separuh dari kesulitan Junjungannya itu, maka itu. urusan apakah itu, Tjhian Taydjin, silahkan kau titahkan saja!"

"Siapa makan gaji Junjungannya, dia mesti mengicip sebagian dari kesulitan Junjungannya itu, sungguh benar, sungguh benar!" berkata Tjhian Tiang Tjoen. "Memang benar ada satu urusan yang besar dan penting untuk mana aku mau memohon Tiat Taydjin suka mengicip sebagian dari kesulitannya Sri Baginda Raja!"

Mendengar kata-kata tongnia itu. mata semua hadirin ditujukan kepada Tiat Keng Sim.

Tiang Tjoen cuma berhenti sebentar.

"Sri Baginda naik di tahta sudah setengah tahun lebih," ia melanjuti, "akan tetapi cuma bingkisan dari Inlam yang telah tiba, yang lainnya semua kena dirampas penjahat di tengah jalan. Di samping itu, perampasan itu mempunyai akibat lainnya yang hebat sekali, yang mengenai keluarga atau jiwanya pelbagai piauwsoe atau pelindungnya yang bersangkutan. Mulanya kami telah memikir untuk menyembunyikan perampasan itu terhadap Sri Baginda, kami mengharap nanti dapat berdaya mendapatkannya kembali, lalu ternyata, hal itu tidak dapat ditutup lebih lama pula. Demikianlah kami memohon pertolongannya

Hoeljongkoan untuk melaporkan kepada Sri Baginda. Mengenai perampasan itu, Sri Baginda menjadi gusar sekali, dari itu sekarang telah dikeluarkan firman untuk mencari si orang-orang jahat. Oleh karena itu, Tiat Taydjin, kami terpaksa memohon bantuanmu..."

Keng Sim terkejut dalam hatinya.

"Apa bilangnya firman itu?" ia tanya.

"Sri Baginda menyerahkan tugas di atas diri kita berdua." Tiang Tioen menjawab. "Kita ditugaskan menangkap si orang-orang jahat serta merampas pulang semua bingkisan yang hilang itu."

Keng Sim kaget sekali.

"Apakah ada diberikan batas waktu?" ia tanya pula.

"Ya. satu bulan," kata Tiang Tjoen. "Jikalau sampai batas itu kita masih belum berhasil, tidak cuma kita yang mesti bertanggungjawabjuga banyak orang lain yang bersangkutan."

"Bagaimana itu?"

"Tokboe dari pelbagai propinsi yang bersangkutan itu bakal dipecat pangkatnya, dan semua pembesar propinsi, yang mengurus pengiriman bingkisan itu, berikut semua piauwsoe atau boesoe. akan ditangkap dan dimasuki ke dalam penjara, untuk diperiksa dan dihukum berat. Sebaliknya, jikalau kita berhasil, besar sekali faedahnya. Pertama-tama ialah Sri Baginda tidak hendak mengumumkan peristiwa perampokan ini dan kedua, karena baru naik di singgasana, Sri Baginda tidak sudi menghukum banyak orang. Maka juga, tidak melainkan kita berjasa besar, pula semua tokboe akan ketolongan masing-masing kedudukannya, dan semua pembesar yang bersangkutan itu serta semua piauwsoe, turut tertolong juga. Begitulah maka sekarang ini semua piauwsoe telah berkumpul di sini, untuk menantikan segala titah Taydjin."

"Untuk menantikan segala titahku?" Keng Sim mengulangi, hatinya berdebaran.

"Tiat Taydjin dapat melindungi bingkisan hingga di kota raja," kata Tjhian Tiang Tjoen, "maka itu, untuk menghadapi kawanan perampas, Taydjin tentu mempunyakan daya upayanya. Untuk dapat membekuk si penjahat itu, tidak dapat tidak kami semua mengandal kepada Taydjin seorang!"

"Aku, aku mana dapat memikul tanggungjawab besar ini?" kata Keng Sim. "Kemampuanku sangat terbatas..."

"Jangan terlalu merendah. Taydjin!" Tiang Tjoen mendesak. "Dengan seorang diri Taydjin dapat melindungi bingkisan dan berhasil memukul mundur pada orang-orang jahat, maka justeru sekarang sudah berkumpul jago-jago dari pelbagai propinsi, yang diperbantukan pada pasukan Gielimkoen, mustahil perkara tidak dapat dipecahkan? Jikalau Taydjin menolak, mungkin semua piauwsoe dan boesoe di sini tidak akan mau mengerti!"

Atas kata-kata tongnia Gielimkoen itu, lantas semua piauwsoe atau boesoe itu mengajukan permintaan tolongnya, bahkan ada yang berkata dengan nyaring: "Tiat Taydjin, apakah kau cuma mengingat saja kedudukanmu yang mulia dan kau tidak mau memperdulikan lagi keselamatan jiwa kami serta keluarga kami?"

Keng Sim cerdas tetapi sekarang ia kena dibikin bingung.

Tengah suasana buruk itu untuk menantunya Bhok Kokkong, seorang pengawal bertindak masuk dengan laporannya. "Hoe Tjongkoan Hoe Taydjin tiba!"

Semua orang lantas berdiam.

Tanpa menanti lagi titah Tjhian Tiang Tjoen, untuk mengijinkan orang masuk atau untuk menyambut, diambang pintu lantas terlihat masuknya satu orang yang berpangkat besar dan romannya keren.

Keng Sim terkejut. Ia lantas mengenali Hoe Koen Tjip, Taylwee Tjongkoan yang baru, yang telah menggantikan tempatnya Yang Tjong Hay.

Tjhian Tiang Tjoen lantas maju untuk menyambut dengan hormat.

"Hoe Tjongkoan datang kemari, adakah ini berhubung sama perkara perampokan barang-barang bingkisan?" Keng Sim tanya.

"Benar!" mejawab Hoe Koen Tjip. "Sri Baginda Raja telah menerima baik usulku supaya urusan ini di kepalai oleh Tiat Taydjin. Tiat Taydjin sendiri telah berada di sini, inilah bagus sekali! Bukankah kau telah memberi keterangan kepada Tiat Taydjin?"

Tjongkoan ini berbicara bergantian pada Tiang Tjoen dan Keng Sim, akan akhirnya berbicara pula dengan tuan rumah, si tongnia dari Gielimkoen.

"Ya, aku telah memberitahukannya," menyahut tongnia itu. "Hanya Tiat Taydjin sendiri yang masih ragu-ragu..."

Hoe Koen Tjip tertawa terbahak.

"Tiat Taydjin!" katanya nyaring, "ketika ini ialah ketika paling baik untukmu membangun jasa besar, mengapa kau bersangsi?"

"Sebab tempo satu bulan terlalu pendek!" Keng Sim menjawab. "Kawanan penjahat itu tidak ketentuan tempat kediamannya dan kita sama sekali belum memperoleh endusan..."

"Oh, demikian kiranya kesulitan Taydjin?" berkata tjongkoan itu, yang kembali tertawa. "Umpama kata Taydjin mendapat tahu tentang penjahat itu, apakah Taydjin hendak segera berangkat untuk turun tangan?"

Di dalam hatinya, Keng Sim kaget bukan main. Terpaksa ia mesti memberikan jawabannya.

"Itulah pasti!" demikian ia menyahut.

"Selamat, Tiat Taydjin, selamat!" berkata Koen Tjip sambil tertawa bergelak-gelak. "Aku si Hoe tua hendak mengantarkan jasa besar kepadamu! Perkara itu dapat diurus beres tanpa satu bulan tempo! Hanya sekarang juga si orangjahat akan dapat dibekuk!"

Kata-kata ini membuat kaget semua hadirin. Bahkan Keng Sim sampai suaranya bergemetar ketika ia berkata: "Hoe Tjongkoan, kau... kau berguraukah?"

"Urusan begini penting, mana dapat kita bergurau?" berkata Koen Tjip. "Aku telah mendapat keterangan jelas sekali, si biang penjahat pria dan wanita sekarang berada di kota raja ini! Kita tidak dapat berayal lagi, Tiat Taydjin, aku minta sekarang juga Taydjin turun tangan!"

Kagetnya Keng Sim bukan kepalang. Ia telah mencoba menenangkan diri tetapi masih kentara roman bingungnya.

Justeru suasana sangat tegang itu, pula ada pengawal yang bertindak masuk untuk melaporkan: "Bhok Siauwkongtia tiba!"

Belum lagi kata-kata itu berhenti mendengung, Bhok Lin nampak bertindak masuk dengan diikut dua orang pengiring. Dia bertindak masuk terus tanpa menanti Tjhian Tiang Tjoen keluar menyambut.

Dua pengiring anak hertog dari Inlam itu, yang satu tua, yang lainnya muda. Yang tua berumur hampir lima puluh tahun, yang muda baru dua puluh lebih. Kulit mereka berdua bcrsemu kuning, roman mereka tidak luar biasa. Melainkan sinar mata mereka yang tajam sekali dan mereka mengintil rapat di belakangnya si anak muda.

Keng Sim mengawasi dengan heran. Ia tidak kenal dua pengiring dari iparnya itu. Ia pun heran atas datangnya ipar ini. Adakah Bhok Lin lagi main sandiwara? Dari mana Bhok Lin memperoleh dua pengiring itu?

Bhok Lin mendatangi dengan matanya menyapu semua hadirin, ketika ia mengawasi Keng Sim, tjiehoe-nya itu, sinar matanya memain, seperti ada maksudnya, setelah mana tiba-tiba ia tertawa dan berkata kepada Tjhian Tiang Tjoen: "Ha, begini ramai! Tjhian Taydjin, mengapa kau tidak mengundang aku?"

Dengan kedudukannya itu, orang siapakah tidak mau mengangkat, atau sedikitnya, menghormati Bhok Lin itu? Maka itu Tjhian Tiang Tjoen, sebaliknya daripada kurang senang, lantas tertawa

"Aku kuatir tidak dapat aku mengundang siauwkongtia!" katanya "Sekarang siauwkongtia sudi datang kemari, sungguh aku girang sekali!"

"Aku memang paling menggemari keramaian!" kata Bhok Lin, tetap tertawa. "Aku tidak suka pergi ke tempat lain, kesini adalah lain! Di sini ada arak harum yang dapat diminum, ada urusan baru yang sedap didengar! Lebih pula, aku akan berkenalan dengan begini banyak orang gagah perkasa! Ha, aku memang lagi pepat sekali pikiranku, kenapa aku tidak sudi datang kemari? Lihat, begitu aku tiba aku seperti mendengar kamu sedang berniat menangkap orangjahat. Dan sekarang juga! Bukankah di antara penjahatnya ada wanitanya?"

"Benar, benar!" menyahut Tjhian Tiang Tjoen. "Aku justeru lagi minta tjiehoe-mu bertindak sekarang juga!"

"Aku turut, dapatkah?" tanya Bhok Lin.

"Sebenarnya tidak berani aku mengganggu siauwkongtia..." sahut Tiang Tjoen tertawa

Boesoe Sin Kok Tjeng dari Kwiesay turut bicara.

"Siauwkongtia turunan panglima perang, kepandaiannya liehay sekali," katanya "Ketika di tengah jalan aku bertemu sama kawanan penjahat, siauwkongtia telah memperlihatkan kepandaiannya itu!"

"Jikalau siauwkongtia pasti-pasti ingin turut, marilah turut kita!" kata Tjhian Tiang Tjoen. "Hanyalah, baiklah siauwkongtia turun tangan kalau ternyata kami telah tidak berdaya!"

Kali ini Tiang Tjoen omong sesungguh hatinya. Ia kuatir Bhok Lin sembrono. Jikalau anak hertog itu terluka, hebat tanggung jawabnya.

Bhok Lin sebaliknya tertawa haha-hihi.

"Nah, kau ajaklah aku!" katanya. "Untukku ialah asal ada keramaian yang dapat dilihat!"

Selagi puterahertog dari Inlam itu berbicara demikian akrab dengan Tjhian Tiang Tjoen, dua pengiringnya mendekati Tiat Keng Sim.

"Ada kabar apa dari rumah?" tanya Keng Sim pada mereka itu. Ia heran dan lantas ingat sesuatu apa

"Ada beberapa taydjin yang datang menjenguk kouw looya." menyahut pengiring yang muda. "Kartu nama mereka itu telah aku simpan. Ada lagi surat dari satu tuan dari Tjiatkang Hwee Koan. Nah. ini suratnya aku bawa"

Mendengar suara orang itu, Keng Sim girang bukan main, tetapi ia mengendalikan dari untuk tidak mengasi kentara kegirangannya itu, bahkan sebaiknya, ia menunjuki roman jengkel dan tidak senang, alisnya dikerutkan.

"Segala gegobrak!" katanya, tak puas. "Segala orang sesama kampung, kalau dia tidak minta tolong sesuatu tentu dia minta duit, sungguh menyebalkan! Tapi baiklah, karena kau telah membawa suratnya itu. mari kasih aku lihat!"

Pengiring itu memberikan surat yang disebutkan itu.

Keng Sim membuka surat itu, ia membaca dengan cepat, terus ia melemparkannya.

"Benarlah dugaanku!" katanya sengit. "Benar-benar dia minta tolong! Surat ini kau bawa pulang, kau catat namanya, kau serahkan pada tuan sekretaris, bilang cobalah mendayakan dia itu pekerjaan apa saja di kecamatan. Tentang ini, aku tidak ingin dibikin pusing lagi!"

"Baik, Taydjin." menyahut si pengiring. Ia membungkuk akan memungut surat yang dilemparkan itu

Selama itu. Kiauw Siauw Siauw senantiasa memperhatikan kedua pengiringnya Bhok Lin itu. karena ia merasa aneh. Di dalam hatinya pun ia berkata: "Aku seperti pernah ketemu sama ini pengiring muda. Kenapa aku tidak ingat? Dilihat dari sinar matanya dia mestinya mengerti ilmu silat... Dilihat gerak-geriknya dia tak mungkinnya menjadi bujang orang... Inilah aneh..." Ia juga heran melihat orang menyerahkan surat itu, meski ia bercuriga, ia tidak berani maju untuk melihat surat itu. Tapi saking curiga, ketika orang sudah mengundurkan diri, ia menghampirkan kedua pengiring itu.

"Apakah djiewie koankee mengikut siauwkongtia dari Inlam?" ia tanya mereka Ia bersikap ramah tamah, sebagaimana ia pun menyebut orang koankee, kuasa rumah. "Pasti djiewie banyak capai! Bolehkah aku numpang tanya she mulia dan nama besar djiewie koankee?" Lantas ia mengulur tangannya, untuk berjabatan.

Sebenarnya Siauw Siauw menyodorkan tangan kepada si pengiring muda, akan tetapi si pengiring tua mendahului kawannya menyambut tangannya itu.

Begitu lekas mereka sudah berjabatan. Kiauw Siauw Siauw mengerahkan tenaga dalamnya, ia menyalurkan itu ke tangannya, untuk disalurkan terlebih jauh ke tangan orang.

Si orang tua berjabat tangan sambil berkata dengan hormat sekali: "Aku yang rendah bernama Thio Sam. Aku bersyukur yang tuan begini baik hati terhadap kami. Bolehkah aku numpang tanya she mulia dan nama besar tuan?"

Kiauw Siauw Siauw telah meyakinkan ilmu Sioelo Imsat Kang sampai di tingkat ketiga, biasanya sekalipun orang kangouw kelas satu, tidak nanti sanggup bertahan berjabat tangan dengannya apabila ia menggunai ilmunya itu yang luar biasa, akan tetapi kali ini ia mengalamkan kejadian yang luar biasa sekali. Penyaluran tenaganya itu tidak mendatangkan perubahan apa juga pada si pengiring tua, tidak ada akibatnya sama sekali, orang seperti tidak merasakan sesuatu, hingga ia menjadi sangat heran. Justeru ia heran itu, justeru ia merasai suatu hawa dingin yang menyerang padanya, menyerang terus sampai ke uluhatinya sejenak saja, ia merasa seperti tercebur ke dalam guha es, dinginnya luar biasa, sukar tertahankan. Maka ia lantas mengertak gigi, lekas-lekas ia melepaskan jabatannya, dengan menggigil, ia menyahut: "Thio Koankee liehay sekali, maaf, maaf! Aku yang rendah she Kiauw dan namaku Siauw Siauw..."

"Oh, kiranya Kiauw Toaya!" berkata si pengiring muda, yang bertindak mendekati.

Siauw Siauw takut pemuda itu pun liehay seperti si pengiring tua ia takut untuk saling berjabat pula, maka itu, ia menggunai alasan untuk menyingkir. Ada sebabnya kenapa ia menjadi ketakutan. Ialah tenaga Sioelo Imsat Kang yang ia salurkan kepada orang, selain tenaga itu sudah tidak memberi hasilnya, sebaliknya ia tertolak keras tenaga dalam si pengiring tua, tidak dapat ia lawan itu. Ia menjadi kaget karena ia ketahui baik sekali, selagi ia tidak dapat melukai orang, ia sendiri yang akan terluka. Maka lekas-lekas ia melepaskan tangannya itu. Ia heran sekali. Ia tahu cuma ia dan ayahnya yang mempelajari Sioelo Imsat Kang, maka itu, kecuali orang yang tenaga dalamnya sangat mahir, tidak nanti ada yang dapat melawan mereka berdua. Si pengiring tua tidak terserang, bahkan dia dapat membalas. Tidakkah itu hebat? Syukur untuknya, ia pandai ilmu menyelamatkan diri, guna lolos dari serangan si pengiring tua. Walaupun demikian, masih mesti lewat beberapa saat sebelum hawa dinginnya buyar lenyap.

Tjhian Tiang Tjoen heran melihat orang mundur ke pojok bagaikan lagi menyembunyikan diri dan mukanya pun menjadi pucat sekali. Ia lantas menghampirkan.

"Saudara Kiauw. apakah kau kurang sehat?" ia tanya. Ia memang tidak mendapat tahu apa yang telah terjadi selama orang bersalaman sejenak itu.

"Tidak, tidak apa-apa," menyahut orang yang ditanya. Tapi ia ingat suatu apa, segera ia menambahkan: "Dua pengiringnya siauwkongtia itu rada aneh, maka baiklah kau memperhat i kan nyai"

"Bagaimana anehnya?" Tiang Tjoen tanya.

"Barusan aku telah menguji mereka, nyata mereka liehay ilmu silatnya."

"Kalau begitu, tidak aneh. Kokkong mempunyai siauwkongtia sebagai anak satu-satunya, untuk melindungi puteranya dia pasti memakai orang-orang yang liehay."

"Tetapi ilmunya itu liehay luar biasa," kata Siauw Siauw pula. "Saudara Tjhian maafkan aku bicara terus terang. Menurut pandanganku, mungkin kita bukan tandingan mereka itu!"

Baru sekarang Tiang Tjoen terkejut.

"Pengiring yang tua itu menyebutkan diri bernama Thio Sam," kata pula Siauw Siauw. "Aku percaya itulah nama palsu. Pula yang aneh dari mereka itu. dengan kepandaian mereka demikian tinggi, kenapa mereka sudi menjadi pengiring?"

Tjhian Tiang Tjoen pun heran, ia lantas berpikir.

"Turut penglihatanku." katanya kemudian, "mungkin ini sebabnya Tiat Keng Sim berhasil melindungi bingkisannya. Mungkin Keng Sim mengandali ini dua orang. Jadi apa yang orang omongkan di luaran tidak dapat dipercaya habis."

Apa yang Tiang Tjoen dengar di luaran itu ialah halnya Keng Sim kenal baik orang-orang yang merampas bingkisan.

Ketika itu. Keng Sim dan Koen Tjip seperti lagi perang dingin. Keng Sim mencoba memperayal urusan, supaya ia mendapat tempo, Koen Tjip sebaliknya mendesak, minta penangkapan dilakukan segera, tidak perduli waktu malam. Kesudahannya Keng Sim kalah desak, ia kewalahan. Ia tahu, kalau ia terus menolak, rahasianya bisa pecah.

"Karena penjahat itu telah ketahuan tempat berdiamnya," ia berkata "baiklah sebentar malam jam tigaTaydjin datang berkumpul, untuk kita berangkat bersama-sama."

Hoe Koen Tjip tertawa.

"Tidak usah aku pulang ke keraton!" katanya. "Aku akan berdiam terus di sini, untuk menunggu saudara, guna kita berangkat bersama-sama Sehabisnya pesta ini, kita pun mesti mengatur sesuatu, dari itu, saudara Tiat, kau pun baik tak usah pulang lagi!"

Keng Sim mengeluh di dalam hati, sedang ia telah memikir sebubarnya pertemuan hendak ia menggunai ketika untuk pulang ke gedungnya. Dengan desakannya Hoe Koen Tjip itu, ia menjadi tidak bisa berkisar dari tempat pesta ini. Terang Koen Tjip mau menahan ia sampai selesai penangkapan orang jahat.

"Mungkinkah dia bekerja begini karena kisikannya Yang Tjong Hay?" pikirnya kemudian. "Tapi Yang Tjong Hay telah memberikan tempo tiga hari padaku?... Agaknya malam ini aku tidak bakal lolos, maka baiklah aku bertindak seperti bunyinya surat barusan, umpama kata aku mesti mati, aku mati tak kecewa terhadap entjie Sin Tjoe..."

Keng Sim menduga jelek kepada Yang Tjong Hay, dugaannya itu meleset. Sebaliknya, Hoe Koen Tjip telah memperoleh endusan yang Yang Tjong Hay lagi berichtiar untuk mendapatkan pulang pangkatnya, pangkat Taylwee Tjongkoan itu. Karena ini, Koen Tjip lantas bekerja cepat, untuk mendahului Tjong Hay, mendahului menangkap kawanan perampas bingkisan yang mereka cari itu. Dari lain sumber ia telah mendapat tahu halnya le Sin Tjoe telah datang ke kota raja bahkan pembawa berita itu menjelaskan bahwa Keng Sim dan Sin Tjoe ada sahabat-sahabat lama dan perhubungan mereka berdua sangat akrab. Ini pula sebabnya maka KoTh Tjip mengatur rencana mendesak Keng Sim menangkap Sin Tjoe itu.

Segera setelah selesai pembicaraan, Tjhian Tiang Tjoen mulai dengan perjamuannya. Hoe Koen Tjip duduk di sisi Keng Sim, sedang Tjhian Tiang Tjoen menemani Bhok Lin di lain meja

Setelah orang minum tiga idaran, Hoe Koen Tjip mengangkat cawannya, sambil tertawa, ia kata: "Malam ini Tiat Taydjin bakal bekerja sendiri, pastilah kawanan penjahat menjadi seperti binatang pie di dalam korang, pasti mereka bakal kena dibekuk! Mari kita memberi selamat lebih dulu pada Tiat Taydjin!"

Girang sekalian piauwsoe dan boesoe pelbagai propinsi mendengar yang perampas bingkisan yang dilindungi mereka bakal dibekuk sebentar lagi, itu artinya mereka bakal bebas dari malapetaka, maka semua menjadi sangat gembira.

"Benar, benar!" mereka berseru-seru, terus mereka mengangkat cawan mereka, untuk turut memberi selamat.

Semua mata lantas diarahkan kepada Keng Sim, siapa sebaliknya diam-diam memperhatikan kedua pengiringnya Bhok Lin. Ia tetap bingung tetapi ia mencoba menguasai diri. Ia mendapat kenyataan, mereka itu berdua juga memperhatikan padanya.

Hoe Koen Tjip bermata tajam, ia merasa sikapnya Keng Sim lain.

"Tiat Taydjin. mengapa kau tidak minum?" tanyanya seraya membentur cawannya hoetongnia dari pasukan Gielimkoen itu.

Keng Sim menyambuti, tetapi kemudian, mendadak ia menanya

"Hoe Tjongkoan. kau bilang bahwa kau telah mendapat tahu halnya si orang jahat, siapakah mereka itu?"

"Kapan nanti telah tiba waktunya kau akan ketahui sendiri," sahut si tjongkoan.

"Hoe Tjongkoan. apakah kau tidak percaya aku?" Keng Sim tanya. "Aku telah dipujikan kamu berdua untuk aku yang mengepalai penangkapan penjahat ini. habis, apakah aku tidak boleh mengetahui sekalipun siapa si penjahat itu?"

"Bukan begitu, bukannya taydjin tidak dipercaya." menyahut Hoe Koen Tjip. "Di sini ada banyak orang, •aku kuatir rahasia nanti bocor..."

"Mana bisa rahasia bocor!" Keng Sim mendesak. "Hadirin di sini semuanya boesoe yang bingkisannya dirampas penjahat! Lagi pula, sekarang kita semua berkumpul di sini, kita tidak bakal berpisah pula sampai sebentar jam tiga. mana bisa rahasia bocor?"

Hoe Koen Tjip terdesak. Memang tidak pantas Keng Sim tidak ketahui penjahat yang bakal ditangkap itu siapa adanya. Untuknya, yang penting ialah agar Keng Sim suka terus ikut padanya.

"Dua orang jahat yang hendak dibekuk itu. merekalah pria dan wanita," ia memberikan keterangannya. "Yang pria bernama Thio Giok Houw, yang wanita Ie Sin Tjoe, dan mereka semua murid-muridnya Thio Tan Hong. Ilmu silat mereka liehay, maka itu malam ini kita semua harus bekerja keras. Aku mengundang semua saudara turut bersama."

Mendengar disebutnya dua nama itu. yang mereka juga baru dengar, semua hadirin itu mengasi dengar suara heran atau kaget. Di antaranya ada Sanhoa Liehiap yang tersohor.

"Bukankah kau menyebutkan nama Ie Sin Tjoe?" Keng Sim tanya, keras. "Lain orang siapa juga dapat aku pergi menangkapnya, kalau nona itu, tidak, tidak dapat aku turut kamu!"

Hoe Koen Tjip heran hingga ia melengak.

"Kenapa orang itu tidak dapat ditangkap?" dia tanya kemudian, suaranya pun keras. "Kau toh bekerja untuk Sri Baginda Raja! Apakah dalam urusan ini orang boleh mementingkan urusan pribadi?"

Tiat Keng Sim mengerti kesulitannya. Memang tidak dapat ia mengelakkan titahnya raja Tapi juga benar, tidak dapat ia menawan Sin Tjoe. Terpaksa ia mesti mengambil jalan yang ditunjuk. Mendadak ia menghunus pedangnya menikam ke arah tenggorokannya!

Tjhian Tiang Tjoen duduk di lain mejatetapi dekat sama mejanya Keng Sim dan Hoe Koen Tjip itu, selama itu ia pun memperhatikan pembicaraan orang hingga ia mengerti suasana tegang itu, maka itu ia mendapat lihat kenekatannya Keng Sim. Tanpa ayal lagi ia bertindak ialah ia menyampok pedangnya menantu Bhok Kokkong itu, hingga tikaman itu nyasar dari tujuannya. Meski begitu, Keng Sim pun terus roboh hingga tubuhnya tidak berkutik lagi.

Hoe Koen Tjip kaget bukan kepalang. Ia berbangkit untuk menghampirkan Keng Sim, untuk melihatnya sambil membungkuk. Kesudahannya ia menjadi terlebih-lebih kaget, hingga ia menjerit-jerit: "Celaka! Celaka! Dia mati! Dia mati!..."

"Apa? Mati?" tanya Tiang Tjoen kaget. Ia heran hingga ia kata di dalam hatinya: "Toh pedang Keng Sim kena aku sampok mental! Toh pedang itu tidak menusuk tenggorokan, cuma mengenai kulit sedikit! Kenapa dia lantas mati?"

Mukanya Koen Tjip pucat, seorang diri dia mengoceh: "Tiat Taydjin... dia?... dia membunuh diri dengan merusak nadinya, dia tidak dapat ditolong lagi..."

Tiang Tjoen tercengang.

"Benarkah?" ia menanya, saking heran. Ia lantas memegang hidung orang. Di situ tidak ada hawa panas, dan hidung mulai dingin. Yang lebih hebat, kecuali luka di nadi, dari mulut, hidung, mata dan kuping Keng Sim juga keluar darah.

Selagi Tjhian Tiang Tjoen hendak melanjuti memeriksa tubuhnya Keng Sim itu, Bhok Lin, yang menangis menggerung-gerung, lantas berteriak: "Bagus ya! Kamu mendesak hingga tjiehoe-ku membunuh diri! Mari kita menghadap Sri Baginda!" Koen Tjip menjadi bingung. "Mari kita bicara dulu!" ia berkata. "Celaka!" bentak Bhok Lin. "Kamu telah memaksa tjiehoe hingga mati, apakah kamu masih hendak mendesak dia?"

Selagi begitu, mendadak Tiang Tjoen merasai pinggangnya kaku, tubuhnya pun terhuyung hingga beberapa tindak, ketika iamelihat, ia mendapatkan pengiring yang tua dari si pangeran muda telah mengambil tempatnya berdiri, sambil membungkuk hamba tua itu lagi memeriksa tubuhnya Keng Sim. Ia kaget bukan main. Sebab ia telah dibentur hamba tua itu. Ia kepala Gielimkoen, ilmu silatnya liehay, tetapi orang dapat membentur ia secara demikian, bahkan tanpa ketahuan lagi.

Hamba tua itu memeriksa hidung Keng Sim.

"Benar-benar ia sudah meninggal dunia," kata dia kemudian seraya berpaling kepada Bhok Lin. "Napasnya sudah berhenti jalan!"

Tiang Tjoen menjadi jeri. bahkan ia tidak berani turut memeriksa.

Bhok Lin melihat semua orang diam, sambil masih menangis sesenggukan, ia lantas pondong tubuhnya Keng Sim, untuk dipanggul, buat lantas dibawa pergi. Ia hendak membawanya pulang.

"Bhok Siauwkongtia, kau tunggu sebentar," berkata Hoe Koen Tjip, mencegah. Ketika itu ia mulai dapat berpikir. "Mari kita bicara dulu..."

"Apa lagi yang hendak dibicarakan!" kata si pangeran muda keras. "Aku mau pergi kepada Sri Baginda untuk Sri Baginda yang memutuskan!"

"Tadi Tiat Taydjin mengeluarkan kata-kata yang berarti melawan titah, siauwkongtia, bukankah kau mendengarnya?" kata Koen Tjip.

"Tidak, aku tidak dengar!" Bhok Lin menyangkal.

"Siauwkongtia tidak mendengar tetapi orang di sini, semua mendengarnya!" katapuIaKoen Tjip. Dia tidak mau kalah desak.

"Baiklah, kita berpegang kepada pengakuan masing-masing!" kata Bhok Lin. "Kita lihat saja nanti, Sri Baginda mempercayai siapa! Di sini semua orang sebawahanmu, atau ada mereka yang mengharap-harap sesuatu dari kau, tentu sekali mereka akan bicara baik untukmu! Eh, Thio Sam, kau dengar apa katanya tjiehoe¬ku tadi?"

"Hamba tidak dengar apa-apa," menjawab si hamba tua.

Semua hadirin ketahui Bhok Lin mendusta, tetapi karena sudah terang Tiat Keng Sim mati karena didesak Tjhian Tiang Tjoen dan Hoe Koen Tjip, karena mereka berpangkat rendah, mereka memikir untuk tidak berbantahan dengan pangeran muda itu, maka itu, karena Hoe Koen Tjip tidak menanya tegas pada mereka, mereka berdiam saja

Hoe Koen Tjip berpikir sejenak, lantas dia tertawa.

"Mungkin siauwkongtia tidak mendengarnya terang-terang," katanya. Ia bersikap ramah. "Apakah benar siauwkongtia hendak menghadap Sri Baginda untuk meminta keadilan? Di sini ada banyak orang, jikalau Sri Baginda ingin mengetahui duduknya hal yang benar, aku kuatir... aku kuatir... Tiat Taydjin tetap mati dan perkaranya tak dapat diputuskan, bahkan Kokkongya sendiri bakal turut ke rembet-rembet... Mengingat sama-sama rekan, benar-benar aku tidak berniat memperpanjang urusan, maka turut aku, baiklah peristiwa ini tidak diumumkan. Aku rasa baiklah dibilang sajaTiat Taydjin mati mendadak, lalu siauwkongtia yang melapurkannya kepada Sri Baginda. Tidakkah itu bagus?"

Biar bagaimana, Taylwee Tjongkoan ini jeri. Keng Sim adalah orang yang baru berjasa dan dihargai raja, dia pun menantu dari Bhok Kokkong dari Inlam. jikalau perkara ditarik panjang, dia bakal kalah pengaruh. Bhok Kokkong berkuasa besar di Inlam, tenteranya pun kuat, mestinya raja menghargakan padanya Kalau kata-katanya Keng Sim sampai dikuping raja, mesti perkara berubah menjadi besar dan hebat. Keng Sim sudah mati, dia tidak bisa didengar kesaksiannya. Atau umpama kata dia yang menang, peristiwa toh tidak memberi keuntungan apa-apa untuknya. Di lain pihak lagi, ia takut untuk memberikan ketika kepada Yang Tjong Hay, yang lagi berdaya untuk memperoleh kembali pangkatnya itu. Jadi untuknya, jangan menanam permusuhan adalah paling baik. Maka itu, suka ia mengalah dan merendahkan diri...

"Jadi kau memikir untuk menyudahi urusan ini secara diam-diam saja?" tanya Bhok Lin. Ia bagaikan mengejek. Ia seperti menolak penyelesaian.

Tjhian Tiang Tjoen segera datang sama tengah. Ia pun membujuki agar si pangeran muda suka berpikir pula, untuk menyudahi perkara secara diam-diam itu. Katanya, kalau ditarik panjang, perkara bakal merembet kesana kemari.

Bhok Lin tetap tidak puas, tetapi ia kata: "Sudahlah, sudahlah, orang mati tidak dapat hidup pula! Sebenarnya aku tidak niat membuat permusuhan dengan kamu!"

"Itulah yang kita harapkan!" kata Tiang Tjoen. "Pula, dengan mengatakan Tiat Taydjin mati mendadak, namanya telah dapat dilindungi dan mukanya menjadi terang sekali!"

"Sebenarnya aku masih memikir untuk membuat muka tj iehoe menjadi terlebih terang lagi!" kata Bhok Lin, yang mendelik terhadap tongnia dari Gielimkoen itu. "Sebenarnya aku memikir meminta kamu mengenakan pakaian berkabung untuk tjiehoe-ku!" Hoe Koen Tjip menyeringai. "Untuk menyatakan berduka cita kami bersedia," katanya terpaksa

Sampai di situ, Bhok Lin mengangkat pula tubuh Keng Sim, yang tadi ia telah meletakinya

"Pergi antar siauwkongtia," kata Tjhian Tiang Tjoen pada beberapa orangnya.

"Tidak usah!" kata Bhok Lin, yang terus berjalan, diiringi dua hambanya Berapa orang Gielimkoen mau mengantar tetapi mereka dicegah oleh si pengikut tua, hingga Tjhian Tiang Tjoen tidak dapat memaksa pula ia cuma bilang: "Kalau siauwkongtia tidak menghendaki kami menggerecok, baiklah, terserah kepada kau sendiri. Umpama kata siauwkongtia memerlukan bantuan, kau perintah saja kami."

Bhok Lin tidak membilang apa-apa lagi, dia ngeloyor pergi.

Tiang Tjoen dan Koen Tjip saling memandang.

"Kematiannya Keng Sim ini sungguh di luar dugaan." kata Tiang Tjoen selang sesaat. "Sebenarniaaku hendak memakai Keng Sim sebagai umpan guna memancing dan menangkap Ie Sin Tjoe. Sekarang kita mesti memikirkan lain daya lagi..." Semua orang lantas berpikir. Lim Kim Goan, yang menjadi kepala dari boesoe pelbagai propinsi, berbicara.

"Kita berjumlah begini besar, apakah kita tidak dapat melawan dia?" ia tanya.

"Menurut berita yang aku terima, dia datang berjumlah berempat." Hoe Koen Tjip memberi keterangan. "Ialah Ie Sin Tjoe, Thio Giok Houw, Liong Kiam Hong serta Tjit Seng Tjoe si iman tua dari Boetong Pay. Mereka semua memang liehay, jikalau kita menggunai kekerasan, mungkin kita tidak kalah tetapi tidak dapat dicegah andaikata ada di antara mereka yang bisa lolos dan kabur..."

Tiang Tjoen bersangsi meski ia ketahui di pihaknya ada Kiauw Siauw Siauw dan Hoe Koen Tjip yang liehay itu.

Tengah orang lagi berpikir itu. tiba-tiba datang lapuran: "Loosianseng Kiauw Pak Beng datangi!"

Bukan main girangnya Tiang Tjoen.

"Dengan dalangnya Kiauw Loosianseng. empat orang itu sudah menjadi kura-kura di dalam korang!" serunya. Lantas dia memburu keluar, untuk menyambut.

Kiauw Pak Beng muncul bersama-sama Le Kong Thian. Dia tertawa terbahak-bahak .

Kiauw Siauw Siauw pun girang sekali, hingga ia menghampirkan sambil berkata: "Oh, ayah! Kedua kaki ayah pun sudah sembuh!"

"Jikalau bukan karena kedua kakiku, siang-siang aku sudah datang di sini!" berkata ayah itu.

Kiauw Pak Beng terluka kena dikepung Hok Thian Touw suami isteri serta Thio Giok Houw dan Liong Kiam Hong, ia dapat meloloskan diri karena ia menggunai Sioelo Imsat Kang, lantas ia mengundurkan diri, mencari tempat untuk beristirahat dan berobat. Ia mesti menggunai tempo sembilan hari sembilan malam, baru ia sembuh, bahwa kaki kirinya sembuh sekalian. Itu artinya, sakit lumpuhnya telah sembuh.

Hoe Koen Tjip mengetahui baik orang tua ini, ia berlaku sangat hormat.

"Malam ini kami handak menangkap orang jahat, kami memohon sangat bantuan Loosianseng," katanya.

"Orang jahat macam apa itu yang hendak dibekuk hingga mesti aku turut bersama?" tanya Pak Beng jumawa.

Koen Tjip memberitahukan siapa-siapa yang hendak ditawan.

"Melainkan itu beberapa bocah?" kata pula Pak Beng sambil menggeleng-geleng kepala.

"Sebenarnya kedatangan aku si orang tua ke Selatan ini ada dengan niat menempur Thio Tan Hong, atau sedikitnya Hok Thian Touw dan isterinya apabila suami isteri itu bergabung menjadi satu... Jikalau lain orang, hm! Mereka tidak ada di mataku, jikalau aku turun tangan maka aku membikin turun juga derajatku!"

"Empat bocah itu," kata Tiang Tjoen, turut bicara, "meski mereka anak-anak muda merekalah yang memegang peranan penting dalam perampasan pelbagai bingkisan untuk Sri Baginda, maka jikalau mereka itu dapat diringkus, pasti nama Loosianseng akan tersohor diseluruh negeri serta Sri Baginda juga niscaya akan menghadiahkan sesuatu kepada Loosianseng."

"Ya, ayah, cukup asal kau turut mengantar kami!" kata Siauw Siauw kepada ayahnya, membantu suara. Kiauw Pak Beng berpikir. "Baiklah!" bilangnya kemudian. "Malam ini aku akan menemani kamu, untuk membantu meramaikan, andaikata kamu tidak berhasil, tidak apalah aku turut turun tangan juga. taklah terlambat..."

Pak Beng berkata demikian sebagai pelabi saja, maksudnya yang benar ialah ia datang untuk membantu anaknya mendapatkan nama. Ia telah mendapat tahu Hok Thian Touw sudah pulang ke Thiansan. maka ia tidak berkuatir lagi. Umpama kata Thian Touw ada bersama, dengan penyakitnya sudah sembuh, ia tidak takut. Ia telah memikir mengandalkan anaknya dan Le Kong Thian guna membekuk Sin Tjoe beramai yang telah pergi ke kota raja, ia cuma hendak membantu secara diam-diam.

Bukan main girangnya Koen Tjip mendengar Pak Beng suka membantu, ia lantas menjamu jago tua itu. Pula di situ ia lantas mengatur rencana penyerbuan, guna membekuk Ie Sin Tjoe semua. Karena ia kuatir nanti kurang tenaga, ia menambah bantuan, di antaranya delapan wiesoe terpandai dari keraton.

Habis berjamu, orang masih menanti, baru pada jam dua, mereka mulai berangkat. Tatkala mereka lewat di depan gedung Keng Sim, di sana terdengar suara pendeta sedang bersembahyang, suatu tanda orang tengah mengurus jenazah orang she Tiat itu.

Dengan tertawa dingin Tjhian Tiang Tjoen berkata: "Bocah itu takut bersalah, dia membunuh diri! Dengan tidak adanya dia, jasa tidak akan terbagi kepada lebih banyak orang, inilah ada baiknya untuk kita!..."

Kiauw Siauw Siauw sebaliknya ingat kepada kedua pengikutnya Bhok Lin, yang ia curigai, maka ia memberitahukannya kepada ayahnya. Ia bicara bisik-bisik.

Pak Beng terkejut mendengar ada orang dapat mengalahkan anaknya itu yang sudah mengerti Sioelo Imsat Kang. maka ia kata di dalam hatinya:

"Sebentar, sesudah pulang, aku cari orang itu, untuk mencoba kepadanya!"

Rombongan, yang berjumlah besar, dipecah empat. Tujuan mereka langsung ke Seesan, Gunung Barat. Selama di tengah jalan, mereka tidak bertemu sama orang, atau orang-orang yang mencurigakan. Kira jam tiga, mereka tiba di kaki gunung.

"Kecewa Ie Sin Tjoe dan Thio Giok Houw telah hidup banyak tahun dalam dunia Kangouw," kata Hoe Koen Tjip tertawa "Lihat, bagaimana teledor mereka menjaga diri!"

"Tetapi," berkata Tjhian Tiang Tjoen, "mana mereka ketahui tindakan kita ini? Mimpi pun tidak mereka bahwa kita bakal datang mengepung mereka!"

Segera juga empat rombongan berkumpul semua, mereka terus mengurung kuil Hianbiauw Koan. Untuk sekian lama, mereka tidak mendengar suara apa-apa dari dalam kuil itu. Mau atau tidak, mereka menjadi heran.

"Coba kamu masuk dan melihat," Tjhian Tiang Tjoen lantas menitahkan dua wiesoe dari Taylwee, keraton. Ia memilih dua orang yang liehay ilmu ringan tubuhnya. Perlu diselidiki, Sin Tjoe beramai lagi bikin apa di dalam kuil.

Tongniadari Gielimkoen itu tidak mau lancang menyerbu. Ia tahu Sin Tjoe liehay bunga emasnya tak sudi ia nanti jatuh kurban-kurban dipihaknya.

Kedua wiesoe itu masuk ke dalam kuil dengan melompati tembok pekarangan. Mereka seperti terjun ke dalam laut atau kejeblus ke dalam lumpur. Lama mereka tidak kembali, tidak terdengar juga suaranya

"Taruh kata mereka kena dibokong, mereka tentu bisa kabur atau berteriak..." pikir Tiang Tjoen, yang menjadi menduga-duga "Mereka pun liehay ilmu ringan tubuh mereka Mustahil mereka tidak dapat meloloskan diri?"

Sekian lama Tiang Tjoen masih menanti, lantas ia mengirim dua orang lain. yang dipesan untuk berhati-hati.

Segera juga ternyata, dua wiesoe yang belakangan ini juga tidak ada gerak-geriknya seperti dua yang pertama

Semua orang menjadi heran, semua menjadi penasaran.

"Aku tidak takut pada bunga emas Ie Sin Tjoe, nanti aku yang masuk berdua Le Kong Thian," kata Kiauw Siauw Siauw kemudian. "Nanti aku usir mereka keluar, kamu menjagalah hati-hati, agar mereka tidak dapat lolos!"

Tiang Tjoen semua setuju Siauw Siauw yang masuk ke dalam kuil. Pemuda itu lantas mengajak Le Kong Thian. Ia menyiapkan kipasnya yang liehay, guna menjaga diri dari serangan bunga emas.

Kuil Hianbiauw Koan gelap dan sunyi. Tidak terlihat apa-apa, tidak terdengar apa-apa juga. Siauw Siauw dan Kong Thian masuk terus ke dalam. Mereka lantas mencari atau memeriksa belasan kamar. Mereka tidak memperoleh sesuatu. Kuil itu kosong dari manusia

"Mungkinkah mereka telah mendengar selintingan dan lantas kabur lebih dulu?" tanya Siauw Siauw kepada kawannya.

Le Kong Thian tidak dapat membilang apa-apa

"Di sana masih ada pendopo Lookoen Tian, mari kita pergi melihat," dia mengajaki.

Siauw Siauw setuju. Maka bersama-sama mereka pergi ke pendopo yang disebutkan itu. Pintu pendopo dikunci.

"Pantasnya mereka sembunyi di dalam!" kata Kong Thian tertawa. Lantas ia memanggil, suaranya jumawa. "Eh, Sin Tjoe! Kau mau keluar atau tidak?"

Tidak ada jawaban, hanya samar-samar terdengar suara tertawa mengejek.

"Mari kita masuk!" Kong Thian berkata. "Hati-hati untuk senjata rahasianya!"

Kata-kata yang belakangan ini nasihat untuk Siauw Siauw.

Lantas dengan bonekanya yang berkaki satu, ia menolak daun pintu.

Cuma dengan satu tolakan keras, daun pintu, yang berlapis besi, lantas terpentang.

Di dalam pendopo dipuja patung dari Thay Siang Lie Loo Koen, yang diapit delapan belas patung malaikat guntur dan lainnya.

"Terang aku mendengar suara orang tertawa, kenapa sekarang tidak ada orangnya?" kata Siauw Siauw.

Kong Thian memasang matanya tajam, hingga ia melihat di kedua samping ada masing-masing patung yang luar biasa romannya. Kedua patung itu kusut rambutnya dan hidungnya bengkung, dan kulit mereka, yang satu putih, yang lain hitam.

"Entah malaikat sesat apa ini?" pikir si manusia raksasa matanya memandang si malaikat muka hitam. Tiba-tiba ia menjadi heran. Ia melihat mata malaikat itu bergerak terbuka dan mukanya tersungging senyuman. Ia heran tapi hanya sejenak, lantas ia sadar.

"Siapa main gila menyaru jadi malaikat di sini?" ia membentak seraya lantas menyerang.

Hebat tenaga Kong Thian, maka itu pukulannya ini ada pukulan berat seribu kati, kalau tubuh si malaikat kena terhajar, mesti tubuh itu hancur lebur. Tapi "malaikat" itu tidak berdiam saja. Setelah mata dan mukanya dapat bergerak, juga tubuhnya, lalu sembari tertawa aneh, dia mengangkat tangannya. Sungguh aneh, dia dapat menahan turunnya boneka si manusia raksasa.

Justeru itu, Kiauw Siauw Siauw juga mendapatkan keanehan pada malaikat yang bermuka putih, ia hanya sangat licik, ia tidak mau bertindak sembrono seperti Le Kong Thian. Tanpa membuka suara lagi. ia menekan alat rahasia pada kipasnya, maka itu melesatlah dua batang panah beracunnya, menyamber ke dada si malaikat...

Jitu sekali serangan membokong ini, kedua anak panah mengenai dadanya si malaikat muka putih itu. yang matanya bisa dibuka, yang mukanya dapat bersenyum. Hanya aneh, walaupun serangan mengenai tepat, malaikat itu tidak terluka. hanya kedua anak panah yang runtuh sendirinya, jatuh kelantai.

Tidak kepalang kagetnya anak Pak Beng ini.

Adalah di ketika itu, dengan berbareng kedua malaikat itu membuka mulutnya, untuk tertawa nyaring dan berkata keras: "Ke sorga ada jalannya, kamu tidak mau pergi! Neraka tidak ada pintunya, kamu lancang memasukinya! Hai kamu dua setan cilik, kamu hebat!"

Dalam kagetnya Le Kong Thian sudah lantas lompat mundur. Berbareng dengan itu terlihat sinar hijau berkeredep menyamber dari tangannya si malaikat hitam, menyerang si manusia raksasa Itulah tongkat Lektiok thung.

Kong Thian mengangkat tokkak tongdjin. untuk menangkis. Kedua senjata beradu keras, nyaring suaranya. Boneka itu berat dan kuat tetapi toh tongkat hijau itu meninggalkan bekas karena benturan itu. bahkan Kong Thian kaget sebab telapakan tangannya bergemetar dan terasakan nyeri, hampir dia membikin senjatanya itu terlepas dari pegangannya

Juga si malaikat muka putih berlompat maju untuk menyerang.

Kiauw Siauw Siauw tidak berlaku berani dan sembrono seperti Kong Thian, dia bahkan menunjuki kelicikannya. Itulah disebabkan heran dan kagetnya. Ia tidak menangkis, ia berkelit ke samping, dari situ, ia membalas menyerang. Tiga kali beruntun ia menotok ke jalan darah wietoo, kwietjhong dan kiekoat. Karena ia liehay, liehay sekali totokannya itu: gesit dan hebat. Kalau totokan mengenai, celakalah lawannya. Ia sengaja segera bertindak demikian karena ia tahu pasti dua "malaikat" itu mestinya liehay sekali.

Dengan mengasi dengar suara, ketiga totokan itu mengenai sasarannya saling susul, akan tetapi untuk herannya Kiauw Siauw Siauw, kurban totokannya itu tidak roboh, sebaliknya ia merasakan tolakan yang keras, hingga ia sempoyongan ke depan hampir ia roboh, syukur ia masih dapat mempertahankan diri, sedang telapakan tangannya terasakan kaku.

Si malaikat muka putih tertawa bergelak.

"Kiranya begini saja totokannya si siluman tua she Kiauw!" katanya mengejek.

Maka ternyatalah, dia sengaja mengasi dirinya tertotok cuma untuk menguji totokan orang yang istimewa.

Siauw Siauw kaget hingga hatinya menjadi ciut, ia lantas memutar tubuhnya, untuk pergi menyingkirkan diri. Ketika itu ia mendengar suara tingting-longtong, dari beradunya tokkak tongdjin Le Kong Thian dengan Lektiok thung si malaikat muka hitam, tujuh atau delapan kali beruntun.

Menyusul itu terdengar kedua malaikat itu berseru berbareng: "Anak tolol! Kau telah tiba di sini, apakah kau masih memikir untuk kabur?" Kata-kata itu disusul sama lompatan tubuh yang tinggi, melewati Kiauw Siauw Siauw berdua. Sebab Kong Thian pun mau turut lari keluar memenuhi ajakan majikan mudanya Kedua tangannya masing-masing malaikat itu lantas menyamber!

Ketika itu Hoe Kocn Tjip semua, di luar kuil, telah mendapat dengar suaranya senjata beradu. Tjhian Tiang Tjoen, yang terkejut berbareng girang, berkata: "Mereka tengah bertempur! Mari kita masuk!" Ia mengibaskan tangannya, sebagai titah maju.

Seorang pemimpin Gielimkoen, yang bersenjatakan gembolan, mengibaskan juga senjatanya, maka semua orang lantas bergerak memasuki kuil itu.

Kiauw Pak Beng menyangka orang lagi menempur Sin Tjoe berempat, ia tidak menghiraukannya, ketika kemudian ia mendengar suara semakin riuh, baru ia heran bahkan kaget, maka sambil berseru, ia turut maju. Dengan satu lompatan tinggi dan jauh, ia mendahului belasan boesoe. Maka di lain saat, ia telah masuk ke dalam Hianbiauw Koan.

Hpe Koen Tjip bersama delapan wiesoe terlihay tiba paling dulu di dalam pendopo Lookoen Tian. justeru mereka tiba, justeru mereka menyaksikan tubuhnya Le Kong Thian dilemparkan lawan, menyusul mana. dua pembantunya juga kena dicekuk dan dilemparkan saling susul. Mereka ini, dengan tidak mengenal takut, sudah lantas maju menyerang, hanya baru beberapa gebrak, mereka sudah tersamber dan kena dilemparkan itu.

Dalam heran dan kagetnya, Hoe Koen Tjip memasang mata kepada kedua malaikat itu.

"Hek Pek Moko!" akhirnya ia berteriak dengan kaget. Tidak ayal lagi, ia memutar tubuh, untuk mengangkat tubuhnya Le Kong Thian, buat dibawa pergi.

"Kau juga rebah!" berteriak Hek Moko sambil tertawa besar. Bentakannya itu disusuli serangannya.

Hoe Koen Tjip menyekal pedangnya dengan sebelah tangan, ia menyambut serangan dengan satu tabasan.

Hek Moko berkelit, habis berkelit. duajari tangannya menusuk ke kedua mata orang.

Pahlawan raja itu menjadi repot. Tak dapat ia melakukan perlawanan, meski ilmu pedangnya liehay. Terdesak secara demikian, ia melenggak. Sia-sia belaka ia berkelit. Hek Moko menyusul padanya, maka di lain saat; tubuhnya pun roboh terkapar tak berdaya...

Hek Pek Moko biasa berdagang dengan orang-orang kaum Rimba Hijau, meski begitu, terhadap kaum Jalan Hitam dan Jalan Putih yang tidak lurus, mereka biasa berlaku telengas, karena mereka liehay. mereka tidak takut siapa juga. Bahkan karena sikapnya itu, mereka ditakuti. Sebenarnya sudah beberapa tahun mereka tidak pernah muncul, hingga ada yang menduga mereka sudah berhenti dagang, sudah mencuci tangan dan pulang ke negerinya untuk hidup sebagai hartawan-hartawan yang berbahagia, maka tidak disangka-sangka, sekarang mereka muncul di kota raja ini.

Dengan dirobohkannya Hoe Koen Tjip, semua wiesoe dan orang Gielimkoen, juga kawanan boesoe, menjadi kaget dan jeri. Sekarang mereka semua mengenali itu dua jago dari India. Tidak ragu-ragu lagi, mereka memutar tubuh, untuk menyingkir dari kuil Hianbiauw Koan itu.

Tjhian Tiang Tjoen menyaksikan kejadian itu. ia kaget dan heran. Ia mencoba berteriakan. mencegah orang-orangnya mengangkat kaki, ia tidak berhasil. Ia lantas lari ke depan, untuk menghalang-halangi. Ia mengharap tibanya Kiauw Pak Beng, guna membikin tetap hati mereka itu.

Hek Pek Moko tertawa berkakak sesudah ia merobohkan Hoe Koen Tjip. Selagi ia tertawa itu, mendadak ia merasakan serangan yang keras, yang datangnya dari arah belakang. Ia terkejut. Ia menduga kepada musuh yang liehay. Cepat sekali ia memutar tubuh ke belakang, guna menangkis. Maka ia lantas merasakan tangannya membentur sesuatu yang dingin seperti es. Ia heran dan kaget, lantas ia berkelit dengan ilmu yoga, setelah mana, ia membalas menyerang!

Itulah serangan di luar dugaan, walaupun si penyerang secara membokong itu liehay, dia toh kena terhajar hingga tubuhnya terangkat tinggi dan mental. Tapi karena menghadapi lawan tangguh, Hek Moko juga terhuyung mundur tiga tindak!

Nyatalah penyerang gelap itu Kiauw Pak Beng adanya.

Pak Beng telah mencapai Sioelo lmsat Kang tingkat ke tujuh, dia beda jauh dari puteranya maka itu, karena hajarannya itu, Hek Moko merasakan seluruh tubuhnya menjadi dingin. Maka syukur untuknya, ia masih dapat bertahan, ia juga bisa membikin lawannya terpental. Karena ini keduanya insaf bahwa mereka lagi menghadapi lawan tangguh.

Hek Moko lantas mengenali lawannya, ia berkata: "Siluman tua she Kiauw, mari, mari! Kita belum kalah atau menang, mari kita main-main pula sampai tiga ratus jurus!"

Kiauw Pak Beng tidak menjawab tantangan itu, sebab begitu ia menginjak tanah habis ia terpental itu. terus berjumpalitan, ia terus menerjang ke arah Pek Moko. Sebab ketika itu, Pek Moko lagi mengejar Siauw Siauw yang licik dan lincah, yang tidak kena disamber untuk dilemparkan.

Kiauw Siauw Siauw mengerti tipu silat "Ieheng hoanwie." atau "Memindahkan wujud, mengubah kedudukan," maka melebihi Le Kong Thian, bisa ia berkelit dari setiap samberannya si malaikat muka putih. Tiga kali ia lolos dari serangan, tempo ia didesak terus, ia kewalahan juga. Begitulah, ketika ia lari ke undakan tanggalorak, iagagal, kali ini ia kena tersampok hingga tubuhnya terhuyung, bajunya pun robek. Ketika itu terdengarlah seruannya Hek Moko menyebut "siluman tua she Kiauw," mendengar mana. gerakan Pek Moko menjadi lambat, hingga Siauw Siauw tidak terhajar lebih jauh. sebaliknya Pak Beng telah tiba, maka mereka berdua lantas bergebrak.

Ketika tangan mereka bentrok, ia mundur tiga tindak, sedang Kiauw Pak Beng mundur dua tindak. Hanya di samping itu, ia merasakan serangan hawa dingin, hingga ia mesti mengempos semangat, untuk melawan, tetapi tidak urung, untuk sejenak ia menggigil juga.

"Bagus, Hek Pek Moko!" kemudian Kiauw Pak Beng mengasi dengar suaranya. "Nyata kamu berani menghina anakku! Mari, mari! Mari hari ini kita mengambil keputusan siapa jantan siapa betina!"

Tanpa menjawab, Hek Moko menggeraki tongkat hijaunya, ia bergerak dalam jurus "Naga berlompat keluar dari dasar laut." Tongkatnya itu bersinar hijau, sasarannya ialah punggung lawan.

Kiauw Pak Beng telah mencoba tenaga orang, maka itu ia bisa menduga, kali ini serangan mestinya berbahaya. Orang pun tidak ada di sebawahannya, ia menjadi tidak boleh memandang enteng. Maka segera ia berkelit dengan gerakannya "Naga melingkar mengangkat kaki." Karena orang bersenjata ia pun tidak mau bertangan kosong terus, dari itu sambil bertindak, tangannya menyamber sebuah hiolouw atau tempat abu besi, sembari memutar diri, ia memutar itu. guna membuat perlawanan.

Di saat itu. Pek Moko sudah dapat memperbaiki diri. Ia tidak mau berdiam saja, ia maju untuk membantui kakaknya. Dengan Pektiok thung, tongkat kemala putih, ia menyerang. Ia kena menghajar hiolouw lawan, sedang tongkatnya Hek Moko mengenai juga. Maka terdengarlah suara nyaring dua kali dari bentroknya ketiga senjata, suaranya hiolouw mengaung bagaikan genta gereja...

Pertempuran ini pun menyebabkan meja terbalik dan patung-patung malaikat pada jatuh ke lantai.

Semua boesoe kagum dan kaget melihat hebatnya pertempuran itu, mereka jadi jeri. lantas mereka berebut mengundurkan diri, untuk menyingkir.

Kiauw Siauw Siauw berlari-lari keluar dengan bercampuran sama orang banyak, ketika tiba di lorak tangga, ia memikir untuk melihat Le Kong Thian guna menyaksikan bagaimana lukanya kawan itu. Justeru itu kupingnya lantas mendengar satu suara nyaring dan panjang, disusul sama senandung terang dan bersih:

"Pedang mustikaku tak puas mengikuti aku sehingga tua, di dalam sarungnya dia masih bergeram bagaikan naga!"

Bukan main kagetnya ia, karena ia segera ingat kepada seorang orang. Lupa kepada Le Kong Thian, ia kabur terus. Baru ia tiba di luar kuil maka ia menampak keadaan yang kacau di antara kawanan boesoe dari pelbagai propinsi serta pemimpin barisan Gielimkoen. Mereka itu lari serabutan. mulut mereka memperdengarkan seruan-seruan kaget. Seperti juga mereka telah menghadapi musuh, atau musuh-musuh, yang terlebih tangguh daripada Hek Pek Moko. la lantas mengangkat kepalanya, untuk memandang ke depan. Atau tiba-tiba ia terkejut pula.

Entah kapan datangnya, mendadak di hadapannya berdiri seorang berusia empat puluh lebih, pakaiannya putih, gerak-geriknya halus sebagai seorang sastrawan. Orang itu tidak beroman bengis, sebaliknya, dia bersenyum berseri-seri. Ia kaget karena ia liehay akan tetapi ia tidak mendapat tahu munculnya orang itu.

"Kiauw Siauw Siauw!" berkata orang itu sambil bersenyum, "tadi siang kita telah bertemu satu dengan lain, apakah kau masih ingat?"

Lagi-lagi puteranya Kiauw Pak Beng kaget. Ia ingat lagu suara orang ini. Dialah si orang tua yang tadi dibawa sebagai pengikut oleh Bhok Lin, cuma sekarang roman orang, dandanannya juga, berbeda. Sekarang dia tak mirip-miripnya dengan si hamba pengiring tua tadi siang.

"Kau... kau siapakah?" ia menanya, suaranya sedikit parau.

Sastrawan pakaian putih itu tertawa.

"Aku mendengar kabar orang tuamu datang dari tempat yangjauh," dia menyahut manis, "katanya dia sengaja hendak mencari aku, maka itu, sekarang kau bertemu sama aku.

Kenapa kau tidak mengenali aku?" Lagi-lagi Siauw Siauw kaget.

sekarang bukan main kagetnya itu. "Kau... kaukah Thio Tan Hong?"

ia menanya dengan suara bergemetar. Sastrawan itu tertawa. "Tidak salah, akulah Thio Tan

Hong!" jawabnya "Sekarang kau berdiamlah bersama aku di sini!"

Kiauw Siauw Siauw tidak ingat apa-apa lagi kecuali untuk membela dirinya, untuk mendapatkan kebebasannya. Tanpa membilang apa juga ia menekan pesawat rahasia pada kipasnya yang liehay, maka menyusuli itu belasan batang tulang kipasnya lantas berubah menjadi seperti anak-anak panah beracun, yang melesat menyamber ke arah sastrawan itu. Ia tahu yang ia tidak bakal dapat melukakan Thio Tan Hong tetapi ia hendak menggunai siasat ini untuk ia bisa mengangkat kaki.

Thio Tan Hong seperti telah dapat menerka hati orang, ketika serangan datang, ia mengedut dengan tangan bajunya membikin semua anak panah itu mental tinggi ke udara. Tidak ada sebatang juga yang berbal i k menyamber kepada pemiliknya oleh karena tidak ada niatnya untuk membikin orang terluka. Dengan dikibaskan ke udara, dapatlah dicegah anak panah yang berbahaya itu melukai siapajuga.

Kiauw Siauw Siauw menjalankan siasatnya itu seraya ia lantas berlompat, untuk menyingkir dari Tan Hong, atau belum tubuhnya melesat, tahu-tahu ia merasakan iganya kaku. Ia tidak melihat bagaimana Thio Tan Hong bergerak, ia cuma tahu ia telah lantas tertotok hingga tubuhnya roboh tanpa berdaya.

Habis merobohkan pemuda itu. dengan tidak perdulikan orang-orang yang kabur itu. Tan Hong bertindak ke arah kuil untuk memasukinya, sambil tertawa ia lantas berkata: "Saudara-saudara Hek Pek. silahkan kamu keluar untuk melakukan penangkapan! Aku mengharap kamu jangan membikin lolos barang seorang jua! Tentang si siluman tua. kau serahkanlah dia padaku!"

Ketika itu Hek Pek Moko justeru lagi mengepung Kiauw Pek Beng. Jago tua itu belum kalah tetapi dia sudah sangat terdesak, umpama kata tidak dapat dia membuang napas. Dia mendengar suara orang. Ketika Hek Pek Moko menghentikan pengepungannya dengan lantas menarik pulang tongkat mereka tahu-tahu dia mendapat Thio Tan Hong sudah berada dihadapannya.

Dua saudara Moko itu sudah lantas meninggalkan pendopo L ookoen Tian itu.

Kiauw Pak Beng mencoba mengendalikan hatinya yang berdebaran keras, ia pun mencoba menyalurkan pernapasannya maka dengan begitu, dia mendapat kesempatan untuk memandangi orang di depannya itu.

"Adakah kau Thio Tan Hong?" dia menanya. Dia mendapat ketika untuk menegur terlebih dahulu karena orang berdiri mengawasi padanya. Dia agaknya heran. Dia telah mendengar nama kesohor dari Tan Hong, tidak tahunya orang masih berumur muda...

Tan Hong mengangguk, terus tertawa

"Aku mendengar kabar kau mencari aku untuk menguji padaku." ia menyahut. "Aku mau menghaturkan terima kasih padamu yang telah menghargai sekali padaku. Mana dapat aku membuatnya kau hilang pengharapan? Maka itu sekarang sengaja aku datang menemui kau, supaya kau tak usahlah berjalan jauh pergi ke gunung Tjhongsan!" Ia berhenti sejenak, ia melirik kepada jago tua itu. Lagi-lagi ia tertawa dan berkata, menambahkan: "Aku tidak mau menang sendiri! Barusan kau telah bertempur sama Hek Pek Moko, dari itu suka aku memberikan, ketika padamu untuk beristirahat dulu! Ah, benar, baru aku ingat, di sini aku mempunyai sebutir pel Siauwhoan Tan. Inilah obat yang dulu hari aku diberikan oleh ketua dari Siauwlim Sie. Benar obat ini bukannya obat dewa yang mempunyai kemustajaban membuat hidup lagi orang yang telah meninggal dunia, tetapi ini sedikitnya ada faedahnya untuk menambah kesegaran, untuk memperkuat semangat. Tegasnya, obat ini besar faedahnya. Ini, kau boleh makan, sebentar kita bisa lekasan sedikit mengadu tenaga!"

Kiauw Pak Beng mempercayai Thio Tan Hong. Sebagai orang gagah di jamannya itu. tidak nanti Tan Hong mau berlaku licik dengan main racun. Ia sendiri seorang yang berkepala besar, tetapi ia dapat menggunai otaknya. Coba lain orang, pastilah orang tak kesudian menerima obat kuat dari Tan Hong itu. Coba Tan Hong itu lain orang, pasti Pak Beng tidak sudi menerima budinya. Tapi ia memikir lain. Ia menginsyafi inilah saat mati dan hidupnya. Jadi ia memerlukan tenaga yang sempurna. Bukankah tadi menghadapi Hek Pek Moko ia sudah mengeluarkan tenaga besar luar biasa, hingga ia merasa letih? Maka itu tanpa sungkan-sungkan, ia menyambuti pel Siauw Hoan Tan dari Tan Hong, lantas ia menelannya.

Tan Hong pun senang melihat kelakuan orang itu. Diam-diam ia memuji Pak Beng sebagai seorang gagah. Pantas dia disebut orang si kepala iblis! Ia memang ingin bertempur selagi orang segar-segar, agar ia bisa menguji kepandaian orang itu, agar kalau orang kalah, orang kalah dengan puas dan ichlas.

Ketika Kiauw Pak Beng sudah menelan pel itu, dengan lantas ia merasakan hawa panas di dalam perutnya hawa yang tersalurkan ke segala penjuru dari sekujur tubuhnya.

Ia turut menyalurkan pernapasannya, maka juga di dalam tempo yang pendek sekali, ia merasa kesegarannya telah pulih kembali, melebihkan daripada biasanya. Bahkan kaki kirinya, yang jalan darahnya belum bekerja, sekarang turut bekerja pula, hingga ia tidak merasakan sesuatu rintangan lagi.

"Marilah!" katanya selang sesaat seraya ia menepuk thiehiolouw, ialah tempat abu besi, yang menjadi senjatanya yang luar biasa. Ia menantang dengan suara tinggi.

"Apakah senjatamu itu tepat?" Tan Hong tanya.

"Kaulah seorang guru besar dari satu jaman," menyahut Kiauw Pak Beng, "dan aku juga bukannya orang tra mempunyai nama, maka itu di dalam hal menggunai senjata, tidak usah kita terlalu rewel!"

"Baiklah!" Tan Hong bilang. "Karena kau tetamu dari jauh, silahkan kau yang mulai!"

Kiauw Pak Beng tidak mau berlaku sungkan, tak sudi ia mengalah.

"Maafkan kelancanganku!" katanya seraya ia mengangkat senjatanya yang luar biasa itu, terus ia menghajar. Hiolouw itu turun dari atas. mengarah ke batok kepala. Tan Hong tertawa. "Hebat!" katanya. "Sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah aku menggunai pedang, kali ini aku berlaku dengan melanggar kebiasaan itu, terhadapmu hendak aku menggunakannya!"

Pedang Tjengbeng kiam orang she Thio ini telah dihadiahkan kepada Sin Tjoe, muridnya maka sekarang ia memakai pedang Tjengkong kiam yang ia buatnya sendiri. Selekasnya senjata lawan tiba, ia lantas menangkis ke atas.

"Traang!" demikian suara beradunya kedua senjata.

Dengan satu gerakan "Mengangkat obor menerangi langit," hiolouwnya Pak Beng telah ditangkis, walaupun senjata istimewa itu berat lima puluh kati. toh telah kena dibikin mental ke samping dan meninggalkan tanda bekas dari pedang yang kecil dan panjangnya cuma tiga kaki, pula itu bukannya pedang mustika

Pak Beng kaget, di dalam hatinya ia kata: "Thio Tan Hong kesohor bukan nama kosong belaka di dalam ilmu tenaga dalam, dia berada di atasan Hek Pek Moko!"

Tapi juga Tan Hong, dia tidak mau memandang enteng kepada lawannya ini. Benar dia bisa menangkis, akan tetapi sedikit hawa dingin telah menyerang kepadanya Hawa dari Sioelo Imsat Kang dari Pak Beng. yang sudah mencapai tingkat ke tujuh, tersalurkan ujung pedang yang bentrok dengan hiolouw, tiba di telapakan tangan, mengalir ke nadi, terus ke seluruh tubuh terutama bagian dalam.

Tan Hong menjadi kagum, di dalam hatinya, ia kata "Ini siluman tua benar-benar liehay, dengan hawa dinginnya itu dia dapat menyerang dengan perantaraan senjata. Di antara kaum sesat, dialah yang terliehayl"

Dengan lantas Tan Hong mengerahkan semangatnya, untuk membuyarkan hawa dingin itu. Sebenarnya ia sudah menutup diri, tidak urung hawa itu dapat menyerang kepadanya. Maka untuk bertempur terus, ia tetap menutup dirinya.

Merekalah jago lawan jago, pertempuran mereka lantas menjadi seru sekali. Setiap pukulan mereka ada pukulan dari kematian, dari itu bisa dimengerti jikalau mereka masing-masing bersiap sedia menjaga diri.

Baru lewat kira tiga puluh jurus, Tan Hong sudah merasakan seluruh pedangnya menjadi dingin bagaikan sepotong es, tetapi ia sudah bersedia, tubuhnya sendiri terhindar dari ancaman bahaya dingin itu.

"Eh. siluman tuasheKiauw!"Tan Hong menegur sambil tertawa, "apakah kau tidak takut nanti telah menggunai tenaga berlebihan? Umpama kata Sioelo Imsat Kang tidak dapat melukai aku, kau toh akhirnya bakal mendapat sakit berat!"

Kiauw Pak Beng kaget bukan main. Sioelo Imsat Kang itu ia pelajari dari sebuah kitab warisannya seorang guru besar dari kaum Lhama Putih, ia ketahui baik liehaynya itu, akan tetapi sekarang Tan Hong membuka rahasianya. Sebenarnya kebanyakan guru silat, jangan kata mengetahui caranya melawan ilmunya itu. mendapat tahu namanya saja jarang, tetapi Tan Hong ini, selain dapat melawan, juga telah mendapat tahu apa yang bakal jadi akibatnya Ia heran dan kagum. Ia pun mesti mengakui kebenaran perkataannya Tan Hong ini. Memang, ia sekarang telah berkelahi sungguh-sungguh dan itu berarti ia menggunai tenaga berlebihan, kesudahannya itu, apabila ia gagal, akan membuatnya mendapat sakit. Tapi ia bagaikan seorang yang menunggang hariman, turun salah, bercokol terus di punggung harimau, juga salah. Tidak ada lain jalan, ia mesti berkelahi terus, sedikitnya supaya sama-sama binasa..

Hebat lweekang, atau tenaga dalam, dari Tan Hong. Dia telah mencapai puncak yang dinamakan, "bertemu musuh kuat menjadi kuat sendirinya, karena serangan dapat membalas menyerang, dan menarik pulang atau menyerang dapat menurut sesukanya hati."

Kiauw Pak Beng tetap menggunai Sioelo Imsat Kang. setingkat demi setingkat. Ia mencoba mendesak. Maka itu, sering sekali senjata mereka bentrok satu pada lain, hingga saban-saban terdengar suara yang nyaring dan berisik, yang membikin telinga ketulian.

Tan Hong telah menyerang hebat, ia senantiasa mencari lowongan, tetapi tidak bisa ia lantas mengalahkan lawannya itu. Dengan hiolouwnya. Pak Beng dapat membela diri dengan baik. dia pun bisa membikin pedang saban-saban terpental. Karena seringnya senjata mereka mengadu kekuatan, hiolouw itu menjadi bertambah cacadnya, sampai puluhan bekasnya tikaman atau babatan.

Di dalam ruang Lookoen Tian itu duajago mengadu kepandaiannya, di luar kuil itu pun berlaku pertempuran hebat yang dinamakan "Kawanan kambing melawan harimau."

Semua orang liehay dari istana, dari pasukan Gielimkoen, beserta sekalian boesoe dari pelbagai propinsi, kaget sekali menampak munculnya Hek Pek Moko dan Thio Tan Hong saling susul, tanpa dapat dikendalikan pula oleh Tjhian Tiang Tjoen, mereka kabur serabutan, akan tetapi mereka menyingkir belum jauh, mereka sudah kena dicandak Hek Pek Moko.

"Sekalian sahabat, jangan kamu takut!" berkata Hek Moko sambil tertawa. "Kamu telah datang kemari, maka aku minta sukalah kamu berdiam di sini untuk beberapa hari!"

Pek Moko pun berseru: "Kamu telah datang kemari tanpa diundang! Sekarang tuan rumah memohon kamu berdiam di sini, tidak dapat kamu tidak berdiam!"

Lantas dua saudara ini melompat maju, untuk memulai penyerangan mereka. Mereka menerjang bukan dengan main tinju atau menendang, mereka hanya main menyamber, setiap orang yang kena disamber, lantas dibanting, hingga orang roboh tanpa berkutik lagi. Di dalam tempo yang pendek telah roboh kurban-kurban, seperti tiga wiesoe dari Taylwee, keraton, empat pemimpin Gielimkoen, dan tujuh boesoe.

Tjhian Tiang Tjoen tidak dapat memegang kendali lagi, lantaran orang pada kabur, ia juga turut membuka langkah panjang. Tengah ia berlari itu, mendadak ia merasakan angin menyamber di belakang batok kepalanya. Ia kaget sekali. Ia tahu atas datangnya serangan. Dengan terpaksa ia mengibas ke belakang, untuk menangkis.

Hek Moko adalah orang yang menyerang itu. Dia ini membiarkan tangan mereka bentrok. Sebagai akibat dari itu, Tiang Tjoen mental tiga tombak, tubuhnya terhuyung-huyung, hampir jatuh.

"Bagus!" berseru Hek Moko, memuji. "Kau dapat menangkis satu pukulanku, kau dapat dihitung sebagai seorang hoohan! Nah, kau sambutlah satu kali lagi!"

Kata-kata ini dibarengi sama melesatnya tubuh sangat pesat. Tjhian Tiang Tjoen baru menaruh kaki kanannya, baru kaki kirinya mau menyusul, atau kupingnya segera mendengar pula perkataan orang: "Dengan tanganku, akan aku menepuk igamu yang kanan! Dengan jeriji tanganku, akan aku menusuk dadamu berbareng dengan kakiku akan menendang dengkulmu! Maka kau berhati-hatilah menjaga dirimu! Jikalau kau dapat membebaskan diri, akan aku membebaskannya terus!"

Tjhian Tiang Tjoen tidak dapat membade orang omong benar-benar atau melainkan menggertak, ia tidak mau menduga-duga. ia mengambil jalan yang paling selamat, ialah ia memutar kedua tangannya untuk membela diri saja. Ia menggunai tipu silat "Sepasang tangan menolak."

Hek Moko bukan menggertak, benar-benar ia menyerang ke tempat-tempat yang ia sebutkan barusan, ialah sebelah tangannya meluncur keigadan sebelah kaki menendang ke dengkul!

Tjhian Tiang Tjoen kaget, ia putus asa. Tapi ia mesti membela diri, maka ia membelanya dengan terpaksa. Sudah terang ia bukanlah tandingan orang India itu. Ia pikir, kalau ia bisa menolong dirinya, Hek Mrko pastilah akan tidak menelan pula kata-katanya.

Sebagai tongnia, komandan, dari pasukan Gielimkoen, Tiang Tjoen bukanlah seorang lemah. Ia lantas bergerak untuk melindungi diri. Ia mengelit tubuhnya, mengelit juga kakinya. Ia dapat bergerak dengan sebat. Ia dapat menghindarkan diri dari kedua serangan itu. Tinggal totokan ke arah dadanya. Ia pikir, setelah menyerang ke iga, sulit untuk Hek Moko menotok dadanya. Atau lawan itu mesti menggunai tangannya yang lainnya. Karena ini, ia memusatkan perhatiannya kepada tangan kiri musuhnya itu.

Hebat Hek Moko. Ia berkelahi berbareng dengan menggunai ilmu yoga, tubuhnya jadi dapat bergerak sangat cepat dan lincah. Ia pun dapat menduga Tiang Tjoen bakal menjagai tangan kirinya setelah kegagalan dengan tangan kanannya ke iga itu.

"Mengapa kau tidak percaya perkataanku?" kata orang India ini sambil tertawa, tangan kanannya mendadak meluncur ke dada.

Tiang Tjoen kaget bukan kepalang, ia menjadi gugup. Tidak sempat ia berkelit atau menangkis, maka kenalah ia tertotok dadanya, di mana ada jalan darah, yang membuatnya roboh tanpa berdaya!

Semua orang Gielimkoen dan boesoe kaget bukan main. Pula, dengan tidak ada kepalanya, mereka menjadi bingung. Tidak ayal lagi, mereka lari seraya memencar diri. Mereka percaya Hek Pek Moko tidak bisa memecah tubuh untuk mengejar mereka. Tinggallah nasib mereka, siapa yang apes, dia pasti bakal kena dibekuk.

Hek Pek Moko bekerja terus. Mereka merobohkan siapa yang mereka bisa candak. Kemudian barulah mereka tidak mengejar terlebih jauh, sambil berdiri di depan kuil, mereka tertawa berkakakan mengawasi orang orang yang lari tunggang langgang itu.

Serombongan boesoe kabur ke arah timur. Baru mereka tiba di mulut gunung, di mana mereka pikir akan dapat memerdekakan diri mereka, tiba-tiba mereka mendengar suara nyaring tetapi halus dari seorang wanita: "Maaf! Aku minta sukalah kamu berdiam di sini untuk dua hari!"

Semua orang lantas mengangkat kepala mereka, maka terlihatlah oleh mereka Ie Sin Tjoe berdiri menghadang di mulutjalan itu di mana dia muncul secara tiba-tiba

Lim Kim Goan, boesoe dari propinsi Hokkian. lantas berkata: "Ie Liehiap, kau telah merampas bingkisan, mengapa sekarang kau masih hendak membasmi kita habis?"

"Lim Lootjianpwee, kau salah mengerti!" menyahut nyonya muda itu. "Aku justeru hendak menolongi kamu semua! Di belakang hari maka kamu akan ketahui sendiri tentang sepak terjang kami ini."

Tidak ada orang yang mau percaya perkataan itu. Mereka pun takut sangat Hek Pek Moko nanti menyusul mereka. Merasa pasti bahwa Sin Tjoc tidak bakal mengasi mereka lewat, dengan serentak mereka berseru dan maju.

"Kamu tidak percaya aku, nah, maaf!" berkata Sin Tjoe. "Aku terpaksa mesti menahan kamu dengan cara paksa!"

Kata-kata itu dibarengi sama terayunnya tangan, lalu terlihat barang-barang berkilauan menyamber ke arah pelbagai boesoe itu. itulah kimhoa, atau bunga-bunga emas, yang sekali ayun dilepaskan dalam jumlah belasan.

Hebat kesudahannya serangan senjata rahasia itu. Setiap boesoe yang kena tertimpuk tidak merasakan sakit, hanya tubuh mereka bagaikan terputar, terus mereka roboh tak sadarkan diri. Sebab Sin Tjoe tidak mau melukai mereka, ia hanya menyerang apa yang dinamai jalan darah pingsan.

Sekalian boesoe yang tidak kena terserang menjadi j eri sekali. Mereka memang ketahui sangat baik liehaynya wanita di depannya itu. Tidak ada jalan lain untuk mereka daripada menyingkirkan diri, maka itu, semua lantas memutar tubuh, untuk menyingkir dari lain tempat.

Selagi mereka yang di timur ini dirintangi Ie Sin Tjoe, mereka yang kabur ke selatan juga dihalang-halangi seorang wanita muda, ialah nona Liong Kiam Hong. Ia pun muncul secara mendadak. Ia membuatnya orang kaget dan jeri. Beberapa boesoe lantas mengenali ia. Sebab ialah yang bersama-sama Thio Giok Houw yang pertama kali mencegat dan merampas pelbagai bingkisan. Hanya kali ini, mereka takut berbareng mendongkol dan gusar, lantaran mereka sudah mogok!

Wie Kok Tjeng, boesoe dari Kwiesay, lantas maju di muka. Ia mengandalkan pada ilmu panahnya yang liehay. Selagi bertindak maju, ia sudah bersiap sedia. Tiba di jarak tujuh atau delapan tombak, ia lantas menarik tali panahnya, untuk menyerang terlebih dulu! Ia menggunai busur besi dan anak panahnya dapat dilepaskan beruntun-runtun.

Liong Kiam Hong tertawa menyaksikan aksi orang itu.

"Dengan cara baik aku mau menahan sekalian tetamu, kalian justeru menggunai kekerasan!" katanya. "Benarkah?"

Lantas nona ini maju. Dengan tangan kirinya ia mengibas-ibaskan sehelai kain sutera merah, dengan tangan kanannya ia memutar pedangnya.

Biasanya anak panah Wie Kok Tjeng dapat menembuskan lima lapis kulit akan tetapi kali ini, disampok pergi pulang suteranya si nona, semua anak panahnya runtuh, jatuh di tanah tanpa daya. Ia menjadi kaget sekali, herannya bukan buatan. Ia baru melepaskan anak panah yang ke delapan atau si nona sudah datang dekat padanya, lantas lengannya kena tersampok. Ia kaget dan merasa sakit maka tanpa ampun lagi, busurnya terlepas jatuh. Belum ia sempat bergerak lebih jauh, sutera si nona telah menarik padanya, maka seketika juga ia roboh, atas mana Kiam Hong maju mendupak dengkulnya, di mana ada jalan darah yang membuatnya tenaganya habis, dari itu selanjutnya ia rebah tak berkutik, cuma mulutnya bisa dipentang untuk mencaci kalang-kabutan!

Semua boesoe lainnya kaget. Siapa yang jeri, mereka berdaya untuk melarikan diri. siapa yang gusar dan penasaran, lantas maju. untuk memaksa membuka jalan, guna dapat meloloskan diri. Terhadap mereka yang nekat ini, Kiam Hong lantas melakukan penyerangan, dengan pedangnya, dengan suteranya juga. Dengan pedangnya ia menangkis dan menikam ke arah jalan darah, dengan suteranya ia menangkis dan menarik, guna merampas senjata orang. Ia dapat bergerak dengan leluasa sekali, karena di samping liehaynya ilmu pedangnya, tubuhnya juga sangat ringan, hingga ia bisa berlompatan dengan gesit. Dalam tempo yang pendek, beberapa boesoe yang nekat itu telah kena dirobohkan, hingga yang lainnya, sambil menjerit, lantas melarikan diri!

Mereka yang kabur ke arah barat, jumlahnya ialah yang terbanyak. Di antara mereka ada empat wiesoe dari istana serta tiga pemimpin Gielimkoen. Yang lainnya ialah belasan boesoe. Mereka semua dipegat oleh Tjit Seng Tjoe. tiangloo dari Boetong Pay. Imam ini justeru sangat membenci Tjhian Tiang Tjoen, yang sudah membekuk keponakan muridnya, maka itu menghadapi rombongan pelarian ini, ia berlaku bengis. Sambil berteriak keras, ia berlompat maju, untuk memapaki semua wiesoe dan boesoe itu.

Hebat Tjit Seng Tjoe menggeraki kebutannya yang liehay. Belum apa-apa tangannya dua wiesoe sudah kena dikebut hingga berdarah, sedang dua pemimpin Gielimkoen, kena dibikin patah tangannya disebabkan terkena hajaran tipu silat Hoenkin Tjokoet Tjioehoat, ilmu memisah otot dan tulang.

Menampak demikian, yang lain-lain menjadi takut, dengan lantas mereka memutar tubuh mereka, untuk lari kabur!

Di arah utara, orang yang memegat kawanan boesoe yang merat itu ialah Thio Giok Houw. Ia berpikir untuk menawan hidup-hidup, makajuga ia tidak mau menggunai senjata tajam. Ia bersilat dengan tangan kosong, dengan ilmu silat Loohan Ngoheng Sinkoen ajarannya Hek Pek Moko serta ilmu jari tangan Ittjie Siankang ajarannya Ouw Bong Hoe. Gesit dia bergerak, kepalannya seperti angin, jeriji tangannya bagaikan kilat.

Seorang pemimpin Gielimkoen lantas saja patah sebuah tulang rusuknya. Seorang wiesoe bisa menangkis hingga tiga kali beruntun, tetapi pada ke empat kalinya, dia tertotok roboh pingsan.

Habis itu Giok Houw berseru nyaring: "Aku bermaksud baik menahan para tetamu, sama sekali aku tidak berniat membikin kamu celaka, tetapi, jikalau kamu memaksa mau pergi juga tidak bisa lain, kepalanku tidak dapat berlaku sungkan lagi!"

Mendengar itu ada beberapa boesoe yang mempercayainya, mereka lantas meletaki senjata mereka. Tapi ada juga yang bersangsi, mereka ini lantas mencari jalan untuk kabur.

Mereka yang mencoba kabur mengalami kesulitan. Mereka sudah terkurung di empat penjuru, sedang di tengah-tengah ada Hek Pek Moko dua saudara. Dengan bergeraknya Sin Tjoe berlima, kurungan menjadi semakin rapat.

Hek Pek Moko bertindak terlebih jauh. Siapa yang datang dekat, mereka merobohkannya dengan Kimna tjioe, Tangan Menangkap, dan siapa yang mencoba lari, mereka timpuk dengan batu hingga orang roboh terguling. Berdua mereka mencari musuh-musuh yang paling tangguh.

Hebat dan kacau pertempuran kali ini. Dalam takutnya, kawanan wiesoe, serdadu Gielimkoen dan boesoe, melawan dengan terpaksa, dengan pikiran tidak tenang. Dengan begitu, walaupun mereka nekat, mereka tidak dapat berkelahi dengan sempurna. Maka itu, pertempuran pun tidak berjalan terlalu lama. Semua wiesoe dan anggauta Gielimkoen terbckuk Hek Pek Moko, banyak boesoe yang roboh di tangannya Ie Sin Tjoe, Liong Kiam Hong, Thio Giok Houw dan Tjit Seng Tjoe. Sisa yang lainnya, semua meletaki senjata dan menyerah.

Dalam sepuluh bagian, mereka yang menyerah ada dua atau liga bagian, yang lainnya semua kena dilukakan dan dirobohkan.

Hoe Koen Tjip dan Tjhian Tiang Tjoen mengepalai orang-orangnya hampir seratus jiwa. tidak ada satu di antaranya yang lolos.

"Tuan-tuan. jangan kamu takut," berkata Sin Tjoe kemudian. "Jikalau kami menghendaki jiwa kamu, pastilah kami sudah mengambilnya semenjak siang-siang. Sayangnya ialah banyak di antara kamu yang tidak suka mempercayai kami. Sekarang terpaksa kami meminta kamu menanti selama dua atau tiga hari!"

Sin Tjoe beramai jalan mengitari semua orang tawanan itu berikut mereka yang menyerah dengan baik, siapa yang masih penasaran dan terlihat mau berontak, lantas ditotok. siapa yang berdiam saja, tidak diganggu. Di akhirnya, mereka semua digiring masuk ke dalam kuil, untuk dikurung di dalam kamar kosong. Mereka dipesan untuk jangan coba minggat.

Hek Pek Moko tertawa. Mereka menarik tangannya Thio Giok Houw.

"Siauw Houw Tjoe, mari kita lihat gurumu!" kata mereka. Lantas mereka mengajak pergi kependopo Lookoen Tian di mana pertempuran masih berlangsung di antara Thio Tan Hong dan Kiauw Pak Beng. Sinar pedang terus berkilauan, angin dingin bersiur-siur.

Hati Pak Beng bercekat ketika ia melihat munculnya rombongan Hek Pek Moko itu. Tahulah ia bahwa itu artinya pihaknya sudah habis -- meski ia tidak tahu bagaimana dan dengan cara bagaimana pihaknya itu dikalahkan. Munculnya mereka itu, berarti bahwa mereka sudah memperoleh kemenangan besar, jikalau tidak, tidak nanti mereka datang berkumpul, sedang roman mereka itu tenang tetapi riang. Karena ini, permainan silat jago tua ini menjadi sedikit kalut.

Thio Tan Hong dapat menduga hati orang.

"Siluman tua she Kiauw, tidak usah kau berkuatir!" ia berkata, tertawa. "Aku telah berjanji bahwa kali ini aku tidak bakal menganggu anakmu yang menjadi mustikamu! Kau keluarkanlah semua kepandaianmu!"

Kiauw Pak Beng memang cuma memperhatikan anaknya, tentang sekalian boesoe, ia tidak memperdulikan orang hidup atau mati, maka itu mendengar perkataannya Tan Hong itu, ia berpikir: "Mereka itu kalah, apa sangkutannya mereka dengan aku? Asal aku menang dari Thio Tan Hong, walaupun dalam satu atau setengah jurus, aku akan menjagoi di kolong langit ini! Thio Tan Hong menjadi guru besar dari suatu cabang persilatan, tidak nanti dia dihantui Hek Pek Moko..."

Setelah berpikir begitu, ia lantas menenangkan diri. Tidak perduli jumlah musuh besar, sekarang ia cuma menganggap Tan Hong satu orang. Maka ia lantas mulai menyerang pula. Kali ini ia manjat ke tingkat ke tujuh dari Sioelo Imsat Kang, tingkat penghabisan dari peryakinannya dalam ilmu silat yang luar biasa itu.

Pertempuran berjalan hebat terus menerus. Tanpa merasa, mereka sudah melewati lima ratus jurus. Di atasan kepalanya Thio Tan Hong terlihat hawa putih menghembus naik. Pada Kiauw Pak Beng sebaliknya nampak wajahnya menjadi hitam, makin gelap, dan peluhnya mengalir di dahinya, jatuh ketes demi ketes ke lantai, hingga di lantai, yang berbatu hijau, terlihat noda-noda hitam.

Thio Giok Houw memasang mata tajam. Ia dapat menduga yang Kiauw Pak Beng sudah mengeluarkan semua kepandaiannya. Tanpa merasa, ia berkuatir juga untuk gurunya. Ia tidak tahu bahwa ketika itu sang guru lagi menggunai tenaga dalamnya yang mahir untuk membuyarkan hawa dinginnya Pak Beng, yang disalurkan dengan perantaraan pedangnya.

Tidak lama. Giok Houw merasakan hawa dingin menyamber kepadanya. Liong Kiam Hong demikian juga. Inilah disebabkan tenaga dalam mereka yang belum sempurna. Dengan sendirinya mereka menggigil.

Hek Pek Moko mendapat tahu muda-mudi itu tidak sanggup bertahan untuk hawa dinginnya Kiauw Pak Beng, mereka mencekal tangannya muda-mudi itu, untuk menyalurkan tenaga dalam mereka, untuk membantu memberi hawa hangat.

Giok Houw ketahui bantuannya dua orang kosen itu, ia pun membantu menguatkan diri dengan menggunai ilmu yoga, sedang Kiam Hong melatih diri dengan ilmu tenaga dalam dari Thiansan Pay, guna membikin hawa panas mengalir diseluruh tubuhnya, untuk membikin hangat tubuhnya. Dengan begitu dapatlah mereka mempertahankan diri dari hawa dingin. Oleh karena ini juga, mereka menginsafi liehaynya hawa dingin dari Sioelo Imsat Kang dari si orang tua she Kiauw itu.

Di saat sangat tegang dari pertempuran itu. mendadak saja terdengar Thio Tan Hong tertawa nyaring dan panjang, terus tubuhnya mencelat tinggi, lalu selagi, tubuhnya itu turun, tangannya menikam kebawah kepada 1awannya.

Kiauw Pak Beng melihat tikaman itu. Sebelumnya, ia telah mendengar tertawa musuhnya itu. Dengan cepat ia mengangkat hiolouwnya, untuk menangkis.

Untuk kesekian kalinya, kedua senjata beradu, suaranya terdengar nyaring. Kali ini suara itu mendengung lama, tanda dari serangan dahsyat dan tangkisan sama dahsyatnya. Tapi kali ini adalah tangkisan yang terakhir. Di antara suara "trang" yang nyaring itu, terdengar juga suara bergomprang pecah. Sebab hiolouw itu, yang telah banyak lubangnya bekas tusukan, atau goresan pedangnya Tan Hong, tidak dapat bertahan terlebih jauh. Hiolouw itu pecah dan pecahannya jatuh hancur ke lantai!

Tak dapat ditahan lagi, Thio Giok Houw bertepuk tangan berulang-ulang.

"Bagus! Bagus!" dia berseru-seru. Maka tercenganglah Kiauw Pak Beng.

Thio Tan Hong tertawa. Dia bukan mengejek, hanya dia bergurau.

"Bagaimana, siluman tua she Kiauw?" dia bertanya. "Kau takluk atau tidak?"

Cuma sebentar jago tua itu melengak, lantas ia mengasi lihat roman dinginnya.

"Kau tidak berani beradu tangan denganku, aku tidak mau menyerah!" dia menyahut.

Pak Beng memang tidak puas. Dia mengandalkan sangat Sioelo Imsat Kang. Benar dia dapat menyalurkan hawa dinginnya kepada Tan Hong dengan perantaraan pedang si orang she Thio, tetapi menurut anggapannya itu tidak sama dengan mereka tangan beradu tangan. Penyaluran hawa dingin dengan perantaraan senjata tidak sempurna.

Thio Tan Hong tertawa pula. Lantas ia melemparkan pedangnya ke lantai.

"Kau majulah!" ia berkata, menerima tantangan.

Tanpa menjawab lagi. Kiauw Pak Beng menyambuti. Dengan luar biasa sebat, kedua tangannya bergerak, berbareng sama majunya tubuhnya, tangan kirinya sudah lantas menyerang. Serangan ini diiringi dengan angin menghembus.

Tan Hong berlaku berani. Ia menangkis.

Kiauw Pak Beng tidak mau mengasikan tangannya kena ditangkis, sambil menarik pulang tangan kirinya itu, ia menyerang pula dengan tinju kanannya. Kedua tinju itu pergi dan pulang dengan cepat sekali.

"Bagus!" berseru Tan Hong, yang menangkis pula. Kali ini ia berlaku luar biasa sebat.

Pak Beng tidak sempat menarik pulang tinjunya seperti semula, sepasang tinjunya itu kena ditangkis. Maka terdengarlah suara beradunya kedua tangan, sedang hembusan anginnya ada sampai jauh

Thio Giok Houw dan Liong Kiam Hong membawa dirinya menyender ke tembok. Mereka merasakan tembok seperti bergoyang. Meskipun mereka mundur, mereka toh melihat dua orang yang bertempur itu. Keduanya sama-sama berlompat mundur, hanya parasnya si orang she Kiauw pucat seperti abu, dia layu seperti merungkutnya ayam jago yang kalah berkelahi.

"Kau menyerah atau tidak?" Tan Hong menanya, suaranya dalam. Kiauw Pak Beng berpikir. "Aku belum menyerah!" sahutnya sedetik kemudian. Alisnya pun terbangun.

"Tidak tahu malu!" Giok Houw mencaci dalam hatinya. Ia mendongkol karena orang tidak berani mengaku kalah.

"Kenapa kau tidak menyerah?" tanya Tan Hong, tertawa.

"Sekarang ini aku mempelajari Sioelo Imsat Kang baru sampai di tingkat ke tujuh." Pak Beng menjawab, "kau tunggu sampai aku sudah mencapai tingkat ke sembilan, di waktu mana kita nanti bertempur pula, jikalau kau berani menyambuti satu tinjuku, baru aku mau mengakui kaulah jago nomor satu dikolong langit ini dan nama Kiauw Pak Beng bolehlah dicoret hapus!"

"Untuk kau dapat mempelajari sampai tingkat ke sembilan itu, berapa lama tempo diperlukan olehmu?" Tan Hong menegaskan.

"Sedikitnya tiga tahun, atau lambatnya lima tahun!" menjawab Pak Beng.

"Baiklah, nanti aku tunggu kau sampai tiga atau lima tahun!" berkata Tan Hong. "Hanyalah aku kuatir sekali, selagi kau sampai kepada tingkat ke sembilan itu, kau sudah tersesat hingga kau terjerumus dalam bencana!"

Hatinya Pak Beng terkesiap.

Itulah kekuatiran yang beralasan. Tetapi ia menebalkan kulit mukanya "Itulah urusanku sendiri!" bilangnya. "Aku mempunyai kepandaian untuk aku menjaga diriku, hingga tak usahlah kau menguatirkannya!" Tan Hong tertawa. "Jikalau kau berhasil mencapai tingkat ke sembilan itu, hingga yang sesat dan yang lurus dapat dipersatukan," ia berkata, "maka di dalam kalangan ilmu silat jadi tambah lagi selembar riwayatnya! Bukankah itu bagus? Baiklah, aku bersiap untuk menantikanmu! Tapi hendak aku membilangi kau, kalau itu waktu kita bertempur pula, aku tidak bakal berlaku sungkan seperti sekarang ini! Nah, kau pergilah! Aku mengasi perkenan untuk kau bawa juga anak mustikamu itu!"

Tanpa mengucap sepatah kata, Kiauw Pak Beng mengeloyor pergi dengan tindakannya yang lebar dan cepat sekali, hingga, menyaksikan ketangguhan orang itu, Hek Pek Moko menjadi kagum.

Thio Giok Houw dan Ie Sin Tjoe pergi ke pintu di mana mereka berdiri diam, mereka menyaksikan Kiauw Pak Beng membawa pergi Siauw Siauw dan Le Kong Thian. bukan main mereka merasa sayang. Akan tetapi karena merasa pasti ada alasannya mengapa guru mereka memerdekakan ketiga orang itu, mereka tidak berani mencegah. Ketika mereka menoleh pada guru mereka, mereka mendapatkan guru itu tertawa.

"Puas, aku puas!" berkataThioTan Hong. "Semenjak pertempuranku samaTjie Hee Toodjin di Tjhongsan. sudah sepuluh tahun belum pernah aku bertemu lawan semacam ini!" Tapi begitu habis berkata, dia lantas menjatuhkan diri berduduk di lantai.

Giok Houw terkejut, ia lari menghampirkan. untuk mengawasi muka orang, la mendapatkan di antara alis gurunya itu ada tanda hitam samar-samar, sedang di atasan embun-embunnya ada berkumpul hawa putih. Kira sepasangan sebatang hio, barulah hawa hitam di alis itu lenyap, dengan perlahan-perlahan. Menyusul itu, Tan Hong berlompat bangun. Ia tertawa dan kata: "Benar-benar Sioelo Imsat Kang liehay, melebihkan apa yang aku duga!"

"Bagaimana, soehoe?" tanya Giok Houw, yang masih berkuatir.

"Tidak apa-apa." menyahut guru itu. "Aku melainkan kehilangan tenagaku bahagian peryakinan satu tahun. Tidak demikian dengan itu siluman tua she Kiauw. Kecuali dia hilang tenaga peryakinannya satu tahun, sepulangnya dia juga bakal mendapat sakit berat."

Giok Houw semua saling mengawasi, mereka heran sekali. Bukankah hebat hanya disebabkan pertempuran dua gebrak itu, Tan Hong mesti rugi demikian besar? Bukankah itu menandakan liehaynya

Kiauw Pak Beng?

"Sebenarnya Sioelo Imsat Kang berasal dari negaraku," berkata Hek Moko. "cuma di negaraku, ilmu itu sudah lenyap lama. Siapa sangka sekarang ilmu itu muncul di Tiongkok! Pelajaran ilmu itu sangat memakan tenaga dalam dan pula ada larangannya, yaitu kecuali sampai di saat sangat penting, orang dilarang menggunainya. Menurut aku, meskipun Sioelo Imsat Kang sangat liehay, lebih baik kita tidak mempelajarinya."

Mendengar ini barulah Giok Houw mengerti kenapa ketika Kiauw Pak Beng dikurung di dalam selat, dia sudah tidak mau menggunakan ilmu silatnya yang liehay itu.

"Siauw Houw Tjoe," berkata Tan Hong tertawa, "kali mi perbuatan kau sangat luar biasa, maka tidaklah kecewa yang aku dan kedua saudara Hek Pek telah mendidikmu untuk beberapa tahun!" Lalu ia menambahkan kepada Hek Pek Moko: "Kamu berdua juga telah mendapatkan satu usaha dagang yang besar tak bandingan!"

Mendengar itu, Hek Pek Moko bersenyum.

Dua saudara ini telah pergi ke gunung Tjhongsan menjenguk Thio Tan Hong, di sana mereka mendengar tentang perampasan bingkisan pelbagai propinsi untuk kota raja, ketika mereka mendapat tahu perampasan itu di kepalai oleh Tjioe San Bin serta Thio Giok Houw, muridnya, mereka girang bukan kepalang. Usaha mereka memang perdagangan barang-barang permata di antara kaum Rimba Hijau, inilah kebetulan sekali. Dengan lantas mereka turut Thio Tan Hong pergi ke kota raja, untuk berkumpul bersama Sin Tjoe semua. Sin Tjoe sendiri, dua hari sebelumnya pertemuan di Kiapkok, sudah menerima surat dari gurunya, surat mana dibawa dengan perantaraan kaum Kaypang, maka ia telah memenuhkan janji pertemuan itu. Bahkan ia berani memikul tugas berdaya menolongi pelbagai boesoe. Ia datang bersama-sama Tjit Seng Tjoe.

Kemudian Thio Tan Hong menanya apa semua wiesoe. orang Gielimkoen dan boesoe, telah kena ditawan atau tidak.

Mendengar pertanyaan itu, Hek Pek Moko tertawa.

"Urusan demikian kecil, mustahil tidak dapat diurus sempurna?" katanya. "Tidak ada seorang juga yang lolos! Kau jangan kuatir!"

"Ada atau tidak yang terluka parah?" Tan Hong tanya pula.

"Cuma seorang wiesoe yang tangannya patah, yang lainnya kena ditotok. Ada beberapa orang saja yang terluka enteng," menyahut Hek Moko.

"Bagus! Sekarang tolong kau tolongi wiesoe yang tangannya patah itu. untuk disambung pula. Kau, Siauw

Houw Tjoe. pergi kau obati mereka yang terluka enteng itu, kemudian kau giring mereka semua ke dalam kuil ini."

Hek Pek Moko dan Siauw Houw Tjoe semua lantas bekerja. Mereka menggunai tempo sekira setengah jam. lantas mereka kembali bersama semua orang tawanan, berikut Tjhian Tiang Tjoen dan Hoe Koen Tjip. Jumlah mereka telah dihitung, semuanya terdiri dari delapan puluh tujuh orang.

Thio Tan Hong menghadapi semua orang tawanan itu, ia bersikap ramah terhadap mereka. Ia tertawa dan berkata: "Tuan-tuan, kamu adalah tetamu-tetamu yang sebenarnya tidak dapat diundang datang walaupun kamu diundang, maka kami bersyukur sekali yang hari ini kita telah berkumpul di sini. Tuan-tuan. kami minta sukalah kamu berdiam di sini untuk beberapa hari saja. Sama sekali tidak usahlah tuan-tuan menguatirkan apa juga."

Orang semua mengawasi. Mereka bersangsi untuk mempercayai yang mereka tidak bakal dibikin susah. Bukankah mereka telah ditangkap dengan paksa? Cuma sebab mereka telah menjadi orang-orang tawanan, mereka tidak bisa membilang apa-apa mereka menyerah untuk segala pengaturannya Thio Tan Hong itu.

Kuil Hianbiauw Koan besar dan luas, ada cukup kamar untuk memernahkan mereka semua. Thio Giok Houw adalah yang mengatur penempatan mereka. Taylwee Tjongkoan Hoe Koen Tjip serta Gielimkoen Tongnia Tjhian Tiang Tjoen mendapat perlakuan istimewa, berdua mereka diberikan sebuah kamar. Walaupun demikian, mereka tetap ragu-ragu, hati mereka tidak tenteram. Biar bagaimana, mereka tetap orang tawanan.

Kapan Thio Tan Hong sudah menerima laporan yang semua orang tangkapan telah selesai di berikan tempat, dengan mengajak dua muridnya, ia pergi ke kamarnya Hoe Koen Tjip dan Tjhian Tiang Tjoen.

"Djiewie taydjin, aku mohon maaf, sukalah kamu menerima apa adanya," ia berkata sambil tertawa.

"Thio Tayhiap." berkata Hoe Koen Tjip. "kau liehay sekali, aku yang rendah kagum sekali terhadapmu. Hanya sekarang ingin aku menanya: Kau telah menawan hampir seratus orang, kau telah menahannya di sini, apakah maksudmu?" Tan Hong tertawa. "Maaf, taydjin, inilah rahasia alam yang tidak dapat dibocorkan!" ia menjawab manis. "Aku harap taydjin suka bersabar, paling lama lima hari, bakal ada penjelasannya yang taydjin akan mengetahuinya sendiri Taydjin boleh percaya, akhirnya itu akan ada kebaikannya untuk kamu semua!"

Hoe Koen Tjip berdiam. Ia mau percaya Tan Hong, sebab tidak nanti tayhiap ini mendustainya. Karena ini, hatinya mulai tenang.

"Hoe Tjongkoan." berkata Tan Hong kemudian, "kalau sudi, aku ingin minta keteranganmu tentang satu orang. Umpama kata dia dapat diundang datang kemari maka aku tanggung taydjin semua bakal bebas siang-siang!"

"Siapakah dia itu?" tanya Hoe Koen Tjip, heran.

"Dialah Khoan Kie yang dulu hari pernah menjadi Liangouw Yamoensoe"

Mendengar nama itu, Koen Tjip melengak.

"Untuk apa Thio Tayhiap menanyakan halnya dia itu?" ia menanya.

"Kita ada orang-orang terhormat maka di antara kita tidak layak ada omongan dusta!" berkata Tan Hong. Tetapi ia tertawa. "Kedua muridku ini telah datang ke kota raja. Bukankah Khoan Kie itu yang melaporkannya?"

Terpaksa Hoe Koen Tjip mengangguk.

"Benar dia yang memberi kabar," sahutnya. "Dia mengharap mendapat pulang pangkatnya maka itu diadatang padaku."

"Baiklah. Sekarang aku minta kau menulis surat padanya untuk memanggil dia datang."

Koen Tjip suka meluluskan permintaan itu. Di antara dia dan Khoan Kie tidak ada hubungan yang berarti, karena sekarang ia berada di dalam genggaman orang, tidak perlu ia memperhatikan pula bekas yamoensoe itu. Ia lantas menulis suratnya.

Tan Hong mengucap terima kasih, dengan membawa suratnya, tjongkoan itu, ia berlalu bersama kedua muridnya.

"Siauw Houw Tjoe." kata Sin Tjoe sambil tertawa, "baru-baru ini kau menyesalkan aku telah berbicara sama Khoan Kie, sekarang kau tentulah mengerti maksudnya perbuatanku itu. Aku memang mau pinjam mulutnya Khoan Kie itu untuk melaporkan tentang kita, supaya Hoe Koen Tjip mengumpulkan orang-orangnya menyerbu kita, supaya mereka masuk ke dalam jaring."

"Kau terlalu!" kata Giok Houw, menyesalkan kakak seperguruan itu. "Sekian lama kau mendustai aku, kau tidak mau mengasi tahu bahwa soehoe telah datang ke kota raja ini, hingga sekian lama aku berkuatir tidak keruan..."

Sin Tjoe tertawa, juga yang lain-lain.

"Sekarang kau boleh pergi melihat Bhok Lin." berkata Tan Hong pada muridnya itu. "Di sana pun ada seorang lain yang kau ingin sekali menemuinya."

"Siapakah dia. soehoe?" si murid tanya, heran.

Tan Hong tertawa.

"Untuk sekarang ini, aku juga tidak mau memberitahukan." menyahut guru itu. "Kau terkalah sendiri! Tidak sampai satu jam, kau bakal bertemu sama dia itu, jadi umpama kata kau tidak dapat membade. kau juga tak usahbergelisah!"

Siauw Houw Tjoe tidak menanya pula.

"Sekarang." berkata lagi Tan Hong. "saudara-saudara Hek Pek dan Tjit Seng Tootiang, aku mohon sukalah kamu bertiga berdiam di sini untuk menjaga."

"Baiklah." sahut Tjit Seng Tjoe, cepat. "Siapa berani kabur, akan aku bikin patah kedua kakinya! Thio Tayhiap, tentang di sini, kau boleh tetapkan hatimu, hanya perihal kedua keponakan muridku itu. tolong kau memperhat i kanny a."

Thio Tan Hong mengangguk, lantas ia pergi. Ia mengajak Sin Tjoe, Giok Houw dan Kiam Hong, untuk pergi kepada Bhok Lin.

Hek Pek Moko bertiga terus berdiam di kuil, guna menjagai orang-orang tawanan mereka.

Ketika itu Bhok Lin berada di gedungnya di mana ia justeru lagi menantikan. Layonnya Tiat Keng Sim berada di ruang depan. Rombongan hweeshio dan toosoe baru saja selesai dengan upacara sembahyang mereka dan telah mengundurkan diri. Putera Bhok Kokkong itu duduk seorang diri dengan pikirannya tidak tenteram, maka ia bertindak keluar dengan tidak keruan rasa. Di kepala peti ia melihat dua buah pelita yang apinya kelak-kelik. Suasana sangat sunyi dan menyedihkan. Ia mengusap-usap peti seraya hatinya berkata-kata: "Benarkah di dalam dunia ini ada obat yang demikian mujarab, yang membuatnya orang sudah mati dapat hidup pula? Jikalau obat itu gagal, tidaklah urusan menjadi cade..."

"Tengah pangeran muda ini kebat-kebit hatinya, mendadak ia mendengar suara tertawa geli. yang datangnya dari belakang peti mati, di mana ada alingan sehelai cita yang lebar, lalu terlihat munculnya orangnya yang terus berkata: "Siauwkongtia, apakah kau hendak membuka tutup peti untuk melihatnya?"

Kaget Bhok Lin hingga dia lompat berjingkrak. Ia segera mengawasi tajam.

"Eh, mengapa kau masih berdiam di sini?" ia tanya akhirnya. "Apakah pel Pekleng Tan kepunyaan kau itu benar-benar mujarab?"

Orang itu, seorang wanita, tertawa.

"Tjiehoe-mu telah bernapas pula, kau tahu?" sahutnya, "Aku telah mendengarnya! Ah, kau tidak percaya aku. habis apa kau tidak percaya juga gurumu?"

Wanita itu ialah Nona Leng In Hong atau Nyonya Hok Thian Touw. Setelah dia berpisah dari Hok Thian Touw, suaminya, seorang diri dia menuju ke kota raja, Pakkhia. Dari orang Kaypang dia mendapat tahu halnya Thio Tan Hong telah mendapat ketahui urusan Bhok Lin dan Tiat Keng Sim. Ketika itu hari

Bhok Lin pergi dari rumahnya dan sampai sekian lama belum juga kembali, ia sebenarnya memenuhkan janji pertemuan lama Tan Hong. Demikian sudah terjadi, dengan menyamar sebagai pengikutnya Bhok Lin, dia bersama Tan Hong telah pergi menghadiri pestanya Tjhian Tiang Tjoen.

Thio Tan Hong sudah menduga pasti bahwa Tjhian Tiang Tjoen bakal mempersulit Tiat Keng Sim, maka itu siang-siang ia telah mengatur tipu dayanya. Ia menyuruh Leng In Hong berpura-pura menghaturkan sepucuk surat yang katanya surat dari seorang toaya dari Tjiatkang Hweekoan, berbareng dengan itu diserahkan juga dua butir pel Pekleng Tan. Perbuatan itu dilakukan dengan sebat hingga tak ada yang mendapat lihat Surat itu juga cuma memuat anjuran untuk Keng Sim berpura-pura mati, dan caranya dijelaskan dengan ringkas. Keng Sim makan obat itu selagi ia membaca surat, yang ia bawa ke mukanya, hingga mukanya itu kena teralingkan. Setelah itu, dengan melukai nadinya, ia membunuh diri. Cara membunuh diri itu tidak dicurigai siapajuga, sebab nadinya putus dan ia mengeluarkan darah dari mulut, hidung dan lainnya. Pel Pekleng Tan itu buatan Tan Hong sendiri, antara campuran obatnya ada soatlian, teratai salju, maka pel itu bisa melawan racun dan melindungi jantung. Ketika Thio Tan Hong, yang menyamar sebagai pengikut tua, memondong tubuh Keng Sim, untuk dibawa pulang, berbareng ia menutup pelbagai jalan darah Keng Sim, untuk melindungi jiwanya. Walaupun demikian, Keng Sim mesti mati hingga tiga hari.

Lega hati Bhok Lin mendengar keterangannya In Hong itu.

Akal muslihat ini sangat berbahaya," katanya kemudian, tertawa. "Inilah akal muslihat yang hebat sekali! Dengan kesudahannya ini, kesatu tjiehoe bisa meloloskan diri dari segala sangkutan, kedua kita bersama-sama dapat pulang ke Inlam."

Bhok Lin mengatakan demikian disebabkan raja ingin Tiat Keng Sim memangku pangkat di kota raja serta ia pun berdiam di kota raja juga. Keinginan raja itu ialah pertama-tama dia menghargai kepandaiannya Keng Sim dan kedua untuk membikin si pangeran muda dari Inlam terikat di kota raja, guna mengikat Bhok Kokkong. Dengan Bhok Lin dan Keng Sim berada di kota raja, Bhok Kokkong tentulah akan tetap bersetia kepada raja. Bhok Lin masih muda tetapi ia dapat menerka maksudnya raja itu.

"Masih ada lain kebaikannya yang besar sekali," In Hong menambahkan sambil tertawa. "Dengan tindakan ini, pertama kita dapat menolongi semua boesoe yang tersangkut dalam angkutan bingkisan, dan kedua tjiehoe kau itu dapat dibikin mati cita-citanya untuk memperoleh pangkat tinggi dan kemuliaan."

Bhok Lin heran.

"Aku dapat memahamkan yang kedua itu." katanya. "Bagaimana dengan yang pertama? Bagaimana kawanan boesoe dapat ditolongi?"

"Gurumu segera akan kembali, nanti kau ketahui sendiri," sahutnya.

Selagi mereka bicara itu, dari arah luar terdengar suara tindakan kaki. Mendadak Bhok Lin menjadi girang sekali.

"Soehoe pulang!" ia berkata nyaring. Ia mau bertindak keluar, untuk menyambut.

Leng In Hong sebaliknya mengasi dengar seruan terkejut: "Bukan!" Lantas ia nelusup pula ke belakang peti. untuk bersembunyi di tempat yang tadi.

Hampir berbareng dengan itu, satu orang terlihat bertindak masuk. Dia bukannya Thio Tan Hong hanya Yang Tjong Hay!

Bhok Lin tercengang. Inilah ia tidak sangka. Terhadap Yang Tjong Hay. ia memang tidak berkesan manis, bahkan ia membencinya. Coba ia menuruti adatnya, tentulah ia sudah lantas mengusir tetamu yang tidak diundang ini. Disebabkan urusan tjiehoe-nya. dapat ia menyabarkan diri. Ia menjadi tidak enak hati, sebisanya ia bersikap tenang. Dengan terpaksa, ia menyambut.

"Malam-malam Yang Toatjongkoan datang kemari, ada apakah pengajaranmu?" ia menanya. Biar bagaimana, suaranya dingin.

"Aku mendengar kabar Tiat Taydjin menutup mata secara mendadak," menyahut Tjong Hay, suaranya berduka "mulanya aku tidak percaya, sampai sekarang aku menyaksikan sendiri. Aku sangat berduka dan menyesal. Dengan Tiat Taydjin, persahabatanku ada persahabatan belasan tahun. Aku sangat mengagumi kecerdasan taydjin, aku tidak menyangka sekali ia berumur pendek seperti Gan Hwee. Dengan begini aku si orang she Yang kehilangan seorang sahabat kekal.. Ah, bagaimana aku tidak berduka? Siauwkongtia tolong aku. ingin aku membuat pertemuan yang penghabisan kali dengan Tiat Taydjin..."

Mendengar itu. Bhok Lin mendongkol sekali, hingga ia mendamprat di dalam hatinya: "Tjiehoe paling membencimu, kau justeru mengaku menjadi sahabat karib!" Tapi, untuk namanya pri kehormatan, ia tidak dapat menampik permintaan itu.

"Mari!" ia mengajak dengan terpaksa. Ia lantas memimpin masuk.

Sebenarnya Yang Tjong Hay tidak percaya Tiat Keng Sim mati, maka itu ia telah datang berpura-pura menjenguk, lapernah menjadi taylwee tjongkoan, sekalian wiesoe di istana adalah bekas orang-orang sebawahannya, maka itu, ia lantas mendengar kabar hal kematian Keng Sim itu. Sebenarnya Tjhian Tiang Tjoen mencoba merahasiakannya tetapi tidak dapat, bekas tjongkoan ini liehay sekali. Ia menyangsikan Keng Sim membunuh diri untuk lain orang, walaupun sahabat, maka itu, ia datang guna mendapatkan bukti sendiri.

"Tutup peti telah dipaku, tidak dapat taydjin membuka dan melihatnya," berkata Bhok Lin. "Aku minta taydjin memasang hio saja."

Yang Tjong Hay menurut. Ia memasang hio dan menjura dengan sikapnya yang sangat menghormat, perlahan gerak-geriknya. Tapi justeru dengan begini, ia memasang mata dan kupingnya, memperhatikan peti mati. Ia mendapatkan peti mati tercat mengkilap, suatu tanda peti itu peti dari kayu nanmu yang mahal, tetapi sebenarnya itulah peti yang tercat sempurna, untuk mengabui matanya bukan ahli. Di kota raja ada banyak bekas orang besar atau bekas hartawan, yang tidak mau apes, maka itu kalau dia kematian sanaknya, dia membeli kayu mahal yang palsu, yang dipulas sempurna. Tetapi Yang Tjong Hay lain. dia bermata liehay, dengan lantas dia melihat peti palsu itu. Maka berpikirlah dia: "Kalau Keng Sim benar mati. kenapa ia dibelikan peti buruk ini?" Karena heran, diamenjadi bercuriga. maka itu, dia menghampirkan peti mati sampai dekat sekali, di depan peti ia mengulur tangannya, untuk mengusap-usap. kelakuannya menunjuki ia sangat berduka dan menyesal, sebagai ia mau mengambil selamat berpisah untuk penghabisan kali. Sebagai seorang yang mempunyai latihan puluhan tahun, kupingnya segera mendengar suara apa-apa, yang sangat perlahan. Itulah suara napas Keng Sim di dalam peti. Ia jadi semakin curiga.

"Kecuali persahabatanku dengan Tiat Taydjin," ia berkata, "kita pun telah mempunyai janji untuk bertemu lagi dalam tiga hari, maka sungguh aku tidak menyangka, manusia itu benar-benar seperti ujarnya peribahasa: Langit mempunyai angin dan meganya yang tidak dapat diduga-duga, manusia mempunyai saat beruntung dan celaka satu siang dan satu malam! Sayang taydjin berialu dengan cara begini... Kami mempunyai persahabatan yang luar biasa, aku mesti mendapat lihat lagi wajahnya, satu kali saja!..."

Sedih suaranya Tjong Hay tetapi pun keras dan tetap. Lantas setelah berkata begitu, ia maju untuk membuka tutupnya peti.

Bhok Lin kaget sekali, untuk mencegah, ia tak berdaya.

Tepat di saat sangat tegang itu, ada suara orang membentak keras: "Siapa berani lancang mengganggu peti matinya taydjin kami?" dan lantas orangnya muncul.

Ialah Leng In Hong, yang menyamar sebagai hamba pengiring.

Karena ia sangat membenci Yang Tjong Hay, ia lantas menyerang dengan babatan pedangnya.

Yang Tjong Hay kaget tidak terkira.

"Hai!" teriaknya. "Kau satu budak, kau begini kurang ajar?" Dia pun lantas berkelit.

In Hong tidak menyahuti, ia menyerang pula, terus beberapa kali.

Yang Tjong Hay menjadi mendongkol, setelah main berkelit saja, ia menghunus pedangnya, untuk menangkis, guna membuat perlawanan. Hingga di situ mereka jadi bertempur.

Bhok Lin lantas bersandiwara.

"Inilah Yang Taydjin!" ia berkata kepada "hambanya" itu. "Siauwdjieko, jangan kurang ajar! Lekas kau omong baik-baik!" Kepada Yang Tjong Hay, ia pun berkata: "Yang Taydjin, kau sudah pasang hio, kau sudah mengunjuk hormatmu, aku rasa itu sudah cukup, maka itu, tak usahlah kau melihat lagi wajahnya tjiehoe! Aku percaya tjiehoe di tempat baka pasti mengetahui kedatanganmu ini!..."

Tentu sekali In Hong tidak meladeni perkataannya Bhok Lin itu, sedang Tjong Hay menjadi penasaran. Ia heran untuk ilmu silat dari si hamba ini.

Masih Bhok Lin berpura-pura memisahkan, ketika ternyata ia tidak memperoleh hasil, ia lantas bersandiwara terlebih jauh. Kali ini ia berpura-pura gusar.

"Hai, kenapa kamu tidak mau mendengar perkataanku?" ia berseru. "Aku tahu maksud kamu, ialah yang satu setia kepada majikannya, yang lain menyintai sahabatnya, tapi janganlah kamu bertempur terus-terusan! Mari bicara! Eh, eh, apakah kamu masih tidak mau berhenti juga? Kalau begitu, masa bodoh, pergi kamu bertempur terus, aku tidak perduli lagi!"

Kata-kata ini hebat untuk kupingnya Yang Tjong Hay. Ini bekas tjongkoan merasa bahwa dia diperlakukan sama seperti si hamba itu. Sementara itu, dia menjadi bertambah curiga, hingga akhirnya ia merasa pasti Keng Sim benar-benar belum mati, bahwa matinya itu hanyalah pura-pura belaka, pada itu mesti ada sebabnya. Ia percaya betul hamba ini salah seorang Rimba Persilatan yang kenamaan, karena kalau tidak, orang tidak bisa demikian gagah. Ia cuma tidak dapat lantas menduga atau mengenali Leng In Hong.

Dulu hari pernah In Hong menempurjago she Yang ini, ia kalah satu tingkat, tetapi sekarang, setelah berselang delapan tahun dan ia sudah meyakinkan ilmu pedangnya secara sungguh-sungguh, walaupun Yang Tjong Hay berlatih juga, mereka menjadi berimbang.

Lekas sekali mereka sudah bertarung hampir tiga puluh jurus. Tjong Hay penasaran, mendadak ia menggunai akal. Ialah satu kali ia berlompat ke samping, terus dia menikam kepada peti, hingga ia mendapatkan bukti bahwa kayu peti itu benar-benar bukan kayu nanmu. Hampir dia menikam tembus peti itu ke tubuhnya Keng Sim, syukur In Hong lekas menikam dia, hingga dia mesti berkelit.

"Kurang ajar!" membentak In Hong. "Kau berani mengganggu jenazah Tiat Taydjin! Kau mesti dibunuh!"

Bentakan itu ditutup sama serangan jurus "Thiansan soatpeng," atau "Gempurnya salju gunung Thiansan." Pedang berkilau mengkeredep dan menyamber luar biasa cepatnya. Sebab itulah salah satu jurus ilmu pedang bersatu padu, yang ia telah pelajarkan bersama Hok Thian Touw, yang biasanya digunakan bersama oleh ia dan suaminya itu.

Yang Tjong Hay terkejut, dia menangkis. Tapi kedudukannya rada sulit, dia berayal sedikit, tenaganya tidak terkerahkan sempurna, maka itu, pedangnya kena dibikin mental, pedangnya si "hamba" meluncur terus, walaupun ia mencoba berkelit, rambut kepalanya kena terpapas segumpal an!

Bukan main kagetnya bekas tjongkoan dari istana ini Baru sekarang ia ingat samar-samar bahwa ia pernah bertempur sama orang ini. Karena ini juga, ingatannya seperti mendadak menjadi tajam, hingga ia segera mengenali Leng In Hong.

"Hebat, hebat!" pikirnya begitu lekas ia ingat In Hong. "Tiat Keng Sim berkonco dengan Leng In Hong dan Ie Sin Tjoe, sekarang sudah pasti Keng Sim belum mati, jikalau dia muncul dan dia bergabung sama In Hong mengepung aku, tak usah Sin Tjoe datang, pasti sukar untuk aku menyingkir dari sini, mungkin aku tidak bisa menolongjiwaku lagi!..."

Oleh karena ini, ia menjadi mendapat pikiran untuk jangan membuka rahasianya In Hong. Sekarang ia jadi memikir daya untuk mengangkat kaki.

Tepat di itu waktu, dengan kupingnya yang liehay, Tjong Hay mendengar tindakan kaki dari beberapa yahengdjin, ialah orang-orang yang biasa keluar malam, dan suara tindakan mereka itu menandakan mereka bukan sembarang orang. Ia kaget hingga keberaniannya menjadi ciut.

"Mungkinkah mereka telah mengatur tipu daya untuk menjebak aku?" pikirnya. Saking curiga, ia menjadi menduga begitu rupa. Maka dari itu tanpa berayal lagi, ia berkelit sambil berlompat, untuk berlompat lebih jauh ke atas genting, guna melarikan diri. Syukur untuknya, baru ia menghilang, Tan Hong muncul bersama tiga kawannya, hingga tidak sampai kepergok.

Sin Tjoe melihat In Hong, ia girang bukan main, lantas ia menubruk dan memeluk.

"Entjie, kenapa kau ada di sini?" ia menanya. "Rambutmu kusut sekali, sama siapa kau bertempur?"

Giok Houw pun girang sekali melihat Nyonya Hok itu. Tahulah ia, si nyonya muda ialah orang yang gurunya tadi sebut ia ingin menemuinya. Maka sebelum nyonya itu menjawab Sin Tjoe, ia sudah berkata sambil tertawa: "Ah, aku menyangka kau ditarik Hok Toako diajak pulang ke Thiansan! Mungkinkah karena kau tidak mau mewujudkan itu pepatah 'Suami bernyanyi, isteri mengikuti,' maka kamu jadi berkelahi?"

"Cis" In Hong berludah. "Jangan kau ngaco, Siauw Houw Tjoe!"

Sin Tjoe tertawa. Ia berkata: "Siauw Houw Tjoe, kau sungguh tidak mengerti urusan! Perselisihan di antara suami dan isteri adalah soal lumrah, mustahil karena berselisih lantas orang bertempur?"

In Hong pun tidak gusar. Bahkan ia segera memberikan keterangannya.

"Yang barusan datang ialah bekas Tay hwee Tjongkoan Yang Tjong Hay, baru saja aku membikin dia kabur!" demikian katanya.

"Ah, sayang, sayang!" kata Giok Houw. "Sayang kita terlambat setengah tindak! Kalau tidak, sekalian saja kita bekuk dia!"

In Hong lantas tuturkan halnya kedatangannya Yang Tjong Hay barusan, yang rupanya menyangsikan kebinasaannya Tiat Keng Sim, maka dia hendak membuka tutup peti, hingga ia mesti merintanginya sebab Bhok Lin tidak sanggup mencegahnya Setelah itu, ia diajak bicara pula oleh Sin Tjoe.

"Pantas itu hari kau tidak muncul, kiranya kau telah memikir lain dan seorang diri datang ke Pakkhia ini," berkata Nyonya Yap. "Aku kuatir Hok Toako nanti menyesalkan aku dan menduga, karena kau berat sama saudara angkat, kau lantas tidak menghendaki suamimu lagi..."

Matanya In Hong dibuka lebar.

"Ah, kau pun masih mau main-main!" katanya "Kenapa kau tidak mau bicarakan urusan yang benar?"

"Aku mau omong dari hal urusan yang benar," menyahut Sin Tjoe bersenyum. "Aku menghendaki kamu suami isteri mencari jalan yang baik agar kamu menjadi akur pula, supaya ada pemecahan di antara kamu berdua."

In Hong menghela napas.

"Terhadapnya aku hampir putus harapan," ia berkata. "Baik urusan besar maupun urusan kecil, pandangannya dan pandanganku sukar mendapat kecocokan, sedang aku, aku tidak bersedia untuk menuruti saja kehendaknya. Aku pikir dengan kita berpisah kita menjadi kurangan pusingnya."

Sin Tjoe berdiam sebentar.

"Sebenarnya Hok Toako bukan seorang buruk," katanya sesaat kemudian. "Kalau dibanding sama Tiat Keng Sim, dia jauh terlebih baik. Kau lihat Keng Sim, dia bukannya seorang yang tidak ada obatnya untuk menolongnya, apapula Hok Toako..."

"Dia dan Keng Sim lain. Dengan Keng Sim kita bersahabat, tetapi aku dengan Thian Touw suami isteri. Mengenai sahabat, asal ada sedikit kebaikannya, dapat kita mengingat, terhadap suami, permintaanku lain lagi, aku meminta lebih banyak, walaupun tak usah sampai sesempurna-sempurnanya, sedikitnya asal di antara kita ada kecocokan hati..."

Kembali Sin Tjoe berdiam. Apa ia bisa bilang lagi?

In Hong pun berdiam. Sampai selang sekian lama. baru ia menghela napas.

"Sudah, kita jangan menyebut-nyebut Thian Touw," katanya. "Mari kita bicara urusan Keng Sim. Tahukah kau bahwa dia 'binasa' untukmu?"

In Hong lantas menuturkan jelas duduknya hal sampai Keng Sim "membunuh diri" itu.

"Meskipun benar inilah mati pura-pura tetapi perbuatannya itu mesti dilakukan dengan keberanian luar biasa," kata pula In Hong. "Coba dia bernyali kecil, meskipun ada obat mujarab, dia pasti gagal. Pula, bagaimana kalau obat itu tidak menolong hingga dia mati benar-benar? Keng Sim telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Sebenarnya aku tidak berkesan manis terhadapnya tapi sekarang aku mesti menghormati dia"

Sin Tjoe lantas ingat lelakonnya sendiri dengan Keng Sim dulu hari, ia menjadi terharu hatinya.

"Sifatnya Keng Sim itu campur baur," katanya. "Semoga setelah kejadian ini dia nanti dapat mengubah itu, kalau itu terjadi, kita yang menjadi sahabatnya harus bergirang."

Selagi Sin Tjoe bicara sama In Hong, Giok Houw bicara asyik sama Bhok Lin. Siauw Houw Tjoe, dengan disertai gerakan kaki tangannya, menuturkan bagaimana gurunya menempur Kiauw Pak Beng, bagaimana Hek Pek Moko yang gagah membekuk orang-orang kosen dari istana, bagaimana rombongannya Tjhian Tiang Tjoen dan Hoe Koen Tjip kena ditawan semua.

Bukan main girangnya Bhok Lin, dia sangat bergembira.

Thio Tan Hong sendiri, selama itu. berduduk seorang diri. Ia agaknya lagi berpikir keras, hingga ia tidak memperdulikan aksinya itu rombongan orang muda. Adalah kemudian, mendadak dia menanya Bhok Lin: "Apakah suratmu untuk raja sudah di kirim?"

"Sudah sedari siang-siang," menjawab itu murid. "Kita sekarang tinggal menunggu keluarnya firman Sri Baginda Raja."

"Untuk apakah surat itu?" tanya Giok Houw.

"Jikalau seorang menteri menutup mata, menurut aturan, hal itu harus disampaikan kepada raja," Bhok Lin memberi keterangan. "Demikian dengan tjiehoe-ku meski benar dia baru berpangkat tingkat ketiga. Dia menjadi Hoetongnia dari pasukan Gielimkoen. dan padanya ada tersangkut kedudukan dari ayahku. Soehoe juga menganjurkan aku mengirim surat. Sebagai alasan dikemukakan bahwa tjiehoe mati lantaran sakit. Sekalian dengan itu aku mesti minta perkenan untuk membawa pulang jenazah tjiehoe untuk dikubur di kampung halaman kami."

"Ah, orang mati demikian sulit urusannya!" berkata Siauw Houw Tjoe. "Dengan begitu apakah bukan berarti kita masih harus berdiam di sini untuk beberapa hari lagi?"

"Memang kita harus berdiam di sini lagi beberapa hari!" Sin Tjoe nimbrung sambil tertawa.

"Lain-lain kepusingan kita mesti mendayakan untuk menjauhkannya tetapi kepusingan semacam ini, kita cari pun sukar untuk didapatkannya!"

Giok Houw heran, otaknya lantas bekerja Sebagai seorang cerdik, ia segera mendapat jawabannya. Maka ia bersenyum. Dengan lantas ia dapat menerka siasatnya gurunya ini.

Sementara itu Tjoe Kian Tjim. ialah Kaisar Hian Tjong, heran bukan main kapan ia telah menerima surat pemberitahuan atau rekes dari Bhok Lin itu.

"Tiat Keng Sim itu segar bugar, dia juga bukan miripnya orang berusia pendek, mengapa dia meninggal secara begini tiba-tiba?" demikian pikirnya. Ketika ia menerima surat, sudah magrib, itu waktu sudah selang dua jam dari "matinya" Keng Sim. Ia lantas mengirim orang, untuk mencari tahu. Tidak lama, orangnya itu sudah kembali, menuturkan halnya Keng Sim mati membunuh diri di rumahnya Tjhian Tiang Tjoen, bahwa kematian itu disaksikan sendiri oleh sekalian wiesoe dan boesoe, jadi itulah bukan kematian palsu.

"Heran!" pikir raja ini. "Aku tidak menyangka dia mati secara demikian macam. Syukur Bhok Lin tidak berani banyak bicara, dia cuma menyebutkan kematian lantaran sakit, jikalau tidak, urusan bisa menjadi sulit. Dengan memandang kepada Bhok Kokkong, baiklah, urusan ini tidak usah ditarik panjang."

Maka raja lantas mengeluarkan putusannya menuruti kebiasaan umum. Ia mengirim tanda turut berduka cita. Keng Sim diberi pangkat mati, ialah Djiepin Liongkie Touwoet. Di hari kedua. Bhok Lin diijinkan untuk datang menghadap ke istana, untuk dihiburkan, guna diberi perkenan membawa pulang layon iparnya itu.

Senang Bhok Lin atas putusan raja itu. Ia merasa bagaimana raja memperlakukannya dengan baik.

Bukankah beberapa kali ia telah dipanggil menghadap ke istana? Hanya kali ini ia datang untuk sekalian berpamitan. Oleh raja, ia diterima menghadap di kamar tulis dalam keraton. Ia pun dipandang seperti keponakan, hingga ia tidak usah menjalankan banyak adat peradatan.

Raja sendiri, selama dia menantikan datang menghadapnya Bhok Lin, telah menerima suatu warta lain. Itulah mengenai sepak terjangnya Tjhian Tiang Tjoen dan Hoe Koen Tjip, tjongkoan dan tongnia-nya, yang mengepalai beberapa puluh wiesoe pilihan, pemimpin-pemimpin dari Gielimkoen serta beberapa puluh boesoe dari pelbagai propinsi, untuk pergi menangkap orang-orang yang dicurigai sebagai penjahat-penjahat perampas pelbagai bingkisan. Bahwa sampai itu waktu, mereka itu masih belum kembali, serta tidak ada kabar ceritanya Walaupun kejadian itu aneh sekali, raja tidak lantas menyangka jelek. Bukankah Hoe Koen Tjip membawa jumlah yang besar dan semuanya orang-orang pilihan? Bukankah mereka itu berada di kota raja? Di mana kawanan penjahat telah ketahuan tempat mondoknya, bukankah gampang untuk meringkus mereka semua? Tidak ada alasan bahwa mereka bakal menampak kegagalan. Mungkin ada sesuatu yang membikin mereka terlambat, hingga mereka belum kembali... Begitulah, meski aneh duduknya hal, raja tidak berkuatir.

Baru saja thaykam yang mengantar juru pelapor itu mengundurkan diri, lantas tertampak munculnya Bhok Lin, yang diiringi dua thaykam lainnya.

Kian Tjim membiarkan Bhok Lin menjalankan kehormatan di antara menteri dan junjungannya, habis itu ia memberi ijin untuk orang berduduk, kemudian ia pandang pangeran muda itu. Ia mendapatkan air muka orang seperti biasa saja.

"Dasar bocah belum mengerti apa-apa" pikir raja ini. "Tjiehoe-mu telah menutup mata, kau pandang kejadian itu seperti tidak terjadi sesuatu. Sebenarnya, taruh kata kau tidak memikirkannya, dihadapan tim mestilah kau mengunjuki roman berduka..."

Raja memikir demikian karena ia tidak tahu Keng Sim mati palsu. Dan walaupun dia tahu orang mati membunuh diri, iajuga berpura-pura.

"Tjiehoe-mu itu mati lantaran sakit apa?" demikian ia tanya "Kenapa dia meninggalnya demikian cepat?"

Bhok Lin mendusta ketika ia menjawab: "Dua hari terlebih dulu daripada itu dia mendapat bisul kecil di hidungnya, djintiong, bisul itu tidak sakit dan juga tidak gatal, dia tidak perhatikan itu. Di luar dugaan, itulah bisul yang beracun. Kemarin lohor, bisul itu bekerja dengan mendadak, ketika tabib diundang dan datang, dia sudah keburu menutup mata."

Raja mengangguk.

"Memang, bisul di djintiong biasa berbahaya," berkata raja, yang turut main sandiwara. "Menurut ilmu tabib, bisul itu dinamakan bisul mulut kuda Sebenarnya bisul demikian tidak dapat dipandang enteng."

"Luas pengetahuan Sri Baginda," berkata Bhok Lin. "Tabib pun membilang demikian. Sayang kami mengetahuinya sesudah terlambat."

Tjoe Kian Tjim menghela napas.

"Tiat Loogiesoe seorang menteri yang setia," ia berkata pula. "Perbuatannya mendakwa Ong Tjin telah menggemparkan negara. Ia cuma mempunyai seorang putera, tidak disangka putera itu pendek umurnya. Sungguh sayang! Apakah ada pesannya tjiehoe-mu itu ketika ia hendak melepaskan napasnya yang penghabisan?"

Bhok Lin melanjuti sandiwaranya.

"Tjiehoe membilang bahwa keluarganya dua turunan, ayah dan anak, telah menerima budi besar dari negara, ia menyesal tidak dapat membalasnya," ia menyahut, "maka itu ia memesan untukku belajar surat dengan rajin dan belajar silat dengan sungguh-sungguh, supaya kemudian hambamu dapat melakukan sesuatu untuk Sri Baginda."

"Sungguh setia Keng Sim!" raja memuji. "Sampai di saat kematiannya, dia masih tidak melupakan budi Junjungannya!

Sungguh sukar dicari menteri sebagai dia! Dia memang gagah dan pandai bekerja. Lihat saja, dari demikian banyak bingkisan yang diantar ke kota raja, cuma bagianmu yang dia dan kau dapat melindunginya dengan sempurna. Sebenarnya tim hendak memberikan dia kedudukan lebih penting, sayang dia mati muda. Dengan kematiannyatim kehilangan seorang menteri gagah dan pandai, sungguh tim menyesal..."

"Dia meninggalkan pesan," berkata Bhok Lin, menggunai ketikanya ini, "agar jenazahnya dikubur di kaki gunung Seesan di kota Koenbeng, di tepinya pengempang Tiantie. maka itu hamba pikir, lagi dua hari akan berangkat membawa jenazahnya itu pulang, supaya lekas-lekas dapat dikebumikan."

"Itulah sudah seharusnya. Hanyalah perjalanan ke Inlam itu jauh laksaan lie, kau seorang diri yang mengantarkannya, hatiku tidak tenteram. Apakah kau menghendaki ditambah pengantar wiesoe untuk menemani kamu?"

"Terima kasih, itulah tidak usah," berkata Bhok Lin, menyahuti. "Sekarang ini Sri Baginda yang memerintah, negara aman sentosa, umpama kata toh ada kawanan kurcaci, hambamu mempunyai sejumlah pengiring yang dapat melayani mereka. Maka itu hamba tidak berani mengganggu kepada sekalian wiesoe dari istana."

Biar bagaimana, raja merasa tersinggung juga dengan itu kata-kata "negara aman sentosa." Bukankah bingkisan pelbagai propinsi telah kena dirampas penjahat dan cuma bingkisan dari Inlam sendiri yang selamat? Tapi, mendapatkan pangeran muda ini demikian pandai bicara, ia tidak mau membilang apa-apa Ia bilang saja: "Jikalau demikian, tim akan mengirim saja seorang wakil, selagi layon hendak diberangkatkan, biarlah dia mewakilkan tim turut bersembahyang. Di samping itu nanti tim membekali sepucuk firman, supaya semua pembesar negeri dipelbagai tempat dan kota yang dilewati nanti membantu mengantarkan dan melindungi."

Kembali Bhok Lin menghaturkan terima kasihnya

Sampai di situ, raja memanggil seorang thaykam, yang dititahkan menyuguhkan teh harum untuk pangeran muda itu.

"Tim mendengar kau suka sekali bergaul sama orang-orang gagah yang hidup merdeka di luaran," kata raja kemudian, "sekarang ini ada satu di antaranya yang berdiam di Inlam, tahukah kau tentang dia atau tidak?"

"Entah siapa itu yang Sri Baginda tanyakan?" tanya Bhok Lin.

"Dulu hari semasa peperangan di Touwbokpo," menyahut raja, "di sana ada seorang rakyat gagah bernama Thio Tan Hong. Dialah juru pemikir dari Kokloo Ie Kiam. Ketika Sri Baginda almarhum menampak kesusahan, dialah yang bersama-sama le Kiam mendayakan dan menyambutnya pulang. Sayang Ie Kiam telah mati penasaran, maka juga selekasnya tim naik ditahta, tim sudah lantas membersihkan kehormatannya Thio Tan Hong sendiri masih hidup, untuk jasanya dulu hari itu, tim belum membalasnya, maka itu untuk banyak tahun senantiasa tim memperhatikan dia. Sekarang ini, menurut kabar yang dapat dipercaya, dia tinggal menyendiri di gunung Thiam Tjhong di Inlam, maka itu, entahlah kau pernah bertemu dengannya atau tidak."

Selagi berbicara itu, raja memperhatikan wajah si anak muda. Ia tahu Thio Tan Hong gagah dan pintar, ia kuatir orang nanti kena dipakai oleh Bhok Kokkong, hingga kelak dikemudian hari, ia bisa mendapat susah dari orang cerdik pandai itu, maka sekarang ingin ia mendengar hal dia itu dari pangeran ini.

Bhok Lin menunjuki sikapnya tenang. Ia meletaki cawan tehnya, dengan sikap sangat hormat, ia memberikan jawabannya. Katanya: "Harap Sri Baginda mengetahuinya, orang yang Sri Baginda sebutkan itu kebetulan hamba mengenalnya. Jikalau Sri Baginda ingin memanggil dia datang menghadap, nanti hamba pergi mencari dia."

Raja terperanjat mendengar jawaban itu. Inilah di luar dugaannya Karena ini hendak ia menanya pula atau seorang thaykam datang menghampirkan untuk terus berbisik di telinganya. Dengan lantas air mukanya berubah menjadi pucat dan guram bergantian.

Kabar itu adalah kabar tentang Hoe Koen Tjip dan Tjhian Tiang Tjoen. Tjongkoan dan tongnia itu, berserta rombongannya, masih belum juga kembali serta tidak ada kabar ceritanya. Katanya, kecuali itu, beberapa kali telah di kirim orang, untuk pergi mencari tahu, tetapi semua pesuruh itu pergi tanpa satu di antaranya pulang. Hingga mereka mirip batu besar yang dilemparkan ke dalam laut. Di samping itu, ada lagi lain kejadian. Inilah yang membikin raja itu kaget, gusar, masgul dan berkuatir, hingga air mukanya itu menjadi berubah. Berita yang terakhir ini ialah:

Kantor dari sekalian wiesoe di tempatkan di pendopo Engboe tian di luar keraton, ialah di dalam istana. Di sana ada terjadi sesuatu. Wiesoe yang bertugas di sana merasa heran atas "lenyapnya" rombongan Hoe Koen Tjip itu, maka dia mengadakan rapat untuk membicarakannya. Tengah rapat berjalan maka dapatlah diketahui sesuatu itu. Di balok penglari tertampak sebuah pedang pendek, tak tahu siapa yang menancapnya di situ. Pedang itu lantas dicabut, dikasih turun. Segera orang mengenali, itulah pedangnya Hoe Koen Tjip. Semua orang menjadi kaget dan heran. Mereka memangnya bukan sembarang orang Kangouw. Sekarang, tanpa mencari tahu lagi. tahulah mereka bahwa Hoe Koen Tjip semua telah menjadi orang-orang tawanan lawan yang belum dikenal, hanyalah entah di mana mereka tertawannya, dan setahulah di mana sekarang mereka lagi disekap. Pedang ini pastilah telah di kirim oleh musuh. Dan oleh musuh yang liehay sekali sebab harus diketahui, Hoe Koen Tjip semua berjumlah banyak dan semuanya juga liehay. Dan musuh yang mengantar pedang ini tanpa ketahuan, mesti liehay juga.

Mendengar laporan ini, Tjoe Kian Tjim tergetar hatinya. Ia bukannya orang Kangouw tetapi ia menginsafi apa artinya itu. Tapi ia justeru membicarakan halnya Thio Tan Hong, yang diketahui Bhok Lin, ia mencoba menenangkan diri. Ia menunda urusan Hoe Koen Tjip itu. Ia pun lantas menyuruh mundur orang-orang kebirinya itu.

"Kau bilang bahwa Thio Tan Hong itu dapat dicari, di mana adanya dia sekarang?" kemudian Kian Tjim tanya puteranya Bhok Kokkong. "Lagi dua hari kau bakal berangkat pulang, apakah kau masih berkesempatan mencari dia?"

Pangeran muda itu bersenyum.

"Tuan Thio itu sekarang berada di sini," ia menjawab.

Raja kaget hingga ia berjingkrak bangun.

"Dia di sini?" dia berseru. "Wiesoe, lekas!"

Selagi raja itu kelabakan, Bhok Lin berlaku tenang.

"Tidak salah, Tuan Thio berada di sini," sahutnya. "Tuan Thio berada di luar, ia lagi menantikan titah panggilan dari Sri Baginda..."

Raja tidak memperdulikannya. Ia segera berteriak-teriak memanggil para pahlawannya. Tapi ia tidak memperoleh jawaban, tidak ada seorang wiesoe juga yang muncul. Di lain pihak lantas terdengar satu suara tertawa perlahan tetapi terang dan pintu kamar segera tertolak terbuka, dari situ terlihat masuknya satu orang dengan sikapnya yang tenang dan tindakannya ayal tetapi tetap. Dia lantas menjura dalam dan berkata: "Thio Tan Hong menerima panggilan dan sekarang ia datang menghadap Sri Baginda!"

Memang benar, dialah Thio Tan Hong, yang lagi disebut-sebut itu.

Raja mundur satu tindak, matanya terbuka lebar, mengawasi orang she Thio itu. Ketika ia melihat roman orang sabar, sama sekali tidak ada tanda-tandanya orang berniatan busuk, hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas berduduk pula.

"Thio Sianseng, cara bagaimana kau datangnya kemari?" ia tanya. Ia heran dan rasa herannya tidak bisa lantas lenyap.

Tan Hong tertawa.

"Tentu saja dengan jalan bertindak," sahutnya tenang. "Aku ingat hal pada sepuluh tahun yang lampau. Ketika itu Sri Baginda masih menjadi putera mahkota. Ketika itu aku pernah dipanggil menghadap. Itulah budi Sri Baginda, yang hingga sekarang tidak dapat aku lupakan. Sekarang Sri Baginda telah naik di atas tahta kerajaan, sudah selayaknya saja aku datang untuk memberi selamat!"

Raja merasa tidak enak hatinya Ia tentu tidak ketahui yang Thio Tan Hong datang dengan mengikut Bhok Lin, mengikut tetap sebagai pengiring tetiron. Sebenarnya Bhok Lin datang dengan beberapa pengiring, antaranya Tan Hong. Mereka tidak diperkenankan turut masuk menghadap raja, mereka dipernahkan di sebuah kamar thaykam dengan diawaskan oleh beberapa wiesoe. Akan tetapi, setelah Tan Hong menduga saatnya sudah tiba, dengan kesehatannya, dengan keliehayannya, ia totok roboh semua wiesoe pengawas itu, lantas ia masuk ke dalam. Di muka kamar tulis raja ada menjaga dua wiesoe lain, yang terlebih liehay, juga mereka itu berdua dapat dirobohkan dengan gampang. Maka juga, begitu mendengar suaranya Bhok Lin yang terakhir, ia menolak pintu dan bertindak masuk.

Dalam herannya Tjoe Kian Tjim berpikir: "Dia dapat memasuki istana yang pintunya berlapis-lapis, teranglah dia telah merobohkan semua pahlawanku, kalau sekarang aku memanggil-manggil lagi orang, niscaya percuma saja. Siapa bisa datang dan melawannya? Bahkan itu membikin dianya ketahui bahwa aku takut..." Maka itu, justeru Tan Hong menyebut-nyebut peristiwa dulu, hatinya menjadi jauh terlebih tenteram.

"Silahkan duduk, Thio Sianseng!" ia mengundang.

Tan Hong menerima undangan itu.

"Tim baru naik di atas tahta tim mencari orang pandai bagaikan tim berdahaga," ia berkata kemudian, "kebetulan Sianseng datang, inilah ketikanya yang baik untuk tim memohon pengajaran."

"Istana Sri Baginda penuh dengan menteri-menteri boen dan boe, yang pintar dan gagah, sebenarnya tidak ada perlunya Sri Baginda dengan orang hutan sebagai aku." Tan Hong menjawab.

"Jangan kau merendahkan diri, Thio Sianseng," berkata raja "Tim ketahui baik sekali. Sianseng adalah orang pintar dan gagah di jaman ini! Sebenarnya tim sangat mengagumimu."

"Jikalau benar Sri Baginda tidak merasa malu untuk bertanya terhadapku," kata Tan Hong kemudian, "maka itu aku si orang she Thio yang cupat pandangannya suka aku bicara. Aku minta sudilah Sri Baginda memaafkan yang aku hendak bicara secara terus terang."

"Kalau ada sesuatu ajaranmu, Sianseng, suka tim mendengarnya," kataTjoe Kian Tjim. "Silahkan minum tehnya dulu!"

Di saat seperti itu, untuk mendapat kesan baik dari Thio Tan Hong, raja melupakan derajatnya sebagai kaisar, ia sendiri yang menuangkan teh dan menyuguhkannya.

Tan Hong tidak berlaku sungkan, ia menyambuti teh dan meminumnya.

"Pada sepuluh tahun dulu itu," kemudian ia mulai berkata, "aku dan Sri Baginda telah menyebut-nyebut tiga soal, entah Sri Baginda masih ingat itu atau tidak..."

"Aku ingat itu," berkataraja. "Yang pertama ialah supaya Ie Kokloo dihilangkan penasarannya. Yang kedua yaitu supaya Yap Seng Lim dibiarkan merdeka di pulaunya serta diberi pangkat dengan perjanjian kedua pihak tidak saling menyerang. Dan yang ketiga agar Toan Teng Tjhong dibiarkan menjabat terus kedudukan raja muda turun temurun serta semua suku dan pembesar diwilayah Tali tetap berada di bawah kekuasaannya, supaya kedua suku Han dan Pek hidup damai untuk selama-lamanya. Ketika itu adalah ayahandaku yang masih memerintah, aku tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi sekarang, setelah aku yang naik di tahta, semua tiga soal itu telah aku mewujudkannya Tentang Toan Teng

Tjhong menjadi raja muda Sri Baginda almarhum sudah mengeluarkan firmannya, titah pun telah diumumkan, dan ketika aku naik di singgasana, aku juga sudah bertindak terlebih jauh, aku telah menambah anugerah. Kabarnya sudah beberapa tahun Thio Sianseng hidup menyendiri di gunung Tjhongsan, maka tentulah Sianseng sudah mendapat tahu semua hal itu."

"Inilah bagian yang pertama, yang mengenai Keluarga Toan itu," berkata Tan Hong. "Sekarang aku ingin mendengar penjelasan hal yang dua lagi. Bagaimana dengan yang kedua?"

"Begitu tim naik di atas tahta, lantas tim memerintahkan mencuci penasarannya Ie Kokloo itu." menyahut raja "Tentang itu tim sudah menyiarkan maklumat ke seluruh negeri agar semua rakyat mengetahuinya, serta juga di Hangtjioe telah dibangun rumah abu untuk memuliakan Ie Kokloo yang setia itu. Tentang ini tentulah Thio Sianseng telah mengetahuinya juga."

"Dan yang ketiga?" Tang Hong masih menegaskan.

"Yap Seng Lim mengambil kedudukan di pulau-pulau, dia tidak menerima panggilan kami untuk datang menakluk," menjawab raja. "Kalau dia diberi perkenan mengangkat dirinyamenjadi raja, maka tindakan itu tidaklah tepat, tidak cocok dengan aturan pemerintah, meskipun demikian, tim tidak menitahkan untuk menghukum dia. Thio Sianseng, apabila Sianseng dapat membikin Seng Lim menakluk kepada pemerintah, hingga dia suka tunduk di bawah perintah soenboe dari Tjiatkang, maka tim pastilah tidak berkeberatan akan memberikan dia sesuatu pangkat."

"Aku bukannya hendak memohonkan pangkat untuk Yap Seng Lim," berkata Thio Tan Hong, yang terus menjelaskan: "Sebenarnya dia berjasa untuk negara Sekarang ini dia lagi menugaskan diri mewakilkan negara menjaga serbuan perompak-perompak bangsa kate. Untuk itu dia tidak meminta rangsum atau biaya dari negara. Sepak terjangnya itu, untuk negara, ada baiknya, tidak ada jahatnya. Maka itu, seandai Sri Baginda tidak dapat mengijinkan dia menjadi raja di pulau-pulau itu, sedikitnya adalah selayaknya jikalau Sri Baginda melarang tentera pemerintah menyerang pula padanya. Tapi tentang ini baiklah ditunda dulu. Mengenai tiga hal itu, yang katanya Sri Baginda telah melakukan semuanya, menurut aku. sebenarnya Sri Baginda baru melakukan satu di antaranya..."

"Bagaimanakah itu?" raja tanya.

"Yang telah dilakukan ialah baru urusan menganugerahkan Toan Teng Tjhong di Tali," kata Tan Hong. "Usaha mencuci bersih penasarannya Ie Kokloo, itu dilakukan karena terpaksa, hal itu tidak dapat tidak dilakukan. Sri Baginda melakukannya bukan dengan kesungguhan hati."

Parasnya raja berubah. Ia merasa sangat tersinggung.

"Thio Sianseng menegur tim, tidakkah itu keterlaluan?" katanya. Di dalam keadaannya seperti itu, tidak dapat ia menggunai kekuasaannya sebagai seorang raja. "Mengapa Sianseng membilangnya tim tidak sungguh-sungguh?"

"Ie Kokloo mempunyai hanya seorang anak perempuan, namanya Sin Tjoe, dan suaminya ialah Yap Seng Lim pemimpin dari tentera rakyat suka rela," Tan Hong mengasi keterangan. "Jikalau Sri Baginda benar-benar menghargakan jasa Ie Kokloo, yang demikian menyinta negara, mengapa menyuruh demikian banyak wiesoe istana dan barisan Gielimkoen pergi menawan dia dengan tuduhan dialah seorang pemberontak?"

Mendengar itu. Tjoe Kian Tjim kaget.

"Apa? Puterinya Ie Kokloo itu ialah Ie Sin Tjoe?" tanyanya. "Tim cuma menerima laporan Hoe Tjongkoan tentang halnya seorang penjahat wanita yang katanya bersangkut paut sama perampasan bingkisan pelbagai propinsi, tapi perihal dia pergi menangkapnya atau tidak, Tim tidak tahu apa-apa. Memang hebat penjahat itu yang berani mengganggu pelbagai bingkisan, mereka kurang ajar sekali! Kenapa puterinya Ie Kokloo berada di antara orang-orang jahat itu? Inilah aneh! Harap saja itu bukannya hal yang benar!"

Mendengar kata-kata raja itu, Thio Tan Hong bersikap tawar.

"Ie Sin Tjoe itu bukan saja benar telah merampas pelbagai bingkisan," ia berkata, "bahkan dia bersama seorang adik seperguruannya adalah orang yang memimpin perampasan itu."

Inilah hal yang raja sudah ketahui, tetapi ia berpura-pura. Sengaja ia mengeprak meja dan berseru berulang kali: "Seorang wanita cantik menjadi penjahat, inilah sungguh di luar dugaan! Sungguh di luar dugaan!"

"Tahukah Sri Baginda kenapa mereka itu merampas bingkisan itu?" Tan Hong tanya. Ia menanya tapi tidak menanti jawaban, selagi raja mengawasi padanya, ia menambahkan: "Itulah untuk dapat membelanjai tentera rakyat. Tjioe San Bin bekerja di utara mewakilkan Sri Baginda menjaga serangan bangsa Ouw yang galak, dan Yap Seng Lim, di selatan, membendung gangguan perompak-perompak kate. Untuk usahanya itu, guna memelihara tentera, mereka itu tidak mau melakukan perampokan, mereka mengandal pada usaha sendiri membuka tanah ladang dan menangkap ikan di laut. Usaha itu tidak dapat mencukupi biaya mereka, maka itu mereka terpaksa merampas pelbagai bingkisan untuk Sri Baginda itu. Sri Baginda agung dan mulia sebagai raja, kaya raya mempunyai empat penjuru lautan, dan di dalam gudang istana bertumpuk barang-barang permata bagaikan gunung, maka untuk Sri Baginda, pelbagai bingkisan itu, banyak tidak terlalu banyak, sedikit tidak berarti kesedikitan, daripada membiarkan itu tersimpan di dalam gudang dengan tidak ada faedahnya, lebih baik dibiarkan semua itu diambil mereka. Bahkan untuk Sri Baginda itu menjadi ada kebaikannya yang besar!"

"Thio Sianseng, mengapa Sianseng mengetahui hal begini jelas?" tanya raja.

Thio Tan Hong bersenyum.

"Baiklah Sri Baginda mendapat ketahui," sahutnya, "Ie Sin Tjoe serta adik seperguruannya itu, Thio Giok Houw, keduanya murid-muridku, dan usaha mereka itu merampas pelbagai bingkisan disetujui pula olehku. Dulu hari itu harta besar simpanan yang menjadi warisan leluhurku telah dihadiahkan kepada Pemerintah Agung dipakai biaya tentara menangkis penyerbuan bangsa Watzu, dan sekarang murid-muridku mengambil pelbagai bingkisan Sri Baginda diperuntukkan rangsum tentera rakyat! Yang satu dipersembahkan, yang lain diambil, tetapi dua-duanya itu sama saja artinya, semua untuk keperluan negara, maka itu, jikalau Sri Baginda hendak mempersalahkan mereka, silahkan persalahkan aku saja!"

"Mana dapat tim mempersalahkan Sianseng?" kata Kian Tjim cepat. Ia hening sejenak, lalu ia menambahkan: "Jikalau demikian adanya, dengan memandang kepada Ie Kokloo, apabila Ie Sin Tjoe itu kena ditawan oleh sebawahannya Hoe Tjongkoan, nanti tim mengeluarkan firman supaya dia dimerdekakan secara diam-diam..."

Thio Tan Hong tertawa.

"Ie Sin Tjoe itu tidak kena dibekuk Hoe Tjongkoan," katanya, "sebaliknya dialah yang datang sendiri!"

Kian Tjim heran hingga dia terkejut.

"Apa? Apakah Ie Sin Tjoe pun datang ke sini?"

Tan Hong mengangguk.

"Hari ini aku masuk ke istana," katanya, menerangkan, "lalu kedua muridku itu ingin membikin luas pandangan matanya, mereka meminta sangat untuk turut padaku, lantaran aku tidak sampai hati untuk menolak, terpaksa aku ajak mereka datang kemari!" Setelah berkata begitu, dengan membikin keras suaranya, ia menoleh ke arah luar dan menambahkan: "Sin Tjoe! Siauw Houw Tjoe! Mari lekas menghadap Sri Baginda Raja!"

Belum lagi berhenti suaranya guru ini, pintu kamar sudah lantas ditolak terpentang, dari situ muncul sepasang pria dan wanita, ialah Sin Tjoe dan Thio Giok Houw. Sin Tjoe lantas memberi hormat dengan liamdjim, dengan merangkap kedua tangannya, sedang Thio Giok Houw cuma menjura saja. Kemudian tanpa menanti perintah lagi, keduanya berdiri di kedua samping raja itu.

Kian Tjim kaget berbareng mendongkol. Tapi ia tidak berdaya, terpaksa ia menahan hawa amarahnya. Sebaliknya, ia mengasi lihat sikap tenang dan sabar.

"Dulu hari itu ayahmu berjasa kepada negara, tetapi dia meninggal secara penasaran, sebenarnya hati tim tidak enak," ia berkata pada Sin Tjoe, halus, "maka itu setelah naik di tahta, tim sudah lantas mencuci bersih penasarannya itu. Sebetulnya tim lagi memikir untuk mencari tahu Ie Kokloo mempunyai putera dan puteri atau tidak, maka dengan sekarang tim bertemu sama puterinya, sungguh tim girang sekali. Sebab ternyata maksud hati tim telah kesampaian..."

"Sinlie tidak mengharap anugerah, sinlie cuma mengharap diberi maaf," berkata Sin Tjoe lekas. Ia menyebutnya sinlie, artinya, menteri wanita

"Tentang kamu merampas bingkisan, barusan Thio Sianseng telah membicarakannya," berkata raja, "mengenai itu, tim sudah lantas memberikan keampunan kepada kamu. Syukur sekali orang-orang sebawahannya Hoe Tjongkoan belum sampai dapat menawan kamu..."

Mendengar kata-kata raja itu. Thio Giok Houw tertawa bergelak.

"Hus!" Thio Tan Hong menegur muridnya. "Di depan Sri Baginda, jangan kurang ajar!"

"Soehoe," berkata Siauw Houw Tjoe, yang nakal dan Jenaka, "sesungguhnya aku tidak dapat menahan untuk tidak tertawa!"

"Sri Baginda tinggal di dalam istana," kata Tan Hong, "istana itu berlapis sembilan, terpisah dari dunia luaran, jadinya tidak heran kalau Sri Baginda kurang pendengaran, oleh karena itu tidak dapat kau mentertawakannya."

Raja sangat mendongkol dan gusar melihat kelakuannya Thio Giok Houw, yang dia anggap sangat kurang ajar, sebenarnya dia hendak mengutarakan kemurkaannya, tetapi Thio Tan Hong telah mendahuluinya menegur murid itu. Karena itu, dia pun lantas ingat suatu apa. Maka batal dia hendak menegur. Toh dia tetap mendongkol dan lantas menanya Tan Hong: "Di dalam hal apa tim kurang pendengaran hingga tim mesti ditertawai murid Sianseng?"

Tan Hong tidak menjawab, karena ia pun sudah lantas berkata kepada muridnya yang satunya lagi: "Sin Tjoe, mengapa kau masih tidak mau lekas memohon maaf dari Sri Baginda?"

Sin Tjoe menurut, ia bertindak ke depan raja

"Sinlie mohon Sri Baginda memberi maaf, nanti barulah sinlie berani bicara," ia berkata

Raja tengah mendongkol, maka itu ketika ia menjawab nona ini, ia kata: "Bukankah tadi tim telah membilang, dengan memandang kepada ayahmu dan gurumu juga, dalam hal perampasan bingkisan, tim sudah memberi ampun padamu?"

"Tetapi ini bukanlah untuk urusan yang kecil itu," menerangkan Sin Tjoe. Ia sengaja menyebut perampasan bingkisan itu urusan ketil.

Raja terkejut.

"Apakah dia telah melakukan lagi sesuatu yang terlebih hebat daripada perampasan bingkisan itu?" katanya dalam hatinya, membade-bade. "Adakah urusan yang lebih besar dan menggemparkan?" Tapi ia mesti menjawab. Ia mesti menghargai keagungannya sebagai seorang kaisar. Maka ia berkata "Kau tuturkan segala apa biar terang, tim dapat menimbangnya dengan adil. Singkatnya tim memberi kau kebebasan dari hukuman mati."

Kembali Thio Giok Houw tertawa, dingin suaranya. Ia pun kata: "Dari hukuman mati dapat dibebaskan, dari hukuman hidup toh tidak dapat diampunkan, bukan?"

"Siauw Houw Tjoe, jangan banyak omong!" Tan Hong menegur. "Pendeknya kau dengar saja putusan Sri Baginda nanti!"

"Harap Sri Baginda mendapat ketahui," Sin Tjoe berkata, menerangkan, "tadi malam sinlie telah bertemu sama Sri Baginda empunya Taylwee Tjongkoan serta Gielimkoen Tongnia, begitupun dengan delapan wiesoe istana serta tujuh belas pemimpin Gielimkoen yang di kepalai mereka itu!"

Kembali raja terkejut di dalam hatinya.

Tanpa menanti Sin Tjoe berbicara terlebih jauh, dengan tidak menunggu kalau-kalau raja mau meminta keterangan, Thio Giok Houw lantas campur bicara.

"Bukan melainkan mereka itu semua!" katanya pemuda ini. "Kita juga telah bertemu sama beberapa puluh boesoe pelbagai propinsi, dan mereka ini turut menderita bersama-sama mereka itu! Sri Baginda, tjongkoan serta tongnia Baginda itu, karena urusan kami, mereka sudah menggeraki sebuah angkatan perang, dan sepak terjang mereka itu membuatnya kami merasa sangat girang dan berbahagia!"

Raja masih bersangsi, ia bingung. Tapi ia berkata: "Mereka itu tidak mengetahui bahwa kaulah puterinya Ie Kokloo, mereka menyangka kamulah penjahat-penjahat tukang rampas yang biasa, maka itu mereka pergi untuk melakukan penangkapan. Tetapi kamu telah dapat meloloskan diri, ya, sudah saja! Bagaimana dengan mereka itu?"

Raja menanya begitu sedang di dalam hatinya ia mendamprat Hoe Keen Tjip dan Tjhian Tiang Tjoen karena mereka tidak mempunyai guna, dengan mengepalai puluhan pembantu, mereka tidak sanggup membekuk Sin Tjoe dan kawannya.

Sekarang adalah Sin Tjoe yang memberikan penyahutan.

"Sri Baginda, mereka itu ditahan kami," katanya, tenang.

Raja heran bukan main.

"Apa?" tanyanya. "Kamu telah menahan mereka? Apakah artinya perkataanmu ini?"

"Ah, apakah Sri Baginda masih belum mengerti?" Giok Houw menyelak pula. "Mereka itu datang menyateroni kami, untuk menangkap kami, akan tetapi sebaliknya, mereka yang kena kami bekuk!"

Mukanya kaisar pucat. Itulah hebat!

Tan Hong lantas turut bicara. Ia kata dengan tawar: "Itulah sudah terjadi karena menuruti pikiranku. Merekalah orang-orang berpangkat, kami tidak tega hati membunuh mereka, maka itu kami telah minta kepada mereka untuk berdiam untuk beristirahat beberapa hari di tempat kami. Berhubung dengan itu maka muridku ini memohon maaf serta kebebasan dari dosanya sudah menawan mereka itu. Aku sendiri, aku juga mau mohon Sri Baginda memberi maaf sebab aku sudah lancang berani menahannya."

Bukan main herannya raja ini. Puluhan wiesoe dan pemimpin Gielimkoen, yang semuanya pilihan, dan mereka dibantu juga begitu banyak boesoe, hingga jumlah mereka mendekati seratus jiwa, telah kena di tawan rombongannya Tan Hong ini! Itulah tak dapat dipikirkan! Tidak heran, pikirannya menjadi butek.

"Benarkah itu?" akhirnya dia menanya, suaranya bergetar. "Mereka telah kena ditawan kamu?"

Thio Giok Houw tertawa

"Mereka kena dibekuk semua, seorang pun tidak ada yang lolos!" ia menggantikan Sin Tjoe atau gurunya menjawab. "Jikalau Sri Baginda tidak percaya, di sini ada yauwpay mereka yang aku bawa!"

Dari dalam sakunya. Giok Houw mengeluarkan sebuah bungkusan, ia lantas membuka itu dan melepaskannya maka, dengan menerbitkan suara berisik, sekumpulan yauwpay jatuh ke lantai dengan bunyinya yang nyaring. "Yang delapan ada kimpay dari wiesoe dari keraton," berkata Giok Houw kemudian. "Yang tujuh belas ialah ginpay dari pemimpin-pemimpin Gielimkoen! Sri Baginda, cobalah tolong hitung, mungkin ada yang kurang, umpama kata sepotong..."

Untuk wiesoe dari keraton, Taylwee. guna memasuki keraton, melakukan tugas penjagaan, mereka memerlukan kimpay, pertanda yang terbuat dari emas, yang diberikan oleh raja Untuk barisan Gielimkoen, pay itu terbuat dari perak. Thio Giok Houw menyebutkan jumlah yang tepat, maka Kian Tjim melongo. Tak perlu, tak ada pikirannya, untuk menghitung semua yauwpay itu.

Selagi rajamenjublak dengan mata dan mulut dipentang lebar, Thio Tan Hong berkata: "Masih ada satu barang kepunyaannya Taylwee Tjongkoan Hoe Koen Tjip. Untuk dia, buat mundar-mandir di dalam keraton, dia tidak membutuhkan kimpay, jadi semua kimpay itu tidak termasuk kepunyaannya Dari dia itu, aku cuma mengambil pedangnya, pedang mana aku sudah kirim ke pendopo Engboe Tian, mungkin pedang itu sudah dapat diketemukan oleh wiesoe yang bertugas di pendopo itu. Hal ini sekalian saja aku memberitahukannya, supaya dengan begitu tidak usahlah mereka mencapekan diri mencari aku. Pula aku hendak memberitahukan, aku mempunyai dua sahabat yang telah mewakilkan aku melayani semua tetamu, maka itu umpama kata dari sini ada di kirim orang untuk menjenguk mereka, pastilah pesuruh itu, pergi satu ditahan satu, pergi dua ditahan sepasang. Piehee pastilah mempunyai lain-lain wiesoe lagi di keraton ini, maka itu sengaja aku mengirimkan pedangnya Hoe Tjongkoan, sebagai nasihat untuk mereka agar mereka tidak usah pergi menyusul pula!..."

Lagi-lagi hati raja bercekat. Yang di kirim itu, yang di kepalai Hoe Koen Tjip dan Tjhian Tiang Tjoen, semualah yang terpilih, maka itu, yang masih ada di istana bukanlah tenaga yang liehay. Raja mengetahui ini, tidak heran kalau hatinya gentar dan ciut. Maka masih sekian lama ia duduk bengong saja. Baru kemudian ia paksakan untuk bicara, hingga ia mesti bicara dengan menyeringai.

"Thio Sianseng," katanya, suaranya tidak tegas, "cara bergurau kau ini rada-rada keterlaluan!..."

Tan Hong segera menjura.

"Hambamu bersalah, terserah kepada keputusan Sri Baginda," ia kata. Ia menunjuki roman berkuatir.

Melihat kelakuan gurunya, Giok Houw tidak dapat tidak tertawa

Kian Tjim menjadi likat sekali. Ia mengerti bahwa ia tengah dipermainkan itu guru dan murid-muridnya.

"Thio Sianseng." ia berkata terpaksa, "tolong kau membagi muka kepadaku, tolonglah kau merdekakan mereka..."

"Sungguh mudah untuk berbicara!" berkata Giok Houw selagi gurunya belum menyahuti. "Mereka dapat dimerdekakan tetapi mereka tidak bakal melepaskan kami!"

"Segala yang telah lewat, tim bakal tidak menarik panjang," berkata raja. "Tim cuma mohon mereka itu dimerdekakan! Lain-lainnya hal mudah untuk didamaikan."

"Kata-kata Sri Baginda ialah kata-kata emas," berkata Tan Hong. "Bukankah Sri Baginda mengatakannya segala kejadian yang telah lewat tidak ditarik panjang? Kenapa kamu tidak mau lekas menghaturkan terima kasih?"

Kian Tjim menjadi jengah sekali. Ia telah melepaskan kata-katanya itu.

Sin Tjoe dan Giok Houw lantas memberi hormat mereka, dan raja itu terpaksa menerimanya

"Thio Sianseng, dapatkah mereka segera dimerdekakan?" ia bertanya.

"Di dalam hal ini masih ada sesuatu yang sulit," Tan Hong berkata.

"Apakah itu?"

"Gampang untuk memerdekakan mereka," berkata orang she Thio ini. "Apa yang dikuatirkan ialah wiesoe dan pemimpin Gielimkoen itu nanti tidak berani pulang. Mereka itu telah menerima titah untuk melakukan penangkapan kepada orang jahat! Bukankah si penjahat tidak dapat dibekuk dan bingkisan yang hilang tidak dapat dirampas pulang? Mereka itu takut dianggap bersalah, cara bagaimana mereka berani kembali untuk menyerahkan tugas?"

"Tadinya tim tidak mengetahui duduknya hal, tim menyangka perampasan terjadi oleh penjahat biasa saja," berkata raja "Sekarang tim telah mendapat tahu bingkisan itu sebenarnya dipakai oleh Sianseng dan murid-muridmu bertiga, maka pasti sekali tim bakal mengeluarkan putusan untuk menghapus perkara itu. Leluhur Sianseng dulu hari pernah menghadiahkan barang permata, maka sekarang pun anggap tim telah mengembalikannya kepada Sianseng. Tidakkah urusan menjadi beres karenanya?"

"Terima kasih banyak untuk kebaikan Sri Baginda ini," Tan Hong bilang. "Hanya aku masih mempunyai satu urusan yang memusingkan kepada Sri Baginda..."

Benar-benar raja merasai kepalanya sakit.

"Silahkan menyebutkan itu, Sianseng," katanya, terpaksa.

"Mengenai perampasan bingkisan itu, Sri Baginda telah berjanji akan tidak menarik panjang," berkata Tan Hong. "Berhubung dengan itu, juga semua wiesoe dan pemimpin Gielimkoen telah memperoleh kebebasannya Sekarang tinggal itu sekalian boesoe dari pelbagai propinsi, mereka masih belum bebas, sedang juga soenboe dari pelbagai propinsi itu masih belum mendapat tahu tentang keputusan menyudahi perkara perampasan itu. Oleh karena ini bisa terjadi sekalian soenboe itu nanti tetap memaksa semua boesoe itu bertanggung jawab hingga mereka tetap dimestikan mencari pulang semua bingkisan yang telah dirampas itu."

"Tentang itu mudah," berkata raja "Tim nanti menyiarkan pemberitahuan kepada semua propinsi untuk menghabiskan urusan itu, supaya semua boesoe memperoleh kebebasannya"

Kian Tjim berbuat begini dengan terpaksa. Kalau ia membebaskan semua wiesoe dan perwira Gielimkoen, semua soenboe pun harus membebaskan semua boesoe itu.

Thio Tan Hong senang mendengar kata-kata raja itu. Ini memang maksudnya kenapa ia menawan dan menahan rombongannya Hoe Koen Tjip itu.

"Thio Sianseng, semua permintaanmu telah diterima baik," berkata raja kemudian, "maka itu sekarang tim minta supaya Sianseng melepaskan semua wiesoe, perwira Gielimkoen dan boesoe itu. Kalau hal ini lambat diurusnya, apabila urusan sampai tersiar dan diketahui oleh orang banyak, itulah tidak bagus."

Tan Hong tertawa.

"Baiklah Sri Baginda tidak menguatirkan itu," ia berkata "Pasti besok mereka akan dibebaskan. Hanya sekarang aku masih mau minta Sri Baginda suka membebaskan juga dua orang."

"Siapakah mereka itu?" tanya raja

"Merekalah dua orang murid dari Boetong Pay," menyahut Tan Hong. "Yang satu Ko In Toodjin, yang lain Koet Kioe Gie. Mereka itu ialah yang mengantarkan bingkisan dari propinsi Ouwpak. Tjhian Tiang Tjoen tidak menghargai jasa mereka itu, bahkan karena salah mengerti, mereka sudah ditangkap dan ditahan hingga sekarang ini."

"Inilah gampang," berkata raja. "Nanti tim mengirim seorang siewie ke kantor wiesoe untuk menitahkan mereka itu dimerdekakan!"

Raja bersikap begini gampang karena hatinya sudah tawar. Ingin sekali ia agar Tan Hong bertiga lekas-lekas meninggalkan keraton, supaya semua wiesoe dan anggauta Gielimkoen lantas pulang.

Baru raja mengatakan demikian, atau mendadak ia menjadi melengak. Ia ingat bahwa tadi ia memanggil wiesoe, tidak ada wiesoe yang muncul. Ia tidak mendapat jawaban dari sekalian wiesoe-nya, entah ke mana perginya mereka itu. Ia mau menduga bahwa sekalian wiesoe itu juga tentulah sudah dipengaruhkan Thio Tan Hong. Habis, wiesoe yang mana yang dapat dipanggil untuk dititahkan?

Tan Hong mengawasi raja, ia bisa membade hati orang. Ia bersenyum.

"Apakah Sri Baginda hendak mencari wiesoe?" ia tanya. "Sudah ada beberapa orang yang pulang." Lantas ia berteriak: "Hai, kenapa kamu masih tidak mau masuk kemari?..."

Kata-kata itu belum habis diucapkan, atau mendadak pintu ditabrak hingga menjeblak dan mengasi dengar suara berisik, lantas beberapa orang nerobos masuk seraya mereka memutar golok dan pedang, untuk menerjang.

Melihat datangnya orang-orang itu, Ie Sin Tjoe menyambut dengan kimhoa. Hebat kesudahannya serangan bunga emas itu. Beberapa orang itu, ialah wiesoe semuanya, lantas pada berdiri diam dengan pelbagai sikap mereka: ada yang kakinya lagi bertindak, ada yang tangannya diulurkan, ada yang matanya dibuka lebar. Mereka semua berdiam bagaikan patung.

Sebenarnya merekalah beberapa wiesoe, yang tadi keluar dari kantornya untuk meronda. Mereka tidak melihat datangnya Tan Hong bertiga. Ketika mereka tiba di sebuah kamar thaykam di sisi Engboe Tian, mereka melihat kawan-kawannya lagi berdiri menjublak di depan pintu. Mereka menjadi heran dan curiga, lantas mereka menduga jelek. Satu di antaranya lantas menghampirkan, guna menolak tubuh rekan itu. Begitu ditolak, beberapa wiesoe itu roboh tak berdaya Mereka menjadi kaget, lantas mereka menduga duduknya hal. Kurban-kurban itu tidak dapat bicara dan tidak bisa berkutik juga Sebab tadi mereka sudah kena ditotok oleh "pengiringnya" Bhok Lin, ialah Thio Tan Hong!

Dalam kagetnya, beberapa wiesoe itu menjadi ketakutan. Itu artinya telah ada orang jahat memasuki istana dan keraton. Itulah berbahaya. Mereka menguatirkan keselamatannya raja. Ketika mereka tidak berdaya menyadarkan rekan-rekan itu, mereka memburu ke dalam, dengan niat melihat dan melindungi junjungan mereka. Setibanya mereka di muka kamar tulis raja, kembali mereka kaget. Mereka mendapatkan dua wiesoe, yang menjadi kepala dan pembantunya juga berdiri diam bagaikan patung-patung hidup. Mereka ini juga tak berkutik matanya Teranglah mereka pun sudah kena ditotok seperti yang lain-lain.

Ketika itu dari dalam kamar terdengar suara orang bicara. Mereka mengenali suara raja, hati mereka mulai lega. Lantas mereka memasang kuping. Mereka tidak berani lancang masuk karena mereka tahu raja lagi berbicara sama pangeran muda Bhok Lin. Hanya suaranya si pangeran yang tidak terdengar sama sekali, sebab selama itu Bhok Lin terpaksa berdiam saja.

Sementara itu, Tan Hong sudah mendengar suara orang dan ia dapat menduga siapa mereka itu, maka itu, setelah tiba saatnya, ia mengasi dengar panggilannya itu. Tidak beruntung untuk semua wiesoe itu, begitu menerobos, mereka disambut Sin Tjoe, hingga merekajuga mesti berdiri diam sebagai patung-patung dengan pelbagai sikapnya itu!

Tan Hong mengawasi mereka, ia tertawa dan berkata: "Rupa-rupanya mereka ini menganggap kami sebagai orang-orang jahat yang hendak membinasakan mereka! Aku harap Sri Baginda suka mengasi keterangan pada mereka tentang siapa adanya kami."

Biar bagaimana, Kian Tjim kaget, hingga mukanya pucat. Ia telah menyaksikan liehaynya Sin Tjoe. Diam-diam ia menyedot hawa dingin, katanya di dalam hati: "Muridnya Thio Tan Hong begini liehay, pantas orang-orang kosen dari istana kena mereka tawan! Jikalau mereka berniat jahat, mana bisa aku duduk diam dengan selamat?"

Selagi raja belum sadar, Tan Hong tertawa dan kata pada muridnya: "Sin Tjoe, mereka tidak tahu duduknya hal, mereka tidak dapat dipersalahkan. Kau bukalah jalan darah mereka!"

Sin Tjoe menurut. Lebih dulu ia pergi memunguti semua bunga emasnya, habis mana ia menepuk setiap wiesoe itu, untuk membebaskan mereka dari totokan, hingga sekejab kemudian, mereka itu mendapat pulang kemerdekaan mereka Dengan malu dan tunduk, mereka menyimpan senjatanya masing-masing, lantas mereka pada berdiri dipinggir.

Lekas juga raja mendapat pulang ketabahannya.

"Thio Sianseng ini ialah sahabat karib tim," ia lantas berkata, "jangan kamu berlaku kurang ajar terhadapnya."

Kata-kata ini sudah tidak perlu lagi, bukan saja semua wiesoe itu sudah mengerti duduknya hal, mereka pun baru saja mendapat ajaran. Mereka terus berdiri diam dengan likat.

"Juga bebaskanlah kedua tuan wiesoe yang berada di luar pintu," kata Tan Hong pada muridnya. "Mereka sudah berdiri terlalu lama di sana."

Giok Houw yang menyahuti gurunya, ia lantas pergi keluar, guna membawa masuk kedua wiesoe itu, lalu di depannya raja, ia membebaskan mereka Bukan main malunya mereka, dengan jengah mereka lantas berdiri di pinggiran, mulut mereka bungkam.

"Sekarang ada orang yang dapat dititahkan," berkata Tan Hong, untuk menyadarkan raja. "Silakan Sri Baginda menitahkan untuk memerdekakan dan mengambil Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie."

Raja terpaksa menurut. Ia tanya dulu dengan jelas tentang kedua orang Boetong Pay itu, lantas ia menulis firmannya, guna membebaskan mereka itu, kemudian ia suruh seorang boesoe lekas pergi menjemput mereka

Thio Giok Houw lantas berkata: "Di Engboe Tian sana ada beberapa wiesoe yang tertotok soehoe, baiklah minta beberapa tuan ini pergi membebaskan mereka, dengan begitu tak usahlah kita berabe pergi kesana lagi."

"Kami tidak dapat membebaskan totokannya Thio Sianseng," berkata beberapa wiesoe itu, tunduk.

"Itulah gampang," kata Tan Hong. "Siauw Houw Tjoe, kau ajarilah mereka ini."

Giok Houw menurut. Ia mengajak beberapa wiesoe itu ke samping, di situ ia memberi petunjuk kepada mereka. Ia menggunai tempo sekian lama, baru mereka itu mengerti.

Raja menyaksikan semua itu, ia merasa sangat tidak enak. Pikirnya: "Semua hamba ini tim telah pilih dengan susah payah, siapa tahu di tangannya Thio Tan Hong, mereka hanyalah segala tahang nasi!" Tentu sekali, sambil menantikan, ia tidak bisa membungkam saja, ia pun jengah sendirinya, dari itu dengan memaksakan diri, ia berbicara sama Tan Hong. Ia menanyakan urusan ketentaraan dan pemerintahan, guna mengurus negara.

Tan Hong suka melayani raja bicara, ia mengasi dengar perundingannya yang membikin kaisar itu kagum, hingga dia mendengarinya dengan sungguh-sungguh hati.

Selang satu jam. Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie dibawa masuk. Heran mereka melihat Tan Hong duduk bersama raja.

Tan Hong lantas tertawa terhadap mereka itu dan berkata: "Paman guru kamu sekalian lagi menantikan kamu, sekarang sudah bukan siang lagi, lekas kamu menghaturkan terima kasih kepada Sri Baginda Raja, lantas lekas¬-lekas kamu berangkat pergi!"

Walaupun merekatidak mengerti, dua murid Boetong Pay itu menurut kata-kata orang she Tan ini.

Raja pun mengangkat cawan araknya mengajak tetamunya minum, sebagai tanda mengantarkan tetamunya pergi.

"Terima kasih!" berkata Sin Tjoe pada raja. Ia menghaturkan terima kasih bual pelbagai bingkisan yang dirampas itu, yang perkaranya disudahi saja.

Bhok Lin. yang sekian lama terus berdiam saja, turut mengucapkan terima kasih.

Tan Hong memberi hormat pada raja, untuk pamitan, setelah itu, ia mengundurkan diri, diturut oleh murid-muridnya itu terhitung Bhok Lin.

Raja mengawasi orang berlalu, hatinya tidak enak. Mengenai Bhok Lin, ia pun bercuriga.

Orang berjalan keluar dengan melewati taman. Sampai di situ barulah Koet Kioe Gie, yang tidak mengerti duduknya perkara, minta keterangan dari Tan Hong. Sesudah tayhiap itu memberi penjelasan, baru ia ketahui duduknya hal. Di samping kagumnya bersama-sama Ko In ia menghaturkan terima kasih pada Tan Hong dan Sin Tjoe semua

Thio Giok Houw tertawa Ia kata pada Ko In: "Ko In Laotoo, tanpa berkelahi kita tidak berkenalan, maka sekarang tidak seharusnya kau membenci pula padaku!"

Imam itu jengah tetapi hatinya lega.

Tengah mereka berjalan dengan gembira, di depan mereka terlihat mendatanginya serombongan wiesoe.

"Eh. apakah itu bukannya Yang Tjong Hay?" Giok Houw tanya selagi ia mengawasi.

Salah seorang benarlah Tjong Hay, dia kaget melihat rombongan Tan Hong, dengan cepat dia lari ke antara pohon-pohon bunga.

Sin Tjoe sebal, ia menimpuk dengan sebiji kimhoa tetapi ia gagal. Sudah jarak mereka masih terlalu jauh, Tjong Hay pun gesit sekali.

Sebenarnya Tjong Hay itu, sehabisnya kabur dari rumahnya Tiat Keng Sim karena diusir In Hong, kecurigaannya bertambah keras. Ia menjadi sangat penasaran. Karena ini ia pergi ke istana, ia ingin mengajukan laporan rahasia kepada raja Ia sudah tidak menjadi tjongkoan lagi, tapi sebab banyak kenalannya, ia bisa masuk ke istana, ada wiesoe yang suka mengantarkan dia Ia tidak sangka

di situ-di dalam taman-ia

bertemu sama rombongannya Thio Tan Hong. Begitu ia melihat mereka itu, lantas ia menyelundup pergi.

Sin Tjoe penasaran, ia menimpuk sampai tiga kali, semuanya gagal.

Thio Tan Hong tertawa.

"Sudah, Sin Tjoe, tak usah kau kejar dia!' berkata guru ini. "Jikalau kau kuatir dia nanti banyak bacot, nanti aku yang membiarkan dia tidur sebentaran!"

Guru ini dengan sebat menjumput sepotong batu, dengan dua jarinya ia segera menyentil ke arah tempat ke mana Tjong Hay menyingkir. Menyusul itu terdengar suara tubuh roboh serta terlihat banyak bunga rontok berhamburan. Sebab Tjong Hay kena terhajar punggungnya, terkena jalan darahnya, hingga dia roboh tak sadarkan diri, robohnya merusak banyak pohon bunga, hingga ada cabangnya yang lagi berkembang, melesat dan mental.

Yang Tjong Hay ialah bekas taylwee tjongkoan, pada belasan tahun yang lalu ialah salah seorang dari ke empat kiamkek, ahli pedang, yang kesohor, sekarang dia kena dirobohkan secara demikian gampang oleh Tan Hong, sedang dia sudah menyingkir dan menyembunyikan diri di antara pepohonan, maka itu beberapa wiesoe, yang berada bersamanya, menjadi ketakutan sekali, mereka bersembunyi berpencaran, tidak ada seorang juga yang berani bersuara.

"Dia terkena apa yang dinamakan jalan darah tidurnya." berkata Tan Hong kepada sekalian wiesoe itu. "dia bakal tidur satu hari dan satu malam, nanti dia bebas sendirinya Jangan ada di antara kamu yang usil, yang mencoba menolongi dia sebelum waktunya dengan begitu, dia bisa menjadi celaka karenanya, untuk selamanya dia tak akan sadar lagi!"

Di antara beberapa wiesoe ada yang mengenali Tan Hong, apabila mereka mendapat kenyataan Tan Hong tidak mengganggu mereka dia menyahuti bahwa dia mengerti, lalu mereka mengangkat tubuh Tjong Hay buat dibawa pergi dari gombolan pohon bunga itu.

Tan Hong tertawa, lantas bersama murid-muridnya ia berjalan terus meninggalkan taman. Sekalian wiesoe itu cuma bisa mengawasi mereka. Sekeluarnya dari pintu belakang, mereka berlalu dijalan besar.

"Yang Tjong Hay jahat sekali, mengapa soehoe mengasihani dia?" tanya Bhok Lin.

"Di dalam dunia ini ada terlalu banyak manusia semacam Yang Tjong Hay," sahut sang guru bersenyum, "mereka terlalu kemaruk sama uang dan pangkat, cukup jikalau mereka diberi peringatan saja Yang penting untukmu sekarang ialah lekas-lekas membawa tjiehoe-mu berlalu dari kota raja dikuatirkan, kalau Tjong Hay mendusin, dia nanti ngoceh tidak keruan di depan raja"

"Menurut keterangan entjie In Hong tadi, mungkin Yang Tjong Hay sudah mengetahui Keng Sim mati berlagak," berkata Sin Tjoe, "maka itu apa tidak mungkin, selama Tjong Hay datang ke istana, dia sudah membocorkan rahasia?"

"Jikalau itu benar, itulah rahasia yang dia ketahui sendiri." Tan Hong bilang, "dengan begitu, mestinya dia sendiri juga yang akan membuka rahasia kepada kaisar, hingga takkan mungkin dia sudah membocorkan rahasia itu."

Mereka bicara terus sambil bicara, tiba di rumah Keng Sim, hari sudah magrib.

Kiam Hong keluar menyambut. Kapan Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie melihat nona itu, yang mereka kenali, merekajengah. Mereka ingat bagaimana mereka pernah dipermainkan nona yang liehay, cerdas dan Jenaka itu. Tapi Kiam Hong berlaku manis.

"Sudah beberapa hari djiewie berdiam di kantor Gielimkoen, kamu membikin bergelisah paman guru kamu!" dia berkata tertawa. "Dia sedang menantikan kamu!"

"Apakah dia bersendirian saja?" tanya Tan Hong.

"Ya, dia sendiri saja," jawab Kiam Hong.

"Sudah berapa lama dia datang?" "Belum lama..."

Tan Hong agaknya heran. Ia cepat bertindak masuk ke dalam.

Tjit Seng Tjoe lantas dapat diketemui. Dia beroman kucai. Koet Kioe Gie dan Ko In Toodjin maju, untuk memberi hormat, tetapi dia tidak nampak gembira. Dia cuma berkata: "Syukur Thio Tayhiap mengatur tipu daya yang bagus untuk menolong kamu! Kamu telah menderita, pergilah kamu beristirahat."

Tan Hong sebaliknya mengawasi imam itu.

"Eh. kau bertempur sama siapa?" ia tanya. "Aku tahu Khoan Kie tidak begitu liehay hingga dia dapat melukakanmu."

Tan Hong telah minta Tjit Seng Tjoe pergi menawan Khoan Kie. Untuk itu. imam itu diminta membawa suratnya Hoe Koen Tjip. Tan Hong ingin memberi ajaran adat pada Khoan Kie lantaran dialah yang membuka rahasia kedatangan Sin Tjoe ke kota raja. Karena ingin memangku pangkat pula, Khoan Kie sudah melupakan persahabatannya dan berbuat chianat itu. Benar ayah Khoan Kie ialah salah satu dari tiga jago Pakkhia tetapi Tan Hong tahu betul Khoan Kie sendiri tidak gagah, ia anggap dapatlah Tjit Seng Tjoe menawannya. Siapa tahu, Khoan Kie itu licik dan dia membuatnya orang terluka dengan dia sendiri bebas.

"Bagaimana duduknya, soesiok?" tanya Kioe Gie heran.

Ko In pun kaget dan turut menanyakan paman guru itu.

Tjit Seng Tjoe tertawa menyeringai, ia memberikan keterangannya seperti berikut: "Ini dia yang dibilang, perahu karam dikobakan! Khoan Kie sangat licin. Ketika aku pergi padanya dengan membawa suratnya Hoe Koen Tjip, aku berniat memancing dia keluar dari rumah, untuk terus digiring kemari. Dia tinggal di rumah seorang bekas rekannya, aku tidak ingin membekuk dia di sana, supaya aku tidak usah membikin banyak berisik. Aku percaya, asal dia keluar dari rumah rekannya itu, dapat aku menguasai dia."

"Apa mungkin pada suratnya Hoe Koen Tjip itu ada sesuatu tanda untuk mengisiki dia?" Giok Houw tanya.

"Aku pernah lihat surat itu, aku tidak dapatkan apa-apa yang mencurigai," kata Sin Tjoe.

"Justeru surat itu yang membuka rahasia. Kalau tahu begitu, begitu bertemu muka, aku bekuk padanya!"

"Apakah itu yang membuka rahasia?" Sin Tjoe tanya.

"Sesudah Khoan Kie membaca suratnya Hoe Koen Tjip, dia tidak mengasi kentara apa-apa. Dia bilang, karena dia dipanggil oleh 'Hoe Taydjin,' dia perlu salin pakaian. Dia lantas masuk ke dalam dan aku duduk menanti di kamar tetamu. Siapa tahu, begitu dia berada di belakang pintu, dia segera menutup dan mengunci pintu itu. Kedua daun pintu terbuat dari besi. Aku lantas mau mendobrak pintu, guna meloloskan diri keluar dari situ. Justeru itu, aku diserang dengan anak panah yang beracun. Di dalam kamar itu, sulit untuk aku berkelit. Aku paksa menggempur tembok. Tepat tembok gempur, sebatang panah mengenai lenganku. Itu waktu aku mendengar Khoan Kie tertawa dan berkata mengejek padaku: 'Kau dapat mendustai lain orang, tidak aku! Jikalau aku tidak menjelaskan, mati pun kau tidak puas! Di surat itu ada tanda minyak! Di atas meja di dalam keraton, mana ada minyak? Maka pastilah itu minyak dari meja di dalam kuil!'"

Inilah benar di luar dugaan. Sebenarnya Thio Tan Hong sudah berlaku terliti, ia menggunai kertas tulis yang bersih, tetapi waktu ditulis, kertas diletaki di atas meja abu kuil dan di sana ada sisa minyak. Maka ia menghela napas.

"Inilah kekeliruanku," ia akui. "Khoan Kie cerdik sekali, dia sebenarnya pandai, sayang dia sesat jalan."

"Aku telah terkena panah, Khoan Kie menyangka aku bakal terbinasa," Tjit Seng Tjoe melanjuti ceriteranya. "Tapi aku bisa menyerbu tembok, aku dapat lolos, bahkan aku berhasil melukakan beberapa boesoe di dalam rumah itu. Dia ketakutan, dia lari. Jikalau aku tidak kuatirkan racunnya anak panah nanti keburu bekerja, tentulah aku sudah susul dan hajar dia hingga mampus. Demikian terpaksa aku membiarkan dia kabur."

"Bagaimana sekarang dengan luka soesiok?" tanya Kioe Gie.

"Khoan Kie bukan ahli panah, biar panahnya beracun, dia tidak dapat membinasakan aku dengan racunnya itu. Pula itulah bukan panah beracun yang dapat segera membinasakan orang. Aku membikin darah kotor kumpul di jari tengah, lalu jari itu aku belek, untuk mengeluarkan semua racun, kemudian aku pakai obat. Di situ juga aku bisa membikin bahaya itu hilang, tetapi selama itu, Khoan Kie sudah lari pergi."

"Khoan Kie bukan si orang penting, aku pun cuma ingin menghajar adat padanya, karena dia sudah pergi, biarlah," kata Tan Hong. "Mari kita lihat Keng Sim."

Mereka masuk ke dalam. Segera tutup petinya Keng Sim dibuka, maka di dalam situ kelihatan dia rebah, mukanya bersemu kuning dan alisnya hitam, di ujung hidungnya ada beberapa tetes keringat, sedang napasnya terdengar menggeros.

Bhok Lin segera mengasi bangun, selama mana, dari tenggorokannya terdengar suara gerijukan. Kedua matanya terus tertutup rapat. Itu artinya dia sudah hidup pula tetapi belum sadar.

Sin Tjoe terharu. Ia ingat orang membela padanya, hingga orang tidak takut berkurban. Benar dulu hari itu, perbuatan Keng Sim kurang tepat, tetapi itu dapat dimaafkan. Karena ini ia mendekati, untuk memeriksa jalan napas di hidung orang. Ia mendapatkan hembusan napas dingin. Ia berkuatir juga.

"Diamengandali soatlian, jiwanya dapat dijamin," katanya pada gurunya. "Bagaimana dengan tenaga dan ilmu silatnya? Bukankah ia membutuhkan tempo tiga tahun untuk pulih kembali?"

"Tidak, itulah tiada halangannya sama sekali," menyahut Tan Hong. Ia merebahkan orang di dipan, ia menambahkan: "Dia sebenarnya mesti mendusin selang tiga hari, tetapi besok Bhok Lin mesti segera berangkat, dia tidak dapat diantapkan saja."

Sin Tjoe tahu, inilah disebabkan Tjong Hay. Kalau besok bekas tjongkoan itu tersadar, dia bisa mengadu pada raja, kalau raja ketahui Keng Sim mati palsu, itulah rewel dan berbahaya, taruh kata raja mendiamkan, kepusingan lainnya mesti ada. Dari itu, paling benar dia segera diberangkatkan pergi.

Tan Hong berdiam, tetapi tangannya bekerja, untuk menguruti tubuh Keng Sim, untuk membikin semua jalan darahnya tersalurkan, supaya darahnya jalan dengan baik, agar dia lekas mendusin.

Benar, selang tidak lama, Keng Sim mengasi dengar suaranya yang pertama seperti seruan, dia memuntahkan darah, sedang kedua matanya ditutup rapat.

"Keng Sim, jangan berbicara!" berkata Tan Hong. "Kau sabar, akan aku menyalurkan nadimu, supaya kau mendusin dan sehat seperti biasa. Cuma kau mesti bertahan untuk sedikit penderitaan."

Dengan telapakan tangannya, Tan Hong lantas menekan punggung di mana ada jalan darah kwietjhong hiat. Dengan cepat Keng Sim merasakan hawa hangat, yang terus menjadi panas, hingga ia mengeluarkan peluh yang menetes besar.

Tan Hong melanjuti menekan atau mengurut-urut, akan kemudian dengan menggunai ilmu silat Ittjie Siankang, ia menyalurkan semua tiga puluh enam jalan darah.

Dengan pertolongan soatlian, teratai salju, dari gunung Thiansan, jiwa Keng Sim dapat dipertahankan, tetapi ia telah terluka pada nadinya, maka itu dia membutuhkan pertolongan tersebut dari Tan Hong. Ia merasakan hawa sangat panas, ia mencoba melawannya, meski begitu, saking sakitnya, ia merintih. Tadinya ia menutup rapat matanya, satu kali ia membuka itu, di antaranya ia melihat Sin Tjoe, dan ia mendapatkan si nona terharu. Ia merasa lega hatinya. Sekarang ia tidak tergila-gila lagi terhadap Nona Ie itu, yang telah menjadi Nyonya Yap Seng Lim, tetapi ia terhibur. Dulu-dulu belum pernah ia menyaksikan sinar mata, atau roman, demikian dari Sin Tjoe. Maka itu ia kata di dalam hatinya: "Asal dia mengetahui aku bersengsara ini untuknya, ada harganya aku menderita begini..." Karena terhibur itu, penderitaannya seperti berkurang sendirinya. Ia malah bersedia Tan Hong memperlambat atau memperpanjang tempo pertolongannya itu..."

Lewat lagi sekian lama, sesudah jalan darahnya tersalur sempurna, hilang rasa sakit dan hawa panasnya Keng Sim, sebaliknya, ia merasakan tubuhnya lega sekali. Ia seperti telah sembuh seanteronya.

"Bagus !" kata Tan Hong tertawa. "Kau bangunlah!"

Keng Sim benar-benar berbangkit, lantas ia merapikan pakaiannya, sesudah itu, ia menjura pada Tan Hong, untuk memberi hormat, guna menghaturkan terima kasihnya yang hangat. Ia melihat bajunya tayhiap itu bermandikan keringat, ia menyangka orang telah mengeluarkan terlalu banyak tenaga, ia tidak tahu, berbareng dengan itu, Tan Hong sudah kehilangan latihannya sekira satu tahun.

"Sekarang pergi kau ke kamar istirahat, kau harus meyakinkan ilmu dalammu," kata Tan Hong. "Coba kau lihat, tenagamu telah pulih atau belum."

Sebenarnya Keng Sim ingin bicara sama Sin Tjoe, banyak yang ia hendak perkatakan, akan tetapi karena titahnya Tan Hong ini, terpaksa ia membatalkannya, lalu ia meminta diri kepada semua kawan itu, untuk ia mengundurkan diri bersama Bhok Lin ke ruang dalam.

Tjit Seng Tjoe juga perlu beristirahat, maka itu ia pun mengundurkan diri bersama kedua keponakan muridnya. Dengan begitu Tan Hong jadi berada bersama kedua muridnya serta Kiam Hong, jumlah mereka menjadi tinggal berempat.

"Hebat Keng Sim kali ini," kata tayhiap itu. "Dibanding sama dulu hari dia menolongi tentara rakyat, ia sekarang lebih menderita."

"Untuknya, penderitaan ini ada baiknya." Sin Tjoe bilang.

"Katanya gurunya, Tjio Loosianseng, telah pulang dari luar negeri," kataTan Hong.

"Benar. Sekarang Tjio Loosianseng lagi membantui Seng Lim."

"Keng Sim cerdas, jikalau dia bisa buang cita-citanya mencari pangkat dan ia tukar itu untuk meyakinkan sungguh-sungguh ilmu silat gurunya. KengToo Kiamhoat, dia bisa manjat tinggi."

Tan Hong berhenti sejenak, lantas ia memandang In Hong.

"Bagaimana dengan Thian Touw selama yang belakangan ini?" ia tanya Nona Leng. "Apakah dia telah berhasil menciptakan ilmu pedangnya. Thiansan Kiamhoat?"

Ditanya begitu, mata In Hong menjadi merah.

"Selama yang belakangan ini ia telah berhasil menciptakan pelbagai tipu silat baru, hanya karena itu, .tabiatnya jadi makin menyendiri..." ia menyahut.

"Begitu?" kataTan Hong tertawa "Tetapi inilah tidak aneh. Kamu tinggal menyendiri di gunung yang sunyi, tidak aneh tabiatnya itu."

"Dia bertujuan satu, dia bertekad bulat, untuk menjadi guru besar dari suatu ilmu pedang tersendiri, karenanya segala urusan lain, urusan luar, ia lantas tidak perdulikan lagi!"

"Pikirannya itu bukannya pikiran jelek," Tan Hong bilang. "Hanya kalau semua-semua ia tidak mengambil mumat urusan luar, itulah berlebihan. Siapa hidup di dalam dunia, yang pertama-tama diutamakan ialah bagaimana kita harus menjadi manusia. baru kemudian mengutamakan pelajaran."

"Soehoe benar," kata Giok Houw. turut bicara. "Lihat Kiauw Pak Beng! Dia demikian liehay tetapi terhadap lain orang, dia membahayakan, tidak menolong. Tentu sekali aku tidak membandingkan dia dengan Hok Toako. aku cuma mau menunjuk tak ada harganya dia hidup sebagai manusia pandai. Ya soehoe, mengapa kau tidak mau mengajarkan entjie Leng semacam ilmu pedang yang istimewa, supaya ia pun dapat membangun suatu partai baru hingga ia bisa menindih suaminya itu?" Tan Hong tertawa. "Kamu anak-anak muda, kamu lucu!" ia kata. "Kamu selalu mau main pemenang menang, lantas kamu berkelahi!"

Mukanya In Hong menjadi merah, ia membungkam.

Sin Tjoe lantas menuturkan kepada gurunya tentang perbedaan pendapat dari Leng In Hong dengan Hok Thian Touw, suami isteri itu, bahwa si isteri mau belajar pedang tapi tanpa melupakan kawan dan tugas menolong negara dan sesamanya sebaliknya sang suami ingin belajar dulu hingga berhasil cita-citanya menciptakan suatu partai baru, baru dia mau mencampuri urusan umum, karena mana mereka itu jadi berselisih dan pada membawa maunya sendiri.

Tan Hong berpikir, memikirkan soal itu. Suami isteri itu memang mempunyai masing-masing kebenarannya.

"In Hong," katanya sesaat ke mudian, "coba kau menjalankan ilmu silat Thiansan Kiamhoat untuk aku lihat."

In Hong suka mengasi lihat ilmu silatnya, bahkan ia girang sekali. Ia lantas pergi ke paseban, untuk mulai bersilat. Di antara berkeredepannya sinar pedangnya. ia

mempertontonkan kegesitannya.

Tan Hong menonton, lantas ia mengangguk-angguk.

"Memang ilmu silat ini belum mencapai kemahirannya" ia berkata, "tetapi benar dia telah menggenggam sarinya ilmu silat pelbagai partai lainnya, maka di belakang hari pastilah ini akan menjadi suatu sinar terang dalam kalangan persilatan!"

In Hong bersilat sekian lama, baru dia berhenti. Setelah menyimpan pedangnya, ia menghampirkan Tan Hong.

"Aku mohon sukalah tayhiap memberi petunjuk padaku," ia minta.

"Untuk memberi petunjuk, itulah aku tidak berani," sahut Tan Hong bersenyum. "Bicara terus terang, kalau nanti kamu sudah berhasil meyakinkan ilmu silat kamu ini, kamu pasti akan dapat mengatasi Hian Kee Kiamhoat dari guruku. Cuma sekarang masih ada bagiannya yang belum terperinci." Ia berhenti sebentar, lantas ia tertawa dan kata dengan sungguh-sungguh: "Ilmu silat kau ini mengutamakan jurus-jurus yang aneh gerak-gerakannya. Pernah aku melihat Thian Touw bersilat, maka dapat aku bilang, di antara kamu berdua, banyak persamaannya, sedikit perbedaannya. Rupa-rupanya ini disebabkan kau tidak selamanya menuruti ajarannya Thian Touw, kau rupanya juga mempunyai angan-angan untuk menciptakan suatu ilmu pedang tersendiri, guna membangun suatu partai baru seperti cita-citanya Thian Touw itu. Baiklah, mari aku menyempurnakan cita-citamu! Cuma, jikalau nanti kau sudah berhasil, ilmu pedangmu ini berlainan dengan ilmu pedangnya Thian Touw, sebaliknya, apabila kamu menggunainya bersama, bergabung, maka faedahnya tak terkira-kirakan besarnya."

Sin Tjoe tertawa mendengar perkataannya guru itu, ia girang sekali.

"Itulah bagus!" murid ini memuji. "Cuma aku harap janganlah itu sampai menindih semangatnya Hok Toako. Dengan begitu pastilah Hok Toako tidak bakal dapat meninggalkan entjie InHong!"

Sin Tjoe tetap hendak melindungi keakuran In Hong dengan Thian Touw, ia tidak menghendaki perpecahan di antara suami isteri itu. hingga ia tidak memikirkan apa yang bakal terjadi kelak di kemudian hari.

Tan Hong lantas berdiam, la berpikir keras. Selang sekian lama, baru ia berbicara.

"Thian Touw bersama ayahnya telah bekerja keras sekali mengumpul sarinya pelbagai macam ilmu pedang, sekarang usaha itu dilanjuti Thian Touw sendiri dan ia telah berhasil, untuknya tinggallah saat mencapai kemahirannya, oleh karena itu. tidak dapat aku tidak berlaku tahu diri, tidak berani aku lancang memberi petunjukku, maka itu, aku ingin minta seorang guru besar yang nanti memberi petunjuk itu kepadamu." kata ia.

In Hong heran, juga yang lainnya.

"Di jaman ini, siapakah yang dapat melebihkan tayhiap?" tanya Nyonya Thian Touw.

"Dunia ini luas sekali, di dalamnya ada banyak orang pandai," berkata Tan Hong. "Sekarang ini, yang aku hendak minta bantuannya, ialah seorang yang telah meninggal dunia. Leluhurku, yaitu Thio Soe Seng, serta Tjoe Goan Tjiang, kaisar yang membangun Kerajaan Beng ini, semua pernah belajar silat di bawah pimpinannya. Ialah PhengHweeshio. Aku telah berhasil mendapatkan sebuah kitab Hiankong Yauwkoat peninggalannya guru besar itu. kitab itu dapat aku pinjamkan kepadamu untuk kau pahamkan. Pada dasarnya.

ilmu silat semua sama saja. demikian kitab ini, yang tidak mengutamakan melulu ilmu pedang. Jikalau kau telah membaca dan memahamkannya, setelah kau berhasil, maka besar faedahnya itu untuk ilmu pedangmu."

In Hong girang sekali, buru-buru ia menghaturkan terima kasih.

Tan Hong tidak cuma memberi pinjam bukunya itu. ia juga memberikan pelbagai petunjuk lainnya, maka itu, pertemuan mereka itu berjalan sampai jam tiga.

"Sekarang aku mesti pergi ke kuil Hianbiauw Koan." katanya kemudian. "aku mesti memberitahukan Hek Pek Moko untuk dia membebaskan semua orang kurungan kita itu. Karena besok kita mesti berangkat pagi-pagi, sekarang kamu baiklah beristirahat."

Thio Giok Houw mau turut gurunya pergi ke kuil, maka itu, Sin Tjoe lantas berkemas berdua In Hong, untuk besok pagi tak usah mereka repot lagi. Mereka tidak dapat tidur, sedang In Hong lantas membeber Hiankong Yauwkoat, untuk dibaca.

Sin Tjoe tidak mau mengganggu kawannya itu. sebab ia tidak berniat tidur, ia lantas pergi keluar kamar, terus ke paseban. Segera kupingnya mendengar, di antara angin malam, suaranya cabang-cabang bergoyang-goyang dan daun-daun rontok. Ia heran. Itulah bukan suara wajar, hingga ia mau menduga pada yahengdjin, ialah orang yang bisa keluar malam. Tidak bersangsi lagi, ia lompat ke tembok pekarangan, maka lantas ia melihat, di antara sinarnya si Puteri Malam, Keng Sim tengah berlatih silat seorang diri di dalam taman bunga. Keng Sim beda daripada In Hong, tetapi ilmu silatnya juga menarik hati, mempunyai keistimewaan sendiri. Kalau dia berlatih rajin dan sungguh-sungguh, dia pasti bakal memperoleh kemajuan berarti.

"Kau baru sembuh, apakah kau tidak letih?" ia menanya sambil menghampirkan. Ia bicara sambil tertawa.

Keng Sim menoleh dengan terkejut, silatnya lantas dihentikan. Melihat Sin Tjoe. ia girang dan heran dengan berbareng.

"Sudah jauh malam, apakah kau juga belum tidur?" tanyanya. "Gurumu menolongi aku, dia hebat sekali, hingga sekarang ini kesehatanku telah pulih dan tenagaku rasanya bertambah banyak."

"Itulah bagus," berkata Sin Tjoe. "Di dalam peristiwa ini, kami semua berterima kasih kepadamu."

"Itulah tidak berarti apa-apa," kata Keng Sim merendah. "Aku tidak mau dipaksa Tjhian Tiang Tjoen, aku juga tidak sudi ditawan dia. Bukankah kau masih ingat perkataan dulu hari, untuk kau. tak perduli urusan apa, meskipun menerjang api. suka aku melakukannya. Di dalam kejadian ini aku melainkan mau menunjuki bahwa aku ialah seorang sahabat yang dapat diandalkan."

"Aku bersyukur terhadapmu, tetapi aku mengharap kau tidak hanya menunjuki itu kepadaku satu orang," Sin Tjoe bilang. "Di dalam dunia ini banyak sahabat yang nyalinya besar, mata kita harus dipentang lebar. Asal kau berbuat baik pada orang, orang tidak nanti melupakan budimu."

Keng Sim berdiam. Ia lantas ingat halnya ia mengantar bingkisan dengan tidak kurang suatu apa semua itu karena bantuannya Sin Tjoe beramai, sedang sekarang, ia baru sajaditolongi Tan Hong, bahkan kesehatannya, dan tangannya sembuh dan bertambah tenaga melebihkan peryakinan silat lima tahun. Benar ia menderita tetapi kesudahannya ia memperoleh kebaikan, sekarang ia pun mendapatkan persahabatannya Sin Tjoe.

"Karenaku kau kehilangan pangkatmu, apakah kau tidak menyesal?" Sin Tjoe tanya. Ia tertawa dan mengawasi orang, sedang orang tengah mengangkat kepala memandang kepadanya.

"Sebenarnya aku tidak menemahai pangkat," berkata Keng Sim menjelaskan. "Aku cuma ingin memangku pangkat untuk memenuhkan angan-anganku. Sekarang aku mengerti bahwa tujuanku itu keliru. Belum lama aku hidup dalam kalangan kepangkatan tetapi buahnya aku merasai banyak sekali hingga di luar dugaanku. Kalau dunia kepangkatan, atau dalam pemerintahan, keadaannya demikian macam, mana bisa aku mewujudkan cita-citaku. Ah, memang, hidup kamu di tempat yang luas dan bebas memang lebih menyenangkan!"

Senang Sin Tjoe mendengar pengutaraan itu.

"Berubah sudah pandangannya Keng Sim," katanya di dalam hati. Lantas ia kata: "Penghidupan kita memang merdeka, tetapi kau juga, sepulangnya kau ke Inlam, dengan Bhok Kokkong sebagai pelindung, kau pasti nanti akan mencapai cita-citamu itu. Ya, jangan lupa kau tolong menyampaikan salamku kepada entjie Yan." Ia tertawa, ia hening sejenak, lantas ia menambahkan: "Dengan kau tidak memangku pangkat di kota raja ini, tentulah entjie Yan girang sekali!"

"Kau pun menolongi aku menanyakan kesehatannya Yap Toako," berkata Keng Sim. "Ah, sungguh beruntung kamu sepasang .suami isteri, yang hidup bercita-cita sama dan rukun!"

Sin Tjoe tertawa.

"Juga entjie Yan dan kau sama-sama muda-mudi yang cerdas," ia kata, "kamulah pasangan yang sukar dicari keduanya! Sebenarnya, di antara suami isteri itu, asal orang saling mengerti dan menghormati, itulah yang dinamakan jodoh yang mempuaskan."

Keng Sim lantas mengingat Bhok Yan. Isterinya itu memang menyintai ia, cuma ia yang tak dapat melupakan Sin Tjoe. Maka itu, ia merasa jengah sendirinya.

Pertemuan ini memuaskan Keng Sim. Setelah berpisah pada sepuluh tahun yang lalu dalam pasukan suka rela benar mereka pernah bertemu pula beberapa kali tetapi tidak demikian lama dan merdeka seperti kali ini, keduanya dapat berbicara secara terbuka. Dengan pertemuan ini, Keng Sim girang bisa mengetahui jelas hati Sin Tjoe, sedang Sin Tjoe puas bisa mendapatkan pulang ini sahabat yang seperti sudah hilang...

Demikian mereka memasang omong hingga tanpa merasa sang fajar tiba, lalu di luar terdengar suaranya kelenengan kereta, berikut suaranya roda dan tindakan kuda. Itulah Tan Hong yang kembali bersama Giok Houw, untuk mengangkut "layonnya" TiatKeng Sim...

"Kamu bangun pagi-pagi!" kata Giok Houw gembira melihat dua orang itu.

"Aku mati dan hidup pula, hari ini aku bakal menyelundup keluar dari kota raja, hatiku tidak tenteram," berkata Keng Sim. "Karena itu semalaman aku tidak dapat tidur. Apakah sekarang aku mesti tidur pula di dalam peti mati?"

"Jikalau kau tidak mau, tidak apa, aku telah mengaturnya!" kata Tan Hong tertawa.

Ketika itu ada datang lagi lain orang, ialah Hek Pek Moko bersama Tie Goan, ketua muda Kaypang.

"Hek Pek Moko mau pergi ke Inlam, kamu boleh berjalan bersama-sama," Tan Hong bilang. "Tie Pangtjoe yang bakal mengantar kamu hingga di luar kota. Tie Pangtjoe kenal baik semua penjaga pintu kota. Setelah keluar, kamu menantikan Bhok Lin di Louvvkauw kio."

Senang Sin Tjoe mendengar kata-kata gurunya, yang nyata telah mengatur segala apa dengan baik untuk Keng Sim. Dengan adanya Hek Pek Moko sebagai pengantar, tidak ada kekuatiran apanya lagi, tidak perduli umpama kata raja mengirim wiesoe-wiesoe-nya yang terliehay.

Untuk Hek Pek Moko, perjalanan ini juga ada perjalanan sambil lalu. Mereka mau membawa pulang semua bingkisan ke India, untuk dijual di negerinya. Mereka mau mengambil jalan dari Inlam menembus ke Birma.

Bhok Lin dan Kiam Hong muncul dari dalam, maka Tan Hong kata pada pangeian muda itu: "Sekarang angkatlah peti mati ke atas kereta kuda. Tjiehoe menantikan kamu di Louwkauw kio."

"Tjiehoe, kenapa kau tidak bersamaku naik kereta?" Bhok Lin tanya.

"Dia tidak kerasan tidur lagi di dalam peti mati," Tan Hong mewakilkan Keng Sim menjawab. "Pula, walaupun raja sudah menjadi jeri hatinya, ia toh mesti mengirim wakilnya mengantar layon hingga di luar kota, maka itu siapa bisa ketahui jikalau antara pengiring-pengiringnya ada wiesoe pilihan yang menyamar yang dapat mendengari suara napas di dalam peti mati? Benar peti kosong dan Keng Sim tidak ada di dalamnya, tetapi dengan kau mempunyai firman raja, siapa berani membuka tutup peti?"

Bhok Lin berdiam, sedang Keng Sim kagum. Nyata Tan Hong telah mengatur segala sesuatu dengan teliti.

Di luar gedung berada dua buah kereta. Kereta yang satu lantas dipakai Keng Sim bersama Hek Pek Moko serta Tie Goan. Kereta yang lain akan dipakai Bhok Lin diiringi boesoe yang ia bawa dari Inlam. Keng Sim sudah lantas naik atas keretanya, ia memberi selamat tinggal pada semua orang. Ia terharu hingga air matanya berlinang.

"Sampai kamu keluar pintu kota, Yang Tjong Hay masih belum mendusin dari tidurnya," kata Giok Houw, yang ingat kepada bekas tjongkoan dari Taylwee itu. Lantas dia tertawa. Sebab kejadian kemarin itu dia menganggapnya lucu.

"Nah, mari kita pun berangkat!" kata Tan Hong kemudian.

"Soehoe mau menuju ke mana?" Giok Houw tanya gurunya.

"Sudah delapan tahun aku belum pernah pergi ke Kanglam, aku ingin pesiar kesana," menyahut sang guru.

"Entah bagaimana keadaannya Tayouw Santjhoeng," berkata Sin Tjoe. "Soehoe. baik aku turut kau pesiar ke Souwtjioc dan Hangtjioe, habis itu aku minta sukalah kau pergi ke pulau kecil kita untuk berdiam di sana beberapa hari."

"Aku sendiri mau pergi kepada Kimtoo Tjeetjoe"" berkata Giok Houw. "Aku mesti memberi laporan. Kau. entjie Leng, bagaimana dengan kau?"

In Hong mengawasi Sin Tjoe. mau ia menjawab tetapi bersangsi.

"Entjie Leng, pergilah kau pulang ke Thiansan," kata Sin Tjoe tertawa. "Urusan merampas bingkisan sudah selesai, jikalau kau tidak pulang, pasti Hok Toako bakal mengatakan dan menyesali kami sudah menahan kau!"

"Kamu tidak menghendaki aku, baiklah, aku pulang ke Thiansan." kata In Hong.

"Aku akan berangkat bersama kau!" kata Kiam Hong.

In Hong tertawa.

"Entjie Sin Tjoe tidak menghendaki aku, aku juga tidak menginginkan kau!" katanya.

Kata-kata itu mengandung dua maksud, maka itu Kiam Hong mendongkol dan mengangkat tangannya mengancam untuk memukul, tetapi Sin Tjoe sembari tertawa menarik tangan orang seraya berkata: "Siauw Houw Tjoe mau pergi kepada Kimtoo Tjeetjoe kamu berdua turutlah dia. nanti sampai di luar kota Ganboenkwan baru kamu berpisahan. Di sana kau. Nona Liong, kau boleh mengambil keputusan kau ingin mengikut siapa."

Demikian pembicaraan mereka selesai, mereka berangkat dengan berpisahan. dalam rombongan masing-masing. Cuma Sin Tjoe dan In Hong, yang merasa sangat berat, dari itu banyak mereka saling memesan.

Perjalanan Leng In Hong bertiga Thio Giok Houw dan Liong Kiam Hong menyenangi mereka. Mereka tidak menemukan sesuatu. Hanya selang belasan hari, tiba sudah mereka di luar kota Ganboenkwan, tiba di Tjengliong Kiap, selat di mana baru ini mereka menempur tentera negeri. Tentaranya Tjioe San Bin pun berada di atas gunung Tjengliong San.

Selama perjalanan ini. In Hong telah mengambil ketetapannya untuk menciptakan sendiri sebuah partai persilatan. Dengan meyakinkan bersama suaminya, Hok Thian Touw, ia telah memperoleh kemajuan, lalu dengan dapat petunjuknya Thio Tan Hong, selain kemajuan, pikirannya pun makin terbuka. Maka itu. selama di tengah perjalanan ini, banyak ia omong sama Giok Houw tentang ilmu pedang, dan di mana yang ia kurang jelas, ia tanya pemuda she Thio itu.

Ketika mereka mulai memasuki lembah Tjengliong Kiap, In Hong lantas ingat peristiwa ia bersama suaminya mengepung Kiauw Pak Beng. Di sana mereka bentrok pendapat tetapi di akhirnya Thian Touw mengalah dan suka membantu sungguh-sungguh padanya melawan Pak Beng, hanyalah di luar sangkaannya, habis itu. mereka suami isteri jadi semakin renggang.

"Thian Touw terlalu kegilaan ilmu pedang," In Hong berpikir. "Sekarang aku memperoleh sedikit kemajuan, aku harap ini dapat dipakai untuk menambal keretakan kami. Meski begitu, kalau aku mesti terlalu merendah, tidak, tidak dapat."

Karena ini. ia terus bersangsi.

In Hong ingin lantas berpisahan tetapi Giok Houw mengundang ia mendaki gunung, untuk mampir beberapa hari. Kata Siauw Houw Tjoe: "Bibi Tjioe sangat kangen terhadapmu. Ketika itu hari kau pergi tanpa pamitan, dia menyesalkan aku!"

In Hong kena dibujuk. Ia memang menghargai Nyonya Tjioe San Bin.

Kiam Hong tidak ingin berpisahan dari Giok Houw, ia juga tidak tidak mau berpisah dari In Hong. In Hong bisa menduga hati orang, maka waktu ia diajak mendaki gunung bersama, ia menerima baik ajakan itu.

Tauwbak yang bertugas menjaga hari itu melihat datangnya rombongan Giok Houw. dia lantas lari ke dalam, untuk memberi laporan kepada tjeetjoe. ialah ketuanya.

Giok Houw merasa aneh kapan ia telah melihat romannya tauwbak itu dan yang lain. Biasanya, kalau ia datang, ia lantas dirumung. untuk ditanyakan ini dan itu, mereka biasanya tertawa menyambutnya.

tetapi kali ini mereka berdiam, meskipun ada yang bersenyum tetapi nampaknya seperti dipaksakan. Teranglah orang berduka, seperti juga ada terjadi sesuatu yang hebat.

Tengah anak muda ini heran dan bercuriga, hingga ia menduga-duga, San Bin muncul menyambut mereka. Juga tjeetjoe itu kelihatannya berduka seperti sekalian tauwbak.

Giok Houw beramai diundang berduduk di Tjiegie thia. ruang berkumpul. Ia lantas menutur perihal perjalanannya ke kota raja dan bertemu sama kaisar. Ia bicara dengan gembira sekali. Beberapa kali San Bin memuji dan bertepuk tangan, tetapi roman kedukaannya tetap tidak lenyap.

"Setelah kami berangkat dari sini, apakah ada terjadi sesuatu?" akhirnya Giok Houw menanya. Tidak dapat ia menahan sabar lebih lama pula.

San Bin memerintahkan seorang tauwbak membawa datang sebuah kotak dalam mana ada termuat sehelai kartu nama, sembari menunjuk kartu itu, ia berkata: "Thio Hiantit, gurumu luas pengetahuannya, apakah kau pernah mendengar ia membicarakan tentang ini dua orang?"

Giok Houw tidak lantas menyahuti, ia hanya membaca dua nama di atas kartu itu. suaranya seperti mendumal: "Tjouw Thian

Yauw-Tjio Keng Ham. Belum

pernah aku mendengar soehoe menyebut-nyebut dua orang ini.

Apakah artinya ini?" ia terus menanya.

"Pada enam hari yang baru lalu," menyahut Tjioe San Bin. "pagi-pagi bibimu bangun dan pergi ke ruang ini, lantas di atas meja bundar ia mendapatkan ini kotak berikut kartu namanya. Di samping itu pun ada sepucuk surat yang singkatnya berbunyi bahwa mereka telah mendapat tahu aku bersama Yap Seng Lim telah mengirim Lioklim Tjian mengundang orang-orang gagah untuk bersama merampas bingkisan pelbagai propinsi, maka itu mereka minta supaya dibagi separuh dari semua bingkisan yang telah kita rampas itu. Katanya pula apabila semua barang itu sudah dijual, mereka minta separuhnya dalam emas..."

Giok Houw heran sekali.

"Begitu?" katanya. "Kita yang bersusah payah merampasnya, mereka yang duduk enak-enakan hendak mendapat bagiannya!"

"Inilah rada aneh." In Hong turut bicara. "Mereka tahu perampasan dilakukan umum, pada itu ada ambil bagian sekalian orang gagah, tetapi toh mereka masih bernyali demikian besar berani meminta bagian, apakah yang mereka buat andalan? Mungkinkah mereka itu terlebih liehay daripada si siluman tua she Kiauw itu?"

"Memang rada aneh." San Bin bilang. "Maka juga begitu mendapatkan kartu dan suratnya, bibimu menjadi heran dan segera dia memanggil aku dan Tjie Hiap."

"Apakah sekarang bibi dan koko Tjie Hiap ada di sini?" Giok Houw memotong. Dengan Tjie Hiap, ia ada seperti tangan dan kaki, sangat erat persahabatannya, maka kalau Tjie Hiap ada di rumah, tidak harusnya dia tidak lekas keluar menemui. San Bin pun tidak menyebutkan tentang isteri dan anaknya itu, hanya dia menyebut isterinya dalam hubungan dengan itu kartu nama dan surat yang datangnya di luar tahu siapa juga.

Atas pertanyaan itu, Tjioe Tjeetjoe menyeringai.

"Bibi dan saudaramu itu?" katanya. "Mereka ada di dalam, lagi sakit, besok baru mereka sembuh... Umpama kata kau datang kemarin, aku juga tentu masih rebah di pembaringan..."

Giok Houw semua heran. Suami isteri itu serta anaknya sakit berbareng! Tidakkah itu heran? Pula, tidakkah lebih heran, kesembuhan mereka dapat diketahui harinya? Tapi sekarang ia mengerti kenapa romannya San Bin kucai, kiranya dia baru sembuh dari sakitnya dan berduka karena sakitnya isteri dan puteranya.

"Siokhoe dapat sakit apa?" anak muda ini tanya itu ketua, yang ia panggil siokhoe, atau paman.

San Bin menggeleng kepala.

"Aku tidak tahu," sahutnya. "Di sini pun ada beberapa sahabat Rimba Persilatan, yang mengerti ilmu ketabiban, mereka juga tidak tahu. Apa yang diketahui ialah sakit kita disebabkan perbuatannya dua orang yang namanya tertera di sini."

Benar-benar Giok Houw tidak mengerti.

"Mungkinkah mereka nelusup ke dalam sini dan menaruh racun secara diam-diam?" ia tanya. "Ah, itulah tidak pantasnya terjadi!"

"Itulahjusteru anehnya!" San Bin bilang. "Kami semua tidak dapat menerka bagaimana mereka itu bekerjanya. Surat itu, selain berbunyi meminta separuh dari semua bingkisan, juga ada ditambahkan ini kata-kata: 'Jikalau permintaan kami ini tidak diterima baik, kami akan membikin kamu seluruh gunung menjadi terlukadan musnah. Sekarang ini kami mencoba dulu golok kami peranti menyembelih kerbau, yaitu Tjioe Tjeetjoe suami dan isteri serta anak akan mendapat sakit serintasan --- Tjioe Tjeetjoe bakal jatuh sakit lima hari, dan isteri dan anaknya selama tujuh hari. Nanti, setelah kamu sudah sembuh, baru kami datang pula mengunjungi kamu'. Coba pikir, apakah itu tidak aneh? Benar-benar kami jatuh sakit! Obat apa juga kami makan, tidak ada hasilnya. Sampai pada kemarin, tepat lima hari yang disebutkan, sakitku sembuh dengan tiba-tiba tanpa kami mengetahui bagaimana terjadinya. Aneh atau tidak, orang terpaksa mesti mempercayainya!"

"Mungkinkah keanehan terjadi pada kertasnya surat itu?" kemudian ia tanya.

"Aku pun pernah mencurigai itu. Surat aku kasihkan diperiksa beberapa sahabat yang mengerti ilmu obat-obatan dan racun, tetapi mereka itu tidak mendapatkan apa-apa."

"Apakah mereka itu sendiri tidak mendapat sakit?"

"Tidak."

Giok Houw menjadi bertambah heran. Ia menduga surat ada racunnya, nyata dugaan itu meleset. Taruh kata benar surat beracun, kenapa yang sakit cuma San Bin bertiga? Juga. kenapa sakitnya mereka bertiga ditentukan hari kesembuhannya dan ketentuan itu tepat? Ia menjadi bingung.

"Biar bagaimana, mereka itu berdua mestinya ahli racun," kata In Hong kemudian. "Maka tak dapat tidak, kita mesti berjaga-jaga. Aku masih mempunyai beberapa butir Pekleng Tan. baiklah kita makan itu di waktu kita bertemu dengan mereka. Bersiaga tidak ada ruginya."

Pikiran itu mendapat kesetujuan. Meski begitu, tetap orang tidak mengerti, maka itu. mereka tidak bergembira. Syukur sang besok datangnya lekas. Itulah hari yang ditetapkan. Benar saja, Tjio Tjioe Hong dan Tjioe Tj ie Hiap sembuh dari sakitnya masing-masing, sembuh tanpa terasa, bahkan tepat setengah jam sebelumnya tengah hari.

Semua orang menjadi berlega hati berbareng berkuatir juga. Sebab ketua mereka bertiga sembuh, tetapi segera mereka mesti menantikan "kunjungan" dari dua orang yang meminta bagian bingkisan itu! Terpaksa mereka berjaga-jaga. malah penjagaan diperkeras, pos-pos penjaga dibikin lebih rapat, menjadi setiap lima dan sepuluh tindak. Inilah supaya, kalau kedua tetamu datang, laporan bisa di kirim cepat.

Kira tengah hari, San Bin bersama anaknya, In Hong, Giok Houw dan Kiam Hong, duduk berkumpul di Tjiegie thia, untuk menantikan tetamu mereka yang tidak diundang itu. Sampai sekian lama. mereka menanti dengan sia-sia, tidak laporan datang dari luar.

"Mungkinkah mereka berdua menggertak saja?" tanya Giok Houw kemudian. "Mungkinkah mereka tidak berani datang?"

"Jikalau hanya gertakan, sebenarnya tidak perlu mereka bersusah payah mengancam kita dengan penyakit!" kata San Bin. "Pula tidak mungkin mereka cuma bergurau. Tempo yang dijanjikan ini juga tempo yang mereka tetapkan sendiri..."

Benar baru San Bin mengucap begitu, dari luar terdengar letusan pertanda. Sedang Hoetjeetjoe Lauw Wan Tat, si ketua muda. baru saja tertawa dan hendak mengatakan sesuatu. Menyusul letusan itu. dari luar ruang segera terdengar suaranya dua orang: "Dua orang muda dari Rimba Persilatan. Tjouw Thian Yauw dan Tjio Keng Ham, menepati janji datang menghadap kepada Kimtoo Tjeetjoe!"

Semua orang terkejut hingga mereka saling memandang. Tidakkah penjagaan telah diperkuat? Kenapa orang masih dapat masuk, bahkan lantas berada di luar Tjiegie thia?

Biar bagaimana, San Bin menenangkan hatinya. Ia lantas berbangkit untuk menyambut. Dengan suara nyaring, ia berkata: "Tuan-tuan benar-benar dapat dipercaya! Silakan masuk, di sini aku si orang she Tjioe yang tengah menantikan!"

Menyusul suaranya ketua ini, dua orang terlihat bertindak masuk. Nyata dandanan dan roman mereka lain dari yang lain. Orang yang memperkenalkan diri sebagai Tjouw Thian Yauw, tubuhnya besar dan kekar, romannya kasar dan keren, akan tetapi kepala dan tubuhnya ditutup sama kopia dan pakaian kaum pelajar, hingga dia menjadi beroman luar biasa. Sedang orang yang menyebut diri Tjio Keng Ham, yang paling nyata padanya ialah kedua kupingnya memakai anting-anting kuningan, sementara kepalanya lanang. tidak ada rambutnya sehelai jua. Nyata sekali dia nampak sebagai orang Biauw, tetapi dia toh memakai nama orang Han, bahkan pakaiannya juga pakaian bangsa Han.

Orang semua heran. Tidak ada yang bisa membade. mereka berdua orang dari golongan apa. Keberanian merekajuga harus dikagumkan.

Tjouw Thian Yauw merangkap kedua tangannya memberi hormat.

"Tjioe Tjeetjoe, kesehatanmu tentulah telah pulih!" berkata dia. "Kami berdua saudara telah berlaku lancang, kami minta sukalah dimaafkan."

San Bin tahu orang pandai menggunai racun, ia tidak mau mendekati mereka itu.

"Tuan-tuan pandai sekali, aku sangat kagum." ia berkata membalas hormat. "Silakan duduk!"

"Maksud kedatangan kami berdua telah ditulis jelas sekali di dalam surat kami, dari itu tidak usah kami menjelaskannya pula," berkata Thian Yauw. "Sekarang kami minta sukalah tjeetjoe memisahkan separuh dari semua bingkisan, supaya dengan begitu kami dapat lantas berangkat pergi. Kami tidak ingin tjeetjoe bercape hati melayani kepada kami."

"Syukur tuan-tuan telah datang kemari, aku si orang she Tjioe justeru hendak memohon pengajaran," San Bin berkata. Ia tidak menyebut tentang bingkisan. "Kalau tuan-tuan lantas pergi pula, itu tandanya kami tidak mengenal persahabatan."

"Dengan memandang kepada bingkisan, baiklah, kami bersedia berduduk dan memasang omong sebentar," sahut kata Thian Yauw.

"Entahlah, tjeetjoe hendak bicara dari hal apa? Kami biasa mendengar tjeetjoe berhati sangat mulia dan gemar mengamal, mustahillah tjeetjoe berkeberatan untuk itu sedikit bingkisan? Bukankah kita sama-sama orang Rimba Hijau?"

San Bin mengasi lihat roman sungguh-sungguh.

"Tuan-tuan datang dari tempat jauh, silakan duduk dulu," ia berkata. "Dengan begitu leluasalah kita berbicara. Silakan minum tehnya!"

Menyusuli kata-katanya tuan rumah ini, Thio Giok Houw datang dengan sebuah penampan kuningan. Ia menghampirkan kedua tetamunya. Ia menelad contoh gurunya baru-baru ini, menyamar menjadi kacung pengikut, hanya di sini dia menjadi seorang tauwbak kecil. Dengan begini ia hendak menguji kedua tetamunya itu. Penampannya itu bagaikan diputar diangsurkan ke muka orang. Celakalah siapa tidak dapat menyambuti itu, jikalau dia tidak terbinasa, sedikitnya dia akan terluka parah.

Tjouw Thian Yauw bangun sepasang alisnya. Ia mengajukan kedua tangannya, untuk menyambuti. Segera juga penampan itu berhenti berputar.

"Terima kasihi" ia kata. Ia menjemput cangkir teh, untuk segera meminum kering airnya.

Thio Giok Houw telah meyakinkan ilniu Hiankong Yauwkoat di bawah pimpinan Thio Tan Hong, dengan menggunai tenaga dalam, ia membuatnya penampan berputar. Ia telah mahir menggunakannya, maka kalau bukan orang kelas satu, sulit untuk dia menghindarkan diri dari penampan itu. Ia tidak menyangka, Thian Yauw liehay sekali. Dengan gampang dia ini menekan, lantas punahlah serangan diam-diam dari Giok Houw itu. Maka kagetlah anak muda ini, tidak perduli dia liehay dan nyalinya besar.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar