Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 3
Thian Touw gelisah bukan main.
Ia melompat ke depan seraya mementang kedua tangannya.
"Kau pergi seorang diri,
apakah kau hendak mengantarkan jiwamu?" tanyanya.
"Daripada kabur
meninggalkan kawan-kawan, lebih baik mati di tangan musuh!" berkata isteri
itu. "Thian Touw, pergilah baik-baik kau meyakinkan ilmu pedangmu, jikalau
nanti kau telah merampungkan itu, hingga di kolong langit ini tidak ada
tandinganmu, baru kau membuatkan aku sebuah kuburan di mana kau boleh
menarahkan batu nisan dengan ukiran kata-kata 'Isterinya ahli pedang nomor satu
di kolong langit,' supaya orang-orang gagah di jaman belakangan dapat
mengetahui bahwa ahli pedang nomor satu di kolong langit ini masih tidak
sanggup melindungi isterinya!"
Mukanya Thian Touw menjadi
merah, ia likat sekali.
"Baiklah!" katanya
"Aku justeru paling takut pada mulutmu ini! Mari kita turun bersama!"
In Hong girang bukan main.
"Mari kita bekuk dulu si
bangsat cilik she Kiauw itu!" katanya. "Setelah itu baru kita tempur
si hantu tua!"
Thian Touw mengerutkan alis.
"Sudah cukup kita mengusir Kiauw Pak Beng si siluman tua, untuk apa kita
membekuk puteranya?" katanya. "Bukankah dengan begitu kita menjadi
menanam bibit permusuhan besar?"
"Kau belum tahu, tua
bangka itu telah menawan lima atau enam orang pihak kita," menerangkan
sang isteri. "Kita membekuk anaknya supaya anak itu dapat ditukar dengan
kemerdekaan mereka itu. Kau suka pergi atau tidak?"
Thian Touw kalah didesak, la
tertawa.
"Baiklah, hari ini aku
mendengar perkataan kau!" katanya. "Tapi ingat, habis ini kaulah yang
mesti mendengar perkataanku!"
In Hong tertawa.
"Di dalam hal itu harus
dilihat dulu. apa yang kau akan katakan itu." jawabnya. "Ah,
sudahlah, jangan banyak omong lagi! Mari lekas!"
Inilah sebab matanya In Hong
liehay, sekali dan ia melihat si pelajar muda lagi mengejar Giok Houw. Habis
berkata begitu, ia berlompat menyusul Giok Houw itu, lalu terus tanpa membilang
apa-apa, ia menyerang si pelajar, guna merintangi dia melancarkan serangan
terhadap Siauw Houw Tjoe.
Pelajar muda itu mengenali
nyonya muda ini, yang tadi bertempur seruh sama Le Kong Thian. karena ia merasa
terlebih liehay, ia tidak menjadi takut, ia lantas melawan. Bahkan ia terus
saja mendesak dengan pelbagai pukulan dan totokannya yang liehay.
In Hong terdesak hingga ia
kewalahan.
"Sayang." berkata
pelajar she Kiauw itu tertawa lebar. "Kau begini cantik, kau pun begini
liehay. kenapa kau kesudian ikut berandal? Jikalau kau suka mengubah
kelakuanmu, suka aku menggabung jodoh dengan jodohmu!"
Baru saja pemuda ini menutup
mulutnya atau satu serangan dahsyat diluncurkan kepadanya, itulah serangannya
Hok Thian Touw, yang sambil berseru telah berlompat melesat ke arahnya. Dan
hebatnya, kipas besinya yang liehay itu telah terbabat kutung menjadi dua
potong!
Sebenarnya pelajar ini, yang
liehay, telah berkelit dengan sebat sekali, akan tetapi sia-sia belaka,
kelitannya itu tidak menolong. Maka ia menjadi kaget sekarang apapula tahu-tahu
ujung pedang telah mengancam kepadanya.
"Jangan bergerak!"
Thian Touw mengancam.
Selagi mata orang dipentang
melongo dan tubuhnya berdiri diam bagaikan patung. Giok Houw telah berlompat
maju akan menotok lawannya itu, hingga dia benar-benar mati kutunya. Ia
tertawa, begitu juga In Hong.
Isteri ini memang liehay.
tetapi dengan kepandaiannya, dia masih dapat bertahan lama melawan si pelajar,
kalau barusan ia kena terdesak, itulah karena ia sengaja berbuat demikian. guna
memancing bangunnya hawa amarahnya Thian Touw, suaminya itu.
Si orang tua melihat puteranya
kena tertawan, ia kaget sekali.
"Lekas pegat
mereka!" ia berseru kepada Kong Thian, si tjongkoan atau kuasa rumah, yang
berlaku sebagai seekor kuda tunggangan...
Kong Thian baru lari dua
tindak atau In Hong dan suaminya telah datang padanya, maka kedua pihak segera
datang dekat satu sama lain. Si orang tua segera mengerjakan rantainya, sedang
sepasang suami isteri itu juga menyerang dengan pedang mereka yang bersatu
padu. Akibatnya itu ialah bentrokan yang nyaring serta meletiknya kembang api
di depan mereka bertiga. Ujung rantai mental balik sampai hampir mengenai
jidatnya Kong Thian.
Thian Touw tidak berhenti
bergerak karena bentrokan dahsyat itu. Dengan memindahkan kaki dengan
"Tindakan Naga," ia maju untuk merangsak. guna mengulangi
serangannya, di dalam hal mana dengan serempak serangannya itu ditelad
isterinya. Karena suami isteri ini telah menggunakan ilmu pedangnya yang
tergabung menjadi satu, maka hebat sekali daya serangan mereka.
Oleh karena rangsakan kedua
lawan itu, gerak-geriknya Kiauw Pak Beng menjadi kurang merdeka.
Rantainya itu menghendaki
pertempuran renggang, Thian Touw berdua sebaliknya merangsak, untuk merapat.
Biar ia berada di atas pundak Kong Thian, hingga ia jadi berada di sebelah
atas, tetap jago tua itu kurang leluasa. Pula, setiap kali ia menyerang, setiap
kali serangannya itu dipunahkan kedua batang pedang bersatu padu itu.
Setiap jurus dari Thian Touw
adalah jurus yang berlainan, atau jurus-jurus yang ia telah mencampurkannya
menjadi satu, cuma sekarang ia belum dapat menyempurnakannya. Gerakan mereka
ini juga berbareng menyulitkan tindakannya Kong Thian, yang harus bisa membawa
diri, agar di antara ia dan majikannya itu terdapat kerja sama yang erat.
Beberapa kali ia menyerang dengan bonekanya, saban-saban ia gagal, bahkan
sebaliknya, gembolannya lecet atau kentop bekas terkena pedang. Biar bagaimana,
ia pun dapat mengganggu juga rantai majikannya itu, yang menjadi kurang
merdeka.
Leng In Hong melihat Kong
Thian kena terpengaruhkan Thian Touw. ia lantas mendesak, untuk dapat membabat
kakinya si orang tua.
Oleh karena rantainya tidak
dapat dipakai berkelahi rapat, si orang tua menjadi repot, dari repot dia
menjadi mendongkol. Dia mesti menggunai tangannya guna menghalau setiap
serangan si nona.
"Menyingkir"
akhirnyajago tua itu berteriak dalam murkanya. Dia menekan pundaknya Kong
Thian, menyusul itu tubuhnya terangkat, mencelat tinggi.
Atas tekanan majikannya, Kong
Thian lantas berkelit.
Dengan mencelat, si orang tua
bermuka merah dapat menggunai pula rantainya. Dengan hebat ia menyerang suami
isteri lawannya itu.
Thian Touw dan In Hong
menggunai ilmu silatnya pedang bersatu padu. mereka menangkis. Kali ini hebat
serangan rantai, mereka sampai terhuyung mundur beberapa tindak.
Si orang tua sendiri, tubuhnya
lantas turun ke bawah. Mulanya dia mengulur sebelah tangannya, untuk memegang
tanah, guna menjaga dirinya, setelah berputar, dia duduk bersila. Sekarang
terlihat tegas matinya kedua kakinya itu. Begitu ia duduk numprah, begitu ia
memutar rantainya, hingga sekarang ia dapat berkelahi seperti tadi waktu ia
bercokol di atas kereta atau di pundaknya Kong Thian, melainkan tak dapat lagi
dia maju atau mundur seperti waktu dibantu Kong Thian itu.
Thian Touw dan In Hong tidak
bisa mendesak pula. Serangan rantai terlalu hebat untuk dapat dirangsak.
Kong Thian mundur ke samping,
di waktu ia memeriksa bonekanya, ia mendapatkan boneka itu "terluka"
lecet dan berlubang kecil-kecil bekas papasan dan tikaman pedang. Itulah bukti
dari liehaynya pedang dan ilmu pedang Hok Thian Touw, maka itu, mengingat
kekosenan si anak muda, raksasa itu menggigil sendirinya. Coba ia tidak kosen
dan senjatanya berat luar biasa, pastilah ia sudah terbinasa di tangannya lawan
ini. Di samping itu, ia berkuatir sekali untuk majikannya yang muda. yang lagi
dijagai Thio Giok Houw. Tidak saja si pelajar muda telah mati kutunya akibat
totokan Siauw Houw Tjoe, dia pun terus diancam golok yang tajam, yang ujungnya
diarahkan ke punggungnya, hingga setiap saat dia dapat ditikam! Kong Thian
merasa dia dapat mengalahkan Giok Houw tetapi suasana membuatnya ia jeri.
Seteiah menyaksikan Thian Touw
dan isterinya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap si orang tua muka merah,
Thio Giok Houw berkata kepada dia itu, nyaring: "Eh, siluman tua she
Kiauw, kau masih menghendaki anakmu atau tidak?"
Orang tua itu berhenti
bersilat, ia tertawa dingin.
"Kamu yang menamakan diri
murid-murid perguruan kenamaan," sahutnya, mengejek, "sekarang kamu
bersikap begini rupa! Jadi kamu hendak memaksa aku?"
"Siluman tua she Kiauw,
jangan kau terlalu berkepala besar!" kata In Hong, yang juga tertawa
dingin. "Siapakah yang jeri terhadapmu? Sekarang ini baiklah kita bicara
dulu dari hal perdagangan, setelah itu baru kita melakukan pertempuran yang
memutuskan!"
Perdagangan macam apa
itu?" tanya Kiauw Pak Beng. Masih ia tertawa mengejek.
"Kau telah menangkap
beberapa orang pihakku," berkata Giok Houw, yang mendahului si nyonya
muda, "bukankah kau hendak menggunai mereka sebagai alat memaksa kita agar
kita jangan merampas barang bingkisan?"
Mendengar itu, orang tua itu
tertawa lebar.
"Bocah, kau sangat
berkepala besar!" katanya. "Kenapa kau tidak mau kalah bicara? Aku
menawan orang-orang di pihakmu untuk menghajar adat saja. bukannya untuk
mempengaruhi kepada kamu, bukannya untuk menggencet!"
"Jikalau begitu, mengapa
kau marah-marah tidak keruan?" In Hong berkata, membaliki. "Kami
membekuk anakmu yang kau sayangi bagaikan mustika juga untuk membalas hormatmu
itu! Ada budi harus dibalas, bukan?"
Orang tua itu mendongkol bukan
main.
"Baiklah!" sahutnya.
"Mari kita omong dengan singkat saja! Kamu lepaskan dulu anakku, nanti aku
menitahkan mereka memerdekakan kawan-kawanmu! Bukankah kamu puas dengan ini
macam jual beli?"
"Mana dapat kita menjadi
demikian dogol?" kata Siauw Houw Tjoe tertawa mengejek. "Mana dapat
kita melepaskan dulu anakmu?"
"Kau tahu apa?" kata
si orang tua. "Kawan-kawanmu itu telah tertotok ilmuku yang istimewa,
kecuali aku dan anakku berdua, lain orang siapa juga tidak nanti dapat
membebaskan mereka!"
"Lootjianpwee ini adalah
orang tua gagahjaman sekarang, dialah guru silat terbesar, tidak nanti dia
menpedayakan anak-anak muda," berkata Hok Thian Touw. "Adik Houw. kau
lepaskanlah Kiauw Kongtjoe!"
Giok Houw berpikir: "Kau
benar liehay ilmu silatmu tetapi tentang kelicikan kaum kangouw kau tidak tahu
banyak..." Tapi matanya memain dan ia tertawa. "Baiklah, aku
mempunyai dayaku!" katanya. Lantas ia menotok pelajar muda itu. Ia
menggunai ilmu totok ajarannya Hek Pek Moko. dan sasarannya ialah jalan darah
hiathay.
"Kau mempunyai ilmu totok
yang istimewa, aku juga!" ia berkata kepada si orang tua. "Sebentar
setelah kau membebaskan kawan-kawanku, aku pun akan membebaskan anakmu ini.
Jikalau kau main gila, di dalam tempo satu jam, anakmu ini bakal bercacad
seluruhnya hingga dia menjadi orang tanpa daksa!"
Mukanya si orang tua menjadi
matang biru. Ia gusar sekali bahwa Giok Houw tidak mau mempercayainya.
Hok Thian Touw juga menganggap
Giok Houw bersikap keterlaluan, akan tetapi ia terpaksa berdiam saja, sedang
Giok Houw sendiri tidak sudi mengambil mumat, hanya lantas ia menggiring si
Kiauw muda ke kereta.
Tjhian Tiang Tjoen menjaga di kereta
itu, melihat keadaan demikian rupa, ia terpaksa mengeluarkan orang-orang
tawanannya, maka si pelajar lantas menotok bebas mereka itu, atas mana Giok
Houw pun tidak berayal akan membebaskan anak muda ini.
Sebenarnya pelajar ini sangat
membenci Giok Houw, yang ia awasi dengan bengis. Lantaran ia baru bebas dan
Giok Houw pun didampingi Sin Tjoe, terpaksa ia menahan sabar, ia tidak berani
menggeraki kaki tangan atau membuka bacotnya.
Si orang tua sementara itu
berpikir cepat. Ia heran Hok Thian Touw mengenal padanya dan sikap Thian Touw
pun halus. Ia lantas berkata: "Aku telah mendengar kabar perihal seorang
she Hok yang ayah dan anak, di dalam dua turunan, telah meyakinkan ilmu pedang
di atas gunung Thiansan. sekarang melihat ilmu pedangmu ini beda daripada yang
kebanyakan, bukankah kau puteranya HokTiong Heng?"
"Benar," menjawab
Thian Touw. "Ayahku pun pernah menyebut-nyebut nama lootjianpwee. Ayahku
itu telah menutup mata pada sepuluh tahun yang sudah."
"Sayang, sayang,"
berkata si orang tua. "Dengan ayahmu itu aku cuma pernah bertemu satu kali
akan tetapi tujuan kita adalah sama, kita cuma mau meyakinkan ilmu silat, untuk
memperoleh kemajuan, kita tidak menghendaki mendapat nama..."
Mendengar itu. In Hong
mengerutkan alis dan kata di dalam hatinya: "Kau cuma omong saja. Selama
ilmu silatmu belum mahir, kau tetap menyembunyikan diri, tetapi selama yang
belakangan ini, sepak terjangmu buruk! Mana dapat cita-cita pamanku disamakan
denganmu?"
Meskipun dia memikir demikian,
menyaksikan suaminya berlaku hormat kepada orang tua itu, ia tidak berani
membilang apa-apa. Kalau bukan lagi berada di depan musuh, yang demikian
liehay, pastilah ia tidak mau mengerti mengenai sikap suaminya ini...
Orang tua muka merah ini, yang
bernama Kiauw Pak Beng, dan anaknya yang diberi nama Kiauw Siauw, memang gemar
meyakinkan ilmu silat, sama seperti kegemarannya Hok Tiong Heng dan putera,
setelah sampai pada saat ia menjadi orang cacad, baru ia memperoleh kemajuan,
hanyalah dia dari kalangan sesat. Benar seperti dugaannya In Hong, dia sekarang
menjadi pelindung angkutan barang bingkisan cuma dengan maksud dapat mengangkat
nama. Sebenarnya, tujuannya ialah mencari
Thio Tan Hong, untuk menguji
kepandaiannya itu, ia tidak sangka di sini ia akan bertemu sama Thian Touw
suami isteri dan kesudahannya mereka sama tangguhnya.
Setelah pertukaran orang
tawanan itu beres, Kiauw Pak Beng berpikir sebentar, terus ia kata pada Hok
Thian Touw: "Kau dapat meyakinkan ilmu pedangmu begini rupa, itulah
pelajaran yang sukar didapatkannya, hanya, jikalau kau memikir untuk
mengalahkan aku, itulah tidak dapat, sekali-kali tidak! Umpama kata kau
sebaliknya terlukakan olehku, pasti habislah semua kepandaianmu itu. Aku
menghargai ayahmu, dari itu tidak sudi aku membuat peryakinan kau selama
sepuluh tahun menjadi musnah di dalam tempo satu hari. Maka aku pikir, baiklah
kau pergi pulang saja!"
Thian Touw bersangsi. Memang,
di dalam ilmu pedang, ia masih kalah dari orang tua ini.
Leng In Hong dapat menduga
kesangsian suaminya, ia mendahului menyahut.
"Jikalau kau menghendaki
kami pulang ke Thiansan. itulah gampang!" demikian katanya. "Kau
pergi, lantas kita pergi, semua urusan di sini, kita sama-sama tidak
menggubrisnya!"
Kiauw Pak Beng tertawa
melenggak.
"Jadi kau menghendaki aku
mengangkat kaki?" tanyanya.
"Apakah yang dianggap
lucu!" kata In Hong. "Bukankah kau menginginkan kami pergi dari
sini?"
Kiauw Pak Beng menjadi tidak
senang.
"Telah begini tua usiaku,
belum pernah aku menemui orang yang berani menentang kehendakku!" katanya.
"Maka itu, anak-anak muda, bagaimana kamu berani menyuruh aku mengangkat
kaki?"
"Jikalau kau tidak pergi,
kami juga tidak mau pergi!" In Hong membelar. "Siapa juga tidak dapat
menggertak kami!"
Kiauw Pak Beng tertawa dingin.
"Kalau begitu, kamu jadi
hendak dapat menggertak kami!" bilangnya. Ia lantas menatap pada Hok Thian
Touw.
Anak muda itu membalas
mengawasi.
"Jikalau lootjianpwee
tidak dapat memaafkan kami. terpaksa kami suami isteri akan melayaninya!"
sahutnya.
Terpaksa Thian Touw mengatakan
demikian. Sikap isterinya itu membuatnya tidak mempunyai pilihan lain.
Dengan sekonyong-konyong Kiauw
Pak Beng tertawa nyaring. Ia juga mengibas rantainya.
"Baiklah kalau
begitu!" serunya. "Mari kamu maju!"
Thian Touw menggeraki
pedangnya sambil ia berkelit, untuk menyelamatkan diri dari ujung rantai yang
bercengkeraman itu, sebaliknya In Hong dengan berani merangsak maju.
"Bagus!" berseru
Kiauw Pak Beng seraya dia menyamber pula.
In Hong mesti mundur dengan
terhuyung dari serangan ini, sedang Thian Touw, yang sudah bersiap, menangkis,
hingga dua senjata itu bentrok dengan nyaring.
Demikian mereka bertarung
pula. Dengan lekas telah berjalan tujuh atau delapan jurus. Pak Beng hebat
sekali, dengan rantainya ia seperti mengurung suami isteri itu.
Biar bagaimana, Thian Touw
jeri juga melihat liehaynya si jago tua, maka ia berlaku hati-hati sekali.
In Hong melihat sikap
suaminya, ia menjadi tidak sabaran, lagi-lagi ia maju. Atau baru tiga empat
jurus, ia mesti mundur pula. Hampir-hampir iadilanggarujung rantai besi itu.
Thian Touw melirik isterinya,
mukanya menjadi merah sendirinya. Ia lantas pikir: "In Hong tidak takut,
kenapa aku jeri? Biar aku mengadu jiwaku, supaya dia jangan memandang tidak
mata padaku!"
Benar saja, anak muda ini
lantas maju. Diamenggunai ilmu pedangnya dengan cara sungguh-sungguh. Ilmu
pedang Thiansan Kiamhoat liehay sekali, meski dia kalah tenaga dalam, karena
dia tidak takut sedang dia pun bersatu padu dengan isterinya dia merasa,
meskipun tidak menang, tidak nanti dia kalah.
Karena pertempuran ini,
pertarungan lain pihak telah berhenti semuanya. Semua mata diarahkan ke
gelanggang ini. Segala apa sunyi kecuali suara anginnya ketiga senjata, atau
kapan terjadi ---bentrokan senjata mereka itu. Baik pedang maupun rantai,
kedua-duanya berkilau di cahaya sinar layung.
Siapa yang berdiri dekat telah
lantas mundur sedikit, supaya mereka tidak usah dimampirkan rantai yang
panjang. Mereka rata-rata mendelong saking kagum untuk kegagahannya ketiga
orang itu.
Selagi hebatnya mereka
bertempur, mendadak terdengar seman Kiauw Pak Beng, seruan yang nyaring sekali.
Dan ujung rantainya, di waktu berbalik, mencari punggungnya Hok Thian Touw.
Anak muda ini tidak berani
keras melawan keras. Ia menangkis secara tidak langsung, meski begitu, ketika
pedang nempel sama rantai, ia lantas merasakan tindihan yang berat, yang
membikin ia terkejut. Tidak dapat ia menarik pulang pedangnya, yang secara luar
biasa cepat lantas terlilit rantai.
Juga Leng In Hong menjadi,
terkejut. Ia telah membarengi suaminya itu, guna menangkis senjata musuh, atau
pedangnya pun terlihat bersama tanpa ia keburu menariknya pulang.
Kiauw Pak Beng liehay matanya
serta liehay juga otaknya, dengan kecerdasannya, sesudah melayani orang sekian
lama, ia dapat menyelami pokok ilmu silat pedang tergabung itu, maka itu, ia
lantas memikirkan tipu silat apa ia dapat gunakan untuk merobohkan kedua musuh
itu. Begitulah, begitu tiba saatnya, ia mencoba menempel terus menggulung
senjata kedua musuhnya itu.
Hok Thian Touw menjadi
bingung. Sia-sia belaka percobaannya akan meloloskan pedangnya. Ketika ia
melirik isterinya, In Hong pun tidak dapat melepaskan senjatanya dan dahi
isteri itu sudah mulai mengeluarkan peluh. Benar isteri itu tidak nampak takut,
ia toh berkuatir sendiri. Maka ia lantas mengempos semangatnya, untuk berontak,
la mengerahkan tenaganya, lantas ia menyontek pedangnya.
Percobaannya ini membikin In
Hong dapat mengangkat pundaknya.
Hanya sejenak, Kiauw Pak Beng
terlihat bersenyum. Tadi dia berseru, dia mengerahkan tenaganya. Sekarang dia meletaki
ujung rantainya di dua-dua kakinya.
Thian Touw heran dan
menduga-duga. Tengah ia berpikir itu, ia merasakan ada persentuhan di antara
tenaga dalam mereka. Pak Beng tidak menyerang pula, tenaganya agak berkurang.
Kemudian lagi, ia merasakan tenaga dalamnya seperti terbetot jago tua itu. Ia
mau menyangka bahwa ia lagi dipancing, ia tidak berani berlaku alpa.
Kiauw Pak Beng ada maksudnya
kenapa dia membawa sikapnya ini yang luar biasa. Karena sesatnya, kedua kakinya
menjadi kurban, cacad itu mendukakan kepadanya. Tentu sekali ia ingin
mengobatinya. Setelah kakinya itu membeku dan kaku, ia percaya, obatnya ialah
emposan tenaga dalam sejati dan yang mahir pula. Jikalau tidak, tidak ada
harapan cacadnya itu dapat dilenyapkan. Di antara sahabat-sababatnya tidak ada
yang dapat menolong. Maka kebetulan sekali, sekarang ia menghadapi musuh dalam
dirinya ini sepasang suami isteri. Selagi menyalurkan tenaga dalam orang itu,
hatinya berdebaran. Ia kuatir mereka mendusin bahwa tenaga dalam mereka lagi
dicuri...
Semua penonton tetap berdiam.
Mereka tidak tahu duduknya hal. mereka menyangka orang tengah saling menguji
tenaga dalam. Mereka menonton terus.
Tidak lama nampak Kiauw Pak
Beng mengeluarkan keringat dan hawa putih keluar dari embun-embunannya.
Sebaliknya Thian Touw dan isterinya tinggal tenang saja. Pihak San Bin
bergirang, mereka menyangka kawannya menang.
Giok Houw juga mengeluarkan
napas lega, hanya dasar cerdik dan berpengalaman, ia menonton dengan
saban-saban melepas mata ke sekitarnya, terutama ke arah rombongan musuh. Ia
heran ketika tahu-tahu ia tidak melihat Kiauw
Siauw, si pemuda pelajar,
demikian juga Nona Liong. Dari heran, ia menjadi bercuriga. Ia telah menanyakan
beberapa kawannya, mereka itu menggeleng kepala. Saking curiga, tanpa sangsi lagi,
ia lantas menyingkir dari selat.
Pertandingan tenaga dalam itu
masih berlangsung terus. Sekarang Thian Touw dan isterinya merasa tenaga lawan
telah menjadi sangat lemah, lalu tidak lama, lawan seperti kehabisan tenaganya.
Turut biasa, sampai itu waktu, Kiauw Pak Beiij* mesti kehabisan tenaga dan
roboh sendirinya, hanya ia tidak, dia tetap duduk bersila tak bergeming, tidak
roboh.
Selagi Thian Touw heran itu,
sekonyong-konyong si orang tua bermuka merah tertawa tiga kali, nyaring
tertawanya, habis itu, sambil menarik pulang rantainya, dia berlompat bangun,
untuk berdiri, seraya dia berkata keras: "Mengingat peryakinanmu yang lama
dan sukar, aku si orang tua tidak niat mencelakai kamu, maka itu sekarang aku
memberi ampun satu kali kepada kamu, akan tetapi di belakang hari, jikalau kamu
berani main gila, aku nanti datang mencari untuk membikin perhitungan! Mengenai
barang bingkisan ini aku beri ingat kepadamu, baiklah kamu jangan campur tangan
lagi! Cukup telah aku bicara, maka maulah aku pergi!"
Kiauw Pak Beng lantas berjalan
pergi, benar tindakannya perlahan, ia toh bisa jalan dengan tetap, sedang
tadinya ialah seorang lumpuh. Sebenarnya, kaki kirinya belum tersalurkan benar,
tetapi ia perlu lekas-lekas menyingkir. Kalau ada orang yang ketahui rahasianya
itu, di dalam keadaan seperti itu, ia tidak berdaya, ia belum pulih tenaganya.
Di antara kawan-kawan Tjioe
San Bin, ada beberapa yang heran dan bercuriga, akan tetapi karena mereka tahu,
orang tua itu sangat liehay, mereka tidak berani maju untuk menegur. Sudah
begitu, mereka pun berdiam saja, tidak ada yang hendak mengutarakan
kecurigaannya itu pada Thian Touw dan In Hong.
Sebentar kemudian Kiauw Pak
Beng sudah keluar dari selat. Ia diturut oleh Le Kong Thian dan Tjhian Tiang
Tjoen juga. Tanpa mengatakan apa-apa, komandan Gielimkoen ini turut pergi
dengan meninggalkan rombongannya.
Tjioe San Bin lantas
bertindak. Ia mengapalai orang-orangnya untuk merampas kereta. Kepada semua
pelindung bingkisan itu, San Bin kata dengan bengis: "Letaki senjata kamu,
semua boleh pergi!"
Bagaikan mendengar keampunan,
semua serdadu dan atasannya melempar-lemparkan senjata mereka, hanya sebelum
mereka dibiarkan pergi, lebih dulu mereka digeledah satu demi satu. Dari mereka
itu tidak kedapatan apa-apa. Ketika mereka telah pergi semua, rembulan sudah
berada tinggi.
San Bin menjadi heran. Dari
barisannya, yang memeniksa kereta-kereta, diterima laporan nihil. Tidak ada
kedapatan barang bingkisan. Yang ada hanya rangsum serta beberapa rupa barang
lain ialah hasil bumi wilayah barat daya.
"Hai, ke mana perginya
bingkisan?" demikian orang saling bertanya. Semua heran dan penasaran.
Bukankah mereka telah berkelahi lama dan hebat, ada yang terluka dan terbinasa?
"Mungkinkah itu dibawa Kiauw Pak Beng dan Le Kong Thian?" Dugaan ini disangsikan.
Kiauw Pak Beng orang kenamaan dan dia pun mengatakan tidak hendak mencampuri
lagi urusan bingkisan itu.
"Tapi kalau benar dia
membawanya sendiri ke Pakkhia, bukankah itu bakal menambah besar namanya?"
kata In Hong. Nyonya ini masih sangsi.
Thian Touw ragu-ragu. Tidak
nanti Pak Beng dan Kong Thian membawa barang tanpa terlihat. Biasanya barang
bingkisan berjumlah besar dan berat. Anggapan ini dibenarkan oleh beberapa yang
lain.
Habis, mana dia barang
bingkisan itu? Ke mana perginya?
Semua orang berpikir keras.
Segera In Hong ingat, di
antara mereka tidak nampak Giok Houw. dan Kiam Hong. Ia tanya, ke mana perginya
mereka itu berdua. Semua orang menggeleng kepala. Tadi tidak ada yang
memperhatikan muda-mudi itu.
Sekarang ternyata, anak Kiauw Pak
Beng pun tidak ada.
"Pastilah bingkisan itu
dibawa kabur Kiauw Siauw!" kata In Hong. "Mari kita menyusul! Mungkin
Giok Houw lagi mengejar dia!"
Kali ini dugaan Nyonya Hok
Thian Touw tepat. Memang Giok Houw menyangka Kiauw Siauw yang membawa bingkisan,
maka itu ia lantas menyusul. Di tengah jalan ia bertemu orang ronda, yang
menerangkan benar ada orang seperti si pemuda pelajar yang kabur pergi dengan
kudanya tanpa dia dapat dicegah. Setelah ditunjuki arah yang diambil Kiauw
Siauw, Giok Houw menyusul sambil berlari keras. Setengahjam sudah ia lari
cepat, lantas kupingnya mendengar suara senjata beradu. Maka ia perkeras
larinya. Untuk girangnya, ia melihat di sebelah depan, di bawah lereng, ke
empat budaknya Nona Liong lagi mengepung Kiauw Siauw, si nona sendiri ada
bersama mereka. Sebenarnya ke empat budak itu bukan tandingan si pemuda pelajar
dan dengan gampang mereka dapat dikalahkan, kalau sekarang mereka bisa
mengurung, itulah disebabkan mereka berempat telah melatih semacam ilmu
berkelahi yang berupa pengepungan, sedang sekarang mereka dibantu nonanya
sendiri. Biar dia gagah, pemuda itu tidak bisa lantas meloloskan diri.
Hati Giok Houw menjadi lega.
Ia lari menghampirkan. sambil tertawa dan dengan suara tegas, ia kata:
"Nona Liong, harap saja semangkok air ini kita minum bersama!"
Itulah kata-kata rahasia kaum
kangouw dan artinya meminta pembagian sama rata.
Kiauw Siauw mengerti bahasa
rahasia itu, dia tertawa.
"Air masih belum
diminum!" dia berkata mengejek. "Jikalau kau ingin menjilat darah di
atas golok, nah kau majulah!"
Hebat pemuda pelajar ini,
selagi mulutnya mengoceh demikian, kipasnya dikasi bekerja, tepat mengenai satu
budaknya Kiam Hong, hingga budak itu lantas roboh!
Nona Liong mendongkol, ia
mendesak. Dengan jurus "Puteri naga menusuk benang," ia menikam jalan
darah djiekhie hiat lawannya itu.
Kiauw Siauw Siauw berani dan
sebat sekali. Ia membebaskan diri justeru sambil maju, hingga ia bisa mendekati
Hee Hoo dan Tong Bwee, pedang siapa ia ketok jatuh. Lalu sambil tertawa, ia menjambret
punggungnya budak yang ke empat, niatnya untuk ditarik dan ditangkap, agar
budak itu dapat dijadikan tameng.
Giok Houw tiba di saat si
budak terancam itu, dengan goloknya, dia membacok.
Kembali Kiauw Siauw Siauw
mengasi lihat kepandaiannya. Ia membebaskan diri dengan gerakan kedua tangannya
berbareng. Dengan kipasnya ia punahkan tikaman si nona, dengan tangkapan
"Tay Kimna," ia membikin Giok Houw menarik pulang serangannya itu.
CATATAN
1) Hal Law Tong Soen memaksa
Tiat Keng Sim untuk menyerahkan pedang Tjio Keng To sehingga Keng To mengusir
Keng Sim dari perguruaannya dapat diikuti dalam cerita Sanhoa Liehiap atau
Pendekar Wanita Penyebar Bunga.
2) Peristiwa penyerbuan Tjie
Hee Toodjin dan kawan-kawannya pada saat ulang tahun ke delapan puluh Hian Kie
Itsoe dapat dibaca di cerita Sanhoa Liehiap atau Pendekar Wanita Penyebar
Bunga.
Giok Houw tidak mundur, ia
maju terus. Sekarang ia menggantikan ke empat budak itu, untuk bersama Kiam
Hong melawan pemuda kosen itu. hingga mereka jadi bertarung seruh sekali.
Sesudah lima puluh jurus
ternyata, perpaduan di antara Giok Houw dan Kiam Hong menjadi bertambah erat.
Kiauw Siauw Siauw melihat itu, ia menjadi berpikir: "Melihat begini, meski
aku tidak bakal kalah, aku toh sukar merebut kemenangan, jikalau datang bantuan
untuk mereka, aku bisa susah..."
Kekuatiran ini beralasan.
Bahkan asal ke empat budak turut maju, ia bisa terkurung dan terkalahkan. Ke
empat budak itu tidak bisa lantas maju karena yang satunya masih belum pulih
kesegarannya.
Kiauw Siauw Siauw lantas
bertindak. Ingin ia lekas kabur. Ia mencoba memapas jeriji tangannya Giok Houw
yang memegang golok. Pemuda ini mengelakkan tangannya. Siauvv Siauw tidak
mendesaknya lagi, ia berbalik menyerang nona Liong.
"Kau mau kabur?"
Giok Houw membentak. Ia melihat sikapnya lawan ini. Lantas ia berlompat maju.
membacok ke arah nadi orang. Ia menggunai jurus "Matahari putih menutupi
matahari."
Kiam Hong mendengar suaranya
Giok Houw. mendadak ia sadar. Siauw Siauw hendak mengancam padanya, supaya
kalau ia mundur, dia pun bukan maju terus, hanya hendak mundur, guna berlompat
lari. Maka itu ia membalas menyerang dengan kebutan ujung bajunya. Tepat
kebutannya ini mengenai kipas besi, sedang pedangnya menikam, menembusi tangan
baju orang.
Siauw Siauw terkejut. Ia jadi
berlaku waspada. Karena barusan gagal, ia lantas memikir lain akal. Mendadak ia
bersiul nyaring. Dari lereng gunung lantas terlihat munculnya seekor kuda.
Itulah kuda tunggangannya, yang tadi ia tinggalkan untuk bisa melayani Kiam Hong
berlima. Kuda itu jinak dan telah terlatih baik, benar kaki depannya terpanah
Nona Liong tetapi sekarang dia dapat berlari seperti biasa, tadi dia berdiam
saja. setelah dipanggil, baru dia menghampirkan majikannya.
Terkejut juga Giok Houw
melihat munculnya kuda itu. Justeru begitu. Siauw Siauw mengancam mukanya Nona
Liong, meneruskan mana, ia menyampok goloknya si anak muda.
Giok Houw kaget, telapakan
tangannya nyeri, goloknya hampir terlepas. Syukur untuknya, belum sempat ia
bersiap itu, Kiam Hong sudah mendahului menyerang, hingga si pelajar tidak bisa
mengulangi serangannya terhadapnya.
Siauw Siauw memang berniat
kabur, maka itu selagi ditikam si nona, setelah berkelit, ia meneruskan lari
kabur. Hanya apa yang aneh, ia lari dengan bertentangan tujuan dengan kudanya.
Giok Houw heran, segera ia
dapat membade. Semenjak tadi pun ia telah perhatikan tubuh musuh dan tidak ada
tanda-tandanya musuh ini menyembunyikan barang berharga. Sekarang kuda itu
kabur ke selatan. Siauw Siauw sendiri ke utara. Maka ia tidak mengejar si
pelajar, hanya lari ke arah kuda, dengan hoeitoo, golok rahasianya, ia menimpuk
kuda itu, tepat kena kempolannya.
"Kejar kuda itu!" ia
pun berseru.
Kiam Hong melengak. sejenak,
lantas dia pun sadar.
"Benar!" serunya.
"Bingkisan tidak ada pada Siauw Siauw, tentu ada pada kudanya!"
Hanya kuda itu. kecuali
selanya, tidak membawa barang lainnya.
"Jangan kita
dijual!" kata Giok Houw. "Kenapa kuda dan orang lari berlainan
jurusan? Kuda itu terdidik dan majikannya licin, si majikan tentu hendak
memancing kita mengejar dia. Mari!"
Kuda itu lari keras sekali
Panahnya si nona dan golok terbang si pemuda membuatnya sangat kesakitan, maka
dia kabur sekerasnya. Giok Houw berdua Kiam Hong berlari keras tetapi tidak
bisa lantas menyandak, terpaksa mereka mengikuti saja. Mereka percaya, setelah
habis tenaganya, kuda itu mesti roboh sendirinya atau dia keburu kecandak.
Benar juga, selang setengah
jam, kudanya Siauw Siauw terlihat lari semakin kendor.
Selagi muda-mudi ini mengejar
terus, tiba-tiba kuping mereka mendengar suara mengaungnya anak panah, yang
keluar dari rimba di tepi jalan.
"Sahabat mana di
sana?" Giok Houw menegur. Tapi ia belum mendapat jawaban ketika terdengar
suara kuda meringkik keras, lantas kuda Siauw Siauw roboh untuk tidak bergerak
lagi.
"Orang itu dapat memanah
kuda sekali mati, dia liehay," pikir Giok Houw.
Segera juga dari dalam rimba
muncul sebarisan terdiri dari kira-kira tiga puluh orang, semuanya wanita,
sedang yang berada di muka ialah seorang wanita tua. siapa terus tertawa lebar
dan berkata nyaring: "Bagus! Kiranya kau!"
Giok Houw terperanjat. Ia
lantas mengenali Tjit Im Kauwtjoe, yang bercokol di atas kudanya. Pula itu
waktu, satu nona lari kepada kuda yang roboh, untuk mengambil selanya.
Nona itu ialah Im Sioe Lan,
gadisnya kauwtjoe itu. Ketika dia mengangkat sela, untuk dibawa pergi, tubuhnya
sedikit terhuyung, seperti dia memakai tenaga besar.
"Selamat bertemu,
kauwtjoe!" berkata Giok Houw seraya memberi hormat. "Aku merasa
beruntung sekali dengan pertemuan ini!"
"Mungkin kau sendiri
hendak mengatakan tidak beruntung!" kata Tjit Im Kauwtjoe, yang tertawa
mengejek. "Hm! Kiranya kau masih mengenali aku!"
"Sabar, kauwtjoe,"
berkata Giok Houw. "Di antara kita memang ada perselisihan paham tetapi
kau harus ingat, di dalam urusanmu dengan kaum Kaypang. aku telah membantu
pihakmu. Tidakkah urusan kita dapat dihabiskankan?"
Giok Houw pernah menampik
lamaran kauwtjoe itu dan sekarang ia menyebut-nyebut urusan dengan kaum
Kaypang, yang menyakiti hati si kauwtjoe. tidak heran nyonya tua itu menjadi
gusar. Berulangkah dia tertawa dingin dan mengatakan: "Hm! Hm!"
"Sudah, ibu!" kata
Sioe Lan. "Dia tidak mau bicara tentang persahabatan, kita ambil jalan
masing-masing, supaya ibu tidak usah mendongkol."
Sengaja Sioe Lan mengatakan
demikian sebab ia kuatir ibunya nanti menyerang si anak muda. Dengan begitu ia
mau melepas budi pada anak muda itu.
Tjit Im Kauwtjoe dapat membade
hati puterinya, ia menjadi sedikit sabar. Ia kata dengan dingin: "Bocah
yang baik. awas lain kali, jangan kau bentrok pula denganku!"
Habis berkata, nyonya itu
memutar kudanya untuk berlalu. Giok Houw bergelisah sendirinya.
"Tunggu!" ia
berkata.
Tjit Im Kauwtjoe menoleh.
"Aku telah lepaskan kau, apakah kau masih mau banyak rewel" dia
menegur.
"Kita tidak mengganggu,
kita mengambil jalan masing-masing, itu memang paling baik," kata si anak
muda. "Aku cuma minta kauwtjoe suka menyerahkan sela kuda itu padaku,
lantas aku pergi dari sini."
"Sela ini selamu?"
tanya kauwtjoe itu, tertawa mengejek.
"Adalah kuda itu yang aku
kejar-kejar," menjawab Giok Houw. "Lihat di kempolan kuda ada
goloknya, itulah golokku."
Kauwtjoe itu tetap tertawa
dingin.
"Kuda ini kudamu?"
dia tanya pula.
"Itulah kuda orang jahat,
yang penjahatnya telah aku usir," menyahut Giok Houw. "Karena itu
menurut aturan kangouw, kuda ini kepunyaanku."
"Aturan apa? Segala
aturan Jalan Hitam?" kata si nyonya tua, dingin. "Jadi kamu pun
penjahat? Baiklah, begini saja. Kita turut aturan Jalan Hitam itu. Kuda ini aku
yang panah, maka selanya menjadi milikku!"
Kata-katanya nyonya tua ini
ada benarnya. Menurut aturan Jalan
Hitam, barang itu --- sela ---
harus dibagi dua. Hanya sela satu. Apakah sela itu mesti dibelah dua?
Giok Houw terdesak tapi ia
masih bicara pula. Ia berlaku sabar.
"Baiklah aku omong terus
terang." katanya. "Pemilik kuda ini bermusuh kamu asyik sekali!"
Kali ini Kiam Hong jengah
juga. In Hong tertawa pula.
"Siauw Houw Tjoe!"
katanya. "Kau tahu. adikku ini sudah sejak siang-siang ingin sekali
belajar kenal dengan kau!"
Thio Giok Houw merasakan
hatinya berdenyut, ia jengah berbareng girang sekali.
"Benarkah?" ia
tanya, perlahan.
"Dia sering mendengar aku
menyebut-nyebut kau," berkata pula In Hong. "Aku mengatakan kau
cerdik, jenakadan liehay ilmu silatmu, dia tertarik hatinya. Ketika aku
menerima undangan Kimtoo Tjeetjoe dan mengetahui kau mengepalai perampasan
barang-barang hadiah di wilayah Selatan, dia tidak dapat mengendalikan hati
lagi, dia lantas berangkat untuk dengan diam-diam menguji kepandaianmu!"
"Nah, ini dia yang
dikata. gelombang sungai Tiangkang yang belakang mendorong yang depan, dan di
dalam dunia itu, yang baru menggantikan orang lama!" berkata Sin Tjoe
bersenyum. "Ya, sejaman demi sejaman, orang bertambah gagah. Mereka ini
berdua masih muda tetapi mereka sudah dapat melakukan sesuatu yang
menggemparkan seluruh negara, mereka jauh terlebih gagah daripada kita semasa
muda kita. Sebenarnya aku bicara tentang Nona Liong tetapi dengan sendirinya
soetee-ku ini turut kesebut-sebut. Syukur kau bukannya orang luar, entjie Leng,
maka tidak usahlah aku merasa malu!"
In Hong tertawa.
"Aku memang hendak memuji
adik Hong-ku ini liehay!" ia bilang.
"Entjie Leng!"
berkata Kiam Hong. menyelak. "Jikalau kau masih menggodai aku. hendak aku
pergi!"
"Ya, mari kita bicara
tentang urusan yang penting" berkata juga Giok Houw. "Barang hadiah
telah orang merampasnya secara enak sekali..."
"Begitu?" tanya Sin
Tjoe. "Siapakah yang melakukan itu?"
"Tjit lm Kauwtjoe!"
Giok Houw memberitahukan. la lantas menuturkan perbuatan kauwtjoe itu. yang
memegat kuda dan merampas pelananya tanpa ia dan Kiam Hong berhasil
merampasnya, karena kauwtjoe itu liehay dan cerdik, dia sudah lantas mengangkat
kaki.
"Kalau begitu, pada si
pemuda she Kiauw itu tidak ada barang hadiahnya," berkata Sin Tjoe.
"Menurut kau ini, pastilah di dalam pelana itu ada tersembunyi barang
hadiah itu. Ah, urusan menjadi ruwet..."
"Bagaimana kepandaiannya
Tjit Im Kauwtjoe itu?" In Hong tanya.
"Dibanding dengan kami
berdua, dia lebih liehay sedikit" menyahut Kiam Hong. "Dibanding
dengan entjie berdua, dia kalah jauh."
"Habis, apakah yang
menjadikan ruwet?" In Hong tanya pula.
"Sebab keluarga Kiauw
mempunyai keinginan berbesan sama Tjit Im Kauwtjoe," menyahut Giok Houw.
"Apabila mereka berdua bergabung menjadi satu, untuk mendapatkan pulang
bingkisan itu. tidakkah kita bakal melakukan pertempuran dahsyat?"
Mendengar itu, Kiam Hong
tertawa geli.
"Kau omong kurang jelas,
mari aku yang mewakilkan!" katanya. "Kiauw Pak Beng ingin mengambil
puteri Tjit lm Kauwtjoe sebagai nona mantu, untuk itu dia telah mengirim
comblangnya, ialah Le Kong Thian. akan tetapi Nona Im itu, yang dia sukai ialah
ini Siauw Houw Tjoe!"
Giok Houw likat, ia berdiam.
"Oh, begitu!" kata
In Hong. "Ya. ini ruwet juga!"
"Menurut apa yang aku
dengar, kelakuannya Tjit Im Kauwtjoe tidak terlalu buruk," berkata Sin
Tjoe, "maka itu lebih baik jikalau kita tidak usah menggunakan senjata
terhadapnya. Hanya untuk mendapatkan barang hadiah, itu benar-benar sukar
jikalau keluarga Kiauw bekerja sama dengannya. Perlu kita mencari pembantu yang
liehay."
"Lebih perlu daripada
itu. kita mesti segera mengetahui di mana Tjil Im Kauwtjoe menempatkan
diri," Giok Houw memberi ingat. "Kita mesti bekerja sebat sekali.
Dari sini ke Pakkhia. perjalanan hanya tiga atau empat hari, apabila mereka itu
keburu membawa barang bingkisan sampai di kota raja, itu artinya lebih sulit
lagi!" Kiam Hong tertawa. "Jikalau barang bingkisan itu terjatuh
dalam tangannya Tjit Im Kauwtjoe," katanya, "aku percaya belum tentu
dia akan mengantarkannya kepada raja, kebanyakan dia akan menahannya sendiri,
untuk dijadikan pesaiin puterinya! Dan aku mau lihat nantinya, Kiauw Siauw
Siauw yang bakal makan umpan atau kau yang akan kena dipancing!"
"Ah, kembali kau
bergurau!" kata Giok Houw. "Mari kita lekas memikirkan dayanya!"
In Hong dan Sin Tjoe berdiam.
"Yang berada bersama Thian Touw itu apa bukan orang dari Kaypang?" In
Hong tanya.
"Benar. Dialah
Hoepangtjoe Tie Goan," menjawab Sin Tjoe.
Ketika Tjioe San Bin memecah
rombongan akan mencari Giok Houw, ia mengatur setiap rombongan terdiri daripada
dua orang. In Hong dan Sin fjoe sangat akrab pergaulannya, maka itu, mereka
merupakan satu rombongan. Memang mereka berdua sudah lama tidak bertemu. San
Bin kuatir Thian Touw kurang kenal jalanan, ia minta Tie Goan sebagai kawannya.
Demikian, ketua muda Kaypang ada bersama jago Thiansan itu. Sin Tjoe lantas
mengerti maksud orang setelah ia ditanya In Hong. "Benar, kita membutuhkan
dengan orang-orang gagah, maka itu, jikalau kau menghendakinya, aku kuatir
mereka itu tidak mau mengerti."
Tjit Im Kauwtjoe membuka
matanya lebar-lebar, sepasang alisnya bangun.
"Hm, kau menggertak aku
dengari orang-orang gagah!" katanya, tertawa dingin. "Aku tidak
takut!"
"Apakah artinya sebuah
pelana?" Im Sioe Lan turut bicara. "Kau bicaralah baik-baik, mungkin
kami nanti bersikap bersahabat denganmu!"
"Benar." berkata
Tjit Im Kauwtjoe, yang mengubah lagu suaranya. "Jikalau kau menghendaki
pelana ini, mari turut aku pulang, nanti aku suka bicara secara baik-baik
denganmu. Jikalau kau tidak sudi memakai aturan, akulah leluhurmu yang tidak
mengenal aturan!"
Liong Kiam Hong mendengar
semua itu, ia tertawa terkekeh-kekeh.
"Jadi kamu menghendaki
dia seorang saja?" ia menanya.
Sioe Lan menjadi mendongkol.
"Siapa bicara sama kau, wanita penjahat?" dia mendamprat. Sebelah
tangannya lantas diayunkan dan dua buah cincinnya yang beracun terbang
menyamber.
Kiam Hong berlaku celi dan
sebat, ia kelit itu.
"Bicaralah dengan baik,
kenapa mesti menggerakkan tangan?" Giok Houw menegur. "Sekarang
serahkan dulu pelana itu. lain kali pasti aku akan datang berkunjung bersama
Kimloo Tjeetjoe untuk menghaturkan terima kasih kami!"
"Bocah ini tidak
bersungguh hati," kata Tjit Im Kauwtjoe. "Anak Lan. kau berangkatlah
lebih dulu!..."
"Perlahan!" Giok
Houw berseru, lantas dia menyusul.
Tjit im Kauwtjoe tertawa
dingin, sepuluh jeriji tangannya lantas digerakkan.
"Minggir!" dia
berteriak seraya tertawa dingin.
Thio Giok Houw tahu bahwa
jeriji tangannya nyonya tua itu ada bisanya, ia berkelit.
Liong Kiam Hong menghunus
pedangnya, untuk bergerak, atau Tjit Im Kauwtjoe mendahului berlompat menubruk,
tangannya menyamber.
Nona Liong tidak takut,
setelah berkelit, ia meneruskan menikam dengan jurusnya "Bianglala
melintasi langit."
Tjit Im Kauwtjoe tidak
melayani, dengan mengisar kaki, ia membawa tubuhnya mendekati Giok Houw pula,
untuk menyerang anak muda itu. Maka kejadianlah ia menjadi melayani muda-mudi
itu. yang ia tidak menempurnya sungguh-sungguh, ia hanya merintangi saja.
Dengan begitu sebentar kemudian, Sioe Lan dapat menjauhkan diri, terus berlalu
pergi.
Si anak muda mendongkol sekali
yang ia telah dipermainkan, dalam sengitnya ia menyerang berulang-ulang.
Tjit Im Kauwtjoe melayani
dengan tidak kurang hebatnya, hanya habis itu, sambil tertawa nyaring, ia
memutar tubuh untuk mengangkat langkah panjang, guna meninggalkan pemuda itu.
Giok Houw penasaran, ia
mengejar, diikuti Kiam Hong.
Ketiganya ada ahli-ahli ilmu
ringan tubuh, dari itu bisa dimengerti yang larinya mereka pesat luar biasa.
Tidak lama, Tjit Im Kauwtjoe
berhasil menyandak rombongannya, ia lantas lompat naik atas punggung kuda
sambil berseru memerintah: "Lepas panah!"
Perintah itu ditaati. Hujan
anak panah lantas menyamber Giok Houw dan Kiam Hong. Sembari mengawasi, sambil
tertawa, kauwtjoe itu kata dengan nyaring: "Inilah panah yang ada
racunnya, yang dapat menutup jalan darah di kerongkongan! Siapa yang tidak
takut mampus, mari mengejar!"
Giok Houw dan Kiam Hong repot
menangkis hujan anak panah itu. sambil membela diri, mereka mengawasi rombongan
musuh. Di sana tidak ada Sioe Lan. Mungkin nona itu, dengan menunggang kuda.
sudah mendahului kabur. Terpaksa mereka tidak mengejar terus, maka di lain
saat. Tjit Im Kauwtjoe dan rombongannya lelah pergi jauh.
"Aku tidak menyangka akan
datangnya gangguan ini," kata si pemuda kemudian.
Kiam Hong tertawa. Ia bukannya
masgul atau mendongkol, ia justeru menggoda.
"Ah, kau masih
bergurau!" kata Giok Houw masgul.
"Siapakah yang
main-main?" tertawa si nona. "Bukankah orang ada demikian manis budi
mengundang kau menjadi tetamunya?"
"Kalau aku man pergi, aku
akan pergi bersama kau!" kata si anak muda. Lagi-lagi nona itu tertawa.
"Orang tidak mengundang aku!" katanya, "Aku tidak mempunyai muka
terang sebagai kau!"
Siauw Houw Tjoe kewalahan.
"Kiranya kau bukan cuma ilmu silatmu liehay!" katanya akhirnya.
"Nyata aku pun tidak dapat melawan bibirmu yang bagaikan tombak dan
lidahmu yang seperti pedang!"
Kiam Hong tentu telah menjawab
si pemuda kalau itu waktu tidak terdengar suara panggilan: "Siauw Houw
Tjoe!" dan "Adik Hong!"
Giok Houw segera berpaling,
maka ia melihat Ie Sin Tjoe datang bersama Leng In Hong.
"Kiranya kamu berdua
telah mengenal satu pada lain?" In Hong kata tertawa.
"Bukan melainkan kenal
bahkan golok dan pedang kita entah berapa kali sudah saling gempur!"
berkata si nona yangjenaka, yang gemar sekali bergurau. Ia digoda tetapi ia
tidak menjadi likat.
"Begitu?" kata In
Hong. "Sungguh bantuan mereka," ia bilang. "Kapan tiba saatnya,
kau bersama Thian Touw boleh melayani itu ayah dan anak she Kiauw. Untuk
mencari tahu halnya Tjit Im Kauvvtjoe. kita mesti minta bantuannya Tie Goan.
Syukur bagian selatan dari gunung di mana penyelidikan harus dilakukan tidak
jauh terpisahnya dari sini."
Sampai di situ. mereka mendaki
bukit. Tiba di atas. Lcng In Hong mengasi dengar siulannya yang nyaring halus,
yang terdengar sampai di tempat jauh.
Sin Tjoe tertawa.
"Baru delapan tahun kita
tidak bertemu, entjie, tenaga dalammu maju pesat jauh melebihkan aku!" ia
memuji.
Tidak antara lama. dari tempat
jauh terdengar siulan serupa, yang menjadi jawaban siulan si nyonya muda. Suara
itu tidak tinggi, tetapi halus dan jelas. Itulah tanda dari ilmu tenaga dalam
yang mahir. Itulah jawaban dari Thian Touw. "Urusan ini membikin repot kamu
suami isteri," berkata Sin Tjoe.
"Kenapa kau menjadi
sungkan terhadapku, adikku?" tanya In Hong. "Ah. sungguh memusingkan
kepala. Kau tahu. kalau bukan untuk aku. tidak nanti Thian Touw sudi turun
gunung."
"Ya, aku justeru hendak
memberitahukan kau. Thian Touw pernah datang ke tempatku, dia meninggalkan
surat dengan apa dia minta kami membujuki kau pulang. Sebenarnya soal apa yang
kamu pertengkarkan?"
Mukanya In Hong bersemu merah,
agaknya ia malu.
"Sebenarnyaaku mengagumi
kau dan toako Seng Lim," katanya perlahan.
Nyonya Yap Seng Lim tertawa.
"Kamu justeru pasangan
yang setimpal, pasangan dewa-dewi," katanya. "Kenapa sebaliknya kau
mengagumi penghidupan kita. penghidupan kaum kangouw?"
Nyonya Hok Thian Touw menghela
napas.
"Adik." katanya,
"baru beberapa tahun kita tidak bertemu, kau lantas berlaku sungkan
terhadapku..."
Sin Tjoe menggengam keras
tangan kawan itu. ia tertawa.
"Apakah Thian Touw
menghina kau?" ia tanya.
"Sampai sebegitu jauh,
tidak," menyahut In Hong.
"Habis, kenapakah kamu
berselisih paham?"
"Aku justeru ingin
berselisih hebat dengannya!" kata In Hong sengit.
Sin Tjoe tertawa.
"Dia justeru tidak mau
melayani kau! Benarkah? Di antara suami isteri. ada urusan apa juga. itu harus
didamaikan, kedua pihak mesti saling mengerti. Kalau dapat, janganlah orang
berselisih!"
"Hanya dia, dia sangat
kurang memperhatikan lain orang!
Sebenarnya dia melarang aku
turun gunung! Ketika aku menerima undangan, aku pergi dengan diam-diam. Dia
tidak senang atas kepergianku ini. Demikian tadi. ketika aku mengajak dia
mengepung si siluman tua. dia kurang setuju."
Dari suratnya Thian Touw. Sin
Tjoe sudah tahu di antara Thian Touw dan In Hong terbit perselisihan paham,
hanya ia tidak menyangka bahwa sampai di saat seperti ini. Thian Touw masih
tidak setuju membantu mereka.
"Kalau begitu,"
katanya, "scselesainya urusan ini. baiklah kau pulang. Jikalau kamu dapat
menciptakan suatu partai baru. itulah bagus sekali."
In Hong menyeringai.
"Dengan begitu aku bukan lagi burung hong yang terbang di mega hanya
burung hong di dalam sangkar!" berkata ia. berduka. "Untuk apakah
orang mempelajari ilmu pedang? Thian Touw tidak mau memikirkan atau menginsafi
itu. dia seperti juga cuma ketahui, bahwa demi ilmu maka barulah orang
meyakinkan ilmu silat pedang itu. Karenanya, dia seperti hendak mengasingkan
diri! Aku? Tidak biasa aku dengan itu macam penghidupan! Setiap tengah malam,
di waktu sangat sumi. dia melatih sendiri ilmu pedangnya. Aku sendiri, adik.
aku memikirkan kau. aku memikirkan itu hari-hari ketika kita berada di antara
pasukan tentera rakyat!"
"Begitu, entjie? Aku
berterima kasih untuk perhatianmu itu!" kata Sm Tjoe tertawa.
"Lagi pula dia sangat
angkuh!"
"Begitu? Inilah aku tidak
lihat."
"Memang itu tidak kentara
pada wajahnya. Sekarang ini dia belum mencapai puncak latihannya, dia sudah
menempatkan diri sebagai pendiri suatu partai. Dia tidak melihat mata kepada
siapa juga. Sekalipun Thio Tayhiap. dia cuma mengagumi sedikit. Dia berani
mengatakan Thio Tayhiap bukannya orang yang tekun mencari ilmu kepandaian, dia
kata Thio Tayhiap sering perhatiannya oleh banyak urusan luaran, bahwa sikap
Thio Tayhiap itu mengganggu kemajuan dirinya sendiri. Maka dia berpendapat, di
akhirnya Thio Tayhiap melainkan menjadi satu tayhiap yang menggemparkan negara,
tayhiap kekurangan kesempurnaan sebagai seorang yang membangun. Dia pun sering
mentertawakan aku dan mengatakan, jikalau aku tetap sering ikut kamu merantau,
kalau aku menjadi muridnya, aku mesti belajar silat mulai dari permulaannya
lagi! Memangnya dia menganggap aku sebagai muridnya, di dalam hatinya belum
pernah dia memandang aku sebagai isterinya yang sederajat dengannya."
"Memang, pendapat atau
pandangan orang banyak yang tidak sama," kata Sin Tjoe, "hanya di
antara suami isteri. pandangan bahwa diri sendiri yang tertinggi, itulah kurang
tepat. Pandangannya itu perlu diichtiarkan perubahannya."
"Karena sikapnya itu. aku
suka tidak mempelajari ilmu silat ajarannya," berkata In Hong.
"Sayang aku bebal, jikalau tidak, aku juga ingin membangun suatu partai
persilatan sendiri, untuk dapat menempur dia!"
Thio Giok Houw tidak puas
mendengar Thian Touw mencela pandangan gurunya, maka itu, mendengar perkataan
In Hong yang terakhir ini, ia campur bicara.
"Entjie Leng, kami semua
kangen padamu, dari itu, baiklah kau perlambat beberapa tahun pulangmu ke
gunung!" katanya. "Mari bersama soetjie Sin Tjoe kita meyakinkan ilmu
pedang Hian Kie Kiamhoat hingga sempurna. Semua kitabnya Thian Touw telah kau
lihat, sedang ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat juga ada gabungan dari pelbagai
ilmu silat lainnya, jikalau kita yakinkan, mungkin kita dapat menciptakan suatu
ilmu pedang baru yang dapat menandingi peryakinannya Thian Touw itu! Sampai itu
waktu maka kaulah yang justeru menyuruh dia menjadi muridmu!"
Sin Tjoe tertawa geli.
"Eh, Siauw Houw Tjoe,
tabiatmu sungguh tabiatnya satu bocah! Apakah kau hendak mencerai beraikan
mereka, suami isteri?"
Giok Houw jengah.
"Bukan maksudku
begitu," katanya. Mukanya pun bersemu dadu.
Sepasang alisnya In Hong
bangun.
"Aku paling senang dengan
tabiat jujur Siauw Houw Tjoe ini!" katanya. "Memang benar pikirannya
itu. Kita dapat meyakinkan ilmu bersama, untuk menciptakan suatu ilmu silat
baru. untuk di belakang hari dipakai menguji kepandaiannya Thian Touw, agar dia
mengetahui, bahwa dengan hidup di dalam dunia kangouw juga orang dapat
menciptakan sesuatu!"
"Sudahlah!" Sin Tjoe
tertawa. "Apakah gampang untuk menciptakan suatu ilmu silat baru atau
membangun partai yang lainnya lagi?"
"Tetapi, adikku,"
membantah In Hong, "ada pepatah yang mengujarkan: tiga orang tukang kulit
yang bau dapat mengalahkan satu Tjoekat Liang! Kita bertiga bukannya si
tukang-tukang kulit yang bau itu! Mustahil kita kalah?"
Nyonya muda ini berbicara
dengan bersemangat hingga tampak gagah sekali.
"Bagus, bagus!" Sin
Tjoe tertawa. "Kamu suami isteri yang lagi membawa adat, lantas kamu
menyeret-nyeret kami! Ingat, jikalau Thian Touw mengetahui ini, dia dapat
mengatakan kami membantu berbuat jahat!"
Kiam Hong berdiam saja sekian
lama, tapi sekarang mendadak ia bersuara.
"Ah, Hok Toako
datang!" katanya.
Memang benar, segerajuga
terlihat Thian Touw mendatangi bersama seorang pengemis tua.
Thian Touw melihat mereka
berempat. Dia tertawa.
"Kiranya Siauw Houw Tjoe
dan Nona Liong ada di sini!" katanya. "Bagaimana, apakah hadiah itu
telah dapat dirampas pulang?"
"Terima kasih untuk
perhatianmu, Hok Toako," kata Siauw Houw Tjoe tawar.
"Kami justeru hendak
mencari kamu berdua untuk memohon bantuan kamu," menjawab Sin Tjoe.
Tie Goan menjura dalam.
"Silahkan kau menitahkan,
Ie Liehiap." katanya merendah. "Aku si pengemis tua pasti akan
memberikan bantuan sebisaku."
"Hanya sayang,"
berkata Thian Touw, "mungkin aku tidak dapat membantu apa-apa. Mengenai
urusan kaum kangouw, apa pun aku tidak mengerti."
Dia bicara merendah, tapi
hatinya tak gembira.
"Tie Pangtjoe, aku
justeru hendak memohon bantuanmu." berkata Sin Tjoe. "Entjie Leng,
hari ini kami membikin letih kamu suami isteri, maka itu pergilah kamu berdua
beristirahat. Tentang yang barusan kita bicarakan, baik juga sekalian kau
omongkan dengan HokToako."
Thian Touw merasa tidak enak.
Ia tidak tahu urusan apa itu. Ia melihat roman isterinya tidak wajar.
"Baiklah," katanya.
"Aku memang ingin bicara sama In Hong."
Suami isteri ini bicara
sebentar, lantas keduanya masuk ke dalam rimba.
Siauw Houw Tjoe dan Liong Kiam
Hong, seperti sudah berjanji, juga lantas mengundurkan diri bersama-sama.
Tidak lama dari dalam rimba
lantas terdengar suaranya Thian Touw dan In Hong, kadang-kadang perlahan,
tempo-tempo keras.
Kiam Hong mendengar itu, dia
tertawa.
"Benar-benar mereka
sepasang musuh!" katanya. "Sebentar mereka rapat sekali, sebentar
seperti es dan arang yang tidak dapat nempel bersatu! Kau dengar, mungkin
mereka lagi berkelahi!"
Nona ini mengatakan demikian,
karena ia mendengar jelas suara orang, yang berselisih paham, hingga kecuali
salah satu mengubah sikap, mereka bisa menjadi bertempur, atau sulit untuk
mendamaikannya...
Giok Houw berduka. Ia merasa
berkasihan untuk In Hong.
"Sudahlah, kita jangan
mencuri dengar suami isteri itu berselisih!" katanya kemudian. "Mari
kita pergi ke rimba sana."
Kiam Hong memperlihatkan roman
tidak puas.
"Kalau menurut kau, aku
jadi lagi mencuri mendengar perselisihan orang!" katanya, "Sebenarnya
aku pun malas mendengarnya! Kalau mau pergi, mari kita pergi!"
Giok Houw tertawa.
"Ingat, kita jangan
bercedera dulu!"
Mukanya si nona menjadi merah,
hatinya panas, mau ia menghentikan tindakannya, atau tanpa merasa, ia berjalan
terus, mengikuti Giok Houw pergi ke lain bagian dari rimba itu.
Ketika itu langit baru terang,
angin pagi membawa haaimnya bunga, yang membuat hati mereka menjadi terbuka dan
lega.
"Selama berada di gunung
Thiansan, cuma di antara waktu kedua musim semi dan panas baru aku melihat
bunga-bunga mekar," berkata Kiam Hong. "Di sana itu cuma teratai
salju yang kedapatan selama empat musim, bunga apa juga tidak dapat melawannya.
Sangat sukar untuk melihat bunga itu."
"Aku telah menanti
setengah tahun, baru hari ini untuk pertama kali aku mendengar
asal-usulmu," berkata Giok Houw. Si nona baru menyebutkan dia asal gunung
Thiansan.
Nona itu tertawa.
"Tadinya kau menganggap
aku orang apa?"
"Mukanya aku menyangka
kau puterinya satu keluarga kaum persilatan, yang membawa-bawa budak pergi
merantau."
"Apakah aku mirip dengan
puterinya satu keluarga persilatan seperti kau sebutkan?"
"Hanya belakangan aku
melihat kau tidak mempunyai gerak-gerik seorang nona hartawan. Lantas dugaanku
berubah. Aku menyangka kau puterinya seorang raja gunung. Tetapi kau tidak
sebebas puteri gunung yang kebanyakan. Kau cerdas sekali, sikapmu terus terang,
aku menjadi berpikir lain. Aku sampai tidak dapat menerka-nerka kau sebenarnya
orang dari golongan mana. Adalah kemudian lagi, setelah melihat ilmu pedangmu,
aku menduga kepada Entjie Leng. Ya. sifatmu pun hampir mirip sifat entjie Leng
itu."
Kiam Hong tertawa, ia menutup
mulutnya.
"Segala apa kau telah
gunai untuk melukiskan roman dan sifatku!" katanya. "Syukur di sini
tidak ada lain orang yang mendengarnya, kalau tidak, orang tentunya tertawa
hingga sukar untuk menutup mulutnya! Baiklah kau ketahui, Tjoen Heng berempat
itu bukannya budak-budakku. Sebenarnya dulu hari, ibuku pernah menjadi salah seorang
tauwbak wanita, sedang ibu mereka berempat itu ialah serdadu-serdadunya entjie
Leng."
Memang, selama Leng In Hong
masih menjadi berandal, ibunya Kiam Hong menjadi salah satu pembantunya yang
dipercaya, sayang di dalam satu pertempuran, nyonya itu telah terbinasa, maka
Kiam Hong dirawat In Hong. dipandang sebagai adik, dididik dalam ilmu silat.
Kemudian lagi. ketika In Hong menikah dengan Thian Touw. bukan saja Kiam Hong
turut terus, juga beberapa serdadu wanitanya, yang berat berpisah dengannya,
hanya kawanan serdadu wanita itu tidak dapat tinggal sama-sama di atas gunung,
mereka mendirikan semacam perkampungan di kaki gunung itu. hingga mereka dapat
tinggal tetap berkumpul bersama. In Hong memilih empat anak bekas serdadunya,
untuk dijadikan kawan bermain Kiam Hong. dan merekalah Tjoen Heng berempat itu.
"Kalau begitu, entjie
Leng ialah entjie-mu berbareng gurumu juga," berkata Giok Houw.
"Memang. Aku diajari
silat semenjak aku masih kecil, hanya karena beda usia kami tidak ada sepuluh
tahun, kami berbahasa kakak dan adik. Mengenai urusan merampas bingkisan ini.
Hok Toako tidak setuju, dia melarang entjie Leng. Tapi dia tidak dapat melarang
aku, maka itu aku pergi dengan mengajak Tjoen Heng beramai. terpaksa aku
membikin mereka mirip budak."
"Sungguh aku tidak
menyangka, baru ini pertama kali kau muncul di dalam dunia kangouw. sepak
terjangmu sudah mirip dengan seorang yang telah berpengalaman!"
"Jangan kau lupa bahwa
aku terlahir di jaman huruharadan hidup di dalam dunia kangouw! Aku menjadi
besar di dalam pasukan suka rela!"
"Secara demikian, di
antara kita banyak yang mirip satu dengan lain. Sedari masih kecil, aku telah
kehilangan kasih sayang orang tuaku. Aku pun menjadi besar dalam dunia kangouw,
di jaman huruhara. Perlakuan entjie Sin Tjoe terhadap aku mirip sama perlakuan
entjie Leng terhadapmu."
"Tentang asal-usulmu aku
telah mengetahuinya dari siang-siang dari entjie Leng," Kiam Hong
memberitahukan, "maka juga sebelumnya aku bertemu sama kau, semenjak aku
masih kecil sekali, kau sudah jadi seperti sahabatku."
"Sayang untukku,
sebelumnya ini, aku tidak tahu apa-apa tentang kau. Cuma ada satu hal yang sama
di antara kita. Yaitu ketika pertama kali aku bertemu sama kau, aku merasa aku
seperti sudah pemah melihat kau, aku merasa seperti aku pernah kenal padamu.
Ya, inilah aneh! Toh ketika pertama kali kita bertemu, kaulah musuhku, tetapi
aku telah memandangnya sebagai sahabat!"
"Benarkah itu?"
tanya Kiam Hong perlahan.
"Benar." sahutnya,
perlahan juga.
Tanpa merasa mereka saling
menjabat tangan erat-erat..
Selagi sepasang muda-mudi ini
menikmati persahabatan mereka, Thian Touw dan In Hong lagi berselisih. Thian
Touw menganggap bahwa urusan telah selesai dan ia mengajak istcrinya pulang ke
gunung. Sebaliknya In Hong mengatakan belum, ln Hongjustru mengajak suami itu
pergi mencari Tjit Im Kauwtjoe. untuk mendapatkan bingkisan yang dibawa pergi
kauwtjoe itu.
"Aku mengira cukup
setelah dia dikalahkan itu waktu, aku tidak menyangka bahwa dia mesti
dikalahkan menurut keteranganmu ini!..."
"Membantu sahabat harus
membantu sampai di akhirnya!" In Hong memotong. "Mana dapat kita
berhenti di tengah jalan?"
"Hm!" suami itu
bersuara di hidung. "Jikalau kita tidak bersungguh-sungguh hati meyakinkan
ilmu silat pedang kita maka seumur hidup kita ini juga, aku kuatir. kita tidak
mempunyai pengharapan untuk mengalahkan orang she Kiauw itu!"
"Akan tetapi sedikitnya
kita dapat juga mencegah dia terus-terusan •berlaku jahat!" sang isteri
masih tidak mau mengalah. "Secara begitu dapat kita mencegah
sahabat-sahabat kita dicelakai dia! Bukankah tadi kita telah mencoba padanya?
Asal kau tidak takut, umpama kata kita dapat mengalahkan dia, sedikitnya kita
akan dapat mempertahankan diri. Berimbang kekuatan kita kedua belah pihak.
Secara demikian pun kita menjadi sudah dapat membantu banyak kepada Tj ioe
Toako beramai!"
Thian Touw mengangkat
kepalanya, memandangi langit. Ia nampak hilang kegembiraannya.
"Aku menyiksa diri
mempelajari ilmu pedang, harapanku ialah agar aku berhasil membangun satu
partai baru." katanya dingin, "kau sebaliknya menghendaki aku menjadi
tukang pukulnya Kimtoo tjeetjoe! Adakah aku berbakat menjadi seorang tukang
pukul saja?"
Meluap pula darahnya ln Hong.
"Aku tidak mengerti
kau!" katanya. "Kau diundang, diminta membantu, kau sebaliknya
memandang dirimu dihina! Inilah aneh! Dengan membantu Tjioe Toako merampas
bingkisan untuk kaisar, itu artinya kita membantu tentera rakyat, supaya
tentera itu berpakai hangat dan makan kenyang, supaya di utara mereka dapat
menjaga serangannya bangsa Tartar dan Boantjioe, dan di Laut Timur melawan
gangguan perompak-perompak kate! Apakah dengan menjadi tukang pukul demikian
tidak berharga?"
"Aku tidak memikir untuk
menjadi seorang enghiong atau hookiat," kata Thian Touw, "maka itu,
urusan besar ini untuk membela negara dan menyelamatkan rakyat, jangan kau
damaikan denganku."
In Hong tertawa dingin.
"Aku mengerti kau
memandang enteng kepada orang-orang yang disebut enghiong atau hookiat di satu
jaman." katanya. "Kau sebaliknya hendak menjadi guru besar dari suatu
partai, supaya kau dapat dan meninggalkan nama untuk laksaan tahun. Sekarang
hendak aku menanya kau, umpama kata kau berhasil berdiam di atas gunung
Thiansan tanpa gangguan, akan tetapi di depan matamu kau melihat rakyat di
seluruh negara ini menderita siksaan, lalu meskipun kau bisa meyakinkan ilmu
pedang hingga kau menjadi kiamsian, atau dewa pedang, apakah artinya itu?
Apakah artinya kepandaian dan nama besarmu jikalau kita toh menjadi rakyat
taklukan?"
Thian Touw berdiam.
"Pula harus diingat, yang
ada di sini ialah semua sahabat kita," berkata pula In Hong, "Guru
dari entjie Sin Tjoe, Tayhiap Thio Tan Hong, pernah membantu kau dengan memberi
petunjuk berharga kepadamu, dengan petunjuknya itu dalam beberapa tahun ini kau
berhasil mendapatkan kemajuan besar. Memang, biar bagaimana, semua itu telah
terjadi berkat ketekunanmu. akan tetapi kendati demikian, petunjuk Thio Tayhiap
tidak dapat dilenyapkan dengan begitu saja! Sekarang ini dua muridnya Thio
Tayhiap ada di sini, apa mungkin kau tega hati tak sudi membantu pada mereka?
Apakah kau senang membiarkan mereka dihajar mampus oleh si siluman tua she
Kiauw? Kalau benar begitu, sudahlah, tidak usah aku omong banyak kepadamu,
hanya hendak aku mengatakan, terang kau telah berbuat tak selayaknya terhadap
Thio Tayhiap!"
In Hong mengawasi tajam akan
tetapi Thian Touw menyingkir dari sepasang mata isterinya itu.
"Sudahlah, tidak usah kau
bicara banyak-banyak," ia bilang. "Kau hendak membantu mereka itu.
Baik! Sekarang aku tanya, apakah pada itu ada batasnya? Apakah kau ingin aku
terus-terusan mengikuti mereka merantau dalam dunia kangouw? Hingga
akhir-akhirnya aku tidak memperoleh apa juga?"
"Setiap orang ada
cita-citanya, mana dapat aku memaksanya?" menjawab sang isteri.
"Demikianpun aku, aku tidak dapat memaksa kau! Hanyalah aku berpikir, di
dalam halnya kita ini, sedikitnya kita harus dapat membantu mereka hingga di
akhirnya! Aku artikan, kita harus membantu mereka hingga mereka berhasil
merampas semua bingkisan di Utara, sesudah itu baru kita pulang ke Thiansan."
"Aku kuatir, sampai itu
waktu, nanti muncul pula urusan lainnya, urusan yang bakal melibat aku!"
Mendengar itu, tiba-tiba In
Hong merasakan sesuatu ketawaran, hingga ia menjadi sangat berduka, hingga air
mukanya menjadi guram. Ia mengawasi suaminya.
"Oh, Thian Touw."
katanya, "kau kiranya menganggap aku sebagai tambang yang melibat
kakimu... Kalau demikian, kau boleh legakan hati. Aku hanya meminta untuk ini
satu kali saja!"
Thian Touw melengak. Ia lantas
mengawasi isteri itu, tangan siapa ia cekal keras.
"In Hong, apakah artinya
perkataanmu ini?” tanyanya.
"Tidak ada artinya,"
sahut isteri itu. "Aku cuma tidak ingin menjadi tambang yang melibat
kakimu itu..."
"In Hong" kata suami
itu. "kitalah suami isteri yang pernah menderita, kita harus menjadi
pasangan yang kekal abadi, bahwa aku menghendaki kau lekas-lekas pulang ke
Thiansan, itu melulu karena aku memikir kebaikanmu..."
"Ya, aku mengerti, terima
kasih..." sahut In Hong.
"Baiklah, kali ini suka
aku mendengar kau!" kata suami itu akhirnya. "Sebentar aku turut kau
pergi kepada mereka itu. Bukankah kau senang sekarang?"
"Thian Touw. aku bukan
lagi anak kecil, maka tak usahlah kau 'perlakukan aku seperti semasa kita
anak-anak. sebentar kau godai aku hingga aku marah, lalu sebentar lagi kau
baiki aku. Kali ini kau suka membantu aku. aku sangat bersyukur terhadapmu.
Tentang lainnya, baiklah di belakang hari saja kita omongkan pula
perlahan-perlahan."
Di mulut Thian Touw mengatakan
demikian, di hati ia merasa tidak enak. hatinya kurang tenteram. Ia melihat
ketawarannya isteri itu. meskipun sang isteri sangat berterima kasih padanya.
Ia menjadi seperti melihat bayangan dari suatu perpisahan...
Berbareng sama pembicaraannya
ini sepasang suami isteri. yang menghadapi saat-saat sangat tegang, di lain bagian
dari rimba itu juga terjadi pembicaraan di antara sepasang muda-mudi, hanyalah
mereka ini berbicara dengan asyik dan gembira. Mereka ini bagaikan
burung-burung berbisik atau bunga-bunga menghembuskan baunya yang harum.
Merekalah Liong Kiam Hong dan Thio
Giok Houw.
"Ilmu silat Hok Thian
Touw." kata si anak muda. "untuk jaman ini, kecuali guruku, tidak ada
yang melebihkannya. Sebenarnya, berhubung dengan itu. aku bergirang sekali
untuk entjie In Hong. Sayang sekarang ternyata cita-cita mereka berlainan,
pandangan mereka berbeda satu dari lain."
Kiam Hong tertawa.
"Toh ada kamu yang
menunjang entjie In Hong! Mana berani Thian Touw menghina dia?" kata nona
ini.
"Itulah bukan soalnya.
Kami juga bukannya menganjurkan bentroknya mereka sebagai suami isteri. Kami
cuma ingin memberi sedikit rasa pada Thian Touw, supaya dia jangan terlalu
berkepala besar."
Nona Liong tertawa pula.
"Ya. kita memang lagi
bergurau." katanya. "Siapa yang menghendaki suami isteri itu bentrok?
Kau bermaksud baik. Sungguh bagus jikalau entjie In Hong dapat membangun suatu
cabang persilatan baru. Untuk kalangan ilmu silat, itu bagus sekali".
"Demikian juga
kita," berkata Giok Houw kemudian, "kalau nanti telah selesai urusan
di sini, kita berdua juga baiklah saling melatih diri. untuk mencari tahu
bagian-bagian apa yang dapat dipakai untuk memperoleh kemajuan terlebih
jauh."
"Memang benar katamu.
Hanya semoga kita jangan menjadi seperti mereka itu. Kita mesti betul-betul
melatih diri, untuk mendapat kemajuan, jangan diam-diam, kita sebenarnya lagi
mengadu kepandaian..."
Baru ia mengucap demikian,
nona ini merasa ia telah terlepasan bicara, maka sendirinya mukanya menjadi
merah.
Ketika itu Sin Tjoe telah
mendengar cukup segala keterangan yang dia kehendaki dari Tie Goan, maka itu
sambil tertawa, ia berkata dengan nyaring: "He, kamu dua pasang bocah
cilik, pembicaraan kamu telah selesai atau belum?"
Hok Thian Touw dan Leng In
Hong muncul dari dalam rimba sebelah kiri, dari sebelah kanan, Thio Giok Houw
keluar bersama Liong Kiam Hong. Mereka mendengar suaranya Nona Ie, mereka
menyangka lagi digodai, semua merasa likat sendirinya. Di lain pihak, Sin Tjoe
sudah lantas melihat wajah orang, maka ia menduga di antara In Hong dan Thian
Touw telah terjadi sesuatu, ia menjadi masgul sendirinya. Biar bagaimana In
Hong tidak tampak riang gembira, sedang Thian Touw tenang saja. Adalah Kiam
Hong dan Giok Houw, yang air mukanya terang.
"Mereka sekarang berada
di utara Himnie San, di Tang keepo, ialah rumahnya keluarga Tang!" ia
lantas menambahkan. "Tempat itu terpisah dari sini enam atau tujuh puluh
lie."
"Bukankah Tang keepo itu
tempat kediamannya Toksee Tjioe Tang Bok si Tangan Pasir Beracun?" Giok
Houw menegaskan.
"Benar! jawab Sin Tjoe.
"Tjit Im Kauwtjoe ialah ahli racun, mungkin Tang Bok ingin belajar
daripadanya, maka ia menyambut kauwtjoe itu dengan baik. Hanya aku mau percaya,
tidak nanti Tang Bok berani menentang kita. Dari itu. berhubung dengan
kepergian kita ini ke sana. lebih dulu kita harus memberi muka kepadanya."
"Jikalau begitu, tidak
dapat kita berayal lagi," bilang In Hong. "Entjie, silahkan kau
memberikan titah-titahmu."
Sin Tjoe manggut. "Hok
Toako, terima kasih untuk bantuan kau ini," ia berkata kepada Thian Touw.
"Syukur untuk kita, saudara-saudara dari Kaypang pandai sekali mencari
segala sesuatu, maka mengenai Tang keepo. Tie Hiotjoe telah menutur segala apa
jelas sekali kepada kita. Seperti aku bilang barusan, pertama kita pergi dengan
memakai aturan, jikalau terpaksa baru kita menggunai kekerasan. Lagi satu hal hendak
aku jelaskan, jikalau si siluman tua she Kiauvv tidak muncul, aku mengharap Hok
Toako tidak usah turut turun tangan."
Mendengar perkataannya Sin
Tjoe ini, lega hatinya Thian Touw. la menganggap bantuannya diminta agar supaya
ia menjadi "tukang pukul." maka kalau ia bakal dihadapkan kepada
Kiauw Pak Beng satu orang, kedudukannya sebagai tukang pukul itu setimpal juga,
tidaklah ia terhina. Karena ini, tidak berpikir banyak lagi.
Sementara itu Im Sioe Lan.
yang telah mendapatkan pelana, bersama-sama ibunya sudah lantas pulang ke Tang
keepo Selama di perjalanan, nona itu berpikir keras. Di satu pihak dia
penasaran terhadap Thio Giok Houw, yang tidak sudi menyinta kepadanya, di pihak
lain dia berkuatir terhadap keluarga Kiauw. Dia takut Kiauw Siauw Siauw nanti
memaksa ingin menikah padanya.
Setibanya di rumah, Tjit Im
Kauwtjoe menyambuti pelana dari tangan gadisnya.
"Pelana ini berat sekali,
dalamnya tentu ada barang bingkisannya!" katanya.
"Apakah perlunya kita
merampas bingkisan?" sang anak tanya
"Kita hendak membangun
Tjit Im Kauw. maka bingkisan ini perlu sekali untuk segala biayanya,"
menyahut Tjit Im Kauw Tjoe. "Kemudian kita dapat membangun sebuah kuil
yang besar di dalam mana kita bisa menerima semua anak-anak perempuan yang
yatim piatu dan bersengsara."
Memang aneh sifatnya kauwtjoe
ini, yang sangat mengandalkan kepada racunnya, maka juga, walaupun dia muncul
belum lama. dia lantas terkenal sebagai kaum agama sesat.
"Aku kuatir dengan
mendapatkan ini. kemudian kita bakal tidak dapat merasakan ketenteraman,"
berkata Sioe Lan, yang seperti memperoleh firasat jelek.
"Ya, kau benarjuga!"
kata sang ibu, yang mendadak ingat sesuatu. "Kuda yang kita binasakan itu
kuda asal Ferghana, mungkin itulah kudanya keluarga Kiauw. Thio Giok Houw tidak
usah dibuat kuatir, tidak demikian dengan keluarga itu. sedang baru-baru ini Le
Kong Thian telah datang sebagai orang perantara mengajukan lamaran. Memang bisa
jadi nanti terbit keruwetan..."
Sioe Lan telah memikir untuk
membujuki ibunya membayar pulang pelana itu kepada Giok Houw akan tetapi dia
"membenci" pemuda itu, dia menjadi bersangsi, tetapi sekarang,
mendengar perkataannya si ibu, dia singkirkan pikirannya itu.
Nyata ibunya jeri kepada
keluarga Kiauw.
Tjit Im Kauwtjoe mengawasi
anaknya.
"Sioe Lan," katanya,
perlahan, "kau baiklah menerima baik lamarannya keluarga Kiauw itu.
Mereka, ayah dan anak, kosen sekali, sedang perjodohan itu, aku lihat tidak
dapat dicela. Sekarang ini kau sudah berusia delapan belas tahun, dengan
menikah siang-siang, tentu dirimu telah ada ketentuannya."
Muka si nona menjadi merah.
"Ibu, terang kau jeri
kepada siluman she Kiauw yang tua itu, kau tidak menyayang dan menjual, anak
perempuanmu," katanya. "Kenapa kau menyatakan perjodohan itu tidak
ada kecelaannya? Bocah she Kiauw itu justeru penggemar si rambut licin dan pipi
berpupur, sedang di rumahnya, dia telah mempunyai dua gundik. Laki-laki semacam
dia itu benarkah machluk baik-baik?"
"Soal gundik, itulah
gampang. Mereka dapat disuruh pergi."
Sioe Lan mendadak menjadi gusar.
"Orang semacam dia,
dapatkah diharap dia nanti tidak mengambil pula yang baru?" katanya
sengit. "Urusan gundik ada urusan kecil, tak usah itu dikuatirkan, tetapi
yang penting ialah, ayah dan anak berdua itu biasa berbuat sewenang-wenang, mereka
dasarnya bukan manusia baik-baik! Tidak, ibu. tidak dapat aku menikah sama
keluarga itu!"
"Mereka biasa berbuat
sewenang-wenang, bukankah itu tidak ada sangkut pautnya dengan kita?"
tanya si ibu. "Memang mereka bukannya bangsa koentjoe akan tetapi kita
sendiri, orang menyebut kita kaum sesat..."
"Jadi menurut ibu, kita
kedua pihak setimpal betul?" kata Sioe Lan tertawa dingin. Ia melampiaskan
kemendongkolannya dengan mengejek.
"Sedikitnya ilmu silat
mereka itu tak ada tandingannya di kolong langit ini," berkata sang ibu,
mengegos.
"Ilmu silat tinggi saja
apa artinya?" tanya si anak. "Bukankah dulu hari itu ilmu silat guru
ibu tidak jelek? Habis kenapa ibu sering-sering mengutuk dan mencacinya?"
Terperanjat hati Tjit Im
Kauwtjoe mendengar suara puterinya ini. Dialah muridnya Tjie Hee Toodjin.
Ketika usia mudanya, hampir dia diganggu kehormatan dirinya oleh sang guru.
Karena itu. dia menyingkir dari rumah gurunya itu. Kejadian itu membuatnya
sakit hati dan mendongkol hingga sepuluh tahun lamanya, karenanya, sering dia
mengutuk dan mencaci gurunya itu. Di luar sangkaannya, anaknya ini telah
mendapat dengar kutukan dan cacian itu. Dan di luar dugaannya, sekarang anak
ini berani menyebutnya itu di hadapannya. Maka menceloslah hatinya, hingga
parasnya menjadi pucat pasi.
"Baik. baik!"
kalanya nyaring, tetapi suaranya menggetar, "mulai sekarang ini hingga
selanjutnya, aku tak akan tahu menahu lagi urusan pernikahanmu!"
Mendadak Sioe Lan menjerit
menangis, ia menubruk ke rangkulan ibunya.
"Ibu, aku salah
omong..." katanya sambil menangis. "Dasar kita yang malang, kita
selalu menjadi penghinaan pihak laki-laki!..."
Ibu itu menjadi sabar pula. ia
mengusap-usap rambut anaknya.
"Aku tahu di dalam hatimu
sudah ada seorang lain." katanya, perlahan. "Aku pun menginsafi, keluarga
Kiauw bukan saja mendesak bahkan memaksa kita. Hanya sayang, sayang sekali,
orang lain ada muridnya kaum lurus bersih dan kita. kita tidak mencapai tingkat
dia..."
Ibu itu menghendaki anaknya
melupai Thio Giok Houvv.
Mendengar perkataannya sang ibu.
Sioe Lan menjadi malu dan " menyesal, ia berduka sekali, hingga air
matanya lantas mengucur pula dengan deras. Dia menolak tangan ibunya dan
berkata dengan keras: "Memang aku tidak setimpal terhadap siapa juga!
Untuk seumurku, aku tidak akan menikah!"
"Anak Lan. jangan kau
berduka demikian" Tjit Im Kauwtjoe membujuk. "Orang yang menjadi ibu.
tidak ada yang tidak memikirkan kebaikan anaknya. Hanya mengenai kita ini.
kedudukan ibumu benar-benar sukar. Apakah kau tidak dapat mengerti ibumu?
Baiklah, hari ini kita menunda urusan perjodohanmu. Sekarang kau bantulah
memikirkan, tindakan apa kita harus ambil untuk menentang keluarga Kiauw
itu?"
Pikirannya Sioe Lan kusut
sekali, tak tahu ia mesti memikirkan apa. Ia menangis. Lagi sekali ia nelusup
di dada ibunya.
"Ibu!" katanya.
Tengah ibu dan anak ini tidak
berdaya, seorang bujang datang dengan wartanya bahwa "Si Tuan Le telah
datang pula memohon bertemu!"
Tjit Im Kauwtjoe melengak.
"Anak Lan. pergi kau ke
kamarmu," ia kata perlahan. "Kau boleh beristirahat. Kau bawa pelana
ini dan simpan."
Sioe Lan menurut, ia berlalu
bersama pelana rampasannya itu.
Belum lama dari berlalunya
nona ini. Kong Thian muncul dengan senjata bonekanya di tangannya, sembari
tertawa lebar dia berkata: "Kauwtjoe, aku datang untuk menyampaikan kabar
girang!"
Tjit Im Kauwtjoe menyambut
dengan terpaksa.
"Kabar girang apakah
itu?" tanyanya, sedang hatinya tidak tenteram.
"Aku datang untuk
mengantar panjar!" kata Kong Thian. tetap n> aring.
" Tentang itu baiklah,
baiklah dibicarakan... perlahan-perlahan..." kata nyonya rumah, yang
hatinya sangat kusut, hingga dia menjadi bingung sekali.
"Tentang barang antar
panjar itu hendak aku menjelaskan," kata Kong Thian, yang tidak mengambil
mumat keberatan orang. "Itulah barang yang di kolong langit ini tidak ada
tandingannya! Bahkan seorang tjhiakiong nionio, permaisuri raja, tidak akan
menerima pesalin demikian macam!"
"Tetapi kami tidak
mengharapi yang terlalu istimewa," kata Tjit Im Kauwtjoe. "Laginya,
tunggulah sampai selesainya pembicaraan, baru itu diantarkan, itu waktu masih
belum terlambat..."
Akan tetapi Le Kong Thian. si
comblang istimewa, tertawa pula lebar-lebar.
"Pesalin itu sudah
Kauwtjoe terima!" katanya nyaring. "Kita adalah orang baik-baik.
tidak dapat kita main gila! Apakah Kauwtjoe hendak membatalkan perjodohan
ini?"
Mendengar itu, Tjit Im
Kauwtjoe terkejut.
"Apakah itu?" diaa
tanya. Tapi segera ia mendusin. Hendak ia bicara, atau Le Kong Thian sudah
mendahului.
"Tadi malam majikan kami
yang muda kehilangan seekor kuda tunggang." demikian katanya si manusia
raksasa "Tentang kuda yang hilang itu, sekarang telah didapat
keterangannya, ialah Kauwtjoe yang mendapatkannya."
"Maafkan aku. kuda itu
telah terbinasakan." kata nyonya rumah. "Mulanya aku tidak tahu kuda
itu kepunyaan siapa..."
"Kuda itu tidak berarti
apa-apa" kata Kong Thian. "Adalah pelananya yang penting! Pelana itu
memuat bingkisan dari propinsi-propinsi Utara!"
"Mengenai ini, ingin aku
memberi penjelasan," berkata Tjit lm Kauwtjoe. "Datangnya kami ke
Utara ini memang dengan niat kami membantui kamu. untuk membantu melindungi
bingkisan, maka itu kebetulan sekali, tanpa disengaja, aku mendapatkan
bingkisan itu. Tentu sekali tidak berani aku mengangkangi itu. Maka lain hari
saja aku sendiri yang akan mengantarkan pulang."
Kauwtjoe ini berlaku terus
terang. Ia pun mengharap, dengan memulangi pelana itu, ialah bingkisan
tersebut, ia bakal tidak nanti dipaksa menikahkan puterinya kepada keluarga
Kiauw. Sebenarnya, berat ia akan menyerahkan harta besar itu...
Le Kong Thian menggoyangi
tangan.
"Majikanku telah mengubah
pikirannya," kata ia. "Dia bilang, daripada dipersembahkan kepada
kaisar, lebih baik dihaturkan kepada besannya. Maka itu, kauwtjoe, begitu kau
terima pesalin ini, lantas kau menjadi hartawan besar yang nomor satu di kolong
langit ini! Hal yang demikian baik, ke mana lagi hendak dicari? Hanya aku si
orang perantaraan, aku ingin omong juga terus terang. Ialah begitu kau menerima
ini, kau harus mengirim balasannya. Aturan pergi dan pulang, bukankah?"
Demikian rupa si raksasa ini
bicara, hingga sebagai comblang, ia seperti merasa pembicaraan telah matang dan
pasti, sebagai juga ia tidak memberikan ketika lagi akan Tjit Im Kauwtjoe
menolak.
Kauwtjoe dari Tjit Im Kauw itu
menjadi mendongkol berbareng jeri. Dalam sejenak itu saja, pelbagai pikiran
telah menyandingi ia. semua itu berubah pergi datang disebabkan ragu-ragunya.
lantaran sulit untuknya segera mengambil keputusan. Ia telah pikir:
"Jikalau aku terima pesalin ini, itu berarti aku bersanak sama seorang
besan jagoan, untuk pihakku, inilah tidak ada jeleknya." Tapi ia pun
memikir: "Hanyalah dengan begini, apa aku bukan seperti telah menjual anak
darahku? Pula si Lan tidak sudi nikah anaknya itu!"
Oleh karena ia harus
memberikan jawabannya, di dalam kesangsianaja itu. kauwijoe ini lantas berkata:
"Tuan Le. aku mengucap terima kasih kepadamu sebagai orang perantaraan,
hanya sayang kami. si janda sebatangkara dan si anak piatu, kami dari keluarga
kecil, kami tidak dapat menyiapkan pesalin. Habis, bagaimana Tuan Le hendak
menyuruh aku mengaturnya?"
Le Kong Thian tertawa lebar.
"Majikanku dapat
mengantar panjar dengan bingkisan dari lima propinsi Utara, mustahil karenanya
dia masih mengharap mendapatkan pesalin luar biasa dari pihak kau?" ia
berkata. "Untuk kauwijoe, pesalinmu adalah yang wajar, yang telah siap
sedia! Silahkan kauwtjoe membuat salinan dari Pektok Pitpoen dan lantas
mengirimkan itu, semua lantas sudah beres!"
"Pektok Pitpoen" itu
ialah kitab dari pelbagai macam racun, kitab pusaka Tjit Im Kauw, maka
mendengar kata-kata orang itu, Tjit Im Kauwtjoe kata di dalam hatinya:
"Kiranya si siluman tua she Kiauw ini mengilar dan mengarah kitab pusakaku
itu! Aku tadinya menyangka dia benar-benar bermaksud baik berbesan denganku..."
Le Kong Thian mengawasi orang,
yang berdiam sekian lama itu.
"Majikanku lagi
menantikan jawaban, bagaimana pikiran kauwtjoe?" ia mendesak.
"Sukalah Tuan Le mengasi
ketika untuk aku berbicara dulu dengan anakku," berkata kauwtjoe itu
dengan jawabannya. "Dapatkah kau menantikan?"
"Majikanku bakal lekas
datang ke mari." kata Kong Thian. "maka itu tidak berani kami
membuatnya kauwtjoe menggeser kaki kemala dari kauwtjoe Kita harus berlaku
terus terang, jikalau kauwtjoe menghendaki berbicara sendiri sama majikanku
itu, nanti aku pergi mengundangnya!"
Kembali inilah desakan dari si
raksasa.
Tjit Im Kauwtjoe terperanjat.
Ia menjadi bergelisah.
"Tunggu dulu!..."
katanya bingung.
Le Kong Thian berlaku tenang,
dia tertawa gembira.
"Kamu berdua besan,
lambat laun kamu bakal bertemu juga!" katanya pula. "Maka itu
daripada lambat lebih baik cepat sedikit!"
"Biar bagaimana, aku
mesti juga mendengar pikirannya anakku," kata Tjit Im Kauwtjoe, yang mesti
menyabarkan diri. "Inilah urusan untuk seumur hidupnya, kami yang menjadi
ayah ibu seharusnya berbicara dulu dengannya..."
Sampai di situ. Kong Thian
memperlihatkan wajah tidak puas. Ia tertawa dingin.
"Anakku itu ialah anak
semengga-mengganya," berkata Tjit Im Kauwtjoe pula, "di dalam segala
hal, tidak mau aku mengambil keputusan yang bertentangan dengan rasa hatinya.
Pula anak itu telah aku biasakan sangat menyayanginya. Aku kuatir dia nanti
menerbitkan tertawanya Kiauw Toaya!"
Mendengar demikian, Le Kong
Thian tidak sampai hati untuk mengejek terus. Akan tetapi ia tetap mendesak.
"Jikalau begitu, baiklah,
silahkan minta si nona keluar," katanya. "Sesama kaum kangouw, tak
usahlah ia main malu-malu. biar ia bicara terus terang di depan kita."
Oleh karena terdesak sangat,
Tjit Im Kauwtjoe pikir: "Setelah urusan maju begini jauh, baiklah aku
mendengar pikiran anakku saja. Umpama kata ia tetap menampik, apa boleh buat
bencana bagaimana besar juga harus dilawan!" Maka ia lantas menitahkan
seorang budaknya perempuan memanggil puterinya itu.
Im Sioe Lan sendiri masuk ke
dalam kamarnya untuk lantas menyimpan pelana yang dipandang berharga itu,
kemudian ia memikirkan nasibnya sendiri. Ia menjadi sangat berduka. Setelah
mengunci pintu, ia menangis sedih.
"Lebih baik aku minggat,
supaya ibu tidak menjadi bersusah hati," pikirnya kemudian. Akan tetapi
kapan ia ingat kecintaan ibunya terhadapnya, ia merasa berat, ia menjadi
bersangsi. Dengan ibunya itu ia saling mengandal, ia berat untuk berpisahan. Ia
pun ragu-ragu untuk merantau seorang diri. Ia ingat halnya ibunya mempunyai banyak
musuh, jikalau ia keluar sendirian dan ada yang mengenali, ia bisa diganggu.
Kacau pikirannya nona ini.
Justeru ia lagi bingung itu, tiba-tiba telinganya mendengar ketukan tiga kali
pada daun jendela. Suara itu perlahan tetapi ia mendengar.
"Siapa?" ia tanya.
"Aku..." demikian
suara jawaban, yang halus tetapi terang.
Sioe Lan ragu-ragu. Suara itu
ia rada kenal tetapi lupa. Tapi ia tidak dapat bersangsi terus, maka ia
membukai pintu.
Orang di luar itu, seorang
wanita, lantas bertindak masuk. Gesit gerakannya. Setibanya di dalam, ia terus
menutup pintu.
"Nona Im tentunya masih
mengenal aku?" kata dia bersenyum.
Sioe Lan tercengang, air
mukanya berubah, la mengenali le Sin Tjoe, soetjie atau kakak seperguruan dari
Thio Giok Houw. Ia mau lantas menghunus golok di pinggangnya atau ia melihat
nyonya muda itu menjatuhkan diri duduk di kursi di depannya, sikapnya tenang,
air mukanya ramai.
"Kebetulan kau berada
sendirian dalam kamarmu ini. Nona Im," berkata Sanhoa Liehiap, si nona
Penyebar Bunga. "Aku memang ingin bicara berdua saja."
Sioe Lan masuki pula goloknya,
yang ia sudah cabut separuh. Wanita di depannya itu tidak menunjuki sikap
bermusuh, bahkan sebaliknya manis budi.
"Kau ingin bicara apa
padaku?" ia tanya, dingin
Sin Tjoe tidak menjawab, hanya
ia balik menanya
"Le Kong Thian ada di
luar rumah ini, tahukah kau?" demikian tanyanya.
Air mukanya nona ini
berubah-ubah. Ia mendongkol berbareng malu dan berduka. Ia memegang erat-erat
gagang goloknya.
"Biarpun kepandaianku
rendah, tidak dapat orang perhina aku!" katanya. "Nona le, adakah
datangmu ini untuk mengejek aku?"
"Nona Im, jangan kau
pikir yang tidak-tidak." kata Sin Tjoe. "Aku justeru datang untuk
membantu kau."
"Kau hendak membantu
aku?" berkata Sioe Lan, tertawa dingin, "Aku yang telah mengganggu
pihakmu? Bukankah kami telah merampas bingkisan yang diarah olehmu? Kau tidak
membenci aku, sebaliknya kau hendak membantu? Hm! Hm! Jikalau kau hendak turun
tangan, nah, kau bunuhlah aku! Untuk apa kau bicara manis begini?"
Sin Tjoe tertawa.
"Urusan yang kau sebutkan
itu, semua itulah sudah berlalu!" katanya. "Lagi pula aku telah
mengetahui jelas, semua itu adalah gara-garanya pihak she Kiauw itu, yang
mencoba menggunai ibumu selaku alat. Maka, untuk apa aku membencimu? Aku justeru
tidak menghendaki kau menjadi kurban, maka sekarang aku datang untuk membantu
kau. Seandainya kau tidak percaya aku, terserahlah!"
Sioe Lan menatap matanya
nyonya muda di depannya itu, ia merasa sinar mata orang halus dan pemurah, maka
itu, ia lantas mengambil tempat duduknya. Ia tidak lagi bersikap kaku atau
bengis seperti tadi. Hanya tidak dapat ia segera mengubah suaranya.
"Baiklah," katanya,
nadanya masih rada bermusuh, "baiklah aku anggap kau bukanlah lawanku, aku
mau percaya kau tidak membenci aku. Toh aku tetap musuhmu, habis apa perlunya
kau hendak membantui aku?"
Nyonya Yap Seng Lim tertawa
pula.
"Aku tidak menganggap kau
sebagai musuhku!" katanya ramah. "Sebaliknya, aku ingin menjadi
sahabatmu."
Sioe Lan tertawa dingin.
"Kamu dari bangsa
sejati!" katanya. "Kamu pendekar-pendekar wanita yang kenamaan! Kamu
memandang mata pada kami kaum sesat? Sudah, jangan kau mendustakan aku! Kau toh
datang untuk pelana, bukan?"
"Aku datang pertama-tama
untuk dirimu sendiri, baru untuk pelana itu."
Sioe Lan tertawa pula dingin.
Ia seperti mau mengatakan:
"Tepat dugaanku!"
Sin Tjoe tidak mengambil mumat
sindiran itu.
"Adik kecil, jadinya kau
pun menginsafi perbedaan antara si sejati dan si sesat?" katanya manis.
"Cobalah kau bilang, apa itu yang sejati, yang benar? Dan apa itu yang
sesat?"
Sebenarnya juga, belum pernah
Sioe Lan memahamkan perbedaan antara yang sejati dan yang sesat itu, maka
ditanya demikian rupa, ia melengak.
"Kamu yang dinamakan kaum
benar, kamulah kaum sejati." sahutnya kemudian.
Sin Tjoe tertawa.
"Baiklah kau mengerti,
perbedaan di antara sejati dan sesat itu tidak dapat dilihat dari diri
orang," ia berkata, "bukan dari asal-usulnya, hanya dari
perbuatannya, dari sepak terjangnya! Siapa yang melakukan apa-apa yang ada
faedahnya untuk chalayak ramai, dialah orang kaum benar, kaum sejati. Siapa
yang merusak atau mencelakai umum, dialah kaum sesat. Umpama urusan merampas
bingkisan pelbagai propinsi ini. Kami merampas itu buat guna tentara rakyat,
yang membutuhkan makanan dan pakaian, supaya mereka dapat melawan penyerangan
bangsa Tartar dan perampok, supaya bangsa asing dan perampok itu tidak dapat
mengilas-ilas sawah ladang rakyat jelata, agar mereka tidak merampas jiwanya
rakyat negeri. Jadi inilah tindakan untuk kebaikan umum. Tidak demikian dengan
keluarga Kiauw itu. Pihak Kiauw merampas bingkisan untuk dibawa ke kota raja
supaya dengan begitu dia dapat mengangkat namanya di empat penjuru laut.
maksudnya guna menindih kaum Rimba Persilatan sejati. Sepak terjangnya itu ada
baiknya untuk raja, ada pentingnya untuk mereka sendiri, sebaliknya untuk
rakyat, mereka tidak berarti! Nah. di sinilah beda yang tedas dari apa yang
sejati, apa yang benar, daripada yang sesat. Mengertikah kau sekarang?"
Seumurnya, Im Sioe Lan belum
pernah mendengar orang bicara begini rupa terhadapnya. Maka itu ia lantas saja
duduk menjublak, pikirannya menjadi kacau.
"Maka itu, benar atau
sesat, orang lihatlah perbuatannya sendiri!" Sin rjoe berkata pula.
matanya mengawasi nona itu. "Sekarang pikirlah tentang pelana itu: Kau
suka menyerahkannya itu pada kami, pada pihak Kiauw atau kaum sendiri yang
menghendakinya?"
"Aku tidak mentemahai itu
tetapi juga pasti aku tidak akan menyerahkannya pada pihak Kiauw!"
menjawab Sioe Lan.
"Orang yang mempedayakan
kau ialah si siluman tua she Kiauw itu, bukannya kami, mengertikah kau?"
tanya Sin Tjoe perlahan.
Nona Im menjadi sangat
bersusah hati. lantas saja ia menangis.
Sin Tjoe menghampirkan. ia
mengusap-usap rambut orang
"Marilah kau turut
pihakku," bujuknya. "Dengan pergi pada pihak kami, kau tidak usah
takut lagi terhadap mereka itu."
Sioe Lan mengangkat kepalanya.
"Tidak, aku tidak mau pergi pada pihakmu." katanya. "Baiklah,
pelana itu aku serahkan pada kau. Kau tidak usah memperdulikan pula padaku. Aku
telah mengambil ketetapan untuk pergi merantau seorang diri!"
Nona ini malu kepada Giok
Houw, yang memperlakukan ia dengan dingin. Sebenarnya ia ketarik akan
kata-katanya Sin Tjoe itu.
Untuk sejenak Nyonya Yap
heran, atau segera ia sadar.
"Baiklah." katanya
kemudian. "Baiklah kalau untuk sementara waktu kau berpisah dari ibumu,
supaya dia pun menjadi tidak terlalu sulit." Ia mengeluarkan sehelai
bendera kecil dan menyerahkan pada nona itu. "Inilah bendera lengkie dari
Kimtoo Tjeetjoe. setiap orang kaum sesat di dunia kangouw yang melihat ini akan
memandangmu sebagai sahabat. Kau simpanlah baik-baik."
Sioe Lan lantas mempercayai
nyonya muda ini, ia menerima baik bendera itu. Ia lantas ingat yang ia pernah
melukakan anaknya Kimtoo Tjeetjoe, ia menjadi menyesal, lantas ia mengucurkan
air mata.
Ketika itu di luar, Le Kong
Thian telah mengunjuki kemurkaannya. Sekian lama ia menantikan, ia tidak
mendapatkan Nona Im muncul.
"Aku tidak cukup bermuka
terang untuk mengundang keluar puterimu!" katanya dingin, saking
mendongkol.
"Baiklah, aku nanti minta
majikanku sendiri yang datang ke mari. untuk kamu berbicara berduaan!"
Habis berkata, raksasa ini
memperdengarkan suitan panjang.
Tjit Im Kauwtjoe kaget
berbareng mendongkol. Tidak sempat ia mencegah tindakan comblang ini. Ia mendongkol
karena orang mendesak demikian rupa. Dan ia kaget sebab ia ketahui baik sekali,
apabila pihak Kiauw ayah dan anak sampai datang padanya, bagaimana ia harus
melayani mereka itu? Ia tidak menyangka, dalam kedudukan sebagai budak, Kong
Thian menggunai pengaruh majikannya begitu macam. Bukankah ia, biar bagaimana
juga ada kauwtjoe, seorang ketua agama?
Panjang siulannya Kong Thian,
baru suara itu berhenti lalu terganti suara tertawa yang nyaring, yang
datangnya dari pojok taman.
Tjit Im Kauwtjoe mendongkol
hingga ia bermuram durja.
Kong Thian agaknya heran.
Katanya: "Kenapa datangnya begini cepat?" Ia pikir, umpama kata
majikannya berada di gunung di dekat situ, datangnya tidak nanti secepat itu.
Hanya sejenak, lantas ia menjadi kaget. Sekarang ia dapat membedakan suara
tertawa itu. Tapi sekarang ia kaget pun sudah kasip. Orang yang tertawa itu
sudah lantas muncul. Ia melengak kapan ia mengenali, Hok Thian Touw suami
isteri dan mereka itu dikawani Thio Giok Houw serta
Liong Kiam Hong. Sedang suara
tertawa itu nyata dikeluarkan oleh Giok Houw.
Tjit Im Kauwtjoe heran akan
tetapi ia bernapas lega. Ia lantas mengerti, karena orang kedua pihak telah
datang, urusan pasti bakal menjadi hebat, sulit untuk mengurusnya- Ia heran
mengapa orang datang dengan demikian merdeka seperti juga taman keluarga Tang
tidak ada orangnya. Bukankah Tang Bok bukan sembarang orang dan murid-muridnya
serta orangnya tidak sedikit jumlahnya? Kenapa empat orang ini dapat datang
langsung tanpa terpergok atau terintang?
Melihat datangnya Kiam Hong
dan Giok Houw, Le Kong Thian merasa heran, hatinya tidak berpikir banyak.
Adalah kemudian, tatkala ia menampak Hok Thian Touw suami isteri, yang muncul
belakangan, baru hatinya goncang. Inilah ia tidak sangka sama sekali.
Tidak pernah Kong Thian
menerka bahwa Sin Tjoe dan rombongannya Thian Touw ini telah bersepakat dan
bekerja sama bahwa Thian Touw dan kawan-kawannya tidak bakal muncul apabila
Kiauw Pak Beng tidak memperlihatkan diri.
"Syukur kalau aku dapat
memperlambat waktu." kemudian Kong Thian pikir. Ia tahu liehaynya Thian
Touw dan ia jeri. "Asal majikanku datang, aku tidak usah takuti apa
juga..."
Thio Giok Houw menghampirkan
dengan tindakan lebar dan tertawa bergelak.
"Le Kong Thian, kau pun
ada di sini?" dia tanya. "Bukankah kau datang untuk minta
pelana?"
Kong Thian dapat menenangkan
dirinya. Ia mengangkat kedua tangannya untuk memberi hormat.
"Di dalam tempo beberapa
bulan telah tiga kali kita bertemu, sungguh kita berjodoh!" katanya.
"Kau bicara tentang pelana-pelana apakah itu?"
Raksasa ini mulai dengan
siasatnya, untuk mengulur tempo.
"Fui!" Giok Houw
mengasi dengar suaranya, lalu terus ia tertawa mengejek. Ia kata: "Benar!
Memang kita sangat berjodoh! Nah. mari, mari! Mari kita bertempur pula!"
Kong Thian berlaku tenang.
"Kamu baru sampai, kamu
beristirahatlah dulu!" katanya tertawa lebar.
"Marilah kita mengurus
pekerjaan kita," berkata In Hong, menyelak. "Sebentar kita bertaruh
dengannya!" Lantas ia mengeluarkan sebuah kotak kehormatan, yang mana ia
haturkan kepada Tjit Im Kauwtjoe seraya ia berkata: "Dengan memandang
mukanya Kimtoo Tjeetjoe, kami minta Kauwtjoe sukalah membayar pulang itu
pelana!"
Kedua matanya nyonya rumah
menyapu dari kiri ke kanan, mulai dari mukanya ln Hong berhenti sampai pada
Giok Houw. atas mana bocah tanggung itu mengangkat kedua tangannya, dirangkap,
untuk memberi hormat seraya berkata: "Kemarin aku berbuat salah, aku mohon
Kauwtjoe tidak buat kecil hati."
Tjit Im Kauwtjoe tidak berani
lantas menerima kotak kehormatan itu. Ia menjadi bingung sekali. Orang telah
memakai aturan kaum kangouw. membuat kunjungan kehormatan atas nama Kimtoo
Tjeetjoe. menghaturkan maaf seraya meminta pelana...
"Hm! Hm!" Le Kong
Thian mengasi dengar ejekannya melihat sikapnya In Hong dan Giok Houw itu.
"Kami datang untuk meminta sesuatu dengan sikapmu yang keras ini,
benar-benar di mata kamu sudah tidak ada orang lainnya lagi! Kauwtjoe, jangan
takuti mereka, pasti sekali kami tidak dapat membiarkan kau terhinakan!"
Sengaja Kong Thian mengatakan
demikian walaupun ia ketahui orang datang dengan hormat dan Kimtoo Tjeetjoe
telah berlaku merendah dan mentaati aturan kangouw. la tetap mengulur tempo
sambil berbareng mencoba memancing kemarahannya Tjit Im Kauwtjoe.
Nyonya itu mengerti duduknya
hal tetapi ia masih terpengaruh oleh ketangguhannya si siluman tua she Kiauw
dan anaknya, karena mana tetap ia terbenam dalam kesangsian.
Giok Houw menjadi habis sabar.
"Baiklah", serunya.
"Mari aku membuat perhitungan lebih dulu denganmu!" Ia menikam dengan
golok Biantoo kepada raksasa she Le itu. Ia menggunai tikaman "Si kuda
tunggang mendadak melonjak."
Liong Kiam Hong berdiam
semenjak tadi tetapi tangannya sudah menghunus pedangnya, pedang Tjengkong
kiam, maka melihat kawannya menyerang, ia segera maju menyerang pula, untuk bertempur
bersama mengepung musuh yang tangguh itu.
Le Kong Thian menggeraki
tangannya, untuk dengan tokkak tongdjin. bonekanya, menangkis serangan kedua
muda-mudi itu. Mulanya ia menyampok golok Biantoo. hingga senjata mereka beradu
keras, suaranya nyaring, lelatu apinya muncrat ke empat penjuru. Tangkisan itu
membuatnya si anak muda mundur tiga tindak.
Adalah itu waktu, pedangnya
Kiam Hong bekerja.
Giok Houw bukannya kalah, ia
maju pula, ia merangsak dengan mainkan goloknya bersatu padu dengan pedang si
nona.
Kong Thian liehay dan
bonekanya hebat akan tetapi segera juga dia kena didesak hingga lantas dia
berada di bawah angin.
Giok Houw kalah tenaga tetapi
ia bernyali besar, ia tidak takut si raksasa bertenaga luar biasa itu, jikalau
perlu, ia berani melawan keras dengan keras. Ia telah mempunyakan latihan yang
tujuh bagian sudah menyampaikan puncaknya kemahiran. Maka itu, dengan si nona
sangat lincah, nona itu dapat mempergunakan kelincahannya untuk mendesak dengan
licin. Hanya sayang, dia kalah tenaga terlalu jauh, tempo Kong Thian menggunai
kekerasan, dia kena terdesak mundur tiga tindak.
"Bocah cilik, kamu main
mengepung" membentak Kong Thian, yang mendongkol bukan kepalang.
"Baiklah, mari kita main keroyok-keroyokan!"
Kata-katanya si raksasa yang
belakangan ini ditujukan kepada Tjit Im Kauwtjoe, yang ia pancing kemarahannya,
supaya kauwtjoe itu turun tangan. Ia percaya, kalau pihak Tjit Im Kauw membantu
padanya, sedikitnya pertempuran itu menjadi berimbang hingga berhasillah
siasatnya mengulur tempo, untuk menanti munculnya Kiauw Pak Beng ayah dan anak.
Ia percaya Tjit Im Kauwtjoe dan orang-orangnya bisa melibat Hok Thian Touw dan
Leng In Hong...
Akan tetapi raksasa ini tidak
mencapai maksudnya yang licik itu. Di luar dugaannya, Tjit Im Kauwtjoe tidak
turun tangan. Kauwtjoe itu tidak turun tangan sendiri, orangnya juga tidak
dititahkan maju untuk mengepung. Ia hanya berdiri menonton...
"Kauwtjoe," berkata
In Hong. "haraplah kau terima kotak kehormatan kami ini. habis itu kita
boleh membuat pembicaraan."
"Sabar dulu"
menyahut Tjit Im Kauwtjoe.
Tepat sama suaranya nyonya
rumah itu, satu benda datang menyamber. tidak perduli In Hong liehay, kotak di
tangannya kena tersamber hingga terdengarlah suara yang nyaring, menyusul mana
sebuah besi thielian tjie jatuh ke tanah!
Nyonya Hok Thian Touw
terkesiap hatinya, karena ia ketahui baik siapa yang datang, yang kedatangannya
didului dengan serangan gelap itu.
Benar, lantas juga terdengar
suara nyaring dari Kiauw Pak Beng: "Kauwtjoe, sukalah kau menanti sebentar,
hendak aku mengusir dulu ini beberapa bocah dari tingkatan muda! Sebentar nanti
kita memasang omong! Siauw Siauw. lekas kau memberi hormat pada peebo-mu!"
Kata-kata ini lantas disusul sama tertawa terbahak-bahak dan kata-kata
susulannya: "Hok Thian Touw. kau tidak pulang ke Thiansan, kau kiranya
masih mau usilan di sini!"
Thian Touw heran dan tergempur
nyalinya. Ia melihatnya Kiauw Pak Beng telah dapat berjalan dan agaknya orang
menjadi sehat sekali. Tapi ia ingat akan janjinya terhadap isterinya, ia tidak
mau mundur. Ia kata: "Baiklah kita memegang kata-kata kita! Silahkan
lootjianpwee pulang dulu ke Koenloen San. nanti kami pun tidak suka usilan
lagi!"
Pak Beng tertawa dingin.
"Thian Touw, kau tidak
kenal salatan!" katanya. "Maka hari ini aku si tua tidak dapat
berlaku sungkan-sungkan lagi terhadapmu! Baiklah, mari aku menyaksikan pula
ilmu pedang Siangkiam happek dari kamu suami isteri!"
Jago tua ini segera menggeraki
kaki kirinya, yang masih pincang, karena kaki itu belum sembuh seluruhnya. Dengan
tongkat besinya ia menekan pada tanah, maka majulah tubuhnya, setelah mana ia
mulai dengan serangannya. "Naga naik ke langit." Sasarannya ialah
pusar dari Hok Thian Touw.
Thian Touw menghalau serangan
itu, atas mana In Hong lompat ke sampingnya, dengan begitu berdua mereka
menjadi berdiri bersama menghadapi lawan yang tangguh itu, pedang mereka
berkilauan, suara anginnya menderu-deru. suara bentrokannya nyaring dan
berisik, sebab mereka berani membentur tongkatnya jago tua itu.
Kiauw Pak Beng memainkan
tongkatnya hebat sekali, ia mendesak mundur sepasang suami isteri itu sampai
empat atau lima tindak. Tetapi mereka hanya mundur seketika, lalu mereka maju
secara teratur, sebagaimana mundurnya pun tidak kalut. Bahkan mereka berhasil
mendesak si orang she Kiauw juga mundur dua tiga tindak.
Dengan begitu mereka kedua
pihak bergantian saling merangsak. hingga sebentar saja mereka telah
menghabiskan belasan jurus.
Kiauw Siauw Siauw mengawasi
pertempuran itu, lantas hatinya menjadi tenang. Ia percaya pihaknyalah yang
bakal menang. Maka ia mentaati titah ayahnya. Sambil mengipas-ngipas, ia
bertindak perlahan menghampirkan nyonya rumah, untuk mengunjuk hormatnya.
"Sudah lama sekali
siauwtit memikir untuk datang berkunjung, hari ini barulah maksudku itu terwujud,"
katanya dengan manis, "hal ini membikin siauwtit sangat bersyukur. Ayahku
mengutus kuasa kami, Le Koanke, untuk menyampaikan maksud hati kami, maka itu
sekarang siauwtit memohon petunjuk dari peebo. petunjuk yang akan membuatnya
siauwtit merasa beruntung sekali."
Tjit Im Kauwtjoe lantas
berkesan baik terhadap ini anak muda. yang romannya tampan, yang sikapnya
hormat dan gerak-geriknya halus omongannya pun rapi. Lantas ia berpikir:
"Thio Giok Houw itu benar murid kaum sejati dan usianya sepantar dengan
anakku, tetapi sayang dia jumawa dan terhadap anakku juga dia tidak meny inta,
maka itu baiklah aku mengikat tali persanakan dengan keluarga Kiauw ini."
Akan tetapi kapan ia ingat si tua bangka she Kiauw yang aneh gerak¬geriknya,
yang telengas, hatinya mundur pula. Ia pun ingat yang Sioe Lan telah bersumpah
tak sudi menikah dengan si pemuda she Kiauw. Akhirnya ia menjadi ragu-ragu.
"Jangan menggunai banyak
adat peradaban, hiantit," ia berkata. "Koankee-mu telah dua kali
datang berkunjung ke mari, aku sendiri belum membalasnya, aku malu, aku malu
sekali. Hiantit. silahkan duduk!"
Siauw Siauw tidak puas
mendapatkan nyonya itu tidak mau menimbulkan soal, lantas ia tidak mau berlaku
sungkan lagi.
"Apakah adik Sioe Lan ada
di rumah?" ia bertanya. "Bolehtah siauwtit menemui dia?"
Sejak tadi Tjit Im Kauwtjoe
sudah menitahkan budaknya memanggil puterinya itu. sampai sekian lama
sangputeri belumjuga muncul. Karena terjadinya pertempuran itu. ia seperti lupa
hal puterinya itu, tetapi sekarang perkataannya si pemuda membuatnya bagaikan
sadar.
"Aneh! Kenapa dia belum
juga keluar?" pikirnya. "Tua bangka she Kiauw ini aneh dan telengas
tetapi anaknya ini agaknya beda daripada dia. benar anak ini telah memelihara
dua gundik, tetapi itulah bukannya soal besar. Bukankan aku pun dipanggil kaum
kangouw sebagai kaum sesat, karenanya, apa mungkin Sioe Lan akan menikah sama
bangsa sejati, bangsa budiman? Maka baiklah aku menyuruh dia keluar akan
menemui pemuda ini, akan melihatnya, mungkin setelah itu. pikirannya akan
berubah." Karena ini ia lekas menyahuti pemuda itu, katanya:
"Tunggulah sebentar, hiantit!" Ia pun menitahkan seorang muridnya:
"Pergi kau panggil Sioe Lan keluar! Sekalian suruh ia membawa pelana
bersama!"
Mendengar perkataan nyonya
itu, senang hatinya Siauw Siauw.
"Andaikata pernikahan
gagal, pelana itu toh aku akan dapat kembali," demikian ia pikir.
Lewat lagi sekian lama, Sioe
Lan tetap belum keluar juga.
Siauw Siauw turun ke tangga
lorak, dari situ ia melihat pertempuran di antara dua rombongan berjalan seru
di kedua paseban. Thian Touw dan In Hong hebat sekali permainan pedangnya,
gerakannya lincah dan tepat, sepasang pedang mereka bagaikan bianglala. Di
depan mereka, Kiauw Pak Beng juga Iiehay luar biasa, tongkat besinya
bergerak-gerak bagaikan siluman ular atau naga berbisa, anginnya selalu
menghembus-hembus keras. Liehay pedangnya suami isteri itu tetapi mereka tidak
sanggup menembus "bentengan" tongkat itu, yang sebaliknya
saban-sabanjuga menerjang dahsyat sekali.
Di lain rombongan, Kong Thian
pula tetap dikepung berdua muda-mudi, Thio Giok Houw dan Liong Kiam Hong.
Seperti In Hong dan Thian Touw. pasangan muda ini dapat mempersatukan golok dan
pedang mereka dengan begitu mereka menjadi sanggup melayani boneka besar dan
berat dari si manusia raksasa. Juga inilah pertempuran mereka yang ketiga
kalinya, maka itu. perpaduan muda-mudi itu menjadi terlebih-lebih tepat, sebab
mereka bagaikan sudah terlatih cukup.
Le Kong Thian kuat dan gagah,
tetapi ia repot melayani kedua lawannya ini. Di dalam pertempuran yang pertama
kali, ia bisa berkelahi sampai tiga ratus jurus, baru ia kena dikalahkan, akan
tetapi kali ini. belum sampai seratus jurus, ia sudah merasakan sulit, maka
juga bonekanya bagaikan dililit pedang dan golok.
Giok Houw seperti biasa berani
keras melawan keras, tidak demikian dengan Kiam Hong, yang menggunai
kelincahannya, menyingkir dari bahaya berbareng mengancam musuh, ia mendesak
hingga ia bagaikan berada di sekitar raksasa itu.
Kiauw Siauw Siauw mengawasi
Kong Thian, si koankee atau pengurus rumah tangganya di dalam tempo yang
pendek, ia mendapatkan orangnya itu sudah tujuh atau delapan kali menghadapi
ancaman, hingga ia menjadi berpikir: "Ayahku dapat menandingi suami isteri
Thian Touw. tidak demikian dengan Kong Thian. Perlu aku bantu dia. "
Pemuda ini berpikir demikian
berbareng dengan keinginannya untuk mempertontonkan kepandaiannya di hadapan
Jjit Im Kauwtjoe. si calon mentua. Ia lantas merapihkan pakaiannya, ia terus
menutup rapat kipasnya.
"Kawanan manusia ini
mengganggu rumah orang, mereka sangat tidak tahu aturan!" katanya
bersenyum. "Peebo, biarlah siauwtit bekuk mereka untuk peebo nanti yang
menghukumnya sekalian ini dapat dipakai bingkisan kehormatanku yang hari ini
siauwtit telah menjenguk peebo."
Begitu lekas ia berhenti
bicara, Siauw Siauw lompat ke arah rombongannya Kong Thian, tanpa membilang
apa-apa, ia menyerang Thio Giok Houw. Itulah si pemuda yang ia benci, kepada
siapa ia hendak melampiaskan kebenciannya. Kemarin ini ketika ia dibekuk Thian
Touw, di saat dilakukan penukaran orang tawanan, Giok Houw telah menotok
padanya, hingga ia menderita dan malu. Maka sekarang iatidak mengenal kasihan
lagi. tak sudi ia main pandang-pandang, lantas ia menurunkan tangan telengas,
menotok jalan darah tjietong hiat di punggung pemuda itu.
Giok Houw melihat datangnya
serangan, sembari memutar tangannya ia menangkis ke belakang dengan jurusnya
"Koaybong hoansin." atau "Siluman ular naga berjumpalitan."
Jurus ini tidak cuma menangkis tetapi pun berbareng membabat lengan lawan.
Kiauw Siauw Siauw seperti
telah menduga musuh bakal membela diri sambil menyerang itu, ia tidak melanjuti
serangannya hanya sebaliknya ia menyambuti babatan itu. Ia menotok golok si
anak muda sambil ia berseru: "Kena!" Setelah itu, ujung kipasnya
meluncur pula terus ke punggung!
Hebat ancaman itu untuk Giok
Houw. Dengan kena ditotok kipas, goloknya kena terintangkan, dan dengan
goloknya terhalau, punggungnya kembali menghadapi ancaman bencana!
Di dalam saat ia sangat
terancam ini. Giok Houw memperoleh pertolongan dari Kiam Hong yang gesit dan
matanya tajam. Nona ini menyaksikan musuh mendapat bantuan, bahkan pemuda she
Kiauw itu yang liehay, ia waspada. Demikian, ketika Giok Houw dibokong dan
ujung kipas Siauw Siauw mengancam itu, ia meninggalkan Kong Thian. ia lompat kepada
anaknya Kiauw Pak Beng, untuk menikam pempilingannya. Dengan begitu ia bukan
menolongi kawan dengan menangkis hanya dengan menyerang. Di waktu ia
meninggalkan Kong Thian. ia mengibas dengan tangan bajunya hingga mata si
raksasa manusia bagaikan kelilipan.
Kiauw Siauw Siauw mengarah
tjietong hiat Giok Houw, jalan darah yang berbahaya itu. sedang begitu, ia juga
terancam bagian anggauta tubuhnya yang tak kurang berbahayanya ia menjadi
terperanjat. Meneruskan menikam Giok Houw berarti ia manda ditusuk pempilingannya
itu, maka itu, mungkin ia berhasil, mungkin juga ia sendiri bercelaka... Ia
menyayangi jiwanya, ia mesti mengambil putusan. Demikian, batal totokannya, ia
menggunai kipasnya menangkis pedang si nona hingga ia bebas dari kematian atau
luka parah.
Giok Houw bebas tetapi ia
tidak berhenti bergerak, justeru itu Kong Thian maju untuk mengejar Nona Liong,
ia lantas pegat musuh ini, untuk dirintangi. Ia menangkis bonekanya koankee
keluarga Kiauw itu sambil ia mengeluh di dalam hatinya: "Sungguh berbahaya!"
Segera setelah itu, rombongan
ini juga memperlihatkan perubahan. Dengan Kong Thian dibantu Siauw Siauw, tuan
mudanya ia tidak lagi terjatuh di bawah angin, bahkan berdua mereka lantas
menjadi lebih unggul. Mereka berdua kuat dan liehay masing-masing, mereka dapat
mengimbangi Kiam Hong dan Giok Houw. Untung bagi si pemuda she Thio. ilmu
silatnya banyak ragamnya ia dapat menggunai itu akan mempertahankan diri. Maka
juga meski ia dan Kiam Hong kalah unggul, mereka tidak bisa lantas dikalahkan.
Mereka melawan dua musuh tetapi tetap mereka bisa menggunai ilmu silat mereka
yang bersatu padu.
Tjit Im Kauwtjoe menyaksikan
pertempuran itu. Ia merasa kagum untuk keliehayan Siauw Siauw, akan tetapi di
samping itu, herannya bersusun tindih. Sioe Lan, puterinya tetap tidak kunjung
tiba! Dari heran, ia menjadi bercuriga hingga timbul niatannya untuk masuk
sendiri ke dalam, untuk melihat anaknya itu. Kenapakah si anak dara?
Hampir nyonya jago ini
bertindak masuk atau matanya melihat munculnya seorang muridnya hanya dia itu
bukannya murid yang tadi dititahkan memanggil anaknya.
"Apakah kau melihat Sioe
Lan?" ia mendahulukan menegur.
"Aku tidak melihat
soetjie." menyahut murid itu. "Aku datang atas namanya Tang
Toaya..."
Kembali Tjit Im Kauwtjoe
menjadi heran. Ia meminjam tempatnya Tang Bok, musuh telah tiba, Tang Bok
sendiri tidak muncul, atau sekarang muridnya membawa warta tentang Tang Bok
itu.
"Apakah katanya?" ia
tanya muridnya itu.
"Tang Toaya memberitahu
bahwa ia tidak berani mendapat salah dari Keluarga Kiauw berbareng juga tidak
mau mendapat salah dari Kimtoo Tjeetjoe. maka itu ia telah pergi meninggalkan
rumahnya. Untuk itu ia mohon Kauwtjoe memaafkannya."
"Hm, dia sungguh
licik!" kata kauwtjoe itu. mendongkol, la mengatakan demikian sedang
sebenarnya ia sendiri pun ingin sangat lolos dari kesulitannya ini, ia hanya
tidak memperoleh ketika atau jalannya. Ia menjadi semakin kusut pikirannya
kapan ia menyaksikan keunggulan di pihak Kiauw itu, yang lagi melayani musuh
dengan hebat.
Selagi bertempur itu dengan
perlahan-perlahan Kiauw Siauw Siauw mempergunakan ilmu totok dengan kipasnya,
yaitu Tiatsie Sinkang, dengan itu ia membuat Giok Houw kelabakan. melihat mana.
ia merasa puas sekali. Begitulah ia tertawa dan berkata kepada lawannya:
"Bangsat cilik, kau lihat apakah kau masih sanggup lolos dari telapakan
tanganku!"
Tepat pemuda she Kiauw ini
mengeluarkan ejekan atau kata-katanya yang jumawa itu, di sana terdengar
jeritan tertahan dari Tjit Im Kauwtjoe. Sebab tengah dia bingung itu, nyonya
ini mendadak melihat munculnya Ie Sin Tjoe. yang muncul dari dalam rumah,
dengan di pundaknya nyonya muda itu tergemblok Im Sioe Lan, puterinya dan
puterinya itu terpanggul terkulai, tak ada tanda-tandanya bahwa ia melakukan
perlawanan, hingga dia menjadi heran sekali dan menduga-duga apa yang Sin Tjoe
telah perbuat pada anaknya itu. Di lain pihak, Sin Tjoe, yang sebelah tangannya
menenteng pelana dengan tangannya yang lain sudah menghamburkan tujuh batang
kimhoa atau bunga emasnya dalam tipu silatnya "Thianlie Sanhoa" atau
"Bidadari menyebar bunga."
Serangan senjata rahasia itu
diarahkan kepada Kiauw Pak Beng, ketika kimhoa hampir mengenakan sasaran,
dengan sendirinya ke tujuh senjata itu bentrok satu dengan lain hingga
menerbitkan suara nyaring, lantas semuanya mencar sendirinya, mengarah ke tujuh
tempat sasaran. Ialah yang tiga mencari jalan darah soankie. tionghoe dan
lengkioe di dada yang empat lainnya menuju ke empat jalan darah lengthay,
tjieyang, bengboen dan yangkwan di punggung. Jadi serangan menuju menggencat ke
depan dan belakang.
Di dalam kalangan kaum sesat,
atau di antara kawanan hantu. Kiauw Pak Beng menjadi jago yang nomor satu. di
dalam keadaan biasa dia pasti tidak menghiraukan senjata rahasianya Nona Ie,
akan tetapi sekarang keadaan lain. Sekarang ia lagi memusatkan perhatiannya
kepada Hok Thian Touw dan Leng In Hong, ilmu pedang siapa yang bersatu padu,
tengah mempersulit padanya walaupun latihannya sepasang suami isteri itu belum
menyampaikan puncaknya kemahiran. Tidak berani ia lengah, atau ia bakal
mendapat susah dan nama baiknya bakal tercemar. Ia pun tidak berani menangkis
atau berkelit, maka dengan sangat terpaksa, ia menutup dirinya, ialah tubuhnya.
Maka ketika semua bunga emas mengenai sasarannya, ia tidak terluka, ia tidak
bergeming! Semua kimhoa seperti mengenai kulit kerbau yang tebal, kenanya
dengan menerbitkan suara nyaring berulang-ulang, lantas semuanya meluruk jatuh
ke tanah!
Sin Tjoe kaget menyaksikan
kegagalannya bunga emasnya itu. ia menyangka Kiauw Pak Beng mempunyai ilmu
kebal yang luar biasa, dari itu tanpa ayal lagi ia melanjutkan larinya, untuk
menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Ia kabur dengan terus menggendong Im
Sioe Lan.
Tjit Im Kauwtjoe kaget dan
menjublak sebentar, lantas dia menjerit tajam sekali, lantas dia berlompal
lari, untuk mengejar Nyonya Yap Seng Lim, guna menolongi puterinya itu.
Kiauw Siauw Siauw tengah
berkelahi tetapi ia pun mendapat lihat Sin Tjoe dan Sioe Lan, ia telah
menyaksikan serangannya Nona Ie kepada ayahnya, tetapi yang menyadarkan padanya
ialah jeritannya calon mentuanya disebabkan kaburnya Sin Tjoe itu. Tentu
sekali, ia menjadi tak tenang hatinya. Bukankah dua-dua Sioe Lan dan pelana itu
menjadi tujuannya datang kepada Tjit Im Kauwtjoe? Ia lantas mendesak Giok Houw
dan Kiam Hong, ketika si anak muda mundur, ia lompat mundur, untuk memutar
tubuh, guna terus menyusul Sin Tjoe.
Dalam ilmu ringan tubuh atau
lari keras, Sin Tjoe menang satu tingkat daripada Kiauw Siauw Siauw dan Kiauw
Pak Beng, benar sekarang ia lagi menggendong Im Sioe Lan, tubuh si nona Im
tidak menjadikan halangan untuknya untuk berlari pesat dan cepat. Ia pun
memperoleh keuntungan dari kaburnya Tang Bok dan orang-orangnya, maka
menyingkirnya itu tidak ada yang menghalang-halangi. Begitu lekas ia tiba di
luar, ia lantas lompat naik atas kudanya, yang sudah menantikan padanya. Lalu,
dari punggung binatang tunggangannya itu, ia berpaling sambil tertawa dan
berkata manis: "Kauwtjoe, maafkan aku untuk perbuatanku yang tidak memakai
aturan ini, yang aku lakukan saking terpaksa! Aku minta biarlah puterimu ini
menemani aku barang serintasan!"
Tjit Im Kauwtjoe putus asa
"Tinggallah anakku!"
serunya. "Pergi kau bawa pelana itu!" Ia rela kehilangan pelana asal
anaknya tidak dibawa pergi.
"Pelana pun tidak dapat
dia bawa pergi!" teriak Kiauw Siauw Siauw sebaliknya. Ia lari kepada
seekor kuda, ia lompat naik, terus ia mengepraknya, untuk mengaburkan binatang
itu, guna mengubar.
Menampak demikian, Tjit Im
Kauwtjoe juga lompat naik atas seekor kuda lain, untuk turut mengejar.
Pelana di tangan Sin Tjoe itu
bukan sembarang pelana. Timbangannya itu berat sekali. Ialah seratus kati
lebih. Sebab di dalam pelana itu ada tersembunyikan bingkisan lima propinsi
Barat daya. Maka, ditambah pula tubuhnya Im Sioe Lan, Sin Tjoe-atau lebih benar
kudanya --- mesti membawa timbangan seberat tiga ratus kati. Karena ini,
walaupun kuda itu kuda jempolan, dia merasakan bebannya yang tidak enteng itu.
Demikian, setelah belasan lie,
Kiauw Siauw Siauw dapat menyandak. Anaknya Kiauw Pak Beng ini murka hingga ia
tidak pikir-pikir lagi. Ia menuding dengan kipasnya, jari tangannya menggeraki
pesawat rahasianya, maka dua di antara tulang-tulang kipas lantas terbuka, dari
situ menyamber panah rahasianya yang ukurannya pendek.
Tjit Im Kauwtjoe seperti
mendampingi Siauw Siauw, ia melihat perbuatannya si anak muda, ia kaget dan
berteriak: "Jangan melepaskan senjata rahasia! Si Lan berada di punggung
kuda!"
Kiauw Siauw Siauw tidak
memperdulikan cegahannya itu. Dua panah pendeknya telah menyamber, segera itu
disusul dengan dua batang yang lainnya. Adalah keinginan pemuda ini untuk
memanah mampus kepada Sin Tjoe!
Sin Tjoe bukan melainkan
pandai melepaskan bunga emasnya, ia juga telah melatih diri dalam hal menangkap
pelbagai senjata rahasia, dari itu, ia bagaikan mempunyai mata di belakangnya.
Ia tahu ia diserang dengan senjata rahasia, ia memutar sebelah tangannya ke
belakang, ia menyambuti dua batang panah pendek yang pertama, ketika menyusul
dua yang lain, ia menyampok itu hingga jatuh ke tanah. Nyaring suara beradunya
panah itu.
Sementara itu, kedua kuda
telah datang dekat satu pada lain, tinggal hanya dua tiga tombak. Sin Tjoe
berpaling ke belakang, ia tertawa terbahak, lalu ia berkata nyaring:
"Manusia mati karena harta, burung mampus karena makanan! Kau menghendaki
pelana kuda, nah inilah, aku berikan padamu!" Kata-kata ini disusul dengan
lamparan pelana yang berat seratus kati itu kepada si pengejar!
Kiauw Siauw Siauw pun tertawa.
"Apakah kau mengira aku
tidak dapat menyambuti?" katanya jumawa. Ia baru mau mengulur tangannya
atau iaterkejut bukan main. Berbareng bersama pelana itu terlihat suatu sinar
berkelebat, sinar kuning emas.
Panah pendek dari si anak muda
seperti memancing bunga emasnya Sin Tjoe. Sembari melemparkan pelana, nyonya
muda itu berbareng menyerang dengan senjata rahasianya, untuk membalas budi.
Sama sekali ia melepaskan tiga biji kimhoa.
Pelana itu besar dan matanya
Kiauw Siauw Siauw terutama ditujukan terhadap itu. ia tidak mengira si nona
juga berlaku cerdik, maka kagetlah ia ketika matanya bentrok sama sinar kuning
emas dari ketiga bunga emas itu. akan tetapi dasar ia liehay dan nyalinya
besar, ia tidak menjadi gugup. Dengan satu kelitan. ia membebaskan diri dari
kimhoa yang pertama, sedang yang kedua ia pukul jatuh dengan kipasnya. Hanyalah
kimhoa yang ketiga luar biasa. Ketika kimhoa ini hendak disampokpula, mendadak
tujuannya berubah, bukan langsung mengarah si anak muda, hanya turun ke bawah
dan "Bias!" nancaplah dia di perut kuda!
Binatang itu kaget tetapi
tidak dapat berlompat, sebaliknya ke empat kakinya lantas menjadi lemas, ke
empat kaki itu tertekuk, membawa tubuhnya roboh.
Siauw Siauw kaget bukan main,
tetapi ia tetap tabah, maka itu, belum lagi ia turut roboh, ia mengenjot diri,
untuk berlompat pergi dari punggung kuda. Saking liehaynya. ia bukan lompat ke
lain tempat hanya ke arah ke mana pelana dilemparkan si nyonya muda tadi!
Le Sin Tjoe dapat melihat aksi
orang itu. ia tertawa lebar, tubuhnya mencelat dari kudanya, berlompat ke arah
pelanajuga.
Menampak si nyonya datang
padanya, Siauw Siauw tidak sempat lagi menjumput pelana itu, ia memutar
tubuhnya, guna memegat nyonya muda itu. untuk menyerang padanya.
Kuda putih dari Sin Tjoe telah
berlari terus. Dengan tidak adanya pelana dan tubuh Nona Ie. binatang itu dapat
berlari keras. Yang ada sekarang ialah Sioe Lan, yang tergemblok di punggungnya
itu. yang dia bawa kabur.
Tjit Im Kauwtjoe kaget dan
bergelisah, cemas hatinya. Agaknya sembarang waktu tubuh Sioe Lan bisa
terlempar jatuh! Ia juga cemas sebab ia tidak mengerti kenapa puterinya itu
berdiam saja. Adakah anak itu terluka?
Kauwtjoe ini melirik pada
Siauw Siauw, yang lagi melayani Sin Tjoe berkelahi, di dalam hatinya ia
berkata: "Kau tidak memperdulikan Sioe Lan lagi aku juga tidak perlu
memperdulikan padamu!" Tentu sekali ia menganggap puterinya lebih berharga
dari pelana, maka walaupun ia dapat memungut pelana itu, ia toh
meninggalkannya, ia melarikan kudanya guna menyusul anaknya itu.
Tjit Im Kauwtjoe tidak menduga
sama sekali yang ia telah dipermainkan Sin Tjoe dan Sioe Lan, puterinya itu
Mereka ini telah bersepakat dan memainkan semacam sandiwara. Ialah Sioe Lan
berpura-pura ditawan Sin Tjoe hingga ia menjadi tidak berdaya. Dengan begitu ia
jadi dapat dibawa lari Nyonya Yap. Dengan begitu juga, ibu itu kenadiabui dan dipancing,
sebab dalam kekuatirannya, si ibu tidak sempat menggunai otaknya, dia cuma
cemas, dia tidak menyangka jelek. Demikian dia melainkan ingat anaknya itu dan
lalu mengejarnya
Perginya si nyonya menyusul
anaknya, itulah harapannya Sin Tjoe. la menjadi kurang satu musuh, ia menjadi
dapat melayani Siauw Siauw dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya Coba Tjit Im
Kauwtjoe membantu anak muda she Kiauw ini. pastilah ia repot dan pelananya
bakal terbang.
Bertempur satu sama satu,
pertempuran menjadi ramai dan jenaka. Sin Tjoe kalah liehay tetapi ia menang
gesit. Perhatiannya Siauw Siauw terpecah dua Ia tetap mengarah pelana yang
berharga itu. Dua tiga kali ia berlompat untuk meninggalkan lawannya guna
menyamber pelana, saban-saban Sin Tjoe merintangi. Sin Tjoe lebih beruntung, di
samping kegesitannya itu. dalam ilmu pedang, ia lebih pandai dari si anak muda
Kiauw Siauw Siauw cuma menang latihan, tenaganya lebih besar dan ulat dan ia
pun kalah dalam halnya senjata rahasia meskipun panah pendeknya yang disembunyikan
di dalam kipas, liehay sekali.
Tiga puluh jurus sudah mereka
berkelahi. Siauw Siauw kalah di bawah angin, hingga dia menjadi bergelisah.
Tidak dapat ia bertempur dalam keadaan tak selayaknya itu, bisa-bisa ia
benar-benar nanti kena dikalahkan. Maka itu. di akhirnya ia mengasi dengar
siulannya yang nyaring dan lama, untuk meminta bantuan ayahnya
"Biarnya.kau menjadi
hantu juga tidak ada gunanya!" Sin Tjoe tertawa menggoda, serangannya
terus diperhebat
Dalam gelisahnya itu, Siauw
Siauw menjadi kalah hati, maka ia kena terdesak, sampai ia kelabakan. Ia telah
berpikir keras: "Kenapa ayah masih belum muncul juga? Kenapa ayah tidak
memberikan jawaban?"
Pemuda ini ulet dan besar
tenaganya di dalam hal tenaga dalam, ia masih kalah daripada ayahnya. Benar ia
dapat bersuara nyaring tetapi suara itu belum dapat mencapai tarap, sedang juga
ketika ia mengeluarkan itu, tenaga dalamnya tak dapat terkumpul sempurna
disebabkan Sin Tjoe tengah mendesak padanya Pula ada sebab lainnya kenapa Kiauw
Pak Beng tidak muncul...
Siulan Siauw Siauw tidak
menyebabkan datangnya ayahnya, sebaliknya, yang muncul ialah beberapa pengemis
dari pihak Kaypang. Dari lereng gunung segera juga terdengar nyanyian lagu
keistimewaan bangsa pengemis, yaitu "Lian Hoa Lok," atau "Daun
Teratai Rontok."
"Sekuntum, setangkai
bunga teratai
Satu iblis cilik
berteriak-teriak!
Menampak harta sukar
didapatkan,
Pantaslah kalau dia
mendongkol!
Ayo, ayo, aku menasihati.
Baiklah kau pulang ke rumah
ibumu..."
Demikian nyanyian itu, yang
berbau ejekan.
Ketika itu terlihat tiga
pengemis lagi menghampirkan. yang satu tua, yang dua muda Segera ternyata, yang
tua itu ialah Tie Goan. hoepangtjoe atau ketua muda dari Kaypang, Partai
Pengemis dari Pahkhia, dan yang lainnya murid-muridnya atau anggauta biasa dari
Kaypang. Mereka ini muncul menuruti rencananya Sin Tjoe. Lebih dulu daripada
itu, Tie Goan telah di kirim ke rumahnya Tang Bok. untuk membujuki Toksee
Tjiang Tang Bok jangan kasih dirinya terbawa-bawa dalam urusan perampasan
bingkisan itu.
Tie Goan dan dua kawannya itu
bertindak langsung menghampirkan pelana, untuk terus diangkat dan dibawa pergi.
Masih saja mereka bersikap tenang sekali.
Siauw Siauw menyaksikan pelana
itu dibawa pergi tanpa rintangan. Ia hendak merintanginya tetapi ia
dihalang-halangi Sin Tjoe, yang tidak dapat ia pukul mundur. Kalau ia mendesak,
si nyonya mundur, atau sebaliknya, ialah yang dirabuh. Bahkan karena hatinya
panas, mendongkol dan masgul, perhatiannya menjadi terpecah, satu kali,
pedangnya Nyonya Yap menggores lengannya, yang terus bercucuran darah. Syukur
luka itu tidak mengenai tulang sebab ia keburu berkelit. Sampai di situ. ia
penasaran tetapi berbareng putus asa, terpaksa ia memutar tubuh, untuk lari
kabur.
Sin Tjoe tidak mengejar, ia
membiarkan orang pergi, lalu bersama Tie Goan beramai, ia membawa pergi pelana
yang menjadi barang rebutan itu.
Kiauw Pak Beng mendengar
siulannya Siauw Siauw tetapi ia tidak sempat pergi menghampirkan anaknya itu.
Ia telah terkena tujuh bunga emasnya Sin Tjoe. benar ia tidak terluka, tetapi
sebab ia melawan serangan itu. ia membuatnya tenaga dalamnya menjadi berkurang.
Sudah begitu, ia mesti melayani hebat Thian Touw dan In Hong, ia menjadi repot,
dari menang di atas angin, ia menjadi kalah unggul.
Di lain rombongan. Le Kong
Thian telah kena didesak Giok Houw dan Kiam Hong. Kong Thian mengharapi
bantuannya Tjit Im Kauwtjoe, harapan itu ludas. Siauw Siauw meninggalkan ia dan
Pak Beng tidak dapat membantui. Semua anggauta Tjit Im Kauw pula. dengan
kaburnya Tjit Im Kauwtjoe, lantas pada menyingkirkan diri, sebab mereka telah
dikisiki Sioe Lan untuk jangan membantui pihak Kiauw itu.
Dalam pertempuran itu. Giok
Houw dan Kiam Hong dapat bekerja sama secara erat sekali, maka juga, mereka
dapat mendesak lawannya, tidak perduli bonekanya si manusia raksasa hebat
sekali, mereka dapat menimpali. Giok Houw bersedia keras melawan keras. Maka di
akhirnya, dari dapat menyerang, Kong Thian menjadi repot menangkis atau
berkelit saja.
Kiauw Pak Beng segera melihat
salatan. Suasana menjadi memburuk untuk pihaknya. Mendadak ia berseru dan
tubuhnya mencelat, dengan menempuh bahaya, ia menyerang hebat sekali.
In Hong melawan, ia menyerang.
Thian Touw pun beraksi, menimpali isterinya membalas menyerang. Kesudahannya
ini hebat. Tidak saja Pak Beng gagal dengan serangannya yang dahsyat itu,
bahkan dengkulnya dimampiri ujung pedangnya Thian Touw. Syukur untuknya, Thian
Touw jeri, si anak muda menyerang setengah hati. kalau tidak pastilah lukanya
parah.
"Sayang!" berseru In
Hong. Ia berlompat, untuk mengulangi serangannya, akan tetapi Pak Beng sempat
berlompat keluar dari kalangan, hingga ia menyerang sasaran kosong.
Tapi jago tua itu bukannya
lari. Dia mencelat pula ke arah Le Kong Thian, untuk menyerang hebat kepada
Kiam Hong dan Giok Houw. Inilah penyerangan yang serupa yang digunakan terhadap
In Hong dan Thian Touw barusan.
Kiam Hong mengerti ancaman
bahaya, ia lantas berkelit. Tidak demikian dengan Giok Houw. Pemuda itu tidak
sempat berkelit, terpaksa ia menangkis. Maka bentroklah senjata mereka. Hebat
Giok Houw merasakan, hati dan isi perutnya kena tergempur bagaikan terbalik.
Tapi syukur ia mengerti ilmu yoga dan ia ingat untuk menggunai, maka berbareng
ia berlompat jumpalitan, setelah mana dengan ilmu yoga juga ia lekas-lekas
memperbaiki saluran napasnya hingga ia menjadi bebas dari luka di dalam.
Selagi Pak Beng memukul mundur
Kiam Hong dan Giok Houw, In Hong dan Thian Touw lompat menyusul, karena mereka
tiba di depan Le Kong Thian, mereka menyerang si manusia raksasa. Kong Thian
dapat menangkis pedang si nyonya muda, ia tidak lolos dari pedang Thian Touw,
maka tertikamlah jalan darah yangleng hiat di betisnya, hingga lantas saja kaki
kanannya menjadi kaku.
Pak Beng mau menolongi Kong
Thian, sekarang ia melihat hambanya itu justeru terluka, ia menjadi bingung
berbareng gusar sekali. Ketika itu, In Hong telah maju kepadanya terus
menyerang. Ia menangkis, sembari menangkis, ia mendekati Kong Thian, siapa,
dengan tangan kirinya ia tepuk jalan darahnya, jalan darah djiekhie hiat di
punggung. Sambil menangkis musuh, ia bentak hambanya itu: "Makhluk tak
berguna, pergilah kau mabur lebih dulu!"
Begitu ditepuk, Kong Thian
merasakan kaki kanannya dapat digeraki pula seperti biasa, maka legalah
hatinya, kepada majikannya itu. ia sangat bersyukur. Ia mentaati titah, lantas
saja ia lari kabur.
Giok Houw baru menyalurkan
napasnya, ia tidak dapat memegal. Kiam Hong sendirian juga jeri merintangi,
dari itu, loloslah si manusia raksasa ini.
Kiauw Pak Beng menolongi
orangnya, habis itu ia juga hendak mengangkat kaki, hanya lacur untuknya, ia
tidak bisa mewujudkan niat itu. In Hong dan Thian Touw telah lantas menyerang
pula, bahkan Giok Houw, sesudah beristirahat sebentar, lantas maju, untuk
mengepung. Tentu sekali, begitu ia ini maju. Liong Kiam _ Hong turut maju juga.
Maka kesudahannya, repotlah
jago tua itu. Sekarang ia dikepung berempat!
Kiauw Pak Beng lantas
berpikir: "Jikalau aku tidak berlaku nekat, mungkinlah perahu bakal karam
di dalam solokan!" Maka ia lantas berteriak keras, tubuhnya dikasih maju.
tongkat besinya dikasih bekerja, menyerang ke timur dan barat, merabuh ke
selatan dan utara.
Kiam Hong kalah tenaga, hampir
saja ia terdesak hingga sukar bernapas, maka syukur ia mahir ilmunya enteng
tubuh, ia menggunai itu untuk senantiasa meloloskan diri, akan sebaliknya,
setiap ada ketikanya, ia juga membalas menyerang jago tua itu.
Di antara mereka berempat, Hok
Thian Touw yang paling kuat dan pandai, tetapi ia telah terpengaruhkan
kegagahannya jago she Kiauw itu, hatinya jeri, hingga ia tidak dapat melayani
musuh dengan hati sama mantapnya.
Tidak demikian adalah Giok
Houw. yang berani sekali.
"Bangsat tua ini sudah
tidak berdaya, jangan takuti dia!" demikian ia berteriak, dan dengan
berani ia mendesak.
Leng In Hong juga bertempur
dengan berani, hanya seperti Liong Kiam Hong, ia pun berbareng menggunai
kelincahannya untuk dapat menyingkir dari kegarangannya si jago tua.
Tengah pertarungan seru itu,
dari kejauhan terdengar siulan dari Kiauw Siauw Siauw. Pak Beng mendengar itu.
tidak berani ia menyahuti. Kalau ia menyambut, perhatiannya menjadi terpecah,
pemusatannya menjadi kabur, dan ia bisa dapat susah dari ke empat pengepungnya
ini. Ia menjadi bingung dan berkuatir. Karena ini. ia menjadi nekat. Ia
mengertak gigi, ia menahan hawa amarahnya hingga mendadak mukanya menjadi
berubah, pada parasnya yang merah nampak samar-samar cahaya hitam!
Melihat itu, Thian Touw lantas
menyerukan kawan-kawannya: "Hati-hati!" Hanyalah, belum berhenti
pemberian ingatnya itu. atau Kiauw Pak Beng sudah berseru keras sekali sambil menyerang
dengan tongkat besinya!
Thian Touw yang memberi
peringatan tetapi ia sendiri yang menjadi kurban. Tongkat lawan itu menyerang
kepadanya, hingga ia mesti menangkis. Akibatnya itu ialah suaranya nyaring dan
pedangnya terpatah dua, ujung patahannya mental jatuh!
Justeru itu Leng In Hong
bukannya mundur hanya menyerang, tepat selagi Kiauw Pak Beng menghajar pedang
Thian Touw. tepat ujung pedangnya mampir di pinggang jago tua itu, di jalan
darah wietoo hiat.
Thian Touw patah pedangnya, ia
tidak berani maju pula, ketika ini tidak disia-siakan lawannya yang tangguh
itu. Kiauw Pak Beng lantas lompat, untuk kabur ke arah dari mana tadi datang
siulannya Siauw Siauw.
Leng In Hong semua tidak
mengejar, sedang Thian Touw lantas mengeluarkan Thiansan soatlian, ialah
teratai salju dari gunung Thiansan, yang ia pecah empat untuk dibagi rata di
antara mereka, buat mereka itu terus memakannya.
"Sungguh berbahaya!"
kemudian katanya sambil menyusuti peluhnya.
Giok Houw merasakan seluruh
tubuhnya dingin luar biasa, habis makan teratai salju itu. ia merasai lega
seperti biasa pula. Ia heran bukan main.
"Ilmu apa itu yang si
bangsat tua gunakan?" ia tanya Thian Touw.
"Itulah ilmu Sioelo Imsat
Kang yang Kiauw Pak Beng memperolehnya dari kitab Lama Agama Putih," menyahut
si orang she Hok. "Syukur dia meyakininya belum sempurna, kalau tidak,
tadi, dalam satu gebrakan saja. sukar kita melawan dia."
Baru sekarang Giok Houw
mengerti. Memang dari Hek Pek Moko ia pemah mendengar tentang ilmu itu. semacam
ilmu sesat yang liehay sekali, yang asalnya dari India, dari sana terbawa ke
Thibet. setelah dipahami seorang Lama Putih, lalu menjadi sempurna, dapat
melukai orang hingga orang mati dalam sekejab. Nama "Sioelo Imsat
Kang" itu diambil dari kata-kata sioelo, salinan kata-kata asura bahasa
Sangsekerta yang berarti "hantu jahat." Tidak disangka sekali, Kiauw
Pak Beng telah mempelajari ilmu liehay itu, dan pantas tadi, setiap mengibas,
kibasannya mendatangkan angin dingin yang beda daripada biasanya.
"Singkatnya ialah kau mengangkat
musuh dan merendahkan pihak sendiri!" berkata In Hong sambil tertawa.
"Memang Sioelo Imsat Kang itu liehay tetapi itu paling gampang merusak
tenaga wajar dari tubuh sendiri, selagi Kiauw Pak Beng belum menyampaikan
kesempurnaannya, dia tidak dapat menggunai itu dengan baik. Kita terkena
sampokan anginnya, paling juga kita mendapat sakit berat, tetapi dia telah kena
kutikam jalan darahnya wie-too-hiat, kalau tadi kau berani mengadu jiwa, kau
hajar terus dia dengan pukulan Taylek Kimkong Tjioe, andaikata dia tidak mati
lantas, sedikitnya dia bakal termusna semua kepandaiannya!"
Thian Touw menggeleng kepala
dan tertawa.
"Isteriku yang baik, kau
bicara enak saja!" katanya "Bagaimana kau hendak membiarkan aku sakit
berat? Aku bukannya pengecut tetapi aku harus menjaga diriku baik-baik untuk
aku menciptakan ilmu silat pedang Thiansan Kiamhoat!"
In Hong berniat menggoda
suaminya itu, tetapi sebab Kiauw Pak Beng sudah kabur, ia dapat mengubah
.pikirannya, mendengar perkataan si suami, ia kata di dalam hatinya:
"Apakah kau mengira aku tidak menyintai padamu? Jikalau kau bisa membikin
musnah ilmu silatnya Kiauw Pak Beng. biarnya kau rebah dengan sakit berat,
pasti aku akan mendampingi dan merawatmu dengan sungguh-sungguh hati..."
Ia tidak mengucapkan itu akan tetapi, dengan matanya yang menyinta, ia
memandang suaminya..
Thian Touw puas, ia tertawa
pula.
"Akhir-akhirnya keluarga
Kiauw ayah dan anak itu dapat kita usir kabur! Sekarang, apa lagi kau hendak
bilang?" ia tanya isterinya.
In Hong dapat membade hatinya
Thian Touw. ialah ia mau diajak pulang ke Thiansan. Ia pun tertawa
"Kenapa kau terburu
napsu?" sahutnya. "Untuk pulang juga kita harus menemui dulu entjie
Sin Tjoe!"
Ketika itu Sin Tjoe sendiri
bergirang luar biasa. Sehabisnya ia memukul mundur pada Kiauw Siiauw Siauw, ia
mendapat ketika memegang pelana kuda, yang ia rasakan berat, maka mengertilah
ia bahwa di dalam pelana itu tersimpannya harta besar. Ia lantas mengajak Tie
Goan semua kembali ke rumah keluarga Tang. Karena ini. di tengah jalan mereka
bertemu sama rombongannya In Hong, yang pergi menyusul padanya.
Giok Houw girang tidak
kepalang melihat Nona Ie memegangi pelana, hingga ia berjingkrakan. Ia lari
memapaki. Atas itu, Nyonya Yap Seng Lim melemparkan pelana itu kepadanya.
"Siauw Houw Tjoe, kau
dapat menyelesaikan tugasmu!" kata si nyonya muda tertawa, yang terus
memandang Hok Thian Touw dan berkata: "Hok Toako, hari ini kami telah
menerima bantuanmu yang besar dan berharga. Mari kita bersama pergi kepada
Kimtoo Tjeetjoe untuk berjamu!"
Sepasang alisnya Thian Touw
mengkerut. hendak ia menampik, tetapi In Hong telah mendahulukannya.
"Tentang jasa kami tidak
berani menerimanya!" berkata si nyonya, tertawa, "tetapi pesta tak
dapat kami tidak menghadirinya! Katanya, isteri dari Kimtoo Tjeetjoe ialah
sahabat kekal dari soebo-mu. dia itu wanita gagah di jaman ini, dengan dia aku
belum berkenalan, maka sekarang aku ingin menemuinya Baiklah, mari kita pergi
bersama!"
Thian Touw boleh tidak puas
tetapi isterinya telah mengatakan demikian, ia tidak bisa berbuat lain daripada
mengikut pergi, hanya ia telah memikir, sehabisnya pesta itu. In Hong mesti
turut ia pulang ke Thiansan!
Kimtoo Tjeetjoe Tjioe San Bin
sudah lantas menerima laporan perihal pertempuran rombongan Sin Tjoe itu serta
kembalinya mereka, ia memerintahkan mementang pintu perkubuan, ia sendiri
keluar untuk menyambut.
Sin Tjoe dan Giok Houw memberi
hormat sebagai orang-orang tingkat muda. Kata mereka: "Mana berani kami
membuatnya paman yang menyambut sendiri?"
San Bin tertawa dan menyahuti:
"Aku bukannya menyambut kamu, kedua keponakanku, aku menyambut mereka yang
berjasa, yang telah dapat merampas bingkisan! Sayang guru kamu tidak hadir di
sini. kalau ia ketahui jasa kamu ini, entah bagaimana girangnya dia!"
Sin Tjoe bersenyum.
"Aku bersama Siauw Houw
Tjoe cuma tukang ikut lari-larian saja!" ia berkata. "Orang-orang
yang berjasa yang merampas bingkisan ialah Hok Toako bersama entjie Leng!"
San Bin lantas menyambut Thian
Touw, yang memangnya ia telah kenal. Ia memuji suami isteri itu. ia
menghaturkan terima kasih.
Hanya luar biasa adalah Thian
Touw, dia bersikap tawar, dia tidak gembira untuk berbicara banyak.
"Oh, Nona Ie sudah
datang!" tiba-tiba terdengar suaranya seorang wanita sambil tertawa.
"Ah. makin lama kau menjadi makin manis! Kenapa soebo-mu tidak turut
datang?"
Kata-kata itu disusul sama
munculnya orangnya, ialah Nona Tjio Tjoei Hong atau Nyonya Tjioe San Bin. Dia
lantas mendekati Sin Tjoe, untuk menarik tangan orang, untuk ditanya panjang
pendek, menandakan bagaimana girangnya dia
Sin Tjoe lantas mengajar kenal
Tjoei Hong kepada Leng In Hong dan Liong Kiam Hong.
"Memang, telah lama aku
mendengar nama besar dari Nona Leng!" kata Nyonya Tjioe yang terus
bergembira. "Kamu, nona-nona, sungguh kamu hebat! Lebih-lebih aku girang,
kamu hidup rukun bagaikan saudara satu dengan lain! Kamu telah datang kemari,
maka kamu harus tinggal lamaan pada kami di sini!"
"Guruku pun sering sekali
menyebut-nyebut loodjinkee!" Sin Tjoe tertawa. Sebagai gantinya
"kau," ia menyebut loodjinkee. atau orang tua yang dihormati.
"Bukankah loodjinkee dan guruku hidup seperti saudarajuga?"
Tjoei Hong tertawa.
"Bahkan bukan sebagai
saudara saja!" katanya. "Dialah suamiku yang pertama!"
Sin Tjoe semua tertawa. Memang
mereka telah ketahui lelakonnya Nyonya Tjioe San Bin ini di saat mudanya, dia
telah menikah sama In Loei, isterinya Thio Tan Hong, karena ketika itu In Loei,
atau gurunya Sin Tjoe, tengah menyamar sebagai seorang pemuda.3>
Nyonya Tjioe tidak menjadi
likat, malah dia berkata pula: "Sampai sekarang aku masih dapat membayangi
saatnya aku dan gurumu minum arak pengantin! Tanpa terasa dua puluh tahun telah
berlalu! Kau memanggil aku loodjinkee, mendengar itu, hatiku rasanya tak enak!
Sungguh, jalannya sang waktu cepat sekali, tahu-tahu kamu semua telah menjadi
besar!"
"Peebo, siapa membilang
kau sudah lanjut usiamu?" berkata Sin Tjoe. "Peebo masih sama
cantiknya seperti di saat kau menjadi nona pengantin!"
"Hai. setan cilik, bisa
sekali kau bicara!" kata si nyonya tertawa. "Apakah kau pernah
melihat saatku menjadi kemantin itu? Ketika itu kau masih menyusu!"
"Aku tidak melihat tetapi
aku mendengar cerita guruku." sahut Sin Tjoe. "Guruku pun membilang,
sayang ia bukannya pria. jikalau tidak, tidak nanti ia suka menyerahkan kau
kepada Paman Tjioe!"
Lagi-lagi Tjoei Hong tertawa,
maka ramailah mereka bergurau.
Ketika itu mereka telah tiba
di Tjiegie thia. ruang besar peranti berkumpul. Di sana sudah berada semua
kawan orang gagah. Mereka menyambut dengan riang gembira dan hangat, karena mereka
telah mendengar bagaimana Hok Thian Touw sudah mengalahkan keluarga Kiauw ayah
dan anak.
"Sekarang marilah kita
periksa apakah yang tersimpan di dalam pelana ini," kemudian San Bin
berkata. "Benarkah itu bingkisan untuk kota raja?"
Sin Tjoe sudah lantas
menghunus pedangnya dengan sekali bacok ia membuatnya pelana terbelah pecah,
maka silaulah mata para hadirin. Isinya itu ada barang-barang permata mulia,
yang setiapnya berharga mahal.
San Bin lantas mengundang para
hadirin berduduk.
"Semua bingkisan pelbagai
propinsi telah dirampas, maka itu sekarang lebih dulu aku hendak menghaturkan
terima kasihku kepada semua saudara" ia berkata. "Sukalah
saudara-saudara mengeringkan masing-masing tiga cawan!"
Dan ia yang mulai mnghirup
araknya.
"Di dalam halnya
perampasan ini." ia melanjuti, "terutama aku hendak menghaturkan
terima kasih kepada tiga orang gagah yang berjasa, ialah pertama Thio Giok
Houw, kedua Nona Leng In Hong dan ketiga Nona Liong Kiam Hong. Jasa merekalah
yang paling besar. Akan tetapi istimewa aku hendak menghaturkan terima kasih
ialah kepada Hok Tayhiap!"
Semua orang minum, semua
bersorak.
Lalu Thianloei Kiam In Bwee
Kok, orang yang mengumpuli barang-barang bingkisan rampasan itu, berkata:
"Jumlah semua barang yang dirampas terdiri dari kepunyaannya dua puluh dua
propinsi berikut bingkisan dari Mongolia dan Hweekiang. Menurut perincian,
tujuh bagian ada rampasannya Thio Giok Houw. tujuh bagian lagi rampasannya Nona
Liong Kiam Hong: Mungkin saudara-saudara belum melihat bingkisannya itu! Semua
itu telah di kirim dengan perantaraannya budak-budaknya. Baiklah
saudara-saudara ketahui. Nona Liong ialah saudara angkat dari Leng Liehiap.
sedang Leng Liehiap sendiri mengepalai perampasan bagian Barat daya. Yang
paling belakang ini kita semua mengandal pada Leng Liehiap suami isteri, yang
telah berhasil menghajar kabur kepada itu siluman tua she Kiauw!"
Mendengar keterangan itu,
semua orang bersorak. Mereka lantas memberi selamat pada Thian Touw dan isteri.
Kembali mereka mengeringkan
arak mereka.
Thio Giok Houw bersenyum
kepada Kiam Hong terhadap siapa ia berpaling.
"Hendak aku bicara
tentang pertaruhan kita!" katanya. "Nyatanya siapa pun tidak ada yang
menang, siapa pun tidak ada yang kalah!"
Nona Liong pun tertawa.
"Sekarang ada satu hal yang
ingin aku memberitahukan kepada semua saudara," berkata Sin Tjoe kemudian.
"Inilah mengenai bingkisan dari propinsi Inlam. Bingkisan itu tidak
dirampas dan itu dilakukan dengan sengaja oleh aku dan suamiku. Sebabnya ialah,
pelindung dari bingkisan itu Tiat Keng Sim sendiri, orang yang baru-baru ini
telah berjasa besar membantu pada tentera suka rela. Aku ingin hal ini dicatat
atas nama kami berdua, supaya kalau nanti diadakan pembagian, bagian kami boleh
dikurangkan."
Kebanyakan hadirin ketahui
baik jasanya Tiat Keng Sim itu. maka itu. justeru di dalam ini hal yang
tersangkut ialah Yap Seng Lim dan le Sin Tjoe, mereka semua tidak mengutarakan
sesuatu keberatan
Kemudian Tjioe San Bin berkata
sambil tertawa: "Aku tahu Tiat Keng Sim, dia paling menghargai nama. Maka
itu, dengan perbuatan kita ini, kita boleh dibilang telah membalas budinya itu.
Sebenarnya, aku pribadi, aku tidak setujui cara pembalasan budi ini, akan
tetapi karena dia telah dikasi lewat, sudah saja." Ia hening sejenak, lalu
ia melanjuti: "Perampasan telah selesai dilakukan. Semua bingkisan telah
dirampas, kecuali bagian propinsi Inlam itu. Artinya semua sudah beres. Akan
tetapi, saudara-saudara, pada ini ada ekornya. Jadi urusan tidak selesai
seluruhnya. Sekarang tinggal keruwetannya!"
Mendengar perkataannya Kimtoo
Tjeetjoe, semua orang heran. Mereka justeru lagi memikir untuk berangkat pulang
masing-masing.
"Siluman tua she Kiauw
itu telah dihajar kabur, tentera negeri pun sudah mundur, ada apakah
keruwetannya?" mereka pada bertanya.
"Keruwetan itu bukan
ditimbulkan karena kita mengasi orang lewat," berkata San Bin.
menerangkan. "Datangnya itu ialah dari pihak sahabat-sahabat Rimba
Persilatan..."
Orang tidak mengerti, mereka
bertambah heran.
Lioe Tek Tjhong, ketua dari
Thayouw, atau Thayouw Tjee, lantas berkata: "Dapatkah mereka itu. yang
menimbulkan keruwetan kepada kita, dipandang sebagai sahabat-sahabat?" San
Bin tertawa.
"Soalnya bukan
demikian," katanya. Ia hening pula, lalu ia memandang Sin Tjoe, terus ia
berkata: "Ie Liehiap, aku bukan bicara dari hal kau. aku minta sukalah kau
tidak merasa tersinggung. Aku bilang, bingkisan dari Inlam adalah kecualian.
Sebenarnya dari pelbagai propinsi yang bingkisannya telah dirampas telah datang
utusan-utusannya, yang meminta pertolongan kita, bahkan ada beberapa yang telah
datang sendiri, di antaranya ada orang Rimba Persilatan yang tua dan kenamaan.
Aku pikir tak usahlah aku menyebutkan nama mereka itu. Sekarang aku hanya ingin
menanya pikiran saudara-saudara, bagaimana kita harus bertindak."
Boesoe tua dari Hoolam. Hoan
Tjoe Peng, yang tabiatnya paling keras, lantas berkata nyaring: "Semua
pelindung bingkisan pelbagai propinsi itu memanglah orang-orang yang ada
namanya, semua orang kangouw. dari itu, bicara tentang persahabatan, kita memang
kenal satu dengan lain. Tapi sekarang aku hendak menanya: Kenapa mereka
kesudian mengeluarkan tenaga mereka untuk raja? Baru karena terjadi peristiwa,
mereka datang untuk minta pertolongan! Adakah itu pantas? Kalau semua pada
minta bingkisannya dikasi pulang, baiklah kembalikan semua saja! Apakah
perlunya kita telah melakukan pekerjaan yang mempertaruhkan jiwa kita
itu?"
Tjhio Peng Kin, tjeetjoe atau
ketua dari Angtek Ouw, juga berkata: "Tidak salah! Memang, untuk apakah
maka kita sudah bekerja mempertaruhkan jiwa kita? Apakah barang-barang permata
mulia di kolong langit ini cuma dapat dibuat mempuaskan raja satu orang saja?
Apakah saudara-saudara kita boleh tidak gegares? Apakah kita mesti hidup tanpa
berpakaian? Tidak dapat orang mengiri kepada Tiat Keng Sim, sebab Tiat Keng Sim
pernah membantu kepada kita! Mereka itu disebut tertua-tertua dari Rimba
Persilatan, mengapa mereka sampai sebegitu jauh berdiam saja, tidak ada yang
sudi mencampuri usaha kita? Sekarang mereka minta ditolongi! Hm! Hm! Sebenarnya,
mereka itu tahu malu atau tidak?"
Tiangloo dari Boetong Pay,
yaitu Tjit Seng Tjoe. ada hadir bersama. Mengingat bahwa kedua keponakan
muridnya, ialah Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie, yang melindungi bingkisan
propinsi Ouwpak, kena juga dirampas Thio Giok Houw, ia berniat mengajukan
permintaan. Akan tetapi, menampak suasana demikian rupa, dan setiap kata-kata
ada bagaikan anak panah tajam menusuk padanya, mukanya menjadi merah padam.
Pikirnya: "Syukur aku mendengar nasehatnya Ie Sin Tjoe. aku belum mengucapkan
permintaanku kepada Kimtoo Tjeetjoe, jikalau tidak, hari ini entah ke mana aku
mesti menaruh mukaku?..."
Hok Thian Touw, yang duduk di
sebuah pojokan bersama Leng In Hong, berkata dengan berbisik kepada isterinya
itu: "Lihatlah sikap mereka itu yang berteriak-teriak tidak keruan, mereka
seperti menganggapnya pekerjaan merekalah yang nomor satu penting di kolong
langit ini, siapa yang mememahkan dirinya di luar garis, semua pasti akan
ditertawakan mereka! Syukur aku pernah mengeluarkan juga sedikit tenagaku,
jikalau tidak, pasti aku tidak berani turut duduk di sini."
In Hong mendengar suaranya
suami itu tawar luar biasa, sejenak itu ia merasakan sang suami bagaikan
seorang asing sekali Ia lantas menguasai dirinya, untuk mencegah meluapnya
kemendongkolan nya. Ia kata dengan dingin: "Jadinya di pandangan matamu
adalah ilmu silatmu, Thiansan Kiamhoat, yang paling nomor satu penting di
kolong langit ini?"
Thian Touw berduka mendengar
kata-kata isterinya ini.
"Apakah kau menghendaki
aku kalap seperti mereka itu baru kau menganggap aku sebagai orang gagah yang
kau cita-citakan?" ia tanya.
"Apakah artinya orang
gagah semacam itu? Jikalau nanti mereka sudah meninggal dunia, barang apakah
yang mereka dapat wariskan kepada jaman belakangan? In Hong. benar-benar tidaklah
selayaknya kau bercampuran pula dengan mereka itu! Jikalau kau tetap
bercampuran dengan mereka, kau menjadi mirip dengan seekor kuda di tanah datar,
gampang dilepaskan, sukar dikendalikan... Jikalau kau kemaruk dengan sebutan
liehiap, wanitagagah perkasa, jikalau kau hanya merantau saja dalam dunia
kangouw, niscaya akhirnya kau tidak dapat melakukan sesuatu!"
Belum lagi berhenti suara
suami itu, In Hong telah berpaling ke lain arah. Dia bagaikan tidak sudi
mendengar perkataannya sang suami.
Menyaksikan sikap isterinya
ini, hati Thian Touw panas hingga tubuhnya menggigil saking hebatnya ia mencoba
mengendalikan diri. Jikalau mereka bukan lagi berada di ruang di mana ada
terdapat banyak orang, mestilah mereka sudah berselisih hebat.
Selagi suara ramai dan berisik
itu. Ie Sin Tjoe berbangkit berdiri.
"Sekalian enghiong,
sudilah mendengar perkataanku!" ia berkata, nyaring. "Perampasan
bingkisan ini ialah perampasan untuk kehidupan tentera suka rela, jadi inilah
beda sekali dari perampasan yang umum dilakukan kaum kangouw. Mengenai ini ada
beberapa orang yang hendak menggunai kebiasan kaum kangouw, untuk minta
bantuannya satu atau lebih orang tertua dari Rimba Persilatan, untuk mengajukan
permohonan padaku. Permohonan itu, sebenarnya, tidak dapat dibicarakan. Kecuali
permohonan itu ada faedahnya untuk tentara rakyat suka rela. Artinya kecuali
permohonan itu untuk kepentingan yang melebihkan kepentingannya usaha tentara
rakyat!"
Mendengar itu, Lioe Tek Tjhong
mementang matanya lebar-lebar.
"Ie Liehiap, perbuatan
kau dan suamimu, semua itu biasanya membuat aku kagum!" katanya.
"Hanya kali ini. kata-katamu ini aku tidak mengerti jelas."
"Baiklah, aku akan
memberikan penjelasanku," berkata Sin Tjoe. "Ada sebabnya kenapa kami
tidak merampas bingkisan dari Inlam. Itulah bukan disebabkan Tiat Keng Sim
telah melepas budi pada tentera rakyat dan juga bukan karena Tiat Keng Sim itu
menantu dari Bhok Kokkong. Sebab itu ialah begini: Toan Teng Tjhong dari Tali,
Inlam, sudah sedari siang-siang telah mengangkat dirinya seperti raja. Dia
menyetujui sepak terjang tentera rakyat. Maka di belakang hari, jikalau negara
menjadi kacau, kami pasti dapat menaruh kaki kami di salah satu pojokan dan
wilayah Tali. Maka itu perlu kita mempunyai perhubungan sama Bhok Kokkong, supaya
Bhok Kokkong tidak menggeraki angkatan perangnya menyerbu Tali. Karena itu,
buat bisa berhubungan sama Bhok Kokkong, kita sudah mengasi lewat pada Tiat
Keng Sim, kita tidak merampas bingkisan yang berada di bawah perlindungannya.
Demikianlah."
Tjioe San Bin berdiam sekian
lama mendengar penjelasan itu.
"Jikalau demikian adanya,
benarlah gurumu yang pandangannya jauh," berkata ia selang sesaat.
"Nona Ie, tadi aku menyatakan tidak setuju kepada kau, sekarang aku
menarik pulang kata-kataku itu. Apakah ada lain penjelasan pula?"
"Bingkisan dari Tjiatkang
pun aku minta agar dibayar pulang," berkata Sin Tjoe pula. "Dengan
soenboe dari Tjiatkang kami sudah membuat perjanjian yang selama tiga tahun dia
tidak bakal menyerbu kami. Penghentian permusuhan tiga tahun itu berarti bahwa
kita bebas dari luka dan binasanya tentera kita, dan itu berarti lebih banyak
daripada harganya bingkisan propinsi Tjiatkang itu."
Mukanya San Bin menjadi merah
bahna likat, tetapi ia toh berkata: "Bingkisan dari Tjiatkang itu sebenarnya
diberikuti lengkie kamu. adalah aku yang kurang jelas dan menyangka lengkie itu
dimiliki mereka dari pencurian, maka aku menitahkannya merampas juga. Aku tidak
menyangka bahwa di dalam situ ada sebab musabab begini."
Piauwsoe yang menjadi pelindung
bingkisan dari Tjiatkang itu, Touw Kong dan Tie Pa, telah ditawan San Bin
ketika terjadi perampasan bingkisan itu. Sebabnya ialah sangkaan San Bin
tersebut dan San Bin berniat menanyakan keterangannya biar jelas, sesudah itu,
baru mereka hendak dibebaskan. Jadi San Bin bertindak demikian rupa adalah di
luar kebiasaannya. Sekarang, mendengar keterangan Sin Tjoe ini, ia lantas
menanyakan pendapat umum, dari yang mana, tujuh atau delapan bagian setuj u
dengan pikiran Nona Ie. Maka tidak ayal lagi, ia perintahkan mengeluarkan
bingkisan itu serta Touw Kong dan Tie Pa dimerdekakan.
Kedua piauwsoe itu girang
bukan main. Mereka lantas memberi hormat dan menghaturkan terima kasih kepada
San Bin dan Sin Tjoe, setelah mana, mereka meminta diri.
San Bin pun berlaku ramah
sekali. Ia menitahkan orangnya mengantarkan kedua piauwsoe itu turun gunung.
Setelah itu sambil tertawa San
Bin berkata: "Sin Tjoe, kau hendak mengajukan permohonan apa lagi?"
Sin Tjoe memandang kelilingan.
lalu ia menyahut, sungguh-sungguh: "Aku masih hendak meminta sesuatu untuk
sejumlah orang lagi!"
Mendengar itu, semua orang
tercengang.
Menampak demikian, Nyonya Yap
Seng Lim tertawa.
"Tuan-tuan, tetapkan
hatimu!" ia berkata nyaring. "Permohonanku ini beda dengan permohonan
dari pelbagai tertua Rimba Persilatan tadi. beda besar sekali! Aku juga tidak
bakal meminta pula Tjioe Tjeetjoe melepaskan atau membayar pulang bingkisan
sesuatu propinsi lainnya lagi!"
San Bin heran.
"Habis, apakah itu?"
tanyanya. "Tadi aku telah bilang," berkata Sin Tjoe. "perampasan
kami ini atas barang-barang bingkisan beda sekali dari perampasan kaum kangouw
seumumnya. Di dalam halnya kita ini. tidak bisa orang membawa-bawa urusan
pribadi, untuk minta pulang bingkisan yang dirampas."
"Benar begitu!
Akur!" berseru banyak orang.
"Tentera rakyat kami
ialah tentera suka rela," Sin Tjoe berkata pula, "walaupun demikian,
di mana yang bisa, kami harus menyingkir dari perbuatan merugikan dan
mencelakai orang, bahkan kami harus memandang dan memikirkan kepentingannya lain
orang itu."
"Benar! Benar
begitu!" kembali sejumlah orang berteriak.
"Kali ini ada banyak
piauwsoe yang telah menerima permintaan pelbagai propinsi untuk mereka
melindungi bingkisan," berkata Sin Tjoe, melanjuti.
"Piauwsoe-piauwsoe itu pastilah bukannya orang-orang jahat dan pasti juga
bukannya dengan sengaja berniat menyeterukan kami, hanya apa lacur, oleh karena
bertemu sama kita, mereka itu menjadi menampak kesukarannya..."
"Tetapi itulah karena
terpaksa, apa boleh buat!" kata beberapa suara.
Sin Tjoe berdiam sebentar,
baru ia meneruskan: "Sekarang kita membicarakan itu pelbagai tertua Rimba
Persilatan, yang datang dengan permohonan mereka kepada kita. Aku mengerti
mereka. Mereka itu datang bukan melulu disebabkan soal hilang muka. lebih
penting daripada itu ialah keselamatan diri serta rumah tangganya sekalian
piauwsoe itu. Dengan hilangnya bingkisan, yang mereka lindungi, dapatkah mereka
memberi tanggungjawab? Dengan apa dan dengan cara bagaimana mereka dapat
mengganti kerugian?"
Soal ini diketahui baik oleh
semua hadirin, di antara mereka pula ada yang erat perhubungannya sama si
piauwsoe yang bersangkutan, tetapi seperti sudah dijelaskan Sin Tjoe,
perampasan itu untuk tentera rakyat, yang cita-citanya luhur, dari itu mereka
ini tidak berani menyatakan sesuatu. Melainkan Lioe Tek Tjhong seorang yang
menjadi sangat tidak puas.
"le Liehiap!"
katanya nyaring, "benarkah, karena untuk melindungi jiwanya sendiri serta
keselamatan rumah tangga mereka, maka kami pun harus membayar pulang bingkisan
yang dilindungi mereka yang telah kita rampas?"
Sin Tjoe menggoyangi tangan.
"Pasti sekali tidak dapat dibayar pulang!" jawabnya. "Aku masih
mempunyai daya yang ada kebaikannya untuk kedua belah pihak. Untuk itu tidak
usah dikerahkan tenaganya orang banyak, cukup asal ada beberapa orang yang ilmu
silatnya mahir serta nyalinya besar. Asal mereka ini suka turut aku berangkat
ke kota raja, di sana aku mempunyai jalan untuk membuatnya kaisar tidak berani
memperpanjang perkara perampasan bingkisan ini!"
Kata-kata itu membuat semua
hadirin menjadi heran. Tentu sekali semua menjadi ketarik hatinya.
"Apakah kita memainkan
sandiwara mengirim surat diberikuti senjata tajam?" tanya satu orang.
"Apakah kita hendak menggertak raja hingga dia tidak berani membuka mulut
seperti si gagu?" "Aha!" berseru yang lain. "Dapatkah
istana dianggap sebagai rumah rakyat jelata? Itulah sandiwara yang tidak dapat
dipentaskan!" kata yang lain lagi.
"Jangan kata pergi ke
kota raja!" berkata orang yang ketiga. "Kita sudah merampas
bingkisan, dengan pergi ke kota raja, apa bukan kita seperti ikan mengantarkan
diri ke dalam jaring?"
Maka gemparlah suara orang
banyak itu saking herannya mereka, "Sandiwaraku ini bukanlah sandiwara
mengirim surat diberikuti
senjata tajam!" berkata
Sin Tjoe tenang. "Buat sementara tidak dapat aku menjelaskan, untuk
mencegah terjadinya kebocoran, hanya dapat aku terangkan, bahayanya tidak kalah
dengan bahayajikalau kita mengirim surat diberikuti senjata tajam itu! Inilah
sebabnya mengapa aku menyebut halnya beberapa orang yang mahir ilmu silatnya
serta besar nyalinya!"
Segera setelah penjelasan itu,
Tjit Seng Tjoe berseru: "Aku turut!"
"Kami pun turut!"
berseru Siauw Houw Tjoe berdua Liong Kiam Hong.
Beberapa orang lagi menyatakan
suka turut pergi.
In Hong berdiam saja,
melainkan matanya diarahkan kepada suaminya. Mendadak Thian Touw tertawa.
"Apakah kau menginginkan aku turut?" tanyanya dingin.
"Pergi atau tidak,
terserah kepadamu!" menjawab sang isteri. "Aku tidak ingin meminta
itu dari kau!"
"Bilanglah, bukankah kau
mengharapi aku turut pergi?" Thian Touw tanya pula "Bukankah kau
mengharap agar aku turut kau pergi bersama?"
"Benar, aku ingin
pergi," In Hong menjawab. "Jikalau kau dapat turut, itulah paling
baik, jikalau tidak, kau boleh pulang lebih dulu ke Thiansan."
Thian Touw menghela napas.
"Kau hampir melupakan
bahwa akulah suamimu." bilangnya.
"Oleh karena kau suamiku
maka aku mengharap orang nanti memuji kau," berkata isteri itu tenang.
"Bukan saja kau dipuji untuk ilmu pedangmu yang liehay juga tentang
kemuliaan hatimu. Jikalau aku mendengar orang memanggil kau Hok Tayhiap maka
berapa terangnya mukaku. Lagi pula. entjie Sin Tjoe bersama aku ada bagaikan
saudara kandung, dia sedang memerlukan orang gagah membantu padanya, maka itu
tenangkah hatimu membiarkan dia sendiri saja menempuh bahaya?"
Thian Touw tertawa dingin.
"Di sini semua ada
tayhiap. siauwhiap. enghiong dan hookiat. apa masih perlukah aku?" dia
bertanya. "Di waktu tidak ada urusan, kau mentertawakan aku, di waktu ada
urusan, kau meminta bantuanku! Hm! Berapatah harganya seorang enghiong? Aku
tidak percaya kau, setelah berdiam menyendiri sekian tahun di Thiansan,
sekarang pandanganmu tetap masih pandangan • manusia biasa? Kau harus ketahui,
di kolong langit ini banyak orang gagah akan tetapi mengenai ilmu pedang
Thiansan Kiamhoat, cumalah aku satu keluarga!"
In Hong mendongkol hingga
mukanya menjadi merah padam.
Ketika itu yang lain-lainnya
masih membuat banyak berisik dengan pernyataan mereka: "Aku turut! Aku
turut!" lusteru orang membuat banyak berisik dengan semangat yang
berkobar-kobar itu, In Hong mendadak merasa hatinya tawar, ia kesepian, ia
ruwet sekali, hingga ia menjadi berduka. Hingga karenanya, kemendongkolannya
terhadap Thian Touw, suaminya itu, buyar dalam sejenak. Dia menjadi jeri
sendirinya kapan ia ingat bahwa dia telah berputus asa dan bersedih...
"Kenapa aku menjadi tidak
bergusar kepada Thian Touw?" ia tanya dirinya sendiri.
Di dalam halnya suami isteri,
kemurkaan di antara mereka, juga perselisihan, tidak dikuatirkan, yang ditakuti
ialah sikap dingin satu pada lain atau putus asa. Itulah perasaan yang biasanya
sukar ditarik pulang...
Thian Touw berbuat dengan
sengaja. Dalam mendongkolnya, ia mengundang kemarahannya In Hong. Maka adalah
di luar dugaannya, sebaliknya daripada melayani atau bergusar. In Hong berdiam.
Iamenjadi tercengang. Tanpa merasa ia kata bagaikan mendumal: "Aku tidak
mau pergi! Aku juga melarang kau pergi! Baru satu gelombang tenang, lain
gelombang datang! Mana dapat kita mengurusnya semua itu? In Hong. aku bertindak
untuk kebaikan kau. maka jikalau kau masih mengingat cinta kita suami isteri
mari kau turut aku pulang..."
In Hong benar-benar menjadi
sangat tenang.
"Thian Touw,"
katanya, sabar, "sekarang benar-benar aku mesti memikir baik-baik. Baiklah
sebentar malam kita bicara dengan saksama. Sekarang kitajangan bicarakan urusan
ini, agar orang tidak mentertawai kita..."
Suara berisik di dalam ruang
mulai menjadi reda.
"Ada tujuh belas saudara
yang ingin pergi bersamamu," berkataTjioe San Bin. "Sin Tjoe, apakah
kau membutuhkan demikian banyak orang?"
"Tidak, tidak demikian
banyak," menyahut si nyonya muda.
"Kalau begitu,
silahkankau sendiri yang memilihnya!" berkata San Bin pula.
"Oleh karena kita
berangkat besok, biarlah malam ini aku memikirkannya dulu." kata Nyonya
Yap. "Besok aku akan memberitahukan, berapa banyak bantuan yang aku
perlukan dan siapa-siapa yang aku akan minta suka turut padaku."
Sampai di situ, rapat
dibubarkan, untuk diganti dengan pesta.
Tjit Seng Tjoe menghampirkan
Sin Tjoe.
"Ie Liehiap,"
katanya, "aku mesti turut, tak dapat tidak. Masih ada dua keponakan
muridku di tangan Tjhian Tiang Tjoen."
Sebelumnya menyahuti. Sin Tjoe
tertawa.
"Aku, justeru membutuhkan
bantuan tjianpwee!" katanya. "Pastilah tjianpwee bakal turut!"
Girang imam itu. Kemudian ia
pergi kepada San Bin.
Sin Tjoe lantas mencari Thian
Touw dan In Hong. Suami isteri itu berada di satu pojok. Sebenarnya Sin Tjoe
heran akan sikapnya In Hong. Menurut ia. mestinya Nona Leng memaksa akan pergi.
Kemudian, setelah menampak sikap suami isteri itu, ia lantas dapat menduga.
"Hok Toako," ia
menegur setelah ia mendekati suami isteri itu, "kenapa kau tidak pergi
minum bersama Kimtoo Tjeetjoe?"
Thian Touw menyahuti, dengan
dingin.
"Aku bukannya enghiong
atau hookiat. Tadi saja aku minum karena sangat terpaksa, bagaimana sekarang
aku dapat bergumulan dengan mereka itu?"
Sin Tjoe tertawa.
"Hok Toako, jangan
mengucap begini!" katanya. "Tadi pun Kimtoo Tjeetjoe telah menegaskan
pula, berhasilnya kita merampas bingkisan ini, semua itu mengandal kepada
bantuanmu yang sangat berharga."
"Itulah jasanya In Hong,
denganku tidak ada sangkut pautnya. Aku cuma mendengar segala titahnya."
Sin Tjoe tertawa pula.
"Suami isteri artinya
satu tubuh, satu hatinya," ia berkata. "Dengan pedang bersatu padu
kamu melavvan lawan liehay bagaikan iblis, ilmu pedang kamu membangun jasa
bersama, maka itu, mengapa masih menyebut jasa aku atau jasa dia! Hok Toako,
kau tidak sudi minum arak kegirangan, baiklah, tidak apa, akan tetapi kau harus
minum arak pemberian selamat untuk keberangkatanku! Maukah kau? Besok aku bakal
berangkat ke kota raja, maka di lain kali setahu sampai kapan kita bakal
bertemu pula dengan kamu! Bukankah kamu hendak lekas berangkat pulang ke
Thiansan? Maka itu, aku pun boleh sekalian memberi selamat jalan kepada kamu!
Di sini ada arak yang harum, mari kita mengeringi cawan masing-masing!"
In Hong mendengari orang
bicara, matanya merah. Hendak ia bicara tetapi batal sendirinya. Sebenarnya
hatinya tengah berkutat hebat.
"Entjie, aku mengerti
kau. maka itu, aku sangat bersyukur kepadamu," Sin Tjoe kata pada kawan
itu. "Aku telah dapat cukup orang, dari itu aku tidak berani membikin
pusing pula pada kamu berdua."
Hatinya Thiai Touw lega
tiba-tiba. la berkuatir sangat Sin Tjoe nanti meminta bantuannya. Kalau begitu,
sulit untuk ia menjawabnya. Sekarang ia tidak usah menghadapi kesukaran lagi.
Sambil tertawa ia kata pada isterinya: "Sungguh Sin Tjoe mengerti kau!
Maka kau harus menghormati dan menghaturkan terima kasih padanya, kau harus
memujikan agar ia berhasil!"
In Hong tidak membilang
apa-apa. ia mengangkat cawannya dan mengeringkan itu.
Sin Tjoe menuang arak pula.
"Hok Toako. ini satu cangkir untuk memujikan kau lekas berhasil dengan
Thiansan Kiamhoat ciptaanmu!" ia berkata dengan doanya.
Thian Touw berlega hati. ia
minum kering arak itu, lalu ia membalas dengan satu cawan. Ia kata: "Aku
mohon tolong disampaikan kepada gurumu, aku mengirim hormat dan menghaturkan
terima kasih untuk petunjuknya, dan aku mengharap bahwa aku tidak akan
mensia-siakan pengharapannya."
Sin Tjoe menuang lagi tiga
cawan. Ia tertawa.
"Dan dengan ini aku
memujikan semoga kamu sepasang suami isteri hidup rukun dan manis hingga
seratus tahun!" demikian doanya pula.
Thian Touw menerima pujian
itu. ia menghirup pula.
Adalah In Hong yang tidak
menyambuti cangkir araknya.
"Eh, entjie Leng, kau
kenapa?" tanya Sin Tjoe. Ia tahu tetapi ia berpura-pura.
"Aku tidak kenapa-napa,
aku melainkan merasa sedikit kurang sehat," menyahut sahabat ini, yang
hatinya ruwet.
"Biarnya kau kurang enak
badan, cangkir ini harus diminum!" berkata Sin Tjoe membujuk. Itulah
desakan manis.
"Baik." kataln Hong.
"Harap saja terjadi seperti katamu." Ia lantas minum kering araknya.
Tapi, setelah meminum itu, ia mengeluh: "Ah, aku tidak menyangka arak ini
arak pahit!..."
Thian Touw lagi bergembira, ia
tidak mendengar nada isterinya itu.
"Kalau begitu, kau perlu
pergi pada tabib!" katanya tertawa. "Arak begini harum, mengapa
sampai di mulutmu, lantas berubah menjadi pahit?" Sin Tjoe lagi-lagi
menuang arak. "Inilah cawan yang kedua," katanya, "dengan ini
aku mengharap agar di belakang hari masih ada harinya yang kita bakal dapat
bertemu pula satu dengan lain!"
Kali ini In Hong segera minum
kering arak itu.
"Sekarang aku merasa enakan
sedikit!" katanya cepat. "Memang, arak ini harum!"
Thian Touw sebenarnya tidak
ingin minum arak ini tetapi ia meminumnya juga.
Malam itu pesta berjalan
sampai jam tiga pagi. Hanya Thian Touw dan In Hong, tidak sampai akhirnya
pesta, sudah ngeloyor pergi. Menurut Thio Giok Houw, ketika malam itu ia keluar
bersama Kiam Hong. untukjalan-jalan di dalam rimba, mereka mendengar suami
isteri itu berselisih mulut...
Kapan telah datang hari kedua.
Ie Sin Tjoe sudah siap sedia. Ia sudah menjanjikan Giok Houw untuk mengambil
selamat berpisah dari Kimtoo Tjeetjoe. Ia bilang ia mau melihat In Hong dan
Thian Touw, atau San Bin menyampaikan kepadanya halnya Thian Touw telah
meninggalkan sepucuk surat, bahwa karena kuatir nanti terjadi banyak pusing
lagi. Thian Touw pergi tanpa berpamitan pula.
"Bagaimana dengan entjie
In Hong?" tanya Sin Tjoe.
San Bin tertawa.
"Buat apa ditanyakan
lagi?" sahutnya. "Suaminya pergi, dia tentu ikut pergi juga!"
Sin Tjoe menjadi heran, ia
berduka.
"Entjie In Hong bukanlah
itu orang yang orang mengatakannya, kawin sama ayam ikut ayam atau kawin sama
anjing ikut anjing," katanya. "Melihat tabiatnya, aku justeru
berkuatir dia bentrok keras dengan suaminya. Adalah di luar dugaanku, sudah dia
tidak mengatakan padaku hendak turut pergi ke Pakkhia, dia justeru turut
suaminya pergi dan perginya juga secara diam-diam... Ah, mustahilkah di dalam
ini ada sesuatu yang luar. biasa?"
Tapi karena itulah urusan
suami isteri orang, Sin Tjoe merasa likat untuk membicarakan itu dengan San
Bin. Ia menjadi menduga-duga di dalam hati saja.
Nyatalah untuk kepergiannya ke
Pakkhia ini. Nyonya Yap Seng Lim cuma membutuhkan tiga pembantu. Yang satu
ialah Thio Giok Houw, yang satu lagi Liong Kiam Hong, dan yang ketiga Tjit Seng
Tjoe. Ia membutuhkan seorang pembantu istimewa, guna mengatur sesuatu di
Pakkhia, maka ia minta bantuannya Tie Goan, hoepangtjoe dari Kaypang di Pakkhia
itu. Bahkan hoepangtjoe ini diminta berangkat terlebih dulu. Maka mereka jadi
berangkat dalam dua rombongan.
Tjio Tjoei Hong berat dengan
perpisahan ini, ia mengantar turun gunung, la pun memesan kata-kata untuk In
Loei. Di lain pihak ia sesalkan In Hong, yang dikatakan cuma berdiam satu hari
dan pergi tanpa pamitan lagi!
Giok Houw dan Kiam Hong juga
heran atas sikapnya In Hong itu.
"Sebenarnya aku berkuatir
untuk entjie In Hong," Kiam Hong mengaku. "Kalau dia benar turut Hok
Toako pulang ke Thiansan, dia bisa mati lantaran djengkel. Tapi, kalau dia
tidak pulang, aku kuatir mereka bentrok hebat..."
Karena ini, bertiga mereka
jadi tidak gembira. Mereka tidak menghendaki ln Hong dan Thian Touw bentrok,
sebaliknya, mereka tidak ingin juga In Hong bagaikan burung di dalam sangkar,
yang hilang kemerdekaannya Toh mereka tidak mempunyai daya untuk memecahkan
kesulitannya suami isteri itu. Pasangan itu menyinta satu dengan lain ---
tadinya mereka sangat menderita ---- tetapi sekarang mereka terhalang oleh
pandangan masing-masing.
Perjalanan ke kota raja ini,
bukan perjalanan pelesiran, di tengah jalan mungkin ada gangguan, akan tetapi
selama dua hari. mereka tidak menemukan sesuatu, bahkan tiada juga orang atau
orang-orang yang sikapnya mencurigai.
Di hari ketiga, tengah hari,
selagi mereka berempat melarikan kuda merekadi jalan besar, telinga mereka
mendengar suara roda-roda kereta disebelah belakang, suara mana dicampur sama
tindakan dan ringkik kuda.
Siauw Houw Tjoe lantas meraba
gagang goloknya.
"Siauw Houw Tjoe, jangan
sembrono!" Sin Tjoe memberi ingat. "Lihat dulu mereka hamba negeri
atau bukan..."
Ketika itu kereta di belakang
datang semakin dekat, suaranya pun berisik sekali. Itulah sebab kendaraan
dikasih jalan cepat. Kereta kuda itu, di kiri dan kanannya ada masing-masing
pengiringnya dua penunggang kuda. Maka terlihatlah abu mengepul naik.
Segera dapat dilihat nyata,
dua pengiring yang di kiri adalah dua orang oppas, dan yang di kanan dua
boosoe, guru silat atau pahlawan, yang dandan sebagai bangsa Boan. Yang
bercokol di atas adalah seorang pembesar berpangkat tinggi bangsa Boantjioe.
Rupanya pembesar itu sedang bergembira, duduk di atas keretanya itu dia
bernyanyi dengan nada tinggi. Nyanyiannya ialah nyanyian ketenteraan Boan.
Giok Houw menjadi panas hati.
Justeru di belakang dia. salah satu opas berkata dengan nyaring: "Utusan
Boantjioe telah tiba, mengapa kamu tidak lekas-lekas minggir?"
Kata-kata ini dibarengi sama
sampainya rombongan kereta dan penunggang-penunggang kuda itu, kawanan
penunggang kuda menggunai cambuknya.
Bukan main gusarnya Giok Houw,
maka sebelah tangannya lantas menyamber ke belakang. Ia ingin menangkap cambuk
orang, guna ditarik dengan keras. Hanya saja, baru tangannya bergerak, ia sudah
dibentur Sin Tjoe, demikian keras, hingga ia terjungkal dari kudanya.
Boesoe Boantjioe itu mengira
orang kaget dan jatuh karena menyingkirnya terlalu terburu napsu, mereka
tertawa berkakakan.
Ketika Giok Houw bangun
berdiri, ia mendapatkan kereta dan ke empat penunggang kuda sudah lewat jauh.
Sin Tjoe tertawa. "Siauw
Houw Tjoe, jangan kau sesalkan aku!" katanya. "Aku tidak menghendaki
kau membangkitkan keruwetan!"
"Tapi orang Boantjioe itu
serta segala boesoe-nya sangat jumawa!" kata Giok Houw. "Tidak puas
aku melihat tingkah polanya itu! Bukankah mereka berada di dalam negara
kita?"
"Memang bangsa Boantjioe
itu sering mengganggu tapal batas." berkata Sin Tjoe, "akan tetapi di
antara kedua negeri belum dimaklumkan perang, sedangjuga. mereka ini adalah
utusan yang resmi, tidak dapat kita berlaku kasar. Apakah kau kira dapat kita
melabrak mereka itu?"
"Kau benarjuga,"
kata Giok Houw setelah berpikir. "Hanya aku tetap tidak puas! Lagaknya
kedua oppas itu terlalu menjilat-jilat bangsa asing, mereka cuma pandai
menghina bangsa sendiri!"
Sin Tjoe tertawa pula.
"Buat apa bergusar tak perlunya?" katanya. "Mari kita
berangkat!" Giok Houw menahan hati. Setelah jalan serintasan. di depan
terlihat pula kereta dan kuda tunggang. Keretanya tidak nampak mentereng dan
agung seperti kereta si utusan Boantjioe tetapi toh indah, bahkan kedua ekor
penariknya ada binatang-binatang yang tubuhnya tinggi dan besar, pelananya
tersulam, hingga menjadi menarik perhatian. Yang duduk di atas kereta ialah
seorang usia pertengahan, kepalanya besar, kupingnya lebar, tubuhnya
terkerebong baju bulu. Hingga dengan sekali lihat saja tahulah orang bahwa dia
seorang hartawan. Dia menoleh ketika dia mendengar tindakan kaki kuda di
belakangnya.
Melihat muka orang itu. Sin
Tjoe melengak. Ia merasa mengenali, entah di mana pernah ia bertemu dengan dia
itu.
Orang itu pun heran melihat
rombongannya Sin Tjoe, ia menahan keretanya dan mengawasi, atau segera ia
lompat turun dari kudanya, untuk menghampirkan.
"Kau... kau toh Nona
le?..." katanya.
Baru sekarang Nyonya Yap
ingat, maka ia tertawa
"Khoan Taydjin. kiranya
kau!" katanya.
Muka orang itu menjadi merah,
dia nampak jengah.
"Aku telab kehilangan
pangkatku." katanya malu-malu. "Tidak dapat aku menerima panggilanmu
ini!"
Sin Tjoc kenal hartawan ini,
Khoan Kie namanya, yang pada belasan tahun yang lalu menjadi Yamoensoe,
pembesar pengurus garam dari kedua propinsi Ouwpak dan Ouwlam, karena dia
dibegal Pit Keng Thian untuk seharga tiga puluh laksa tail perak, dia dipecat
dari pangkatnya. Ayahnya bernama • Khoan Tiong. ialah Khoan Tiong saudara
angkatnya Thio Hong Hoe. ayahnya Siauw Houw Tjoe. Bersama-sama, Khoan Tiong dan
Hong Hoe menjadi opsir Gielimkoen dari Kaisar Eng Tjong di tahun Tjeng-tong,
dan bersama-sama Hoan Tiong, merekalah yang dikenal sebagai Kengtouw Samtoa
Khotjioe. ialah tiga jago kota raja. Ketika Khoan Tiong terbegal itu. dia
pernah minta Hoan Tiong memohonkan bantuannya Thio Hong
Hoe, hanya ketika Hoan Eng.
anaknya Hoan Tiong. tibadi rumah Thio Hong Hoe. Hong Hoe tengah ngalami
kecelakaan dan terbinasa karenanya, maka Hong Hoe tidak dapat membantu dia.
Kemudian Hoan Eng toh pergi kepada Pit Keng Thian tetapi Keng Thian cuma
mengembalikan separuh, yang separahnya Keng Thian suruh Khoan Tiong mengodol
sakunya sendiri menggantinya. Selama Sin Tjoe merantau, dia bertemu sama Khoan
Tiong ini, ialah di tempatnya Pit Keng Thian itu. Ketika itu Hoan Eng pun ada
bersama. 4>
Muak Sin Tjoe terhadap bekas pembesar
ini. Dia telah locot pangkatnya tetapi sekarang nampak dia hidup mewah. Lalu
sambil tertawa mengejek, ia berkata: "Perkara pangkat ada soal kecil!
Bukankah sekarang raja baru telah naik di tahta? Nah, sekaranglah saatnya untuk
Khoan Taydjin berbangkit pula! Bukankah taydjin lagi menuju ke kota raja untuk
mencari pangkat? Raja baru justeru memerlukan menteri-menteri pintar yang
pandai mengurus keuangan negara!"
Cepat sekali Khoan Kie
berkata: "Aku baru saja mengalami badai dan gelombang, mana berani aku
menjabat pangkat pula? Begitulah selama belasan tahun ini, setelah melepas
kepangkatan, aku belajar menjadi orang dagang, mencampurkan diri di dalam
pasar. Untukku sekarang asal cukup makan dan tubuh hangat, itu saja sudah
cukup, sama sekali aku tidak berani pula mengandung semangat yang
besar..."
Mendengar pembicaraan orang,
Thio Giok Houw merasa sebal, maka ingin ia mengajak kakak seperguruannya untuk
melanjuti perjalanan. Justeru itu, matanya Khoan Kie bersinar mengawasi
kepadanya.
Sin Tjoe melihat perhatiannya
si bekas pembesar yang telah menjadi saudagar itu.
"Siauw Houw Tjoe,
mari!" ia memanggil sang soetee, si adik seperguruan. "Mari menemui
Khoan Taydjin!"
"Sudahlah," berkata
si anak muda, "kami bangsa semut, kami tak dapat naik tinggi..."
Khoan Kie sendiri terperanjat
mendengar disebutnya nama Siauw Houw Tjoe, hanya sejenak, dia lantas tertawa
terbahak.
"Ah. kiranya Thio Sieheng
telah menjadi begini besar!" katanya, kagum. "Aku ialah Khoan Kie.
Ayahku dan ayah sieheng adalah saudara-saudara angkat."
Mengetahui orang itu siapa
adanya muak atau tidak, Houw Tjoe mesti menemuinya. Ia menghampirkan sambil
mengulur tangannya untuk berjabatan. Khoan Kie menyambutnya.
Puteranya Khoan Tiong mengerti
juga ilmu silat, akan tetapi tatkala tangannya berjabatan sama tangannya Siauw
Houw Tjoe. dia berjengit. hampir dia mengeluarkan air mata. Karena sengaja Giok
Houw mengerahkan tenaganya tiga bagian. Dengan lekas dia menarik pulang
tangannya itu, dia pun paksakan tertawa.
"Tidak kecewa puteranya
panglima perang!" ia memuji. "Saudaraku, saudaramu sangat
mengagumimu!"
"Sekarang ini Khoan
Taydjin hendak pergi ke mana?" Sin Tjoe tanya kemudian. Ia terus memanggil
taydjin atau tuan besar.
"Aku mau pergi
kekecamatan Thongkoan." menyahut Khoan Kie. "Apakah nona dan Thio
Sieheng lagi menuju ke kota raja?"
"Benar!" sahut Sin
Tjoe, lancar.
"Maukah nona meninggalkan
alamatmu di kota raja?" Khoan Kie minta. "Jikalau lain kali aku pergi
kesana, pasti aku akan pergi menjenguk."
Sin Tjoe tertawa.
"Kami tidak mempunyai
kenalan di kota raja, kami akan menyewa kamar hotel saja" demikian
sahutnya
"Aku sendiri ada
mempunyai beberapa kenalan di kota raja sana" Khoan Kie mengasi tahu.
"Terima kasih, aku tidak
berani mengganggu sahabat-sahabat taydjin itu," kata Sin Tjoe. "Ya
kebetulan taydjin menyebut-nyebut sahabat, aku mohon tanya tentang satu
orang."
"Sahabat yang mana itu,
nona?" Khoan Kie segera menanya.
"Hoan Eng," menjawab
Nyonya Yap Seng Lim.
"Oh, Hoan Toako!"
kata saudagar bekas pembesar itu. "Sayang, dengan Hoan Toako itu sudah
belasan tahun aku tidak pernah bertemu."
"Kalau begitu, tak
apalah," berkata Sin Tjoe, yang tidak menanyakan apa-apa lagi, makajuga,
kedua pihak lantas berpisahan. untuk mengambil jalannya masing-masing. Khoan
Kie berangkat lebih dulu.
"Sungguh apes, bertemu
sama orang macam demikian!" kata Giok Houw sesudah mereka berpisah jauh.
"Lebih celaka, kita pun mengaku kakak dan adik!"
"Setelah hilang
pangkatnya, dia menjadi saudagar, lumayan juga," bilang Sin Tjoe.
"Maka tidak dapat kita bersikap keterlaluan terhadapnya. Memang benar
ayahmu dengan ayahnya telah mengangkat saudara."
"Telah lama aku mendengar
lelakonnya kehilangan pangkat," kata Siauw Houw Tjoe. "Hoan Toako
telah melepas budi banyak kepadanya tetapi toh dia tidak memperdulikan Hoan
Toako itu, sampai dia tidak mengetahui alamatnya juga! Aku melihat matanya
tidak pernah mau berdiam, dia mestinya bukan satu manusia baik!"
"Tidak dapat kita
memastikan orang menurut caramu ini," Sin Tjoe bilang. "Peribahasa
tua pun bilang, kalau kesalahan dapat dirubah. diperbaiki, itulah baik sekali.
Memang dulu dia kemaruk pangkat dan harta, benar selama sepuluh tahun ini kita
tidak ketahui sepak terjangnya, tetapi bahwa dia telah tidak mencari pangkat
pula. itulah sudah baik." Siauw Houw Tjoe tertawa. "Soetjie,
selamanya kau berpendapat begini tentang manusia, sungguh aku tidak dapat
menelad kau!" katanya.
Sampai di situ, mereka
berhenti membicarakan Khoan Kie. sebab semua muak kepada orang she Khoan itu
yang pandai menjilat. Mereka melanjuti perjalanan dengan tak rintangan, maka
selang dua hari, sampailah mereka di luar kota Pakkhia. Di situ mereka langsung
mencari kelenteng Hianbiauw Koan, karena koantjoe, atau imam, yang mendiami
kelenteng itu. ialah Hian Eng Toodjin. sahabatnya Tjit Seng Tjoe, sedang Sin
Tjoe pun mengenal dia.
Hian Eng menyambut
tetamu-tetamunya dengan manis, bahkan dia senang menerima permintaan Tjit Seng
Tjoe beramai ingin menumpang di kelentengnya itu.
Sin Tjoe mengambil keputusan
menumpang di Hianbiauw Koan ini, yang letaknya di gunung Seesan, di luar kota
Pakkhia itu, mengingat Khoan Kie telah menanyakan alamat mereka di kota raja.
Bahwa ia tidak suka memberi keterangan, itulah bukti yang ia tidak percaya
orang she Khoan itu.
Segera setelah mendapat
kepastian akan berdiamnya dikelenteng itu, Sin Tjoe ingat akan maksudnya datang
ke kota raja ini. Tindakannya yang pertama ialah mencari tahu tentang
"fiat Keng Sim karena ia telah memikir untuk menggunakan Keng Sim sebagai
jembatan, supaya Keng Sim mendayakan hingga ia dapat bertemu sama kaisar.
Thio Giok Houw tidak berkesan
manis terhadap Keng Sim, akan tetapi karena Sin Tjoe sudah mengatur rencananya,
ia tidak dapat mencegah, ia menurut saja.
Mencari keterangan perihal
Tiat Keng Sim itu bukanlah pekerjaan sukar. Tie Goan, hoepangtjoe atau ketua
muda, dari Kaypang, Partai Pengemis di Pakkhia, kota raja, yang telah sampai
terlebih dulu di kota raja ini. sudah membuat penyelidikan terlebih dahulu.
Demikian, di hari ketiga, pemimpin pengemis ini lantas menjenguk Sin Tjoe di Hianbiauw
Koan.
"Sekarang ini Tiat Keng
Sim si bocah telah naik namanya!" demikian berkata Tie Goan. "Dari
seluruh negara datang bingkisan untuk kota raja tetapi yang tiba dengan selamat
cuma dia seorang, ialah bingkisan dari propinsi Inlam. Kejadian itu membuatnya
kaisar sangat girang dan menyukai dia, apapula dialah menantunya Bhok Kokkong.
Maka juga kecuali dia dihadiahkan pangkat kehormatan turun temurun Liongkie
Touwoet, dia pun merangkap Hoetongnia. yaitu komandan muda, dari pasukan
Gielimkocn. Bahkan dia pun dihadiahkan sebuah gedung baru yang pernahnya di
depan gedungnya Gielimkoen Tongnia Tjhian Tiang Tjoen. Maka sekarang ialah
seorang besar!"
Mendengar itu, Sin Tjoe
menghela napas.
"Harap saja dia tidak
melupakan dirinya cuma disebabkan kedudukannya yang mulia ini." katanya.
"Haraplah dia pun tidak melupakan juga asal dirinya sebagai seorang
pelajar..."
Sekarang Sin Tjoe memikirkan
jalan untuk dapat bertemu sama Keng Sim.
Memang juga, Keng STm telah
mendapat kedudukannya yang mulia itu. yang membuatnya girang bukan kepalang.
Sebenarnya dia tidak gila kepangkatan, sedang kemuliaan ini ia terimanya secara
di luar dugaan. Semua orang, dari raja sampai kepada menteri-menteri, semua
memuji padanya, hingga ia menerima kehormatan melebihkan seorang yang
berpangkat besar sekali. Demikian, beberapa hari setelah keangkatannya itu. tak
sempat ia pergi ke kantor Gielimkoen, untuk bertugas. Senantiasa ia repot
menyambut pelbagai kunjungan kehormatan, sampai akhirnya ia menjadi kewalahan
sendiri dan mulai merasa sebal.
Demikian itu hari, pagi-pagi,
kebetulan senggang, ia pergi ke tamannya. Seorang diri ia mengawasi bujang
kebun tengah mengurusi bunga-bunga. Ia segera teringat kepada Bhok Yan,
isterinya. Pikirnya: "Jikalau aku menyambut Bhok Yan kemari, pasti dia
dapat mengatur taman ini menjadi indah sekali..."Hanya, begitu ia ingat
Bhok Yan. kontan ia ingat Sin Tjoe. Hingga ia menjadi berdiri menjublak saja.
Justeru begitu, seorang kimie
wiesoe, ialah pahlawan yang berbaju sulam, muncul di dalam taman itu. Ia segera
mengenalinya. Pahlawan itu ialah seorang anggauta Gielimkoen, yang ia pernah
lihat digedungnya Tjhian Tiang Tjoen.
Dengan hormat sekali, pahlawan
itu menghaturkan surat undangan.
"Tjhian Taydjin
mengundang Tiat Touwoet berkunjung untuk bersantap bersama." katanya.
"Sekarang Tjhian Taydjin tengah menantikan Touwoet."
Oleh karena Tjhian Tiang Tjoen
itu Toatongniadari Gielimkoen. ialah komandan kepala, yang menjadi seatasannya,
Keng Sim lantas menduga bahwa ia tentulah hendak diajak membicarakan sesuatu
mengenai Gielimkoen, pasukan tentara kerajaan, yang berada di bawah pimpinan
mereka berdua
"Adakah itu untuk
bersantap tengah hari?" ia menegaskan.
"Benar," menyahut si
pahlawan. "Hanyalah Tjhian Taydjin minta Touwoet suka datang lebih cepat,
sebab katanya ada urusan penting yang hendak didamaikan."
"Ah, benar saja!"
pikir Keng Sim, yang terus memberikan jawabannya: "Baiklah, aku sudah
tahu. Silahkan kau pulang terlebih dulu, aku hendak menyalin pakaian. Kita
tinggal depan berdepan, inilah menggampangi kita" Pahlawan itu memberi
hormat untuk mengundurkan diri.
"Apakah siauwkongtia
sudah kembali!" tanya Keng Sim kepada si tukang kebun seberlalunya orang
suruhan Tjhian Tiang Tjoen itu.
"Siauwkongtia keluar dari
pagi-pagi, sampai sekarang ia masih belum kembali," sahut orang yang
ditanya. Keng Sim mengerutkan alis. "Dasar bocah!" katanya di dalam
hati. "Adik Lin tidak bisa lantas membuang sifat kekanak-kanakannya, dia
sangat gemar memain, begitu sampai di kota raja ini, dia menjadi mirip kuda
liar!"
Memang juga senang Bhok Lin
setelah tibanya ia di kota raja. Raja pun suka kepadanya. Raja ingin mengambil
hatinya Bhok Kokkong. Dua kali hertog, atau raja muda, yang muda ini, diundang
ke istana, sedang beberapa raja muda dan menteri mengundangnya untuk main-main.
Karena sikapnya sekalian raja muda dan menteri itu, walaupun ia girang, Keng
Sim pun repot, hingga ia memohon maaf dari mereka itu disebabkan iparnya ini,
yang masih muda, dikuatir nanti melakukan sesuatu yang di luar tata sopan
santun. Semua raja muda dan menteri itu sebaliknya mengatakan tidak apa,
katanya mereka pun tahu Bhok Lin masih seorang bocah...
Habis memberikan jawabannya,
si tukang kebun melanjuti tugasnya. Taman itu luas, ketika itu pun dimusim
rontok bulan sembilan, bunga seruni sedang pada mekar, hingga taman itu
bagaikan tertabur bunga tersebut itu.
Puas Keng Sim memandang taman
itu, hingga pikirannya melayang.
"Tidak kusangka hari ini
aku memperoleh ini kedudukan mulia..." demikian lamunannya. "Tanpa
mengandal Bhok Kokkong, aku juga dapat bangun atas kaki sendiri! Untukku,
kemuliaan tak berarti seberapa hanya sekarang di dalam tanganku telah
tergenggam kekuasaan atas angkatan perang. Haha! Thio Tan Hong sangat
menghargai Yap Seng Lim, dimata dia. Yap Seng Lim jauh terlebih pandai dari
pada aku, akan tetapi sekarang --- Haha! --- Yap Seng Lim tak lebih tak kurang
cuma pemimpin gerombolan, sedang aku, akulah pemimpin nomor dua dari pasukan
pribadi Sri Baginda Raja! Dengan kedudukanku sekarang, dengan Sri Baginda
sangat menghargai aku. kenapa kemudian aku tidak bakal memegang kekuasaan
paling besar atas angkatan perang negara?"
Baru menantu Bhok Kokkong ini
melayangkan pikirannya demikian macam, atau tiba-tiba ia menginsafi bahwa
sebenar-benarnya kedudukan ini hadiah dari Yap Seng Lim suami isteri. Tanpa
pertolongan Sin Tjoe, mana bisa bingkisannya tiba dengan selamat di kota raja?
Mengingat demikian, hati Keng
Sim menjadi tawar, ia kecele sendirinya
Untuk sekelebatan, Keng Sim
seperti melihat bayangannya Seng Lim di depan matanya. Cuma sekelebatan,
bayangan itu lantas digantikan bayangannya Sin Tjoe, yang cantik dan manis,
yang menarik hati. Hanyalah mata Nona Ie yang tajam dan jeli itu bersinar
bagaikan lagi menegurnya.
"Jikalau aku tamak akan
pangkat tinggi dan penghidupan mewah ini, mungkin aku bakal terpisah jauh
dengannya..." pikirnya sekonyong-konyong.
Entah kenapa, walaupun
masing-masing sudah menikah dan waktu pun telah lewat tahunan, kata-katanya Sin
Tjoe masih teringat baik sekali oleh Keng Sim. Tidak selamanya ia menyetujui si
nona, bahkan ada kalanya ia membuat nona itu gusar, akan tetapi, tetap ia ingat
Nona Ie. Maka kalau ia hendak melakukan sesuatu, ia berlaku hati-hati.
"Entjie Sin Tjoe,"
katanya dalam hati. "kau boleh melegakan hati, meski juga aku telah
peroleh pangkatku ini, tidak nanti aku membiarkan diriku kanyut tanpa tujuan.
Aku Tiat Keng Sim. aku tetap Tiat Keng Sim dulu hari!"
Segera setelah ingatannya itu,
Keng Sim pulang ke dalam gedungnya, naik ke lauwteng, untuk menyalin pakaian,
la baru selesai dandan ketika seorang keeteng, atau pegawainya, datang
menghampirkan seraya berkata: "Ada Yang Taydj in, ia mohon bertemu sama
taydjin."
Heran orang muda ini. Ia tidak
kenal orang she Yang di kota raja.
"Yang Taydj in yang mana
itu?" ia tanya.
"Ialah Yang Taydjin yang
dulu hari pernah menjadi Taylwee Tjongkoan," sahut si keeteng.
Keng Sim terkejut, alisnya pun
mengkerut.
"Kiranya Yang Tjong
Hay!" katanya. Inilah ia tidak pernah menyangka. Ia sebal dan jemu
terhadap Tjong Hay. Akan tetapi, ia bisa lantas menggunai otaknya.
"Sekarang lain daripada dulu hari. Dulu aku seorang pelajar, tanpa pangkat
tanpa kedudukan, boleh aku tidak memperdulikan dia. Sekarang aku memangku
pangkat, bahkan Hoetongniadari Gielimkoen. Di dalam pasukan raja ini, siapa
yang menjadi orang lama, dia pasti bekas sebawahannya Yang Tjong Hay.
Maka haruslah aku ingat itu
pepatah, 'Lebih baik bersalah terhadap seorang koentjoe daripada terhadap satu
manusia rendah!..."
Oleh karena ini. ia segera
mengambil keputusannya.
"Silahkan ia masuk!"
ia memberi titah. Ia mencoba menguasai diri.
Kapan Yang Tjong Hay menampak
Keng Sim, ia mengunjuki roman manis buatan, ia bersenyum bikinan, kedua
tangannya diangkat tinggi.
"Kionghie. Tiat
Taydjin!" ia berkata dengan pemberian selamatnya.
Keng Sim membalas hormat
secara wajar.
"Yang Taydjin adalah
seorang tjianpwee. aku justeru perlu memohon pengajaran dari taydjin," ia
berkata.
Tjong Hay tertawa terbahak.
"Tiat Taydjin muda dan
tampan, pandai ilmu surat dan ilmu silat." ia berkata, "dan dengan taydjin
memperoleh tunjangan Bhok Kokkong bagaikan gunung es, pasti kau bakal manjat
tinggi! Hari kemudian taydjin ada demikian penuh pengharapan, untuk bersahabat
saja denganmu, aku kuatir aku tidak mampu, dari itu mana berani aku memernahkan
diri sebagai seorang tjianpwee?"
Muak Keng Sim mendengar
kata-kata menjilat itu. Ia paksakan diri tertawa.
"Yang Taydjin guyon
saja!" katanya.
Tiba-tiba air mukanya Yang
Tjong Hay berubah menjadi sungguh-sungguh.
"Tidak. Tiat Taydjin.
sama sekali aku si orang she Yang tidak bergurau." katanya. "Memang
benar-benar aku datang untuk meminta pengajaran dari kau!"
Hati Keng Sim terkesiap. Heran
ia menyaksikan lagak-luguk bekas tjongkoan dari istana kaisar ini. Ia lantas
memberi hormat.
"Yang Taydjin, ada
pengajaran apakah dari kau untukku?" ia tanya.
Yang Tjong Hay memandang tajam
tuan rumahnya, sinar matanya itu memain.
"Selama beberapa tahun
ini entah taydjin telah meyakinkan ilmu silat apa yang liehay?" tanyanya.
Ia masih mengawasi.
Kembali Keng Sim terkesiap.
"Apakah Yang Taydjin
datang dengan niatan menguji aku?" ia tanya. Ia lantas membalas memandang
tajam.
"Tidak, tidak! Mana aku
berani?" menyahut Tjong Hay, sambil tertawa, nadanya mengejek. "Sri
Baginda Raja kita baru saja naik di atas tahta kerajaan, maka dari pelbagai
propinsi telah datang masing-masing bingkisannya yang dilindungi oleh
orang-orang yang pandai, akan tetapi kesudahannya melainkan bingkisan yang
dilindungi taydjin saja yang tiba di kota raja ini dengan selamat. Jikalau ilmu
silat taydjin tidak luar biasa, mana bisa terjadi demikian? Haha! Sungguh aku
tidak menduga, baru beberapa tahun kita tidak bertemu, ilmu silat taydjin telah
maju demikian pesat! Sungguh taydjin pantas diberi selamat!"
Keng Sim seorang cerdas maka
tahulah ia maksudnya bekas tjongkoan ini. Ia ingat bagaimana dulu hari. sebelum
menjadi menantu Bhok Kokkong, beberapa kali ia pernah bertempur sama si
tjongkoan. Tentu saja ketika itu ia bukanlah tandingannya Tjong Hay. Sekarang
orang datang untuk menguji padanya. Ia menjadi mendongkol sekali. Meski
demikian, tidak bisa ia melampiaskan kemendongkolannya ini. Dengan menguasai
diri, ia berpura-pura tenang.
"Yang Taydjin terlalu
memuji aku!" ia berkata. "Kepandaianku rendah sekali, bahwa kali ini
aku telah berhasil, semua itu aku mengandal kepada rejeki Sri Baginda Raja yang
sangat besar."
Kembali Yang Tjong Hay tertawa
berkakak.
"Jangan terlalu
merendahkan diri. Tiat Taydjin." katanya pula. "Aku kuatir kau
bukannya telah mengandal i rejeki Sri Baginda Raja! Hanya Tiat Taydjin mengandal
pada muka terang taydjin sendiri! Haha! Tiat Taydjin mempunyai pergaulan yang
luas sekali, pergaulan yang membuatnya lain orang mengiri dan kagum!"
Tidak senang Keng Sim
mendengar kata-kata orang itu, air mukanya sampai berubah.
"Yang Taydjin, apakah
maksudnya kata-katamu ini?" ia kata keras.
Tjong Hay tidak kalah desak.
"Tiat Taydjin," ia
berkata, "kau bukan saja bersahabat dengan sekalian menteri boen dan boe
di dalam istana juga kau bersahabat dengan orang-orang yang melakukan
perampasan itu! Bukankah aku tidak keliru menyebut tentang pergaulanmu yang
luas itu?"
Keng Sim menjadi gusar sekali.
"Bagus!" teriaknya.
"Jadi kau sengaja hendak mencari gara-gara! Biarnya kau menyembur dengan
darah, aku tidak takut!"
Yang Tjong Hay tertawa bergelak.
"Tiat Taydjin, kau
keliru!" kata ia habis tertawa. "Segala sesuatu tak meninggalkan
kenyataan, mana bisa kau menyebutnya aku menyembur dengan darah? Tidak, aku
bukannya memfitnahmu! Kali ini orang-orang yang melakukan perampasan bingkisan itu
ialah murid-muridnya si pembrontak Thio Tan Hong! Bukankah kau bersahabat kekal
dengan le Sin Tjoe? Thio Giok Houw telah mengalahkan kau tetapi dia sengaja
melepaskan kau pergi! Bahkan le Sin Tjoe telah memberikan kau sehelai bendera
Rimba Persilatan! Bukankah semua ini bukannya dibuat-buat? Tiat Taydjin, kau
telah kenyang membaca Kitab Syair, maka aku pikir tidaklah nanti kau berani
menyangkal ini!"
Paras mukanya Keng Sim menjadi
merah padam, ia lantas berbangkit sambil mengangkat cawan tehnya
"Yang Tjong Hay, pergilah
menghadap Sri Baginda untuk mengadui aku!" ia berkata keras. "Kau
lihatlah, aku takut atau tidak!"
"Tiat Taydjin, aku masih
hendak bicara pula!" kata Tjong Hay membandel. "Aku masih belum
memikir untuk berlalu! Kenapa kau mengangkat cawanmu untuk mengantar tetamumu
pergi? Apakah kau takut mendengar perkataanku?"
Keng Sim bergusar hingga
seluruh tubuhnya gemetaran. Jikalau ia tidak ingat kepada kehormatan dirinya,
tentulah ia sudah mementang bacol untuk mendamprat tetamu yang kurang ajar ini.
Yang Tjong Hay lantas tertawa
dan berkata: "Tiat Taydjin, kau salah menampa maksud kedatanganku ini!
Sebenarnya aku bermaksud baik terhadap dirimu! Sebenarnya aku datang untuk
mengantarkan kopia kepangkatan kepadamu! Apakah kau tidak memikir untuk mendapatkan
pangkat yang besar?"
Keng Sim heran hingga ia
mendelong. Inilah di luar terkaannya "Yang Tjong Hay, apakah
maksudmu?" ia bilang. "Mengapa kau mengaco belo?"
Tjong Hay kembali tertawa
terbahak-bahak.
"Tiat Taydjin, mengapa
kau mengatakan aku mengaco belo?" kata dia. "Apakah kau menganggap
aku ialah orang yang telah dicopot pangkatnya hingga aku tidak dapat membantu
kau naik pangkat? Terus terang aku bilang padamu, aku dapat mencopot pangkatmu,
aku juga dapat membuat kau manjat terus! Maka sekarang terserah kepada kau, kau
hendak memilih yang mana, keagungan atau kehinaan!"
Keng Sim ingin ketahui maksud
orang, ia mencoba mengendalikan diri. Ia lantas berduduk pula.
"Baiklah." ujarnya.
"Sekarang kau bicara, aku ingin mendengar."
Yang Tjong Hay menghirup
tehnya dengan sikapnya tenang sekali.
"Menurut apa yang aku
dengar." ia mulai berkata, suaranya ditekan perlahan, "le Sin Tjoe
dan Thio Giok Houw telah datang ke kota raja ini. Merekalah orang-orang utama
yang melakukan perampasan bingkisan. Mengingat persahabatan mereka dengan kau,
ada kemungkinan mereka itu nanti mencari padamu. Atau andaikata mereka tidak
datang mencari, aku mempunyai daya untuk mempertemukan kau dengan mereka itu.
Hm! Tiat Taydjin, kaulah seorang yang berotak terang, maka kau niscaya telah
ketahui bagaimana kau harus bertindak, tidak usah sampai aku mengajari
lagi!"
Keng Sim girang berbareng
kaget mendengar datangnya Sin Tjoe dan Giok Houw ke kota raja.
"Tiat Taydjin."
berkata pula Tjong Hay tanpa memperdulikan sikap orang, "seperti aku telah
bilang barusan, keagungan atau kehinaan, terserah padamu untuk memilihnya! Itu
hanya sebuah kata-kata! Apakah kau sudah memikir9"
"Apa katamu?"
menegaskan Keng Sim, yang masih terpengaruh kegirangan dan herannya.
"Aku minta Tiat Taydjin
menginsafi kata-kata tua," berkata Tjong Hay, "ialah 'Tay gie biat
tjin'! Di dalam ini hal, untuk negara orang dapat membinasakan orang tuanya!
Apapula Sin Tjoe itu bukannya sanakmu. Kau bekuk dia bersama-sama Thio Giok
Houw! Bukankah itu berarti kenaikan pangkat?"
Mendengar penjelasan itu, Keng
Sim tertawa dingin.
"Kiranya demikianlah
maksudmu!" bilangnya.
"Apakah kau tidak dapat
meninggalkan le Sin Tjoe?" Tjong Hay menegaskan.
"Angin busuk!"
membentak Keng Sim menggcprak meja
Tjong Hay mengawasi tajam.
"Mengapa kau gusar tidak keruan?" tanyanya tertawa dingin.
"Karena persahabatan dengan seorang penjahat wanita, kau bersedia
mengurbankan hari depanmu yang gilang gemilang? Kau pikirlah pula baik-baik!
Jikalau kau turut perkataanku, semua-semua ada baiknya, artinya, kau akan naik
pangkat dan aku akan memperoleh kembali pangkatku! Jikalau kau tidak suka
dengar padaku, nah, maafkan saja, terpaksa aku mesti mendakwa kau!"
Baru sekarang Keng Sim ketahui
maksud orang yang sebenarnya, bahwa kunjungannya ini ialah tindakan untuk dia
memperoleh pulang pangkatnya. Jadi ia hendak digunai sebagai alat! Tentu saja
ia menjadi mendongkol.
"Yang Tjong Hay. silahkan
kau pergi keluar!" ia kata. "Pergi kau menghadap Sri Baginda Raja
untuk mendakwa aku!"
Yang Tjong Hay tertawa.
"Apakah kau menyangka aku tidak dapat mendakwa roboh padamu?" ia
kata, mengejek. "Hm! Gurumu ialah Tjio Keng To! Pedangmu di atas tembok
itu ialah pedang istana! Kau telah berkongkol sama kawanan perampas bingkisan!
Semua itu telah berada di dalam genggamanku, maka jikalau aku mengadu kepada
Sri Baginda, mungkin sekali Bhok Kokkong juga tidak bakal sanggup melindungi
kau!"
Tiat Keng Sim berbangkit
bangun. "Yang Tjong Hay, kau mau pergi atau tidak?" dia berseru.
"Benarkah kau menghendaki aku mengusirmu?"
Yang Tjong Hay tertawa
bergelak-gelak.
"Hari ini kau sedang
murka, kau tidak dapat memikir masak-masak!" katanya. "Sekarang aku
minta kau suka memikirkan berulang-ulang, nanti tiga hari kemudian, aku akan
datang pula mendengar keputusanmu!"
"Jikalau kau datang pula.
aku akan mengunci pintu, aku tidak bakal menyambut kau!" kata Keng Sim
sengit.
Lagi-lagi Tjong Hay tertawa.
"Hanya aku kuatir,"
dia berkata, "sampai itu waktu, mungkin kau yang mempunyai urusan dan akan
meminta sesuatu kepadaku! Apakah kau menganggap pangkat copot lantas sudah
saja? Baiklah, hari ini kita bicara sampai di sini, tanpa kau mengeluarkan
titahmu mengusir, aku akan berangkat pergi!"
Setelah orang berlalu, selang
sesaat, barulah kemendongkolannya Keng Sim menjadi sedikit reda. Ia menjadi
dapat menggunai otaknya dalam ketenangan. Mau tidak mau. hatinya menjadi tidak
tenteram. Ia tidak takut kehilangan pangkatnya. Hanyalah, kalau rahasianya itu
benar terbuka, ia tidak cuma hilang pangkatnya itu. ia juga malu untuk nama
baiknya. Pasti sekali Yang Tjong Hay bakal membeber nama baik itu yang didapat
bukan dengan cara yang layak. Bisa sekali menjadi semua orang gagah pelindung
bingkisan pelbagai propinsi bakal menuding padanya seraya berkata:
"Kiranya kau bukan mengandalkan kepandaianmu tetapi karena orang jahat
memandang persahabatan di antara kamu! Bangsat merampas barang kita, barangmu
tidak, melainkan kau sendiri yang lolos, bagaimanakau gagah!" Kalau sampai
terjadi begitu, ia akan menjadi sasaran panah. Dan kalau ia tidak mengangkat
kaki. raja pasti bakal menanya ia, kenapa bingkisan lain dirampas, bingkisannya
sendiri tidak. Memang ia bersalah besar, apapula kalau ia dituduh berkongkol
sama kawanan perampas itu. Umpama kata raja memandang Bhok Kokkong, ia tidak
dihukum mati, sedikitnya ia bakal dipenjarakan seumur hidup! Bagaimana kalau ia
meninggalkan pangkat nya, sekarang ia buron? Kalau ia buron, ke mana buronnya?
Pulang ke Inlam, ke istana Bhok Kokkong? Belum tentu hertog itu bakal
melindunginya. Bhok Kokkong tentu tidak dapat melindungi, bahkan tak mau
melindungi ia Habis, apa ia mesti pergi pada Sin Tjoe, masuk dalam rombongan
"penjahat"? Inilah ia tidak menghendaki. Dan dulupun ia tidak
menghendakinya. Pula ia memang tidak puas terhadap Yap Seng Lim. Apakah ia
mesti merantau seorang diri, hidup seumurnya dalam dunia kangouw? Inilah
agaknya jalan satu-satunya Dengan begitu ia kehilangan pangkat dan rumah
tangga. Bagaimana dengan isterinya yang cantik manis, yang lemah lembut itu?
Bukankah ia bercita-cita luhur tetapi karena buron, cita-citanya bakal menjadi
kanyut hilang?
Ruwet pikiran Keng Sim
memikirkan urusannya ini. Benarkah di dalam dunia yang luas ini tidak ada
tempat untuknya memernahkan diri? Jadi, apakah ia mesti menuruti ajarannya Yang
Tjong Hay, menipu dan membekuk Ie Sin Tjoe dan Thio Giok Houw, untuk
menyerahkan mereka itu kepada raja? Inilah hebat! Hal itu tak pernah ada dalam
benak pikirannya.
Akhirnya Keng Sim mengertak
gigi dan diam-diam bersumpah sendirinya: "Biarnya tubuhku hancur lebur dan
pangkatku musnah, biar aku bakal termusnah serumah tangga, sekali-kali tak
nanti aku melakukan tindakan yang mencelakakan entjie Sin Tjoe!"
Sekarang Keng Sim mesti
mengambil putusan. Menangkap Sin Tjoe, ia sungkan! Buron, ia tidak
menghendakinya. Maka ia menghiburi dirinya sendiri dengan memikir: "Belum
tentu Sri Baginda bakal mempercayai laporannya Yang Tjong Hay! Katanya Thio
Giok Houw melepaskan aku, mengasi aku lewat. Bukti apa dia punya? Tentang
pedang guruku, dapat aku, menerangkan pada Sri Baginda ketika aku menerima itu.
aku tidak tahu jelas tentang pedang itu. Sri Baginda menyayangi orang gagah dan
orang pandai, mustahil karena sebatang pedang ia nanti menghukum aku? Pula Yang
Tjong Hay telah memberi tempo tiga hari padaku, kenapa aku tidak mau bersabar?
Siapa tahu selama tiga hari itu akan terjadi sesuatu yang akan dapat merubah
malapetaka menjadi keselamatan atau kebaikan?"
Demikian Keng Sim mengambil
keputusannya akan "tidak menjual" Sin Tjoe. Ia lantas menjadi lega
hati. Ketika ia memandang ke jendela, matahari sudah mencorong masuk. Lantas ia
ingat undangannya Tjhian Tiang Tjoen, sepnya itu. Maka ia lantas menenangkan
diri, terus ia dandan, terus ia berlalu dari gedungnya, menuju ke gedung sep
itu, yang berada di depan gedungnya sendiri. Hanya, selagi mau keluar, ia
menanya pengawalnya apa Bhok Lin sudah pulang atau belum. Ia diberi jawaban,
bahwa iparnya itu belum juga kembali.
Tatkala tiba di gedung Tjhian
Tiang Tjoen dan mengasikan karcis namanya. Keng Sim disambut oleh Tiang Tjoen
sendiri, yang mementang pintu tengah. Tuan rumah lantas tertawa berkakak.
"Sungguh inilah yang
dibilang, orang besar pelupaan!" katanya riang gembira. "Aku justeru
hendak menyuruh orang untuk menyusuli kau!"
Keng Sim turut tertawa. Ia
menghaturkan maaf karena terlambat datangnya ini.
Kemudian orang masuk ke dalam
ke ruang besar di mana sudah berkumpul banyak orang, bahkan mereka semua pada
berbangkit untuk menyambut.
Keng Sim datang dengan
pikirannya sudah terang, melihat banyak orang, ia merasa senang, akan tetapi
setelah melihat tegas orang banyak itu. ia menjadi heran dan ketenangan dirinya
kembali terganggu. Ia melihat banyak wajah yang dikenal olehnya hingga ia
terperanjat.
Di situ ada Tjoa Hok Tjiang,
boesoe dari Kwietang, ada Wie Kok Tjeng dari Kwiesay. ada kedua tiangloo dari
Kiangsie Boen dari Sin-tjioe, Ouwlam, ialah dua saudara Tjiok --- Tjiok Hoe dan
Tjiok Tjiat. Pula ada Lim Kim Goan. piauwsoe tua dari propinsi Hokkian. Dan
yang lain-lainnya lagi. pelindung-pelindung bingkisan dari pelbagai propinsi,
yang bingkisannya dirampas Thio Giok Houw atau Liong Kiam Hong. Sungguh ia
tidak menyangka atas beradanya mereka itu di kota raja, bahkan di tempatnya
pemimpin utama pasukan Gielimkoen ini. Tanyanya dalam hati: "Kenapa mereka
semua datang kemari? Mungkinkah mereka semua mengetahui rahasiaku? Mungkinkah
mereka menjadi mengiri akan pangkatku ini dan mereka datang untuk
meruntuhkannya?"
Tjoa Hok Tjiang menyambut
sambil memberi hormat dan berkata: "Sungguh malu, sungguh malu, tak ada
muka aku si orang tua menemui kongtjoe! Syukur itu hari kongtjoe telah
menangkis musuh hingga aku dapat meloloskan jiwaku, hingga cuma bingkisan yang
dilindungiku yang lenyap..."
Keng Sim mengetahui kejadian
itu.
"Kejadian itu tak usahlah
dibuat pikiran," katanya, menghibur.
Tapi Wie Kok Tjeng mencampur
bicara, katanya nyaring: "Jikalau kongtjoe yang kehilangan bingkisan,
mungkin tidak ada halangannya, tidak demikian dengan kami yang tidak mempunyai
tulang punggung, hilangnya bingkisan berarti diri kita terancam bahaya! Mana
dapat kami bertenang diri?"
"Maka itu juga sekarang
kami, dengan menebali muka. ingin mohon bantuan kongtjoe," menambahkan Lim
Kim Goan.
Keng Sim bingung. Sungguh ia
tidak tahu maksud orang.
"Tuan-tuan terlalu
mengangkat padaku," ia berkata. "Di dalam peristiwa itu, aku bersyukur
kepada Thian yang aku dapat melindungi diriku. Kalau aku memikirnya, aku pun
jeri bukan main."
Sampai di situ, Tjhian Tiang
Tjoen datang sama tengah.
"Tiat Kongtjoe, silahkan
duduk!" ia berkata. "Sebentar kita bicara pula."
Keng Sim mengangguk. Diam-diam
ia memperhatikan wajah orang. Semua nampak berduka, tidak ada yang memandang
rendah atau mengejek padanya Biar bagaimana, hal itu melegakan juga sedikit
hatinya.
Mereka pergi ke ruang tetamu
di mana sudah ada orang lain.
Tjhian Tiang Tjoen lantas
mengajar kenal. Katanya: "Tuan ini ialah sahabat kami, maka kamu berdua,
tuan-tuan. silahkan kamu mengikat persahabatan!"
Keng Sim melihat tetamu itu
berumur kira tiga puluh tahun, romannya tampan, mirip dengan seorang pelajar.
Orang itu memberi kesan baik terhadapnya. Maka ia mengulur tangannya untuk
berjabatan.
"Siauwtee Tiat Keng
Sim," ia berkata. "Siauwtee mohon menanya she mulia dan nama besar
dari saudara."
"Siauwtee Kiauw Siauw
Siauw," menyahut orang itu. "Baru saja siauwtee tiba di kota raja ini,
Siauwtee bersyukur sekali jikalau saudara suka memberi pengajaran padaku."
Berbareng dengan perkataan
"memberi pengajaran" itu mendadak Keng Sim merasai tangannya
tergenggam keras, telapakan tangannya terdesak suatu tenaga kuat, hingga ia
menjadi kaget sekali, maka lekas-lekas ia mengerahkan tenaganya untuk
mempertahankan diri. Justeru ia menggunai tenaganya, tenaga pihak sana lenyap
dengan tiba-tiba, hingga tanpa merasa --- tanpa ia berdaya --- tubuhnya
terjerunuk ke depan.
Ia mesti menahan diriniasebisa-bisa,
kalau tidak, tentulah ia bakal menubruk lantai. Ia menjadi sangat mendongkol,
di dalam hatinya, ia kata. "Kiranya kau sengaja menguji aku!" Ia
sebenarnya hendak menegur, tapi Tjhian Tiang Tjoen telah maju untuk memegangi
ia.
"Lantai baru dicuci,
harap tuan-tuan berdua berhati-hati!" katanya tertawa.
Keng Sim masih melihat tubuh
si orang she Kiauw terhuyung, seperti juga dia baru mempertahankan diri. Ia
menjadi heran.
Pikirnya: "Aku
terjerunuk, mengapa dia pun terhuyung?" Tapi segera ia insaf. Teranglah,
orang itu jauh terlebih liehay dari padanya! Bahwa orang sengaja terhuyung,
berpura-pura untuk menutupi malunya.
Memang juga ada orang-orang
yang melihat mereka ini mengadu kepandaian secara diam-diam. Itulah hal umum di
dalam dunia Rimba Persilatan. Maka pun ada orang yang berseru dengan pujiannya:
"Tuan-tuan, kamu liehay sekali!"
Tanpa disengaja, karena
masing-masing mengerahkan tenaganya, kaki Keng Sim dan Siauw Siauw meninggalkan
bekas atau tapak di 'lantai, hingga kecuali Keng Sim sendiri, semua orang
menyangka kepandaian mereka, berdua berimbang.
Keng Sim menjadi bingung.
Iatidak tahu Kiauw Siauw Siauw ini orang macam apa. Ia tidak mengerti kenapa
tidak keruan-keruan orang menguji padanya. Ia tidak puas. Akan tetapi, melihat
orang toh melindungi mukanya ia tidak jadi mengubar hawa amarahnya itu.
"Maaf." berkata
Siauw Siauw sambil bersenyum. "Ilmu silat Tiat Taydjin liehay sekali,
pantaslah di antara bingkisan-bingkisan dari seluruh negara, cuma bingkisan
Taydjin seorang yang dapat dilindungi dengan selamat sampai di kota raja"
Keng Sim tidak menduga bahwa
perbuatannya Siauw Siauw itu dilakukan atas anjurannya Tjhian Tiang Tjoen. Maka
sekarang, mengetahui kepandaian Keng Sim cuma sebegitu. Tiang Tjoen dan si
penguji itu. Siauw Siauw. menjadi heran. Di dalam hatinya, mereka kata:
"Kepandaian Tiat Kongtjoe ini tidak dapat dibandingkan dengan kepandaian
Thio Giok Houw, lebih-lebih tidak terhadap Sin Ijoe. heran, kenapa dia dapat
melindungi bingkisannya sampai di kota raja dengan selamat? Mungkinkah benar
apa yang teruwar di luaran?"
Tjhian Tiang Tjoen
berpengalaman luas, mengingat kedudukan teguh dari Keng Sim, walaupun ia
bercuriga ia tidak mengasi kentara kecurigaannya itu.
Segera setelah orang pada
berduduk. Keng Sim mulai dengan perkataannya.
"Hari ini Tjhian Taydjin
memanggil aku. entah ada urusan apakah?" demikian ia tanya.
"Tugas dalam Gielimkoen
besar dan berat sekali," menyahut sep itu. "maka dengan aku
memperoleh bantuan Tiat Taydjin, aku merasa sangat bersyukur. Tiat Taydjin, cap
kebesaranmu telah selesai dibikin, dari itu aku minta sukalah ini hari kau
menerimanya, supaya besok Taydjin dapat lantas mulai menjabat pangkatmu dan
bekerja"
Keng Sim bersangsi.
"Kalau ini ditunda sampai
lain hari. tidak ada halangannya bukan?" tanyanya.
Tjhian Tiang Tjoen tertawa.
"Tiat Taydjin,"
katanya manis, "sudah belasan hari semenjak Taydjin tiba di kota raja ini,
maka itu tentang adat kebiasaan menyambut dan melayani pelbagai tetamu dapatkah
Taydjin kurangkan sedikit! Titah dari Sri Baginda Raja sudah keluar, maka itu
jikalau bukannya ada urusan yang istimewa, aku minta sukalah Taydjin mulai
bekerja lebih siang!"
Tiat Keng Simjusteru mempunyai
"urusan yang istimewa." Karena urusan itu, ia ingin menunda menjabat
pangkatnya itu. Tapi, bagaimana ia dapat menjelaskannya? Alasan apa ia
mempunyai untuk menunda?
Dalam keadaan sulit itu.
terpaksa ia menyambut cap kebesarannya.
Dengan serempak semua hadirin
bertempik sorak, setiap orang memberi selamat kepada ini hoetongnia yang baru
dari pasukan Gielimkoen.
Teranglah sudah bahwa semua
ini telah diatur terlebih dulu oleh Tjhian Tiang Tjoen, guna dia dapat
menyambut pembantunya secara terbuka dan terhormat itu.
Tiat Keng Sim mengerti juga
urusan di dalam dunia pembesar negeri, ia menjadi memikir apa-apa, maka ia kata
di dalam hatinya: "Aku telah menerima cap kebesaranku, ini artinya aku
telah menerima dengan resmi pangkatku. Sebenarnya aku dapat menerima cap berbareng
di hari mulai bekerja, sekarang dia menerimakannya dulu cap ini, dan dia pula
mengatur ini pesta, apakah maksudnya? Apakah dengan begini dia sengaja
menghormati aku? Menghendaki menetapkan dulu secara resmi pangkat dan
kedudukanku ini, agar aku tidak dapat menampik lagi? Ah, mungkin dia hendak
lantas memberikan sesuatu tugas padaku..."
Terkaan Keng Sim yang
belakangan ini --- ialah bahwa dia bakal diserahi tugas --- telah terbadek itu.
Lantas terdengar Tjhian Tiang
Tjoen tertawa riang.
"Tiat Taydjin," dia
berkata, "Taydjin telah menerima cap kebesaranmu, hatiku lega
separahnya!" Dia berhenti sebentar, lalu dia meneruskan dengan
sungguh-sungguh: "Taydjin, pertemuan hari ini sebenarnya ialah pertama aku
mengundang kau untuk menerima cap kebesaranmu ini dan kedua ialah ada urusan
yang aku hendak damaikan bersama Taydjin."
Keng Sim sudah menerima capnya
menyesal pun sudah kasip. Maka ia kata: "Siapa makan gaji Junjungannya,
dia mesti mengicip separuh dari kesulitan Junjungannya itu, maka itu. urusan
apakah itu, Tjhian Taydjin, silahkan kau titahkan saja!"
"Siapa makan gaji
Junjungannya, dia mesti mengicip sebagian dari kesulitan Junjungannya itu,
sungguh benar, sungguh benar!" berkata Tjhian Tiang Tjoen. "Memang
benar ada satu urusan yang besar dan penting untuk mana aku mau memohon Tiat
Taydjin suka mengicip sebagian dari kesulitannya Sri Baginda Raja!"
Mendengar kata-kata tongnia
itu. mata semua hadirin ditujukan kepada Tiat Keng Sim.
Tiang Tjoen cuma berhenti
sebentar.
"Sri Baginda naik di
tahta sudah setengah tahun lebih," ia melanjuti, "akan tetapi cuma
bingkisan dari Inlam yang telah tiba, yang lainnya semua kena dirampas penjahat
di tengah jalan. Di samping itu, perampasan itu mempunyai akibat lainnya yang
hebat sekali, yang mengenai keluarga atau jiwanya pelbagai piauwsoe atau
pelindungnya yang bersangkutan. Mulanya kami telah memikir untuk menyembunyikan
perampasan itu terhadap Sri Baginda, kami mengharap nanti dapat berdaya
mendapatkannya kembali, lalu ternyata, hal itu tidak dapat ditutup lebih lama
pula. Demikianlah kami memohon pertolongannya
Hoeljongkoan untuk melaporkan
kepada Sri Baginda. Mengenai perampasan itu, Sri Baginda menjadi gusar sekali,
dari itu sekarang telah dikeluarkan firman untuk mencari si orang-orang jahat.
Oleh karena itu, Tiat Taydjin, kami terpaksa memohon bantuanmu..."
Keng Sim terkejut dalam
hatinya.
"Apa bilangnya firman
itu?" ia tanya.
"Sri Baginda menyerahkan
tugas di atas diri kita berdua." Tiang Tioen menjawab. "Kita
ditugaskan menangkap si orang-orang jahat serta merampas pulang semua bingkisan
yang hilang itu."
Keng Sim kaget sekali.
"Apakah ada diberikan
batas waktu?" ia tanya pula.
"Ya. satu bulan,"
kata Tiang Tjoen. "Jikalau sampai batas itu kita masih belum berhasil,
tidak cuma kita yang mesti bertanggungjawabjuga banyak orang lain yang
bersangkutan."
"Bagaimana itu?"
"Tokboe dari pelbagai
propinsi yang bersangkutan itu bakal dipecat pangkatnya, dan semua pembesar
propinsi, yang mengurus pengiriman bingkisan itu, berikut semua piauwsoe atau
boesoe. akan ditangkap dan dimasuki ke dalam penjara, untuk diperiksa dan
dihukum berat. Sebaliknya, jikalau kita berhasil, besar sekali faedahnya.
Pertama-tama ialah Sri Baginda tidak hendak mengumumkan peristiwa perampokan
ini dan kedua, karena baru naik di singgasana, Sri Baginda tidak sudi menghukum
banyak orang. Maka juga, tidak melainkan kita berjasa besar, pula semua tokboe
akan ketolongan masing-masing kedudukannya, dan semua pembesar yang
bersangkutan itu serta semua piauwsoe, turut tertolong juga. Begitulah maka
sekarang ini semua piauwsoe telah berkumpul di sini, untuk menantikan segala
titah Taydjin."
"Untuk menantikan segala
titahku?" Keng Sim mengulangi, hatinya berdebaran.
"Tiat Taydjin dapat
melindungi bingkisan hingga di kota raja," kata Tjhian Tiang Tjoen,
"maka itu, untuk menghadapi kawanan perampas, Taydjin tentu mempunyakan
daya upayanya. Untuk dapat membekuk si penjahat itu, tidak dapat tidak kami
semua mengandal kepada Taydjin seorang!"
"Aku, aku mana dapat
memikul tanggungjawab besar ini?" kata Keng Sim. "Kemampuanku sangat
terbatas..."
"Jangan terlalu merendah.
Taydjin!" Tiang Tjoen mendesak. "Dengan seorang diri Taydjin dapat
melindungi bingkisan dan berhasil memukul mundur pada orang-orang jahat, maka
justeru sekarang sudah berkumpul jago-jago dari pelbagai propinsi, yang
diperbantukan pada pasukan Gielimkoen, mustahil perkara tidak dapat dipecahkan?
Jikalau Taydjin menolak, mungkin semua piauwsoe dan boesoe di sini tidak akan
mau mengerti!"
Atas kata-kata tongnia
Gielimkoen itu, lantas semua piauwsoe atau boesoe itu mengajukan permintaan
tolongnya, bahkan ada yang berkata dengan nyaring: "Tiat Taydjin, apakah
kau cuma mengingat saja kedudukanmu yang mulia dan kau tidak mau memperdulikan
lagi keselamatan jiwa kami serta keluarga kami?"
Keng Sim cerdas tetapi
sekarang ia kena dibikin bingung.
Tengah suasana buruk itu untuk
menantunya Bhok Kokkong, seorang pengawal bertindak masuk dengan laporannya.
"Hoe Tjongkoan Hoe Taydjin tiba!"
Semua orang lantas berdiam.
Tanpa menanti lagi titah
Tjhian Tiang Tjoen, untuk mengijinkan orang masuk atau untuk menyambut,
diambang pintu lantas terlihat masuknya satu orang yang berpangkat besar dan
romannya keren.
Keng Sim terkejut. Ia lantas
mengenali Hoe Koen Tjip, Taylwee Tjongkoan yang baru, yang telah menggantikan
tempatnya Yang Tjong Hay.
Tjhian Tiang Tjoen lantas maju
untuk menyambut dengan hormat.
"Hoe Tjongkoan datang
kemari, adakah ini berhubung sama perkara perampokan barang-barang
bingkisan?" Keng Sim tanya.
"Benar!" mejawab Hoe
Koen Tjip. "Sri Baginda Raja telah menerima baik usulku supaya urusan ini
di kepalai oleh Tiat Taydjin. Tiat Taydjin sendiri telah berada di sini, inilah
bagus sekali! Bukankah kau telah memberi keterangan kepada Tiat Taydjin?"
Tjongkoan ini berbicara bergantian
pada Tiang Tjoen dan Keng Sim, akan akhirnya berbicara pula dengan tuan rumah,
si tongnia dari Gielimkoen.
"Ya, aku telah
memberitahukannya," menyahut tongnia itu. "Hanya Tiat Taydjin sendiri
yang masih ragu-ragu..."
Hoe Koen Tjip tertawa
terbahak.
"Tiat Taydjin!"
katanya nyaring, "ketika ini ialah ketika paling baik untukmu membangun
jasa besar, mengapa kau bersangsi?"
"Sebab tempo satu bulan
terlalu pendek!" Keng Sim menjawab. "Kawanan penjahat itu tidak
ketentuan tempat kediamannya dan kita sama sekali belum memperoleh
endusan..."
"Oh, demikian kiranya
kesulitan Taydjin?" berkata tjongkoan itu, yang kembali tertawa.
"Umpama kata Taydjin mendapat tahu tentang penjahat itu, apakah Taydjin
hendak segera berangkat untuk turun tangan?"
Di dalam hatinya, Keng Sim
kaget bukan main. Terpaksa ia mesti memberikan jawabannya.
"Itulah pasti!"
demikian ia menyahut.
"Selamat, Tiat Taydjin,
selamat!" berkata Koen Tjip sambil tertawa bergelak-gelak. "Aku si
Hoe tua hendak mengantarkan jasa besar kepadamu! Perkara itu dapat diurus beres
tanpa satu bulan tempo! Hanya sekarang juga si orangjahat akan dapat
dibekuk!"
Kata-kata ini membuat kaget
semua hadirin. Bahkan Keng Sim sampai suaranya bergemetar ketika ia berkata:
"Hoe Tjongkoan, kau... kau berguraukah?"
"Urusan begini penting,
mana dapat kita bergurau?" berkata Koen Tjip. "Aku telah mendapat
keterangan jelas sekali, si biang penjahat pria dan wanita sekarang berada di
kota raja ini! Kita tidak dapat berayal lagi, Tiat Taydjin, aku minta sekarang
juga Taydjin turun tangan!"
Kagetnya Keng Sim bukan
kepalang. Ia telah mencoba menenangkan diri tetapi masih kentara roman
bingungnya.
Justeru suasana sangat tegang
itu, pula ada pengawal yang bertindak masuk untuk melaporkan: "Bhok
Siauwkongtia tiba!"
Belum lagi kata-kata itu
berhenti mendengung, Bhok Lin nampak bertindak masuk dengan diikut dua orang
pengiring. Dia bertindak masuk terus tanpa menanti Tjhian Tiang Tjoen keluar
menyambut.
Dua pengiring anak hertog dari
Inlam itu, yang satu tua, yang lainnya muda. Yang tua berumur hampir lima puluh
tahun, yang muda baru dua puluh lebih. Kulit mereka berdua bcrsemu kuning,
roman mereka tidak luar biasa. Melainkan sinar mata mereka yang tajam sekali
dan mereka mengintil rapat di belakangnya si anak muda.
Keng Sim mengawasi dengan
heran. Ia tidak kenal dua pengiring dari iparnya itu. Ia pun heran atas
datangnya ipar ini. Adakah Bhok Lin lagi main sandiwara? Dari mana Bhok Lin
memperoleh dua pengiring itu?
Bhok Lin mendatangi dengan
matanya menyapu semua hadirin, ketika ia mengawasi Keng Sim, tjiehoe-nya itu,
sinar matanya memain, seperti ada maksudnya, setelah mana tiba-tiba ia tertawa
dan berkata kepada Tjhian Tiang Tjoen: "Ha, begini ramai! Tjhian Taydjin,
mengapa kau tidak mengundang aku?"
Dengan kedudukannya itu, orang
siapakah tidak mau mengangkat, atau sedikitnya, menghormati Bhok Lin itu? Maka
itu Tjhian Tiang Tjoen, sebaliknya daripada kurang senang, lantas tertawa
"Aku kuatir tidak dapat
aku mengundang siauwkongtia!" katanya "Sekarang siauwkongtia sudi
datang kemari, sungguh aku girang sekali!"
"Aku memang paling
menggemari keramaian!" kata Bhok Lin, tetap tertawa. "Aku tidak suka
pergi ke tempat lain, kesini adalah lain! Di sini ada arak harum yang dapat
diminum, ada urusan baru yang sedap didengar! Lebih pula, aku akan berkenalan
dengan begini banyak orang gagah perkasa! Ha, aku memang lagi pepat sekali
pikiranku, kenapa aku tidak sudi datang kemari? Lihat, begitu aku tiba aku
seperti mendengar kamu sedang berniat menangkap orangjahat. Dan sekarang juga!
Bukankah di antara penjahatnya ada wanitanya?"
"Benar, benar!"
menyahut Tjhian Tiang Tjoen. "Aku justeru lagi minta tjiehoe-mu bertindak
sekarang juga!"
"Aku turut,
dapatkah?" tanya Bhok Lin.
"Sebenarnya tidak berani
aku mengganggu siauwkongtia..." sahut Tiang Tjoen tertawa
Boesoe Sin Kok Tjeng dari
Kwiesay turut bicara.
"Siauwkongtia turunan
panglima perang, kepandaiannya liehay sekali," katanya "Ketika di
tengah jalan aku bertemu sama kawanan penjahat, siauwkongtia telah
memperlihatkan kepandaiannya itu!"
"Jikalau siauwkongtia
pasti-pasti ingin turut, marilah turut kita!" kata Tjhian Tiang Tjoen.
"Hanyalah, baiklah siauwkongtia turun tangan kalau ternyata kami telah
tidak berdaya!"
Kali ini Tiang Tjoen omong
sesungguh hatinya. Ia kuatir Bhok Lin sembrono. Jikalau anak hertog itu
terluka, hebat tanggung jawabnya.
Bhok Lin sebaliknya tertawa
haha-hihi.
"Nah, kau ajaklah
aku!" katanya. "Untukku ialah asal ada keramaian yang dapat
dilihat!"
Selagi puterahertog dari Inlam
itu berbicara demikian akrab dengan Tjhian Tiang Tjoen, dua pengiringnya
mendekati Tiat Keng Sim.
"Ada kabar apa dari
rumah?" tanya Keng Sim pada mereka itu. Ia heran dan lantas ingat sesuatu
apa
"Ada beberapa taydjin
yang datang menjenguk kouw looya." menyahut pengiring yang muda. "Kartu
nama mereka itu telah aku simpan. Ada lagi surat dari satu tuan dari Tjiatkang
Hwee Koan. Nah. ini suratnya aku bawa"
Mendengar suara orang itu,
Keng Sim girang bukan main, tetapi ia mengendalikan dari untuk tidak mengasi
kentara kegirangannya itu, bahkan sebaiknya, ia menunjuki roman jengkel dan
tidak senang, alisnya dikerutkan.
"Segala gegobrak!"
katanya, tak puas. "Segala orang sesama kampung, kalau dia tidak minta
tolong sesuatu tentu dia minta duit, sungguh menyebalkan! Tapi baiklah, karena
kau telah membawa suratnya itu. mari kasih aku lihat!"
Pengiring itu memberikan surat
yang disebutkan itu.
Keng Sim membuka surat itu, ia
membaca dengan cepat, terus ia melemparkannya.
"Benarlah dugaanku!"
katanya sengit. "Benar-benar dia minta tolong! Surat ini kau bawa pulang,
kau catat namanya, kau serahkan pada tuan sekretaris, bilang cobalah mendayakan
dia itu pekerjaan apa saja di kecamatan. Tentang ini, aku tidak ingin dibikin
pusing lagi!"
"Baik, Taydjin."
menyahut si pengiring. Ia membungkuk akan memungut surat yang dilemparkan itu
Selama itu. Kiauw Siauw Siauw
senantiasa memperhatikan kedua pengiringnya Bhok Lin itu. karena ia merasa
aneh. Di dalam hatinya pun ia berkata: "Aku seperti pernah ketemu sama ini
pengiring muda. Kenapa aku tidak ingat? Dilihat dari sinar matanya dia mestinya
mengerti ilmu silat... Dilihat gerak-geriknya dia tak mungkinnya menjadi bujang
orang... Inilah aneh..." Ia juga heran melihat orang menyerahkan surat
itu, meski ia bercuriga, ia tidak berani maju untuk melihat surat itu. Tapi
saking curiga, ketika orang sudah mengundurkan diri, ia menghampirkan kedua
pengiring itu.
"Apakah djiewie koankee
mengikut siauwkongtia dari Inlam?" ia tanya mereka Ia bersikap ramah
tamah, sebagaimana ia pun menyebut orang koankee, kuasa rumah. "Pasti
djiewie banyak capai! Bolehkah aku numpang tanya she mulia dan nama besar
djiewie koankee?" Lantas ia mengulur tangannya, untuk berjabatan.
Sebenarnya Siauw Siauw
menyodorkan tangan kepada si pengiring muda, akan tetapi si pengiring tua
mendahului kawannya menyambut tangannya itu.
Begitu lekas mereka sudah
berjabatan. Kiauw Siauw Siauw mengerahkan tenaga dalamnya, ia menyalurkan itu
ke tangannya, untuk disalurkan terlebih jauh ke tangan orang.
Si orang tua berjabat tangan
sambil berkata dengan hormat sekali: "Aku yang rendah bernama Thio Sam.
Aku bersyukur yang tuan begini baik hati terhadap kami. Bolehkah aku numpang
tanya she mulia dan nama besar tuan?"
Kiauw Siauw Siauw telah
meyakinkan ilmu Sioelo Imsat Kang sampai di tingkat ketiga, biasanya sekalipun
orang kangouw kelas satu, tidak nanti sanggup bertahan berjabat tangan
dengannya apabila ia menggunai ilmunya itu yang luar biasa, akan tetapi kali
ini ia mengalamkan kejadian yang luar biasa sekali. Penyaluran tenaganya itu
tidak mendatangkan perubahan apa juga pada si pengiring tua, tidak ada
akibatnya sama sekali, orang seperti tidak merasakan sesuatu, hingga ia menjadi
sangat heran. Justeru ia heran itu, justeru ia merasai suatu hawa dingin yang
menyerang padanya, menyerang terus sampai ke uluhatinya sejenak saja, ia merasa
seperti tercebur ke dalam guha es, dinginnya luar biasa, sukar tertahankan.
Maka ia lantas mengertak gigi, lekas-lekas ia melepaskan jabatannya, dengan
menggigil, ia menyahut: "Thio Koankee liehay sekali, maaf, maaf! Aku yang
rendah she Kiauw dan namaku Siauw Siauw..."
"Oh, kiranya Kiauw
Toaya!" berkata si pengiring muda, yang bertindak mendekati.
Siauw Siauw takut pemuda itu
pun liehay seperti si pengiring tua ia takut untuk saling berjabat pula, maka
itu, ia menggunai alasan untuk menyingkir. Ada sebabnya kenapa ia menjadi
ketakutan. Ialah tenaga Sioelo Imsat Kang yang ia salurkan kepada orang, selain
tenaga itu sudah tidak memberi hasilnya, sebaliknya ia tertolak keras tenaga
dalam si pengiring tua, tidak dapat ia lawan itu. Ia menjadi kaget karena ia
ketahui baik sekali, selagi ia tidak dapat melukai orang, ia sendiri yang akan
terluka. Maka lekas-lekas ia melepaskan tangannya itu. Ia heran sekali. Ia tahu
cuma ia dan ayahnya yang mempelajari Sioelo Imsat Kang, maka itu, kecuali orang
yang tenaga dalamnya sangat mahir, tidak nanti ada yang dapat melawan mereka
berdua. Si pengiring tua tidak terserang, bahkan dia dapat membalas. Tidakkah
itu hebat? Syukur untuknya, ia pandai ilmu menyelamatkan diri, guna lolos dari
serangan si pengiring tua. Walaupun demikian, masih mesti lewat beberapa saat
sebelum hawa dinginnya buyar lenyap.
Tjhian Tiang Tjoen heran
melihat orang mundur ke pojok bagaikan lagi menyembunyikan diri dan mukanya pun
menjadi pucat sekali. Ia lantas menghampirkan.
"Saudara Kiauw. apakah
kau kurang sehat?" ia tanya. Ia memang tidak mendapat tahu apa yang telah
terjadi selama orang bersalaman sejenak itu.
"Tidak, tidak
apa-apa," menyahut orang yang ditanya. Tapi ia ingat suatu apa, segera ia
menambahkan: "Dua pengiringnya siauwkongtia itu rada aneh, maka baiklah
kau memperhat i kan nyai"
"Bagaimana anehnya?"
Tiang Tjoen tanya.
"Barusan aku telah
menguji mereka, nyata mereka liehay ilmu silatnya."
"Kalau begitu, tidak
aneh. Kokkong mempunyai siauwkongtia sebagai anak satu-satunya, untuk
melindungi puteranya dia pasti memakai orang-orang yang liehay."
"Tetapi ilmunya itu
liehay luar biasa," kata Siauw Siauw pula. "Saudara Tjhian maafkan
aku bicara terus terang. Menurut pandanganku, mungkin kita bukan tandingan
mereka itu!"
Baru sekarang Tiang Tjoen
terkejut.
"Pengiring yang tua itu
menyebutkan diri bernama Thio Sam," kata pula Siauw Siauw. "Aku
percaya itulah nama palsu. Pula yang aneh dari mereka itu. dengan kepandaian
mereka demikian tinggi, kenapa mereka sudi menjadi pengiring?"
Tjhian Tiang Tjoen pun heran,
ia lantas berpikir.
"Turut
penglihatanku." katanya kemudian, "mungkin ini sebabnya Tiat Keng Sim
berhasil melindungi bingkisannya. Mungkin Keng Sim mengandali ini dua orang.
Jadi apa yang orang omongkan di luaran tidak dapat dipercaya habis."
Apa yang Tiang Tjoen dengar di
luaran itu ialah halnya Keng Sim kenal baik orang-orang yang merampas
bingkisan.
Ketika itu. Keng Sim dan Koen
Tjip seperti lagi perang dingin. Keng Sim mencoba memperayal urusan, supaya ia
mendapat tempo, Koen Tjip sebaliknya mendesak, minta penangkapan dilakukan
segera, tidak perduli waktu malam. Kesudahannya Keng Sim kalah desak, ia
kewalahan. Ia tahu, kalau ia terus menolak, rahasianya bisa pecah.
"Karena penjahat itu telah
ketahuan tempat berdiamnya," ia berkata "baiklah sebentar malam jam
tigaTaydjin datang berkumpul, untuk kita berangkat bersama-sama."
Hoe Koen Tjip tertawa.
"Tidak usah aku pulang ke
keraton!" katanya. "Aku akan berdiam terus di sini, untuk menunggu
saudara, guna kita berangkat bersama-sama Sehabisnya pesta ini, kita pun mesti
mengatur sesuatu, dari itu, saudara Tiat, kau pun baik tak usah pulang
lagi!"
Keng Sim mengeluh di dalam
hati, sedang ia telah memikir sebubarnya pertemuan hendak ia menggunai ketika
untuk pulang ke gedungnya. Dengan desakannya Hoe Koen Tjip itu, ia menjadi
tidak bisa berkisar dari tempat pesta ini. Terang Koen Tjip mau menahan ia
sampai selesai penangkapan orang jahat.
"Mungkinkah dia bekerja
begini karena kisikannya Yang Tjong Hay?" pikirnya kemudian. "Tapi
Yang Tjong Hay telah memberikan tempo tiga hari padaku?... Agaknya malam ini
aku tidak bakal lolos, maka baiklah aku bertindak seperti bunyinya surat
barusan, umpama kata aku mesti mati, aku mati tak kecewa terhadap entjie Sin
Tjoe..."
Keng Sim menduga jelek kepada
Yang Tjong Hay, dugaannya itu meleset. Sebaliknya, Hoe Koen Tjip telah
memperoleh endusan yang Yang Tjong Hay lagi berichtiar untuk mendapatkan pulang
pangkatnya, pangkat Taylwee Tjongkoan itu. Karena ini, Koen Tjip lantas bekerja
cepat, untuk mendahului Tjong Hay, mendahului menangkap kawanan perampas
bingkisan yang mereka cari itu. Dari lain sumber ia telah mendapat tahu halnya
le Sin Tjoe telah datang ke kota raja bahkan pembawa berita itu menjelaskan
bahwa Keng Sim dan Sin Tjoe ada sahabat-sahabat lama dan perhubungan mereka
berdua sangat akrab. Ini pula sebabnya maka KoTh Tjip mengatur rencana mendesak
Keng Sim menangkap Sin Tjoe itu.
Segera setelah selesai
pembicaraan, Tjhian Tiang Tjoen mulai dengan perjamuannya. Hoe Koen Tjip duduk
di sisi Keng Sim, sedang Tjhian Tiang Tjoen menemani Bhok Lin di lain meja
Setelah orang minum tiga
idaran, Hoe Koen Tjip mengangkat cawannya, sambil tertawa, ia kata: "Malam
ini Tiat Taydjin bakal bekerja sendiri, pastilah kawanan penjahat menjadi
seperti binatang pie di dalam korang, pasti mereka bakal kena dibekuk! Mari
kita memberi selamat lebih dulu pada Tiat Taydjin!"
Girang sekalian piauwsoe dan
boesoe pelbagai propinsi mendengar yang perampas bingkisan yang dilindungi
mereka bakal dibekuk sebentar lagi, itu artinya mereka bakal bebas dari
malapetaka, maka semua menjadi sangat gembira.
"Benar, benar!"
mereka berseru-seru, terus mereka mengangkat cawan mereka, untuk turut memberi
selamat.
Semua mata lantas diarahkan kepada
Keng Sim, siapa sebaliknya diam-diam memperhatikan kedua pengiringnya Bhok Lin.
Ia tetap bingung tetapi ia mencoba menguasai diri. Ia mendapat kenyataan,
mereka itu berdua juga memperhatikan padanya.
Hoe Koen Tjip bermata tajam,
ia merasa sikapnya Keng Sim lain.
"Tiat Taydjin. mengapa
kau tidak minum?" tanyanya seraya membentur cawannya hoetongnia dari
pasukan Gielimkoen itu.
Keng Sim menyambuti, tetapi
kemudian, mendadak ia menanya
"Hoe Tjongkoan. kau
bilang bahwa kau telah mendapat tahu halnya si orang jahat, siapakah mereka
itu?"
"Kapan nanti telah tiba
waktunya kau akan ketahui sendiri," sahut si tjongkoan.
"Hoe Tjongkoan. apakah
kau tidak percaya aku?" Keng Sim tanya. "Aku telah dipujikan kamu
berdua untuk aku yang mengepalai penangkapan penjahat ini. habis, apakah aku
tidak boleh mengetahui sekalipun siapa si penjahat itu?"
"Bukan begitu, bukannya
taydjin tidak dipercaya." menyahut Hoe Koen Tjip. "Di sini ada banyak
orang, •aku kuatir rahasia nanti bocor..."
"Mana bisa rahasia
bocor!" Keng Sim mendesak. "Hadirin di sini semuanya boesoe yang
bingkisannya dirampas penjahat! Lagi pula, sekarang kita semua berkumpul di
sini, kita tidak bakal berpisah pula sampai sebentar jam tiga. mana bisa
rahasia bocor?"
Hoe Koen Tjip terdesak. Memang
tidak pantas Keng Sim tidak ketahui penjahat yang bakal ditangkap itu siapa
adanya. Untuknya, yang penting ialah agar Keng Sim suka terus ikut padanya.
"Dua orang jahat yang
hendak dibekuk itu. merekalah pria dan wanita," ia memberikan
keterangannya. "Yang pria bernama Thio Giok Houw, yang wanita Ie Sin Tjoe,
dan mereka semua murid-muridnya Thio Tan Hong. Ilmu silat mereka liehay, maka
itu malam ini kita semua harus bekerja keras. Aku mengundang semua saudara
turut bersama."
Mendengar disebutnya dua nama
itu. yang mereka juga baru dengar, semua hadirin itu mengasi dengar suara heran
atau kaget. Di antaranya ada Sanhoa Liehiap yang tersohor.
"Bukankah kau menyebutkan
nama Ie Sin Tjoe?" Keng Sim tanya, keras. "Lain orang siapa juga
dapat aku pergi menangkapnya, kalau nona itu, tidak, tidak dapat aku turut
kamu!"
Hoe Koen Tjip heran hingga ia
melengak.
"Kenapa orang itu tidak
dapat ditangkap?" dia tanya kemudian, suaranya pun keras. "Kau toh
bekerja untuk Sri Baginda Raja! Apakah dalam urusan ini orang boleh mementingkan
urusan pribadi?"
Tiat Keng Sim mengerti
kesulitannya. Memang tidak dapat ia mengelakkan titahnya raja Tapi juga benar,
tidak dapat ia menawan Sin Tjoe. Terpaksa ia mesti mengambil jalan yang
ditunjuk. Mendadak ia menghunus pedangnya menikam ke arah tenggorokannya!
Tjhian Tiang Tjoen duduk di
lain mejatetapi dekat sama mejanya Keng Sim dan Hoe Koen Tjip itu, selama itu
ia pun memperhatikan pembicaraan orang hingga ia mengerti suasana tegang itu,
maka itu ia mendapat lihat kenekatannya Keng Sim. Tanpa ayal lagi ia bertindak
ialah ia menyampok pedangnya menantu Bhok Kokkong itu, hingga tikaman itu
nyasar dari tujuannya. Meski begitu, Keng Sim pun terus roboh hingga tubuhnya
tidak berkutik lagi.
Hoe Koen Tjip kaget bukan
kepalang. Ia berbangkit untuk menghampirkan Keng Sim, untuk melihatnya sambil
membungkuk. Kesudahannya ia menjadi terlebih-lebih kaget, hingga ia
menjerit-jerit: "Celaka! Celaka! Dia mati! Dia mati!..."
"Apa? Mati?" tanya
Tiang Tjoen kaget. Ia heran hingga ia kata di dalam hatinya: "Toh pedang
Keng Sim kena aku sampok mental! Toh pedang itu tidak menusuk tenggorokan, cuma
mengenai kulit sedikit! Kenapa dia lantas mati?"
Mukanya Koen Tjip pucat,
seorang diri dia mengoceh: "Tiat Taydjin... dia?... dia membunuh diri
dengan merusak nadinya, dia tidak dapat ditolong lagi..."
Tiang Tjoen tercengang.
"Benarkah?" ia
menanya, saking heran. Ia lantas memegang hidung orang. Di situ tidak ada hawa
panas, dan hidung mulai dingin. Yang lebih hebat, kecuali luka di nadi, dari
mulut, hidung, mata dan kuping Keng Sim juga keluar darah.
Selagi Tjhian Tiang Tjoen
hendak melanjuti memeriksa tubuhnya Keng Sim itu, Bhok Lin, yang menangis
menggerung-gerung, lantas berteriak: "Bagus ya! Kamu mendesak hingga
tjiehoe-ku membunuh diri! Mari kita menghadap Sri Baginda!" Koen Tjip
menjadi bingung. "Mari kita bicara dulu!" ia berkata.
"Celaka!" bentak Bhok Lin. "Kamu telah memaksa tjiehoe hingga
mati, apakah kamu masih hendak mendesak dia?"
Selagi begitu, mendadak Tiang
Tjoen merasai pinggangnya kaku, tubuhnya pun terhuyung hingga beberapa tindak,
ketika iamelihat, ia mendapatkan pengiring yang tua dari si pangeran muda telah
mengambil tempatnya berdiri, sambil membungkuk hamba tua itu lagi memeriksa
tubuhnya Keng Sim. Ia kaget bukan main. Sebab ia telah dibentur hamba tua itu.
Ia kepala Gielimkoen, ilmu silatnya liehay, tetapi orang dapat membentur ia
secara demikian, bahkan tanpa ketahuan lagi.
Hamba tua itu memeriksa hidung
Keng Sim.
"Benar-benar ia sudah
meninggal dunia," kata dia kemudian seraya berpaling kepada Bhok Lin.
"Napasnya sudah berhenti jalan!"
Tiang Tjoen menjadi jeri.
bahkan ia tidak berani turut memeriksa.
Bhok Lin melihat semua orang
diam, sambil masih menangis sesenggukan, ia lantas pondong tubuhnya Keng Sim,
untuk dipanggul, buat lantas dibawa pergi. Ia hendak membawanya pulang.
"Bhok Siauwkongtia, kau
tunggu sebentar," berkata Hoe Koen Tjip, mencegah. Ketika itu ia mulai
dapat berpikir. "Mari kita bicara dulu..."
"Apa lagi yang hendak
dibicarakan!" kata si pangeran muda keras. "Aku mau pergi kepada Sri
Baginda untuk Sri Baginda yang memutuskan!"
"Tadi Tiat Taydjin
mengeluarkan kata-kata yang berarti melawan titah, siauwkongtia, bukankah kau
mendengarnya?" kata Koen Tjip.
"Tidak, aku tidak
dengar!" Bhok Lin menyangkal.
"Siauwkongtia tidak
mendengar tetapi orang di sini, semua mendengarnya!" katapuIaKoen Tjip.
Dia tidak mau kalah desak.
"Baiklah, kita berpegang
kepada pengakuan masing-masing!" kata Bhok Lin. "Kita lihat saja
nanti, Sri Baginda mempercayai siapa! Di sini semua orang sebawahanmu, atau ada
mereka yang mengharap-harap sesuatu dari kau, tentu sekali mereka akan bicara
baik untukmu! Eh, Thio Sam, kau dengar apa katanya tjiehoe¬ku tadi?"
"Hamba tidak dengar
apa-apa," menjawab si hamba tua.
Semua hadirin ketahui Bhok Lin
mendusta, tetapi karena sudah terang Tiat Keng Sim mati karena didesak Tjhian
Tiang Tjoen dan Hoe Koen Tjip, karena mereka berpangkat rendah, mereka memikir
untuk tidak berbantahan dengan pangeran muda itu, maka itu, karena Hoe Koen
Tjip tidak menanya tegas pada mereka, mereka berdiam saja
Hoe Koen Tjip berpikir
sejenak, lantas dia tertawa.
"Mungkin siauwkongtia
tidak mendengarnya terang-terang," katanya. Ia bersikap ramah.
"Apakah benar siauwkongtia hendak menghadap Sri Baginda untuk meminta
keadilan? Di sini ada banyak orang, jikalau Sri Baginda ingin mengetahui
duduknya hal yang benar, aku kuatir... aku kuatir... Tiat Taydjin tetap mati
dan perkaranya tak dapat diputuskan, bahkan Kokkongya sendiri bakal turut ke
rembet-rembet... Mengingat sama-sama rekan, benar-benar aku tidak berniat
memperpanjang urusan, maka turut aku, baiklah peristiwa ini tidak diumumkan.
Aku rasa baiklah dibilang sajaTiat Taydjin mati mendadak, lalu siauwkongtia
yang melapurkannya kepada Sri Baginda. Tidakkah itu bagus?"
Biar bagaimana, Taylwee
Tjongkoan ini jeri. Keng Sim adalah orang yang baru berjasa dan dihargai raja,
dia pun menantu dari Bhok Kokkong dari Inlam. jikalau perkara ditarik panjang,
dia bakal kalah pengaruh. Bhok Kokkong berkuasa besar di Inlam, tenteranya pun
kuat, mestinya raja menghargakan padanya Kalau kata-katanya Keng Sim sampai
dikuping raja, mesti perkara berubah menjadi besar dan hebat. Keng Sim sudah
mati, dia tidak bisa didengar kesaksiannya. Atau umpama kata dia yang menang,
peristiwa toh tidak memberi keuntungan apa-apa untuknya. Di lain pihak lagi, ia
takut untuk memberikan ketika kepada Yang Tjong Hay, yang lagi berdaya untuk
memperoleh kembali pangkatnya itu. Jadi untuknya, jangan menanam permusuhan
adalah paling baik. Maka itu, suka ia mengalah dan merendahkan diri...
"Jadi kau memikir untuk
menyudahi urusan ini secara diam-diam saja?" tanya Bhok Lin. Ia bagaikan
mengejek. Ia seperti menolak penyelesaian.
Tjhian Tiang Tjoen segera
datang sama tengah. Ia pun membujuki agar si pangeran muda suka berpikir pula,
untuk menyudahi perkara secara diam-diam itu. Katanya, kalau ditarik panjang,
perkara bakal merembet kesana kemari.
Bhok Lin tetap tidak puas,
tetapi ia kata: "Sudahlah, sudahlah, orang mati tidak dapat hidup pula!
Sebenarnya aku tidak niat membuat permusuhan dengan kamu!"
"Itulah yang kita
harapkan!" kata Tiang Tjoen. "Pula, dengan mengatakan Tiat Taydjin
mati mendadak, namanya telah dapat dilindungi dan mukanya menjadi terang
sekali!"
"Sebenarnya aku masih
memikir untuk membuat muka tj iehoe menjadi terlebih terang lagi!" kata
Bhok Lin, yang mendelik terhadap tongnia dari Gielimkoen itu. "Sebenarnya
aku memikir meminta kamu mengenakan pakaian berkabung untuk tjiehoe-ku!"
Hoe Koen Tjip menyeringai. "Untuk menyatakan berduka cita kami
bersedia," katanya terpaksa
Sampai di situ, Bhok Lin
mengangkat pula tubuh Keng Sim, yang tadi ia telah meletakinya
"Pergi antar
siauwkongtia," kata Tjhian Tiang Tjoen pada beberapa orangnya.
"Tidak usah!" kata
Bhok Lin, yang terus berjalan, diiringi dua hambanya Berapa orang Gielimkoen
mau mengantar tetapi mereka dicegah oleh si pengikut tua, hingga Tjhian Tiang
Tjoen tidak dapat memaksa pula ia cuma bilang: "Kalau siauwkongtia tidak
menghendaki kami menggerecok, baiklah, terserah kepada kau sendiri. Umpama kata
siauwkongtia memerlukan bantuan, kau perintah saja kami."
Bhok Lin tidak membilang
apa-apa lagi, dia ngeloyor pergi.
Tiang Tjoen dan Koen Tjip
saling memandang.
"Kematiannya Keng Sim ini
sungguh di luar dugaan." kata Tiang Tjoen selang sesaat.
"Sebenarniaaku hendak memakai Keng Sim sebagai umpan guna memancing dan
menangkap Ie Sin Tjoe. Sekarang kita mesti memikirkan lain daya lagi..."
Semua orang lantas berpikir. Lim Kim Goan, yang menjadi kepala dari boesoe
pelbagai propinsi, berbicara.
"Kita berjumlah begini
besar, apakah kita tidak dapat melawan dia?" ia tanya.
"Menurut berita yang aku
terima, dia datang berjumlah berempat." Hoe Koen Tjip memberi keterangan.
"Ialah Ie Sin Tjoe, Thio Giok Houw, Liong Kiam Hong serta Tjit Seng Tjoe
si iman tua dari Boetong Pay. Mereka semua memang liehay, jikalau kita
menggunai kekerasan, mungkin kita tidak kalah tetapi tidak dapat dicegah
andaikata ada di antara mereka yang bisa lolos dan kabur..."
Tiang Tjoen bersangsi meski ia
ketahui di pihaknya ada Kiauw Siauw Siauw dan Hoe Koen Tjip yang liehay itu.
Tengah orang lagi berpikir
itu. tiba-tiba datang lapuran: "Loosianseng Kiauw Pak Beng datangi!"
Bukan main girangnya Tiang
Tjoen.
"Dengan dalangnya Kiauw
Loosianseng. empat orang itu sudah menjadi kura-kura di dalam korang!"
serunya. Lantas dia memburu keluar, untuk menyambut.
Kiauw Pak Beng muncul
bersama-sama Le Kong Thian. Dia tertawa terbahak-bahak .
Kiauw Siauw Siauw pun girang
sekali, hingga ia menghampirkan sambil berkata: "Oh, ayah! Kedua kaki ayah
pun sudah sembuh!"
"Jikalau bukan karena
kedua kakiku, siang-siang aku sudah datang di sini!" berkata ayah itu.
Kiauw Pak Beng terluka kena
dikepung Hok Thian Touw suami isteri serta Thio Giok Houw dan Liong Kiam Hong,
ia dapat meloloskan diri karena ia menggunai Sioelo Imsat Kang, lantas ia
mengundurkan diri, mencari tempat untuk beristirahat dan berobat. Ia mesti
menggunai tempo sembilan hari sembilan malam, baru ia sembuh, bahwa kaki
kirinya sembuh sekalian. Itu artinya, sakit lumpuhnya telah sembuh.
Hoe Koen Tjip mengetahui baik
orang tua ini, ia berlaku sangat hormat.
"Malam ini kami handak
menangkap orang jahat, kami memohon sangat bantuan Loosianseng," katanya.
"Orang jahat macam apa
itu yang hendak dibekuk hingga mesti aku turut bersama?" tanya Pak Beng jumawa.
Koen Tjip memberitahukan
siapa-siapa yang hendak ditawan.
"Melainkan itu beberapa
bocah?" kata pula Pak Beng sambil menggeleng-geleng kepala.
"Sebenarnya kedatangan
aku si orang tua ke Selatan ini ada dengan niat menempur Thio Tan Hong, atau
sedikitnya Hok Thian Touw dan isterinya apabila suami isteri itu bergabung
menjadi satu... Jikalau lain orang, hm! Mereka tidak ada di mataku, jikalau aku
turun tangan maka aku membikin turun juga derajatku!"
"Empat bocah itu,"
kata Tiang Tjoen, turut bicara, "meski mereka anak-anak muda merekalah
yang memegang peranan penting dalam perampasan pelbagai bingkisan untuk Sri
Baginda, maka jikalau mereka itu dapat diringkus, pasti nama Loosianseng akan
tersohor diseluruh negeri serta Sri Baginda juga niscaya akan menghadiahkan
sesuatu kepada Loosianseng."
"Ya, ayah, cukup asal kau
turut mengantar kami!" kata Siauw Siauw kepada ayahnya, membantu suara.
Kiauw Pak Beng berpikir. "Baiklah!" bilangnya kemudian. "Malam
ini aku akan menemani kamu, untuk membantu meramaikan, andaikata kamu tidak
berhasil, tidak apalah aku turut turun tangan juga. taklah terlambat..."
Pak Beng berkata demikian
sebagai pelabi saja, maksudnya yang benar ialah ia datang untuk membantu
anaknya mendapatkan nama. Ia telah mendapat tahu Hok Thian Touw sudah pulang ke
Thiansan. maka ia tidak berkuatir lagi. Umpama kata Thian Touw ada bersama,
dengan penyakitnya sudah sembuh, ia tidak takut. Ia telah memikir mengandalkan
anaknya dan Le Kong Thian guna membekuk Sin Tjoe beramai yang telah pergi ke
kota raja, ia cuma hendak membantu secara diam-diam.
Bukan main girangnya Koen Tjip
mendengar Pak Beng suka membantu, ia lantas menjamu jago tua itu. Pula di situ
ia lantas mengatur rencana penyerbuan, guna membekuk Ie Sin Tjoe semua. Karena
ia kuatir nanti kurang tenaga, ia menambah bantuan, di antaranya delapan wiesoe
terpandai dari keraton.
Habis berjamu, orang masih
menanti, baru pada jam dua, mereka mulai berangkat. Tatkala mereka lewat di
depan gedung Keng Sim, di sana terdengar suara pendeta sedang bersembahyang,
suatu tanda orang tengah mengurus jenazah orang she Tiat itu.
Dengan tertawa dingin Tjhian
Tiang Tjoen berkata: "Bocah itu takut bersalah, dia membunuh diri! Dengan
tidak adanya dia, jasa tidak akan terbagi kepada lebih banyak orang, inilah ada
baiknya untuk kita!..."
Kiauw Siauw Siauw sebaliknya
ingat kepada kedua pengikutnya Bhok Lin, yang ia curigai, maka ia
memberitahukannya kepada ayahnya. Ia bicara bisik-bisik.
Pak Beng terkejut mendengar
ada orang dapat mengalahkan anaknya itu yang sudah mengerti Sioelo Imsat Kang.
maka ia kata di dalam hatinya:
"Sebentar, sesudah
pulang, aku cari orang itu, untuk mencoba kepadanya!"
Rombongan, yang berjumlah
besar, dipecah empat. Tujuan mereka langsung ke Seesan, Gunung Barat. Selama di
tengah jalan, mereka tidak bertemu sama orang, atau orang-orang yang
mencurigakan. Kira jam tiga, mereka tiba di kaki gunung.
"Kecewa Ie Sin Tjoe dan
Thio Giok Houw telah hidup banyak tahun dalam dunia Kangouw," kata Hoe
Koen Tjip tertawa "Lihat, bagaimana teledor mereka menjaga diri!"
"Tetapi," berkata
Tjhian Tiang Tjoen, "mana mereka ketahui tindakan kita ini? Mimpi pun
tidak mereka bahwa kita bakal datang mengepung mereka!"
Segera juga empat rombongan
berkumpul semua, mereka terus mengurung kuil Hianbiauw Koan. Untuk sekian lama,
mereka tidak mendengar suara apa-apa dari dalam kuil itu. Mau atau tidak,
mereka menjadi heran.
"Coba kamu masuk dan
melihat," Tjhian Tiang Tjoen lantas menitahkan dua wiesoe dari Taylwee,
keraton. Ia memilih dua orang yang liehay ilmu ringan tubuhnya. Perlu
diselidiki, Sin Tjoe beramai lagi bikin apa di dalam kuil.
Tongniadari Gielimkoen itu
tidak mau lancang menyerbu. Ia tahu Sin Tjoe liehay bunga emasnya tak sudi ia
nanti jatuh kurban-kurban dipihaknya.
Kedua wiesoe itu masuk ke
dalam kuil dengan melompati tembok pekarangan. Mereka seperti terjun ke dalam
laut atau kejeblus ke dalam lumpur. Lama mereka tidak kembali, tidak terdengar
juga suaranya
"Taruh kata mereka kena
dibokong, mereka tentu bisa kabur atau berteriak..." pikir Tiang Tjoen,
yang menjadi menduga-duga "Mereka pun liehay ilmu ringan tubuh mereka
Mustahil mereka tidak dapat meloloskan diri?"
Sekian lama Tiang Tjoen masih
menanti, lantas ia mengirim dua orang lain. yang dipesan untuk berhati-hati.
Segera juga ternyata, dua
wiesoe yang belakangan ini juga tidak ada gerak-geriknya seperti dua yang
pertama
Semua orang menjadi heran,
semua menjadi penasaran.
"Aku tidak takut pada
bunga emas Ie Sin Tjoe, nanti aku yang masuk berdua Le Kong Thian," kata
Kiauw Siauw Siauw kemudian. "Nanti aku usir mereka keluar, kamu menjagalah
hati-hati, agar mereka tidak dapat lolos!"
Tiang Tjoen semua setuju Siauw
Siauw yang masuk ke dalam kuil. Pemuda itu lantas mengajak Le Kong Thian. Ia
menyiapkan kipasnya yang liehay, guna menjaga diri dari serangan bunga emas.
Kuil Hianbiauw Koan gelap dan
sunyi. Tidak terlihat apa-apa, tidak terdengar apa-apa juga. Siauw Siauw dan
Kong Thian masuk terus ke dalam. Mereka lantas mencari atau memeriksa belasan
kamar. Mereka tidak memperoleh sesuatu. Kuil itu kosong dari manusia
"Mungkinkah mereka telah
mendengar selintingan dan lantas kabur lebih dulu?" tanya Siauw Siauw
kepada kawannya.
Le Kong Thian tidak dapat
membilang apa-apa
"Di sana masih ada
pendopo Lookoen Tian, mari kita pergi melihat," dia mengajaki.
Siauw Siauw setuju. Maka
bersama-sama mereka pergi ke pendopo yang disebutkan itu. Pintu pendopo
dikunci.
"Pantasnya mereka
sembunyi di dalam!" kata Kong Thian tertawa. Lantas ia memanggil, suaranya
jumawa. "Eh, Sin Tjoe! Kau mau keluar atau tidak?"
Tidak ada jawaban, hanya
samar-samar terdengar suara tertawa mengejek.
"Mari kita masuk!"
Kong Thian berkata. "Hati-hati untuk senjata rahasianya!"
Kata-kata yang belakangan ini
nasihat untuk Siauw Siauw.
Lantas dengan bonekanya yang
berkaki satu, ia menolak daun pintu.
Cuma dengan satu tolakan
keras, daun pintu, yang berlapis besi, lantas terpentang.
Di dalam pendopo dipuja patung
dari Thay Siang Lie Loo Koen, yang diapit delapan belas patung malaikat guntur
dan lainnya.
"Terang aku mendengar
suara orang tertawa, kenapa sekarang tidak ada orangnya?" kata Siauw
Siauw.
Kong Thian memasang matanya
tajam, hingga ia melihat di kedua samping ada masing-masing patung yang luar
biasa romannya. Kedua patung itu kusut rambutnya dan hidungnya bengkung, dan
kulit mereka, yang satu putih, yang lain hitam.
"Entah malaikat sesat apa
ini?" pikir si manusia raksasa matanya memandang si malaikat muka hitam.
Tiba-tiba ia menjadi heran. Ia melihat mata malaikat itu bergerak terbuka dan
mukanya tersungging senyuman. Ia heran tapi hanya sejenak, lantas ia sadar.
"Siapa main gila menyaru
jadi malaikat di sini?" ia membentak seraya lantas menyerang.
Hebat tenaga Kong Thian, maka
itu pukulannya ini ada pukulan berat seribu kati, kalau tubuh si malaikat kena
terhajar, mesti tubuh itu hancur lebur. Tapi "malaikat" itu tidak
berdiam saja. Setelah mata dan mukanya dapat bergerak, juga tubuhnya, lalu
sembari tertawa aneh, dia mengangkat tangannya. Sungguh aneh, dia dapat menahan
turunnya boneka si manusia raksasa.
Justeru itu, Kiauw Siauw Siauw
juga mendapatkan keanehan pada malaikat yang bermuka putih, ia hanya sangat
licik, ia tidak mau bertindak sembrono seperti Le Kong Thian. Tanpa membuka
suara lagi. ia menekan alat rahasia pada kipasnya, maka itu melesatlah dua
batang panah beracunnya, menyamber ke dada si malaikat...
Jitu sekali serangan membokong
ini, kedua anak panah mengenai dadanya si malaikat muka putih itu. yang matanya
bisa dibuka, yang mukanya dapat bersenyum. Hanya aneh, walaupun serangan mengenai
tepat, malaikat itu tidak terluka. hanya kedua anak panah yang runtuh
sendirinya, jatuh kelantai.
Tidak kepalang kagetnya anak
Pak Beng ini.
Adalah di ketika itu, dengan
berbareng kedua malaikat itu membuka mulutnya, untuk tertawa nyaring dan
berkata keras: "Ke sorga ada jalannya, kamu tidak mau pergi! Neraka tidak
ada pintunya, kamu lancang memasukinya! Hai kamu dua setan cilik, kamu
hebat!"
Dalam kagetnya Le Kong Thian
sudah lantas lompat mundur. Berbareng dengan itu terlihat sinar hijau
berkeredep menyamber dari tangannya si malaikat hitam, menyerang si manusia
raksasa Itulah tongkat Lektiok thung.
Kong Thian mengangkat tokkak
tongdjin. untuk menangkis. Kedua senjata beradu keras, nyaring suaranya. Boneka
itu berat dan kuat tetapi toh tongkat hijau itu meninggalkan bekas karena
benturan itu. bahkan Kong Thian kaget sebab telapakan tangannya bergemetar dan
terasakan nyeri, hampir dia membikin senjatanya itu terlepas dari pegangannya
Juga si malaikat muka putih
berlompat maju untuk menyerang.
Kiauw Siauw Siauw tidak
berlaku berani dan sembrono seperti Kong Thian, dia bahkan menunjuki
kelicikannya. Itulah disebabkan heran dan kagetnya. Ia tidak menangkis, ia
berkelit ke samping, dari situ, ia membalas menyerang. Tiga kali beruntun ia
menotok ke jalan darah wietoo, kwietjhong dan kiekoat. Karena ia liehay, liehay
sekali totokannya itu: gesit dan hebat. Kalau totokan mengenai, celakalah
lawannya. Ia sengaja segera bertindak demikian karena ia tahu pasti dua
"malaikat" itu mestinya liehay sekali.
Dengan mengasi dengar suara,
ketiga totokan itu mengenai sasarannya saling susul, akan tetapi untuk herannya
Kiauw Siauw Siauw, kurban totokannya itu tidak roboh, sebaliknya ia merasakan
tolakan yang keras, hingga ia sempoyongan ke depan hampir ia roboh, syukur ia
masih dapat mempertahankan diri, sedang telapakan tangannya terasakan kaku.
Si malaikat muka putih tertawa
bergelak.
"Kiranya begini saja
totokannya si siluman tua she Kiauw!" katanya mengejek.
Maka ternyatalah, dia sengaja
mengasi dirinya tertotok cuma untuk menguji totokan orang yang istimewa.
Siauw Siauw kaget hingga
hatinya menjadi ciut, ia lantas memutar tubuhnya, untuk pergi menyingkirkan
diri. Ketika itu ia mendengar suara tingting-longtong, dari beradunya tokkak
tongdjin Le Kong Thian dengan Lektiok thung si malaikat muka hitam, tujuh atau
delapan kali beruntun.
Menyusul itu terdengar kedua
malaikat itu berseru berbareng: "Anak tolol! Kau telah tiba di sini,
apakah kau masih memikir untuk kabur?" Kata-kata itu disusul sama lompatan
tubuh yang tinggi, melewati Kiauw Siauw Siauw berdua. Sebab Kong Thian pun mau
turut lari keluar memenuhi ajakan majikan mudanya Kedua tangannya masing-masing
malaikat itu lantas menyamber!
Ketika itu Hoe Kocn Tjip
semua, di luar kuil, telah mendapat dengar suaranya senjata beradu. Tjhian
Tiang Tjoen, yang terkejut berbareng girang, berkata: "Mereka tengah
bertempur! Mari kita masuk!" Ia mengibaskan tangannya, sebagai titah maju.
Seorang pemimpin Gielimkoen,
yang bersenjatakan gembolan, mengibaskan juga senjatanya, maka semua orang
lantas bergerak memasuki kuil itu.
Kiauw Pak Beng menyangka orang
lagi menempur Sin Tjoe berempat, ia tidak menghiraukannya, ketika kemudian ia
mendengar suara semakin riuh, baru ia heran bahkan kaget, maka sambil berseru,
ia turut maju. Dengan satu lompatan tinggi dan jauh, ia mendahului belasan
boesoe. Maka di lain saat, ia telah masuk ke dalam Hianbiauw Koan.
Hpe Koen Tjip bersama delapan
wiesoe terlihay tiba paling dulu di dalam pendopo Lookoen Tian. justeru mereka
tiba, justeru mereka menyaksikan tubuhnya Le Kong Thian dilemparkan lawan,
menyusul mana. dua pembantunya juga kena dicekuk dan dilemparkan saling susul.
Mereka ini, dengan tidak mengenal takut, sudah lantas maju menyerang, hanya
baru beberapa gebrak, mereka sudah tersamber dan kena dilemparkan itu.
Dalam heran dan kagetnya, Hoe
Koen Tjip memasang mata kepada kedua malaikat itu.
"Hek Pek Moko!"
akhirnya ia berteriak dengan kaget. Tidak ayal lagi, ia memutar tubuh, untuk
mengangkat tubuhnya Le Kong Thian, buat dibawa pergi.
"Kau juga rebah!"
berteriak Hek Moko sambil tertawa besar. Bentakannya itu disusuli serangannya.
Hoe Koen Tjip menyekal
pedangnya dengan sebelah tangan, ia menyambut serangan dengan satu tabasan.
Hek Moko berkelit, habis
berkelit. duajari tangannya menusuk ke kedua mata orang.
Pahlawan raja itu menjadi
repot. Tak dapat ia melakukan perlawanan, meski ilmu pedangnya liehay. Terdesak
secara demikian, ia melenggak. Sia-sia belaka ia berkelit. Hek Moko menyusul
padanya, maka di lain saat; tubuhnya pun roboh terkapar tak berdaya...
Hek Pek Moko biasa berdagang
dengan orang-orang kaum Rimba Hijau, meski begitu, terhadap kaum Jalan Hitam
dan Jalan Putih yang tidak lurus, mereka biasa berlaku telengas, karena mereka
liehay. mereka tidak takut siapa juga. Bahkan karena sikapnya itu, mereka
ditakuti. Sebenarnya sudah beberapa tahun mereka tidak pernah muncul, hingga
ada yang menduga mereka sudah berhenti dagang, sudah mencuci tangan dan pulang
ke negerinya untuk hidup sebagai hartawan-hartawan yang berbahagia, maka tidak
disangka-sangka, sekarang mereka muncul di kota raja ini.
Dengan dirobohkannya Hoe Koen
Tjip, semua wiesoe dan orang Gielimkoen, juga kawanan boesoe, menjadi kaget dan
jeri. Sekarang mereka semua mengenali itu dua jago dari India. Tidak ragu-ragu lagi,
mereka memutar tubuh, untuk menyingkir dari kuil Hianbiauw Koan itu.
Tjhian Tiang Tjoen menyaksikan
kejadian itu. ia kaget dan heran. Ia mencoba berteriakan. mencegah
orang-orangnya mengangkat kaki, ia tidak berhasil. Ia lantas lari ke depan,
untuk menghalang-halangi. Ia mengharap tibanya Kiauw Pak Beng, guna membikin
tetap hati mereka itu.
Hek Pek Moko tertawa berkakak
sesudah ia merobohkan Hoe Koen Tjip. Selagi ia tertawa itu, mendadak ia
merasakan serangan yang keras, yang datangnya dari arah belakang. Ia terkejut.
Ia menduga kepada musuh yang liehay. Cepat sekali ia memutar tubuh ke belakang,
guna menangkis. Maka ia lantas merasakan tangannya membentur sesuatu yang
dingin seperti es. Ia heran dan kaget, lantas ia berkelit dengan ilmu yoga,
setelah mana, ia membalas menyerang!
Itulah serangan di luar
dugaan, walaupun si penyerang secara membokong itu liehay, dia toh kena
terhajar hingga tubuhnya terangkat tinggi dan mental. Tapi karena menghadapi
lawan tangguh, Hek Moko juga terhuyung mundur tiga tindak!
Nyatalah penyerang gelap itu
Kiauw Pak Beng adanya.
Pak Beng telah mencapai Sioelo
lmsat Kang tingkat ke tujuh, dia beda jauh dari puteranya maka itu, karena
hajarannya itu, Hek Moko merasakan seluruh tubuhnya menjadi dingin. Maka syukur
untuknya, ia masih dapat bertahan, ia juga bisa membikin lawannya terpental.
Karena ini keduanya insaf bahwa mereka lagi menghadapi lawan tangguh.
Hek Moko lantas mengenali
lawannya, ia berkata: "Siluman tua she Kiauw, mari, mari! Kita belum kalah
atau menang, mari kita main-main pula sampai tiga ratus jurus!"
Kiauw Pak Beng tidak menjawab
tantangan itu, sebab begitu ia menginjak tanah habis ia terpental itu. terus
berjumpalitan, ia terus menerjang ke arah Pek Moko. Sebab ketika itu, Pek Moko
lagi mengejar Siauw Siauw yang licik dan lincah, yang tidak kena disamber untuk
dilemparkan.
Kiauw Siauw Siauw mengerti
tipu silat "Ieheng hoanwie." atau "Memindahkan wujud, mengubah
kedudukan," maka melebihi Le Kong Thian, bisa ia berkelit dari setiap
samberannya si malaikat muka putih. Tiga kali ia lolos dari serangan, tempo ia
didesak terus, ia kewalahan juga. Begitulah, ketika ia lari ke undakan
tanggalorak, iagagal, kali ini ia kena tersampok hingga tubuhnya terhuyung,
bajunya pun robek. Ketika itu terdengarlah seruannya Hek Moko menyebut
"siluman tua she Kiauw," mendengar mana. gerakan Pek Moko menjadi
lambat, hingga Siauw Siauw tidak terhajar lebih jauh. sebaliknya Pak Beng telah
tiba, maka mereka berdua lantas bergebrak.
Ketika tangan mereka bentrok,
ia mundur tiga tindak, sedang Kiauw Pak Beng mundur dua tindak. Hanya di
samping itu, ia merasakan serangan hawa dingin, hingga ia mesti mengempos
semangat, untuk melawan, tetapi tidak urung, untuk sejenak ia menggigil juga.
"Bagus, Hek Pek
Moko!" kemudian Kiauw Pak Beng mengasi dengar suaranya. "Nyata kamu
berani menghina anakku! Mari, mari! Mari hari ini kita mengambil keputusan
siapa jantan siapa betina!"
Tanpa menjawab, Hek Moko
menggeraki tongkat hijaunya, ia bergerak dalam jurus "Naga berlompat
keluar dari dasar laut." Tongkatnya itu bersinar hijau, sasarannya ialah
punggung lawan.
Kiauw Pak Beng telah mencoba
tenaga orang, maka itu ia bisa menduga, kali ini serangan mestinya berbahaya.
Orang pun tidak ada di sebawahannya, ia menjadi tidak boleh memandang enteng.
Maka segera ia berkelit dengan gerakannya "Naga melingkar mengangkat
kaki." Karena orang bersenjata ia pun tidak mau bertangan kosong terus,
dari itu sambil bertindak, tangannya menyamber sebuah hiolouw atau tempat abu
besi, sembari memutar diri, ia memutar itu. guna membuat perlawanan.
Di saat itu. Pek Moko sudah
dapat memperbaiki diri. Ia tidak mau berdiam saja, ia maju untuk membantui
kakaknya. Dengan Pektiok thung, tongkat kemala putih, ia menyerang. Ia kena
menghajar hiolouw lawan, sedang tongkatnya Hek Moko mengenai juga. Maka
terdengarlah suara nyaring dua kali dari bentroknya ketiga senjata, suaranya
hiolouw mengaung bagaikan genta gereja...
Pertempuran ini pun
menyebabkan meja terbalik dan patung-patung malaikat pada jatuh ke lantai.
Semua boesoe kagum dan kaget
melihat hebatnya pertempuran itu, mereka jadi jeri. lantas mereka berebut
mengundurkan diri, untuk menyingkir.
Kiauw Siauw Siauw berlari-lari
keluar dengan bercampuran sama orang banyak, ketika tiba di lorak tangga, ia
memikir untuk melihat Le Kong Thian guna menyaksikan bagaimana lukanya kawan
itu. Justeru itu kupingnya lantas mendengar satu suara nyaring dan panjang,
disusul sama senandung terang dan bersih:
"Pedang mustikaku tak
puas mengikuti aku sehingga tua, di dalam sarungnya dia masih bergeram bagaikan
naga!"
Bukan main kagetnya ia, karena
ia segera ingat kepada seorang orang. Lupa kepada Le Kong Thian, ia kabur
terus. Baru ia tiba di luar kuil maka ia menampak keadaan yang kacau di antara
kawanan boesoe dari pelbagai propinsi serta pemimpin barisan Gielimkoen. Mereka
itu lari serabutan. mulut mereka memperdengarkan seruan-seruan kaget. Seperti
juga mereka telah menghadapi musuh, atau musuh-musuh, yang terlebih tangguh
daripada Hek Pek Moko. la lantas mengangkat kepalanya, untuk memandang ke
depan. Atau tiba-tiba ia terkejut pula.
Entah kapan datangnya,
mendadak di hadapannya berdiri seorang berusia empat puluh lebih, pakaiannya
putih, gerak-geriknya halus sebagai seorang sastrawan. Orang itu tidak beroman
bengis, sebaliknya, dia bersenyum berseri-seri. Ia kaget karena ia liehay akan
tetapi ia tidak mendapat tahu munculnya orang itu.
"Kiauw Siauw Siauw!"
berkata orang itu sambil bersenyum, "tadi siang kita telah bertemu satu
dengan lain, apakah kau masih ingat?"
Lagi-lagi puteranya Kiauw Pak
Beng kaget. Ia ingat lagu suara orang ini. Dialah si orang tua yang tadi dibawa
sebagai pengikut oleh Bhok Lin, cuma sekarang roman orang, dandanannya juga,
berbeda. Sekarang dia tak mirip-miripnya dengan si hamba pengiring tua tadi
siang.
"Kau... kau
siapakah?" ia menanya, suaranya sedikit parau.
Sastrawan pakaian putih itu
tertawa.
"Aku mendengar kabar
orang tuamu datang dari tempat yangjauh," dia menyahut manis,
"katanya dia sengaja hendak mencari aku, maka itu, sekarang kau bertemu
sama aku.
Kenapa kau tidak mengenali
aku?" Lagi-lagi Siauw Siauw kaget.
sekarang bukan main kagetnya
itu. "Kau... kaukah Thio Tan Hong?"
ia menanya dengan suara
bergemetar. Sastrawan itu tertawa. "Tidak salah, akulah Thio Tan
Hong!" jawabnya
"Sekarang kau berdiamlah bersama aku di sini!"
Kiauw Siauw Siauw tidak ingat
apa-apa lagi kecuali untuk membela dirinya, untuk mendapatkan kebebasannya.
Tanpa membilang apa juga ia menekan pesawat rahasia pada kipasnya yang liehay,
maka menyusuli itu belasan batang tulang kipasnya lantas berubah menjadi
seperti anak-anak panah beracun, yang melesat menyamber ke arah sastrawan itu.
Ia tahu yang ia tidak bakal dapat melukakan Thio Tan Hong tetapi ia hendak
menggunai siasat ini untuk ia bisa mengangkat kaki.
Thio Tan Hong seperti telah
dapat menerka hati orang, ketika serangan datang, ia mengedut dengan tangan
bajunya membikin semua anak panah itu mental tinggi ke udara. Tidak ada
sebatang juga yang berbal i k menyamber kepada pemiliknya oleh karena tidak ada
niatnya untuk membikin orang terluka. Dengan dikibaskan ke udara, dapatlah
dicegah anak panah yang berbahaya itu melukai siapajuga.
Kiauw Siauw Siauw menjalankan
siasatnya itu seraya ia lantas berlompat, untuk menyingkir dari Tan Hong, atau
belum tubuhnya melesat, tahu-tahu ia merasakan iganya kaku. Ia tidak melihat
bagaimana Thio Tan Hong bergerak, ia cuma tahu ia telah lantas tertotok hingga
tubuhnya roboh tanpa berdaya.
Habis merobohkan pemuda itu.
dengan tidak perdulikan orang-orang yang kabur itu. Tan Hong bertindak ke arah
kuil untuk memasukinya, sambil tertawa ia lantas berkata: "Saudara-saudara
Hek Pek. silahkan kamu keluar untuk melakukan penangkapan! Aku mengharap kamu
jangan membikin lolos barang seorang jua! Tentang si siluman tua. kau
serahkanlah dia padaku!"
Ketika itu Hek Pek Moko
justeru lagi mengepung Kiauw Pek Beng. Jago tua itu belum kalah tetapi dia
sudah sangat terdesak, umpama kata tidak dapat dia membuang napas. Dia
mendengar suara orang. Ketika Hek Pek Moko menghentikan pengepungannya dengan
lantas menarik pulang tongkat mereka tahu-tahu dia mendapat Thio Tan Hong sudah
berada dihadapannya.
Dua saudara Moko itu sudah
lantas meninggalkan pendopo L ookoen Tian itu.
Kiauw Pak Beng mencoba
mengendalikan hatinya yang berdebaran keras, ia pun mencoba menyalurkan
pernapasannya maka dengan begitu, dia mendapat kesempatan untuk memandangi
orang di depannya itu.
"Adakah kau Thio Tan
Hong?" dia menanya. Dia mendapat ketika untuk menegur terlebih dahulu
karena orang berdiri mengawasi padanya. Dia agaknya heran. Dia telah mendengar
nama kesohor dari Tan Hong, tidak tahunya orang masih berumur muda...
Tan Hong mengangguk, terus
tertawa
"Aku mendengar kabar kau
mencari aku untuk menguji padaku." ia menyahut. "Aku mau menghaturkan
terima kasih padamu yang telah menghargai sekali padaku. Mana dapat aku
membuatnya kau hilang pengharapan? Maka itu sekarang sengaja aku datang menemui
kau, supaya kau tak usahlah berjalan jauh pergi ke gunung Tjhongsan!" Ia
berhenti sejenak, ia melirik kepada jago tua itu. Lagi-lagi ia tertawa dan
berkata, menambahkan: "Aku tidak mau menang sendiri! Barusan kau telah
bertempur sama Hek Pek Moko, dari itu suka aku memberikan, ketika padamu untuk
beristirahat dulu! Ah, benar, baru aku ingat, di sini aku mempunyai sebutir pel
Siauwhoan Tan. Inilah obat yang dulu hari aku diberikan oleh ketua dari
Siauwlim Sie. Benar obat ini bukannya obat dewa yang mempunyai kemustajaban
membuat hidup lagi orang yang telah meninggal dunia, tetapi ini sedikitnya ada
faedahnya untuk menambah kesegaran, untuk memperkuat semangat. Tegasnya, obat
ini besar faedahnya. Ini, kau boleh makan, sebentar kita bisa lekasan sedikit
mengadu tenaga!"
Kiauw Pak Beng mempercayai
Thio Tan Hong. Sebagai orang gagah di jamannya itu. tidak nanti Tan Hong mau
berlaku licik dengan main racun. Ia sendiri seorang yang berkepala besar,
tetapi ia dapat menggunai otaknya. Coba lain orang, pastilah orang tak kesudian
menerima obat kuat dari Tan Hong itu. Coba Tan Hong itu lain orang, pasti Pak
Beng tidak sudi menerima budinya. Tapi ia memikir lain. Ia menginsyafi inilah
saat mati dan hidupnya. Jadi ia memerlukan tenaga yang sempurna. Bukankah tadi
menghadapi Hek Pek Moko ia sudah mengeluarkan tenaga besar luar biasa, hingga
ia merasa letih? Maka itu tanpa sungkan-sungkan, ia menyambuti pel Siauw Hoan
Tan dari Tan Hong, lantas ia menelannya.
Tan Hong pun senang melihat
kelakuan orang itu. Diam-diam ia memuji Pak Beng sebagai seorang gagah. Pantas
dia disebut orang si kepala iblis! Ia memang ingin bertempur selagi orang
segar-segar, agar ia bisa menguji kepandaian orang itu, agar kalau orang kalah,
orang kalah dengan puas dan ichlas.
Ketika Kiauw Pak Beng sudah
menelan pel itu, dengan lantas ia merasakan hawa panas di dalam perutnya hawa
yang tersalurkan ke segala penjuru dari sekujur tubuhnya.
Ia turut menyalurkan
pernapasannya, maka juga di dalam tempo yang pendek sekali, ia merasa
kesegarannya telah pulih kembali, melebihkan daripada biasanya. Bahkan kaki
kirinya, yang jalan darahnya belum bekerja, sekarang turut bekerja pula, hingga
ia tidak merasakan sesuatu rintangan lagi.
"Marilah!" katanya
selang sesaat seraya ia menepuk thiehiolouw, ialah tempat abu besi, yang
menjadi senjatanya yang luar biasa. Ia menantang dengan suara tinggi.
"Apakah senjatamu itu
tepat?" Tan Hong tanya.
"Kaulah seorang guru
besar dari satu jaman," menyahut Kiauw Pak Beng, "dan aku juga
bukannya orang tra mempunyai nama, maka itu di dalam hal menggunai senjata,
tidak usah kita terlalu rewel!"
"Baiklah!" Tan Hong
bilang. "Karena kau tetamu dari jauh, silahkan kau yang mulai!"
Kiauw Pak Beng tidak mau
berlaku sungkan, tak sudi ia mengalah.
"Maafkan
kelancanganku!" katanya seraya ia mengangkat senjatanya yang luar biasa
itu, terus ia menghajar. Hiolouw itu turun dari atas. mengarah ke batok kepala.
Tan Hong tertawa. "Hebat!" katanya. "Sudah hampir sepuluh tahun
tidak pernah aku menggunai pedang, kali ini aku berlaku dengan melanggar
kebiasaan itu, terhadapmu hendak aku menggunakannya!"
Pedang Tjengbeng kiam orang
she Thio ini telah dihadiahkan kepada Sin Tjoe, muridnya maka sekarang ia
memakai pedang Tjengkong kiam yang ia buatnya sendiri. Selekasnya senjata lawan
tiba, ia lantas menangkis ke atas.
"Traang!" demikian
suara beradunya kedua senjata.
Dengan satu gerakan
"Mengangkat obor menerangi langit," hiolouwnya Pak Beng telah
ditangkis, walaupun senjata istimewa itu berat lima puluh kati. toh telah kena
dibikin mental ke samping dan meninggalkan tanda bekas dari pedang yang kecil
dan panjangnya cuma tiga kaki, pula itu bukannya pedang mustika
Pak Beng kaget, di dalam
hatinya ia kata: "Thio Tan Hong kesohor bukan nama kosong belaka di dalam
ilmu tenaga dalam, dia berada di atasan Hek Pek Moko!"
Tapi juga Tan Hong, dia tidak
mau memandang enteng kepada lawannya ini. Benar dia bisa menangkis, akan tetapi
sedikit hawa dingin telah menyerang kepadanya Hawa dari Sioelo Imsat Kang dari
Pak Beng. yang sudah mencapai tingkat ke tujuh, tersalurkan ujung pedang yang
bentrok dengan hiolouw, tiba di telapakan tangan, mengalir ke nadi, terus ke
seluruh tubuh terutama bagian dalam.
Tan Hong menjadi kagum, di
dalam hatinya, ia kata "Ini siluman tua benar-benar liehay, dengan hawa
dinginnya itu dia dapat menyerang dengan perantaraan senjata. Di antara kaum
sesat, dialah yang terliehayl"
Dengan lantas Tan Hong
mengerahkan semangatnya, untuk membuyarkan hawa dingin itu. Sebenarnya ia sudah
menutup diri, tidak urung hawa itu dapat menyerang kepadanya. Maka untuk
bertempur terus, ia tetap menutup dirinya.
Merekalah jago lawan jago,
pertempuran mereka lantas menjadi seru sekali. Setiap pukulan mereka ada
pukulan dari kematian, dari itu bisa dimengerti jikalau mereka masing-masing
bersiap sedia menjaga diri.
Baru lewat kira tiga puluh
jurus, Tan Hong sudah merasakan seluruh pedangnya menjadi dingin bagaikan
sepotong es, tetapi ia sudah bersedia, tubuhnya sendiri terhindar dari ancaman
bahaya dingin itu.
"Eh. siluman
tuasheKiauw!"Tan Hong menegur sambil tertawa, "apakah kau tidak takut
nanti telah menggunai tenaga berlebihan? Umpama kata Sioelo Imsat Kang tidak
dapat melukai aku, kau toh akhirnya bakal mendapat sakit berat!"
Kiauw Pak Beng kaget bukan
main. Sioelo Imsat Kang itu ia pelajari dari sebuah kitab warisannya seorang
guru besar dari kaum Lhama Putih, ia ketahui baik liehaynya itu, akan tetapi
sekarang Tan Hong membuka rahasianya. Sebenarnya kebanyakan guru silat, jangan
kata mengetahui caranya melawan ilmunya itu. mendapat tahu namanya saja jarang,
tetapi Tan Hong ini, selain dapat melawan, juga telah mendapat tahu apa yang
bakal jadi akibatnya Ia heran dan kagum. Ia pun mesti mengakui kebenaran
perkataannya Tan Hong ini. Memang, ia sekarang telah berkelahi sungguh-sungguh
dan itu berarti ia menggunai tenaga berlebihan, kesudahannya itu, apabila ia
gagal, akan membuatnya mendapat sakit. Tapi ia bagaikan seorang yang menunggang
hariman, turun salah, bercokol terus di punggung harimau, juga salah. Tidak ada
lain jalan, ia mesti berkelahi terus, sedikitnya supaya sama-sama binasa..
Hebat lweekang, atau tenaga
dalam, dari Tan Hong. Dia telah mencapai puncak yang dinamakan, "bertemu
musuh kuat menjadi kuat sendirinya, karena serangan dapat membalas menyerang,
dan menarik pulang atau menyerang dapat menurut sesukanya hati."
Kiauw Pak Beng tetap menggunai
Sioelo Imsat Kang. setingkat demi setingkat. Ia mencoba mendesak. Maka itu,
sering sekali senjata mereka bentrok satu pada lain, hingga saban-saban
terdengar suara yang nyaring dan berisik, yang membikin telinga ketulian.
Tan Hong telah menyerang
hebat, ia senantiasa mencari lowongan, tetapi tidak bisa ia lantas mengalahkan
lawannya itu. Dengan hiolouwnya. Pak Beng dapat membela diri dengan baik. dia
pun bisa membikin pedang saban-saban terpental. Karena seringnya senjata mereka
mengadu kekuatan, hiolouw itu menjadi bertambah cacadnya, sampai puluhan
bekasnya tikaman atau babatan.
Di dalam ruang Lookoen Tian
itu duajago mengadu kepandaiannya, di luar kuil itu pun berlaku pertempuran
hebat yang dinamakan "Kawanan kambing melawan harimau."
Semua orang liehay dari
istana, dari pasukan Gielimkoen, beserta sekalian boesoe dari pelbagai
propinsi, kaget sekali menampak munculnya Hek Pek Moko dan Thio Tan Hong saling
susul, tanpa dapat dikendalikan pula oleh Tjhian Tiang Tjoen, mereka kabur serabutan,
akan tetapi mereka menyingkir belum jauh, mereka sudah kena dicandak Hek Pek
Moko.
"Sekalian sahabat, jangan
kamu takut!" berkata Hek Moko sambil tertawa. "Kamu telah datang
kemari, maka aku minta sukalah kamu berdiam di sini untuk beberapa hari!"
Pek Moko pun berseru:
"Kamu telah datang kemari tanpa diundang! Sekarang tuan rumah memohon kamu
berdiam di sini, tidak dapat kamu tidak berdiam!"
Lantas dua saudara ini
melompat maju, untuk memulai penyerangan mereka. Mereka menerjang bukan dengan
main tinju atau menendang, mereka hanya main menyamber, setiap orang yang kena
disamber, lantas dibanting, hingga orang roboh tanpa berkutik lagi. Di dalam
tempo yang pendek telah roboh kurban-kurban, seperti tiga wiesoe dari Taylwee,
keraton, empat pemimpin Gielimkoen, dan tujuh boesoe.
Tjhian Tiang Tjoen tidak dapat
memegang kendali lagi, lantaran orang pada kabur, ia juga turut membuka langkah
panjang. Tengah ia berlari itu, mendadak ia merasakan angin menyamber di
belakang batok kepalanya. Ia kaget sekali. Ia tahu atas datangnya serangan.
Dengan terpaksa ia mengibas ke belakang, untuk menangkis.
Hek Moko adalah orang yang
menyerang itu. Dia ini membiarkan tangan mereka bentrok. Sebagai akibat dari
itu, Tiang Tjoen mental tiga tombak, tubuhnya terhuyung-huyung, hampir jatuh.
"Bagus!" berseru Hek
Moko, memuji. "Kau dapat menangkis satu pukulanku, kau dapat dihitung
sebagai seorang hoohan! Nah, kau sambutlah satu kali lagi!"
Kata-kata ini dibarengi sama
melesatnya tubuh sangat pesat. Tjhian Tiang Tjoen baru menaruh kaki kanannya,
baru kaki kirinya mau menyusul, atau kupingnya segera mendengar pula perkataan
orang: "Dengan tanganku, akan aku menepuk igamu yang kanan! Dengan jeriji
tanganku, akan aku menusuk dadamu berbareng dengan kakiku akan menendang dengkulmu!
Maka kau berhati-hatilah menjaga dirimu! Jikalau kau dapat membebaskan diri,
akan aku membebaskannya terus!"
Tjhian Tiang Tjoen tidak dapat
membade orang omong benar-benar atau melainkan menggertak, ia tidak mau
menduga-duga. ia mengambil jalan yang paling selamat, ialah ia memutar kedua
tangannya untuk membela diri saja. Ia menggunai tipu silat "Sepasang
tangan menolak."
Hek Moko bukan menggertak,
benar-benar ia menyerang ke tempat-tempat yang ia sebutkan barusan, ialah
sebelah tangannya meluncur keigadan sebelah kaki menendang ke dengkul!
Tjhian Tiang Tjoen kaget, ia
putus asa. Tapi ia mesti membela diri, maka ia membelanya dengan terpaksa.
Sudah terang ia bukanlah tandingan orang India itu. Ia pikir, kalau ia bisa
menolong dirinya, Hek Mrko pastilah akan tidak menelan pula kata-katanya.
Sebagai tongnia, komandan,
dari pasukan Gielimkoen, Tiang Tjoen bukanlah seorang lemah. Ia lantas bergerak
untuk melindungi diri. Ia mengelit tubuhnya, mengelit juga kakinya. Ia dapat
bergerak dengan sebat. Ia dapat menghindarkan diri dari kedua serangan itu.
Tinggal totokan ke arah dadanya. Ia pikir, setelah menyerang ke iga, sulit
untuk Hek Moko menotok dadanya. Atau lawan itu mesti menggunai tangannya yang
lainnya. Karena ini, ia memusatkan perhatiannya kepada tangan kiri musuhnya
itu.
Hebat Hek Moko. Ia berkelahi
berbareng dengan menggunai ilmu yoga, tubuhnya jadi dapat bergerak sangat cepat
dan lincah. Ia pun dapat menduga Tiang Tjoen bakal menjagai tangan kirinya
setelah kegagalan dengan tangan kanannya ke iga itu.
"Mengapa kau tidak
percaya perkataanku?" kata orang India ini sambil tertawa, tangan kanannya
mendadak meluncur ke dada.
Tiang Tjoen kaget bukan
kepalang, ia menjadi gugup. Tidak sempat ia berkelit atau menangkis, maka
kenalah ia tertotok dadanya, di mana ada jalan darah, yang membuatnya roboh
tanpa berdaya!
Semua orang Gielimkoen dan
boesoe kaget bukan main. Pula, dengan tidak ada kepalanya, mereka menjadi
bingung. Tidak ayal lagi, mereka lari seraya memencar diri. Mereka percaya Hek
Pek Moko tidak bisa memecah tubuh untuk mengejar mereka. Tinggallah nasib
mereka, siapa yang apes, dia pasti bakal kena dibekuk.
Hek Pek Moko bekerja terus.
Mereka merobohkan siapa yang mereka bisa candak. Kemudian barulah mereka tidak
mengejar terlebih jauh, sambil berdiri di depan kuil, mereka tertawa berkakakan
mengawasi orang orang yang lari tunggang langgang itu.
Serombongan boesoe kabur ke
arah timur. Baru mereka tiba di mulut gunung, di mana mereka pikir akan dapat
memerdekakan diri mereka, tiba-tiba mereka mendengar suara nyaring tetapi halus
dari seorang wanita: "Maaf! Aku minta sukalah kamu berdiam di sini untuk
dua hari!"
Semua orang lantas mengangkat
kepala mereka, maka terlihatlah oleh mereka Ie Sin Tjoe berdiri menghadang di
mulutjalan itu di mana dia muncul secara tiba-tiba
Lim Kim Goan, boesoe dari
propinsi Hokkian. lantas berkata: "Ie Liehiap, kau telah merampas
bingkisan, mengapa sekarang kau masih hendak membasmi kita habis?"
"Lim Lootjianpwee, kau
salah mengerti!" menyahut nyonya muda itu. "Aku justeru hendak
menolongi kamu semua! Di belakang hari maka kamu akan ketahui sendiri tentang
sepak terjang kami ini."
Tidak ada orang yang mau
percaya perkataan itu. Mereka pun takut sangat Hek Pek Moko nanti menyusul
mereka. Merasa pasti bahwa Sin Tjoc tidak bakal mengasi mereka lewat, dengan
serentak mereka berseru dan maju.
"Kamu tidak percaya aku,
nah, maaf!" berkata Sin Tjoe. "Aku terpaksa mesti menahan kamu dengan
cara paksa!"
Kata-kata itu dibarengi sama
terayunnya tangan, lalu terlihat barang-barang berkilauan menyamber ke arah
pelbagai boesoe itu. itulah kimhoa, atau bunga-bunga emas, yang sekali ayun
dilepaskan dalam jumlah belasan.
Hebat kesudahannya serangan
senjata rahasia itu. Setiap boesoe yang kena tertimpuk tidak merasakan sakit,
hanya tubuh mereka bagaikan terputar, terus mereka roboh tak sadarkan diri.
Sebab Sin Tjoe tidak mau melukai mereka, ia hanya menyerang apa yang dinamai
jalan darah pingsan.
Sekalian boesoe yang tidak
kena terserang menjadi j eri sekali. Mereka memang ketahui sangat baik
liehaynya wanita di depannya itu. Tidak ada jalan lain untuk mereka daripada
menyingkirkan diri, maka itu, semua lantas memutar tubuh, untuk menyingkir dari
lain tempat.
Selagi mereka yang di timur
ini dirintangi Ie Sin Tjoe, mereka yang kabur ke selatan juga dihalang-halangi
seorang wanita muda, ialah nona Liong Kiam Hong. Ia pun muncul secara mendadak.
Ia membuatnya orang kaget dan jeri. Beberapa boesoe lantas mengenali ia. Sebab
ialah yang bersama-sama Thio Giok Houw yang pertama kali mencegat dan merampas
pelbagai bingkisan. Hanya kali ini, mereka takut berbareng mendongkol dan
gusar, lantaran mereka sudah mogok!
Wie Kok Tjeng, boesoe dari
Kwiesay, lantas maju di muka. Ia mengandalkan pada ilmu panahnya yang liehay.
Selagi bertindak maju, ia sudah bersiap sedia. Tiba di jarak tujuh atau delapan
tombak, ia lantas menarik tali panahnya, untuk menyerang terlebih dulu! Ia
menggunai busur besi dan anak panahnya dapat dilepaskan beruntun-runtun.
Liong Kiam Hong tertawa
menyaksikan aksi orang itu.
"Dengan cara baik aku mau
menahan sekalian tetamu, kalian justeru menggunai kekerasan!" katanya.
"Benarkah?"
Lantas nona ini maju. Dengan
tangan kirinya ia mengibas-ibaskan sehelai kain sutera merah, dengan tangan
kanannya ia memutar pedangnya.
Biasanya anak panah Wie Kok
Tjeng dapat menembuskan lima lapis kulit akan tetapi kali ini, disampok pergi
pulang suteranya si nona, semua anak panahnya runtuh, jatuh di tanah tanpa
daya. Ia menjadi kaget sekali, herannya bukan buatan. Ia baru melepaskan anak
panah yang ke delapan atau si nona sudah datang dekat padanya, lantas lengannya
kena tersampok. Ia kaget dan merasa sakit maka tanpa ampun lagi, busurnya
terlepas jatuh. Belum ia sempat bergerak lebih jauh, sutera si nona telah
menarik padanya, maka seketika juga ia roboh, atas mana Kiam Hong maju mendupak
dengkulnya, di mana ada jalan darah yang membuatnya tenaganya habis, dari itu
selanjutnya ia rebah tak berkutik, cuma mulutnya bisa dipentang untuk mencaci
kalang-kabutan!
Semua boesoe lainnya kaget.
Siapa yang jeri, mereka berdaya untuk melarikan diri. siapa yang gusar dan
penasaran, lantas maju. untuk memaksa membuka jalan, guna dapat meloloskan
diri. Terhadap mereka yang nekat ini, Kiam Hong lantas melakukan penyerangan,
dengan pedangnya, dengan suteranya juga. Dengan pedangnya ia menangkis dan
menikam ke arah jalan darah, dengan suteranya ia menangkis dan menarik, guna
merampas senjata orang. Ia dapat bergerak dengan leluasa sekali, karena di
samping liehaynya ilmu pedangnya, tubuhnya juga sangat ringan, hingga ia bisa
berlompatan dengan gesit. Dalam tempo yang pendek, beberapa boesoe yang nekat
itu telah kena dirobohkan, hingga yang lainnya, sambil menjerit, lantas
melarikan diri!
Mereka yang kabur ke arah
barat, jumlahnya ialah yang terbanyak. Di antara mereka ada empat wiesoe dari
istana serta tiga pemimpin Gielimkoen. Yang lainnya ialah belasan boesoe.
Mereka semua dipegat oleh Tjit Seng Tjoe. tiangloo dari Boetong Pay. Imam ini
justeru sangat membenci Tjhian Tiang Tjoen, yang sudah membekuk keponakan
muridnya, maka itu menghadapi rombongan pelarian ini, ia berlaku bengis. Sambil
berteriak keras, ia berlompat maju, untuk memapaki semua wiesoe dan boesoe itu.
Hebat Tjit Seng Tjoe
menggeraki kebutannya yang liehay. Belum apa-apa tangannya dua wiesoe sudah
kena dikebut hingga berdarah, sedang dua pemimpin Gielimkoen, kena dibikin
patah tangannya disebabkan terkena hajaran tipu silat Hoenkin Tjokoet
Tjioehoat, ilmu memisah otot dan tulang.
Menampak demikian, yang
lain-lain menjadi takut, dengan lantas mereka memutar tubuh mereka, untuk lari
kabur!
Di arah utara, orang yang
memegat kawanan boesoe yang merat itu ialah Thio Giok Houw. Ia berpikir untuk
menawan hidup-hidup, makajuga ia tidak mau menggunai senjata tajam. Ia bersilat
dengan tangan kosong, dengan ilmu silat Loohan Ngoheng Sinkoen ajarannya Hek
Pek Moko serta ilmu jari tangan Ittjie Siankang ajarannya Ouw Bong Hoe. Gesit
dia bergerak, kepalannya seperti angin, jeriji tangannya bagaikan kilat.
Seorang pemimpin Gielimkoen
lantas saja patah sebuah tulang rusuknya. Seorang wiesoe bisa menangkis hingga
tiga kali beruntun, tetapi pada ke empat kalinya, dia tertotok roboh pingsan.
Habis itu Giok Houw berseru
nyaring: "Aku bermaksud baik menahan para tetamu, sama sekali aku tidak
berniat membikin kamu celaka, tetapi, jikalau kamu memaksa mau pergi juga tidak
bisa lain, kepalanku tidak dapat berlaku sungkan lagi!"
Mendengar itu ada beberapa
boesoe yang mempercayainya, mereka lantas meletaki senjata mereka. Tapi ada
juga yang bersangsi, mereka ini lantas mencari jalan untuk kabur.
Mereka yang mencoba kabur
mengalami kesulitan. Mereka sudah terkurung di empat penjuru, sedang di
tengah-tengah ada Hek Pek Moko dua saudara. Dengan bergeraknya Sin Tjoe
berlima, kurungan menjadi semakin rapat.
Hek Pek Moko bertindak terlebih
jauh. Siapa yang datang dekat, mereka merobohkannya dengan Kimna tjioe, Tangan
Menangkap, dan siapa yang mencoba lari, mereka timpuk dengan batu hingga orang
roboh terguling. Berdua mereka mencari musuh-musuh yang paling tangguh.
Hebat dan kacau pertempuran
kali ini. Dalam takutnya, kawanan wiesoe, serdadu Gielimkoen dan boesoe,
melawan dengan terpaksa, dengan pikiran tidak tenang. Dengan begitu, walaupun
mereka nekat, mereka tidak dapat berkelahi dengan sempurna. Maka itu,
pertempuran pun tidak berjalan terlalu lama. Semua wiesoe dan anggauta
Gielimkoen terbckuk Hek Pek Moko, banyak boesoe yang roboh di tangannya Ie Sin
Tjoe, Liong Kiam Hong, Thio Giok Houw dan Tjit Seng Tjoe. Sisa yang lainnya,
semua meletaki senjata dan menyerah.
Dalam sepuluh bagian, mereka
yang menyerah ada dua atau liga bagian, yang lainnya semua kena dilukakan dan
dirobohkan.
Hoe Koen Tjip dan Tjhian Tiang
Tjoen mengepalai orang-orangnya hampir seratus jiwa. tidak ada satu di
antaranya yang lolos.
"Tuan-tuan. jangan kamu takut,"
berkata Sin Tjoe kemudian. "Jikalau kami menghendaki jiwa kamu, pastilah
kami sudah mengambilnya semenjak siang-siang. Sayangnya ialah banyak di antara
kamu yang tidak suka mempercayai kami. Sekarang terpaksa kami meminta kamu
menanti selama dua atau tiga hari!"
Sin Tjoe beramai jalan
mengitari semua orang tawanan itu berikut mereka yang menyerah dengan baik,
siapa yang masih penasaran dan terlihat mau berontak, lantas ditotok. siapa
yang berdiam saja, tidak diganggu. Di akhirnya, mereka semua digiring masuk ke
dalam kuil, untuk dikurung di dalam kamar kosong. Mereka dipesan untuk jangan
coba minggat.
Hek Pek Moko tertawa. Mereka
menarik tangannya Thio Giok Houw.
"Siauw Houw Tjoe, mari
kita lihat gurumu!" kata mereka. Lantas mereka mengajak pergi kependopo
Lookoen Tian di mana pertempuran masih berlangsung di antara Thio Tan Hong dan
Kiauw Pak Beng. Sinar pedang terus berkilauan, angin dingin bersiur-siur.
Hati Pak Beng bercekat ketika
ia melihat munculnya rombongan Hek Pek Moko itu. Tahulah ia bahwa itu artinya
pihaknya sudah habis -- meski ia tidak tahu bagaimana dan dengan cara bagaimana
pihaknya itu dikalahkan. Munculnya mereka itu, berarti bahwa mereka sudah
memperoleh kemenangan besar, jikalau tidak, tidak nanti mereka datang
berkumpul, sedang roman mereka itu tenang tetapi riang. Karena ini, permainan
silat jago tua ini menjadi sedikit kalut.
Thio Tan Hong dapat menduga
hati orang.
"Siluman tua she Kiauw,
tidak usah kau berkuatir!" ia berkata, tertawa. "Aku telah berjanji
bahwa kali ini aku tidak bakal menganggu anakmu yang menjadi mustikamu! Kau
keluarkanlah semua kepandaianmu!"
Kiauw Pak Beng memang cuma
memperhatikan anaknya, tentang sekalian boesoe, ia tidak memperdulikan orang
hidup atau mati, maka itu mendengar perkataannya Tan Hong itu, ia berpikir:
"Mereka itu kalah, apa sangkutannya mereka dengan aku? Asal aku menang
dari Thio Tan Hong, walaupun dalam satu atau setengah jurus, aku akan menjagoi
di kolong langit ini! Thio Tan Hong menjadi guru besar dari suatu cabang
persilatan, tidak nanti dia dihantui Hek Pek Moko..."
Setelah berpikir begitu, ia
lantas menenangkan diri. Tidak perduli jumlah musuh besar, sekarang ia cuma
menganggap Tan Hong satu orang. Maka ia lantas mulai menyerang pula. Kali ini
ia manjat ke tingkat ke tujuh dari Sioelo Imsat Kang, tingkat penghabisan dari
peryakinannya dalam ilmu silat yang luar biasa itu.
Pertempuran berjalan hebat
terus menerus. Tanpa merasa, mereka sudah melewati lima ratus jurus. Di atasan
kepalanya Thio Tan Hong terlihat hawa putih menghembus naik. Pada Kiauw Pak
Beng sebaliknya nampak wajahnya menjadi hitam, makin gelap, dan peluhnya
mengalir di dahinya, jatuh ketes demi ketes ke lantai, hingga di lantai, yang
berbatu hijau, terlihat noda-noda hitam.
Thio Giok Houw memasang mata
tajam. Ia dapat menduga yang Kiauw Pak Beng sudah mengeluarkan semua
kepandaiannya. Tanpa merasa, ia berkuatir juga untuk gurunya. Ia tidak tahu
bahwa ketika itu sang guru lagi menggunai tenaga dalamnya yang mahir untuk
membuyarkan hawa dinginnya Pak Beng, yang disalurkan dengan perantaraan
pedangnya.
Tidak lama. Giok Houw
merasakan hawa dingin menyamber kepadanya. Liong Kiam Hong demikian juga.
Inilah disebabkan tenaga dalam mereka yang belum sempurna. Dengan sendirinya
mereka menggigil.
Hek Pek Moko mendapat tahu
muda-mudi itu tidak sanggup bertahan untuk hawa dinginnya Kiauw Pak Beng,
mereka mencekal tangannya muda-mudi itu, untuk menyalurkan tenaga dalam mereka,
untuk membantu memberi hawa hangat.
Giok Houw ketahui bantuannya
dua orang kosen itu, ia pun membantu menguatkan diri dengan menggunai ilmu
yoga, sedang Kiam Hong melatih diri dengan ilmu tenaga dalam dari Thiansan Pay,
guna membikin hawa panas mengalir diseluruh tubuhnya, untuk membikin hangat
tubuhnya. Dengan begitu dapatlah mereka mempertahankan diri dari hawa dingin.
Oleh karena ini juga, mereka menginsafi liehaynya hawa dingin dari Sioelo Imsat
Kang dari si orang tua she Kiauw itu.
Di saat sangat tegang dari
pertempuran itu. mendadak saja terdengar Thio Tan Hong tertawa nyaring dan
panjang, terus tubuhnya mencelat tinggi, lalu selagi, tubuhnya itu turun,
tangannya menikam kebawah kepada 1awannya.
Kiauw Pak Beng melihat tikaman
itu. Sebelumnya, ia telah mendengar tertawa musuhnya itu. Dengan cepat ia
mengangkat hiolouwnya, untuk menangkis.
Untuk kesekian kalinya, kedua
senjata beradu, suaranya terdengar nyaring. Kali ini suara itu mendengung lama,
tanda dari serangan dahsyat dan tangkisan sama dahsyatnya. Tapi kali ini adalah
tangkisan yang terakhir. Di antara suara "trang" yang nyaring itu,
terdengar juga suara bergomprang pecah. Sebab hiolouw itu, yang telah banyak
lubangnya bekas tusukan, atau goresan pedangnya Tan Hong, tidak dapat bertahan
terlebih jauh. Hiolouw itu pecah dan pecahannya jatuh hancur ke lantai!
Tak dapat ditahan lagi, Thio
Giok Houw bertepuk tangan berulang-ulang.
"Bagus! Bagus!" dia
berseru-seru. Maka tercenganglah Kiauw Pak Beng.
Thio Tan Hong tertawa. Dia
bukan mengejek, hanya dia bergurau.
"Bagaimana, siluman tua
she Kiauw?" dia bertanya. "Kau takluk atau tidak?"
Cuma sebentar jago tua itu
melengak, lantas ia mengasi lihat roman dinginnya.
"Kau tidak berani beradu
tangan denganku, aku tidak mau menyerah!" dia menyahut.
Pak Beng memang tidak puas.
Dia mengandalkan sangat Sioelo Imsat Kang. Benar dia dapat menyalurkan hawa dinginnya
kepada Tan Hong dengan perantaraan pedang si orang she Thio, tetapi menurut
anggapannya itu tidak sama dengan mereka tangan beradu tangan. Penyaluran hawa
dingin dengan perantaraan senjata tidak sempurna.
Thio Tan Hong tertawa pula.
Lantas ia melemparkan pedangnya ke lantai.
"Kau majulah!" ia
berkata, menerima tantangan.
Tanpa menjawab lagi. Kiauw Pak
Beng menyambuti. Dengan luar biasa sebat, kedua tangannya bergerak, berbareng
sama majunya tubuhnya, tangan kirinya sudah lantas menyerang. Serangan ini
diiringi dengan angin menghembus.
Tan Hong berlaku berani. Ia
menangkis.
Kiauw Pak Beng tidak mau
mengasikan tangannya kena ditangkis, sambil menarik pulang tangan kirinya itu,
ia menyerang pula dengan tinju kanannya. Kedua tinju itu pergi dan pulang
dengan cepat sekali.
"Bagus!" berseru Tan
Hong, yang menangkis pula. Kali ini ia berlaku luar biasa sebat.
Pak Beng tidak sempat menarik
pulang tinjunya seperti semula, sepasang tinjunya itu kena ditangkis. Maka
terdengarlah suara beradunya kedua tangan, sedang hembusan anginnya ada sampai
jauh
Thio Giok Houw dan Liong Kiam
Hong membawa dirinya menyender ke tembok. Mereka merasakan tembok seperti
bergoyang. Meskipun mereka mundur, mereka toh melihat dua orang yang bertempur
itu. Keduanya sama-sama berlompat mundur, hanya parasnya si orang she Kiauw
pucat seperti abu, dia layu seperti merungkutnya ayam jago yang kalah
berkelahi.
"Kau menyerah atau
tidak?" Tan Hong menanya, suaranya dalam. Kiauw Pak Beng berpikir.
"Aku belum menyerah!" sahutnya sedetik kemudian. Alisnya pun
terbangun.
"Tidak tahu malu!"
Giok Houw mencaci dalam hatinya. Ia mendongkol karena orang tidak berani
mengaku kalah.
"Kenapa kau tidak
menyerah?" tanya Tan Hong, tertawa.
"Sekarang ini aku
mempelajari Sioelo Imsat Kang baru sampai di tingkat ke tujuh." Pak Beng
menjawab, "kau tunggu sampai aku sudah mencapai tingkat ke sembilan, di
waktu mana kita nanti bertempur pula, jikalau kau berani menyambuti satu
tinjuku, baru aku mau mengakui kaulah jago nomor satu dikolong langit ini dan
nama Kiauw Pak Beng bolehlah dicoret hapus!"
"Untuk kau dapat
mempelajari sampai tingkat ke sembilan itu, berapa lama tempo diperlukan
olehmu?" Tan Hong menegaskan.
"Sedikitnya tiga tahun,
atau lambatnya lima tahun!" menjawab Pak Beng.
"Baiklah, nanti aku
tunggu kau sampai tiga atau lima tahun!" berkata Tan Hong. "Hanyalah
aku kuatir sekali, selagi kau sampai kepada tingkat ke sembilan itu, kau sudah
tersesat hingga kau terjerumus dalam bencana!"
Hatinya Pak Beng terkesiap.
Itulah kekuatiran yang
beralasan. Tetapi ia menebalkan kulit mukanya "Itulah urusanku
sendiri!" bilangnya. "Aku mempunyai kepandaian untuk aku menjaga
diriku, hingga tak usahlah kau menguatirkannya!" Tan Hong tertawa.
"Jikalau kau berhasil mencapai tingkat ke sembilan itu, hingga yang sesat
dan yang lurus dapat dipersatukan," ia berkata, "maka di dalam
kalangan ilmu silat jadi tambah lagi selembar riwayatnya! Bukankah itu bagus?
Baiklah, aku bersiap untuk menantikanmu! Tapi hendak aku membilangi kau, kalau
itu waktu kita bertempur pula, aku tidak bakal berlaku sungkan seperti sekarang
ini! Nah, kau pergilah! Aku mengasi perkenan untuk kau bawa juga anak mustikamu
itu!"
Tanpa mengucap sepatah kata,
Kiauw Pak Beng mengeloyor pergi dengan tindakannya yang lebar dan cepat sekali,
hingga, menyaksikan ketangguhan orang itu, Hek Pek Moko menjadi kagum.
Thio Giok Houw dan Ie Sin Tjoe
pergi ke pintu di mana mereka berdiri diam, mereka menyaksikan Kiauw Pak Beng
membawa pergi Siauw Siauw dan Le Kong Thian. bukan main mereka merasa sayang.
Akan tetapi karena merasa pasti ada alasannya mengapa guru mereka memerdekakan
ketiga orang itu, mereka tidak berani mencegah. Ketika mereka menoleh pada guru
mereka, mereka mendapatkan guru itu tertawa.
"Puas, aku puas!"
berkataThioTan Hong. "Semenjak pertempuranku samaTjie Hee Toodjin di
Tjhongsan. sudah sepuluh tahun belum pernah aku bertemu lawan semacam
ini!" Tapi begitu habis berkata, dia lantas menjatuhkan diri berduduk di
lantai.
Giok Houw terkejut, ia lari
menghampirkan. untuk mengawasi muka orang, la mendapatkan di antara alis
gurunya itu ada tanda hitam samar-samar, sedang di atasan embun-embunnya ada
berkumpul hawa putih. Kira sepasangan sebatang hio, barulah hawa hitam di alis
itu lenyap, dengan perlahan-perlahan. Menyusul itu, Tan Hong berlompat bangun.
Ia tertawa dan kata: "Benar-benar Sioelo Imsat Kang liehay, melebihkan apa
yang aku duga!"
"Bagaimana, soehoe?"
tanya Giok Houw, yang masih berkuatir.
"Tidak apa-apa."
menyahut guru itu. "Aku melainkan kehilangan tenagaku bahagian peryakinan
satu tahun. Tidak demikian dengan itu siluman tua she Kiauw. Kecuali dia hilang
tenaga peryakinannya satu tahun, sepulangnya dia juga bakal mendapat sakit
berat."
Giok Houw semua saling
mengawasi, mereka heran sekali. Bukankah hebat hanya disebabkan pertempuran dua
gebrak itu, Tan Hong mesti rugi demikian besar? Bukankah itu menandakan
liehaynya
Kiauw Pak Beng?
"Sebenarnya Sioelo Imsat
Kang berasal dari negaraku," berkata Hek Moko. "cuma di negaraku,
ilmu itu sudah lenyap lama. Siapa sangka sekarang ilmu itu muncul di Tiongkok!
Pelajaran ilmu itu sangat memakan tenaga dalam dan pula ada larangannya, yaitu
kecuali sampai di saat sangat penting, orang dilarang menggunainya. Menurut
aku, meskipun Sioelo Imsat Kang sangat liehay, lebih baik kita tidak mempelajarinya."
Mendengar ini barulah Giok
Houw mengerti kenapa ketika Kiauw Pak Beng dikurung di dalam selat, dia sudah
tidak mau menggunakan ilmu silatnya yang liehay itu.
"Siauw Houw Tjoe,"
berkata Tan Hong tertawa, "kali mi perbuatan kau sangat luar biasa, maka
tidaklah kecewa yang aku dan kedua saudara Hek Pek telah mendidikmu untuk
beberapa tahun!" Lalu ia menambahkan kepada Hek Pek Moko: "Kamu
berdua juga telah mendapatkan satu usaha dagang yang besar tak bandingan!"
Mendengar itu, Hek Pek Moko bersenyum.
Dua saudara ini telah pergi ke
gunung Tjhongsan menjenguk Thio Tan Hong, di sana mereka mendengar tentang
perampasan bingkisan pelbagai propinsi untuk kota raja, ketika mereka mendapat
tahu perampasan itu di kepalai oleh Tjioe San Bin serta Thio Giok Houw,
muridnya, mereka girang bukan kepalang. Usaha mereka memang perdagangan
barang-barang permata di antara kaum Rimba Hijau, inilah kebetulan sekali.
Dengan lantas mereka turut Thio Tan Hong pergi ke kota raja, untuk berkumpul
bersama Sin Tjoe semua. Sin Tjoe sendiri, dua hari sebelumnya pertemuan di
Kiapkok, sudah menerima surat dari gurunya, surat mana dibawa dengan
perantaraan kaum Kaypang, maka ia telah memenuhkan janji pertemuan itu. Bahkan
ia berani memikul tugas berdaya menolongi pelbagai boesoe. Ia datang
bersama-sama Tjit Seng Tjoe.
Kemudian Thio Tan Hong menanya
apa semua wiesoe. orang Gielimkoen dan boesoe, telah kena ditawan atau tidak.
Mendengar pertanyaan itu, Hek
Pek Moko tertawa.
"Urusan demikian kecil,
mustahil tidak dapat diurus sempurna?" katanya. "Tidak ada seorang
juga yang lolos! Kau jangan kuatir!"
"Ada atau tidak yang
terluka parah?" Tan Hong tanya pula.
"Cuma seorang wiesoe yang
tangannya patah, yang lainnya kena ditotok. Ada beberapa orang saja yang
terluka enteng," menyahut Hek Moko.
"Bagus! Sekarang tolong
kau tolongi wiesoe yang tangannya patah itu. untuk disambung pula. Kau, Siauw
Houw Tjoe. pergi kau obati
mereka yang terluka enteng itu, kemudian kau giring mereka semua ke dalam kuil
ini."
Hek Pek Moko dan Siauw Houw
Tjoe semua lantas bekerja. Mereka menggunai tempo sekira setengah jam. lantas
mereka kembali bersama semua orang tawanan, berikut Tjhian Tiang Tjoen dan Hoe
Koen Tjip. Jumlah mereka telah dihitung, semuanya terdiri dari delapan puluh
tujuh orang.
Thio Tan Hong menghadapi semua
orang tawanan itu, ia bersikap ramah terhadap mereka. Ia tertawa dan berkata:
"Tuan-tuan, kamu adalah tetamu-tetamu yang sebenarnya tidak dapat diundang
datang walaupun kamu diundang, maka kami bersyukur sekali yang hari ini kita
telah berkumpul di sini. Tuan-tuan. kami minta sukalah kamu berdiam di sini
untuk beberapa hari saja. Sama sekali tidak usahlah tuan-tuan menguatirkan apa
juga."
Orang semua mengawasi. Mereka
bersangsi untuk mempercayai yang mereka tidak bakal dibikin susah. Bukankah
mereka telah ditangkap dengan paksa? Cuma sebab mereka telah menjadi
orang-orang tawanan, mereka tidak bisa membilang apa-apa mereka menyerah untuk
segala pengaturannya Thio Tan Hong itu.
Kuil Hianbiauw Koan besar dan
luas, ada cukup kamar untuk memernahkan mereka semua. Thio Giok Houw adalah
yang mengatur penempatan mereka. Taylwee Tjongkoan Hoe Koen Tjip serta
Gielimkoen Tongnia Tjhian Tiang Tjoen mendapat perlakuan istimewa, berdua
mereka diberikan sebuah kamar. Walaupun demikian, mereka tetap ragu-ragu, hati
mereka tidak tenteram. Biar bagaimana, mereka tetap orang tawanan.
Kapan Thio Tan Hong sudah
menerima laporan yang semua orang tangkapan telah selesai di berikan tempat,
dengan mengajak dua muridnya, ia pergi ke kamarnya Hoe Koen Tjip dan Tjhian
Tiang Tjoen.
"Djiewie taydjin, aku
mohon maaf, sukalah kamu menerima apa adanya," ia berkata sambil tertawa.
"Thio Tayhiap."
berkata Hoe Koen Tjip. "kau liehay sekali, aku yang rendah kagum sekali
terhadapmu. Hanya sekarang ingin aku menanya: Kau telah menawan hampir seratus
orang, kau telah menahannya di sini, apakah maksudmu?" Tan Hong tertawa.
"Maaf, taydjin, inilah rahasia alam yang tidak dapat dibocorkan!" ia
menjawab manis. "Aku harap taydjin suka bersabar, paling lama lima hari,
bakal ada penjelasannya yang taydjin akan mengetahuinya sendiri Taydjin boleh
percaya, akhirnya itu akan ada kebaikannya untuk kamu semua!"
Hoe Koen Tjip berdiam. Ia mau
percaya Tan Hong, sebab tidak nanti tayhiap ini mendustainya. Karena ini,
hatinya mulai tenang.
"Hoe Tjongkoan."
berkata Tan Hong kemudian, "kalau sudi, aku ingin minta keteranganmu
tentang satu orang. Umpama kata dia dapat diundang datang kemari maka aku
tanggung taydjin semua bakal bebas siang-siang!"
"Siapakah dia itu?"
tanya Hoe Koen Tjip, heran.
"Dialah Khoan Kie yang
dulu hari pernah menjadi Liangouw Yamoensoe"
Mendengar nama itu, Koen Tjip
melengak.
"Untuk apa Thio Tayhiap
menanyakan halnya dia itu?" ia menanya.
"Kita ada orang-orang
terhormat maka di antara kita tidak layak ada omongan dusta!" berkata Tan
Hong. Tetapi ia tertawa. "Kedua muridku ini telah datang ke kota raja.
Bukankah Khoan Kie itu yang melaporkannya?"
Terpaksa Hoe Koen Tjip
mengangguk.
"Benar dia yang memberi
kabar," sahutnya. "Dia mengharap mendapat pulang pangkatnya maka itu
diadatang padaku."
"Baiklah. Sekarang aku
minta kau menulis surat padanya untuk memanggil dia datang."
Koen Tjip suka meluluskan
permintaan itu. Di antara dia dan Khoan Kie tidak ada hubungan yang berarti,
karena sekarang ia berada di dalam genggaman orang, tidak perlu ia
memperhatikan pula bekas yamoensoe itu. Ia lantas menulis suratnya.
Tan Hong mengucap terima
kasih, dengan membawa suratnya, tjongkoan itu, ia berlalu bersama kedua
muridnya.
"Siauw Houw Tjoe."
kata Sin Tjoe sambil tertawa, "baru-baru ini kau menyesalkan aku telah
berbicara sama Khoan Kie, sekarang kau tentulah mengerti maksudnya perbuatanku
itu. Aku memang mau pinjam mulutnya Khoan Kie itu untuk melaporkan tentang
kita, supaya Hoe Koen Tjip mengumpulkan orang-orangnya menyerbu kita, supaya
mereka masuk ke dalam jaring."
"Kau terlalu!" kata
Giok Houw, menyesalkan kakak seperguruan itu. "Sekian lama kau mendustai
aku, kau tidak mau mengasi tahu bahwa soehoe telah datang ke kota raja ini,
hingga sekian lama aku berkuatir tidak keruan..."
Sin Tjoe tertawa, juga yang
lain-lain.
"Sekarang kau boleh pergi
melihat Bhok Lin." berkata Tan Hong pada muridnya itu. "Di sana pun
ada seorang lain yang kau ingin sekali menemuinya."
"Siapakah dia.
soehoe?" si murid tanya, heran.
Tan Hong tertawa.
"Untuk sekarang ini, aku
juga tidak mau memberitahukan." menyahut guru itu. "Kau terkalah
sendiri! Tidak sampai satu jam, kau bakal bertemu sama dia itu, jadi umpama
kata kau tidak dapat membade. kau juga tak usahbergelisah!"
Siauw Houw Tjoe tidak menanya
pula.
"Sekarang." berkata
lagi Tan Hong. "saudara-saudara Hek Pek dan Tjit Seng Tootiang, aku mohon
sukalah kamu bertiga berdiam di sini untuk menjaga."
"Baiklah." sahut
Tjit Seng Tjoe, cepat. "Siapa berani kabur, akan aku bikin patah kedua
kakinya! Thio Tayhiap, tentang di sini, kau boleh tetapkan hatimu, hanya
perihal kedua keponakan muridku itu. tolong kau memperhat i kanny a."
Thio Tan Hong mengangguk,
lantas ia pergi. Ia mengajak Sin Tjoe, Giok Houw dan Kiam Hong, untuk pergi
kepada Bhok Lin.
Hek Pek Moko bertiga terus
berdiam di kuil, guna menjagai orang-orang tawanan mereka.
Ketika itu Bhok Lin berada di
gedungnya di mana ia justeru lagi menantikan. Layonnya Tiat Keng Sim berada di
ruang depan. Rombongan hweeshio dan toosoe baru saja selesai dengan upacara
sembahyang mereka dan telah mengundurkan diri. Putera Bhok Kokkong itu duduk
seorang diri dengan pikirannya tidak tenteram, maka ia bertindak keluar dengan
tidak keruan rasa. Di kepala peti ia melihat dua buah pelita yang apinya
kelak-kelik. Suasana sangat sunyi dan menyedihkan. Ia mengusap-usap peti seraya
hatinya berkata-kata: "Benarkah di dalam dunia ini ada obat yang demikian
mujarab, yang membuatnya orang sudah mati dapat hidup pula? Jikalau obat itu
gagal, tidaklah urusan menjadi cade..."
"Tengah pangeran muda ini
kebat-kebit hatinya, mendadak ia mendengar suara tertawa geli. yang datangnya
dari belakang peti mati, di mana ada alingan sehelai cita yang lebar, lalu
terlihat munculnya orangnya yang terus berkata: "Siauwkongtia, apakah kau
hendak membuka tutup peti untuk melihatnya?"
Kaget Bhok Lin hingga dia
lompat berjingkrak. Ia segera mengawasi tajam.
"Eh, mengapa kau masih
berdiam di sini?" ia tanya akhirnya. "Apakah pel Pekleng Tan
kepunyaan kau itu benar-benar mujarab?"
Orang itu, seorang wanita,
tertawa.
"Tjiehoe-mu telah
bernapas pula, kau tahu?" sahutnya, "Aku telah mendengarnya! Ah, kau
tidak percaya aku. habis apa kau tidak percaya juga gurumu?"
Wanita itu ialah Nona Leng In
Hong atau Nyonya Hok Thian Touw. Setelah dia berpisah dari Hok Thian Touw,
suaminya, seorang diri dia menuju ke kota raja, Pakkhia. Dari orang Kaypang dia
mendapat tahu halnya Thio Tan Hong telah mendapat ketahui urusan Bhok Lin dan
Tiat Keng Sim. Ketika itu hari
Bhok Lin pergi dari rumahnya
dan sampai sekian lama belum juga kembali, ia sebenarnya memenuhkan janji
pertemuan lama Tan Hong. Demikian sudah terjadi, dengan menyamar sebagai
pengikutnya Bhok Lin, dia bersama Tan Hong telah pergi menghadiri pestanya
Tjhian Tiang Tjoen.
Thio Tan Hong sudah menduga
pasti bahwa Tjhian Tiang Tjoen bakal mempersulit Tiat Keng Sim, maka itu
siang-siang ia telah mengatur tipu dayanya. Ia menyuruh Leng In Hong
berpura-pura menghaturkan sepucuk surat yang katanya surat dari seorang toaya
dari Tjiatkang Hweekoan, berbareng dengan itu diserahkan juga dua butir pel
Pekleng Tan. Perbuatan itu dilakukan dengan sebat hingga tak ada yang mendapat
lihat Surat itu juga cuma memuat anjuran untuk Keng Sim berpura-pura mati, dan
caranya dijelaskan dengan ringkas. Keng Sim makan obat itu selagi ia membaca
surat, yang ia bawa ke mukanya, hingga mukanya itu kena teralingkan. Setelah
itu, dengan melukai nadinya, ia membunuh diri. Cara membunuh diri itu tidak
dicurigai siapajuga, sebab nadinya putus dan ia mengeluarkan darah dari mulut,
hidung dan lainnya. Pel Pekleng Tan itu buatan Tan Hong sendiri, antara
campuran obatnya ada soatlian, teratai salju, maka pel itu bisa melawan racun
dan melindungi jantung. Ketika Thio Tan Hong, yang menyamar sebagai pengikut
tua, memondong tubuh Keng Sim, untuk dibawa pulang, berbareng ia menutup
pelbagai jalan darah Keng Sim, untuk melindungi jiwanya. Walaupun demikian,
Keng Sim mesti mati hingga tiga hari.
Lega hati Bhok Lin mendengar
keterangannya In Hong itu.
Akal muslihat ini sangat
berbahaya," katanya kemudian, tertawa. "Inilah akal muslihat yang
hebat sekali! Dengan kesudahannya ini, kesatu tjiehoe bisa meloloskan diri dari
segala sangkutan, kedua kita bersama-sama dapat pulang ke Inlam."
Bhok Lin mengatakan demikian
disebabkan raja ingin Tiat Keng Sim memangku pangkat di kota raja serta ia pun
berdiam di kota raja juga. Keinginan raja itu ialah pertama-tama dia menghargai
kepandaiannya Keng Sim dan kedua untuk membikin si pangeran muda dari Inlam
terikat di kota raja, guna mengikat Bhok Kokkong. Dengan Bhok Lin dan Keng Sim
berada di kota raja, Bhok Kokkong tentulah akan tetap bersetia kepada raja.
Bhok Lin masih muda tetapi ia dapat menerka maksudnya raja itu.
"Masih ada lain
kebaikannya yang besar sekali," In Hong menambahkan sambil tertawa.
"Dengan tindakan ini, pertama kita dapat menolongi semua boesoe yang
tersangkut dalam angkutan bingkisan, dan kedua tjiehoe kau itu dapat dibikin
mati cita-citanya untuk memperoleh pangkat tinggi dan kemuliaan."
Bhok Lin heran.
"Aku dapat memahamkan
yang kedua itu." katanya. "Bagaimana dengan yang pertama? Bagaimana
kawanan boesoe dapat ditolongi?"
"Gurumu segera akan
kembali, nanti kau ketahui sendiri," sahutnya.
Selagi mereka bicara itu, dari
arah luar terdengar suara tindakan kaki. Mendadak Bhok Lin menjadi girang
sekali.
"Soehoe pulang!" ia
berkata nyaring. Ia mau bertindak keluar, untuk menyambut.
Leng In Hong sebaliknya
mengasi dengar seruan terkejut: "Bukan!" Lantas ia nelusup pula ke
belakang peti. untuk bersembunyi di tempat yang tadi.
Hampir berbareng dengan itu,
satu orang terlihat bertindak masuk. Dia bukannya Thio Tan Hong hanya Yang
Tjong Hay!
Bhok Lin tercengang. Inilah ia
tidak sangka. Terhadap Yang Tjong Hay. ia memang tidak berkesan manis, bahkan
ia membencinya. Coba ia menuruti adatnya, tentulah ia sudah lantas mengusir
tetamu yang tidak diundang ini. Disebabkan urusan tjiehoe-nya. dapat ia
menyabarkan diri. Ia menjadi tidak enak hati, sebisanya ia bersikap tenang.
Dengan terpaksa, ia menyambut.
"Malam-malam Yang
Toatjongkoan datang kemari, ada apakah pengajaranmu?" ia menanya. Biar
bagaimana, suaranya dingin.
"Aku mendengar kabar Tiat
Taydjin menutup mata secara mendadak," menyahut Tjong Hay, suaranya
berduka "mulanya aku tidak percaya, sampai sekarang aku menyaksikan
sendiri. Aku sangat berduka dan menyesal. Dengan Tiat Taydjin, persahabatanku
ada persahabatan belasan tahun. Aku sangat mengagumi kecerdasan taydjin, aku
tidak menyangka sekali ia berumur pendek seperti Gan Hwee. Dengan begini aku si
orang she Yang kehilangan seorang sahabat kekal.. Ah, bagaimana aku tidak
berduka? Siauwkongtia tolong aku. ingin aku membuat pertemuan yang penghabisan
kali dengan Tiat Taydjin..."
Mendengar itu. Bhok Lin
mendongkol sekali, hingga ia mendamprat di dalam hatinya: "Tjiehoe paling
membencimu, kau justeru mengaku menjadi sahabat karib!" Tapi, untuk
namanya pri kehormatan, ia tidak dapat menampik permintaan itu.
"Mari!" ia mengajak
dengan terpaksa. Ia lantas memimpin masuk.
Sebenarnya Yang Tjong Hay
tidak percaya Tiat Keng Sim mati, maka itu ia telah datang berpura-pura
menjenguk, lapernah menjadi taylwee tjongkoan, sekalian wiesoe di istana adalah
bekas orang-orang sebawahannya, maka itu, ia lantas mendengar kabar hal
kematian Keng Sim itu. Sebenarnya Tjhian Tiang Tjoen mencoba merahasiakannya
tetapi tidak dapat, bekas tjongkoan ini liehay sekali. Ia menyangsikan Keng Sim
membunuh diri untuk lain orang, walaupun sahabat, maka itu, ia datang guna
mendapatkan bukti sendiri.
"Tutup peti telah dipaku,
tidak dapat taydjin membuka dan melihatnya," berkata Bhok Lin. "Aku
minta taydjin memasang hio saja."
Yang Tjong Hay menurut. Ia
memasang hio dan menjura dengan sikapnya yang sangat menghormat, perlahan
gerak-geriknya. Tapi justeru dengan begini, ia memasang mata dan kupingnya,
memperhatikan peti mati. Ia mendapatkan peti mati tercat mengkilap, suatu tanda
peti itu peti dari kayu nanmu yang mahal, tetapi sebenarnya itulah peti yang
tercat sempurna, untuk mengabui matanya bukan ahli. Di kota raja ada banyak
bekas orang besar atau bekas hartawan, yang tidak mau apes, maka itu kalau dia
kematian sanaknya, dia membeli kayu mahal yang palsu, yang dipulas sempurna.
Tetapi Yang Tjong Hay lain. dia bermata liehay, dengan lantas dia melihat peti
palsu itu. Maka berpikirlah dia: "Kalau Keng Sim benar mati. kenapa ia
dibelikan peti buruk ini?" Karena heran, diamenjadi bercuriga. maka itu,
dia menghampirkan peti mati sampai dekat sekali, di depan peti ia mengulur
tangannya, untuk mengusap-usap. kelakuannya menunjuki ia sangat berduka dan
menyesal, sebagai ia mau mengambil selamat berpisah untuk penghabisan kali.
Sebagai seorang yang mempunyai latihan puluhan tahun, kupingnya segera
mendengar suara apa-apa, yang sangat perlahan. Itulah suara napas Keng Sim di dalam
peti. Ia jadi semakin curiga.
"Kecuali persahabatanku
dengan Tiat Taydjin," ia berkata, "kita pun telah mempunyai janji
untuk bertemu lagi dalam tiga hari, maka sungguh aku tidak menyangka, manusia
itu benar-benar seperti ujarnya peribahasa: Langit mempunyai angin dan meganya
yang tidak dapat diduga-duga, manusia mempunyai saat beruntung dan celaka satu
siang dan satu malam! Sayang taydjin berialu dengan cara begini... Kami
mempunyai persahabatan yang luar biasa, aku mesti mendapat lihat lagi wajahnya,
satu kali saja!..."
Sedih suaranya Tjong Hay
tetapi pun keras dan tetap. Lantas setelah berkata begitu, ia maju untuk
membuka tutupnya peti.
Bhok Lin kaget sekali, untuk
mencegah, ia tak berdaya.
Tepat di saat sangat tegang
itu, ada suara orang membentak keras: "Siapa berani lancang mengganggu
peti matinya taydjin kami?" dan lantas orangnya muncul.
Ialah Leng In Hong, yang
menyamar sebagai hamba pengiring.
Karena ia sangat membenci Yang
Tjong Hay, ia lantas menyerang dengan babatan pedangnya.
Yang Tjong Hay kaget tidak
terkira.
"Hai!" teriaknya.
"Kau satu budak, kau begini kurang ajar?" Dia pun lantas berkelit.
In Hong tidak menyahuti, ia
menyerang pula, terus beberapa kali.
Yang Tjong Hay menjadi
mendongkol, setelah main berkelit saja, ia menghunus pedangnya, untuk
menangkis, guna membuat perlawanan. Hingga di situ mereka jadi bertempur.
Bhok Lin lantas bersandiwara.
"Inilah Yang
Taydjin!" ia berkata kepada "hambanya" itu. "Siauwdjieko,
jangan kurang ajar! Lekas kau omong baik-baik!" Kepada Yang Tjong Hay, ia
pun berkata: "Yang Taydjin, kau sudah pasang hio, kau sudah mengunjuk
hormatmu, aku rasa itu sudah cukup, maka itu, tak usahlah kau melihat lagi
wajahnya tjiehoe! Aku percaya tjiehoe di tempat baka pasti mengetahui
kedatanganmu ini!..."
Tentu sekali In Hong tidak
meladeni perkataannya Bhok Lin itu, sedang Tjong Hay menjadi penasaran. Ia
heran untuk ilmu silat dari si hamba ini.
Masih Bhok Lin berpura-pura
memisahkan, ketika ternyata ia tidak memperoleh hasil, ia lantas bersandiwara
terlebih jauh. Kali ini ia berpura-pura gusar.
"Hai, kenapa kamu tidak
mau mendengar perkataanku?" ia berseru. "Aku tahu maksud kamu, ialah
yang satu setia kepada majikannya, yang lain menyintai sahabatnya, tapi
janganlah kamu bertempur terus-terusan! Mari bicara! Eh, eh, apakah kamu masih
tidak mau berhenti juga? Kalau begitu, masa bodoh, pergi kamu bertempur terus,
aku tidak perduli lagi!"
Kata-kata ini hebat untuk
kupingnya Yang Tjong Hay. Ini bekas tjongkoan merasa bahwa dia diperlakukan
sama seperti si hamba itu. Sementara itu, dia menjadi bertambah curiga, hingga
akhirnya ia merasa pasti Keng Sim benar-benar belum mati, bahwa matinya itu
hanyalah pura-pura belaka, pada itu mesti ada sebabnya. Ia percaya betul hamba
ini salah seorang Rimba Persilatan yang kenamaan, karena kalau tidak, orang
tidak bisa demikian gagah. Ia cuma tidak dapat lantas menduga atau mengenali
Leng In Hong.
Dulu hari pernah In Hong
menempurjago she Yang ini, ia kalah satu tingkat, tetapi sekarang, setelah
berselang delapan tahun dan ia sudah meyakinkan ilmu pedangnya secara
sungguh-sungguh, walaupun Yang Tjong Hay berlatih juga, mereka menjadi
berimbang.
Lekas sekali mereka sudah
bertarung hampir tiga puluh jurus. Tjong Hay penasaran, mendadak ia menggunai
akal. Ialah satu kali ia berlompat ke samping, terus dia menikam kepada peti,
hingga ia mendapatkan bukti bahwa kayu peti itu benar-benar bukan kayu nanmu.
Hampir dia menikam tembus peti itu ke tubuhnya Keng Sim, syukur In Hong lekas
menikam dia, hingga dia mesti berkelit.
"Kurang ajar!"
membentak In Hong. "Kau berani mengganggu jenazah Tiat Taydjin! Kau mesti
dibunuh!"
Bentakan itu ditutup sama
serangan jurus "Thiansan soatpeng," atau "Gempurnya salju gunung
Thiansan." Pedang berkilau mengkeredep dan menyamber luar biasa cepatnya.
Sebab itulah salah satu jurus ilmu pedang bersatu padu, yang ia telah
pelajarkan bersama Hok Thian Touw, yang biasanya digunakan bersama oleh ia dan
suaminya itu.
Yang Tjong Hay terkejut, dia
menangkis. Tapi kedudukannya rada sulit, dia berayal sedikit, tenaganya tidak
terkerahkan sempurna, maka itu, pedangnya kena dibikin mental, pedangnya si
"hamba" meluncur terus, walaupun ia mencoba berkelit, rambut
kepalanya kena terpapas segumpal an!
Bukan main kagetnya bekas
tjongkoan dari istana ini Baru sekarang ia ingat samar-samar bahwa ia pernah
bertempur sama orang ini. Karena ini juga, ingatannya seperti mendadak menjadi
tajam, hingga ia segera mengenali Leng In Hong.
"Hebat, hebat!"
pikirnya begitu lekas ia ingat In Hong. "Tiat Keng Sim berkonco dengan
Leng In Hong dan Ie Sin Tjoe, sekarang sudah pasti Keng Sim belum mati, jikalau
dia muncul dan dia bergabung sama In Hong mengepung aku, tak usah Sin Tjoe
datang, pasti sukar untuk aku menyingkir dari sini, mungkin aku tidak bisa
menolongjiwaku lagi!..."
Oleh karena ini, ia menjadi
mendapat pikiran untuk jangan membuka rahasianya In Hong. Sekarang ia jadi
memikir daya untuk mengangkat kaki.
Tepat di itu waktu, dengan
kupingnya yang liehay, Tjong Hay mendengar tindakan kaki dari beberapa
yahengdjin, ialah orang-orang yang biasa keluar malam, dan suara tindakan
mereka itu menandakan mereka bukan sembarang orang. Ia kaget hingga
keberaniannya menjadi ciut.
"Mungkinkah mereka telah
mengatur tipu daya untuk menjebak aku?" pikirnya. Saking curiga, ia
menjadi menduga begitu rupa. Maka dari itu tanpa berayal lagi, ia berkelit
sambil berlompat, untuk berlompat lebih jauh ke atas genting, guna melarikan
diri. Syukur untuknya, baru ia menghilang, Tan Hong muncul bersama tiga
kawannya, hingga tidak sampai kepergok.
Sin Tjoe melihat In Hong, ia
girang bukan main, lantas ia menubruk dan memeluk.
"Entjie, kenapa kau ada
di sini?" ia menanya. "Rambutmu kusut sekali, sama siapa kau
bertempur?"
Giok Houw pun girang sekali
melihat Nyonya Hok itu. Tahulah ia, si nyonya muda ialah orang yang gurunya
tadi sebut ia ingin menemuinya. Maka sebelum nyonya itu menjawab Sin Tjoe, ia
sudah berkata sambil tertawa: "Ah, aku menyangka kau ditarik Hok Toako
diajak pulang ke Thiansan! Mungkinkah karena kau tidak mau mewujudkan itu
pepatah 'Suami bernyanyi, isteri mengikuti,' maka kamu jadi berkelahi?"
"Cis" In Hong
berludah. "Jangan kau ngaco, Siauw Houw Tjoe!"
Sin Tjoe tertawa. Ia berkata:
"Siauw Houw Tjoe, kau sungguh tidak mengerti urusan! Perselisihan di
antara suami dan isteri adalah soal lumrah, mustahil karena berselisih lantas
orang bertempur?"
In Hong pun tidak gusar.
Bahkan ia segera memberikan keterangannya.
"Yang barusan datang
ialah bekas Tay hwee Tjongkoan Yang Tjong Hay, baru saja aku membikin dia
kabur!" demikian katanya.
"Ah, sayang,
sayang!" kata Giok Houw. "Sayang kita terlambat setengah tindak!
Kalau tidak, sekalian saja kita bekuk dia!"
In Hong lantas tuturkan halnya
kedatangannya Yang Tjong Hay barusan, yang rupanya menyangsikan kebinasaannya
Tiat Keng Sim, maka dia hendak membuka tutup peti, hingga ia mesti
merintanginya sebab Bhok Lin tidak sanggup mencegahnya Setelah itu, ia diajak
bicara pula oleh Sin Tjoe.
"Pantas itu hari kau
tidak muncul, kiranya kau telah memikir lain dan seorang diri datang ke Pakkhia
ini," berkata Nyonya Yap. "Aku kuatir Hok Toako nanti menyesalkan aku
dan menduga, karena kau berat sama saudara angkat, kau lantas tidak menghendaki
suamimu lagi..."
Matanya In Hong dibuka lebar.
"Ah, kau pun masih mau
main-main!" katanya "Kenapa kau tidak mau bicarakan urusan yang
benar?"
"Aku mau omong dari hal
urusan yang benar," menyahut Sin Tjoe bersenyum. "Aku menghendaki
kamu suami isteri mencari jalan yang baik agar kamu menjadi akur pula, supaya
ada pemecahan di antara kamu berdua."
In Hong menghela napas.
"Terhadapnya aku hampir
putus harapan," ia berkata. "Baik urusan besar maupun urusan kecil,
pandangannya dan pandanganku sukar mendapat kecocokan, sedang aku, aku tidak
bersedia untuk menuruti saja kehendaknya. Aku pikir dengan kita berpisah kita
menjadi kurangan pusingnya."
Sin Tjoe berdiam sebentar.
"Sebenarnya Hok Toako
bukan seorang buruk," katanya sesaat kemudian. "Kalau dibanding sama
Tiat Keng Sim, dia jauh terlebih baik. Kau lihat Keng Sim, dia bukannya seorang
yang tidak ada obatnya untuk menolongnya, apapula Hok Toako..."
"Dia dan Keng Sim lain.
Dengan Keng Sim kita bersahabat, tetapi aku dengan Thian Touw suami isteri.
Mengenai sahabat, asal ada sedikit kebaikannya, dapat kita mengingat, terhadap
suami, permintaanku lain lagi, aku meminta lebih banyak, walaupun tak usah
sampai sesempurna-sempurnanya, sedikitnya asal di antara kita ada kecocokan
hati..."
Kembali Sin Tjoe berdiam. Apa
ia bisa bilang lagi?
In Hong pun berdiam. Sampai
selang sekian lama. baru ia menghela napas.
"Sudah, kita jangan
menyebut-nyebut Thian Touw," katanya. "Mari kita bicara urusan Keng
Sim. Tahukah kau bahwa dia 'binasa' untukmu?"
In Hong lantas menuturkan
jelas duduknya hal sampai Keng Sim "membunuh diri" itu.
"Meskipun benar inilah
mati pura-pura tetapi perbuatannya itu mesti dilakukan dengan keberanian luar
biasa," kata pula In Hong. "Coba dia bernyali kecil, meskipun ada
obat mujarab, dia pasti gagal. Pula, bagaimana kalau obat itu tidak menolong
hingga dia mati benar-benar? Keng Sim telah melakukan sesuatu yang luar biasa.
Sebenarnya aku tidak berkesan manis terhadapnya tapi sekarang aku mesti
menghormati dia"
Sin Tjoe lantas ingat
lelakonnya sendiri dengan Keng Sim dulu hari, ia menjadi terharu hatinya.
"Sifatnya Keng Sim itu
campur baur," katanya. "Semoga setelah kejadian ini dia nanti dapat
mengubah itu, kalau itu terjadi, kita yang menjadi sahabatnya harus
bergirang."
Selagi Sin Tjoe bicara sama In
Hong, Giok Houw bicara asyik sama Bhok Lin. Siauw Houw Tjoe, dengan disertai
gerakan kaki tangannya, menuturkan bagaimana gurunya menempur Kiauw Pak Beng,
bagaimana Hek Pek Moko yang gagah membekuk orang-orang kosen dari istana,
bagaimana rombongannya Tjhian Tiang Tjoen dan Hoe Koen Tjip kena ditawan semua.
Bukan main girangnya Bhok Lin,
dia sangat bergembira.
Thio Tan Hong sendiri, selama
itu. berduduk seorang diri. Ia agaknya lagi berpikir keras, hingga ia tidak
memperdulikan aksinya itu rombongan orang muda. Adalah kemudian, mendadak dia
menanya Bhok Lin: "Apakah suratmu untuk raja sudah di kirim?"
"Sudah sedari
siang-siang," menjawab itu murid. "Kita sekarang tinggal menunggu
keluarnya firman Sri Baginda Raja."
"Untuk apakah surat
itu?" tanya Giok Houw.
"Jikalau seorang menteri
menutup mata, menurut aturan, hal itu harus disampaikan kepada raja," Bhok
Lin memberi keterangan. "Demikian dengan tjiehoe-ku meski benar dia baru
berpangkat tingkat ketiga. Dia menjadi Hoetongnia dari pasukan Gielimkoen. dan
padanya ada tersangkut kedudukan dari ayahku. Soehoe juga menganjurkan aku
mengirim surat. Sebagai alasan dikemukakan bahwa tjiehoe mati lantaran sakit.
Sekalian dengan itu aku mesti minta perkenan untuk membawa pulang jenazah
tjiehoe untuk dikubur di kampung halaman kami."
"Ah, orang mati demikian
sulit urusannya!" berkata Siauw Houw Tjoe. "Dengan begitu apakah
bukan berarti kita masih harus berdiam di sini untuk beberapa hari lagi?"
"Memang kita harus
berdiam di sini lagi beberapa hari!" Sin Tjoe nimbrung sambil tertawa.
"Lain-lain kepusingan
kita mesti mendayakan untuk menjauhkannya tetapi kepusingan semacam ini, kita
cari pun sukar untuk didapatkannya!"
Giok Houw heran, otaknya
lantas bekerja Sebagai seorang cerdik, ia segera mendapat jawabannya. Maka ia
bersenyum. Dengan lantas ia dapat menerka siasatnya gurunya ini.
Sementara itu Tjoe Kian Tjim.
ialah Kaisar Hian Tjong, heran bukan main kapan ia telah menerima surat
pemberitahuan atau rekes dari Bhok Lin itu.
"Tiat Keng Sim itu segar
bugar, dia juga bukan miripnya orang berusia pendek, mengapa dia meninggal
secara begini tiba-tiba?" demikian pikirnya. Ketika ia menerima surat,
sudah magrib, itu waktu sudah selang dua jam dari "matinya" Keng Sim.
Ia lantas mengirim orang, untuk mencari tahu. Tidak lama, orangnya itu sudah
kembali, menuturkan halnya Keng Sim mati membunuh diri di rumahnya Tjhian Tiang
Tjoen, bahwa kematian itu disaksikan sendiri oleh sekalian wiesoe dan boesoe,
jadi itulah bukan kematian palsu.
"Heran!" pikir raja
ini. "Aku tidak menyangka dia mati secara demikian macam. Syukur Bhok Lin
tidak berani banyak bicara, dia cuma menyebutkan kematian lantaran sakit,
jikalau tidak, urusan bisa menjadi sulit. Dengan memandang kepada Bhok Kokkong,
baiklah, urusan ini tidak usah ditarik panjang."
Maka raja lantas mengeluarkan
putusannya menuruti kebiasaan umum. Ia mengirim tanda turut berduka cita. Keng
Sim diberi pangkat mati, ialah Djiepin Liongkie Touwoet. Di hari kedua. Bhok
Lin diijinkan untuk datang menghadap ke istana, untuk dihiburkan, guna diberi
perkenan membawa pulang layon iparnya itu.
Senang Bhok Lin atas putusan
raja itu. Ia merasa bagaimana raja memperlakukannya dengan baik.
Bukankah beberapa kali ia
telah dipanggil menghadap ke istana? Hanya kali ini ia datang untuk sekalian
berpamitan. Oleh raja, ia diterima menghadap di kamar tulis dalam keraton. Ia
pun dipandang seperti keponakan, hingga ia tidak usah menjalankan banyak adat
peradatan.
Raja sendiri, selama dia
menantikan datang menghadapnya Bhok Lin, telah menerima suatu warta lain.
Itulah mengenai sepak terjangnya Tjhian Tiang Tjoen dan Hoe Koen Tjip,
tjongkoan dan tongnia-nya, yang mengepalai beberapa puluh wiesoe pilihan,
pemimpin-pemimpin dari Gielimkoen serta beberapa puluh boesoe dari pelbagai
propinsi, untuk pergi menangkap orang-orang yang dicurigai sebagai
penjahat-penjahat perampas pelbagai bingkisan. Bahwa sampai itu waktu, mereka
itu masih belum kembali, serta tidak ada kabar ceritanya Walaupun kejadian itu
aneh sekali, raja tidak lantas menyangka jelek. Bukankah Hoe Koen Tjip membawa
jumlah yang besar dan semuanya orang-orang pilihan? Bukankah mereka itu berada
di kota raja? Di mana kawanan penjahat telah ketahuan tempat mondoknya,
bukankah gampang untuk meringkus mereka semua? Tidak ada alasan bahwa mereka
bakal menampak kegagalan. Mungkin ada sesuatu yang membikin mereka terlambat,
hingga mereka belum kembali... Begitulah, meski aneh duduknya hal, raja tidak
berkuatir.
Baru saja thaykam yang
mengantar juru pelapor itu mengundurkan diri, lantas tertampak munculnya Bhok
Lin, yang diiringi dua thaykam lainnya.
Kian Tjim membiarkan Bhok Lin
menjalankan kehormatan di antara menteri dan junjungannya, habis itu ia memberi
ijin untuk orang berduduk, kemudian ia pandang pangeran muda itu. Ia
mendapatkan air muka orang seperti biasa saja.
"Dasar bocah belum
mengerti apa-apa" pikir raja ini. "Tjiehoe-mu telah menutup mata, kau
pandang kejadian itu seperti tidak terjadi sesuatu. Sebenarnya, taruh kata kau
tidak memikirkannya, dihadapan tim mestilah kau mengunjuki roman
berduka..."
Raja memikir demikian karena
ia tidak tahu Keng Sim mati palsu. Dan walaupun dia tahu orang mati membunuh
diri, iajuga berpura-pura.
"Tjiehoe-mu itu mati
lantaran sakit apa?" demikian ia tanya "Kenapa dia meninggalnya
demikian cepat?"
Bhok Lin mendusta ketika ia
menjawab: "Dua hari terlebih dulu daripada itu dia mendapat bisul kecil di
hidungnya, djintiong, bisul itu tidak sakit dan juga tidak gatal, dia tidak
perhatikan itu. Di luar dugaan, itulah bisul yang beracun. Kemarin lohor, bisul
itu bekerja dengan mendadak, ketika tabib diundang dan datang, dia sudah keburu
menutup mata."
Raja mengangguk.
"Memang, bisul di
djintiong biasa berbahaya," berkata raja, yang turut main sandiwara.
"Menurut ilmu tabib, bisul itu dinamakan bisul mulut kuda Sebenarnya bisul
demikian tidak dapat dipandang enteng."
"Luas pengetahuan Sri
Baginda," berkata Bhok Lin. "Tabib pun membilang demikian. Sayang
kami mengetahuinya sesudah terlambat."
Tjoe Kian Tjim menghela napas.
"Tiat Loogiesoe seorang
menteri yang setia," ia berkata pula. "Perbuatannya mendakwa Ong Tjin
telah menggemparkan negara. Ia cuma mempunyai seorang putera, tidak disangka
putera itu pendek umurnya. Sungguh sayang! Apakah ada pesannya tjiehoe-mu itu
ketika ia hendak melepaskan napasnya yang penghabisan?"
Bhok Lin melanjuti
sandiwaranya.
"Tjiehoe membilang bahwa
keluarganya dua turunan, ayah dan anak, telah menerima budi besar dari negara,
ia menyesal tidak dapat membalasnya," ia menyahut, "maka itu ia
memesan untukku belajar surat dengan rajin dan belajar silat dengan
sungguh-sungguh, supaya kemudian hambamu dapat melakukan sesuatu untuk Sri
Baginda."
"Sungguh setia Keng
Sim!" raja memuji. "Sampai di saat kematiannya, dia masih tidak
melupakan budi Junjungannya!
Sungguh sukar dicari menteri
sebagai dia! Dia memang gagah dan pandai bekerja. Lihat saja, dari demikian
banyak bingkisan yang diantar ke kota raja, cuma bagianmu yang dia dan kau
dapat melindunginya dengan sempurna. Sebenarnya tim hendak memberikan dia
kedudukan lebih penting, sayang dia mati muda. Dengan kematiannyatim kehilangan
seorang menteri gagah dan pandai, sungguh tim menyesal..."
"Dia meninggalkan
pesan," berkata Bhok Lin, menggunai ketikanya ini, "agar jenazahnya
dikubur di kaki gunung Seesan di kota Koenbeng, di tepinya pengempang Tiantie.
maka itu hamba pikir, lagi dua hari akan berangkat membawa jenazahnya itu pulang,
supaya lekas-lekas dapat dikebumikan."
"Itulah sudah seharusnya.
Hanyalah perjalanan ke Inlam itu jauh laksaan lie, kau seorang diri yang
mengantarkannya, hatiku tidak tenteram. Apakah kau menghendaki ditambah
pengantar wiesoe untuk menemani kamu?"
"Terima kasih, itulah
tidak usah," berkata Bhok Lin, menyahuti. "Sekarang ini Sri Baginda
yang memerintah, negara aman sentosa, umpama kata toh ada kawanan kurcaci,
hambamu mempunyai sejumlah pengiring yang dapat melayani mereka. Maka itu hamba
tidak berani mengganggu kepada sekalian wiesoe dari istana."
Biar bagaimana, raja merasa
tersinggung juga dengan itu kata-kata "negara aman sentosa." Bukankah
bingkisan pelbagai propinsi telah kena dirampas penjahat dan cuma bingkisan
dari Inlam sendiri yang selamat? Tapi, mendapatkan pangeran muda ini demikian
pandai bicara, ia tidak mau membilang apa-apa Ia bilang saja: "Jikalau
demikian, tim akan mengirim saja seorang wakil, selagi layon hendak
diberangkatkan, biarlah dia mewakilkan tim turut bersembahyang. Di samping itu
nanti tim membekali sepucuk firman, supaya semua pembesar negeri dipelbagai
tempat dan kota yang dilewati nanti membantu mengantarkan dan melindungi."
Kembali Bhok Lin menghaturkan
terima kasihnya
Sampai di situ, raja memanggil
seorang thaykam, yang dititahkan menyuguhkan teh harum untuk pangeran muda itu.
"Tim mendengar kau suka
sekali bergaul sama orang-orang gagah yang hidup merdeka di luaran," kata
raja kemudian, "sekarang ini ada satu di antaranya yang berdiam di Inlam,
tahukah kau tentang dia atau tidak?"
"Entah siapa itu yang Sri
Baginda tanyakan?" tanya Bhok Lin.
"Dulu hari semasa
peperangan di Touwbokpo," menyahut raja, "di sana ada seorang rakyat
gagah bernama Thio Tan Hong. Dialah juru pemikir dari Kokloo Ie Kiam. Ketika
Sri Baginda almarhum menampak kesusahan, dialah yang bersama-sama le Kiam
mendayakan dan menyambutnya pulang. Sayang Ie Kiam telah mati penasaran, maka
juga selekasnya tim naik ditahta, tim sudah lantas membersihkan kehormatannya
Thio Tan Hong sendiri masih hidup, untuk jasanya dulu hari itu, tim belum
membalasnya, maka itu untuk banyak tahun senantiasa tim memperhatikan dia.
Sekarang ini, menurut kabar yang dapat dipercaya, dia tinggal menyendiri di
gunung Thiam Tjhong di Inlam, maka itu, entahlah kau pernah bertemu dengannya
atau tidak."
Selagi berbicara itu, raja
memperhatikan wajah si anak muda. Ia tahu Thio Tan Hong gagah dan pintar, ia
kuatir orang nanti kena dipakai oleh Bhok Kokkong, hingga kelak dikemudian
hari, ia bisa mendapat susah dari orang cerdik pandai itu, maka sekarang ingin
ia mendengar hal dia itu dari pangeran ini.
Bhok Lin menunjuki sikapnya
tenang. Ia meletaki cawan tehnya, dengan sikap sangat hormat, ia memberikan
jawabannya. Katanya: "Harap Sri Baginda mengetahuinya, orang yang Sri
Baginda sebutkan itu kebetulan hamba mengenalnya. Jikalau Sri Baginda ingin
memanggil dia datang menghadap, nanti hamba pergi mencari dia."
Raja terperanjat mendengar
jawaban itu. Inilah di luar dugaannya Karena ini hendak ia menanya pula atau
seorang thaykam datang menghampirkan untuk terus berbisik di telinganya. Dengan
lantas air mukanya berubah menjadi pucat dan guram bergantian.
Kabar itu adalah kabar tentang
Hoe Koen Tjip dan Tjhian Tiang Tjoen. Tjongkoan dan tongnia itu, berserta
rombongannya, masih belum juga kembali serta tidak ada kabar ceritanya.
Katanya, kecuali itu, beberapa kali telah di kirim orang, untuk pergi mencari
tahu, tetapi semua pesuruh itu pergi tanpa satu di antaranya pulang. Hingga
mereka mirip batu besar yang dilemparkan ke dalam laut. Di samping itu, ada
lagi lain kejadian. Inilah yang membikin raja itu kaget, gusar, masgul dan
berkuatir, hingga air mukanya itu menjadi berubah. Berita yang terakhir ini
ialah:
Kantor dari sekalian wiesoe di
tempatkan di pendopo Engboe tian di luar keraton, ialah di dalam istana. Di
sana ada terjadi sesuatu. Wiesoe yang bertugas di sana merasa heran atas
"lenyapnya" rombongan Hoe Koen Tjip itu, maka dia mengadakan rapat
untuk membicarakannya. Tengah rapat berjalan maka dapatlah diketahui sesuatu
itu. Di balok penglari tertampak sebuah pedang pendek, tak tahu siapa yang
menancapnya di situ. Pedang itu lantas dicabut, dikasih turun. Segera orang
mengenali, itulah pedangnya Hoe Koen Tjip. Semua orang menjadi kaget dan heran.
Mereka memangnya bukan sembarang orang Kangouw. Sekarang, tanpa mencari tahu
lagi. tahulah mereka bahwa Hoe Koen Tjip semua telah menjadi orang-orang
tawanan lawan yang belum dikenal, hanyalah entah di mana mereka tertawannya,
dan setahulah di mana sekarang mereka lagi disekap. Pedang ini pastilah telah
di kirim oleh musuh. Dan oleh musuh yang liehay sekali sebab harus diketahui,
Hoe Koen Tjip semua berjumlah banyak dan semuanya juga liehay. Dan musuh yang
mengantar pedang ini tanpa ketahuan, mesti liehay juga.
Mendengar laporan ini, Tjoe
Kian Tjim tergetar hatinya. Ia bukannya orang Kangouw tetapi ia menginsafi apa
artinya itu. Tapi ia justeru membicarakan halnya Thio Tan Hong, yang diketahui
Bhok Lin, ia mencoba menenangkan diri. Ia menunda urusan Hoe Koen Tjip itu. Ia
pun lantas menyuruh mundur orang-orang kebirinya itu.
"Kau bilang bahwa Thio
Tan Hong itu dapat dicari, di mana adanya dia sekarang?" kemudian Kian
Tjim tanya puteranya Bhok Kokkong. "Lagi dua hari kau bakal berangkat
pulang, apakah kau masih berkesempatan mencari dia?"
Pangeran muda itu bersenyum.
"Tuan Thio itu sekarang
berada di sini," ia menjawab.
Raja kaget hingga ia
berjingkrak bangun.
"Dia di sini?" dia
berseru. "Wiesoe, lekas!"
Selagi raja itu kelabakan,
Bhok Lin berlaku tenang.
"Tidak salah, Tuan Thio
berada di sini," sahutnya. "Tuan Thio berada di luar, ia lagi
menantikan titah panggilan dari Sri Baginda..."
Raja tidak memperdulikannya.
Ia segera berteriak-teriak memanggil para pahlawannya. Tapi ia tidak memperoleh
jawaban, tidak ada seorang wiesoe juga yang muncul. Di lain pihak lantas
terdengar satu suara tertawa perlahan tetapi terang dan pintu kamar segera
tertolak terbuka, dari situ terlihat masuknya satu orang dengan sikapnya yang
tenang dan tindakannya ayal tetapi tetap. Dia lantas menjura dalam dan berkata:
"Thio Tan Hong menerima panggilan dan sekarang ia datang menghadap Sri
Baginda!"
Memang benar, dialah Thio Tan
Hong, yang lagi disebut-sebut itu.
Raja mundur satu tindak,
matanya terbuka lebar, mengawasi orang she Thio itu. Ketika ia melihat roman orang
sabar, sama sekali tidak ada tanda-tandanya orang berniatan busuk, hatinya
menjadi sedikit lega. Ia lantas berduduk pula.
"Thio Sianseng, cara
bagaimana kau datangnya kemari?" ia tanya. Ia heran dan rasa herannya
tidak bisa lantas lenyap.
Tan Hong tertawa.
"Tentu saja dengan jalan
bertindak," sahutnya tenang. "Aku ingat hal pada sepuluh tahun yang
lampau. Ketika itu Sri Baginda masih menjadi putera mahkota. Ketika itu aku
pernah dipanggil menghadap. Itulah budi Sri Baginda, yang hingga sekarang tidak
dapat aku lupakan. Sekarang Sri Baginda telah naik di atas tahta kerajaan,
sudah selayaknya saja aku datang untuk memberi selamat!"
Raja merasa tidak enak hatinya
Ia tentu tidak ketahui yang Thio Tan Hong datang dengan mengikut Bhok Lin,
mengikut tetap sebagai pengiring tetiron. Sebenarnya Bhok Lin datang dengan
beberapa pengiring, antaranya Tan Hong. Mereka tidak diperkenankan turut masuk
menghadap raja, mereka dipernahkan di sebuah kamar thaykam dengan diawaskan
oleh beberapa wiesoe. Akan tetapi, setelah Tan Hong menduga saatnya sudah tiba,
dengan kesehatannya, dengan keliehayannya, ia totok roboh semua wiesoe pengawas
itu, lantas ia masuk ke dalam. Di muka kamar tulis raja ada menjaga dua wiesoe
lain, yang terlebih liehay, juga mereka itu berdua dapat dirobohkan dengan
gampang. Maka juga, begitu mendengar suaranya Bhok Lin yang terakhir, ia
menolak pintu dan bertindak masuk.
Dalam herannya Tjoe Kian Tjim
berpikir: "Dia dapat memasuki istana yang pintunya berlapis-lapis,
teranglah dia telah merobohkan semua pahlawanku, kalau sekarang aku
memanggil-manggil lagi orang, niscaya percuma saja. Siapa bisa datang dan
melawannya? Bahkan itu membikin dianya ketahui bahwa aku takut..." Maka
itu, justeru Tan Hong menyebut-nyebut peristiwa dulu, hatinya menjadi jauh terlebih
tenteram.
"Silahkan duduk, Thio
Sianseng!" ia mengundang.
Tan Hong menerima undangan
itu.
"Tim baru naik di atas
tahta tim mencari orang pandai bagaikan tim berdahaga," ia berkata
kemudian, "kebetulan Sianseng datang, inilah ketikanya yang baik untuk tim
memohon pengajaran."
"Istana Sri Baginda penuh
dengan menteri-menteri boen dan boe, yang pintar dan gagah, sebenarnya tidak
ada perlunya Sri Baginda dengan orang hutan sebagai aku." Tan Hong
menjawab.
"Jangan kau merendahkan
diri, Thio Sianseng," berkata raja "Tim ketahui baik sekali. Sianseng
adalah orang pintar dan gagah di jaman ini! Sebenarnya tim sangat
mengagumimu."
"Jikalau benar Sri
Baginda tidak merasa malu untuk bertanya terhadapku," kata Tan Hong
kemudian, "maka itu aku si orang she Thio yang cupat pandangannya suka aku
bicara. Aku minta sudilah Sri Baginda memaafkan yang aku hendak bicara secara
terus terang."
"Kalau ada sesuatu
ajaranmu, Sianseng, suka tim mendengarnya," kataTjoe Kian Tjim.
"Silahkan minum tehnya dulu!"
Di saat seperti itu, untuk
mendapat kesan baik dari Thio Tan Hong, raja melupakan derajatnya sebagai
kaisar, ia sendiri yang menuangkan teh dan menyuguhkannya.
Tan Hong tidak berlaku
sungkan, ia menyambuti teh dan meminumnya.
"Pada sepuluh tahun dulu
itu," kemudian ia mulai berkata, "aku dan Sri Baginda telah
menyebut-nyebut tiga soal, entah Sri Baginda masih ingat itu atau
tidak..."
"Aku ingat itu,"
berkataraja. "Yang pertama ialah supaya Ie Kokloo dihilangkan
penasarannya. Yang kedua yaitu supaya Yap Seng Lim dibiarkan merdeka di
pulaunya serta diberi pangkat dengan perjanjian kedua pihak tidak saling
menyerang. Dan yang ketiga agar Toan Teng Tjhong dibiarkan menjabat terus
kedudukan raja muda turun temurun serta semua suku dan pembesar diwilayah Tali
tetap berada di bawah kekuasaannya, supaya kedua suku Han dan Pek hidup damai
untuk selama-lamanya. Ketika itu adalah ayahandaku yang masih memerintah, aku
tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi sekarang, setelah aku yang naik di tahta,
semua tiga soal itu telah aku mewujudkannya Tentang Toan Teng
Tjhong menjadi raja muda Sri
Baginda almarhum sudah mengeluarkan firmannya, titah pun telah diumumkan, dan
ketika aku naik di singgasana, aku juga sudah bertindak terlebih jauh, aku
telah menambah anugerah. Kabarnya sudah beberapa tahun Thio Sianseng hidup
menyendiri di gunung Tjhongsan, maka tentulah Sianseng sudah mendapat tahu
semua hal itu."
"Inilah bagian yang
pertama, yang mengenai Keluarga Toan itu," berkata Tan Hong.
"Sekarang aku ingin mendengar penjelasan hal yang dua lagi. Bagaimana
dengan yang kedua?"
"Begitu tim naik di atas
tahta, lantas tim memerintahkan mencuci penasarannya Ie Kokloo itu."
menyahut raja "Tentang itu tim sudah menyiarkan maklumat ke seluruh negeri
agar semua rakyat mengetahuinya, serta juga di Hangtjioe telah dibangun rumah
abu untuk memuliakan Ie Kokloo yang setia itu. Tentang ini tentulah Thio
Sianseng telah mengetahuinya juga."
"Dan yang ketiga?"
Tang Hong masih menegaskan.
"Yap Seng Lim mengambil
kedudukan di pulau-pulau, dia tidak menerima panggilan kami untuk datang
menakluk," menjawab raja. "Kalau dia diberi perkenan mengangkat
dirinyamenjadi raja, maka tindakan itu tidaklah tepat, tidak cocok dengan
aturan pemerintah, meskipun demikian, tim tidak menitahkan untuk menghukum dia.
Thio Sianseng, apabila Sianseng dapat membikin Seng Lim menakluk kepada
pemerintah, hingga dia suka tunduk di bawah perintah soenboe dari Tjiatkang,
maka tim pastilah tidak berkeberatan akan memberikan dia sesuatu pangkat."
"Aku bukannya hendak
memohonkan pangkat untuk Yap Seng Lim," berkata Thio Tan Hong, yang terus
menjelaskan: "Sebenarnya dia berjasa untuk negara Sekarang ini dia lagi
menugaskan diri mewakilkan negara menjaga serbuan perompak-perompak bangsa
kate. Untuk itu dia tidak meminta rangsum atau biaya dari negara. Sepak
terjangnya itu, untuk negara, ada baiknya, tidak ada jahatnya. Maka itu,
seandai Sri Baginda tidak dapat mengijinkan dia menjadi raja di pulau-pulau
itu, sedikitnya adalah selayaknya jikalau Sri Baginda melarang tentera pemerintah
menyerang pula padanya. Tapi tentang ini baiklah ditunda dulu. Mengenai tiga
hal itu, yang katanya Sri Baginda telah melakukan semuanya, menurut aku.
sebenarnya Sri Baginda baru melakukan satu di antaranya..."
"Bagaimanakah itu?"
raja tanya.
"Yang telah dilakukan
ialah baru urusan menganugerahkan Toan Teng Tjhong di Tali," kata Tan
Hong. "Usaha mencuci bersih penasarannya Ie Kokloo, itu dilakukan karena
terpaksa, hal itu tidak dapat tidak dilakukan. Sri Baginda melakukannya bukan
dengan kesungguhan hati."
Parasnya raja berubah. Ia
merasa sangat tersinggung.
"Thio Sianseng menegur
tim, tidakkah itu keterlaluan?" katanya. Di dalam keadaannya seperti itu,
tidak dapat ia menggunai kekuasaannya sebagai seorang raja. "Mengapa
Sianseng membilangnya tim tidak sungguh-sungguh?"
"Ie Kokloo mempunyai
hanya seorang anak perempuan, namanya Sin Tjoe, dan suaminya ialah Yap Seng Lim
pemimpin dari tentera rakyat suka rela," Tan Hong mengasi keterangan.
"Jikalau Sri Baginda benar-benar menghargakan jasa Ie Kokloo, yang demikian
menyinta negara, mengapa menyuruh demikian banyak wiesoe istana dan barisan
Gielimkoen pergi menawan dia dengan tuduhan dialah seorang pemberontak?"
Mendengar itu. Tjoe Kian Tjim
kaget.
"Apa? Puterinya Ie Kokloo
itu ialah Ie Sin Tjoe?" tanyanya. "Tim cuma menerima laporan Hoe
Tjongkoan tentang halnya seorang penjahat wanita yang katanya bersangkut paut
sama perampasan bingkisan pelbagai propinsi, tapi perihal dia pergi
menangkapnya atau tidak, Tim tidak tahu apa-apa. Memang hebat penjahat itu yang
berani mengganggu pelbagai bingkisan, mereka kurang ajar sekali! Kenapa
puterinya Ie Kokloo berada di antara orang-orang jahat itu? Inilah aneh! Harap
saja itu bukannya hal yang benar!"
Mendengar kata-kata raja itu,
Thio Tan Hong bersikap tawar.
"Ie Sin Tjoe itu bukan
saja benar telah merampas pelbagai bingkisan," ia berkata, "bahkan
dia bersama seorang adik seperguruannya adalah orang yang memimpin perampasan
itu."
Inilah hal yang raja sudah
ketahui, tetapi ia berpura-pura. Sengaja ia mengeprak meja dan berseru berulang
kali: "Seorang wanita cantik menjadi penjahat, inilah sungguh di luar
dugaan! Sungguh di luar dugaan!"
"Tahukah Sri Baginda
kenapa mereka itu merampas bingkisan itu?" Tan Hong tanya. Ia menanya tapi
tidak menanti jawaban, selagi raja mengawasi padanya, ia menambahkan:
"Itulah untuk dapat membelanjai tentera rakyat. Tjioe San Bin bekerja di
utara mewakilkan Sri Baginda menjaga serangan bangsa Ouw yang galak, dan Yap
Seng Lim, di selatan, membendung gangguan perompak-perompak kate. Untuk usahanya
itu, guna memelihara tentera, mereka itu tidak mau melakukan perampokan, mereka
mengandal pada usaha sendiri membuka tanah ladang dan menangkap ikan di laut.
Usaha itu tidak dapat mencukupi biaya mereka, maka itu mereka terpaksa merampas
pelbagai bingkisan untuk Sri Baginda itu. Sri Baginda agung dan mulia sebagai
raja, kaya raya mempunyai empat penjuru lautan, dan di dalam gudang istana
bertumpuk barang-barang permata bagaikan gunung, maka untuk Sri Baginda,
pelbagai bingkisan itu, banyak tidak terlalu banyak, sedikit tidak berarti
kesedikitan, daripada membiarkan itu tersimpan di dalam gudang dengan tidak ada
faedahnya, lebih baik dibiarkan semua itu diambil mereka. Bahkan untuk Sri
Baginda itu menjadi ada kebaikannya yang besar!"
"Thio Sianseng, mengapa
Sianseng mengetahui hal begini jelas?" tanya raja.
Thio Tan Hong bersenyum.
"Baiklah Sri Baginda
mendapat ketahui," sahutnya, "Ie Sin Tjoe serta adik seperguruannya
itu, Thio Giok Houw, keduanya murid-muridku, dan usaha mereka itu merampas pelbagai
bingkisan disetujui pula olehku. Dulu hari itu harta besar simpanan yang
menjadi warisan leluhurku telah dihadiahkan kepada Pemerintah Agung dipakai
biaya tentara menangkis penyerbuan bangsa Watzu, dan sekarang murid-muridku
mengambil pelbagai bingkisan Sri Baginda diperuntukkan rangsum tentera rakyat!
Yang satu dipersembahkan, yang lain diambil, tetapi dua-duanya itu sama saja
artinya, semua untuk keperluan negara, maka itu, jikalau Sri Baginda hendak
mempersalahkan mereka, silahkan persalahkan aku saja!"
"Mana dapat tim
mempersalahkan Sianseng?" kata Kian Tjim cepat. Ia hening sejenak, lalu ia
menambahkan: "Jikalau demikian adanya, dengan memandang kepada Ie Kokloo,
apabila Ie Sin Tjoe itu kena ditawan oleh sebawahannya Hoe Tjongkoan, nanti tim
mengeluarkan firman supaya dia dimerdekakan secara diam-diam..."
Thio Tan Hong tertawa.
"Ie Sin Tjoe itu tidak
kena dibekuk Hoe Tjongkoan," katanya, "sebaliknya dialah yang datang
sendiri!"
Kian Tjim heran hingga dia
terkejut.
"Apa? Apakah Ie Sin Tjoe
pun datang ke sini?"
Tan Hong mengangguk.
"Hari ini aku masuk ke
istana," katanya, menerangkan, "lalu kedua muridku itu ingin membikin
luas pandangan matanya, mereka meminta sangat untuk turut padaku, lantaran aku
tidak sampai hati untuk menolak, terpaksa aku ajak mereka datang kemari!"
Setelah berkata begitu, dengan membikin keras suaranya, ia menoleh ke arah luar
dan menambahkan: "Sin Tjoe! Siauw Houw Tjoe! Mari lekas menghadap Sri
Baginda Raja!"
Belum lagi berhenti suaranya
guru ini, pintu kamar sudah lantas ditolak terpentang, dari situ muncul
sepasang pria dan wanita, ialah Sin Tjoe dan Thio Giok Houw. Sin Tjoe lantas
memberi hormat dengan liamdjim, dengan merangkap kedua tangannya, sedang Thio
Giok Houw cuma menjura saja. Kemudian tanpa menanti perintah lagi, keduanya
berdiri di kedua samping raja itu.
Kian Tjim kaget berbareng
mendongkol. Tapi ia tidak berdaya, terpaksa ia menahan hawa amarahnya.
Sebaliknya, ia mengasi lihat sikap tenang dan sabar.
"Dulu hari itu ayahmu
berjasa kepada negara, tetapi dia meninggal secara penasaran, sebenarnya hati
tim tidak enak," ia berkata pada Sin Tjoe, halus, "maka itu setelah
naik di tahta, tim sudah lantas mencuci bersih penasarannya itu. Sebetulnya tim
lagi memikir untuk mencari tahu Ie Kokloo mempunyai putera dan puteri atau
tidak, maka dengan sekarang tim bertemu sama puterinya, sungguh tim girang
sekali. Sebab ternyata maksud hati tim telah kesampaian..."
"Sinlie tidak mengharap
anugerah, sinlie cuma mengharap diberi maaf," berkata Sin Tjoe lekas. Ia
menyebutnya sinlie, artinya, menteri wanita
"Tentang kamu merampas
bingkisan, barusan Thio Sianseng telah membicarakannya," berkata raja,
"mengenai itu, tim sudah lantas memberikan keampunan kepada kamu. Syukur
sekali orang-orang sebawahannya Hoe Tjongkoan belum sampai dapat menawan
kamu..."
Mendengar kata-kata raja itu.
Thio Giok Houw tertawa bergelak.
"Hus!" Thio Tan Hong
menegur muridnya. "Di depan Sri Baginda, jangan kurang ajar!"
"Soehoe," berkata
Siauw Houw Tjoe, yang nakal dan Jenaka, "sesungguhnya aku tidak dapat
menahan untuk tidak tertawa!"
"Sri Baginda tinggal di
dalam istana," kata Tan Hong, "istana itu berlapis sembilan, terpisah
dari dunia luaran, jadinya tidak heran kalau Sri Baginda kurang pendengaran,
oleh karena itu tidak dapat kau mentertawakannya."
Raja sangat mendongkol dan
gusar melihat kelakuannya Thio Giok Houw, yang dia anggap sangat kurang ajar,
sebenarnya dia hendak mengutarakan kemurkaannya, tetapi Thio Tan Hong telah
mendahuluinya menegur murid itu. Karena itu, dia pun lantas ingat suatu apa.
Maka batal dia hendak menegur. Toh dia tetap mendongkol dan lantas menanya Tan
Hong: "Di dalam hal apa tim kurang pendengaran hingga tim mesti ditertawai
murid Sianseng?"
Tan Hong tidak menjawab,
karena ia pun sudah lantas berkata kepada muridnya yang satunya lagi: "Sin
Tjoe, mengapa kau masih tidak mau lekas memohon maaf dari Sri Baginda?"
Sin Tjoe menurut, ia bertindak
ke depan raja
"Sinlie mohon Sri Baginda
memberi maaf, nanti barulah sinlie berani bicara," ia berkata
Raja tengah mendongkol, maka
itu ketika ia menjawab nona ini, ia kata: "Bukankah tadi tim telah
membilang, dengan memandang kepada ayahmu dan gurumu juga, dalam hal perampasan
bingkisan, tim sudah memberi ampun padamu?"
"Tetapi ini bukanlah
untuk urusan yang kecil itu," menerangkan Sin Tjoe. Ia sengaja menyebut
perampasan bingkisan itu urusan ketil.
Raja terkejut.
"Apakah dia telah
melakukan lagi sesuatu yang terlebih hebat daripada perampasan bingkisan
itu?" katanya dalam hatinya, membade-bade. "Adakah urusan yang lebih
besar dan menggemparkan?" Tapi ia mesti menjawab. Ia mesti menghargai
keagungannya sebagai seorang kaisar. Maka ia berkata "Kau tuturkan segala
apa biar terang, tim dapat menimbangnya dengan adil. Singkatnya tim memberi kau
kebebasan dari hukuman mati."
Kembali Thio Giok Houw
tertawa, dingin suaranya. Ia pun kata: "Dari hukuman mati dapat
dibebaskan, dari hukuman hidup toh tidak dapat diampunkan, bukan?"
"Siauw Houw Tjoe, jangan
banyak omong!" Tan Hong menegur. "Pendeknya kau dengar saja putusan
Sri Baginda nanti!"
"Harap Sri Baginda
mendapat ketahui," Sin Tjoe berkata, menerangkan, "tadi malam sinlie
telah bertemu sama Sri Baginda empunya Taylwee Tjongkoan serta Gielimkoen
Tongnia, begitupun dengan delapan wiesoe istana serta tujuh belas pemimpin Gielimkoen
yang di kepalai mereka itu!"
Kembali raja terkejut di dalam
hatinya.
Tanpa menanti Sin Tjoe
berbicara terlebih jauh, dengan tidak menunggu kalau-kalau raja mau meminta
keterangan, Thio Giok Houw lantas campur bicara.
"Bukan melainkan mereka itu
semua!" katanya pemuda ini. "Kita juga telah bertemu sama beberapa
puluh boesoe pelbagai propinsi, dan mereka ini turut menderita bersama-sama
mereka itu! Sri Baginda, tjongkoan serta tongnia Baginda itu, karena urusan
kami, mereka sudah menggeraki sebuah angkatan perang, dan sepak terjang mereka
itu membuatnya kami merasa sangat girang dan berbahagia!"
Raja masih bersangsi, ia
bingung. Tapi ia berkata: "Mereka itu tidak mengetahui bahwa kaulah
puterinya Ie Kokloo, mereka menyangka kamulah penjahat-penjahat tukang rampas
yang biasa, maka itu mereka pergi untuk melakukan penangkapan. Tetapi kamu
telah dapat meloloskan diri, ya, sudah saja! Bagaimana dengan mereka itu?"
Raja menanya begitu sedang di
dalam hatinya ia mendamprat Hoe Keen Tjip dan Tjhian Tiang Tjoen karena mereka
tidak mempunyai guna, dengan mengepalai puluhan pembantu, mereka tidak sanggup
membekuk Sin Tjoe dan kawannya.
Sekarang adalah Sin Tjoe yang
memberikan penyahutan.
"Sri Baginda, mereka itu
ditahan kami," katanya, tenang.
Raja heran bukan main.
"Apa?" tanyanya.
"Kamu telah menahan mereka? Apakah artinya perkataanmu ini?"
"Ah, apakah Sri Baginda
masih belum mengerti?" Giok Houw menyelak pula. "Mereka itu datang
menyateroni kami, untuk menangkap kami, akan tetapi sebaliknya, mereka yang
kena kami bekuk!"
Mukanya kaisar pucat. Itulah
hebat!
Tan Hong lantas turut bicara.
Ia kata dengan tawar: "Itulah sudah terjadi karena menuruti pikiranku.
Merekalah orang-orang berpangkat, kami tidak tega hati membunuh mereka, maka
itu kami telah minta kepada mereka untuk berdiam untuk beristirahat beberapa
hari di tempat kami. Berhubung dengan itu maka muridku ini memohon maaf serta
kebebasan dari dosanya sudah menawan mereka itu. Aku sendiri, aku juga mau
mohon Sri Baginda memberi maaf sebab aku sudah lancang berani menahannya."
Bukan main herannya raja ini.
Puluhan wiesoe dan pemimpin Gielimkoen, yang semuanya pilihan, dan mereka
dibantu juga begitu banyak boesoe, hingga jumlah mereka mendekati seratus jiwa,
telah kena di tawan rombongannya Tan Hong ini! Itulah tak dapat dipikirkan!
Tidak heran, pikirannya menjadi butek.
"Benarkah itu?"
akhirnya dia menanya, suaranya bergetar. "Mereka telah kena ditawan
kamu?"
Thio Giok Houw tertawa
"Mereka kena dibekuk
semua, seorang pun tidak ada yang lolos!" ia menggantikan Sin Tjoe atau
gurunya menjawab. "Jikalau Sri Baginda tidak percaya, di sini ada yauwpay
mereka yang aku bawa!"
Dari dalam sakunya. Giok Houw
mengeluarkan sebuah bungkusan, ia lantas membuka itu dan melepaskannya maka,
dengan menerbitkan suara berisik, sekumpulan yauwpay jatuh ke lantai dengan
bunyinya yang nyaring. "Yang delapan ada kimpay dari wiesoe dari
keraton," berkata Giok Houw kemudian. "Yang tujuh belas ialah ginpay
dari pemimpin-pemimpin Gielimkoen! Sri Baginda, cobalah tolong hitung, mungkin
ada yang kurang, umpama kata sepotong..."
Untuk wiesoe dari keraton,
Taylwee. guna memasuki keraton, melakukan tugas penjagaan, mereka memerlukan
kimpay, pertanda yang terbuat dari emas, yang diberikan oleh raja Untuk barisan
Gielimkoen, pay itu terbuat dari perak. Thio Giok Houw menyebutkan jumlah yang
tepat, maka Kian Tjim melongo. Tak perlu, tak ada pikirannya, untuk menghitung
semua yauwpay itu.
Selagi rajamenjublak dengan
mata dan mulut dipentang lebar, Thio Tan Hong berkata: "Masih ada satu
barang kepunyaannya Taylwee Tjongkoan Hoe Koen Tjip. Untuk dia, buat
mundar-mandir di dalam keraton, dia tidak membutuhkan kimpay, jadi semua kimpay
itu tidak termasuk kepunyaannya Dari dia itu, aku cuma mengambil pedangnya,
pedang mana aku sudah kirim ke pendopo Engboe Tian, mungkin pedang itu sudah
dapat diketemukan oleh wiesoe yang bertugas di pendopo itu. Hal ini sekalian
saja aku memberitahukannya, supaya dengan begitu tidak usahlah mereka
mencapekan diri mencari aku. Pula aku hendak memberitahukan, aku mempunyai dua
sahabat yang telah mewakilkan aku melayani semua tetamu, maka itu umpama kata
dari sini ada di kirim orang untuk menjenguk mereka, pastilah pesuruh itu,
pergi satu ditahan satu, pergi dua ditahan sepasang. Piehee pastilah mempunyai
lain-lain wiesoe lagi di keraton ini, maka itu sengaja aku mengirimkan
pedangnya Hoe Tjongkoan, sebagai nasihat untuk mereka agar mereka tidak usah
pergi menyusul pula!..."
Lagi-lagi hati raja bercekat.
Yang di kirim itu, yang di kepalai Hoe Koen Tjip dan Tjhian Tiang Tjoen,
semualah yang terpilih, maka itu, yang masih ada di istana bukanlah tenaga yang
liehay. Raja mengetahui ini, tidak heran kalau hatinya gentar dan ciut. Maka
masih sekian lama ia duduk bengong saja. Baru kemudian ia paksakan untuk
bicara, hingga ia mesti bicara dengan menyeringai.
"Thio Sianseng,"
katanya, suaranya tidak tegas, "cara bergurau kau ini rada-rada
keterlaluan!..."
Tan Hong segera menjura.
"Hambamu bersalah,
terserah kepada keputusan Sri Baginda," ia kata. Ia menunjuki roman berkuatir.
Melihat kelakuan gurunya, Giok
Houw tidak dapat tidak tertawa
Kian Tjim menjadi likat
sekali. Ia mengerti bahwa ia tengah dipermainkan itu guru dan murid-muridnya.
"Thio Sianseng." ia
berkata terpaksa, "tolong kau membagi muka kepadaku, tolonglah kau
merdekakan mereka..."
"Sungguh mudah untuk
berbicara!" berkata Giok Houw selagi gurunya belum menyahuti. "Mereka
dapat dimerdekakan tetapi mereka tidak bakal melepaskan kami!"
"Segala yang telah lewat,
tim bakal tidak menarik panjang," berkata raja. "Tim cuma mohon
mereka itu dimerdekakan! Lain-lainnya hal mudah untuk didamaikan."
"Kata-kata Sri Baginda
ialah kata-kata emas," berkata Tan Hong. "Bukankah Sri Baginda
mengatakannya segala kejadian yang telah lewat tidak ditarik panjang? Kenapa
kamu tidak mau lekas menghaturkan terima kasih?"
Kian Tjim menjadi jengah
sekali. Ia telah melepaskan kata-katanya itu.
Sin Tjoe dan Giok Houw lantas
memberi hormat mereka, dan raja itu terpaksa menerimanya
"Thio Sianseng, dapatkah
mereka segera dimerdekakan?" ia bertanya.
"Di dalam hal ini masih
ada sesuatu yang sulit," Tan Hong berkata.
"Apakah itu?"
"Gampang untuk
memerdekakan mereka," berkata orang she Thio ini. "Apa yang
dikuatirkan ialah wiesoe dan pemimpin Gielimkoen itu nanti tidak berani pulang.
Mereka itu telah menerima titah untuk melakukan penangkapan kepada orang jahat!
Bukankah si penjahat tidak dapat dibekuk dan bingkisan yang hilang tidak dapat
dirampas pulang? Mereka itu takut dianggap bersalah, cara bagaimana mereka
berani kembali untuk menyerahkan tugas?"
"Tadinya tim tidak
mengetahui duduknya hal, tim menyangka perampasan terjadi oleh penjahat biasa
saja," berkata raja "Sekarang tim telah mendapat tahu bingkisan itu
sebenarnya dipakai oleh Sianseng dan murid-muridmu bertiga, maka pasti sekali
tim bakal mengeluarkan putusan untuk menghapus perkara itu. Leluhur Sianseng
dulu hari pernah menghadiahkan barang permata, maka sekarang pun anggap tim
telah mengembalikannya kepada Sianseng. Tidakkah urusan menjadi beres
karenanya?"
"Terima kasih banyak
untuk kebaikan Sri Baginda ini," Tan Hong bilang. "Hanya aku masih
mempunyai satu urusan yang memusingkan kepada Sri Baginda..."
Benar-benar raja merasai
kepalanya sakit.
"Silahkan menyebutkan
itu, Sianseng," katanya, terpaksa.
"Mengenai perampasan
bingkisan itu, Sri Baginda telah berjanji akan tidak menarik panjang,"
berkata Tan Hong. "Berhubung dengan itu, juga semua wiesoe dan pemimpin
Gielimkoen telah memperoleh kebebasannya Sekarang tinggal itu sekalian boesoe
dari pelbagai propinsi, mereka masih belum bebas, sedang juga soenboe dari
pelbagai propinsi itu masih belum mendapat tahu tentang keputusan menyudahi
perkara perampasan itu. Oleh karena ini bisa terjadi sekalian soenboe itu nanti
tetap memaksa semua boesoe itu bertanggung jawab hingga mereka tetap dimestikan
mencari pulang semua bingkisan yang telah dirampas itu."
"Tentang itu mudah,"
berkata raja "Tim nanti menyiarkan pemberitahuan kepada semua propinsi
untuk menghabiskan urusan itu, supaya semua boesoe memperoleh
kebebasannya"
Kian Tjim berbuat begini
dengan terpaksa. Kalau ia membebaskan semua wiesoe dan perwira Gielimkoen,
semua soenboe pun harus membebaskan semua boesoe itu.
Thio Tan Hong senang mendengar
kata-kata raja itu. Ini memang maksudnya kenapa ia menawan dan menahan rombongannya
Hoe Koen Tjip itu.
"Thio Sianseng, semua
permintaanmu telah diterima baik," berkata raja kemudian, "maka itu
sekarang tim minta supaya Sianseng melepaskan semua wiesoe, perwira Gielimkoen
dan boesoe itu. Kalau hal ini lambat diurusnya, apabila urusan sampai tersiar
dan diketahui oleh orang banyak, itulah tidak bagus."
Tan Hong tertawa.
"Baiklah Sri Baginda
tidak menguatirkan itu," ia berkata "Pasti besok mereka akan
dibebaskan. Hanya sekarang aku masih mau minta Sri Baginda suka membebaskan juga
dua orang."
"Siapakah mereka
itu?" tanya raja
"Merekalah dua orang
murid dari Boetong Pay," menyahut Tan Hong. "Yang satu Ko In Toodjin,
yang lain Koet Kioe Gie. Mereka itu ialah yang mengantarkan bingkisan dari
propinsi Ouwpak. Tjhian Tiang Tjoen tidak menghargai jasa mereka itu, bahkan
karena salah mengerti, mereka sudah ditangkap dan ditahan hingga sekarang
ini."
"Inilah gampang,"
berkata raja. "Nanti tim mengirim seorang siewie ke kantor wiesoe untuk
menitahkan mereka itu dimerdekakan!"
Raja bersikap begini gampang
karena hatinya sudah tawar. Ingin sekali ia agar Tan Hong bertiga lekas-lekas
meninggalkan keraton, supaya semua wiesoe dan anggauta Gielimkoen lantas
pulang.
Baru raja mengatakan demikian,
atau mendadak ia menjadi melengak. Ia ingat bahwa tadi ia memanggil wiesoe,
tidak ada wiesoe yang muncul. Ia tidak mendapat jawaban dari sekalian
wiesoe-nya, entah ke mana perginya mereka itu. Ia mau menduga bahwa sekalian
wiesoe itu juga tentulah sudah dipengaruhkan Thio Tan Hong. Habis, wiesoe yang mana
yang dapat dipanggil untuk dititahkan?
Tan Hong mengawasi raja, ia
bisa membade hati orang. Ia bersenyum.
"Apakah Sri Baginda
hendak mencari wiesoe?" ia tanya. "Sudah ada beberapa orang yang
pulang." Lantas ia berteriak: "Hai, kenapa kamu masih tidak mau masuk
kemari?..."
Kata-kata itu belum habis
diucapkan, atau mendadak pintu ditabrak hingga menjeblak dan mengasi dengar
suara berisik, lantas beberapa orang nerobos masuk seraya mereka memutar golok
dan pedang, untuk menerjang.
Melihat datangnya orang-orang
itu, Ie Sin Tjoe menyambut dengan kimhoa. Hebat kesudahannya serangan bunga
emas itu. Beberapa orang itu, ialah wiesoe semuanya, lantas pada berdiri diam
dengan pelbagai sikap mereka: ada yang kakinya lagi bertindak, ada yang
tangannya diulurkan, ada yang matanya dibuka lebar. Mereka semua berdiam
bagaikan patung.
Sebenarnya merekalah beberapa
wiesoe, yang tadi keluar dari kantornya untuk meronda. Mereka tidak melihat
datangnya Tan Hong bertiga. Ketika mereka tiba di sebuah kamar thaykam di sisi
Engboe Tian, mereka melihat kawan-kawannya lagi berdiri menjublak di depan
pintu. Mereka menjadi heran dan curiga, lantas mereka menduga jelek. Satu di
antaranya lantas menghampirkan, guna menolak tubuh rekan itu. Begitu ditolak,
beberapa wiesoe itu roboh tak berdaya Mereka menjadi kaget, lantas mereka
menduga duduknya hal. Kurban-kurban itu tidak dapat bicara dan tidak bisa
berkutik juga Sebab tadi mereka sudah kena ditotok oleh
"pengiringnya" Bhok Lin, ialah Thio Tan Hong!
Dalam kagetnya, beberapa
wiesoe itu menjadi ketakutan. Itu artinya telah ada orang jahat memasuki istana
dan keraton. Itulah berbahaya. Mereka menguatirkan keselamatannya raja. Ketika
mereka tidak berdaya menyadarkan rekan-rekan itu, mereka memburu ke dalam,
dengan niat melihat dan melindungi junjungan mereka. Setibanya mereka di muka
kamar tulis raja, kembali mereka kaget. Mereka mendapatkan dua wiesoe, yang
menjadi kepala dan pembantunya juga berdiri diam bagaikan patung-patung hidup.
Mereka ini juga tak berkutik matanya Teranglah mereka pun sudah kena ditotok
seperti yang lain-lain.
Ketika itu dari dalam kamar
terdengar suara orang bicara. Mereka mengenali suara raja, hati mereka mulai
lega. Lantas mereka memasang kuping. Mereka tidak berani lancang masuk karena
mereka tahu raja lagi berbicara sama pangeran muda Bhok Lin. Hanya suaranya si
pangeran yang tidak terdengar sama sekali, sebab selama itu Bhok Lin terpaksa
berdiam saja.
Sementara itu, Tan Hong sudah
mendengar suara orang dan ia dapat menduga siapa mereka itu, maka itu, setelah
tiba saatnya, ia mengasi dengar panggilannya itu. Tidak beruntung untuk semua
wiesoe itu, begitu menerobos, mereka disambut Sin Tjoe, hingga merekajuga mesti
berdiri diam sebagai patung-patung dengan pelbagai sikapnya itu!
Tan Hong mengawasi mereka, ia
tertawa dan berkata: "Rupa-rupanya mereka ini menganggap kami sebagai orang-orang
jahat yang hendak membinasakan mereka! Aku harap Sri Baginda suka mengasi
keterangan pada mereka tentang siapa adanya kami."
Biar bagaimana, Kian Tjim
kaget, hingga mukanya pucat. Ia telah menyaksikan liehaynya Sin Tjoe. Diam-diam
ia menyedot hawa dingin, katanya di dalam hati: "Muridnya Thio Tan Hong
begini liehay, pantas orang-orang kosen dari istana kena mereka tawan! Jikalau
mereka berniat jahat, mana bisa aku duduk diam dengan selamat?"
Selagi raja belum sadar, Tan
Hong tertawa dan kata pada muridnya: "Sin Tjoe, mereka tidak tahu duduknya
hal, mereka tidak dapat dipersalahkan. Kau bukalah jalan darah mereka!"
Sin Tjoe menurut. Lebih dulu
ia pergi memunguti semua bunga emasnya, habis mana ia menepuk setiap wiesoe
itu, untuk membebaskan mereka dari totokan, hingga sekejab kemudian, mereka itu
mendapat pulang kemerdekaan mereka Dengan malu dan tunduk, mereka menyimpan
senjatanya masing-masing, lantas mereka pada berdiri dipinggir.
Lekas juga raja mendapat
pulang ketabahannya.
"Thio Sianseng ini ialah
sahabat karib tim," ia lantas berkata, "jangan kamu berlaku kurang
ajar terhadapnya."
Kata-kata ini sudah tidak
perlu lagi, bukan saja semua wiesoe itu sudah mengerti duduknya hal, mereka pun
baru saja mendapat ajaran. Mereka terus berdiri diam dengan likat.
"Juga bebaskanlah kedua
tuan wiesoe yang berada di luar pintu," kata Tan Hong pada muridnya.
"Mereka sudah berdiri terlalu lama di sana."
Giok Houw yang menyahuti
gurunya, ia lantas pergi keluar, guna membawa masuk kedua wiesoe itu, lalu di
depannya raja, ia membebaskan mereka Bukan main malunya mereka, dengan jengah
mereka lantas berdiri di pinggiran, mulut mereka bungkam.
"Sekarang ada orang yang
dapat dititahkan," berkata Tan Hong, untuk menyadarkan raja. "Silakan
Sri Baginda menitahkan untuk memerdekakan dan mengambil Ko In Toodjin dan Koet
Kioe Gie."
Raja terpaksa menurut. Ia
tanya dulu dengan jelas tentang kedua orang Boetong Pay itu, lantas ia menulis
firmannya, guna membebaskan mereka itu, kemudian ia suruh seorang boesoe lekas pergi
menjemput mereka
Thio Giok Houw lantas berkata:
"Di Engboe Tian sana ada beberapa wiesoe yang tertotok soehoe, baiklah
minta beberapa tuan ini pergi membebaskan mereka, dengan begitu tak usahlah
kita berabe pergi kesana lagi."
"Kami tidak dapat membebaskan
totokannya Thio Sianseng," berkata beberapa wiesoe itu, tunduk.
"Itulah gampang,"
kata Tan Hong. "Siauw Houw Tjoe, kau ajarilah mereka ini."
Giok Houw menurut. Ia mengajak
beberapa wiesoe itu ke samping, di situ ia memberi petunjuk kepada mereka. Ia
menggunai tempo sekian lama, baru mereka itu mengerti.
Raja menyaksikan semua itu, ia
merasa sangat tidak enak. Pikirnya: "Semua hamba ini tim telah pilih
dengan susah payah, siapa tahu di tangannya Thio Tan Hong, mereka hanyalah
segala tahang nasi!" Tentu sekali, sambil menantikan, ia tidak bisa
membungkam saja, ia pun jengah sendirinya, dari itu dengan memaksakan diri, ia
berbicara sama Tan Hong. Ia menanyakan urusan ketentaraan dan pemerintahan,
guna mengurus negara.
Tan Hong suka melayani raja bicara,
ia mengasi dengar perundingannya yang membikin kaisar itu kagum, hingga dia
mendengarinya dengan sungguh-sungguh hati.
Selang satu jam. Ko In Toodjin
dan Koet Kioe Gie dibawa masuk. Heran mereka melihat Tan Hong duduk bersama
raja.
Tan Hong lantas tertawa
terhadap mereka itu dan berkata: "Paman guru kamu sekalian lagi menantikan
kamu, sekarang sudah bukan siang lagi, lekas kamu menghaturkan terima kasih
kepada Sri Baginda Raja, lantas lekas¬-lekas kamu berangkat pergi!"
Walaupun merekatidak mengerti,
dua murid Boetong Pay itu menurut kata-kata orang she Tan ini.
Raja pun mengangkat cawan
araknya mengajak tetamunya minum, sebagai tanda mengantarkan tetamunya pergi.
"Terima kasih!"
berkata Sin Tjoe pada raja. Ia menghaturkan terima kasih bual pelbagai
bingkisan yang dirampas itu, yang perkaranya disudahi saja.
Bhok Lin. yang sekian lama
terus berdiam saja, turut mengucapkan terima kasih.
Tan Hong memberi hormat pada
raja, untuk pamitan, setelah itu, ia mengundurkan diri, diturut oleh
murid-muridnya itu terhitung Bhok Lin.
Raja mengawasi orang berlalu,
hatinya tidak enak. Mengenai Bhok Lin, ia pun bercuriga.
Orang berjalan keluar dengan
melewati taman. Sampai di situ barulah Koet Kioe Gie, yang tidak mengerti
duduknya perkara, minta keterangan dari Tan Hong. Sesudah tayhiap itu memberi
penjelasan, baru ia ketahui duduknya hal. Di samping kagumnya bersama-sama Ko
In ia menghaturkan terima kasih pada Tan Hong dan Sin Tjoe semua
Thio Giok Houw tertawa Ia kata
pada Ko In: "Ko In Laotoo, tanpa berkelahi kita tidak berkenalan, maka
sekarang tidak seharusnya kau membenci pula padaku!"
Imam itu jengah tetapi hatinya
lega.
Tengah mereka berjalan dengan
gembira, di depan mereka terlihat mendatanginya serombongan wiesoe.
"Eh. apakah itu bukannya
Yang Tjong Hay?" Giok Houw tanya selagi ia mengawasi.
Salah seorang benarlah Tjong
Hay, dia kaget melihat rombongan Tan Hong, dengan cepat dia lari ke antara
pohon-pohon bunga.
Sin Tjoe sebal, ia menimpuk
dengan sebiji kimhoa tetapi ia gagal. Sudah jarak mereka masih terlalu jauh,
Tjong Hay pun gesit sekali.
Sebenarnya Tjong Hay itu,
sehabisnya kabur dari rumahnya Tiat Keng Sim karena diusir In Hong,
kecurigaannya bertambah keras. Ia menjadi sangat penasaran. Karena ini ia pergi
ke istana, ia ingin mengajukan laporan rahasia kepada raja Ia sudah tidak
menjadi tjongkoan lagi, tapi sebab banyak kenalannya, ia bisa masuk ke istana,
ada wiesoe yang suka mengantarkan dia Ia tidak sangka
di situ-di dalam taman-ia
bertemu sama rombongannya Thio
Tan Hong. Begitu ia melihat mereka itu, lantas ia menyelundup pergi.
Sin Tjoe penasaran, ia
menimpuk sampai tiga kali, semuanya gagal.
Thio Tan Hong tertawa.
"Sudah, Sin Tjoe, tak
usah kau kejar dia!' berkata guru ini. "Jikalau kau kuatir dia nanti
banyak bacot, nanti aku yang membiarkan dia tidur sebentaran!"
Guru ini dengan sebat
menjumput sepotong batu, dengan dua jarinya ia segera menyentil ke arah tempat
ke mana Tjong Hay menyingkir. Menyusul itu terdengar suara tubuh roboh serta
terlihat banyak bunga rontok berhamburan. Sebab Tjong Hay kena terhajar
punggungnya, terkena jalan darahnya, hingga dia roboh tak sadarkan diri,
robohnya merusak banyak pohon bunga, hingga ada cabangnya yang lagi berkembang,
melesat dan mental.
Yang Tjong Hay ialah bekas
taylwee tjongkoan, pada belasan tahun yang lalu ialah salah seorang dari ke
empat kiamkek, ahli pedang, yang kesohor, sekarang dia kena dirobohkan secara
demikian gampang oleh Tan Hong, sedang dia sudah menyingkir dan menyembunyikan
diri di antara pepohonan, maka itu beberapa wiesoe, yang berada bersamanya,
menjadi ketakutan sekali, mereka bersembunyi berpencaran, tidak ada seorang
juga yang berani bersuara.
"Dia terkena apa yang
dinamakan jalan darah tidurnya." berkata Tan Hong kepada sekalian wiesoe
itu. "dia bakal tidur satu hari dan satu malam, nanti dia bebas sendirinya
Jangan ada di antara kamu yang usil, yang mencoba menolongi dia sebelum
waktunya dengan begitu, dia bisa menjadi celaka karenanya, untuk selamanya dia
tak akan sadar lagi!"
Di antara beberapa wiesoe ada
yang mengenali Tan Hong, apabila mereka mendapat kenyataan Tan Hong tidak
mengganggu mereka dia menyahuti bahwa dia mengerti, lalu mereka mengangkat
tubuh Tjong Hay buat dibawa pergi dari gombolan pohon bunga itu.
Tan Hong tertawa, lantas
bersama murid-muridnya ia berjalan terus meninggalkan taman. Sekalian wiesoe
itu cuma bisa mengawasi mereka. Sekeluarnya dari pintu belakang, mereka berlalu
dijalan besar.
"Yang Tjong Hay jahat
sekali, mengapa soehoe mengasihani dia?" tanya Bhok Lin.
"Di dalam dunia ini ada terlalu
banyak manusia semacam Yang Tjong Hay," sahut sang guru bersenyum,
"mereka terlalu kemaruk sama uang dan pangkat, cukup jikalau mereka diberi
peringatan saja Yang penting untukmu sekarang ialah lekas-lekas membawa
tjiehoe-mu berlalu dari kota raja dikuatirkan, kalau Tjong Hay mendusin, dia
nanti ngoceh tidak keruan di depan raja"
"Menurut keterangan
entjie In Hong tadi, mungkin Yang Tjong Hay sudah mengetahui Keng Sim mati
berlagak," berkata Sin Tjoe, "maka itu apa tidak mungkin, selama
Tjong Hay datang ke istana, dia sudah membocorkan rahasia?"
"Jikalau itu benar,
itulah rahasia yang dia ketahui sendiri." Tan Hong bilang, "dengan
begitu, mestinya dia sendiri juga yang akan membuka rahasia kepada kaisar,
hingga takkan mungkin dia sudah membocorkan rahasia itu."
Mereka bicara terus sambil
bicara, tiba di rumah Keng Sim, hari sudah magrib.
Kiam Hong keluar menyambut.
Kapan Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie melihat nona itu, yang mereka kenali,
merekajengah. Mereka ingat bagaimana mereka pernah dipermainkan nona yang
liehay, cerdas dan Jenaka itu. Tapi Kiam Hong berlaku manis.
"Sudah beberapa hari
djiewie berdiam di kantor Gielimkoen, kamu membikin bergelisah paman guru
kamu!" dia berkata tertawa. "Dia sedang menantikan kamu!"
"Apakah dia bersendirian saja?"
tanya Tan Hong.
"Ya, dia sendiri
saja," jawab Kiam Hong.
"Sudah berapa lama dia
datang?" "Belum lama..."
Tan Hong agaknya heran. Ia
cepat bertindak masuk ke dalam.
Tjit Seng Tjoe lantas dapat
diketemui. Dia beroman kucai. Koet Kioe Gie dan Ko In Toodjin maju, untuk
memberi hormat, tetapi dia tidak nampak gembira. Dia cuma berkata: "Syukur
Thio Tayhiap mengatur tipu daya yang bagus untuk menolong kamu! Kamu telah
menderita, pergilah kamu beristirahat."
Tan Hong sebaliknya mengawasi
imam itu.
"Eh. kau bertempur sama
siapa?" ia tanya. "Aku tahu Khoan Kie tidak begitu liehay hingga dia
dapat melukakanmu."
Tan Hong telah minta Tjit Seng
Tjoe pergi menawan Khoan Kie. Untuk itu. imam itu diminta membawa suratnya Hoe
Koen Tjip. Tan Hong ingin memberi ajaran adat pada Khoan Kie lantaran dialah
yang membuka rahasia kedatangan Sin Tjoe ke kota raja. Karena ingin memangku
pangkat pula, Khoan Kie sudah melupakan persahabatannya dan berbuat chianat
itu. Benar ayah Khoan Kie ialah salah satu dari tiga jago Pakkhia tetapi Tan
Hong tahu betul Khoan Kie sendiri tidak gagah, ia anggap dapatlah Tjit Seng
Tjoe menawannya. Siapa tahu, Khoan Kie itu licik dan dia membuatnya orang
terluka dengan dia sendiri bebas.
"Bagaimana duduknya,
soesiok?" tanya Kioe Gie heran.
Ko In pun kaget dan turut
menanyakan paman guru itu.
Tjit Seng Tjoe tertawa
menyeringai, ia memberikan keterangannya seperti berikut: "Ini dia yang
dibilang, perahu karam dikobakan! Khoan Kie sangat licin. Ketika aku pergi
padanya dengan membawa suratnya Hoe Koen Tjip, aku berniat memancing dia keluar
dari rumah, untuk terus digiring kemari. Dia tinggal di rumah seorang bekas
rekannya, aku tidak ingin membekuk dia di sana, supaya aku tidak usah membikin
banyak berisik. Aku percaya, asal dia keluar dari rumah rekannya itu, dapat aku
menguasai dia."
"Apa mungkin pada
suratnya Hoe Koen Tjip itu ada sesuatu tanda untuk mengisiki dia?" Giok
Houw tanya.
"Aku pernah lihat surat
itu, aku tidak dapatkan apa-apa yang mencurigai," kata Sin Tjoe.
"Justeru surat itu yang
membuka rahasia. Kalau tahu begitu, begitu bertemu muka, aku bekuk
padanya!"
"Apakah itu yang membuka
rahasia?" Sin Tjoe tanya.
"Sesudah Khoan Kie
membaca suratnya Hoe Koen Tjip, dia tidak mengasi kentara apa-apa. Dia bilang,
karena dia dipanggil oleh 'Hoe Taydjin,' dia perlu salin pakaian. Dia lantas
masuk ke dalam dan aku duduk menanti di kamar tetamu. Siapa tahu, begitu dia
berada di belakang pintu, dia segera menutup dan mengunci pintu itu. Kedua daun
pintu terbuat dari besi. Aku lantas mau mendobrak pintu, guna meloloskan diri
keluar dari situ. Justeru itu, aku diserang dengan anak panah yang beracun. Di
dalam kamar itu, sulit untuk aku berkelit. Aku paksa menggempur tembok. Tepat
tembok gempur, sebatang panah mengenai lenganku. Itu waktu aku mendengar Khoan
Kie tertawa dan berkata mengejek padaku: 'Kau dapat mendustai lain orang, tidak
aku! Jikalau aku tidak menjelaskan, mati pun kau tidak puas! Di surat itu ada
tanda minyak! Di atas meja di dalam keraton, mana ada minyak? Maka pastilah itu
minyak dari meja di dalam kuil!'"
Inilah benar di luar dugaan.
Sebenarnya Thio Tan Hong sudah berlaku terliti, ia menggunai kertas tulis yang
bersih, tetapi waktu ditulis, kertas diletaki di atas meja abu kuil dan di sana
ada sisa minyak. Maka ia menghela napas.
"Inilah
kekeliruanku," ia akui. "Khoan Kie cerdik sekali, dia sebenarnya
pandai, sayang dia sesat jalan."
"Aku telah terkena panah,
Khoan Kie menyangka aku bakal terbinasa," Tjit Seng Tjoe melanjuti
ceriteranya. "Tapi aku bisa menyerbu tembok, aku dapat lolos, bahkan aku
berhasil melukakan beberapa boesoe di dalam rumah itu. Dia ketakutan, dia lari.
Jikalau aku tidak kuatirkan racunnya anak panah nanti keburu bekerja, tentulah
aku sudah susul dan hajar dia hingga mampus. Demikian terpaksa aku membiarkan
dia kabur."
"Bagaimana sekarang
dengan luka soesiok?" tanya Kioe Gie.
"Khoan Kie bukan ahli
panah, biar panahnya beracun, dia tidak dapat membinasakan aku dengan racunnya
itu. Pula itulah bukan panah beracun yang dapat segera membinasakan orang. Aku
membikin darah kotor kumpul di jari tengah, lalu jari itu aku belek, untuk
mengeluarkan semua racun, kemudian aku pakai obat. Di situ juga aku bisa
membikin bahaya itu hilang, tetapi selama itu, Khoan Kie sudah lari
pergi."
"Khoan Kie bukan si orang
penting, aku pun cuma ingin menghajar adat padanya, karena dia sudah pergi,
biarlah," kata Tan Hong. "Mari kita lihat Keng Sim."
Mereka masuk ke dalam. Segera
tutup petinya Keng Sim dibuka, maka di dalam situ kelihatan dia rebah, mukanya
bersemu kuning dan alisnya hitam, di ujung hidungnya ada beberapa tetes
keringat, sedang napasnya terdengar menggeros.
Bhok Lin segera mengasi
bangun, selama mana, dari tenggorokannya terdengar suara gerijukan. Kedua
matanya terus tertutup rapat. Itu artinya dia sudah hidup pula tetapi belum
sadar.
Sin Tjoe terharu. Ia ingat
orang membela padanya, hingga orang tidak takut berkurban. Benar dulu hari itu,
perbuatan Keng Sim kurang tepat, tetapi itu dapat dimaafkan. Karena ini ia
mendekati, untuk memeriksa jalan napas di hidung orang. Ia mendapatkan hembusan
napas dingin. Ia berkuatir juga.
"Diamengandali soatlian,
jiwanya dapat dijamin," katanya pada gurunya. "Bagaimana dengan
tenaga dan ilmu silatnya? Bukankah ia membutuhkan tempo tiga tahun untuk pulih
kembali?"
"Tidak, itulah tiada
halangannya sama sekali," menyahut Tan Hong. Ia merebahkan orang di dipan,
ia menambahkan: "Dia sebenarnya mesti mendusin selang tiga hari, tetapi
besok Bhok Lin mesti segera berangkat, dia tidak dapat diantapkan saja."
Sin Tjoe tahu, inilah disebabkan
Tjong Hay. Kalau besok bekas tjongkoan itu tersadar, dia bisa mengadu pada
raja, kalau raja ketahui Keng Sim mati palsu, itulah rewel dan berbahaya, taruh
kata raja mendiamkan, kepusingan lainnya mesti ada. Dari itu, paling benar dia
segera diberangkatkan pergi.
Tan Hong berdiam, tetapi
tangannya bekerja, untuk menguruti tubuh Keng Sim, untuk membikin semua jalan
darahnya tersalurkan, supaya darahnya jalan dengan baik, agar dia lekas
mendusin.
Benar, selang tidak lama, Keng
Sim mengasi dengar suaranya yang pertama seperti seruan, dia memuntahkan darah,
sedang kedua matanya ditutup rapat.
"Keng Sim, jangan
berbicara!" berkata Tan Hong. "Kau sabar, akan aku menyalurkan
nadimu, supaya kau mendusin dan sehat seperti biasa. Cuma kau mesti bertahan untuk
sedikit penderitaan."
Dengan telapakan tangannya,
Tan Hong lantas menekan punggung di mana ada jalan darah kwietjhong hiat.
Dengan cepat Keng Sim merasakan hawa hangat, yang terus menjadi panas, hingga
ia mengeluarkan peluh yang menetes besar.
Tan Hong melanjuti menekan
atau mengurut-urut, akan kemudian dengan menggunai ilmu silat Ittjie Siankang,
ia menyalurkan semua tiga puluh enam jalan darah.
Dengan pertolongan soatlian,
teratai salju, dari gunung Thiansan, jiwa Keng Sim dapat dipertahankan, tetapi
ia telah terluka pada nadinya, maka itu dia membutuhkan pertolongan tersebut
dari Tan Hong. Ia merasakan hawa sangat panas, ia mencoba melawannya, meski
begitu, saking sakitnya, ia merintih. Tadinya ia menutup rapat matanya, satu
kali ia membuka itu, di antaranya ia melihat Sin Tjoe, dan ia mendapatkan si
nona terharu. Ia merasa lega hatinya. Sekarang ia tidak tergila-gila lagi
terhadap Nona Ie itu, yang telah menjadi Nyonya Yap Seng Lim, tetapi ia
terhibur. Dulu-dulu belum pernah ia menyaksikan sinar mata, atau roman,
demikian dari Sin Tjoe. Maka itu ia kata di dalam hatinya: "Asal dia
mengetahui aku bersengsara ini untuknya, ada harganya aku menderita
begini..." Karena terhibur itu, penderitaannya seperti berkurang
sendirinya. Ia malah bersedia Tan Hong memperlambat atau memperpanjang tempo
pertolongannya itu..."
Lewat lagi sekian lama,
sesudah jalan darahnya tersalur sempurna, hilang rasa sakit dan hawa panasnya
Keng Sim, sebaliknya, ia merasakan tubuhnya lega sekali. Ia seperti telah
sembuh seanteronya.
"Bagus !" kata Tan
Hong tertawa. "Kau bangunlah!"
Keng Sim benar-benar
berbangkit, lantas ia merapikan pakaiannya, sesudah itu, ia menjura pada Tan
Hong, untuk memberi hormat, guna menghaturkan terima kasihnya yang hangat. Ia
melihat bajunya tayhiap itu bermandikan keringat, ia menyangka orang telah
mengeluarkan terlalu banyak tenaga, ia tidak tahu, berbareng dengan itu, Tan
Hong sudah kehilangan latihannya sekira satu tahun.
"Sekarang pergi kau ke
kamar istirahat, kau harus meyakinkan ilmu dalammu," kata Tan Hong.
"Coba kau lihat, tenagamu telah pulih atau belum."
Sebenarnya Keng Sim ingin
bicara sama Sin Tjoe, banyak yang ia hendak perkatakan, akan tetapi karena
titahnya Tan Hong ini, terpaksa ia membatalkannya, lalu ia meminta diri kepada
semua kawan itu, untuk ia mengundurkan diri bersama Bhok Lin ke ruang dalam.
Tjit Seng Tjoe juga perlu
beristirahat, maka itu ia pun mengundurkan diri bersama kedua keponakan
muridnya. Dengan begitu Tan Hong jadi berada bersama kedua muridnya serta Kiam
Hong, jumlah mereka menjadi tinggal berempat.
"Hebat Keng Sim kali
ini," kata tayhiap itu. "Dibanding sama dulu hari dia menolongi
tentara rakyat, ia sekarang lebih menderita."
"Untuknya, penderitaan
ini ada baiknya." Sin Tjoe bilang.
"Katanya gurunya, Tjio
Loosianseng, telah pulang dari luar negeri," kataTan Hong.
"Benar. Sekarang Tjio
Loosianseng lagi membantui Seng Lim."
"Keng Sim cerdas, jikalau
dia bisa buang cita-citanya mencari pangkat dan ia tukar itu untuk meyakinkan
sungguh-sungguh ilmu silat gurunya. KengToo Kiamhoat, dia bisa manjat
tinggi."
Tan Hong berhenti sejenak,
lantas ia memandang In Hong.
"Bagaimana dengan Thian
Touw selama yang belakangan ini?" ia tanya Nona Leng. "Apakah dia
telah berhasil menciptakan ilmu pedangnya. Thiansan Kiamhoat?"
Ditanya begitu, mata In Hong
menjadi merah.
"Selama yang belakangan
ini ia telah berhasil menciptakan pelbagai tipu silat baru, hanya karena itu,
.tabiatnya jadi makin menyendiri..." ia menyahut.
"Begitu?" kataTan
Hong tertawa "Tetapi inilah tidak aneh. Kamu tinggal menyendiri di gunung
yang sunyi, tidak aneh tabiatnya itu."
"Dia bertujuan satu, dia
bertekad bulat, untuk menjadi guru besar dari suatu ilmu pedang tersendiri,
karenanya segala urusan lain, urusan luar, ia lantas tidak perdulikan lagi!"
"Pikirannya itu bukannya
pikiran jelek," Tan Hong bilang. "Hanya kalau semua-semua ia tidak
mengambil mumat urusan luar, itulah berlebihan. Siapa hidup di dalam dunia,
yang pertama-tama diutamakan ialah bagaimana kita harus menjadi manusia. baru
kemudian mengutamakan pelajaran."
"Soehoe benar," kata
Giok Houw. turut bicara. "Lihat Kiauw Pak Beng! Dia demikian liehay tetapi
terhadap lain orang, dia membahayakan, tidak menolong. Tentu sekali aku tidak
membandingkan dia dengan Hok Toako. aku cuma mau menunjuk tak ada harganya dia
hidup sebagai manusia pandai. Ya soehoe, mengapa kau tidak mau mengajarkan
entjie Leng semacam ilmu pedang yang istimewa, supaya ia pun dapat membangun
suatu partai baru hingga ia bisa menindih suaminya itu?" Tan Hong tertawa.
"Kamu anak-anak muda, kamu lucu!" ia kata. "Kamu selalu mau main
pemenang menang, lantas kamu berkelahi!"
Mukanya In Hong menjadi merah,
ia membungkam.
Sin Tjoe lantas menuturkan
kepada gurunya tentang perbedaan pendapat dari Leng In Hong dengan Hok Thian Touw,
suami isteri itu, bahwa si isteri mau belajar pedang tapi tanpa melupakan kawan
dan tugas menolong negara dan sesamanya sebaliknya sang suami ingin belajar
dulu hingga berhasil cita-citanya menciptakan suatu partai baru, baru dia mau
mencampuri urusan umum, karena mana mereka itu jadi berselisih dan pada membawa
maunya sendiri.
Tan Hong berpikir, memikirkan
soal itu. Suami isteri itu memang mempunyai masing-masing kebenarannya.
"In Hong," katanya
sesaat ke mudian, "coba kau menjalankan ilmu silat Thiansan Kiamhoat untuk
aku lihat."
In Hong suka mengasi lihat
ilmu silatnya, bahkan ia girang sekali. Ia lantas pergi ke paseban, untuk mulai
bersilat. Di antara berkeredepannya sinar pedangnya. ia
mempertontonkan kegesitannya.
Tan Hong menonton, lantas ia
mengangguk-angguk.
"Memang ilmu silat ini
belum mencapai kemahirannya" ia berkata, "tetapi benar dia telah
menggenggam sarinya ilmu silat pelbagai partai lainnya, maka di belakang hari
pastilah ini akan menjadi suatu sinar terang dalam kalangan persilatan!"
In Hong bersilat sekian lama,
baru dia berhenti. Setelah menyimpan pedangnya, ia menghampirkan Tan Hong.
"Aku mohon sukalah
tayhiap memberi petunjuk padaku," ia minta.
"Untuk memberi petunjuk,
itulah aku tidak berani," sahut Tan Hong bersenyum. "Bicara terus
terang, kalau nanti kamu sudah berhasil meyakinkan ilmu silat kamu ini, kamu
pasti akan dapat mengatasi Hian Kee Kiamhoat dari guruku. Cuma sekarang masih
ada bagiannya yang belum terperinci." Ia berhenti sebentar, lantas ia
tertawa dan kata dengan sungguh-sungguh: "Ilmu silat kau ini mengutamakan
jurus-jurus yang aneh gerak-gerakannya. Pernah aku melihat Thian Touw bersilat,
maka dapat aku bilang, di antara kamu berdua, banyak persamaannya, sedikit
perbedaannya. Rupa-rupanya ini disebabkan kau tidak selamanya menuruti
ajarannya Thian Touw, kau rupanya juga mempunyai angan-angan untuk menciptakan
suatu ilmu pedang tersendiri, guna membangun suatu partai baru seperti
cita-citanya Thian Touw itu. Baiklah, mari aku menyempurnakan cita-citamu! Cuma,
jikalau nanti kau sudah berhasil, ilmu pedangmu ini berlainan dengan ilmu
pedangnya Thian Touw, sebaliknya, apabila kamu menggunainya bersama, bergabung,
maka faedahnya tak terkira-kirakan besarnya."
Sin Tjoe tertawa mendengar
perkataannya guru itu, ia girang sekali.
"Itulah bagus!"
murid ini memuji. "Cuma aku harap janganlah itu sampai menindih
semangatnya Hok Toako. Dengan begitu pastilah Hok Toako tidak bakal dapat
meninggalkan entjie InHong!"
Sin Tjoe tetap hendak
melindungi keakuran In Hong dengan Thian Touw, ia tidak menghendaki perpecahan
di antara suami isteri itu. hingga ia tidak memikirkan apa yang bakal terjadi
kelak di kemudian hari.
Tan Hong lantas berdiam, la
berpikir keras. Selang sekian lama, baru ia berbicara.
"Thian Touw bersama
ayahnya telah bekerja keras sekali mengumpul sarinya pelbagai macam ilmu
pedang, sekarang usaha itu dilanjuti Thian Touw sendiri dan ia telah berhasil,
untuknya tinggallah saat mencapai kemahirannya, oleh karena itu. tidak dapat
aku tidak berlaku tahu diri, tidak berani aku lancang memberi petunjukku, maka
itu, aku ingin minta seorang guru besar yang nanti memberi petunjuk itu
kepadamu." kata ia.
In Hong heran, juga yang
lainnya.
"Di jaman ini, siapakah
yang dapat melebihkan tayhiap?" tanya Nyonya Thian Touw.
"Dunia ini luas sekali,
di dalamnya ada banyak orang pandai," berkata Tan Hong. "Sekarang
ini, yang aku hendak minta bantuannya, ialah seorang yang telah meninggal
dunia. Leluhurku, yaitu Thio Soe Seng, serta Tjoe Goan Tjiang, kaisar yang membangun
Kerajaan Beng ini, semua pernah belajar silat di bawah pimpinannya. Ialah
PhengHweeshio. Aku telah berhasil mendapatkan sebuah kitab Hiankong Yauwkoat
peninggalannya guru besar itu. kitab itu dapat aku pinjamkan kepadamu untuk kau
pahamkan. Pada dasarnya.
ilmu silat semua sama saja.
demikian kitab ini, yang tidak mengutamakan melulu ilmu pedang. Jikalau kau
telah membaca dan memahamkannya, setelah kau berhasil, maka besar faedahnya itu
untuk ilmu pedangmu."
In Hong girang sekali,
buru-buru ia menghaturkan terima kasih.
Tan Hong tidak cuma memberi
pinjam bukunya itu. ia juga memberikan pelbagai petunjuk lainnya, maka itu,
pertemuan mereka itu berjalan sampai jam tiga.
"Sekarang aku mesti pergi
ke kuil Hianbiauw Koan." katanya kemudian. "aku mesti memberitahukan
Hek Pek Moko untuk dia membebaskan semua orang kurungan kita itu. Karena besok
kita mesti berangkat pagi-pagi, sekarang kamu baiklah beristirahat."
Thio Giok Houw mau turut
gurunya pergi ke kuil, maka itu, Sin Tjoe lantas berkemas berdua In Hong, untuk
besok pagi tak usah mereka repot lagi. Mereka tidak dapat tidur, sedang In Hong
lantas membeber Hiankong Yauwkoat, untuk dibaca.
Sin Tjoe tidak mau mengganggu
kawannya itu. sebab ia tidak berniat tidur, ia lantas pergi keluar kamar, terus
ke paseban. Segera kupingnya mendengar, di antara angin malam, suaranya
cabang-cabang bergoyang-goyang dan daun-daun rontok. Ia heran. Itulah bukan
suara wajar, hingga ia mau menduga pada yahengdjin, ialah orang yang bisa
keluar malam. Tidak bersangsi lagi, ia lompat ke tembok pekarangan, maka lantas
ia melihat, di antara sinarnya si Puteri Malam, Keng Sim tengah berlatih silat
seorang diri di dalam taman bunga. Keng Sim beda daripada In Hong, tetapi ilmu
silatnya juga menarik hati, mempunyai keistimewaan sendiri. Kalau dia berlatih
rajin dan sungguh-sungguh, dia pasti bakal memperoleh kemajuan berarti.
"Kau baru sembuh, apakah
kau tidak letih?" ia menanya sambil menghampirkan. Ia bicara sambil
tertawa.
Keng Sim menoleh dengan
terkejut, silatnya lantas dihentikan. Melihat Sin Tjoe. ia girang dan heran
dengan berbareng.
"Sudah jauh malam, apakah
kau juga belum tidur?" tanyanya. "Gurumu menolongi aku, dia hebat
sekali, hingga sekarang ini kesehatanku telah pulih dan tenagaku rasanya
bertambah banyak."
"Itulah bagus,"
berkata Sin Tjoe. "Di dalam peristiwa ini, kami semua berterima kasih
kepadamu."
"Itulah tidak berarti
apa-apa," kata Keng Sim merendah. "Aku tidak mau dipaksa Tjhian Tiang
Tjoen, aku juga tidak sudi ditawan dia. Bukankah kau masih ingat perkataan dulu
hari, untuk kau. tak perduli urusan apa, meskipun menerjang api. suka aku
melakukannya. Di dalam kejadian ini aku melainkan mau menunjuki bahwa aku ialah
seorang sahabat yang dapat diandalkan."
"Aku bersyukur
terhadapmu, tetapi aku mengharap kau tidak hanya menunjuki itu kepadaku satu
orang," Sin Tjoe bilang. "Di dalam dunia ini banyak sahabat yang
nyalinya besar, mata kita harus dipentang lebar. Asal kau berbuat baik pada
orang, orang tidak nanti melupakan budimu."
Keng Sim berdiam. Ia lantas
ingat halnya ia mengantar bingkisan dengan tidak kurang suatu apa semua itu
karena bantuannya Sin Tjoe beramai, sedang sekarang, ia baru sajaditolongi Tan
Hong, bahkan kesehatannya, dan tangannya sembuh dan bertambah tenaga melebihkan
peryakinan silat lima tahun. Benar ia menderita tetapi kesudahannya ia
memperoleh kebaikan, sekarang ia pun mendapatkan persahabatannya Sin Tjoe.
"Karenaku kau kehilangan
pangkatmu, apakah kau tidak menyesal?" Sin Tjoe tanya. Ia tertawa dan
mengawasi orang, sedang orang tengah mengangkat kepala memandang kepadanya.
"Sebenarnya aku tidak
menemahai pangkat," berkata Keng Sim menjelaskan. "Aku cuma ingin
memangku pangkat untuk memenuhkan angan-anganku. Sekarang aku mengerti bahwa
tujuanku itu keliru. Belum lama aku hidup dalam kalangan kepangkatan tetapi
buahnya aku merasai banyak sekali hingga di luar dugaanku. Kalau dunia
kepangkatan, atau dalam pemerintahan, keadaannya demikian macam, mana bisa aku
mewujudkan cita-citaku. Ah, memang, hidup kamu di tempat yang luas dan bebas
memang lebih menyenangkan!"
Senang Sin Tjoe mendengar
pengutaraan itu.
"Berubah sudah
pandangannya Keng Sim," katanya di dalam hati. Lantas ia kata:
"Penghidupan kita memang merdeka, tetapi kau juga, sepulangnya kau ke
Inlam, dengan Bhok Kokkong sebagai pelindung, kau pasti nanti akan mencapai
cita-citamu itu. Ya, jangan lupa kau tolong menyampaikan salamku kepada entjie
Yan." Ia tertawa, ia hening sejenak, lantas ia menambahkan: "Dengan
kau tidak memangku pangkat di kota raja ini, tentulah entjie Yan girang sekali!"
"Kau pun menolongi aku
menanyakan kesehatannya Yap Toako," berkata Keng Sim. "Ah, sungguh
beruntung kamu sepasang .suami isteri, yang hidup bercita-cita sama dan
rukun!"
Sin Tjoe tertawa.
"Juga entjie Yan dan kau
sama-sama muda-mudi yang cerdas," ia kata, "kamulah pasangan yang
sukar dicari keduanya! Sebenarnya, di antara suami isteri itu, asal orang
saling mengerti dan menghormati, itulah yang dinamakan jodoh yang
mempuaskan."
Keng Sim lantas mengingat Bhok
Yan. Isterinya itu memang menyintai ia, cuma ia yang tak dapat melupakan Sin
Tjoe. Maka itu, ia merasa jengah sendirinya.
Pertemuan ini memuaskan Keng
Sim. Setelah berpisah pada sepuluh tahun yang lalu dalam pasukan suka rela
benar mereka pernah bertemu pula beberapa kali tetapi tidak demikian lama dan
merdeka seperti kali ini, keduanya dapat berbicara secara terbuka. Dengan
pertemuan ini, Keng Sim girang bisa mengetahui jelas hati Sin Tjoe, sedang Sin
Tjoe puas bisa mendapatkan pulang ini sahabat yang seperti sudah hilang...
Demikian mereka memasang omong
hingga tanpa merasa sang fajar tiba, lalu di luar terdengar suaranya kelenengan
kereta, berikut suaranya roda dan tindakan kuda. Itulah Tan Hong yang kembali
bersama Giok Houw, untuk mengangkut "layonnya" TiatKeng Sim...
"Kamu bangun
pagi-pagi!" kata Giok Houw gembira melihat dua orang itu.
"Aku mati dan hidup pula,
hari ini aku bakal menyelundup keluar dari kota raja, hatiku tidak
tenteram," berkata Keng Sim. "Karena itu semalaman aku tidak dapat
tidur. Apakah sekarang aku mesti tidur pula di dalam peti mati?"
"Jikalau kau tidak mau,
tidak apa, aku telah mengaturnya!" kata Tan Hong tertawa.
Ketika itu ada datang lagi
lain orang, ialah Hek Pek Moko bersama Tie Goan, ketua muda Kaypang.
"Hek Pek Moko mau pergi
ke Inlam, kamu boleh berjalan bersama-sama," Tan Hong bilang. "Tie
Pangtjoe yang bakal mengantar kamu hingga di luar kota. Tie Pangtjoe kenal baik
semua penjaga pintu kota. Setelah keluar, kamu menantikan Bhok Lin di Louvvkauw
kio."
Senang Sin Tjoe mendengar
kata-kata gurunya, yang nyata telah mengatur segala apa dengan baik untuk Keng
Sim. Dengan adanya Hek Pek Moko sebagai pengantar, tidak ada kekuatiran apanya
lagi, tidak perduli umpama kata raja mengirim wiesoe-wiesoe-nya yang terliehay.
Untuk Hek Pek Moko, perjalanan
ini juga ada perjalanan sambil lalu. Mereka mau membawa pulang semua bingkisan
ke India, untuk dijual di negerinya. Mereka mau mengambil jalan dari Inlam
menembus ke Birma.
Bhok Lin dan Kiam Hong muncul
dari dalam, maka Tan Hong kata pada pangeian muda itu: "Sekarang angkatlah
peti mati ke atas kereta kuda. Tjiehoe menantikan kamu di Louwkauw kio."
"Tjiehoe, kenapa kau
tidak bersamaku naik kereta?" Bhok Lin tanya.
"Dia tidak kerasan tidur
lagi di dalam peti mati," Tan Hong mewakilkan Keng Sim menjawab.
"Pula, walaupun raja sudah menjadi jeri hatinya, ia toh mesti mengirim
wakilnya mengantar layon hingga di luar kota, maka itu siapa bisa ketahui
jikalau antara pengiring-pengiringnya ada wiesoe pilihan yang menyamar yang
dapat mendengari suara napas di dalam peti mati? Benar peti kosong dan Keng Sim
tidak ada di dalamnya, tetapi dengan kau mempunyai firman raja, siapa berani
membuka tutup peti?"
Bhok Lin berdiam, sedang Keng
Sim kagum. Nyata Tan Hong telah mengatur segala sesuatu dengan teliti.
Di luar gedung berada dua buah
kereta. Kereta yang satu lantas dipakai Keng Sim bersama Hek Pek Moko serta Tie
Goan. Kereta yang lain akan dipakai Bhok Lin diiringi boesoe yang ia bawa dari
Inlam. Keng Sim sudah lantas naik atas keretanya, ia memberi selamat tinggal
pada semua orang. Ia terharu hingga air matanya berlinang.
"Sampai kamu keluar pintu
kota, Yang Tjong Hay masih belum mendusin dari tidurnya," kata Giok Houw,
yang ingat kepada bekas tjongkoan dari Taylwee itu. Lantas dia tertawa. Sebab
kejadian kemarin itu dia menganggapnya lucu.
"Nah, mari kita pun
berangkat!" kata Tan Hong kemudian.
"Soehoe mau menuju ke
mana?" Giok Houw tanya gurunya.
"Sudah delapan tahun aku
belum pernah pergi ke Kanglam, aku ingin pesiar kesana," menyahut sang
guru.
"Entah bagaimana
keadaannya Tayouw Santjhoeng," berkata Sin Tjoe. "Soehoe. baik aku
turut kau pesiar ke Souwtjioc dan Hangtjioe, habis itu aku minta sukalah kau
pergi ke pulau kecil kita untuk berdiam di sana beberapa hari."
"Aku sendiri mau pergi
kepada Kimtoo Tjeetjoe"" berkata Giok Houw. "Aku mesti memberi
laporan. Kau. entjie Leng, bagaimana dengan kau?"
In Hong mengawasi Sin Tjoe.
mau ia menjawab tetapi bersangsi.
"Entjie Leng, pergilah
kau pulang ke Thiansan," kata Sin Tjoe tertawa. "Urusan merampas
bingkisan sudah selesai, jikalau kau tidak pulang, pasti Hok Toako bakal
mengatakan dan menyesali kami sudah menahan kau!"
"Kamu tidak menghendaki
aku, baiklah, aku pulang ke Thiansan." kata In Hong.
"Aku akan berangkat
bersama kau!" kata Kiam Hong.
In Hong tertawa.
"Entjie Sin Tjoe tidak
menghendaki aku, aku juga tidak menginginkan kau!" katanya.
Kata-kata itu mengandung dua
maksud, maka itu Kiam Hong mendongkol dan mengangkat tangannya mengancam untuk
memukul, tetapi Sin Tjoe sembari tertawa menarik tangan orang seraya berkata:
"Siauw Houw Tjoe mau pergi kepada Kimtoo Tjeetjoe kamu berdua turutlah
dia. nanti sampai di luar kota Ganboenkwan baru kamu berpisahan. Di sana kau.
Nona Liong, kau boleh mengambil keputusan kau ingin mengikut siapa."
Demikian pembicaraan mereka
selesai, mereka berangkat dengan berpisahan. dalam rombongan masing-masing.
Cuma Sin Tjoe dan In Hong, yang merasa sangat berat, dari itu banyak mereka
saling memesan.
Perjalanan Leng In Hong
bertiga Thio Giok Houw dan Liong Kiam Hong menyenangi mereka. Mereka tidak menemukan
sesuatu. Hanya selang belasan hari, tiba sudah mereka di luar kota Ganboenkwan,
tiba di Tjengliong Kiap, selat di mana baru ini mereka menempur tentera negeri.
Tentaranya Tjioe San Bin pun berada di atas gunung Tjengliong San.
Selama perjalanan ini. In Hong
telah mengambil ketetapannya untuk menciptakan sendiri sebuah partai
persilatan. Dengan meyakinkan bersama suaminya, Hok Thian Touw, ia telah
memperoleh kemajuan, lalu dengan dapat petunjuknya Thio Tan Hong, selain
kemajuan, pikirannya pun makin terbuka. Maka itu. selama di tengah perjalanan
ini, banyak ia omong sama Giok Houw tentang ilmu pedang, dan di mana yang ia
kurang jelas, ia tanya pemuda she Thio itu.
Ketika mereka mulai memasuki
lembah Tjengliong Kiap, In Hong lantas ingat peristiwa ia bersama suaminya
mengepung Kiauw Pak Beng. Di sana mereka bentrok pendapat tetapi di akhirnya
Thian Touw mengalah dan suka membantu sungguh-sungguh padanya melawan Pak Beng,
hanyalah di luar sangkaannya, habis itu. mereka suami isteri jadi semakin renggang.
"Thian Touw terlalu
kegilaan ilmu pedang," In Hong berpikir. "Sekarang aku memperoleh
sedikit kemajuan, aku harap ini dapat dipakai untuk menambal keretakan kami.
Meski begitu, kalau aku mesti terlalu merendah, tidak, tidak dapat."
Karena ini. ia terus
bersangsi.
In Hong ingin lantas
berpisahan tetapi Giok Houw mengundang ia mendaki gunung, untuk mampir beberapa
hari. Kata Siauw Houw Tjoe: "Bibi Tjioe sangat kangen terhadapmu. Ketika
itu hari kau pergi tanpa pamitan, dia menyesalkan aku!"
In Hong kena dibujuk. Ia
memang menghargai Nyonya Tjioe San Bin.
Kiam Hong tidak ingin
berpisahan dari Giok Houw, ia juga tidak tidak mau berpisah dari In Hong. In
Hong bisa menduga hati orang, maka waktu ia diajak mendaki gunung bersama, ia
menerima baik ajakan itu.
Tauwbak yang bertugas menjaga
hari itu melihat datangnya rombongan Giok Houw. dia lantas lari ke dalam, untuk
memberi laporan kepada tjeetjoe. ialah ketuanya.
Giok Houw merasa aneh kapan ia
telah melihat romannya tauwbak itu dan yang lain. Biasanya, kalau ia datang, ia
lantas dirumung. untuk ditanyakan ini dan itu, mereka biasanya tertawa
menyambutnya.
tetapi kali ini mereka
berdiam, meskipun ada yang bersenyum tetapi nampaknya seperti dipaksakan.
Teranglah orang berduka, seperti juga ada terjadi sesuatu yang hebat.
Tengah anak muda ini heran dan
bercuriga, hingga ia menduga-duga, San Bin muncul menyambut mereka. Juga
tjeetjoe itu kelihatannya berduka seperti sekalian tauwbak.
Giok Houw beramai diundang
berduduk di Tjiegie thia. ruang berkumpul. Ia lantas menutur perihal
perjalanannya ke kota raja dan bertemu sama kaisar. Ia bicara dengan gembira
sekali. Beberapa kali San Bin memuji dan bertepuk tangan, tetapi roman
kedukaannya tetap tidak lenyap.
"Setelah kami berangkat
dari sini, apakah ada terjadi sesuatu?" akhirnya Giok Houw menanya. Tidak
dapat ia menahan sabar lebih lama pula.
San Bin memerintahkan seorang
tauwbak membawa datang sebuah kotak dalam mana ada termuat sehelai kartu nama,
sembari menunjuk kartu itu, ia berkata: "Thio Hiantit, gurumu luas
pengetahuannya, apakah kau pernah mendengar ia membicarakan tentang ini dua
orang?"
Giok Houw tidak lantas
menyahuti, ia hanya membaca dua nama di atas kartu itu. suaranya seperti
mendumal: "Tjouw Thian
Yauw-Tjio Keng Ham. Belum
pernah aku mendengar soehoe
menyebut-nyebut dua orang ini.
Apakah artinya ini?" ia
terus menanya.
"Pada enam hari yang baru
lalu," menyahut Tjioe San Bin. "pagi-pagi bibimu bangun dan pergi ke
ruang ini, lantas di atas meja bundar ia mendapatkan ini kotak berikut kartu namanya.
Di samping itu pun ada sepucuk surat yang singkatnya berbunyi bahwa mereka
telah mendapat tahu aku bersama Yap Seng Lim telah mengirim Lioklim Tjian
mengundang orang-orang gagah untuk bersama merampas bingkisan pelbagai
propinsi, maka itu mereka minta supaya dibagi separuh dari semua bingkisan yang
telah kita rampas itu. Katanya pula apabila semua barang itu sudah dijual,
mereka minta separuhnya dalam emas..."
Giok Houw heran sekali.
"Begitu?" katanya.
"Kita yang bersusah payah merampasnya, mereka yang duduk enak-enakan
hendak mendapat bagiannya!"
"Inilah rada aneh."
In Hong turut bicara. "Mereka tahu perampasan dilakukan umum, pada itu ada
ambil bagian sekalian orang gagah, tetapi toh mereka masih bernyali demikian
besar berani meminta bagian, apakah yang mereka buat andalan? Mungkinkah mereka
itu terlebih liehay daripada si siluman tua she Kiauw itu?"
"Memang rada aneh."
San Bin bilang. "Maka juga begitu mendapatkan kartu dan suratnya, bibimu
menjadi heran dan segera dia memanggil aku dan Tjie Hiap."
"Apakah sekarang bibi dan
koko Tjie Hiap ada di sini?" Giok Houw memotong. Dengan Tjie Hiap, ia ada
seperti tangan dan kaki, sangat erat persahabatannya, maka kalau Tjie Hiap ada
di rumah, tidak harusnya dia tidak lekas keluar menemui. San Bin pun tidak
menyebutkan tentang isteri dan anaknya itu, hanya dia menyebut isterinya dalam
hubungan dengan itu kartu nama dan surat yang datangnya di luar tahu siapa
juga.
Atas pertanyaan itu, Tjioe
Tjeetjoe menyeringai.
"Bibi dan saudaramu
itu?" katanya. "Mereka ada di dalam, lagi sakit, besok baru mereka
sembuh... Umpama kata kau datang kemarin, aku juga tentu masih rebah di
pembaringan..."
Giok Houw semua heran. Suami
isteri itu serta anaknya sakit berbareng! Tidakkah itu heran? Pula, tidakkah
lebih heran, kesembuhan mereka dapat diketahui harinya? Tapi sekarang ia
mengerti kenapa romannya San Bin kucai, kiranya dia baru sembuh dari sakitnya
dan berduka karena sakitnya isteri dan puteranya.
"Siokhoe dapat sakit
apa?" anak muda ini tanya itu ketua, yang ia panggil siokhoe, atau paman.
San Bin menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu,"
sahutnya. "Di sini pun ada beberapa sahabat Rimba Persilatan, yang
mengerti ilmu ketabiban, mereka juga tidak tahu. Apa yang diketahui ialah sakit
kita disebabkan perbuatannya dua orang yang namanya tertera di sini."
Benar-benar Giok Houw tidak
mengerti.
"Mungkinkah mereka
nelusup ke dalam sini dan menaruh racun secara diam-diam?" ia tanya.
"Ah, itulah tidak pantasnya terjadi!"
"Itulahjusteru
anehnya!" San Bin bilang. "Kami semua tidak dapat menerka bagaimana
mereka itu bekerjanya. Surat itu, selain berbunyi meminta separuh dari semua
bingkisan, juga ada ditambahkan ini kata-kata: 'Jikalau permintaan kami ini
tidak diterima baik, kami akan membikin kamu seluruh gunung menjadi terlukadan
musnah. Sekarang ini kami mencoba dulu golok kami peranti menyembelih kerbau,
yaitu Tjioe Tjeetjoe suami dan isteri serta anak akan mendapat sakit serintasan
--- Tjioe Tjeetjoe bakal jatuh sakit lima hari, dan isteri dan anaknya selama
tujuh hari. Nanti, setelah kamu sudah sembuh, baru kami datang pula mengunjungi
kamu'. Coba pikir, apakah itu tidak aneh? Benar-benar kami jatuh sakit! Obat
apa juga kami makan, tidak ada hasilnya. Sampai pada kemarin, tepat lima hari
yang disebutkan, sakitku sembuh dengan tiba-tiba tanpa kami mengetahui
bagaimana terjadinya. Aneh atau tidak, orang terpaksa mesti
mempercayainya!"
"Mungkinkah keanehan
terjadi pada kertasnya surat itu?" kemudian ia tanya.
"Aku pun pernah
mencurigai itu. Surat aku kasihkan diperiksa beberapa sahabat yang mengerti
ilmu obat-obatan dan racun, tetapi mereka itu tidak mendapatkan apa-apa."
"Apakah mereka itu
sendiri tidak mendapat sakit?"
"Tidak."
Giok Houw menjadi bertambah
heran. Ia menduga surat ada racunnya, nyata dugaan itu meleset. Taruh kata
benar surat beracun, kenapa yang sakit cuma San Bin bertiga? Juga. kenapa
sakitnya mereka bertiga ditentukan hari kesembuhannya dan ketentuan itu tepat?
Ia menjadi bingung.
"Biar bagaimana, mereka
itu berdua mestinya ahli racun," kata In Hong kemudian. "Maka tak
dapat tidak, kita mesti berjaga-jaga. Aku masih mempunyai beberapa butir
Pekleng Tan. baiklah kita makan itu di waktu kita bertemu dengan mereka.
Bersiaga tidak ada ruginya."
Pikiran itu mendapat
kesetujuan. Meski begitu, tetap orang tidak mengerti, maka itu. mereka tidak
bergembira. Syukur sang besok datangnya lekas. Itulah hari yang ditetapkan.
Benar saja, Tjio Tjioe Hong dan Tjioe Tj ie Hiap sembuh dari sakitnya
masing-masing, sembuh tanpa terasa, bahkan tepat setengah jam sebelumnya tengah
hari.
Semua orang menjadi berlega
hati berbareng berkuatir juga. Sebab ketua mereka bertiga sembuh, tetapi segera
mereka mesti menantikan "kunjungan" dari dua orang yang meminta
bagian bingkisan itu! Terpaksa mereka berjaga-jaga. malah penjagaan diperkeras,
pos-pos penjaga dibikin lebih rapat, menjadi setiap lima dan sepuluh tindak.
Inilah supaya, kalau kedua tetamu datang, laporan bisa di kirim cepat.
Kira tengah hari, San Bin
bersama anaknya, In Hong, Giok Houw dan Kiam Hong, duduk berkumpul di Tjiegie
thia, untuk menantikan tetamu mereka yang tidak diundang itu. Sampai sekian
lama. mereka menanti dengan sia-sia, tidak laporan datang dari luar.
"Mungkinkah mereka berdua
menggertak saja?" tanya Giok Houw kemudian. "Mungkinkah mereka tidak
berani datang?"
"Jikalau hanya gertakan,
sebenarnya tidak perlu mereka bersusah payah mengancam kita dengan
penyakit!" kata San Bin. "Pula tidak mungkin mereka cuma bergurau.
Tempo yang dijanjikan ini juga tempo yang mereka tetapkan sendiri..."
Benar baru San Bin mengucap
begitu, dari luar terdengar letusan pertanda. Sedang Hoetjeetjoe Lauw Wan Tat,
si ketua muda. baru saja tertawa dan hendak mengatakan sesuatu. Menyusul
letusan itu. dari luar ruang segera terdengar suaranya dua orang: "Dua
orang muda dari Rimba Persilatan. Tjouw Thian Yauw dan Tjio Keng Ham, menepati
janji datang menghadap kepada Kimtoo Tjeetjoe!"
Semua orang terkejut hingga
mereka saling memandang. Tidakkah penjagaan telah diperkuat? Kenapa orang masih
dapat masuk, bahkan lantas berada di luar Tjiegie thia?
Biar bagaimana, San Bin
menenangkan hatinya. Ia lantas berbangkit untuk menyambut. Dengan suara
nyaring, ia berkata: "Tuan-tuan benar-benar dapat dipercaya! Silakan
masuk, di sini aku si orang she Tjioe yang tengah menantikan!"
Menyusul suaranya ketua ini,
dua orang terlihat bertindak masuk. Nyata dandanan dan roman mereka lain dari
yang lain. Orang yang memperkenalkan diri sebagai Tjouw Thian Yauw, tubuhnya
besar dan kekar, romannya kasar dan keren, akan tetapi kepala dan tubuhnya ditutup
sama kopia dan pakaian kaum pelajar, hingga dia menjadi beroman luar biasa.
Sedang orang yang menyebut diri Tjio Keng Ham, yang paling nyata padanya ialah
kedua kupingnya memakai anting-anting kuningan, sementara kepalanya lanang.
tidak ada rambutnya sehelai jua. Nyata sekali dia nampak sebagai orang Biauw,
tetapi dia toh memakai nama orang Han, bahkan pakaiannya juga pakaian bangsa
Han.
Orang semua heran. Tidak ada
yang bisa membade. mereka berdua orang dari golongan apa. Keberanian merekajuga
harus dikagumkan.
Tjouw Thian Yauw merangkap
kedua tangannya memberi hormat.
"Tjioe Tjeetjoe,
kesehatanmu tentulah telah pulih!" berkata dia. "Kami berdua saudara
telah berlaku lancang, kami minta sukalah dimaafkan."
San Bin tahu orang pandai
menggunai racun, ia tidak mau mendekati mereka itu.
"Tuan-tuan pandai sekali,
aku sangat kagum." ia berkata membalas hormat. "Silakan duduk!"
"Maksud kedatangan kami
berdua telah ditulis jelas sekali di dalam surat kami, dari itu tidak usah kami
menjelaskannya pula," berkata Thian Yauw. "Sekarang kami minta
sukalah tjeetjoe memisahkan separuh dari semua bingkisan, supaya dengan begitu
kami dapat lantas berangkat pergi. Kami tidak ingin tjeetjoe bercape hati
melayani kepada kami."
"Syukur tuan-tuan telah
datang kemari, aku si orang she Tjioe justeru hendak memohon pengajaran,"
San Bin berkata. Ia tidak menyebut tentang bingkisan. "Kalau tuan-tuan
lantas pergi pula, itu tandanya kami tidak mengenal persahabatan."
"Dengan memandang kepada
bingkisan, baiklah, kami bersedia berduduk dan memasang omong sebentar,"
sahut kata Thian Yauw.
"Entahlah, tjeetjoe
hendak bicara dari hal apa? Kami biasa mendengar tjeetjoe berhati sangat mulia
dan gemar mengamal, mustahillah tjeetjoe berkeberatan untuk itu sedikit
bingkisan? Bukankah kita sama-sama orang Rimba Hijau?"
San Bin mengasi lihat roman
sungguh-sungguh.
"Tuan-tuan datang dari
tempat jauh, silakan duduk dulu," ia berkata. "Dengan begitu
leluasalah kita berbicara. Silakan minum tehnya!"
Menyusuli kata-katanya tuan
rumah ini, Thio Giok Houw datang dengan sebuah penampan kuningan. Ia
menghampirkan kedua tetamunya. Ia menelad contoh gurunya baru-baru ini,
menyamar menjadi kacung pengikut, hanya di sini dia menjadi seorang tauwbak
kecil. Dengan begini ia hendak menguji kedua tetamunya itu. Penampannya itu
bagaikan diputar diangsurkan ke muka orang. Celakalah siapa tidak dapat
menyambuti itu, jikalau dia tidak terbinasa, sedikitnya dia akan terluka parah.
Tjouw Thian Yauw bangun
sepasang alisnya. Ia mengajukan kedua tangannya, untuk menyambuti. Segera juga
penampan itu berhenti berputar.
"Terima kasihi" ia
kata. Ia menjemput cangkir teh, untuk segera meminum kering airnya.
Thio Giok Houw telah
meyakinkan ilniu Hiankong Yauwkoat di bawah pimpinan Thio Tan Hong, dengan
menggunai tenaga dalam, ia membuatnya penampan berputar. Ia telah mahir
menggunakannya, maka kalau bukan orang kelas satu, sulit untuk dia
menghindarkan diri dari penampan itu. Ia tidak menyangka, Thian Yauw liehay
sekali. Dengan gampang dia ini menekan, lantas punahlah serangan diam-diam dari
Giok Houw itu. Maka kagetlah anak muda ini, tidak perduli dia liehay dan
nyalinya besar.